RAHASIA PETI WASIAT 2

Diposting oleh eysa cerita silat chin yung khu lung on Senin, 05 September 2011

“Bagus sekali!” sorak Long-giok dengan gembira.
“Nah, sekarang coba beri tahukan sebab apa kau minta aku
bersumpah?”
“Masa engkau belum lagi paham?” tukas Liong It-hiong
dengan tertawa.
“Ya, aku belum paham,” jawab Thian-tik.
“Dia minta engkau menyatakan perasaanmu dengan
setulusnya, habis itu baru mau membawamu ke dalam Cui-cikiong,”
kata It-hiong.
Thian-tik tertawa, “Ai, dasar perempuan, suka curiga.”
Long-giok tersenyum, “Habis, aku khawatir dibohongi.”
“Baiklah, sekarang lekas katakan cara bagaimana untuk bisa
masuk ke Cui-ci-kiong,” kata Sun Thian-tik.
“Di sini ada dua pintu tembus,” tutur Long-giok. “Yang satu
dapat mengejutkan Wi Ki-tiu, pintu yang lain tidak. Nah, coba
katakan, kalian suka melalui pintu yang mana?”
“Dengan sendirinya melalui pintu yang takkan mengejutkan Wi
Ki-tiu,” ujar Sun Thian-tik cepat.
“Jika begitu, di kaki dinding sana ada dua buah tombol, pencet
saja tombol sebelah, dengan demikian dapatlah masuk ke Cuici-
kiong tanpa di ketahui setan sekalipun.”
Segera It-hiong berjongkok untuk mencari tombol yang

dimaksud, benar juga dilihatnya di kaki dinding ada dua alat
sebesar kacang menempel di situ berjajar, segera ia gunakan
jari untuk memencet tombol yang sebelah kiri.
Maka terdengarlah suara “krek” perlahan, sepotong batu
sepanjang enam kaki dan selebar empat kaki lantas berputar
dan akhirnya terbentang sebuah pintu rahasia.
Di balik pintu rahasia ini ternyata adalah sebuah kamar tidur
yang sangat indah dengan berbagai macam perabot yang
mewah.
“Ayolah masuk saja!” kata Long-giok.
“Ssst, di dalam kamar tidak ada orang?” desis It-hiong.
“Ya, tidak ada,” tutur Long-giok. “Inilah kamarku sendiri,
kecuali diriku tidak ada orang lain.”
It-hiong coba melongok dulu ke dalam, setelah jelas tidak ada
orang di dalam kamar barulah ia melangkah ke situ.
Sambil memondong Long-giok cepat Thian-tik ikut masuk,
melihat keindahan kamar tidur ini, ia tertawa, katanya, “Ingat,
selanjutnya jika engkau ikut diriku, tidak mungkin lagi akan
mendiami kamar sebagus ini.”
“Asalkan ada orang benar-benar suka padaku, biarpun tinggal
di rumah gubuk atau di bawah jembatan juga kurela,” jawab
Long-giok.
Lalu ia berkata juga kepada Liong It-hiong, “Di sebelah kiri
ada sebuah tombol lagi, jika kau tekan tombol tersebut segera
pintu akan menutup sendiri.”
It-hiong melakukannya sesuai keterangan si nona, benar juga

perlahan pintu lantas merapat kembali seperti semula, hampir
sukar dicari celah-celahnya.
Sekeliling kamar itu juga dinding batu besar, tapi tidak berarti
tertutup rapat sama sekali tak tertembus angin, sebab di
kanan-kiri dinding ada lubang angin yang dirancang secara
bagus sehingga sedikit pun tidak terasa sumpek.
Sun Thian-tik menaruh Long-giok di tempat tidur yang terbuat
dari gading, lalu bertanya, “Inikah yang dimaksud Cui-cikiong?”
“Ini hanya sebuah kamar di antara istana kristal dalam air
yang dimaksud,” tutur Long-giok. “Selain ini masih ada lagi
sembilan buah kamar besar seperti ini dan sebuah ruangan
bulat yang sepuluh kali luasnya daripada kamar ini, ruangan
bulat itulah yang disebut Cui-ci-kiong.”
“Keparat!” maki Sun Thian-tik. “Untuk membangun istana
kristal air ini tentu tidak sedikit biaya yang dikeluarkan oleh Wi
Ki-tiu.”
“Menurut pengakuannya, biaya bangunan istana kristal ini
menghabiskan dua puluh laksa tahil perak,” tutur Long-giok.
“Mengapa dia sengaja hidup nikmat dengan bersembunyi di
ruang bawah tanah?” tanya Liong It-hiong.
“Sebab dia tidak ingin orang lain mengetahui cara hidupnya, ia
cuma menghendaki orang kenal dia sebagai seorang bajik,
seorang dermawan,” kata Long-giok.
“Cara bagaimana bisa masuk ke ruangan bulat itu?” tanya Ithiong
pula.
“Pintunya terletak di depanmu situ, cuma engkau hanya dapat

membukanya satu celah saja dengan perlahan, sebab saat ini
Wi Ki-tiu lagi berada di ruangan itu,” tutur si nona.
Sun Thian-tik mendekati dinding yang dimaksud dan coba
memeriksanya dengan teliti, benar juga, dilihatnya di kaki
dinding ada celah-celah sebuah pintu, di sebelah kirinya ada
sebuah pegangan pintu terbuat dari perunggu dan berbentuk
melengkung, ia coba pegang dan ditarik perlahan. Namun
tidak bergerak sedikit pun.
“Diputar ke kanan dulu, habis itu baru ditarik,” kata Long-giok.
Sun Thian-tik menurut petunjuk itu, diputarnya pegangan
pintu itu, lalu ditarik, benar juga, pintu lantas bergerak,
dengan perlahan ditariknya menjadi sebuah celah-celah, lalu
mengintip ke sana, seketika tertampaklah segala apa yang
dilukiskan Long-giok tadi.
Memang benar, di balik pintu adalah sebuah ruangan bulat
yang sangat besar.
Luas ruangan ini sedikitnya adalah sepuluh tombak, tinggi tiga
tombak, atapnya berbentuk kubah penuh dihiasi daun-daun
warna emas sehingga mirip kulit kura-kura, pada ujung tengah
bagian yang paling tinggi tergantung sebuah lampu kristal
sebesar gantang dengan hiasan sembilan biji mutiara yang
bercahaya menyilaukan mata dan menerangi seluruh ruangan
sehingga serupa siang hari.
Sedangkan dinding batu sekeliling ruangan banyak
bergantungan patung bersepuh emas, semuanya patung
manusia telanjang, baik lelaki maupun perempuan dengan
macam-macan gaya yang menarik, sekali orang
memandangnya segera akan timbul pikiran yang bukanbukan.

Persis di tengah-tengah ruangan benar juga terdapat sebuah
kolam mandi berbentuk bulat juga, air kolam kelihatan
menguap, jelas sumber air panas yang mengalir dari tempat
lain.
Pada saat itu Wi Ki-tiu dan lima orang perempuan cantik
tampak sedang mandi di dalam kolam.
Dia dan kelima gadis cantik itu sama telanjang bulat, telanjang
bulat seorang lelaki tentu saja tidak menarik bagi Sun Thiantik,
berbeda dengan kelima gadis cantik itu, semuanya sangat
menggiurkan, terlihat semuanya berdada padat dan
berpinggang ramping, kulit putih bersih serupa salju, sungguh
pemandangan yang menakjubkan dan sukar dicari.
Diam-diam Sun Thian-tik menarik napas, ia berpaling dan
mendesis kepada Liong It-hiong, “Buset! Coba lihat sini, tua
bangka ini sungguh pintar menikmati hidupnya.”
Liong It-hiong coba mendekat ke sana dan ikut mengintip,
segera ia pun dapat melihat pemandangan yang memesona
itu, tentu saja ia pun terangsang, desisnya, “Wah, memang
luar biasa. Bilamana aku dapat ikut berendam bersama
mereka di sana, sungguh mati pun aku tidak menyesal.”
Sun Thian-tik coba menarik sedikit lagi daun pintu itu, maka
tertampaklah adegan pemandangan lain, ia memberi tanda
kepada Liong It-hiong dan mendesis lagi, “Coba lihat, Hui
Giok-koan sedang tersiksa di situ.”
Waktu It-hiong mengintip ke sana, betul juga, dilihatnya
kedua tangan dan kedua kaki Hui Giok-koan sama terikat dan
digantung terjungkir tepat di pojok atas kolam mandi itu.
Hui Giok-koan juga telanjang bulat dan tergantung terbalik
oleh seutas tambang sehingga kelihatannya sangat lucu.

Malahan Lik-cu tepat berdiri di bawahnya dengan memegang
cambuk, agaknya siap untuk menghajarnya.
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar Wi Ki-tiu yang berendam
di kolam mandi itu bersuara, “Nah, Hui Giok-koan, sudah kau
pertimbangkan atau tidak?”
Kontan Hui Giok-koan mencaci maki, “Wi Ki-tiu, engkau
keparat, jahanam, maknya dirodok, pada hakikatnya aku tidak
tahu-menahu tentang kotak pusaka apa segala, apalagi
memperolehnya. Harus cara bagaimana baru engkau mau
percaya kepadaku?”
“Hahahaha!” Wi Ki-tiu terbahak-bahak, “Berita yang kuperoleh
sangat dapat dipercaya, bila malam ini engkau tidak mengaku
terus terang di mana kau sembunyikan kotak pusaka itu, maka
terpaksa ku ....”
“Mau bunuh atau mau kau cencang boleh terserah padamu,
tidak perlu banyak bacot!” teriak Hui Giok-koan dengan
murka.
“Hehe, apa betul?” ejek Wi Ki-tiu dengan menyeringai.
Dengan mengertak gigi Hui Giok-koan berucap sekata demi
sekata, “Apabila Hui-toaya sampai bekernyit kening sedikit
saja, jangan kau panggil aku Hiat-pit-siucay Hui Giok-koan!”
“Bagus!” seru Wi Ki-tiu sambil memberi tanda kepada Lik-cu
agar mencambuk, “Justru ingin kulihat betapa daya tahanmu.”
Karena mendapat isyarat, serentak Lik-cu mundur setindak,
cambuk yang dipegangnya terus berayun dan menyabet,
“tarrr”, tubuh Hui Giok-koan lantas terbelit oleh cambuk.

Susul-menyusul cambuk Lik-cu bekerja pula, “tar, tar, tarrr!”
Namun Hui Giok-koan tidak bersuara sana sekali, apalagi
merintih.
“Lik-cu, memangnya engkau lagi menggelitiknya?” ucap Wi Kitiu
perlahan.
Cepat Lik-cu menyabet sekerasnya, sekaligus ia memecut
belasan kali sehingga sekujur badan Hui Giok-koan babak
belur, darah segar pun mengucur.
Siapa tahu Hui Giok-koan benar-benar kepala batu, ia tetap
mengertak gigi dan bertahan sekuatnya, sedikit pun tidak
mengeluh dan merintih, kening pun tidak bekernyit, apalagi
menjerit.
“Hajar terus!” ucap Wi Ki-tiu dengan tak acuh.
Cambuk Lik-cu lantas bekerja berulang-ulang, terdengar suara
“tar-tar” yang tiada hentinya serupa bunyi mitraliur.
Hanya sebentar saja tubuh Hui Giok-koan tiada satu bagian
pun yang utuh. Darah segar bertetesan serupa air hujan.
Mendadak Lik-cu berhenti menghajar orang, katanya, “Loya,
dia jatuh pingsan!”
“Ambil sebaskom air dingin dan siram dia,” perintah Wi Ki-tiu.
Mulutnya memberi perintah, tangannya juga tidak
menganggur dan main gerayang sini dan remas sana di tubuh
kelima gadis jelita. Rupanya cara gerayang dan remas Wi Kitiu
itu memang sadis sehingga kelima gadis itu sama menjerit
dan berteriak sembari berusaha mengelak kian kemari dengan
belingsatan.

Dalam pada itu Lik-cu telah mendekati kolam dan menciduk
sebaskom air, lalu dibawa kembali ke samping Hui Giok-koan,
ia merandek sejenak, akhirnya air itu disiramkan ke muka Hui
Giok-koan.
Perlahan Hui Giok-koan siuman dan membuka mata.
“Hui Giok-koan,” kata Wi Ki-tiu, “sungguh bodoh kau. Meski
kotak itu sangat berharga, tapi jiwamu kan terlebih berharga.
Jika jiwamu melayang, memangnya kotak itu akan kau bawa
serta ke neraka?”
Ia berhenti sejenak, lalu menyambung, “Nah, akan kukatakan
sekali lagi. Asalkan kau katakan di mana kau sembunyikan
kotak itu, sebagai imbalannya akan kuberikan Liong-coan-ceng
ini kepadamu. Coba pikirkan, mau tidak?”
Dengan geregetan Hui Giok-koan menjawab, “Hm, jangan kau
mimpi pada siang hari bolong, biarpun mati juga takkan
kuserahkan kotak pusaka itu.”
“Hahahaha! Bagus!” seru Wi Ki-tiu dengan terbahak. “Akhirnya
kau mengaku juga mempunyai sebuah kotak pusaka.
Sekarang kuberi lagi kesempatan berpikir bagimu, hendaknya
direnungkan dengan baik.”
Habis bicara kembali ia melancarkan “serangan” terhadap
kelima gadis jelita tadi dan bergumul menjadi satu dengan
mereka.
Mengintip sampai di sini, Liong It-hiong saling pandang
sekejap dengan Sun Thian-tik, wajah mereka sama
mengunjuk rasa kikuk.
“Neneknya,” desis Sun Thian-tik. “Bangsat tua Wi Ki-tiu ini

sungguh berengsek.”
It-hiong juga berbisik dengan tertawa, “Orang she Hui itu pun
kepala batu benar. Jika aku jadi dia, sejak tadi aku sudah
menyerah dan minta ampun.”
“Dan cara bagaimana hendak kau turun tangan?” tanya Thiantik.
“Tunggu lagi sebentar dan lihat dulu, mungkir Wi Ki-tiu akan
menggunakan siksaan lain untuk memeras Hui Giok-koan, aku
tidak percaya dia mampu bertahan lagi,” jawab It-hiong.
“Ya, begitu dia mengatakan tempat sembunyi kotak pusaka
itu, diam-diam kita lantas kabur dulu keluar Liong-coan-ceng
dan mengambil kotak itu.”
“Betul,” It-hiong mengangguk.
“Bagus, coba kita mengintip lagi,” ujar Sun Thian-tik. “Wah,
coba lihat, apa yang sedang dilakukan Wi Ki-tiu? Neneknya,
bangsat tua ini sungguh sadis, kotor dan rendah!”
Waktu It-hiong mengintip lagi, jantungnya berdetak keras
juga, desisnya, “Pantas Long-giok ingin melepaskan diri dari
cengkeramannya, kiranya tua bangka mempunyai hobi yang
sama sekali berbeda dengan orang biasa.”
“Hm, barangkali dia sudah tidak mampu lagi atau nafsu besar
tapi tenaga kurang, terpaksa mencari kepuasan dengan
tangan ....”
It-hiong menoleh dan memandang sekejap Long-giok yang
berbaring di tempat tidur, lalu menyenggol Thian-tik dengan
tangan sambil bertanya dengan suara tertahan, “Apakah benar
hendak kau bawa pergi dia?”

Sun Thian-tik seperti ragu, ia balas tanya, Bagaimana menurut
pendapatmu?”
“Entah, aku tidak tahu,” jawab It-hiong. “Hanya saja, jika dia
memang mau mengikutmu dengan setulus hati, apa salahnya
kau terima dia.”
“Namun dia adalah perempuan bebas Wi Ki-tiu, mana boleh
kupakai sepatu bekas orang lain?” ujar Thian-tik.
“Bukan begitu soalnya,” kata It-hiong. “Seorang asalkan
hatinya, jiwanya suci bersih, yang lain boleh tidak perlu
dipikirkan. Seperti kata orang, lebih baik mengambil pelacur
sebagai istri, tapi tangan sekali-kali mengambil istri untuk
dijadikan pelacur.”
Hati Sun Thian-tik rada tergerak, katanya, “Menurut
pandanganmu, apakah dia berhati tulus terhadapku?”
It-hiong mengangguk, “Kukira ada, kalau tidak, mengapa
kesempatan baik sekarang tidak digunakannya untuk berteriak
minta tolong?”
Thian-tik merasa ucapan It-hiong cukup masuk akal, katanya,
“Baik, asalkan hatinya tulus, nanti akan kubawa pergi dia.”
Begitulah kedua orang berbicara dengan perlahan, sampai di
sini, terdengar Wi Ki-tiu yang masih bercanda dengan kelima
gadis itu tiba-tiba berkata pula, “Nah, bagaimana Hui Giokkoan?”
Yang ditanya hanya tutup mulut saja bersuara.
Muka Wi Ki-tiu tampak berubah bengis, jengeknya, “Hm,
kesabaranku tentu juga ada batasnya, jika kau kira akan

mampu bertahan, biarlah kuberikan lagi kesempatan padamu
untuk mencicipi rasanya air asin.”
Selesai berucap, kembali ia memberi tanda kepada Lik-cu.
Lik-cu lantas membuang cambuknya dan mendekati kolam
mandi, dituangnya isi ember tadi, lalu ditimbanya lagi seember
penuh air hangat, kemudian mengeluarkan sebungkus garam
dan dituang ke air hangat.
Sesudah mengaduk garam itu sehingga larut di dalam air
hangat, lalu ia berseru kepada salah seorang gadis cantik di
dalam kolam, “Hui-hong, coba naik kemari untuk
membantuku.”
Gadis yang bernama Hui-hong mengiakan, dengan badan
telanjang ia keluar dari kolam dan membantu Lik-cu
menggotong ember air garam itu ke bawah Hui Giok-koan
yang tergantung itu.
“Wah, sungguh luar biasa,” ucap Thian-tik dengan lirih.
“Ya, sungguh keji amat!” desis It-hiong.
“Tidak, yang kumaksudkan adalah gadis yang bernama Huihong
itu,” kata Thian-tik. “Coba kau lihat, dia berjalan kian
kemari di depan orang banyak dengan telanjang bulat, sedikit
pun tidak merasa malu.”
“Mungkin dia sangat jarang mendapat kesempatan untuk
berbaju, kalau sudah kulino kan menjadi biasa,” ujar It-hiong
dengan tersenyum.
Sun Thian-tik menjilat-jilat bibir dan berkata, “Cuma, dia
memang sangat molek, serupa bunga teratai yang basah.”

“Eh, lihat, mereka sedang melepaskan Hui Giok-koan,” kata Ithiong.
Terlihatlah Lik-cu sedang membuka tali yang menggantung
Hui Giok-koan itu dan dikerek turun dengan perlahan,
akhirnya sekujur badan Hui Giok-koan terbenam dalam air
garam.
Karena sekujur badan babak belur, bahkan darah pun masih
mengucur, sekarang direndam dengan air garam, keruan
dapat dibayangkan betapa perihnya. Terdengarlah Hui Giokkoan
menjerit ngeri, suaranya menyayat perasaan orang yang
mendengarnya.
“Keluarkan, keluarkan aku! Akan ... akan kukatakan!” seru
Giok-koan dengan suara terputus-putus.
Segera Lik-cu menarik tali dan mengereknya lagi ke atas,
ucapnya dengan tertawa, “Jika begitu, ayolah lekas mengaku!”
Seluruh tubuh Hui Giok-koan serasa disengat tawon, saking
sakitnya sampai mengejang dan mengerang tiada hentinya,
seketika sukar baginya untuk bicara.
“Lik-cu,” kata Wi Ki-tiu, “siram dia dengan air tawar!”
Lik-cu mengiakan, diciduknya lagi sebaskom air hangat di
kolam, lalu disiramnya tubuh Hui Giok-koan, katanya dengan
tertawa, “Nah, tentu agak enak sedikit!”
Karena air garam sudah terguyur, benar juga penderitaan Hui
Giok-koan agak berkurang, ia menghela napas, katanya,
“Orang she Wi, ingat saja utangmu ini!”
“Baik, akan selalu kuingat dengan baik dan setiap saat
kutunggu kedatanganmu untuk menuntut balas,” ucap Wi KiKANG
ZUSI website http://cerita-silat.co.cc/
tiu dengan tertawa. “Nah, sekarang lekas katakan, di mana
kau simpan kotak pusaka itu.”
“Tidak dapat kukatakan, tapi dapat kubawamu ke sana,” ujar
Giok-koan.
“Apa maksudmu?” tanya Wi Ki-tiu dengan melengak.
“Artinya aku belum lagi mau mati,” jawab Hui Giok-koan.
“Kujanji takkan membunuhmu, boleh kau katakan saja di sini,”
ujar Wi Ki-tiu.
“Tidak!” jawab Giok-koan tegas.
“Hm, meski kau bawaku ke sana, apakah dengan demikian
engkau tidak perlu mati?” jengek Wi Ki-tiu. “Jika hendak
kubunuhmu, sesudah mendapatkan kotak pusaka itu tetap
dapat kubunuhmu.”
“Untuk itu sedikitnya aku masih dapat hidup beberapa hari
lagi,” kata Giok-koan. “Setiap orang bilamana menghadapi
jalan buntu, kalau bisa hidup lebih lama beberapa hari kan
juga baik.”
“Selamanya aku bicara satu tidak pernah berubah menjadi
dua,” kata Wi Ki-tiu. “Jika sudah kukatakan takkan
membunuhmu pasti takkan kubunuhmu. Engkau tidak perlu
khawatir.”
“Tidak, tidak bisa,” kata Giok-koan. “Pendek kata, aku cuma
dapat membawamu ke sana, tapi tidak dapat kukatakan.”
“Berapa jauhnya dari sini?” tanya Wi Ki-tiu dengan ragu.
“Jika menumpang kereta diperlukan tujuh-delapan hari,” tutur

Giok-koan.
“Wah, kukira agak repot,” ujar Wi Ki-tiu. “Jangan-jangan di
tengah perjalanan ada orang akan menolongmu, kan bisa
runyam.”
“Tidak ada orang yang mau turun tangan menolongku,” kata
Giok-koan.
“Ah, sukar diramalkan, saat ini tidak sedikit orang yang sedang
mengincar kotak pusaka itu,” ujar Wi Ki-tiu.
“Boleh kau bawaku pergi secara diam-diam, kan tidak akan
diketahui orang luar?” kata Giok-koan. “Andaikan diketahui
satu-dua orang, dengan kehebatan Kungfumu masakah
khawatir tidak dapat menghadapinya?”
“Tidak, aku tak mau mengambil risiko begitu,” ujar Wi Ki-tiu
sambil menggeleng. “Lebih baik kau katakan saja tempatnya,
biar kupergi mengambilnya sendiri.”
Hui Giok-koan tersenyum getir, “Jika engkau berkeras
demikian, apa yang dapat kukatakan lagi?”
“Jadi tidak mau kau katakan?” Wi Ki-tiu menegas dengan sorot
mata tajam.
“Apa boleh buat, bila perlu boleh kau bunuh aku saja,” jawab
Hui Giok-koan tegas.
“Hm, tidak seenak itu,” jengek Wi Ki-tiu. “Apakah kau tahu
apa tindakan keji selanjutnya yang akan kulaksanakan?”
“Terserah padamu,” jawab Giok-koan dengan nekat.
“Baik. Lik-cu, lepaskan dia keluar!” seru Wi Ki-tiu.

Lik-cu mengiakan dengan tertawa, lalu mendekati dinding
sana serta menekan sekali pada dinding itu.
Seketika dinding itu berputar dan terbuka sebuah pintu
rahasia, Lik-cu melangkah masuk ke sana, tidak lama
kemudian ia putar balik lagi.
Tapi di belakangnya ternyata ikut merayap keluar seekor
buaya raksasa yang kelihatan sangat menakutkan.
Liong It-hiong menarik napas dingin, pikirnya dengan kaget,
“Buset! Ternyata dia memiara seekor buaya sebesar ini di Cuici-
kiong ini!”
Setelah memandu keluar buaya besar itu, Lik-cu lantas
memegang lagi cambuknya dan disabetkan ke udara, “tarrr”,
cambuk berbunyi nyaring.
Agaknya buaya itu sudah terlatih baik, seketika ia berhenti di
tempat tanpa bergerak lagi.
Dengan tertawa Wi Ki-tiu berkata, “Buaya piaraanku ini sudah
beberapa hari tidak kuberi makan, tentu dia sedang kelaparan
sekali,” kata Wi Ki-tiu dengan tertawa.
Muka Hui Giok-koan tampak pucat pasi, jelas sangat
ketakutan.
Segera Wi Ki-tiu menyambung lagi, “Tapi buaya ini juga sudah
lama terlatih dengan baik, jika kuperintahkan dia menggigit
sekali, tidak nanti dia menggigit dua kali. Bila kusuruh dia
menggigit pahamu, tidak mungkin dia menggigit tanganmu.
Nah, Lik-cu, pertunjukkan kepadanya!”
Rupanya Lik-cu sudah biasa menjadi pawang buaya, segera ia

angkat cambuknya dan berbunyi “tar-tar” dua kali.
Seketika buaya itu menggelinding satu kali di lantai.
“Tar-tarr”, cambuk berbunyi lagi dan kontan buaya berguling
pula satu kali.
“Tar-tar-tarrr”, cambuk berbunyi tiga kali, mendadak buaya itu
menengadah dan membuka mulutnya lebar-lebar dengan
lagak buas hendak mencaplok mangsanya.
Keruan Hui Giok-koan ketakutan setengah hati, sukma pun
seakan-akan terbang meninggalkan raganya, sekujur badan
sama bergemetar hebat.
“Hahahaha!” Ki-tiu tertawa senang. “Nah, coba pikirkan lagi.
Jika engkau tetap bandel dan tidak mau mengaku, segera
akan kuberi perintah!”
Meski ketakutan dan keringat dingin memenuhi jidatnya,
namun Hui Giok-koan tetap diam saja.
Wi Ki-tiu menarik muka, bentaknya mendadak, “Baik, suruh
ganyang dulu anunya!”
“Tar-tar-tar-tarrr”, kontan Lik-cu membunyikan cambuknya
empat kali.
Seketika kepala buaya terangkat lebih tinggi dan hampir
mencapai selangkangan Hui Giok-koan, jika moncongnya
terjulur lagi sedikit ke atas, alat vital Hui Giok-koan pasti akan
diganyang mentah-mentah.
Saking ketakutan akhirnya Hui Giok-koan berteriak, “Ya,
sudahlah! Akan kukatakan, lekas mengenyahkan dia!”

“Sekarang dia tidak akan menggigitmu sebelum kuberi
perintah lebih lanjut,” ucap Wi Ki-tiu. “Nah, coba katakan
lekas!”
“Setelah kukatakan harus segera kau bebaskan kupergi,” kata
Hui Giok-koan.
“Hah, masih pakai tawar-menawar segala?!” jengek Wi Ki-tiu.
“Tidak, tidak bisa. Jika sembarangan kau sebut suatu tempat
dan aku tertipu kian kemari secara sia-sia, kan runyam. Maka
harus menunggu setelah benar kudapatkan kotak hitam itu
barulah akan kubebaskan dirimu.”
Dengan mendongkol Hui Giok-koan berkata, “Tempat
simpanan kotak itu sangat jauh letaknya, pergi pulang dari sini
diperlukan waktu setengah bulan, memangnya akan kau
gantung diriku selama setengah bulan?”
“Tidak, takkan terjadi demikian, dapat kukurung dirimu di
suatu kamar rahasia,” kata Wi Ki-tiu tertawa.
“Bilamana kotak itu sudah kau dapatkan dan nanti kau ingkar
janji tidak mau membebaskan diriku, engkau ini adalah anak
haram piaraan biang anjing, jadi?!” tanya Giok-koan.
“Boleh, jadi!” jawab Wi Ki-tiu sambil bergelak tertawa.
“Kotak pusaka itu kusembunyikan di bawah Jian-swe-siong
(cemara seribu tahun) di Cong-beng-to, boleh kau ambil ke
sana,” tutur Giok-koan akhirnya.
“Kutahu Cong-beng-to, tapi Jian-swe-siong itu barang macam
apa?” tanya Wi Ki-tiu.
“Namanya Jian-swe-siong, dengan sendirinya menandakan
pohon cemara yang teramat tua, setiap orang yang tinggal di

pulau Cong-beng itu sama tahu di mana letak pohon raksasa
itu,” jawab Giok-koan.
“Kotak itu kau tanam di bawah pohon?” Wi Ki-tiu menegas.
“Tidak, kusembunyikan di dalam lubang batang pohon,” tutur
Giok-koan.
“Tidak sampai ditemukan orang lain?” tanya Wi Ki-tiu.
“Tidak mungkin,” kata Giok-koan. “Tempat itu dekat pantai,
sekeliling pohon adalah batu karang belaka, suatu tempat
yang jarang didatangi manusia.”
“Keteranganmu ini tidak dusta?” tanya pula Wi Ki-tiu.
“Jiwaku berada dalam cengkeramanmu, apa gunanya
berdusta?”
“Baik, apabila kotak hitam itu tidak kutemukan, nanti akan
kusuruh buaya ini makan dagingmu sehari sepotong,” jengek
Wi Ki-tiu.
“Kapan engkau akan berangkat?” tanya Giok-koan tiba-tiba.
“Tunggu nanti setelah Sun Thian-tik pergi,” jawab Ki-tiu.
Mendengar sampai di sini, cepat Liong It-hiong memberi tanda
agar Sun Thian-tik merapatkan pintu dan membisikinya, “Suntayhiap,
lekas kau bawa Long-giok kembali ke kamarmu.”
Thian-tik melengak, tanyanya lirih, “Untuk apa lagi
membawanya kembali ke kamar? Kan sekarang juga dapat
kita angkat kaki dari sini?”
“Tidak, kita takkan pergi sekarang, harus tinggal sementara

dulu di sini untuk menolong orang,” desis It-hiong.
Tentu saja Sun Thian-tik heran dan bingung, “Apa artinya ini?”
“Jangan tanya dulu, sebentar akan kujelaskan,” kata It-hiong.
“Sekarang lekas kau bawa dia kembali ke kamar, sangat
mungkin Wi Ki-tiu akan mendatangi kamarmu untuk
memeriksa gerak-gerikmu.”
Meski penuh diliputi rasa sangsi, tahu juga Sun Thian-tik
bahwa tujuan It-hiong tetap tinggal di situ untuk menolong
Hui Giok-koan pasti mempunyai alasan yang kuat. Maka ia
tidak berani ayal lagi, cepat ia memondong Long-giok dan
membisikinya, “Jangan khawatir, jantung hati, biarlah kita
kembali dulu ke kamarku di wisma tamu tadi.”
Dengan bingung Long-giok bertanya dengan lirih, “Sebab apa?
Kan Hui Giok-koan sudah mengaku tempat sembunyi kotak
pusaka itu, dapatlah kau bawaku pergi dari sini!”
Thian-tik membawa si nona menuju ke pintu rahasia tadi,
sembari memencet tombol ia menjawab, “Dengan sendirinya
akan kubawamu kabur, cuma tidak sekarang, apa alasannya
biar sebentar lagi akan kukatakan padamu.”
Waktu pintu terbuka, cepat ia membawa Long-giok berlari
melalui lorong di depan sana.
Segera It-hiong ikut keluar dan menutup kembali pintu rahasia
itu serta ikut lari masuk ke lorong.
Hanya sebentar saja mereka bertiga sudah berada kembali di
kamar wisma tamu.
It-hiong memeriksa keadaan dalam kamar, dilihatnya cuma di
kolong ranjang saja dapat bersembunyi, ia lantas berkata

kepada mereka berdua, “Lekas kalian naik ke tempat tidur dan
pura-pura tidur, aku pun akan sembunyi di kolong ranjang.
Sebentar kalau Wi Ki-tiu sudah memeriksa kemari barulah kita
bicara lagi.”
Habis bicara ia terus menyusup ke kolong tempat tidur.
Sun Thian-tik dan Long-giok juga tahu Wi Ki-tiu pasti akan
datang mengontrol mereka, cepat mereka membuka baju dan
berlagak tidur habis “bekerja berat”.
Long-giok merasa tidak mengerti, dengan suara lirih ia coba
tanya, “Mengapa kalian tidak sekarang juga membawa lari
diriku?”
“Tidak,” bisik Sun Thian-tik, “Kawanku bilang harus tinggal
dulu di sini untuk menolong Hui Giok-koan.”
“Untuk apa menolong dia?” tanya Long-giok tidak paham.
“Aku pun tidak tahu,” ujar Thian-tik. “Cuma dia pasti
mempunyai alasan yang kuat, sebentar urusan pasti akan
dibereskan olehnya.”
Perlahan ia menepuk bahu si nona dan berkata pula, “Jangan
khawatir, pasti akan kubawamu meninggalkan tempat ini.
Cuma sebentar kalau Wi Ki-tiu datang kemari hendaknya kau
bantu main sandiwara dengan baik, jangan memperlihatkan
sesuatu tanda mencurigakan, kalau tidak ....”
Long-giok tersenyum, “Kalau tidak aku akan kau bunuh,
begitu bukan?”
Dengan serius Thian-tik menjawab, “Betul. Bila engkau berhati
tulus padaku, pasti akan kubawamu melepaskan diri dari
cengkeraman iblis tua itu. Tapi kalau engkau cuma pura-pura

saja dan cinta palsu, tentu aku pun tidak segan bertindak
keras padamu.”
“Engkau jangan khawatir, hamba benar-benar ingin melarikan
diri dari sini dan ikut padamu selama hidup,” jawab Long-giok
mantap.
“Tadi aku mengintip cara bagaimana Wi Ki-tiu memperlakukan
kawan-kawanmu di kolam mandi, caranya itu memang kotor
dan sadis, pantas kau ingin minggat dari sini.”
“Dahulu dia memang tangkas dan agresif, tapi akhir-akhir ini
sudah keropos serupa kayu dimakan rayap, sebab itulah ... ai,
kalau kuceritakan sungguh sangat menggemaskan. Pendek
kata dia bukan lagi manusia melainkan tiada ubahnya serupa
hewan.”
Mendadak Sun Thian-tik mendesis, “Sst, jangan bicara lagi,
mungkin dia datang!”
Baru selesai ucapannya, benar juga lantas terdengar suara
pintu kamar diketuk orang dari luar.
Cepat Thian-tik menyingkap kelambu dan berseru, “Siapa itu?”
“Aku!” ternyata benar suara Wi Ki-tiu.
Segera Thian-tik melompat turun dan membukakan pintu,
sapanya dengan hormat, “Ah, rupanya Wi-cengcu belum
tidur?”
Wi Ki-tiu melongok ke dalam kamar, melihat kelambu
setengah tersingkap, ia tertawa d berkata, “Ya, aku belum
tidur. Habis pulang dan mengontrol keadaan seluruh
kampung.”

“Apakah menemukan jejak musuh?” tanya Sun Thian-tik.
“Tidak ada,” jawab Wi Ki-tiu dengan menggeleng. “Kukira
sudah lari ketakutan oleh suara bende tadi.”
Lalu ia menuding Long-giok yang tergolek tempat tidur,
tanyanya dengan suara tertahan, “Bagaimana dia? Lumayan
bukan?”
“Ya,” jawab Sun Thian-tik dengan cengar-cengir. “Tak
kusangka di Liong-coan-ceng terdapat cewek secantik itu.
Sungguh tidak percuma kunjunganku ini, banyak terima kasih
atas pelayananmu.”
Wi Ki-tiu memperlihatkan senyum kikuk, katanya, “Jika Suntayhiap
cocok dengan dia, apa salahnya tinggal lagi beberapa
hari di sini.”
“Wah, tidak, jangan, aku masih banyak pekerjaan, besok juga
ingin mohon diri,” cepat Thian-tik menjawab.
Wi Ki-tiu juga tidak menahannya, katanya dengan tertawa,
“Jika begitu silakan tidur lagi, maaf jika kuganggu
keasyikanmu. Sampai bertemu besok!”
“Sampai bertemu!” jawab Sun Thian-tik sambil memberi
hormat.
Dengan tersenyum Wi Ki-tiu lantas tinggal pergi.
Setelah menutup pintu kembali, Thian-tik coba mendengarkan
dengan cermat, demi mendengar tingkah tuan rumah sudah
keluar wisma tamu barulah ia putar balik ke depan tempat
tidur, ucapnya sambil melongok ke kolong ranjang, “Sudah
aman, bolehlah kau keluar!”

It-hiong merangkak keluar dari tempat sembunyinya, ucapnya
dengan tertawa, “Eh, bila engkau tidak keberatan, bagaimana
kalau kita bertiga bicara saja di tempat tidur?”
Setelah menonton mandi telanjang kelima cewek ayu tadi,
sebenarnya nafsu berahi Sun Thian-tik jadi terbakar sehingga
sangat ingin bergumul lagi dengan Long-giok, maka ucapan
Liong It-hiong itu membuatnya kurang senang, tanyanya,
“Apakah kita akan bicara sampai pagi?”
“O, tidak, tentu saja tidak,” ujar It-hiong dengan tertawa.
“Begitu selesai kita berunding, segera kuangkat kaki.”
Karena janji ini barulah Sun Thian-tik mengangguk, katanya
dengan tertawa, “Baiklah, cuma jangan bicara terlampau
lama, sebab aku sudah mengantuk dari ingin istirahat.”
Begitulah mereka lantas naik ke tempat tidur dan duduk,
kelambu diturunkan pula.
Long-giok sendiri tidak merasa kikuk, katanya, “Sub-toaya,
sekarang engkau kan boleh membuka Hiat-toku?”
“Tidak, belum bisa,” jawab Sun Thian-tik. “Bukan karena aku
tidak percaya kepadamu, soalnya kita masih berada di sarang
naga dan gua harimau yang berbahaya ini, terpaksa kita harus
bertindak lebih hati-hati.”
Lalu ia berpaling terhadap Liong It-hiong dan berkata pula,
“Mengapa hendak kau selamatkan Hui Giok-koan?”
“Sebab dia dusta, kotak pusaka itu pasti tidak
disembunyikannya di Cong-beng-to,” kata It-hiong.
Thian-tik melengak, “Dari mana kau tahu?”

“Hal ini kutaksir menurut waktu perjalanannya,” tutur It-hiong.
“Tempo hari setelah dia berhasil merampas kotak pusaka itu,
sampai sekarang baru sepuluh hari. Jika dia membawa kotak
itu ke Cong-beng-to, sedikitnya dia perlu buang waktu tigaempat
hari lebih banyak baru bisa sampai di sini. Sebab itulah
pengakuannya kotak pusaka disembunyikan di Cong-beng-to
pasti tidak betul.”
Baru sekarang Sun Thian-tik paham maksud Liong It-hiong,
katanya, “Hah, dia ternyata berani berdusta, apa dia tidak
takut pada buaya tadi?”
“Ia sengaja menipu Wi Ki-tiu meninggalkan
perkampungannya, habis itu baru berdaya melarikan diri,
dengan waktu setengah bulan mungkin ia yakin pasti akan
mampu meloloskan diri.”
“Wi Ki-tiu adalah manusia licik dan licin, masakah dia sama
sekali tidak menaruh curiga akan muslihat Hui Giok-koan ini?”
kata Thian-tik.
Ia sendiri yakin Hui Giok-koan takkan mampu kabur dari
Liong-coan-ceng, dengan sendirinya dia tidak perlu sangsi.
“Dan sekarang cara bagaimana akan kau tolong dia?” tanya
Sun Thian-tik.
Ebook oleh : Dewi KZ
Scan book oleh : BBSC
Jilid 13
Liong It-hiong tidak segera menjawab, ia menoleh dan
berkata kepada Long-giok, “Nona Giok, dengan setulus hati
kuharap engkau benar-benar akan kembali ke jalan yang baik,
bilamana kau rusak rencana kerjaku, andaikan Sun-tayhiap

mau mengampunimu juga aku tidak dapat memberi ampun.”
“Hamba tidak pernah menyatakan hendak meninggalkan
kejahatan dan kembali ke jalan yang baik, aku cuma ingin
lekas meninggalkan tempat ini untuk seterusnya hidup
bersama Sun-tayhiap,” jawab Long-giok.
“Walaupun tingkah Wi Ki-tiu berbeda dengan orang biasa, tapi
kekayaannya jarang ada bandingannya, pula tidak jelek dia
memperlakukan dirimu, mengapa kau ingin meninggalkan
dia?” tanya It-hiong pula.
“Memangnya kau kira orang perempuan akan puas asalkan
mendapatkan suami yang kaya?” kata Long-giok. “Biarlah
kukatakan terus terang, Wi Ki-tiu sudah tua lagi buruk rupa,
selamanya tidak pernah membuatku puas, masa kupikirkan
harta kekayaannya saja?”
Ia berhenti sejenak sambil melirik Sun Thian-tik sekejap, lalu
menyambung dengan tertawa, “Hamba cuma suka kepada
orangnya. Sun-tayhiap menyenangkanku, makanya kurela ikut
dia.”
Sun Thian-tik merasa berjaya, dengan tertawa ia berkata,
“Terima kasih atas pujianmu, selama ini orang she Sun tidak
pernah mendapatkan penghargaan orang perempuan, mereka
sama menganggap aku miskin dan kotor, tidak ada yang mau
menjadi istriku.”
“Engkau tidak miskin,” kata Long-giok. “Soal kotor, asalkan
kuanggap hatimu tidak kotor kan cukup.”
“Baik,” sela It-hiong. “Sekarang Sun-tayhiap sudah mau
padamu, maka seterusnya engkau tidak boleh berhati cabang,
dengan sendirinya juga tidak boleh mengkhianati kami berdua,
tahu?”

Long-giok mengiakan.
“Nah, sekarang akan kujelaskan rencanaku,” tutur It-hiong.
“Esok pagi hendaknya Sun-tayhiap mohon diri kepada Wi Kitiu,
pura-pura meninggalkan Tengciu agar Wi Ki-tiu berangkat
ke Cong-beng-to tanpa khawatir ....”
*****
Begitulah esok paginya sewaktu Long-giok masih tidur
nyenyak, Sun Thian-tik lantas bangun dan keluar, ia tanya
kepada seorang centeng, “Apakah Cengcu kalian sudah
bangun?”
“Belum,” jawab centeng itu dengan hormat. “Semalam Cengcu
tidur sangat terlambat, mungkin sebentar lagi baru akan
bangun.”
“Di manakah Lokoankeh?” tanya Thian-tik.
“Kalau Lokoankeh sudah bangun pagi-pagi,” tutur si centeng.
“Bolehkah tolong panggil dia ke sini, aku ada urusan,” kata
Thian-tik.
Centeng itu mengiakan terus melangkah pergi.
Tidak lama kemudian Lokoankeh sudah muncul, dengan
tertawa ia memberi hormat dan berkata kepada Sun Thian-tik,
“Wah, pagi benar Sun-tayhiap bangun, apakah ada urusan
penting?”
“Ya, ada sedikit urusan dan harus segera mohon diri,” jawab
Thian-tik, “Konon Cengcu belum bangun, maka ....”

“Sun-tayhiap kan belum sarapan pagi, mana boleh berangkat
begini saja, silakan makan dulu baru berangkat,” kata
Lokoankeh.
“Tidak usah,” ujar Sun Thian-tik. “Aku tidak biasa sarapan
pagi, pula aku memang ada urusan harus segera berangkat.
Nanti kalau Cengcu bangun, tolong sampaikan tentang
keberangkatanku ini, katakan aku tidak sempat mohon diri
dan sampaikan terima kasihku atas segala pelayanan beliau
yang baik ini.”
“Tidak, jangan,” kata Lokoankeh, “jika Sun-tayhiap terburuburu
hendak berangkat, biarlah hamba laporkan saja kepada
Cengcu.”
Habis bicara segera ia masuk ke dalam untuk lapor.
Tidak lama kemudian Kui-sui-poa. Wi Ki-tiu tampak keluar
dengan wajah kelihatan baru bangun tidur, begitu masuk
ruang tamu segera ia menegur, “Ai, Sun-tayhiap, mengapa
pagi-pagi begini engkau akan berangkat? Jangan-jangan
karena ladenan Long-giok kurang memuaskanmu?”
“Ah, mana,” jawab Sun Thian-tik dengan tersenyum. “Dia
telah memberi servis dengan sangat memuaskan, soalnya aku
memang ada urusan dan harus cepat-cepat kuselesaikan,
biarlah lain kali saja kudatang lagi,” jawab Sun Thian-tik.
“Sun-tayhiap hendak menyelesaikan urusan penting apa?”
tanya Wi Ki-tiu.
“Aku telah berjanji untuk bertemu di suatu tempat dengan
seorang sahabat,” tutur Thian-tik. “Jika tidak lekas
kuberangkat mungkin akan terlambat.”
“Jika begitu, berangkatlah setelah sarapan pagi,” ujar Wi KiKANG
ZUSI website http://cerita-silat.co.cc/
tiu.
“Jangan sungkan, Wi-cengcu,” kata Thian-tik. “Aku pun tidak
biasa makan pagi .... Ah, ya, sebentar bila Hui Giok-koan
bangun, harap Cengcu sampaikan padanya bahwa aku sudah
berangkat lebih dulu.”
“Baiklah, akan kusampaikan padanya,” jawab Wi Ki-tiu. “Bila
kiranya Sun-tayhiap akan pesiar lagi ke Tengciu sini?”
“Begitu ada waktu luang pasti kudatang lagi,” kata Thian-tik
dengan tertawa. “Selain itu, bilamana Cengcu memerlukan
tenagaku, silakan mengirim kabar saja, bahwasanya Cengcu
telah memberi pelayanan sebaik ini kepadaku, adalah pantas
bilamana kubalas.”
“Ah, kenapa Sun-tayhiap bicara seperti ini, serupa baru saja
kenal,” ujar Wi Ki-tiu sambil tergelak. “Sungguh kunjungan
Sun-tayhiap ini merupakan suatu kehormatan besar bagiku,
selanjutnya, persahabatan kita sudah jelas tambah kekal,
kenapa mesti sungkan dan rendah hati.”
Sun Thian-tik menengadah dan terbahak-bahak, lalu memberi
hormat dan berkata, “Jika demikian, biarlah sekarang juga
kumohon diri.”
Wi Ki-tiu terus mengantarnya hingga keluar kampung, lalu
memberi pesan pula, “Selanjutnya bila Sun-tayhiap ada waktu
luang hendaknya suka mampir kemari, mungkin tidak lengkap
persediaan perkampungan kami ini, tapi kalau daging pesut
pasti tidak pernah absen.”
“Oya, pasti datang, pasti datang!” seru Thian-tik dengan
tertawa. “Di tempat Anda tidak cuma daging pesut saja sangat
enak dimakan, juga di sini banyak nona cantik yang memikat.”

“Haha, asal tahu saja!” Wi Ki-tiu terbahak. “Maaf, tidak antar
lebih jauh.”
“Sampai bertemu!” seru Thian-tik sambil memberi salam.
Wi Ki-tiu memandangi kepergian orang hingga jauh barulah
masuk kembali ke kampung. Tertampil rasa senang pada
wajahnya, ucapnya dengan bergumam, “Hm, semula kukira
dia datang dengan tujuan tertentu, rupanya cuma ingin cari
kesenangan saja ....”
“Dia sudah pergi, Cengcu?” tanya Lokoankeh sambil
menyongsong sang Cengcu.
“Ehm, sudah pergi,” Wi Ki-tiu mengangguk.
“Sekarang Loya (tuan besar) tentu tidak perlu khawatir lagi,”
ujar Lokoankeh dengan tertawa.
Wi Ki-tiu lantas menuju ke wisma tamu, sambil berjalan ia
berkata, “Ya, sekarang boleh kau berbenah seperlunya bagiku,
sehabis menyamar segera aku akan berangkat.”
Lokoankeh mengiakan dan balik ke rumah induk.
“Eh, nanti dulu,” seru Wi Ki-tiu mendadak.
“Loya ada pesan apa lagi?” tanya Lokoankeh.
“Pada waktu aku pergi nanti, hendaknya kau awasi dengan
lebih hati-hati, pada waktu malam seluruh kampung tidak
boleh memadamkan lampu, pos penjagaan juga tidak boleh
dihapus, bila ketemu orang pejalan malam menyusup kemari,
harus gunakan cara lama dengan membunyikan bende dan
berteriak maling, dengan demikian musuh dapat digertak lari.”

Lokoankeh mengiakan.
“Ada lagi, sesudah kupergi, Cui-ci-kiong harus ditutup, siapa
pun dilarang rasuk,” pesan Wi Ki-tiu pula.
“Bagaimana dengan Lik-cu dan lain-lain?” tanya Lokoankeh.
“Mereka menjaga Hui Giok-koan di dalam sana, di situ sudah
tersedia perbekalan yang cukup, maka tidak perlu kau urus
mereka,” kata Wi Ki-tiu.
“Baik, dan apakah Loya juga sudah pesan kepada mereka
dilarang keluar Cui-ci-kiong?” tanya Lokoankeh.
“Setelah Cui-ci-kiong kututup, segenap jalan keluar sudah
buntu, biarpun mereka ingin keluar juga tidak dapat lagi.”
“Betul, hamba jadi lupa kepada kehebatan pesawat rahasia
yang terdapat di dalam istana kristal itu ....” Lokoankeh
tertawa senang.
“Baiklah, sekarang boleh kau pergi,” kata Ki-tiu.
Sementara itu Wi Ki-tiu sudah sampai di depan wisma tamu, ia
masuk ke situ, mendatangi kamar yang semalam dipakai oleh
Sun Thian-tik, ia mendorong pintu dan melangkah ke dalam.
“Siapa itu?” terdengar suara Long-giok tanya dari balik
kelambu dengan kemalas-malasan serupa orang yang terjaga
dari tidurnya.
Wi Ki-tiu mendekati tempat tidur dan menyingkap kain
kelambu, ucapnya dengan tertawa, “Long-giok, bangunlah!”
Melihat Wi Ki-tiu, cepat Long-giok bangun duduk dan berseru,
“Oo, Loya ....”

“Semalam tentu sangat menyenangkan bukan?” tanya Wi Kitiu
dengan tertawa.
Dengan malu-malu Long-giok menjawab, “Kalau Loya sudah
tidak suka lagi padaku, maka diriku diberikan untuk permainan
orang lain, apa yang dapat hamba katakan pula?”
“Bukan begitu maksudku,” kata Wi-Ki-tiu. “Engkau adalah
orang yang paling kusayangi, akhir-akhir ini kulihat engkau
suka murung, maka sengaja kuberi kesempatan untuk ganti
cita rasa lain, supaya kau pun dapat bermain dengan senang.”
Long-giok menjawab dengan lagak sedih, “Hamba cuma suka
kepada Loya seorang, tapi tanpa iri sedikit pun Loya
memberikan hamba kepada orang lain, ini menandakan Loya
sudah bosan padaku.”
Wi Ki-tiu duduk di tepi tempat tidur, katanya sambil tepuktepuk
bahu si nona dan berkata dengan tertawa, “Salah,
bukan begitu, justru aku sangat suka padamu, lantaran akhirakhir
ini kesehatanku kurang baik, kukhawatir kau kurang
puas, maka kuberi kesempatan padamu, sudah tentu masih
ada alasan lain, yaitu supaya engkau mengawasi Sun Thiantik.
Nah, semalam dia tidak pernah meninggalkan kamar,
bukan?”
“Ya, tidak,” jawab Long-giok. “Dan sekarang ke mana
perginya?”
“Sudah angkat kaki,” kata Wi Ki-tiu.
“Angkat kaki?” Long-giok melengak.
“Ya, dia sudah pergi. Ia bilang ada janji pertemuan dengan
orang, harus segera pergi ke sana.”

“Hm, dia benar-benar menganggap diriku sebagai pelacur
belaka, mau pergi saja tanpa pamit sama sekali,” jengek Longgiok
dengan tidak senang.
“Mungkin dilihatnya kau masih tidur dan tidak mau
membangunkanmu,” kata Wi Ki-tiu dengan tertawa. “Eh, apa
saja yang dibicarakannya denganmu semalam?”
“Banyak yang dia bicarakan, cuma semuanya tidak ada yang
penting, ia terus-menerus membual tentang kehebatan
pribadinya. Hm, biasanya gentong kosong memang nyaring
bunyinya, kukira paling-paling dia juga cuma begitu saja,
masa Loya begitu jeri padanya?”
“Tidak, dia memang tokoh yang sukar direcoki,” ujar Wi Ki-tiu,
“Kalau bicara tentang ilmu silat, tentu saja aku tidak gentar
padanya. Tapi dia banyak tipu muslihatnya, segala permainan
dapat dilakukannya, sebab itulah harus berjaga-jaga segala
kemungkinan tingkah ulahnya.”
“Dan sekarang tentunya sudah terbukti kedatangannya bukan
tertuju kepada Loya?”
“Ya,” jawab Ki-tiu.
“Dan bagaimana dengan Hui Giok-koan?” tanya Long-giok
pula.
“Semalam Lik-cu telah menawannya ke dalam Cui-ci-kiong, dia
sudah dikompes dan akhirnya mengaku tempat dia
menyembunyikan kotak pusaka itu.”
“Disembunyikannya di mana?” tanya Long-giok dengan girang.
“Di Ngo-tay-san,” tutur Ki-tiu.

“Dan Loya sudah membunuhnya?” tanya Long-giok pula.
“Tidak,” Ki-tiu menggeleng. “Sebelum kotak pusaka itu
kudapatkan tidak boleh kubunuh dia, akan kukurung dia di
kamar rahasia nomor sembilan.”
“Sesungguhnya apa isi kotak pusaka itu?” tanya Long-giok.
“Biarlah kelak saja akan kuberi tahukan padamu,” ujar Wi Kitiu
dengan tersenyum.
“Dan kapan Loya akan mengambil kotak pusaka itu?”
“Sebentar segera kuberangkat.”
“Apakah boleh hamba ikut pergi bersama Loya?” tanya Longgiok.
“Tidak, hendaknya kalian tinggal saja di Cui-ci-kiong untuk
menjaga Hui Giok-koan,” jawab Wi Ki-tiu.
“Bilakah Loya akan pulang?”
“Paling cepat setengah bulan lagi.”
“Wah, apabila ada orang menyusup ke sini dan membawa lari
Hui Giok-koan, lantas bagaimana?” tanya Long-giok.
“Tidak, tidak mungkin terjadi,” ujar Wi Ki-tiu, “Sudah
kuputuskan akan memblokir Cui-ci-kiong dengan ketat, siapa
pun jangan harap akan masuk ke sana.”
“Hah, memblokir Cui-ci-kiong, menutupnya dengan rapat?”
Long-giok menegas dengan melengak.

“Betul,” jawab Ki-tiu.
“Wah, dengan demikian bukankah kami akan hidup di dalam
Cui-ci-kiong selama setengah bulan takkan melihat sinar
matahari?” kata Long-giok dengan mulut menjengkit.
“Betul, cuma kau pun jangan sedih, hanya setengah bulan
saja, dalam sekejap pun akan lalu.”
“Tidak mau,” Long-giok berlagak manja, “hamba tidak mau.
Berdiam selama setengah bulan di situ, bisa mati kesal.”
“Ai, sabarlah sedikit,” bujuk Ki-tiu. “Nanti setelah kupulang
dengan membawa kotak pusaka itu, kau minta barang apa
pun pasti akan kubelikan.”
“Tidak, hamba tidak menghendaki apa pun,” kata Long-giok.
“Hamba cuma tidak ingin berdiam selama setengah bulan di
Cui-ci-kiong .... Ai Loya, mohon engkau perbolehkan kutinggal
di sini saja.”
Wi Ki-tiu berkerut kening, “Masa kau tidak ingin berkumpul
dengan Lik-cu dan lain-lain?”
“Tidak, sudah lebih setahun hamba tinggal di Cui-ci-kiong,
mendingan biasanya didampingi oleh Loya,” kata Long-giok.
“Tapi sekarang, bila Loya pergi, sungguh hamba tidak tahan
berdiam di sana, makanya kumohon tinggal di sini saja agar
dapat menghirup udara segar.”
“Jika kau tidak turun ke sana, nanti kalau Cui-ci-kiong kututup,
bila kau ingin turun ke sana harus menunggu lagi setengah
bulan,” ujar Wi Ki-tiu.
“Baiklah, tidak menjadi soal,” kata Long-giok.

Wi Ki-tiu mengawasi si nona, tiba-tiba ia tersenyum dan
berkata, “Apakah ada niatmu meninggalkanku pada waktu aku
tidak di rumah.?”
“Ah, sama sekali hamba tidak punya niat begitu,” jawab Longgiok.
“Jika Loya khawatir hamba berubah pikiran, bolehlah
Loya mengurung hamba saja di sini.”
“Terkurung di sini, apakah akan lebih enak daripada tinggal di
Cui-ci-kiong?”
“Begitulah menurut pikiran hamba, sesungguhnya hamba
tidak ingin lagi hidup di tempat yang tidak pernah melihat
sinar matahari itu, mohon Loya kasihan padaku.”
Wi Ki-tiu termenung sejenak, katanya kemudian, “Jika benar
kau tidak suka lagi tinggal di Cui-ci-kiong, bolehlah kusuruh
Lik-cu kemari untuk menemanimu ....”
“Jangan Lik-cu, panggil Le-hui saja, biasanya hamba lebih
cocok berkumpul dengan dia,” pinta Long-giok.
“Boleh juga,” Ki-tiu manggut-manggut. “Akan kutanyai dia
apakah dia mau naik ke sini untuk menemanimu.”
Bicara sampai di sini ia lantas berbangkit.
“Jika Le-hui mau, tolong Loya suruh dia membawa sekalian
pakaian dan barang lain milik hamba ke sini,” pinta Long-giok.
Wi Ki-tiu mengangguk, lalu dia mendekati dinding di kanan
tempat tidur dan mengetuk pintu rahasia, lalu masuk ke sana.
Long-giok menaksir orang sudah sampai di bawah Cui-ci-kiong
barulah dia melongok kolong ranjang dan mendesis, “Lionghiap,
dia bilang akan memblokir Cui-ci-kiong, wah, sungguh

kabar tidak enak.”
Kiranya Liong It-hiong masih sembunyi di kolong ranjang,
dengan sendirinya ia dapat mengikuti seluruh percakapan
antara Wi Ki-tiu dan Long-giok.
Setelah melangkah keluar kolong tempat tidur, It-hiong
bertanya dengan perlahan, “Apa yang disebut memblokir Cuici-
kiong, sesungguhnya bagaimana jadinya?”
“Kau tahu, berbagai jalan keluar-masuk Cui-ci-kiong
dikendalikan oleh sebuah pesawat sentral, asalkan pesawat
sentral itu ditutupnya, orang luar lantas tidak dapat masuk ke
sana dan orang di dalam pun tidak mampu keluar.”
“Di mana letak pesawat sentral itu?” tanya It-hiong.
“Entah, aku pun tidak tahu. Kecuali dia sendiri, mungkin tidak
diketahui oleh orang kedua.”
“Mengapa kau minta dia memperbolehkan kau tinggal di sini?”
“Sebab dia menyatakan hendak memblokir Cui-ci-kiong,
terpaksa hamba mengajukan permintaan demikian, kalau
tidak, jelas aku tidak mampu membantu kalian.”
“Apakah takkan menimbulkan curiganya atas permintaanmu
itu?”
“Kuharap tidak,” kata Long-giok.
“Apakah engkau tidak punya akal untuk menyelidiki di mana
letak pesawat sentral yang mengatur semua jalan keluarmasuk
itu?”
“Tidak, tidak bisa,” jawab Long-giok. “Pada waktu dia

memblokir Cui-ci-kiong pasti tidak mengizinkan orang lain
mendampingi dia.”
“Tadi dia telah membohongimu, apakah kau tahu?” kata Ithiong.
“Membohongiku apa?” tanya Long-giok bingung.
“Waktu kau tanya dia di mana Hui Giok-koan
menyembunyikan kotak pusaka, dia kan menjawab Ngo-taysan,
begitu bukan?”
“Ya, maksudmu sesungguhnya tidak disembunyikan di Ngotay-
san?” Long-giok menegas.
“Ehmm,” It-hiong mengangguk.
Long-giok menghela napas perlahan, “Makanya, dari sini pun
terbukti bahwa sama sekali dia tidak menganggap diriku
sebagai orang kepercayaannya.”
“Dia pasti mempunyai beberapa orang kepercayaan, apakah
kau tahu siapa-siapa mereka?” tanya It-hiong.
“Ada tujuh orang jago pengawalnya yang setia, seluruhnya
adalah anak buahnya sejak dulu,” tutur Long-giok, “Cuma
orang yang paling dipercayanya adalah Lokoankeh yang
bernama Eng Tiong-jin itu. Setiap urusan penting selalu
diserahkan kepada Eng Tiong-jin untuk menyelesaikannya.”
“Jika begitu, sangat mungkin Eng Tiong-jin tahu di mana letak
pesawat sentral itu,” kata It-hiong.
“Ya, mungkin, tapi Eng Tiong-jin tidak pernah belajar ilmu
silat,” kata Long-giok.

“Terkadang, memercayai seorang yang tidak paham ilmu silat
akan jauh lebih dapat diandalkan daripada memercayai
seorang yang mahir ilmu silat,” ujar It-hiong.
“Dia menyanggupi akan memanggil Le-hui ke sini untuk
menemaniku,” kata Long-giok. “Nanti kalau dia sudah
berangkat apakah boleh kuceritakan segalanya kepada Lehui?”
“Wah, jangan,” kata It-hiong. “Mungkin dia rada curiga
terhadap permintaanmu, dan karena itu bisa jadi dia memberi
perintah kepada Le-hui untuk mengawasi gerak-gerikmu,
maka jangan sekali-kali kau ceritakan sesuatu kepadanya.”
“Tapi kalau dia menemaniku di sini, cara bagaimana hamba
dapat membantu kalian? Cara bagaimana pula untuk kabur
dari Liong-coan-ceng sini?”
“Tunggu saja kalau malam nanti Sun-tayhiap datang, akan
kami rundingkan suatu akal untuk menghadapi dia, untuk
sementara ini hendaknya sabar dulu dan jangan
memperlihatkan sesuatu yang mencurigakan.”
“Baiklah,” bata Long-giok. “Engkau lapar tidak?”
“Lapar sedikit, tapi tidak menjadi soal, nanti kalau Wi Ki-tiu
sudah pergi baru kau cari kesempatan untuk mengambilkan
makanan bagiku.”
“Mungkin selekasnya dia akan naik ke sini lagi, lekas kau
sembunyi.” kata si nona.
It-hiong mengangguk dan segera merangkak masuk lagi dan
sembunyi di kolong ranjang.
Benar juga, tidak lama kemudian pintu rahasia tadi perlahan

naik ke atas dan terbuka, Wi Ki-tiu muncul bersama Le-hui,
salah seorang di antara ketujuh nona cantik.
Segera Long-giok turun dari tempat tidur dan menegur, “Lehui,
kau bawah sekalian pakaianku atau tidak?”
“Ini, di sini semua,” jawab Le-hui dengan tertawa sambil
menyodorkan sebuah bungkusan.
“Terima kasih,” kata Long-giok.
“Ai, saudara sendiri, pakai terima kasih apa segala?” ucap Lehui
dengan tertawa.
“Nah, sekarang tentu kau senang, bukan?” tanya Wi Ki-tiu.
“Ya, terima kasih, Loya,” jawab Long-giok sambil memberi
hormat.
“Sekarang kalian berdua boleh tinggal di wisma tamu ini, kalau
tidak ada urusan boleh saja jalan-jalan di dalam kampung, tapi
dilarang keluar kampung, tahu?” pesan Wi Ki-tiu.
“Tahu, Loya,” jawab Long-giok dengan lembut.
“Selama aku tidak di rumah, kalian menghendaki apa boleh
minta saja kepada Lokoankeh, sebentar akan kuberi pesan
kepadanya.”
“Baiklah, apakah sekarang juga Loya akan berangkat?” tanya
Long-giok.
“Aku mau kembali ke kamar untuk menyamar, habis itu akan
berangkat melalui belakang kampung, kalian tidak perlu lagi
mengantar,” kata Ki-tiu.

Le-hui mendekat dan menciumnya sekali, ucapnya dengan
tertawa, “Selamat jalan Loya, lekas pergi dan cepat pulang.”
Wi Ki-tiu terbahak-bahak, “Tentu, tentu, hahaha! Kutahu
kawanan budak seperti kalian ini tidak tahan kesepian, mana
kala aku tidak lekas pulang, wah, bisa jadi kalian akan
menyeleweng.”
Long-giok juga memberi ciuman perpisahan sambil meraba
pipi dan mengelus jenggot Wi Ki-tiu, ucapnya dengan
tersenyum manis, “Loya jangan khawatir, dalam hati kami
hanya ada engkau seorang!”
Wi Ki-tiu terbahak-bahak senang dan tinggal pergi.
*****
Segera Le-hui menutup pintu kamar, ia membalik dan
memandang Long-giok sampai sekian lama, lalu bertanya, “Di
sini semalam engkau melayani Sun Thian-tik?”
Muka Long-giok menjadi merah, jawabnya sambil
mengangguk, “Ya.”
“Bagaimana rasanya?” tanya Le-hui pula.
“Cis,” semprot Long-giok dengan melotot. “Untuk apa kau
tanya hal ini? Tidak malu!”
“Alaa, malu apa?” ujar Le-hui dengan tertawa. “Sekarang Loya
sudah pergi, apa alangannya kau katakan padaku.”
“Tidak, takkan kukatakan,” jawab Long-giok.
“Tidak kau katakan takkan kutemanimu di sini,” Le-hui
berlagak ngambek terus hendak tinggal pergi.

Cepat Long-giok menariknya, ucapnya dengan tertawa, “Baik,
baik, akan kuceritakan.”
Lalu ia mendekap telinga Le-hui dan membisikinya,
diuraikannya apa yang dialaminya semalam.
Sembari mendengarkan Le-hui tertawa terkikik-kikik, juga
heran dan kagum sekali, akhirnya ia menegas, “Apa betul?”
Long-giok tertawa, “Hubungan kita berdua sangat karib, untuk
apa kubohongimu?”
Tampaknya Le-hui sangat terpikat, ucapnya, “Sungguh
nasibmu sangat baik.”
“Tidak baik,” kata Long-giok dengan tertawa sambil
menggeleng.
“Tidak baik?” Le-hui melenggong.
“Ya,” jawab Long-giok. “Tanpa sayang sedikit pun dia
menyerahkan diriku untuk dibuat mainan orang lain, ini
menandakan dia tidak suka lagi padaku,” tutur Long-giok.
“Selain itu, setelah pengalaman ini, bilamana aku bergaul lagi
dengan dia tentu akan merasa cemplang.”
“Memang betul,” tukas Le-hui dengan tertawa. “Ibaratnya
orang bila pernah minum arak, lalu minum air tawar, tentu
akan dirasakan cemplang.”
“Makanya kubilang tidak baik,” kata Long-giok.
“Namun aku tetap kagum akan keberuntunganmu,” ujar Lehui.

“Jika kau mau, kelak bila ada kesempatan tentu akan kuminta
dia menugaskan dirimu,” kata Long-giok.
Le-hui tertawa, ia coba ganti pokok pembicaraan, “Kenapa kau
minta dia mengizinkan kau tinggal di sini?”
“Bila turun ke Cui-ci-kiong, kukhawatir akan ditertawai oleh
kalian,” jawab Long-giok.
“Ah, jangan kau dusta, bahwa engkau tidak mau masuk lagi
ke Cui-ci-kiong tentu ada alasan lain,” kata Le-hui.
“Memang ada suatu alasan lagi,” tutur Long-giok, “yaitu, dia
kan mau pergi selama setengah bulan, bahkan dia bilang
hendak memblokir Cui-ci-kiong. Jika terjadi demikian, coba
pikir, kita kan serupa orang mati saja dikubur hidup-hidup di
bawah tanah. Bilamana terjadi sesuatu di luaran dan dia
takkan pulang untuk selamanya, kita kan benar-benar akan
terkubur di situ?”
Le-hui menampilkan rasa menyadari duduknya perkara, “Ah,
kiranya begitu, aku tidak berpikir sampai ke situ. Memang
betul, apabila dia mampus di luaran, kita pun jangan harap
lagi akan keluar dari Cui-ci-kiong.”
“Semula dia bilang hendak menyuruh Lik-cu untuk
menemaniku di sini,” tutur Long-giok pula. “Tapi aku menolak,
kukatakan lebih cocok denganmu dan kuminta dia
menyuruhmu ke atas untuk menemaniku.”
“Wah, sungguh aku sangat beruntung,” seru Le-hui dengan
gembira. “Bilamana dia benar tidak pulang lagi, itu sama
halnya engkau yang menyelamatkan jiwaku.”
“Ya, tatkala mana kau harus terima kasih padaku,” kata Longgiok
dengan tertawa.

Le-hui coba mendekati jendela dan melongok ke luar, lalu
berpaling dan mendesis, “Long-giok, ada satu gagasanku,
entah boleh, kukatakan kepadamu atau tidak?”
“Urusan apa, katakan saja,” jawab Long-giok.
Le-hui menariknya untuk duduk di tepi ranjang, lalu berkata,
“Kau tahu, terhadap kehidupan di Cui-ci-kiong itu aku sudah
merasa bosan, selama ini kuharapkan akan tiba ketika baik
untuk melepaskan diri dari cengkeramannya. Nanti kalau dia
sudah pergi, bagaimana kalau kita mencari kesempatan untuk
minggat saja?”
“Wah, jangan!” jawab Long-giok.
“Kenapa?” tanya Le-hui.
“Setiap manusia harus punya perasaan dan tahu budi
kebaikan,” ujar Long-giok. “Meski dia sudah tua dan loyo,
biasanya hanya nafsu besar dan tenaga kurang, tapi selama
ini dia tidak jelek terhadap kita, mana boleh kita tinggalkan dia
begini saja.”
“Akan tetapi, kita kan harus berpikir juga bagi diri kita sendiri,”
kata Le-hui. “Kita masih muda, masih panjang hari depan kita,
masa kita akan ikut dia selamanya?”
“Apa pun juga aku tidak setuju meninggalkan dia,” ucap Longgiok
dengan tegas. “Jika mau pergi, biarlah kita tunggu
sampai dia mati.”
“Wah, bisa jadi dia akan hidup lagi 20 tahun atau 30 tahun,
waktu itu kita pun sudah keriput dan ubanan, siapa yang mau
kepada kita?” kata Le-hui.

“Pendek kata, betapa pun aku tidak setuju meninggalkan dia,”
ucap Long-giok sambil menggeleng kepala.
Melihat tekad kawannya begitu teguh, Le-hui merasa kurang
senang, ucapnya, “Baik, tidak mau ya sudah, namun engkau
jangan menyesal ....”
Ia terus berbangkit dan berkata pula, “Entah sekarang Cui-cikiong
sudah ditutupnya atau belum?”
“Kan mudah saja untuk mengetahuinya, coba ketuk pintu
rahasianya,” kata Long-giok.
Segera Le-hui mendekati kanan tempat tidur dan mengetuk
tiga kali pada dindingnya, ternyata pintu rahasia itu tidak
terpentang lagi seperti biasanya.
“Ya, benar, sudah tertutup,” katanya.
“Mungkin segera dia akan berangkat,” ucap Long-giok.
“Coba kupergi melihatnya,” kata Le-hui, lalu ia membuka pintu
kamar dan keluar.
Long-giok ikut keluar, dilihatnya Le-hui sudah keluar wisma,
cepat ia putar balik ke kamar dan berjongkok, katanya kepada
Liong It-hiong yang mendekam di kolong ranjang, “He, lekas
keluar, biar hamba membawamu sembunyi di kamar sebelah,
tidak boleh di sini.”
It-hiong juga menyadari tidak mungkin bersembunyi terus di
kolong ranjang, cepat ia merangkak keluar, katanya dengan
tertawa, “Dia benar-benar sangat baik denganmu?”
“Hanya agak cocok saja di antara kami berdua,” jawab Longgiok.

“Engkau sangat pintar, tadi engkau tidak setuju untuk minggat
bersama dia,” kata It-hiong, dengan tersenyum.
“Kutahu dia sengaja menjajaki jalan pikiranku atas suruhan Wi
Ki-tiu,” ujar Long-giok, “Saat ini mungkin dia sedang memberi
laporan kepadanya.”
“Ya, bila Wi Ki-tiu mendengar engkau tidak mau minggat, rasa
curiganya padamu tentu akan lenyap.”
Long-giok mengangguk, katanya, “Ayo, lekas ikut padaku.”
Ia mendekati pintu kamar dan coba melongok keluar, setelah
jelas wisma ini tidak ada orang lain, ia menggapai kepada
Liong It-hiong terus melangkah cepat ke kamar sebelah.
Cepat It-hiong ikut keluar ke sana.
Setiba di kamar sebelah, Long-giok menolak pintu kamar
sambil mendesis, “Lekas masuk, dengan sembunyi di kamar ini
mungkin takkan ketahuan, dan bila ada kesempatan tentu
akan kuantarkan makanan kepadamu.”
Liong It-hiong menyelinap ke dalam kamar, dilihatnya keadaan
kamar ini lebih buruk daripada kamar tadi, ia tahu kamar ini
jarang digunakan, tanpa pikir ia berjongkok terus menyusup
ke kolong ranjang.
Long-giok menutup kembali pintu kamar dan kembali ke
kamar tadi, ia mulai cuci muka dan berdandan, gerak-geriknya
sangat tenang.
Tidak lama kemudian tampak Le-hui sudah kembali.
“Dia sudah pergi,” katanya dengan tertawa.

“Apakah dia jadi menyamar?” tanya Long-giok.
“Ya, dia menyamar sebagai saudagar,” tutur Le-hui.
“Kuharap kotak pusaka itu dapat ditemukannya dengan
lancar,” ujar Long-giok.
“Apakah ia pernah memberitahukan padamu apa isi kotak
itu?” tanya Le-hui.
“Tidak pernah,” jawab Long-giok. “Tapi dapat diduga isi kotak
pasti benda mestika yang sukar dinilai harganya, kalau tidak
masakah dia berani menyatakan akan menukarnya dengan
Liong-coan-ceng ini.”
“Ai, orang she Hui itu sungguh harus dikasihani ....” kata Lehui.
“Apakah dia dikurung di kamar rahasia nomor sembilan?”
“Ya, dia ditelanjangi sehingga tidak tertinggal sehelai benang
pun, kaki dibelenggu lagi.”
“Mengapa tidak membiarkan dia mengenakan pakaian?”
“Dalam keadaan telanjang bulat, supaya dia tidak berani
berusaha melarikan diri,” tutur Le-hui dengan tertawa.
“Wah, sungguh keterlaluan,” kata Long-giok.
“Memang, dalam keadaan telanjang bulat begitu, Lik-cu dan
lain-lain mungkin akan terangsang, tapi mereka hanya dapat
memandangnya dan tidak dapat memegangnya.”
Mendadak pintu diketuk orang.

“Siapa itu?” tanya Le-hui.
“Hamba,” terdengar suara Lokoankeh Eng Tiong-jin.
“Masuk saja,” seru Le-hui.
Segera Lokoankeh menolak pintu dan masuk dengan tertawa,
ia tanya, “Kedua nona bermaksud dahar di mana?”
“Biarlah kami makan di sini saja,” jawab Le-hui sambil
memandang Long-giok sekejap.
“Baiklah, segera hamba akan menyuruh orang mengantar ke
sini,” kata Lokoankeh.
Habis berucap ia lantas mengundurkan diri.
Pada saat itulah, tiba-tiba dari mulut kampung berkumandang
suara ribut-ribut.
“He, ada apa?” seru Long-giok melengak.
“Mari kita coba melihatnya,” ajak Le-hui.
Kedua orang lantas keluar kamar, sampai di luar wisma,
terlihat di depan kampung sana ada beberapa centeng
mengerumuni satu orang dan sedang bertengkar.
Usia orang itu antara 57-58 tahun, muka bulat, kepala gundul,
berbaju kulit macan tutul. Kiranya si kakek berbaju kulit
macan alias Kim-ci-pa Song Goan-po yang semalam gagal
menyelundup ke Liong-coan-ceng itu.
Rupanya dia telah ganti haluan, tidak mau masuk kampung
secara gelap-gelapan melainkan dilakukannya secara terangKANG
ZUSI website http://cerita-silat.co.cc/
terangan dan menyatakan hendak bertemu dengan Wi Ki-tiu,
akan tetapi kawanan centeng itu tidak mengizinkan dia masuk,
maka terjadi keributan.
Tentu saja Song Goan-po sangat mendongkol, dengan bengis
ia meraung, “Keparat, lekas laporkan kepada Cengcu kalian,
katakan Kim-ci-pa Song Goan-po ingin bertemu, kalau rewel
lagi segera akan kuterjang masuk saja!”
Salah seorang centeng menjawab dengan ketus, “Hari ini
Cengcu kami tidak menerima tamu, hal ini sudah kukatakan
sejak tadi, apakah kupingmu tuli?!”
Song Goan-po menjadi murka, bentaknya, “Dirodok, bicara
secara halus kalian tidak mau terima, boleh kalian coba saja
mau apa?”
Sembari bicara ia terus melangkah ke depan.
Beberapa centeng itu juga murka, serentak mereka
mengadang di depan orang dan mendorong sambil
membentak, “Enyah!”
Siapa tahu meski tangan mereka dapat menolak dada Song
Goan-po, namun tidak dapat menahan langkah maju kakek
gundul itu, sebaliknya mereka malah tergetar oleh Lwekang
Song Goan-po yang lihai, semuanya terpental serupa layanglayang
putus benang dan jatuh tersungkur dua-tiga tombak
jauhnya.
Song Goan-po tertawa keras dan langsung menuju ke tengah
kampung.
Segera dilihatnya lagi dua orang centeng dengan membawa
toya memburu tiba, sambil mengacungkan toya masingmasing
segera mereka membentak, “Enyah, pergi! Kalau

berani sembarangan menerobos lagi, sekali kemplang bisa
kami mampuskan kau tua bangka ini!”
Namun Song Goan-po anggap tidak mendengar dan melihat
saja, ia masih terus melangkah ke depan.
Melihat sikap orang yang kepala batu itu, kedua centeng
menjadi gusar, toya mereka serentak bekerja, yang seorang
mengemplang batok kepala Song Goan-po, yang lain
menyerampang kedua kakinya.
Dari gaya serangan mereka, jelas kedua centeng ini sudah
pernah belajar Kungfu.
Akan tetapi Song Goan-po tetap anggap seperti tidak melihat
dan mendengar, sebaliknya ia songsong serangan mereka.
Maka terdengarlah suara “brak-krek” dua kali, kedua toya
tepat kena sasarannya, yang satu mengenai kepala dan yang
lain mengenai kaki.
Namun kepala Song Goan-po yang gundul itu tetap halus
kelimis, tidak merah, tanpa benjut, kedua kakinya juga tidak
patah, yang patah sebaliknya kedua toya.
Sungguh luar biasa, serupa kepala tembaga dan tulang baja
saja, sedikit pun tidak cedera.
Baru sekarang air muka kedua centeng itu berubah pucat,
lekas mereka membuang sisa toya patah itu terus
mengeluarkan belati, namun seketika mereka tidak berani
menyerang lagi, mereka hanya bergaya siap tempur sambil
menyurut mundur berulang-ulang.
“Berhenti, jangan maju lagi!” bentak mereka dengan lagak
garang sambil menyeringai. “Jika maju selangkah lagi terpaksa

kami tidak sungkan lagi padamu!”
Song Goan-po tertawa ejek, dengan bersitegang leher ia
malah memapak ke depan.
Kedua centeng itu seperti binatang yang kepepet di jalan
buntu, sembari menyurut mundur mereka berteriak-teriak,
“Keparat, apa benar kau sudah bosan hidup?!”
“Kukira kalian inilah yang sudah bosan hidup,” ucap Song
Goan-po.
Mendadak kedua tangan meraih ke depan, sekaligus ia
cengkeram pergelangan tangan kedua centeng itu.
“Tahan!” tiba-tiba suara orang menghardik berkumandang dari
halaman sana.
Mestinya Song Goan-po hendak memuntir patah pergelangan
tangan kedua centeng, demi mendengar suara bentakan itu,
ia urung bertindak dan coba berpaling, tertampaklah tujuh
orang kakek berbaju ringkas muncul dari halaman sana. Ia
tahu ketujuh orang ini tentu tokoh menonjol di Liong-coanceng
ini, segera ia dorong dan lepaskan kedua centeng itu
hingga mereka tersuruk jatuh.
“Hahaha, kukira Liong-coan-ceng tidak ada orang lain lagi,
rupanya baru sekarang muncul seluruhnya,” seru Song Goanpo
dengan tergelak.
Ketujuh kakek berdandan ringkas itu adalah ketujuh jago
pengawal Wi Ki-tiu, masing-masing bernama Liap Siong-giam,
Ciang Su-liong, Oh Jing-peng, Uh Lam-san, Song Kim-hu, Kim
Soh-bun dan Thio Lok-tong, semuanya adalah bekas bandit
yang terkenal masa lalu.

Dengan sendirinya mereka kenal siapa Song Goan-po alias si
macan tutul. Sebagai kepala rombongan, setelah berhadapan
segera Liap Siong-giam berkata sambil memberi hormat, “Aha,
kukira siapa, kiranya Song-toatankeh adanya. Maaf jika kami
terlambat menyambut kedatanganmu.”
Meski sungkan nada ucapannya, namun sikap mereka tidaklah
ramah, seperti tidak gentar terhadap Song Goan-po.
Sejenak Song Goan-po menatap Liap Siong-giam, katanya
kemudian dengan tergelak, “Aha, bilamana aku tidak salah
ingat, Anda ini mungkin adalah Liap-cecu Liap Siong-giam?”
Liap Siong-giam tersenyum hambar, ucapnya, “Wah, sungguh
beruntung sekali bahwa Song-toatangkeh ternyata masih ingat
kepada diriku.”
Song Goan-po memandang lagi keenam orang lainnya, lalu
menyambung lagi dengan tertawa, “Wah, yang enam ini orang
she Song tidak kenal semuanya, apakah Liap-cecu sudi
memperkenalkannya kepadaku?”
Segera Liap Siong-giam memperkenalkan kawannya satu per
satu kepada Song Goan-po, kemudian ia memberi salam lagi
dan berkata, “Maaf jika ingin kutanya, ada petunjuk apakah
kiranya atas kunjungan Song-toatangkeh ke tempat kami ini?”
“Soalnya kudengar Wi-cengcu berulang tahun yang ke-60,
maka sengaja kudatang kemari untuk mengucapkan selamat,”
tutur Song Goan-po. “Tak tersangka kawanan centeng kalian
serupa mata anjing yang suka menghina orang miskin, mereka
tidak mau melaporkan atas kedatanganku, karena terpaksa,
aku lantas masuk sendiri saja ke sini.”
Liap Siong-giam tersenyum, “Bila kedatangan Songtoatangkeh
benar untuk mengucapkan selamat kepada

Cengcu, tentu saja centeng di sini akan melapor dan memberi
pelayanan sebaiknya. Kukhawatir bukan mustahil kedatangan
Song-toatankeh ini mempunyai tujuan tertentu.”
“Selain mengucapkan selamat kepada Wi-cengcu,
kedatanganku memang ada maksud lain lagi dan bukan
hendak melancong, yaitu minta orang kepada Cengcu kalian,”
jawab Song Goan-po.
“Dan sekarang pesta ulang tahun Cengcu sudah lewat,” kata
Liap Siong-giam.
“Jika begitu, apakah aku tidak dapat bertemu lagi dengan Wicengcu?”
tanya Song Goan-po alias si kakek berbaju kulit
macan tutul.
“Soalnya sepanjang hari kemarin Cengcu terlalu sibuk
melayani tamu sehingga terlampau lelah, terpaksa untuk
beberapa hari beliau tidak mau terima tamu,” tutur Liap Sionggiam.
“Bila Song-toatangkeh benar ada urusan, silakan bicara
saja denganku, kukira sama saja.”
“Baik, kedatanganku adalah untuk minta dia menyerahkan
satu orang kepadaku,” kata Song Goan-po.
“Seorang siapa?” tanya Liap Siong-giam.
“Saudara angkatku, Hiat-pit-siucay Hui Giok-koan.
“Hah, kukira Song-toatangkeh ada salah informasi,” ucap Liap
Siong-giam dengan tertawa, “saudaramu Hui Giok-koan tidak
pernah datang ke tempat kami ini, mengapa Song-toatangkeh
mencarinya kemari dan minta orangnya kepada kami?”
“Hm, kemarin dia hadir di sini dan mengucapkan selamat
kepada Wi-cengcu, sejak itu tidak pernah terlihat dia

meninggalkan perkampungan ini, lantas ke mana perginya
kalau tidak berada di sini?” jengek Song Goan-po.
Liap Siong-giam berlagak pilon, jawabnya, “Ah, masa
saudaramu kemarin juga hadir dan mengucapkan selamat
kepada Cengcu?”
“Sudahlah, tidak perlu berlagak bodoh,” jengek Song Goan-po
dengan menarik muka.
“Kemarin tetamu yang berkunjung kemari berjumlah limaenam
ratus orang, kami benar-benar tidak ingat lagi apakah
saudaramu pun hadir,” ujar Liap Siong-giam. “Cuma, bila betul
kemarin saudaramu berkunjung kemari, tentunya juga siang
kemarin dia sudah pergi.”
“Tidak, dia tidak meninggalkan perkampungan kalian ini, dia
masih tinggal di sini,” ucap Song Goan-po tegas.
Liap Siong-giam terkekeh, “Wah, Song-toatangkeh kan tidak
melihat sendiri, mengapa berani memastikan saudaramu
masih berada di sini?”
“Aku justru melihatnya sendiri,” kata Song Goan-po.
“Apakah kemarin Song-toatangkeh juga berkunjung kemari?”
tanya Liap Siong-giam.
“Betul, malahan kujual seekor pesut kepada kalian,” jawab
Song Goan-po.
Berubah air muka Liap Siong-giam, dengan muka masam ia
menjengek, “Hm, kiranya kakek yang menjual pesut kemarin
itu ialah dirimu ....”
“Nah, apa abamu sekarang?” jengek Song Goan-po sambil

menyeringai.
“Ada, ingin kutanya, untuk urusan apa sampai Songtoatangkeh
perlu menyamar sebagai nelayan dan berlagak
menjual pesut segala?” jawab Liap Siong-giam.
“Ingin kulihat apakah saudara angkatku itu berada di sini atau
tidak?”
“O, bila waktu itu Song-toatangkeh sudah melihat saudara
angkatmu, mengapa tidak kau bawa pergi dia, tapi perlu
menunggu sampai sekarang, sesudah dia pergi baru kau
datang kemari untuk minta orang kepada kami?” tanya Liap
Siong-giam dengan ketus.
“Waktu itu dia sedang menyampaikan selamat kepada Cengcu
kalian, demi sopan-santun kan tidak pantas kubikin ribut di
sini dan membawanya pergi?”
“Dan sekarang dia tidak berada lagi di sini, sebaliknya Songtoatangkeh
sengaja minta orangnya kepada kami, apakah ini
bukan sengaja hendak mencari perkara?”
Song Goan-po tertawa keras, katanya, “Soalnya terletak
bahwa dia belum lagi meninggalkan tempat kalian ini, yang
benar, dia telah kejeblos dalam kurungan kalian.”
“Dan ini pun dilihat dengan mata kepala sendiri oleh Songtoatangkeh?”
jengek Liap Siong-giam.
“Tidak,” jawab Song Goan-po perlahan. “Tapi kutahu jelas,
tidak pernah dia meninggalkan tempat kalian ini, dan itu
berarti dia pasti masih berada di sini.”
“Tidak ada,” kata Liap Siong-giam sambil menggeleng kepala.

Tertampil rasa gusar pada wajah Song Goan-po, katanya,
“Liap Siong-giam, belum sesuai bagimu untuk bicara
denganku. Hendaknya lekas panggil keluar Wi-cengcu kalian!”
“Maaf, Cengcu kami tidak menerima tamu,” sahut Liap Sionggiam
tidak kurang ketusnya.
“Tidak menerima tamu?” Song Goan-po menegas dengan
menyeringai. “Hm, kukira yang benar dia tidak berada di sini
lagi. Dia sudah memaksa saudara angkatku itu mengaku di
mana kotak pusaka itu disembunyikan dan sekarang dia telah
berangkat pergi mengambil kotak pusaka itu, betul tidak?”
“Huh, omong kosong, tampaknya kau memang sengaja
mencari perkara, memangnya Song-toatangkeh mengira
Liong-coan-ceng kami ini boleh sembarangan diganggu?”
jawab Liap Siong-giam dengan aseran.
“Bebaskan saudara angkatku itu dan segera kuangkat kaki dari
sini, kalau tidak, terpaksa aku akan coba-coba belajar kenal
dengan kalian,” kata Song Goan-po.
“Kalau Song-toatangkeh sedemikian meremehkan kami,
terpaksa kami tunggu apa yang akan kau lakukan,” jawab Liap
Siong-giam dengan ketus.
“Baik, lihat pukulan!” teriak Song Goan-po.
Dan begitu menyatakan pukul kontan ia pun menubruk maju
terus menghantam.
Angin pukulannya menderu, gerakannya cepat, nyata cukup
lihai.
Liap Siong-giam tahu ilmu pukulan orang tidak boleh
diremehkan, sama sekali ia tidak berani gegabah, maka begitu

melihat orang bergerak cepat ia mengegos ke samping,
berbareng sebelah tangan juga terangkat terus menebas
pundak lawan.
Kungfu andalan Liap Siong-giam adalah Hong-lui-kun atau
ilmu pukulan angin dan petir, tebasan yang dilancarkan ini
bernama “Jit-loh-hong-sing” atau matahari tenggelam angin
bertiup, tenaga tebasannya cukup mengejutkan.
Namun Song Goan-po tidak gentar, sambil mengeluarkan
suara bentakan yang menggelegar, cepat ia berputar, tangan
kiri menangkis dan tangan kanan menghantam pula ke
pinggang-orang dengan jurus “Tan-hong-tiau-yang” atau
burung hong menyembah matahari.
“Bagus!” bentak Liap Siong-giam.
Dengan tangan kiri menahan ke bawah, ia balas menebas
lengan kanan lawan, berbareng dua jari tangan kanan
bermaksud mencolok kedua mata Song Goan-po.
“Bagus!” teriak Song Goan-po. Sambil mendoyong ke
belakang, sebelah kaki terus menendang sehingga tebasan
dan serangan jari Liap Siong-giam terpatahkan.
Agaknya Song Goan-po aslinya jebolan perguruan Siau-lim-si,
sebab tendangannya tadi gaya Kungfu Siau-lim, malahan ia
terus mendesak maju, sebentar menghantam dan lain saat
menendang lagi.
Setelah menangkis beberapa kali, lambat laun Liap Siong-giam
merasa kewalahan, tanpa terasa ia berteriak kepada kawankawannya,
“Hebat juga musuh kita, ayolah maju semua!”
Mendengar seruan Liap Siong-giam yang minta dibantu itu,
tiga di antara keenam kawannya yang menonton di samping

itu serentak menubruk maju, seketika Song Goan-po
terkepung di tengah dan dikerubut.
Namun Song Goan-po tidak gentar sedikit pun, ia malah
terbahak-babak keras, serunya, “Haha, bagus sekali! Mengapa
yang lain tidak maju saja sekalian? Biasanya aku memang
suka bertarung secara serabutan, makin banyak yang maju
makin baik.”
Ketiga orang lagi yang tidak ikut mengerubut adalah Song
Kim-ho, Kim Soh-bun dan Thio Lok-tong, mereka hanya
berjaga saja di samping, sebab mereka cukup paham,
bilamana tujuh orang mengeroyok satu orang, akibatnya akan
serupa satu porsi capcay di atas meja dikerubut sekawanan
pelahap yang mengelilingi meja makan, bukannya teratur dan
semua mendapat bagian, sebaliknya malah akan kacau-balau
dan terjadi perebutan.
Tapi kalau empat orang mengeroyok satu orang, inilah posisi
yang paling ideal.
Ketiga orang yang baru ikut mengerubut itu ialah Ciang Suliong,
Oh Jing-peng dan Uh Lam-san, ketiganya sama
bersenjata. Yang digunakan Ciang Su-liong adalah tombak
berkait, Oh Jing-peng memakai golok besar bergelang,
sedangkan Uh Lam-san memakai pedang panjang.
Tiga macam senjata ditambah lagi kedua tangan kosong Liap
Siong-giam, tentu saja daya tempur mereka menjadi lain,
dengan cepat dapatlah mereka di atas angin dan Song Goanpo
terkepung rapat di tengah.
Walaupun terdesak di bawah angin, namun Song Goan-po
tetap bertempur dengan penuh semangat, kedua tangan dan
kedua kaki bekerja silih berganti, makin lama makin perkasa.

Pada waktu itu di luar wisma tamu sana berdiri Long-giok dan
Le-hui menonton dari jauh, melihat ketangkasan Song Goanpo,
diam-diam-mereka terkejut dan heran.
Le-hui menghela napas, katanya, “Tua bangka gundul ini
sungguh sangat lihai, sesungguhnya siapakah dia?”
“Bukankah tadi dia menyebut namanya sebagai Kim-ci-pa
Song Goan-po?” kata Long-giok.
“Song-goan-po (mengantar emas), hihi, lucu juga namanya,”
kata Le-hui dengan tertawa geli.
“Yang benar dia she Song, namanya Goan-po,” tutur Longgiok.
“Song sama dengan dinasti Song dan bukan song antar.”
“Eh, bagaimana kalau kita menonton lebih dekat ke sana?”
saja Le-hui.
“Baiklah,” jawab Long-giok.
Keduanya lantas melangkah maju ke tengah halaman dan
berhenti dalam jarak beberapa tombak dari kalangan
pertempuran.
Dalam pertarungan sengit, tiba-tiba Song Goan-po melihat
munculnya dua gadis jelita, ia terkesiap dan heran. Dasar
lelaki, meski sudah tua dan gundul kelimis, rupanya dia juga
lelaki bangor, asal melihat perempuan cantik lantas tergelitik
hatinya.
“Wah, cantik benar kedua nona ini!” demikian tanpa terasa ia
bersorak memuji. “Mereka ini bini siapa ....”
Belum lanjut ucapannya, “blang”, tahu-tahu punggung kena
digebuk sekali oleh Liap Siong-giam.

Tidak ringan pukulan ini, seketika ia sempoyongan dan
menyuruk ke depan.
Kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Ciang Su-liong,
tombaknya bekerja cepat dan kena menusuk di pantat Song
Goan-po, kontan pantatnya berbunga.
Song Goan-po menjerit, ia masih hendak melawan, akan
tetapi tidak kuat lagi dan segera roboh.
Pedang Uh Lam-san terangkat dan bermaksud membinasakan
lawan itu. Pada saat itulah sekonyong-konyong terdengar
suara bentakan menggelegar berkumandang dari pintu
gerbang perkampungan sana, “Tahan dulu!”
Terpaksa Uh Lam-san menahan pedangnya, sebab ia khawatir
yang berteriak itu adalah kawan sendiri, bilamana Song Goanpo
dibunuhnya tentu kurang enak terhadap maksud baik
kawan.
Waktu mereka berpaling, tertampaklah seorang Hwesio dan
seorang Tosu sedang berlari datang secepat terbang. Lantaran
tidak kenal siapa kedua pendatang ini, air muka mereka sama
berubah.
Kiranya Hwesio dan Tosu yang datang ini tak-lain-tak-bukan
ialah Kim-kong Taysu dan Koh-ting Tojin.
Hanya sekejap saja mereka sudah sampai di tengah halaman
dan berhenti di situ, Kim-kong Taysu mendahului memberi
hormat dan bersuara, “Omitohud! Thian Maha Pengasih,
hendaknya para Sicu janganlah main bunuh!”
Meski Liap Siong-giam dan kawan-kawannya tidak kenal siapa
Koh-ting dan Kim-kong, tapi melihat kecepatan Ginkang

mereka, tentu saja dapat diduga mereka pasti bukan tokoh
sembarangan, maka dia tidak berani kurang adat, cepat ia
balas menghormat dan menyapa, “Numpang tanya siapakah
gelaran Taysu dan Totiang? Ada keperluan apa kiranya
berkunjung ke tempat kami ini?”
Dengan tangan kiri memegang tongkat pertapa, tangan kanan
Kim-kong Taysu terangkat di depan dada sebagai tanda
hormat, lalu menjawab, “Pinceng bergelar Kim-kong.”
“Dan pinto bergelar Koh-ting.” sambung Koh-ting Tojin.
Manusia itu dihormati karena namanya, pohon besar dari
bayangannya. Demi mendengar kedua pendatang ini adalah
Kim-kong Taysu dan Koh-ting Tojin yang namanya gilanggemilang
di dunia persilatan zaman ini, kembali air muka Liap
Siong-giam dan lain-lain sama berubah, diam-diam mereka
mulai merasakan gelagat tidak enak.
Sedapatnya Liap Siong-giam menenangkan diri, katanya
dengan ramah, “Ah, kiranya kedua tokoh kosen dunia
persilatan yang termasyhur. Maaf, kami tidak tahu akan
kunjungan Taysu dan Totiang sehingga tidak ada
penyambutan yang layak, sekali lagi mohon maaf.”
Koh-ting Tojin tertawa lantang, katanya, “Ah, jangan sungkan.
Apakah kalian bertujuh ini ketujuh jago andalan Wi-cengcu?”
“Ah, Totiang terlampau memuji,” jawab Liap Siong-giam.
“Numpang tanya, ada keperluan apakah Totiang dan Taysu
berkunjung kemari?”
“Oo, kami mendengar Wi-cengcu berulang tahun, maka
sengaja berkunjung kemari untuk mengucapkan selamat,”
jawab Koh-ting Tojin. “Tak terduga terjadi sedikit urusan di
tengah jalan sehingga tidak keburu tiba pada saat yang tepat,

sungguh kami sangat menyesal.”
Perasaan Liap Siong-giam agak lega demi mendengar
kedatangan kedua orang ini hanya ingin mengucapkan
selamat kepada sang Cengcu, cepat ia menjawab dengan
tertawa, “Ah, terima kasih atas maksud baik Totiang dan
Taysu, silakan duduk di dalam saja!”
“Apakah Wi-cengcu berada di rumah?” tanya Kim-kong Taysu.
Liap Siong-giam ragu sejenak, akhirnya menjawab, “Wah,
maaf, karena ada urusan, kebetulan Cengcu sedang keluar,
mungkin perlu beberapa hari lagi baru dapat pulang.”
“Aha, bagus!” teriak Song Goan-po mendadak. “Ternyata tidak
salah dugaanku, dia pasti sudah mendapatkan pengakuan
saudara angkatku, maka ... aduhh!”
Belum lanjut ucapannya mendadak ia menjerit kesakitan.
Rupanya Ciang Su-liong tidak membiarkan dia meneruskan
ucapannya dan mendadak menusuk pahanya dengan tombak,
kontan dia menjerit sehingga perkataannya terputus.
Pandangan Kim-kong Taysu beralih ke wajah Song Goan-po,
ia tersenyum dan berkata, “Sicu ini jangan-jangan ialah Kimci-
pa Song Goan-po yang menjagoi dunia Lok-lim daerah
selatan itu?”
“Betul,” jawab Song Goan-po.
Kim-kong Taysu berlagak tidak mengerti dan bertanya, “Baru
saja-Sicu bilang apa? Kenapa dengan saudara angkatmu?”
“Saudara angkatku Hui Giok-koan kemarin juga hadir ke sini
untuk menyampaikan selamat ulang tahun kepada Wi Ki-tiu,”
tutur Song Goan-po. “Siapa tahu Wi Ki-tiu telah timbul pikiran

jahat, dia telah ... aduhh!”
Kembali ucapannya terputus dan menjerit kesakitan, rupanya
Ciang Su-liong telah menusuknya pula sekali.
Kening Kim-kong Taysu bekernyit, ia pandang Ciang Su-liong
dan berkata, “Sicu ini, bagaimana kalau membiarkan dia
selesaikan keterangannya?”
“Taysu jangan percaya kepada ocehannya,” kata Ciang Suliong.
“Tentang Hui-cecu, kemarin dia memang benar pernah
datang untuk mengucapkan selamat kepada Cengcu, tapi
kemudian dia pergi lagi seperti tetamu yang lain, tapi
sekarang tua bangka ini berani menuduh kami menahan Huicecu
di sini, sungguh terlalu, jelas dia sengaja hendak cari
perkara saja.”
“Ai, sudahlah,” bujuk Kim-kong Taysu. “Kata pepatah,
permusuhan sebaiknya dihapus daripada dipererat. Hendaknya
kedua pihak kalian bicara dengan lebih jelas, biarlah kujadi
juru damai bagi kalian. Nah, Song-sicu, silakan kau bicara
lebih dulu.”
Dengan menahan rasa sakit pada pantat dan pahanya, Song
Goan-po berdiri dan berkata, “Terus terang, saudara angkatku
itu akhir-akhir ini mendapatkan sebuah kotak, dengan
membawa kotak itu hendak menuju ke suatu tempat dan
tempo hari sampai di Tengciu sini. Kebetulan didengarnya Wi
Ki-tiu mengadakan pesta ulang tahun, lantaran dia juga kenal
cukup baik dengan Wi Ki-tiu, maka sengaja menyiapkan kado
berharga dan datang mengucapkan selamat kepada sahabat
lama.
“Siapa tahu, entah dari mana Wi Ki-tiu mendapat berita bahwa
saudara angkatku itu menemukan sebuah kotak pusaka, maka
sehabis pesta ulang tahun usai, dengan pura-pura kangen

dengan sahabat lama, saudara angkatku itu ditahan untuk
tinggal beberapa hari lagi di sini.
“Kutunggu saudara angkatku itu di luar kampung selama
sehari semalam dan tetap tidak melihat dia keluar, terpaksa
pagi tadi kudatang kemari untuk minta keterangan, tapi
mereka malah menjawab saudara angkatku itu sudah pergi.
Namun kutahu jelas dia belum lagi meninggalkan kampung ini,
bilamana dia tidak dibunuh oleh Wi Ki-tiu, tentu dia dikurung
di sini untuk dipaksa menyerahkan kotak pusaka yang
dimaksud itu.”
Kim-kong Taysu lantas tanya pula, “Dan apa isi kotak yang
dimaksudkan itu?”
Dengan tergegap Song Goan-po menjawab, “Oo, isinya cuma
sedikit ... sedikit barang berharga.”
“Kau lihat dengan mata kepala sendiri saudara angkatmu itu
ke sini untuk menyampaikan selamat kepada tuan rumah?”
tanya Kim-kong Taysu pula.
“Betul,” jawab Song Goan-po tegas sambil mengangguk.
“Dan seusai pesta ulang tahun, kau yakin bahwa dia memang
tidak pernah meninggalkan tempat ini?”
“Betul, sebab aku sengaja menyamar sebagai seorang nelayan
dengan membawa pesut untuk dijual ke sini, kulihat sendiri
dia berada bersama dengan Wi-Ki-tiu dan Sun Thian-tik.”
Mencorong sinar mata Kim-kong Taysu, ia menegas, “O, kau
bilang Kiong-su-sing Sun Thian-tik juga berada di sini?”
“Betul, tidak keliru lagi,” jawab Song Goan-po. “Cuma dia
sudah pergi sekarang.”

Kim-kong Taysu manggut-manggut, lalu berkata kepada Liap
Siong-giam, “Bagaimana pembelaan Liap-sicu terhadap
tuduhan Song-sicu tadi?”
“Hendaknya Taysu jangan percaya kepada ocehannya yang
asal bunyi,” kata Liap Siong-giam. “Tentang kotak Hui-cecu
itu, andaikan penuh berisi intan permata juga takkan
terpandang oleh Cengcu kami, sama sekali tidak ada alasan
bagi Cengcu kami untuk merampas kotaknya itu.”
“Habis, ke mana perginya Wi-cengcu sekarang?” tanya Kimkong
Taysu.
“Cengcu memang ada urusan dan sedang keluar, ke mana
perginya, bawahan seperti kami ini tentu saja tidak tahu,
sebab beliau tidak memberi pesan apa-apa.”
“Dia baru saja berulang tahun kemarin, dan hari ini juga dia
lantas pergi keluar kampung, kalau tidak ada urusan penting
masa dia perlu pergi dengan terburu-buru begitu?” ujar Kimkong
Taysu.
“Urusan penting apa pun kepergian Cengcu kami mutlak tidak
ada sangkut-pautnya dengan Hui-cecu,” jawab Liap Sionggiam.
“Sebab Cengcu kami kan sudah lama cuci tangan dan
mengundurkan diri dari dunia persilatan.”
“Bilakah Wi-cengcu meninggalkan kampung?” tanya Kim-kong
Taysu.
“Kira-kira setengah jam yang lalu,” jawab Liap Siong-giam.
“Apakah keluar melalui pintu gerbang depan?” tanya Kim-kong
Taysu pula.

“Betul,” sahut Siong-giam.
Kim-kong Taysu tertawa mengakak, “Haha, keterangan Liapsicu
ini jelas tidak benar. Terus terang, kami berdua sudah
ada satu jam tiba di luar kampung, selama itu kami tidak
melihat Wi-cengcu keluar dari kampung.”
Muka Liap Siong-giam menjadi merah, ucapnya dengan
terkekeh, “Hehe, jika Taysu berdua sudah tiba di sini sekian
lama, mengapa tidak sejak tadi masuk kemari?”
“Soalnya waktu masih pagi, kami menaksir Wi-cengcu belum
bangun tidur, maka tidak berani langsung masuk dan
mengganggu,” jawab Kim-kong Taysu.
“Ah, Taysu terlampau sungkan tampaknya,” ujar Liap Sionggiam.
“Padahal dengan kedudukan Taysu dan Totiang berdua,
biarpun kalian datang di tengah malam juga akan disambut
Cengcu dengan segala hormat. Sebabnya kalian tidak segera
masuk ke sini kukira ada sebab lain bukan?”
Tiba-tiba Koh-ting Tojin menyambung, “Hendaknya Liap-sicu
jangan dulu mengusut maksud kedatangan Kim-kong Taysu
dan diriku. Sekarang fakta sudah nyata, jelas Wi-cengcu tidak
pernah keluar, tapi Liap-sicu berkeras menyatakan Wi-cengcu
keluar melalui pintu gerbang depan, sesungguhnya apa
maksudmu?”
Liap Siong-giam tertawa, katanya, “Haha, padahal Cengcu
kami suka keluar melalui pintu gerbang depan atau pintu
belakang kan sama saja, sebab ini kan rumahnya, siapa pun
tidak berhak mengurusnya.”
“Tentu saja,” ujar Koh-ting Tojin. “Tapi kalau bukan sengaja
hendak menghindari mata-telinga orang, tentu tidak ada
alasan untuk keluar melalui pintu belakang. Maka dari sini

dapat diketahui tuduhan Song-sicu tadi memang bukan omong
kosong belaka, terang Wi-cengcu memang telah menyandera
Hui-cecu dan memaksanya menyerahkan kotak pusaka.”
“Hm, kedatangan Totiang kemari ini sesungguhnya ingin
menyampaikan selamat kepada Cengcu kami atau ada maksud
lain?” jengek Liap Siong-giam.
“Hahaha!” Koh-ting Tojin tergelak. “Soal apa maksud
kedatanganku ini tidak penting, yang jelas manusia harus
dapat membedakan antara yang benar dan salah, bilamana
kupandang tidak benar, betapa pun aku ingin ikut campur.”
“Cengcu kami tidak di rumah, jika Totiang ingin ikut campur
urusan tetek bengek, tunggu saja nanti kalau Cengcu kami
sudah pulang boleh Totiang datang lagi.”
“Hehe, menurut perkiraanku, Wi-cengcu tentu masih berada di
dalam kampung,” kata Koh-ting dengan tertawa. “Maka lebih
baik silakan kalian mengundangnya keluar saja untuk
menerima ucapan selamat kami.”
“Hm, kalau Totiang tidak percaya, boleh juga silakan masuk
untuk mencarinya,” jengek Liap Siong-giam.
Koh-ting Tojin lantas berpaling dan berkata kepada Kim-kong
Taysu dengan tertawa, “Toasuhu, dia menyuruh kita coba
mencarinya ke dalam kampung, bagaimana kalau kita terima
dan coba kita mencarinya?”
Mendadak Kim-kong Taysu menuding Long-giok dan Le-hui
yang berdiri di dekat sana, tanyanya kepada Liap Siong-giam,
“Siapakah kedua nona itu?”
“O, mereka itu nona yang tinggal di dalam kampung kami,”
jawab Liap Siong-giam.

“Ada hubungan apa antara mereka dengan Wi-cengcu?” tanya
Kim-kong pula.
“Ah, famili biasa,” tutur Siong-giam.
“Famili dekat atau jauh?”
“Famili ya famili, untuk apa Taysu bertanya sedemikian jelas?”
Kim-kong Taysu tertawa, katanya, “Soalnya kudengar kabar
bahwa Wi-cengcu punya banyak simpanan, sangat mungkin
mereka adalah perempuan Wi-cengcu.”
“Bukan,” jawab Liap Siong-giam. Lalu ia menoleh ke sana dan
memberi tanda kepada Long-giok dan Le-hui, serunya, “Kedua
nona silakan pulang ke kamar saja, tidak boleh kalian ....”
Kesempatan itu mendadak digunakan Kim-kong Taysu untuk
menubruk maju, sekali tangan kanan meraih, langsung kuduk
Liap Siong-giam dicengkeramnya.
Keruan Ciang Su-liong terkejut, teriaknya, “Awas, Liap-toako!”
Pada saat yang sama Liap Siong-giam juga mendengar angin
dahsyat menyambar dari belakang, segera ia angkat sikut kiri
untuk melindungi dada, sambil berputar berbareng telapak
tangan kanan menolak ke depan.
Meski reaksinya tidak lambat, toh tetap agak kasip, baru saja
tangan menolak ke depan, kuduk tahu-tahu sudah kena
dicengkeram musuh.
Keruan Ciang Su-liong dan kelima kawannya terkejut, serentak
mereka memburu maju hendak menolong, tapi Kim-kong
Taysu lantas meraung, “Berhenti semua! Barang siapa berani

melangkah maju segera kumampuskan dia!”
Sembari membentak terus saja Liap Siong-giam diangkatnya.
Padahal hanya bagian kuduk Liap Siong-giam saja yang
dipegangnya, namun Kim-kong Taysu dapat mengangkatnya
di atas kepala, serupa mengangkat sepotong barang yang
enteng saja.
Kiranya pada saat kuduk Liap Siong-giam kena
dicengkeramnya, secepat kilat ia tutuk sekalian Hiat-to
kelumpuhan orang dengan tongkatnya, sebab itulah Liap
Siong-giam sama sekali tak bisa berkutik.
Melihat kawannya sama sekali berada di bawah cengkeraman
musuh, Ciang Su-liong berenam menjadi jeri dan tak berani
sembarangan bertindak lagi, terpaksa mereka hanya
mengelilingi Kim-kong Taysu dan siap tempur.
Kim-kong Taysu terbahak-bahak, sama sekali ia tidak
menghiraukan keenam orang yang mengepungnya, ia malah
berkata kepada Koh-ting Tojin, “Koh-ting Toheng, dengan
caraku ini kan jauh lebih cepat hasilnya daripada menggeledah
seluruh perkampungan ini, betul tidak?”
“Betul, betul!” jawab Koh-ting Tojin dengan tertawa.
Kim-kong Taysu lantas mendongak dan berkata kepada Liap
Siong-giam yang terangkat tinggi itu, “Liap-sicu, paling baik
katakan terus terang saja, sesungguhnya Wi-cengcu berada di
rumah atau tidak?”
Sudah berpuluh tahun Liap Siong-giam berkecimpung di dunia
Kangouw bersama Wi Ki-tiu dan belum pernah kecundang,
apa lagi dibekuk dan dipermainkan orang seperti sekarang ini,
keruan ia sangat kejut, gugup dan juga malu.

Namun dia pantang menyerah, kontan ia mencaci maki,
“Bangsat tua gundul, jika gagah perkasa, boleh kau bunuh
saja diriku. Jika kau pikir aku dapat dipaksa untuk bicara, huh,
mimpi di siang bolong!”
“Apa betul?” jengek Kim-kong Taysu dengan terkekeh,
berbareng ia tambahi tenaga pada cengkeramannya.
Seketika tulang leher Liap Siong-giam berbunyi keriang-keriut,
rasanya seperti mau remuk, saking kesakitan kembali ia
menjerit pula seperti babi hendak disembelih.
Kim-kong Taysu mengendurkan cengkeramannya, lalu
bertanya lagi, “Nah, mengaku atau tidak?”
Liap Siong-giam sempat berganti napas, tapi ia tidak kapok,
kembali ia meraung lagi, “Mengaku apa? Kau bangsat gundul,
maknya dirodok ... aduhhh!”
Ia menjerit lagi ketika cengkeraman Kim-kong Taysu
diperkeras sehingga kelima jari hampir ambles ke lehernya.
“Benar-benar tidak mau mengaku?” ancam Kim-kong Taysu.
Namun Liap Siong-giam sudah tidak sanggup bersuara lagi.
Mendadak Kim-kong melemparkan Liap Siong-giam yang tak
bisa berkutik itu kepada Koh-ting Tojin sambil berseru, “Kohting
Toheng, boleh juga kau pun memberi sedikit tahu rasa
kepadanya.”
Sekali raih, kedua kaki Liap Siong-giam kena ditangkap Kohting
Tojin, katanya dengan terbahak-bahak, “Hahaha, baik
sekali, boleh kau lihat caraku!

Sembari bicara ia pentang kedua kaki Liap Siong-giam dan
ditarik.
Kontan, Liap Siong-giam merasa selangkangan seakan-akan
robek, tanpa terasa ia menjerit dan melolong.
Tentu saja Ciang Su-liong berenam terperanjat sekali, sambil
membentak serentak mereka menerjang maju.
Tapi Kim-kong Taysu lantas putar tongkatnya untuk
mengalangi Ciang Su-liong, Oh Jing-peng dan Uh Lam-san
bertiga, serunya dengan tertawa, “Eh, kalian ingin berkelahi?
Boleh, biar kumain-main dengan kalian!”
Dalam keadaan begini, mau tak mau Ciang Su-liong bertiga
terpaksa harus bergebrak dengan Hwesio tua itu. Maka
terjadilah pertempuran sengit tiga lawan satu.
Song Kim-hu, Kim Soh-bun dan Thio Lok-tong bertiga juga
sudah menerjang ke depan Koh-ting Tojin, tapi mereka tidak
berani segera menyerang, sebab saat itu tubuh Liap Sionggiam
lagi terangkat oleh Koh-ting dengan kedua kaki
terpegang dan dipentang seakan-akan hendak dibeset.
Mereka menjadi khawatir jika menerjang maju begitu saja,
bisa jadi Liap Siong-giam akan benar-benar terbeset menjadi
dua. Karena itulah mereka lantas berhenti di tempat dan
saling pandang dengan cemas.
Tiba-tiba Kim Soh-bun mendapat akal, cepat ia melompat ke
depan Song Goan-po, sekali kaki menyapu, Song Goan-po
yang sudah terluka itu diserampang hingga roboh terjungkal,
lalu dengan pedang ia mengancam di leher orang sambil
membentak bengis, “Ayo, lepaskan kawanku, kalau tidak,
sekali tusuk kumampuskan orang she Song ini!”

Rupanya ia mengira Koh-ting dan Kim-kong berdua adalah
sekomplotan dengan Song Goan-po, maka ia menirukan cara
orang dengan main ancam, Song Goan-po hendak dibunuhnya
sebagai syarat untuk memaksa Koh-ting Tojin membebaskan
Liap Siong-giam.
Tak terduga Koh-ting Tojin sama sekali tidak menghiraukan
mati-hidup Song Goan-po, melihat ujung pedang mengancam
di leher orang, ia malah mengakak dan berkata, “Hah, bagus
sekali! Ayo kita berlomba cepat, kita turun tangan berbareng,
kau bunuh orang she Song itu dan kubinasakan orang she
Liap ini!”
Seraya bicara, kedua tangan membentang lebih lebar lagi,
kedua kaki dibesetnya terlebih keras sehingga tubuh Liap
Siong-giam serasa mau robek.
Keruan Liap Siong-giam menjerit lagi kesakitan dan melolong
seperti serigala lapar.
Seketika Kim Soh-bun merasa bingung malah dan tidak tahu
apa yang harus diperbuat lagi.
Dalam pada itu Kim-kong Taysu yang dikerubut Ciang Su-liong
bertiga sudah berada di atas angin, tongkatnya berputar
cepat, menyerampang dan mengemplang dengan dahsyatnya
sehingga Ciang Su-liong bertiga hanya mampu menangkis dan
tidak sanggup balas menyerang.
Melihat keadaan demikian, Le-hui tahu ketujuh jago pengawal
Liong-coan-ceng pasti bukan tandingan Koh-ting Tojin dan
Kim-kong Taysu, ia menjadi khawatir, cepat katanya kepada
Long-giok, “Wah, bagaimana baiknya? Bagaimana kalau kita
ikut maju dan membantu mereka?”
Namun Long-giok justru berharap semoga ketujuh orang itu

mati seluruhnya, hal ini akan kebetulan baginya, maka ia
menggeleng kepala dan menjawab, “Jangan, kalau kita ikut
maju, paling-paling juga cuma antar nyawa percuma ....”
“Akan tetapi, kita kan tidak boleh berpeluk tangan belaka?!”
ucap Le-hui.
“Jangan gelisah.” ujar Long-giok. “Mereka orang beragama,
kuyakin mereka takkan sembarangan membunuh orang.”
Namun Le-hui tidak sependapat, sebab dilihatnya serangan
Kim-kong Taysu sedemikian lihai tanpa kenal ampun, katanya,
“Tidak, coba kau lihat betapa buas Hwesio tua itu, kukira dia
takkan memberi ampun kepada Ciong Su-liong bertiga,
marilah lekas kita maju membantu mereka!”
Ebook oleh : Dewi KZ
Scan book oleh : BBSC
Jilid 14
“Sabar dulu, tunggu lagi sebentar,” ujar Long-giok.
“Hei, engkau ini bagaimana Long-giok?!” tanya Le-hui,
tampaknya kurang senang.
“Aku kenapa?” ujar Long-giok.
“Engkau seperti ... seperti sudah berubah,” kata Le-hui.
“Berubah bagaimana?” ucap Long-giok dengan tertawa. “Ah,
sudahlah, jangan omong kosong, masa aku bisa berubah?”
“Tampaknya engkau sama sekali tidak lagi memerhatikan
keamanan perkampungan kita ini, bukankah itu menandakan
engkau sudah berubah?” ujar Le-hui.

Long-giok tersenyum hambar, “Kita tidak lebih cuma
perempuan yang dibuat permainan Wi Ki-tiu saja, urusan
keamanan Liong-coan-ceng bukanlah tugas kita, buat apa kita
mesti ikut maju untuk mengantar nyawa belaka?”
“Sarang yang tumpah tidak ada telur yang selamat, bila
ketujuh jago pengawal itu tamat riwayatnya, apakah kita
dapat menyelamatkan diri?” ujar Le-hui.
“Dapat,” kata Long-giok. “Maksud tujuan Kim-kong Taysu dan
Koh-ting Tojin itu jelas cuma urusan kotak pusaka saja dan
takkan sembarangan membunuh orang.”
Dalam pada itu Le-hui melihat Ciang Su-liong bertiga sudah
mulai kelabakan tercecar oleh Kim-kong Taysu, ia tambah
khawatir, katanya dengan mendongkol, “Sudahlah, jika
engkau tidak mau maju, biarlah kubantu mereka.”
Sembari bicara ia terus hendak menerjang ke sana.
Tapi Long-giok keburu menariknya, katanya dengan tertawa,
“Eh, sabar dulu, apa susahnya jika ingin menyelamatkan
mereka ....”
“Apa katamu?” tanya Le-hui melengak.
“Begini, lihat saja caraku,” kata Long-giok dengan tertawa.
Lalu ia gandeng Le-hui dan melangkah ke sana dengan gaya
berlenggang, serunya merdu, “Eh, harap Taysu ini suka
berhenti dulu, dengarkan perkataanku!”
Benar juga, Kim-kong Taysu lantas berhenti menyerang,
tanyanya dengan tertawa, “Ada petunjuk apa, Lisicu?”

Long-giok tertawa manis, katanya, “Perbolehkan
kuperkenalkan diri dulu, namaku Long-giok, perempuannya
Wi-cengcu.”
“Haha, Wi Ki-tiu memiliki perempuan secantik dirimu, sungguh
beruntung sekali dia,” ujar Kim-kong Taysu dengan tertawa.
“Kedatangan Taysu berdua ingin bertemu dengan Wi-cengcu,
bukan?” tanya Long-giok.
“Betul,” Kim-kong Taysu mengangguk.
“Tapi sayang, dia memang benar tidak berada di dalam
kampung,” kata Long-giok.
“Apa betul?” Kim-kong Taysu menegas dengan tertawa,
tampaknya kurang percaya.
“Kukira Taysu berdua perlu lebih mengenal pribadi Wicengcu,”
ujar Long-giok. “Beliau sama sekali bukanlah tokoh
yang suka sembunyi kepala kelihatan ekor, bilamana dia
berada di rumah, mana mungkin dia mengizinkan kalian
berbuat sesukamu, betul tidak?”
“Hahaha, betul juga ucapanmu,” seru Kim-kong dengan
tergelak. “Jika dia berada di rumah, saat ini kukira dia sudah
keluar.”
“Nah, makanya kubilang dia memang betul tidak di rumah,
sejak pagi tadi dia keluar melalui pintu belakang,” kata Longgiok.
“Pergi sendirian?” Kim-kong Taysu menegas.
“Tidak, dia pergi dengan membawa Hiat-pit-siucay,” tutur
Long-giok. “Semalam Hui Giok-koan sudah kena dikerjai, WiKANG
ZUSI website http://cerita-silat.co.cc/
cengcu telah memaksa dia mengaku tempat penyimpanan
kotak pusaka dan pagi tadi lantas membawanya berangkat
untuk mengambil kotak.”
“Dirodok, betul kan dugaanku?!” teriak Song Goan-po. “Sudah
jelas orang she Wi itu berniat jahat, tapi kalian kawanan
budak piaraan biang anjing ini masih juga menyangkal!”
“Tutup mulutmu, Song Goan-po!” bentak Kim-kong Taysu.
“Sekarang mereka sudah mengaku saudara angkat telah
disandera, untuk apa gembar-gembor lagi?”
Tampaknya Song Goan-po sangat jeri terhadap Kim-kong
Taysu, seketika ia tidak berani bersuara lagi.
Lalu Kim-kong Taysu berpaling dan tanya Long-giok, “Lantas,
menurut pengakuan Hui Giok-koan, di mana dia
menyembunyikan kotak itu?”
“Cong-beng-to,” tutur Long-giok.
“Apa betul?” Kim-kong Taysu menegas dengan tersenyum.
“Mungkin dusta,” kata Long-giok. “Sebab pada waktu Wicengcu
mengompes Hui Giok-koan tidak disaksikan oleh orang
ketiga. Waktu kutanya dia pagi tadi juga cuma keterangan
demikian saja yang dikatakan padaku, sebab itulah aku pun
tidak tahu keterangan ini benar atau dusta.”
“Kau anggap dia mendustaimu?” tanya Kim-kong Taysu.
“Mungkin saja, tapi bisa jadi juga benar keterangannya,” ujar
Long-giok. “Jika kalian ingin menemui dia, boleh kalian
mencarinya ke Cong-beng-to, kalau tidak bertemu di sana
boleh putar balik lagi ke sini.”

Kim-kong Taysu memandangnya sejenak dengan tertawa, lalu
bertanya lagi, “Mengapa tanpa ditanya kau beri keterangan
sebanyak ini?”
Long-giok menuding Liap Siong-giam yang terangkat tinggi
oleh Koh-ting Tojin, katanya, “Demi menolong dia.”
“Kau tidak takut akan dijatuhi hukuman oleh Wi Ki-tiu?” tanya
Kim-kong.
“Demi menolong orang, tidak dapat kupikirkan lagi sejauh itu,”
sahut Long-giok.
Kim-kong Taysu termenung sejenak, lalu berkata kepada Kohting,
“Bagaimana menurut pendapat Toheng?”
“Selama hidupku paling tidak percaya kepada ucapan orang
perempuan,” kata Koh-ting Tojin dengan tertawa. “Cuma
sekarang terpaksa kupercaya satu kali.”
“Ya, ucapannya juga betul,” ujar Kim-kong Taysu. “Kita boleh
menyusul ke Cong-beng-to, bila tidak menemukan dia segera
kita putar balik ke sini, toh penghuninya dapat lari, rumahnya
tetap sukar kabur.”
Koh-ting Tojin melemparkan Liap Siong-giam, katanya dengan
tertawa, “Aha, betul, marilah kita berangkat!”
Sekali loncat, langsung ia melayang keluar.
Cepat Kim-kong Taysu ikut melayang lewat di atas kepala
orang banyak dan menyusul kencang di belakang Koh-ting
Tojin menuju ke luar pintu.
Keruan Song Goan-po kelabakan, cepat ia memburu ke sana
sambil berteriak-teriak, “Tunggu, harap kalian tunggu padaku,

aku pun ikut pergi!”
Pantatnya tadi kena diserang oleh Ciang Su-liong sehingga
babak-belur, untuk berjalan saja sebenarnya sukar, tapi
sekarang karena Kim-kong Taysu dan Koh-ting Tojin pergi
begitu saja, dengan sendirinya ia tidak berani tertinggal di
situ, terpaksa ia mengejar ke sana dengan terincang-incut
sambil menahan rasa sakit.
Pertarungan sengit tadi kini telah berakhir, Ciong Su-liong
berenam berdiri melenggong sekian lamanya barulah
berusaha membuka hiat-to Liap Siong-giam yang tertutuk.
Serupa seekor ayam aduan yang telah keok, dengan lemas
lesu Liap Siong-giam berkata, “Bedebah, kita benar-benar
terjungkal habis-habisan, bila Cengcu pulang, cara bagaimana
kita akan memberi pertanggungjawaban?”
“Kedua tua bangka tadi adalah tokoh kelas wahid dunia
persilatan zaman ini, biarpun Cengcu sendiri berada di rumah
juga belum tentu mampu melawannya,” kata Ciong Su-liong.
“Apalagi kita telah mengadakan perlawanan mati-matian dan
tidak pernah menyerah, kuyakin Cengcu pasti takkan
menyalahkan kita.”
Liap Siong-giam berpaling ke arah Long-giok, tanyanya, “Nona
Long-giok, tadi kau bilang Cengcu pergi ke Cong-beng-to,
apakah betul keteranganmu ini?”
“Dengan sendirinya tidak benar,” jawab Long-giok dengan
tertawa. “Hamba sendiri tidak tahu Cengcu hendak pergi ke
mana, hamba cuma memberi alasan sekenanya saja.”
Mendadak Le-hui menyambung dengan dingin, “Engkau tidak
bicara sekenanya, Cengcu kita memang betul pergi ke Congbeng-
to.”

“Tidak, tidak betul,” bantah Long-giok. “Cengcu mengatakan
padaku, tempat tujuannya adalah Ngo-tay-san.”
“Tapi Cengcu kita memang benar pergi ke Cong-beng-to,”
jengek Le-hui, “sebab Hui Giok-koan mengaku kotak
pusakanya disembunyikan di Cong-beng-to.”
“Oo, apa betul?” Long-giok berlagak kaget. “Semalam waktu
Cengcu mengompes Hui Giok-koan memang aku tidak ikut
menyaksikan, ketika kutanya Cengcu pagi tadi, beliau bilang
padaku mau pergi ke Ngo-tay-san.”
“Hm, engkau diam-diam pernah menyusup ke Cui-ci-kiong dan
mencuri dengar pengakuan Hui Giok-koan tersebut,” jengek
Le-hui mendadak.
“Omong kosong,” jawab Long-giok dengan gusar. “Semalam
hamba mendapat perintah menemani Sun-tayhiap, buat apa
hamba menyusup ke Cui-ci-kiong? Pula umpama kutahu
Cengcu hendak pergi ke Cong-beng-to juga tidak nanti kuberi
tahukan terus terang kepada orang luar, memangnya kau kira
aku bersekongkol dengan musuh?”
“Memang,” seru Le-hui, “kau memang bersekongkol dengan
musuh luar. Pagi tadi sebelum Cengcu berangkat aku dipesan
di luar tahu orang lain agar menaruh perhatian terhadap
gerak-gerikmu, katanya pikiranmu telah bercabang, sekarang
sengaja kau beri tahukan kepada musuh tentang jejak
perjalanan Cengcu, ini membuktikan bahwa kau memang
bersekongkol dengan musuh. Nah, Liap-wisu, hendaknya lekas
kau tangkap dia!”
Liap Siong-giam tampak melenggong bingung dan tidak turun
tangan.

“Ayo lekas,” teriak Le-hui, “itulah pesan Cengcu, kata beliau
bila menemukan sesuatu tanda pengkhianatannya harus
segera membekuknya dan akan diputus urusannya bila
Cengcu pulang.”
“Hm, sungguh kebetulan sekali, Cengcu juga memberi pesan
begitu kepadaku, katanya akhir-akhir ini gerak-gerikmu sangat
mencurigakan, maka hamba disuruh mengawasi tindak
tandukmu,” jengek Long-giok. “Sekarang terbukti kau sengaja
mengadu domba, jelas kau memang berniat jahat. Nah, Liapwisu,
lekas kau bekuk dia!”
“Ngaco-belo!” teriak Le-hui dengan wajah pucat.
Long-giok mencibir dan berkata, “Hm, kau sendiri ngaco-belo!
Tujuanku tadi justru ingin menyelamatkan jiwa Liap-wisu,
maka sengaja sembarangan mengarang sebuah nama tempat
untuk menipu Kim-kong dan Koh-ting agar lekas pergi dari
sini, tapi hal ini berbalik kau tuduh sebagai bersekongkol
dengan musuh luar, jelas maksudmu hendak mengadu domba
dan mencari perkara. Hm, tampaknya dugaan Cengcu
memang tidak keliru, kau memang sudah berubah sama
sekali!”
Saking gemas Le-hui mengentak kaki dan berteriak,
“Perempuan bejat yang tidak tahu malu, berani kau putar balik
urusan, biar kucekik mampus dirimu!”
Sembari bicara terus saja ia menubruk maju dan mencakar.
Tentu saja Long-giok tidak mau mengalah, tangan kiri
menangkis, kontan tangan kanan balas menghantam muka
lawan.
Begitulah kedua betina itu lantas saling labrak dengan sengit.

Liap Siong-giam bertujuh tidak dapat membedakan
sesungguhnya siapa di antara kedua nona itu yang
bersekongkol dengan musuh, sebab itulah mereka serbasalah
untuk membantu salah seorang, mereka sama gelisah dan
bingung serta berteriak, “Berhenti, berhenti semua, bicaralah
dengan baik!”
Namun Long-giok dan Le-hui anggap tidak mendengar,
perkelahian mereka bertambah sengit, keduanya sama ingin
membinasakan lawan dengan segera.
Dasar perempuan, lambat laun cara bertempur mereka tidak
lagi menurut peraturan jago silat, tapi berubah menjadi
perempuan kampungan, keduanya saling jambak rambut dan
mencakar muka serta menarik baju ....
Tidak lama kemudian kedua orang sudah babak belur dengan
baju robek dan rambut semrawut, dada terbuka dan paha
kelihatan.
Ciong Su-liong jadi rikuh sendiri melihat keadaan kedua betina
itu, ia melompat maju untuk memisah mereka sambil
membentak, “Berhenti, jangan berkelahi lagi!”
Baju atas Le-hui terobek sehingga dadanya setengah
tersingkap, keadaannya agak runyam, ia tuding Long-giok dan
memaki dengan napas terengah, “Perempuan hina, lihat saja
nanti, bila Cengcu pulang berarti pula tiba ajalmu!”
Habis itu ia mengentak kaki terus berlari ke wisma tamu sana.
Long-giok menutupi pahanya dengan gaunnya yang robek,
lalu balas memaki, “Sundal busuk, kalau berani janganlah lari,
ayolah kita tentukan siapa yang akan mampus!”
Pada saat itulah mendadak Lokoankeh muncul di situ, ucapnya

dengan tertawa, “Sudahlah kalian sudah cukup berkelahi dan
saling caci maki, sekarang bolehlah pulang ke kamar masingmasing
untuk istirahat.”
Seketika Long-giok mewek-mewek, katanya, “Silakan
Lokoankeh memberi keadilan, hamba hendak menolong Liapwisu
dan sengaja menyebut sesuatu nama tempat, tapi si
perempuan hina Le-hui itu berani memfitnahku, katanya
hamba bersekongkol dengan musuh, coba siapa yang terima
dituduh demikian?”
“Ah, sudahlah, itu cuma salah paham saja, setelah jelas
persoalannya anggaplah selesai dan jangan bicara lagi,” kata
Lokoankeh dengan tertawa.
Namun Long-giok masih penasaran, katanya, “Hamba tidak
mau tinggal bersama lagi dengan dia, harap Lokoankeh
mengantarku kembali ke Cui-ci-kiong saja.”
“Wah, mana bisa,” jawab Lokoankeh sambil menggeleng.
“Cui-ci-kiong sudah tertutup rapat, tidak dapat lagi masuk ke
sana.”
“Masa engkau tak dapat membukanya?” tanya Long-giok.
“Tidak, tidak bisa,” kembali Lokoankeh menggeleng kepala.
“Sebab apa?” tanya Long-giok.
“Sebab aku pun tidak tahu di mana letak alat tutup-bukanya,”
kata Lokoankeh.
“Wah, lantas siapa yang tahu?”
“Hanya Cengcu sendiri yang tahu.”

Long-giok berpaling dan tanya Liap Siong-giam, “Liap-wisu,
apakah engkau tahu?”
Liap Siong-giam menggeleng sambil tersenyum getir, “Maaf,
malahan bagaimana bentuk Cui-ci-kiong saja sampai saat ini
aku tidak tahu.”
Long-giok berlagak gemas, ucapnya dengan manja, “Jika
begitu, suruh dia pindah, aku tidak sudi tinggal sekamar
dengan dia.”
“Untuk ini bisa kuatur,” kata Lokoankeh. “Kamar kosong di
wisma tamu itu sangat banyak, biarlah kalian tinggal terpisah
saja.”
Malam sudah tiba, cahaya lampu di Liong-coan-ceng terang
benderang serupa siang, peronda mondar-mandir terus
berkeliling menyusuri pagar tembok tanpa berhenti,
tampaknya biarpun seekor tikus saja yang menyusup ke dalam
perkampungan juga pasti akan kepergok.
Tapi belum lagi tengah malam Kiong-su-sing Sun Thian-tik
sudah berada di wisma tamu Liong-coan-ceng.
Ia mengenakan baju centeng Liong-coan-ceng dan membawa
bende, dengan lagak peronda ia masuk ke wisma itu. Setiba di
luar kamar Long-giok, ia mengetuk pintu.
Saat itu Long-giok sedang bicara dengan Liong It-hiong dari
balik dinding, ia terkejut demi mendengar suara ketukan pintu,
cepat ia tanya, “Siapa?!”
“Aku!” jawab Thian-tik dengan suara tertahan.
Mengenali suara Sun Thian-tik itu, cepat Long-giok
membukakan pintu, desisnya. “Cepat masuk!”

Dengan senyum dikulum Sun Thian-tik menyusup ke dalam
kamar.
Setelah merapatkan pintu kamar, Long-giok melihat dandanan
Sun Thian-tik itu, ucapnya dengan kejut dan girang, “Apakah
kedatanganmu tidak kepergok orang?”
“Ada,” tutur Thian-tik. “Beberapa kali aku dipergoki orang,
malahan dua kali di antaranya aku diajak bicara.”
“Dari mana timbul gagasanmu untuk menyamar sebagai
peronda?” tanya Long-giok dengan tertawa geli.
Perlahan Thian-tik menaruh bende dan angkat pundak,
jawabnya, “Kecuali cara ini tiada jalan lain lagi untuk
menyusup ke dalam perkampungan ini.”
Segera ia menarik Long-giok dan dipeluknya, diciumnya mesra
sekali pada pipinya, lalu bertanya, “Dan di mana Liong Ithiong?”
Long-giok menuding sebelah dinding, jawabnya lirih, “Di
kamar sebelah, baru saja aku berunding dengan dia
bagaimana tindakan selanjutnya, tak terduga engkau lantas
muncul.”
Ia membawa Thian-tik ke samping kanan tempat tidur dan
berjongkok, ia tuding sebuah liang kecil di pojok dinding, dari
liang itulah dia mengadakan pembicaraan dengan Liong Ithiong.
“Liong-hiap, ini Sun-tayhiap sudah datang!” seru Long-giok.
“Ya, sudah kudengar,” jawab Liong It-hiong di kamar sebelah.

Sun Thian-tik tertawa, katanya, “Liong It-hiong, bikin susah
padamu ya!”
“Ah, tidak apa-apa,” kata It-hiong.
“Pagi tadi aku bersembunyi di dalam hutan di belakang
kampung,” tutur Sun Thian-tik, “kulihat Wi Ki-tiu menyamar
sebagai saudagar dan diam-diam mengeloyor keluar kampung
melalui pintu belakang, telah kukuntit dia sekian jauhnya, lalu
kuputar balik ke sini, sekarang sangat mungkin dia sudah
berada beberapa ratus li jauhnya, marilah kita boleh mulai
beraksi.”
“Tapi Wi Ki-tiu telah menutup Cui-ci-kiong, konon selain dia
tiada orang lain yang mampu membuka istana kristal di bawah
tanah itu,” kata It-hiong.
“Kukira ada satu orang dapat membuka Cui-ci-kiong,” ujar
Thian-tik.
“Siapa?” tanya It-hiong.
“Lokoankeh,” kata Thian-tik.
“Menurut Nona Long-giok, siang tadi dia sudah coba tanya
kepadanya, Lokoankeh itu menyatakan tidak tahu cara bukatutup
Cui-ci-kiong itu.”
“Ya, tentu saja ia tidak mau bicara terus terang kepada
sembarangan orang,” ujar Thian-tik dengan tertawa.
“Jika begitu, umpamakan dia paham cara buka-tutup Cui-cikiong,
lalu cara bagaimana kita akan bertindak?” tanya Ithiong.
“Dapat kita menculik dia ke sini dan memaksa dia

membukakan pintu Cui-ci-kiong.”
“Wah, cara ini kurang baik,” ujar It-hiong. “Tampaknya dia
sangat setia terhadap Wi Ki-tiu, bilamana dia tidak mau
mengaku biarpun dibunuh sekalipun, kan juga tidak ada
untungnya bagi kita. Maka sebaiknya kita mencari akal untuk
memancingnya agar secara sukarela dia mau membuka Cui-cikiong.”
“Jika ingin memancing dia membukakan Cui-ci-kiong tanpa
dipaksa, kukira ada satu cara,” kata Thian-tik, “yaitu dibikin
seakan-akan di dalam Cui-ci-kiong terjadi sesuatu, tentu dia
akan membuka pintu istana itu untuk memeriksanya. Tapi
dengan cara bagaimana supaya dia mengira telah terjadi
sesuatu di dalam Cui-ci-kiong?”
“Aku ada akal,” kata It-hiong. “Cuma tidak tahu dapat
dilaksanakan atau tidak.”
“Coba uraikan,” pinta Thian-tik.
“Di dalam wisma ini masih tinggal seorang nona bernama Lehui,”
tutur It-hiong. “Ia sengaja dikirim oleh Wi Ki-tiu untuk
menemani Nona Long-giok, sekarang dia tinggal di kamar
nomor tiga serambi barat ....”
Sun Thian-tik melengak, tukasnya, “Jika dia disuruh menemani
Long-giok mengapa mereka tidak tinggal bersama?”
“Sebab siang tadi telah terjadi perkara, boleh kau minta Nona
Long-giok menceritakan apa yang terjadi siang tadi,” kata Ithiong.
“Memangnya apa yang terjadi?” segera Thian-tik berpaling
dan tanya Long-giok.

Maka berceritalah Long-giok tentang datangnya Song Goanpo,
Koh-ting Tojin, dan Kim-kong Taysu serta dilabraknya
ketujuh jago andalan Liong-coan-ceng itu.
“Oo, bisa terjadi demikian,” ucap Thian-tik dengan kening
bekernyit. “Jika dia menuduh kau bersekongkol dengan musuh
luar, maka mutlak kau tidak dapat tinggal lagi di sini.”
“Hamba memang tidak ingin tinggal lagi di sini, sekarang
justru ingin kutahu apakah engkau sudi membawa pergi diriku
atau tidak?” kata Long-giok.
Sun Thian-tik tertawa sambil menepuk bahu si nona, katanya,
“Jangan khawatir, jika aku tidak mau membawa kabur dirimu,
tentu malam ini aku tidak datang lagi ke sini.”
Lalu ia bicara terhadap Liong It-hiong di kamar sebelah, “Eh,
tadi kau bilang ada akal, coba jelaskan akalmu itu?”
Liong It-hiong lantas menguraikan rencananya.
Thian-tik manggut-manggut, ucapnya dengan tertawa, “Ehm,
tidak jelek akalmu ini, aku setuju.”
Segera ia berbangkit, diambil lagi bende tadi lalu membuka
pintu kamar, ia melongok keluar, setelah yakin tidak ada
orang di luar barulah ia menyelinap keluar dan menuju ke
kamar di serambi barat.
Setelah membelok ke ujung serambi, sampailah dia di deretan
kamar sebelah barat, dilihatnya ada cahaya lampu di kamar
nomor tiga, ia tahu itulah kamar tempat tinggal Le-hui, segera
ia mengetuk pintu.
Tapi ketika tangan hampir menyentuh pintu mendadak ia
urungkan maksudnya.

Sebab pada saat itu juga didengarnya di dalam kamar Le-hui
ada suara orang lelaki.
Meski suara sangat lirih, tapi dapat didengarnya dengan jelas,
kalimat pertama yang didengarnya berbunyi demikian, “Coba
katakan terus terang, bagaimana diriku dibandingkan
Cengcu?”
Nadanya seperti dua orang yang sedang kelonan dan lagi
begituan.
Lalu terdengar Le-hui mengomel, “Cis, tidak tahu malu.”
Terdengar si lelaki tertawa bangor dan berucap pula, “Jika
tidak kau katakan, biarlah kupergi saja.”
“Pergi ya pergi, memangnya kutahan?!” demikian terdengar
Le-hui mengomel pula.
“Baik, kupergi sekarang .... Eh, untuk apa mengganduli
diriku?” lelaki itu bersuara dengan tertawa.
Agaknya Le-hui memukulnya satu kali sambil terkikik,
“Sudahlah, macam-macam saja engkau ini memangnya kau
minta kubilang apa?”
“Katakan, bagaimana aku dibandingkan Cengcu?” ujar si lelaki.
Kembali Le-hui seperti memukulnya sekali lagi sambil
mengomel, “Cis, begituan saja masa disebut-sebut, sudah
tentu engkau lebih perkasa!”
Agaknya lelaki itu sangat senang, terdengar tertawanya
mengakak.

“Ssst, jangan keras-keras, bila didengar Long-giok kan bisa
celaka,” cepat Le-hui mendesis.
“Jangan khawatir, siang tadi ia berkelahi denganmu, sekarang
tidak nanti dia mencarimu.”
“Bukan mustahil dia mengintip gerak-gerikku,” kata Le-hui.
“Tidak, saat ini mungkin dia juga lagi sibuk seperti dirimu,
sedang curi makan, mana ada waktu untuk mengintip dirimu
segala?”
“Sungguh menggemaskan, dia memang benar bersekongkol
dengan musuh luar, tapi kalian justru tidak percaya,” kata Lehui.
“Tanpa sesuatu bukti, kan tidak enak menangkapnya begitu
saja,” ujar si lelaki.
Le-hui berpikir sejenak, lalu berkata pula, “Cuma, mungkin ...
ai, tidak perlu lagi kita membicarakan dia. Sekarang ingin
kutanya padamu, apakah engkau benar-benar suka padaku?”
“Mengapa tidak? Masa perlu kukatakan lagi?” jawab si lelaki.
“Lantaran rindu padamu, setiap hari aku tidak dapat tidur
nyenyak, makan pun tidak nafsu, sungguh susah.”
“Jika begitu, ayolah kita minggat saja!”
“Hah, minggat?” lelaki itu seperti terperanjat. “Minggat ke
mana?”
“Mana pun jadi,” ujar Le-hui. “Pendek kata, kita kawin dan
minggat dari sini untuk hidup layak di tempat lain.”
Agaknya lelaki itu menjadi ragu, katanya dengan gelagapan,

“Wah, ini ... ini ....”
“Ini apa?” desak Le-hui. “Masa kau takut? Huh, pengecut!
Memangnya kau dapat ikut Wi Ki-tiu selama hidup? Kebaikan
apa yang diberikannya kepadamu?”
“Tapi bilamana Cengcu mengetahui kita minggat bersama,
mana dia mau tinggal diam, ke ujung langit pun kita akan
diuber.”
“Sungguh bodoh engkau ini,” ujar Le-hui. “Kita kan dapat
kabur sejauh-jauhnya, ke mana dia akan mencari kita?”
Tampaknya lelaki itu masih ragu, “Tapi kukira ... kukira ...
urusan ini harus kupikirkan dulu.”
“Tidak perlu banyak pikir, kalau mau, sekarang juga kita
angkat kaki!” kata Le-hui.
“Wah, ini ... ini ....”
“Kenapa? Kau tidak ingin meninggalkan Wi Ki-tiu? Atau
memang tidak suka padaku?”
“O, ti ... tidak ....” lelaki itu gelagapan.
“Kalau tidak, mengapa kau sangsi dan perlu pikir apa lagi?”
ujar Le-hui. “Ingin kukatakan padamu, setelah engkau
berhubungan denganku, bila diketahui Wi Ki-tiu, mungkin ....”
“Baik, baik, boleh kita angkat kaki,” cepat lelaki itu menukas.
“Cuma, bagaimana kalau berangkat dua hari lagi.”
“Tidak bisa, bukan mustahil Wi Ki-tiu bisa putar balik
mendadak, biarlah malam ini juga kita angkat kaki.”

“Ai, kenapa terburu-buru amat?” ujar lelaki itu.
“Betapa pun kuingin lekas meninggalkan tempat seperti
neraka ini,” kata Le-hui.
“Jika begitu, biarlah kukembali ke kamar dan berbenah
seperlunya, hendaknya kau pun bersiap-siap,” kata lelaki itu.
“Baik, kutunggu di sini,” ujar Le-hui.
Sampai di sini, Thian-tik tahu orang itu selekasnya akan
keluar, cepat ia menyurut mundur dan sembunyi di suatu
pojokan yang gelap.
Benarlah, selang sejenak, pintu kamar dibuka perlahan,
seorang berbaju hijau menyelinap keluar dengan tingkah
serupa maling khawatir kepergok.
Dia ternyata satu di antara ketujuh jago pengawal Liong-coanceng,
yaitu Kim Soh-bun.
Setelah celingukan kian-kemari dan melihat sekelilingnya tidak
ada orang, cepat orang itu berlari keluar wisma tamu.
Sun Thian-tik bersembunyi tanpa bergerak, diam-diam ia
merasa geli, pikirnya, “Sungguh sangat kebetulan, aku tidak
perlu turun tangan lagi ....”
Sedang berpikir, dilihatnya Long-giok muncul dari pengkolan
serambi sana, ia tahu si nona ingin melihatnya sudah berhasil
atau tidak, segera ia menongol dan memberi tanda padanya
sambil mendesis, “Ssst, di sini ....”
Long-giok merasa bingung melihat Thian-tik sembunyi di situ,
cepat ia lari ke sini dan bertanya dengan suara tertahan,
“Kenapa engkau tidak turun tangan?”

“Tidak perlu lagi, sebentar juga dia akan minggat bersama
Kim Soh-bun,” tutur Thian-tik dengan suara lirih.
“Kenapa bisa begitu?” tanya Long-giok dengan tidak mengerti.
“Begitu kusampai di luar kamarnya lantas kudengar suara
seorang lelaki sedang bicara di dalam kamar ....” lalu Sun
Thian-tik menceritakan apa yang didengar dan dilihatnya tadi.
“Hm, dasar perempuan bejat,” jengek Long-giok. “Tadinya
kukira dia benar-benar setia kepada Wi Ki-tiu, tak tahunya dia
juga seekor kucing rakus.”
“Dalam hal ini, kukira kau tidak dapat mengejek dia,” ujar
Thian-tik dengan tertawa. “Sebab dia serupa denganmu, tidak
suka kepada seorang kakek loyo yang tidak mampu apa-apa
meski banyak duitnya.”
“Lantas, apakah Kim Soh-bun berjanji akan membawa
minggat dia?” tanya Long-giok.
“Ya, makanya kita tidak perlu turun tangan lagi,” jawab Thiantik.
“Sebentar bila mereka sudah pergi barulah kita bertindak
menurut rencana.”
“Jika begitu, biar kuberi tahukan kepada Liong-hiap,” kata
Long-giok. “Dia merasa khawatir akan dirimu karena sekian
lama engkau berangkat dan belum lagi kembali.”
Habis bicara ia terus berlari pergi.
Tidak lama kemudian ia sudah kembali dengan membawa
Liong It-hiong.
Baru saja mereka bertiga berjongkok di tempat gelap itu

segera terlihat Kim Soh-bun masuk lagi ke halaman situ, pada
bahunya menyandang sebuah ransel, melihat gelagatnya dia
memang benar-benar hendak minggat bersama Le-hui.
Terlihat dia menuju ke kamar Le-hui, setiba di luar kamar,
perlahan ia mengetuk tiga kali, segera pintu kamar dibuka dan
Le-hui muncul dengan dandanan yang siap untuk berangkat.
“Apakah tidak dilihat orang?” terdengar Le-hui bertanya
dengan suara tertahan.
“Tidak,” Kim Soh-bun menggeleng.
“Penjagaan kan sangat ketat?” tanya Le-hui pula.
“Tidak apa, yang dinas jaga malam ini adalah Oh Jing-peng,
asal tidak dilihat dia, centeng yang lain pasti tidak berani
menegur kita,” ujar Kim Soh-bun.
“Sekarang Oh Jing-peng berada di mana?” tanya Le-hui.
“Agaknya sedang mengontrol di sebelah kiri perkampungan
sana, mari kita keluar melalui sebelah kanan, pasti aman,”
ajak Kim Soh-bun.
Segera Le-hui mendahului melangkah, katanya, “Baik, mari
berangkat!”
Kim Soh-bun memandang ransel yang dibawa Le-hui,
tanyanya dengan tertawa, “Apa saja yang kau bawa?”
“Beberapa potong baju, ada lagi beberapa barang berharga
pemberian Wi Ki-tiu,” tutur Le-hui.
“Jika demikian, jadi sesungguhnya sudah lama engkau siapsiap
meninggalkan Cengcu?” kata Kim Soh-bun dengan

tersenyum.
“Memang,” jawab Le-hui. “Pagi tadi waktu ia tanya padaku
mau keluar untuk menemani Long-giok atau tidak, kupikir
inilah kesempatan baik yang sukar dicari, maka diam-diam
kubawa keluar sekalian barang simpananku ini.”
“Kira-kira berharga berapa?” tanya Kim Soh-bun pula.
“Jika diuangkan, sedikitnya bernilai satu laksa tahil perak,
sedikitnya cukup untuk hidup nikmat selama beberapa tahun
bagi kita.”
“Baiklah, ayo cepat,” ajak Kim Soh-bun, tampaknya dia sangat
senang.
Begitulah kedua orang lantas mengeluyur keluar wisma tamu
itu melalui pintu belakang dan menghindari pos pengawas
rahasia, akhirnya dapatlah mereka kabur meninggalkan Liongcoan-
ceng.
Sun Thian-tik, Long-giok, dan Liong It-hiong bersembunyi pula
sekian lama di tempat gelap, ditaksir Le-hui berdua tentu
sudah meninggalkan Liong-coan-ceng dengan selamat barulah
mereka menyusup masuk ke kamar Le-hui.
“Tampaknya orang she Kim itu bukan manusia baik-baik,” ujar
Long-giok, “kukira nasib Le-hui akhirnya pasti sengsara jika
mengikuti kemauan orang she Kim itu.”
“Betul, keparat itu seperti sangat memerhatikan harta benda
yang dibawa Le-hui,” kata Thian-tik. “Tampaknya dia memang
tidak mengandung niat baik.”
“Bagi Le-hui boleh diibaratkan orang yang kelaparan terpaksa
tidak dapat memilih makanan,” kata It-hiong dengan tertawa.

“Sungguh aku ikut penasaran bagi Wi Ki-tiu. Percuma dia
menguasai harta sebesar ini, kenyataannya tidak pernah
mendapatkan kesetiaan perempuannya.”
Long-giok melototinya sekejap, omelnya, “Sengaja kau caci
maki diriku ya?”
“O, tidak, bukan,” cepat It-hiong menyangkal. “Maksudku, bila
seorang lelaki ingin disukai orang perempuan, maka selain
kekayaan masih perlu tersedia barang lain.”
“Tapi sebabnya kuingin meninggalkan dia, dasar
pertimbanganku adalah karena perbuatannya yang melampaui
batas, sebab kami tidak dipandangnya sebagai manusia,” kata
Long-giok.
“Sudahlah, bekerja lebih dulu,” kata Thian-tik. “Adakah alat
tulis di sini?”
“Kukira ada, akan kucari,” ujar Long-giok.
Ia mencari sebentar, akhirnya dari sebuah laci dapat
ditemukan alat tulis lengkap, segera ia menuang air pada
tatakan tinta dan mulai menggosok tinta bak.
Melihat tinta sudah siap, Sun Thian-tik tanya Liong It-hiong,
“Cara bagaimana menulisnya?”
“Apakah Le-hui pandai membaca?” tanya It-hiong.
“Tidak terlalu pandai,” tutur Long-giok.
“Jika begitu, tulis saja yang sederhana, jangan pakai bahasa
tinggi, supaya mudah dipahami mereka,” ujar It-hiong.
“Coba kau katakan, akan kutuliskan,” sela Long-giok.

“Baik,” kata It-hiong. “Lebih dulu kau tulis saja tiga huruf: Wi
Ki-tiu.”
Long-giok menurut, ia tulis ketiga huruf itu di atas sehelai
kertas putih, lalu berucap, “Lalu ....”
“Tulis saja,” kata It-hiong. “Setelah kupertimbangkan, aku
merasa tidak dapat menghabiskan masa mudaku di tanganmu,
maka kuputuskan untuk minggat bersama Kim Soh-bun,
berbareng itu kami membawa pergi juga Hui Giok-koan, sebab
ia bilang bila kami mau menyelamatkan jiwanya, dia mau
memberikan lima laksa tahil perak padaku. Menyesal sekali
terpaksa harus mengkhianatimu, harap maaf.”
Long-giok menulis semuanya seperti apa yang disebut Liong
It-hiong itu, akhirnya bertanya. “Lantas apa lagi?”
“Sudah cukup,” ujar It-hiong dengan tertawa. “Beri saja nama
Le-hui sebagai tanda tulisannya.”
Kembali Long-giok membubuhi nama Le-hui sebagai penulis
surat itu, katanya dengan tertawa, “Wi Ki-tiu kenal tulisan Lehui,
jika surat ini dibacanya tentu dia tahu akulah yang
menulis.”
“Tidak menjadi soal,” ujar It-hiong. “Surat ini sengaja supaya
dibaca oleh Lokoankeh dan bukan ditujukan kepada Wi Ki-tiu.”
“Jika Lokoankeh tahu cara buka-tutup Cui-ci-kiong, setelah
membaca surat ini tentu segera ia akan masuk ke Cui-ci-kiong
untuk memeriksa keadaan di sana,” tutur Sun Thian-tik.
“Bilamana dia tidak masuk ke Cui-ci-kiong akan terbukti
bahwa dia memang benar tidak paham buka-tutup istana
kristal itu.”

“Lalu bagaimana bila benar dia memang tidak tahu cara
membuka Cui-ci-kiong?” tanya Long-giok.
“Jika betul begitu, biarlah kita mencari akal lain lagi,” kata Ithiong.
“Sekarang boleh kau pergi melapor kepada Lokoankeh
tentang minggatnya Le-hui.”
“Kalian akan sembunyi di mana?” tanya Long-giok.
“Biarlah kami sembunyi di tempat tadi saja,” kata It-hiong.
Long-giok mengangguk, ia taruh surat yang baru ditulisnya itu
di atas meja, lalu keluar kamar menuju wisma tamu.
Langsung ia menuju ke halaman dalam sana, sampai di luar
sebuah kamar segera ia mengetuk pintu sambil berteriak,
“Lokoankeh, Lokoankeh!”
Terdengar bunyi keriang-keriut tempat tidur di dalam kamar,
lalu suara Lokoankeh bertanya, “Siapa itu?”
“Aku, Long-giok, lekas buka pintu, Lokoankeh!”
Buru-buru Lokoankeh memakai baju dan turun dari tempat
tidurnya untuk membuka pintu kamar, tanyanya dengan
heran, “Ada urusan apa?”
Long-giok berlagak gugup, serunya, “Wah, celaka! Lekas
Lokoankeh memeriksa ke sana!”
Sembari bicara ia tarik tangan orang tua itu terus diajak lari ke
wisma tamu.
Tentu saja Lokoankeh merasa bingung, tanyanya,
“Sesungguhnya ada urusan apa?”

Sambil menyeretnya berlari Long-giok menjawab, “Le-hui
minggat bersama orang!”
Lokoankeh terkejut, serunya, “Hah ... dia minggat bersama
orang? Minggat bersama siapa?”
“Kim Soh-bun!” jawab Long-giok.
“Hah, masa?” Lokoankeh melengak. “Tadi sebelum tidur masih
sempat kulihat Kim Soh-bun di luar sana.”
“Tapi benar-benar dia telah minggat bersama Le-hui,” kata
Long-giok. “Lantaran tidak dapat tidur, ingin kujenguk dia,
siapa tahu begitu kumasuk ke kamarnya, keadaan kosong
melompong, hanya di atas meja kulihat ada sehelai surat ....”
“Apa yang ditulisnya di situ?” tanya Lokoankeh cepat.
“Silakan Lokoankeh membacanya sendiri nanti,” ujar Longgiok.
Ia tarik orang tua itu masuk ke wisma dengan tergesa-gesa,
sampai di kamar Le-hui, ia tunjuk surat di atas meja dan
berkata, “Nah, lihat, itulah surat yang ditinggalkannya.”
Lokoankeh mengambil surat itu dan dibaca, seketika air
mukanya berubah hebat, serunya sambil mengentak kaki,
“Wah, celaka!”
“Lekas suruh para jago pengawal mengejar mereka, bisa jadi
mereka belum terlalu jauh,” kata Long-giok.
Tangan Lokoankeh tampak gemetar, ucapnya dengan
khawatir, “Wah, sungguh berani mereka, Hui Giok-koan juga
dibawa lari mereka, urusan bisa runyam!”

“Makanya jangan tertunda-tunda lagi, lekas suruh Liap-wisu
dan lain-lain mengejar mereka, juga perlu lekas periksa
keadaan Cui-ci-kiong, mungkin Lik-cu berlima juga mengalami
nasib malang dikerjai mereka,” seru Long-giok.
“Betul,” kata Lokoankeh. “Boleh kau tunggu di sini, segera
kukembali kemari.”
Habis berkata ia terus berlari pergi.
Melihat orang tua itu sudah pergi, Long-giok tersenyum, ia
duduk di dalam kamar dan menunggu dengan tenang.
Selang tak lama, terdengar suara orang lari di luar kamar,
nyata Lokoankeh sudah kembali.
Cepat Long-giok berbangkit dan tanya, “Bagaimana?”
“Sudah kuminta Liap-wisu dan lain-lain mengejar mereka,”
tutur Lokoankeh. “Semoga mereka dapat tersusul dan dibawa
kembali ke sini.”
“Kan sekarang hendaknya kita coba periksa keadaan di Cui-cikiong,”
usul Long-giok. “Sungguh sangat kukhawatirkan nasib
Lik-cu berlima, bisa jadi mereka telah dibunuh perempuan
bejat Le-hui dan gendaknya itu.”
Lokoankeh mengangguk, “Baiklah, alat tutup-bukanya terletak
di kamar Cengcu, boleh kau ikut padaku.”
Long-giok lantas ikut orang tua itu keluar kamar dan buruburu
meninggalkan wisma tamu, sampai di luar kamar Wi Kitiu,
Lokoankeh mengeluarkan kunci untuk membuka gembok,
lalu membuka pintu.
Di dalam kamar tidak ada lampu, keadaan sangat gelap.

“Gelap amat, apakah tidak perlu memasang lampu?” tanya
Long-giok.
Tidak perlu ....” kata Lokoankeh.
Ia mendekati sebuah lemari buku, entah di mana ia meraba,
lalu terdengar serentetan suara krak-krek, lemari buku itu
bergeser perlahan dan tertampaklah sebuah pintu rahasia.
Kiranya lemari buku itu sendiri merupakan daun pintu, cara
merancangnya sungguh sangat bagus.
Lokoankeh masuk ke dalam, entah di mana ia meraba dan
menekan lagi beberapa kali, lalu keluar dan berkata pula,
“Sudah, cukup!”
“Kita masuk dari mana?” tanya Long-giok.
Lokoankeh menekan tombol sehingga lemari buku itu bergeser
ke tempat semula, lalu menjawab, “Masuk dari sini juga bisa,
tapi harus menembus beberapa tempat yang terpasang
pesawat rahasia, maka kukira masuk melalui wisma tamu saja
lebih leluasa.”
Habis berkata ia terus lari keluar diikuti Long-giok, mereka
berlari kembali ke wisma tamu.
Setelah berada di kamar sendiri, Lokoankeh mendahului
menuju ke sebelah kanan tempat tidur, ia mengetuk tiga kali
di dinding kamar, kontan dinding itu bergerak membuka ke
atas dengan perlahan.
Tanpa menunggu dinding itu terbuka seluruhnya, segera
Lokoankeh menyusup ke sana.

Cepat Long-giok menyusul ke situ, serunya mendadak,
“Lokoankeh!”
Orang tua itu melengak, jawabnya sambil berhenti dan
menoleh, “Ada apa?”
Baru selesai kata “apa” terucap, tahu-tahu hiat-to bagian
dadanya sudah tertutuk oleh Long-giok, kontan ia jatuh
terjengkang dan tidak sadarkan diri.
Baru saja ia hendak keluar untuk memanggil Sun Thian-tik dan
Liong It-hiong, ternyata kedua orang itu sudah mendahului
masuk ke kamarnya, dengan tertawa Long-giok lantas
berseru, “Lekas kemari, sudah berhasil kurobohkan dia!”
“Kau bunuh dia?” tanya Sun Thian-tik dengan tertawa.
“Tidak, hanya kututuk hiat-to pingsannya, hendaknya kau
seret keluar,” kata Long-giok.
Segera Sun Thian-tik menyusup ke lorong rahasia dan
menyeret keluar Lokoankeh serta didorong ke kolong ranjang,
katanya, “Baiklah, sekarang lekas kita turun ke sana.”
Ketiga orang lantas menuruni tangga batu lorong rahasia itu,
tetap Long-giok yang menjadi petunjuk jalan, sepanjang jalan
ia membuka beberapa pintu rahasia dan akhirnya masuk ke
dalam kamar yang biasa dipakai Long-giok.
Kamar ini sudah pernah dimasuki sekali oleh Sun Thian-tik dan
Liong It-hiong, maka keindahan pepajangan di dalam kamar
tidak lagi mengherankan mereka, dengan suara tertahan Ithiong
lantas berkata, “Saat ini sudah menjelang tengah
malam, mungkin mereka sudah sama tidur.”
“Tidak tentu,” kata Long-giok. “Kami bertujuh sudah lama

berdiam di Cui-ci-kiong ini, sudah terbiasa hidup tanpa
perbedaan siang atau malam, sering kami siang tidur dan
malam bekerja.”
“Di antara kalian bertujuh, ilmu silat siapa yang paling tinggi?”
tanya Sun Thian-tik.
“Lik-cu,” tutur Long-giok. “Aku dan Le-hui kira-kira sama kuat,
selebihnya seperti Hiang-kun, Hi-moay, dan lain-lain tidak
masuk hitungan, hanya bisa main beberapa jurus yang tidak
ada artinya.”
“Jika begitu kita tidak perlu khawatir lagi,” ujar Thian-tik.
“Ayolah kita masuk saja.”
Sembari bicara ia terus membuka pintu batu yang menembus
ke Cui-ci-kiong itu.
Begitu pintu terbuka, di mana mata memandang tertampaklah
pemandangan kolam renang berbentuk bundar istana kristal
yang menakjubkan, kelihatan Lik-cu berlima sedang berendam
di tengah kolam dengan telanjang bulat.
Dengan tenang mereka berendam di dalam air kolam yang
jernih sehingga tubuh mereka yang putih bersih laksana salju
terlihat jelas, tapi ketika mereka mengetahui kemunculan Sun
Thian-tik bertiga secara mendadak, seketika mereka gugup
dan ribut, semuanya menjerit kaget dengan kelabakan.
Sun Thian-tik berkeplok tertawa, katanya, “Jangan takut, para
Nona, kami tidak bermaksud jahat kepada kalian.”
Lik-cu menghambur-hamburkan air kepadanya sambil
berteriak, “Keluar! Keluar semua!”
Thian-tik menyurut mundur dua langkah sambil tertawa,

“Hahaha! Ada apa? Memangnya kalian malu segala?!
Sudahlah, kan semalam kau pun bertelanjang bulat ketika
menghajar Hui Giok-koan dengan cambuk?”
“Cengcu, lekas kemari!” teriak Lik-cu. “Long-giok makan dalam
bela luar, dia membawa musuh ke sini!”
“Jangan berteriak lagi, tidak ada gunanya,” ucap Thian-tik
dengan tertawa. “Saat ini sedikitnya Wi Ki-tiu sudah berada
beberapa ratus li jauhnya, mana mungkin suaramu didengar
olehnya.”
Air muka Lik-cu berubah menjadi pucat sekali, ia berpaling dan
membentak Long-giok, “Sungguh terlalu engkau ini, Longgiok.
Betapa sayang Cengcu kepadamu, tapi kau malah
membawa musuh masuk ke Cui-ci-kiong ini, apakah kau ....”
Dengan tenang Long-giok menjawab dengan tertawa, “Enci
Lik-cu, soalnya aku sudah terlalu bosan dengan kehidupan
gelap di Cui-ci-kiong ini, sebab itulah sudah kuputuskan untuk
meninggalkan Wi Ki-tiu, hal ini kan tidak membikin susah dan
merugikanmu, buat apa kau marah-marah padaku?”
“Jika kau mau pergi boleh lekas pergi, mengapa kau bawa
orang luar masuk ke sini?” teriak Lik-cu dengan gusar.
“Sun-tayhiap dan Liong-hiap ingin membawa serta Hui Giokkoan,
sedangkan aku sudah rela ikut Sun-tayhiap, maka ....”
“Apa katamu? Kalian hendak membawa lari Hui Giok-koan?!”
teriak Lik-cu.
“Betul,” jawab Long-giok dengan tersenyum.
Mata Lik-cu mendelik, teriaknya dengan bengis, “Barangkali
kau sudah bosan hidup, maka ....”

“Tidak, justru aku ingin hidup lebih lama dengan bahagia,”
potong Long-giok. “Masa kau sudah lupa betapa luas dan
indahnya dunia di luar? Kalau ingin hidup bahagia harus
meninggalkan neraka seperti ini. Sedangkan membawa pergi
Hui Giok-koan akan dapat mendatangkan kekayaan bagiku
....”
“Hm, jangan mimpi,” jengek Lik-cu. “Bila Cengcu pulang,
mustahil kulitmu takkan dibesetnya?!”
Long-giok terkikik sambil sebelah tangan merangkul bahu Sun
Thian-tik, ucapnya, “Jangan kau gertak aku dengan nama Wi
Ki-tiu, tiada setitik pun dia mampu menandingi Sun-tayhiap
ini, apa yang ingin dia lakukan terhadapku masih harus
permisi dulu kepada Sun-tayhiap ini. Betul tidak, Kakakku
sayang?!”
“Betul,” jawab Sun Thian-tik dengan mengangguk dan
tertawa. “Orang lain tidak berani kukatakan, kalau cuma Wi
Ki-tiu saja, hah, tidak nanti aku takut.”
“Jika betul engkau tidak takut, mengapa kalian baru masuk ke
sini untuk mengganggu kami pada waktu Cengcu pergi?” kata
Lik-cu.
“Bilakah kami mengganggu kalian?” jawab Thian-tik. “Kalian
boleh terus mandi sepuasmu, tidak nanti kami mengganggu
seujung bulu roma kalian.”
Sampai di sini ia berpaling dan tanya Long-giok, “Hui Giokkoan
terkurung di kamar mana?”
Long-giok menuding ke depan dan menjawab, “Di kamar
rahasia sana, akan kubawamu ke sana.”

Sun Thian-tik lantas berkata kepada Liong It-hiong, “Lionglaute,
hendaknya engkau tinggal di sini dan mengawasi
mereka, akan kutolong keluar orang she Hui itu.”
It-hiong mengangguk, jawabnya dengan tertawa, “Baik,
silakan pergi.”
Thian-tik dan Long-giok lantas mengitar kolam mandi itu
menuju ke sebuah pintu kamar yang terletak di seberang
sana. Sekejap kemudian mereka sudah menghilang di balik
pintu itu.
Lik-cu dan keempat kawannya hanya menyaksikan mereka
masuk ke sana untuk menolong Hui Giok-koan tanpa bisa
bertindak apa-apa, maklum, mereka telanjang bulat, mereka
tidak berani keluar dari kolam mandi.
Meski watak Liong It-hiong bengal dan sudah biasa main
perempuan, tapi menghadapi lima gadis cantik telanjang bulat
demikian, tidak urung merasa kikuk juga, maka ia berlagak
mendongak dan tidak berani banyak memandang mereka.
“Hei, bolehkah kami naik ke situ dan memakai baju?” tanya
Lik-cu tiba-tiba.
“Tidak, tidak boleh!” jawab It-hiong sambil tetap menengadah.
“Hm, cara kalian ini sungguh terlalu kotor,” omel Lik-cu.
“Masa kotor? Kan kami tidak pernah memaksa kalian
membuka baju dan tindakan lain?” jawab It-hiong dengan
tertawa.
“Hm, memangnya kau kira tanpa baju kami tidak berani naik
ke atas?” jengek Lik-cu.

“Jika kalian tidak takut malu, dengan sendirinya boleh kalian
naik ke sini,” ujar It-hiong. “Cuma ingin kuperingatkan kalian,
aku Liong It-hiong bukanlah lelaki yang mudah kasihan
kepada orang perempuan.”
“Maksudmu, bila kami naik atas lantas akan kau bunuh?”
tanya Lik-cu.
“Ya, sangat mungkin,” jawab It-hiong.
“Aku justru tidak percaya,” ucap Lik-cu. “Ayo para kawan, mari
kita naik ke sana dan coba menempurnya.”
Habis bicara serentak ia mendahului berdiri.
Tentu saja Liong It-hiong terkejut, cepat ia melolos pedang
pandak Siau-hi-jong, bentaknya, “Berhenti! Barang siapa
berani naik ke sini, segera kuberi sekali tusukan.”
Melihat sikapnya yang bengis, Lik-cu terkikik-kikik, serunya,
“Coba lihat, para kawan, dia ketakutan!”
Sembari bicara, dengan tubuh telanjang ia terus melangkah
maju dan menuju ke tepi kolam.
Serentak Hiang-kun dan Hui-hong berempat juga berdiri dan
mendekati tepi kolam dengan langkah berlenggok.
Melihat beberapa sosok tubuh yang mulus menggiurkan itu,
mata Liong It-hiong serasa berkunang-kunang, napas pun
terengah, sekuatnya ia ayun pedang pandak dan berteriak,
“Bagus, boleh kalian coba naik kemari! Jangan kalian kira
orang she Liong ini lelaki sopan, bicara terus terang, sejak
kecil aku sudah biasa menghadapi orang perempuan dari
berbagai kalangan!”

Lik-cu mulai melangkah ke atas kolam mandi dan tetap maju
ke depan sembari mengeluarkan suara tertawa nyaring, “Hihi,
bagus sekali jika begitu, aku menjadi ingin belajar kenal
denganmu!”
Sementara itu keempat kawannya juga sudah melangkah
keluar kolam dan berdiri menjadi satu baris sehingga mirip
pintu angin daging hidup, serentak mereka mendesak maju ke
arah Liong It-hiong.
Sesungguhnya Liong It-hiong tidak sampai hati mencederai
mereka, tanpa terasa ia menyurut mundur sembari berkaokkaok,
“Berhenti, jangan coba-coba maju lagi! Awas, pedangku
ini tidak kenal ampun kepada siapa pun!”
Namun Lik-cu seakan-akan sudah nekat, dengan tersenyum ia
malah mendesak maju, ucapnya dengan tertawa, “Silakan
turun tangan saja, hamba memang tidak ingin hidup lagi.”
It-hiong menyurut mundur lagi dua tindak, punggungnya
sudah mepet dinding, sudah menghadapi jalan buntu, keruan
ia menjadi gugup, “Berhenti, coba dengarkan dulu!”
Lik-cu lantas berhenti, katanya dengan tersenyum, “Apa yang
hendak kau katakan?”
Padahal tidak ada sesuatu yang hendak dibicarakan Liong Ithiong,
tujuannya cuma untuk mengulur waktu saja, melihat
orang berhenti melangkah, segera ia simpan kembali
pedangnya dan berkata, “Selamanya kita tidak punya
permusuhan apa pun, tidak boleh kubunuh kalian, cuma kalian
sungguh terlalu tidak tahu diri, biarlah kuberi tahu rasa
kepada kalian ‘cakar naga’ ini!”
Baru lenyap suaranya, serentak kesepuluh jarinya terpentang
terus mencakar ke depan.

Melihat orang menyimpan kembali pedangnya, Lik-cu mengira
anak muda itu tidak jadi pakai kekerasan lagi, sebab itulah
cakaran Liong It-hiong itu sangat di luar dugaannya. Dalam
keadaan gugup tak terpikir olehnya cara bagaimana harus
mengelak atau menangkis, terpaksa ia sambut sebisanya
dengan kedua tangan.
Namun gerak tangan Liong It-hiong sungguh secepat kilat,
sekali cengkeram seketika kedua gumpal daging kenyal alias
buah dada Lik-cu terpegang, menyusul sebelah kakinya
menjegal, kontan Lik-cu disengkelit jatuh terguling, kedua jari
Liong It-hiong lantas menutuk pula hiat-to kelumpuhan Lik-cu
tertutuk dan tidak bisa berkutik lagi.
“Hehe, bagaimana sekarang?” ejek It-hiong dengan terkekeh.
“Kan sudah kukatakan aku sudah terbiasa menghadapi
perempuan dari berbagai kalangan, tapi kau tetap tidak mau
percaya.”
Lalu ia berpaling dan menatap keempat nona lain dengan
sikap garang, bentaknya, “Nah, siapa lagi yang ingin cobacoba
maju pula?”
Kepandaian Hiang-kun berempat memang lebih rendah,
mereka hanya mengikuti setiap tindakan Lik-cu saja, sekarang
Lik-cu kena dirobohkan orang dan tidak bisa berkutik, seketika
mereka merasa jeri dan sama menyurut mundur dengan
ketakutan.
“Ayo, semuanya masuk kembali ke dalam kolam,” bentak Ithiong
mendadak.
Sambil menjerit kaget keempat nona itu sama melompat ke
dalam kolam dan meringkuk menjadi satu, tidak ada lagi yang
berani berceloteh.

Lalu It-hiong menjengek terhadap Lik-cu yang menggeletak di
lantai, “Hm, di antara kalian bertujuh, kau ini terhitung paling
nakal, kukira perlu kuhajar adat sedikit padamu.”
Muka Lik-cu tampak merah padam dan tidak berani bersuara.
It-hiong lantas melolos pedang pandak pula, katanya, “Biarlah
kupotong saja rambutmu dulu ....”
“Wah, jangan!” teriak Lik-cu gugup dan memohon. “Harap
ampun, jangan memotong rambutku.”
“Jika begitu kupotong hidungmu saja,” kata It-hiong.
“Oo, jangan, juga jangan potong hidungku!” ratap Lik-cu.
“Hm, lantas, kau minta bagian mana yang kupotong?” jengek
It-hiong.
“Jangan ... jangan potong mana pun,” pinta Lik-cu dengan
suara gemetar.
“Hm, masa begitu enak?!” jengek It-hiong pula.
“Kutanggung takkan memusuhi kalian lagi,” kata Lik-cu.
“Dan mau menurut masuk lagi ke kolam mandi?” It-hiong
menegas.
Lik-cu mengiakan.
Selagi It-hiong hendak membuka hiat-to orang, tiba-tiba
terlihat Long-giok keluar sendiri dari kamar sana, segera ia
tanya padanya, “Bagaimana?”

“Kedua kaki orang she Hui itu terbelenggu, tanpa kunci sukar
untuk dibuka,” tutur Long-giok. “Maka Sun-tayhiap
menyuruhku tanya Lik-cu di mana kunci belenggu itu
disimpan.”
“Kuncinya dibawa Cengcu sendiri,” kata Lik-cu.
Mendadak It-hiong meraih rambut Lik-cu dan berlagak hendak
memotongnya, tanyanya, “Coba katakan sekali lagi, kunci
disimpan di mana?”
Lik-cu tampak gugup, jawabnya, “Betul, hamba tidak dusta.
Kunci memang benar selalu dibawa sendiri oleh Wi Ki-tiu, ia
khawatir terjadi sesuatu, tidak pernah ia serahkan kunci
kepada orang lain.”
Melihat sikapnya yang ketakutan itu, It-hiong percaya orang
tidak berani dusta, segera ia memberikan pedang pandak
Siau-hi-jong kepada Long-giok, katanya, “Pedang ini dapat
memotong besi serupa memotong sayur, coba kau bawa
kepada Sun-tayhiap.”
Long-giok menerima pedang kecil itu dan putar balik ke kamar
rahasia sana.
It-hiong lantas berjongkok di samping Lik-cu, ucapnya dengan
tertawa, “Usiamu masih muda, wajahmu cantik, mengapa kau
tidak mencari seorang suami baik-baik, tapi selalu ikut Wi Kitiu
di sini?”
Mulut Lik-cu menjengkit dan menjawab, “Habis tidak ada lelaki
yang menghendaki diriku.”
“Ah, masa?” kata It-hiong dengan tertawa. “Nona secantik
bidadari seperti dirimu ini jika tidak ada yang mau, maka lelaki
di seluruh dunia ini jangan harap lagi akan menemukan

perempuan yang cocok.”
Mendadak Lik-cu memberikan lirikan yang bisa bikin semaput
setiap lelaki, katanya, “Jika engkau sudi padaku, kurela ikut
pergi bersamamu.”
“Wah, tidak bisa, sebab aku sendiri sudah punya pacar,” sahut
It-hiong dengan tergelak.
“Dia tentu lebih cantik daripadaku, bukan?” tanya Lik-cu
dengan kecewa.
“Selisih tidak banyak, antara kalian boleh dikatakan setali tiga
uang alias sama kuat, sukar dibedakan mana yang lebih
cantik,” kata It-hiong.
“Siapa namanya?” tanya Lik-cu pula.
“Wah, maaf, tidak dapat kukatakan padamu.”
“Jika engkau sudi menerimaku, biarpun menjadi budakmu
juga aku rela, mau?”
“Sayang, aku tidak punya rezeki sebesar itu untuk menerima
budak semacam dirimu,” jawab It-hiong sambil menggeleng.
“Ya sudahlah kalau tidak sudi,” ucap Lik-cu sedih. “Dan
sekarang bolehkah kau buka hiat-to hamba?”
It-hiong mengangguk, ditepuknya perlahan hiat-to
kelumpuhan si nona, lalu berdiri dan menyurut mundur dua
tindak, katanya sambil memberi tanda, “Nah, lekas masuk lagi
ke dalam kolam.”
Lik-cu tidak berani membangkang, segera ia merangkak
masuk lagi ke dalam kolam mandi.

Pada saat itulah terlihat Sun Thian-tik dan Long-giok telah
keluar dari kamar rahasia tadi dengan membawa Hui Giokkoan.
Kini Hui Giok-koan sudah berpakaian, cuma keadaannya agak
loyo, serupa orang yang habis sakit keras, untuk berjalan saja
kelihatan susah.
Begitu melihat Lik-cu yang berendam di kolam, seketika mata
Hui Giok-koan menjadi merah serupa melihat musuh
bebuyutan saja, langsung ia hendak terjun ke dalam kolam
untuk menghajar nona itu.
Namun Sun Thian-tik keburu menariknya sambil berkata, “Hei,
kau mau apa?”
Hui Giok-koan mendeliki Lik-cu, ucapnya dengan penuh rasa
dendam, “Perempuan hina ini kemarin telah menghajarku
hingga setengah mati, sekarang harus kubikin perhitungan
dengan dia.”
“Ah, dia kan cuma melaksanakan tugas atas perintah saja,”
kata Thian-tik dengan tertawa. “Jika kau ingin membalas
dendam, seharusnya kau cari Wi Ki-tiu.”
“Hm, tentu saja akan kucari Wi Ki-tiu untuk menuntut balas,”
jengek Hui Giok-koan. “Tapi perempuan hina yang berhati
berbisa itu tidak dapat kuampuni.”
Sun Thian-tik memeganginya erat-erat, ucapnya dengan
tertawa, “Sudahlah, seorang lelaki gagah tidak nanti berkelahi
dengan orang perempuan. Lebih baik kau temui dulu sahabat
lama.”
Sembari bicara ia seret Hui Giok-koan mendekati Liong ItKANG
ZUSI website http://cerita-silat.co.cc/
hiong.
“Selamat berjumpa pula, Hui-cecu,” sapa It-hiong dengan
tertawa.
Hui Giok-koan kelihatan kikuk, katanya sambil menyengir,
“Konon engkau pun ikut berusaha menyelamatkan jiwaku.”
“Ah, hanya menyumbang tenaga sekadarnya,” jawab It-hiong.
“Tidak perlu dijelaskan lagi, tujuanmu pasti terletak pada
kotak pusaka itu?”
“Memang betul,” kata It-hiong.
“Jika begitu lekas kau pergi ke Cong-beng-to, kalau tidak tentu
akan kedahuluan Wi Ki-tiu,” kata Giok-koan.
“Haha, janganlah bercanda lagi,” ucap It-hiong dengan
tertawa. “Kutahu tidak nanti kau sembunyikan kotak itu di
Cong-beng-to, lantaran itulah kami menyelamatkanmu dari
tempat Wi Ki-tiu ini ....”
“Tapi benar-benar kusembunyikan kotak itu di Cong-beng-to,”
kata Giok-koan.
It-hiong tertawa dan tidak berbantah lagi dengan dia, ia
berpaling dan berkata terhadap Thian-tik, “Sun-tayhiap,
marilah kita berangkat.”
Sun Thian-tik mengembalikan pedang pandak tadi, katanya,
“Baik, lebih dulu kita tinggalkan Liong-coan-ceng, kalau ada
persoalan boleh diurus belakang.”
Mereka tidak peduli lagi kepada kelima nona yang masih
berendam di kolam renang itu, Hui Giok-koan digusur keluar

dari istana kristal itu dan kembali ke ruangan depan wisma
tamu itu melalui lorong rahasia.
Lebih dulu Long-giok memeriksa keluar, lalu masuk lagi dan
berkata, “Di luar sangat tenang, mungkin ketujuh jago
pengawal itu belum pulang.”
Mendadak Sun Thian-tik menutuk hiat-to kelumpuhan Hui
Giok-koan, lalu orang dipanggulnya, katanya, “Ayo
berangkat!”
Mereka bertiga terus keluar dari wisma itu, mereka tidak lagi
main sembunyi melainkan berlari dan melompat secara
terang-terangan menuju ke luar kampung.
Seketika terdengarlah suara bende ditabuh dan teriakan orang
di sana-sini, “Tangkap maling! Itu dia! Jangan sampai lolos!”
Meski riuh ramai suara teriakan dan bunyi bende di sana sini,
namun semua itu rupanya cuma untuk menakut-nakuti saja,
sampai sekian lama tetap tidak kelihatan bayangan seorang
pun yang muncul.
Melihat gelagatnya, karena ketujuh jago andalan Wi Ki-tiu itu
belum pulang, di dalam kampung sekarang tiada seorang pun
yang sanggup merintangi penyatron, sebab itulah tiada
seorang pun berani menampakkan diri.
Begitulah Thian-tik bertiga dapat kabur dari Liong-coan-ceng
tanpa rintangan apa pun, langsung mereka kembali ke kota.
It-hiong sudah membuka kamar di sebuah hotel, kudanya juga
dititipkan di sana, maka dengan persetujuan Sun Thian-tik
mereka memutuskan istirahat dulu ke kamar hotel, habis itu
baru akan bertindak lebih lanjut.

Sementara sudah lewat tengah malam, suasana kota sudah
sunyi senyap, ketika sampai di luar hotel, tertampak seorang
pelayan sedang mengantuk bersandar meja kasir. It-hiong
memberi isyarat kepada Thian-tik, dengan langkah berjinjitjinjit
ia mendahului masuk ke dalam.
Lalu Sun Thian-tik dan Long-giok ikut masuk dengan perlahan,
pelayan itu masih tidur dan terlena.
Mereka terus masuk ke belakang dan masuk ke kamar Ithiong,
Thian-tik menaruh Hui Giok-koan di atas ranjang,
katanya dengan tertawa, “Nah, sekarang boleh
membangunkan pelayan tadi.”
It-hiong mengangguk, ia keluar lagi ke depan dan mendorong
si pelayan sambil memanggil perlahan, “Siaujiko (kakak
pelayan), bangun, lekas bangun!”
Pelayan melonjak bangun dengan kaget, serunya, “Hahh,
kiranya Kongcu sudah pulang? Mengapa pergi sekian
lamanya?”
“Kupergi mencari kawan,” jawab It-hiong, “dan baru saja
pulang bersama ketiga sahabatku. Apakah kau dapat
menyiapkan sedikit makanan bagi kami? Sudah seharian kami
tidak makan apa-apa.”
“Bagaimana kalau bakmi kuah saja, sederhana dan cepat,”
tanya pelayan.
“Baiklah,” It-hiong setuju. “Boleh segera diantar ke kamarku.”
“Ya, ya, akan kuantar secepatnya,” jawab si pelayan.
Lalu It-hiong kembali ke kamarnya, setelah pintu kamar
dirapatkan, dengan tertawa ia berkata, “Sudah kuminta

pelayan membuatkan bakmi, sehabis makan bolehlah kita
berangkat.”
“Ke mana?” tanya Thian-tik dengan tersenyum.
“Ke mana lagi, tentu saja pergi mengambil kotak itu!”
“Kau tahu tempat sembunyi kotak pusaka itu?” tanya Thiantik.
It-hiong menuding Hui Giok-koan yang menggeletak di tempat
tidur, katanya, “Kan dapat tanya dia?!”
“Sudah kau tetapkan akan membagi rezeki kotak itu
bersamaku?” tanya Thian-tik pula.
It-hiong menggeleng kepala, jawabnya, “Tidak, setelah
menemukan kotak itu, boleh kita mencari suatu cara untuk
menentukan kalah-menang lagi untuk memastikan kotak itu
milik siapa.”
“Boleh juga,” kata Thian-tik.
“Tidak, kurang baik,” tukas Long-giok mendadak.
“Kenapa kurang baik?” Thian-tik melengak.
“Hamba mempunyai suatu cara yang terlebih baik,” kata Longgiok.
“Coba jelaskan,” kata Thian-tik.
“Begini menurut pendapatku,” tutur Long-giok. “Jangan lagi
kau pikirkan kotak pusaka apa segala, hendaknya segera kau
bawa pergi diriku, marilah kita membangun sebuah rumah
tangga dan hidup aman tenteram tanpa pusing terhadap

urusan apa pun.”
“Wah, mana boleh jadi?” Thian-tik melenggong. “Aku sudah
bersusah payah, sekarang kotak pusaka itu sudah di depan
mata, mana boleh kutinggalkan begitu saja.”
“Kotak itu adalah barang sial,” kata Long-giok, “barang siapa
mendapatkannya segera akan tertimpa malang, maka jangan
kau taksir barang itu lagi.”
Agaknya Sun Thian-tik tidak menduga Long-giok dapat bicara
seperti ini, mau tak mau timbul penilaian lain terhadap si
nona, jawabnya dengan tertawa, “Kau pikir aku harus
melepaskan kotak itu?”
“Ya, harta benda kan tidak lebih berharga daripada nyawa,”
Long-giok mengangguk. “Hamba tidak peduli apakah engkau
kaya atau miskin, yang penting bila engkau benar-benar hidup
bersamaku dengan setulus hati, maka kita jangan lagi
memikirkan kotak itu dan lekas pergi dari tempat banyak
perkara ini.”
“Eh, apakah engkau tidak bercanda?” tanya Thian-tik, mau tak
mau hati tergelitik juga.
“Tidak,” jawab Long-giok serius.
Thian-tik garuk-garuk kepala, katanya, “Biasanya kita tahu
orang perempuan paling kemaruk harta, tak tersangka engkau
justru cuma suka pada orangnya tanpa pikirkan harta benda,
sungguh aneh bin ajaib.”
“Sama sekali tidak aneh,” kata Long-giok. “Harta benda sudah
banyak kulihat, aku sudah bosan, sedikit pun tidak
mengherankanku.”

“Tapi ... tapi demi untuk mendapatkan kotak pusaka itu,
selama hampir setengah tahun ini aku berusaha dengan susah
payah, sekarang kau minta kulepas tangan begitu saja, kan
terlampau penasaran.”
“Tidak, sedikit pun tidak perlu penasaran,” ucap Long-giok.
“Oo?!” Thian-tik merasa bingung.
“Umpamanya, jika engkau memang menyukaiku, maka
bolehlah kukatakan, meski engkau kehilangan kotak pusaka,
tapi kan mendapatkan diriku.”
“Hehe, maksudmu hilang ini dapat itu?” Thian-tik tertawa.
“Memangnya bukan begitu?” jawab Long-giok dengan tertawa
manis.
Sun Thian-tik lantas berpaling dan tanya Liong It-hiong,
“Liong-laute, bagaimana menurut pendapatmu?”
“Aku tidak tahu, itu kan urusan pribadimu dan harus
ditentukan olehmu sendiri,” jawab It-hiong tertawa.
Sun Thian-tik berpikir sejenak, akhirnya ia mengentak kaki dan
berseru, “Ya, sudahlah, dasar aku yang sebal, ketanggor
seorang perempuan yang tidak kemaruk duit .... Ayo
berangkat!”
Cepat It-hiong berseru, “Nanti dulu, Sun-tayhiap, makan
bakmi dulu!”
“Kotak pusaka saja aku tak mau, untuk apa makan bakmi
segala,” kata Thian-tik dengan tertawa. “Ayo, berangkat!”
Segera ia tarik Long-giok dan diajak melangkah pergi.

“Tunggu sebentar,” teriak It-hiong. “Sun-tayhiap melupakan
sesuatu.”
Sun Thian-tik sudah menyeret Long-giok sampai di luar kamar,
mendengar ucapan itu, ia merandek, tanyanya sambil
menoleh, “Melupakan apa?”
Liong It-hiong melolos pedang pandak Siau-hi-jong dan
disodorkan kepada Sun Thian-tik, katanya, “Ini milikmu, ambil
kembali saja!”
Thian-tik melenggong, katanya kemudian, “Eh, apa
maksudmu?”
It-hiong serahkan pedang itu pada tangan Sun Thian-tik,
katanya, “Barang ini asalnya memang kepunyaanmu, bukan?”
“Namun ....” Sun Thian-tik tampak sangsi.
“Tidak perlu ragu lagi,” kata It-hiong. “Bukan barangmu
memang tidak perlu kau ambil, tapi pedang ini milikmu, boleh
kau bawa pergi saja.”
Akhirnya Sun Thian-tik tertawa, katanya, “Baik, kau ini
memang anak muda yang baik, kalau ada jodoh kelak kita
pasti bertemu lagi.”
Habis berucap segera ia melangkah pergi dengan menarik
Long-giok.
Tidak lama sesudah mereka berangkat, pelayan datang
dengan membawa satu panci bakmi kuah, ia taruh panci di
atas meja, lalu tanya It-hiong, “Suami-istri yang baru saja
berangkat itukah sahabat Kongcu?”

“Betul,” It-hiong mengangguk.
“Mengapa terburu-buru, bakmi belum dimakan sudah lantas
berangkat?”
“Mereka bilang tidak lapar,” ujar It-hiong dengan tersenyum.
Pelayan memandang Hui Giok-koan yang meringkuk di tempat
tidur, tanyanya dengan terperanjat, “Hei, kenapa sahabat
Kongcu ini?”
“O, dia tidak enak badan, masuk angin,” jawab It-hiong.
Pelayan tidak berani banyak bertanya lagi, ia menyiapkan
sumpit dan mangkuk dan alat makan seperlunya, lalu
mengundurkan diri.
It-hiong menutup pintu kamar, lalu mendekati tempat tidur, ia
tepuk hiat-to Hui Giok-koan dan berkata, “Mari makan bakmi.”
Perlahan Hui Giok-koan bangun duduk, katanya dengan
tersenyum licik, “Engkau tidak khawatir aku akan kabur?”
“Kau tidak perlu kabur,” jawab It-hiong dengan tertawa. “Bila
kau tidak rela mengaku kalah, habis makan bakmi boleh kita
berkelahi lagi, jika aku kalah, aku berjanji selamanya takkan
minta kotak pusaka padamu.”
“Hm, jangan engkau terlampau percaya kepada
kemampuanmu sendiri,” jengek Hui Giok-koan.
“Aku memang sangat percaya atas kemampuanku sendiri,”
jawab It-hiong. “Kalau tidak percaya boleh kita coba-coba.”
Hui Giok-koan tidak bicara pula, ia turun dari tempat tidur dan
duduk di depan meja, ia ambil mangkuk untuk mengisi bakmi

dan dimakan dengan lahap.
Liong It-hiong juga duduk dan makan, keduanya tidak bicara
lagi.
Sembari makan, otak Hui Giok-koan terus bekerja, setelah
berpikir sejenak, tiba-tiba ia menghela napas dan berkata,
“Baiklah, sekarang akan kukatakan di mana kusembunyikan
kotak itu, yaitu di ....”
Mendadak It-hiong menggoyang tangan dan memotong
ucapannya, “Jangan, tidak perlu kau katakan.”
Hui Giok-koan melengak, “Masa engkau tidak inginkan kotak
itu lagi?”
“Bukan begitu,” kata It-hiong.
“Habis .....”
“Soalnya aku tidak ingin menjadi Wi Ki-tiu kedua,” sela Ithiong
dengan tersenyum, “sebab kalau kau mau menyerahkan
kotak itu dengan setulus hati, tentu akan kau bawaku ke sana.
Maka sekarang tidak perlu kau sebutkan tempat sembunyi
kotak itu.”
Air muka Hui Giok-koan agak berubah, ucapnya sambil
menyengir, “Buset, pintar juga kau ini!”
“Terima kasih atas pujianmu,” sahut It-hiong tertawa.
Kembali Hui Giok-koan menghela napas, katanya, “Ai,
sungguh aku tidak mengerti, mengapa engkau berkeras ingin
mendapatkan kotak pusaka itu?”
“Sama sekali tidak ada maksudku hendak mengangkangi kotak

itu sebagai milikku,” jawab It-hiong. “Soalnya harus
kulaksanakan pesan Si Hin yang minta kubawa kotak itu ke
Cap-pek-pan-nia.”
“Ai, engkau terlalu bodoh.” ujar Giok-koan.
It-hiong mengangkat pundak, jawabnya, “Aku memang suka
berbuat hal-hal yang bodoh, banyak urusan di dunia ini kalau
tidak dikerjakan oleh orang bodoh akan terasa kurang
sempurna.”
“Bahwa engkau melaksanakan tugas sesuai pesan orang, hal
ini memang pantas dipuji,” kata Giok-koan. “Tapi perlu kau
ketahui kotak pusaka itu bukanlah barang milik gembong dari
Cap-pek-pan-nia itu, sebab Si Hin juga merampasnya dari
orang lain dan hendak membawanya pulang untuk
dipersembahkan kepada gembong itu.”
“Lantas milik siapakah kotak itu?” tanya It-hiong.
Ebook oleh : Dewi KZ
Scan book oleh : BBSC
Jilid 15
“Terus terang aku sendiri tidak jelas,” jawab Hui Giok-koan.
“Ada orang bilang kotak itu asalnya milik Toako kami, sebab
itu aku merasa berhak mendapatkannya”.
“Toako yang kau maksudkan itu apakah mendiang Eng-jiauong
Oh Kiam-lam?” tanya It-hiong.
Hui Giok-koan mengangguk, “Ya, kau tahu dia adalah kakak
angkat kami yang dahulu terkenal Lok-lim-jit-coat (ketujuh
jago top dunia bandit), beliau adalah pemimpin besar ke 72
sarang bandit ketujuh propinsi daerah Selatan. Harta benda

yang dikumpulkannya selama ini sukar dihitung. Namun ketika
kami mengadakan inventarisasi harta kekayaannya sesudah
beliau meinggal, ternyata sisa kekayaannya tinggal tidak
seberapa lagi dan entah kemana larinya ?”.
“Menurut perkiraan kalian ada berapa harta kekayaannya ?”
tanya It-hiong.
“Sedikitnya ada seribu laksa tahil perak,” tutur Giok-koan.
It-hiong menghela napas, katanya, “Wah sungguh suatu
jumlah yang sangat memikat. Lalu, kalian mencurigai dia
menyembunyikan harta kekayaannya, begitu?”
“Ya, meski dia mengangkat saudara dengan kami, tatapi dia
memperlakukan kami tidak begitu baik. Kau tahu wataknya
sangat keras, pemberang, segala urusan diputus dan ditindak
sendiri. Sebab itulah diantara kami bersaudara; biasanya cuma
kelihatan cocok diluar tapi renggang didalam. Mungkin ia juga
kuatir kami akan mengincar harta bendanya, maka diam-diam
ia menyembunyikannya dulu harta kekayaannya dan akhirnya
dibinasakan orang”.
“Apakah kalian tahu siapa yang membunuhnya ?”, tanya Ithiong.
Giok-koan menggeleng, “Entah tidak tahu. Setiap tahun dia
pasti meninggalkan markas untuk beberapa bulan lamanya.
Pada suatu hari dia pergi lagi, kami tidak tahu kemana
perginya. Selang lebih sebulan, tiba-tiba kami menerima
kabar, katanya dia terbunuh diluar kota Tiang-an….”.
“Dan kalian menyusul ke tempat kejadian itu?” tanya It-hiong.
“Ya, sudah kami lihat sendiri.” Giok-koan mengangguk.

“Bagaimana keadaannya ?” tanya It-hiong pula.
“Waktu kami sampai ditempat kejadian, pihak pemerintah
sudah keburu menguburnya,” tutur Giok-koan. “Demi untuk
mengetahui sebab-musabab kematiannya, kami membongkar
kuburannya dan memeriksa jenazahnya. Waktu itu mayatnya
sudah mulai membusuk, tapi kami masih dapat menemukan
sebab kematiannya, yaitu pada dadanya terdapat sebuah
bekas telapak tangan. Jelas dia mati terkena pukulan tenaga
dalam yang amat kuat sehingga menggetarkan rusak
jantungnya”.
“Tokoh dunia persilatan jaman ini rasanya sangat sedikit yang
mampu membunuh dia,” ujar It-hiong.
“Bukan cuman sedikit saja, bahkan boleh dikatakan tidak
ada,”kata Giok-koan. “Dia punya Eng-jiau-kang sudah terlatih
hingga mencapai tingkatan yang sempurna, meski kami
bertujuh bergabung juga tidak mampu melawannya”.
“Tadi kau bilang setiap tahun dia pasti meninggalkan rumah
untuk beberapa bulan lamanya, bilamana kalian dapat
menemukan tempat yang selalu didatanginya itu mungkin
akan dapat pula tahu sebab musabab serta siapa
pembunuhnya”.
“Ya, sudah kami usust, namun sama sekali tidak menemukan
sesuatu.” Tutur Giok-koan.
“Urusan ini sungguh sangat aneh,” kata It-hiong. “Mungkinkah
dia mempunyai simpanan orang perempuan disuatu tempat”.
“Kamipun sama berpikir begitu, cuman tidak ada setitik
indikasi yang kami temukan,” kata Giok-koan.
“Kemudian, siapakah yang menyiarkan berita tentang kotak

pusaka itu adalah milik Eng-jiau-ong Oh Kiam-lam ?,” tanya Ithiong.
“Hal itu didengar Pok Yang-thian ketika pada suatu hari makan
disuatu restoran, ceritanya harta kekayaan Oh-toako kami
disembunyikan didalam sebuah peti wasiat, dan peti wasiat itu
berada dibawah penjagaan seorang kakek yang bernama Be si
buta. Setelah mendengar berita itu, segera Pok Yang-thian
pulang dan memberitahu kepada kami. Setelah kami selidiki,
diketahui Be si buta itu tinggal di kaki gunung Ban-yang, dia
terhitung sanak saudara Oh-toako kami. Segera kami
berangkat ke Ban-yang-san untuk mencari Be buta, tapi setiba
disana, kami menemukan Be buta sudah mati dirumahnya,
tubuhnya luka terbacok, sudah mati satu-dua hari
sebelumnya”.
“Wah jika begitu, jadi kotak itu memang benar milik Oh-toako
kalian ?,” tanya It-hiong seperti melengak.
“Betul,” jawab Giok-koan, “Terbunuhnya Be buta
membuktikan Oh-toako kami memang pernah menyerahkan
sebuah peti wasiat di bawah penjagaannya. Dan pada
sebelum kami tiba di rumah Be buta, lebih dulu sudah ada
orang mendahului datang dan membunuhnya serta membawa
lari peti wasiat tersebut”.
“Orang yang membunuh Be buta itu mungkinkah Si Hin?,”
tanya It-hiong.
“Entah, kamipun tidak tahu,” jawab Giok-koan. “Malahan kami
juga tidak berani apakah peti yang sedang kita perebutkan ini
adalah peti wasiat yang diserahkan Oh-toako kepada Be buta
itu, cuma, bila ternyata ada sebuah peti wasiat muncul didunia
persilatan dan menjadi sasaran perebutan orang banyak,
dengan sendirinya kami juga ingin mendapatkannya untuk
memperjelas duduknya perkara”.

Tapi diantara kalian Lok-lim-lit-coat masing-masing juga
mempunyai pikiran serakah dan ingin mencaplok sendirian peti
wasiat itu, betul tidak ?” tanya It-hiong dengan tersenyum
ejek.
“Betul,” jawab Giok-koan sambil menyengir. “Kami bertujuh
sudah berpisah dan menempuh jalannya sendiri dan
menguasai wilayah masing-masing”.
“Setelah kaudapatkan peti itu, apakah pernah kaubuka dan
periksa isinya ?”tanya It-hiong pula.
“Belum,” Giok-koan menggeleng. “Kau tahu sendiri, peti itu
terbuat dengan sangat bagus dan kukuh, samasekali aku tidak
tahu dan tidak sanggup membukanya. Kudengar pula peti itu
terpasang obat peledak yang berbahaya, maka tidak berani
kubukanya secara paksa, kalau meledak kan aku bisa celaka
sendiri”.
“Lantas bagaimana tindakanmu selanjutnya ?”, tanya It-hiong.
“Kudengar gembong yang menguasai Cap-pek-pan-nia yang
tidak diketahui namanya itu paham cara membuka peti wasiat
itu, maka ada maksudku hendak kesana untuk menemui dia.”
Tutur Giok-koan. “Kemarin dulu kulewat disini dan mendengar
Wi Ki-tiu hendak merayakan ulang tahunnya yang ke-60,
kugunakan kesempatan ini untuk mengucapkan selamat
kepadanya, tak tersangka dia juga sudah tahu kudapatkan
peti wasiat itu dan diam-diam mengatur tipu muslihat untuk
menjebakku”.
“Apakah tidak kaupikirkan bahwa semua ini sangat mungkin
cuman sebuah tipuan belaka ?”, tanya It-hiong.
“Tipuan bagaimana/”, tanya Giok-koan.

“Mungkin ada orang mengharapkan kalian Lok-lim-jit-coat
saling membunuh, sebab itulah dia sengaja mengatur tipu
muslihat dengan menggunakan sebuah peti sebagai umpan,
supaya kalian saling berebut dan saling genjot, ia sendiri
hanya menonton dengan santai. Bilaman kalian bertujuh
sudah sama bonyok, barulah ia muncul untuk mengeduk
keuntungan yang tinggal diambil saja”.
Mata Hui Giok-koan terbelalak, tanyanya: “Jika betul begitu,
lantas siapakah gerangan yang mengatur tipu muslihat itu ?”.
“Kupikir sangat mungkin adalah gembong misterius yang
bercokol di Cap-pek-pan-nia itu”, ujar It-hiong. “Ia bermaksud
merajai dunia Lok-lim daerah Selatan, namun kekuatannya
belum mampu menaklukkan ke 72 sarang kalian, sebab itulah
ia sengaja mengatur tipuan ini agar kalian saling membunuh
lantaran berebut sebuah peti kosong.
Muka Hui Giok-koan menjadi merah, ia merasa malu,
katanya,”Jika betul begitu, maka maksud tujuannya boleh
dikatakan sudah tercapai”.
“Betul, sebab kamu sudah membunuh saudara angkatmu
sendiri, si In-tiong-yan Pok Yang-thian,” kata It-hiong dengan
tertawa.
Tampaknya Hui Giok-koan merasa malu hati, ia menunduk
dan tidak bersuara lagi.
Perlahan It-hiong berucap pula, “Cuman kalau sekarang kamu
mau insaf masih keburu. Kuharap kauberikan peti itu
kepadaku, biar kuantar dan menemui gembong iblis di Cappek-
pan-nia itu, bukan mustahil dapat kubongkar tipu
muslihatnya secara tuntas”.

Giok-koan termenung sejenak, katanya kemudian,” Tapi bila
kotak itu memang betul tersimpan harta karun Oh-toako kami
dan engkau berikan kepada pihak sana, kan runyam ?”.
“Tidak bisa,” ujar It-hiong dengan tertawa. “Tentu aku
mempunyai cara yang aman, kujamin dia takkan mendapatkan
apa-apa”.
“Baik, akan kubawamu untuk mengambil peti itu,” kata Giokkoan
dengan ikhlas. “Peti itu kusembunyikan tidak jauh dari
sini”.
It-hiong menaruh mangkuk dan sumpitnya, ia mendekati
jendela dan melongok keluar, katanya kemudian,” Hari sudah
hampir fajar, bagaimana kalau sekarang juga kita berangkat
?”.
“Baik,” jawab Giok-koan.
Segera Liong It-hiong memanggil pelayan, selesai membayar
rekening segera mereka meninggalkan hotel.
Melihat tenaga Hui Giok-koan belum pulih seluruhnya, It-hiong
memberikan kuda sendiri padanya, ia sendiri berjalan kaki
mengintil dari belakang.
Hui Giok-koan melarikan kuda keluar kota dan menuju ke
Barat.
Tidak lama kemudian mereka sudah sampai di tempat sepi
diluar kota, Hui Giok-koan berpaling kebelakang, setelah
memandang sejenak, tiba-tiba ia mendesis,”Ssstt, rasanya ada
orang membuntuti kita”.
“Dia tentulah saudara angkatmu sendiri, yaitu Kim-ci-pa Song
Goan-po atau mungkin juga Kim-kong Taysu dan Koh-ting

Tojin,” ujar It-hiong dengan tertawa.
Air muka Hui Giok-koan berubah, katanya ,”Jika Song-siko
masih mudah dihadapi, tapi kalau Kim-kong Taisu dan Kohting
Tojin, tentu urusan bisa gawat”.
“Jangan kuatir, biar kita mencari akal untuk melepaskan diri
dari penguntitan mereka,”ujar It-hiong.
Kembali Hui Giok-koan menoleh kebelakang lalu bertanya.”Apa
akalmu ?”.
“Marilah lebih dulu kita berlari sebentar,” kata It-hiong.
Habis berkata ia terus menabok pantat kuda sambil
membentak. Kuda itu terus membedal dengan cepat kedepan.
It-hiong juga lantas mengejar dengan kencang, mereka terus
berlari kedepan secepat terbang, hanya sebentar saja
beberapa li sudah dilalui.
Berualgn Hui Giok-koan menoleh, tiba-tiba ia mendesis lagi,
“Ssst, betul juga, memang ada orang membuntuti kita, seperti
dua orang”.
“Kau kenal siapa mereka?” tanya It-hiong.
“Tidak jelas, hanya terlihat dua sosok bayangan berkelebat
menghilang dikejauhan,” tutur Giok-koan.
“Marilah kita melepaskan diri dari penguntitan mereka,” ujar
It-hiong. “Kau lihat didepan sana jalanan agak berliku,
disebelah kanan jalan adalah hutan lebat, lihat jelas tidak ?”.
Giok-koan memandang ke depan, jawabnya mengangguk,”
Ya, kulihat”.

“Begitu kita memasuki jalan beriku itu, segera kau lompat
turun dari kuda dan menyusup ke dalam hutan, biarkan kuda
tetap berlari kedepan,” tutur It-hiong. “Nah, kau paham
maksudku ?”.
“Baik,” jawab Giok-koan. “Kuharap mereka dapat kita tipu”.
Segera ia membedal kudanya terlebih cepat menuju kejalan
berliku itu.
It-hiong tetap mengintil kencang dari belakang dan baru saja
mereka mencapai jalan berliku itu, serentak Giok-koan
membelokkan kudanya menyusur hutan ditepi jalan, habis itu
mendadak ia meraih dahan pohon yang melintang diatasnya,
seketika kuda itu lari kedepan tanpa penunggang, sedangkan
Giok-koan terus melompat keatas pohon.
It-hiong masih sempat mendepak pantat kuda itu, karena
kaget dan kesakitan, kuda itu membedal kesetanan kedepan.
It-hiong sendiri terus menyusup kedalam hutan dan
bersembunyi.
Hui Giok-koan juga sembunyi diatas pohon tanpa bergerak.
Terdengar detak lari kuda yang semakin menjauh.
Sejenak kemudian tertampaklah dua sosok bayangan melayan
lewat secepat terbang, hanya sekejap saja lantas menghilang
didepan sana.
Meski cuman sekilas saja, namau Liong It-hiong yang
bersembunyi didalam hutan sudah dapat melihat jelas mereka
bukan Kim-kong Taisu dan Koh-ting Tojin, juga bukan Kim-cipa
Song Goan-po.

Tentu saja ia terkejut dan heran, pikirnya “Wah, tampaknya
yang mengincar peti wasiat ini tidak sedikit jumlahnya….
Setelah kedua pengejar tadi menghilang dikejauhan, barulah
Hui Giok-koan melompat turun dari pohon, desisnya, “Ayo
lekas berangkat, kita menuju ke Utara!”.
Setelah berlari-lari satu-dua li jauhnya kearah Utara, kemudian
mereka berhenti disuatu tempat sepi dikaki gunung.
Lantaran tenaganya belum pulih seluruhnya dan tadi
mengalami lari cepat sekian jauhnya, Hui Giok-koan merasa
kepayahan, segera ia duduk mengaso disitu sambil
mengembus napas, serunya,” Mendingan kedua penguntit itu
dapat kita tinggalkan”.
It-hiong juga duduk mengaso, tanyanya,” Siapakah mereka
tadi ?”.
“Mereka juga saudara angkatku, Tok-gan-bu-siang Ong Siauho
dan si tembong Seng It-hong,” tutur Hui Giok-koan.
It-hiong tertawa, katanya,” Ada satu hal sampai saat ini belum
lagi dapat kupahami….
“Hal apa ?” tanya Giok-koan.
“Tempo hari kami membunuh Pok Yang-thian diluar kota
Kimleng dan membawa lari kotak itu. Kejadian itu cuma dilihat
olehku dan Pang Bun-hiong,” ucap It-hiong. “Padahal kita
tidak pernah menyiarkan kejadian itu, mengapa ada orang
sebanyak ini mengetahui kotak pusaka jatuh ditanganmu dan
beramai-ramai membuntutimu ?”.
Dengan air muka bingung Giok-koan mengangguk, katanya,
“Ya, aku sendiri tidak mengerti, memang sangat aneh……”.

Dengan senyum sinis It-hiong berucap pula,”Sebab itulah,
kuyakin pasti ada satu orang yang senantiasa mengawasi
kotak itu, kemana perginya itu selalu orang itupun mengikuti
kesitu, bahkan menyampaikan berita kepada orang lain yang
sedang mengincar kotak”.
Kening Giok-koan berkernyit, ucapnya,” Jika demikian jadi
terlebih terbukti bahwa semua ini memang cuma tipuan
belaka, semuanya telah dapat kau terka dengan tepat”.
“Cuma biarpun kotak itu memang kosong, juga tetap akan
kubawa pergi ke Cap-pek-pan-nia, ingin kutemui gembong
iblis yang misterius itu,” kata It-hiong.
Giok-koan menengok sekelilingnya, lalu mendesis,”Jika
sekarang juga kau mau, segara dapat kugali kotak itu
untukmu”.
“Kau tanam kotak itu disini ?”, It-hiong menegaskan.
“Ya, kupendam dibawah pohon yang terletak kira-kira tiga
tombak dibelakangku,” tutur Giok-koan
It-hiong memandang kearah yang dimaksud; katanya, ”Jika
begitu, ayolah lekas kau gali saja”.
Segera Hui Giok-koan beranjak menuju kedalam hutan. Ithiong
ikut juga kesana. Setibanya dibawah sebatang pohon
tua yang tinggi besar, Giok-koan berhenti dan bertanya,
“Apakah kau bawa senjata seperti belati dan sebagainya ?”.
It-hiong melolos belati yang tersembunyi dibalik baju dan
disodorkan kepadanya, katanya dengan tertawa, “Senjataku
sekarang tersisa belati ini saja, hendaknya kau gunakan
dengan baik-baik, jangan sampai patah”.

Giok-koan terima belati itu, segera ia berjongkok dibawah
pohon dan mulai menggali.
Dengan cepat sekali sudahsatu-dua kaki dalamnya liang
galiannya; lalu diangkut keluar sebuah kotak besi berbentuk
persegi.
Melihat bentuk kotak yang tidak sama itu, It-hiong
melenggong katanya, “Hei, bukan kotak ini !”.
“Tidak salah lagi,” ujar Giok-koan dengan tertawa. “Memang
kubeli kotak ini dan menyembunyikan kotak semula
didalamnya….”
Belum lanjut ucapannya, mendadak terdengar suara
mendesing nyaring dua kali menyambar dari kanan-kiri dalam
hutan.
Dari suaranya yang mendenging tajam itu, jelas ada orang
menyambitkan dua macam am-gi atau senjata rahasia.
It-hiong terkejut, cepat ia menjatuhkan diri dan
menggelundung kesana sehingga am-gi yang menyambar dari
belakang itu dapat dihindarkan.
“Crak”, terlihat cahaya putih berkelebat, sebilah pisau tepat
menancap di batang pohon.
Adapun am-gi yang menyambar kearah Hui Giok-koan itu
adalah sebatang panah kecil, begitu cepat dan jitu sambaran
panah itu sehingga Hui Giok-koan tidak sempat mengelak,
dengan tepat punggungnya tertancap panah, ia menjerit dan
jatuh terguling.
Pada saat itu juga dua sosok bayangan orang melompat

keluar dari kanan-kiri dalam hutan, yang seorang menerjang
kearah Liong It-hiong, seorang lagi menubruk Hui Giok-koan.
Langsung ia rebut kotak besi yang masih dipegang Giok-koan.
Yang hendak rmerebut kotak itu adalah seorang kakek berbaju
kuning, bagian pelipis kanan terdapat sebuah uci-uci besar
dan berwarna merah.
Yang menerjang Liong It-hiong itu adalah seorang lelaki
setengah umur, ia membawa golok; begitu menubruk maju
langsung ia membacok kepala It-hiong.
Cepat It-hiong berguling lagi kesamping, berbareng ia raup
segenggam tanah terus dihamburkan kemuka lawan sambil
membentak, “Awas jimatku”.
Lelaki setengah baya itu tidak menduga akan akan kejadian
ini, mukanya tertawur tanah sehingga berkaok-kaok kesakitan,
ia kucek-kucek matanya yang kelilipan, tapi ia menjadi
semakin beringas, segera ia angkat golok dan menebas lagi
kepinggang It-hiong.
Pada saat itulah tiba-tiba si kakek beruci-uci berseru, “Ayolah
kita pergi saja, kerbau !!”.
Mendengar itu cepat lelaki itu menarik kembali goloknya dan
melompat mundur, lalu ikut si kakek kabur keluar hutan.
Waktu It-hiong melompat bangun, dilihatnya kotak yang
dipegang Hui Giok-koan tadi sudah hilang, ia tahu tentu
dibawa lari si kakek baju kuning tadi. Keruan ia kuatir dan
gusar, bentaknya, “Jangan lari!!”.
Segera ia bermaksud mengejar kesana, namun Hui Giok-koan
keburu berseru padanya: “Jangan dikejar !”. Sehabis berucap
demikian , kepala Hui Giok-koan lantas terkulai lemas ketanah.

Tampaknya luka pada punggungnya yang terkena panah itu
sangat parah, sudah tidak jauh lagi dari ajalnya.
Watak Liong It-hiong berbudi, ia tidak tega meninggalkan
orang begitu saja, terpaksa ia urungkan maksud mengejar
musuh dan coba memeriksa dulu keadaan luka Hui Giok-koan,
tanyanya:”Bagaimana perasaanmu ?”.
Muka Hui Giok-koan berkerut-kerut menahan sakit, ucapnya:
“Aku tidak…. Tidak tahan lagi”.
Panah yang menancap di punggung kiri Hui Giok-koan itu
kelihatan sangat dalam, agaknya melukai juga jantungnya. Ithiong
tahu orang sukar diselamatkan, diam-diam ia gegetun,
ia coba tanya pula, “Apakah kau kenal mereka ?”.
Mendadak darah segar merembes keluar dari mulut Hui Giokkoan,
sorot matanyapun mulai guram, ucapnya dengan
terputus-putus: “Yang tua itu ialah… ialah Ang-liu-soh (si
kakek uci-uci merah) Ban Sam….Ban Sam-hian dan lelaki…
lelaki setengah baya itu adalah anak buahnya”.
It-hiong menggigit bibir, katanya, “Keparat ! Sergapan mereka
sungguh cepat sekali serupa angin lesus saja sehingga sukar
ditahan !”.
Mulut Hui Giok-koan terbuka, wajahnya menampilkan
senyuman sebelum ajal, ucapnya, “Aku membu… membunuh
Pok Yang-thian, pantas juga… pantas juga aku mati di tangan
Ban Sam-hian…. .cuma…cuma kalau dia menyangka sudah
berhasil mendapatkan kotak pusaka, jelas dia agak…agak
kekanak-kanakan”.
“Apa maksudmu ?”,tanya It-hiong melenggong.
Giok-koan tersenyum, katanya, “Aku hampir… hampir mati,

maka tidak perlu kudustaimu lagi. Kotak itu… kotak itu
kusembunyikan di… di Jit-hian-tiam, disamping kelenteng
Kwa-te-bio ada… ada sebuah sumur, kumasukkan kotak itu
kedalam sumur, boleh… boleh kau ambil saja dari sana”.
Habis berucap, senyumnya lenyap dan napaspun putus.
Sampai sekian lama Liong It-hiong termangu-mangu, lalu
tertampil senyum kecut, gumamnya, “Hm, orang ini sungguh
banyak tipu akalnya, lebih dulu dia sengaja menanam sebuah
kotak palsu untuk menipu orang...”.
Tapi orang sudah mati, betapapun ia tidak dapat marah lagi
kepadanya. Segera ia menggali sebuah liang dibawah pohon
dan mengubur mayat Hui Giok-koan. Dilihatnya fajar sudah
menyingsing segera ia putar balik kearah datangnya tadi…..
---ooo000ooo---
Disuatu petang hari musim panas, dikota Gi-hin yang terletak
ditepi danau Thay kelihatan ada sebuah kereta kuda yang
megah.
Kereta kuda ini masuk kota dari pintu gerbang Barat dan
berhenti didepan hotel “Thay-oh-khek-can” yang terbesar
dikota ini.
Sekali pandang saja pelayan hotel yang sudah berpengalaman
itu segera tahu kedatangan tamu yang berkantung tebal,
maka cepat mereka menyambut keluar.
Dan begitu pitu kereta terbuka, seorang pemuda ganteng
mendahului melompat turun. Dia tak lain tak bukan Pang Bunhiong
adanya.
Dengan senyum yang dibuat-buat pelayan memberi hormat

dan bertanya, “Kongcuya ini apakah cuma singgah saja atau
ingin bermalam ?”.
Pang Bun-hiong memandang kepintu hotel dan berkata,
“Apakah ada kamar yang bersih ?”
“Ada, ada !!” cepat pelayan menjawab.
“Jika begitu, kami minta dua kamar yang satu untuk tinggal
pengendara kereta ini….” Bun-hiong menuding Siang Po-hok
yang menjadi kusir itu, lalu berkata pula dengan tertawa
kedalam kereta, “Silahkan keluar, istriku !”.
Dibawah dukungan Bun-hiong, pelahan turunlah seorang
perempuan cantik.
Dia bukan lain daripada Kiau-kiau yang mengaku sebagai “si
molek berbisa” itu.
Pada dasarnya dia memang sangat cantik, ditambah lagi
sekarang memakai baju yang mentereng, siapapun yang
melihatnya pasti menyangka dia seorang nyonya terhormat
dari keluarga bangsawan.
Eberapa pelayan itupun sama silau menghadapi wanita
anggun deimikian, mereka sama memberi hormat dengan
menunduk.
“Ayolah menunjukkan jalannya,” seru Bun-hiong.
Pelayan mengiakan dan membawa mereka kedalam hotel.
Dihalaman belakang hotel tersedia kamar kelas utama yang
tenang, pelayan membuka sebuah kamar menyilakan mereka
masuk, habis itu lantas membawakan air minum dan
memberikan servis yang menyenangkan.

Kiau-kiau merasa terganggu oleh hilir mudik kawanan pelayan
itu, katanya, “Bun-hiong, suruh mereka keluar saja”.
Segera Buh-hiong memberi tanda dan berkata: “Ayo, keluar
saja kalian, tanpa dipanggil jangan masuk kemari.”
Beberapa pelayan itu sama mengiakan dan mengundurkan
diri.
Didalam kamar kini tinggal mereka berdua saja, Kiau-kiau
melempar tubuhnya ditempat tidur, dengan lemah ia
mengeluh, “Oo, menumpang kereta selama 20-an hari,
sungguh capek sekali”.
Bun-hiong duduk disampingnya, dipijatnya punggung si cantik,
katanya dengan tertawa: “Akhirnya sampai juga ditempat
tujuan, bolehlah engkau mengaso dua-tiga hari”.
“Tidak kita mengaso sebentar saja dan segera berangkat lagi,”
kata Kiau-kiau.
“Ah, buat apa terburu-buru ?”,kata Bun-hiong.
“Oh Beng-ai berada dalam cengkeraman Kiu-bwe-hou
Kongsun Siau-hui dan setiap saat jiwanya bisa melayan,
urusan segawat ini masa tidak membuat gelisah?”.
“Jika Kongsun Siau-hui hendak mencelakai Oh Beng-ai,
biarpun ia mempunyai nyawa serep sepuluh juga sudah lama
amblas”, ujar Bun-hiong. “Dan bila ia tidak bermaksud
membunuhnya, biar kita kesana beberapa hari lagi juga masih
keburu”.
“Kau tahu apa?”, omel Kiau-kiau dengan mendongkol. “Yang
kukuatirkan adalah Oh Beng-ai akan dinodai rase jahat itu.

Betapapun dia kan masih perawan ting-ting, bila kesuciannya
dilanggar, sungguh lebih gawat daripada dia terbunuh saja”.
“Ya, aku tahu”, ujar Bun-hiong dengan tertawa. “Tapi sudah
lebih sebulan dia berada dalam cengkeraman Kongsun Siauhui,
apakah kau kira Kongsun Siau-hui akan bersikap ramah
padanya. Huh, kukira bukan mustahil sudah…. “.
“Sudah, cukup!”, sela Kiau-kiau. “Jangan banyak omong halhal
yang menyinggung perasaanku. Bilamana Kongsung Siauhui
sampai mengganggu seujung bulu romanya, hmm…, lihat
saja kalau tidak kubeset kulitnya”.
Pang Bun-hiong tertawa, dipencetnya pelahan dagu si cantik,
katanya: “Sungguh aneh, mengapa perasaanmu terhadap
perempuan lebih mesra daripada terhadap orang lelaki ?”.
“Tidak perlu banyak omong”, kata Kiau-kiau.
“Kita sudah berkumpul lebih 20 hari, namun sampai sekarang
aku masih belum paham akan dirimu”.
“Ini membuktikan engkau adalah seorang tolol besar”, ujar
Kiau-kiau.
Bun-hiong tertawa: “Apakah dapat kau beritahukan padaku
maksud tujuanmu yang sebenarnya hendak menolong Oh
Beng-ai ?”.
“Kan tidak jelek Oh Kiam-lam terhadapku dan aku ingin
membalas kebaikannya, inilah maksud tujuanku yang
sebenarnya”.
“Aku tidak percaya”, ucap Bun-hiong dengan tersenyum.
Mendadak Kiau-kiau membalik tubuh dan menghadapinya

sambil mendamperat: “Jadi kau anggap ada maksud tujuan
tertentu sebabnya aku hendak menolong Oh Beng-ai?”.
Bun-hiong mengangkat pundak: “Aku tidak tahu, makanya aku
tanya padamu”.
Kiau-kiau melototinya sekejap: “Hmm…, makin lama kamu
semakin ceriwis, aku tidak suka kepada lelaki yang bawel. Jika
kamu banyak omong lagi seperti ini bisa segera kusuruh kau
enyah !”.
“Ha ha ha, jika kausuruh aku enyah, pasti segera aku akan
enyah, aku ini memang orang yang tahu diri”, seru Bun-hiong
dengan tertawa.
“Baik, sekarang juga enyah!”, kata Kiau-kiau.
“Apa betul ?”, Bun-hiong menegas.
“Betul!”.
“Kau kira dengan kecantikanmu akan dapat menaklukkan Kiubwe-
hou Kongsun-hui?”.
“Ya, kenapa tidak?”, jawab Kiau-kiau. “Jika kamu ikut
disampingku tentu akan mengganggu urusan malah”.
“Baiklah, jika begitu. Terpaksa aku angkat kaki saja”, ucap
Bun-hiong sambil berbangkit.
“Ya, pergi saja”, tukas Kiau-kiau.
Bun-hiong menunduk dan mencium sekali dipipi si cantik,
katanya dengan tertawa: “Jika begitu, selamat tinggal !.
Terima kasih atas kebaikan dan kenikmatan yang kauberikan
padaku selama likuran hari ini. Semoga kelak masih diberikan

kesempatan untuk bertemu lagi denganmu”.
Habis berkata ia lantas membalik dan menuju ke pintu kamar.
“Tunggu sebentar”, kata Kiau-kiau.
Bun-hiong membalik tubuh pula, tanyanya dengan tertawa:
“Apakah masih ada sesuatu yang perlu kukerjakan bagimu ?”.
“Jika kamu perlu uang, dapat kuberi sedikit, apakah kau mau
?”, tanya Kiau-kiau dengan tertawa.
Bun-Hiong menggeleng, “Tidak, tidak perlu. Terima kasih atas
maksud baikmu. Diriku ini tidak dijual”.
Dalam keadaan demikian, Kiau-kiau berbalik merasa berat
untuk ditinggal pergi malah, katanya segera: “Jika begitu,
boleh kau pergi lagi mencari aku di Hoai-giok-san,
kedatanganmu akan tetap kusambut dengan gembira”.
“Baik”, jawab Bun-hiong. “Apabila aku tidak mendapatkan
perempuan lain pasti aku akan kesana dan mencarimu lagi”.
Kiau-kiau menjadi marah, ia tanggalkan sepatu dan
dilemparkan kearah Bun-hiong sambil menjerit: “Keparat,
kamu pantas mampus!. Memangnya kau anggap aku ini
perempuan macam apa ?”.
Bun-hiong mengegos untuk menghindari sepatu yang
menyambar kepalanya, ia tergelak dan memberi salam, lalu
membuka pintu kamar dan keluar.
Ia tidak bilang kepada pelaya kemana dirinya akan pergi, juga
tidak pamit kepada Siang Po-hok yang menjadi kusir, langsung
ia meninggalkan hotel itu.

Berkumpul selama lebih 20 hari dengan perempuan cantik itu,
kini ia sudah tahu dia adalah seorang perempuan judes dan
cerewet atau bawel, maka tadi ia sengaja membuatnya marah
untuk memancing datanya pengusiran.
Sebabnya ia bertindak demikian adalah karena ia ingin
mendahului ke Ma-cik-san ditepi Thay-oh untuk memberitahu
Tui-beng-poan-koan To Po-sit agar siap menghadapinya.
Bahwa Tui-beng-poan-koan To Po-sit menyuruh dia
menyiarkan isyu tentang Oh Beng-ai diculik oleh Kiu-bew-hou
Kongsun Siau-hui dan dibawa ke Ma-cik-san di Thay-oh,
tujuannya tentulah ingin memancing dan menawan seseorang.
Sebab itulah Bun-hiong yakin Tui-beng-poan-koan tentu sudah
mengatur perangkap di Ma-cik-san, sedangkan Kiau-kiau
sangat mungkin adalah sasaran yang hendak ditangkap To Posit,
maka ia merasa perlu mendahului menyampaikan berita
itu.
Begitulah ia berlari cepat sekian lamanya, akhirnya sampailah
ditepi Barat danau besar itu. Ia mencari tempat berkumpulnya
perahu nelayan ditepi danau. Dilihatnya ada beberapa orang
sedang mengobrol iseng disitu. Ia mendekati mereka dan
memberi salam, lalu bertanya: “Numpang tanya saudara, ada
urusan ingin kupergi ke Ma-cik-san, apakah dapat kusewa
perahu disini ?”.
Seorang nelayan tua mengamat-amatinya beberapa kejap, lalu
balas bertanya: “Untuk apa adik ini mau pergi ke Ma-cik-san?”.
“Kudengar pemandangan pegunungan itu sangat indah
permai, maka ingin kucoba pesiar kesana”, jawab Bun-hiong.
“Bilamana nanti keindahannya memang tidak tercela, ada
maksudku akan membangun rumah disana untuk belajar”.

Nelayan tua itu tertawa geli, katanya” “Masa adik ini belum
tahu berita yang tersiar?”.
“Berita apa?”, tanya Bun-hiong.
“Di Ma-cik-san sudah lama ada orang bertempat tinggal disitu,
malahan orang itu memiara seekor harimau untuk menjaga
gunung itu sehingga tidak ada orang yang berani kesana”,
tutur si nelayan tua.
“Oo, apakah Lotiang tahu siapakah yang bermukim disana ?”.
“Entah, aku tidak tahu, tidak ada orang yang pernah
melihatnya”, si nelayan tua menggelengkan kepala.
“Kukatakan terus terang saja, orang itu adalah pamanku”,
kata Bun-hiong dengan tertawa. “Beliau sendiri yang
menyuruhku belajar saja ketempatnya yang indah dan tenang
itu, maka tentang harimau itu juga tidak perlu kutakuti”.
“Oo, kiranya orang itu adalah paman adik sendiri”, si nelayan
tua bersuara heran. “Dan mengapa pamanmu itu sengaja
piara harimau buas ?”.
“Harimau itu dipiaranya sejak kecil. Sebenarnya tidak
sembarang menggigit orang”, jawab Bun-hiong.
“Tapi beberapa bulan yang lalu ada seorang mati tergigit
harimau itu”.
“Ahh, masa terjadi begitu ?”, Bun-hiong bersuara kaget.
“Memang betul terjadi”, kata si nelayan tua sambil
mengangguk.
Bun-hiong memperlihatkan rasa menyesal, ucapnya: “Wah,

sungguh malang. Kejadian ini pasti akan kutanyakan kepada
pamanku. Jika betul harimau itu suka mengganggu manusia,
maka binatang itu tidak dapat dipiara lagi. Ai, pepatah bilang
piara harimau hanya mendatangkan maut, tampaknya
memang tepat”.
Ia berhenti sejenak, lalu tanya mereka: “Siapa diantara kalian
yang mau mengantarku ke Ma-cik-san dengan perahunya ?”.
Tidak ada seorangpun menyatakan mau.
Bun-hiong mengeluarkan sepotong perak, katanya: “Akan
kubayar lima tahil perak ini, cukup sekali jalan saja; asal ada
yang mau…. “.
“Biarlah kuantar tuan kesana”, sambung si nelayan tua tadi.
Tidak lama kemudian Bun-hiong sudah berada diatas perahu
si nelayan tua dan meluncur ke Ma-cik-san yang terletak
ditengah danau.
Bun-hiong duduk termenung di haluan perahu menghadapi
kerlip air danau yang tenang, pemandangan danau dengan
gunungnya yang indah.
“Kongcu”, tiba-tiba si nelayan tua berkata. “Apakah boleh
kutahu nama pamanmu yang mulia itu?”.
“Watak pamanku sangat aneh, dia tidak suka bergaul dengan
orang… “.
“Beliau tinggal sendirian di Ma-cik-san sana ?”, tanya pula si
nelayan.
“Ya”, Bun-hiong mengangguk.

“Ada orang bercerita, katanya beliau mahir ilmu silat, apakah
betul ?”.
“Ehm, paman pernah belajar”.
“Pernah ada orang diam-diam mengunjungi Ma-cik-san dan
melihat pamanmu naik harimau berkeliaran di pegunungan
sana. Orang sama menyangka beliau adalah Toapekong,
semuanya ketakutan dan cepat berlutut dan menyembah
padanya”.
Bun-hiong tertawa: “Kenapa menyangka paman sebagai
Toapekong?”.
“Sebab hanya Toapekong saja yang dapat naik harimau!”,
tutur si nelayan tua.
“Ha ha ha, bukan. Paman bukan Toapekong”, kata Bun-hiong
dengan terbahak. “Paman memang gemar naik harimau,
bilamana iseng beliau suka naik binatang itu dan berkeluyuran
kian kemari sekedar mencari hiburan saja”.
“Sekarang penduduk di sekitar sini sama menyebut pamanmu
sebagai Losancu (penguasa gunung tua), semuanya
menghormat dan juga segan padanya, siapapun tidak berani
lagi mengunjungi Ma-cik-san”.
Bun-hiong hanya tertawa saja tanpa menanggapi, namun
dalam hati sangat heran. Pikirnya, “Sungguh aneh, To Po-sit
adalah seorang jujur dan lurus, kenapa dia sengaja berlagak
begitu untuk menakuti orang ?. Jika alasannya supaya tidak
ada orang mengganggu ketenangannya kan juga tidak perlu
piara harimau buas segala. Harimau hanya dapat mengganas
terhadap orang biasa, terhadap jago persilatan sama sekali
tidak ada gunanya”.

Pada saat itulah si nelayan tua menuding jauh kedepan,
katanya: “Lihat, itulah Ma-cik-san!”.
Waktu Bun-hiong memandang kesana, tertampak permukaan
danau dikejauhan sana muncul barisan lereng gunung, ia coba
tanya: “Berapa lama lagi baru sampai disana ?”.
“Mungkin perlu satu jam lagi”, tutur si nelayan.
Bun-hiong memandang cuaca, katanya: “Tampaknya sang
surya sudah hampir terbenam”.
“Ya, setibanya di Ma-cik-san nanti mungkin juga waktunya
matahari terbenam”, ujar si nelayan tua.
Benar juga, pada waktu matahari menghilang di ufuk Barat,
saat itu juga perahu mereka tepat sampai di tempat tujuan.
Bagian Barat lereng pegunungan itu banyak tebing yang terjal
dan banyak pula gua batu. Lubang gua berbentuk bundar
serupa telapak kaki kuda, maka gunung itu mendapat nama
Ma-cik-san atau gunung telapak kaki kuda. Sudah tentu
apapun namanya hanya berdasarkan dongeng saja.
Setelah perahu menepi, Bun-hiong membayar sewa dan
mengucapkan terima kasih kepada nelayan tua, lalu melompat
ke daratan dan berlari cepat keatas gunung.
Setelah mendaki sebagian tebing curam, yang terlihat didepan
adalah hutan yang rimbun sehingga seolah-olah tertutup
rapat, suasana seram menakutkan.
Namun kepandaian Bun-hiong tinggi dan nyalinya besar. Ia
yakin perjalanannya ini pasti tak akan berbahaya baginya,
maka sama sekali ia tidak kuatir, langsung is menyusur hutan.

Ia tidak tahu sesungguhnya dibagian mana Tui-beng-poankoan
To Po-sit bertempat tinggal, tapi karena ia anggap Macik-
san ini tidak luas, seharusnya tidak sulit untuk menemukan
tempat tinggal orang.
Siapa tahu, meski sudah cukup lama ia mencari kian kemari,
yang terlihat olehnya tetap hutan lebat belaka dan sukar
dijajaki serupa lautan, sama sekali tidak tertampak sebidang
tanah kosong apapun.
Mau-tak-mau hati Bun-hiong mulai kebat-kebit, pikirnya:
“Buset!. Kenapa hutan ini sedemikian luasnya?”.
Begitulah ia terus menerobos hutan sekian lama lagi dan tetap
belum mencapai ujungnya. Ia merasa seperti masuk ketempat
yang menyesatkan, tentu saja ia was-was.
Ia coba berhenti dan membatin: “Jangan-jangan hutan ini
memang sebuah tempat yang bisa menyesatkan?!”.
Baru saja timbul pikiran demikian, sekonyong-konyong dalam
hutan yang berdekatan bergema auman keras.
Itulah auman harimau !.
Keruan Bun-hiong terkejut, ia menoleh dan memandang
kearah suara, namun tidak terlihat bayangan harimau. Tentu
saja ia merasa tidak aman, ia coba bersuara: “Toh-locianpwe,
caihe Pang Bun-hiong adanya, mohon Locianpwe sudi tampil
bertemu”.
Ia bicara dengan suara keras sehingga dapat berkumandang
jauh.
Siapa tahu baru saja lenyap suaranya, mendadak terdengar
suara meraung keras, dari dalam hutan melompat keluar

seekor harimau loreng dan langsung menerkamnya.
Harimau itu sebesari kerbau, kelihatan sangat buas.
Melihat keganasan harimau itu, berdiri bulu roma Pang Bunhiong.
“Jangan kurang ajar1”, bentaknya sambil melompat jauh
kesamping.
Karena menubruk tempat kosong, kebuasan harimau itu tidak
berkurang, sekali ekor melingkar, ia putar tubuh dan kembali
menerkam lagi.
Cepat Bun-hiong meloncat keatas dan hinggap diatas dahan
pohon yang bercabang, teriaknya: “Binatang kurang ajar!.
Mana boleh sembarang kau ganggu manusia ?. Masa kamu
tidak tahu aku ini sahabat majikanmu ?!”.
Pada hakikatnya harimau itu tidak tahu apa yang diucapkan
Bun-hiong. Agaknya dia sangat marah karena mangsanya
melompat keatas pohon. Beberapa kali harimau itupun
melompat keatas, akhirnya rupanya tahu sukar mencapai
tempat Bun-hiong terpaksa ia berhenti meloncat dan
berbaring dibawah pohon sambil melototi Bun-hiong dan
mengaum.
“Ayo pergi, panggil kemari majikanmu”, bentak Bun-hiong
sambil mengangkat tangan.
Namun si harimau tidak menghiraukannya dan tetap
mengawasi dia.
“Binatang yang tidak tahu adat”, maki Bun-hiong. “Kalau tidak
mengingat majikanmu, tentu sekali hantam kumampuskanmu
!”.

Harimau itu tetap diam saja.
Bun-hiong pikir bila bertahan terus cara begini bukanlah jalan
keluar yang baik. Kembali ia memaki: “Binatang kurang ajar,
barangkali kamu tidak pernah ketemu orang pandai, biar
sekarang kau lihat kelihaianku !”.
Ia patahkan satu potong ranting kecil, dengan gerak
menimpuk senjata rahasia ia sambitkan ranting kayu itu ke
batok kepala harimau.
Kencang sekali sambaran ranting kayu itu, “plok”, dengan
tepat batok kepala harimau tertimpuk.
Kungfu Pang Bun-hiong sudah mencapai tingkat tinggi,
biarpun sehelai daun yang dilemparkannya juga cukup kuat
untuk mencelakai orang. Untuk membunuh harimau dengan
lemparan kayu inipun dapat dilaksanakannya, cuma dia tidak
berniat membunuhnya, maka sambitannya itu tidak terlalu
keras.
Walaupun begitu toh harimau itu sudah kesakitan sehingga
melonjak kaget dan menyurut mundur sambil meraung-raung
seakan-akan sedang memaki dan menantang Bun-hiong bila
berani ayolah turun kemari.
Kembali Bun-hiong memotong setangkai ranting dan
disambitkan pula, sekali ini tepat mengenai hidung harimau.
Karena kesakitan, binatang itu mengerang sambil menyurut
mundur lagi, lalu bergaya hendak menubruk.
“Memangnya kau berani ? Sekali ini hendak kutimpuk matamu
!”, kata Bun-hiong dengan tertawa.
Sembari bicara kembali ia memotes setangkai ranting pula.

Namun harimau itu rupanya sudah kapok. Melihat Bun-hiong
hendak menimpuknya lagi, sambil meraung cepat ia putar
haluan dan ngacir.
Tujuan Bun-hiong justru hendak membuat harimau itu lari
agar dia dapat menguntitnya. Maka begitu begitu harimau itu
kabur, segera ia melompat turun dan mengejar dengan
kencang.
Harimau itu sudah takut padanya, ketika mengetahui Bunhiong
mengejarnya, larinya semakin cepat. Ia menyelinap kian
kemari ditengah hutan lebat dan lari pontang-panting.
Sambil mengejar Bun-hiong mengeluarkan suara galak pula
untuk menggertaknya. Setelah mengejar sekian lama, harimau
itu menyusup masuk kebalik semak-semak lebat, lalu
menghilang.
Bun-hiong tidak berani mengejar kesitu. Ia coba melompat
keatas pohon dan memandang kesekitarnya.
Sekali pandang terlihatlah sebuah rumah yang tidak terlalu
besar, tapi juga tidak kecil.
Kiranya beberapa tombak lagi kedepan sana sudah sampai di
ujung hutan lebat itu. Terlihat diluar hutan adalah sebidang
tanah landai dengan rumput halus hijau, ditengah lapangan
rumput berdiri sebuah gedung megah dengan halaman yang
luas. Disekeliling gedung itu diberi pagar bambu dan ditanami
berbagai macam bunga yang aneh, suasana tenang dan
pemandangan indah.
Bun-hiong yakin inilah tempat kediaman “Losancu” To Po-sit.
Segera ia melompat turun dan berlari ke rumah itu.

Setibanya diluar pintu pagar bambu, terlihat didepan pintu ada
pigura yang bertuliskan tiga huruf, To-kong-loh” atau villa
megah. Ditepi pintu terdapat pula sebuah papan kecil dengan
tulisan “dilarang mauk tanpa izin” dan dibawahnya tertulis
“Hormat Kongsun Siau-hui”.
Diam-diam Bun-hiong tertawa geli, ia pikir tulisan ini adalah
perbuatan Toh Po-sit yang sengaja digunakan untuk
memancing orang yang hendak dijebaknya, kalau tidak kan
tidak perlu namanya ditulis disitu.
Ia coba mengetuk pintu sambil berteriak: “Toh-locianpwe,
silakan buka pintu, aku Pang Bun-hiong!”.
Namun keadaan rumah itu tetap sunyi senyap, tidak terlihat
seorangpun yang menjawab atau muncul.
Bun-hiong sangat heran, sukar dimengerti mengapa bisa
begini. Ia pandang tulisan “dilarang masuk” yang terpampang
disamping pintu itu, pikirnya, “Mungkin ia sedang keluar
karena ada urusan, maka dipasang papan ini. Padahal
kedatanganku berkepentingan baginya, tentunya aku boleh
masuk saja kesitu”.
Didalam pintu adalah jalan terbuat dari balok batu, kedua
samping jalan banyak pot bunga diatas rak. Setelah melintasi
jalan batu tersebut, sampai disebuah ruangan tamu yang
terbuka.
Sementara hari sudah gelap, namun didalam ruangan tidak
ada penerangan, tampaknya penghuninya memang tidak
berada dirumah.
Bun-hiong berhenti sejenak diluar ruangan dan coba
memandang kedalam. Tertampak pepajangan ruang tamu
yang sangat serasi, perabotannya terbuat dari kayu cendana

wangi. Bagian dalam melintang sebuah meja besar dan
disambung dengan sebuah meja lain yang memanjang keluar.
Kedua samping meja ada enam kursi diseling dengan meja
kecil diantara kursi dan kursi.
Ditengah ruangan tidak terdapat meja pemujaan melainkan
tergantung sebuah lukisan lambang panjang umur dan
dikanan-kiri meja panjang melintang itu terdapat dua vas
bunga. Masih kelihatan segar bunga didalam vas.
Ditengah ruangan terdapat sebuah lampu gantung, lampu
kaca berukir bunga. Meskipun lampu tidak menyala, kacanya
kelihatan cemerlang dan indah.
Bun-hiong tidak berani sembarangan masuk, ia berseru
dengan lantang: “Toh-locianpwe, apakah engkau di rumah ?!”.
Tetap tidak ada suara jawaban.
Bun-hiong ragu sejenak. Kemudian ia melangkah ketengah
ruangan, dilihatnya disebelah kanan ada sebuah pintu tembus,
ia coba melongok keluar pintu, tapi karena hari sudah gelap
sehingga tidak terlihat apapun.
Ia mendekati meja panjang dan mencari geretan api,
dinyalakannya lampu gantung itu.
Setelah lampu menyala, ia coba melongok lagi kebagian
dalam. Sekarang terlihat jelas disitu ada sebuah jalan
samping, yaitu yang menyusur serambi ke belakang.
Kembali ia berteriak lagi dan tetap tidak kelihatan orang
muncul. Segera ia menyusuri serambi, pada kamar serambi
pertama ia coba mengetuk pintunya.
Sekali ketuk, tahu-tahu pintu kamar terbuka sendiri. Didalam

kamar juga tidak ada penerangan, namun lamat-lamat
kelihatan sebuah tempat tidur dengan perabotan yang
sederhana, hanya sebuah meja, kelambu tertutup rapat,
didepan tempat tidur ada sepasang sepatu kain.
Nyata sekali diatas ranjang ada orang tidur.
Hal ini sangat diluar dugaan Bun-hiong, cepat ia menyurut
mundur dan memberi hormat, serunya: “Toh-locianpwe,
apakah engkau disini ?”.
Tidak ada suara ditempat tidur, seperti orang tidur itu sudah
mati.
Sangsi dan heran, Bun-hiong kembali ia berteriak: “Tohlocianpwe,
engkau disitu ?”\
Teap tiada sesuatu reaksi apapun.
Kening Bun-hiong berkernyit, pikirnya, “Sungguh aneh.
Didepan ranjang ada sepatu, jelas ada orangnya. Mengapa
tidak terjaga bangun ?”.
Ia merasakan keganjilan, tapi yang terpikir olehnya adalah
orang ditempat tidur itu mungkin mati mendadak. Maka ia
coba mendekati tempat tidur.
Begitu mendekat, mendadak dirasakan semacam hawa
kematian yang membuatnya merinding.
Mungkinkah Tui-beng-poan-koan Toh Po-sit mendadak mati
sakit ditempat tidur ?
Tidak, tidak mungkin terjadi kebetulan seperti itu!.
Ia tenangkan diri, lalu menyingkap kelambu. Baru saja

tersingkap sedikit, seketika ia menjerit kaget.
Ternyata ditempat tidur menggeletak sesosok jerangkong.
Jerangkong putih yang utuh.
Jerangkong putih ini duduk tegak diatas tempat tidur, sungguh
kaget Bun-hiong tak terkatakan, serentak ia menyurut mundur
dua-tiga tindak.
Waktu melangkah mundur itulah sekonyong-konyong kaki
terasa menginjak tempat kosong, seluruh orangnya terus
kejeblos kebawah.
Pada saat menginjak tempat kosong itu, sekilas benaknya
timbul pikiran telah menginjak papan putar, namun sudah
kasip dan sukar menghindar lagi. Tanpa kuasa ia kejeblos
kedalam sebuah gua yang gelap gulita.
Setelah anjlok enam-tujuh tombak dalamnya, barulah sampai
permukaan tanah.
Kejadian yang mendadak dan diluar dugaan ini membuatnya
kaget dan tidak sempat mengerahkan tenaga sehingga kepala
terbentur dan pusing tujuh keliling, matapun berkunangkunang.
Sampai sekian lama barulah pikiran jernihnya pulih
kembali.
Waktu ia memandang keatas, papan putar tadi sudah merapat
seperti semula dan tiada setitik lubang lagi. Keadaan gelap
gulita, jari sendiripun tidak kelihatan.
Setelah termangu-mangu sejenak barulah ia berdiri pelahan.
Ia coba meraba kedepan, sesudah maju dua-tiga tindak baru
teraba dinding batu yang dingin dan keras. Ia merambat lagi
kekiri, setelah membelok diujung dinding, akhirnya terasa
sebuah pintu beruji besi.

Terali besi sangat kuat, besarnya hampir sebulatan lengan
manusia. Ia pegang dua potong terali besi itu dan
diguncangkan sekuatnya, namun tidak bergeming sama sekali.
Ia tahu terali besi itu sangat kuat dan sukar dijebol oleh
tenaga manusia.
Seketika hati Bun-hiong tertekan, pikirnya, “Wah, celaka!.
Sekali ini aku benar-benar menjadi kura-kura didalam
tempurung orang !”.
Ia coba merambat lagi kekiri terali, kembali teraba dinding
batu, maka tahulah dia bahwa dirinya terkurung didalam
kamar penjara seluas setombak persegi, iapun maklum
bilamana tidak mendapatkan pertolongan dari luar, betapapun
sukar lolos dari penjara maut ini.
Ia cemas dan bingung juga, sukar dimengerti mengapa Tuibeng-
poan-koan Toh Po-sit sengaja memperlakukan dia cara
demikian. Sekarang ia tahu jerangkong yang duduk ditempat
tidur itu hanya semacam perangkap yang sengaja dipasang
Toh Po-sit, bila orang melihat jerangkong secara mendadak,
tentu kaget dan tanpa terasa menyurut mundur, dengan
begitu pasti akan menginjak papan putar dan kejeblos
kebawah.
Tapi ia sudah berulang kali menyatakan siapa dirinya,
mengapa Toh Po-sit masih memperlakukan dia cara demikian?
Apakah mungkin yang memasang perangkap ini bukan Tuibeng-
poan-koan Toh Po-sit .
Karena pikiran ini seketika ia paham duduknya perkara. Tanpa
terasa is bergumam, “Aha betul, tuan rumahnya pasti bukan
Toh-locianpwe, makanya dia tidak gubris teriakanku…”
Lalu teringat olehnya nama yang terpampang dipapan pada

pintu pagar itu, ia terkesiap dan berseru: “Wah, jangan-jangan
tuan rumah disini ialah Kiu-bwe-hou Kongsun Siau-hui ?”.
Tapi bilamana betul tuan rumahnya ialah Kongsun Siau-hui,
apa maksud tujuan Toh Po-sit yang menyuruhnya menyiarkan
berita bohong tentang diculiknya Oh Beng-ai oleh gembong
iblis itu ke Ma-cik-sa sini ?
Tidak perlu disangsikan lagi maksud tujuan Toh Po-sit adalah
untuk memancing dan menawan seseorang, tapi mengapa
perangkapnya diatur ditempat kediaman Kongsun Siau-hui ini
?
Apakah mungkin dia dan Kongsun Sian-hui adalah satu
komplotan ?
Akan tetapi jelas tidak, karena Toh Po-sit dan Kongsun Siauhui
adalah dua jenis manusia yang berbeda, tidak mungkin
mereka bersekongkol untuk menghadapi orang lain.
Jika begitu, sekarang hanya ada sebuah penjelasan, yaitu
maksud tujuan Toh Po-sit bukan untuk menawan seorang
melainkan sengaja memancing seorang untuk mencari
Kongsun Siau-hui dan maksudnya mungkin supaya terjadi
perang tanding antara mereka atau ada maksud lain.
Ia merasa rekaan ini rada masuk di akal, sebab itulah ia mulai
merasakan posisi sendiri sangat berbahaya, sebab kalau tuan
rumahnya betul Kongsun Siau-hui, maka dirinya sudah
menjadi musuh yang telah mengganggunya.
Kongsun Siau-hui adalah tokoh yang terkenal kejam, tentu dia
tak akan bersikap ramah terhadap musuh yang
menyatroninya.
Lantas bagaimana baiknya ?

Baru saja ia berpikir bagaimana baiknya, tiba-tiba dari luar
terali besi sana ada cahaya lampu.
Itu dia, Kiu-bwe-hou Kongsun Siau-hui sudah datang.
Terdengar suara “srak-srek:, suara langkah orang yang
semakin dekat.
Mendadak cahaya lampu terang benderang.
Seketika Bun-hiong merasa bagai menatap cahaya matahari
yang menyilaukan, hampir sukar mata terpentang, sebab
itulah seketika tak jelas siapa pendatang ini.
Terdengar orang itu mengeluarkan suara tertawa terkekeh
aneh yang menusuk perasaan, habis itu berucap sekata demi
sekata; “Hei, siaucu, namamu Pang Bun-hiong ya ?”.
Bun-hiong mengalingi matanya dengan tangan, tanyanya
dengan terkesiap: “Siapakah engkau?”.
“Apakah kamu buta-huruf?”, jawab orang itu dengan terkekeh.
“Oo, jadi engkau benar Kiu-bwe-hou Kongsun Siau-hui ?”,
Bun-hiong menegas.
“Betul,” kata orang itu.
“Wah, sungguh tak tersangka…. “.
“Toh-locianpwe yang kau panggil berulang itu siapa ?”, tanya
Kongsun Siau-hui.
“Mohon engkau menyingkirkan dulu lampumu, boleh ?{“, pinta
Bun-hiong.

Kongsun Siau-hui lantas gantung lampu yang dipegangnya itu
di dinding. Karena itu cahaya lampu lantas bergeser dan
orangnya dapat terlihat jelas sekarang.
Usianya antara 67-69 tahun, perawakannya tinggi kurus,
mukanya terasa dingin dan seram, rambutnya semampir
dipundak dan memakai baju hitam, sekilas pandang serupa
hantu yang mengerikan.
Diam-diam Bun-hiong menarik napas dingin, ia memberi
hormat dan berkata: “Sungguh sangat beruntung dapat
berjumpa dengan tokoh kosen dunia persilatan jaman kini”.
Kongsun Siau-hui tersenyum tak acuh, tanyanya pula: “Coba
jawab, siapakah Toh-locianpwe yang kaupanggil berulangulang
itu ?”.
“Toh Thian-lau namanya “, jawab Bun-hiong.
“Siapa itu Toh Thian-lau ?”, tanya Kongsun Siau-hui pula.
“Seorang tabib terkenal, orang memberi julukan Kui-ih (tabib
setan) padanya, sebab penyakit aneh dan betapa parahnya,
asalkan diberi obat olehnya seketika akan sembuh”.
“Aneh mengapa belum pernah kudengar nama seperti ini ?”,
ujar Kongsun Siau-hui sambil menyeringai.
“Dia bukan tokoh dunia persilatan”, kata Bun-hiong.
“Oo, ia tinggal di Ma-cik-san sini ?”, tanya Kiu-bwe-hou.
“Aku diberitahu orang, katanya dia pindah dan berdiam di Macik-
san, tapi tampaknya aku tertipu, sungguh runyam !”.

Kiu-bwe-hou Kongsun Siau-hui menyeringai, katanya pula:
“Siapa yang bilang padamu bahwa Kui-ih Toh Thian-lau pindah
kesini ?”.
“Hiat-pit-siucai Hui Giok-koan”, kata Bun-hiong.
“O, kiranya dia. Darimana dia tahu aku mengasingkan diri
disini ?”.
“Ia tidak bilang Locianpwe mengasingkan diri disini, ia cuma
bilang Kui-ih Toh Thian-lau pindah dan berdiam disini.
Kongsun Siau-hui mengangguk, tanyanya pula: “Untuk apa
kaucari Toh Thian-lau?”.
“Hendak kuminta tolong agar dia mengobati penyakit istri
sahabatku”, tutur Bun-hiong.
“Siapakah sahabatmu itu?”, kembali Kongsun Siau-hui
bertanya.
“Liong It-hiong”, jawab Bun-hiong.
“Istrinya menderita sakit apa ?”.
“Sakit cemburu !”.
Kiu-bwe-hou Kongsun Siau-hui tertawa: “Hah, dia singa betina
yang sok cemburu !”.
“Ya, asalkan sahabatku itu memandang sekejab perempuan
lain, seketika istrinya ribut tidak berhenti”, tutur Bun-hiong.
“Pernah satu kali sahabatku mengadakan pesta perjamuan
untuk menghormati kawan, pesta dimeriahkan dengan musik
dan nyanyi. Tapi istrinya membawa pentung dan mengobrakabrik
pesta itu, bahkan memukul mati penyanyinya.

“Karena tidak tahan gangguan istri yang cemburu itu,
sahabatku minta nasehat padaku. Kutahu Kui-ih Toh Thian-lau
mempunyai obat mujarab yang dapat menyembuhkan
perempuan cemburu, maka sengaja aku datang kemari
mencarinya. Siapa tahu keterangan Hui Giok-koan ternyata
tidak benar sehingga perjalananku ini cuma sia-sia belaka”.
“Tapi perjalananmu ini tidaklah sia-sia, sebab akupun mahir
mengobati penyakit cemburu”, ujar Kiu-bwe-hoa dengan
tertawa.
“Hah, apa betul ?”, Bun-hiong menegas dengan berlagak
girang.
“Tentu saja betul”, kata Kiu-bwe-hou. “Ada beberapa resepku
yang cespleng untuk menyembuhkan penyakit cemburu”.
“Wah bagus sekali”, seru Bun-hiong bersemangat. “Dapatkan
Locianpwe memberikan padaku resep mujarab itu ?”.
“Boleh. Nah, silahkan dengarkan dengan cermat…”, lebih dulu
Kongsun Siau-hui berdehem untuk membersihkan
kerongkongan, lalu menyambung: “Pertama, sup daging
merpati, dimakan si perempuan tiap tengah malam, maka rasa
cemburunya akan hilang. Kedua bungkus katak buduk dengan
kain bekas datang bulan si perempuan dan ditanam didepan
kamar, maka rasa cemburunya akan lenyap atau…..”.
Bun-hiong berlagak mengingat baik-baik beberapa resep yang
diuraikan orang, katanya: “Wah, beberapa resep Locianpwe
itu tampaknya sangat mujarab, cuman agak sulit
dilaksanakan…”
“Bila beberapa resep ini tidak manjur, masih ada satu resepku
yang kutanggung cespleng seratus prosen”, kata Kiu-bwe-hou

dengan tertawa.
“Apa resepnya ?”, tanya Bun-hiong.
“Resep ini namanya potong dan habis perkara”, tutur Kiu-bwehou.
“Caranya adalah dengan membawa sebilah golok, pada
waktu si perempuan lagi tidur nyenyak, sekali bacok penggal
kepalanya dan rasa cemburunya lantas hilang sama sekali”.
“Ha ha ha”, Bun-hiong tergelak. “Meski resep terakhir ini
sangat manjur, cuman obatnya terlampau keras, kukira tidak
cocok digunakan”.
“Ya, maka lebih baik menggunakan resep yang kukatakan
tadi”, ujar Kiu-bwe-hou.
“Terima kasih atas petunjuk Locianpwe, tentu akan
kusampaikan resepmu tadi kepada sahabatku biar
dicobanya…”
“Cuma saya, mungkin sahabatmu itu tidak sempat lagi
menyembuhkan penyakit cemburu istrinya”, tukas Kiu-bwehou.
“Kenapa bisa begitu ?” Bun-hiong melengak.
“Coba jawab, apa yang tertulis dipapan pintu tadi sudah
kaubaca tidak ?”.
“Ya, kubaca”, Bun-hiong mengangguk. “Cuma…”
“Jika begitu biar kukatakan padamu”, potong Kiu-bwe-hou
dengan tertawa: “Barang siapa berani sembarangan
menerobos masuk kesini tanpa izinku, semuanya harus mati
disini”.

Habis berkata ia tanggalkan lentera tadi dan hendak
melangkah pergi.
“Nanti dulu, Locianpwe”, seru Bun-hiong.
“Kau mau bicara apa lagi ?”, tanya Kiu-bwe-hou dengan
tertawa.
“Peraturan Locianpwe itu terasa agak terlampau keras,
seharusnya diperlonggar sedikit”, ujar Bun-hiong.
Kiu-bwe-hou meraba janggutnya, katanya perlahan: “Dengan
sendirinya dapat kuperlonggar sedikit, cuma hal itu harus
tunggu sampai kamu mau bicara terus-terang siapa itu Tohlocianpwe
yang kau sebut-sebut itu dan maksud tujuan
kedatanganmu kesini”.
Sampai disini ia terus melangkah pergi.
Cahaya lampu dari terang berubah menjadi guram dan
akhirnya lenyap.
Kembali Bun-hiong terkurung dikamar penjara yang gelap
gulita. Dengan lesu ia duduk dikaki dinding dan bergumam,
“Tua bangka ini sungguh tidak malu sebagai seekor rase tua,
tampaknya aku sudah ditakdirkan akan mati disini…”
Ia tahu hanya ada satu jalan mungkin dapat terhindar dari
kematian, yaitu tunduk kepada kehendak Kiu-bwe-hou dan
bicara terus terang segalanya tentang maksud kedatangannya
adalah ingin mencari Tui-beng-poan-koan Toh Po-sit, sebab
atas perintah Toh Po-sit dirinya menyiarkan desas-desus
tentang diculiknya adik perempuan Eng-jiau-ong Oh Kiam-lam
oleh Kiu-bwe-hou Kongsun Siau-hui…
Tapi mana boleh dia mengaku terus terang ?

Jika ia bicara terus terang, apakah bukan berarti
menggagalkan rencana Toh Po-sit ?.
Padahal dengan susah payah barulah Toh Po-sit berhasil
mengatur rencana ini, mana boleh dirinya merusaknya ?
Tidak boleh!. Mutlak tidak boleh bicara terus terang.
Begitulah ia lantas berdiri dengan bersemangat, ia mendongak
keatas, pikirnya, “Mungkin dapat keluar melalu atas sana.
Biarlah coba kupanjat keatas”.
Begitu ambil keputusan, segera ia gunakan ilmu cecak
merayap dan merambat keatas.
Kira-kira enam-tujuh tombak tingginya, sebelah tangannya
sudah dapat meraba papan putas diatas. Dengan jari tangan
kiri ia cengkeram celah dinding untuk menahan tubuhnya,
lalau dengan tangan kanan ia pukul papan putar dibagian
atas.
Tenaga pukulannya tidak lemah, papa kayu setebal beberapa
senti saja dapat dihantamnya hancur, tapi sekarang ia sudah
memukul sekuatnya beberapa kali, dirasakan papan putar itu
sekeras batu, sedikitpun tidak bergeming.
Kenapa bisa begitu?. Jangan-jangan papan putar itu terbuat
dari besi ?
Ia coba menggores papan itu dengan kuku, ternyata benar
papan putar itu memang terbuat dari besi. Hal ini membuat
semangatnya gembos, segera ia kendurkan cengkeraman jari
kiri dan merosot turun kebawah.
Sekarang ia merasa hanya ada satu jalan saja baginya, yaitu

menunggu ajal. Ia duduk dikaki dinding lagi dengan lesu.
Diam-diam ia sesalkan nasib sendiri yang jelek sehingga
kebentur Kiu-bwe-hou Kongsun Siau-hui yang sialan ini.
Kemudian teringat juga akan Coa-kat-bijin alias Kiau-kiau,
mendadak terbangkit semangatnya. Pikirnya, “Aha, betul tidak
lama lagi iapun akan kemari, bisa jadi dia memang dapat
menjatuhkan Kongsun Siau-hui dengan pikatan kecantikannya.
Bila betul demikian ada harapan bagiku untuk hidup”.
Pada saat sedang berpikir itulah, tiba-tiba dari atas
berkumandang suara orang memanggil perlahan: “ Kongsun
Siau-hui…. Kongsun Siau-hui…”.
Jelas itulah suara orang perempuan.
Bun-hiong sangat girang, serentak ia berdiri, pikirnya: “Itu dia,
memang betul dia sudah datang!”.
“Kongsun Siau-hui…. Kongsun Siau-hui… engkau dimana ?”,
terdengar suara Kiau-kiau sedang memanggil, agaknya dia
sudah memasuki ruangan besar itu sehingga suaranya
terdengar jelas.
Tiba-tiba Bun-hiong mendapatkan pikiran lain untuk cepat
meloloskan diri, segera ia merayap lagi keatas dan menunggu
kesempatan.
Cara meloloskan diri yang terpikir oleh Bun-hiong adalah kalau
Kongsun Siau-hui tidak muncul untuk bertemu dengan Kiaukiau,
tentu sebentar lagi sangat mungkin Kiau-kiau akan
mengikuti caranya tadi, membuka kelambu dan kaget, lalu
kejeblos kebawah.
Jika terjadi demikian, maka pada saat Kiau-kiau kejeblos dan
papan putar terbalik, peluang itu akan digunakannya untuk

menerobos keluar.
Sebab itulah pada waktu ia merambat sampai di ujung dinding
segera ia kumpulkan tenaga pada kedua kakinya dan
menunggu datangnya kesempatan baik.
“Hei, Kongsun Siau-hui, engkau ada disini atau tidak ?”,
terdengar suara Kiau-kiau sudah berada didalam kamar atas.
Bun-hiong mendengarkan dengan cermat, terdengar suara
kaki Kiau-kiau berhenti didepan tempat tidur. Tanpa terasa
hati Bun-hiong ikut berdebar.
Ia tahu bila pada saat itu dirinya bersuara memperingatkan,
Kiau-kiau diatas pasti dapat terhindar dari bahaya kejeblos.
Tapi ia tidak mau berbuat demikian, sebab ia tahu Kiau-kiau
adalah perempuan yang tidak dapat dipercaya. Pada waktu ia
tidak sanggup melawan Kiu-bwe-hou, yang dipikirnya tentu
cuma menyelamatkan diri sendiri dan pasti tidak mau
menyerempet bahaya menolongnya. Sebab itulah ia
mengambil keputusan akan meloloskan diri lebih dulu,
kemudian baru berdaya menolong perempuan itu dari
ancaman bahaya.
“Kongsun Siau-hui, kaukah disitu?” terdengar suara Kiau-kiau
memanggil pula, suaranya dekat tempat tidur. Nyata ia
mengira ada orang tidur disitu.
“Hm, apakah engkau terlanjur mampus dalam tidurmu ?”,
omel Kiau-kiau, berbareng itu agaknya ia lantas menyingkap
kelambu dan tentu juga lantas melihat jerangkong ditempat
tidur.
Serentak terdengar jeritan melengking, menyusul papan besi
lantas ambles kebawah. Kiau-kiau benar-benar kejeblos
kedalam kamar penjara itu.

Tapi ketika Bun-hiong bermaksud menggunakan peluang itu
untuk melompat keluar, mendadak terdengar suara “blang”
yang keras, papan besi yang ambles kebawah itu tahu-tahu
sudah merapat kembali.
Keruan Bun-hiong melenggong.
Kiranya papan jebakan itu berbeda dari papan putar
umumnya. Pada papan putar biasa, bagian tengah tentu diberi
bersumbu. Jika setengah bagian ambles kebawah, sebagian
lagi lantas menjengkit keatas dan maksud Bun-hiong akan
melompat keluar melalui lubang papan yang menjengat itu.
Namun papan jebakan ini ternyata tidak begitu buatannya.
Papan ini ambles seluruhnya kebawah, sehingga pada
hakikatnya tidak ada peluang bagi orang untuk melayang
keluar.
“Aduh!”, terdengar Kiau-kiau menjerit kesakitan karena jatuh
terbanting.
Bun-hiong tercengang sejenak, akhirnya ia menegur dengan
tersenyum kecut: “Apakah kamu terluka ?”.
Karena kejeblok kedalam ruangan yang gelap gulita,
memangnya hati Kiau-kiau lagi cemas, kini mendadak
terdengar ada orang bersuara menegur dari atas, keruan ia
tambah kaget setengah mati, jeritnya takut: “Hei, siapa itu ?
Siapa ?”.
“Aku, bekas pacarmu !”, jawab Bun-hiong dengan tertawa.
Lalu ia melompat turun lagi kebawah.
Karena tidak dapat melihat jelas, Kiau-kiau menyurut mundur
ketakutan, serunya: “Sia… siapa kau ?”.

“Pacar yang kemarin baru saja kau enyahkan dari Thay-ihkhek-
can itu!”, jawab Bun-hiong dengan tertawa.
“Oo….” Kiau-kiau bersuara lega, tapijuga tidak kurang kejut
dan sangsinya: “Ken… kenapa engkau juga berada disini ?”.
“Sebenarnya hendak kujadi pelopor bagimu”, tutur Bun-hiong:
“Tak terduga begitu sampai disini lantas masuk perangkap”.
Lalu ia mendekati Kiau-kiau dan berbisik padanya: “Sebentar
bila Kiu-bwe-hou Kongsun Siau-hui muncul, jangan sekalisekali
kau ceritakan maksud kedatanganmu, paham tidak ?”.
“Sebab apa ?” tanya Kiau-kiau dengan melenggong.
Bun-hiong berbisik pula ditepi telinga orang: “Sekarang kita
sudah tertawan olehnya, jika engkau bicara terus terang
hendak menolong Oh Beng-ai, tentu dia akan memperlakukan
kita sebagai musuh”.
“Lantas bagaimana ?”, tanya Kiau-kiau pula.
“Bagaimana ?”, Bun-hiong mengulang dengan mendongkol:
“Hm, bisa jadi jiwamu akan amblas”.
Kiau-kiau meraba bagian pinggang yang kesakitan, katanya:
“Engkau juga terjeblos dari atas sana ?”.
“Ya “, jawab Bun-hiong: “Sebenarnya aku cukup hati-hati
sejak datang kesini, tapi mendadak aku lihat jerangkong yang
menakutkan itu, karena gugup aku jadi lengah dan terjeblos
kesini”.
“Ya, jerangkong itu memang menakutkan”, ucap Kiau-kiau:
“Entah mengapa Kongsun Siau-hui menggunakan jerangkong

untuk menakuti orang”.
“Aku sendiri tidak tahu mengapa”, ujar Bun-hiong.
“Sudah kaulihat dia atau belum ?”, tanya Kiau-kiau.
“Sudah”, jawab Bun-hiong.
“Bagaimana bentuknya ?”.
“Sangat gagah dan ganteng”.
“Apa betul ?”.
“Kenapa kauperhatikan bagaimana bentuknya ?”, tanya Bunhiong
dengan tertawa.
“Ini sangat penting”, ujar Kiau-kiau. “Jika dia seorang tua
yang sudah ompong, tentu tidak menguntungkan bagiku. Kau
tahu, terhadap urusan begituan hampir semua orang tua
cuman keinginan ada, tapi tenaga tidak cukup”.
“Hm, banyak juga yang kau pikirkan”, jengek Bun-hiong.
“Urusan ini adalah modal andalanku”, kata Kiau-kiau dengan
tertawa. “Dengan wajah dan tubuhku yang memmikat ini, apa
yang kulakukan selalu berhasil. Maka sekali ini akupun
berharap dapat menyelamatkan diri berdasarkan modalku ini”.
“Semoga dia terpikat olehmu, supaya akupun dapat ikut
membonceng dan lolos dari sini”, kata Bun-hiong.
“Eh, apakah dia tidak tanya untuk apa engkau datang kesini
?”, tanya Kiau-kiau.
“Ada, kubilang kedatanganku ini ingin mencari Kui-ih Toh

Thian-lau, namun dia tidak percaya”.
“Lalu cara bagaimana dia memperlakukan dirimu ?”.
“Ia bilang aku akan mati didalam kamar penjara ini.
Tampaknya dia bermaksud membuatku mati kelaparan disini”.
“Dan engkau berpikir bagaimana?”, tanya Kiau-kiau.
Bun-hiong menyengir: “Tentu saja kuingin lari keluar dari sini,
asalkan ada kesempatan…”.
Kiau-kiau memandang sekitar situ, katanya dengan bimbang:
“Tempat macam apakah ini ?”.
“Sebuah kamar tahanan seluas setombak, tiga sisinya dinding
batu, satu sisi terbuat dari terali besi”, tutur Bun-hiong.
Terali besinya berada disisi mana ?” tanya Kiau-kiau.
Bun-hiong menariknya kedepan terali besi, katanya dengan
tertawa: “Coba kaupegang sendiri, cukup besar juga !”.
Setelah meraba terali besi, Kiau-kiau berucap dengan
terkesiap: “Wah, tampaknya sangat kuat… “
“Ya, pernah kucoba mengguncangnya, rasanya serupa
kecapung hendak menggoyangkan pilar”, ujar Bun-hiong.
Kiau-kiau coba meraba-raba bagian luar terali besi, katanya
kemudian: “Diluar ini apakah lorong dibawah tanah ?
“Ya”, jawab Bun-hiong.
Waktu Kiau-kiau meraba-raba lagi, tiba-tiba dirasakan
tangannya menyentuh tubuh seseorang, keruan ia kaget dan

cepat menarik kembali tangannya sambil menyurut mundur
dan berteriak: “Wah, ada setan!”.
Ebook oleh : Dewi KZ
Scan book oleh : BBSC
Jilid 16
“Hah, ada setan?” Bun-hiong melengak.
“Betul, baru saja kena kupegang,” kata Kiau-kiau dengan
takut.
Secara cerdik Bun-hiong menyurut mundur dua tindak, lalu
berseru, “Kiu-bwe-hou, kenapa lampu tidak kau nyalakan?”
“Cret”, terdengar suara ketikan api, segera cahaya terang
menerangi keadaan situ.
Ternyata benar, Kiu-bwe-hou Kongsun Siau-hui berdiri di luar
terali besi.
Nyata orang ini serupa hantu saja yang pergi-datang tanpa
bersuara.
Melihat tampang orang, ngeri Kiau-kiau, serunya, “Oo, Thian,
alangkah buruk mukamu?!”
Setelah menyalakan lampu, Kiu-bwe-hou Kongsun Siau-hui
lantas menyeringai sehingga kelihatan barisan giginya yang
putih, ia tertawa terkekeh-kekeh dan berkata, “Meski buruk
rupa, tapi pasti bukan seorang kakek loyo yang nafsu besar
tenaga kurang!”
Muka Kiau-kiau tampak pucat, “Wah, tak tersangka usiamu
sudah selanjut ini, apakah benar engkau ini Kiu-bwe-hou

Kongsun Siau-hui?”
Kiu-bwe-hou tersenyum, ucapnya perlahan, “Berhadapan
dengan nona cantik serupa dirimu, sungguh aku berharap
diriku ini bukan Kiu-bwe-hou.”
Mendadak Kiau-kiau tertawa menggiurkan, katanya, “Cuma,
setelah dipandang lagi, wajahmu juga tidak terlalu buruk.
Asalkan rambutmu disisir rapi, kuyakin pasti akan sedap
dipandang.”
Kiu-bwe-hou mengangguk dengan tertawa, “Baik, aku
bersedia mencobanya menurut saranmu. Sekarang apakah
boleh beri tahukan namamu kepadaku?”
“Hamba she Loan bernama Kiau-kiau.”
“Haha, Loan Kiau-kiau, indah dan sedap didengar namamu
ini....” Kiu-bwe-hou tertawa senang.
“Terima kasih atas pujianmu,” ujar Kiau-kiau sambil memberi
hormat.
Kiu-bwe-hou menuding Pang Bun-hiong, tanyanya dengan
tertawa, “Ada hubungan apa antara dia denganmu?”
“Tidak ada hubungan apa-apa, cuma kenalan biasa saja,”
jawab Kiau-kiau.
Tertawa Kiu-bwe-hou mulai lenyap, tanyanya, “Lalu, untuk
apa kedatanganmu ini?”
“Kudatang mencari seorang....”
Seketika Bun-hiong merasa tegang, cepat ia menukas, “Sudah
berulang kuperingatkan padamu agar jangan ikut kemari, tapi

kau tidak menurut dan tetap menyusul ke sini, sungguh
runyam.”
Tak terduga Loan Kiau-kiau lantas mencibir padanya dan
menjawab, “Ala, jangan sok, memangnya kedatanganku ini
hendak mencari dirimu?”
Keruan Bun-hiong melengak, katanya dengan mendongkol,
“Baik, tampaknya kau sudah bosan hidup.”
Kiau-kiau tidak gubris padanya, ia pandang Kiu-bwe-hou,
ucapnya dengan tertawa genit, “Coba kau terka kudatang
kemari untuk mencari siapa?”
“Mencari diriku?” Kiu-bwe-hou menegas.
“Hah, tepat!” seru Kiau-kiau.
Kiu-bwe-hou tertawa, “Oo, barangkali kau sengaja melamar
menjadi teman tidurku?”
“Ai, kuharap janganlah engkau pakai kata-kata tidak enak
begini,” ujar si nona dengan lagak malu-malu. “Paling-paling
cuma di mulut saja hamba suka bicara agak lepas, tapi
sesungguhnya aku ini orang perempuan yang baik-baik.”
Kiu-bwe-hou bergelak tertawa, lalu bertanya, “Lantas, ada
urusan apa kau cari diriku?”
“Aku ingin mengangkat guru padamu,” jawab Kiau-kiau.
Seketika suara tertawa Kiu-bwe-hou lenyap dan berganti
dengan wajah yang tercengang, ia menegas, “Apa katamu?
Kau ingin mengangkat guru padaku?”
“Betul,” Kiau-kiau mengangguk. “Kudengar engkau ini tokoh

dunia persilatan kelas top yang jarang ada bandingannya,
maka berharap dapat mengangkat dirimu sebagai guru untuk
belajar kungfu sakti.”
“Oo, kiranya begitu....” Kiu-bwe-hou tertawa senang.
Segera Loan Kiau-kiau memohon lagi, “Apakah engkau sudi
menerimaku sebagai murid?”
Dengan tertawa Kiu-bwe-hou menjawab, “Ehm, lumayan
dapat menerima nona secantik dirimu sebagai murid....”
Terbeliak mata Loan Kiau-kiau, serunya dengan girang, “Jadi
engkau sudi?”
Kiu-bwe-hou merogoh saku, entah hendak mengambil barang
apa, katanya sembari tersenyum, “Asalkan cocok syaratnya,
tentu saja dapat kuterima.”
Habis berkata, mendadak ia lemparkan sesuatu ke dalam
kamar tahanan.
“Blang”, terdengar letusan yang tidak terlampau keras, seluruh
kamar tahanan itu lantas penuh asap kuning tebal dengan bau
yang menusuk hidung....
*****
Entah sudah berselang berapa lama, waktu Loan Kiau-kiau
siuman, ia merasakan dirinya berbaring di suatu tempat tidur
yang terletak di ruangan bawah tanah yang sangat luas.
Sebabnya dia sekali pandang lantas tahu berada di ruang
bawah tanah adalah karena sekeliling ruangan adalah dinding
batu belaka, tiada sebuah jendela atau lubang hawa.

Namun ruang bawah tanah ini terpajang sangat indah dan
teratur dengan istimewa, tampaknya serupa kamar tidur, juga
serupa ruang tamu, segala macam perabotan tersedia
lengkap, minta apa pun dapat didapatkan di situ.
Kiau-kiau sangat heran, perlahan ia merangkak bangun dan
duduk.
Pada saat itulah, bagian tengah ruang bawah tanah ini,
tempat yang terpajang serupa kamar tamu itu, sebuah kursi
dengan sandaran tinggi mendadak berputar. Maka terlihatlah
Kiu-bwe-hou Kongsun Siau-hui duduk tenang di kursi itu,
dengan senyum misterius ia menegur, “Kau sudah mendusin?”
Sampai sekian lama Loan Kiau-kiau melenggong, akhirnya ia
tanya, “Cara bagaimana engkau membawaku ke sini?”
Kiu-bwe-hou meraba jenggotnya dan menjawab dengan
tertawa, “Tempat ini bukankah jauh lebih baik daripada kamar
tahanan itu?”
Kiau-kiau coba mengamat-amati sekitar ruangan, lalu tanya
dengan sangsi, “Apakah tempat inikah kamar tidurmu?”
“Ehm,” Kiu-bwe-hou mengangguk.
“Ada apa engkau membawaku ke sini?” tanya Kiau-kiau.
“Tadi kau bilang ingin mengangkat guru padaku, makanya
sekarang hendak kubicarakan syarat-syaratnya denganmu....”
“Asalkan engkau sudi menerimaku sebagai murid, syarat apa
pun akan kupenuhi,” ujar Kiau-kiau dengan tersenyum manis.
“Bagus jika begitu,” kata Kiu-bwe-hou. “Nah, boleh kita mulai
bicara lagi dari awal.... Siapa namamu?”

“Hamba bernama Loan Kiau-kiau.”
“Apa hubunganmu dengan Pang Bun-hiong?”
“Tidak ada hubungan apa-apa, hanya kenalan biasa saja, kami
berkumpul beberapa hari, lain tidak.”
“Jika begitu, jelas kau bukanlah perempuan baik-baik. Sudah
pernah bersuami tidak?” tanya Kiu-bwe-hou.
“Tidak pernah, hanya pernah hidup bersama sekian lama
saja.”
“Siapa lelaki yang tinggal bersamamu itu?”
“Dia sudah mati, kukira tidak perlu mengungkatnya lagi.”
“Tidak, justru aku ingin tahu siapa dia?”
“Dia... dia... namanya....” Kiau-kiau sengaja berlagak
gelagapan.
Tiba-tiba Kiu-bwe-hou terkekeh-kekeh aneh, katanya,
“Sebaiknya kau jangan bohong, sebab Pang Bun-hiong sudah
mengaku seluruhnya.”
Kiau-kiau melenggong, “Oo, dia sudah mengaku seluruhnya?”
“Ya,” Kiu-bwe-hou mengangguk. “Dia sangat bodoh, dia
ngotot terus, setelah kupotong sebelah kakinya baru mau
mengaku terus terang.”
Muka Kiau-kiau menjadi pucat demi mendengar sebelah kaki
Bun-hiong terkutung, katanya, “Wah, jika dia sudah mengaku
sebenarnya, betapa pun hamba juga tidak berani dusta lagi.

Lelaki yang pernah hidup bersamaku dahulu itu, dia... dia
adalah musuhmu, ialah Eng-jiau-ong Oh Kiam-lam.”
“Oo, memang pernah kudengar dia mempunyai simpanan
wanita cantik, kiranya yang dimaksud ialah dirimu,” kata Kiubwe-
hou dengan tertawa.
“Tapi hamba tidak suka padanya,” cepat Kiau-kiau menukas.
“Dia pelit dan pemberang, hidup bersama dia sungguh tidak
enak.”
“Hm, jangan bohong,” jengek Kiu-bwe-hou. “Perangai Oh
Kiam-lam pemberang memang tidak salah, orangnya pelit juga
betul. Tapi setahuku, terhadap orang perempuan dia sangat
royal.”
“Sungguh, dia tidak begitu baik padaku,” ujar Kiau-kiau.
“Setiap bulan dia hanya memberi uang belanja seratus tahil
perak padaku dan tidak pernah lebih sepeser pun. Sebab
itulah, begitu dia mati hamba lantas tak sanggup hidup lagi.”
“Selama ini kau tinggal di mana?” tanya Kiu-bwe-hou.
“Di Hoay-giok-san.”
“Cara bagaimana pula kau berkenalan dengan Pang Bunhiong?”
“Ia bilang melihat engkau membawa lari adik perempuan Oh
Kiam-lam, yaitu Oh Beng-ay, lalu dia menyiarkan berita
tersebut dan dapat kudengar lalu kuminta dia membawaku ke
sini....”
“Untuk apa?” tanya Kiu-bwe-hou.
“Hamba ingin bertemu dengan Nona Oh dan minta beberapa

duit padanya, sebab harta peninggalan Oh Kiam-lam sangat
mungkin jatuh padanya, sedangkan masa remajaku telah
kukorbankan di tangan Oh Kiam-lam, kan berhak minta sedikit
uang pensiun padanya.”
“Oo, kiranya begitu....” Kiu-bwe-hou mengangguk-angguk
dengan tertawa.
“Apakah boleh dia kutemui?” tanya Kiau-kiau.
Kiu-bwe-hou menggeleng kepala.
“Sebab apa?”
“Sebab aku tidak pernah menculik Nona Oh, sudah tujuh
tahun aku mengasingkan diri di Ma-cik-san ini dan selama itu
tidak pernah meninggalkan tempat ini selangkah pun.”
“Apa betul?” Kiau-kiau melengak.
“Jiwamu berada dalam cengkeramanku, apakah perlu kudusta
padamu?” ujar Kiu-bwe-hou dengan tersenyum.
Kiau-kiau tampak sangsi, ucapnya, “Tapi Pang Bun-hiong
bilang dia menyaksikan sendiri engkau mengunjungi rumah
pelesiran Liu-jun-ih dan membawa lari Giok-nio, yaitu Oh
Beng-ay.”
“Dia sengaja membikin desas-desus demikian, tentu ada
maksud tujuannya, biar sebentar kutanyai dia,” jengek Kiubwe-
hou.
“Sialan,” omel Kiau-kiau. “Dia bercerita seperti terjadi
sungguhan, kiranya bohong belaka. Ayo biar kita tanyai dia
sejelasnya.”

“Tentu akan kutanya padanya,” kata Kiu-bwe-hou. “Sekarang
boleh kita bicara suatu urusan lain. Kecuali dirimu, apakah Oh
Kiam-lam masih mempunyai simpanan lain?”
“Tidak ada,” jawab Kiau-kiau.
“Berdasarkan apa kau berani memastikan tidak ada?”
“Sebab dia memimpin 72 sarang bandit, setiap hari sibuk
bukan main, mana ada waktu luang terlalu banyak untuk main
perempuan?”
Kiu-bwe-hou mengangguk-angguk, “Ya, memang betul. Jika
begitu, tentu kau tahu siapa saja yang merupakan sahabat
baiknya?”
“Tidak tahu,” jawab Kiau-kiau. “Agaknya dia tidak mempunyai
sahabat karib, sebab dia suka curiga dan tidak memercayai
siapa pun.”
Kiu-bwe-hou memandangnya sejenak dengan tatapan tajam,
tiba-tiba ia tersenyum dan berkata, “Apakah benar-benar kau
ingin mengangkat guru padaku?”
“Benar,” jawab Kiau-kiau. “Perempuan seperti hamba ini kan
perlu seorang yang dapat dijadikan sandaran.”
“Baik, dapat kuterima dirimu, cuma di antara kita tidak cuma
guru dan murid saja, tapi juga dapat menjadi suami istri.
Bagaimana pendapatmu?”
Kiau-kiau menunduk malu, ucapnya dengan tersenyum,
“Asalkan engkau sudi, hamba sih menurut saja.”
Kiu-bwe-hou meraba dagu Kiau-kiau, katanya, “Wajahmu
sangat cantik, tapi entah bagaimana perawakanmu?”

“Aii, engkau ini....” gerutu Kiau-kiau dengan tertawa genit.
“Bila kau mau buka baju dan coba perlihatkan tubuhmu
kepadaku, segera akan kuterima permintaanmu,” kata Kiubwe-
hou.
“Ini... ini....” muka Kiau-kiau berubah merah.
“Justru inilah salah satu syaratku!”
“Kan waktu masih panjang, kenapa engkau terburu-buru?”
“Soalnya ingin kulihat apakah ada cacat pada tubuhmu,
apabila ada cacat, terus terang aku tidak mau.”
“Untuk ini tidak perlu engkau khawatir,” ujar Kiau-kiau. “Bila
tubuhku ada cacat, tidak nanti Oh Kiam-lam menerima diriku.”
“Tapi aku harus melihatnya sendiri baru mau percaya,” kata
Kiu-bwe-hou.
Kiau-kiau ragu sebentar, mendadak ia tertawa cerah, katanya,
“Baik, jika engkau ingin lihat bolehlah kau lihat sesukamu.”
Segera ia menjulurkan kaki ke bawah tempat tidur, ia berdiri
dan benarlah segera ia mulai membuka ikat pinggang dan
menanggalkan baju.
Hanya sekejap saja ia sudah telanjang bulat tanpa sehelai
benang pun.
Meski dia sudah seorang perempuan yang “mulus di luar dan
bobrok di dalam”, namun perawakannya memang benar indah
tanpa cela, malahan ia terus bergaya dan dapat membuat
orang lupa daratan.

Ia tidak malu, sebab ia memang sudah biasa telanjang bulat di
depan kaum lelaki. Sekarang demi untuk memikat hati Kiubwe-
hou, ia sengaja beraksi dengan macam-macam gerakan
menggiurkan.
Namun Kiu-bwe-hou ternyata tidak terpikat oleh tubuhnya
yang penuh daya tarik itu, ia cuma menikmatinya dengan
duduk tenang. Selang sekian lama barulah ia berdiri, lalu
mendekati tempat tidur, baju Kiau-kiau yang ditanggalkan
semua itu diambilnya.
Mata Kiau-kiau terbelalak lebar, tanyanya dengan
melenggong, “Untuk apa engkau mengambil pakaianku?”
“Nona cantik seperti dirimu ini sungguh tidak perlu pakai
baju,” ucap Kiu-bwe-hou dengan tertawa. “Harus kau
pertunjukkan di mana bagian keunggulanmu....”
Sembari bicara, baju Kiau-kiau terus dirobeknya sepotong
demi sepotong.
Keruan Kiau-kiau terkejut, serunya, “Hei, hamba tidak
membawa baju serep, jika bajuku kau robek semuanya, lalu
hamba pakai apa?”
“Kau tidak perlu pakai apa-apa,” jawab Kiu-bwe-hou sambil
melemparkan potongan baju terakhir yang dirobeknya. “Kan di
sini tak ada orang lain lagi.”
Ia terus melangkah ke depan pintu satu-satunya di ruangan
bawah tanah ini, lalu menoleh dan menyambung lagi, “Di
dalam kamar ini, tersedia ransum yang cukup kau gunakan
selama dua bulan, maka sementara ini boleh kau tinggal saja
di kamar ini.”

Habis berkata ia terus melangkah keluar. “Blang”, pintu lantas
anjlok dari atas begitu dia berada di luar ruangan.
*****
Di lain pihak, ketika Pang Bun-hiong siuman, ia merasa dirinya
berbaring di tepi sebuah danau.
Semula ia mengira dirinya sedang mimpi, ketika angin malam
mengusap mukanya dan terasa agak dingin barulah ia tahu
bukan lagi mimpi. Cepat ia bangun duduk dan terkesiap, “He,
mengapa aku berada di sini?”
Teringat olehnya semula dirinya terkurung di ruangan bawah
tanah, kemudian Kiu-bwe-hou melemparkan sesuatu benda
dan segera dirinya tak sadarkan diri. Mengapa sekarang bisa
berbaring di tepi danau?
Jangan-jangan ada orang menolongnya keluar? Tapi di
manakah tuan penolong itu?
Ia coba berpaling dan memandang sekitarnya, suasana
kelihatan sunyi senyap tiada terlihat bayangan seorang pun. Ia
terheran-heran, gumamnya, “Sesungguhnya apakah yang
terjadi?”
Ia menengadah, memandang langit, bulan sudah tidak
kelihatan, rasanya tidak lama lagi fajar akan tiba.
Ia berdiri dan memandang lagi ke depan, terlihat tanah datar
membentang ke depan, tidak terlihat lagi bayangan
pegunungan, maka tahulah dia ada orang menolongnya
meninggalkan Ma-cik-san serta ditinggalkan di tepi danau.
Ia garuk-garuk kepala, lalu bergumam pula, “Sungguh lucu,
ternyata ada orang menolongku keluar, tapi mengapa dia

tidak tinggal di sini untuk bertemu denganku?”
Tiba-tiba terpikir olehnya mungkin “tuan penolong” itu
meninggalkan sesuatu tulisan, maka ia coba mencari sekitar
tempat dia berbaring tadi.
Segera pula ia lantas merogoh saku sendiri, benarlah
ditemukan secarik kertas, segera ia membentang kertas itu
dan dibaca, ternyata ada tulisan singkat di situ, bunyinya:
“Mengingat kau telah mengantarkan seorang perempuan
cantik kepadaku, biarlah sekali ini kuampuni jiwamu. Tapi
kalau berani menginjak Ma-cik-san lagi, pasti akan kucabut
nyawamu.”
Kiranya “tuan penolong” ini bukan lain dari Kiu-bwe-hou
Kongsun Siau-hui.
Hal ini sangat di luar dugaan Bun-hiong, sama sekali tak
terpikir olehnya Kongsun Siau-hui dapat melepaskan dia
begitu saja.
Ia menggeleng kepala dan menyengir, gumamnya, “Jelas dia
tahu kepergianku ke Ma-cik-san bukan untuk mencari Kui-ih
To Thian-lau apa segala, mengapa dia lepaskan diriku begitu
saja tanpa tanya sesuatu keterangan? Ah, ya, pasti Loan Kiaukiau
telah menceritakan semua kepadanya. Tapi sengaja dia
tidak menaruh perhatian terhadap cara Tui-beng-poan-koan
To Po-sit mengalihkan bencana kepada orang lain, malahan
mau melepaskan diriku, jangan-jangan....”
Ia seperti memahami sesuatu, tiba-tiba ia merasa ngeri,
pikirnya, “Wah, celaka! Tentu dia bersembunyi di sekitar sini
dan siap membuntuti diriku. Sekali ini rasanya bisa repot.”
Semula ia mengira yang hendak dipancing dan ditangkap To
Po-sit adalah Coa-kat-bijin Loan Kiau-kiau, sebab itulah ia

membawa perempuan itu ke Ma-cik-san, tapi tak terduga
olehnya To Po-sit tidak memasang sesuatu perangkap di Macik-
san, sebaliknya malah bertemu dengan Kiu-bwe-hou
Kongsun Siau-hui yang tulen, seyogianya sekarang juga dia
mesti pulang ke Bok-kan-san dan melaporkan pengalamannya
kepada To Po-sit. Tapi bila diam-diam Kiu-bwe-hou
membuntutinya, jelas dirinya sukar lagi pulang ke tempat To
Po-sit.
Sampai sekian lama ia termenung, ia ambil keputusan paling
baik pergi dulu dari Thay-oh. Segera ia jemput pedangnya dan
melangkah pergi.
Sepanjang jalan ia tidak berani menoleh, sebab ia pikir hanya
dengan pura-pura tidak tahu saja baru dapat mencari
kesempatan untuk lolos dari penguntitan Kiu-bwe-hou.
Beberapa li ia menuju ke arah barat, hari sudah mulai terang,
Kota Gihin sudah kelihatan dari kejauhan.
Ia percepat langkahnya, tidak lama kemudian sudah sampai di
depan gerbang kota, ia mencampurkan diri di tengah orang
banyak yang sibuk menuju ke pasar, setiba di dalam kota
dengan cepat ia menyelinap masuk ke sebuah tikungan jalan,
lalu mencari tempat sembunyi untuk mengintip.
Tapi sekian lamanya ia menunggu tetap tidak terlihat Kiu-bwehou
ikut masuk kota, yang berbondong masuk kota
kebanyakan orang udik yang mau ke pasar.
Aneh, mengapa Kiu-bwe-hou tidak muncul? Jangan-jangan
dugaan sendiri salah dan sama sekali orang tidak melakukan
penguntitan padanya.
Padahal, bilamana Kiu-bwe-hou tahu tipu muslihat To Po-sit
yang “lempar batu sembunyi tangan” itu pasti dia tidak mau

menyudahi urusan dengan begini saja melainkan akan mencari
To Po-sit untuk ditanyai. Dan untuk bisa bertemu dengan To
Po-sit harus menguntit jejaknya....
Begitulah Bun-hiong terus berpikir sekian lamanya, namun
Kiu-bwe-hou tetap belum tertampak bayangannya.
Hati Bun-hiong penuh tanda tanya, tapi juga merasa
tenteram. Bahwa Kiu-bwe-hou tidak menguntitnya jelas
kejadian yang baik baginya. Ia mengangkat pundak, lalu
keluar dari tempat sembunyinya dan meneruskan ke tengah
kota.
Ia mendapatkan penjual sarapan pagi di tepi jalan, ia minum
semangkuk bunga tahu panas dan makan sepotong siopia, lalu
mengeluyur keluar kota melalui pintu selatan, setiba di luar
kota ia terus berlari dengan kencang.
Sekali ini sembari lari ia pun berulang menoleh ke belakang,
namun bayangan Kiu-bwe-hou tetap tidak kelihatan. Maka
dapatlah ia memastikan Kiu-bwe-hou memang tidak
membuntutinya.
Dan mengapa Kiu-bwe-hou tidak mengikuti jejaknya?
Hanya ada satu jawaban, yaitu dia terpikat oleh kecantikan
Loan Kiau-kiau.
Terhadap keselamatan Loan Kiau-kiau sama sekali tidak
menjadi perhatian Bun-hiong, sebab kalau dalam suratnya Kiubwe-
hou sudah menyatakan “mengingat kau telah
mengantarkan seorang perempuan cantik kepadaku”, itu
menandakan Kiau-kiau takkan mengalami siksa derita, sebab
itulah tidak terpikir olehnya untuk kembali ke Ma-cik-san untuk
menolong Kiau-kiau.

Begitulah ia terus berlari cepat ke depan, setiba di setiap
tempat yang strategis ia lantas berhenti dan sembunyi di tepi
jalan untuk mengintai, setelah nyata-nyata tidak ada orang
menguntit barulah ia melanjutkan perjalanan.
Petang hari itu ia sampai di kaki gunung Bok-kan-san, kembali
ia sembunyi di balik hutan untuk mengintai sekian lamanya,
setelah jelas tidak ada orang membuntutinya barulah beranjak
naik ke atas gunung.
Dengan tertawa ia bergumam, “Sekian hari kutempuh
perjalanan 200 li dan selama ini tidak tampak bayangannya,
bilamana dia masih juga membuntuti aku, maka dia pasti
bukan manusia melainkan setan.”
Meski begitu, ia tetap tidak mengendurkan kewaspadaannya,
ia masih berulang menoleh ke belakang untuk mengamati
setiap gerak-gerak yang terjadi.
Setelah melintasi beberapa puncak, hari sudah gelap. Ia
sangat hafal akan keadaan pegunungan ini, maka tidak
mengalami sesuatu kesulitan. Akhirnya ia sampai di kaki
puncak selatan Bok-kan-san, tiba di depan rumah bambu
tempat tirakat Tui-beng-poan-koan To Po-sit.
Di dalam rumah ada cahaya lampu, agaknya To Po-sit belum
tidur.
Ia mendorong pintu pagar bambu sambil berseru lantang, “Tolocianpwe,
aku sudah pulang!”
Ia khawatir To Po-sit menyangkanya sebagai musuh dan
menyerangnya secara mendadak, maka ia berteriak
memberitahukan siapa dirinya.
Terdengar suara To Po-sit bertanya di dalam, “Apakah Pang

Bun-hiong di situ?”
“Betul,” jawab Bun-hiong.
“Masuk!” seru To Po-sit.
Bun-hiong menuju ke ruang tamu dan mendorong pintu.
Cahaya lampu sangat terang di dalam ruangan. Begitu Bunhiong
melangkah masuk, seketika air mukanya berubah hebat,
serupa hiat-to mendadak tertutuk dan berdiri melongo kaku.
“Mengapa baru sekarang kau datang?” tanya To Po-sit dengan
mengulum senyum.
Tidak, dia bukan Tui-beng-poan-koan To Po-sit melainkan Kiubwe-
hou Kongsun Siau-hui adanya.
Dengan aman tenteram ia duduk di atas kursi bambu, serupa
duduk di rumah sendiri, sikapnya tenang dan sangat wajar.
Muka Bun-hiong berubah pucat dan mata terbelalak lebar,
sungguh seperti melihat setan saja, sekujur badan merinding.
Setelah tercengang sekian lama barulah ia berucap, “Hah,
engkau ternyata benar membuntuti aku.”
Karena melihat pihak lawan duduk tenang di tengah ruangan,
ia yakin To Po-sit pasti sudah dicelakai, sebab itulah ia sangat
berduka.
Ternyata Kiu-bwe-hou lantas menggeleng kepala, jawabnya
dengan tersenyum, “Tidak, aku tidak pernah menguntit
dirimu, sudah lebih satu jam kupulang ke sini.”
Pang Bun-hiong tambah kejut dan bingung, tanyanya, “Dari

mana kau tahu Tui-beng-poan-koan tinggal di sini?”
Kiu-bwe-hou tertawa, katanya, “Sejak mula kutahu dia tinggal
di sini.”
Hati Bun-hiong terasa pedih seperti disayat-sayat, ucapnya
dengan gusar, “Jadi sudah kau bunuh dia?”
Kiu-bwe-hou mengangguk, “Ehm, kedua kakinya sudah hampir
lumpuh, tapi masih suka cari perkara....”
“Sret”, serentak Bun-hiong melolos pedangnya dan berteriak
dengan bengis, “Dan di mana Nona Oh?!”
“Hamba berada di sini!” suara nyaring merdu menanggapi
pertanyaannya.
Tertampaklah Oh Beng-ay alias Giok-nio melangkah keluar
dengan membawa satu nampan bakpao yang masih
mengepulkan asap.
Ia tersenyum senang, tampaknya seperti sudah lengket
dengan Kiu-bwe-hou.
Keruan Bun-hiong tidak habis mengerti, matanya terbelalak
terlebih lebar serupa mata ikan mas yang akan melompat
keluar, tanyanya dengan tercengang, “Ken... kenapa engkau
jadi begini?”
“Memangnya ada yang tidak benar?” jawab Oh Beng-ay
sambil tertawa mengikik dan menaruh bakpao di atas meja.
Bun-hiong menuding Kiu-bwe-hou dengan pedangnya dan
berteriak, “Apakah kau tahu siapa dia?!”
“Tahu,” jawab Beng-ay dengan mengangguk dan tertawa.

“Jika tahu siapa dia, kenapa kau sebaik ini kepadanya?” teriak
Bun-hiong dengan berjingkrak.
“Eh, kalau bicara hendaknya yang sopan,” ujar Beng-ay.
“Hamba cuma membuatkan beberapa biji bakpao untuk dia,
kenapa kau bilang aku baik padanya?”
Bun-hiong menarik muka, jengeknya, “Hm, kiranya kalau
memang sudah kenal, pantas sudah kurasakan ada sesuatu
yang tidak beres di antara kalian dan dugaanku ternyata tidak
salah. Biarlah kubinasakanmu lebih dulu dan urusan
belakang!”
Sekali pedang bergerak segera ia hendak menyerang.
Cepat Beng-ay sembunyi di belakang Kiu-bwe-hou, jeritnya
takut, “Hei, jangan sembrono, kan engkau sendiri yang
memperkenalkan dia kepadaku?!”
Bun-hiong melenggong dan menahan serangannya, tanyanya
dengan bingung, “Apa katamu?”
“Coba kau pandang yang cermat, beliau sendiri kan Tui-bengpoan-
koan To-locianpwe,” kata Beng-ay.
Kembali Bun-hiong melenggong, “Apa betul?”
Segera Kiu-bwe-hou menukas dengan tertawa, “Jika kau
sudah pangling padaku, sedikitnya kan dapat kau bedakan
suaraku, sungguh goblok!”
Bun-hiong terkesima, dengan kebingungan ia mengeluh, “O,
Tuhanku, kiranya engkau sendirilah To-locianpwe.”
“Kiu-bwe-hou” lantas menarik rambut sendiri yang panjang

itu, kiranya dia pakai rambut palsu, lalu menyingkap kedok
mukanya yang berupa sehelai kulit tipis sehingga tertampaklah
wajah aslinya sebagai To Po-sit, katanya dengan tertawa, “Ai,
tak kusangka kau sedemikian bodoh.”
Bun-hiong menghela napas, ucapnya dengan kikuk, “Ya,
seharusnya dapat kuduga engkau bisa menyamar sebagai Kiubwe-
hou, cuma....”
“Cuma apa?” jengek To Po-sit dengan menarik muka.
Mestinya Bun-hiong hendak melampiaskan rasa dongkolnya,
tapi melihat orang tua itu menarik muka, cepat ia tertawa dan
berkata, “O, tidak, tidak apa-apa.”
Dia serupa Liong It-hiong, sedikit banyak mempunyai
semacam rasa segan dan hormat terhadap Tui-beng-poankoan
ini, apalagi berhadapan, sama sekali ia tidak berani
bersikap keras.
To Po-sit mendengus lagi, “Hm, tentu kau keki karena merasa
telah kupermainkan dirimu, begitu bukan?”
“Ah, tidak, mana kuberani,” jawab Bun-hiong dengan
menyengir.
“Memangnya kau berani?” jengek Tui-beng-poan-koan dengan
mendelik. “Hm, ini sungguh sukar dimengerti. Kusuruh kau
sebarkan desas-desus, tapi sengaja kau bawa seorang
perempuan yang tidak ada sangkut paut ke Ma-cik-san,
sungguh ngaco!”
“Engkau bilang seorang perempuan tidak ada sangkut paut?”
tanya Bun-hiong dengan melenggong.
“Ya,” jawab To Po-sit.

Bun-hiong memandang Oh Beng-ay sekejap, lalu berpaling
lagi ke arah Tui-beng-poan-koan To Po-sit dan berkata,
“Namun dia adalah....”
“Tutup mulut!” bentak To Po-sit mendadak.
Seketika Bun-hiong urung bicara, ia pun merasa tidak boleh
menyebut urusan Oh Kiam-lam di depan Oh Beng-ay.
To Po-sit lantas berkata kepada Beng-ay, “Sudahlah, di sini
tidak ada urusanmu lagi, bolehlah kau kembali ke kamarmu.”
Beng-ay seperti sangat jeri kepada orang tua itu, sedikit pun
tidak berani membangkang, segera ia mengiakan dan
memberi hormat, lalu mengundurkan diri.
To Po-sit mengambil sebiji bakpao dan mulai makan, katanya,
“Ayo, makan dulu baru bicara lagi.”
Sehari suntuk menempuh perjalanan, perut Pang Bun-hiong
memang sudah lapar, maka tanpa sungkan ia lantas duduk
dan ikut makan, satu per satu bakpao dilangsir ke dalam
mulut.
Watak Tui-beng-poan-koan To Po-sit sungguh sukar diraba,
sebentar marah, lain saat tertawa. Mendadak sekarang ia
tertawa senang dan berucap, “Tak nyana dia mahir membuat
bakpao selezat ini.”
Bun-hiong mengiakan.
“Tinggal di sana sungguh sangat menyusahkan, ingin makan
apa pun harus kukerjakan sendiri,” keluh To Po-sit.
“Mengapa tidak kau bawa dia ke sana?” tanya Bun-hiong.

“Mana boleh,” jawab To Po-sit sambil menggeleng.
“Eh, cara bagaimana engkau membereskan Loan Kiau-kiau?”
tanya Bun-hiong dengan suara tertahan.
Tui-beng-poan-koan To Po-sit mencomot lagi sepotong
bakpao, digerogotinya separuh ke dalam mulut, sambil
mengunyah ia menjawab, “Telah kukurung dia di suatu
ruangan bawah tanah....”
“Siapa yang menjaga dia?”
“Tidak ada.”
“Wah, kan dia bisa mati kelaparan?” ujar Bun-hiong.
“Tidak, di ruang bawah tanah itu tersedia perbekalan yang
cukup dimakan olehnya selama dua bulan,” tutur To Po-sit.
“Jika dia orang perempuan yang tiada sangkut paut dengan
urusan kita, mengapa engkau tidak mengusirnya saja?”
“Sebenarnya dia juga bukan sama sekali tidak ada sangkut
paut,” ujar Tui-beng-poan-koan. “Dengan mengurungnya di
sana, sedikit banyak ada juga faedahnya bagiku.”
“Apakah ruang di bawah tanah itu sangat kuat?” tanya Bunhiong.
“Ya, tidak mungkin dia dapat lolos, sebab tiada sepotong baju
pun yang dipakainya,” tutur Tui-beng-poan-koan To Po-sit.
“Hei, kenapa bisa jadi begitu?” Bun-hiong tercengang.
“Aku telah berbuat sesuatu yang kurang bermoral,” kata To

Po-sit dengan tersenyum. “Sebab telah kupaksa dia telanjang
bulat, lalu kurobek pakaiannya.”
“Hah, memang perbuatan tidak pantas,” kata Bun-hiong
dengan tertawa geli.
Tiba-tiba Tui-beng-poan-koan berdiri, katanya, “Cahaya bulan
cukup terang di luar, marilah kita jalan-jalan keluar.”
Lalu ia mendahului beranjak keluar.
Lebih dulu Bun-hiong comot dua potong bakpao baru
menyusul keluar, sembari makan ia tanya, “Apakah Liong Ithiong
belum pulang?”
“Belum, kukira selekasnya dia akan pulang,” jawab To Po-sit.
Keduanya berjalan keluar rumah bambu itu menyusuri jalan
setapak pegunungan dengan santai, dengan tertawa To Po-sit
berkata pula, “Kau sangka Loan Kiau-kiau itu adalah orang
yang hendak kutangkap, begitu bukan?”
“Betul,” jawab Bun-hiong. “Kupikir engkau menggunakan Nona
Oh sebagai umpan, maka dapat diduga orang yang hendak
kau tangkap pasti sanak famili keluarga Oh. Sedang Loan
Kiau-kiau jelas adalah perempuan yang hidup bersama Oh
Kiam-lam, maka kusangka dia yang kau incar.”
“Dia bilang padamu hendak menolong Nona Oh?” tanya To
Po-sit.
“Ya, dia mengaku mendiang Oh Kiam-lam cukup baik
padanya, maka ia ingin menyelamatkan nyawa Nona Oh
sekadar membalas kebaikan Oh Kiam-lam.”
“Hm, dan kau percaya kepada ocehannya?” jengek To Po-sit.

“Aku memang rada sangsi, tapi selain alasan itu memang
sukar dimengerti apa alasan yang lain?”
Tui-beng-poan-koan To Po-sit menengadah, memandang
rembulan yang menghiasi langit, katanya kemudian, “Biar
kukatakan padamu, alasan atau tujuannya adalah harta.”
Bun-hiong merasa tidak paham, tanyanya, “Maksudnya
menolong Nona Oh apakah akan mendatangkan keuntungan
baginya?”
“Dia memang mengira begitu,” tutur To Po-sit. “Sebab Oh
Kiam-lam memang meninggalkan suatu partai harta karun
yang besar, mungkin dia tidak kebagian, maka bermaksud
mengorek keterangan dari Nona Oh tentang ke mana perginya
harta tinggalan Oh Kiam-lam itu.”
“Apakah Nona Oh mengetahui di mana beradanya harta
peninggalan kakaknya?” tanya Bun-hiong.
“Jika ia tahu disembunyikan di mana harta peninggalan sang
kakak, tentu dia tidak terjerumus menjadi pelacur,” ucap To
Po-sit.
Bun-hiong mengangguk, “Ya, benar. Ada suatu jalan
pikiranku, yaitu harta peninggalan Oh Kiam-lam sangat
mungkin disembunyikan di dalam kotak hitam itu, makanya
banyak orang berusaha merampas kotak itu.”
“Salah,” kata Tui-beng-poan-koan To Po-sit dengan tertawa.
“Aku berani bertaruh denganmu, isi kotak hitam itu mutlak
pasti bukan harta peninggalan Oh Kiam-lam.”
“Habis apa isi kotak itu?”

“Entah, yang jelas kutahu isi kotak itu pasti juga bukan peta
pusaka segala.”
“Jika begitu, jadi kotak itu sama sekali tidak ada hubungannya
dengan Oh Kiam-lam?”
“Juga tidak betul, kotak itu justru sangat erat hubungannya
dengan Oh Kiam-lam.”
“Hubungan erat bagaimana?” tanya Bun-hiong dengan
bingung.
Tui-beng-poan-koan hanya menggeleng saja tanpa menjawab.
“Sesungguhnya siapa orang yang hendak kau tangkap itu?”
tanya Bun-hiong pula.
“Sekarang tidak dapat kukatakan padamu, cuma tidak lebih
dari setengah tahun tentu akan kau ketahui,” tutur To Po-sit
perlahan.
“Apakah Nona Oh tahu engkau memperalat dia untuk
memancing dan menangkap seseorang?” tanya Bun-hiong.
“Dia tidak tahu, maka selanjutnya juga jangan kau sebutsebut
lagi tentang kakaknya,” pesan To Po-sit.
“Apakah masih perlu kupergi lagi ke selatan untuk
menyebarkan desas-desus?”
“Tidak perlu lagi. Sekarang akan kuberi suatu tugas lain
kepadamu. Esok boleh kau pergi ke kota, pesanlah sebuah
kotak hitam pada salah sebuah bengkel, bentuknya harus
serupa dengan kotak hitam aslinya. Apakah tugas ini dapat
kau laksanakan?”

“Kukira dapat,” jawab Bun-hiong. “Untuk apakah engkau
membuat sebuah kotak tiruan begitu?”
To Po-sit tersenyum, katanya, “Jika Liong It-hiong berhasil
merampas kembali kotak hitam itu segera kita dapat menukar
yang asli itu dengan kotak tiruan yang kita bikin itu. Umpama
Liong It-hiong pulang dengan bertangan kosong, kalian juga
dapat membawa kotak palsu itu ke Cap-pek-pan-nia.”
“Aha, akal bagus!” seru Bun-hiong dengan tertawa.
To Po-sit menyambung lagi, “Kuharap kalian dapat
membereskan gembong iblis di Cap-pek-pan-nia yang
misterius itu. Sudah tentu, sebaiknya kalau kalian dapat
menangkapnya hidup-hidup, sebab kuingin lihat orang macam
apakah dia itu?”
“Baik, aku dan Liong It-hiong pasti akan berbuat sepenuh
tenaga,” jawab Bun-hiong dengan mengangguk.
Tui-beng-poan-koan To Po-sit berhenti melangkah, katanya
dengan tertawa, “Kau kira perangkap yang kuatur di Ma-ciksan
itu bagus atau tidak?”
“Bagus sekali,” jawab Bun-hiong tertawa.
To Po-sit memutar balik ke arah rumah bambu, ucapnya pula
dengan tersenyum senang, “Sebabnya tempo hari aku tidak
memperlihatkan diriku untuk menemuimu, maksudku ingin
menguji daya guna perangkap itu. Akhirnya terbukti memang
sangat efektif.”
“Yang paling bagus adalah jerangkong di tempat tidur itu,”
ujar Bun-hiong. “Tanpa jerangkong itu tentu takkan berhasil
menawan orang yang terpancing ke sana.”

Ia pun ikut putar balik, tanyanya kemudian sambil
memandang kedua kaki orang tua itu, “Sekarang kedua
kakimu sudah kuat untuk berjalan?”
“Sebenarnya kakiku tidak ada penyakit,” jawab To Po-sit.
“Kukhawatir Liong It-hiong tidak mau membantuku, maka
sengaja kutipu dia.”
Diam-diam Bun-hiong mendongkol akan kelicikan orang,
seharusnya tua bangka inilah yang pantas berjuluk “Kiu-bwehou”
dan bukan Tui-beng-poan-koan.
Teringat kepada Kiu-bwe-hou, ia coba tanya, “Engkau
menyaru sebagai Kiu-bwe-hou, apakah engkau tidak khawatir
Kiu-bwe-hou yang tulen muncul mendadak?”
“Tidak takut,” jawab To Po-sit. “Sebab dia takkan muncul
untuk selamanya.”
“Apakah Kiu-bwe-hou sudah mati?”
“Ya.”
“Cara bagaimana matinya?” tanya Bun-hiong.
“Dibinasakan orang.”
“Orang yang mampu membunuh Kiu-bwe-hou pasti seorang
tokoh yang mahasakti.”
“Terima kasih atas pujianmu,” ujar To Po-sit dengan tertawa.
Bun-hiong melengak, “Jadi engkau yang membunuh dia?”
To Po-sit mengangguk dan berkata dengan tak acuh,
“Kejadian itu sudah dua tahun yang lalu. Dia kan seorang iblis

mahajahat, sudah lama ada maksudku hendak membereskan
dia. Sampai dua tahun yang lalu baru kutemukan dia.”
“Tidak ada orang lain yang tahu kejadian itu?” tanya Bunhiong.
“Ehm,” To Po-sit mengangguk. “Jerangkongnya sudah kau
lihat, yaitu jerangkong yang berada di tempat tidur itu.”
“Apakah dia memang bertempat tinggal di sana?” tanya Bunhiong.
“Ya, harimau itu adalah piaraannya, kemudian dapat
ditundukkan.”
Bicara sampai di sini mereka sudah pulang sampai di luar
rumah bambu itu.
“Bilakah engkau akan kembali lagi ke sana?” tanya Bun-hiong
pula.
“Tunggu nanti kalau Liong It-hiong sudah pulang baru kembali
ke sana.”
“Dalam pada itu, kalau orang yang hendak kau tangkap itu
sudah pergi ke sana, lalu bagaimana?”
To Po-sit tersenyum, “Jangan khawatir, meski aku tidak
berada di sana, tapi perangkap itu tetap akan bekerja
sepenuhnya. Malahan sudah kutaruh bahan makanan di dalam
kamar tahanan itu, bila dia kejeblos ke ruangan itu, dalam
sepuluh hari saja dia takkan mati kelaparan.”
Sembari bicara ia sudah masuk ke dalam rumah.
Bun-hiong ikut masuk sambil bertanya, “Malam ini kutidur di

mana?”
“Tidur saja di kamar semula,” kata To Po-sit. “Sekarang
bolehlah kau pergi mengaso, urusan lain boleh kita bicarakan
esok.”
Maka Bun-hiong lantas menuju ke ruang belakang, ia cuci
badan dulu, lalu masuk kamarnya.
Tapi baru saja berbaring, segera terdengar suara Oh Beng-ay
berseru tertahan di luar kamar, “Pang-kongcu, apakah engkau
sudah tidur?”
Bun-hiong mengenakan baju dan turun dari tempat tidur
untuk membuka pintu kamar, tanyanya dengan tertawa,
“Engkau belum tidur?”
Sikap Beng-ay kelihatan malu-malu, jawabnya, “Hamba tidak
dapat pulas, ingin kubicara denganmu....”
“Baiklah, masuk,” kata Bun-hiong.
Perlahan Beng-ay masuk ke kamar, sekalian ia membentang
daun pintu yang setengah terbuka, lalu ia mengambil kursi
dan duduk di dekat pintu, katanya dengan tersenyum malu,
“Hamba ingin tanya sedikit urusan padamu....”
“Bicara saja,” kata Bun-hiong.
Si nona menatapnya dengan tajam, katanya, “Sesungguhnya
untuk urusan apakah kalian menipuku ke sini?”
“Pertanyaanmu ini harus dijawab oleh Liong It-hiong saja,”
ucap Bun-hiong dengan tertawa.
“Dia tidak berada di sini, maka hamba tanya saja padamu,”

kata Beng-ay.
Bun-hiong berdehem perlahan, katanya, “Tidak pantas kau
curigai ketulusannya, dia memang berniat memperistri dirimu,
sebab itulah ia membawamu ke sini.”
“Tapi ada semacam perasaanku yang cukup keras, kukira
kalian seperti sedang melakukan sesuatu urusan secara diamdiam,”
kata Beng-ay.
“Apa pun yang sedang kami lakukan pasti tidak merugikanmu,
untuk ini kau tidak perlu khawatir,” kata Bun-hiong.
“Bolehkah kutahu apa yang sedang kalian lakukan?” tanya
Beng-ay.
“Untuk ini... hanya dapat kuceritakan begini, To-locianpwe
adalah seorang detektif sangat ternama, lantaran lanjut usia
beliau telah pensiun, namun, beliau tetap tidak melupakan
tugasnya yang harus menumpas kejahatan untuk keamanan
umum, sebab itulah beliau menyuruh Liong It-hiong dan diriku
membantunya menangkap seorang gembong iblis dunia
hitam.”
“Siapakah gembong iblis itu?” tanya Beng-ay.
Bun-hiong menggeleng, “Entah, beliau tidak mau
menjelaskan.”
“Di ruangan tadi engkau bilang dia menyamar sebagai Kiubwe-
hou, apakah Kiu-bwe-hou....”
“Ada apa?” tanya Bun-hiong.
“Sesungguhnya siapakah dia?” tanya Beng-ay.

Bun-hiong tahu orang sengaja berlagak pilon, tapi ia pun tidak
mau membongkarnya, katanya dengan tertawa, “Kiu-bwe-hou
itu seorang busuk, namun dia sudah mati.”
“Oo, Kiu-bwe-hou sudah mati?” Beng-ay tampak tergerak
hatinya.
“Betul, dia dibunuh oleh To-locianpwe, sebab itulah beliau
berani menyaru sebagai Kiu-bwe-hou tanpa khawatir akan
kepergok yang asli.”
“Untuk apa dia menyaru sebagai Kiu-bwe-hou?” tanya Beng-ay
pula.
“Mungkin ada sebabnya, tapi aku tidak tahu.”
“Dia tidak memberitahukan padamu?”
“Tidak,” kata Bun-hiong. “Perangainya sangat aneh, berbagai
urusan tidak dijelaskannya kepadaku.”
“Bukankah pernah kau bawa seorang perempuan menemuinya
di suatu tempat?”
“Betul....”
“Siapa perempuan itu?”
“Seorang perempuan busuk.”
“Siapa namanya?”
“Dia she Be dan bernama Hiau-bwe,” Bun-hiong berdusta.
“Dia seorang perempuan bejat moral, suka memikat lelaki dan
berbuat cabul.”

“Untuk apa kau bawa perempuan begitu untuk menemui dia?”
tanya Beng-ay.
“Sebab kukira dia mempunyai hubungan dengan gembong
iblis yang diincar To-locianpwe itu, maka....”
“Jika engkau sendiri tidak tahu siapa gembong iblis itu, dari
mana kau tahu perempuan itu ada hubungannya dengan iblis
tersebut?” potong Beng-ay.
Seketika Bun-hiong tak dapat menjawab, cepat ia menutupi
rasa kikuknya dengan tergelak, “Haha, tentang ini... boleh
coba kau terka.”
Beng-ay tersenyum hambar, katanya, “Hamba tidak sanggup
menerkanya, silakan kau jelaskan saja.”
Otak Bun-hiong bekerja cepat dan mendapat alasan, katanya
dengan tertawa, “Begini kisahnya. Beberapa hari yang lalu
kebetulan aku bertemu dengan perempuan itu, berulang ia
mencari keterangan padaku tentang tempat kediaman Tolocianpwe,
kukira dia ada urusan hendak menemui beliau
maka kubawa dia ke sana.”
“Kau bawa dia ke mana?” tanya Beng-ay pula.
“Ke suatu tempat,” tutur Bun-hiong.
“Tempat mana?” desak si nona.
“Ai, hendaknya jangan kau korek-korek keteranganku lebih
dalam. Kau kan seorang gadis, ada sementara urusan lebih
baik tidak perlu tahu.”
“Tapi urusan ini rasanya kan tidak perlu dirahasiakan
terhadapku bukan?”

Bun-hiong angkat pundak, katanya, “Sudah larut malam,
silakan kembali kamarmu dan tidur saja.”
“Jadi tetap takkan kau katakan padaku?” tanya Beng-ay.
“Urusan yang dapat kukatakan padamu dengan sendirinya
akan kuberi tahu tanpa kau minta,” ujar Bun-hiong.
Beng-ay seperti mau omong sesuatu, tapi urung, lalu berkata,
“Baiklah, sampai bertemu besok.”
Habis memberi salam ia lantas mengundurkan diri.
Esok paginya, Bun-hiong berdiam di kamarnya dan melukis
sebuah gambar konsep kotak hitam, dengan contoh gambar
itu ia pamit kepada To Po-sit terus turun gunung.
Kira-kira 20 li jauhnya, sampailah dia di Kota Hou-hong, ia
mencari sebuah bengkel paling besar dan masuk ke situ....
Tiga hari kemudian ia datang lagi ke bengkel itu, kotak hitam
yang dipesannya sudah jadi, meski tidak seluruhnya mirip
kotak hitam yang asli, namun sudah cukup untuk mengelabui
pandangan orang awam.
Ia bungkus kotak itu dengan sepotong kain, dibayarnya
sepuluh tahil perak, lalu meninggalkan kota.
Baru sampai di kaki gunung Bok-kan-san sebelah selatan, tibatiba
dilihatnya sesosok bayangan berlari datang dari arah
timur, dari jauh bayangan orang itu serupa Liong It-hiong
adanya, maka ia coba berhenti dan memandangnya lebih
cermat.
Sesudah orang agak dekat, ternyata benar Liong It-hiong

adanya, tentu saja Bun-hiong kegirangan, segera ia berteriak,
“Hai, Liong It-hiong, kau sudah pulang?!”
Tangan kiri Liong It-hiong mengempit sebuah bungkusan,
agaknya sudah berlari setengah harian sehingga sekujur
badan mandi keringat, melihat yang menyapanya ialah Pang
Bun-hiong, ia pun sangat girang, serunya, “Aha, kebetulan
sekali kedatangan Pang-heng, lekas bantu menahan mereka
sementara!”
Bun-hiong melengak oleh keterangan itu, ia menegas, “Kau
dikejar orang?”
“Coba kau lihat belakang sana!” kata It-hiong.
Waktu Bun-hiong memandang jauh ke sana, benar juga dua
orang sedang menguber tiba dengan cepat, dilihat dari gerak
tubuh dan kecepatan mereka, jelas tergolong jago silat kelas
tinggi, ia menjadi khawatir dan bertanya, “Siapakah mereka?”
“Nomor enam dan nomor tujuh dari Lok-lim-jit-coat, yaitu Tokgan-
bu-siang Ong Sian-ho dan Coh-jing-bin Sing It-hong.”
“Sebab apa mereka mengejarmu?” tanya Bun-hiong.
“Apa lagi, tentu saja ingin merampas kotak hitam ini,” kata Ithiong
sambil menuding bungkusan yang dikempitnya.
Waktu Bun-hiong menoleh, terlihat Tok-gan-bu-siang Ong
Sian-ho, Si Setan Jangkung Mata Satu, dan Coh-jing-bin Sing
It-hong, Si Tembong Hijau, sudah mengejar tiba. Mendadak ia
mendapat akal, cepat ia sodorkan kotak hitam palsu yang
dibawanya itu kepada It-hiong dan berkata, “Ini kotak palsu,
lekas ambil dan berikan kotak aslinya kepadaku.”
“Dari mana kau dapatkan kotak hitam palsu ini?” tanya ItKANG
ZUSI website http://cerita-silat.co.cc/
hiong tercengang.
“Biar kuberi tahukan nanti saja,” kata Bun-hiong gelisah.
Segera ia “rebut” bungkusan yang dikempit Liong It-hiong,
berbareng ia tukar dengan bungkusan yang dibawanya, lalu
melompat ke sana dan menyelinap ke dalam hutan di kaki
gunung.
Selagi It-hiong masih merasa bingung, sementara itu Tok-ganbu-
siang dan Coh-jing-bin sudah mengejar tiba.
Tok-gan-bu-siang Ong Sian-ho, usianya antara 38-39 tahun,
sesuai julukannya, perawakannya tinggi kurus, matanya buta
sebelah kiri dan ditutup dengan sepotong kain, ia pakai
senjata pedang, sekilas pandang memang mirip setan
jangkungan.
Adapun usia Coh-jing-bin Sing It-hong lebih muda dua-tiga
tahun daripada Ong Sian-ho, tampangnya sangat aneh dan
lucu, muka sebelah kiri hampir seluruhnya hijau biru serupa
orang liar yang muncul dari pegunungan.
Begitu mereka lari sampai di depan Liong It-hiong, serentak
mereka berhenti dan mengambil posisi mengepung.
Mata si setan jangkung yang tinggal satu itu menyipit, lalu
bertanya dengan menyeringai, “He, siapa itu yang bicara
denganmu tadi?”
Wajah It-hiong memperlihatkan senyuman lelah, jawabnya.
“Ah, seorang sahabat biasa, kuminta tolong padanya, siapa
tahu dia segera lari ketakutan begitu mendengar nama kalian
berdua....”
Melihat It-hiong masih mengempit bungkusannya, si setan

jangkung mata satu tidak memerhatikan bahwa bungkusan itu
sudah bukan barang semula lagi, ia menyeringai dan berkata,
“Makanya, setelah kau kepergok oleh kami mau tak mau kau
harus menerima nasib. Nah, kalau ingin selamat, lekas
serahkan kotak pusaka itu.”
It-hiong menggeleng, jawabnya, “Wah, tidak bisa. Kotak
pusaka yang kuperoleh dengan susah payah mana boleh
kuserahkan begitu saja kepada kalian.”
Senjata si tembong Sing It-hong adalah ruyung beruas tujuh,
sekali ia putar ruyungnya, katanya dengan terkekeh aneh,
“Hehe, memangnya kau ingin bergulat dengan jiwamu?”
It-hiong mengangguk, “Ya, betapa pun aku penasaran jika
harus menyerah begitu saja. Biarlah kucoba kepandaian kalian
lagi.”
Ruyung Sing It-hong lantas menyabet sambil membentak.
“Ayo, Loliok (si nomor enam), bereskan dia saja!”
Tanpa menunggu perintah lagi, kontan pedang si setan
jangkung juga menusuk ke dada Liong It-hiong.
Pedang pandak Siau-hi-jong oleh It-hiong sudah dikembalikan
kepada Kiong-su-sing Sun Thian-tik, maka sekarang ia sama
sekali tidak bersenjata, untuk melayani serangan dua macam
senjata lawan jelas sangat sulit.
Cepat ia melompat ke samping untuk menghindari sabetan
ruyung si tembong, lalu kotak palsu digunakan untuk
menangkis pedang si setan jangkung, menyusul ia terus
melayang sejauh beberapa tombak ke samping.
Mana Ong Sian-ho dan Sing It-hong mau tinggal diam, cepat
mereka membayangi It-hiong, kembali mereka melancarkan

serangan maut.
Sekuatnya It-hiong menghindar lagi beberapa kali, ia merasa
tidak perlu berkorban jiwa bagi sebuah kotak palsu, segera ia
berlagak kelabakan dan sengaja memberi kesempatan kepada
lawan untuk menyerang, lalu membiarkan kotak terjatuh ke
tanah.
Tentu saja si tembong sangat girang, cepat ia menubruk
maju, sekali tendang ia bikin kotak itu mencelat jauh, lalu
memburu ke sana untuk mengambilnya.
Begitu meraih bungkusan itu, cepat ia buka kain
pembungkusnya dan melihat memang betul berisi sebuah
kotak, dengan tertawa lebar ia berseru kepada kawannya,
“Loliok, sudah cukup, ayo kita pergi!”
Tok-gan-bu-siang masih terus melancarkan serangan kepada
Liong It-hiong sembari menjawab, “Nanti dulu, tampaknya
bocah ini perlu juga diberi hajaran, biarkan kubereskan dia
sekalian!”
“Boleh juga,” kata si tembong. Ia mengeluarkan kotak palsu
itu, rantai yang bergandeng pada kotak dibelitnya di
pergelangan tangan sendiri, lalu putar ruyung dan menerjang
maju lagi, bersama si mata satu mereka mengerubuti Liong Ithiong.
Sembari bertempur Liong It-hiong mendamprat, “Keparat,
jahanam! Jarang kulihat penjahat berhati keji serupa kalian,
sudah merampas kotak orang masih mengincar jiwaku pula.”
“Memang betul, mau apa?!” si mata satu menyeringai,
serangannya tambah gencar.
Ruyung si tembong juga menyabet kian-kemari dengan

dahsyatnya, setiap jurus serangan selalu mengincar bagian
mematikan.
Liong It-hiong telah mengeluarkan segenap kepandaiannya
untuk menghindar dan balas menyerang, namun tetap
kewalahan, satu ketika pinggangnya keserempet ruyung Siang
It-hong, keruan ia berkaok kesakitan.
“Pang Bun-hiong,” terpaksa ia berteriak minta tolong, “kalau
tidak segera keluar, akan kumakimu!”
“Ini dia!” seru Bun-hiong sambil menerobos keluar dari tempat
sembunyinya, begitu mendekat pedang lantas menebas dan
menangkis, seketika si mata satu didesak ke samping dan
terjadilah satu lawan satu.
Setelah saling gebrak beberapa jurus, dapatlah si setan mata
satu melihat ilmu pedang lawan cukup lihai, ia terkesiap,
bentaknya, “Hei, siapa bocah ini?!”
“Inilah Hou-hiap Pang Bun-hiong adanya!” jawab Bun-hiong
dengan tertawa.
Berbareng pedang lantas menebas dan menusuk sehingga si
mata satu terkejut, cepat ia mengegos dan melompat mundur.
“Lojit, lawan keras, lekas angkat kaki!” teriaknya sembari
berputar dan mendahului kabur secepatnya.
Kalau satu lawan satu si tembong juga merasa tidak mampu
mengalahkan Liong It-hiong, segera ia melancarkan suatu
serangan untuk mendesak mundur It-hiong, kesempatan itu
lantas digunakan untuk melompat ke samping dan segera
angkat langkah seribu alias kabur.
“Kejar, lekas kejar! Jangan sampai mereka lolos, lekas kejar!”

demikian Liong It-hiong berteriak-teriak.
Di mulut ia berkaok “kejar”, tapi kakinya justru tidak bergerak
selangkah pun. Ia merasa cuma kehilangan sebuah kotak
palsu dan dapat menggertak lari dua lawan tangguh, betapa
pun masih berharga.
Bun-hiong juga tidak mengejar, ia saksikan kedua lawan
ngacir dan menghilang di kejauhan, katanya dengan
tersenyum sambil mengangkat pundak, “Dirodok, uangku
sepuluh tahil perak harga kotak palsu itu hilang percuma
begitu saja.”
“Hm, kau cuma kehilangan sepuluh tahil perak saja lantas
mengeluh, jiwaku malahan hampir amblas!” ucap It-hiong
sambil menyengir.
Bun-hiong simpan kembali pedangnya, katanya, “Marilah
pergi, bisa jadi mereka akan mengetahui kotak itu adalah
barang palsu dan putar balik lagi, lekas kita kembali ke atas
gunung.”
Keduanya lantas lari masuk ke dalam hutan, dari balik semaksemak
rumput Bun-hiong mengeluarkan kotak asli dan
dikembalikan kepada Liong It-hiong, lalu keduanya berlari ke
atas gunung dengan cepat.
Sembari lari It-hiong bertanya, “Bilakah kau pulang?”
“Sudah pulang selama empat hari,” jawab Bun-hiong.
“Dan untuk apa kau bikin kotak palsu itu?” tanya It-hiong
heran.
“Itu gagasan To Po-sit,” tutur Bun-hiong. “Ia bermaksud
menyuruh kita membawa kotak palsu ke Cap-pek-pan-nia.”

“Banyak juga akal bulusnya,” ujar It-hiong dengan tertawa.
“Memang dia benar-benar seekor rase tua yang licik dan licin,
sungguh aku kagum padanya,” kata Bun-hiong.
“Apakah tugasmu sudah kau laksanakan dengan baik?” tanya
It-hiong.
“Hanya boleh dikatakan selesai setengah saja, sebab di Hoaygiok-
san aku bertemu dengan Coa-kat-bijin Loan Kiau-kiau,
dia itu perempuan simpanan Oh Kiam-lam, ketika mendengar
berita diculiknya Oh Beng-ay oleh Kiu-bwe-hou, segera ia
mengirim orang mengundangku ke tempatnya....”
Lalu ia ceritakan pengalamannya.
Heran juga Liong It-hiong mendengar To Po-sit menyamar
sebagai Kiu-bwe-hou dan memasang perangkap di Ma-cik-san,
tanyanya, “Adakah dia menceritakan siapa sesungguhnya
orang yang ingin ditangkapnya?”
“Tidak,” jawab Bun-hiong.
“Caranya itu sungguh tidak enak,” ujar It-hiong. “Kita yang
bekerja mati-matian, tapi dia tetap main teka-teki, tidak mau
menjelaskan siapa yang hendak ditangkapnya.”
“Ya, dia memang suka jual mahal, katanya setengah tahun
kemudian tentu kita akan tahu sendiri.”
“Bagaimana dengan Oh Beng-ay?”
“Tidak apa-apa, baik-baik saja.”
“Dia tidak menyatakan sendiri bahwa dia adalah adik

perempuan Oh Kiam-lam?”
“Tidak.”
“Sungguh kuharap dia mau bicara terus terang,” ujar It-hiong
dengan tertawa.
“Ini merupakan permintaan pelik baginya,” Bun-hiong juga
tertawa. “Jika aku menjadi dia, pasti juga aku tidak mau
mengaku kakak sendiri adalah benggolan bandit.”
“Adakah dia tanya akan diriku?” tanya It-hiong.
“Ada,” kata Bun-hiong.
“Apakah si tua she To itu cukup baik kepadanya?”
“Aku cuma tinggal semalam saja di atas gunung, keadaan di
sana tidak begitu jelas bagiku, kukira tidak terjadi sesuatu.”
“Tabiatnya sangat buruk, salah sedikit saja lantas dicaci maki
olehnya, semoga Nona Oh tidak sampai dicaci maki olehnya.”
“Soal dicaci maki kukira sukar dihindar,” kata Bun-hiong
dengan tertawa. “Baru saja kupulang ke sana langsung
didamprat habis-habisan olehnya. Kalau kupikir lagi, sungguh
penasaran.”
“Hal ini kan sudah kuberi tahukan padamu sebelumnya.
Bekerja baginya bukan saja tanpa balas jasa, sebaliknya akan
sering didamprat olehnya. Jika kau tidak tahan boleh saja
mengundurkan diri.”
“Tidak, aku tidak ingin mengundurkan diri. Aku masih akan
terus bekerja baginya, ingin kulihat sesungguhnya apa
maksud tujuannya,” kata Bun-hiong dengan tertawa.

Begitulah sembari bicara sambil lari, tanpa terasa mereka
sudah sampai di depan rumah bambu.
Tui-beng-poan-koan To Po-sit sedang membetulkan sebuah
pot bunga di atas rak, melihat kedatangan mereka, dengan
tersenyum ia memapaknya dan menegur, “Kau sudah pulang,
It-hiong?”
Sambil memberi hormat It-hiong mengiakan.
Melihat bungkusan yang dibawa It-hiong, dengan tertawa To
Po-sit tanya pula, “Itukah kotak pusakanya?”
“Ya,” jawab It-hiong.
Orang tua itu lantas mengambil bungkusan itu dan dibukanya,
setelah memeriksa kotak itu, dengan tertawa puas ia berkata,
“Pembuatan kotak ini memang sangat bagus dan cermat
sekali....”
Ia berpaling dan bertanya kepada Pang Bun-hiong, “Kalian
bertemu di mana?”
“Di bawah gunung,” tutur Bun-hiong. “Waktu itu baru saja
kupulang sampai di kaki gunung, kebetulan kulihat dia....”
“Kotak palsu yang kusuruh bikin di kota itu apakah belum
jadi?” sela Tui-beng-poan-koan To Po-sit.
“Sudah jadi,” jawab Bun-hiong.
“Mana barangnya? Kenapa tidak dibawa pulang?” tanya To Posit
pula.
“Sudah kubawa pulang,” kata Bun-hiong.

“Di mana?” To Po-sit terkesiap.
“Sudah jatuh di tangan orang lain,” tutur Bun-hiong.
“Hei, sesungguhnya apa yang telah terjadi?” tanya To Po-sit
terkejut.
“Kotak itu dibawa lari orang,” jawab Bun-hiong sambil
menyengir.
Seketika mata To Po-sit mendelik, ucapnya dengan gusar,
“Apa katamu? Liong It-hiong yang jauh-jauh pulang dari
Tengciu saja tidak sampai kehilangan kotak itu, tapi sebuah
kotak palsu kau bawa pulang dari Hou-hong ternyata begitu
saja dirampas orang, sungguh kau ini terlampau tidak becus.”
“Eh, janganlah To-locianpwe marah dulu,” tutur Bun-hiong
dengan tertawa, “coba dengarkan penjelasanku....”
“Penjelasan? Penjelasan kentut!” damprat To Po-sit. “Sejak
mula juga dapat kuterka kau ini pasti tidak becus. Sudah setua
ini usiaku, belum pernah kulihat orang segoblok dirimu.”
Makin damprat makin bengis dia sehingga air liurnya
bertebaran.
“Jika To-locianpwe mau memaki, silakan memaki diriku saja,
sebab kotak palsu itu akulah yang menghilangkannya,” sela Ithiong
dengan tertawa.
Tui-beng-poan-koan melenggong dan menegas, “Apa
katamu?”
“Kubilang akulah yang menghilangkan kotak palsu itu,” tukas
It-hiong.

Seketika To Po-sit melongo bingung, “Kenapa kotak palsu itu
bisa berada padamu?”
“Begini kisahnya,” tutur It-hiong. “Eh, bagaimana kalau kita
bicara saja di dalam rumah?”
Tui-beng-poan-koan To Po-sit lantas melangkah ke dalam
rumah.
Waktu It-hiong dan Bun-hiong ikut masuk, tertampaklah Oh
Beng-ay berdiri di tengah ruangan dengan wajah gembira.
It-hiong mendekati si nona, tanyanya dengan tertawa,
“Bagaimana Giok-nio, baik-baik saja?”
Beng-ay tersenyum dan mengangguk.
To Po-sit lantas memberi tanda dan berkata kepada si nona,
“Lekas menanak nasi, di sini tidak ada urusanmu.”
Beng-ay menjulur lidah dan cepat berlari ke belakang.
Sesudah ambil tempat duduk, dengan sikap kereng To Po-sit
lantas berkata, “Nah, sesungguhnya apa yang terjadi, lekas
ceritakan!”
It-hiong berdehem perlahan, lalu menceritakan apa yang
dialaminya setelah tiba di Tengciu, sampai Hiat-pit-siucay Hui
Giok-koan terbunuh dan sebelum mengembuskan napas
terakhir memberitahukan tempat simpanan kotak pusaka,
yaitu di dalam sumur tua di depan kelenteng....
“Lalu bagaimana?” tanya To Po-sit.
“Lalu kuturun ke sumur tua itu dan berhasil menemukan kotak

ini,” tutur It-hiong.
“Dan selanjutnya tidak ada lagi orang lain yang berusaha
merampas kotak lagi?”
“Pada belasan hari pertama memang aman tenteram, tapi
belasan hari kemudian setelah menyeberangi Tiangkang, tibatiba
muncul Tok-gan-bu-siang Ong Sian-ho dan Coh-jing-bin
Sing It-hong berdua, entah dari mana mereka mendapat
kabar, mendadak mereka muncul dan mencegat
perjalananku.”
“Menurut ceritamu dulu, kan Hui Giok-koan juga pernah
membuat sebuah kotak palsu dan hendak menipu orang lain,
kemudian pada waktu menggali, mendadak muncul Ang-liusoh
Ban Sam-hian dan membawa lari kotak palsu. Dengan
begitu, bilamana ada orang ingin merampas kotak pusaka
seharusnya Ban Sam-hian yang menjadi sasaran, mengapa
kau lagi yang diincar?”
“Memang hal inilah yang membuatku sangat heran,” jawab Ithiong.
“Kurasakan seperti ada seorang yang sangat misterius
yang selalu mengikut ke mana perginya kotak pusaka tulen
ini. Setiap kali kotak ini jatuh di tangan siapa, segera ia
menyiarkan beritanya supaya diketahui orang lain, agaknya
dia sengaja hendak melihat orang saling berebut kotak pusaka
dan saling bunuh tanpa berakhir.”
Tui-beng-poan-koan To Po-sit manggut-manggut, ucapnya
dengan tersenyum, “Ya, ini menandakan di balik urusan kotak
pusaka ini terdapat sebuah intrik keji, mungkin sekali dalam
waktu singkat segera ada orang akan mencari ke sini.”
“Betul, maka kita perlu siap siaga.” kata It-hiong.
“Kemudian bagaimana sesudah Ong Sian-ho dan Sing It-hong

muncul merampas kotakmu?”
“Karena sendirian tidak mampu melawan empat kepalan
mereka, terpaksa aku angkat langkah seribu alias kabur
secepatnya. Sepanjang jalan aku berusaha sembunyi kiankemari,
tampaknya hampir terlepas dari uberan mereka, siapa
tahu mereka muncul lagi dan terpaksa aku lari pula.
“Tadi baru saja sampai di kaki gunung, kebetulan bertemu
dengan Pang-heng, kuberi tahu apa yang terjadi, segera
Pang-heng menukarkan kotak palsu yang dibawanya dengan
kotak asli, lalu Pang-heng pura-pura lari ketakutan. Sementara
itu Ong Sian-ho berdua menyusul tiba, kutempur mereka lagi
beberapa jurus, akhirnya kupura-pura kewalahan dan
membiarkan kotak direbut mereka sehingga semua urusan
pun terakhir.”
Setelah mengetahui semua seluk-beluk kejadian ini barulah
Tui-beng-poan-koan To Po-sit tahu salah marah kepada Pang
Bun-hiong, dengan tertawa ia berkata kepada pemuda itu,
“Kenapa tidak kau katakan sejak tadi, kalau kau katakan tentu
tidak dicaci maki, sungguh tolol.”
Bun-hiong menyeringai, katanya, “Selanjutnya boleh kita
saling berjanji saja, bilamana To-cianpwe hendak memaki
orang, kuharap dapat diberi kesempatan untuk memberi
penjelasan. Setuju?”
“Tampaknya kau masih penasaran karena kumaki,” kata To
Po-sit dengan tertawa. “Jika demikian, supaya kau puas, boleh
kau balas caci maki diriku. Meski sering kumaki orang, tapi
hampir tidak pernah tahu rasanya dimaki orang.”
It-hiong dan Bun-hiong sama tertawa.
“Lantas apa tindakan To-locianpwe setelah kotak pusaka

dapat kita rebut kembali?” tanya It-hiong dengan tertawa.
To Po-sit tidak segera menjawab, berulang-ulang ia
mengamati kotak pusaka itu, katanya kemudian, “Tampaknya
kotak ini sukar dibuka, cuma, dibuka atau tidak toh sama
saja....”
“Apakah To-locianpwe tahu apa isi kotak ini?” tanya It-hiong.
“Entah, aku tidak tahu, cuma dapat kupastikan isinya mutlak
bukan peta rahasia harta karun segala,” jawab To Po-sit.
“Konon di dalam kotak terdapat obat peledak, bilamana tidak
dibuka menurut cara yang sudah diatur, kalau menyentuh
obat peledak seketika kotak akan meledak.”
“Ya, sangat mungkin,” To Po-sit mengangguk.
“Jika kotak ini cuma semacam intrik keji saja, lalu siapakah
yang mengatur intrik ini?” tanya It-hiong.
“Mungkin adalah orang yang hendak kutangkap itu,” kata To
Po-sit.
“Siapakah dia?” tanya It-hiong pula.
“Tidak dapat kuberi tahukan sekarang,” ucap Tui-beng-poankoan
To Po-sit.
“Menurut cerita Pang-heng, To-locianpwe hendak menyuruh
kami membawa kotak palsu ke Cap-pek-pan-nia?”
“Betul,” jawab Tui-beng-poan-koan. “Tapi sekarang kotak
palsu itu sudah dibawa lari orang, terpaksa kalian harus
membuat satu lagi.”

“Apa yang harus kami lakukan setiba di Cap-pek-pan-nia?”
tanya It-hiong.
“Begitu berhadapan dengan gembong iblis misterius itu segera
kalian tangkap dia dan membawanya menemuiku di sini.”
“Tidak perlu disangsikan lagi Cap-pek-pan-nia pasti sebuah
sarang harimau atau kubangan naga,” ujar It-hiong dengan
tertawa. “Kalau melulu tenaga kami berdua jelas tidak
gampang untuk menangkap gembong iblis misterius itu.”
“Tidak dapat menangkapnya dengan kekuatan kan dapat
membekuknya dengan akal,” kata To Po-sit. “Betapa pun
kalian adalah orang cerdik, kuyakin kalian sanggup
melaksanakan tugas.”
“Jika begitu, besok juga kami pergi ke Hou-hong untuk
membuat lagi sebuah kotak palsu, habis itu kami lantas
berangkat,” kata It-hiong.
To Po-sit mengangguk setuju.
“Apakah masih ada petunjuk lain?” tanya It-hiong.
“Tidak ada lagi,” jawab To Po-sit.
“Jika begitu sementara kumohon diri dulu,” segera It-hiong
memberi hormat dan menuju ke ruangan belakang.
Setiba di dapur, melihat Oh Beng-ay sedang mengolah
santapan, perlahan It-hiong mendekati si nona dan mendadak
merangkul pinggangnya dari belakang.
“Aiii!” Beng-ay menjerit kaget. Waktu melihat Liong It-hiong,
ia menjadi marah dan memukuli dadanya sambil mengomel,
“Sialan, bikin kaget saja....”

It-hiong menangkap kedua tangan si nona dan mendadak
mencium pipinya sekali, katanya dengan tertawa, “Rindu
padaku tidak, sayang?”
Muka Beng-ay berubah merah, omelnya, “Huh, untuk apa
kurindu padamu!”
“Haha, benar tidak merindukan daku?”
“Tidak!”
“Juga tidak senang karena kepulanganku?”
“Ya!”
“Wah, jika begitu, terpaksa kupergi saja,” kata It-hiong
dengan tertawa.
Beng-ay melengak, “Apa katamu? Kau mau pergi lagi?”
“Ya, besok juga segera berangkat,” kata It-hiong.
Mulut si nona menjengkit, katanya dengan kurang senang,
“Hm, sesungguhnya apa yang sedang kalian lakukan? Masa
baru pulang segera mau pergi lagi?”
“Toh kau tidak senang akan kepulanganku, terpaksa besok
juga kulanglang buana lagi,” kata It-hiong.
“Ah, omong kosong!” omel Beng-ay dengan tertawa.
“Eh, sayurmu hangus,” seru It-hiong sambil melepaskan
tangan si nona.
Cepat Beng-ay mengaduk sayurnya, lalu menciduknya ke

dalam piring, lalu wajan kosong dituangi minyak sembari
bertanya, “Apa benar engkau hendak pergi lagi?”
“Betul, besok kupergi menyelesaikan suatu urusan, selang dua
hari lagi baru pulang kemari....”
“Bagaimana kalau kau bawa serta diriku?” tanya Beng-ay
sambil berpaling setelah mengisi wajan dengan air dan
memberi tutup.
“Kau sudah bosan tinggal di gunung?” tanya It-hiong.
Ebook oleh : Dewi KZ
Scan book oleh : BBSC
Jilid 17
"Meski bagus pemandangan tempat ini, tapi aku tidak tahan
pada wataknya yang sebentar marah dan sebentar gembira
itu," tutur Beng-ai
"Walaupun sifatnya rada aneh, tapi hatinya sangat baik," kata
It-hiong
"Kutahu, namun ....”
"Sudahlah, jangan disebut-sebut lagi," potong It-hiong
dengan tertawa "Ingin kutanya padamu, Kau mau kawin
denganku atau tidak?"
Beng-ai mengangguk, lalu menunduk dan meliput ujung baju
"Jika begitu, hendaknya bersabar sementara. nanti katau
semua urusan sudah kita selesaikan, tentu akan kubawa
dirimu meninggalkan tempat ini "

Beng-ai mengambil dua butir telur ayam dan dipecah
kulitnya, dituang ke dalam mangkuk, lalu diaduk dengan
sumpit, katanya, "Sesungguhnya apa yang kalian lakukan di
sini?"
"Sekarang kamu jangan tanya, kelak tentu akan tahu
sendiri," ucap It-hiong.
Beng-ai membuka tutup wajan dan menuangkan adukan telur
sembari berkata pula, "Dan
mengapa kalian harus mengelabui diriku."
"Kamu kan orang perempuan, ada sementara urusan tidak
perlu kau tahu."
Beng-ai menunduk diam
Pelahan It-hiong menepuk bahunya dan menghiburnya,
"Jangan berpikir yang tidak-tidak, jika benar kamu ingin
hidup bersamaku, hendaknva kau sabar sementara ini, pasti
takkan kuperlakukan dirimu dengan jelek."
Setelah termenung sejenak, pelahan Beng-ai berkata, "Ingin .
. . ingin kuberitahukan satu hal padamu . . . "
"Urusan apa?" tanya It-hiong
Kembali Beng-ai termenung sejenak, tiba-tiba ia menggeleng
kepala dan berkata. "Ah, sudahlah. lebih baik tidak kukatakan”
It-hiong tertawa, "Baiklah, jika hendak kau katakan tentu
akan kudengarkan, katau tidak kau katakan juga takkan
kupaksa."
Lalu dia menggerayangi lagi si nona, kemudian meninggalkan
dapur

Setiba di ruangan depan dilihatnya Tui-beng- poan-koan Toh
Po-sit asyik mempelajari kotak pusaka itu, ia coba tanya,
"Sudah dapat kau buka?"
"Tidak." jawab Toh Po-sit
"Lain kali bila bertemu lagi dengan orang yang hendak rebut
kotak ini, tentu akan kutanya sesungguhnya apa isi kotak
ini." kata It-hiong.
“Memangnya siapa yang mau memberitahukan padamu," ujar
Toh Po-sit dengan tertawa
"Tempo hari mestinya Kiong-su-sing Sun Thian-tik hendak
memberitahukan padaku, tapi aku tidak mau terima," tutur Ithiong.
Tui-beng-poan-koan Toh Po-sit melenggong.
"Mengapa kau tolak?"
It-hiong mengangkat pundak. "Sebab kukuatir bila kutahu isi
kotak, ada kemungkinan akan timbul angkara murka dan ingin
kukangkanginya Kim-kong Taisu dan Koh-ting Tojin saja
sangat ingin mendapatkan kotak ini. padahal aku merasa tidak
lebih hebat daripada mereka "
"Sungguh manusia tidak becus!"omel Toh Po-sit mendadak.
It-hiong menyengir tanpa menjawab. Ia sudah biasa dicacimaki,
maka makian orang tidak dihiraukannya
Mendadak Tui-beng-poan-koan melemparkan kotak itu ke atas
meja dan berkata pula. "Sudah lanjut begini usiaku, tapi ..."

"Belum pernah melihat anak bodoh seperti diriku, begitu
bukan?" tukas lt-hiong dengan tertawa.
“Betul," kata Toh Po-sit “Bukan maksudku sengaja membual,
dahulu waktu aku masih muda seperti dirimu sekarang . ."
Sekali ini It-hiong tidak menimbrung, tapi Beng-ai tidak bicara
lebih lanjut, tiba-tiba sorot
matanya berkilau dan mendesis, "Ssst, ada orang datang!"
Tergerak hati It-hiong dan Bun-hiong, segera mereka pasang
kuping mendengarkan dengan cermat.
Benar juga suara orang itu dari jauh mendekat
"Ah, memang benar terdiri satu keluarga!”
“Bagaimana kita papak mereka?"
Tapi mendadak It-hiong mendesis dengan suara tertahan.
"Ssst, ternyata rombongan mereka. Tok-gan-bu-siang dan Co
jing-bin."
Dengan tenang Toh Po-sit berkata,” Lekas kalian sembunyi
saja, juga nona Oh suruh sembunyi, biar kupermainkan
mereka, lekas masuk!"
It-hiong dan Bun hiong tahu betapa hebat kepandaian orang
tua itu, untuk melayani Tok-gan-bu-siang berdua tentu bukan
soal, segera mereka menurut dan cepat menyelinap ke
ruangan dalam.
Sejenak kemudian terdengar suara langkah Tok-gan-bu-siang
Ong Sian-ho dan Co Jing-bin Sing It-hong sudah sampai di
luar pagar bambu, terdengar Sing It-hong sedang berkata.

"Loliok, kukira tuan rumah di sini pasti seorang sastrawan
yang suka kepada ketenangan dan kesunyian "
"Peduli dia sastrawan atau bukan, biarlah kita masuk saja dan
minta disediakan makanan," demikian Tok-gan-bu-siang Ong
Sian-ho menanggapi
Lalu terdengarsuara pintu digedor dengan keras
"Siapa itu?" teriak Tui-beng-poaa-koan Toh Po-sit dari dalam
"Orang lalu!" jawab Ong Sian-ho
"Ada keperluan apa?" tanya pula Toh Po-sit
"Ingin numpang minum " jawab si mata satu
"Oo, silakan masuk!"
Lalu Ong Sian-ho dan Sing It-hong mendorong pintu dan
masuk ke ruangan tamu, melihat Toh po sit duduk di kursi
bambu, tanpa memberi hormat mereka lantas duduk juga di
samping tuan rumah
"Saudara tinggal sendirian di sini ?" tanya Tok-gan-bu-siang
dengar, menyeringai
Pada pundaknya tergantung sebuah bungkusan. melihat
bentuknya jelas itulah kotak pusaka palsu yang dirampasnya
dari Liong It-hiong.
Sambil mengangguk Toh Po-sit menjawab. "Betul, kalian
datang dan mana?"
"Dari bawah gunung," kata si mata satu

Toh Po-sit tertawa, "Jika kalian ingin minum silakan ambil
sendiri saja. Kakiku ada penyakit, tidak leluasa bergerak,
maaf tidak kuladeni "
Segera si mata satu Ong Sian-ho mendekati meja dan
menuang dua cangkir toh. secangkir disodorkan kepada si
tembong Co-jing-bin, sembari minum ia tanya lagi, "Saudara
she apa ?”
“She Toh," jawab Tui-beng-poan-koan.
"She apa?" si mata satu menegas dengan melengak.
"Toh," kata Toh Po-sit
Terpancar sinar mata satu dengan aneh, dengan menyeringai
ia berkata. "Sangat sedikit orang she Toh, namun pernah
kutahu ada seorang she Toh. yaitu kepala polisi terkenal di
Tiang-an, namanya Tui-beng-poan-koan Toh Po-sit. Apakah
saudara kenal dia' ?"
"Kenal,'' Toh Po-sit mengangguk.
Air muka si mata lalu terubah pucat, "Ada hubungan apa
antara dia denganmu?"
"Ada hubungan sangat erat," jawab Toh Po-sit
"Oo, betul ?" si mata satu menegas.
"Ya, sekarang dia sudah pensiun dan mengasingkan diri di
suatu tempat “
"Kutanya, ada huhungan apa antara kalian ?"

Tui-heng-poan-koan menatapnya dan balas tanya dengan
tersenyum "Untuk apa kau tanya urusan ini?'
"Ada seorang saudara misanku... “
Mendadak si tembong menyela, "Loliok. bicara urusan yang
benar saja “
Seketika suara si mata satu berubah, dengan wajah
tersenyum ramah ia berkata, "Rumah penduduk di sekitar sini
sangat sedikit, bukan?"
"Ya, cuma satu rumah in saja," Toh Po-sit menagangguk.
“Jika begitu, ingin kutanya, kira-kira satu jam yang lalu pernah
kau lihat dua pemuda lewat disini?”
"Oya, ada, bukankah dua pemuda yang masih muda belia?"
jawab Toh Po-sit.
"Aha, betult" seru si mara satu dengan gembira
"Mereka juga datang kesini dan minta minum, seorang di
antaranya membawa sebuah kotak yang aneh...."
Segera si mata satu membuka bungkusannya dan berkata,
'Serupa kotak ini bukan?"
"Ya betul ..!”seru Tui-beng-poan-koan dengan lagak terkejut
"He... aneh mengapa kalian juga mempunyai kotak seperti
ini?"
Si mata satu tidak menjawab, tapi tanya dengan cepat.
"Mereka masih berada di sini?
"Tidak, sudah pergi." jawab Toh Po-sit.

“Pergi ke mana?" cepat si mata satu tanya pula.
Toh Po-sit menggeleng, "Entah, cuma malam ini mereka akan
datang lagi
"Dan mana kau tahu ?" seru si mata satu dengan girang
"Mereka tanya padaku apakah malam ini boleh mondok
semalam di smi, kujawab boleh saja, lalu mereka pergi dengan
riang gembira," tutur Toh Po-sit
"Mereka menuju ke jurusan mana?" tanya si mata satu
"Ke atas gunung," tutur Toh Po-sit
Si mata satu alias Ong Sian-bo lantas tanya si tembong,
"Aneh. untuk apa mereka menuju ke atas gunung?"
"Tentu ada urusan penting." jawab si tembong
Memangnya urusan apa?" si mata satu merasa tidak habis
mengerti
"Siapa tahu!" kata sj tembong
"Eh. ada urusan apa kalian mencari mereka?" tanya Toh Po-sit
"Mereka itu penipu, kami hendak mencari mereka untuk
membikin perhitungan," tutur si mata satu.
"Oo. penipu? Memangnya barang apa yang mereka tipu
dari kalian ?" tanya Toh Po-sit dengan melengak.
Si mata satu menuding kotak palsu yang di bawanya,
jawabnya dengan gemas, "Mereka menggunakan kotak palsu

ini untuk menipu sebuah kotak pusaka asli milik kami sehingga
kami rugi besar, coba pantas mampus tidak perbuatan
mereka ?”
“O kiranya begitu, mereka memang pantas mampus” kata
Toh Po-sit “Sungguh rendah mereka, masih muda belia, tidak
belajar baik, tapi main tipu, sungguh pantas mampus!''
"Mereka bilang malam ini akan mondok disini?" tanya si mata
satu
"Betul," Toh Po-sit mengangguk.
"Kau kira mereka benar akan kembali lagi ke sini?"
“Bisa saja, mereka kan tidak perlu dusta padaku?
Lalu si mata satu berkata pula pada si tembong. "Lojit, kukira
mereka bermaksud menyembunyi-kan kotak itu di suatu
tempat, lalu kembali dan minta mondok di sini, bagaimana
pendapatmu?”
"Ya, aku sependapat denganmu."' si tembong mengangguk
"Jika begitu, biarlah kita tunggu saja di sini untuk membekuk
mereka," kata si mata satu dengan tertawa
Kembali si tembong mengangguk setuju. Si mata satu
menoleh kepada Toh Po-sit dan berkata, "Eh, dapatkah
saudara membantu kami"'
"Membantu apa?" tanya Toh Po-sit.
“Biarkan kami sembunyi di dalam rumah, bila mereka pulang,
hendaknya engkau pura-pura tidak tahu dan tetap melayani
mereka."

"Kemudian?" tanya Toh Po-sit
Si mata satu mengeluarkan sebuah botol porselen kecil,
dituangkan sebiji pil hitam dan diberikan kepada Toh Po-sit,
katanya, "Ini obat tidur, hendaknya diam-diam kau
campurkan.dalam makanan mereka sehabis mereka makan
tentu akan jatuh pingsan "
Tui-beng-poan-koan menerima pil itu dan diperiksa dengan
teliti, tanyanya kemudian, "Ini bukan racun?"
"Bukan, bukan," sahut si mata satu
Toh Po-sit menyimpan pil itu dipandangnya cuaca di luar.
katanya, "Hari sudah hampir gelap setiap saat mereka bisa
datang. Jika kahan hendak sembunyi, sebaiknya sekarang
juga lekas sembunyi."
"Sebaiknya sembunyi di mana?" tanya si mata satu.
Dengan terhuyung-huyung Toh Po-sit berdiri, katanya.
"Sembunyi saja di dalam kamarku, tidak nanti mereka
menerobos ke dalam kamarku “
Sembari bicara ia membawa mereka masuk ke kamar
Ia melangkah dengan sangat lambat, satu tindak cuma
bergeser sekian senti. serupa seorang lumpuh
Si mata satu merasa heran, ia tanya. Kedua kakimu ini
kenapa?"
"Dua tahun yang lalu aku pernah sakit lumpuh, tutur Toh Posit
dengan menyesal "Meski jiwaku dapat dipertahankan, tapi
kedua kaki tidak mau turut perintah lagi "

"Jika gerak-gerikmu tidakleluasa mengapa tinggal sendirian di
sini?"'
"Soalnya aku suka ketenangan, sebab itulah kuminta anakku
membangun gubuk ini”
"Kenapa tidak menggunakan pelayan?'' tanya si mata satu
"Ada seorang mak tua, kebetulan kemarin pulang kampung
karena punya cucu "
Tengah bicara mereka sudah sampai di depan sebuah
kamar, Toh Po-sit membuka pintu dan berkata, 'Inilah kamar
tidurku, silakan kalian sembunyi saja di dalam "
Tok-gan-bu-siaug dan Co-jing-bin lantas masuk ke situ.
"Kalian lapar tidak?" tanya Toh Po-sit
“Ada sedia makanan di sini?" tanya Tok-gan-bu-siang alias si
setan jangkung mata satu.
"Ada sekadarnya, silakan kalian duduk sebentar, akan
kuambilkan," habis berkata Toh Po-sit lantas merapatkan
pintu kamar dan menuju ke dapur
la geser langkahnya yang pelahan serupa siput menuju ke
dapur, dibukanya lemari makan dan
mengeluarkan sepiring bakmi goreng sisa siang tadi.
Dipanaskan sisa bakmi itu di dalam wajan, ditambahnya air,
lalu menyalakan api tungku
Tidak lama sisa bakmi goreng itu telah dimasaknya menjadi
bakmi kuah, ia tuang bakmi

kuah di dalam dua mangkuk dan dilengkapi dua pahang
sumpit lalu dibawanya ke kamar, dengan bahu ia dorong
pmtu kamar, katanya dengan tertawa, "Sudah kubuatkan
dua mangkuk bakmi kuah. silahkan kalian makan seadanya"
Si mata satu dan si tembong sedang duduk di tepi ranjang,
melihat dia masuk dengan membawa dua mangkuk bakmi
kuali, cepat mereka menyongsong dan menerimanya, kata si
mata satu dengan tertawa. 'Terima kasih!"
"Ah, jangan sungkan," jawab Toh Po-sit
Si mata satu memandang mi kuah yang dipegangnya, tibatiba
ia tanya dengan tertawa, "Eh, di manakah pil yang
kuberikan padamu tadi1?''
"Ada, di sini," sabut Toh Po-sit.
“Di mana?" tanya si mata satu
Toh Po-sit merogoh keluar pil yang dimaksud. katanya, "Ini,
betul tidak?"
Maka tertawalah si mata satu. katanya, "Baiklah. jangan hilang

“Tidak, tentu tidak," kata Toh Po-sit
“Sebentar bila mereka datang, hendaknya kau bicara dengan
mereka dengan suara keras supaya kami dengar di dalam
kamar”.
"Baik, baik," dengan tersenyum Toh Po-sit mengundurkan diri
dari kamar dan kembali keruangan depan serta duduk di
tempat semula diambilnya sebuah pipa tembakau panjang,
lalu menyalakan api dan mulai udut.

Di dalam kamar si mata satu dan si tembong tidak segera
makan mie kuah itu, mereka menaruh mangkuk mi di atas
meja, lalu si tembong berkata. "Loliok, kurasa tua bangka itu
agak aneh baiknya kita jangan makan bakmi ini "
'Memang kurasakan juga dia agak aneh," kata si matasatu."
Cuma kita kan tidak ada permusuhan dengan dia,
tentunya dia takkan meracuni kita."
"Untuk meracuni kita kan tidak perlu harus bermusuhan dulu,"
ujar si tembong
"Ya, tapi kan tidak ada tanda-tanda dia orang jahat?"
"Biar kulihat dulu apa yang sedang dilakukannya sekarang,
kalau tidak ada yang mencurigakan
barulah kita makan mi kuah ini," habis berkata si tembong
lantas membuka pintu, dengan pelahan ia menyelinap keluar
Dengan langkah berjinjit jinjit ia merunduk ke samping pintu
dia coba mengintip keluar, dilihatnya Tui-beng-poan-koan
sedang duduk dan asyik udut, sikapnya tenang dan santai,
sama sekali tidak ada sesuatu tanda mencurigakan.
Pelahan ia menyurut mundur kembali ke dalam kamar katanya
dengan suara lirih, "Ia sedang udut di ruang depan,
tampaknya tiada sesuatu apa "
"Jika begitu marilah kita makan," ajak si mata satu
"Nanti dulu," kata si tembong
'Ai, ada apa lagi?"
"Sebaiknya dicicipi dulu satu sumpit."

"Kamu sungguh terlampau hati-hati," ujar si mata satu sambil
mengangkat mangkuk dicicipinya satu sumpit mi kuah itu.
sambil mulut mengunyah dan mata berkedip, katanya dengan
tertawa,
"Ehm, lumayan rasanya!"
"Tidak ada rasa yang ganjil ?" tanya si tembong sangsi.
“Tidak ada," si mata satu menggeleng
Setelah berulang tanya lagi baru si tembong merasa lega,
segera ia ikut duduk dan makan bakmi kuah itu
Baru saja selesai mereka makan, mendadak pintu kamar
diketuk orang
Si tembong berjingkat, teriaknya "Siapa itu?"
Sebabnya dia kaget adalah karena sebelum pintu diketuk,
pada hakikatnya ia tidak mendengar sesuatu suara orang
mendekati pintu
“Aku!'' terdengar jawaban Tui-beng-poan-koan di luar kamar
Dengan was-was si tembong memandang si mata satu,
tanyanva dengan suara tertahan, "Adakah kaudengar suara
langkahnva tadi ?”
Si mata satu menggeleng.
Seketika si tembong merasa prihatin, sejenak ia tatap pintu
kamar, habis ini barulah ia membuka Pintu.

DilihatnyaTui-beng-poan-koan berdiri di depan pintu dengan
tersenyum, tanpa terasa si tembong menyurut mundur
selangkah dan bertanya,
"Ada urusan apa?”
"Kalian sudah makan ?" tanya Toh Po-sit dengan tertawa
Si tembong mengangguk, “Ya, kepandaian masakmu memang
boleh juga, cukup enak bakmi kuah tadi.
"Ha..ha " Tui-beng-poan-koan terbahak "Terima kasih atas
pujianmu."
“Mereka mungkin takkan datang kemari," segera si mata satu
menyambung
"Hari baru saja gelap, tunggulah sebentar lagi," kata Toh Posit
ia merandek sejenak, lalu
menyambung dengan tertawa. "Ai, aku ini memang sudah
pikun, sejauh ini belum lagi mengetahui nama kalian yang
terhormat"
"Aku she Ong bernama Sian-bo, ini saudara angkatku,
namanya Sing It hiong."
"O, selamat berkenalan," kata Toh Po-sit sambil memberi
hormat
"Dan saudara sendiri bernama siapa?" tanya si mata satu
Ong Sian ho
Toh-beng-poan-koan tersenyum dan menjawab,"Namaku Posit'"

"Hahhh!" si mata satu terperanjat "Jadi jadi engkau Ini Toh
Po-sit ?''
Orang tua itu mengangguk dengan tersenyum
"Jadi engkau ini Tui-Beng-poan-koan ?” si tembong ikut
menegas
Kembali Toh Po-sit mengangguk
Serentak si mata satu meraba tangkai pedang katanya dengan
kejut dan curiga. "Kabarnya engkau sudah mati, kiranya masih
hidup di dunia ini '
" Pensiun dan mati tidak banyak bedanya," kata Tui-bengpoan-
koan tersenyum. "Seorang kalau sudah pensiun kan
tidak ada bedanya serupa mayat hidupbelaka…"
Segera si tembong juga menarik rujungnya dan siap tempur,
ucapnya, "Waktu kami masuk kemari tadi, kenapa tidak
kaukatakan terus terang?"
"Kalian kan tanya padaku kenal Toh Po-sit tidak, kujawab
kenai, kalian juga tanya ada hubungan apa antara Toh Po-sit
denganku kubilang sangat erat hubungannya. Pula sudah
kuberitahukan kepada kalian bahwa dia sudah pensiun dan
mengasingkan diri di suatu tempat, apakah semua itu belum
cukup jelas?"
"Kukira engkau pasti kenal kami, betul tidak?" tanya si mata
satu dengan sikap bermusuhan
"'Lok-lim-jit-coat, sudah lama kudengar julukan kalian," jawab
Po-sit

"Kau tahu sahabat kalangan liok-lim yang terjungkal di
tanganmu berjumlah tidak sedikit'
"Ya, sedikitnya sudah lebih 300 orang," ucap Po-sit tak acuh
Seketika si mata satu menarik muka, ucapnya dengan seram,
"Tentu kaupun tahu tidak sedikit sahabat jang ingin mencari
dan membikin perhitungan denganmu."
"Ya, kutahu."
"Dan aku ini termasuk satu di antaranya,' kata si mata satu.
"OoT?” Toh Po-sit tetap tak acuh
Seketika timbul nafsu membunuh pada air muka si mata satu
katanya. "Tentang alasanmu mengundurkan diri dan dunia
kangouw. apakah benar karena penyakit kakimu?"
"Bukan," jawab Po-sit sambil menggeleng.
'Habis, apa sebabnya?" tanya si mata satu.
Sebagai pejabat polisi, meski secara resmi dapat ku tumpas
kaum penjahat, tapi banyak pula urusan yang tidak dapat
kulakukan secara leluasa alasanku minta pensiun justru agar
aku dapat bekerja dengan bebas dan leluasa"
Si mata satu menjengek, "Hm, sungguh aku tidak mengerti,
mengapa kau selalu memusuhi sahabat lok-lim kami?"'
"Hanya karena minat saja." jawab Toh Po-sit
"Tapi minat demikian pada suatu hari pasti dapat membuat
jiwamu melayang,'' kata si mata satu sambil menyeringai.

"Untuk ini aku sendiri cukup maklum," kata Toh Po-sit
'Seorang panglima pun setiap saat
dapat gugur di garis depan, hal ini tidak pernah kupikirkan
lagi, umpama aku mati juga tidak rugi malahan sudah banyak
untung"
"Ada seorang adik misanku mati di tanganmu beberapa tahun
yang lalu sejauh ini ingin kubikin perhitungan denganmu,
kemudian ku dengar kamu sudah mati. tak tersangka
sebenarnya kamu masih hidup, sungguh sangat kebetulan hari
ini dapat bertemu di sini denganmu tanpa susah payah kucari

"He-he, boleh juga" ucap Toh Po-sit tak gentar
'Creng', serentak si mata satu melolos pedangnya, dengusnya,
"Hm, hari ini biar kubelajar
kenal denganmu!"
Habis berkata segera pedang bergerak dan bermaksud
menyerang.
"Nanti dulu Loliok'" seru si tembong alias Sing It-hong
"Harus kita tanya dia sejelasnya sesungguhnya Liong It-hiong
dan Pang Bun-hiong itu apakah benar pernah datang
kemari?'"
"Tidak perlu tanya lagi," ujar si mata satu "Yang
dikatakannya pasti dusta."
"Haha. kamu salah, yang kukatakan justru sejujurnya," seru
Toh Po-sit denga tertawa.
'Kalau tidak percaya, silakan kalian melihatnya sendiri keluar,
itu dia, mereka sudah di situ."

Begitu selesai bicara serentak ia menggeser mundur keluar
halaman
Ternyata di halaman memang betul sudah berdiri dua orang
pemuda, siapa lagi katau bukan Liong It-hiong dan Pang
Bun-hiong.
Cepat si maia satu dan si tembong juga mengejar keluar,
melibat Bun-hing dan It-hiong berdiri di situ dengan senyum
dikulum, air muka mereka berubah seketika.
"Ayo maju kemari, jika kalian masih mau bergebrak, silakan di
sini saja lebih luas." Kata Toh Po sit tertawa.
Mendedak si tembong menarik ujung baju si mata satu.
desisnva dengan kuatir. "Wah, Loliok. kepalaku terasa agak
pusing'”
Saat itu si mata satu sendiri juga meresa kepala pening,
dada sesak dan mual. kedua kaki terasa lemas pula, keruan
ia sangat terperanjat, serunya, "Wah, celaka, kita
keracunan, lekas lari”
Segera ia mendahului melompat ke luar halaman, tapi baru
saja ia meloncat ke atas, kontan ia jatuh terbanting di tanah
serupa burung yang kena pelinteng
Begitu pula si tembong mengalami nasib yang sama.
Air muka si mata satu berubah pucat pasi, sekuatnya ia coba
mengangkat tubuhnya dan meraung.
"Toh Po-sit, caramu ini terhitung ksatria macam apa? Huh.
ternyata kau juga suka bertindak secara rendah begini, pakai
racun segala!"

"Ini namanya senjata makan tuan” jawab Toh Po-sit dengan
tersenyum "Kalian kan bermaksud membunuh orang dengan
racun, maka aku pun menggunakan racun supaya kalian tahu
bagaimana rasanya "
“Lekas berikan obat penawarnya'' teriak si mata satu beringas
“Tidak ada obat penawar." jawab Toh Po-sit sambil
menggeleng
Muka si mata satu pucat serupa mayat, kontan ia mencacimaki
"Dirodok, sesungguhnya apa kehendakmu?. Lekas buka
kartu, apa syaratmu"'
“Aku tidak menghendaki lain. hanya minta jiwa kalian," jawab
Toh Po-sit ketus "Kejahatan kalian sudah kelewat takaran,
sudah tiba waktunya kalian mendapatkan ganjaran setimpal
"
Cemas dan gugup si mata satu, teriaknya parau 'Kamu tidak
berhak menjatuhkan kematian kepada kami, jika kauanggap
kami pantas mati, harus kauserahkan kami kepada pihak
yang berwajib”
"Diserahkan pihak yang berwajib berarti ada kesempatan bagi
kalian untuk kabur, begitu bukan? jengek Toh Po-sit
Karena isi hatinya tepat tertebak, seketika si mata satu
bungkam
Tui-beng-poan-koan mendengus. "Hm. tadi kan sudah
kukatakan, sebabnya aku pensiun adalah karena aku ingin
bekerja secara bebas dan leluasa.
Dahulu bilamana buronan kutangkap, karena terbatas oleh
ketentuan undang-undang sukar bagiku untuk menjatuhkan

hukuman mati bagi mereka, seringkah memberi kesempatan
kepada mereka untuk kabur. Sebab itulah sengaja kuminta
pensiun saja Sekarang kedudukanku adalah rakyat biasa.
aku dapat bertindak se sukaku tanpa terikat.
Si mata satu mulai merasakan perut melilit, ia tahu racun
mulai bekerja, ajalnya sudah dekat, tanpa teraba tubuh
bergemetar, ucapnya dengan terputus-putus, "Aku …kami
tidak ada permusuhan apa pun denganmu mengapa .. .
mengapa engkau memperlakukan kami sekeji ini?"
Pada waktu kalian melakukan kejahatan, apakah pernah
kalian pikirkan bahwa para korban itupun tidak pernah ada
permusuhan apa pun dengan kalian?" tanya Toh Po-sit
Kembali si mata satu tidak mampu menjawab
"Toh Po-sit," dengan memelas si tembong memohon, "harap
engkau suka membebaskan kami, seterusnya kami akan
kembali ke jalan yang benar, boleh?"
"Ya, mohon ampuni kami sekali saja, kami bersumpah akan
menjadi manusia baru," tukas si mata satu cepat
Tui-beng-poan-koan menggeleng kepala, tanpa bicara ia
melangkah keluar It-hiong dan Bun-hiong juga ikut keluar.
Mereka menuju ke depan rak bunga di ruangan depan, Tuibeug-
poan-koan mengangkat turun satu pot tanaman pohon
cemara kerdil, ia berjongkok dan merawat tanaman bougsai
itu.
Agaknya dia tak mau lagi memikirkan si mata satu dan si
tembong yang sedang bergelut dengan elmaut.
"Apakah engkau benar-benar menghendaki mereka mati
keracunan'" tanya It-hiong

'Ehm,' Tui-beng-poau-koan mengangguk.
“Tidak kautanya mereka sedikit urusan lagi"' kata it-hiong
"Tanya apa?"
"Mereka tentu tahu apa isi kotak pusaka,bukankah engkau
pun ingin tahu?'
'"Tidak, setelah minta keterangan mereka, lalu menyaksikan
mereka mati begitu saja, kurasa terlampau tidak
berperikemanusiaan."
"Jika aku, rasanja lebih suka mengampuni jiwa mereka untuk
mendapatkan rahasia isi kotak." kata Bun-hiong tiba tiba
"Bagiku justru lebih suka kehilangan seratus buah kotak begitu
dan tetap akan menghukum mati mereka," tukas Tui-bengpoan-
koan
'Sebab apa?" tanya Bun-hiong
"Sebab aku kan Tui-beng poan-koan (jaksa penuntut nyawa),
barangsiapa yang pantas mampus pasti takkan kulepaskan dia
"
"Selain itu apakah masih ada alasan lain?" tanya Bun-hiong.
"Sejak umur delapan aku sudah yatim piatu, sebabnya adalah
karena pada suatu hari rumahku kedatangan sekawanan
bandit. mereka membunuh ayah-bundaku dan saudaraku,
mereka merampok harta benda milik kami, kemudian aku
berguru dan belajar kungfu, aku bersumpah selama hidupnya
akan menumpas kawanan penjahat pada umumnya "

Ia menengadah, lain berkata pula dengan tersenyum, "Itulah
salah satu alasanku mengapa harus kuhukum mati mereka,
apakah alasanku ini tidak cukup kuat?"
Wajah Bun-hiong tidak ada senyum lagi, dengan khidmat ia
mengangguk
"Kutahu,' kata Toh Po-sit pula dengan menghela napas.
"dengan menghukum mati mereka sesungguhnya aku
membantu si gembong iblis perencana intrik itu untuk
membasmi lawan-lawannya, tapi terpaksa aku tidak dapat
berpikir banyak lagi "
"Sesungguhnya siapakah si perencana intrik itu?" tanya Ithiong.
"Yaitu orang yang membuat kotak mi," kata Toh Po-sit.
"Menurut pendapatmu, selain berisi intrik, kotak itu tiada
berisi barang lain lagi?" tanya It-hiong
"Ya, hampir mutlak dapat dikatakan begitu," Toh Po-sit
mengangguk
"Jika begitu, untuk apalagi kita mencari gembong iblis yang
misterius itu di Cap pek pan-nia?"
Tui-beng poan-koan tersenyum .”Tidak, harus kau pergi ke
sana, sebab perencana intrik itu sangat mungkin adalah dia
sendiri "
Ia merandek sejenak, lalu berkata pula, "Nah sekarang boleh
kalian seret mayat mereka keluar dan ditanam"
It-hiong dan Bun-hiong menuju ke halaman, terlihat si mata
satu dan si tembong sudah kaku tak berkutik lagi, hidung,

mata, mulut dan telinga mereka keluar darah. Sedang Oh
Beng-ai tampak berdiri bingung di situ
'Mestinya jangan kau keluar.' kata li-uiong mendekati wanita
itu
“Kedua orang iin mereka…" ucap Beng-ai dengan muka pucat
"Kau kenal mereka?" tanya It-hiong dengan tertawa.
Cepat Beng-ai menggeleng. "Tidak kenal mereka. Maksudku,
mereka mati dengan sangat mengenaskan.
"Tidiak," ujar It-biong. "Cara mati mereka memang betul
menakutkan, tapi kematian mereka tidaklah mengenaskan.
Sebab selama hidup mereka telah membunuh orang tak
terhitung jumlahnya, kematian mereka adalah ganjaran yang
setimpal."
"Mengapa mereka bisa datang kemari'" tanya Beng-ai.
"Apalagi selain ingin mendapatkan kotak itu," tutur It-hiong.
Beng-ai menghela napas dan bergumam.
"Manusia mati karena harta, burung mati karena mencari
pangan, pameo ini memang tidak salah .
It-hiong mengangkat mayat si mata satu, katanya kepada
Bun-hiong. "Boleh kau angkat mayat satunya, ayo'"
Begitulah mereka mengangkat kedua mayat itu keluar
rumah, mereka mencari suatu tempat dan menggali sebuah
liang untuk menguburnya

Setiba kembali di rumah gubuk itu, Beng-ai sudah menyiapkan
santapan, mereka berempat lantas makan malam
"Setelah kotak itu ditemukan kembali, besok juga boleh kalian
membawanya ke Cap-pek-pan-nia," kata Tui-beng-poan-koan
Toh Po-sit sambil makan. "Esok juga aku akan pulang ke sana,
selanjutnya boleh kalian menemuiku di sana."
Habis bicara ia lantas hendak kembali ke kamar
"Eh, nanti dulu," kata It-hiong. Lantas bagaimana dengan
nona Oh?"
"Biarkan dia tinggal saja di ini” ucap Toh Po-sit
"Kurasa kurang aman membiarkan dia tinggalan sendirian di
sini," ujar It-hiong. "Kenapa engkau tidak membawanya ke
sana sekalian?"
Toh Po-sit berpikir sejenak, katanya kemudian sambil
mengangguk, "Ehm, boleh juga kubawa dia ke sana, di sana
memang juga perlu seorang perempuan yang dapat
menanak nasi."
Habis berkata ia lantas kembali ke kamarnya.
Beng-ai tampak kurang senang, ia menggerundel terhadap Ithiong,
"Kenapa bukan engkau saja yang membawaku pergi?'
Kau minta kubawa dirimu ke Cap-pek-pan-nia ?'' tanya Ithiong
'Ya,'" si nona mengangguk
"Ai, jangan bercanda." ujar It-hiong tertawa

Jika kamu mahir kungfu masih mendingan, tapi dirimu cuma
seoraug nona yang lemah dan tidak tahan sekali pukul"
"Aku tidak takut," jawab Beng-ai.
Namun It-hiong tetap menggeleng
Mulut si nona menjengkit, ia bersihkan meja makan, sesudah
mencuci mangkuk piring, ia kembali lagi ke ruangan dan
berkata. "Bagaimana kalau kita berjalan-jalan keluar?"
"Baiklah," jawab It-hiong sambil berbangkit
Keduanya lantas meninggalkan Pang Bun hiong dan keluar,
mereka menyusur sebuah jalan setapak yang menuju ke
lereng gunung.
Cuaca malam ini sangat Indah, cahaya bulan terang dan
lembut, angm meniup sepoi basah mengiringi bayang pohon
bergoyang pelahan, Mereka berjalan berendeng melintasi jalan
setapak tesebut serupa sepasang kekasih
Sekian lamanya mereka berjalan dengan diam kemudian Liong
It-hiong yang membuka suara lebih dulu, "Ada urusan apa
hendak kau bicarakan denganku?"
Beng-ai seperti tenggelam dalam lamunannya. selang sejenak
barulah menjawab. "Aku tidak tahu apa yang harus
kukatakan”
"Jika kau rasa tidak ada sesuatu yang perlu dirahasiakan,
segala apa tentu dapat kau katakan” ujar It-hiong.
Si nona mendadak berheti dan menatapnya dengan tajam,
tanyanya kemudian dengan suara lirih, "Apakah ben . . .
benar engkau suka padaku?"

'"Apakah kauminta kusumpah lagi?" tanya It-hiong dengan
tertawa.
Beng-ai tertawa malu, ucapnya, "Soalnya aku selalu merasa
tidak setimpal menjadi istrimu
"Sebab apa?" lanya It-hiong
"Adu dua sebab," jawab Beng-ai “Pertama. aku kan
perempuan yang sudah… "
"Soal pertama tidak perlu kau pikirkan,” potong lt-hiong
dengan tertawa "Kutahu engkau masih suci bersih, dan itu
sudah cukup. Katakan saja yang kedua"
Beng-ai ragu sejenak, lalu berkata. "Kedua asal-usulku tidak
bersih, sudah lama mestinya hendak kukatakan padumu
namun aku merasa takut dan….”
"Jangan takut katakan saja terus terarig.”uiar lt-hiong
"Sesudah kukatakan, biaa jadi engkau akan terus melengos
dan tinggal pergi “
"Tidak, pasti tidak "
“Betul ?”
"Ya!"
"Aku….aku adik perempuan Eng-jiau-ong Oh Kiam-lam'"
habis berkata demikian Beng-ai lantas menunduk.
It-hong sangat senang, pelahan ia angkat dagu Si
nona.diciumnya berulang bibir Beng-ai yang tipis itu

Muka si nona menjadi merah, malu dan girang, ia
membenamkan mukanya di dada anak
muda itu dan bertanya. 'Engkau tidak menvesal ?*'
“Tidak, sama sekali tidak," jawab It-hiong mantap sambil
merangkulnya erat-erat
"Tentu sangat di luar dugaanmu. Bukan?'" tanya Beng-ai.
"Tidak, sudah lama kutahu kamu adik perempuan Oh Kiamlam.
selama ini sengaja kutunggu Kau bicara sendiri padaku."
"Oo. jadi engkau sudah tahu sebelum ini ?” terbelalak mata
Beng-ai
"Ya," kata It-hiong
Beng-ai menjadi curiga, 'Hah, jadi kunjunganmu ke Liu-jun-ib
dulu memang sengaja hendak mendekati aku?"
"Kau bicara dengan terbalik” kata It-hiong tertawa "Kamu
yang sengaja mendekati aku. Waktu itu kamu berkomplot
dengan In-tiong-yan Pok Yang-thian dan muncul di kelenteng
itu dengan nama samaran Ni Beng-ai dan menipu kotak
pusakaku "
"Betul, sampai kulupa pada peristiwa tersebut," kata Beng-ai
dengan tertawa "Cuma apa yang kulakukan itu adalah karena
dipaksa oleh Pok Yang-thian. Dia kan saudara angkat kakakku
terpaksa harus kukerjakan baginya"
'Kautahu apa isi kotak itu?" tanya It-hiong
"Tidak tahu," jawab Beng-ai sambil menggeleng. "Berulang
pernah kutanya dia, namun dia tidak mau menjelaskan "

'Biar kuberitahukan padamu. Mereka yakin di dalam kotak itu
tersimpan shelai peta rahasia tinggalan kakakmu, yaitu peta
rahasia harta karun. maka terjadilah perebutan kotak itu
dengan saling membunuh."
"Oo …” Beng-ai terkejut
"Apakah kau tahu kakakmu dibunuh oleh siapa?" tanya Ithiong
"Tidak tahu." Beng-ai menggeleng
"Konon kakakmu meninggalkan satu partai harta itu?"
"Aku tidak tahu. meski aku ini adiknya, tapi selamanya aku
tidak berani tanya urusannya," jawab si nona dengan
menggeleng pula.
"Sebab apa engkau sampai terjerumus ke rumah hiburan?"
tanya it-hiong
"Kautahu, meskiki Bu-lim-jit-coat adalah saudara angkat
kakakku tapi sebenarnya persaudaraan di antara mereka
cuma akur di luar dan renggang di dalam sering mereka
bertengkar karena pembagian rejeki yang tidak merata,
mereka menuduh kakak terlampau serakah dan sesungguhnya
kakak memang rada rakus”
"Sebagai pemimpin besar ke 72 sarang bandit ketujuh propinsi
selatan, adalah layak jika bagiannya lebih besar daripada yang
lain." ujar It-hiong
"Sering kuberi nasihat agar cuci tangan saja dan jangan
bekerja pula, namun dia tidak mau menurut, tebaliknya aku
didamperat habis-habisan. Kemudian aku pun tidak berani
omong lagi. Namun kutahu Lok-lim-jit-coat merasa dendam

kepada kakak tampaknya ada maksud mereka akan memakna
kakak mengundurkan diri dari pimpinan."
"Bisa jadi kakakmu dibunuh oleh mereka bertujuh?" ujar Ithiong
"Tidak, waktu kakak meninggal mereka sama berada di
markas besar, kukira tidak mungkin dilakukan oleb mereka.
Cuma ketika mereka menerima berita kematian kakak,
mereka memang kelihatan sangat gembira, malahan
mengadakan pesta perayaan. Kutahu tak dapat lagi tinggal di
sana, cepat kularikan diri Aku kabur ke Hangciu untuk
mondok di tempat seorang saudara ibuku, siapa tahu paman
itu sudah pindah tempat, terpaksa kutinggal di hotel tanpa
berdaya, akhirnya aku kehabisan sangu orang hotel
mengusirku, karena tiada jalan lain, terpaksa ku …”
Bertutur sampai di sini. pecahlah tangisnya dengan sedih
"Jangan menangis, dalam keadaan begitu, apa yang
kaulakukan memang dapat dimaklumi." dengan lembut Ithiong
menghiburnya
'Engkan tidak memandang hina padaku?" tanya Beng-ai
sambil mendongak dengan air mata masih meleleh
"Pasti tidak," jawab lt-hnmg,
Maka Beng-ai bertutur pula, "Meski aku terjerumus di rumah
hiburan, namun nasibku tidak terlampau jelek, karena induk
semang melibat wajahku cukup lumayan maka aku tidak boleh
sembarangan menerima tamu, lantaran itulah aku dapat
bertahan kebersihan tubuhku hingga kini. Ini sesungguhnya,
hendaknya engkau percaya padaku "
"Kupercaya," tukas It-hiong dengan tersenyum

Beng-ai tertawa sambil mengusap air matanya "Aku sangat
bahagia berkenalan denganmu “
"Aku juga," kata It-hiong
“Tapi ingin kutanya padamu, aku kau bawa kesini apakah ada
maksud tujuan tertentu?" tanya Beng-ai tiba-tiba
"Kau kira aku ada maksud tujuan lain ?" It-hiong tersenyum.
"Sebaiknya tidak ada," si nona merasa terhibur
"Hendaknya kau percaya saja padaku " kata it-hiong.
"Selaputnya tidak peduli apa yang terjadi, yang pasti, tidak
akan kubikin susah padamu.'
Gembira sekali Oh Beng-ai kembali ia membenamkan
kepalanya di dada anak muda itu
Esok paginya, dengan membawa kotak palsu itu It-hiong dan
Bun-hiong meninggalkan lagi Bokkan-san dan menuju ke
utara.
Setelah perjalanan dua hari, tibalah mereka di kota Kimleng,
Bun-hiong mengundang It-hiong mampir ke rumahnya untuk
bermalam esoknya mereka melanjutkan perjalanan menuju ke
utara
Berturut-turut empat-lima hari telah lalu selama itu "tidak
terjadi sesuatu, hal ini rada di luar dugaan Liong It-hiong,
katanya dengan tertawa, "Sekail ini agaknya kita dapat
sampai di Cap-pek-pan-nia dengan selamat."
"Ya, semoga,'' kata Bun hiong.

Sebelum ini. setiap kali kotak ini berada ditangan siapa pun,
dalam waktu singkat tentu akan muncul perampas, tapi sekali
ini ternyata tidak terjadi gangguan, maka sekali ini kita
mungkin dapat mencapai tempat tujuan dengan aman."
Mungkiri orang tahu kotak yang kita bawa ini barang palsu,"
kata Bun-hiong dengan tertawa, "maka ……”
"Kukira hal ini tidak mungkin," potong it-hiong. "Seumpama
ada seorang misterius selalu mengikuti jejak kotak pusaka ini,
sekali ini kecuali dia pernah menyusup ke rumah gubuk
tempat tinggal Toh-locianpwe itu, kalau tidak, tak mungkin dia
tahu barang yang kita bawa ini adalah palsu. Padahal kau
tahu betapa hebat kepandaian Toh Po-sit, jika ada orang
menyatroni tempat tinggalnya, betapapun sulit terlepas dan
mata telinganya "
“Jika begitu, mungkin tokoh yang misterius itu telah
membuntuti jejak Ang-liu-soh Ban Sam-hian." ucap Bun-hiong
dengan tertawa
It-hiong mengangguk, '"Betul, mungkin kotak palsu yang
dibuat Hui Giok-koan itu selain dapat menipu Ban Sam-hian,
bisa jadi tokoh misterius itu pun ikut tertipu sehingga ia pun
mengikuti jejak Ban Sam-hian."
Tapi segera ia membantah alibi sendiri, katanya pula denga
menggeleng, "Namun jika demikian halnya, kenapa Tok-ganbu-
siang dan Cojing-bin justru mengikuti diriku?'
"Mungkin secara tidak sengaja dia melihat kotak yang
kaubawa itu," kata Bun-hiong
“Tidak aku tidak peceaya bisa terjadi kebetulan seperti itu…"

"Memangnya kau suka ada orang muncul untuk merampas
kotak palsu ini?"
"Ah, jangan bercanda, masa aku suka terjadi begitu"'
"Jika tidak suka hendaknya engkau jangan sangsi dan curiga
macam-macam lagi."
Liong It-biong memandang sekitarnya, katanya kemudian.
“Tampaknya kita sudah hampir sampai di Jiciu bukan?”
"Ya kira kira tujuh atau delapan li lagi.' kita Bun-bong.
Apakah malam ini kita akan tinggal di Jiciu…..”sampai di situ,
mendadak ucapannya terputus dan mendadak berhenti
melangkah.
Bun-hiong juga ikut berhenti, ia pandang hutan di kedua
samping jalan, katanya dengan tertawa. "Sungguh
aneh.tempat ini bukan hutan lebat di tengah pegunungan,
darimana datangnya suara binatang buas?”
Kiranya serentak mereka mendangat suara auman serupa
suara harimau, sebab itulah mereka terkejut dan sama
berhenti
"Mungkinkah suara guruh?" kata It-hiong sambil celingukan
kian kemari.
Sekonyong-konyong terdengar lagi lebih jelas raungan
harimau berkumandang dan dalam hutan sana.
"Masa ini suara guntur''" ucap Bun-luoug dengan tertawa.
It-hiong memegang pedang yang buru dibelinya, katanyn
dengan prihatin, "Aku tidak percaya di sini ada harimau “

“Hauungg'' suara auman itu semakin dekat. “Ini bukan suara
harimau “Ucap Bun-hiong
dengan air muka berubah
"Habis apa kalau bukan harimau." tanya it-hiong kuatir
''Macan tutul!" kata Bun hiong
"Darimana kau tahu ?" tanya it-hiiong dengan terkesiap
"'Tahun yang lalu pernah akuu berburu bersama beberapa
kawan dan banyak melihat binatang buas sebangsa harimau
kumbang dan macan tutul maka dapat kubedakan suara
mereka"
“Jika benar macan tutul tentu terlebih sulit dihadapi." kata lthiong
dengan kuatir.
Tiba-tiba terdengar lagi suara raungan yang terlebih keras
suaranya sudah semakin dekat malahan sudah mulai
terdengar suara ''Srek-srek"' suara langkah harimau
Segera Bun-hiong melolos pedang, katanva. “Jika di tempat ini
ada macan tutul, mau-tak-mau kita harus memberantasnya
kalau tidak ...”
Ucapnya terputus mendadak, sebab dia sudah melihat
munculnya macan tutul. Seekor macan tutul yang
menakutkan. Binatang buas ini muncul dari hutan yang
berdekatan, kedua buah matanya yang hijau berkilat itu
menatap It-hiong berdua dengan buas.
Namun macan tutul ini tidak muncul dengan sendirinya
melainkan dituntun orang, yang menuntun macan tak-laintak-
bukan adalah Kim-ci-pa Song Goan-po

"Aha. kiranya engkau, Song-tangkeh!' teriak It-hiong
"Ya, kembali kita berjumpa pula," jawab Song Goan-po sambil
terkekeh
Ia menuntun macan tutul ini dan berhenti di tengah jalan
dengan sikap mengadang.
It-hiong bekernyit kening, katanya, "Dari mana kau dapatkan
macan tutul ini ?”
“Ini macan piaraanku " tutur Song Goan po dengan tertawa.
Kupiara dia sejak kecil, maka dia sangat penurut pada
perintahku "'
"Kau gunakan dia untuk mencelakai orang?" tanya It-biong
"Tidak mesti," kata Song Goan-po. “Tanpa perintahkudia
takkan sambarangan mengganggu orang. Tapi sekali kuberi
perintah, hehe… "
It-hiong menuding Bun-hiong dan berkata pula, "Dia ini
sahabatku. Pendekar Harimau Pang Bun-hiong
"Haha, sayang dia bukan harimau tulen!" ejek Song Goan-po
dengan tertawa lebar.
Dia memang bukan harimau tulen, tapi dia mempunyai
kesaktian untuk menundukkan macan tutul tulen," kata Ithiong
dengan tertawa.
Berputar biji mata Song Goan-po, ia tatap Pang Bun-hiong,
katanya sambil menyeringai, "Apakah betul, anak muda?"

Bun-hiong melototi It-hiong sekejap, tegurnya "Hai, kenapa
kau timpakan kesulitan kepadaku ?”
It-hiong terbahak-bahak “Hahaha…engkau kan sudah,
berpengalaman memburu macan tutul, dan aku tidak."
"Hai Liong It-hiong, tentu kau tahu maksud kedatanganku,"
seru Song Goan-po. "Nah, lekas lemparkan bungkusan yang
kaubawa itu kepadaku '
It-hiong mengangkat pundak. jawabnya, "Sumber beritamu
ternyata makin lama makin cepat dan juga tajam ternyata
kamu sudah tahu aku bernama Liong it-hiong"
"Ketika di luar Liong-coan-ceng tempo hari bilamana kutahu
kamu ini Liong It-hiong, tentu sekali hantam sudah
kubinasakan dirimu," kata Song Goan-po
“Oya ?" It-hiong tertawa
"Sekarang tidak perlu banyak omong, kau mau beri kotak itu
atau tidak?" tanya Song Goan-po tak sabar
"Coba katakan dulu kepadaku cara bagaimana kau tahu kami
mendapatban kotak pusaka ini. Dari mana kau tahu kami
akan lalu di sini?" tanya lt-hiong
"Ada orang menyampaikan berita padaku,” tutur Song Goanpo.
"Siapa?" tanya lt-hiong pula,
"Entah…”
"Kenapa tidak tahu?''

“Tidak ada alangannya kukatakan terus terang padamu," tutur
Song Goan-po. "Tempo hari setelah ku kabur dan Liong-coanceng,
langsung ku datang ke selatan. Beberapa hari yang
lalu ku lewat di suatu tempat dan bermalam di suatu hotel.
pada waktu tengah malam mendadak ada orang membisiki
aku dari atas rumah, katanya kamu sudah mendapatkan kotak
pusaka ini,aku disuruh mencegat dirimu di uni. Habis bicara
orang itu lantas menghilang waktu kususul ke atas rumah
sudah tidak terlihat lagi bayangan orang itu '
“Dan suaranya tidak dapat kau kenali dia?" tanya It-hiong
“Tidak," kata Song Goan-po.
“Mengapa kau percaya kepada kisikan seorang yang tidak
jelas asal-usulnya?" tanya It-hiong
Song Goan-po tertawa, "Lantaran aku sudah kehilangan
petunjuk jejak kotak pusaka, tiba-tiba datang orang memberi
kabar begitu, terpaksa harus kupercayai ucapannya. Tapi
sekarang sudah terbukti orang itu tidak dusta padaku."
''Jika orang itu dapat membisikimu dari jarak jauh, ini
menandakan kungfu orang itu pasti sangat tinggi, jika dia tahu
di mana beradanya kotak pusaka dan dia sendiri tidak
merampasnya melainkan cuma menyampaikan berita itu
padamu, apakah kau tahu sebab apa dia berbuat demikian"
"Tahu,' jawab Goan po
“Coba katakan, sebab apa?"
"Ia bilang setelah kudapatkan kotak pusaka harus memberi
tiga bagian rejeki padanya sebab itulah kupercaya dia pasti
seorang dari kalangan putih yang cukup ternama disampntg
ingin mendapat bagian, di lain pihak kuatir pula diketahui

orang akan maksudnya itu sehingga merusak nama baiknya,
sebab itulah dia berbuat begitu secara diam-diam "
"Apakah rekaanmu ini masuk di akal?" tanya It-hiong.
"Masuk di akal," jawab Song Goan-po tertawa.
"Jika begitu, biar kutanya lagi satu soal padamu," kata Ithiong.
"Apakah kau tahu apa isi kotak itu?"
"Kau sendiri tidak tahu'" jawab Song Goan-po dengan heran
"Kutahu, tapi rahasia yang menyangkut kotak itu terlalu
banyak cerita yang.tersebar, maka ingin kudengar juga
pendapatmu "
Song Goan-po tertawa cerdik, katanya, "Kiranya kamu belum
mengetahui apa isi kotak itu. tapi ingin memancing
pengakuanku "
“Setahuku, kolak itu berisi sehelai peta rahasia harta karun
tinggalan Oh Kiam-lam, betul tidak”
Air muka Song Goan-po berubah, "Jika kamu sudah tahu,
mengapa tanya lagi padaku ?"
"Jika yang kau ketahui juga cuma sekian saja. maka biarlah
kukatakan padamu bahwa mutlak kotak itu tidak berisi peta
rahasia segala, yang ada cuma intrik belaka "
"Intrikk?" Song Goan-po melengak "Intrik apa?"
“Begini, menurut kenyataan yang sudah terjadi, di katangan
liok-lim daerah utara akhir-akhir ini tampil seorang tokoh
misterius, ia telah menjagoi berpuluh sarang bandit di
beberapa propinsi utara, tapi dia masih bermaksud

menaklukkan ke 72 sarang bandit daerah selatan. Karena dia
tahu setelah Oh Kiam-lam mati, lalu kalian sedang sibuk
mencari harta peninggalan Oh Kiam-lam. Maka ia sengaja
membuat, sebuah kotak pusaka untuk mengadu domba agar
antara kalian Lok-lim-jit-coat saling membunuh, bilamana
kalian bertujuh sudah menggeletak semua, maha dapatlah ia
menarik keuntungan tanpa susah payah dan menundukkan ke
72 sarang bandit sebagai anak buahnya."
"Dari mana kau tahu hal ini?" tanya Song Goan-po dengan
prihatin.
"Berdasarkan perkiraanku," jawab It-hioug
"Aku berani bertaruh denganmu, orang yang menyampaikan
bisikan padamu bahwa kotak pusaka berada di tanganku
bukan lain daripada gembong iblis Cap pek-pau-nia itu.”
Song Goan-po termenung sejenak, katanya dengan tertawa,
"Perkiraanmu memang cukup beralasan, tapi aku baru mau
percaya bilamana kotak pusaka itu sudah kulihat sendiri,
“Kotak itu berada di sini." kata It-hiong sarnbil menuding
bungkusan di atas punggungnya
"Tapi apakah kamu mampu membukanya?”
"Serahkan padaku, dengan sendirinya ada akalku untuk
membukanya," kata Goan-po
"Kotak ini juga berisi obat peledak, bila tidak dibuka menurut
cara yang sudah diatur setiap saat kotak ini bisa meledak."
"Ada caraku dapat membuatnya tidak meledak," ujar si botak
alias Song Goan-po

"Bagaimana caranya?"
"Tak dapat kukatakan padamu”
''Ya sudah jika tidak mau kau katakan lekas menyingkir.'"
Song Goan-po menepuk punggung macan tutul di
sampingnya, katanya sambil menyeringai "Boleh kau tanya
kawanku ini apakah mau menyingkir atau tidak."
It-hiong berpaling dan berkata kepada Pang Bun-hiong
dengan tertawa. "Pang heng, engkau adalah ahli memburu
binatang buas. sekarang giliranmu u ntuk beraksi."
"Buiyet!" omel Bun-hiong dengan tertawa
"Orang sengaja datang demi dirimu, untuk itu dia sengaja
mengajak kawannya yang kereng itu mengapa.. ?”
Mendadak Soug Goan-po mendorong macan tutul itu sambil
membentak. "Gigit saja kepala bocah itu, kawan'"
Serentak macan tutul itu meraung sekali serupa anak panah
terlepas dari busurnya, langsung ia menerkam Pang Bun-hiong
Keruan Bun-hiong terkejit cepat ia mengeos dan melompat ke
samping. makinya, "Binatang, aku tidak punya kotak pusaka
untuk apa kau cari diriku?'
Gerak-gerik macan tutul terlebih gesit daripada harumau
umumnya, tubrukannya tadi sungguh secepat kilat, tapi di sini
pula letak kelemahannya, lantaran terlampau cepat, biIa
sekali terkam tidak kena sasarannya, seketika ia pun tak
dapat berhenti dan begitulah keadaannya sekarang, waktu
Pang Bun-biong melompat ke samping, dengan cepat macan

tutul itu melompat lewat di tempat berdiri Bun-hiong tadi dia
rnenyelonong ke depan dua tombak jauhnya.
Kesempatan itu digunakan Bun-hiong untuk memburu ke
sana, pedang terus menusuk pantat binatang itu.
Siapa tahu macan tutul ini bukanlah macan tutul biasa, jelas
dia pernah mengalami latihan
yang keras, ternyata dengan gesit ia dapat menghindari
serangan, sekali ekornya bergerak, seperti kitiran ia putar
balik sambil meraung, sebelah cakarnya terus mencengkeram.
Dalam keadaan demikian bila pedang Pang Bun-hiong tetap
menusuk, macan tutul itu tetap akan kena tertusuk, tapi ia
sendiri tentu juga akan tercakar mati, terpaksa ia menarik
kembali pedangnya sambil melompat mundur.
Dua kali menubruk mencakar tidak kena sasaran, macan tutul
itu tambah buas, kembali ia
mengeluarkan suara auman galak dan menubruk lagi.
Tetap Bun-hiong tidak berani memapak tubrukan yang
dahsyat itu, ia mendak ke bawah untuk menghindar, dengan
jurus "Kim-sian-toh-hong" atau katak emas menjulur lidah, ia
angkat pedang untuk menusukk perut binatang itu .
Begitulah terjadi pertarungan sengit antara manusia dan
macan tutul. Sama sekali macan tutul itu tidak dapat
menyentuh Pang Bun-hiong.sebaliknya Bim-hiong juga tidak
mampu membereskan dia dalam waktu singkat dan
pertarungan bertambah seru.
Melihat macan tutul itu cukup kuat menghadapi Pang Bun
hiong, Song Goan-po tertawa senang, ia tepuk tangannya
yang berbulu dan berteriak, "Nalh Liong It-hiong boleh juga
kita main-main beberapa jurus"

Segera ia menerjang maju. sebelah telapak tangan lantas
menabas
It-hiong mengegos ke samping, pedang lantas dilolos, sekali
sabat ia tebas, pinggang lawan.
Mendadak Song Goan-po meloncat ke atas. selagi terapung
kedua kakinya menendang beruntun-runtun mengincar kedua
mata Liong It-hioiig.
Akan tetapi Liong It-hiong mendoyong ke belakang, pedang
berputar, dari menabas berubah menjadi mencungkil, perut
lawan yang diarah.
Song Coan-po tidak malu berjuluk "Kim-ci-pa" atau si macan
tutul, gerak-geriknya sama gesitnya serupa macan tutul tulen,
kedua kakinya memancalsehingga tubuh melejit ke samping,
berbareng itu sebelah tangannya menghantam dengan
dahsyat
It-hiong merasakan tenaga pukulan jauh itu sangat kuat cepat
ia pun melompat mundur, tapi cepat ia menerjang maju dan
melancarkan serangan lagi, pedang berputar, sebentar
menusuk dan sebentar lagi menabas tanpa putus.
Ternyata pertarungan mereka berdua tidak kalah sengitnya
dibandingkan pertarungan Pang Bun hiong melawan macan
tutul.
Meski Bun-hiong sudah pernah berburu macan tutul, tapi hal
itu dilakukan dengan memasang
perangkap, sesungguhnya ia tidak pernah bertarung melawan
harimau atau macan tutul. Sebab itulah semula ia rada jeri
dan tidak berani melancarkan serangan secara bebas sehingga

sampai sekian lamanya macan tutul itu tidak terkena satu
pukulanpun.
Sebaliknya macan tutul itu seperti memiliki tenaga yang tidak
habis-habisnya, berturut ia menubruk belasan kali meski tetap
tidak dapat menerkam Pang Bun-hiorg namun, masih tetap
tidak berhenti menubruk dan mencakar dengan garangnya.
Sembari menghindar Pang Bun-hiong juga mencari peluang
untuk balas menyerang, namun beberapa kali pedang
menyerang tetap sukar mengenai bagian mematikan di tubuh
binatang buas itu, mau-tak-mau ia mulai gelisah
"Haungg'" sambil mengaum, mendadak serangan harimau
tutul itu berubah ia tidak menubruk dan mencakar lagi
melainkan mendesak maju dengan pelahan. sikapnya
kelihatan licik dan menakutkan
Bun-hiong merinding sambil menyurut mundur selangkah demi
selangkah, omelnya. "Binatang, memangnya kamu akan main
gila cara lain?"
"Haunggg!" macan tutul itu meraung pula terus menerjang
lurus ke depan
Cepat Bun-hiong bergeser ke samping, berbareng pedang
menusuk ke perut binatang buas itu.
Sekali ini perut macan tutul itu tertusuk, ia menggerang keras
lantaran ia sedang menyeruduk dengan cepat mata ujung
pedang Bun-hiong juga sempat menyayat luka kecil kulitnya
malahan kaki belakang harimau itu sempat mendepak "plok".
batang pedang terpental lepas dari pegangan dan jatuh ke
dalam hutan.

Karena kagetnya, Bun-hiong ikut terpelanting dan jatuh
terjengkang. Untung harimau tutul itu terus menerjang ke
depan dan tidak sempat putar balik untuk menerkamnya lagi.
Cepat Bun-hiong melompat bangun
Setelah menyelonong ke sana beberapa tombak jauhnya,
segera macan tutul itu putar balik dan main tubruk dan
mencakar lagi.
Akhirnya Pang Bun-hiong juga kehabisan kesabaran,
mendadak ia membentak, sebelah kaki terus mendepak
"'Bluk', tepat pinggang harimau terdepak, kontan ia terguling.
Bun-hiong tida sia-siakan kesempatan itu, sembari membentak
secepat kilat ia melompat keatas punggung harimau, dengan
telapak tangan ia hantam batok kepala binatang itu
sekuatnya, sekaligus ia melancarkan tujuh-delapan kali
pukuIan. Akhirnya macan tutul itu tidak bergerak lagi sebab
batok kepalanya pecah. Bun-hiong menghela napas lega, ia
mengusap air keringat yang membasahi jidatnya, gumamnya
“Keparat, bilamana tahu pakai telapak tangan terlebih cepat
selesai daripada pedang tentu sejak tadi beres.
Melihat kawannya sudah membereskan macan tutul itu. Liong
It-hiong yang agak kerepotan melayani Song Goan-po lantas
berteriak. "Hei jangan diam saja di situ lekas bantu diriku'"
,
"Kenapa terburu-buru? Kan perlu kuganti napas dulu!" ucap
Bun-hiong.
Pelahan ia berjalan ia mengambil kambali pedang yang
terpental ke hutan tadi, dilihatnya serangan
Song Goan-po semakin ganas, sebaliknya Liong ithiong
mulai kelihatan kewalahan.

Segera ia berseru. "He, Song botak, jika kamu tidak lekas
enyah, sebentar boleh kau susul macan tutulmu pulang ke
rumah nenek moyangmu''
Melihat harimau kasayangan sendiri terpukul mati. tidak
kepalang rasa murka Song Goan-po. Sungguh kalau bisa ia
ingin segera menghantam mampus Liong lt-hiong lalu
membuat perhitungan dengan Pang Bun-hiong.
Akan tetapi disini mendengar ucapan Pang Bun-hiong.
dirasakan kata-kata orang masuk diakal juga. Terpikir olehnya
untuk mengalahkan Liong It-hiong saja tidak mudah, apalagi
kalau bertambah lagi seorang Pang Bun-hiong, jelas dirinya
pasti akan keok.
Meski watak Song Goan-po kasar dan pemarah, tapi ia pun
tahu perlu sayang akan jiwa
sendiri. Maka mendadak ia melompat mundur sambil
membentak. "Berhenti dulu!"
Segera Liong It-hiong berhenti menyerang, katanya dengan
tertawa, "Kau mau apa?"
Dengan muka cemberut Song Goan-po diam saja. tapi
mendekati bangkai macan tutulnya, ia berjongkok dan
meraba-rabanya sejenak dengan wajah sedih dan gemas, ia
pandang Pang Bun-hiong dangan gusar, katanya, "Keparat,
kau bunuh harimauku, utangmu ini hendaknya dicatat'
"Hah, tidak perlu basa-basi. lekas enyah saja” jawab Bunhiong
dengan tertawa
Song Goan-po mendengus, dipanggulnya bangkai harimau,
lalu hendak melangkah pergi

"Nanti dulu, Losi!" mendadak bergema suara orang di dalam
hutan. Menyusul muncul seorang kakek berbaju hitam Usia
kakek ini kira-kira 60-an, mukanya lonjong serupa muka kuda,
matanya terbelalak bercahaya serupa mata ular, sikapnya
dingin dan seram
Melihat si kakek, Song Goan-po terkejut dan bergirang, ia
berhenti dan berseru, "Aha….Jiko kiranya engkau . . "
Si kakek baju hitam mendengus pelahan,
“Ehm, jangan pergi dulu. Jelek-jelek kita kan bersaudara,
marilah kita bersatu membereskan mereka "
"Kenapa tidak?" si kakek mengangguk.
"Bagus," seru Song Goan-po dengan girang.
"Tapi cara bagaimana kita bagi rejeki setelah mendapatkan
barang itu?"
"Satu dibagi dua." jawab si kakek.
"Baik, setuju!" seru Song Goan-pu sambil membuang bangkai
harimau, lalu ia berpaling kepada It-hiong dan Bun-hiong,
katanya dengan terkekeh, "Nah, kawan, sekali ini kita dua
lawan dua boleh coba lagi!"
It-hiong tersenyum, "Apabila tidak keliru dugaanku, yang ini
tentunya Cian-in-jiu Loh Bok-kong bukan'.'"
"Haha. tepat dugaanmu," seru Song Goan-po
It-hiong menjura terhadap Cian-in-jiu Loh Bok-kong, katanya,
"Sudah lama kudengar nama besar Juragan Loh, sungguh
beruntung dapat berjumpa di sini " v

Loh Bok-kong menjengek. "Hm. tidak perlu banyak omong.
Pendek kata, kalau ingin seIamat harus lekas serahkan kotak
pusaka itu. Mengingat tidak mudah kau hidup sampai sebesar
ini, biar kuampuni jiwamu!"
"Ah, jangan sungkan,” kata It-hiong tertawa
"Ada kemampuan apa yang kau kuasai, silahkan coba ambil
saja jiwaku dan kotak pusaka ini."
"Kurang ajar, sungguh bocah yang tak tahu mati hidup,"
damperat Loh Bok-kong sambil terkekeh
"Baik. ingin kulihat kamu mempunyai berupa lembar nyawa
serep"
Habis berucap, sekali berkelebat, tahu-tahu ia sudah
melompat ke depan Liong It-hiong.langsung kelima jarinya
yang terangkum serupa pisau terus menjojoh ke muka Liong
It-hiong.
Gerak serangannya sungguh secepat kilat lagi lihai. lt-biong
menyurut mundur, pedang berputar cepat untuk menangkis
la tahu gerak serangan lawan yang pertama itu pasti cuma
pancingan belaka, tapi ia tidak
tahu serangan berikutnya akan mengincar bagian mana,
sebab itulah it-hiong putar kencang pedangnya untuk berjaga
Benar jaga, baru setengah jalan segera serangan Loh Bokkong
berubah telapak tangan kanan ikut menyerang juga,
tetap dengan juri terangkap untuk memotong pinggang Liong
It-hiong.
Tapi karena It-hiong sudah tahu sebelumnya dengan putar
pedang untuk melindung seluruh tubuhnya tanpa memberi

peluang, maka kedua kali serangan Loh Bok-kong dapat
dipatahkan seluruhnya
Baru sekarang Loh Bok-kong tahu It-hiong bukan lawan
empuk.Namun dia terhitung tokoh kelas tinggi kalangan
bandit, selama hidupnya entah berapa kali pernah mengalami
pertempuran sengit. pengalamannya luas. Iwekangnya kuat,
Setelah dua kali serangan gagal, mendadak sebelah kaki
menendang. Tendangan ini telah mengacaukan pertahanan
Liong It-hiong terpaksa ia bergeser mundur, lalu pedang balas
menabas kaki lawan
Namun reaksi Loh Bok-kong cepat dan gesit sekali, baru saja
pedang It-hiong menabas, cepat ia menarik kembali
tendangannya, berbareng kedua telapak tangan menghantam
ke depan secara mengacip, gayanya seperti gunting atau kacip
mengarah leher
Inilah kungfu andalan Loh Bok-kong sesuai julukannya Cianin-
jiu atau tangan kacip, jurus serangan itu di sebut "Tui-inkiu-
cian" atau sembilan kali kacip pemburu awan.
Baru pertama kali ini Liong It-hiong kenal Loh Bok-kong, tapi
sebelumnya sudah diketahuinya tangan kacip orang yang
merupakan kungfu lihai di dunia persilatan, maka sebelumnya
ia sudah berjaga-jaga, dan begitu melihat orang menyerang
dengan mengacip, cepat melompat mundur sehingga
serangan orang terpatahkan.
Biasanya tangan kacip Loh Bok-kong itu jarang gagal, kini
Liong It-biong ternyata dapat
menghindar begitu saja, diam-diam ia mendongkol dan
merasa malu, tapi lantaran itu juga merangsang amarahnya,
dengan mata mendelik ia membentak, mendadak ia

melompat ke atas, dengan gaya "harimau Iapar menerkam
kambing” segera ia menubruk
Melihat tubrukan lawan yang lihai itu, mendadak It-hiong
mendak sedikit, ia pun mengertak sekerasnya, pedang
menegak menyambut tubrukan orang dengan suatu tusukan
Loh Bok-kong seperti sudah menduga akan jurus serangan
lawan ini.menadak telapak tangan kanan menyampok, "plak"
batang pedang It-hiong tertolak ke samping, menyusul telapak
tangan yang lain terus menghantam batok kepala anak muda
itu
Cepat It-hiong mengegos, menyusul pedang balas menusuk
leher musuh. Pertarungan mereka berlangsung dengan sengit
serupa duel dua orang musuh bebuyutan, kedua pihak sama
mengeluarkan serangan maut. Makin lama makin dahsyat.
Melihat gelagatnya serangan Loh Bok-kong terlebih ganas,
tapi setiap kali menghadapi serangan berbahaya, pada detik
gawat selalu It-hiong dapat menyelamatkan diri
Nyata untuk dapat menentukan kalah dan menang, antara
mereka berdua masih diperlukan waktu pertarungan yang
lama.
Setelah mengikuti beberapa jurus pertarungan mereda. Sung
Goan-po yakin kakek yang kedua itu pasti akan menang,
maka ia lantas mendekati Pang Bun-hiong. katanya sambil
menyeringai "'Nah. sekarang aku akan menuntut balas bagi
macan tutul kesayanganku, lekas serahkan nyawamu”
Bun-hiong tertawa, "Eh. Kau sendiri harus hati-hati, jangan
sampai kepalamu juga kuhantam remuk serupa macan
tutulmu," ejek Bun-hiong

Song Goan-po membentak murka, mendadak ia menubruk
maju kedua tangan menghantam sekaligus sehingga
menerbitkan angin pukulan dahsyat.
Bun-hiong tidak ingin keras lawan keras ia megeos ke
samping, dengan cekatan ia berputar ke samping kiri lawan
pedang terus menusuk pinggang si botak. Song Goan-po
mendengus sekali sambil berputar, tangan kiri menyarnpuk
tangkai pedang lawan menyusul kaki kanan terus menendang
"Aduhh." baru saja kedua orang mulai bergebrak, segera
terdengar suara jeritan. Song Goan-po mengira Loh Bok-kong
kecundang. ia terkejut dan cepat melompat mundur serta
menoleh ke sana.
Sebaliknya Bun-hiong dapat mengenali jeritan itu adalah
suara Liong It-hiong ia pun terkejut dan coba memandang ke
sana terlihat It-hiong sudah mengeletak di tanah agaknya
jatuh pingsan
Tentu saja Bun-hiong terkesiap, sembari membentak segera ia
bermaksud menerjang ke sana untuk menolong
“Jangan bergerak”' mendadak Loh Bok-kong menggertaknya
dengan sebelah kaki menginjak batok kepala Liong It-hiong.
Seketika Bun-hiong tidak berkutik, sebab ia tahu jika dirinya
menerjang ke sana asalkan pihak lawan sedikit menggunakan
tenaga, seketika kepala It-hiong akan remuk.
Tentu saja ia cemas, cepat katanya "Juragan Loh, jika sampai
kau celakai jiwanya, tentu akan kulabrak dirimu mati-matian'"
"Hm, kamu setimpal melabrakku?" ejek Loh Bok-kong.
'

"Sedikitnya engkau kan sudah tua dan aku masih muda kuat,
biarpun sekarang belum dapat menandingimu pada suatu hari
kelak pasti setimpa! kulabrakmu "
"Hahahaha. betul juga ucapanmu ini…”tiba-tiba Loh Bok-kong
tergelak
"Maka boleh kau ambil saja barangnya dan lekas pergi.'' kata
Bun-hiong
Benar juga, segera Loh Bok kong berjongkok dan melepaskan
bungkusan yang tersandang dipunggung Liong lt-hiong. habis
itu mendadak ia putar tubuh terus lan pergi secepat terbang.
Keruan Sung Goan-po melenggong cepat ia mengejar sambil
berteriak, "Tunggu dulu, Jiko!"
Dengan cepat sekali bayangan kedua orang itu lantas
menghilang di kejauhan.
Bun-hioag lantas mendekati lt-hiong. ia berjongkok dan coba
membalik tubuh kawannya itu, terlihat kedua mata It-hiong
terpentang lebar, pikirannya sega.r Keruan ia melenggong
bingung
"Hei. engkau tidak apa apa?"
"Coba periksa hiat-to kelumpuhanku,'' kata It-hiong.
Pandangan Bun-hiong beralih ke hiat-to kelumpuhanan,
ditemukan pada hiat-toto yang dimaksud tertancap sebatang
jarum kecil warna perak, segera ia cabut jarum itu dan
diperiksa katanya kemudian "Tampahnya tidak beracun"
"Kalau beracun, sejak tadi jiwaku sudah amblas " ujar It-hiong
sambil menyengir.

Bun-hiong lempar jarum itu dan memijat Hiat-to sembari
tanya, 'Tua bangka itu yang menimpuk dengan jarum itu?"
"ya siapa lagi." sahut It-hiong "Sungguh rendah caranya, di
luar tahuku senjata rahasianya menyambar keluar dari dalam
lengan baju"'
Ebook oleh : Dewi KZ
Scan book oleh : BBSC
Jilid 18
"Itu namanya jarum di dalam lengan baju yang paling sukar
dilayani." ujar Bun-hiong dengan tertawa.
"Padahal tanpa menggunakan senjata rahasia, lambat-laun
aku pun akan kalah Loh Bok-kong itu jauh lebih tangguh
daripada Song Goan-po. aku memang bukan tandingannya
"Mendingan dia punya perasaan, tidak menyambar sekalian
nyawamu," kata Bun-hiong
It-hiong merasa sudah dapat bergerak, segera ia berdiri,
katanya,” Ayo berangkat, kita tidak boleh kehilangan kotak itu.
Lekas kita cari mereka"
"Saat ini mungkin mereka sudah beberapa li jauhnya,
dapatkah kau menyusulnya? '
"Tidak dapat menyusul juga harus kita kejar. memangnya
kotak itu dibiarkan dibawa lari begitu
saja?"
Bun-hiong mengangkat pundak, "Mau kejar silahkan kau kejar
sendiri, aku tidak mau.''

"Oo, kau takuT?" tanya It-hiong.
"Tidak," Bun-hiong menggeleng. "Aku tidak ingin buang-buang
tenaga pereuma "
"Mengapa kau anggap buang tenaga pereuma''
“Coba jawab jika sudah dapat kita susul mereka, lalu mau
apa?"
"Labrak mereka, apalagi ?"
"Tadi kan sudah kau labrak ?”
It-hiong garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal, ucapnya
sambil menyengir, "Habis bagaimana kalau menurut
pendapatmu?"
"Yang hilang itu tidak lebih hanya sebuah kotak palsu, maka
tidak perlu disayangkan, marilah kita langsung menuju ke
Cap-pek-pan-nia saja."
“Tanpa membawa, kotak pusaka, cara bagaimana kita ke
sana?"
"Kenapa tidak?. Ke sana dengan membawa sebuah kotak
palsu dan pergi dengan bertangan kosong kan tidak banyak
bedanya."
It-hiong berpikir sejenak, katanya kemudian sambil
mengangguk, "Baiklah, biar kita berkunjung
ke sana dengan bertangan kosong tapi hendaknya kau tunggu
sebentar”

Ia lantai mendekati bangkai macan tutul, dipegang ekornya
dan diseret ke dalam hutan.
Bun-hiong heran melihat kawannya menyeret bangkai macan
tutul itu ke dalam hutan, tanyanya,
"Hei, kau mau apa?"
"Kata pepatah, manusia mati meninggalkan nama, harimau
mati meninggalkan kulit," jawab lt-hiong dengan tertawa.
"Maka kulit macan tutul ini kan harus kita manfaatkan "
"Untuk apa?" tanya Bun-hiong pula
it-hiong melolos belati yang tipis tajam, ia berjongkok, belati
lantas menubles tenggorokan bangkai macan, lalu belati
bekerja cepat menyayat bagian perut, sembari bekerja ia
berkata dengan tertawa, "Kamu ini putra keluarga berada,
tentu tidak tahu berharganya kulit macan tutul, sehelai kulit
macan tutul ini laku beberapa tahil perak "
"Ah…kampungan!" omel Bun-hiong tertawa
Setelah kulit macan ini kujual nanti kita makan minum
sepuasnya,” kata It-hiong
Sehabis menyayat perut harimau, lalu mulai dikuliti, gerak
tangannya sangat trampil serupa seorang alih
"Tampaknya kamu ini berasal dari keluarga pemburu?" tanya
Bun-hiong heran.
"Memang betul," jawab It-hiong. "Aku pernah menguliti lima
ekor harimau, tiga ekor macan tutul
dan dua ekor singa . . . “

“Bussyet!" omel Bun-hiong, "jadi kamu ini mahir menguliti
macan tutul, tapi mengaku tidak pandai berburu, sungguh
brengsek'"
"Jangan marah, kawan, sebentar kutraktir kamu makan
sepuasnya." ucap it-hiong dengan cengarcengir
Tidak lama.sehelaikulit macan tutul sudah berhasil dibencinya
dengan utuh, dicucinya hingga bersih pada air sungai kecil,
lalu digulung serta dipanggul bernama dengan rangselnya, lalu
meneruskan perjalanan bersama Bun-hiang
Sampailah mereka di kota Jiciu tidak lama kemudian, It-hiong
mendapatkan sebuah toko kulit, kulit macan tutul itu dijualnya
dengan harga 30 tahil perak. Segera ia mengajak Bun-hiong
ke sebuah restoran, mereka berpesta pora di situ
Takaran minum kedua orang sama kuatnya tapi setelah
minum beberapa mangkuk, sedikit banyak mereka sudah
mulai terpengaruh arak, sebelah tangan It-hiong merangkul
pundak Bun-hiong. katanya dengan tertawa. "Eh malam ini
kita tinggal saja di kota, bagaimana pendapatmu?"
"Baik." jawab Bun-hiong
"Apakah kau tahu tempat pesiar yang bagus?' tanya it-hiong.
"Jangan kuatir, serahkan saja kepadaku," jawab Bun-hiong
sambil menepuk dada "Sebentar akan kubawamu ke tempat
yang kau inginkan"
"Tapi harus yang kelas tinggi, barang kualitas rendah aku
tidak mau1" kata It-hiong
"Oo, tanggung!" ucap Bun-hiong.

"Bagaimana, sudah kenyang belum?"
"Sudah cukup!"
Segera It-hiong berseru memanggil pelayan "Hai, hitung"
Seorang pelayan mengiakan dan datang menghitung harga
santapan mereka, dengan hormat ia berkata, seluruhnya tiga
tahil lebih lima duit"
“Coba libat, sehelai kulit macan cukup untuk kita makan
minum sepuluh kali," kata It-hiong dengan tertawa. Lalu ia
mengeluarkan empat tahil perak dan berkata kepada pelayan,
"Ambil saja kelebihannya! '
Tentu saja pelayan kegirangan, berulang ia mengucap terima
kasih. Mendadak It-hiong menarik pelayan itu sebelum pergi,
tanyanya, "Eh, apakah kau tahu tempat pesiar yang paling
bagus di kota ini?"
"Dalam hal apa yang tuan tanya?" si pelayan tampak ragu
“Apalagi, tentu saja perempuan " kata lt-hiong
Pelayan itu tertawa, "Yang paling top di kota.ini adalah Cionghiang-
kok (negeri serba harum)
nona penghuni tempat itu semuanya cantik molek dan lemah
lembut."
"Di mana letak Ciong-hiang-kok?' tanya It-hiong pula
"Kutahu, sebentar ku bawamu ke sana," tukas Bun-hiong.
lt-hiong lantas berdiri, ucapnya dengan bau arak, "Baik, boleh
kita mencari kesenangan ke

Ciong-hiang-kok "
Tiba-tiba pelayan tadi menambahkan dengan tertawa, "Masih
ada suatu tempat yang terlebih
bagus daripada Ciong-hiang-kok, cuma sayang tempat pesiar
itu hanya bisa bertemu secara ke
betulan dan tidak dapat dicari”
“Oo, tempat macam apakah itu?" tanya It-hiong dengan
terbelalak
"Kedua tuan tamu bukan penduduk sini?" tanya pelayan
"Omong kosong!" kata It-hiong."Jika penduduk sini, buat npa
kuminta keterangan padamu "
Dengan tertawa si pelayan lantas bertutur
“Akhir-akhir ini di kota tersiar cerita aneh yang mengasyikkan,
konon ada seorang janda kembang.
Muda lagi molek, sering keluar dengan menumpang kereta
untuk memikat pemuda cakep.Pemuda yang dipenujui oleh dia
lantas dipancingnya naik keretanya lalu matanya ditutup,
kemudian membawanya pulang. Dengaa bajuk rayu maut
janda molek itu menggunakan segala tingkah kecabulannya
untuk mengeram mangsanya sampai sekian malam, bila dapat
memuaskan, dia, konon waktu berpisah akan banyak diberi
persen benda mestika pula "
“Hah, masa bisa terjadi begitu?" seru It-hiong melenggong.
"Memang betul," kata si pelayan.
"Di mana tempat tinggal janda molek itu?" tanya It-hiong.

"Entah, konon sehabis dia puas main dengan mangsanya lalu
pemuda cakap itu ditutup lagi matanya untuk diantar pulang
sehingga sejauh ini tidak ada seorang pun yang tahu dimana
tempat tinggalnya, hanya diketahui rumah kediamannya
sangat megah dan mewah, ada orang
menduga janda kembang itu pasti anak putri bangsawan.
lantaran kematian suami, saking kesepian, maka cari makan di
luar"
"Haha, sungguh menarik,'' seru It-hiong tertawa. "Cuma
sayang, tempat tinggalnya tidak diketahui, kalau tahu,
sungguh aku ingin mencalonkan diri "
“Kabarnya sudah ada belasan pemuda tampan yang pernah
menemukan pengalaman menarik itu.
tapi dua di antaranya tidak pernah lagi pulang bisa jadi telah
dibunuh oleh janda molek itu,' tutur si pelayan
“Oo… dia juga bisa membunuhorang'" It-hiong melonjak
kaget.
Ada dugaan kedua pemuda cakap itu mungkin dapat meraba
asal-usul janda cantik itu. sebab
itulah mereka dibunuh untuk menghilangkan saksi atau
mungkin kepandaian mereka kurang tinggi dan tidak mampu
membuat puas si janda, karena marah si janda bunuh kedua
mangsanya itu."
"Dan bagaimana dengan pemuda lain yang dapat pulang
dengan selamat itu, apakah mereka
pernah bereerita berapa lama mereka menumpang kereta
untuk bisa sampai di tempat tinggal janda kembang itu?"
tanya It-hiong
"Kabarnya makan waktu kurang lebih satu jam," tutur si
pelayan

"Oo, jika begitu, tempat tnggalnya mungkin di luar kota ' ujar
Bun-hiong
"Ya," kata si pelayan
“Wali, boleh juga jika dapat menjadi tamu kesayangan
singkatnya.'' ujar Bun-hiong dengan tertawa. 'Cuma sayang
serupa apa yang kaukatakan, hal itu hanya dapat bertemu
secara kebetulan dan tidak bisa dicari "
Ia mendorong It-hiong dan berkata pula. “Ayolah berangkat,
mendingan kita pergi ke Ciong-hiang-kok saja lebih sip''
Begitulah keduanya meninggalkan restoran itu, sepanjarg
jalan mereka bersenda gurau
“Cerita pelayan tadi membuat hatiku tergelitik," kata It-hiong
dengan tertawa "Apabila kita dapat bertemu dangan dia wah,
entah betapa senangnya''
“Kamu, tidak takut mati ?" tanya Bun-hiong
"Tidak ku yakin mampu membuatnya senang dan puas,"
kata It-hiong.
"Ai. perempuan yang ditinggal mati suami memang pantas
dikasihani," ucap Bun-hiong dengan gegetun. "Aneh juga
mengapa dia tidak kawin lagi?"
“Jika dia putri bangsawan, kalau kawin lagi akan
mencemarkan nama baik keluarga, terpaksa ia main curi
makan keluar," tutur It-hiong
“Setelah berjalan lagi sekian jauhnya, tiba-tiba Hun-hiong
berhenti dan berkata "Eh. tunggu sebentar, aku mau kencing"

"Baiklah, cepat'" sahut It-hiong
Bun-hiong masuk ke sebuah gang kecil dan gelap untuk buang
air.
It-hiong berdiri di jalan raya memandangi suasana malam,
selagi pikirannya melayang-layang. tiba-tiba pundaknya
ditepuk orang sekali, berbareng itu seorang memanggilnya,
"Liong It-hiong!"
Semula It-hiong mengira Bun-hiong sudah kembali, tapi
suaranya ternyata lain. Sembari mengiakan ia putar tubuh dan
bertanya, "Ada apa?"
Ternyata yang muncul di belakangnya memang bu tui bukan
Pang Bun-hiong melainkan seorang
nenek yang sudah tua renta, kulit mukanya penuh keriput.
"Kau suka orang perempuan tidak?" tanya nenek itu dengan
tertawa
“Suka sekali," jawab lt-hiong tanpa pikir
"Bagaimana kalau kubawa kau mencari orang perempuan?"
kata si nenek.
"Bagus!' jawab It-hiong
"Jika begitu, mari ikut padaku." kata si nenek sambil menarik
tangan anak muda itu.
Dengan cepat si nenek menyeretnya masuk ke sebuah jalan
simpang, lalu membelok lagi ke sebuah gang sunyi, tertampak
di ujung gang sana berhenti sebuah kereta kuda.

Si nenek langsung membawa It-hiong ke kereta itu ia
membuka pintu kereta dan berkata,
“Lekas naik ! “
Tanpa banyak cingeong It-hiong naik ke atas kereta. Menyusul
nenek itu pun masuk ke dalam kereta dan menutup
pintunya. Kusir kereta adalah seorang lelaki kekar,melihat
pintu sudah ditutup si nenek, segera ia menarik tali kendali,
kereta terus berangkat melintas jalan simpang
Di tengah perjalanan si nenek mengeluarkan sepotong kain
hitam, katanya dengan tertawa,
"Liong It-hiong, terpaksa harus kututup matamu!"
"Oo…" It-hiong bersuara bingung dan masa bodoh
"Kamu tidak keberatan bukan? “ tanya pula si nenek
"Tentu saja tidak," jawab It-hiong tak acuh
Maka si nenek lantas mengikat muka It-hiog dengan kain
hitam, ucapnya dengan tertawa
"Hendaknya kau tunggu dengan sabar, tidak lama lagi akan
kau lihat seorang perempuan secantik
bidadari!"
“Oo..” It-hioag bersuara singkat. Si nenek pun tidak bicara
lagi.
Kereta berjalan pula, hanya sering membelok ke kanan dan
mendadak ke kiri, seperti berputar
kian kemari di tengah kota.

Namun It-hiong sama sekali tidak memperlihatkan rasa gelisah
ia tetap duduk tenang saja seperti pasrah nasib. Setelah
berputar kayun hampir satu jam, akhirya sampai tempat
tujuan, mendadak kereta itu berhenti.
Si nenek membuka pintu kereta dan melompat turun lebih
dulu, lalu berkata, "Liong It-hiong. silahkan turun!"
It-hiong mengiakan dengan bingung, sambil meraba-raba ia
merosot turun, lalu bertanya "Sudah sampai?"
Kembali si nenek menarik tangannya dan berkata "Hampir
sampai, jalan saja mengikuti aku "
Beratus-ratus langkah pula lt-hiong dibawa berjalan belok
sana dan putar sini, ia merasa melintasi beberapa pintu, habis
itu barulah si nenek membuka kain kedoknya dan berkata.
"Sudah sampai "
Seketika mata It-hiong menjadi silau oleh cahaya lampu
sehingga hampir sukar terbentang, dengan sebelah tangan ia
mengalingi cahaya lampu dan bertanya tempat apakah di
sini''"
"Jangan tanya, lihat saja.” kata si nenek
Waktu It-hiong mengawasi, ternyata dirinja sudah berada di
tengah sebuah kamar yang terpajang sangat indah dan
mewah serupa dalam istana. Namun ia tetap tidak memperlihatkan
rasa kejut dan heran, dengan ketolol-tololan ia tanya.
"Hei, tempat apakah di sini?"
"Ini surga," kata si nenek dengan tersenyum
"Untuk apa kau bawa diriku ke sini?" tanya lt-hiong dengan
lagak bingung.

"Thaykun kami ingin bertemu denganmu:." kata nenek itu
"Thaykun itu siapa? '
“Kah-thaykun."
"Kah-thaykun ..rasanya seperti penah kudengar nama ini.
Si nenek tersenyum, ia tepuk tangan tiga kali Ialu terlihat
seorang genduk dengan muka manis
masuk dan memberi hormat kepada si nenek sambil menyapa,
"Lolo (nenek) sudah pulang."
"Keng-hoa," kata si nenek, "layani Liong-hiap ini mandi dan
ganti pakaian baru. habis itu baru
membawanya menghadap Thaykun “
"Baik. Lolo." sahut si genduk yang bernama Keng-hoa itu.
Dengan tersenyum si nenek lantas tinggal pergi. Keng-hoa
lantas membuka almari pakaian dan
dan mengeluarkan seperangkat baju mewah, ditaruhnya di
atas meja rias, dengan tersenyum ia mendekati Liong It
hiong dan berkata. "Liong-hiap, engkau harus mandi dulu dan
ganti baju habis itu baru boleh menemui Thaykun kami”.
Sembari bicara ia terus menanggalkan baju Liong It-hiong.
Soal buka baju di depan orang perempuan bukan sesuatu
yang asing bagi It-hiong, maka ia
membiarkan dirinya dibelejeti oleh Keng-hoa
Hanya sebentar saja It-hiong sudah dalam keadaan bugil.
Segera tubuh It-hlong dibungkus sehelai kimono, lalu
dibawanya ke depan sebuah pintu lain dan masuk ke sana

Di balik pintu adalah tabir kain merah, setelah tabir disingkap,
tertampak di situ ada sebuah kolam mandi dinding
sekelilingnya adalah ubin marmer putih dan dihiasi cermin
besar di kedua sisi dinding. Sungguh sebuah kolam mandi
yang sangat indah.
Air dalam kolam menjebarkan bau harum memabukkan
"Hei. tempat apakah ini ? tanya It-hiong dengan bingung
'Ini namanya Wan-yang-ti (kolam merpati) dengan tersenyum
Keng-hoa menjelaskan
"Ehm, nama yang bagus," kata It-hiong.
"Orang yang dapat mandi dikolam ini boleh diikatakan besar
sekali rejekinya." tutur Keng-hoa
"Oo, . " It-hiong bersuara linglung
'Nah, lekas terjun " kata Keng-hoa pula.
"Hahh, apa ?”
'Maksudku terjunlah ke dalam kolam untuk mandi! ' kata
Keng-hoa sambil menanggalkan kimono anak muda itu. Ithiong
melangkah ke dalam kolam dan duduk
Segera Keng-hoa menyingsing lengan baju, ia ambl sepotong
handuk dan duduk di tepi kolam pelahan ia mencuci dan
menggosok tubuh It-hiong. Anak muda itu membiarkan dirinya
diperlakukan bagaimana pun, ia duduk kaku tanpa ambil
pusing serupa dalam mimpi saja.

Tidak lama kemudian Keng-hoa sudah membersihkan sekujur
badan It-hiong, lalu minta anak muda itu keluar dan kolam,
kimono disemampirkan lagi pada tubuhnya dan dibawanya
pulang ke kamar. It-hiong disuruhnya duduk menghadapi
meja rias, perlahan Keng-hoa menyisir rambutnya dan di beri
minyak wangi segala
It-hiong memang pemuda ganteng, setelah di dandani lagi
oleh Keng-hoa, seketika tambah cakep
Selesai Keng-hoa mendandani It-hiong, segera menuju ke
pintu kamar dan berseru. "Pelayan lentera!
Terdengar seorang pelayan mengiakan dan datang dengan
membawa sebuah tenglong atau lentera berkerudung
dengan lukisan bunga indah, pelayan cilik ini pun tampak
manis
“Bawa dia ke sana'" kata Keng-hoa tertawa. Pelayan lentera
itu melirik It-hiong sekejap tanpa tertahan ia memuji "Wah,
yang ini sungguh cakap”
"Hei, kau pun tergelitik ya?” omel Keng-hoa dengan tertawa
Pelayan cilik itu menjulur lidah, "Ah, mana kuberani!"
"Memangnya kau berani" ' kata Keng-hoa "Jika diketahui
thaykun, mustahil kulitmu takkan di
besetnya. Ayo lekas membawa dia ke sana."
Pelayan lentera itu mengiakan dan menggapai Liong It-hiong.
katanya, "Mari ikut padaku, Liong-hiap'"
Segera ia mendahului keluar. Tanpa terasa It-hiong
mengikutinya. Dengan pelayan lentera ilu sebagai penunjuk
jalan, mereka melintasi serambi yang resik dan indah serta

masuk ke sebuah ruangan yang sangat megah, setiba di
depan dinding batu, entah cara bagaimana pelayan itu
membuka pesawatnya, mendadak dinding batu itu terbuka
dan tertampaklah sebuah jalan menuju ke bawah tanah
dengan undak-undakan batu.
Kembali pelayan itu menggapai It-hiong dan mengajaknya
masuk ke lorong bawah tanah itu. It-hiong menurut saja
serupa kerbau yang dicocok Indungnya, tanpa sangsi ia ikut
masuk.
Setelah menuruni belasan anak tangga, jalan lorong itu
berubah datar, setelah menembus sebuah pintu, mendadak
pandangan terbeliak, mereka berada di sebuah kamar yang
sangat luas.
Kamar ini terlebih mewah dan megah, sekeliling tergantung
kain kelambu bersulam, langit-langit kamar tergantung
berbagai lampu istana yang berwarna-warni, di tengah kamar
terbentang sebuah tempat tidur yang besar, segala
perabotannya boleh dikatakan terlampau mewah dan
mempesona
Pada saat itulah di atas tempat tidur berbaring miring seorang
perempuan cantik dengan alis lentik dan mata besar, sanggul
tinggi menghias kepalanya, melihat usianya mungkin sudah
lebih 30 namun garis tubuhnya masih ramping menggiurkan.
Apalagi pada tubuhnya cuma melekat sehelai baju sutera tipis
tembus pandang sehingga kulit badannya yang putih laksana
salju samar terlihat dan membuat jantung orang berdebar
serta menggetar sukma.
Tidak perlu dijelaskan lagi, perempuan cantik ini pastilah "Kahthaykun"
yang disebut-sebut si
nenek tadi. Pelayan lentera itu membawa Liong It-hiong
masuk ke kamar, lalu berdiri di sisi pintu serta memberi

hormat dari jauh, katanya, "Lapor Thay-kun, Liong It-hiong
sudah berada di sini."
Perempuan cantik itu menggeliat sehingga pinggulnya yang
padat itu terangkat, katanya dengan suara merdu, "Baiklah,
boleh kau pergi!" Pelayan mengiakan sambil memberi hormat
lalu mengundurkan diri
Dengan tersenyum perempuan cantik itu memandang It-hiong
sekejap, katanya kemudian "Coba kemari, Liong It-hiong'.
Tanpa bersuara lt-hiong mendekat ke sana.
"Duduklah di sini'" dengan senyuman menggiurkan perempuan
cantik itu menepuk tepi tempat tidurnya. It-hiong duduk di
situ
"Kau tahu siapa aku?" tanya si perempuan cantik dengan
tesenyum
"Tidak, memangnya siapa engkau?” jawab lt-hiong
"Aku Kah-thaykun!"
“Oo,” li-hiong manggut-manggut
“Tentu pernah kau dengar istilah It-kun, Ji-ni, sam lolo (satu
nyonya besar, dua Nikoh, tiga nenek), nah, aku inilah It-kun
yang dimaksud," tutur Kah-thaykun.
Kembali It-hiong hanya bersuara, “Oo…”
“Kau suka padaku tidak?" tanya Kah-thaykun dengan
tersenyum.
"Suka," It-hiong mengangguk

"Nenek yang membawamu ke sini itu berjuluk Lo-ang-nio (si
comblang tua), mungkin kaupun kenal namanya ?”
Lagi-lagi It-hiong hanya bersuara, “Ooo . ..”
Lo-ang-nio mahir macam-macam ilmu gaib, dia biasa
membawakan lelaki yang kugemari untukku"
"Oo . .." lt-hiong tidak memberi komentar
Kah-thaykun meraba pipi anak muda itu katanya dangan
tertawa genit, 'Kamu sangat ganteng dan cakep, tubuhmu
juga kekar dan kuat "
"Ooo …”
"Biasanya bila Lo-ang-nio membawakan lelaki yang
kukehendaki ke sini, selalu kubikin sadar pikiran mereka,
namun keadaanmu lain dari pada yang lain, sungguh
menyesal tak dapat segera kubikin sadar padamu."
"Oo.."
"Untuk mempertahankan kondisi badanku dan agar selalu
awet muda, setiap hari aku memerlukan orang lelaki untuk
kuisap sari mereka."
"Oo..”
Tangan Kah-thaykun bergeser dan muka It-hiong turun ke
dadanya, katanya dengan terkekeh. "Sekarang kesadaranmu
masih berada di bawah pengaruh ilmu gaib Lo-ang-nio, sebab
itulah dapat kukatakan terus terang padamu usiaku kini sudah
68 tahun "
"Ooo..”

"Kau suka kepada seoiang nenek berumur 69 atau tidak?"
tanya Kah-thaykun dengan tertawa
"Suka," It-hiong mengangguk
"Bagus jika benar kausuka padaku, maka pasti juga takkan
kubikin kecewa dirimu. Cuma ingin kutanya dulu suatu urusan
padamu, dan kamu harus memberi jawaban sejujurnya jadi?'
“Baik," kembali It-hiong mengangguk
"Kabarnya kamu dan Hou-hiap Pang Bun-hiong hendak
menuju ke Cap-pek-pan-nia dengan membawa sebuah kotak
pusaka, betul tidak?"
"Betul "
“Di manakah kotak pusaka itu ?"
“Kotak . . . kotak itu..”
"Di mana?” desak Kah-thaykun
"Yang satu berada di tangan Tui-beng-poan koan Toh Po-sit,
satu lagi dibawa Cian Ciau-in-jiu Loh Bok-kong."
"Oo, kotak pusaka itu ada dua?" Kah-thaykun menegas
dengan melenggong
"Mengapa bisa timbul dua buah kotak?" desak Kah-thaykun
pula
"Yang satu tulen, yang lain palsu "

“O..kiranya begitu. Jika begitu, kotak yang tulen berada di
tangan siapa?"
"Yang asli berada di tangan Tui-beng-poan koan Toh Po-sit "
"Toh Po-sit tinggal di mana?"
"Di Ma-cik-san.''
"Ma-cik-san yang terletak di tengah danau Thay-oh itu?"
“Betul."
"Jika kotak pusaka yang asli telah dirampas oleh Toh Po-sit,
mengapa kalian tidak berusaha merebutnya kembali,
sebaliknya malah membawa sebuah kotak palsu ke Cap-pekpan-
nia, memangnya untuk apa?"
"Ini… ini”
“Ini bagaimana?" desak Kah-thaykun
"Toh Po-sit yang menyuruh kami bertindak demikian"
“Oo, ada hubungan apa antara Toh Po-sit dengan dirimu?"
"Aku sedang membantu dia membongkar suatu perkara."
“Membongkar suatu perkara apa''"
“Menangkap satu orang.”
"Menangkap siapa?''
“Entah, aku tidak tahu”

"Tidak tahu orangnya, cara bagaimana dapat kau tangkap
dia?"
"Tapi orang itu akan datang ke Ma-cik-san”
“Maksudmu, Toh Po sit menggunakan kotak pusaka itu
sebagai umpan untuk memancing orang
itu pergi ke Ma-cik-san?"
"Bukan"
“Habis, cara bagaimana orang akan pergi Ke Ma-cik-san?"
"Dia sangat mungkin akan ke sana untuk mencari Oh Beng-ai"
"Siapa itu Oh Beng-ai?" tanya Koh-thaykun
"Adik perempuan Oh Kiam-lam.''
“Ah, kiranya demikian," Baru sekarang Kah-thaykun tahu
duduknya perkara, "Tapi Oh Kiam-lam kan sudah mati.
memangnya siapa yang hendak ditangkap Toh Po-sit?"
"Entah, aku tidak tahu “
"Toh Po-sit tidak memberitahukan padamu?” tanya Kahthaykun
pula.
"Ya, tidak "
"Hm, Toh Po-sit sungguh seekor rase tua yang licin,” jengek
Kang-thaykun. It-hiong diam saja
Sejenak kemudian, wajah Kah-thaykun berhias senyum
menggiurkan lagi. katanya, "Sudahlah, sementara ini jangan

kita bicara tentang kotak pusaka segala. Boleh kau…kau rebah
saja"
It-hiong menurut, ia rebah di samping Kah-thaykun
"Sst, kabarnya kamu sudah berpengalaman bukan?" desis
Kah-thaykun dengan terkikik
"Ya, begitulah!"
"Jika begitu, mengapa di depanku sekarang tampaknya kamu
serupa anak kemarin saja yang masih hijau?"
"Apa itu," jawab It-hiong bingung
"Ah, benar, pikiranmu belum jernih, pantas perasaanmu tidak
terangsang." kata Kah-thaykun dengan tertawa. "Cuma,
sungguh menyesal, demi keamanan, tidak dapat kubuat sadar
dirimu”
Sembari bicara ia mulai mencumbui it-hiong dengan belaian
"Au.. jangan, geli!” seru It-hiong dengan tertawa.
Mendadak Kah-thayknn merangkulnya erat-erat, bibirnya
menempel telinganya dan mendesis lirih, "Jantung hatiku,
baru saja kau bilang padaku, mengapa tidak lekas mulai."
“Mulai apa'" tanya It-hiong.
"Bukalah bajuku." kata Kah-thaykun
It-hiong mengiakan dan segera membuka baju tipis yang
dipakai Kah-thaykun, dalam sekejap saja keadaan Kahthaykun
pun sudah telanjang bulat.

Biarpun seorang idiot, berhadapan dengari perempuan cantik,
apalagi dalam keadaan telanjang bulat, betapapun hatinya
pasti juga akan tergelitik, apalagi Kah-thaykuo tidak berhenti
membelai dengan berbagai macam gerak rangsangan keruan
seketika nafsu It-hiong berkobar.
Dengan pandangan beringas lt-hiong menatap sejenak Kah-
Thaykun, mendadak dengan gerakan "harimau menerkam
domba" serentak ia terkam mangsanya.
Tapi pada saat dia sudah di atas tubuh Kah-thaykun,
sekonyong-konyong ia merasa seperti keselomot api. ia
menjerit kaget terus jatuh terpental ke lantai.
Tentu saja Kah-thaykun melengak, tanyanya, "Hei ada apa?"
Wajah It-hiong menampilkan perasaan serupa orang yang
baru tersadar dan mimpi, serunya dengan tereengang, "Hai.
siapa engkau?''
Kah-thaykun tahu pikiran orang telah sadar kembali, dengan
kening bekernyit ia mengomel. "Lo-ang-nio. Kau main gila
apa?"
la tahu sebabnya pikiran Liong It-hiong bisa pulih kembali
karena ilmu gaib Lo-ang-nio diakhiri sebab itulah ia bersuara
menegur.
Bayangan orang segera berkelebat di pintu kamar, dengan
pelahan masuklah seorang pemuda. katanya dengan tertawa,
"Maaf. Lo-ang-nio sudah mati'"
Pemuda ini tak-lain-tak-bukan ialah Hou-hiap Pang Bun-hiong.
Keruan Kah-thaykun terperanjat, cepat ia meraih baju untuk
menutupi tubuhnya, tegurnya dengan bengis, "Siapa kau ?'"

Dengan sopan Pang Bun-hiong memberi hormat dan
menjawab. "Harap Thaykun maklum hamba ini Bun-hiong
adanya!'
"Cara bagaimana, dapat kau masuk ke sini ?” tanya Kahthaykun
dengan terbelalak
"Mudah saja, kuikuti kereta kuda itu dan akhirnya sampai di
sini," jawab Bun-hiong.
It-hiong merasa bingung, tanyanya “ He..sesungguhnya apa
yang terjadi ?"
Bun-hiong tertawa, "Masih ingat tidak kepada cerita pelayan
restoran itu? Wah, kawanku, besar amat rejekimu dan benarbenar
dapat bertemu dengan dia?"
"Tetapi cara . . . cara bagaimana aku bisa berada di sini''"
kata It-hiong bingung.
"Kamu terkena sihir Lo-ang-mo itu. dan dia membawamu ke
sini " tutur Bun-hiong
It-hiong tambah bingung, ia garuk-garuk kepala yang tidak
gatal, ucapnya. "Namun kuingat setelah kita meninggalkan
restoran, kita terus jalan.
Betul, dalam perjalanan kulihat ada seorang nenek diam-diam
membuntuti kita," tutur Bun-hiong "Maka tergerak pikiranku,
segera aku pura-pura mau kencing, ku belok ke sebuah gang
kecil dan diam-diam kuawasi gerak-gerik nenek itu."
"Ah…betul sekarang aku pun ingat kejadian itu,' seru It-hioug
tertawa "Waktu itu ada seorang menepuk pundakku dari
belakang, lalu apa yang terjadi tidak kuketahui lagi."

"Yang menepuk bahumu itulah Lo-ang nio” kata Bun-hiong
dengan tertawa "Dan sekarang dia sudah kubunuh.
It-hiong memandang Kah-thaykun sekejap jelas kelihatan
kecantikannya yang menggiurkan tanpa terasa hati
terguncang, katanya, "Sialan'. “Masa kamu lupa kepada
pepatah yang mengatakan 'lebih baik membongkar sepuluh
kelenteng daripada merusak perjodohan satu orang'.
Kebetulan aku mendapat kesempatan bagus, mengapa kamu
mengacaukan urusanku ?”
Bun-hiong angkat pundak, katanya, "Sebenarnya aku tidak
ingin merusak urusanmu yang menyenangkan, tapi
mengingat kamu pasti tidak suka kepada seorang nenek reyot
berumur 68. maka segera kubunuh saja Lo-ang-nio itu "
“Yang mengincar diriku bukan Lo-ang-nio itu, peduli dia 68
atau 78.'' ucap It-hiong dengan serius
"Yang ku maksudkan bukan Lo-ang-nio” kata Bun-hiong.
Baru sekarang It-hiong melengak, cepat ia berpaling ke arah
Kah-thaykun dan berseru, "Hah. jadi engkau yang sudah
berusia 68 tahun?"
Muka Kah-thaykun tampak kecut dan tidak menjawab.
"Dia lnilahh It-kun dari kawanan It-kun, Ji-ni dan Sam-lolo.
yakni Kah-thaykun adanya” tutur Bun-hiong.
Seketika It-hiong merasa mual, teriaknya. "Busyet' nenek
berusia 68 masih segenit dan menggiurkan seperti ini,
sungguh nenek yang awet muda”
Apalagi kalau bukan keahliannya mengisap Yang untuk
menopang lm," tukas Bun-hiong.

Dengan sendirinya it-hiong tahu ada semacam ilmu orang
perempuan yang suka mengisap sari orang lelaki untuk
membuat si perempuan awet muda, akibatnya lelaki
korbannya akan menjadi loyo dan kering
Ia menjadi gusar, makinya sambil menuding Kah-thaykun,
"Tua bangka cabul, hampir saja aku menjadi korban
kecabulanmu. hari ini harus kubereskan dirimu1"
Sembari memaki ia terus menghantam. Mendadak Kabthaykun
berguling ke sebelah tempat tidur sana, dengan
pantat telanjang ia lari ke pojok ruangan dan berdiri
menempel dinding, teriaknya dengan bengis "Kalian mau
enyah atau tidak?"
"Tidak,'' jawab It-hiong. Berbareng ia melompati tempat tidur
dan menubruk lawan.
"Kau cari mampus'" bentak Kah-thaykun bengis. Belum lenyap
suaranya, serentak lampu dalam kamar padam semua,
seketika suasana berubah gelap gulita disertai gemerincing
suara sambaran senjata rahasia.
Bun-hiong terkejut, serunya cepat. "Lekas rebah “ Reaksi Ithiong
juga sangat cepat, begitu melompat lewat kesana,
seketika juga ia jatuhkan diri dan berguling ke samping,
walaupun gesit sekali gerakannya, tapi lantaran dalam
kegelapan entah dari arah mana datangnya, pada saat dia
berguling ke samping itulah tiba-tiba paha kanan terasa sakit,
ia tahu paha terkena senjata rahasia tanpa terasa ia menjerit
Hampir pada saat yang sama terdengar juga jeritan Pang Bunhiong
jelas kawan itu pun terluka.

"Hahaha!" terdengar gelak tertawa Kah-thaykun dalam
kegelapan. "Sekarang baru kalian berdua setan cilik ini tahu
akan kelihaianku'"
It-hiong coba meraba senjata rahasia yang menancap di
pahanya, dari bentuknya diketahui sebatang panah kecil, ia
tahu panah begitu terbidik dari alat rahasia, diam-diam ia
merangkak masuk ke kolong ranjang dan diam saja tanpa
bergerak serta siap mencari kesempatan untuk bilas
menyerang
Siapa tahu baru saja ia menyusup ke kolong ranjang,
mendadak berbagai lampu gantung di langit-langit itu menyala
pula dengan terang benderang. Terlihat Kah-thaykun masih
berdiri di kaki dinding sana dan sedang mengejek, "Hm..
panjang juga umur kalian, ternyata tidak mampus terpanah'"
Waktu It-hiong memandang sekitarnya, terlihat lantai penuh
berserakan anak panah yang tadi berhamburan dari atas.
Ketika ia pandang Pang Bun-hiong, kawan itu rebah di tepi
dinding sana. Pundak kirinya juga terkena sebatang panah
"Hei, bagaimana keadaanmu?" segera It-hiong bertanya.
"Wah, aku bisa mati.” rintih Bun-hiong
"Dasar, hanya kena panah, saja mau mati” omel It-hiong.
"Oo. alangkah sakitnya “keluh Bun-hiong pula
It-hiong merangkak keluar kolong ranjang dan berusaha
bangun sekuatnya, katanya kepada Kah-thaykun. "Tua bangka
hari ini kami baru tahu siapa dirimu. Selama gunung tetap
menghijau dan sungai tetap mengalir kami…”
"Huh, jangan mimpi," potong Kah-thaykun

“Biarpun kalian sekarang mau pergi pun tidak bisa lagi "
"Memangnya apa kehendakmu?" tanya It-hiong
"Aku justru hendak menahan kalian di sini “ jengek Kahthaykun.
"Untuk apa?" tanya It-hiong dengan gegetun."Jelas kami
sudah tidak berguna lagi bagimu, memangnya menahan kami
di sini untuk makan melulu?”
“Hendak kutahan kalian di sini untuk menghadapi si rase tua
Toh Po-sit," kata Kah-thaykun
It-hiong duduk di tempat tidur sambil memegang paha kanan
yang terkena panah, tanyanya “Apa yang kau harapkan dari
Toh Po-sit"
“Ingin kudapatkan dia,'' kata Kah-thaykun
"Dia sudah tua renta, masa cocok bagi seleramu.. . ?” berkata
sampai di sini, mendadak It-hiong mengertak gigi, panah yang
masih menancap di paha itu dicabutnya
Seketika darah segar mengucur bagai mata air. la merobek
ujung seprei untuk mebalut lukanya, lalu berdiri, katanya
dengan tertawa "Sampai bertemu lagi, 50 tahun kemudian
bila mana engkau masih tetap semuda dan secantik ini
mungkin aku . . . .”
Mendadak Kah-thaykun menudingnya sambil membentak
dengan bengis. "Jangan bergerak, jika berani bergerak lagi
sedikit saja segera kubikin kau mati di bawah hujan panah”

It-hiong mendongak memandang langit-langit kamar dan
menarik napas dingin, katanya, "Jadi benar engkau ingin
menahan kami di sini ?”
"Betul," ucap Kah-thaykun ketus.
"Tapi kukira ada satu orang tidak mengizinkan “
"Hm, siapa?" jengek Kah-thaykun
“Orang di atas kepalamu itu'" kata It-hiong. Kah-thaykun
terkejut, tanpa terasa ia mendongak ke atas. Kesempatan itu
tidak disia-siakan oleh Liong It-hiong, panah yang masih
dipegangnya itu terus disambitkan.
Sama sekali Kah-thaykun tidak menyangka akan tindakan
Liong It-hiong ini, ketika dia menyadari dirinya dikibuli karena
di atas tidak ada bayangan seorang pun tahu-tahu
tenggorokannya sudah tertancap oleh panah.
Ia menjerit aneh, tubuhnya melonjak ke atas tapi segera
terbanting ke lantai, ia meronta dan berkelejatan beberapa
kali lalu tidak bergerak lagi. It-hiong merobek lagi kain seperti
tadi dan mendekati Pang Bun-hiong, tanyanya dengan
tertawa, “Bagaimana, kamu belum mati bukan?"
"Selama hidupku tidak pernah mengalami cidera apa pun,
baru sekarang kurasakan terluka memang tidak enak…" keluh
Bun-hiong
“Dasar Kongeuya yang hidupnya selalu diladeni, baru
menderita sedikit saja sudah bertobat “ucap It-hiong dengan
tertawa
Bun-hiong melototinya sekejap, katanya 'Hm, jika bukan
lantaran hendak menolongmu tentu aku

takkan terluka sekarang kamu malah menyindir diriku?”
“Biar kucabut panahmu," kata It-hiong, segera ia pegang
panah yang menancap di pundak kawannya itu.
Tapi Bun-hiong lantas berteriak, "Wah, jangan, bisa mati
kesakitan aku"
"Tahanlah sebentar saja, kalau tidak dicabut bisa tambah
parah." kata lt-hiong."Coba kau lihat bukankah aku sendiri
mencabut panahku ini."
"Apakah tidak ada cara lain yang lebih baik. Maksudku cara
yang tidak menimbulkan sabit ?" tanya Bun-hiong
"Hanya ada satu cara saja,' kata It hiong
“Cara apa?" tanya Bun-hiong pula.
"Daripada sakit lama lebih baik sakit sebentar,” sembari bicara
mendadak It-hiong menarik sekuatnya panah yang menancap
di pundak orang.
Keruan Bun-hiong menjerit, segera ia mencacimaki,
"Brengsek, kenapa tidak permisi dulu ? Sengaja hendak kau
bikin aku mati kesakitan bukan?''
It-hiong membuang panah kecil itu dan membiarkan darah
mengucur sedikit, lalu luka Bun-hiong dibalutnya dengan kain
seprei.
"Huh, tampaknya kamu ini sama sekali tidak memenuhi syarat
untuk ikut menerjang Cap-pek-pan-nia bersamaku" sembari
membalut It-hiong berolok "Kukira lebih baik kau pulang saja
untuk menjadi tuan muda di rumah,"

"Kentut." omel Bun-hiong "Tempat yang dapat kau datangi,
pasti juga aku sanggup pergi kesana."
Selesai membalut luka orang, It-hiong berdiri katanya,
"Baiklah ayo bangun!" Bun-hiong berdiri, dipandangnya mayat
Kah-thaykun yang telanjang itu tanyanya, "Dia sudah mati?"
"Ya. sebenarnya dia boleh tidak mati, tapi dia sendiri yang
mencari mati. apa boleh buat!" kata It-hiong sambil angkat
pundak
"Jika dia seorang nona jelita tentu kamu tidak tega
membunuhnya," kata Bun-hiong.
"Tentu saja," ucap It-hiong
"Di atas sana masih ada beberapa penjaga entah mereka
masih berada di situ atau sudah lari”
"Apakah betul Lo-ang-nio sudah kau bunuh ?” tanya It-hiong
"Betul, dia mahir menggunakan ilmu sihir, kalau tidak kubunuh
dia, selanjutnya tentu akan banyak jatuh korban lagi."
“Sesungguhnya di manakah letak tempat ini ?” tanya It-hiong.
"Coba kau terka,' kata Bun-hiong dengan tertawa.
"Dalam keadaan samar-samar aku dibawa kesini, sama sekali
aku tidak tahu dibawa ke mana dan berselang berapa
lamanya, cara bagaimana aku dapat terka?"
"Hampir satu jam kamu menumpang kereta itu dan akhirnya
sampai di sini"

“Jika begitu jarak tempat ini dengan Jiciu sedikitnya kan 30 li
lebih?"
Bun-hiong tersenyum, "Tidak, tempat ini justru terletak di
pusat kota, hanya berjarak beberapa ratus kaki saja dengan
kantor kabupaten Jiciu”.
"Hah, jadi tempat kediaman Kah-thaykun yang megah ini
terletak di tengah kota” seru It-hiong dengan melenggong.
"Betul, supaya tempat kediamannya tidak diketahui orang,
untuk mengelabui mata orang maka
Lo-ang-nio itu sengaja membawa mangsanya dalam kereta
dan berputar kayun di tengah kota, akhirnya baru diantar ke
sini."
It-hiong memandang perabotan yang menghias ruangan ini
katanya, "Rumah ini sangat mewah. serupa, istana raja saja "
"Ruangan ini adalah kamar di bawah tanah," tutur Bun-hiong.
"Biar kita bakar saja,"
Ruangan semewah ini, jika kita bakar rasanya kan sayang,"
kata lt-hiong.
“Sudahlah, kalau mau bakar harus lekas bakar, buat apa
banjak pertimbangan”
It-hiong meraba dagu dia termenung sejenak.katanya
kemudian"Di tempat ini tentu banyak tersimpan harta benda
jika hendak kita bakar, paling tidak harus kita keluaikao dulu
harta benda. yang berharga, kalau tidak kan sayang terbuang
pereuma begini saja'”
"Haha, betul juga," seru Bun-hiong tertawa. “Ayo kita coba
menggeledahnya," ajak It-hiong.

Kedua orang lantas membongkar seluruh isi ruangan itu,
benar juga diketemukan sejumlah harta benda bernilai
beberapa laksa tahil perak, dengan sepotong kain Liong Ithiong
membungkus harta benda itu dan dipanggulnya. Habis
itu ia angkat mayat Kah-thaykun ke atas tempat tidur dan api
lantas dinyalakan
"Mari pergi!"' seru it-hiong kepada Bun-hjong
“Masa dengan begini saja kau pergi “ ujar Bun-hiong dengan
tertawa.
"Memangnya apa yang tidak betul?" It-hiong melengak.
“Hendak kau berangkat dengan pamer pantat?” tanya Bunhiong.
Baru sekarang It-bioug menyadari tubuh sendiri hanya
semampir sepotong kimono saja, apa jadinya nanti jika
berangkat dalam keadaan demikian, keruan ia kelabakan dan
berseru “Aha, betul, aku lupa berpakaian.Tapi, wah, di
manakah bajuku ?”
"Ikut saja padaku," kata Bun-hiong dengan tertawa
Habis berkata ia lantas mendahului meninggalkan ruangan itu.
Meski pundaknya terluka, tapi tidak beralangan untuk
berjalan. Sebaliknya It-hiong terluka pada pahanya sehingga
jalannya kurang leluasa. Ia ikut di belakang Ban-hiong dengan
langkah pincang. katanya, "Hei, kan seharusnya kau papah
diriku''
Namun Buo-hiong tidak menggubrisnya sebaliknya mengejek.
"Hm, kamu ini memang sudah

terbiasa dilayani di rumah baru sakit sedikit saja lantas
berkeluh-kesah, tampaknya kamu tidak memenuhi syarat
untuk menerjang Cap-pek-pau-nia bersamaku, kukira lebih
baik kamu pulang saja ke rumah untuk menjadi tuan muda'"
"Kurang ajar“ omel It-hiong "Awas, lain kali bila kamu terluka
lagi lihat saja apakah akan ku pedulikan dirimu"
Bun-hiong tidak menanggapinya, ia terus mendaki undakundakan
ujung lorong dan membuka
pintu rahisianya sehingga sampailah mereka diruang yang
berdinding marmer itu.
Kagum dan gegetun sekali It-hiong, ucapnya,”Ai, Kab-thaykun
sungguh pandai menikmati hidupnya, begitu bagus dan
megah rumah kediamannya ini "
Bun-hiong memandang kian kemari, ucapnya. "Beberapa
pelayan itu mungkin sama kabur, sungguh sayang ... "
"Sayang apa?*" tauya It-hiong
“Kan salah seorang pelavan yang bernama Keng-hoa itu
berwajah lumayan, ia pernah melayanimu mandi, sepantasnya
kau temui dia dulu."
"Busyet, memang samar-samar kurasakan dilayani mandi
seorang nona, kusangka dalam mimpi, rupanya memang
terjadi sungguh sungguh?” ucap It-hiong dengan kikuk.
Sampai di ujung serambi, Bun-hiong mendorong pintu sebuah
kamar dan berkata “Bajumu berada di dalam, lekas pakai!".
It-hiong masuk ke kamar itu, dilihatnya Loh-ang-nio
menggeletak di lantai bermandi darah, diatas sebuah meja rias
tertaruh pakaiannya sendiri. cepat ia melepaskan bungkusan

yang dipanggulnya dan menanggalkan kimono, baju sendiri
dipakai lalu bungkusan diangkatnya lagi dan keluar kamar.
"Apakah bagian atas sini perlu dibakar juga," tanya Bun-hiong.
“Kukira tidak perlu lagi,' ucap it-hioag. "Jika rumah ini terletak
di tengah kota, bila kebakaran tentu akan merembet ke rumah
tetangga dan membikin susah orang lain yang tidak bersalah."
"Apakah perlu kita geledah lagi isi rumah ini ?" tanya Bunhiong
pula
"Tidak perlu lagi, sudah cukup, biarlah sisanya diambil orang
lain saja." kata It-hlong sambil menggeleng
"Jika begitu ayolah kita keluar," kata Bun-hiong sambil
mendahului menuju ke halaman depan, setelah pintu gerbang
dibuka, benar juga di luar adalah jalan raya.
"Coba kau lihat," kata Bun-hiong dengan te tawa, "itulah jalan
raya utara, ke sana lagi beberapa ratus kaki adalah kantor
kabupaten"
"Marilah kita mencari sebuah hotel," ajak It-hiong.
"Apakah Iuka kakimu tidak beralangan?" tanya Bun-hiong
"Silahkan,” omel It-hiong. "justru lantaran tidak tahan sakit
karena luka ini, maka ingin kucari hotel untuk istirahat."
"Jika begitu, marilah kita mencari toko obat dulu untuk
membeli obat luka habis itu baru mencari hotel," kata Bunhiong
Meski sudah larut malam, namun jalan raya ini masih cukup
ramai, mereka mendapatkan sebuah toko obat, mereka

membeli obat luka luar dan dibubuhkan pada luka masingmasing
serta dibalut kembali, habis itu baru mencari hotel.
Lalu mereka merawat luka di hotel sehingga hampir sembuh
seluruhnya, lalu mereka melanjutkan perjalanan. Sepanjang
jalan bila bertemu dengan orang miskin, diam-diam It-hiong
lantas meninggalkan satu-dua putong uang perak ke rumah
miskin itu sebab itulah, beberapa hari kemudian, harta benda
yang mereka kuras dari rumah Kah-thaykun itu sudah
sebagian besar dibagi-bagikan
Suatu hari mereka sampai di tapal batas provinsi Soatang
terlihat banyak orang berkerumun di tepi jalan dan ramai
membicarakan sesuatu. Melihat gelagatnya agaknya telah
terjadi sesuatu peristiwa. Mereka coba mendekat dan ikut
mendengarkan cerita orang ramai, terdengar seorang petani
tua sedang bicara. "Perkara ini menyangkut jiwa manusia,
kukira harus kulaporkan kepada yang berwajib di kota”.
"Ya betul, harus dilaporkan agar mayat ini diperiksa," tukas
seorang lagi. Orang ketiga menambahkan, "Mayat ini sudah
membusuk, tampaknya orang ini sudah mati beberapa hari
yang lalu mengapa tidak diketahui orang "
"Di sana adalah hutan lebat, kalau tidak berkepentingan
jarang ada orang datang ke sana, sebabnya kuperiksa tempat
itu juga Iantaran mengendus bau buruk," kata si petani tua.
Mendengar ada orang menemukan mayat Bun-hiong coba
bertanya, "Sapakah yang mati dan apa sebab kematiannya ?”
“Ada dua orang mati tampaknya orang kangouw, yang
seorang terbacok senjata tajam dan yang lain kepalanya
pecah." tutur si petani tua
“Di mana"" tanya Bun-hiong pula.

"Itu, di sana," jawab si petani sambil menuding hutan di tepi
jalan sana. Bun-hiong berpaling dan berkata kepada It-hiong,
"Bagaimana kita coba melihatnya ke sana?”
“Ah orang mati apanya yang dilihat?'' ujar It-hiong dengan tak
acuh
“Jika yang mati katanya orang kangauw, kukira perlu kita
lihat, bisa jadi orang kenalan kita” kata Bun-hiong
“Baiklah, lihat sekejap saja segera angkat kaki aku tidak tahan
bau mayat yang sudah busuk “ kata It-hiong
Bun-hiong terus menarik It-hiong ke dalam hutan, belum
sampai di tempat tujuan sudah tereium bau busuk. Belasan
langkah lagi segera terlihat dua sosok mayat menggeletak di
bawah pohon yang rindang. Mayat sudah mulai mengeluarkan
cairan rambut pun sudah mulai rontok, yang seorang jelas
kelihatan hulu hatinya tertancap sebilah pisau, seorang lagi
jidatnya ambles seperti pecah kena pukulan keras.
Selain itu masih ada lagi yang menarik, yaitu di tengah kedua
sosok mayat itu tertaruh sebuah kotak hitam yang diikat
dengan rantai besi. Padahal tanpa melihat kotak hitam
itu.sekali pandang saja Bun-hiong dan It-hiong sudah dapat
mengenali kedua orang mati itu
Bun-hiong mengeluarkan saputangan untuk mendekap
hidungnya, katanya dengan tertawa, "Coba lihat ternyata
benar dua orang kenalan kita ". Rupanya kedua orang yang
mati nii bukan kain daripada Cian-in-jiu Loh Bok-kong dan
Kim-ci-pa Song Goan-po. Yang pertama tertusuk pisau dan
yang lain pecah kepalanya.

lt-hiong terkejut, katanya, "Sungguh aneh. mengapa mereka
bisa mati di sini?"
“Masa tidak dapat kau lihat," ujar Bun-hiong
"Ya, tidak perlu disangsikan lagi, jelas pada waktu mereka
sedang istirahat di hutan sini mendadak muncul tokoh
persilatan kelas tinggi dan melakukan penyergapan terhadap
mereka dan akhirnya mereka terbunuh"
"Tidak, bukan begitu." kata Bun-hiong
“Tidak betul katamu?'' It-hiong menegas
“Mengapa tokoh persilatan itu perlu membunuh mereka?"
tanya Bun-hiong
“Dengan sendirinya lantaran …". Mestinya It-hiong hendak
bilang lantaran kotak pusaka itu, tapi demi melihat kotak
pusaka yang dimaksudkan masih berada di tanah, segera ia
tahu dirinya salah sangka, maka ia hanya angkat pundak dan
coba menjawab sendiri, “Dahulu Toh Po-sit ada maksud
mencalonkan diriku untuk bekerja sebagai pembantunya,
untung tidak kuterima permintaannya”
“Boleh kau pikirkan lagi. tentu tidak sulit bagimu untuk
mengetahui cara bagaimana mereka terbunuh” kata Bunhiong
pula dengan tersenyum. It-hiong coba memandang
mayat Loh Bok-kong dan Song Goan-po, dilihatnya yang
seorang tergeletak telentang dan yang lain tiarap, jarak
kedua orang sangat dekat, segera ia paham duduknya
perkara, tanpa terasa ia menggeleng kepala dan berkata, "Ya,
tentu lantaran sebuah kotak itulah mereka saling membunuh,
akhirnya keduanya gugur bersama, sungguh terlalu”

Bun-hiong tertawa, katanya, "Demi sebuah kotak pusaka
mereka Lok-lim-jit-coat sudah mati enam orang, sekarang
tersisa seorang Ang-hu-soh Ban Sam-hian saja, bilamana
diketahui si perencana intrik itu, tentu dia akan sangat
senang"
lt-hiong menjemput kotak pusaka palsu itu. katanya dengan
tertawa. '"Betapa besar rejeki seseorang biasanya sudah
ditakdirkan, kasihan mereka sampai sebuah kotak palsu begini
saja tidak sanggup mempertahankannya, akhirnya tetap juga
kembali kepada tangan kita.”
Bun-hiiong cehngukan beberapa kali, lalu mendesis "jjka ingin
membawa lari kotak pusaka ini sabaiknya sekarang juga
beraangkat, jangan sampai dilihat orang lain”
"Baik,' It-hiong mengangguk. "Biarlah kita mengeluyur keluar
melalui sebelah sini "
Begitulah mereka meneruskan perjalanan ke dalam hutan,
setelah menembus hutan lebat, lalu mereka membelok ke
utara dan putar balik ke jalan raya.
"Kedua keparat Loh Bok-kong dan Song Goan-po itu
membawa lari kotak pusaka palsu itu, dari daerah selatan
mereka lari ke wilayah Soatang. menurut pendapatmu,
kemana tempat tujuan mereka?”
"Siapa tahu?" Bun-hiorg angkat pundak
“Mungkin mereka hendak pergi ke Cap-pek-pan-nia?" tanya lthiong
"Untuk apa mereka pergi ke sana?" kata Bun-hiong.

"Mana kutahu, aku juga cuma menduga-duga saja," jawab Ithiong
"Menurut pendapatku, mereka pasti tidak berani pergi ke Cappek-
pari-nia. mereka juga tidak ada alasan untuk pergi
kesana'”
"Tapi jarak dari tempat ini ke Cap-pek-pan-nia sudah tidak
jauh lagi "
"Oo, kira-kira perjalanan berapa hari lagi"
"Paling-paling tiga hari lagi"
"Jika begitu jelas tempat ini sudah berada di dalam wilayah
pengaruh Cap-pek-pan-nia, betapa mereka berani menginjak
daerah kekuasaan orang lain, sungguh mereka pun terlampau
berani"
"Dan setelah mereka sampai di tempat ini mereka justru saling
membunuh sendiri, sungguh aneh juga.'' kata It-hiong.
"Memangnya cuma kemaruk ingin mengangkangi kotak
pusaka saja?"
“Ya akupun tidak mengerti bahwakotak ini ternyata memiliki
daya tarik sebesar ini sehingga mereka saling membunuh."
ucap It-hiong dengan tertawa.
"Manusia di dunia ini kebanyakan tamak harta, maka kuharap
setelah kotak pusaka ini kita bawa ke Cap-pek-pan-nia
sedikitnya akan dapat membuat Cap-pek-pan-nia juga terjadi
kacau balau”
It-hiong terbahak. "Haha, semoga demikian halnya”

Lok-lim-jit-coat yang terkenal di daerah selatan sudah hancur
tanpa ditumpas, di antara tujuh orang sudah mati enam, bila
kawanan bandit utara yang bereokol di Cap-pek-pan-nia itu
juga terjadi pertarungan sendiri maka dunia ini dapat
diharapkan akan aman sentosa
Jika demikian halnya, mula mula orang yang membuat kotak
pusaka ini boleh dikatakan mempunyai tujuan yang luhur"
"Tapi aku justru berharap dapat menangkap dia." kata Bunhiong
"Aku juga “ tukas It-hiong
"Bisa jadi orang yang membuat kotak ini justru adalah orang
yang hendak ditangkap Toh Po-sit itu," kata Bun-hiong
"Dan orang ini sangat mungkin juga si gembong iblis misterius
yang bereokol di Cap-pek-pan-nia itu.' ujar It hiong.
Sungguh sekarang kuharap bisa segera terbang ke Cap-pekpan-
nia."
"Jika ingin lekas sampai di sini kukira Cuma ada satu cara."
ujar It-hiong
“Cara bagaimana? tanya Bun-hiong
"Berjalan lebih cepat" kata It-hiong. Habis berkata segera ia
mendahului mempereepat langkahnya.
OooooO
Tiga hari kemudian sampailah mereka di kabupaten Tongkoan
daerah barat Soasai letak Cap-pek-pan-nia sudah di
depan mata. Kedua orang istirahat dulu satu hari di dalam

kota, setelah cukup mengumpulkan tenaga, esok paginya
barulah mereka berangkat keluar kota menuju ke Cap-pekpan-
nia.
Kira-kira 60 li ke barat lagi menjelang lohor sampailah mereka
di kaki bukit Cap-pek pan-nia
Di bawah gunung suasana sunyi senyap, sejauh mata
memandang tidak terlihat bayangan orang maupun rumah
penduduk. Pegunungan ini cukup tinggi puncaknya tertutup
awan, hutan lebat meliputi lereng gunung, hanya terlihat ada
sebuah jalan setapak yang melingkar-liku naik-turun
Inilah Cap-pek-pan-nia atau 18 bukit lingkar,di sinilah markas
besar pemimpin besar yang menguasai 36 sarang bandit yang
terbesar di daerah utara. Kedua orang berhenti dan
memandang ke atas, kata It-hiong dengan tertawa.
"Tampaknya pegunungan ini juga tidak ada sesuatu yang luar
biasa "
“Maksudmu Cap-pek-pan-nia ini ?”
"Ya, apalagi?"
Dipandang dari keadaan, Cap-pek-pan-nia ini dengan
sendirinya belum terhitung berbahaya cuma jangan lupa,
gunung tidak terletak pada tingginya, ada pertapanya akan
menjadi angker, itulah pepatah yang berlaku di kalangan
bandit
"Sarang pimpinan Cap-pek-pan-nia ini tentu terletak di puncak
yang tertinggi, kita harus naik ke sana secara terang-terangan
atau diam-diam menyusup ke atas ?”
"Kukira lebih baik mengirim kartu nama dan minta berkunjung
merupakan cara lebih terpandang," kata Bun-hiong

It-hiong mengangguk, 'Baik.marilah kita naik ke atas
mengikuti jalan setapak itu."
Jalan itu terus melingkari pinggang gunung pepohonan
rindang hampir mengalingi langit pemandangan terasa indah
permai dan sunyi. Baru saja mereka melintasi lingkaran
pertama sekonyong-konyong terdengar suara mendenging.
sebatang panah menyambar tiba dan menancap didepan
mereka.
Itulah tanda peringatan agar pendatang berhenti di tempat.
It-hiong tersenyum. segera ia berteriak lantang.
“Sahabat di atas, silahkan memperlihatkan diri untuk bicara “
“Katakan dulu namamu'" seru orang di atas suaranya
berkumandang dari balik pepohonan yang terletak tidak jauh
"Kami Liong It-hiong dan Pang Bun-hiong “ seru It-hiong
lantang "Kami berdua mendapat pesan oleh sahabat kalian, Si
Him, kami membawakan sebuah kotak pusaka dan harus
dipersembahkan langsung kepada pemimpin besar kalian
harap sudi dilaporkan"
"Baik, silahkan tunggu sebentar”seru orang di atas
It-hiong berpaling, katanya kepada Bun-hiong dengan
tertawa, "Menurut perkiraanmu apakah pemimpin besar Cappek-
pan-nia sendiri akan menyambut kadatangan kita?”
“Jika kamu terhormat selaku seorang ketua perguruan, bisa
jadi akan disambut kedatanganmu, cuma sayang, kamu bukan
seorang ketua perguruan segala "

It-hiong angkat pundak, "Tapi kita kan membawakan sebuah
kotak pusaka baginya, sepantasnya dia melayani kita dengan
terhormat.''
Bun-hiong tidak menanggapi lagi, ia memandang ke atas,
ucapnya tersenyum, "Tempat ini adalah lingkaran pertama,
di atas sana masih ada 17 lingkar, entah harus menunggu
berapa lama baru akan mendapat izin naik ke atas."
"Kuyakin mereka mempunyai cara berkomunikasi yang cepat,
misalnya dengan pos merpati dan sebagainya, kukira kita
takkan menunggu terlampau lama,” kata It-hiong
Begitulah mereka bicara dengan suara perlahan mereka
menunggu hampir setengah jam barulah terdengar dan hutan
sana berkumandang suara lantang."Silahkan kalian naik ke
atas"
lt-hiong menggeleng kepala, gerundelnya dengan tertawa.
"Ternyata benar tidak ada penyambutan, tampaknya nama
Liong-hiap dan Hou-hiap kita belum cukup berbobot. Ayolah
berangkat'"
Mereka terus mendaki gunung mengikuti ja lan setapak itu.
Kira-kira beberapa puluh langkah tiba-tiba terlihat sebuah
benteng pagar kayu di luar benteng berdiri dua barisan liaulo
(anak buah) bergolok, di tengah berdiri seorang lelaki kekar
dengan wajah kereng
Melihat kedatangan It-hiong berdua, lelaki kekar itu memberi
hormat dan berkata, "Maaf.karena tidak tahu akan kunjungan
anda berdua sehingga tidak diadakan penyambutan yang
layak “
Karena orang bersikap ramah, lt-hiong juga ikut sungkan,
katanya, "Terima kasih, kunjungan

kami yang mendadak ini hendaknya tidak menimbulkan salah
sangka”
Segera lelaki kekar itu menyingkir ke samping. ia menuding ke
dalam benteng dan berkata, "Silahkan masuk langsung melalui
sini, selewatnya pintu belakang benteng, hendaknya naik lagi
ke atas mengikuti jalan yang ada "'
"Terima kasih atas petunjukmu, numpang tanya, sahabat ini “
"Caihe Cu Ing," sahut lelaki kekar itu. "bertugas menjaga pos
pertama ini."
"Dari sini sampai di atas masih harus melalui berapa pos
penjagaan lagi ?” tanya It-hiong'
"Masih ada 16 pos jaga, markas besar terletak pada bagian
terakhir," tutur Cu lng yang berjuluk “Ji-po-tau" atau si kapak.
"Numpang tanya lagi satu hal," kata It-hiong. "Bolehkah
kutahu apa sebutan nama terhormat pemimpin besar kalian ?"
Cu Ing tersenyum, jawabnya, "Bila kalian telah sampai
ditempatnya, tentu kalian akan tahu sendiri siapa beliau "
It-hiong mengangguk, ia menoleh dan memberi tanda kepada
Bun-hiong, katanya. “Ayo berangkat. masih belasan pos
rintangan yang harus kita lalui kita harus berjalan lebih cepat."
Mereka masuk ke dalam tenteng, terlihat di dalam benteng
yang dilingkari pagar kayu itu terdapat belasan rumah, tapi
tidak kelihatan seorangpun. Ia menduga segenap anggota
sarang bandit ini tentu sudah disembunyikan.
Karena tidak bermaksud mencari perkara disini, It-hiong dan
Bun-hiong tidak menghiraukan keadaan luar biasa itu, dengan

tenang mereka terus menuju ke jalan yang langsung
menembus ke atas gunung itu.
Sampai di belakang benteng dan keluar pintu belakang benar
juga terlihat sebuah jalan setapak terbentang ke atas puncak
gunung, mereka melanjutkan perjalanan mengikuti jalan
setapak itu.
"Wah, melihat gelagatnya.kalau ingin menyusup ke atas
gunung jelas tidak mungkin." Kata Bun-hiong dengan tertawa.
"Ya, memang," sahut It-hiong.
"Untuk menghancurkan sarang bandit ini juga tidak sederhana,"
ujar Bui-hiong "Lebih dulu harus membobolkan pos
rintangan, habis itu baru dapat menyerbu ke pusat
sarangnya,"
"Untung kita tidak mempunyai rencana serbuan demikian,"
kata It-hiong
"Hm, apakah maksudmu karena kita tidak bermaksud
menyerang Cap-pek-pan-nia, lalu kita dapat datang dan pergi
lagi dengan bebas, begitu'' jengek Bun-hiong
"Dengan sendirinya bukan begitu maksudku," kata It-hiong.
"Kedatangan kita ini jelas penuh risiko, datang terlebih mudah
daripada pergi,"
"Asal kau tahu saja." kata Bun-hiong "Kukira pada saat
gembong iblis itu mengetahui kotak yang kita bawa itu palsu,
pada saat itu juga mungkin harus main senjata."
"Dan kita berdua harus menghadapi lawan sebanyak itu, jelas
pasti akan kalah," ujar It-hiong

"Memangnya kau harapkan menang?" jengek Bun-hiong
"Kamu takut tidak ?" tanya It hiong
"Takut apa? Kalau aku mati toh kamu juga takkan hidup. Mati
ditemanimu, menjadi setan juga tidak bakal kesepian "
“Hahaha, aku justru tidak ingin mati," seru It-hiong dengan
tergelak."Giok nio sedang menunggu kedatanganku, mana
boleh kumati begitu saja?!"
Tengah bicara kembali mereka sudah berputar satu lingkaran,
di depan muncul lagi sebuah benteng kayu. Seperti tadi, di
luar benteng juga berdiri seorang komandan jaga dengan dua
barisan anak buah bergolok, keadaan serupa dengan pos jaga
pertama. Bun-hiong dan It-hiong sudah, tahu untuk menuju
ke markas pusat harus menembus 17 pos jaga, maka mereka
tidak bicara lagi dengan komandan ini, mereka hanya
mengangguk saja dengan tersenyum, lalu masuk ke dalam
benteng sana . .
Dan begitulah seterusnya, setiap kali mendaki sebuah lingkar
bukit lantas muncul sebuah benteng kayu keadaannya juga
hampir sama. Lebih setengah harian baru akhirnya ke-17 pos
jaga itu dilalui, sampailah mereka di puncak teratas Cap-pekpan-
nia, sampai ddi depan benteng ke-18.
Maskas pusat pimpinan Cap-pek-pan-nia memang lain
daripada yang lain, tertampak pintu gerbang benteng
dibangun serupa gapura benteng berloteng, kedua sisi
berdinding batu setinggi tiga tombak lebih, bangunan megah
dan kuat tak terbobolkan.
Pada saat itu, di depan pintu gerbang juga berdiri seorang
komandan jaga berpuluh liaulo yang berbaris di kedua sisi

lengkap bersenjata golok dan tombak, semuanya gagah dan
kereng, jauh lebih seram daripada ke-17 pos jaga sebelumnya.
Kuancu atau komandan jaga itu berusia 60-an, kepalanya
sudah rada botak, perawakannya tegap meski senyuman
menghiasi wajahnya, namun tidak terasa simpati sedikit pun
It-hiong dan Bun-hiong mengira orang inilah si pemimpin
besar Cap-pek-pan-nia yang misterius itu, selagi mereka
hendak mendekat untuk memberi hormat, mendadak orang
tua itu memberi salam lebih dulu dan menyapa, "Caihe Liok
Wi-yang, atas perintah Congcecu (pemimpin besar) kami siap
menyambut kedatangan kalian di sini”
"Oo, kiranya Liok-kuancu," ucap It-hiong sambil membalas
hormat "Terima kasih dan selamat bertemu "
Orang tua yang bernama Liok Wi-yang itu berkata dengan
senyum tak senyum, "Congcecu kami sudah menanti di Cio-gi
tia (ruang pendopo), silahkan kalian ikut padaku." Habis bicara
ia lantas membalik dan menuju ke tengah benteng. lt-hiong
dan Bun-hiong saling mengedip mata lalu ikut masuk ke sana.
Bangunan di dalam benteng sangat megah, perumahan
berloteng yang terlihat berjumlah ratusan, di tengah tengah
adalah sebuah lapangan luas, di depan sebuah bangunan
yang berbentuk serupa istana terdapat sebuah panggung
besar, di atas panggung terpancang sehelai bendera segi tiga
di atas tiang bendera yang tinggi, bendera warna merah
berkibar tertiup angin, pada bendera itu tertulis empat huruf
yang berarti "melaksanakan keadilan bagi Thian"
lt-hiong tertawa, katanya "Kebanyakan bandit sama suka
menggunakan istilah ini, seperti perbuatan mereka yang suka
membunuh dan bakar juga atas perintah Thian,"

Pelahan Bun-hiong menyentuh lengan sang kawan,
maksudnya supaya jangan sembarang omong
Namun lt-hiong seperti tidak menghiraukannya, katanya pula
dengan tertawa, "Memangnya kenapa. Apakah salah
ucapanku?”
Mendadak Liok Wi-yang berpaling dan berkata dengan
terkekeh, "Hehe, ucapan Liong-hiap sangat tepat, tempat kami
ini memang menggantung kepala domba dan menjual daging
anjing'"
"Haha, dengar tidak, mereka sendiri sudah mengakui
kebenaran ucapanku," seru It-hiong dengan terbahak sambil
menepuk bahu Bun-hiong. Bun-hiong cuma menyengir saja
tanpa bersuara
Liok Wi-yang membawa mereka menuju ruang pendopo,
katanya pula dengan terkekeh “Hehe, barangkali tempat ini
tidak cocok bagi pandangan Liong-hiap bukan ?”
"Ah. masa “ ucap It-hiong dengan tertawa
"Aku cuma sedang pikir bilamana aku menjadi bandit, rasanya
pasti takkan kugunakan poster begitu, sebab keempat huruf
itu tidak lebih hanya omong kosong belaka!"
Liong Wi-yang tertawa, katanya. "Sebentar setelah bertemu
dengan Congcecu kami silahkan Liong-hiap mengemukakan
lagi urusan ini, Congcecu biasanya suka menerima gagasan
yang baik bilamana maksudmu memang bagus, tentu beliau
akan menanggalkan panji merah itu "
“Ah, itu mah tidak perlu, biarkan dia runtuh sendiri kan lebih
baik," ujar It-hiong

"Tidak, dia takkan runtuh." jengek Liong Wi-yang.
It-hiong tidak bicara lagi, sebab sekarang mereka sudah
berada di depan undakan batu di depan ruang pendopo. Liok
Wi-yang berhenti dan berpaling, katanya, "Silahkan kalian
menunggu sementara di sini biar kulaporkan dulu." Habis
berkata ia lantas menaiki anak tangga dan masuk ke ruang
pendopo.
It-hiong mengangkat pundak dengan tertawa “Tampaknya kita
ini tetamu yang tidak disukai.”
“Tidak pantas kau sindir mereka," ujar Bun-hiong
“Masa ucapanku terhitung sindiran?" kata It-hiong tertawa.
Tengah bicara, terlihat Liok Wi-yang telah muncul kembali,
sambil menuruni anak tangga batu ia berkata, "Congcecu
sudah menunggu di dalam ruangan, silahkan kalian masuk ke
sana."
It-hiong dan Bun-hiong saling pandang sekejap dan tertawa,
Ialu menaiki undakan bersama dan masuk ke ruang pendopo.
Ruangan itu memang sangat luas dan megah, resik tanpa
kotoran setitik pun, hampir sama indahnya dengan istana raja.
Di dalam ruangan sekarang hanya duduk tiga orang, yang di
tengah jelas Congcecu Cap-pek-pan-nia cuma mukanya pakai
kerudung, ia duduk di sebuah kursi besar berlapis kulit
harimau, karena tidak terlihat wajahnya, maka menimbulkan
kesan misterius.
Yang duduk di kanan-kirinya adalah dua orang yang
berpotongan tubuh berbeda, yang satu gemuk, sebaliknya
yang lain kurus, keduanya sama berambut panjang semampir

di pundak, dua orang yang aneh, tampaknya dia pengawal
pribadi sang Congcecu.
It-hiong berdua melangkah lebih dekat dan berdiri di depan
mereka, melihat orang tidak berdiri menjambutnya, It-hiong
pun bersikap angkuh tanpa memberi hormat, ia cuma
menyapa dengan tersenyum, "Apakah anda ini Congcecu?"
Orang berkedok itu mengangguk tanpa bersuara
"Kami tidak disilahkan duduk ?" tanya It-hiong pula dengan
tertawa.
Kedua mata orang berkedok itu memancarkan cahaya yang
menggetar sukma, ia pandang It-hiong berdua sampai sekian
lama tanpa bicara.
Ebook oleh : Dewi KZ
Scan book oleh : BBSC
Jilid 19
Sampai sekian lama orang berkedok itu menatap mereka, lalu
berucap dengan suara berat, "Silahkan duduk'"
"Nah, beginilah baru mirip gaya seorang pemimpin besar
kaum lok-lim," kata It-hiong dengan tertawa sambil menyurut
mundur dan duduk di kursi barisan kanan. Bun-hiong juga
mundur dan duduk di kursi barisan kiri, keduanya bersikap
wajar dan tenang, sedikit pun tidak terpangaruh oleh perbawa
lawan.
Pelahan orang berkedok itu bicara pula, "Ada keperluan apa
kalian datang kemari menemuiku?"

"Kalau tidak keberatan, numpang tanya dulu siapa nama dan
she Congtocu yang terhormat'' tanya It-hiong
Dengan kurang senang orang itu menjawab, "Apakah maksud
kedatangan kalian hanya ingin tahu siapa diriku ini?"
"O, tidak,” jawab It-hiong dengan tertawa
“Soalnya ada semacam barang hendak kami persembahkan
kepada Congtocu, namun kita baru pertama kali ini bertemu,
sepantasnya mesti saling memperkenalkan nama masingmasing,
inilah sopan santun pergaulan "
“Tapi aku tidak suka bicara tentang sopan santun segala,"
kata orang itu "Ada barang apa yang hendak kau berikan
padaku, boleh keluarkan saja.”
It-hiong lantas menanggalkan bungkusan yang dibawanya
sambil bertanya, "Apakah ada seorang anak buah Congtocu
yang bernama Si Him ?”
"Ada," jawab orang berkedok itu
It-hiong membuka bungkusan dan mengeluarkan kotak palsu,
katanya. "Di suatu tempat ia di
serang dan terluka parah oleh dua kawan bu-lim yang tidak
diketahui asal usulnya, sebelum menghembuskan napas
terakhir ia ininta kubawa kotak ini untuk diserahkan padamu "
"Oo," orang berkedok itu bersuara tak acuh
“Demi memenuhi pesannya akibatnya banyak pahit getir yang
ku alami…"
"Oo," kembali orang itu bersuara singkat.

It-hiong meraba kotak palsu itu, katanya pula dengan
tersenyum, "Apakah kau tahu benda mestika apa isi peti ini?"
"Tahu." jawab orang berkedok
"Oo.. dapatkah kami diberitahu?” pinta It-hiong
"Boleh,” jawab orang itu "Peti ini berisi sehelai peta pusaka
harta karun, asal peti ini dapat dibuka dan mendapatkan peta,
tentu akan dapat menemukan harta karun tinggalan Eng-jiauong
Oh Kiam-lam sesuai petunjuk dalam peta. Nilai harta
karun itu berjumlah beberapa juta tahil perak "
"Apa betul?” It-hiong menegas dengan tertawa.
"Tentu saja betul, aku tidak menghendakinya, sudah
kuputuskan akan kuberikannya untukmu," kata orang itu
"Hahaha.. sebab apa ?" tanya It-hiong dengan terbahak
"Sebab peti yang kau pegang itu palsu, tiada berisi apa pun
dalam peti," kata orang berkedok
Mau-tak-mau It-hiong melengak. tanyanya. “Dan mana kau
tahu peti ini palsu?"
"Sebab peti yang asli sudah kudapatkan " ujar orang itu
dengan tertawa
"Oo, di mana ?” tanya It-hiong.
Orang berkedok membalik ke sana dan mengeluarkan sebuah
peti besar dari bawah meja, peti besar itu dibuka dan
dikeluarkan sebuah kotak hitam dan dilemparkan kepada Ithiong,
katanya dengan tertawa, "Coba kau lihat, petiku inilah
yang tulen "

Setelah menerima kotak hitam itu dan diperiksa. It-hiong
tambah terkesiap, serunya, "Hah aneh. dari mana kau
dapatkan kotak pusaka ini?"
"Kudapatkan dan tangan Tui-beng-poan-koan Toh Po-sit,"
tutur orang berkedok itu dengan tertawa
Seketika it-hiong melonjak kaget, serunya. "Apa katamu? Jadi
engkau sudah mendatangi Ma-cik-san?"
Orang berkedok itu mengangguk pelahan jawabnya, "Betul,
baru kemarin kupulang kemari. Tentu kalian mengalaini
sesuatu dalam perjalanan sehingga terlambat dan baru
sekarang sampai disini"
Berdesak jantung it-hiong, tanyanya pula dengan terkesiap,
"Masa Toh Po-sit mau memberikan kotak pusaka ini
kepadamu?”
Orang itu tertawa, "Silahkan duduk dulu, biar kuceritakan
duduknya perkara "
Sedapatnya It-hiong menahan perasaannya yang bergolak, ia
duduk lagi dan bertanya, "Apakah engkau telah membunuh
Toh Po-sit?"
Orang berkedok itu sengaja mengelak tanpa menjawab,
dengan senyum ejek ia berkata, "Urusan ini harus kuceritakan
mulai dan awal. Apakah kau tahu apa maksud tujuan Toh Posit
menyuruhmu menangkap Oh Beng-ai " '
"Nona Oh hendak digunakannya sebagal umpan untuk
memancing dan menangkap seorang." tutur It-hiong

"Betul," kata orang itu. "Tapi apakah kau tahu siapa yang
hendak dipancingnya?"
"Wah, hal itu aku tidak tahu," jawab It-hiong sambil
menggeleng
"Biar kuberitahukan padamu," ucap si orang berkedok. "Orang
yang hendak dipancingnya adalah kakak nona Oh sendin,
yaitu Eng-jiau-ong Oh Kiam-lam "
It-hiong melenggong.tanyanya, "Hah, masa begitu? Bukankah
Eng-jiau-ong Oh Kiam-lam sudah mati?"
"Tidak, meski dia memperalat sesosok mayat untuk
memalsukan dia sendiri, namun tetap tidak dapat mengelabui
mata Toh Po-sit," tutur si orang berkedok.
"Sebab apa Oh Kiam-Iam sengaja pura-pura mati?" tanya Ithiong
tidak mengerti.
"Sebab banyak orang mengincar harta bendanya," kata orang
itu. "Terutama ketujuh saudara angkatnya, yaitu Lok-lim-jitcoat,
setiap saat mereka senantiasa mengincarnya dan
berdaya akan mencelakai nyawanya serta merampas harta
kekayaannya, sebab itulah Oh Kiam-lam mengguna-kan akal,
ia memperalat sesosok mayat untuk menyamar sebagai
jenazahnya agar Lok-lim-jit-coat mengira Oh Kiam-lam benar
sudah mati terbunuh musuh, lalu ia membuat lagi sebuah
kotak pusaka serta menyiarkan berita bohong bahwa di dalam
kotak pusaka berisi sebuah peta harta karunnya, tujuannya
supaya Lok-lim-jit-coat berusaha merampas kotak itu hingga
saling membunuh, dengan begitu akan tercapai maksud
tujuannya menumpas Lok-lim-jit coat. Sekarang tujuannya
sudan tercapai Lok lim-jit-coat memaug sudah mati
seluruhnya."

"Tidak, tidak betul,' tukas It-hiong. "Di antara Lok-lim-jit-coat
masih ada seorang yang belum mati, yaitu Ang-siu-soh Ban
Sam-hian
"Tidak betul, Ban Sam-hian juga sudah mati," kita orang itu
dengan tertawa
"Ah, dan cara bicaramu ini, pahamlah aku sekarang," seru
Bun-hiong mendadak. "Jelas engkau sendiri inilah Eng-jiauong
Oh Kiam-Iam, betul tidak ?"
Orang itu menanggalkan kedoknya sehingga terlihat wajah
aslinya yang kereng, mata besar, alis tebal, ia menyeringai
dan berkata, "Betul, aku inilah Oh Kiam-lam "
It-hiong membuang kotak palsu tadi, ia melolos pedang sambil
melonjak bangun, teriaknya, “Jika demikian, jadi Toh Po-sit
sudah kau bunuh bukan?"
Eng-jiau-ong Oh Kiam-lam duduk tenang tanpa bergerak,
mendadak ia tertawa keras, katanya,
“Hahuha, janganlah tegang, anak muda. Ingin kutanya dulu
padamu, bukankah sejauh ini Toh Po-sit tidak mau
memberitahukan padamu siapa gerangan yang ingin
ditangkapnya, bukan?"
"Memangnya kenapa kalau betul? "jawab It-hiong dengan
mendelik gusar.
"ltu menandakan dia mempunyai pikiran busuk," kata Oh
Kiam-larn dengan tertawa "Ia ingin memperalat adik
perempuanku untuk memaksa aku masuk perangkapnya dan
mengincar seluruh harta kekayaanku "
"Omong kosong" teriak It-hiong bengis

“Sama sekali bukan omong kosong." Ujar Eng-jiau-ong Oh
Kiam-lam dengan tertawa. "Tempo hari waktu kupergi ke Macik-
san. jelas-jelas dia sudah bilang padaku bahwa selama
hidupnya dia mengabdi untuk kepentingan umum, sampai
tua tetap tidak mendapat sesuatu keuntungan apa pun, maka
sekarang dia ingin meraih sejumlah harta untuk kelangsungan
hari tua, ucapan itu juga didengar oleh adik perempuanku,
kalau tidak percaya boleh kau tanya padanya"
“Tidak aku tidak percaya" seru It-hiong sambil mengentak kaki
"Dia pasti bukan orang macam begitu jika dia ingin
menangkapmu, hal itu juga deini kepentingan umum”
"Haha.. percaya atau tidak terserah padamu." Seru Oh Kiamlam
dengan tergelak. “Cuma aku ikut penasaran bagi kalian
berdua, kalian terkenal sebagai pendekar naga dan harimau,
tokoh muda dunia persilatan yang menonjol, tapi kalian mau
diperalat olehnya tanpa sadar, sungguh lucu dan menggelikan
''
Mana It-hiong mau percaya Toh Po-sit adalah manusia yang
kemaruk harta benda, segera ia tuding orang dan mendamperat,
"Lekas katakan. apakah dia sudah kau bunuh ?”
Eng-jiau-ong Oh Kiam-lam menyeringai, ucapnya. “Ia
berusaha menperalat adik perempuanku untuk menangkap
diriku, padahal sebelumnya setiap tindak-tanduknya sudah
kuketahui dengan jelas. Memang betul, dia sudah kubunuh "
Kejut dan gusar It-hiong tidak kepalang, serentak ia melolos
pedang dan berteriak bengis, "Ayo maju kemari, biar ku
tempur bangsat tua macam dirimu ini!"
"Hehe. buat apa?" ujar Oh Kiam-lam dengan tertawa, sikapnya
tetap sabar. "Kabarnya hubunganmu dengan adik

perempuanku cukup intim, malahan aku juga sangat berharap
akan mempunyai ipar semacam dirimu, bilamana . . . "
"Tutup mulut"' bentak It-hiong "Hubunganku dengan adik
perempuanmu hanya sampai di sini saja. Sukarang harus
kupenggal kepalamu untuk membalas sakit hati Tohlocianpwe”
"Hehe.apa betul begini kehendakmu?” jengek Oh Kiam-lam
dengan menarik muka.
"Sekalipun bukan untuk Toh-locianpwe juga akan kubinaskan
bangsat tua yang licik dan licin serupa dirimu ini." teriak Ithiong
tegas
Eng-jiau-ong Oh Kiam-lam berdiri dan berkata "Baik, dengan
senang hati akan kupenuhi kehendakmu, anak muda. Mari
kita keluar saja." Segera lima orang sama keluar ruangan
pendopo dan menuju ke lapangan.
Segenap anak buah sarang bandit itu sudah menerima kabar
tentang datangnya kedua pendekar naga dan harimau dan
sejauh ini sama memperhatikan perkembangan keadaan, kini
melihat pemimpin besar mereka menuju ke lapangan bersama
kedua tamu muda itu, segera para anak buah tahu bakal ada
tontonan menarik, seketika suasana menjadi riuh ramai dan
berkerumun maju.
Satu di antara penonton itu ternyata dikenal Pang Bun-hiong,
orang ini seorang perempuan, dia bukan lain daripada Coakat-
bijin Loan Kiau-kiau, si wanita cantik berbisa. Perempuan
ini sebenarnya terkurung di ruang bawah tanah di Ma-cik-san
oleh Toh Po-sit, tapi sekarang sudah muncul di sarang bandit
ini. Maka dapat dimengerti apa yang dikatakan Oh Kiam-lam
bukan bualan belaka. Toh Po-sit memang benar telah
terbunuh olehnya.

Melihat Coa-kat-bijin Loan Kiau-kiau muncul di situ, segera
Pang Bun-hiong memberi salam dan menegur dengan tertawa,
"Aha, selamat berjumpa pula nona Loan"
Kiau-kiau hanya mendelik sekejap saja padanya tanpa
menjawab. Eng-jiau-ong Oh Kiam-lam memandang mereka
berdua, katanya kemudian dengan rasa curiga, "Mengapa kau
kenal istriku ini.anak muda?"
Bun-hiong menjawab dengan tertawa, "Bukan cuma kenal saja
malahan …"
Kiau-kiau tampak gugup dan membentak "Pang Bun-hiong,
hendaknya kau tahu batas kalau omong, meski kita memang
sudah lama kenal, tapi perkenalan kita berlangsung secara
bersih "
"Kiau-kiau," sela Oh Kim-lam dengan kurang senang, "dia
yang kutanya dan bukan tanya dirimu"
Lalu ia berpaling dan tanya Bun-hiong, "Anak muda, kau
bilang tidak hanya kenal saja, malahan
apa?"
"Malahan timbul semacam …semacam perasaanku," kata Bunhiong
dengan tertawa.
Sinar mata Oh Kiam-lam tampak mencorong tajam, tanya
dengan suara berat, "Perasaan apa?"
"Begini, aku ini ada semacam ciri yaitu bilamana melihat
perempuan cantik lantas kukejar terus menerus," tutur Bunhiong.
"Beberapa tahun yang lalu secara kebetulan kulihat dia,
aku terkejut akan kecantikannya, maka segera kuatur siasat
dan mulai melancarkan serangan padanya. Namun dia bilang

aku terlampau muda dan tidak sudi menerima cintaku. Tentu
saja aku sangat kecewa karena bertepuk sebelah tangan, aku
sakit rindu dendam dan hampir saja jiwa melayang.”
Keterangan ini membuat Oh Kiam-lam tersenyum kembali,
katanya, "Hm, dengan muka tebese serupa dirimu juga ingin
meinikat perempuan cantik, huh, jangan inimpi'"
"Ya, ya, memang!" kata Bun-hiong dengan tertawa. Hati Loan
Kiau-kiau merasa lega karena Bun-hiong tidak bercerita
kejadian yang sesungguhnya. Lalu Eng-jiau-ong Oh Kiam-lam
berpaling dan berkata kepada Liong It-hiong, "Kau tahu anak
muda, Toh Po-sit saja bukan tandinganku, apalagi dirimu. Jika
kamu tetap ingin menantangku maka bagimu cuma ada satu
jalan, yaitu kematian. Biarlah sekarang kusuruh seorang anak
buahku coba-coba beberapa jurus denganmu "
Segera ia menoleh dan berkata kepada si gemuk yang aneh
itu, "Ong-siwi, boleh coba kau layani dia."
Si gemuk aneh itu mengiakan, segera ia melolos senjata
andalannya, yaitu toya tiga ruas, ia melangkah maju, katanya
sambil terkekeh, "Hehe, anak muda, biar kuantar kamu pulang
ke nenekmu. Nah, boleh serang lebih dulu?"
It-hiong acungkan pedangnya, ucapnya dengan mendongkol,
"Mengingat kamu dapat dipilih jadi jago pengawalnya tentu
kepandaianmu tidak rendah "
Si gemuk putar toyanya sehingga menerbitkan suara
gemuruh, katanya sambil menyeringai, “Hehe asal kan cukup
untuk membereskan anak muda seperti dirimu ini kan
bolehlah! '
“Baik, akan kuberi tiga kali serangan padamu “ kata It-hiong.

“Huh, masa kau mampu?" ejek si gemuk
"Tentu saja mampu, coba saja." jawab It-hiong. Panas juga
hati si gemuk, ia terkekeh dan membentak, "Baik, ingin kulihat
apakah kau mampu menahan sampai tiga kali seranganku'"
Begitu melangkah maju langsung toya ruas pertama
menghantam batok kepala It-hiong. Cepat, it-hiong mengegos
ke samping sehingga serangan lawan terelak. Namun toya tiga
ruas itu memang senjata serba banyak variasinya baru saja lthiong
menghindarkan jurus pertama tahu-tahu serangan
kedua si gemuk sudah menyabet pinggangnya, betapa cepat
perubahan serangannya sungguh sukar dibandingi senjata
umumnya. Selain cepat dan aneh jurus serangan si gemuk,
tenaganya juga sangat kuat. Baru saja It-hiong menyurut
mundur, kembali ia dipaksa harus menghindar lagi ke
samping.
"Roboh'" bentak si gemuk, berbareng jurus ketiga menyabot
pinggang lagi. Justru jurus serangan inilah merupakan
serangan maut andalannya, dipandang sepintas babatan toya
tiga ruas itu menyambar pinggang It-hiong, tapi pada detik
hampir mengenai sasarannya itulah, sekonyong-konyong pada
ruas toya kedua tiba-tiba berbunyi "cret", tahu-tahu menjeplak
keluar sepotong belati terus memkam dada It-hiong.
It-hiong tidak menyurut mundur, juga tidak melompat ke atas,
tapi mendadak ia berputar cepat serupa gasingan, sekaligus ia
berputar ke sisi kanan lawan, pedang berputar dan langsung
balas menusuk.
"Aduhh!" si gemuk menjerit dengan mata melotot tertampak
wajahnya yang meringis menahan derita, tubuh sempoyongan
akan roboh. Rupanya ia terkena tusukan maut It-hiong.
Pedang masuk melalui pingang kanan dan tembus pinggang
kiri. Air mukanya yang meringis penuh derita itu dengan

cepat membeku, setiap orang dapat melihat napasnya sudah
putus, namun dia tidak roboh, eebab pedang yang menembus
pmggangnya itu masih terpegang di tangan It-hiong.
Dengan sikap gagah perkasa it-hiong berdiri diam sejenak,
habis itu baru pedang ditariknya berbareng sebelah kakinya
mendepak, "blang'' tubuh si gemuk terpental lebih setombak
jauhnya.
Air muka Eng-jiau-ong Oh Kiam-lam berubah merah padam, ia
tatap It-hiong sampai sekian lama, lalu mendengus, "Hm.
tidak nyana kamu memang mempunyai sejurus dua, bagus,
bagus sekali”.
Sembari bicara sambiI menanggalkan jubahnya, nyata ia siap
maju sendiri
"Congtocu," seru seorang mendadak, "biar kucoba dia dulu'"
Kiranya si kurus aneh yang ininta izin untuk menantaog Liong
It-hiong.
Oh Kiam-lam berpaling, ia mengangguk peelahan dengan
tersenyum katanya. “Boleh juga, cuma jangan meremehkan
lawan serupa Ong-siwi."
Si kurus aneh mengiakan, segera ia lolos senjatanya, yaitu
cambuk kulit, sekali lompat ia maju
ke depan Liong It-hiong
“Babak ini serahkan padaku saja, Liong It-hiong," seru Bunhiong
berbareng ia pun melompat menghadapi si kurus.
"Enyah, keparat!" teriak si kurus dengan gusar "Aku ingin
menuntut balas bagi kawanku !”.

Bun-hiong tertawa, katanya, "Hari ini hanya ada permusuhan
dinas dan tidak ada dendam pribadi, terlalu sempit jiwamu bila
kau bicara tentang menuntut balas. Lebih baik kita berdua pun
coba main-main beberapa jurus."
“Apakah kaucari mampus?!" si kurus berjingkrak murka, sekali
cambuk kulit berputar, "tarr", langsung terus menyabet ke
pinggang Pang Bun-hiong. Cepat Bun-hiong melompat ke
atas, ia tidak balas menyerang dengan pedang, katanya
dengan tertawa "Aku pun memberi tiga jurus serangan
padamu, nah, satu kali…” Tambah kalap si kurus karena
ejekan Bun-hiong itu kembali cambuk berputar dan berbunyi
nyaring, ujung cambuk terus membabat kedua kaki Bun-hiong
serupa ular hidup.
Namun kaki Bun-hiong keburu ditarik ke atas sehingga
sabetan lawan terhindar pula, serunya dengan
terbahak,.”Haha, ini jurus kedua . . . ."
"Tarrr", secepat kilat cambuk si kurus menyambar pula, sekail
ini cambuk dapat membelit tubuh Bun-hioag dan menyeretnya
ke bawah. Melihat kejadian tak terduga ini. lt-hiong terkejut,
teriaknya cepat, "Hei,awas!"
Terlampau cepat kejadian itu untuk diceritakan, tahu-tahu
tubuh Pang Bun-hiong sudah terseret jatuh di tanah, siapa
tahu anak muda itu lantas membentak, begitu tubuh jatuh di
tanah mendadak ia menggelinding ke dekat kaki si kurus,
menyusul melihat sinar pedang berkelebat, lalu terdengar
suara jeritan, kontan si kurus roboh terjungkal.
Kiranya kedua kakinya tertabas buntung sebatas dengkul oleh
pedang Pang Bun-hiong, darah segar pun muncrat serupa air
mancur. Semua orang sama melongo kaget sebab mereka
tidak sempat melihat Bun-hiong melolos pedang, yang terlihat

cuma berkelebatnya cahaya perak dan tahu-tahu kedua kaki si
kurus sudah buntung, sungguh tabasan pedang secepat kilat.
Bun-hiong membuang cambuk kulit yang membelit tubuhnya
itu dan melompat bangun, ia kebut debu yang mengotori
tubuhnya, katanya dengan tertawa, "Tidak cukup tegang,
tidak cukup terangsang.
Muka Eng-jiau-ong Oh Kiam-lam tambah merengut, sorot
matanya seakan-akan menyemburkan api, ia memberi tanda
kepada anak buahnya agar membawa pergi si kurus yang
terluka parah dan si gemuk yang sudah menjadi mayat.
“Baik, jika kalian mencari rangsangan kukira kalian takkan
kecewa," katanya kemudian sekata deini sekata "Di mana Cappek-
to-jiu (18 ahli golok)?". Serentak terdengar suara orang di
sana-sini, seketika 18 orang lelaki tegap tampil ke muka.
Ke-18 lelaki kekar ini semuanya berdada lebar dan telanjang
perut, otot daging kelihatan padat kuat, masing-masing
membawa golok tebal sikapnya garang sekali jelas mereka
adalah jago golok yang telah mengalaini latihan keras
Eng jiau-ong Oh Kiam-lam tampak menyerengai, ucapnya
dengan geram, "Apakah kalian tidak berani menempur ke-18
jago golok ini?"
It-hiong mengangkat pedangnya dan menjawab dengan
tertawa, "Jika mereka sudah kau tampilkan, kenapa main
sungkan lagi?”.
Segera Oh Kiam-lam memberi tanda sambil membentak,
"Maju'"
Sejak tampil ke18 orang itu sudah mengepung Bun-hiong di
tengah, begitu menerima aba-aba, serentak mereka

melangkah maju dengan teratur sehingga It-hiong berdua
terkurung semakin rapat
It-hiong rapatkan punggung dengan Bun-hiong dengan sikap
sewajarnya ia berkata, "Pang Bun-hiong, apakah sekarang
kamu menyesal?"
"Haha, menyesal apa?" jawab Bun-hiong dengan tertawa
“Menyesal karena kamu ikut kemari bersamaku " kata Ithiong.
"Kentut!" omel Bun-hiong "Tempat yang dapat kau datangi
tentu aku pun berani datang'"
"Tapi kedatanganmu sekali ini mungkin cuma akan mati tanpa
hidup lagi” kata It-hiong.
“Hari ini mati, 20 tahun kemudian kan sudah tumbuh kembali,
takut apa ?" jawab Bun-hiong dengan tertawa. Keduanya
bicara dengan santai, ke 18 ahli golok yang terus mendesak
maju itu seakan-akan tidak terpandang oleh mereka.
Sebaliknya ke-18 ahli golok itu kelihatan sangat prihatin
dengan sikap serupa sedang menghadapi musuh besar,
sungguh sangat kontras bila dibandingkan sikap It-hiong
berdua yang acuh-tak acuh itu
Menyusul jarak kedua pihak yang semakin dekat, suasana
pertempuran sudah hampir membuat sesak napas orang,
namun It-hiong dan Bun-hiong masih terus bicara seenaknya
seperti tidak terjadi apa-apa
"Ciaatt"" terdengar teriakan ramai, dua ahli golok bagian
tengah mendahului melancarkan serangan, golok tebal segera
membacok.

Bun-hiong dan It-hiong tertawa panjang, serentak mereka
berkelit, tanpa berjanji tapi bergerak serupa keduanya sama
menggeser ke samping. Akan tetapi dengan cepat luar biasa
mereka memperlambat langkah dan kembali berdiri tegak
dengan santai. Sebaliknya kedua ahli golok yang membacok
tadi serupa kena ilmu sihir, wajah keduanya menampilkan rasa
kejut dan bingung tak terkatakan, biji mata mereka melotot
serupa hendak melompat keluar, sampai sekian lama baru
terdengar suara "blak-bluk", berturut-turut keduanya roboh
terkapar, darah segar pun menyembur keluar dari perut
mereka.
Sisa ke-16 jago itu sama terkesiap, tanpa terasa sama
menyurut mundur satu langkah, nyata mereka sama gentar
terhadap ilmu pedang It-hiong dan Bun-hiong yang Iuar biasa
itu.
"Jangan takut, maju bersama'' bentak Oh Kiam-lam dengan
bengis. Segera terdengar suara bentakan dan teriakan dari
sana sini ke-16 ahli golok terus menyerbu maju dengan ganas.
Maka terjadilah pertarungan sengit, sinar golok dan cahaya
pedang berkelebat kian kemari.
Di tengah gerak kelebat bayangan manusia. terdengar pula
gema suara jeritan dua kali, kembali dua ahli golok itu terkena
pedang, seorang kontan roboh binasa, seorang lagi terguling
keluar kalangan pertempuran dan melolong kesakitan sambil
memegangi perut.
Namun sebenarnya tidak ringan cara It-hiong dan Bun-hiong
menghadapi kawanan jago golok itu, keadaannya sama
bertempur mati-matian dan mengeluarkan segenap
kemahiran masing-masing, dengan begitu barulah sekadar di
atas angin. Maklumlah, apa pun juga sukar melawan
kerubutan gerombolan kera. Jika setiap orang harus melayani

tujuh golok dengan sebatang pedang, betapapun memang
tidak sederhana.
Setelah bertarung sengit sebentar lagi, sedikit meleng, tahutahu
paha kanan Bun-hiong terkena golok, la menjerit
kesakitan, pedang menangkis sekuatnya tiga golok yang
membacok tiba, menyusul tubuh berputar cepat, telapak
tangan kiri meraih dan dapat mencengkeram punggung golok
seorang lawan terus didorong sekuatnya
"Aduhh!" terdengar jeritan orang itu
Rupanya karena didorong sekuatnya oleh Bun-hiong, dengkul
sendiri terbacok golok sehingga jatuh terkulai. Tanpa ayal
Bun-hiong berputar lagi, pedang bekerja cepat, kembali
seorang lawan kena tertutuk lehernya
Di sebelah lain It-hiong juga harus menghadapi tujuh orang
lawan, ia masih sempat tanya Bun-hiong, "Hai, kawan apakah
kamu dapat tanda jasa?"
"Ya, cuma terluka ringan, tidak apa,” jawab Bun-hiong.
Mendadak It-hiong berguling di tanah, pedang berputar,
sekaligus betis dua lawan tertusuk olehnya. Meski kaki lawan
tidak sampai terkutung tapi sudah membuiat mereka terluka
dan berdarah dan cepat melompat pergi.
"Hah hebat benar, kawan" seru Bun-hiong dengan tertawa
Segera It-hiong melompat bangun, tangan kiri memampok
golok yang menyabet dari samping,
pedang terus menusuk ke belakang sambil tertawa. "Haha,
kukira engkau terlebih hebat dari padaku”

"Aduhh'" terdengar jago golok yang menyerang dan belakang
itu menjerit. sebab perutnya tertusuk oleh pedang It-hiong
dan kontan roboh terkapar. Sekarang di antara ke 18 jago
golok itu tersisa sembilan orang saja. Sampai di sini Eng-jiauong
Oh Kiam-lam menyadari ke-18 jago golok itu jelas takkan
menang, segera ia membentak, “Mundur semuanya !”
Kesembilan jago golok itu seperti menerima pengampunan
tanpa perintah lagi cepat mereka melompat mundur. It-hiong
dan Bun-hiong juga tidak melancarkan serangan lagi, mereka
sama berdiri tegak dengan pedang terhunus wajah mereka
tampak tersenyum cerah. Sebaliknya wajah Eng-jiau-ong Oh
Kiam-lam justru beringas murka, kesepuluh jari tangannya
terpentang dan mengeluarkan suara pletak-pletuk, ucapnya
sambil menyeringai, "Pendekar naga dan harimau ternyata
benar tidak bernama kosong, agaknya aku telah salah menilai
kalian …”
It-hiong membungkuk tubuh sebagai rendah hati katanya
"Terima kasih atas pujian mu, sungguh sangat beruntung dan
bahagia sekali "
Oo Kiam-lam melangkah ke tengah kalangan dengan
semangat tempur yang menyala-nyala ia menjengek, "Baik,
bilamana dalam sepuluh jurus tak dapat kubereskan kalian,
biar kupotong kepala dan kuserahkan kepada kalian''
"Sekali bicara harus pegang janji," ucap It-hiong dengan
tertawa. Lalu ia berpaling dan memberi tanda kepada Bunhiong,
"Minggir dulu, biar kubelajar kenal dengan gembong
Liok-lim yang ter masyhur ini!"
Namun Bun-hiong tetap berdiri di tempatnya katanya dengan
tertawa, "He, telingamu kan cukup sehat bukan?"
"Oo…ada apa?” tanya It-hiong bingungKANG
ZUSI website http://cerita-silat.co.cc/
"Kan jelas dia menyatakan akan membereskan 'kalian' dan
tidak bilang cuma dirimu seorang saja" ucap Bun-hiong.
"Tapi kakimu terluka.orang yang terluka kan layak bila mundur
dan istirahat dulu," ujar It-hiong
Bun-hiong tertawa, jawabnya sambil menuding luka pada kaki
sendiri, "Coba kau lihat, kakiku cuma terluka lecet oleh ujung
golok, hanya luka ringan begini, biarpun anak kecil juga tahan
"
It-hiong menghela napas ucapnya dengan gegetun. "Kamu ini
memang orang aneh, mengapa sengaja hendak mengantar
nyawa bersamaku?'*
“Jika kamu saja tidak takut antar nyawa, masa aku mesti
takut?" jawab Bun-hiong.
It-hiong tidak bicara apa-apa lagi, ia berpaling dan memberi
salam kepada Oh Kiam-lam, katanya dengan tertawa. "Sadah
lama kudengar Eng-jiau-kang Oh-congtocu maha lihai,
beruntung hari ini diberi kesempatan untuk belajar kenal,
sungguh sangat bahagia dan menggembirakan”
"Jika kalian sudah siap silahkan serang saja'" jengek Ob Kiamlam.
It-hiong tahu lawan yang dihadapinya sekarang adalah
tokoh golongan hitam yang sangat menakutkan, sebab itulah
meski tampaknya dia bersikap santai, tapi di dalam hati
sebenarnya sangat tegang, ia berpaling dan tanya Bun-hiong
dengan tertawa. "Apakah engkau sudah siap kawan?"
"Ya, siap" Bun-hiong mengangguk,
"Jika begitu, ayolah maju'" begitu kata terakhir itu terucap,
serentak pedang bergerak, dengan lurus "hek-hou-tau-sim"'

atau harimau kumbang mencuri hati, langsung ia tusuk hulu
hati Eng-jiau-ong Oh Kiam-lam.
Pang Bun-hiong tidak tinggal diam, berbareng pedang juga
menyabat ke bagian kaki Oh Kiamlam
dengan jurus "Cui-te-Iau-gwe" atau meraih bulan di
bawah air. Kedua orang membagi serangan bagian atas dan
bawah dengan kerja sama yang sangat rapi.
Oh Kiam-lam bersuit panjang, serentak ia meloncat ke atas,
kaki kanan terus mendepak dada Pang Bun-hiong, tangan kiri
menghantam batok kepala Liong It-hiong, gerakannya indah,
serangannya jitu dan berbahaya. It-hiong dan Bun-hiong kenal
kelihaian lawan, cepat mereka menarik senjata dan
menghindar.
Oh Kiam-lam memang tidak malu sebagai tokoh lok-lim nomor
satu, begitu serangan sudah mendahului segera ia berputar
lagi, serupa angin puyuh cepatnya mendadak ia menubruk ke
arah It-hiong, kelima jari terpentang terus mencengkeram
muka anak muda itu
Inilah Eng-jiau-kang atau takar earng sakti yang maha lihai,
kelima jari sekeras baja, entah sudah Berapa banyak tokoh
dunia persilatan yang dicederai oleh tenaga cakar elang sakti
yang lihai ini.
Dengan sendirinya Liong It-hiong kenal akan kelihaian kungfu
lawan, cepat ia mendak ke bawah, dengan gaya "pan-liong-jihou"
atau naga melingkar menanduk harimau, pedang
berputar terus balas menusuk ke atas.
"Plak", kelima jari Oh Kiam-lam yang mencengkeram itu
mendadak menggenggam batang pedang Ii-hiong dengan
erat.serupa tangan memegang toya saja, sedikit pun tidak
takut akan ketajaman pedang

Keruan It-hiong terkejut, sekuatnya ia mendorong, lalu ditarik
ke bawah, tapi dirasakan pedang sendiri seakan akan lengket
dengan tangan lawan, satu senti pun tidak dapat ditolak, satu
inci pun sukar ditarik.
Bun-hiong tidak tinggal diam, mendadak ia membentak keras,
pedang terus menusuk pinggang kiri musuh, tujuannya
memaksa Oh Kiam-lam melepaskan pedang Liong It-hiong. Oh
Kiam-lam menyeringai, dengari cekatan telapak tangan kiri
terus meraih ke bawah, kembali terdengar "plak", tahu-tahu
pedang Bun-hiong juga tercengkeram olehnya.
Dengan kesepuluh jari telanjang Oh Kiam-lam dapat
menangkap mata pedang yang tajam dan sama sekali tidak
kuatir jari dan telapak tangan akan tersayat oleh mata pedang
kedua lawan.
Tentu saja Bun-hiong rada cemas, cepat ia angkat kaki kanan
terus mendepak pinggang musuh. "Blang", dengan tepat
pinggang terdepak. Betapa hebat tendengan Bun-hiong itu,
biasanya biarpun pohon juga akan terguncang bila tidak
tumbang, tapi sekarang Oh Kiam-lam ternyata berdiri tegak
tanpa cedera apa pun, malahan kedua kaki sama sekali tidak
bergeser selangkah pun.
Mendadak Oh Kiam-lam tertawa panjang, tenaga dalam
dikerahkan serentak pada kedua tangan sambil membentak
"Patah”
Terdengar suara "pletak" dua kali, kedua pedang Liong Ithiong
dan Pang Bun-hiong seketika patah menjadi dua.
Merinding kedua anak muda itu melihat kesaktian lawan,
cepat mereka melompat mundur dan menatap lawan dengan
terkesiap.

"Hm, kalian mau lari ?” ejek Oh Kiam-lam sambil menyeringai.
Sekali bergerak, dengan cepat luar biasa ia memburu maju,
kelima jarinya lantas mencengkeram, 'crat", tanpa ampun
bahu kiri Liong It-hiong tercengkeram. Seketika It-hiong
merasa sepotong daging bahu seperti terbeset, saking
kesakitan ia menjerit dan langsung roboh terjungkal.
Melihat kawannya roboh, kuatir lawan turun tangan keji lebih
lanjut, tanpa pikir keselamatan sendiri Bun-hiong menerjang
maju, dengan pedang kutung yang masih dipegangnya ia
menabas kuduk musuh. Namun Oh Kiam-lam sempat putar
telapak tangan ke belakang dan menabas pergelangan
tangan Bun-hiong yang memegang pedang sehingga pedang
kutung tergetar ke samping, menyusul tangan yang lain terus
mencengkeram pula ke depan, katanya dengan tertawa,
"Kaupun roboh saja." Kontan Bun-hiong menjerit sambil
memegang perut dan berjongkok, keringat tampak mengucur
dari dahinya.
“Hm," Oh Kiam-lam mendengus, ia memberi tanda kepada
anak buahnya yang berkeliling di luar kalangan, katanya,
'Ringkus mereka dan gantung"
Terdengar suara ramai mengiakan segera beberapa orang
berlari ke tengah kalangan dan meringkus lt-hiong dan Bunhiong
dengan erat. Di samping kiri lapangan Itu ada sebuah
kerekan bayu, beberapa anggota bandit segera meringkus kaki
dan tangan It-hiong berdua, lalu menyeret mereka ke bawah
kerekan, tali keretkan ditarik turun untuk diikat lagi pada
kedua tangan It-hiong dan Bun-hiong, lalu tali ditarik, mereka
dikerek ke atas. Kiranya It-hiong dan Bun-hiong cuma terluka
oleh cakaran Eng-jiau-kang Oh Kiam-lam sehingga kehilangan
daya perlawanan, mereka tidak mati, malahan pikiran mereka
masih cukup jernih.

Oh Kiam-lam ikut ke depan kerekan, dengusnya, "Tanggalkan
baju mereka, naga takut di keletek sisiknya, harimau takut
dibetot uratnya sekarang hendak kukeletek sisik dan
membetot otot mereka."
Dua anak buahnya mengiakan dan berlari maju, dengan pisau
mereka merobek baju It-hiong berdua, baju mereka ditarik
sehingga terlepas semua hanya tersisa celana dalam saja.
Coa-kat-bijin Loan Kiau-kiau menggelendot di samping Oh
Kiam-lam ucapnya dengan tertawa genit, "Bocah she Pang ini
punya urat, tapi bocah she Liong itu tidak bersisik, cara
bagaimana juragan akan mengeletek sisiknya"
“Membeset kulitnya sama artinya mengeletek sisiknya." jawab
Eng-jiau-ong Oh Kiam-lam dengan tertawa.
"Oo, kiranya begitu." Kiau-kiau tertawa ngikik
"Belum pernah kulihat orang dibeset kulitnya, kukira pasti
sangat menarik “
"Ya, memang sangat menarik," kata Oh Kiam-lam dengan
mengangguk.
"Lantas cara bagaimana kulitnya akan dibeset?" tanya Kiaukiau
“Mudah…” tutur Oh Kam-lam "Sayat saja sebuah lubang pada
kulit kepalanya, dari situ dituang air raksa, kau tahu lubang
betapa kecil pun akan disusupi air raksa. Maka begitu air raksa
dituangkan, dia akan terus mengalir ke bawah melalui bawah
kulit sehingga kulit akan berpisah dengan urat daging, dengan
sendirinya, pada waktu air raksa mengalir ke bawah
menyusupi bawah kulit akan menimbulkan sedikit derita''"

Kiau kiau terkikik-kikik, ucapnya, "Ai, juragan kita ini, kalau
bicara selalu lucu dan menarik. memangnya cuma
menimbulkan sedikit derita saja ?"
"Apakah sangat sakit atau tidak hanya diketahui orang yang
langsung bersangkutan” kata Oh Kiam-lam dengan tersenyum.
Perlahan Kiau-kiau mendekati Liong It-hiong, ia
memandangnya sekejap dengan tersenyum, katanya, "Liong
lt-hiong, kukira sekarang engkau tentu sangat meuyesal
karena memakai gelar Pendekar Naga, betul tidak ?''
Meski tubuh tergantung, namun sifat It-hiong yyang nakal
tidak berubah, ia tertawa dan menjawab.
"Aku cuma menyesal satu hal….."
"Hal apa?" tanya Kiau-kiau
"Aku menyesal salah lahir," kata It-hiong, “Apabila aku
dilahirkan menjadi Pang Bun-hiong, wah, alangkah baiknya”.
“Kamu berharap dirimu menjadi Pang Bun-hiong?” Kiau-kiau
menegas dengan melengos.
"Ya," it-hiong mengangguk '
"Sebab apa ?” tanya Kiau-kiau
“Sebab Pang Bun-hiong pernah tidur denganmu," kata Ithiong.
"Dapat tidur dengan orang secantik serupa dirimu,
sungguh boleh di katakan mati pun tidak perlu menyesal "
Seketika muka Kiau-kiau menjadi merah teriaknya gusar,
“Ngaco-belo sembarangan omong,
Orang macam apa diriku ini, mana ku sudi tidur dengan Pang
Bun-hiong “

Tiba-tiba Bun-hiong menyambung dengan tertawa, ''Kiau-kiau,
perempuan cantik macam dirimu memang menyenangkan
cuma sayang, di antara kecantikanmu yang mulus terdapat
setitik kekurangan.”
Kiau-kiau berpaling dia melotot kepada Bun-hiong,
damperatnya dengan gusar, "Berani lagi kamu sembarangan
omong seketika dapat ku binasakanmu "
Namun Bun-hiong tidak peduli ia bicara pula, "Harus diakui
sekujur badanmu cukup sempurna hanya saja setitik tahi lalat
yang terdapat di bawah perutmu itulah yang kurang menarik"
Kejut dan murka Kiau-kiau, sambil membentak segera sebelah
tangannya menghantam muka Pang Bun-hiong.
"Berhenti" bentak Oh Kiam-lam mendadak
Pukulan Kiau-kiau itu sudah hampir mengenai sasarannya,
bilamana diteruskan, seketika muka Bun-hiong bisa hancur
dan binasa. Tapi demi mendengar bentakan Oh Kiam-lam
itu.mau-tak mau Kiau kiau harus menahan pukulannya.
Sebab ia cukup paham perangai Oh Kiam-lam setiap orang
harus tunduk kepada perintahnya.
Dengan sikap manja diam minta dikasihani Kiau-kiau menoleh
dan berkata kepada Oh Kiam-lam. "Juraganku, janganlah
engkau percaya kepada ocehannya, hamba tidak pernah
berbuat sesuatu yang tidak setia terhadapmu "
Sikap Oh Kiam-lam kelihatan kaku dan dingin katanya, "Jika
benar kamu tidak pernah berbuat sesuatu yang tidak setia
padaku dari mana ia tahu di bawah perutmu ada setitik tahi
lalat?"'

Muka Kiau-kiau tampak merah jengah, jawabnya dengan
gelagapan, "O..itu.. itu karena ...karena kebetulan dilihat
olehnya "
"Kebetulan dilihatnya bagaimana'” desak Oh Kiam-lam
dengan ketus.
Beberapa bulan yang lalu mendadak ia menerobos masuk ke
tempat tinggal kita di Hoai-giok-tan, waktu itu hamba sedang
…sedang mandi “
"Kemudian"?" desak Oh Kiam-lam
"la bilang…ia bilang dalam perjalanan tidak mendapatkan
rumah penginapan, maka mohon mondok semalam, tapi
hamba tidak mengizinkan dan dia lantas…lantas pergi," tutur
Kiau-kiau dengan tergegap.
"Apakah betul begini, anak muda?" tanya Kiam-lam terhadap
Bun-hiong/
Bun-hiong hanya menjawab dengan tersenyum tanpa bicara
Mata Oh Kiam-lam mendelik, bentaknya bengis, "Lekas
bicara''"
"Sabar, jangan terbaru nafsu," kata Bun-hiong dengan tertawa
"Engkau ini sungguh sangat aneh.
jika engkau kuatir dia menyeleweng, seharusnya jangan
kautinggalkan dia di pegunungan sunyi tanpa diawasi”.
Oh Kiam-lam mendesak maju satu langkah tanyanya dengan
gregetan, "Coba katakan, apa benar pernah kau tidur dengan
dia?"

"Oo. tidak, aku tidak suka kepada perempuan yang ada tahi
lalat di bawah perut' jawab Bun-hiong sambil menggeleng
Wajah Oh Kam-lam yang gusar itu tampak rada mereda,
seperti merasa lega. Sungguh Loan Kiau-kiau tidak percaya
Pang Bun-hiong masih mau menjaga rahasianya, tertarik juga
hatinya, ia melirik sekejap ke arah anak muda itu dengan
sorot mata penuh terima kasih.
"Meski kamu tidak mengganggu perempuanku tapi anak
buahku telah kau bunuh, tetap akan kubeset kulitmu." bentak
Kiam-lam.
"Wah, caramu ini bukankah membalas susu dengan tuba?'"
jawab Bun-hiong
Oh Kiam-lam tidak menggubrisnya lagi, mendadak ia berteriak
kepada anak buahnya. "Lekas siapkan alat-alat untuk
membeset kulit dan membetot urat "
Serentak dua orang anak buahnya mengiakan terus berlari
pergi
"Ambilkan sebuah kursi"' teriak Kiam-lam pula
Kembali seorang anak buahnya mengiakan dan berlari pergi
lagi. Tidak lama kemudian kursi dan peralatan yang
diperlukan sudah dibawa kemari. Oh Kimn-lam duduk di kursi
yang dibawa datang itu, lalu membentak "Lebih dulu beset
bocah she Liong itu''
Dua orang anak buahnya mengiakan dan melangkah maju, Ithiong
di kerek turun beberapa kaki sehingga kedua kakinya
masih mengambang beberapa inci dari permukaan tanah.
Salah seorang

anggota bandit itu merangkul erat kedua kakinya agar It-hiong
tidak mampu meronta. Lalu kawannya membuka sebuah peti
dan mengeluarkan sebilah pisau serta sebuah botol porselin la
buka sumbat botol, lalu botol ditaruh di samping, kemudian
pisau dipegang dan segera hendak memotong kulit kepala
Liong It-hiong
Pada detik berbahaya itulah sekonyong terdengar teriakan
nyaring seorang, "Nanti dulu'"
Menyusul sesosok bayangan ramping kecil berlari dalang
dengan cepat. Ternyata yang datang ini tak-Iain-tak-bukan
adalah Oh Beng-ai. Melihat yang muncul ini adalah adik
perempuan sendiri, bekernyit kening Oh Kiam-lam, katanya
dengan tidak senang, "Untuk apa kau keluar ke sini?"
Beng-ai lari ke samping sang kakak terus berlutut dan
menyembah, ratapnya sambil menarik tangan Oh Kiam-lam,
'"Koko kumohon dengan sangat, janganlah engkau membunuh
dia "
Sinar mata Oh Kiam-lam mencoreng bengis dengusnya, "Hm,
dia pernah menawanmu dan diserahkan kepada Toh Po-sit,
tapi sekarang kamu malah mintakan ampun baginya"
Dengan air mata berlinang Beng-ai berucap."Koko, percayalah
padaku, dia orang baik.dia senantiasa sangat baik padaku”
"Hm, kau bilang dia orang baik?" jengek Oh Kiam-lam “Jadi
kakakmu ini orang busuk begitu'"
"Tidak, adik tidak bilang kakak kurang baik, adik cuma
memohon engkau sudi mengampuni jiwanya”

"Budak hina dina enyah lekas" bentak Oh Kiam-lam dengan
bengis "Bila tidak ingat antara saudara eakundung, hm, tentu
kau pun kubunuh sekalian,"
Beng-ai malengak, ucapnya dengan terbelalak “Ka…kakak
mencaci adikmu hina dina?"
"Kamu sudah terjerumus ke dunia pencomberan dan
melakukan perbuatan yang memalukan, apakah itu bukan
hina dina?” kata Oh Kiam-lam.
Tertampi rasa derita pada wajah Oh Beng-ai tak tertahan lagi
air matanya bercucuran, ucapnya
pedih "Mengapa kakak tega bicara hal-hal begini?.Jika kakak
sejak dulu sudi menjaga kehidupan adik, tentu adik tidak
sampai terjerumus ke limbah kolor itu "
Mendadak Oh Kiam-Iam menarik muka, dampratnya, "Berani
kau bicara lagi segera ku usir, lekas enyah!"
Hancur hati Oh Beng-ai, ratapnya, “Koko, boleh kau maki atau
pukul diriku, aku cuma memohon
agar engkau jangan mencelakai mereka, lepaskan mereka
pergi saja "
Oh Kiam-lam tidak menggubrisnya pula ia memberi tanda dan
berseru "Turun tangan.. beset”
"Jangan!" jerit Beng-ai sambil menubruk ke tubuh Oh Kiamlam.
Seketika Oh Kiam-Iam tampak melongo, menyusul lantas
terunjuk rasa derita yang aneh. La duduk mematung sekian
lamanya baru mendadak menggertak dengan keras, kedua
tangan menyengkelit sekuatnya sehingga Beng-ai terlempar
dua tombak jauhnya.

Beng-ai menjerit ngeri, serupa layang-layang putus ia
terlempar, waktu terbanting ke tanah orangnya sudah
pingsan, dari ujung mulut tampak mengeluarkan darah
Baru sekarang semua orang melihat jelas sebab apa wajah
Oh Kiam-lam menampilkan rasa derita, kiranya tepat pada
hulu hatinya tertikam sebuah gunting, cukup dalam tikaman
gunting itu sehingga darah pun mengucur.
Ia berdiri dengan terhuyung-huyung dan melangkah ke
tempat menggeletak Oh Beng-ai, sorot matanya tampak
beringas menakutkan, sesudah berada di depan nona itu,
pelahan ia angkat telapak tangannya dan bermaksud
menghantam…… Akan tetapi akhirnya pukulannya tidak
sempat dijatuhkan, sebab tubuhnya lantas tergeliat,lalu roboh
dan mengembuskan napas terakhir.
Meski sudah mati namun kedua matanya masih mendelik,
agaknya mati pun dia tetap tidak rela.
Keruan kawanan bandit yang menyaksikan itu lama
melenggong.tidak ada seorang pun yang menyangka akan
terjadi begitu sungguh tak terduga bahwa Oh Beng-ai yang
lemah itu ternyata punya kaberanian membunuh kakak
sendin, sedang gembong iblis dunia bandit yang disegani dan
jarang ada tandingannya itu ternyata bisa mati di tangan adik
perempuan sendiri yang sama sekali tidak mahir ilmu silat.
Semua orang sama berdiri terkesima dan melongo, sampai
sekian lama baru ada seorang melompat ke samping Oh Kiamlam
dan berjongkok untuk merangkul jenazahnya sambil
berteriak dengan emosi. "Oo, Congtecu, engkau “
Orang yang memburu maju ini adalah Liok Wi-yang yang
bertugas menjaga pos ke-18 itu, belum lanjut teriakannya
tidak diteruskan lagi, sebab telah dilihatnya keadaan Oh KiamKANG
ZUSI website http://cerita-silat.co.cc/
lam yang sudah mati itu, biarpun dewa turun dari kayangan
juga tidak mampu menghidupkannya kembali.
Pelahan ia menaruh kembali jenazah Oh Kiam-lam, lalu berdiri
tegak dan berpaling kepada kedua anak buah yang hendak
membeset kulit Liong lt-hiongg, teriaknya dengan bengis "Ayo
kenapa diam saja, lekas turun tangan!'.
Kedua orang itu mengiakan dengan gugup dan segera
mereka hendak menguliti Liong lt-hiong
"Tunggu dulu'" teriak seorang mendadak kiranya Loan Kiaukiau
adanya. Liong Wi-yang menoleh, tanyanya, "Nona ada
pendapat lain?"
"Begini," kata Kiau-kiau, "Ada suatu caraku yang lebih bagus."
"Oo, cara apa?" tanya Liok Wi-yang. Kiau-kiau melangkah
maju dengan lenggang-lenggok, sesudah berhadapan dengan
Liok Wi-yang, ia berlagak hendak membisikinya tapi diluar
dugaan mendadak sebelah tangannya terus menghantam.
"Biang", tepat dada orang kena digenjotnya
dengan keras
Liok Wi-yang menjerit, tubuhnya yang besar itu mencelat jauh
ke sana dan terbanting serta tidak mampu bangun lagi.
Kawanan bandit terperanjat, beramai-ramai mereka melolos
semata.
Loan Kiau-kiau lantas membentak, "Jangan bergerak,
sekarang akulah yang menjadi pemimpin besar Cap-pek-pannia.
Asal kalian tunduk padaku tentu kalian akan mendapat
hadiah yang setimpal'
Seketika kawanan bandit menjadi ragu dan sangsi, namun
tidak ada semangat untuk bertempur lagi. Kiau-kiau lantas

melolos sebilah belati, ia mendekati Pang Bun-hiong ucapnya
dengan tertawa terkikik, "Hihi, Pang Bun-hiong, tentu kamu
tidak menyangka akan berakhir dengan demikian bukan?"
"Ya, memang," jawab Bun-hiong. Habis bicara ia terus
memejamkan mata dan menunggu ajal.
Mendadak Kiau-kiau ayun belatinya dengan cepat, tapi bukan
membunuh Pan Bun-hiong melainkan memotong tali pengikat
tangan anak muda itu. setelah Bun-hiong jatuh terbanting ke
lantai, cepat pula ia memotong tali pengikat kakinya.
Segera Bun-hiong pulih akan kebebasannya, ia merasa seperti
habis mimpi saja dan tidak percaya kapada apa yang baru
terjadi, sembari meraba pergelangan tangannya yang masih
pedas ia pandang Kiau-kiau dengan melenggong.
"Sering kudengar cerita tentang sifat orang perempuan yang
gampang berubah pendirian, tapi tidak kusangka ada
perempuan bisa berubah pikiran sejauh ini" ucap Bun-hiong
sambil menggeleng kepala
Kiau-kiau tidak menjawab, kembali ia menyayat tali pengikat
kaki dan tangan Liong It-hiong. setelah anak muda itu juga
sudah bebas barulah ia berkata dengan tertawa. “Bagaimana,
kalian sudah dapat bergerak bukan ?"'
Bahu It-hiong terluka oleh cakaran Eng-jiau-kang Oh Kiamlam,
meski tidak begitu parah sehingga sukar bergerak, ia
tidak menjawab pertanyaan Kiau-kiau, tapi segera berlari ke
samping Oh Beng-ai dan mengangkatnya bangun sembari
berseru, "Giok-nio!... Giok-nio!"
"Hah, masih kau panggil dia Giok-nio'" kata Kiau-kiau dengan
tertawa

Segera It-hiong berganti panggilan, serunya, “Beng-ai,
sadarlah Beng-ai. Lekas sadar, engkau tidak boleh mati!"
Tubuh Beng-ai terasa lemas lunglai tanpa reaksi sedikitpun
cuma dapat terlihat jelas dia tidak mati, masih bernapas
dengan lancar…..
Kiau-kiau ikut mendekat ke sana, ia mengeluarkan sebuah
botol porselin kecil dan menuang keluar satu biji pil merah
serta disodorkan kepada It-hiong katanya, “Ini Tai-hoan-tan.
mungkin dapat menyelamatkan nyawanya"
Lekas It-hiong menerima obat itu dan dijejal kan ke dalam
mulut Oh Beng-ai, katanya dengan rasa kuatir, "Tulang iganya
patah tiga, entah melukai isi perut atau tidak, bilamana isi
perut juga terluka, wah . . ."
"Jika isi perut terluka tentu sejak tadi ia meninggal, ujar Kiaukiau.
Namun apa pun juga memang harus cepat ditolong."
Bicara sampai di situ ia berpaling dan tanya kepada kawanan
handit yang berdiri di sekelilingnya.
"Ke mana perginya Hoa-loji ?”
"Hamba berada di sini" seru seorang. Lalu seorang tua tampil
ke muka
“Harap kau periksa keadaannya." pinta Loan Kiau-kiau
Orang tua alias Hoa-loji itu mendekat dan berjongkok,
diperiksanya kelopak mata Beng-ai lalu meraba lagi tulang
iganya, katanya kemudian sambil mengangguk, "Rasanya
masih besar harapan akan tertolong."
“Jika begitu lekas kau tolong dia." kata Kiau-kiau cepat.

“Baik, harap Liong-hiap membawanya ke da lam rumah " kata
Hoa-loji. Habis berkata ia lantas mendahului melangkah ke
sana
"Siapa dia?" tanya lt-hiong
Dia seorang tabib di markas kami ini, ia suka mengaku
sebagai keturunan Hoa To (tabib sakit di jaman Sam-kok),'
tutur Kiau kiau dengan tertawa "'Meski kebanyakan orang
tidak percaya.namun kepandaiannya mengobati orang
memang terbukti nyata "
Cepat It-hiong mengangkat Oh Beng-ai dan ikut Hoa-loji ke
dalam rumah
Melibat mereka sudah masuk ke sana, Bun-hiong mendekati
Kiau-kiau dan bertanya dengan suara tertahan, “Apakah dapat
kau atasi orang banyak?"
Kian-kiau tersenyum, katanya "Untuk sementara ini dapat
kuatasi mereka yang berada di sini, tapi anak buah ke-17
markas yang lain apakah mau tunduk padaku atau tidak
belum berani ku jamin”
"Mengapa engkau menolong kami?" tanya Bun-hiong dengan
tertawa ,
"Biasa." ucap Kiau-kiau dengan tertawa manis.”Aku tidak suka
kepada Oh Kiam-lam lagi, dia kan sudah tua "
Tersenjum Bun-hiong, tanyanya. “Mulai kapan kamu tidak
suka padanya?"'
"Tadi." jawab Kiau-kiau, “pada waktu engkau tidak mengaku
pernah tidur bersamaku ketika ditanya Oh Kiam-lam."

''Hah, perempuan semacam dirimu memang menarik," seru
Bun-hiong dengan terbahak
Tiba-tiba Kiau-kiau bicara dengan serus, "Sekarang aku sudah
menjadi pemimpin besar Cap-Pek-pan-nia maka kamu harus
tunduk kepada perintahku. Kalau tidak sekali kuberi perintah,
betapapun kamu tetap tidak terbebas dari kematian”
"Baik," kata Bun-hiong sambil membungkuk, “Ada perintah
apa.silahkan bicara "
Kiau-kiau tertawa geli katanya, Sekarangg belum ada, namun
sebentar lagi sangat mungkin ada,"
"Oo?" Bun-hiong bersuara heran.
Dengan suara tertahan Kiau-kiau berkata. Bila pemimpin ke-I7
markas yang lain tidak mau tunduk kepada pimpinanku, maka
harus kau bela diriku.''
"Cara bagaimana membelamu?'' tanya Bun-hiong dengan
suara pelahan
“Tolol.” omel Kiau-kian "Dengan sendirinya menolongku kabur
dari sini"
“Masa engkau tidak ingin tetap bercokol di singgasana
pemimpin basar Cap-pek-pan-nia ini?' tanya Bun-hiong
"Asalkanada orang suka padaku, segala apapun tidak kuminta
lagi,' jawab Kiau-kiau. "Yang kuharapkan sekarang adalah
menjadi menantu orang.”.
"Jika kara ingin menjadi menantu keluarga Pang kami. maka
kamu harus setia pada tata susila orang perempuan." ujar
Bun-hiong

“Hal ini kuyakin dapat kulaksaaakan." Jawab Kiau-kiau
"Dan cara bagaimana akan kau selesaikan beratus anak buah
ini''" tanya Bun-hiong.
"Bubarkan saja dan beri pesangon." Jawab Kiau-kiau
"Baik, biar kita tunggu dulu sampai ke-17 pemimpin markas
yang datang ke sini, kita lihat
bagaimana sikap mereka habis itu baru mengarnbil
keputusan."
Kiau-kiau mengangguk setuju, segera ia memandang kawanan
bandit yang berdiri di sekeliling. teriaknya, "Dengarkan
saudara-saudara. Congtocu kita tanpa terduga telah dibunuh
oleh adik perempuannya sendiri sekarang aku menjabat tugas
Congtocu untuk sementara, asalkan kalian tunduk kepada
punpinanku, mulai bulan ini gaji kalian diIipatkan satu kali”
“Hora! Bagus!"
"Setuju! Kami mendukung Hujin'
Demikian segera didengar sorak-sorai orang banyak
Rupanya janji kenaikan gaji satu kali lipat itu sangat
menggembirakan kawanan bandit itu, tanpa pikir mereka
bersorak dan menyatakan dukungan kepada Loan Kiau-kiau "
"Tapi ada suatu syarat,"seru Kiau-kiau pula dengan tertawa
"Bila nanti ke-17 pemimpin markas yang lain menyatakan
tidak setuju atas kepemimpinanku, kalian harus bersedia
membantuku menghadapi mereka "
"Setujuu!" serentak kawanan bandit bersorak gemuruh pula.

"Dan sekarang hendakkya kalian menyingkirkan jenazah
Coogtocu dulu ke-18 jago golok,' kata kiau-kiau pula. ''Nanti
kita kuburkan mereka setelah memilih hari yang baik"
Kawanan bandit serentak bekerja keras, mayat Oh Kiam-lam
dan beberapa jago golok itu diusung keluar lapangan.
Sampai di sini barulah Loau Kiau-kiau menghela napas,
katanya kemudian terhadap Pang Bun-hiong, "Semoga ke 17
gembong markas itu tidak naik kemari dan urusan pun akan
mudah diselesaikan."
"Apakah mereka terhitung orang kepercayaan Oh Kiam-lam"''
tanya Bun-hiong
Mungkin begitu, cuma aku sendiri pun tidak begitu jelas, baru
dua-tiga hari kudatang kemari" tutur Kiau-kiau
"Sebelum ini mengapa tidak kau katakan padaku tentang
muslihat Oh Kiam-Iam yang pura-pura
mati itu?"
“Aku sendiri tidak tahu dia pura-pura mati, baru kuketahui hal
ini ketika ia muncul di Ma-cik-san, saat itulah kutahu dia masih
hidup di dunia ini. Di sini pula timbulnya perasaanku yang
tidak suka padanya, ternyata dia seorang licin dan culas, yang
terpandang olehnya hanya harta benda belaka dan tidak
peduli sanak keluarga "
"Apakah Toh Po-sit benar telah dibunuh olehnya?" tanya Bunhiong
"Entah aku tidak menyaksikan sendiri, menurut cerita Oh
Kiam-lam. Toh Po-sit terkena cakar elangnya dan telah jatuh
ke dalam danau Thay-oh," jawab Kiau-kiau.

"Menurut cerita Oh Kiam-lam, katanya Toh Po-sit juga
mengincar harta kekayaannya, entah betul tidak
keterangannya ini''' tanya Bun-hiong
"Memang betul” kata Kiau-kiau "Kemarin juga nona Oh
memberitahukan padaku akan hal ini, katanya Toh Po-sit
memang pernah menggunakan dia sebagai sandera dan
memaksa Oh Kiam-lam membayar satu juta tahil perak
kepadanya."
"Ai.sungguh tidak nyana Toh Po-sit juga manusia yang tamak
dan kemaruk harta," kata It-hiong dengan gegetun. "Pantas
sejauh itu dia tidak mau menjelaskan orang yang hendak di
pancing dan ditangkapnya adalah Oh Kiam-lam "
“Kamu dan Liong It-hiong sama tololnya, diperalat dia sama
sekali tidak sadar" kata Kiau-kiau.
"Soalnya dia seorang detektif ulung yang sudah pensiun,
sebab itulah kami percaya penuh kepada pribadinya." jawab
Bun-hiong. "Sungguh tak terduga pada masa tua dia justru
hidup tidak prihatin dan rela mengorbankan nama baik selama
hidupnya, sungguh harus disayangkan"
Tengah bicara, tiba-tiba dua sosok bayangan orang melayang
masuk dari gerbang sana dan berlari ke arah lapangan sini
secepat terbang. Air muka Loan Kiau-kiau tampak berubah,
serunya, "Itu dia sudah datang, mereka It-jiau-hoan-thian
(dengan satu tangan membalik langit) Sun Pek-hong dan Kuitui
(kaki setan) Hoan Ciaug, pemimpin markas ke-16 dan ke-
17 "
"Jangan takut," kata Bun-hiong. "Jika mereka berani ngotot
dan melawan, biar kubereskan mereka "

"Apakah lukamu tidak beralangan," tanya Kiau-kiau dengan
penuh perhatian.
"Tidak menjadi soal."jawab Bun-hiong. "Meski pukulan Oh
Kiam-lam itu sangat lihai, tapi sebelumnya aku sudah siap
mengerahkan tenaga untuk melawan, maka terluka tidak
parah "
Baru habis bicara, tahu-tahu It-jiu-hoan-thian Sun Pek-hong
dan Kui-tui Hoan Ciang sudah sampai di depan mereka dan
berhenti serentak. Yang namanya Sun Pek-hong dan berjuluk
sebelah tangan membalik langit itu berwajah lebar dan penuh
daging menonjol, dengan sorot mata beringas ia tatap Loan
Kiau-kiau sambil bertanya "Nona Loan, kabarnya Congtocu
meninggal?'
"Betul," jawab Kiau-kiau dengan mengangguk
"Dia kutikam mati secara mendadak dengan gunting."
"Lantas bagaimana dengan adik perempuannya?" tanya Sun
Pek-hong pula dengan sorot mata jelalatan memandang
sekelilingnya
"Dia juga terluka parah, mungkin sukar hidup lagi," tutur Kiaukiau.
Sun Pek-hong menuding Pang Bun-hiong dan bertanya
pula dengan gusar, "Dan kenapa kau lepaskan bocah ini?"
"Congtocu sudah mati kita kan tidak ada permusuhan apa-apa
dengan mereka berdua, memangnya mau apa kalau tidak
lepaskan mereka saja' ujar Kiau-kiau
“Hm," jengek Sun Pek-hong, “namun menurut berita yang
kuterima konon Congtocu sebenarnya
sudah memberi perintah agar mereka dihukum mati”

“Sekarang aku yang mengambil alih kedudukan congtocu dan
keputusan itu kubatalkan aku tidak ingin menghukum mati
mereka," jawab Kiau-kiau dengan tertawa
"Hah apa katamu? Kau ambil alih kedudukan Congtocu?"
teriak Kui-tui Hoan Ciang mendadak
"Ya, mana tidak boleh " ujar Kiau-kiau dengan tersenyum.

“Cuhh'" mendadak Kui-tm Hu.tn Ciang meludah “Memangnya
kamu terhitung apa? Berani menjadi Congtocu segala, untuk
itu perlu kau tanya dulu kami bertujuh belas orang apakah
setuju atau tidak"
“Memangnya kalian tidak setuju?' tanya Kiau-kiau.
"Huh, orang macam dirimu mendingan jika kau mau jadi
babuku, tapi…..aduhhh “ belum lanjut ucapannya, mendadak
ia menjerit sambil memegangi perut, lalu mundur dengan
terhuyung-huyung, akhirnya jatuh terduduk dengan muka
pucat. Kiranya pada perutnya telah menancap sepotong tusuk
kundai kemala.
“Hihi apa yang kaukatakan tadi tidak jelas bagiku coba ulangi
bicara lagi satu kali," ucap Kiau-kiau dengan tertawa ngikik
Si kaki setan Hoan Ciang berteriak, "Sun tua, lekas turun
tangan dan binasakandia tunggu apa lagi?
Serentak It-jiu-hoan-thian Sun Pek-hong meraung murka,
dengan gaya "harimau lapar menerkam kambing", segera ia
menubruk maju dan menghintam muka Loan Kiau-kiau
Bun-hiong tidak tinggal diam ia menyelinap maju dan
menangkisnya sambil membentak, "Jangan kurang ajar'"

'Biang", kedua tangan berada, kontan lt-jiu hoan-thian Sun
Pek-hong terpental, ia berjumpalitan di udara sekali dan
terlempar ke sana. Namun dia pun cukup cekatan waktu turun
bisa kaki lebih dulu sehingga tidak sampai terbanting.
'Bagus," puji Pang Bun-hiong, "ternyata kamu lebih hebat
daripada ke-18 jago golok, tapi kamu tetap tak terhindar dan
kematian” Sembari bicara segera ia membayangi orang, ia
menubruk maju sebelah telapak tangan lantas menabas leber
Sun Pek-hong
Namun It jiu-hoan-thian Sun Pek-hong memang bukan jago
rendahan, cepat ia mengegos sehingga tabasan tangan Bunhiong
terhindar, menyusul tangan kanan terus menghantam,
ia balas menggenjot perut Bun-hiong.
Mendadak Bun-hiong angkat dengkul kanan sehingga pukulan
lawan tertahan, menyusul ia pun ganti serangan, sekali ini ia
mencolok kedua mata musuh.
Cepat It-jiu-hoan-thian Sun Pek-hong menyurut mundur
setengah langkah, tangan kiri terus berputar ke atas,
maksudnya hendak menangkap pergelangan tangan Bunhiong
"Hah, mimpi!" ejek Bun-hiong dengan tertawa mendadak ia
berbalik meraih urat nadi pada pergelangan tangan musuh,
menyusul dengkul kanan terangkat lagi dan "huk", Sun Pekhong
bersuara tertahan, dengan tepat pinggang kena
didengkul
Keruan Sun Pek-hong meringis kesakitan lagi dan terpental ke
belakang hingga beberapa meter jauhnya dan akhirnya jatuh
terjengkang, ia bermaksud merangkak bangun, tapi hanya
setengah

saja segera terkapar lagi, tampaknya kalau tidak mati juga
paati akan menjadi cacat selama hidup.
Kiau-kiau sangat senang, ia bersorak, 'Bagus sekarang tinggal
15 orang saja"
“Asalkan mereka tidak datang bersama ku yakin dapat
membereskan mereka, datang satu bunuh satu, datang dua
sikat sepasang,'seru Bun-hiong dengan tertawa
"Kukira mereka takkan datang bersama, sebab setiap markas
itu berjarak sebuah bukit,' kata
Kiau-kiau.
Tengah bicara, It-hiong tampak memburu keluar dari sana
sambil bertanya, "Siapa itu yang datang?"
Bun-hiong menuding kedua orang yang menggeletak dan
merintih kesakitan di tanah itu, katanya dengan tertawa, "Ini,
kedua bangsat keparat ini "
"Masih ada 15 orang lagi, mungkin serentak akan menyusul
kemari," kata It-hiong.
"Ya, cuma mereka tidak tinggal bersama di satu tempat, maka
tidak mungkin akan datang sekaligus," ujar Bun-hiong "Eh,
bagaimana dengan nona Oh''
lt-htong tampak sedih, katanya, "Dia masih belum sadar,
sekarang Hoa-Ioji sedang berusaha menolongnya” .
"Kuyakin dia akan sembuh." kata Bun-hiong dengan prihatin
"Semoga demikian adanya," ucap It-hiong dengan cemas.

"Ilmu pertabiban Hoa-loji sangat tinggi, asalkan …ah, itu dia,
datang lagi dua orang," seru Kiau-kiau mendadak. Memang
betul, kembali ada dua Koancu atau kepala pos jaga berlari
lagi ke arah lapangan ini.
"Mereka Koancu ke-14 dan ke-15, bukan?"tanya Bun-hiong,
“Betul,' jawab Kiau-kiau "Yang di depan bernama Siangciang-
kek (si tombak) Nyo Hun hoan, dan yang di belakang
bernama Peng-niau (si kucing sakit) Li Sam, sebaiknya kalian
menyikat mereka dengan segera, kalau tidak, bila ke-13
Koangeu yang lain menyusul tiba, tentu kita bisa repot "
'Betul" seru Bun-hiong sambil berkeplok, lalu ia lolos pedang
dan memapak kedatangan kedua orang itu. Dengan sendirinya
Liong It-hiong tidak tinggal diam, ia pun melolos pedang dan
ikut menyongsong ke sana. Sementara itu Siang-ciang-kek
Nyo Hun-hoan dan Peng-niau Li Sam sudah mendekat juga,
melihat Sun Pek-hong dan Hoan Ciang menggeletak di situ,
pula melihat It-hiong dan Bun-hiong memapak mereka dengan
pedang terhunus, tanpa bicara lagi segera mereka membentak
terus melabrak lt-hiong berdua.
Bun-hiong langsung menghadapi Siang-jiang-kek Nyo Hunhoan,
sedang It-hiong menandangi si kucing sakit Li Sam. Ithiong
dan Bun-hiong menyadari berharganya waktu sekarang,
mereka tidak boleh main-main dengan lawan, maka begitu
maju mereka terus mengeluarkan segenap kepandaiannya,
pedang berputar secepat kilat, hanya beberapa gebrakan saja
Nyo Hun-hoan dan Li Sam sudah dicecar hingga cuma
mampu menangkis dan tidak sanggup balas menyerang sama
sekali.
Melihat kelihaian ilmu pedang Liong It-hiong, si tombak Nyo
Hun-hoan menyadari bukan tandingan orang, segera timbul
maksudnya untuk ngacir. Mendadak tombaknya menangkis

pedang It-hiong yang sedang menusuk, berbareng itu ia terus
melompat mundur sambil berteriak, ' Losam, ayo mundur
dulu!"
"Jangan lari'" bentak It-hiong. Pedang berputar dan orangnya
lantas memburu maju, secepat kilat pedang menyabet. 'Cret'",
di mana sinar pedang berkelebat, tahu-tahu si tombak Nyo
Hun-hoan sudah roboh sambil menjerit ngeri iamiasih mampu
merangkak bangun dan melompat ke depan, ia kabur dengar
menderita luka.
Si kucing sakit Li Sam juga ingin kabur, namun gagal,
dengkulnya tertusuk pedang Pang Bun-hiong, seketika ia
meraung kesakitan dan terguling di tanah. Mendadak Loan
Kiau-kiau melompat maju, ia jemput tombak yang
ditinggalkan Nyo Hun-hoan, dengan cepat ia putar ke samping
si kucing sakit Li Sam, tanpa ampun ia tusuk hulu hati orang
dengan tombak "Crait",darah muncrat. Li Sam menjerit ngeri.
kaki dan tangan meronta sejenak, lalu tidak bergerak lagi.
Kemudian Kiau-kiau melompat ke depan Sun Pek-hong dan
Hoan Ciang tombak bekerja cepat, susul menyusul kedua
orang itu pun dibunuhnya. Bun-hiong menggeleng-geleng
kepala, katanya,
“Ai. orang perempuan janganlah sekejam itu, mereka kan
sudah kehilangan daya perlawanan, tidak perlu dibinasakan
cara begitu "
Kiau-kiau tertawa ucapnya. "Babat rumput tidak seakarakarnya
setelah hujan segera tumbuh kembali. Orang-orang
ini memang manusia berlamuran dosa apa salahnya mereka
dihabiskan saja. Tidak kau sikat mereka, kelak tentu akan
mendatangkan penyakit.

"Meski beralasan menumpas kejahatan, tapi aku tidak setuju
membunuh orang yang sudah terluka dan tak bisa berkutik
kata It-hiong."Terlebih dirimu, orang perempuan mana boleh
main bunuh begitu saja, kan. ….huh… itu. dia dalang lagi tiga"
Benar juga waktu mereka berpaling tertampak tiga orang
berlari datang pula. Mereka adalah Koancu ke-11, ke-12 dan
ke-13, mereka masing-masing bersenjata pedang, golok dan
toya, dengan cepat mereka menerjang tiba.
Ebook oleh : Dewi KZ
Scan book oleh : BBSC
Jilid 20
Segera Loan Kiau-kiau tampil kemuka dan menuding mereka
dengan menghardik, "Hai, dengarkan kalian bertiga, Congtocu
sudah mati, sekarang ku ganti kan kedudukannya sebagai
pimpinan, bila kalian tunduk padaku tentu akan mendapat
pahala setimpal, jika berani melawan, kalian pasti akan
binasa.
Ketiga Koancu itu berhenti beberapa meter di depan Kiau-kiau,
koancu yang berdiri di tengah dan bersenjata pedang
mendengus, "Huh, berdasarkan apa kau berani mengangkat
dirimu sebagai Congtocu untuk mengganti Oh-congtocu?"
"Kan aku ini istri Oh Kam-Iam, maka aku berhak mewarisi
segala hak miliknya," jawab Kiau-kiau. Koancu yang
berpedang itu menengadah dan tertawa latah teriaknya.
"Hahahaha, istri Congtocu kami, setahuku terlampau banyak
dan hampir sukar dihitung kalau boleh kutanya, kamu ini
terhitung istrinya yang nomor berapa?"

"Hm, dari nada ucapanmu, agaknya kamu tidak mau tunduk
padaku'' jengek Loan Kiau-kiau kurang senang
Koancu itu memutar pedang yang dipegangnya dan tergelak,
katanya, "Jika kau ingin ku tunduk padamu lebih dulu boleh
kau tanya kepada pedangku ini?"
"Baik, akan kutanya padanya," kata Loan Kiau-kiau. Habis
berkata dengan berlenggang ia melangkah maju. Koancu
berpedang itu memberi tanda kepada kedua Koancu yang lain,
ia sendiri lantas memapak Loan Kiau-kiau pedang terangkai
dan segera menabas.
Kedua Koancu yang bergolok dan bergada gigi serigala juga
lantas menerjang Liong It-hiong, dan Pang Bun-hiong.maka
terjadilah pertarungan tiga partai dengan serunya.
Meski Loan Kiau-kiau bertangan kosong, namun sejak mulai
ilmu pukulannya sudah memberi kesan Iain daripada yang
lain, kedua telapak tangan bergerak naik-turun tidak menentu,
serupa kupu-kupu menari di antara kuntum bunga, ia hadapi
musuh bersenjata pedang dan, ternyata masih lebih sering
menyerang daripada bertahan.
Kedua Koancu yang lain bagi Liong It-hiong dan Pang Bunhiong
juga bukan lawan yarg kuat, baru bergerak beberapa
jurus saja It-hiong berdua sudah di atas angin. Sembari
melayani serangan lawan yang cukup gencar, Bun-hiong
sempat berolok dengan tertawa,
"Huh, orang yang bisa lihat gelagat adalah pahlawan. Apakah
berangkah kamu sengaja hendakantar nyawa di sini?"
Lawannya yang bersenjata gada gigi serigala itu diam saja
tanpa menanggapi, ia terus menyerang dengan nekat

"Baik, mulai sekarang, awas telinga kananmu'" kata Bun-hiong
dengan tertawa. Mendadak gerak pedangnya berubah ia tidak
mematahkan serangan lawan lagi melainkan mulai
melancarkan serangan balasan.
Hanya tiga-empal jurus saja Koancu bergada gigi serigala
sudah mulai kelabakan, namun dia sangat bandel, sedikitpun
ia pantang menyerah.
"Kena'" terdengar Bun-hiong membentak nyaring, sinar
pedang berkelebat dan darah segar pun Muncrat. Seketika
Koancu bersenjata gada gigi serigala merasa telinga kanan
"nyes" dingin, waktu ia meraba barulah diketahui daun telinga
sudah lenyap. Baru sekarang ia terkejut dan cepat melompat
mundur untuk mencari selamat. Pang Bun-hiong tidak
memburu musuh yang sudah kalah, ia memberi tanda malah,
"Ayo lekas lari, kalau tidak nyawamu bisa melayang!'' Koancu
besenjata gada gigi serigala itu ternyata sangat penurut,
langsung ia kabur sipat kuping.
Pada saat itu juga Liong It-hiong pun sudah lebih unggul,
mendadak ibu jari kanan Koancu bergolok itu tertabas putus,
ia pun tidak mendesak lebih lanjut melainkan lantas
membentak, 'Ayo lekas enyah. Kalau tidak, bisa kupenggal
kepalamu!" Cepat Koancu bergolok itu melompat mundur
dan memeriksa ibu jari sendiri yang terkutung, dengan murka
ia mengucap, "Awas sampai lain kali “
Habis itu segara ia kabur ke bawah gunung. Melihat Liong Ithiong
dan Pang Bun-hiong sudah mendapat kemenangan,
timbul juga rasa ingin menang Loan Kiau-kiau serentak ia
melancarkan jurus serangan maut «hingga lawan terdesak
mundur berulang ulang.
Bun-hiong tahu bilamana Koancu itu tidak lekas angkat kaki.
akhirnya pasti akan mati di bawah pukulan Kiau-kiau.segera ia

bersuara "Hai,kedua kawanmu sudah kabur, mengapa kamu
tidak lekas angkat langkah seribu, memangnya kamu ingin
gugur sebagai pahlawan?"
Koancu berpedang itu tentu saja juga ingin cari selamat,
segera ia putar haluan dan lari secepatnya
“Lari ke mana?!" bentak Loan Kiau-kiau mendadak, secepat
kilat ia memburu maju, suatu pukulan langsung dilancarkan
"Prak" dan "Auhh'" Koancu berpedang itu tidak sempat
mengelak, batok kepala bagian belakang kena pukulan dan
pecah dengan otak berantakan setelah menjerit terus
terbanting dan binasa.
Kening Bun-hiong bekernyit melihat keganasan Loan Kiau-kiau
namun ia lantas tersenyum dan berkata, "Wah, hendaklah kau
tahu, aku tidak akan menikahi perempuan yang suka main
bunuh Lain kali bila kau bunuh orang lagi, terpaksa kita harus
berucap selamat tinggal"
"Baiklah, lain kali aku takkan membunuh orang lagi," jawab
Loan Kiau-kiau dengan tertawa. Tapi hendaknya kaupun
maklum, masih ada sepuluh orang Koancu belum kemari,
apakah kalian yakin dapat menasihati mereka agar menurut
dan tunduk kepada kita'"
"Jika mereka membangkang, tentu saja boleh kita memberi
hajaran setimpal, biarlah nanti aku dan It-hiong saja yang
melayani mereka," kata Bun-hiong
Kiau-kiau hanya tersenyum saja tanpa menanggapi lagi. Ithiong
memprihatinkan keadaan luka Oh Beng-ai, setelah
simpan kembali pedangnya segera ia berkata, "Biar kupergi
menjenguk Beng-ai dan segera kukembali ke sini."

Habis berkata segera ia berlari masuk ke dalam rumah. Waktu
ia masuk ke sebuah kamar, dilihatnya Hoa-Ioji sedang duduk
di tepi tempat tidur Oh Beng-ai dan sedang memeriksa denyut
nadi nona itu.
Beng-ai kelihatan masih belum sadar, tentu saja It-hiong
merasa cemas, ia coba tanya, "Bagai mana keadaannya?"
Hoa-loji menggeleng kepala, katanya. "Denyut nadinya sangat
lemah, bisa jadi…..”
Perasaan It-hiong serasa disayat-sayat, katanya kuatir,
"Pokoknya harus kau sembuhkan dia tidak boleh mati begitu
saja."
"Tapi ….tapj aku sudah berusaha sekuat tenaga," ujar Hoa-loji
dengan menyengir. It-hiong mendekati tempat tidur, serunya
perlahan, "Beng-ai, Beng-ai, aku Liong It-hiong disini dengar,
tidak suaraku? Sadarlah lekas sadarlah!'
Namun Beng-ai sama sekali tidak menyahut atau memberi
reaksi. "Tulang iganya yang patah sudah kusarnbung dengan
baik, cuma mungkin ada tulang iga patah lain yang melukai isi
perut….." Hoa-loji berlutut dengan menyesal.
Tentu saja It-hiong tambah cemas, tanyanya, ”Wah. lantas
bagaimana akibatnya?"
“Baru saja kuberi minum obat luka dalam yang berkhasiat
menghentikan pendarahan " tutur Hoa-loji pula “Bila luka
bagian dalam tidak terlalu parah, ku yakin lumbat-laun
lukanya akan sembuh, namun …. "
"Namun apa ?" desak It-hiong.

"Menurut keadaan secara umum, saat ini seharusnya dia
sudah siuman," tutur Hoa-loji ''Sebab itulah kusangsikan
sangat mungkin luka dalamnya tidak ringan "
"Adakah obat mujarab yang dapat menyembuhkan dia'' tanya
It-hiong
"Tan-hoa tan milik nonh Oh sendiri dan obat luka buatanku
cukup manjur, apabila obat kami ini tetap tidak dapat
membuatnya siuman, wah rasanya sukar…."
Sampai di sini, Hoa-loji tidak melanjutkan melainkan cuma
menyengir saja. Sampai lama It-hiong diam saja dengan
kening bekernyit, ucapnya kemudian, "Engkau boleh berusaha
sekuat tenaga, asalkan dapat menyelamatkan jiwanya, tentu
akan kuberi tanda terima kasih sebesarnya '
Hoa-loji menyengir dan berkata, "Tentu saja akan ku
usahakan sebisanya, jika dapat menyembuhkan nona Oh,
tidak perlu kuminta hadiah apa-apa, kumohon dibebaskan
pulang saja dan sudah cukup bagilku."
"Kamu bukan anak buah Oh Kiam-lam?'' tanya Liong It-hiong.
"Bukan," jawab Hoa-loji sambil menggeleng
"Sebabnya ku tinggal di sini karena diculik kemari. kata
mereka di markas mereka memerlukan seorang tabib tetap…"
"Sudah berapa lama kamu tinggal di sini?" tanya lt-hiong
“Tiga tahun." tutur Hoa Ioji
“Baik, jika dapat kau sembuhkan nona Oh. kujamin kamu akan
pulang dengan selamat, bahkan

akan kuberi pesangon yang memuaskan, percayalah padaku,"
kata It-hiong. Ia merandek sejenak, lalu menyambung pula,
“Jika keadaan nona Oh ada perkembangan hendaknya segera
aku diberi tahu, sekarang kukeluar dulu melihat keadaan
sana."
It-hiong kembali lagi ke pelataran sana, dilihatnya Pang Bunhiong
dan Loan Kiau-kiau masih berdiri di tempat tadi mayat
yang menggeletak di situ juga tetap mayat tadi, semua itu
menandakan kesepuluh Koancu yang lain belum lagi datang.
Ia mendekati Bun-hiong dan bertanyanya, "Mengapa mereka
belum datang ?”
"Siapa tahu?" jawab Bun-hiong. Tapi dia sudah mengirim
orang untuk mencari kabar, Eh, nona Oh sudah siuman
belum''"
Dengan perasaan berat It-hiong menjawab.
“Belum, menurut keterangan Hoa-loji, denyut nadinya sangat
lemah, mungkin jiwanya sukar tertolong "
"Wah dia seorang nona baik, tidak boleh mati begitu saja,"
kata Bun-hiong.
It-hiong menengadah, memandang langit, gumamnya “Jika
usiaku dapat dikurangi untuk menyelamatkan jiwanya, kurela
berbuat demikian”
Selagi Loan Kiau-kiau hendak bicara, tiba-tiba terlihat seorang
anak buah lari datang dengan gugup. Cepat It-hiong
menyongsong ke sana dan menegurnya, "Hei ada apa?"
Kiranya anak buah inilah orang yang dikirim ke bawah
gunung untuk mencari informasi, wajah

anak buah ini tampak kuatir, serunya, 'Wah. celaka, Hujinl
Mereka mulai menyerbu ke atas sini!" Air muka Loan Kiaukiau
berubah, tanyanya “Berapa banyak jumlah mereka?"
"Kesepuluh Koancu ditambah delapan ratusan anak buah."
tutur anak buah tadi
Saat ini kira kira berjarak berapa jauh dari sini?." tanya pula
Kiau-kiau dengan gugup juga
"Sudah sampai di pos jaga ke-15 dan segera akan sampai di
sini," lapor anak buah itu
"Lekas beri perintah agar segenap anggota disini membawa
senjata dan panah, semuanya berkumpul di lapangan depan,
seru Kiau-kiau segera. Liaulo atau anak buah tadi mengiakan,
segera ia berlari ke dalam markas untuk menyampaikan
perintah itu
Dengan prihatin Pang Bun-hiong coba bertanya, "Berapa
banyak seluruh liaulo yang berada disini ?”
"Cuma seratus lebih," tutur Kiau-kiau
"Wah.cuma seratus orang dan harus menghadapi serangan
delapan ratus orang, apa sanggup ?” ucap Bun-hiong dengan
kuatir
“Sabar jangan kuatir " ujar Kiau-kiau “Kita berada di bagian
atas, dapat kita bendung serbuan mereka dengan panah,
tentu dapat mengakibatkan korban besar di pihak mereka.
Apabila cara begitu masih juga kewalahan, dapat pula kita
gunakan kayu gelondongan dan batu padas untuk
menghujani musuh."

Tengah bicara, tertampak serombongan liaulo dengan golok
terhunus dan menyandang busur dan panah telah muncul dari
berbagai jurusan, semuanya menuju dan berkumpul di
lapangan depan.
Segera Kiau-kiau berteriak, "Wahai para saudara kesepuluh
Koancu di bawah tidak mau tunduk kepada ptmpinanku,
mereka telah memberontak dan membawa 800 anak buahnya
menyerbu kemari dan bermaksud menduduki markas pusat
kita ini, tentu juga mereka berniat merampas harta benda
milik kita. Ayolah, beramai-ramai kita menghadapi mereka,
harus kita gempur mereka, asalkan mereka sudah kita
runtuhkan, setiap orang akan kuberi hadiah seratus tahil
perak"
Menyusul ia mengayun sebelah tangannya dan berteriak pula,
"Ayo ikut padaku!'
Segera ia mendahului berlari ke pintu gerbang perbentengan.
Para liaulo ikut dia berlari naik benteng yang terbuat dari
kerangka kayu, semuanya Iantas siap tempur, masing-masing
membentang busur dan memasang panah, dengan penuh
waspada mereka menanti kedatangan musuh.
It-hiong dan Bun-hiong juga ikut semua orang ke atas
"benteng", waktu mereka memandang jauh ke depan sana,
tertampak bayangan orang di bawah bukit berseliweran ke
800 anak yang dipimpin kesepuluh Koancu itu sudah merayap
sampai di pos jaga yang k e16.
Bun-hiong coba mendekati Kiau-kiau dan bertanya, "Di mana
kayu gelondong dan batu padas yang kau katakan siap
menggilas musuh itu?"
"Itu di sebelah sana." jawab Kiau-kiau sambil menuding semak
pohon di sebelah kiri benteng.

"Asalkan tali ikatannya dipotong, seketika beratus kayu
gelondong dan batu padas besar akan menggelinding ke
bawah serupa air bah dan tentu musuh akan digilas habishabisan."
"Eh, semula kau bilang baru tiga hari kamu berada di tempat
ini, mengapa sekarang kamu sedemikian apal terhadap
keadaan sarang bandit ini. terutama pertahanannya? tanya
Bun-hiong
Semua ini kudengar dari Oh Kiam-lam, pada hari pertama
kudatang kemari dia lantas memberitahukan padaku semua
yang teratur di sini," tutur Kiau-kiau "Oh Kiam-lam
membawaku berkeliling memeriksa sarangnya ini dia
memperlihatkan padaku setiap tempat yang telah diaturnya
dengan baik "
Sementara ilu kesepuluh Koancu dan delapan ratus anak
buahnya sudah membanjir sampai di pos jaga ke 17, mereka
merayap serupa barisan ular, berbondong-bondong menyerbu
ke atas gunung sambil berteriak-teriak sehingga suaranya
menggema angkasa raya pegunungan
'Hendaknya kalian berdua yang memimpin pertahanan di sini,
biar kupergi ke sana untuk menyiapkan kayu gelondong dan
batu padas agar serentak dapat digunakan untuk
menghancur-kan musuh," cepat Kiau-kiau berseru.
Habis berkata, dengan enteng ia melompat turun dan berlari
ke semak pohon sana bersama beberapa anak buah
"Wah, sekali ini pasti akan jatuh korban yang tidak sedikit,"
kata Liong It-hiong dengan menyesal.

"Ya, memang," ucap Bun-hiong. "Tapi peduli amat, kalau
mereka tidak dihancurkan, tentu kita yang akari diganyang
mereka”
"Apakah kamu benar-benar berniat menikahi dia? ' tanya Ithiong.
"Bagaimana pendapat mu jika aku berbuat demikian?" jawab
Bun-hiong dengan tersenyum.
"Aku tidak tahu," kata It-hiong, “semua itu bergantung
kepadamu sendiri, jika kamu anggap dia dapat menjadi istri
dan ibu yang bijaksana maka apa salahnya kauambil dia
sebagai istri."
Bun-hiong hanya tersenyum saja tanpa menanggapi.
Mendadak terdengar suara teriakan ramai "Serbu!" -
"Bunuh" - "Sikat habis'" Ternyata kesepuluh Koancu bersama
delapan ratus anak buahnya telab menyerbu ke atas gunung
serupa air bah, hanya dalam waktu sekejap jalanan di luar
benteng pertahanan itu sudah penuh dengan manusia
It-hiong menjawil Liong Bun-hiong, tanyanya. ' Bagaimana,
kau kira dia sanggup menjadi istri baik dan ibu bijaksana atau
tidak"
Pasukan musuh membanjir tiba, tapi dia justru ikut
memperhatikan urusan kawin Liong It-hiong
Bun-hiong angkat pundak, katanya, "Kukira masih bolehlah.
Orang perempuan bilamana busuk bila jadi sangat busuk,
apalagi baik pun bisa sangat baik. Apabila kuda galak harus
juga ditunggangi orang galak, kuyakin masih mampu
mengendalikan dia, dapat kubuat dia tunduk sepenuhnya
padiku "

Sementara itu dilihiatnya kesepuluh Koancu bersama delapan
ratusan anak buahnya sudah menyerbu tiba, cepat ia
memberi tanda sambil berteriak, "Ayo sikat para saudara''
Begitu menerima perintah. Serentak para liaulo yang berjaga
di atas benteng segera berdiri dan melepaskan anak panah.
Terdengar suara mendesir riuh, seketika anak panah
berhamburan seperti hujan deras, berapa puluh liaulo yang
paling depan kontan roboh terkena panah, terdengar jeritan
ngeri berjangkit di sana sini.
"Ayo serbu!"
"Terjang ke atas!"
"Hancurkan benteng musuh!"
Namun begitu mereka sukar menghadapi hujan parah yang
bertebaran dari atas, dalam waktu singkat beberapa ratus
orang kembali dirobohkan pula. Koancu yang memimpin
penyerbuan dari belakang itu juga berteriak teriak dengan
bengis dan mendesak anak buahnya menerjarg ke atas dan
dilarang mundur.
Karena itu serombongan liaulo terpaksa menerjang maju
dengan mati-matian sambil putar senjata masing-masing
"Terjang'"
"Serbu"'
"Panjat ke atas!"
Demikian teriakan ramai tidak berhenti henti, segera seorang
Koancu mendahului menyerbu ke atas, ia putar senjatanya

berbentuk golok tebal berkepala setan, ia tangkis anak panah
yang menyambar tiba bagai hujan, dengan gagah berani ia
dapat menerjang hingga di depan benteng
"Yang ini harus disikat'' kata Bun-hiong ke pada kawannya.
Berbareng ia lolos sebatang panah dari tempat panah yang
tersandang di punggung seorang liaulo terus disambitkan
Jika Koancu dapat menghalau hujan anak panah yang
dihamburkan kawanan liaulo, ternyata dia tidak mampu
menyampuk jatuh panah yang disambitkan Pang Bun-hiong
dengan tepat dahinya terkena panah itu, ia menjerit dan
roboh terjungkal.
Anak buahnya menjadi gentar melihat salah seorang Koancu
mereka roboh binasa, betapapun nyawa mereka sendiri lebihh
penting, maka tanpa menghiraukan bentakan Koaucu yang
memimpin di belakang, beramai-ramai mereka sama menyurut
mundur, masing-masing, sama mencari tempat sembunyi
untuk menghindarkan hujan anak panah yang deras itu
Beberapa Koaucu lain yang berbaur di tengah para liaulo
menjadi murka semuanya menerjang kalap ke kaki benteng,
mereka bermaksud menyerbu ke dalam benteng untuk
menggempur kawanan liaulo yang berjaga di atas.
Akan tetapi baru saja mereka menerjang sampai di kaki
benteng, dua orang sudah roboh lagi terkena panah, Dua
orang lagi sempat membobol pintu gerbang dan menyerbu ke
dalam benteng, segera mereka melompat ke atas benteng
untuk membunuh musuh
Cepat Bun-hiong dan It-hiong memapak dan megempur
mereka. Seketika terjadilah pertarungan sengit antara mereka
berempat. Tapi seru bergabrak beberapa jurus, kedua Koancu
itu tidak mampu melawan It-hiong yang lebih lihai, dengan

ilmu pedang mereka It-hiong berdua mendesak, kedua
Koancu itu terpaksa melompat keluar benteng lagi. pada saat
itulah kembali serombongan liaulo musuh menerjang ke dekat
benteng.
“Lepas panah lagi'' cepat It-hiong memberi perintah. Serentak
sebaris anak panah dihamburkan lagi. sehingga sedikitnya 50
liaulo terbunuh yang menyerbu tiba itu dirobohkan dan jelas
takkan hidup lagi. Malahan kedua Koancu yang baru saja
melompat turun ke sana juga ikut terpanah dan binasa di
tengah pertempuran gaduh itu.
Sampai di sini, kesepuluh Koancu itu sudah mati lima orang
melihat gelagat tidak menguntungkan, Maka kelima Koancu
yang lain segera berteriak-teriak, "Mundur, lekas mundur,
saudara"
Tak terduga, belum lenyap suaranya, mendadak terdengar
suara gemuruh berjangkit dari semak pohon sebelah kiri sana.
sekonyong-konyong beratus kayu gelondong menggelinding
dari atas bagai gugur gunung dahsyatnya, seketika bumi
bergetar dan langit seakanambruk.
Keruan para liaulo yang sedang mundur itu terperanjat dan
ketakutan, suasana menjadi kacau balau, namun lebih celaka
lagi seketika mereka tidak sempat menghindar dan juga sukar
mencari tempat berlindung. Dalam sekejap saja ratusan orang
telah tergilas oleh kayu gelondong, ada yang kepala pecah
dan tubuh hancur, kulit daging bertebaran di mana-mana. Ada
sebagian lagi yang ikut tergulung oleh kayu gelondong dan
tergusur ke bawah. suasana sungguh mengerikan, membuat
orang tidak sampai hati menyaksikannya.
"Lekas jongkok Lekas tiarap!" demikian salah seorang Koaucu
memberi komando. Beberapa ratus liaulo yang berada di
belakang cepat merebahkan diri. Dengan demikian korban

yang jatuh banyak berkurang, banyak jiwa liaulo itu selamat.
paling-paling cuma terluka saja.
Maklumlah pada waktu kayu gelondong menggelinding ke
bawah, kecepatannya makin lama makin bertambah, tapi bila
kebentur batu padas kayu gelondongan itu lantas melejit
tinggi ke atas untuk kemudian jatuh ke bawah. Karena itulah
banyak kawanan liaulo itu terbebas dan kematian.
Melihat kedelapan ratus liaulo musuh dalam sekejap saja
sudah mati dan terluka lebih dari separoh, hati Liong it-hiong
merasa tidak tega, dengan kening bekernyit ia berkata,
"Mereka sudah diperintahkan mundur, mengapa dia
menghamburkan lagi kayu gelondong untuk membunuh
musuh?"
"Entah, dari mana kutahu?" jawab Bun-hiong. "Akan kucegah
dia'"
Habis berkata segera ia berlari secepat terbang ke sana. Siapa
tahu pada saat itu juga suara gemuruh keras kembali
berjangkit lagi. Seketika bumi seakan gempa, batu padas
besar yang sangat menakutkan tahu-tahu berhamburan juga
ke bawah bukit.
Batu padas itu ada besar ada kecil, namun yang paling kecil
sedikitnya juga berbobot ratusan kati, kini digusur dari atas
bukit dan menggelinding ke bawah, keruan dahsyatnya sukar
dilukiskan. Seketika bumi serasa gempa dan gunung seperti
meletus,
"Aduh!"
"Mati aku!'

Begitulah jeritan ngeri seketika bergema memenuhi angkasa
pegunungan. Pang Bun-hiong tidak jadi berlari ke sana, ia
berhenti dan berdiri terkesima. Menyaksikan beberapa ratus
liaulo itu kembali digilas hancur lebur oleh bujan batu padas
itu, betapapun hatinya tidak tega dan pedih seperti disayatsayat,
berbareng juga timbul rasa gusar yang tak terkatakan
Dia serupa Liong It-hiong, meski lahirnya kelihatan dugul dan
suka menuruti kehendak hatinya, namun batinnya sebenarnya
sangat manusiawi, ia tidak sanggup menerima cara
membunuh dengan kejam serupa ini. la berdiri terkesima
sekian lama. baru saja ia bermaksud mencari Loan Kiau-kiau,
tiba-tiba dilihatnya nona itu sudah naik ke atas benteng.
Dengan tertawa senang Kiau-kiau berucap "Lihat, semuanya
sudah beres bukan ? Sederhana dan cepat”.
Sampai sekian lama Bun-hiong memandangi nona itu tanpa
bicara, mendadak sebelah tangannya menggampar "Plak",
dengan telak muka Kiau-kiau tertampar hingga jatuh
terduduk.
Keruan Kiau-kiau terkejut dan juga marah sambil meraba
pipinya yang kesakitan ia tanya."Kenapa kau pukul diriku?"
Kau lihat sendiri, mereka kan sudah siap untuk mundur
mengapa kamu malah menghujani mereka dengan kayu
gelondong dan batu besar sehingga timbul korban sebanyak
ini?' jengek Bun-hiong.
“Kamu tolol, maha tolol," damperat Kiau-kiau dengan gusar
"Mereka menyerbu sekalap itu, kalau kita tidak membunuh
mereka, kita yang akan terbunuh. Kesempatan ini harus kita
hancurkan mereka, kalau tidak tentu mereka akan menerjang
kemari lagi "

"Benar, alasanmu pun benar " kata Bun-hiong.
"Akan tetapi, coba kaulihat . . “ Ia tuding mayat yang
berserakan di lereng bukit dan banyak bagian mayat yang
hancur lebur, dengan gusar ia menyambung pula, "Nah,
semua itu mati kau bunuh, apa kamu tidak punya rasa kasihan
terhadap sesamanya? Meski mereka menjadi anak buah
bandit, dosa mereka kan juga tidak harus dihukum mati
semua?"
"Tapi, seperti sudah kukatakan, tidak kau bunuh mereka,
kamu yang akan dibunuh mereka. apakah kamu lebih rela
mati dibunuh mereka?" jawab Kiau-kiau
Dengan suara berat Bun-hiong berkata, 'Menangkap penjahat
harus tangkap gembongnya, asalkan para Koancu itu sudah
kita tangkap, anak buahnya dengan sendirinya tidak ada
artinya lagi."
Mendadak Kiau-kiau menangis sedib, katanya, "Oo, jadi
manusia memang serba susah. Bermaksud baik ternyata tidak
mendapatikan ganjaran baik pula. Demi orang banyak
kugempur mundur musuh, kamu berbalik menyalahkan
tindakanku ini dan menghajarku malah, Kau berani
memukulku, ini menandakan pada hakikatnya kamu tidak suka
padaku, buat apa…buat apa aku hidup lagi?"
Habis berkata, mendadak ia merampas sebatang golok dari
seorang liaulo terus hendak meng-gorok leher sendiri. Cepat
It-hiong merampas goloknya dan berkata, "Ah, sudahlah, buat
apa urusan begini dipersoalkan. Ia cuma menamparmu sekali
dan engkau malah hendak membunuh diri. Bagaimana pula
kalian akan sanggup hidup bersama selama hidup?"
Kiau-kiau mendekap mukanya dan menangis terlebih sedih.
Caranya menangis, rupanya juga ada seninya. begitu memelas

sehingga menimbulkan rasa iba orang yang melihatnya.
Akhirnya hati Bun-hiong dibuat lunak juga, katanya
kemudian, "Ya, sudahlah, aku berjanji selanjutnya takkan
memukulmu lagi. Sekarang boleh kau pulang dulu ke markas”
Pelahan Kiau-kiau berbangkit lalu melangkah pergi dengan
masih menangis. Bun-hiong menyengir terhadap It-hiong dan
angkat pundak sebagai tanda apa boleh buat, katanya.
"Sialan, aku memang tidak sampai hati bila ditangisi orang
perempuan. Bagaimana jika kamu menjadi aku ?'"
"Sama saja," jawab lt-hiong dengan tertawa.
"Aku juga lunak bilamana ditangisi orang perempuan. Tangis
orang perempuan bagiku rasanya seperti langit sudah hampir
runtuh."
Lalu ia pandang kawanan liaulo yang masih berjaga di atas
benteng, teriaknya segera, "Wahai, saudara-saudara. harap
kerja bakti lagi sebentar, ayolah beramai-ramai keluar sana
untuk pembersihan. Yang sudah mati hendaknya dikubur, yarg
belum mati supaya dibawa masuk kemari untuk diberi
pertolongan." Kawanan liaulo ternyata sangat menurut,
perintah itu segera dilaksanakan, mereka menaruh senjata
dan berbondong-bondong lari keluar benteng untuk
membersihkan mayat yang berserakan itu.
Segera It-hiong berpaling dan berkata kepada Bun-hiong.
"Akan kujenguk keadaan Beng-ai, hendaknya kamu
mengawasi keadaan di sini "
Habis berkata ia terus meninggalkan perbentengan dan lari
masuk ke dalam rumah. Setiba di kamar Oh Beng-ai,
dilihatnya kedua mata si nona masih terpejam rapat, sama
sekali tidak kelihatan ada kemajuan oleh pengobatan Hoa-loji
tadi, dengan menyesal ia berkata, "Hoa-locianKANG
ZUSI website http://cerita-silat.co.cc/
pwe, hendaknya engkau bicara terus terang padaku,
sesungguhnya bagaimana keadaannya, masih ada harapan
atau tidak akan kesembuhannya?"
Hoa-loji menggeleng kepala sahutnya ke mudian, "Sukar
kukatakan dengan pasti, keadaannya memang agak gawat.
Biarlah sampai besok mungkin akan dapat kukatakan dengan
pasti."
“Bagaimana denyut nadinya'' tanya it-hiong pula dengan
cemas.
“Sama saja, masih lemah,” tutur Hoa-loji.
Kembali lt-hiong menghela napas, la duduk di tepi tempat
tidur dan memandangi Oh Beng-ai yang tidak sadar itu
dengan termangu-mangu dan tidak keruan perasaannya.
-ooo-
Pelahan cuaca sudah mulai gelap, malam sudah tiba.
Seluruh lereng kedelapan belas bukit (Cap-pek-pan-nia)
tenggelam dalam suasana sunyi kelam.
Mayat kawanan liaulo penyerbu sudah dikumpulkan dan
dikubur, liaulo yang terluka juga sudah mendapatkan
pertolongan seperlunya. Suasana lereng bukit sekarang tidak
ada lagi berbau anyirnya darah
Bun-hiong masuk ke kamar dan mendekati tempat tidur untuk
menjenguk keadaan Oh Beng-ai, ia tanya, "Sudah lebih dua
jam dia tidak sadarkan diri, kukira sudah waktunya dia harus
siuman “

"Dia, mungkin dia sukar hidup lagi," ucap It-hiong dengan
muram
Bun-hiong menghiburnya. "Ah, jangan putus asa, juga jangan
menyerah begitu saja, kita tetap berusaha, kuyakin dia pasti
akan sembuh, kamu harus mempunyai keyakinan "
"Dia seorang nona yang harus dikasihani. “ujar It-hiong,
"Hidupnya selalu dirundung malang banyak sekali penderitaan
yang telah dialaminya. Thian seharusnya memberi
kesempatan hidup bahagia baginya dan janganlah merenggut
nyawanya….”
Pada saat itulah mendadak Kiau-kiau masuk ke dalam hamar,
ucapnya dengan tertawa manis
“Eh, sudah waktunya makan, ayolah makan dulu kalian “
"Silahkan kalian saja sana," jawab It-hiong
"Kamu tidak makan ?” Kiau-kiau menegas dengan
melenggong.
“Biar kutunggui dia,” kata It-hiong
“Kutahu perasaanmu tentu engkau sangat sedih baginya,"
kata Kiau-kiau pelahan. “Tapi kesehatanmu sendiri juga harus
dijaga, kau perlu makan agar tidak masuk angin "
"Tidak aku tidak ada nafsu makan,"' jawab It-hiong. Kiau-kiau
berpaling dan tanya Bun-hiong
"Dan bagaimana engkau?"
“Aku juga tidak bernafsu makan," ucap Bun-hiong tanpa emosi

“Ai, bagaimana kalian ini," ujar Kiau-kiau dengan kening
bekernyit "Masa kalian tidak pikirkan kesehatan sendiri lagi?
Mana boleh tidak makan”
"Melihat keadaan gawat nona Oh, siapa yang punya nafsu
makan lagi?" ucap Bun-hiong
“Tapi sedikit banyak kan harus makan, perut jangan sampai
kosong," kata Kiau-kiau "Begini saja, akan kusuruh masak tiga
mangkuk mi pangsit,”
"Baiklah” jawab Bun-hiong. Segera Kiau-kiau berlari pergi ke
dapur untuk menyiapkan santapan itu. Melihat orang sudah
pergi, tiba-tiba Hoa-loji tersenyum kecut dan berkata, "Ai,
perempuan ini sungguh sangat lihai, pandai melihat arah
angin dan putar haluan dengan cepat!"
"Oo, ada apa?" tanya Bun-hiong
"Anda lihat sendiri," kata Hoa-Ioji. "Siang tadi, waktu kalian
berdua diringkus oleh Oh Kiam-lam. sama sekali perempuan
itu tidak ada maksud menolong kalian. Tapi selelah nona Oh
menikam mati Oh congtocu, seketika sikapnya berubah arah
sama sekali. coba, tindakannya itu bukankah Iicin dan pintar
putar haluan menurut arah angin?"
"Betul," kata Bun-hiong. "Kalau saja saat itu dia tidak
membebaskan kami, rasanya kami tetap tidak terhindar dari
Kematian. Sebab itulah…” Sampai di situ mendadak ia tidak
melanjutkan lagi melainkan cuma tersenyum saja penuh arti.
Hoa-loji menjadi bingung katanya pula, "Sebenarnya hamba
tidak jelas apa hubungan kalian dengan dia, hanya saja
kurasakan dia rada-rada….hehe, pendek kata. .hendaknya
..kalian berlaku hati-hati sedikit terhadap dia "

"Ya kutahu,' kata Bun-hiong. "Ada maksudku hendak
mengambil dia sebagai istri”
"Ahhh..!" seketika Hoa-loji agak kelabakan sikapnya menjadi
kikuk, serba susah. Katanya cepat, "Kiranya begitu. Maaf jika
hamba sembarangan omong, mohon Pang-siaubiap jangan
marah padaku,'
"O, tidak, tidak apa," jawab Bun-hiong tertawa "Kutahu kamu
bermaksud baik, aku sangat ber-terima kasih atas
peringatanmu, tidak nanti ku marah "
“Sekarung tempat ini serupa naga kehilangan kepala Ialu apa
tindakan kalian selanjutnya?" tanya Hoa-loji. "Apakah kalian
akan tinggal pergi atau tetap tinggal di sini ?"
"Tidak, kami takkan menetap di sini." Jawab Bun-hiong. "Bila
sakit nona Oh sudah sembuh. kami bermaksud membubarkan
segenap liaulo. Lalu kami pun meninggalkan tempat ini "
Kabarnya dari hasil usaha Oh-congtocu dulu banyak sekali
harta benda yang disembunyikan di sini. lalu cara bagaimana
kalian akan mengatur kegunaannya?" tanya Hoa-loji.
"Tentu saja akan kuatur dengan baik," jawab Pang Bun-hiong.
"Akan kukeluarkan sebagian untuk dibagi-bagikan kepada para
liaulo dan membubarkan mereka. Sisa harta benda yang lain
akan kami gunakan untuk dana sosial, membantu kaum miskin
dan menolong rakyat yang tertimpa musibah bencana alam
dan sebagainya "
“Wah, bagus, sungguh ide yang bagus" kata Hoa-loji sambil
manggut-manggut.
Tengah bicara, datanglah Loan Kiau-kiau dengan membawa
nampan yang berisi tiga mangkuk

besar mi pangsit kuah. Nampan ditaruhnya dimeja, ketiga
mangkuk mi pangsit disuguhkan kepada it-hiong bertiga,
tatanya dengan tersenyum.
“Ayo, silahkan, makanlah mumpung masih panas “
Masakan mi pangsit itu ternyata berbau lezat tidak kalah
dibanding mi pangsit di restoran besar
"Kau sendiri sudah makan belum?" tanya Bun-hiong dengan
tertawa
"Sudah," jawab Kiau-kiau dengan tersenyum manis
"Makan lagi sedikit mau?" tanya Bun-hiong
"Ah. sudah kenyang, masa makan lagi” sahut Kiau-kiau manja.
Bun-hioug berdiri, ia menuju ke samping pintu kamar, di situ
ia berdiri dengan bertolak pinggang lalu berseru dengan
senyum ejek, "Loan Kiau-kiau”
“Ada apa?" jawab Kiau-kiau sambil menoleh seketika ia
melenggong dengan air muka berubah pucat demi melihat
sikap Bun-hiong.
"Berapa banyak racun yang kau tarub di dalam mi pangsit
itu?" tanya Bun-hiong dengan ketus
Dari pucat muka Kiau-kiau berubah merah padam, teriaknya
dengan berjingkrak murka, "Apa katamu? Ngaco-belo”
“Tidak sama sekail aku tidak ngaco." Jawab Bun-hiong "Hm,
jangan kau kira kami gampang ditipu dan dijebak. Terus
terang, siang tadi ketika kamu membebaskan kami berdua,
saat itu juga sudah kuduga ada intrikmu yang keji, kutahu

maksud tujuanmu adalah ingin memperalat kami untuk
menghadapi ke-18 Koancu yang tidak mungkin mau tunduk
padamu itu. Bila kami sudah mem-bantumu menumpas ke-18
Koancu itu dan kawanan liaulo yang anti dirimu, kemudian
kamu akan membunuh kami dengan cara keji umpamanya
dengan racun dalam mi pangsit seperti sekarang
ini. Dengan begitu dapatlah kamu mengangkangi harta karun
tinggalan Oh Kiam-lam. Nah, betul
tidak ucapanku?”
Kembali Kiau-kiau berjingkrak murka dan berteriak-teriak,
"'Omong kosong, ngaco-belo belaka, Kamu memfitnah!
Dengan maksud baik kuselamatkan kalian, dengan setulus hati
aku ingin hidup bersamamu sampai tua, mengapa kamu
berbalik sembarangan omong mengenai tindakanku? Apabila
kamu menyangsikan kejujuranku, baiklah, biar kupergi saja”.
Habis berkata, dengan cepat ia berputar terus hendak
melangkah keluar. Namun Bun-hiong lantas pentang kedua
tangan dan merintanginya,
"Eh, nanti dulu, tunggu sebentar'" Kata anak muda itu dengan
tertawa
"Memangnya kau mau apa?” teriak Kiau-kiau dengan gusar
"Kau bilang dengan setulus hati ingin hidup bersamaku hingga
tua, jika betul begitu, hendannya dapat kau beri bukti nyata
padaku” kata Bun-hiong
"Memangnya kau minta bukti nyata apa ?. Apa perlu kukorek
hatiku untuk diperlihatkan padamu!" kata Kiau-kuau.
Bun-hiong menggeleng kepala ia berpaling kepada Hoa-loji
dan berucap, "Hoa-losiansing bilamana ada racun di dalam mi
pangsit, apakah dapat engkau mengujinya?"

“Tentu saja dapat," kata Hoa-Ioji, Sembari berkata ia lantas
mengeluarkan sepasang sumpit perak, lalu mendekati meja
makan.sumpit perak itu segera dicelupkan ke dalam mi
pangsit itu
Mendadak Loan Kiau-kiau membentak murka, sebelah tangan
bergerak, dari jauh ia hantam Pang Bun-hiong. Tampaknya dia
seperti memukul dari jauh yang benar menghamburkan am-gi
atau senjata rahasia. Cepat Bun hiong mengegos ke samping
jari tangan kanan terus terangkat ke atas, dengan tepat
sebuah tusuk kundai kemala dapat dicepitnya.
"Hah, ada berapa banyak senjata rahasia yang kau bawa
boleh coba hamburkan seluruhnya," kata Bun-hiong dengan
tertawa. Air muka Kiau-kiau berubah hebat, kembali la
membentak nyaring, kedua tangan bekerja sekaligus terus
menubruk maju tampaknya ia menjadi nekat dan ingin
mengadu nyawa.
Namun baru saja ia menubruk maju, tahu-tahu roboh
terbanting, "blang", hanya berkelojotan beberapa kali, lalu
tidak bergerak lagi. Kiranya tepat di tengah keningnya
tertancap oleh tusuk kundai, cukup dalam tusuk kundai itu
ambles ke dalam kepala sehingga hampir lenyap, terlihat
darah tegar menitik keluar dari lukanya.
Bun-hiong menghela napas, ucapnya pelahan. “Kamu
sebenarnya seorang perempuan cantik, bilamana kamu
mengerti cara hidup layak tentu kamu dapat hidup dengan
bahagia "
It-hiong memberi tanda kepada kawannya itu, "Lekas kau
seret mayatnya keluar, aku tidak suka melihat dia lagi."

Bun-hiong tersenyum, ia berjongkok dan menyeret mayat
Kiau-kiau keluar, tapi belum lagi keluar pmtu, di mana ia
memandang, seketika ia melenggong. Kiranya pada saat itu
juga di depan pintu kamar muncul seorang kakek. Ternyata
kakek ini bukan lain daripada Tui-beng poan-koan Toh Po-sit.
Kemunculan, Tuh Po-sit juga dilihat Liong it-hiong, dengan
tercengang ia berdiri dan menyapa.
“Toh-lociaopwe, engkau tidak meninggal?"
Wajah Toh Po-sit menampilkan senyum misterius, jawabnya
pelahan, "O, tidak, aku tidak mati. Selama hidupku bersusah
payah da belum pernah menikmati kehidupan yang
menyenangkan mana boleh kumati begitu saja?"
Kejut dan girang Liong it-hiong, serunya "Tetapi mengapa
….mengapa Oh Kiam-lam bilang engkau sudah meninggal?"
"Ah, dia membual." kata Toh Po-sit menggeleng. "Aku cuma
terkena suatu pukulannya dan jatuh terjerumus ke dalam
danau "
"Ah, bagus," kata It-hiong. "Oh Kiam-lam bilang engkau
mengincar harta bendanya, tapi aku tidak pecaya kepada
ocehannya yang tidak berdasar itu "
“Tapi kamu harus percaya, sebab apa yang dikatakan itu
memang benar," ujar Tui-beng-poan-koan Toh Po-sit.
"Hahhh!" lt-hiong melenggong. "Ah, janganlah Toh-locianpwe
bergurau "
"Tidak, aku tidak bergurau," kata Tui-beng-poan-koan Toh Posit.
"Sebab aku sudah bukan

lagi Tui-beng-poan-koan yang dulu. Tui-beng-poan-koan Toh
Po-sit yang lama terlampau bodoh, selama beberapa puluh
tahun dia menjabat kepala polisi, tidak terhitung jumlahnya
penjahat yang pernah ditangkapnya, dia mengabdi bagi
kepentingan umum, berjasa bagi pemerintah, sebaliknya tidak
sedikit tokoh dunia persilatan yang dimusuhinya, banyak
gembong penjahat yang dendam padanya, namun apa
manfaat yang dipetiknya?''
“Tidak ada, sama sekali tidak ada. Waktu dia minta pensiun,
sama sekali dia tidak mendapat anugerah apapun, tidak ada
hadiah, tidak ada pujian. Dengari tangan hampa ia
meninggalkan kota raja dan pulang ke kampung halaman.
"Sebab itulah, ia masa bodoh. la tidak peduli tentang
memberantas kejahatan dan membela kaum lemah serta
mengabdi bagi rakyat jelata apa segala, semuanya, itu cuma
omong kosong belaka. Jadi bertekad akan mencari rejeki
besar, ia ingin hidup nikmat sebaik-baiknya "
It-hiong berkerut kening mendengar ucapan orang tua itu,
katanya, "Jadi, maksud tujuanmu tidak ada lain kecuali ingin
merampas harta karun tinggalan Oh Kiam lam itu?'
"Betul, hartanya kan juga hasil merampok, harta benda yang
diperoleh secara tidak halal, bila ku ambil dari dia kan tidak
merugikan pihak lain ?” kata Toh Po-sit.
"Ah, engkau salah," kata It-hiong. “Bahwa sejak mula ku rela
bekerja bagimu, apakah engkau tahu apa sebabnya?"
"Aku tidak tahu coba jelaskan." pinta Tui-beng-poan-koan Toh
Po-sit
"Yaitu lantaran ku hormati dirimu, ku segan padamu
mengingat jasa-jasamu yang sering kudengar," tutur It-hiong.

"Apa yang pernah kau lakukan itu telah mendapatkan
penghormatan dan kekaguman orang banyak, ini jauh lebih
berharga daripada harta benda.”
“Tidak, omong kosong” ucap Toh Po-sit.
"Nama baik kan tidak dapat dimakan, tidak dapat membuat
perut kenyang''
"Tapi betapapun engkau kan tidak perlu kuatir tidak bisa
makan'' ujar It-hiong "Jika engkau sampat tidak bisa makan,
tentu sudah lama engkau mati kelaparan "
Mendadak Toh Po-sit menarik muka, jengeknya, "Hm,
pokoknya tidak ada maksudku hendak bicara peraturan
denganmu. Aku cuma ingin bicara suatu bisnis padamu "
“Tidak, tidak ada bisnis apapun yang dapat dibicarakan,'
jawab It-hiong dengan ketus sambil menggeleng.
Tui-beng-poan-koan melirik sekejap Oh Beng-ai yang
ternggetak di tempat tidur itu. lalu berucap dengan dingin.
"Ada semacam obat mujarab padaku yang dapat
menyelamatkan jiwa budak itu apakah kau mau?"
"Obat apa'' Dan bagaimana syaratnya?" tanya It-hiong dengan
hati tergetar
"Mudah saja," jawab Tui-beng-poan-koan Toh Po-sit. "Segera
kalian angkat kaki dan sini dan sama sekali tidak boleh ikut
campur urusanku “
"Oo, atau dengan lain perkataan, engkau hendak
menggunakan semacam obat penyelamat Oh Beng-ai untuk
menukar segenap harta karun tinggalan Oh Kiam-lam,
begitu?” It-hiong menegas.

"Ya betul, pinter juga kamu.” jawab Tui-beng-poan-koan Toh
Po-sit sambil mengangguk
"Dan bilamana kutolak ?" kata It-hiong
"Wah, jika begitu, terpaksa harus ditentukan secara
kekerasan." kata Tiu-beng-poan-koan Toh Po-sit,
Mendadak Liong It-hiong bergelak tertawa, katanya "Hahaha
untung aku tidak jadi mengangkat guru padamu, sebab itulah
pertarungan ini tidak sulit untuk dilangsungkan "
"Tapi hm, urusan ini menyangkut keselamatan jiwamu,
sebaiknya kau pikirkan lagi lebih masak " jengek Tui-beng
poan-koan Toh Po-sit.
"Kukira tidak perlu pikir apa lagi, ucap It-hiong. "Marilah,
boleh kita bereskan di lapangan luar sana "
“Baik.ayo keluar,'' kata Toh Po-sit.
Segera ia mendahului membalik tubuh dan melangkah keluar.
It-hiong melolos pedangnya dan menyusul keluar menuju ke
lapangan. Dengan suara tertahan Bun-hiong berkata kepada
Hoa-loji,
"Hendaknya kau jaga nona Oh dengan baik.aku harus keluar
dan membantunya sekuat tenaga "
Habis bicara mayat Loan Kiau-kiau diseret keluar terus
menyusul ke lapangan untuk membantu Liong it-hiong. Ketika
ketiga orang sampai di lapangan, banyak kawanan liaulo juga
sudah ikut berkerumun di Iapangan yang luas itu untuk
menonton pertempuran.

Kawanan liaulo itu sekarang mengambil sikap netral, mereka
ingin menunggu dan melihat dulu hasil pertarungan itu.
Setelah membuang mayat Loan Kiau-kiau segera Bun-hiong
mendahului bicara, "Toh-losiansing, aku pun ingin belajar
kenal dengan kungfumu yang terkenal “.
"Hah, bagus, boleh saja'" jawab Toh Po-sit dengan tertawa
"Jago kelas tinggi serupa Kim-kong Taisu dan Koh-ting Tojin
saja sudah ku bunuh, masa menghadapi dua anak muda
serupa kalian tidak mampu kubereskan?”
"Oo..apa betul? Engkau benar telah membinasakan Kim-kong
Taisu dan Koh-ting Tojin?”Bun-hiong menegas dengan
terkejut.
"Kenapa tidak benar? Kalau tidak percaya boleh kau periksa
mayat mereka di bawah gunung." kata Toh Po-sit.
Diam-diam Bun-hiong terkejut, tapi ia berlagak tertawa dan
berkata, "Jika mereka dapat kau bunuh, suatu tanda
kungfumu memang luar biasa. Jika sekarang kami berdua
menghadapi engkau seorangkan juga pantas "
Begitu selesai ucapannya, serentak pedang terangkat, secepat
kilat ia lantas menusuk muka orang tua itu. Cepat Toh Po-sit
menggeser ke samping, berbareng tangan kiri balas
memotong pergelangan tangan Bun-hiong.
Melihat mereka sudah bergebrak, It-hiong tidak tinggal diam.
segara ia pun menusuk dengan pedangnya sambil membentak
"Awas serangan'"
Namun Toh Po-sit sempat berputar, sebelah kaki terus balas
mendepak. Nyata setiap gerakannya membawa tipu serangan
yang mematikan, sungguh sangat lihai. Begitulah terjadi
pertarungan sengit antara ketiga orang. Dengan satu lawan

dua tiada kelihatan Toh Po-Mt kewalahan, sebaliknya ia
menyerang terlebih gesit dan dahsyat sehingga It-hiong
berdua tidak memperoleh keuntungan apa pun.
Gelisah juga it-hiong melibat kelihaian lawan, segera ia ganti
siasat, ia tidak lagi keras lawan keras melainkan menggunakan
kelincahan ilmu pedangnya untuk mengulur waktu dan
bertempur jangka lama mengingat usia lawan yang sudah tua.
la bertekad harus menang, sebab rasa bencinya terhadap Toh
Poh-sit ini sekarang jauh lebih mendalam daripada terhadap
Oh Kiam-lam. Ia benci karena orang telah mempermainkan
dia, semula ia sangka dirinya membantu orang tua itu
melakukun tindakan terpuji siapa tahu yang diperbuatnya
sama sekali kebalikannya, hanya untuk mencapai ambisi
pribadi.
Karena rasa menyesalnya, maka serangan Bun-hiong tidak
sungkan lagi dan diluncarkan sekuat tenaga.
Beberapa puluh jurus kemudian, suatu pukulan cepat Toh Posit
tak dapat dihindarkan Bun-hiong "plak", anak muda itu
terpental beberapa tombak jauhnya
"Hei.bagaimana keadaanmu kawan'' tanya It-hiong kejut dan
kuatir.
"Huh. sempat kau perhatikan orang lain?!” jengek Toh Po-sit
sambil menubruk maju dan membentak, "Kena'"
"Plok", dengan tepat bahu It-hiong juga kena dihantamnya
dengan keras, kontan anak muda itu terjungkal. Malahan Toh
Po-sit lantas memburu maju pukulan kedua disusulkan lagi
tanpa kenal ampun. Apabila terpukul lagi, pasti jiwa It-hiong
akan melayang. Siapa tahu mendadak tubuh Toh Po-sit
gemetar dan kaku serupa terkena aliran listrik. Kedua matanya
terbelalak lebar penuh rasa

kejut dan bingung, pukulan yang sudah,dilontarkan gagal
setengah jalan.
Kiranya pada waktu roboh terjungkal tadi Liong It-hiong telah
menggunakan sarangan maut terakhir, pedng telah
disambitkan dan tepat masuk perut Tob Po-sit dan tembus.
Setelah menimpukkan pedang It-hiong terus menggelinding
jauh ke sana, waktu melompat bangun baru dilihatnya
timpukan pedangnya berhasil, rasa tegangnya menjadi
longgar. It-hiong tidak menyangka akan membunuh orang tua
yang pernah dihormatinya sebagai malaikat dewata, hatinya
terasa pedih, ia menghela napas dan berkata, "Coba lihat,
apabila engkau tahu mawas diri, tentu takkan terjadi seperti
ini "
Perlahan Toh Po-sit menengadah, kulit mukanya tampak
berkejang. ucapnya lemah "Terima kasih pudamu!”
“Terima kasih padaku?” lt-hiong menegas.
"Ya. Sudah….sudah lama aku sendiri ingin membunuh . .
membunuh Toh Po-sit yang berubah busuk, namun…namun
aku tidak sanggup turun tangan” ucap orang tua itu dengan
senyum getir.
“Tapi han ini engkau telah…telah mewakilkan diriku
membunuhnya, aku sangat . . . sangat berterima kasih " Habis
bicara, kepalanya terkulai ke bawah dan tidak bergerak lagi
Timbul perasaan bimbang dan bingung, dengan sendirinya Ithiong
dapat menangkap makna ucapan Toh Po-sit itu, hal ini
membuatnya sangat terharu. la menggeleng kepala dan
bergumam, "Selama hidup engkau berbuat kebaikkan, waktu
tua engkau justru tidak sanggup menahan nafsu angkara
murka mengapa bisa begitu?''

Sementara itu Pang Bun-hiong yang rebah di tanah itu sedang
bertanah. "Hai, kawan, coba kemari, periksalah lukaku!"
“Bagaimana terluka?” tanya It-hiong.
“Di sini," Bun-hiong meruding bagian pinggang.
Setelah diraba, Bun-hiong mengomel, "Tulangnya tidak patah
masa berkaok-kaok serupa anak kecil"
Bun-hiong merintih kesakitan.
Mendadak terdengar teriakan, "Liong-siauhiap….Liong-
Siauhiap, nona Oh sudah siuman”
Berbareng itu tampak Hoa-loji berian keluar sambil berkaokkaok.
Tentu saja It-hiong kegirangan, tanpa terasa melonjak
dan bersuit terus berlarian ke dalam rumah secepat terbang.
"Hai,apa apaan kamu, teringat pada perempuanmu lantas
tidak pedulikaudiriku lagi?!" teriak Bun-hiong.
It-Hiong menoleh sambil melambai tangan dan tertawa
ngakak.
TAMAT
Anda sedang membaca artikel tentang RAHASIA PETI WASIAT 2 dan anda bisa menemukan artikel RAHASIA PETI WASIAT 2 ini dengan url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/09/rahasia-peti-wasiat-2.html,anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel RAHASIA PETI WASIAT 2 ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,namun jangan lupa untuk meletakkan link RAHASIA PETI WASIAT 2 sumbernya.

Unknown ~ Cerita Silat Abg Dewasa

Cersil Or Post RAHASIA PETI WASIAT 2 with url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/09/rahasia-peti-wasiat-2.html. Thanks For All.
Cerita Silat Terbaik...

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar