RAHASIA PETI WASIAT 1

Diposting oleh eysa cerita silat chin yung khu lung on Senin, 05 September 2011


Rahasia Peti Wasiat
Judul asli Mandarin: You Xia Lu
Inggris: The Tale of a Wandering Swordsman
Saduran: Gan KL
Jilid 1
Musim semi di daerah Kanglam (selatan sungai Yangtze), bumi
raya diliputi pemandangan alam yang memikat.

Tibalah waktunya orang-orang menikmati suasana gembira
ria.
Di kota hiruk-pikuk, cahaya lampu gemerlapan dengan
kehidupannya yang beraneka ragamnya. Di desa sunyi sepi,
pepohonan menghijau permai, di mana-mana terlihat gairah
hidup musim semi.
Dalam suasana yang demikian itulah seorang pemuda
penunggang seekor kuda putih mulus gagah sedang
menyusuri lereng gunung yang indah dengan santai.
Usia anak muda ini sekitar 24-25 tahun, memakai ikat kepala
warna biru, berbaju satin merah ringkas dan membawa ransel,
memakai sepatu bersol tipis, sebatang pedang tergantung di
pinggangnya, nyata seorang pemuda yang gagah dan cakap.
Ia membiarkan kudanya berjalan dengan santai sembari
berdendang perlahan membawakan lagu yang memuji
keindahan musim semi.
Tanpa terasa ia sampai di depan sebuah jembatan kecil.
Lebar jembatan kurang-lebih cuma tiga kaki saja, melintang di
atas sebuah sungai yang lebarnya sekira dua tombak lebih.
Maksud pemuda itu hendak melintas jembatan, tapi terpaksa
ia harus menunggu di ujung jembatan. Sebab, di atas
jembatan ada orang.
Anehnya, kebetulan orang di atas jembatan itu juga membawa
seekor kuda putih gagah perkasa, cuma dia tidak menunggang
di atas kuda melainkan berdiri di atas jembatan dengan
memegang tali kendali. Ia lagi berdiri bersandar di langkan
jembatan dan asyik bercengkerama dengan seorang gadis
pencuci pakaian di kolong jembatan.

Orang yang mengalangi jembatan ini juga pemuda berusia
likuran saja, memakai ikat kepala sebangsa kaum pelajar,
berbaju biru berlengan longgar dari bahan yang mahal,
sepatunya bersol tebal, mukanya putih, bibirnya merah dan
gigi rajin, kelihatan terpelajar dan lembut, cuma sayang
sikapnya memperlihatkan gaya binal dan sok aksi.
Agaknya dia tidak tahu ada orang lain hendak melintas
jembatan, ia masih terus bersandar di langkan jembatan
sambil bergurau dengan anak gadis di bawah jembatan,
katanya dengan tertawa, "Apakah nona tidak berdusta? Bila
langsung lurus ke arah depan sana akan sampai di kota Kimtan?"
Terdengar gadis di kolong jembatan menjawab dengan
tertawa, "Memang betul jalan ini menuju ke Kim-tan. Ai, kau
ini bagaimana, masa harus kuulangi lagi baru mau percaya?"
Nada si nona seperti kurang senang, namun wajahnya tidak
mengunjuk sesuatu rasa tidak senang, nyata dia tidak jemu
terhadap pemuda pelajar ini, bahkan boleh dikatakan rada
kesengsem padanya.
Pemuda pelajar itu terbahak, "Haha, maaf! Soalnya aku
khawatir kesasar, maka tanya lebih jelas. Eh, apakah nona
penduduk di sini?"
Gadis itu mengiakan.
"Apa nama tempat ini?" tanya pemuda itu.
"Hoa-keh (sungai bunga)."
"Ah, nama yang indah! .... Eh, mohon tanya siapa nama nona
yang harum?"

"Takkan kuberi tahukan!" jawab si gadis.
"He, sebab apa?"
"Sebab belum kukenal dirimu."
"Aha, betul! Memang sepantasnya kuberi tahukan lebih dulu
namaku. Nah, aku she Pang bernama Bun-hiong, harap nona
suka sering-sering memberi petunjuk."
"Hihi ...." si gadis tertawa.
"Apa yang kau tertawakan?"
"Engkau seperti pelajar linglung."
"Ah, tidak, tidak ... dan sekarang dapat kau katakan namamu
bukan?"
"Aku bernama In Goat-kiau."
"Ai, cocok benar dengan orangnya yang cantik. Eh, apakah
setiap hari nona mencuci pakaian di sini?"
"Ehmm," si gadis mengangguk.
"Wah, bagus!" ujar si pemuda. "Orang suka bilang
pemandangan Kanglam indah permai, tampaknya pemeo ini
memang tidak salah. Bukan cuma pemandangannya indah,
bahkan gadisnya juga rata-rata sangat cantik, sungguh tempat
indah melahirkan gadis molek."
Mendengar celoteh mereka yang tak habis-habisnya, si
pemuda berdandan ringkas tadi menjadi tidak sabar
menunggu lagi, mendadak ia menegur, "Hai sahabat itu, harap

suka memberi jalan?!"
Pemuda pelajar yang mengaku bernama Pang Bun-hiong itu
anggap tidak mendengar saja dan masih terus menatap si
gadis di kolong jembatan dengan tersenyum, katanya, "Tolong
beri tahu, apakah di sekitar tempat ini ada tempat baik untuk
pesiar?"
"Belasan li di sebelah sana ada sebuah biara Koan-im-ting,
pemandangan di bukit sana sangat bagus," jawab si nona.
"Pernah ke sana?" tanya si pemuda alias Pang Bun-hiong.
"Pernah satu kali," jawab si nona.
"Pergi sendirian?"
"Bersama ibu."
"Ai, tentu kurang leluasa ...."
Tampaknya si pemuda berdandan ringkas itu tidak sabar
menunggu lagi, segera ia berteriak, "Hai, sahabat itu, jika mau
mengobrol kenapa tidak kau bawa dia ke dalam rumah saja?"
Pang Bun-hiong mengayun sebelah tangannya sebagai tanda
minta jangan diganggu, lalu menyambung obrolannya dengan
si gadis, "Apakah engkau masih ingin pesiar ke Koan-im-ting
sana?"
"Tentu saja ingin," jawab si nona.
"Jika mau, bagaimana kalau kita pergi bersama?"
Muka si nona menjadi merah dan mengomel, "Cis, bicaramu
melantur, aku tidak mau omong lagi."

Habis ini ia lantas sibuk mencuci pakaian.
Pang Bun-hiong terbahak, "Haha, jangan marah, aku hanya
berguyon saja denganmu. Eh, kau bilang jalan lurus ke depan
sana akan sampai di kota Kim-tan bukan?"
Dengan mendongkol si pemuda berdandan ringkas tadi
menukas, "He, kawan, aku justru akan menuju ke Kim-tan,
jika engkau tidak kenal jalan, boleh ikut bersamaku."
Karena tidak lagi digubris oleh gadis itu, Pang Bun-hiong
menggaruk-garuk kepala dengan kikuk, perlahan ia menegak
dan memberi tangan kepada si nona sambil berseru, "Selamat
tinggal, semoga lain kali bila kulalu lagi di sini akan dapat
berjumpa pula denganmu!"
Habis bicara ia lantas melompat ke atas kudanya, malah
dengan lagak seperti kekasih yang mohon diri kepada
gadisnya ia memberi tangan pula, lalu melarikan kudanya ke
seberang jembatan.
Segera si pemuda berdandan ringkas juga melarikan kudanya
ke atas jembatan, ia coba melongok sekejap ke kolong
jembatan, tertampak si gadis berkulit putih bersih dan cantik
manis. Ia tersenyum dan membatin, "Molek juga nona ini,
pantas si bangor tadi terpikat ...."
Ia terus melarikan kudanya ke seberang jembatan dan
menyusul Pang Bun-hiong yang di depan sehingga keduanya
jalan berjajar, ia menuding ke depan dan pasang omong
dengan dia, "Untuk menuju ke Kian-tan tidak ada jalan lain,
pasti takkan kesasar."
Pang Bun-hiong memelototinya sekejap, sahutnya dengan
mendongkol, "Hm, apakah kau kira aku tidak kenal jalan di

sini?"
Lalu dengan suara tertahan ia menyambung, "Supaya kau
tahu, aku justru penduduk yang dilahirkan dan dibesarkan di
kota itu."
Si pemuda berbaju ringkas melenggong, lalu tertawa geli dan
berkata, "Kiranya tadi Anda sengaja meledeknya ...."
Pang Bun-hiong mengangkat pundak tanpa menjawab.
Pemuda berbaju ringkas mengamati kuda orang, lalu berkata
pula, "Kudamu ini boleh juga, cuma sayang warnanya tidak
mulus, ada beberapa biji bulu warna lain."
"Hm, meski tidak mulus, larinya justru jauh lebih cepat
daripada yang mulus," jengek Pang Bun-hiong.
Habis berucap, sekali kaki mengepit kencang perut kuda,
sambil membentak perlahan serentak kudanya mencongklang
cepat ke depan.
Kudanya memang luar biasa, hanya sekejap saja sudah
membedal belasan tombak jauhnya, cepatnya memang sukar
ditandingi.
Si pemuda berbaju ringkas merasa tertarik, diam-diam ia
membatin, "Bagus, rupanya kamu sengaja menantang kudaku
si naga putih ini? Baik, boleh kau lihat kehebatan kudaku ini!"
Begitu timbul pikiran demikian, serentak ia pun membentak
sekali dan melarikan kudanya menyusul ke depan dengan
cepat.
Benar juga, kudanya juga bukan sembarang kuda, sekali
didesak, seketika keempat kaki bekerja dengan cepat dan

menimbulkan suara detak yang riuh, hanya sejenak saja kuda
Pang Bun-hiong sudah disusulnya dan kedua orang kembali
berjajar lagi.
Hal ini agaknya juga di luar dugaan Pang Bun-hiong, tapi juga
lantas menimbulkan hasratnya ingin menang, omelnya di
dalam hati, "Hm, dasar orang lamur, makanya tidak kenal
kudaku si pionir ini. Si pionir adalah satu di antara kelima kuda
termasyhur di dunia, ini, memangnya kudamu macam apa,
berani menantang balapan dengan kudaku?"
Tanpa bicara ia terus ayun cambuknya hingga menerbitkan
suara gemeletar, kembali ia membedal kudanya ke depan
sehingga si pemuda berbaju ringkas tertinggal lagi dua-tiga
tombak jauhnya.
Si pemuda berbaju ringkas tersenyum, segera ia setengah
berdiri dan membedal kudanya terlebih kencang, hanya
sebentar saja sudah disusulnya, bahkan mendahului di depan.
Air muka Pang Bun-hiong berubah, ia juga beraksi di atas
kudanya, berulang ia mendesak kudanya berlari lebih cepat
sehingga akhirnya pemuda berbaju ringkas tersusul juga ....
Begitulah terjadi balapan kuda di tengah jalan raya itu oleh
kedua anak muda yang sama tidak mau mengalah itu, saking
kencangnya lari kuda mereka hingga debu mengepul, sebentar
Pang Bun-hiong di depan, lain saat si pemuda berbaju ringkas
melampauinya lagi, nyata keduanya sama hebatnya.
Hanya, sebentar saja belasan li sudah dilaluinya.
Pada saat itulah dari depan muncul sebuah tandu merah yang
digotong dua orang.
Lebar jalan kurang lebih hanya lima kaki, separuh lebar jalan

sudah dipakai oleh tandu itu, dalam keadaan demikian jelas
sukar bagi kedua penunggang kuda lewat begitu saja secara
berjajar.
Celakanya pada waktu itu mereka justru tidak mau saling
mengalah dan tetap melarikan kuda masing-masing dengan
sejajar. Dengan lain perkataan di antara mereka perlu salah
seorang mengalah dulu, kalau tidak tentu mereka akan
menubruk tandu itu.
Akan tetapi Pang Bun-hiong tidak mau mengalah sedikit pun.
Juga si pemuda berbaju ringkas tetap ingin menang. Agaknya
kedua anak muda itu tidak peduli lagi apa yang akan terjadi
dan harus berlomba hingga jelas ketahuan siapa unggul dan
siapa asor.
Dalam pada itu kedua ekor kuda masih terus membedal ke
depan secepat terbang. Keruan kedua kuli penggotong tandu
ketakutan setengah mati demi melihat kedua penunggang
kuda itu sama sekali tidak ada tanda akan menghentikan lari
kudanya, cepat mereka berteriak, "Hei, hei! Berhenti, lekas
berhenti! .... Wah, bisa tertubruk!"
Namun jarak kuda dengan tandu saat itu tinggal satu tombak
lebih jauhnya, hendak berhenti pun tidak keburu lagi.
Justru pada detik yang gawat itu sekonyong-konyong terlihat
kedua ekor kuda yang tetap berlari cepat itu mengangkat kaki
depan terus mencongklang ke atas, terdengar deru angin
"wut-wut" dua kali, kedua ekor kuda melayang lewat di atas
tandu dan turun kembali lima-enam kaki di belakang tandu
sana dan, tetap membedal ke depan dengan cepat.
Saking kaget dan takutnya kaki kedua kuli penggotong tandu
terasa lemas, seketika mereka menaruh tandu di atas tanah
dan tidak sanggup melangkah lagi.

Hendaknya maklum, si pemuda berbaju ringkas itu sama
sekali tidak memikirkan keselamatan umum, soalnya dia yakin
mampu mengendalikan kudanya dan melompat lewat tandu
merah itu, maka dia tidak mau mengalah. Tapi ketika
dilihatnya Pang Bun-hiong juga ikut melompati tandu itu
dengan sama cepatnya, mau tak mau ia terkesiap dan
membatin, "Wah, rupanya aku salah lihat. Bocah ini
tampaknya lemah lembut, rupanya juga menguasai
kepandaian yang sengaja tidak diperlihatkan."
Pang Bun-hiong juga tidak menyangka orang menguasai ilmu
menunggang kuda sehebat itu, mau tak mau pun berubah
penilaiannya terhadap si pemuda berbaju ringkas, pikirnya,
"Buset, ternyata boleh juga bocah ini!"
Namun kedua orang tetap tidak mau saling mengalah dan
terus membedalkan kuda masing-masing ke depan, keduanya
sama bertekad akan mengungguli lawan.
Tapi meski sudah dua-tiga li lagi jauhnya, keadaan tetap sama
kuat.
Pada saat inilah suatu "ujian" kembali muncul.
Kembali di depan ada sebuah jembatan, luas jembatan juga
tidak besar, hanya cukup untuk dilalui dua ekor kuda berjajar
dengan berjalan perlahan, bila berjajar dengan lari cepat tentu
akan saling tumbuk dan kecebur ke sungai.
Pang Bun-hiong tidak mau mengalah, langsung ia membedal
kudanya ke atas jembatan. Pemuda berbaju ringkas itu pun
ngotot. Maka dalam sekejap itu kedua ekor kuda sama
melompat ke atas jembatan, seketika sukar terhindar lagi
pergesekan dan berdesakan.

Karena keki, Pang Bun-hiong terus mendorong dengan
sebelah tangannya dengan maksud menceburkan pemuda
berbaju ringkas ke sungai.
Siapa tahu pemuda berbaju ringkas juga berpikir sama,
sebelah tangannya pun menolak ke arah Pang Bun-hiong.
"Plak", tangan kedua orang kebentur.
Tanpa ampun Pang Bun-hiong berikut kudanya terus
menerjang ke luar jembatan sebelah kiri. Sama halnya
pemuda berbaju ringkas itu, ia pun menerjang ke sebelah
kanan.
Keadaan mereka itu ibaratnya benturan dua arus yang
mengamuk, lalu terdampar kembali ke dua sisi, keadaan
tampak berbahaya dan mengkhawatirkan.
Namun kedua orang ternyata tidak jatuh ke dalam sungai,
semula kedua orang kelihatan seperti tergetar oleh tenaga
tolakan lawan, namun waktu kuda masing-masing menerjang
ke luar jembatan, ternyata tidak ada yang kecebur ke bawah
melainkan langsung melayang ke seberang sungai.
"Boleh juga kau!" seru si pemuda berbaju ringkas.
Pang Bun-hiong diam saja dan tetap memacu kudanya ke
depan.
Dengan sendirinya pemuda berbaju ringkas tidak mau kalah,
ia pun mendesak kudanya berlari terlebih cepat agar dapat
melampaui lawan.
Akan tetapi seterusnya kedua orang masih tetap saling salip
dan tiada seorang pun lebih cepat daripada yang lain.
Tidak lama kemudian kota Kim-tan sudah kelihatan di depan.

Namun kedua orang tetap tidak mau saling mengalah, masih
tetap melarikan kudanya ke dalam kota dengan berjajar,
bahkan tetap berlomba di jalan raya di tengah kota.
Waktu lalu di suatu jalan, mendadak Pang Bun-hiong
menahan kudanya dan berhenti di depan sebuah restoran.
Si pemuda berbaju ringkas tidak menyangka orang akan
berhenti secara mendadak, seketika ia tidak sempat menahan
kudanya sehingga menerjang beberapa tombak jauhnya baru
dapat menghentikan kudanya, waktu ia berputar balik,
dilihatnya dua pelayan menyongsong keluar dari dalam
restoran dan sedang memberi hormat kepada Pang Bun-hiong
dengan munduk-munduk, seperti sambutan terhadap
langganan lama layaknya.
Setelah berpikir sejenak, pemuda berbaju ringkas juga
mendekati restoran itu.
Salah seorang pelayan melihat kuda tunggangannya juga
putih serupa kuda Pang Bun-hiong, dengan tertawa ia tanya,
"Pang-siauya, tuan ini tentu sahabatmu, silakan!"
"Omong kosong," kata Pang Bun-hiong. "Aku tidak membawa
teman."
Sembari bicara ia terus menyerahkan kudanya kepada pelayan
dan melangkah ke atas loteng restoran dengan lagak angkuh.
Mendengar pemuda berbaju ringkas ini bukan kawan Pangsiauya,
sikap pelayan yang lain seketika tidak terlalu hormat
lagi, dengan sikap umum ia menyapa, "Tuan ini silakan ke
atas loteng, di sini tersedia arak yang paling enak dan
santapan paling lezat ...."
Merasa dirinya diperlakukan tidak sepadan dengan Pang BunKANG
ZUSI website http://cerita-silat.co.cc/
hiong, tentu saja pemuda itu rada dongkol, tapi ia diam saja,
ia serahkan kudanya kepada pelayan, lalu naik ke atas loteng.
Setiba di atas, dilihatnya Pang Bun-hiong sudah duduk
menyanding sebuah meja besar, di depannya berkerumun tiga
orang pelayan, yang satu sibuk menuangkan teh baginya,
yang kedua mengatur mangkuk dan sumpit, yang ketiga
membawa daftar menu dan menunggu sang tamu memilih
santapan, semuanya berlaku sangat hormat, serupa kaum
dayang meladeni pangeran.
Si pemuda berbaju ringkas memilih sebuah meja di depan,
akan tetapi tidak ada seorang pelayan pun yang meladeninya,
keruan ia tambah keki dan sengaja hendak menyaingi Pang
Bun-hiong, segera ia menggebrak meja dan berteriak. "Hai,
apaan ini, masa di sini tidak ada pelayan?"
"Ya, ya, segera datang!" cepat pelayan yang sibuk
menuangkan teh bagi Pang Bun-hiong itu bersuara, lalu
mendekat dan bertanya dengan tertawa, "Tuan tamu ini mau
pesan apa?"
"Kuminta diberi handuk hangat dulu dan sepoci teh Siociong,"
jengek si pemuda berbaju ringkas.
"Baik, baik, segera disediakan," sahut si pelayan.
Saat itu Pang Bun-hiong lagi memilih menu, sembari
menyeruput teh panas ia berkata, "Buatkan seporsi burung
dara goreng, seporsi Pak-lay-cah, seporsi Ang-sio-hi, seporsi
ayam cah jamur, ditambah seporsi sup tahu campur bibir ikan
dan bawakan lagi setengah kati arak Li-ji-hong."
Kiranya restoran ini terhitung rumah makan nomor satu di
kota Kim-tan ini, meski menu yang dipilih Pang Bun-hiong
tidak tergolong makanan ternama, tapi sudah cukup

terpandang mahal oleh penduduk setempat.
Berulang pelayan mengiakan sambil mencatat menu yang
dikehendaki, lalu bergilir menuju ke depan si pemuda berbaju
ringkas dan bertanya, "Tuan tamu ini mau pesan makanan
apa?"
"Kuminta satu porsi burung dara goreng, satu porsi Pak-laycah,
satu porsi Ang-sio-hi, satu porsi ayam cah jamur,
ditambah seporsi sup tahu campur bibir ikan dan bawakan lagi
satu kati arak Li-ji-hong."
Menu yang dipilih ternyata sama dengan pesanan Pang Bunhiong,
bedanya cuma dia minta arak setengah kati lebih
banyak.
Seketika si pelayan melenggong, ia tahu tamu ini sedang
mencari perkara kepada Pang-siauya, maka diam-diam ia
merasa geli dari juga senang.
Maklumlah, orang berusaha restoran, tentu tidak beralasan
menolak tamu makan banyak, maka dicatatnya pula setiap
pesanan orang. Selagi pelayan itu hendak meneruskan
pesanan itu ke bagian dapur, tiba-tiba Pang Bun-hiong
memanggilnya, "Hai, pelayan, kemari!"
Sambil mengiakan pelayan itu berlari ke sana dan tanya
dengan memberi hormat, "Pang-siauya ada pesan apa lagi?"
"Tambah lagi satu macam .... Otak kera!" kata Pang Bunhiong
dengan tertawa.
"Baik, Tuan!" sahut si pelayan.
Mendadak si pemuda berbaju ringkas juga memanggilnya,
"Kemari, pelayan!"

Kembali si pelayan mengiakan dan mendekatinya sambil
tanya, "Tuan tamu minta apa lagi?"
"Juga tambah satu macam ... Otak kera!" kata pemuda itu.
Dengan tertawa si pelayan mengiakan dan buru-buru turun ke
bawah.
"Hmk!" perlahan Pang Bun-hiong mendengus, ia
mengeluarkan sebuah kipas dan dibentangnya lalu mengipas
perlahan dengan santainya.
Pemuda berbaju ringkas itu tidak punya kipas, ia merasa kalah
aksi, tanpa pikir ia berseru, "Hai, pelayan, kemari!"
Pelayan yang lain segera mendekat dan bertanya apa
kehendak sang tamu.
Pemuda itu mengeluarkan uang perak seberat lima tahil dan
disodorkan kepada si pelayan sambil berteriak, "Pergi ke toko
dan belikan sebuah kipas lempit bertulang gading, sisanya
untukmu!"
Si pelayan tidak tahu dia lagi bersaing dengan Pang Bunhiong,
tentu saja ia kegirangan akan mendapat persen cukup
banyak, sambil mengiakan segera ia berlari pergi.
Diam-diam Pang Bun-hiong merasa gusar, dengan suara yang
tak terdengar ia memaki, "Kurang ajar! Berani kau cari
perkara padaku. Baik, sebentar baru kau tahu rasa!"
Tidak lama, si pelayan sudah kembali dengan membawa kipas
lempit bertulang gading yang dikehendaki si pemuda berbaju
ringkas.

Maka pemuda itu pun pasang aksi dengan membentang
kipasnya dan mengipas dengan lagak santai.
Selang sebentar lagi, santapan yang mereka pesan pun
dihidangkan.
Melihat salah satu porsi makanan itu adalah sebuah otak
mentah, malahan kelihatan berdarah, diam-diam si pemuda
berbaju ringkas terkejut, ia menarik pelayan yang
membawakan makanan itu dan bertanya dengan suara lirih,
"Hei, ini apa?"
"Inilah otak kera yang Tuan pesan tadi," jawab si pelayan.
Kembali pemuda itu tanya dengan suara tertahan, "Betul, aku
memang pesan semacam makanan, tapi sesungguhnya
barang apa ini?"
"Otak kera," tutur si pelayan.
Pemuda itu kelihatan tegang, tanyanya pula, "Masa otak kera
benar-benar?"
"Dengan sendirinya otak kera benar-benar, restoran kami
tidak menjual barang palsu," ujar si pelayan.
Seketika pemuda itu merasa mual dan hampir saja tumpah,
serunya, "Aduh, barang begini masa dapat dimakan?"
"Jika Tuan tamu tidak berani makan, untuk apa dipesan?" ujar
si pelayan.
Mendadak teringat oleh pemuda itu betapa pun tidak boleh
kelihatan lemah di depan Pang Bun-hiong, segera nadanya
berubah, katanya sambil berdehem, "Ya, memang. Bukannya
aku tidak berani makan, maksudku barang ini tidak pantas

dimakan secara mentah melainkan mesti dimasak dahulu."
"Tidak, dimakan secara mentah baru terasa enak," tutur si
pelayan.
Pemuda itu mulai menyesal tidak seharusnya ikut-ikutan
memilih makanan itu, dengan bekernyit kening ia memberi
tanda, "Bawa pergi, bawa pergi! Aku tidak doyan makanan
ini!"
"Hahahaha!" mendadak Pang Bun-hiong bergelak tertawa.
"Buset! Kukira orang gagah macam apa, tak tahunya cuma
seorang ...."
Serentak si pemuda berbaju ringkas menjadi gusar, ia
menggebrak meja dengan keras dan berdiri, bentaknya, "Kau
maki siapa?!"
Pang Bun-hiong sengaja membungkuk tubuh ke arahnya dan
berkata dengan tertawa, "Maaf, aku kan tidak menyebut nama
siapa pun!"
Habis ini ia lantas menuang arak dan makan-minum.
Si pemuda berbaju ringkas mendengus, ia pun duduk dan
menuang secawan arak, mendadak cawan arak yang
dipegangnya dilemparkan ke arah Pang Bun-hiong, ucapnya
dengan tertawa, "Kusuguh satu cawan padamu, kawan!"
Waktu terlempar cawan itu meluncur sangat lambat, serupa
segumpal kapas saja yang melayang terbawa angin.
Tapi bagi orang yang berpengalaman, sekali pandang saja
segera tahu lemparan ini membawa tenaga dalam yang kuat,
jika Pang Bun-hiong tidak menguasai sedikit kepandaian, pada
waktu menangkap cawan arak tentu akan ketahuan

belangnya.
Tertampak Pang Bun-hiong tetap duduk diam saja, ia hanya
mengangkat tangan dengan perlahan dan cawan arak yang
melayang tiba itu kena ditangkapnya, seluruh tubuh tidak
bergoyang sama sekali.
"Terima kasih!" ucapnya dengan tersenyum dan sekali
tenggak isi cawan diminum habis.
Lalu ia pun menuang satu cawan arak, perlahan dilemparkan
ke arah lawan dan berkata, "Setelah menerima harus balas
memberi, itulah sopan santun namanya. Silakan minum juga!"
Gerak melayang cawan araknya juga sangat lambat.
Pemuda berbaju ringkas tertawa, ia angkat sumpit, dengan
enteng cawan itu dicapitnya sambil berkata, "Terima kasih!"
Isi cawan itu pun ditenggaknya habis.
Pertandingan ini kembali seri alias sama kuat.
Namun perbuatan mereka yang luar biasa itu telah
mengejutkan para tamu dan pelayan yang melayani mereka.
Si pemuda berbaju ringkas merasa penasaran karena tidak
dapat mengatasi pihak lawan, dengan sumpit ia capit
sepotong daging ayam terus disambitkan, katanya, "Kusuguh
lagi sepotong kulit ayam padamu!"
Sekali ini daging ayam itu menyambar ke depan secepat kilat
sehingga serupa sebilah pisau.
Pang Bun-hiong tidak mengelak, mendadak ia membuka
mulut, daging ayam itu dicaploknya, lalu dimakan dengan

nikmatnya, katanya dengan tertawa, "Ehm, empuk dan gurih,
sungguh lezat!"
Habis mengunyah dan menelan daging ayam lalu ia
menyumpit sepotong otak kera, katanya dengan tertawa,
"Haha, kalau sudah menerima sepantasnya harus balas
memberi, ini, aku pun menyuguh sepotong otak padamu!"
Sekali sumpit bergerak, secepat bintang meluncur sepotong
otak kera itu terus menyambar ke muka si pemuda berbaju
ringkas.
Anak muda itu tidak berani makan otak kera, keruan ia
terkejut, cepat telapak tangan menolak ke depan sambil
membentak, "Maaf, tuanmu tidak makan otak kera!"
Karena tenaga tolakan itu, otak kera yang menyambar ke
depan itu lantas hancur di udara beberapa kaki sebelum
mencapai sasarannya.
Nyata itulah Pi-kong-ciang atau pukulan jarak jauh yang lihai.
Bun-hiong menjadi gusar, teriaknya sambil berbangkit, "Kalau
jantan sejati harus kau makan?"
Pemuda baju ringkas mengangkat pundak dan menjawab,
"Sekali seorang jantan bilang tidak makan tetap tidak mau
makan!"
Ucapannya seketika menimbulkan gelak tawa orang banyak.
Bun-hiong juga merasa geli, segera ia melangkah ke sana,
katanya dengan tertawa, "Eh, saudara, kubilang
sesungguhnya engkau belum memenuhi syarat untuk main
gila di depan tuanmu!"

"Huh, di depan maharaja sekalipun berani kumain gila," jawab
pemuda baju ringkas.
"Hm, barangkali belum kau kenal nama julukanku," kata Bunhiong.
"Oo? Apa?" tanya si pemuda baju ringkas dengan lagak ingin
tahu.
"Te-tau-coa (ular penguasa daerah) ialah julukanku, masa
belum pernah kau dengar?"
"Bagus! Juga aku mempunyai nama julukan," ujar si pemuda
baju ringkas.
"Coba katakan, aku ingin tahu!"
"Julukanku adalah Ko-kang-liong (naga penjaga sungai),
pernah kau dengar namaku?"
"Aha, bagus!" seru Bun-hiong sambil terbahak. "Bolehlah hari
ini ular menempur naga, ingin kulihat apakah Ko-kang-liong
yang lebih hebat atau Te-tau-coa yang lebih kuat?"
Baru habis bicara, mendadak sebelah kakinya menendang.
Si pemuda baju ringkas cuma berjaga-jaga kalau lawan
memukul dan tidak mengira akan ditendang, seketika ia tidak
sempat mengelak, kontan perutnya tertendang dengan telak,
ia menjerit kesakitan dan roboh terjungkal.
Meja juga terguling tertumbuk pada waktu dia roboh
terjengkang, dengan sendirinya semua hidangan di atas meja
juga tumpah dan menerbitkan suara gemuruh.
Melihat lawan memegang perut sambil menjerit kesakitan,

Pang Bun-hiong tidak menyerang lebih lanjut, ia tertawa
senang dan berkata, "Nah, kubilang naga takkan mampu
makan ular, sekarang kau percaya tidak?"
Pemuda berbaju ringkas itu merangkak bangun, pada saat
tubuhnya hampir menegak mendadak ia menjotos.
Pang Bun-hiong tidak menyangka orang masih bertenaga
untuk memukulnya, hendak berkelit pun tidak keburu lagi,
kontan perutnya juga kena digenjot dengan keras, belum
menjerit tahu-tahu ia pun jatuh terjengkang.
"Haha, bagaimana? Kubilang naga tetap lebih kuat daripada
ular, sekarang tentu kau percaya bukan?" seru si pemuda baju
ringkas dengan tertawa.
Sambil meringis kesakitan Pang Bun-hiong merangkak
bangun, katanya, "Baik, tampaknya Kungfumu boleh juga,
namun urusan belumlah selesai!"
Mendadak ia mendekam ke lantai, kaki terus menyapu lawan.
Namun pemuda baju ringkas sempat melompat minggir,
menyusul kedua kepalan balas menghantam kedua pelipis
musuh.
Sekali ini Bun-hiong tidak dapat dikerjai lagi, secepat kitiran ia
berputar, kedua tangan beradu, kontan si pemuda baju
ringkas terpental mencelat, Pang Bun-hiong juga tergetar
jatuh terjungkal.
"Wah, celaka!" teriak kuasa restoran yang baru naik ke atas
loteng ketika mendengar suara keributan. "Sudah, sudahlah,
bisa rusak semua!"
Namun kedua orang sudah kadung naik pitam, kembali
mereka saling labrak lagi. Dalam sekejap itu belasan meja

kursi di atas loteng sama terjungkir balik, mangkuk piring
beterbangan dan hancur.
"Wah, celaka, tamat, habis seluruhnya!" kuasa restoran
berkeluh pula dengan muka pucat. "Cara bagaimana
perhitungan ini?"
Rupanya kedua anak muda itu sudah sama kalapnya, siapa
pun tidak mau berhenti dulu, pukulan dan tendangan masih
terus berlangsung dengan seru.
Tampaknya ratusan jurus sudah berlalu dan keduanya tetap
setali tiga uang alias sama kuat, tiada seorang pun lebih
unggul.
Pada saat itulah terdengar tangga berdetak, naiklah seorang
tua yang berdandan sebagai Pothau (serupa polisi zaman
kini).
Melihat ada orang berkelahi, Pothau tua itu membentak,
"Berhenti!"
Suaranya keras menggelegar sehingga genting rumah serasa
terguncang.
Segera Pang Bun-hiong menghentikan serangannya dan
melompat mundur, katanya dengan tertawa, "Syukurlah Ciupothau
datang, coba bocah ini akan lari ke mana?"
Pemuda berbaju ringkas juga berhenti perang tanding dan
berucap, "Harus dua mata uang baru menerbitkan bunyi,
kalau masuk penjara biarlah kita lakoni bersama."
"Pang-siauya, apa-apaan ini?" tanya Ciu-pothau dengan
menarik muka.

"Ah, tidak apa-apa, lagi iseng, maka main-main dengan
sahabat ini," jawab Bun-hiong dengan tertawa.
"Main-main?" omel Ciu-pothau. "Coba restoran orang telah
kau bikin porak-poranda semacam ini, masa ini cuma mainmain?"
"Jangan khawatir, semua perhitungkan atas rekeningku saja,"
ujar Bun-hiong.
Si pemuda baju ringkas menjengek, "Hm, memangnya kau
kira hanya kamu saja yang punya uang? Biar kukatakan, aku
juga sanggup memberi ganti rugi!"
Sembari bicara ia terus mengeluarkan sepotong uang perak
dan dilemparkan kepada kuasa restoran sambil berseru, "Ini,
ambil! Tentu cukup untuk ganti rugi semua kerusakan ini."
Cepat si kuasa restoran mengambil uang perak itu dan
mengucapkan terima kasih.
Tapi Pang Bun-hiong merasa kehilangan muka, teriaknya
dengan gusar, "Kurang ajar! Kan sudah kukatakan aku yang
akan memberi ganti rugi, sekali kubilang begitu tetap aku
yang akan memberi ganti rugi, kau berani berebut membayar
denganku?"
"Memangnya mau apa? Jika tidak terima, mari kita berhantam
lagi, cuma harus cari suatu tempat lain saja," ujar si pemuda
baju ringkas dengan tertawa.
"Baik, boleh kita bertarung lagi, barang siapa menang, dia
yang wajib membayar ganti rugi," kata Bun-hiong.
"Dan di mana tempatnya?"

Bun-hiong berpikir sejenak, lalu berkata dengan tertawa,
"Haha, kita memang perlu mencari suatu tempat sepi yang tak
terganggu. Begini saja, menjelang tengah malam nanti kita
bertemu di ...."
Lalu ia mendekat dua langkah ke samping lawannya dan
mengucapkan nama tempat yang dimaksud dengan suara lirih,
lalu menegas dengan suara keras, "Nah, bagaimana? Setuju?"
"Baik, kupasti datang tepat pada waktunya," jawab si pemuda
baju ringkas.
Bun-hiong lantas berkata kepada kuasa restoran, "Kembalikan
uang perak itu kepadanya."
"Tidak perlu," ujar pemuda baju ringkas. "Jika aku kalah baru
kudatang mengambilnya kembali."
Habis ini ia memberi hormat kepada Ciu-pothau dan berkata,
"Maaf, sekarang aku boleh pergi bukan?"
Ciu-pothau memandang Pang Bun-hiong sekejap, dilihatnya
pemuda itu mengangguk, maka ia lantas memberi tanda dan
berkata, "Baik, boleh pergi!"
Dengan tersenyum pemuda baju ringkas lantas meninggalkan
restoran itu.
Lalu Ciu-pothau berkata kepada Pang Bun-hiong, "Pangsiauya,
engkau ini kok selalu mencari gara-gara saja? Lain kali
jika mau berkelahi hendaknya pergi ke luar kota saja."
Bun-hiong mengebas bajunya yang kotor sambil menjawab
dengan tertawa, "Baik, malam nanti kami memang akan
berkelahi di luar kota."

"Di luar kota mana?" tanya Ciu-pothau.
"Maaf, tak dapat kuberi tahu," kata Bun-hiong sambil
memicingkan sebelah mata, lalu tinggal pergi.
*****
Ketika malam tiba, cahaya lampu gemerlapan di sana-sini.
Tempat yang paling ramai pada waktu malam di kota Kim-tan
adalah sebuah gang yang disebut "Gang Bunga" di dekat
gerbang utara. Sebab jalan ini memang sesuai dengan
namanya, tempat hiburan, tegasnya tempat "lampu merah".
Di antaranya yang paling terkenal adalah sebuah rumah
hiburan yang bernama "Lau-jun-ih" atau Paviliun Semi Abadi.
Malam ini si pemuda berbaju ringkas itu sudah berganti baju
preman, dengan menggoyang kipas lempit dikunjunginya
tempat pelesir itu.
Setiba di depan Lau-jun-ih, ia merandek dan melongak-longok,
segera seorang calo menyongsongnya dengan cengar-cengir
dan menyapa, "Kongcu ini silakan duduk di dalam, apa ingin
cari nona jelita?"
Anak muda itu mengangguk dan melangkah ke dalam.
Calo itu membawanya ke ruangan tamu dan duduk serta
disuguh secangkir teh harum, lalu bertanya dengan tertawa,
"Kongcu she apa?"

"Liong," jawab pemuda itu.
"Oh, kiranya Liong-kongcu," ujar si calo. "Numpang tanya,
apakah Liong-kongcu sudah ada kenalan di sini?"
"Tidak ada," jawab pemuda she Liong itu, "cuma berani
kukatakan di Lau-jun-ih kalian ini ada seorang nona bernama
Giok-nio, entah dia ada atau tidak?"
"Oo, Liong-kongcu mau panggil nona Giok-nio?" calo itu
menegas dengan melengak.
"Ya," pemuda she Liong mengangguk.
Si calo memperlihatkan rasa menyesal, katanya, "Ai, sungguh
tidak kebetulan. Selama beberapa hari ini nona Giok-nio tidak
di tempat, bagaimana kalau Liong-kongcu panggil nona yang
lain?"
"Apa betul tidak ada?" pemuda she Liong menegas.
"Sungguh tidak ada, masa hamba berani berdusta," ujar si
calo. "Cuma, hihi, hendaknya Kongcu jangan kecewa,
bagaimana kalau hamba memanggilkan nona lain yang lebih
cantik daripada Giok-nio, tanggung Kongcu pasti puas."
"Dia pergi ke mana?" tanya pemuda she Liong.
"Hamba sendiri tidak jelas."
Pemuda itu berpikir sejenak, tiba-tiba ia tertawa dan berkata,
"Baiklah, boleh coba panggilkan satu."
Dengan gembira si calo mengiakan, segera masuk ke dalam,
tidak lama kemudian keluar lagi dengan membawa seorang
nona, katanya dengan tertawa, "Coba Kongcu lihat, cantik

bukan?"
Nona ini berusia antara 20-an, bertubuh ramping, raut muka
potongan daun sirih dan cukup menarik, ditambah lagi alis
lentik dan mata jeli, mulut mungil, tampaknya memang
memikat.
Si nona berdiri di tepi pintu, lengan baju setengah menutupi
mukanya dengan lagak malu-malu kucing.
Pemuda she Liong mengangguk, agaknya merasa puas,
sapanya dengan tertawa, "Nona ini bernama siapa?"
"Dia bernama Jiu Yan, belum lama baru datang sehingga tidak
begitu pintar meladeni tamu, hendaknya Kongcuya maklum,"
ujar si calo dengar tertawa. Lalu ia berkata kepada si nona,
"Nah, nona Jiu Yan, lekas mengundang Kongcuya ini ke
dalam."
Jiu Yan memandang pemuda she Liong dengan lirikan
memikat, dengan likat ia membalik tubuh dan menyingkap
tabir.
Pemuda itu tahu maksudnya, dengan tersenyum ia ikut masuk
ke dalam.
Jiu Yan membawanya ke sebuah kamar yang terpajang cukup
indah, lebih dulu ia memberi hormat dan berkata dengan
suara renyah, "Silakan duduk, Liong-kongcu."
"Maaf jika aku mengganggu," ucap pemuda she Liong.
"Ah, janganlah Kongcu merasa sungkan," ujar Jiu Yan dengan
tertawa manis.
Pemuda itu lantas duduk di depan sebuah meja kecil yang

indah, katanya pula, "Nona secantik bidadari, sungguh sangat
beruntung dapat berkenalan denganmu."
Jiu Yan menuang secangkir teh dan ditaruh di depan pemuda
itu, lalu duduk di sampingnya, katanya dengan malu-malu,
"Perempuan biasa seperti diri hamba ternyata beruntung
ditaksir oleh Kongcu, sungguh hamba sangat berterima kasih,
mohon Kongcu suka banyak memberi petunjuk."
Melihat si nona dapat bicara dengan sopan, timbul kesan baik
si pemuda she Liong, ia pegang tangannya yang putih dan
berkata, "Ehm, pandai benar caramu bicara."
Jiu Yan tertawa manis, "Terima kasih atas pujian Kongcu.
Padahal di Lau-jun-ih kami ini, hamba terhitung paling bodoh."
"Berapa usiamu tahun ini?"
"Dua puluh," jawab Jiu Yan sambil menunduk malu.
"Berasal dari mana?"
"Di sini."
"Haha," si pemuda tertawa. "Di luar dugaan juga jawaban ini
...."
"Oo?" Jiu Yan ingin tahu lebih lanjut.
"Banyak juga nona yang pernah kulihat, setiap kutanya asal
usul mereka, selalu mereka menceritakan kisah hidupnya yang
memilukan."
"Buat apa begitu?" ujar Jiu Yan tersenyum. "Selama ini tidak
pernah kuceritakan kisah hidupku, sebab meski kuceritakan
juga tidak ada gunanya."

"Memang betul," kata si pemuda.
"Apakah Kongcu perlu memanggil daharan?"
"Baik," pemuda itu mengangguk.
Segera Jiu Yan keluar dan memberi pesan agar menyiapkan
arak dan santapan, lalu kembali ke kamar, tanyanya dengan
tertawa, "Kalau boleh mohon tanya nama Kongcu yang
terhormat."
"It-hiong," jawab si anak muda.
"Di mana kediaman Kongcu?"
"Tidak punya kediaman pasti, berkelana kian kemari," jawab si
pemuda alias Liong It-hiong.
"Tampaknya watak Kongcu sangat jujur dan suka terus
terang."
"Masa?!"
"Kebanyakan orang lelaki yang datang ke sini, jelas mereka
datang untuk mencari kesenangan, tapi mereka berlagak
mengunjuk rasa simpatik atas nasib kami, hanya engkau yang
tidak bersikap demikian."
Liong It-hiong tertawa. "Di dunia ini sangat banyak orang
yang bernasib malang, jika setiap orang harus solider kan
runyam, cuma ...."
"Cuma apa?" tanya Jiu Yan.
"Caraku bersimpati kepada orang perempuan semacam kalian

hanya dengan semacam barang."
"Oo, barang apa?"
"Uang!"
Jiu Yan tertawa mengikik, "Lelaki yang datang ke sini masakan
berani tidak memberi uang."
"Namun yang kuberikan jauh lebih banyak daripada lelaki
lain."
Jiu Yan memperlihatkan rasa tidak percaya, "Apa betul?"
Liong It-hiong menyeruput tehnya, lalu berkata, "Ingin
kutanya padamu, bukankah kau kenal seorang pemuda
bernama Pang Bun-hiong?"
"Tentu saja kukenal," jawab Jiu Yap. "Dia adalah pemuda
tukang foya-foya terkenal di kota ini, tidak ada seorang nona
penghuni Gang Bunga ini yang tidak kenal dia."
"Bila datang, setiap kali dia membayar berapa kepada kalian?"
tanya It-hiong.
"Tidak tentu," tutur Jiu Yan. "Kalau lagi senang, terkadang
sekali memberi 50 tahil perak."
"Sekarang kuberi seratus tahil perak padamu," kata Liong Ithiong
sambil mengeluarkan sepotong uang emas dan
diberikan kepada si nona, katanya pula dengan tertawa,
"Emas ini kalau dinilai persis seratus tahil perak."
Mata Jiu Yan terbelalak, katanya dengan sangsi, "Hei, Kongcu
... apakah engkau bergurau?"

"Tidak," jawab It-hiong.
Jiu Yan mengamati uang emas yang dipegangnya, terasa kejut
dan girang, ucapnya, "Kongcu tentu kaya raya bukan?"
"Tidak aku sangat miskin, saking rudinnya terkadang aku tidak
makan, namun bila pegang uang lantas kuhamburkan."
"Cara ini tidak betul," ujar Jiu Yan.
"Betul atau tidak sukar dikatakan, selama ini tidak pernah
kupikirkan soal ini .... Ah, biarlah kita ganti pokok bicara.
Konon di Lau-jun-ih kalian ini ada seorang nona bernama
Giok-nio?"
"Betul, dia sangat laris," jawab Jiu Yan.
"Sekarang dia ada atau tidak?"
"Tidak ada, sudah pergi."
"Pergi ke mana?"
"Kabarnya pindah ke Kim-leng (kota Nanking sekarang)."
"Tapi si calo tadi bilang Giok-nio selama beberapa hari ini tidak
masuk, dia tidak bilang pindah ke Kim-leng segala."
"Wajar jika dia bilang begitu, kalau dia katakan terus terang
Giok-nio tidak berada di sini lagi, kan para tamu bisa angkat
kaki semua," ujar Jiu Yan, lalu ia tanya dengan tertawa,
"Kongcu juga kenal Giok-nio."
"Tidak," jawab Liong It-hiong.
"Dan Kongcu ingin mencari dia?"

"Sebenarnya memang berniat demikian, sebab sering
kudengar pujian orang akan kecantikan dan kepandaiannya,
maka ingin belajar kenal."
"Sudah delapan atau sembilan hari dia pergi," tutur Jiu Yan.
"Sebab apa dia pergi dari sini?"
"Entah, mungkin dia pikir di Kim-leng akan mendapatkan uang
lebih banyak."
"Di mana dia tinggal di Kim-leng?"
"Kalau tidak salah dia bilang Boan-jun-wan."
Selagi It-hiong hendak tanya lebih lanjut, dilihatnya pelayan
membawakan arak dan hidangan, sesudah pelayan pergi
barulah It-hiong tanya pula, "Sesungguhnya siapa nama
aslinya?"
Sambil menuangkan arak Jiu Yan menjawab, "Tidak begitu
jelas, meski cukup lama kami berkumpul, namun tidak pernah
saling tanya nama asli masing-masing."
Lalu dia menyodorkan arak yang dituangnya kepada anak
muda itu, "Silakan minum Kongcu. Jika malam ini engkau
penujui hamba, hendaknya jangan kau singgung-singgung
Giok-nio lagi."
It-hiong tertawa dan menenggak habis isi cawan itu, katanya,
"Ya, betul, aku memang kurang sopan, masakah
membicarakan seorang nona lain di depan nona."
"Jika kau sebut dia lagi aku akan marah lho!"

"Baik, takkan kusebut dia pula," kata It-hiong, dia mulai
makan-minum di bawah ladenan Jiu Yan yang mesra itu.
Melihat anak, muda itu menenggak setiap cawan arak yang
dituangkan, Jiu Yan rada khawatir, tanyanya, "Bagaimana
takaran minummu?"
"Lumayan," jawab It-hiong.
"Jangan mabuk lho."
"Tidak, malam ini aku ada urusan, tidak boleh mabuk."
Jiu Yan salah tampa akan ucapan anak muda itu, mukanya
menjadi merah, ucapnya dengan tertawa malu, "Aku paling
takut pada orang mabuk, jika kau pun mabuk, tentu takkan
kuladenimu."
It-hiong terus merangkulnya dan dicium, katanya dengan
tertawa, "Jangan khawatir, aku takkan mabuk."
Sembari bicara sambil meraba sini-sana ia tanya, "Eh, beri
tahukan padaku, bagaimana pribadi bocah Pang Bun-hiong
itu?"
"Oo, engkau tidak kenal dia?"
"Ya, aku cuma tahu dia kaya dan berpengaruh, juga memiliki
Kungfu yang tidak lemah."
"Konon ayahnya pernah menjadi pembesar tinggi di kota raja,
sekarang sudah pensiun dan merupakan hartawan terkemuka
di kota ini, jadi dia memang kaya dan berpengaruh."
"Kungfunya belajar dari siapa?"

"Hal ini tidak kuketahui."
"Bagaimana pribadinya?"
"Sangat royal."
"Perilakunya?"
"Sangat romantis, cuma tidak serupa kaum pangeran dan
putra bangsawan yang suka berbuat sewenang-wenang."
"Apakah dia sangat suka main menang-menangan dan
menganiaya orang dan sebagainya?"
"Tidak pernah terdengar."
"Kau bilang dia sangat romantis, coba katakan bagaimana
romantisnya?"
"Konon setiap perempuan cantik tentu diubernya dan takkan
berhenti sebelum terkabul keinginannya."
"Aku juga sangat romantis, kau percaya tidak?"
"Kenapa tidak percaya," jawab Jiu Yan sambil mencolek pipi
anak muda itu dengan tertawa. "Melihat bentukmu setiap
orang tahu pasti perayu."
It-hiong terbahak terus memondongnya menuju ke tempat
tidur ....
Setengah jam kemudian baru Liong It-hiong meninggalkan
rumah hiburan itu dengan badan segar dan wajah berseri,
sambil menggoyang kipas dia menuju ke luar kota.
Kira-kira dua-tiga li di luar kota, ia memandang rembulan yang

menghias di tengah cakrawala, gumamnya, "Sudah dekat
tengah malam, aku harus cepat menuju ke sana."
Serentak ia berlari cepat ke depan, hanya sebentar saja ia
sudah sampai di kaki gunung yang sunyi dan jauh dari rumah
penduduk.
Ia berhenti di situ dan memandang sekelilingnya, lalu
menanjak ke atas mengikuti sebuah jalan setapak.
Setiba di pinggang gunung, tiba-tiba ia merasakan keadaan
tidak enak, ia berhenti, dengan sinar mata mencorong ia
memandang ke hutan sebelah kanan sambil menegur, "Pang
Bun-hiong, apakah kau?"
Namun tiada jawaban apa pun dari dalam hutan.
"Hmk," jengek It-hiong. "Orang gagah macam apa main
sembunyi-sembunyi? Ayo menggelinding keluar!"
"Oouhh ...." terdengar suara rintihan lemah berkumandang
dari sana.
It-hiong terkesiap, "Siapa itu?"
Tetap tidak ada jawaban.
Kening It-hiong bekernyit, jengeknya pula, "Keparat, kudatang
untuk duel denganmu, jika sengaja kau main gila, terhitung
orang gagah macam apa?"
"Auuhh ...." kembali berkumandang pula keluhan lemah itu.
Hati It-hiong mulai curiga, ia berpikir sejenak, lalu
memutuskan akan menyelidiki keadaan sebenarnya di dalam
hutan, diam-diam ia siap siaga untuk menghadapi segala

kemungkinan, lalu beranjak ke dalam hutan.
Baru belasan langkah masuk ke dalam hutan, sekilas pandang,
seketika berubah air mukanya.
Dilihatnya satu orang, seorang yang sudah kempas-kempis
tinggal ajalnya.
Usia orang ini antara 40-an, dahi lebar mata besar, alis tebal
seperti sikat, mukanya kereng, dia memakai baju ringkas
warna hitam dengan deretan kancing di depan, memakai
sepatu sol tipis, saat itu sedang bersandar di batang pohon
dengan ujung mulut mengucurkan darah, tampaknya terluka
sangat parah.
Di sampingnya tertaruh sebuah peti berwarna hitam,
bentuknya serupa peti wasiat yang biasanya digunakan orang
untuk menyimpan barang berharga, pada pegangan peti itu
terikat seutas rantai besi.
Menghadapi orang terluka parah, cepat It-hiong mendekatinva
dan bertanya, "Eh, saudara ini kenapa?"
Mata orang itu setengah terpejam dan buram, ia membuka
mulutnya yang berdarah dan mengeluarkan suara terputusputus,
"Sia ... siapa engkau?"
"Aku Liong It-hiong."
"O, Tayhiap ...." semangat orang itu tampak terbangkit.
It-hiong mengangguk.
Tangan kanan orang itu sedikit terangkat, maksudnya seperti
minta It-hiong mengangkatnya bangun, katanya lemah, "To ...
tolong ...."

It-hiong berjongkok untuk memapahnya sambil bertanya,
"Saudara ini siapa, kenapa sampai terluka?"
Orang itu tidak menjawab, ia pegang tangan kiri It-hiong, lalu
diambilnya rantai besi terus diikat pada pergelangan tangan,
katanya dengan lemah, "Harap ... harap sam ... sampaikan
barang ini ke ... kepada Cap-pek-pan-nia ...."
Berucap sampai di sini, mendadak kepalanya terkulai miring ke
samping, lalu tidak bergerak lagi, nyata dia sudah mati.
Keruan It-hiong terkejut, serunya, "Hei, hei! Kau bilang apa?
Kau bilang sampaikan barang ini kepada siapa!"
Namun biarpun dia berteriak-teriak dan menggoyang-goyang
tubuhnya, lelaki setengah baya itu sudah terkulai dan tidak
bernapas lagi.
Dengan tercengang ia pandang tubuh yang sudah tak
bernyawa itu hingga sekian lamanya, akhirnya bergumam
sambil menggeleng kepala, "Buset, sesungguhnya bagaimana
jadinya ini?"
Waktu ia periksa rantai yang mengikat pada pergelangan
tangannya, seketika hati tenggelam, serunya, "Wah, celaka!
Ini kan berarti membikin susah orang?"
Kiranya pada ujung rantai itu terpasang sebuah borgol baja
dan sekarang borgol itu membelenggu erat pergelangan
tangannya. Ini berarti kalau belenggu itu tidak dapat dibuka
maka peti hitam itu pun akan senantiasa berdampingan
dengan dia dan tak terpisahkan.
Ia coba membetot, terasa belenggu itu semakin kencang,
tentu saja ia cemas, ia coba mengangkat peti hitam itu,

diamati dan diperiksa, bobot peti terasa agak berat, ternyata
terbuat dari baja.
"O, Thian, barang apakah ini?!" keluhnya pula.
Ia tidak menaruh minat terhadap isi peti hitam itu, yang
dirasakan gawat adalah belenggu yang mengikat pergelangan
tangannya sebab sebentar dia harus bertempur dengan Pang
Bun-hiong di atas gunung, kalau belenggu ini tidak lekas
disingkirkan akan berarti dia bertempur dengan membawa
sebuah beban, dengan begini jelas dia pasti akan kalah.
Tapi apa daya?
Ia pandang mayat lelaki setengah umur itu, tiba-tiba teringat
olehnya mungkin kunci borgol berada pada bajunya, cepat ia
menggerayangi tubuh mayat itu.
Akan tetapi meski sekujur badan mayat itu sudah digagapi,
hanya dapat dikeluarkan belasan tahil perak saja, selain itu
tidak ada sesuatu benda lagi.
Ia kecewa dan juga gelisah, tanpa terasa ia menggerutu
terhadap mayat itu, "Hm, engkau sungguh terlalu. Jika kau
minta kusampaikan peti ini kepada seorang, cukup asalkan
kuterima permintaanmu dan tentu akan kulaksanakan, kenapa
kau belenggu peti ini di tanganku?" Ini kan sama dengan
membikin susah padaku."
Segera terpikir juga olehnya untuk menggunakan pedang. Ia
lolos pedang yang tergantung di pinggang, tapi ia cuma
menggeleng kepala saja sambil memandang pedangnya,
sebab disadarinya pedang sendiri bukan pedang pusaka yang
dapat memotong besi seperti merajang sayur, tidak mungkin
dapat memotong rantai atau belenggu baja itu.

Ia menghela napas, pedang berbalik digunakannya untuk
menggali tanah.
Tidak lama kemudian sebuah liang sedalam tiga-empat kaki
telah digalinya, diseretnya mayat lelaki setengah umur itu ke
dalam liang, lalu diuruk lagi dengan tanah, kemudian ia
membersihkan pedangnya dan disimpan kembali ke dalam
sarungnya, habis ini barulah ia naik ke atas gunung.
Ia gulung rantai besi itu pada pergelangan tangan, peti hitam
itu dikepitnya terus berlari cepat ke atas. Tidak lama
sampailah dia di puncak gunung yang tandus.
Waktu ia pandang posisi rembulan di langit, diduganya sudah
lewat tengah malam.
Ia coba celingukan sekitarnya, lalu berseru, "Hai, bocah she
Pang, engkau sudah datang belum?"
Segera dari balik batu besar beberapa kaki di depan sana
menongol sebuah kepala manusia. Siapa lagi dia kalau bukan
Pang Bun-hiong.
Dia tetap berdandan seperti siangnya, masih membawa kipas
lempit, perlahan ia muncul dari belakang batu padas, katanya
dengan tertawa, "Kusangka engkau tidak berani datang."
"Maaf, karena mengalami suatu kejadian aneh sehingga
perjalananku terganggu, maka datang terlambat," kata Ithiong.
"Kejadian aneh apa?" tanya Bun-hiong.
It-hiong mengendurkan tangan kirinya sehingga peti hitam
yang dikepitnya merosot ke bawah, ucapnya sambil
menyengir, "Kejadian aneh inilah."

"Barang apa itu?" tanya Bun-hiong dengan heran dan kejut.
"Siapa tahu?!" ujar It-hiong. "Baru saja kusampai di pinggang
gunung, mendadak kudengar suara orang di dalam hutan,
semula kusangka dirimu, tapi setelah kuperiksa, kiranya
seorang lelaki setengah baya yang terluka parah ...."
Begitulah ia lantas menceritakan apa yang terjadi.
Bun-hiong merasa tertarik, ia coba mendekat dan memegang
peti hitam itu dan diamat-amati, lalu bertanya, "Apakah dia
tidak menerangkan apa isi peti ini."
"Tidak," jawab It-hiong.
"Dia minta kau serahkan barang ini kepada siapa?" tanya Bunhiong
pula.
"Aku tidak jelas mendengarnya, rasanya terdiri dari empat
kata, dua kata bagian depan kalau tidak salah 'Cap-pek'
(delapan belas) apa, dua kata yang belakang aku tidak jelas."
"Belenggu itu tidak dapat dibuka?"
It-hiong mengiakan.
"Wah, lantas bagaimana?" kata Bun-hiong.
"Aku pun tidak tahu bagaimana baiknya," ujar It-hiong dengan
kesal. "Apakah engkau dapat menolong menghilangkan benda
sialan ini."
"Wah, untuk membuka belenggu ini mungkin tidak mudah ...."
"Potong dulu rantainya, adakah engkau membawa senjata

tajam?"
"Tidak," jawab Bun-hiong menggeleng.
"Ai, bisa celaka," ujar It-hiong dengan lesu. "Jika barang sialan
ini tidak dapat dibuang, bila makan, tidur, berak dan kencing
harus selalu membawanya serta, kan repot."
"Jangan khawatir, mungkin pandai besi dapat membuangnya,"
ujar Bun-hiong tertawa.
"Ya, betul, pandai besi pasti dapat membuang barang ini,"
seru It-hiong girang. "Apakah ada bengkel di dalam kota?"
"Ada, cuma sekarang sudah jauh malam, bengkel besi tentu
sudah tutup pintu, harus tunggu sampai besok."
"Baik, boleh bereskan besok saja. Sekarang marilah kita
mulai."
"Tidak, takkan kutarung denganmu lagi," ucap Bun-hiong
sambil menggeleng.
"Sebab apa?" tanya It-hiong heran.
"Pada tanganmu, diganduli barang itu, tentu tidak leluasa,
kalau berkelahi engkau pasti kalah, aku tidak mau menarik
keuntungan demikian darimu."
"Tidak menjadi soal, dapat kugunakan barang ini sebagai
bandulan untuk menghajarmu."
"Ah, jangan membual," kata Bun-hiong dengan tertawa.
"Tanpa barang itu mungkin dapat kau tandingi diriku, dengan
beban barang itu, jelas engkau bukan tandinganku. Andaikan
aku menang juga tak terpuji."

"Jika begitu, biarlah setelah besok kubuang barang ini baru
kita menentukan kalah menang lagi."
"Baik!" kata Bun-hiong.
"Ai, entah apa dosaku sehingga tertimpa urusan sebal ini ...."
"Mungkin lantaran semalam kau main perempuan sehingga
sial."
"Dari mana kau tahu aku main perempuan?" tanya It-hiong
melengak.
Bun-hiong angkat pundak. "Aku kan Te-tau-coa, ular
penguasa tempat ini, dengan sendirinya segala urusan
kutahu."
"Hah, jadi selalu kau buntuti aku?" tanya It-hiong dengan
mendongkol.
"Tidak, cukup kukirim seorang anak buahku untuk mencari
keterangan di Lau-jun-ih."
"Huh, rendah!" jengek It-hiong.
Bun-hiong tidak marah, katanya dengan tertawa, "Apakah
engkau memang betul Liong It-hiong yang berjuluk Liong-hiap
(pendekar naga)?"
"Tanggung tulen, kalau palsu uang kembali," jawab It-hiong.
"Maaf, sudah lama kudengar namamu yang termasyhur."
"Ah, tidak perlu mengumpak."

"Rasanya ada jodoh juga pertemuan kita antara naga dan
harimau, bagaimana kalau kita rayakan dengan minum arak?"
"Boleh, cuma apa artinya kau bilang pertemuan antara naga
dan harimau?"
"Sebab ada orang menyebut diriku sebagai Hou-hiap
(pendekar harimau)."
"O, kiranya kau inilah Hou-hiap yang terkenal di daerah utara
dan selatan sungai besar itu. Tapi mengapa engkau mengaku
sebagai Te-tau-coa?"
"Hahaha, aku kan penduduk Kim-tan, bagimu bukankah aku
memang Te-tau-coa yang menguasai tempat ini?"
"Sudah sering kudengar orang bercerita macam-macam
tentang Pendekar Harimau, tak tersangka engkau inilah Houhiap."
"Kita ini seorang naga dan yang lain harimau, malahan nama
kita sama-sana pakai Hiong (jantan), sekali ini kita harus
saling mengukur tenaga untuk menentukan siapa yang benar
jantan."
"Baik, kalau besok dapat kulepaskan barang sial ini, malamnya
kita tetap bertemu lagi di sini."
"Sekarang marilah kita turun gunung saja," tata Bun-hiong.
Maka kedua orang lantas kembali ke kota dengan damai
serupa sahabat karib saja.
"Kau tinggal di hotel?" tanya Bun-hiong.
It-hiong mengiakan.

"Kudamu itu boleh juga, jangan-jangan Pek-sin-liong (si naga
putih sakti) yang termasuk satu di antara lima kuda terkenal di
dunia itu?"
"Betul, sekarang aku juga tahu nama kudamu itu, dia juga
salah satu di antara kelima ekor kuda ternama, yaitu Sianhong-
ki (kuda pionir) bukan?"
"Sompret, tampaknya dalam segala hal engkau selalu hendak
menyaingiku," omel It-hiong.
"Siapa bilang, yang tepat adalah engkau yang menyaingiku,
sebab si pionir sudah lebih tiga tahun kumiliki," kata Bunhiong
dengan tertawa.
"Aku lebih tua daripadamu, jelas engkau yang meniru diriku."
"Sudahlah, tak perlu banyak omong. Sekarang ingin kutanya
padamu, untuk keperluan apa kau cari Giok-nio?"
"Hanya ingin melihat kecantikannya saja."
"Hm, jauh-jauh kau datang ke Kim-tan hanya ingin main-main
dengan dia?"
"Betul," It-hiong mengangguk.
"Jangan omong kosong," jengek Bun-hiong. "Meski Giok-nio
rada terkenal di kota ini toh belum terhitung perempuan
hiburan yang mengguncangkan satu daerah, pasti ada maksud
tujuanmu yang lain kau cari dia."
"Katakan betul, lantas, ada sangkut paut apa denganmu?"
kata It-hiong.

"Tentunya bukan lantaran dia telah menipu duitmu bukan?"
"Jika ada seorang nona menipu duitku pasti takkan kuusut
lebih lanjut, sebab bukan urusan yang aneh bila perempuan
hiburan suka pada duit."
"Kalau bukan, habis urusan apa?"
"Ada orang minta kucari dia."
"Siapa?" desak Bun-hiong.
"Ai, kenapa kau tanya terus-menerus, janganlah kau ikut
campur urusan orang lain."
Bun-hiong mengangkat pundak dengan tertawa, "Penyakitku
yang sukar diobati justru paling suka ikut campur tetek
bengek."
"Tapi jika kau ikut campur urusanku, tentu kau bisa susah."
"Masa?"
"Habis kalau naga dan harimau bertarung, naga kan lebih kuat
daripada harimau, maka kau perlu hati-hati sedikit."
"Huh, itu kan anggapanmu, boleh kita lihat saja nanti."
Bicara sampai di sini, mendadak kedua orang berhenti
melangkah.
Liong It-hiong menyapu pandang sekejap ke kanan-kiri hutan,
lalu menegur, "Siapa itu yang bersembunyi di dalam hutan?"
Baru habis berucap lantas terlihat tetumbuhan di dalam hutan
bergerak, dari kanan-kiri hutan muncul dua orang.

Satu di antara kedua orang ini berusia 50-an, bertubuh tinggi
besar melebihi orang biasa, mukanya kuning, kening lebar dan
tulang pipi menonjol, mata lebar dan hidung besar,
jenggotnya pendek kasar serupa kawat, ikat kepala melingkar,
berbaju hijau ringkas dan bersenjata toya tiga ruas.
Seorang lagi berusia lebih muda, kira-kira baru 35-36 tahun,
mukanya juga buas, juga memakai baju hijau ringkas, cuma
bersenjata golok.
Melihat tampang mereka, jelas keduanya bukan manusia baikbaik.
Terkesiap juga hati Liong It-hiong melihat kedua orang itu,
segera ia tanya Pang Bun-hiong, "Te-tau-coa, apakah mereka
anak buahmu?"
"Bukan," jawab Bun-hiong sambil menggeleng. "Selamanya
aku tidak piara tukang pukul."
Segera It-hiong memberi salam kepada kedua orang dan
menegur, "Eh, kedua sahabat ini bernama siapa? Ada urusan
apa kalian merintangi jalan kami?"
Si kakek yang bertubuh tegap itu mungkin memang berwatak
sombong atau memang tidak kenal sopan santun, ia tidak
menjawab, sebaliknya menuding peti hitam yang bergantung
di pergelangan tangan kiri It-hiong itu dan bertanya, "Eh,
bocah berengsek, dari mana kau dapatkan barang itu?"
Liong It-hiong adalah anak muda kosen yang sudah lama
berkecimpung di dunia Kangouw, begitu mendengar ucapan
orang segera diketahuinya orang berniat jahat, juga disadari
pihak lawan pasti ada sangkut paut dengan peti hitam ini. Tapi
dia tidak gentar, sebaliknya merasa senang, sambil

mengangkat peti hitam itu ia menjawab dengan terbahak,
"Haha, apakah kau maksudkan barang ini? Wah, cukup
panjang untuk diceritakan, apakah orang tua terburu-buru
ingin tahu?"
Mendadak kakek itu mendelik dan membentak, "Ya, lekas
katakan!"
"Eh, sabar, jangan terburu nafsu," ujar It-hiong dengan
tertawa. "Hendaknya kau jawab dulu pertanyaanku baru nanti
kuberi tahukan."
Orang itu menyeringai, "Tidak ada sesuatu yang dapat
kujawab."
"Apa ini berarti orang tua dilahirkan batu? Atau dibesarkan
oleh biang anjing? Masa nama saja tidak punya?" kata Ithiong.
Tentu saja kakek itu gusar, mendadak ia mendesak maju, toya
tiga ruas dipuntir-puntir, bentaknya, "Keparat, barangkali
kamu sudah bosan hidup?!"
It-hiong mengangguk, "Betul, selama ini aku memang sudah
bosan hidup, cuma tiada seorang pun yang mampu mencabut
nyawaku."
Kakek tegap itu seperti tidak tahan lagi, wajahnya beringas
dan segera bergaya hendak melabrak lawan.
Tampaknya lelaki bergolok itu lebih tahu urusan, tiba-tiba ia
buka suara, "Nanti dulu, Lui-heng!"
Seketika si kakek menahan gerakan menerjangnya, teriaknya
dengan gusar, "Bocah ini tidak kenal mati-hidup, binasakan
dia saja kan beres!"

Lelaki bergolok memberi tanda "jangan", lalu ia memberi
hormat kepada Liong It-hiong dan berkata, "Sahabat ini, coba
katakan apa yang ingin kau ketahui?"
"Nama kalian," jawab It-hiong dengan tertawa.
Lelaki bergolok tertawa ramah, jawabnya, "Maaf, lantaran
alasan tertentu, terpaksa tak dapat kami beri tahukan nama
dan she kami."
"Jika begitu, kalian mau bicara apa?" kata It-hiong pula.
Lelaki bergolok menuding peti hitam yang di pergelangan
tangannya dan menjawab, "Peti itu kepunyaan kami, harap
dikembalikan kepada kami!"
It-hiong mengguncang-guncang peti hitam itu, lalu bertanya
dengan tertawa, "Kau tahu semula barang ini berada di
tangan siapa?"
"Tahu," si lelaki bergolok mengangguk.
"Dia bernama siapa?" tanya It-hiong pula.
Ebook oleh : Dewi KZ
Scan book oleh : BBSC
Jilid 2
“Dia bernama Si Hin, semula tinggal bersama kami,” tutur
lelaki bergolok. “Kemarin tiba-tiba timbul maksud jahatnya,
peti ini digondol lari, akhirnya dapat kami susul dia, cuma
sayang, sesudah kami melukai dia, sempat juga dia
meloloskan diri.”

“Apa isi peti ini?” tanya It-hiong.
“Maaf, untuk ini tidak dapat kuberi tahukan,” jawab lelaki
bergolok. “Sekarang mohon engkau suka mengembalikan peti
itu kepada kami.”
“Boleh, tapi adakah kau pegang kunci borgolnya?”
“Ada,” lelaki bergolok mengangguk.
Dia memindahkan golok ke tangan kiri, lalu tangan kanan
merogoh saku untuk mengambil anak kunci sambil melangkah
maju, katanya, “Harap ulurkan tanganmu, akan kubukakan
borgolnya.”
It-hiong menjulurkan tangan kirinya, ucapnya dengan tertawa,
“Sungguh beruntung bertemu dengan kalian berdua, kalau
tidak barang ini sungguh sangat merepotkan.”
Melihat tangan orang sudah terjulur, lelaki bergolok juga
lantas menjulurkan tangan kanan dengan lagak hendak
membukakan kunci borgolnya. Siapa tahu mendadak golok
pada tangan kirinya terus menebas ke tangan kiri Liong Ithiong
dan tepat mengenai sasarannya.
Akan tetapi tangan kiri Liong It-hiong ternyata tidak tertebas
buntung, sebaliknya tetap utuh tanpa kurang sesuatu, lecet
saja tidak.
Sungguh mimpi pun orang bergolok itu tidak menyangka Liong
It-hiong menguasai Kungfu kekebalan senjata, seketika ia
terperanjat dan cepat melompat mundur.
Namun It-hiong tidak tinggal diam, sambil bergelak tertawa
sebelah kakinya terus mendepak dan tepat mengenai perut
orang. “Blang”, kontan orang itu terpental jauh.

Melihat tipu kawannya tidak berhasil, si kakek tegap lantas
membentak dan menerjang maju juga, toya tiga ruas terus
berputar dan menyabet kedua kaki Liong It-hiong.
“Haha, boleh juga kita main-main beberapa jurus!” seru Bunhiong
dengan tertawa.
Segera ia memapak orang tua itu, kipas lempit menukik ke
bawah dan “brak”, sabetan toya si kakek ditangkisnya.
Seketika si kakek tergetar sempoyongan ke samping. Bunhiong
tidak memberi kelonggaran lagi, sambil tertawa panjang
ia terus menubruk maju dan menjojoh pula dengan kipasnya.
Sekarang si kakek baru menyadari telah ketemu lawan
tangguh, ia tidak berani sembrono lagi, segera ia putar toya
tiga ruas dengan kencang dan menempur Pang Bun-hiong
dengan sengit.
Meski si lelaki bergolok terdepak perutnya oleh Liong It-hiong,
tapi perutnya tidak sampai pecah, sesudah jatuh terjungkal,
segera ia melompat bangun dan menerjang maju lagi dengan
goloknya.
Mestinya It-hiong dapat melolos pedang untuk menandingi
golok lawan, namun dia juga anak muda yang tinggi hati,
menghadapi lawan empuk tidak mau dia menggunakan
pedang, segera ia layani golok lawan dengan tetap bertangan
kosong.
Agaknya lelaki bergolok itu juga cukup luas pengetahuannya,
setelah tahu Liong It-hiong menguasai Kungfu kekebalan
senjata, maka selanjutnya dia tidak menyerang lagi dengan
membacok atau menebas melainkan dengan gerakan
mengiris, sebab ia tahu orang yang menguasai Kungfu

kekebalan sebangsa Kim-ciong-toh atau Thi-po-sam umumnya
tidak takut dibacok melainkan khawatir diiris atau disayat.
Begitulah dia terus menggunakan cara istimewa itu dan main
sayat melulu terhadap Liong It-hiong.
Merasa kelemahan sendiri diketahui lawan, It-hiong juga tidak
berani gegabah lagi, sembari menghindari setiap serangan,
lebih sering lagi sekarang dia menggunakan peti hitam untuk
menimpuk musuh.
Bobot peti hitam itu antara sepuluh kati, ditambah lagi rantai
sepanjang dua-tiga kaki, bila diputar menjadi serupa
banderingan dan sangat lihai.
Lelaki bergolok itu telah mengeluarkan segenap
kepandaiannya dan tetap tidak mampu mengganggu seujung
rambut lawan, ia mulai jeri, berbareng juga merasa terkejut
dan heran, ia coba tanya, “Hei, sesungguhnya kalian berasal
dari garis mana? Coba beri tahukan!”
It-hiong tertawa, serunya, “Tuanmu jalan tidak ganti nama
dan duduk tidak tukar she, aku inilah Liong It-hiong yang
berjuluk Liong-hiap!”
“Wah, celaka!” teriak si lelaki bergolok mendadak sambil
melompat mundur dan berseru dengan kata sandi dunia
Kangouw kepada kawannya. “Lui-heng, ayolah lari, lawan
tidak boleh dibuat main-main!”
Habis itu secepat terbang ia lari masuk ke hutan serupa
seekor tikus yang beruntung lolos dari terkaman kucing.
Kakek tegap itu juga kewalahan menghadapi Pang Bun-hiong,
selagi kejut dan heran, tiba-tiba didengarnya lawan yang
bergebrak dengan temannya itu adalah Liong-hiap Liong ItKANG
ZUSI website http://cerita-silat.co.cc/
hiong yang termasyhur, seketika runtuh semangat tempurnya,
cepat ia berlagak menyabet untuk mendesak mundur Pang
Bun-hiong, lalu ia melompat mundur dan kabur pula ke dalam
hutan.
Bun-hiong tidak mengejarnya, It-hiong juga berdiri tanpa
bergerak, meski keduanya sama-sama memiliki kepandaian
tinggi, tapi sebelum tahu jelas seluk-beluk musuh tidak nanti
mereka mau menyerempet bahaya dan sembarangan
mengejar.
“Kenapa engkau tidak mengejarnya?” tanya It-hiong.
“Guruku mengajarkan kepadaku agar ‘penjahat yang sudah
lari jangan dikejar, kalau ketemu hutan jangan dimasuki’. Jika
mau kejar boleh kau kejar sendiri.”
It-hiong garuk-garuk kepala sambil menggerutu, “Sungguh
tolol aku ini, kalau tidak kuberi tahukan namaku tentu tidak
menjadi soal. Mereka tidak tahu siapa aku baru berani
bertempur denganku dan dengan begitu pula baru ada
kesempatan bagiku untuk menangkap mereka.”
“Jangan khawatir, cepat atau lambat mereka akan datang
lagi,” ujar Bun-hiong.
“Kau kira mereka siapa?” tanya It-hiong.
Bun-hiong menggeleng, “Entah, aku cuma tahu satu hal, yaitu
tadi mereka berdusta. Orang yang menyerahkan peti hitam
kepadamu itu pasti bukan kawan mereka.”
“Ya, orang sialan itu justru dilukai oleh mereka, tentu tidak
salah lagi,” kata It-hiong.
“Betul, sebab mereka hendak merampas petinya,” tukas BunKANG
ZUSI website http://cerita-silat.co.cc/
hiong.
It-hiong menunduk mengamati peti hitam itu, katanya, “Di
dalam peti pasti berisi benda mestika yang tak terkira nilainya.
“Apakah perlu kita membukanya?”
“Sudah kucoba, tak bisa buka.”
“Boleh kucoba juga,” kata Bun-hiong sambil memegang peti
itu dan diperiksa dengan teliti, dilihatnya peti itu berwarna
hitam mulus, terbuat dari baja murni, di tengah peti ada dua
garis celah-celah yang merapat dengan sangat erat, namun
tidak ada sesuatu lubang untuk membukanya.
Ia coba menarik dan membentangnya, namun tidak mau
terbuka, ia menggeleng kepala dan berkecek menyatakan rasa
heran, “Peti ini memang sangat istimewa.”
“Ya, selama ini aku pun tidak pernah melihat peti semacam
ini,” kata It-hiong.
“Aku juga tidak pernah melihat peti begini,” tukas Bun-hiong.
“Tapi peti ini harus dapat dibuka, soalnya kita tidak tahu cara
membukanya,” ujar It-hiong.
Bun-hiong menuding celah-celah di pinggang peti itu dan
berkata, “Umumnya sebuah peti hanya ada sebuah celah, tapi
peti ini ada dua garis celah, mungkin di sinilah letak pesawat
rahasianya.”
Sembari bicara ia coba menggunakan jarinya untuk menolak
bagian di dalam celah peti, dirasakan bagian di tengahnya
ternyata dapat bergerak, serunya kegirangan, “Hah, lihat,
memang terletak pada kedua garis celah ini rahasianya.”

“Coba geser lagi lebih keras,” kata It-hiong sepat.
Bun-hiong menekan dan mendorong pula, tapi meski dicoba
lagi beberapa kali tetap peti itu sukar terbuka. Ia menggeleng
kepala dengan lesu, katanya, “Aku berani tertaruh denganmu,
barang ini pasti bukan buatan Tiongkok.”
It-hiong tidak menanggapinya, ia sampirkan rantai peti di
pundak dan berkata, “Ayo berangkat, pulang dulu ke kota dan
urusan belakang!”
Kedua orang lantas turun gunung.
“Ke mana kita akan minum arak?” tanya Bun-hiong.
“Sampai di kota nanti kebanyakan ramah makan tentu sudah
tutup pintu, boleh ke hotelku saja.”
Bun-hiong mengiakan.
“Melihat bentukku ini mustahil kalau orang tidak menyangka
aku ini perantaian yang baru lolos dari bui,” ujar It-hiong.
“Ya, sangat mungkin.”
“Sialan, sungguh celaka!”
“Jangan khawatir, kebanyakan Pothau di kota Kim-tan sudah
kukenal, asal engkau selalu berada bersamaku pasti takkan
terjadi perkara.”
“O ya, mereka pasti memegang macam-macam anak kunci
borgol, bagaimana kalau kau pinjam beberapa anak kunci
pada mereka.”

“Baiklah, setiba di kota segera akan kucari Ciu-pothau ....”
Begitulah sambil bicara sembari berjalan. Tidak lama
kemudian mereka sudah sampai di Kah-pin-khek-can, hotel
tempat It-hiong menginap.
Bun-hiong berhenti di depan hotel dan berkata kepada Ithiong,
“Boleh kau suruh pelayan menyiapkan arak dan
santapan, kupergi mencari Ciu-pothau dan segera pulang
kembali.”
Habis bicara ia terus pergi.
Tidak lama pelayan sudah menyiapkan semeja makanan dan
arak di dalam kamar Liong It-hiong, sejenak kemudian Pang
Bun-hiong juga sudah kembali.
Setelah mengenyahkan pelayan, Bun-hiong menutup pintu
kamar dan mengeluarkan serenceng anak kunci, katanya
dengan tertawa, “Lihat, inilah pinjamanku kepada Ciu-pothau,
seluruhnya ada belasan buah, bila tetap tak bisa membukanya
maka habislah akal.”
It-hiong duduk di depan meja dan menaruh pergelangan
tangan di ujung meja, katanya, “Lekas dicoba!”
Bun-hiong memilih sebuah anak kunci yang sekiranya cocok
dan dimasukkan ke lubang kunci borgol yang membelenggu
tangan It-hiong itu, diputarnya ke kanan dan kiri beberapa
kali, namun tidak berhasil, ia menggoyang kepala dan berkata,
“Yang ini tidak cocok ....”
Ia ganti anak kunci yang lain, hasilnya tetap nihil. Ganti lagi
anak kunci ketiga, keempat, kelima dan akhirnya belasan anak
kunci sudah dicoba semua, namun borgol di tangan It-hiong
tetap tak terbuka.

Kembali It-hiong uring-uringan, omelnya, “Keparat, kalau saja
orang she Si itu tidak mati, tentu akan kuhajar dia hingga
sekarat!”
Bun-hiong menyimpan anak kunci, katanya dengan tertawa,
“Sudahlah, jangan marah kali, apa pun juga tunggu sampai
besok saja, tentu pandai besi dapat membuka borgolmu itu.
Sekarang marilah kita minum arak.”
Ia duduk di depan It-hiong dan menuangkan dua cawan arak,
secawan disodorkan kepada It-hiong, katanya, “Mari habiskan
secawan!”
It-hiong angkat cawan dan minum habis bersama dia, katanya
dengan tertawa, “Kau sangat mencocoki seleraku, namun aku
tetap akan berkelahi denganmu.”
“Umpama kau tidak mau berhantam lagi juga takkan
kuterima,” jawab Bun-hiong tertawa.
“Bicara sejujurnya, sudah sekian tahun aku berkecimpung di
dunia Kangouw, namun baru pertama kali ini kutemui jago
kelas tinggi serupa dirimu.”
“Aku juga begitu. Maka kita harus menentukan kalah dan
menang .... Mari, minum secawan lagi!”
Begitulah keduanya lantas makan-minum dan mengobrol ke
timur dan barat, makin bicara makin cocok satu sama lain dan
arak yang mereka minum pun tambah banyak.
Tanpa terasa sudah lewat tengah malam.
Bun-hiong berdiri dan berkata, “Aku mau pulang.”

“Engkau punya istri?”
“Tidak ada.”
“Jika tidak punya istri, untuk apa pulang sedini ini?”
“Sekarang sudah jauh lewat tengah malam, masa kau bilang
dini?”
“Boleh kita minta tambah arak lagi, sekalian minum sampai
pagi, habis itu bersama pergi mencari pandai besi.”
“Tidak,” jawab Bun-hiong, “Habis minum arak aku lantas
mengantuk, sekarang kan waktunya orang tidur.”
Sampai di sini ia memberi tanda, lalu membuka pintu dan
melangkah pergi.
Terpaksa It-hiong memanggil pelayan agar menyingkirkan
mangkuk piring, lalu membuka baju dan bermaksud tidur.
Namun ketika lepas baju baru diketahuinya baju tak dapat
ditanggalkan.
Sebab kalau dia mau membuka baju luar, lengan kiri harus
dapat lolos dari rantai dan peti hitam itu, padahal ukuran peti
itu lebih besar daripada lengan bajunya sehingga sukar lolos.
Jika benar ingin membuka baju hanya ada satu jalan, yaitu
memotong seluruh lengan baju kiri.
Saking gemasnya ia mengentak kaki dan mencaci maki lagi
pada orang mati yang mengaku bernama Si Hin itu. Dengan
mendongkol ia pakai lagi baju luarnya, lalu merebahkan diri di
tempat tidur.
Lantaran banyak minum arak, maka tidak lama setelah

berbaring ia lantas mendengkur.
Kira-kira setengah jam setelah dia tidur, kertas perapat daun
jendela kamarnya tiba-tiba dibasahi orang setitik, lalu dari
lubang yang dibasahi itu tersembul semacam benda yang
ujungnya lancip serupa paruh bangau, kemudian ada asap
tertiup dari paruh bangau itu, asap perlahan buyar dan
akhirnya memenuhi seluruh kamar.
Itulah Bi-hun-hio atau dupa bius.
Namun Liong It-hiong tidak merasakan apa-apa, suara
mengoroknya tambah rata dan keras.
“Krek”, terdengar bunyi perlahan, sebilah pisau menubles
celah daun jendela dan membuka palang jendela, menyusul
daun jendela lantas terbuka.
Asap yang memenuhi kamar perlahan buyar keluar kamar,
sejenak kemudian sebuah kepala manusia menongol di depan
jendela. Nyata orang ini adalah lelaki bergolok yang semalam
bermaksud merampas peti hitam di atas gunung itu.
Ia mengintip dulu ke dalam kamar, lalu berpaling dan
memberi isyarat tangan, kemudian dengan tangan menahan
kosen jendela ia melompat ke dalam kamar.
Agaknya kawannya yaitu si kakek tegap, juga ikut datang,
isyaratnya itu jelas memberi tanda agar si kakek berjaga di
luar.
Sesudah berada di dalam kamar, dengan berjinjit-jinjit ia
mendekati tempat tidur, diperiksanya keadaan Liong It-hiong,
melihat anak muda itu tertidur lelap, ia yakin dupa biusnya
sudah bekerja dengan baik, seketika ia merasa tabah, ucapnya
dengan tertawa. “Setan alas, sekali ini coba saja apakah kau

punya kepandaian!”
Sembari berkata ia tarik pergelangan tangan kiri It-hiong ke
tepi pembaringan, segera ia angkat goloknya dan membacok
dengan keras.
Siapa tahu bacokannya tetap tidak dapat mengutungi tangan
Liong It-hiong, serupa membacok pada sepotong kulit kering
saja.
Keruan lelaki bergolak itu terkejut, cepat ia melompat mundur.
Pada saat itulah Liong It-hiong lantas melompat bangun,
ucapnya dengan tertawa, “Jangan lari, rasakan dulu
banderinganku!”
Berbareng tangan kiri bergerak, peti hitam terus menyambar
ke depan.
Dia memang sudah siap menyerang sejak tadi, maka peti itu
menyambar dengan sangat cepat, baru saja orang itu
melompat mundur sudah tersusul oleh peti hitam, terdengar
suara “bluk” yang keras, dengan tepat dadanya tertimpa peti.
Tanpa mengeluarkan suara lelaki bergolok terus roboh
terjungkal.
Sementara itu si kakek yang berjaga di luar juga mengetahui
kawannya tertimpa bahaya, selagi dia hendak menerjang ke
dalam kamar untuk menolongnya, tiba-tiba didengarnya di
atas kamar di belakangnya ada orang menegur dengan
tertawa, “He, kawan, jangan kau ganggu tidur orang, lebih
baik cari lagi diriku saja!”
Yang bicara ini ternyata Pang Bun-hiong adanya.

Dengan tertawa ia duduk bersila di emper rumah, seperti
sudah menunggu sekian lamanya di situ.
Keruan pucat air muka si kakek, mana dia berani lagi
menerjang ke dalam kamar, tanpa permisi ia terus lari malah
ke tempat gelap sana.
“Haha, mau lari?!” seru Bun-hiong dengan tergelak.
Sekali kedua tangan membentang, serupa elang menyambar
anak ayam, ia terus terjun ke bawah.
Namun kakek itu pun cukup licin, dengan dua-tiga kali
lompatan ia dapat mencapai kaki tembok, lalu menerobos
keluar hotel.
Selagi Bun-hiong hendak mengejar lebih jauh, terdengar Liong
It-hiong berseru kepadanya sambil melongok keluar jendela,
“Sudah dapat kubekuk satu, tak perlu mengejar lagi.”
Dengan tertawa Bun-hiong memutar balik dan melompat ke
dalam kamar melalui jendela, ia pandang lelaki bergolok itu
dan bertanya, “Kau lukai dia?”
“Ya, kuhantam dadanya dengan peti hitam berantai ini,
mungkin terlampau keras sehingga membuatnya kelengar,”
tutur It-hiong.
“Kalau tahu engkau sudah siap sedia, tentu aku sudah pulang
tidur,” ujar Bun-hiong.
“Dari mana kau tahu akan kedatangan mereka?” tanya Ithiong.
“Dan dari mana kau tahu mereka akan datang?” tanya Bunhiong.

It-hiong mengangkat pundak tanpa menjawab, ia mendekati
lelaki bergolok yang tak bergerak itu dan berjongkok di
sampingnya, katanya, “Mari kita bikin siuman dulu keparat ini
.... Eh, bagaimana, jadinya ini?!.”
Mendadak ia berseru kaget, sebab diketahuinya muka orang
itu pucat lesi, tampaknya sudah mati.
Bun-hiong coba memeriksa napasnya, ternyata betul sudah
tak bernapas lagi. Dirabanya lagi bagian dada, baru
diketahuinya di antara 12 tulang dada kanan sudah patah
enam, tulang patah menusuk jantung atau paru-paru, tentu
saja binasa sejak tadi.
“Hm, masakah cuma kau sambit dengan agak keras saja?”
jengek Bun-hiong dengan mendongkol.
It-hiong merasa menyesal, ucapnya sambil menggaruk kepala
yang tidak gatal, “Sialan, kukira seranganku sudah pakai kirakira,
siapa tahu telah membinasakan dia.”
“Tampaknya cara kerjamu lebih banyak runyam daripada
suksesnya,” omel Bun-hiong.
“Betul, terkadang aku memang agak linglung, tanpa sadar
lantas menerbitkan onar ....”
“Dan cara bagaimana membereskan dia sekarang?”
“Bagaimana menurut pendapatmu?”
“Ini kan urusanmu, aku tidak mau ikut campur.”
“Kau kira aku harus melaporkan diri telah membunuh orang?”

“Jika kau mau melapor diri, aku ada cara yang lebih baik
bagimu.”
“Coba katakan.”
“Kau mau menurut petunjukku?”
“Baik, katakan saja.”
“Sekarang naik ke tempat tidur,” kata Bun-hiong sambil
menunjuk ranjang.
“Untuk apa?” It-hiong melengak.
“Sesudah di tempat tidur baru kuberi tahukan.”
Dengan ragu It-hiong berdiri dan menuju ke tempat tidur, ia
duduk di tepi ranjang dan bertanya, “Baiklah, sekarang boleh
kau katakan.”
“Rebah!” kata Bun-hiong.
Kembali It-hiong melenggong. “Ai, kau main gila apa?”
“Setelah berbaring segera kau tahu.”
Terpaksa It-hiong menurut berbaring, katanya dengan
mendongkol, “Dan apakah perlu memejamkan mata?”
“Tentu saja, kalau sudah berbaring harus memejamkan mata,
kalau tidak mana dapat tidur?!”
“Baik, segera kupejamkan mata. Tapi hendak kuperingatkan,
jika ada maksudmu mempermainkan diriku, awas kaki
anjingmu!”

Habis berucap ia benar-benar memejamkan mata.
Dan baru saja mata terpejam, segera terdengar suara “serr”
yang perlahan. menyusul bergema suara Bun-hiong di luar
jendela, “Tidurlah yang nyenyak, esok pagi akan kudatang
lagi.”
Waktu It-hiong membuka mata, dilihatnya mayat si lelaki
bergolok tadi sudah hilang, ia tersenyum dan bergumam,
“Sontoloyo, bocah ini memang benar lagi mempermainkan
aku.”
Dia tidak bangkit lagi, tapi, terus tidur.
Paginya dia terjaga bangun oleh suara gedoran pintu. Cepat ia
membuka pintu kamar, kiranya si pelayan.
“Ada apa? Kau khawatir aku tidak bayar?” omelnya dengan
mendongkol.
“O, maaf,” kata pelayan. “Hamba cuma ingin tahu, kabarnya
di kamar Tuan semalam seperti terjadi sesuatu.”
“Betul, semalam ada maling, tapi sudah kuhajar lari,” sahut Ithiong.
“Maling?” pelayan terkejut.
“Ya, malahan bukan sembarang maling, mereka berani masuk
dengan mencungkil jendela.”
“Adakah kehilangan?” cepat si pelayan menegas.
“Syukur tidak.”
“Mendingan tidak,” pelayan merasa lega. “Keparat, ternyata

ada maling berani mengganggu hotel ini, kalau tertangkap
pasti kuhajar sampai setengah mati.”
Lalu ia memberi hormat dan minta maaf pula karena telah
mengganggu tidur Liong It-hiong, anak muda itu diharap tidur
lagi.
“Sesudah bangun tak dapat tidur lagi, sediakan saja air cuci
muka, lalu siapkan sarapan pagi,” kata It-hiong. “Sediakan
untuk dua orang, sebentar akan datang seorang temanku.”
Pelayan mengiakan dan berlari pergi.
Selesai dia cuci muka, pelayan datang kembali membawakan
sarapan pagi, dan Pang Bun-hiong juga segera muncul.
It-hiong tidak tanya cara bagaimana orang membereskan
mayat itu. ia hanya mengajaknya, “Mari sarapan dulu!”
Tanpa sungkan Bun-hiong mengambil tempat duduk, katanya,
“Sudah kubicarakan dengan pandai besi, ia bilang dapat
memotong belenggumu.”
Sembari makan It-hiong berkata, “Semalam telah kupikirkan
dengan masak dan telah membuat suatu keputusan penting
....”
“Memutuskan takkan bertanding lagi denganku?” tanya Bunhiong.
“Bukan urusan itu, tapi mengenai peti ini sudah kuputuskan
takkan membuangnya dari tanganku,” tutur It-hiong sambil
mengangkat peti itu.
Bun-hiong melengak, “Sebab apa?”

“Sebab kalau dibuka dari belenggu ini, tentu akan gampang
hilang,” ujar It-hiong. “Kupikir justru lantaran khawatir peti ini
akan kuhilangkan, maka orang she Si itu memborgolnya di
tanganku.”
“Aha, engkau tidak bergurau bukan?” Bun-hiong menegas
dengan bingung.
“Tentu saja tidak,” jawab It-hiong dengan serius. “Dia
menyerahkan barang ini kepadaku sebelum ajalnya, kupikir
tidak boleh kubikin kecewa harapannya.”
“Akan tetapi barang ini telah mendatangkan malapetaka
bagimu, engkau tidak takut?”
“Ah, terlampau gawat bicaramu,” ujar It-hiong. “Dengan
membawa barang ini mungkin rada berbahaya bagimu, tapi
kalau bilang jiwaku juga terancam, kukira tidak demikian
halnya.”
“Tapi untuk apa kau bawa barang ini?”
“Dengan membawa barang ini kan juga ada baiknya.”
“Kebaikan apa?”
“Barang siapa ingin merampas peti ini, maka dia harus
merampas diriku sekalian,” habis berucap It-hiong terbahakbahak
senang.
Bun-hiong ikut tertawa, “Hm, engkau memang rada-rada
sinting.”
“Begitukah?” It-hiong angkat pundak.
“Tapi kupikir lebih tepat jika kukatakan engkau lagi bergurau

dengan dirimu sendiri,” kata Bun-hiong.
“Bergurau dengan dirinya sendiri kan bukan dosa toh?”
“Apakah selama hidupmu akan kau bawa barang ini?”
“Tidak, akan kuserahkan barang ini sesuai pesan orang she Si
itu kepada Cap-pek ....”
“Cap-pek apa?” Bun-hiong menegas.
Kembali It-hiong angkat pundak, “Entah, aku lupa. Tapi pada
suatu hari tentu dapat kutemukan dia.”
“Engkau tidak mencari nona Giok-nio lagi?”
“Urusan ini tidak terlalu penting, boleh kulakukan perlahan
nanti.”
“Menjual nyawa bagi seorang yang tidak kau kenal, kan tidak
berharga?”
It-hiong tidak menanggapi, katanya dengan tertawa, “Eh,
akan kuuji dirimu. Jika aku bilang Cap-pek, apa yang kau
pikirkan lanjutannya?”
“Cap-pek-can-te-gik (delapan belas tingkat neraka)!” kata
Bun-hiong.
“Bukan, tidak mungkin orang she Si itu minta kuserahkan
barang ini ke neraka,” ujar It-hiong sambil menggeleng. “Coba
pikir lagi yang lain.”
“Cap-pek-lo-han (delapan belas Buddha)?” kata Bun-hiong
pula.

It-hiong berpikir sejenak, lalu menggeleng pula, “Bukan, coba
yang lain.”
“Atau delapan belas jenis ilmu silat maksudnya?”
“Juga bukan, pikir lagi!”
“Atau ... atau gundik kedelapan belas maksudnya?”
“Buset, masa sampai gundik apa segala?”
Bun-hiong menyengir, “Baiklah, sekarang tinggal satu yang
terakhir, jika tetap bukan, maka aku pun angkat tangan.”
“Coba katakan.”
“Mungkin maksudnya si gadis berumur Cap-pek!”
“Aha betul!” seru It-hiong tertawa.
Bun-hiong berbalik melenggong, “Betul?!”
“Sering kuingin mencari seorang nona berumur 18, untuk
diajak berkencan, sayang nasibku kurang mujur, yang kutemui
selalu gadis berumur likuran.”
“Kutahu di mana ada nona jelita berumur 18, bagaimana kalau
kubawamu ke sana?”
It-hiong tidak menjawab, ia ke pintu dan berteriak, “Pelayan!”
Seorang pelayan mendekat dengan berlari-lari anjing,
tanyanya, “Tuan tamu mau pesan apa?”
“Ingin kutanya padamu, adakah suatu tempat di sekitar sini
bernama Cap-pek apa ....”

Pelayan berpikir sejenak, lalu menggeleng dan menjawab,
“Tidak ada, di sekitar sini tidak ada tempat demikian.”
“Habis di mana ada?” tanya It-hiong.
“Tempat yang memakai nama Cap-pek hamba tahu ada
beberapa buah ....”
“Coba sebutkan!”
“Inlam-cap-pek-ceh umpamanya (delapan belas sarang bandit
di Inlam).”
“Lalu?”
“Hong-kang-cap-pek-lan? (pesisir delapan belas di sungai
Hong).”
“Mana lagi?”
“Ada lagi di ... di Hopak, yaitu Cap-pek-pan-san (gunung
melingkar delapan belas).”
“Aha, itu dia!” teriak It-hiong sambil melonjak girang.
“Memang betul Cap-pek-pan-san, memang itulah maksudnya.”
Saking senangnya ia memberi persen setahil perak kepada
pelayan dan menyuruhnya pergi, lalu berkata kepada Bunhiong
dengan tertawa, “Coba lihat, betapa pun pelayan itu
memang berpengetahuan luas, sekali tebak saja lantas kena!”
“Apa tidak salah Cap-pek-pan-san?” Bun-hiong menegas.
“Tidak salah lagi, sekali dia omong segera kuingat, memang
betul orang she Si itu bilang Cap-pek-pan-san!”

“Tempat itu terletak di Hopak, cukup jauh!”
“Tidak menjadi soal, aku mempunyai si naga putih sakti.”
“Keparat she Si itu menyuruhmu menyampaikan peti ini
kepada Cap-pek-pan-san?”
“Dengan sendirinya bukan menyerahkan kepada gunungnya
melainkan kepada seorang yang tinggal di sana.”
“Orang yang tinggal di Cap-pek-pan-san kan sangat banyak,
harus kau serahkan kepada siapa?”
“Nanti pasti dapat kuselidiki.”
“Jadi benar kau mau ke sana?”
It-hiong mengangguk, “Tentu saja betul. Orang she Si itu
sudah memercayai diriku, betapa pun harus kulaksanakan
cita-citanya.”
“Kupikir peti ini pasti berisi benda mestika yang jarang ada.”
“Betul,” kata It-hiong.
“Dan orang yang ingin merampasnya pasti juga tidak sedikit.”
“Tepat,” seru It-hiong.
“Maka engkau akan dirundung kesulitan yang tak habishabisnya.”
“Betul.”
“Tapi jangan kau harap akan perlindunganku, setiap musim

semi aku tidak mau meninggalkan daerah Kanglam.”
It-hiong melotot, “Cis, siapa yang minta perlindunganmu?
Memangnya orang semacam diriku juga perlu dilindungi?”
Bun-hiong tersenyum, “Kutahu engkau sangat cerdik dan
pintar, cuma urusan ini mungkin sukar dihadapi sendirian
olehmu.”
“Jangan khawatir bagiku, aku takkan mati,” kata It-hiong.
“Kapan engkau akan berangkat?”
“Sebentar lagi, sehabis sarapan.”
“Dan kapan kita akan melangsungkan duel?”
“Setelah kubereskan urusan ini segera kukembali ke sini untuk
mencarimu.”
Dengan tersenyum Bun-hiong berbangkit, katanya, “Baiklah,
jika begitu aku mohon diri saja.”
“Baik, kira-kira pertengahan musim panas nanti aku akan
kembali lagi ke sini, dalam waktu dua-tiga bulan ini sebaiknya
kau giat berlatih Kungfumu agar tidak mudah kukalahkan.”
Bun-hiong tidak menanggapi lagi, ia memberi salam dan
tinggal pergi.
It-hiong merampungkan sarapannya hingga kenyang, lalu
berbenah seperlunya, pelayan dipanggilnya untuk
membereskan rekening hotel. Kemudian berangkatlah dia
menuju ke pintu utara kota dengan menunggang kudanya.
Agar orang tidak melihat borgol pada pergelangan tangannya,

ia menggulung rantainya, lalu sengaja sampirkan sepotong
baju pada bahu kiri untuk menutupi peti hitam.
Sekeluarnya pintu kota segera ia membedal kudanya dengan
cepat.
Ia tahu kakek tegap itu pasti tidak tinggal diam dan akan
menguntitnya secara diam-diam dan bila ada kesempatan
tentu akan merampas peti lagi. Sebab itulah ia sengaja
melarikan kudanya dengan cepat, sedapatnya berusaha
melepaskan diri dari penguntitan si kakek.
Kudanya si naga putih sakti adalah satu di antara kelima kuda
ternama di dunia ini, sehari mampu berlari delapan ratus li
jauhnya, sekarang kuda itu dilarikan sepenuh tenaga, tentu
saja secepat terbang dan sukar disusul.
Waktu tengah hari dia sampai di Tinkang, ia makan siang
sekadarnya, lalu menumpang kapal tambangan menyeberang
ke utara.
Sepanjang jalan ia selalu berpaling dan menoleh, namun tidak
melihat dibuntuti orang, maka ia tidak membedal kudanya lagi
melainkan dilarikan dengan kecepatan umum saja.
Di bawah suara berdetak kaki kuda, perlahan sang surya
sudah hampir terbenam di ufuk barat, senja sudah tiba.
Namun sejauh mata memandang hanya hutan belukar belaka,
sama sekali tidak tertampak rumah penduduk, apalagi kota.
It-hiong tahu besar kemungkinan malam ini harus dilalui di
bawah alam terbuka. Namun hal ini tidak menjadi soal
baginya. Terkadang dia malah suka bermalam di alam
terbuka, sebab bermalam di alam terbuka juga ada semacam
kebaikan, yakni dapat menikmati ketenangan dan bebas dari

gangguan apa pun, ketenangan yang tidak mungkin terdapat
bila dia bermalam di hotel.
Ia meneruskan perjalanan ke depan. Tidak lama kemudian
malam pun tiba.
Bulan sabit sudah menghias di langit, serupa alis lentik
melintang di ujung langit yang biru lembayung, tampaknya
begitu terang dan bersih namun tetap sukar menghalau
kegelapan di permukaan bumi ....
Beberapa puluh li sudah dilalui lagi, tiba-tiba di kaki gunung di
depan sana muncul setitik cahaya. Itulah cahaya lampu.
Setelah sekian lama akhirnya ditemui rumah penduduk.
Tapi hal ini tidak menimbulkan pikiran It-hiong untuk minta
memondok di rumah penduduk itu, sebelum ini dia juga sering
kemalaman di tengah perjalanan, tapi kecuali kehujanan
biasanya dia tidak suka mohon memondok di rumah orang,
soalnya dia tidak biasa tidur di rumah orang yang tidak
dikenalnya.
Lantaran itulah setitik cahaya lampu di kaki gunung sana
dianggapnya seperti tidak dilihatnya, ia melanjutkan
perjalanan ke depan mengikuti jalan itu.
Tidak lama kemudian sampailah di kaki gunung. Mendadak ia
menahan kudanya dan memandangi hutan cemara yang lebat
di lereng gunung, gumamnya perlahan, “Ehm, sungguh indah
pemandangan tempat ini!”
Memang betul, kaki gunung dengan lerengnya yang lebat
terasa tenang dan keramat. Dilihatnya pula cahaya lampu
yang menembus dari balik hutan, maka ia dapat
memastikannya bukan rumah penduduk biasa melainkan

sebangsa rumah berhala, biara atau kelenteng.
Maka ia memutuskan akan melihat ke dalam hutan sana, jika
biara atau kelenteng ia mau minta bermalam di situ.
Ia melompat turun dan menuntut kudanya ke dalam hutan,
dilihatnya sebuah jalan kecil berbatu, ia menyusuri jalan itu,
kira-kira seratus langkah jauhnya, benar juga terlihat sebuah
kelenteng.
Dilihatnya bangunan kelenteng ini cukup megah, bangunan
induknya terdiri dari tiga deret, di pintu gerbang melintang
sebuah pigura dengan tiga huruf besar, cuma lantaran sudah
terlalu tua sehingga apa tulisan itu tidak terbaca lagi.
Ia mengamat-amati keadaan sekitarnya, lalu menambat
kudanya di dahan pohon dan mendekati kelenteng itu.
Setiba di depan undak-undakan baru dapat terlihat jelas
tulisan pada pigura itu, kiranya “Sian-li-bio” adanya, yaitu
kelenteng dewi kahyangan.
Seketika tersembul senyuman It-hiong, pikirnya, “Bagus
sekali, mohon bermalam pada dewi kahyangan tentu rasanya
lain daripada yang lain.”
Segera ia mendekati undak-undakan dan masuk ke halaman
kelenteng.
Ruangan pendopo kelenteng tampak sangat luas, yang dipuja
ternyata benar sebuah patung Sian-li atau dewi. Di atas meja
sembahyang ada dua lentera gelas. Lantai tersapu resik,
melihat keadaannya jelas kelenteng ini terawat dengan baik.
Ia mendekati meja sembahyang dan coba mengamat-amati
patung dewi itu, ia merasa kecantikan patung yang keramat

itu tidak lebih menggiurkan daripada kecantikan perempuan
biasa yang genit, maka ia tidak tertarik, ia coba berdehem
perlahan, lalu berseru, “Sepada! Permisi!”
Terdengar suara seorang tua mengiakan dan muncul.
Usia kakek ini antara 63-64 tahun, muka bersih dan agak
kurus, di bawah dagu terpiara secomot janggut serupa
janggut bandot, berbaju warna kelabu, tampaknya seorang
tua yang ramah.
It-hiong memberi salam kepadanya dan bertanya; “Apakah
Lotiang (bapak) ini penghuni kelenteng ini?”
“Betul,” jawab si kakek sambil membalas hormat. “Apakah
Kongcu bermaksud sembahyang?”
“Sesungguhnya aku kemalaman dalam perjalanan dan
bermaksud memondok semalam di sini, entah boleh tidak?”
“Baik, cuma Kongcu harus permisi dulu kepada Sian-li, beliau
adalah tuan rumah di sini,” kata si kakek dengan kocak.
“Lotiang she apa?” tanya It-hiong.
“She Ing,” jawab si kakek sambil menyulut tiga batang hio
atau lidi dupa dan diberikan kepada anak muda itu, tanyanya
dengan tertawa, “Kongcu sendiri she apa dan bernama siapa?”
“Aku she Liong bernama It-hiong,” jawab It-hiong sambil
menerima dupa itu. “Sekarang harus kukatakan apa kepada
Sian-li?
“Katakan saja engkau kemalaman dalam perjalanan dan
mohon diperkenankan memondok semalam di kelenteng ini,
selain itu kau pun boleh menyatakan sesuatu nazar.”

“Nazar apa?” tanya It-hiong.
“Nazar apa saja sesuai kehendakmu, boleh kau mohon kepada
Sian-li,” ujar si kakek dengan tertawa. “Apa Kongcu sudah
berkeluarga?”
“Belum,” jawab It-hiong.
“Jika begitu boleh engkau memohon semoga Sian-li
memberkati engkau seorang istri yang cantik dan bijaksana,”
kata si kakek. “Sian-li kami sangat keramat, setiap
permohonan pasti terkabul.”
“Haha, usul bagus, biar kumohon seperti ajaranmu,” seru Ithiong
tertawa. Lalu ia menghadap patung Sian-li dan hendak
sembahyang.
“Eh, lepaskan dulu barang bawaanmu, di sini tak ada orang
jahat yang akan merampas barangmu, jangan kau pegang
begitu.”
“Ya, betul juga,” ujar It-hiong, lalu ia menaruh ransel dan baju
luar yang menutupi peti hitam itu di lantai.
Ia mulai sembahyang dan berdoa, “Sian-li yang mulia, hamba
Liong It-hiong kemalaman dalam perjalanan, terpaksa mohon
memondok semalam di sini, bila ada tindakanku yang kasar
mohon diampuni. Selain itu, konon setiap permohonan kepada
Sian-li tentu dikabulkan, sebab itulah hamba mohon diberkahi
selekasnya mendapatkan seorang istri yang cakap dan
bijaksana, untuk itu sebelumnya hamba mengucapkan
banyak-banyak terima kasih.”
Habis sembahyang ia tancapkan lidi dupa di dalam Hiolo (pot
lidi dupa).

Melihat pergelangan tangan kiri anak muda itu terdapat rantai
dengan sebuah kotak, kakek itu melongo heran, tanyanya,
“Eh, barang apakah pada tanganmu itu!”
It-hiong memutar pergelangan tangan sehingga kotak hitam
terjulur ke bawah, katanya dengan tertawa, “Sebuah mestika,
menarik bukan!”
Melihat barang itu terbelenggu di pergelangan tangannya, si
kakek tambah heran, tanyanya pula, “Hei, mengapa diborgol
cara begitu!”
“Dengan begini supaya tidak dapat dicuri orang,” tutur Ithiong.
“Memangnya apa isi kotak itu?” tanya si kakek dengan geli.
“Maaf, tak dapat kukatakan.”
“Meski tak dapat hilang karena dibelenggu pada tanganmu,
tapi kan tidak sedap dipandang?” ujar si kakek.
“Memang betul tidak sedap dipandang, makanya kututupi
dengan baju tadi,” kata It-hiong sambil berjongkok mengambil
ransel dan baju luar tadi serta disampirkan lagi di pundak.
“Kongcu hendak menuju ke mana?” tanya si kakek.
“Cap-pek-pan-san,” jawab It-hiong.
“Apa sangat jauh?”
“Ya.”
“Sudah makan malam belum?”

“Belum, namun siang tadi aku sudah makan dua kali lipat
termasuk makan malam, maka tidak terasa lapar,” jawab Ithiong
dengan tertawa.
“Di sini tersedia mi, bila Kongcu mau boleh kubuatkan
semangkuk.”
“Tidak, Lotiang jangan repot, sungguh aku tidak lapar. Terima
kasih,” lalu ia menuding ke luar kelenteng dan menyambung,
“Kudaku tertambat di bawah pohon sana, tidak menjadi soal
bukan?”
“Rasanya tidak apa-apa, cuma tak berani kujamin pasti takkan
dibawa lari orang yang kebetulan lewat. hendaknya Kongcu
sendiri hati-hati sedikit.”
“Kudaku itu cukup cerdik, bila didekati orang yang
mencurigakan segera akan meringkik,” tutur It-hiong dengan
tertawa.
“Wah, tentu seekor kuda mestika,” ujar si kakek.
“Ya, di antara sejenisnya kudaku memang cukup ternama ....”
ia memandang ke kanan dan ke kiri sekejap, lalu menuding
pojok ruangan dan berkata, “Boleh kutidur saja di situ.”
“O, tidak, di belakang masih ada kamar kosong, silakan
Kongcu ....”
Belum lanjut ucapannya, tiba-tiba terdengar di luar kelenteng
ada teriakan orang, “Tolong ... tolong ....”
Dari suaranya dapat diketahui seorang perempuan muda.
Tanpa pikir It-hiong berlari keluar, sekilas tertampak dari

dalam hutan di depan sana berlari keluar seorang gadis, di
belakangnya mengejar seorang lelaki berkepala kecil dan
bermata tikus.
Waktu lari keluar hutan, jarak lelaki itu tinggal beberapa
langkah saja di belakang si gadis, saat itu dia lagi menjulurkan
tangan hendak mencengkeram punggung si gadis. Kelihatan
dia menyeringai seram, serupa seekor serigala lapar hendak
menerkam ayam.
Cepat Liong It-hiong melompat ke halaman di depan
kelenteng sambil membentak, “Hai, berhenti! Kau mau apa?!”
Melihat ada orang keluar dari kelenteng, lelaki bermuka tikus
itu kaget dan tidak berani menguber lagi, cepat ia putar
haluan dan lari masuk lagi ke dalam hutan.
Gadis itu terus berlari ke depan Liong It-hiong, lalu duduk
lemas di situ sambil menangis.
Usianya antara 17-18 tahun, meski pakaiannya tidak begitu
baik, namun wajahnya sangat cantik.
Cepat It-hiong menghiburnya, “Jangan menangis, nona, orang
itu sudah kabur. Sesungguhnya apa yang terjadi?”
“Dia ... dia ....” gadis itu menangis sedih sehingga tidak lancar
bicaranya.
“Dia siapa dan apamu?” tanya It-hiong.
“Aku tidak kenal dia, se ... sepanjang jalan dia mengintil di
belakangku, tadi dia ... dia hendak menggangguku.”
“Ah, kiranya seorang pencoleng saja,” kata It-hiong. “Jangan
khawatir, toh nona belum sampai terganggu. Marilah, silakan

mengaso di dalam kelenteng saja.”
Si gadis mengusap air mata, katanya sambil merangkak
bangun, “Aku kehilangan ranselku.”
“Kehilangan?” It-hiong menegas.
“Kusangka dia hendak merampas barangku, maka kubuang
ranselku, siapa tahu bukan itu yang diinginkannya ....”
“Kau buang di mana?”
“Di tengah jalan.”
“Jauh tidak dari sini?”
“Aku ... aku tidak tahu jelas.”
“Berisi barang apa ranselmu?”
“Ada belasan tahil perak dan beberapa potong pakaian, itulah
seluruh milikku.”
“Jangan khawatir, nanti kubereskan, lekas masuk saja ke
dalam.”
Si nona coba mengamat-amati dia, tertampil rasa curiganya,
“Siapa engkau?”
“Orang lalu dan memondok di sini.”
“Apa ... apa dapat kupercayaimu?” kata si gadis sangsi.
It-hiong menuding si kakek yang berada di belakangnya dan
berucap, “Umpama engkau tidak percaya padaku kan dapat
memercayai bapak ini, dia pengurus kelenteng ini.”

Keterangan ini membuat gadis itu tidak ragu lagi, segera ia
melangkah ke dalam kelenteng.
Si kakek mengambilkan sebuah bangku dan menyuruh si nona
duduk, lalu bertanya, “Sesungguhnya apa yang terjadi tadi?”
Dengan wajah yang masih menampilkan rasa takut si nona
bertutur, “Tadi di tengah jalan kulihat dibuntuti orang itu, aku
ketakutan dan cepat berlari ke sini, melihat aku lari segera ia
pun mengejar.”
“Mengapa nona menempuh perjalanan malam sendirian?”
tanya pula si kakek.
Mata si nona menjadi merah dan menangis sedih lagi.
“Jangan menangis,” bujuk si kakek. “Ada urusan apa, coba
ceritakan kepada kami, mungkin kami dapat membantumu.”
“Aku ... aku bernasib malang ....” tutur si nona dengan
menangis.
“Siapa namamu?” tanya si kakek.
“Ni Beng-ay.”
“Penduduk mana?”
“Tan-yang.”
“Mengapa penduduk daerah Kanglam lari ke daerah utara
sungai sini?”
Kembali si nona menangis sedih.

“Ah, tentu karena berbuat sesuatu, maka diusir orang tua,”
kata It-hiong dengan tertawa.
“Omong kosong, bukan begitu halnya,” ujar si nona yang
mengaku bernama Ni Beng-ay itu.
“Habis bagaimana urusannya?” tanya It-hiong.
“Ayahku sudah lama meninggal,” tutur Beng-ay dengan
menangis, “ibu kawin lagi, ayah tiriku itu ....”
“Ayah tirimu jahat?” tukar It-hiong.
“Bahkan sangat busuk,” kata Beng-ay. “Dia tidak bekerja,
sepanjang hari hanya berjudi dan minum arak, kalau tidak
punya duit lantas memeras ibuku ....”
“Ibumu punya duit?” sela It-hiong.
“Tidak, terpaksa ibu bekerja, mencuci dan mengasuh anak,
menjadi babu orang, upah yang didapat ibu dibuat foya-foya
ayah tiriku. Karena terlampau kerja keras, tahun lalu ibu jatuh
sakit dan meninggal ....”
Bertutur sampai di sini kembali ia menangis sedih lagi.
Cepat It-hiong membujuk, “Jangan menangis, jangan
menangis! Lalu bagaimana?”
“Setelah ibu meninggal, aku lantas dipaksa mencarikan duit
baginya,” tutur Beng-ay pula. “Aku cuma dapat mencuci
pakaian dan tidak sanggup mengasuh anak, maka tidak
banyak duit yang kuperoleh ....”
“Tentu saja, engkau masih gadis, mana dapat menyusui anak
orang,” kata It-hiong. “Kemudian bagaimana?”

“Setengah bulan yang lalu, tetangga kami Liok-toama
mengisiki aku, katanya ayah tiriku bermaksud menjual diriku
kepada rumah pelacuran, maka aku dianjurkan lekas minggat.
Sebab itulah pada waktu dia keluar rumah aku lantas
melarikan diri.”
“O, kasihan,” ucap si kakek. “Dan sekarang kau hendak ke
mana?”
“Menurut cerita ibu, ada seorang kakak ibu tinggal di kota
Wanpeng daerah Hopak, maka ingin kumenumpang di tempat
paman itu.”
“Sungguh kebetulan, aku juga akan menuju ke Hopak,” kata
It-hiong. “Jika begitu besok bolehlah nona berangkat
bersamaku saja.”
“Apa betul?” terbeliak sinar mata Ni Beng-ay.
“Betul,” ucap It-hiong dengan pasti.
Rupanya si kakek meragukan maksud It-hiong itu, bukan
mustahil anak muda itu akan menculik si nona, keningnya
bekernyit, katanya, “Tadi kudengar kau bilang hendak ke Cappek-
pan-san segala, mengapa sekarang berubah menjadi kota
Wanpeng di Hopak?”
“Cap-pek-pan-san itu terletak di dekat Wanpeng,” ujar Ithiong
dengan tertawa.
“Betul?” si kakek menegas.
“Di depan Sian-li masakah aku berani berdusta?” sahut Ithiong
sambil menunjuk patung yang dipuja itu.

Karena jawaban ini, hilanglah rasa sangsi si kakek, ia
tersenyum puas, katanya, “Jika demikian kalian boleh
berangkat bersama .... Ah, apa kataku, Kongcu, bukankah
Sian-li kita sangat keramat, sudah terbukti bukan?”
“Ya, ya, betul, memang setiap permohonan pasti terkabul,”
kata It-hiong dengan tertawa.
“Tapi ingat, Kongcu, hendaknya berlaku dengan baik-baik,
kalau sembarangan tentu akan menerima ganjaran setimpal,”
ucap si kakek dengan sungguh-sungguh.
“Tentu, tentu!” sahut It-hiong.
Ni Beng-ay memandang mereka dengan bingung, tanya, “Hei,
apa yang kalian katakan?”
“O, tidak bicara apa-apa, kami mempersoalkan urusan lain,”
jawab si kakek. “Eh, nona tentu sudah lapar, biar kubuatkan
semangkuk mi untukmu?”
Segera ia menuju ke belakang.
Sesudah si kakek pergi, dengan malu-malu barulah Beng-ay
tanya It-hiong, “Maaf, siapakah nama Kongcu?”
“Liong It-hiong.”
“Untuk apa Kongcu pergi ke Wanpeng?”
“Ada orang minta bantuanku menyampaikan sesuatu kepada
seorang di Cap-pek-pan-san.”
“Sesuatu apa?” tanya Beng-ay.
It-hiong mengangkat baju yang tersampir di pundaknya dan

menuding peti hitam, katanya, “Barang ini.”
Melihat kotak itu berantai dan terbelenggu pada pergelangan
tangan anak muda itu, mata Beng-ay terbelalak, tanyanya
heran, “Hei, barang apakah itu?”
“Terus terang, aku pun tidak tahu.”
“Engkau tidak tahu?” Beng-ay menegas.
“Ya, begini kejadiannya,” tutur It-hiong. “Ketika di luar kota
Kim-tan, tanpa sengaja kupergoki seorang yang terluka parah
dari hampir mati ....”
Begitulah ia lantas menceritakan apa yang dialaminya. Baru
selesai bercerita, si kakek pun muncul kembali dengan
membawa dua mangkuk mi kuah yang masih panas.
Ia menaruh kedua mangkuk mi di atas meja, lalu berkata,
“Mari, silakan, makanlah mumpung masih panas. Inilah mi
kuah yang kubuat sendiri, cuma tanpa bumbu, harap dicicipi.”
Dengan tertawa It-hiong berkata kepada Beng-ay, “Lotiang ini
sangat baik hati, kalau kita menolak rasanya kurang hormat,
marilah makan saja.”
Maka kedua orang lantas duduk dan mulai makan mi.
Menyaksikan kedua muda-mudi itu makan dengan nikmatnya,
si kakek bergelak tertawa, “Haha, orang bilang kalau memang
jodoh di mana pun bertemu. Tampaknya pemeo ini memang
tidak salah. Kulihat ... haha, kulihat ....”
“Eh, Lotiang,” sela It-hiong sengaja. “Tampaknya engkau jauh
lebih gembira daripadaku. Apakah takkan keliru urusan ini?”

“Tidak, pasti tidak keliru!” seru si kakek. “Jika Sian-li sudah
memberi jasa baiknya, kutanggung tidak keliru lagi.”
“Hei, apa, yang kalian bicarakan?” kembali Beng-ay tanya
dengan bingung.
“O, tidak bicara apa-apa, cuma bergurau,” ujar It-hiong.
Si nona memandang si kakek dan bertanya, “Losiansing,
bolehkah kumemondok satu malam di sini?”
“Tentu saja boleh,” jawab si kakek. “Kau dan Liong-kongcu ini
boleh bermalam di sini, besok berangkat bersama ke
Wanpeng.”
Beng-ay berpaling dan tanya It-hiong, “Aku tidak tahu berapa
jauh dari sini ke Wanpeng. Apakah Liong-kongcu tahu?”
“Tahu,” It-hiong mengangguk.
“Wah, bagus sekali,” seru Beng-ay girang. “Selanjutnya di
tengah perjalanan mohon Kongcu suka banyak menjaga
diriku, bila bertemu dengan paman akan kuminta beliau
memberi tanda terima kasih padamu.”
“Ah, tidak perlu, tidak perlu,” seru It-hiong.
Sembari bicara, tahu-tahu semangkuk mi sudah habis
termakan.
“Sekarang ada satu kesulitan,” kata si kakek. “Di sini cuma
ada sebuah kamar kosong ....”
Cepat It-hiong menanggapi, “Kamar kosong itu boleh dipakai
nona Ni saja, biar kududuk saja di pojok ruangan sini.”

“Tempat tidurku terlampau kecil, kalau tidak tentu dapat
Kongcu tidur bersamaku,” ujar si kakek.
“Jangan sungkan,” ujar It-hiong. “Biarlah aku mengawasi saja
di ruangan sini, sekalian menjaga kudaku.”
“Jika demikian silakan nona laut masuk ke belakang saja,”
kata si kakek kepada Ni Beng-ay.
“Di sini tidak ada orang jahat kan!” tanya si nona sambil
berbangkit.
“Tidak, tidak ada, jangan khawatir,” kata si kakek.
Lalu si nona masuk ke dalam bersama si kakek.
Menyaksikan mereka masuk ke belakang, pandangan It-hiong
beralih ke patung Sian-li yang dipuja itu sambil garuk-garuk
kepala, gumamnya dengan tertawa, “Sian-li ini memang
keramat sekali, sungguh dia sangat cantik ....”
Tidak lama kemudian si kakek sudah datang lagi dan memberi
tahu, “Dia sudah tidur.”
“Sungguh kasihan,” ujar It-hiong. “Tapi nyalinya juga besar,
dia berani menempuh perjalanan sendirian di tengah malam
buta.”
“Ya, Kongcu harus menjaganya dengan baik,” ujar si kakek.
“Tentu saja,” kata It-hiong.
“Harus kau bawa dia menemukan pamannya baru boleh kau
tinggalkan dia, jangan ditinggal begitu saja setiba di
Wanpeng,” pesan orang tua itu.

“Kutahu,” jawab It-hiong.
Dengan suara tertahan si kakek tanya dengan tertawa, “Kau
lihat bagaimana wajahnya?”
“Belum pernah kulihat nona secantik ini,” kata It-hiong terus
terang.
“Usianya paling-paling baru 17-18 tahun.”
“Ya,” It-hiong mengangguk.
“Jika engkau menaksir dia, hendaknya sepanjang jalan kau
jaga dia baik-baik, dengan begitu baru dapat kau rebut
hatinya.”
“Wah, tampaknya Lotiang juga cukup berpengalaman,” Ithiong
berseloroh.
Kakek itu tertawa, “Terus terang, waktu mudaku juga sok
romantis, cuma sayang aku terlampau jual mahal, akhirnya
hidup hampa pada hari tua seperti sekarang. Makanya ingin
kuberi nasihat padamu, orang muda hendaknya jujur dan setia
dalam hal cinta, jangan sekali-kali sayang bermula dan
ditinggal kemudian, bikin susah orang lain juga bikin runyam
diri sendiri.”
“Betul,” It-hiong mengangguk.
“Dan kelak bila kalian jadi menikah, janganlah lupa kalian
mengirim undangan kepadaku.”
“Tentu, tentu,” jawab It-hiong tertawa.
“Baiklah, sudah jauh malam, silakan istirahat, aku pun mau
tidur.”

Baru saja si kakek mau masuk lagi, tiba-tiba terlihat Ni Bengay
muncul dari pintu samping, keruan ia melenggong, “Eh,
nona belum lagi tidur?”
Beng-ay mendekati mereka dan memainkan ujung baju,
jawabnya dengan malu-malu, “Aku ... aku tidak ... tidak berani
tidur di kamar itu ....”
“Memangnya kenapa?” tanya si kakek.
“Di dalam kamar banyak tikus berkeliaran,” tutur si nona.
Si kakek tertawa, “Ai, seorang nona besar masakah takut pada
tikus?”
“Aku justru takut tikus,” kata Beng-ay.
“Tikus tidak menggigit manusia, bila kau gertak tentu dia lari
terbirit-birit.”
Beng-ay tertawa likat, “Sesungguhnya aku rada takut tidur
sendirian, maka ... maka kupikir lebih baik duduk bersama
Liong-kongcu di sini sampai pagi.”
“Eh, mana boleh?” ujar si kakek.
“Jika nyali nona ini memang kecil, biarkan dia duduk di sini
bersamaku saja,” kata It-hiong. “Toh duduk bersandar dinding
juga dapat tidur, sama saja seperti tidur di ranjang.”
“Jika begitu boleh kau rebah di bangku panjang ini,” kata si
kakek, lalu ia memindahkan sebuah bangku panjang dari
ruang samping ke situ, ditaruhnya dekat tembok, lalu berkata
pula, “Hawa sekarang tidak dingin, boleh juga tidur di atas
bangku.”

“Terima kasih, Lotiang,” kata Beng-ay. “Biarlah kududuk saja.
silakan engkau pulang ke kamarmu.”
“Baiklah, aku tidak menemani kalian lagi,” ujar si kakek
dengan tertawa. “Bila kalian tidak dapat pulas, silakan
mengobrol saja.”
Lalu ia masuk lagi ke belakang.
Si nona memandang It-hiong sekejap, katanya dengan malumalu,
“Aku ikut ... ikut duduk di sini takkan mengganggu
dirimu?”
“Tidak,” jawab It-hiong dengan tersenyum.
Beng-ay duduk di atas bangku, ucapnya pula, “Sesungguhnya
aku tidak berani tidur sendirian di kamar, maka ... maka ....”
“Tidak apa, sungguh tidak menjadi soal,” sela It-hiong.
“Ranselku hilang, kau bilang hendak menyelesaikannya
bagiku, cara bagaimana akan kau selesaikan?” tanya pula si
nona.
“Setiba di kota besok akan kubelikan beberapa potong baju
bagimu, mengenai biaya dalam perjalanan biarlah semua atas
bebanku.”
“Wah, tidak enak rasanya.”
“Tidak apa,” kata It-hiong.
Beng-ay meliriknya sekejap dengan rasa terima kasih, “Ai,
engkau ini orang baik, kelak pasti akan kubalas budimu.”

“Jangan sungkan,” ujar It-hiong tertawa.
Perlahan si nona menghela napas, lalu berucap dengan
terharu, “Manusia memang aneh, ada sementara orang sangat
baik, ada pula yang jahat, ternyata begini banyak bedanya
....”
“Kau bilang aku ini orang baik?” tanya It-hiong.
“Ya, belum pernah kulihat orang baik serupa dirimu. Juga
orang tua tadi, kalian semua sangat baik.”
It-hiong angkat pundak, “Memang betul orang tua tadi sangat
baik, tapi aku kan belum pasti bagimu, aku pernah membunuh
orang.”
Sembari bicara ia tepuk-tepuk pedang yang tergantung pada
pinggangnya.
Seperti baru sekarang si nona melihat pedangnya, dia
kelihaian rada jeri, katanya, “Apa benar engkau pernah
membunuh orang?”
“Betul,” It-hiong mengangguk.
“Engkau mahir Kungfu?” tanya pula si nona.
“Ya, lumayan,” kembali It-hiong mengangguk.
“Orang yang kau bunuh tentu orang busuk semua bukan?”
tanya si nona setelah memandangnya sejenak dengan
termangu-mangu.
“Tidak tentu,” sahut It-hiong sambil menggeleng. “Di dunia ini
orang baik dan orang jahat terkadang sangat sukar dibedakan.
Orang yang kubunuh semuanya kuanggap pantas dibunuh,

mengenai mereka sesungguhnya orang baik atau orang jahat
tidak kupedulikan.”
“Aku tidak paham ucapanmu,” kata si nona.
“Umpamanya begini,” tutur It-hiong dengan tersenyum.
“Misalnya sekarang mendadak datang satu orang, dia hendak
membunuhku, ingin merampas kotak hitam yang terbelenggu
di tanganku ini, demi membela diri, terpaksa kubunuh dia
daripada aku sendiri terbunuh, tentunya aku tidak peduli lagi
dia orang baik atau orang busuk.”
“Apakah ada orang hendak merampas kotakmu?”
“Ya, sangat mungkin.”
“Yang suka merampas barang milik orang lain kebanyakan
pasti orang jahat.”
“Ini pun tidak pasti,” kata It-hiong. “Sampai sekarang aku
sendiri tidak tahu persis apakah orang yang memberikan peti
ini kepadaku itu orang baik atau jahat, sebab itulah aku pun
tidak jelas orang yang akan merampas petiku ini baik atau
busuk.”
“Jika begitu mengapa kau sanggupi akan mengirimkan peti ini
ke Cap-pek-pan-san?” tanya Ni Beng-ay.
“Sebenarnya aku tidak pernah menyanggupi dia, tapi
mendadak dia membelenggu barang ini pada tanganku,” tutur
It-hiong. “Cuma kupikir isi peti ini pasti barang yang sangat
penting, jika dia memercayai diriku, terpaksa aku harus
memenuhi permintaannya.”
“Kukira engkau ini pasti seorang pendekar budiman bukan?”
tanya Beng-ay.

“Entah, aku tidak tahu,” ujar It-hiong dengan tertawa.
“Terkadang kurasakan banyak juga perbuatan busuk yang
telah kulakukan.”
“Eng ... engkau takkan mengganggu diriku bukan?” Beng-ay
menegas dengan rada khawatir.
It-hiong tertawa, “Tidak, takkan kuganggu dulu perempuan
baik-baik terkecuali dia yang mengganggu diriku.”
“Kau bilang aku akan mengganggumu?” si nona menegas
dengan tertawa malu.
“Semoga tidak,” jawab It-hiong sambil memandangnya
sekejap.
Beng-ay menutupi mulutnya yang menguap kantuk dengan
lengan baju, lalu berkata, “Sungguh aku ingin tidur.”
“Jika begitu silakan tidur saja,” kata It-hiong.
Beng-ay memandang bangku panjang, katanya sambil
menggeleng, “Aku tidak mau tidur di atas bangku ini.”
“Tapi di atas bangku kan lebih baik daripada tidur di lantai.”
“Tidak, aku ingin meniru dirimu,” ujar si nona dengan tertawa.
Lalu ia menyingkirkan bangku itu dan duduk bersandar
dinding.
It-hiong lantas memejamkan mata dan tidak bicara lagi.
Melihat anak muda itu memejamkan mata, Beng-ay tidak enak
untuk mengajaknya bicara. Tapi setelah duduk diam sebentar,

agaknya ia merasa dingin, katanya sambil bersedekap, “Wah,
aku ... aku rada dingin ....”
Segera It-hiong membuka ranselnya dan mengeluarkan
sepotong baju luar serta dilemparkan kepada si nona,
katanya, “Tutupkan baju ini di atas tubuhmu, mungkin akan
tambah hangat.”
Si nona membentang baju itu dan diselimutkan di atas badan,
ia mengangguk kepada anak muda itu, katanya dengan
tertawa penuh arti, “Terima kasih.”
It-hiong tidak menjawab, kembali ia memejamkan mata.
Selang sebentar lagi, tubuh si nona tambah melingkar serupa
ebi, keluhnya pula, “Ai, tetap merasa rada dingin.”
It-hiong berkata dengan mata tetap terpejam, “Lebih baik kau
tidur di dalam kamar saja.”
“Tidak, aku ingin di sini.”
“Jika begitu janganlah berkeluh kedinginan.”
“Baik, aku takkan mengeluh lagi.”
It-hiong lantas menyilakan kedua kakinya dan memusatkan
pikiran, bersemadi serupa seorang padri.
Selang tak lama lagi, kembali terdengar suara keluhan, “Oouh
....”
Itulah suara orang yang tak tahan kedinginan.
“Kenapa lagi?” terpaksa It-hiong buka suara.

“O, tidak apa-apa, maaf tidak apa-apa,” cepat Beng-ay
menjawab.
“Masih kedinginan?”
“Tid ... tidak terlalu dingin ....”
Mau tak mau timbul juga rasa kasihan It-hiong, katanya, “Jika
engkau mau, boleh kau rapatkan dirimu kemari, dengan
demikian engkau akan merasa lebih hangat sedikit.”
“Ap ... apa boleh begitu?” kata si nona dengan ragu.
“Aku sih tidak menjadi soal, terserah padamu,” ujar It-hiong
dengan tersenyum.
Muka Beng-ay menjadi merah, “Takkan kau tertawai diriku?”
“Tidak,” jawab It-hiong.
“Antara kita adalah suci bersih, betul tidak?” tanya si nona.
“Betul,” jawab It-hiong pula.
Beng-ay lantas mendekat ke sana dan duduk di sampingnya,
katanya dengan perasaan tidak enak, “Maaf, sesungguhnya
aku kedinginan, jika kutahu malam hari di sini sangat dingin
tentu aku akan pakai baju lebih tebal.”
Mendadak mata It-hiong terbelalak dan memandang ke luar
kelenteng, lalu mendesis, “Ssst, ada orang!”
Beng-ay tampak terkejut, katanya dengan gugup, “Hai, sia ...
siapa?”
“Jangan takut,” ujar It-hiong tertawa. “Tak peduli siapa yang

datang, tidak perlu kau takut.”
Dalam pada itu terdengarlah suara “tek-tok-tek ....” beberapa
kali, suara tongkat mengetuk tanah.
Tidak lama kemudian, tiba-tiba muncul seorang pengemis
perempuan tua.
Usia nenek pengemis ini ada 60-an, rambutnya yang sudah
kelabu tampak semrawut, tubuhnya kurus, matanya celung,
membawa tongkat kayu, tampaknya seorang tunanetra alias
buta.
Setiba di pintu kelenteng, lebih dulu ia gunakan tongkatnya
untuk menjajaki, lalu tangan lain meraba ambang pintu,
gumamnya, “Ya, tidak keliru, akhirnya dapat kutemukan juga.”
Habis berucap ia lantas beranjak ke dalam.
Tampaknya ia tidak merasakan ada orang di ruangan pendopo
kelenteng, setelah masuk ke dalam, langsung ia merambat ke
arah Liong It-hiong dan Ni Beng-ay berada.
“Eh, Toanio (ibu) ini, apa yang kau cari?” tiba-tiba It-hiong
buka suara.
Nenek pengemis itu terkejut dan berhenti seketika, tanyanya,
“Siapa itu? Engkau ini siapa?”
“Cayhe orang lalu di sini, lantaran kemalaman, maka
memondok di kelenteng ini,” jawab It-hiong.
Kelopak mata si nenek pengemis berkedip-kedip, katanya
dengan tertawa, “O, kiranya demikian. Aku juga ingin
bermalam di sini, dahulu aku sudah pernah berteduh di sini,
cukup baik bukan tempat ini?”

“Ya, resik dan terawat,” ujar It-hiong.
Nenek itu berputar ke sebelah sana, lalu duduk berjarak
beberapa kaki di kaki tembok, keluhnya, “Ai, sungguh capek
sekali.”
“Toanio, engkau bekerja apa?” tiba-tiba Ni Beng-ay bersuara.
Nenek pengemis itu tampak melengak, ia berpaling ke arah si
nona dan bertanya dengan heran, “Siapa itu yang bicara?”
“Aku,” jawab Beng-ay. “Aku juga menumpang bermalam di
sini.”
Kembali kelopak mata si nenek yang buta itu berkedip,
tanyanya, “Engkau seorang nona?”
Beng-ay mengiakan.
Nenek itu tertawa sehingga kelihatan giginya yang besar dan
kuning, katanya, “Hehe, dari suaramu kedengarannya
umurmu belum ada 20.”
“Betul, tahun ini aku berusia 17,” jawab Beng-ay.
“Apakah engkau dan tuan tadi satu rombongan?”
Kembali Beng-ay mengiakan.
“Kalian bersaudara atau ....”
“Bukan,” potong si nona.
“O, jika bukan saudara, juga bukan suami istri, lantas apa
hubungan kalian?” tanya si nenek dengan tertawa.

“Ah, jangan kau tanya,” ujar Beng-ay.
Kembali si nenek tertawa, “Hehe, kutahu, kalian ini pasangan
yang minggat bersama, betul tidak?”
“Hus, jangan sembarangan omong!” omel si nona.
Ebook oleh : Dewi KZ
Scan book oleh : BBSC
Jilid 3
"Sembarang omong? Hehe, terus terang, aku ini kan orang
tua yang sudah berpengalaman," ujar si nenek dengan
tertawa. "Biar kukatakan padamu, pada waktu muda aku
pernah ikut minggat bersama kekasih. Rasanya memang
nikmat. Cuma ... ai, justru lantaran minggat bersama orang,
makanya mengalami nasib malang seperti sekarang ini. Sebab
itulah ingin kuberi nasihat kepada kaum muda kalian, urusan
perjodohan yang mahapenting hendaknya serahkan kepada
pilihan orang tua dan jangan sekali-kali sembarangan
bertindak. Mengingat kejadian dahulu, bilamana aku tunduk
kepada perkataan ayah-bunda ...."
Karena nada orang seakan-akan sudah memastikan dia
minggat bersama kekasih, Ni Beng-ay merasa tidak senang,
cepat ia memotong, "Toanio, jangan kau bicara lebih lanjut."
"Kenapa?" nenek itu merandek. "Engkau tidak suka
mendengarkan? Ehng? Engkau masih muda, tidak tahu
urusan, makanya sebagai orang tua ingin menyadarkan
dirimu. Hendaknya maklum, sekali telanjur berbuat bila
menyesal selama hidup, ingin berpaling pun sudah terlambat.
Jika engkau tidak percaya, kelak engkau tentu akan
menderita."

"Engkau sungguh salah sangka, kami bukan pasangan yang
minggat dari rumah, kami hanya ... hanya ...."
"Hanya apa?" tanya si nenek.
"Hanya sahabat yang baru berkenalan saja."
"Ah, aku tidak percaya, sahabat yang baru berkenalan mana
bisa bermalam bersama di kelenteng terpencil seperti ini?"
"Ya, terserah mau percaya atas tidak!"
"Siapa namamu?" tanya pula si nenek.
"Ni Beng-ay."
"Kapan tanggal lahirmu?"
"Untuk apa kau tanya hal ini?"
"Aku dapat nujum, maka akan kupetangi nasibmu, apakah
engkau ditakdirkan hidup bahagia atau hina, apakah ada
minat?"
Beng-ay ternyata berminat, katanya segera, "Usiaku 17 tahun
ini, sio kambing, lahir tanggal 19 bulan empat waktu tengah
hari. Coba ramalkan."
"Caraku nujum biasanya suka terus terang, maka jika
kukatakan baik tidak perlu kau gembira, bila kukatakan jelek
engkau pun jangan marah."
"Ya, tentu," sahut Beng-ay.
Si nenek buta lantas berkomat-kamit sambil menekuk jariKANG
ZUSI website http://cerita-silat.co.cc/
jemarinya, setelah berhitung sebentar, mendadak ia menjerit,
"Wah, celaka!"
"Ada apa?" tanya Beng-ay kaget.
"Menurut perhitungan, nasib nona tidak begitu baik pada
umur 17, tapi kelak engkau akan jaya dan bahagia, cuma ...."
"Cuma apa?" desak Beng-ay.
"Sekarang nasib nona lagi jelek, maka bila bertemu dengan
orang asing, ada kemungkinan akan mendatangkan
malapetaka bagimu."
"Hah, apa betul?" tanya Beng-ay khawatir.
"Tentu saja betul, ramalanku selama ini sangat jitu, maka
lebih baik lekas engkau lari saja."
"Lari?!" Beng-ay menegas.
"Ya, lari ke jurusan barat akan dapat menghindarkan
malapetaka itu."
Sampai sekian lama Beng-ay melenggong, tiba-tiba ia tertawa,
"Ah, jangan Toanio menakuti, tanpa sebab tiada alasan
mengapa aku akan tertimpa malapetaka?"
"Coba jawab, bukankah Siangkong yang berada di sampingmu
itu baru saja kau kenal?" tanya si nenek.
"Betul," jawab Beng-ay.
"Nah, itu dia," ujar si nenek dengan prihatin. "Maka bila
engkau ingin selamat sebaiknya lekas lari saja."

Beng-ay memandang It-hiong sekejap, ucapnya dengan tak
percaya, "Masa kau anggap Liong-kongcu ini akan
membunuhku?"
"Tidak dapat kupastikan siapa yang akan membunuhmu, aku
cuma tahu bila kau temui orang asing pasti akan
mendatangkan malapetaka."
"Ah, aku tidak percaya," jawab Beng-ay sambil menggeleng.
"Sebaiknya kau percaya," tiba-tiba Liong It-hiong menukas.
"Apa?!" teriak Beng-ay kaget.
"Apa yang dikatakan Toanio ini memang beralasan, sebaiknya
lekas kau lari saja," kata It-hiong.
"Jadi ... jadi benar engkau hendak membunuhku?" tanya
Beng-ay sangsi.
"Aku tidak tahu apakah akan membunuhmu atau tidak," sahut
It-hiong. "Cuma di ruangan ini penuh nafsu membunuh
memang terbukti nyata, hujan badai sudah hampir tiba!"
"Ai, janganlah engkau menakuti aku," pinta Beng-ay.
"Kelenteng ini sangat aman tenteram, dari mana datangnya
nafsu membunuh segala?"
Tangan kanan si nenek yang kurus kering itu sedikit bergerak,
katanya dengan tertawa terkekeh, "Hehe, nona cilik, jika
engkau tidak percaya kepada nasihat orang tua, tentu akan
kau rasakan pahit getir."
Pada saat itu juga Liong It-hiong juga mengangkat tangan
kanan dan menangkap sebuah tusuk kundai kemala yang
menyambar ke arah Ni Beng-ay, katanya dengan tertawa, "Eh,

Toanio, jangan kau curigai dia, sesungguhnya dia memang
seorang nona yang kesasar dan terpaksa bermalam di sini."
Tampaknya si nenek buta juga tahu tusuk kundai yang
disambitkannya itu kena ditangkap Liong It-hiong, berubah
juga air mukanya, serunya dengan tertawa, "Aha, Liong-hiap
memang hebat!"
"Terima kasih atas pujianmu, Miau-lolo!"
Si nenek melengak, katanya pula dengan terkekeh, "Hehe,
kiranya kau pun kenal diriku?!"
"Di dunia Kangouw terkenal It-kun (seorang Kun) Ji-ni (dua
Nikoh) dan Sam-lolo (tiga nenek), jika tokoh terkenal begitu
saja tidak kukenal, lalu cara bagaimana aku dapat
berkecimpung di dunia Kangouw?"
"Baik, jika engkau kenal diriku, maka kita tidak perlu banyak
cincong lagi, biarlah kita bicara blak-blakan saja ...."
Belum lanjut ucapan Miau-lolo atau si nenek Miau, mendadak
di luar kelenteng ada orang berseru, "Omitohud! Siancay!"
Suara memuja kebesaran Buddha itu terdengar lantang serupa
bunyi genta dan berkumandang kuras ke dalam kelenteng,
membuat anak telinga orang terasa sakit.
Miau-lolo menarik muka, dengusnya, "Apakah Kim-kong
Taysu?"
Kembali orang itu menyebut "Omitohud", lalu muncul seorang
Hwesio gendut melangkah masuk ke pendopo kelenteng.
Usia Hwesio ini antara 50-an, mukanya bulat sehingga serupa
Buddha gendut yang suka tertawa itu, dia memakai Kasa

(jubah Hwesio) berwarna merah, di dalamnya memakai baju
belacu kuning, tangan memegang Hang-mo-tiang atau
tongkat penakluk iblis, begitu masuk segera ia memberi
hormat kepada ketiga orang, lalu duduk di pojok kanan
ruangan.
Wajah Miau-lolo kelihatan kurang senang, jengeknya, "Kimkong
Taysu, ada urusan apa kau datang kemari?"
Hwesio yang disebut Kim-kong Taysu itu tertawa, jawabnya,
"Kebetulan aku kemalaman dalam perjalanan ini, maka ingin
memondok semalam di sini, tak terduga dapat bertemu
dengan Miau-toaso di sini, selamat bertemu!"
"Hm, tidak perlu kau bicara melantur denganku!" jengek si
nenek pula.
"Ah, mana aku berani," ujar Kim-kong Taysu. "Cuma Sian-libio
ini kan tempat umum, tentunya aku boleh berteduh di
sini?"
Mendadak Liong It-hiong berseru lantang, "Wah, luar biasa!
Para tokoh kenamaan Kangouw yang ditakuti orang sama
muncul di sini!"
Kim-kong Taysu terbahak, "Haha, terima kasih. Aku ini kan
pembawa bendera saja, peran utamanya masih belum
muncul."
Belum lenyap suaranya segera terdengar suara "srak-srek" di
luar, suara sandal terseret.
Seketika terangsang nafsu membunuh Miau-lolo, jengeknya,
"Hah, bagus, rupanya setan rudin ini juga datang meramaikan
tempat ini."

Menyusul suaranya seorang setengah umur tampak masuk ke
ruangan pendopo dengan langkah terseyat-seyot. Wajah
orang ini tidak jelek, hanya dekil serupa sudah beberapa bulan
tidak pernah cuci muka. Bajunya yang menandakan dia
seorang terpelajar juga kotor, kaki memakai sandal kulit butut,
rupanya miskin dan kelakuannya rudin.
Begitu masuk ia lantas memberi hormat kepada Miau-lolo,
Kim-kong Taysu, Liong It-hiong dan Ni Beng-ay, lalu tertawa
dengan suaranya yang serupa burung hantu, "Terimalah
salam orang she Sun ini, semoga kalian sama selamat!"
"Duduk saja!" jengek Mau-lolo.
Orang yang mengaku she Sun itu menjawab dengan hormat,
"Ya, baik!"
Lalu ia menuju ke samping dan duduk di situ tanpa bicara lagi.
Miau-lolo berkata kepada Liong It-hiong, "Liong-hiap, apakah
kau kenal dia?"
It-hiong mengangguk, "Tentu saja kenal. Nama kebesaran
Kiong-su-sing (pelajar miskin) Sun Thian-tek sudah lama
kudengar."
"Bagus, jika sudah saling kenal tentu urusan menjadi mudah
dibicarakan," ujar Miau-lolo. "Dan, entah tokoh kosen mana
lagi yang akan datang?"
"Mungkin masih ada satu!" seru Kiong-su-sing Sun Thian-tek
dengan tertawa.
Baru selesai ucapannya segera di luar kelenteng bergema
suara tertawa orang dan melayang masuk seorang Tojin tua.

Tojin tua ini berusia antara 60-an, mata alisnya kelihatan baik,
jenggot panjang sebatas dada, memakai ikat kepala tersusun,
berjubah tebal, memakai sepatu merah dan kaus kaki putih,
yang dipegangnya bukan kebut, tapi sebuah Koh-ting atau
tungku antik.
Jelas tungku antik itu terbuat dari perunggu, tingginya empat
kaki, sekelilingnya berukir timbul, indah sekali buatannya.
Bobotnya paling sedikit ada 500 kati, akan tetapi terpegang di
tangan Tojin tua ini terasa seperti barang sangat enteng.
Miau-lolo tertawa dan menegur, "Apakah Anda ini Koh-ting
Tojin?"
Tojin tua menaruh tungku antik di samping sana, lalu memberi
hormat dan menjawab, "Betul, baik-baikkah Miau-toaso
selama ini?"
"Sungguh aku tidak mengerti, mengapa orang beragama
seperti kalian ini masih juga memikirkan nama dan harta?"
kata si nenek.
"Ai, janganlah Miau-toaso bicara demikian, kedatanganku
hanya ingin menyuguh minum kalian beberapa cawan saja,"
kata Koh-ting Tojin dengan tertawa.
Ucapannya juga betul, sebab di dalam tungku perunggu itu
berisi arak.
"Aku tidak biasa minum arak," jengek Miau-lolo.
"Aku juga tidak," tukas Beng-ay.
"Nona sudah hadir di sini, mana boleh tidak minum," kata Sun
Thian-tek.

Si Tojin menarik muka, jengeknya, "Barangkali nona menghina
diriku?"
Mendadak Liong It-hiong menimbrung, "Rasanya kurang
sopan memaksa seorang nona minum arak, kukira lebih baik
Totiang minum sendiri saja."
Tiba-tiba Sun Thian-tek berdehem dua kali, lalu berseru,
"Hadirin sekalian, kukira lebih baik kita kembali kepada soal
pokok saja. Tentang kotak hitam itu hanya ada satu,
sebaliknya kita yang mengincarnya ada beberapa orang, lalu
cara bagaimana akan kita selesaikan urusan ini?"
"Sederhana dan gampang." tukas Kim-kong Taysu. "Kita
sekarang berenam, boleh kita bagi menjadi tiga partai dan
bertanding, yang kalah silakan enyah, yang menang
bertanding lagi, pemenang terakhir itulah yang akan memiliki
kotak hitam itu."
"Aha, gagasan bagus, aku setuju," seru Koh-ting Tojin
tertawa.
It-hiong lantas bangun sambil kebas bajunya dan berkata,
"Maaf, aku mengaku bukan tandingan kalian, aku
mengundurkan diri dari pertandingan."
Miau-lolo, Kim-kong Taysu, Koh-ting Tojin dan Sun Thian-tek
sama melenggong oleh sikap Liong It-hiong itu.
Tempat duduk Kim-kong Taysu berdekatan dengan pintu,
segera ia mengacungkan tongkatnya mengadang jalan keluar
sambil berseru, "Eh, Siaucu (anak kecil), peti ini berada
padamu, mana boleh kau pergi begitu saja?"
Liong It-hiong menyadari sukar untuk pergi sesukanya,
terpaksa ia duduk lagi, katanya dengan tertawa, "Wah,

tampaknya aku ingin menyerah pun tidak boleh ...."
"Kau mau pergi sih boleh saja, cuma peti itu harus kau
tinggalkan," ucap Koh-ting Tojin.
It-hiong menggeleng, "Tidak, setelah berdampingan bersama
peti ini selama beberapa hari, sudah timbul rasa sayangku
kepadanya, aku tidak tega meninggalkannya."
"Jika demikian, jadi kau siap mengadu jiwa baginya?" tanya
Koh-ting Tojin.
"Juga tidak, mengadu jiwa bagi sebuah peti kan tidak ada
harganya," ucap It-hiong sambil mengangkat pundak. "Apakah
boleh kutahu sesungguhnya apa isi peti ini?"
"Bagus sekali jika engkau tidak tahu," ujar Koh-ting Tojin.
Kiong-su-sing Sun Thian-tek lantas menuding Ni Beng-ay dan
tanya Miau-lolo, "Miau-toaso, bagaimana asal usul nona ini?"
"Aku pun tidak tahu," sahut si nenek tak acuh.
"Kalian sama salah sangka," sela It-hiong. "Kedatangan nona
ini bukan lantaran mengincar peti hitam ini, dia memang
benar kemalaman dan ingin memondok semalam di sini."
"Dari mana kau tahu?" tanya Sun Thian-tek dengan
tersenyum.
"Sebab aku memang suka memercayai perkataan setiap nona
cantik," jawab It-hiong.
"Buset!" kata Sun Thian-tek tertawa.
"Betul tidak nona Ni?" tanya It-hiong kepada Ni Beng-ay.

Nona itu kelihatan gugup jawabnya, "Apa maksudnya? Kenapa
mereka curigai diriku?"
"Mereka mencurigai kedatanganmu ini juga hendak merampas
peti hitam yang kubawa ini," kata It-hiong sambil mengangkat
peti yang terbelenggu di tangannya.
"Omong kosong," kata Beng-ay. "Untuk apa kurampas peti
hitam itu? Asal mereka tidak membikin susah diriku saja aku
sudah bersyukur."
"Jika nona bukan orang persilatan, silakan lekas pergi saja
supaya tidak ikut tersangkut urusan ini," ujar Sun Thian-tek.
"Wah, tengah malam buta, kau suruh aku pergi ke mana?"
sahut Beng-ay dengan sedih. Lalu ia memandang It-hiong
sekejap dan menampilkan maksud minta nasihat.
It-hiong mengangguk, katanya, "Ucapan Sun-tayhiap ini
memang betul, lebih baik kau masuk ke dalam saja."
"Dan engkau?" tanya Beng-ay dengan khawatir.
"Aku tidak menjadi soal," ujar It-hiong.
"Mereka takkan membikin susah padamu?"
"Mungkin tidak," jawab It-hiong tertawa. "Yang mereka incar
adalah peti dan bukan diriku."
"Besok engkau tetap berangkat ke Cap-pek-pan-san atau
tidak?" tanya si nona pula.
"Tentu pergi, biarpun peti ini dirampas orang tetap kupergi ke
sana, akan kutemanimu ke Wanpeng," jawab It-hiong pasti.

Lega hati Ni Beng-ay setelah menerima janji It-hiong itu,
perlahan ia masuk ke dalam melalui pintu samping.
Sun Thian-tek tertawa, katanya, "Nah, sudah pergi seorang,
sekarang kita berempat jadi lebih mudah menyelesaikan
urusan ini."
"Cara bagaimana penyelesaiannya?" jengek Miau-lolo.
"Boleh gunakan usul Kim-kong Taysu tadi," kata Sun Thiantek.
"Kita berempat terbagi menjadi dua partai untuk
bertanding, yang kalah tersisihkan, yang menang bertanding
lagi dengan yang menang, dan pemenang terakhir berhak
mendapatkan peti itu."
"Baik, biar aku yang menempur orang rudin macammu ini,"
ejek si nenek.
"Boleh juga," Sun Thian-tek terima tantangan itu dengan
tersenyum. "Dengan cara bagaimana Miau-toaso ingin
bertarung denganku?"
"Terserah padamu," jawab Miau-lolo.
"Begini saja," ujar Sun Thian-tek. "Karena Miau-toaso
kehilangan penglihatan, betapa pun tidak enak bagiku untuk
bergebrak denganmu. Biarlah kita bermain dua macam
permainan saja, boleh kau tirukan caraku lalu bergilir kutiru
caramu, yang tidak mampu meniru dianggap kalah. Nah,
setuju?"
"Baik, setuju," jawab si nenek.
Lalu Kiong-su-sing berpaling dan tanya Kim-kong dan Koh-ting
berdua, "Apakah kalian juga setuju terhadap caraku?"

Kedua orang itu sama mengangguk dan menjawab, "Bagus,
kami setuju!"
"Jika begitu, harap kalian menjadi saksi bagi kami," kata
Thian-tek. "Nah, Miau-toaso, silakan engkau dulu."
Miau-lolo tidak bicara lagi, ia gunakan tongkatnya untuk
menjajaki jalan dan mendekati meja sembahyang, lalu tangan
meraba-raba sambil berkata, "Adakah Hiolo (tempat lidi dupa)
di sini?"
"Ada, agak di sebelah kanan," kata Thian-tek.
Miau-lolo menurut dan meraba ke kanan, betul juga dapat
dipegangnya Hiolo dimaksud.
Ia mengambil enam tangkai sisa lidi dupa, lalu mengeluarkan
sebilah belati untuk memotong lidi dupa supaya sama
panjangnya, belati disimpan kembali, kemudian ia meraba ke
pintu kelenteng, dari situ ia mundur beberapa langkah,
katanya, "Nah, boleh kau lihat sejelasnya, segera aku akan
mulai!"
"Silakan," jawab Sun Thian-tek.
Miau-lolo menarik napas panjang, ia berdiri menghadap daun
pintu dan termenung sejenak, perlahan tangan kanan yang
memegang enam biji lidi itu terangkat, mendadak ia
membentak sambil menyambitkan lidi dupa.
Terdengar suara "crat-crit" perlahan, keenam lidi dupa sama
menancap di daun pintu kelenteng serupa paku dan terbentuk
bunga sakura.
"Kungfu hebat!" seru Liong It-hiong dan lain-lain.

Kepandaian menyambitkan senjata rahasia ini memang luar
biasa, sebab daun pintu kelenteng itu terbuat dari papan kayu
yang keras, sedangkan sisa lidi dupa sangat kecil dan mudah
patah, namun si nenek sanggup menyambitkannya dan
menancap serupa paku, bahkan membentuk kelopak bunga
Bwe, jika dia tidak memiliki tenaga dalam yang lihai dan gerak
tangan yang terlatih, tidak mungkin dia mampu berbuat
demikian.
Miau-lolo sangat senang, katanya, "Nah, sekarang giliranmu si
rudin!"
Sun Thian-tek berdiri, katanya sambil menggeleng, "Wah,
Kungfu Miau-toaso ini sungguh hebat, mungkin tidak sanggup
kutirukan ...."
"Jangan sungkan, lekas silakan coba," ucap si nenek dengan
tertawa.
Sun Thian-tek lantas mendekati meja sembahyang juga dan
mengambil enam lidi dupa, dipotongnya juga hingga rata, lalu
berdiri di tempat Miau-lolo tadi, katanya dengan hormat
kepada Kim-kong Taysu dan Koh-ting Tojin, "Terpaksa
kulakukan sebisanya, jika tidak sanggup menirukan Miautoaso,
harap jangan kalian tertawai diriku."
Kim-kong dan Koh-ting hanya tersenyum saja tanpa bersuara.
Thian-tek juga berdiri diam sejenak untuk mengumpulkan
tenaga dalam, mendadak ia pun mengertak sekali, tangan
bergerak dari bawah ke atas, enam tangkai lidi kecil ditolak ke
depan. "Cret", keenam lidi pun menancap di daun pintu, juga
membentak bunga Bwe yang berkelopak lima.
Kembali Liong It-hiong, Kim-kong Taysu dan Koh-ting Tojin

bersorak memuji, "Kungfu hebat, sungguh luar biasa!"
"Bagaimana?" tanya Miau-lolo dengan air muka rada berubah.
"Sama, serupa benar!" tutur Kim-kong Taysu.
"Hm, coba kuperiksa sendiri," jengek Miau-lolo perlahan, ia
mendekati daun pintu dan merabanya sejenak, lalu
mengangguk dan berkata, "Hm, tak tersangka si rudin ini
boleh juga."
Sun Thian-tek memberi hormat dan tertawa, "Terima kasih
atas pujianmu, sungguh beruntung!"
"Sekarang coba kau tiru lagi yang ini," kata si nenek sambil
menggeser mundur dua tindak.
Melihat permukaan lantai yang baru saja terinjak si nenek,
tanpa terasa Liong It-hiong bersorak pula, "Sungguh Kungfu
yang lihai, hari ini aku benar-benar banyak bertambah
pengalaman."
Setelah melihat apa yang terjadi, Kim-kong dan Koh-sing juga
mengunjuk rasa kagum sambil mengangguk, kata mereka,
"Injakan Miau-toaso ini terlebih hebat lagi!"
Kiranya pada waktu menggeser mundur tadi, diam-diam si
nenek telah meninggalkan kedua bekas telapak kaki sedalam
tiga inci di permukaan lantai.
Padahal lantai ruangan kelenteng terdiri dari ubin yang tebal,
tapi tanpa bersuara kakinya dapat ambles dan mencetak
bekas kaki sedalam itu, Kungfu ini sungguh jarang terdengar
dan sangat mengejutkan.
Berubah juga air muka Sun Thian-tek, ucapnya dengan

menyengir, "Wah, Kungfu sehebat ini mana kusanggup ...."
"Kembali kau sungkan lagi," ujar si nenek dengan tertawa.
"Padahal ini pun bukan Kungfu yang luar biasa, asalkan
menguasai Lwekang taraf tertentu saja pasti sanggup ...."
"Tapi Lwekangku jelas selisih jauh dibandingkan Miau-toaso,"
tukas Sun Thian-tek.
"Sudahlah, lekas lakukan, tidak perlu banyak omong lagi,"
kata si nenek.
Mendadak Sun Thian-tek juga menggeser mundur dua
langkah, waktu ia memandang lantai, ia menggeleng kepala
dan berucap, "Memang tidak bisa, babak ini aku menyerah
kalah."
Kiranya pada waktu bicara tadi diam-diam ia mengerahkan
tenaga dalam untuk membuat bekas kaki di atas ubin. Cuma
dalamnya tidak dapat melebihi tapak si nenek, malahan satu
di antara ubin yang terinjak itu ada tanda retak.
Ini memang tanda Lwekang yang belum sempurna.
Koh-ting Tojin lantas melangkah maju dan memeriksa sejenak,
lalu berkata, "Ya, babak ini memang Sun-tayhiap kalah."
"Benar, aku mengaku kalah, cuma berapa jauh kalahnya harus
diberi penilaiannya," ucap Sun Thian-tek.
"Maksudmu?" tanya Koh-ting.
"Bicara terus terang, di antara kita berempat masing-masing
mempunyai kepandaian khas sendiri, ada yang unggul dalam
hal Lwekang, ada yang asor dalam hal Gwakang dan
sebagainya, atau dengan lain perkataan, meski babak ini aku

tidak dapat menandingi Miau-toaso, namun kalahnya juga
tidak selisih terlalu jauh, maka bila nanti pada babak lain ada
keunggulanku di atas Miau-toaso, tentu akan sukar ditentukan
siapa yang harus dinyatakan sebagai pemenang."
"Beralasan juga uraianmu," ujar Koh-ting Tojin. "Lantas cara
bagaimana sebaiknya menurut pendapat Sun-tayhiap?"
"Begini," tutur Thian-tek. "Bekas kaki Miau-toaso itu sedalam
tiga inci, sedangkan tapak kakiku cuma dua inci, bahkan
membikin retak sebuah ubin, maka babak ini boleh dianggap
Miau-toaso mendapat angka 10 dan aku cuma mendapat 4, ini
berarti Miau-toaso lebih banyak mendapat 6 angka. Jika
perhitungan cara begini diteruskan barulah dapat menentukan
kalah menang dengan tepat. Coba, apakah kalian setuju?"
Koh-ting Tojin tidak keberatan, ia coba tanya Miau-lolo,
"Bagaimana, apakah Miau-toaso setuju?"
"Baik, cuma harus kuperiksa juga hasil cetakannya apakah
pantas diberi angka 4 atau tidak," kata si nenek.
Ia mendekati kedua tapak kaki cetakan Sun Thian-tek itu dan
berjongkok, setelah diraba beberapa kali, akhirnya ia
mengangguk, katanya dengan tertawa, "Ya, sudahlah, boleh
juga dianggap mendapat angka 4."
"Jika demikian, sebentar bila Miau-toaso bertanding seri satu
babak dan babak lain engkau cuma mendapat angka 3, itu
berarti Toaso yang kalah," kata Thian-tek dengan tertawa.
"Betul, sebaliknya jika aku mendapat angka lima berarti dirimu
si rudin ini yang keok," sahut Miau-lolo.
"Benar!" seru Thian-tek.

"Nah, sekarang giliranmu dulu!" kata si nenek.
"Permainan yang dapat kuperlihatkan tidaklah banyak, babak
pertama yang hendak kupertunjukkan adalah main akrobat,"
seru Thian-tek dengan tertawa.
Habis berkata ia terus melompat ke atas dan berjumpalitan
tiga kali di udara, lalu melayang turun dengan ringan.
Hal ini sama di luar dugaan Koh-ting Tojin dan Kim-kong
Taysu. "Hanya begini saja?" tanya mereka heran.
"Betul, cuma begini saja," Thian-tek mengangguk.
Miau-lolo tidak percaya Sun Thian-tek hanya menggunakan
main jumpalitan di udara untuk menentukan kalah menang, ia
yakin pasti waktu berjumpalitan itu si pelajar miskin itu telah
menggunakan semacam Kungfu istimewa yang tidak
dijelaskannya, maka ia lantas berteriak, "Tidak, ini tidak adil!"
"Tidak adil bagaimana?" tanya Thian-tek dengan tertawa.
"Kau tahu aku tidak dapat melihat, mana dapat kutirukan
caramu dengan tepat?" ujar si nenek.
"Miau-toaso tidak perlu berbuat serupa dengan diriku, cukup
asalkan engkau juga berjumpalitan tiga kali saja di udara."
"Hanya begitu saja?" kembali si nenek menegas dengan ragu.
"Betul, hanya begitu saja," jawab Thian-tek.
Mau tak mau si nenek memperlihatkan rasa sangsinya,
katanya kemudian, "Hm, sesungguhnya engkau si rudin ini
hendak main gila apa?"

"Tidak main gila apa-apa, hanya main berjumpalitan saja,"
ucap Thian-tek.
Berkedip-kedip kelopak mata Miau-lolo yang buta itu,
mendadak ia mendengus, "Hm, mengertilah aku."
"Oo, mengerti apa?" tanya Thian-tek.
"Pada waktu aku berjumpalitan nanti, tentu akan kau
sambitkan senjata rahasia untuk merobohkan aku, bukan?"
Thian-tek menggeleng, "Tidak, tidak nanti kulakukan
perbuatan pengecut seperti itu. Jika aku berbuat demikian,
tentu Kim-kong Taysu dan Koh-ting Totiang takkan
mengampuniku."
"Betul. Jika dia main gila dan berbuat curang, tidak nanti
kuampuni dia," tukas Kim-kong Taysu.
"Nah, sudah Miau-toaso dengar sendiri, tentu engkau tidak
perlu khawatir lagi bukan?" seru Thian-tek dengan tertawa.
Hati Miau-lolo agak lega setelah mendapat jaminan begitu,
namun dia tetap sangsi, ia tidak mengerti mengapa lawan
menggunakan permainan sepele ini untuk mengunggulinya?
Tapi sekarang tiada pilihan lain lagi baginya, segera ia berkata
kepada Kim-kong Taysu dan Koh-ting Tojin, "Baik, harap
kalian menaruh perhatian di udara, hendaknya jangan kalian
membiarkan dia kabur!"
"Baik, biasanya aku pun benci kepada orang yang suka main
licik dan curang, Miau-toaso tidak perlu khawatir," seru Kohting
Tojin.
Sebelum lenyap suara orang, mendadak Miau-lolo melompat
tinggi ke atas, di tengah udara berturut-turut ia berjumpalitan

tiga kali, habis itu dengan tangan terpentang ia hinggap
kembali di permukaan lantai dengan enteng.
"Hah, bagus, babak ini kita sama kuat," seru Thian-tek sambil
berkeplok tertawa.
Miau-lolo kurang senang, jengeknya, "Hm, sengaja kau
gunakan Kungfu anak ingusan ini untuk menguji diriku,
sengaja kau hina diriku bukan?"
"Jangan Miau-toaso salah paham," jawab Thian-tek dengan
tertawa. "Untuk pertandingan selanjutnya, masa Miau-toaso
tidak ingin menyimpan tenaga sedikit?"
Baru sekarang si nenek menyadari maksud tujuan pelajar
miskin itu, ia terkekeh, "Hehe, betul juga perkataanmu. Cuma
apakah kau yakin pada babak berikutnya pasti dapat
mengatasi diriku?"
"Tentu saja," sahut Thian-tek pasti. "Pada permainan babak
kedua kuyakin Miau-toaso takkan mampu meniru diriku."
"Kentut!" semprot si nenek. "Apa kepandaianmu, coba
keluarkan saja!"
"Sesuai perjanjian semula, apa yang kulakukan harus ditirukan
Miau-toaso, jika engkau tidak berani ikut berbuat dengan cara
yang sama berarti engkau kalah, begitu bukan?" Thian-tek
sengaja menegas lagi.
"Betul, tidak perlu cerewet, ayolah keluarkan kepandaianmu,"
seru si nenek tak sabar lagi.
Sun Thian-tek lantas mengeluarkan sebuah botol obat terbuat
dari kayu, lalu berkata dengan tertawa, "Nah, babak kedua ini
boleh kita berlomba makan obat."

Berubah air muka si nenek. "Makan obat apa?" tanyanya.
"Dengan sendirinya obat racun," jawab Thian-tek dengan tak
acuh. "Kalau berlomba makan obat kuat, kan lebih
menguntungkan dirimu yang lebih tua."
Tergetar tubuh si nenek, seketika ia tergegap, katanya,
"Engkau seng ... sengaja bergurau denganku?"
"Tidak, aku tidak perlu bergurau, tapi sungguh-sungguh," kata
Thian-tek.
Miau-lolo berpaling dan berkata kepada Kim-kong dan Kohting
Tojin, "Harap kalian memberi keadilan, coba katakan
apakah masuk di akal bertanding makan obat racun cara
begini?"
Cepat Thian-tek mendahului bicara, "Sejak mula kan tidak ada
ketentuan tidak boleh berlomba makan obat racun, coba
jawab lebih dulu?"
Kening Kim-kong Taysu bekernyit, tentu saja ia merasa
serbasusah.
Koh-ting Tojin juga kelihatan, prihatin, setelah termenung
sejenak baru menjawab, "Miau-toaso, ucapan Sun-tayhiap
memang beralasan. Sebelumnya kita memang tidak
menentukan apa yang boleh dipertandingkan dan apa yang
tidak boleh, sebab itulah jika dia minta berlomba makan
racun, terpaksa engkau harus mengiringinya."
Saking gemas sampai badan Miau-lolo gemetar, teriaknya,
"Tapi makan racun terhitung ilmu silat macam apa?"
Dengan serius Sun Thian-tek berkata, "Miau-toaso kan

kawakan Kangouw juga, mengapa kau bicara seperti anak
kemarin saja? Makan racun tentu juga semacam Kungfu. Jika
kau mampu, boleh kau kerahkan Lwekangmu untuk menahan
bekerjanya racun. Dan pertandingan kita justru terletak di sini,
bilamana engkau tidak mampu menahan serangan racun
biarkan engkau mati keracunan."
Muka Miau-lolo merah padam, tanyanya, "Lantas bagaimana
bila kita sama-sama dapat menahan bekerjanya racun dan
tidak mati?"
"Takkan terjadi demikian," ujar Thian-tek. "Racunku ini sangat
keras, asal makan satu biji saja bagi orang biasa, dalam waktu
singkat dari mulut-hidung-mata-telinga akan berdarah dan
mati seketika. Bagi kita yang memiliki Lwekang taraf tertentu
mungkin perlu makan beberapa biji baru bisa mati. Maka
caraku ini adalah aku makan dulu satu biji, lalu engkau ikut
makan satu biji, sejenak kemudian bila kita tidak keracunan,
lalu kumakan lagi sebiji dan engkau pun ikut makan pula
sebiji, dan begitu seterusnya, baru berhenti bilamana seorang
sudah binasa keracunan."
Miau-lolo hanya, mendengus saja tanpa menanggapi.
Sun Thian-tek lantas membuka tutup bobol, katanya pula,
"Supaya adil dan tidak menimbulkan sangkaan jelek, biarlah
kuserahkan botol racun ini untuk dipegang Koh-ting Totiang,
beliau yang akan membagikan pil racun kepada kita dan ...."
Bicara sampai di sini ia lantas menyerahkan botol racun itu
kepada Koh-ting Tojin, lalu mengangsurkan tangan dan
berucap pula, "Sekarang silakan Totiang menuangkan satu biji
kepadaku."
Koh-ting menurut, dituangnya satu biji pil racun, diendusnya
dulu, lalu tertawa, "Hah, bau racun ini ternyata sangat

harum!"
"Betul memang sangat harum, namun satu biji racun ini cukup
untuk meracun mati seekor kerbau," seru Thian-tek dengan
tertawa.
Koh-ting memberikan pil racun itu kepada Sun Thian-tek,
katanya, "Miau-toaso, sekarang sudah kuberikan satu biji pil
racun kepada Sun-tayhiap."
Miau-lolo mendengus, "Hm, kalau berani kenapa tidak kau
makan saja dua tiga biji sekaligus?!"
"Baik, harap Totiang memberikan dua biji lagi," kata Thiantek.
"Wah, kukira Miau-toaso perlu pikir panjang," ujar Koh-ting
dengan tertawa. "Sebab kalau sekali makan Sun-tayhiap
menghabiskan tiga biji, Miau-toaso sendiri juga harus ikut
makan tiga biji."
"Kutahu, tidak perlu kau jelaskan," sahut si nenek
mendongkol.
Segera Koh-ting menuangkan lagi dua biji pil racun itu kepada
Sun Thian-tek, katanya dengan terkekeh, "Hehe, tak
tersangka Sun-tayhiap ini menganggap makan obat racun
sebagai kepandaian istimewa. Sungguh mengagumkan."
Thian-tek terus menerima pil itu dan sekaligus dijejalkan ke
dalam mulut terus ditelan, katanya, "Nah, sudah kuminum
semua!"
"Harap Totiang mewakili diriku untuk memeriksanya, apakah
pil itu tidak terselip di bawah lidahnya," pinta si nenek buta.

Tanpa disuruh segera Sun Thian-tek membuka mulutnya
lebar-lebar, katanya dengan suara kurang lancar, "Silakan
Totiang memeriksanya!"
Koh-ting mengamat-amati mulut Thian-tek, terlihat ketiga biji
pil tadi memang betul sudah diminumnya, maka ucapnya, "Ya,
semuanya memang betul sudah masuk perut Sun-tayhiap."
Air muka Miau-lolo tampak gelap, jengeknya, "Jika Thian bisa
menimbang, seharusnya membikin engkau si rudin ini mati
keracunan."
"Jangan khawatir, Miau-toaso," seru Thian-tek dengan
tergelak. "Selama hidupku ini hampir tidak pernah hidup
senang, kuyakin takkan mati secepat itu."
Lalu ia berkata pula kepada Koh-ting Tojin, "Nah, harap
Totiang pun menuangkan tiga biji untuk Miau-toaso."
Segera Koh-ting menuang tiga biji pil racun seperti apa yang
diminta dan disodorkan kepada Miau-lolo, katanya, "Silakan
makan, Miau-toaso!"
"Tidak, aku tidak mau makan," sahut si nenek.
"He, mana boleh tidak makan?" seru Koh-ting dengan
melenggong.
"Kenapa tidak boleh?" jengek Miau-lolo.
"Jika tidak kau makan berarti babak ini dimenangkan Suntayhiap,
engkau tidak berhak ikut berebut peti lagi," kata Kohting.
"Bagaimana keadaannya sekarang?" tanya si nenek.

"Sun-tayhiap sedang mengerahkan tenaga untuk menahan
serangan racun," tutur Koh-ting Tojin.
Memang betul, saat itu Sun Thian-tek telah duduk bersila di
lantai dan mulai mengerahkan Lwekang untuk menahan racun
yang mulai bekerja di dalam perut.
Hal ini sama dengan pertarungan antara mati dan hidup, tidak
seberapa lama, kening Sun Thian-tek tampak berkeringat.
"Hm, aku justru tidak percaya dia mampu menahan serangan
racun, tentu dia sedang main gila," ujar Miau-lolo.
"Miau-toaso," ucap Kim-kong Taysu dengan kereng.
"Sesungguhnya engkau mau makan atau tidak, kalau tidak
makan berarti engkau kalah."
Alis si nenek menegak, katanya, "Kalah juga boleh,
memangnya kenapa?"
"Jika begitu, engkau tidak berhak ikut berebut peti lagi, silakan
meninggalkan kelenteng ini," kata Kim-kong Taysu.
"Hm, buat apa terburu-buru?" jengek si nenek. "Aku justru
ingin tahu apa benar dia takkan mati."
"Jika Sun-tayhiap berani makan, tentu dia yakin mampu
mengatasi bekerjanya racun. Tapi seumpama Sun-tayhiap
mati keracunan tetap engkau dianggap kalah, sebab engkau
tidak berani menirunya makan racun."
Miau-lolo mendengus gusar, "Hm, aneh juga. Aku kan sudah
mengaku kalah, kenapa kau omong terus-menerus?"
"Haha, jangan Miau-toaso gusar, soalnya kita perlu bicara
sejelasnya agar tidak menimbulkan sengketa di belakang,"

seru Kim-kong Taysu dengan terbahak.
Dengan muka cemberut Miau-lolo tidak bicara lagi.
Sejenak kemudian, tertampak Sun Thian-tek mengembuskan
napas, lalu berdiri perlahan, ucapnya dengan tertawa, "Miautoaso,
dapatlah kupunahkan semua racun yang kuminum, apa
pula yang kau tunggu?"
"Apa betul racun yang kau makan?" mendadak si nenek
menegas.
"Jika engkau tidak percaya, boleh juga kau makan sekarang,"
jawab Sun Thian-tek dengan tertawa. "Asalkan engkau tidak
mati keracunan, babak ini tetap kita anggap seri."
Malu dan gusar pula si nenek, ia mengentak tongkatnya dan
berkata dengan gemas, "Baik, aku mengaku kalah saja,
sampai bertemu lagi kelak!"
Habis bicara ia terus melangkah keluar kelenteng.
Dengan tersenyum Sun Thian-tek memandangi kepergian
nenek itu, lalu dimintanya kembali botol tadi, kemudian duduk
lagi di samping, katanya, "Dan sekarang menjadi giliran kalian
berdua untuk bertanding."
Koh-ting Tojin tertawa, katanya, "Baiklah, lantas cara
bagaimana kita akan bertanding, Kim-kong Taysu?"
"Selama berpuluh tahun ini entah sudah berapa kali kita telah
bertanding dan selama ini apakah engkau pernah menang?"
kata Kim-kong Taysu.
"Ya, meski aku tidak pernah menang, tapi juga tidak pernah
kalah, kita tetap lawan yang sama kuat," sahut Koh-ting.

"Makanya bila mau bertanding lagi harus mencari suatu cara
yang aneh dan belum pernah terjadi, cuma kukhawatir hari ini
mungkin tetap tidak dapat menentukan unggul atau asor,"
ujar Kim-kong Taysu dengan tertawa.
"Silakan Taysu menjelaskan permainan aneh apa?" tanya Kohting.
"Kukira hari ini kita tidak perlu mengadu tenaga, juga tidak
perlu berlomba kecerdasan, marilah kita mengadu untung
saja, setuju?"
"Mengadu untung bagaimana?" tanya Koh-ting Tojin.
"Kita main undian saja," ujar Kim-kong Taysu.
"Undian?" Koh-ting menegas dengan tertawa geli.
"Betul, kita minta Sun-tayhiap menjadi wasit bagi kita, cara
undiannya dilakukan dengan menarik dua lidi dupa, satu
panjang dan pendek, lidi panjang menang dan lidi pendek
kalah," tutur Kim-kong Taysu. "Yang berhasil menarik lidi
panjang berhak berebut peti dengan Sun-tayhiap. Cara ini kan
tidak perlu membuang tenaga, juga berlangsung secara
damai, entah Totiang setuju atau tidak?"
"Baiklah, kuterima," sahut Koh-ting setelah berpikir. "Bilamana
nasibku lagi jelek dan menarik lidi pendek, segera kuangkat
kaki dari sini."
Kim-kong lantas berpaling dan berkata kepada Sun Thian-tek,
"Jika demikian mohon bantuan Sun-tayhiap sudi membuatkan
dua potong lidi dupa untuk undian."
Sun Thian-tek mengiakan, ia menuju meja sembahyang dan

melolos dua batang lidi dupa yang belum terbakar habis, di
luar tahu kedua orang itu ia memotong kedua lidi itu menjadi
panjang dan pendek, lalu digenggam rapat dan mendekati
mereka, katanya dengan tertawa, "Nah, silakan, siapa yang
menarik lebih dulu?"
"Usul ini datang dariku, maka harus silakan Totiang yang
menarik dulu," kata Kim-kong Taysu.
"Ah, kenapa Taysu jadi sungkan," ujar Koh-ting Tojin.
"Sepantasnya harus begitu," jawab Kim-kong Taysu dengan
tersenyum.
"Baik, boleh juga kutarik lebih dulu ...." Koh-ting lantas
mengamat-amati kedua lidi yang digenggam Sun Thian-tek,
seketika ia menjadi ragu dan tidak tahu lidi mana yang harus
dilolosnya.
"Ayolah lekas tarik!" kata Sun Thian-tek dengan tertawa, ia
sengaja memejamkan mata.
Setelah menimbang lagi sejenak, tiba-tiba Koh-ting Tojin
berkomat-kamit, rupanya lagi berdoa, habis itu ia terus
melolos salah satu lidi dupa itu.
Waktu diperiksa, panjang lidi itu hanya dua inci, seketika
berubah air mukanya, serunya kaget, "Haya, rupanya aku
kalah?!"
"Sungguh malang, Totiang memang betul kalah," ujar Thiantek
sambil membuka mata. Berbareng itu ia pun membuka
tangan dan memperlihatkan lidi yang lain.
Lidi yang masih dipegangnya sepanjang lebih tiga inci, jelas
jauh lebih panjang daripada lidi yang dilolos Koh-ting Tojin itu.

"Maaf, rupanya nasibku lebih mujur daripadamu," kata Kimkong
Taysu dengan tertawa.
Dengan gemas Koh-ting mengentak kaki, tungku antik tadi
diangkatnya dan arak di dalam tungku disiramkan ke patung
Sian-li, lalu tinggal pergi.
Melihat kelakuan Tojin itu, diam-diam It-hiong merasa geli,
pikirnya, "Totiang ini sungguh lucu, ia sendiri kalah, patung
Sian-li yang menjadi sasaran rasa marahnya."
Sekarang yang berhak berebut peti hitam tinggal Sun Thiantek
dan Kim-kong Taysu saja. Di antara kedua orang ini, Ithiong
berharap Sun Thian-tek yang menang, sebab dapat
dilihatnya Sun Thian-tek berkepandaian paling rendah di
antara keempat orang tadi, juga satu-satunya lawan yang ada
harapan untuk dikalahkan olehnya.
Akan tetapi harapan yang lebih diharapkannya sekarang
adalah selekasnya lari keluar kelenteng ini.
Sejak Miau-lolo mulai bertanding dengan Sun Thian-tek tadi ia
sudah mulai menggeser sedikit demi sedikit ke pintu samping
sana, jaraknya dengan pintu samping sekarang tinggal tujuhdelapan
kaki saja, asalkan lebih dekat lagi satu-dua kaki
segera ia akan melompat keluar dan kabur.
Kim-kong Taysu dan Sun Thian-tek seperti tidak mengetahui
perbuatan Liong It-hiong itu, mereka memandangi kepergian
Koh-ting Tojin, lalu Thian-tek berkata dengan tertawa,
"Bagaimana kita akan bertanding?"
"Kukira kita tidak perlu bertanding lagi," kata Kim-kong Taysu.
"Kenapa tidak perlu bertanding?" tanya Thian-tek heran.

"Sebab pada hakikatnya engkau bukan tandinganku," ujar
Kim-kong Taysu dengan tertawa. "Bukankah engkau jago
yang sudah keok di bawah tanganku?"
"Haha, kelirulah ucapan Taysu ini," jawab Thian-tek dengan
tergelak. "Apa yang pernah terjadi itu adalah peristiwa belasan
tahun lalu, hendaknya diketahui, Sun Thian-tek sekarang lain
dengan Sun Thian-tek belasan tahun lampau."
"Tapi dari caramu bertanding dua babak dengan Miau-lolo tadi
tampaknya engkau tidak lebih kuat daripada dulu," ujar si
Hwesio.
"Meski Lwekangku tidak dapat menandingi kalian tapi kuyakin
kemenangan terakhir pasti dapat kuraih," ujar Thian-tek
dengan tertawa.
Kim-kong Taysu tertawa, katanya. "Baiklah, sekarang boleh
kau katakan cara bagaimana kita akan bertanding?"
"Begini, kemahiranku adalah makan racun, jika kumenang lagi
dengan cara ini rasanya tidak terpuji ...."
"Tidak, aku tidak gentar makan racun, jika perlu boleh juga
bertanding cara ini," potong Kim-kong Taysu.
"Oo, Taysu benar-benar tak gentar makan racun?" Thian-tek
tampak melengak.
Kim-kong Taysu menjengek, "Betul, hal ini dapat kau gunakan
untuk menggertak Miau-lolo dan tidak mungkin aku dapat kau
gertak."
Thian-tek tertawa, "Wah, jangan-jangan Taysu menganggap
yang kumakan itu bukan racun?"

"Racun atau bukan tentu kau tahu sendiri," kata Kim-kong.
"Jika Taysu mengira yang kumakan bukan racun, bagaimana
kalau kita bertanding lagi cara yang sama?"
"Boleh!" jawab Kim-kong Taysu.
Segera Sun Thian-tek mengeluarkan botol obat dan
dilemparkan kepadanya, jengeknya, "Asal Taysu berani makan
satu biji saja segera aku mengaku kalah dan angkat kaki dari
sini!"
Kim-kong Taysu menangkap botol obat racun yang
dilemparkan kepadanya itu, ia terbahak dua kali, tiba-tiba ia
berkata kepada Liong It-hiong, "Eh, ada apa Liong-sicu terusmenerus
bergeser ke arah pintu? Memangnya engkau tidak
menaruh minat terhadap pertandingan kami ini?"
Karena perbuatannya diketahui orang, Liong It-hiong merasa
likat, cepat jawabnya dengan tertawa, "Ai, mana, Cayhe justru
sangat tertarik, lekas kalian mulai bertanding."
"Tapi kalau Liong-sicu hendak menggunakan kesempatan ini
untuk kabur, hendaknya lekas batalkan jalan pikiran ini, kalau
tidak, jangan menyesal bila aku bertindak tanpa ampun
terhadapmu."
Liong It-hiong angkat pundak, "Sebelum Taysu mengalahkan
Sun-tayhiap belum memenuhi syarat untuk bergebrak
denganku, silakan mengalahkan Sun-tayhiap dulu baru nanti
bicara denganku."
Kim-kong Taysu mendengus, lalu berkata lagi terhadap Sun
Thian-tek, "Coba Sun-tayhiap ulangi bicara lagi sekali bahwa
asalkan berani kumakan satu biji obat ini, segera engkau akan

mengaku kalah dan angkat kaki diri sini?"
"Betul," jawab Sun Thian-tek dengan mengangguk.
"Haha, jika demikian jelas Sun-tayhiap sudah pasti kalah,"
seru Kim-kong Taysu dengan terbahak. "Mungkin orang lain
dapat kau tipu, tapi tak nanti aku bisa tertipu. Isi botolmu ini
pada hakikatnya bukan racun, masa aku tidak berani makan
obat ini."
Thian-tek tersenyum, "Jika begitu boleh silakan coba Taysu
makan satu biji."
Benar juga tanpa sangsi Kim-kong Taysu menuang satu biji pil
itu dan ditelan, lalu botol dilemparkan kembali kepada Sun
Thian-tek, katanya dengan tertawa, "Baik, sekarang boleh kau
pergi."
Thian-tek menyimpan botol obat itu ke dalam saku, katanya
dengan tertawa, "Apa betul obat itu sudah Taysu makan?"
"Tentu saja," jawab Kim-kong Taysu sambil membuka
mulutnya lebar-lebar.
"Bagus, jika betul Taysu sudah makan obat racun ini, maka
bolehlah aku dianggap kalah, namun peti hitam itu toh tetap
barangku."
"Apa katamu?" teriak Kim-kong Taysu dengan gusar.
"Kubilang peti itu tetap menjadi milikku," kata Thian-tek pula.
Seketika Kim-kong Taysu mendelik, teriaknya, "Hm, masa
engkau tidak tahu malu, omonganmu dapat dipercaya tidak?
Masa bicara mencla-mencle?"

"Jangan marah dulu, Taysu," ujar Thian-tek dengan tertawa.
"Tidak nanti kurebut peti itu sebelum Taysu menggeletak
binasa. Cuma setelah Taysu menggeletak binasa nanti kan
berarti tidak mampu lagi mengambil peti itu, maka dapatlah
kukuasai peti itu tanpa rintangan."
Air muka Kim-kong Taysu berubah, katanya sambil
menyeringai, "Huh, jangan bermimpi, meski obat yang kutelan
ini benar racun juga aku takkan mati."
"Tidak, dalam waktu seperempat jam, jika Taysu tidak
berusaha menawarkan racun, maka tiada pilihan lain engkau
pasti akan binasa," kata Thian-tek dengan tertawa. "Jika
engkau tidak percaya, biarlah kuperlihatkan ini ...."
Segera ia mengeluarkan dua buah botol kecil yang bentuknya
serupa, ditaruhnya kedua botol kecil itu di telapak tangan,
katanya, "Tadi Taysu bilang yang kuminum bukan racun, hal
ini memang tidak salah. Ketiga biji obat yang kutelan tadi
memang obat kuat, yang hendak kuberikan kepada Miautoaso
juga obat baik, cuma sayang dia tidak berani makan.
Namun satu biji obat yang baru saja ditelan Taysu itu berasal
dari botol yang lain, karena bentuk kedua botol ini serupa
benar, maka Taysu terjebak."
Seketika berubah hebat air muka Kim-kong Taysu, sebab pada
saat itu juga lamat-lamat dirasakan perutnya mulai melilit, ia
tahu memang betul telah tertipu. Keruan kejut dan juga gusar
sekali, ia meraung, "Keparat, rasakan tongkatku ini!"
Tongkat terangkat, kontan ia menyerampang sekuatnya ke
pinggang Sun Thian-tek.
Cepat Thian-tek melompat mundur, serunya, "Aha, Toasuhu
yang baik, masa engkau tidak menghendaki nyawamu lagi?"

Setelah serangannya mengenai tempat kosong, benar juga
Kim-kong Taysu tidak berani bergerak pula, sebab ia tahu
bilamana banyak mengeluarkan tenaga berarti akan
menambah cepat bekerjanya racun.
Dengan gemas ia mengentak tongkatnya dan membentak,
"Baik, setelah kupunahkan racunku tentu akan kubikin
perhitungan lagi dengan keparat rudin macammu ini."
Habis bicara ia terus tinggal pergi.
Thian-tek mendekati pintu kelenteng dan menyaksikan
kepergian orang hingga menghilang dalam kegelapan, habis
itu baru berpaling menghadapi Liong It-hiong, ucapnya
dengan tertawa, "Liong-hiap, petimu itu sekarang sudah
menjadi milikku."
Liong It-hiong duduk bersandar dinding, jawabnya dengan
tersenyum, "Orang bilang Kiong-su-sing Sun Thian-eek banyak
tipu akalnya, tampaknya menang tidak salah."
"Terima kasih atas pujianmu," seru Thian-tek. "Orang pandai
di dunia Kangouw makin lama tambah banyak, mau tak mau
kita harus menggunakan otak sedikit."
"Kulihat kekalahan mereka itu diterima secara penasaran,
apakah engkau tidak khawatir mereka akan kembali lagi ke
sini?" tanya It-hiong.
Thian-tek menggeleng, "Mereka takkan datang lagi, mereka
adalah tokoh terkemuka dunia persilatan zaman ini,
kehormatan dipandang mereka melebihi nyawa sendiri, sekali
mereka mengaku kalah tentu takkan datang lagi."
Lalu ia menyeringai, jelas kelihatan sifat rakusnya, katanya
pula, "Nah, bagaimana? Akan kau serahkan sendiri peti itu

atau perlu kuturun tangan?"
"Engkau mempunyai anak kunci belenggu ini?" tanya It-hiong
dengan tertawa.
"Tidak ada," jawab Thian-tek. "Cuma aku membawa sebilah
pedang pandak yang mampu memotong besi serupa merajang
sayur, boleh kucoba ...."
Sembari bicara ia terus mengeluarkan sebilah pedang pandak,
panjang pedang hampir sama dengan belati biasa, dari bentuk
sarung pedangnya yang antik, jelas sebilah pedang pusaka.
Ketika pedang pandak itu dilolos, seketika cahaya gemerdep
membuat silau pandangan orang. Ia putar pedang itu
perlahan, katanya dengan tertawa, "Apakah kau kenal pedang
pandak ini?"
"Mungkin Siau-hi-jong (usus ikan kecil) yang dipandang benda
mestika oleh setiap orang persilatan?" tanya It-hiong.
"Aha, pandanganmu memang cukup tajam, tepat sekali
tebakanmu," kata Thian-tek.
"Setahuku Siau-hi-jong ini adalah benda kesayangan Suma
Bang yang berjuluk Pak-hay-hi-ong (si kakek nelayan dari laut
utara), mengapa bisa berada padamu?" tanya It-hiong.
"Soalnya kami telah mengadakan pertaruhan, dia
menggunakan Siau-hi-jong ini sebagai taruhannya, sebaliknya
aku menggunakan kepalaku, hasilnya dia yang kalah, maka
Siau-hi-jong lantas menjadi milikku."
"Wah, caramu bertaruh tentu sangat tinggi," ujar It-hiong
dengan tertawa.

"Ah, tidak, hanya sekadar mencari makan saja," kata Thiantek
sambil mengangkat pundak.
"Cara bagaimana kalian mengadakan pertaruhan?" tanya Ithiong
pula.
"Daripada dikatakan taruhan akan lebih tepat dikatakan
sebagai mengadu kecerdasan," tutur Sun Thian-tek. "Kau tahu
dia suka mengaku sebagai raja catur yang tidak ada
tandingannya, sedangkan aku sendiri justru suka cari makan
dari main catur, selama belasan tahun ini aku tidak pernah
kalah, maka aku lantas mendatangi dia dan menantang catur
padanya, hasilnya akulah yang beruntung menang."
"Sayang di sini tidak ada catur, kalau ada tentu aku pun ingin
main-main denganmu, sebab aku juga suka bertaruhan," kata
It-hiong.
"Padaku sekarang justru membawa seperangkat biji catur,
cuma kalau engkau ingin bertaruh main catur denganku,
kukira akan menjadi lelucon."
"Bukan lelucon, aku bicara sungguh-sungguh," kata It-hiong.
"Jika engkau tidak mau menyerahkan peti itu, silakan berdiri
dan bergebrak denganku untuk menentukan kalah menang,
untuk ini mungkin engkau masih ada setitik harapan untuk
menang, mengenai main catur, hehe, jago catur kelas utama
zaman ini semuanya kukenal, tapi tidak pernah kudengar ada
jago catur serupa dirimu!"
It-hiong tertawa, katanya, "Jika engkau sedemikian yakin akan
kemahiranmu main catur, bagaimana kalau kau beri sebuah
benteng padaku."
Thian-tek menggeleng, katanya tidak sabar, "Tidak, lebih baik

kita saling gebrak saja."
It-hiong sengaja memandangnya dengan sikap menghina,
jengeknya, "Hm, kukira engkau ini tukang bual belaka."
"Tukang bual bagaimana?" tanya Thian-tek dengan gusar.
"Sebab kalau benar permainan caturmu tidak ada
tandingannya di dunia, kenapa engkau tidak berani coba main
denganku?" tanya It-hiong.
"Soalnya engkau tidak memenuhi syarat untuk bermain
denganku."
"Tidak memenuhi syarat? Dari mana kau tahu?" tanya Ithiong.
"Jika kau mau, aku pun tidak perlu minta diberi satu biji
benteng. Biarlah kita main sama tingkat. Bila kau menang
boleh kau ambil peti ini, jika kalah ...."
Mengenai ilmu silat Sun Thian-tek memang banyak jago yang
lebih unggul daripada dia, tapi dalam hal main catur dia
memang betul tokoh kelas satu yang tidak ada tandingan.
Keruan ia gusar karena orang berani menantang main catur
padanya, tanpa pikir ia berkata, "Baik, jika aku kalah, biar
kuberikan kepalaku."
"Betul, engkau tidak menyesal?" It-hiong sengaja menegas.
"Ucapan seorang lelaki sejati tidak nanti dijilat kembali," jawab
Sun Thian-tek.
"Bagus, boleh keluarkan caturmu!" seru It-hiong gembira.
Segera Sun Thian-tek menyimpan pedangnya dan
mengeluarkan sebuah kotak kecil, ia duduk di depan It-hiong

sambil membuka kotak, jengeknya, "Hari ini kukira akan dapat
berkelahi sepuasnya, siapa tahu akhirnya tanpa senjata dan
tidak perlu tenaga akan mendapatkan peti wasiat itu."
"Itu kan lebih baik bukan?" kata It-hiong. "Seperti kata
peribahasa, walang menangkap tonggeret, di belakang
mengintai burung cucakrawa. Pokoknya malam ini apakah
engkau berhasil mendapatkan peti atau aku yang tetap harus
menyimpan tenaga untuk menjaga serangan burung
cucakrawa, sebab itulah bilamana pertandingan kita dapat
terlaksana tanpa membuang tenaga adalah cara yang paling
baik."
"Masa kau anggap masih ada cucakrawa yang mengincar di
belakang kita?" tanya Sun Thian-tek dengan tersenyum.
"Kukira pasti ada," It-hiong mengangguk.
Sun Thian-tek tidak bicara lagi, ia menggelar sehelai papan
catur buatan kulit, lalu menuang ke-32 biji catur, katanya,
"Supaya adil, biarlah kuberi kau jalan lebih dulu."
"Ah, kan tidak enak," ujar It-hiong.
"Sudah belasan tahun aku tidak pernah memegang biji hitam,
kebiasaan ini tidak boleh kulanggar," kata Thian-tek.
"Jika begitu, maaf aku mendahului," ujar It-hiong sambil
memasang ke-16 biji caturnya. Setelah pihak lawan juga
sudah mengatur caturnya dengan betul, lalu ia mulai angkat
sebiji catur ke depan.
Begitulah keduanya lantas mulai serang-menyerang,
permainan Sun Thian-tek memang sangat lihai, serangannya
gencar dan sukar diduga, hanya beberapa langkah saja raja
hitam sudah tersudut, tampaknya segera It-hiong akan kalah.

Tak terduga dia sengaja memancing musuh, lalu dengan
langkah yang tak tersangka ia menjebak dan mengurung,
kemudian mencapai kemenangan terakhir.
Biasanya Sun Thian-tek menganggap dirinya sebagai raja
catur, siapa tahu sekarang dikalahkan oleh seorang anak
ingusan yang tak terdaftar dalam deretan jago catur, tentu
saja ia sangat penasaran, dengan muka merah padam ia
berteriak, "Ken ... kenapa bisa jadi begini?"
It-hiong tertawa, "Permainanmu kau belajar dari Ki-sian (dewa
catur) Li Hui-ho bukan?"
"Dari ... dari mana kau tahu?" tanya Sun Thian-tek dengan
melongo.
"Biarlah sekarang kuberi tahukan terus terang," tutur It-hiong.
"Dari beliau kau dapatkan kepandaian main, sebaliknya aku
mendapatkan sejilid kitab catur dari dia yang khusus memuat
berbagai problem catur, terutama yang menyangkut
pengaturan perangkap dan mematikan musuh."
Muka Sun Thian-tek menjadi merah dan sebentar lagi pucat,
jawabnya dengan gelagapan, "Kiranya ... kiranya demikian
...."
"Ya, maka di antara kita boleh dikatakan saudara
seperguruan, engkau sudi mengaku Sute padaku?" tanya Ithiong
dengan tertawa.
Dari malu Sun Thian-tek menjadi gusar, teriaknya, "Tidak,
coba satu kali lagi, aku tidak percaya permainanmu bisa lebih
tinggi daripadaku."
Mendadak lenyap wajah tertawa Liong It-hiong, jawabnya

dengan tegas, "Mau main lagi juga boleh, tapi lebih dulu aku
minta sesuatu."
"Sesuatu apa?" tanya Thian-tek.
"Barang yang telah kau janjikan akan kau berikan padaku,"
kata It-hiong.
Seketika Thian-tek tampak tegang, "Barang apa itu!"
"Kepalamu!"
"Boleh kita main sekali lagi, jika tetap kukalah segera
kuberikan kepalaku."
"Tidak, harus setindak demi setindak, setelah kau kalah tadi,
kepalamu harus kau serahkan padaku."
Thian-tek menjadi marah, "Jika aku tidak punya kepala lagi,
cara bagaimana dapat main catur pula denganmu?"
"Itu kan urusanmu, yang pasti aku menang dan aku ingin
mengambil hasil taruhan kita tadi," kata It-hiong tegas.
"Baik, kuberikan ini!" teriak Thian-tek bengis, telapak tangan
kanan mendadak menebas leher It-hiong.
Namun It-hiong sudah siap sedia sebelumnya, begitu melihat
pundak orang bergerak segera ia melompat mundur, teriaknya
dengan tertawa, "Aha, Sun Thian-tek, ternyata bicaramu
serupa kentut busuk belaka?!"
Namun Thian-tek berlagak tuli dan pura-pura bisu, kembali ia
menubruk maju, kedua jari menutuk sekaligus kedua mata
lawan.

Cepat It-hiong mengegos serentak melolos pedang, sekali
sabet segera ia tebas kaki orang.
"Keparat, jika malam ini tidak dapat kau bunuh diriku,
selanjutnya kau Sun Thian-tek jangan cari makan lagi di dunia
Kangouw, sebab kejadian malam ini pasti akan kusiarkan
seluas-luasnya," seru It-hiong dengan tertawa.
Ancaman ini membuat nafsu membunuh Sun Thian-tek
tambah berkobar, sudah diputuskan akan membunuh Liong Ithiong
untuk menyumbat mulutnya. Sambil menghindari
sabetan pedang, segera ia malas menendang.
Akan tetapi It-hiong juga sempat mengelak, menyusul pedang
menusuk ke perut lawan.
Setelah saling gebrak beberapa jurus, merasa sukar
memperoleh kemenangan jika cuma bertangan kosong, cepat
Thian-tek melompat mundur sambil melolos pedang pandak,
lalu menerjang maju lagi.
Meski pedangnya lebih pendek, tapi tipu serangannya aneh,
apalagi It-hiong tahu pedang pandak itu dapat menebas besi
seperti memotong sayur, tentu saja ia tidak berani
sembarangan menangkis, maka makin lama makin terdesak di
bawah angin.
Padahal umpama Sun Thian-tek tidak memakai pedang pusaka
juga sukar bagi It-hiong untuk mengalahkannya, maklumlah
Sun Thian-tek adalah tokoh dunia persilatan yang cukup
terkenal, baik keuletan maupun pengalaman jelas jauh di atas
It-hiong.
Apalagi It-hiong dibebani sebuah peti hitam yang berat, masih
harus berjaga akan serangan pedang pandak, maka tambah
lama tambah runyam keadaannya.

Setelah berlangsung tiga-empat puluh jurus, mendadak
"creng" sekali, pedangnya tertebas putus oleh Siau-hi-jong
yang tajam. Dengan demikian keadaan It-hiong tambah payah
dan terdesak kalang kabut.
Sun Thian-tek sudah bertekad akan membunuhnya, maka
serangannya tambah gencar, tipu serangan mematikan terus
dilancarkan ke bagian tubuh It-hiong yang fatal.
Dalam keadaan kepepet, Liong It-hiong menjadi nekat,
mendadak ia menggertak keras terus memutar peti hitam itu
sebagai banderingan.
Rupanya Sun Thian-tek juga sudah menduga akan hal ini,
cepat ia mengegos terus meraih, dengan tepat rantai peti itu
kena dipegangnya, menyusul pedang pandak lantas menebas,
rantai hendak dipotongnya.
Tak terduga, pada detik itu juga mendadak Sun Thian-tek
menjerit aneh, berbareng pegangan pada rantai dilepaskan,
bahkan cepat ia melompat mundur.
Kejadian ini serupa orang yang memegang rantai terbakar,
karena kesakitan dan segera dilepaskan kembali.
Tapi karena lompatan mundur itu terburu-buru tanpa memilih
arah, punggungnya lantas menumbuk dinding, kepalanya juga
benjut terbentur sehingga terasa pusing tujuh keliling, tubuh
pun duduk terkulai di lantai.
It-hiong tidak melancarkan serangan susulan, sebab ia tidak
tahu persis apa yang menyebabkan musuh mendadak
melompat mundur pada saat sudah mencapai kemenangan,
dengan tertegun ia memandang lawan sekejap, lalu menegur,
"Hei, kenapa kau?"

Thian-tek menggoyang-goyang kepala sehingga rasa
pusingnya rada hilang, sambil memegang lututnya ia
meraung, "Keparat, kau bilang aku banyak tipu akal,
tampaknya engkau bocah ini terlebih licik dan licin
daripadaku."
Melihat orang memegang dengkul, barulah It-hiong
mengetahui lutut kanan Sun Thian-tek tersambit oleh sehelai
daun cemara, mau tak mau terkejut juga dia, pikirnya, "Buset,
jadi benar ada seekor cucakrawa yang mengincar secara
diam-diam ...."
Kiranya daun cemara itu tepat mengenai tulang kering Sun
Thian-tek, padahal daun itu sudah kecil, jelas disambitkan oleh
orang yang menguasai Lwekang sangat tinggi.
Walaupun kejut dan heran, namun It-hiong tidak bicara hal
ini, katanya pula dengan terbahak, "Haha, terima kasih atas
pujianmu, itu kan cuma sedikit kepandaian tak berarti saja!"
"Hm, tak tersangka mahir juga caramu menggunakan senjata
rahasia, tampaknya aku memang salah nilai dirimu ...." ucap
Sun Thian-tek pula sambil meringis kesakitan.
It-hiong mengangkat pundak, katanya, "Anggaplah ini sebagai
pelajaran bagimu agar selanjutnya engkau jangan sok lebih
tua dan menindas yang muda."
Mendengar pada ucapan orang seperti tidak berniat
membunuhnya, hati Sun Thian-tek terasa lega, katanya,
"Engkau tidak membunuhku?"
"Sementara tidak, nanti kalau aku ingin membunuhmu tentu
akan kucari lagi dirimu," jawab It-hiong.

Thian-tek mengusap keringatnya, perlahan ia merangkak
bangun, katanya, "Jika engkau tidak ada urusan lagi, aku mau
pergi saja."
"Silakan," ujar It-hiong dengan tertawa.
Dengan pincang Sun Thian-tak berjalan ke pintu kelenteng,
tiba-tiba ia seperti ingat sesuatu, ia berpaling dan berkata
pula, "Sebenarnya kita dapat berembuk dulu ...."
"Urusan apa?" tanya It-hiong.
Mendadak Thian-tek menghela napas, katanya, "Aku Sun
Thian-tek meski tidak berani mengaku sebagai tokoh
mahalihai, tapi paling sedikit juga cukup ternama di dunia
persilatan, sudah puluhan tahun berkecimpung di dunia
persilatan, dan selama ini tidak pernah kecundang secara
mengenaskan seperti hari ini."
"Ah, kalah atau menang adalah kejadian biasa di medan
perang, kenapa engkau meski berpikir tentang kejadian ini?"
"Bukan begitu soalnya," ujar Thian-tek dengan murung. "Usia
orang she Sun sekarang sudah lebih 40-an, sekali lipat
daripadamu, sudah lama namaku terkenal lebih dulu, namun
sekarang bukan saja kepandaianmu main catur melebihiku,
bahkan ilmu silatmu juga di atasku. Bilamana berita ini tersiar
ke dunia Kangouw, lalu akan ditaruh ke mana mukaku ini?"
"Gelombang laut selamanya dari belakang mendorong ke
depan, angkatan muda senantiasa menggantikan angkatan
tua, siapa yang dapat bertahan tidak terkalahkan selamanya?"
ujar It-hiong.
"Tapi kekalahanku ini terlampau mengenaskan," kata Thiantek,
"sedangkan aku masih ingin berkecimpung lebih lama di

dunia Kangouw, sebab itulah ... eh, bagaimana kalau kita
mengadakan persepakatan, melakukan suatu bisnis ...."
"Bisnis bagaimana?" tanya It-hiong.
"Jangan kau siarkan kejadian hari ini tentang kekalahan dan
perbuatanku yang ingkar janji tadi, untuk itu akan kuberi
sesuatu imbalan padamu."
"Imbalan apa?"
"Pedang ini," jawab Thian-tek sambil mengangkat pedang
pandaknya. "Siau-hi-jong ini adalah benda mestika dunia
persilatan, siapa pun mengincarnya, sungguh benda yang
sukar dinilai dengan uang. Nah, bagaimana setuju?"
It-hiong berpikir sejenak, katanya, "Ini ... ini ...."
"Apa yang terjadi ini kan tidak merugikan apa pun bagimu,
kumohon engkau menerima dengan baik penawaranku," pinta
Thian-tek dengan sungguh-sungguh.
Diam-diam It-hiong merasa geli, ia mengangguk, katanya,
"Baiklah, setelah mengalahkanmu, mestinya hendak
kupermaklumkan kepada kawan dunia persilatan tentang
kemenanganku yang gemilang ini, kau tahu, bilamana kawan
Bu-lim mendengar dapat kukalahkan tokoh termasyhur Kiongsu-
sing Sun Thian-tek, tentu namaku akan tambah cemerlang
dan gengsiku akan naik, semua ini tentu tidak dapat dibeli
dengan uang."
"Kutahu," ujar Thian-tek sambil menyengir. "Engkau masih
muda, namamu pasti akan tambah gemilang, hari depanmu
masih panjang. Sebaliknya keadaanku tentu berbeda, sekali
aku kalah tentu namaku akan runtuh dan tamat riwayatku
untuk selamanya."

"Baik, kuterima tawaranmu, boleh kau serahkan pedang itu
padaku," kata It-hiong.
"Tapi jangan kau ingkar janji lho?!" pesan Thian-tek.
Ebook oleh : Dewi KZ
Scan book oleh : BBSC
Jilid 4
"Tidak, masa aku serupa dirimu?" ujar It-hiong dengan
tertawa.
Thian-tek lantas melemparkan Siau-hi-jong kepadanya, "Kelak
bila ada kesempatan ingin kumain catur lagi denganmu,
sungguh aku tidak percaya engkau dapat lebih mahir
daripadaku."
It-hiong menangkap pedang pandak pusaka yang dilemparkan
kepadanya itu, katanya dengan tertawa, "Baik, kusiap
melayanimu setiap saat."
Ketika mau melangkah pergi, kembali Thian-tek berpaling lagi
dan berkata, "Masih ada satu soal, apakah benar engkau tidak
tahu apa isi peti yang kau bawa itu?"
"Benar-benar tidak tahu," jawab It-hiong.
"Bilamana kau ingin tahu dapat kuberi tahukan padamu," kata
Thian-tek.
Cepat It-hiong menggeleng kepala, katanya, "Tidak, aku tidak
ingin tahu."
Hal ini sangat di luar dugaan Sun Thian-tek, tanyanya, "Masa

engkau tidak ingin tahu?"
"Bilamana kalian tokoh-tokoh ternama ini, seperti Koh-ting
Totiang, Kim-kong Taysu dan sebagainya, meski tidak
tergolong tokoh golongan baik yang murni, tapi juga tidak
terhitung kaum jahat dan serakah, dan kalian juga menaruh
perhatian terhadap peti ini, maka dapat diduga isi peti ini pasti
benda yang sukar dinilai harganya."
"Memang betul," ujar Thian-tek.
"Nah, sedangkan aku Liong It-hiong juga bukan seorang tokoh
yang suci bersih, maka kalau aku diberi tahu apa isi peti ini,
mungkin hatiku akan tergelitik dan timbul hasrat untuk
mengangkangi isi peti sebagai milik sendiri. Sebab itulah lebih
baik aku tidak diberi tahu saja."
Thian-tek tertawa geli, katanya, "Tampaknya engkau ini radarada
dogol."
"Betul, aku sering berbuat hal-hal yang bodoh dan aku justru
merasa bangga," It-hiong mengaku.
Thian-tek menggeleng, gumamnya, "Sudah lebih 20 tahun aku
berkecimpung di dunia Kangouw dan belum pernah menemui
orang semacam dirimu .... Baiklah, sampai bertemu pula,
selamat tinggal!"
Dengan menyeret kakinya yang masih kesakitan itu ia terus
melangkah pergi dan menghilang di tengah hutan sana ....
Menunggu setelah Sun Thian-tek tidak kelihatan lagi, lalu
Liong It-hiong berpaling ke pintu samping sana dan mendesis,
"Nah, cucakrawa, sekarang bolehlah kau keluar!"
Akan tetapi "cucakrawa" yang dimaksud ternyata tidak

muncul.
Ditunggunya lagi sejenak dan orang yang dimaksud tetap
tidak kelihatan, segera It-hiong hendak menuju ke belakang
untuk menjenguk Ni Beng-ay. Pada saat itulah tiba-tiba si
penjaga kelenteng menyelonong masuk dengan muka pucat,
katanya dengan masih ketakutan, "Mere ... mereka sudah
pergi!"
It-hiong tersenyum, "Ya, tapi mungkin masih ada lagi seorang
...."
Bicara sampai di sini mendadak ia lolos Siau-hi-jong terus
menikam ke muka orang tua itu.
Keruan orang tua itu terkejut, karena terlampau cepat
mundurnya, ia jatuh terduduk sambil menjerit takut, "Hei, ken
... kenapa aku hendak kau bunuh?"
Melihat gerakan orang, segera It-hiong tahu orang tua ini
bukan "cucakrawa" yang dimaksud, segera ia simpan kembali
pedang pandak dan menarik bangun si kakek, katanya dengan
tertawa, "Jangan takut, aku cuma bergurau saja denganmu."
Baru sekarang kakek itu merasa lega, ucapnya dengan kurang
senang, "Ai, kenapa Kongcu bergurau denganku secara begini,
hampir saja aku mati ketakutan."
"Engkau sudah melihatnya semua?" tanya It-hiong.
"Ya, begitu si nenek buta tadi datang segera aku terjaga
bangun," tutur si kakek. "Semula kusangka dia juga cuma
ingin memondok bermalam di sini, maka tidak kuladeni,
kemudian kudengar lagi suara seorang ... wah, keras amat
suaranya serupa raungan singa!"

"O, itu suara Kim-kong Taysu," ujar It-hiong.
"Sesungguhnya apa kerja mereka itu?" tanya si kakek penjaga
kelenteng.
It-hiong menggoyangkan peti hitam yang tergantung pada
pergelangannya, katanya dengan tertawa, "Demi barang ini,
mereka sama ingin merampas peti ini."
"Wah, yang datang terakhir itu rada-rada lucu juga, dia
ternyata mau main catur dengan Kongcu untuk menentukan
kalah menang," ujar si kakek.
"Kalau tidak main catur dengan dia, bisa jadi aku takkan dapat
mengalahkan dia."
"Tapi ... tapi akhirnya Kongcu kan sudah melukai dia juga!"
It-hiong berpaling dan memandang keluar kelenteng, lalu
berbisik padanya, "Bukan aku yang melukai dia. tapi seorang
tokoh misterius secara diam-diam menyerang dengkulnya
dengan senjata rahasia sehingga aku terhindar dari bahaya."
Melotot kedua mata si kakek, tanyanya dengan suara lirih,
"Siapa dia?"
"Entah," jawab It-hiong.
"Di mana dia sekarang?"
"Mungkin masih berada di sekitar sini, juga bisa jadi sudah
pergi."
"Jika dia mau membantumu, tentu dia seorang baik, mengapa
dia tidak mau muncul untuk bertemu denganmu?"

"Makanya dapat diduga dia pasti bukan orang baik, jika dia
orang baik tentu akan menampakkan diri untuk menemuiku."
"Tapi kalau dia bukan orang baik, kenapa dia menolongmu?"
"Soalnya dia tidak ingin peti ini dirampas oleh Sun Thian-tek,
maka diam-diam ia melukainya. Apa pun juga tujuannya tetap
terletak pada peti hitam ini."
Pandangan si kakek beralih ke peti hitam itu, katanya dengan
sangsi, "Sesungguhnya apa isi peti ini? Kenapa diincar sekian
banyak orang?"
"Aku sendiri tidak tahu," jawab It-hiong. "Baiklah, sekarang
engkau boleh pergi tidur lagi, aku ingin menjenguk nona Ni
itu."
"Dia pasti juga sangat ketakutan," ujar si kakek.
"Mungkin ...." It-hiong tersenyum.
Sembari bicara ia terus melangkah keluar menuju ke kamar
belakang.
Di belakang ruang pendopo itu adalah sederet kamar samping,
sebuah di antaranya kelihatan ada cahaya lampu.
It-hiong tahu Ni Beng-ay tentu berdiam di situ, segera ia
mendekat dan mengetuk pintu, serunya, "Nona Ni, engkau
sudah tidur belum?"
"Siapa?" terdengar suara Beng-ay rada gemetar.
"Aku, Liong It-hiong."
"Oo ...." Si nona turun dari tempat tidur dan membuka pintu

kamar, dengan wajah kejut dan khawatir ia tanya, "Sudah kau
pukul lari mereka?"
"Tidak, hasil pertandingan mereka adalah Kiong-su-sing
mendapatkan hak berebut peti, tapi akhirnya dia juga dipukul
lari oleh seekor 'cucakrawa'!" tutur It-hiong dengan tertawa.
"Kiong-su-sing Sun Thian-tek yang kau maksudkan itu apakah
orang yang memakai sandal itu?" tanya Beng-ay dengan
sangsi.
"Betul," jawab It-hiong.
"Kau bilang dia dipukul lari oleh siapa?" tanya pula si nona.
"Cucakrawa," kata It-hiong.
"Siapa itu Cucakrawa?" Beng-ay menegas.
"Seekor burung!" tutur It-hiong dengan tertawa.
"Seekor burung masa dapat memukul lari dia?" tercengang
juga si nona.
"Pernah nona bersekolah?" tanya It-hiong dengan terbahak.
"Pernah sebentar," jawab Beng-ay.
"Jika begitu tentu nona pernah membaca kisah kuno tentang
tonggeret yang hinggap di atas pohon dan asyik berbunyi, tak
tahunya di belakangnya mengintip sang walang yang siap
menangkapnya. Selagi walang hendak menangkap sasarannya
tak diketahuinya di belakangnya mengincar lagi burung
cucakrawa. Ketika cucakrawa hendak mematuk walang, ia pun
tidak tahu di bawah lagi mengintai pelinteng si pemburu.
Itulah cerita incar-mengincar satu terhadap yang lain.

Maksudku dengan cerita ini adalah supaya burung cucakrawa
itu menyadari gawatnya urusan dan jangan lagi membuntuti
aku."
Ni Beng-ay seperti tertarik oleh dongeng ini, ucapnya dengan
tertawa, "Hihi, kiranya cucakrawa yang kau maksudkan adalah
manusia."
"Ya," sahut It-hiong mengangguk sambil menatap si nona
dengan tajam.
Beng-ay menghindari pandangan orang, tanyanya pula, "Cara
bagaimana orang itu memukul lari Kiong-su-sing Sun Thiantek?"
"Semula Sun Thian-tek berjanji bertanding main catur
denganku, hasilnya dia kalah, dari malu dia menjadi gusar dan
main kekerasan hendak merampas petiku ini, maka terjadi
pertarungan kami ...."
Begitulah secara ringkas ia kisahkan kembali apa yang sudah
terjadi itu. Akhirnya ia tanya dengan tertawa, "Menarik bukan
cerita ini bagimu?"
"Ya, sangat menarik," jawab si nona dengan tersenyum.
Mendadak It-hiong berhenti tertawa dari berucap dengan
kereng, "Tapi aku justru merasa tidak menarik."
"Sebab apa?" tanya Beng-ay dengan melengak.
"Sebab aku tidak suka ada burung cucakrawa mengincar di
samping," kata It-hiong.
"Mungkin dia sudah pergi," ujar Beng-ay.

"Tidak, dia pasti masih berada di sini," ucap It-hiong.
Beng-ay tertawa genit, katanya, "Seumpama dia masih berada
di sini, tapi di bawah kan masih mengintai si pelinteng, masa
Kongcu takut!"
"Wah, caramu bicara makin lama makin menarik juga," ujar Ithiong
dengan tertawa.
Beng-ay tertawa malu dan menunduk.
"Hari sudah hampir pagi, lekas kau tidur saja, kalau tidak
engkau bisa mengantuk dalam perjalanan besok," kata Ithiong
pula, lalu ia membalik tubuh dan hendak tinggal pergi.
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara ringkik kuda
berkumandang dari dalam hutan di dipan kelenteng sana.
It-hiong sangat sayang kepada kuda Pek-sin-liong melebihi
perempuan, begitu mendengar suara ringkik kuda itu segera
diketahui tentu telah terjadi sesuatu, ia berseru khawatir dan
segera berlari keluar.
Hanya sekejap saja ia sudah berada di luar kelenteng, tanpa
pikir ia menerobos ke dalam hutan, tapi dilihatnya kuda sendiri
yang putih itu masih berada di situ dengan santainya, tidak
terlihat terjadi sesuatu atas binatang itu.
Tentu saja It-hiong merasa heran, ia mendekati Pek-sin-liong
dan membelai bulu surinya, katanya, "Tidak ada apa-apa,
kenapa meringkik?"
Kuda putih itu menunduk dan mengusapkan kepalanya di
tubuh It-hiong serta mengeluarkan suara perlahan sebagai
tanda gembira.

Meski di mulut It-hiong menegur kuda putih yang cerdik itu,
tapi di dalam hati ia yakin tentu kuda itu melihat sesuatu,
kalau tidak masakah dia bersuara?
Segera ia memeriksa keadaan sekitar hutan. Namun tidak
ditemukan sesuatu, ia menepuk lagi leher kuda itu dan
berkata, "Tidurlah yang baik, besok ...."
Belum habis ucapannya, mendadak pandangannya tertarik
oleh sesuatu.
Itulah secarik kertas putih yang terselip di pelana kuda yang
tergantung di pohon sana.
Ia mendekatinya dan mengambil kertas itu, keadaan dalam
hutan terlampau gelap, cepat ia menuju ke luar hutan, di
bawah cahaya bulan dapatlah ia membaca tulisan pada kertas
itu.
"Ada orang hendak mencuri kuda dan sudah kugertak lari."
Itulah isi surat yang ditulis dengan arang, anehnya di bagian
bawah orang itu memberi tanda tangan dengan nama "aku
bukan cucakrawa".
Kejut dan sangsi Liong It-hiong, sukar ditebaknya siapa
penulis surat itu, hanya diketahuinya orang tidak bermaksud
jahat, maka ia masuk lagi ke dalam hutan, diturunkan pelana
kuda dari dahan pohon, lalu melepaskan tambatan kuda dan
dituntun keluar hutan.
Pada saat itu dilihatnya Ni Beng-ay lagi keluar dari dalam
kelenteng dan menyongsongnya sambil bertanya, "Terjadi
apa?"
It-hiong menambat kuda di samping pintu, pelana kuda

dibawanya masuk ke dalam kelenteng, katanya, "Masuk saja,
akan kuberi tahukan di dalam ...."
Beng-ay lantas ikut masuk ke dalam.
Sesudah menaruh pelana kuda barulah It-hiong menyerahkan
kertas surat itu kepada si nona, katanya dengan tertawa,
"Coba kau baca sendiri."
Beng-ay menerima surat itu dan dibaca, dengan heran ia
berkata, "Hei, apa artinya ini?"
"Ada orang hendak mencuri kudaku, tapi dapat digertak lari
seorang lagi, orang kedua inilah yang meninggalkan surat
dengan nama pedengan 'aku bukan cucakrawa' ini," demikian
tutur It-hiong.
"Mengapa orang ini mengaku dirinya bukan cucakrawa?" tanya
Beng-ay.
"Sebab dia khawatir aku salah sangka dia sebagai si burung
cucakrawa, maka dia menandatangani surat ini dan
menyatakan sebagai bukan cucakrawa yang kumaksudkan."
Beng-ay mengembalikan surat itu, katanya dengan tertawa.
"Tampaknya tidak salah apa yang kukatakan tadi, yaitu
Kongcu tidak pernah takut kepada burung cucakrawa itu,
sebab ada seorang tukang pelinteng yang sedang
mengintainya."
It-hiong duduk kembali di tempat semula, katanya, "Ya,
sungguh aneh, tak tersangka olehku ada orang diam-diam
melindungi aku ...."
Setelah berpikir sejenak, lalu katanya pula, "Kupikir orang
yang mengaku bukan cucakrawa ini pasti tidak bermaksud

mengincar peti hitam ini, kalau tidak, tentu dia takkan
mengusir si pencuri kuda bagiku, betul tidak?"
"Ya," Beng-ay mengangguk.
"Tapi mengapa dia membela diriku?" kata It-hiong pula.
"Tentu karena dia orang baik," ujar Beng-ay.
"Sungguh luar biasa, malam ini orang baik dan orang jahat
telah muncul seluruhnya di tempat ini, apakah tidak terlampau
aneh?"
"Bisa jadi dia cuma kebetulan saja lewat di sini," kata si nona.
"Tidak, jika dia mengaku bukan si cucakrawa, ini menandakan
dia telah mendengar percakapan kita, ini berarti sudah cukup
lama dia sembunyi di sini."
"Jika begitu, orang yang melukai Sun Thian-tek dengan
senjata rahasia itu sangat mungkin juga dia."
"Ya, mungkin dia, tapi mungkin juga bukan, jika tidak ada
seekor cucakrawa, buat apa dia membela diri dan menyatakan
dia bukan cucakrawa?"
"Atau si pencuri kuda itulah si cucakrawanya?"
Tergerak hati It-hiong, katanya, "Betul, sebabnya si pencuri itu
mengincar kudaku, tujuannya mungkin bukan pada kudanya
melainkan cuma ingin merintangi perjalananku saja."
"Tanpa kuda apakah engkau tak dapat melanjutkan
perjalananmu?"
"Ya, tidak bisa," jawab It-hiong. "Tanpa kudaku itu tentu aku

tidak dapat menempuh perjalanan dengan cepat. Padahal
kudaku itu sanggup berlari delapan ratus li sehari, ini akan
merupakan problem memusingkan kepala si pengincar peti itu,
maka dia berusaha mencuri dulu kudaku agar aku tidak
mampu menempuh perjalanan dengan cepat."
"Uraianmu memang tepat," Beng-ay mengangguk setuju.
It-hiong meraba dagu, katanya pula, "Tapi si 'bukan
cucakrawa' ini sesungguhnya siapa? Mengapa semua orang
ingin merampas petiku, hanya dia saja yang justru
membantuku mengenyahkan mereka?"
Ni Beng-ay tidak menanggapi lagi.
It-hiong mengambil kertas surat putih itu dan diamat-amati
sekian lama, katanya kemudian, "Kertas surat ini sangat
indah, orang persilatan biasa tidak nanti membawa kertas
surat semacam ini ...."
Ia coba mendekatkan kertas surat itu ke hidung dan
diendusnya, lalu berkata pula, "Ehm, tidak ada bau harum,
agaknya bukan barang milik orang perempuan."
"Apakah kertas surat milik orang perempuan pasti membawa
bau harum?" tanya Beng-ay dengan tersenyum.
It-hiong mengangguk, "Ya, orang perempuan umumnya
mempunyai semacam bau harum badan, juga suka
menggunakan barang sebangsa pupur dan sebagainya, jika
kertas surat ini terbawa oleh orang perempuan tentu akan
terlekat bau harum semacam itu."
"Kulihat gaya tulisannya juga bukan tulisan tangan orang
perempuan," kata Beng-ay.

"Ini pun tidak pasti, ada tulisan sementara orang perempuan
justru bergaya tulisan orang lelaki."
"Aha, betul, terpikir olehku akan suatu tanda tanya," seru
Beng-ay mendadak.
"Urusan apa?" tanya It-hiong.
"Tadi waktu kau dengar ringkik kudamu, jelas waktu itulah si
maling mencuri kudamu, betul tidak?" tanya Beng-ay.
"Betul," sahut It-hiong.
"Anehlah jika begitu," kata si nona.
"Aneh apa?" tanya It-hiong.
"Ketika kau dengar ringkik kuda dan memburu ke dalam
hutan, semua itu terjadi dalam sekejap saja, kenapa dia
sempat meninggalkan kertas putih ini?"
It-hiong tampak melenggong, katanya, "Ehm, benar juga, jika
aku tentu juga tidak keburu meninggalkan surat ini .... Akan
tetapi kalau dibilang pada hakikatnya tidak ada maling kuda,
untuk apa pula dia bergurau seperti ini?"
"Ya, aku pun berpendapat demikian," kata Beng-ay.
Kembali It-hiong meraba dagu, tiba-tiba ia tertawa dan
berkata pula, "Aha, ingatlah aku!"
"Oo, ingat apa?" tanya Beng-ay.
"Bukanlah bergurau orang ini meninggalkan surat untukku,
sebab memang benar-benar ada orang hendak mencuri kuda
dan kena digertaknya lari," ujar It-hiong sambil menunjuk

surat itu.
"Tapi cara bagaimana dia sempat menulis surat ini?" tanya
Beng-ay.
"Surat ini tentu disiapkan sebelumnya," kata It-hiong. "Ketika
diketahui di dalam hutan ada orang hendak mencuri kuda,
lebih dulu ia lantas menulis surat ini, habis itu barulah ia
tampil untuk mengusir maling kuda ini. Analisaku ini tentu
masuk di akal bukan?"
"Ehm, betul, jika begitu akulah yang terlampau sangsi," kata
Beng-ay dengan tertawa.
"Tidak, engkau dapat memikirkan hal ini betapa pun hal ini
menandakan engkau adalah nona yang sangat cerdik," ucap
It-hiong dengan tertawa.
Dengan kikuk Beng-ay melototinya sekejap, omelnya,
"Kuharap engkau jangan berolok-olok."
It-hiong angkat pundak, katanya, "Aku tidak berolok-olok,
engkau memang benar sangat pintar, jauh lebih pintar
daripada siapa pun."
"Jika kau omong lagi, tentu takkan kugubris dirimu," mulut
Beng-ay tampak menjengkit.
"Haha, baiklah boleh kau kembali ke kamarmu, esok pagi bila
mau berangkat akan kupanggil," kata It-hiong dengan
tertawa.
"Tidak, aku mau duduk saja di sini," kata si nona.
"Engkau tidak lelah?"

"Tidak."
"Tapi dalam perjalanan janganlah engkau mengantuk."
"Pasti tidak."
"Masa engkau lupa pada peringatan Miau-lolo bahwa bila
berada bersama orang asing, setiap saat ada kemungkinan
akan tertimpa malapetaka," tanya It-hiong dengan tertawa.
"Jangan percaya kepada ocehannya, kulihat engkau seorang
yang baik hati," kata Beng-ay.
"Aku mungkin tidak terlalu jahat, tapi ... maaf bila aku
berkelakar, sungguh aku khawatir engkau inilah si cucakrawa,"
ucap It-hiong dengan tersenyum.
Perlahan Beng-ay menghela napas, "Jika aku cucakrawa,
nasibku hari ini tentu tidak runyam seperti ini."
It-hiong tertawa dan tidak bicara lagi, ia melipat kedua
kakinya dan memejamkan mata untuk tidur.
Tiba-tiba Beng-ay menghela napas, ucapnya dengan rawan,
"Jika engkau masih menaruh curiga padaku, biarlah aku pergi
saja sendiri."
"Ah, aku cuma bergurau saja, jangan kau anggap sungguhan,"
ucap It-hiong dengan mata tetap terpejam.
"Tapi aku ... aku takut ...." kata Beng-ay seperti mau
menangis.
"Takut apa?" tanya It-hiong.
"Jangan-jangan setiba di Wanpeng tak dapat menemukan

pamanku, jika begitu tentu susah aku," kata Beng-ay.
"Jangan khawatir, pasti akan kubantu."
"Jika benar paman tidak kutemukan, coba, lantas bagaimana?"
"Tidak perlu pikirkan hal ini, bila benar tidak bertemu, engkau
kan masih dapat pulang ke tempat ayah tirimu sana."
"Tidak, mati pun aku tidak mau pulang ke sana," ucap Bengay
dengan tegas.
"Jika begitu, setiba di Wanpeng nanti, apa kehendakmu tentu
akan kubantu sepenuhnya. Nah, sekarang jangan bicara lagi,
aku ingin mengaso dulu."
"Fajar sudah menyingsing, masa engkau masih mau tidur?"
kata si nona.
Waktu It-hiong membuka mata dan memandang keluar, benar
juga dilihatnya hari sudah remang-remang, serunya, "Hah, tak
tersangka semalam sudah lalu secepat ini."
Sambil bicara, terpaksa ia berdiri.
Beng-ay juga ikut berdiri dan bertanya, "Berangkat sekarang
juga?"
It-hiong mengangguk, "Ya, setelah kita mohon diri kepada
kakek penjaga itu segera berangkat."
Selagi bicara, tertampak si kakek sambil mengucek mata yang
masih sepat melangkah masuk ruangan pendopo, katanya,
"Wah, sepagi ini kalian sudah mau berangkat?"
"Pagi amat Lotiang sudah bangun," sapa It-hiong.

"Pada hakikatnya aku tidak dapat tidur lagi, kedatangan
beberapa orang itu semalam telah membuatku tak dapat
pulas," tutur si kakek.
"Kami baru mau mohon diri kepada Lotiang, sekarang sudah
pagi, kami hendak berangkat segera," kata It-hiong.
"Kenapa terburu-buru, biarkan kusiapkan sarapan dulu, habis
makan baru berangkat," ujar si kakek.
"Terima kasih, kukira Lotiang tidak perlu repot, tidak jauh lagi
tentu ada kota, biarlah kami makan di sana saja," jawab Ithiong
sambil mengeluarkan dua-tiga tahil perak dan dijejalkan
ke tangan si kakek, katanya pula dengan tertawa, "Semalam
telah mengganggu, sedikit uang ini harap dianggap sebagai
uang dupa dan minyak untuk Sian-li."
"Ah, jangan, tidak usah ..." si kakek berusaha menolak.
Tapi It-hiong berkeras menyuruhnya menerima, "Jangan
sungkan, semalam kan sudah kuucapkan nazar di depan Sianli,
bilamana kelak benar terkabul harapanku, tentu aku akan
datang lagi untuk membayar kaul."
Si kakek melirik Beng-ay sekejap, lalu bergelak tertawa,
"Haha, harapanmu pasti terkabul, pasti!"
"Baiklah, kami mohon diri," ucap It-hiong sambil memberi
hormat.
Si kakek membalas hormat dan mengucapkan selamat jalan
kepada kedua muda-mudi itu.
Beng-ay juga mengucapkan terima kasih kepada si kakek, lalu
ikut It-hiong meninggalkan kelenteng itu.

Setelah memasang pelana kuda, It-hiong berkata kepada
Beng-ay, "Silakan naik nona Ni!"
Beng-ay melengak, "Kau suruh aku menunggang kuda?"
"Habis, apakah engkau diharuskan berjalan kaki mengintil di
belakang kudaku?" jawab It-hiong.
Beng-ay memandang kuda putih itu sekejap, dengan takuttakut
ia berkata, "Tapi ... tapi aku tidak ... tidak dapat
menunggang kuda."
"Takkan jatuh, jangan khawatir," kata It-hiong.
"Kuda ini jinak tidak?" tanya si nona dengan ragu.
"Sangat jinak," jawab It-hiong. "Bila kusuruh dia berhenti, dia
pasti tak berani berjalan selangkah lebih banyak."
"Jika kunaik kuda, lantas bagaimana dengan Kongcu sendiri?"
"Tidak apa, aku berjalan kaki," ujar It-hiong.
"Wah kan tidak enak," kaca Beng-ay.
"Jika engkau merasa tidak enak hati, boleh kau cari akal uruk
membalas kebaikanku, aku ini memang suka menerima balas
budi dari orang perempuan," kata It-hiong dengan tertawa.
Kembali Beng-ay melototinya sekejap, lalu ia memanjat ke
atas pelana, dia seperti takut terbanting jatuh, maka kedua
tangan memegang erat pada pangkal pelana yang agak
menegak itu, tanyanya, "Apakah begini caranya?"
It-hiong membetulkan posisi duduk si nona, lalu memberi

salam kepada si kakek penjaga kelenteng dan berangkat
dengan menuntun kuda.
Sambil berjalan timbul pikirannya yang serbarunyam, ia
membatin, "Sekarang aku dibebani dua persoalan, yang satu,
adalah peti hitam ini dan yang lain ialah nona Ni. Kedua
urusan ini sangat mungkin membuat jiwaku melayang, ai,
kenapa aku selalu melakukan hal-hal yang tolol dan tidak
memberi keuntungan ini?"
Lalu teringat olehnya akan Pang Bun-hiong, tanpa terasa ia
tersenyum, pikirnya pula, "Jika dia, pasti dia tidak mau
berbuat kebodohan seperti ini, dia memang jatuh lebih cerdik
daripadaku ...."
Sambil berpikir ia sudah meninggalkan hutan di lereng gunung
dan mencapai jalan raya.
Ni Beng-ay seperti baru pertama kali menunggang kuda,
semua dia sangat tegang, tapi lambat laun dirasakan
menyenangkan juga, katanya kemudian dengan tertawa, "Oo,
tadinya kukira menunggang kuda sangat berbahaya, rupanya
juga cukup aman."
Sampai saat ini rasa curiga Liong It-hiong terhadap si nona
belum lagi lenyap, masih tetap menyangsikan si nona adalah
si "cucakrawa", kini setelah mendengar ucapannya, It-hiong
bermaksud mengujinya, dengan tertawa ia lantas berkata,
"Tapi hendaknya engkau pun jangan terlalu meremehkannya."
"Maksudmu?" tanya Beng-ay.
"Soalnya kuda ini kutuntun dan berjalan perlahan, dengan
sendirinya engkau merasa aman, tapi kita takkan selalu
berjalan lambat begini, kita perlu juga berjalan lebih cepat."

"Cepatan sedikit juga boleh, cuma jangan terlampau cepat,"
ujar si nona.
Mendadak Liong It-hiong membentak sekali, kuda ditariknya
terus dibawa lari dengan cepat, seketika kuda putih itu
membedal secepat terbang.
Keruan Beng-ay menjerit kaget, teriaknya, "Haya, jangan,
terlalu cepat!"
Dia kelihatan bergoyang di atas pelana, seperti hendak
terperosot.
It-hiong menoleh dan memandangnya sekejap, serunya
dengan tertawa, "Ini pun belum terhitung cepat, asalkan
engkau berpegangan erat tentu takkan terbanting jatuh."
Sembari bicara ia tetap berlari cepat ke depan.
Ia tahu seorang yang baru pertama kali menunggang kuda,
pada waktu kuda membedal secara mendadak, kebanyakan
tentu akan jatuh terbanting, terlebih seorang nona lemah,
jelas pasti akan terbanting. Sebab itulah sekarang ia pun ingin
tahu apakah Ni Beng-ay akan terlempar jatuh atau tidak.
Kalau tidak terlempar, maka sangat mungkin dia adalah si
"cucakrawa" yang misterius itu. Bila terbanting jatuh, maka
sangat mungkin pula dia bukanlah si "cucakrawa".
"Eh, tahan, terlalu cepat!" jerit Beng-ay dengan tubuh
bergontai ke kanan dan ke kiri.
Namun It-hiong tidak menghiraukannya, sebaliknya tambah
cepat larinya dan dengan sendirinya kuda itu ikut lari terlebih
cepat.
"Auuhh!" begitu terdengar suara jeritan, segera terdengar pula

suara "bluk".
Rupanya nona itu benar-benar terbanting jatuh.
Waktu It-hiong berpaling, dilihatnya si nona sudah
menggeletak telentang di tepi jalan, cepat ia berteriak
menghentikan kuda putih itu, lalu memburu ke belakang untuk
membangunkan si nona, serunya, "He, nona Ni, engkau
terluka?"
Wajah Beng-ay tampak pucat, mata terpejam dan tidak
bersuara, entah terbanting semaput atau pingsan ketakutan.
It-hiong coba meraba belakang kepalanya, ternyata tidak
terluka, diduganya nona itu pingsan karena ketakutan. Segera
dipondongnya dan mencemplak ke atas kuda serta
melanjutkan perjalanan.
Sekarang rasa curiga It-hiong sudah hilang sebagian besar,
dapat dipastikan si nona bukanlah si "cucakrawa", maka
timbul juga rasa kasihannya terhadap seorang anak
perempuan, dirangkulnya erat tubuh Beng-ay.
Sejenak kemudian, perlahan nona itu siuman. Ketika merasa
dirinya dirangkul oleh It-hiong, Beng-ay sangat malu, serunya,
"Hei, lekas ... lekas lepaskan aku!"
"Tidak, biarkan kurangkulmu, akan lebih aman," kata It-hiong.
"Biarkan kuturun!" seru Beng-ay pula.
Tapi It-hiong menjawab dengan lebih tegas, "Tidak, kecuali
engkau sanggup meronta lepas dari rangkulanku, kalau tidak
biarlah kita melanjutkan perjalanan cara begini."
Setelah meronta sejenak dan tetap sukar terlepas dari

rangkulan tangan It-hiong yang kuat, Beng-ay lantas
mencucurkan air mata, ratapnya, "O, baru sekarang kutahu
engkau ternyata juga bukan orang baik-baik."
"Aku memang bukan orang baik, bukankah kemarin sudah
kuberi tahukan padamu?" jawab It-hiong.
"Oo, kubenci padamu!" seru Beng-ay sambil menangis.
"Eh, kenapa jadi begini?" tanya It-hiong dengan tertawa.
"Semalam di kelenteng itu bukankah kau berani menggelendot
di sampingku? Kenapa sekarang merasa keberatan
kurangkul?"
"Tadi engkau sengaja membuatku terlempar dari kuda,
kutahu," kata Beng-ay.
"Betul, aku memang sengaja," jawab It-hiong.
"Kenapa engkau berbuat begitu, apa maksudmu?" tanya si
nona dengan marah-marah. "Kau tahu aku tidak pernah
menunggang kuda, mengapa sengaja kau bikin aku jatuh
terbanting?"
Perlahan It-hiong menjawab, "Sebab aku ingin tahu
sesungguhnya engkau seorang nona baik atau si cucakrawa
yang kucurigai itu."
"Lepaskan aku," teriak Beng-ay mendadak. "Engkau ini suka
curiga, aku tidak mau lagi bersamamu."
"Sekarang engkau tidak dapat pergi lagi," ujar It-hiong dengan
tertawa.
Kejut dan gusar Beng-ay, "Memangnya kau mau apa?"

"Membawamu ke Wanpeng dan menyerahkanmu kepada
pamanmu itu." kata It-hiong.
Si nona melenggong, "Engkau tidak ... tidak akan
mengganggu diriku?"
"Bisa jadi akan kuganggu dirimu, tapi terbatas, serupa ini ...."
bicara sampai di sini mendadak ia menunduk, muka si nona
diciumnya sekali.
Seketika Beng-ay malu dan gusar, tangan bergerak, "plak", Ithiong
digamparnya dengan keras, dampratnya, "Kurang ajar!"
It-hiong tidak marah, ia tetap melarikan kudanya dengan
tersenyum.
Sesudah memukul, hati Beng-ay menjadi takut malah,
khawatir kalau anak muda itu menjadi marah dan melakukan
kekerasan terhadapnya. Tapi ketika dilihatnya It-hiong tidak
menampilkan marah sama sekali, hal ini terasa di luar dugaan,
ia pandang anak muda itu dengan termenung.
Di tengah pandangannya yang termenung itu, lambat laun
dapat dilihatnya Liong It-hiong bukanlah manusia jahat
sebagaimana dibayangkannya. Malahan dari sinar mata anak
muda itu dapat dilihatnya mencorong semacam semangat
kejantanan yang terhormat, dengan cepat rasa sangsinya itu
buyar, tanpa terasa ia menjulurkan tangan untuk meraba pipi
It-hiong yang digamparnya tadi, ucapnya dengan menyesal,
"Sakit tidak?"
"Lumayan," sahut It-hiong dengan tertawa.
"Maaf, aku ... aku ...."
"Sudahlah, jangan bicara tentang ini lagi," kata It-hiong.

"Sekarang boleh kau pejamkan matamu, anggaplah seperti
tidur di ranjang, tidurlah yang nyenyak."
"Kalau ... kalau dilihat orang lalu, kan malu," ucap Beng-ay
dengan kikuk.
"Sungguh bodoh, anggap saja tidur di ranjang, masa orang
lalu dapat melihatmu?" ujar It-hiong dengan tertawa.
Beng-ay tersenyum malu dan membenamkan kepalanya di
pangkuan It-hiong.
Selang sejenak, tiba-tiba ia angkat kepalanya lagi dan berkata,
"Wah, tidak bisa, aku tidak dapat pulas."
"Jika aku, tentu aku dapat pulas," kata It-hiong dengan
tertawa.
Beng-ay memandangnya dengan penuh arti, tanyanya lirih,
"Beri tahukan padaku, di mana tempat tinggalmu?"
"Aku tidak punya rumah," jawab It-hiong.
"Masa engkau tidak punya orang tua?"
"Punya, tapi semuanya sudah meninggal."
"Jika begitu, siapa yang membesarkanmu?"
"Guruku."
"Siapa gurumu?"
"Seorang tua yang tidak suka memperkenalkan namanya. Saat
ini dia menjadi guru sekolah di suatu desa."

"Mengapa dia tidak mau mengatakan namanya?" tanya pula si
nona.
"Khawatir mendatangkan kesulitan, ia tidak suka bilamana
orang mengetahui beliau menguasai ilmu tinggi, ia lebih suka
hidup secara tenang dan damai."
"Jika begitu, mengapa dia mau mengajarkan ilmu silatnya
kepadamu?" tanya Beng-ay.
"Aku sendiri tidak tahu, bisa jadi beliau cuma tidak suka
menonjolkan diri di dunia persilatan, jadi bukan lantaran tidak
suka kepada ilmu silat."
"Apa kerjamu selama ini?"
"Sibuk melulu!"
"Oo?!" Beng-ay tidak mengerti.
"Soalnya sepanjang hari, setahun penuh aku hanya
berkeluyuran kian kemari, bila melihat sesuatu kejadian yang
tidak pantas lantas ikut campur, terkadang juga bekerja buat
orang lain, melakukan sesuatu yang kusukai."
"Jadi engkau tidak mempunyai pekerjaan tetap, lalu cara
bagaimana engkau mempunyai biaya hidup?" tanya Beng-ay.
"Itu kan mudah," kata It-hiong. "Bila aku kehabisan uang,
dapat kuminta pada kenalan, bila perlu hitam makan hitam,
kucari tahu di mana ada penjahat yang baru berhasil
mendapat rezeki, lalu kudatangi mereka dan bilang lagi bokek,
tentu mereka akan memberi bagian padaku."
"Tindakan ini kurang baik," ujar Beng-ay.

"Bisa jadi memang kurang baik, tapi duit yang mereka rampas
itu toh pasti akan dihamburkan, bila kubantu mereka
membuang sedikit kan tidak salah bukan?"
Beng-ay terdiam sejenak, tiba-tiba ia tertawa malu, katanya,
"Ingin katanya padamu, kau bicara dengan kakek penjaga
kelenteng itu tentang kesaktian Sian-li segala, katanya kelak
engkau akan membayar kaul, sesungguhnya apa yang kalian
bicarakan itu?"
"Haha," It-hiong tergelak. "Begini urusannya, semalam waktu
aku memondok di kelenteng itu, si kakek penjaga sangat suka
mengobrol, dia tanya aku sudah berkeluarga atau belum,
kujawab belum, lalu dia menganjurkan aku memohon berkah
kepada Sian-li agar selekasnya aku mendapatkan istri yang
cantik, dia bilang Sian-li mahasakti, setiap permohonan pasti
terkabul."
"Dan engkau benar telah memohonnya?" tanya Beng-ay.
"Ya, aku berdoa dan mohon diberkahi mendapatkan seorang
istri secantik bidadari. Siapa tahu, baru habis aku
sembahyang, segera engkau muncul. Coba, kan sangat aneh."
"Memangnya kau sangka kedatanganku untuk memenuhi
doamu kepada Sian-li?" tanya Beng-ay dengan tersenyum
malu.
"Aku pun tidak tahu," jawab It-hiong. "Kalau menurut
pendapatmu bagaimana?"
Muka Beng-ay menjadi merah, katanya, "Aku bukan nona
secantik bidadari, aku justru ...."
"Dalam hal ini engkau tidak perlu rendah hati," kata It-hiong
cepat. "Engkau adalah nona yang paling cantik dan paling

menarik daripada semua nona yang pernah kulihat."
Tentu saja hati Beng-ay sangat senang, tapi di mulut ia
mengomel, "Ai, engkau ini tidak genah, aku tidak mau bicara
lagi denganmu."
It-hiong menahan lari kudanya, katanya dengan menyesal,
"Ya, mungkin aku pun tidak banyak kesempatan untuk bicara
lagi denganmu."
Si nona melengak, tanyanya cepat, "He, kenapa?"
"Coba kau lihat ke sana," kata It-hiong.
Waktu Beng-ay menengadah, seketika berubah air mukanya,
jeritnya khawatir, "Wah, jangan-jangan datang lagi perampas
petimu ini?"
Ternyata betul, beberapa tombak di depan sana berdiri
berjajar lima orang lelaki kekar, semuanya berwajah bengis
dan menakutkan.
Sekali orang memandang wajah kelima lelaki ini segera akan
diketahui mereka pasti saudara sekandung. Perawakan
mereka sama tegap dan kekar sekali, semuanya hanya
memakai kaus kutang warna hitam sehingga kelihatan dada
dan punggungnya, bahkan semuanya memegang senjata
berbentuk kapak.
Hanya dalam hal usia saja berbeda di antara mereka, yang
paling tua berumur 50-an, yang paling muda juga ada 35-an.
Bahkan yang paling menakutkan adalah lelaki yang paling tua
dan berdiri di tengah itu, kedua matanya kelihatan besar bulat
serupa keleningan, mukanya penuh daging lebih, jenggot
merah pendek, bentuknya serupa seekor harimau lapar.

Dengan sendirinya It-hiong tahu maksud kedatangan mereka,
ia menaruh Ni Beng-ay di atas pelana supaya duduk dengan
baik, lalu ia melompat turun, sapanya dengan memberi salam,
"Apabila aku tidak salah lihat, kalian tentulah Kang-pak-go-hou
(kelima harimau dari utara sungai) yang termasyhur di dunia
persilatan, kelima Li bersaudara adanya?!"
Dia sengaja memperkeras kata "termasyhur" sehingga kelima
lelaki tegap yang berwajah kriminil itu sama menampilkan rasa
senang. Tampaknya sikap Liong It-hiong yang merendah diri
dan menyanjung puji itu sangat mencocoki selera mereka.
Maka lelaki yang paling tua dan berdiri di tengah itu lantas
berubah sikap yang angkuh itu, jawabnya dengan lantang,
"Ya, betul, kami memang Kang-pak-go-hou adanya."
Suaranya ternyata keras menggelegar dan membuat orang
gentar.
Cepat It-hiong memberi hormat lagi, "Wah, nama kalian
bersaudara sudah lama kudengar, sungguh beruntung sekali
hari ini dapat berjumpa di sini."
Lotoa atau si tertua tambah senang, ia tertawa dan berkata,
"Namamu Liong It-hiong berjuluk Liong-hiap juga, sudah lama
kami kagumi."
"Ah, mana, diriku kan mirip kunang-kunang saja, mana berani
berlomba cahaya dengan matahari atau rembulan, janganlah
Li-toako merendah hati," ujar It-hiong.
"Liong-hiap, apakah kau tahu apa maksud tujuan kedatangan
kami ini?" tanya si Lotoa dengan tertawa.
"Tentu saja tahu," It-hiong mengangguk. "Tentu yang kalian

tuju adalah peti hitam yang kubawa ini, betul tidak?"
"Haha, memang betul, dan sudikah Liong-hiap
menyerahkannya kepada kami?" tanya Lotoa pula.
"Perlu kuminta petunjuk dulu kepada Li-toako," jawab Ithiong.
"Dari mana kalian bersaudara mendapat tahu tentang
peti ini berada padaku?"
Lotoa menjawab, "Semalam, seorang kenalan ibu ...."
Sampai di sini, mendadak salah seorang saudaranya yang
mungkin si nomor tiga dan berdiri di sebelah kirinya
menjawilnya sambil berseru, "Toako, nenek Miau sudah
memberi pesan agar kita jangan bilang dia yang menghasut
kita, kenapa sekarang kau ceritakan padanya?"
Kening si Lotoa bekernyit, ia berpaling dan mengomeli
adiknya, "Tolol, kenapa engkau tidak tutup mulut saja?"
Losam atau si nomor tiga merasa penasaran, ucapnya dengan
kurang senang, "Maksudku hanya mengingatkan Toako saja,
masa salah?"
"Coba jawab," kata Lotoa dengan mendelik, "siapa yang lebih
dulu menyebut nenek Miau, aku atau kau?"
Tapi Losam tetap ngotot, "Justru lantaran kukhawatir Toako
menyebutnya, maka cepat kuperingatkan padamu."
Saking mendongkol hingga tubuh Lotoa rada gemetar,
dampratnya pula, "Setan alas, kenapa aku mempunyai adik
goblok semacam dirimu, sungguh sialan!"
"Huh, entah siapa yang sialan?!" jengek Losam tak mau kalah.

Lotoa angkat kapaknya dan membentak, "Keparat, berani kau
bicara lagi segera kupecahkan kepalamu!"
Losam merasa seperti anak yang diomeli tanpa salah,
mendadak ia menangis serupa anak kecil dan berteriak, "Wah,
biar kukatakan pada ibu, akan kulaporkan pada ibu!"
Sambil mengentak kaki segera ia membalik tubuh dan berlari
pergi, sembari lari ia pun menangis dan berteriak-teriak, "Ibu,
ibu! Toako mengancamku lagi, katanya kepalaku akan
dipecahkannya dengan kapak, tolong, Ibu! Berilah hajaran,
pada Toako!"
Muka si Toako tampak merah padam, ia berpaling dan tertawa
kikuk terhadap It-hiong, katanya, "Samteku ini memang orang
dogol, harap Liong-hiap jangan menertawainya."
It-hiong menggeleng, "Tidak, justru kulihat dia sangat pintar,
malahan dia dapat mengingatkanmu agar jangan menyebut
Miau-lolo yang menghasut kalian merecoki diriku."
Lotoa menghela napas, katanya, "Karena engkau toh sudah
tahu, biarlah aku bicara saja terus terang. Memang betul,
semalam Miau-lolo datang ke rumahku, dia dan ibuku adalah
kenalan karib, dia memberitahukan ibu bahwa Liong-hiap
membawa satu peti berisi harta benda seharga sepuluh laksa
tahil perak dan akan lalu di sini pagi ini, kami bersaudara
didorong agar mencegat dirimu. Dengan wanti-wanti beliau
berpesan agar jangan bilang dia yang menghasut kami, siapa
tahu Samteku yang dogol itu malah menyebut dia."
"Hah, engkau tertipu, Li-toako," seru It-hiong dengan tertawa.
"Tertipu bagaimana?" tanya Lotoa melengak.
It-hiong mengangkat peti yang tergantung pada pergelangan

tangannya, katanya, "Kau percaya peti ini berisi harta benda
bernilai sepuluh laksa tahil?"
"Memangnya tidak?" Lotoa menegas.
"Coba kutanya lagi, bagaimana kepandaian kalian berlima
dibandingkan Miau-lolo?" tanya It-hiong.
"Jelas dia jauh lebih tinggi daripada kami," jawab Lotoa terus
terang.
"Itu dia, kalau dikatakannya isi peti ini bernilai sebanyak itu,
kenapa dia tidak turun tangan sendiri untuk merampasnya,
tapi kesempatan mendapat rezeki besar ini malah sengaja
diberikan kepada kalian?"
Loji, saudara kedua, manggut-manggut, katanya, "Betul,
kukira pasti ada sesuatu yang tidak beres."
Tiba-tiba Losi, si keempat, menukas, "Toako, isi peti itu harta
benda atau bukan, asalkan peti itu dibuka kan lantas terjawab
seluruhnya?"
Lotoa merasa benar juga usul itu, segera ia memandang Ithiong
dan berkata, "Liong-hiap, harap engkau suka membuka
petimu itu?"
"Maaf, peti ini tidak boleh dibuka," jawab It-hiong sambil
menggeleng. "Apalagi peti ini bukanlah milikku, umpama
dapat dibuka juga takkan kuperlihatkan kepada kalian!"
Lotoa mendengus, "Hm, jika engkau tidak mau membuka peti
itu agar jelas apa isinya, hal ini menandakan isi peti memang
betul benda mestika."
It-hiong tidak mau banyak rewel dengan dia, katanya dengan

tertawa, "Apakah Li-toako bermaksud rebut dengan
kekerasan?"
"Betul!" jawab Lotoa.
"Bagus jika begitu, biarlah kutemani kalian untuk main
beberapa jurus, apabila aku bukan tandingan kalian, biarlah
peti ini diambil kalian. Cuma pada sebelum bergebrak perlu
kutanya dulu beberapa hal ...."
"Silakan tanya," ujar Lotoa.
"Kalian Kang-pak-go-hou ini semuanya lelaki sejati dan jantan
tulen, betul tidak?"
"Tentu saja betul," jawab Lotoa.
"Dan yang kalian incar adalah petinya dan bukan orangnya,
begitu bukan?"
"Betul," jawab pula Lotoa.
"Kalian juga pasti takkan mengambil peti ini dengan cara yang
rendah dan tidak tahu malu, bukan?"
"Apa artinya cara rendah dan tidak tahu malu?" Lotoa
menegas.
"Selain kalian bergebrak denganku dan mengalahkanku secara
terang-terangan, cara apa pun yang lain adalah tindakan
rendah dan memalukan."
Lotoa mengangguk, "Kami justru ingin mengalahkanmu
dengan bergebrak dan tidak ingin menggunakan cara yang
rendah dan memalukan."

"Jika betul demikian, hendaknya kanan membiarkan nona ini
lewat lebih dulu, habis itu baru kita bertanding habis-habisan,"
kata It-hiong.
Lotoa memandang Beng-ay sekejap, tanyanya, "Dia ada
hubungan apa dengan Liong-hiap?"
"Dia seorang nona yang harus dikasihani, ia hendak mencari
pamannya di kota Wanpeng, di tengah jalan kepergok
penjahat, kebetulan kulihat dan kutolong dia, maka hendak
kuantar dia ke Wanpeng."
"Baik, kami takkan membikin susah padanya," ucap Lotoa.
Habis bicara ia lantas memberi jalan kepada Ni Beng-ay.
It-hiong lantas berkata kepada nona itu, "Nah, boleh kau
berangkat lebih dulu, di depan adalah kota Koyu, boleh kau
tunggu aku di sana."
"Tidak, kalau mati biarlah kumati bersamamu," kata si nona.
It-hiong tertawa, "Hus, jangan sembarangan omong, aku
justru tidak ingin mati."
Beng-ay melirik sekejap Kang-pak-go-hou, tanyanya kepada
It-hiong, "Apakah engkau sanggup melawan mereka
berempat?"
"Jangan khawatir," It-hiong mengangguk dengan tertawa.
"Aku pasti akan menyusul ke sana dengan selamat."
"Jika mereka sudah berjanji takkan membikin susah padaku,
buat apa aku berangkat lebih dulu?"
"Nyata engkau tidak tahu urusan," ujar It-hiong. "Kebanyakan

orang pada permulaan memang suka bicara muluk-muluk dan
gagah kesatria, tapi bila mereka menderita kalah, dari malu
bisa berubah menjadi kalap, lalu segala jalan dapat
ditempuhnya. Sebab itulah mumpung mereka tidak mau
membikin susah padamu boleh lekas kau pergi dari sini."
"Engkau pasti tidak menjadi soal?" tanya Beng-ay dengan
khawatir.
"Hal ini bergantung padamu, bila kau turut kepada
perkataanku dan lekas berangkat dulu, dalam keadaan pikiran
tidak dibebani urusan lain pasti aku akan menang."
Beng-ay paham maksudnya, katanya, "Baiklah, akan kutunggu
di pinggir gerbang kota, sehari engkau tidak datang akan
kutunggu sehari, selamanya engkau tidak muncul juga akan
kutunggu selamanya."
"Tidak perlu sampai satu hari, paling banyak setengah hari
pun sudah cukup," kata It-hiong dengan tertawa. "Tapi
bilamana terjadi sesuatu atas diriku, sebaiknya engkau jangan
menunggu selamanya di situ, biarlah kudaku itu kau ambil
saja, sedikit bekal dalam ranselku itu pun kuberikan padamu
dan boleh kau berangkat sendirian ke Wanpeng."
Bicara sampai di sini, tanpa memberi kesempatan bicara lagi
kepada Ni Beng-ay segera ia tepuk pantat kuda dan dibentak,
"Kudaku sayang, ayo lekas pergi!"
Serentak kuda putih itu membedal ke depan dengan cepat.
Kuda itu tidak lari sepenuh tenaga, namun Pek-sin-liong itu
memang kuda mestika yang cerdik, ia tahu Beng-ay tidak
mahir menunggang kuda, maka sengaja tidak lari cepat.
Setelah menyaksikan Beng-ay sudah pergi jauh barulah ItKANG
ZUSI website http://cerita-silat.co.cc/
hiong berpaling dan berkata kepada Lotoa tadi, "Nah, baiklah,
sekarang kalian boleh mulai turun tangan. Cuma sebelumnya
perlu kuperingatkan kepada kalian, bilamana benar kalian
dapat mengalahkanku dan merampas peti ini, kalian masih
perlu juga hati-hati terhadap seorang lagi."
"Hati-hati terhadap siapa?" tanya Lotoa.
"Miau-lolo," jawab It-hiong.
"Memangnya dia kenapa?" Lotoa menegas dengan sangsi.
"Semalam dia dan Kim-kong Taysu, Koh-ting Tojin, Kiong-susing
Sun Thian-tek bertiga sama muncul juga dan hendak
merampas petiku ini, lantaran dia dan ketiga orang lain itu
merasa sama-sama tokoh Bu-lim terkemuka dan cukup
dihormati, mereka tidak mau saling bermusuhan hanya
lantaran berebut sebuah peti, maka mereka lantas bersepakat
mengadakan pertandingan pendahuluan, yang menang boleh
ikut dalam perebutan peti, akhirnya dia dan Kim-kong Taysu
serta Koh-ting Tojin tersisihkan, sebab itulah dia malu untuk
mengincar lagi petiku ini ...."
Dengan sendirinya Lotoa pernah juga mendengar nama Kimkong
Taysu dan Koh-ting Tojin yang disegani itu, ia merasa
Kungfu dirinya ditambah saudaranya masih selisih jauh bila
dibandingkan tokoh-tokoh itu, sedangkan Liong It-hiong yang
dihadapinya sekarang justru mampu lolos dengan selamat dari
cegatan jago kuat sebanyak itu, maka diam-diam ia terkejut
akan kelihaian anak muda ini.
Rupanya cerita Liong It-hiong itu pun menarik baginya, ia
coba tanya lagi, "Dan siapa akhirnya yang keluar sebagai
pemenang, apakah Kiong-su-sing Sun Thian-tek?"
It-hiong mengangguk, "Betul."

Lotoa tampak kejut dan ragu, tanyanya pula, "Dan dia tidak
jadi merampas petimu ini?"
"Memangnya kau kira dia begitu murah hati terhadapku?"
sahut It-hiong dengan tertawa.
"O, jadi dia telah turun tangan hendak merampasnya?" desak
Lotoa.
"Ya, dengan sendirinya dia telah turun tangan padaku," kata
It-hiong.
"Tapi engkau dapat menggempurnya lagi?" tanya Lotoa
dengan terbelalak.
Karena It-hiong sudah berjanji kepada Sun Thian-tek takkan
menyiarkan apa yang terjadi sesungguhnya, maka dia sengaja
melantur, katanya, "Tidak, orang semacam diriku mana
mampu mengalahkan Kiong-su-sing Sun Thian-tek yang
termasyhur itu? Soalnya dia sendiri yang lengah sehingga aku
berhasil meloloskan diri."
Keterangan ini membuat Lotoa merasa lega, sebab ia pikir jika
Liong It-hiong belum lagi mengalahkan Sun Thian-tek, maka
mereka bersaudara barulah ada harapan mengalahkan anak
muda ini. Segera ia tanya lagi, "Dan apa maksudmu menyuruh
kami hati-hati terhadap Miau-lolo?"
"Sebab dia tidak bebas lagi merampas peti ini langsung dariku,
maka kalian dihasut agar mencegat diriku, sudah tentu telah
direncanakan bilamana kalian berhasil mendapatkan peti ini
dariku, segera juga ia akan merampasnya dari kalian."
"Hm, apa betul beginilah tujuannya?" jengek Lotoa dengan air
muka berubah.

"Menurut dugaanku, delapan bagian pasti demikian."
Lotoa menjadi gusar, teriaknya, "Nenek keparat, kiranya dia
tidak berniat baik!"
Mendadak Loji ikut bicara, "Jangan Toako terkena tipu
mengadu domba bocah ini, Miau-lolo adalah kawan baik ibu
selama puluhan tahun, mana dia sampai hati merampas
barang kami."
Lotoa itu agaknya juga orang yang tidak punya pendirian,
ucapan saudaranya itu dirasakan beralasan juga, segera ia
pasang kuda-kuda dan berseru, "Liong-hiap, segera kami akan
turun tangan merampas petimu, jika kami mengalahkanmu
harus kau serahkan peti itu."
"Baik, tapi bagaimana bila beruntung aku yang menang?"
tanya It-hiong.
"Jika begitu segera kami memberi jalan kepadamu," jawab
Lotoa.
"Bagus, setuju?"
"Setuju!"
It-hiong lantas melolos Siau-hi-jong dan siap tempur, katanya,
"Silakan mulai."
Lotoa mengedipi ketiga saudaranya, serentak keempat orang
mengepung It-hiong di tengah, lalu mendesak maju dan siap
serang.
Sudah sering juga It-hiong mendengar nama "Kang-pak-gohou,"
namun dia tidak memandang sebelah mata kepada

mereka, dengan pedang terhunus ia berdiri tenang dan
menunggu serangan mereka dengan tersenyum.
Meski di antara kelima saudara itu sudah pergi seorang,
namun cara mereka main kerubut terhadap musuh sudah
sangat berpengalaman, dari empat jurusan mereka mendesak
maju, langkahnya teratur serupa berbaris.
Namun It-hiong tidak ingin mendahului menyerang, ia
bermaksud menghadapi lawan dengan ketenangan, ini
memang kebiasaannya, sebelum musuh menyerang dia tidak
mau menyerang. Sekali musuh bergerak segera ia mendahului
menyerang.
Ketika Kang-pak-go-hou sudah mendekat, kira-kira satu
tombak di sekitar It-hiong, lalu berhenti terus mulai mengitar.
Empat orang memakai delapan kapak besar dan gemilapan di
bawah sinar matahari, seram juga tampaknya.
Sekonyong-konyong Lotoa mendahului melancarkan serangan,
ia meraung sekali, kapak sebelah kiri membacok pundak
kanan It-hiong.
Serangan ini merupakan perintah mengerubut kepada
saudaranya, maka serentak Loji, Losi dan Logo sama ikut
menyerang, empat kapak mereka pun menyambar ke tubuh
It-hiong.
"Bagus!" bentak It-hiong, sekali berputar, lebih dulu ia
hindarkan kapak Lotoa, menyusul tangan kiri menyambitkan
peti hitam untuk menghantam muka Loji, menyusul pedang
pandak di tangan kanan menebas kapak Losi, berbareng kaki
kanan juga menendang pergelangan tangan kanan Logo. Tiga
jurus serangan dilancarkan sekaligus, gerakannya cepat,
gayanya indah.

Loji tidak menduga orang dapat menggunakan peti hitam itu
sebagai senjata, ketika peti itu menyambar tiba, ia terkejut,
cepat ia menarik kembali kapaknya dan mendak ke bawah
untuk menghindar.
Ketika Losi merasa gagang kapak sendiri hendak ditebas oleh
pedang pandak lawan, ia pun cepat mengangkat kapak ke
atas untuk menangkis.
"Creng", kapak beradu dengan pedang pandak, tapi mata
kapak telah tertebas sebagian oleh pedang, Siau-hi-jong
sungguh pedang mestika yang dapat memotong besi seperti
merajang sayur.
Keruan Losi melompat mundur dengan kaget, teriaknya,
"Awas, bocah ini memakai pedang mestika!"
Pada waktu dia berteriak, "blang", dengan tepat pergelangan
tangan Logo juga kena ditendang oleh It-hiong.
Logo menjerit kaget sambil melompat mundur.
Kontak pada gebrakan pertama ini boleh dikatakan Liong Ithiong
sama sekali berada di atas angin.
Kiranya Kang-pak-go-hou sebenarnya bukanlah tokoh silat
kelas tinggi, perkembangan anggota badan mereka memang
subur, namun otak mereka kerdil, sebabnya nama mereka
terkenal di dunia Kangouw adalah berkat kebesaran nama ibu
mereka.
Ibu mereka adalah satu di antara "Sam-lolo" atau tiga nenek
yang termasyhur di Bu-lim yaitu Gu-lolo, salah seorang tokoh
wanita dunia persilatan yang top pada zaman ini.

Akan tetapi ibu yang lihai itu ternyata melahirkan lima anak
yang tolol. Tubuh mereka memang gede, namun semuanya
berotak udang, mereka hanya menguasai sedikit Kungfu
kasaran saja, Kungfu yang agak tinggi sukar masuk ke dalam
otak mereka. Cuma lantaran mereka mempunyai seorang ibu
yang gemilang maka orang Kangouw sama mengalah kepada
mereka.
Lantaran pikiran seperti itu juga, maka cara bertempur Liong
It-hiong juga pakai ukuran, kalau benar dia mau melabrak
mereka, cukup sekali dua gebrak saja mereka sudah
dibereskannya.
Kini demi melihat si buncit kena ditendang Liong It-hiong,
Lotoa khawatir kalau lawan menambahi serangan maut lagi
kepada Logo, cepat ia membentak dan memburu maju, kedua
kapak diangkat terus membacok sekuatnya.
Berbareng itu Loji, dan Losi juga ikut menyerang, yang satu
dari kanan yang lain dari kiri, kapak terus menghujani lawan.
Namun dengan gerakan yang lincah dan cepat dapatlah Ithiong
menghindarkan setiap serangan mereka, mendadak ia
mendak ke bawah, pedang pandak terus berputar, sekali
berkelebat, terdengarlah suara mendering, menyusul ia lantas
melompat mundur, serunya dengan tertawa. "Nah, Li-toako,
sudah cukup bukan?"
Keempat Li bersaudara itu saling pandang dengan melongo.
Kiranya kedelapan kapak mereka kini sama tersisa setengah
gagang saja yang terpegang di tangan, semuanya sudah
tertebas putus dan jatuh ke lantai.
Sampai sekian lama, Lotoa melenggong, kemudian barulah ia
menggerutu, "Keparat, ini keberapa kali?"

"Kesepuluh kalau tidak salah!" ucap Loji.
Dengan gemas Lotoa melemparkan gagang kapak ke tanah,
teriaknya, "Sekali ini kita harus ganti gagang kapak sendiri,
supaya tidak ditertawai Loh-lotia (bapak Loh)."
"Betul," tukas Logo. "Setiap kali kita minta dia mengganti
gagang kapak kita selalu kita diolok-olok olehnya."
"Sekali ini kita ganti saja dengan gagang besi agar tidak selalu
ditebas putus orang," ujar Losi.
"Betul, setuju!" Logo mengangguk-angguk.
Lotoa menghela napas, keluhnya, "Wah, sebentar di rumah
tentu akan dimaki ibu lagi ...."
"Memang," sambung Logo. "Selama sekian tahun kita
bersaudara tidak pernah menang berkelahi, pantas juga ibu
lalu marah."
Kembali Lotoa menghela napas, lalu memberi tanda kepada
Liong It-hiong, katanya, "Liong-hiap, bolehlah engkau berlalu."
Sebabnya Kang-pak-go-hou dapat hidup sampai sekarang juga
terletak pada hal ini, yaitu berani mengaku kalah.
It-hiong memberi hormat, katanya, "Terima kasih, cuma aku
mungkin tidak dapat berangkat sekarang."
"Memangnya kenapa?" tanya Lotoa.
"Ibumu datang!" jawab It-hiong dengan tertawa.
Benar juga, Gu-lolo telah muncul.

Sebabnya dia disebut "Gu-lolo" atau si nenek kerbau mungkin
bukan lantaran dia she Gu melainkan karena tubuhnya segede
kerbau.
Kelihatan usianya sudah di atas tujuh puluhan, rambutnya
sudah ubanan, tapi tinggi badannya lebih enam kaki, seluruh
badan daging belaka. Yang lucu adalah tongkat yang
dipegangnya adalah sebatang tongkat bambu yang kecil
sehingga tidak berimbang dengan perawakannya.
Dia muncul dari dalam hutan di tepi jalan sana, setiap satu
langkah bumi seakan-akan berguncang, sungguh sangat
menakutkan perbawanya.
Losam yang tadi menangis dan berlari pulang itu sekarang
mengintil di belakang sang ibunda, dia seperti dapat menduga
Lotoa pasti akan mendapat ganjaran, maka dia kelihatan
senang dan setengah mengejek.
Benar juga, sesudah dekat, Gu-lolo tidak lantas berurusan
dengan Liong It-hiong, tapi langsung melototi putranya yang
tertua itu dengan sikap garang seolah-olah hendak
menelannya bulat-bulat.
Seketika Lotoa ketakutan serupa tikus ketemu kucing, dengan
sikap gugup ia menunduk dan membungkuk tubuh.
Setelah mendeliki Lotoa sejenak, mendadak ia membentak
bengis, "Angkat kepalamu!"
Lotoa tampak gemetar, perlahan ia angkat kepala, ucapnya
dengan gelagapan, "Bu, dengarkan dulu penjelasanku ...."
"Penjelasan apa?" hardik Gu-lolo dengan mendelik.
"Menjelaskan bahwa kau pintar memukuli adik sendiri, begitu

bukan? Sialan, bapakmu tidak becus, hasilnya beberapa anak
seperti kalian juga tidak becus, tiap hari hanya bikin marah
orang tua saja."
Lotoa menunduk dan tidak berani bersuara lagi.
Dengan muka bengis Gu-lolo berkata pula, "Coba jawab,
kenapa kau bilang mau pecahkan kepala Losam?"
"Aku ... aku hanya ... hanya mengancamnya saja dan tidak ...
tidak sungguh-sungguh," jawab Lotoa dengan tergegap.
"Kenapa kau ancam dia? Padahal kau tahu nyalinya kecil,
mengapa kau takut-takuti dia?" desak lagi Gu-lolo.
"Dia goblok, tanpa ditanya dia menyebut Miau-lolo segala,"
tutur Lotoa.
"Bukan, tidak, dia yang omong lebih dulu, kuperingatkan dia
jangan omong, dia berbalik memaki diriku dan mengancam
hendak memecahkan kepalaku dan hendak mencencang
tubuhku berkeping-keping," teriak Losam.
"Kentut!" teriak Lotoa dengan gusar. "Bilakah pernah kubilang
mau mencencang tubuhmu? Jika berani sembarang omong
lagi bisa ku ...."
"Kau mau apakan dia?" bentak Gu-lolo.
Seketika Lotoa tutup mulut dan menunduk.
"Hm, di depanku saja berani kau takuti dia, maka bagaimana
jadinya bila di belakangku tentu dapat dibayangkan," jengek
Gu-lolo. "Ayo, berlutut!"
Lotoa tidak berani membangkang, dengan penasaran ia

bertekuk lutut.
"Kau tidak berani kepada orang luar, tetapi berani memukuli
adik sendiri, kau pantas dihajar atau tidak?" tanya pula Gulolo.
"Pan ... pantas dihajar," jawab Lotoa.
"Jika begitu lekas julurkan tanganmu!"
Perlahan Lotoa lantas menjulurkan kedua tangannya.
Gu-lolo mengangkat tongkat bambunya dan memukul telapak
tangannya tiga kali, lalu membentak, "Nah, lain kali masih
berani tidak?"
"Tidak berani lagi," jawab Lotoa sambil menggosok-gosok
tangannya yang kesakitan.
"Tadi kalian menang atau kalah?" tanya Gu-lolo.
"Ka ... kalah," jawab Lotoa takut-takut.
"Apakah masih ingat peraturan yang kutetapkan tempo hari!"
"Ingat," jawab Lotoa.
"Jika begitu, julurkan lagi tanganmu," bentak Gu-lolo dengan
gusar.
Dengan takut-takut Lotoa menjulurkan lagi kedua tangannya
dan memohon, "Bu, harap engkau pukul perlahan sedikit, bila
terlalu keras, tangan anak bisa tidak berguna lagi."
"Memangnya sudah lama kau tidak berguna lagi, bilamana
berguna tentu tidak kalah setiap bertempur sehingga bikin

malu nama ibu sendiri," maki Gu-lolo.
Sambil bicara ia angkat tongkat bambu dan menyabet
sekerasnya, setiap kali menyabet selalu disertai caci maki.
Agaknya peraturannya menentukan bila kalah satu kali harus
dihajar pukul telapak tangan sembilan kali, maka sesudah
memukul sembilan kali ia lantas berhenti dan membentak,
"Lekas minggir!"
Cepat Lotoa bangun dan menyingkir dengan lesu.
Lalu Gu-lolo berkata kepada Loji, Losi dan Logo, "Nah, kalian
pun julurkan tangan."
Terpaksa ketiga saudara itu menjulurkan tangan.
Lalu tongkat bambu Gu-lolo bekerja cepat, ia pun memukul
telapak tangan mereka sembilan kali setiap orang, lalu ia
berpaling dan membentak Losam, "Kau pun sama, kenapa
tidak lekas menjulurkan tangan."
"Jangan ibu memukulku," protes Losam.
"Kenapa jangan?" bentak Gu-lolo.
"Sebab pertarungan tadi aku tidak ikut serta, mereka
berempat yang kalah, anak tidak hadir di sini," seru Losam.
"Apa betul begitu?" Gu-lolo menegas.
"Betul," kata Losam. "Bila anak ikut bertempur tadi pasti
takkan kalah."
Gu-lolo mengangguk, "Ehm, betul juga, Ngo-gu-sin-tin
(barisan sakti lima kerbau) yang kuajarkan kepada kalian tidak

ada tandingannya, bilamana tadi kau ikut pasti takkan kalah.
Baiklah, bukan salahmu, bebas dari hukuman."
Maka tertawalah Losam dengan bangga.
Lalu Gu-lolo berpaling ke arah Liong It-hiong, tegurnya
dengan dingin, "Apakah kau ini yang bernama Liong It-hiong
dengan julukan Liong-hiap segala?"
"Betul," It-hiong memberi hormat, "Sungguh beruntung hari
ini dapat berjumpa dengan Gu-lolo yang namanya termasyhur
di seluruh kolong langit ini."
"Hm, tidak perlu kau pakai cara menyanjung puji segala,
nyonya besar tidak mempan dicekoki cara begini," jawab Gulolo
dengan ketus.
"Sama sekali tidak ada maksudku menyanjung puji, sebab
engkau memang benar tokoh yang termasyhur," ujar It-hiong.
Betapa pun setiap orang suka diumpak, maka tidak urung
tertawa juga Gu-lolo, dengan ramah ia berkata pula. "Baiklah,
sekarang boleh kau tinggalkan kotak itu, mengingat engkau
masih tahu sopan santun, biarlah kuampuni jiwamu."
"Wah, maaf, tidak dapat kuberikan peti ini," sahut It-hiong.
Seketika Gu-lolo menarik muka, bentaknya, "Kenapa tidak?"
"Sebab peti ini bukan milikku," tutur It-hiong.
"Omong kosong," damprat Gu-lolo dengan gusar, "Kalau
bukan milikmu kenapa bisa berada padamu."
"Masa engkau tidak diberitahukan oleh Miau-lolo?" tanya Ithiong.

"Dia bilang petimu itu berisi benda mestika berharga sepuluh
laksa tahil perak dan hendak diantar sebagai kado ulang tahun
kepada seorang pangeran," kata si nenek. "Hm, ingin
kuperingatkan padamu, daripada susah payah kau antar peti
itu kepada pangeran apa, kan lebih baik kau berikan kepada
nyonya besar saja."
"Engkau tertipu, Gu-lolo," kata It-hiong. "Isi peti ini sama
sekali bukan benda mestika, jika cuma barang seharga
sepuluh laksa tahil tak nanti menarik perhatian tokoh kelas
tinggi sebangsa Kim-kong Taysu, Koh-ting Totiang dan
sebagainya."
Ebook oleh : Dewi KZ
Scan book oleh : BBSC
Jilid 5
"Habis apa isi peti itu?" tanya si nenek.
"Aku pun tidak tahu," ucap It-hiong sambil menggeleng. "Aku
hanya dipesan orang untuk menyampaikannya ke suatu
tempat ...."
Lalu ia menceritakan apa yang dialaminya secara singkat.
Tampaknya Gu-lolo rada tertarik, "Apakah benar
penuturanmu?"
"Seratus persen benar, masa kubohong?" jawab It-hiong
tegas.
Sinar mata si nenek tampak menampilkan rasa gusar, "Hm,
persaudaraan selama berpuluh tahun, tak tersangka dia juga
mendustai diriku."

"Pribadi Miau-lolo itu keji dan kejam, engkau justru harus
waspada terhadapnya," ujar It-hiong.
Tiba-tiba Gu-lolo tersenyum, "Cuma, kalau peti ini terusmenerus
menjadi incaran mereka, hal ini menandakan nilainya
tidak cuma sepuluh laksa tahil perak saja, bisa jadi berharga
ratusan atau ribuan laksa."
"Tidak," cepat It-hiong menyangkal. "Menurut dugaanku, isi
peti ini adalah sesuatu benda yang sangat penting dan bukan
harta pusaka."
"Peduli barang apa isi peti itu, jika mereka saling berebut,
tidak boleh tidak aku pun ikut merampas juga," kata Gu-lolo
dengan tertawa.
"Tadi putramu sudah berjanji di muka, bilamana mereka kalah
segera aku boleh pergi, Lolo sendiri adalah tokoh ternama,
masa akan merusak nama baik sendiri?"
"Nenek adalah nenek dan mereka adalah mereka, yang
berjanji akan melepaskanmu kan mereka dan bukan aku."
"Kuharap engkau suka menimbangnya lebih mendalam," kata
It-hiong. "Jika peti ini menjadi incaran orang sebanyak itu,
barang siapa memperolehnya berarti akan dijadikan sasaran
pula oleh yang lain, peti ini pasti akan mendatangkan
malapetaka bagimu."
"Tidak menjadi soal, nyonya besar selamanya bernasib mujur
dan berezeki besar, betapa hebat datangnya malapetaka juga
akan buyar, tidak perlu kau khawatirkan bagiku," kata Gu-lolo
dengan tertawa. Habis bicara, sekali melangkah maju, kontan
tongkatnya lantas menghantam.

Jangan sangka tongkat bambu itu sekecil itu, berada di tangan
si nenek berubah menjadi sangat lihai dengan tenaga yang
sukar diukur.
Liang It-hiong tidak berani meremehkan nenek ini, cepat ia
mengelak dan menangkis dengan pedang pandak.
Pedang pandak itu sanggup memotong besi serupa merajang
sayur, untuk menebas tongkat bambu sekecil itu tentu saja
sangat mudah, sebab itulah tanpa pikir ia tangkis tongkat
bambu lawan dengan maksud menebasnya hingga putus
untuk membuatnya gelar.
Tak terduga Gu-lolo tidak setolol kelima anaknya, serangannya
cepat, cara menarik kembali tongkatnya juga cepat. Begitu
melihat pedang pandak It-hiong menebas, cepat ia tarik
tongkat dan ganti dengan serangan lain, ia tutuk pinggang
anak muda itu dengan ujung tongkat.
Cepat Liong It-hiong juga ganti jurus serangan, ia putar ke
samping, berbareng pedang balas menusuk tenggorokan si
nenek.
Gu-lolo terkekeh, ia mengegos dan tongkat bambu menyabet
kaki lawan.
Cepat It-hiong melompat untuk menghindar, berbareng
pedang menebas ke bawah, kembali tongkat bambu orang
hendak dikutunginya.
Si nenek seperti sudah tahu sebelumnya, belum jurus
serangan Liong It-hiong dilancarkan dia sudah tahu langkah
lanjut anak muda itu. Keadaan demikian terjadi juga sekarang,
baru saja It-hiong melompat ke atas, segera Gu-lolo ganti
serangan pula, bukan cuma pedang It-hiong menebas tempat
kosong, bahkan tongkat bambu terus menutuk lambungnya.

Sama sekali It-hiong tidak menduga begini cepat perubahan
serangan si nenek, dalam keadaan terapung di udara tentu
sulit baginya untuk menangkis, karena kepepet, kembali ia
gunakan kotak hitam yang terantai di tangannya, kotak
digunakan untuk menimpuk kepala lawan.
Serangan ini sangat nekat, yaitu biar gugur bernama musuh,
karena merasa tidak mampu menghindari tusukan si nenek,
terpaksa It-hiong berbuat nekat.
Pada detik yang paling gawat, yaitu ketika serangan masingmasing
hampir mengenai sasarannya, sekonyong-konyong
terdengar suara "plok" sekali.
Suara ini timbul dari pantat Gu-lolo seperti tertimpuk sesuatu
benda.
Seketika nenek itu berjingkrak kesakitan sambil berteriak,
"Aduh! Keparat, siapa yang menyerang orang secara gelap?"
Karena teriakan dan berjingkrak, dengan sendirinya tutukan
tongkatnya tidak tepat mengenai sasaran melainkan cuma
mengenai pinggul It-hiong yang tidak berbahaya, sebaliknya
kotak hitam anak muda itu tidak mengenai kepala si nenek
melainkan mengenai pundaknya.
"Bluk", kontan Gu-lolo tertimpuk dan jatuh terjengkang.
It-hiong tahu ada orang diam-diam membantunya, ia sangat
girang, tanpa ayal lagi ia terus angkat langkah seribu, lari ke
depan secepat terbang.
Melihat It-hiong mau kabur, cepat Lotoa tadi melompat maju
merintanginya sambil membentak, "Jangan lari!"

Berbareng kedua tangan lantas menyodok ke depan.
It-hiong mengelak ke samping, dampratnya dengan gusar,
"Orang she Li, tadi kalian sudah kalah, apakah ucapanmu
serupa kentut belaka?!"
Muka Lotoa menjadi merah dan urung menyerang lagi
melainkan membiarkan It-hiong kabur.
Setelah berlari lari sekian jauhnya, waktu berpaling dan tidak
terlihat dikejar Gu-lolo, tahulah It-hiong nenek itu terluka tidak
ringan dan takkan menyusulnya. Ia lantas mengendurkan
larinya, sembari melanjutkan perjalanan ia membatin, "Yang
melukai nenek itu tadi entah si 'cucakrawa' atau si 'aku bukan
cucakrawa'?"
Ia merasa lebih besar kemungkinan si "aku bukan cucakrawa"
yang telah menolongnya. Namun hal ini membuatnya tidak
mengerti juga. Tak terpikir olehnya siapakah yang sudi
membantunya? Padahal setiap orang sama mengincar kotak
yang dibawanya, mengapa ada seorang sengaja membelanya
malah?
Ia tidak memikirkan lagi hal ini, sebab sekarang timbul lagi
tanda tanya yang lain, yaitu tentang Ni Beng-ay.
Nona itu baru berangkat sebentar saja, menurut perkiraan
paling jauh baru dua-tiga li saja, padahal sekarang dirinya
sudah menyusul lima-enam li jauhnya, mengapa bayangan si
nona belum lagi kelihatan.
Jangan-jangan dia lari dengan sangat cepat? Rasanya hal ini
tidak mungkin terjadi, sebab dia tidak mahir menunggang
kuda, tentu tidak berani membedal kuda dengan terlampau
cepat.

Atau mungkin dia tidak melalui jalan raya melainkan memilih
jalan kecil?
Ini pun tidak mungkin. Pek-sin-liong adalah kuda yang cerdik,
kuda ini takkan sembarangan membawa si nona ke jalan yang
tidak benar, pula nona itu juga tidak dapat mengendalikannya.
Wah, jika begitu tentu terjadi sesuatu!
Berpikir sampai di sini, It-hiong menjadi gelisah, segera ia
percepat lagi larinya, kembali dua-tiga li sudah dilaluinya dan
bayangan Ni Beng-ay tetap tidak kelihatan, hal ini
membuatnya tambah gugup dan cemas.
"Celaka, nona secantik itu, bilamana diculik oleh orang jahat,
akibatnya tentu sukar dibayangkan. Tahu begini, tidak nanti
kusuruh dia berangkat lebih dulu," demikian pikirnya dengan
khawatir.
Selagi bingung, tiba-tiba di kejauhan samping kanan sana ada
orang berteriak padanya, "Hai, Liong-hiap, harap kemari!"
Tergetar hati It-hiong, cepat ia berhenti dan memandang ke
arah suara, terlihat beberapa puluh tombak di dekat hutan
sana ada seorang sedang menggapai padanya. Karena
jaraknya agak jauh sehingga tidak tertampak jelas siapa dia,
tapi segera disadarinya Ni Beng-ay pasti telah berada dalam
cengkeraman orang itu.
Ia pikir jika kudekati dia, tentu dia akan memerasku dengan
menggunakan Ni Beng-ay sebagai alat ancaman untuk
memaksa kuserahkan kotak ini. Jika aku berlagak tidak tahu
dan tetap melanjutkan perjalanan, dari sana diam-diam aku
berputar balik untuk menolong si nona.
Pikiran itu bekerja dengan cepat, maka segera ia berlari lagi

ke depan.
"Liong It-hiong, harap datang kemari!" kembali orang tadi
berseru.
Namun It-hiong berlagak tuli, dan tetap lari ke depan.
Melihat anak muda itu tidak menggubrisnya orang itu
berteriak pula, "Liong It-hiong, jika engkau tetap tidak kemari,
segera kubunuh dulu kudamu ini!"
Mendengar ancaman ini, mau tak mau It-hiong harus menaruh
perhatian, ia tahu pihak lawan mungkin takkan segera
membunuh Ni Beng-ay, tapi untuk membunuh seekor kuda
bisa saja dilakukannya dengan segera. Dengan sendirinya ia
tidak mau kuda kesayangannya dibunuh orang, terpaksa ia
putar balik dan lari ke hutan sana.
Jarak beberapa puluh tombak itu dalam sekejap saja sudah
dicapainya, dilihatnya di depan adalah hutan yang lebat, orang
yang berteriak itu adalah seorang kakek berbaju kelabu dan
berwajah kurus tirus.
It-hiong berhenti satu tombak jauhnya di depan kakek itu,
tanyanya, "Siapa Anda, mau apa memanggilku ke sini?"
Kakek itu tertawa mengekek, katanya pula, "Coba kemari,
akan kuperlihatkan satu orang kepadamu."
Habis berkata ia terus masuk ke dalam hutan.
Usia kakek ini lebih 60-an, perawakannya sedang, namun
kelihatan kuat. Senjatanya yang tersandang di punggungnya
adalah sepasang ruyung baja bersegi banyak, dipandang dari
gerak-geriknya jelas dia seorang tokoh Bu-lim terkemuka.

It-hiong tahu orang yang hendak diperlihatkan kepadanya
tentu Ni Beng-ay adanya, maka ia hanya tersenyum dan ikut
masuk ke dalam hutan.
Tidak jauh, lebih dulu dilihatnya kuda putihnya tertambat di
batang pohon dan asyik makan rumput.
Menyusul lantas terlihat Ni Beng-ay.
Nona itu terikat pada batang pohon dan sedang menangis
sedih, melihat kedatangan It-hiong segera ia menjerit, "Oo,
lekas menolongku Liong-kongcu!"
Tapi si kakek berbaju kelabu mendahului melompat ke
samping Beng-ay, ia ancam tenggorokan si nona dengan
sebilah belati, katanya sambil terkekeh. "Hehe, Liong It-hiong,
apakah kau minta nona ini tetap hidup atau mati?"
Dengan tak acuh, It-hiong bersandar di pohon, ucapnya
dengan melirik hambar, "Numpang tanya dulu, siapa namamu
yang terhormat?"
"Maaf, aku-tidak perlu memberitahukan nama segala," jawab
si kakek dengan tertawa licik.
"Oo, jika begitu, tampaknya engkau toh mempunyai perasaan
malu juga," ujar It-hiong dengan tersenyum.
"Betul, selama hidupku memang tidak pernah berbuat rendah
seperti ini," kata si kakek. "Tapi hari ini demi mendapatkan
kotak itu, terpaksa kulakukan cara begini, kuharap engkau
dapat memakluminya."
"Jika tidak kuserahkan kotak ini lalu bagaimana?"
"Jika begitu, kukira kau tahu apa yang akan kulakukan."

"Apakah engkau mempunyai anak kunci untuk membuka
belenggu di tanganku ini?" tanya It-hiong.
"Ada," jawab si kakek.
"Miau-lolo dan lain-lain tidak punya anak kunci, sebaliknya
engkau punya, ini menandakan betapa erat hubunganmu
dengan peti ini," kata It-hiong dengan tertawa.
"Memang betul," ujar si kakek baju kelabu.
"Baiklah, coba lemparkan anak kuncimu," pintu It-hiong.
Air muka si kakek menampilkan rasa girang, katanya, "Sudah
kau putuskan akan kau serahkan kotak hitam itu kepadaku?"
"Omong kosong," semprot It-hiong sambil berkerut kening.
"Jika tidak kuberikan peti ini, untuk apa kuminta anak
kuncinya kepadamu?"
Dengan girang si kakek lantas mengeluarkan serenceng anak
kunci, katanya dengan tertawa, "Di sini ada lima buah anak
kunci, sengaja kubuat setelah mempelajari berbagai gembok,
kuyakin satu di antaranya pasti dapat membuka belenggu itu,
boleh kau cobanya satu per satu."
Segera ia melemparkan serenceng anak kunci itu.
Dengan cekatan It-hiong menangkapnya dan dipandang
sekejap, katanya dengan tertawa, "Melihat bentuknya hampir
semuanya serupa."
"Ya, semua anak kunci itu dibuat khusus untuk membuka
belenggu tangan, maka bentuknya hampir sama."

It-hiong tidak segera mencoba anak kunci itu, sambil
mengangkat serenceng anak kunci ia berkata, "Jika tidak
dapat kubuka janganlah kau salahkan diriku lho?!"
Suara si kakek berubah ketus, katanya, "Bila tidak dapat
membukanya, terpaksa harus merepotkan dirimu agar
berusaha memotong rantainya, pokoknya hari ini harus
kudapatkan kotak itu, kalau tidak takkan kubebaskan nona
ini."
"Ai, kenapa tidak kau pikirkan, bilamana dapat kupotong rantai
borgol ini, mana kumau menunggu sampai sekarang?" ujar Ithiong.
"Hm, tidak perlu berlagak bodoh," jengek si kakek. "Aku sudah
tahu engkau baru mendapatkan sebilah pedang pusaka dari
Sun Thian-tek."
"Hah, cepat juga berita yang kau dapatkan," seru It-hiong
dengan tertawa.
"Sudahlah, tidak perlu banyak cincong, lekas buka belenggu
itu," dengus si kakek tak sabar.
It-hiong mengangkat pundak, katanya, "Sekarang kotak ini
akan segera jatuh ke tanganmu, maka aku jadi ingin tahu juga
apa isi kotak ini, sudikah kau katakan padaku?"
"Tidak, lebih baik engkau tidak tahu, sebab bilamana kau tahu
tentu berbahaya bagimu dan tiada faedahnya," ujar si kakek.
"Miau-lolo dan lain-lain sama tahu, mengapa aku tidak boleh
tahu?" tanya It-hiong."
Si kakek tidak menjawabnya lagi melainkan memandang belati
yang mengancam di tenggorokan Ni Beng-ay, jengeknya,

"Ayo, jika tidak lekas kau buka segera kutubles lehernya."
"Baik, baik, segera kubuka!" seru It-hiong cepat.
Ia pilih sebuah anak kunci dan dimasukkan ke dalam mata
kunci serta diputar ke kanan dan ke kiri, lalu katanya, "Yang
ini tidak cocok."
"Coba yang kedua," kata si kakek.
Segera It-hiong memasukkan lagi anak kunci kedua dan
diputar, katanya sambil menggeleng kepala, "Ini pun tidak
bisa."
"Coba lagi yang ketiga," seru kakek itu.
Ketika anak kunci ketiga dimasukkan lagi oleh It-hiong, sekali
putar, "klik", belenggu itu segera terbuka.
"Hah, bagus, sekarang lekas lemparkan padaku kotak itu
bersama belenggunya," seru si kakek dengan girang.
Melihat borgol yang sudah terbuka itu, seluruh tubuh It-hiong
merasa terbebas dari tekanan berat. Tapi apa yang
dirasakannya sesungguhnya bukan keringanan, hatinya justru
merasa malu, merasa menyesal karena tidak dapat
melaksanakan pesan Si Hin yang sudah mati itu.
Diam-diam ia berdoa, "Si Hin, demi untuk menyelamatkan
nyawa seorang nona, terpaksa harus kuserahkan kotak ini
kepada orang lain, hendaknya engkau memaafkan
kesalahanku ini. Bilamana kotak ini dapat kurebut kembali,
tentu akan kutunaikan tugas bagimu."
Habis berdoa barulah ia melepaskan belenggunya dan
bersama kotak hitam itu dilemparkannya kepada si kakek

berbaju kelabu.
Si kakek merangkap belenggu itu dan langsung dipasang pada
pergelangan tangan kiri sendiri, lalu menjulurkan tangan dan
berkata pula, "Dan anak kunci itu!"
Tanpa rewel It-hiong melemparkan lagi anak kunci yang
diminta.
Setelah menyimpan anak kunci dalam baju barulah berkata
dengan tertawa, "Terima kasih. Hendaknya jangan kau kejar
diriku, bila tidak menurut nasihat, kesempatanku untuk
mencelakai nona ini selalu ada."
Habis berkata mendadak ia melompat ke pucuk pohon,
dengan Ginkangnya yang sangat tinggi ia terus melayang
pergi.
It-hiong menyusul ke atas pohon, dilihatnya dalam sekejap
saja kakek itu sudah melayang beberapa tombak jauhnya,
betapa tinggi Ginkang orang sungguh jarang dilihatnya selama
hidup ini.
Mau tak mau It-hiong merasa ragu untuk mengejar, pikirnya,
"Tua bangka ini jelas bukan tokoh sembarangan, sekalipun
dapat kususul dia juga belum tentu mampu merampas
kembali kotak itu. Yang paling penting sekarang harus
kulepaskan Ni Beng-ay dulu."
Segera ia melompat turun dan mendekati Ni Beng-ay, ia
potong tali ringkusan nona itu dengan pedang pandak yang
tajam itu.
Begitu bebas serentak Ni Beng-ay menjatuhkan diri dalam
pelukan It-hiong dan menangis sedih.

"Jangan menangis," hibur It-hiong. "Sekarang segalanya
sudah beres, tidak apa-apa lagi, jangan menangis!"
"Tapi aku telah ... telah membikin kotakmu dirampas orang,"
ratap Beng-ay.
"Tidak menjadi soal," kata It-hiong. "Kotak itu barang mati,
manusia kan makhluk hidup, meski kehilangan sebuah kotak,
tapi dapat kuselamatkan nyawa seorang, kan cukup
berharga?"
"Tidak boleh berkata demikian, sebab peti itu memang
kepunyaanmu," ucap Beng-ay dengan tersendat.
"Jika kepunyaanku terlebih tidak menjadi soal lagi."
"Lekas kau kejar ke sana, coba, barangkali dapat menyusulnya
dan merampas kembali peti itu."
"Tidak, sudah tidak keburu lagi, Ginkang tua bangka itu
sangat hebat, saat ini mungkin sudah beberapa li jauhnya."
"Wah, lantas bagaimana baiknya?" ujar Beng-ay.
"Jangan khawatir, perlahan nanti kucari tahu, setelah
mengetahui siapa namanya tentu dapat kucari dia untuk minta
kembali peti itu."
"Dapat kau temukan nama dan tempat tinggalnya?" tanya si
nona.
It-hiong mengangguk, "Kukira tidak sulit. Ginkangnya sangat
tinggi, senjata andalannya berbentuk ruyung baja istimewa,
berdasar ke dua ciri ini mungkin tidak sulit untuk mencari
keterangan tentang dia."

"Sungguh tidak tahu malu dia," omel Beng-ay dengan gemas.
"Dia menggunakan diriku untuk memerasmu menyerahkan
peti itu. Jika dia punya kepandaian, tidak seharusnya dia
menggunakan cara serendah itu."
"Di dunia persilatan, orang yang tidak tahu malu terlampau
banyak, pada umumnya orang tua tadi belum termasuk terlalu
busuk ...."
"Masa begitu perbuatannya tidak termasuk orang busuk?"
Beng-ay menegas dengan melongo.
"Ya, ada sementara orang selain merampas harta juga
memerkosa," kata It-hiong. "Padahal dia hanya mengincar
kotak saja dan tidak mengganggu dirimu, ini menandakan dia
tidak terlampau busuk."
Tiba-tiba It-hiong mengangkat dagu si nona, tanyanya dengan
tertawa, "Dia kan tidak sembarangan mengganggumu?"
"Ya, tidak," jawab Beng-ay dengan muka merah.
"Makanya kubilang dia tidak terlampau busuk," kata It-hiong.
"Cara bagaimana dia menculikmu ke sini?"
"Waktu itu aku sedang melarikan kuda putih, mendadak dia
menyusul tiba, tali kendali direbutnya terus dibawanya lari,
keruan aku ketakutan setengah mati, sekencangnya kupegang
pelana kuda ...."
"Dan akhirnya engkau dibawa ke sini?" tukas It-hiong dengan
tertawa.
"Ya setiba di sini aku lantas diseret turun dan diikat di batang
pohon, aku diancam agar jangan berteriak minta tolong, kalau
tidak aku akan dibunuhnya."

"Mengapa engkau tidak pingsan ketakutan?" tanya It-hiong
dengan tersenyum.
"Ya, aku sendiri tidak tahu," jawab Beng-ay.
"Apa lagi yang dibicarakannya padamu?"
"Dia tidak bicara apa-apa."
It-hiong berpikir sejenak, lalu berkata pula, "Marilah kita
berangkat."
Habis itu ia lantas memondong si nona.
Agaknya Beng-ay sudah mulai terbiasa dengan ulah Liong Ithiong
yang urakan itu, ia membiarkan tubuhnya dipondong
dan tidak melawan.
Setelah membawa si nona ke atas kuda, segera It-hiong
membedal kuda putih itu keluar hutan dan meneruskan
perjalanan.
Serupa anak kecil meringkuk dalam pangkuan sang ibu, Bengay
terus mendekap di dada It-hiong dan memejamkan mata.
Sejenak kemudian barulah ia mengangkat kepala dan berkata,
"Eh, tadi apakah dapat kau hajar lari kelima bandit itu?"
"Telah kukalahkan mereka, cuma mereka tidak lari, akulah
yang lari," tutur It-hiong.
"Mengapa bisa begitu?" tanya Beng-ay.
"Waktu aku hendak meninggalkan mereka, ibu kelima Li
bersaudara yang berjuluk Kang-pak-go-hou itu, Gu-lolo,
mendadak muncul. Haha, bicara tentang nenek Gu ini

sungguh sangat menggelikan. Ilmu silatnya tidak di bawah
Miau-lolo, dia juga tokoh termasyhur di dunia persilatan, dia
kelihatan sangat sayang kepada putranya yang ketiga, yaitu
Losam yang dogol itu."
Beng-ay tertawa geli, "Hihi, jahanam itu memang lucu, sudah
sebesar itu, tapi perangainya serupa anak kecil saja, hanya
diomeli beberapa kata oleh sang Toako segera ia menangis
dan lari pulang mengadu kepada maknya."
"Betul, bahkan begitu Gu-lolo datang, tanpa tanya ini-itu Lotoa
terus dihajar olehnya," sambung It-hiong.
Lalu ia menceritakan apa yang dilihatnya dan kemudian cara
bagaimana bertempur dengan Gu-lolo itu.
Beng-ay heran dan sangsi mendengar ada lagi orang yang
diam-diam membantu anak muda itu, tanyanya, "Siapa orang
itu?"
"Kukira dia adalah orang yang mengaku 'aku bukan
cucakrawa' itu."
"Mengapa dia berturut-turut membantumu?" tanya pula si
nona.
"Aku pun tidak tahu," jawab It-hiong.
"Kuyakin pasti ada alasannya!" ujar Beng-ay.
"Tentu saja, dia pasti orang iseng dan penganggur yang
sengaja menguntit diriku tanpa maksud tujuan."
Tanpa terasa Beng-ay memandang sekejap ke belakang,
katanya, "Kau bilang dia menguntit dirimu secara diam-diam?"

"Betul," jawab It-hiong.
"Sekarang juga masih menguntitmu?" si nona menegas.
"Kotak hitam itu sekarang sudah dibawa pergi si kakek baju
kelabu, apakah dia masih menguntitku atau tidak tentu saja
kurang jelas."
"Orang ini juga sangat aneh sehingga sukar diraba apa
maksud tujuannya," kata Beng-ay. "Jika dibilang sasarannya
terletak pada kotak hitam itu, buat apa pula berulang dia
membantumu menghalau musuh? Kalau dikatakan tujuannya
bukan terletak pada kotak itu, lalu untuk apa dia terus
membuntutimu?"
"Ya, memang aneh," tukas It-hiong.
"Makanya kukira cuma dapat disimpulkan yaitu dia mungkin
seorang pendekar berbudi, lantaran tahu banyak orang
hendak merampas kotakmu, maka diam-diam dia
melindungimu."
"Jika demikian, tadi waktu si kakek baju kelabu membawa lari
kotak itu, kenapa dia tidak mau keluar untuk merintanginya!"
"Ya, betul, jika dia bermaksud baik, seharusnya tadi dia
muncul mencegah perampasan itu dan takkan membiarkan
kakek baju kelabu itu kabur begitu saja."
"Makanya kukira dia juga bukan manusia baik-baik," ujar Ithiong.
"Sekarang kotak itu sudah dirampas orang, apakah engkau
masih akan menemaniku ke Wanpeng?" tanya Beng-ay.
It-hiong mengangguk, "Tentu saja, menolong orang tidak

boleh kepalang tanggung, apalagi nona lemah seperti dirimu,
rasanya sulit sekali menempuh perjalanan sejauh ini ke
Wanpeng."
Saking terima kasihnya sampai Beng-ay mencucurkan air
mata, katanya, "Sedemikian baik engkau terhadapku, entah
cara bagaimana harus kubalas budimu."
"Asalkan selanjutnya engkau tidak menangis lagi kan berarti
sudah membalas kebaikanku," kata It-hiong dengan tertawa.
Beng-ay melenggong, tanyanya, "Apa arti ucapanmu?"
"Soalnya aku paling takut melihat anak perempuan menangis,
terutama anak perempuan cantik, sebab hal ini menimbulkan
rasa putus asa bagiku seakan-akan dunia sudah hampir
kiamat."
"Hus, engkau ini suka omong tidak genah," omel Beng-ay.
"Betul, aku lebih suka melihat orang perempuan tertawa dan
tidak senang melihat orang perempuan menangis."
Beng-ay lantas mengusap air mata, katanya, "Kupikir, biarlah
kupergi sendiri ...."
"Sebab apa?" tanya It-hiong.
"Kukhawatir bikin runyam urusanmu yang lebih penting,
seharusnya kau pergi mencari kakek berbaju kelabu itu untuk
minta kembali petimu."
"Peti adalah benda mati, manusia kan makhluk hidup, kupikir
lebih penting harus menyelamatkan manusianya."
"Dan sekarang aku sudah selamat, asalkan kau pinjami aku

beberapa tahil perak untuk ongkos, aku dapat melanjutkan
perjalanan sendirian."
"Tidak boleh!"
"Boleh saja."
"Tidak, mutlak tidak boleh," kata It-hiong sambil menggeleng.
"Siapa bilang? Beng-ay tetap ngotot.
"Sian-li yang bilang," kata It-hiong.
Si nona mengikik tawa, "Hm, jangan kau kira Sian-li akan
membahagiakanmu, ingin kukatakan padamu, aku ... aku ...."
"Engkau kenapa?" It-hiong menegas.
"Aku takkan nikah denganmu," jawab Beng-ay dengan tertawa
malu.
"Haha," It-hiong tergelak. "Belum lagi kulamar dirimu, kenapa
engkau menjadi gugup?"
"Kukira harus kubicarakan dulu di muka agar nanti tidak
membuatmu kecewa."
"Jika begitu, perlu juga kukatakan satu hal padamu," ujar Ithiong.
"Selama ini belum terpikir olehku akan berkeluarga,
kelak juga tidak. Aku cuma suka pada anak perempuan, tapi
tidak ingin hidungku dicocok anak perempuan dan dibawa kian
kemari serupa kerbau."
"Jika begitu, mengapa kau mau mengiringiku ke Wanpeng?"
"Jika engkau tidak paham, bolehlah kau anggap aku ini orang

tolol yang mau berbuat bodoh, kan beres?"
Mendadak Beng-ay menegakkan tubuhnya dan menuding kota
yang kelihatan di depan, "Eh, lihat, apakah itu kota Ko-yu!"
"Betul," It-hiong mengangguk.
"Engkau benar hendak mengiringiku ke Wanpeng?"
Kembali It-hiong mengiakan dengan mengangguk.
"Jika begitu, biarlah hari ini kita istirahat dulu di Ko-yu, dan
besok baru melanjutkan perjalanan."
"Apa alasanmu?" tanya It-hiong.
"Pinggang pegal dan tulang linu," keluh si nona.
"Betul juga, orang yang pertama kali menunggang kuda
memang akan mengalami gejala demikian," ujar It-hiong
dengan tertawa. "Baiklah, boleh kita menginap semalam di
hotel, esok pagi kita melanjutkan perjalanan."
Tengah bicara, gerbang kota sudah kelihatan dari dekat.
Melihat orang yang berlalu-lalang mulai banyak, It-hiong
lantas melompat turun dan membiarkan Beng-ay menunggang
kuda sendirian.
Tidak lama sampailah mereka di depan gerbang kota, It-hiong
menuntun kuda ke dalam kota.
Saat itu tepat tengah hari, jalan kota kelihatan ramai,
beberapa buah rumah makan penuh tamu yang sedang
makan siang.

It-hiong menyusuri jalan raja itu dan sampai di sebuah hotel
yang agak mentereng, dilihatnya tingkat bawah hotel
merangkap menjadi restoran, ia berhenti dan berkata kepada
Beng-ay, "Bagaimana kalau kita tinggal di hotel ini?"
"Baiklah," jawab si nona sambil merosot ke bawah.
Segera pelayan hotel menyongsong kedatangan mereka,
sapanya dengan berseri, "Silakan duduk di dalam, di hotel
kami tersedia kamar kelas satu, juga ada santapan yang
paling lezat, bahkan harga pantas ...."
It-hiong menyodorkan tali kendali kuda kepalanya sambil
berkata, "Kami ingin bermalam, berikan dua kamar kelas
utama."
Berulang pelayan mengiakan dan cepat membawa pergi kuda
putih itu dan ditambat pada tempatnya, lalu membawa Ithiong
berdua ke tingkat dua menuju sederetan kamar yang
berhadapan dengan halaman, dibukanya dua kamar dan
bertanya, "Apakah kedua kamar ini boleh?"
It-hiong mengangguk setuju.
Setelah membawa mereka ke dalam kamar, pelayan sibuk
membawakan air minum, lalu bertanya pula, "Apakah Tuan
tamu sudah makan siang?"
"Belum," jawab It-hiong.
"Apakah perlu diantar ke kamar atau makan di bawah saja?"
tanya pula si pelayan.
It-hiong berpaling dan tanya Beng-ay, "Kau suka makan di sini
atau makan di bawah?"

Beng-ay pikir sejenak, katanya kemudian, "Kukira makan saja
di sini, suruh mereka antar saja dua porsi bakmi kuah."
Segera It-hiong menyampaikan pesan itu, katanya, "Nah, biar
kami makan siang di sini saja, bawakan lauk-pauk lima sayur
satu kuah, pilih masakan yang paling lezat."
Pelayan mengiakan dengan hormat dan mengundurkan diri.
Beng-ay lantas menggerundel, "Makan semangkuk bakmi saja
kau cukup, buat apa pesan lima macam sayur dan satu kuah
lagi?"
It-hiong mengangkat pundak, katanya dengan tertawa, "Ya,
memang menjadi ciriku, sok berlagak cukong di depan orang
perempuan."
"Aku justru tidak suka membuang duit," ujar Beng-ay.
"Makanya kita tidak mungkin terikat menjadi suami-istri," kata
It-hiong dengan tersenyum.
"Aku kan bermaksud menghemat bagimu, masa caraku tidak
baik?" kata si nona.
Selagi It-hiong hendak menjawab, dilihatnya si pelayan tadi
datang lagi, tentu saja ia heran dan tanya ada apa.
Pelayan memberi hormat, katanya dengan tertawa,
"Hendaknya Tuan tamu makan di bawah saja, sebab ada
orang hendak mentraktir makan kalian."
"Hah, masa ada kejadian sebaik ini, siapa yang akan
mentraktir?" tanya It-hiong dengan tertawa.
"Seorang Siangkong, dia mengaku sebagai sahabat Tuan,

maka hamba disuruh mengundang Tuan ke bawah," tutur si
pelayan.
"Dia tidak memberitahukan siapa namanya?" tanya It-hiong
lagi.
"Ada, dia bilang namanya 'aku bukan ...' apa begitu ...."
"Aku bukan cucakrawa?" It-hiong menegas.
"Aha, betul, dia mengaku bernama aku bukan cucakrawa!"
seru si pelayan.
"Ehm, memang betul sahabatku, apakah dia sekarang berada
di restoran bawah?" tanya It-hiong tertawa.
"Ya, betul. Siangkong sudah memesan santapan dan
menunggu kedatangan Tuan berdua."
It-hiong lantas memberi tanda kepada Beng-ay, katanya, "Mari
kita turun!"
Beng-ay juga sangat ingin tahu siapa "aku bukan cucakrawa"
itu, maka tanpa pikir ia ikut turun ke bawah loteng.
Setiba di dalam restoran, begitu tahu siapa si "aku bukan
cucakrawa" itu seketika It-hiong berteriak, "Buset, kiranya
kau!"
Rupanya orang yang mengaku sebagai "aku bukan
cucakrawa" itu tak-lain-tak-bukan adalah Hou-hiap Pang Bunhiong.
Saat itu Pang Bun-hiong lagi duduk dengan tersenyum, kipas
lempit bergoyang perlahan, sikapnya tetap acuh tak acuh dan
dugal.

It-hiong langsung mendekatinya, teriaknya sambil menuding
hidung orang, "Hah, kiranya engkau terus-menerus menguntit
diriku!"
Pang Bun-hiong tetap menggoyang kipasnya dengan tenang,
ucapnya perlahan, "Perkelahian kita kan belum pernah
berlangsung, bukan?"
"Kau bilang pada musim semi tidak mau meninggalkan daerah
Kanglam?" tanya It-hiong.
"Memang betul, biasanya musim semi aku selalu tinggal di
Kanglam," jawab Bun-hiong. "Tapi sesudah kau pergi, tiba-tiba
timbul hasratku untuk pergi ke utara, maka aku lantas
menyusulmu."
Bicara sampai di sini ia lantas berdiri dan memberi hormat
dengan sopan kepada Ni Beng-ay, katanya, "Silakan duduk,
nona!"
Si nona memandang It-hiong dengan ragu.
It-hiong lantas memperkenalkan mereka, "Dia she Pang,
namanya Bun-hiong, di dunia Kangouw terkenal sebagai Houhiap,
seorang yang suka ikut campur urusan tetek bengek."
Bun-hiong tidak marah, kembali ia memberi hormat kepada
Beng-ay, katanya, "Betul, aku Pang Bun-hiong, harap nona
sering-sering memberi petunjuk."
"Sesungguhnya kalian ini kawan atau lawan?" tanya Beng-ay
dengan bingung.
"Boleh dikatakan kedua-duanya," jawab Bun-hiong dengan
tertawa. "Sesuai perjanjian, kelak kami pasti akan berkelahi,

bisa jadi dia akan membunuhku, mungkin juga aku yang akan
membinasakan dia."
Setelah berhenti sejenak, lalu sambungnya pula, "Eh, silakan
duduk, kan lebih enak bicara sambil berduduk .... Hei,
pelayan, ambilkan teh!"
Waktu pelayan membawakan teh, It-hiong dan Beng-ay sudah
berduduk di sebelah Bun-hiong.
Sesudah pelayan pergi, segera It-hiong menepuk pundak Bunhiong
dan menegur, "Coba jawab, engkau yang membantu
melukai Kiong-su-sing Sun Thian-tek, bukan?"
Bun-hiong menggeleng, "Bukan, yang berbuat itu ialah si
cucakrawa."
"Siapa itu si cucakrawa?" tanya It-hiong.
"Ialah si pencuri kuda itu."
"Siapa pula si pencuri kuda?"
"Si kakek berbaju kelabu," tutur Bun-hiong dengan tertawa.
"Hah, dia!" seru It-hiong sambil menggebrak meja. "Maknya,
kiranya dia!"
Bun-hiong melirik Beng-ay sekejap, katanya dengan tertawa,
"Hei, saudara, ada nona hadir di sini, kalau bicara janganlah
pakai kata kotor."
"Kau kenal kakek itu?" tanya It-hiong.
"Tidak," Bun-hiong menggeleng.

"Perawakannya sedang, Ginkangnya sangat tinggi, dia
membawa senjata sepasang ruyung baja bersegi," tutur Ithiong.
"Kutahu, semuanya sudah kulihat."
"Yang melukai Gu-lolo juga dia?" tanya It-hiong pula.
"Bukan, akulah yang melukai Gu-lolo," kata Bun-hiong.
"Kemudian engkau membuntuti aku ke hutan itu?"
Bun-hiong mengangguk, "Ya, betul."
Mendadak It-hiong menarik muka, "Jika sudah menguntit ke
situ, mengapa tidak kau cegat dia pada saat dia hendak
kabur?"
Bun-hiong tersenyum, "Semula aku pun bermaksud bertindak
begitu, tapi setelah kupikir, daripada kucegat dia kan lebih
baik kubuntuti dia ...."
"Hah, betul juga," seru It-hiong dengan tertawa, dari dongkol
ia menjadi gembira. "Dan jadi kau buntuti dia?"
"Ya," sahut Bun-hiong.
"Lekas ceritakan, sekarang dia berada di mana?" desak Ithiong.
"Sabar dulu," ujar Bun-hiong. "Nanti, habis makan tentu akan
kukatakan padamu .... Auhh, ada apa kau?"
Rupanya mendadak It-hiong telah menjambret dada bajunya
sambil membentak, "Ayo, katakan atau tidak?"

"Ai, kenapa kau jadi terburu-buru begini?" ujar Bun-hiong
dengan tertawa. "Habis makan siang nanti akan kubawa
engkau mengunjungi dia, boleh?"
It-hiong melengak, "Jadi tempat tinggalnya berada di sekitar
sini?"
"Tidak, ia bermalam di suatu hotel kecil di kota ini," tutur Bunhiong.
"Sebelum hari gelap kukira dia takkan meninggalkan
kota."
"Dari mana kau tahu?" tanya It-hiong sambil melepaskan
cengkeramannya.
"Dapat kudengar," tutur Bun-hiong. "Ia pernah memberi
pesan kepada pelayan hotel, katanya malam nanti ada
seorang perempuan akan mencarinya, pelayan disuruh
membawa perempuan itu menemuinya di hotel, maka kuyakin
sebelum malam tiba tidak nanti dia meninggalkan
pondokannya."
Baru tenang hati It-hiong setelah mendapat keterangan ini,
segera ia tanya lagi, "Dia memondok di hotel mana?"
Bun-hiong tidak menjawab, sebab pada saat itu pelayan
datang membawakan santapan, sesudah pelayan meladeni
segala sesuatu yang diperlukan dan mengundurkan diri,
segera Bun-hiong menuangkan arak bagi It-hiong dan Bengay,
sembari menuang arak sambil bertanya, "Apakah kalian
bermaksud bermalam di kota ini?"
"Betul," jawab It-hiong. "Untuk pertama kalinya nona Ni naik
kuda, akibatnya pinggang linu dan bonyok pegal, maka kami
bermaksud bermalam dulu di sini."
Bun-hiong tertawa dan berseloroh, "Wah, engkau kejam

benar, sungguh tidak berperikemanusiaan, anak gadis lemah
lembut serupa nona Ni masakah kau suruh menunggang kuda
dan dilarikan secara semena-mena?"
"Kalau tidak menyuruhnya naik kuda, memangnya suruh dia
berjalan kaki?"
"Kan dapat kau sewa sebuah tandu baginya?" kata Bun-hiong.
"Haha, hebat juga gagasanmu," seru It-hiong sambil tergelak.
"Tapi belum pernah kulihat orang menumpang tandu untuk
perjalanan beribu li jauhnya."
"Ya, sedikitnya kan dapat kau sewakan kereta," kata Bunhiong
pula.
"Kami bertemu di kelenteng yang terpencil itu, dari mana
dapat menyewa kereta?" kata It-hiong.
"Di kota ini pasti ada," ujar Bun-hiong. "Mari minum!"
Mendadak Beng-ay berdiri dan berkata, "Maaf, kalian makan
dulu, aku mau ke kamar sebentar, segera kukembali."
It-hiong tidak mencegah, katanya, "Baiklah, silakan!"
Segera Beng-ay meninggalkan mereka dan naik ke loteng.
Sambil memegangi cawan arak, pandangan Bun-hiong terus
mengikuti langkah Beng-ay yang lemah gemulai itu, lalu
menghela napas dan berkata, "Sungguh mujur kau, selama ini
belum pernah kutemui anak gadis secantik ini."
"Sayang ia tidak paham ilmu silat," kata It-hiong dengan
tertawa.

"Kan dapat kau ajari dia?" ujar Bun-hiong.
"Tidak, tidak mau lagi aku berbuat hal-hal yang bodoh," kata
It-hiong sambil menggeleng. "Aku hanya akan mengantar dia
sampai di Wanpeng saja, habis itu segera kuucapkan selamat
tinggal padanya."
Tampaknya hal ini sangat di luar dugaan Bun-hiong, tanyanya,
"Apa engkau tidak suka padanya?"
"Jika dia bukan anak perempuan dari keluarga baik-baik tentu
aku akan main-main dengan dia," kata It-hiong. "Tapi dia
justru anak perempuan keluarga baik, inilah yang membuatku
repot. Kau tahu, main cinta dengan anak perempuan keluarga
baik-baik kan terlampau merepotkan, harus mengeluarkan
perasaan tulus, aku justru tidak punya waktu luang untuk
bercinta cara begini."
"Jika engkau tidak menghendaki dia, bagaimana kalau
serahkan padaku?" tanya Bun-hiong dengan tertawa.
"Tidak bisa," seketika It-hiong mendelik. "Orang macam
dirimu sudah telanjur bangor, engkau tidak cocok untuk
menjadi suaminya."
Bun-hiong angkat cawan dan sama habiskan secawan
bersama It-hiong, lalu bersantap sambil berkata, "Meski aku
suka main perempuan, tapi anak perempuan dari keluarga
baik-baik tidak nanti kupermainkan, jangan kau khawatir."
"Tidak, tidak dapat dipercaya," It-hiong menggeleng.
"Ah, jangan kau ukur dirimu dengan orang lain," jengek Bunhiong.
"Ingin kuperingatkan padamu, jika berani kau goda dia, hm,

lihat saja kalau tidak kuhajar mampus dirimu."
"Haha, tampaknya engkau toh sangat suka padanya!" Bunhiong
tertawa.
"Aku ibaratnya seorang tukang kebun belaka, kupandang dia
sebagai sekuntum bunga yang indah dan suci bersih, aku tidak
suka melihat dia sembarangan dipetik dan dirusak oleh tangan
kotor."
"Haha, kau salah," seru Bun-hiong dengan terbahak. "Memang
betul perempuan diibaratkan sebagai bunga, tapi bila tidak
kau sayangi dia tentu dia akan layu dan kering, lalu apa
artinya bunga yang indah itu?"
It-hiong lantas bersantap juga, katanya, "Kisah hidupnya
harus dikasihani, dia perlu suatu rumah tangga yang bahagia,
tapi kita ini bukan calon yang baik baginya, maka jangan
bicara lagi urusan ini."
"Apakah dia juga jatuh hati padamu?" tanya Bun-hiong.
"Entah, aku tidak tahu."
"Pada umumnya bilamana seorang perempuan merasa utang
budi kepada seorang penolongnya, biasanya lantas
menyerahkan dirinya ...."
"Sudahlah, kuminta jangan bicara lagi tentang dia. Marilah kita
minum saja," sela It-hiong.
Kembali Bun-hiong mengangkat cawan bersama It-hiong,
katanya kemudian dengan tersenyum, "Bicara terus terang,
aku rada mencurigai dia ...."
"Aku juga," tukas It-hiong. "Cuma setelah kulihat dia diikat di

pohon oleh kakek berbaju kelabu itu, aku lantas tidak sangsi
lagi."
Mendadak ia ganti pokok bicara, tanyanya dengan tertawa,
"Eh, coba katakan, dengan barang apa kau lukai Gu-lolo?"
"Hanya sepotong batu kecil saja," tutur Bun-hiong dengan
tertawa.
"Tapi kudengar suaranya cukup keras."
"Hal itu disebabkan pantatnya terlampau tebal."
"Kuyakin Kungfunya sudah mencapai tingkatan yang
sempurna, jika tidak ada bantuanmu, mungkin aku tidak
sanggup menahan seratus jurus serangannya."
"Meski Kungfunya sangat tinggi, tapi kecerdikannya jauh di
bawah Miau-lolo," ujar Bun-hiong dengan tertawa.
"Betul," kata It-hiong. "Miau-lolo sungguh tidak tahu malu, ia
hendak memperalat Gu-lolo untuk merampas kotak hitam itu."
"Menurut penilaianku, Koh-ting Totiang, Kim-kong Taysu dan
Sun Thian-tek cukup kesatria," ujar Bun-hiong. "Begitu kalah
segera mereka angkat kaki, sungguh harus dipuji."
It-hiong tertawa dan berkata, "Malahan aku mendapat untung
sebilah pedang pandak dari Sun Thian-tek, kau tahu?"
"Tahu," Bun-hiong mengangguk. "Tak kusangka
kepandaianmu main catur sedemikian tinggi, bila ada
kesempatan kita pun harus coba-coba main."
"Aku dapat memberi sebiji benteng padamu," ucap It-hiong
dengan tertawa angkuh.

"Ah, sebaiknya engkau jangan sok, kalau tidak, bukan
mustahil Siau-hi-jong bisa jatuh ke dalam tanganku," Bunhiong
berseloroh.
Ia menenggak araknya lagi, lalu memandang ke arah tangga
dan berkata, "Aneh, mengapa begitu lama dia pergi?"
"Ssst, mungkin ke kamar kecil," desis It-hiong.
"Kenapa tidak kau susul dan coba melihatnya?" ujar Bunhiong.
"Tidak perlu," It-hiong menggeleng. "Kotak hitam itu sudah
tidak berada padaku, tidak ada orang yang mau menculiknya
lagi."
"Aku justru khawatir dia mengeluyur pergi?" kata Bun-hiong.
It-hiong melengak, "Mengeluyur pergi? Masa dia bisa
mengeluyur pergi sendiri?"
"Jika dia si burung cucakrawa itu, sangat mungkin dia akan
meninggalkan dirimu di sini."
"Tapi dia pasti bukan si cucakrawa," ujar It-hiong. "Jika dia si
cucakrawa, mana bisa kena diringkus oleh si kakek baju
kelabu di pohon."
"Tapi bilamana dia berkomplot dengan kakek itu?" ucap Bunhiong
sambil berdehem.
Tergetar juga hati It-hiong, katanya dengan sangsi, "Ah,
kukira tidak ... tidak sampai begitu."
Bun-hiong tertawa, "Aku pun harap tidak, nona secantik itu,

bilamana dia sekomplotan dengan si kakek baju kelabu, kan
sayang sekali."
Pikiran It-hiong menjadi gelisah, ia berdiri dan berkata. "Coba
kulihat ke atas."
Habis bicara segera ia berlari ke atas loteng.
Meski dia sangat tidak ingin mencurigai Ni Beng-ay adalah
komplotan si kakek baju kelabu yang sengaja menjebaknya,
tapi rasio memberitahukan kepadanya bahwa hal ini sangat
mungkin terjadi. Maka buru-buru ia lari ke atas loteng,
langsung menuju ke kamar si nona.
Kamar mereka berdampingan, dapat dilihatnya pintu kamar
tertutup rapat, begitu sampai di depan pintu segera ia
menggedor dan berteriak, "Nona Ni, engkau di dalam?"
Tapi tidak ada jawaban. Ia coba mendorong daun pintu dan
melongok ke dalam, kamar kosong melompong, mana ada
bayangan Ni Beng-ay. Cepat ia mendatangi kamar sendiri dan
menggedor pintu pula sambil berteriak, "Nona Ni, engkau di
dalam?"
Tetap tidak ada suara apa pun.
Cepat ia menolak pintu dan masuk ke dalam. Ni Beng-ay
memang tidak terdapat di situ, keruan hati It-hiong serasa
tenggelam, muka pun merah padam.
Apakah curiga Pang Bun-hiong itu menjadi kenyataan, Ni
Beng-ay memang benar komplotan si kakek baju kelabu?
Dengan cara licik mereka menjebaknya, setelah kotak hitam
diperoleh segera nona itu kabur.
Seketika hati It-hiong panas seperti dibakar, ia termangu

sejenak, mendadak ia berlari keluar kamar dan berteriakteriak,
"Siauji! Siauji!"
Seorang pelayan mengiakan dan lari tiba dengan tertawa
ramah, "Tuan tamu minta apa?"
"Apakah kau lihat nona yang datang bersamaku itu?" tanya Ithiong.
Siauji atau pelayan itu mengangguk, "Ya, lihat. Baru saja dia
turun melalui tangga belakang, katanya hendak keluar untuk
belanja."
"Belanja apa?"
"Entah, nona itu tidak menjelaskan, hamba tidak tahu," jawab
pelayan.
It-hiong diam saja, mendadak ia lari turun ke restoran, Pang
Bun-hiong ditariknya sambil berkata, "Lekas kita pergi!"
"Pergi ke mana?" tanya Bun-hiong dengan bingung.
"Hotel kecil itu," desis It-hiong.
"Di mana Ni Beng-ay?" tanya Bun-hiong dengan ragu.
"Hm, dia sudah minggat," jengek It-hiong. "Jika tidak salah
dugaanku, saat ini tentu dia sedang menuju ke hotel kecil
yang kau katakan itu. Dia pasti hendak bergabung dengan
kakek itu untuk merat bersama."
"Oo, jadi dia memang berkomplotan dengan kakek berbaju
kelabu itu untuk menipumu?" Bun-hiong menegas.
"Betul," jawab It-hiong.

Mendadak Bun-hiong mengentak kaki dan berkata, "Wah,
tamatlah sekali ini!"
"Apa maksudmu?" tanya It-hiong dengan terbelalak.
"Letak hotel kecil itu justru di gang belakang hotel ini," seru
Bun-hiong.
It-hiong menjadi gugup juga, cepat ia menarik Bun-hiong dan
diajak lari keluar sambil berseru, "Ayo, lekas kita ke sana!"
Buru-buru mereka lari keluar restoran itu dan menuju ke
persimpangan jalan sana.
Setiba di perempatan, Bun-hiong membawanya membelok ke
jalan sebelah kanan, berpuluh langkah kemudian lantas
membelok lagi ke gang di sebelahnya, lalu ia menunjuk
sebuah hotel yang terletak tidak jauh dan berkata, "Nah, hotel
itu!"
Hotel kecil itu bernama Kang-pak-khek-can, Hotel Utara
Sungai. Langsung Bun-hiong menerjang ke dalam hotel dan
mendekati kasir, ia tanya kepada salah seorang pengurus tua
yang duduk di belakang meja, "Numpang tanya, barusan
apakah ada seorang nona masuk ke hotel ini?"
Kasir tua itu mendongak dan memandangnya sekejap, lalu
menjawab dengan tak acuh, "Anda mencari nona yang
mana?"
"Seorang nona cantik, berusia antara delapan belasan," tutur
Bun-hiong.
Dengan ketus kasir tua itu menjawab, "Tidak lihat!"

Bun-hiong mengeluarkan sepotong uang perak dan disodorkan
kepadanya, lalu berkata pula, "Pakaian nona itu sangat
sederhana, dia datang ke sini untuk mencari seorang kakek
berbaju kelabu, kakek itu membawa sepasang senjata ruyung
baja ...."
Uang memang serbaguna, kasir tua yang semula tak acuh itu
seketika tertawa dengan sinar mata mencorong, belum lagi
habis ucapan It-hiong segera ia menukas, "Ah, rupanya yang
dimaksudkan kalian adalah nona jelita itu .... Ada, ada, dia
baru saja berangkat bersama tamu tua itu."
Cepat It-hiong menegas, "Kira-kira berapa lama mereka
pergi?"
"Belum lama, baru saja," sahut si tua.
"Menuju ke arah mana?" tanya It-hiong.
"Ke sana," sahut si tua sambil menuding ke suatu arah.
"Mereka akan kembali lagi ke sini tidak?" tukas Bun-hiong.
"Mereka sudah membereskan rekening, jelas tidak kembali
lagi," kata si tua.
"Adakah meninggalkan pesan atau mengatakan ke mana
mereka akan pergi?" tanya Bun-hiong.
Si tua menggeleng, "Tidak."
"Waktu kakek baju kelabu itu bermalam di sini, adakah dia
meninggalkan nama dan alamatnya?" tanya It-hiong.
"Tidak ada," jawab si tua. "Tamu tua itu baru satu jam yang
lalu masuk hotel, katanya hendak menunggu kedatangan

seorang nona. Dan begitu si nona datang segera si kakek
membereskan rekening hotel terus berangkat."
"Baiklah, terima kasih," kata It-hiong, segera ia menarik Bunhiong
dan diajak pergi, ia memandang ke arah yang ditunjuk
si tua dan berkata, "Bagaimana kalau kita menyusul ke sana?"
"Boleh juga," kata Bun-hiong, "cuma harapannya kukira tidak
besar. Jalan ini bukan jalan raya melainkan gang sempit,
mereka menuju ke ujung gang, bukan mustahil membelok lagi
ke tempat lain."
It-hiong melangkah dengan cepat, katanya dengan gemas,
"Harus kubekuk dia kembali dan akan kupukuli pantatnya.
Sungguh sialan, sepanjang hari aku menembak burung, tak
tersangka malah kena dipatuk burung, sungguh
menjengkelkan."
Bun-hiong tertawa, "Dia dapat menipumu, ini menandakan
caranya memang sangat pintar, seharusnya kau kagum
padanya."
"Tidak, justru akan kuhajar dia," kata It-hiong.
"Haha, kutahu, tentu dia telah menipu perasaanmu?" seru
Bun-hiong dengan terbahak.
"Betul," ucap It-hiong dengan marah. "Dia bilang ibunya kawin
lagi, ayah tirinya jahat dan hendak menjualnya ke rumah
pelacuran, maka dia minggat dari rumah dan bermaksud
mencari seorang pamannya di Wanpeng, ceritanya panjang
lebar dan membuat orang berbelas kasihan padanya. Keparat,
tak tahunya cuma omong kosong belaka."
"Orang perempuan memang mempunyai bakat pembawaan
untuk berdusta," ujar Bun-hiong. "Cuma, bilamana dia tidak

cantik, tentu kau pun takkan percaya padanya. Betul tidak?"
"Memang," It-hiong mengaku terus terang. "Dia begitu cantik,
siapa tahu juga pintar berdusta, sungguh tidak nyana."
"Makanya kupikir kaum lelaki ini memang berengsek," ujar
Bun-hiong dengan tertawa. "Asal bertemu dengan gadis ayu
dan dirayu sedikit, seketika lupa daratan dan kegirangan
setengah mati."
"Semula aku pun tidak terlalu percaya padanya," tutur Ithiong.
"Tapi dia bisa juga mencucurkan mata, bila bicara dan
berduka, air mata lantas berderai serupa hujan, siapa pun
pasti akan percaya padanya."
Bicara sampai di sini, mendadak ia berhenti.
Kiranya dia berada tepat di perempatan jalan, orang yang
berlalu-lalang sangat banyak, namun tidak kelihatan bayangan
si kakek baju kelabu dan Ni Beng-ay.
Bun-hiong memandang sekeliling dan berkata, "Bisa jadi
mereka sudah kabur keluar kota, dari sini terus ke depan akan
mencapai pintu kota selatan, ke kanan dan kiri adalah jalan
menuju ke gerbang timur dan barat, menurut perkiraanmu
mereka akan melalui pintu gerbang yang mana?"
"Bagaimana menurut pendapatmu sendiri?" jawab It-hiong.
Bun-hiong menggeleng, "Aku bukan malaikat dewata, tidak
dapat kuramalkan arah kabur mereka."
"Hari ini kita baru masuk kota ini dari pintu selatan, maka
kemungkinan mereka akan keluar lagi ke pintu selatan
rasanya sangat kecil ...."

"Tepat, sekarang tinggal dua jurusan saja, kalau tidak menuju
ke timur, tentu mereka menuju ke barat."
"Bagaimana kalau kita membagi arah untuk mengejar
mereka?"
"Baik, engkau ke timur dan aku ke barat, kalau tidak
menemukan sesuatu, sebelum magrib kita bertemu kembali ke
hotel tadi."
Habis berkata segera Bun-hiong hendak melangkah pergi.
Cepat It-hiong menahannya dan berkata, "Nanti dulu,
bilamana satu di antara kita dapat menyusul mereka, lalu cara
bagaimana kita akan mengadakan kontak?"
Bun-hiong berpikir sebentar, katanya kemudian, "Kakek
berbaju kelabu itu jelas bukan orang biasa, tak peduli siapa di
antara kita dapat menyusulnya, rasanya tidak mudah untuk
merebut kembali kotak itu hanya dengan tenaga seorang diri
...."
"Betul," kata It-hiong. "Tapi kalau tidak segera turun tangan,
terpaksa harus menguntitnya secara diam-diam, jika demikian
halnya, kita berdua menjadi sukar untuk berkumpul lagi."
Kembali Bun-hiong berpikir sejenak, lalu berkata, "Ah, ada
akal. Sesudah meninggalkan kota, sepanjang jalan kita
meninggalkan kode, jika engkau tidak melihat kupulang ke
hotel, hendaknya segera ke arahku berdasarkan kode yang
kutinggalkan, begitu pula sebaliknya aku akan mencarimu
berdasarkan kode yang akan kau tinggalkan sepanjang jalan."
"Baik, tapi kode apa yang harus kita tinggalkan?" tanya Ithiong.

"Umpamanya membuat ujung panah yang menunjuk ke arah
yang harus dituju, kan bisa?" ujar Bun-hiong.
"Bagus, setuju," seru It-hiong. "Ayolah berangkat!"
Begitulah mereka lantas terpencar, yang satu ke timur dan
yang lain ke barat.
Dengan langkah cepat It-hiong mencapai pintu gerbang timur,
baru mau keluar kota, sekilas pandang dilihatnya seorang
kakek penjual buah di kaki tembok sana, ia coba
mendekatinya dan bertanya, "Numpang tanya Lotiang, adakah
kau lihat seorang tua keluar kota dengan seorang nona?"
Kakek penjual buah itu berpikir sejenak, lalu menjawab,
"Entah, aku tidak menaruh perhatian, banyak orang berlalulalang,
tidak ingat lagi berapa banyak orang tua dan nona
yang lewat di sini."
It-hiong tahu tiada gunanya bertanya lagi, ia mengucapkan
terima kasih dan meneruskan perjalanan.
Ia percepat langkahnya, sepanjang jalan ia meninggalkan
kode sebagaimana disepakati dengan Pang Bun-hiong itu.
Kira-kira dua-tiga li di luar kota, setelah pejalan kaki sudah
jarang-jarang, segera ia berlari cepat ke depan.
Sambil berlari sembari memberi tanda, sekaligus ia lari 20-an li
dan tetap tidak tampak bayangan si kakek berbaju kelabu dan
Ni Beng-ay.
Lamat-lamat dapat dirasakannya perjalanan ini pasti sia-sia
belaka, namun dia tidak putus asa dan masih terus lari ke
depan.

Belasan li lagi dan sampailah di suatu pedusunan, ia coba
tanya dua buah warung makan kecil dan tetap tidak
mendapatkan sesuatu berita yang menyenangkan, ia tambah
yakin si kakek dan Beng-ay pasti tidak lewat jalan ini, segera
ia putar balik kembali ke Ko-yu.
Setiba di hotel, tepat waktu magrib.
Melihat tamunya kembali lagi pelayan hotel terheran-heran
dan menyapa, "Eh, bagaimana Kongcuya, mengapa makan
siang tadi sama sekali tidak dimakan terus lari pergi begitu
saja, kalian pergi ke mana?"
It-hiong duduk di ruangan restoran dan bertanya, "Nona yang
datang bersamaku itu apakah kelihatan kembali ke sini?"
"Tidak, memangnya ke ... kenapa dengan nona itu?" tanya
pelayan.
"Dan Kongcu yang minum arak bersamaku itu, juga tidak
kelihatan?" tanya It-hiong pula.
"Ya, juga belum kelihatan," jawab pelayan.
"Kudaku sudah diberi makan belum?"
"Sudah, sudah diberi komboran paling baik, jangan khawatir,"
tutur pelayan.
"Sekarang boleh sediakan air cuci muka bagiku, lalu siapkan
santapan, wah, lapar sekali," kata It-hiong.
Pelayan mengiakan dan mengundurkan diri.
Tidak lama kemudian selesailah It-hiong membersihkan badan
dan mulai makan-minum sendirian di restoran.

Ia sudah ambil keputusan bila sudah makan kenyang dan
Pang Bun-hiong belum juga pulang, jelas ini menandakan
kawan itu sudah menemukan si kakek baju kelabu dan Ni
Beng-ay dan sedang mengikuti jejak mereka, maka segera ia
sendiri akan menyusulnya.
Tapi baru saja ia ambil keputusan demikian, tahu-tahu Pang
Bun-hiong sudah muncul.
Sekali pandang saja It-hiong lantas tahu kawannya juga tidak
menemukan sasarannya, segera ia menyapa, "Engkau sudah
pulang?"
Bun-hiong mendekatinya dan duduk di depannya, tanyanya
dengan tertawa, "Sudah berapa lama kau kembali ke sini?"
"Belum lama, baru saja," jawab It-hiong.
"Berapa jauh kau kejar mereka?" tanya Bun-hiong pula.
"Kira-kira lebih tiga puluh li," tutur It-hiong.
"Tidak menemukan mereka?"
"Tidak, dan engkau sendiri?"
"Sama saja," jawab Bun-hiong. "Bisa jadi mereka tidak melalui
jalan raya melainkan mengambil jalan kecil."
It-hiong memanggil pelayan dan minta ditambah lagi makanan
dan arak, lalu berkata pula dengan mendongkol, "Jika tidak
kutemukan mereka, sungguh tak terlampias rasa gemasku."
Bun-hiong menenggak secawan arak, katanya dengan
tertawa, "Siapa kakek berbaju kelabu itu, cepat atau lambat

dapat diketahui, tapi ketika menemukan dia, mungkin sekali
kotak itu sudah dibuka olehnya."
"Kau tahu apa isi kotak itu?" tanya It-hiong.
"Tidak tahu," Bun-hiong menggeleng. "Ketika di Sian-li-bio
kemarin malam bukankah Sun Thian-tek hendak
memberitahukan padamu? Kenapa kau tolak?"
"Ada dua alasanku kutolak keterangannya itu," tutur It-hiong.
"Pertama, kukhawatir setelah tahu bukan mustahil akan timbul
juga hasratku untuk mengangkanginya. Kedua, bila aku tidak
ingin tahu isi kotak kan sama dengan membuktikan bahwa
aku tidak mempunyai kepentingan pribadi, aku hanya ingin
melaksanakan tugasku sesuai pesan orang mati untuk
menyampaikan kotak hitam ke Cap-pek-pan-san. Maka barang
siapa mengincar kotak itu harus menghadapi diriku lebih dulu.
Selain itu, orang yang bermaksud merampas kotak itu setelah
tahu aku sama sekali tidak tahu apa isi kotak, tentu mereka
takkan bertindak keji padaku."
"Jika sekarang ada orang mau memberitahukan apa isi kotak
itu, apakah kau mau tahu?" tanya Bun-hiong dengan tertawa.
"Sekarang aku jadi ingin tahu," ujar It-hiong dengan
mengangguk.
"Tapi sayang sekarang tidak ada yang dapat memberi tahu,"
kata Bun-hiong.
Segera It-hiong angkat cawan arak, katanya, "Ayo habiskan
satu cawan!"
Bun-hiong mengadu cawan dengan dia dan menghabiskan isi
secawan, lalu berkata dengan terbahak, "Haha, melihat gerakgerikmu,
tampaknya tidak menjadi sedih lantaran kotak itu

dirampas orang, tapi hanya murung karena ditinggal pergi Ni
Beng-ay."
"Aku tidak cuma bicara saja," kata It-hiong, "Bila kutemukan
dia, tentu akan kuhajar dia."
"Lalu tidur bersama dia," sambung Bun-hiong.
"Betul," kata It-hiong.
Bun-hiong tertawa, "Bicara sih begitu, tapi kalau orang yang
melukai Sun Thian-tek kemarin malam itu ialah dia, ini
membuktikan Kungfunya pasti tidak di bawahmu, maka
tidaklah mudah bagimu bilamana hendak kau hajar dia."
It-hiong berkerut kening, katanya, "Melihat gerak-geriknya
seperti nona yang tidak pernah berlatih silat, kulit dagingnya
juga sangat halus."
Seketika Bun-hiong terbeliak, serunya, "Hah, pernah kau raba
dia?"
"Kupondong dia di atas kuda dan menempuh perjalanan
sekian jauhnya, dapat kurasakan sekujur badannya halus
lunak serupa tidak bertulang," tutur It-hiong dengan tertawa.
"Ini kan tidak dapat memastikan dia tidak pernah berlatih
Kungfu," ujar Bun-hiong. "Bisa jadi hal itu justru disebabkan
karena Kungfunya sudah mencapai tingkatan sempurna, maka
sama sekali tidak kentara."
"Tidak mungkin," kata It-hiong sambil menggeleng. "Jika ilmu
silatnya sangat tinggi, tidak nanti ia menggunakan cara
menipu."
"Dan sekarang apa yang akan kau lakukan!" tanya Bun-hiong.

"Akan kucari seorang tokoh angkatan tua, hendak kuminta
keterangan padanya tentang asal usul si kakek baju kelabu,"
tutur It-hiong. "Rasanya tidak banyak tokoh zaman kini yang
bersenjata ruyung baja persegi, kukira tidak sulit untuk
mencari keterangannya."
"Engkau tidak ke Kim-leng dan mencari Giok-nio lagi?" tanya
Bun-hiong.
"Sesudah beres urusan ini baru akan kucari dia."
"Apakah dapat kau katakan padaku maksudmu mencari Gioknio?"
It-hiong tersenyum, katanya, "Hah, engkau ini sungguh orang
sok mau tahu, segala apa pun ingin turut campur."
"Betul, terlebih urusan yang menyangkut orang perempuan,
paling menarik bagiku," jawab Bun-hiong tertawa.
It-hiong termenung sejenak, lalu berkata, "Soalnya ada
seorang detektif ulung yang sudah pensiun minta bantuanku
mencari dia ...."
"Detektif ulung yang sudah pensiun?" Bun-hiong menegas.
"Ya, namanya Tui-beng-poan-koan To Po-sit, dulu detektif
termasyhur di kota Tiang-an, baru pensiun tahun yang lalu,"
tutur It-hiong.
"Ah, kiranya dia," seru Bun-hiong, tertarik juga dia. "Konon dia
memang tokoh yang hebat, selama hidupnya tak terhitung
penjahat yang telah dibekuknya, dia pernah menerjang Ohliong-
ceh di Mo-thian-nia seorang diri dan menawan bandit
paling ditakuti pada waktu itu."

"Betul, itulah dia," kata It-hiong. "Ada orang memaki dia
sebagai alap-alap atau anjing pemburu pihak pemerintah, tapi
kupandang dia sebagai seorang pendekar yang suka membela
rakyat jelata dan penumpas kejahatan."
"Saat ini dia berusia berapa?" tanya Bun-hiong.
"Lebih 60 tahun."
"Bagi seorang yang berlatih Kungfu, umur 60 memang belum
terhitung terlalu tua, kenapa dia minta pensiun dan pulang ke
kampung halaman?" tanya Bun-hiong.
"Sebab dia tidak suka pada gejala aneh di kalangan pembesar
yang dilihatnya," tutur It-hiong. "Pula sebagai detektif yang
terkenal, bilamana waktu mengusut perkara banyak mendapat
pembatasan dan tidak bisa bekerja bebas, maka ia pikir lebih
baik mengundurkan diri saja."
Ia berhenti sejenak, lalu menyambung lagi, "Alasan yang lain
adalah karena dulu kakinya pernah terluka parah, meski sudah
diobati dan sembuh, namun masih sering kambuh dan sakit,
keadaan akhir-akhir ini tambah gawat, waktu berjalan perlu
bantuan tongkat, terpaksa ia harus minta pensiun."
"Ada hubungan apa antara dirimu dengan dia?" tanya Bunhiong.
"Hanya kenalan saja, karena merasa cocok, maka
bersahabat," tutur It-hiong.
"Untuk apa dia minta kau cari Giok-nio?"
"Dia seorang yang sudah pensiun tapi, tidak mau
menganggur," kata It-hiong, "maka sering dia menyatakan

menyesal karena beberapa perkara lama yang belum sempat
dipecahkannya. Pada suatu hari secara iseng kukatakan
padanya bagaimana bila kubantu dia menyelesaikan
perkaranya yang belum tuntas, dia sangat senang mendengar
gagasanku, segera ia memberikan perintahnya yang pertama
dan menyuruhku mencari seorang perempuan hiburan
bernama Giok-nio dan menangkapnya."
"Memangnya apa kesalahan Giok-nio?" tanya Bun-hiong.
"Dia tidak melanggar sesuatu kesalahan," kata It-hiong.
"Orang tidak salah kenapa akan ditangkap?" tanya Bun-hiong
heran.
"Menurut Tui-beng-poan-koan To Po-sit, katanya kalau Gioknio
ditangkap akan dapat memecahkan suatu perkara pelik."
"Kenapa bisa begitu?" tanya Bun-hiong.
"Dia memang orang aneh, dia tidak mau memberitahukan
seluk-beluk perkara yang dimaksud, hanya diceritakan
serbasedikit, katanya Giok-nio itu adalah adik perempuan Engjiau-
ong Oh Kim-lam."
Ebook oleh : Dewi KZ
Scan book oleh : BBSC
Jilid 6
"Hahh," Bun-hiong terkejut. "Masa Giok-nio adik
perempuan Eng-jiau-ong (si Raja Cakar Elang) Oh Kiam-lam?"
"Sangat mengherankan bukan?" ujar It-hiong dengan
tersenyum.

"Memang aneh," kata Bun-hiong. "Eng-jiau-ong Oh Kiam-lam
adalah pemimpin besar ke-72 gerombolan bandit terbesar di
daerah utara dan selatan, mengapa adik perempuannya bisa
telantar menjadi perempuan hiburan?"
"Tentang Eng-jiau-ong Oh Kiam-lam sudah mati lima tahun
yang lalu, apakah kau tahu?" tanya It-hiong.
"Tahu, konon dia habis melakukan suatu perkara besar, tidak
lama kemudian lantas ditemukan mati di luar kota Tiang-an,"
kata Bun-hiong.
"Betul, perkara yang dikerjakannya itu memang terlampau
besar," kata It-hiong sambil mengangguk. "Yang dirampok
adalah satu partai harta kiriman bantuan pemerintah ke
daerah Kangsay untuk menolong bencana alam yang timbul di
sana. Setelah berhasil merampok Oh Kiam-lam lantas
menghilang, siapa tahu tiga bulan kemudian mendadak
ditemukan sudah mati terbunuh di luar kota Tiang-an."
"Yang membunuhnya pasti juga kawannya dari golongan
hitam," ujar Bun-hiong. "Tujuannya adalah merampas harta
hasil rampokannya itu."
"Bisa juga lantaran pembagian rezeki yang tidak rata sehingga
timbul percekcokan di antara kawan sendiri."
Bun-hiong mengangguk. "Ya, mungkin. Dan adakah hubungan
dengan maksud Tui-beng-poan-koan To Po-sit mencari Gioknio?"
"Dia tidak mau menjelaskan, aku hanya disuruh membekuk
Giok-nio baru akan dijelaskan nanti," tutur It-hiong. "Menurut
dugaanku, maksud tujuannya menangkap Giok-nio mungkin
bukan untuk mengusut harta pemerintah yang dirampok itu,
sebab kalau Giok-nio tersangkut perkara itu, tentu kawan

golongan hitam takkan membiarkan dia hidup bebas,
sebaliknya kalau dia mendapatkan bagian rezeki itu, tidak
nanti dia hidup telantar menjadi perempuan hiburan."
"Meski masuk di akal perkiraanmu, tapi kupercaya maksud To
Po-sit hendak menangkap Giok-nio pasti ada hubungannya
dengan Oh Kiam-lam."
"Tapi Oh Kiam-lam kan sudah mati," kata It-hiong.
"Orang mati kan juga dapat meninggalkan urusan yang
panjang," kata Bun-hiong. "Dan kenapa To Po-sit tidak mau
menceritakan sebabnya dia ingin menangkap Giok-nio?"
"Dia memang mempunyai watak yang aneh," tutur It-hiong.
"Setiap perkara yang belum dipecahkan olehnya, biasanya dia
memang tutup mulut serapatnya. Aku cukup kenal wataknya,
maka aku suka bekerja baginya."
"Konon ilmu silatnya sangat tinggi, bahkan serbatahu," kata
Bun-hiong. "Kalau saja tidak menjadi pejabat sebenarnya dia
dapat menjadi pemimpin suatu golongan tersendiri di dunia
persilatan dan menjadi guru besar ilmu silat."
"Memang betul," It-hiong mengangguk.
"Dia juga pernah memberi petunjuk padamu?" tanya Bunhiong.
"Ada, pernah dia mengajarkan padaku sejurus ilmu pukulan
dan sejurus ilmu menangkap dan mencengkeram." tutur Ithiong.
"Sekarang dia tinggal di mana?" tanya Bun-hiong.
"Maaf, hubungan kita belum cukup akrab, tidak dapat

kukatakan tempat tinggalnya kepadamu."
"Tidak mau kau katakan ya sudahlah, aku pun tidak
memaksa," ujar Bun-hiong tersenyum.
"Kembali urusan pokok, apakah kau tahu di sekitar sini ada
tokoh dunia persilatan yang agak menonjol?" tanya It-hiong
tiba-tiba.
"Ada apa?" tanya Bun-hiong.
"Supaya dapat kuminta keterangan tentang asal usul si kakek
baju kelabu."
"Di sekitar sini tidak ada tokoh yang kukenal, tapi kukenal dua
pemimpin Siang-liong-piaukiok di Kim-leng, mereka berusaha
di bidang pengawalan, orang dari golongan putih maupun
kalangan hitam tentu cukup banyak yang dikenal mereka, jika
ingin mencari keterangan tentang si kakek baju kelabu, kukira
boleh kita cari mereka."
"Jika begitu kira harus putar kembali ke sana?" tanya It-hiong.
"Dari sini ke Kim-leng kan tidak terlalu jauh, pula setiba di
sana kau pun dapat mencari Giok-nio, bukankah sekali tindak
dua hasil?"
It-hiong berpikir sejenak, katanya kemudian, "Betul juga, jika
begitu bolehlah kita bermalam di sini, esok segera berangkat
ke Kim-leng."
Maka sehabis makan malam, mereka keluar pula berfoya-foya,
lalu kembali lagi ke hotel.
Esoknya mereka meninggalkan Ko-yu dan menuju ke selatan.

Pang Bun-hiong tidak membawa kuda, maka bersama It-hiong
menunggang satu kuda. Pek-sin-liong adalah kuda tangkas
dan kuat, meski memuat dua orang tetap berlari dengan amat
pesat.
Menjelang malam mereka pun tiba di kota Kim-leng.
Kim-leng adalah sebuah kota ternama yang bersejarah,
terhitung salah satu kota yang ramai dan makmur, gedungnya
megah berderet, pada waktu malam bilamana lampu sudah
menyala, pasar malam tambah ramai dan pemandangan
memesona.
Begitu masuk kota, Bun-hiong lantas turun dari kuda dan
berjalan kaki, katanya dengan tertawa, "Di kota Kim-leng ini
aku pun cukup dikenal."
"Jika begitu harap engkau mencarikan dulu sebuah hotel,
urusan lain boleh dirundingkan nanti," kata It-hiong.
"Baik, ikut saja padaku," ujar Bun-hiong.
Ia membawa It-hiong ke suatu jalan yang paling ramai di
pusat kota, lalu berhenti di depan sebuah hotel mewah
bernama Kim-leng-khek-can.
Seorang pelayan yang bermata jeli segera mengenali Pang
Bun-hiong, cepat ia menyongsong kedatangan langganannya
dan menyapa, "Aha, Pang-kongcu, sudah lama nian tidak
berkunjung kemari? Tumben kelihatan sekarang, lekas masuk,
silakan masuk."
Bun-hiong menuding It-hiong dan berkata. "Ini Liong-kongcu,
sahabatku. Malam ini kami hendak menginap di sini, sediakan
dua kamar kelas utama."

Berulang pelayan mengiakan, lalu kuda It-hiong dibawa pergi
dan diberi makan, kemudian mengantar Bun-hiong berdua ke
kamar.
Hampir semua pegawai hotel kenal Bun-hiong, semuanya
menyapa dengan hormat. Mereka menempati dua kamar kelas
satu, sesudah membersihkan badan baru bersama
meninggalkan hotel.
"Di ujung jalan sana ada sebuah restoran paling terkenal di
kota ini, namanya Kim-boan-lau, boleh kau coba," kata Bunhiong.
"Tapi aku tidak mau makan otak kera," kata It-hiong.
"Jangan khawatir," ujar Bun-hiong tertawa. "Restoran itu
khusus menyajikan masakan Sujwan, tidak menjual otak
kera."
"Aha, bagus, aku memang suka makan hidangan Sujwan,
rasanya pedas dan menyenangkan," seru It-hiong.
"Cuma mahal harganya, sekali makan terkadang
menghabiskan beberapa puluh tahil perak," ujar Bun-hiong.
"Tidak menjadi soal, aku yang bayar," kata It-hiong.
"Tidak, makan malam ini adalah giliranku untuk membayar,"
seru Bun-hiong. "Aku ini langganan lama Kim-boan-lau,
malahan dulu pernah kubela mereka mengusir beberapa orang
bicokok yang bikin rusuh di sana, maka mereka tidak berani
menggorok terlalu mahal."
Tengah bicara, tanpa terasa mereka sudah tiba di luar
restoran itu.

Benar juga, begitu melihat Pang Bun-hiong, serupa juga
pelayan hotel, segera pelayan restoran menyapa dengan
hormat dan menyilakan mereka naik ke loteng, ke tempat
yang paling terhormat.
Setelah memilih sayuran, lalu Pang Bun-hiong menggoyang
kipas lagi dan berkata, "Habis makan, lebih dulu kita mencari
Giok-nio atau mendatangi Siang-liong-piaukiok?"
"Pergi dulu ke Siang-liong-piaukiok," kata It-hiong. "Kuingin
merampas kembali dulu kotak itu dan mengantarnya ke Cappek-
pan-san, habis itu baru membereskan urusan Giok-nio
ini."
"Jika sudah dapat mengetahui seluk-beluk si kakek baju
kelabu lantas takkan kau cari Giok-nio lagi?" tanya Bun-hiong.
"Sebelum berangkat boleh juga mencarinya dulu, cuma tidak
boleh memperlihatkan sesuatu tanda mencurigakan, agar
tidak menyentuh rumput mengagetkan ular," kata It-hiong.
"Dia tinggal di rumah hiburan mana?"
"Kabarnya di Boan-wan-jun."
"Aku tahu tempat itu, rumah hiburan itu memang bagus, ratarata
cantik nona yang tinggal di situ."
"Buset, tampaknya tidak sedikit nona yang pernah kau kenal."
"Tidak banyak, soalnya aku suka pilih."
"Bagaimana pilihanmu?"
"Harus muda dan cantik, anggun dan bersih, harus yang
masih baru."

"Tolol, nona begituan kan tidak pengalaman, masa baik?"
"Aku justru cocok yang jenis begitu, kau sendiri suka yang
model apa?"
"Aku suka yang genit, makin genit makin baik."
"Hah, ada satu di Boan-wan-jun, namanya Kim-lian, dia
terkenal paling genit, mau kuperkenalkan dia padamu?"
"Boleh sih boleh, cuma kalau jadi ke Boan-wan-jun, yang ingin
kutemui dulu justru Giok-nio ...."
Tengah bicara, hidangan sudah diantar oleh pelayan. Maka
mereka lantas makan minum dengan riangnya.
Sembari makan It-hiong bertanya, "Berapa jauhnya jarak
Siang-liong-piaukiok dari sini?"
"Tidak jauh, ratusan langkah saja dari sini," jawab Bun-hiong.
"Siapa nama Congpiauthaunya?"
"Mereka bersaudara, Lotoa Hang Tiong, Loji Hang Wi, orang
memberi julukan Hang-keh-siang-liong (dua naga keluarga
Hang) kepada mereka. Mereka memang tangkas juga, barang
kawalan mereka tidak pernah hilang."
"Bagaimana hubunganmu dengan mereka?" tanya It-hiong
pula.
"Tidak jelek, cuma mereka hidup serupa orang kaya
mendadak, maka aku jarang mencari mereka."
Belum lenyap suaranya, mendadak terdengar suara orang naik

tangga, menyusul seorang lantas berseru dengan lantang,
"Aha, Pang Bun-hiong, kau datang ke Kim-leng sini, kenapa
tidak kau cari kami?"
Bun-hiong merasa girang, segera ia berdiri dan menyapa,
"Aha, baru disinggung segera muncul orangnya. Inilah Hangloji!"
Terlihat dari bawah naik dua orang. Yang di depan berusia 40-
an, bertubuh kekar, berwajah lebar, kumis menghias bibirnya,
pakaiannya mentereng, tampaknya dia inilah Hang Wi, orang
kedua dari Siang-liong-piaukiok.
Yang ikut di belakangnya adalah seorang muda, mukanya
tidak luar biasa, tampaknya seorang pelajar.
Dengan tersenyum Bun-hiong memberi hormat dan menyapa,
"Baik-baikkah selama ini, Hang-jipiauthau?"
Hang Wi menjabat tangan Bun-hiong dengan akrab sambil
menepuk pundak orang, katanya dengan tergelak, "Haha,
rasanya sudah lebih setengah tahun kita berpisah, sekali ini
angin apakah yang membawamu ke sini?"
"Karena senang, lalu datang kemari," ujar Bun-hiong dengan
tertawa.
"Baru saja kulewat di bawah, pelayan bilang padaku akan
kedatanganmu, kuheran mengapa engkau tidak mampir ke
rumah kami?" tanya Hang Wi.
"Siaute juga baru sampai, sesudah makan memang ingin
mengunjungimu," Bun-hiong memberi alasan. Lalu ia
berpaling dan berkata kepada It-hiong, "Ini, kuperkenalkan
kalian. Inilah Hang-loji dari Siang-liong-piaukiok."

"Sudah lama kukagumi nama Anda, beruntung dapat
berjumpa di sini," segera It-hiong memberi hormat.
Lalu Bun-hiong berkata pula kepada Hang Wi, "Inilah Lionghiap
Liong It-hiong yang termasyhur itu."
"Aha, kiranya Liong-hiap adanya," seru Hang Wi sambil
membalas hormat. "Sudah sering kudengar nama Anda dari
kawanku, sungguh bahagia hari ini dapat bertemu."
It-hiong lantas mengucapkan kata-kata merendah diri.
Kemudian Bun-hiong memandang pemuda pelajar itu dan
bertanya, "Hang-heng, saudara ini ...."
"Dia bernama Lu Siau-peng, adik istriku," cepat Hang Wi
memberi tahu. "Dia baru beberapa hari berada di Kim-leng,
karena iseng malam ini, maka kubawa dia melancong keluar.
Ayo Siau-peng, lekas menemui Pang-kongcu dan Liongtayhiap."
Lu Siau-peng itu seperti pemuda yang masih hijau, melihat
orang asing masih kelihatan malu-malu, dengan kikuk ia lantas
memberi hormat kepada Bun-hiong berdua tanpa bersuara.
"Mari silakan duduk dan minum beberapa cawan," sapa Bunhiong
pula. "Hei pelayan, lekas tambah dua pasang sumpit
dan mangkuk piring."
Pelayan mengiakan dan cepat menyiapkan apa yang diminta.
Dengan akrab Bun-hiong menuangkan arak bagi mereka, lalu
ia menuang secawan untuk diri sendiri, katanya, "Mari,
habiskan secawan!"
Sekali tenggak Hang Wi menghabiskan isi cawannya, lalu

berkata sambil memandang Bun-hiong berdua, "Kalian yang
satu Liong-hiap dan yang lain Hou-hiap, kini dalam perjalanan
bersama, sungguh kisah yang menarik bagi dunia persilatan."
"Ah, menarik apa," ujar Bun-hiong tertawa. "Orang bilang
naga bertempur dengan harimau, bilamana naga bertemu
harimau selalu berakibat tidak baik."
"Haha, tidak, tidak bisa," Hang Wi terbahak. "Kalian yang satu
naga langit dan yang lain harimau bumi, sesuai pemeo yang
menyatakan air sumur tidak menggenangi air sungai, tidak
nanti kalian saling bertempur. Jika kalian sama menggunakan
julukan Liong atau Hou, kemungkinan untuk bertarung tentu
akan besar karena satu gunung biasanya memang sukar
dihuni oleh dua harimau sekaligus."
Bun-hiong memandang It-hiong, katanya dengan tertawa,
"Nah, kau dengar, maka perkelahian kita itu biarlah kita hapus
saja."
It-hiong hanya tertawa tanpa menjawab.
"Bicara sesungguhnya, kedatangan kalian di Kim-leng ini
apakah ada sesuatu urusan?" tanya Hang Wi.
"Ada, kami memang hendak mencari kalian," jawab Bunhiong.
"Oo, ada petunjuk apa?" tanya Hang Wi.
"Kami ingin mencari keterangan seorang padamu," kata Bunhiong.
"Siapa?" tanya Hang Wi.
Bun-hiong menunjuk It-hiong dan berkata, "Dia mempunyai

semacam barang dan dirampas seorang tua, tapi tidak tahu
nama dan alamat orang tua itu. Kupikir kalian sering kian
kemari di dunia Kangouw, tokoh Bu-lim yang kalian kenal
sangat banyak, mungkin kalian tahu seluk-beluk kakek itu,
maka kuajak dia kemari, untuk minta keterangan padamu."
Hang Wi memandang It-hiong sekejap, tanyanya, "Barang apa
milik Liong-hiap yang dirampas orang?"
"Sebuah kotak," tutur It-hiong. "Itu pun sebenarnya bukan
milikku melainkan barang titipan orang yang minta kukirim ke
Cap-pek-pan-san ...."
"Cap-pek-pan-nia atau Cap-pek-pan-san?" mendadak Hang Wi
memotong.
It-hiong melenggong, perlahan timbul rasa kejut dan girang
pada air mukanya, mendadak ia melonjak dan berseru, "Aha,
betul, Cap-pek-pan-nia dan bukan Cap-pek-pan-san, yang
benar Cap-pek-pan-nia (Nia=bukit, San=gunung)."
Bun-hiong ikut bingung, katanya, "Hei, bicaralah yang jelas,
sesungguhnya Cap-pek-pan-nia atau Cap-pek-pan-san?"
"Yang betul adalah Cap-pek-pan-nia," seru It-hiong dengan
bersemangat. "Karena pertanyaan Hang-jiko tadi, seketika
teringat olehku yang tepat adalah Cap-pek-pan-nia."
"Kukira memang begitu," kata Hang Wi tersenyum. "Hanya
Cap-pek-pan-nia yang bisa ada hubungan dengan kawan Bulim,
kalau Cap-pek-pan-san pasti tidak."
"Kenapa bisa begitu!" tanya Bun-hiong.
"Sebab Cap-pek-pan-san hanya sebuah tempat yang terkenal
indah pemandangan alamnya, tidak ada orang persilatan yang

bercokol di pegunungan itu, sebaliknya Cap-pek-pan-nia
menjadi pangkalan orang Kangouw," tutur Hang Wi.
"Kudengar paling akhir ini ada sekawanan orang gagah yang
baru saja menonjol di dunia Kangouw menduduki bukit itu
sebagai pangkalan, pengaruhnya besar dan telah menguasai
kalangan hitam di daerah utara dan menjadi pusat kekuasaan
kaum bandit di lima provinsi utara."
"Siapa pemimpin besarnya?" tanya It-hiong cepat.
"Itu aku tidak tahu," Hang Wi menggeleng. "Jarak Cap-pekpan-
nia dari sini sangat jauh letaknya, tidak pernah kami
mengawal barang lewat sana, maka keadaan di tempat itu
kami hanya tahu sekadarnya saja."
"Jika begitu, tepatnya Cap-pek-pan-nia itu di mana letaknya?"
tanya It-hiong.
"Kira-kira 60 li di sebelah barat laut Tong-hiang di barat
provinsi Kamsiok, di sebelah utaranya adalah gerbang Ciheng-
koan dari tembok besar, di sebelah baratnya adalah
pegunungan Tay-bo-san dengan lereng gunungnya yang
tinggi berderet, lereng gunungnya berderet delapan belas
diliputi rimba raya yang sukar dijajaki, orang biasa tidak berani
mendekati lereng gunung itu, sebab sangat mungkin akan
kesasar, bahkan banyak sekali binatang buas di sana."
It-hiong menarik napas, katanya kepada Bun-hiong, "Keparat,
jika begitu, orang yang bernama Si Hin itu ternyata kawanan
bandit dari Cap-pek-pan-nia."
"Betul atau tidak, sekarang belum dapat dipastikan, jika dia
memang anggota bandit di pegunungan itu, apakah sekarang
masih hendak kau antar kotak itu ke sana?" tanya Bun-hiong
dengan tertawa.

It-hiong mengangkat pundak, "Tentang ini ... biarlah
kuputuskan nanti kalau kotak sudah kurebut kembali."
"Orang yang bernama Si Hin itu minta Liong-hiap mengantar
sebuah kotak ke Cap-pek-pan-nia, memangnya apa isi kotak
itu?" tanya Hang Wi.
"Aku pun tidak tahu, sesudah kotak hitam itu diserahkan
kepadaku segera ia mengembuskan napas terakhir karena
lukanya yang parah ...." Lalu ia menceritakan secara ringkas
apa yang dialaminya dulu.
Gemerdep sinar mata Hang Wi mendengar cerita yang aneh
ini, katanya kemudian, "Jika demikian, isi kotak itu pasti
sesuatu barang yang sangat berharga, makanya menimbulkan
incaran orang banyak. Lantas bagaimana bentuk orang yang
merampas kotak itu?"
"Seorang kakek berusia 60-an," tutur It-hiong, "perawakannya
kurus, berbaju warna kelabu, membawa senjata ruyung baja
bersegi, Ginkangnya sangat tinggi."
Hang Wi berpikir agak lama, katanya kemudian, "Tokoh Bu-lim
yang memakai senjata ruyung baja kutahu ada beberapa
orang, tapi kakek yang kau maksudkan ini sangat mungkin
adalah In-tiong-yan Pokyang Thian ...."
"Orang macam apakah In-tiong-yan Pokyang Thian itu?" tanya
It-hiong.
"Biasanya dia berkeliaran di daerah selatan, seorang bandit
ternama, selain Kungfunya sangat tinggi, Ginkangnya juga
sangat hebat, boleh dikatakan jarang ada bandingannya,"
tutur Hang Wi.
"Dia tinggal di mana?" tanya It-hiong.

"Ini aku pun tidak tahu," jawab Hang Wi. "Dia adalah bandit
yang bekerja sendiri dan pergi-datang tidak menentu,
mungkin tidak ada tempat kediaman yang pasti."
"Mana dia tidak punya anak istri?" tanya It-hiong pula.
Hang Wi menggeleng, "Entah, tentang orang ini aku juga
cuma mendengar dari cerita orang saja dan tidak pernah
melihatnya, maka tidak begitu jelas mengenai pribadinya."
"Tidak tahu tempat kediamannya, ke mana akan mencarinya!"
ujar It-hiong dengan kening bekernyit.
"Memang betul, untuk mencari orang ini mungkin sangat
sulit," kata Hang Wi.
It-hiong memandang Bun-hiong, tanyanya, "Bagaimana?"
"Jangan cari dia," kata Bun-hiong.
"Tidak bisa, harus kutemukan dia," kata It-hiong. "Soalnya
bukan melulu urusan kotak itu saja, tapi sebelum kuberi
hajaran kepada budak itu rasanya belum puas hatiku."
"Eh, ya, di kota ini adalah seorang Cia-lotia penjual barang
antik, bisa jadi dia tahu jejak In-tiong-yan Pokyang Thian itu,"
kata Hang Wi.
Seketika terbangkit semangat It-hiong, tanyanya, "Cara
bagaimana seorang penjual barang antik mengetahui selukbeluk
In-tiong-yan Pokyang Thian?"
"Sebab barang antik yang dibelinya justru berasal dari barang
curian kaum bandit dan perampok, atau dengan lain
perkataan Cia-lotia adalah tukang tadahnya."

"Hah, jika begitu tentu barang rampasan Pokyang Thian itu
akan dijual juga kepada Cia-lotia," seru It-hiong girang.
"Entah, sukar dipastikan," kata Hang Wi. "Cuma kebanyakan
tokoh Kangouw golongan hitam kenal juga pada Cia-lotia,
maka tokoh seperti Pokyang Thian juga sangat mungkin
pernah mengadakan transaksi dengan Cia-lotia."
"Di mana tempat tinggal Cia-lotia?" tanya It-hiong.
"Kutahu, sebentar dapat kubawamu ke sana," kata Bun-hiong.
"Memang tidak sulit jika ingin menemui Cia-lotia," tukas Hang
Wi. "Tapi bila ingin mengorek keterangan dari mulutnya kukira
urusan tidak terlalu mudah. Jelek-jelek orang tua itu juga
berjiwa setia kawan dan tidak sembarangan mengkhianati
sahabat dunia Kangouw."
"Jangan khawatir, aku mempunyai cara sendiri supaya dia
bicara," kata Bun-hiong.
Tahu mereka ada urusan penting, Hang Wi tidak mau banyak
mengganggu lagi, segera ia berdiri dan berkata, "Baiklah,
silakan kalian makan, aku mohon diri dulu."
Cepat It-hiong berkata, "Jangan pergi dulu Hang-jiko, kalian
belum bersantap apa pun, masa lantas pergi begitu saja?"
"Terima kasih." kata Hang Wi dengan tertawa. "Kami sudah
makan di rumah. Kami hanya keluar untuk melancong saja
dengan iparku ini supaya kenal keadaan kota ini, bilamana
Liong-hiap sudi bersahabat denganku, besok bila bertemu lagi
nanti kita minum sepuasnya."
It-hiong tidak menahannya lagi, katanya, "Baiklah, bila sempat

besok boleh kita minum lagi."
Lalu Hang Wi memberi hormat dan mohon diri.
Sesudah rombongan Hang Wi pergi, It-hiong berdua
meneruskan bersantap.
"Kau kira kakek berbaju kelabu itu In-tiong-yan Pokyang Thian
atau bukan?" tanya It-hiong kemudian.
"Mungkin," jawab Bun-hiong.
"Lekas kita makan, segera kita pergi mencari Cia-lotia," kata
It-hiong.
Begitulah buru-buru mereka menyelesaikan makanan dan
membayar lalu berangkat.
"Jika dari Cia-lotia tidak mendapatkan sesuatu keterangan,
bagaimana kalau kita terus mencari Giok-nio?" tanya Bunhiong.
"Baiklah," jawab It-hiong.
"Menurut pendapatku tidaklah perlu kau pikirkan urusan
kehilangan kotak, jika kotak itu ada sangkut pautnya dengan
kawanan bandit Cap-pek-pan-nia, maka bisa banyak
mendatangkan persoalan bilamana engkau ikut campur."
"Tapi aku sudah menerima pesan orang mati, sebelum tugas
terlaksana rasanya aku tidak rela," kata It-hiong.
"Sejak mula juga engkau tidak pernah menyanggupi
permintaannya, hanya lantaran mendadak kotak itu
diborgolkan di tanganmu, maka tidak dapat dianggap engkau
menerima pesannya."

"Soal kotak itu dapat kurebut kembali atau tidak adalah
urusan lain, namun betapa pun harus kubekuk kembali si
budak she Ni itu," ucap It-hiong dengan gemas.
Bun-hiong tertawa, "Jika dia jatuh hati padamu, dengan
sendirinya dia akan kembali mencarimu."
"Aku tidak berpikir demikian, aku cuma ingin menghajar dia
untuk melampiaskan rasa dongkolku." kata It-hiong.
Begitulah Bun-hiong lantas membawanya masuk ke sebuah
gang kecil, katanya sambil menunjuk ke depan, "Lihat, toko
barang antik Cia-lotia itu terletak di situ."
Waktu It-hiong memandang ke sana, benar juga tidak jauh di
depan ada sebuah toko, di depan pintu ada dua buah lampu
kerudung bertulisan "barang antik", ia tanya, "Kau kenal dia?"
"Kenal, pernah kubeli barangnya," jawab Bun-hiong.
"Bagus jika begitu, sebentar boleh kau tanyai dia, sebaiknya
pakai alasan bahwa engkau mempunyai urusan penting harus
berunding dengan In-tiong-yan Pokyang Thian dan minta dia
sebagai penghubung."
"Cia-lotia adalah rase tua yang licin, dia tidak mau
sembarangan percaya kepada ocehan orang," kata Bun-hiong.
"Tapi jangan khawatir, boleh kau lihat, aku mempunyai cara
sendiri untuk menghadapi dia."
Tengah bicara mereka sudah sampai di depan toko barang
antik Cia-lotia.
Dipandang dari luar cahaya lampu terang benderang di dalam
toko yang penuh barang antik yang menarik, di dekat pintu

masuk ada sebuah meja kerja, di belakang meja duduk
seorang tua dengan kumis tebal melintang di atas bibir, muka
kelihatan kurus, lagi sibuk main swipoa sehingga menimbulkan
suara tik-tak-tik-tak.
Begitu masuk segera Bun-hiong berseru, "Hai, Cia-lotia, ada
barang bagus tidak?"
Cia-lotia atau kakek Cia mengangkat kepala dan mengenali
Pang Bun-hiong, cepat ia berdiri dan memberi hormat,
katanya. "Aha, kiranya Pang-kongcu. Selamat, selamat!
Silakan duduk!"
Bun-hiong tidak memperkenalkan It-hiong padanya, ia
mendekati meja tulis dan bertanya, "Bagaimana, ramai
bisnismu?"
Cia-lotia berkerut kening, keluhnya, "Wah, sepi! Lebih banyak
beli daripada jual, bisnis ini rasanya makin lama makin sulit."
"Ah, sudahlah, jangan mengoceh di depanku," kata Bun-hiong.
"Orang lain mungkin tidak tahu, tapi aku tahu dengan jelas,
umpama kau beli sekaligus sepuluh potong barang, cukup kau
jual sepotong saja sudah kembali modal. Memangnya siapa
yang tidak tahu engkau ini lintah darat?"
"Ah, masa begitu," Cia-lotia menyengir Lalu ia membelokkan
pokok bicara dan memberi hormat kepada It-hiong, katanya,
"Eh, Kongcu ini tentunya sahabat Pang-kongcu."
"Betul," jawab It-hiong.
"Mohon tanya nama Anda yang mulia?" tanya si tua dengan
tertawa.
"Ong It-hiong!"

"O, kiranya Ong-kongcu, selamat bertemu," kata Cia-lotia.
"Nah, bagaimana, ada barang bagus tidak akhir-akhir ini?"
tiba-tiba Bun-hiong menyela.
"Ada, ada," berulang Cia-lotia mengangguk. "Ada sebuah,
sekali pandang saja Pang-kongcu pasti suka. Cuma harganya
agak tinggi ...."
"Jangan banyak omong, lekas keluarkan coba kulihat," sela
Bun-hiong.
"Baik, baik, silakan kalian duduk sebentar, segera
kuambilkan," kata si tua sambil melangkah ke ruang belakang.
Tidak lama kemudian dia keluar lagi dengan membawa sebuah
kotak persegi dan lonjong, dengan hati-hati ia taruh kotak itu
di atas meja, katanya dengan tertawa, "Pang-kongcu pasti
tidak dapat menerka barang apakah ini."
"Seharusnya kau tahu aku suka barang apa," kata Bun-hiong.
"Kacau bukan barang kuno, sedikitnya berumur 500 tahun ke
atas, hendaknya jangan kau perlihatkan kepadaku."
"Wah, barang ini tidak cuma berumur 500 tahun, bahkan
kukira sudah lebih seribu tahun," kata Cia-lotia dengan
tertawa.
"Masa? Coba buka!" ucap Bun-hiong tak acuh.
Perlahan Cia-lotia membuka kotak itu, terlihat bagian dalam
kotak itu dilapisi beledu merah, setelah kain merah itu
disingkap, tertampaklah sebuah pot bunga kristal yang sangat
indah.

Pot bunga itu tingginya lebih satu kaki, bagian mulut melebar
serupa kelopak bunga yang mekar, yang paling bernilai adalah
seluruh tubuh pot berukir indah, biarpun orang awam juga
tahu pot ini pasti benda antik yang sangat berharga.
Bun-hiong lantas mengangkat pot bunga itu dan diamat-amati
sekian lamanya, lalu bertanya, "Barang dari zaman apa?"
Melihat caranya Bun-hiong memegang pot cantik itu diputar
balik seenaknya, si tua menjadi khawatir, serunya dengan
tegang, "Eh, hati-hati Pang-kongcu, jangan sampai jatuh!"
"Wah, melihat keteganganmu ini, tampaknya tidak sedikit
harga pembelianmu, bukan?" tanya Bun-hiong.
"Memang," jawab Cia-lotia. "Pot kristal ini kubeli dengan tiga
ribu tahil perak."
"Berasal dari mana barang ini?" tanya Bun-hiong.
"Istana!" desis Cia-lotia.
"Barang istana tidak seluruhnya benda mestika, tidak perlu
kau gunakan nama istana untuk menggertak orang."
"Tapi asal-usul pot ini sungguh luar biasa, ini barang dari
zaman dinasti Tong," tutur Cia-lotia.
"Memangnya barang Nyo-kuihui?" ucap Bun-hiong dengan
tertawa.
Cia-lotia mengangguk, "Ya, tepat sekali tebakanmu, pot ini
memang barang kesayangan Nyo-kuihui."
"Sekarang hendak kau jual dengan harga berapa?" tanya Bunhiong.

"Jika Pang-kongcu mau, biarlah kuhitung murahan sedikit,
bayar saja tiga ribu dua ratus tahil," kata Cia-lotia.
"Wah, terlalu mahal," Bun-hiong menggeleng kepala.
"Tidak, tidak mahal," kata si tua. "Kubeli dengan tiga ribu
tahil, sekarang kuberikan kepada Pang-kongcu dengan tiga
ribu dua ratus, masa dianggap mahal?"
"Kau dusta," kata Bun-hiong, "Benda ini paling banyak kau beli
dengan lima ratus tahil saja, hanya pindah satu tangan saja
kau ingin untung dua ribu lebih, sungguh pintar menyembelih
orang."
"Ai, jika demikian ucapan Pang-kongcu jelas jual-beli ini tidak
bisa terlaksana," kata si tua.
Bun-hiong sengaja mengangkat pot itu ke atas dan
membuatnya bergoyang-goyang seperti mau terlepas, katanya
dengan tertawa, "Bagaimana kalau kubayar tujuh ratus tahil
saja?"
"Tidak mungkin jadi," kata Cia-lotia. "Masa kudusta, pot ini
memang kubeli dengan tiga ribu tahil, satu peser pun tidak
dapat kurang lagi."
"Jika begitu batal," kata Bun-hiong.
"Silakan pilih yang lain saja, masih ada sedikit barang
simpananku yang lebih kecil ...." sembari bicara si tua terus
hendak mengambil kembali pot itu.
Tapi Pang Bun-hiong sengaja menyurut mundur dan tetap
mempermainkan pot itu seperti hendak jatuh, katanya dengan
tertawa, "Jangan buru-buru, biar kupikir dulu."

"Caramu memegang jangan begitu, bisa jatuh," seru Cia-lotia
khawatir.
"Jangan khawatir, takkan pecah," kata Bun-hiong.
"Tidak, harus hati-hati," kata si tua. "Coba lihat mulut pot
yang tipis itu, sedikit terbentur saja pasti pecah, apalagi jatuh.
Dan kalau gempil sedikit saja pasti akan merosot banyak
harganya."
"Tidak akan pecah, jangan khawatir," kata Bun-hiong dengan
tertawa.
Melihat cara Bun-hiong memegang pot itu tetap dengan acuh
tak acuh dan bukan mustahil bisa segera pecah berantakan, si
tua menjadi khawatir sehingga dahi berkeringat, serunya,
"Awas, awas!"
"Jangan khawatir," kata Bun-hiong dengan tertawa. "Ingin
kutanya dulu padamu, kecuali pot bunga ini, barang aneh apa
pula yang kau miliki?"
"Ada, ada, masih banyak," sahut si tua. "Biar kusimpan dulu
pot ini, segera kuperlihatkan barang lain."
Habis berkata segera ia hendak mengambil kembali pot bunga
kristal itu.
Namun Bun-hiong tetap tidak mau mengembalikannya,
sebaliknya ia angkat pot itu terlebih tinggi, katanya dengan
tertawa, "Aku minta sesuatu padamu, entah kau punya tidak?"
Cia-lotia khawatir pot itu benar-benar akan jatuh, dengan
muka pucat ia berseru, "Kau ... kau minta barang apa?"

"Sebuah kotak!" kata Bun-hiong.
"Sebuah kotak?" Cia-lotia menegas dengan melenggong.
"Kotak apa?"
"Ya, sebuah kotak besi warna hitam, bentuknya serupa peti
besi tempat menyimpan barang berharga, pada peti itu ada
rantai besi dan ujungnya diberi borgol baja."
"Aneh, barang apakah itu?" tanya Cia-lotia dengan terbelalak.
Bun-hiong tidak menjawab, sebaliknya tanya lagi, "Adakah
orang menyerahkan kotak begitu kepadamu?
"Tidak ada," jawab si kakek. "Kotak yang Kongcu katakan itu
apa isinya? Mungkinkah tersimpan sesuatu benda mestika?"
"Tidak perlu kau tanya," kata Bun-hiong. "Jika tidak ada orang
memberikan kotak begitu padamu, maka aku ingin tanya lagi
kabar seorang ...."
"Siapa?" tanya Cia-lotia.
"In-tiong-yan Pokyang Thian," kata Bun-hiong.
"Kongcu hendak mencari dia?" si tua menegas.
Bun-hiong mengangguk, "Ya."
"Sudah lama sekali dia tidak datang kemari," tutur Cia tua.
"Di mana tempat tinggalnya?" tanya Bun-hiong pula.
"Entah," jawab Cia-lotia.
Kembali Bun-hiong menggoyang-goyangkan lagi pot bunga itu

di telapak tangan sehingga seperti mau jatuh, katanya dengan
tertawa, "Benar engkau tidak tahu?!"
Tentu saja Cia-lotia sangat khawatir, "Hei, jangan bergurau,
Pang-kongcu, bisa runyam bila jatuh!"
Bun-hiong tidak peduli urusan pot itu akan jatuh atau tidak,
katanya, "Aku ingin tahu tempat tinggal In-tiong-yan Pokyang
Thian, kukira engkau pasti tahu, maukah kau beri tahukan
padaku?"
"Jangan Kongcu bikin susah padaku," kata Cia-lotia sambil
menggeleng. "Sesungguhnya orang macam apa In-tiong-yan
Pokyang Thian itu tentu sudah cukup kau kenal, mana dia
mau memberitahukan alamatnya kepadaku?"
"Jadi benar engkau tidak tahu?" Bun-hiong menegas.
"Benar-benar tidak tahu," jawab Cia-lotia.
Mendadak pot bunga itu seperti mau terlepas dari tangan Bunhiong,
katanya dengan tertawa, "Lihat, pot ini seperti tidak
puas atas jawabanmu, dia hampir saja jatuh terguling!"
Cia tua menjadi kelabakan, dengan sedih ia memohon,
"Ampun Pang-kongcu, kuharap janganlah engkau membikin
susah padaku. Bilamana kutahu alamat In-tiong-yan masa
berani kurahasiakan .... Auuhh!"
Mendadak pot bunga itu terlepas dari tangan Bun-hiong!
Tampaknya segera pot itu akan hancur terbanting, tahu-tahu
tangan Bun-hiong meraih ke bawah dan pot itu dapat
ditangkapnya kembali.
"Coba kutanya sekali lagi .... Kau tahu di mana tempat tinggal

In-tiong-yan Pokyang Thian?" tanya Bun-hiong pula.
Muka Cia-lotia tampak pucat pasi, jawabnya dengan suara
gemetar, "Kongcu, hendak ku ... kutegaskan, bila ... bilamana
kau pecahkan pot ini, tentu ... tentu kuminta ganti rugi."
"Jika aku mengaku memecahkan pot ini, dengan sendirinya
harus kuganti," kata Bun-hiong dengan tertawa. "Tetapi kalau
kubilang kau sendiri yang menjatuhkan pot ini, memangnya
salah siapa?"
Gugup dan cemas Cia tua, serunya, "Wah, jangan ... jangan
...."
"Ini, untuk penghabisan kali kutanya," mendadak Bun-hiong
menarik muka. "Kau tahu di mana tempat tinggal In-tiong-yan
Pokyang Thian?"
Kembali Cia-lotia menjawab, "Oo, Thian! Kan sudah
kukatakan, aku benar-benar tidak tahu, lantas apa yang dapat
kukatakan?"
Mendadak Bun-hiong menaruh pot bunga kristal itu di atas
meja. Lalu berkata kepada It-hiong, "Rupanya dia memang
tidak tahu, marilah kita pergi!"
*****
Setengah jam kemudian, Liong It-hiong dan Pang Bun-hiong
sudah berada di suatu jalan yang terkenal sebagai kompleks
"lampu merah". Mereka jalan berjajar melalui rumah demi
rumah sambil menilai setiap cewek penghuni rumah hiburan

yang mereka lihat ....
"Tahun yang lalu pernah kudatang ke sini," kata It-hiong.
"Kalau tidak salah di suatu rumah yang bernama Tho-hiang-ih
kupenujui seorang ...."
"Bagaimana bentuknya?" tanya Bun-hiong dengan tertawa.
"Kurang cocok," jawab It-hiong. "Wajahnya sih lumayan, tapi
badannya kerempeng, akhirnya aku tidak jadi bermain."
"Malam ini boleh ikut saja padaku, kujamin pasti pulang
dengan puas," kata Bun-hiong.
"Malam ini aku hanya mencari Giok-nio, yang lain aku tidak
mau," kata It-hiong.
"Setelah bertemu dengan dia, apakah akan kau tidur dengan
dia?" tanya Bun-hiong.
"Lihat keadaan nanti," ujar It-hiong.
"Dengan cara bagaimana akan kau bawa keluar dia?" tanya
Bun-hiong pula.
"Belum terpikir olehku bagaimana caranya," kata It-hiong.
"Biar kuajari suatu cara," ujar Bun-hiong. "Malam ini boleh kau
tidur bersama dia, besok kau ajak dia melancong keluar kota,
pada kesempatan itu dapat kau bawa pergi dia."
"Dia mau ikut keluar kota?" tanya It-hiong tertawa.
"Asalkan tanganmu agak terbuka, rasanya dia pasti tidak
menolak."

"Baik, akan kucoba. Adakah tempat pesiar yang baik di luar
kota?"
"Ada, Bok-jiu-oh (telaga jangan sedih)," kata Bun-hiong.
"Bagus, biar kuajak dia pesiar ke sana, tapi harus kau bantu,
besok pagi hendaknya kau bawa dulu kudaku dan menunggu
di tepi telaga sana."
"Boleh," jawab Bun-hiong.
Tiba-tiba It-hiong menuding ke depan, "Lihat, itu kan Boanwan-
jun? .... Ehm, memang hebat!"
Boan-wan-jun memang terhitung rumah pelacuran lebih tinggi
kelasnya dibandingkan rumah hiburan lain yang terdapat di
kompleks ini, tamu yang berkunjung ke sini kebanyakan juga
cukong yang berduit.
"Kukenal germo Boan-wan-jun ini," kata Bun-hiong. "Dia
punya julukan sebagai Cui-coa-yo (si pinggang ular), meski
usianya sudah setengah baya, tapi kalau berjalan, lenggaklenggoknya
bisa bikin semaput orang."
"Wah, tentu sangat genit," kata It-hiong dengan tertawa.
"Ya, memang sangat genit," Bun-hiong mengangguk.
Bicara sampai di sini mereka sudah sampai di depan pintu
Boan-wan-jun.
Demi melihat kedatangan dua tamu Kongcu muda dan gagah,
segera seorang calo menyongsong Bun-hiong berdua, sambil
memberi hormat ia menyapa, "Silakan duduk di dalam kedua
Kongcuya, silakan masuk ke dalam."

Lalu dia berteriak juga ke dalam rumah, "Ada tamu?"
Segera ada orang menyahut di dalam, lalu muncul seorang
perempuan setengah umur, melihat gaya berjalannya dengan
pinggulnya yang lenggak-lenggok, jelas dia si germo Boanwan-
jun yang dimaksudkan Bun-hiong tadi, yaitu si Cui-coayo.
Begitu melangkah ke dalam segera Bun-hiong menegur
dengan tertawa, "Hai, Cui-coa-yo, masih kenal padaku tidak?"
Cui-coa-yo mengamatinya beberapa kejap, serentak ia berseru
girang, "Aduh, kukira siapa, rupanya Pang-kongcu adanya!
Kenapa sudah sekian lama tidak mampir ke sini? Tumben!"
"Sekarang aku kan sudah datang?!" kata Bun-hiong dengan
tertawa.
"Silakan duduk, silakan!" kata Cui-coa-yo dengan tertawa.
"Dan Kongcu yang ini ...."
"Dia she Liong, sahabatku," kata Bun-hiong.
Cui-coa-yo memberi hormat dan menyapa, "Oo, Liong-kongcu,
selamat datang!"
"Jangan sungkan," jawab It-hiong.
Cui-coa-yo membawa mereka ke ruangan tamu dan
menyilakan mereka duduk, lalu menyuruh kacung
menyuguhkan teh, kemudian berkata dengan genit, "Sudah
sekian lama Pang Kongcu tidak berkunjung kemari, tentu
karena engkau terpikat oleh nona cantik di tempat lain, betul
tidak?"
Bun-hiong tertawa, katanya, "Aku memang terpikat oleh

seorang, cuma sayang dia tidak sudi padaku."
"Ah, masa," ujar Cui-coa-yo dengan tertawa. "Kongcu kan
kaya dan berpengaruh, cakap pula, memangnya nona mana
yang tidak tahu diri?!"
"Dia bukan nona lagi, tapi agak lebih tua sedikit daripada
nona," kata Bun-hiong.
"Ai, Kongcuya yang baik, bilakah engkau mulai ganti selera?
Masa sekarang engkau menyukai yang tua?" seru Cui-coa-yo
dengan tertawa.
"Ya, aku memang tidak menghendaki yang lain, hanya dia,"
kata Bun-hiong.
"Sesungguhnya siapa dia?"
"Kau!" kata Bun-hiong.
Cui-coa-yo melototinya sekejap, ucapnya dengan tertawa,
"Huh, apa-apaan Kongcu ini, datang-datang sudah lantas
menggodaku!"
Lalu ia berpaling dan bertanya kepada Liong It-hiong, "Eh, di
mana tempat kediaman Liong-kongcu ini?"
It-hiong menjawab dengan tersenyum, "Malam ini aku
memondok di Kim-leng-khek-can, besok kupergi lagi entah ke
mana, aku tidak punya tempat kediaman."
"Ai, kalian sungguh pintar berkelakar," kata Cui-coa-yo.
"Bicara yang benar, di tempat kami ini baru saja datang
beberapa barang baru, biarlah kupanggil mereka untuk
menemui kalian."

"Nanti dulu," kata Bun-hiong. "Soalnya kawanku ini sudah
penujui seorang anak buahmu."
"Oo, siapa?" tanya Cui-coa-yo.
"Yang baru datang dari Kim-tan, namanya Giok-nio," kata
Bun-hiong.
"O, kiranya dia, apakah Liong-kongcu dan Giok-nio sudah
langganan lama?" tanya Cui-coa-yo dengan tertawa.
"Tidak, kucari dia karena sudah lama kukenal namanya," ujar
It-hiong.
"Baiklah, akan kupanggilkan," kata Cui-coa-yo. "Dan engkau
bagaimana, Pang-kongcu?"
"Kau tahu nona jenis mana yang kusukai, maka bolehlah kau
pilihkan satu bagiku," ujar Bun-hiong dengan tertawa.
"Baik, akan kupanggilkan satu yang muda, cakap dan sexy,
tanggung cocok," kata Cui-coa-yo pula, lalu ia beranjak pergi.
Seperginya Cui-coa-yo, Liong It-hiong menggeleng kepala dan
berkata, "Sungguh aku tidak berani percaya bahwa adik
perempuan Eng-jiau-ong Oh Kiam-lam bisa terjerumus
menjadi pelacur ...."
"Ini menandakan pada masa hidup Eng-jiau-ong Oh Kiam-lam
tidak mempunyai seorang sahabat sejati," kata Bun-hiong.
It-hiong mengangguk sependapat.
"Bilamana Oh Kiam-lam tahu di alam baka bahwa adik
perempuan sendiri terjerumus di kalangan pelacuran, dia pasti
akan mati sekali lagi saking dongkolnya."

Kembali It-hiong mengangguk, desisnya, "Betul. Cuma jangan
kau sebut Oh Kiam-lam lagi. Lihat, Cui coa-yo sudah
membawanya kemari."
Baru lenyap suaranya, benar juga Cui-coa-yo telah masuk
dengan membawa seorang nona yang cantik.
Usia nona ini belum ada 20, perawakan ramping, wajah dan
potongan tubuh tergolong pilihan.
Begitu membawanya masuk, segera Cui-coa-yo berkata
kepada Pang Bun-hiong, "Ini Pang-kongcu, seorang kongcu
ganteng termasyhur, maka adalah rezekimu dapat meladeni
dia, hendaknya jangan teledor."
Dengan lembut nona itu memberi hormat dan berucap,
"Selamat datang, Pang-kongcu!"
"Untukku?" Bun-hiong menegas dengan melenggong.
"Betul, dia bernama A Sian, termasuk salah seorang anak
penghuni rumah ini yang paling laris, hendaknya Pang-kongcu
juga sayang padanya," tutur Cui-coa-yo dengan tertawa.
"Dan di mana Giok-nio?" tanya Bun-hiong.
"Dia lagi ganti baju, segera datang," jawab Cui-coa-yo.
"Lekas suruh datang kemari," kata Bun-hiong.
Cepat Cui-coa-yo mengiakan, "Baiklah ... A Sian, boleh kau
bawa Pang-kongcu ke kamarmu, biar kupergi mendesak Gioknio."
Habis berkata lekas ia pergi.

A Sian itu memberi hormat lagi kepada Bun-hiong, katanya
dengan malu-malu, "Silakan, Pang-kongcu ...."
Bun-hiong ingin menemui Giok-nio, maka ia memberi tanda
supaya A Sian duduk, katanya dengan tersenyum, "Boleh
duduk dulu, kalau Giok-nio sudah datang nanti kita pergi
bersama."
A Sian mengiakan dan duduk di sampingnya.
Tampaknya Bun-hiong cukup puas terhadap A Sian ini, ia coba
tanya dengan tertawa, "Nona asal orang mana?"
"Posia, provinsi Kamsiok," jawab A Sian dengan menunduk.
"O, kiranya nona cantik dari utara, sungguh beruntung dapat
berkenalan di sini," ujar Bun-hiong dengan tertawa.
"Ah, hamba ini ibaratnya bunga sudah layu, sungguh sangat
terima kasih atas kesudian Kongcu terhadap diriku," kata A
Sian dengan suara lemah lembut.
Tanpa terasa It-hiong memuji juga, "Nona ini sungguh
menyenangkan."
"Eh, jangan iri," kata Bun-hiong dengan tergelak. "Kukira nona
Giok-nio itu tentu juga lain daripada yang lain .... Dengarkan,
itu dia sudah datang?"
Baru lenyap suaranya, benar juga Cui-coa-yo telah masuk
dengan membawa "Giok-nio". Ya, dia memang betul Giok-nio,
sesuai namanya, nona seperti kemala.
Perawakannya ramping, kulitnya putih halus, mukanya bulat
telur, alisnya lentik dan matanya jeli, mulutnya mungil,

sikapnya anggun, sungguh sukar dilukiskan betapa cantiknya.
Begitu melihatnya, seketika Bun-hiong dan It-hiong melongo
kaget.
Sebaliknya demi melihat mereka, seketika Giok-nio juga
melenggong, serupa mendadak bertemu dengan kakak
kandung sendiri di rumah pelacuran, seketika mukanya merah,
dengan malu sekali segera ia hendak lari.
Tapi Cui-coa-yo keburu menariknya, katanya dengan tertawa,
"Giok-nio, kenapa?"
Malu dan gugup Giok-nio, ia meronta dan bermaksud lari lagi,
serunya, "Lepaskan, lepas .... Aku tidak mau melihat mereka."
Segera It-hiong melompat bangun juga dan berseru, "Aha,
sayangku, kiranya engkau inilah Giok-nio adanya?!"
Sembari bicara ia pun memburu maju dan memegangnya.
Giok-nio meronta sekuatnya dan hampir saja menangis saking
cemasnya, teriaknya, "Ampun ... ampunilah diriku, aku ... aku
...."
"Sesungguhnya ada apa?" tanya Cui-coa-yo bingung.
Mendadak It-hiong terbahak-bahak, "Haha, tidak ada apa-apa,
kami memang kenalan lama dan sedang bertengkar,
selekasnya kami dapat akur lagi, boleh kau pergi saja."
Cui-coa-yo bersuara sangsi, tapi dilihatnya Giok-nio tidak
melawan dengan "mati-matian", jelas memang di antara
mereka sudah hubungan erat sebelumnya, maka ditinggalnya
pergi tanpa khawatir lagi.

Dengan terheran-heran Bun-hiong memandang Giok-nio,
sampai sekian lamanya barulah ia berucap dengan tertawa,
"Haha, sungguh lelucon yang tidak lucu, kiranya engkau inilah
Giok-nio."
Agaknya Giok-nio menyadari tidak mungkin lolos dan
menyangkal, maka ia tidak meronta lagi melainkan cuma
menunduk dengan bungkam, tampaknya malu sekali.
Kiranya Giok-nio ini tak-lain-tak bukan adalah Ni Beng-ay yang
berkomplot dengan si kakek berbaju kelabu dan berhasil
menipu kotak hitam dari Liong It-hiong itu.
Sambil memegangnya dengan erat It-hiong bergelak tertawa,
katanya, "Haha, dunia ini sungguh demikian sempit, tak
tersangka dapat bertemu denganmu di sini?!"
Giok-nio alias Ni Beng-ay tetap menunduk saja tanpa bicara.
It-hiong menatapnya sejenak, tiba-tiba ia lepaskan
pegangannya dan berkata, "Ayo, ke kamarmu untuk bicara."
Beng-ay kelihatan ragu sejenak, akhirnya ia membalik tubuh
dan melangkah pergi.
"Bolehkah aku ikut mendengarkan?" tanya Bun-hiong.
"Tidak, kau teruskan pekerjaanmu sendiri," kata It-hiong
sambil ikut pergi bersama Ni Beng-ay.
Beng-ay membawa It-hiong ke belakang, setelah menyusuri
serambi, sampailah di sebuah kamar samping, begitu pintu
kamar didorong, segera It-hiong mendahului menyelinap ke
dalam, lalu Beng-ay ikut masuk.
Setelah merapatkan daun pintu, dengan menunduk seperti

mau menangis Beng-ay berkata, "Aku memang bersalah,
boleh kau damprat atau pukul diriku, tapi janganlah ...."
It-hiong tidak membiarkan lanjut ucapan orang, sekali raih ia
angkat tubuh si nona, ia duduk di bangku, lalu tubuh Beng-ay
ditiarapkan di atas pangkuannya, ucapnya dengan
mendongkol, "Aku pernah bersumpah, bilamana
kutemukanmu akan kupukul dulu pantatmu."
Habis berkata ia terus memukuli pantat Beng-ay dengan
keras.
Tentu saja nona itu menjerit kesakitan.
Tapi suara jeritannya tidak mengagetkan orang lain, sebab
seluruh isi rumah Boan-wan-jun lagi tenggelam di tengah
kegembiraan masing-masing, ada yang ramai bergurau dan
ada yang asyik menyanyi serta suara keributan lain, jeritan
seorang nona biasanya tidak akan menarik perhatian orang.
Belasan kali It-hiong memukuli pantat Beng-ay, setelah puas
baru berhenti, nona itu dilemparkannya ke tempat tidur,
katanya, "Nah, tadi kau bilang selain mendamprat dan
memukul, jangan apa?"
Beng-ay meraba pantat sendiri yang kesakitan, katanya
dengan air mata meleleh, "Aku hanya menjual gurau dan tidak
menjual tubuh, hal ini perlu kukatakan lebih dulu."
Bun-hiong sengaja bersikap garang, katanya, "Omong kosong,
aku hanya tahu engkau ini Giok-nio dan bukan Ni Beng-ay,
maka malam ini harus kau tidur bersamaku."
Beng-ay ketakutan dan meringkuk di pojok tempat tidur, ia
memohon belas kasihan, "Jangan, harap ampuni aku, meski
aku telantar di tempat seperti ini, tapi aku masih menghendaki

berumah tangga dengan baik, tubuhku hanya akan
kuserahkan kepada orang yang mau menikahi diriku, kumohon
janganlah kau bikin susah padaku."
"Aku tidak diberi tahu hal-hal demikian oleh Cui-coa-yo,
pokoknya harus tidur bersamaku."
"Jika begitu boleh kau tanya Cui-coa-yo dulu, tentu dia akan
memberi penjelasan padamu," kata Beng-ay.
"Tidak, tidak perlu kutanya," ujar It-hiong. "Aku telah
dibohongimu, harus kau tidur bersamaku satu malam, kalau
tidak rasa gemasku tak terlampias."
"Aku tidak sengaja membohongimu," kata Beng-ay sambil
menangis. "Semua itu dia yang mengaturnya, ia memaksa aku
berbuat begitu, jika tidak kulaksanakan aku akan dibunuhnya,
maka ... maka ...."
Sampai di sini menangislah dia dengan sedih.
"Sekarang dia berada di mana?" tanya It-hiong dengan ketus.
"Entah," jawab Beng-ay.
It-hiong menudingnya dan mengancam, "Jika tidak mengaku
sejujurnya, segera kubelejetimu."
Beng-ay tampak mengkeret ke pojok tempat tidur, katanya
dengan gemetar, "Sung ... sungguh aku tidak tahu. Dia tidak
memberitahukan padaku akan pergi ke mana, cuma esok atau
lusa dia mungkin akan menjengukku lagi."
"Kotak itu sudah dibawa olehnya?" tanya It-hiong.
Beng-ay membenarkan.

"Ada hubungan apa antara dia denganmu?" tanya It-hiong
pula.
"Tidak ada sesuatu hubungan," tutur Beng-ay. "Beberapa hari
yang lalu mendadak dia datang kemari mencariku, ia mengaku
sebagai sahabat baik kakakku, katanya hendak menolongku
keluar dari tempat pecomberan ini. Kupercaya pada
ocehannya dan lantas ikut pergi bersama dia."
"Siapa kakakmu?" tanya It-hiong.
"Kakakku ... kakakku ialah kakak," jawab Beng-ay dengan
tergegap.
"Baik, coba lanjutkan ceritamu," ucap It-hiong dengan
tertawa.
"Sesudah kuikut dia meninggalkan Kim-leng, kemudian baru
dia memberitahukan padaku bahwa dia berniat merampas
kotak hitam yang berada padamu itu, maka aku diminta
membantunya. Semula aku tidak mau, tapi dia lantas
mengancam hendak membunuhku, lantaran itulah terpaksa
aku menerima permintaannya."
"Lalu, apakah dia memberitahukan padamu apa isi kotak
hitam itu?" tanya It-hiong.
"Dia tidak mau memberitahukan padaku," jawab Beng-ay
dengan menggeleng.
"Hendaknya kau bicara terus terang," ancam It-hiong.
"Supaya kau tahu, pada suatu hari pasti akan kubekuk dia,
bilamana terbukti kau dusta, nanti baru kau tahu rasa bila
kubikin kau mati tidak dan hidup pun tidak."

"Aku tidak bohong, semua perkataanku adalah sejujurnya,"
kata Beng-ay.
"Jika begitu, sesudah dia merampas kotak itu, mengapa tidak
kau katakan padaku kejadian yang sebenarnya, tapi malah
kabur secara diam-diam."
"Kukhawatir engkau tidak mau mengampuni aku," kata Bengay.
"Sudah kutolong dirimu dan berjanji akan mengantarmu ke
Wanpeng, seharusnya sudah cukup bagimu untuk mengenali
pribadiku ini baik atau busuk, mengapa tidak kau katakan tipu
muslihatnya kepadaku?"
"Berulang dia memperingatkan aku jangan sembarangan
membocorkan tipu akalnya, kalau sampai bocor aku akan
dibunuhnya, makanya aku takut dan tak berani bicara."
"Semula dia mengaku sebagai sahabat kakakmu, mengapa
kau percaya begitu saja?" tanya It-hiong.
"Sebab dia dapat bercerita tentang kisah hidup mendiang
kakakku, makanya kupercaya penuh tanpa sangsi."
"Siapa namanya?" tanya It-hiong.
"Tam Pek-sun."
"Bukan In-tiong-yan Pokyang Thian?"
"Entah aku tidak tahu, mungkin dia memakai nama palsu, tapi
aku tidak tahu apakah dia memang bernama Tam Pek-sun
atau sebenarnya In-tiong-yan segala."
"Dia berjanji besok lusa akan menjengukmu ke sini?" tanya ItKANG
ZUSI website http://cerita-silat.co.cc/
hiong.
"Betul," jawab Beng-ay.
"Untuk apa?" tanya It-hiong pula.
"Dia berjanji akan memberi uang padaku," tutur si nona.
"Mungkinkah begitu?"
"Bisa juga dusta," ujar Beng-ay. "Tapi bila engkau hendak
menangkapnya, boleh juga tinggal saja satu-dua hari di sini,
tunggu kedatangannya."
It-hiong menatapnya dengan tajam dan tidak bertanya lagi.
Tentu saja Beng-ay merasa kikuk karena dipandang
sedemikian rupa, ucapnya risi, "Apa yang kukatakan adalah
kejadian sebenarnya, hendaknya kau percaya padaku."
It-hiong berdiri dan mondar-mandir di depan tempat tidur,
katanya kemudian dengan tersenyum, "Aku pernah percaya
kepadamu, akibatnya aku tertipu."
Beng-ay menunduk, katanya, "Kejadian tempo hari itu
sungguh aku, merasa sangat malu. Jika rasa gemasmu belum
hilang, boleh kau pukul aku lagi."
It-hiong menggeleng, katanya, "Tidak berguna, memukulmu
lagi juga tak terlampias dongkolku."
"Habis mau apa?" tanya si nona.
It-hiong merandek, katanya dengan tertawa, "Kucium satu
kali?"

"Jangan," seru Beng-ay dengan muka merah.
Seketika It-hiong menarik muka, omelnya, "Hm, diajak tidur
tidak mau, minta cium juga kau tolak?"
"Habis cara ... cara bagaimana akan kau cium?" tanya Beng-ay
dengan malu-malu.
"Cium mulut tentunya," kata It-hiong.
Beng-ay menunduk diam, tampaknya tidak ada maksud
menolak lagi.
It-hiong lantas duduk di tepi tempat tidur, ucapnya, "Kemari!"
Si nona menggeser maju sedikit.
"Kemari lagi!" kata It-hiong pula.
Kembali Beng-ay menggeser maju lagi setitik.
"Lagi sedikit," kata It-hiong.
Terpaksa Beng-ay menggeser pula.
"Angkat kepalamu," perintah It-hiong.
Beng-ay mendongakkan kepala sedikit dan memejamkan mata
dengan muka merah.
"Angkat lebih tinggi sedikit!" kembali It-hiong memberi
perintah.
Sama sekali si nona tidak berani membantah, ia menurut dan
mengangkat mukanya.

Segera It-hiong mendekatkan mulutnya, selagi nona itu
hendak diciumnya, sekonyong-konyong terdengar suara
"blang-blung" yang keras, suara pintu digedor.
Keruan It-hiong kaget, ia berpaling dan membentak, "Siapa
itu?"
"Aku!" terdengar suara Pang Bun-hiong menjawab di luar.
Tentu saja It-hiong mendongkol, teriaknya. "Sialan, kau mau
apa?"
"Kudatang menonton!" jawab Bun-hiong dengan tertawa.
"Enyah, apa yang akan kau tonton?!" teriak It-hiong.
"Lekas buka, memangnya kau minta kudobrak pintu?" kata
Bun-hiong.
It-hiong menjadi marah, dampratnya, "Keparat, jika engkau
sudah puas main, tunggu saja di luar kan bisa?"
"Tidak, aku tidak sabar menunggu lagi," kata Bun-hiong. "Jika
pintu tidak lekas kau buka, segera kudobrak dan kumasuk ke
situ."
Tiada jalan lain, terpaksa It-hiong membukakan pintu, dengan
melotot segera ia mendamprat, "Bedebah, kenapa kau ganggu
saat bahagia orang, sungguh celaka kau ini."
"Memangnya kalian lagi upacara kawin?" goda Bun-hiong
dengan tertawa.
"Ya, baru saja kami hendak main, mendadak kau datang,
sungguh keparat," omel It-hiong.

"Ai, waktu masih banyak, kenapa terburu nafsu?!" ujar Bunhiong,
sambil bicara ia terus masuk ke kamar.
Ketika dilihatnya muka Beng-ay ada bekas air mata, hati
merasa tidak tega, ia memandang It-hiong dan bertanya,
"Masa engkau benar menghajar dia?"
"Ehm," It-hiong mengangguk.
"Seorang nona cantik jelita begini masakah kau tega
memukulnya, sungguh kejam dan tidak berperikemanusiaan,"
omel Bun-hiong.
"Kalau tidak kuberi hajar adat, tentu aku akan ditertawakan
dia sebagai orang tolol," kata It-hiong.
Bun-hiong duduk di bangku, tanyanya lagi, "Dan sudah kau
dapatkan keterangannya atau tidak?"
"Sudahlah, jelas sejak tadi engkau sudah mendengarkan di
luar kamar, memangnya kau kira aku tidak tahu, masa masih
pakai tanya lagi?" kata It-hiong dengan tertawa.
Bun-hiong bergelak tertawa, lalu katanya kepada Ni Beng-ay,
"Nona Ni, sungguh tidak patut engkau menipu dia. Sekali
bertemu saja dia lantas jatuh hati padamu, sebaliknya engkau
tega lari meninggalkan dia dan membuat berjingkrak kalap
serupa kebakaran jenggot."
Beng-ay menunduk dan menangis, katanya, "Maaf, kutahu dia
orang baik ...."
"Sesungguhnya siapa namamu yang asli?" tanya Bun-hiong.
"Namaku memang Ni Beng-ay, Giok-nio adalah nama
samaranku," kata si nona.

"Siapa nama kakakmu?" tanya Bun-hiong pula.
"Kakak bernama Ni Lam-hui, sungguh malang sudah
meninggal lima tahun yang lalu," tutur Beng-ay.
"Semula dia bekerja apa?" tanya Bun-hiong.
"Dia bekerja sebagai pegawai perusahaan pengawalan."
"Sesudah kakakmu meninggal baru engkau terjerumus ke
tempat begini?"
Beng-ay mengangguk, katanya dengan menangis sedih, "Ya,
jika kakak tidak mati, tentu aku takkan bernasib begini."
Bun-hiong memperlihatkan rasa simpatinya, katanya dengan
menyesal, "Sungguh kasihan, dan kedua orang tua kalian juga
sudah tidak ada?"
"Ayah dan ibu sudah lama meninggal, pada waktu aku
berumur delapan mereka sudah wafat," tutur Beng-ay, "Sejak
itulah kami bersaudara lantas hidup sengsara, kemudian kakak
menanjak dewasa, lalu bekerja di perusahaan pengawal, tak
terduga dia juga jatuh sakit keras dan akhirnya ...."
Ia tidak sanggup meneruskan lagi dan menangis sedih.
"Jangan menangis, kami sangat simpati kepadamu, jika kau
mau meninggalkan tempat ini, kami bersedia membantumu,"
demikian Bun-hiong menghiburnya.
Beng-ay mendongak dan memandang sekejap kepada Liong
It-hiong, katanya dengan ragu, "Jadi kalian tidak marah lagi
padaku?"

Bun-hiong mengangguk, "Tentu saja, engkau kan terpaksa
berbuat begitu, masa menyalahkanmu?"
"Jika begitu barulah lega hatiku," kata Beng-ay.
"Cuma, engkau harus membantunya membekuk bangsat tua
yang bernama Tam Pek-sun itu agar kotak hitam itu dapat
direbutnya kembali," ujar Bun-hiong.
"Baik, jika dia datang besok atau lusa tentu akan kuberi kabar
kepada kalian," kata Beng-ay. "Kalian tinggal di mana?"
"Di Kim-leng-khek-can," jawab Bun-hiong.
"Dari mana kalian tahu aku berada di sini?" tanya Beng-ay.
"Mana kami tahu tempat tinggalmu di sini? Hanya secara
kebetulan saja kami memergokimu di sini," cepat It-hiong
mendahului menjawab. "Soalnya kami mendengar di Boanwan-
jun ada seorang nona jelita bernama Giok-nio yang
jarang ada bandingannya, maka bersama kami berkunjung
kemari untuk belajar kenal, tak tersangka yang bernama Gioknio
adalah dirimu ini."
"Semula aku berada di Kim-tan," tutur Beng-ay dengan kikuk.
"Baru bulan yang lalu kupindah ke sini, bilamana ada waktu
luang harap Kongcu sering berkunjung kemari."
"Bilamana engkau masih ingin ke Wanpeng untuk mencari
pamanmu, dengan senang hati aku siap menjadi pengawalmu
pula," kata It-hiong.
Beng-ay tersenyum rikuh, katanya, "Sudahlah, jangan
diungkat lagi, pada hakikatnya aku tidak punya paman yang
tinggal di Wanpeng segala."

"Karena marah tadi telah kupukulmu, kuharap tidak
mencederaimu," ujar It-hiong dengan tertawa.
"Biar kumati kau pukul juga aku tidak berani menyesali dirimu,
aku memang pantas dipukul."
Tiba-tiba Bun-hiong seperti teringat sesuatu, katanya dengan
tertawa, "Silakan kalian mengobrol, aku hendak mencari A
Sian."
Karena diganggu oleh kedatangan Pang Bun-hiong, hasrat Ithiong
untuk mencium Ni Beng-ay sudah berkurang, kembali ia
mondar-mandir lagi di dalam kamar, lalu bertanya, "Engkau
punya kekasih atau tidak?"
"Untuk apa kau tanya urusan ini?" jawab Beng-ay dengan
likat.
"Jika kau ingin melepaskan diri dari tempat seperti ini kan
harus mendapatkan jodoh yang cocok?" kata It-hiong.
"Sekarang belum ada," jawab si nona.
"Dua hari lagi ingin kuajak dirimu pesiar ke Bok-jiu-oh, kau
mau tidak?" tanya It-hiong dengan tertawa.
Beng-ay seperti tidak begitu percaya atas kesungguhan ajakan
It-hiong, ia menegas, "Kau bicara serius?"
"Tentu saja serius."
Beng-ay menjadi senang, katanya dengan tertawa, "Baik,
memang sudah lama kuingin pesiar ke Bok-jiu-oh, sungguh
bagus sekali jika dapat didampingi olehmu."
"Cuma, hendaknya engkau membantuku membekuk orang

bernama Tam Pek-sun itu dengan sesungguh hati," kata Ithiong
dengan tertawa.
"Baik, begitu dia datang segera kuberi kabar padamu secara
diam-diam," si nona berjanji.
"Aku percaya sekali lagi padamu, jika kau tipu aku pula, tentu
aku tidak sungkan lagi padamu," kata It-hiong.
Beng-ay mengiakan.
It-hiong lantas mengeluarkan belasan tahil perak dan ditaruh
di atas meja, katanya, "Aku mau pergi sekarang."
"Tidak duduk sebentar lagi?" tanya Beng-ay sambil turun dari
tempat tidur.
"Tidak," ucap It-hiong dengan tertawa, "Jika duduk lagi, bisa
jadi akan kucaplok dirimu."
Habis berkata ia lantas membuka pinta dan keluar.
Setiba di halaman, ia tanya seorang pesuruh, "Di mana letak
kamar A Sian!"
Pesuruh menuding sebuah kamar yang berdekatan, katanya,
"Itu, cuma saat ini dia ada tamu."
"Kutahu," kata It-hiong dengan tertawa. "Tamunya adalah
sahabatku, tadi dia telah menggangguku, sekarang akan
kubalas mengacau dia."
Segera ia menuju ke kamar A Sian. Setiba di depan kamar,
segera ia menggedor pintu.
"Siapa?!" terdengar suara A Sian bertanya dari dalam dengan

kaget.
"Aku!" jawab It-hiong.
"Kau siapa?" tanya A Sian.
"Buka pintu dulu, ingin kulihat permainan apa yang kalian
lakukan di dalam!" teriak It-hiong.
Ebook oleh : Dewi KZ
Scan book oleh : BBSC
Jilid 7
"Hei, jangan mengacau!" seru A Sian dengan gugup.
It-hiong coba mendorong pintu sambil berteriak lantang, "Jika
pintu tidak segera kau buka, biar kudobrak saja."
"Hei, jangan!" teriak A Sian di dalam.
It-hiong terbahak-bahak, "Kuhitung sampai tiga, jika tetap
tidak buka pintu segera kudobrak. Nah, satu ... dua ...."
"E-eh, nanti dulu ... nanti dulu!" seru A Sian dengan
kelabakan.
Lalu terdengar suara keresak-keresek, suara orang memakai
baju dengan tergesa-gesa, kemudian pintu lantas terkuak,
tertampak rambut A Sian kusut dan baju tidak teratur, muka
merah, begitu melihat Liong It-hiong, ia melengak, serunya,
"Eh, kiranya kau?!"
"Memang betul aku, kalian lagi berbuat apa?" jawab It-hiong
dengan tersenyum.

Dengan melotot A Sian tanya lagi. "Kau cari siapa?"
It-hiong coba memandang ke dalam kamar, selagi ia hendak
bilang mencari Pang Bun-hiong, mendadak dilihatnya lelaki
yang meringkuk di tempat tidur itu ternyata bukan Pang Bunhiong
adanya.
Keruan ia melenggong, serunya, "Hah, ke mana dia?"
"Apakah kau cari Pang-kongcu itu?" tanya A Sian.
"Ya, di mana dia?" tanya It-hiong.
Seketika A Sian mencibir, "Dia sudah pergi!"
It-hiong menjadi serbasalah, cepat ia mundur dan berkata, "O,
maaf, kukira dia masih di sini."
Habis berkata cepat ia mengeluyur pergi.
Tentu saja A Sian uring-uringan, sekuatnya ia menggabrukkan
pintu.
Setiba di ruang depan, terlihat Pang Bun-hiong asyik
mengobrol dengan Cui-coa-yo, keruan It-hiong berteriak,
"Berengsek, kenapa kau lari ke sini."
"Memangnya ada apa?" tanya Bun-hiong dengan tertawa.
"Kukira engkau masih berada di kamar A Sian, kugedor pintu
kamarnya dan mengacau orang yang lagi asyik," tutur Ithiong.
Bun-hiong tergelak geli sambil berdiri, "Mau berangkat
sekarang?"

"Ya, berangkat," jawab It-hiong.
Bun-hiong lantas berkata dengan tertawa terhadap Cui-coayo,
"Kami hendak pergi sekarang, jangan kau lupa kepada
pesanku tadi."
"Tidak, jangan khawatir," jawab Cut-coa-yo.
Begitulah Bun-hiong dan It-hiong lantas meninggalkan rumah
hiburan itu.
"Eh, engkau tidak main dengan A Sian?" tanya It-hiong
sesudah di luar.
"Tidak," jawab Bun-hiong.
"Kenapa, apa dia kurang baik?" tanya It-hiong heran.
"Bukan begitu," kata Bun-hiong.
"Habis kenapa tidak main?" tanya It-hiong pula.
"Demi dirimu," tutur Bun-hiong akhirnya.
"Demi diriku?" It-hiong melengak.
"Ya, demi dirimu," kata Bun-hiong dengan tersenyum. "Coba
jawab, apakah kau kira cerita Giok-nio itu semuanya benar!"
"Tidak," jawab It-hiong. "Dia mengaku bernama Ni Beng-ay
dan kakaknya bernama Ni Lam-hui, semua itu dusta belaka.
Yang benar kakaknya adalah Eng-jiau-ong Oh Kiam-lam, ini
pasti tidak salah lagi."
"Kenapa tidak kau bongkar saja kebohongannya?" tanya Bunhiong.

It-hiong tersenyum, "Aku masih ingin menangkap si kakek
berbaju kelabu itu, maka aku tidak mau memukul rumput
mengagetkan ular."
Bun-hiong mengangguk, "Ya, betul, dia bilang si kakek
bernama Tam Pek-sun, apakah kau percaya?"
"Tidak, tidak pernah kudengar ada tokoh bernama begitu di
dunia persilatan," ujar It-hiong.
"Betul, aku juga tidak," kata Bun-hiong. "Maka perkataannya
dapat dipastikan bohong belaka. Lalu bagaimana
keputusanmu?"
"Akan kuintai gerak-geriknya secara diam-diam, bisa jadi
dengan cara begini akan dapat kubekuk si kakek baju kelabu,"
tutur It-hiong.
"Untuk mengintainya perlu siang dan malam berbuat begitu,
maka ingin kurundingkan denganmu."
"Tidak perlu berunding, semuanya sudah kuatur dengan baik
bagimu," kata Bun-hiong.
"Ah, rupanya engkau telah memberi pesan kepada Cui-coa-yo
agar diam-diam mengawasi anak buahnya, begitu melihat si
kakek baju kelabu muncul agar segera kita diberi tahu, begitu
bukan?" seru It-hiong girang.
"Betul," Bun-hiong mengangguk.
It-hiong menepuk pundak kawannya itu, serunya dengan
tertawa gembira, "Aha, bagus sekali, engkau ini memang
benar pembantuku yang baik."

Bun-hiong hanya tertawa saja tanpa bersuara.
"Tapi apakah Cui-coa-yo pasti akan menurut kepada
pesanmu?" tanya It-hiong kemudian.
"Pasti menurut," ujar Bun-hiong. "Dia tergolong perempuan
yang cerdik, ia lebih suka bersalah kepada Giok-nio daripada
membikin marah padaku. Ia tahu aku adalah salah seorang
buaya darat di kota Kim-leng ini."
"Apakah Cui-coa-yo pernah melihat kakek berbaju kelabu itu?"
tanya It-hiong.
"Sudah kutanyai dia," tutur Bun-hiong. "Ia bilang beberapa
tahun yang lalu memang ada seorang kakek datang
menemuinya dan meninggalkan lima ratus tahil perak. Lalu
membawa pergi Giok-nio. Menurut alasan si kakek katanya
Giok-nio hendak diajak pesiar beberapa hari. Karena kepergian
Giok-nio tidak membawa harta miliknya, Cui-coa-yo tidak
khawatir dan mengizinkan kepergian mereka."
"Kuyakin kakek yang dimaksud pasti si kakek berbaju kelabu,"
kata It-hiong.
Bun-hiong mengangguk, "Ya, Giok-nio bilang satu-dua hari dia
akan datang lagi, kau kira keterangannya dapat dipercaya
atau tidak?"
"Anggap saja benar," kata It-hiong. "Sudah kuajak dia pesiar
ke Bok-jiu-oh dan dia sudah menyanggupi. Sekarang boleh
kita mengintai di sini satu-dua hari, bilamana si kakek baju
kelabu tidak datang barulah kita membawa lari dia."
Lalu ia tepuk pundak Bun-hiong, katanya pula dengan tertawa,
"Kau tahu, dia mengaku hanya menjual tawa dan tidak
menjual tubuh, kau percaya tidak?"

"Sudah pernah katanya Cui-coa-yo, tampaknya memang
begitulah," jawab Bun-hiong. "Melihat gerak-geriknya
tampaknya dia memang masih perawan."
It-hiong mengangkat pundak, "Sungguh lucu, dia tidak
menjual tubuh, sebenarnya tahan harga atau ada alasan lain?"
"Mungkin benar tahan harga dan menanti pembeli yang
cocok," ujar Bun-hiong. "Jika kau ingin main dengan dia,
kukira sedikitnya harus kau tambahi beberapa ribu tahil
perak."
"Ia bilang ingin kembali ke jalan yang benar," kata It-hiong.
"Jika begitu, engkau inilah calon yang paling tepat," ujar Bunhiong
dengan tertawa.
It-hiong menggeleng, "Tidak bisa, mendingan hanya mainmain
saja, kalau sungguhan dan menikahi dia, kukira hanya
akan mendatangkan kesulitan saja."
Begitulah di tengah senda gurau mereka kembali ke Kim-lengkhek-
can.
Esoknya mereka tidak meninggalkan hotel itu melainkan terus
main catur di dalam kamar untuk menunggu berita dari Cuicoa-
yo.
Pang Bun-hiong memang benar juga seorang pemain catur
berbakat, kepandaiannya main catur juga sangat tinggi, dia
main empat babak dengan Liang It-hiong dan berakhir dengan
2-2 alias seri.
Ketika hari mendekat magrib, It-hiong tidak sabar lagi,
katanya, "Marilah kita pergi ke Boan-wan-jun saja."

"Jangan tergesa," kata Bun-hiong. "Begitu si kakek baju
kelabu datang, si Cui-coa-yo pasti akan segera mengirim kabar
kepada kita."
Baru selesai ucapannya, mendadak pintu kamar diketuk orang.
Serentak It-hiong melompat bangun untuk membuka pintu,
dilihatnya seorang lelaki setengah umur memberi hormat dan
katanya, "Hamba datang dari Boan-wan-jun, tolong tanya
yang manakah Pang-kongcu?"
"Aku sendiri," jawab Bun-hiong sambil mendekati orang.
Orang itu memberi hormat lagi padanya dan berucap, "Nyonya
juragan kami mengundang Pang-kongcu lekas ke sana,
katanya orang yang hendak ditemui Kongcu itu sekarang
sudah datang."
"Baik, segera kami berangkat ke sana," kata Bun-hiong sambil
memberi sedikit persen lalu menambahkan, "Nah, boleh kau
pulang lebih dulu."
Orang itu mengucapkan terima kasih terus berlalu.
Segera It-hiong mengenakan baju sambil berkata, "Ayo, cepat,
jangan sampai dia kabur lagi."
Bun-hiong juga mengenakan baju, katanya dengan tertawa,
"Giok-nio bilang begitu si kakek datang segera mengirim kabar
padamu, kenapa kita tidak menunggu sebentar lagi, coba
apakah dia jujur atau tidak!"
"Dia dan si kakek jelas satu komplotan, mana dia mau
mengirim kabar padaku," ujar It-hiong. "Sudahlah, jangan
berpikir seperti anak kecil, ayo lekas berangkat."

Sambil bicara segera mereka melangkah keluar.
Tapi baru keluar kamar, tiba-tiba seorang lelaki berlari datang
lagi, segera dikenali orang ini adalah calo Boan-wan-jun.
"Eh, kau cari siapa?" tanya It-hiong.
Calo itu masih kenal padanya, dengan girang ia menjawab,
"Ah, Liong-kongcu, nona Giok-nio menyuruhku mengundang
Kongcu lekas ke sana."
Hal ini sangat di luar dugaan It-hiong, ia berlagak tidak tahu
dan tanya pula, "Ada urusan apa?"
"Nona Giok-nio bilang orang yang ingin ditemui Kongcu itu
sekarang berada di kamarnya," tutur si calo.
"Bagaimana bentuk orang itu?" tanya It-hiong.
"Seorang tua, kurus-kurus kecil, cuma bajunya tidak jelek,"
tutur calo itu. "Hamba masih ingat, dua-tiga hari yang lalu dia
pernah membawa nona Giok keluar pesiar."
It-hiong juga memberi persen beberapa tahil perak padanya,
katanya, "Baik, segera kuberangkat ke sana, kau pulang saja
dulu."
Calo itu mengucapkan terima kasih, sebelum berangkat ia
berpaling pula dan berkata, "Oya, masih ada sesuatu lupa
kukatakan ...."
"Urusan apa?" tanya It-hiong.
"Nona Giok-nio memberi pesan bila Kongcu sudah sampai di
Boan-wan-jun, hendaknya Kongcu jangan segera masuk ke

kamarnya, ia bilang hendak mencekoki kakek itu hingga
mabuk, sesudah orang mabuk barulah Kongcu masuk
kamarnya."
"Baik, kutahu," jawab It-hiong tertawa. Sesudah memberi
hormat calo itu lantas berlalu.
It-hiong garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal, katanya
kepada Bun-hiong sambil menyengir, "Sungguh di luar
dugaan, ia ternyata menepati janjinya dan mau membantuku
membekuk si kakek baju kelabu."
"Ini menandakan dia mulai jatuh hati padamu," ujar Bunhiong.
"Seorang perempuan kalau sudah menyukai seorang
lelaki, segala apa pun dapat diperbuatnya."
Makin dipikir makin gembira It-hiong, segera ia menarik Bunhiong
dan diajak lari keluar, serunya, "Ayo, lekas berangkat!"
Sekeluarnya hotel, mereka melangkah dengan cepat, tidak
lama kemudian mereka sudah sampai di depan Boan-wan-jun.
Cui-coa-yo sudah menunggu di depan pintu, begitu melihat
Bun-hiong berdua sudah datang segera ia memberi tanda agar
jangan bersuara keras. "Cepat amat kedatangan kalian,"
desisnya.
"Dia masih ada?" tanya Bun-hiong.
"Ya, masih berada di kamar Giok-nio," tutur Cui-coa-yo. "Baru
saja Giok-nio pesan hidangan, mungkin akan makan minum
bersama dia."
"Sudah dibawa masuk kamar belum hidangan yang dipesan?"
tanya Bun-hiong.
"Belum," jawab Cui-coa-yo.

"Jika begitu, hendaknya kau bantu kerjai dia, taruh sesuatu di
dalam arak supaya dia cepat mabuk," kata Bun-hiong.
Dengan ragu Cui-coa-yo menjawab, "Wah, jangan Kongcu
berbuat onar di tempatku, kalau sampai terjadi perkara jiwa
manusia, tak berani kutanggung risikonya ...."
"Jangan khawatir," ujar Bun-hiong. "Begitu dia mabuk segera
kami membawanya pergi."
"Sesungguhnya ada perkara apa antara kalian dengan dia?"
tanya Cui-coa-yo.
"Akan kuberi tahukan lain hari saja, sekarang lekas kerjakan
menurut apa yang kukatakan," ucap Bun-hiong.
Cui-coa-yo mengangguk terus menuju ke dalam.
Bun-hiong dan It-hiong juga ikut masuk ke dalam, sampai di
halaman tengah, mereka lantas sembunyi di suatu sudut yang
agak gelap untuk mengintai gerak-gerik yang terjadi di kamar
Giok-nio.
"Menurut pendapatmu, ada hubungan apa antara Giok-nio
dengan tua bangka itu?" tanya It-hiong dengan suara lirih.
"Siapa tahu?" jawab Bun-hiong.
"Sungguh ingin kucuri dengar ke sana," ujar It-hiong.
"Jangan terburu nafsu," kata Bun-hiong. "Nanti kalau dia
sudah makan minum baru kita mendekat ke sana."
"Eh, lihat, hidangan sedang diantar ke sana," kata It-hiong.

Memang benar, tertampak seorang pelayan membawa satu
nampan besar makanan dan poci arak menuju ke kamar Gioknio.
"Nona Giok-nio, ini hidangan sudah datang!" seru pelayan dari
luar.
Ketika pintu kamar terbuka, yang kelihatan di dalam kamar
memang betul si kakek berbaju kelabu yang merampas kotak
hitam itu.
Hari ini dia sudah berganti dandanan dengan memakai baju
biru, tidak lagi membawa senjata, sikapnya kelihatan ramah
tamah, begitu pintu dibuka segera ia menyingkir ke samping
dan berkata, "Masuk saja!"
Pelayan masuk ke dalam kamar dengan membawa hidangan,
sesudah ditaruh di meja, lalu keluar lagi dengan membawa
nampan kosong.
"Kalau tidak dipanggil jangan mengganggu," pesan si kakek.
Pelayan mengiakan dan pintu kamar tertutup lagi.
Perlahan It-hiong memaki, "Keparat, tampaknya dia
bermaksud tidak baik terhadap Giok-nio."
"Jangan khawatir, malam ini dia takkan berbuat sesuatu yang
menyusahkan Giok-nio," kata Bun-hiong.
"Apakah sudah kau suruh Cui-coa-yo menaruh sesuatu di
dalam arak?" tanya It-hiong.
"Ya, ditaruhi obat tidur, "kata Bun-hiong.
"Jangan-jangan akan ketahuan?"

"Kukira tidak, kadar obat tidak terlalu berat, hanya
membuatnya pening kepala dan ingin tidur."
"Marilah kita ke sana," ajak It-hiong.
"Baik, kucuri dengar di depan dan engkau mengintip di
belakang dan berjaga agar dia tidak sampai kabur."
It-hiong mengangguk dan mengitar ke samping sana, lalu
merunduk ke bawah jendela di belakang kamar Giok-nio.
Boan-wan-jun memang terhitung tempat pelesir yang laris,
penuh tamu sehingga suasana ramai gaduh, maka betapa
tajam pendengaran orang yang berada dalam kamar juga
takkan mengetahui ada orang mencuri dengar di luar.
Begitu It-hiong baru berjongkok di belakang jendela, segera
terdengar si kakek lagi berkata di dalam kamar, "Mari, kau
pun minum satu cawan."
Terdengar Giok-nio menjawab, "Maaf, hamba tidak dapat
minum arak."
"Ah, masa, minum saja sedikit," kata si kakek.
"Biar kuminum dengan bebas, engkau sendiri yang minum
arak, boleh?" kata Giok-nio.
"Baiklah, mari minum," kata si kakek. Lalu terdengar suara
arak ditenggak.
"Eh, kau tahu untuk apa kudatang sekarang?" tanya si kakek.
"Entah, aku tidak tahu," jawab Giok-nio. "Kudatang
mengucapkan terima kasih."

"Oo?!"
"Engkau telah membantu kudapatkan kotak itu, adalah pantas
aku berterima kasih kepadamu."
"Ah, engkau terlampau sungkan."
"Padahal biarpun engkau membantuku mendapatkan peti itu
juga akan kujaga dirimu, sebab aku adalah sahabat baik
kakakmu."
"Oya?"
"Memangnya engkau tidak percaya?"
"Jika benar engkau sahabat baik kakakku, mengapa tempo
hari kau paksa aku berbuat begitu?"
"Demi mendapatkan kotak itu, terpaksa kugunakan akal
demikian."
"Sesungguhnya apa isi kotak itu?"
"Mengenai ini tak dapat kukatakan padamu."
"Sudah kau buka peti itu?"
"Belum, peti itu bukan barang buatan negeri kita, cara
membuatnya sangat teliti dan bagus, belum berhasil kupelajari
cara membukanya."
"Mengapa tidak kau pecahkan saja peti itu."
"Wah, tidak boleh jadi."

"Kenapa tidak boleh?"
"Kabarnya di dalam peti itu berisi obat peledak, bila dibuka
secara paksa, tentu obat pasang di dalamnya akan meletus."
"Ah!" terdengar Giok-nio berseru kaget.
Liong It-hiong yang bersembunyi di bawah jendela juga
tergetar hatinya, pikirnya, "Ya Allah, hampir saja. Kiranya isi
peti itu adalah obat pasang, tempo hari malahan kugunakan
peti itu sebagai senjata, untung obat pasang di dalamnya tidak
sampai tersentuh, kalau tidak tentu sudah tamat riwayatku."
Tengah termenung, didengarnya si kakek baju kelabu lagi
berkata dengan tertawa, "Keteranganku membuatmu sangat
heran dan kejut bukan?"
"Memang," jawab Giok-nio. "Sebab apakah peti itu diisi
dengan obat pasang?"
"Dengan begitu jadi tidak ada orang berani membukanya
secara paksa," tutur si kakek. "Nah, marilah minum lagi sedikit
...."
Agaknya Giok-nio mengiringnya minum seceguk, lalu bertanya
pula, "Sesungguhnya peti itu kepunyaan siapa?"
"Wah, tidak dapat kukatakan padamu," ujar si kakek.
"Memangnya apa alangannya kau ceritakan?" ujar Giok-nio.
"Saat ini urusan ini sudah diketahui beberapa tokoh Bu-lim
kelas tinggi, jika kukatakan padamu, lalu kau beri tahukan
pula kepada orang lain, kan tambah banyak orang yang akan
merampas peti hitam itu?"

"Takkan kukatakan lagi kepada orang lain," kata Giok-nio.
Si kakek berdehem, lalu ia alihkan pokok pembicaraan,
"Kedatanganku ini selain hendak mengucapkan terima kasih
padamu, masih ada suatu urusan lagi ingin berunding
denganmu ...."
"Urusan apa?" tanya Giok-nio.
"Ini 50 tahil emas, hendaknya kau terima dulu," kata si kakek.
Agaknya Giok-nio terkesiap, "Ahh, tidak, jangan, tak boleh
kuterima uang sebanyak itu darimu ...."
"Tidak apa, terima saja," ujar si kakek. "Bilamana kau mau
membantu lagi suatu urusanku, setelah berhasil tentu akan
kuberi lagi seratus tahil emas."
"Kau minta kukerja apa?" tanya Giok-nio.
"Tinggalkan Boan-wan-jun dan berangkat ke Cap-pek-pan-nia
denganku."
"Untuk apa ke sana?"
"Bila kau terima permintaanku baru akan kukatakan padamu."
"Wah, ini ...." Giok-nio gelagapan.
"Engkau merasa berat meninggalkan tempat ini?" tanya si
kakek.
"Bukan ... bukan begitu maksudku ...."
"Berapa induk semangmu menghendaki uang tebusan bagimu,
akan kubayar padanya," kata si kakek.

"Aku cuma utang beberapa ratus tahil perak saja padanya, bila
aku mau pergi, setelah kubayar utang dan setiap saat dapat
angkat kaki," tutur Giok-nio. "Cuma, betapa pun aku harus
tahu dulu apa yang kau minta kukerjakan, habis itu baru aku
dapat ambil keputusan."
"Urusan yang kuminta kau kerjakan pasti dapat kau
laksanakan dengan baik," ujar si kakek, ia berhenti sejenak,
seperti minum lagi secawan arak lalu menyambung, "Di bukit
Cap-pek-pan-nia itu akhir-akhir ini muncul sekawanan bandit
dan dipimpin oleh seorang tokoh misterius, kekuatan dan
pengaruhnya sangat hebat, siapa nama tokoh misterius itu
pun tidak kuketahui, aku cuma tahu dia tahu cara membuka
peti wasiat ini ...."
"Lalu?" tanya Giok-nio.
"Urusan yang kuminta kau kerjakan hanya supaya engkau
berusaha berkenalan dengan dia, mengingat kecantikanmu
kukira sekali pandang saja dapat membuatnya terpikat. Lalu
engkau pura-pura bergaul baik dengan dia untuk memancing
caranya membuka peti hitam itu."
"Wah, ini ...." Giok-nio merasa ragu.
"Jangan khawatir, kujamin tidak berbahaya," kata si kakek.
Giok-nio diam saja tanpa bicara lagi.
"Bagaimana, mau?" tanya si kakek.
"Akan kupikirkan lagi, sekarang boleh engkau minum arak
saja," jawab Giok-nio dengan tertawa.
Si kakek baju kelabu bersuara senang dan lantas minum arak

lagi.
"Kotak yang kau rampas itu sekarang disimpan di mana?"
tanya Giok-nio.
"Di suatu tempat yang sangat aman," jawab si kakek.
"Di mana?" tanya Giok-nio pula.
"Ah, tidak perlu kau tanya."
"Mari, habiskan secawan lagi."
"Wah, tidak mau lagi. Arak ini agak keras, rasa kepalaku rada
pusing."
"Kan belum ada tiga cawan kau minum, masa sudah pusing.
Mari habiskan secawan lagi," ajak Giok-nio.
Kembali si kakek menenggak pula satu cawan, lalu tanya,
"Bagaimana, mau tidak mengerjakan apa yang kukatakan
tadi?"
"Boleh sih boleh, cuma ... dapatlah engkau memberitahukan
padaku apa isi kotak itu."
"Tidak."
"Jika tidak kau katakan, aku pun tidak sanggup."
"Sebaiknya kau terima permintaanku, kalau tidak terpaksa
kubunuh dirimu," ancam si kakek dengan mendelik.
"Ai, engkau terus-menerus mengaku sebagai sahabat kakakku,
kenapa sedikit-sedikit engkau bilang hendak membunuhku?"

"Hm, memang begitulah kebiasaanku," jengek si kakek.
"Pendek kata, yang menurut padaku hidup, yang
membangkang kubunuh."
Giok-nio tertawa cekikik, katanya, "Ai, kenapa engkau jadi
begini garang?"
"Kutanya sekali lagi, kau mau terima atau tidak?" si kakek
menegas sekata demi sekata.
"Baiklah, cuma ada suatu syaratku," kata Giok-nio. "Bilamana
urusan sudah selesai, aku minta lima ratus tahil emas."
"Wah, jangan terlalu serakah, seratus tahil saja kan sudah
banyak."
"Tidak, harus lima ratus tahil baru mau kukerjakan," kata
Giok-nio.
Si kakek berpikir sebentar, akhirnya menjawab, "Baiklah,
kuberi lima ratus tahil. Besok hendaknya engkau berbenah
seperlunya, begitu hari gelap segera kubawa dirimu
meninggalkan kota. Sekarang kupergi dulu."
"Eh, engkau tidak minum lagi?" tanya Giok-nio.
"Tidak, aku rada pusing ...." kata si kakek. "Sungguh aneh,
mengapa kekuatanku minum arak hari ini sedemikian jelek."
"Engkau jangan pergi dulu," ujar Giok-nio.
"Mau apa?" tanya si kakek.
"Kuminta engkau mengiringiku minum arak," Giok-nio
berlagak manja.

"Tidak bisa, aku tidak sanggup minum lagi."
"Jika engkau tidak mengiringiku minum, aku pun tidak mau
pergi ke Cap-pek-pan-nia."
"Eh, kenapa kau bicara demikian?" heran juga si kakek.
"Memangnya kau anggap aku dapat berbuat apa-apa
bagimu?"
Giok-nio mengiakan dengan tersenyum.
"Ai, jangan bergurau, untuk begituan sudah lama aku tidak
sanggup lagi," kata si kakek.
"Aku cuma minta engkau mengiringiku minum arak, jangan
kau pikir terlalu jauh."
"Kau suka minum arak?" si kakek menegas.
"Ya," jawab Giok-nio.
"Tadi kau bilang tidak sanggup minum arak, mengapa
sekarang bilang suka?"
"Kalau banyak memang tidak sanggup, jika dua cawan masih
boleh," kata Giok-nio. "Pula, engkau kan baru datang, kalau
sekarang lantas pergi, sebentar aku bisa diomeli induk
semangku."
Si kakek termenung sejenak, katanya kemudian, "Ehm,
baiklah, biar kuiringimu minum dua cawan lagi ...."
"Ayo, minum!"
"Baik."

"Jika kepalamu pusing, silakan mengaso saja di tempat tidur."
"Wah, jangan."
"Lho, kenapa?"
"Aku ... aku tidak ...."
Lalu terdengar suara "bluk", suara robohnya tubuh.
Terdengar Giok-nio menjerit kaget, "Hei, kenapa engkau?
Cuma minum dua cawan saja masa lantas roboh mabuk."
Pang Bun-hiong yang mencuri dengar di luar kamar tahu
waktunya sudah tiba, segera ia mengetuk pintu dan berseru,
"Buka pintu, nona Giok!"
Waktu pintu dibuka Giok-nio, Liong It-hiong juga sudah
mengitar ke depan kamar, segera Bun-hiong menariknya ke
samping, desisnya, "Engkau jangan menampakkan diri dulu.
Dia tidak kenal aku, biar kuantar dia pulang dan engkau
menguntit dari jauh."
It-hiong mengiakan.
Bun-hiong lantas masuk kamar Giok-nio, dilihatnya si kakek
baju kelabu sudah menggeletak di lantai, cuma kesadarannya
belum hilang sama sekali, ia berlagak kaget dan bertanya,
"Hei, kenapa tuan tua ini?"
"Dia mabuk," tutur Giok-nio.
Bun-hiong mengitar ke samping si kakek, ia berjongkok dan
memeriksanya, lalu berkata, "Wah, kenapa mabuk sampai
begini?"

"Entah, aku pun tidak tahu, kukira dia kuat minum banyak,
siapa tahu minum tiga-empat cawan lantas roboh mabuk,"
kata Giok-nio.
Bun-hiong berlagak susah, ucapannya, "Wah, bagaimana ...."
"Dapatkah kau tolong dia?" tanya Giok-nio.
"Dia tinggal di mana?" kata Bun-hiong.
"Entah, aku juga tidak tahu," sahut si nona.
Bun-hiong tepuk-tepuk pipi si kakek sambil berseru, "Hei,
bung, di mana tempat tinggalmu?"
Kelopak mata si kakek terasa berat sekali untuk dibuka,
sekuatnya ia coba melek, tapi tetap merasa kantuk, namun
setitik kesadarannya yang masih ada memberitahukan
padanya agar jangan tertidur, maka sekuatnya ia
membangkitkan semangat dan menjawab, "Di Ko ... Ko-sing
...."
"Hotel Ko-sing maksudmu?" Bun-hiong menegas.
"Ehmm ...." si kakek tidak sanggup bersuara lagi, kepalanya
miring dan akhirnya terpulas juga.
Kembali Bun-hiong menepuk pipinya sambil berteriak, "Hei,
bung, bangun, sadarlah!"
Namun kakek itu sama sekali tidak bergerak lagi serupa babi
mampus.
Bun-hiong tersenyum, katanya sambil berpaling, "Nah,
sekarang boleh masuk, Liong It-hiong."

Dengan tersenyum It-hiong masuk ke kamar, katanya, "Dia
sudah tidur?"
Bun-hiong mengiakan dengan tertawa.
"Letak Ko-sing-khek-can seperti di sebelah barat sana," ucap
It-hiong.
"Memang betul," jawab Bun-hiong.
"Jika begitu perlu kita sewa sebuah kereta," kata It-hiong
pula.
"Baik, akan kusuruh orang menyewakan kereta," ujar Bunhiong
sambil beranjak keluar.
Melihat orang sudah pergi, segera It-hiong merangkul Giok-nio
dan dicium.
Muka Giok-nio menjadi merah, dengan kepalan halus ia pukul
It-hiong, omelnya dengan tersenyum genit, "Nah, tidak
genah?!"
"Ini tanda terima kasihku," ucap It-hiong dengan tertawa.
"Kan engkau sudah membantuku membekuk dia."
"Dan sekarang tentunya kau tahu jelas sebabnya
kubohongimu tempo hari adalah karena dipaksa oleh dia?"
"Ya, aku menyesal kemarin telah kupukuli pantatmu," ujar Ithiong.
Semula Giok-nio berlagak tidak mau, tapi sekarang dengan
pasrah ia biarkan dirinya dipeluk anak muda itu, ucapnya
dengan malu-malu, "Karena engkau berjanji akan
mengantarku ke Wanpeng, sungguh aku sangat berterima

kasih, mestinya hendak kukatakan terus terang duduknya
perkara kepadamu, tapi kutakut akan dibunuh olehnya."
Kembali It-hiong menciumnya lagi sekali, katanya dengan
tertawa, "Engkau tidak bersalah, aku tidak marah padamu."
Giok-nio menengadah, dengan tatapan mesra ia berkata pula,
"Sungguh kuharap apa yang terjadi itu benar, kalau benar,
alangkah baiknya."
"Jangan risau, bilamana kau suka pesiar ke Wanpeng, tentu
akan kubawamu ke sana," kata It-hiong.
"Sungguh?" tanya Giok-nio girang.
"Tentu saja sungguh," It-hiong mengangguk.
Saking senangnya Giok-nio merangkulnya erat-erat, katanya,
"Baik, bawalah aku ke sana, lekas membawaku ke sana!"
"Tapi tidak boleh lagi kau bohongi aku," kata It-hiong dengan
tersenyum.
"Masa kubohong?" Giok-nio melenggong.
"Bagus kalau tidak," ucap It-hiong. "Nona secantik dirimu ini
memang tidak pantas berdusta, bisa membuat orang
mendongkol."
"Tidak ada yang perlu kudustaimu lagi," seru Giok-nio dengan
gembira. "Selanjutnya asalkan engkau tidak dusta padaku,
maka cukuplah bagiku. Aku rela ... rela ikut padamu selama
hidup."
It-hiong hanya tersenyum saja tanpa bicara.

Sorot mata Giok-nio menampilkan rasa memohon, katanya,
"Apakah engkau sudi ... sudi padaku?"
"Aku ... mungkin saja mau padamu, tapi bukan sekarang ...."
"Sebab apa?" tanya Giok-nio.
"Sekarang aku masih mempunyai urusan yang harus
kuselesaikan."
"Urusan apa?" tanya si nona.
"Ada dua urusan," tutur It-hiong. "Pertama, menemukan
kembali peti hitam itu dan mengantarkannya ke Cap-pek-pannia
untuk memenuhi pesan orang mati."
"Dan apa urusan kedua?" tanya Giok-nio.
"Urusan kedua itu sementara tidak dapat kukatakan padamu."
"Masa engkau belum lagi percaya padaku?" Giok-nio menegas.
"Bukan soal percaya padamu atau tidak," jawab It-hiong.
"Sebabnya tidak kukatakan padamu justru kukhawatir akan
membuatmu makan tidak enak dan tidur tidak nyenyak."
"Oo?!" Giok-nio merasa bingung.
Tiba-tiba di luar terdengar suara langkah orang. It-hiong
melepaskan rangkulannya dan berpaling, benar juga terlihat
Pang Bun-hiong sudah kembali, segera ia tanya, "Bagaimana,
sudah siap keretanya?"
"Sudah, ayolah bawa dia ke atas kereta," kata Bun-hiong.
Segera It-hiong mengangkat si kakek baju kelabu, katanya

terhadap Giok-nio dengan tertawa, "Besok kudatang
menjengukmu, jangan kau kabur lagi tanpa pamit."
Dengan malu Giok-nio menjawab, "Tidak, akan kutunggu
kedatanganmu."
Segera It-hiong menggendong si kakek yang tak sadar itu
keluar.
Bun-hiong tidak ikut keluar, ia tunggu setelah It-hiong keluar
kamar, segera ia mendekati Giok-nio dan bertanya perlahan
dengan tersenyum, "Dia suka padamu bukan?"
Dengan muka merah Giok-nio menjawab, "Untuk apa Pangkongcu
tanya urusan ini?"
"Sebab kupikir, bilamana dia tidak suka padamu barulah ada
kesempatan bagiku," kata Bun-hiong.
"Cis, engkau juga tidak genah," semprot Giok-nio.
Sambil tergelak Bun-hiong lantas melangkah keluar.
Setiap orang yang berada di Boan-wan-jun sudah biasa
melihat tamu yang mabuk, maki ketika melihat It-hiong
memanggul keluar seorang tua, tidak ada seorang pun merasa
heran, semuanya mengira It-hiong adalah serombongan
dengan si kakek, sama sekali tidak menyangka Liong It-hiong
sedang menculik orang.
Sekeluarnya dari Boan-wan-jun, It-hiong melihat di depan
pintu itu sudah parkir sebuah kereta kuda, ia tahu inilah
kereta yang disewa Bun-hiong, segera ia angkat si kakek ke
dalam kereta.
Sejenak kemudian Bun-hiong ikut keluar, ia memberitahukan

kepada sais kereta agar menuju ke hotel Ko-sing, lalu mereka
naik ke dalam kereta.
Perlahan kereta dijalankan meninggalkan Jalan Kembang dan
menuju ke gerbang barat.
"Apakah dia takkan mendusin mendadak?" tanya It-hiong
sambil menatap si kakek baju kelabu yang tidak berkutik itu.
"Tidak," jawab Bun-hiong.
"Apakah yang dikatakannya kepada Giok-nio tadi sudah kau
dengar atau tidak?"
"Sudah."
"Jangan-jangan Giok-nio memang tidak berdosa."
"Sebab apa tua bangka ini mencari dia?" ujar Bun-hiong.
"Maksudku, mengapa dia mencari adik perempuan Eng-jiauong
Oh Kiam-lam?"
"Ya, kukira ini pasti tidak terjadi secara kebetulan," tukas Ithiong.
"Tentu dia tahu Giok-nio adalah adik perempuan Oh
Kiam-lam."
"Betul," kata Bun-hiong.
"Ia ancam Giok-nio agar membantunya merampas peti dariku,
tadi Giok-nio diminta membantunya ke Cap-pek-pan-nia untuk
memancing cara membuka peti itu, kuyakin dia mempunyai
tujuan tertentu."
"Memang begitulah," Bun-hiong mengangguk.
Sambil memandang si kakek yang masih terpulas lelap itu, ItKANG
ZUSI website http://cerita-silat.co.cc/
hiong berkata pula dengan tersenyum, "Kau pikir dapatkah dia
menyimpan peti hitam itu di dalam hotel?"
"Entah, biarlah kita coba menggeledahnya dulu," kata Bunhiong.
"Jika tidak ditemukan di hotel, nanti kira membuatnya
sadar, lalu memaksa pengakuannya."
"Sekarang ada suatu soal yang membuatku serbasusah," kata
It-hiong. "Setelah peti kutemukan kembali, harus kuantar dulu
peti itu ke Cap-pek-pan-nia atau membawa Giok-nio dulu
menemui To Po-sit?"
"Ini harus kau putuskan sendiri," ujar Bun-hiong.
"Bolehkah kubawa dia pergi ke Cap-pek-pan-nia?"
"Kecuali kau pun ingin menggunakan dia untuk memancing
cara membuka peti, kalau tidak, lebih baik jangan."
"Aku tidak begitu tertarik oleh isi peti, untuk apa kusuruh dia
memancing cara membuka peti?" ujar It-hiong.
"Jika begitu lebih baik jangan membawa dia ke sana," kata
Bun-hiong. "Kau tahu bila kotak itu kau bawa dalam
perjalanan, sangat mungkin ada orang akan mencegat dan
merampasnya lagi, dapatkah kau terjang kepungan dengan
membawa dia?"
It-hiong menggeleng, "Tidak dapat."
"Jika kau percaya kepadaku, sudah tersedia suatu caraku."
"Coba katakan," ucap It-hiong.
"Boleh kau pergi ke Cap-pek-pan-nia dan kugantikan dirimu
mengantar dia ke tempat Tui-beng-poan-koan To Po-sit."

"Wah, ini ...."
"Bagaimana, khawatir kubawa lari dia?" kata Bun-hiong
dengan tersenyum.
It-hiong menggeleng, "Bukan, kutakut To Po-sit akan merasa
kurang senang, sebab berulang dia pesan padaku agar jangan
membocorkan tempat sembunyinya. Sekarang kedua kakinya
cacat dan tidak mampu menghadapi gerangan musuh."
"Tapi aku bukan musuhnya, tidak nanti kubocorkan tempat
pengasingannya itu," kata Bun-hiong.
"Kutahu engkau takkan berbuat begitu, tapi dia takkan berpikir
demikian."
"Sudahlah, jika kau anggap kurang baik, anggap saja batal."
"Harap beri waktu, akan kupikirkan dulu .... Ah, sudah sampai
di hotel Ko-sing."
Mendadak kereta kuda berhenti. Waktu Bun-hiong melongok
keluar, lalu melompat turun dan berkata, "Ya, sudah sampai.
Boleh kau gendong dia turun."
Ia membayar sewa kereta, dilihatnya It-hiong memanggul si
kakek turun, segera ia mendahului masuk ke hotel Ko-sing.
"Tuan tamu ini apa cari kamar?" tanya seorang pelayan
menyongsong kedatangan mereka.
"Tidak, kami mengantar pulang kawan tua ini," jawab Bunhiong
sambil menuding si kakek yang digendong It-hiong itu,
lalu tanya pula, "Tuan ini tamu hotel kalian bukan?"

Pelayan mendekat dan mengamati sejenak, lalu menjawab
dengan terkejut, "He, betul, dia tamu yang tinggal di kamar
nomor delapan, kenapakah dia?"
"Mabuk," tutur Bun-hiong. "Coba bawa kami ke kamarnya."
Pelayan mengiakan dan membawa mereka masuk ke dalam
hotel, sampai di depan sebuah kamar bagus, pelayan
membuka pintu kamar dan berkata, "Kamar ini."
Bun-hiong mengangguk, "Baiklah, boleh kau pergi saja."
Sesudah pelayan pergi, It-hiong membawa si kakek ke dalam
kamar dan direbahkan di tempat tidur, katanya kepada Bunhiong,
"Tutup pintunya, biar kita geledah kamarnya."
Setelah pintu kamar ditutup, kedua orang lantas sibuk
menggeledah seluruh isi kamar. Tapi meski kamar sudah
diubrak-abrik, yang ditemukan mereka hanya dua macam
barang yakni sebuah ransel dan sepasang ruyung baja.
"Aneh, disimpan ke mana peti hitam itu?" kata It-hiong.
"Mungkin dititipkan pada pengurus hotel, coba akan kutanyai
kuasa hotel," ujar Bun-hiong.
Habis berkata segera ia membuka pintu dan keluar.
Tidak lama kemudian ia kembali lagi ke kamar, katanya sambil
menggeleng, "Menurut keterangan pengurus hotel, katanya
tua bangka ini tidak titip sesuatu barang, juga tidak pernah
melihat dia membawa sebuah peti segala."
"Jika begitu, terpaksa harus kita tanyai dia langsung," kata Ithiong.

Ia mendekati tempat tidur, ia tutuk Hiat-to si kakek dan
menyiram mukanya dengan sebaskom air dingin yang tersedia
di dalam kamar.
Obat tidur yang diminum si kakek tidak banyak, setelah
disiram air dingin, seketika juga dia sadar kembali.
Begitu membuka mata, lalu memandang dengan melenggong
Liong It-hiong dan Pang Bun-hiong yang berdiri di depan
tempat tidur, mendadak air mukanya berubah babat, cepat ia
meronta hendak bangun sambil berteriak, "Hei, kau ... Liong
It-hiong?!"
"Betul," It-hiong tersenyum.
Sekali meronta dan tidak mampu bangun, segera si kakek
tahu Hiat-to tertutuk, keruan ia heran dan terkejut, serunya,
"Cara ... cara bagaimana kau datang kemari?"
It-hiong tidak menjawab, sebaliknya ia lolos pedang pandak
Siau-hi-jong dan mengancam di depan hidung orang sambil
berkata, "Ada beberapa soal ingin kutanya dirimu dulu. Coba
jawab, siapa namamu?"
Muka si kakek kelihatan pucat pasi dan tidak menjawab.
"Hm, kukira kau tahu apa artinya ini," jengek It-hiong. "Jika
tidak ingin menderita siksaan badan, sebaiknya kau jawab
dengan terus terang."
"Baik, aku she Tam dan bernama Pek-sun!" jawab si kakek.
"Jika kau bohong, kau adalah anak jadah, begitu?"
Dengan mendongkol si kakek berteriak, "Baik, apa alangannya
kukatakan terus terang. Aku inilah In-tiong-yan Pokyang

Thian."
"Itu dia baru benar," ucap It-hiong dengan tertawa. "Berdusta
bukan perbuatan yang terpuji. Seorang lelaki sejati berani
berbuat berani bertanggung jawab. Engkau Pokyang Thian
adalah tokoh yang sudah terkenal sekian lamanya, tindak
tandukmu hendaknya dilakukan secara gagah kesatria."
"Singkirkan pedangmu!" mendadak In-tiong-yan Pokyang
Thian meraung.
"Sabar dulu," ucap It-hiong. "Masih ada soal yang lebih
penting ingin kutanya padamu. Nah, coba katakan, di mana
kau sembunyikan peti hitam itu?"
"Tidak tahu," jawab In-tiong-yan Pokyang Thian dengan
ketus.
"Maksudmu biarpun mati juga takkan kau serahkan peti itu?"
jengek It-hiong.
Sembari bicara ia pindah ujung pedangnya untuk mengancam
hulu hati orang dan berlagak hendak menikam.
Keruan muka In-tiong-yan Pokyang Thian bertambah pucat,
namun dia tetap bandel, katanya, "Ah, jangan kau main cara
begini, tak dapat kau gertak diriku."
"Betul, jika kubunuh dirimu berarti tidak dapat lagi
menemukan kembali peti itu," kata It-hiong. "Tapi kalau tidak
kau serahkan peti itu, apa pula gunanya kupertahankan
nyawamu?"
In-tiong-yan Pokyang Thian hanya mendengus saja tanpa
menjawab.

"Jadi engkau sudah bertekad akan melawan mati-matian,
begitu?" tanya It-hiong.
"Betul, silakan turun tangan saja," jawab Pokyang Thian.
Mendadak It-hiong menarik kembali pedangnya malah,
katanya terhadap Pang Bun-hiong, "Wah, tua bangka ini licin
benar, dia ternyata tahu aku tidak berani turun tangan
membunuhnya ...."
"Engkau kan juga tidak harus membunuhnya," ujar Bun-hiong
dengan tersenyum.
"Betul, jika dia tidak dapat digertak, sekarang hanya ada suatu
jalan," It-hiong mengangguk. "Kau tahu apa jalan keluarku
yang lain?"
"Tahu," jawab Bun-hiong.
"Coba katakan."
"Hendak kau potong urat besar pergelangan kakinya, lalu
membawa dia ke Cap-pek-pan-nia dan menyerahkannya
kepada gembong yang bercokol di sana, begitu bukan?"
"Hah, sungguh hebat, engkau serupa cacing pita di dalam
perutku," ujar It-hiong dengan tertawa.
Segera ia membalik tubuh Pokyang Thian dan membiarkan dia
bertiarap, lalu menyingsing kaki celananya dan hendak
memotong urat besar kakinya.
In-tiong-yan Pokyang Thian yakin orang tidak berani
membunuhnya, tapi ia pun tahu untuk memotong urat kakinya
pasti dapat dilakukannya, sebab itulah sikap kepala batunya
seketika berubah lunak, ia menghela napas dan berkata,

"Baiklah, aku menyerah, biarlah kukatakan terus terang."
It-hiong menaruh pedang di atas urat kaki orang, ucapnya
dengan tertawa, "Nah, katakan, di mana kau sembunyikan
peti itu?"
"Setelah kukatakan, cara bagaimana akan kau perlakukan
diriku?" tanya In-tiong-yan Pokyang Thian.
"Begitu menemukan peti itu segera kubebaskan dirimu,"
jawab It-hiong.
"Kau pasti pegang janji?" Pokyang Thian menegas.
"Ya, tidak nanti kujilat kembali," jawab It-hiong.
"Baik," tutur Pokyang Thian. "Peti itu kutanam di suatu
kuburan di luar kota, boleh kalian sewa sebuah kereta, akan
kubawa kalian ke sana."
Segera Bun-hiong mencari kereta lagi, tidak lama kemudian
mereka bertiga lantas berangkat keluar kota dengan
menumpang kereta.
Setelah keluar kota, kereta diarahkan ke suatu jalan kecil yang
berliku dan tidak rata.
"Masih berapa jauh lagi?" tanya It-hiong tidak sabar.
"Tidak jauh lagi, satu-dua li saja akan sampai," sahut Bunhiong
mewakilkan si kakek.
"Dari mana kau tahu?" tanya It-hiong.
"Pernah kudatangi tanah pekuburan itu dahulu," tutur Bunhiong.
"Seorang kawan meninggal, aku mengantar jenazahnya

sampai di tempat kuburan itu."
"Oo," pandangan It-hiong lantas beralih ke wajah Pokyang
Thian, tanyanya dengan tertawa, "Masih ingin kutanya sesuatu
padamu, apakah kau tahu Giok-nio itu adik perempuan siapa?"
"Tahu," jawab Pokyang Thian. "Dia adik perempuan Eng-jiauong
Oh Kiam-lam namanya Oh Lian-bing."
"Mengapa sampai dia terjerumus ke dalam dunia pelacuran?"
tanya It-hiong.
"Kakaknya mati, hidupnya telantar, terpaksa hidup di kalangan
hiburan begitu," ujar Pokyang Thian.
Tiba-tiba Bun-hiong menukas, "Kudengar Oh Kiam-lam masih
mempunyai beberapa orang saudara angkat, mengapa mereka
tidak membantu adik perempuannya?"
"Apakah 'Lok-lim-jit-coat' (tujuh gembong bandit) yang kau
maksudkan?" tanya Pokyang Thian.
"Ya begitulah kira-kira," kata Bun-hiong.
"Aku inilah satu di antara ketujuh orang itu," kata Pokyang
Thian. "Keenam gembong lainnya adalah Ang-liu-soh (si kakek
beruci-uci merah) Ban Sam-hian, Cian-in-jiu (si tangan kilat)
Loh Bok-kong, Kim-ci-pa (si macan tutul) Song Goan-po, Hiatpit-
siucay (si sastrawan berpensil berdarah) Hui Giok-koan,
Tok-gan-bu-siang (si setan mata satu) Ong Sian dan Coh-jingbin
(si muka tembong) Sing It-hong."
"Dan Oh Kiam-lam adalah saudara angkat kalian yang tertua?"
Bun-hiong menegas.
"Betul, kami berdelapan pernah melakukan pekerjaan

bersama, kemudian terasa tidak cocok, lalu terpencar dan
bekerja sendiri," tutur Pokyang Thian.
"Mungkin terpencar karena bertengkar dalam hal membagi
rezeki yang tidak rata, begitu bukan?" tanya Bun-hiong
dengan tertawa.
"Boleh juga dikatakan begitu," ujar Pokyang Thian. "Oh Kiamlam
sok menganggap dirinya paling jempolan, kami bertujuh
dipandangnya sebagai anak buah belaka, dengan sendirinya
kami tidak rela diperbudak dan terpaksa berpisah."
"Pekerjaan besar yang dilakukannya dahulu kalian bertujuh
juga ikut serta bukan?" tanya Bun-hiong.
"Maksudmu ...."
"Yaitu waktu merampok satu juta tahil perak dana bantuan
kerajaan kepada daerah Kangsay yang tertimpa musibah
kebanjiran itu, peristiwa itu sungguh menggemparkan seluruh
dunia," ujar Bun-hiong.
"O, tidak, kami tidak ikut dalam perbuatan itu, tatkala mana
kami sudah memisahkan diri dengan dia," jawab Pokyang
Thian.
"Apakah lantaran pribadi Oh Kiam-lam memang buruk, maka
kalian tidak mau memberi bantuan kepada Oh Lian-bing!"
tanya Bun-hiong.
"Betul, cuma kemudian baru kami ketahui dia terjerumus ke
dunia pecomberan," kata Pokyang Thian.
"Setelah berhasil merampok dana bantuan pemerintah itu
tidak lama kemudian Oh Kiam-lam diketemukan mati terbunuh
di luar kota Tiang-an, apakah kau tahu siapa pembunuhnya?"

tanya Bun-hiong pula.
"Tidak tahu," jawab Pokyang Thian. "Diam-diam kami juga
mengadakan pengusutan atas diri si pembunuh, tapi selama
ini belum berhasil."
"Setelah Oh Kiam-lam mati, lalu ke mana perginya harta satu
juta tahil perak itu?" tanya It-hiong.
"Dengan sendirinya dibawa lari si pembunuh itu," kata
Pokyang Thian.
"Adakah hubungan peti itu dengan urusan perampokan besar
itu?"
"Tidak, sama sekali tidak ada hubungan apa pun, kedua
urusan berdiri sendiri," tutur Pokyang Thian.
"Jika begitu apa isi peti itu?" tanya It-hiong lagi.
"Sebelum kujawab ingin kutanya dulu kepadamu," kata
Pokyang Thian. "Sesungguhnya peti itu akan kau kangkangi
sebagai milik sendiri atau akan mengantarnya ke Cap-pekpan-
nia?"
"Akan kuantar ke Cap-pek-pan-nia," jawab It-hiong.
"Jika begitu, sebaiknya jangan kau tanya tentang isi peti itu."
"Sebab apa?" It-hiong menegas.
"Sebab kalau kau tahu apa isi peti itu, nanti hatimu pasti juga
akan tertarik dan mungkin timbul hasratmu untuk
mencaploknya sebagai milik sendiri, dan hal ini tentu akan
sangat merugikan nama baikmu."

"Kupercaya kepada ucapanmu," kata It-hiong dengan
tersenyum. "Aku ini memang tidak cukup teguh dengan
pendirian sendiri, mudah terpikat dan terbujuk. Baiklah jika
tidak mau kau katakan."
"Selain itu, biarlah kukatakan terus terang padamu," sambung
Pokyang Thian lagi. "Saat ini orang yang bermaksud
merampas peti itu terlampau banyak. Lantaran mereka tahu
engkau sendiri tidak tahu apa isi peti itu, maka mereka tidak
ingin mencelakai jiwamu, bilamana isi peti sudah kau ketahui,
tentu mereka tidak sungkan-sungkan lagi padamu."
"Betul, cukup beralasan," ujar It-hiong dengan tertawa. "Cuma
ada satu hal rasanya dapat kau beri tahukan padaku, yaitu,
milik siapakah peti itu sesungguhnya?"
"Milik si tokoh misterius di Cap-pek-pan-nia yang menghendaki
peti itu," tutur Pokyang Thian.
"Memangnya siapa dia sebenarnya?" tanya It-hiong pula.
"Entah, aku pun tidak tahu," jawab Pokyang Thian. "Pada
mukanya selalu memakai topang setan, ilmu silatnya sudah
mencapai tingkatan yang sukar diukur, dia pernah
mengalahkan berbagai tokoh Bu-lim kelas tinggi, sekarang
kedudukannya adalah pemimpin besar kaum Lok-lim (rimba
hijau, arti kiasan kawanan bandit), anak buahnya berjumlah
sekian ribu orang, pengaruhnya besar di atas Oh Kiam-lam."
"Si Hin yang menyerahkan kotak hitam kepadaku itu juga anak
buah tokoh misterius itu?" tanya It-hiong.
Pokyang Thian membenarkan.
"Dari tempat lain Si Hin memperoleh kotak itu dan bermaksud
membawanya pulang ke Cap-pek-pan-nia, akhirnya dicegat

musuh dan terluka parah, begitu bukan kisahnya?" tanya Ithiong.
"Betul," jawab Pokyang Thian.
It-hiong angkat pundak, katanya terhadap Pang Bun-hiong,
"Sungguh konyol, memangnya dengan alasan apa harus
kuantar kotak hitam itu ke Cap-pek-pan-nia?"
Bun-hiong tidak menjawab, pandangannya tertuju ke arah
belakang, seperti sedang mengintai sesuatu.
"Apa yang kau pandang?" tanya It-hiong rada tercengang.
"Ingin kulihat adakah orang menguntit kita," jawab Bun-hiong.
Tergetar hati It-hiong, "Memangnya ada tanda kita dikuntit
orang?"
Bun-hiong menggeleng, katanya, "Entah, belum dapat
kupastikan ...."
Waktu It-hiong memandang ke belakang kereta, tertampak di
kejauhan sana gelap gulita, tiada terlihat sesuatu apa pun. Ia
coba tanya pula, "Sesungguhnya apa yang kau lihat?"
"Tadi aku seperti melihat berkelebatnya sesosok bayangan,
cuma mungkin juga bayangan seekor anjing liar," ujar Bunhiong.
It-hiong menoleh dan tanya Pokyang Thian, "Apakah ada
orang tahu engkau berhasil merampas kotak hitam itu?"
"Tapi kalau sekarang ada orang membuntuti kita, jelas yang
dituju adalah kalian," ujar Pokyang Thian.

"Oo, apa buktinya?" kata It-hiong.
Pokyang Thian menjengek, "Hm, aku tidak membual, di dunia
persilatan zaman ini orang yang memiliki Ginkang yang
melebihiku dapat dihitung dengan jari. Tempo hari sesudah
kudapatkan kotak itu, memang pernah juga ada orang
mencegat dan bermaksud merampasnya dariku, tapi
semuanya dapat kutinggalkan."
"Namun kotak itu sudah dibawa lari olehmu, untuk apa orang
membuntuti kami?" kata It-hiong.
"Kalian mengetahui aku lari ke Kim-leng sini, bisa jadi
pembicaraan kalian dapat didengar orang, maka mereka pun
menguntit ke sini."
"Tidak, kami tidak tahu engkau lari ke Kim-leng sini, bahwa
hari ini dapat kami membekuk dirimu adalah kejadian di luar
dugaan," tutur It-hiong.
"Di luar dugaan?" Pokyang Thian menegas.
"Ya, bahkan kami juga tidak tahu Giok-nio adalah Ni Beng-ay.
Kemarin kami cari hiburan ke Boan-wan-jun, di luar dugaan di
sana dapat kami temukan Giok-nio ternyata sama dengan Ni
Beng-ay, dari dia dapat diketahui juga bahwa engkau hendak
menemui dia lagi, maka kami lantas memasang perangkap
untuk membekukmu."
"Oo, kiranya begitu," Pokyang Thian menyengir.
"Makanya jika sekarang ada orang membuntuti kita, maka
yang dikuntit pasti dirimu."
"Jika orang dapat menguntit diriku dari Ko-yu sampai di sini,
maka orang itu pasti tokoh yang luar biasa," kata Pokyang

Thian.
Tengah bicara, tahu-tahu kereta sudah berhenti. Kiranya
sudah tiba di tempat tujuan, yaitu sebuah tanah pekuburan.
It-hiong memapahnya melompat keluar, waktu memandang
ke sana, tertampak di depan penuh kuburan, luas juga tanah
pemakaman ini, dari tanah datar terus memanjang hingga
sampai lereng bukit, sedikitnya ada ribuan makam, di sana-sini
terdapat beberapa batang pohon waru, dipandang dalam
kedelapan malam suasana terasa sunyi dan seram.
Bun-hiong membayar sewa kereta dan menyuruhnya pergi,
lalu bertanya kepada Pokyang Thian, "Di mana kau tanam
kotak itu?"
"Di lereng bukit sana," jawab Pokyang Thian.
Segera Bun-hiong mendahului melangkah ke lereng sana.
It-hiong memapah Pokyang Thian mengikut dari belakang,
sembari berjalan ia tidak lupa menoleh untuk mengawasi
belakang, ternyata tidak terlihat ada orang menguntit, tapi ia
tahu pasti ada orang membuntutinya, maka setiap langkahnya
dilakukannya dengan cermat dan penuh waspada.
Tidak lama kemudian mereka sudah sampai di kompleks tanah
makam di lereng bukit.
"Bagaimana, sudah sampai?" tanya Bun-hiong.
"Ya, sudah dekat," jawab Pokyang Thian. "Belok dulu ke
kanan, lalu maju lagi dua ratus langkah akan sampai di tempat
tujuan."
Bun-hiong menurut dan membelok ke arah kanan, kira-kira

ratusan langkah lagi ia berhenti dan tanya pula, "Bagaimana,
sudah sampai?"
"Ya, sudah sampai," jawab Pokyang Thian.
It-hiong menurunkan kakek itu dan dibiarkan orang duduk
bersandar sebuah makam, lalu tanya, "Di mana tempatnya?"
Pokyang Thian memandang sebuah makam yang besar di sisi
kiri, katanya, "Di depan kuburan itu, cukup digali sedalam tiga
kaki saja dan akan menemukannya."
Segera It-hiong melolos pedang pandak, katanya kepada Bunhiong,
"Harap wakilkan aku mengawasi dia, akan kugali
tempat itu."
Lalu ia mendekati kuburan yang dimaksud, waktu ia
memeriksanya dengan teliti, terlihat di depan makam memang
ada bagian tanah yang gembur, ia tahu keterangan Pokyang
Thian tidak dusta, segera ia gunakan pedang untuk menggali.
Bun-hiong tahu keadaan cukup gawat, bahaya senantiasa
mengintai, setiap saat bisa terjadi sesuatu yang tak terduga,
sebab itulah dia tidak berani lengah, segera ia pun menghunus
pedang dan berjaga di samping Pokyang Thian sambil
mengawasi keadaan sekitarnya.
Cara It-hiong menggali sangat cepat, hanya sebentar saja
tempat galiannya sudah sedalam tiga kaki, ujung pedang telah
menyentuh sesuatu benda keras.
Ia taruh pedangnya, lalu berjongkok dan menggunakan
tangan untuk mengeruk tanah, kemudian dari dalam liang
dapat diangkat keluar satu bungkusan.
Bungkusan itu segera dibuka, benar juga terdapat kotak hitam

itu.
Melihat kotak sudah dikeluarkan oleh anak muda itu, segera
Pokyang Thian berseru, "Nah, sekarang tentu kalian boleh
membuka Hiat-toku bukan?"
"Baiklah," kata It-hiong. "Pang-heng, harap bebaskan Hiat-to
yang kututuk tadi."
Siapa tahu, belum lenyap suaranya, mendadak Pang Bunhiong
berteriak khawatir, "Awas, ada bahaya!"
"Wutt", mendadak sesosok bayangan melompat keluar dari
balik sebuah makam yang berdekatan dari situ, secepat kilat
menerjang tiba.
Penyergap ini berbaju hitam mulus, membawa Boan-koan-pit,
senjata berbentuk potlot. Begitu melompat tiba segera ujung
potlot baja menikam kepala Liong It-hiong, gerakannya cepat
dan serangannya keji.
It-hiong tertawa keras sambil menjatuhkan diri dan
menggelinding ke samping sehingga serangan orang
terhindar, berbareng ia sambar pedang pandak yang
ditaruhnya di samping tadi terus balas menusuk.
Tapi pendatang itu juga sangat gesit, sekali luput serangannya
segera ia menendang, kedua kaki menendang sekaligus secara
berantai.
Terdengar suara "plok", kaki kirinya berhasil menendang
pergelangan tangan kanan It-hiong yang memegang pedang,
menyusul tangan orang berbaju hitam itu meraih, kotak hitam
hendak direbutnya.
"Eh, jangan sembrono!" teriak It-hiong sambil melejit, dengan

gerakan indah kakinya balas mendepak dan tepat mengenai
pinggang orang.
Depakan ini cukup keras, kontan orang itu terpental dua
tombak jauhnya, namun orang itu memang hebat, dia tidak
jatuh terbanting melainkan membalik tubuh selagi terapung di
udara, lalu turun ke bawah dengan enteng. Ia tidak kapok,
segera ia menerjang maju lagi.
Akan tetapi saat itu kotak hitam sudah dipegang oleh It-hiong,
begitu melihat lawan menerjang tiba, langsung ia sambut
orang dengan pedangnya sambil berseru, "Aha, sahabat,
perkenalkan dulu namamu, pedang Liong It-hiong tidak
pernah membunuh kaum keroco yang tak bernama!"
Melihat pedang pandak yang dipegang It-hiong, pendatang itu
tahu pasti pedang pusaka yang dapat memotong besi serupa
merajang sayur, seketika timbul rasa jerinya, cepat ia
menahan daya terjangnya, jawabnya sambil tertawa seram,
"Haha, baik, kuberi tahu, aku tidak perlu ganti nama dan tukar
she, Hiat-pit-siucay Hui Giok-koan adanya."
Kiranya dia ini si sastrawan pensil berdarah, malah satu dari
Lok-lim-jit-coat, saudara angkat Pokyang Thian.
Air muka Pokyang Thian kelihatan rada berubah, sedapatnya
ia memperlihatkan senyum gembira, katanya, "Ah, Lolak
(keenam), engkau sudah datang?!"
Usia Hiat-pit-siucay Hui Giok-koan belum ada 40-an, wajahnya
cukup cakap, tapi sikapnya kelihatan kejam dan seram, sinar
matanya mencorong tajam serupa setiap saat hendak
mencaplok mangsanya, menakutkan kelihatannya.
Ia mendengar teguran Pokyang Thian, tapi dia tidak balas
memandangnya, bahkan melirik pun tidak, ia hanya menjawab

dengan terkekeh aneh, "Hehe, memang betul, kudatang untuk
menolongmu!"
"Bersama siapa pula kedatanganmu ini?" tanya Pokyang
Thian.
Dengan tertawa ejek Hiat-pit-siucay Hui Giok-koan menjawab,
"Tidak banyak, seluruhnya cuma tiga orang saja yang datang
kemari termasuk diriku. Siaute, tahu Pokyang-heng tidak suka
ada orang lain yang terlalu banyak ikut campur urusan ini,
maka tidak berani kuajak teman yang lain lagi."
Pokyang Thian kelihatan kikuk, katanya dengan menyengir,
"Ah, engkau salah paham, Lolak. Soalnya aku tidak sempat
memberitahukan kepada kalian, sama sekali aku tidak
mempunyai pikiran ingin menarik keuntungan untuk diri
sendiri ...."
Hiat-pit-siucay Hui Giok-koan tidak menggubrisnya lagi, ia
pandang Liong It-hiong sambil menyeringai, katanya, "Lionghiap,
sudah lama kudengar nama kebesaranmu, cuma malam
ini sudah menjadi tekadku akan mengambil kotak hitam ini,
hendaknya kau tahu gelagat sedikit dan janganlah melawan."
"Hahaha!" It-hiong tergelak. "Aku Liong It-hiong justru
seorang yang tidak mau tahu gelagat, ibaratnya sebelum
melihat peti mati takkan menangis, sebelum tiba saat terakhir
takkan menyerah. Maka kalau engkau menghendaki peti ini,
kau perlu perlihatkan sejurus dua dulu kepadaku."
"Baik, segera akan kuperlihatkan padamu!" jengek Hiat-pitsiucay.
Bicara sampai di sini, segera ia berpaling dan berseru,
"Ayo keluarlah, Hek-pek-ji-long!"
Air muka It-hiong dan Bun-hiong sama berubah demi
mendengar sebutan "Hek-pek-ji-long" atau kedua serigala

hitam dan putih.
Hampir setiap orang persilatan pasti tahu dua orang
bersaudara yang berjuluk Hek-pek-ji-long ini, sebab mereka
adalah jago kelas tinggi dunia persilatan yang sudah terkenal
sejak beberapa puluh tahun yang lalu. Bicara tentang ilmu
silat, mereka pasti tidak di bawah Koh-ting Tojin, Kim-kong
Taysu dan lain-lain, dalam hal kebesaran nama bahkan boleh
dikatakan tidak di bawah siapa pun, sebab kisah hidup mereka
memang sangat istimewa, mereka dibesarkan oleh seekor
induk serigala.
Konon pada lebih 50 tahun yang lalu, mereka diketemukan
oleh seorang kosen dunia persilatan di tengah suatu
gerombolan serigala.
Tokoh kosen itu menghalau kawanan serigala itu dan
membawa mereka kembali ke dunia manusia. Setelah dididik
selama belasan tahun barulah sifat manusia mereka dapat
dikembalikan sebagian.
Lantaran sejak kecil mereka hidup di tengah kawanan serigala,
gerak-gerik mereka menjadi gesit dan cekatan luar biasa,
maka setelah berhasil menguasai ilmu silat, Kungfu mereka
tambah mengejutkan, kemudian orang kosen itu meninggal
dunia, mereka lantas berkelana di dunia Kangouw, tidak lama
kemudian lantas terkenal sebagai Hek-pek-ji-long. Banyak
jago kelas tinggi dikalahkan mereka.
Cuma, meski ilmu silat mereka cukup tinggi, namun dalam
pandangan orang dunia persilatan mereka bukanlah "tokoh",
sebab mereka suka bertindak ngawur, tidak dapat
membedakan antara yang benar dan yang salah, tindak
tanduknya tidak mempunyai pendirian, asalkan ada orang
mengundang mereka makan minum sepuasnya dan mereka
pun siap menjual nyawa bagi siapa pun, jadinya serupa dua

ekor anjing piaraan saja.
Begitulah, maka ketika Hiat-pit-siucay berteriak, serentak Hekpek-
ji-long melompat keluar dari tempat sembunyinya, sekali
lompat saja lantas berada di depan.
Usia Hek-pek-ji-long ini sudah di atas 60-an, yang satu
berbaju hitam dan yang lain berbaju putih, wajah sama jelek
dan seram, sama sekali tidak berbau manusia.
Senjata yang digunakan Hek-long atau serigala hitam adalah
Song-bun-kiam, pedang kematian. Sedangkan senjata Peklong
atau serigala putih adalah sepasang golok.
Segera Hiat-pit-siucay mengangkat Boan-koan-pit dan
memberi tanda menyerang berbareng, ia sendiri lantas
melompat mundur.
Hek-pek-ji-long serupa dua ekor anjing yang sudah terlatih,
begitu melihat perintah sang majikan, serentak mereka
menubruk ke arah It-hiong dan Bun-hiong.
Begitu menubruk maju segera serigala hitam menusuk Bunhiong
dengan pedangnya.
Serigala putih menerjang It-hiong, ia putar kedua goloknya
dan menyerang tanpa kenal ampun.
Terpaksa It-hiong berdua menyambut serangan mereka, tapi
baru saling gebrak beberapa jurus It-hiong berdua sudah
tercecer hingga rada kelabakan.
Gerak serangan Hek-pek-ji-long selain aneh dan cepat luar
biasa, setiap jurus serangannya sangat berlawanan dengan
peraturan ilmu silat umumnya dan di luar dugaan,
ketambahan lagi sifat mereka yang liar dan suka berkelahi,

maka pertarungan mereka dilakukan dengan kalap, hanya
menyerang tanpa bertahan, sebab itulah sejak mulai mereka
sudah di atas angin sehingga It-hiong berdua terdesak
mundur melulu.
Melihat Hek-pek-ji-long pasti di atas angin, Hiat-pit-siucay Hui
Giok-koan tidak perlu lagi membantu mereka, ia lantas
mendekati Pokyang Thian, dengan tertawa yang dibuat-buat
ia berkata, "Eh, Pokyang-heng, kenapa engkau hanya
berbaring saja dan tidak mau bangun?"
"Ah, jangan bercanda, Lolak," jawab Pokyang Thian dengan
menyengir.
"Tadi kudatang tepat pada waktunya sehingga berhasil
menyelamatkan kotakmu, coba cara bagaimana engkau akan
berterima kasih padaku?" tanya Giok-koan dengan tertawa.
"Kita kan saudara sendiri, bagaimana kalau separuh-separuh?"
jawab Pokyang Thian.
"Aha, bagus sekali!" seru Hui Giok-koan dengan tertawa
senang.
"Jika begitu, lekas kau bebaskan Hiat-toku, mereka telah
menutuk Hiat-to kelumpuhanku," seru Pokyang Thian.
"Baik, akan kubebaskan dirimu," Hui Giok-koan mengangguk.
Habis berkata, Boan-koan-pit yang dipegangnya mendadak
menikam ke hulu hati Pokyang Thian.
Keruan Pokyang Thian menjerit, "Aduhhh!"
Seketika matanya terbelalak lebar seperti tidak percaya
kepada apa yang terjadi, teriaknya pula dengan suara

gemetar, "Ah, Hui Giok-koan, keji ... keji amat kau ...."
Hui Giok-koan menarik Boan-koan-pitnya yang berlumuran
darah, ucapnya dengan tertawa, "Ah, jangan berkata begitu,
apa yang kulakukan ini kan cuma membebaskanmu dari
penderitaanmu saja."
Pokyang Thian tidak bersuara lagi, sebab dia memang benar
telah mendapatkan "pembebasan", pembebasan segalanya,
hanya kedua matanya saja yang tetap mendelik sebesar
gundu, agaknya mati pun dia masih penasaran.
Hui Giok-koan mendepak mayat Pokyang Thian sambil
memaki, "Bedebah, jika mati penasaran boleh kau mengadu
saja kepada Giam-lo-ong (raja akhirat) di neraka sana."
Ebook oleh : Dewi KZ
Scan book oleh : BBSC
Jilid 8
Dalam pada itu Liong It-hiong dan Bun-hiong sudah
beberapa puluh jurus bergebrak dengan Hek-pek-ji-long,
mereka telah mengeluarkan segenap kemahiran Kungfunya
tetap juga sukar menahan serangan kedua serigala hitam
putih yang lihai itu.
Liong It-hiong merasa kotak hitam itu masih dikuasai olehnya,
rasanya tidak perlu mengadu jiwa dengan lawan, segera ia
berteriak, "Pang-heng, ayolah kita angkat kaki saja!"
Sambil berteriak sekuatnya pedang menyabet sehingga
serigala putih terpaksa melompat mundur, kesempatan itu
digunakan oleh It-hiong untuk melompat ke belakang terus
kabur secepatnya.

Tentu saja serigala putih tidak tinggal diam, ia berteriak aneh
terus mengejar. Agaknya Hui Giok-koan sudah mempunyai
perhitungan yang mantap, ia tidak membantu serigala putih
untuk mencegat Liong It-hiong, malahan ketika dilihatnya Ithiong
melarikan diri, segera ia menubruk ke arah Pang Bunhiong.
Karena seruan It-hiong, selagi Bun-hiong hendak ikut kabur,
mendadak dirasakan angin tajam menyambar dari belakang, ia
tahu Hui Giok-koan sedang menyerangnya, cepat ia mengelak,
berbareng pedangnya balas menebas.
Hui Giok-koan menangkis dengan potlot bajanya, menyusul
dengan jurus "Tiam-ciok-sing-kim" atau menutuk batu menjadi
emas, ia tusuk pinggang lawan sambil mengejek, "Hehe,
rebahlah anak muda!"
"Kentut busuk!" teriak Bun-hiong dengan gusar sambil
berkelit, berbareng pedang balas menusuk muka orang.
Tapi pada saat itu juga pedang serigala hitam telah
menyambar tiba, mengancam kaki kirinya.
Terpaksa Bun-hiong menarik kembali pedangnya untuk
berjaga, ia tangkis serangan serigala hitam, habis itu sekali
berputar ia tebas pinggang Hui Giok-koan.
Sebenarnya serangan ini hanya gerak tipu saja, dilihatnya Hui
Giok-koan melompat mundur, serentak ia angkat langkah
seribu alias kabur.
Siapa tahu, baru saja tubuhnya melayang ke atas, tahu-tahu
pedang si serigala hitam menyambar tiba pula dari sebelah kiri
dengan cara yang aneh dan tak terduga.
Terpaksa Bun-hiong angkat pedang buat menangkis lagi,

karena tubuhnya terapung di udara, ketika kedua pedang
beradu, ia tidak tahan, seketika ia tergetar mencelat ke sana.
Kesempatan itu digunakan oleh Hui Giok-koan untuk memburu
maju, Boan-koan-pit terus mengetuk dan tepat mengenai betis
kanan Bun-hiong.
Keruan Bun-hiong menjerit kesakitan dan terbanting ke tanah
serta tidak sanggup bangun lagi.
Tulang betisnya tidak sampai patah atau retak, namun
sakitnya jangan ditanya lagi, hampir saja ia kelengar.
Sambil mendengus potlot baja Hui Giok-koan menutuk lagi
dan tepat mengenai Hiat-to kelumpuhan, katanya, "Rebah dan
istirahatlah!"
Mestinya pedang serigala hitam juga menusuk, mendengar itu
ia urung menyerang dan bertanya, "Tidak kau bunuh dia?"
"Tidak," kata Giok-koan. "Akan kugunakan dia untuk menukar
kotak itu."
Serigala hitam memandang ke sana, katanya, "Tapi entah lari
ke mana bocah tadi?"
"Jangan khawatir." kata Hui Giok-koan dengan tertawa.
"Umpama adikmu tidak berhasil menyusulnya, kuyakin
sebentar dia akan putar balik kembali."
Dalam pada itu Liong It-hiong sudah kabur meninggalkan
tanah pekuburan itu, sedangkan serigala putih masih terus
mengejar. Ketika melihat Bun-hiong tidak ikut lari, ia merasa
tidak pantas menyelamatkan diri sendiri, segera ia berhenti
dan melintangkan pedang di depan dada sambil membentak,
"Berhenti! Coba jawab dulu pertanyaanku!"

Si serigala putih benar-benar berhenti, tanyanya sambil
menyeringai, "Kau mau tanya apa?"
"Kalian bersaudara dibayar berapa oleh Hiat-pit-siucay Hui
Giok-koan sehingga kalian mau membantunya?" tanya Liong
It-hiong.
Serigala putih memperlihatkan lima jari, jawabnya dengan
tertawa, "Lima kati, lima kati Hoa-tiau (nama arak)."
"Hah, cuma segitu? Terlampau pelit!" ucap It-hiong.
"Apa katamu?" serigala putih melengak.
It-hiong mengangkat kotak hitam, katanya dengan tertawa,
"Yang diincar Hui Giok-koan adalah kotak ini. Meski isi kotak
ini bukan harta benda mestika, namun nilainya sukar ditaksir.
Dia minta kalian membantunya merampas kotak ini, tidak
pantas kalau dia begitu pelit, hanya memberi lima kati Hoatiau
saja kepada kalian."
"Selain lima kati Hoa-tiau, masih ditambah lagi sepuluh kati
daging," tukas serigala putih.
"Ah, masih tetap kikir," ujar It-hiong sambil menggeleng.
"Bilamana aku, paling sedikit akan kuberi kalian lima ratus
tahil perak."
"Tidak, kami tidak mau perak, kami hanya menghendaki
barang makanan," kata serigala putih.
"Perak kan dapat dibelikan makanan, masa kalian tidak mau
terima uang perak?" ujar It-hiong heran.
"Kami tidak dapat membeli, kami hanya dapat makan," sahut

Pek-long alias serigala putih.
"Oo, kiranya begitu, jadi barang siapa minta bantuan kalian,
cukup mereka memberi makan kepada kalian dan segala apa
pun akan kalian kerjakan!"
"Ya, begitulah," jawab serigala putih sambil mengangguk.
"Baik, aku akan memberi sepuluh kati Hoa-tiau dan 20 kati
daging kepada kalian, mau?" tanya It-hiong.
"Sepuluh kati Hoa-tiau itu berapa jumlahnya?" tanya serigala
putih dengan bingung.
"Kira-kira satu gentong sebesar ini," ucap It-hiong sambil
kedua tangan membuat suatu lingkaran besar.
Serigala putih merasa senang, serunya. "Ha, jika begitu,
berapa pula banyaknya 20 kati daging itu?"
"Ada sebanyak seekor anjing, cukup dimakan tiga hari oleh
kalian," tutur It-hiong.
"Baik, boleh kau berikan kepada kami sepuluh kati Hoa-tiau
dan 20 kati daging, lalu takkan kubunuh dirimu," kata serigala
putih dengan kegirangan.
"Selain itu kalian harus juga membantuku membereskan Hiatpit-
siucay Hui Giok-koan itu," tukas It-hiong.
"Maksudmu, harus kubunuh dia?" serigala putih menegas.
"Ya, betul," It-hiong mengangguk.
Serigala putih tertegun dan berpikir sejenak, katanya
kemudian sambil menggeleng, "Tidak boleh, ia bilang akan

pemberi lima kati Hoa-tiau dan sepuluh kati daging kepada
kami, tidak boleh kubunuh dia."
"Coba jawab, mana lebih banyak antara lima kati dan sepuluh
kati?" tanya It-hiong tiba-tiba.
"Hm, dengan sendirinya sepuluh kati lebih banyak, jangan kau
kira aku tidak dapat terhitung," jengek serigala putih dengan
lagak cerdas.
"Kalau sudah tahu sepuluh kati lebih banyak daripada lima
kati, kan harus kau turut kepada perkataanku dan jangan
tunduk kepadanya," ucap It-hiong dengan tertawa.
Kembali serigala putih berpikir sejenak, lalu tanya, "Kapan
akan kau beri sepuluh kati Hoa-tiau dan dua puluh kati daging
kepada kami?"
"Setelah membunuh Hui Giok-koan segera akan kubawa kalian
ke kota untuk makan minum," jawab It-hiong.
"Betul, tidak dusta?" serigala putih menegas.
"Pasti tidak kujilat kembali," jawab It-hiong.
"Jilat kembali apa?" tanya serigala putih dengan bingung.
"Maksudku pasti tidak ingkar janji, takkan menjilat kembali
apa yang sudah kukatakan," tutur It-hiong.
"Dan kalau dusta, engkau mengaku sebagai anak kura-kura,
jadi!"
"Baik," sahut It-hiong.
"Ayo berangkat!" kata Pek-long akhirnya, segera ia putar balik

dan lari ke pekuburan tadi.
Sudah lama It-hiong mendengar cerita bahwa Hek-pek-ji-long
mudah dipikat dengan hadiah, sungguh tak terduga
sedemikian gampang caranya. Tentu saja ia sangat girang,
segera ia pun berlari ke sana.
Hanya sebentar saja kedua orang sudah lari kembali sampai di
lereng bukit tadi, tertampak Bun-hiong menggeletak di situ,
keruan It-hiong terkejut, cepat ia tanya. "He, Pang-heng,
bagaimana keadaanmu?"
Karena Hiat-to kelumpuhan tertutuk, Bun-hiong tidak dapat
bergerak sehingga masih terbujur di situ, jawabnya, "Ai, untuk
apa kau kembali lagi?"
Hiat-pit-siucay Hui Giok-koan terbahak-bahak, katanya
terhadap si serigala hitam, "Coba lihat, tidak keliru bukan
dugaanku tadi?"
Hek-long atau serigala hitam memperlihatkan rasa kagum,
jawabnya, "Ya, engkau sangat pintar."
Dengan potlot bajanya Hui Giok-koan mengancam hulu hati
Pang Bun-hiong, kembali ia bergelak tertawa dan berkata,
"Nah, Liong-hiap, engkau lebih mengutamakan kotak hitam itu
atau mementingkan sahabatmu ini?"
It-hiong berkerut kening dan tidak menjawab.
Mendadak serigala putih berseru, "Koko, lekas binasakan dia!"
Tentu saja serigala hitam melongo bingung tanyanya,
"Membinasakan siapa?"
Serigala putih menuding Hui Giok-koan dengan goloknya dan

berkata, "Dia!"
Kembali serigala hitam melenggong, "Sebab apa?"
Serigala putih menuding It-hiong dan menjawab, "Ia berjanji
akan memberi kita sepuluh kati Hoa-tiau dan dua puluh kati
daging sapi."
Serigala hitam tampak bingung, ucapnya, "Mana lebih banyak,
10 kati Hoa-tiau dan 20 kati daging atau lima kati Hoa-tiau
dan sepuluh kati daging?"
"Ai, sungguh bodoh engkau ini, dengan sendirinya 10 kati
Hoa-tiau dan 20 kati daging lebih banyak," seru serigala putih
dengan lagak lebih pintar.
"Hah, bagus!" teriak serigala hitam dengan gembira, segera
pedang bergerak dan bermaksud menyerang Hui Giok-koan.
Air muka Hui Giok-koan tampak berubah, cepat ia
membentak, "Nanti dulu!"
Serigala hitam bergaya siap serang, tanyanya, "Kau mau
bicara apa?"
Dengan gemas Hui Giok-koan menuding Liong It-hiong,
teriaknya dengan garang, "Dia menipu kalian, tidak nanti dia
mau memberikan 10 kati Hoa-tiau dan 20 kati daging kepada
kalian."
"Tidak, dia sudah berjanji," sela serigala putih. "Dia
menyatakan kalau membohongi kami, maka dia mengaku
sebagai anak kura-kura (kiasan anak jadah)."
Tampaknya Hui Giok-koan sangat memahami perangai Hekpek-
ji-long, segera ia berseru pula, "Jika begitu, akan kuberi

30 kati Hoa-tiau dan 30 kati daging kepada kalian."
"Maksudmu, pemberianmu itu jauh lebih banyak daripada
pemberiannya?" tanya serigala putih.
"Betul," jawab Giok-koan.
Dengan menyesal serigala putih lantas berkata kepada Liong
It-hiong, "Wah, maaf, sekarang dia memberi terlebih banyak,
terpaksa tidak dapat kuturut perkataanmu lagi."
Habis bicara segera ia mendesak maju ke ah It-hiong.
Cepat It-hiong menggoyang-goyang kedua tangannya dan
berseru, "Sabar dulu, sabar! Dia hanya memberi 30 kati,
sekarang kuberi 60 kati, kalian tetap menurut saja kepadaku."
"Enam puluh kati itu berapa?" tanya serigala putih dengan
bingung.
"Satu kali lebih banyak daripada 30 kati," jawab It-hiong.
Kembali hati si serigala putih tergelitik, ia berpaling dan tanya
serigala hitam, "Koko, dia bilang 60 kati satu kali lebih banyak
daripada 30 kati, kau mau tidak?"
"Apa benar dia tidak membohongi kita?" serigala hitam
menegas.
"Pasti benar, tidak nanti dia berani menipu kita," ucap serigala
putih dengan penuh keyakinan. "Sebab dia sudah
menyatakan, bila dia menipu kita, maka dia adalah anak kurakura."
"Baik kita terima," jawab serigala hitam, sembari bicara segera
ia hendak melancarkan serangan.

Cepat Hui Giok-koan berteriak, "Nanti dulu! Biarlah kuberi
kalian seratus kati Hoa-tiau dan seratus kati daging."
Seketika serigala hitam mengurungkan lagi serangannya dan
bertanya, "Apakah seratus kati terlebih banyak daripada enam
puluh kati?"
"Tentu saja jauh lebih banyak," jawab Hui Giok-koan.
Serigala hitam sangat senang, serunya, "Nah, adikku, dia
bilang seratus kati jauh lebih banyak daripada enam puluh
kati, jadi kita tetap menuruti kehendaknya saja."
"Biar kuberi seribu kati Hoa-tiau dan seribu kati daging kepada
kalian!" tanpa ayal It-hiong lantas berteriak pula.
"Haha, tidak perlu dijelaskan lagi juga kutahu, tentu seribu
kati jauh lebih banyak daripada seratus kati, bukan?" seru
Pek-long dengan tertawa lebar.
"Betul, lebih banyak sepuluh kali," sambung It-hiong.
"Nah, Koko," serigala putih berpaling kepada serigala hitam,
"kita bekerja bagi orang lain dengan tujuan bisa banyak
mendapat makanan dan arak, jika dia mau memberi seribu
kati, kita ...."
Tidak kepalang rasa gemas Hui Giok-koan, dengan gusar ia
mengentak kaki dan berteriak, "Huh, seribu kati saja terhitung
apa? Biar kuberi kalian lima ribu kati Hoa-tiau dan lima ribu
kati daging."
Tampaknya ia khawatir Liong It-hiong akan menyaingi lagi
dengan harga lebih tinggi, dengan bengis ia mendahului
menuding anak muda itu dan membentak, "Ayo, berani kau

buka mulut lagi segera kubinasakan kawanmu ini!"
Ketika melihat Bun-hiong sudah jatuh dalam cengkeraman
musuh tadi, saat itu juga ia sudah tahu kotak hitam itu sukar
dipertahankan lagi. Sebabnya dia berlomba tawar-menawar
jasa Hek-pek-ji-long, tujuannya hanya ingin membuat utang
lawan menumpuk setingginya sehingga mendatangkan
kerepotan di kemudian hari.
Dengan tertawa It-hiong lantas menjawab, "Baiklah, aku
menyerah, engkau yang menang, engkau yang berhasil
membeli mereka."
"Tidak jadi kau beri Hoa-tiau dan daging kepada kami?" tanya
serigala putih.
It-hiong berlagak serbasusah, ucapnya, "Aku tidak punya
cukup uang untuk membeli lima ribu kati Hoa-tiau dan lima
ribu kati daging, sebaliknya dia punya, terpaksa aku menyerah
padanya."
"Jika begitu, kami harus menurut kepada perkataannya dan
akan membunuhmu," kata serigala putih.
"Tidak perlu kalian membunuhku, yang dikehendaki dia hanya
kotak ini saja," ujar It-hiong. "Betul tidak, Hiat-pit-siucay?"
Hui Giok-koan mengangguk, "Betul, asalkan kau serahkan
kotak itu, segera engkau dan Hou-hiap yang menggeletak ini
boleh pergi dengan bebas."
"Jika kau ingkar janji berarti engkau anak kura-kura," tukas Ithiong.
"Selamanya orang she Hui kalau bilang satu tidak pernah
berubah menjadi dua," kata Hui Giok-koan.

"Baik, ambil ini!" seru It-hiong sambil melemparkan kotak
hitam.
Hui Giok-koan menangkap kotak itu dari benar juga ia tidak
membikin susah Pang Bun-hiong, lalu melompat mundur dan
membentak, "Ayo berangkat, Hek-pek-ji-long!"
Tanpa bicara Hek-pek-ji-long ikut pergi.
Mendadak Liong It-hiong berteriak, "Hek-pek-ji-long, jangan
lupa dia sudah berjanji hendak memberi lima ribu kati Hoatiau
dan lima ribu kati daging kepada kalian."
"Tidak, kami tidak lupa," jawab serigala putih dari kejauhan,
sudah belasan tombak jauhnya mereka berlari pergi bersama
Hui Giok-koan dan akhirnya menghilang dalam kegelapan.
It-hiong lantas mendekati Bun-hiong, katanya dengan tertawa
sambil berjongkok di sampingnya, "Apakah Hiat-tomu
tertutuk?"
Bun-hiong menghela napas, katanya, "Betul, cuma yang paling
celaka adalah kaki yang terketuk ini, hampir kumati
kesakitan!"
Segera It-hiong membuka Hiat-to orang yang tertutuk, lalu
menggulung kaki celananya, tertampak bagian betis merah,
bengkak dari matang biru, ia terkejut, tanyanya dengan
khawatir, "Retak tidak tulangnya?"
"Tidak, kalau patah kan runyam," jawab Bun-hiong.
"Tadi kusuruh kau lari, kenapa tidak kau lakukan?" tanya Ithiong.

"Tentu saja aku ingin lari, tapi tak dapat lari," jawab Bunhiong.
"Ai, akibat dirimu kotak hitam itu jadi hilang lagi," ucap Ithiong.
Dengan mendongkol Bun-hiong menjawab, "Hm, bisa juga kau
bicara demikian. Kalau tidak ada aku tentu sejak tadi tamat
riwayatmu."
It-hiong tertawa, "Baik, tidak kusalahkan dirimu lagi. Marilah
kita pulang."
Bun-hiong meraba betisnya yang bengkak, katanya, "Jangan
tergesa dulu, sekarang aku masih kesakitan setengah mati
dan tidak sanggup berjalan."
It-hiong berpaling dan memandang jenazah Pokyang Thian,
katanya kemudian sambil menggeleng, "Orang she Hui itu
sungguh berhati keji, sampai saudara angkat sendiri juga
dibunuhnya."
"Ini menandakan biarpun mengangkat saudara juga tidak ada
gunanya, makanya tidak nanti aku mengangkat saudara
denganmu," ujar Bun-hiong.
It-hiong tertawa, "Belum pernah kuminta mengangkat saudara
denganmu, buat apa kau bicara demikian?"
Bun-hiong juga tertawa, tanyanya, "Eh, mengapa dengan
begitu saja kau serahkan kotak hitam itu kepadanya?"
"Sebab kalau kotak hilang masih dapat dicari kembali,
sebaliknya bila kau mati kan tidak dapat hidup lagi," ujar Ithiong.

Bun-hiong tersenyum, "Kita bukan saudara angkat segala,
buat apa kau tolong diriku?"
"Justru lantaran kita bukan saudara angkat, makanya harus
kuselamatkan nyawamu," jawab It-hiong.
"Dan sekarang kotak itu sudah hilang dibawa lari, apa
rencanamu sekarang?" tanya Bun-hiong.
"Akan kubawa Ni Beng-ai untuk menemui Tui-beng-poan-koan
To Po-sit," jawab It-hiong.
"Apa dengan cara demikian akan dapat menemukan kembali
kotak itu?"
It-hiong menggeleng, "Tidak, sementara ini takkan kupikirkan
kotak itu."
"Sebab apa?" tanya Bun-hiong.
"Setelah kupikir pergi datang, aku merasa tidak perlu
membuang nyawa bagi kotak itu," kata It-hiong. "Bila
sekarang kurebut kembali kotak itu soal lain tidak kuketahui,
yang jelas kawanan Lok-lim-jit-coat yang lain seperti Ang-liusoh
Ban Sam-hian, Cian-in-jiu Loh Bok-kong, Kim-ci-pa Song
Goan-po, Tok-gan-bu-siang Ong Siang dan Cong-jing-bin Seng
It-hong pasti akan muncul susul-menyusul, sebab itulah lebih
baik bagiku untuk menunggu dan melihat dulu, akan kutunggu
bilamana mereka sudah saling labrak hingga kehabisan tenaga
dan ambruk sendiri barulah kuambil kembali kotak itu."
"Masa engkau tidak khawatir dalam pada itu ada orang akan
membuka kotak itu dan membawa lari isinya?" tanya Bunhiong
dengan tertawa.
"Jika Pokyang Thian saja tidak mampu membukanya, orang

lain pasti sukar juga membukanya," ujar Liong It-hiong,
"Kupikir di antero kolong langit ini cuma ada dua orang saja
yang mampu membukanya."
"Dua orang siapa?" tanya Bun-hiong.
"Yang satu adalah orang yang memasukkan barang ke dalam
kotak itu."
"Dan seorang lagi ialah si tokoh misterius di Cap-pek-pan-nia
itu, bukan?" tukas Bun-hiong.
"Tepat!" It-hiong mengangguk.
"Sampai saat ini mungkin kedua orang itu belum lagi
mengetahui kotak hitam itu sedang menjadi incaran orang
banyak," kata Bun-hiong.
"Betul," sambung It-hiong. "Adapun kecuali kedua orang itu,
barang siapa berani sembarangan membuka kotak itu,
mungkin mereka akan ikut meledak sehingga hancur lebur
oleh obat pasang yang terisi di dalam kotak."
"Sebab itulah engkau tidak khawatir akan kehilangan kotak
itu," tukas Bun-hiong dengan tertawa.
"Betul, sebab itulah satu-satunya urusan yang akan kita
kerjakan sekarang adalah membawa Oh Beng-ai untuk
menemui To Po-sit."
Terbeliak mata Bun-hiong, "Apa katamu? Kau bilang KITA?"
It-hiong mengangguk, "Ya, kita, kecuali engkau tidak mau ikut
pergi."
"Bukankah kemarin kau bilang tak dapat membawaku

menemui To Po-sit, kenapa sekarang pendirianmu berubah?"
It-hiong menengadah memandang bintang yang bertaburan di
langit, jawabnya dengan tertawa, "Sebab cuaca malam ini
sangat indah."
Dengan pedang terhunus Bun-hiong berdiri, tulang betis
terasa sangat sakit, dengan kening bekernyit ia berkata. "Wah,
tidak sanggup, aku tidak dapat berjalan ...."
"Akan kugendongmu," kata It-hiong, segera ia tarik Bun-hiong
ke punggungnya dan dibawa lari ke bawah bukit.
*****
Pada suatu pagi hari yang cerah, dengan menumpang sebuah
kereta mewah Liong It-hiong datang ke Boan-wan-jun.
Jalan Kembang yang pada malam hari ramai dikunjungi orang
itu, pada pagi hari kelihatan sepi lengang. Pintu setiap rumah
hiburan itu masih tertutup rapat, para perempuan hiburan itu
masih tidur nyenyak, sudah menjadi kebiasaan mereka, kalau
hari sudah lewat tengah hari barulah mereka bangun. Habis
itu berdandan dan makan siang, lalu siap bekerja lagi
menerima tamu.
It-hiong turun dari keretanya, ia pesan kusir supaya
menunggu, lalu ia mengetuk pintu Boan-wan-jun.
Sampai sekian lamanya ia mengetuk pintu baru kelihatan
seorang pesuruh membuka pintu dengan mata masih sepat,
begitu pintu terbuka ia lantas mengomel, "Ai, Tuanku, pagi

baru tiba engkau sudah datang kemari, masa .... Aduh,
ampun, kiranya Liong-kongcu adanya! Wah, maaf hamba
bermata lamur, sungguh pantas mampus!"
Setelah tahu siapa yang mengetuk pintu, seketika sikap
pesuruh itu berubah, cepat ia memberi hormat dan berulang
minta maaf.
Sambil melangkah ke dalam rumah It-hiong bertanya, "Di
mana Giok-nio?"
"Dia masih tidur, masih tidur, biar hamba membangunkan
dia," seru si pesuruh dengan cengar-cengir, segera ia hendak
lari ke dalam.
Tapi It-hiong lantas mencegahnya, "Tidak perlu, boleh kau
pergi tidur lagi, akan kubangunkan dia sendiri."
Pesuruh itu menjura dan mengiakan.
It-hiong tidak bicara lagi, langsung ia menuju ke belakang.
Setiba di luar kamar Giok-nio, ia coba pasang telinga, setelah
tidak terdengar suara mendengkur orang lelaki barulah ia
mengetuk pintu.
"Siapa itu?" tanya Giok-nio di dalam dengan suara yang
kemalas-malasan.
"Aku?" jawab It-hiong dengan tertawa. "Kekasihmu!"
Giok-nio mengenali suaranya, cepat ia bangun dan
berpakaian, lalu membuka pintu kamar, tegurnya dengan
tertawa genit, "Kenapa sepagi ini sudah datang kemari?"
It-hiong menyelinap ke dalam kamar, lalu berjongkok

melongok kolong tempat tidur, kemudian membuka lemari dan
menggeledahnya.
"Hei, apa yang kau cari?" tanya Giok-nio dengan terkesiap.
"Gendakmu!" kata It-hiong dengan tertawa.
"Buset!" seru Giok-nio dengan tertawa. "Jika engkau
sembarangan omong lagi, nanti takkan kugubris lagi dirimu."
It-hiong terus mendekapnya dan menciumnya di sana-sini.
Giok-nio tidak melawan, juga tidak menolak dan membiarkan
anak muda itu menciumnya.
Sudah dapat hati It-hiong terus merogoh rempela, mendadak
ia angkat si nona dan dibawa ke tempat tidur.
Keruan Giok-nio menjadi tegang, ia meronta dan berseru,
"Hei, kau mau apa? Lekas lepaskan, jangan sembrono!"
"Memangnya kenapa?" ujar It-hiong dengan tertawa.
"Tidak, tidak boleh," seru Giok-nio dengan marah.
"Wah, mana tahan!" kata It-hiong dengan tangan sibuk
menggerayang.
Giok-nio memukul dadanya dan berkata, "Jika engkau
sembrono lagi segera aku menjerit minta tolong!"
"Boleh saja menjerit," kata It-hiong.
Benar juga, segera Giok-nio pentang mulut hendak berteriak.
Tapi It-hiong keburu mendekap mulutnya dan berkata, "Baik,

jangan berkaok, biar kuampunimu."
Habis berucap nona itu lantas dilepaskannya.
Muka Giok-nio tampak merah dan napas tersengal, katanya,
"Ai, engkau ini juga tidak genah, serupa lelaki busuk yang lain
saja, aku tidak gubris padamu lagi."
"Tidak gubris padaku?" It-hiong menegas.
"Ehm," Giok-nio mengangguk.
"Betul?" It-hiong menegas pula.
"Ya," kembali si nona mengangguk.
It-hiong menyengir, "Wah, jika begini terpaksa aku pulang
saja."
Sembari bicara ia terus putar tubuh dan mau tinggal pergi.
Giok-nio menjadi kelabakan malah, cepat ia berseru, "Hei,
nanti dulu!"
"Ada apa lagi?" It-hiong berhenti dan tertawa.
"Kan belum kau ceritakan cara bagaimana kau selesaikan
orang yang bernama Tam Pek-sun itu, kenapa kau pergi
begitu saja?" ujar Giok-nio.
"Habis, engkau tidak menggubrisku lagi," ujar It-hiong.
Giok-nio tertawa, ia mendekati anak muda itu dan memegang
bahunya, katanya, "Mari, asalkan pakai aturan sedikit tentu
kugubris."

"Engkau bukan Ni Beng-ai, cara bagaimana aku harus pakai
aturan!"
"Tapi apa pun juga aku masih suci bersih," kata si nona.
It-hiong tersenyum, katanya, "Baik, mari kita duduk dan bicara
...."
Ia membawanya duduk di tepi tempat tidur, lalu berkata pula
dengan tertawa, "Biar kuberi tahukan padamu, hendaknya
engkau jangan kaget. Orang yang mengaku bernama Tam
Pek-sun itu sesungguhnya bernama Pokyang Thian dan
berjuluk In-tiong-yan, saat ini dia sudah mati."
"Hah, kau bunuh dia?" seru Giok-nio dengan terkejut.
It-hiong menggeleng, "Tidak, aku tidak membunuhnya, dia
mati di tangan seorang saudara angkatnya yang bernama
Hiat-pit-siucay Hui Giok-koan. Kemarin malam, setelah aku
dan Pang Bun-hiong membawanya pulang ke hotelnya,
kemudian dia mengaku bahwa kotak hitam yang dirampasnya
dariku itu ditanam di suatu tanah pekuburan. Kami lantas
menyewa kereta dan membawanya ke pekuburan itu ...."
Begitulah ia lantas menceritakan apa yang terjadi di
pekuburan itu semalam.
Giok-nio terkejut mengikuti kisah itu, katanya, "Wah, dan
kotak itu telah dibawa lari begitu saja oleh orang yang
bernama Hiat-pit-siucay Hui Giok-koan?"
It-hiong mengiakan.
"Lantas bagaimana keadaan luka Pang-kongcu?" tanya Gioknio.

"Tidak terlalu parah, selang dua hari pun akan sembuh,"
jawab It-hiong.
"Dan sekarang bagaimana rencanamu?" tanya pula Giok-nio.
"Kupikir hendak mengajakmu piknik ke Bok-jiu-oh," kata Ithiong.
"Kotak itu tidak kau urus lagi!"
"Tidak mau lagi. Kotak itu adalah benda yang membawa
alamat jelek, barang siapa memperolehnya akan tertimpa sial.
Aku kan orang baik-baik, buat apa mencari penyakit sendiri?"
Giok-nio berpikir sejenak, katanya kemudian dengan tertawa,
"Benar juga kotak itu tidak kau urus lagi. Barang itu memang
membawa alamat tidak baik ...."
"Eh, coba kau permisi dulu kepada Gui-coa-yo, keretaku sudah
menunggu di luar, ayolah segera kita berangkat pesiar ke Bokjiu-
oh."
Giok-nio mengiakan, ia beranjak keluar.
Tak lama kemudian ia sudah kembali, katanya dengan
tertawa, "Beres. Biar kuganti pakaian dulu dan segera kita
berangkat. Sekarang silakan engkau keluar sebentar."
"Bawalah dua potong baju lebih banyak," kata It-hiong.
"Buat apa?" tanya si nona.
"Bilamana cukup menyenangkan, boleh kita tinggal beberapa
hari di sana," ujar It-hiong.
"Wah, jangan," kata Giok-nio.

"Kau khawatir kuganggu dirimu?"
"Habis engkau sudah terbiasa begitu, mau tak mau aku harus
waspada."
"Jangan khawatir," ujar It-hiong dengan tertawa. "Jika hendak
kuganggu dirimu, di sini juga dapat kulakukan. Cukup kututuk
Hiat-to kelumpuhan dan Hiat-to bisu, membuatmu tidak dapat
bergerak dan bersuara, kan dapat kulakukan sekehendakku
atas dirimu?"
"Engkau harus bersumpah takkan menggangguku," pinta
Giok-nio.
"Boleh," jawab It-hiong sambil berdoa. "Malaikat mahasakti,
aku Liong It-hiong bersumpah, bilamana tanpa
persetujuannya kuganggu dia, biarlah aku mati di atas tubuh
orang perempuan."
"Buset, masa mati di atas tubuh orang perempuan kau anggap
sebagai semacam hukuman?" tanya Giok-nio dengan
melenggong.
"Tentu saja juga semacam hukuman," jawab It-hiong. "Coba
pikir, bilamana seorang lelaki mati di atas tubuh orang
perempuan, kan serbasusah dia."
Giok-nio mengomel, "Tampaknya mati pun engkau rela
asalkan tidur dengan orang perempuan. Tidak bisa, sumpah
lagi sekali!"
"Baik," kata It-hiong. "Malaikat mahakuasa, bilamana
kuganggu Giok-nio, biarlah kalau mati aku dijerumuskan ke
neraka."

"Nah, mendingan begitu," ujar Giok-nio dengan tertawa.
"Sekarang keluarlah sebentar."
Dengan tersenyum It-hiong keluar kamar.
Giok-nio menutup pintu kamar dan mulai ganti baju dan
berdandan.
Tidak terlalu lama ia membuka pintu, terlihat dia bersolek
dengan sederhana tapi anggun, sedikit pun tidak ada tandatanda
sebagai anak perempuan dunia hiburan, malahan
kelihatan terlebih cantik.
"Sudah beres?" tanya It-hiong dengan tertawa.
"Ya, boleh tidak aku berdandan begini?" tanya si nona dengan
tertawa.
It-hiong mengangguk memuji, "Bagus setali, memangnya
engkau harus berdandan cara begini baru memper bernama Ni
Beng-ai."
Giok-nio tersenyum menggiurkan, katanya, "Marilah
berangkat!"
Segera kedua orang meninggalkan Boan-wan-jun dengan
menumpang kereta.
Setelah kereta keluar kota, langsung menuju ke Bok-jiu-oh,
danau tanpa sedih.
"Di mana Pang-kongcu?" tanya Giok-nio.
"Dia tinggal di hotel dan merawat lukanya," jawab It-hiong.
"Kan menumpang kereta, kenapa tidak mengajaknya serta?"

ujar Giok-nio.
"Ia bilang cuma akan merusak suasana saja bila berada
bersama kita, maka tidak mau ikut," tutur It-hiong dengan
tertawa.
"Baik juga dia ...." ujar Giok-nio dengan tersenyum.
"Kau suka padanya?" tanya It-hiong.
"Jangan sembarang omong," jawab Giok-nio. "Aku cuma
bilang dia cukup baik, memangnya, engkau lantas cemburu?"
It-hiong terbahak, "Haha, masa aku cemburu. Soalnya
bilamana kau suka padanya, sedikit pun aku takkan marah
dan menyesal."
"Sebab apa?" tanya Giok-nio.
"Sebab dia memang ada segi-segi yang patut disukai, aku juga
sangat suka padanya," jawab It-hiong.
"Kalian tidak duel lagi?" tanya Giok-nio dengan tertawa.
"Sekarang kami tidak ingin duel lagi, aku tidak sampai hati
melukai dia."
"Ilmu silat kalian Pendekar Naga dan Pendekar Harimau sama
tingginya, bilamana kalian mau bergabung untuk kerja sama,
berbuat amal dan membantu kaum lemah, tentu kalian akan
dapat berbuat banyak."
It-hiong tersenyum, "Jika benar demikian jalan pikiranmu,
kami berjanji pasti takkan membuatmu kecewa."
Ia memandangnya dengan lekat-lekat, tanyanya kemudian

dengan tersenyum, "Giok-nio, apakah nama aslimu ialah Ni
Beng-ai?"
Mendadak Giok-nio menunduk dan tidak menjawab.
"Eh, kenapa?" tanya It-hiong.
Giok-nio terdiam agak lama baru mengangkat kepalanya,
katanya dengan tertawa, "Namaku memang betul Beng-ai,
hanya tidak she Ni ...."
Sebenarnya It-hiong sudah mengambil keputusan, asalkan si
nona mengaku sebagai adik perempuan Oh Kiam-lam, maka si
nona akan dianggapnya sebagai gadis keluarga baik-baik dan
takkan main gerayang lagi kepadanya. Segera ia tanya,
"Engkau tidak she Ni, habis she apa?"
"Aku ... aku she Oh ...."
"She kan bukan sesuatu dosa, kenapa mesti mengaku she Ni?"
"Sebagai perempuan hiburan yang hina dina, buat apa segala
sesuatu bicara terus terang kepada orang?"
"Betul juga ucapanmu, jika, begitu kakakmu bernama Oh
Lam-hui, begitu?"
"Ya," Giok-nio mengangguk.
Melihat si nona belum lagi mau mengaku sebagai adik
perempuan Eng-jiau-ong Oh Kiam-lam, It-hiong rada kecewa
juga, ia angkat pundak dan berkata, "Ai, bilamana kakakmu
tidak mati, tentu engkau takkan telantar dan terjerumus di
dunia hiburan seperti ini."
"Mungkin sudah suratan nasib," ucap Giok-nio dengan

tersenyum getir.
"Tapi mengapa engkau tidak mau menikah saja?" ujar Ithiong.
"Dalam keadaan tidak punya sanak kadang cara bagaimana
aku dapat menikah? Masa aku harus mendatangi setiap orang
dan bertanya apakah mau menikahiku? Cara bagaimana aku
dapat bicara demikian?"
"Dan engkau lantas terjerumus ke jurang pelacuran seperti
ini?"
"Ya," jawab Giok-nio. "Sejak kecil aku memang hidup miskin
dan susah, hampir tidak pernah hidup senang satu hari pun.
Makanya aku menjadi nekat dan memutuskan akan mencari
makan berdasarkan sedikit parasku yang lumayan ini,
sedapatnya ingin hidup layak."
"Dan sekarang apakah kau rasakan hidup dengan baik dan
layak?" tanya It-hiong.
Giok-nio menggeleng, ucapnya dengan tersenyum getir,
"Sekarang menyesal pun sudah terlambat."
"Kukira belum terlampau lambat, asalkan engkau bertekad
akan kembali ke tengah masyarakat yang baik engkau pasti
dapat hidup dengan baik."
"Bicara sih gampang," ujar Giok-nio dengan menghela napas.
"Sekali terpeleset menyesal selama hidup, ingin sadar kembali
pun sudah terlambat."
"Memangnya engkau sendiri merasa tidak sanggup kembali
lagi ke jalan yang baik?" tanya It-hiong.

"Bukan begitu soalnya," kata Giok-nio. "Aku cuma merasa
orang baik sukar dicari. Setiap tamu yang datang mencari
hiburan hampir seluruhnya bukan ... bukan suami idaman ...."
"Termasuk aku?" tanya It-hiong dengan tertawa.
Giok-nio tersenyum malu, katanya, "Engkau harus
dikecualikan, cuma aku cukup menyadari, orang luar biasa
seperti dirimu tidak nanti penujui bunga layu semacam diriku
ini."
"Engkau bukan bunga layu, engkau kan masih suci bersih,"
kata It-hiong.
"Siapa yang mau tahu?" ujar Giok-nio. "Sekali anak
perempuan sudah terjerumus ke dunia hina ini, biarpun dicuci
di sungai Kuning juga takkan bersih."
"Jangan engkau menyesali diri sendiri," kata It-hiong. "Yang
suka padamu bukan cuma aku saja, si Pang Bun-hiong pun
pernah berkata padaku, katanya bilamana aku tidak mau
padamu dia yang mau."
Muka Giok-nio menjadi merah dan bersuara, "Oo, lantas
bagaimana jawabmu?"
"Aku tidak menjawabnya," tutur It-hiong. "Cuma, kecuali aku
mati, kalau tidak, mana ada kesempatan baginya untuk
mendapatkan dirimu."
Dengan perasaan mesra Giok-nio memandangnya, katanya
dengan gembira, "Engkau tidak ... tidak dusta padaku?"
"Asalkan engkau tidak dusta padaku, pasti aku pun tidak dusta
padamu," kata It-hiong. Mendadak ia menguap kantuk,
"Semalaman aku tidak tidur dengan baik, sungguh sekarang

aku ingin tidur."
"Silakan tidur," kata Giok-nio.
It-hiong tidak bicara lagi, ia bersandar ke belakang, sebentar
saja ia benar tertidur.
Sang surya sudah condong ke barat, kereta itu masih terus
melanjutkan perjalanan, sejauh itu Liong It-hiong masih
tertidur dengan lelap.
Sering Giok-nio melongok ke luar kereta, memandang
panorama di luar, lama-lama ia tidak sabar dan juga merasa
sangsi, ia lantas mendorong It-hiong sambit berseru, "Hei,
bangun, bangun!"
It-hiong membuka mata, tanyanya, "Ada apa?"
"Sejak pagi kau tidur sampai sekarang, kan sudah cukup,"
kata si nona.
It-hiong kucek-kucek matanya yang masih sepat, ucapnya,
"Oo, waktu apa sekarang?"
"Sudah dekat magrib," jawab Giok-nio.
It-hiong melongok ke luar kereta, lalu berkata, "Kiranya sudah
seharian dalam perjalanan, rasanya aku baru tidur sebentar
saja."
"Kita ini kesasar atau tidak?" tanya Giok-nio tiba-tiba.
"Kesasar? Mana bisa?" kata It-hiong.
"Menurut cerita orang, letak Bok-jiu-oh tidak terlampau jauh,
sedangkan kita sudah seharian dalam perjalanan, mengapa

belum lagi sampai?"
"Mungkin sudah dekat," ujar It-hiong.
"Coba tanya si kusir, mungkin benar kesasar," kata Giok-nio.
It-hiong menyingkap tabir kereta dan tanya si kusir, "Hei,
bung, apa kamu tidak salah jalan?"
"Tidak." jawab si kusir.
"Berapa lama lagi baru akan sampai di Bok-jiu-oh?"
"Kira-kira dua jam lagi."
"Masa begitu jauh?"
"Ya."
It-hiong menurunkan tabir lalu tanya Giok-nio, "Engkau lapar
tidak?"
Terlihat air muka si nona seperti menahan sesuatu perasaan,
jawabnya, "Tidak terlalu lapar, cuma aku ... aku ingin turun
sebentar ...."
"Mau apa?" tanya It-hiong.
Muka Giok-nio menjadi merah. "Mau kencing!" ucapnya lirih.
"Oo," kembali It-hiong menyingkap tabir dan berseru kepada
sais, "Hei, bung, berhenti dulu!"
Kusir mengiakan dan menghentikan keretanya.
It-hiong membuka pintu kereta dan memapah Giok-nio turun,

tanyanya, "Perlu kuantar tidak?"
"Tidak perlu, biar kupergi sendiri," jawab si nona.
Ia terus menuju ke dalam hutan di tepi jalan sana, tidak lama
kemudian ia sudah kembali dan naik ke atas kereta lagi,
katanya, "Baiklah, lanjutkan perjalanan."
Maka kereta lantas dilarikan pula ke depan.
It-hiong mengeluarkan sebungkus makanan katanya, "Mari
kita makan, ini kubawa dari hotel."
Makanan yang dibawanya terdiri dari macam-macam laukpauk
gorengan dan ada lagi kue tawar. Rupanya Giok-nio suka
makan gorengan sayap ayam, ia pilih sepotong sayap dan
dimakan dengan nikmatnya.
"Lengkap juga perbekalanmu, sungguh rapi cara berpikirmu,"
kata si nona.
"Semua ini khusus disiapkan untukmu," kata It-hiong. "Maka
harus kau makan sekenyangnya."
"Lekas kau pun makan," ajak Giok-nio.
Tanpa bicara lagi It-hiong lantas makan kue dan lauk-pauk
lain.
Hanya sebentar saja sebungkus makanan itu sudah disapu
bersih oleh mereka. Lalu It-hiong mengeluarkan sebotol arak,
katanya, "Ini bukan arak melainkan air minum biasa, kau mau
minum tidak!"
"Mau berikan secangkir padaku," pinta Giok-nio sambil
mengangguk.

It-hiong mengeluarkan pula sebuah mangkuk, dituangnya
setengah mangkuk air minum itu kepada si nona, katanya
dengan tertawa, "Jika ini arak, berani kau minum tidak?"
"Berani," jawab Giok-nio sambil menerima mangkuk air itu.
It-hiong tersenyum. "Masa engkau tidak takut akan mabuk?"
"Tidak," jawab si nona.
"Sebab apa?" tanya It-hiong.
"Sebab engkau sudah bersumpah takkan menggangguku,"
kata Giok-nio. Habis berkata ia terus minum semangkuk air
itu.
"Hihi, engkau terperangkap," ucap It-hiong dengan tertawa.
"Apa katamu?" berubah juga air muka Giok-nio.
"Telah kutaruh obat tidur di dalam air, segera engkau akan
jatuh pingsan," kata It-hiong tertawa.
Tentu saja Giok-nio tidak percaya, ia mencemooh, "Huh,
jangan kau takut-takuti aku."
"Tidak, aku bicara sesungguhnya," kata It-hiong. "Akan
kuhitung tiga kali dan engkau akan jatuh pingsan. Nah, satu
... dua ... tiga!"
"Bluk", Giok-nio benar-benar roboh terkulai.
Pada waktu yang tepat It-hiong sempat memegangi si nona
sehingga kepalanya tidak sampai terbentur benjut, lalu
direbahkannya perlahan di jok.

Pada saat itulah si kusir mendadak menyingkap tabir dan
melongok ke dalam, katanya dengan tertawa, "Wah, alangkah
kejamnya engkau ini, betul-betul telah kau kerjai dia."
"Terpaksa," kata It-hiong. "Biarlah dia tidur nyenyak kan lebih
baik, kalau tidak mungkin dia akan ribut."
"Betul, jika dia tahu engkau tidak mengajaknya piknik ke Bokjiu-
oh, pasti dia akan ribut," kata si kusir dengan tertawa.
"Cuma, engkau akan menggunakan kesempatan pada
kesempitan atau tidak?"
"Jangan khawatir, orang she Liong tidak nanti berbuat
curang," kata It-hiong.
"Sudah seharian aku mengendarai kereta, sekarang
giliranmu," kata kusir itu.
"Buset," seru It-hiong dengan tertawa. "Engkau ini kusir, aku
penumpang, masa kusir berani menyuruh penumpang menjadi
kusir bagimu? Sungguh terlalu!"
"Jangan omong kosong, lekas mengendarai kereta," seru si
kusir sambil menghentikan keretanya, lalu menyusup ke dalam
kereta.
"Dan awas, jangan kau gerayangi dia, ada kemungkinan akan
kuambil dia sebagai istri," kata It-hiong.
"Ya, ya, tahu," jawab si kusir.
It-hiong tertawa dan turun dari tempat duduknya, lalu naik ke
bagian kusir di depan, ia tarik tali kendali dan dilarikan lagi
kereta itu.

Kiranya si kusir yang mendadak berubah menjadi penumpang
ini tak-lain tak-bukan adalah samaran Hou-hiap Pang Bunhiong.
Sesudah duduk di kereta, Bun-hiong menyingsingkan kaki
celananya untuk memeriksa betis yang cedera dipukul Hui
Giok-koan itu, dilihatnya bagian itu belum hilang bengkaknya,
ia menggeleng kepala dan menghela napas, gumamnya,
"Sialan, hampir patah kakiku oleh pukulan Hui Giok-koan."
It-hiong tertawa mendengar ucapannya, katanya, "Hanya
terluka sedikit saja sudah berkeluh kesah panjang pendek,
tampaknya engkau ini sudah terbiasa hidup enak."
"Sejak berkecimpung di dunia Kangouw belum pernah terluka,
baru sekarang ini untuk pertama kalinya," kata Bun-hiong.
"Seorang panglima perang pun ada kemungkinan gugur di
garis depan, selanjutnya bila engkau berada bersamaku, pada
suatu hari pasti akan menderita terlebih hebat, untuk ini harus
ada persiapan mental bagimu," kata It-hiong.
"Tidak perlu kau takuti aku," kata Bun-hiong. "Pengalamanku
tidak kurang banyak daripadamu, kejadian apa pun pernah
kulihat."
"Tapi tampaknya engkau tidak tahan sakit, bukan seorang
yang sanggup menahan derita," ujar It-hiong.
"Aku memang tidak kenal apa artinya derita, kalau dapat
menghindari penderitaan pasti akan kuhindari, hanya orang
tolol yang mau mencari susah sendiri," ujar Bun-hiong dengan
tertawa.
"Kau kira engkau dapat menghindar?" tanya It-hiong.

"Akan kuhindari sedapatnya," sahut Bun-hiong.
It-hiong tertawa dan tidak menanggapi lagi.
Tidak lama kemudian cuaca pun gelap, malam sudah tiba.
Perjalanan masih terus berlangsung, dekat tengah malam
barulah It-hiong menghentikan keretanya, dikeluarkannya satu
ember makanan kuda yang sudah disiapkan sebelumnya,
setelah kuda makan kenyang baru melanjutkan perjalanan
lagi.
Seterusnya kereta tidak pernah berhenti pula, ketika fajar
keesokannya tiba barulah kereta berhenti di suatu kaki bukit.
Ternyata selama sehari semalam kereta sudah menempuh
perjalanan sejauh lebih empat ratus li.
Setelah kereta berhenti, It-hiong melompat turun dan berseru,
"Sudah sampai, ayolah turun!"
Bun-hiong membuka pintu kereta dan turun, ia pandang
suasana di sekitarnya, katanya dan tertawa, "Jika tidak salah
pandanganku, tempat inilah kaki gunung Bok-kan-san sebelah
utara."
It-hiong mengangguk, katanya dengan tertawa, "Betul,
tempat yang pernah kau jelajahi ternyata tidak sedikit."
"Apakah dia tinggal di atas gunung?" tanya Bun-hiong.
"Betul," jawab It-hiong.
"Ia masih tidur dengan nyenyak, apakah perlu dibangunkan?"
tanya Bun-hiong.

"Tidak perlu, sesudah bertemu dengan To Po-sit baru dia
dibangunkan," ujar It-hiong.
Ia lantas melepaskan kuda dari tali kendali kereta, kuda
dituntunnya ke tengah sebuah sungai gunung yang cetek,
dengan air sungai ia mandikan kudanya.
Warna kuda itu semula merah cokelat, akan tetapi setelah
disiram air dan disikat, seketika bulu kuda berubah warna,
sekarang berubah menjadi putih, warna merah cokelat tadi
telah luntur seluruhnya.
Kiranya kuda inilah kuda putih Pek-liong-ki kesayangan Ithiong,
demi untuk menipu Giok-nio, kemarin ia telah
mewarnai kuda putih itu dengan wenter merah cokelat.
Sesudah tiba di tempat tujuan, maka warna asli kuda itu
dipulihkan.
Sesudah memandikan kuda, dituntunnya kuda itu dan
diserahkan kepada Bun-hiong, katanya, "Boleh kau naiki kuda
ini, kita masih harus menempuh suatu jarak cukup jauh."
Lalu bagaimana dengan si dia?" tanya Bun-hiong.
"Akan kugendong dia," ujar It-hiong.
"Dan bagaimana kereta itu?" tanya Bun-hiong pula.
"Buang saja," kata It-hiong.
"Kereta masih baru begini kan sayang kalau dibuang begitu
saja?" ujar Bun-hiong dengan melengak. "Kan lebih baik kita
tarik ke dalam hutan, kelak mungkin masih dapat kita gunakan
lagi."
It-hiong mengangguk, "Boleh juga."

Ia masuk ke dalam kereta dan mengangkat keluar Giok-nio,
nona itu ditaruhnya di atas tanah, lalu kereta diseret ke dalam
hutan, disembunyikan di bawah pohon yang lebat dari sukar
terlihat.
Lalu ia putar balik dan memondong Giok-nio dan berkata.
"Mari berangkat!"
Bun-hiong sudah pasang pelana kuda, segera ia mencemplak
ke atas kuda dan ikut It-hiong mendaki gunung.
Bok-kan-san adalah cagang pegunungan Thian-bok-san,
pepohonan tumbuh lebat, pemandangan indah permai, di
mana-mana hanya hutan bumbu yang rimbun, suatu tempat
tamasya yang terkenal.
Tentang sejarah Bok-kan-san boleh dikatakan sudah cukup
tua, konon pada waktu kerajaan Go di zaman Junciu, ketika
raja Go memerintahkan Kan Ciang menggembleng pedang, di
pegunungan inilah Kan Ciang menempa baja.
Namun baja yang ditempa ternyata tidak mau cair, maka istri
Kan Ciang yang bernama Bok Sia bertanya apa sebabnya, Kan
Ciang menjawab, "Dahulu mendiang guruku juga gagal
menempa baja, akhirnya menggunakan orang perempuan
sebagai tumbal dan pedang berhasil digembleng."
Setelah mendapat keterangan itu, malamnya di luar tahu sang
suami Bok Sia terjun ke dalam tungku, ketika Kan Ciang
mengetahui apa yang terjadi, namun Bok Sia sudah terbakar
menjadi ibu. Anehnya baja yang ditempanya lantas cair dan
Kan Ciang berhasil menggembleng dua bilah pedang jantan
dan betina serta diberi bernama menurut nama mereka. Nama
gunung Bok-kan ini pun lahir dari kisah tersebut.

Dengan sendirinya Bun-hiong juga tahu dongeng itu, dengan
tersenyum ia tanya, "Eh, kau percaya Kan Ciang memang
pernah menggembleng pedang di sini?"
"Dengan sendirinya dongeng itu sukar dipercaya dan juga
tidak ada alasan untuk dipercaya," ujar It-hiong.
"Kupikir kedua pedang pusaka yang bernama Kan Ciang dan
Bok Sia itu pasti ada, cuma sejarahnya sudah terlalu lama
sehingga sudah lama hilang jejaknya.
"Mungkin begitu," ujar It-hiong.
"Pernah kupesiar ke sini," tutur Bun-hiong, "banyak tempat
tamasya di lereng gunung ini, bahwa To Po-sit memilih tempat
ini sebagai tempat tirakatnya, sungguh harus diakui dia
memang pintar menikmati hidupnya."
"Ya, dia tinggal di sini, di dekat suatu tempat indah yang
bernama Loh-hoa-teng," tutur It-hiong.
"Apakah rumah tinggalnya sebuah gubuk bambu?" tanya Bunhiong.
"Dari mana kau tahu?" melengak juga It-hiong oleh
pertanyaan orang.
"Terus terang, pertengahan bulan 12 tahun yang lalu pernah
kupesiar ke sini," tutur Bun-hiong. "Di dekat Loh-hoa-teng
kurasakan bangunan gubuk itu sangat indah, kutaksir pemilik
rumah pasti seorang cendikia, maka timbul hasratku untuk
berkenalan, segera kudatangi ...."
"Akhirnya bagaimana?" sela It-hiong.
"Akhirnya menubruk tempat kosong, tuan rumah tidak ada di

tempat, mungkin lagi keluar."
It-hiong tersenyum, "Tidak, tuan rumahnya ada, hanya dia
tidak mau menerima tamu asing seperti dirimu ini."
"Bilamana kutahu tuan rumahnya adalah Tui-beng-poan-koan
To Po-sit, tidak bisa tidak akan kupaksa dia muncul
menemuiku," ujar Bun-hiong dengan tertawa.
"Wataknya memang nyentrik, maka jangan kau buat dia
marah, sekali dia marah, akibatnya bisa runyam," kata Ithiong.
"Runyam bagaimana?" tanya Bun-hiong.
"Kalau tidak mengomel terus-menerus selama tiga hari
sedikitnya, bisa jadi selama tiga hari pula dia tidak mau
bicara," kata It-hiong. "Pada waktu dia memaki orang tidak
ada seorang pun mampu menyuruhnya tutup mulut.
Sebaliknya ketika dia tutup mulut, juga tidak ada seorang pun
sanggup menyuruhnya buka mulut."
"Wah, jika demikian, dia benar-benar makhluk tua aneh," kata
Bun-hiong tertawa.
"Ya, meski wataknya sangat aneh, tapi otaknya justru sangat
encer," kata It-hiong. "Caranya menganalisis sesuatu urusan
biasanya sangat cepat dan tepat, semuanya dapat
diperhitungkannya dengan jitu."
"Engkau sangat memuja dia?" tanya Bun-hiong.
"Ye, bahkan aku siap sedia bekerja baginya," jawab It-hiong.
"Jika engkau berkumpul sekian lama dengan dia, tentu kau
pun akan takluk padanya lahir batin dan rela disuruh bekerja
apa pun baginya."

Begitulah keduanya sambil berjalan seraya bicara, kira-kira
dua-tiga li jauhnya, sampailah mereka di wilayah Loh-hoa-teng
yang dituju.
It-hiong menjadi penunjuk jalan, ia membawa kawannya
menyusuri sebuah jalan setapak yang berliku-liku, akhirnya
sampai di pinggang gunung yang rindang dan sepi, lalu
terlihatlah rumah gedek bambu yang dimaksud.
Rumah gubuk itu tidak besar, tapi pekarangan yang dikelilingi
dengan pagar bambu cukup luas dan tertanam berbagai
pepohonan bunga yang indah dan aneh, bagi siapa pun sekali
pandang pasti akan timbul rasa senang dan yakin si tuan
rumah pasti seorang pertapa yang terpelajar.
Setiba di depan pagar bambu, segera It-hiong berteriak, "Liktiok
Lotiang (bapak bambu hijau), adakah engkau di rumah?"
Bun-hiong heran oleh ucapan It-hiong, dengan suara lirih ia
tanya, "Kau panggil dia Lik-tiok Lotiang?"
"Ya," jawab It-hiong dengan mendesis. "Ini cuma semacam
kode, supaya dia tahu akulah yang datang."
Tengah bicara, terdengar dari dalam rumah ada suara orang
tua menjawab, "Masuk saja!"
It-hiong berpaling dan berkata kepada Bun-hiong, "Kau
tunggu sebentar di luar, biar kumasuk memberitahukan
padanya, bilamana dia memperbolehkan kau masuk barulah
engkau masuk ke sana."
Bun-hiong mengangguk, ia turun dari kudanya dan menunggu
di situ.

It-hiong lantas membuka pintu pagar, baru saja melangkah
masuk, tiba-tiba dari dalam rumah Tui-beng-poan-koan To Posit
berseru pula, "Yang itu juga disilakan masuk!"
Rupanya ia tahu juga ada orang asing ikut datang bersama Ithiong.
Mendengar nada ucapan To Po-sit cukup ramah, It-hiong tahu
hati orang lagi senang, segera ia berkata pula kepada Bunhiong,
"Beres, dia minta kau masuk, silakan ikut masuk
bersamaku."
Bun-hiong lantas menambat kuda dan masuk bersama Ithiong.
Ruangan rumah bambu ini sangat sederhana, namun sangat
resik, segala perabotan hampir seluruhnya terbuat dari bambu
sehingga menimbulkan semacam suasana yang khas.
Tui-beng-poan-koan duduk tenang di suatu kursi bambu yang
pakai sandaran.
Usianya antara 60 lebih, perawakannya kekar kuat, mukanya
bulat, kedua matanya sangat besar, pada waktu tidak marah
juga kelihatan seperti orang marah sehingga membuat orang
gentar.
Ketika melihat It-hiong masuk dengan memondong seorang
nona, di belakangnya ikut pula seorang pemuda, wajah To Posit
memperlihatkan rasa heran dan kejut, tapi dia tidak
bertanya, agaknya dia seorang yang tidak suka banyak bicara.
Setelah It-hiong menaruh Giok-nio pada sebuah kursi bambu
yang lain, lalu ia memberi hormat kepada To Po-sit dan
berkata, "Lopothau, sudah kubawa kemari orang yang kau
minta."

Tui-beng-poan-koan To Po-sit hanya bersuara perlahan,
namun pandangannya menatap Bun-hiong tanpa berkedip.
Bun-hiong rada kikuk, ia pun memberi hormat dan berkata,
"Cayhe Pang Bun-hiong menyampaikan salam hormat kepada
To-locianpwe."
Mulut To Po-sit tampak menjengkit, jengeknya, "Kuingat tahun
yang lalu pernah kau datang kemari."
"Betul," Bun-hiong memberi hormat pula. "Daya ingat
Locianpwe sungguh sangat bagus, urusan yang sudah
berselang beberapa bulan masih belum lupa."
To Po-sit menatapnya dengan sorot mata tajam, tanyanya
kemudian, "Untuk apa pula kau datang kemari?"
Cepat It-hiong menerangkan, "Dia adalah sahabatku yang
baru, sekali ini akulah yang mengajaknya kemari."
Tui-beng-poan-koan To Po-sit berpaling dan melotot padanya,
jengeknya, "Sahabat baru lantas kau bawa dia kemari begitu
saja? Apakah kau khawatir hidupku terlalu awet dan membikin
susah padamu, maka perlu dibikin mati lebih cepat?"
"Bukan begitu maksudku," jawab It-hiong. "Kutahu dia dapat
dipercaya, maka kubawa dia kemari. Dia bukan lain dari Houhiap
Pang Bun-hiong yang namanya terkenal di utara dan
selatan."
To Po-sit tidak terpengaruh oleh nama "Hou-hiap", ia masih
bersikap dingin, katanya dengan nada ketus, "Biarpun dia
setan iblis juga sama, kalau aku tidak memberi izin, tidak
boleh sembarangan kau bawa orang kemari."

"Aku berani menjamin kepadamu bahwa dia pasti seorang
pemuda yang baik dan pakai aturan, tidak nanti berbuat
sesuatu yang merugikanmu," kata It-hiong.
"Hm, kau bicara seenaknya saja, memangnya engkau ini
cacing pita dalam perutnya sehingga kau tahu dia dapat
dipercaya?" damprat To Po-sit tambah marah. "Apa yang
pernah kukatakan padamu sudah kau lupakan seluruhnya?
Kenal orangnya, kenal mukanya, cara bagaimana tahu
hatinya? Berdasarkan apa kau bilang dia pemuda yang baik?
Berdasarkan apa pula kau berani menjamin dia pasti takkan
berbuat sesuatu yang merugikan diriku?"
Makin bicara makin keras suaranya, sorot matanya juga
tambah beringas serupa It-hiong hendak dicaploknya mentahmentah.
Padahal Pang Bun-hiong juga pemuda yang berwatak angkuh,
tidak pernah dihina oleh siapa pun, kini melihat sikap si kakek
sedemikian garangnya, ia naik pitam juga, tanpa pikir ia balas
memaki, "Dasar tua bangka, bila kau takut kubikin susah
padamu, biarlah kuangkat kaki saja dari sini dan habis
perkara, buat apa begitu galak?"
Mendadak To Po-sit menarik muka, ditatapnya anak muda itu
dengan tajam dan mendengus dengan kereng, "Bagus, berani
kau maki aku apa!"
Rada tegang juga perasaan Bun-hiong, namun dia tetap
bandel dan menjawab, "Kumaki tua bangka padamu, mau
apa?"
"Kurang ajar! Coba maki sekali lagi?" damprat To Po-sit.
Diam-diam Bun-hiong mengumpulkan tenaga pada kedua
tangan dan siap menyambut serangan orang secara

mendadak, di mulut ia menjawab dengan bandel pula,
"Biarpun maki seratus kali lagi juga kuberani, tua bangka!"
Tentu saja It-hiong kelabakan, berulang ia memberi kedipan
mata sebagai tanda agar lekas Bun-hiong melarikan diri.
Namun Bun-hiong tidak mau lari, sebaliknya malah
memperlihatkan sikap menantang, tampaknya ia sudah
bertekad akan menghadapi labrakan Tui-beng-poan-koan To
Po-sit.
"Coba maki sekali lagi!" jengek pula si kakek.
"Tua bangka!" tanpa pikir Bun-hiong benar-benar memaki lagi.
Sinar mata Tui-beng-poan-koan seakan-akan membara,
kembali ia berteriak, "Sekali lagi!"
Tanpa gentar Bun-hiong memaki pula, "Tua bangka, kan
sudah kukatakan, biarpun memaki lagi seratus kali juga
kuberani."
Mendadak air muka Tui-beng-poan-koan yang semula
beringas itu mengendur, rasa gusarnya mendadak buyar sama
sekali dan berubah menjadi senyuman yang welas asih,
katanya, "Bagus, maki lagi beberapa kali juga tidak menjadi
soal, cuma jangan telanjur menjadi biasa."
Bun-hiong tidak tahu mengapa sikap orang mendadak bisa
berubah, seketika ia melongo bingung malah.
"Duduklah!" kata Tui-beng-poan-koan kemudian dengan
tertawa.
"Untuk apa!" tanya Bun-hiong dengan melenggong.

To Po-sit tersenyum, katanya, "Selama berpuluh tahun ini
tidak ada seorang pun berani memaki diriku secara
berhadapan, tapi kau bocah ini justru mempunyai keberanian
ini, hal ini menandakan anak muda seperti dirimu memang
bakat yang dapat dipupuk, sungguh aku sangat senang."
It-hiong tertawa geli, baru sekarang perasaannya yang tegang
merasa lega.
Sebaliknya Pang Bun-hiong menyengir serbasalah. Banyak
juga orang aneh yang pernah dilihatnya, tapi tidak ada
seorang pun seaneh Tui-beng-poan-koan ini, dirinya telah
memakinya, bukannya marah, sebaliknya dia malah menaruh
kesan baik padanya, dalil macam apakah ini?
Ia masih meragukan perubahan sikap si kakek itu mungkin
cuma pura-pura saja maka dia tetap waspada, katanya
kemudian, "Sungguh aku tidak mengerti maksudmu."
"Hahaha, selanjutnya engkau tentu akan paham," seru Tuibeng-
poan-koan dengan tergelak, "Sekarang engkau adalah
tamuku, silakan duduk!"
It-hiong cukup kenal watak si kakek she To itu, ia tahu orang
sudah tidak mempunyai rasa permusuhan lagi terhadap Pang
Bun-hiong, segera ia menukas dengan tertawa, "Pang-heng,
silakan duduk, urusan sudah beres!"
Bun-hiong masih ragu sejenak, akhirnya barulah ia duduk.
Lalu Tui-beng-poan-koan berkata kepada Liong It-hiong,
"Pandanganmu memang tidak keliru, engkau telah mengikat
seorang sahabat baik."
"Tapi kami ada janji duel yang belum terlaksana," kata Ithiong
dengan tertawa.

"Oo, sebab apa?" tanya Tui-beng-poan-koan dengan
melengak.
"Soalnya kami saling tidak mau mengalah, kami sudah sepakat
akan bertanding untuk menentukan siapa yang asor, tapi
lantaran macam-macam urusan, sejauh ini pertarungan itu
belum sempat berlangsung," demikian tutur It-hiong.
"O, lantas kapan kalian hendak bertanding?" tanya Tui-bengpoan-
koan dengan tertawa.
"Nanti padas waktu hatiku lagi kesal segera akan kulabrak
dia," jawab It-hiong. "Sekarang pikiranku lagi gembira, aku
tidak ingin berkelahi."
Tui-beng-poan-koan lantas berpaling ke arah Bun-hiong,
katanya dengan tersenyum, "Pernah juga kudengar nama
Hou-hiap yang tenar, tak tersangka yang dimaksudkan adalah
dirimu ini. Eh, siapa gurumu?"
"Kepandaianku adalah hasil latihanku dari berbagai perguruan
sehingga aku tidak mempunyai guru yang resmi," jawab Bunhiong.
"Aneh juga," Tui-beng-poan-koan menyatakan rasa herannya.
"Bahwa cuma perguruan biasa dapat mendidik anak muda
seperti dirimu, sungguh suatu kejutan."
"Kubelajar sedikit kepandaian dari berbagai perguruan sanasini,
lalu aku berkelana, dan mencari jago kelas tinggi untuk
bertanding, dalam pertandingan itu berhasil kucuri jurus
serangan lawan yang lihai, semuanya kukumpulkan, lamalama
dari himpunan berbagai ilmu silat itu dapatlah kulebur
dan kuciptakan semacam Kungfu tersendiri."

Tui-beng-poan-koan manggut-manggut sebagai tanda memuji,
lalu ia berkata kepada It-hiong dengan tertawa, "Berani
kukatakan dia jauh lebih pintar daripadamu, It-hiong."
It-hiong mengangkat pundak, jawabnya, "Dia memang sok
pintar ...."
"Eh, kapan kalian mulai berkenalan?" tanya Tui-beng-poankoan.
"Wah, ceritanya agak panjang," tutur It-hiong. "Apakah
engkau tidak mau memeriksa dulu nona yang kubawa ini?"
Tui-beng-poan-koan memandang Giok-nio sekejap, katanya,
"Engkau tidak salah tangkap orang, dia memang betul adik
perempuan Eng-jiau-ong Oh Kiam-lam. Apakah kau temukan
dia di Lau-jun-ih di Kim-tan?"
"Tidak, kutemukan dia di Boan-wan-jun di Kim-leng," sahut Ithiong.
"Cuma sebelum kutemukan dia di sana sudah lebih dulu
kukenal dia di suatu tempat lain."
"Bagaimana terjadinya?" tanya Tui-beng-poan-koan.
It-hiong lantas mengisahkan apa yang dialaminya, dimulai
sebelum dia datang di kota Kim-tan, lebih dulu dia bertemu
dengan Pang Bun-hiong di pedusunan itu, kedua orang lantas
bersepakat akan bertanding di bukit luar kota, di sana dirinya
bertemu dengan Si Hin yang sekarat dan memberi pesan serta
memberi kotak hitam kepadanya. Kemudian sepanjang
perjalanan selalu muncul orang mencegatnya dan hendak
merampas kotak hitam. Di Sian-li-bio berhasil ditolongnya Ni
Beng-ai, tapi pada hari berikutnya nona itu dibawa lari oleh Intiong-
yan Pokyang Thian, karena ingin menyelamatkan Ni
Beng-ai, terpaksa ia menyerahkan kotak hitam itu kepada
Pokyang Thian. Akhirnya ketika pulang ke Kim leng bersama

Pang Bun-hiong, di luar dugaan diketahuinya Ni Beng-ai
ternyata sana dengan Giok-nio adanya, begitulah semua itu
diceritakannya dengan jelas.
Habis mendengarkan kisah itu, tanpa terasa terunjuk rasa
heran pada wajah To Posit, ia tanya, "Jika demikian, jadi Oh
Beng-ai berbuat begitu hanya karena dipaksa oleh Pokyang
Thian dan bukannya sengaja berkomplot untuk menipumu?"
It-hiong mengangguk, "Ya, tampaknya memang begitu, jika
dia berkomplot dengan Pokyang Thian, tentu pada waktu
Pokyang Thian datang ke Boan-wan-jun tidak nanti dia mau
mengirim kabar kepadaku untuk datang menangkapnya, akan
tetapi dia benar-benar mengirim berita kepadaku. Dari sini
dapat diketahui dia memang tidak berkomplot dengan
Pokyang Thian."
"Bila benar begitu, kenapa Pokyang Thian tidak mau
berkomplot saja dengan perempuan lain, tapi pilihannya jatuh
padanya?" ujar Tui-beng-poan-koan.
"Ini disebabkan Pokyang Thian adalah saudara angkat
mendiang Eng-jiau-ong Oh Kiam-lam," tutur It-hiong. "Ia tahu
Oh Kiam-lam mempunyai adik perempuan yang terjerumus di
rumah pelacuran, ia anggap dapat memikat diriku dengan
kecantikan orang perempuan, maka dia memaksanya
memancing diriku. Ini cuma kejadian secara kebetulan saja,
tidak mungkin Pokyang Thian mengetahui aku hendak mencari
Giok-nio."

Ebook oleh : Dewi KZ
Scan book oleh : BBSC
Jilid 9
Tui-beng-poan-koan mengangguk, lalu tanya pula, “Dan
sekarang kotak hitam itu telah jatuh di tangan Hiat-pit-siucay
Hui Giok-koan?”
It-hiong membenarkan.
“Kau kira apa isi kotak hitam itu?” tanya Tui-beng-poan-koan
pula.
“Entah, aku tidak tahu,” It-hiong menggeleng.
Tui-beng-poan-koan berpikir sejenak, katanya kemudian,
“Pada waktu sebelum aku mengundurkan diri pernah juga
kudengar di Cap-pek-pan-nia muncul sekawanan bandit,
melihat gelagatnya sekarang, gembong kawanan bandit itu
pasti seorang tokoh luar biasa, agaknya dia telah
menggantikan kedudukan Eng-jiau-ong Oh Kiam-lam sebagai
pimpinan dunia hitam.”
“Soalnya terletak pada kotak itu apakah miliknya atau Si Hin
juga merampasnya dari orang lain dan akan dibawa pulang ke
Cap-pek-pan-nia?” ujar It-hiong.
“Dengan sendirinya Si Hin dapat merampasnya dari orang
lain,” kata Tui-beng-poan-koan. “Cuma, bagaimana
kepandaian Si Hin menurut pendapatmu?”
“Waktu kutemukan dia keadaannya sudah kempas-kempis,
cuma dinilai dari lawannya, agaknya dia bukan seorang tokoh
kelas tinggi,” tutur It-hiong.

Bekernyit kening Tui-beng-poan-koan, katanya, “Aneh jika
begitu. Padahal kalau peti hitam itu dapat menimbulkan
incaran tokoh kelas tinggi seperti Miau-lolo dan lain-lain, ini
menandakan isi peti pasti benda pusaka yang tak ternilai
harganya. Mengapa benda sepenting itu hanya Si Hin saja
yang ditugaskan merampasnya oleh pimpinannya?”
“Bisa jadi perampasan peti itu oleh Si Hin bukan atas perintah
gembong iblis itu melainkan diperolehnya secara tidak
sengaja,” tukas Bun-hiong.
Tui-beng-poan-koan menggeleng, “Tidak mungkin, jarak Cappek-
pan-nia dengan Kim-tan ada ribuan li jauhnya, jika Si Hin
orang dari Cap-pek-pan-nia, tanpa mendapat tugas tidak nanti
dia meninggalkan pangkalannya sejauh itu.”
“Soal ini untuk sementara tidak perlu kita urus,” ujar It-hiong.
“Jika Cianpwe menghendaki kutangkap kembali Oh Beng-ay,
sekarang anak perempuan itu sudah kubawa kemari, silakan
untuk diambil sesuatu tindakan.”
“Tidak perlu bertindak apa-apa kepadanya, biarkan dia tinggal
saja di sini,” kata Tui-beng-poan-koan tak acuh.
It-hiong melenggong, tanyanya, “Tapi engkau menyuruhku
menawannya ke sini kan ada sebabnya?”
“Dengan sendirinya ada sebabnya,” jawab Tui-beng-poankoan.
“Soalnya penyakit kakiku makin lama makin berat dan
hampir tidak sanggup berjalan lagi, maka kuperlu pelayan
seorang perempuan.”
“Hanya itu alasannya?” kembali It-hiong melenggong.
“Itulah salah satu alasannya,” ujar Tui-beng-poan-koan.
“Alasan yang lain, biarlah kuberi tahukan lain kali saja.”

It-hiong tahu alasan yang lain merupakan alasan pokok, tapi
orang tidak mau menjelaskan, hal ini membuatnya kecewa,
katanya, “Masa tidak dapat dijelaskan sekarang?”
“Tidak boleh,” sahut Tui-beng-poan-koan.
“Nanti kalau dia sudah sadar, cara bagaimana kuberi
penjelasan kepadanya?” tanya It-hiong pula.
“Katakan engkau tidak tega menyaksikan dia terjerumus di
tempat kotor itu maka menolongnya ke sini, supaya dia bisa
hidup layak dan tenteram,” kata si kakek.
“Kemudian?” tanya It-hiong.
“Kemudian boleh kau tinggalkan tempat ini, pergilah
merampas kembali peti hitam itu, sebab ingin kulihat
sesungguhnya apa isi peti itu sehingga menjadi incaran tokoh
sebanyak ini,” kata Tui-beng-poan-koan.
“Wah, dunia seluas ini, ke mana dapat kutemukan Hiat-pitsiucay
Hui Giok-koan?” gumam It-hiong.
“Coba ke kamar tulisku, ambilkan kitab jejak tokoh ternama
dunia persilatan yang terletak di pojok atas rak buku itu,” kata
Tui-beng-poan-koan.
“Apakah dalam kitab itu tercatat juga seluk-beluk dan jejak
Hiat-pit-siucay Hui Giok-koan?” It-hiong menegas.
“Ya, tercatat lengkap,” jawab si kakek.
Tanpa bicara lagi It-hiong lantas menuju ke kamar tulis orang
dan mengambil sejilid kitab yang tebal, sesudah kembali di
ruangan depan, ia mulai membalik-balik halaman kitab itu.

Tidak lama dapatlah ditemukan halaman yang terdapat
keterangan mengenai Hiat-pit-siucay Hui Giok-koan, katanya,
“Aha, sudah kutemukan.”
“Coba baca,” pinta Tui-beng-poan-koan.
Dengan suara lantang It-hiong lantas membaca, “Hiat-pitsiucay
Hui Giok-koan, semula adalah murid Kong-tong-pay,
lantaran kelakuan buruk dipecat dari perguruan. Kemudian
bergabung dengan Eng-jiau-ong Oh Kiam-lam dan
komplotannya, bercokol di Kiu-liong-san dan melakukan
berbagai kejahatan. Senjata andalannya berbentuk Boankoan-
pit, wataknya kejam, tamak dan licin, tapi sok intelek,
suka bergaul dengan kaum cendikia, gemar makan pesut,
setiap tahun pada musim semi suka berkunjung ke pantai
Tengciu untuk makan daging pesut ....”
Mendengar sampai di sini Tui-beng-poan-koan lantas memberi
tanda, “Sudah, sudah, jangan baca lagi. Sekarang segera kau
berangkat ke Tengciu dan pasti dapat menemukan dia.”
It-hiong menaruh kitab itu di meja, katanya, “Sekarang dia
sudah mendapatkan kotak hitam itu, mungkin dia takkan pergi
ke Tengciu lagi, sebab ....”
“Tidak, dia pasti ke sana,” potong Tui-beng-poan-koan.
“Dan kalau tidak kutemukan dia?” tanya It-hiong.
“Jika begitu boleh kau kembali lagi ke sini dan akan kuatur
suatu akal lain bagimu, kutanggung kotak itu pasti dapat kau
temukan,” kata si kakek.
“Kapan harus kuberangkat?” tanya It-hiong.

“Boleh berangkat besok pagi saja,” jawab Tui-beng-poankoan.
“Dan aku bagaimana?” tanya Bun-hiong mendadak, “Cayhe
sangat ingin berbuat sesuatu bagimu, konon ada berapa
perkara lama yang aneh belum engkau pecahkan, bilamana
engkau tidak menolak, sungguh aku siap bekerja bagimu.”
“Boleh sih boleh,” ucap Tui-beng-poan-koan sambil berpikir,
“cuma urusan apa pun yang kau kerjakan bagiku selamanya
aku tidak memberi imbalan, untuk ini perlu kujelaskan
sebelumnya.”
Bun-hiong tertawa, “Biarpun engkau mau membayar
kepadaku juga takkan kuterima. Tentu Cianpwe tahu, ayahku
adalah hartawan terkemuka di kota Kim-tan, masa aku
khawatir kekurangan uang?
“Selain tidak kuberi imbalan, terkadang, bahkan sering
kumaki-maki, apakah kau tahan dan bisa menerima?”
“Tidak menjadi soal,” kata Bun-hiong. “Aku memang sangat
jarang dicaci maki orang serupa Cianpwe tadi, kalau terkadang
dicaci maki orang akan terasa nikmat malah.”
“Hehe, dasar!” Tui-beng-poan-koan tertawa geli.
“Ya, pada dasarnya aku ini memang berwatak begitu,” Bunhiong
angkat pundak.
Setelah berpikir, Tui-beng-poan-koan mengangguk, katanya,
“Baik, lain hari akan kuberi suatu tugas bagimu. Cuma ingat,
tugas ini sangat mungkin membahayakan jiwamu.”
“Semakin berbahaya semakin menarik bagiku,” ujar Bunhiong.

Tui-beng-poan-koan tersenyum, ia berpaling kepada It-hiong
dan berkata, “Nah, sekarang boleh kau bikin sadar dia, tapi
jangan kau ungkat tentang dia adalah adik Oh Kiam-lam,
hendaknya kalian tetap menganggap dia sebagai Giok-nio.”
It-hiong mengangguk dan mengiakan, lalu ia masuk ke
belakang dan mengambil semangkuk air jernih untuk
menyiram muka Oh Beng-ay.
Hanya sebentar saja nona itu lantas bergerak dan siuman.
Sambil bersuara kemalasan perlahan Beng-ay membentang
matanya, dengan melenggong ia pandang Tui-beng-poankoan
dan Pang Bun-hiong. Sejenak kemudian barulah
pikirannya sadar benar, lalu berucap dengan bingung, “Meng
... mengapa aku berada di sini?”
“Aku yang mengantarmu ke sini,” kata It-hiong dengan
tersenyum.
Tersembul rasa takut pada wajah Oh Beng-ay, katanya pula,
“Tempat apakah ini!”
“Bok-kan-san,” tutur It-hiong.
“Hah, Bok-kan-san?!” Beng-ay menegas dengan mata
terbelalak lebar.
“Betul,” It-hiong mengangguk dengan tersenyum. “Tempat ini
jauh lebih indah untuk pesiar daripada Bok-jiu-oh.”
Beng-ay berdiri, katanya dengan terkesiap, “Kau bilang
membawaku pesiar ke Bok-jiu-oh, kenapa sampai di Bok-kansan
sini?”

“Seketika pendirianku berubah, yaitu karena ingin kubebaskan
dirimu dari neraka dunia itu, maka kubawa engkau ke sini,”
kata It-hiong dengan tertawa.
Beng-ay termangu-mangu sejenak, tiba-tiba ia berteriak, “Ah,
aku ingat!”
“Ingat apa?” tanya It-hiong.
“Waktu di dalam kereta engkau memberi air minum padaku,
kau bilang di dalam air minum terdapat obat tidur.”
“Memang betul,” kata It-hiong.
“Hm, apa artinya perbuatanmu ini?” tanya Beng-ay dengan
marah.
“Soalnya aku khawatir engkau tidak mau,” ujar It-hiong
tertawa.
“Omong kosong,” omel Beng-ay sambil mengentak kaki.
“Lekas membawaku pulang!”
It-hiong tidak menanggapi, ia tunjuk Tui-beng-poan-koan dan
berkata, “Ini guruku, lekas memberi hormat.”
Beng-ay hanya melenggong saja tanpa bergerak.
“Ayo lekas,” desak It-hiong.
Dengan mulut menjengkit dan ogah-ogahan Beng-ay memberi
hormat sekadarnya, lalu berkaok pula, “Aku mau pulang, ayo
lekas kau bawaku pulang!”
Mendadak It-hiong menariknya menuju ke suatu kamar sambil
berkata, “Marilah, boleh kita bicara di dalam kamar saja!”

“He, apa maksudmu?!” teriak Beng-ay sambil memberontak.
“Tidak, aku tidak mau!”
Akan tetapi It-hiong terlampau kuat baginya, betapa pun dia
meronta tetap sukar melepaskan diri dari pegangan It-hiong
dan akhirnya tetap diseret masuk ke kamar.
Setelah menutup pintu kamar segera It-hiong memeluknya
erat-erat.
Beng-ay meronta lagi sekuatnya sambil menjerit, “Tidak, kau
mau apa? Lekas ... lekas lepaskan! Auhh ....”
Ia ingin berteriak lagi, tapi mulutnya keburu tersumbat oleh
mulut It-hiong.
Kembali ia meronta lagi beberapa kali, lalu sekujur badannya
lemas lunglai, berubah menjadi lunak dan pasrah.
Ciuman It-hiong membuat Beng-ay lupa daratan dan serupa
mabuk, kemudian dilepaskannya dan mendesis, “Kau bilang
ingin kembali ke masyarakat baik-baik bukan?”
“Ehmm ....” si nona mengangguk.
“Juga pernah kau tanya padaku mau padamu atau tidak,
bukan?”
“Ehmm ....” kembali Beng-ay bersuara samar-samar.
“Dan sekarang aku mau padamu, apa pula yang ingin kau
katakan?”
“Ti ... tidak ada.”

“Jika begitu harus kau tinggal di sini dengan menurut.”
“Baiklah.”
Melihat usahanya berhasil dengan baik, lalu It-hiong
mendorong si nona agar duduk di kursi, dipesannya supaya
Beng-ay istirahat sendiri di situ, lalu ditinggal keluar.
Bun-hiong tersenyum dan menegurnya, “Sudah kau taklukkan
dia?”
“Ya,” It-hiong mengangguk.
“Hebat benar,” puji Bun-hiong.
“Ah, biasa,” ujar It-hiong.
Tui-beng-poan-koan berdehem, lalu berkata dengan kereng,
“Awas, jangan kau bikin susah dia, meski dia telantar, tapi
pada dasarnya dia bukan perempuan bermoral rendah.”
“Ya, kutahu,” jawab It-hiong.
“Dia bisa menanak nasi tidak?” tanya Tui-beng-poan-koan
pula.
“Kukira bisa,” jawab It-hiong.
“Jika begitu suruh dia menanak nasi, aku sudah lapar,” kata si
kakek.
It-hiong mengiakan dengan hormat.
Besoknya Liong It-hiong meninggalkan Bok-kan-san lagi,
seorang diri ia berangkat ke utara menuju Tengciu.

Pada pagi hari ketiga Pang Bun-hiong juga meninggalkan Bokkan-
san dengan mengemban suatu tugas, ia menuju ke
selatan.
Tugas yang diberikan Tui-beng-poan-koan kepadanya adalah
menyuruh dia menyebarkan desas-desus bahwa adik
perempuan Eng-jiau-ong Oh Kiam-lam yang bernama Oh
Beng-ay telah diculik oleh Kiu-bwe-hou (rase ekor sembilan)
Kongsun Siau-hui, berita ini harus disebarkan merata ke
daerah Kanglam.
Apa maksud tujuannya tidak dijelaskan oleh Tui-beng-poankoan.
Dan orang macam apakah Kongsun Siau-hui itu?
Pertanyaan ini juga tidak dijawab oleh Tui-beng-poan-koan, ia
hanya memberi petunjuk kepada Pang Bun-hiong, bilamana
ada orang memaksa dia menjelaskan di mana jejak Kiu-bwehou
Kongsun Siau-hui, maka boleh mengaku bahwa Kongsun
Siau-hui berdiam di atas Ma-cik-san di tepi Thay-oh.
Pang Bun-hiong tidak tahu sebab apa Tui-beng-poan-koan
menyuruhnya berbuat demikian, cuma lamat-lamat dapat
dirasakannya permainan menarik segera akan naik pentas.
Dengan sendirinya ia pun tahu tugas ini sangat berbahaya dan
penuh risiko, namun dia tidak takut, ia memang suka
menyerempet bahaya, suka bertualang, dirasakannya tindakan
demikian adalah semacam kenikmatan.
Suatu hari ia sampai di kota Hauhong, dengan 80 tahil perak
ia beli seekor kuda bagus, lalu melanjutkan perjalanan ke
selatan provinsi Anhui.
Dua hari kemudian, untuk pertama kalinya sampailah dia di

suatu kota besar, yaitu Huiciu.
Bagi kaum terpelajar, Huiciu adalah tempat ternama, sebab
penduduk kota ini terkenal mahir membuat bak, yaitu batu
tinta hitam.
Pang Bun-hiong adalah pemuda serbapandai, baik ilmu silat
maupun kesusastraan, maka terhadap bak keluaran Huiciu
juga sangat tertarik. Setiba di kota ini, langsung ia mendatangi
sebuah toko alat tulis yang paling besar dan paling terkenal, ia
beli beberapa potong bak ukuran besar dan berkualitas
terbaik. Lalu menyusuri jalan raya dan bermaksud mencari
sebuah restoran.
Karena tujuan perjalanan ini adalah menyiarkan berita, maka
ia anggap perlu mencari sebuah restoran yang paling ramai
dan biasa disinggahi tamu yang datang ke kota ini.
Setelah melintasi dua jalan raya, dilihatnya di depan ada
sebuah restoran dengan merek “Cip-eng-lau” (restoran tempat
berkumpulnya kaum kesatria).
Bun-hiong sangat senang, pikirnya, “Ini dia, dari namanya saja
dapat diduga restoran ini pasti tempat berkumpulnya para
kesatria, biarlah kumasuk ke situ.”
Segera ia menghampiri restoran itu, kuda ditambat, lalu
masuk ke situ, cepat pelayan menyambutnya naik ke loteng.
Karena dekat tengah hari, restoran itu sudah hampir penuh
terisi tetamu yang ingin makan siang.
Bun-hiong berhenti sejenak di ujung tangga, dipandangnya
sekejap, terlihat tetamu di situ hampir seluruhnya adalah
kaum saudagar, di antaranya cuma satu-dua orang saja
serupa orang persilatan. Dengan sendirinya ia rada kecewa.

Tapi sudah telanjur naik ke atas loteng, tidaklah enak hati jika
segera mengundurkan diri, terpaksa ia pilih sebuah tempat
duduk di samping meja seorang tamu lain yang berdandan
serupa orang persilatan.
Ia memesan arak dan hidangan, kemudian ia coba melirik
tamu yang duduk di meja sebelah yang mirip orang persilatan
itu, dilihatnya usia orang antara 40-an, pakai ikat kepala kain
hijau, perawakannya kekar, meski wajahnya tidak begitu
menarik, namun kelihatan kereng dan gagah, malahan di
samping meja tertaruh sebuah bungkusan panjang, isinya
serupa sebilah golok.
Mau tak mau tergerak juga hatinya, ia membatin, “Orang ini
besar kemungkinan orang persilatan, harus kucari akal untuk
omong-omong dengan dia.”
Sedang berpikir, kebetulan pelayan membawakan minuman
pendahuluan, yaitu secangkir teh panas.
Tiba-tiba Bun-hiong mendapat akal, ia angkat cangkir teh itu
dengan lagak hendak minum, lalu pura-pura tangan
kepanasan dan berteriak kaget, cangkir teh itu dilemparkan ke
samping kaki lelaki sebelah.
“Brak,” cangkir pecah, teh panas juga menciprat kaki orang
itu.
Dengan sendirinya lelaki itu kurang senang, omelnya, “Main
gila apa?”
“O, maaf, maaf! Tehnya terlalu panas, tanganku keselomot
dan tidak sanggup memegangi cangkirnya, apakah kaki Anda
terkena air panas?” cepat Bun-hiong minta maaf.

Dengan ketus lelaki itu hanya mendengus saja, lalu menikmati
hidangannya lagi, tampaknya urusan tak mau ditarik panjang
setelah Bun-hiong minta maaf.
Dengan cengar-cengir Bun-hiong sengaja tanya lagi, “Eh,
apakah kaki Anda terbakar?”
Lelaki itu hanya menggeleng saja.
Waktu itu pelayan datang membersihkan cangkir yang pecah,
Bun-hiong lantas menggerundel, “He, pelayan, kenapa kau
beri teh sepanas itu? Kan tidak perlu menyeduh teh dengan
air mendidih begitu?”
Lelaki setengah baya itu tertawa geli mendengar omelan Bunhiong
itu.
Segera Bun-hiong membalas dengan tertawa, katanya, “Betul
kan ucapanku? Menyeduh teh kan tidak perlu pakai air
mendidih begitu? Sungguh aneh cara kerja restoran ini?”
Dengan tertawa lelaki itu menanggapi, “Teh yang baru
diseduh dengan sendirinya panas.”
“Tapi seharusnya dibiarkan dingin dulu baru disajikan kepada
tamu,” ujar Bun-hiong. “Air mendidih begitu mana dapat
diminum?!”
“Kurasakan teh tadi tidak terlalu panas,” kata lelaki itu.
“Ah, masa, kurasakan panas sekali,” ucap Bun-hiong. “Hawa
panas begini juga tidak cocok minum teh panas, biasanya aku
pun tidak suka minuman panas .... Eh, saudara ini seperti
sudah pernah kulihat, entah di mana?”
“Apa ya?” jawab lelaki setengah baya itu dengan tersenyum.

“Betul, tentu kita pernah bertemu di mana,” kata Bun-hiong
dengan sungguh-sungguh. “Siapakah nama Anda yang
terhormat?”
“Cayhe she Thio bernama Hou,” jawab lelaki setengah baja
itu.
“Ah, kiranya Thio-heng adanya,” ucap Bun-hiong sambil
memberi hormat. “Aku she Pang bernama Bun-hiong, mohon
banyak memberi petunjuk.”
Serentak orang itu mengangkat kepala dan menatap Bunhiong
dengan tajam dan menegas, “Namamu Pang Bunhiong?”
“Betul,” jawab Bun-hiong.
Kembali orang itu mengawasi dia sejenak, habis itu lantas
tertawa lebar dan berkata, “Haha, namamu serupa dengan
seseorang.”
Bun-hiong memperlihatkan rasa tertarik, tanyanya, “Namaku
sama dengan nama siapa?”
“Sama dengan seorang pendekar muda, namanya juga Pang
Bun-hiong dan berjuluk Hou-hiap,” tutur orang itu.
“Hahaha, apakah Thio-heng pernah melihat Hou-hiap Pang
Bun-hiong?” tanya Bun-hiong dengan tergelak.
“Belum, belum pernah,” orang itu menggeleng kepala.
“Jika begitu, kan seharusnya Thio-heng menduga bukan
mustahil aku adalah Hou-hiap Pang Bun-hiong sendiri?”

“Memangnya engkau Hou-hiap Pang Bun-hiong asli?” orang itu
menegas dengan terkesiap sambil mengamat-amati Bun-hiong
lagi.
“Ya, aku inilah orangnya,” ujar Bun-hiong dengan tertawa.
“Benar?” orang itu melenggong.
“Kalau palsu uang kembali,” kata Bun-hiong tergelak.
Lekas orang itu memberi hormat dan berseru, “Aha, selamat
bertemu. Tak tersangka engkau Hou-hiap Pang Bun-hiong
yang termasyhur, maaf jika aku kurang hormat.”
“Terima kasih,” sahut Bun-hiong.
“Bila tidak keberatan, bagaimana kalau kita minum bersama
satu meja?” ajak lelaki alias Thio Hou itu.
“Bagus sekali!” seru Bun-hiong dengan gembira.
Segera ia suruh pelayan memindahkan sendok dan sumpitnya
ke meja Thio Hou lalu duduk di depannya.
Thio Hou menuangkan arak secawan penuh, menyusul ia pun
menuang penuh cawan sendiri, katanya sambil angkat cawan,
“Mari, kuhormati Anda satu cawan!”
Bun-hiong mengucapkan terima kasih dan menghabiskan
secawan arak, lalu ia berpaling dan mendesak pelayan, “He,
pelayan, lekas bawakan hidangan yang kupesan!”
“Baik, segera datang!” sahut pelayan.
“Mari, mari, makan dulu hidanganku ini,” kata Thio Hou.

“Baik, sekarang kumakan hidanganmu, sebentar engkau pun
makan hidanganku,” ujar Bun-hiong, tanpa sungkan lagi
segera ia angkat sumpit dan makan minum.
Agaknya Thio Hou sangat menyukai kelugasan Bun-hiong,
katanya dengan tertawa, “Sungguh tak kusangka dapat
bertemu denganmu di sini, engkau ternyata berbeda daripada
Hou-hiap yang pernah kubayangkan.”
“Memangnya bagaimana pribadiku menurut bayangan pikiran
Thio-heng?” tanya Bun-hiong.
“Kupikir engkau tentu bertubuh pendek gemuk, muka penuh
berewok, mata besar,” tutur Thio Hou.
“Begitu bayangan Thio-heng, tentu disebabkan karena
julukanku memakai ‘Hou’ bukan?” kata Bun-hiong dengan
tertawa.
“Ya, memang begitulah,” ujar Thio Hou.
“Tapi nama Thio-heng sendiri kan juga pakai ‘Hou’, namun
tampaknya engkau toh tidak serupa harimau?”
Orang itu terbahak-bahak.
Dalam pada itu pelayan sudah mengantarkan hidangan,
segera kedua orang makan-minum terlebih asyik lagi dan
berulang-ulang saling mengangkat cawan.
“Bilamana tidak salah penglihatanku, Thio-heng ini tentu juga
orang persilatan,” kata Bun-hiong dengan tertawa.
“Betul, sering juga kuberkecimpung di dunia Kangouw, tapi
aku tetap seorang Bu-beng-siau-cut (prajurit tak bernama
atau keroco), dibandingkan Hou-hiap tentu selisih terlampau

jauh.”
“Ah, jangan bilang begitu. Kuyakin Thio-heng pasti cukup
ternama di dunia Kangouw, justru akulah yang kurang
pengalaman dan tidak kenal padamu.”
“Tidak, Cayhe memang benar seorang keroco belaka, bahwa
sekarang dapat berkenalan dengan Hou-hiap, sungguh sangat
beruntung bagiku.”
“Tampang tanya, Thio-heng ini keluaran perguruan mana?”
tanya Bun-hiong.
“Ah, Cayhe bukan anak murid perguruan ternama, tidak perlu
kukatakan, hanya bikin malu saja,” jawab Thio Hou.
“Wah, Thio-heng sungguh seorang yang rendah hati,” ujar
Bun-hiong. “Eh, di mana Thio-heng bekerja?”
“Ah, bekerja apa, paling-paling berkeluyuran kian kemari
saja.” ujar Thio Hou.
Kembali Bun-hiong mengangkat cawan lagi dengan dia, lalu
berkata pula dengan nada menyesal, “Padahal, nama seorang
menonjol atau tidak kan juga sama saja. Terkadang orang
yang namanya terlampau menonjol malah tidak baik, seperti
kata peribahasa, manusia takut ternama dan babi takut
gemuk. Orang yang terlalu terkenal justru akan mati terlebih
cepat.”
“Ah, juga tidak pasti begitu,” kata Thio Hou.
“Kebanyakan begitu,” seru Bun-hiong dengan suara yang
sengaja dikeraskan. “Misalnya saja tokoh kalangan hitam,
selama berpuluh tahun yang lalu, nama Eng-jiau-ong Oh
Kiam-lam kan cerlang-cemerlang ibarat sang surya

memancarkan cahayanya di tengah langit. Kedudukannya di
dunia Kangouw sungguh tidak ada bandingannya. Namun
pada akhirnya dia kan juga dibunuh orang?”
Thio Hou mengangguk-angguk.
Maka Bun-hiong menyambung pula, “Yang harus disesalkan,
selama masih hidup hubungan baik terpelihara, kalau sudah
mati segera ditinggalkan. Sesudah Eng-jiau-ong Oh Kiam-lam
mati, nasib adik perempuannya, Oh Beng-ay kan pantas
menimbulkan simpati orang?”
“He, kenapa dengan adik perempuannya?” tanya Thio Hou
dengan melengak.
“Sangat menyedihkan, dia terjerumus ke dunia pelacuran,”
tutur Bun-hiong.
“Aneh juga,” kata Thio Hou. “Bukankah Oh Kiam-lam juga
punya beberapa saudara angkat? Mengapa mereka tidak
memerhatikan adik perempuan Oh Kiam-lam dan membiarkan
dia telantar?”
“Makanya tadi kubilang selama masih hidup hubungan baik
manusia tetap terpelihara, bilamana orangnya sudah mati,
segala sesuatu lantas berpisah dan tidak mau tahu lagi,
begitulah maksudku.”
“Sungguh kasihan,” ujar Thio Hou. “Meski Oh Kiam-lam bukan
tokoh golongan baik, paling sedikit dia juga seorang gembong
kalangan hitam yang pernah jaya, tak tersangka sesudah dia
mati perempuannya bisa terjerumus sejauh ini.”
“Tapi masih ada lagi kemalangan lain yang lebih hebat,” tukas
Bun-hiong.

“Oo, apakah adik perempuannya itu juga mati?” tanya Thio
Hou.
Bun-hiong menggeleng, “Tidak, dia tidak mati, hanya dibawa
lari orang.”
“Siapa yang membawa lari dia?” tanya Thio Hou penuh minat.
“Kejadian itu kusaksikan dengan mata kepalaku sendiri,” tutur
Bun-hiong. “Hari itu kebetulan kucari kesenangan ke Boanwan-
jun di kota Kim-leng, kulihat seorang menyeretnya keluar
dan menculik dia dengan sebuah kereta. Sebelum berangkat
penculiknya sempat meninggalkan nama, ia mengaku sebagai
Kiu-bwe-hou Kongsun Siau-hui.”
“Hahh, kiranya dia?!” seru Thio Hou dengan air muka berubah
rada pucat.
Melihat sikap orang tentu tahu siapa Kiu-bwe-hou Kongsun
Siau-hui, segera ia tanya, “Thio-heng kenal Kiu-bwe-hou
Kongsun Siau-hui?”
“Tidak, tidak kenal,” jawab Thio Hou sambil menggeleng.
“Cuma kutahu siapa dia, yaitu seorang tokoh yang sangat
ditakuti. Konon dia bermusuhan dengan Oh Kiam-lam, sekali
ini dia menculik adik perempuan Oh Kiam-lam, tentu
tujuannya ingin melampiaskan rasa dendamnya.”
“Sesungguhnya ada permusuhan apa antara dia dengan Oh
Kiam-lam?” tanya Bun-hiong.
“Wah, aku sendiri tidak jelas urusan ini,” jawab Thio Hou.
“Aku cuma tahu permusuhan antara mereka sangat
mendalam, cuma ... Oh Kiam-lam kan sudah mati empat lima
tahun, sebenarnya tidak pantai dia melampiaskan dendamnya
terhadap nona Oh yang tidak berdosa itu. Betapa pun

perbuatannya itu agak rendah dan pengecut.”
“Memang,” kata Bun-hiong.
“Tapi persoalannya juga harus ditinjau kembali,” ujar Thio
Hou. “Pribadi Kiu-bwe-hou Kongsun Siau-hui itu memang
begitulah, licin, licik dan juga kejam, sedikit disakiti hatinya
pasti menuntut balas. Orang yang bersalah padanya pasti
akan disikatnya hingga habis-habisan.”
“Entah akan diapakan nona Oh yang diculiknya itu!” tanya
Bun-hiong.
“Kiu-bwe-hou Kongsun Siau-hui terkenal sebagai iblis perusak
orang perempuan,” tutur Thio Hou, “maka dapat dipastikan
nona Oh akan diperkosa sepuasnya, habis itu baru
membunuhnya.”
“Wah, perbuatannya itu terlampau tidak kenal
perikemanusiaan,” ujar Bun-hiong. “Kudengar nona Oh itu
masih perawan suci bersih.”
“Entah, aku tidak tahu hal ini,” kata Thio Hou. “Dan entah
saudara angkat Oh Kiam-lam seperti Ang-liu-soh Ban Samhian
daun lain-lain mengetahui tidak kejadian ini?”
Bun-hiong berlagak tidak tahu dan bertanya, “Ang-liu-soh Ban
Sam-hian itu orang macam apa?”
“Dia terhitung saudara angkat Oh Kiam-lam yang paling lihai,”
tutur Thio Hou.
“Apakah dia mau menolong nona Oh jika mendapat sabar
tentang kejadian ini?” tanya Bun-hiong pula.
“Ya, hal ini memang tidak dapat dipastikan. Konon sebelum

Oh Kiam-lam terbunuh, di antara sesama saudara angkat
mereka sudah sering cekcok ....”
“Mengapa cekcok di antara mereka?” tanya Bun-hiong.
“Entah,” jawab Thio Hou. “Besar kemungkinan karena
pembagian rezeki yang tidak merata sehingga menimbulkan
pertengkaran antara mereka sendiri. Terbunuhnya Oh Kiamlam
sangat mungkin juga ....”
“Juga perbuatan saudara-saudara angkatnya?” sela Bunhiong.
“Ya, ini hanya dugaanku saja,” Thio Hou mengangguk.
“Ilmu silat Kiu-bwe-hou Kongsun Siau-hui sangat tinggi, aku
merasa bukan tandingannya, kalau tidak, tentu akan kutolong
nona Oh yang pantas dikasihani itu.”
“Kau tahu di mana tempat tinggal Kiu-bwe-hou?” tanya Thio
Hou.
Bun-hiong mengangguk, “Ya, tahu, waktu itu telah kubuntuti
dia dan mengetahui sarangnya.”
Cepat Thio Hou menegas, “Di mana?”
“Wah, maaf, tidak dapat kukatakan,” Bun-hiong menggeleng
sambil tertawa.
“Sebab apa?”
“Soalnya aku tidak berani menyalahi dia.”
“Dari mana dia tahu engkau yang menyiarkan tempat
tinggalnya? Apa alangannya kau katakan kepadaku?”

“Tidak, jangan,” kembali Bun-hiong menggeleng. “Bilamana
sampai diketahuinya, wah, bisa banyak mendatangkan
kesulitan bagiku.”
“Engkau berjuluk Pendekar Harimau, kenapa engkau juga
takut urusan?” tanya Thio Hou dengan tertawa.
Bun-hiong menyengir, jawabnya, “Di hadapan Kiu-bwe-hou,
aku bukan lagi harimau tapi kucing.”
“Hahaha!” Thio Hou tergelak, “Biarpun Kiu-bwe-hou
menakutkan, tapi engkau kan pendekar ternama, seorang
pendekar harus membela kebenaran dan menumpas
kejahatan.”
“Namun, soalnya terletak pada nona Oh itu ada harganya
untuk ditolong atau tidak,” ujar Bun-hiong. “Kakaknya kan
terkenal bukan manusia baik-baik, nona Oh itu sendiri
melacur. Kan tidak perlu aku mengambil risiko ini hanya untuk
membela seorang nona dari jenis ini?”
“Boleh kau katakan tempat tinggal Kiu-bwe-hou kepadaku,
aku yang akan menolong dia,” kata Thio Hou.
“Thio-heng yakin mampu mengalahkan Kiu-bwe-hou?” tanya
Bun-hiong.
“Dapat kuajak beberapa kawan untuk membantu,” ujar Thio
Hou.
“Ah, tidak. Betapa lihai kepandaian Kiu-bwe-hou kan cukup
diketahui Thio-heng, tidak boleh kubikin susah padamu
mengantar nyawa secara sia-sia.”
“Ai, engkau ini terlampau banyak pertimbangan,” kata Thio

Hou. “Kan tidak harus kugebrak dengan dia, masih banyak
jalan lain untuk menolong nona Oh, misalnya dapat kubawa
lari dia secara diam-diam.”
“Tidak, tidak mungkin, tidak semudah itu,” Bun-hiong
menggeleng.
“Asalkan aku bertindak dengan hati-hati, mungkin akan
berhasil.”
“Memangnya ada hubungan apa antara Thio-heng dengan Oh
Kiam-lam sehingga sukarela hendak menolong Oh Beng-ay
tanpa pikirkan keselamatan sendiri?”
“Tidak ada hubungan apa-apa,” jawab Thio Hou. “Aku cuma
merana nona Oh itu pantas dikasihani, siapa pun harus
mengulurkan tangan untuk menolongnya.”
“Jika tidak ada sesuatu hubungan, kukira engkau tidak perlu
menyerempet bahaya,” ujar Bun-hiong. “Banyak campur
urusan hanya banyak menimbulkan kesulitan, marilah kita
jangan banyak ikut campur urusan orang lain tapi banyak
minum arak saja. Nah, mari minum lagi secawan!”
Thio Hou mengadu cawan lagi dengan dia, lalu bertanya
mengenai urusan lain, “Eh, ada keperluan apa Anda datang ke
Huiciu sini?”
“Tidak ada urusan apa pun,” jawab Bun-hiong. “Aku biasa
melancong kian kemari, sekali ini kupesiar ke Kanglam dan
kebetulan mampir ke sini.”
“Ke mana lagi kota berikutnya yang akan kau tuju?” tanya
Thio Hou.
“Hiuleng, lalu putar balik ke timur, ke Soatang, tamasya ke

Liong-hou-san, kemudian mengunjungi juga Kiu-liong-san,”
tutur Bun-hiong.
“Wah, senang benar,” ujar Thio Hou.
“Hidupku ada dua macam hobi,” kata Bun-hiong. “Pertama
adalah perempuan, kedua adalah pesiar.”
“Pesiar sendirian tidak terasa kesepian?” tanya Thio Hou.
“Tidak,” jawab Bun-hiong.
“Sayang aku masih ada urusan, kalau tidak, boleh juga
mengiringimu pesiar,” kata Thio Hou. “Sesungguhnya aku juga
gemar melancong.”
“Lantas Thio-heng hendak pergi ke mana?” tanya Bun-hiong.
“Ada seorang teman tinggal di daerah utara, bulan yang lalu
kuterima suratnya, katanya ada sebuah Piaukiok mencari
tambahan tenaga, maka ingin kupergi ke sana untuk mengadu
untung.”
“Oo, kiranya begitu ....”
Setelah kedua orang mengobrol lagi sebentar, sesudah
kenyang makan minum, Thio Hou mendahului membayar
rekening, lalu meninggalkan restoran itu.
Rupanya Thio Hou juga menunggang kuda, ketika melihat
mereka mau berangkat, cepat pelayan membawakan kuda
mereka.
Setelah memegang tali kendali kudanya, Bun-hiong berkata
kepada Thio Hou, “Kita baru saja berkenalan dan segera
membikin Thio-heng merogoh saku, sungguh tidak enak hati

rasanya.”
“Ah, soal kecil, buat apa dipikir,” ujar Thio Hou dengan lugas.
“Rasanya kita sama cocok satu dengan yang lain, semoga kita
berjumpa lagi kelak,” ucap Bun-hiong.
“Anda adalah pendekar ternama, kalau sudi bergaul dengan
kaum keroco seperti diriku, bolehlah kita bersahabat, kelak
tentu akan kucari Anda bila datang ke Kim-tan.”
“Aha, pasti akan kusambut dengan gembira,” seru Bun-hiong.
“Sampai bertemu!”
Begitulah keduanya lantas mencemplak ke atas kuda masingmasing
dan mengucapkan salam perpisahan, lalu seorang
menuju ke utara dan yang lain ke selatan.
Langsung Bun-hiong meninggalkan kota Huiciu dan
melanjutkan perjalanan ke selatan. Setelah mengalami
penyebaran desas-desus sekali ini telah disadarinya sesuatu,
yaitu bahwa sebabnya Tui-beng-poan-koan menyuruhnya
menyebarkan berita tentang Oh Beng-ay diculik Kiu-bwe-hou
Kongsun Siau-hui, tujuannya adalah ingin memancing seorang
untuk tampil menolong Oh Beng-ay, pada saat orang yang
dimaksud itu muncul, barulah akan ditangkapnya.
Dapat diduganya pula orang yang hendak ditangkap Tui-bengpoan-
koan pasti juga ada hubungan erat dengan Oh Beng-ay,
kalau tidak tentu Tui-beng-poan-koan takkan menggunakan
Oh Beng-ay sebagai umpan untuk memancingnya keluar.
Lantas siapakah gerangan orang yang hendak dipancingnya
itu?
Sebab apa pula Tui-beng-poan-koan hendak menangkapnya?

Pang Bun-hiong tidak sanggup memecahkan berbagai
pertanyaan ini, ia cuma tahu tindakan Tui-beng-poan-koan To
Po-sit ini pasti tidak keliru, sebab ia sangat kagum dan hormat
kepadanya, ia yakin To Po-sit, adalah orang yang berdiri di sisi
“kebenaran”, apa yang diaturnya itu adalah semacam
gempuran terhadap yang “jahat”, jika dirinya dapat ikut serta
dalam usaha membongkar perkara ini rasanya sangat besar
artinya.
Karena pikiran ini, ia merasa sangat gembira. Ia larikan
kudanya dengan santai, menjelang magrib barulah ia sampai
di kota Yugoan, ia berputar sekeliling di dalam kota dan tidak
ditemukan seorang persilatan pun, akhirnya ia mencari sebuah
hotel untuk bermalam.
Esok paginya ia melanjutkan lagi perjalanan ke selatan.
Lewat tengah hari ia sampai di suatu tanah ladang yang luas,
sejauh mata memandang tidak tampak sesuatu apa pun, dia
berkepandaian tinggi dan bernyali besar, keadaan begitu tidak
menjadi soal baginya, malahan sembari berjalan ia sambil
berdendang.
Kira-kira beberapa puluh li lagi, sampailah ia di suatu hutan
lebat yang kelihatan seram, hutan yang terletak di kaki
gunung.
Sedang mengayun langkah dengan santai, mendadak dari
dalam hutan lebat itu ada suara suitan, menyusul lantas
melompat keluar dua orang lelaki kekar.
Wajah kedua lelaki kekar ini tampak bengis menakutkan, dada
terbuka dan perut rada buncit, keduanya sama membawa
golok mengilat, sekali pandang saja segera orang tahu mereka
pasti kawanan begal.

Begitu melompat ke tengah jalan, segera mereka bersikap
garang untuk menakut-nakuti, bentaknya, “Berhenti! Ingin
hidup atau minta mati? Jika ingin hidup lekas serahkan harta
bendamu.”
Bun-hiong menahan kudanya, jawabnya dengan tertawa, “Eh,
kedua Hohan (orang gagah) jangan marah, biarlah kuberikan
semua harta yang kubawa.”
Sembari bicara ia lantas menanggalkan ransel yang dibawanya
terus dilemparkan kepada mereka.
Padahal isi ransel itu cuma beberapa potong baju saja dan
tidak ada harta benda segala, bobotnya tidak lebih dari
sepuluh kati.
Akan tetapi Bun-hiong melemparkannya dengan mengerahkan
tenaga dalam, keruan hal ini membuat salah seorang lelaki itu
kewalahan, begitu dia menangkap ransel itu dengan kedua
tangannya, kontan ia merasakan seperti menangkap benda
berbobot ribuan kati, seketika sebelah lengannya keseleo,
malahan ransel itu terus menumbuk dadanya dengan keras,
“brak”, tulang iga patah dua-tiga serupa digenjot oleh benda
beribu kati beratnya.
Belum lagi orang itu tempat menjerit tahu-tahu sudah roboh
terjungkal dan tak bernyawa lagi.
Keruan kawannya terperanjat dan juga ketakutan setengah
mati seperti melihat setan, ia menjerit terus membalik tubuh
dan kabur terbirit-birit.
Dengan sendirinya Bun-hiong tidak tinggal diam, ia
membentak, “Jangan lari!”

Sebelah tangan terayun, setitik cahaya perak segera
menyambar ke punggung lelaki kekar yang sedang merat itu.
Yang disambitkan Bun-hiong sekali ini adalah sepotong uang
perak, namun benda kecil ini sudah tidak sanggup lagi
diterima oleh lelaki kekar itu, ingin menghindar saja tidak bisa,
ia pun menjerit dan roboh terguling.
Cuma ia tidak mati, lukanya juga tidak parah, namun sakitnya
membuatnya meringis dan mengerang.
Bun-hiong terus melompat maju, kepala orang itu diinjaknya,
ditanyainya dengan tertawa, “Nah, apakah sekarang kau minta
harta benda lagi dariku?”
“O, tidak, tidak lagi,” seru lelaki kekar itu. “Ampun Tuan!”
“Kalian ini kaum begal atau anak buah kawanan bandit di atas
gunung ini?” tanya Bun-hiong.
“Kami hanya anak buah yang melaksanakan tugas saja,” kata
orang itu. “Kami ditugaskan memungut biaya jalan di sini,
mohon ampun!”
“Tempat apakah ini?” tanya Bun-hiong.
“Hoay-giok-san,” jawab orang itu.
“Apakah sarang kalian berada di atas gunung ini?” tanya Bunhiong
pula.
“Betul,” jawab orang itu gemetar.
“Siapa pemimpin kalian?”
“Jik-hoat-kui (si setan berambut pirang) Pit Tiang-siu,” tutur

orang itu.
“Seluruhnya ada berapa orang yang bersarang di atas
gunung?”
“Cuma seratus lebih.”
Bun-hiong menarik kakinya yang menginjak kepala orang itu,
katanya, “Bangun!”
Lelaki itu hanya merangkak dan tidak berani bangun, ia
memohon dengan ketakutan, “Mohon ampun, Toaya, mata
hamba lamur sehingga tidak kenal kegagahan Toaya, lain kali
pasti tidak berani lagi.”
“Tidak kubunuhmu, boleh lekas bangun!” kata Bun-hiong.
Tentu saja orang itu kegirangan, cepat ia menyembah dan
mengucapkan terima kasih atas pengampunan Bun-hiong, lalu
merangkak bangun.
Bun-hiong menunjuk mayat orang pertama tadi, katanya,
“Lemparkan dia ke dalam hutan sana.”
Dengan sendirinya orang itu tidak berani membangkang,
cepat ia mengangkat jenazah kawannya dan diusung ke dalam
hutan.
Sambil menuntun kudanya Bun-hiong ikut masuk ke dalam
hutan.
Melihat orang mengikutinya, lelaki itu sangat takut, baru
beberapa langkah ia lantas berhenti dan bertanya, “Dilempar
... dilempar ke mana?”
“Terserah, di mana pun boleh,” ucap Bun-hiong. “Asalkan

agak jauh dari jalan umum, supaya baunya tidak terendus
orang lalu.”
Orang itu berjalan pula beberapa langkah, lalu menaruh mayat
kawannya di bawah pohon, katanya dengan tergegap, “Biarlah
kutaruh, di ... di sini saja, be ... besok akan kudatang lagi
dengan ... dengan membawa cangkul untuk ... untuk menggali
liang kubur baginya.”
“Baiklah,” kata Bun-hiong. “Eh, siapa namamu, hah?”
“Hamba bernama Kiau Si,” jawab orang itu dengan hormat.
Bun-hiong menyodorkan tali kendali kudanya dan berkata,
“Bawakan kudaku!”
Orang itu merasa bingung dan sangsi, dengan gelagapan ia
tanya, “Maksud ... maksud Toaya hendak ....”
“Bertamu ke sarang kalian di atas gunung,” tukas Bun-hiong
dengan tertawa.
Lelaki itu terperanjat, “Hahh, masa Toaya bermaksud
mengubrak-abrik Thian-eng-ceh (sarang elang langit) kami?”
“Tidak pasti,” ujar Bun-hiong dengan tersenyum. “Asalkan
Cecu kalian cukup ramah tamah kepadaku, dengan sendirinya
takkan kuganggu. Nah, ayolah berangkat!”
Orang itu tidak berani membantah, terpaksa ia terima tali
kendali kuda dan menuntunnya menuju ke atas gunung.
Bun-hiong ikut dari belakang sambil memandang kian kemari,
pemandangan pegunungan ini ternyata cukup indah.
“Apakah jauh?” tanyanya kemudian. “Makan waktu berapa

lama?”
“Ah, tidak jauh, tidak sampai setengah jam akan tiba di atas,”
jawab orang itu.
“Kecuali Jik-hoat-kui Pit Tiang-siu, apakah masih ada tokoh
lain yang menonjol di sarang kalian?” tanya Bun-hiong.
“Masih ada lagi istri Cecu kami, namanya Hoa Sam-nio
berjuluk Oh-bi-kui (mawar hitam) dan Jicecu (wakil pemimpin)
Tok-pi-kau (kera tangan satu) Kiong Tay-goan.”
“Apakah kalian sering melakukan pembegalan?” tanya Bunhiong
pula.
“O, tidak,” cepat orang itu menjawab, “hanya pada waktu
kekurangan perbekalan saja barulah kami turun dari gunung
untuk minta bantuan kepada penduduk di sekitar sini, pula
kami selama ini tidak pernah membunuh orang.”
“Hm, omong kosong,” jengek Bun-hiong dengan tertawa.
“Betul, hamba tidak bohong,” orang itu berusaha meyakinkan
Bun-hiong. “Jika kaum bandit umumnya suka bertindak kejam,
Thian-eng-ceh kami justru tergolong penyamun yang
memerhatikan perikemanusiaan. Kami tidak main bunuh, tidak
suka membakar rumah, sebaliknya kami malah sering
menolong orang miskin.”
“Haha, kaum bandit suka menolong orang miskin? Wah,
sungguh berita besar,” ucap Bun-hiong dengan tertawa ejek.
“Tapi ... tapi memang begitulah,” orang itu bertutur lagi,
“seperti hamba, bulan yang lalu pernah kubantu seorang
nenek sengsara dengan 20 tahil perak dan ....”

“Ah, sudahlah, kalau sudah kukatakan takkan kubunuhmu
tentu kutepati janjiku, tidak perlu mengoceh macam-macam
urusan untuk minta belas kasihanku,” kata Bun-hiong.
Orang itu serupa kena ditampar mukanya, ia tidak berani
nyanyap lagi.
Dengan menuntun kuda ia terus mendaki ke atas gunung,
tidak lama kemudian sampailah di kaki sebuah puncak, ia
tuding ke atas puncak dan berkata, “Itu, di sana letak Thianeng-
ceh kami.”
“Oo, terus saja ke atas,” kata Bun-hiong.
Orang itu mengiakan, lalu mendahului menuju ke atas puncak
melalui sebuah jalan tanjakan.
Jalan ini lebarnya cuma empat-lima kaki, satu meter lebih,
melingkar dan berbelok menjulur ke atas puncak. Pepohonan
yang berbaris di kedua tepi jalan serupa pagar sehingga
menambah keindahan pemandangan.
Belum seberapa jauh, mendadak lelaki itu menoleh dan
bertanya, “Mohon tanya, siapakah nama Toaya yang mulai?”
“Untuk apa kau tanya namaku?” jawab Bun-hiong kurang
senang.
“Maklumlah, bilamana naik lagi ke atas harus melalui belasan
pos penjagaan,” tutu orang itu, “Kalau kita tidak
memberitahukan nama, sebelum tiba di tempat penjagaan
akan segera dihujani anak panah.”
“Aku tidak takut dipanah,” ujar Bun-hiong dengan tertawa.
“Tentu saja Toaya tidak takut, tapi hamba bisa mati konyol,”

ujar orang itu sambil menyengir. “Bilamana mereka melihat
hamba membawa kemari orang yang tidak dikenal, tentu
hamba akan dipanah mati sekaligus.”
“Baiklah,” kota Bun-hiong dengan tertawa. “Bila ditanya
mereka nanti, katakan saja Hou-hiap Pang Bun-hiong datang
bertamu ke sini.”
Orang itu tampak terperanjat, serunya, “Hah, jadi Anda ini
Hou-hiap yang termasyhur di dunia persilatan itu?”
Bun-hiong manggut-manggut.
Orang itu menarik napas dingin, katanya, “Pantas Anda
sedemikian lihai, kiranya engkau adalah Hou-hiap Pang Bunhiong
yang termasyhur.”
Belum lenyap suaranya, sekonyong-konyong dari balik hutan
sana ada orang berteriak menegur, “Hai, Kiau Si, siapa itu
yang datang bersamamu?”
Hanya terdengar suaranya dan tidak kelihatan orang yang
bicara, nyata penegur itu bersembunyi di suatu tempat yang
tertutup rapat.
Cepat Kiau Si berhenti melangkah dan menjawab, “O, yang
kubawa ini ialah Hou-hiap Pang Bun-hiong, beliau ingin
bertemu dengan Cecu kita.”
Pengintai yang tidak kelihatan itu bertanya pula, “Apa maksud
kedatangannya?”
“Tidak ... tidak bermaksud jahat,” jawab Kiau Si.
“Baiklah, boleh naik ke atas,” seru pengintai tersembunyi itu.

Setelah mendapat izin barulah Kiau Si berani beranjak lagi ke
atas.
Selanjutnya masih melalui lagi lima pos penjaga yang tidak
kelihatan, sesudah ditegur lagi baru boleh melanjutkan
perjalanan, setelah melintasi pinggang puncak gunung lantas
tidak ada pos jaga lagi.
“Tadi kau bilang sepanjang jalan ada belasan pos penjagaan,
kenapa hanya enam pos saja yang menegurmu?” tanya Bunhiong.
“Ya, ini menandakan Cecu kami sudah menerima laporan,
maka telah memberi perintah agar engkau diizinkan naik ke
atas, sebab itulah pos jaga lain tidak perlu memeriksa dan
bertanya lagi.”
“O, kiranya begitu.”
Dan setelah melingkar lagi beberapa kali, sampailah mereka di
puncak gunung.
Puncak gunung ini sangat luas, sepanjang mata memandang
terlihat di luar sarang bandit itu dilingkari pagar kayu yang
tinggi, setiap kayu pagar itu panjang dan besar dan ujung atas
pagar kayu itu dibuat runcing.
Bangunan pintu gerbangnya juga kelihatan kukuh dan megah,
bentuknya serupa loteng benteng. Kedua sayap pintunya
terbuat dari besi dan di atas pintu bergantung sebuah pigura
besar dengan tulisan “Thian-eng-ceh”.
Karena pagar kayu itu sangat tinggi sehingga tidak kelihatan
keadaan di balik sarang bandit itu.
Meski keadaan sarang bandit itu tidak terlihat, namun

beberapa gembongnya menurut perkiraan Bun-hiong sudah
muncul.
Mereka terdiri dari dua lelaki dan seorang perempuan,
ketiganya berdiri berjajar di atas panggung gerbang.
Lelaki yang berdiri di tengah itu berusia mendekati 50-an,
rambutnya berwarna merah kekuning-kuningan, mukanya
jelek dan bengis serupa setan, jelas dia inilah kepala
banditnya yang bernama Pit Tiang-siu dan berjuluk Jik-hoatkui
alias setan berambut pirang.
Perempuan yang berdiri di sebelah kanannya berusia 30 tahun
lebih, warna kulitnya kehitam-hitaman, kelihatan cantik manis,
agaknya dia inilah istri Pit Tiang-siu yang bernama Hoa Samnio
dan berjuluk Oh-bi-kui atau si mawar hitam.
Dan yang berdiri di sisi kiri adalah seorang lelaki berumur 40-
an, mukanya kurus tirus, kedua matanya kecil, lengan baju kiri
tampak kosong dan berkibar tertiup angin, jelas lengan kirinya
buntung, tidak perlu dijelaskan lagi dia ini pasti wakil Pit
Tiang-siu yang bernama Kiong Tay-goan dan berjuluk Tok-pikau
alias si kera berlengan satu.
Mereka bertiga berdiri berjajar di atas panggung pintu
gerbang, serupa panglima perang yang siap menghadapi
pertempuran.
Kiau Si terus mendekati panggung gerbang, lalu bertekuk lutut
dan menyembah, serunya, “Lapor Cecu, inilah Hou-hiap Pang
Bun-hiong, dia ... dia ....”
Sama sekali Jik-hoat-kui Pit Tiang-siu tidak menghiraukan Kiau
Si, kedua matanya yang besar itu menatap Pang Bun-hiong
dengan mencorong, tercetus suaranya yang aneh serupa
serigala menyalak, “Apakah benar Anda ini Hou-hiap Pang

Bun-hiong?”
Suaranya melengking tajam dan menusuk telinga, sedikit pun
tidak berbau suara manusia.
Bun-hiong mengepal kedua tangan sebagai tanda hormat,
jawabnya dengan tersenyum, “Aku ini memang Pang Bunhiong
adanya!”
Dengan sikap pongah Jik-hoat-kui Pit Tiang-siu bertanya,
“Lantas ada keperluan apa kau cari diriku?”
“Ah, tiada lain, ingin kuminta maaf kepada Pit-cecu,” jawab
Bun-hiong dengan tersenyum.
“Minta maaf?” Pit Tiang-siu terkekeh. “Hehe, memangnya apa
artinya?”
“Begini,” tutur Bun-hiong. “Tadi waktu kulalu di kaki gunung,
mendadak dua anak buah kalian muncul hendak membegalku,
karena tidak kuketahui mereka adalah anak buah Pit-cecu,
seranganku agak keras sedikit sehingga salah seorang di
antaranya telanjur kupukul mati. Hatiku merasa tidak
tenteram, maka kudatang minta maaf ke sini.”
Jik-hoat-kui Pit Tiang-siu tertawa lebar sehingga kelihatan
kedua baris giginya yang serupa taring, suara tertawanya juga
melengking seram, katanya, “Hehe, kukira engkau tidak perlu
sungkan, ada keperluan apa hendaknya bicara terus terang
saja.”
“Sama sekali tidak ada maksudku hendak bermusuhan dengan
Pit-cecu,” kata Bun-hiong pula. “Apabila Pit-cecu dapat
menerima permintaan maafku, maka bolehlah kita bersahabat,
hanya begitu saja dan tidak ada lain.”

Tentu saja Jik-hoat-kui tidak percaya, ia tertawa dingin,
“Hehe, baiklah, kuterima permintaan maafmu, sekarang
bolehlah kau turun ke bawah gunung.”
“Eh, masa Pit-cecu memandang rendah diriku sedemikian
rupa?” tanya Bun-hiong dengan tertawa.
Tersembul nafsu membunuh pada wajah Jik-hoat-kui,
jengeknya, “Hm, memangnya apa kehendakmu?”
“Bilamana Pit-cecu benar menganggap aku ini seorang
sahabat, seharusnya kan menyilakan aku mampir dan duduk
sebentar di tempatmu ini,” ujar Bun-hiong.
“Hahaha!” mendadak Jik-hoat-kui terbahak. “Bicara kian
kemari sekian lamanya, kiranya kedatanganmu memang
bukan untuk minta maaf segala.”
“Ai, rupanya Pit-cecu telah salah paham,” kata Bun-hiong.
“Kan sudah kukatakan, sama sekali tiada maksudku hendak
bermusuhan dengan kalian, asal saja kalian tidak
memandangku sebagai musuh, maka kujamin pasti takkan
mengganggu sebatang rumput pun di tempat kalian ini.”
“Jika begitu, untuk apa kau minta masuk ke tempatku?” tanya
Jik-hoat-kui.
“Ada dua maksud tujuanku,” jawab Bun-hiong. “Pertama,
seperti sudah kukatakan, ingin kuminta maaf kepada Pit-cecu.
Kedua, ingin kuganggu beberapa cawan arak kepada Pit-cecu.
Bicara terus terang, sudah seharian aku menempuh perjalanan
dan sama sekali belum makan apa pun, saat ini perutku lagi
kelaparan.”
“Dan tidak ada maksud lain?” Jik-hoat-kui menegas sambil
menatap tajam.

“Ya, sama sekali tidak ada,” jawab Bun-hiong.
“Kalau dusta!” Jik-hoat-kui menegas.
“Jika begitu, anggaplah diriku ini manusia rendah yang tidak
dapat dipercaya,” ucap Bun-hiong.
Jik-hoat-kui kelihatan masih ragu, ia berpaling dan tanya sang
istri, si mawar hitam Hoa Sam-nio, “Bagaimana istriku, biarkan
dia masuk atau tidak?”
Oh-bi-kui Hoa Sam-nio tertawa mengikik, jawabnya, “Hihi,
sudah tentu, kan semua orang di empat penjuru lautan ini
adalah saudara, jika Pang-siauhiap sudah menyatakan tidak
ada permusuhan dengan kita, sepantasnya kita memenuhi
kewajiban sebagai tuan rumah.”
Suaranya nyaring merdu dan enak didengar, penuh daya
pikat.
Agaknya Jik-hoat-kui Pit Tiang-siu selalu menuruti setiap
perkataan sang istri, segera ia berseru, “Hai, anak-anak, lekas
buka pintu dan menyambut tamu!”
Habis berkata mereka terus turun dari panggung.
Dengan gembira Bun-hiong lantas melangkah ke dalam tanpa
gentar sedikit pun.
Jik-hoat-kui menyongsongnya dan mengucapkan “mari”, lalu
membalik tubuh dan mendahului menuju ke markasnya.
Kompleks perumahan sarang bandit ini seluruhnya meliputi
50-60 buah rumah, di bagian tengah ada tanah lapang yang
luas, lebih ke depan lagi adalah sebuah bangunan besar

serupa istana.
Sesudah Bun-hiong ikut mereka melintasi lapangan luas itu
barulah terlihat jelas gedung besar itu adalah ruang pendopo
markas besar sarang bandit ini.
Jik-hoat-kui bertiga menyilakan Bun-hiong masuk ke ruang
pendopo, lalu saling memberi hormat dan ambil tempat
duduk, segera seorang anak buah menyuguhkan air teh.
Bun-hiong bersikap gagah berani, tanpa gentar kalau-kalau di
dalam teh diberi racun, sekali minum ia habiskan isi cangkir.
Oh-bi-kui Hoa Sam-nio tertawa mengikik, katanya, “Hihi,
tabah benar Pang-siauhiap ini, engkau tidak takut di dalam teh
ditaruhi racun?”
“Hahaha, takut apa?” seru Bun-hiong dengan terbahak.
“Kutahu kalian bukanlah orang rendah yang suka meracun
orang, kenapa kutakut?
“Bagus, melulu berdasarkan ucapan Pang-siauhiap ini saja
sudah pantas kami anggap dirimu sebagai sahabat,” kata Ohbi-
kui dengan tertawa. Lalu ia berpaling kepada Jik-hoat-kui
dan berkata pula, “Eh, suamiku, lekas beri perintah, suruh
menyiapkan satu meja perjamuan, kita harus memberi
selamat datang kepada Pang-siauhiap.”
Jik-hoat-kui Pit Tiang-siu mengiakan, segera ia berteriak,
“Mana orangnya?!”
Serentak seorang anak buahnya berlari masuk dan memberi
hormat, “Hamba siap!”
“Nah, lekas sediakan satu meja perjamuan yang paling
lengkap,” seru Jik-hoat-kui alias si setan rambut merah.

Anak buahnya mengiakan dan cepat mengundurkan diri.
“Ai, Pit-cecu terlampau menghormati diriku,” kata Bun-hiong
dengan tertawa. “Sebenarnya aku cuma ingin mengisi perut
sekadarnya saja, makan seadanya sudah cukup.”
“Mana boleh,” kata Jik-hoat-kui. “Pang-siauhiap adalah tokoh
dunia persilatan yang termasyhur, hari ini engkau sudi
berkunjung ke tempat kami, inilah suatu kehormatan besar
bagi Thian-eng-ceh kami, mana boleh kami sambut secara
sembarangan?”
Pang Bun-hiong tertawa, lalu ia berpaling dan memberi
hormat kepada Kiong Tay-goan, katanya, “Dan yang ini
tentunya Jicecu Kiong-tayhiap adanya?”
Tok-pi-kau Kiong Tay-goan, si kera berlengan satu, membalas
hormat, ucapnya dengan suaranya yang aneh, “Terima kasih,
selanjutnya masih berharap Pang-siauhiap suka sering
memberi petunjuk.”
Selagi bicara, kedua matanya terus berkedip-kedip, lagaknya
serupa benar seekor kera.
Bun-hiong lantas memberi hormat pula kepada Jik-hoat-kui
dan berkata, “Secara sembrono tadi kusalah pukul mati
seorang saudara kira, untuk itu kuharap Pit-cecu suka
memaafkan.”
“Ah, tidak menjadi soal,” jawab Jik-hoat-kui. “Mereka sendiri
yang buta melek, Pang-siauhiap yang termasyhur juga tidak
dikenalnya, pantas juga dia mampus di tangan Pang-siauhiap.”
Ia berhenti sejenak, lalu bertanya, “Eh, hari ini Pang-siauhiap
lalu di pegunungan kami ini, entah Pang-siauhiap hendak

menuju ke mana?”
“O, karena iseng, maka ingin kupesiar ke daerah selatan,
tempat tujuan tertentu sih tidak ada,” jawab Bun-hiong.
“Wah, suasana dunia persilatan di daerah selatan beberapa
tahun terakhir ini agak kurang tenang,” ujar Jik-hoat-kui.
“O, kenapa bisa begitu?” tanya Bun-hiong.
“Soalnya sejak Eng-jiau-ong Oh Kiam-lam dibunuh orang di
luar kota Tiang-an, beberapa saudara angkatnya lantas saling
bertengkar sendiri sebab masing-masing tidak mau tunduk di
bawah perintah yang lain, akhirnya terpecah belah dan setiap
orang menduduki suatu pangkalan sendiri-sendiri, lebih dari
itu malahan mereka tetap cekcok saja mengenai daerah
kekuasaannya, bahkan sering terjadi pertengkaran dengan
kekerasan.”
“Oo, masa sampai terjadi sejauh itu?” ujar Bun-hiong.
“Memang betul,” bata Jik-hoat-kui. “Jarak tempat kami ini
terlebih jauh daripada pangkalan mereka, maka selama ini
tidak sampai terlibat dalam persengketaan mereka. Namun
belum lama ini Ang-liu-soh Ban Sam-hian telah mengutus
orangnya ke sini dan minta kami menggabungkan diri dan
tunduk di bawah perintahnya.”
“Lantas bagaimana, Pit-cecu menerima permintaannya?” tanya
Bun-hiong.
“Ai, apa boleh buat, umpama menolak juga tidak bisa,” kata
Jik-hoat-kui dengan menghela napas. “Kekuatan kami
seluruhnya cuma seratus jiwa letih, betapa pun bukan
tandingan mereka, bila kami tolak, mungkin segera akan
tertimpa malapetaka.”

“Tadinya tempat kalian ini berada di bawah perintah siapa!”
tanya Bun-hiong pula.
“Sebelum Eng-jiau-ong Oh Kiam-lam terbunuh, setiap tahun
kami selalu memberi upeti lima ribu tahil perak kepadanya
sehingga praktiknya kami berada di bawah perlindungannya,”
tutur Jik-hoat-kui. “Sesudah dia mati, kami mengira sudah
bebas, siapa tahu Ang-liu-soh Ban Sam-hian toh tidak mau
melepaskan diri kami.”
“Kabarnya pada waktu hidupnya Oh Kiam-lam membawahi 72
sarang berandal daerah selatan, sekarang ke-72 sarang
berandal itu telah dibagi-bagi, di bawah pengaruh Ang-liu-soh
Ban Sam-hian bertujuh.”
“Betul, memang begitu. Konon kekuatan Ban Sam-hian
terhitung paling besar, seorang diri menguasai 17 sarang, jika
ditambah lagi Thian-eng-ceh kami akan jadilah 18 pangkalan.”
“Dan bagaimana dengan saudara-saudara angkatnya yang
lain?” tanya Bun-hiong.
“Cian-in-jiu Loh Bok-kong menguasai 13 sarang, In-tiong-yan
Pokyang Thian memerintah sepuluh sarang, Kim-ci-pa Song
Goan-po juga sepuluh, Hiat-pit-siucay Hui Giok-koan cuma
menguasai sembilan tempat, sedangkan Tok-gan-bu-siang
Ong Siang menduduki tujuh tempat dan si tembong Seng Ithong
cuma mendapatkan lima.”
“In-tiong-yan Pokyang Thian sudah terbunuh oleh Hiat-pitsiucay
Hui Giok-koan, selanjutnya kesepuluh pangkalan yang
dikuasainya mungkin akan jatuh ke tangan Hui Giok-koan.”
Jik-hoat-kui terkejut, “Hah, kau bilang Pokyang Thian telah
dibunuh oleh Hui Giok-koan?”

“Betul,” Bun-hiong mengangguk.
“Aneh,” ucap Jik-hoat-kui dengan heran, “mengapa tidak
kudengar berita ini?”
“Hal ini baru terjadi belum lama berselang, kusaksikan sendiri
dengan Liong-hiap Liong It-hiong,” tutur Bun-hiong.
“Sesungguhnya apa yang terjadi? Mengapa saling bunuh di
antara mereka?” tanya Jik-hoat-kui.
“Lantaran berebut sebuah kotak hitam,” tutur Bun-hiong.
“Apakah Pit-cecu tidak pernah dengar peristiwa mengenai
kotak hitam itu?”
“Tidak pernah, kotak hitam macam apa?” tanya Jik-hoat-kui.
Selagi Bun-hiong hendak menjelaskan, tiba-tiba datang dua
anak buah memberitahukan bahwa meja perjamuan sudah
siap.
Segera Jik-hoat-kui berdiri dan berkata, “Mari kita makanminum
sambil melanjutkan pembicaraan.”
Maka mereka berempat lantas meninggalkan ruang pendopo
dan menuju ke ruang makan yang terpajang dengan indah,
terlihat satu meja penuh hidangan sudah siap, di samping
berdiri dua pelayan perempuan sehingga suasana serupa di
rumah orang hartawan.
Kini Jik-hoat-kui sudah tidak punya rasa permusuhan lagi
terhadap Pang Bun-hiong, dengan ramah ia menyilakan Bunhiong
duduk di tempat paling terhormat. Di bawah layanan
kedua gadis pelayan mereka berempat lantas makan minum
sambil mengobrol.

Setelah minum dua tiga cawan arak, Oh-bi-kui Hoa Sam-nio
membuka pembicaraan, “Pang-siauhiap, tadi kau bilang
mereka saling berebut kotak hitam, sesungguhnya barang
macam apakah kotak hitam itu?”
“Yaitu sebuah peti hitam yang terbuat dengan sangat bagus,
apa isi peti itu tidak kuketahui,” tutur Bun-hiong.
“Persoalannya dimulai diri seorang yang bernama Si Hin ....”
Begitulah lantas diuraikannya secara ringkas sejak Liong Ithiong
mendapat pesan dari Si Hin yang sekarat itu, cuma
urusan yang menyangkut Oh Beng-ay tidak diceritakannya,
sebab tujuannya menyebarkan isu, dengan sendirinya kejadian
yang sebenarnya tidak diucapkannya.
Jik-hoat-kui terheran-heran setelah mendengar kisah itu,
katanya, “Wah, jika begitu, isi peti hitam itu pasti benda
mestika yang sangat berharga, kalau tidak masakah sampai
menimbulkan incaran orang sebanyak itu?”
“Ya, memang begitulah,” kata Bun-hiong.
“Belum lama berselang memang kudengar juga bahwa akhirakhir
ini di daerah utara muncul seorang tokoh misterius,
katanya hanya dalam waktu beberapa bulan saja tokoh
misterius ini sudah menguasai dunia Lok-lim (rimba hijau,
istilah lain bagi kaum bandit) dan jadilah dia pemimpin besar
36 sarang bandit di lima provinsi daerah utara. Cuma belum
diketahui siapa tokoh misterius itu, masa bisa begitu lihai?”
“Betul, sekarang dia bercokol di Cap-pek-pan-nia,” tukas Bunhiong.
“Tampaknya dalam waktu tidak lama lagi semua orang
akan tahu siapa gerangannya. Seorang gembong dunia Loklim
yang begitu hebat tidak ada alasan menyembunyikan she
dan namanya.”

“Ya, betul,” Jik-hoat-kui mengangguk.
“Apakah kotak hitam itu milik tokoh misterius itu?” tanya si
mawar hitam Hoa Sam-nio.
“Kukira bukan, jika miliknya, mustahil sampai jatuh di dunia
Kangouw?” ujar Bun-hiong. “Maka menurut pendapatku, kotak
itu hanya barang yang dikehendakinya, atau dengan lain
perkataan, kotak itu dirampas oleh Si Hin dari tangan
seseorang dan hendak diantar ke Cap-pek-pan-nia, namun di
tengah jalan ia kepergok dan kotak itu hendak dirampas
orang, dia tidak mampu melawannya dan terluka parah,
terpaksa ia serahkan peti itu kepada Liong It-hiong dan minta
dia mengantar peti itu ke Cap-pek-pan-nia.”
“Dan sekarang apakah Liong-hiap benar-benar hendak
mengantarkan peti itu ke Cap-pek-pan-nia?” tanya Jik-hoatkui.
“Betul,” jawab Bun-hiong. “Cuma sekarang kotak hitam itu
telah jatuh ke tangan Hiat-pit-siucay sehingga dia gagal
memenuhi permintaan Si Hin.”
“Ah, kupaham sekarang,” ucap Jik-hoat-kui tiba-tiba dengan
tertawa.
“O, Pit-cecu paham apa?” tanya Bun-hiong dengan melengak.
“Kedatangan Pang-siauhiap ini bermaksud membantu Lionghiap
menemukan kembali kotak hitam itu, begitu bukan?”
tanya Jik-hoat-kui dengan tertawa.
Bun-hiong pikir umpama menyangkal juga takkan dipercaya,
maka ia mengangguk dan berkata, “Betul, apabila Pit-cecu
tahu di mana beradanya Hiat-pit-siucay, mohon suka

memberitahukan padaku.”
“Konon sembilan pangkalan di daerah Anhui dan Ohlam kini
telah dikuasai oleh Hui Giok-koan, jika Pang-siauhiap hendak
mencarinya boleh ke tempat-tempat itu, tentu akan
menemukan dia.”
“Dia bercokol di pegunungan mana?” tanya Bun-hiong.
“Aku pun tidak terlalu jelas, sangat mungkin dia berdiam di
Hek-liong-ceh, sebab di antara kesembilan pangkalan yang
didudukinya, Hek-liong-ceh terhitung yang terbesar.”
Bun-hiong mengangguk, “Bagus, jika begitu segera kupergi ke
Hek-liong-ceh, banyak terima kasih atas petunjuk Pit-cecu.”
“Ah, soal kecil,” ujar Jik-hoat-kui, “Cuma kuharap jangan
Pang-siauhiap bilang akulah yang memberi info ini, sebab aku
tidak berani berurusan dengan dia.”
“Tidak, Pit-cecu jangan khawatir,” kata Bun-hiong tertawa.
Ebook oleh : Dewi KZ
Scan book oleh : BBSC
Jilid 10
Jik-hoat-kui menggeleng kepala dan menghela napas,
katanya, “Sungguh tidak nyana begitu Oh-bengcu mati,
beberapa saudara angkatnya lantas saling berebut kekuasaan
sehingga tercerai-berai begini, sungguh menyedihkan ....”
“Apakah Pit-cecu tahu Oh Kiam-lam mati di tangan siapa?”
tanya Bun-hiong.
“Tidak tahu,” jawab Jik-hoat-kui. “Pernah juga kupikir mungkin

perbuatan Ang-liu-soh Ban Sam-hian bertujuh, tapi setelah
kurenungkan lagi rasanya tidak mungkin, sebab mereka
bertujuh selama ini cuma akur di luar dan retak di dalam, tidak
nanti mereka bergabung untuk membereskan Oh Kiam-lam.
Pula tidak mungkin dilakukan oleh satu-dua orang di antara
mereka, sebab Kungfu Oh Kiam-lam mahatinggi, kalau cuma
satu-dua orang saja tidak mungkin dapat membunuhnya.”
“Mungkinkah perbuatan tokoh misterius dari Cap-pek-pan-nia
itu?” tanya Bun-hiong.
Jik-hoat-kui mengangguk, “Mungkin saja, cuma jika dia sudah
membunuh Oh Kiam-lam, kenapa dia tidak menggantikan
kedudukannya, tapi justru lari ke daerah utara untuk mencari
pengaruh di sana?”
“Ya, ini memang janggal,” kata Bun-hiong. Ia angkat cawan
bersama mereka bertiga, habis minum ia menyambung pula,
“Apakah Pit-cecu tahu Oh Kiam-lam mempunyai seorang adik
perempuan, namanya Oh Beng-ay?”
“Tahu,” jawab Jik-hoat-kui. “Beberapa tahun yang lalu ketika
kuantar upeti ke Kiu-liong-san pernah melihatnya sekali, waktu
itu dia masih anak dara kecil, entah bagaimana keadaannya
sekarang!”
“Pernahkah dia belajar ilmu silat!” tanya Bun-hiong.
“Wah, hal ini aku kurang jelas.” jawab Jik-hoat-kui.
Bun-hiong menghela napas, “Dia sangat kasihan, konon
setelah kakaknya mati, Ban Sam-hian dan lain-lain tidak mau
menerimanya dan mengusirnya pergi, karena hidupnya
sengsara, terpaksa ia terjerumus ke dunia pelacuran.”
“Masa begitu?” ucap Jik-hoat-kui dengan heran. “Wah, Ban

Sam-hias dan lain-lain juga keterlaluan, apa sulitnya memberi
makan kepada seorang nona, masa tega mengusirnya
segala?”
“Memang begitulah kejadiannya, dari sini pun terbukti bahwa
Ban Sam-hian dan sekomplotannya itu adalah makhluk
berdarah dingin.”
“Sekarang nona Oh itu menjadi pelacur di mana?” tanya Jikhoat-
kui.
“Semula tinggal di Lau-jun-ih kota Kim-tan, kemudian pindah
ke Boan-wan-jun di Kim-leng, cuma beberapa-hari yang lalu
dia telah diculik oleh Kiu-bwe-hou Kongsun Siau-hui.”
“Hah, apa katamu?” seru Jik-hoat-kui kaget. “Kau bilang dia
diculik Kiu-bwe-hou Kongsun Siau-hui?”
“Ya, kejadian itu kusaksikan dengan mata kepalaku sendiri,
hari itu kebetulan kupesiar juga ke Boan-wan-jun ....”
Begitulah ia lantas menguraikan cerita yang sengaja
dikarangnya itu.
Jik-hoat-kui menghela napas gegetun, ucapnya, “Ai, jelas nona
Oh itu pasti akan celaka. Sayang, nona secantik itu harus
jatuh ke dalam cengkeraman iblis cabul itu, sungguh tragis.”
“Konon antara Kiu-bwe-hou Kongsun Siau-hui dan Oh Kiamlam
ada permusuhan yang sangat mendalam, apa betul?”
tanya Bun-hiong.
“Betul,” jawab Jik-hoat-kui. “Belasan tahun yang lalu Kongsun
Siau-hui sebenarnya gembong dunia penjahat di daerah
selatan, kemudian Oh Kiam-lam semakin menonjol dan
keduanya bersaing, mereka telah bertarung sengit selama tiga

hari tiga malam, akhirnya Oh Kiam-lam dapat
mengalahkannya dan permusuhan mereka dengan sendirinya
tambah dalam.”
Baru sekarang Bun-hiong tahu seluk-beluk permusuhan Oh
Kiam-lam dengan Kongsun Siau-hui, katanya, “Jika begitu,
Kongsun Siau-hui juga salah, kalau dia mau menuntut balas
seharusnya sasarannya ialah Oh Kiam-lam, mana boleh
melampiaskan dendamnya terhadap adik perempuan musuh
yang sudah mati itu.”
“Memang betul juga,” tukas Jik-hoat-kui. “Tindakan ini jelas
kurang kesatria.”
“Sayang aku bukan tandingan Kongsun Siau-hui, kalau tidak
pasti akan kutolong nona Oh dari cengkeraman iblis itu,” ujar
Bun-hiong.
“Apakah Pang-siauhiap tahu tempat kediaman Kiu-bwe-hou?”
tanya Jik-hoat-kui.
“Tahu,” tutur Bun-hiong, “pada waktu nona Oh diculik, diamdiam
pernah kubuntuti dia.”
“Oo, di mana tempat tinggalnya?” tanya Jik-hoat-kui pula.
“Wah, maaf, untuk ini tidak dapat kuberi tahukan,” jawab
Bun-hiong dengan menyesal.
“Memangnya kenapa? Jik-hoat-kui menegas dengan
melengak.
“Sebab aku tidak ingin merecoki dia,” kata Bun-hiong.
“Hanya menyebut tempat tinggalnya kan tidak berarti
merecoki dia?” ujar Jik-hoat-kui.

“Tidak, tidak berani kukatakan,” kata Bun-hiong pula. “Sebab
setelah kuberi tahukan kepada Pit-cecu, bukan mustahil
engkau akan menyiarkan juga berita ini, tatkala mana tentu
ada orang yang akan coba-coba menyelidiki sarang Kiu-bwehou,
dan bilamana diusutnya lebih lanjut, akhirnya tentu akan
ketahuan akulah yang menyiarkan tempat kediamannya itu.
Maka lebih selamat tidak kukatakan saja.”
Tiba-tiba Oh-bi-kui alias si mawar hitam tertawa mengikik,
“Hihi, mengapa Pang-siauhiap menjadi begini takut kepada
Kiu-bwe-hou Kongsun Siau-hui?”
“Semua orang tahu dia memang tokoh yang disegani, dan
Cayhe sendiri tahu bukan tandingannya, dengan sendirinya
kujeri padanya,” Bun-hiong dengan menyengir.
“Padahal menurut pendapatku, seharusnya Pang-siauhiap
harus membela keadilan dari berani menyelamatkan nona Oh
dari cengkeraman si rase ekor sembilan itu,” ujar si mawar
hitam dengan tertawa.
Bun-hiong menggeleng, jawabnya, “Tidak, tidak mau, dia
bukan pacarku, juga bukan sanak kadangku, buat apa aku
mencari penyakit sendiri?”
Mendadak Tok-pi-kau Kiong Tay-goan, si kera berlengan satu
berseru, “Kuharap Pang-siauhiap suka memberitahukan
tempat tinggal Kiu-bwe-hou, kami berjanji takkan menyiarkan
bahwa berita ini berasal dari Pang-siauhiap.”
Tapi Bun-hiong sengaja menggeleng-geleng kepala lagi,
katanya, “Tidak, sukar untuk menerima jaminan demikian.”
“Haha, jadi Pang-siauhiap tidak percaya kepada kami bertiga?”
tanya Tok-pi-kau Kiong Tay-goan dengan tertawa.

Tiba-tiba Bun-hiong balas tanya, “Apakah Kiong-jicecu sendiri
bermaksud menolong nona Oh?”
Si kera berlengan satu Kiong Tay-goan mengangguk, katanya,
“Betul, sebab Oh Kiam-lam pernah menyelamatkan jiwaku,
maka ingin kupergi menolong adik perempuannya untuk
membalas budi yang kuutang padanya.”
“Tidak, tidak bisa,” jawab Bun-hiong. “Aku tidak boleh
membikin susah Kiong-jicecu meski engkau ingin mengantar
nyawa.”
“Betul juga,” sambung Jik-hoat-kui mendadak. “Saudaraku
yang baik, kukira urusan menolong nona Oh mutlak tidak
dapat dilaksanakan hanya dengan kemampuanmu. Pula nona
Oh sudah sekian lama diculik oleh Kiu-bwe-hou, sangat
mungkin dia sudah dibunuh oleh rase ekor sembilan yang
kejam itu.”
“Untuk ini kukira belum tentu,” tukas Bun-hiong. “Kiu-bwe-hou
adalah iblis penggemar perempuan yang terkenal, kuyakin dia
takkan begitu saja membunuh nona Oh. Cuma ucapan Pitcecu
juga betul, urusan ini mutlak tidak dapat dilaksanakan
oleh Kiong-jicecu seorang, maka lebih baik engkau jangan ikut
campur urusan ini.”
Mendadak Tok-pi-kau Kiong Tay-goan berteriak, “Mendingan
aku tidak tahu urusan ini, sekali sudah tahu, betapa pun
hatiku takkan tenteram jika tidak kuselamatkan nona Oh ....”
“Apakah Kiong-jicecu tahu nona Oh itu mempunyai sanak
famili?” tanya Bun-hiong.
“Mungkin saja dia mempunyai sanak famili, cuma aku sendiri
tidak tahu jelas,” jawab Kiong Tay-goan.

“Bila betul tentang diculiknya nona Oh oleh Kiu-bwe-hou,
menurut pendapat Kiong-jicecu, siapakah kiranya orang
pertama yang akan pergi menolongnya?” tanya Bun-hiong.
Kiong Tay-goan berpikir sejenak, katanya kemudian,
“Setahuku, yang berhubungan paling erat dengan nona Oh
adalah Cay-keh-hujin (si nyonya kawin lagi) Lau Sam-koh,
kalau dia mendengar berita diculiknya nona Oh, sangat
mungkin dia orang pertama yang ingin menolong nona Oh.”
“Ada hubungan apakah antara Cay-keh-hujin Lau Sam-koh
dengan nona Oh?” tanya Bun-hiong pula.
Si kera lengan satu menjawab. “Si nyonya yang suka kawincerai
itu adalah Suci (kakak perempuan seperguruan) Oh
Kiam-lam, konon ada hubungan erat antara sesama saudara
seperguruan mereka.”
Bun-hiong manggut-manggut, pikirnya, “Orang yang ingin
ditangkap Tui-beng-poan-koan apakah mungkin ialah Cay-kehhujin
Lau Sam-koh ini?”
Setelah dipikir lagi, ia merasa hal ini memang mungkin, segera
ia tanya lagi, “Apa Kiong-jicecu tahu di mana tempat tinggal
Cay-keh-hujin Lau Sam-koh?”
“Entah, aku tidak tahu,” jawab si kera lengan satu sambil
menggeleng. “Dia sering berganti suami sehingga sukar
diketahui sekarang dia tinggal di mana.”
“Eh, kalau Pang-siauhiap ingin bertemu dengan Cay-keh-hujin
Lau Sam-koh, rasanya dapat kuberi petunjuk suatu tempat,”
sela si mawar hitam Hoa Sam-nio tiba-tiba.
“Aha, bagus,” seru Bun-hiong girang. “Dia tinggal di mana

sekarang?”
Dengan tertawa si mawar hitam bertutur, “Dia berjuluk si
nyonya suka kawin, jadi entah sudah berapa kali dia telah
kawin-cerai. Setahuku, selama tiga tahun terakhir ini dia
sudah berganti suami tiga kali. Tahun yang lalu suaminya
adalah seorang tukang nujum bernama Thi-kau-siang-su Ih
Cek-tong, paling akhir kabarnya dia akan cerai dan menikah
lagi dengan Hoan-yang-tio-ong Siau It-ho, si kakek tukang
mancing di danau Hoan-yang-oh. Maka kuyakin bila engkau
pergi ke danau tersebut pasti dapat menemukan dia.”
Pang Bun-hiong sendiri sudah sering juga mendengar cerita
tentang si kakek tukang kail dari Hoan-yang-oh itu,
diketahuinya sebagai seorang tokoh kelas tinggi dunia
persilatan yang alim, maka cerita si mawar hitam bahwa kakek
alim itu mungkin akan mengawini Lau Sam-koh, tentu saja ia
heran dan ragu, tanyanya, “Apakah benar Siau It-ho akan
mengambil perempuan semacam Lau Sam-koh sebagai istri?”
Oh-bi-kui Hoa Sam-nio menjawab, “Jika dinilai dari pribadi
Siau It-ho dan cara hidupnya sehari-hari, dia memang tidak
mungkin menikahi Lau Sam-koh, namun manusia pada
umumnya tambah tua tambah linglung, bisa jadi kakek tukang
mancing itu, juga sedang keblinger dan bukan mustahil dia
benar-benar akan mengawini perempuan yang suka kawincerai
itu.”
“Baik,” kata Bun-hiong, “dari sini ke Hoan-yang-oh jaraknya
tidak terlalu jauh, biarlah segera kupergi ke sana untuk
mencarinya.”
Mereka terus makan-minum dan mengobrol lagi ke timur dan
ke barat.
Mendadak Jik-hoat-kui berkata dengan tertawa. “PangKANG
ZUSI website http://cerita-silat.co.cc/
siauhiap, sudah lama kudengar Kungfumu lain daripada yang
lain, apakah sudi memperlihatkan sejurus-dua agar
menambah pengalaman kami?”
Bun-hiong tahu apa yang diminta tuan rumah itu adalah
“peraturan” bagi seorang yang berani bertamu ke atas
gunung, jika dirinya tidak memperlihatkan satu-dua jurus dan
menaklukkan mereka dengan Kungfu sejati, akibatnya tentu
akan sulit baginya untuk meninggalkan gunung dengan begitu
saja.
Segera ia mengangguk, katanya dengan tertawa, “Baik, aku
menurut saja. Cuma apa yang kupahami hanya sedikit
kepandaian tak berarti dan mungkin tidak berharga untuk
dipertontonkan di depan orang banyak, untuk itu kuharap Pitcecu
suka memberi petunjuk.”
“Ah jangan rendah hati,” kata Jik-hoat-kui dengan tertawa.
“Sekarang hendak kuperlihatkan sedikit kepandaian tak
berarti, habis itu akan kumainkan semacam Ginkang untuk
minta petunjuk kepada kalian,” ucap Bun-hiong. Lalu ia
berpaling dan berkata kepada seorang pelayan gadis cilik di
belakangnya, “Nona ini, silakan ke belakang dan bubutkan
sebatang rumput bagi permainanku nanti.”
Pelayan itu mengiakan terus melangkah pergi.
Tidak lama kemudian ia datang kembali dengan membawa
sebatang rumput yang panjangnya antara tujuh dim. Bunhiong
menerimanya dengan ucapan terima kasih, lalu ia ambil
sebuah mangkuk kosong yang tersedia di meja, ia berdiri,
katanya dengan tertawa, “Nah, harap kalian melihat dengan
jelas, sekarang juga kupertunjukkan permainan jelek ini.”
Habis berkata, ia mengerahkan tenaga pada tangan kanan,

rumput yang lemas itu dibuat tegak lurus menghadap ke
udara.
Dengan tenaga dalam membuat rumput yang lemas itu
menjadi tegak lurus ke atas, hal ini dapat dilakukan oleh siapa
pun yang mempunyai sedikit dasar Lwekang, maka Jik-hoatkui
bertiga tidak merasa heran.
Menyusul Bun-hiong lantas melemparkan mangkuk kosong ke
atas dan dengan gesit ia gunakan ujung rumput yang
menegak itu untuk menahan pantat mangkuk, kemudian
digoyangkan beberapa kali dengan perlahan, maka
berputarlah mangkuk kosong itu dengan menggunakan batang
rumput itu sebagai sumbu penahan.
Kepandaian ini agak istimewa, tapi juga bukan Kungfu kelas
wahid, maka Jik-hoat-kui bertiga tetap tidak memperlihatkan
rasa kejut dan kagum.
Bun-hiong lantas berjalan mondar-mandir di ruangan sambil
membawa mangkuk kosong berputar yang disangga batang
rumput itu, setelah berputar lagi sekian lama mangkuk itu,
mendadak ia memasang kuda-kuda dengan kuat lalu
membentak, “Pecah!”
“Prak”, tahu-tahu mangkuk kosong itu hancur berantakan
serupa meledak di udara. Kejadian ini baru membuat air muka
Jik-hoat-kui bertiga sama berubah.
Memang tidak sulit kepandaian menyangga sebuah mangkuk
kosong dengan sebatang rumput, tapi untuk menyalurkan
tenaga dalam melalui batang rumput dan menghancurkan
mangkuk itu, hal ini diperlukan Lwekang mendalam. Untuk ini
Jik-hoat-kui bertiga merasa belum mencapai setaraf itu, sebab
itulah mereka merasa kagum dan takluk kepada Pang Bunhiong.

Begitulah tanpa terasa ketiga orang lantas berkeplok dan
bersorak memuji.
“Ah, permainan jelek, terima kasih atas pujian kalian,” seru
Bun-hiong dengan tertawa. “Sekarang silakan kalian ke luar
sana, biar kumainkan lagi sejurus Ginkang untuk menambah
kegembiraan kalian.”
Habis bicara ia lantas mendahului melangkah keluar.
Jik-hoat-kui bertiga menduga Ginkang yang akan
dipertunjukkan anak muda itu pasti terlebih hebat dan lain
daripada yang lain, maka beramai-ramai mereka lantas ikut ke
luar.
Bun-hiong langsung menuju ke tengah lapangan, katanya,
“Nah, bolehlah di sini saja.”
Segera ia meraba pinggangnya, “sret”, pedang dilolosnya.
Tercengang juga Jik-hoat-kui melihat anak muda itu
menghunus pedang, tanyanya, “Pang-siauhiap, engkau bilang
hendak mempertunjukkan Ginkang kenapa pakai pedang?”
Ia merasa bukan tandingan Pang Bun-hiong bilamana harus
bertanding dengan dia, maka berdebar juga hatinya ketika
melihat orang melolos senjata.
Dengan tertawa Bun-hiong menjawab, “Betul, memang
hendak kupertunjukkan Ginkang, Ginkang yang akan
kumainkan ini bernama ‘Tah-kiam-heng’ (meluncur dengan
menginjak pedang).”
Baru habis ucapannya mendadak ia putar pedangnya terus
dilemparkan sekuatnya.

Seketika pedang itu berubah selarik cahaya perak dan terbang
meluncur cepat ke depan. Menyusul Bun-hiong lantas bersuit
panjang, secepat terbang tubuhnya mengapung ke atas dan
memburu ke arah meluncurnya pedang, kedua kaki tepat
menginjak pada batang pedang dan membiarkan dirinya
dibawa terbang ke depan oleh pedang meluncur itu.
Seketika Jik-hoat-kui bertiga melongo dan terbelalak serupa
melihat dewa pedang turun dari langit, semuanya terkesima.
Dengan menumpang pedang meluncur itu hingga mencapai
enam-tujuh tombak jauhnya barulah daya luncur pedang itu
menurun dan tepat sampai di depan gerbang sana.
Kuda Bun-hiong kebetulan tertambat di situ, segera ia tangkap
kembali pedangnya dan dimasukkan ke dalam sarung pedang,
lalu melepas tambatan kuda terus mencemplak ke atas
kudanya sambil berseru dengan tertawa, “Pit-cecu, terima
kasih banyak atas pelayananmu, kumohon diri sekarang!”
Sekali kuda berjingkrak, serentak membedal ke depan secepat
terbang ....
Petang esok harinya dia sudah berada di tepi danau Hoanyang-
oh.
Danau Hoan yang terhitung juga danau raksasa, luasnya cuma
di bawah Thay-oh, wilayahnya meliputi belasan kabupaten, di
tengah danau terdapat beberapa pulau kecil, pemandangan
indah permai, danau ini pun banyak menghasilkan ikan hingga
banyak kaum nelayan mengandalkan ikan danau sebagai mata
pencarian.
Tempat yang dituju Bun-hiong di tepi danau itu bernama Lohsing-
oh, ia tidak tahu di mana tempat tinggal si kakek tukang

kail Siau It-ho, ketika dilihatnya di tepi danau berlabuh sebuah
perahu nelayan dan di atas perahu ada seorang kakek sedang
menjala ikan, segera ia mendekatinya dan menyapa.
Kakek itu berpaling dan bertanya, “Saudara ini ada urusan
apa?”
“Cayhe ingin mencari Hoan-yang-tio-ong Siau It-ho, Siaulocianpwe,
apakah Lotiang (bapak tua) mengetahui di mana
tempat tinggalnya?” kata Bun-hiong.
“Oo,” kakek itu bersuara sambil menuding ke arah utara, “Itu,
dia sedang mancing tidak jauh di tepi danau sana, yaitu kakek
yang memakai sebuah caping lebar, sekali pandang saja lantas
tahu.”
“Terima kasih,” kata Bun-hiong sambil memberi hormat, lalu ia
menyusur tepi danau dengan menuntun kudanya.
Tidak jauh ia berjalan, benar juga dilihatnya di tepi danau, di
atas sepotong papan apung berjongkok seorang kakek yang
memakai sebuah caping lebar dan sedang mancing, tapi di
sampingnya ada pula duduk seorang kakek lain yang asyik
mengobrol dengan dia.
Kakek kedua itu memegang sebuah buli-buli arak dan sedang
membujuk si kakek tukang mancing agar mau minum,
katanya, “Ayolah, minum sedikit, takut apa?”
“Tidak, tidak boleh,” si kakek tukang mancing menggeleng
kepala. “Bisa celaka kalau sampai bau arak tercium olehnya.”
“Haha, ini kan gampang, asalkan kau pulang agak lambat,
tentu akan hilang baunya dan takkan diketahuinya,” ujar si
kakek kedua dengan tertawa.

“Hm, mana kau tahu? Hidungnya tajam serupa hidung anjing,
segala macam bau dapat diendusnya dengan tepat,” kata si
tukang mancing.
“Ai, sungguh aku ikut penasaran bagimu,” ujar si kakek
dengan menyesal, “agaknya pada penjelmaan yang lalu
engkau telah utang padanya, maka ....”
“Ah, semuanya gara-garaku sendiri, akulah yang linglung dan
salah sasaran, ini namanya cari penyakit sendiri, tak dapat
menyalahkan orang lain,” ujar si kakek tukang mancing.
“Kenapa tidak kau ceraikan dia saja?” tanya si kakek.
“Wah, tidak, tidak bisa lagi, sekarang aku sudah kecantol dia,
serupa lalat melengket pada air gula, biarpun digebah juga tak
mau pergi,” ucap si kakek tukang mancing dengan
menggeleng kepala.
Si kakek kedua minum lagi seceguk araknya dan berkata pula,
“Dia tidak mau pergi, boleh engkau sendiri yang angkat kaki.”
“Memangnya aku bisa pergi ke mana?” ujar si tukang mancing
dengan tersenyum getir.
“Ke mana pun jadi, nanti kalau dia sudah pergi juga barulah
engkau pulang.”
“Tidak, tidak bisa jadi,” kembali si tukang mancing
menggeleng. “Ke mana pun kupergi pasti akan ditemukan
olehnya. Bilamana ingin berpisah dengan dia hanya ada suatu
cara ....”
“Cara apa?” tanya kawannya.
“Bu ... bunuh dia,” ujar Si tukang mancing.

“Kau berani?” tanya si kakek kawannya dengan tertawa.
“Justru aku tidak berani,” kata si tukang mancing dengan
menghela napas. “Dirodok, selama hidupku gagah perkasa,
siapa tahu sesudah tua justru kebentur pada setan iblis ini,
sungguh aku tersiksa sehingga ingin mati tidak bisa, minta
hidup juga sukar.”
Mendadak ia seperti teringat sesuatu yang menggembirakan,
seketika terkilas secercah cahaya terang pada wajahnya,
dengan girang ia berkata, “Hei, kawan, apakah engkau pernah
mimpi?”
“Mimpi?” kawannya menegas dengan melenggong. “Tentu
saja pernah, beberapa hari yang lalu aku pun bermimpi, mimpi
yang menyenangkan, mimpi menemukan sepotong emas
murni, tentu saja aku sangat gembira, segera kulari pulang,
siapa tahu karena terburu nafsu, kakiku kesandung dan jatuh
tersungkur, seketika lantakan emas itu lenyap, karena
cemasku segera kusadar dan barulah tahu sedang bermimpi.”
“Haha, aku pun mendapat mimpi, tapi mimpiku jauh lebih baik
daripada mimpimu,” tutur si kakek tukang mancing.
“Oo, mimpi bagus apa? Mimpi telah kau bunuh si dia?” tanya
kawannya dengan tertawa.
“Bukan, kumimpi bertemu dengan seorang nona secantik
bidadari, diri membujukku kabur meninggalkan dia ....”
Belum lanjut ucapannya, sekonyong-konyong dari balik
sepotong batu karang sana bergema suara orang meraung
murka, “Ah, bagus, tua bangka yang tidak mau mampus,
berani kau mimpi segala di luar tahu nyonya besar!”

Di tengah suara teriakan murka yang menggelegar itu segera
melompat keluar seorang nenek.
Usia nenek ini kurang lebih 60-an, tubuh gemuk besar,
mukanya bulat, biarpun sudah tua, tapi kedua pipi berpupur
tebal, bahkan alisnya dilukis hingga panjang lentik, baju yang
dipakainya juga sangat bagus, cuma lantaran tidak seimbang
dengan usianya sehingga tampaknya menjadi serbakonyol
malah.
Ia melompat keluar sambil berjingkrak dan meraung murka
serupa malaikat maut yang hendak mencaplok mangsanya,
bagi orang penakut memang bisa ciut nyalinya.
Si kakek yang asyik minum arak itu ketakutan, sekali lompat ia
terjun ke dalam danau dan kabur dengan menyelam ke dalam
air.
Sedangkan si kakek tukang mancing hanya duduk diam saja
namun tangan yang memegang alat pancing tampak
bergemetar.
Dengan marah-marah si nenek mendekati kakek tukang
mancing, sebelah kakinya terus menginjak di punggung si
kakek sambil membentak, “Ayo, bicara, tua bangka! Lekas
bicara tua bangka yang tidak tahu malu, kenapa berani mimpi
di luar tahuku dan ingin minggat dengan perempuan lain?!”
Si kakek kelihatan gugup, jawabnya, “Ai, sabar, istriku, jangan
marah dulu, lain kali ... lain kali aku takkan mimpi lagi.”
Dengan bertolak pinggang si nenek menjengek, “Hm, lekas
kau bicara terus terang, bilakah engkau mimpi bergendak
dengan perempuan lain?”
“O, aku ti ... tidak,” jawab si kakek dengan gelagapan, “aku

hanya ... bercanda saja dengan si setan air Nyo tua, kami
cuma omong iseng belaka.”
“Keparat! Bedebah!” damprat si nenek dengan alis menegak.
“Masih berani bohong? Ayo, lekas mengaku terus terang!”
Si kakek melihat Pang Bun-hiong berdiri tidak jauh di sebelah
sana, ia menjadi kikuk, lekas ia memohon dengan suara lirih,
“Ah, istriku, jangan ... jangan marah dulu, bicaralah perlahan
sedikit, kan malu didengar orang!”
“Hm, masa kau tahu malu segala?” teriak si nenek. “Aku tidak
urus malu atau tidak, pendek kata, kalau tidak bicara terus
terang sekali hantam akan kumampuskan kau.”
Si kakek kelihatan serbasusah, cepat ia menjawab, “Baik, baik,
akan kukatakan terus terang .... Hal itu terjadi ... terjadi pada
kemarin dulu ketika aku tidur ... tidur siang ....”
“Kurang ajar! Dasar tua bangka,” damprat pula si nenek,
“pada waktu siang bolong selagi nyonya besar sadar dengan
baik toh kau berani bermimpi main gila dengan perempuan
lain, apalagi kalau waktu malam hari ketika nyonya besar
sedang tidur, wah, kan tambah berani kau?”
“Aduuh, itu kan cuma mimpi saja,” ujar si kakek. “Mimpi kan
khayal belaka dan tidak terjadi sungguhan, buat apa istriku
mesti marah-marah begini?”
Kontan si nenek mencak-mencak lagi, dampratnya, “Keparat!
Khayalan apa katamu? Bilamana siang kau berani bermimpi
begitu, jelas hal itu akibat pikiranmu memang menyeleweng.
Ya, kutahu, hatimu sudah berubah, nyonya besar tidak kau
pikir lagi, begitu bukan?”
“O, tidak, jangan marah dulu, dengarkan ceritaku,” kata si

kakek. “Meski kumimpi seorang perempuan, tapi aku tidak
terpikat olehnya. Dia memang membujukku agar minggat
bersama dia, tapi aku menolaknya, bahkan kudamprat dia
habis-habisan.”
“Apa betul?” si nenek menegas.
“Betul, aku tidak bohong.” jawab si kakek. “Kumaki dia
perempuan tidak tahu malu, kubilang engkau ini siluman dari
mana, berani berusaha memikat diriku? Hendaknya maklum,
aku dan Lau Sam-koh adalah suami-istri saling mencintai sejak
dari tiga kali penjelmaan dulu, berdasarkan apa kau berani
memecah belah cinta kasih kami suami-istri? Dirodok, lekas
enyah dari sini, kalau tidak, sekali hantam kumampuskanmu!
Dia menjadi ketakutan dan lari terbirit-birit.”
“Oo, apa betul?” tanya si nenek, tampaknya dari marah dia
menjadi senang.
“Betul, pasti betul,” kata si kakek.
“Baik, jika begitu, biar nyonya besar mengampunimu sekali
ini,” ujar si nenek dengan tertawa. “Tapi lain kali bila kau
berani sembarang mimpi lagi di luar tahuku, awas, bisa
kubinasakanmu.”
“Tidak, pasti tidak lagi,” ucap si kakek berulang-ulang.
Tiba-tiba si nenek mengangkat keranjang ikan si kakek dan
diperiksa, katanya, “Sudah berhasil mengail berapa ekor?”
“Wah, hari ini kurang mujur, ikan sama tidak mau terpancing,
hanya dapat tiga ekor saja,” tutur si kakek dengan menyesal.
Kembali si nenek merasa kurang senang, teriaknya, “Dasar tua
bangka! Kan sudah sering kukatakan padamu, menangkap

ikan harus pakai jala. Orang lain sekali jaring lantas dapat
beberapa puluh, bahkan ratusan ekor, tapi engkau hanya
sekali pancing satu ekor, itu pun menunggu sampai setengah
harian. Huh, macam apa kerja cara begini? Kubilang, mulai
besok harus kau ganti cara menangkap ikan dengan jala.”
“Wah, tidak bisa,” jawab si kakek sambil menggoyang kepala.
“Urusan lain dapat kusanggupi, hanya urusan ini saja, biarpun
kau bunuh diriku juga tak bisa kuterima. Adalah hobiku
memancing ikan, aku tidak suka menjala ikan.”
“Sialan, memangnya kau kira apa kerjamu?” damprat si nenek
dengan gusar. “Kau kira hanya untuk iseng sebagai hobi saja?
Keparat, masa kau lupa kau perlu membiayai rumah tangga?”
“Biaya rumah tangga kan juga sudah cukup, asalkan setiap
hari berhasil kupancing dua-tiga ekor ikan kan sudah cukup
kita makan?” kata si kakek.
“Apa katamu? Cukup kita makan?” teriak si nenek melengking.
“Memangnya kebutuhan orang hidup hanya makan saja?
Nyonya besar kan perlu uang untuk beli pupur, jika kuminta
kau bilang tidak punya uang. Kalau kuminta uang untuk beli
baju, kau jawab tidak punya duit. Padahal, coba lihat orang
lain, mau apa pun pasti ada, sebaliknya engkau tidak punya
apa-apa.”
Sampai di sini mendadak ia menangis, sambil membuang
ingus ia berseru pula, “O, dasar nasibku memang sengsara.
Padahal lelaki di dunia ini sekian banyak kenapa aku justru
kawin dengan tua bangka yang pemalas dan tidak bisa cari
duit ....”
Mendadak tercetus dari mulut si kakek, “Bilamana kau anggap
aku miskin, boleh saja kau kawin lagi dengan orang lain.”

“Apa katamu? Coba katakan sekali lagi!” teriak si nenek
dengan murka. “Jahanam yang tidak punya Liangsim
(perasaan bajik), sungguh sialan kawin denganmu, belum ada
setengah tahun menikah aku sudah akan kau campakkan,
begitu bukan? Hm, hm, tidak bisa, urusan tidak segampang
itu. Mau kupergi juga boleh asalkan memenuhi syarat.”
“Apa syaratmu?” tanya si kakek, tampaknya menjadi nekat
juga.
“Duit!” ucap si nenek sambil tiga jarinya bergerak tanda fulus.
“Berapa kau minta?” tanya pula si kakek.
“Selaksa tahil,” kata si nenek. “Asal kau bayar satu laksa tahil
perak dan segera aku angkat kaki.”
“Buset!” seru si kakek, habis ini ia terus jatuh telentang di atas
papan apung serupa orang mati.
Si nenek mengentak kaki, teriaknya, “Ayo bangun, tidak perlu
berlagak mati!”
Kakek tukang mancing itu menghela napas, katanya, “Boleh
kau pulang dulu, aku masih ingin mengail ikan, bisa jadi
Tuhan Maha Pengasih kasihan padaku dan memberkahiku
dapat mengail selaksa tahil perak.”
“Tidak perlu lagi, ayolah ikut pulang saja, nanti kita bikin
perhitungan di rumah,” teriak si nenek.
Agaknya si kakek tidak berani pulang, ia masih terus rebah
saja tak mau bangun.
“Hm, memangnya apa maksudmu ini?” bentak si nenek
dengan mendelik. “Ingin mati saja di sini?”

Menyaksikan semua itu, Bun-hiong merasakan bukan lagi
lelucon, ia lantas mendekati mereka dan menyapa dengan
hormat, “Salam, Toanio ini.”
Si nenek hanya meliriknya sekejap, jawabnya dingin, “Kau
mau apa?”
Bun-hiong mengeluarkan sepotong uang perak yang berbobot
lebih sepuluh tahil, katanya, “Baru saja kutemukan uang perak
ini di sekitar sini, mungkin uang perak Toanio yang hilang?”
Dasar mata duitan, melihat uang perak itu, seketika wajah si
nenek berseri, tanpa permisi uang perak itu terus disambarnya
sambal berseru, “Aha, betul, betul! Memang uangku yang baru
saja hilang, aku lagi kelabakan mencarinya, ternyata
ditemukan oleh Engkoh cilik ini. Ai, sungguh anak yang jujur,
terima kasih ya!”
“O, jangan sungkan,” jawab Bun-hiong dengan tertawa.
Serentak si kakek merangkak bangun dan berkata, “Eh, nanti
dulu! Kataku istriku yang baik, bilakah engkau kehilangan
uang perak sejumlah itu ....”
Si nenek mengentak kaki dengan keras, bentaknya dengan
gusar, “Keparat, lebih baik kau tutup mulut. Uang perak ini
memang milikku yang hilang.”
Kakek itu menghela napas, katanya sambil memandang Bunhiong,
“Adik cilik, untuk urusan apa kau datang ke sini?”
“Cayhe Pang Bun-hiong,” tutur Bun-hiong sambil memberi
hormat. “Konon di tepi danau Hoan-yang ini berdiam seorang
Bu-lim-cianpwe (angkatan tua dunia persilatan) yang bernama
Hoan-yang-tio-ong Siau It-ho, maka sengaja kudatang

berkunjung padanya.”
Habis bicara ia menjura lagi dengan sangat hormat.
“Aku sendiri Siau It-ho adanya,” jawab si kakek dengan muka
merah. “Ada urusan apa adik cilik mencariku?”
Bun-hiong berlagak kegirangan, katanya, “Aha, kiranya
engkau inilah Siau-locianpwe, sungguh sangat beruntung
dapat bertemu di sini.”
Habis berkata kembali ia memberi hormat.
Siau It-ho alias si kakek tukang mancing dari danau Hoanyang
itu menghela napas, katanya, “Aku ini bukan Bu-limcianpwe
apa segala, justru orang tua yang paling tidak
berguna di dunia ini ialah diriku. Bilamana adik cilik ini tidak
ada urusan, silakan pulang saja.”
Bun-hiong anggap tidak mendengar, ia berpaling kepada si
nenek dan berkata, “Jika demikian, Toanio ini tentulah Lau
Sam-koh Lau-toanio yang termasyhur itu?”
Cay-keh-hujin Lau Sam-koh alias si nyonya suka kawin itu
tertawa, jawabnya, “Betul, aku inilah Lau Sam-koh.”
“Bagus sekali,” Bun-hiong tertawa. “Ada sesuatu berita ingin
kusampaikan kepada Lau-toanio, yaitu ... eh, kabarnya Lautoanio
adalah Suci si raja cakar elang Oh Kiam-lam, betul?”
“Ya, memang begitulah,” sahut Lau Sam-koh.
“Tentang terbunuhnya Eng-jiau-ong, apakah Toanio sudah
tahu?” tanya Bun-hiong.
“Tahu, dia sudah mati empat-lima tahun yang lalu,” ujar SamKANG
ZUSI website http://cerita-silat.co.cc/
koh dengan mengangguk. “Mestinya aku ingin berziarah ke
makamnya, tapi bilamana ingat waktu hidupnya dia terlampau
kikir terhadapku, sungguh aku sangat menyesal dan urung
mengunjunginya.”
“Oo, apakah waktu hidupnya Eng-jiau-ong memperlakukan
Toanio kurang baik?” tanya Bun-hiong.
“Masa tidak,” jawab Sam-koh. “Dia menjadi pimpinan
kalangan Lok-lim ketujuh provinsi daerah selatan, harta
bendanya bertumpuk setinggi gunung, tapi pelitnya bukan
main. Pernah satu kali keuanganku agak seret, kudatang
padanya untuk pinjam sedikit, siapa tahu dia sama sekali tidak
mau memberi pinjaman, apalagi kasih percuma. Coba, apa
tidak bikin mendongkol orang?”
“Wah, jika demikian, memang betul Eng-jiau-ong agak
keterlaluan, masa sama sekali tidak ingat hubungan baik
antara sesama saudara seperguruan?” kata Bun-hiong.
Tiba-tiba si kakek tukang mancing menimbrung, “Eh, adik cilik,
jangan percaya pada keterangan sepihak saja. Manusia yang
tamak tentu saja dibenci oleh siapa pun, setahuku ....”
“Memangnya kenapa?!” bentak Lau Sam-koh mendadak
dengan mendelik.
Seketika Siau It-ho mengkeret, ia angkat pundak dan tidak
berani bersuara lagi.
Bun-hiong berdehem perlahan, katanya dengan tertawa,
“Meskipun Eng-jiau-ong kurang baik, tapi adik perempuannya
si Oh Beng-ay kan tidak berdosa, betul tidak?”
“Ah, dia juga bukan nona yang baik,” ucap Lau Sam-koh.
“Setiap kali kudatang mencari Oh Kiam-lam, selalu dia acuh

tak acuh terhadapku, jelas dia memandang rendah padaku.”
Sampai di sini Bun-hiong mulai merasakan dugaan sendiri
jelas meleset, nyata orang yang diincar dan hendak ditangkap
Tui-beng-poan-koan bukanlah Cay-keh-hujin Lau Sam-koh ini.
Sebab Lau Sam-koh ternyata tidak mempunyai hubungan baik
dengan Oh Kiam-lam dan adik perempuannya, tidak mungkin
Tui-beng-poan-koan menggunakan Oh Beng-ay sebagai
umpan untuk memancingnya.
Tapi mengingat jauh-jauh ia sudah datang kemari, kan juga
tambah baik bilamana desas-desus disebarkan sekalian
kepadanya.
Maka ia lantas berkata, “Keadaan nona Oh itu sekarang sangat
harus dikasihani, apakah Toanio tidak ingin menolongnya?”
Menjengkit mulut Lau Sam-koh, ucapnya, “Huh, mana dia palu
dikasihani? Dia menjual badan di Liu-jun-ih di Kim-tan, setiap
bulan beribu tahil perak pendapatannya, hidupnya jauh lebih
senang daripadaku.”
“Tapi sekarang dia mengalami apes dan diculik oleh Kiu-bwehou
Kongsun Siau-hui, jiwanya terancam bahaya,” tutur Bunhiong.
“Oo, masa dia diculik oleh Kiu-bwe-hou Kongsun Siau-hui?”
melengak juga Lau Sam-koh.
“Ya, memang betul,” kata Bun-hiong.
“Bagus, itu namanya kualat kontan,” seru Sam-koh. “Nyata
Tuhan memang adil dan selalu memberi ganjaran setimpal
terhadap orang yang tak berbudi.”
Mendengar ucapan ini Bun-hiong tambah yakin dugaannya

telah salah sasaran, tapi ia coba tanya lagi, “Jadi Toanio sama
sekali tidak mau menolongnya?”
“Hm, aku justru berharap dia lekas mampus, untuk apa
kutolong dia?” kata Sam-koh.
“Apakah Toanio tahu dia masih mempunyai sanak keluarga
lain?” tanya Bun-hiong.
“Tidak ada lagi, mereka kakak beradik sama sekali tidak
mempunyai sanak famili, seorang saja tidak ada.”
“Wah, sungguh malang ....” Bun-hiong menghela napas
perlahan.
“Pendek kata, jika kedatanganmu hanya ingin minta kutolong
dia, maka jangan kau harap lagi,” kata Sam-koh.
Tiba-tiba teringat oleh Bun-hiong bahwa maksud dan tujuan
Tui-beng-poan-koan menyuruhnya menyebarkan berita
bohong tentang Oh Beng-ay diculik oleh Kiu-bwe-hou Kongsun
Siau-hui, jika tujuannya untuk menjebak seseorang, maka
orang ini sangat mungkin ialah Kiu-bwe-hou Kongsun Siau-hui
sendiri.
Maka ia coba ganti pokok persoalan dan bertanya, “Ingin
kunumpang tanya lagi satu hal, apakah Toanio tahu di mana
tempat tinggal Kiu-bwe-hou Kongsun Siau-hui?”
“Tidak tahu,” jawab Sam-koh.
Bun-hiong lantas tanya Siau It-ho, “Apakah Siau-locianpwe
tahu?”
“Aku pun tidak tahu,” jawab si kakek tukang mancing. “Sudah
lama sekali Kiu-bwe-hou Kongsun Siau-hui menghilang dari

dunia persilatan, sangat sedikit orang yang tahu tempat
sembunyinya.”
Bun-hiong merasa tidak ada gunanya tinggal lebih lama di sini,
segera ia memberi salam kepada mereka dan berkata, “Jika
demikian, biarlah Cayhe mohon diri saja.”
Ia lantas mencemplak ke atas kudanya dan meneruskan
perjalanan lagi yang tidak jelas tempat tujuannya ....
Selanjutnya setiap kali bertemu dengan orang persilatan selalu
dia menyiarkan berita tentang diculiknya Oh Beng-ay oleh Kiubwe-
hou Kongsun Siau-hui. Tapi bisa jadi nama Kiu-bwe-hou
terlampau disegani, meski ada orang menaruh simpati
terhadap nasib jelek Oh Beng-ay, tapi tidak ada orang yang
berani menyatakan hendak menolongnya. Dengan sendirinya
terlebih tidak ada orang yang berani mendesak Bun-hiong
agar memberitahukan di mana tempat tinggal Kiu-bwe-hou.
Ia terus melanjutkan perjalanan hingga pegunungan Cui-wihong
di selatan Ohlam, di sini urusannya baru ada
perkembangan.
Cui-wi-hong adalah salah satu tempat tamasya yang cukup
terkenal di daerah ini, waktu Bun-hiong melarikan kudanya
lewat kaki gunung, tiba-tiba dilihatnya seorang setengah umur
berdandan sebagai kaum budak muncul dari dalam hutan di
kaki gunung.
Orang ini seperti sengaja menanti kedatangan Pang Bunhiong,
ia mengadang di tengah jalan dan memberi hormat
sambil menegur, “Apakah pendatang ini Hou-hiap Pang Bunhiong
adanya?”
Bun-hiong menahan lari kudanya, ditatapnya orang itu
sejenak, lalu balas tanya, “Siapakah saudara?”

“O, hamba she Siang bernama Po-hok,” jawab orang setengah
baya itu. “Atas perintah majikan, hamba disuruh mengundang
Pang-siauhiap agar sudi mampir sebentar ke perkampungan
kami.”
“Siapakah majikanmu?” tanya Bun-hiong.
“Setelah bertemu tentu Pang-siauhiap akan tahu sendiri.”
“Masa tidak dapat kau jelaskan sekarang?” kata Bun-hiong
dengan tertawa.
“Biarpun kujelaskan sekarang juga Pang-siauhiap takkan
paham urusannya,” ujar orang itu.
Bun-hiong coba tanya lagi, “Di mana letak perkampungan
kalian?”
“Di lereng gunung ini,” tutur orang itu.
“Baiklah, coba tunjukkan jalannya,” jawab Bun-hiong tanpa
sangsi.
Orang itu lantas membalik dan mendahului menuju ke lereng
bukit sana. Dengan tetap naik kuda Bun-hiong mengikuti jejak
orang.
Sejak meninggalkan Bok-kan-san tempo hari belum pernah
ditemuinya suatu urusan yang sekiranya menarik, maka sudah
sekian lama ia merasa kecewa dan kesal, maka urusan yang
ditemuinya sekarang cukup menarik baginya, tanpa pikir ia
lantas ikut orang untuk menemui majikannya. Meski ia pun
menyadari kepergiannya ini ada kemungkinan akan
menghadapi bahaya, tapi Bun-hiong memang seorang
petualang yang suka menyerempet bahaya, semakin aneh dan

berbahaya sesuatu urusan, semakin menarik untuk
dikerjakannya.
Orang itu membawanya melintasi lereng bukit, sepanjang
jalan tidak buka mulut lagi.
Setelah menyusuri hutan yang lebat dan melintasi tanjakan
yang terjal, akhirnya mereka sampai di suatu lereng bukit
yang sunyi dan indah. Di atas lereng bukit tampak ada
bangunan yang berderet-deret luas.
Perumahan itu dilingkari pepohonan yang rindang, anehnya di
depan perumahan itu ada sebuah kolam yang indah dengan
airnya yang tenang dan jernih serupa cermin.
Orang setengah baya ini membawa Bun-hiong masuk ke
kompleks perumahan, tertampak bangunan sangat megah,
serupa rumah kaum hartawan atau bangsawan.
Cuma di dalam perumahan yang megah dan luas ini suasana
sunyi senyap, tidak terlihat bayangan orang kedua.
Diam-diam Bun-hiong menarik napas, pikirnya, “Sungguh
megah perumahan di sini, melihat gelagatnya pemilik
perumahan ini pasti seorang tokoh luar biasa, tapi mengapa
tidak kelihatan bayangan seorang pun?”
Secara naluri ia mulai waspada.
Setelah berada di tengah perumahan, tampak terlebih jelas
setiap bangunan megah itu juga dipajang dengan sangat
mewah, bahkan setiap perabotnya seperti sengaja dirancang
secara serasi, semuanya serbabagus.
Orang itu membawa kuda Bun-hiong dan ditambat di samping
sana, lalu membawanya lagi masuk ke suatu halaman dan

akhirnya tiba di depan sebuah gedung berloteng yang megah.
Ruangan gedung itu terlebih mentereng, setiap alat
perabotannya tergosok dengan mengilat, semuanya serbaantik
dan bernilai tinggi, dapat dibayangkan tuan rumah pasti orang
kaya raya yang sukar dilukiskan.
Orang tadi berhenti di ruang tamu, katanya sambil
menghormat, “Silakan Pang-siauhiap duduk dulu, hamba akan
masuk melaporkan kedatanganmu.”
Bun-hiong mengangguk dan duduk, ia pandang segala
sesuatu yang luar biasa di dalam ruangan, dengan heran ia
membatin, “Biasanya kusangka ayahku sudah cukup kaya
raya, tapi kalau dibandingkan Cengcu di sini jelas seperti si
kerdil dibanding raksasa.”
Dalam pada itu orang tadi telah masuk ke ruang dalam
dengan menyingkap tirai. Terdengar suaranya lagi berkata di
dalam, “Lapor Hujin (nyonya), Hou-hiap Pang Bun-hiong
sudah hamba undang kemari.”
“Silakan dia masuk,” sahut seorang. Suaranya nyaring merdu.
Seketika Bun-hiong melengak, pikirnya, “Buset, sang cengcu
ternyata seorang perempuan?!”
Tentu saja ia tambah bingung.
Dilihatnya orang setengah baya tadi muncul kembali dan
berkata kepadanya dengan tertawa, “Majikan perempuan kami
berada di ruang dalam, silakan Pang-siauhiap masuk saja.”
“Dan di mana majikan lelaki kalian?” tanya Bun-hiong sambil
berdiri.

“Di sini tidak ada majikan lelaki,” jawab orang tadi.
“Hah, tidak ada majikan lelaki?” Bun-hiong menegas dengan
melenggong.
“Betul,” orang itu tersenyum. “Silakan masuk saja, majikan
perempuan kami takkan membikin susah padamu.”
Habis bicara ia memberi hormat pula, lalu tinggal pergi.
Keruan Bun-hiong kebingungan, sampai sekian lama ia berdiri
di situ dengan sangsi. Akhirnya ia mendekati pintu yang
bertirai itu dan melangkah ke dalam.
Ternyata di balik pintu bertirai ini adalah sebuah kamar anak
gadis yang indah, semua peralatannya terlebih mewah dan
bagus, ada sebuah meja berukir bercat merah yang masih
baru, kelambu warna tipis dan tergantung di kedua sisi
dengan cantolan perunggu putih. Tepian kelambu atas adalah
kain bersulam bunga merah, selain itu ada lagi hiasan dua
buah mainan berbentuk keranjang bunga yang tergantung di
samping kelambu.
Kecuali itu, seluruh barang yang terlihat, baik meja kursi,
lemari dan sebagainya, semuanya benda berukir antik yang
sukar dinilai. Di dinding bergantung lukisan kuno dan seni tulis
yang bagus. Tampaknya majikan perempuan di sini bukan
saja pandai menikmati kehidupan ini, bahkan juga seorang
terpelajar.
Akan tetapi nyonya rumah itu ternyata tidak terlihat di dalam
kamar. Kamar ini kosong melompong.
Bun-hiong jadi melenggong pula, ia coba tanya, “Hei, Cayhe
Pang Bun-hiong berada di sini, di manakah tuan rumahnya?”

“Aku berada di sini,” terdengar suara orang menjawab.
Suaranya merdu sedap didengar, dan berkumandang dari balik
daun pintu sebelah lain.
Kembali Bun-hiong tercengang, katanya, “Hujin ingin bertemu
denganku, kenapa tidak keluar kemari saja?”
Nyonya rumah itu berteriak dari dalam, “Silakan masuk saja ke
sini, pintu tidak terkunci.”
Bun-hiong merasakan sangat mungkin terdapat perangkap di
sini, tapi dia memang seorang petualang yang suka
menyerempet bahaya, terutama bahayanya orang perempuan,
segera ia mendekat ke sana, ia coba mendorong daun pintu
itu.
Dengan enteng daun pintu lantas terpentang, sekali pandang,
tanpa terasa ia terperanjat.
Nyonya rumah ini ternyata sangat cantik!
Usianya baru 25-26 tahunan, rambutnya tersanggul tinggi,
mukanya bulat telur dengan pipi kemerahan, alis panjang
lentik, mata besar jernih, sungguh sukar dilukiskan cantiknya,
siapa pun pasti akan kesengsem melihat kecantikannya.
Akan tetapi yang membuat Bun-hiong terperanjat bukan
kecantikannya melainkan setengah badannya bagian atas
yang telanjang itulah, setengah badannya bagian bawah
terendam di dalam sebuah bak besar berwarna emas.
Rupanya nyonya rumah ini sedang mandi.
Setengah badan bagian atas tampak putih bersih serupa salju,
dadanya yang bernas kelihatan samar-samar tergenang air,
sungguh cantik dan memikat dan membuat orang lupa

daratan.
Pang Bun-hiong sampai melongo menyaksikan adegan
mendebarkan ini.
Sudah banyak perempuan yang dikenalnya, namun belum
pernah melihat perempuan cantik dan sexy serupa ini.
Sungguh ia ingin menubruk ke sana tanpa peduli risiko apa
pun, meski semua ini suatu perangkap juga tak diragukannya,
cukup sekali saja mendapatkan si dia, mati pun dia rela.
Akan tetapi dia hanya berdiri diam saja, hanya
memandangnya dengan kesima tanpa bergerak.
Perempuan itu ternyata tidak canggung-canggung, perlahan ia
main air mandi di dalam bak, mulutnya yang mungil dan bibir
kemerahan mengeluarkan suara mengikik nyaring, sapanya,
“Pang Bun-hiong, selamat datang!”
“Ya, selamat nona!” jawab Bun-hiong dengan tersenyum,
tanpa terasa mukanya menjadi merah sendiri.
“Setiap hari pada waktu begini aku mesti mandi dan
berdandan sehingga tak dapat meladenimu dengan baik,” ujar
perempuan itu dengan lagak menggiurkan.
“Ah, tidak apa-apa, jangan sungkan,” kata Bun-hiong tertawa.
“Silakan selesaikan mandimu.”
Mata si cantik yang jeli itu memantulkan cahaya terang yang
memikat, katanya dengan tertawa, “Sungguh aku merasa
senang dan bahagia dapat mengundangmu ke sini.”
“Ah, dapat bertemu dengan nona, sungguh bahagia dan suatu
kehormatan bagiku,” seru Bun-hiong.

“Sudah lama kudengar nama kebesaran Hou-hiap,” ucap
perempuan itu. “Setelah bertemu hari ini, nyata memang tidak
bernama kosong.”
Bun-hiong tertawa dan menegas, “Maksud nona mengenai
urusan apa?”
“Gagah, cakap, romantis,” kata si perempuan.
“Haha, terima kasih atas pujian nona,” seru Bun-hiong
tertawa. “Tapi kalau dibandingkan nona, aku ini tidak lebih
cuma seorang lelaki kasar belaka.”
“Tidak, engkau memang berbeda daripada kebanyakan lelaki
umumnya.”
“Ah, masa?”
“Betul,” kata perempuan itu. “Lelaki lain bilamana melihatku
dalam keadaan begini, tentu akan berlagak gugup dan
kelabakan, tapi engkau ternyata tidak.”
“Hal ini memang betul,” jawab Bun-hiong. “Soalnya aku
memang suka memandang orang perempuan, terlebih
perempuan mahacantik dan sukar dicari. Setiap kesempatan
yang terbuka bagiku biasanya tidak kusia-siakan.”
Perempuan itu tertawa cekikikan, katanya, “Ranjang orang
perempuan juga kuburan bagi kaum pahlawan, apakah
engkau tidak takut?”
“Begitulah kata orang, tapi sejak dulu kala hingga kini, berapa
banyak pahlawan yang tahan pikatan?” ujar Bun-hiong dengan
tersenyum.
“Hah, pikiranmu ternyata cukup terbuka,” ucap perempuan

itu. “Eh, di tempat tidurku ada sepotong bajuku, tolong
ambilkan untukku.”
“Baik,” jawab Bun-hiong.
Ia putar balik ke depan tempat tidur dan mengambil baju yang
dimaksud, padahal itu bukan baju melainkan sepotong daster
terbuat dari sutra tipis warna jambon. Ia masuk lagi ke kamar
mandi, tanyanya, “Taruh di mana?”
“Bawa sini,” kata perempuan itu sambil menjulurkan
tangannya yang putih halus.
Bun-hiong mendekati bak emas itu dan menyodorkan baju
tipis itu.
Sesudah baju diterima si dia, Bun-hiong coba menyelentik
perlahan bak warna emas itu, seketika ia berseru kaget, “Hah,
ternyata emas tulen.”
“Memangnya kau sangka tembaga?” tukas perempuan itu
dengan tertawa.
“Wah, biarpun permaisuri raja juga akan iri padamu,” ujar
Bun-hiong.
“Huh, aku justru tidak kepingin menjadi permaisuri segala,”
mata si perempuan. “Orang yang mau menjadi permaisuri
atau selir raja sungguh harus dikasihani, dia tidak tahu di
dunia ini masih banyak lelaki yang jauh lebih menyenangkan
daripada raja.”
“Bilamana ucapanmu ini didengar oleh raja, tentu dia akan
melongo,” kata Bun-hiong dengan bergelak.
“Baiklah, sekarang silakan kau putar ke sana,” pinta

perempuan itu.
Bun-hiong menatap bagian dada orang sambil menjilat bibir,
“Apakah tidak perlu kubantumu?”
“Tidak perlu, aku dapat bangun sendiri, bahwa orang perlu
dipegang segala, itu cuma pura-pura saja.”
Tanpa bicara lagi Bun-hiong lantas membalik tubuh.
Perempuan itu berdiri dari bak mandi, diambilnya sepotong
handuk di tepi bak untuk mengusap tubuhnya yang basah,
lalu daster tipis itu dikenakannya, katanya kemudian, “Baiklah,
sekarang boleh menghadap ke sini.”
Waktu Bun-hiong membalik tubuh lagi, tertampak tubuh si dia
yang samar-samar tertutup daster tipis itu padat dan putih
mulus, garis tubuhnya yang menggiurkan serta bagian
tertentu yang serupa ... sungguh membuat jantungnya
berdebar keras.
Perempuan itu tertawa, katanya, “Marilah kita duduk di
kamar.”
Segera ia mendahului melangkah ke kamar tidurnya dengan
berlenggak-lenggok.
Bun-hiong ikut ke situ, tentu saja ia terangsang, katanya,
“Sedemikian luas perumahan nona ini, tapi tidak tampak
penghuni yang lain, apakah semuanya bersembunyi?”
“Tidak, jangan khawatir,” kata si dia. “Di perumahan ini
seluruhnya cuma ada tiga orang. Yang pertama ialah diriku,
orang kedua adalah Siang Po-hok, budak yang membawamu
kemari tadi, orang ketiga adalah si pelayan cilik, Jiu-goat.”

Sambil bicara perempuan itu duduk di tepi pembaringan.
“Masa di sini tidak ada tuan rumah?” tanya Bun-hiong.
“Ada, tapi sudah mati.”
“Oo, dia itu apamu?”
Perempuan itu berdiri dan menuju ke depan meja rias dan
mulai menyisir rambut sambil menjawab, “Suamiku.”
“Wah, punya istri secantik ini, tapi tidak dapat menikmati
hidup bahagia, sungguh kasihan,” kata Bun-hiong.
“Dia juga sudah cukup hidup nikmat,” ujar si perempuan
dengan tertawa.
“Siapa namanya?” tanya Bun-hiong.
“Ah, sudahlah, sekarang jangan kita bicara tentang dia,” ujar
si dia.
“Kalau begitu, marilah kita bicara dirimu saja,” kata Bun-hiong
dengan tertawa. “Apakah boleh kutahu she dan namamu yang
harum?”
“Kau ingin tahu?” perempuan itu menegas. “Diriku ini memang
secantik bidadari, tapi hatiku berbisa melebihi ular dan
kalajengking, maka bolehlah kau sebut diriku sebagai Coa-katbijin
(si bidadari ular dan kalajengking) saja.”
Bun-hiong merasa tertarik oleh keterangan orang, katanya
dengan tertawa, “Aku tidak takut pada Coa-kat-bijin, aku
justru takut pada Siang Po-hok dan si pelayan Jiu-goat yang
belum kulihat.”

Perempuan itu alias Coa-kat-bijin tertawa, “Jangan takut,
tanpa panggilanku, tidak nanti Jiu-goat berani masuk ke sini,
apalagi Siang Po-hok, dia seorang kasim (kebiri), terhadap
orang perempuan dia cuma nafsu besar tenaga kurang.”
“Dan ada keperluan apa engkau mengundangku ke sini?”
tanya Bun-hiong.
Coa-kat-bijin diam saja, entah tidak dengar atau sengaja tidak
menjawab.
Maka Bun-hiong tanya pula, “Dari mana kau tahu aku akan
lalu di sini?”
“Kudengar dari orang,” kata Coa-kat-bijin.
“Siapa yang bilang padamu?” desak Bun-hiong.
Coa-kat-bijin menaruh sisirnya, lalu berpaling dan tertawa
mengikik, katanya, “Hihi, sekarang jangan tanya hal-hal
demikian, mau?”
Bun-hiong menuju ke sana dan menutup pintu, lalu mendekati
si dia, desisnya dengan tertawa, “Aku tidak ingin menjadi
kekasihmu selamanya, tapi kalau cuma tinggal semalam saja
di sini tentu saja boleh.”
Habis berkata si dia lantas dipondongnya dan dibawa ke
tempat tidur ....
*****
Tidak terjadi sesuatu yang menakutkan atau menyusahkan
Pang Bun-hiong.
Apa yang terjadi ini sungguh suatu kejutan menyenangkan

baginya.
Tapi Bun-hiong tahu, kecuali untuk menghilangkan “dahaga”,
pasti si dia masih mempunyai maksud tujuan tertentu.
Begitulah dengan santai ia duduk bersandar di tepi ranjang
sambil minum sup sarang burung yang diantarkan Jiu-goat, ia
tanya dengan tersenyum, “Apakah engkau sering berbuat
begini?”
Coa-kat-bijin menggelendot di sampingnya, jawabnya dengan
mata terpejam, “Tidak, tidak sering ....”
“Masa!” kata Bun-hiong.
“Betul,” desis si cantik. “Soalnya lelaki yang muda dan gagah
cakap kan tidak banyak.”
“Masa tidak punya kenalan lama?”
“Tidak, aku tidak suka main pacar-pacaran, terlalu cemplang
rasanya.”
“Orang yang pernah berkenalan denganmu tidak lagi datang
mencarimu?”
“Tidak, cukup sekali saja dan tidak pernah datang lagi,” tutur
Coa-kat-bijin. “Sebab sudah kuperingatkan mereka dilarang
datang, bila datang lagi pasti kubunuh mereka, maka tidak
ada yang berani kemari lagi.”
“Mana tidak pernah terjadi ada yang datang pula?” tanya Bunhiong
dengan tertawa geli.
“Ada juga.”

“Oo, lantas benar kau bunuh dia?”
Si cantik meraba dada sendiri yang montok dan memikat itu,
ucapnya perlahan, “Ya, berturut-turut kubunuh tujuh orang
sampai sekarang.”
Diam-diam Bun-hiong merasa ngeri, tanyanya pula,
“Sebenarnya sebab apa engkau membunuh mereka?”
“Hanya ada satu sebab,” tutur Coa-kat-bijin alias si cantik
berbisa. “Yaitu, aku cuma suka kepada orang lelaki, tapi tidak
kenal cinta.”
“Wah, jika begitu, bila kudatang lagi kelak, lantas
bagaimana?” tanya Bun-hiong.
“Sama juga,” ucap si cantik sambil menggigit perlahan ujung
telinga anak muda itu dengan napasnya yang khas. “Kau pun
akan kubunuh terkecuali kedatanganmu nanti atas
persetujuanku.”
“Tapi aku takkan datang lagi,” ucap Bun-hiong dengan tak
acuh.
“Kutahu, sudah banyak perempuan yang pernah kau kenal,
bukan?”
“Ya, memang.”
“Bagaimana menurut pendapatmu diriku dibandingkan
perempuan lain?”
“Jauh lebih merangsang.”
Si cantik tersenyum, “Jika begitu, jadi engkau memang suka
kepada perempuan yang genit dan sexy?”

“Dulu tidak suka, tapi sekarang aku mulai suka,” jawab Bunhiong.
“Apakah kau tahu seorang yang bernama Liong-hiap
Liong It-hiong?”
“Ya, tahu, cuma sayang belum pernah bertemu dengan dia,”
jawab Coa-kat-bijin.
“Dia sahabatku, dia yang memberitahukan padaku bahwa
makin genit seorang perempuan makin menyenangkan,
sekarang aku percaya.”
“Wah, menurut ceritamu ini, dia pasti seorang lelaki yang
sangat menarik.”
“Betul, dia memang sangat menarik.”
“Maukah kau ajak dia ke sini dan perkenalkan padaku?”
“Baik, bila ada kesempatan pasti akan kubawa dia ke sini.”
“Bilamana dia dapat memuaskanku, sesuai kebiasaanku, akan
kubayar dia. Tapi jika cuma potongannya saja sedap
dipandang tapi tidak enak dimakan, sesuai peraturan pula
akan kubunuh dia.”
Bun-hiong berjingkat kaget, serunya, “Hah, terhadap lelaki
yang tidak dapat memuaskan seleramu tentu akan kau
bunuh?”
“Betul,” jawab Coa-kat-bijin tertawa. “Nah, kau takut tidak?”
Bergidik juga Bun-hiong, katanya, “Wah, untung aku tidak
membuatmu kecewa, apakah tadi aku dapat menunaikan
tugas dan memenuhi kehendakmu?”

Coa-kat-bijin mengecup pipinya sekali, katanya, “Engkau
sangat tangkas, aku puas dan berterima kasih.”
Bun-hiong menaruh mangkuk sarang burung, lalu merangkul
pinggang si dia yang telanjang itu, digelitiknya perlahan dan
bertanya dengan tertawa, “Kapan akan kau enyahkan diriku?”
Si cantik ternyata takut geli, dipegangnya tangan Bun-hiong
yang nakal itu, jawabnya dengan mengikik tawa, “Pergilah
besok.”
“Jika begitu, jadi betul aku boleh tinggal satu malam di sini!”
Si cantik mengangguk, “Ya, makanya perlu kau sayangi waktu
semalam ini, sedetik berharga seribu tahil emas, betul tidak?”
“Bicara tentang nilai emas aku jadi ingin tanya padamu,” ucap
Bun-hiong dengan tertawa. “Mengapa suamimu sedemikian
kaya raya!”
“Sebab dia seorang kepala bandit,” jawab Coa-kat-bijin. “Harta
warisan yang ditinggalkannya kepadaku biarpun kugunakan
untuk foya-foya juga takkan habis tujuh turunan.”
Tergerak hati Bun-hiong, cepat ia tanya, “Sesungguhnya siapa
suamimu!”
“Eng-jiau-ong Oh Kiam-lam,” jawab Coa-kat-bijin.
Mata Bun-hiong terbelalak, “Aha, kiranya engkau istri Engjiau-
ong Oh Kiam-lam?!”
“Aku bukan istrinya yang sah,” tutur Coa-kat-bijin.
“Sesungguhnya aku cuma salah seorang perempuan
simpanannya saja.”

Seketika terkilas semacam pikiran Bun-hiong, ia menduga
sangat mungkin orang yang diincar Tui-beng-poan-koan ialah
perempuan cantik berbisa ini, segera ia tanya, “Kudengar Oh
Kiam-lam sudah dibunuh orang, sesungguhnya siapakah
pembunuhnya?”
“Entah, aku pun tidak tahu,” perlahan Coa-kat-bijin
menggeleng.
“Konon dia terbunuh sehabis merampok uang pemerintah
sejumlah sejuta tahil perak, kau tahu hal ini?” tanya Bun-hiong
pula.
“Tahu,” jawab si cantik hambar.
“Dan satu juta tahil perak itu diberikan seluruhnya
kepadamu?”
Si cantik menggeleng, “Tidak, cuma uang yang
ditinggalkannya untukku memang sangat banyak. Kau tahu
dia memang seorang kaya, kutaksir kekayaannya tidak kurang
dari tiga juta tahil perak.”
“Dan setelah dia mati, jatuh kepada siapa kekayaannya itu?”
tanya Bun-hiong.
“Entah, tidak diketahui ke mana perginya harta warisannya.”
“Mengapa bisa begitu?” tanya Bun-hiong tercengang.
“Memang begitulah keadaan yang sebenarnya, tidak ada
seorang pun tahu di mana beradanya harta bendanya
sebanyak itu, termasuk ketujuh saudara angkatnya,” tutur
Coa-kat-bijin tegas.
“Sungguh aneh, masa dia sengaja menyembunyikan harta

kekayaannya itu?” ujar Bun-hiong.
“Juga mungkin dirampas oleh orang yang membunuhnya itu,”
tukas Coa-kat-bijin.
“Apakah Ang-liu-soh Ban Sam-hian bertujuh tidak
mencurigaimu?”
Si cantik tertawa, “Jika mereka mengetahui Oh Kiam-lam
mempunyai simpanan serupa diriku tentu saja mereka akan
mencurigaiku dan yakin harta kekayaan Oh Kiam-lam telah
diserahkan padaku.”
“Sama sekali mereka tidak tahu akan dirimu?” heran juga Bunhiong.
“Ya, tidak tahu,” jawab Coa-kat-bijin. “Setiap setengah tahun
baru Oh Kiam-lam datang kemari satu kali untuk tetirah.”
“Engkau memberi keterangan ini kepadaku, tidak khawatir
akan kusampaikan kepada Ang-liu-soh Ban Sam-hian
bertujuh?”
“Tidak, sebab kuyakin engkau takkan berbuat demikian,”
jawab si cantik dengan tertawa.
“Betul, tak mungkin kulakukan hal ini, cuma, mengapa kau
ceritakan hal-hal ini kepadaku?” tanya Bun-hiong pula dengan
tertawa.
“Sebab ingin kubalas budi kebaikan Oh Kiam-lam terhadapku,”
jawab Coa-kat-bijin. “Maka ada niatku hendak menolong Oh
Beng-ay.”
“O, berita mengenai diculiknya Oh Beng-ay oleh Kiu-bwe-hou
Kongsun Siau-hui juga sudah kau dengar?” tanya Bun-hiong.

Coa-kat-bijin mengangguk, “Ya, kudengar engkau pernah
membuntuti Kiu-bwe-hou dan mengetahui tempat tinggalnya.”
“Betul, kutahu sarang rase ekor sembilan itu, tapi tidak dapat
kuberi tahukan padamu,” jawab Bun-hiong.
“O, apakah kau khawatir jiwaku akan melayang di tangan Kiubwe-
hou?”
“Betul, bisa jadi engkau berkepandaian tinggi, tapi Kongsun
Siau-hui adalah iblis tua yang sudah termasyhur sejak puluhan
tahun lalu, engkau mutlak bukan tandingannya.”
“Aku tidak perlu langsung bergebrak dengan dia, aku
mempunyai cara sendiri untuk menyelamatkan nona Oh.”
“Maksudmu, dengan mengorbankan kecantikanmu?” tanya
Bun-hiong.
“Betul,” si cantik tertawa. “Kudengar Kiu-bwe-hou adalah iblis
penggemar orang perempuan, maka aku ingin belajar kenal
dengan dia.”
“Wah, tidak boleh jadi,” Bun-hiong menggeleng kepala. “Jika
engkau berhubungan baik dengan dia, itu sama dengan
setangkai bunga segar ditancapkan di atas seonggok tahi
kerbau.”
“Hihihi,” si cantik terkikik. “Aku ini bukan bunga segar, palingpaling
aku cuma setangkai bunga mawar yang berduri. Nah,
mau beri tahukan padaku sarang Kiu-bwe-hou?”
“Tidak, tidak boleh,” berulang Bun-hiong menggeleng kepala.
Mendadak dari bawah selimut Coa-kat-bijin melolos keluar

sebilah belati mengilat dan mengancam di tenggorokan Bunhiong,
tanyanya dengan tertawa, “Benar tidak?”
Suara tertawanya merdu menyenangkan, tapi membuat orang
mengirik juga.
Sama sekali Bun-hiong tidak menduga si cantik
menyembunyikan senjata tajam di tempat tidur, seketika ia
tidak sempat mengelak, keruan ia tidak bisa berkutik, dengan
melotot ia menjawab, “Wah, nanti dulu, sabar! Kasih sayang
semalam sebagai suami-istri tak terlupakan selama seratus
hari. Masa engkau sampai hati memperlakukan diriku cara
begini?”
“Di dunia ini banyak sekali orang lelaki, berkurang dengan
dirimu seorang rasanya tidak membawa kerugian apa pun
bagiku,” sembari bicara si cantik terus mendorong sedikit
belatinya, ancamnya dengan tertawa, “Nah, mau bicara
tidak?”
“Baik, baik, akan kukatakan,” cepat Bun-hiong menjawab, tapi
mendadak sebelah tangannya meraih ke atas dan tepat
mencengkeram pergelangan tangan si cantik yang memegang
belati itu, ketika ia remas sekuatnya, kontan Coa-kat-bijin
menjerit, belati pun jatuh ke lantai.
Menyusul tangan Bun-hiong yang lain juga mencengkeram
tangan lain si cantik, bahkan tubuhnya terus ditindihkan di
atas badan orang, katanya dengan tergelak, “Haha, biar
kukatakan padamu, selamanya aku tidak suka diancam orang
....”
Mereka masih dalam keadaan telanjang bulat, keruan posisi
mereka sekarang menjadi serupa siluman yang sedang
bergumul.

Karena urat nadi tangan tergenggam, sukar pagi Coa-kat-bijin
untuk mengeluarkan tenaga, di samping gugup ia pun cemas,
kontan ia mencaci maki, “Keparat! Jahanam!”
Ebook oleh : Dewi KZ
Scan book oleh : BBSC
Jilid 11
“Jika berani sembarangan memaki lagi bisa segera
kupotong hidungmu!” Bun-hiong balas mengancam dengan
tertawa.
“Lepaskan!” teriak Coa-kat-bijin.
“Sebentar akan kulepaskan, sekarang aku ingin tahu dulu
namamu, coba katakan?” ucap Bun-hiong.
“Mati pun takkan kukatakan padamu,” jawab si cantik dengan
geregetan.
“Jika kau beri tahukan namamu, aku pun akan
memberitahukan padamu tempat tinggal Kiu-bwe-hou, mau?”
“Untuk apa kau tanya namaku?” teriak si cantik dengan gusar.
“Sebab aku sangat tertarik oleh perempuan seperti dirimu ini.”
Mendadak lunak pendirian si cantik, katanya, “Baik, akan
kukatakan padamu, aku bernama Wan Kiau-kiau.”
“Benar hendak kau tolong nona Oh?” tanya Bun-hiong.
Wan Kiau-kiau mengiakan.
“Terdorong oleh rasa simpatimu atau ada maksud tujuan

lain?”
“Karena simpatiku, akan kubawa dia kemari untuk tinggal
bersamaku.”
“Baik,” kata Bun-hiong. “Kiu-bwe-hou berdiam di Ma-cik-san di
Thay-oh, nona Oh juga berada di sana.”
Habis berucap ia lantas lepaskan tangan si nona.
“Enyah, sampai sesak napas kau tindih diriku!” seru Kiau-kiau
dengan napas tersengal.
Bun-hiong angkat tubuh, katanya dengan tertawa, “Ingin
kunasihatimu, jika benar karena simpatimu dan ingin
menolong nona Oh, maka sebaiknya jangan kau pergi ke
sana.”
“Sebab apa?” tanya Kiau-kiau dengan terbelalak.
“Bagaimana pribadi Kiu-bwe-hou tentu sudah kau ketahui
dengan jelas, permusuhannya dengan Oh Kiam-lam sangat
mendalam, bilamana dia tahu engkau adalah bekas piaraan
Oh Kiam-lam, tentu dia takkan mengampunimu.”
“Aku tidak takut,” kata Kiau-kiau. “Dengan parasku ini,
kuyakin tiada seorang lelaki pun takkan bertekuk lutut
padaku.”
Bun-hiong tertawa, katanya, “Bagaimana kalau kugantikan
dirimu pergi menolongnya?”
“Hm, engkau punya keberanian itu?” jengek Kiau-kiau.
“Semula tidak ada, tapi sekarang ada,” jawab Bun-hiong.
“Mengadu jiwa demi perempuan cantik serupa dirimu kukira

cukup berharga.”
Kiau-kiau tertawa, tanyanya, “Engkau bicara sesungguhnya?”
“Ya, kenapa tidak?” Bun-hiong mengangguk dengan
tersenyum.
“Baik, kita pergi bersama,” tukas Wan Kiau-kiau.
“Tidak, engkau tinggal saja di sini, biar kupergi sendirian.”
“Tidak, betapa pun aku harus ikut pergi,” kata Kiau-kiau tegas.
“Jika benar kau khawatir aku akan dicelakai Kiu-bwe-hou,
nanti setiba di Thay-oh biarlah kutinggal di tepi danau itu dan
tidak ikut mendaki Ma-cik-san.”
“Jika begitu, buat apa ikut pergi?” ujar Bun-hiong.
“Sesudah nona Oh kau selamatkan, kan dapat kubawa dia ke
sini sehingga engkau tidak perlu lagi menempuh perjalanan
jauh kemari.”
Sesungguhnya Bun-hiong memang tidak benar bermaksud
menyuruhnya tinggal di sini, maka ia lantas mengangguk
setuju, “Baik, cuma engkau harus berjanji aku masih boleh
datang lagi mencarimu.”
Kiau-kiau meliriknya sekejap dengan tertawa, “Hm, tuman,
ya?
“Ya, habis engkau sangat memikat,” jawab Bun-hiong dengan
cengar-cengir.
“Dari sini ke Thay-oh kira-kira makan waktu berapa lama?”
tanya si nona.

“Bergantung cara bagaimana engkau menempuhnya, jika
menunggang kuda, paling lama setengah bulan,” jawab Bunhiong.
“Wah, aku tidak suka menunggang kuda,” ujar Kiau-kiau.
“Bagaimana kalau menumpang kereta saja?”
“Jika begitu diperlukan waktu 20-an hari,” tutur Bun-hiong.
Kiau-kiau tersenyum menggiurkan, katanya, “Kalau begitu,
selanjutnya kita akan berada bersama selama 20-an hari,
keenakan bagimu, apa pula yang kau harapkan?”
Bun-hiong tertawa, “Kapan kita akan berangkat?”
“Besok,” ucap si nona.
“Engkau mempunyai kereta?
“Ada.”
“Jika begitu, pakai keretamu, aku keluar kuda, tapi siapa yang
akan menjadi kusir?” kata Bun-hiong.
“Siang Po-hok,” tukas Kiau-kiau.
“Jiu Goat akan menjaga rumah sebesar ini sendirian, engkau
tidak khawatir?”
“Tidak menjadi soal, Kungfu Jiu Goat tidak lemah, kalau orang
persilatan biasa saja sanggup dihadapinya,” ujar Kiau-kiau.
“Pula, terus terang kuberi tahukan padamu, di segenap
pelosok perkampunganku ini penuh terpasang alat perangkap,
orang biasa tidak dapat sembarangan masuk ke sini.”
“Tadi bukankah aku sudah masuk kemari?” ujar Bun-hiong.

“Itu lantaran Siang Po-hok membawamu kemari, kalau tidak,
sampai tua pun engkau jangan harap akan mencapai tempat
tinggalku ini.”
Bun-hiong tidak bicara lagi, tapi tangannya lantas beraksi pula
....
*****
Esok paginya mereka benar lantas berangkat dengan
menumpang kereta kuda, menuju ke utara.
Sementara itu Liong It-hiong juga sudah sampai di kota
Tengciu.
Tengciu adalah kota pantai, suatu kota yang terkenal dengan
makanan laut, sedangkan pesut juga salah satu hidangan lezat
di kota ini, banyak orang yang berdatangan hanya khusus
ingin mencicipi daging pesut.
Dengan sendirinya kedatangan Liong It-hiong ke Tengciu ini
bukan untuk makan pesut melainkan karena mengusut dan
hendak menangkap Hiat-pit-siucay Hui Giok-koan, sebab
menurut catatan dalam kitab Tui-beng-poan-koan To Po-sit
mengenai tokoh-tokoh dunia persilatan, perangai Hui Giokkoan
tercatat sebagai gemar makan ikan pesut, setelah
berhasil membawa lari kotak hitam itu, sangat mungkin dia
datang ke Tengciu untuk makan-minum sepuasnya.
Namun Tengciu juga bukan kota yang kecil, bila benar Hui
Giok-koan datang ke sini, lantas di mana dia akan memondok?
Sukar bagi It-hiong untuk mencari tahu apakah Hui Giok-koan
mempunyai kenalan di kota ini, sebab itulah dia cuma
memperkirakan Hui Giok-koan memondok di suatu hotel di

dalam kota, dan untuk menemukan dia harus didatangi dua
tempat, yaitu di hotel atau di restoran.
Setelah dipikir It-hiong memutuskan akan mulai mencarinya
dari hotel ke hotel.
Dari orang di pinggir jalan dapat diketahuinya bahwa di kota
ini seluruhnya ada tiga buah hotel besar, yang pertama
bernama In-hay-khek-can, kedua Sian-ci-lan-can dan ketiga:
Kah-pin-koh-can. Langsung ia menuju ke In-hay-khek-can.
Tidak lama sampailah dia di depan hotel tersebut.
Melihat kedatangan tamu, cepat pelayan menyambutnya
dengan tertawa, katanya sambil memberi hormat, “Apakah
Tuan tamu ingin bermalam?”
Lebih dulu It-hiong memberi tip sepotong perak receh,
katanya, “Tidak, aku ingin mencari seorang teman, entah dia
tinggal di sini atau tidak?”
Karena mendapat persen, dengan senang si pelayan
menjawab, “Ya, ya, numpang tanya siapa nama teman Tuan
itu?
“Namanya Hui Giok-koan,” tutur It-hiong.
“Hui Giok-koan,” si pelayan mengulang nama itu sambil
berpikir. “Oo ... rasanya di tempat kami tidak terdapat tamu
bernama demikian ....”
“Coba kau periksa daftar tamu di kantor,” pinta It-hiong.
Pelayan mengiakan terus menuju ke dalam hotel untuk tanya
kasir di belakang meja, lalu keluar lagi dan memberi
keterangan kepada It-hiong, “Maaf, Tuan tamu, di sini tidak

terdapat tamu yang Tuan cari.”
It-hiong termenung sejenak, katanya kemudian, “Mungkin dia
menggunakan nama samaran. Dia berusia antara 37-38 tahun,
perawakannya agak lebih kurus sedikit daripadaku, juga lebih
pendek sedikit. Wajahnya terhitung cakap, tampaknya rada
menakutkan, sikapnya angkuh dan dingin.”
Pelayan berpikir lagi sejenak, lalu bertanya, “O, apakah dia
selalu membawa senjata berbentuk potlot?”
“Aha, betul, betul dia, apakah dia masih tinggal di hotel
kalian?” seru Bun-hiong dengan girang.
“Wah, sayang, dia sudah berangkat kemarin,” tutur si pelayan.
“O, sudah berangkat?!” sungguh It-hiong sangat kecewa.
“Betul, dia tinggal dua hari di sini dan baru kemarin siang
berangkat.”
“Apakah dia tidak menyatakan hendak menuju ke mana?”
tanya It-hiong pula.
“Tidak, cuma sangat mungkin dia belum meninggalkan kota
ini, sebab pagi kemarin dia menyuruh hampa membelikan
sejumlah kado, katanya hendak mengucapkan selamat ulang
tahun kepada seorang kawannya.”
“Apakah dia tidak menjelaskan siapa nama kawannya?” tanya
It-hiong cepat.
“Wah, tidak,” jawab si pelayan.
“Berdasarkan apa kau bilang dia belum meninggalkan kota
ini?” tanya It-hiong.

“Sebab dia menunggang kuda, juga tidak menyewa kereta dan
pergi begitu saja dengan membawa kado yang hamba belikan
itu, tampaknya dia tidak siap untuk menempuh perjalanan
jauh.”
It-hiong manggut-manggut, “Baik, terima kasih atas
keteranganmu.”
“Terima kasih kembali,” jawab si pelayan.
It-hiong lantas naik lagi kudanya dan menyusuri jalan raya
sembari berpikir, “Kedudukan Hui Giok-koan di kalangan hitam
tidak terhitung rendah, jika dia benar akan memberi selamat
ulang tahun kepada seorang kawannya, orang yang dimaksud
tentu tokoh yang punya nama. Biarlah kucari tahu dulu,
adakah tokoh dunia persilatan terkenal di kota ini?”
Untuk mencari keterangan tokoh dunia persilatan hanya ada
dua tempat, yaitu rumah perguruan silat atau perusahaan
pengawalan (Piaukiok).
Begitulah It-hiong mengambil keputusan akan mencari
keterangan ke tempat-tempat tersebut.
Tapi meski dia sudah melintasi beberapa jalan besar di kota ini
tetap belum ditemukan sesuatu Bu-koan (perguruan silat) atau
Piaukiok.
Ia turun dari kudanya dan coba tanya seorang kakek penjual
kurma, dari orang tua inilah diketahuinya di kota Tengciu tidak
terdapat rumah perguruan silat atau perusahaan pengawalan.
Ia coba tanya pula, “Jika begitu, numpang tanya lagi, apakah
di kota ini atau sekitarnya tidak terdapat seorang tokoh yang
berilmu silat tinggi?”

“Wah, aku tidak tahu,” jawab si kakek sambil geleng kepala.
Maksud It-hiong hendak tinggal pergi, tiba-tiba teringat lagi
sesuatu, ia coba tanya pula. “Apakah bapak tahu di daerah
mana di kota ini dapat membeli ikan pesut?”
“Beli saja di rumah makan atau di pasar,” jawab si kakek.
“Maksudku, di mana dapat membeli pesut hidup?” kata Bunhiong.
Orang tua menuding ke arah timur, katanya, “Di luar kota
sana ada sebuah sungai besar bernama Lau-kong-ho, di sana
biasanya terjadi jual-beli pesut hidup, silakan Kongcu mencari
saja ke sana.”
It-hiong mengucapkan terima kasih dan segera melarikan
kudanya ke gerbang timur kota.
1a menduga harapan tipis untuk dapat menemukan Hui Giokkoan,
tapi mengingat sudah berada di kota ini, betapa pun
harus berusaha mencari lagi. Jika Hui Giok-koan mempunyai
kegemaran makan ikan pesut, terpaksa ia mencarinya ke
tempat yang biasa terdapat pesut.
Langsung ia menuju keluar kota mengikuti jalan raya, tidak
lama kemudian, benar juga terlihat sebuah sungai, tertampak
di kedua sisi tanggul sungai ada belasan rumah penduduk, ia
pikir orang-orang ini tentu kaum nelayan yang biasa
menangkap ikan dan pecut, segera ia datangi rumah-rumah
penduduk itu.
Baru sampai di depan rumah-rumah itu, terdengar di tepi
sungai sana ada orang berteriak, “Aha, bagus, akhirnya
berhasil menangkap seekor!”

Karena teriakan itu, serentak banyak orang berlari ke sana
sembari berteriak senang, “Wah, besar amat pesut ini. Ai, Malotia,
mujur benar nasibmu, pesut ini sedikitnya laku terjual
dua tahil perak.”
Meski It-hiong pernah juga makan daging pesut, tapi belum
pernah melihat bagaimana bentuk pesut hidup, segera ia
melarikan kudanya ke sana.
Setiba di tepi sungai, ia turun dari kudanya dan ikut berjubel
di tengah kerumunan orang banyak, dilihatnya seekor pesut
telah diseret ke tepi sungai, panjang pesut itu hampir satu
meter, tubuhnya bulat, bagian perut melembung, bentuknya
jelek.
Akan tetapi Ma-lotia atau bapak Ma yang menangkapnya
kelihatan kegirangan serupa menemukan benda mestika.
“Ayo, lekas, bawa pesut ini ke tempat Wi-cengcu,” seru
seorang.
“Wah, jangan, sudah terlambat,” tukas seorang lagi.
“Terlambat katamu?” tanya seorang lain.
“Ya, sekarang kan sudah lewat tengah hari?” ucap orang
kedua tadi.
“O, maksudmu sudah lewat waktunya perjamuan tengah
hari?”
“Betul.”
“Wah, benar juga. Sungguh sayang. Bilamana tertangkap dua
jam yang lalu tentu keburu dijual kepada Wi-cengcu.”

“Tidak menjadi soal, boleh dijual saja kepada restoran di kota,
tetap mendatangkan rezeki.”
“Hei, Ma-lotia, hendak kau jual ke mana?” demikian tanya
seorang penduduk.
“Kupikir akan kujual kepada Wi-cengcu saja,” ucap Ma-lotia
dengan tertawa.
“Akan tetapi dia menjamu tamu pada siang hari ini, sudah
terlambat jika diantar sekarang.”
“Tidak apa-apa,” ujar Ma-lotia. “Biarpun tidak pesta juga Wicengcu
biasa membeli, apalagi pesut sebesar ini.”
“Betul juga, lekas kau antar ke sana,” seru yang lain.
“Ya, akan kucari dulu karung kosong,” ujar si kakek dan
segera berlari pulang ke rumahnya.
Liong It-hiong mendekati seorang tua dan coba tanya,
“Numpang tanya Lotiang, orang macam apakah Wi-cengcu
itu?”
Si kakek memandangnya sekejap, lalu balas bertanya,
“Saudara cilik ini bukan penduduk daerah sini?”
“Ya, kudatang dari Kanglam,” jawab Bun-hiong.
“Pantas engkau tidak kenal siapa Wi-cengcu,” tutur kakek itu.
“Beliau adalah tokoh terkenal di daerah kami sini, seorang
hartawan besar, orangnya juga berhati baik, suka menolong
orang miskin dan membantu yang kesukaran, bulan yang lalu
beliau malahan menyumbang seribu tahil perak untuk
membangun sebuah jembatan.”

“Jika demikian, jelas Wi-cengcu itu seorang dermawan, entah
di mana tempat tinggalnya?” tanya It-hiong.
“Perkampungan tempat tinggalnya itu bernama Liong-coanceng,
hanya belasan li dari sini,” tutur si kakek.
“Apakah hari ini dia mengadakan pesta?” tanya It-hiong pula.
“Betul, hari ini adalah ulang tahun Wi-cengcu yang ke-60,”
tutur orang tua itu. “Kabarnya ada beberapa ratus orang akan
menyampaikan ucapan selamat ke Liong-coan-ceng, beberapa
hari yang lalu beliau sudah memberi pesan agar berusaha
menangkap beberapa ekor pesut, sungguh tidak kebetulan,
selama beberapa hari ini cuma tertangkap dua-tiga ekor yang
kecil dan baru sekarang tertangkap seekor sebesar ini.”
Tengah bicara Ma-lotia sudah berlari kembali dengan
membawa sebuah karung goni, beramai-ramai orang banyak
membantunya memasukkan pesut itu ke dalam karung dan
diikat dengan baik, lalu diterobos dengan sebuah pikulan.
“Jisiaucu, ayolah bantu gotong pesut ini ke Liong-coan-ceng,”
seru Ma-lotia.
Seorang pemuda tanggung berkepala borokan mendekat dan
bertanya, “Bisa minum arak tidak?”
“Tentu, sesudah terima uang, akan kutraktir minum
sepuasnya,” ujar Ma-lotia.
“Ayolah kubantu,” kata pemuda itu.
It-hiong tidak menghiraukan mereka lagi, ia mencemplak ke
atas kudanya dan dilarikan ke arah selatan.

Ia yakin Hui Giok-koan pasti berkunjung ke Liong-coan-ceng
untuk memberi selamat kepada Wi-cengcu, sedangkan pesta
ulang tahun Wi-cengcu itu diselenggarakan pada siang hari ini,
maka dirinya harus cepat menuju ke sana, sebab sekarang
sudah lewat tengah hari, mungkin pesta itu hampir bubar.
Bilamana hubungan Hui Giok-koan dengan Wi-cengcu kurang
erat mungkin sehabis pesta akan terus mohon diri. Dan kalau
telanjur pergi, tentu tidak gampang lagi untuk mencarinya.
Sebab itulah langsung ia melarikan kudanya menuju Liongcoan-
ceng.
Hanya sepertanak nasi lamanya sudah tibalah dia di tempat
tujuan.
Ternyata Liong-coan-ceng bukan perkampungan biasa
melainkan terhitung sebuah kota kecil karena banyak tempat
wisata di tempat ini, terutama ada tempat mandi air belerang,
maka di tempat ini banyak tersedia sarana bagi kaum
pelancong seperti hotel, restoran dan sebagainya, sungguh
sebuah kota yang ramai.
It-hiong mendapatkan sebuah hotel, kuda diserahkan kepada
pelayan, lalu ia cari keterangan tentang tempat tinggal Wicengcu.
Kiranya tempat kediaman Wi-cengcu terletak di pinggir kota,
dekat kaki gunung. Segera ia berjalan kaki ke sana, dari jauh
tertampak suatu kompleks bangunan di kaki gunung sana.
Sebuah jalan batu lurus menembus ke pintu gerbang
perkampungan yang bergapura besar dengan papan bertulis
empat huruf besar yang berarti “Keluarga Dermawan”.
Sangat megah bangunan gapura itu, di kedua samping gapura
adalah sederetan tembok berwarna merah, kelihatan memang

keluarga yang kaya raya.
Saat itu suasana kompleks perumahan ini kelihatan riang
gembira, suasana pesta pora dengan macam-macam hiasan,
di luar pintu gerbang banyak berparkir kereta kuda, tandu dan
puluhan ekor kuda. Jelas kendaraan para tamu. Orang di
dalam perkampungan hilir mudik kian kemari tiada hentinya,
suara riuh gemuruh, melihat gelagatnya pesta belum lagi usai.
Liong It-hiong tidak bermaksud masuk ke perkampungan itu,
sebab ia tidak kenal orang macam apakah Wi-cengcu itu, ia
pun tidak ingin kedatangannya dilihat oleh Hui Giok-koan,
maka ia mengambil keputusan akan menunggu saja di luar
perkampungan, nanti kalau Hui Giok-koan keluar, lalu akan
dikuntitnya.
Sebab menurut perkiraannya, tidak mungkin Hui Giok-koan
menyampaikan ucapan selamat kepada Wi-cengcu dengan
membawa kotak hitam itu melainkan pasti disembunyikan di
suatu tempat, maka kalau ingin merampas kembali kotak itu
harus menunggu selesai Hui Giok-koan menghadiri pesta itu
dan membuntutinya secara diam-diam.
Ia coba mengamat-amati keadaan sekitarnya, dilihatnya di
sebelah kiri jalan sana adalah hutan yang cukup lebat, di
antaranya ada sebatang pohon cemara tua dan tinggi, dari
atas pohon itu dapat mengintai keadaan di dalam
perkampungan serta jalan di luar kampung.
Segera ia menyelinap ke dalam hutan, ia melompat ke atas
pohon cemara itu dan menongkrong di suatu dahan pohon
yang teraling oleh daun lebat.
Tak terduga, baru saja ia duduk di dahan pohon, mendadak
dari sebelah atas ada orang menegurnya, “Hei, saudara cilik,
kau mau apa datang ke sini?”

Tentu saja It-hiong kaget karena sama sekali tidak menyangka
di atas pohon itu sudah ada orang.
Cepat ia mendongak dan balas menegur, “Siapa itu?!”
Setelah diawasi barulah diketahui pada sebuah dahan lain di
bagian atas sana juga menongkrong seorang tua yang
bertubuh tinggi besar.
Usia kakek ini antara 57-58 tahun, badan gemuk dan muka
bulat serupa Buddha tertawa yang gendut itu, kepalanya
botak plontos, hanya sekitar pelipis ada sedikit rambut pendek
keriting sehingga mirip ikat kepala.
Baju orang tua ini terlebih aneh, hanya memakai sepotong
baju kulit macan tutul yang tak berlengan, celana yang
dipakainya berwarna kelabu dan berkaki telanjang, bentuknya
seperti seorang pemburu.
Tapi sekali pandang saja Liong It-hiong lantas yakin orang tua
ini pasti seorang tokoh persilatan kelas tinggi, sebab dahan
pohon yang didudukinya itu sangat kecil, namun tubuhnya
yang gede itu ternyata seringan kapas tanpa membuat dahan
kecil itu melengkung ke bawah, ini menandakan Ginkang
kakek gendut ini pasti luar biasa.
Meski kejut dan heran di dalam hati, namun It-hiong tidak
gentar, sebab ia tahu jika orang bersembunyi di atas pohon,
tentu bukan orang dari Liong-coan-ceng.
Setelah menenangkan perasaannya, dengan tertawa It-hiong
lantas bertanya, “Numpang tanya, siapa nama Locianpwe
yang terhormat?”
Kakek berbaju kulit macan itu tertawa lebar, jawabnya, “Eh,

kita tidak perlu saling memberi tahu nama masing-masing,
jadi?”
“Baik,” jawab It-hiong tertawa, “Tapi apakah boleh kutahu
untuk apa Locianpwe bersembunyi di atas pohon?”
“Jika aku yang tanya padamu akan kau jelaskan atau tidak?” si
kakek balas bertanya.
It-hiong melengak, tapi dengan tersenyum ia menjawab,
“Akan kujelaskan, yaitu menunggu orang di sini.”
“Menunggu siapa?” tanya si kakek berbaju kulit macan.
It-hiong mengangkat bahu, “Wah, maaf, tak dapat
kukatakan.”
“Hehe, jika begitu, boleh juga kujelaskan, aku pun sedang
menunggu orang, soal siapa yang kutunggu, hehe, juga tidak
dapat kukatakan.”
Lalu si kakek menunjuk sebuah dahan kecil di sebelahnya dan
berkata pula dengan tertawa, “Kenapa engkau tidak
nongkrong saja di sini?”
It-hiong tahu orang hendak menguji kemampuannya, dengan
sendirinya ia tidak mau dipandang lemah, dengan suatu
lompatan ringan dapatlah ia mencapai dahan itu dan duduk di
situ dengan santainya. Dahan itu pun tidak melengkung sama
sekali.
Air muka si kakek tampak rada berubah, ia manggut-manggut
sebagai tanda memuji, katanya, “Boleh juga, anak muda
seperti dirimu mempunyai kepandaian sehebat ini.”
“Terima kasih,” jawab It-hiong.

“Mengapa engkau tidak masuk ke perkampungan sana?” tanya
pula si kakek.
“Dan Lotiang (bapak) sendiri kenapa tidak masuk ke sana?” Ithiong
balas bertanya.
“Sebab aku tidak kenal Wi Ki-tiu, tidak ada sesuatu hubungan
apa pun, “ jawab si kakek berbaju kulit macan.
“Sama, Cayhe pun begitu,” kata, It-hiong.
Si kakek memandangnya sejenak dengan tajam, lalu berucap
pula dengan tersenyum, “Tapi jika kau mau masuk ke sana
untuk mengucapkan selamat ulang tahun, mereka pasti takkan
menolak kedatanganmu.”
“Ya, tapi Cayhe tidak bermaksud masuk ke sana untuk
mengucapkan selamat,” ujar It-hiong.
Si kakek diam sejenak, lalu tanya lagi, “Orang yang kau
tunggu itu kawan atau lawan?”
“Bukan kawan, juga bukan lawan.” tutur It-hiong.
“Habis orang macam apa dan ada hubungan apa denganmu?”
“Kalau kita tidak perlu saling memberi tahu nama masingmasing,
bagaimana kalau kita juga tidak saling tanya maksud
kedatangan kita, oke?”
“Baik,” si kakek tertawa. “Coba lihat, ramai sekali pesta di
sana.”
Suasana di tengah Liong-coan-ceng memang sangat ramai,
dipandang dari atas pohon yang tinggi itu, tertampak jelas di

pelataran perkampungan itu berjajar 50-60 buah meja
perjamuan yang penuh dikelilingi tetamu, pelayan tampak
sibuk membawakan hidangan kian kemari, suara tertawa
tetamu riuh rendah menggema angkasa.
Setelah memandang sejenak, dengan tertawa It-hiong tanya,
“Apakah Locianpwe melihat orang yang engkau tunggu?”
“Tidak terlihat, cuma dia pasti berada di sana, tidak salah
lagi,” ujar si kakek.
“Di tengah tetamu itu banyak tokoh dunia persilatan, bukan?”
tanya It-hiong.
“Ya,” si kakek berbaju kulit macan mengangguk.
“Seorang hartawan yang terkenal berjiwa sosial ternyata
banyak bergaul dengan tokoh dunia persilatan, ini
menandakan Wi-cengcu sendiri pasti orang yang luar biasa,”
ujar It-hiong.
“Ya, dia memang orang luar biasa, sebab ia sendiri tadinya
juga tokoh dunia Lok-lim (rimba hijau alias kaum bandit),
namanya tidak berada di bawah Oh Kiam-lam,” tutur si kakek.
“Oo, apa betul?” It-hiong menegas.
“Tentu saja betul,” tutur si kakek dengan tertawa. “Cuma dia
sudah mengundurkan diri beberapa tahun yang lalu, tidak lagi
melakukan pekerjaan membunuh dan membakar itu.”
“O, Tuhanku, orang begini mana sesuai untuk disebut sebagai
dermawan?” keluh It-hiong sambil menghela napas.
“Sebutan dermawan dipasang olehnya sendiri,” kata si kakek.
“Cuma akhir-akhir ini dia memang betul berbuat sedikit

kebaikan, di sinilah letak kepintarannya. Bilamana seorang
lebih dulu mencari jalan untuk memupuk kekayaan, kemudian
mengasingkan diri di tempat lain, lalu muncul kembali dengan
wajah yang tidak sama dan sengaja berbuat sedikit hal-hal
yang kelihatan bajik untuk memperoleh pujian, orang, maka
seterusnya dapatlah dia hidup aman tenteram dengan sebutan
dermawan.”
“Jika begitu, nama aslinya tentu bukan Wi Ki-tiu?” tanya Ithiong.
“Dia memang bernama Wi Ki-tiu dan berjuluk Kui-sui-poa
(swipoa setan), cuma sekarang dia telah ganti nama menjadi
Co-im (amal leluhur).”
“Wah, jika dia berjuluk Kui-sui-poa, itu menandakan dia ahli
berhitung dan tidak mau rugi,” ujar It-hiong.
“Selain begitu, dia memang juga menggunakan swipoa
sebagai senjata,” tutur si kakek berbaju kulit macan tutul.
“Malahan biji swipoanya dapat dilepaskan dan digunakan
sebagai senjata rahasia. Kepandaiannya memang tidak
rendah, selama berpuluh tahun dia malang melintang di
kalangan Lok-lim daerah utara tanpa ketemukan tandingan
yang berarti.”
“Mungkin sekali dia tidak sungguh-sungguh mengundurkan
diri,” kata It-hiong.
“Oo, apa dasarnya?” tanya si kakek.
“Bilamana benar dia sudah cuci tangan dari pekerjaannya
dulu, seharusnya dia jauh meninggalkan pergaulan dengan
tokoh dunia persilatan dan tirakat di tempat terpencil. Tapi
sekarang dia mengadakan pesta ulang tahun ke-60 dan
datang sekian banyak tokoh persilatan untuk mengucap

selamat kepadanya, ini menandakan dia tidak pernah benarbenar
mengundurkan diri.”
“Ya, mungkin betul begitu, tapi masih ada alasan lain, yaitu
dengan menggunakan kesempatan ini dia hendak menarik
keuntungan sebanyak-banyaknya.”
“Keuntungan sebanyaknya bagaimana?” tanya It-hiong.
“Kau tahu tokoh dunia persilatan yang datang mengucapkan
selamat kepadanya kebanyakan adalah bekas anak buahnya
dahulu,” tutur si kakek. “Melihat betapa banyak tamu yang
hadir itu, bilamana separuh di antaranya adalah kawan
segolongannya, umpama saja ada 300 orang, kalau seorang
menyumbang 100 tahil, maka sekaligus dia akan bertambah
kaya 30 laksa tahil perak.”
“Ya, betul juga,” tukas It-hiong. “Padahal biaya perjamuannya
yang 60 meja itu takkan lebih dari seribu tahil perak.”
“Betul, belum lagi sebagian tetamu yang lain, sedikit banyak
juga ada yang menyumbang, maka dapat dipastikan hari ini
dia mendapat untung besar,” kata si kakek.
“Hah, pantas dia mau memberi derma untuk membangun
jembatan, rupanya dia mempunyai sumber rezeki sendiri,”
ujar It-hiong.
“Lihat itu, Kui-sui-poa Wi Ki-tiu sudah keluar,” seru si kakek
tiba-tiba.
Waktu It-hiong memandang ke sana, benar juga dilihatnya
seorang tua dengan pakaian mentereng di bawah iringan
beberapa orang tampak keluar perkampungan besar itu, lalu
berdiri di sisi pintu gerbang, melihat gelagatnya dia siap
mengantar kepergian para tamunya.

“Kakek berpakaian perlente itukah Kui-sui-poa Wi Ki-tiu?”
tanya It-hiong.
“Betul,” jawab si kakek.
“Tadi Locianpwe bilang tidak kenal Wi Ki-tiu, mengapa sekali
pandang dapat kau kenali dia sebagai Wi Ki-tiu?” tanya Ithiong
pula.
“Bila pesta usai, tuan rumah harus mengantar sendiri
kepergian tetamu, itulah sopan santun pergaulan, maka dapat
kuterka dia pasti Wi Ki-tiu.”
Dalam pada itu sudah ada tamu yang keluar, terlihat Kui-suipoa
Wi Ki-tiu sibuk memberi salam mengantar keberangkatan
tetamunya, sikapnya cukup hormat dan rendah hati.
“Ssst, jangan bicara lagi, marilah kita mengamati sasaran kita
masing-masing.” desis si kakek.
It-hiong mengangguk.
Tidak lama kemudian, para tamu berbondong-bondong keluar,
ada yang menumpang kereta, ada yang naik kuda, ada pula
yang naik tandu, sebagian berjalan kaki, semuanya melalui
jalan batu yang lurus ini sehingga memanjang serupa pawai.
Dari atas pohon yang tinggi Liong It-hiong dan kakek berbaju
kulit macan tutul itu dapat mengawasi setiap tamu itu dengan
jelas. Hanya orang yang menumpang tandu dan kereta saja
yang tak dapat terlihat wajahnya, tapi Liong It-hiong yakin Hui
Giok-koan pasti tidak menumpang kereta atau naik tandu,
maka yang diperhatikannya hanya tamu yang naik kuda dan
berjalan kaki.

Rupanya si kakek juga mempunyai pikiran yang sama, ia tidak
memerhatikan orang yang menumpang kereta dan naik tandu.
Begitulah beramai-ramai beberapa ratus tamu itu beriring
menelusuri jalan batu kecil itu menuju ke arahnya masingmasing,
cukup lama juga barulah tetamu itu pergi seluruhnya.
It-hiong merasa kecewa, sebab di antara tetamu itu ternyata
tidak ditemukan jejak Hiat-pit-siucay Hui Giok-koan.
Sungguh aneh, apakah dia memang tidak hadir ke sini?
Rasanya tidak begitu, sebab menurut keterangan pelayan
hotel yang ditanyai Liong It-hiong, jelas diketahui Hui Giokkoan
membeli kado untuk ulang tahun kawannya, kawan yang
dimaksud itu pasti Kui-sui-poa Wi Ki-tiu adanya.
Bisa jadi Hui Giok-koan menumpang kereta atau naik tandu?
Rasanya juga tidak, sebab si pelayan hotel bilang dia
berangkat dengan berjalan kaki, bahkan tempat Wi Ki-tiu
berjarak tidak jauh, tidak nanti dia berkendaraan.
Habis ke mana perginya? Mengapa tidak tertampak
bayangannya?
Mungkinkah sehabis mengucapkan selamat kepada tuan
rumah lalu pergi lagi tanpa ikut dalam perjamuan?
Ini pun sangat tidak mungkin, kedatangannya ke Tengciu jelas
karena ingin makan enak, yaitu menikmati daging pesut,
mustahil kalau dia pergi lagi secara tergesa-gesa sebelum
tercapai maksud tujuannya.
Atau, ini sangat mungkin, yaitu sebagai satu di antara ketujuh
gembong kalangan hitam di daerah selatan, nama dan

kedudukannya tentu lain daripada yang lain, maka dalam
pesta Wi Ki-tiu ini tentu dia termasuk tamu yang terhormat,
mungkin sekali Wi Ki-tiu akan menahannya agar tinggal lagi
beberapa hari di tempatnya.
Berpikir sampai di sini, dalam hati Liong It-hiong sudah ada
kepastian.
Dilihatnya si kakek berbaju kulit macan tutul itu juga sedang
termenung bingung, jelas orang tua ini pun tidak melihat
orang yang ditunggunya, maka dengan tersenyum It-hiong
bertanya, “Apakah orang yang Locianpwe cari itu tidak
kelihatan muncul?”
Si kakek bekernyit kening, katanya, “Ya, sungguh bedebah!
Padahal berita yang kuterima sangat dapat dipercaya dan jelas
mengatakan dia akan datang ke sini untuk mengucapkan
selamat kepada Wi Ki-tiu.”
“Bisa jadi terjadi perubahan mendadak, umpamanya ada
urusan lain yang lebih penting dan dia tidak jadi kemari,” ujar
It-hiong.
“Tidak, justru kuyakin dia pasti kemari,” kata si kakek, “Dia
adalah sahabat lama Wi Ki-tiu, tidak bisa tidak hadir.”
“Atau, mungkin juga dia sudah pergi dengan menumpang
kereta atau naik tandu,” kata It-hiong pula.
Si kakek menggeleng kepala, “Tidak, ia tidak suka
menumpang kereta, apalagi naik tandu, biasanya ia cuma
suka naik kuda.”
Mendadak ia menatap It-hiong dan balas bertanya, “Dan
bagaimana dengan orang yang kau tunggu? Terlihat?”

“Tidak, ia pun tidak tampak batang hidungnya,” jawab Ithiong
dengan menyengir.
“Mengapa bisa begitu?” tanya si kakek.
“Entah,” It-hiong juga menggeleng kepala.
“Sekarang tetamu sudah pergi semua, apakah engkau hendak
menunggu lagi di sini?” tanya si kakek.
“Tidak, segera aku mau pergi saja,” sembari bicara segera Ithiong
bergaya hendak melompat ke bawah.
“Eh, nanti dulu!” seru si kakek.
“Ada apa?” tanya It-hiong, diam-diam ia menghimpun tenaga
untuk menjaga segala kemungkinan.
“Begini,” kata si kakek. “Bilamana kau mau katakan siapa
orang yang hendak kau tunggu, bisa jadi aku dapat bantu
mencarinya bagimu.”
“Ah, terima kasih, kukira tidak perlu,” ujar It-hiong.
“Apakah tidak terpikir olehmu, orang yang hendak kau cari itu
sangat mungkin masih ngendon di tempat Wi Ki-tiu?” ucap si
kakek tiba-tiba.
“Oo ....” It-hiong melenggong.
“Makanya kubilang jangan pergi dulu,” kata si kakek dengan
tertawa. “Marilah kita menunggu lagi, bila hari sudah gelap
dan mereka belum juga muncul, malam nanti kita masuk ke
sana untuk mencarinya.”
Sesungguhnya memang sudah ada niat Liong It-hiong akan

menyelidiki Liong-coan-ceng malam nanti, namun usul si
kakek terasa di luar dugaannya, sahutnya dengan tertawa,
“Apakah Locianpwe merasa kita dapat melakukan operasi
bersama?”
“Kalau bisa saling membantu, apa alangannya?” ujar si kakek.
“Mengapa Locianpwe tidak masuk saja sendirian ke sana?”
“Masuk sendirian ke sana juga tidak menjadi soal bagiku, tapi
kalau bertambah seorang teman kan lebih baik?” ujar si kakek.
“Nah, bagaimana, mau?”
It-hiong berpikir sejenak, katanya kemudian dengan
mengangguk, “Baik malam ini biar kita operasi bersama, akan
kita selidiki perkampungan itu.”
Si kakek tampak sangat senang, katanya dengan tertawa,
“Kepandaianmu tidak rendah, makanya kuajak kerja sama
denganmu. Engkau anak murid dari perguruan mana?”
“Ah, asal usul diriku ini hina dina, tidak pernah berguru dan
juga tidak masuk sesuatu aliran,” jawab It-hiong.
“Masa? Kukira engkau terlampau rendah hati,” ucap si kakek.
“Tampaknya Kungfumu pasti tidak di bawah Liong-hiap Liong
It-hiong.”
“Haha,” It-hiong tergelak. “Mana kuberani dibandingkan
Liong-hiap Liong It-hiong. Orang kan pendekar termasyhur,
sedangkan Cayhe cuma seorang keroco. Eh, Locianpwe kenal
Liong-hiap Liong It-hiong?”
“Tidak, tidak kenal,” jawab si kakek. “Cuma pernah kudengar
kabar bahwa dia adalah toko angkatan muda yang paling
menonjol. Terakhir kudengar dia pernah mengalahkan KiongKANG
ZUSI website http://cerita-silat.co.cc/
su-sing Sun Thian-tik, tampaknya dia memang punya Kungfu
sejati.”
“Locianpwe dengar dari siapa?” tanya It-hiong berlagak pilon.
“Kudengar di rumah makan.”
“Ya, aku pun pernah dengar cerita seperti itu. Cuma kabarnya
cara Liong It-hiong mengalahkan Kiong-su-sing Sun Thian-tik
tidak dengan ilmu silat melainkan keduanya main catur
dengan taruhan sebilah pedang mestika.”
“Oo, kiranya begitu,” si kakek tercengang.
Selagi It-hiong hendak bicara pula, tiba-tiba terlihat si nelayan
tua Ma-lotia bersama anak tanggung Jisiaucu menggotong
karung yang berisi pesut itu lagi mendatangi melalui jalan di
kaki gunung.
“Itu dia, ada orang datang,” desis It-hiong menuding ke sana.
Si kakek melongok ke sana, katanya, “Mereka bukan tetamu.”
“Ehm, melihat dandanan yang tua, tampaknya seperti seorang
nelayan,” ujar It-hiong. “Entah barang apa yang mereka
gotong itu?”
“Ya, entah apa?” kata si kakek.
“Mungkinkah pesut?” tukas It-hiong.
Terbeliak mata si kakek, “Pesut? Ehm, betul juga, Wi Ki-tiu
memang terkenal gemar makan daging pesut, setiap nelayan
di daerah sini bila berhasil menangkap pesut pasti
membawanya ke sini untuk dijual kepadanya.”

“Tampaknya Locianpwe sangat jelas terhadap segala sesuatu
sifat Wi Ki-tiu,” kata It-hiong dengan tertawa.
Si kakek berbaju kulit macan tutul itu tidak menanggapi,
mendadak ia melayang turun ke bawah dan melangkah cepat
ke sana mengadang di depan Ma-lotia, dengan kereng ia
menegur, “Hei, ini jalan menuju Liong-coan-ceng, kalian
berdua hendak ke mana?”
Ma-lotia mengira dia orang Liong-coan-ceng, ia berhenti dan
menjawab dengan tertawa, “Kami justru hendak ke tempat
kalian.”
Si kakek berbaju kulit macan berlagak garang dan bertanya
lagi, “Untuk apa kalian ke sana?”
“Ini, kami berhasil menangkap seekor pesut besar dan hendak
dijual kepada Wi-locengcu,” tutur Ma-lotia alias si kakek Ma.
“Pesta ulang tahun Cengcu sudah usai, mungkin Cengcu tak
mau membeli lagi,” kata si kakek berbaju kulit macan.
“Tentu akan dibeli, Wi-cengcu sering memberi pesan, bila
berhasil menangkap pesut boleh antar kemari kapan pun,”
ujar Ma-lotia.
“Lantas akan kau jual berapa duit?” tanya si kakek berbaju
kulit macan.
Ma-lotia tertawa, “Ah, masa hamba berani pasang harga
segala, Wi-cengcu adalah langganan kami, terserah beliau
mau memberi berapa.”
“Tampaknya tidak kecil pesut ini,” kata si kakek berbaju kulit
macan. “Bagaimana kalau kubayar lima tahil perak?”

Sebenarnya Ma-lotia hanya ingin menjual dua tahil perak saja,
sekarang orang mau membayar lima tahil, keruan jauh
melampaui harapannya, berulang ia mengangguk, katanya
dengan tertawa, “Boleh, boleh!”
Si kakek lantas menyodorkan sepotong uang perak lima tahil,
katanya, “Di tempat kami masih ada sebagian tamu yang
belum pergi, kalian tidak perlu masuk ke sana, pesut ini
serahkan saja kepadaku.”
Tentu saja Ma-lotia kegirangan, berulang ia menyatakan
terima kasih, karung berisi perut itu lantas ditaruh di atas
tanah.
“Tinggalkan juga pikulanmu, sebentar akan kusuruh orang
menggotong ke sana,” kata si kakek baju kulit macan.
Setelah mendapat lima tahil perak, dengan sendirinya Ma-lotia
tidak keberatan meninggalkan pikulan dan karungnya, apalagi
syarat jual-beli juga terjadi begini mudah dan menguntungkan
baginya. Berulang ia mengucapkan terima kasih pula, lalu
tinggal pergi bersama kawannya.
Setelah kedua orang itu pergi, segera si kakek berbaju kulit
macan mengangkat karung itu dan cepat menyusup masuk
lagi ke dalam hutan.
It-hiong sudah dapat meraba maksud tujuan si kakek membeli
pesut itu, jelas karena ingin menyamar dan supaya dapat
masuk ke Liong-coan-ceng, diam-diam ia memuji, “Tua
bangka ini tampaknya kasar, rupanya juga banyak tipu
akalnya.”
Dalam pada itu si kakek telah menjinjing karung goni itu dan
melompat lagi ke atas pohon, karung berisi pesut itu
digantung di antara cabang pohon, lalu mendongak dan

berkata kepada It-hiong dengan tertawa, “Saudara cilik, kau
mau makan daging pesut tidak?”
It-hiong tersenyum, “Masa Locianpwe sudi mengundangku
makan?”
“Ya, jika kau mau, nanti kita makan sepuasnya,” ujar si kakek
tertawa.
“Ah, sudahlah,” ucap It-hiong.
“Ada maksudku hendak menyamar sebagai nelayan untuk
menjual pesut ini kepada Wi Ki-tiu, kau berani ikut masuk ke
sana atau tidak?” tanya si kakek.
“Kenapa tidak berani?” jawab It-hiong. “Cuma, engkau tidak
khawatir akan dikenali?”
“Kita dapat merias dan berganti rupa,” ujar si kakek.
“Ya, betul, harus mengubah dulu wajah kita, tapi apakah
Locianpwe membawa alat-alat rias?” tanya It-hiong.
“Biarlah kita mencari suatu rumah penduduk dan membeli dua
potong baju bekas, lalu ditambah sebuah caping, kan beres?”
“Setelah masuk ke sana, lalu apa yang akar kita lakukan?”
“Tujuanku hanya ingin tahu orang yang kucari itu berada di
sana atau tidak. Kalau ada malam nanti akan kumasuk lagi ke
sana Kalau tidak ada, ya tidak perlu repot lagi pergi ke sana.”
“Baik, kalau begitu marilah kita menyamar,” ucap It-hiong.
Kedua orang lantas menerobos keluar hutan dan menuju ke
suatu kampung yang terletak agak jauh sana.

Tidak lama, mereka sudah kembali lagi ke kaki gunung di
dekat Liong-coan-ceng.
Kini keduanya sudah menyamar sebagai kaum nelayan,
keduanya sama memakai caping, muka dan tangan diberi
hangus hingga kelihatan hitam kotor, biarpun orang yang
kenal mereka, kalau bertemu sekarang, bila tidak diawasi
dengan teliti juga akan pangling.
Si kakek berbaju kulit macan itu melompat lagi ke atas pohon
dan menurunkan karung berisi pesut itu, katanya, “Marilah
kita gotong ke sana.”
Begitulah kedua orang lantas menggotong pesut itu menyusuri
jalan batu itu menuju ke Liong-coan-ceng. Hanya sebentar
saja mereka sudah sampai di depan perkampungan itu.
Seorang centeng melihat kedatangan mereka dan segera
memapak serta menegur, “Apa yang kalian bawa?”
Si kakek menurunkan pikulannya dan menjawab dengan
membungkuk hormat, “O, pesut, kabarnya Wi-cengcu suka
beli pecut, kebetulan hari ini kami berhasil menangkap seekor
yang besar dan sengaja kami antar kemari.”
Centeng itu mendepak perlahan karung yang berisi pesut itu,
“Wah, memang benar cukup besar. Cuma kedatangan kalian
agak terlambat, pesta sudah bubar baru kalian antar kemari.”
Si kakek berlagak kecewa, “Wah, lantas bagaimana, tidak mau
terima?”
“Coba tunggu dulu, akan kutanyakan,” kata si centeng. Lalu ia
masuk ke dalam.

Tidak lama keluarlah seorang Lokoankeh (kepala rumah
tangga), ia suruh si kakek berbaju kulit macan membuka
ikatan karung, sesudah memeriksa pesutnya ia tanya, “Baru
saja tertangkap?”
“Ya, ya,” jawab si kakek.
Lokoankeh memberi tanda, “Baik, gotong masuk saja!”
Si kakek mengiakan, cepat ia mengikat erat lagi karung goni
itu dan bersama Liong It-hiong menggotongnya dan ikut
masuk ke dalam perkampungan bersama Lokoankeh.
Dalam hati kedua orang sama rada kecewa, sebab melihat
gelagatnya mereka hanya dapat berhubungan dengan
Lokoankeh saja dan tidak diberi kesempatan bertemu dengan
Kui-sui-poa Wi Ki-tiu pribadi.
“Kalau tidak dapat bertemu dengan Wi Ki-tiu, itu berarti juga
tidak mungkin dapat bertemu dengan orang yang mereka cari
sehingga perjalanan mereka ini hanya sia-sia belaka.
Begitulah Lokoankeh membawa mereka melintasi pelataran
yang luas dan memutar ke belakang sana, di situ terletak
dapur.
It-hiong pikir bilamana sampai di dapur, kesempatan untuk
bertemu dengan Wi Ki-tiu dan tetamu yang lain tentu terlebih
kecil. Tiba-tiba timbul akalnya, mendadak ia berteriak, “Pesut,
pesut besar! Ayolah lihat pesut besar!”
Karena gembar-gembor It-hiong, serentak banyak orang
kampung sama berkerumun kemari hendak melihat.
Lokoankeh tampak kurang senang, ia melototi It-hiong
sekejap dan mengomel, “Hus, ada apa berkaok-kaok?”

Tapi si kakek berbaju kulit macan itu sengaja melepaskan
pikulannya malah, katanya dengan tertawa, “Pesut sebesar ini
memang jarang terlihat, tidak ada alangan biar ditonton
sebentar oleh mereka.”
Habis itu ia terus membuka ikatan karung hingga pesut
terlihat jelas.
“Wah, besar amat pesut ini!”
“Ya, sungguh besar, sedikitnya ada 50 kati!”
“Pasti lebih!”
“Ini pesut harimau, betul tidak?”
“Ya, ini memang pesut harimau! Konon masih ada jenis pesut
gajah!”
Begitulah macam-macam komentar orang kampung yang
menonton itu, karena suara ramai inilah telah mengejutkan
Kui-sui-poa Wi Ki-tiu yang sedang mengobrol dengan
tetamunya di ruangan tamu sana, bersama kedua tamunya ia
lantas keluar juga.
Kedua tamunya itu ternyata yang satu adalah Kiong-su-sing
Sun Thian-tik dan yang lain ialah Hiat-pit-siucay Hui Giokkoan.
Girang sekali hati It-hiong melihatnya, tapi khawatir dikenali
mereka, cepat ia melengos ke arah lain dan menunduk.
Kui-sui-poa Wi Ki-tiu adalah seorang kakek bermuka lebar dan
bertelinga besar, sedikit pun tidak mirip orang yang licin dan
licik. Bisa lantaran sedang gembira berhubung ulang tahun keKANG
ZUSI website http://cerita-silat.co.cc/
60, dia kelihatan berseri-seri, dengan tertawa cerah ia
mendekat dan bertanya, “Ada urusan apa?”
“Lapor Cengcu,” segera Lokoankeh tadi memberi hormat,
“kedua orang ini dapat menangkap seekor pesut besar,
katanya hendak dijual kepada Cengcu, hamba pikir pesutnya
memang besar, maka menyuruh mereka menggotong masuk
ke sini.”
Kui-sui-poa Wi Ki-tiu ikut melongok ke dalam karung, seketika
ia merasa senang juga, katanya, “Wah, memang pesut besar.
Bagus, dibeli saja!”
Kiong-su-sing Sun Thian-tik dan Hiat-pit-siucay Hui Giok-koan
juga ikut berkerumun maju untuk melongok. Sun Thian-tik
lantas bersorak juga, “Aha, besar amat pesut ini! Wah, Wicengcu,
mestinya aku sudah akan mohon diri, tapi sekarang
rasanya berubah pikiran dan ingin merepotkanmu pula pada
makan malam nanti.”
“Hahaha, jika Sun-tayhiap sudi tinggal lagi di sini, tentu saja
kusambut dengan senang hati,” seru Wi Ki-tiu dengan
terbahak.
Lalu ia pandang Hui Giok-koan dan menambahkan, “Eh,
apakah Hui-laute juga gemar makan daging pesut?”
“Betul,” jawab Hiat-pit-siucay Hui Giok-koan dengan tertawa.
“Kedatanganku ke Tengciu selain untuk mengucapkan selamat
ulang tahun kepada Wi-cengcu, sesungguhnya juga ingin
makan pesut yang merupakan makanan khas daerah sini.”
“Haha, bagus sekali, biarlah malam nanti kita bertiga minum
arak dengan daging pesut,” seru Wi Ki-tiu dengan tertawa.
“Eh, saudara Giok-koan, orang bilang biji mata pesut sangat

berbisa, apakah engkau berani makan matanya?” tiba-tiba Sun
Thian-tik berseloroh dengan tertawa.
“Haha, asalkan Sun-heng berani makan, aku pasti juga
berani,” jawab Hui Giok-koan.
Seketika lenyap senyum Sun Thian-tik, ucapnya, “Apa betul?”
“Tentu saja betul,” sahut Hui Giok-koan tanpa pikir.
“Baik, sekarang juga kita coba,” seru Sun Thian-tik penasaran.
Dengan sendirinya Hui Giok-koan tidak mau dipandang lemah,
kontan ia menjawab, “Jadi!”
Segera Sun Thian-tik berpaling dan berkata kepada Wi Ki-tiu,
“Wi-cengcu, mohon engkau menjadi saksi, kami akan
berlomba makan mata pesut, lihat saja nanti siapa yang tahan
hidup dan siapa yang mati.”
“Hahaha!” Wi Ki-tiu tergelak. “Jangan Sun-tayhiap berkelakar.
Selama 60 tahun umurku belum pernah kudengar ada orang
tidak mati makan mata pesut. Ayolah, kita mengobrol lagi di
ruang tamu.”
Habis bicara ia mendahului melangkah kembali ke tempat
mengobrol semula.
Melihat tuan rumah tidak setuju pertandingan mereka,
terpaksa Sun Thian-tik dan Hui Giok-koan hanya menyengir
saja dan ikut masuk lagi ke ruang tamu.
Segera Lokoankeh tadi menyuruh si kakek dan Liong It-hiong
menggotong pesut ke dapur, pesut dimasukkan ke dalam
sebuah bak air, lalu bertanya, “Berapa harganya?”

Si kakek menjawab dengan tertawa, “Ah, terserah kemurahan
hati juragan di sini, mana berani kupasang harga.”
Lokoankeh menyodorkan dua tahil perak kepadanya dan
berkata, “Ini dua tahil perak, ambil saja!”
Cepat si kakek menerimanya dengan kedua tangan sambil
mengucapkan terima kasih berulang-ulang.
“Baiklah, sekarang kalian boleh pulang,” kata Lokoankeh.
“Selanjutnya kalau dapat menangkap pesut lagi boleh antar
saja kemari.”
Si kakek mengiakan dengan hormat, lalu berkata kepada Ithiong,
“Ayo, nak, kita pulang!”
Begitulah kedua orang lantas pamit, yang satu memegang
pikulan dan yang lain membawa karung, mereka
meninggalkan Liong-coan-ceng dengan lagak gembira ria.
Setiba di tempat sepi si kakek menyusup lagi ke dalam hutan
diikuti oleh Liong It-hiong.
Si kakek berbaju kulit macan tutul duduk di bawah sambil
melempar-lemparkan kedua tahil perak hasil jualan pesut tadi,
ucapnya dengan tertawa, “Keparat! Belinya lima tahil perak
dijual cuma dua tahil perak. Berdagang cara begini mustahil
takkan bangkrut setiap hari.”
It-hiong tertawa, “Tapi kuyakin Locianpwe pasti takkan rugi.”
“Ya, betul juga, tentu aku akan untung dengan cara lain,” kata
si kakek dengan tertawa gembira.
“Siapakah kedua lelaki setengah baya yang muncul bersama
Wi Ki-tiu tadi?” tanya It-hiong sengaja.

“Yang seorang bernama Kiong-su-sing Sun Thian-tik dan yang
lain berjuluk Hiat-pit-siucay Hui Giok-koan.”
“Ahh, kiranya mereka berdua,” It-hiong berlagak melengak.
“Lantas orang yang mana di antara mereka yang hendak kau
cari?”
Si kakek tertawa, “Coba kau katakan lebih dulu, siapa di
antara mereka berdua yang hendak kau cari?”
It-hiong menggeleng, “Kedua-duanya bukan orang yang ingin
kucari.”
“Oo, jika begitu orang hendak kau cari mungkin tidak datang
ke Liong-coan-ceng, atau dia sudah pergi di luar tahumu,” ujar
si kakek.
It-hiong berlagak kecewa, katanya, “Ya, tampaknya nasibku
lagi jelek ....”
“Sebaliknya orang yang ingin kucari sudah kulihat tadi,” kata si
kakek berbaju kulit macan dengan tertawa.
“Oo, yang mana?” tanya It-hiong cepat.
“Coba kau terka,” kata si kakek.
“Hui Giok-koan yang berjuluk Hiat-pit-siucay itu?” tanya Ithiong
pula.
“Bukan, tapi Sun Thian-tik!” tutur si kakek.
Sejak mula dalam hati Liong It-hiong lamat-lamat dirasakan
orang yang hendak dicari si kakek sangat mungkin orang yang
sama dengan dirinya, sekarang setelah mendengar yang dicari

si kakek bukan Hui Giok-koan, hal ini rada di luar dugaan
malah, pikirnya, “Apakah dia bicara sejujurnya? Betulkah
orang yang dia cari ialah Sun Thian-tik dan bukan Hui Giokkoan?”
Sekilas pikir, lalu ia tanya, “Locianpwe ada permusuhan
dengan Kiong-su-sing Sun Thian-tik?”
“Ya,” si kakek mengangguk.
“Cara bagaimana bisa bermusuhan?” tanya It-hiong pula.
“Dia membawa minggat istriku, maka ingin kucabut
nyawanya,” tutur si kakek.
“Hah, kan aneh,” ujar It-hiong tertawa. “Usianya jauh Lebih
muda daripadamu, umur istri Locianpwe tentu juga tidak
muda lagi, masa dia membawa lari istrimu?”
“Istriku justru masih sangat muda, baru berumur likuran,”
tutur si kakek dengan penuh rasa benci dan dendam.
“Wah, tentu sangat cantik, makanya Sun Thian-tik kepincut,”
ujar It-hiong.
“Betul, istriku memang cantik molek, makanya Sun Thian-tik
tergila-gila padanya, selagi aku tidak di rumah dia
membawanya minggat.”
“Sungguh perbuatan yang kotor dan rendah,” kata It-hiong.
“Begitulah, karena dia telah merusak rumah tanggaku, maka
harus kubinasakan dia, tidak bisa tidak,” ucap si kakek dengan
geregetan.
“Dan ketika melihat dia tadi, kenapa Locianpwe tidak segera

turun tangan?” tanya It-hiong.
“Tidak boleh, kutahu kepandaiannya tidak rendah, apalagi dia
menjadi tamu di Liong-coan-ceng, dalam keadaan begitu bila
kulabrak dia tentu akan gagal total,” ujar si kakek.
“Lantas, cara bagaimana Locianpwe akan bertindak
terhadapnya?” tanya It-hiong.
“Malam nanti dia tentu masih tinggal di tempat Wi Ki-tiu,
diam-diam aku menyelundup ke sana, setelah dia tidur, akan
kupenggal kepalanya.”
“Waktu masuk ke sana tadi telah kuperiksa keadaan
perkampungan itu, melihat gelagatnya penjagaan mereka
cukup ketat, usaha Locianpwe mungkin sulit terlaksana,” ujar
It-hiong.
“Betapa pun aku harus mencobanya, sekalipun harus
menyerempet bahaya,” kata si kakek tegas.
“Kenapa tidak tunggu saja sampai besok bila dia
meninggalkan Liong-coan-ceng, kan dapat kau cegat dia di
tengah jalan?”
“Tidak, rasanya aku tidak sabar lagi,” kata si kakek.
“Wah, sangat menyesal, karena orang yang kucari tidak
berada di sana, terpaksa malam nanti tidak dapat
kubantumu.”
“Ya, tidak apa-apa, bolehlah kau pergi!” ujar si kakek.
Melihat orang berubah sikap dan tidak menanggalkan baju
bekas yang dipakainya dan berkata, “Jika begitu, maaf,
kumohon diri lebih dulu.”

Si kakek menatapnya dengan tajam dan berkata dengan nada
mengancam. “Awas, jangan kau pergi ke sana dan
memberitahukan padanya, jika terjadi demikian, tentu jiwamu
pun akan kurenggut.”
“Locianpwe jangan khawatir, sama sekali tidak ada hubungan
apa pun antara Sun Thian-tik denganku, untuk apa kuberi
tahukan kepadanya?” sahut It-hiong.
Habis berucap demikian ia lantas meninggalkan hutan itu dan
pulang ke tengah kota.
Setiba di hotel ia pesan pelayan menyediakan semangkuk mi
babat, habis makan ia lantas tidur.
Nyenyak sekali tidurnya, waktu bangun ternyata sudah dekat
tengah malam.
Meski dalam waktu begini masuk ke Liong-coan-ceng
dirasakan terlampau dini, tapi ia memutuskan akan berangkat
lebih pagi, sebab ia mencurigai orang yang ingin dicari si
kakek sangat mungkin adalah Hiat-pit-siucay Hui Giok-koan,
tujuannya bukan mustahil juga kotak hitam itu, sebab itulah ia
tidak atau didahului orang.
Setelah ganti baju hitam, baju yang biasa digunakan untuk
bekerja malam hari, ia selipkan pedang pandak yang dulu
didapatnya dari Sun Thian-tik itu di pinggang, lalu membuka
daun jendela, setelah yakin keadaan di luar sepi tiada orang,
segera ia melompat keluar, melintasi pagar tembok belakang
hotel terus menuju ke Liong-coan-ceng.
Hanya sebentar saja ia sudah sampai di kaki gunung dekat
Liong-coan-ceng, ia tidak ingin kepergok si kakek berbaju kulit
macan lagi, maka ia sengaja menyusup ke dalam hutan di sisi

lain dan merunduk ke perkampungan itu.
Ia tiba di kaki tembok yang terletak agak jauh dari pintu
gerbang, dengan ilmu “cecak merayap di tembok” ia merayap
ke atas pagar tembok. Dilihatnya di dalam perkampungan
terang benderang oleh obor, masih banyak orang yang
bergerak kian kemari, ia menaksir bila sekarang juga
menyelundup ke dalam akan sulit menyembunyikan jejak,
maka ia mundur kembali ke dalam hutan dan mendekam di
semak-semak yang lebat.
Tak terduga, baru saja ia berjongkok, segera didengarnya
suara orang berjalan yang sangat perlahan dari tengah hutan
di belakangnya. Dari suaranya dapat diduga terdiri dari dua
orang pejalan malam.
Cepat It-hiong bersembunyi dengan menahan napas, sedikit
pun tidak berani bergerak, diam-diam ia terkesiap, “Buset!
Rupanya selain aku dan si kakek berbaju kulit macan itu masih
banyak pula orang lain yang hendak menyusup ke sana.”
Tengah berpikir, suara kaki orang sudah sangat dekat,
dilihatnya beberapa langkah di sebelah kiri sana muncul dua
orang pejalan malam.
Sekali pandang dan tahu siapa mereka, hati It-hiong tambah
terkejut, pikirnya, “Sungguh aneh, mengapa mereka pun
datang ke sini?”
Kiranya kedua orang ini tak-lain-tak-bukan ialah Kim-kong
Taysu dan Koh-ting Tojin adanya.
Kim-kong Taysu tetap membawa senjata tongkat dan Koh-ting
Tojin tidak lagi membawa wajan antiknya, melainkan cuma
memegang sebatang kebut bulu.

Dengan langkah enteng mereka menerobos keluar hutan
serupa Liong It-hiong, mereka pun menggunakan ilmu cecak
merayap untuk merambat ke atas pagar tembok dan
melongok keadaan di dalam perkampungan.
Habis itu, sama juga kelakuan Liong It-hiong, mereka
menyurut mundur lagi ke dalam hutan.
Kim-kong Taysu duduk di bawah pohon, ucapnya lirih, “Masih
dini, biarlah kita duduk sementara waktu di sini.”
Koh-ting Tojin ikut duduk di sebelah Kim-kong Taysu, ia pun
mendesis, “Tadi tentunya Taysu melihat seorang centeng
membawa semangkuk makanan ke dalam sebuah ruangan.”
“Ya, kulihat,” Kim-kong Taysu mengangguk.
“Melihat gelagatnya, Wi Ki-tiu dan tetamunya masih asyik
makan-minum,” kata Koh-ting Tojin.
“Ehmm,” Kim-kong Taysu bersuara perlahan.
“Kau kira Wi Ki-tiu mengetahui atau tidak tentang kotak hitam
yang dirampas Hui Giok-koan itu?” tanya Koh-ting dengan
tersenyum.
“Entah, sebaiknya dia belum tahu,” ujar Kim-kong Taysu.
“Jika dia tahu, menurut pendapatmu, apa yang akan
dilakukannya?”
“Hm, masa perlu dijelaskan lagi, tentu dia akan menahan
orang she Hui itu dan memaksa dia menyerahkan kotak
pusaka itu.”
“Jika terjadi demikian, mungkin kita harus lebih banyak

membuang tenaga lagi,” ujar Koh-ting sambil meraba
jenggotnya.
Kim-kong Taysu mengangguk sependapat. Mendengar sampai
di sini, timbul rasa kejut dan heran dalam hati It-hiong,
pikirnya. “Sungguh aneh, dari mana mereka mendapatkan
berita ini sedemikian cepat? Padahal tentang direbutnya kotak
hitam itu oleh Hui Giok-koan hanya diketahui aku dan Pang
Bun-hiong berdua, lalu dari mana mereka mendapatkan kabar
ini? Selain tahu Hui Giok-koan berhasil merampas kotak hitam
itu, malahan mengetahui pula kedatangan Hui Giok-koan ke
Liong-coan-ceng sini dan segera menyusul kemari.”
Belum habis terpikir, terdengar Koh-ting Tojin berkata pula,
“Menurut penglihatanku, keparat she Wi itu resminya saja
mengundurkan diri, tapi dia tetap bercokol di wilayah
kekuasaannya serta membagi rezeki dengan begundalnya.
Kuyakin dia pasti juga sudah menerima berita tentang kotak
hitam yang direbut Hui Giok-koan itu.”
“Jika begitu, malam nanti dia tentu akan bertindak terhadap
orang she Hui,” ujar Kim-kong Taysu.
“Untungnya orang she Hui itu tidak selalu membawa kotak
pusaka itu sehingga masih besar harapan kita akan
mendapatkannya,” kata Koh-ting Tojin.
Kim-kong Taysu tersenyum, “Dari mana Toheng mengetahui
dia tidak membawa kotak hitam itu?”
“Hal ini dapat kupastikan, mutlak dia tidak berani membawa
kotak itu dan berkeluyuran kian kemari,” jawab Koh-ting
sambil meraba jenggot pula, lalu menyambung dengan
tersenyum penuh keyakinan, “Apa pun juga, akhirnya kotak
pusaka itu pasti akan kita dapatkan.”

Kembali Kim-kong Taysu tersenyum, “Mungkin Miau-lolo dan
Sun Thian-tik berdua juga sudah mendapat kabar, kedua
orang ini agak sulit dihadapi.”
“Tapi mereka berdua pasti takkan bergabung untuk operasi
bersama seperti kita,” kata Koh-ting Tojin. “Maka biarpun
mereka datang kemari, tetap kita lebih unggul.”
Kim-kong Taysu memandang pagar tembok yang mengelilingi
Liong-coan-ceng itu, katanya, “Kapan kita akan masuk ke
sana?”
“Sebentar lagi, tunggu setelah mereka tidur,” jawab Koh-ting
Tojin.
“Padahal kukira kita tidak perlu bertindak secara sembunyisembunyi
begini,” ujar Kim-kong Taysu. “Lebih baik kita
datang saja terang-terangan ke sana dan membekuknya, kan
beres?”
“Tidak, jangan,” kata Koh-ting. “Soalnya bukan kutakut Wi Kitiu
akan ikut campur, tapi kita harus menjaga gengsi, betapa
pun kita berdua dalam pandangan orang persilatan kan bukan
kaum bandit atau penjahat umumnya?”
Kim-kong Taysu tersenyum, katanya, “Tapi tindak tanduk kita
sekarang masa ada bedanya dengan kaum bandit atau
penjahat?”
Koh-ting Tojin angkat pundak, “Memangnya engkau Kim-kong
Taysu yang termasyhur berharap dipandang orang sebagai
bandit?”
“Asalkan bisa mendapatkan kotak pusaka itu, jangankan akan
dipandang orang sebagai bandit atau penjahat, biarpun nanti
harus masuk neraka juga kurela,” ucap Kim-kong Taysu.

“Ya, aku juga sependapat denganmu,” ujar Koh-ting. “Tapi
bilamana kotak itu dapat kita rebut tanpa diketahui siapa pun
kan terlebih baik buat kita?”
Kim-kong Taysu tidak membuka mulut lagi, tampaknya ia
memejamkan mata sedang mengheningkan cipta.
Koh-ting Tojin lantas bangun dan menuju keluar hutan,
kembali ia merambat pagar tembok dengan ilmu cecak
merayap, sejenak kemudian setelah melongok keadaan dalam
perkampungan itu, ia mundur kembali ke tempat semula dan
berkata, “Sontoloyo! Sudah jauh malam mereka masih makanminum.”
Kim-kong Taysu tetap duduk dengan mata terpejam, ucapnya,
“Biarkan saja, sebaiknya kalau mereka minum sampai mabuk
sehingga lupa daratan, dengan begitu tindakan kita nanti bisa
berjalan lancar.”
“Tampaknya di sana-sini cahaya lampu sudah dipadamkan,
kukira kita sudah boleh mulai bergerak,” kata Koh-ting.
Mendadak Kim-kong Taysu membuka mata, “Toheng tidak
sabar lagi dan ingin masuk ke sana tanpa menunggu setelah
mereka tidur?”
“Jika kita masuk ke sana sekarang, kan dapat pula
mendengarkan apa yang dipercakapkan mereka,” ujar Kohting
Tojin. “Soalnya aku merasa sangsi orang yang makan
minum bersama Wi Ki-tiu itu sangat mungkin tidak cuma
seorang Hui Giok-koan saja.”
Kim-kong Taysu termenung sejenak, lalu berdiri dan berkata,
“Baik, mari kita berangkat sekarang!”

Begitulah kedua orang lantas keluar hutan dan merayap ke
atas pagar tembok, setelah memeriksa keadaan sejenak,
mereka terus melompat ke balik tembok sana.
Melihat kedua orang itu sudah menyusup ke dalam Liongcoan-
ceng, It-hiong tidak menjadi cemas atau gelisah karena
ketinggalan, sebaliknya ia rada senang malah, sebab dengan
masuknya Koh-ting dan Kim-kong ke Liong-coan-ceng lebih
dulu serupa juga dia mengirim dua pengintai yang akan
mencarikan jalan baginya.
Siapa duga, baru saja timbul pikiran demikian, sekonyongkonyong
terdengar suara bende dibunyikan bertalu-talu di
dalam perkampungan luas itu.
Berbareng itu lantas ada orang berteriak-teriak, “Maling,
maling. Tangkap maling, tangkap!”
“Itu dia, di sana, jangan sampai lolos!”
“Kepung dia, bekuk dan hajar dia!”
Begitulah suara orang ramai disertai gonggong anjing di sanasini.
Tentu saja It-hiong melengak. Padahal kepandaian Kim-kong
Taysu dan Koh-ting Tojin sudah pernah dilihatnya, kalau cuma
soal menyusup ke dalam perkampungan saja tidak mungkin
begitu saja kepergok orang. Tapi sekarang baru saja mereka
masuk ke sana seketika lantas kepergok, sungguh sukar
dimengerti.
Malahan segera dilihatnya Koh-ting dan Kim-kong berdua
buru-buru melintasi pagar tembok lagi dan cepat menyusup
kembali ke dalam hutan dan bersembunyi di balik semaksemak
yang lebat.

Diam-diam It-hiong tertawa geli melihat kelakuan mereka,
pikirnya, “Manusia memang tidak boleh berbuat busuk.
Contohnya kedua tokoh kelas tinggi yang berlainan agama ini,
Kungfu mereka cukup memenuhi syarat untuk menjadi guru
besar suatu aliran tersendiri, semuanya perkasa dan lihai, tapi
begitu digembori orang sebagai ‘maling&;#8217;, seketika
mereka pun ketakutan dan lari sipat kuping.”
Tengah berpikir, terdengar suara teriakan tangkap maling
perlahan mulai bergeser menjauh ke sebelah sana, mungkin
maling yang kepergok orang kampung itu bukan Kim-kong
Taysu dan Koh-ting Tojin berdua, maka tidak mengejar ke
jurusan sini.
Sebentar lagi suara teriakan pun mulai berhenti, agaknya
malingnya keburu kabur, pemburuan pun dihentikan.
Segera It-hiong teringat kepada si kakek berbaju kulit macan
tutul, pikirnya, “Ah, jangan-jangan kakek itu yang kepergok
ketika menyusup ke dalam kampung? Tapi jelas dia juga
bukan tokoh sembarangan mengapa begitu gampang
kepergok peronda kampung?”
Baru saja ia berpikir demikian, dilihatnya Kim-kong Taysu dan
Koh-ting Tojin telah merangkak keluar dari tempat
sembunyinya, air muka kedua orang sama mengunjuk rasa
bingung dan sangsi sambil memandang pagar tembok di luar
hutan sana.
“Memangnya terjadi apa?” ucap Kim-kong Taysu dengan
kening bekernyit.
“Siapa tahu?” jawab Koh-ting sambil menyengir kikuk.
“Maling yang hendak mereka tangkap mungkin bukan kita

berdua,” ujar Kim-kong.
“Ya,” Koh-ting mengangguk. “Aku memang juga lagi heran,
masa baru saja kita melompat turun ke situ, seketika suara
bende berbunyi, apakah mungkin maling yang kepergok
mereka itu bukan kita berdua ....”
“Bisa jadi,” ujar Kim-kong Taysu. “Maling macam apa yang
begitu besar nyalinya sehingga berani menggerayangi Liongcoan-
ceng?”
“Ya, memang maling luar biasa,” tukas Koh-ting Tojin.
Gemerdep sinar mata Kim-kong Taysu, katanya, “Janganjangan
ada tokoh dunia persilatan lain yang juga datang
kemari dengan maksud tujuannya yang sama seperti kita?”
“Betul, sangat mungkin,” kata Koh-ting.
“Jika benar demikian, malam ini kita jangan harap lagi akan
dapat masuk ke Liang-coan-ceng,” ucap Kim-kong Taysu.
“Maksudmu?” tanya Koh-ting Tojin.
“Setahuku, penghuni Liong-coan-ceng kecuali Wi Ki-tiu dan
beberapa orang kepercayaannya, hampir seluruhnya tidak
mahir ilmu silat, mana bisa mereka memergoki orang yang
menyusup ke sana di tengah malam buta?”
“Bisa jadi kepergok secara kebetulan,” ujar Koh-ting Tojin.
“Tidak,” kata Kim-kong Taysu. “Menurut dugaanku, tentu
karena Wi Ki-tiu sudah tahu lebih dulu malam ini bakal
kedatangan orang persilatan yang akan mencari perkara
padanya, maka lebih dulu ia sudah mengatur persiapan.”

“Wah, jika begitu, kita benar-benar tidak dapat masuk ke
sana,” kata Koh-ting dengan kening bekernyit.
“Menurut pendapatku, bilamana Wi Ki-tiu tahu orang she Hui
mendapatkan kotak pusaka dan menahannya di situ, kita tetap
ada harapan akan merampas kotak itu,” tutur Kim-kong
Taysu. “Sebab kalau Wi Ki-tiu mendapat tahu tempat kotak
pusaka itu disembunyikan, tentu dia sendiri akan pergi
mengambilnya. Dan kita cukup menguntitnya secara diamdiam,
begitu dia mendapatkan kotak itu, segera kita muncul
merampasnya, kan cepat dan mudah?”
“Maksud Taysu malam ini kita tidak perlu masuk ke sana
untuk menyelidiki?”
“Ya, kita sembunyi saja di luar sini dan diam-diam mengawasi
gerak-gerik Wi Ki-tiu.”
Koh-ting Tojin berpikir sejenak, katanya kemudian dengan
mengangguk, “Begini pun baik, kupercaya paling lambat esok
pagi urusan pasti akan ketahuan dengan jelas. Jika besok
orang she Hui meninggalkan Liong-coan-ceng tanpa terjadi
sesuatu, dia yang akan kita buntuti, sebaliknya kalau yang
meninggalkan perkampungan itu ialah Wi Ki-tiu sendiri, kita
pun akan menguntit dia.”
“Betul,” kata Kim-kong Taysu. “Sekarang kita menunggu saja
di jalan kecil sana.”
Habis bicara ia lantas mendahului merunduk ke jalan batu
kecil itu.
Cepat Koh-ting menyusul ke sana, hanya sekejap saja kedua
orang lantas menghilang di balik kerimbunan hutan.

Ebook oleh : Dewi KZ
Scan book oleh : BBSC
Jilid 12
Diam-diam Liong It-hiong menghela napas lega, pikirnya,
“Untung sudah pergi, kalau tidak malam ini aku tentu tidak
dapat bergerak.”
Ia menaksir Kim-kong Taysu dan Koh-ting Tojin sudah pergi
jauh, maka perlahan ia berdiri dan merunduk ke kaki pagar
tembok.
Ia coba pasang telinga mendengarkan dengan cermat, tak
terdengar sesuatu suara di balik pagar tembok, segera ia
menggunakan lagi ilmu cecak merayap untuk merambat ke
atas tembok, lalu melongok ke dalam.
Ternyata seluruh perkampungan itu sudah sunyi senyap.
Sejauh mata memandang tidak terlihat sesosok bayangan
pun, serupa segenap penghuni perkampungan sudah
tenggelam dalam impian masing-masing.
Tapi sekali pandang saja It-hiong lantas tahu di balik
kesunyian itu penjagaan di dalam perkampungan pasti sangat
ketat, di mana-mana terdapat pos pengawasan yang
tersembunyi. Namun dia tetap bertekad akan menyelidiki
perkampungan itu, sebab ucapan Kim-kong Taysu tadi telah
menimbulkan kepercayaan atas diri sendiri.
Tadi Kim-kong Taysu berkata, “Penghuni Liong-coan-ceng itu
kecuali Wi Ki-tiu dan beberapa orang kepercayaannya, yang
lain tidak ada yang mengerti ilmu silat.”
Ia yakin keterangan ini tidak perlu diragukan lagi, kalau tidak,

tentu Wi Ki-tiu tidak perlu menggunakan suara bende untuk
menakut-nakuti musuh yang datang menyatroninya. Sebab
itulah ia memutuskan akan masuk ke perkampungan ini untuk
menyelidiki, umpama kepergok juga dapat melarikan diri
dengan mudah.
Begitulah ia lantas mengamat-amati keadaan perkampungan
itu, ia merasa menyusup masuk melalui belakang
perkampungan akan lebih aman. Maka ia mundur kembali ke
dalam hutan, dikumpulkannya seonggok rumput kering dan
diusung ke kaki pagar tembok sana, lalu mengeluarkan alat
ketikan api, dibakarnya onggokan rumput kering itu.
Begitu api menyala, cepat ia lari ke belakang kampung
mengitari pagar tembok. Baru saja berpuluh langkah ia lari,
segera terdengar suara bende berbunyi dengan ramai.
“Api, api! Kebakaran! Tolong, kebakaran!” demikian seorang
lantas berteriak.
Dalam sekejap lantas riuh gemuruh suara orang ribut di dalam
kampung.
Dengan beberapa kali lompatan Liong It-hiong melejit ke kaki
tembok di belakang kampung, dari situ ia terus melompat ke
atas pagar tembok, dilihatnya di kejauhan banyak centeng
yang berlari ke tempat “kebakaran”.
Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Liong It-hiong, cepat ia
melayang ke dalam kampung, lalu melompat lagi ke atas
sederetan rumah dan mendekam di emper rumah.
Setelah mendekam sebentar dan tidak terdengar suara orang
berteriak tangkap maling, ia tahu akalnya “bikin ribut di timur
dan serang di barat” telah berhasil dengan baik.

Waktu ia menengadah dan memandang ke sana, dilihatnya di
sebelah kiri ruangan depan sana ada sebuah gedung
berloteng, dari pengalaman dapat diduganya gedung itu pasti
wisma tamu.
Ia pikir Sun Thian-tik dan Hui Giok-koan malam ini pasti
menginap di situ. Dengan hati-hati ia lantas memberosot turun
dari rumah itu, di bawah bayang-bayang deretan rumah itu ia
merunduk ke wisma tamu itu.
Mendadak terdengar suara bende dibunyikan lagi dengan
keras dan ramai, lalu ada orang berteriak, “Wah, celaka! Kita
tertipu! Itu bukan kebakaran sungguhan! Lekas geledah
seluruh kampung, tentu ada maling menyusup kemari!”
“Tangkap maling, tangkap maling!”
Begitulah ramai orang sahut-menyahut di sana-sini, semuanya
cuma untuk menggertak belaka, padahal tidak terlihat
bayangan “maling” segala.
Sementara itu Liong It-hiong sudah melayang ke atas wisma
tamu tadi, dengan kedua kaki ia menggantol di emper rumah,
lalu tubuh bagian atas menggelantung ke bawah, ia mengintip
ke dalam wisma melalui jendela.
Sekali pandang seketika jantungnya berdebar.
Kiranya terlihat Wi Ki-tiu, Sun Thian-tik dan Hui Giok-koan
bertiga asyik mengobrol di dalam sambil minum teh.
Terlihat Wi Ki-tiu lagi berkata dengan tersenyum simpul,
“Mungkin dahulu aku pernah berbuat salah terhadap
sementara orang, maka pada hari ulang tahunku ini mereka
sengaja bikin ribut ke sini ....”

“Bisa jadi musuh sudah menyusup ke dalam kampung, apakah
perlu kubantu Wi-cengcu mencarinya?” kata Hui Giok-koan.
Wi Ki-tiu menggeleng kepala, “Tidak perlu, paling-paling hanya
sebangsa maling pencuri ayam, biarkan saja.”
Sun Thian-tik menghirup teh, lalu berkata, “Kampung Wicengcu
kemasukan maling, tapi Cengcu sendiri sedemikian
tenangnya, sungguh aku sangat kagum.”
“Hahaha,” Wi Ki-tiu terbahak. “Selama hidupku ini tidak jarang
menghadapi gelombang badai, kalau cuma satu-dua maling
ayam saja tidak dapat mengertak diriku.”
“Dari mana Wi-cengcu tahu pendatang ini cuma maling ayam
saja? Bisa jadi tokoh kelas tinggi,” kata Sun Thian-tik dengan
tertawa.
“Itu pun tidak menjadi soal,” ujar Wi Ki-tiu dengan tertawa.
“Jika yang dituju adalah diriku, cepat atau lambat dia pasti
akan memperlihatkan tampangnya.”
“Kukira lebih baik Wi-cengcu pergi memeriksanya dan tidak
perlu lagi menemani kami di sini,” kata Hui Giok-koan.
“Baiklah,” Wi Ki-tiu berdiri. “Akan kupergi melihat apa yang
terjadi, silakan kalian mengaso saja bila perlu.”
Habis berkata ia memberi salam, lalu tinggal pergi.
Sun Thian-tik dan Hui Giok-koan berdiri mengantar kepergian
tuan rumah, setelah Wi Ki-tiu keluar barulah mereka duduk
kembali.
Sembari menghirup lagi seceguk air teh, Sun Thian-tik
memandang Hui Giok-koan, katanya dengan tersenyum,

“Saudara Giok-koan, menurut perkiraanmu, siapakah
penyatron ini?”
“Dari mana kutahu?” jawab Hui Giok-koan dengan hambar.
“Sudah berpuluh tahun Kui-sui-poa Wi Ki-tiu merajai Lok-lim
(dunia bandit), meski sekarang dia menyatakan sudah
mengundurkan diri, namun Kungfunya tidak pernah
ditelantarkannya. Kupikir orang yang berani menyatroni Liongcoan-
ceng ini pasti bukan tokoh sembarangan.”
“Oo ....” Hui Giok-koan hanya mengangguk-angguk saja.
“Tapi mungkin juga ... sasaran yang dituju oleh penyatron itu
bukanlah dia melainkan aku atau engkau.”
Hui Giok-koan tertawa, jawabnya, “Kuyakin pasti bukan diriku,
sebab aku merasa tidak punya musuh.”
“Aku juga tidak punya musuh,” tukas Sun Thian-tik cepat.
“Jika begitu, jelas yang dicari pendatang itu bukan kita
berdua,” kata Giok-koan.
“Seorang mencari seseorang terkadang juga bukan untuk
menuntut balas melainkan bisa jadi mengincar barangnya ....”
kata Sun Thian-tik. “Apakah mungkin Hui-heng membawa
sesuatu benda berharga?”
Cepat Hui Giok-koan menggeleng kepala, “Tidak, tidak ada,
barangkali Sun-heng sendiri membawa barang berharga?”
“Tidak, aku sendiri terkenal rudin, mana ada barang berharga
yang kubawa?” ujar Sun Thian-tik. “Walaupun dulu terkadang
juga kudapatkan barang berharga, tapi semuanya kutaruh di
suatu tempat.”

“Tempat mana?” tanya Hui Giok-koan.
“Pegadaian,” jawab Sun Thian-tik.
“Haha, Sun-heng sungguh suka bergurau,” seru Giok-koan
dengan tergelak.
“Aku bicara dengan betul,” sambung Sun Thian-tik. “Setiap
saat bila kupunya sesuatu benda berharga langsung saja
kuantar ke pegadaian. Ai, rasanya selama hidupku sudah
menjadi langganan tetap pegadaian.”
“Itu menandakan keluhuran budi Sun-heng yang tidak suka
memegang apa pun, hal itu sukar dilakukan oleh kebanyakan
orang,” ujar Giok-koan.
“Ah, masa begitu, justru aku ingin mempunyai apa pun,
soalnya sukar kuperoleh,” kata Thian-tik.
“Ah, sudah tidak sedikit arak yang kutenggak, sudah merasa
ngantuk, marilah kita pergi tidur saja,” ujar Giok-koan.
“Eh, nanti dulu,” cegah Sun Thian-tik. “Jika sebentar ternyata
Wi-cengcu berhasil membekuk musuh yang menyatroni dia,
kita kan perlu melihatnya juga siapa dia.”
“O, tidak, aku tidak ingin ikut campur urusan orang lain, lebih
baik kupergi tidur saja,” kata Hui Giok-koan.
“Bagaimana kalau kita tidur sekamar?” tanya Thian-tik sambil
berdiri.
“Wah, maaf, aku tidak biasa tidur bersama orang lain, lebih
baik kita tidur di kamar masing-masing saja,” ucap Hui Giokkoan.

“Bilamana yang hendak tidur bersamamu adalah orang
perempuan?”
“Itu tentu tidak sama persoalannya,” ujar Hui Giok-koan
dengan tertawa.
“Jika begitu, kenapa tidak menunggu lagi sebentar,” kata
Thian-tik.
Hui Giok-koan melenggong, “Memangnya kau maksudkan di
sini tersedia orang perempuan?”
“Betul,” jawab Thian-tik dengan tersenyum misterius.
“Oya, di mana?” tanya Hui Giok-koan, seketika sinar matanya
berjelalatan.
“Tadi waktu makan-minum kan Wi Ki-tiu memberi isyarat
bahwa dia dapat menyediakan beberapa orang perempuan
untuk kita, kuyakin dia takkan melupakan ucapannya itu,” kata
Thian-tik.
“Bisa jadi ia cuma omong iseng saja, masa kau anggap
sungguhan?”
“Tidak, aku justru percaya dia bicara dengan serius,” ujar
Thian-tik. “Waktu perjamuan selesai kulihat dia berbisik
memberi pesan kepada seorang anak buahnya, lalu centeng
itu berlari pergi, sangat mungkin pergi memanggil cewek.”
Hui Giok-koan hanya tertawa saja seperti tidak percaya, lalu ia
menuju ke sebuah kamar di wisma tamu itu.
Sun Thian-tik menggaruk-garuk kepala sambil bergumam
sendiri, “Masa bocah ini benar-benar mau tidur?”

Sembari mengomel ia sendiri juga menuju kamarnya.
Pada saat itulah tiba-tiba datang dua tandu, yang mengantar
kedua tandu itu adalah centeng yang disuruh pergi tadi, ketika
dilihatnya Sun Thian-tik hendak masuk ke dalam, cepat ia
berseru, “Sun-tayhiap, tunggu dulu!”
Sun Thian-tik berhenti dan berpaling, tanyanya, “Ada apa?”
Centeng itu mendekatinya, lalu berucap dengan suara
tertahan, “Cengcu menyuruh hamba memanggilkan dua nona
cantik, silakan Sun-tayhiap memeriksanya sendiri.”
“Aha, bagus sekali!” seru Thian-tik kegirangan, segera ia ikut
centeng itu mendekati tandu yang telah diturunkan di depan
undak-undakan sana.
Centeng itu menyuruh penggotong tandu membuka pintu
tandu, lalu berkata dengan tersenyum, “Kedua nona silakan
keluar!”
Segera dua nona jelita yang malu-malu kucing dengan lengan
baju mengalingi mukanya melangkah keluar dari tandu.
Tertampak yang seorang berpinggang ramping dan berwajah
cantik molek. Seorang lagi beralis lentik dan beraut wajah
bulat telur, tubuh bernas dan sexy, keduanya sama cewek
pilihan.
Dengan bersemangat Sun Thian-tik menyapa, “Eh, siapakah
nama manis kedua nona cantik ini?”
Centeng itu menunjuk yang ramping dan berkata, “Yang ini
bernama Long-giok.”

Lalu ia tuding satunya lagi dan menyambung, “Yang itu
bernama Lik-cu. Nah, lekas kalian memberi hormat kepada
Sun-tayhiap.”
Dengan gemulai Long-giok dan Lik-cu lantas memberi hormat
sambil bersuara, “Selamat bertemu, Sun-tayhiap.”
Sun Thian-tik tertawa lebar, “Jangan sungkan, jangan
sungkan!”
“Dan di manakah Hui-tayhiap?” tanya si centeng dengan
tertawa.
“O, dia sudah berada di kamarnya,” tutur Sun Thian-tik.
“Baiklah, silakan Sun-tayhiap pilih mana suka, yang lain akan
kubawa untuk Hui-tayhiap,” kata si centeng.
Pandangan Sun Thian-tik tertuju si molek yang bernama Longgiok,
katanya dengan tertawa, “Kusuka nona yang ramping,
boleh kau bawa nona Lik-cu kepada Hui-heng.”
Si centeng lantas memberi tanda kepada Lik-cu dan berkata,
“Mari, silakan nona ikut padaku.”
Dengan kepala menunduk si sexy yang bernama Lik-cu ikut
melangkah ke sana.
Tampaknya Sun Thian-tik tidak sabaran lagi, ia terus menarik
tangan Long-giok, katanya dengan tertawa, “Mari, kamarku di
sebelah sana, ayo kita bicara di dalam kamar.”
Langsung ia mengajak Long-giok ke kamarnya.
Kamar pada wisma tamu itu terpajang sangat mewah, dari sini
dapat terlihat betapa kaya raya Wi Ki-tiu.

Thian-tik menarik Long-giok duduk di tepi ranjang,
dirangkulnya pinggangnya yang ramping serta diciumnya pipi
orang yang harum, ucapnya, “Ehm, engkau sangat cantik.”
Setiap anak perempuan suka dipuji, rayuan Sun Thian-tik pun
kena sasarannya, dengan malu-malu Long-giok menjawab,
“Terima kasih atas pujian Toaya.”
Mendapat hati segera Sun Thian-tik merogoh rempela, Longgiok
terus dipeluknya, tanyanya pula, “Berapa umurmu?”
Long-giok ternyata sangat menurut dan pasrah, sambil
meringkuk dalam pelukan orang ia menjawab, “Tahun ini 20.”
Tangan Sun Thian-tik lantas beraksi, kembali ia tanya dengan
tertawa, “Kau tinggal di kota Liong-coan-tin ini?”
“Ehm,” Long-giok mengangguk.
“Di rumah hiburan mana?”
“Thian-hiang-ih.”
“Wah, tentu engkau ratunya rumah hiburan tersebut.”
“Ah, mana. Terima kasih.”
“Dan bagaimana dengan nona Lik-cu itu?” tanya Thian-tik.
“Dia juga penghuni di sana,” tutur Long-giok.
Thian-tik mencopot sepatu dan menurunkan kelambu, lalu si
nona diangkatnya ke tempat tidur.
“Ai, Sun-toaya, kenapa engkau terburu nafsu begini,”

terdengar Long-giok berucap dengan tertawa cekikak dan
cekikik.
Sun Thian-tik juga tertawa, jawabnya, “Tentu saja aku terburu
nafsu, habis kalau terlambat kan bisa runyam.”
“Apa maksud ucapan Sun-toaya ini?” tanya Long-giok.
Sun Thian-tik tidak menjawab, agaknya sibuk beraksi ....
*****
Pada saat yang sama Hui Giok-koan juga sedang menghadapi
Lik-cu yang sexy itu.
Caranya main perempuan juga mempunyai gayanya sendiri.
Setelah si nona berdiri di depannya, sama sekali tidak
disentuhnya melainkan cuma dipandangnya serupa seorang
juri pemilihan kecantikan yang sedang menilai calon ratu,
diamatinya dari atas ke bawah dan dari bawah ke atas, dari
tangan hingga ke dada dan bagian tertentu yang
menggiurkan, sampai lama sekali ia mengamat-amatinya
tanpa menyentuhnya.
Dengan sendirinya Lik-cu merasa agak risi, ucapnya dengan
suara lirih, “Hui-toaya, engkau ....”
“Ah, tidak ada apa-apa,” sela Hui Giok-koan dengan tertawa.
“Silakan duduk saja.”
Tapi Lik-cu tetap berdiri tanpa bergerak, katanya dengan
malu-malu, “Apabila Hui-toaya tidak penujui hamba, bolehlah
hamba pulang saja.”
“O, tidak, engkau keliru,” seru Hui Giok-koan dengan
terbahak. “Aku justru sangat suka terhadapmu ....”

Lik-cu meliriknya sekejap, katanya, “Jika demikian, mengapa
....”
“Rupanya kau salah paham,” kata Giok-koan. “Aku sedang
merenungkan suatu soal ....”
“Merenungkan soal apa?” tanya si nona.
“Kupikir sebab apakah Wi-cengcu melayaniku sedemikian
hangat,” kata Giok-koan.
“Bukankah kalian sahabat karib?”
Giok-koan mengangguk, “Betul, kami boleh dikatakan
bersahabat baik, cuma sebelum ini dia tidak pernah berlaku
sebaik kepadaku.”
Lik-cu tertawa, “Wi-cengcu berlaku baik padamu masa malah
membuatmu tidak enak hati?”
“Betul, bagiku timbul semacam perasaan kikuk malah,” kata
Giok-koan.
“Sudah biasa Wi-cengcu melayani tetamunya cara demikian,
setiap kali ada sahabat berkunjung padanya dan tinggal di
Liong-coan-ceng sini, selalu beliau menyuruh hamba melayani
tamunya, apakah cara demikian tidak biasa bagi Hui-toaya?”
“Oo, tidak,” Giok-koan menggeleng dengan tertawa.
Lik-cu lantas duduk di samping Hui Giok-koan dan
memperlihatkan senyum memikat, katanya, “Sebenarnya
pelayanan Wi-cengcu terhadapmu tidak terlalu spesial, kenapa
Hui-toaya mesti kikuk malah?”

Hui Giok-koan mencium semacam bau harum yang
merangsang, seketika perasaannya terguncang dan bagian
tertentu pun timbul reaksi, dirangkulnya pinggang si cantik,
katanya dengan tertawa, “Engkau tidak dusta padaku?”
“Dusta apa?” Lik-cu melengak.
Giok-koan berbisik di tepi telinganya, “Masa Wi-cengcu tidak
memberikan sesuatu tugas rahasia padamu?”
“Ah, mana ada?” jawab Lik-cu dengan tercengang.
“Ssst, perlahan sedikit, tidak enak kalau didengar orang,” desis
Giok-koan.
Dengan mata terbelalak lebar Lik-cu berkata pula, “Masa Huitoaya
menyangka hamba melayanimu karena mengemban
sesuatu tugas tertentu atas perintah Wi-cengcu?”
“O, tidak, jangan salah mengerti,” kata Giok-koan. “Ah, indah
benar rambutmu, apa kau sisir sendiri?”
Lalu Giok-koan membelai rambut si nona dengan perlahan.
Lik-cu mengangguk dan tersenyum manis jawabnya, “Ya,
hamba selalu menyisir rambut sendiri, tidak puas rasanya
kalau tidak menyisir sendiri.”
Tangan Giok-koan terus memberosot ke bawah dan meremasremas
perlahan leher si nona, ucapnya dengan tertawa, “Ehm,
kulitmu sangat putih dan halus, serupa kemala.”
“Ah, mana, Hui-toaya terlampau memuji,” sahut Lik-cu dengan
menunduk malu.
“Betul, belum pernah kulihat nona secantik dirimu,” kata GiokKANG
ZUSI website http://cerita-silat.co.cc/
koan. “Meski Nyo-kuihui (selir kaisar Tong-beng-cong pada
dinasti Tong) juga akan merasa silau karena tak dapat
menandingimu.”
Raba punya raba akhirnya tangan Hui Giok-koan mencapai
bagian dada.
Lik-cu menggeliat risi, ucapnya, “Ah, Hui-toaya jadi begini, aku
tak mau ....”
Hui Giok-koan tambah terangsang, segera ia menariknya lebih
merapat dan menatapnya dengan sinar mata mencorong
serupa serigala kelaparan, ucapnya, “Jangan mengelak, ai,
engkau jadi mengobarkan api berahiku!”
Sembari bicara tangannya mulai menggerayang lagi dan
melepas baju si nona.
Dengan lagak pura-pura tidak mau, tapi belum diminta sudah
setuju, Lik-cu membiarkan bajunya dilucuti satu per satu
sehingga akhirnya cuma tertinggal kutang dan celana dalam
saja, tertampaklah kulit badannya yang putih mulus.
Napa Hui Giok-koan terdengar mulai ngos-ngosan, jelas nafsu
berahinya berkobar-kobar dan tidak tahan lagi.
Mendadak Lik-cu meronta dan melepaskan tangan orang, lalu
menyingkir dari tempat tidur, ucapnya dengan tertawa,
“Ayolah, sekarang giliran Hui-toaya.”
“Giliranku apa?” Giok-koan melenggong.
“Giliranmu membuka pakaian,” kata Lik-cu.
Baru sekarang Giok-koan tahu apa artinya, terus saja ia
melepaskan pakaian sendiri, dengan cepat sekali dia sudah

telanjang bulat. Lalu dengan gerakan “harimau lapar
menerkam domba”, segera ia tubruk si nona.
Tentu saja sekali tubruk si dia lantas dirangkulnya, tapi
mendadak dirasakannya yang terpeluk olehnya serupa seekor
landak, kontan ia menjerit aduh dan jatuh terkulai di lantai.
Lik-cu tertawa, perlahan ia menggeser kedua kakinya yang
indah, dengan langkah gemulai ia mendekati tempat tidur,
perlahan ia mengambil pakaian, sepotong demi sepotong
dikenakannya kembali, lalu menggeser ke dekat dinding sana
dan mengetuk perlahan tiga kali.
Perlahan dinding bergerak naik ke atas sehingga berwujud
sebuah jalan masuk.
Lalu ia putar balik ke samping Hui Giok-koan, tanpa permisi ia
jambak rambut Hui Giok-koan dan diseret ke dalam
terowongan itu.
*****
Pada saat yang sama Sun Thian-tik masih berada di tempat
tidur di kamarnya, cuma sekarang dia sudah selesai
berpakaian, saat itu dia memegang sebilah belati dan lagi
digosok-gosokkan kian kemari di atas tubuh Long-giok sambil
mengancam, “Nah, kau mau bicara atau tidak?”
Wajah Long-giok kelihatan pucat lesu karena takut.
Seluruh tubuhnya telanjang bulat, namun dia telentang lurus
tanpa bergerak, agaknya selain dia telah dilalap oleh Sun
Thian-tik, juga Hiat-to kelumpuhannya telah ditutuknya.
Jelas nona jelita itu sama sekali tidak mampu melawan dan
juga sangat takut kalau belati Sun Thian-tik benar-benar

ditubleskan padanya, dengan suara gemetar ia menjawab,
“Apa ... apa, yang harus kukatakan?”
Muka Sun Thian-tik tampak bengis, ujung belati diarahkan ke
dada Long-giok, jengeknya, “Hm, kukira tidak perlu
kubinasakanmu, tapi bila belatiku ini bekerja, kuyakin akan
membuatmu tidak mendapatkan kasih sayang Wi Ki-tiu lagi.
Nah, boleh coba kau renungkan dulu.”
Dengan muka pucat Long-giok berucap, “Baik ... baiklah, akan
kukatakan. Kami berdua memang betul perempuan piaraan
Cengcu, dia menyuruh kami menyamar sebagai gadis
panggilan untuk memikat kalian. Cuma sasarannya ialah Hui
Giok-koan dan bukan Sun-toaya.”
“Cara bagaimana dia suruh kau kerjai diriku?” tanya Thian-tik.
“Dia menaruh curiga padamu karena Sun-toaya tidak pergi
melainkan masih tinggal di sini, aku disuruh mengawasi gerakgerikmu,”
tutur Long-giok.
“Selain itu?” desak Sun Thian-tik.
“Tidak ada lagi,” jawab si nona.
“Dan cara bagaimana Lik-cu akan memperlakukan Hui Giokkoan?”
“Lik-cu diperintahkan menutuk Hiat-to Hui Giok-koan di luar
dugaannya, lalu menawannya ke dalam Cui-ci-kiong (istana
kristal air),” tutur Long-giok.
“Di mana letak Cui-ci-kiong itu?” tanya Thian-tik pula.
“Di bawah tanah.”

“Mengapa disebut Cui-ci-kiong?”
“Tempat itu merupakan sebuah ruang di bawah tanah yang
sangat luas,” tutur Long-giok. “Di tengahnya dibangun sebuah
kolam mandi dengan air hangat, di dalam ruangan itu
terpajang sangat mewah dan megah, sebab itulah disebut
istana kristal air.”
“Biasanya kalian sama tinggal di Cui-ci-kiong itu?”
Long-giok mengiakan.
“Selain kau dan Lik-cu, terdapat siapa lagi?” tanya Thian-tik.
“Ada lagi Hiang-kun, Hi-moay, Hui-hong dan Ing-ing berlima,
semuanya anak perempuan jelita.”
“Cara bagaimana menuju ke istana kristal air itu?”
“Wah, tidak dapat kukatakan padamu, untuk itu Wi Ki-tiu bisa
membunuhku.”
“Dia akan membunuhmu atau tidak belum lagi diketahui
dengan pasti, yang jelas sekarang engkau akan segera mati
jika tidak kau katakan padaku.”
Long-giok ragu sejenak, ucapnya kemudian sambil menghela
napas, “Ai, apa boleh buat. Setelah kuberi tahukan padamu,
maukah engkau membawaku meninggalkan tempat ini?”
“Kau ingin meninggalkan kungkungan Wi Ki-tiu?” tanya Thiantik.
“Ya,” jawab Long-giok. “Dia mempunyai hobi yang sangat
berbeda dengan orang umumnya, pada hakikatnya kami tidak
dipandangnya sebagai manusia, sungguh aku sudah cukup

tersiksa di sini.”
Sun Thian-tik termenung sejenak, katanya kemudian sambil
mengangguk, “Baik, aku berjanji akan membawamu
meninggalkan tempat ini. Cuma kedatanganku ini adalah
karena ingin merampas sebuah kotak yang diperoleh Hui Giokkoan,
sekarang aku ingin coba melihat ke dalam Cui-ci-kiong,
hendaknya kau bawaku ke bawah sana.”
“Baiklah, harap bebaskan dulu Hiat-toku agar kudapat
memakai baju,” ujar si nona.
“Biar kupakaikan bajumu,” ujar Thian-tik dengan tertawa.
Benar juga, segera ia mengambil baju si nona dan mulai
membantunya memakai baju. Bagi seorang lelaki, mendandani
seorang perempuan dalam keadaan telanjang sesungguhnya
semacam kenikmatan.
Tapi tujuan Sun Thian-tik bukan untuk kenikmatan melainkan
karena khawatir bilamana Hiat-to orang dibuka dan mendadak
akan balas menyerang padanya.
Selesai memberi berbaju, lalu Thian-tik menariknya bangun
duduk, katanya, “Kukira kamar ini pasti ada jalan tembus
rahasia menuju ke Cui-ci-kiong. Di mana tempatnya?”
“Mohon bukanlah Hiat-to kelumpuhanku, biar hamba
membawamu ke bawah,” pinta Long-giok.
“Tidak, cukup kau beri petunjuk, aku yang akan membawamu
ke bawah,” ujar Thian-tik.
“Masa Sun-toaya belum lagi percaya kepadaku?” tanya Longgiok.

“Nanti setelah meninggalkan Liong-coan-ceng kan belum
terlambat untuk mendapatkan kepercayaanku padamu?” ujar
Thian-tik dengan tertawa.
Terpaksa Long-giok berkata, “Dinding sebelah kanan itulah
jalan tembus rahasia menuju ke Cui-ci-kiong. Boleh kau ketuk
tiga kali pada dinding itu dan segera jalan rahasianya akan
muncul.”
Thian-tik memakai sepatunya, lalu melangkah ke dinding yang
dimaksud.
“Blang-blang-blang!” selagi ia hendak mengetuk dinding,
mendadak pintu kamar digedor orang dari luar.
Keruan Thian-tik terkejut, tanpa berpikir ia bertanya, “Siapa
itu?”
“Aku!” jawab orang di luar.
Thian-tik tidak dapat mengenali siapa orang itu, ia coba tanya
lagi, “Engkau siapa?”
“Hamba centeng perkampungan ini, atas perintah Cengcu
akan menyampaikan pesan kepada Sun-tayhiap, harap buka
pintu!” seru orang di luar. Suaranya sangat lirih, seperti
khawatir didengar orang lain.
Setelah berpikir sejenak, lalu Sun Thian-tik menjawab, “Baik,
tunggu sebentar, segera kubuka pintu.”
Ia terus melompat kembali ke depan tempat tidur, dengan
sikap mengancam ia mengisiki Long-giok, “Awas, setelah
kubuka pintu, jika kau berani berteriak, seketika kucabut
nyawamu.”

Dengan suara lirih Long-giok menjawab, “Tidak, hamba pasti
takkan berbuat demikian, jangan khawatir.”
Habis ini barulah Sun Thian-tik menuju lagi ke depan pintu,
ditariknya palang pintu, daun pintu ditarik sedikit, melalui
celah pintu ia tanya, “Ada apa? .... Hei, kau?!”
Yang berdiri di luar ternyata Liong It-hiong adanya.
Segera It-hiong mendorong pintu dan menyelinap ke dalam,
ucapnya dengan tertawa tertahan, “Di luar dugaanmu,
bukan?”
Thian-tik menyurut mundur dan memandang It-hiong dengan
melenggong, tanyanya dengan tidak mengerti, “Cara ... cara
bagaimana kau masuk kemari?”
It-hiong membalik tubuh dan merapatkan daun pintu, lalu
menjawab dengan tersenyum, “Untuk masuk ke Liong-coanceng
ini tidaklah sulit, untuk memasuki Cui-ci-kiong itulah
yang tidak gampang.”
“Tadi yang berteriak tangkap maling di luar sana adalah
engkau?” tanya Thian-tik.
It-hiong menggeleng, “Bukan, yang berteriak itu orang lain
lagi. Dia sangat bodoh, begitu masuk kampung lantas
kepergok.”
“Siapakah dia?” tanya Thian-tik.
“Tidak kukenal, dia seorang kakek botak, memakai baju kulit
macan tutul,” tutur It-hiong.
“O, dia Kim-ci-pa (si macan tutul) Song Goan-po,” kata Sun
Thian-tik.

“Ahh, kiranya dia,” tergetar juga hati It-hiong. “Mengapa tidak
terpikir olehku akan dia?!”
“Jadi dia juga masuk ke perkampungan ini?” tanya Thian-tik.
“Tidak,” jawab It-hiong. “Dia serupa Kim-kong Taysu dan Kohting
Tojin, begitu masuk lantas kabur lagi karena suara
bende.”
Kening Sun Thian-tik bekernyit, “Hm, tajam juga berita
mereka, ternyata semuanya sudah tahu .... Eh, waktu kau
masuk kemari, apakah tidak dilihat orang?”
“Tidak,” jawab It-hiong.
“Untuk apa kau datang kemari?”
It-hiong tersenyum, “Sudah tahu kenapa Sun-tayhiap sengaja
bertanya pula?”
“Jika begitu, untuk urusan apa kau cari diriku?” desak Thiantik.
“Kuharap akan dapat bekerja sama denganmu,” jawab Ithiong.
“Kita dapat masuk ke Cui-ci-kiong bersama dan
menaklukkan Wi Ki-tiu, lalu memaksa Hui Giok-koan mengaku
di mana di menyimpan kotak pusaka hitam itu.”
“Dan bagaimana setelah berhasil mendapatkan kotak pusaka
itu?” tanya Thian-tik.
“Boleh kita main catur lagi untuk menentukan siapa yang
berhak memiliki kotak hitam itu,” jawab It-hiong.
“Hm, jangan mimpi,” jengek Thian-tik sambil menggeleng.

“Betapa pun tidak nanti kumain catur lagi denganmu.”
It-hiong tersenyum, “Jika begitu, boleh juga kita menentukan
kalah-menang dengan cara lain. Pendek kata, menurut
pendapatku, jika ingin merampas kembali kotak pusaka itu,
tiada jalan lain kecuali untuk sementara ini harus bekerja
sama denganmu.”
Thian-tik berpikir sebentar, akhirnya mengangguk setuju,
“Boleh juga, biarlah kita bergabung dulu untuk menghadapi Wi
Ki-tiu ....”
Ia menuding Long-giok, lalu menyambung dengan tertawa,
“Dia termasuk satu di antara ketujuh jelita simpanan Wi Ki-tiu,
namanya Long-giok.”
“Ya, kutahu,” ujar It-hiong.
“Oo, kau tahu? Sudah sejak tadi engkau mengintip kami?”
tanya Thian-tik.
“Betul,” It-hiong mengaku. “Mestinya aku ingin mengintip
keadaan Hui Giok-koan bersama Lik-cu, cuma kamar mereka
terletak di tengah kamar wisma tamu ini dan sukar untuk
diintip, terpaksa aku mengintip kalian di sini.”
Lalu ia menyambung lagi dengan tersenyum, “Rezekimu
sungguh tidak jelek mendapatkan cewek semolek ini.”
“Sontoloyo! Matamu bisa lamur kalau suka intip sana-sini,”
omel Thian-tik dengan kikuk.
It-hiong tergelak tertahan, katanya, “Sudahlah, jangan omong
iseng lagi. Mungkin Hui Giok-koan sudah tertawan ke dalam
Cui-ci-kiong, mari kita lekas ke bawah sana.”

Sun Thian-tik lantas membalik ke sana untuk mengangkat
Long-giok, lalu mendekati dinding sebelah kanan, tanyanya,
“Ketuk bagian mana?”
“Tepat di depanmu ini,” kata Long-giok.
Segera Thian-tik mengetuk tiga kali pada tempat yang
dimaksud, benar juga, perlahan dining lantas bergeser ke atas
dan muncul sebuah lubang masuk, ia coba melongok ke
dalam, terlihat sebuah lorong dengan undak-undakan batu
yang menjurus ke bawah.
“Masa tidak ada alat perangkap di bawah?” tanya Thian-tik
pula.
“Tidak ada,” jawab Long-giok.
Sun Thian-tik lantas berpaling dan berkata kepada It-hiong,
“Gerak-gerikku tidak bebas karena membawa dia, bagaimana
jika engkau yang menjadi pembuka jalan di depan?”
“Boleh,” jawab It-hiong tanpa pikir. Segera ia mendahului
melangkah ke bawah sana.
Jalan rahasia itu sangat sempit, hanya cukup untuk dilalui dua
orang yang bersimpangan, namun penerangan cukup, setiap
beberapa langkah tentu ada sebuah lampu gelas sehingga
keadaan tertampak dengan jelas.
Liong It-hiong mendahului menuruni undak-undakan batu itu,
dilihatnya di depan melintang sebuah lorong yang berliku-liku,
sedangkan dinding lorong itu semuanya dipahat dari batu,
sejauh mata memandang ke sana tertampak halus licin dan
menyilaukan mata.
Ia berhenti di undakan dan melihat ke kanan-kiri lorong yang

melintang itu, tidak sesosok bayangan pun terlihat, ia coba
menoleh dari tanya Long-giok dengan suara tertahan, “Menuju
ke jurusan yang mana?”
“Lurus ke depan,” jawab Long-giok.
“Lurus ke depan?” It-hiong menegas dengan melenggong.
“Kan menumbuk dinding?”
“Cui-ci-kiong justru terletak di balik dinding besar itu,” kata
Long-giok.
“Tapi di mana letak pintunya?” tanya It-hiong pula.
“Tepat di depan situ, pencet saja tombolnya dan segera pintu
akan terbuka,” tutur Long-giok.
Segera It-hiong melangkah ke sana, hanya lima-enam langkah
saja sudah sampai di depan dinding batu besar itu.
“Sun-tayhiap!” tiba-tiba Long-giok berkata.
“Ehm, ada apa?” tanya Sun Thian-tik.
“Maukah engkau bersumpah?” kata Long-giok pula.
Keruan Sun Thian-tik melengak, “Sumpah apa maksudmu?”
“Bersumpah bahwa engkau berjanji akan membawaku kabur
meninggalkan Liong-coan-ceng ini, bahkan akan menerimaku
untuk tinggal bersamamu,” ucap Long-giok.
Sejenak Sun Thian-tik tertegun, katanya kemudian, “Boleh
saja membawamu meninggalkan tempat ini, tapi mengapa
harus kuterima dirimu untuk tinggal bersamaku?”

“Sebab engkau sudah ada pergaulan tubuh denganku, bila ...
bila engkau tidak menolak, biarlah kuikut padamu selama
hidup,” kata si nona.
Thian-tik merasa ragu, ucapnya, “Apakah maksudmu minta
kukawini dirimu?”
“Jika engkau keberatan juga tidak menjadi soal, cukup asalkan
aku diperbolehkan ikut padamu,” ujar Long-giok.
“Wah, jika begitu, apa bedanya dengan mengawinimu?” kata
Thian-tik.
“Kan banyak orang lelaki tidak suka kawin secara resmi, tapi
ingin mempunyai seorang pacar tetap, maka biarlah kujadi
pacarmu yang tetap dan tidak perlu menjadi istrimu. Dengan
demikian engkau takkan punya beban pikiran.”
Sun Thian-tik merasa tertarik oleh tawaran si nona, katanya
dengan tertawa, “Ehm, cara demikian terasa bagus. Aku
memang tidak suka beristri, hanya suka mempunyai seorang
pacar tetap.”
“Jadi kau mau?” tanya Long-giok.
“Baiklah,” jawab Thian-tik.
“Jika begitu, ayolah bersumpah.”
“Kenapa perlu bersumpah segala?”
“Setelah bersumpah barulah kuberi tahukan apa sebabnya.”
Kembali Thian-tik tertawa, katanya, “Baik. Aku Sun Thian-tik
bilamana ucapan tidak sesuai dengan tindakan, tidak
membawamu kabur meninggalkan tempat ini dan tidak

menerimamu untuk tinggal bersamaku, biarlah malaikat
dewata menghukumku mati tanpa terkubur.”
Anda sedang membaca artikel tentang RAHASIA PETI WASIAT 1 dan anda bisa menemukan artikel RAHASIA PETI WASIAT 1 ini dengan url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/09/rahasia-peti-wasiat-1.html,anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel RAHASIA PETI WASIAT 1 ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,namun jangan lupa untuk meletakkan link RAHASIA PETI WASIAT 1 sumbernya.

Unknown ~ Cerita Silat Abg Dewasa

Cersil Or Post RAHASIA PETI WASIAT 1 with url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/09/rahasia-peti-wasiat-1.html. Thanks For All.
Cerita Silat Terbaik...

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar