Si KangKung Pendekar LUgu 2 [Soh Sim Kiam]

Diposting oleh eysa cerita silat chin yung khu lung on Jumat, 09 September 2011

"Semalam suntuk itu aku duduk menunggu diluar gedung Leng-hanlim itu. Sungguh Hokkhi-ku memang besar, Tik-hiantit, esok paginya diambang jendela loteng yang dikatakan itu benar2 muncul dua pot bunga Seruni berwarna hijau pupus. Kukenal Seruni salah satu pot itu bernama 'Jun-cui-pik-poh' (air dimusim semi beriak menghijau) dan pot yang lain bernama 'Pek-giok-ju-ih' (kemala yijau sesuai keinginan). Kedua pot bunga Seruni itu benar2 sangat indah, akan tetapi yang terpikir olehku hanya orang yang menaruh kedua pot bunga itu. Itulah dia, kulihat dibalik tirai jendela itu ada sebuah wajah yang paling cantik didunia ini sedang mengintip kearahku, hanya separoh wajahnya kelihatan, ia memandang sekejap kepadaku, mendadak mukanya merah jengah terus menghilang dibalik tirai dan untuk selanjutnya tidak muncul lagi."
"Tik-hiantit, engkau tahu sendiri, begini jelek muka Ting-toakomu ini, gagah tidak, ganteng tidak, kaya tidak, pangkatpun tidak, mana aku berani mengharapkan cinta seorang gadis secantik itu? Akan tetapi sejak itu setiap pagi aku pasti datang keluar taman keluarga Leng dan memandang ter-mangu2 hingga lama. Rupanya Leng-siocia juga tidak pernah melupakan daku, setiap hari ia pasti mengganti sebuah pot bunga yang segar dan ditaruh diambang jendela loteng."
"Keadaan begitu berlangsung lebih dari sembilan bulan, tidak peduli hujan angin atau hujan salju, setiap pagi aku pasti pergi menikmati keindahan bunga, sebaliknya Leng-siocia juga tidak pernah mengenal bosan untuk selalu mengganti sebuah pot bunga yang segar lagi indah. Setiap hari ia cuma memandang sekejap padaku dan tidak lebih. Setiap kali memandang, tentu wajahnya bersemu merah, lalu menghilang dibalik tirai. Dan setiap hari asal kulihat kerlingan matanya dan semu diwajahnya, rasaku sudah puas dan bahagia untuk selamanya. Tidak pernah ia bicara padaku, akupun tidak berani mengajak bicara padanya. Kalau mau, dengan ilmu silatku sebenarnya aku dapat melompat keatas lotengnya dengan sangat mudah. Akan tetapi selama itu sedikitpun aku tidak berani mengunjuk kekasaran padanya. Untuk menulis surat pernyataan cinta padanya aku lebih2 tidak berani lagi."
"Suatu malam pada tanggal 5 bulan 2 dalam tahun itu, pondokku telah kedatangan dua orang Hweshio dan serentak aku diserang. Kiranya Hweshio2 itu telah mendapat kabar dan ingin merebut Sin-ciau-keng dan Soh-sim-kiam-koat dariku. Paderi2 itu adalah dua diantara kelima Hweshio dari Bi-cong-ngo-hiong itu. Satu diantaranya telah kubinasakan tempo hari didalam penjara dan telah disaksikan sendiri olehmu. Namun tatkala itu aku belum berhasil meyakinkan Sin-ciau-kang, ilmu silatku jauh dibawah mereka, aku terluka parah dihajar mereka, hampir2 jiwaku melayang, untung aku sempat sembunyi ditengah onggok rumput dikandang kuda. Karena lukaku itu, aku mesti menggeletak selama lebih tiga bulan baru achirnya dapat paksakan diri berbangkit. Begitu aku dapat berbangkit, segera aku menggunakan tongkat dan datang keluar taman keluarga Leng dengan berincang-incuk. Akan tetapi aku menjadi kecewa, setiba aku disana, suasananya sudah berubah sama sekali. Kucoba tanya tetangga disekitar situ dan mengetahui keluarga Leng itu sudah berpindah rumah pada tiga bulan yang lalu. Kemana pindahnya ternyata tiada seorangpun yang tahu."
"Coba bayangkanlah, Tik-hiantit, betapa kecewa dan pedih hatiku pada waktu itu sungguh jauh lebih hebat daripada racun yang mengenai badanku sekarang ini. Aku merasa heran, Leng-hanlim adalah tokoh kenamaan dikota Bu-jiang ini, kemana beliau berpindah rumah masakah sama sekali tiada yang tahu? Namun memang begitulah keadaannya, meski aku sudah menyelidiki kesana dan kesini, tidak sedikit aku korban harta dan tenaga, toh tetap tidak memperoleh sesuatu kabar apa2. Aku yakin dibalik kepindahan keluarga Leng secara rahasia itu pasti ada sesuatu yang mencurigakan, kalau bukan Leng-hanlim ingin menghindari datangnya musuh, tentu ada sebab2 lain yang luar biasa hingga mesti pindah rumah secara mendadak. Dan secara kebetulan yalah diwaktu aku terluka parah itulah, mereka lantas pindah rumah."
"Sejak itu aku menjadi seperti orang linglung, aku tidak dapat bekerja dengan tenang, achirnya aku terluntang-lantung di-kangouw tanpa sesuatu pekerjaan yang benar. Dasar rejekiku memang setinggi langit, suatu hari, ketika aku sedang minum disuatu kedai dikota Tiangsah, tanpa sengaja aku telah mendengar percakapan dua orang gembong Pang-hwe (perkumpulan rahasia) yang lagi berunding hendak pergi ke Heng-ciu untuk mencari Ban Cing-san, katanya hendak merebut Soh-sim-kiam-boh dari orang she Ban itu."
"Kupikir sebabnya Ban Cing-san bertiga saudara perguruan tempo hari berani berdurhaka hendak membunuh guru mereka, pangkal utamanya adalah karena hendak merebut Kiam-boh yang dimaksudkan itu. Sebenarnya apa macamnya Kiam-boh itu, aku menjadi ingin melihatnya juga. Maka diam2 aku menguntit kedua gembong Pang-hwe itu ke Kang-leng (nama lain dari Heng-ciu pada jaman itu). Cita2 kedua gembong Pang-hwe itu memang boleh juga, tapi napsu besar tenaga kurang, begitu kepergok Ban Cin-san mereka lantas keok dan kena ditangkap serta digusur kepada pembesar Kanglenghu. Karena iseng, aku ikut2 pergi melihat keramaian dalam pemeriksaan kedua pesakitan itu."

"Setiba didepan kantor Kanglenghu dan membaca papan pengumuman didepan kantor itu, sungguh girangku laksana orang putus lotre 10 juta. Kiranya Leng-tihu itu tak-lain-tak-bukan adalah ayahnya Leng-siocia, Leng Dwe-su adanya. Malamnya, diam2 aku membawa satu pot bunga mawar untuk ditaruh didepan jendela diatas loteng belakang tempat tinggal Leng-siocia, lalu aku menunggu dibawah loteng situ semalam suntuk. Esok paginya ketika Leng-siocia membuka jendela dan melihat pot bunga itu, ia telah berseru kaget sekali, tapi segera iapun dapat melihat diriku. Sudah lebih setahun kami tidak bertemu dan masing2 sudah menyangka selama hidup ini takkan bersua kembali. Kini dapat berjumpa lagi, sudah tentu sama2 girang tak terkatakan. Leng-siocia memandangi aku sejenak untuk kemudian menutup pula jendelanya dengan muka merah. Ketika hari kedua bertemu pula, mulailah ia buka suara, tanyanya padaku: 'Apakah engkau jatuh sakit? Engkau telah banyak lebih kurus!'"
"Sungguh rasa bahagiaku waktu itu susah dilukiskan. Untuk hari2 selanjutnya hidupku bukan lagi hidup manusia, tapi lebih menyerupai hidup dewata disorga. Ya, sekalipun dewata rasanya juga tidak sebahagia seperti aku pada waktu itu. Setiap malam, bila orang lain sudah pergi tidur, aku lantas mendatangi loteng Leng-siocia untuk mengajaknya keluar dan ber-jalan2 disekitar rimba pegunungan diluar kota Kangleng. Kami senantiasa bergaul secara sopan, sedikitpun tidak pernah menyeleweng dari adat istiadat. Tapi segala isi hati kamipun dibicarakan secara terbuka, jauh lebih akrab daripada sobat karib umumnya."
"Pada suatu malam Leng-siocia telah menuturkan suatu rahasia besar kepadaku. Kiranya ayahnya meski ikut ujian sastra dan mendapat gelar Hanlim, tapi sebenarnya adalah Toaliongthau (kepala) dari Liong-soa-pang yang sangat berpengaruh diwilayah Liang-ouw (Ouwlam dan Ouwpak). Karena Leng-siocia adalah dewi pujaanku, dengan sendirinya akupun sangat menghormati ayahnya, maka akupun tidak heran oleh ceritanya itu."
"Pada suatu malam lagi, kembali Leng-siocia menceritakan padaku bahwa sebabnya ayahnya tidak mau menjadi Hanlim yang dihormati tapi tanpa tugas itu, malahan sengaja membuang ber-laksa2 tahil perak dan dengan susah payah menyogok pembesar pusat hingga ayahnya diangkat menjadi Tihu dari kota Hengciu, dibalik itu sebenarnya memang ada sesuatu maksud tujuan tertentu."
"Kiranya ayahnya telah memperoleh ilham dari kitab sejarah yang pernah dibacanya bahwa disesuatu tempat didalam kota Hengciu itu pasti terpendam suatu partai harta karun yang tak ternilai jumlahnya. Menurut keterangan yang dibaca, dijaman jnasti Liang (502-557) dimasa Lak-tiau atau Lam-pak-tiau (Tiongkok selatan dan utara, 420-581), setelah kaisar Liang-bu-te wafat oleh karena pemberontakan Hou Keng, tahta digantikan oleh Liang-bun-te, tapi kaisar ini ditewaskan pula oleh Hou Keng, kemudian pangeran Siang-tong-ong Siau Tik naik tachta dikota Kangleng dengan gelar Liang-goan-te. Tapi Liang-goan-te ini terlalu lemah dan tidak becus mengurus negaranya, yang dipentingkan cuma mengumpulkan harta-benda pribadi atas derita rakyat jelata, hanya tiga tahun ia menjadi raja di Kangleng, tapi harta-benda yang dikeduknya sudah tak ternilai jumlahnya. Pada tahun ketiga itulah kerajaan Gui menyerang Kangleng dan Liang-goan-te terbunuh. Pada hari tamatnya Liang-goan-te itu, raja yang lalim itu telah membakar habis perpustakaan negara yang berisi kitab2 berharga tidak kurang dari 140 ribu jilid jumlahnya. Akan tetapi dimana ia menyembunyikan harta bendanya hasil pemerasan darah-keringat rakyat itu ternyata tiada seorangpun yang tahu. Guna menyelidiki harta karun yang besar jumlahnya itu, panglima tentara Gui yang bernama Ih Kin telah menawan ber-ribu2 orang yang disangkanya tahu rahasia tempat harta karun itu disembunyikan, namun meski orang2 itu disiksa dan dibunuh toh tetap tiada sesuatu keterangan yang diperoleh. Achirnya karena kuatir tempat pendaman harta karun itu dikemudian hari mungkin akan dikeduk oleh orang yang mengetahui, panglima kejam itu tidak berbuat kepalang tanggung lagi, antero penduduk Kangleng lantas digiring semua ke Tiangan, yaitu ibukota kerajaan Gui. Beratus ribu penduduk Kangleng itu belum lagi tiba di Tiangan sudah terbunuh atau dipendam hidup2 ditengah jalan hingga tiada seorangpun yang lolos. Karena itulah, selama be-ratus2 tahun rahasia tentang harta karun itu tetap tidak terbongkar, dan lambat-laun tiada seorangpun yang tahu lagi."
"Menurut cerita Leng-siocia, ayahnya telah mengorbankan temponya selama 7-8 tahun untuk membongkar arsip sejarah kota Kangleng serta mempelajari segala catatan dan kitab kuno, maka dapatlah dipastikan bahwa harta karun yang dikumpulkan Liang-goan-te itu tentu dipendam di sesuatu tempat di sekitar kota Kangleng ini. Raja Liang-goan-te itu sangat kejam, bukan mustahil setelah dia menyembunyikan harta-bendanya itu, lalu petugas2 yang mengetahui rahasianya itu terus dibunuhnya semua. Makanya Ih Kin, itu panglima tentara Gui, meski betapapun kejamnya dia menyiksa rakyat untuk menyelidiki tempat harta karun itu dipendam, namun tetap tiada sedikitpun keterangan yang diperolehnya."

Mendengar sampai disini, satu-persatu tanda tanya yang meliputi hati Tik Hun menjadi terjawab dan terang. Tanyanya kemudian: "Ting-toako, jika begitu, engkau tentu mengetahui rahasia tempat harta karun itu bukan? Makanya begitu banyak orang yang mencari engkau kedalam penjara, tentu karena merekapun ingin mendapatkan harta terpendam itu."
Ting Tian tidak menjawab, dengan tersenyum getir ia meneruskan ceritanya pula: "Setelah mendengar cerita Leng-siocia itu, waktu itu aku merasa ayahnya sesungguhnya terlalu serakah. Dia sudah 'Bun-bu-coan-cay' (serba pandai ilmu silat dan sastra), sudah kaya lagi berpangkat, kenapa masih mengincar harta karun apa segala? ~ Kemudian ketika aku berbicara tentang macam2 kejadian dan pengalaman Kangouw, dengan sendirinya akupun menceritakan padanya tentang peristiwa Ban Cing-san bertiga saudara perguruan mengeroyok guru mereka untuk merebut Kiam-boh ditepi sungai Tiangkang itu. Dengan terus terang akupun menceritakan tentang Sin-ciau-keng dan Soh-sim-kiam-koat yang kumiliki itu kepadanya."
"Dengan begitulah kami telah lewatkan hari bahagia selama setengahan tahun. Pada hari tanggal 14 bulan tujuh tahun itu, Leng-siocia telah berkata kepadaku: 'Engkoh Tian, hubungan kita ini betapapun harus dibicarakan kepada Tia-tia untuk minta persetujuannya, habis itu kita tidak perlu lagi pakai sembunyi2 seperti sekarang ini.........." ~ baru berkata sekian ia sudah lantas susupkan kepalanya kepangkuanku saking malunya."
"Maka aku menjawab: 'Tapi engkau adalah Jian-kim-siocia (puteri bernilai ribuan emas, maksudnya puteri keluarga hartawan atau bangsawan), aku kuatir ayahmu akan memandang hina padaku.' ~ Leng-siocia menyahut: 'Leluhurku sebenarnya juga orang kalangan persilatan, hanya ayahku sekarang telah menjadi pembesar negeri, dan akupun tidak bisa ilmu silat sedikitpun. Namun ayah paling sayang padaku, sejak ibuku meninggal, setiap permintaanku pasti diluluskan oleh beliau.'
"Mendengar ucapannya itu, sudah tentu girangku tak terkatakan. Siang harinya aku biasanya tidur, tapi hari tanggal 15 bulan tujuh itu sehari suntuk aku tidak dapat memejamkan mataku barang sedetikpun. Sampai tengah malam, kembali aku menjumpai Leng-siocia diatas lotengnya. Begitu bertemu, dengan wajah merah ia lantas berkata: 'Kata ayah, segala apa terserahlah kepada keinginanku.' ~ Keruan girangku melebihi orang putus lotre 100 juta. Saking senangnya sampai aku tak sanggup bersuara, untuk beberapa saat lamanya kami cuma dapat saling pandang dengan tertawa.
"Kemudian kami bergandengan tangan turun dari loteng, sampai ditaman, dibawah sinar sang dewi malam yang terang benderang, tiba2 kulihat diantara bunga2 disitu telah bertambah beberapa pot bunga yang berwarna kuning indah bagai emas yang gemilapan. Bentuk bunga kuning itu rada mirip bunga teratai, cuma lebih kecil. Kami berdua memangnya adalah penggemar bunga, segera kami menghampiri bunga kuning itu untuk menikmatinya. Leng-siocia ber-kecak2 merasa heran dan menyatakan tidak pernah melihat bunga kuning seindah itu. Segera kami bersama mendekatkan hidung untuk mencium bunga itu agar mengetahui sampai dimana bau harum bunga itu......."
Waktu mendengar cerita sang Toako ber-jalan2 ditaman bunga dibawah sinar bulan purnama sambil tangan bergandeng tangan bersama sang kekasih, betapapun Tik Hun ikut kesemsem juga, maklum semangat muda. Tapi achirnya demi mendengar nada suara Ting Tian berubah berat dengan napas yang rada seram, mau-tak-mau Tik Hun menjadi tegang juga hingga dadanya serasa sesak, se-akan2 ditaman bobrok itu penuh dikelilingi setan iblis yang siap menubruk kepadanya. Se-konyong2 teringat sesuatu nama olehnya, terus saja ia berteriak: "He, itulah bunga 'Hud-co-kim-lian'!"
Ujung mulut Ting Tian menampilkan senyuman pahit. Selang agak lama barulah ia berkata pula: "Nyata engkau sudah tidak bodoh lagi. Selanjutnya engkau takkan mudah ditipu orang Kangouw pula, untuk mana bolehlah aku merasa lega."
Mendengar ucapan orang penuh mengandung rasa kasih sayang dan penuh perhatian melebihi saudara sekandung, Tik Hun menjadi terharu hingga air matanya bercucuran. Katanya kemudian dengan gemas: "Sipembesar anjing Leng-tihu itu kalau tidak...... tidak boleh puterinya diperisteri olehmu, sebenarnya ia bisa katakan saja terus terang, tapi mengapa........... mengapa mesti memakai tipu sekeji itu untuk mencelakai engkau?"
"Waktu itu darimana aku bisa mendapat tahu?" sahut Ting Tian. "Darimana pula aku bisa mengetahui bahwa bunga kuning emas itu tak-lain-tak-bukan adalah Hud-co-kim-lian yang berbisa luar biasa itu? Dan begitu aku mencium bau harum bunga itu seketika kepalaku terasa pening, sekilas kulihat Leng-siocia juga ter-huyung2 terus roboh, cepat aku bermaksud membangunkan dia, tapi aku sendiripun tidak kuat berdiri pula. Selagi aku mengerahkan Lwekang dan mengatur napas untuk menahan serangan racun bunga itu, tiba2 dari sekitar situ sudah muncul beberapa laki2 bersenjata. Aku cuma sanggup bergebrak beberapa jurus dengan mereka, habis itu pandanganku menjadi gelap, menyusul aku tidak tahu lagi apa yang terjadi."
"Ketika aku sadar kembali, aku merasa kaki-tanganku sudah terbelenggu, bahkan Pi-pe-kut dipundak juga sudah ditembus dengan rantai. Kulihat Leng-tihu dengan pakaian biasa sedang mengadakan pemeriksaan atas diriku, petugas2 yang berada disitu juga bukan lagi petugas2 negara, tapi adalah anggota2 perkumpulan rahasianya. Sudah tentu sikapku sangat keras, kontan saja aku memaki kalang kabut. Segera Leng-tihu memberi perintah begundalnya menghajar aku, kemudian aku dipaksa harus menyerahkan Sin-ciau-keng dan Soh-sim-kiam-koat.......... Kejadian selanjutnya tidak perlu lagi kuceritakan, engkau sendiripun sudah tahu, yaitu setiap bulan tanggal 15 aku pasti diseret keluar untuk dihajar dan memaksa aku menyerahkan Bu-keng (kitab ilmu silat) dan Kiam-koat (kunci ilmu pedang). Tapi tetap aku tidak guris padanya. Sungguh kesabarannya memang luar biasa juga hingga bertahan sampai sekarang."
"Tapi bagaimana dengan Leng-siocia waktu itu? Mengapa dia tiak berdaya untuk menolong engkau?" tanya Tik Hun cepat. "Pula, kemudian setelah engkau berhasil meyakinkan Sin-ciau-kang, engkau dapat pergi-datang dengan bebas, mengapa engkau tidak pergi menjenguk padanya? Mengapa engkau terima menunggu percuma didalam penjara sampai kematiannya?"
Begitulah serentetan pertanyaan Tik Hun mengenai Leng-siocia. Tapi saat itu Ting Tian sedang merasakan pening kepala yang luar biasa, tubuhnya se-akan2 enteng dan terapung di udara. Ia ulur tangannya meraba dan memegang sekenanya seperti ingin mendapatkan sesuatu pegangan.
Segera Tik Hun angsurkan tangannya untuk memegang tangan Toako itu. Tapi mendadak Ting Tian terkejut dan mengipatkan tangannya sekuatnya sambil berseru: "Tanganku beracun, jangan menyentuh aku!"
Tik Hun terharu pula dan cemas melihat keadaan sang Toako itu.
Sesudah pening sebentar, pelahan2 Ting Tian dapat tenangkan pikirannya lagi, ia membuka mta dan menanya: "Tadi kau omong apa?"
Tik Hun tidak menjawab, tapi mendadak teringat sesuatu olehnya, cepat ia menanya: "Ting-toako, waktu itu apakah pernah terpikir olehmu bahwa Leng-siocia itu mendapat perintah dari ayahnya dan sengaja menipu engkau untuk.........."
"Omong kosong!" bentak Ting Tian mendadak dengan gusar sambil angkat tangannya hendak menggablok.
Tik Hun insaf telah kelepasan omong, maka ia tidak berani menangkis, tapi rela menerima hajaran sang Toako.
Diluar dugaan kepalan Ting Tian lantas berhenti ditengah jalan, ia melototi Tik Hun sejenak dengan terkesima, kemudian menarik kembali kepalannya pelahan2, lalu katanya: "Tik-hiantit, rupanya engkau sendiri dihianati gadismu, maka kepercayaanmu kepada kaum wanita didunia ini sudah hilang, untuk mana memang aku tidak dapat menyalahkan engkau. Tapi bila Siang-hoa benar2 diperintahkan ayahnya dengan menggunakan 'Bi-jin-keh' (tipu menggunakan wanita cantik) untuk menipu Sin-ciau-keng dan Soh-sim-kiam-koat dariku, hal itu akan sangat gampang aku tertipu. Bahkan ia tidak perlu berkata apa2, cukup asal bilang: 'Ting-toako, berikanlah kitabmu Sin-ciau-keng dan Soh-sim-kiam-koat kepadaku.' ~ Bahkan dia boleh tidak usah buka suara, cukup memberi isyarat atau menunjukan sedikit keinginannya saja, kontan tanpa tawar2 pasti akan kuberikan segala apa yang dia minta. Aku takkan pusing apakah kitab itu akan diserahkannya kepada ayahnya, akan disedekahkan kepada pengemis dipinggir jalan atau akan dia sobek2 sebagai mainan kanak2, ya, sekalipun akan dia bakar, pasti aku takkan mengkerut kening sedikitpun. Ketahuilah, Tik-hiantit, meski Bu-keng dan Kiam-koat itu adalah kitab mestika yang tak ternilai di dunia Bu-lim, tapi kalau dibandingkan diri Leng-siocia, dalam pandanganku kitab2 mestika itu tidak lebih cuma sebangsa sampah belaka. Huh, Leng Dwe-su percuma menjadi seorang Bun-bu-coan-cay, tapi hakekatnya adalah seorang yang goblok. Coba kalau dia suruh puterinya membuka mulut minta padaku, tidak mungkin aku menolaknya."
"Boleh jadi ia sudah pernah bicara dengan Leng-siocia, tapi Leng-siocia tidak mau menurut," ujar Tik Hun.
"Tidak mungkin," sahut Ting Tian menggeleng kepala. "Andaikan terjadi begitu, pasti Siang-hoa takkan membohongi aku." ~ Ia menghela napas, lalu menyambung pula: "Hm, manusia macam Leng Dwe-su itu lebih mementingkan nama dan kedudukan, harta dan kekayaan, dengan jiwanya yang kecil itulah dia angap setiap manusia dijagat ini juga serupa dirinya yang tidak berpribadi, ia menyangka kalau menyuruh puterinya minta padaku, tentu aku akan menolaknya, sebaliknya maksud jahatnya menjadi ketahuan hingga aku akan lebih waspada. Disamping itu ada pula suatu alasan. Seperti diketahui, dia adalah seorang Tihu keluaran Hanlim, tapi puterinya justeru jatuh hati kepada seorang kasar seperti aku. Ia merasa terhina dan harus membunuh diriku."
"Sesudah aku tertangkap, antero badanku telah digeledah merata, tapi tiada sesuatu yang diketemukan, pondokku juga tiak terluput dari penggeledahan teliti, namun juga tidak diketemukan apa2. Sejak itu tiap2 tanggal 15 tentu aku diseret keluar penjara untuk disiksa dan ditanyai, sudah banyak sekali usaha mereka, segala bujukan manis dan kata2 madu sudah habis terpakai, segala paksaan dan ancaman juga sudah dilakukan, tapi aku tetap bungkam. Ia pernah mengirim orangnya menyamar sebagai pesakitan dan dikurung sekamar dengan aku dengan tujuan memancing pembicaraanku. Orang itu pura2 penasaran karena dipenjarakan tanpa berdosa, ia mencaci-maki Leng Dwe-su adalah manusia jahat. Akan tetapi segera aku dapat mengetahui rahasia penyamarannya, cuma sayang waktu itu aku belum berhasil menyakinkan Sin-ciau-kang, tenagaku tidak seberapa besarnya, maka kurang keras kuhajar dia." ~ berkata sampai disini ujung mulutnya menampilkan senyuman puas. Lalu melanjutkan: "Nasibmu juga jelek, telah banyak menderita hajaranku secara penasaran. Pabila engkau tidak bermaksud menggantung diri, boleh jadi sampai harini juga sudah mati dihajar olehku."
Sahut Tik Hun: "Aku sendiri menanggung penasaran dan dipitenah orang, pabila tak ditolong Toako ....."
Tiba2 Ting Tian menggoyang tangannya menyetop ucapan pemuda itu, lalu katanya: "Pertemuan kita ini boleh dikatakan ada 'jodoh'. Segala kejadian didunia ini memang tak terlepas dari 'jodoh'."
Sekilas ia melihat diujung taman bobrok sana bertumbuh setangkai bunga ungu yang kecil dan sedang tergontai oleh tiupan angin bagai hidup kesunyian disitu. Katanya segera: "Petikkanlah bunga itu!"
Tik Hun menurut, ia petik tangkai bunga itu dan menyerahkannya kepada sang Toako.
Sambil memandangi bunga ungu ditangannya itu, terbayang pula kejadian2 dimasa lampau, pelahan2 Ting Tian menutur lagi: "Setelah tulang pundakku ditembus rantai dan dipenjarakan, segala apa sudah dapat kupikirkan dengan jelas, kuyakin Leng Dwe-su pasti akan menghabiskan nyawaku. Sehari lebih cepat kuserahkan Keng dan Koat*) yang dia inginkan itu, sehari lebih lekas pula aku akan dibunuh olehnya. Tapi kalau aku tetap bungkam, mengingat benda2 mestika yang diincarnya itu tentu ia malah tidak berani membunuh diriku, sekalipun dihajar dan disiksa, paling2 juga cuma melukai sedikit kulit saja, untuk menamatkan nyawaku rasanya masih sayang baginya."
"Pantas!" ujar Tik Hun. "Makanya tempo hari waktu Toako suruh aku pura2 hendak membunuh engkau, seketika sipir bui menjadi kuatir malah dan tidak berani berlaku se-wenang2 lagi kepada kita."
"Ya. Setelah lebih sebulan aku disekap dalam penjara, saking gusar dan penasaranku, hampir2 aku menjadi gila," tutur Ting Tian pula. "Pada suatu malam, datanglah seorang pelayan kecil, ia adalah Kiok Yu (kawan seruni), itu dayang pribadi Leng-siocia. Sebabnya aku dapat berkenalan dengan Leng-siocia adalah gara2 ucapan dayang itu ditaman pameran seruni di Bujian. Aku tidak tahu betapa banyak Leng-siocia memberi sogokan kepada sipir bui hingga Kiok Yu diperbolehkan menemui aku. Akan tetapi sepatah katapun Kiok Yu ternyata tidak buka suara dan tiada membawakan sesuatu benda atau secarik kertaspun untukku, melainkan menatap aku dengan ter-mangu2 saja. Sipir bui itu membawa golok tajam dan mengancam dipunggung Kiok Yu. Maka tahulah aku bahwa sipir bui itu terang ketakutan atas perbuatannya menerima uang sogok, maka Kiok Yu cuma diperbolehkan bertemu muka dengan aku, tapi dilarang berbicara."
"Dengan terkesima Kiok Yu memandangi aku sejenak, sampai achirnya iapun mengucurkan air mata. Sementara itu sipir bui ber-ulang2 memberi tanda mendesaknya lekas keluar dari situ. Kiok Yu melihat dipelataran diluar kamar penjara bertumbuh setangkai bunga seruni yang kecil, ia terus memetiknya dan diangsurkan kepadaku melalui langkah besi, lalu ia tuding2 pula kearah jendela diatas suatu loteng dikejauhan. Diatas ambang jendela itu ternyata tertaruh sebuah pot bunga yang segar. Aku menjadi girang dan tahu bunga itu diletakkan oleh Leng-siocia disitu untuk menghilangkan rasa hampaku."
"Kiok Yu tidak berani tinggal terlalu lama disitu, segera ia putar tubuh bertindak keluar. Siapa duga baru saja ia melangkah keluar pintu penjara, tiba2 dari tempat yang tinggi menyambar datang sebatang panah, "crat", punggung dayang kecil itu tepat tertembus oleh panah itu dan seketika menggeletak terbinasa. Nyata Leng Dwe-su kuatir kalau ada kawanku yang mengacau kepenjara untuk menolong aku, maka di-mana2 disekitar penjara itu sudah dijaga dengan kuat. Ketika panah kedua menyambar pula, sipir bui yang korupsi itupun tidak terluput dari kematian. Bagitulah jalan pikiran Leng-Dwe-su yang culas dan begitulah keji rencananya."
"Belum lagi bunga seruni ditanganku itu layu, ternyata Kiok Yu sendiri sudah tewas. Sungguh aku menjadi ketakutan, takut kalau Leng Dwe-su menjadi kalap hingga puterinya sendiripun dibunuhnya. Maka aku tidak berani membikin marah lagi padanya, setiap kali ia memeriksa aku pula, aku cuma membudek dan membisu saja dan tidak memakinya lagi.
"Kiok Yu telah mati bagiku, usianya masih sangat muda, semuda bunga yang baru mekar. Kalau bukan karena pengorbanannya itu, mana aku sanggup menahan derita selama beberapa tahun ini? Dan darimana aku bisa tahu bahwa bunga segar dalam pot yang tertaruh diambang jendela loteng itu adalah kerjaan Siang-hoa untukku? Akan tetapi Siang-hoa tetap tidak mengunjuk muka, ia tidak pernah mengintip lagi barang sekejap dari balik jendela itu. Sungguh aku merasa tidak mengerti apakah sebabnya? Terkadang aku menjadi menyesalkan dia mengapa begitu tega padaku?"
"Maka aku bertambah giat melatih Sin-ciau-keng dengan harapan selekasnya dapat terlatih tamat dan sempurna, lalu takkan terkekang lagi kebebasanku oleh belenggu itu. Kuharap bisa terlepas dari penjara untuk membawa kabur Leng-siocia dari kurungan ayahnya. Akan tetapi Sin-ciau-keng itu mengutamakan kesadaran pikiran dan harus melatih dengan sewajarnya, sedikitpun takbisa dipaksakan dengan cepat. Achirnya jerihpayahku toh tidak ter-sia2, sampai beberapa hari sebelum engkau hendak menggantung diri barulah ilmu sakti itu berhasil kuyakinkan. Selama ini hanya berkat bunga segar dalam pot yang setiap hari ditaruh diambang jendela loteng oleh Leng-siocia itulah dapat sekedar menghibur hatiku nan lara. Dengan segala tipu-dayanya Leng Dwe-su tetap berusaha memancing rahasiaku. Engkau dikurung sekamar bersama aku juga termasuk tipu-dayanya. Ia tahu aku tidak mudah terjebak oleh begundalnya yang disuruhnya menyamar kedalam kamar penjara, maka sekali ini ia sengaja menjebloskan seorang pemuda yang benar2 tak berdosa kedalam kamar penjara dengan aku."
"Menurut perhitungannya, lama kelamaan tentu aku akan dapat mengetahui benar tidaknya engkau berdosa dan dipenjarakan. Pabila tahu engkau benar2 pemuda yang tak berdosa, dengan sendirinya aku akan anggap engkau sebagai kawan senasib serta membeberkan rahasiaku kepadamu. Mereka tidak berhasil mengorek sesuatu apa dari diriku, besar kemungkinan akan dapat mengorek dari mulutmu. Sebab engkau masih muda dan kurang pengalaman, jujur dan polos, engkau akan mudah terperangkap oleh kepalsuan manusia jahat. Tak terduga oleh mereka bahwa sebegitu jauh aku justeru mencurigai dirimu. Ya, oleh karena pengalamanku yang pahit, ditambah kematian Kiok Yu yang menyedihkan, maka kepercayaanku kepada siapapun juga sudah lenyap. Apa engkau mengira aku tidak pernah keluar dari penjara? Ketahuilah bahwa pada hari Sin-ciau-kang berhasil kuselesaikan, hari itu juga aku lantas keluar penjara. Cuma sebelum pergi lebih dulu aku telah menutuk 'Hun-sui-hiat' (jalan darah membuat orang tak sadarkan diri) dibadanmu, dengan sendirinya engkau tidak mengetahui."
"Malam itu, ketika kulolos keluar penjara, kusangka pasti akan menghadapi suatu pertarungan sengit. Tak terduga keadaan sudah berubah, mungkin sesudah sekian tahun, rasa waspada Leng Dwe-su kepadaku sudah lenyap, penjagaan diluar penjara sudah dihapuskan. Sudah tentu tak terduga sama sekali olehnya bahwa Sin-ciau-kang yang kuyakinkan ini bisa begini hebat, orang yang sudah ditembus Pi-pe-kutnya dan dipotong otot kakinya toh masih dapat menggunakan ilmu silatnya yang hebat."
"Sesudah aku sampai dibawah jendela loteng itu, hatiku ber-debar2 dengan keras sekali seperti kembali kepada perasaanku pada waktu untuk pertama kalinya aku bertemu dengan Leng-siocia dibawah jendelanya dulu. Tapi achirnya aku memberanikan diri dan mengetok jendelanya perlahan2 sambil memanggil: 'Siang-hoa!' ~ Ia terjaga bangun dari tidurnya terus berseru: 'Ting-toako, Engkoh Tian, engkaukah yang datang? Apa aku bukan sedang mimpi?' ~ Sesudah berpisah sekian lamanya dan kini dapat mendengar suaranya pula, sungguh girangku melebihi takaran, dengan suara gemetar aku menyahuti: 'Ya, Siang-moay, akulah yang datang! Aku telah lolos keluar dari penjara!'"
"Aku menunggu jendela itu dibuka olehnya, sebab biasanya diwaktu kami mengadakan pertemuan, selalu dia membukakan jendelanya dan barulah aku melompat masuk kedalam kamarnya, selamanya aku tidak pernah sembarangan masuk kekamarnya itu. Tak tersangka sekali ini dia tidak lantas membukakan jendelanya, tapi ia menempelkan mukanya diatas kertas penutup daun jendela sambil berkata dengan perlahan: 'O, engkoh Tian, jadi engkau benar2 masih hidup dengan baik? Nyata ayah tidak mendustai aku' ~ 'Ehm, ayahmu memang tidak mendustai kau,' kataku dengan suara pedih. 'Sampai saat ini juga aku masih tetap sehat walafiat. Marilah, harap engkau membuka jendela, aku ingin melihat engkau.' ~ Tapi cepat ia menjawab dengan gugup: 'Tidak! Jang ..... jangan!' ~ 'Sebab apa?' tanyaku dengan cemas. Maka jawabnya: 'Sebab aku sudah berjanji kepada ayah. Beliau menjamin keselamatan jiwamu, tapi untuk selamanya aku dilarang berjumpa dengan engkau lagi. Ia mengharuskan aku bersumpah, suatu sumpah yang keji bahwa pabila aku bertemu pula dengan engkau, arwah ibuku dialam baka akan tersiksa setiap hari oleh setan jahat,' ~ berkata sampai disini, suaranya menjadi sesenggukan. Sejak kecil ia sudah ditinggalkan ibundanya, maka cinta kasihnya kepada mendiang ibunya boleh tidak usah diragukan lagi."
"Sungguh aku benci kepada kekejian Leng Dwe-su itu, dia tidak lantas membunuh aku adalah lantaran mengincar kitab pusaka dariku, tapi apa sangkut-pautnya dengan Siang-hoa hingga puterinya itu diharuskan mengangkat sumpah sejahat itu? Akan tetapi Siang-hoa sudah dipaksa mengucapkan sumpah berat itu dan sumpah itupun telah melenyapkan segala harapanku. Namun aku tetap meminta: 'Siang-hoa, marilah kita minggat saja bersama. Tutuplah matamu dengan kain supaya tidak melihat aku untuk selamanya.' ~ Ia menangis, sahutnya dengan ter-isak2: 'Itulah ti ....... tidak mungkin, dan akupun tidak ingin engkau melihat aku pula.' ~ Maka tercetuslah rasa dendam yang memenuhi dadaku selama ber-tahun2 itu, seruku: 'Sebab apa? Aku ...... aku harus melihat engkau.'"
"Mendengar nada suaraku agak lain, dengan lemah-lembut iapun berkata lagi: 'Engkoh Tian, kutahu engkau telah ditawan ayah, ber-ulang2 akupun memohon beliau membebaskan dikau. Tapi semua permintaanku ditolaknya, bahkan aku lantas dipilihkan jodoh orang lain untuk mematikan cintaku kepadamu. Ketika aku membangkang, ayah lantas hendak menggunakan kekerasan, maka....... maka aku telah menggurat mukaku sendiri dengan pisau.'"
Mendengar sampai disini, tak tertahan lagi Tik Hun berseru kaget dengan perasaan yang terguncang hebat.
Namun Ting Tian menyambung lagi: "Betapa rasa terima kasih dan kasih-sayangku demi mengetahui kesetiaannya kepadaku. Terus saja kuterjang jendelanya hingga terpentang. Ia menjerit kaget sekali dan cepat memejamkan kedua matanya sambil menutupi pula mukanya dengan tangan. Namun aku sudah dapat melihatnya dengan jelas. Selebar wajah yang paling cantik didunia ini kini sudah berubah sedemikian rupa bagai langit dan bumi bedanya, mukanya tergores malang-melintang belasan guratan pisau hingga dagingnya membalik keluar. Matanya yang jeli, hidungnya yang mancung dan mulutnya yang mungil kini telah penuh dihiasi guratan2 codet merah bekas luka, wajah yang cantik bagai bidadari itu kini telah berubah seperti setan. Aku memeluknya dengan mesra. Biasanya Siang-hoa sangat sayang pada wajahnya sendiri yang cantik itu, pabila bukan disebabkan oleh laki2 sial seperti aku, mana dia mau merusak mukanya sedikitpun? Maka kataku: 'Siang-hoa, kecantikan lahir mana dapat membandingi kecantikan batin? Engkau merusak muka sendiri untukku, dalam pandanganku engkau malah berpuluh kali, bahkan beratus kali lebih cantik daripada dahulu.'"
"Ia menangis, katanya: 'Keadaan sudah begini dapatkah kita hidup berdampingan lagi? Aku sudah berjanji kepada ayah untuk selamanya tidak akan menjumpai engkau lagi. Maka ........... Eangkoh Tian, haraplah engkau pergi dari sini saja.' ~ Aku insaf hal itu tak dapat ditarik kembali lagi, maka sahutku: 'Siang-moay, aku akan kembali kedalam penjara dan setiap hari akan kunikmati bunga segar didepan jendelamu ini.' ~ Sebaliknya ia lantas merangkul leherku, katanya setengah meratap: 'O, Engkoh Tian, jangan......... jangan engkau pergi!'"
"Begitulah kami saling berpelukan hingga lama dan tidak berbicara pula. Ia tidak berani memandang aku, akupun tidak berani memandang dia. Sudah tentu bukan disebabkan aku tidak sudi kepada mukanya yang sudah jelek itu, tetapi....... tetapi, ya, mukanya sesungguhnya terlalu hebat rusaknya. Sampai lama dan lama sekali, dari jauh sudah terdengar ayam jago berkokok. Achirnya ia berkata pula: 'Engkoh Tian, aku......... aku tidak boleh membikin susah ibuku yang sudah meninggal itu, maka...... maka selanjutnya janganlah engkau datang menyambangi aku pula.' ~ Aku menjawab: 'Apakah sejak kini kita takkan berjumpa pula?' ~ Dengan menangis ia menyahut: 'Ya, takkan berjumpa pula. Yang kuharapkan hanya sesudah kita berdua meninggal dunia, semoga dapatlah dikubur didalam satu liang. Kuharap ada seseorang yang baik hati akan sudi melaksanakan cita2ku ini, untuk mana dialam baka juga aku akan berdoa untuk memberkahinya.' ~ Aku berkata pula: 'Siang-moay, aku mengetahui suatu rahasia besar, menurut cerita orang Kang-ouw, katanya rahasia ini ada sangkut-pautnya dengan sesuatu harta karun. Rahasiaku ini disebut mereka Soh-sim-kiam-koat. Maka rahasia ini akan kuberitahukan padamu, engkau harus mengingatnya dengan baik2.' ~ Ia menyahut tegas: 'Tidak, aku tidak ingin mendengarnya, untuk apa aku mesti mengingatnya baik2?' ~ Kataku: 'Tapi engkau dapat mencari seorang yang jujur dan dapat dipercaya untuk minta dia suka mengerjakan cita2 kita agar dikubur menjadi satu liang, sebagai balas jasanya engkau akan beritahukan Kiam-koat ini kepadanya.' ~ 'Tapi selama hidupku sudah terang aku takkan turun dari loteng ini lagi, dengan macamku ini mana dapat kutemukan orang pula?' demikian ia menyahut. Tapi sesudah memikir sejenak, segera katanya lagi: 'Baiklah, katakanlah kepadaku. Engkoh Tian, betapapun aku ingin dikubur bersama dengan engkau. Biarpun aku harus memohon pertolongan orang dengan mukaku yang buruk ini, aku takkan takut.' ~ Dengan begitu akupun lantas memberitahukan kepadanya tentang rahasia Soh-sim-kiam-hoat, ia mendengarkan dengan penuh perhatian. Sampai ufuk timur sudah remang2, fajar sudah hampir menyingsing, barulah aku berpisah dengan dia dan kembali kedalam penjara."
Ucapan Ting Tian itu makin lama makin berat hingga sampai achirnya suaranya semakin lirih dan hampir2 tak kedengaran.
"Ting-toako," kata Tik Hun kemudian, "jangan engkau kuatir, pabila terjadi apa2 atas dirimu, aku pasti akan mengubur engkau bersama dengan Leng-siocia. Tapi aku tidak mengharapkan balas jasamu tentang Kiam-koat apa segala, biarpun engkau akan memberitahukan kepadaku juga aku tidak mau mendengarkan."
Wajah Ting Tian menampilkan senyuman yang puas dan tulus, katanya: "Saudara yang baik, tidak percumalah aku berkenalan dengan kau. Engkau berjanji akan mengubur jenazah kami menjadi satu liang, matipun aku dapatlah merasa lega. Sungguh aku merasa sangat girang.........." ~ lalu dengan bisik2 ia menyambung pula: "Sebenarnya bila harta karun itu dapat engkau ketemukan, kuyakin engkau pasti takkan menyelewengkan penggunaannya, tapi dapat dipakai untuk menolong sesamanya, untuk membantu kaum miskin, untuk menyokong kaum tertindas didunia ini. Orang2 yang menderita seperti aku, seperti engkau, seperti kita ini, didunia fana ini masih teramat banyak. Maka Soh-sim-kiam-koat ini bila engkau tidak mau mendengarkan, setelah aku mati, itu berarti akan musna untuk selamanya dan berarti pula suatu kerugian besar bagi kaum tertindas, bukankah sangat sayang?"
Tik Hun meng-angguk2 dan merasa ucapan sang Toako itu ada benarnya juga.
"Makanya kuharap engkau sudilah mendengarkan rahasia Soh-sim-kiam-koat ini," kata Ting Tian lebih jauh. Ketika dilihatnya Tik Hun sudah siap dan mencurahkan sepenuh perhatian untuk mendengarkan, segera ia meneruskan: 'Nah, dengarkanlah yang baik2. Kunci daripada Soh-sim-kiam-koat itu terdiri dari beberapa angka hitung saja tapi bukan angka 'buntut', jangan engkau salah sangka. Angka pertama adalah 4, angka kedua adalah 51, angka ketiga 33, dan angka keempat adalah 53 ............"
Tengah Tik Hun mendengarkan uraian itu dengan bingung, tiba2 terdengar suara tindakan orang mendatangi diluar taman bobrok itu. Seorang diantaranya sedang berkata: "Hayolah kita coba memeriksa kedalam taman ini!"
Wajah Ting Tian berubah seketika, cepat ia melompat bangun. Segera Tik Hun ikut melompat bangun juga. Ia lihat dari pintu belakang taman bobrok itu telah menerobos masuk tiga orang laki2 kekar. Dua orang diantaranya bersenjata.
Ting Tian melirik sekali kepada ketiga orang itu, diam2 ia menghela napas gegetun, katanya didalam hati: "Pabila aku belum keracunan sejahat ini, betapapun kuatnya ketiga kaki-tangan penguasa ini juga akan kubereskan dengan Sin-ciau-kang. Tapi kini aku tidak berani yakin kepada kemampuannya sendiri lagi. Apa barangkali Soh-sim-kiam-hoat akan musna sejak kini?" ~ Tapi dalam sekejap saja ia sudah ambil keputusan: "Betapapun aku harus berjuang mati2an."
Maka segera tanyanya kepada Tik Hun: "Tik-hiantit, keempat angka yang kukatakan tadi apa sudah kau ingat dengan baik?"
Tapi Tik Hun sendiri lagi kesima melihat ketiga musuh sudah mendesak maju dan telah mengurung mereka di-tengah2, yang seorang bersenjata golok dan yang lain bersenjata pedang, orang ketiga bertangan kosong, tapi bermuka paling licik dan bengis.
Karena itulah ia menjadi lupa untuk menjawab pertanyaan Ting Tian tadi.
"Tik-hiantit, engkau sudah ingat dengan baik belum?" kembali Ting Tian menggembornya.
Karena itu, barulah Tik Hun terkejut dan cepat menyahut: "Sudah, angka pertama adalah........" sebenarnya ia hendak mengatakan angka "4" itu, tapi segera teringat olehnya bahwa musuh sudah didepan mata, kalau dia berkata, bukankah akan didengar musuh? Maka cepat ia berdiri mungkur dan acungkan empat jarinya kearah Ting Tian.
Dalam pada itu lelaki yang bersenjatakan golok sudah lantas berkata dengan tertawa dingin: "Orang she Ting, betapapun engkau juga terhitung seorang gagah, mengapa pada saat demikian ini engkau masih mengoceh dan merengek seperti anak kecil? Hayolah lebih baik ikut kembali dengan kami saja, agar kita tidak saling menyusahkan."
Sedang kawannya yang memakai pedang lantas ikut bersuara: "Tik-toako, sudah lama tidak berjumpa, baik2kah engkau selama ini? Senang sekali bukan hidup didalam penjara?"
Tik Hun terperanjat oleh teguran itu, ia merasa suara orang sudah pernah dikenalnya. Waktu ia mengamat-amati orang, maka teringatlah dia. Kiranya orang ini tak-lain-tak-bukan adalah murid kedua Ban Cin-san yang bernama Ciu Kin. Sudah berpisah sekian tahun, kini Ciu Kin telah piara kumis diatas bibir, ditambah pakaiannya perlente, maka Tik Hun menjadi pangling.
Teringat Ciu Kin adalah murid Ban Cin-san dan termasuk salah seorang biangkeladi yang menyebabkan dirinya dijebloskan kedalam penjara hingga menderita sampai kini, seketika Tik Hun menjadi naik darah, dengan gusarnya terus saja ia membentak: "Hai, kukira siapa, tak tahunya adalah Ciu........... Ciu-jiko!"
Sebenarnya Tik Hun bermaksud menyebut langsung nama orang tapi achirnya urung dan tetap memanggilnya sebagai "Ciu-jiko".
Rupanya Ting Tian dapat meraba perasaan Tik Hun, ia berseru: "Bagus!" ~ Ia pikir sebentar lagi pasti akan terjadi pertarungan mengadu jiwa, pertarungan yang menentukan mati atau hidup, tapi Tik Hun toh dapat mengekang perasaan dendamnya kepada Ciu Kin dengan memanggil "Ciu-jiko" padanya, itu suatu tanda pemuda itu sudah tambah cerdik dan bukan lagi orang kasar yang tahunya melulu hantam-kromo saja.
Lalu Ting Tian berkata pula: "Hm, Ciu-jiya ini tentunya adalah murid pilihan Ban Cin-san, Ban-loyacu, bukan? Bagus, bagus, entah sejak kapan Ciu-jiya telah menghamba kepada Leng-tihu? ~ Ini, Tik-hiantit, biarlah aku memperkenalkan padamu. Ini adalah tokoh terkemuka dari 'Ban-sing-to', Ma Tay-beng, Ma-toaya, orang memberi julukan 'Kiap-gi-khek' kepadanya.'
"Kiap-gi-khek (pendekar budiman)? Hm, indah amat julukannya ini? Tapi entah tulen atau palsu, sesuai tidak perbuatannya dengan namanya?" jengek Tik Hun.
Tentang hal itu, haha, aku tidak sanggup mengatakan," kata Ting Tian dengan mengejeknya. "Dan yang itu adalah jago jebolan Siau-lim-pay, terkenal karena Tiat-sah-ciang-nya yang lihay dan bernama 'Siang-to' Kheng Thian-pa. Orang Bu-lim mengatakan telapak tangannya terlalu tajam bagai senjata, maka memberikan julukan 'Siang-to' (sepasang golok) padanya. Padahal selamanya dia tidak pernah menggunakan senjata."
"Bagaimana dengan kepandaian kedua tuan ini?" tanya Tik Hun.
"Hanya jago pilihan diantara jago2 kelas dua saja," sahut Ting Tian. "Untuk bisa naik tingkat menjadi kelas satu, ha, selama hidupnya tiada harapan."
"Sebab apa?' tanya Tik Hun.
"Habis, bukan bahan dari kwalitet yang baik," kata Ting Tian. "Sudah tiada mendapatkan didikan guru pandai, bakat merekapun terlalu jelek."
Begitulah mereka bertanya-jawab seenaknya se-akan2 disamping mereka sudah tiada orang lain lagi. Keruan hampir2 meledak dada Kheng Thian-pa dan Ma Tay-beng saking gusarnya.
Ma Tay-beng wataknya lebih sabar, ia cuma mendengus sekali dan diam saja. Sebaliknya Kheng Thian-pa takdapat menahan gusarnya lagi, terus saja ia memaki: "Keparat, ajalmu sudah sampai, masih berani mengoceh. Rasakan golokku ini!"
Apa yang dia katakan "golok" itu sebenarnya adalah telapak tangannya, cuma tenaganya sangat kuat, asal kena ditubuh musuh, tajamnya tidak kalah daripada golok baja. Maka berbareng dengan bentakannya itu, terus saja sebelah telapak tangannya memotong kearah Ting Tian.
Karena badannya keracunan, Ting Tian tidak dapat lagi mengerahkan tenaga dalamnya dengan baik, maka ia tidak berani menangkis, melainkan mengegos untuk menghindar.
Tak terduga dalam hal Ciang-hoat atau ilmu pukulan dengan telapak tangan, Kheng Thian-pa itu memang benar2 lihay, sekali hantam luput, segera menyusul serangan kedua dengan menabas dari samping.
Ting Tian kenal serangan perubahan lawan itu, cepat ia turunkan sebelah tangannya untuk menangkis. Akan tetapi gayanya bagus, caranya tepat, hanya tenaganya kurang, hasilnya sama sekali diluar harapannya. "Plok", iganya tepat kena disabet sekali oleh telapak tangan Kheng Thian-pa.
Tiat-sah-ciang atau ilmu pukulan pasir besi dari Siauw-lim-pay memang benar2 tidak bernama kosong. Kontan Ting Tian sempoyongan dan muntahkan darah segar.
"Nah, bagaimana? Aku hanya jago kelas dua, lantas kau kelas berapa?" demikian Kheng Thian-pa mengejek dengan tertawa dingin.
Ting Tian menarik napas dalam2 sekali, mendadak ia merasa jalan napasnya sangat lancar. Kiranya setelah racun "Hud-co-kim-lian" yang jahat itu meresap masuk kedalam pembuluh darah, jalannya makin lama makin lambat. Meski tadi ia memuntahkan darah dan luka dalam yang dideritanya sangat parah, tapi bekerjanya racun untuk sementara menjadi hilang malah. Dalam girangnya, kontan saja Ting Tian balas menyodokan sebelah telapak tangannya kedepan.
Ketika Thian-pa menangkis, mendadak Ting Tian memutar tangannya terus menampar keatas, "plok", tepat sekali pipi Thian-pa kena digampar. Menyusul tangan Ting Tian yang lain memutar pula dan menghantam, "plak", kepala Thian-pa kena ditabok juga sekali.
"Mati aku!" jerit Thian-pa ketika insaf kepalanya susah menghindarkan tabokan lawan itu. Namun begitu, cepat ia berusaha mendakan tubuh dan melangkah mundur. Diluar dugaan kembali sebelah tangan Ting Tian menghantam lagi kedepan dan dadanya digenjot pula. Kembali Thian-pa menjerit: "Aduuh!" dan tergentak mundur.
Melihat tiga kali serangan sendiri tepat mengenai tempat bahaya dibadan sasarannya, tapi musuh tidak roboh, hanya ter-huyung2 mundur. Diam2 Ting Tian menjadi cemas, ia insaf tenaga dalamnya sudah banyak lenyap akibat keracunan Hud-co-kim-lian itu. Sebenarnya kalau Sin-ciau-kang dapat mendorong kekuatan ketiga kali serangannya tadi, biarpun jago nomor satu didunia ini juga akan binasa seketika oleh salah satu serangannya itu. Tapi kini Kheng Thian-pa yang cuma tergolong jago kelas dua ternyata sanggup menahan serangan2nya itu tanpa roboh, maka dapatlah dibayangkan keadaan Ting Tian yang sudah lemah itu.
Ting Tian sendiri tahu ajalnya sudah dekat, tapi kalau dirinya mesti dibinasakan oleh keroco seperti Kheng Thian-pa, sungguh ia sangat penasaran. Diam2 ia berduka dan gelisah.
Sebaliknya Kheng Thian-pa sendiri sebenarnya sudah ketakutan dan merasa tak terhindar dari kematian ketika merasa muka, atas kepala dan dada kena dihantam lawan, padahal ketiga tempat itu adalah tempat2 berbahaya. Namun ia cuma ter-huyung2 mundur dan tidak terbinasa, ia menjadi heran, tapi nyalinya sudah pecah hingga untuk sementara ia tidak berani merangsang maju pula.
Segera Ma Tay-beng mengedipi Ciu Kin sambil berseru: "Ciu-hiantit, marilah kita maju bersama!"
Ciu Kin mengiakan. Sebenarnya ia merasa bukan tandingan Tik Hun, tapi mengingat dirinya sendiri bersenjata pedang, sedang lawan bertangan kosong, ditambah lagi jari tangan kanan pemuda itu dahulu sudah terpapas, otot kaki telah dipotong dan tulang pundak ditembus lagi, biarpun ilmu silat setinggi langit juga takkan mampu dimainkannya. Karena itulah Ciu Kin menjadi tabah, sekali pedangnya bergerak, terus saja ia menusuk kepada Tik Hun.
Ting Tian tahu Sin-ciau-kang yang dilatih Tik Hun itu belum jadi. Ilmu silatnya kini malah belum setarap seperti waktu dijebloskan kedalam penjara dulu. Kalau mesti melawan Ciu Kin dengan bertangan kosong, tentu jiwanya akan melayang percuma. Segera ia bertindak, cepat ia menggeser kesamping, dengan tangan kiri terus saja ia hendak merampas pedangnya Ciu Kin.
Gerak serangan Ting Tian itu sangat cepat dan aneh luar biasa hingga sebelum diketahui Ciu Kin, tahu2 ketiga jari Ting Tian sudah berhasil menggantol dipergelangan tangan murid Ban Cin-san itu.
Keruan kejut Ciu Kin tak terkatakan, ia mengeluh senjatanya pasti akan terlepas dari cekalan dan celakalah dirinya. Tak terduga meski jari musuh sudah kena pencet diurat-nadinya ternyata Hiat-to pergelangan tangan itu tidak terganggu apa2.
Tanpa ayal lagi kesempatan itu digunakan Ciu Kin untuk mengipatkan tangannya dan menyusul pedangnya membalik terus menusuk kedada kiri Ting Tian dengan cepat.
Ting Tian menghela napas panjang sekali dan berkata didalam hati: "Ada tenaga takbisa dikerahkan, apa dayaku?" ~ namun begitu dengan mudah dapatlah serangan Ciu Kin itu dihindarinya.
Diantara ketiga penyatron itu, Ma Tay-beng adalah paling luas pengalamannya. Ia telah menyaksikan Ting Tian bergebrak dengan Kheng Tian dan Ciu Kin, dalam pertarungan itu dua kali Ting Tian sudah diatas angin, tapi dua kali juga tidak memperoleh kemenangan sebagaimana diduganya. Maka sesudah dipikir, segera tahulah dia apa sebabnya. Dari Leng-tihu ia diberitahu bahwa Ting Tian sudah keracunan yang tiada obatnya, maka dapat diduga pasti racun dalam tubuhnya itu telah bekerja hebat, maka tenaga dalamnya telah banyak berkurang.
Achirnya Keng Thian-pa dapat mengetahui juga keadaan Ting Tian yang sudah payah itu, ia pikir makanan empuk yang tinggal ditelan saja itu jangan sampai diganyang lebih dulu oleh kawannya. Begitu pula Ma Tay-beng juga mempunyai pikiran yang sama, maka berbareng mereka terus menubruk maju.
"Huh, katanya julukanmu adalah 'Kiap-gi-khek', tapi perbuatanmu ini apakah dapat dikatakan kelakuan seorang Kiap-gi?" bentak Tik Hun dengan gusar. Segera iapun menjotos kearah Ma Tay-beng.
Namun Ting Tian sempat mendorong kepundak Tik Hun sambil berkata padanya: "Engkau mundur saja, Tik-hiantit!" ~ Menyusul mana tangannya membalik terus mencengkeram hingga jidat Ma Tay-beng tepat kena dipegang.
Cengkeraman Ting Tian ini juga serangan yang mematikan, jangankan Ting Tian menggunakan tenaga dalam yang hebat dari Sin-ciau-kang, sekalipun Lwekang yang biasa saja juga cukup membikin nyawa sasarannya amblas.
Keruan Ma Tay-beng ketakutan setengah mati dan cepat menjatuhkan diri ketanah terus menggelinding kesamping.
Dalam keadaan begitu Ting Tian merasa tenaga dalam sendiri semakin lama semakin lemah, sementara ini cuma berkat tipu serangannya yang jauh lebih lihay daripada musuh, maka dapatlah bertahan sekadarnya, apabila "Soh-sim-kiam-koat" tidak segera diberitahukan seluruhnya kepada Tik Hun, boleh jadi rahasia maha besar ini selanjutnya akan musna untuk selamanya, jika demikian rasanya sangatlah sayang. Oleh karena dirinya bagaimanapun akan mati, maka lebih baik berusaha agar Tik Hun berhasil menyelesaikan tugas yang diselubung rahasia Kiam-koat itu.
Setelah ambil keputusan, segera ia berkata: "Tik-hiantit, dengarkanlah kata2ku. Engkau berlindung dibelakangku dan jangan gubris pada musuh, engkau cuma apalkan saja istilah rahasia yang akan kukatakan ini. Urusan sangat penting, maka jangan kau pandang sepele, sebabnya Ting-toakomu bisa mengalami nasib seperti harini justeru disebabkan membela rahasia ini."
Tik Hun mengia dan cepat sembunyi kebelakang sang Toako.
"Ingatlah baik2, angka kelima adalah '18' dan ........ dan angka keenam adalah '7'!" demikian Ting Tian menyambung rahasia Soh-sim-kiam-koat tadi.
Ma Tay-beng tahu sebabnya Leng-tihu memerintahkan penangkapan kepada Ting Tian, tujuan pokoknya yalah ingin mencari sesuatu rahasia Soh-sim-kiam-koat. Sedangkan Ciu Kin sudi menghamba dibawahnya Leng Dwe-su, tujuannya bukan pangkat dan harta, tapi adalah tugas yang diberikan gurunya agar diam2 menyelidiki rahasia Kiam-koat itu. Kini kedua orang itu mendengar Ting Tian mengucapkan angka2 '18' dan '7', segera merekapun ikut mendengarkan dengan cermat dan mengingatnya baik2 didalam hati.
Sebaliknya kedatangan Kheng Thian-pa ini adalah ditugaskan untuk menangkap Ting Tian. Kini melihat Ting Tian berkomat-kamit mengucapkan delapanbelas atau sembilanbelas segala, lantas Ma Tay-beng dan Ciu Kin ter-mangu2 menirukan berkomat-kamit. Ia pikir kalau bukan Ting Tian sedang main ilmu sihir untuk pengaruhi lawan2nya, tentu adalah Ma Tay-heng dan Ciu Kin sengaja hendak melepaskan musuh. Sebab itulah Thian-pa terus membentak: "Hai, kalian sedang main gila apa?" ~ berbareng sebelah tangannya lantas membelah kearah Ting Tian. Tapi karena jeri kepada kesaktian lawan, belum lagi serangannya mengenai sasaran atau mendadak ia tarik kembali terus melompat mundur.
Ting Tian sendiri lantas mengegos kekiri dengan maksud menghindarkan serangan Kheng Thian-pa itu. Tapi karena tenaga dalamnya sudah payah, langkahnya menjadi hampa, ia sempoyongan akan roboh.
Melihat ada kesempatan bagus, tanpa ayal lagi golok Ma Tay-beng cepat membacok kepundak kiri Ting Tian. Untuk sesaat Ting Tian merasa matanya menjadi gelap hingga lupa untuk menghindarkan serangan itu.
Keruan Tik Hun sangat terkejut, dalam keadaan mendesak, tanpa pikir lagi ia terus menyeruduk maju hingga kepalanya kena tumbuk keperut Ma Tay-beng.
Pertarungan secara menggelut demikian jika perlu ternyata membawa hasil juga. Percuma saja Ma Tay-beng memiliki kepandaian tinggi, karena diseruduk oleh Tik Hun seperti banteng ketaton, Tay-beng menjadi tidak sempat menggunakan ilmu goloknya yang lihay.
Dilain pihak sesudah kepalanya puyeng, waktu Ting Tian membuka mata pula, ia melihat Tik Hun sedang gulat dengan Ma Tay-beng, sedang Ciu Kin lagi angkat pedangnya hendak menusuk kepunggung Tik Hun. Cepat Ting Tian bertindak, secepat kilat ia gunakan dua jarinya untuk mencolok kedua mata Ciu Kin. Insaf tenaga sediri sudah habis, kecuali menyerang kedua mata lawan yang merupakan tempat yang paling lemah itu, rasanya tiada jalan lain lagi.
Benar juga, karena kuatir menjadi buta, cepat Ciu Kin melompat mundur kesamping. Dan pada saat itulah Ma Tay-beng berhasil menggunakan gagang goloknya untuk mengetok kepala Tik Hun hingga pemuda itu terperosot ditanah.
Ketika Ma Tay-beng dan Ciu Kin menubruk maju pula, mendadak Ting Tian memapak maju, maka terdengarlah "crat-cret' dua kali, senjata2 kedua lawan menancap semua didada Ting Tian.
Melihat keadaan sudah mendesak, cepat Ting Tian berseru pula: "Tik-hiantit, jangan sekali2 engkau ikut turun tangan lagi. Ingatlah baik2 bahwa angka ketujuh adalah ......." ~ mendadak dadanya terasa sesak hingga susah bersuara. Sedangkan pukulan Keng Thian-pa sudah tiba pula. Ia geleng2 putus asa, pikirnya: "Rupanya sudah takdir ilahi, apa yang dapat kukatakan lagi? Soh-sim-kiam-koat ini agaknya akan musna untuk selamanya dari dunia ramai."
Akan tetapi dasar watak Ting Tian memang sangat teguh, sekali bertekad akan mengajarkan Kiam-koat itu kepada Tik Hun, betapapun ia akan berdaya untuk mencapai maksud itu. Ia pikir kalau tidak membunuh ketiga "cakar alap2" (maksudnya kaki tangan pembesar lalim) itu, biar bagaimana tentu akan susah untuk mengtakan Kiam-koat itu kepada Tik Hun. Kalau cuma mengatakan satu angka demi satu angka seperti sekarang ini sembari bergebrak, sampai kapan baru bisa selesai diuraikan? Dan jika suatu ketika kepalanya puyeng lagi, mungkin jiwa kedua orang akan segera melayang malah.
Dalam pada itu sinar senjata tampak ber-kelebat2, Ma Tay-beng dan Ciu Kin sudah menubruk maju pula bersama. Tubuh Ting Tian tampak bergeliat sekali, mendadak ia memapak maju kearah senjata2 lawan, tanpa ampun lagi, "crat-cret" dua kali, golok dan pedang lawan tepat membacok diatas badan Ting Tian hingga darah memuncrat.
Tik Hun menjerit kuatir dan cepat memburu maju untuk menolong. Tapi Ting Tian telah gunakan saat darah mengucur dan daya racun dalam badannya agak berkurang itulah, sekonyong-konyong ia ayun telapak tangan kanan sekuatnya dan tepat menggablok kepilingan kanan Ma Thay-beng, menyusul tangannya membalik mengancam Ciu Kin pula.
Serangan kedua itu sebenarnya pasti susah dihindarkan Ciu Kin, tapi untung baginya dan kejadiannya sangat kebetulan pula, pada saat itulah tahu2 Kheng Thian-pa menubruk tiba, saking keras ia menerjang maju, tanpa ampun lagi dadanya persis memapak pada telapak tangan Ting Tian, "plak", seketika tulang iganya patah semua dan kontan terjungkal dan tak berkutik lagi.
Serangan Ting Tian itu sudah memakan antero sisa tenaganya yang masih ada, boleh dikata kini ia sudah berada dalam keadaan seperti pelita kehabisan minyak atau motor kehabisan bensin. Gablokannya yang pertama paling keras, maka kontan Ma Thay-beng terbinasa, sedangkan Kheng Thian-pa juga sudah senin-kemis napasnya tinggal menunggu ajal saja. Hanya Ciu Kin saja yang masih sehat dan bergas belum terluka, dengan tangan kanan memegang pedang yang menancap dibadan Ting Tian itu, ia sedang berusaha hendak mencabut senjatanya itu untuk kemudian akan dipakai menusuk Tik Hun pula.
Tekad Ting Tian sekarang yalah menyelamatkan Tik Hun, maka mendadak ia pepetkan badannya kedepan dan kedua tangannya terus menyikap pinggang Ciu Kin sambil berseru: "Lekas lari, Tik-hiantit, lekas!" ~ Dan karena badannya mendesak maju itulah, pedangnya Ciu Kin ambles lebih dalam lagi beberapa senti didalam badannya.
Namun TikHun bukan pemuda pengecut, mana ia mau melarikan diri sendiri? Tanpa pikir lagi ia menubruk kebelakang Ciu Kin untuk mencekek leher lawan itu sambil berteriak2: "Lepaskan Ting-toakoku! Kau mau lepas tangan atau tidak?"
Keruan Ciu Kin meringis kesakitan dan mendongkol pula. Sebab bukan dia tidak mau melepaskan Ting Tian, tapi dia sendiri yang disikap se-kencang2nya oleh Ting Tian, jadi Ting Tian yang mesti melepaskan dia dan bukan Ciu Kin yang harus melepaskan Ting Tian.
Ting Tian merasa tenaga sendiri semakin lemas dan hanpir tidak kuat lagi menyikap Ciu Kin. Pabila sampai lawan dapat melepaskan diri, sekali pedangnya kena dicabut, psti jiwa Tik Hun juga akan melayang. Maka cepat teriaknya: "Tik Hun, lekas lari, jang..... jangan engkau urus diriku, aku..... aku toh takkan hidup lagi!"
"Kalau mati, biarlah mati bersama!" sahut Tik Hun sambil berusaha mencekek lebih kuat. Tapi sejak tulang pundaknya ditembusi dan otot pundak sudah rusak, maka betapapun ia mencekek se-keras2nya, tetap susah membikin Ciu Kin mati sesak napas.
"Saudara baik, engkau sangat....... sangat setia kawan.... tidak percumalah aku mempunyai seorang kawan seperti kau..... sayang ...... sayang Kiam-koat itu takbisa lengkap kukatakan ..... aku sangat senang..... sangat senang .......Jun-cui-pik-po .... itu seruni hijau ...... yang dia taruh didepan jendela .... lihatlah ..... lihatlah betapa indahnya .... betapa bagusnya ......" demikian suara Ting Tian semakin lama semakin lemah dan lirih, tapi cahaya mukanya ber-seri2, sebaliknya tangan yang menyingkap Ciu Kin itu lambat-laun menjadi kendor.
Merasa kedua tangan Ting Tian sudah tak bertenaga, segera Ciu Kin meronta sekuatnya, berbareng ia cabut pula pedang yang menancap ditubuh Ting Tian itu hingga senjata itu penuh berlepotan darah. Waktu ia putar tubuh, maka berhadapanlah dia dengan Tik Hun muka dengan muka, jaraknya cuma belasan senti saja. Ia menyeringai iblis sekali, pedangnya diangkat terus menusuk se-kuat2nya kedada Tik Hun.
Saat itu Tik Hun sedang kuatir atas diri Ting Tian, ia telah berteriak2: "Ting-toako, Ting-toako!" ~ mendadak dadanya terasa kesakitan sekali.
Waktu Tik Hun melirik dadanya sendiri, ia lihat pedang yang dipegang Ciu Kin itu telah menusuk diatas dadanya. Ia dengar Ciu Kin sedang ter-bahak2 girang, suara ketawa orang yang lupa daratan oleh kemenangannya itu.
Memang dapat dimengerti juga bahwa pantaslah kalau Ciu Kin kegirangan setengah mati oleh karena berhasilnya serangannya yang terachir itu. Habis, Leng-tihu memberi perintah dengan hadiah yang besar bagi siapa yang dapat menawan hidup2 Ting Tian dan Tik Hun berdua, kalau tak dapat menangkap dengan hidup, boleh juga dibinasakan ditempat itu juga. Kini Ting Tian terang sudah menggeletak mati, Tik Hun juga tertusuk oleh pedangnya tinggal menunggu ajalnya saja, sedangkan Ma Thay-beng dan Kheng Thian-pa sudah terbinasa juga disitu, dengan sendirinya jasa besar ini akan diterima sendirian oleh Ciu Kin.
Dalam sekejap itu dalam benak Tik Hun juga telah berganti ber-macam2 pikiran. Terbayang olehnya waktu masih kecil belajar silat dirumah Suhu dan memain bersama dengan sang Sumoay yang menyenangkan itu. Lalu teringat juga olehnya penganiayaan selama lima tahun hidup didalam penjara ....... kesemuanya itu seketika membanjiri benaknya, rasa dendam kesumat itu membuatnya bagaimanapun juga tidak rela menerima kematian begitu saja.
Sementara itu didengarnya Ciu Kin masih bergelak tertawa iblis. Dengan murka Tik Hun terus saja berteriak: "Biarlah aku ...... aku mati bersama engkau!" ~ berbareng kedua tangannya terus merangsang maju dan kena mencengkeram dibahu Ciu Kin.
Meski Sin-ciau-kang yang dilatih Tik Hun itu belum jadi, tapi paling tidak sudah ada dua tahun alas dasarnya. Kini karena merasa jiwanya terancam, antero tenaga yang ada telah dikerahkan pada kedua tangannya untuk mencengkeram se-kencang2nya dibahu musuh hingga mirip jepitan sepasang tanggam yang kuat. Seketika Ciu Kin menjadi kesakitan, dengan napas memburu ia coba meronta untuk melepaskan diri, tapi tetap tak bisa terlepas.
Diam2 Tik Hun memikir: "Kalau aku dapat mencengkeram tempat lain yang lemah ditubuhnya mungkin akan dapat mampuskan dia, tapi kini cuma dapat memegang bahunya, terang aku takdapat meng-apa2kan dia."
Namun begitu toh dia takdapat melepaskan tangannya, asal kedua tangannya menjadi kendor mencengkeram, pasti kesempatan itu akan digunakan Ciu Kin untuk meloloskan diri dan untuk memegangnya lagi pastilah susah. Ia merasa dadanya tambah lama tambah sakit, ia tahu ujung pedang lawan sedang menusuk lebih dalam. Kini tiada tempo lagi baginya untuk memikir, kalau Ciu Kin kena dicengkeramnya sedikit, berarti sedikit pula ia telah membalas dendam kesumat itu.
Dalam pada itu ujung pedang Cu Kin menusuk semakin keras, sedang Tik Hun juga mencengkeram semakin kuat dan menarik se-kuat2nya kearah sendiri. Dan aneh juga, pedang lawan ternyata tidak dapat menusuk lebih mendalam lagi se-akan2 kebentur oleh semacam tenaga kebal yang tidak mempan senjata, bahkan batang pedang Ciu Kin berbalik menekuk dan pelahan2 melengkung.
Sungguh kejut dan heran Ciu Kin tak terkatakan, sekuatnya ia mendorong pedangnya menusuk lebih keras agar badan Tik Hun kena ditembus oleh senjatanya. Akan tetapi pedangnya seperti tidak mau turut perintahnya lagi, sedikitpun tidak dapat ambles kedepan pula, sebaliknya senjata itu semakin melengkung karena tekanannya itu.
Kedua mata Tik Hun sudah merah membara, dengan beringas ia melototi Ciu Kin. Semula ia melihat wajah Ciu Kin mengunjuk rasa sangat girang dan mengejek dengan keji, tapi lambat-laun air mukanya berubah heran2 kejut, lalu penuh rasa kuatir, sejenak kemudian dari rasa kuatir itu berubah menjadi ketakutan, dan rasa ketakutan itu makin lama makin hebat, hingga achirnya kebingungan.
Kiranya Ciu Kin merasa Tik Hun telah berhasil meyakinkan semacam ilmu weduk yang tidak mempan senjata. Meski pedangnya sudah kena menusuk dibadan pemuda itu, tapi cuma membuat daging tempat itu mendekuk kedalam dan tidak dapat menembus kulit dagingnya.
Karena selama hidupnya tidak pernah melihat didunia ini ada ilmu sakti seperti itu, maka rasa takutnya makin lama semakin besar. Beberapa kali ia coba dorong pedangnya lebih kuat kedepan, tapi tetap tidak dapat menembus badan lawan, achirnya ia tidak berani mengharapkan melukai Tik Hun lagi, yang dipikir olehnya asal dapat meloloskan diri sudah beruntung baginya. Namun justeru untuk melepaskan diri itulah yang susah, sebab dengan kencang Tik Hun memegangi bahunya sambil menarik sekuatnya.
Lambat-laun Ciu Kin merasa tangan kanan sendiri yang memegang pedang itu mulai menikung balik dengan pelahan, menyusul gagang pedang sudah menempel didada sendiri, batang pedang juga semakin melengkung hingga berwujut setengah lingkaran.
Mendadak terdengarlah suara "pletak" sekali, batang pedang Ciu Kin itu patah bagian tengah. Ciu Kin menjerit sekali terus terjungkal kebelakang, kedua potong pedang yang patah itu telah menancap semua kedalam perutnya.
Dan karena robohnya Ciu Kin itu, Tik Hun juga ikut jatuh dan menindih diatas badan Ciu Kin, tapi kedua tangannya masih memegang diatas bahu orang takmau melepaskan. Segera Tik Hun mencium bau anyirnya darah yang sangat keras, tiba2 dilihatnya Ciu Kin meneteskan air mata, menyusul dari mulutnya mengeluarkan darah, ketika kemudian kepalanya terkulai kebawah, achirnya tidak berkutik lagi.
Tik Hun menjadi heran. Semula ia mengira Ciu Kin cuma pura2 mati saja, maka tetap ia mencengkeram se-kencang2nya dibahu orang. Ketika lain saat merasa dada sendiri sudah tidak sakit lagi, ia coba menunduk dan ternyata tiada terluka. Dengan bingung Tik Hun melepaskan Ciu Kin dan berdiri, ia melihat kedua potong pedang patah itu menancap diperut Ciu Kin, hanya sebagian kecil saja menonjol diluar. Waktu ia periksa dada sendiri, ternyata bajunya terobek beberapa senti lebarnya dan kelihatanlah baju kutang warna hitam yang dipakainya. Ia pandang pula pedang patah diperutnya Ciu Kin dan mengamat-amati baju sendiri yang sobek, maka tahulah dia duduknya perkara.
Kiranya "Oh-jan-kah" atau baju kutang dari sutera hitam hadiah dari Ting Tian tempo hari itulah telah menolong jiwanya, bahkan berkat baju itulah telah dapat membunuh musuh.
Oh-jan-kah itu tidak mempan senjata, maka tusukan Ciu Kin itu hanya membikin dada Tik Hun kesakitan karena tertikam, tapi takdapat menembus baju kutang mestika itu. Ketika kemudian pedangnya patah, karena Tik Hun memegang bahunya se-kencang2nya serta ditarik merapat, maka pedang patah yang tajam itu telah tertikam masuk kedalam perut Ciu Kin sendiri hingga terjadilah senjata makan tuannya.
Sesudah Tik Hun dapat tenangkan diri, segera ia berlari mendekati Ting Tian, ia berjongkok sambil berseru: "Ting-toako, ken ....... kenapakah engkau?"
Pelahan2 Ting Tian membuka matanya dan memandang Tik Hun dengan sorot mata yang lemah se-akan2 memandang tapi tidak melihatnya lagi atau seperti tidak mengenal Tik Hun pula.
"Ting-toako, biar bagaimanapun juga aku pasti ........... pasti akan menolong engkau kaluar dari sini," seru Tik Hun.
"Sayang ......... sayang Kiam-koat itu sejak kini ....... sejak kini akan musna untuk selamanya," kata Ting Tian dengan lemah dan ter-putus2. "Harap ...... harap kubur ...... kuburlah aku ber ....... bersama Siang ...... Siang-hoa ...."
"Aku akan ingat baik2 pesanmu ini." seru Tik Hun dengan tegas. "Pasti aku akan menguburkan engkau bersama Leng-siocia sesuai dengan cita2 kalian berdua."
Pelahan2 Ting Tian menutup kembali matanya, napasnya semakin lemah, tapi bibirnya tampak ber-gerak2 sedikit seperti ingin mengatakan sesuatu. Cepat Tik Hun mendempelkan telinganya kepinggir bibir sang Toako, lapat2 terdengar Ting Tian berkata: "Dan angka ....... angka seterusnya ........" ~ sampai disini lantas tiada kedengaran lagi.
Telinga Tik Hun tidak merasakan pernapasan sang Toako lagi, ia coba meraba dada Ting Tian, ternyata denyut jantungnya juga sudah berhenti.
Sebelumnya Tik Hun sudah tahu bahwa jiwa Ting Tian tentu susah dipertahankan, tapi kini menyaksikan saudara angkatnya yang hubungannya selama beberapa tahun ini melebihi saudara sekandung itu telah meninggal, maka rasa duka dalam hatinya sungguh susah dilukiskan. Ia berlutut disamping Ting Tian dan meniupkan napasnya kemulut sang Toako se-kuat2nya sambil hatinya berdoa: "O, Tuhan, hidupkanlah kembali Ting-toako, aku lebih suka kembali kedalam penjara lagi untuk selamanya tidak keluar, lebih suka pula tidak membalas dendam dan biarlah selama hidup ini dihina dan dianiaya oleh Ban-bun-te-cu (anak murid keluarga Ban), ya Tuhan, asalkan dapatlah Ting-toako dihidupkan kembali."
Akan tetapi kedua tangannya yang merangkul dibadan Ting Tian itu makin lama terasa badan sang Toako itu makin dingin. Ia tahu doa sucinya itu tidaklah berhasil dan tak terkabul. Sesaat itu ia merasakan kesunyian yang tak terkatakan, merasa hidupnya hampa dan merasa dunia bebas diluar ini jauh lebih menakutkan daripada didalam kamar penjara yang sempit itu. Ia sadar hidup selanjutnya pastilah sangat sulit, ia lebih suka kembali kedalam penjara lagi bersama Ting Tian.
Ia pondong mayatnya Ting Tian itu dan berdiri. Tiba2 berbagai rasa duka derita yang tak terkatakan berkecamuk membanjiri benaknya, kesedihannya pada saat itu boleh dikata susah dibendung. Tak tertahan lagi ia menangis, menangis ter-gerung2 seperti anak kecil.
Sama sekali tak terpikir olehnya bahwa akibat dari tangisannya yang keras itu mungkin akan didengar musuh, dan tak terpikir pula olehnya bahwa sesungguhnya memalukan seorang laki2 sejati bertangisan sedemikian rupa. Tapi ia ingin menangis dan menangis terus oleh karena rasa sedihnya yang susah ditahan itu.
Ketika kemudian air matanya pelahan2 mulai kering, gerung tangisnya berubah menjadi suara sesenggukan pelahan karena rasa duka dalam hatinya masih tetap susah ditahan. Namun pikirannya sudah jauh lebih jernih daripada tadi, maka ia mulai me-nimang2: "Cara bagaimana aku harus menyelesaikan jenazah Ting-toako ini? Dengan jalan bagaimana agar aku dapat membawanya untuk dikubur bersama dengan Leng-kohnio?"
Dalam saat demikian, soal paling penting yang terpikir olehnya sekarang hanya tentang penguburan Ting Tian menjadi suatu kuburan dengan nona Leng itu.
Tengah ia ragu2, tiba2 terdengar suara derapan kuda yang ramai dari kejauhan dan makin lama makin mendekat, jumlahnya kira2 ada belasan penunggang kuda. Lalu terdengarlah suara orang berteriak diluar taman bobrok itu: "Ma-toaya, Kheng-toaya, Ciu-jiya, apakah kalian sudah dapat menemukan buronannya!"
Kemudian terdengar belasan ekor kuda itu diberhentikan serentak diluar taman dan ada orang berseru lagi: "Marilah kita coba memeriksa kedalam!"
"Tidak mungkin mereka bersembunyi disini!" demikian kata seorang lain.
"Darimana kau tahu?" debat orang pertama tadi. Lalu terdengar suara orang melompat turun dari kuda.
Tanpa pikir lagi Tik Hun terus pondong mayat Ting Tian itu dan dibawa lari keluar dari taman bobrok itu melalui pintu samping. Dan begitu dia melangkah keluar lantas terdengarlah suara orang menjerit kaget didalam taman itu oleh karena mengetahui Ma Thay-beng bertiga sudah menggeletak terbinasa disitu.
Tik Hun ber-lari2 terus didalam kota Kanglenghu itu, iapun tahu caranya melarikan diri sambil membawa mayat sang Toako itu sangat berbahaya, sudah larinya takbisa cepat, setiap saat mungkin akan dipergoki orang pula. Namun ia lebih suka ditawan dan dijebloskan lagi kedalam penjara dan menerima siksaan atau boleh juga dihukum mati dengan segera, sebaliknya tidak nanti ia mau meninggalkan jenazah Ting Tian begitu saja.
Setelah beberapa ratus meter ia berlari, tiba2 dilihatnya disuatu pagar tembok dipinggir jalan ada sebuah daun pintu kecil yang terpentang, tanpa pikir lagi ia terus menyelinap masuk kedalam rumah itu, lalu pintu itu didepaknya dari dalam hingga tertutup.
Kiranya pintu itu adalah pintu sebuah kebun sayur yang sangat luas dan penuh tertanam macam2 jenis sayur seperti sawi putih, lobak, labu, tomat, ketimun dan lain2 lagi.
Sejak kecil kerja Tik Hun yalah bertani bercocok tanam. Tapi sudah lima tahun lamanya ia meninggalkan kebun sayurnya. Kini melihat suasana kebun itu, seketika timbul rasanya seperti berada dikampung halamannya sendiri.
Ia coba mengamat-amati sekitarnya, ia melihat diarah timur-laut sana ada sebuah gudang kayu bakar, dari jendela gudang itu tampak jelas penuh tertumpuk kayu bakar dan onggok jerami. Tik Hun menjadi girang, sekenanya ia bubut beberapa buah lobak sambil memondong mayatnya Ting Tian, segera ia menyusup kedalam gudang kayu itu.
Dengan penuh rasa duka nestapa dan air mata meleleh Tik Hun pondong mayatnya Ting Tian untuk meninggalkan taman itu dengan cepat.
Ia coba dengarkan sekeliling gudang itu dan tidak kedengaran ada suara orang. Segera ia menyingkirkan kayu dan jerami hingga lantainya terluang sedikit, ia taruh jenazah sang Toako disitu dan menutupinya dengan jerami dengan pelahan2. Diwaktu menguruk jenazah Toako dengan rumput jerami itu, Tik Hun merasa se-akan2 Ting Tian masih mempunyai daya rasa, maka tidak berani membikin sakit badannya. Dalam benak Tik Hun timbul semacam sugesti: "Boleh jadi Ting-toako mendadak bisa mendusin kembali."
Ia duduk disamping mayat sang Toako, ia mengupas kulit lobak dan menggeragotinya mentah2. Air lobak yang manis2 masam itu pelahan2 mengalir kedalam kerongkongannya. Ya, maklum sudah lima tahun lamanya ia tidak pernah merasakan makanan segar seperti itu. Teringat kampung halamannya di Ouwlam, disana entah sudah beberapa kali ia membubut lobak dan makan bersama sang Sumoay ~ Jik Hong, mereka bersenda gurau dengan gembira di sawah-ladang kampung halamannya itu sambil menggeragoti lobak mentah ...........
Sebuah lobak mentah itu sudah habis dimakan olehnya dan mulai ia menggeragoti lobak yang kedua, kelopak matanyapun agak basah mengenangkan masa dahulu yang indah itu. Se-konyong2 didengarnya suatu suara. Seketika badannya bergemetar, separoh lobak yang terpegang ditangannya jatuh kelantai tanpa terasa, lobak yang putih bersih itu berlepotan tanah pasir dan debu jerami.
Ia mendengar suara seorang yang halus dan merdu sedang memanggil: "Khong-sim-jay! Khong-sim-jay! Dimanakah engkau?"
Saking terguncangnya perasaan, segera Tik Hun bermaksud berteriak menjawabnya: "Aku berada disini!" ~ Tapi belum lagi kata2 "aku" itu mencetus dari mulutnya, ia merasa tenggorokannya seperti tersumbat, cepat ia menutup mulutnya sendiri dengan badan gemetar.
Sebab apakah Tik Hun terguncang perasaannya oleh suara itu?
Kiranya "Khong-sim-jay" atau sayur tak berhati alias kubis adalah nama julukan Tik Hun. Didunia ini hanya ada dua orang yang tahu nama julukannya itu, yakni Tik Hun sendiri dan Jik Hong. Bahkan gurunya sendiri juga tidak tahu.
Julukan itu adalah pemberian Jik Hong, sebab sang Sumoay itu berpendapat Tik Hun tidak punya otak, terlalu polos, terlalu lugu, sedikitpun tidak bisa berpikir, selain belajar silat, segala apa tak dipikir olehnya dan segala apa tak dipahaminya, maka pemuda itu diibaratkan Khong-sim-jay atau kubis yang tidak punya hati.
Dikatakan orang tidak punya otak juga Tik Hun tidak marah, sebaliknya ia ganda tertawa saja. Ia malah senang kalau Jik Hong suka memanggilnya: "Khong-sim-jay!" ~ biarpun sehari penuh dipanggil begitu juga dia tidak marah, asalkan saja sigadis itu betah.
Dan setiap kali kalau Tik Hun mendengar panggilan "Khong-sim-jay" atau si Kubis, selalu hatinya merasakan semacam kenikmatan manisnya madu. Sebab kalau ada orang ketiga diantara mereka pasti sekali2 Jik Hong takkan memanggil nama julukannya itu. Dan kalau dia dipanggil si Kubis, maka saat itu tentu cuma mereka berada berduaan saja.
Pabila Tik Hun berada berduaan saja bersama Jik Hong, baik sigadis sedang gembira maupun sinona lagi marah, yang terasa oleh Tik Hun hanya rasa bahagia yang tak terkatakan. Ia adalah seorang bocah ke-tolol2an yang tidak pandai bicara, terkadang kedogolannya itu membikin Jik Hong menjadi marah, tapi asal terdengar panggilan "Khong-sim-jay, Kong-sim-jay", maka tertawalah keduanya dengan ter-kakah2
Tik Hun masih ingat pada waktu Bok Heng membawakan surat undangan kepada Suhunya dahulu, malam itu sang Sumoay telah memasak untuk menjamu tamu, diantara lauk-pauk dan sayur-mayur itu juga terdapat semangkok cah (gorengan) Kubis. Tengah sang Suhu asyik berbicara dengan Bok Heng mengenai kejadian2 didunia persilatan, Tik Hun sendiri mendengarkan dengan ter-mangu2, tiba2 tanpa sengaja sinar matanya telah kebentrok dengan sinar mata Jik Hong, ia melihat sang Sumoay telah menyumpit secomot kubis goreng dan akan dimakan, tapi kubis itu tidak lantas dimasukkan kedalam mulut, melainkan dengan bibirnya yang merah tipis sedang menjilati kubis itu dengan pelahan2, sorot matanya penuh mengandung maksud tertawa. Terang gadis itu bukan lagi hendak makan sayur, tapi sedang menciumi kubis itu.
Tatkala itu Tik Hun cuma mengira: "Ah, Sumoay sedang mentertawai aku lagi sebagai Khong-sim-jay!" ~ Tapi kini setelah dikenangkan kembali didalam gudang kayu ini, tiba2 ia dapat menangkap maksud yang mendalam dari kelakuan sang Sumoay itu, nyata itulah tanda ciuman mesra seorang kekasih.
Kini suara panggilan "Khong-sim-jay" itu terdengar pula, terang gamblang suara itu adalah suaranya Jik Hong, hal mana sedikitpun tak bisa keliru lagi. Suara panggilan itu penuh mengandung rasa cinta kasih yang mesra, lemah-lembut dan meresap.
Dahulu, panggilan Jik Hong itu cuma dirasakannya sebagai tanda persahabatan, suara panggilan yang penuh perhatian dan terkadang bermaksud sebagai tanda marah dan mengomelnya. Namun suara panggilan yang didengarnya sekarang hanya penuh rasa cinta kasih yang mendalam. "Apakah karena dia telah mengetahui penderitaanku selama ini secara penasaran makanya dia bertambah baik kepadaku?" demikian Tik Hun bertanya pada diri sendiri.
Sesungguhnya Tik Hun tidak berani percaya kepada pendengarannya sendiri itu. "Apa aku sedang mimpi? Sebab tidak mungkin Sumoay datang kekebun sayur ini? Bukankah sudah lama ia menjadi isterinya Ban Ka, masakah dia dapat datang kesini untuk mencari aku?"
Namun demikian suara panggilan tadi berjangkit pula, bahkan sekali ini semakin mendekat lagi. "Khong-sim-jay, dimanakah engkau bersembunyi?" demikian suara itu dengan rasa senang dan penuh kasih-sayang.
Pelahan2 Tik Hun berdiri dan mengintip dari belakang tumpukan jerami. Ia melihat seorang wanita berdiri membelakangi dirinya sedang mencari sesuatu. Ya, itulah dia, memang tidak salah lagi, pinggangnya yang ramping, perawakannya yang langsing, siapa lagi dia kalau bukan Jik Hong?
Terdengar ia sedang memanggil pula dengan tertawa: "Hayolah Khong-sim-jay, masih engkau tidak mau keluar?" ~ dan mendadak wanita itu membalik tubuhnya kebelakang.
Seketika pandangan Tik Hun menjadi kabur dan kepalanya menjadi puyeng. Memang benarlah gadis itu adalah Jik Hong. Biji matanya yang bundar besar dan hitam pekat, hidungnya yang mancung, hanya kelihatan agak kurus sedikit hingga tidak semontok dan segar seperti waktu masih berada dipedusunan didaerah Ouw-lam dahulu. Akan tetapi gadis itu nyata2 adalah Jik Hong, benar2 adalah sang Sumoay yang dicintainya dan dirindukannya senantiasa itu.
Dengan wajah yang masih ber-seri2 tawa, Jik Hong sedang me-manggil2 pula: "Khong-sim-jay, hayolah, tidak lekas engkau keluar saja?"
Saking tak tahan segera Tik Hun bermaksud menyahut dan menemui Sumoay yang senantiasa dirindukannya itu. Tapi belum lagi ia bertindak, mendadak teringat olehnya: "Ting-toako sering mengatakan aku terlalu jujur, terlalu lugu dan gampang ditipu orang. Kini Jik-sumoay sudah menikah dengan Ban Ka, hari ini Ciu Kin terbinasa pula ditanganku, siapa berani menjamin bahwa Sumoay bukan lagi sengaja memancing aku keluar?" ~ Berpikir demikian, hatinya menjadi dingin dan urung unjuk diri.
Ia dengar Jik Hong sedang me-manggil2 si Kubis pula. Kembali pendirian Tik Hun goyah. Pikirnya: "Suara panggilannya sedemikian mesra penuh kasih-sayang, tentu bukanlah pura2. Lagi- pula, jika dia benar2 inginkan jiwaku, biarlah kumati dibawah tangannya saja!" ~ Sekali hatinya terasa pedih, ia menjadi nekat lagi.

Tapi belum lagi ia berbuat apa2, tiba2 terdengar suara ketawa seorang anak perempuan kecil, menyusul anak itu telah berkata: "Mak, mak, aku berada disini!"
Ketika Tik Hun mengintai keluar jendela, ia lihat seorang anak perempuan berbaju merah sedang ber-lari2 mendatangi dari sebelah sana. Cuma umur bocah itu masih sangat muda, maka larinya masih belum kuat dan agak sempoyongan.
"Khong-sim-jay, kau bersembunyi dimana barusan?" terdengar Jik Hong menanya dengan suaranya yang lemah lembut. "Dari tadi ibu mencari kau tak ketemu."
"Khong-sim-jay berada dikebun sayur sana melihat semut," sahut bocah itu dengan senang.
Seketika telinga Tik Hun serasa mendengung dan dadanya se-akan2 digodam orang sekali. Sungguh ia tidak percaya pada pendengarannya sendiri. Apa mungkin Sumoay sudah punya anak? Apakah puterinya inilah yang bernama "Khong-sim-jay"? Jadi panggilannya tadi ditujukan kepada puterinya yang kecil itu dan bukan memanggil aku? Jadi secara tidak sengaja dirinya sekarang telah masuk sarang harimau pula, yaitu rumahnya Ban Cin-san yang bikin celaka dirinya itu?
Begitulah Tik Hun menjadi bingung seketika. Selama beberapa tahun ini lapat2 dalam hati Tik Hun terdapat suatu harapan, ia mengharap semoga kelak dapat melihat sang Sumoay itu toh tidak menikah dengan Ban Ka dan apa yang dikatakan Sim Sia adalah bohong belaka. Pikirannya ini tidak berani dikatakannya kepada Ting Tian, tapi hanya terkeram dilubuk hatinya sendiri. Terkadang bila ia bertemu dengan Jik Hong didalam mimpi, sering ia meloncat bangun saking girangnya. Tapi sekarang ia sendiri menyaksikan dan mendengar sendiri pula ada seorang dara cilik sedang memanggil ibu kepada Jik Hong. Dari selah2 jendela dapat dilihatnya Jik Hong sedang mengangsurkan kedua tangannya dan anak dara itu terus menubruk kedalam pelukannya. Berulang kali Jik Hong telah menciumi pipi bocah itu dan berkata dengan suara lembut: "Khong-sim-jay pintar main sendiri, sungguh anak yang manis!"
Hanya dari sisi Tik Hun dapat melihat keadaan Jik Hong dengan alisnya yang masih tetap lentik dan ujung mulutnya yang mungil, mukanya tampak sedikit lebih montok daripada dulu, lebih putih halus dan lebih cantik. Kembali hati Tik Hun pedih: "Selama ini engkau sudah menjadi nyonya Ban, engkau tidak perlu bercocok-tanam lagi dibawah terik matahari dan kehujanan, dengan sendirinya badanmu lebih terawat.
Ia dengar Jik Hong sedang berkata pula: "Marilah Khong-sim-jay ikut ibu kembali kekamar!"
Disini sangat menyenangkan, Khong-sim-jay akan melihat semut lagi," demikian sahut sidara cilik.
"Jangan," kata Jik Hong. "Harini diluar ada orang jahat akan menculik anak kecil. Lebih baik Khong-sim-jay ikut ibu pulang kekamar."
"Orang jahat apa? Kenapa mengganggu anak kecil?" tanya bocah itu.
"Dua orang jahat yang buas telah lolos dari penjara, maka ayah sedang pergi menangkap orang jahat itu," kata Jik Hong sambil menarik tangan sianak. "Dan kalau orang jahat itu lari kesini, Khong-sim-jay akan ditangkap olehnya. Maka, marilah anak manis, marilah pulang kekamar, nanti ibu buatkan boneka kain, ya?"
"Tidak, Khong-sim-jay tidak suka boneka, tapi akan bantu ayah tangkap orang jahat," sahut sibocah dengan bandel.
Mendengar dirinya dikatakan jahat dan buas, hati Tik Hun semakin lama semakin mencelos. Dan pada saat itu, diluar kebun sana terdengar suara derapan kuda yang riuh, beberapa penunggang kuda berlari lewat kesana. "Sret", tiba2 Jik Hong melolos pedang yang terselip dipinggangnya dan berlari kepintu kebun.
Karena ditinggal sang ibu, anak perempuan tadi celingukan kian-kemari dan pelahan2 mendekati pintu gudang kayu. Tik Hun tetap berdiri dipinggir jendela dan tidak berani menggeser, kuatir kalau menerbitkan suara hingga mengagetkan Jik Hong. Ya, maklum, sampai disini betapapun ia tidak sudi bertemu lagi dengan sang Sumoay. Hal ini bukanlah karena dia merasa rendah diri atau menyesalkan hubungan baik dimasa lalu, tapi disebabkan rasa duka dan penasaran yang susah ditahan didalam dadanya. Dirinya sedikitpun tidak pernah berbuat jahat, tapi sudah disiksa semikian rupa, sampai achirnya orang yang senantiasa dirindukannya itu secara terang2an mengatakan dirinya adalah "orang jahat".

Ia melihat anak itu mendekati pintu gudang, ia mengharap bocah itu jangan masuk, tapi entah apa yang diinginkan anak dara itu, achirnya ia melangkah masuk juga kedalam gudang. Cepat Tik Hun berjongkok dibalik onggok jerami dan dalam hati berharap bocah itu lekas keluar!
Tapi mendadak anak itu mempergoki Tik Hun, saking kagetnya ia menjadi melongo ketika melihat keadaan Tik Hun yang compang-camping bajunya dengan berewok dimukanya yang tak keruan macamnya itu. Bocah itu mewek2 dan hendak menangis, tapi tidak berani karena ketakutan.
Tik Hun insaf urusan bakal runyam, asal bocah itu menguwak sekali, pasti jejaknya akan diketahui Jik Hong. Cepat ia melompat maju untuk membopong anak itu sambil sebelah tangannya menekap mulutnya. Tapi toh sudah terlambat sedikit, anak itu keburu menangis dulu sekali. Cuma suara tangisannya lantas berhenti karena mulutnya tertutup oleh tangan Tik Hun.
Namun begitu Jik Hong yang selalu ingat kepada anaknya, begitu mendengar suara sibocah yang agak aneh itu segera ia menoleh, tapi puterinya sudah tidak kelihatan, menyusul didengarnya didalam gudang kayu ada suara berkeresekan, cepat ia memburu kedepan pintu gudang. Maka tertampak olehnya puterinya telah dibopong oleh seorang laki2 yang rambutnya kusut masai tak keruan, muka dan tangannya penuh noda darah, bahkan sebelah tangan orang itu sedang menekap kencang2 dimulut sang puteri. Karuan kejut Jik Hong tak terkatakan, sekali pedangnya bergerak, terus saja ia menusuk kearah Tik Hun sambil membentak: "Lepaskan anakku!"
Hati Tik Hun menjadi pedih, timbul lagi kenekatannya: "Kau hendak membunuh aku, bolehlah kau bunuh saja!" ~ Karena itu, ia hanya tinggal diam saja tanpa berkelit atas serangan Jik Hong itu.
Namun Jik Hong menjadi tertegun karena kuatir melukai puteri sendiri, cepat ia tarik kembali pedangnya dan membentak pula: "Lekas lepaskan puteriku!"
Mendengar Jik Hong melulu minta melepaskan puterinya, tapi sama sekali tiada ingat hubungan baik dimasa lalu, Tik Hun menjadi tambah mendongkol dan sengaja tidak mau melepaskan bocah itu.
Melihat laki2 bengis itu masih belum mau melepaskan puterinya, Jik Hong semakin kuatir, jangan2 anaknya akan diculik. Segera pedangnya bergerak pula menusuk kebahu kanan Tik Hun.
Cepat Tik Hun mengegos, menyusul ia sambar sepotong kayu bakar itu, ia menangkis dan balas menusuk. Jik Hong terkesiap oleh gerakan serangan Tik Hun itu, ia merasa tipu serangan ini sudah dikenalnya, yaitu gerakan Kiam-hoat 'Ko-hong-han-siang-lay' (seharusnya Koh-hong-hay-siang-lay). Maka tanpa pikir lagi ia mendakan tubuh untuk menghindar, menyusul iapun balas menyerang dengan tipu timpalannya 'Si-heng-put-kam-koh' (seharusnya Ti-heng-put-kam-koh).
Sebenarnya gudang kayu itu sangat sempit dan penuh kayu dan rumput jerami, tempat yang luang itu hanya tiba cukup untuk dibuat putar dua orang saja. Maka pertarungan mereka sesungguhnya kurang bebas dan sangat terganggu. Tapi karena sejak kecil Tik Hun satu guru dengan Jik Hong serta selalu latihan bersama, setiap hari mereka mesti saling gebrak untuk melatih ilmu pedang, maka terhadap setiap gerak serangan masing2 sudah saling diapalkan.
Kini melihat Jik Hong mengeluarkan tipu serangan seperti biasanya diwaktu mereka latihan dahulu, segera ia putar pedangnya kesamping untuk kemudian dibuat menangkis. Akan tetapi "plak" tahu2 kayu yang dipakai sebagai pedang itu kesampluk jatuh kelantai, seketika ia tercengang, tapi segera iapun sadar: "Ah, jariku sebagian sudah terpapas, selama hidup ini aku takkan dapat menggunakan pedang lagi!"
Untuk sejenak ia ter-mangu2 memandangi jari tangan sendiri yang sudah hilang sebagian itu. Ketika ia mendongak pula, ia lihat ujung pedang Jik Hong sudah mengancam di ulu hatinya dengan agak gemetar, wajah sang Sumoay itu tampak kaget tak terhingga. Untuk beberapa lama mereka cuma saling pandang belaka dan sama2 tidak sanggup buka suara.
"Eng ....... engkau?" sampai agak lama baru dapat tercetus sepatahkata ini dari mulut Jik Hong dengan suara yang serak dan hampir2 tak terdengar.
Tik Hun mengangguk dan mengangsurkan dara cilik yang dibopongnya itu, Jik Hong membuang pedangnya dan cepat menerima puteri kesayangannya, untuk sesaat ia tidak tahu cara bagaimana harus bicara. Rupanya saking ketakutan, dara cilik itu menyisipkan kepalanya dipelukan sang ibu dan tidak memandang lagi kepada Tik Hun yang menakutkan itu.
"Aku .......... aku tidak tahu adalah engkau," kata Jik Hong kemudian. "Selama be ....... beberapa tahun ini ........"

Belum selesai ucapannya tiba2 terdengar suara seorang lelaki sedang me-manggil2 diluar sana: "Hong-moay, Hong-moay! Dimanakah dikau?" ~ suara itu semakin dekat dan kedengaran menuju kedalam kebun sayur.
Seketika air muka Jik Hong berubah hebat, segera ia membisiki puteri dalam pelukannya itu: "Khong-sim-jay, Pe-pek (paman) ini bukan orang jahat, jangan kau katakan kepada ayah, ya, manis?"
Tanpa merasa dara cilik itu memandang sekejap lagi kepada Tik Hun dan melihat coraknya yang menyeramkan itu, kembali ia mewek dan menangis lagi.
Mendengar suara tangisan anak perempuan itu segera laki-laki diluar itu memburu datang kearah suara dan berseru: "Khong-sim-jay! Jangan menangis, jangan menangis! Ayah berada disini!"
Jik Hong memandang sekejap kepada Tik Hun, lalu putar tubuh bertindak keluar, sekalian ia tarik daun pintunya dan dirapatkan. Ia bawa puterinya memapak kearah datangnya sang suami.
Dengan ter-mangu2 Tik Hun terpaku ditempatnya, aneka-macam perasaan mencengkam hatinya. Ditepi telinganya se-akan2 mendenging sesuatu suara: "Aku ingin mati saja, biarlah aku mati saja!'
Ia dengar suara lelaki tadi sedang berkata diluar sana dengan tertawa: "Kenapa Khong-sim-jay menangis? O, manis, kau terkejut barangkali?"
Tik Hun kenali suara itu adalah suaranya Ban Ka, suami Jik Hong sekarang. Ia sangat ingin mengintip keluar untuk melihat bagaimana cecongor orang itu, tapi kakinya serasa takmau turut perintahnya dan tetap terpaku dilantai. Sebaliknya terdengar Jik Hong sedang berkata dengan tertawa: "Aku sedang memain dibelakang dengan Khong-sim-jay dan mendadak mendengar dua penunggang kuda lewat dengan cepat, penunggang2 kuda itu bersenjata dan tampaknya sangat buas, Khong-sim-jay menjadi ketakutan dan menangis,"
"O, mereka bukan orang jahat, tapi mereka adalah petugas pemerintah yang sedang menguber penjahat," ujar Ban Ka. "O, manis, marilah ayah membopong. Nanti ayah hajar penjahat. Khong-sim-jay jangan takut, penjahat2 itu tentu ayah bunuh semua."
Diam2 Tik Hun terperanjat, sungguh tak terpikir olehnya bahwa kepandaian berdusta kaum wanita ternyata begitu hebat. Setelah begitu cerita Jik Hong, tentu suaminya tidak akan curiga lagi biarpun nanti sianak berkata apapun. Namun lantas terpikir oleh Tik Hun: "Hm, aku toh tidak perlu perlindungannya. Kau hendak menangkap aku, hendak membunuh aku, hayolah kemari!"
Segera ia melangkah kepinggir jendela dan mengintip keluar, ia lihat seorang pemuda berpakaian sangat perlente sedang berjalan kesana sambil membopong anak perempuan tadi. Jik Hong tampak berjalan berendeng dengan pemuda itu sambil menggelendot dibahunya, sikapnya sangat mesra sekali.
Tentang Jik Hong diperisterikan oleh Ban Ka, dahulu meski sering dipikirkan oleh Tik Hun, tapi baru sekarang untuk pertama kalinya ia menyaksikan dengan mata kepala sendiri. Dahulu bila timbul chayalannya, selalu tinggal suatu harapan baginya, yaitu mengharap agar cerita tentang Jik Hong telah menikah dengan Ban Ka itu adalah bualan Sim Sia belaka. Akan tetapi kini bukti menjadi saksi, keadaan yang kelihatan didepan matanya pastilah bukan omong kosong. Seketika darahnya mendidih dan mata gelap. Teringat olehnya sebab musababnya dia dipenjarakan dan menderita sebagai dineraka, semuanya berkat keculasan orang didepan matanya itu. Bahkan kekasih yang dicintainya dengan segenap jiwa raganya itu kini telah dipersunting oleh musuh besar itu.
Dalam keadaan pikiran pepet, tiada jalan lain baginya daripada membunuh Ban Ka atau mesti dibunuh olehnya. Tanpa ayal lagi terus saja ia sember pedang yang ditinggalkan Jik Hong itu sambil berteriak: "Aku .............."
Namun mulutnya menjadi mengap tak meneruskan teriakannya, maksudnya menerjang keluar untuk mengadu jiwa dengan Ban Ka diurungkan ketika diwaktu berjongkok sekilas dilihatnya mayat Ting Tian yang diuruknya dengan rumput jerami itu, wajah sang Toako yang sudah tak bernyawa itu tampak tenang2 dengan kedua matanya tertutup rapat. Tiba2 menjadi teringat olehnya pesan Ting Tian sebelum menghembuskan napasnya yang penghabisan, dengan sangat sang Toako minta agar mayatnya dikubur menjadi satu liang bersama Leng-siocia. Dan kini kalau dirinya menerjang keluar untuk melabrak Ban Ka, jika dirinya mati itu tidaklah menjadi soal, tapi cita2 Ting-toako itulah menjadi tak terlaksana.
Segera timbul pula pikirannya: "Ah, mengenai hal ini aku dapat minta bantuan Sumoay, mungkin ia takkan keberatan untuk menyelesaikannya bagiku." ~ Tapi ia lantas memaki pula dirinya sendiri. "Fui, fui! Kau Tik Hun anak yang tak berguna! Engkau sendiri tidak mau bertanggung jawab atas tugas suci itu, mengapa kau pasrahkan kepada orang lain? Jika kau sudah mati, apa kau ada muka untuk bertemu dengan Ting-toako dialam baka? Apalagi perempuan yang tipis budi dan tidak teguh imannya seperti Jik Hong itu masakah masih dapat dipercaya? Apa yang dia bisa lakukan bagimu?"
Karena pikirannya itu, pelahan2 dapatlah ia mengatasi bergolaknya perasaan. Tapi suara teriakannya yang urung tadi sudah lantas mengejutkan Ban Ka. Terdengar orang she Ban itu sedang berkata: "He, aku seperti mendengar digudang kayu sana ada suara orang?"
"Apa ya?" sahut Jik Hong tertawa. "Ah, tentu si koki Lau Ong, tadi kulihat dia masuk kesana untuk mengambil kayu. Eh, engkoh Ka, Yan-oh-theng (sop sarang burung) yang kubuatkan itu mungkin sudah dingin, lekaslah engkau pergi memakannya. Khong-sim-jay sedari tadi hanya ribut saja, biarlah aku membawanya kekamar biar tidur."
Ban ka mengiakan keterangan sang isteri itu. Sambil membopong puterinya, suami-isteri itupun pergilah dari situ.
Seketika itu otak Tik Hun se-akan2 kosong blong, ia takdapat memikirkan apa2 lagi. Selang agak lama, ia ketok2 kepalanya sendiri dengan kepalan dan membatin: "Betapapun gudang kayu ini bukan tempat sembunyi yang sempurna, kalau benar2 apa yang dikatakan sikoki Lau Ong itu datang kemari hendak mengambil kayu, lantas bagaimana? Rasanya lebih baik kusembunyikan jenazah Ting-toako disini, lalu aku sendiri menggeloyor keluar dari sini, malam nanti aku akan kembali lagi untuk mengusung jenazah Ting-toako. Ya, jalan ini sangat bagus!" Ia pukul tangan sendiri dengan keputusannya itu.
Akan tetapi toh dia merasa berat untuk melangkah keluar dari gudang itu. Baru ia melangkah setindak, mendadak suatu suara se-akan2 sedang membisiki telinganya. "Jangan, jangan pergi dari sini! Jik-sumoay pasti akan datang kembali untuk menjenguk aku. Pabila aku pergi dari sini, untuk selanjutnya takkan dapat berjumpa lagi dengan dia."
Kemudian timbul pula pikiran2 lain: "Ah, andaikan aku berjumpa lagi dengan dia, apa paedahnya? Dia toh sudah bersuami, punya anak, sekeluarga mereka hidup bahagia dan riang gembira, masakah dia masih ingat kepada seorang buronan seperti aku ini? Sekalipun aku berjumpa lagi dengan dia juga akan menyusahkan diri sendiri?" ~ "Ai, sudah sekian tahun aku menunggu didalam penjara, yang kuharap yalah dapat bersua pula dengan Sumoay, kini orangnya sudah disini, masakah kesempatan ini ku-sia2kan? Aku toh tidak punya maksud apa2, aku hanya ingin bertanya bagaimana dengan Suhu selama ini, apakah ada kabar berita tentang beliau? Aku ingin tanya Sumoay mengapa suka yang baru dan bosan yang lama, mengetahui aku masuk penjara, lantas sama sekali tak ingin lagi padaku." ~ "Tapi ai, apa gunanya bertanya padanya? Hanya ada dua kemungkinan dari jawabannya. Kalau dia tidak berdusta, tentu mengaku terus terang, mungkin malah akan menambah rasa dukaku saja."
Begitulah Tik Hun menjadi ragu2, sebentar ambil keputusan akan pergi dari situ, lain saat timbul pula pikirannya yang lain. Sebenarnya tabiat Tik Hun sangat lugu dan tegas, tidak pernah sangsi2 untuk mengambil sesuatu tindakan. Tapi menghadapi persoalan maha besar selama hidupnya ini, ia menjadi bingung apa yang dia harus lakukan. Tinggal disitu rasanya kurang aman, kalau tinggal pergi, rasanya berat.
Sedang Tik Hun dicengkam rasa bimbang, tiba2 didengarnya ada suara tindakan orang dikebun sayur itu. Terdengar seorang mendatangi dengan berjalan ber-jinjit2. Berjalan beberapa langkah, orang itu lantas berhenti seperti sangat ber-hati2, kuatir kalau dipergoki orang.
Makin lama orang itu makin mendekat. Hati Tik Hun menjadi ber-debar2. "Achirnya Jik-sumoay datang juga mencari aku. Apakah yang hendak dia bicarakan padaku? Apa ingin minta ma'af padaku? Masihkah dia ingat pada hubungan baik dimasa silam?"
Tapi ia menjadi ragu2 pula: "Apakah yang harus kubicarakan dengan Sumoay? Ai, sudahlah, sudahlah! Mereka suami-isteri hidup bahagia, lebih baik aku jangan menemuinya lagi untuk selamanya."
Begitulah hatinya yang penuh rasa dendam itu seketika menjadi cair sebagai es. Ia pikir dirinya asalnya cuma seorang pemuda desa, andaikan tidak menderita dipitenah seperti ini dan Sumoay dapat menjadi isterinya, benar dirinya akan merasa bahagia, tapi sang Sumoay mesti memeras tenaga berjerih-payah selama hidup disawah-ladang, hidup seperti itu tentu takkan membahagiakan sang kekasih. Kini apakah aku harus menuntut balas dan membunuh Ban Ka? Sumoay tentu akan menjadi janda dan apakah mungkin masih akan menikah padaku, menikah kepada pembunuh suaminya? Ai, permusuhan ini biarlah kita hapuskan sampai disini saja, biarkan mereka suami-isteri, ibu dan anak hidup beruntung untuk hari2 selanjutnya. Demikian keputusan Tik Hun achirnya.
Karena itu, ia sudah ambil ketetapan takkan banyak bicara dengan Jik Hong lagi. Segera ia hendak mengangkat keluar jenazah Ting Tian dari dalam timbunan jerami.
Mendadak terdengar suara "blang" yang keras, pintu gudang itu telah didepak orang dari luar. Keruan Tik Hun kaget, cepat ia berpaling dan terlihatlah seorang laki2 jangkung dengan pedang terhunus telah berdiri diambang pintu. Ternyata orang itu bukanlah Jik Hong seperti apa yang disangkanya, tapi adalah Ban Ka.
Tik Hun bersuara heran pelahan, tanpa pikir lagi ia jumput kembali pedang yang ditinggalkan Jik Hong tadi.
Wajah Ban Ka tampak sangat beringas, apalagi melihat pedang yang dipegang Tik Hun itu adalah milik Jik Hong, keruan ia tambah cemburu dan benci, segera katanya dengan dingin: "Bagus! Mengadakan pertemuan gelap digudang kayu ini, bahkan senjatanya juga ditinggalkan untukmu, apakah merencanakan pembunuhan suami, ya? Hm, mungkin tidak sedemikian mudah!"
Tik Hun sendiri sedang bingung pikirannya hingga seketika tidak tahu apa yang sedang dikatakan Ban Ka. Yang terpikir olehnya hanya: "Mengapa ia bisa datang kemari? Dari siapa ia mengetahui aku bersembunyi disini? Ya, ya, tentu dia yang mengatakan dan suruh suaminya menangkap aku untuk mendapatkan hadiah yang disediakan Leng-tihu itu. Ai, mengapa dia sedemikian tak berbudi dan tidak ingat kebaikan dahulu?"
Melihat Tik Hun bungkam saja, Ban Ka menyangka pemuda itu merasa salah hingga ketakutan, tanpa bicara lagi pedangnya terus menusuk cepat kedada Tik Hun.
Tapi sekali putar pedangnya, dengan sendirinya Tik Hun menangkis dengan sejurus Kiam-hoat ajaran sipengemis tua dahulu, berbareng ujung pedangnya memuntir dan balas mengincar tenggorokan lawan.
Jurus ilmu pedang Tik Hun ini sangat aneh, dahulu Ban Ka tak mampu menangkis, selang lima tahun kemudian, tetap ia tidak sanggup menangkis, walaupun sebenarnya selama ini ilmu pedangnya sudah banyak lebih maju. Sebab tahu2 ujung pedang Tik Hun sudah mengancam dilehernya, dalam kagetnya Ban Ka menjadi bingung cara bagaimana harus mengelakan diri. Untuk menangkis terang tidak keburu lagi, hendak balas menyerang juga sudah ketinggalan. Dan karena sedikit ragu2 itu, jiwanya boleh dikata sudah tergantung diujung pedangnya Tik Hun. Ia menjadi penasaran dan murka, tapi toh takbisa berkutik.
Melihat wajah Tik Hun penuh berewok yang tak teratur dan kotor, rasa murka Ban Ka pelahan2 berubah menjadi jeri. Teringat olehnya dirinya yang menjebloskan pemuda itu kedalam penjara dengan tipu akal yang licik untuk kemudian merebut kekasihnya sebagai isteri sendiri, siapa duga sampai achirnya toh Jik Hong juga membohongi dirinya. Masih terhitung dirinya cukup cerdik, ketika melihat ada bekas darah yang mengarah kegudang kayu, ditambah lagi sikap Jik Hong dan puterinya yang masih kecil itu agak aneh, makanya timbul curiganya. Akan tetapi, ilmu pedang buronan ini ternyata sangat aneh, sejurus saja dirinya sudah tak berdaya. Apakah aku akan mati dibawah tangannya sekarang?
Namun tusukan Tik Hun ternyata tidak diteruskan, ber-ulang2 timbul pertanyaan dalam hatinya: "Aku membunuh dia atau tidak? Aku membunuh dia atau tidak?"
Dasar watak Ban Ka memang sangat cerdik dan culas, pada detik berbahaya itu tiba2 dilihatnya sinar mata Tik Hun mengunjuk rasa ragu2, tangan yang memegang pedang itu juga rada gemetar, terus saja ia berseru: "Jik Hong, kemarilah kau!"
Tik Hun menjadi kaget mendengar Jik Hong disebut, ia berpaling sedikit hendak melihat Sumoay itu. Tak terduga itu cuma akal bulus si Ban Ka belaka, sedikit Tik Hun lengah, tanpa ayal Ban Ka sampukan pedangnya keatas sekuatnya.
Karena jari tangannya sudah terpapas sebagian, dengan sendirinya genggaman Tik Hun kurang kencang, kena dibentur pedang Ban Ka yang kuat itu, kontan pedangnya terlepas dari cekalan dan mencelat keluar jendela.
Sekali serang membawa hasil, Ban Ka tidak mau berbuat kepalang tanggung; menyusul pedangnya menusuk pula. Terpaksa Tik Hun mesti berkelit kian kemari dan mengumpet dibelakang onggokan kayu. Sekenanya ia sambar sebatang kayu sebagai pedang dan balas menyerang dengan cepat.
Tapi ketika kedua senjata saling beradu, pedang Ban Ka yang tajam telah papas kutung batang kayu Tik Hun itu. Cepat Tik Hun timpukan sisa kayunya itu kearah Ban Ka, dan dikala Ban Ka terpaksa melompat berkelit, segera Tik Hun melolos lagi sebatang kayu yang lain untuk menyerang pula.
Melihat lawannya sudah kehilangan senjata tajam, kemenangan sudah pasti berada ditangan dirinya, Ban Ka menjadi girang. Ia pikir meski badan sendiri terkena sekali dua oleh pedang kayu musuh juga tiada halangannya. Maka sesudah tenangkan diri, ia ganti siasat, ia mainkan ilmu pedangnya dengan kalem dan menyerang secara beraaturan.
Taktik Ban Ka itu ternyata berhasil juga, hanya sebentar saja lantas terdengar suara gerengan Tik Hun yang murka, rupanya tangan kanannya terluka, entah otot-tulangnya cacat tidak, yang terang darah lantas mengucur keluar, karena itu, tangannya menjadi lemas dan melepaskan batang kayu yang dipakai sebagai senjata itu.
Tanpa ampun lagi Ban Ka lantas menambahi sekali lagi hingga paha Tik Hun tertusuk, menyusul kakinya mendepak, kontan Tik Hun terjungkal. Ia me-ronta2 hendak merangkak bangun, tapi lagi2 Ban Ka menendang kerahangnya, seketika Tik Hun kelengar.
"Hm, pura2 mati?" damperat Ban Ka, kembali pedangnya membacok sekali dibahu kanan Tik Hun. Ketika melihat pemuda itu tak berkutik, baru ia percaya orang sudah pingsan sungguh2. Ia pikir: "Leng-tihu telah menjanjikan lima ribu tahil emas sebagai hadiah kepada siapa yang dapat menawan kembali kedua buronannya, dengan sendirinya ada lebih baik aku menangkapnya hidup2. Toh sekali ini kalau dijebloskan lagi kedalam penjara, sitolol ini pasti akan melayang jiwanya, buat apa aku mesti membunuhnya dengan tanganku sendiri?"
Lain saat, sekilas tiba2 dilihatnya dibawah onggokan jerami sana menjulur keluar sebelah kaki orang. Ia terkejut dan bergirang pula. "He, disini masih ada seorang lagi!" serunya didalam hati. Ia tidak tahu kalau Ting Tian sudah mati, maka pedangnya terus membacok kekaki mayat Ting Tian itu.
Ber-ulang2 ia membacok dua kali dan melihat orang itu tidak bergerak, baru sekarang ia tahu orang sudah mati. Segera ia hendak menariknya keluar.
Dalam pada itu meski Tik Hun jatuh semaput karena tendangan Ban Ka tadi, namun dalam benaknya se-akan2 ada satu suara telah berteriak padanya: "Aku tidak boleh mati! Aku tidak boleh mati! Aku sudah berjanji kepada Ting-toako untuk menguburnya bersama dengan Leng-siocia.
Entah disebabkan pikiran yang kuat itu atau bukan, yang terang segera ia dapat siuman kembali, pelahan2 ia membuka matanya, samar2 ia melihat pedang Ban Ka sedang membacok keatas jenazahnya Ting Tian.
Semula Tik Hun masih belum jernih pikirannya dan tidak tahu apa artinya kejadian didepan matanya itu. Tapi segera dilihatnya Ban Ka hendak menyeret keluar jenazah Ting Tian dari dalam onggokan rumput jerami. Terus saja Tik Hun berteriak. "Jangan mengganggu Ting-toakoku!" ~ dan entah tenaga mendadak timbul dari mana, seketika ia meloncat bangun terus menubruk kebelakang Ban Ka, sekuat tenaga ia mencekik leher lawan itu.
Dalam kagetnya segera Ban Ka tusukan pedangnya kebelakang. Tak tersangka olehnya bahwa Tik Hun memakai Oh-jan-kah yang kebal, meski pedangnya kena menusuk diperut Tik Hun, tapi toh tidak dapat masuk kedalam perut. Sebaliknya cekikan Tik Hun dilehernya itu makin lama semakin kencang.
Karena melihat jenazah Ting Tian dirusak Ban Ka, Tik Hun menjadi murka seperti orang kalap. Sakit hati tentang dirinya dipitenah dan disiksa selama ini, sang kekasih direbut, semuanya ini masih dapat dia hapuskan seperti keputusannya tadi. Tapi kini jenazah Ting Tian dicacat pula sedemikian rupa, hal ini betapapun ia tidak terima. Seketika itu tiada pikiran lain lagi dalam benaknya selain ingin cepat2 mencekik mati musuhnya itu.
Tapi karena ia terluka beberapa tempat, darah mengucur terus dari lukanya, ia merasa lambat-laun Ban Ka tidak kuat meronta lagi, sebaliknya tenaga cekikannya sendiri juga lantas lenyap dengan cepat. Ia coba kuatkan diri: "Tahanlah sebentar lagi! Tahanlah sebentar lagi! Supaya dapat mencekik mati dia!" ~ dan sampai achirnya matanya menjadi ber-kunang2 dan pikirannya gelap, achirnya segala apa tidak dapat dirasakan lagi.
Meski Tik Hun sudah pingsan, tapi tangannya yang mencekik dileher Ban Ka itu masih belum dilepaskan, namun dengan sendirinya sudah tidak bertenaga pula. Ban Ka jatuh pingsan karena takdapat bernapas, berbareng Tik Hun juga tak sadarkan diri.

Maka menggeletaklah kedua pemuda musuh bebuyutan itu diatas rumput jerami. Keduanya seperti sudah mati semua, tapi dada mereka masih berkempas-kempis, napas mereka masih bekerja.
Keadaan mereka menjadi untung2an, siapa lebih dulu siuman, siapa akan menang. Kalau Tik Hun siuman lebih dulu, dengan sendirinya Ban Ka akan dibunuh olehnya, sebaliknya kalau Ban Ka sadar dulu, jiwa Tik Hun pasti melayang, tidak nanti ia berani mengambil risiko menawan Tik Hun hidup2 seperti rencana semula.
Segala apa mungkin terjadi didunia yang fana ini. Orang baik belum tentu bernasib baik dan orang jahat belum tentu bernasib buruk. Begitu pula sebaliknya. Setiap orangpun pasti akan mati, orang yang mati kemudian juga belum tentu hidup beruntung, tapi bagi orang yang masih hidup, seperti mengenai Jik Hong dan puterinya yang masih kecil, soal siapa yang mati lebih dulu diatara Tik Hun dan Ban Ka terdapat suatu perbedaan yang sangat besar. Pabila dalam keadaan seperti itu Jik Hong disuruh pilih salah satu diantara mereka agar bisa siuman lebih dulu, entah siapa yang akan dipilih oleh Jik Hong?
Begitulah kedua orang yang menggeletak didalam gudang kayu itu masih tetap belum sadarkan diri, sementara itu terdengar suara tindakan seorang yang pelahan2 mendatangi.
Siapakah gerangan yang datang itu...........?
**********
Sebelum jernih pikiran Tik Hun lebih dulu ia mendengar suara mendeburnya air, mukanya terasa dingin2 perih oleh tetesan2 benda cair, lalu badannya terasa kedinginan dan sangat lemah. Dan begitu pulih daya perasaannya, segera kedua tangannya mencengkeram keras2 sambil berteriak: "Kucekik mampus kau, kucekik mampus kau!" ~ Namun benda yang terpegang ditangannya itu adalah benda keras dan bukan leher Ban Ka lagi. Menyusul ia merasa badannya terombang-ambing kekanan dan kekiri.
Ia terkejut dan cepat membuka mata, tapi suasana didepannya gelap gelita, air ber-ketes2 diatas kepalanya, didadanya dan diseluruh badannya. Kiranya air hujan.
Badan Tik Hun masih terus terombang-ambing, dadanya terasa enek dan ingin muntah. Tiba2 dilihatnya sebuah perahu meluncur lewat disampingnya, perahu itu berlayar. Ya, terang gamblang itulah benar2 sebuah perahu layar. Ia menjadi heran, mengapa disampingnya bisa ada perahu lewat?
Ia ingin bangun untuk melihat apa yang sebenarnya? Tapi antero tubuhnya terasa lemah tanpa tenaga sedikitpun. Pendek kata, tempat dimana dia berada sekarang terang bukan didalam gudang kayu lagi.
Mendadak timbul ingatan padanya: "He, dimanakah Ting-toako?" ~ Teringat pada Ting-toako, mendadak timbul semacam tenaga padanya, segera ia gunakan tangannya untuk menahan dan dapatlah ia berduduk, walaupun badannya tergeliat beberapa kali.
Maka dapatlah Tik Hun mengetahui keadaan sekitarnya. Kiranya dia berada didalam sebuah sampan yang sedang meluncur kemuara sungai mengikuti arus air. Saat itu adalah malam, langit gelap gelita dengan awan mendung yang tebal dan sedang hujan lebat. Ia celingukan kesana dan kesini, tapi keadaan kelam-lebam, ia menjadi kuatir dan ber-teriak2: "Ting-toako! Ting-toako!"
Ia tahu sang Toako sudah meninggal, tapi jenazahnya sekali2 tidak boleh hilang. Se-konyong2 sebelah kakinya menyenggol suatu benda yang agak lunak, waktu ia periksa, ia menjadi girang tercampur kejut. "He, engkau disini, Ting-toako!" serunya tak tertahan. Terus saja ia rangkul erat2 jenazah sang Toako yang ternyata berada disamping kakinya didalam perahu.
Sebenarnya keadaan Tik Hun sudah sangat payah dan tiada punya tenaga, untuk memikirpun takbisa, tapi ia masih merangkul jenazahnya Ting Tian. Ia merasa kerongkongannya kering, segera ia mendongak dan pentang mulutnya membiarkan air hujan membasahi tenggorokannya. Dalam keadaan sadar-tak-sadar seperti itu, sampai achirnya cuaca sudah terang dan hujanpun sudah reda.
Tiba2 ia melihat paha sendiri diperban sepotong kain. Ia coba pusatkan perhatian, ia melihat kain itu membalut ditempat lukanya. Menyusul ia dapatkan luka2 dilengan dan dipundak juga sudah dibalut oleh kain, bahkan sayup2 hidungnya mengendus pula bau obat yang diibubuhkan diatas luka2 itu. Oleh karena air hujan, maka kain pembalut itu sudah basah kuyup, tapi darah sudah tidak mengucur keluar lagi.
"Siapakah yang membalut lukaku? Jika lukaku ini tak dibalut tak usah aku dibunuh orang, asal darah mengucur keluar terus juga pasti jiwaku akan melayang. Lantas siapakah gerangannya yang membalut lukaku ini?" demikian ia tidak habis mengerti.
Mendadak hatinya merasa berduka dan penuh kesunyian, pikirnya: "Siapa lagi didunia ini yang sudi memperhatikan diriku dan membantu aku? Ting-toako sudah meninggal, masakah masih ada orang lain yang mengharapkan hidupku dan membuang temponya yang berharga untuk membalut lukaku?"
Ia coba perhatikan kain2 pembalut itu, ia lihat cara membalutnya dilakukan sangat ter-gesa2. Kain pembalutnya bukan kain kasaran, sebaliknya adalah kain sutera pilihan, dipinggir kain itu terdapat pula wiru sulaman yang rajin dan tepi kain yang lain adalah bekas sobekan. Terang kain sutera itu disobek dari baju kaum wanita yang dilakukan dengan ter-gesa2.
Apakah perbuatan Jik-sumoay? Demikian hati Tik Hun berdebar pula dan dadanya ikut panas kembali. Ia tersenyum getir dengan sikap mengejek pada diri sendiri: "Huh, dia telah suruh suaminya membunuh aku, masakah dapat pula membalut lukaku? Pabila bukan dia yang memberitahukan kepada suaminya, darimana Ban Ka mendapat tahu aku bersembunyi didalam gudang kayu itu?"
Akan tetapi terang dirinya sekarang berada didalam perahu yang terombang-ambing ditengah sungai Tiangkang dan entah sudah berapa jauhnya meninggalkan kota Kang-leng? Betapapun juga, paling tidak sementara ini ia sudah meninggalkan tempat berbahaya dan takkan di-uber2 lagi oleh Leng-tihu.
"Siapakah gerangannya yang membalut lukaku dan siapakah yang menaruh aku didalam perahu ini? Bahkan Ting-toako juga diikut-sertakan bersama aku," demikian ia tidak habis mengerti.
Ia tidak begitu peduli lagi kepada mati atau hidupnya sendiri, tapi jenazah Ting Tian ternyata tidak lupa disertakan kepadanya, hal inilah yang membuat Tik Hun mau-tidak-mau harus merasa berterima kasih.
Ia terus peras otak memikirkan hal itu, tapi biarpun sampai kepalanya pening juga tetap tak terjawab. Ia coba meng-ingat2 kembali apa yang terjadi selama sehari penuh kemarin. Tapi terpikir sampai kejadian Ban Ka membacok jenazahnya Ting Tian dan dirinya menjadi murka serta mencekik lehernya, dan apa yang terjadi selanjutnya ia sama sekali tidak tahu lagi.
Ketika tanpa sengaja ia berpaling, tiba2 sikutnya menyentuh sesuatu benda yang keras. Segera ia melihat disampingnya terdapat satu bungkusan dari kain sutera. Ia menjadi girang, ia pikir didalam bungkusan ini pasti akan diperoleh tanda2 yang dapat menjawab pertanyaannya itu.
Dengan tangan yang gemetar segera ia membuka bungkusan itu. Ia lihat didalamnya adalah beberapa renceng uang perak, seluruhnya kurang-lebih ada 30 tahil, Kecuali itu ada empat bentuk perhiasan wanita: sebuah Cu-hoa (tusuk konde dari mutiara yang dibingkai seperti bunga), sebuah gelang emas, sebuah kalung emas dan sebentuk cincin bermata batu mestika.
Selain itu adalah seuntai kalung emas berbandul yang biasa dipakai anak kecil. Rantai kalung bandul itu putus seperti ditarik orang dalam keadaan buru2, dan diujung rantai yang putus itu masih terkait sepotong kecil kain sobek, terang bekas ditarik secara buru2 dari leher anak kecil hingga mirip barang copetan yang dirampas secara kasar.
Pada bandul kalung yang berbentuk Kim-so atau gembok emas, yaitu semacam tabung, bagian tengah dapat dicopot dan ditutupkan. Di atas bandul itu terukir empat huruf 'Tek Yong Siang Bo'.
Tik Hun tidak banyak makan sekolahan, maka ia tidak paham apa artinya empat huruf itu. Ia pikir mungkin itu adalah nama anak yang memakai kalung bandul itu.
Sambil memainkan keempat macam perhiasan itu, ia menjadi tambah bingung daripada sebelum membuka bungkusan itu tadi. Ia pikir: "Uang perak dan perhiasan ini dengan sendirinya adalah pemberian orang yang menolong aku itu agar aku mempunyai sangu dalam pelayaran ini. Akan tetapi, siapakah gerangannya? Perhiasan ini bukanlah milik Jik-sumoay, sebab aku tidak pernah melihat dipakai olehnya."
Begitulah ditengah air sungai yang bergelombang, sampan kecil itu terbawa arus menuju kehilir.
Sehari suntuk Tik Hun tidak merasa lapar dan juga tidak merasa lelah, tapi terus memutar otak memikir: "Siapakah gerangan yang membalut lukaku ini? Siapakah gerangan yang memberikan uang dan perhiasan dalam buntalan ini?"
Tiang-kang atau sungai Panjang (Yang-ce-kiang) yang menghilir ketimur Hengciu dan menyusuri propinsi2 Ouw-lam dan Ouw-pak itu jalannya ber-liku2, arusnya tidak santar, maka sampan kecil itupun lambat sekali jalannya. Tertampak jelas satu persatu kota dan desa dikedua tepi sungai berlalu disamping perahu, kapal2 datang dari hulu sungai, baik yang berlayar maupun yang didayung, banyak pula sudah berlalu-lalang. Setiap kapal yang lewat disamping perahu Tik Hun dan melihat keadaan pemuda itu tak keruan macamnya, rambut dan berewoknya gondrong tak terawat, mereka memandangnya dengan ter-heran2 dan curiga.
Menjelang magrib, achirnya Tik Hun merasa lapar, perutnya mulai keroncongan. Ia berbangkit dan duduk, ia ambil sepotong papan perahu dan mendayung kendaraan air itu ketepi utara dengan pelahan dengan maksud akan beli sedikit nasi atau jajan seadanya. Tapi sial baginya, sekitar situ ternyata melulu ladang belukar belaka, sudah hampir setengah jam sampan itu terhanyut kehilir menyusur tepi pantai, tetap tiada sebuah rumahpun yang terlihat olehnya.
Setelah perahunya membiluk mengikuti tikungan sungai, tiba-tiba Tik Hun melihat dibawah pohon Liu yang rindang ditepi sungai situ tertambat tiga perahu nelayan. Diatas perahu itu tampak asap mengepul. Waktu sampan Tik Hun dekat dengan perahu2 nelayan itu, segera terdengarlah suara minyak mendidih disertai bau sedap gorengan ikan.
Mengendus bau sedap itu, perut Tik Hun menjadi tambah lapar. Terus saja ia rapatkan sampannya keperahu nelayan itu dan katanya kepada seorang nelayan tua yang berduduk di haluan perahu: "Paman tukang tangkap ikan, dapatkah aku membeli sepotong ikan gorengmu?"
Melihat muka Tik Hun yang menakutkan itu, nelayan itu menjadi jeri, mestinya tidak boleh, terpaksa ia tidak berani menolak, sahutnya: "Ya, baiklah!"
Lalu ia memilihkan seekor ikan goreng yang masih hangat2 ia wadahi didalam mangkok terus diangsurkan kepada Tik Hun.
"Jika ada nasi, tolong beli pula semangkok," mohon Tik Hun.
Terpaksa nelayan itu mengia pula dan kembali menyerahkan satu mangkok penuh nasi pada Tik Hun. Penghidupan kaum nelayan miskin, maka nasi yang dimakannya itu adalah beras murahan dicampur dengan ubi dan Kaoliang (Kaoliang, semacam tanaman bahan pangan, Jawawut?).
Tik Hun sendiri berasal dari keluarga melarat, apa yang dia makan didalam penjara jauh lebih buruk lagi, kini dalam keadaan lapar, nasi yang diterimanya dari nelayan tua itu boleh dikata seperti nasi liwet, apalagi saking laparnya, maka isi mangkok itu hanya beberapa kali sapu saja sudah dilangsir masuk semua kedalam perutnya.
Karena merasa belum cukup, selagi Tik Hun bermaksud membuka mulut untuk minta ditambahi semangkok nasi lagi, tiba2 didengarnya suara orang yang serak sedang berseru ditepi pantai: "Hai, nelayan! Ada ikan besar tidak? Berikan padaku beberapa ekor yang segar!"
Waktu Tik Hun menoleh, ia lihat seorang Hwesio tinggi kurus matanya besar bersinar, sedang menanya sinelayan dengan bertolak pinggang, sikapnya kasar.
Hati Tik Hun tergetar seketika. Teringat olehnya Hwesio itu adalah satu diantara kelima paderi yang pernah merecoki Ting Tian didalam penjara dahulu itu. Setelah memikir sejenak, segera ia pun ingat ceritanya Ting Tian bahwa Hwesio tingggi kurus ini bergelar Po-siang. Malam itu, dengan Sin-ciau-kang yang lihay Ting Tian telah berhasil membinasakan dua diantaranya, sisa ketiga paderi yang lain sempat melarikan diri. Dan Po-siang ini adalah satu diantara ketiga orang itu.
Demi mengenali Po-siang, maka Tik Hun tidak berani memandang lagi padanya. Pernah didengarnya dari Ting Tian, katanya ilmu silat Hwesio ini sangat hebat, sampai Ting Tian sendiri waktu itu tidak berani yakin dirinya pasti menang. Sekarang Tik Hun insaf pabila Po-siang melihat jenazahnya Ting Tian, pasti Tik Hun sendiri juga akan menjadi korban keganasan paderi itu.
Begitulah dengan kebat-kebit Tik Hun memegangi mangkok nasi yang sudah kosong itu, saking kuatirnya sampai tangannya rada gemetar juga. Dalam hati diam2 ia berdoa: "Jangan gemetar, jangan gugup, kalau sampai diketahui musuh, tentu celaka!" ~ Tapi semakin ia ingin tenangkan diri, semakin takdapat menguasai diri.
Maka didengarnya sinelayan tua tadi sedang menjawab: "Maaf Toahwesio, ikan yang kutangkap harini sudah terjual habis, sudah tidak ada lagi."
"Siapa bilang tidak ada?" bentak Po-siang dengan gusar. "Aku sudah kelaparan, aku tak peduli, lekas kau adakan beberapa ekor."
"Tapi benar2 sudah habis, Thaysuhu," sahut sinelayan. "Kalau masih ada, siapa yang tidak doyan duit, masakah tidak dijual?"
Habis berkata, ia angkat keranjang ikannya dan dituang terbalik, benar juga, memang keranjang itu kosong melompong tanpa isi.
Namun Po-siang sedang kelaparan sekali, tiba2 dilihatnya Tik Hun sedang menghadapi seekor ikan goreng didalam mangkoknya ikan itu baru termakan sebagian kecil. Terus saja ia berseru: "Hai, orang itu, disitu ada ikan atau tidak?"
Tik Hun sendiri lagi bingung, mendengar orang bicara padanya, ia salah sangka orang telah mengenali dirinya. Keruan ia tambah kuatir, tanpa menjawab lagi ia terus angkat papan perahu dan sekali ia tolak kebatang pohon Liu ditepi sungai, segera mendayung sampannya ketengah sungai.
Po-siang menjadi gusar, kontan ia memaki: "Bajingan, aku tanya engkau punya ikan tidak, mengapa engkau seperti maling yang ketakutan terus melarikan diri?"
Padahal Tik Hun bukan maling, tapi memang benar ketakutan mendengar caci-maki paderi itu, ia semakin takut. Ia mendayung lebih cepat hingga sampannya meluncur ketengah sungai.
Dengan gusar Po-siang terus jemput sepotong batu, segera ia sambitkan kearah Tik Hun dengan sekuatnya.
Walaupun tenaga dalam Tik Hun sudah lenyap, tapi ilmu silatnya belum terlupa. Melihat sambaran batu yang ditimpukan Po-siang itu sangat keras, kalau kena, pasti jiwanya akan melayang. Maka cepat ia mendakan tubuh hingga batu yang ditimpukan Po-siang itu menyambar lewat diatas kepalanya dengan membawa sambaran angin yang keras. "Plung", batu itu mencemplung kedasar sungai hingga air memuncrat tinggi. Nyata tenaga sambitan Po-siang itu benar2 sangat kuat.
Melihat cara Tik Hun menghindarkan timpukan batunya, gerak-geriknya cukup gesit, terang seorang yang pernah melatih silat dan sekali2 bukan kaum nelayan biasa, maka Po-siang menjadi curiga. Bentaknya segera: "Hayo engkau lekas balik kemari, kalau tidak, segera kucabut nyawamu!"
Sudah tentu Tik Hun tak gubris pada teriakannya, ia mendayung lebih keras malah. Po-siang menjadi murka, cepat ia jemput lagi sepotong batu yang lebih besar terus menimpuk, menyusul tangan yang lain sambar sepotong batu lagi dan segera disambitkan pula.
Tik Hun sendiripun sedang curahkan antero perhatiannya terhadap batu sambitan paderi itu sambil tetap mendayung se-kuat2nya. Batu pertama dengan mudah dapat dihindarkannya dengan mendakan tubuh, tapi batu kedua menyambar datang dengan sangat rendah, serendah badan perahunya, terpaksa Tik Hun merebahkan diri kelantai perahu hingga batu itu persis menyambar lewat didepan hidungnya, selisihnya cuma beberapa senti saja. Dan baru saja ia berbangkit, se-konyong2 batu lain menyambar tiba pula, "plok". Dengan tepat batu itu kena dihaluan perahu hingga kayu bubuk bertebaran, papan haluan perahu telah sempal sebagian.
Melihat cara Tik Hun menghindari batu itu sangat cekatan, sedangkan sampan kecil itu semakin terhanyut oleh arus, diam2 Po-siang memikir: "Kata pribahasa: Memanah orang sebaiknya memanah kudanya lebih dulu." ~ Maka cepat ia jemput pula dua potong batu dan disambitkan, tapi yang diincar sekarang hanya perahunya saja.
Tindakannya menyambit perahu ini kalau sejak mula dilakukan, mungkin sejak tadi Tik Hun sudah karam kedasar sungai bersama sampannya. Tapi kini jaraknya sudah makin jauh, ber-turut2 batu sambitan Po-siang itu mesti tepat mengenai sasarannya, namun cuma menghancurkan sedikit papan dan dinding perahu saja.
Keruan Po-siang bertambah gopoh ingin lekas2 dapat membekuk Tik Hun. Ia semakin mendongkol ketika melihat pemuda itu dapat menghindarkan setiap timpukannya. Dari jauh dilihat rambut Tik Hun yang gondrong itu menyiak tertiup angin, mendadak teringatlah satu orang olehnya: "Eh, orang ini mirip pelarian dari penjara itu. katanya Ting Tian telah melarikan diri dari penjara Hengciu, berita ini ramai dibicarakan orang Kangouw, boleh jadi dari buronan ini dapat diperoleh sedikit kabarnya Ting Tian."
Berpikir demikian, napsu serakahnya lantas timbul, yaitu ingin mendapatkan hadiah besar yang diyanyikan Leng-tihu bila dapat menangkap kembali pelarian penjara itu. Segera ia ber-teriak2: "Hai, nelayan! Lekas kemari, bawalah aku memburu orang itu!"
Tak terduga ketiga perahu nelayan yang tadi berlabuh dibawah pohon Liu itu kini sudah meluncur pergi karena para nelayan itu menjadi ketakutan waktu melihat Po-siang menimpuk orang dengan batu, perbuatannya sangat kasar dan jahat. Maka sekalipun Po-siang ber-kaok2 hingga tenggorokannya bejat juga tiada seorangpun yang sudi kembali untuk mengangkutnya.
Dengan sendirinya Po-siang semakin kalap. Ia jemput pula beberapa potong batu dan menimpukan serabutan kepada nelayan2 itu. "Plok", batu kedua telah mengenai batok kepala salah seorang nelayan itu hingga kepala pecah dan otak berantakan terus terjungkal kedalam sungai. Keruan nelayan2 yang lain ketakutan setengah mati, mereka mendayung lebih cepat untuk menyelamatkan diri.
Po-siang masih tidak rela melepaskan Tik Hun begitu saja, ia harus mengejar menyusur tepi sungai. Begitu cepat larinya hingga sampan Tik Hun kalah cepat meluncurnya. Cuma Po-siang mengejar dipantai utara, sebaliknya Tik Hun mendayung perahunya menyorong ketepi selatan. Meski kejaran Po-siang dapat melampaui perahunya Tik Hun, tapi jaraknya juga bertambah jauh.
Diam2 Tik Hun memikir bila sampai Po-siang dapat memperoleh sebuah perahu dipantai sana serta memaksa tukang perahu mengangkutnya untuk mengejar, maka dirinya pasti akan susah meloloskan diri. Dalam kuatirnya, jalan satu2nya baginya adalah berdoa: "Ting-toako, Ting-toako, unjukanlah kesaktian arwahmu, bikinlah supaya paderi jahat itu tidak mendapatkan perahu untuk mengejar."
Biasanya lalu lintas kapal2 dan perahu2 disungai Tiang-kang itu sangat banyak, untunglah sepanjang beberapa li dipantai utara sana tiada sebuah kapalpun yang berlabuh disana. Maka selama itu Po-siang tak dapat berbuat apa2.
Sekuatnya Tik Hun mendayung perahunya ketepi selatan, meski lebar sungai didaerah sini tidak terlalu luas, tapi banyak tumbuh2an air yang dapat dipakai sebagai aling2 hingga Po-siang susah memandang kearahnya. Setelah menepi, Tik Hun lantas panggul buntalan kain itu dipunggungnya, ia pondong mayatnya Ting Tian dan mendarat. Tapi mendadak terpikir suatu akal olehnya. Ia balik ketepi sungai dan mendorong perahunya tadi ketengah sungai dengan harapan akan membilukan perhatian Po-siang bila memandang dari jauh tentu akan menyangka pemuda itu masih terus mendayung perahunya kehilir sungai.
Begitulah Tik Hun lantas melarikan diri cepat2 tanpa pilih jalanan pula, yang dia harapkan yalah sejauh mungkin meninggalkan sungai itu. Akan tetapi siapa duga, belum seberapa jauhnya tiba2 ia melihat didepan ombak mendebur, kembali ia diadang sungai itu lagi. Kiranya didaerah situ Tiang-kang juga membiluk kearah selatan, jadi merupakan sebuah delta kecil, maka Tik Hun telah sia2 berlari sejauh itu.
Lekas2 ia putar balik kekanan, tidak jauh, tiba2 dilihatnya didepan sana ada sebuah kelenteng bobrok. Segera ia menuju kekelenteng itu sambil pondong mayatnya Ting Tian. Setiba didepan pintu, selagi dia hendak mendorong pintu kelenteng, tiba2 kakinya terasa lemas, ia terjatuh mendoprok ketanah dan tidak sanggup berbangkit pula.
Kiranya sesudah terluka, Tik Hun terlalu banyak mengeluarkan darah, badannya sebenarnya sudah sangat lemah, se-kuat2nya ia telah mendayung perahu pula, ditambah lagi ber-lari2 kuatir dibekuk Po-siang, maka sampai didepan kelenteng itu ia benar2 sudah kehabisan tenaga.
Ia coba me-ronta2 untuk berdiri, tapi tetap lemas, terpaksa ia hanya duduk bersandarkan dinding pintu dengan napas megap2. Ia menjadi agak lega ketika melihat cuaca sudah remang2, hari sudah mulai gelap. Pikirnya: "Asal menunggu hari sudah malam, paderi jahat itu tentu takkan dapat menemukan kami lagi,"
Meski Ting Tian sudah mati, tapi dalam batinnya ia masih tetap anggap sang Toako sebagai kawan karibnya yang masih hidup berada disampingnya.
Begitulah sesudah merebah cukup lama diluar kelenteng lambat-laun tenaganya mulai pulih dan barulah ia dapat berbangkit. Ia pondong pula mayatnya Ting Tian dan membawanya kedalam kelenteng.
Kelenteng itu adalah sebuah "Tho-te-bio", yaitu Toapekong malaikat bumi. Arca Toapekong itu terbuat dari tanah, potongannya pendek kecil dan lucu bentuknya.
Pada umumnya, manusia yang kepepet dan sedang menghadapi jalan buntu, sering kali lalu pasrah nasib kepada yang berkuasa. Begitu pula halnya dengan Tik Hun sekarang, dalam keadaan merana, timbul juga rasa hormatnya kepada patung malaikat bumi yang lucu itu, dengan penuh chidmat iapun berlutut memberi hormat beberapa kali kepada Toapekong itu, dengan demikian sedikit banyak penderitaan bathinnya menjadi agak terhibur.
Sambil berduduk didepan altar Toapekong, Tik Hun memandangi jenazah Ting Tian dengan ter-menung2 sambil bertopang dagu. Keadaan Tik Hun sekarang dapat diibaratkan anying yang tak punya rumah majikan lagi. Mungkin nasib anjing begitu masih lebih baik daripadanya. Hanya suatu hal yang membuatnya semakin lega yalah cuaca sudah semakin gelap, hari sudah malam.
Begitulah Tik Hun lalu merebah disamping jenazahnya Ting Tian tiada ubahnya seperti hidupnya se-hari2 selama beberapa tahun dahulu didalam penjara yang sempit itu.
Menjelang tengah malam, tiba2 turun hujan pula. Huyan itu mula2 rintik2, kemudian sangat deras, lalu rintik2 pula tiada ber-henti2.
Karena dingin, badan Tik Hun meringkuk hingga mirip babi. Ia coba mendesak mendekati Ting Tian. Tapi mendadak ia menyentuh mayat Ting Tian yang sudah kaku dan dingin itu, ia menjadi ingat sang Toako sudah meninggal dan tidak dapat bicara lagi dengan dirinya. Tiba2 ia berduka dan pilu tak terlukiskan.
Dibawah hujan rintik2 itu, tiba terdengar ada suara orang berjalan menuju kekelenteng bobrok ini. Suara tindakan orang ditanah becek karena hujan itu ternyata sangat cepat.
Tik Hun terkejut, ia dengar orang itu sudah makin dekat. Lekas2 ia sembunyikan jenazah Ting Tian itu kebawah meja sembahyang, ia sendiri lantas mengumpet kebelakang altar Toapekong.
Semakin dekat suara tindakan orang itu, semakin berdebar jantung Tung Tik Hun. Kemudian terdengarlah pintu kelenteng berkeriut dan didorong orang dari luar. Menyusul suara orang itu lantas memaki: "Keparat, bangsat tua itu entah telah lari kemana hingga antero badan Locu basah-kuyup kehujanan!"
Nyata, memang tidak salah, itulah suaranya Po-siang. Sungguh tidak pantas sekali caci-makinya itu, masakan seorang paderi bermulut sekotor itu, demikian diam2 Tik Hun membatin.
Meski Tik Hun tidak banyak pengetahuannya tentang kehidupan manusia, tapi selama beberapa tahun ini, setiap hari ia telah digembleng oleh Ting Tian dan saban2 mendengar cerita sang Toako tentang kejadian2 dikalangan Kangouw, maka Tik Hun sekarang sudah bukan Tik Hun pemuda desa yang bodoh lagi. Diam2 ia memikir pula: "Meski Po-siang ini berdandan sebagai paderi, tapi ia tidak pantang makan dan suka membunuh orang, besar kemungkinan dia adalah seorang bandit yang maha jahat".
Dalam pada itu terdengar caci-maki Po-siang itu semakin kotor, sesudah puas memaki, Po-siang terus duduk didepan altar malaikat bumi, menyusul terdengar suara membuka baju, kiranya Hwesio itu telah mencopot antero pakaiannya yang basah kuyup itu, lalu diperasnya hingga kering ketepi emper, kemudian pakaiannya digelar diatas altar, ia sendiri lantas menggeletak dilantai, tidak lama terdengarlah suara menggeros, kiranya sudah tertidur pulas.
"Sungguh berdosa Hwesio jahat ini, masakah tanpa risih sedikitpun tidur telanjang bulat didepan malaikat bumi?" demikian pikir Tik Hun. Lalu terpikir olehnya: "Dalam keadaan dia tidak ber-jaga2, biarlah kujemput sepotong batu dan kepruk kepalanya hingga mampus, besok tentu aku tidak perlu takut lagi padanya."
Tapi dasar jiwa Tik Hun sangat baik budi, ia tidak suka sembarangan membunuh orang, pula cukup tahu ilmu silat Po-siang berpuluh kali lebih tinggi dari dirinya, kalau sekali kepruk takdapat mampuskan paderi itu, asal dia masih ada tenaga untuk balas menyerang, tentu dirinya sendiri yang akan mati modar.
Dalam keadaan begitu kalau Tik Hun mau melarikan diri secara diam2 melalui jalan belakang kelenteng itu, tentu Po-siang takkan mengetahui.Tapi jenazah Ting Tian masih berada dibawah meja sembahyang, meski insaf besok juga akan mati terbunuh musuh, namun Tik Hun tidak nanti meninggalkannya pergi.
Ia dengar hujan rintik2 masih tiada hentinya, sama seperti kebat-kebit hatinya yang juga tiada henti2nya. Ia berharap hujan lekas terang, dengan demikian Po-siang dapat meninggalkan kelenteng itu. Tapi melihat gelagatnya, hujan rintik2 seperti itu biarpun semalam suntuk juga belum tentu berhenti. Dan bila hari sudah pagi serta Po-siang tidak mau berangkat dibawah huyan, tentu dia akan memeriksa keadaan kelenteng itu untuk mencari barang makanan umpamanya, dengan demikian pasti dirinya akan dipergokinya.
Namun demikian, timbul juga harapan untung2an dalam hati Tik Hun, pikirnya: "Boleh jadi sebelum terang tanah hujan akan berhenti dan paderi jahat ini karena buru2 ingin mengejar aku, mungkin dia terus berangkat dengan ter-gesa2 dan selamatlah aku."
Tiba2 teringat sesuatu olehnya: "Waktu datang tadi ia telah mencaci-maki, katanya 'bangsat tua' itu entah telah lari kemana. Usiaku toh belum lanjut, mengapa aku dimaki sebagai 'bangsat tua'? Apakah mungkin dia sedang menguber seorang lain lagi yang tua?" ~ Dan pada saat lain tanpa sengaja ia telah meraba berewoknya sendiri yang tak terawat itu, mendadak ia mengarti duduknya perkara: "Ah, tahulah aku. Disebabkan rambut dan berewokku ini gondrong tak terawat hingga bagi pandangan orang lain dengan sendirinya disangka seorang tua. Jadi dia memaki aku sebagai 'bangsat tua'? Hehe, 'bangsat tua'?"
"Bluk", mendadak Po-siang membalik tubuh dalam tidurnya. Cara tidur paderi itu ternyata sangat rusuh, maka kakinya telah menyampar kebawah altar dan tepat mengenai jenazah Ting Tian.
Jago silat setinggi Po-siang, begitu merasa ada sesuatu yang mencurigakan, seketika akan terjaga dari tidurnya. Maka ia menyangka dibawah altar Toapekong itu bersembunyi musuh, terus saja ia melompat bangun sambil sambar golok yang terletak disampingnya, dalam kegelapan iapun tidak tahu ada berapa orang musuh yang bersembunyi disitu, maka terus saja ia membabat dan membacok serabutan kekanan dan kekiri agar musuh tidak berani mendekatinya.
"Siapa? Jahanam! Keparat!" demikian Po-siang membentak dan memaki. Tapi meski sudah dibentak dan dimaki toh masih tiada suara sahutan orang. Cepat ia berdiam sambil menahan napas untuk mendengarkan apakah ada suara orang.
Dalam keadaan begitu, sudah tentu Tik Hun harus lebih hati2 bahkan bernapaspun tidak berani keras2, kuatir kalau diketahui paderi jahat itu.
Karena masih kuatir, kembali Po-siang ayun goloknya membacok kian kemari hingga belasan kali, menyusul kakinya ikut mendepak, "blang", meja sembahyang kena ditendang roboh, segera goloknya membacok pula, "cret", goloknya kena membacok sesuatu benda dan terdengar ada suara tulang remuk. Kiranya mayat Ting Tian telah kena dibacok.
Dengan jelas Tik Hun dapat mendengar suara terbacoknya mayat Ting Tian itu oleh senjatanya Po-siang. Meski Ting Tian sudah meninggal dan pada hakikatnya tiada punya daya rasa lagi, tapi bagi Tik Hun masih tetap menganggapnya sebagai kakak angkat yang terhormat dan tercinta. Kini paderi jahat itu berani merusak jenazah sang Giheng, keruan Tik Hun sangat murka.
Dalam pada itu sesudah membacok sekali serta tidak mendengar sesuatu suara reaksi apa2, Po-siang menjadi ragu2. Celakanya dalam kegelapan, tiada sesuatu yang dapat dilihatnya. Sedangkan alat ketikan api yang dibawanya sudah takdapat digunakan lagi karena basah oleh air hujan. Terpaksa ia main mundur kebelakang dengan pelahan2, ia pepetkan punggungnya kedinding untuk menjaga kalau disergap musuh dari belakang. Kemudian ia berdiam pula untuk mendengarkan kalau2 ada sesuatu suara apa2.
Begitulah, jikalau Po-siang berada didalam keadaan siap siaga dan penuh curiga, adalah sebaliknya Tik Hun dalam keadaan takut tercampur gusar pula.
Ketika mendengar mayat Ting Tian dibacok Po-siang tadi, sebenarnya Tik Hun segera ingin menerjang keluar untuk mengadu jiwa dengan paderi jahat itu. Cuma sesudah digembleng selama lima tahun didalam penjara, pemuda Tik Hun yang ke-tolol2an dahulu itu telah berubah menjadi seorang pemuda yang dapat berpikir. Baru dia hendak melangkah keluar, segera teringat olehnya: "Jika aku menerjang dan mengadu jiwa padanya, kecuali yiwaku akan melayang percuma, terang tiada manfaat lain. Sebaliknya cita2 Ting-toako yang minta dikubur bersama Leng-siocia itu menjadi gagal dan tak terlaksana, padahal aku sudah berjanji padanya, maka sedapat mungkin aku harus bersabar."
Kedudukan kedua orang waktu itu hanya terpisah oleh sebuah dinding aling2 saja, kecuali suara hujan yang rintik2, suara lain sama sekali tiada terdengar.
Tik Hun insaf apabila suara napas sendiri sedikit keras, seketika jiwanya pasti akan melayang. Terpaksa ia bernapas dengan sangat pelahan, sedangkan benaknya tiada henti2nya berpikir: "Beberapa jam lagi hari sudah akan terang tanah. Dan kalau paderi jahat itu melihat jenazah Ting-toako, pasti dia akan merusaknya untuk melampiaskan rasa gusarnya. Lantas apa dayaku agar jenazah Ting-toako dapat diselamatkan?"
Dasar otak Tik Hun memang puntul, sedangkan usaha untuk menyelamatkan jenazah Ting Tian dari keganasan Po-siang adalah sesuatu tugas yang maha sulit, sekalipun seorang yang cerdas juga pasti akan bingung, apalagi seorang Tik Hun yang bodoh.
Begitulah meski sampai lama ia pikir, sampai kepalanya pecah juga tetap tiada sesuatu akal yang dapat diperolehnya. Karuan ia tambah gopoh dan sesalkan diri sendiri: "Wahai Tik Hun, dasar engkau ini memang pemuda yang goblok, dengan sendirinya engkau takdapat memikirkan sesuatu akal bagus. Coba kalau engkau pintar, tidak mungkin kelabakan seperti sekarang ini." ~ Dan karena saking gelisahnya, ia jambat2 rambut sendiri, tanpa sengaja ia menjambat terlalu keras hingga secomot rambutnya ikut terbubut. Se-konyong2 benaknya terkilas suatu pikiran: "He, paderi jahat ini menyebut aku sebagai 'bangsat tua', rupanya karena melihat rambut dan berewokku gondrong tak keruan, maka menyangka aku adalah seorang tua. Pabila sekarang aku mencukur bersih ...... bukankah dia akan pangling dan takdapat mengenali diriku? Cuma sayang, aku tidak membawa pisau cukur, cara bagaimana membersihkan berewok yang kaku ini? Hm, mati juga aku tidak takut, kenapa mesti takut sakit? Biarlah aku cabut saja dengan tangan satu-persatu.
Apa yang dipikir Tik Hun, segera dilakukannya juga. Maka seujung demi seujung ia mencabuti jenggotnya yang kaku2 itu. Sambil mencabut ia sembari memikir: "Seumpama paderi jahat ini takdapat mengenali aku lagi, paling2 aku takkan dibunuhnya. Tapi cara bagaimana pula harus menyelamatkan Ting-toako? Ah, sudahlah, dapat maju selangkah, biarlah kumaju terus, asal jiwaku sendiri dapat dipertahankan sementara, tentu aku dapat mendekati paderi jahat itu dan dikala dia tidak ber-jaga2, aku akan mencari akal untuk membunuhnya."
Maka satu persatu ia membubuti jenggotnya itu. Pabila hal itu dilakukan dengan pelahan2 dan hati2, tentu takkan terlalu sakit rasanya. Tapi Tik Hun kuatir kalau hari keburu terang tanah dan jenggotnya belum lagi tercabut bersih hingga diketahui oleh Po-siang. Dari itu, cara cabutnya menjadi buru2 dan sekenanya, dan penderitaannya dapat dibayangkan.
Serta sudah sebagian besar jenggotnya terbubut, tiba2 terpikir pula olehnya: "Seandainya janggutku sudah bersih tanpa jenggot, namun rambutku yang gondrong ini tentu juga akan dikenali olehnya. Ia telah mengejar aku sepanjang pantai, tentu keadaan rambut dan jenggotku yang gondrong ini sudah dilihatnya dengan jelas."
Berpikir begitu, ia menjadi nekat. Tanpa ragu2 lagi iapun mencabuti rambutnya.
Mencabut jenggot masih mending dan tidak terlalu sakit, tapi mencabut rambut, bahkan sampai habis kelimis, sungguh rasa sakitnya tak terkatakan.
Tapi dasar watak Tik Hun memang keras dan tidak gampang menyerah, sangat setia pula kepada Ting Tian, jangankan cuma mencabut rambut dan jenggot yang sepele, sekalipun demi Ting Tian ia mesti korbankan anggota badannya juga dia takkan mengkerut kening sedikitpun. Sebetulnya karena usianya masih sangat muda, pula berasal dari desa dan masih hijau, maka secara tolol2an ia telah melakukan akalnya yang aneh dan lucu itu, pabila seorang Kangouw yang sudah berpengalaman dan lebih tua umpamanya, tentu takkan melakukan usaha yang bodoh itu.
Tik Hun kuatir kalau Po-siang mendengar suaranya, maka setiap mencabut sedikit rambut dan jenggotnya, pelahan2 iapun menggeremet mundur setindak, setelah hampir satu jam lamanya, barulah ia dapat mundur sampai di Cimche (karas dalam rumah). Dan setengah jam pula, achirnya dapatlah ia mencapai pintu belakang kelenteng itu. Ketika mukanya merasa tertetes air hujan, barulah pelahan2 ia menghela napas lega.
Cepat tapi hati2 Tik Hun pendam rambut dan jenggot yang dia cabut itu kedalam lumpur untuk menjaga kalau dilihat Po-siang hingga menimbulkan curiganya. Lalu ia raba2 dan gosok2 janggut dan kepala sendiri, ia merasa dirinya sekarang bukan lagi seorang "bangsat tua", tapi lebih tepat dikatakan "bangsat gundul". Dalam sedih dan dongkolnya ia menjadi geli sendiri pula. Pikirnya: "Setelah kucabut secara ngawur begini, tentu kepala dan janggutku babak-belur penuh darah. Aku harus mencucinya hingga bersih, supaya tidak diketahui musuh."
Segera ia julurkan kepalanya kebawah emper dan membiarkan air hujan menyirami kepala dan mukanya yang berlepotan darah itu. Ia menjadi meringis perih karena luka2 cabutan itu kena air.
Kemudian ia pikir pula: "Wajahku sekarang susah dikenali lagi. Tapi pakaianku ini kalau dikenali paderi jahat itu, bukankah usahaku ini akan sia2 belaka? Sedangkan disini tiada yang dapat kuganti, eh, kenapa aku tidak meniru cara paderi jahat itu, biarpun telanjang, kenapa sih?"
Maka cepat ia melepaskan baju dan celananya. Baju sudah terbuka, kini tinggal Oh-jan-ih yang tidak mungkin juga dicopot, terpaksa ia hanya mengenakan baju dalam itu dan tanpa bercelana. Segera ia robek baju luar serta digubat dipinggangnya hingga mirip bergaun. Ia kuatir kalau Oh-jan-ih yang dipakainya itu dapat dikenali Po-siang, tanpa pikir lagi ia terus ber-guling2 ditanah lumpur hingga baju pusaka itu penuh lumpur yang kotor.
Dengan dandanan Tik Hun sekarang yang memper Tarzan, sekalipun Ting Tian hidup kembali juga rasanya akan pangling padanya.
Diam2 Tik Hun geli sendiri, pikirnya: "Entah berubah menjadi macam apa diriku sekarang ini? Nanti kalau sudah terang tanah, biarlah aku mengaca dulu dimuka air empang."
Pelahan2 ia menggerumut kebawah sebatang pohon rindang, dengan tangan ia menggali sebuah liang untuk memendam buntalan kecil yang dibawanya itu. Pikirnya diam2: "Pabila aku dapat lolos dari ancaman paderi jahat itu dan dapat menyelamatkan Ting-toako, kelak aku pasti akan membalas budi pertolongan orang yang telah mengobati lukaku serta memberi sangu dan perhiasan ini."
Setelah selesai ia pendam buntalannya, sementara itu hari sudah remang2. Pelahan2 Tik Hun berjalan menuju keselatan, lalu membiluk kebarat, tiada beberapa li jauhnya, hari sudah terang tanah, tapi hujan masih belum lagi reda. Ia menaksir Po-siang pasti tidak meninggalkan kelenteng itu, ia pikir harus mendapatkan sesuatu gaman untuk menghadapi segala kemungkinan, tapi dihutan belukar demikian, kemana mesti mencari senjata? Terpaksa ia jemput sepotong batu yang tajam dan lancip, ia selipkan batu itu dipinggang, ia pikir kalau dapat menikam sekali saja ditempat yang mematikan dibadan Po-siang boleh jadi paderi itu akan dapat dimampuskan. Sebaliknya kalau sekali serang tidak berhasil, maka celakalah dirinya, untuk mana terpaksa ia menyerah nasib.
Dan karena teringat pada sang Toako, iapun tidak sabar menanti sampai mendapatkan sesuatu senjata yang cocok, terus saja ia kembali menuju kekelenteng Toapekong itu. Ia pikir bagaimana nanti harus menghadapi musuh yang jahat itu. "Eh, aku harus pura2 tolol dan seperti orang sinting, biar aku berlagak sebagai seorang pengemis gelandangan ditempat ini." demikian pikirnya.
Maka waktu mendekati kelenteng itu, segera ia pentang bacot dan tarik suara, ia menyanyikan "San-ko" (nyanyian rakyat didaerah pegunungan) dengan se-keras2nya, begini lagunya:
Oiii, adik manis diseberang bukit!
Dengarkan aku menyanyi,
kalau engkau mencari suami,
jangan cari orang sekolah,
orang sekolah moralnya bejat,
carilah suami kepala botak seperti aku si A Sam,
Oi, kepalaku kelimis!
Dahulu waktu tinggal dipedesaan di Ouwlam, Tik Hun memang jagoan nyanyi, dikala bercocok-tanam disawah ladang atau diwaktu ber-jalan2 dilereng bukit yang indah bersama Jik Hong, sering mereka sahut-menyahut menyanyikan San-ko yang sangat digemari rakyat setempat itu.
Menurut kebiasaan adat istiadat pedesaan Ouwlam, lagu San-ko itu dinyanyikan secara spontan menurut keadaan setempat dimana sipenyanyi berada. Lagunya sering2 kasar dan umum, tiada ubahnya seperti kata2 se-hari2, hanya cara menyanyikannya berirama dan pakai tekukan suara hingga kedengarannya merdu mentakjubkan.
Dan habis menyanyi, tiba2 Tik Hun merasa pilu, teringat penghabisan kalinya memain bersama Jik Hong, nyanyian itu sudah lima tahun tidak pernah membasahi tenggorokannya lagi. Kini dapat menyanyi pula, tapi pemandangan keadaan disekelilingnya ternyata sangat aneh dan berlainan, kalau dulu sipendengarnya adalah sang Sumoay yang cantik molek, adalah sekarang pendengarnya adalah seorang Hwesio gede yang jahat dan........ telanjang bulat.
Begitulah ia sengaja lewat dikelenteng itu dengan pelahan2 lalu ia cekik lehernya sendiri dan menyanyi pula dengan menirukan suara wanita:
Oi, engkau A Sam sibotak apanya yang menarik?
Berani mimpi beristerikan aku sicantik?
Emangnya aku kepincuk kepalamu yang kelimis?
Atau terpikat karena .......
Belum lagi nyanyiannya selesai, se-konyong2 Po-siang sudah berlari keluar dengan hanya menutupi badannya dengan baju luar. Rupanya ia ingin tahu siapakah gerangan yang menyanyi itu. Dan ketika melihat kepala Tik Hun gundul pelontos, ia sangka pemuda itu memang benar2 seorang desa dan botak, ia merasa geli pula mendengar lagu Tik Hun yang meng-olok2 kepala sendiri yang botak serta caranya menirukan suara wanita yang lucu itu.
"Hai, gundul, kemari!" seru Po-siang segera.
Tik Hun menjawabnya dengan menyanyi pula:

"Ada keperluan apa Toasuhu memanggil daku?
Apa mau persen emas dan perak?
Hari ini sibotak A Sam lagi ketumplek rejeki,
Makanya Toasuhu hendak mengundang aku makan babi."
Begitulah sambil menyanyi dengan lagak yang di-buat2 jenaka, mau-tak-mau Tik Hun mendekati Po-siang. Meski sedapat mungkin ia berlagak sebagai pemuda desa yang ke-tolol2an, tapi hatinya ber-debar2 hebat, wajahnya juga berubah.
Untung Po-siang tidak dapat mengenalnya. Dengan tertawa paderi itu berkata: "Hai, A Sam sibotak, lekaslah engkau mencarikan makanan untukku dan Toasuhu pasti akan memberi persen padamu. Ada babi gemuk tidak disini?"
"Ditanah pegunungan sunyi tidak ada babi ......"
"Hus," bentak Po-siang sebelum Tik Hun melanjutkan nyanyianya. "Bicaralah yang betul, jangan pakai nyanyi2 segala ......
Maka Tik Hun melelet lidah sekali dan pura2 mengunjuk lagak jenaka, lalu menyahut dengan suaranya yang di-bikin2: "A Sam sudah biasa menyanyi, kalau bicara biasa malah kaku rasanya. Toasuhu, disekitar sini seluas belasan li tiada kampung juga tiada desa, jangankan engkau hendak makan babi, sekalipun mencari sayur dan bubur juga susah. Tapi dari sini kira2 sejauh 15 li kebarat ada sebuah kota kecil, disana dapat membeli daging dan arak, ada ikan ada ayam, apa yang Toasuhu ingin, segala apa juga dapat dibeli disana, boleh coba Toasuhu pergi kesana saja."
Tik Hun insaf waktu ini masih belum mampu membunuh Po-siang untuk membalas sakit hati bacokannya kepada mayat Ting Tian itu. Maka yang dia harap cuma moga2 paderi jahat itu mau percaya pada obrolannya dan mencari makanan ketempat yang dikatakan itu, dengan demikian ia ada kesempatan untuk melarikan diri dengan membawa mayat Ting Tian.
Akan tetapi hujan justreru tidak mau ber-henti2, sedangkan Po-siang tidak mau kehujanan lagi, maka mendadak Po-siang telah membentak: "Baiklah lekas kau pergi mencarikan sedikit makanan kalau ada arak dan daging lebih baik, kalau tidak, boleh juga sembelih seekor ayam atau bebek."
Tapi Tik Hun sedang memikirkan bagaimana keadaan mayat sang Toako itu, maka sambil berkata tadi ia terus melangkah masuk juga kedalam kelenteng. Ia lihat jenazah Ting Tian sudah diseret keluar oleh Po-siang, pakaian jenazah itu tampak kumal dan compang-camping tak keruan, terang sudah pernah digeledah oleh Po-siang. Dalam gemas dan dukanya, betapapun Tik Hun ingin menahan perasaan juga takbisa, maka dengan putus2 ia berkata: "Di ..... disini ada orang mati, apakah ....... Toasuhu yang membunuhnya?"
Melihat perubahan wajah Tik Hun itu, Po-siang menyangka sigundul itu menjadi ketakutan melihat orang mati. Maka dengan menyengir ia menjawab: "Bukan aku yang membunuhnya. Boleh coba kau periksa dia, siapakah orang ini? Apa kau kenal dia?"
Tik Hun terkejut, ia menjadi takut karena menyangka dirinya dikenali. Coba kalau bukan bertekad hendak melindungi jenazah Ting Tian, boleh jadi ia sudah angkat langkah seribu. Maka sedapat mungkin ia coba tenangkan diri dan menjawab: "Potongan orang ini sangat aneh, bukan orang kampung sini."
"Sudah tentu ia bukan orang kampung sini," ujar Po-siang dengan tertawa. Dan mendadak ia membentak: "Ayo, lekas pergi mencarikan sedikit makanan. Kau tidak turut perintahku, apa minta kugecek kepalamu?"
Melihat keadaan Ting Tian toh baik2 saja, Tik Hun merasa lega, maka ber-ulang2 ia mengiakan sambil putar tubuh hendak keluar kelenteng, pikirnya: "Sementara ini biar aku menyingkir pergi saja, asal setengah hari aku tidak datang kembali, karena kelaparan, tentu dia akan pergi mencari makanan sendiri, tidak mungkin ia akan membawa serta Ting-toako. Apalagi dia geledah badan Ting-toako dengan hasil nihil, tentu dia akan putus harapannya."
Tak terduga, baru beberapa langkah ia berjalan, mendadak Po-siang membentak pula: "Berhenti! Kau hendak kemana?"
"Bukankah Toasuhu minta dicarikan barang makanan?" sahut Tik Hun.
"Ehm, bagus, bagus!" kata Po-siang. "Dan berapa lama baru engkau dapat kembali?"

"Hanya sebentar saja, selekasnya tentu aku akan kembali," sahut Tik Hun pula.
"Baiklah, boleh kau pergi lekas!" ujar Po-siang.
Sebelum melangkah keluar, Tik Hun menoleh pula untuk memandang sekejap kepada jenazah Ting Tian, habis itu baru ia bertindak pergi. Tapi baru dua tindak ia berjalan, tiba-tiba terasa ada angin menyambar dari belakang, menyusul "plak-plok" dua kali, kedua belah pipinya masing2 telah kena ditampar sekali.
Untung Po-siang menyangka sibotak itu pasti seorang desa yang tidak paham ilmu silat, maka cara tempilingnya tidak tidak terlalu keras; Dan untung juga gerak serangan Po-siang teramat cepat, sekali pukul sudah kena sasarannya hingga Tik Hun sama sekali tidak sempat berkelit. Kalau tidak, tentu rahasia Tik Hun akan ketahuan, sebab otomatis pemuda itu pasti akan berusaha menghindar dan lupa bahwa dirinya harus berlagak bodoh.
Begitulah Tik Hun menjadi kaget. "Kenapa kau ...... kau ...." tanyanya dengan tergagap. Sedangkan dalam hati telah ambil keputusan: "Pabila engkau telah mengetahui rahasiaku, terpaksa aku mengadu jiwa dengan kau."
Tapi didengarnya Po-siang telah membentak: "Kau membawa uang berapa banyak? Coba keluarkan ingin kulihat!"
Tik Hun melengak sekejap oleh pertanyaan itu, sahutnya gugup "Aku ..... aku ...."
"Hm, badanmu telanjang begini, orang rudin macammu masakan punya uang. Potongan seperti kau ini apa juga mungkin dapat meminjam atau utang pada orang lain? Hm, kau bilang akan mencari makanan, tapi sebenarnya kau hendak menggeloyor pergi bukan?"
Mendengar itu, Tik Hun menjadi lega malah. Nyata paderi jahat itu cuma menyangka dia hendak melarikan diri saja.
Maka Po-siang telah berkata pula: "Kau sigundul ini tadi mengatakan bahwa sekeliling sini tiada sesuatu kampung dan tempat tinggal orang, lalu kemana engkau hendak membeli makanan serta dapat kembali dalam waktu sebentar. Hm, hm, bukankah kau sengaja membohong? Ayo, mengaku terus terang sebenarnya apa tujuanmu."
"Sebab ...... sebab aku takut pada Toasuhu dan ... dan ingin lari pulang," sahut Tik Hun dengan sengaja gelagapan.
Po-siang ter-bahak2 senang, ia tepuk2 simbar dadanya yang berbulu hitam ketat itu sambil berkata: "Takut apa? Takut aku akan makan dirimu?"
Dan karena menyebut soal "makan", seketika perut Po-siang berkeroncongan hingga laparnya susah ditahan. Padahal sesudah terang tanah, lebih dulu antero pelosok kelenteng itu sudah digeledahnya, tapi tiada setitik makanan apapun yang diperolehnya. Maka komat-kamit ia telah menggumam sendiri: "Takut aku makan dirimu? Takut kumakan dirimu?" ~ sambil menggumam, tiba2 sorot matanya menjadi bengis sambil mengincar diri Tik Hun.
Keruan Tik Hun mengkirik, ia dapat membade apa yang sedang dipikir oleh paderi jahat itu.
Dan memang saat itu Po-siang sedang memikir: "Ehm, daging manusia memangnya enak juga, hati manusia lebih2 lezat. Ha, kebetulan didepan mata ini ada seekor 'babi', mengapa aku tidak menyembelihnya sekarang juga?"
Sebaliknya diam2 Tik Hun sedang mengeluh: "Wah, celaka! Kalau aku dibunuh olehnya tidak menjadi soal, tapi melihat gelagatnya, paderi jahat ini agaknya hendak menyembelih aku untuk dimakan. Wah inilah sangat penasaran, bagaimanapun aku harus melawannya."
Akan tetapi sekali melawan tentu akan terbunuh, dan sesudah dibunuh tetap ia akan menjadi isi perut paderi itu. Apa bedanya melawan dan tidak?
Dalam pada itu setindak demi setindak Po-siang sudah mendekati Tik Hun dengan wajah yang menakutkan, dan pemuda itupun setindak demi setindak main mundur kebelakang.
"Hehe, kau terlalu kurus, tinggal tulang belaka, kalau dimakan tentu tidak enak rasanya," demikian Po-siang ketawa ter-kekeh2. "Tetapi terpaksa, babi gemuk tidak ada, babi kurus juga bolehlah!" ~ dan begitu tangannya menjulur, segera lengan kiri Tik Hun kena dipegangnya.
Se-kuat2nya Tik Hun meronta, namun tidak mungkin terlepas lagi. Sesaat itu ia menjadi kuatir dan takut tak terkatakan. Sesudah menderita siksaan lahir-batin selama beberapa tahun ini, baginya kematian sendiri bukan soal lagi, tapi bila membayangkan bakal dimakan mentah2 oleh paderi jahat itu, halini benar2 membuatnya mengkirik.
Dasar watak Po-siang itu ternyata sangat jahat dan kejam, tapi juga malas. Ia lihat Tik Hun sudah pasti takdapat melarikan diri dan merupakan daging yang tinggal dicaplok saja, ia pikir lebih baik suruh pemuda itu memasak air dulu, habis itu barulah menyembelihnya. Ia merasa sayang pemuda itu tidak dapat menyembelih diri sendiri, lalu mengolah pula satu porsi Ang-sio-lang-bak (bistik daging manusia) dan dihaturkan kepadanya untuk dimakan tanpa repot2 sendiri.
Maka katanya kemudian: "Cara aku menyembelih dirimu dua jalan. Pertama kuiris daging pahamu sepotong demi sepotong untuk dibuat daging panggang sambil memakannya, hal ini tentu akan membuat kau banyak lebih menderita kesakitan. Cara kedua yalah sekaligus membunuh kau untuk dimasak dan dan dibuat sop daging. Nah, menurut kau, cara mana yang lebih enak?"
"Sudah tentu daging panggang lebih enak," jawab Tik Hun tanpa pikir. Tapi segera ia tekap mulutnya sendiri ketika teringat yang akan dijadikan daging panggang adalah dirinya sendiri. Achirnya ia terus ber-teriak2: "Lebih baik kau lekas……lekas bunuh aku saja, kau …. kau ….. paderi jahat ……" ~ dengan gusar sebenarnya ia terus ingin mencaci maki, tapi kuatir pula kalau2 paderi itu menjadi murka hingga dirinya akan disiksa lebih berat, maka achirnya ia mengurungkan maksudnya.
Dalam pada itu Po-siang sudah lantas berkata dengan tertawa: "Benar, benar! Pintar benar engkau ini, segala apa tahu. Memang daging panggang lebih enak. He, A Sam, pergilah kedapur sana dan ambil kuali besi itu kemari, isi pula kuali itu dengan air."
Sudah terang Tik Hun tahu kuali itu akan digunakan untuk memasak dirinya, tapi ia toh masih tanya: "Untuk apa kuali itu?"
"Hehe, hal ini tak perlu kau tanya," sahut Po-siang dengan tertawa. "Nah lekas pergi sana, lekas!"
"Hendak masak air, biarlah kumasak didapur saja, kuali itu terlalu berat, dibawa kesini juga tidak leluasa," ujar Tik Hun.
"Keparat! Apa yang kuperintahkan harus segera kau kerjakan tahu? Kau berani membangkang?" bentak Po-siang dengan gusar. Berbareng ia tempiling Tik Hun sekali.
Sambil memegangi pipinya yang merah bengap itu, belum lagi Tik Hun sempat memikir, menyusul Po-siang telah mendepaknya pula hingga pemuda itu terguling.
Tapi sesudah dihajar, otak Tik Hun menjadi tajam mendadak, pikirnya: "Daripada mati konyol, biarlah aku melabrak dia mati2an. Dia suruh aku masak air, inilah kesempatan baik malah, nanti kalau air dalam kuali sudah mendidih, diluar dugaannya segera kusiram badannya. Dia telanjang bulat, mustahil takkan melocot dan mati terbakar?"
Dengan keputusan itu, ia menjadi bersemangat dan tidak takut2 pula. Dengan menunduk ia lantas menuju kedapur dan membawa keluar sebuah kuali butut. Kemana dia pergi, selalu Po-siang mengintil dibelakangnya, rupanya paderi itu kuatir kalau2 Tik Hun melarikan diri.
Kuali butut itu bagian atas sudah gempil, maka hanya setengah kuali saja dapat diisi air. Dengan sendirinya kekuatan setengah kuali air mendidih kurang lihay daripada air mendidih sekuali penuh, boleh jadi Po-siang takkan mati tersiram, tapi umpama paderi itu tidak lantas mati, kalau bisa membuatnya melocot dan kejat2 juga bolehlah. Kemudian bila perlu biarlah aku membunuh diri dengan membenturkan kepalaku kedinding, walaupun harus disesalkan kewajibanku untuk melaksanakan cita2 Ting-toako agar dikubur bersama Leng-siocia tak terlaksana, tapi keadaan tidak mengiyinkan lagi, apa mau dikata? Demikian pikir Tik Hun.
Dengan kuali besi itu Tik Hun menadahi air hujan diemperan, sampai air sudah luber keluar melalui lubang gempil kuali itu, barulah Tik Hun membawanya kembali kedalam ruangan.
"Ehm, bagus!" tiba2 Po-siang memuji. "Botak A Sam, sebenarnya aku merasa sayang untuk makan dirimu. Cara kerjamu ini cepat dan cekatan, sungguh seorang pekerja yang baik."
"Terima kasih atas pujian Toasuhu," sahut Tik Hun dengan senyum pahit.
Lalu ia kumpulkan beberapa potong bata dan ditumpuk sebagai tungku. Ia tumpangkan kualinya keatas tungku darurat itu. Didalam kelenteng bobrok itu banyak terdapat meja kursi rusak, karena buru2 ingin menyiram Po-siang dengan air mendidih, maka kerja Tik Hun menjadi sangat cepat, ia jemput potongan kaki kursi dan meja dan dijejalkan kedalam tungku.

Tapi ia lantas kebentur kesulitan, yaitu tiada api. Didalam kelenteng bobrok seperti itu sudah tentu susah diperoleh bibit api, sedangkan alat ketikan api yang dibawa Po-siang sudah basah-kuyup oleh air hujan. Waktu buru2 melarikan diri dari penjara, Tik Hun sendiri juga tidak membawa apa2.
Karena tak berdaya, terpaksa Tik Hun angkat bahu sambil pentang kedua tangan kearah Po-siang sebagai tanda tanya?
"Kenapa? Tidak ada api? Eh, ya aku ingat dibadannya ada," seru Po-siang sambil menunjuk mayat Ting Tian.
Dan baru sekarang Tik Hun dapat melihat jelas paha Ting Tian ternyata hancur bekas kena bacokan Po-siang, seketika ia naik darah, ia menoleh dan pandang paderi itu dengan melotot penuh kebencian, kalau bisa, sungguh ia ingin menubruk maju terus gigit paderi jahat itu se-puas2nya.
Tapi mirip kucing mempermainkan tikus. Po-siang justeru ingin menggoda dulu pemuda itu, habis itu baru akan memakannya. Maka terhadap kegusaran Tik Hun itu, sama sekali ia tidak ambil pusing, katanya dengan ketawa2: "Hayolah, kenapa engkau tidak coba mencarinya? Kalau tiada api, terpaksa Toahwesio boleh juga makan daging mentah."
Tik Hun coba berjongkok dan menggagapi bajunya Ting Tian, benar juga diperolehnya dua potong benda kecil. Yang satu ternyata adalah besi ketikan dan yang lain batu api. Diam2 ia heran: "Waktu kami berada bersama didalam penjara, Ting-toako toh tidak punya benda2 seperti in, lantas dari manakah diperolehnya?"
Waktu ia membalik besi ketikan itu tiba2 terlihat sebaris huruf ukiran, yalah nama dari pembuat besi ketikan api itu: Lo-hap-hin-ki Hengcu.
Tik Hun ingat nama itu adalah merek bengkel besi yang pernah dimasukinya bersama Ting Tian waktu malam2 mereka melarikan diri dari penjara, disana mereka telah minta sipandai besi memotong belenggu. Kiranya sesudah keluar penjara, Ting Tian tahu setiap saat sangat membutuhkan bibit api, maka sekalian ia telah sambar besi ketikan dan batu api didalam bengkel itu.
Begitulah Tik Hun memandangi besi ketikan itu sambil mengelamun: "Pikiran Ting-toaku benar2 sangat cermat. Alat ketikan api ini sebenarnya dimaksudkannya untuk dipakai waktu mengembara Kangouw bersama aku, siapa duga belum pernah sekali terpakai, Ting-toako sendiri sudah keburu meninggal." ~ Dan karena terkenang kepada Ting Tian, tak tertahan lagi air mata Tik Hun meleleh keluar.
Po-siang sama sekali tidak mencurigai pemuda itu adalah saudara angkat Ting Tian, ia mengira pemuda itu menjadi sedih karena insaf sebentar lagi jiwanya akan melayang, makanya menangis.
"Hahahaa!" Po-siang ter-bahak2. "Toahwesio ini berbadan emas, mungkin rejekimu teramat besar, makanya dapat memakai usus Toahwesio sebagai peti mati dan menjadikan perut Toahwesio sebagai tempat kuburmu. Sebenarnya kau harus bersyukur rejeki yang besar ini, kenapa malah menangis! Nah, lekasan menyalakan apinya!"
Tanpa bicara Tik Hun men-cari2 bahan penyulut lagi. Achirnya dapat diperolehnya segebung sisa kertas Ciam-si yang sudah kuning tua. Segera ia mengetik api untuk menyulut kertas Ciam-si itu, pelahan2 kayu dibawah kuali ikut terbakar juga. Ketika kertas2 Ciam-si itu terjilat api, samar2 huruf2 Ciam-si yang tadinya tertutup debu itu lantas kelihatan, Tik Hun melihat macam2 ramalan yang tertulis diatas Ciam-si itu. Akan tetapi Tik Hun lagi bingung sebentar cara bagaimana harus menyiram Po-siang dengan air panas. Biarpun diatas Ciam-si waktu itu timbul ramalan "nomor buntut" yang bakal keluar juga takkan menarik baginya.
Lambat laun air dalam kuali mulai membuih, Tik Hun tahu tidak lama lagi air godok itu pasti akan mendidih. Ia menjadi tegang, sebentar2 ia pandang air panas itu dan lain saat pandang2 perut Po-siang yang telanjang itu. Ia pikir mati-hidupnya tergantung sekejap lagi, tanpa merasa kedua tangannya menjadi gemetar.
Benar juga, tidak lama kemudian, asap putih mulai mengepul, air kuali sudah bergolak dengan mendidih. Tanpa ayal lagi
Tik Hun terus berbangkit, begitu kedua tangannya memegang kuali, segera isi kuali akan digebyurkan keatas kepala Po-siang.
Tak terduga, baru saja badannya bergerak, seketika lantas diketahui juga oleh Po-siang, secepat kilat paderi itu masih keburu memegangi tangan Tik Hun sambil membentak dengan bengis: "Apa yang hendak kau lakukan?"
Tik Hun tidak dapat berbohong, maka sekuatnya ia masih berusaha menyiramkan air mendidih itu kebadan Po-siang. Akan tetapi tangannya terasa seperti dijepit tanggam karena dipencet oleh tangan Po-siang, hingga sedikitpun takbisa berkutik. Pabila Po-siang mau gebyurkan air panas itu keatas kepala Tik Hun, cukup ia betot sekali saja pasti akan jadi, tapi ia merasa sayang pada air masak itu, bila Tik Hun tersiram mati, tentu dia harus memasak air lagi, hal ini yang menjadi keberatannya.
Maka sekuatnya ia tahan tangan Tik Hun kebawah hingga kuali itu tertaruh ketempat semula, ia membentak: "Lepaskan tanganmu!"
Akan tetapi Tik Hun tetap tidak mau melepaskan kuali itu, sekuatnya ia hendak merebut lagi. Tapi, ketika kepalan Po-siang menyambar, "blang", kontan Tik Hun terpental dan tersungkur masuk kebawah altar Toapekong dengan kepala lebih dulu.
"Hayo, lekas keluar!" bentak Po-siang. "Locu akan menyembelih kau, lekasan kau copot pakaianmu sendiri, supaya Locu tidak usah repot."
Tapi Tik Hun masih celingukan kian kemari dengan maksud hendak mencari sesuatu alat untuk gaman, dengan begitu dapat mengadu jiwa dengan Po-siang. Mendadak dilihatnya dibawah altar itu terdapat dua ekor tikus yang menggeletak dengan perut membalik keatas, tampaknya binatang2 itu masih bergerak dengan kejat2, jadi belum mati benar2.
Seketika Tik Hun seperti melihat sinar didalam kegelapan, terus saja ia berteriak: "Toasuhu, jangan membunuh aku dulu. Aku telah berhasil menangkap dua ekor tikus, biar kumasak sop tikus untukmu, mau tidak?"
"Apa katamu? Tikus? Hidup atau mati?" tanya Po-siang.
Siapapun sudah pasti tidak sudi makan tikus mati, maka Tik Hun cepat menjawab: "Sudah tentu tikus hidup, lihatlah ini, masih bergerak dia, cuna sudah sekarat karena kupencet," ~ sembari berkata ia lantas pegang tikus2 itu.
Dahulu Po-siang sudah pernah makan tikus, ia kenal daging tikus cukup lezat tiada ubahnya seperti daging babi. Ia lihat dua ekor tikus itu tidak gemuk, mungkin disebabkan kurang makanan didalam kelenteng itu. Untuk sejenak Po-siang menjadi ragu2.
"Toasuhu," cepat Tik Hun menyusuli, "biarkan aku menyembelih tikus2 ini dan masak sop yang enak bagimu. Habis makan, tanggung engkau akan minta tambah lagi."
Dasar Po-siang seorang pemalas, suruh dia masak makanan sendiri, mungkin dia lebih suka menderita lapar. Kini mendengar Tik Hun hendak masak sop tikus untuknya, tentu saja kebetulan baginya. Maka sahutnya: "Tapi cuma dua ekor, tidak cukup, hayolah kau tangkap lagi beberapa ekor."
Tik Hun pikir ilmu silatnya sekarang sudah musnah, cara bagaimana sanggup menangkap tikus hidup lagi? Tapi betapapun sekarang ada kesempatan hidup baginya, hal ini tidak boleh di-sia2kan, maka cepat sahutnya: "Toasuhu, biar kumasak dulu kedua ekor ini, habis itu akan kutangkap lagi beberapa ekor yang lain."
Po-siang mengangguk, katanya: "Boleh juga, dan kalau aku dapat makan kenyang, untuk mengampuni jiwamu juga tidak menjadi soal."
Terus saja Tik Hun merayap keluar dari bawah altar, katanya kemudian: "Tolong pinjam golok Toasuhu itu untuk memotong tikus2 ini."
Sudah tentu Po-siang tidak memandang sebelah mata terhadap sigundul desa yang ke-tolol2an ini, ia lihat kedua ekor tikus yang dibawa keluar Tik Hun itu meamang betul masih dapat kejat2, terang bukan tikus mati, maka sahutnya sambil menuding goloknya: "Ya, boleh pakailah!" ~ Tapi segera ia tambahkan lagi: "Dan kalau kau berani, boleh coba seranglah pada Locu."
Dalam pikiran Tik Hun memang ada maksud setelah memegang golok terus akan menyerang paderi jahat itu, tapi karena kena ditonjok lebih dulu, ia menjadi tidak berani sembarangan berkutik lagi. Segera ia gunakan golok itu untuk memotng kepala tikus, membelih perut dan mengeluarkan isinya serta membeset bersih kulit tikus itu, setelah dicuci pula dengan air hujan, lalu ia masukan kedalam kuali.
"Ehm, bagus, bagus!" demikian Po-siang mengangguk dan memuji: "Kau sibotak ini memang pandai masak sop tikus. Nah, lekas pergi menangkap lagi beberapa ekor."
Cepat Tik Hun mengia terus bertindak keruangan belakang. Dalam hati ia pikir selama gunung masih menghijau, takkan kuatir tiada kayu bakar. Asal masih hidup, tentu masih bisa berdaya untuk menyelamatkan jenazah Ting-toako dan mencari kesempatan untuk membunuh paderi jahat itu.
Tiba2 Po-siang menteriakinya lagi: "Dan awas ya! Kalau kau berani lari, sebentar akan kusayat dagingmu sepotong demi sepotong untuk makananku."
"Jangan kuatir, Toasuhu," sahut Tik Hun sambil menoleh, "kalau tiada tikus, akan kutangkapkan kodok, kalau tiada kodok, didalam sungai masih banyak ikan dan udang, di-mana2 masih banyak makanan, pasti aku akan melayani engkau dengan baik2, kenapa mesti makan diriku?"
"Hm," jengek Po-siang. ""Tapi harus cepat! Eh, kau dilarang keluar kelenteng, tahu?"
Dengan suara keras Tik Hun mengiakan pula, lalu berjongkok dilantai pura2 mencari tikus, tapi pelahan2 ia mengendap kebelakang kelenteng. Ia lihat hujan masih belum reda, untuk melarikan diri dari tangan jahat paderi itu terang suatu usaha yang sulit.

Untuk sejenak ia celingukan kesana dan kesini untuk mencari sesuatu tempat sembunyi. Tiba2 dilihatnya tidak jauh disebelah kiri sana ada sebuah empang kecil. Tanpa pikir lagi Tik Hun terus berlari kesana dan pelahan2 merosot kedalam empang, tinggal hidung dan mulutnya yang masih mengapung diatas permukaan air untuk bernapas. Ia raup pula kapu2 dan rumput air untuk mengalingi hidungnya agar tidak kelihatan dari atas.
Sejak kecil Tik Hun hidup dipedesaan yang banyak sungai, maka ia sangat mahir berenang. Cuma sayang kelenteng itu agak jauh dari Tiang-kang, kalau dekat, sekali ia terjun kedalam sungai dan menghanyutkan diri menurut arus, tentu Po-siang takkan mampu mengejarnya.
Begitulah Tik Hun bersembunyi didalam empang itu. Agak lama kemudian, tiba2 terdengar suara panggilan Po-siang: "Hai A Sam! Dimana kau A Sam? Sudah dapat menangkap tikus belum?"
Tapi karena tiada sahutan apa2, achirnya paderi itu mencaci maki. Tik Hun coba miringkan telinga kanan kepermukaan air untuk mendengarkan gerak-gerik musuh, ia dengar Po-siang sedang memaki dengan kata2 kotor, bahkan 18 keturunannya juga dicacinya habis2an. Habis itu, terdengar suara tindakannya, nyata paderi itu telah keluar kelenteng untuk mencarinya.
Hanya sebentar saja terdengar Po-siang sudah dekat dengan empang itu. Keruan Tik Hun tidak berani menongolkan kepalanya lagi, cepat ia pencet hidung sendiri dan selulup kedalam air. Untung empang itu tidak terawat dan penuh tumbuh kapu2 dan alang2, dari atas tidak mudah untuk melihatnya.
Sesudah didalam empang Tik Hun berbalik dapat menyeret Po-siang dan menahan kepala paderi itu kebawah air hingga Po-siang kerupukan.
Namun demikian, achirnya Tik Hun tidak tahan juga dan terpaksa harus menongol kepala untuk bernapas. Siapa duga, baru saja hidungnya menghirup hawa sekali, se-konyong2 tengkuknya sudah kena dicengkeram oleh sebuah tangan. Lalu terdengarlah suara dampratan Po-siang dengan gusar: "Setan, sekarang engkau akan lari kemana? Kalau aku belum cincang kau menjadi baso rasaku tidak puas. Nah, masih kau berani lari?"
Tapi Tik Hun tidak menyerah mentah2, tangannya membalik terus balas membetot lengan Po-siang dengan se-kuat2nya sambil menariknya kedalam empang.
Sudah tentu Po-siang tak menduga bahwa Tik Hun akan nekat dan berani menggelutnya malah. Apalagi ditepi empang itu banyak lumpur dan licin, sekali terpeleset, tanpa ampun lagi iapun terseret nyemplung kedalam empang.
Tik Hun sangat girang, ia pikir bila sudah sama2 berada didalam air, itu berarti ada harapan untuk gugur bersama. Maka se-kuat2nya ia tahan kepala Po-siang dan berusaha di-jeblos2kan kedalam air. Cuma sayang air empang itu agak cetek, sedang perawakan Po-siang tinggi-besar, air empang tidaak sampai menggenangi kepalanya. Maka begitu terperosot kedalam empang, terus saja paderi itu pegang tangan Tik Hun, menyusul tangan kiri membalik keatas hingga kepala Tik Hun yang terpegang dan disilamkan kedalam air malah.
Tapi Tik Hun memangnya sudah nekat. Meski kepalanya terendam air, se-kuat2nya ia tetap pegang kencang2 tubuh Po-siang, biarpun mati juga takkan dilepaskannya.
Karena itu, Po-siang menjadi kewalahan hingga seketikapun takbisa berbuat apa2. Saking gusarnya ia terus memaki, tapi begitu mulutnya mengap, sedikit Tik Hun meronta, mau-tak-mau Po-siang kena dicekoki air empang yang kotor. Dalam murkanya terus saja Po-siang menghantam serabutan kepunggung Tik Hun.

Walaupun pukulan Po-siang itu terhalang dulu oleh air empang, tapi Tik Hun masih merasa sangat kesakitan. Ia taksir bila kena digebuk lagi beberapa kali, tentu dirinya akan kelengar. Sedangkan sama sekali ia takdapat balas menghantam, terpaksa ia gunakan kepalanya untuk menumbuk perut Po-siang.
Begitulah sedang kedua orang itu bergulat didalam empang, se-konyong2 Po-siang menjerit sekali, tangannya yang mencengkeram Tik Hun lambat-launpun kendor, kepalan yang sudah terangkat hendak menggebuk itupun pelahan2 menurun kebawah, menyusul tubuhnya berkejat sekali terus roboh kedasar empang.
Tik Hun menjadi heran, cepat ia merayap bangun, ia lihat Po-siang sudah tidak bergerak sedikitpun, terang sudah mati. Dalam keadaan masih ragu2 ia tidak berani menyentuh tubuh Po-siang itu, tapi ia berdiri agak jauh untuk melihat gelagat dulu.
Tapi sampai lama tetap Po-siang tidak bergerak melainkan telentang kaku didalam empang, terang paderi jahat itu benar2 sudah mati. Namun Tik Hun masih belum lega, segera ia jemput sepotong batu dan disambitkan keatas tubuh Po-siang, melihat tiada reaksi apa2, barulah ia yakin paderi itu sudah binasa.
Lalu Tik Hun merangkak ketepi, ia tidak mengerti sebab apakah Po-siang mendadak mati. Tiba2 terkilas suatu pikiran dalam benaknya: "He, apakah barangkali Sin-ciau-kang yang kulatih telah mulai mengunjukan kesaktiannya diluar tahuku? Apakah karena kepalaku menumbuk beberapa kali diperutnya, lalu ia terbinasa?"
Begitulah Tik Hun berdiri ter-mangu2 ditepi empang, ia hampir tidak percaya kepada matanya sendiri terhadap apa yang dilihatnya waktu itu. Ia coba jalankan tenaga murni sendiri, ia merasa tenaga dari Siau-yang-keng-meh dibagian betis itu dapat berjalan sampai di "Ngo-li-hiat" bagian paha, lalu tidak mampu mengalir keatas lagi. Sedangkan Hiat-to bagian tangan juga begitu, juga terhalang. Bahkan rasanya lebih mundur tenaga dalam itu daripada waktu masih didalam penjara.
Ia pikir mungkin disebabkan paling achir ini hidup dalam keadaan merana dan ilmu itu terlantar tak terlatih. Akan tetapi suatu hal adalah pasti, yalah untuk meyakinkan Sin-ciau-kang hingga sempurna, tempo yang diperlukan masih selisih terlalu jauh.
Setelah ter-menung2 agak lama, achirnya Tik Hun kembali kekelenteng bobrok itu. Ia lihat api unggun dibawah kuali itu sudah sirap, disamping kuali ternyata ada dua ekor tikus mati lain, kedua tikus itupun menggeletak terbalik dengan perut diatas, kaki dan telinganya tampak masih kejat2. Pikir Tik Hun: "Eh, kiranya Po-siang sendiri telah berhasil menangkap dua ekor tikus lagi, tapi belum sempat menikmati sudah keburu kubinasakan."
Ia lihat didalam kuali itu masih ada sisa sedikit kuah, yaitu sop tikus yang tadi dimasaknya sendiri itu. Memangnya ia sendirijuga sudah kelaparan, segera ia angkat kuali itu terus hendak diminumnya. Tapi baru kuali itu mendekat mulutnya, mendadak hidungnya terendus semacam bau harum yang aneh.
Untuk sesaat Tik Hun tertegun sambil memegangi kuali itu, ia merasa heran: "Bau harum apakah ini? Rasanya aku sudah pernah mengendusnya pasti ini bukan bau harum yang baik."
Dan pada saat itu juga, se-konyong2 sinar kilat berkilauan, menyusul beledek menggelegar dengan sangat keras. Tik Hun terkaget dan seketika otaknya menjadi terang, serunya: "Ai, masih untung!" ~ dan begitu tangannya mengipatkan, segera kuali butut itu bersama sisa sop tikus itu dibuangnya ke Cimche.
Lalu ia putar tubuh kehadapan jenazah Ting Tian, katanya sambil mengembeng air mata: "Banyak terima kasih, Ting-toako meski engkau sudah pulang kealam baka, tapi kembali engkau telah menolong jiwa Siaute pula."
Kiranya pada sedetik kilas itu Tik Hun menjadi paham sebab musabab matinya Po-siang. Setelah Ting Tian keracunan "Hud-co-kim-lian" yang lihay itu antero tubuhnya menjadi berbisa. Maka setelah jenazahnya kena dibacok oleh Po-siang, tikus2 itu telah menggeragoti hancuran daging dari luka bacokan itu. Habis makan daging manusia, tikus itu menjadi ikut keracunan, ketika Po-siang masak sop tikus, menyusul iapun keracunan. Makanya waktu mereka bergulat didalam empang, mendadak Po-siang terbinasa. Kini didepan kuali itu terdapat pula menggeletak dua ekor tikus, terang binatang2 itupun disebabkan keracunan.
Diam2 Tik Hun sangat bersyukur, pikirnya: "Coba kalau terlambat sedikit datangnya kesadaranku, pasti sop racun itu sudah habis kuminum."

Sudah beberapa kali Tik Hun telah putus asa dan bosan hidup tapi kini nyaris modar dari sop racun itu, ia menjadi bersyukur dapat selamat. Waktu itu udara masih diselimuti awan mendung yang pekat disertai hujan yang mencurah bagai dituang, tapi hati Tik Hun justeru merasa menemukan sinar harapan, ia merasa asal dapat mempertahankan hidupnya, tentu akan datang kebahagiaan yang tak terbatas.
Begitulah sesudah menenangkan diri, lalu Tik Hun membenarkan jenazah Ting Tian kepojok ruangan kelenteng, ia keluar dengan kehujanan untuk menggali sebuah liang untuk mengubur Po-siang.
Setiba kembali didalam kelenteng, ia lihat pakaian Po-siang masih mencantel dimeja sembayang, diatas meja tertaruh sebuah bungkusan kain minyak serta ada belasan tahil uang perak pula.
Karena ketarik, Tik Hun coba membuka bungkusan kain minyak itu, ia lihat bungkusan itu berlapis dua kali, setelah dibuka pula, ia lihat isinya adalah sejilid buku kecil yang sudah kekuning2an sampul buku itu tertulis beberapa baris huruf yang aneh, entah huruf negeri mana, yang terang bukan tulisan Han.
Ia coba mem-balik2 buku itu, ia lihat halaman pertama terlukis sebuah gambar seorang laki2 kurus dan telanjang, sebelah tangannya menuding kelangit dan sebelah tangan lain menuding tanah, sikapnya sangat aneh, disamping gambar tercatat juga macam2 tulisan yang berwarna-warni, bentuknya seperti cebong (berudu).
Tik Hun melihat potongan laki2 dalam gambar itu jauh berbeda daripada orang Tionghoa, tapi laki2 telanjang dalam gambar berhidung besar dan bermata cekung, berambut keriting. Bentuknya yang luar biasa itu makin dilihat makin aneh, bahkan seakan-akan membawa semacam daya tarik bagi yang membacanya. Maka hanya sebentar saja Tik Hun memandang lalu tidak berani melihat terus.
Waktu ia membalik halaman kedua, ia lihat tetap terlukis laki2 telanjang itu, hanya dalam gaya yang berbeda. Kini berdiri dengan kaki kiri dalam gaya "Kim-keh-tok-lip" (jago emas berdiri dengan kaki tunggal), sedang kaki lain terangkat dan menjulur kedepan. Kedua tangan menjulur kebelakang kepala, tangan kiri memegang telinga kanan dan tangan kanan memegang telinga kiri.
Ia terus balik2 halaman yang lain, ia lihat gaya lukisan laki2 telanjang itu makin aneh2 dan banyak macamnya. Terkadang kedua tangannya menahan ditanah dengan menjungkir, terkadang seperti mengapung diudara, dan macam2 gaya lainnya. Semakin aneh gambar laki2 itu, semakin sedikit pula catatan tulisan disampingnya.
Waktu ia balik buku itu dan membuka halaman pertama dari belakang, ia lihat gambar laki2 itu agak menggelikan. Sekali ini lidahnya tampak sedikit melelet keluar, berbareng mata kanan membelalak lebar, sebaliknya mata kiri menyipit, dari itulah maka tampaknya mimik wajahnya rada lucu.
Karena geli dan ketarik, tanpa merasa Tik Hun menirukan mimik wajah gambar itu, iapun melelet lidah sedikit, mata kanan terbuka lebar dan mata kiri sedikit menyipit. Dan sekali menirukan perbuatan itu, aneh juga, rasa mukanya menjadi segar enak. Waktu ia periksa gambar itu lebih teliti, lapat2 terlihat diatas tubuh gambar itu terdapat garis2 kecil warna abu-abu yang melukiskan Keng-meh (urat nadi) didalam badan manusia.
Maka tahulah Tik Hun sekarang: "O, sebabnya laki2 ini dilukiskan telanjang, tujuannya sengaja hendak mengunjukkan Keng-meh dalam tubuh secara lebih terang."
Waktu Ting Tian mengajar Sin-ciau-kang kepada Tik Hun didalam penjara dahulu, pernah juga ia menjelaskan kedudukan tiap2 Hiat-to dan Keng-meh dengan terang, sebab pengetahuan ini justeru adalah kunci pertama untuk melatih Lwekang yang paling tinggi. Maka sambil memandangi garis2 Keng-meh pada gambar laki2 itu, tanpa merasa iapun mulai menjalankan tenaga dalamnya hingga terasa satu arus hawa murni yang lembut telah mengalir keatas melalui Keng-meh2 yang dilihatnya itu.
Diam2 ia heran mengapa cara menjalankan Keng-meh ini tempatnya justeru berlawanan dengan ajaran Ting-toako, mungkin tidak benar ini. Tapi segera terpikir pula olehnya: "Biarlah ku-coba2 saja sekali rasanya tiada halangan apa-apa?"
Maka terus saja mengerahkan tenaga dalamnya lebih teratur menuruti garis2 Keng-meh didalam lukisan. Aneh bin ajaib, hanya sebentar saja antero tubuhnya sudah terasa hangat, segar dan bersemangat.
Dahulu bila dia sedang melatih Sin-ciau-kang, pikirannya selalu terpusatkan untuk menghimpun tenaga dalam dan mengerahkannya, jalannya sangat lambat dan kurang lancar, tapi sekarang ia mengerahkan tenaga dalam dengan menurut jalan garis2 Keng-meh diatas gambar, hanya sekejap saja jalannya ternyata sangat lancar bagai air bah yang tak terbendung, sedikitpun tidak susah2 dan hawa murni itu terus jalan sendiri.
Terkejut dan girang pula Tik Hun, pikirnya: "Mengapa didalam badanku juga ada Keng-meh seperti didalam lukisan? Jangan2 Ting-toako sendiri juga tidak tahu?" ~ Segera terpikir pula olehnya: "Buku kecil ini adalah milik Po-siang, lukisan dan tulisan didalam buku ini juga sangat aneh dan tidak beres, mungkin bukan sesuatu barang yang baik, ada lebih baik jangan aku menjamahnya."
Akan tetapi hawa yang sedang berjalan didalam tubuhnya itu sekarang sudah sangat lancar dan sayang kalau terus dihentikan begitu saja. Maka lantas terpikir pula olehnya: "Ya, dah, aku hanya main2 sekali ini saja, lain kali tidak mau lagi."
Sementara itu dada terasa lapang, semangat penuh, darah seluruh tubuh menjadi hangat. Selang sejenak lagi, badannya menjadi enteng rasanya mirip orang habis minum arak, tanpa merasa tangan dan kakinya ber-gerak2, mulut mengeluarkan suara "uh-uh-uh" yang pelahan2. Tiba2 kepalanya terasa berat, sekali kabur pandangannya, robohlah Tik Hun kelantai dan segala apa tak diketahuinya lagi........
Sampai lama dan lama sekali, lambat laun barulah ia sadar kembali. Waktu ia membuka mata, seketika terasa silau. Kiranya hujan sudah lama berhenti, sang surya sedang memancarkan sinarnya yang gilang-gemilang.
Cepat Tik Hun melompat bangun, ia merasa semangat penuh, antero tubuhnya penuh tenaga baru. Meski sudah dua hari tidak makan apa-apa, tapi ternyata tidak merasa lapar. Ia pikir: "Apa mungkin ilmu yang tercatat didalam buku ini sedemikian bagus paedahnya? Ah, tidak, tidak! Lebih baik aku tetap melatih menurut ajaran Ting-toako saja, ilmu dari kalangan jahat seperti ini bila sampai mendarah daging pada diriku, boleh jadi akibatnya akan celaka."
Karena itu, buku kecil itu diambilnya terus hendak dirobeknya. Tapi setelah terpikir lagi olehnya bahwa didalam buku itu terdapat banyak sekali ilmu yang aneh2 dan susah dijajaki, kalau dirusak begitu saja rasanya juga sayang.
Lalu ia bebenah seperlunya. Ia lihat baju sendiri sudah terlalu rombeng, tidak mungkin digunakan sebagai penutup badan lagi. Ia lihat baju paderi Po-siang itu masih tergelar dipinggir meja sembayang dan tampaknya masih baik, segera ia mengambilnya dan dipakai. Cuma rambutnya sudah terbubut kelimis, ditambah lagi berbaju paderi, maka miriplah dia seorang Hwesio. Dari itu ia lantas robek bagian bawah baju paderi yang panjang itu, lalu disambung menjadi seutas ikat pinggang untuk menggubat pinggang. Ia coba periksa dandanannya itu, meski lucu kelihatannya, tapi tidak sampai telanjang lagi.
Selesai berdandan, Tik Hun masukkan buku kecil itu dan belasan tahil perak kedalam bajunya. Ia memeriksa pula buntalan perhiasan pemberian orang yang belum diketahui siapa itu dan ternyata masih baik2. Lalu ia pondong jenazah Ting Tian keluar kelenteng.
Dan baru saja belasan meter ia meninggalkan kelenteng itu, dari depan telah mendatangi seorang petani. Melihat Tik Hun memondong mayat, petani itu menjadi kaget dan terpeleset jatuh kesawah ditepi jalan. Karena habis hujan, sawah itu penuh air lumpur, seketika petani itu seperti kerbau yang bermandi dikubangan lumpur, cepat ia meronta bangun terus lari pergi dengan terbirit-birit.
Tik Hun insaf bila meneruskan perjalanan dengan membawa jenazah sang Toako tentu akan terjadi keonaran yang susah dibayangkan. Ada maksudnya memusnahkan jenazah Ting Tian, tapi betapapun ia tidak tega. Untung disekitar situ adalah sawah ladang belaka dan sepi, dalam perjalanan selanjutnya tiada ditemui orang lalu lagi.
Tapi tidak lama kemudian, tiba2 terdengar suara nyanyi orang yang ramai, dari jauh tampak ada 7-8 petani sedang mendatangi dengan memanggul pacul. Cepat Tik Hun melompat ketepi jalan dan sembunyi dibalik alang2 yang lebat. Setelah petani2 itu lewat, barulah ia berani melanjutkan perjalanan. Pikir punya pikir, achirnya ia ambil keputusan: "Kalau aku tidak membakar jenazah Ting-toako, tentu akan sulit kembali ke Hengciu dan cita2 Ting-toako ingin dikubur bersama Leng-siocia akan sulit terlaksana pula."
Segera ia membiluk kelereng bukit disebelah kanan sana, ia kumpulkan daun2 kering dan kayu bakar, ia tumpuk bahan2 bakar itu diatas jenazah Ting Tian, lalu membakarnya. Ketika api mulai menjilat rambut dan pakaian Ting Tian, Tik Hun merasa se-akan2 badan sendiri yang terbakar. Tak tahan lagi ia mendekam ketanah dan menangis sedih............
Setelah jenazah Ting Tian sudah terbakar menjadi abu, dengan chidmat lalu Tik Hun bungkus abu jenazah itu dengan kain minyak, yaitu bekas pembungkus kitab kecil tinggalannya Po-siang itu. Ia robek kain baju pula untuk dijadikan tali pengikat, setelah bungkusan abu tulang itu terbungkus rapi, ia ikat bungkusan itu dipunggungnya. Kemudian ia menggali pula sebuah liang kecil untuk mengubur sisa abu dan diuruk dengan tanah, ia menyembah beberapa kali kepada liang kubur itu, habis itu barulah ia tinggal pergi.
Untuk sejenak ia merasa bingung kemana harus pergi. Kalau sang guru, yaitu Jik Tiang-hoat, masih hidup umpamanya, maka sanak keluarga satu2nya didunia ini adalah beliau itulah.
Ia pikir sesudah sang guru melukai Ban Cin-san, tentu beliau takkan pulang lagi kekampung halamannya di Wanling, tapi pasti akan ganti nama dan tukar she serta mengasingkan diri jauh2. Tapi kini kecuali pulang menjenguk kampung halaman Wanling itu, Tik Hun merasa tiada tempat tujuan lain yang tepat.
Segera ia balik kejalan raya, waktu tanya penduduk setempat, kiranya tempat situ bernama Thia-keh-cip, termasuk wilayah Ouwpak. Kalau hendak menuju ke Ouwlam, lebih dulu harus menyeberangi Tiang-kang.
Sampai dikota, Tik Hun membeli makanan sekedarnya untuk tangsal perut, kemudian ia menuju ketempat penyeberangan. Terkenang olehnya waktu menyeberang sungai kemarin, ia mesti berusaha menghindarkan penguberan Po-siang dengan penuh ketakutan. Tapi sekarang menyeberang kembali dengan tenang dan aman, hanya dalam tempo satu hari saja ternyata suasana berbeda seperti langit dan bumi.
Setiba kapal tambangan ditepi selatan, baru saja Tik Hun mendarat, tiba2 didengarnya suara ramai2 orang bertengkar. Menyusul terdengar pula suara gedebukan orang telah saling berhantam.
Sebagai seorang persilatan, sudah tentu Tik Hun tertarik oleh perkelahian itu. Segera ia mendekatinya untuk melihat apa yang terjadi.
Ia lihat diantara orang2 yang berkerumun itu ada 7-8 orang sedang mengerubut seorang tua. Kakek itu berpakaian hijau dan kopiah tipis, yaitu dandanan kaum pelayan yang lazim. Sedangkan 7-8 laki2 yang mengeroyok itu berbaju cekak dan bertelanjang kaki, disamping situ terdapat keranjang ikan dan timbangan dacin pendek, nyata mereka adalah penjual ikan.
Tik Hun pikir perkelahian biasa seperti itu tiada sesuatu yang menarik, dan selagi ia hendak tinggal pergi, mendadak dilihatnya kakek itu mendepak sekali, kontan seorang laki2 penjual ikan yang kekar kena ditendang terjungkal. Kiranya kakek itu bukan sembarangan kakek, tapi mahir ilmu silat.
Karena itu Tik Hun urung pergi, ia ingin melihat bagaimana kesudahan perkelahian itu. Ia lihat hamba tua itu meski dikeroyok, tapi sebentar saja ada tiga penjual ikan yang lain kena dirobohkan pula olehnya. Meski diantara penonton itu masih banyak penjual2 ikan yang lain, tapi tiada yang berani ikut mengerubut maju lagi.
"Itu dia, Kepala sudah datang, Kepala sudah datang!" tiba2 ada orang bersorak.
Maka tertampak dari tepi sungai sana sedang mendatangi dua penjual ikan dengan berlari, dibelakang mereka ada pula tiga orang. Langkah ketiga orang belakangan itu tampaknya enteng tapi kuat, begitu lihat segera Tik Hun tahu mereka itu mahir ilmu silat.
Sesudah dekat, ternyata ketiga orang itu dikepalai seorang setengah umur dan berwajah ke-kuning2an dengan berkumis tikus. Setelah memandang beberapa kejap kepada penjual2 ikan yang terguling ditanah dan masih me-rintih2 itu, lalu ia berkata: "Siapakah saudara? Mengandalkan pengaruh siapa, maka engkau berani menganiaya orang di Hoa-yong-koan sini?"
Ucapan kepala penjual ikan itu ditujukan kepada sihamba tua, tapi matanya justeru memandang kearah lain.
Kiranya sesudah menyeberang sungai, kini Tik Hun sudah masuk diwilayah Hoa-yong-koan.
Maka terdengar kakek itu sedang menjawab: "Siapa yang menganiaya orang? Aku datang hanya untuk membeli ikan, membeli dengan kontan!"
"Sebab apa berkelahi?" tanya kepala itu kepada salah satu penjual ikan.
"Tua bangka ini memaksa akan membeli kedua ekor Lehi (ikan kancra) warna emas ini, kami mengatakan kedua ekor ikan ini susah memperolehnya dan akan dipakai sendiri untuk dipersembahkan kepada Kepala, tapi tua bangka ini sangat kasar, ia berkeras ingin beli, kami tetap tidak mau jual dan dia lantas hendak merebut secara kasar," demikian tutur penjual ikan itu.
Si Kepala menoleh dan mengamat-amati sejenak hamba tua itu, lalu tanyanya: "Apakah kawan saudara itu terkena Lam-sah-ciang, bukan?"
Kakek itu tampak terkejut dengan wajah berubah hebat, sahutnya kemudian: "Aku tidak tahu Lam-sah-ciang (pukulan tangan biru) atau Ang-sah-ciang (pukulan tangan merah). Aku cuma tahu majikan suka makan Lehi dan aku disuruh membeli. Aku sudah menjelajah dunia ini dan selamanya tidak pernah dengar bahwa ikan didasaran penjualnya dikatakan tidak dijual, ini aturan darimanakah?"
"Hehe, untuk apa saudara mesti bicara secara ber-liku2? Siapakah nama saudara yang terhormat, dapatkah memberitahu?" kata Kepala itu dengan tertawa dingin. "Jika cukup bersahabat, jangankan cuma dua ekor Lehi warna emas ini, bahkan Cayhe akan menyumbangkan sebutir "Giok-ki-wan' yang chusus dapat menyembuhkan luka Lam-sah-ciang."
Kakek itu tambah terkejut, selang sejenak, dengan ragu2 ia menanya: "Siapakah tuan? Darimana kenal Lam-sah-ciang dan mengapa punya Giok-ki-wan? Apa barangkali......... barangkali ........"
"Memang benar, Cayhe ada sedikit hubungannya dengan sipemakai Lam-sah-ciang itu," sahut si Kepala sebelum ucapan sikakek berachir.
Tanpa bicara lagi, se-konyong2 kakek itu melompat kesamping, begitu tangan mengulur, segera keranjang ikan yang berisi Lehi warna emas itu lantas disambarnya, gerak-geriknya ternyata sangat gesit dan cekatan sekali.
"Hm, begitu gampang?" jengek si Kepala. Berbareng pukulannya lantas dilontarkan kepunggung sikakek.
Tapi sekali kakek itu membalik tangannya untuk menangkis pukulan, dengan meminjam tenaga benturan itu, terus saja ia melesat cepat kedepan sejauh beberapa meter, segera ia berlari pergi sambil menjinjing keranjang ikan.
Sama sekali si Kepala tidak menduga akan tindakan kakek itu, ia menaksir tidak keburu mengejar lagi, segera tangannya mengayun, sebuah Am-gi atau senjata gelap terus menyambar kepunggung hamba tua itu dengan membawa suara mendesis.
Dengan penuh girang sikakek yang berhasil merebut Lehi itu sedang berlari secepatnya kedepan, tak ia duga bahwa Am-gi yang ditimpukan kepala penjual ikan adalah sebuah Piau baja yang berbentuk segi tiga. Timpukannya keras dan menyambarnya juga sangat pesat. Tampaknya hamba tua itu sudah pati takkan dapat menghindar dari kematian.
Melihat itu, seketika timbul jiwa kesatria Tik Hun ingin menolongnya, sekenanya ia sambar sebuah keranjang ikan yang berada disampingnya terus dilemparkan kearah Piau baja itu.
Meski ilmu silat Tik Hun sudah hilang, tenaganya juga tidak besar lagi, tapi karena berdirinya persis ditempat yang harus dilalui Piau itu, maka keranjang yang dilemparkan dari samping itu dengan tepat sekali mengenai sasarannya. "Brak", Piau baja itu menancap masuk kedalam keranjang ikan, begitu keras tenaga Kepala penjual ikan itu hingga sesudah Piau itu masuk keranjang toch masih menyelonong kedepan beberapa meter jauhnya baru kemudian jatuh ketanah.
Mendengar dibelakangnya ada suara benda jatuh, hamba tua itu lantas menoleh, ia lihat si Kepala penjual ikan sedang menuding satu pemuda gundul sambil memaki: "Hai, kau bangsat gundul cilik, kau adalah Hwesio liar dari kelenteng mana, berani ikut campur urusan Tiat-bong-pang dilembah Tiangkang sini?"
Tik Hun melengak, ia bingung mengapa orang memaki dirinya "bangsat gundul cilik"? Ia lihat si Kepala penjual ikan itu sedang marah2 dan menyebut pula "Tiangkang Tiat-bong-pang" segala. Ia menjadi teringat kepada nasihat Ting Tian dahulu bahwa banyak pantangan2 dalam macam2 Pang-hwe dikalangan Kangouw, bila sampai tersangkut urusan, tentu selamanya akan tiada habis2 menghadapi kesulitan. Dan karena Tik Hun tidak suka banyak urusan lagi, maka ia lantas memberi hormat dan berkata: "Ya, Siaute yang bersalah, mohon Lauheng suka memberi maaf."
"Kau ini kutu macam apa? Siapa sudi meng-aku2 saudara dengan kau?" bentak Kepala penjual ikan itu. Menyusul ia memberi tanda sekali dan memerintahkan anak buahnya: "Tangkap kedua orang ini!"
Rupanya karena merandek tadi, maka ada dua orang penjual ikan telah mendahului mencegat kedepan sikakek yang belum sempat melarikan diri itu.
Tapi pada saat itulah tiba2 terdengar suara kelintang-kelinting yang nyaring, ada dua penunggang kuda sedang mendatangi menyusur tepi sungai sana. Seketika bergiranglah hamba tua itu, katanya: "Itu dia majikanku sendiri sudah datang, sekarang boleh kalian bicara pada mereka."
Air muka Kepala penjual ikan itu tampak berubah, katanya: "Kau maksudkan "Leng-kiam-siang-hiap'?" ~ tapi segera iapun berlagak angkuh dan menambahkan: "Hm, kalau Leng-kiam-siang-hiap (sepasang pedang dan kelintingan) lantas mau apa? Masih belum waktunya mereka main garang kelembah Tiangkang sini!"
Belum lenyap suaranya, kedua penunggang kuda itu sudah sampai dihadapannya. Seketika Tik Hun merasa silau. Ia lihat kedua ekor kuda tunggangan itu masing2 berwarna kuning dan putih mulus, tinggi-besar dan gagah, pelananya putih gilap. Diatas kuda kuning berduduk seorang pemuda berusia antara 25-26 tahun, berbaju kuning dan bertubuh jangkung. Sedang penunggang kuda putih adalah seorang gadis berumur 20-an tahun, bajunya putih mulus, dibahu kiri tercantel sebuah bunga merah buatan kain sutera. Muka sigadis itu hitam2 manis dan sangat cantik. Kedua muda-mudi itu memegang pecut kuda semua, dipinggang mereka tergantung pedang. Kuda2 mereka sama tingginya, yang luar biasa adalah sama2 mulus pula, kuning mulus dan putih mulus, tanpa seujung bulu warna lain.

Pada leher kuda kuning tergantung serenceng kelenengan buatan emas dan kelenengan di leher kuda putih adalah buatan dari perak. Sedikit kepala kuda2 itu bergerak, seketika terbitlah suara kelintang-kelinting yang nyaring dengan suara yang berbeda, karena kelintingan2 itu berbeda pula bahan pembuatannya.
Sungguh gagah sekali kuda2 itu dan penunggangnya juga ganteng2 dan cantik, selama hidup Tik Hun tidak pernah melihat orang secakap itu. Mau-tak-mau, diam2 iapun memuji didalam hati.
"Cui Hok," terdengar pemuda ganteng itu lagi menanya sikakek tadi. "Lehi sudah didapatkan belum? Ada apa engkau berada disini?"
Cui Hok adalah nama hamba tua itu, maka jawabnya: "Toa-kongcu, Lehi warna emas memang sudah berhasil mendapatkan dua ekor, tetapi.........tetapi mereka justeru tidak mau jual, bahkan memukul orang malah."
Mata pemuda itu ternyata sangat tajam, sekilas saja telah dapat dilihatnya piau baja yang menancap dikeranjang ikan itu. Segera serunya: "He, siapakah yang menggunakan Am-gi berbisa yang keji ini?" ~ dan sekali pecutnya bekerja, tahu2 kain sutera embel2 piau itu telah kena dililit oleh ujung pecut terus diangkatnya keatas sambil berkata pula kepada sigadis: "Lihatlah, Sing-moay, ini adalah 'Kat-sin-piau' yang jahat!'
Dengan garang gadis itu lantas membentak: "Siapakah yang menggunakan piau ini?Lekas katakan, lekas!" ~ sebagai seorang gadis, dengan sendirinya suaranya nyaring dan merdu, tapi sikapnya itu terang rada berangasan.
Si Kepala penjual ikan tadi hanya tersenyum dingin saja sambil menggenggam goloknya, ia menyahut: "Nama kebesaran Leng-kiam-siang-hiap dalam beberapa tahun paling achir ini cukup diketahui oleh Tiat-bong-pang di Tiangkang sini. Tapi tanpa sebab kalian akan main menang2kan atas diri kami, mungkin hal inipun tidaklah mudah." ~ nada ucapannya ini keras2 lembek, agaknya sedapat mungkin iapun ingin menghindari percecokan dengan Leng-kiam-siang-hiap itu.
"Tapi Kat-sin-piau ini terlalu keji, sekali kena, seketika daging busuk dan tulang hancur, ayahku sudah lama menyatakan dilarang memakainya lagi, apakah engkau tidak tahu?" demikian kata sigadis. "Baiknya senjata ini tidak kau gunakan menyambit orang, kalau untuk latihan dengan keranjang ikan sebagai sasaran masih boleh jugalah."
"Jisiocia, justeru bukan begitulah urusannya," kata Cui Hok. "Orang itu telah menggunakan piau itu untuk menyambit diriku dan hampir2 hamba celaka, untung Siausuhu ini telah menolong dan mendadak menimpukan keranjang ikan itu dari samping hingga jiwa hamba tertolong. Kalau tidak, saat ini mungkin hamba tidak dapat lagi bertemu dengan Kongcu dan Siocia." ~ waktu mengatakan Siausuhu atau si Suhu cilik, Cui Hok telah menuding kearah Tik Hun.
Keruan Tik Hun bertambah bingung, pikirnya: "Aneh, mengapa dia menyebut aku sebagai Siausuhu, sedangkan tadi aku telah dimaki sebagai Bangsat gundul cilik, emangnya sejak kapan sih aku mulai menjadi Hwesio?"
Lalu tampak gadis jelita itu angguk2 kepada Tik Hun dengan tersenyum sebagai terima kasih. Melihat senyuman sigadis yang menggiurkan itu, seketika Tik Hun lemas rasanya seperti kontak kena aliran listrik.

Dalam pada itu sipemuda menjadi marah mendengar pengaduan Cui Hok, tanyanya kepada Kepala penjual ikan itu: "Apa betul begitu?" ~ dan tanpa menunggu jawaban orang lagi, terus saja pecutnya bergerak hingga Kat-sin-piau yang terlilit diujung pecut itu menyambar secepat kilat kedepan, 'plok", piau itu menancap dibatang pohon Liu yang belasan meter jauhnya. Betapa hebat tenaganya sungguh cukup mengejutkan.
Tapi si Kepala penjual ikan itu masih keras dimulut: "Hm, berlagak apa?"
"Aku justeru mau berlagak!" bentak pemuda Kongcu itu, berbareng pecutnya terus menyabat serabutan keatas kepala orang.
Cepat Kepala penjual ikan mengangkat golok untuk menangkis sambil menabas. Tak terduga pecut sipemuda mendadak menyambar lurus kebawah, dan begitu menyentuh tanah, pecut itu terus melingkar dengan cepat luar biasa, tahu2 kedua kaki si Kepala penjual ikan itu yang diarah.
Dengan sendirinya Kepala penjual ikan itu cepat2 meloncat keatas untuk menghindar. Tapi pecut sipemuda se-akan ular hidup saja, "siut", tiba2 ujung pecut menyendal kembali untuk melilit kaki kanan lawan. Berbareng Kongcu itu keprak kudanya pelahan hingga kuda kuning itu mendadak membedal kedepan.
Sebenarnya bhesi atau kuda2, yaitu kepandaian bagian kaki si Kepala penjual ikan sangat kuat, biarpun kakinya tergubat pecut belum tentu si Kongcu mampu menariknya roboh.
Diluar dugaan, pemuda itu pandai mengukur kepandaian sendiri dan pihak lawan, begitu menyerang ia sudah memakai perhitungan yang tepat, lebih dulu ia pancing si Kepala penjual ikan itu meloncat keatas, dengan demikian, karena tubuhnya terapung diudara dan tiada tempat berpijak, dengan sendirinya lenyaplah daya guna kuda2 si Kepala penjual ikan yang kuat itu. Apalagi kakinya lantas terlilit pecut ditambah tarikan kuda kuning yang mendadak membedal, betapapun kuat tenaga penjual ikan itupun tidak mampu bertahan. Tanpa ampun lagi maka tubuh Kepala penjual ikan itu terseret kedepan oleh bedalan kuda kuning itu hingga tubuhnya se-akan2 terbang diudara.
Seketika ramailah jerit kaget penjual2 ikan yang lain, sambil mem-bentak2 segera ada beberapa orang memburu maju hendak menolong sang pemimpin.
Tapi sesudah berpuluh meter jauhnya sikuda kuning membedal hingga tubuh Kepala penjual ikan tertarik kencang, mendadak si Kongcu ayun pecut se-kuat2nya, seketika mencelatlah tubuh Kepala penjual ikan itu melambung keudara. Percuma saja ia memiliki ilmu silat yang tinggi, diatas udara ilmu silat betapapun tingginya juga tiada berguna, maka tanpa kuasa tubuhnya me-layang2 keatas untuk kemudian menyelonong ketengah sungai.
Keruan begundal penjual2 ikan itu sama berteriak kuatir. Maka terdengarlah suara mendeburnya air disertai cipratan air sungai yang tinggi, Kepala penjual ikan itu telah kecebur kedalam sungai, hanya sekejap saja orangnya lantas menghilang kedasar sungai.
Sigadis tampak bersorak senang, menyusul ia putar pecutnya terus terjang ke-tengah2 gerombolan penjual2 ikan yang masih berkerumun disitu, pecutnya menyabat kesini dan mencambuk kesana hingga penjual2 ikan itu dihajar sungsang sumbel dan tunggang-langgang serta lari ter-birit2. Seketika keranjang ikan bergelimpangan dan terserak di-mana2 berikut jala ikan, begitu pula ikan dan udang yang masih segar juga berlejitan memenuhi tanah.
Hidup kaum penangkap ikan adalah disungai, dengan sendirinya si Kepala penjual ikan itupun sangat mahir berenang. Maka begitu ia selulup kedasar sungai, sejenak kemudian ia sudah menongol kembali kepermukaan air. Ia mencaci-maki dengan kata2 kotor, tapi sudah tidak berani mendarat untuk bertempur lagi.
Sambil menjinjing keranjang yang terisi ikan Lehi tadi, dengan girang Cui Hok mendekati sipemuda sambil membuka tutup keranjang dan berkata: "Lihatlah, Kongcu, mulutnya merah dan sisiknya emas, besar2 dan gemuk2 pula."
"Baiklah, sekarang lekas kau pulang kehotel dan serahkan ikan2 itu kepada Ce-toaya untuk dipakai," kata sipemuda.
Cui Hok mengia, lalu ia mendekati Tik Hun, ia memberi hormat dan berkata: "Banyak terima kasih atas pertolongan Siausuhu tadi. Entah bagaimanakah gelar suci Siausuhu?"
Mendengar dirinya dipanggil Siausuhu terus menerus, Tik Hun menjadi risih hingga seketika takdapat menjawab.
"Sudahlah, lekas pulang sana, lekas!" sipemuda telah mendesak pula.
Terpaksa Cui Hok mengiakan, lalu bertindak pergi dengan cepat tanpa menunggu jawaban Tik Hun lagi.
Diam2 Tik Hun kagum dan senang bila dapat berkawan dengan sepasang muda-mudi yang cantik dan ganteng dan berilmu silat tinggi pula. Cuma sejak tadi kedua muda-mudi itu tetap diatas kuda mereka dan tidak turun, Tik Hun menjadi kurang leluasa untuk menanyakan nama orang.
Tengah Tik Hun ragu2, tiba2 si Kongcu telah mengeluarkan sepotong uang emas dan diangsurkan kepada Tik Hun sambil berkata: "Siausuhu, banyak terima kasih engkau telah menyelamatkan jiwa hamba tua kami itu. Sedikit tanda mata ini harap Siausuhu suka terima sekadar uang dupa dan minyak untuk keperluan kelenteng." ~ Lalu ia lemparkan uang emas itu kearah Tik Hun dengan pelahan2.
Sekali raup, dengan gampang Tik Hun sudah dapat menangkap uang emas yang dilemparkan kepadanya itu, menyusul ia terus melemparkan kembali kepada pemuda itu dan berkata: "Tidak perlulah. Numpang tanya siapakah nama kalian yang terhormat?"
Melihat gerak tangan Tik Hun waktu menangkap dan melemparkan kembali uang emas tadi cukup cekatan, terang seorang yang dapat bersilat. Maka sebelum uang emas itu menyambar tiba, segera pecut Kongcu itu mengayun hingga uang emas itu kena tergubat. Lalu katanya: "Jikalau Siausuhu juga sesama orang Bu-lim, tentunya juga pernah mendengar nama kami Leng-kiam-siang-hiap yang tak berarti."
Melihat orang memainkan pecutnya hingga uang emas yang terlilit itu naik-turun seperti anak kecil, sikapnya acuh-tak-acuh dan seperti tidak pandang sebelah mata kepada siapapun juga, diam2 Tik Hun rada mendongkol. Segera iapun berkata: "Ya, tadi kudengar penjual ikan itu menyebut kalian sebagai Leng-kiam-siang-hiap. Tapi entah apa nama saudara yang terhormat."
Pemuda Kongcu itu menjadi kurang senang, ia pikir kalau kenal julukan mereka, masakah tidak kenal namanya? Dari itu ia cuma mendengus sekali dan tidak menjawab lagi.
Dan pada saat itu juga tiba2 angin sungai meniup hingga ujung baju paderi yang dipakai Tik Hun itu tersingkap sedikit. Mendadak gadis jelita itu bersuara kaget sekali sambil berkata: "He, dia.........dia adalah Hiat-to-ok-ceng (paderi jahat bergolok darah) dari Bit-cong di Tibet."
"Ya, betul," kata si pemuda dengan wajah gusar. "Nah, enyahlah kau!"
Keruan Tik Hun heran mendadak diperlakukan sekasar itu. "Aku ... aku......?" katanya sambil melangkah kehadapan sigadis: "Aku kenapa; nona?"
Wajah sigadis kembali mengunjuk rasa kuatir dan gusar, sahutnya: "Engkau... engkau jangan .....jangan mendekati aku. Enyahlah!"
Tentu saja Tik Hun bertambah bingung. "Apa katamu?" tanyanya sambil maju setindak lagi malah.
"Tarrrr", mendadak gadis itu mengayun pecutnya terus menyabat.
Sama sekali Tik Hun tidak menduga bahwa kontan keras gadis itu terus menyerang begitu saja tanpa tawar2. Cepat ia berusaha menghindar, tapi sudah kasip. Hilang bunyi pecut itu, mukanya dengan tepat sudah kena tercambuk, seketika mukanya berhias suatu garis merah dimulai dari ujung jidat kanan melintang keatas hidung dan menurun keujung mulut kiri. Sungguh tidak ringan cambukan itu hingga Tik Hun meringis kesakitan.
"Ken.......kenapa engkau memukul aku?" seru Tik Hun dalam kaget dan gusarnya.
Tapi bukannya minta maaf, sebaliknya gadis itu hendak menyabatnya pula. Segera Tik Hun merangsang maju hendak merebut pecut sigadis. Tak terduga permainan pecut sigadis itu sangat lihay, baru Tik Hun ulur tangannya, tahu2 leher sendiri sudah tergubat oleh pecutnya. Menyusul punggungnya terasa kesakitan mendadak, nyata Kongcu muda tadi telah memberi persen sekali tendangan padanya.
Tanpa ampun lagi Tik Hun terjungkal. Lebih celaka lagi mendadak Kongcu muda itu terus keprak kudanya hendak menginjak keatas tubuh Tik Hun. Syukur dalam seribu kerepotannya itu Tik Hun masih sempat menggulingkan tubuhnya kesamping. Tapi dalam keadaan sibuk itu terdengar lagi suara kelintingan kuda berbunyi, sebelah kaki kuda yang putih mulus tahu2 menginjak lagi kearah dadanya, Tik Hun insaf bila injakan itu tepat kena didadanya, pasti melayanglah jiwanya. Tanpa pikir lagi itu mengkeretkan tubuhnya keatas, maka terdengarlah suara "krak" sekali, entah apa yang telah patah. Yang terang mata Tik Hun menjadi ber-kunang2 dan pandangan kabur, achirnya segala apa tak diketahuinya lagi..........

Waktu pikiran Tik Hun pelahan2 jernih kembali, sementara itu entah sudah berapa lamanya telah lalu. Dalam keadaan masih setengah sadar, ia berusaha hendak berbangkit. Tapi mendadak kakinya terasa kesakitan, hampir2 ia jatuh kelengar lagi. Menyusul darah segar lantas menguak keluar dari mulutnya. Waktu kemudian sinar matanya tertatap diatas kakinya, ia melihat celananya penuh berlepotan darah, kaki sendiri tampak melintir berbalik arah. Semula ia merasa heran mengapa kakinya bisa main gila begitu? Tapi sejenak kemudian barulah ia ingat: "Ya, kakiku telah patah terinjak kuda yang dikeprak oleh nona itu."
Antero tubuh Tik Hun terasa lemas dan linu, lebih2 kaki dan punggungnya tak terkatakan sakitnya. Sesaat itu timbul kembali putus asanya: "Aku tidak ingin hidup lagi. Biarkan aku merebah begini dan lekaslah mati saja."
Maka iapun tidak merintih dan bertobat, tapi mengharap supaya lekas mati. Namun orang ingin mati justeru tidak gampang. Bahkan ingin pingsan saja juga tak dapat. Padahal hati Tik Hun terus-menerus berharap: "Hayolah lekas mati! Kenapa belum lagi mati?"

Selang agak lama, karena tetap belum yuga mati, achirnya Tik Hun memikir: "Aku toh tiada salah apa2 kepada mereka, mengapa mendadak aku dianiaya sekeji ini?"
Ia coba memikirkan apa sebabnya, tapi tetap bingung dan tiada sesuatu yang dapat diketemukan. Ia menggumam sendiri: "Dasar aku memang bodoh, coba bila Ting-toako masih hidup, pasti beliau dapat menjawab pertanyaanku ini."
Dan karena teringat kepada Ting Tian, seketika pikirannya berganti: "Eh, ya. Aku telah berjanji akan mengubur Ting-toako bersama Leng-siocia. Cita2 ini belum terlaksana, mana boleh aku mati begini saja."
Ia coba meraba punggung sendiri dan merasa abu tulang sang Toako masih baik2 terikat disitu, ia merasa lega dan sekuatnya bangun berduduk. Tapi kembali darah segar tersembur keluar dari mulutnya. Ia tahu semakin banyak mengeluarkan darah, semakin lemah pula badannya. Maka sedapat mungkin ia mengatur napasnya dengan maksud menahan darah yang akan dimuntahkan itu. Tapi darah yang sudah meng-kili2 tenggorokannya itu ternyata susah ditahan, kembali ia menguak dan darah membasahi tanah lagi.
Yang paling menderita adalah kaki patah itu, sakitnya sebagai di-sayat2 oleh beratus pisau. Namun dengan me-rangkak2 achirnya dapat Tik Hun menyeret dirinya kebawah pohon Liu yang rindang itu. Pikirnya: "Aku tidak boleh mati, tapi harus tetap hidup. Dan untuk hidup aku harus makan." ~ teringat pada makan, baru sekarang ia merasa kelaparan.
Ia lihat banyak ikan dan udang berserakan ditanah dan sudah lama mati. Iapun tidak pikir lagi apakah mentah atau masak, apakah masih segar atau sudah busuk, tapi terus saja ia comot beberapa ekor udang terus dijejalkan kedalam mulut sekadar menangsal perut. Ia pikir kaki patah itu harus dibalut lebih dulu, habis itu barulah berdaya untuk meninggalkan tempat celaka ini.
Ia coba memandang sekelilingnya, ia lihat macam2 peralatan tukang tangkap ikan masih tersebar disitu. Segera ia merayap maju untuk mengambil sebatang dayung sampan yang pendek beserta sebuah jala ikan. Pelahan2 ia jereng jala ikan itu, lalu kaki sendiri yang patah dan sudah mengisar arah itu dibetulkannya dengan menahan sakit, ia gunakan kayu dayung itu sebagai pengapit, kemudian mengikatnya dengan menggunakan tali jala ikan itu.
Kerjanya itu memakan waktu satu jam penuh sambil sebentar2 mengaso. Pabila merasa kesakitan, ia lantas berhenti sambil meringis kemudian melanjutkan pula bila sakitnya mereda. Bila kemudian kaki patah itu selesai dibalut, sementara itu sang surya sudah meninggi di-tengah2 cakrawala. Pikirnya: "Untuk merawat kakiku yang patah ini hingga sembuh betul2, paling sedikit juga diperlukan waktu dua bulan lebih. Dan selama dua bulan ini kemanakah aku harus meneduh dan hidup?"
Sekilas dilihatnya ditepi sungai ber-deret2 perahu2 nelayan, tiba2 timbul pikirannya: "Ya, biarlah aku tinggal saja didalam perahu, disana aku tidak perlu berjalan."
Ia kuatir kawanan penjual ikan itu datang kembali hingga menimbulkan kerewelan lain, meski badannya masih lemas dan kaki kesakitan, tapi terpaksa ia mesti merayap ketepi sungai, ia merangkak kedalam sebuah perahu nelayan. Ia tanggalkan tali tambatan perahu dan mulai mendayung, pelahan2 ia luncurkan perahunya ketengah sungai.
Waktu tanpa sengaja ia menunduk, tiba2 dilihatnya ujung baju paderi yang dipakainya itu menyingkap keatas hingga tertampak diujung baju itu tersulam sebilah golok pendek yang berwarna merah tua, ujung golok itu tersulam pula tiga titik darah, sulaman itu sangat hidup, tapi menyeramkan pula.
Tiba2 tersadarlah Tik Hun: "Ah, tahulah aku sekarang! Baju ini adalah tinggalan sipaderi jahat Po-siang. Makanya kedua orang itu salah sangka aku sebagai begundal paderi jahat itu."
Kemudian tanpa sengaja ia dapat meraba kepala sendiri sudah kelimis, ia menjadi lebih paham lagi duduknya perkara. "Pantas aku dipanggil Siausuhu oleh mereka, sebab rambutku sudah kububut semua hingga pelontos seperti Hwesio".
Dan baru sekarang Tik Hun sadar mengapa ber-ulang2 hamba tua itu menyebut dirinya sebagai "Siausuhu", pula kawanan pedagang ikan dari Tiat-bong-pang memaki dirinya sebagai "Keledai gundul kecil", sebab dirinya sekarang memang sudah mirip seorang Hwesio.
Lalu terpikir pula olehnya: "Waktu ujung bajuku tersingkap, lantas gadis itu mengatakan aku adalah Hiat-to-ok-ceng dari Tibet. Bentuk golok berdarah dalam sulaman ini memang sangat menyeramkan, tentang bagaimana perbuatan kawanan paderi2 itu melulu melihat contoh seperti Po-siang saja sudah dapat dibayangkan sendiri."
Sebenarnya Tik Hun sangat gusar dan penasaran, tapi demi mengetahui duduknya perkara, seketika rasa permusuhannya kepada "Leng-kiam-siang-hiap" lantas lenyap, bahkan merasa perbuatan sepasang muda-mudi yang gagah perwira itu justeru sepaham dengan dirinya. Cuma sayang ilmu silat kedua orang itu terlalu tinggi, pribadi mereka agung pula, andaikan kesalah-pahaman ini kelak dapat dibikin terang juga rasanya susah untuk bersahabat dengan mereka.
Begitulah pelahan2 ia mendayung terus perahu itu hingga belasan li jauhnya, ia melihat ditepi pantai ada sebuah kota kecil, dipandang dari jauh, tampaknya cukup ramai orang yang berlalu-lalang. Pikirnya: "Baju paderi yang kupakai ini tentu akan menimbulkan bencana bagiku, aku harus cepat mencari gantinya."
Segera ia merapatkan perahunya ketepi, ia gunakan sebatang dayung pendek sebagai tongkat, lalu dengan berincang-incuk ia mendarat sekuat tenaga.
Orang2 dikota itu merasa ter-heran2 melihat seorang Hwesio muda dengan kaki pincang dan bajunya penuh noda darah. Namun Tik Hun tidak ambil pusing, selama beberapa tahun ini ia sudah kenyang menghadapi sikap dingin dan kejam dari pihak umum. Pelahan2 ia melanjutkan jalannya kepusat kota, ia melihat sebuah toko pakaian bekas, segera ia masuk ketoko itu dan membeli sepotong baju hijau panjang dan seperangkat pakaian dalam dengan celananya. Kalau saat itu juga ia mengganti pakaian, tentu harus telanjang dulu, terpaksa Tik Hun memakai baju panjang yang baru dibeli itu diluar baju paderi. Lalu ia membeli sebuah topi laken untuk menutupi kepalanya yang gundul.
Kemudian ia mencari suatu kedai nasi untuk mengisi perut. Ketika ia dapat mencapai bangku panjang dari kedai nasi itu, saking letihnya hampir2 ia jatuh pingsan lagi dan kembali ia muntahkan dua kumur darah.
Tidak usah pesan, pelayan kedai sudah lantas menghantarkan daharan yang biasa tersedia disitu, yaitu semangkok tahu masak ikan, semangkok daging masak tauco.
Tik Hun sudah sangat kelaparan, demi mengendus bau daging dan ikan, seketika semangatnya terbangkit, terus saja ia angkat mangkok nasi dan ambil sumpit, segera ia sapu kedalam mulutnya, lalu menyumpit sepotong daging.
Dan baru saja ia masukan daging itu kedalam mulutnya, tiba2 terdengar suara kelintang-kelinting dari jauh dan makin lama semakin dekat.
Mendengar itu, seketika daging yang sudah masuk mulut itu takdapat ditelannya, sebaliknya hatinya memukul keras. Diam2 pikirnya: "Kembali Leng-kiam-siang-hiap datang lagi. Apakah aku akan memapak kedatangan mereka untuk memberi penjelasan kesalah pahaman tadi? Tanpa berdosa aku telah di-injak2 kuda mereka hingga terluka separah ini, kalau tidak dibicarakan secara jelas, bukankah sangat penasaran?"
Namun selama ini Tik Hun sudah terlalu banyak menderita, setiap kali dihina atau dianiaya orang tanpa sebab, selalu ia menyesalkan dirinya sendiri yang sial dan pasrah nasib. Maka kembali pikirannya berubah: "Ah, selama hidupku ini penderitaan apa yang tidak pernah kurasakan? Kalau cuma sedikit penasaran saja apa artinya bagiku?"
Dalam pada itu suara keleningan tadi semakin dekat. Segera Tik Hun memutar tubuh menghadap kedinding, ia tidak ingin bertemu muka dengan sepasang pendekar muda itu.
Dan pada saat lain, tiba2 ada orang menepuk pundaknya sambil menegur dengan tertawa: "Aha, Siausuhu, perbuatanmu yang bagus itu telah ketahuan, maka Koan-thayya mengundang kau menghadap padanya."
Keruan Tik Hun terkejut, cepat ia berpaling, ia lihat empat opas sudah berdiri didepannya. Dua diantaranya membawa borgol dan dua lainnya menghunus golok dengan sikap2 bersiap siaga menjaga segala kemungkinan.
Mendadak Tik Hun berteriak sekali sambil berbangkit, berbareng ia sambar mangkok yang berisi tahu-bak tadi terus disambitkan kearah opas sisi kiri. Menyusul ia angkat meja dan digabrukan kearah kawanan opas itu hingga mereka gebes2 tersiram daharan diatas meja itu.
Menurut dugaan Tik Hun, tentu kawanan hamba wet itu adalah petugas dari Keng-leng-hu, bila dirinya sampai ditawan Leng Dwe-su lagi, tentu tiada harapan hidup pula.
Dalam pada itu kedua opas yang diguyur kuah panas itu menjadi kelabakan dan lekas2 melompat mundur. Kesempatan itu segera digunakan Tik Hun untuk melarikan diri. Tapi baru satu langkah, ia sudah sempoyongan dan hampir2 terbanting roboh. Rupanya dalam keadaan gugup, Tik Hun lupa bahwa tulang kakinya sudah patah.
Melihat ada kesempatan bagus, opas ketiga tidak tinggal diam, terus saja ia ayun goloknya membacok.
Ilmu silat Tik Hun meski sudah punah, tapi untuk melawan seorang opas keroco seperti itu sudah tentu masih berlebihan. Maka sekali ia pegang tangan opas itu terus disengkelit, kontan opas itu terjungkal dan goloknya terampas.
Melihat Tik Hun kini bersenjata, opas2 itu menjadi jeri, mereka tidak berani sembarangan mendekat lagi, mereka hanya bergembar-gembor: "Wah, paderi cabul telah melawan petugas negara dan hendak mengganas lagi!" ~ "Awas, Hiat-to-ok-ceng telah melakukan kejahatan lagi!" ~ "Ini dia Cay-hoa-in-ceng yang telah memperkosa dan membunuh puteri hartawan!"
Mendengar teriakan2 itu, diam2 Tik Hun memikir jangan2 dugaannya tadi salah, opas2 ini bukan kiriman Kang-leng-hu yang hendak menangkapnya. Maka segera ia membentak: "Kalian sembarangan mengaco-belo apa? Siapa adalah Cay-hoa-in-ceng?"
"Cay-hoa-in-ceng" artinya paderi cabul pemetik bunga, yaitu paderi yang suka memperkosa wanita baik2.
Dalam pada itu suara kelenengan tadi sudah dekat, tahu2 seekor kuda kuning dan seekor kuda putih telah berhenti didepan mereka. Dari atas kuda segera "Leng-kiam-siang-hiap" dapat melihat segala apa yang sedang terjadi. Mereka agak melengak demi melihat Tik Hun, sebab merasa muka orang seperti sudah mereka kenal, dan segera merekapun ingat itulah samaran si Hiat-to-ok-ceng.
"Toasuhu, tidak apalah jika engkau juga ingin pelesir, tapi mengapa sehabis itu engkau membunuh orangnya pula?" demikian seru salah seorang opas itu. "Seorang laki2 berani berbuat berani bertanggung-jawab, marilah engkau ikut kami melaporkan diri saja kepada Koan-thayya."
Dan opas yang lain ikut berseru juga: "Engkau coba menyamar segala, tapi sayang telah dapat kami pergoki. Hari ini sudah pasti engkau takkan dapat lolos, lebih baik menyerahkan diri saja.
"Kalian sembarangan mengoceh, suka mempitenah orang baik!" sahut Tik Hun dengan gusar.
"Ini bukan pitenah, tapi dengan mata kepala aku melihat sendiri malam itu engkau telah menyusup kerumah Li-kijin, tidak salah lagi, biarpun kau terbakar menjadi abu juga aku kenal kau," sahut opas itu.
Kiranya kawanan Ok-ceng atau paderi jahat sebangsa Po-siang itu, selama beberapa hari paling achir ini telah mengganas disekitar lembah Tiang-kang, sesudah memperkosa, membunuh pula korbannya. Karena mengandalkan ilmu silat mereka sangat tinggi, maka kawanan paderi jahat itu sedikitpun tidak takut2 diwaktu melakukan kejahatan, bahkan berani meninggalkan tanda, "Hiat-to", yaitu gambar golok bertetes darah diatas dinding. Dan sasaran yang menjadi korban mereka kalau bukan rumah kaum hartawan dan pembesar, tentu adalah tokoh terkenal pula dalam Bu-lim. Maka beberapa kabupaten diselatan Tiang-kang itu bila membicarakan "Hiat-to-ok-ceng", seketika pasti setiap orang akan merinding ketakutan.
Tatkala itu pembesar2 negeri setempat sudah sibuk menyebarkan petugas untuk menguber, begitu pula kaum pendekar dan tokoh persilatan daerah Liang-ouw juga turun tangan semua untuk mencari kawanan paderi jahat itu.
Tentang opas itu bilang menyaksikan sendiri Tik Hun masuk kerumah Li-kijin dan sebagainya, sudah tentu adalah bualan belaka. Soalnya mereka melihat Tik Hun terluka parah, untuk melarikan diri terang tidak dapat, maka mereka sudah ambil keputusan akan menguruk segala dosa atas diri Tik Hun, dengan demikian, pertama dapat memenuhi kewajiban mereka; kedua, dengan sendirinya jasa mereka akan bertambah besar.
Nama sebenarnya dari "Leng-kiam-siang-hiap" itu ada Ong Siau-hong dan sigadis she Cui, namanya cuma satu, Sing. Kedua muda-mudi itu adalah saudara misan. Ayah Cui Sing bernama Cui Tay, seorang tokoh besar sangat terkenal dimasa dahulu dengan julukan: "Sam-coat-kiam (Sipedang triguna).
Ong Siau-hong sendiri sejak kecil sudah kehilangan kedua orang tua, maka ikut tinggal dirumah sang paman, yaitu adik ibunya, Cui Tay, serta mendapat pelajaran ilmu silat.
Karena pembawaan Ong Siau-hong memang gagah dan tampan, maka sejak kecil Cui Tay sudah mengandung maksud akan menjodohkan puterinya kepada kemenakannya itu.
Oleh karena kedua orang sejak kecil sama2 belajar silat, sesudah dewasa sama2 mengembara diluaran untuk mengamalkan kepandaian mereka kepada kaum lemah, maka diam2 benih cinta juga sudah tumbuh diantara mereka, meski tidak bicara secara terang2an, tapi mereka sama2 tahu kelak sudah pasti akan menjadi suami-isteri, sebab itulah dalam segala tindak-tanduk merekapun tidak canggung2.
"Paderi cabul, engkau sudah berlumuran dosa, apakah engkau masih ingin hidup lagi?" bentak Ong Siau-hong sambil angkat pedangnya hendak memenggal kepala Tik Hun.
"Tahan dulu!" se-konyong2 muncul seorang Hwesio tua hingga jiwa Tik Hun tertolong.
Kedua muda-mudi itu telah memperoleh ajaran silat andalan Cui Tay, paling achir ini nama mereka sangat terkenal. Setiap orang didaerah Liang-ouw sangat kagum terhadap mereka dan memuji tidak habis2 bila ada orang menyebut tentang "Leng-kiam-siang-hiap".
Tentang Hiat-to-ok-ceng mengganas itu memang juga telah didengar mereka. Cuma kebetulan Tik Hun pernah menolong jiwa hamba tua mereka, yaitu si Cui Hok yang bertengkar dengan penangkap ikan Tiat-bong-pang itu, makanya Leng-kiam-siang-hiap berlaku murah dan tidak membunuhnya, tapi cuma mengeprak kuda menyepak dua kali hingga pemuda itu terluka parah. Siapa duga dikota kecil ini kembali mempergoki Tik Hun menimbulkan gara2 lagi dan mendengar kawanan opas itu sedang membentangkan segala dosa yang katanya diperbuat Tik Hun itu. Dasar jiwa Leng-kiam-siang-hiap itu memang luhur dan paling benci pada kejahatan, maka semakin didengar semakin gusar mereka.
Melihat penonton yang merubung semakin banyak, untuk meloloskan diri tentu akan lebih susah, segera Tik Hun mengayun goloknya sambil membentak: "Minggir semua!" ~ Lalu dengan bantuan dayung pendek yang menyanggah dibawah ketiaknya, segera ia menerjang keluar sana.
Dengan ber-teriak2 takut, penonton2 yang merubung itu lantas berlari menyingkir. Keempat opas itupun ber-teriak2 sambil menyusul dari belakang: "Cay-hoa-in-ceng, jangan lari kau!"
Tapi mendadak Tik Hun memutar balik goloknya hingga lengan salah seorang opas itu tergurat luka. "Hai, paderi cabul ini mengganas lagi, berani melukai petugas!" demikian opas itu terus berteriak.
Ong Siau-hong menjadi gusar, ia keprak kudanya memburu maju, sekali cambuknya bekerja, "tarrrr", golok ditangan Tik Hun itu sudah tergubat ujung cambuk dan terus dia tarik dengan keras.
Tenaga Tik Hun memang sudah habis, seketika golok terlepas dari cekalannya. Bahkan Ong Siau-hong mendesak maju pula, sekali tangan kirinya menjulur, dari atas ia mencengkeram kebawah dan tepat baju leher Tik Hun kena dijambret terus diangkat keatas sambil membentak: "Paderi cabul, sudah sekian banyak kejahatan yang kau lakukan, apakah kau masih ingin hidup lagi?" ~ berbareng itu tangan lain terus meraba garan pedangnya, sekali sinar tajam berkilauan, segera pedangnya terlolos dan hendak memenggal keleher Tik Hun.
"Bagus! Bunuh saja paderi cabul itu!" ~ "Ya, cincang saja biar tamat riwayatnya!" ~ begitulah para penonton itu ber-teriak2.
Dalam keadaan tubuh terapung lantaran dicengkeram orang, sama sekali Tik Hun tidak mempunyai tenaga untuk meronta, sekilas ia melihat wajah Cui Sing yang ayu itupun mengunjuk rasa hina dan senang. Tentunya hina karena benci kepada perbuatan cabul yang dituduhkan kepadanya itu, dan senang lantaran melihat sang Piauko akan melenyapkan jiwanya.
Diam2 Tik Hun menghela napas penyesalan: "Ai, apa mau dikata lagi, rupanya sudah suratan nasibku harus selalu dipetenah orang!"
Dalam pada itu ia lihat pedang Ong Siau-hong sudah terangkat tinggi2 tinggal memanggal kebawah, ia hanya dapat bersenyum getir belaka, katanya didalam hati: "Ting-toako, harap maafkan aku tidak dapat memenuhi janji, soalnya bukan Siaute tidak berusaha sedapat mungkin, tapi sesungguhnya nasibku ini terlalu buruk."
Dan pada saat pedang Ong Siau-hong itu hampir2 ditabaskan kebawah itulah, tiba2 terdengar suara teriakan seorang tua: "Nanti dulu, jangan mengganggu jiwanya!"
Tanpa merasa Siau-hong menoleh, ia lihat pendatang itu adalah seorang Hwesio berjubah kuning. Usia paderi itu sudah sangat tua, kepala lancip, telinga kecil, mukanya penuh keriput. Dan bahan jubah yang dipakainya itu ternyata serupa dan sewarna dengan apa yang dipakai Tik Hun itu.
Seketika air muka Siau-hong berubah, ia tahu Hwesio itu adalah kaum Hiat-to-ceng dari Bit-cong di Tibet. Cepat ia memperingatkan Cui Sing: "Awas, Sing-moay, hati2lah!" ~ Dan tanpa ayal lagi segera ia ayun pedangnya kebawah, ia pikir paderi cabul muda ini kubunuh dulu, kemudian membunuh paderi cabul yang tua itu.
Waktu pedangnya sudah tinggal belasan senti akan mengenai leher Tik Hun, mendadak Siau-hong merasa sikunya kesemutan sekali, terang Hiat-to dibagian siku itu telah terkena sesuatu Am-gi. Kontan saja pedangnya lantas melambai kebawah dengan tidak berkekuatan lagi, namun karena tajamnya senjata itu, tidak urung pipi kiri Tik Hun juga tergurat suatu luka yang sangat panjang.
Gerakan paderi tua itu sangat cepat, dimana tubuhnya sampai, lebih dulu ia sodok Ong Siau-hong hingga terjungkal kebawah kuda, berbareng ia sambar tubuh Tik Hun dan ditaruh keatas kuda putih tunggangan Cui Sing yang berada disamping. Dengan gugup Cui Sing lolos pedang terus membacok.
"Wah, alangkah cantiknya!" seru paderi tua itu ketika ia agak melengak melihat paras Cui Sing yang manis itu. Dan belum lagi pedang orang tiba, lebih dulu ia sudah ulur jarinya dan tepat kena tutuk dipinggang sigadis.
Keruan Cui Sing kaget dan takut, baru pedangnya hendak dibacokan, mendadak tenaganya lenyap, pedang jatuh ketanah hingga mengeluarkan suara nyaring. Segera ia bermaksud melompat turun, namun pinggangnya tiba2 terasa kesemutan dan kakinya ikut kaku serta tidak mau menurut perintah lagi.
Paderi tua itu ter-kekeh2 beberapa kali, sedikit ia angkat sebelah kakinya, tahu2 orangnya sudah mencemplak keatas kuda kuning.
Umumnya orang menaik kuda tentu sebelah kaki menginjak sanggurdi lebih dulu, kemudian kaki yang lain melangkah keatas pelana kuda. Tapi paderi tua ini ternyata lain daripada yang lain caranya mencemplak kuda, ia tidak melompat juga tidak pakai menginjak dulu keatas sanggurdi, tapi sedikit angkat sebelah kakinya, tubuhnya lantas menaik keatas pelana.
Cuma dalam keadaan kacau dan geger, maka semua orang tiada yang perhatikan gerak-geriknya yang hebat dan aneh itu.
Sementara sesudah mencemplak diatas kuda, begitu kedua kaki paderi tua itu mengempit kencang, segera kuda kuning itu membedal kedepan diikuti kuda putih dengan suara kelenengan yang berbunyi kelintang-kelinting.
"Sing-moay! Sing-moay!" demikian Siau-hong ber-teriak2 sambil masih menggeletak ditanah, sungguh ia sangat cemas daan tidak berani membayangkan apa jadinya sesudah sang Piaumoay alias tunangannya itu diculik oleh paderi2 cabul itu. Ada maksudnya hendak bangun untuk mengejar, tapi apa daya, entah cara bagaimana paderi tua itu telah menutuknya, biarpun ia meronta sekuatnya tetap tidak dapat berkutik.
Dalam pada itu hanya terdengar suara teriakan2 kawanan opas tadi: "Tangkap paderi cabul itu!" ~ "Wah, Hiat-to-ok-ceng dapat lolos!" ~ "Celaka, ada gadis cantik yang diculik lagi!"
********
Sudah sekian lamanya Tik Hun terombang-ambing diatas pelana kuda, karena guncangannya yang keras itu, hampir2 pemuda itu terbanting jatuh. Dalam gugupnya dengan sendirinya ia menjamah sekenanya. Tapi mendadak ia merasa tangannya memegangi sesuatu yang empuk dan lemas, waktu ia memperhatikan, kiranya apa yang terpegang tangannya itu adalah pinggang belakang Cui Sing.
Keruan Cui Sing ketakutan dan men-jerit2: "Auuuh, Hwesio jahat, lepas tanganmu!" ~ Ia sangka paderi cabul itu hendak berlaku tidak senonoh atas dirinya.
Sebaliknya Tik Hun menjadi kaget juga dan cepat ia melepas tangan untuk memegangi pelana kuda.
Namun betapapun juga karena mereka berdua menunggang seekor kuda, mau-tak-mau badan mereka mesti bersentuhan. Saking takutnya hingga air mata Cui Sing bercucuran, dengan gemetar ia berteriak: "Le………lepaskan aku! Lepaskan aku!"
Rupanya sepaderi tua merasa sebal oleh teriakan2 Cui Sing yang tiada berhenti itu, tiba2 ia menutuk Ah-hiat, yaitu jalan darah yang membuat bisu gadis itu. Dengan demikian untuk bicara saja Cui Sing sekarang juga tidak dapat.
Diatas kudanya paderi tua itu ber-ulang2 menoleh pula untuk mengamat-amati paras muka dan potongan tubuh Cui Sing yang cantik menggiurkan sambil mulutnya tiada hentinya ber-kecak2 dan memuji: "Ck, ck, ck, alangkah cantiknya! Hari ini Lohwesio benar2 lagi ketomplok rejeki."
Meski mulut Cui Sing sementara itu takdapat bicara, tapi telinganya toh tidak menjadi tuli. Keruan semangatnya se-akan2 terbang ke-awang2 saking takutnya demi mendengar ucapan paderi tua itu, bahkan hampir2 ia kelengar.
Begitulah paderi tua itu terus keprak kudanya menuju kearah barat, selalu tempat sunyi yang dipilih. Setelah sekian lamanya, ia merasa suara keleningan kedua ekor kuda itu terlalu berisik, suara kelintang-kelinting itu hanya akan memancing pengejaran musuh saja. Maka segera ia mengulur tangannya kedepan, ia betot kedua kelenengan emas dan perak kuda2 itu.
Kelenengan2 itu sebenarnya terikat dileher kuda dengan untiran rantai emas dan perak, tapi tenaga paderi tua itu benar2 susah dibayangkan orang, hanya sekali puntir dan betot saja, segera kelenengan2 itu kena dibetot putus terus diremaskan hingga menjadi lantakan emas dan perak, lalu dimasukkannya kedalam baju.
Sebentarpun paderi tua itu tidak memberi kesempatan mengaso kepada kuda2 itu, ia terus berjalan hingga magrib, achirnya sampailah ditepi sebuah tebing yang curam dan dibawahnya adalah sebuah sungai. Ia lihat sekitar situ tiada orang berlalu, pula tiada rumah penduduk, segera ia menurunkan Tik Hun ketanah, lalu Cui Sing dipondongnya turun pula. Achirnya kedua ekor kuda itu ditambatnya dibawah sebuah pohon besar dan membiarkan binatang2 itu makan rumput dan mengaso.
Kemudian paderi tua itu memondong Cui Sing pula dan dimasukan ke-tengah2 semak2 rumput, ia sendiri lalu duduk bersila menghadapi sungai dengan mata terpejam untuk bersemadi.
Tik Hun duduk didepan sipaderi tua itu dengan pikiran yang timbul-tenggelam tak keruan, pikirnya: "Pengalamanku harini benar2 teramat aneh sekali. Ada dua orang baik2 hendak membunuh aku, sebaliknya seorang Hwesio tua malah menolong jiwaku. Melihat kelakuan Hwesio tua ini, terang dia adalah sebangsanya Po-siang yang jahat itu, kalau dia memperlakukan nona itu dengan tidak senonoh, lantas apa dayaku?"
Begitulah dengan bingung Tik Hun hanya berduduk ter-menung2 diatas tebing. Angin malam men-deru2 diseling suara burung malam yang menyeramkan. Tik Hun bergidik demi melihat pula muka sipaderi tua yang mirip mayat hidup itu. Waktu ia menoleh, ia melihat di-semak2 rumput sana menonjol sebagian baju wanita, itulah Cui Sing yang menggeletak disitu.
Beberapa kali Tik Hun bermaksud menanya sipaderi tua, tapi melihat sikap orang yang kereng itu, betapapun ia tidak berani membuka suara.
Selang agak lama, mendadak paderi tua itu berbangkit dengan pelahan2, kaki kirinya tampak diangkat hingga tapak kakinya tertekuk keatas, dengan hanya berdiri dengan kaki kanan, lalu paderi itu pentang kedua tangannya menghadap kebulan.
Se-konyong2 Tik Hun ingat: "He, gayanya ini aku seperti sudah pernah melihat? Ah, ingatlah aku, didalam buku kecil tinggalan Po-siang terdapatlah gambar dengan gaya yang aneh ini."
Ia lihat paderi tua itu masih terus berdiri dengan sebelah kaki sebagai patung, sedikitpun tidak bergoyang. Lewat sebentar, mendadak paderi itu melompat keatas sambil menjungkir, sesudah turun, kini kepalanya yang menahan ditanah, kedua kakinya terangkat rapat lurus keatas.
Tik Hun merasa ketarik, ia coba mengeluarkan buku kecil yang ditemukan dari dalam bajunya Po-siang itu, ia mem-balik2 halaman buku itu, pada suatu halaman, ia lihat gambarnya persisi seperti gaya yang dilakukan sipaderi tua sekarang ini. Tik Hun seperti paham sesuatu, pikirnya dalam hati: "Ehm, tentu inilah kunci melatih ilmu dari golongan Bit-cong mereka."
Kemudian ia melihat paderi tua itu ber-ulang2 berganti cara dan gaya latihannya, melihat gelagatnya, tidak mungkin dapat selesai dalam waktu singkat, bahkan paderi itu semakin tenggelam dalam keasyikan latihannya sambil mata terpejam.
Tik Hun berpikir: "Meski paderi ini telah menolong jiwaku, tapi terang dia adalah seorang jahat dan cabul. Ia menculik nona cantik ini, terang tidak bermaksud baik. Selagi dia asyik melatih diri, biarlah nona itu akan kutolong, lalu mealrikan diri ber-sama2 dengan menunggang kuda."
Biarpun ber-ulang2 Tik Hun tertimpa nasib malang, namun jiwanya yang luhur budi toh tidak menjadi berkurang. Meski tahu tindakannya ini berarti "menyerempet bahaya", namun ia tidak tega menyaksikan seorang nona baik2 mesti dinodai oleh seorang paderi cabul. Maka diam2 ia menggeser tubuh, dengan pelahan2 ia merangkak kearah semak2 rumput.
Dahulu, ia sering melatih Lwekang bersama Ting Tian didalam penjara, maka ia tahu dikala orang sedang asyik semadi begitu, tentang daya pancaindera untuk sementara kehilangan daya-gunanya, telinga tuli dan mata se-akan2 buta. Dalam keadaan demikian asal paderi itu masih terus berlatih, tentu takkan mengetahui kalau dirinya telah menolongi sinona.
Lantaran tulang kakinya patah, maka setiap kali Tik Hun bergerak, tentu menimbulkan rasa sakit tidak kepalang, tapi ia tahan sedapat mungkin, ia letakan titik berat tubuhnya dibagian siku dan dengan setengah menyeret, pelahan2 ia menggerumut ketengah2 semak rumput itu dan untunglah sama sekali tidak diketahui oleh sipaderi tua.
Waktu Tik Hun menunduk, dibawah sinar bulan, paras muka Cui Sing dapat terlihat dengan jelas. Kedua mata nona tampak membelalak lebar2 dengan air muka yang mengunjuk rasa ketakutan setengah mati.
Kuatir diketahui sipaderi tua, maka Tik Hun tidak berani membuka suara, tapi hanya meng-gerak2an tangan untuk memberi tanda jangan kuatir sebab datangnya itu bermaksud menolong gadis itu serta akan melarikan diri ber-sama2 dengan menunggang kuda.
Cui Sing sendiri sejak digondol lari sipaderi tua, diam2 ia sudah putus asa akan nasibnya sendiri yang tercengkeram ditangan iblis kedua paderi cabul itu, ia tidak berani membayangkan penderitaan apa yang akan dialaminya nanti.
Celakanya ia tertutuk, jangankan bergerak, sedangkan untuk bicarapun tidak dapat. Ia ditaruh begitu saja ditengah semak2 rumput, semut dan belalang selalu merayap kian kemari dikepala dan lehernya hingga gatal dan risih rasanya. Kini melihat Tik Hun menggerumut pula mendekati dirinya, ia sangka pemuda itu pasti tidak bermaksud baik dan tentu akan berbuat tidak senonoh kepadanya, keruan takut Cui Sing tidak kepalang.
Ber-ulang2 Tik Hun masih menggeraki tangannya untuk memberi tanda bahwa maksudnya hendak menolong padanya. Tapi saking takutnya Cui Sing menjadi salah tampa, salah terima, hingga semakin menambah rasa takutnya.
Segera Tik Hun menarik bangun sigadis dan menuding kearah kuda yang tertambat disebelah sana itu, maksudnya mengajak gadis itu melarikan diri bersama dengan menunggang kuda. Tapi meski Cui Sing sudah berduduk, sekujur badannya tetap lemas lunglai tidak bertenaga.
Kalau kedua kaki Tik Hun dalam keadaan sehat dan kuat tentu ia dapat memondong sigadis. Tapi kini kakinya patah, untuk berjalan sendiri saja susah, apalagi hendak memondong orang lain? Jalan satu2nya ia pikir harus membuka dulu Hiat-to sigadis yang tertutuk itu dan biar gadis itu berjalan sendiri.
Namun Tik Hun tidak paham cara menutuk dan membuka Hiat-to, terpaksa ia memberi tanda pula dengan tangannya sambil men-tuding2 bagian2 tubuh sigadis dengan harapan dapatlah gadis itu membalas memberi tanda jawaban dengan lirikan matanya tempat mana dapat membuka Hiat-to yang tertutuk itu.
Sebaliknya Cui Sing salah tampa lagi. Ia lihat pemuda itu tuding2 kesegala pelosok badannya, karuan malunya tak terkatakan dan gemasnya juga tidak kepalang. Pikirnya: "Kurangajar benar paderi muda ini, entah dengan cara aneh apa aku akan diperlakukan secara tidak senonoh olehnya. Kuharap asal badanku dapat bergerak sedikit saja, segera aku akan tumbukan kepalaku diatas batu, lebih baik mati daripada menerima hinaan."
Melihat air muka sinona mengunjuk rasa bingung dan aneh, diam2 Tik Hun heran. Ia menduga mungkin gadis itu tidak tahu apa yang dimaksudkan dengan gerakan tangannya tadi. Padahal selain membuka Hiat-to yang tertutuk itu, rasanya tiada jalan lain lagi untuk bisa meloloskan diri. Katanya didalam hati: "Maksudku hanya ingin membantu nona melarikan diri dari ancaman bahaya, maka harap memaafkan tindakanku ini." ~ Habis itu, terus saja ia ulur tangan dan memijat beberapa kali dipunggung sigadis.
Sudah tentu pijitan2 itu tiada membawa hasil apa2 dalam hal membuka Hiat-to yang tertutuk. Sebaliknya rasa takut Cui Sing semakin bertambah hingga hampir2 ia jatuh kelengar. Sebagai seorang gadis, biarpun dia sering mengembara di Kangouw bersama sang Piauko, yaitu Ong Siau-hong, tapi setiap tindak-tanduk mereka selalu sopan-santun, bahkan tangan menyentuh tangan juga tidak pernah, apalagi main pegang2 segala. Kecuali tadi waktu dia diturunkan dari kuda oleh sipaderi tua, boleh dikata selama hidup belum pernah ada tangan kaum priya yang menyentuh tubuhnya. Kini Tik Hun bukan lagi menyentuh tubuhnya, bahkan pijit2 dipunggung, keruan saking takut dan malunya sampai air matanya bercucuran.
Sebaliknya Tik Hun menjadi heran dan kejut. "Mengapa dia menangis? Ah, tentu karena habis tertutuk, Hiat-to dipunggungnya itu menjadi sangat kesakitan bila terpegang oleh tanganku hingga saking tak tahan dia lantas menangis. Biarlah kucoba membuka Hiat-to dipinggangnya saja?" demikian pikir Tik Hun.
Maka kembali ia ulur tangan kepinggang sigadis bagian belakang dan memijat beberapa kali pula.
Tapi celaka, bukannya gadis itu ketawa geli, sebaliknya air matanya semakin deras sebagai banjir. Keruan Tik Hun bertambah heran dan bingung pula. "Wah, kiranya bagian pinggang juga sakit, lantas apa dayaku?" demikian pikirnya.
Namun se-bodoh2nya Tik Hun juga tahu bahwa bagian2 dada, leher, paha, perut, dan lain2 adalah tempat2 yang merupakan keagungan kaum wanita. Jangankan dipegang segala, sedang dipandang saja dilarang keras. Maka ia memikir pula: "Aku tidak dapat membuka Hiat-tonya, jika aku mencoba lagi secara sembarangan, itu berarti aku berbuat kasar. Terpaksa aku mesti menggendong dia dan melarikan diri dengan menyerempet segala bahaya." ~ Berpikir demikian, terus saja ia pegang kedua tangan sigadis dengan memaksud untuk menggendongnya.
Cui Sing sendiri lagi ketakutan dan susah tak terkatakan, saking cemasnya sudah beberapa kali hampir2 ia kelengar. Kini melihat "paderi cabul" itu mulai memegang tangannya, ia sangka orang mulai akan main paksa. Ia ingin berteriak minta tolong, tapi napasnya tertahan didada dan susah dikeluarkan. Ketika Tik Hun mulai tarik tangannya dan hendak mengangkat tubuhnya, seketika hawa yang merongkol didadanya itu lantas menerjang hingga Ah-hiat yang tertutuk tadi terbuka mendadak ia dapat ber-teriak2 dengan suara tajam melengking: "Bangsat gundul, lepaskan aku, lepaskan aku!"
Keruan Tik Hun kaget, pegangannya menjadi kendor hingga Cui Sing terbanting jatuh ketanah. Bahkan ia sendiripun ter-huyung2 dan achirnya terguling juga dan secara sangat kebetulan jatuhnya itu tepat menindih diatas badan Cui Sing.
Dan karena jeritan Cui Sing itu, sipaderi tua lantas sadar, ia membuka mata dan melihat Tik Hun sedang "bergumul" dengan Cui Sing, bahkan gadis itu lagi ber-teriak2 pula: "Bangsat gundul, lekas lepaskan aku atau bunuhlah aku saja!"
"Hahahaha!" sipaderi tua ter-bahak2 menyaksikan itu. "Haha, setan cilik, kenapa kau begitu ter-buru2? Kau hendak mencuri nona milik kakek gurumu, ya? Hahahaha!" ~ Segera iapun mendekati mereka, sekali jamberet, ia tarik Tik Hun keatas dan dibawa menyingkir, lalu dilepaskan ketanah sambil berkata pula dengan tertawa: "Haha, bagus, bagus! Aku paling suka kepada pemuda pemberani seperti kau ini. Biarpun kakimu patah, tapi melihat ada wanita, engkau lantas lupa sakit. Ehm, bagus, bagus! Engkau sangat mencocoki seleraku!"
Keruan Tik Hun garuk2 kepala sendiri dengan serba runyam karena kesalah-pahaman kedua orang itu. Sinona salah tampa, mengira dirinya hendak berbuat tidak senonoh kepadanya, sebaliknya sipaderi tua salah sangka dia hendak merebut 'hak milik' sang 'kakek guru' itu. Diam2 Tik Hun memikir: "Kalau aku bicara terus terang padanya, mungkin sekali hantam paderi itu bisa membikin tamat riwayatku. Terpaksa aku harus mengikuti arah angin untuk berusaha meloloskan diri, berbareng mencari akal untuk menolong nona itu."
"Apakah engkau adalah murid yang baru diterima Po-siang?" demikian terdengar sipaderi tua sedang menanya. Dan belum lagi Tik Hun menjawab, tiba2 paderi itu tertawa lebar dan menyambung pula: "Ehm, tentu Po-siang sangat suka padamu, bukan saja dia telah menghadiahkan 'Hiat-to-ceng-ih' (jubah paderi bersulam gambar golok berdarah) kepadamu, bahkan jilid 'Hiat-to-pit-kip' (kitab pusaka golok berdarah) juga sudah diberikan padamu."
Habis berkata, sekali ia mengulur tangannya, tahu2 buku kecil yang berada didalam baju Tik Hun itu dirogoh keluar olehnya, ia mem-balik2 halaman kitab itu, lalu mengusap kepala Tik Hun dengan pelahan2 sambil berkata: "Ehm, bagus, sangat bagus! Siapakah namamu?"
"Tik Hun!" sahut sipemuda.
"Tik Hun? Ehm, bagus, sangat bagus!" demikian puji sipaderi tua sambil mengembalikan kitab kecil itu kedalam baju Tik Hun. "Dan gurumu sudah mengajarkan padamu kunci melatih ilmu silat kita belum?"
"Belum," sahut Tik Hun.
"O, tapi tak apalah, tidak lama tentu dia akan mengajarkan padamu," ujar paderi tua itu. "Dan dimanakah Suhumu telah pergi?"
Sudah tentu Tik Hun tidak berani mengatakan Po-siang sudah mampus, terpaksa ia menyahut sekenanya: "Dia......dia berada dikapal ditengah Tiang-kang."
"Suhumu pernah memberitahukan kepadamu tentang gelar agung Sucomu (kakek gurumu) tidak?" tanya sipaderi tua pula.
"Belum," sahut Tik Hun.
"Baiklah, dengarkan sekarang, kakek-gurumu ini bergelar 'Hiat-to-Loco'," kata paderi tua. "Aneh juga, entah mengapa engkau sisetan cilik ini sangat menyenangkan aku. Bolehlah kau ikut pada kakek-gurumu ini, tanggung kau akan mendapat rejeki tiada taranya, setiap wanita cantik dan gadis ayu didunia ini, siapa yang kau penujui, tentu pula akan kau peroleh dengan mudah."
"Kiranya dia adalah gurunya Po-siang," demikian pikir Tik Hun. Tapi ia lantas tanya juga: "Mengapa......mengapa orang memaki kita sebagai ........sebagai 'Hiat-to-ok-ceng'? Apakah Su......Suco adalah Ciangkau (pejabat ketua) dari golongan kita ini?"
"Hehe, Po-siang si bedebah ini benar2 terlalu, masakah tentang asal-usul golongannya sendiri juga tidak dikatakan kepada murid kesayangannya," demikian Hiat-to Loco atau si Eyang golok berdarah, mengomel dengan mengekeh tawa. "Tapi biar kuterangkan padamu. Golongan kita ini adalah suatu cabang dari Bit-cong di Tibet, namanya disebut 'Hiat-to-bun'. Aku adalah pejabat ketua angkatan keempat daripada keluarga golok berdarah kita ini. Maka engkau harus belajar dengan baik2 dan giat, kemudian bukan mustahil jabatan ketua angkatan keenam akan dapat jatuh atas dirimu. Eh, tulang kakimu telah patah terinjak kuda, ya? Jangan kuatir, marilah biar kuberi obat."
Segera ia membuka balutan kaki Tik Hun yang patah itu, ia sambung tulang patah tepat pada tempatnya satu sama lain, lalu mengeluarkan sebuah botol porselen dan menuang sedikit obat bubuk dan dibubuhkan ditempat luka itu. Katanya: "Ini adalah obat mujarab menyambung tulang dari golongan kita, tanggung ces-pleng, tiada sebulan, tentu kakimu akan pulih seperti sediakala."
Setelah membalut kembali luka Tik Hun itu, sipaderi berpaling kepada Cui Sing, lalu katanya pula dengan tertawa: "Setan kecil, rupa anak dara ini memang lumayan dan potongan badannya boleh juga, bukan? Ia mengaku sebagai 'Leng-kiam-siang-hiap' apa segala, bapaknya bernama Cui Tay, katanya adalah tokoh terkemuka dikalangan Bu-lim didaerah Tionggoan sini, biasanya suka mengagulkan diri sebagai kaum Beng-bun-cing-pay (keluarga baik2 dan golongan ternama), siapa duga anak dara ini telah kena diculik oleh Hiat-to Loco. Hehehe, kita harus membikin malu habis2an kepada bapaknya itu, kita beleceti baju anak dara ini dan ikat dia diatas kuda, lalu kita arak dia sepanjang jalan dikota Pakkhia (Peking), biar setiap orang ikut menyaksikan dengan jelas beginilah macamnya anak perawan Cui-tayhiap yang mereka puja itu."
Keruan hati Cui Sing ber-debar2 mendengar ucapan paderi tua itu, saking takutnya hampir2 ia kelengar lagi. Pikirnya diam2: "Paderi muda itu sudah jahat, tapi paderi tua bangka ini terlebih jahat dan keji. Aku harus lekas mencari jalan untuk membunuh diri demi badanku yang suci bersih ini serta nama baik ayah."
"Aha, baru dibicarakan, tahu2 orang yang hendak menolongnya sudah tiba!" tiba2 Hiat-to Loco berseru sambil tertawa.

Tik Hun menjadi girang malah, cepat ia tanya: "Dimana?"
"Sekarang masih jauh, paling sedikit ada lima li dari sini," sahut Hiat-to Loco. "Hehe, banyak juga jumlahnya, ehm, seluruhnya ada 17 penunggang kuda."
Waktu Tik Hun mendengarkan dengan cermat, benar juga sayup2 dijalan pegunungan disebelah tenggara sana ada suara derapan kuda, cuma jaraknya masih sangat jauh, maka suara derapan itu terkadang terdengar dan terkadang lenyap, untuk membade berapa jumlah orangnya sudah tentu sangat sulit, tapi sedikit mendengarkan saja Hiat-to Loco sudah lantas tahu dengan pasti jumlahnya ada 17 orang, sungguh daya pendengarannya yang tajam itu sangat mengejutkan orang.
Kemudian Hiat-to Loco berkata pula: "Tulang kakimu baru saja dibubuhi obat, dalam waktu tiga jam engkau tidak boleh sembarangan bergerak, kalau tidak, untuk selamanya kau akan menjadi pincang. Didaerah sini aku tidak pernah mendengar ada jago2 yang berkepandaian tinggi, meskipun mereka berjumlah 17 orang, biarlah nanti kubunuh semua saja."
Sesungguhnya Tik Hun tidak ingin Hwesio jahat itu terlalu banyak mencelakai jago2 silat yang baik dikalangan Bu-lim, maka cepat ia berkata: "Kita sembunyi disini saja tanpa bersuara, mereka tentu takkan mampu menemukan kita. Jumlah musuh terlalu banyak, sebaliknya kita cuma berdua, maka sebaiknya Su.....Suco berlaku hati2 saja."
Hiat-to Loco menjadi senang, katanya: "Ehm, setan cilik berhati luhur, dapat memperhatikan keselamatan kakek-gurumu. Hehe, Suco sangat suka padamu."
Habis berkata, sekali ia mengagap kebagian pinggang, tahu2 sebatang Bian-to (golok baja yang tipis dan lemas) terpegang ditangannya, batang golok itu tampak bergemetar terus mirip ular hidup. Dibawah sinar bulan mata golok itu kelihatan berwarna merah padam, lapat2 bersemu warna darah dan sangat menyeramkan.
Tanpa merasa Tik Hun bergidik, tanyanya dengan gemetar: "Apakah........apakah inilah yang disebut Hiat-to (golok berdarah)?"
"Ya," sahut Hiat-to Loco. "Golok pusaka ini setiap malam bulan purnama mesti diberi sesajen kepala manusia, kalau tidak, tajamnya akan berkurang dan tidak menguntungkan sipemiliknya. Lihatlah malam ini bulan lagi purnama, kebetulan ada 17 orang menghantarkan kepala mereka sendiri untuk sesajen golokku. Wahai, golok-pusaka, malam ini engkau pasti akan kenyang makan darah manusia, lebih kenyang daripada apa yang pernah kau rasakan."
Dilain pihak, diam2 Cui Sing sedang bergirang demi mendengar suara derapan kuda yang ramai itu semakin mendekat, tapi sesudah mendengar ucapan Hiat-to Loco yang sangat sombong itu se-akan2 setiap orang yang datang itu sudah pasti akan terbunuh olehnya. Hal ini meski membuatnya ragu2, tapi diam2 iapun berpikir: "Apakah ayahku sendiri ikut datang? Dan apakah Piauko juga datang kemari?"
Selang tak lama pula, dibawah sinar bulan yang terang itu, tertampaklah dari jalan lereng bukit sana sebarisan penunggang kuda sedang mendatangi dengan cepat. Waktu Tik Hun coba menghitungnya, benar juga, tidak lebih dan tak kurang, jumlahnya memang tepat adalah 17 orang.
"Engkau tentu adalah murid baru si Po-siang, bukan? Siapakah namamu?" tanya Hiat-to Loco.
"Tik Hun!"
"Tik Hun? Ehm, bagus, bagus! Jika engkau menurut pada Suco, tentu setiap wanita ayu dan gadis cantik didunia ini dapat kau peroleh dengan mudah!"
Susul menyusul ke-17 penunggang kuda itu tertampak mengeprak kuda dengan cepat, setiba didekat tebing situ, penunggang2 kuda itu lantas membiluk kejalan dibawah tebing itu, ternyata tiada terpikir oleh mereka untuk menyelidiki keadaan diatas tebing.
"Aku berada disini, aku berada disini!" segera Cui Sing berteriak2.
Mendengar itu, seketika ke-17 orang itu memberhentikan kuda mereka dan memutar kembali.
"Piaumoay! Dimanakah engkau, Piaumoay?" segera seorang laki2 balas berseru. Itulah suaranya Ong Siau-hong.
Dan selagi Cui Sing hendak berteriak pula, mendadak Hiat-to Loco menjulur jarinya dan menyelentik sekali, sebutir batu kecil terus menyambar kearah sigadis dan tepat mengenai pula Ah-hiat hingga Cui Sing tidak dapat bersuara lagi.
Sementara itu ke-17 orang itu sudah melompat turun semua dari binatang tunggangan mereka dan sedang berunding dengan suara pelahan2.
Mendadak Hiat-to Loco pegang bahu Tik Hun terus mengangkatnya tinggi2 keatas sambil berseru: "Inilah Hiat-to Loco. Ciangbunjin angkatan keempat dari Hiat-to-bun Bit Cong di Tibet bersama murid angkatan keenam Tik Hun berada disini!" ~ Menyusul ia berjongkok dan mencengkeram pula leher baju Cui Sing serta diangkatnya keatas juga sambil berteriak: "Lihatlah ini, anak perawannya Cui Tay kini sudah menjadi gundik ke-18 daripada cucu muridku Tik Hun. Siapakah diantara kalian ada yang kepingin minum arak bahagianya, silakan lekas maju kemari! Ahahahahaha!"
Ia sengaja hendak pamerkan betapa tinggi Lwekangnya, maka suara ketawanya itu dibikin panjang hingga antero lembah pegunungan itu se-akan2 terguncang oleh suaranya yang berkumandang jauh itu.
Keruan ke-17 orang itu saling pandang dengan terperanjat sekali.
Namun demikian, bagi Ong Siau-hong, oleh karena sang Piaumoay berada dibawah cengkeraman paderi jahat dan tampaknya sedikitpun tidak mampu melawan, malahan mendengar pula teriakan paderi tua itu tadi yang mengatakan sang Piaumoay sudah menjadi gundik ke-18 dari cucu muridnya yang bernama Tik Hun, ia menjadi tambah kuatir jangan2 sang Piaumoay telah dinodai, saking gusar dan kuatirnya, sekali menggereng, terus saja ia mendahului menyerbu keatas tebing dengan pedang terhunus.
Segera pula ke-16 orang yang lain ikut menerjang keatas sambil ber-teriak2: "Bunuh dulu Hiat-to-ok-ceng itu!" ~ "Basmilah penyakit orang Kangouw ini!" ~ "Ya, paderi cabul seperti itu jangan sekali2 diberi hak hidup!"
Menghadapi keadaan demikian, Tik Hun menjadi serbasalah. Orang2 itu telah sangka dirinya sebagai Hwesio jahat dari Hiat-to-bun, biar bagaimanapun rasanya sulit untuk membela diri dan memberi penjelasan. Paling baik dalam pertarungan nanti mereka dapat membunuh Hiat-to Loco dan nona Cui Sing dapat diselamatkan. Tetapi kalau Hiat-to Loco terbinasa, tentu dirinya juga susah lolos dibawah senjata orang2 itu. Begitulah Tik Hun menjadi bingung dan serba sulit, sebentar berharap kaum pendekar Tionggoan itu bisa menang, lain saat mengharapkan Hiat-to Loco yang menang pula.
Sebaliknya Hiat-to Loco bersikap sangat tenang, jumlah musuh yang sangat banyak itu dianggapnya urusan sepele saja. Kedua tangannya masih terus menjinjing Tik Hun dan Cui Sing sambil mulutnya menggigit Hiat-to hingga semakin menambah coraknya yang seram dan menakutkan.
Setelah para pendekar Tionggoan itu kira2 tinggal berpuluh meter hampir mendekat, pelahan2 Hiat-to Loco meletakkan Tik Hun ketanah, ia taruh dengan hati2 sekali supaya tidak mengganggu tulang kaki "cucu-murid" yang patah itu. Dan sesudah rombongan lawan tingggal belasan meter jauhnya, barulah ia letakan pula Cui Sing disampingnya Tik Hun. Goloknya masih tetap tergigit dimulut, kedua tangannya lantas bertolak pinggang, lengan bajunya ber-kibar2 tertiup angin malam yang kencang.
"Piaumoay! Baik2kah engkau?" segera Ong Siau-hong berseru dari jauh.
Sudah tentu Cui Sing juga bermaksud menyahut, tapi apa daya, ia tak dapat bersuara. Cuma kedatangan sang Piauko yang semakin dekat itu dapat diikutinya dengan jelas. Ia lihat air muka sang Piauko yang tampan itu mengandung rasa penuh kuatir dan sedang berlari mendatangi. Sungguh girang Cui Sing tak terkatakan, alangkah terima kasih dan cintanya kepada sang Piauko itu, kalau dapat ia ingin segera menubruk kedalam pelukan pemuda itu untuk menangis serta mengadukan penderitaan dan penghinaan apa yang telah dialaminya selama beberapa jam ini.
Sementara itu Ong Siau-hong lagi celingukan kian kemari, perhatiannya melulu dicurahkan untuk mencari Piaumoay seorang, karena itu langkahnya menjadi agak lambat, maka diantara para pendekar itu sudah ada 7-8 orang melampauinya kedepan.
Dibawah sinar bulan purnama, sikap Hiat-to Loco yang gagah berwibawa dengan berdiri sambil menggigit golok itu membuat para pendekar serentak berhenti ketika lima-enam meter berada didepan paderi tua itu.
Setelah kedua pihak saling pandang sejenak, mendadak terdengar suara bentakan, dua laki2 berbareng terus menerjang keatas. Yang satu bersenjatakan Kim-pian (ruyung emas) dan yang lain bersenjatakan Siang-to (sepasang golok). Mereka adalah dua saudara seperguruan dari keluarga Hek di Soasay Tay-tong-hu yang terkenal. Walaupun sesama perguruan, tapi senjata mereka berlainan, yang memakai Kim-pian bertenaga sangat besar, sebaliknya yang bersenjata Siangto sangat lincah dan gesit.

Kira2 beberapa meter mereka menyerbu maju, karena langkah pemakai Siang-to itu lebih gesit dan cepat, segera ia mengisar kebelakang Hiat-to Loco, dengan demikian mereka lantas menggencet paderi itu dari muka dan belakang sambil mem-bentak2.
Tapi sedikit Hiat-to Loco mengegos, bacokan Siang-to lawan sudah terhindar. Setelah berkelit pula beberapa kali dari serangan lawan sambil goloknya tetap tergigit dimulut, suatu ketika, se-konyong2 dengan tangan kiri ia memegang garan goloknya yang tipis dan lemas itu, sekali ia mengayun, kontan kepala lawan yang memakai Kim-pian itu terpapas separoh.
Habis membunuh seorang, segera paderi tua itu menggigit goloknya dengan mulut.
Keruan lawan yang memakai Siang-to itu terperanjat dan berduka pula, ia menjadi nekat juga, ia putar sepasang goloknya sekencang kitiran dan merangsang maju.
Tapi Hiat-to Loco dengan seenaknya dapat menyusur kian kemari dibawah sinar golok lawan itu. Se-konyong2 ia memegang goloknya lagi, sekali ini dengan tangan kanan, dan sekali tabas, tahu2 lawan telah terbacok mati.
Serentak para pendekar menjerit takut dan mundur kebelakang. Tertampak paderi tua itu menggigit golok yang berlumuran darah, mulutnya berlepotan darah pula, sikapnya beringas menyeramkan.
Walaupun jeri, namun para pendekar itu sudah bertekad sehidup-semati, maka betapa pun mereka pantang lari. Dengan mem-bentak2, kembali ada empat orang menerjang maju lagi terbagi dari empat jurusan.
Mendadak Hiat-to Loco lari kearah barat. Dengan sendirinya keempat lawannya serentak mengejar, begitu pula pendekar2 yang lainpun ikut mengudak sambil mem-bentak2.
Hanya dalam beberapa meter jauhnya, tertampaklah cepat dan lambat keempat pengejar itu, yang dua dapat mendahului didepan dan dua orang lainnya ketinggalan dibelakang.
Rupanya itulah yang diinginkan Hiat-to Loco, mendadak ia berhenti lari kedepan, sebaliknya terus menyerbu kembali. Dimana sinar merah berkelebat, tahu2 kedua lawan didepan itu sudah terbinasa dibawah goloknya. Dan sedikit tertegun kedua orang yang menyusul dari belakang itu, tahu2 leher mereka juga sudah berkenalan dengan golok sipaderi tua, tanpa ampun lagi kepala mereka berpisah dengan tuannya.
Dengan merebah ditengah semak2 rumput, Tik Hun dapat menyaksikan hanya dalam sekejap saja Hiat-to Loco sudah berhasil membinasakan enam lawannya, betapa hebat ilmu silatnya dan betapa ganas caranya, sungguh susah untuk dibayangkan. Sekilas terpikir olehnya: "Jika cara demikian dia membunuh musuh, sisa ke-11 orang lagi mungkin hanya sekejap saja sudah akan bersih terbinasa olehnya."
Tiba2 terdengar suara teriakan seorang: "Piaumoay, Piaumoay! Dimanakah engkau?" ~ Itulah suaranya Kim-tong-kiam Ong Siau-hong, sipedang jejaka emas, satu diantara Leng-kiam-siang-hiap.
Cui Sing sendiri berjuluk Gin-koh-kiam atau sipedang dara perak. Ia sedang menggeletak disamping Tik Hun, karena Ah-hiat, yaitu Hiat-to pembisu, telah ditutuk oleh Hiat-to Loco, maka ia takdapat bersuara, hanya didalam hati saja ia ber-teriak2: "Piauko, aku berada disini!"
Dilain pihak Ong Siau-hong masih terus mencari sang Piaumoay dengan menyingkap semak2 rumput yang lebat itu. Tiba2 angin meniup hingga ujung baju Cui Sing tersiur keatas, hal mana segera dapat dilihat oleh Siau-hong, dengan girang pemuda itu berseru; "Inilah dia, disini!" ~ Segera iapun menubruk maju untuk merangkul bangun Cui Sing.
Saking girangnya sampai Cui Sing meneteskan air mata hampir2 ia jatuh pingsan didalam pelukan sang kekasih.
"Piaumoay, Piaumoay! Aku telah ketemukan engkau!" demikian seru Siau-hong kegirangan sambil memeluk se-kencang2nya.
Dalam keadaan begitu, segala tata-tertib dan sopan-santun antara kedua orang yang berlainan jenis itu sudah dilupakan oleh pemuda itu.
"Piaumoay, bagaimana kau, tidak apa2 bukan?" demikian Siau-hong menanya pula.
Dan sudah tentu Cui Sing tak dapat menjawab. Siau-hong menjadi curiga, cepat ia letakkan sigadis ketanah. Tapi baru kaki Cui Sing berdiri, tubuhnya terus mendoyong roboh kebelakang. Dan baru sekarang Siau-hong tahu apa yang terjadi atas diri sang Piaumoay, iapun seorang yang mahir Tiam-hiat, segera ia memijit beberapa kali dibagian pinggang dan bahu untuk membuka Hiat-to yang tertutuk itu.
"Piauko-piauko!" segera Cui Sing berteriak terharu sesudah merdeka kembali.
Dalam pada itu Tik Hun menginsafi keadaan berbahaya bagi dirinya ketika Ong Siau-hong mendekat kesitu. Dikala pemuda itu asyik membuka Hiat-to sang Piaumoay, diam2 Tik Hun Tik merangkak pergi.
Namun Cui Sing adalah satu gadis yang sangat cermat, begitu mendengar ada suara semak rumput berkeresakan, segera teringat olehnya hinaan yang diterimanya dari Tik Hun, terus saja ia menuding kearah Tik Hun dan berseru kepada sang Piauko: "Itu dia, lekas bunuh paderi jahat itu!"
Mendengar itu, tanpa pikir lagi Siau Hong terus lolos pedangnya pula, secepat kilat ia menusuk kearah Tik Hun.
Untunglah Tik Hun sebelumnya sudah tahu gelagat bakal celaka. Demi mendengar teriakan Cui Sing itu, maka sebelum pedang orang tiba, dengan cepat ia terus menggulingkan diri kedepan. Dan ternyata disisi situ adalah tanah tanjakan yang miring, maka seperti tong gentong saja ia menggelindingkan diri kebawah.
Dalam pada itu Ong Siau-hong telah menyusulkan tusukan kedua kalinya dengan cepat dan tampaknya sudah hampir mengenai Tik Hun, se-konyong2 terdengar "trang" sekali, tangannya terasa kesemutan, tusukannya telah tertangkis oleh berkelebatnya sinar merah kemilau.
Tapi ilmu silat Siau-hong memang lebih tinggi daripada Cui Sing, kalau cuma sekali gebrak saja masih belum dapat menundukannya. Dalam segala kerepotannya itu, tanpa pikir lagi ia terus putar pedangnya sedemikian kencangnya hingga berwujut sebuah bola sinar putih untuk melindungi tubuh sendiri. Maka terdengarlah serentetan suara gemerincing beradunya pedang dan golok, hanya sekejap saja sudah lebih 20-30 kali kedua senjata saling berbenturan.
Kiranya ilmu pedang Siau-hong itu sudah hampir memperoleh seluruh kepandaian sang guru, yaitu Cui Tay, ayahnya Cui Sing. Ilmu pedang yang dimainkan itu disebut "Khong-jiok-khay-peng" (burung merak pentang sayap), gaya ilmu pedang itu seluruhnya ada sembilan rupa permainan pedang itu sudah dilatihnya dengan sangat masak, dalam keadaan jiwanya terancam bahaya oleh serangan golok musuh yang cepat luar biasa itu, ia tidak dapat memikirkan apakah mesti menangkisnya dengan satu jurus demi satu jurus, tapi ia terus memainkan "Khong-jiok-khay-peng" dengan sendirinya. Dan lantaran itu, meski Hiat-to Loco ber-ulang2 melancarkan serangan sampai 36 kali dan semakin lama semakin cepat namun toh seluruhnya kena ditangkis oleh Siau-hong.
Semua orang sampai terkesima menyaksikan pertarungan sengit dan cepat itu. Sementara itu diantara 17 orang pengejar itu sudah ada tiga orang pula yang terbinasa dibawah golok berdarah sipaderi tua, sisanya termasuk Cui Sing tinggal sembilan orang saja. Diam2 mereka menahan napas mengikuti pertempuran yang berlangsung itu, pikir mereka: "Betapapun Leng-kiam-siang-hiap memang tidak bernama kosong, hanya dia sendiri yang mampu menangkis serangan kilat dari golok paderi jahat itu."
Padahal bila Hiat-to Loco mengendorkan serangannya, menyusul saling gebrak lagi secara biasa, dalam belasan jurus saja tentu jiwa Ong Siau-hong akan melayang dibawah golok berdarah Hiat-to Loco itu. Untunglah seketika itu sipaderi tua tidak memikirkan kemungkinan itu, ia masih terus merangsak dan menyerang secepat kilat dan secara ber-tubi2.
Sebenarnya ada maksud para pendekar lain hendak ikut menerjang maju untuk membantu mampuskan paderi tua yang jahat itu, tapi karena pertarungan kedua orang itu dilakukan dengan terlalu cepat hingga tiada tempat luang yang dapat mereka masuki.
Sudah tentu diantara semua orang itu yang paling memperhatikan keselamatan Siau-hong adalah Cui Sing. Meski kaki-tangannya masih terasa lemas dan linu, tapi iapun tidak berani menunggu terlalu lama, segera ia jemput sebatang pedang dari tangan sesatu mayat yang menggeletak ditanah itu, terus saja ia ikut menyerbu maju untuk membantu sang Piauko.
Sigadis sudah biasa bekerja sama dengan sang Piauko dalam menghadapi musuh, cara bertempurnya menjadi tidak canggung2 segera Ong Siau-hong menahan semua serangan Hiat-to Loco dan Cui Sing yang melakukan serangan dengan mati2an.
Hiat-to Loco mulai gopoh karena sudah puluhan jurus masih takdapat membereskan Ong Siau-hong. Mendadak ia menggerang sekali, sambil tangan kanan tetap memainkan goloknya, tangan kiri terus dipakai untuk merebut pedang pemuda itu.

Siau-hong terkejut, segera ia putar pedangnya lebih kencang, harapannya dapatlah memapas beberapa jari tangan musuh yang berani coba2 merebut senjatanya itu. Tak terduga tangan paderi tua ini seperti tidak takut kepada tajamnya pedang, tangan itu menjentik atau menyampok dengan cepat hingga ada lebih dari separoh dari tipu serangan Siau-hong kena dipatahkan. Dan sebab itu keadaan Siau-hong dan Cui Sing menjadi berbahaya.
Gelagat tidak menguntungkan itu segera dapat dilihat oleh salah seorang pendekar tua diantaranya, ia insaf bila sebentar Leng-kiam-siang-hiap sampai terbinasa dibawah golok musuh, maka sisa kawan2nya juga tiada seorangpun yang dapat lolos dengan hidup.
Maka ia lantas berseru: "Hayo, kawan2, marilah kita menerjang maju semua! Biarlah kita melabrak paderi cabul itu dengan mati2an."
Dan pada saat itulah, tiba2 dari jurusan barat-laut sana terdengar suara teriakan seseorang yang ditarik panjang: "Lok-hoa-liu-cui!"
Menyusul arah barat-daya juga ada suara sahutan seorang lain: "Lok-hoaaaaa-liu-cui!" ~ Bahkan belum lenyap suara itu, kembali dari arah barat ada suara seorang lagi yang bergema diangkasa: "Lok-hoa-liuuuuu-cui?"
Begitulah suara ketiga orang itu berkumandang datang dari tiga jurusan pula, suara mereka ada yang keras melantang, ada yang nyaring melengking, tapi semuanya bertenaga dalam yang sangat kuat.
Hiat-to Loco terkesiap demi mendengar suara teriakan ketiga orang itu, pikirnya: "Darimanakah munculnya tiga tokoh kosen seperti itu? Dari suaranya saja mungkin ilmu silat mereka masing2 tidak berada dibawahku. Pabila mereka bertiga mengerubut maju sekaligus, pasti aku akan susah melawan mereka."
Begitulah sambil memikirkan cara menghadapi musuh, gerak serangannya sedikitpun tidak menjadi kendor.
Se-konyong2 dari arah selatan lagi2 ada suara seruan seorang "Lok-hoa-liu-cuiiiiii!"
Kalau tadi suara ketiga orang itu menarik panjang seruan mereka mulai dari Lok-hoa-liu, maka orang keempat ini menarik panjang huruf keempat "cui" hingga nyaring dan berkumandang sampai jauh.
Dalam pada itu Cui Sing menjadi girang, segera iapun berteriak2: "Ayah, ayah! Lekas tolong, ayah!"
Segera salah seorang pendekar itupun ada yang berseru girang: "Itulah dia Kanglam-su-lo telah datang semua, Lok-hoa-liu-cui! Haha.............." ~ Tapi baru dia mulai tertawa, se-konyong2 darah muncrat dari dadanya, golok Hiat-to Loco telah mampir didadanya hingga seketika ia terbinasa.
Mendengar bahwa keempat orang yang datang lagi itu ternyata adalah ayahnya Cui Sing, tiba2 Hiat-to Loco ingat sesuatu: "Aku pernah mendengar cerita muridku si Sian-yong, katanya didalam Bulim didaerah Tionggoan, tokoh yang paling lihay selain Ting Tian masih terdapat pula apa yang disebut Pak-su-koay dan Lam-su-lo (empat tokoh aneh diutara dan empat kakek sakti diselatan). Pak-su-koay itu katanya berjuluk 'Hong-hou-in-liong'(angin, harimau, mega, naga), dan Lam-su-lo katanya berjuluk 'Lok-hoa-liu-cui (gugur bunga air mengalir alias kocar-kacir). Waktu mendengar cerita itu, aku cuma mengejeknya dengan mendengus, kupikir kalau mereka berjuluk 'Lok-hoa-liu-cui', masakah mereka memiliki kepandaian yang berarti? Tapi kini dari suara seruan mereka yang sahut-menyahut ini, nyata mereka memang bukan tokoh sembarangan."
Selagi paderi tua itu memikir, tiba2 terdengar pula suara keempat orang itu serentak bergema diangkasa, teriakan "Lok-hoa-liu-cui" itu berkumandang datang dari empat jurusan yang begitu keras hingga lembah pegunungan itu se-akan2 terguncang.
Dari suara itu Hiat-to Loco tahu jarak keempat orang masih cukup jauh, paling tidak masih 5-6 li jauhnya. Tapi bila dia mesti membunuh habis sisa kesembilan lawan yang masih terus mengerubut dengan nekat itu, dan sementara itu keempat tokoh mengepung tiba, tentu susahlah untuk meloloskan diri.
Tiba2 ia bersuit, lalu berteriak keras2: "Lok-hoa-liu-cui, biar kulabrak kalian hingga kocar-kacir!"
Berbareng itu jarinya terus menyelentik, "creng", pedang ditangan Cui Sing sampai mencelat keudara oleh selentikan itu.
"Tik Hun, siapkan kuda, kita tinggal pergi saja!" seru Hiat-to Loco tiba2.
Tik Hun tidak menjawab karena merasa serba sulit, jikalau lari bersama paderi tua itu, mungkin dirinya akan semakin mendalam kejeblos kedalam lumpur hingga tidak dapat menarik diri lagi. Tapi kalau tinggal disitu, bukan mustahil segera akan dicincang menjadi baso oleh orang banyak, tidak mungkin dia diberi kesempatan untuk bicara dan membela diri.
Dalam pada itu terdengar Hiat-to Loco telah mendesak pula: "Cucu murid, lekas tuntun kuda kesini!"
Dan segera Tik Hun dapat mengambil keputusan: "Paling penting sekarang yalah menyelamatkan jiwa dahulu, apakah orang lain akan salah paham atau tidak, biarlah itu urusan belakang?"
Maka waktu untuk ketiga kalinya Hiat-to Loco mendesak pula, segera ia menyahut sekali, lalu menjemput sebatang tumbak sekedar dipakai tongkat, dengan berincang-incuk ia terus ketempat kuda.
"Celaka, paderi jahat itu akan lari, biar aku mencegat dia!" seru seorang gendut yang bersenjata toya. Segera iapun tarik toyanya serta memburu kearah Tik Hun.
"Hehe, kau hendak mencegat dia, biar aku mencegat kau!" demikian Hiat-to Loco menjengek, berbareng goloknya berkelebat, sebelum sigendut sempat berkelit, tahu2 orangnya berikut toyanya sudah tertabas kutung menjadi empat potong.
Melihat kawannya mati secara mengenaskan, semua orang sama menjerit ngeri. Memang tujuan Hiat-to Loco yalah untuk menggertak mundur pengeroyok itu, maka pada saat lawan2 itu tertegun sejenak, tanpa ayal lagi ia mengulur tangan hingga pinggang Cui Sing kena dirangkulnya, segera ia berlari kearah Tik Hun yang sementara itu sudah menyiapkan kuda tunggangannya.
"Lepaskan aku, lepaskan aku, Hwesio jahanam!" demikian Cui Sing ber-teriak2, berbareng kepalannya terus menghantam serabutan kepunggung Hiat-to Loco.
Biarpun ilmu pedang sigadis tidak lemah, tapi kepalan yang dihujankan kepunggung musuh itu ternyata tiada bertenaga, apa lagi kulit-daging Hiat-to Loco cukup kasap dan tebal, beberapa kali gebukan itu hampir2 tidak terasa olehnya, bahkan paderi tua itu melangkah dengan sangat cepat, hanya beberapa kali lompatan saja ia sudah berada disamping Tik Hun.
Saat itu Ong Siau-hong masih terus putar pedangnya dengan mati2an, ia masih terus melontarkan jurus2 "Khong-jiok-khay-peng" yang mirip burung merak beraksi itu. Ketika sang Piaumoay kembali diculik musuh lagi, dengan kalap ia lantas memburu sambil tetap memutar pedangnya tanpa berhenti, cuma permainannya sudah kacau tak keruan.
Sesudah mendekat, lebih dulu Hiat-to Loco menaikan Tik Hun keatas kuda kuning, lalu menaruh Cui Sing didepan pemuda itu sambil memberi pesan dengan pelahan: "Orang2 yang berteriak seperti setan meringkik itu adalah musuh2 tangguh yang tidak sembarangan. Anak dara ini adalah barang sandera (jaminan), yangan sampai dia melarikan diri."
Sembari berkata ia terus mencemplak keatas kuda putih dan dikeprak kearah timur dengan diikut oleh Tik Hun dengan kuda kuning.
Dalam pada itu suara teriakan "Lok-hoa-liu-cui" itu semakin mendekat, terkadang suara itu tuma seorang saja, tempo2 dua orang, tapi sering juga tiga-empat orang berseru berbareng.
"Piauko, Piauko! Ayah, ayah! Lekas tolong aku!" demikian Cui Sing juga ber-teriak2 ketakutan. Tapi jelas dilihatnya sang Piauko makin jauh ketinggalan dibelakang kuda.
Kedua ekor kuda kuning dan putih milik Leng-kiam-siang-hiap itu memangnya adalah kuda2 pilihan yang susah didapat. Biasanya mereka sangat bangga atas binatang tunggangan mereka itu. Siapa duga sekarang senjata makan tuan, kuda2 itu berbalik diperalat oleh musuh untuk melarikan Cui Sing. Sudah tentu binatang2 itu tidak kenal kawan atau lawan, mereka hanya menurut perintah sipenunggang saja, semakin dikeprak, semakin kencang larinya, dan Ong Siau-hong juga ketinggalan semakin jauh.
Walaupun takdapat menyusul musuh, namun Siau-hong tidak putus asa, ia masih memburu terus sambil ber-teriak2 dari jauh: "Piaumoay! Piaumoay!"
Begitulah yang satu berteriak "Piauko" dan yang lain berseru "Piaumoay", suara mereka sedih memilukan, bagi pendengaran Tik Hun, rasanya menjadi tidak tega, beberapa kali ia hendak mendorong Cui Sing kebawah kuda biar berkumpul kembali dengan kekasihnya. Tapi selalu teringat olehnya pesan Hiat-to Loco yang mengatakan musuh yang datang itu sangat tangguh, anak dara ini adalah barang sandera dan harus dijaganya jangan sampai lari. Maka ia menjadi ragu2, bila Cui Sing dilepaskan tentu Hiat-to Loco akan gusar, paderi yang jahat luar biasa itu, bukan mustahil akan membunuh dirinya bagai menyembelih seekor ayam saja. Apalagi bila sampai disusul oleh ayah Cui Sing berempat jago tangguh itu, besar kemungkinan dirinya juga akan terbunuh secara sia2 tanpa berdosa.
Seketika Tik Hun menjadi bingung apa yang harus dilakukannya, ia dengar suara teriakan Cui Sing sudah mulai serak. Mendadak hati Tik Hun terharu: "Ai, betapa cinta-kasih antara mereka itu, tapi dengan paksa telah dipisahkan orang. Aku sendiri bukankah juga demikian dengan Jik-sumoay? Mestinya kami dapat hidup aman tenteram berduaan, tapi ada pihak ketiga yang telah menghancurkan cita2 kami. Namun ....namun, bilakah Jik-sumoay pernah memperhatikan diriku seperti nona Cui ini terhadap Piaukonya itu?"
Berpikir sampai disini Tik Hun menjadi berduka, katanya didalam hati: "Bolehlah kau kembali saja!" ~ dan sekali mendorong Cui Sing didorongnya kebawah kuda.
Tak terduga meski Hiat-to Loco berjalan didepan, namun setiap saat ia memperhatikan gerak-gerik kuda dibelakangnya. Ketika suara teriakan Cui Sing mendadak berhenti, menyusul terdengar suara kaget sigadis dan suara jatuhnya ketanah, ia mengira Tik Hun yang patah kaki itu tidak kuat menahan terperosotnya Cui Sing ketanah, maka cepat ia memutar balik kudanya.
Dilain pihak, begitu tubuh Cui Sing jatuh ketanah, cepat ia sudah melompat bangun pula, segera iapun angkat langkah seribu berlari kearah Ong Siau-hong.
Jarak kedua muda-mudi tatkala itu kira2 ada seratusan meter, yang satu berlari dari sini, yang lain memapak dari sana, yang satu berteriak: "Piauko!" dan yang lain berseru; "Piaumoay!" ~ Jarak mereka semakin dekat, rasa girang mereka tak terkatakan dan rasa kuatir merekapun susah dilukiskan.
"Hehe, biarlah mereka gembira dulu!" demikian jengek Hiat-to Loco. Ia sengaja menahan kudanya, ia membiarkan kedua muda-mudi semakin mendekat satu-sama-lain, waktu jarak mereka tinggal 20-30 meter jauhnya, mendadak ia kempit kudanya kencang2 sambil bersuit, secepat angin ia membedal kuda putih itu kebelakang Cui Sing.
Keruan Tik Hun ikut kuatir bagi sigadis, dalam hati ia ber-teriak2: "Lekas lari, cepat sedikit, lekas!"
Begitu pula beberapa pendekar yagn tidak terbunuh tadi ketika melihat Hiat-to Loco menggeprak kudanya kembali sambil mulut menggigit golok berdarahnya, merekapun ber-teriak2 kuatir: "Cepat lari, lekas!"
Cui Sing mendengar suara derapan kuda dari belakang semakin mendekat, tapi lari mereka juga semakin cepat dan jarak kedua muda-mudi itupun semakin dekat. Saking napsu dan gugupnya ingin lekas2 mencapai sang kekasih, sampai dadanya se-akan2 meledak dan dengkulnya terasa lemas, setiap saat pasti dia akan terbanting roboh. Tapi sedapat mungkin ia masih bertahan sekuatnya
Lambat laun ia merasa hawa napas kuda putih seperti sudah menyembur sampai dipunggungnya, terdengar Hiat-to Loco sedang berkata dengan tertawa iblis: "Hehe, masakah kau dapat lolos?"
Dengan mati2an Cui Sing angkat langkahnya selebar mungkin sambil mengulur kedua tangannya kedepan, namun sang Piauko masih dua-tiga meter jauhnya, sedangkan tangan kiri Hiat-to Loco sudah terasa merangsang keatas kepalanya.
Sekali Cui Sing menjerit dan selagi hendak menangis, tiba2 terdengarlah suara seruan seorang yang penuh welas-asih serta sangat dikenalnya: "Jangan takut, Sing-ji, ayah datang untuk menolong kau!"
Mendengar suara itu tak-lain-tak-bukan adalah sang ayah ~ Cui Tay ~ yang telah datang, dalam girangnya semangat Cui Sing tiba2 terbangkit, entah darimana datangnya kekuatan, se-konyong2 kakinya melejit sekuatnya kedepan hingga lebih satu meter jauhnya, meski saat itu lengan atas sigadis sudah terjamah oleh tangan Hiat-to Loco, tapi achirnya gadis itu dapat terlepas juga.
Ketika Ong Siau-hong sekuatnya melompat maju juga, tangan kiri kedua muda-mudi itu sudah dapat saling memegang. Cepat tangan kanan Siau-hong memutar pedangnya pula, pikirnya: "Alhamdulillah, syukur Suhu dapat tiba tepat pada waktunya untuk menolong, maka sekarang tidak perlu takut kepada iblis paderi jahat itu lagi."
Sebaliknya Hiat-to Loco ter-kekeh2 ejek melihat pemuda itu berani main kayu padanya lagi, tiba2 goloknya menyabat kedepan.
Melihat berkelebatnya sinar merah, cepat Ong Siau-hong ayun pedangnya menangkis. Diluar dugaan, tiba2 golok bersinar merah darah itu dapat melengkung kebawah hingga mirip tali yang lemas ujung golok terus memotong kejari tangannya. Bila Ong Siau-hong tidak lepaskan pedangnya, pasti tangannya yang akan terkutung.
Didalam seribu kerepotannya itu, perubahan gerakan pemuda itupun sangat cepat, ia kerahkan tenaga pada tangannya, pedang terus ditimpukan kearah musuh.
Tapi sekali jari kiri Hiat-to Loco menjentik, kontan pedang itu terpental dan menyambar kearah seorang kakek yang sedang berlari secepat terbang dari arah barat sana. Menyusul golok ditangan kanan paderi itu terus mengulur kedepan pula mengancam muka Ong Siau-hong.
Untuk mendoyongkan tubuhnya kebelakang guna menghindar serangan itu, terpaksa Siau-hong harus melepaskan tangan yang memegang tangan Cui Sing itu. Dan kesempatan itu tidak di-sia2kan Hiat-to Loco, sekali tangannya merangkul, kembali Cui Sing tertawan olehnya terus ditaruh diatas pelana kudanya. Bahkan paderi itu tidak memutar kudanya dengan segera, tapi malah keprak kuda mencongklang kedepan, menerjang kearah rombongan jago2 silat Tionggoan tadi.
Melihat musuh menerjang dengan kudanya, pendekar2 Tiongoan yang menghadang ditengah jalan itu terpaksa melompat minggir sambil ber-teriak2. Sedangkan Hiat-to Loco lantas memutar kudanya, mengitar kembali kearah Tik Hun sambil mulutnya mengeluarkan suara gerangan aneh.
Namun sebelum dia mendekat dengan Tik Hun, se-konyong2 sesosok bayangan kelabu berkelebat, sinar pedang yang gemerdep menyilaukan mata karena tertimpa cahaya sinar bulan, tahu2 menyambar kearah dadanya. Tanpa pikir lagi Hiat-to Loco ayun goloknya menyampok, "trang", golok membentur pedang hingga cekalannya terasa kesemutan. "Hebat benar tenaga dalamnya!" diam2 paderi tua itu membatin.
Dan pada saat itulah kembali dari sebelah kanan sebatang pedang juga menusuk kearahnya. Gaya serangan pedang ini datangnya sangat aneh, ujung pedang tampak gemerdep hingga berwujut beberapa lingkaran2 besar dan kecil, hingga seketika tidak jelas kemana tusukan pedang itu hendak diteruskan.
Kembali Hiat-to Loco terkejut: "Ah, kiranya tokoh ahli Thay-kek-kiam juga datang!"
Segera ia himpun tenaga ketangan kanan, iapun ayun goloknya hingga berupa beberapa lingkaran, begitu lingkaran2 golok dan pedang beradu, terdengarlah "trang-trang-trang" beberapa kali disertai muncratnya lelatu api.
"Ilmu golok bagus!" terdengar pihak lawan membentak. Berbareng orangnya terus melompat kesamping. Waktu dipandang, kiranya adalah seorang Tojin (imam agama Tao) yang berjubah kuning jingga.
"Dan ilmu pedangmu juga bagus!" demikian Hiat-to Loco balas memuji.
Tapi orang yang disisi kiri tadi lantas membentak juga: "Lepaskan puteriku!" ~ Segera pedangnya menusuk dan tangannya memukul sekaligus.
Disebebelah sana, dari jauh Tik Hun dapat menyaksikan Cui Sing kembali telah ditawan Hiat-to Loco pula, tapi akibatnya kini telah dikerubut dua lawan tangguh. Sikakek sebelah kiri itu berjenggot putih sebagai perak, wajahnya putih bersih, ber-ulang2 terdengar dia berteriak: "Lepaskan puteriku!" ~ Terang ialah ayahnya Cui Sing. ~ Cui Tay.
Tertampak setiap kali Hiat-to Loco menangkis pedang Cui Tay selalu paderi tua itu tergeliat sedikit, teranglah tenaga dalam jago she Cui itu masih lebih kuat daripada lawannya.
Dalam pada itu dari lereng bukit sebelah barat sana tertampak mendatangi lagi dua orang lain dengan secepat angin, terang merekapun jago yang lihay.
Pikir Tik Hun: "Bila kedua orang itupun tiba dan empat orang mengeroyok maju semua, tentu Hiat-to Loco takkan sanggup melawan mereka, kalau tidak terbinasa juga akan terluka parah. Maka lebih baik sekarang juga aku melarikan diri dahulu!" ~ Tetapi segera terpikir lagi olehnya: "Kalau bukan paderi itu yang menolong jiwaku, mungkin sejak tadi2 aku sudah dibunuh oleh Ong Siau-hong. Jika sekarang aku lupa budi dan mementingkan diri sendiri, terang ini bukan perbuatan seorang laki2 sejati."
Begitulah ia menjadi ragu2 apa mesti menyelamatkan diri sendiri atau tidak. Se-konyong2 terdengar teriakan Hiat-to Loco: "Ini, kukembalikan puterimu." ~ tahu2 tubuh Cui Sing dilemparkan hingga melampaui atas kepala Cui Tay terus tertuju kearah Tik Hun.

Kejadian ini benar2 diluar dugaan siapapun juga, sudah tentu Cui Sing yang tubuhnya me-layang2 diudara itu men-jerit2 ketakutan, bahkan orang lain juga berteriak kaget semua.
Tik Hun menjadi bingung juga ketika melihat tubuh sigadis itu melayang kearahnya. Kalau tak ditangkap olehnya, tentu gadis itu akan terbanting, kalau ditangkap, datangnya tubuh sigadis teramat kencang, boleh jadi ke-dua2nya akan terguling semua ketanah. Namun Tik Hun tidak sempat banyak memikir lagi, tubuh Cui Sing sudah melayang tiba, terpaksa ia pentang tangannya terus merangkul tubuh gadis itu.
Sebenarnya lemparan Hiat-to Loco itu cukup keras, untung Tik Hun berada diatas kuda, tenaga timpahan itu sebagian besar dapat dipikul oleh kuda. Pula waktu Hiat-to Loco melemparkan Cui Sing, berbareng ia sudah menutuk jalan darah gadis itu hingga tidak dapat berkutik apa2, maka Tik Hun dapat menangkap tubuhnya dengan bebas.
"Hwesio jahat, lepaskan aku!" demikian Cui Sing hanya dapat ber-teriak2.
Di sebelah sana mendadak Hiat-to Loco membacok dua kali kearah Cui Tay, menyusul dengan cepat luar biasa ia membacok juga dua kali kepada imam tua tadi, serangan2nya itu lihay sekali hingga mau-tak-mau lawan2nya harus menghindar dan berkelit. Berbareng Hiat-to Loco berseru pula: "Tik Hun, anak baik, lekas lari, lekas lari dulu, tak perlu menunggu aku!"
Tik Hun masih bingung, tapi segera dilihatnya Ong Siau-hong dan beberapa kawannya telah memburu kearahnya sambil ber-teriak2: "Bunuh dulu bangsat cabul cilik itu!" ~ Dilain pihak Hiat-to Loco masih terus mendesak agar dia lekas melarikan diri. Achirnya Tik Hun pikir memang harus menyelamatkan diri lebih penting. Maka segera ia keprak kudanya menerjang kesana.
Tadinya Tik Hun dan Hiat-to Loco sebenarnya berlari kearah timur, tapi dalam keadaan gugup sekarang ia berbalik lari kearah barat.
Dalam pada itu Hiat-to Loco memutar golok merahnya itu semakin cepat, seluruh tubuhnya se-akan2 terbungkus oleh sinar merah, dengan ketawa2 ia masih berkata: "Lebih baik aku akan mengawani puterimu yang cantik molek itu daripada menemani tua bangka seperti kau ini!"
Habis berkata, ia pura2 membacok sekali, selagi lawan berkelit, terus saja ia kempit kudanya hingga binatang itu mendadak melompat kedepan.
Karena kuatir atas diri puterinya yang telah dilarikan Tik Hun itu, Cui Tay tidak ingin terlibat lebih lama dengan Hiat-to Loco, segera ia mengeluarkan Ginkang "Ting-ping-toh-cui" (menumpang kapu2 meluncur diatas air) yang hebat, segera ia mengejar kearah Tik Hun secepat orang meluncur diatas air.
Tapi kuda tunggangan Tik Hun justeru adalah kuda pilihan jenis Tay-wan (sejenis kuda pacu Mongol) yang dibeli Cui Tay sendiri dengan harga 500 tahil perak, betapa cepat larinya kecuali kuda putih tunggangan Hiat-to Loco itu, boleh dikata jarang ada tandingannya. Maka sekarang meski diatas kuda kuning itu dibebani dua orang, yaitu Tik Hun dan Cui Sing, tapi larinya masih sangat cepat dan Cui Tay tetap takdapat menyusulnya.
"Berhenti, berhenti!" demikian Cui Tay ber-teriak2. "Bangsat gundul, jika kau tidak berhenti, sebentar kucincang kau hingga menjadi bergedel!"
Sudah tentu tidak nanti Tik Hun mau berhenti, sebaliknya ia mengeprak kudanya semakin kencang.
"Ayah, ayah!" Cui Sing ber-teriak2 juga dengan ketakutan.
Sungguh hati Cui Tay seperti di-sayat2, sahutnya: "Jangan kuatir, nak!"
Dan hanya sekejap saja kejar mengejar itu sudah dua ~ tiga li jauhnya. Meski Ginkang Cui Tay sangat hebat, tapi lama-kelamaan iapun mulai lemas, maklum, usianya sudah lanjut napasnya jadi kempas-kempis dan megap2, jaraknya dengan kuda kuning itupun semakin menjauh. Bahkan mendadak dari belakang terdengar ada sambaran senjata tajam. Tanpa pikir ia putar pedangnya menangkis kebelakang, "trang", bacokan Hiat-to Loco yang sudah dapat menyusulnya itu kena tertangkis, segera tertampak angin berkesiur lewat diampingnya, paderi tua itu sudah keprak kuda putihnya sambil ter-bahak2 dan menyusul kearah Tik Hun dengan cepat sekali..............
*** *****
Hiat-to Loco dan Tik Hun masih terus melarikan kuda mereka dengan cepat hingga musuh sudah ketinggalan sangat jauh dibelakang, setelah yakin musuh pasti takkan mampu menyusul lagi, kuatir kalau kuda2 itu terlalu capek, mereka lantas mengendorkan kendali dan membiarkan binatang2 itu berjalan pelahan2.
Sepanjang jalan tiada henti2nya Hiat-to Loco memuji kebaikan hati Tik Hun, katanya pemuda itu mempunyai Liangsim (hati nurani bajik), biarpun tahu gelagat sangat berbahaya toh tidak mau melarikan diri meninggalkan sang "Suco" (kakek guru).
Tik Hun hanya tersenyum getir saja oleh "pujian" setinggi langit itu. waktu ia melirik Cui Sing, ia lihat paras muka sigadis mengunjuk rasa ketakutan tercampur hina padanya, ia tahu gadis itu pasti sangat benci, bahkan geregetan padanya. Ia pikir urusan toh sudah ketelanjur begini, untuk memberi penjelasan juga gadis itu belum tentu mau percaya, ia pikir masa-bodohlah, bagaimana engkau hendak memaki dan mencaci aku sebagai bangsat gundul atau paderi cabul dan apa lagi, silakan makilah sesukamu.
"Hei anak dara," tiba2 Hiat-to Loco bersuara, "ilmu silat ayahmu boleh juga, ya? Tapi, hehe, toh masih kalah setingkat daripada Cosuya-mu ini, biarpun dia peras antero tenaganya juga tidak mampu menahan diriku."
Cui Sing tidak menjawab, tapi hanya melototnya sekali.
"Dan siimam tua yang bersenjata pedang itu, siapakah dia? Termasuk yang mana diantara 'Lok-hoa-liu-cui' itu?"demikian Hiat-to Loco menanya pula.
Namun Cui Sing sudah ambil keputusan takkan menjawab, biar pun orang menanya terus, tetap ia tidak gubris padanya.
Achirnya Hiat-to Loco menjadi jengkel, tiba2 ia tanya Tik Hun dengan tertawa: "Eh, cucu muridku, tahukah engkau tempat manakah yang paling berharga bagi kaum wanita?'
Tik Hun terperanjat oleh pertanyaan itu. "Celaka!" pikirnya. "Apakah paderi terkutuk ini akan menodai kesucian nona Cui? Cara bagaimana baiknya agar aku dapat menolong gadis itu?"
Tapi terpaksa iapun menjawab: "Entahlah, aku tidak tahu!"
"Ah, masih hijau, kau," ujar Hiat-to Loco dengan tertawa. "Ini, dengarlah baik2 biar kau tambah pengalaman.Tempat yang paling berharga bagi kaum wanita adalah terletak pada ........ paras mukanya! Nah, sekarang kau sudah tahu bukan? Makanya bila dia masih tidak menjawab pertanyaanku, haha, asal golokku ini kusayat begini dan kuiris begitu, seketika mukanya akan berwujut peta jalan simpang, nah, cantik tidak kalau begitu, ha?" ~ Habis berkata, sret, segera iapun lolos goloknya yang terselip dipinggang itu.
Namun Cui Sing adalah satu gadis yang berwatak sangat keras, setelah jatuh ditangan kedua "paderi cabul" itu, memangnya ia sudah bertekad pati, lebih baik gugur sebagai ratna daripada hidup menanggung hina. Meski suka kepada paras cantik adalah menjadi watak asli kaum wanita, bila terpikir muka sendiri yang cantik molek itu bakal di-sayat2 sedemikian rupa oleh paderi jahanam itu, betapapun ia merasa merinding juga. Tapi bila terpikir pula sesudah paras muka sendiri terusak, boleh jadi kesucian badannya malah dapat dipertahankan, hal ini masih mending juga daripada mati konyol.
Sementara itu Hiat-to Loco telah abat-abitkan ujung goloknya dimuka hidungnya sambil mengancam: "Nah, jawablah! Kutanya siapakah imam tua itu? Jika kau tidak menjawab lagi, sayatan pertama segera kulakukan. Katakan, lekas!"
"Fui!" semprot Cui Sing. "Katakan apa? Katakan kau paderi keparat! Lekas kau bunuh saja nonamu ini!"
"Sret", mendadak tangan Hiat-to Loco bekerja, dimana sinar merah berkelebat, muka Cui Sing telah disayatnya sekali.
Tik Hun menjerit tertahan sekali dan tidak tega untuk memandang. Sebaliknya Cui Sing sudah lantas pingsan.
Hiat-to Loco ter-bahak2 sambil melarikan kudanya lebih cepat.
Tanpa tertahan Tik Hun memandang juga kepada Cui Sing , tapi ia menjadi melongo sebab muka sinona ternyata tiada apa2, bahkan luka sedikitpun tidak ada. Keruan ia sangat girang.
Kiranya ilmu permainan golok Hiat-to Loco itu benar2 sudah mencapai tingkatan yang paling sempurna dan dapat menurut setiap keinginannya tanpa selisih satu milipun. Tabasannya tadi memang telah menyambar lewat dipipi Cui Sing, tapi hanya kena sayat secomot rambut dipelipis gadis itu, sedangkan pipinya sedikitpun tidak terluka.
Saat itu pelahan2 Cui Sing juga mulai siuman, tanpa tertahan lagi air matanya bercucuran. Ketika dilihatnya Tik Hun lagi memandangnya dengan tersenyum-simpul girang, ia menjadi gusar dan mendongkol, damperatnya: "Kau ........ kau ..........paderi jahat." ~ Sebenarnya ia bermaksud mencaci maki pemuda itu dengan kata2 yang paling pedas dan keji, tapi dasar dia seorang gadis sopan dan lembut, selamanya tidak pernah mengucapkan kata2 yang kasar dan kotor, maka seketika itu iapun tidak tahu apa yang harus dimakinya selain kata2 "paderi jahat" itu.
Melihat Cui Sing sudah siuman, segera Hiat-to Loco menggeraki pula goloknya yang melengkung itu kemuka sigadis sambil membentak: "Nah, sekarang kau mau menjawab tidak? Kalau tidak, segera kusayat pula mukamu!"
Tapi Cui Sing tetap membandel, ia pikir toh sudah disayat sekali, biarpun di-sayat2 lagi mukaku juga serupa saja, maka sahutnya dengan menjerit: "Lekas kau bunuh aku saja, Hwesio jahanam!"
"Huh, masakah begitu enak?" ejek Hiat-to Loco sambil menabas pula, kembali goloknya menyerempet lewat dipipi sigadis.
Tapi sekali ini Cui Sing tidak pingsan lagi, ia merasa pipinya nyes dingin, namun tidak terasa sakit, pula tiada darah menetes. Baru sekarang ia tahu Hwesio tua itu cuma main gertak saja, hakikatnya pipi sendiri tidak terluka apa2, tanpa merasa ia menghela napas lega.
"Eh, cucu murid yang baik, kedua kali bacokan Cosuya barusan ini bagaimana menurut pendapatmu?" tiba2 Hiat-to Loco menanya Tik Hun.
"Wah, ilmu sakti, hebat sekali!" sahut Tik Hun, tanpa ragu2, memang pujiannya ini bukan pura2 belaka, tapi timbul dari hati nuraninya, sebab ilmu golok Hwesio tua itu memang luar biasa.
"Kau ingin belajar tidak?" tanya Hiat-to Loco pula.
Tik Hun tidak lantas menjawab, tapi mendadak timbul suatu pikirannya: "Aku justeru lagi bingung bagaimana untuk melindungi kesucian nona Cui, bila aku mengalihkan perhatiannya dengan merecoki sipaderi tua agar mengajarkan ilmu silatnya kepadaku, tentu pikiran menyelewengnya untuk sementara ini dapat dicegah, lalu aku dapat mencari akal untuk menolong sinona. Dan aku harus membuat sipaderi tua benar2 mencurahkan antero perhatiannya untuk mengajar padaku, untuk mana aku harus berusaha menyenangkan hatinya serta belajar sungguh2."
Dengan keputusan itu, maka ia menyahut: "Cosuyaya, kepandaianmu memainkan Hiat-to itu, sungguh cucu-murid keranjingan benar2 untuk mempelajarinya, maka sukalah Cosuya mengajarkan beberapa jurus padaku, agar kelak bila aku bertemu dengan lawan sebangsa keroco seperti Piauko nona ini, paling tidak aku dapat balas melabraknya."
Habis berkata, pikir punya pikir Tik Hun menjadi mengkirik sendiri dan merah jengah mukanya. Maklum, dasar watak Tik Hun sangat jujur, selamanya tidak suka pura2, tapi kini demi untuk menolong sinona, mau-tak-mau ia mesti memanggil "Cosuya" kepada musuh yang sebenarnya dibenci itu.
Bahkan Cui Sing yang mendengar ucapan Tik Hun yang menjilat pantat itupun merasa muak, ber-ulang2 ia meludah tanda benci.
Sebaliknya Hiat-to Loco merasa sangat senang, katanya: "Ilmu permainan Hiat-to ini tidak mungkin dapat dipelajari dalam waktu singkat. Tapi bolehlah aku mengajarkan jurus 'Pi-coa-sia-hu' (mengupas kertas dan mengiris tahu). Cara melatihnya begini: taruhlah setumpuk kertas kira2 seratus helai diatas meja, sekali golokmu menabas harus tepat mengupas kertas helai pertama, helai kedua sekali2 tidak boleh ikut terkupas. Habis itu memotong helai kedua, ketiga dan seterusnya, sekali tabas satu helai, hingga habis seratus helai."
"Huh membual seperti tukang obat!" ejek Cui Sing. Dasar sifat anak muda, ia tidak percaya ilmu golok orang bisa sedemikian lihaynya, makanya ia mengejek.
"O, jadi kau tidak percaya, baiklah sekarang juga aku mencobanya dihadapanmu," ujar Hiat-to Loco dengan tertawa. Dan mendadak ia bubut seutas rambut sigadis.
Keruan Cui Sing kaget, "Hai, mau apa kau?" teriaknya kuatir.
Namun Hiat-to Loco tidak menjawab, ia taruh utas rambut itu diatas batang hidung Cui Sing, lalu melarikan kudanya kedepan sana.
Waktu itu tubuh Cui Sing meringkuk dan tertaruh diatas kuda, didepannya Tik Hun, ketika merasa ujung hidungnya ditaruhi seutas rambut, dengan sendirinya merasa ter-kilik2 geli, ia tidak tahu sipaderi tua itu akan main gila apa, sedianya terus hendak meniup rambut diatas hidung itu agar jatuh.
Tapi mendadak terdengar Hiat-to Loco berseru; "Eh, jangan bergerak, lihatlah yang jelas!" ~ Lalu ia memutar kudanya berlari kembali, dengan cepat sekali kedua kuda lantas saling bersimpangan.
Seketika Cui Sing merasa pandangannya silau oleh berkelebatnya sinar merah, ujung hidungnya terasa silir2 dan rambut diatas hidung itu tahu2 sudah lenyap. Menyusul lantas terdengar Tik Hun ber-teriak2: "Bagus! Bagus!"
Ketika Hiat-to Loco menyodorkan goloknya kedepan Cui Sing, maka tertampaklah diatas batang golok itu terdapat seutas rambut panjang. Hiat-to Loco dan Tik Hun berkepala gundul semua, dengan sendirinya rambut itu adalah milik Cui Sing yang takdapat dipalsukan. Keruan sigadis tidak kepalang kejut dan kagumnya, pikirnya: "Hwesio tua ini benar2 sangat lihay. Tabasannya barusan ini kalau satu mili lebih tinggi, tentu rambut itu takkan dapat terkupas oleh goloknya, sebaliknya kalau rendah sedikit, pasti hidungku sekarang sudah gerumpung, paling tidak juga menjadi pesek. Apalagi dia menabas sambil menaik kuda, namun toh begitu tepat dan jitu, sungguh kepandaian yang hebat."
Karena sengaja hendak merebut hati Hiat-to Loco, maka tidak habis2 Tik Hun mengumpak dan memberi pujian2 setinggi langit atas ilmu golok sang "kakek guru" itu.
Kini Cui Sing sendiri sudah menyaksikan betapa sakti ilmu goloknya orang, maka iapun anggap pujian2 Tik Hun itu memang tidak terlalu berlebihan. Cuma ia merasa pemuda itu benar2 terlalu rendah jiwanya, masakah sedemikian penjilat pantat untuk merebut hati sang kakek guru.
Begitulah kemudian Hiat-to Loco melanjutkan perjalanannya dengan menjajarkan kudanya dengan Tik Hun, katanya: "Dan cara 'mengiris tahu' itu yalah taruh sepotong tahu diatas papan, lalu mengirisnya tipis2, sepotong tahu itu harus disayat menjadi seratus irisan kecil, setiap iris harus utuh dan pipih. Jika hasilnya memuaskan, itu berarti jurus pertama sudah lulus."
"Itupun baru merupakan jurus pertama?" Tik Hun menegas.
"Sudah tentu," sahut Hiat-to Loco. "Memangnya kau anggap ilmu golok Cosuyamu ini seperti memotong ayam gampangnya? Nah, cobalah kau pikir, lebih sulit mengiris tahu sambil berdiri tegak atau lebih sulit mengupas rambut diatas ujung hidung anak dara itu? Hahahahaha!"
Dengan sangat kagum Tik Hun mengumpak pula: "Ilmu sakti Cosuya sudah tentu tidak mungkin dicapai oleh sembarangan orang. Asalkan cucu-murid dapat mempelajari sepersepuluh dari kepandaian Cosuya saja rasanya sudah cukup puas!"
Hiat-to Loco ter-bahak2 senang oleh pujian itu. Sebaliknya Cui Sing me-ludah2 hina pula.
Biasanya orang menjilat itu paling sulit terletak pada ucapannya yang pertama. Orang jujur seperti Tik Hun itu memangnya tidak cocok disuruh mengucapkan kata2 yang penuh pujian belaka itu, tapi sesudah banyak diucapkan, otomatis menjadi biasa baginya untuk mencari kata2 yang enak didengar. Padahal pujian2 Tik Hun bagi ilmu golok Hiat-to Loco yang sakti itu boleh dikata tidak berlebihan, cuma kalau menurut watak asli Tik Hun, seharusnya tidak nanti sudi diucapkannya.
Begitulah maka Hiat-to Loco telah menjawab: "Ehm, bakatmu cukup baik, asal kau mau giat belajar, pasti kepandaianku ini dapat kau pelajari. Baiklah, sekarang juga boleh kau coba2!"
Habis berkata, mendadak ia bubut pula seutas rambutnya Cui Sing dan meletakannya diatas ujung hidungnya.
Tentu saja Cui Sing ketakutan, sekali sebul terus saja ia tiup jatuh rambut itu sambil ber-teriak2: "He, he, Hwesio cilik ini tidak bisa, mana boleh suruh dia sembarangan coba!"
"Tidak bisa harus dilatih sampai bisa, segala kepandaian mesti dilatih dulu baru bisa," demikian Hiat-to Loco berkata. "Sekali tidak jadi, ulangi sekali lagi, dua kali gagal, ulangi tiga kali, tiga kali gagal, ulangi sepuluh kali atau duatiga puluh kali, achirnya pasti jadi!" Habis itu, kembali ia bubut lagi seutas rambut sigadis dan ditaruh pula diujung hidungnya, lalu ia serahkan goloknya kepada Tik Hun dan berkata: "Nah, coba kau!"
Sambil menerima golok dari tangan Hiat-to Loco itu, Tik Hun coba memandang sekejap kepada Cui Sing yang menggeletak didepan sendiri itu. Ia lihat wajah sigadis penuh rasa gusar, tapi dari sinar matanya tetampak pula rasa takutnya. Rupanya gadis itu tahu kalau Tik Hun tidak pernah melatih ilmu silat yang hebat itu, pabila secara semberono menirukan cara tabasan Hiat-to Loco, mungkin kepalanya akan terbelah menjadi 2, paling tidak juga hidung akan terkupas. Dan masih mending bila kepala terpecah belah dan seketika mati daripada menerima hinaan kedua "paderi cabul" itu, celakanya kalau hidungnya yang terkupas menjadi pesek, kan bisa runyam untuk selamanya.
Tiba2 pikiran cerdik Tik Hun tergugah, ia menanya Hiat-to Loco: "Cosuya, cara tabasan ini, bagaimana dengan tenaga tangan yang harus dipakai?"
"Harus pinggang menggerakan bahu, bahu menembus kelengan, lengan harus tidak bertenaga, dan pergelangan tangan harus tidak berkekuatan," demikian sahut Hiat-to Loco. Lalu iapun memberi penjelasan tentang apa yang dimaksudkan "pinggang menggerakkan bahu" dan "bahu menembus kelengan" dan apa2 lagi yang kedengarannya susah dimengarti, tapi sebenarnya mengandung kebenaran yang tepat.
Ber-ulang2 Tik Hun meng-angguk2 atas petunjuk sang "kakek guru", kemudian ia berkata: "Cuma sayang cucu murid telah dianiaya orang, Pi-pe-kut dipundak sudah dilubangi, otot tangan juga terpotong putus, sudah takdapat mengeluarkan tenaga lagi."
"Mengapa Pi-pe-kutmu dilubangi orang? Dan otot tanganmu juga dipotong?" tanya Hiat-to Loco.
"Ya, cucu murid telah banyak menderita akibat dijebloskan kedalam penjara oleh orang," sahut Tik Hun.
Mendadak Hiat-to Loco ter-bahak2 tawa. Sambil larikan kuda berendeng dengan Tik Hun, ia suruh pemuda itu memperlihatkan pundaknya. Benar juga ia lihat tulang pundak Tik Hun mendekuk kebawah, malahan luka tulang pundak yang dilubangi dengan rantai itu masih belum rapat benar2. Pula jari tangan kanan pemuda itupun terpapas putus sebagian, otot lengan juga terpotong, untuk melatih ilmu silat boleh dikata sudah tiada harapan lagi.
Diam2 Tik Hun mendongkol oleh ketawa paderi itu, masakah orang tersiksa seberat itu malah ditertawai.
"Haha, anak muda, coba katakan sudah berapa banyak engkau telah merusak anak perawan orang?" demikian tiba2 Hiat-to Loco menanya. "Hehe, orang muda hanya menuruti napsu belaka hingga lupa daratan, achirnya kau ketangkap basah dan dijebloskan ke bui bukan?"
"Bukan," sahut Tik Hun.
"Ala, pakai malu2 segala! Nagkulah terus terang, engkau dibui oleh orang adalah disebabkan gara2 kaum wanita bukan?" Hiat-to Loco mendesak pula dengan tertawa.
Untuk sejenak Tik Hun melengak. Memang benar ia dibui adalah disebabkan pitenahan gundiknya Ban Cin-san, hal ini berarti gara2 kaum wanita juga. Maka dengan gergetan ia menjawab: "Ya, memang gara2 perempuan hina itu hingga aku menderita seperti ini. Pada suatu hari aku pasti akan membalas sakit hati ini."
"Huh, engkau sendiri berbuat jahat, tapi malah menyalahkan orang lain, " tiba2 Cui Sing mendamperat. "Hm, manusia yang paling tidak kenal malu didunia ini mungkin adalah bangsat gundul seperti kau ini."
"Haha, anak dara ini benar2 terlalu bandel," kata Hiat-to Loco dengan tertawa. "Eh, cucu murid, cobalah kau lucuti pakaiannya hingga telanjang bulat, coba nanti dia masih berani memaki orang atau tidak."
"Baik," sahut Tik Hun tanpa pikir.
"Bangsat! Kau berani?" maki Cui Sing dengan gusar.
Padahal dalam keadaan takdapat berkutik, bila Tik Hun benar2 mau membuka pakaiannya seperti apa yang dikatakan Hiat-to Loco itu, betapapun Cui Sing tak dapat melawan. Maka damperatannya: "Kau berani?" itu hakikatnya cuma gertakan belaka.
Dan sudah tentu tiada niat sungguh2 Tik Hun hendak melucuti pakaian Cui Sing, ketika dilihatnya sipaderi tua tiada hentinya mengincar tubuh sigadis dengan ketawa2 tak beres, segera Tik Hun memikirkan cara bagaimana agar dapat mengalihkan perhatian paderi tua itu atas diri sinona. Maka sekenanya ia lantas tanya: "Cosuya, menurut pendapatmu, bahan apkiran seperti cucu murid ini apakah masih dapat melatih ilmu silat?"
"Mengapa tidak?" sahut Hiat-to Loco. 'Sekalipun kedua tangan dan kedua kakimu buntung semua juga masih dapat melatih ilmu dari Hiat-to-bun kita ini."
"Ai, bagus sekali kalau begitu!" teriak Tik Hun dengan girang.
Begitulah sambil bicara sembari berjalan, tanpa merasa mereka telah sampai disuatu jalan besar. Tiba2 terdengar suara gembreng dan terompet yang ramai didepan sana, menyusul tertampaklah serombongan iring2an pengantin dengan sebuah joli kembang. Dibelakang joli adalah seorang penunggang kuda putih yang berjubah merah dan berkopiah emas, pakaiannya mentereng, tentu dia, inilah pengantin laki2nya. Jumlah pengiring itu ada 40-50 orang banyaknya.
Melihat itu, Tik Hun membilukkan kudanya ketepi jalan dengan hati berkebat-kebit sebab kuatir kalau dikenali orang2 itu. Sebaliknya Hiat-to Loco malah keprak kudanya memampak kearah iring-iringan pengantin itu.
Maka terdengarlah suara bentakan orang: "Hai! Minggir, mau apa kau?" ~ "Hwesio busuk, ada iring2an pengantin, mengapa kau tidak menyingkir?"
Tapi sesudah didepan iring2an itu, Hiat-to Loco lantas berhentikan kudanya, segera ia berseru dengan tertawa sambil bertolak pinggang: "He, coba perlihatkan pengantin wanitanya, cantik atau tidak?"
Dari rombongan pengiring itu lantas maju seorang laki2 kekar tegap dengan membawa sebatang pikulan bambu, segera laki2 itu membentak dengan galak. "Bangsat gundul, apa kau sudah bosan hidup, ya?" ~ Sembari menggertak ia terus ancam dengan pikulan bambu yang bulat tengahnya lebih besar dari lengan manusia dan panjangnya hampir dua meter.
"Cucu murid, lihatlah yang jelas, ini adalah sejurus ilmu tunggal dari kaum kita," kata Hiat-to Loco kepada Tik Hun. Mendadak ia sedikit mendoyong kedepan, golok merah bergemetaran se-akan2 seekor Jik-lian-coa (ular rantai merah) yang berkelogetan dan dengan cepat luar biasa seperti merayap naik-turun diatas pikulan bambu orang. Ketika ia menarik kembali goloknya, ia ter-bahak2 senang.
Karena itu pengiring2 pengantin itu be-ramai2 mencaci maki pula, tapi mendadak laki2 yang membawa pikulan bambu itu berteriak kaget, ternyata pikulan bambu yang dipegangi itu kini tinggal sebatang bambu yang panjangnya cuma setengah meter saja, selebihnya telah terkutung ber-potong2 dan jatuh ketanah hingga mengeluarkan suara peletak-peletok.
Ternyata hanya dalam sekejap saja sebatang pikulan bambu telah ditabas oleh golok Hiat-to Loco hingga menjadi berpuluh potongan kecil2, betapa cepat dan hebat ilmu golok paderi tua itu benar2 mirip pemain sunglap saja, sekalipun jago silat juga akan terkesiap menyaksikan itu, jangankan orang2 desa itu, keruan mereka melongo dan ter-longong2.
Bahkan habis ter-bahak2, tahu2 Hiat-to Loco ayun goloknya pula kekanan dan membalik dari atas kebawah, seketika laki2 tadi tertabas menjadi empat potong. Tambahan paderi itu lantas membentak pula: "Aku cuma ingin melihat bagaimana macamnya pengantin perempuan, mengapa kalian mesti geger2 segala?"
Melihat disiang hari bolong sipaderi berani mengganas, keruan orang2 itu ketakutan setengah mati, ada yang bernyali besar masih kuat melarikan diri, tapi sebagian besar menjadi gemetar ketakutan, bahkan banyak yang ter-kencing2 tidak berani bergerak.
Ketika Hiat-to Loco mendekati pula joli pengantin, sekali goloknya berkelebat, tahu2 tirai joli sudah tertabas putus. Menyusul tangan kiri paderi itu lantas menjambret dada sipengantin perempuan dan menyeretnya keluar.
Keruan pengantin wanita itu ber-kaok2 ketakutan dan me-ronta2 mati2an. Tapi sekali golok Hiat-to Loco bekerja lagi, segera kerudung muka sipengantin tertabas jatuh hingga tertampaklah wajah pengntin wanita yang penuh ketakutan itu.
Pengantin wanita itu berusia 16-17 tahun saja, boleh dikata masih kanak2, paras mukanya juga sangat jelek. "Cuh", mendadak Hiat-to Loco meludahi pengantin wanita itu sambil memaki: "Macam genderuwo begini juga jadi pengantin apa segala?" ~ dan sekali goloknya memotong, tiba2 hidung pengantin wanita itu diirisnya. Saking takut dan sakitnya pengantin wanita itu sudah lantas semaput.
Sipengantin laki2 saat itu masih terpaku diatas kudanya sambil bergemetaran.
"Cucu murid, lihatlah sejurus ilmu kita yang lain, ini namanya 'Au-sim-lik-hwe' (menembus hati memancarkan darah)!" seru Hiat-to Loco pula kepada Tik Hun. Berbareng golok merah terus ditimpukan kearah sipengantin laki2.

Dan begitu menimpukan golok, seketika juga Hiat-to Loco melarikan kudanya kedepan, secepat kilat ia telah melalui kuda pengantin laki2 dan mendadak ia melompat, sekali tangannya meraup, golok merah itu sudah kena disambarnya kembali.
Waktu Tik Hun dan Cui Sing memperhatikan sipengantin laki2, tertampaklah dadanya sudah berlubang dan sedang menyemburkan darah bagai air mancur, tubuhnya pelahan2 mendoyong dan achirnya terguling kebawah kuda. Ternyata tubuh pengantin laki2 itu telah ditembus oleh golok Hiat-to Loco, bahkan golok yang masih terus menyambar kedepan itu segera dapat ditangkap kembali oleh sipaderi.
Sepanjang jalan Tik Hun suka menyanjung Hiat-to Loco, pertama memang jeri padanya, kedua, paderi itu telah menolong jiwanya, betapapun Tik Hun merasa utang budi walaupun tahu bahwa sekali2 paderi itu bukan manusia baik2, tapi sebelum menyaksikan sendiri keganasan orang, dengan sendirinya tidak begitu terasa. Tapi kini ia menyaksikan, paderi tua itu memotong hidung pengantin wanita, bahkan membinasakan pula sipengantin laki2, malahan membunuh tiga orang yang tak berdosa, bahkan kenalpun tidak. Sebagai orang yang berbudi luhur, Tik Hun tidak tahan lagi, dengan gusar ia berteriak: "Ken.........kenapa engkau membunuh orang tak berdosa? Apa halangannya orang2 itu kepadamu?"
Hiat-to Loco melengak, tapi lantas jawabnya dengan tertawa: "Haha, memang sudah menjadi kebiasaanku suka membunuh orang tak berdosa. Jika membunuh saja mesti memilih orang, kemana aku harus memilih?" ~ Habis berkata, sekali goloknya berputar, kembali kepala seorang pengiring pengantin itu berpisah dengan tuannya.
Sungguh gusar Tik Hun bukan buatan, segera ia melarikan kudanya kedepan sambil ber-teriak2: "Kau........kau tidak boleh membunuh orang lagi!"
"Setan cilik, apakah kau menjadi takut melihat darah mancur? Huh, tidak berguna!" omel Hiat-to Loco dengan tertawa.
Dan pada saat itu juga dari jauh terdengar suara derapan kuda yang ramai, ada berpuluh orang sedang mengejar dari timur sana. Bahkan terdengar seruan nyaring seorang diantaranya: "Hiat-to Loco, lepaskan puteriku dan kita boleh sudahi urusan ini sampai disini, kalau tidak, biar kau lari keujung langit juga akan ku-uber sampai kepojok langit!"
Itulah suaranya Cui Tay, meski derapan kuda itu kedengaran masih sangat jauh, tapi seruan Cui Tay itu dapat terdengar dengan sangat jelas, suatu tanda betapa hebat Lwekang jago tua itu.
Diam2 Cui Sing bergirang juga mendengar suara sang ayah. Lalu terdengar pula suara tembang dari paduan suara empat orang: "Lok-hoa-liu-cui........Cui-liu-hoa-lok........Lok-hoa-liu-cui.........Cui-liu-hoa-lok!"
Nada suara keempat orang itu ber-beda2, ada yang rendah kuat, ada yang tinggi melengking, ada yang serak tua, ada yang keras kumandang. Tapi betapa tinggi Lwekang masing2 terang mempunyai keistimewaannya sendiri2.
"Huh, macam2 saja lagak bangsat2 dari Tionghoa itu," demikian Hiat-to Loco memaki.
Lalu terdengar seruan Cui Tay pula dari jauh: "Hiat-to Loco, biarpun ilmu silatmu tinggi, masakah kau mampu melawan "Lam-su-lo" kami berempat? Lepaskanlah puteriku dan urusan akan beres, seorang laki2 berani berkata berani pegang janji, pasti aku takkan mengejar kau lebih jauh!"
Diam2 Hiat-to Loco memikir juga: "Aku sudah berkenalan dengan kepandaian Cui Tay dan imam tua itu, kalau satu-lawan-satu, tidak nanti aku takut, bila aku melawan mereka berdua, lebih banyak kalahnya daripada menangnya, terpaksa harus lari. Dan jika aku dikeroyok tiga, sudah pasti aku akan kalah habis2an, untuk laripun mungkin susah. Lebih2 kalau aku dikerubut empat orang, pasti matipun Hiat-to Loco takkan terkubur. Hehe, apa yang dikatakan orang persilatan Tionggoan itu dapatkah dipercaya? Lebih baik aku tetap membawa lari anak dara ini, paling tidak aku masih dapat memakainya sebagai barang sandera, bila kulepaskan dia, itu berarti lebih menguntungkan mereka malah!"
Dengan keputusan itu, mendadak ia membentak sekali sambil mencambuk bokong kuda putih tunggangan Tik Hun, terus saja ia mendahului berlari kearah barat sambil mulutnya berkomat-kamit. Apa yang diucapkan itu tak didengar oleh Tik Hun dan Cui Sing, tapi rombongan Cui Tay lantas mendengar kumandangnya sesuatu suara aneh yang berkata: "Cu-loyacu, Ciangbunjin dari Hiat-to-bun telah menjadi anak menantumu. Ciangbunjin angkatan keempat sudah menjadi menantumu. Ciangbunjin angkatan ke-enam juga menantumu, sungguh rejekimu bukan main besarnya, dua Ciangbunjin dari kedua angkatan Hiat-to-bun kami telah diborong semua oleh puterimu ini, tapi mengapa engkau masih terus mengejar, masakah bapak mertua mengejar anak menantu, sungguh lucu, sungguh aneh!"
Kiranya komat-kamit mulut Hiat-to Loco itu adalah semacam Lwekang jahat dari kaum Hiat-to-bun, suaranya dapat tersiar jauh hingga sangat mengacaukan pikiran orang bahkan membuat kalap pendengarnya, dengan begitu bila nanti saling gebrak, kekuatan lawan menjadi banyak terganggu. Apalagi ucapannya membikin Cui Tay semakin berjingkrak dan hampir2 meledak dadanya saking murkanya.
Cui Tay tahu betapa jahatnya perbuatan paderi2 dari Hiat-to-bun itu, membunuh dan memperkosa bagi paderi2 itu sudah pekerjaan biasa, segala kejahatanpun dapat mereka lakukan. Bahwasanya antara kakek-guru dan cucu-murid berkongsi memiliki puterinya bukan mustahil pula akan terjadi. Alangkah gemasnya Cui Tay, masakah seorang tokoh Bu-lim terkemuka yang telah menjagoi daerah Tionggoan selama berpuluh tahun hari ini mesti mengalami hinaan sebesar ini? Sungguh kalau bisa ia ingin segera mencingcang paderi jahanam itu hingga hancur luluh.
Maka dengan hilap ia pecut kudanya semakin kencang. Cuma sayang kuda tunggangan mereka tiada satupun yang dapat menandingi kuda-kuda kuning dan putih bekas milik Leng-kiam-siang-hiap itu, walaupun mereka mengejar mati2an, tetap tidak dapat menyusul musuh.
Dalam pada itu diantara rombongan pengejar bersama Cui Tay itu, selain tokoh2 she Liok, Hoa dan Lau bertiga kakek yang namanya sejajar dengan Ciu Tay dengan julukan 'Lok-hoa-liu-cui' itu, masih ada pula lebih 30 jago Tionggoan yang lain.
Mereka terdiri dari berbagai golongan dan aliran, ada Piausu ternama, ada ketua sesuatu golongan, ada pula pimpinan organisasi dan tokoh2 silat yang sudah lama mengasingkan diri. Tapi karena gusar terhadap perbuatan paderi2 Hiat-to-bun yang telah bikin rusuh didaerah Liang-ou secara serampangan dan tidak pilih bulu, maka jago2 Tionggoan baik dari Pek-to (kalangan baik2) maupun Hek-to (kalangan jahat), semuanya lantas ikut menguber serentak untuk membekuk paderi2 jahat itu.
Cara mengejar rombongan jago2 silat itu agak payah juga, tapi setiap ada kesempatan, tentu mereka berganti kuda. Mereka tidak pernah berhenti, tapi makan rangsum dan minum air sekadarnya diatas kuda sambil terus mengejar.
Sebaliknya rombongan Hiat-to Loco berkat kuda2 tunggangan mereka lebih bagus, maka setiap ketemu kedai nasi dan warung wedang, sering mereka berhenti menangsal perut dan mengaso pula. Cuma tidak berani bermalam dipenginapan. Dan justeru oleh karena adanya pengejaran terus-menerus dari jago2 silat Tionggoan itulah, maka kesucian Cui Sing selama beberapa hari itu masih dapat dipertahankan.
Kejar mengejar itu sudah berlangsung beberapa hari, dari wilayah Ouwpak kini sudah masuk kewilayah Sucwan. Sebagai sama2 orang persilatan, begitu mendengar berita pengejaran itu, segera tokoh2 dan jago2 Sucwan lantas be-ramai2 ikut serta dalam rombongan pengejar itu. Maka sesudah melalui Sucwan tengah, rombongan pengejar itu sudah lebih seratus orang jumlahnya.
Jago silat didaerah Sucwan banyak yang berharta, banyak diantara mereka membawa serep kuda-keledai dengan rangsum dan baju selimut secara lengkap. Cuma sayang bila berita diterima mereka, Hiat-to Loco dan rombongannya sudah ketelanjur lalu hingga tidak sempat untuk mencegat sebelumnya. Karena itu, jago2 silat Sucwan hanya dapat menghibur Cui Tay agar jangan cemas dan menyatakan penyesalan mereka sebab tidak dapat mencegah pada waktu paderi2 cabul itu masuk kewilayah mereka.
Sudah tentu Cui Tay menyatakan terima kasih atas perhatian kawan2 persilatan itu, tapi dalam hatipun mendongkol: "Huh, urusan sudah lewat baru dibicarakan. Apalagi kepandaian seperti kalian ini masakah mampu mencegat kedua paderi tua dan muda itu?"
Begitulah udak-mengudak itu dengan cepat telah berlangsung hampir 20 hari. Beberapa kali Hiat-to Loco mengambil jalan simpang untuk menyesatkan pengejarnya, tapi diantara rombongan pengeyar itu adalah seorang Be-cat (begal kuda) dari Kwantang (diluar tembok besar timur laut) yang mahir ilmu mencari jejak. Tak peduli Hiat-to Loco berputar kayun kemanapun selalu dapat diikutinya dari belakang. Dan oleh karena itu juga rombongan merekapun makin jauh makin memasuki lereng pegunungan Sucwan barat yang terkenal tinggi dan curam itu.
Para jago silat Tionggoan itu tahu tujuan Hiat-to Loco yalah ingin lari pulang kesarangnya di Tibet. Dan bila masuk kewilayah kekuasaan paderi jahat itu, tentu akan terjadilah pertarungan sengit menghadapi begundal Hiat-to-bun, untuk mana tentu akan lebih susah menyelamatkan Cui Sing dan entah pihak mana yang bakal menang.
Karena itu, para jago Tionggoan mengejar semakin kencang. Pada lohor hari itu, rombongan mereka telah memasuki sebuah jalanan lembah gunung yang terjal. Tiba2 tertampak seekor kuda menggeletak mati ditepi jalan. Nyata itu kuda kuning miliknya Ong Siau-hong.
Dengan girang segera Cui Tay dan Siau-hong berseru: "Musuh telah kehilangan seekor kuda, marilah kita menguber lebih cepat, pasti paderi cabul itu takkan dapat lolos!"
Tempat dimana rombongan jago2 Tionggoan itu berada sudah termasuk wilayah Sucwan paling ujung barat, kalau kebarat lagi akan masuk keperbatasan Tibet. Tempat itu termasuk lereng gunung Tay-swat-san (gunung besar bersalju), tanahnya tinggi terjal, dinginnya tidak kepalang hingga bagi orang yang Lwekangnya rendah, tentu akan sesak napas dan tenaga lemas. Lebih2 jago2 silat Sucwan itu kebanyakan adalah kaum hartawan yang biasanya hidup adem-ayem didalam rumah, mereka itulah yang paling menderita kedinginan.
Cuma jago2 yang ikut serta dalam pengejaran ini adalah orang2 yang ternama semua, dengan sendirinya tiada yang sudi mengunjuk kelemahan hingga memalukan nama baiknya sendiri.
Kini demi melihat kuda kuning tunggangan Hiat-to Loco itu mati ditepi jalan, terang paderi itu tidak mampu lari jauh, seketika semangat semua orang terbangkit dan siap2 untuk menguber lebih jauh.
Diluar dugaan, perubahan cuaca dipegunungan itu ternyata sangat cepat. Tiba2 tertampak diatas puncak diseberang selat yang dalam sana, segumpal salju mendadak longsor kebawah.
"Celaka!" cepat seorang kakek dari Sucwan barat berteriak: "Akan terjadi gugur salju, hayolah lekas mundur!"
Belum lenyap suaranya, mendadak terdengarlah suara gemuruh, salju yang longsor dari puncak gunung itu semakin hebat.
Jago2 Tionggoan yang tidak pernah melihat salju itu seketika masih belum tahu duduknya perkara, banyak diantara mereka malah tanya: "Apakah itu?" ~ "Cuma salju longsor saja kenapa mesti kuatir, hayolah kejar terus!" ~ "Cepat uber lagi, lintas dulu puncak sebelah sana itu!"
Namun hanya sebentar saja suara gemuruh yang menggelegar itu sudah bertambah hebat dan memekak telinga. Dan baru sekarang orang2 itu merasa takut.
Gugur salju itu jaraknya semula memang sangat jauh, tapi salju yang longsor dari atas itu, setiap jatuh disesuatu tempat, selalu menggondol timbunan salju ditempat itu dan longsor pula kebawah, dari itu, suaranya semakin lama semakin gemuruh, dan setiba ditengah gunung, suasana boleh dikata se-akan2 gugur gunung benar2, bagaikan ombak samudera dahsyatnya, sungguh sangat mengerikan keadaannya.
Maka sekali berteriak, beberapa jago2 Tionggoan itu lantas putar kuda dan mendahului lari. Dari belakang suara gemuruh itu semakin hebat hingga mirip dunia sudah kiamat, se-akan2 langit telah ambruk dan menindih kebawah. Saking ketakutan mereka keprak kuda melarikan diri mati2an. Ada beberapa kuda yang juga ketakutan hingga kaki menjadi lemas dan tidak mau jalan, terpaksa penunggangnya melompat turun dan menyelamatkan diri dengan Ginkang.
Namun gugur salju itu cepatnya melebihi kuda dan orang lari, hanya sekejap saja lautan salju itu sudah membanjir kekaki gunung. Ada 7-8 orang yang terlambat larinya terus saja terkubur hidup2 ditengah salju. Dalam keadaan begitu, betapapun gagah perkasa seseorang juga takkan mampu melawan bencana alam yang dahsyat itu.
Dan sesudah melintasi sebuah bukit, barulah banjir salju itu tertahan oleh lereng bukit itu. Dengan demikian barulah pendekar2 itu dapat bernapas lega. Namun salju longsor itu masih terus membanjir bagai air bah dahsyatnya, hanya sekejap saja antero lembah jalan pegunungan itu sudah tertutup buntu semua hingga berwujut bukit salju yang ber-puluh2 meter tingginya, kalau bukan burung, betapapun tidak dapat melintasinya.
Begitulah kemudian semua orang sama ramai membicarakan nasib Hiat-to Loco bersama cucu muridnya itu, tentu kedua paderi itu telah menerima ganjaran atas kejahatan mereka dan terkubur dibawah salju. Merekapun menyesalkan Cui Sing yang cantik molek itupun ikut berkorban tanpa berdosa. Dan sudah tentu banyak pula yang berduka karena ada kawan2 mereka yang telah terkubur ditengah salju, tapi betapapun mereka bersykur juga bagi diri sendiri yang terhindar dari malapetaka.

Setelah keadaan tenteram kembali, lalu mereka memeriksa kawan2 yang hilang itu. Ternyata seluruhnya ada 12 orang yang hilang, diantaranya termasuk Ong Siau-hong dan keempat kakek sakti "Lok-hoa-liu-cui" itu. Sungguh tidak nyana bahwa "Lam-su-lo" yang ilmu silatnya tiada tandingannya itu kini terpendam semua dibawah salju pegunungan Tay-swat-san. Begitulah semua orang menghela napas gegetun, kemudian lantas mencari jalan untuk keluar dari kepungan dinding salju itu. Mereka beranggapan salju yang membukit itu tidak nanti mencair sebelum musim panas tahun depan, untuk bisa mencari mayat yang terpendam salju itu, keluarga si-korban paling tidak juga harus menunggu setengah tahun lagi. Tapi diam2 didalam hati semua orang juga mempunyai suatu pikiran yang tak terkatakan, yaitu: "Nama kebesaran Lam-su-lo dan Leng-kiam-siang-hiap paling achir ini sangat terkenal, jika sekarang mereka sudah mati semua, itu berarti lebih menguntungkan bagiku, maka biarkanlah mereka mati saja!" ..........
*** ******
Lantas kemanakah perginya Hiat-to Loco bersama Tik Hun dan Cui Sing itu? Apa benar mereka terkubur didalam salju longsor? ~ Tidak!
Bahkan waktu itu Hiat-to Loco sangat senang sebab makin lama semakin dekat dengan sarangnya di Tibet, walaupun jumlah pengejar waktu itupun semakin bertambah. Cuma saking lelahnya karena berlari tidak pernah berhenti, achirnya kuda kuning tunggangan Hiat-to Loco itu terbinasa ditepi jalan. Sedangkan kuda putih juga sangat payah keadaannya, mungkin dalam waktu singkatpun akan menyusul kawannya keachirat.
Waktu Cui Sing siuman kembali, segera ia mengendus bau sedap daging panggang, ketika ia perhatikan ternyata kuda putih kesayangannya sudah disembelih oleh Hiat-to Loco dan telah dipanggang dan sedang dilalap mereka.
Diam2 Hiat-to Loco memikir sambil mengkerut kening: "Kalau aku sendiri hendak melarikan diri adalah terlalu mudah, namun cucu-murid kakinya pincang, anak dara yang cantik-molek ini juga sayang kalau ditinggalkan." ~ Berpikir sampai disini, mendadak ia menjadi beringas, begitu ia putar tubuh, terus saja Cui Sing dipeluknya dan hendak mencopot bajunya.
Keruan Cui Sing ketakutan sambil ber-teriak2: "Hai, kau.......kau mau apa?"
"Locu tidak mau membawa lari kau lagi, masakah kau tidak tahu maksudku?" sahut Hiat-to Loco dengan menyeringai.
Tik Hun ikut kuatir juga melihat sang "kakek-guru" berubah liar, cepat iapun berteriak: "Suco, sebentar musuh tentu akan memburu tiba!"
"Setan alas, kau juga ikut cerewet?" bentak sipaderi tua.
Dan pada saat itu juga, tiba2 terdengar suara gemerasak yang aneh diatas udara. Hiat-to Loco sudah lama tinggal didaerah Tibet, sudah banyak bencana gugur salju yang telah dilihatnya, dalam keadaan demikian, betapapun nekat napsu binatangnya juga tidak berani coba menantang bencana alam itu. Cepat ia berseru: "Wah, celaka! Lekas lari, lekas!"
Ia lihat arah membanjirnya salju itu mungkin akan tertahan oleh sebuah bukit disebelah selatan sana, maka cepat ia menarik kuda putih dan berlari kejurusan selatan. Biarpun paderi itu biasanya sangat ganas dan kejam, menghadapi salju longsor itupun wajahnya berubah pucat. Ia tahu diatas puncak gunung sekitar mereka berdiri itupun penuh tertimbun salju, bila suara getaran salju longsor itu melampaui batas, tentu timbunan salju di-puncak2 lain juga akan ikut gugur dan tentu mereka akan terkubur didasar lembah situ.
Dengan payah kuda putih itu dibebani Tik Hun dan Cui Sing, setiba ditengah lembah, mendadak binatang itu keserimpet, hampir Tik Hun terbanting kebawah. Sementara itu suara gemuruh salju longsor itu makin menghebat, sambil memandangi puncak gunung disisi mereka, Hiat-to Loco tampak sangat kuatir, pabila salju diatas puncak itupun ikut gugur, pasti celakalah mereka.
Gugur salju itu sebenarnya tidak berlangsung terlalu lama, paling2 juga cuma belasan menit. Tapi dalam waktu sesingkat itu Hiat-to Loco, Tik Hun dan Cui Sing sudah dihinggapi rasa takut yang tak kepalang. Cui Sing sendiri menjadi lupa barusan ia sendiri mengharap bisa segera mati saja agar terhindar dari hinaan kedua paderi cabul itu. Tapi kini berbalik timbul rasa ketergantung hidupnya kepada kedua orang itu, ia berharap kedua orang laki2 itu dapat mencari jalan untuk membantunya terhindar dari bencana alam itu.
Se-konyong2 dari atas puncak disisi mereka terjatuh sepotong batu, saking kagetnya sampai Cui Sing menjerit. Cepat Hiat-to Loco mendekap mulut sigadis, sedang tangan lain terus memberi persen dua kali tamparan dipipinya hingga seketika muka Cui Sing merah bengap. Untung timbunan salju diatas puncak itu rupanya tidak terlalu tebal, maka tidak mudah untuk longsor.
Selang tak lama, suara gemuruh gugur salju itu mulai mereda lalu Hiat-to Loco melepaskan tangannya dari mulut Cui Sing. Gadis itu menutupi mukanya dengan kedua tangannya, entah karena merasa lega, entah merasa gusar atau takut.
Kemudian Hiat-to Loco coba meronda kemulut lembah sana, kembalinya tertampak air muka paderi itu mengunjuk rasa sedih dan gusar. Ia terus duduk menjublek diatas sebuah batu padas dengan muka muram.
"Cosuya, bagaimanakah keadaaan diluar sana?" tanya Tik Hun.
"Bagaimana? Hm, semuanya gara2mu setan cilik ini!" damperat sipaderi mendadak.
Maka Tik Hun tidak berani menanya lagi, ia tahu tentu gelagat tidak menguntungkan, makanya paderi tua itu marah2. Tapi achirnya ia menjadi tidaktahan lagi, kembali ia tanya: "Cosuya, apakah karena ada musuh menjaga dimulut lembah sana? Jika demikian, silakan engkau menyelamatkan sendiri saja dan tidak perlu lagi memikirkan diriku."
Selama hidup Hiat-to Loco hanya bergaul dengan manusia2 culas dan jahat, bukan saja semua sobat-andainya begitu, bahkan anak muridnya seperti Po-siang, Siang-yong dan lain2 juga manusia2 licik dan culas, hanya mementingkan diri sendiri tanpa memikirkan orang lain. Tapi kini Tik Hun telah menyuruhnya menyelamatkan diri sendiri saja, tanpa merasa timbul rasa senangnya, wajahnya menampilkan senyuman, katanya kemudian: "Anak baik, kau memang mempunyai Liangsim yang terpuji! Tapi bukan karena ada musuh menjaga dimulut lembah sana, melainkan lembah ini telah buntu tertutup oleh timbunan salju yang berpuluh meter tingginya dan beribu meter luasnya. Sebelum musim semi, salju tetap akan membeku, dan kitapun takdapat keluar dari sini. Padahal ditengah lembah sunyi ini, segala makanan tidak ada, masakah kita dapat tahan sampai tahun depan?"
Mendengar penjelasan itu, Tik Hun merasa keadaan memang berbahaya, tetapi karena saat yang paling gawat tadi sudah lalu, maka ia tidak terlalu kuatir lagi. Katanya: "Cosuya jangan kuatir, asal mau berusaha, tentu ada jalannya. Seumpama kita akan mati kelaparan disini juga lebih baik daripada kita mati tersiksa ditangan musuh."
"Benar juga ucapanmu, anak baik," puji sipaderi dengan tertawa lebar. Lalu ia berbangkit, tiba2 ia lolos goloknya dan mendekati kuda putih itu.
"Hai, hai! Engkau mau apa?" teriak Cui Sing dengan kuatir.
"Mau apa? Boleh coba engkau terka," sahut sipaderi.
Padahal tidak usah diterka juga Cui Sing sudah tahu kalau paderi itu hendak menyembelih kuda putih itu untuk dimakan. Kuda itu dibesarkan bersama dia, sudah tentu ia pandang kuda putih itu sebagai kawan-baiknya, dan dengan sendirinya ia menjadi kautir dan gusar pula melihat paderi jahat itu hendak menjagal kuda kesayangannya itu. Kembali ia ber-teriak2: "Tidak, tidak! Itu adalah kudaku, kau tidak boleh memotongnya."
"Haha, malahan kalau habis makan daging kuda, tentu akan bergilir makan dagingmu," sahut sipaderi dengan tertawa. "Sedangkan daging manusia saja kumakan, apalagi daging kuda?"
"Mohon belas-kasihanmu, janganlah membunuh kudaku," pinta Cui Sing dengan sangat. Dan pada saat terpaksa itu, iapun berpaling kepada Tik Hun: "Harap engkau mohon padanya, janganlah membunuh kudaku."
Melihat wajah sigadis yang penuh kuatir dan kasihan itu, sebenarnya Tik Hun tidak tega, tapi mengingat keadaan sudah terpaksa, kalau tidak makan daging kuda, apa yang dapat dimakan, malahan boleh jadi kalau sudah kehabisan makanan, mungkin pelana kuda terbuat dari kulit itupun akan digodok untuk dimakan. Tapi karena tidak tega melihat wajah sigadis yang sedih itu, terpaksa ia berpaling kejurusan lain.
Dalam pada itu Cui Sing sedang memohon pula: "Jangan..........janganlah membunuh kudaku."
"Baiklah, aku takkan membunuh kudamu," demikian kata Hiat-to Loco tiba2.
Keruan Cui Sing kegirangan, ber-ulang2 ia mengucapkan terima kasih. Tapi mendadak terdengar suara "sret" sekali, ditengah gelak ketawa sipaderi tua, tahu2 kepala kuda sudah menggelinding ketanah, darahpun menyembur keluar sebagai air mancur. Saking kaget dan sesalnya hingga Cui Sing seketika pingsan.
Waktu pelahan2 Cui Sing siuman kembali, lebih dulu ia lantas mengendus bau sedap, memangnya perutnya sangat kelaparan, ia menjadi girang mengendus bau lezat daging itu. Tapi begitu pikirannya jernih kembali, segera ia ingat bau sedap itu adalah bau panggang daging kuda kesayangannya itu. Ketika ia membuka mata, ia lihat Hiat-to Loco dan Tik Hun sedang berduduk diatas batu padas dan lagi asyik melalap daging kuda, ditepi batu terdapat segunduk api unggun, diatas sebatang kayu yang melintang diatas api itu tergantung sepotong paha kuda.
Hlm. 53 Gambar:
Ketika Tik Hun dan Cui Sing mendongak dan memandang kearah datangnya suara nyaring itu, maka tertampaklah diatas sebuah tebing yang curam ada dua orang sedang bertempur.
Saking dukanya Cui Sing lantas menangis.
"Kau mau makan tidak?" tanya Hiat-to Loco dengan tertawa.
"Kalian terlalu jahat, sampai kudaku juga dibunuh, kelak aku pasti.........pasti membalas sakit hati ini!" demikian seru Cui Sing sambil tersedu-sedan.
Tik Hun merasa menyesal juga, katanya: "Nona Cui, ditengah lembah bersalju ini, kita tiada punya makanan apa2, terpaksa kami menyembelih kudamu. Bila engkau suka pada kuda bagus, kelak kalau kita dapat keluar dari lembah ini tentu masih dapat membeli pula."
"Kau paderi cilik ini pura2 berhati bajik, padahal kau lebih2 jahat daripada paderi tua jahanam itu, aku benci padamu, kubenci padamu!" seru Cui Sing.
Tik Hun tidak dapat menjawab lagi. Pikirnya: "Agar tidak mati kelaparan, meski kau benci padaku juga terpaksa aku harus makan daging kudamu ini." ~ Maka kembali ia sebret sepotong daging kuda lagi terus dimakan pula.
Sambil menggeragoti daging kuda, Hiat-to Loco melirik2 pula mengincar Cui sing, dengan samar2 ia menggumam sendiri: "Ehm, rasa daging kuda ini sangat lezat. Ha, lewat beberapa hari lagi kalau anak dara ini mesti dipanggang juga untuk dimakan, rasanya belum tentu selezat daging kuda ini." ~ dan didalam hati diam2 ia pikir pula: "Dan habis makan anak dara itu, terpaksa achirnya mesti makan juga cucu muridku yang tersayang itu."
Sesudah kenyang makan daging kuda, lalu Tik Hun menambahi sedikit kayu bakar diunggun api, kemudian merekapun tertidur sambil bersandar dibatu padas itu. Dalam keadaan layap2 Tik Hun mendengar suara sesenggukan Cui Sing yang masih menangis tiada henti2nya, tiba2 timbul rasa duka padanya: "Nona ini hanya kehilangan seekor kuda dan dia sudah menangis sesedih itu. Sebaliknya hidupku didunia ini ternyata tiada seorangpun yang menangis bagiku, sungguh malang nasibku ini, lebih celaka daripada seekor binatang."
Sampai tengah malam, tiba2 Tik Hun merasa pundaknya di-dorong2 orang, segera ia terjaga bangun, ia dengar Hiat-to Loco sedang membisikinya: "Diam! Ada orang datang!"
Tik Hun terkesiap, tapi lantas bergirang pula, pikirnya: "Jika ada orang datang, tentu kitapun dapat keluar." ~ Maka dengan secara bisik2 cepat ia menanya: "Dimana?"
Hiat-to Loco menuding kearah barat dan berkata: "Di sana, kau merebah saja dan jangan bersuara, kepandaian musuh sangat tangguh."
Tik Hun coba mendengarkan dengan cermat, tapi tiada terdengar sesuatu apapun.
Sambil menghunus golok Hiat-to Loco berjongkok untuk sekian lamanya ditempatnya, se-konyong2 ia melesat pergi secepat anak panah terlepas dari busurnya. Hanya sekejap saja bayangannya sudah menghilang dibalik lereng bukit sana.
Sungguh kagum tidak kepalang Tik Hun: "Ilmu silat paderi ini benar2 jarang ada bandingannya. Jikalau Ting-toako masih hidup dan bertanding dengan dia, entah siapa lebih unggul?" ~ Demi ingat kepada sang Toako itu, tanpa merasa iapun meraba punggungnya, nyata buntalan abu tulang Ting Tian itu masih tergembol baik2 disitu.
Ditengah malam sunyi senyap itu, tiba2 terdengar suara "trang-trang" dua kali, terang itulah suara beradunya senjata. Dan sesudah bunyi nyaring itu, keadaan kembali sepi nyenyak. Lewat agak lama, lagi2 terdengar suara nyaring dua kali pula.
Tik Hun menduga pasti sipaderi tidak berhasil menyergap musuh dan kini sudah saling gebrak. Dari suara beradunya senjata itu, nyata ilmu silat musuh tidak berada dibawahnya.
Sejenak kemudian, tiba2 suara nyaring itu mendering sampai empat-lima kali hingga Cui Sing juga terjaga bangun.
Waktu itu dataran dilembah pegunungan itu hanya salju belaka, dibawah cahaya bulan, terpancarlah sinar repleksi dari salju hingga cuaca mirip fajar menyingsing.
Cui Sing memandang sekejap kearah Tik Hun, bibirnya ber-gerak2 seperti ingin menanya, tapi karena ia masih benci dan muak kepada pemuda itu, pula pertanyaannya belum tentu dijawab, maka ucapannya yang sudah diambang mulut itu ditelannya kembali mentah2.
Tiba2 terdengar suara "trang-trang" yang riuh pula, bunyinya semakin keras dan semakin tinggi. Waktu Cui Sing dan Tik Hun mendongak berbareng kearah datangnya suara, maka tertampaklah dibawah sinar bulan, didinding suatu tebing yang curam disebelah timur-laut sana ada dua bayangan orang yang sedang berputar kian kemari. Tebing itu sangat terjal, pula penuh timbunan salju, kalau dipandang, tidak mungkin orang sanggup memanjat keatas. Tetapi sambil bergebrak kedua orang itu ternyata tidak pernah berhenti, mereka terus merayap keatas tebing.
Tik Hun coba memandang dengan cermat, ia lihat lawan Hiat-to Loco itu adalah seorang berjubah imam dan bersenjata pedang. Itulah imam tua yang tempo hari sudah pernah bergebrak dengan sipaderi itu. Ia masih ingat Hiat-to Loco telah memuji kebagusan ilmu pedang imam tua itu, katanya adalah jago dari Thay-kek-bun. Entah cara bagaimana imam tua itu dapat menerobos masuk ketengah lembah yang dikelilingi dinding salju ini?
Segera Cui Sing juga dapat mengenali imam tua itu, saking girangnya ia terus berseru: "Itu dia Lau Seng-hong Totiang! He, ada Lau-pepek, tentu ayah juga ada. Hai, ayah, ayah! Anak berada disini!"
Tik Hun kaget demi mendengar Cui Sing ber-teriak2 memanggil ayahnya. Pikirnya: "Hiat-to Loco sedang bertempur dengan imam tua itu, melihat gelagatnya susah untuk terjadi kalah menang dalam waktu singkat. Dan bila ayahnya mendengar suaranya serta memburu kemari, bukankah aku akan dibunuh olehnya?"
Maka cepat ia mencegah teriakan Cui Sing: "Hei, jangan engkau ber-teriak2, bila salju menjadi longsor lagi, jiwa kita pasti akan melayang bersama?"
"Aku justeru ingin mati bersama Hwesio jahanam seperti kau ini," damperat Cui Sing dengan gemas. Dan kembali ia ber-teriak2: "Ayah, ayah! Aku berada disini!"
"Tutup mulutmu!" bentak Tik Hun. "Jika salju longsor lagi, bukankah jiwa kita melayang, bahkan ayahmu juga akan mampus. Apakah kau hendak membunuh ayahmu? Kau benar2 puteri jahat yang Put-hau (tak berbakti)."
Rupanya cercaan Tik Hun itu kena dihati sigadis, sebab Cui Sing lantas berpikir: "Ya, betul juga. Bila ayahpun sampai berkorban, aku yang berdosa." ~ Tapi segera terpikir pula olehnya: "Ah, betapa hebat kepandaian ayah? Salju longsor tadi telah menakutkan orang lain hingga lari ter-birit2, sebaliknya Lau-pepek toh mampu melintasi lautan salju setinggi itu, dan kalau Lu-pepek dapat kemari, dengan sendirinya ayahpun dapat. Andaikan teriakanku akan membikin salju longsor lagi, paling2 juga aku yang akan teruruk mati, ayah pasti takkan berhalangan apa2. Paderi tua itu terlalu lihay, bila Lau-pepek terbunuh olehnya, pasti yang paling celaka adalah diriku karena tercengkeram ditangan kedua paderi jahat ini."
Berpikir begitu, maka kembali ia ber-teriak2 lagi: "Ayah, ayah! Aku berada disini, lekas datang menolong aku!"
Semula ketika gadis itu sudah diam, Tik Hun mengira ia takkan bersuara lagi. Siapa duga mendadak ia berteriak pula, bahkan semakin keras, seketika Tik Hun menjadi tidak tahu cara bagaimana harus menyetopnya. Waktu menengadah, ia lihat Hiat-to Loco masih menempur imam tua itu denan sengit. Golok merah yang diputar dengan cepat itu berwujut selingkar sinar merah yang bertebaran diatas salju yang memutih perak. Gerak-gerik imam tua Lau Seng-hong itu tampaknya tidak terlalu cepat, tapi penjagaannya rapat sekali, meski Hiat-to Loco tampaknya takkan kalah, tapi untuk menang juga susah terjadi dalam waktu singkat.
Dalam pada itu didengarnya Cui Sing masih terus ber-teriak2 pada sang ayah, kemudian tiba2 berganti memanggil: "Piauko, Piauko! Lekas kemari!"

Lama-kelamaan Tik Hun menjadi sebal dibuatnya, bentaknya pula: "Budak bawel, lekas tutup mulutmu bila engkau tidak ingin kupotong lidahmu!"
"Aku justeru ingin berteriak, aku justeru akan berteriak!" demikian sahut Cui Sing. Dan kembali ia berteriak lebih keras: "Ayah, ayah! Aku berada disini!"
Karena kuatir Tik Hun benar2 mendekatinya, maka ia lantas berbangkit sambil memegang sepotong batu. Selang sejenak, ia lihat Tik Hun masih menggeletak ditanah tanpa berkutik, mendadak teringat olehnya: "Ya, Hwesio jahat ini telah patah kakinya, kalau tiada ditolong oleh paderi tua itu, sudah lama ia dibunuh oleh Piauko. Gerak-geriknya terang tidak leluasa, mengapa aku takut padanya?" ~ Demi dapat membedakan kedudukan masing2, segera Cui Sing membatin pula: "Hwesio tua itu terang takkan datang kesini, kenapa aku tidak lantas membunuh Hwesio muda ini sekarang juga?" ~ Dengan mata mendelik segera ia angkat batu yang dipegang itu dan mendekati Tik Hun terus saja ia keprukan batu itu keatas kepala pemuda itu.
Sudah sejak tadi Tik Hun mengikuti gerak-gerik Cui Sing, ketika tiba2 dilihat sikap sigadis menjadi beringas, diam2 ia sudah mengeluh. Maka ketika gadis itu mendekati dirinya, segera ia tahu gelagat tidak menguntungkan. Dan ketika batu itu menimpa keatas kepalanya, terpaksa ia berguling kesamping. "Bluk", batu itu menghantam ditanah salju, selisih dari mukanya cuma beberapa senti saja.
Sekali menimpuk tidak kena, kembali Cui Sing jemput batu yang lain dan menyambit pula, sekali ini mengarah keperut Tik Hun.
Anda sedang membaca artikel tentang Si KangKung Pendekar LUgu 2 [Soh Sim Kiam] dan anda bisa menemukan artikel Si KangKung Pendekar LUgu 2 [Soh Sim Kiam] ini dengan url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/09/si-kangkung-pendekar-lugu-2-soh-sim.html,anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel Si KangKung Pendekar LUgu 2 [Soh Sim Kiam] ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,namun jangan lupa untuk meletakkan link Si KangKung Pendekar LUgu 2 [Soh Sim Kiam] sumbernya.

Unknown ~ Cerita Silat Abg Dewasa

Cersil Or Post Si KangKung Pendekar LUgu 2 [Soh Sim Kiam] with url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/09/si-kangkung-pendekar-lugu-2-soh-sim.html. Thanks For All.
Cerita Silat Terbaik...

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar