Panji Tengkorak Darah 1

Diposting oleh eysa cerita silat chin yung khu lung on Senin, 05 September 2011

Panji Tengkorak Darah
Ko Lo Hiat Ki
Di Sadur :SD Liong
Jilid 1. Panji Tengkorak Darah (Ko-lo-hiat-ki)
Di bawah sinar rembulan yang menyinari lembah gunung Hun-tiong-san, sesosok tubuh terhuyung-huyung mendaki
tebing jurang. Ia sudah kehabisan tenaga, tetapi tetap paksakan diri merayap ke puncak gunung. Mukanya
berlumuran debu, pakaian compang-camping terkait karang tajam. Kaki dan tangannyapun penuh gurat-gurat darah
dari duri semak-semak yang jahil.
Namun pemuda yang usianya ditaksir baru 17 tahun itu rupanya seorang yang berhati keras. Dan agaknya ia tengah
melaksanakan suatu tugas penting sehingga mengharuskannya berkejar-kejaran dengan waktu.
Sekalipun dalam keadaan yang tak keruan, kepribadian pemuda itu tetap menonjol. Wajahnya cakap berseri,
lengkung alis lebat yang menaungi sepasang bola matanya menambah kesemarakan yang sedap dipandang.
Sinar matanya tajam jernih, mencerminkan perangai hatinya yang polos jujur.
Entah apa yang tengah dikerjakannya itu!
Jerih payah pemuda itu akhirnya berhasil membuatnya tiba di hutan kuburan tak berapa jauh dari puncak gunung. Tiba-
tiba matanya terbelalak ketika tertumbuk pada sehelai panji merah yang berkibar-kibar di atas puncak gunung Hun-tiong-
san itu. Mata pemuda itu berkilat-kilat memancarkan api. Musuh besarnya sudah di depan mata.
Menuntut balas!
Serasa bergolaklah darah pemuda itu, semangatnya menyala kembali. Dengan membusungkan dada segera ia
memaksakan diri menerobos ke dalam hutan. Tiba-tiba ia berhenti, termangu-mangu….
Di muka hutan itu tampak cahaya lampu berkilauan. Semula merupakan berpuluh-puluh sinar lentera sebesar tinju.
Tetapi lama kelamaan berubah merupakan sebuah pintu gerbang berbentuk tengkorak. Di atas pintu gerbang itu
memancar sederet lampu merah yang merupakan huruf Kui-bun-kwan atau pintu akhirat !
Pemuda itu menenangkan kegoncangan hatinya. Geramnya disertai tertawa hambar, "Setiap orang berkunjung ke
pintu akhirat, di akhirat tentu tambah penghuni baru ! "
“ Hm, “ ia mendengus seraya mencabut pedang yang terselip di belakang punggung, lalu melangkah lebar ke pintu
gerbang itu.
Pintu gerbang lentera itu ternyata berisi dua baris lentera hijau yang memanjnag ke dalam hutan. Rupanya
diperuntukkan sebagai petunjuk jalan bagi para tamu.
Dari gundukan kuburan yang menghias seluruh hutan tiu, samar-samar seperti tertutup kabut tebal sehingga makin
menambah kerawanan hutan. Hanya bayang-bayang pohon yang tampak dan makin ke dalam makin suram
tampaknya deretan lentera hijau itu.
Pemuda itu sudah membulatkan tekad. Dengan membusungkan dada ia melangkah maju. Tiba-tiba ia dikejutkan oleh
suara jeritan ngeri dari seorang yang tertusuk dadanya….. Betapapun ia tabahkan nyali, namun pada saat dan
suasana seperti itu, mau tak mau berdirilah seluruh bulu kuduknya.
Sesaat suara ngeri itu sirap, maka terdengarlah pula suara merintih seperti suasana penyiksaan dalam neraka.
Dikobarkan lagi semangatnya. Sambil memanggul pedang, pemuda itu melangkah maju. Tetapi langkah kakinya
sudah terhuyung-huyung, darah bergolak-golak dan pikirannyapun makin kusut. Pada saat ia tak kuat lagi
mempertahankan diri, tiba-tiba ia mendengar suara nyanyian ayat suci menggema. Nyanyian yang seola-olah
berkumandang segar dalam telinganya. Semangatnya kembali segar pula. Beberapa saat kemudian suara rintihan
iblis itupun sirap….
Ia mendongak memandang ke muka. Di antara selimut kabut, tampak 9 orang paderi berjubah merah tengah berdiri
berjajar kira-kira bebrapa tombak jaraknya. Paderi tua yang memimpin rombongan tampak melantangkan komando
untuk menghentikan nyanyian rombongannya.
“O, kiranya sudah ada orang yang mendahului aku. Entah siapakah mereka itu?” pikir si pemuda.
Tiba-tiba terdengar suara retak yang dahsyat dan sebuah makam besar tiba-tiba terbuka. Segulung asap memyemburkeluar, menyusul muncullah sesosok rangka manusia yang menyerupai mayat hidup. Rambutnya terurai ke bahu,
wajahnya seram, mengenakan pakaian longgar warna putih. Ia tertawa meringkik seperti burung hantu berbunyi di
tengah malam, kemudian berseru dalam nada tinggi, “ Ah, tak kecewalah lo-siansu menjadi paderi suci dari kuil Siau-
lim-si sehingga dapat bertahan menerima ilmu Mo-in-kiu-coan ( Sembilan suara iblis )!”
Ia mengangkat kedua tangan memberi hormat, katanya lebih lanjut, “Kami memang siap menanti kedatangan para
tetamu. Silakan ikut!”
Pemuda tadi terkejut. Benarkah di dalam rombongan paderi itu terdapat ketua Siau-lim-si? Kalau benar, iblis pemilik
panji tengkorak darah yang tersohor dengan julukan Hun-tiong-sin-mo ( Iblis sakti dari Hun-tiong-san) itu pasti
hancur lebur!
Tak ragu lagi, iapun segera mengikuti rombongan paderi itu melangkah masuk. Kira-kira sepuluhan tombak jauhnya,
mereka tiba di sebuah lapangan kosong yang luas. Lapangan ini tertutup oleh rumput halus dan diterangi oleh lampu
yang terang-benderang. Jauh sekali bedanya dengan suasana makam di hutan tadi, apa yang merka hadapi ialah
sebuah lapangan perayaan pesta!
Sekalipun begitu, tempat ini yang sekeliling empat penjuru ditumbuhi pohon-pohon tinggi itu tetap memberi kesan
yang seram, karena seolah-olah seperti berada di sebuah daerah iblis dan hantu.
Di sudut lapangan muncullah dua rombongan orang yang wujudnya seperti orang yang menjadi penunuk jalan tadi.
Rambutnya terurai ke bahu, berpakaian serba putih dan berwajah seram.
Di belakang rombongan manusia-manusia seram itu muncullah seoprang dalam pakaian warna hitam, mengenakan
kerudung muka warna biru. Perawakannya langsing kecil. Perlahan-lahan ia ayunkan langkah dan berhenti di tengah
lapangan. Di luar dugaan, di belakang orang berbaju hitam itu ikut seorang dara berbaju merah darah. Sikapnya
lincah, parasnya secantik bidadari, wajah berseri sesegar bunga mekar di pagi hari…
Namun pemuda tadi tidak terpengaruh oleh paras si dara. Darahnya tetap mendidih oleh api dendam kesumat. Diam-
diam ia memaki, “Hun-tiong-sin-mo, malam ini adalah hari terakhirmu!”
Sekalipun begitu tak urung timbul juga rasa herannya. Konon kabarnya Hun-tiong-sin-mo itu seorang iblis ganas,
seorang tua yang tiada sanak saudara. Mengapa ia membawa seorang dara? Siapakah dara itu?
Sesaat kemudian terdengar paderi tua yang rupanya menjdai pemimpin rombongannya mengucap salam keagamaan,
ujarnya,”Aku paderi Bu Ceng, bersama 8 tianglo (paderi tua) dari kuil Siau-lim-si mohon bertemu dengan Jun Ih
sicu!”
Orang berbaju hitam itu tertawa kecil, serunya, “Sungguh besar sekali peruntungan hari ini dapat menerima
kunjungan para paderi suci dari Siau-limsi!”
“Apakah sicu ini Jun Ih-hui yang bergelar Hun-tiong-sin-mo?” penuh keheranan paderi Bu Ceng bertanya.
“Begitulah, “ orang berbaju hitam tertawa.
Pemuda tadipun terbeliak heran. Mengapa yang begitu kondang sebagai momok ganas, ternyata bertubuh demikian
kecil dan mempunyai nada suara seperti wanita?
Hun-tiong-sin-mo tertawa berderai-derai, ujarnya, “Berbahagialah aku malam ini karena bakal dapat menerima
pelajaran dari ajaran guru agung Tat Mo yang mendirikan Siau-limsi. taysu adalah tetamuku, maka kupersilakan
taysu mengatakan cara pertandingan yang taysu kehendaki!”
Bu Ceng merangkapkan kedua tangan, berseru nyaring, “Kedatangan kami kemari bukan bermaksud hendak
mebgikat permusuhan dengan sicu. Melainkan hanya sekedar hendak memberi nasehat agar sicu kembali ke jalan
yang suci, jangan tersesat dalam penghidupan yang berlumur darah. Ketahuilah bahwa hukum karma itu selalu
menuntut….”
Hun-tiong-sin-mo menukas dengan tertawa-tawa, “Kata-kata emas dari taysu akan kuukir dalam hati sanubari…” tiba-
tiba ia merubah nadanya menjadi garang, “Tetapi sudah menjadi tradisi berpuluh tahun bahwa barang siapa yang
masuk ke Gerbang Neraka sini tentu takkan keluar lagi. Karena taysu segan bertempur, maka silakan saja segera
bunuh diri. Tentang jenazah taysu sekalian, nanti akan kusuruh orangku mengantarkan ke kuil Siau-lim-si!”
Selesai berkata, ia perlahan-lahan mengacungkan tangan ke atas. Dari lapisan kabut, muncullah rombongan orang
berpakaian putih. Setiap dua orang memanggul sebuah peti mati. Semua berjumlah 9 buah peti mati. Peti-peti itu
ditaruh di tengah lapangan.
Berubahlah seketika wajah paderi Bu Ceng dan rombongannya. Hampir tak dapat Bu Ceng mengusai amarahnya,
seketika ia berseru, “Jangan sicu terlalu mendesak padaku. Camkanlah, aku datang dengan itikad baik.!”
Hun-tiong-sin-mo melangkah maju tiga tindak, bentaknya,” Taysu segan turun tangan, enggan pula membunuh diri.
Terpaksa aku harus bertindak!”Diangkatnya tinju perlahan-lahan, siap hendak dipukulkan.
Bu Ceng mengucap doa, kemudian menghela napas, “Karena sicu tetap tidak mau sadar, terpaksa aku hendak minta
pengajaran barang 8 jurus.”
Sin-mo menurunkan tinjunya dan tertawa, “Dalam 3 jurus jika tak dapat mengambil jiwamu, aku akan bunuh diri.!”
Bu Ceng terkesiap. Di dunia persilatan, yang mampu bertahan 9 jurus serangannya hanya berjumlah sedikit. Tetapi
kini Sin-mo telah membuka mulut akan mengammbil jiwanya dalam 3 jurus. Benar-benar ia tak habis mengerti…
Ketua Siau-lim-si itu tersenyum lalu gerakkan tangan mendorong perlahan-lahan. Memang tampaknya tak bertenaga
pukulan itu dilancarkan, tetapi hebatnya tiada tara.
Itulah jurus Ngo-lui gui-san ( 5 petir membelah gunung) dari ilmu pukulan Tat-mo-ciang yang sakti. Angin
bergemuruh laksana petir menyambar. Segulung tenaga dahsyat melanda .
Iblis sakti itu tetap tegak berdiri di tempat, menyambut badai serangan. Heran, jangankan tubuhnya, bahkan
pakaiannyapun tak berkibar oleh badai pukulan lawan. Seolah-olah gelombang tenaga lawan terbelah dua dan lalu di
sampingnya…
Serasa terbanglah semangat Bu Ceng menyaksikan keanehan itu. Tubuhnyapun menggigil. Hun-tiong-sin-mo tertawa
mengejek. Tiba-tiba ia ulurkan tangan meutuk dengan sebuah jari. Cepat dan tepat sekali tutukan jari mengenai dada
si paderi. Dan tergempurlah kuda-kuda Bu Ceng sehingga ia menyurut selangkah mundur. Segumpal darah segar
menyembur dari mulutnya….
Kedelapan paderi tianglo tak keburu memberi pertolongan lagi. Tiba-tiba Bu Ceng apungkan tubuhnya, ia
merentangkan kelima jari dan mencengkeram dada lawan.
Itulah yang disebut Tat-mo-ci atau Jari Tat-mo. Kelima jari itu dapat menembus batu yang bagaimanapun kerasnya.
Karena dalam gebrakan pertama menderita luka dalam yang berat, maka Bu Ceng segera mengeluarkan ilmu
simpanan, ia berusaha menebus kekalahannya.
Tetapi momok dari gunung Hun-tiong itu memang luar biasa. Hanya dengan mengebutkan lengan bajunya saja, maka
tekanan jari Bu Ceng dapat ditahan. Serempak dengan itu, suatu tenaga membal melontar keras dan terpentallah Bu
Ceng sampai dua tombak jauhnya!
Ketua Siau-lim-si itu merasakan bumi di sekelilingnya menjadi gelap gulita dan sesaat kemudian ia tak dapat berkutik
lagi….
Melihat ketuanya menderita luka parah, serempak ke delapan tianglo dari Siau-lim-si segera loncat menerjang Sin-
mo.
“Berhenti! Aku paling benci main keroyokan. Kalian tentu takkan terkubur tanah lagi!” bentak Hun-tiong-sin-mo
seraya mendorongkan kedua tangannya. Sinar merah berkilat dari kedua telapak tangannya. Jangan memandang dia
bertubuh kecil, tetapi tenaga pukulannya amatlah hebat laksana petir menyambar.
Sebelum kedelapan tianglo itu sempat membuka serangan, mereka serasa tersambar petir sehingga kocar-kacir
terkapar malang-melintang di tanah. Sungguh mengerikan sekali, tubuh kedelapan tianglo itu hancur lebur di bawah
pukulan Cek-kui-sin-ciang atau Pukulan sakti membunuh hantu.
Hun-tiong-sin-mo menghampiri perlahan-lahan ke tempat Bu Ceng tergeletak, ujarnya, “ Telah kukatakan bahwa
dalam tiga jurus tentu akan kucabut jiwamu. Nah, terimalah pukulan pengantar ke akhirat ini! “ Tangannya pun
segera diulur untuk menutuk.
Bu Ceng tak berdaya lagi, ia memeramkan matanya menunggu ajal. Sekonyong-konyong si pemuda baju biru tadi
lompat menerjang Sin-mo. “ Jangan mengganas, setan tua ! “
Hun-tiong-sin-mo menarik tubuhnya dan mendengus,”Hm, kaupun hendak menantang aku?”
Karena tidak ditangkis, pemuda itu lipat gandakan tenaga tusukan pedangnya. Tetapi ketika hampir menyentuh tubuh
Sin-mo, tiba-tiba pedangnya terpental balik. Sedemikian keras tenaga membalik yang keluar dari tubuh Sin-mo
sehingga si pemuda terpental sampai setombak jauhnya, pedangnyapun melayang terlepas dari tangannya.
Namun pemuda itu tetap ngotot, ia melompat bangun dan menyerang lagi.
“Jawab dulu pertanyaanku tadi!” bentak Hun-tiong-sin-mo.
“Membalas sakit hati!” teriak si pemuda.
“Apa aku bermusuhan denganmu?” tegur Hun-tiong-sin-mo.
“Musuh besar!” si pemuda menggeram penuh dendam.” Tiga turunan keluarga yang terdiri dari 40 orang lebih telah
kau binasakan sampai ludas….” ia tak dapat melanjutkan kata-katanya karena tersekat oleh isakan harunya.
Di luar dugaan, Hun-tiong-sin-mo bukannya marah, malah tertarik, tanyanya, “Kapan?”
“70 tahun yang lalu!”
Hun-tiong-sin-mo terkesiap,serunya,” 70 tahun yang lalu…… Ah, aku tak ingat lagi!”
“Kau yang biasa membunuh jiwa manusia mungkin sudah lupa. Tetapi hanya 3 hari yang lalu kau bunuh ibuku lagi!”
“Ngaco!” bentak Sin-mo, “sudah 3 bulan tak keluar gunung, bagaimana aku dapat membunuh ibumu?”
Si pemuda tertawa menghina, “Setan tua, begitu saja kau tak berani mengakui ? “Marah sekali iblis itu, “Berpuluh tahun ini, entah sudah berapa banyak tokoh-tokoh silat yang binasa di tanganku.
Mengapa aku tak berani mengakui pembunuhan ibumu?”
Ia berhenti sejenak, serunya pula,”Hai, siapakah namamu?”
“Kang Thian-leng!” sahut si pemuda seraya mengeluarkan sehelai bendera kecil terus dilontarkan ke muka Sin-mo,”
Itu milikmu bukan?”
Bendera itu berbentuk segi tiga, bentuknya seperti bendera besar yang berkibar di puncak gunung. Itulah bendera
lencana yang ditinggalkan Hun-tiong-sin-mo sebelum atau sesudah membunuh orang.
“Dari mana kau peroleh bendera itu?” Hun-tiong-sin-mo keheranan.
“Pada tiga hari yang lalu, berada di samping jenazah ibuku!” geram pemuda itu. “Aneh! Aneh sekali! Harus kuselidiki…
“ Sin-mo berhenti sejenak, lalu ia berseru tajam, “Kali ini akan kubuat pengecualian. Mengingat kau masih begini
muda, kurang pengertian, maka akan kuberi engkau kedudukan sebagai salah seorang penjagaku!”
“Aku Kang Thian-leng ingin sekali mengunyah dagingmu, membeset kulitmu. Siapa sudi menjadi hambamu!” teriak
Kang Thian-leng kalap.
“Budak , apakah kau ingin mati?” Sin-mo murka sekali.
Kang Thian-leng tertawa geram, “Kang Thian-leng sudah sedia mati, tetapi kaupun jangan harap hidup sampai besok
pagi!”
“Hun-tiong-sin-mo terkesiap. Sambil menuding mayat-mayat paderi Siau-limsi yang bergelimpangan di tanah, ia
berseru,”Apakah kau lebih lihay daripada mereka?”
Kang Thian-leng melangkahkan kaki ke muka, serunya, “Dalam ilmu kepandaian, mungkin aku bukan tandinganmu.
Tetapi saat ini aku membawa hadiah yang akan membuat kita berdua mati bersama!”
Kata-kata itu ditutup dengan sebuah gerakan mengebut lengan bajunya yang kiri. Seketika berhamburanlah asap
hitam memenuhi lapangan.
“Kutu beracun..!” Hun-tiong-sin-mo menjerit kaget. Cepat ia menampar dengan tangan kiri, “Bangasat, kau berani
membokong aku?”
Memang Thian-leng diam-diam telah membekal sebotol Pek-tok-jong ( kutu beracun). Ia sudah siap mati bersama
musuhnya. Ia lontarkan botol itu kepada musuhnya, tapi iapun tak mau menghindar dari tamparan Sin-mo. Mulutnya
terasa manis-manis amis, hidungnya menghisap suatu hawa apek yang menyerang ke ulu hati.
Betapa girangnya tadi ketika melihat timpukan botolnya telah mengenai sasarannya. Baru ia hendak tertawa
merayakan kemenangannya, tiba-tiba tamparan Sin-mo telah membuatnya terlempar ke udara….
Begitu marahnya Sin-mo saat itu, sehingga ia loncat hendak menyongsong jatuhnya tubuh anak muda itu dengan
pukulan maut yang akan mencerai-beraikan tubuh si anak muda.
Sekonyong-konyong darah Sin-mo tersirap kaget. Tangan yang sudah siap diluncurkan itu tidak dilanjutkan,
melainkan dibuat menyambuti tubuh Thian-leng, terus dipondong dan dibawa lari… Aneh....aneh.!.
Ternyata iblis itu melihat sesuatu yang mengejutkan hatinya. Ketika mendongak hendak menghancurkan Thian-leng,
tiba-tiba matanya tertumbuk pada sebuah tahi lalat merah sebesar kedele. Itulah yang membuat dada Sin-mo
berdebar keras, hatinya memukul sehingga ia merobah rencananya.
Pada saat Hun-tiong-sin-mo sedang menghancurkan Bu Ceng dan rombongan paderi Siau-lim-si tadi, dara berbaju
merah tertawa mengikik dan beberapa kali bicara bisik-bisik dengan bujang wanitanya yang berbaju kuning. Apa yang
terjadi di tengah lapangan itu baginya merupakan sebuah pertunjukan yang menggembirakan. Barulah ia terkejut
ketika Kang Thian-leng menimpuk botol kutu beracun dan Hun-tiong-sin-mo menghantam pemuda itu, tetapi tiba-tiba
membawanya lari. Buru-buru dara itu bergegas mengikuti langkah Hun-tiong-sin-mo…
Hun-tiong-sin-mo membawa Thian-leng ke dalam sebuah ruangan batu yang terletak di bawah tanah istananya.
Thian-leng diletakkan di sebuah ranjang yang beralaskan kasur empuk. Kemudian ia menyuruh si dara baju merah
dan bujang baju kuning mengambil obat Tay-hoan-tan.
Dara baju merah terkejut melihat tubuh Thian-leng berlumuran dara, namun ia tak berani banyak mulut. Dari dinding
tembok ia mengeluarkan sebuah botol kecil terbuat dari batu kumala hijau. Hati-hati sekali ia berikan botol itu kepada
Sin-mo.
Botol kumala itu berisi hanya 5 butir pil warna merah. Hun-tiong-sin-mo mengambil sebutir lalu disisipkan ke mulut
Thian-leng, setelah itu iapun menelan sebutir.
Kedengaran ia menghela napas, “Jika tak ada pil Tay-hoan-tan ini, entah bagaimana jadinya diriku malam ini. Pek-
tok-jong merupakan benda mukjijat di dunia persilatan. Eh, entah mengapa budak ini bisa memperolehnya…?”Dar baju merah menyeletuk, “Dia jahat sekali, lebih baik dilenyapkan saja. Mengapa kau malah memberinya pil
mukjijat itu?”
Hun-tiong-sin-mo menggelengkan kepalanya, “Nak, kau tak mengerti… aku hendak menyelidiki dirinya..” kembali ia
menghela napas seolah-olah ada sesuatu yang mengganjal di benaknya. Suatu hal yang baru pertama kali keluar dari
mulut iblis ganas yang telah merajai dunia persilatan selama 60 tahun.
Setelah minum pil Tay-hoan-tan, tak berapa lama kemudian Thian-leng pun sadar. Cepat-cepat ia meloncat bangun.
Apa yang disaksikannya saat itu membuatnya terlongong-longong terkesima.
“Kau…kau mengapa menolong aku?” serunya setelah teringat apa yang telah terjadi tadi.
Hun-tiong-sin-mo tak menyahut. Diambilnya sebutir pil lagi, ujarnya ”Pek-tok-jong yang kau bawa itu ganas sekali.
Kalau masih merasa sakit, minumlah pil ini lagi tentu selamat.!”
Nada ucapannya mengandung pengaruh yang besar, sehingga Thian-leng tak kuasa menolak. Benaknya penuh diliputi
oleh berbagai pertanyaan yang tak dapat dijawabnya. Siapakah sebenarnya Hun-tiong-sin-mo ini?
“Kau hendak melepaskan aku atau akan menjadikanku penjaga kuburan?” tanyanya.
Sahut Hun-tiong-sin-mo dengan nada tegas,”Kali ini hendak kubuat pengecualian pada peraturan yang telah
kujalankan selama 60 tahun. Ya, kau boleh tinggalkan gunung ini!”
Thian-leng, bahkan si dara baju merah terbeliak kaget. Malah si bujang baju kuning merintih perlahan. Mereka
menatap ke arah wajah Sin-mo yang tertutup kerudung sutera hijau.
Entah girang, entah sedih, tak tahulah Thian-leng perasaan yang berkecamuk dalam hatinya saat itu. Meluncurlah
pertanyaan heran dari mulutnya, “Kau tak kuatir aku akan melakukan pembalasan lagi?”
Hun-tiong-sin-mo ganda tertawa, “Silakan saja kalau kau mempunyai kepandaian!”
Thian-leng membanting kakinya, “Kang Thian-leng seorang manusia yang dapat membedakan budi dengan dendam.
Pertama kali, tentu akankubalas budimu memberi obat padaku ini. Kemudian barulah kulaksanakan tujuanku
melakukan pembalasan padamu, demi untuk melampiaskan sakit hati keluarga Kang.”
Tiba-tiba Hun-tiong-sin-mo melambaikan tangan, “Bwe Hiang, antar dia keluar!”
Si bujang baju kuning mengiyakan, lalu mengajak Thian-leng pergi. Belum lama berjalan, tiba-tiba Hun-tiong-sin-mo
berseru,” Berhenti!”
“Setan tua, kau menyesal?” Thian-leng tertawa mengejek.
“Tak pernah kusesali apa yang telah kulakukan,” agak kurang senang Sin-mo menyahut, “Aku tak mengharap balas
atas pertolonganku tadi. Yang kuminta hanyalah, janganlah kau katakan sepatahpun juga apa yang kau lihat di sini
kepada orang lain!”
“Baik, kuberikan janjiku,” sahut Thian-leng.
“Pergilah!” seru Hun-tiong-sin-mo dengan nada garang kerontang, lalu ditutup dengan sebuah helaan napas panjang.
Lama nian ia tegak mematung di ruangan itu. Sekalipun tidak dapat melihat perobahan kerut wajahnya yang
terbungkus kain kerudung, namun dapat dipastikan bahwa iblis itu sedang dilanda oleh renungan hatinya….
Si dara baju merah memberanikan diri menghampiri dan menempelkan diri ke bahu Sin-mo, ujarnya,”Mengapa hari
ini aneh sekali sikapmu?”
Sin-mo menghela napas perlahan. Tiba-tiba ia berbisik-bisik ke dekat telinga si dara. Tampak wajah dara itu
membesit kerut kemarahan, keheranan dan kegelisahan. Akhirnya ia mengangguk-anggukkan kepala, mulut
menyungging senyuman…
Sementara itu Thian-leng yang mengikuti si bujang baju kuningpun keluar dari sebuah kuburan besar. Ternyata ia
berada di lapangan tadi pula. Lapangan itu sunyi senyap, melainkan hanya terdapat 9 buah peti mati tadi yang
berjajar di tengah-tengah lapangan. Ketika lewat di hadapan peti-peti mati itu, timbullah rasa duka di hati thian-leng.
Peti-peti itu belum ditutup. Dalam setiap peti membujur sesosok mayat. Sekonyong-konyong mayat yang berada
pada peti mati terakhir menggeliat-geliat berusaha duduk. Serasa terbanglah semangat Thian-leng melihat kejadian
itu. Tapi demi dilihatnya mayat hidup itu ialah Bu Ceng Taysu, tenanglah hatinya.
Bu Ceng memang menggeliat duduk. Wajahnya menghitam, sepasang matanya redup. Ia berusaha mengeluarkan
sebelah tangannya, “Tolong…sicu sampaikan… berita …pada ……..Siau-…...lim-si….”
Melihat tangan paderi itu seperti menggenggam sebuah benda yang seperti hendak diberikan kepadanya, tergeraklah
hati Thian-leng. Buru-buru ia menyambuti terus dimasukkan ke dalam baju.Bluk, rupanya setelah menyampaikan pesan terakhir Bu Ceng jatuh ke dalam peti mati lagi.
Tiba-tiba Thian-leng tercekam oleh suatu perasaan ngeri. Nyata kematian paderi Siau-lim-si itu bukan dikarenakan
pukulan Hun-tiong-sin-mo, tetapi oleh karena taburan Pek-tok-jong.
“Tolol, mengapa tak lekas jalan!” melihat Thian-leng berhenti, si bujang baju kuning
segera menariknya.
Thian-leng seperti ditarik oleh suatu tenaga yang kuat, sehingga di luar kehendaknya ia terseret ke muka…
Saat itu terdengar kentongan malam sayup-sayup bertalu 4 kali. Malam kelam, bintang-bintang bersembunyi,
rembulan malu-malu mengintip di balik awan. Tiba di gerbang tengkorak, bujang baju kuning itu segera kibaskan
tangannya, “Silakan pergi sendiri, aku akan kembali!”
Bujang itu segera berputar tubuh dan lari . Thian-leng terlongong-longong. Sebenarnya ia hendak mengorek
ketrangan dari mulut bujang itu, tapi kecele. Ia hanya dapat menghela napas dan ayunkan langkah.
Sekalipun terkena Pek-tok-jong dan pukulan Hun-tiong-sin-mo, tapi karena sudah minum pil Tay-hoan-tan yang
mukjijat, bukan saja tak merasa sakit, iapun merasa bertambah segar dan bersemangat. Gerak langkah kakinya tak
dihiraukan karena pikirannya tengah melayang kembali pada peristiwa di dalam sarang Hun-tiong-sin-mo tadi. Bu
Ceng adalah ketua kuil Siau-lim-si yang memiliki kesaktian tkuil termasyur. Namun hanya dalam 3 jurus saja sudah
binasa di bawah pukulan Hun-tiong-sin-mo. Ah, apalagi dirinya… dan bukankah ia berhutang budi pada iblis itu?
Tiba-tiba ia ingat akan benda pemberian Bu Ceng. Segera dikeluarkannya benda itu, ah, sebuah giok-pay (lencana
kumala) sedikit lebih kecil dari kepalan tinju. Permukaan lencana berukirkan sebuah gambar Buddha yang indah.
Kumala itu bersih dan berkilauan.
“Jika pihak Siau-lim-si menerima giok-pay ini, mereka tentu akan menyerang Sin-mo. Ya, hanya dengan
mengharapkan turun tangannya pihak Siau-lim-si, dapatlah Hun-tiong-sin-mo tertumpas. Kalau hanya mengandalkan
kepandaianku, mungkin seumur hidup tak nanti dapat kulampiaskan sakit hatiku, “ pikir Thian-leng.
Setelah menetapkan rencana, Thian-lengpun segera melanjutkan perjalanan menuju ke gunung Ko-san. Tiba-tiba ia
dikejutkan oleh suara orang batuk-batuk, buru-buru ia berpaling.
Kira-kira 2 – 3 meter jauhnya, tegak seorang tua berjubah biru. Rambut dan jenggotnya sudah putih semua,
tubuhnya tinggi besar. Dia tengah memandang lekat-lekat pada Thian-leng dengan tersenyum. Teringat bahwa
kedatangan orang tua itu sama sekali tidak menimbulkan suara, tergetarlah nyali Thian-leng. Keringat dingin
membasahi sekujur tubuh. Namun karena sudah terlanjur beradu pandang, terpaksa Thian-lengpun mengamat-amati
orang tua itu dengan tajam.
Sepasang mata orang tua itu berkilat-kilat tajam. Kedua pelipisnya menonjol keluar, pertanda dari seorang ahli yang
memiliki lwekang tinggi.
Segera Thian-leng memberi hormat dan berseru, “Lo-cianpwe…”
“Eh, siapakah namamu anak muda?” orang tua itu tertawa sinis.
Thian-leng tertegun, sahutnya, “Aku Kang Thian-leng,
mohon tanya lo-cianpwe…?”
Orang tua itu mengerutkan dahi, mengulang,” Kang …..Thian…..-….leng…!” kemudian ia tertawa sinis, ujarnya,” Belum
pernah terdengar nama semacam ini di dunia persilatan.!”
“Memang aku seorang kerucuk yang tiada ternama,” Thian-leng merendah.
Tiba-tiba kedua mata orang tua itu memancarkan sinar ganas. Ditatapnya wajah Thian-leng dengan seram, serunya
bengis,”Di hadapan seorang tua jangan suka berbohong! Mengapa kau tak brani menyebutkan namamu yang asli?”
Serentak timbullah reaksi pada Kang Thian-leng, sahutnya dengan garang, ”Seorang lelaki jalan dengan menengadah,
duduk dengan tegak. Putih kukatakan putih, hitam kubilang hitam. Aku memang Kang Thian-leng!”
“Mengapa kau keluar dari sarang Hun-tiong-sin-mo!?” bentak si orang tua dengan marah.
Thian-leng terkesiap, ia balas bertanya, “Mengapa lo-cianpwe tahu?”
Orang tua itu tertawa hina, “Sudah sehari semalam aku menunggu di sini!”
“Siapakah yang menyuruh lo-cianpwe ? “ kembali Thian-leng terbeliak.
Wajah si orang tua mengerut gelap, “Ini…. aku tak bisa menerangkan !“, setelah berhenti sejenak ia berkata pula, “
Kau tentu kaki tangan Hun-tiong-sin-mo!”Thian-leng tertawa kecut, “Kau salah paham. Benar aku dapat keluar dari sarang iblis itu, tetapi aku tak mempunyai
kepandaian apa-apa dan sama sekali bukan kaki tangan iblis itu!”
Tiba-tiba Thian-leng teringat akan janjinya kepada Hun-tiong-sin-mo, cepat-cepat dia diam.
“Ceritakan pengalamanmu masuk ke sarang Hun-tiong-sin-mo!” kembali orang tua itu mendesak.
Thian-leng menggelengkan kepala, “Maaf, aku tak dapat menceritakan hal itu.”
Mata orang tua itu memancarkan api keganasan, serunya dengan nada bengis, “Tahukah kau siapa aku ini?”
Thian-leng sudah mempunyai kesan buruk terhadap orang tua liar itu, maka menyahutlah ia dengan tawar,
“Pengalamanku kurang, tidak…..”
“Pernahkah kau mendengar tentang istana Sin-bu-kiong dan raja Sin-bu-te-kun yang termasyur itu?” tukas si orang
tua.
“Belum!”
Marah sekali orang tua itu. Tangan kanan diangkat ke atas dengan kelima jarinya terpentang. Lalu dicengkeramkan
ke dada Thian-leng.
Pucat wajah Thian-leng seketika. Pada saat ia masih terlongong-longong menghadapi ancaman maut, tiba-tiba
terdengar derap langkah mendatangi. Dari balik gerombol pohon, muncullah beberapa sosok bayangan.
Orang tua tadi terkejut dan menarik pulang pukulannya. Cepat sekali orang-orang itu muncul. Semuanya berjumlah 5
orang, dipimpin oleh seorang dara berbaju ungu. Usianya sekitar 20 tahun. Seorang dara jelita yang memikat hati.
Pengiringnya terdiri dari 4 orang tua yang dandanannya serupa dengan orang tua yang menghadang Thian-leng itu.
Orang tua yang pertama tadi segera maju memberi hormat kepada si dara jelita, serunya, “Memberitahukan kepada
ji-kongcu (tuan puteri kedua), orang ini menyebut dirinya kang Thian-leng. Sepatah katapun ia tak mau bicara
sejujurnya…. hanya mengaku memang telah keluar dari sarang Hun-tiong-sin-mo….”
“Aku sudah tahu!” si dara tertawa, lalu kisarkan pandangannya ke arah Kang Thian-leng, serunya dengan ramah,”
Kang tayhiap, berapakah usiamu sekarang?”
“Delapan belas,” sahut Thian-leng tawar.
Dara itu kedipkan mata kepada Thian-leng dan tertawa, “O, terpaut 2 tahun dengan aku. Panggillah taci padaku!”
“Mana aku berani,” dengus Thian-leng.
“Jangan sungkan..aku…. “ si dara maju dua langkah, “Namaku Ki Seng-wan, panggil saja namaku begitu.”
Thian-leng tertawa dingin dan menyurut mundur dua langkah,” Aku masih mempunyai urusan penting, maaf!”
Thian-leng terus hendak berlalu, tapi tiba-tiba dara itu menghadangnya. Wajahnya berobah masam, “Kau mau pergi?”
“Aku masih ada lain urusan, harap nona suka memaafkan!”
“Mau ke mana? Urusan apa itu!”
“Ini… tak dapat kuterangkan,” sahut Thian-leng seraya berputar tubuh.
“Orang she Kang, apakah kau sungguh tak memandang muka padaku?” Ki Seng-wan melengking marah dan
kemarahannya itu ditumpahkan dengan sebuah cengkeraman ke dada Thian-leng. Pemuda itu terkejut sekali,
cengkeraman itu luar biasa cepat dan hebatnya, sehingga sebelum ia sempat menghindar, dadanya sudah kena.
Thian-leng rasakan dadanya seperti dihantam palu godam. Dadanya bergolak seketika, kakinya goyah dan tubuhpun
terhuyung-huyung mundur 3 langkah…
Tetapi di luar dugaan, Ki Seng-wan pun kaget dan tersurut mundur sampai 3 – 4 langkah. Ia berseru tertahan, “Kim-
wi-sin-kang!”
Mendengar disebutnya Kim-wi-sin-kang atau ilmu lwekang sakti perut emas itu, kelima orang tua pengawal Ki Seng-
wan pun mundur selangkah.
Orang tua yang pertama kali mencegat Thian-leng segera berkata kepada Ki Seng-wan, “Memang sejak tadi hamba
sudah menduga dia tentu memiliki ilmu Bu-siang-sin-kang!”
Bu-siang-sin-kang ialah ilmu lwekang tanpa bayangan. Wajah Ki Seng-wan berobah dan serunya, “Lekas pulang ke
istana melapor kepada ayah baginda, bahwa Hun-tiong-sin-mo telah mengirim anak buahnya …..” kata-kata
selanjutnya diucapkan begitu perlahan sehingga Thian-leng tak dapat menangkapnya.
Pengawal tua itupun segera memberi hormat dan melesat pergi.Thian-leng termangu-mangu. Tak tahu ia apa yang disebut istana Sin-bu-kiong itu. Dan siapakah orang yang
menamakan dirinya baginda Sin-bu-te-kun. Namun melihat si dara Ki Seng-wan dan para pengawalnya itu memiliki
kepandaian sakti, Sin-bu-te-kun tentulah seorang tokoh lihay. Mungkin tak di bawah kepandaian Hun-tiong-sin-mo.
Suatu titik harapan melintas dalam hati Thian-leng tetapi secepat itupun lenyaplah. Gerak-gerik Ki Seng-wan yang
genit dan sikap para pengawalnya yang bengis, memberi kesan buruk pada Thian-leng. Ia duga Ki Seng-wan dan
pengawalnya itu tentu sebangsa gerombolan liar.
Habis membuat penilaian, diam-diam Thian-leng geli sendiri. Cengkeraman Ki Seng-wan tadi tepat mengenai giok-pay
yang ditaruh di dada. Tak heran kalau si gadis menjadi kelabakan setengah mati. Namun Thian-leng tak mau
memecahkan rahasianya, tanpa berkata apa-apa segera ia berputar dan angkat kaki.
“Kecuali kau kembali ke dalam sarangmu Hun-tiong-san, jangan harap kau dapat melarikan diri malam ini!” terdengar
Ki Seng-wan berseru memberi ancaman.
Thian-leng berpaling, dilihatnya Ki Seng-wan bersama keempat pengawalnya tengah mengejar. Mau tak mau gelisah
juga Thian-leng. Sebenarnya ia tak mempunyai kepandaian yang berarti. Dalam ginkang ia kalah jauh dari mereka,
ilmu silatpun sama saja. Adalah berkat giok-pay di dadanya itu maka ia beruntung dapat menyelamatkan diri dari
cengkeraman si nona. Tetapi hal kebetulan ini tak mungkin terjadi lagi. Manakala Ki Seng-wan menyerangnya pula, ia
pasti tertangkap.
Tambahan pula pengawal tua yang disuruh melapor pada pemimpin mereka, tentu akan segera membawa bala
bantuan. Apabila mereka datang, tak mungkin lagi ia dapat meloloskan diri!
Sekilas ia mempunyai rencana. Sebelum bala bantuan datang, si nona dan ke empat pengawalnya itu tak berani turun
tangan, karena mereka mengira ia memiliki ilmu sakti Kim-wi-sin-kang dan Bu-siang-sin-kang. Ah, mengapa ia tak
mau mempercepat larinya saja? Mungkin ia masih mempunyai harapan untuk lolos dari kejaran mereka.
Keputusan itu segera dilaksanakan. Ia mengerahkan seluruh tenaga, berlari seperti orang diburu setan. Tetapi
bagaimanapun juga, si nona dan keempat pengawalnya itu tetap membuntuti dalam jarak tertentu. Mereka tetap
berada sekitar dua tombak di belakangnya.
Mungkin sudah setengah jam lebih ia berlari mati-matian, sampai tulangnya seperti copot dari persendian. Paling
sedikit ia sudah menempuh jarak dua –tiga puluh li. Namun hatinya tetap kesal karena KiSeng-wan dan pengawalnya
tetap mengikuti seperti bayangan.
Saking jengkelnya, ia segera berlari menyusur sepanjang karang curam. Kala itu hampir menjelang fajar, namun
kabut masih mengembang tebal. Thian-leng seperti orang kalap, ia berlari asal berlari. Tak dihiraukan pula arah
tujuannya, tak dikenalnya lagi jalan-jalan yang harus ditempuh. Setelah berputar-putar beberapa kali di lereng
gunung, akhirnya ia limbung. Tak dapat diketahuinya lagi mana timur barat, mana selatan utara. Matanya semakin
remang memandang kabut tebal. Terpaksa ia kendorkan larinya dan dengan begitu jarak Ki Seng-wan serta
pengawalnya makin mendekat. Dari dua tombak kini hanya tinggal terpisah satu tombak saja.
Thian-leng sudah mandi keringat. Napasnyapun sudah senin kemis. Hanya karena kekerasan hatinya maka ia masih
nekad terus berlari…
Karena jaraknya semakin dekat dan kabutpun makin menipis, akhirnya rahasia diri anak muda itupun ketahuan oleh
para pengejarnya.
“Hah, lihatlah dia! Apakah orang semacam ini sesuai dikatakan mempunyai ilmu Bu-siang-sin-kang?” dengus Ki Seng-
wan.
“Hambapun berpendapat demikian,” sahut keempat pengawalnya.
Ki Seng-wan tertawa mengikik, “Hi,hi,hi , kita telah mempermainkannya. Lekas ringkus!”
Keempat pengawal itupun segera menyerbu. Thian-leng kaget sekali , perasaan ingin menyelamatkan diri telah
membuat darahnya bergolak keras. Serasa timbul suatu tenaga yang luar biasa… dan loncatlah ia ke samping…
Loncatan itu berhasil meloloskan dirinya dari sergapan keempat orang tua itu, tapi saat itu ia rasakan tubuhnya
seperti terapung di udara dan makin lama makin meluncur ke bawah…..
Ternyata ia telah terjerumus jatuh ke suatu jurang yang beratus-ratus meter dalamnya.
“Habislah riwayatku…….!” keluhnya. Namun sebelum ajal berpantang maut, ia meronta-ronta dan bergeliat-geliat.
Tiba-tiba usahanya itu berhasil. Ia seperti mencengkeram sebuah karang menonjol dan dengan mengerahkan seluruh
tenaganya ia menekan tonjolan karang itu dan mengayunkan tubuhnya ke atas. Itulah satu-satunya harapan baginya.
Di atas batu menonjol itu ternyata merupakan sebuah pintu goa. Ayunan tubuh Thian-leng itu tepat jatuh ke dalam
mulut goa. ‘Blek ..’ kembali ia tersirap kaget. Ia merasa tidak jatuh pada karang keras, tetapi menjatuhi segumpal
daging manusia yang lunak.
Rasa terkejutnya meledak ketika matanya tertumbuk pada sesosok tubuh manusia yang berdiri dengan berjungkir
balik, kepala di bawah , kaki di atas.
Ternyata di dalam doa itu terdapat seorang manusia aneh yang tengah ebrtapa. Rambut terurai kusut masai, muka
penuh ditumbuhi brewok lebat dan pakaian compang-camping tak keruan.
Benturan tadi membuat Thian-leng terkapar jatuh, sedang orang tua aneh itupun terjungkir balik. Sepasang mata
orang aneh itu berapi-api penuh dendam kebencian, seolah-olah hendak menelan Thian-leng.Thian-leng merasa bersalah, buru-buru ia bangkit hendak memberi penjelasan. Tiba-tiba orang aneh itu bergeliat
loncat berdiri dan menghantamnya. Sudah tentu Thian-leng tak kepalang terkejutnya, buru-buru ia menggelinding
menyingkir beberapa langkah.
‘Buum…’ hantaman orang aneh itu menghancurkan dinding goa, sehingga menimbulkan suara gemuruh dan
hamburan keping-keping karang. Goa terasa bergoncang keras. Dan yang lebih mengejutkan lagi, terasa suatu hawa
panas yang meranggas memenuhi ruang goa….
Sebelum Thian-leng sempat bangun, orang aneh itu sudah menyusuli lagi pukulan kedua. Tetapi ketika tinjunya
hendak dilayangkan, sekonyong-konyong tubuhnya tergetar dan mulutnya menyemburkan darah segar dan ‘bluk..’
iapun jatuh terduduk.!
Thian-leng makin terkejut,” Lo-cianpwe….. apa…kah kau terluka olehku?”
Kini barulah ia melihat jelas wajah orang aneh itu. Mukanya penuh tertutup rambut dan jenggot, tubuhnya kate,
tetapi kedua lengannya amat panjang hingga dapat menyentuh tanah. Ia hanya mengenakan cawat, sehingga mirip
orang hutan.
Dengan napas terengah-engah, orang aneh itu memaki, “ Binatang, kau telah mencelakai aku. Sayang tak dapat
kuganyang dagingmu!” Suaranya gemerontang bagai geledek.
“Aku tergelincir jatuh ke dalam jurang ini dan sekali-kali tak sengaja…”
“Jerih payahku selama 30 tahun meyakinkan ilmu sakti yang hampir selesai itu, telah kau rusak berantakan. Organ
dalam tubuhkupun morat marit, bahkan jiwaku turut kaurenggut!”
Orang kate itu terengah-engah hendak bangun dan memukul lagi. Melihat itu, Thian-leng buru-buru mencegah,
“Jangan bergerak lo-cianpwe, kau sudah ‘Cau-hwe-jip-mo’…”
‘Cau-hwe-jip-mo’ ialah istilah dalam ilmu silat yang berarti sesat napas dan salah jalan. Seorang yang meyakinkan
ilmu lwekang sakti, apabila sampai terganggu atau keliru, akan terjerumus dalam keadaan begitu. Organ tubuh
bagian dalamnya akan terguncang tak keruan, aliran darahnya akan simpang siur dan dapat menyebabkan
kelumpuhan.
“Aku hendak mengadu jiwa denganmu….huak!” si orang kate berseru, tetapi mulutnya kembali menyemburkan darah
dan jatuhlah ia ke tanah pula.
Thian-leng cemas sekali, tiba-tiba ia teringat akan sebutir pil Tay-hoan-tan pemberian Hun-tiong-sin-mo. Tanpa
sangsi lagi segera ia mengambil pil mukjijat itu dan diberikan kepada si orang kate, “Harap lo-cianpwe minum pil Tay-
hoan-tan ini !”
Orang aneh itu terbelalak kaget. ‘ Wut’, cepat ia menyambar pil itu dari tangan si anak muda,”Tay-…hoan….-tan..”
Sejenak ia mengamat-amati pil itu, lalu berpaling menatap Thian-leng pula, “Kau berikan pil ini padaku?”
“Ya, harap lo-cianpwe lekas minum. Pil ini luar biasa khasiatnya!” sahut Thian-leng.
Orang kate itu tertawa mengikik, “Hi,hi,hi, …tapi setelah sembuh ..kau tentu kubunuh!”
Thian-leng tertawa hambar, “Aku telah mencelakai
Hal 33 – 36 sobek kata yang scan ( bubengsiaucut@yahoo.com ) kalau ada yang punya tolong diinformasikan atau ke
sukantas009@yahoo.co.uk atau ke webmaster Tungning
gunung Hun-tiong-san ini. Bangsat Song-hun Kui-mo itu jeri terhadap Hun-tiong-sin-mo, dia tentu tak berani datang
kemari. Dengan begitu dapatlah aku meyakinkan ilmu sakti Lui-hwe-ciang dengan aman….” tiba-tiba ia berhenti dan
menghela napas.
Sekalipun tak dinyatakan, tetapi Thian-leng sudah dapat menangkap ke mana arah tujuan kata-kata Oh-se Gong-mo
itu. Tentulah tak lain dari suatu penyesalan tentang gagalnya meyakinkan ilmu Lui-hwe-ciang yang dijalankan selama
30 tahun ini. Thian-lengpun menyesal sekali.
“Sayang kepandaianku tak berguna, kalau tidak aku tentu dapat mewakili lo-cianpwe membasmi durjana itu dan
merebut kembali kitab pusaka lo-cianpwe!” ia menghela napas.
Tercengang Gong-mo mendengar pernyataan anak muda itu. Dipandangnya anak muda itu sampai sekian lamanya,
tiba-tiba ia bertepuk tangan dan tertawa tergelak-gelak.
Thian-leng kaget!
“Ah, mengapa aku tak memikir sampai di sini…. Buyung, jika kau sungguh-sungguh mau membalaskan sakit hatiku,
tentu akan kugembleng kau menjadi manusia sakti!”
“Aku bukan seorang kerdil, asal aku memperoleh kesaktian, tentu akan kulaksanakan pesan lo-cianpwe!” sahut Thian-
leng dengan tegas.
Sekali lagi Gong-mo memandang Thian-leng dengan seksama, katanya dengan nada puas, “Sebuah bahan yang
bagus, sukar ditemukan. Ilmu pukulan Lui-hwe-ciang yang kuyakinkan selama 30 tahun ini hendak kuberikan padamu
dalam sehari….”
Thian-leng girang-girang kaget, ia menyangsikan pernyataan Oh-se Gong-mo, tetapi tak mau ia banyak memikir lagi,
segera ia berlutut menghaturkan sembah hormatnya, “ Guru…!”Buru-buru Gong-mo menariknya bangun, “Tak usah., sekalipun kuajarkan ilmu kepandaian padamu, tetapi tak dapat
kuterima engkau sebagai murid. Karena…. meskipun kau sudah mendapat ilmu pukulan Lui-hwe-ciang tetapi belum
tentu kau dapat mengalahkan Song-bun Kui-mo. Selama 30 tahun ini, diapun tentu meyakinkan isi pelajaran dalam
kitab pusaka itu. Maka hendak kupersiapkan kau dengan cara lain lagi… ”
Ia berhenti sejenak, katanya pula, “Ilmu pukulan Lui-hwe-ciang kuterima dari seorang tokoh aneh. Tiga puluh tahun
yang lalu, beliau tinggal di dalam lembah Sing-sim-kiap di gunung Thay-heng-san. Beliau berpesan jika aku sudah
menyelesaikan pelajaran Lui-hwe-caing supaya datang ke Thay-heng-san lagi. Bila dapat memperoleh pemberiannya
sebutir pil mKong-yang-sin-tan, barulah ilmu pukulan Lui-hwe-ciang itu menjadi sebuah ilmu sakti yang tiada
tandingannya di dunia!”
Agak kecewa Thian-leng, “Entah siapa nama tokoh sakti itu. Aku belum mengenalnya….”
Oh-se Gong-mo tertawa, “Beliau she Sip bernama Uh-jong. Jarang muncul di dunia persilatan, maka namanyapun tak
terkenal. Asal kau katakan tentang pertemuanmu denganku, serta memohon supaya kau diterima menjadi murid,
berkat bahan tulangmu yang bagus, tentulah besar harapan akan diterima!”
Begitu yakin Oh-se Gong-mo dengan ucapannya sehingga asal Thian-leng dapat menjumpaitokoh Sip Uh-jong, tentu
akan memperoleh ilmu kesaktian yang dapat melaksanakan cita-cita untuk melakukan pembalasan kepada Song-bun
Kui-mo.
“Bagaimana kepandaian Sip lo-cianpwe itu jika dibandingkan dengan Hun-tiong-sin-mo….” rupanya Thian-leng masih
meragu.
“Bahkan sakit hatimu tentu dapat terbalas juga…” tukas Oh-se Gong-mo,”tetapi aku hendak meminta
kesanggupanmu. Setelah kau memahami ilmu sakti itu, pertama kau harus melakukan pembalasan untuku, kemudian
barulah kau melakukan urusanmu yang lain-lain.!”
“Baik locinpwe. Akan kubunuh Song-bun Kui-mo dulu, baru nanti Hun-tiong-sin-mo!” cepat Thian-leng memberi
pernyataan. Tiba-tiba terkilas sesuatu dalam pikirannya, tanyanya,” Tentulah lo-cianpwe pernah bertemu muka
dengan Hun-tiong-sin-mo?”
“Ya…”
“Bagaimanakah orang itu?”
“Seorang tinggi besar yang mempunyai suara seperti geledek..”
“Ah, salah…..” di luar kesadaran Thian-leng berseru. Tetapi tiba-tiba ia teringat akan janjinya kepada Hun-tiongSin-
mo. Maka tak mau ia melanjutkan kata-katanya lagi.
“Mengapa salah?” tegur Oh-se Gong-mo.
“Ah, tak apa-apa..” Thian-leng tergugu.
Untung Oh-se Gong-mo tak mau mendesak. Ia merogoh ke sebuah lubang pada dinding goa dan mengeluarkan
secarik kain warna kuning. Hati-hati sekali ia menyerahkannya pada Thian-leng, “Inilah peta letak lembah Sing-sip-
kiap. Tempat tinggal tokoh aneh itu adalah yang kutandai dengan lingkaran merah.!”
Buru-buru Thian-leng menyimpannya dalam baju.
“Buyung, sekarang aku hendak mulai mengajarkan ilmu pukulan Lui-hwe-ciang secara lisan. Dengarkanlah baik-baik!”
Oh-se Gong-mo , si kate yang pernah menggemparkan dunia persilatan saat itu mulai menerangkan tentanag
gerakan ilmu pukulan Lui-hwe-ciang. Thian-leng mendengarkan dengan penuh perhatian. Diam-diam ia membatin,”
Sekalipun aku sudah dapat mengerti jelas ilmu itu, tetapi tanpa peryakinan berpuluh tahun, tentu takkan berarti apa-
apa!”
‘Apakah juga harus mengasingkan diri selama 30 tahun seperti Oh-se Gong-mo ? Demikian pertanyaan yang
meresahkan pikiran Thian-leng.
Karena kuatir Thian-leng tak dapat menerima jelas, maka Oh-se Gong-mo mengulang sekali lagi keterangannya.
Sebenarnya Thian-leng yang berotak cerdas sudah dapat menerima seluruhnya. Begitulah kira-kira tiga jam lamanya,
barulah Oh-se Gong-mo hentikan uraiannya.
“Untuk menyempurnakan latihan Lui-hwe-ciang tentu akan menggunakan waktu tahunan…”
“Tak perlu, dalam sekejap mata akan kujadikan kau seperti tingkatanku!” tukas Oh-se Gong-mo. Tiba-tiba ia
membentak, “Lekas pusatkan napasmu, hendak kuturunkan lwekangku selama 80 tahun..!”
Thian-leng terkejut, “Tidak lo-cianpwe, jangan kau….!”
Tapi Gong-mo tak menghiraukan lagi. Segera ia mencengkeram jalan darah Khi-hay-hiat di perut Thian-leng yang tak
dapat berkutik lagi.! Serangkum arus tenaga dalam segera mengalir ke tubuh Thian-leng dengan derasnya. Terpaksa
Thian-lengpun pusatkan tenaganya untuk menyambut. Ia harus mengerutkan giginya kencang-kencang untuk
menahan rasa nyeri dari rasa panas yang merangsang hebat di tubuhnya. Ia seperti digodog dalam kuali, seluruh
ruas-ruas tulang persendiannya seperti berantakan dan akhirnya seperti terjadi ledakan hawa panas yang hebat
sehingga membuatnya pingsan.
Entah berselang berapa lama, barulah ia tersadar kembali. Ketika teringat apa yang telah terjadi tadi, serentak ia
meloncat bangun. Ah, betapa hancur hatinya manakala tampak Oh-se Gong-mo meringkuk di tanah dalam keadaan
tak bernyawa lagi. Dia telah kehabisan tenaga dalam. Di sampingnya terdapat beberapa guratan huruf, “Janganbersedih, lekas pergi ke Thay-heng-san…”
Rupanya karena kehabisan tenaga, tak dapat lagi Oh-se Gong-mo melanjutkan tulisannya. Menangislah Thian-leng
tersedu-sedan….. Setelah puas mengalirkan air mata, ia berlutut di hadapan jenazah jago tua itu dan bersumpah,
“Setelah selesai menuntut ilmu kesaktian dan membalaskan dendam, tentulah aku datang lagi kemari untuk
menguburkan jenazah lo-cianpwe.!”
Melongok keluar, kira-kira beberapa tombak dari goa itu terdapat sebuah batu yang menonjol. Terkilas suatu rencana
untuk melompat ke arah batu itu, kemudian baru mengenjot tubuhnya melambung ke atas. Tetapi ia lupa bahwa
setelah menerima saluran lwekang dari Oh-se Gong-mo, kini dirinya sudah jauh berlainan dari yang tadi. Maka
lompatannya itu bukan saja dapat mencapai, bahkan melampaui batu itu beberapa meter jauhnya, sehingga tubuhnya
meluncur turun ke bawah jurang. Ia menjerit, tapi secepat itu pula ia tenangkan dirinya. Ada sesuatu yang dirasanya
aneh, tubuhnya terasa ringan sekali. Ia coba menjejakkan ujung kakinya ke dinding karang dan serentak
menggeliatkan tubuh, ah…. ia berhasil melambung ke atas tepi jurang. Bukan main lega hatinya.
Saat itu matahari sudah terbenam, bergegas ia turun gunung. Thay-heng-san terpisah beberapa ratus li dari Hun-
tiong-san, tapi dengan kepandaian yang dimiliki sekarang, dapatlah ia mencapai tempat itu dalam dua hari.
Hari makin malam, tak tahu sudah berapa jauh ia berjalan, saat itu ia tiba di sebuah hutan lebat.
Sekonyong-konyong ia mencium angin berbau amis. Ia berhenti dan menghampiri arah bau amis itu. Di ujung hutan
ia menyaksikan suatu pemandangan yang mengerikan. DI atas sebuah jalan kecil yang berada di luar hutan, terkapar
malang-melintang belasan mayat. Tubuh mereka hancur, tulang berserakan. Sebuah bendera kecil berbentuk segi
tiga menancap di batang pohon di dekatnya. Astaga……. itulah Panji tengkorak darah, lambang kebesaran Hun-tiong-
sin-mo.!
Melihat dandanan mayat-mayat yang mengenakan pakaian ringkas dan membawa pedang, mereka tentu kaum
persilatan. Dan dari mayat mereka yang masih segar, mungkin mereka baru saja dibunuh setengah jam yang lalu.
Meluap darah Thian-leng menyaksikan kebuasan Hun-tiong-sin-mo, segera ia menerobos ke dalam hutan.Jika iblis itu
masih berada di dalam hutan ia bertekad hendak mengadu jiwa. Tetapi hutan sepi senyap, betapapun ia menjelajahi
seluruh pelosok, tetap tidak menemukan seeorang.
Untuk melampiaskan kemarahan, berserulah ia sekuat-kuatnya, “Setan tua Hun-tiong, ganas sekali kau! Pada suatu
hari kaupun bakal menjadi seperti korban-korbanmu ini. Mayatmu akan hancur berkeping-keping!”
Ia terkejut sekali ketika mendapatkan suara jeritannya itu sekeras geledek, sehingga pohon-pohon tergetar dan
burung-burung terbang berhamburan. Benarkah sekarang ia mempunyai lwekang yang hebat? Dicobanya sekali lagi
untuk menghantam sebatang pohon sebesar lengan. ‘Brak..’.. pohon itupun berderak-derak tumbang dan bekas
kutungannya hangus seperti habis dibakar! Suatu hal yang benar-beanr membuatnya terkejut dan girang.!
Tetapi kegirangannya itu berobah menjadi kesedihan lagi manakala ia kembali ke tempat mayat-mayat tadi. Betapa
sedih hati keluarga mereka. Ah, teringat akan keluarga, iapun terkenang akan seluruh keluarganya yang dibasmi oleh
Hun-tiong-sin-mo. Kematian ibunya pada 3 hari yang lalu hampir membuatnya menangis lagi…
Karena tak tahan, cepat ia hendak berlalu. Tetapi sekonyong-konyong ia kasihan akan mayat-mayat itu. Segera ia
kembali untuk membuat liang. Pada saat hendak mengubur mayat-mayat itu, tiba-tiba terdengar derap langkah orang
mendatangi. Berpaling ke arah datangnya suara, ia terkejut bukan kepalang. Belasan orang muncul dari balik hutan.
Thian-leng batalkan penguburan dan bersiap sedia.
Ternyata yang datang itu ialah si nona baju ungu Ki Seng-wan dan seorang baju hijau. Mereka membawa pengiring 8
orang tua berjubah biru.
“O, Kang Tayhiap, sungguh tak nyana kita berjumpa pula!” Ki Seng-wan tertawa genit.
Thian-leng hanya mendengus dingin.
“Apakah ini orangnya yang kaukatakan itu?” tanya si nona baju biru.
“Ya,” Ki Seng-wan mengiyakan, “dia luar biasa anehnya. Sebentar bisa ilmu Kim-wi-sin-kang, sebentar bisa ilmu Bu-
siang-sin-kang dan sebentar berobah seperti seekor kerbau gila. Pendek kata segala apa dia bisa.Semalam dia jatuh
ke dalam jurang, tetapi tak meninggal dan sekarang hendak menghilangkan jejak perbuatannya membunuh sekian
banyak jiwa manusia!”
“Jangan menghambur fitnah! Siapa yang membunuh korban-korban itu?” bentak Thian-leng.
“Siapa lagi kalau bukan kau!” Ki Seng-wan tertawa mengikik.
“Bagaimana kau tahu kalau aku yang membunuh?” tanya Thian-leng.
“Kalau bukan kau yang membunuh, mengapa kau hendak menguburnya?”
“Aku tak kenal padamu, jangan terus menerus mengganggu! Urusan semalampun takkan kutarik panjang lagi!”
Makin Thian-leng marah, makin keras Ki Seng-wan tertawa, “Enak saja kau omong. Kemarin malam kau sudah
mendapat kemurahan, tetapi jangan harap sekarang kau bisa lolos lagi!”
“Ji-moay, perlu apa berbantah dengan dia? Ringkus saja nanti kita periksa!” nona baju hijau berseru. Ia mengangkat
tangan dan 8 pengawal segera mengurung Thian-leng.
Dua orang pengawal membuka serangan dari kanan-kiri. Thian-leng marah dan balas memukul. Kedua orang itu
terpental beberapa langkah ke belakang. Yang seorang menjerit ngeri karena sebelah lengannya putus. Pakaiankeduanya berlubang seperti terbakar.
“Hai, dia bisa ilmu pukulan Lui-hwe-ciang, awas ….!” Ki Seng-wan berseru kaget. tetapi Thian-leng tak mau
menyerang lagi karena ia tak bermaksud melukai orang.
“Kau benar-benar bukan orang sembarangan, tetapi tetap jangan harap bisa lolos!” seru Ki Seng-wan seraya maju
menutuk.
Thian-leng jengkel dan balas menghantam. Tetapi tutukan Ki Seng-wan itu hanya sebuah siasat, sambil menyelinap
ke samping ia melepaskan sebuah pukulan. Tetapi Thian-leng juga tak mau kalah, begitu pukulannya luput, ia segera
berkisar dan menangkis. Kali ini adu pukulan tak dapat dihindari lagi. Aneh, tiada terdengar suara apa-apa, tetapi
kedua-duanya sama-sama tersurut mundur selangkah.
Ki Seng-wan mendengus, “ Hm, sifat lunak menundukkan sifat keras.Lwekang lunakku ternyata dapat menindas
lwekang kerasmu!”
Thian-leng tersirap kaget. Ia menggunakan 8 bagian tenaganya dlam pukulan tadi, tetapi dapat ditindas lawan,
bahkan lwekang si nona dapat juga mebuatnya terpental. Thian-leng merasakan darahnya mendebur keras.
“Sifat keras yang sempurna tentu dapat menundukkan sifat lunak. Betapapun kau gunakan lwekang lunak, tetap akan
hancur ! “ dengusnya.
“Sifat lunak yang sempurna tentu dapat mengatasi sifat keras. Betapa hebat lwekang kerasmu, aku tetap dapat
menundukkan. Apalagi ….” Ki Seng-wan berkata dengan tekanan nada keras, “Kau tak sempat mempelajari lwekang
keas yang sempurna!”
Ki Seng-wan menutup kata-katanya dengan sebuah serangan. Si nona baju hijau tak sabar lagi, bersama ke 8
pengawalnya ia segera menyerbu Thian-leng.
Pertempuran berlangsung seru. Ki Seng-wan dan si nona baju hijau melancarkan ilmu lwekang Im-ji-kang yang
bersifat lunak. Pukulannya tak mengeluarkan suara tetapi mengandung tekanan hebat. Mereka berdua menyerang
dengan kompak, sebentar dari kanan kiri, lain saat dari muka belakang.
Thian-leng benar-benar tak berdaya. Kedua nona itu menyerang secara rapat, sehingga ia tak dapat mengembangkan
kedahsyatan ilmu pukulan Lui-hwe-ciangnya.
Kedelapan pengawal membentuk lingkaran untuk mengepung rapat. Mereka bersorak-sorak memberi semangat
kepada kedua nona, bahkan sekali dua kali mereka ikut menyerang. Thian-leng makin terdesak, permainannya mulai
kacau. Beberapa kali hampir saja ia terancam bahaya.
“Orang she Kang, sebaiknya kau menyerah saja. Jika kau suka menyerah, maka aku dan taciku takkan
membunuhmu!” tiba-tiba Ki Seng-wan berseru.
“Hm, karena tak mempunyai dendam apa-apa, maka aku tak mau menyerang kalian sungguh-sungguh…”sambil
menjawab Thian-leng dorongkan kedua tangannya. Ki Seng-wan terdesak mundur beberapa langkah karena tertekan
hawa panas dari pukulan Thian-leng.
Melihat itu si nona baju hijau segera memberi perintah, “Selesaikan dia hidup atau mati.” Ia sendiri segera menyerang
dengan gencar. Amukan si nona itu dapat menggagalkan kedudukan Thian-leng yang hampir saja di atas angin. Pada
saat ke 8 pengawal itu ikut maju menyerang, kembali Thian-leng di pihak yang terdesak lagi.
Pada detik-detik berbahaya, sesosok bayangan biru menerobos ke dalam lingkaran pertempuran. Dengan pedang
pendek semacam badik, orang itu menyerang Ki Seng-wan dan si nona baju hijau.
Thian-leng terkesiap heran. Gerakan pendatang itu luar biasa cepatnya, sesaat kemudian terdengar Ki Seng-wan
menjerit tajam. Orang itupun menghentikan serangannya dan berdiri tegak.
Tampak wajah kedua nona itu berobah. Ki Seng-wan mendekap lengan kanan, darah bercucuran dari lengan itu.
Ternyata lengannya kena dilukai. Sedangkan si nona baju hijaupun mengalami malu yang hebat, baju di bagian
dadanya kena tergurat robek, sehingga para pengawalnya melongo.
Thian-leng saat itu baru melihat jelas. Pendatang tak dikenal itu berumur kurang lebih 20 tahun, memakai kain ikat
kepala dan jubah warna biru muda. Tubuhnya langsing, wajahnya kuning pucat macam orang sakit. Hanya sepasang
matanya yang berkilat-kilat memancarkan sinar tajam.
Orang itu sejenak berpaling ke arah Thian-leng dan memberi senyuman tawar. Setelah itu berpaling lagi ke muka.
Tersirap darah Thian-leng ketika beradu pandang, Ah, ia ingat-ingat lupa , seperti pernah mengenalnya. Ia
memandang pula dengan seksama. Ah, rasanya ia belum pernah kenal. Akhirnya ia memberi hormat menghaturkan
terima kasih, “Banyak terima kasih atas bantuan saudara. Aku….”
“Nanti kita bicara lagi setelah kuhalau mereka!“ orang itu cepat menukas.
Si nona baju hijau sambil mendekap dadanya, berseru,”Mengapa kau menyerang ? Apakah hendak memusuhi kami
berdua ? “
“Aku paling benci pada orang yang main keroyokan. Setiap melihat perbuatan yang tak adil, aku tentu campurtangan, “ sahut pemuda itu.
“Siapakah namamu?” tanya si nona.
Pemuda itu sejenak meragu, lalu menyahut, “Cu Siau-bun, setiap saat kalian boleh mencari balas padaku ! “
“Cu Siau-bun…. ah seorang tak ternama! “ si nona baju hijau mendengus hina.
Cu Siau-bun tertawa keras, “Memang aku tak ternama. Sebenarnya mudah untuk mengangkat nama. Asal kubunuhi
tokoh-tokoh persilatan, tentu namaku cepat termasyhur….” sekonyong-konyong ia mengebutkan lengan bajunya.
Serangkum sinar kemilau meluncur ke arah 4 orang pengawal. Mereka mengerang dan rubuh!
Tenang sekali si nona baju hijau memandang keempat pengawalnya yang rubuh itu, ujarnya,” Ah, selain ilmu pedang,
Cu tayhiap juga mahir menimpukkan senjata rahasia!”
Kembali Cu Siau-bun tertawa, “Jangan kuatir, senjata rahasia Tui-hong-kiong (passer pengejar angin) itu tak beracun.
Tetapi dapat menembus jantung orang. Jauh lebih ganas dari segala racun. ! “
Habis berkata kembali Cu Siau-hun mengangkat tangan hendak menabur lagi, tetapi cepat-cepat dicegah oleh Thian-
leng, “Saudar Cu, jangan !"
Tetapi sudah terlambat. Salah seorang pengawal menjerit rubuh.! Dan Cu Siau-bun tertawa kepada Thian-leng.
Rupanya pemuda itu menganggap membunuh jiwa orang seperti suatu permainan yang menggembirakan.
“Agaknya Cu tayhiap juga tak mau melepaskan kami berdua kakak beradik?” tegur nona baju hijau.
Cu Siau-bun tertawa, “Kebalikannya, silakan nona pergi agar aku tak merobah keputusanku!”
Kata nona baju hijau itu lagi, “Sekalipun kami bukan tandinganmu, tetapi pihakku tentu akan membuat perhitungan
padamu!” ia terus ajak Ki Seng-wan angkat kaki.
Thian-leng menanyakan apakah pemuda Cu itu juga mempunyai dendam permusuhan dengan kedua nona.
“Aneh,” Cu Siau-bun tertawa dingin, “aku tak kenal siapa mereka dan hanya semata-mata membantumu saja!”
“Terima kasih atas bantuan saudara, “Thian-leng menghela napas, “tetapi caramu melakukan pembunuhan itu
sungguh keterlaluan sekali!”
Sambil memungut kayu, kembali ia teruskan membuat liang kuburan lagi.
“Hei, mau bikin apa kau?” tegur Cu Siau-bun.
Ketika Thian-leng menyatakan hendak mengubur mayat-mayat itu, Cu Siau-bun menertawakannya, “Ah, sifat seorang
wanita…………. bukan seperti orang jago persilatan ! “
Thian-leng tidak menghiraukan dan tetap meneruskan galiannya. Selesai mengubur semua mayat, ia segera
melangkah pergi. Tiba-tiba dilihatnya Cu Siau-bun masih enak-enak duduk di bawah pohon. Ia menghampiri anak
muda itu, “Cu-heng, mengapa kau tak pergi?”
“Menunggumu!” Cu Siau-bun tertawa tawar.
“Aku…….” Thian-leng tergugu. Ia tak senang dengan keganasan pemuda itu dan juga ia tak mau mengajak kawan
dalam perjalanan ke gunung Thay-heng-san.
“Eh, apakah kau tak suka bersahabat dengan aku?” teriak Cu Siau-bun.
“Aku hendak berkelana tanpa tujuan, bagaimana saudara hendak ikut?”
“Itu bagus, memang akupun sedang mengembara. Senang sekali aku dapat mengawanimu kemana saja ! “
Thian-leng mati kutu. Tak dapat ia menolak. Cu Siau-bun segan-seganan bangkit. Tiba-tiba ia mencabut panji
tengkorak darah yang tertancap di pohon.
“Hm, pintar sekali orang yang membuat ini sehingga menyerupai yang tulen ! “ dengusnya.
“Tetapi itu terang panji dari Hun-tiong-sin-mo…. ! teriak Thian-leng.
“Palsu!” bentak Cu Siau-hun.
Thian-leng tersentak mundur, serunya,”Bagaimana kau tahu kalau palsu?”
Cu Siau-hun terkesiap, serunya,”Sudah beberapa hari aku mondar mandir di kaki gunung Hun-tiong-san. Selama itu
tak kupergoki dia pergi kemana-mana. Terang ada orang yang memalsunya!”
“Iblis itu sakti sekali, gerak-geriknya sukar diduga. Dia pergi atau tidak, bagaimana kau tahu? Hanya…..akupun
mempunyai dugaan, bahkan Hun-tiong-sin-mo itu sendiri juga palsu…..! tiba-tiba Thian-leng menghentikan kata-
katanya, karena teringat akan janjinya kepada Hun-tiong-sin-mo.
“Bagaimana kau tahu kalau iblis Hun-tiong-sin-mo itu palsu?” sekarang giliran Cu Siau-bun yang menegur tajam.
Thian-leng tersentak mundur dan berkata dengan tergagap, “Aku…aku hanya menduga saja…” Dengan cepat iapun
mengalihkan pembicaraan, “Aku masih mempunyai urusan penting, maaf saudara Cu… silakan kau pergi sendiri!” Ia
memberi hormat lalu melangkah pergi.
Tetapi Cu Siau-bun tertawa dingin dan membuntutinya! Terpaksa Thian-leng berhenti.
“Aku hendak pulang ke pondokku dulu. Sayang karena pondokku itu kecil tak dapat menerima tetamu, Cu-heng…”
“Tak usah kau usir aku, karena sebenarnya akupun tak berniat mengikutimu, melainkan….,”Cu Siau-bun sejenak
memandang Thian-leng, ujarnya pula,”Akupun tiada jalan lain!”“Maksud saudara?” Thian-leng heran.
“Aku berasal dari Lamciang, asing dengan daerah ini. Kulihat Kang-heng seorang yang baik hati dan juga sendirian,
maka ingin kumengikat persahabatan. Tapi ah, mengapa Kang-heng begitu getas menolak diriku!”
Thian-leng kehabisan alasan, terpaksa ia menerima. Apalagi jika pemuda itu tak membantunya, mungkin ia sudah
tertangkap rombongan Ki Seng-wan.
“Siapa lagi yang berada di rumah Kang-heng?” tanya Cu Siau-bun setelah mengetahui orang tak menolak.
Thian-leng menghela napas, “Sejak kecil aku bernasib malang. Hidup bersama sorang ibu di lembah Pek-hun-koh
yang terpencil di gunung Lu-liang-san…”
“Apakah ibu Kang-heng sudah menutup mata?”
“Ya, baru tiga hari yang lalu, dibunuh Hun-tiong-sin-mo!” Thian-leng menggeram.
“O, kiranya Kang-heng hendak melakukan pembalasan !? “
“Bagaimana saudara mengetahui ? “ Thian-leng heran.
“Bukankah beberapa hari yang lalu Hun-tiong-sin-mo membuka pertandingan terbuka untuk kaum persilatan? Jika tak
berniat melakukan pembalasan, bagaimana kau menuju ke sana?” sahut Cu Siau-bun.Tanpa menanyakan
pengalaman Thian-leng selama hadir di pertandingan itu, Cu Siau-bun melanjutkan pertanyaannya, “Sudah terlanjur
mengembara jauh, mengapa sekarang Kang-heng terburu-buru pulag?”
“Mendiang ibuku telah meninggal dengan dada tertusuk pedang. Sebelum menutup mata, beliau pesan supaya
jenazahnya jangan dikubur, tetapi ditaruh dalam sebuah goa tertutup!”
“Aneh!” Cu Siau-bun menggerutu heran.
“Tetapi kurasa lebih aman kalau kutanam saja. Setelah itu baru kuberdaya melakukan pembalasan pada Hun-tiong-
sin-mo!”
Cu Siau-bun menyetujui dan memuji Thian-leng seorang anak berbakti. Demikianlah keduanya segera melanjutkan
perjalanan.
Dua hari kemudian, tibalah mereka di muka lembah Pek-hun-koh yang terletak di daerah pedalaman gunung Lu-liang-
san. Mulut lembah ditimbuni batu oleh Thian-leng. Sudah hampir 10 tahun lamanya Thian-leng dan ibunya tinggal di
situ.
Ketika memasuki lembah, pemandangan yang pertama menumbuk mata Cu Siau-bun adalah sebuah lapangan
kuburan yang dihuni oleh empat puluhan makam. Wajah Thian-leng berobah pucat, matanya berkaca-kaca. Ia cepat
berlari menuju ke sebuah gubug yang berada di tengah kuburan itu. Gubug itu pendek sekali, pintunya ditutup
dengan rantai.
Senja di kuburan dalam lembah yang sunyi, menimbulkan suatu pemandangan yang menyeramkan. Tenggoret mulai
berbunyi nyaring, angin menghembus dingin, mau tak mau Cu Siau-bun merasa seram juga.
Setelah membuka kunci, Thian-leng segera menerobos masuk. Tetapi seketika itu dia lantas tegak seperti patung,
darahnya serasa berhenti. Sampai sekian lama barulah mulutnya berseru terputus-putus, “Jenazah ….. ibuku….
lenyap…. !”
Matanya berkunang-kunang, bumi yang dipijaknya serasa berputar dan robohlah pemuda itu. Untung Cu Siau-bun
cepat menyambutnya, ia mengulum senyum sinis.
Setelah ketenangannya pulih, Thian-leng membanting-banting kaki, mengeluh, “Sudah belasan tahun tempat ini tak
pernah kedatangan tamu. Mulut lembah kututup dan gubug kukunci, mengapa jenazah ibuku….” ia tak dapat
melanjutkan kata-katanya karena tersekat isak tangis.
Cu Siau-bun mondar-mandir dalam gubug untuk memeriksa. Wajahnya tetap memancarkan senyuman tawar.
Beberapa saat kemudian baru ia menghampiri Thian-leng.
“Semasa hidupnya, ibumu itu tentu berwatak aneh, keras dan ganas. Tentu tak mempunyai kasih sayang sebagai ibu
kepadamu…”
Pada saat itu Thian-leng duduk di atas sebuah kursi bambu. Hatinya sudah agak tenang, tetapi demi mendengar
ucapan Cu Siau-bun, bangkitlah ia serentak, bentaknya,”Kau… kau tak layak menghina ibuku!”
Cu Siau-bun tersurut mundur selangkah, ia tertawa dingin, “Yang menjalani memang bingung, tetapi yang melihat
akan lebih jelas. Aku kan hanya bermaksud membantumu mencari kebenaran, mengapa sedemikian bengis sikapmu?
“ tiba-tiba ia berhenti sejenak, katanya pula,” Aku hanya ingin tahu, apakah keadaanmu benar seperti yang
kutanyakan itu?”
Pemuda itu memandang wajah Thian-leng dengan ramah. Seri wajahnya seolah-olah mengunjukkan rasa mesra dan
simpati kepada Thian-leng.
Thian-leng menghela napas,” Tujuh belas tahun yang lampau, tak lama setelah aku dilahirkan, Hun-tiong-sin-mo
mengganas di keluargaku. Empat puluh orang keluargaku dibunuh semua. Mungkin penderitaan batin itu merobah
perangai ibuku…”
“Apakah gundukan tanah di luar itu kuburan dari keluargamu?” tanya Cu Siau-bun.
Thian-leng mengangguk dengan mata berllinang. Tiba-tiba Siau-bun tertawa terkekeh, serunya,”Ah, saudara Kang,kau telah masuk dalam perangkap yang lihay. Kasihan kau tak mengetahui. Jika tak berjumpa denganku, mungkin
sampai matipun kau tak sadar….” Kemudian ia berkata seorang diri, “Hebat betul tipu siasat orang ini. Sedemikian
halus dan licin, sehingga orang tak menyadari…”
“Aku tak mengerti maksudmu….”
“Memang kau tak mengerti,” tukas Cu Siau-bun, “hatimu polos dan jujur, maka mudah ditipu orang. Ya, aku berani
mengatakan, bahwa selama ini kau tentu tak pernah mencurigai ibumu itu….. “
Thian-leng serentak bangun dan menjerit geram, “Cu-heng…”
Cu Siau-bun memandangnya dengan rasa simpati dan ditepuknya bahu pemuda itu, ujarnya,”Memang soal ini
berbelit-belit, tetapi apakah sedikitpun kau tak menaruh kecurigaan? Misalnya kematian ibumu yang begitu aneh dan
pesannya yang tak wajar. Apakah kau terima begitu saja?”
Tergerak pikiran Thian-leng. Ya, memang kata-kata Cu Siau-bun itu masuk akal. Tetapi ia tak tahu bahwa di balik diri
ibunya itu tersembunyi sesuatu rahasia.
“Kau mengatakan bahwa seluruh keluargamu telah dibasmi oleh Hun-tiong-sin-mo. Tetapi mengapa hanya ibumu dan
kau yang selamat?”
“Karena dengan memondong aku, beliau bersembunyi dalam sebuah sumur mati!”
“Kau masih bayi, tentunya ibumu yang menceritakan hal itu bukan?”
“Beliau bukan seorang ibu yang suka berbohong!” Thian-leng berseru geram.
Cu Siau-bun tertawa sinis,”Baik, taruh kata hal itu benar, tetapi masih ada lagi hal yang menyangsikan. Kau
mengatakan ibumu dibunuh oleh Hun-tiong-sin-mo, tetapi mengapa dia tak membunuhmu sekalian…?”
“Karena waktu itu aku tidur di rumah belakang, mungkin iblis itu tak mengetahui.”
“Tujuan Hun-tiong-sin-mo ke lembah terpencil ini, adalah semata-mata hendak membunuh kalian ibu dan anak.
Masakan dia tak mencarimu ke rumah belakang….!”
Kali ini Thian-leng tergagap tak dapat menjawab.
“Apabila penilaianku tak salah, pembunuhan itu tentu dilakukan pada malam hari. Jeritan ngeri dari ibumu telah
membangunkan kau. Kau segera bergegas lari menghampiri dan mendapatkan ibumu rebah dengan dada tertancap
pedang, di samping tempat tidurnya terdapat panji tengkorak. Saat itu ibumu masih dapat berkata-kata memberi
pesan terakhir, setelah itu baru menutup mata…. “
Thian-leng terlongong memandang pemuda itu. Ia heran mengapa Cu Siau-bun dapat menceritakan peristiwa itu
dengan tepat, seperti menyaksikan sendiri. Cu Siau-bun tersenyum ewa.
“Tetapi dia tidak mati, dia pergi!” tiba-tiba pemuda itu berseru nyaring.
Seketika mengigillah tubuh Thian-leng mendengar ucapan yang seperti halilintar pecah di tengah hari itu. Wajahnya
berobah pucat, mulutnya tergugu, “Bagaimana mungkin, itu….”
“Di atas tempat tidur maupun di bawahnya tentu tak terdapat bekas-bekas darah. Dia menggunakan ilmu menutuk
tubuh dengan senjata. Orang lain mungkin kena dikelabui, tetapi prmainan anak kecil semacam itu mana dapat
menipu aku… “
Cu Siau-bun berhenti sejenak, katanya pula, “Dia telah mengatur siasat sedemikian indah Dipilihnya 3 hari sebelum
Hun-tiong-sin-mo menerima tantangan kaum persilatan. Tempo 3 hari itu cukup untuk menyuruhmu ke Hun-tiong-
san…..”
“Tetapi beliau pesan agar aku menyingkir pergi sejauh mungkin, jangan melakukan pembalasan. Beliau tahu bahwa
aku bukan tandingan iblis itu…” bantah Thian-leng.
Kembali Cu Siau-bun tertawa sinis,”Tiada seorangpun yang lebih mengenal puteranya daripada seorang ibu. Entah
apakah dia itu sungguh ibumu atau bukan, tetapi dia sudah tinggal bersamamu selama belasan tahun. Masakah dia
tak kenal tabiatmu. Melarang kau melakukan pembalasan, berarti mendesak batinmu supaya melakukan pembalasan.
Waktu 3 hari dari pertempuran di Hun-tiong-san itu tak memberimu kesempatan untuk berpikir lagi. Kau tentu nekad
akan melakukan pembalasan.”
Menunjuk pada sebuah peti kayu yang terbuka di atas meja, berkatalah Cu Siau-bun, “Diam-diam ia
menyembunyikan sebotol Pek-tok-jong, tetapi sengaja ia perlihatkan. Di dalam peti itu terdapat keterangan tentang
penggunaan racun yang luar biasa ganasnya itu. Telah diperhitungkannya bahwa kau tentu membawanya untuk
menempur Hun-tiong-sin-mo. Syukur Hun-tiong-sin-mo dapat dibinasakan dengan racun itu. Apabila dia tidak mati,
sekurang-kurangnya kaulah yang akan dibunuh iblis itu. Karena selama 60 tahun ini, tak pernah ada orang yang
keluar dari Hun-tiong-san dengan hidup!”
Cu Siau-bun tertawa geli, “Ha, ha, hebat sekali dia mengatur rencananya, tetapi masih ada kelemahannya. Ia tak
menyangka akan timbul hal-hal di luar perhitungannya!”
Saat itu Thian-leng seperti jago yang sudah keok. Ia menundukkan kepala dan mengeluh sedih, “Tetapi mengapa
ibuku berbuat begitu, apakah alasannya…”
“Ho, kau tetap belum menyadari bahwa dia itu bukan ibumu!” teriak Cu Siau-bun.Merahlah sepasang mata Thian-leng. Ia memandang Cu Siau-bun dengan terlongong-longong. Kasihan juga Cu Siau-
bun melihat diri anak muda itu, katanya dengan berbisik, “Mungkin kau masih belum yakin. Baiklah, hendak
kuberikan lagi sebuah bukti yang kuat!” Ia melangkah keluar pondok. Thian-leng segera mengikutinya.
“Apabila kuburan-kuburan itu sungguh berisi jenazah keluargamu,” Cu Siau-bun menunjuk ke arah gundukan
kuburan, “anggaplah bahwa keteranganku semua tadi bogong belaka. Silakan gali kuburan itu!”
Kembali Thian-leng terbelalak. Namun hal itu penting sekali baginya. Segera ia mencari cangkul dan mulai menggali
sebuah kuburan. Menurut batu nisan yang terpancang di muka kuburan, yang digali itu adalah kuburan pamannya.
Cepat sekali ia sudah menggali sampai 2 meter lebih dalamnya. Darahnya serasa berhenti ketika tak didapatinya
barang satu peti mati dalam liang kubur itu. Masih dia penasaran, digalinya 5 buah kuburan lagi… ah… kosong
melompong semua !
Thian-leng terhuyung-huyung jatuh terduduk akibat pukulan yang mendera batinnya. Apa yang dikatakan Cu Siau-
bun itu nyata semua. Wanita itu bukan ibunya dan ternyata tidak mati.Tetapi siapakah gerangan dia itu? Dan
siapakah ibunya yang sejati? Mati atau masih hidupkah ? Mengapa sejak kecil ia dipelihara wanita itu?
Hanya dalam beberapa detik saja, Thian-leng merasa dirinya tercebur ke dalam lembah teka-teki yang penuh rahasia.
Apa yang dirasa benar selama ini ternyata salah semua. Ia kehilangan paham paham akan keadaan dirinya sendiri.
Ah, kalau begitu Hun-tiong-sin-mo itu bukanlah musuhnya! Kemungkinan wanita yang mengaku jadi ibunya selama
17 tahun itulah yang menjadi musuh sebenarnya.
Tetapi mustahil, aneh, tak masuk akal…. demikian benak thian-leng berbantah sendiri. Perlu apa wanita itu
memeliharanya sampai besar? Bukankah kalau mau, dapat membunuhnya dengan mudah? Tetapi mengapa tidak?
Kalau wanita itu mempunyai dendam pada Hun-tiong-sin-mo, bukankah dapat mencari rencana lain dan tak perlu
memelihara dirinya sampai 17 tahun lamanya! Mengapa , ya , mengapa….?
Tiba-tiba thian-leng teringat pada Hun-tiong-sin-mo. Iblis itu jelas tak sesuai seperti yang dikatakan Oh-se Gong-mo.
Kalau begitu Hun-tiong-sin-mo yang menguasai gunung Hun-tiong-san itu bukanlah iblis Hun-tiong-sin-mo yang asli.
Benar suatu teka-teki yang luar biasa…. Nyata bahwa dunia persilatan itu merupakan panggung sandiwara yang
besar. Dan nasib telah menbuat Thian-leng dilahirkan dalam kancah pergolakan dunia persilatan yang penuh
keanehan!
“Mengapa? Mengapa? Mengapa….? karena terhimpit oleh rasa sesak, mulut Thian-leng menjerit-jerit kalap.
Tiba-tiba sebuah tangan yang halus telah menjamah bahunya dan terdengarlah suara yang lemah lembut di
telinganya, “Mengapa? Itulah yang harus kita pecahkan…..”
Thian-leng mengangkat kepala. Matanyapun segera tertumbuk pada sepasang mata halus dari wajah Cu Siau-bun
yang mengandung rasa simpati.
Tiba-tiba Thian-leng mendekap sepasang tangan Cu Siau-bun, serunya, ”Terima kasih saudara Cu! Jika bukan kau
yang membuka rahasia ini, aku tentu masih terbenam dalam kegelapan!”
Wajah Cu Siau-bun yang pucat kekuning-kuningan tampak memerah. Tersipu-sipu ia menarik tangannya, “Aku tak
suka campur tangan urusan orang lain. Tetapi sekali sudah campur tangan, tentu akan kubantu engkau
menyelesaikan urusan ini sampai jelas !”
Thian-leng berterima kasih dan mengagumi kecerdikan Cu Siau-bun. Sayang ia tak pandai bicara, sehingga sukar
untuk mengucapkan rasa terima kasihnya.
“Ah, sudah lewat tengah malam, marilah kita beristirahat, “kata Cu Siau-bun, “Besok pagi kita lanjutkan lagi
penyelidikan kita.”
Thian-leng tidur di rumah belakang. Karena lelah, cepat ia tertidur pulas. Tetapi Cu Siau-bun tak dapat tidur, ia
mondar-mandir dalam gubug itu, pikirannya melayang-layang. Ia merasa aneh kepada dirinya sendiri/ Mengapa ia
paksakan diri untuk membantu urusan Thian-leng? Mengapa ia rela memomong pemuda itu? Thian-leng seorang yang
polos hatinya sehingga tampaknya seperti ketolol-toloan. Semula ia tak ambil pusing tetapi, lama kelamaan timbullah
rasa sukanya kepada pemuda itu. Aneh, aneh…..
Setelah letih dalam lamunan, akhirnya dapat juga ia tertidur beberapa jam. Tetapi tiba-tiba ia tersentak bangun.
Lapat-lapat di luar jendela terdengar suara angin berhembus perlahan. Sekalipun hampir tak kedengaran, namun
telinganya yang tajam dapat juga menangkap suar yang mencurigakan itu. Diam-diam ia siapkan tiga batang jarum
Tui-hong-jiong di tangan. Setelah memperhatikan arahnya, segera ia taburkan keluar jendela….
Jarum Tui-hong-kiong (pengejar angin) itu sehalus siong-ciam (jarum daun cemara). Sedikitpun tidak mengeluarkan
suara, kecuali warnanya yang mengkilap di dalam kegelapan malam!
Tring, tring, tring….. terdengar kerincing halus dari 3 batang jarum yang berhamburan jatuh. Menyusul sebuah
ketawa mengejek berkumandang perlahan.Cu Siau-bun terkejut, pikirnya, “ Ah, wanita yang mengaku ibu Thian-leng itu ternyata lihay sekali, taburan jarumku
dapat dikebutnya!”
Sekali bergerak ia melesat keluar jendela. Rembulan bersinar, langit berhias bintang-bintang. Di antara gundukan
kuburan itu, tampak tegak seorang wanita pertengahan umur, mukanya ditutupi selubung kain sutera tipis.
Dengan gusar Cu Siau-bun segera lompat menyerangnya. Tetapi wanita berkerudung itu memutar tubuh dan loncat
lari ke mulut lembah. Cu Siau-bun mengejarnya. Kira-kira berlari dua puluhan tombak, tiba-tiba wanita itu tertawa
terus berputar dan menghantamnya.
Cu Siau-bun berhenti tegak. Dia tak menghindar maupun menangkis. Tetapi anehnya pukulan wanita itu terbelah
menghambur di kedua samping tubuhnya. Tanah muncrat berhamburan, namun kecuali pakaiannya yang berkibar-
kibar, sama sekali Cu Siau-bun tak terluka apa-apa. Ia tertawa menghina !
Wanita berkerudung itu terkesiap kaget, serunya, “Kau bisa ilmu melicinkan tubuh?”
“Matamu tajam juga!” Cu Siau-bun tertawa mengejek. Tiba-tiba ia mencabut sebilah pedang pendek yang panjangnya
hanya setengah meter. Begitu dikibatkan segera ia menyerang. Pedang yang begitu pendek ternyata dapat berobah
menjadi lingkaran cahaya pedang sepanjang dua meter. Tubuh wanita itu seolah-olah terbungkus oleh sinar pedang.
Wanita itu semakin kaget, namun iapun dapat mengelak dengan gesit sekali. Tiga buah serangan Cu Siau-bun tak
mampu mengenainya. Pemuda itupun terkejut. Ia tarik pedangnya dan tegak berdiri di muka wanita itu.
Sepasang mata si wanita berkilat-kilat tajam memandang wajah Cu Siau-bun, tiba-tiba ia berseru dengan nada agak
bergetar,
“Ilmu pedang Hui-hun-kiam! Apakah kau….?”
Jilid 2. Panji Tengkorak Darah
“Kau tahu riwayatku?” Cu Siau-bun tertawa dingin.
“Telah kuduga semula, sekarang hanya untuk membuktikan saja!” sahut si wanita berkerudung.
Cu Siau-bun tertegun sesaat, kembali ia tertawa dingin,”Hun-tiong-sin-mo masih tidak mati, ‘puteramu’pun tak
binasa! Hm, sia-sia saja jerih payahmu! Apakah maksudmu yang sebenarnya?”
“Aku hanya lengah sedikit, tak mengira kalau Hun-tiong-sin-mo masih mempunyai pil Tay-hoan-tan. kalau tidak, saat
ini dia tentu sudah mampus!” sahut si wanita.
“Bagaimana kau tahu.....?” Cu Siau-bun terbeliak.
Wanita berkerudung itu tertawa hambar, “Sudah tentu tahu. Tiada yang tahu lebih jelas asal-usul Hun-tiong-sin-mo
kecuali aku. Dari mana pil Tay-hoan-tan itupun aku juga tahu. Hm, aku lupa bahwa pil itulah satu-satunya obat yang
dpat menolak segala macam racun.....”
“Sebuah langkah kecil yang salah, menghancurkan seluruh rencanamu. ‘Puteramu’ yang kau asuh selama tujuh belas
tahun itupun telah mengetahui siasatmu. Dia membenci dan hendak menbunuh. Tak mau dia mengakuimu sebagai
ibu lagi!” dengus Cu Siau-bun.
“Kalau bukan gara-garamu, tentu dia masih belum tahu. kau seharusnya dilenyapkan....... !’ tiba-tiba wanita
berkerudung itu menghentikan kata-katanya sejenak, lalu berkata lagi dengan bengis, “Tetapi tak nanti dia bisa lolos
dari cengkeramanku. Setiap saat aku dapat membunuhnya. Hanya saja untuk sementara waktu ini aku masih belum
berniat membunuhnya. Hendak kugunakan tenaganya untuk membunuh Hun-tiong-sin-mo!”
Cu Siau-bun tegakkan pedangnya, ia berseru,” Betapapun kau hendak memasang perangkap apa saja, akhirnya tetap
akan gagal. Mari kita putuskan siapa yang berhak hidup malam ini!”
Wanita berkerudung tertawa menghina, “ Baiklah tetapi lebih dulu aku hendak mengetahui dengan jelas mengenai
suatu hal!”
“Kau ingin mengetahui bagaimana dapat kubuka kedokmu kepada puteramu itu?”
“Bukan! Aku ingin tahu kau ini pria atau wanita?” seru wanita berkerudung. Pertanyaannya itu dibarengi dengan
loncatan ke muka.
Cu Siau-bun kibatkan pedangnya dalam jurus Hun-hay-thun-gwat atau Awan laut menelan bulan, untuk menghalangi
serangan orang. Tetapi wanita itu luar biasa cepatnya. Ia menerobos ke dalam lingkaran sinar pedang dan
menjambret kain ikat kepala Cu Siau-bun. Seuntai rambut hitam legam berhamburan menjurai ke atas bahu Cu Siau-
bun. Wahai....kiranya dia seorang nona!
Wanita berkerudung mengerang kaget dan menyurut mundur, “Kau ...memang..... benar ....”
Sebelum dapat melanjutkan kata-katanya, Cu Siau-bun sudah menghantamnya. ia menyalurkan kemarahannya kearah telapak tangan, sehingga berobah merah warnanya.
Namun wanita itu menggelengkan kepala, “Kau bukan tandinganku. Jika mau membunuhmu, itulah semudah
membalikkan telapak tangan. Tetapi , aku.... tak dapat membunuhmu....!”
Nada suara wanita itu berobah rawan, sehingga Cu Siau-bun terkesiap. Pukulannya berhenti setengah jalan! Mengapa
wanita itu mengucapkan kata-kata begitu?”
Sekonyong-konyongwanita itu tutukkan sebuah jarinya ke arah sebuah batu besar. Tampaknya batu besar itu tak
retak atau berlubang. Tetapi ketika sesudah menutuk itu ia mengebutkan lengan bajunya, maka berhamburanlah batu
itu menjadi debu yang beterbangan ke empat penjuru.....
Cu Siau-bun tercengang melihatnya. Itulah ilmu tutukan Hian-im-ci ( Jari hawa negatip) yang telah mencapai tingkat
kesempurnaan! Apa yang diucapkan wanita itu memang bukan obrolan kosong. Jika mau, wanita itu mudah sekali
membunuhnya, tetapi mengapa tidak mau? Ya, mengapa?
Berbagai kenangan melintas dalam benak Cu Siau-bun, tetapi kesemuanya itu tak ada yang merupakan jawaban dari
pertanyaannya. Untuk pertama kali, baru saat inilah Cu Siau-bun merasa seperti orang dungu yang tak mengerti apa-
apa!
Namun perangainya yang keras dan suka membawa kemauannya sendiri menuruhnya berlaku garang, “Perempuan
siluman, betapa licinpun dirimu tetap akan kubeset kulit rasemu. Akan kuselidiki sampai jelas baru nanti kuhancurkan
tubuhmu untuk membalas hinaan yang kuterima malam ini!”
“Tak mungkin kau dapat menyelidiki. Kau tak tahu siapa diriku dan kelak kitapun takkan berjumpa lagi!” sahut wanita
itu.
“Hm, kau terlalu memandang rendah padaku, “ Cu Siau-bun tertawa mengejek, “ Sekarangpun sedikit-sedikit telah
kuketahui siapa dirimu ini. Bukankah kau ini Te-it-ong-hui ( permaisuri pertama ) dalam istana Sin-bu-kiong !”
Gemetarlah tubuh wanita berkerudung itu demi mendengar ucapan Cu Siau-bun, sehingga sampai mundur selangkah.
“Kau sungguh cerdik,” serunya dengan nada keras. “Tetapi kunasehatkan padamu, lebih baik jangan campur tangan
dan jangan menyebut-nyebut hal itu.... ini demi untuk kebaikanmu sendiri, karena....”
“Tidak! Aku mesti campur tangan !” bentak Cu Siau-bun, “Pertama-tama hendak kuselidiki diri ‘puteramu’ itu.
Kemudian akan kubeberkan rahasia ini kepada seluruh kaum persilatan!”
Wanita berkerudung itu menghela napas, ujarnya “Ah, pintarmu keblinger! Sekali lagi kunasehati, jangan ikut campur
urusan ini demi untuk kebaikanmu sendiri. Jika tidak, kau tentu akan menyesal di kemudian hari....”
Habis berkata, wanita itu berputar diri dan melesat pergi. Gerakannya tak ubahnya seperti bayangan melintas,
sekejap saja sudah menghilang…
“Hm, aku harus ikut campur tangan . Apapun yang akan terjadi aku tak akan menyesal.” Cu Siau-bun berteriak
mengantar kepergian wanita itu. namun orangnya sudah lenyap dari pandangan.
Cu Siau-bun memungut kain kepalanya dan dipakainya lagi. Kemudian ia bergegas kembali ke dalam gubug. Saat itu
sudah menjelang fajar. perlahan-lahan ia menghampiri pintu rumah belakang dan berseru memanggil, “Kang-heng!
Kang-heng!....”
Eh, tiada sahutan. Buru-buru ia menerobos masuk dan astaga....... kamar belakang itu ternyata kosong melompong.
Yang tampak hanya seonggok rumput kering. Thian-leng sudah lenyap. Tak ada bekas-bekas perkelahian, seolah-olah
seperti Thian-leng sendiri yang keluar dari kamar itu.
Cu Siau-bun melesat ke ruang tengah, juaga tak menjumpai suatu apapun, akhirnya ia menghela napas.
“Ah, kembali aku harus menerima kekalahan yang menusuk hati..... Cu Siau-bun , Cu Siau-bun ... bagaimanakah
keteranganmu pada ibu nanti?” keluhnya.
Sunyi senyap di lembah Pek-hun-koh. Lapat-lapat terdengar isak tangis penuh dendam kecewa....
oo0oo
Di tengah-tengah sungai Huang-ho tampak meluncur sebuah perahu. Tukang perahunya seorang lelaki brewok yang
mengenakan pakaian ringkas warna biru. Ia mendayung dengan sebelah tangan, namun karena kemahirannya
mendayung dan menurut aliran sungai, maka perahunya meluncur amat laju.
Juragan perahu terdapat seorang dara cantik berbaju ungu yang tengah melepaskan pandangannya ke permukaan
sungai yang luas. Tiba-tiba ia berseru, “Ah, dalam sehari saja sudah mencapai lima ratusan li. Mungkin tak sampai
seminggu saja kita sudah dapat mencapai lembah Tiang-ceng-koh...”Ternyata ia bukan seorang diri, melainkan masih mempunyai seorang kawan, seorang nona berbaju hijau yang
usianya lebih tua sedikit.
“Eh, mengapa kau menghela napas?” tegur nona baju hijau itu.
“Tak apa-apa. “ sahut si dara baju ungu, “Aku hanya merasa bahwa jagad kita ini sungguh luas sekali. Coba lihatlah,
betapa kecil kita apabila dibandingkan dengan gunung-gunung yang menjulang ke langit dan sungai yang begini
dahsyat…. “
“Budak tolol, jangan mengoceh yang tidak-tidak, “ nona baju hijau membentak dengan tertawa.
Kabut malam makin menebal. Permukaan sungai makin suram. Seorang budak perempuan muncul membawa lilin,
sehingga ruang perahu itu terang. Tiba-tiba terdengar suara orang mengrang . Si nona baju hijau serentak bangkit
menghampiri ke sudut ruang perahu dan menyingkap sehelai kain tenda. Seorang pemuda cakap tengah berbaring di
atas tempat tidur. Dialah yang mengrang itu.
“Hm, obatnya sudah hampir hilang dayanya…..” dengus nona itu. Ia mengangkat tangan kanannya ke atas.
“Cici, kau hendak…..” si dara baju ungu terkejut mencegahnya., “Onghui pesan supaya jangan dibunuh. Kau… .. “
Nona baju hijau meliriknya dengan heran, “Siapa bilang aku hendak membunuhnya! Bukankah aku akan dimintai
pertanggung jawab oleh Onghui? Uh, mengapa kau begitu tegang..?”
Dara baju ungu terkesiap. Pipinya merah. Diam-diam ia malu dalam hati. Betapapun besar nyali tacinya, tetapi mana
bernai melanggar perintah Onghui.
“Benar Onghui tak memperbolehkan membunuhnya, tetapi tak melarang membuatnya cacat. hendak kuputuskan urat
nadi kedua kakinya agar kepandaiannya punah, menjadi cacad seumur hidup!” tiba-tiba nona baju hijau berkata
seraya mengangkat tangannya pula.
Dan lagi-lagi si dara baju ungu tersentak dan cepat menarik tangan tacinya,”Mengapa kau hendak mencelakainya?
Apakah kau mempunyai permusuhan padanya ? “
Si nona baju hijau tertawa dingin, “Kau lupa atas hinaan di gunung Hun-tiong-san itu? Seumur hidup aku tak dapat
melupakannya!”
“Tetapi itu perbuatan orang she Cu, tak ada sangkut pautnya dengan dengan dia!” bantah si dara.
“Tetapi dialah yang menjadi gara-garanya. Masih murah kalau hanya dipotong urat kakinya saja ! “
Si dara makin gelisah dan dipeluknya tangan sang kakak kencang-kencang, ratapnya,” Cici, jangan…”
Dengus si nona baju hijau, “Kalau tiada berada-ada, masakah burung tempua terbang rendah ? Apakah kau
mencintainya?”
Pipi si dara makin merah, bantahnya, “Dia memang orang yang tak kenal budi, hanya saja aku tak sampai hati.
Jebloskan saja ke penjara Tiang-ceng-koh, kiranya sudah cukup menyiksanya. Perlu apa kita sendiri turun tangan.?”
“Ih, tak nyana kau berobah menjadi manusia yang begitu baik hati!” si nona baju hijau tertawa menyingkir.
Tiba-tiba si pemuda mulai mengigau, “Cu-heng…. Cu-heng… “
“Ho, di sini tak ada Cu-heng atau Gu-heng, yang ada hanya kedua taci beradik Ki…..!” nona hijau menertawakan.
Kemudian berkata kepada adiknya, “Rupanya pengaruh obat sudah hampir hilang. Dia memiliki ilmu pukulan Lui-hwe-
ciang yang berbahaya. Bagaimana tindakan kita? APakah kita tunggu sampai dia sudah sadar baru kita ajak
bertempur?”
“Terserah padamu !” sahut si dara.
Secepat kilat jari si nona baju hijau menutuk tangan dan kaki si pemuda. Pemuda itu tersadar. Begitu membuka
mata, mulutnya segera berseru memanggil Cu Siau-bun, kemudian bangkit, tetapi…ah…kaki tangannya terasa kaku
sekali tak dapat digerakkan. Dan sesaat itu terdengarlah suara tertawa mengikik. Kini pemuda itu yang bukan lain
adalah Thian-leng, sadar apa yang dihadapinya. Tetapi ia tak gentar melainkan cemas memikirkan nasib Cu Siau-bun,
sang kawan yang berwajah pucat itu.
Tiba-tiba tempat tidurnya bergoncang dan berobahlah wajah kedua kakak beradik Ki seketika. Si nona baju hijau yang
ternyata bernama Ki Gwat-wan buru-buru padamkan lilin, terus ajak Ki Seng-wan keluar ke geladak, Kembali terasa
goncangan hebat. Lebih mengejutkan hati kedua nona itu ialah kenyataan bahwa perahu itu tengah menuju ke pantai.
Si tukang perahu tak berdaya sama sekali. Betapapun ia mendayung sekuat tenaganya, namun perahu tetap berputar
menuju ke pantai.
Pucat seketika wajah kedua nona itu. Belum pernah mereka mengalami peristiwa yang mengherankan seperti itu.Tiba-tiba terdengar lengking suara kecil yang menyusup ke telingan kedua nona itu, “Turunkan anak muda she Kang
itu dari perahumu, baru kalian tak kuganggu.!”
Kedua nona itu saling berpandangan, mereka sadar berhadapan dengan seorang sakti. Adalah demi menjaga
gangguan dari musuh, maka Onghui memerintahkan supaya Thian-leng ‘disimpan’ dalam penjara rahasia di Tiang-
ceng-pia-kiong. Siapa tahu kini di tengah perjalanan dicegat orang.
Saat itu kedua nona itupun melihat sesosok bayangan hitam tengah duduk di gerombol semak yang tumbuh di tepi
pantai. Kedua tangannya dicakar-cakarkan ke atas seperti orang menarik. Adalah karena gerakan itu maka perahu
macet dan menghampiri ke arahnya.
Ki Gwat-wan tertawa rawan, bisiknya kepada sang adik.”Tugas gagal, Onghui tentu memberi hukuman mati. Orang
itu hendak menolong budak Kang ini, tentu tak ingin melihatnya mati. Jiwa anak muda ini berada di tangan kita.
Kecuali menggunakan siasat tekanan, kemungkinan kita bisa selamat. Kalau tidak , celakalah kita!”
Ki Seng-wan mengangguk, ia memberi isyarat mata ke pada si tukang perahu. Dengan sekuat tenaga, kakak beradik
she Ki itu mendorongkan kedua tangannya ke pesisir. Dan serempak dengan itu si tukang perahu mendayung
sekuatnya, Seketika perahu meluncur ke tengah sungai lagi!
Rupanya orang di tepi pesisir itu marah. Ia menggerakkan sebuah tangannya memukul ke tengai sungai. ‘Krak..’
trdengar ledakan dan perahupun pecah berantakan!
Orang berbaju hitam itu mendengus. Kembali ia mencakar-cakar dengan kedua tangannya. Seperti tersedot tenaga
yang kuat, tubuh penumpang-penumpang perahu mencelat ke pesisir. Thian-leng tepat jatuh di muka si orang aneh..
Kedua nona Ki, tukang perahu dan bujang perempuan berhamburan tumpang tindih. Tubuh mereka menggigil
kedinginan, tetapi aneh, tak ada yang terluka.
Orang berbaju hitam itu tetap duduk di muka semak. Tubuhnya kecil, rambut putih dan muka penuh keriput. Selintas
pandang seperti seorang nenek tua. Tetapi kedua saudara Ki segera mengetahui bahwa wajah si nenek itu bukan
wajah yang sebenarnya, melainkan memakai topeng.
“Silakan kalian pergi, jangan sampai aku berobah pikiran!” dengus nenek tua itu.
Setelah terengah-engah beberapa saat, barulah Ki Gwat-wan dapat berkata, “Toh serupa bakal mati, silakan lo-
cianpwe membunuh kami saja!”
“Kalian sudah jemu hidup dan ingin mati?” nenek itu menjengek.
“Sekalipun tidak ingin mati, tetapi majikan kamipun tentu takkan mengampuni kami. Dicincang pisau atau disiksa
sampai mati!”
“Bukalah jalan hidup, lepaskan dirimu dari cengkeraman maut. Masakan kalian tak dapat melarikan diri jauh-jauh dan
hanya mandah menjadi budak seumur hidup ! “ nenek aneh itu tertawa.
Ki Gwat-wan menggelengkan kepala tertawa rawan,” Percuma, ke liang semutpun kita tentu akan tertangkap lagi
olehnya!”
“Benarkah Sin-bu-kiong mempunyai pengaruh sedemikian hebatnya?” nenek tua itu terkesiap.
“Masakah kami berani membohongi lo-cianpwe!” kedua nona itu berseru serempak.
Nenek itu tertawa dingin. Ia mengeluarkan sebuah benda lalu dilemparkan ke muka kedua nona, “Pulang dan
tunjukkan benda itu kepada majikanmu. Tak nanti dia berani menghukummu!”
Ketika Ki Seng-wan mengambil benda itu, pucatlah seketika wajahnya, “Kiranya….lo-cianpwe ….. ini….”
“Lekas enyah!” bentak nenek baju hitam. Sekali kebutkan lengan bajunya, Ki Gwat-wan, Ki Seng-wan, tukang perahu
dan si bujang terpental sampai dua tombak jauhnya. Hebat benar tenaga yang dipancarkan si nenek. Tetapi yang
lebih mengagumkan bahwa keempat orang itu sama sekali tak ada yang terluka.
Saat itu Thian-leng masih menggeletak di hadapan si nenek. Kedua kaki tangannya tertutuk tak dapat berkutik. Ia
mendengar pembicaraan tetapi tak dapat melihat apa yang terjadi. Ia juga tak tahu benda apa yang dilemparkan oleh
si nenek tadi. Satu-satunya yang diketahui bahwa kepandaian nenek itu sungguh hebat sekali. Mungkin di dunia
persilatan tiada yang menandinginya lagi.
‘Wut’ ,tiba-tiba nenek itu kebutkan tangannya. Seketika itu Thian-leng merasakan darahnya lancar kembali. Buru-
buru ia bangun. Ternyata kebutan tangan si nenek itu dapat membuka jalan darah thian-leng yang tertutuk.
“ Terima kasih atas pertolongan lo-cianpwe. Entah lo-cianpwe…”
“Kebetulan aku lewat di sini dan melihat dari jendela kau hendak dicelakai kedua budak peremputuan tadi. Maka
terpaksa aku turun tangan,” tukas si nenek.Masih tak mengerti THian-leng mengapa si nenek begitu baik hati menolongnya. Hendak menanyakan lebih jauh, ia
merasa jeri terhadap sikap si nenek yang begitu angker.
“Siapa namamu?” tiba-tiba nenek itu bertanya.
“Wan-pwe bernama Kang…..” baru berkata sampai di situ, tiba-tiba Thian-leng berhenti dan berganti nada,
“Sebenarnya aku bukan orang she Kang.”
“Aneh, setiap orang tentu mempunyai she, siapakah she keturunanmu? Siapa namamu?” nenek itu bertanya heran.
“Mestinya akupun mempunyai nama, tetapi nama itu ternyata nama palsu. Aku benci pada nama itu ! Tak tahu aku ini
orang she apa dan namaku…. “ Thian-leng tertegun sejenak, lalu berkata pula, “ Karena sekarang aku tak mempunyai
she dan nama, baiklah lo-cianpwe panggil diriku Bu-beng-jin sajalah!”
Bu-beng-jin artinya orang yang tak bernama.
“Baiklah, “ nenek itu tersenyum, “rupanya kau tentu mempunyai riwayat yang menyedihkan, mengapa tak mau
menceritakan padaku?”
Thian-leng mempunyai kesan baik terhadap nenek itu. Maka iapun segera menceritakan riwayat dirinya. Hanya
pengalamannya bertemu dengan Hun-tiong-sin-mo tak dituturkan.
Si nenek mengerutkan dahi, rupanya ia menaruh perhatian sekali. Selesai penuturan, berkatalah ia,”Apakah ceritamu
sudah benar semua?”
“Apa yang wan-pwe ketahui hanya begitu. Selanjutnya sejak saqat ini wan-pwe hendak berusaha untuk menyelidiki
rahasia diri wan-pwe,” sahut Thian-leng.
“Ingatkah kau waktu kecilmu mempunyai seorang ayah?” tanya nenek itu.
Thian-leng gelengkan kepala, “Tidak. Yang kuingat hanya sejak kecil aku hidup bersama seorang ‘ibu’ yang mengaku
bernama Liok Po-bwe dan tinggal di lembah Pek-hun-koh. Menurut keterangannya, ayahku bernama Kang Siang-
liong. Sudah mati sejak 17 tahun yang lalu. tetapi aku percaya keterangannya itu tentu bohong!”
Sejenak Thian-leng memandang si nenek dengan tegang, serunya;”Apakah lo-cianpwe tahu sedikit tentang keadaan
diriku….?”
“Ceritamu itu mengingatkan aku pada seorang sahabat lama. tetapi dengan yang kau ceritakan orang itu tidak
sesuai….” si nenek sejenak menatap wajah Thian-leng, lalu melanjutkan kata-katanya. “Kalau benar seperti yang
kuduga, ‘ibumu’ itu tentulah orang she Ma dan kau masih mempunyai seorang ayah she Nyo. Kau memang benar
anak mereka!”
Thian-leng menggeleng kecewa, “Sama sekali tidak cocok!”
Si nenekpun tertawa hambar, “Mungkin kau bukan orang yang kubayangkan itu….” tiba-tiba ia berganti nada, “Tetapi
bagaimanapun juga kau berjodoh denganku. Hendak kuberikan kau sebuah bingkisan…”
“Budi pertolongan lo-cianpwe masih belum dapat kubalas, mana aku berani menerima hadiah lo-cianpwe lagi?” buru-
buru Thian-leng menolak.
Si nenek tersenyum, “Liku-liku kehidupan dunia persilatan itu penuh bahaya. Jika tak mempunyai kepandaian apa-
apa, setiap saat tentu terancam bahaya. Kupikir hendak memberimu tiga jurus ilmu pedang……”
Bukan main girangnya Thian-leng, serunya,” Jika lo-cianpwe tak menampik, wan-pwe mohon supaya diterima menjadi
murid….!” Habis berkata Thian-leng terus hendak berlutut memberi hormat.
“Jangan!” nenek itu tertawa, “telah menjadi peraturan kaumku, selain ahli waris, tak boleh menerima murid lagi. Tak
usah kita terikat sebagai murid dan guru!”
Heran Thian-leng dibuatnya. Jelas nenek itu tak mengadakan gerakan apa-apa, tetapi maksudnya hendak berlutut itu
kandas karena dirinya seperti tertarik oleh tenaga yang tak terlihat.
“Apakah lo-cianpwe sudah mempunyai pewaris?” tanyanya putus asa.
Nenek itu mengangguk, “Masing-masing orang mempunyai rejeki sendiri, tak boleh mengiri. Mungkin kelak kau akan
bertemu orang yang lebih sakti dari diriku!”
“Tidak mungkin, “Thian-leng tertawa tawar, “Di kolong langit mana ada orang yang mampu menandingi kesaktian lo-
cianpwe lagi?”
“Di atas gunung masih ada langit, di atas langit masih ada langit lagi. Dalam jagad yang begini luasnya, masih banyak
orang yang lebih sakti dari diriku. Soalnya mereka itu tak mau diketahui orang !”Tergerak hati Thian-leng atas ucapan nenek itu. Terlintas suatu pertanyaan dalam hati, serunya, “Entah siapa yang
lebih sakti antara lo-cianpwe dengan Hun-tiong-sin-mo?”
Nenek itu tertegun, tertawa, “ Sukar dikatakan karena selama ini aku belum pernah bertempur dengannya. Hanya
saja….” ia berhenti sejenak baru melanjutkan berkata pula, “Hun-tiong-sin-mo juga bukan jago nomor satu di dunia.
Di dunia ini masih ada tokoh yang lebih sakti. Masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan sendiri-sendiri.
Memang selama 60 tahun ini Hun-tiong-sin-mo tak pernah dikalahkan orang. Tetapi penantang-penantangnya itu
bukanlah tokoh-tokoh yang benar-benar sakti.!”
Thian-leng heran. Kalau memang ada orang yang lebih sakti, mengapa selama 60 tahun Hun-tiong-sin-mo dapat
sewenang-wenang merajai dunia persilatan?
Nenek itu berkata pula dengan agak rawan, “Ah, pertumpahan darah besar-besaran memang sukar dihindari. Tak
lama tentu bakal terjadi suatu peristiwa luar biasa. Dunia persilatan akan mengalami banjir darah besar, tetapi
setelah itu akan berganti suasana yang lain… ”
Tiba-tiba ia menghentikan ucapannya. Dari lengan bajunya dikeluarkan sebatang pendang pendek yang amat tajam.
Begitu dikibatkan, pedang itu menghamburkan sinar dingin yang meliputi setombak lebih luasnya.
Pada lain saat terdengar bunyi berderak dahsyat disusul oleh tumbangnya sebatang pohon yang besarnya sepelukan
orang dewasa.
Thian-leng terbeliak kaget. Hampir ia tak percaya apa yang disaksikan saat itu. Ia Yakin, nenek itu tentu tokoh nomor
satu di dunia. Ya, siapa lagi yang mampu menandingi kesaktian sedahsyat itu. Tetapi aneh, mengapa si nenek
mengatkan bahwa di dunia masih banyak orang yang lebih sakti daripada dirinya ?
Rupanya si nenek agak riang hatinya, ia bangkit dan berkata, “Tiga jurus ilmu pedang ini penuh dengan perobahan
ayng sukar diduga. Terserah pada kecerdasan otakmu, sampai di mana kau mampu menyelaminya ! “
Ia maju ke sebidang tanah lapang di tepi sungai dan mulai mengajarkan ilmu pedang pada Thian-leng.
Di bawah sinar rembulan, pedang itu berobah menjadi hamparan sinar perak yang berhawa dingin. Sepintas mirip
dengan ribuan bintang yang berhamburan jatuh dari langit….
Kemudian ia menyuruh Thian-leng menirukan. Thian-lengpun segera memainkan ajaran si nenek.
“Bagus, bagus!” si nenek bertepuk tangan memuji, “bakatmu tak jelek! Meskipun belum sepenuhnya kau selami ilmu
pedang Toh-beng-sam-kiam (Tiga pedang perenggut nyawa), tapi cukuplah memadai!”
Thian-leng hentikan permainan pedangnya, tersipu-sipu ia berlutut menghaturkan terima kasih di hadapan nenek ini,
“Entah bagaimana aku dapat membalas budi lo-cianpwe yang sedemikian besarnya?”
Si nenek merenung sejenak, ujarnya ,”Baiklah, aku hendak minta tolong sebuah hal!”
“Silakan lo-cianpwe mengatakan, sekalipun masuk kedalam lautan api, wanpwe tentu akan melaksanakan!”
Agak lama nenek itu berdiam diri, baru setelah itu ia berkata pula, “Aku mempunyai seorang sahabat lama. Karena
belasan tahun yang lalu pernah bentrok mengenai suatu hal yang tak menyenangkan hati, maka ia menganggap aku
sebagai musuhnya. Sejak saat itu ia memutuskan hubungan…..” ia behenti sejenak untuk menghela napas panjang,
lalu ujarnya lebih lanjut, “Tetapi setelah mengasingkan diri selama belasan tahun, aku merasa menyesal dengan
peristiwa itu. Tetapi selama ini aku tak mendengar beritanya lagi….”
“Apakah lo-cianpwe hendak suruh wanpwe mencarinya?” Thian-leng menanggapi.
Nenek tua itu tertawa getir, “ Di dunia yang begini luasnya, mana dapat kau mencarinya? Tetapi cobalah kau mencari
beritanya di kalangan kaum persilatan. Kalau sifatnya belum berubah, dia memang gemar menimbulkan
kegemparan!”
“Siapakah nama orang itu? Tentu seorang tokoh yang ternama bukan?” tanya Thian-leng.
Di luar dugaan nenek itu menggeleng, “Sukar kukatakan padamu. Yang jelas dia sudah menghilang selama 16 tahun
lebih. Taruh kata pada masa itu dia seorang tokoh ternama, tetapi lewat waktu yang sedemikian lama, mungkin
sudah dilupakan orang… hm,,.., dia bernama Thiat Beng bergelar Pendekar Pedang bebas. Sekarang dia berumur 37
tahun!”
Thian-leng melongo. Menilik pembicaraan si nenek, jelas kalau orang ini mempunyai hubungan baik kepadanya.
Thian-leng mengira orang itu tentulah seorang tua yang sebaya umurnya dengan si nenek. Ai, mengapa hanya
berumur 37 an tahun? Namun Thian-leng sungkan untuk menanyakan hal itu. Ujarnya, “ Baik, wanpwe akan
mengingatnya….Tetapi andaikata dapat menjumpainya, bagaimana harus kukatakan….”
Wajah si nenek agak menegang sesaat, katanya dengan nada agak gemetar, “Kau dapat menjumpainya? …Apaka dia
dapat kembali…?”
Cepat si nenek itu menyadari keterlepasan bicara, tertawalah ia dengan rawan,”Bila kau dapat berjumpa dengannya,katakanlah bahwa aku mengundangnya datang ke puncak Giok-lo-hong gunung heng-san….Asal dia mau mebuang
sifatnya yang lama, tentu akan datang. Namun, tidakpun tak apalah…!”
Masih Thian-leng menegas, “Sebaiknya ditetapkan waktu pertemuan itu. Dan…. di manakah tempat tinggal lo-
cianpwe? Mengapa tak mengundang ke rumah lo-cianpwe saja?”
Si nenek tertawa hambar, “Asal kau menurut apa yang kukatakan tadi, dia tentu sudah mengerti sendiri. Aku suka
berkelana, tak punya tempat tinggal tertentu. !“
“Sudikah lo-cianpwe memberitahukan nama lo-cianpwe yang mulia?” Thian-leng makin mendesak.
Kembali keriput di wajah nenek itu menegang, jawabnya,” Namaku sudah lama tak disebut orang. Dan lebih baik
begitulah…. .” Tiba-tiba dengan nada rendah setengah berbisik, si nenek berdendang, “Di kala dikau pulang, di saat
itulah istreimu patah hati…. Ya, namaku Toan-jong-jin sajalah!”
“Toan…jong….jin,” Thian-leng tersekat-sekat mengulang. Toan-jong-jin artinya Orang yang patah hati.
Thian-leng makin terbenam dalam kabut rahasia. Jelas bahwa pendekar Pedang bebas Thiat Beng itu tentulah kekasih
dari si nenek. Tetapi ah, hal itu tak masuk akal. Masakah seorang nenek berumur tujuh delapan puluh tahun
mempunyai kekasih seorang pria umur 37 tahun. Apalagi peristiwa asmara itu terjalin pada 17 tahun yang lampau,
yaitu waktu Thiat Beng masih berumur 20 tahun dan si nenek sudah 5-6 puluh tahun usianya….
“Bu-beng-jin!” tiba-tiba nenek itu berseru, “Pergilah sekarang. Pedang itu kuberikan padamu!”
Thian-leng seperti orang mimpi. Serta-merta ia berlutut,” Bagaimana wanpwe berani menerima budi lo-cianpwe yang
demikian besarnya?”
Ternyata pedang pendek itu sebuah pedang pusaka yang luar biasa tajamnya. Dapat dipakai membelah segala
macam logam. Sehabis melakukan ajaran ilmu pedang Toh-beng-sam-kiam, Thian-leng lupa mengembalikan pedang
ini kepada si nenek.
Habis berkata nenek aneh itupun sudah lantas pergi. Ketika tak mendapat jawaban, Thian-leng mengangkat muka,
ah… ternyata si nenek sudah lenyap dari hadapannya.
Jadi tadi ia hanya berlutut memberi hormat pada angin saja.
Terlongong-longong Thian-leng memikirkan kesaktian yang dimiliki nenek itu. Muncul perginya seperti angin saja.
Sampai beberapa saat barulah ia tersadar. Telah beberapa hari ini, ia selalu mengalami beberapa peristiwa yang
mengherankan. Hampir tak masuk akal namun merupakan kenyataan.
Angin behembus dingin, hari menjelang fajar. Setelah menyelipkan pedang, Thian-leng segera berjalan menyusur tepi
sungai. Dia telah menetapkan tujuannya, hendak menyelidiki rahasia asal usul dirinya, mencari kedua ayah bundanya
dan menuju ke gunung Thay-heng-san mencari guru. Setelah dapat menguasai ilmu pukulan Lui-hwe-ciang baru
membuat perhitungan dengan Song-bun-kui-mo. Dan yang terakhir ia akan melaksanakan pesan si nenek Toan-jong-
jin untuk mencari pendekar Pedang bebas Thiat Beng dan tak lupa iapun hendak mencari Liok Po-bwe, wanita yang
telah mengaku dan memalsu sebagai ibunya.
Eh, iapun akan mencari Cu Siau-bun!
Banyak nian tugas dan pekerjaan yang membebani benaknya. Sedemikian banyaknya, hingga tak tahu ia bagaimana
harus memulainya!
Mengenai asal-usulnya yang begitu misterius, ternyata sukar untuk diusut. Langkah pertama ialah harus mencari si
ibu palsu Liok Po-bwe. Tetapi kemanakah perginya wanita itu ? Dan seandainya dapat menemukan wanita itu, belum
berarti bahwa ia tentu berhasil mendapat keterangan siapakah ayah bundanya yang asli !
Terbayang pula akan tugas yang diminta oleh si nenek Toan-jong-jin. Ia harus melaksanakan pesan wanita yang telah
banyak memberi budi kepadanya itu. Tetapi ke manakah ia harus mencari Pendekar Pedang bebas Thiat Beng?
Satu-satunya cara yang akan ditempuh ialah, dalam perjalanan ke gunung Thay-heng-san itu, ia akan mencoba untuk
mencari berita mengenai tokoh itu serta Liok Po-bwe wanita yang memalsu sebagai ibunya.
Tak tahu saat itu ia berada di mana, iapun tak kenal jalan. Yang diketahuinya ialah gunung Thay-heng-san terletak di
sebelah timur.
Karena baru pertama kali keluar mengembara di dunia persilatan, maka thian-leng selalu tertarik dan memperhatikan
segala yang ditemuinya dalam perjalanan. Tak mau ia berjalan cepat-cepat. Ia selalu mempelajari sesuatu dan
mencari berita ketiga orang yang hendak dicarinya itu, yakniThiat Beng, Liok Po-bwe dan Cu Siau-bun.
Hari itu adalah hari yang ke 12 ketika menjelang magrib ia tiba di tepi sebuah sungai Tan Ho. Sebenarnya ia hendak
mencari penginapan, tetapi saat itu ia berada di tengah sebuah hutan belantara jauh dari pedesaan. Namun ia tak
bingung, paling-paling tidur di udara terbuka, demikian pikirnya sambil mengayunkan langkahnya.
Tiba-tiba angin malam membawa suara gemerincing senjata beradu. Itulah jelas suatu pertempuran. Tapi
pertempuran itu berlangsung singkat sekali. Pada lain saat terdengarlah jerit yang menyeramkan. Tak ayal lagi Thian-leng segera mengenjot tubuhnya menerobos ke arah datangnya suara itu. Cepat sekali ia bergerak, namun masih
terlambat juga. Melintasi sebuah puncak yang tandus, segera ia menyaksikan sebuah pemandangan yang
mengerikan….
Tujuh sosok manusia bergelimpangan menjadi mayat di atas rumput. Dua orang paderi, lima imam. Tubuh mereka
hancur lebur akibat hantaman tenaga berat atau Ciong-chiu-hwat!
Pada dahi salah seorang imam yang rebah terlentang, tertancap sebatang panji kecil Tengkorak darah, lambang
keganasan Hun-tiong-sin-mo…
Thian-leng cepat menerobos ke seluruh pelosok. Pikirnya, karena peristiwa itu baru saja terjadi tentu ia dapat
mengejar iblis ganas itu. Tetapi nyatanya ia tak melihat sesuatupun. Algojo ganas itu sudah lenyap! Terpaksa ia
kembali. Dicabutnya panji kecil itu dan diperiksanya dengan teliti.
Teringat ia akan pembicaraan dengan Cu Siau-bun tempo hari. Pemuda Cu itu pernah mengatkan dengan yakin
bahwa ada orang yang memalsu menjadi Hun-tiong-sin-mo untuk melakukan pembunuhan ganas dan memakai juga
Panji tengkorak darah palsu. Tetapi Thian-leng tak dapat membedakan palsu tidaknya panji yang tengah diperiksa itu.
Tiba-tiba ia dikejutkan oleh derap kaki yang begemuruh. Dan pada lain saat muncullah berpuluh-puluh orang yang
mengepungnya. Mereka berjumlah 20 orang lebih, dan terdiri dari bermacam golongan; paderi, imam dan orang
biasa. Melihat langkah kaki yang berat dan mata mereka yang berkilat-kilat tajam, terang mereka itu tentu jago-jago
silat yang berilmu tinggi. Dan yang lebih mengejutkan lagi, mereka bersikap bengis dan bermusuhan kepada Thian-
leng..!
Dengan masih mencekal panji kecil, Thian-leng menyapa heran, “Apakah cuwi….”
“Benda apakah yang kau cekal itu?” bentak seorang tua yang tampil ke muka.
“Panji Tengkorak Darah…” belum habis Thian-leng menyahut, seorang berjenggot panjang sudah menukasnya,
“Omitohud! Hun-tiong-sin-mo pembunuh ganas tanpa bayangan itu ternyata tak mempunyai 3 kepala 6 lengan…”
Ia behenti sejenak mengerlingkan mata, lalu berkata pula, “Apa kedudukanmu dalam kawanan anak buah Hun-tiong-
sin-mo?”
Thian-leng mengkerutkan dahi, sahutnya,” Cuwi (tuan-tuan) salah paham. Aku hanya kebetulan lewat di sini…”
“Bukti sudah jelas, mengapa masih menyangkal!” bentak si orang tua tadi, ”Darah para korban masih belum kering.
Kami cepat datang kemari tiada orang lain kecuali engkau. Siapa lagi pembunuhnya kalau bukan kau?”
Sementara beberapa paderi dan imam segera mengerumuni mayat-mayat itu untuk mengenali. Kemudian mereka
membaca ayat-ayat doa dan bersembahyang. Terang beberapa korban itu kawan mereka. Mungkin mereka berjalan
berpencar sehingga terlambat untuk memberi pertolongan.
Thian-leng heran melihat rombongan orang yang begini banyak. Terang mereka adalah rombongan partai besar.
Namun karena sikap mereka yang tak memberi kesempatan membantah, telah menimbulkan reaksi Thian-leng.
Katanya, “Jika cuwi tetap tidak percaya, akupun tak dapat berbuat apa-apa…” Tiba-tiba ia mendapat pikiran. Buru-
buru ia bergeser ke arah seorang paderi tua, serunya,” Dapatkah lo-siansu memberitahu partai lo-siansu yang
terhormat?”
“Lo-hu dari kuil Siau-lim-si,” rupanya paderi itu agak sabar dari kawan-kawannya.
Girang Thian-leng bukan kepalang. Buru-buru ia mengeluarkan Giok-pay dan diserahkan kepada paderi tua itu,” Inilah
benda dari Bu Ceng taysu yang diberikan padaku agar diserahkan pada kuil Siau-lim-…..”
Thian-leng yang berhati polos sedikitpun tidak menduga bahwa penyerahan giok-pay itu bahkan akan makin
menimbulkan salah paham. Sejak 60 tahun lamanya, tak pernah ada orang yang keluar dari markas Hun-tiong-sin-
mo dengan masih hidup. Jelas sudah bahwa Thian-leng tentu anak buah Hun-tiong-sin-mo, apalagi dia dapat
membawa giok-pay yang dibawa Bu Ceng.
Dengan gemetar paderi tua itu menyambuti giok-pay , ujarnya, “Ketua dan kedelapan Tiang-lo kami…”
Thian-leng menanggapi dengan helaan napas, “Mereka tak beruntung telah binasa di tangan Hun-tiong-sin-mo!”
Paderi tua itu segera berdoa beberapa kali , lalu berkata, “Memang hal itu telah kami duga. Karena berselang 10 hari
ketua dan kedelapan tiang-lo kami tak pulang, maka kami duga tentu binasa di sarang Hun-tiong-sin-mo….. terima
kasih atas kebaikanmu mengantar tanda pusaka dari kuil kami ini!”
Thian-leng tertegun, ujarnya, “Secara kebetulan saja aku dapat melarikan diri dari sarang Hun-tiong-sin-mo. Aku
menerima permintaan dari lo-siansu…., “ ia tak dapat melanjutkan perkataannya. Ia merasa urusan itu makin
dijelaskan makin tak dipercaya. Tak tahu ia bagaimana baiknya.
Paderi itu tertawa dingin, “Tak perlu sicu banyak-banyak memberi penjelasan. Kalau ketua dan ke 8 tiang-lo saja
tetap kalah dengan Hun-tiong-sin-mo, apalagi sicu yang masih begitu muda…”“Tak perlu kiranya taysu membuang waktu dengannya, “ tiba-tiba imam tua yang tampil ke depan tadi menukas.
“Terang dia itu kaki tangan Sin-mo. Dapat membunuh kelima sute kami dan dua orang paderi Siau-lim-si, jelas kalau
dia mempunyai kepandaian sakti. Baiklah kita tak usah menurutkan segala macam peraturan dunia persilatan untuk
menghadapi manusia yang seganas ini. Marilah kita beramai-ramai meringkusnya….”
“Benar,” sahut seorang paderi muda, “Andaikata kita mati ditangannya, pun tetap ada saudara kita yang akan
membalasnya. Ketiga Cun-cia ( paderi yang berkedudukan tinggi) telah mengirimkan undangan ke berbagai tempat.
Tak lama lagi partai-partai persilatan akan mengerahkan orangnya untuk meluruk ke Hun-tiong-san. Betapapun
saktinya Sin-mo, jangan harap dapat lolos lagi. Dan kau boleh menerima kematianmu dulu!”, ucapan itu ditutup
dengan sebuah serangan kepada Thian-leng. Serempak ke duapuluh orangpun segera turut menyerang.
Thian-leng benar-benar marah sekali. Sia-sia saja semua penjelasannya, toh mereka tetap menuduhnya sebagai kaki
tangan Hun-tiong-sin-mo. Ia dengan lincah menghindar, namun serangan pedang dan pukulan yang segencar hujan
itu benar-benar membuatnya tak berdaya. Akhirnya karena terpepet, Thian-lengpun terpaksa menyerang sampai tiga
kali. Hawa panas meranggas dan terdengar jeritan kaget di sana sini. Seranganpun agak reda.
“Cek-kui-sin-ciang, itulah ilmu keistimewaan Hun-tiong-sin-mo!” teriak beberapa orang.
Thian-leng tersenyum mengkal. Sekalipun ilmu pukulan Lui-hwe-ciangnya itu sejenis dengan ilmu pukulan Cek-kui-
sin-ciang (pukulan merah sakti ), namun kedua ilmu pukulan itu berlainan jurusnya. Tetapi celakanya, salah terka itu
makin menambah salah paham mereka!.
Kemampuan Lui-hwe-ciang Thian-leng masih belum sempurna, maka tenaga pukulannyapun belum seberapa dahsyat.
Apalagi ia sibuk harus menghindari serangan mereka.
Sejenak kemudian para penyerangnya itupun mulai menyerang lagi. Rupanya mereka mengetahui tingkat kepandaian
Thian-leng. Asal bersatu, tentu dapat meringkus anak muda itu.
Thian-leng makin terjepit. Keadaannya benar-benar dalam bahaya. Dia sungguh penasaran sekali. Mati dibunuh Hun-
tiong-sin-mo ataupun musuh lainnya, ia akan puas. Tetapi mati karena diduga sebagai anak buah Sin-mo sungguh
membuatnya penasaran sekali. Tiba-tiba bahu kirinya terasa sakit. Sebuah sambaran pukulan musuh mengenainya.
Dia terkejut dan serentak menyalalah kemarahannya. Selintas teringatlah ia akan pedang pusaka pemberian nenek
Toan-jong-jin. Sekali cabut, segera ia mainkan salah satu jurus dari ilmu pedang Toh-beng-sam-kiam yang disebut
Nok-hay-keng-liong atau Gelombang dahsyat mengejutkan naga.
Seketika berhamburanlah percikan cahaya perak yang menyilaukan mata…..
Sesaat kemudian terdengar jeritan ngeri dan teriakan terkejut. Para pengeroyoknyapun berhamburan menyurut
mundur!
Thian-leng menghentikan pedangnya. Iapun tersirap kaget. Enam sosok mayat tampak bergelimpangan di tanah. Tiga
orang imam dan dua paderi tewas, serta seorang jago biasa. Kepala mereka pecah berhamburan, perut robek dan
darah menggenangi tanah. Hampir Thian-leng tak percaya, namun benar-benar ke enam mayat itu adalah korban dari
pedang pusakanya. Ia tahu bahwa ilmu pedang Toh-beng-sam-kiam memang sakti, tapi tidak menduga sama sekali
bahwa hanya dengan sebuah jurus saja, ternyata hasilnya sedemikian dahsyatnya!.
Thian-leng menyesal sekali. Ia tegak termangu seperti patung.
“Sicu terlalu ganas sekali!” terdengar paderi tua dari Siau-lim-si tadi mendampratnya.
Thian-leng tak dapat menyahut kecuali hanya menghela napas.
Salah seorang imam berseru, “Mengapa sicu tak melanjutkan keganasan lagi? Ayo , masakah sicu mau memberi
ampun kepada kami sekalian!”
Kembali Thian-leng menarik napas. Ia menyelipkan pedang ke pinggang lalu melangkah pergi. Sekalian orang
terbeliak heran.
Ya, memang Thian-leng terpaksa berbuat begitu. Ia tak dapat memberi penjelasan, maka dibiarkan saja mereka
menyangka begitu. Adalah karena tak tega menyaksikan korban-korban tadi, maka ia segera angkat kaki.
Tiada seorangpun yang berani menghadang. Tiba-tiba salah seorang paderi muda berseru, “Harap sicu tinggalkan
nama dulu sebelum pergi!”
Thian-leng hentikan langkah, sahutnya, “Aku bernama….. Bu-beng-jin!”
“Bu….beng …. jin…” terdengar beberapa suara mengulang terputus-putus nama aneh itu.
“Baik, Bu-beng-jin! Ingatlah hutang darah hari ini.Tak lama kau harus membayarnya!” seru paderi muda itu.
Thian-leng tak menyahut. Cepat ia ayunkan langkah lagi. Tak berapa lama kembali ia berada seorang diri di tengah
kepekatan kabut malam yang menyelubungi tepi sungai.
Sepuluh hari kemudian tibalah ia di lembah Sing-sim-kiap di wilayah gunung Thay-heng-san. Sebuah lembah yangmamat berbahaya. Karang dan tebing curam menjulang ke langit. Dengan menurutkan peta pemberian Oh-se-gong-
mo, ia menyusup ke dalam lembah itu.
Teringat ia akan kata-kata paderi muda yang turut dalam pengeroyokan tempo hari, bahwa para Cun-cia dari kuil
Siau-lim-si telah mengirimkan undangan kepada seluruh partai persilatan agar datang dalam pertemuan di gunung
Thay-heng-san. Kalau tujuan pertama itu ialah diperuntukkan menyatukan langkah menghadapi Hun-tiong-sin-mo, itu
sih tak mengapa. Tapi anehnya mengapa tempat pertemuan di pilih di gunung Thay-heng-san? Dan di daerah
pegunungan Thay-heng-san yang beratus-ratus li luasnya itu, tak tahu ia dimana pertemuan kaum persilatan itu
diadakan….
Ada sebuah hal yang menggelorakan perasaannya. Yakni selama dalam perjalanan itu, ia tak menemui rintangan apa-
apa. Namun hatinya tetap memikirkan pada dirinya yang belum ketahuan asal-usulnya serta bermacam-macam
peristiwa aneh yang dialami selama ini.
Setelah menyusur tikunan dan kelokan yang berliku-liku, akhirnya tibalah ia di muka sebuah sungai yang deras
airnya. Menurut peta, sungai itu disebut Pek-long-ho (sungai arus putih ). Terjadi dari kumpulan aliran-aliran air yang
terdapat di atas gunung. Karena saat itu sedang musim hujan, maka arus sungaipun kencang sekali.
Setelah melintasi sungai itu dan menikung di sebuah barisan karang curam, hatinyapun berdebar keras. Ya, menurut
keterangan peta, tempat yang ditandai dengan lingkaran merah itu merupakan tempat tinggal dari si orang sakti Sip-
Uh-jong, tokoh yang hendak dicarinya itu. Apakah tokoh itu masih berada di situ? Demikian pertanyaan yang timbul
di hati Thian-leng.
Oh-se-gong-mo mengadakan perjanjian dengan tokoh itu pada 30 tahun berselang. Ya, 30 tahun bukanlah waktu
yang singkat. Apakah dalam waktu yang sedemikian lama tokoh itu masih hidup?
Masih ada sebuah pertanyaan lagi. Apakah tokoh itu mau menerimanya sebagai wakil dari Oh-se-gong-mo, kemudian
mau memberikan pil Kong-yang-sin-tan kepadanya? Thian-leng berjalan dengan seribu satu kegelisahan.
Tak berapa lama tampaklah sebuah goa dari batu karang yang menjulang tinggi. Timbullah kegirangan pada Thian-
leng karena goa itu mungkin goa kediaman Sip-Uh-jong. Tetapi dalam sekejap api kegirangan itupun padam kembali.
Karena di muka goa itu penuh ditumbuhi rumput liar setinggi dada orang. Suatu tanda bahwa goa itu tentu sudah
lama tak dihuni orang.
Melangkah ke dalam goa, didapatinya goa itu penuh dengan sarang laba-laba. Suatu hal yang membuatnya kecewa.
Ia menghibur hatinya sendiri, sekalipun tak berhasil memperdalam ilmu Lui-hwe-ciang, namun ia masih mempunyai
ilmu pedang Toh-beng-sam-kiam yang sakti. Kiranya ilmu pedang itu cukup untuk menghadapi Song-bun-kui-mo
nanti.
Ketika ia memutar tubuh hendak meninggalkan goa itu, tiba-tiba matanya tertumbuk akan segunduk benda yang
mirip dengan tubuh manusia melingkar di sudut ruang. Ia tertegun, pikirnya,”Hm, Sip lo-cianpwe itu memang seorang
manusia luar biasa yang berwatak aneh. Mungkin dia masih tinggal di goa yang tak pernah dibersihkan ini!”
Makin diperhatikan, makin jelaslah bahwa benda itu memang seorang manusia yang tengah melingkar tidur di sebuah
bale-bale batu. Karena mukanya ditutupi dengan kedua lengan baju, maka tak jelaslah bagaimana wajahnya.
Ya, siapa lagi kalau bukan Sip-Uh-jong. Dengan pemikiran itu, segera Thian-leng melangkah maju kemudian berlutut
di depan bale-bale batu, ujarnya, “Sip lo-cianpwe…...”
Orang itu menggeliat balikkan tubuh dan…………Thian-leng melonjak kaget seperti dipagut ular demi melihat siapa
yang tidur di tempat yang sejorok itu, “Cu-heng…… kau….!”
Ya, memang yang tidur melingkar itu bukan tokoh sakti Sip Uh-jong, tetapi Cu Siau-bun si pemuda berwajah pucat.
Cu Siau-bun tertawa hambar, “Menantikan kau….”
“Menantikan aku ?” kembali Thian-leng tercengang, “Bagaimana kau tahu aku akan datang ke sini?”
Cu Siau-bun hendak membuka mulut tetapi tiba-tiba ia mengerutkan dahi dan batuk-batuk. Napasnya memburu
keras, tangan dan kakinya dingin, keringat dinginpun mengucur membasahi mukanya. Diam-diam Thian-leng kasihan
padanya. Masih semuda itu, mengapa Cu Siau-bun sudah menderita penyakit paru-paru yang berat.
Masih Cu Siau-bun batuk-batuk dan beberapa kali mengeluarkan darah, tubuhnyapun menggigil. Buru-buru Thian-
leng mencekalnya, “Cu-heng, sakitmu cukup berat, tak seharusnya kau tinggal di goa sekotor ini… ! “
Cu Siau-bun menyandarkan kepalanya ke bahu Thian-leng, sahutnya “Penyakitku ini boleh dikata suatu penyakit,
boleh dikata bukan!”
Thian-leng terharu sehingga hidungnya mulai lembab menahan air mata. “Apa yang kau derita Cu-heng?” katanya
dengan terharu.
Cu Siau-bun menghela napas: “Sudah setengah bulan aku tinggal di goa ini. Bermula kurasakan badanku kurang
enak, kemudian baru kuketahui kalau aku terkena kabut beracun …”“Kalau begitu seharusnya Cu-heng lekas-lekas tinggalkan goa ini mencari obat!”
Cu Siau-bun makin rapatkan kepalanya ke dada Thian-leng. Ia tertawa tawar: “Karena kuperhitungkan kau segera
akan datang, maka kutangguhkan sehari lagi di sini …”
Sejenak dipandangnya redup-redup Thian-leng, ujarnya: “Tak usah heran. Sewaktu berada di lembah Pek-hun-koh,
kulihat kau menyembunyikan sebuah peta. Tetapi malang, aku kena dipancing keluar oleh musuh sehingga kau kena
diculik …”
Diam-diam Thian-leng mengagumi kecerdasan pemuda itu. Hanya dalam waktu yang singkat saja Cu Siau-bun sudah
dapat mengingat di luar kepala isi peta itu.
Setelah sesaat menghela napas, kembali Cu Siau-bun berkata: “Karena kemana-mana tak dapat kutemukan kau,
maka kuduga kau tentu datang kemari. Lalu aku bergegas2 menunggumu di sini!”
Ketika baru berjumpa, Thian-leng mengira Cu Siau-bun itu seorang penjahat, maka ia tak mau berkawan dengannya.
Ternyata dia seorang sahabat yang setia. Adalah karena hendak menunggu kedatangannya, Cu Siau-bun tinggal di
goa itu sampai setengah bulan sehingga akibatnya terkena hawa beracun.
Dijabatnya kedua tangan pemuda itu dengan rasa syukur yang tak terhingga: “Cuheng, entah bagaimana aku harus
menghaturkan terima kasih kepadamu …”
Cu Siau-bun menarik tangannya dari dekapan Thian-leng. Tapi pada lain saat tiba-tiba ia merangkul leher Thian-leng,
ujarnya: “Apakah kau mau meluluskan sebuah permintaanku?”
“Silahkan, aku tentu melaksanakan perintahmu!”
“Kelak apabila segala urusan sudah selesai, kita mencari tempat yang sepi dan jauh dari masyarakat ramai. Kita
dirikan gubuk, menanam ladang. Tiap sore kita duduk minum arak, malam kita ngobrol di dekat perapian. Kita
nikmati kehidupan yang tenteram bahagia, jangan campur urusan dunia persilatan yang kotor lagi. Maukah kau?”
Thian-leng terpesona, ujarnya: “Itulah kehidupan yang kuidam-idamkan, tetapi entah bilakah hari itu akan tiba?”
Cu Siau-bun tertawa sedap: “Asal kau mau, hari itu pasti akan tiba. Harap kau jangan ingkar janji!”
“Asal Cu-heng tak menampik, tentu aku takkan berkhianat.”
Cu Siau-bun tertawa riang: “Baik, tempat ini tiada orang saktinya, pun peta itu tak ada gunanya. Mari kita tinggalkan
tempat ini. Makin lekas kita menyingkap tabir rahasia riwayatmu dan menuntaskan dendam sakit hati, makin lekas
kita melaksanakan cita-cita kehidupan bahagia yang kita ikrarkan tadi!”
“Benar, lebih dulu kita pergi ke kota yang terdekat dari sini untuk mengobati lukamu!” sahut Thian-leng.
“Itu tak penting,” sahut Cu Siau-bun, “asal aku nanti beristirahat dua hari saja, penyakitku itu tentu sembuh sendiri.”
Thian-leng segera memapahnya keluar dari goa. Tetapi ia terkejut karena Cu Siau-bun berjalan dengan sempoyongan
seperti mau jatuh. Ah, tak kira hawa dalam goa itu sedemikian jahatnya. Terpaksa ia panggul pemuda itu. Cu Siau-
bun tak menolak, bahkan semesra anak domba, ia susupkan kepalanya ke dada Thian-leng. Tak lama tibalah mereka
di tepi sungai Pek-long-ho. Sekonyong-konyong Thian-leng tersirap kaget dan menghentikan langkah. Dari balik
jajaran batu-batu besar yang berserakan di tepi sungai, bermunculan belasan orang. Paderi, imam dan orang-orang
biasa.
“Bu-beng-jin, apa katamu sekarang?” seru salah seorang paderi muda.
Thian-leng gelisah. Tak mau ia bentrok lebih lanjut dengan partai-partai persilatan dan memperdalam jurang kesalah
pahaman. Apalagi Cu Siau-bun sedang sakit. Kalau sampai terjadi pertempuran dan mengakibatkan Cu Siau-bun
menderita lebih parah, Thian-leng benar-benar penasaran sekali.
Rombongan penghadang yang muncul itu bukan saja terdiri dari orang-orang yang pernah bertempur dengannya di
hutan tempo hari, bahkan bertambah lagi dengan belasan paderi dan imam. Terang mereka itu masih penasaran
dengan kekalahannya dulu dan mengundang bala-bantuan untuk mencari Thian-leng.
Situasi itu menyadarkan Thian-leng bahwa suatu kesulitan sukar dihindarkan lagi. Segera ia letakkan Cu Siau-bun di
atas tanah: “Biar kuhadapi mereka dulu!” katanya dengan tenang sekalipun hatinya berdebar keras.
Cu-Siau-bun hendak bicara tetapi tiba-tiba ia muntah darah lagi. Ia sandarkan kepalanya ke batu. Dengan geram
Thian-leng bangkit menghadapi rombongan penghadangnya itu.
Yang melangkah maju lebih dulu ialah 3 orang paderi tubuh kurus. Mata mereka berkilat-kilat tajam, langkah berat
dan kuat.
“Tentulah cuwi bertiga ini ko-jin dari partai persilatan ternama. Apakah cuwi ijinkan aku berbicara?” seru Thian-leng.Salah seorang paderi itu menyahut dengan suara nyaring: “Lohu tak ingin mendengar bantahan dari orang yang
tangannya berlumuran darah manusia!”
“Lalu maksudmu?” seru Thian-leng.
“Menyempurnakan dirimu?” sahut paderi itu dalam nada berat.
“Simpan golok pembantai dan segera bersujud di hadapan Buddha? Andaikata aku benar seperti yang kau tuduh
menjadi anak buah Hun-tiong Sin-mo, bukankah pintu sudah tertutup bagi aku untuk kembali ke jalan terang?” seru
Thian-leng dengan sinis.
“Lain orang diperbolehkan, kecuali kau!” bentak paderi itu, “keputusan dari rapat para kaum persilatan memutuskan
untuk melenyapkan Hun-tiong Sin-mo dan antek-anteknya. Di dunia tak boleh terdapat kutu busuk yang merusak
ketenteraman rakyat!”
Ucapan itu ditutup dengan sebuah pukulan. Thian-leng terpaksa menangkis. Benturan itu membuat keduanya sama-
sama tersurut mundur selangkah.
Pada lain saat kedua paderi dan keempat imam bertubuh kurus itu berseru dan serempak menyerang berbareng.
Thian-leng cukup menyadari kesaktian ilmu pedang Toh-beng-sam-kiam. Maka ia enggan untuk mengeluarkan
permainan itu, apalagi ia tak mempunyai kesempatan mencabut pedangnya. Serangan ketiga paderi dan empat imam
itu segencar badai, sehingga dalam 10 jurus kemudian Thian-leng rubuh ke tanah muntah darah!
Melihat itu Cu Siau-bun, paksakan diri berseru: “Mohon kalian …ja … ngan … membunuhnya …”
Tetapi tak seorangpun yang menghiraukannya. Seorang paderi tua tampil dengan sebuah hantaman, Thian-leng
mencelat sampai dua tombak jauhnya, tubuhnya mandi darah! Seorang imam menyusuli lagi dengan sebuah
hantaman sehingga untuk yang kedua kalinya tubuh Thian-leng mencelat ke udara dan blung … ia tercebur ke dalam
sungai. Pada lain kejap, tubuhnyapun hilang ditelan arus yang deras …
Cu Siau-bun pingsan seketika!
Entah berapa lamanya, ketika ia tersadar di hadapannja tampak seorang paderi tua. Kata paderi tua: “Kaupun tentu
anak buah Hun-tiong Sin-mo. Sekali-kali bukan karena kau sedang menderita sakit lantas dibebaskan dari kematian.
Tetapi karena kami hendak menyuruhmu menyampaikan berita pada Hun-tiong Sin-mo. Katakan padanya bahwa
sembilan partai besar mengundangnya supaya datang ke puncak Sin-li-hong gunung Bu-san pada bulan satu tanggal
15. Diminta dia datang memenuhi undangan kami itu. Kalau tidak ia akan dihina oleh kaum persilatan sebagai
manusia pengecut!”
Hati Cu Siau-bun seperti disayat sembilu, namun ia masih paksakan diri berseru keras: “Tak perlu tunggu sampai
bulan satu tanggal 15, sekarang juga aku hendak membalas dendam pada kalian. Semua orang dari sembilan partai
besar itu akan kuhancurkan … aku hendak … membalaskan dendam … untuknya …”
Lengking jeritan itu penuh dengan bara dendam yang merintih-rintih. Namun hanya gemuruh arus sungai yang
menyambutnya, karena sekalian jago-jago itupun sudah angkat kaki. Mereka tak mempedulikan lagi kepada pemuda
yang tengah memaki-maki dengan suara yang makin lemah …
Suasana di tepi sungai Pek-long-ho tenang kembali. Arusnyapun kembali bersuka-ria berkejar-kejaran di tengah
sungai.
Cu Siau-bun tersadar dari pingsannya. Dengan langkah terhuyung-huyung ia menyusur tepi sungai menuju ke hulu.
Ternyata hawa beracun dalam goha, telah meracuni tubuhnya sedemikian rupa hingga tenaganya hampir lenyap.
Peristiwa pengeroyokan terhadap Thian-leng yang begitu ngeri sehingga anak muda itu tercebur ke dalam sungai,
makin menggoncangkan batinnya. Andaikata bukan seorang yang keras hati, tentu seketika itu juga Cu Siau-bun
sudah buang diri mencebur ke sungai!
Mungkin kalau tidak seperti saat itu, tentu ia dapat melompati sungai yang lebarnya hanya setombak lebih. Tetapi
dalam keadaan separah itu, ia hanja dapat menghela napas saja.
Duduklah ia bersandar pada sebuah batu besar. Sambil beristirahat, ia merenungkan apa yang telah dialami selama
beberapa hari ini. Sebenarnya ia seorang yang berhati tinggi. Biasanya ia suka tak memandang mata pada orang lain.
Tapi kali ini benar-benar ia mendapat pelajaran yang pahit!
Suatu perasaan aneh mengetuk hatinya. Mengapa, ya mengapa ia begitu mudah mencurahkan kasihnya kepada
seorang pemuda macam Kang Thian-leng? Di manakah letak kelebihan Thian-leng? Ah, tak tahulah ia. Ia hanya
merasa, Kang Thian-leng ialah Kang Thian-leng. Kasihnya terhadap pemuda itu adalah suatu perasaan kasih yang
timbul dari nuraninya …
Dipandangnya arus air yang berkecamuk di tengah sungai. Tak terasa mengalirlah air matanja … Ah, Thian-leng
sudah mati, mati tanpa meninggalkan bekas. Bahkan mayat pemuda itupun tak tertinggal lagi untuk dikenangkan!
Serentak timbullah suatu pertanyaan dalam sanubarinya. Dapatkah ia melupakan pemuda Thian-leng itu? Dapatkah
kelak ia mencurahkan kasihnya kepada pemuda lain?Sang batin menyahut serentak: tidak!
Thian-leng telah mencuri segenap isi hatinya. Pemuda itu mati dengan membawa kasih hatinya juga. Tidak, ia tak
dapat hidup lagi. Seluruh impiannya, cita-citanya dan kebahagiaan hidupnya telah terbawa hanyut oleh Thian-leng.
Lalu-lalang kenangan itu bertemu dalam suatu titik, kemudian meletus menjadi suatu tekad yang bulat: “Balaslah! Ya,
ia harus membalaskan sakit hati Kang Thian-leng!”
Diam-diam ia bersumpah dalam hati. Selama hayat masih dikandung badan, ia bersumpah hendak membunuh semua
jago-jago dari sembilan partai. Setelah hal itu terlaksana, ia lalu hendak bunuh diri menyusul arwah Thian-leng!
Sekonyong-konyong sesosok tubuh melesat tiba di hadapannya. Seorang wanita tua yang berambut putih
mengenakan pakaian warna biru tiba-tiba muncul tanpa mengeluarkan suara sedikitpun jua.
“Mah …!” serentak menjeritlah Cu Siau-bun dengan girang-girang rawan. Ia merangkak lalu menubruk ke dada wanita
itu.
Wanita tua perlahan-lahan membelai kepala Cu Siau-bun, sepasang alisnya mengerut: “Nak, mengapa kau berobah
begini rupa?”
Cu Siau-bun paksakan diri mengangkat kepala. Air matanya membasahi muka. “Berobah? Berobah bagaimana, mah?”
Wanita itu tertawa mesra: “Nak, sering kukatakan bahwa kau ini adalah orang yang paling keras kepala dan tinggi
hati. Tetapi apa sebab sekarang kau menangis begitu sedih …?”
Cu Siau-bun terkesiap. Mengusap air mata, ia menjerit: “Mah, dia … dia sudah mati!”
Si wanita tuapun terkejut, serunya: “Dia mati?”
Cu Siau-bun mengerutkan gigi, sahutnya: “Mah, kau harus membantu aku untuk membalaskan sakit hatinya!”
Sejenak wanita tua itu mengerutkan kening, kemudian tertawa hambar: “Ceritakan dulu bagaimana ia sampai mati
itu!”
“Rombongan sembilan partai telah membunuhnya. Mayatnya terlempar ke dalam sungai. Yang paling menjengkelkan
adalah ketiga Cuncia dari Siau-lim-si …”
"Mengapa sembilan partai membunuhnya?" tanya si wanita.
“Mereka salah duga, menyangka dia itu anak buah Hun-tiong Sin-mo!”
Wanita tua itu mengeluh ujarnya: “O, akulah yang mencelakainya …!”
Kemudian ia menggumam seakan-akan bicara pada dirinya sendiri: “Ah, kalau anak itu sampai meninggal, persoalan
yang menjadi kecurigaanku itu tentu tak dapat kuselidiki lagi … Mengapa ditengkuk anak itu terdapat sebuah tahi
lalat? Mengapa hatiku tak sampai hati membunuhnya …?”
Dikala ia terbenam dalam renungan itu tiba-tiba angin berhembus dan leher bajunyapun tersikap sedikit. Ah,
walaupun wajahnya tampak seperti seorang nenek yang sudah berumur 80-an tahun tapi kulit lehernya putih segar
seperti yang dimiliki oleh wanita di antara 30 tahun lebih umurnya. Dan yang paling mengesankan adalah terdapatnya
sebuah tahi lalat merah pada lehernya itu.
“Mah, apa yang kau katakan?” tiba-tiba Cu Siau-bun menyela.
Wanita itu tersirap, tertawa: “Tidak apa-apa, mari kita pergi!” – ia mengeluarkan sebutir pil diberikan pada Cu Siau-
bun: “Makanlah, hawa racun dalam tubuhmu tentu hilang …”
Setelah menelan pil itu, Cu Siau-bun tetap enggan pergi: “Aku tak ikut!”
“Mengapa?” wanita tua terbeliak heran.
“Selesaikan dulu pembicaraan baru kita pergi.”
“Anak itu sudah mati, apa boleh buat. Apalagi yang harus dibicarakan?”
“Tidak! Aku tetap hendak membalaskan sakit hatinya!” seru Cu Siau-bun.
Wanita itu tersirap kaget: “Eh, apakah kau … jatuh cinta padanya? … Bukan begitu maksudku menyuruhmu rnengikuti
jejaknya!”
Wajah Cu Siau-bun yang kepucat-pucatan tampak merah, bibirnya mencibir: “Mah, kaulah yang bertanggung-jawab!
Jika kau tak suruh aku mengikutinya tentu takkan terjadi peristiwa ini. Sekarang sesal tiada gunanya …”
“Kau … apakah sudah …!” makin getas suara wanita itu.
“Tidak! Sampai matinya dia belum mengetahui aku ini seorang perempuan!” Cu Siau-bun tersipu merah.Wanita itu menghembus napas longgar, ujarnya: “Jangan kau resahkan hal itu. Lewat beberapa waktu, kau tentu
melupakannya.”
Cu Siau-bun membelalakkan matanya: “Tidak mungkin! Seumur hidup tak nanti aku dapat melupakannya. Dalam
hidupku aku hanya dapat mencintai dia seorang. Kematiannya telah membuatku sengsara. Aku hendak melakukan
pembalasan, baru nanti menyusulnya ke alam baka!”
Mata wanita itu berkaca-kacaa. “Ah, Siau-bun,” ia menghela napas. “Mengapa kau begitu tolol. Sedangkan dia belum
tahu kau ini seorang gadis, mengapa kau hendak bela-mati untuknya?”
“Kuminta kau membantuku menghancurkan orang-orang dari 9 partai itu!” Cu Siau-bun tetap kukuh. Tiba-tiba ia
teringat sesuatu, serunya: “Mereka minta aku menyampaikan undangan padamu, supaya hadir menerima tantangan
mereka di gunung Bu-san pada nanti bulan 1 tanggal 15!”
Wanita itu menggeleng: “Aku masih mempunyai urusan yang lebih penting lagi. Tak usah hiraukan ocehan mereka!”
“Aku telah bersumpah dalam hati, sebelum tanggal itu akan menghancurkan mereka.”
Wanita itu mengerutkan dahi, ujarnya: “Dewasa ini di dunia persilatan timbul kekacauan. Tiap hari terjadi
pembunuhan keji. Dan setiap pembunuhan tentu meninggalkan tanda Panji Tengkorak Darah palsu. Sedangkan
peristiwa ini belum dibikin terang, lalu sekarang akan membasmi 9 partai lagi. Bukankah hal itu akan menambah
berat beban penderitaanku? Selama yang tulen dan yang palsu itu belum dibikin terang, bukankah mamahmu ini
tetap akan dihina oleh kaum persilatan sebagai manusia berdosa?”
“Telah kuselidiki hal itu,” buru-buru Cu Siau-bun berkata, “hasilnya telah kuketemukan. Yang memalsukan Panji
Tengkorak Darah bukan lain ialah orang Sin-bu-kiong …”
“Sin-bu-kiong …?” wanita itu merenung beberapa jenak, katanya heran, “tetapi aku merasa tak mengikat permusuhan
dengan pihak Sin-bu-kiong!”
“Bukan sadja telah kuperoleh bukti bahwa pembunuh ganas dan pemalsu Panji Tengkorak Darah itu orang Sin-bu-
kiong, pun telah kuketahui juga bahwa yang memalsu jadi ibunya Kang Thian-leng itu ialah Te-it Ong-hui dari Sin-bu-
kiong …!”
“Ai …!”
“Ibu dari Thian-leng itu bukan saja tidak meninggal, pun ternyata bukan ibunya yang sejati!” Cu Siau-bun lanjutkan
keterangannya.
“Bukan ibunya?” si wanita menegas.
“Benar!”
Makin dalam kerut dahi ibu Cu Siau-bun, sengaunya: “Ini makin aneh …!” tiba-tiba ia tertegun lalu gunakan ilmu
menyusup suara Coan-im-jip-bi membisiki Cu Siau-bun: “Jangan bicara, ada orang!”
“Berapa jauhnya dari sini?” Cu Siau-bun gunakan Coan-im jip-bi.
“Paling tidak 3 li jauhnya. Jumlahnya lebih dari 20 orang, di antaranya …” – ia tak melanjutkan kata-katanya.
“Bagaimana?” desak Cu Siau-bun.
“Di antaranya terdapat seorang yang berilmu tinggi,” kata ibunya.
“Masakan dia mampu menandingimu, mah!”
Ibunya menggeleng. “Sekalipun begitu, tetapi kita harus ingat bahwa di atas langit masih ada langit. Orang yang sakti
masih ada yang lebih sakti lagi. Mamahmu ini bukanlah tokoh nomor satu di dunia!” cepat ia tarik puterinya dibawa
melesat pergi. Mereka lenyap di antara gundukan batu yang menyela di semak pepohonan.
Tak lama rombongan yang dikatakan wanita itupun tiba. Mereka bukan lain ialah rombongan 9 partai tadi. Entah apa
sebabnya mereka kembali lagi. Malah sekarang ditambah dengan seorang tua berjenggot putih, berjubah ungu.
Tubuhnya tinggi besar, sepasang matanya berkilat-kilat tajam. Sikapnya congkak. Ia berjalan dengan langkah lebar,
mengikuti ketiga Cuncia dari Siau-lim-si yang menjadi penunjuk jalan.
Tampaknya biasa saja ia berjalan dengan rombongan jago-jago 9 partai. Tetapi apabila orang memperhatikan, tentu
akan terbelalak kaget. Rumput-rumput yang bekas dilaluinya, tak ada sebatangpun yang rebah terpijak. Jadi orang itu
seolah-olah berjalan melayang di atas tanah rumput.
Tiba di tepi sungai rombonganpun berhenti. Salah seorang cuncia yang bergelar Hang Liong cuncia berseru nyaring:
“Melintasi sungai itu kita mencapai ujung terakhir dari lembah ini. Tetapi tak menemukan apa-apa. Kemungkinan si
orangtua Sip Lojin itu tentu sudah meninggal dunia …”
Tertawalah orang tua bertubuh tinggi besar. Nadanya gemerontang macam lonceng bertalu: “Aku si orang tua ini
telah memahami ilmu pengobatan dan menguasai ilmu meramal. Aneh, mengapa dia sudah mati lebih dulu? Tentulah
karena memperhitungkan kita sekalian bakal datang kemari maka diam-diam ia tentu lari bersembunyi …”
Ia berhenti sejenak, lalu berkata pula: “Tetapi hal itu tak berapa penting. Memang aku telah mendapat tugas dari Te-kun untuk mencari jejak Sip Lojin itu. Tetapi yang lebih penting lagi ialah untuk mengajak saudara-saudara sekalian
merundingkan rencana menghancurkan Hun-tiong Sin-mo!”
Hang Liong bukan saja menjadi tetua dari ketiga Cuncia kuil Siau-lim-si, pun dia juga merupakan pemimpin dari
rombongan jago-jago 9 partai. Ia memberi sambutan atas pernyataan orang tua gagah itu: “Sungguh suatu rejeki
besar bisa memperoleh bantuan dari pihak Sin-bu-kiong. Harap Ni Cong-hou-hoat suka bantu membicarakan
perserikatan ini di hadapan Te-kun.”
Kiranya orang tua bertubuh tinggi besar itu menjabat sebagai cong-hou-hoat (kepala pengawal) dari istana Sin-bu-
kiong. Namanya Ni Jin-hiong bergelar Ci-chiu-hoan-thian (tangan mengaduk langit).
Ni Jin-hiong tertawa sinis: “Hun-tiong Sin-mo sudah 60 tahun merajai duna persilatan. Dia mempunyai banyak anak
buah yang sakti. Tak dapat diremehkan. Dengan memberi bantuan pada ke 9 partai ini, sudah tentu pihak kami akan
memberi pengorbanan yang tak sedikit. Bahkan mungkin juga pihak Sin-bu-kiong akan mengalami kekalahan dan
kehancuran. Tetapi andaikata bisa berhasil, entah bagaimanakah saudara-saudara sekalian hendak menghaturkan
terima kasih kepada pihak Sin-bu-kiong?”
Sejenak mata Hang Liong Cuncia menyapu ke arah rombongannya, katanya kemudian: “Jika Hun-tiong Sin-mo dapat
dihancurkan dan dunia persilatan terbebas dari cengkeraman momok ganas, 9 partai akan menggerakkan seluruh
orang gagah di kolong dunia untuk menobatkan Sin-bu-kiong sebagai partai pemimpin dunia persilatan dan Sin-bu
Te-kun sebagai kepala tokoh persilatan!”
Sekalian orang tak ada yang menyanggah dan mengangguk setuju, Ni Jin-hiong tertawa puas, serunya: “Kalau
demikian dapatlah kulaporkan pada Te-kun, hanya saja …”
“Lohu telah menurutkan rencana Ni Cong-hou-hoat, mengundang Hun-tiong Sin-mo supaya datang kepuncak Sin-li-
hong besok pertengahan bulan satu tahun depan!” tukas Hang Liong Cuncia.
Ni Jin-hiong mengelus-elus jenggot tertawa: “Bagus, selekas aku pulang tentu akan segera kukirim orang, untuk
mengadakan persiapan. Kalau Hun-tiong Sin-mo berani datang dapat dipastikan dia bakal hancur …” sejenak ia
kerlingkan mata, katanya pula: “Tetapi ingat, kecuali tokoh-tokoh penting di kalangan kalian 9 partai, jangan sampai
rahasia Sin-bu-kiong akan ikut hadir dalam pertemuan di Bu-san itu bocor keluar! Atau … kemungkinan Hun-tioug
Sin-mo takkan datang!”
Hang Liong Cuncia mengiyakan. Kembali orang she Ni utusan Sin-bu-kiong itu tertawa congkak kemudian ia minta
diri.
“Bagaimana pendapat saudara-saudara tentang tindakanku tadi?” tanya Hang Liong Cuncia kepada rombongan 9
partai.
Tak seorangpun yang menyahut kecuali seorang setengah tua yang mengenakan dandanan sebagai pelajar.
Ia menyelinap ke muka, serunya: “Menurut hematku, tindakan siansu tadi kurang bijaksana!”
Hang Liong Cuncia terkesiap. Ketika mengetahui bahwa yang bicara itu Poh-ih-siu-su (pelajar baju katun) Li Cu-liong,
ketua partai Tiam-jong-pay, Hang Liong Cuncia mengerutkan alis.
“Bagaimana menurut pendapat Li Ciangbun?” tanyanya.
Kiranya di dalam persekutuan 9 partai itu, partai Tiam-jong-pay termasuk partai yang paling lemah sendiri. Sekalipun
namanya sejajar dengan 8 partai besar, namun pada hakekatnya kekuatan partai Tiam-jong-pay itu kalah dengan
sebuah Pang (cabang) saja. Bahkan dengan Kau (perkumpulan agama) saja tak menang.
Ketiga cuncia itu adalah golongan paderi yang paling tinggi kedudukannya dalam partai Siau-lim-si, maka di dunia
persilatan mereka mendapat penghormatan yang tinggi. Sudah tentu mereka tak memandang mata kepada Li Cu-
liong. Itulah sebabnya maka Hang Liong Cuncia mengunjuk sikap kurang senang kepada ketua Tiam-jong-pay.
Poh-ih-siu-su Li Cu-liong tertawa tawar: “Meskipun Hun-tiong Sin-mo itu seorang algojo buas, tetapi kaum Sin-bu-
kiong itu juga bukan golongan baik. Tindakan losiansu tadi berarti ‘lepas dari mulut harimau jatuh ke mulut buaya’.
Sekali Sin-bun Te-kun menjadi kepala dunia persilatan …” ia menghela napas tak melanjutkan kata-katanya pula.
Semula memang Hang Liong Cuncia tak senang, tetapi dia seorang paderi yang telah berpuluh-puluh tahun
menghisap sari pelajaran agama. Peribadinya kuat, toleransinya penuh. Ia mengangguk perlahan. “Lohu-pun sudah
tahu. Adalah karena tak tega mendengar tiap hari Hun-tiong Sin-mo melakukan pembunuhan ganas, maka kecuali
dengan jalan itu rasanya tiada lain daya lagi …” ia berhenti sejenak, katanya pula: “Supaya cuwi sekalian mengetahui
bahwa tindakan lohu sekali-kali bukan karena hendak menuntut balas atas kematian ketua dan kedelapan tianglo
kami. Tetapi yang penting ialah demi memikirkan keselamatan dunia persilatan!”
Li Cu-liong menjura, serunya:”Sungguh mulia cita-cita losiansu itu, tetapi …” ia berganti nada setengah berbisik:
“Maafkan, Tiam-jong-pay hendak mengundurkan diri dari persekutuan ini!”Sekalian tokoh terkejut mendengar keputusan ketua Tiam-jong-pay itu. Hang Liong Cuncia menatap tajam-tajam
pada diri ketua Tiam-jong-pay itu, kemudian tertawa hina: “Silahkan kalau Li Ciangbun mau mengundurkan diri.
Tetapi kaum persilatan di Tionggoan takkan merobah haluannya karena penarikan diri dari Tiam-jong-pay!”
Li Cu-liong tak mau banyak bicara. Setelah memberi hormat segera ia angkat kaki diikuti oleh kedua pengawalnya.
Pada lain kejap mereka sudah lenyap dari pandangan.
Sekalian tokoh terlongong-longong mengantar kepergian ketua Tiam-jong-pay itu. Baru setahun yang lalu Li Cu-liong
mendjabat ketua Tiam-jong-pay. Sebagai sebuah partai lemah, mengapa dia berani menarik diri dari persekutuan 9
partai? Dan berani menentang kehendak golongan Siau-lim-pay? Apakah dia mempunyai rencana sendiri. Demikian
pertanyaan yang timbul di hati setiap orang.
Akhirnya Hang Liong Cuncia-lah yang membuka pembicaraan: “Keputusan telah ditetapkan, harap cuwi sekalian
pulang ke tempat cuwi masing-masing. Sebelum akhir tahun ini harap sudah mengirim wakil ke puntjak Sin-li-hong di
gunung Bu-san …”
Sekalian tokoh mengiyakan. Demikianlah mereka segera bubar dan pulang ke daerahnya masing-masing.
Keheningan kembali menyelubungi tepi Pek-long-ho. Beberapa waktu kemudian terdengar suara bicara bisik-bisik dari
balik sebuah batu besar. Itulah Cu Siau-bun dan ibunya, yang sejak tadi ternyata masih bersembunyi mendengarkan
pembicaraan rombongan 9 partai.
“Mah, jika tadi tak kau halangi, di sini tentu sudah timbul tumpukan bangkai … mereka toh hendak merencanakan
mencelakai kau, mengapa kau diam saja?” Cu Siau-bun menggeram.
Setelah menelan pil dari ibunya, maka racun dalam tubuh Cu Siau-bun pun sudah lenyap. Kini tenaganya sudah pulih.
Wanita tua itu tertawa hambar: “Jika tak tahan menderita soal kecil, tentu akan membikin terlantar urusan besar.
Apalagi ke 9 partai itu sebenarnya tak berdosa. Mereka telah masuk dalam perangkap orang. Si kepala gedung Sin-
bu-kiong yang menamakan dirinya sebagai Te-kun (raja) itulah biang-keladi yang sebenarnya …”
Cu Siau-bun tertegun sejenak. Katanya: “Mah, mengapa mendadak kau berobah begini welas-asih?”
Wanita itupun terkesiap juga: “Apakah mamahmu ini seorang ganas?”
Cu Siau-bun tertawa:”Sekaligus membunuh ketua Siau-lim-si dan 8 tianglo …”
“Kau tak tahu …!” kata wanita itu. Setelah merenung sesaat, ia berkata pula: “Pertama, aku hendak menjaga
peraturan mendiang guruku. Yakni tak membiarkan orang yang menantang, keluar dari Mo-hu (sarang hantu) dengan
masih hidup! Kedua, ke 9 paderi itu memang cari mati sendiri …”
Cu Siau-bun melengking: “Masakan mereka …”
Tiba-tiba wajah wanita itu berobah bengis: “Jangan banyak bicara, ayo lekas berangkat!”
“Mah, apakah kita langsung menggempur Sin-bu-kiong?” seru si nona dengan bersemangat.
“Tidak! Akan kuajak kau ke gunung Tiam-jong-san dulu!”
Cu Siau-bun terbeliak heran: “Tiam-jong-san? Perlu apa kita ke gunung yang tandus itu?”
“Ketua Tiam-jong-pay, Poh-ih-siu-su Li Cu-liong seorang yang aneh wataknya. Aku hendak menjumpainya!” sahut
sang ibu.
Cu Siau-bun tak berani membantah. Segera mengikuti sang ibu melintasi sungai terus keluar dari lembah. Namun
mulut nona itu masih menyumpah-nyumpah: “9 partai adalah musuh besarku, termasuk Tiam-jong-pay pun hendak
kubasmi!”
Wanita itu entah dengar entah memang tak mau menghiraukan gerutu puterinya, tetap berjalan terus …
oo00oo
Bagaimana dengan Kang Thian-leng yang kecebur di dalam sungai? Apakah dia binasa? Tidak, ternyata dia memang
belum ditakdirkan mati, masih harus melanjutkan perdjalanan hidupnya yang penuh cerita petualangan.
Begitu kecemplung ke dalam sungai, iapun sudah pingsan sehingga dibawa hanyut oleh arus. Pukulan yang
dilancarkan oleh paderi dan imam dari 9 partai itu hebatnya bukan kepalang. Tapi untunglah sebelumnya Thian-leng
sudah mendapat saluran lwekang dari Oh-se Gong-mo sehingga tenaga dalamnya kuat sekali. Benar ia terluka parah
tetapi tak sampai binasa.
Malah ketika terendam dalam air, iapun agak tersadar dari pingsannya. Lapat-lapat ia merasa seperti membentur
sebuah benda dan tahu-tahu tubuhnya terlempar ke tepi pesisir. Lemparan itu kuat sekali sehingga tulang
persendiannya serasa remuk, kepala pening, mata berkunang-kunang. Sedemikian nyerinya sakit yang diderita saat
itu sampai-sampai ia hampir pingsan lagi! Untung tempat jatuhnya itu di atas pasir, andaikata di atas batu karang
tentulah tubuhnya sudah hancur.
Sesaat ia berusaha untuk menyalurkan darah dan membuka matanya pelahan-lahan. Apa yang dilihatnya saat itu,
membuat semangatnya serasa terbang.Seorang manusia aneh yang menyerupai mayat hidup tengah memandangnya dengan tertawa mengikik … Kedua
matanya sebesar kelinting, pipinya kempot dan mukanya berwarna pucat kebiru-biruan. Sekalipun panca-inderanya
lengkap tapi tak mirip dengan seorang manusia!
Dia mencekal sebatang kail, batang kail terbuat dari bambu sebesar lengan bayi. Kini orang aneh itu tengah
melepaskan kait yang menyantol di baju Thian-leng.
Astaga … serentak tersiraplah darah Thian-leng ketika mengetahui apa yang terjadi. Ternyata tadi dia dipancing orang
aneh itu! Ia hendak membuka mulut, tetapi napasnya terengah sehingga terpaksa tak bisa bicara.
Orang aneh itu tertawa mengikik dan berkata seorang diri: “Besar nian rejeki hari ini, dapat memancing seekor
manusia-ikan …” – ia menjilat-jilat lidah, katanja: “Eh, mana lebih lezat, dimasak atau dibakar …?”
Sudah tentu Thian-leng berjingkat kaget. Terhindar dari mati tenggelam, jatuh ke tangan seorang manusia aneh.
Bukan mustahil orang aneh itu suka makan daging orang!
Ia paksakan diri berteriak: “Aku bukan ikan tetapi bangsa manusia seperti kau. Jangan kau …” karena lukanya parah
sekali, sekalipun sudah menggunakan sekuat tenaga tetapi teriakannya itu lemah sekali dan akhirnya malah tak
kedengaran lagi.
“Kau bukan ikan? Mengapa kau berada dalam air?” orang aneh itu tetap cekikikan.
Setelah memulangkan napas, Thian-leng menyahut dalam suara lemah: “Aku dianiaya orang dan dipukul jatuh ke
dalam sungai!”
“O, jadi kalau tidak kupancing, kau tentu sudah mati, bukan?” orang aneh itu mengikik.
“Terima kasih atas budi pertolongan locianpwe. Kelak wanpwe tentu akan membalasnya.”
“Selama hidup aku tak pernah berminat menolong orang. Ransumku sudah habis 3 hari yang lalu, terpaksa kujadikan
kau sebagai ikan. Anggap saja kau tadi sudah mati tenggelam dalam sungai itu!” sambil masih tertawa mengikik
sekonyong-konyong orang aneh itu menampar.
“Mati aku!” keluh Thian-leng yang tak berdaya menyingkir karena tenaganya lumpuh. Terpaksa ia meramkan mata
menunggu kematian.
Plak, keajaiban terjadi! Berat kedengaran tangan orang aneh itu. menampar tubuh Thian-leng tetapi ternyata
jatuhnya lunak sekali dan yang ditampar ialah bagian bawah perut. Seketika itu Thian-leng rasakan tubuhnya dialiri
arus hawa yang hangat. Thian-leng memberi reaksi spontan (serentak). Ia segera pusatkan seluruh lwekangnya
untuk menyambut hawa hangat itu …
Kira-kira sepeminum teh lamanya, orang aneh itupun perlahan-lahan melepaskan tangannya. Girang Thian-leng tak
terkata. Ternyata orang aneh itu memberinya saluran lwekang sehingga saat itu lukanya sudah hampir sembuh. Buru-
buru ia merangkak dan berlutut di hadapan si orang aneh.
Tetapi orang aneh itu menolak dan menyingkir, serunya: “Aku paling benci dengan segala macam peradatan. Tak
usahlah!”
Thian-leng bangkit, ujarnya: “Oh, kiranya locianpwe seorang sakti terpendam, wanpwe tadi …”
“Apa itu orang sakti terpendam! Adanya aku mengasingkan diri di tempat ini karena aku masih senang hidup dan
takut mati. Aku tak keluar ke dunia persilatan karena kepandaianku tak memadai …”
Tampak wajah orang aneh itu tegang. Rupanya ada sesuatu perasaan dalam hatinya yang tersinggung oleh kata-kata
Thian-leng tadi sehingga meledak.
Thian-leng terbeliak. Orang yang mampu menyalurkan 1wekang untuk mengobati luka dalam, terang tentu seorang
sakti. Sekalipun bukan hal yang jarang terdapat di dunia persilatan, tetapi tokoh semacam itu dapat digolongkan
sebagai jago kelas satu. Heran Thian-leng mendengar kata-kata orang aneh itu.
“Kalau begitu, apakah locianpwe juga seorang yang menderita kekecewaan …” – ia tak mau lanjutkan kata-katanya
karena kuatir menyinggung perasaan orang lagi dan mengalihkan dengan pertanyaan: “Sukalah locianpwe
memberitahukan nama locianpwe yang mulia?”
Orang aneh itu tertegun, tiba-tiba ia tertawa: “Buyung, mungkin karena sudah berpuluh-puluh tahun tak ketemu
orang maka aku senang bicara padamu. Ya, terus terang saja aku ini ialah salah seorang dari Su-mo (4 momok) yang
dahulu mengangkangi dunia persilatan …!” – ia tertawa mengikik: “Pernahkah kau mendengar nama keempat momok
itu?”
Thian-leng terbeliak. Teringat ia akan pesan Oh-se Gong-mo untuk menumpas si Song-bun Kui-mo yang jahat.
Adakah orang aneh yang dihadapinya saat itu Song-bun Kui-mo?!
Untuk menghadapi segala kemungkinan diam-diam Thian-leng kerahkan tenaga dalam. Ah, ia menghela napas
longgar karena lwekangnya sebagian besar sudah pulih.
“Apakah cianpwe Song-bun Kui-mo?” serunya.Tiba-tiba orang aneh itu menggeram: “Song-bun Kui-mo? Uh, aku membencinya setengah mati. Ingin benar kumakan
dagingnya …”
Thian-leng menghela napas longgar: “Kalau begitu tentulah Tui-hun Hui-mo!”
“Hm, benarlah!” sahut orang aneh itu.
Tanpa diberi keterangan, Thian-leng telah mengetahui apa sebab tokoh Tui-hun Hui-mo (Iblis pengejar maut) sampai
sedemikian mengenaskan keadaannya. Di dalam apa yang disebut Su-mo (4 iblis), Hun-tiong Sin-molah yang paling
tinggi kepandaiannya. Kemudian setelah Song-bun Kui-mo berhasil merebut kitab pusaka Im-hu-po-kip,
kesaktiannyapun bertambah hebat. Dengan begitu hanja Oh-se Gong-mo dan Tui-hun Hui-mo yang terbelakang
sehingga mereka lari menyembunjikan diri.
“Dan kau, siapa namamu?” tegur Tui-hun Hui-mo.
Thian-leng tertegun, sahutnya: “Wanpwe … bernama Bu-beng-jin!”
“Bu-beng-jin?” Tui-hun Hui-mo terkejut. “Kau tak mau mengatakan namamu yang sebenarnya?”
“Sekalipun semula wanpwe mempunyai nama, tetapi ternyata nama itu palsu, karena …” dengan terus terang Thian-
leng segera tuturkan riwayatnya. Tetapi peristiwa masuk ke sarang Hun-tiong-san tidak diceritakannya.
Terpikat perhatian Tui-hun Hui-mo. Ketika mendengar tentang kematian Oh-se Gong-mo, tokoh aneh itupun
mengucurkan air mata dan menghela napas berulang-ulang. Sampai beberapa saat Tui-hun Hui-mo termenung. Tiba-
tiba ia bertepuk tangan tertawa: “Buyung, kita harus kerja sama. Sip-loji itu …”
“Apakah locianpwe mengetahui jejaknya? Apakah beliau masih hidup?” tukas Thian-leng.
Tui-hun Huimo tertawa aneh: “Ketahuilah, sudah hampir 3 tahun aku mengejar jejaknya, tetapi setiap kali ia tentu
dapat lolos. Dia benar-benar seorang manusia aneh, dapat meramal …”
“Mengapa locianpwe hendak mengejarnya?”
“Aku … juga untuk pil Kong-yang-sin-tan itu. Pil itu bukan saja akan membuatmu mencapai kesempurnaan ilmu Lui-
hwe-ciang, pun setiap orang yang minum tentu akan bertambah dahsyat lwekang-nya.”
Thian-leng termenung sejenak, ujarnya: “Karena locianpwe sudah lebih dulu 3 tahun, maka pil itu locianpwe saja
yang minum, wanpwe …”
“Tidak!” bentak Tui-hun Hui-mo, “kalau Oh-se Gong-mo rela memberikan lwekang peryakinannya selama 80 tahun
kepadamu, masakan aku sudi mengangkangi pil itu? Minumlah pil itu, buyung, agar kau dapat membasmi Hun-tiong
Sin-mo dan Song-bun Kui-mo kedua keparat itu!”
Thian-leng terlongong. Memang Song-bun Kui-mo harus ia basmi. Tetapi Hun-tiong Sin-mo? Bukankah Hun-tiong Sin-
mo itu jelas bukan musuhnya? Bukankah momok itu telah melepas budi kepadanya? Ah …
“Hai, buyung, tahukah kau siapa Song-bun Kui-mo itu?” tiba-tiba Tui-hun Hui-mo berseru.
“Justru wanpwe bingung mencari tempat tinggalnya …”
Tui-hun Hui-mo tertawa: “Tempat tinggal? Saat ini dia ibarat matahari yang muncul di langit, sinarnya memenuhi
jagad. Dia hendak menguasai dunia persilatan, menundukkan tokoh-tokoh silat. Masakan kau tak tahu tempat
tinggalnya …”
“Dia … ?!”
“Dia ialah manusia yang mengangkat diri sebagai raja Sin-bu Te-kun dalam sarang istananya Sin-bu-kiong!”
“Sin-bu Te-kun?” Thian-leng tergagap. Sungguh tak diduganya sama sekali. Segera ia teringat akan dua taci-adik Ki,
si orang tua baju biru. Dan Cu Siau-bun yang entah berada di mana sekarang!
Tui-hun Hui-mo heran memandang anak muda yang tampak termenung itu, tegurnya: “Hai, apa-apaan kau ini?”
“Tak apa-apa,” Thian-leng gelagapan, “kita …”
“Ya, kita cari tempat persembunyian Sip-loji …” tukas Tui-hun Hui-mo. Ia menerangkan bahwa tokoh aneh itu
memang suka berpindah-pindah tempat. Tetapi untungnya hanya di sekitar gunung Thay-heng-san saja. “Tiga hari
yang lalu dia pindah di lembah Hong-lim-koh … berapa kali setiap aku hampir berhasil menyergapnya, apabila
terpisah 10 li, ia tentu sudah mengetahui dan lari!”
“Kalau begitu selamanya tentu tak dapat dipergoki!” seru Thian-leng.
“Tidak! Dengan bantuanmu, tentu lain halnya,” Tui-hun Hui-mo tertawa. Segera ia mencari sebatang dahan kayu
kering dan menggambar di tanah: “Ia di lembah Hong lim-koh. Di tengah lembah terdapat sebuah jalanan, satu di
sebelah timur dan satu di selatan. Kau mengambil jalan yang timur dan aku dari selatan. Kali ini masakan dia mau lari
ke langit!”
Setelah selesai memberi petunjuk, Tui-hun Hu-mo segera ajak Thian-leng berangkat. Dengan menurutkan peta
guratan Tui-hun Hui-mo tadi, tak lama kemudian tibalah ia di muka mulut jalanan lembah Hong-lim-koh yang sebelah
timur. Lembah itu merupakan sebuah tempat yang terpencil sekali. Penuh batu-batu yang curam dan hutan lebat.
Setelah beberapa saat memandang keadaan lembah itu, barulah Thian-leng mulai memasukinya. Tiba-tiba ia berhenti
terlongong-longong …
***Berhasilkah Thian-leng mencari si orang sakti Sip U-jong yang misterius …?
(Bersambung jilid 3)
Jilid 3 .
Tertangkap basah.
Di kaki puncak gunung, terdapat sebuah gubuk. Tak jauh di belakang gubuk itu, sebuah air terjun tengah mencurah,
dikelilingi oleh pohon-pohon yang rindang. Sekilas alam pemandangan di situ mirip dengan sebuah lukisan.
“Ah, tentulah itu tempat kediaman Sip-locianpwe,” Thian-leng menduga-duga. Dan segera ia menghampiri. Karena
hiruk-pikuknya gemuruh air terjun maka kedatangannya tak menimbulkan kecurigaan orang. Begitu tiba di gubuk
segera ia melongok ke dalam jendela.
Sebuah gubuk yang reyot. Di sana-sini tampak celah-celah lubang. Di dalam ruangan hanya terdapat sebuah meja
dan sebuah bale-bale terbuat dari papan. Di atas rumput kering diperuntukkan alas bale-bale itu, duduklah seorang
tua yang sudah putih rambutnya. Paling tidak dia tentu sudah berumur 80 tahun. Tubuhnya kurus tetapi seri
wajahnya masih segar kemerah-merahan.
Agak curiga Thian-leng dibuatnya. Tui-hun Hui-mo mengatakan bahwa pendengaran Sip U-jong itu luar biasa
tajamnya. Setiap orang berada pada jarak 10 li jauhnya, tentu sudah diketahuinya. Tetapi mengapa sampai ia
menghampiri jendela, tetap tak diketahui?
Tiba-tiba penghuni gubuk tersenyum. Ia menarik meja di hadapannya dan dari tumpukan rumput ia mengambil
beberapa benda mirip potongan kulit dan tulang kura-kura. Benda-benda itu diletakkan di atas meja.
Itulah mirip dengan barang permainan kanak-kanak dan Thian-leng pun mengerutkan kening keheranan.
Orang tua itu sibuk menjalankan benda-bendanya, sebentar ke timur sebentar dipindah ke barat. Tiba-tiba ia
mengerutkan alis dan berkata seorang diri: “Satu ke timur satu ke selatan. Dua setan menghadang jalan … ah,
habislah permainan kali ini …”
Thian-leng terbeliak kaget.
“Swan (tenggara) putus, Khian (barat laut) kering. Li (selatan) berair, Khun (timur laut) banjir. Mengejutkan tetapi
tak berbahaya …” kata orang tua itu pula. Kemudian berhenti diam lagi. Tiba-tiba ia berseru kaget: “Macan putih
muncul di Te-hu (gedung residen). Naga sembunyi di ujung langit. Di dalam bahaya melahirkan gajah jahat, ah,
mungkin urusan besar kapiran!”
Thian-leng mendengarkan ocehan orang tua aneh itu setengah mengerti setengah tidak. Ketika hampir menemukan
pemecahan artinya, tiba-tiba orang tua berambut putih itu melambaikan tangannya berseru: “Masuklah, anak muda!”
Bukan main kejutnya Thian-leng. Karena jelas bahwa orang tua itu melambai kepadanya. Akhirnya dengan berdebar-
debar ia melangkah masuk.
“Nak, telah lama kutunggu engkau!” orang tua itu
Thian-leng tersipu-sipu memberi homat: “Apakah locianpwe Sip …”
“Benar, aku memang Sip U-jong. Telah kuketahui maksud kedatanganmu ..”
“Locianpwe seorang penjelmaan dewa?”
“Bukan, aku hanya mengerti ilmu perbintangan (falak) saja, bukan dewa …” ia mengeluarkan sebuah holou (buli-buli)
warna kuning emas. Dengan hati-hati sekali dituangnya sebutir pil sebesar ujung jempol tangan, warnanya merah. Pil
itu diberikan kepada Thian-leng.
“Inilah pil Kong-yan-sin-tan yang dibuat rebutan orang persilatan. Lekas telanlah!”
“Tidak, tidak! Wanpwe …” Thian-leng menolak. Ia terkejut dengan peruntungan yang diperolehnya begitu mudah. Dan
diapun tak mau merebut Tui-hun Hui-mo yang sudah 3 tahun mengejar pil itu.
Sip U-jong tertawa tergelak-gelak: “Tiga puluh tahun yang lalu aku mengadakan perjanjian dengan Oh-se Gong-mo.
Kuperhitungkan waktu perjanjian itu ialah hari ini …”
“Apakah 30 tahun yang lalu locianpwe sudah mengetahui kedatangan wanpwe hari ini?”
“Bukan begitu. Hanya kala itu sudah kuketahui aku tak berjodoh dengan Oh-se Gong-mo tetapi berjodoh dengan
pewarisnya …”
“O, memang aku datang kemari untuk pil ini, tetapi …”
“Tadi biji Kwa-jio (papan untuk meramal) mengunjukkan bahwa banyak bahaya segera akan muncul, setiap saat akanterjadi perobahan. Lekas minumlah pil itu!”
“Wanpwe …” masih Thian-leng bersangsi. Tiba-tiba terasa ada angin menyambar dari belakang. Ia hendak berputar
diri tetapi sudah terlambat. Punggungnya sudah ditutuk orang. Seketika tubuhnya tak dapat berkutik lagi. Di luar
dugaan Sip U-jong tetap tenang-tenang saja.
“Mengejar aku 3 tahun, maksudmu hanya untuk pil itu!” serunya tawar.
Pendatang itu tertawa tergelak-gelak: “Benar, tetapi aku bukan manusia yang temaha. Saat ini aku sudah merobah
pikiran …” ia berhenti sejenak. “Kau dan aku sepaham, lekas berikan pil itu kepadanya!”
Kiranya pendatang itu ialah Tui-hun Hui-mo!
Sip U-jong tertegun, ujarnya: “Sekalipun ramalanku tepat, tetapi hati orang sukar diduga. Sungguh tak kusangka-
sangka …” – ia gelengkan kepala menghela napas: “Buyung ini lapang dada, dia hendak menyerahkan pil itu
kepadamu dan tetap menolak tak mau menelannya. Aku tak berdaya memaksanya …”
“Mudah!” sahut Tui-hun Hui-mo seraya menutuk tenggorokan Thian-leng sehingga mulut anak muda itu menganga.
Sip U-jong cepat memasukkan pil ke mulut Thian-leng. Setelah itu Tui-hun Hui-mo baru membuka lagi jalan darah
Thian-leng yang tertutuk.
Thian-leng tak dapat berbuat apa-apa kecuali berlutut menghaturkan terima kasih kepada kedua orang aneh itu. Tiba-
tiba ia menjerit, loncat beberapa meter ke udara dan jatuh berguling-guling mendekap perutnya. Kiranya pil itu mulai
bekerda. Perut Thian-leng serasa terbakar api, organ dalam tubuhnya serasa disayati sehingga ia menjerit- jerit
seperti babi disembelih!
“Pil itu telah kubuat selama 50 tahun. Untuk menjaga pil itu aku sampai menelantarkan ilmu silat. Montang-manting
lari ke mana-mana sehingga hampir kehilangan jiwa! Ah, tak kira pil itu sedemikian mencelakakan orang …”
Tui-hun Hui-mo tertawa: “Tetapi kuharap kau membuat 2 butir, biar aku turut merasakan bagaimana sakitnya!”
Sip U-jong tertawa perlahan: “Kau dan aku sudah ibarat senja hari, biarlah kita titipkan harapan kita di atas bahunya
saja …!” – ia berhenti untuk menghitung-hitung dengan jarinya. Tiba-tiba ia terkejut: “Celaka, musuh mendesak,
jalanan lembah sudah tertutup! Bagaimana ini!”
“Apakah mereka orang Sin-bu-kiong?” Tui-hun Hui-mo terkejut juga.
“Ini sukar diperkirakan, hanya dalam ramalanku mengunjuk bahaya keludasan …” menunjuk pada Thian-leng, ia
berkata pula: “Sekalipun dia sudah minum pil itu, tetapi dalam waktu sejam belum dapat menghadapi musuh. Jika tak
beruntung, mungkin kita sukar lolos dari kehancuran. Jerih-payahku selama berpuluh-puluh tahun akan ludas dalam
sehari saja …”
“Kau mengerti ramalan, mengapa tak mengetahui keadaan mereka?” kata Tui-hun Hui-mo.
“Hai, benar, mengapa aku begini limbung …” Sip U-jong seperti orang disadarkan. Segera ia memeriksa wajah Thian-
leng. Saat itu Thian-leng sudah tak menggeliat-geliat, hanja keningnya masih bercucuran keringat panas. Sebenarnya
jalan darah utama Seng-si-hian-kwan dalam tubuh Thian-leng sudah tertembus. Jalan darah ini merupakan “pintu”
terakhir dari suksesnya suatu peryakinan lwekang. Selama jalan darah itu tak dapat terbuka, orang tetap tak mampu
mencapai kesempurnaan lwekang. Tidak banyak tokoh-tokoh persilatan yang telah tertembus bagian jalan darah
Seng-si-hian-kwan.
“Ah, mungkin pilihanku salah. Seumur hidup aku menderita kekecewaan!” sesaat kemudian Sip U-jong berseru sambil
membanting-banting kaki.
“Apakah usianya tak panjang?” Tui-hun Hui-mo terkejut.
Sip U-jong gelengkan kepala: “Ini sukar dikatakan. Hanya perjalanan hidupnya memang penuh kesulitan, selalu
tertimpa bahaya maut. Jika tak ketemu bintang penolong mungkin dia takkan hidup panjang …” ia berhenti sejenak,
katanya: “tetapi yang kukuatrkan bukan hal itu. Dia seorang anak
keras kepala, mungkin tak dapat memenuhi harapanku dengan lancar …”
“Aku tak tahu apa isi harapanmu itu, tetapi tentulah ada hubungannya dengan Hun-tiong Sin-mo dan Song-bun Kui-
mo!” seru Tui-hun Hui-mo.
Sip U-jong menggeram: “Isteri dan puteriku telah dibunuh Song-bun Kui-mo, masakan kau tak mendengar hal itu!”
Tui-hun Kui-mo tertawa: “Asal anak itu masih bisa hidup saja, jangan kau kuatirkan hal itu …”Tiba-tiba ia bertanya: “Kelinci yang licin masih punya 3 liang. Selain timur, selatan, apakah tak ada lain jalan lagi?”
“Kau takut mati?” Sip U-jong tertawa.
Tui-hun Hui-mo mendengus: “Yang mengerti gelagat dan bertindak tepat barulah seorang gagah. Berani mati atau
takut mati, bukanlah halangan.”
Sip U-jong gelengkan kepala: “Tetapi sekarang sudah terlambat …” baru ia mengucap, tiba-tiba terdengar lengking
suara seperti denging nyamuk menyusup telinga: “Benar, memang sekarang sudah terlambat!”
Kejut Sip U-jong dan Tui-hun Hui-mo tak kepalang. Melihat ke arah datangnya suara, tampak seorang wanita
mengenakan kerudung muka sudah memasuki pintu gubuk. Di belakangnya diiring oleh 4 bujang wanita berbaju biru.
Mereka datang tanpa menimbulkan suara apa-apa. Bahwa seorang tokoh sakti macam Tui-hun Hui-mo sampai tak
mengetahui sama sekali kedatangan rombongan wanita itu, memang mengherankan sekali!
Cepat Tui-hun Hui-mo menghadang di muka Thian-leng, tegurnya dengan nada bengis: “Siapa kalian ini? Perlu apa
kemari?”
Wanita berkerudung itu tertawa dingin: “Matamu buta, sampai tak kenal siapa aku …”
“Persetan kau ini siapa, lekas keluar dari pondok ini, atau …”
“Atau bagaimana?” tantang wanta itu.
“Mayatmu jadi bubur daging!”
“Mengapa kau tak lekas turun tangan?” wanita itu mengikik.
Peta Telaga Zamrud.
Memang Tui-hun Hui-mo sudah memutuskan. Rombongan wanita itu terang bukan manusia baik. Lebih cepat ia turun
tangan, lebih baik. Tak usah mengalami pertempuran yang lama. Ia menggerung keras dan mendorong ke muka.
Wanita berkerudung itu tetap berdiri. Kedua tangan disembunyikan dalam lengan baju. Sikapnya tenang-tenang saja.
Begitu Tui-hun Hui-mo bergerak, iapun segera ulurkan jarinya menutuk.
Sebagai tokoh kedua dari Su-mo dahulu, ia malang-melintang tanpa tanding. Setiap pukulan Tui-hun-sin-ciang
(pukulan sakti pengejar nyawa) meluncur tentu ada orang yang terluka. Yang rubuh di tangannya entah sudah berapa
banyak.
Tahu bahwa wanita yang dihadapinya itu bukan tokoh sembarangan, maka sekali gebrak Tui-hun Hui-mo pun
gunakan ilmu simpanan Tui-hun-sinciang dalam jurus yang paling dahsyat, yakni Ngo-gak-kie-pheng (5 gunung
berbareng meletus). Pukulan dahsyat dilambari dengan tenaga penuh. Dahsyatnya bagaikan gunung Thay-san rubuh

Menurut perkiraannya, pukulan itu tentu akan menghancurkan si wanita, sekurang-kurangnya tentu dapat
melukainya, paling tidak pasti membuatnya terpental mundur beberapa langkah. Kemudian ia akan menyusuli dengan
Lian-hoan-sam-ciang (3 pukulan berantai). Tanggung tentu menang!
Tetapi apa yang disaksikan, benar-benar tak diduganya sama sekali. Wanita berkerudung itu gunakan jarinya untuk
menyambut. Gilakah barang kali wanita itu. Memang tenaga tutukan jari itu tajam sekali tetapi mana dapat diadu
dengan tenaga pukulan. Kecuali memang wanita itu bermaksud hendak berjibaku atau sama-sama remuk. Tetapi
anehnya wanita itu tak mengunjuk sikap hendak mengadu jiwa.
Di saat Tui-hun Hui-mo tercengang, angin tutukan jari dan angin pukulannya telah beradu! Aneh, aneh … angin keras
yang menghambur dari pukulannya itu ketika beradu dengan tutukan jari, berobahlah seperti api disiram air. Hilang
lenyap segala daya tenaga pukulan itu. Bahkan tak berhenti sampai di situ saja. Tui-hun Hui-mo merasa tersembur
oleh aliran hawa dingin yang keras sekali sehingga darahnya serasa bergolak. Pemusatan tenaganya seolah-olah
buyar ambyar …
“Hian-im-ci!” serentak berteriaklah Tui-hun Hui-mo dengan wajah pucat.
Wanita itu menarik jarinya, tertawa: “Setan tua, sekarang kau sudah tahu siapa aku?”
Tui-hun Hui-mo mengerut gigi kencang-kencang, geramnya: “Sin-bu-kiong! Kau Song-bun Kui-mo punya …”
“Kau berani menyebut nama Te-kun yang dulu? Dosamu sudah tak dapat diberi ampun!” seru wanita berkerudung itu.
Tiba-tiba Tui-hun Hui-mo tertawa keras: “Tekun? Ha, ha, kau tentulah permaisuri Ong-hui-nya?”“Te-it Ong-hui!” sahut wanita itu dengan nada angkuh, bangga.
Tui-hun Hui-mo berhenti tertawa, serunya: “Bilang apa maksudmu kemari?”
“Kesatu, untuk mengambil jiwa kalian berdua setan tua!” jawab Te-it Ong-hui atau isteri pertama dari Song-bun Kui-
mo yang berganti gelar menjadi Sin-bu Te-kun atau raja dari istana Sin-bu-kiong. “Kedua, membawa anak itu!”
Tiba-tiba Sip U-jong yang sedjak tadi masih tetap duduk di atas bale-bale, berseru: “Ah, tak semudah itu!”
Te-it Ong-hui tertawa mengekeh: “Sebelum Te-kun mendapat kitab Im-hu-po-kip saja kau sudah dipukulnya
terkencing-kencing sehingga kepandaianmu lenyap. Apa yang hendak kau andalkan berani menolak perintah Te-kun
sekarang?”
Habis berkata Te-it Ong-hui segera menghampiri bale-bale. Seketika itu timbullah kenekadan Tui-hun Hui-mo. Pada
saat wanita itu bergerak ke tempat Sip U-jong, iapun segera lepaskan hantaman dari samping.
Tetapi Te-it Ong-hui acuh tak acuh.
“Setan bernyali besar, kau berani kurang ajar kepada Ong-hui?” dua orang bujang wanita segera membentak seraya
kebutkan Hud-tim.
Sekalipun mengetahui gerakan kedua bujang wanita itu luar biasa cepat dan aneh, tetapi karena mereka hanya
bujang, Tui-hun Hui-mo tak memandang mata. Dia tetap menyerang Te-it Ong-hui.
Tetapi untuk itu ia harus membayar mahal. Kebutan kedua bujang itu ternyata seperti ribuan anak panah
menyambar. Bukan saja tenaga pukulan Tui-hun Hui-mo buyar, pun dia malah tersambar hawa dingin yang
menyerang masuk ke tulang-tulang sehingga tak dapat menguasai diri lagi terhuyung-huyung tiga - empat langkah!
Dalam pada itu Sip U-jong pun berbareng timpukkan sebuah benda bersinar merah kepada muka si wanita
berkerudung. Meski tenaganya sudah punah, tetapi ia masih mahir menimpuk.
Te-it Ong-hui tertawa mengikik seraya ulurkan jarinya menjepit. Enak dan mudah sekali ia menyambut timpukan itu.
Benda merah terjepit dengan tepat. Tetapi seketika itu Te-it Ong-hui menjerit kesakitan …
Kiranya benda merah itu bukan senjata rahasia apa-apa, melainkan seekor … ular kecil yang berwarna merah.
Panjangnya hanya 3 dim. Begitu dijepit dengan jari, ular itu melingkar lalu mematuk telapak jari Te-it Ong-hui!
Te-it Ong-hui kebaskan ular yang mematuknya dan menutuk hingga mati. Dan cepat-cepat ia tutuk jarinya sendiri
karena tahu bahwa ular itu berbisa.
“Setan tua, kau mempunyai nyali!” bentaknja dengan gusar.
Sip U-jong tertawa nyaring: “Itu adalah ratu ular. Betapa hebat kepandaianmu jangan harap kau bisa hidup!”
Te-it Ong-hui menggeram: “Kalau mati aku akan mati dengan meram. Di dalam kitab Im-hu-po-kip, terdapat
pelajaran tentang ilmu racun. Betapa hebatnya ilmu racun dari Hwat-hun-nio, namun tak nanti mampu membunuh
aku …”
Hwat-hun-nio artinya Dewi Awan Merah, sejenis ular kecil yang luar biasa berbisanya. Sekali gigit tentu matilah
korbannya!
“Sip U-jong,” seru Te-it Ong-hui pula, “tahukah kau selain kedua benda itu, apalagi yang hendak kuganjar padamu?”
Sip U-jong terkejut namun ia berlaku tenang. Toh paling banyak hanya mati. “Entah, aku tak tahu apa rencana
keganasanmu itu?”
Te-it Ong-hui tertawa dingin: “Sebelum mati kau harus menyerahkan sebuah benda padaku!”
“Benda apa, aku seorang jembel, apa yang dapat kuberikan kepadamu!” dengus Sip U-jong.
“Berikan peta Giok ti tho (Telaga Zamrud )?” Te-it Ong-hui berseru bengis
“Giok ......ti ........tho………… bagaimana kau tahu ………..” Sip U-jong menyahut.
Te-it Ong-hui tertawa: “Soal sepenting itu mana mungkin mengelabui Sin-bu-kiong …” lalu ia melanjutkan pula: “Baik
Sin-bu-kiong maupun Hun-tiong Sin-mo atau tokoh-tokoh persilatan lain, mengetahui bahwa engkau mendapat peta
mustika itu dari seorang cianpwe yang aneh, sekarang peta harus menjadi milik Sin-bu-kiong!”
Sip U-jong mendengus: “Memang peta itu pernah jatuh di tanganku, tetapi … karena seumur hidup aku tak
mempunyai harapan meyakinkan ilmu silat lagi, maka untuk menghindarkan tangan orang jahat kubakar saja peta
itu!”Te-it Ong-hui tertawa mengekeh: “Dibakar …? Jika kau mau menyerahkan dengan baik-baik, akan kuberi kemurahan
agar mayatmu tetap utuh, jika tidak …”
“Kalau begitu, tunggulah sebentar …” seru Sip U-jong seraya merogoh sebuah bungkusan kain dari kantongnya.
Setelah dibuka, di antaranya terdapat sehelai kertas putih yang kumal. Mungkin karena tuanya maka kertas itu
berobah kuning.
Te-it Ong-hui puas. Baru ia hendak ulurkan tangan, tiba-tiba secepat kilat Sip U-jong merobek-robek kertas itu
menjadi berkeping-keping. Tetapi Te-it Ong-hui pun dapat bergerak sebat. Cepat luar biasa, ia merebut sisa peta itu
dari Sip U-jong.
“Setan tua licik,” bentaknya dengan geram sembari menampar, “Bum” … Sip U-jong terpental serta bale-balenya
hancur berantakan!
Hati-hati sekali Te-it Ong-hui mengumpulkan robekan kertas tadi. Setelah diperiksa sejenak lalu dibungkus dan
disimpan dalam bajunya. Tetapi di saat ia hendak memasukkan robekan peta ke baju, kedua bahunya gemetar.
Kejutnya bukan kepalang. Ketika memeriksa ternyata jari yang digigit ular Hwat-hun-nio itu sudah melepuh
(bengkak) dan berwarna ungu gelap. Ia mengerut geram. Cepat ia menelan sebutir pil lalu meramkan mata
menjalankan peredaran darahnya.
Di lain pihak, Tui-hun Hui-mo telah didesak ke pojok oleh kedua bujang perempuan. Tui-hun Hui-mo keluarkan
seluruh kepandaian dan tenaganya, tetapi tiap kali tentu dihapus oleh kebutan hud-tim kedua bujang itu. Makin Tui-
hun Hui-mo kalap dan menggerung-gerung seperti macan mencium darah, makin dia kelabakan tak keruan!
Untung juga karena agaknya kedua bujang itu belum menerima perintah Te-it Ong-hui, maka sampai sekian lama
mereka belum mau melukai lawan.
Kedua bujang yang lain, melihat Te-it Ong-hui terluka, segera menghampiri dan menjaga di sampingnya.
Sementara Sip U-jong saat itu menggeletak berlumuran darah. Mati tidak hidup pun tidak. Ia keraskan hati
mengerahkan seluruh sisa tenaganja untuk menggelinding ke dekat Thian-leng. Sejenak ia mengembalikan napasnya
yang terengah-engah dan sekalian melihat suasana. Tampaknya Te-it Ong-hui sedang bersemedhi dan keempat
bujangnya sedang sibuk melaksanakan tugasnya masing-masing. Jadi tak ada orang yang memperhatikannya. Tiba-
tiba ia merogoh sehelai bungkusan kain. Ia mengusap darah di mulut dengan kain itu lalu menulisnja dengan
beberapa kata. Setelah itu cepat-cepat ia masukkan kain itu ke dalam baju Thian-leng.
Rupanya pekerjaan-pekerjaan itu telah memakan tenaganya yang terakhir. Karena setelah selesai iapun lantas
terkulai rubuh di tanah …
Kira-kira sepeminum teh lamanya, Te-it Ong-hui pun bangkit. Serunya: “Jun-hong, He-liok, bawalah anak itu!”
Kedua bujangpun segera mengangkat Thian-leng lalu diseretnya keluar. Tiba-tiba Thian-leng meronta. Keringatnya
sudah berkurang dan layap-layap ia sudah mendapat kesadaran pikirannya kembali. Kedua bujang itu tak
menyangka-nyangka bahwa pemuda yang tampaknja tak berkutik itu akan berontak sehebat itu. Meskipun kedua
bujang itu anak buah Te-it Ong-hui yang paling terpercaya, tetapi toh tak kuat menahan tenaga si anak muda.
Mereka melengking kaget dan terlempar di tanah.Cepat mereka merangkak bangun tetapi tenaganya sudah lemah.
Menandakan bahwa mereka menderita luka dalam yang tak ringan.
Penghamburan tenaga itu, sebaliknya malah membuat Thian-leng makin sadar. Ia celingukan memandang ke
sekeliling. “Ini … ini bagaimana?” katanya penuh keheranan.
Tiba-tiba Tui-hun Hui-mo yang terpojok di sudut ruangan, berteriak keras: “Bu-beng-jin, bunuh …”
Ia tak dapat melanjutkan ucapannya karena saat itu Te-it Ong-hui sudah mendahului menutuk dada Thian-leng.
Pemuda itu baru saja mulai tersadar tetapi belum pulih ingatannya. Tahu-tahu ia rasakan dadanya ampek dan bluk …
jatuhlah pula ia ke tanah!
“Lekas bawa dia pergi!” seru Te-it Ong-hui. Kedua bujang segera menyeret lagi pemuda itu. Setelah mereka pergi
barulah Te-it Ong-hui loncat ke muka Tui-hun Hui-mo.
“Jui-kiok, Tong Jing, mundurlah!” serunya.
Kedua bujang itupun segera mundur.
Kini berhadapan Tui-hun Hui-mo dengan Te-it Ong-hui. Menghadapi bahaya yang lebih besar, sebaliknya Tui-hun Hui-
mo malah lebih tenang. Tertawalah ia nyaring-nyaring: “Siluman perempuan, mungkin hari ini kau dapat bersuka-ria,tetapi lambat atau cepat kau tentu takkan terlepas dari kehancuran?”
Murka benar Te-it Ong-hui, dampratnya: “Sebenarnya mengingat hubunganmu dengan Sin-bu Te-kun pada masa
dahulu hendak kuberimu ampun. Tetapi ternyata kau cari mati sendiri. Baiklah, akan kusempurnakan engkau!”
Tui-hun Hui-mo menyahut dengan menggerung keras, menghantam sekuat-kuatnya dengan kedua tangannya. Tetapi
Te-it Ong-hui ulurkan jarinya seraya membentak: “Hai, setan tua, mengapa tak kenal gelagat!”
Tidak terdengar suara letupan apa-apa, tidak pula benturan pukulan. Tetapi tahu-tahu tenaga pukulan Tui-hun Hui-
mo buyar dan tubuh tokoh itupun terkulai. Hanya sebuah erang tertahan yang terdengar, kemudian putuslah jiwa Tui-
hun Hui-mo.
Ternyata Te-it Ong-hui telah melancarkan jurus Ngo-hian-ki-poh atau lima utas sutera berhamburan. Salah sebuah
jurus yang paling maut dari ilmu Hian-im-ci.
Jangankan tubuh manusia, batupun tentu hancur menjadi tepung …
Te-it Ong-hui menyongsong kematian Tui-hun Hui-mo dengan tertawa dingin. Setelah itu ia menutuk Sip U-jong.
Tubuh tokoh itupun terguling-guling seperti bola. Diapun menerima kematian yang mengenaskan!
Begitu melangkah keluar, Te-it Ong-hui melihat keempat bujang kepercayaan sudah berjajar-jajar sambil mencekal
Thian-leng. Sebelum pergi Te-it Ong-hui membakar gubuk itu. Ia tersenyum menyaksikan kedua sosok mayat yang
menggeletak dalam gubuk itu. Setelah puas barulah ia ajak keempat bujangnya pulang.
Tetapi ketika tiba di mulut lembah, tiba-tiba terdengar suara bentakan dari dalam hutan: “Ong-hui berhentilah!”
Sesosok bayangan laksana burung elang, melayang keluar …
Te-it Ong-hui tertegun kaget. Pendatang itu seorang bertubuh tinggi besar, jubah warna ungu, menyanggul mantel
warna kuning. Jenggotnya menjulai sampai ke dada, romannya gagah-perkasa.
“Cong-hou-hwat Ni Jin-hiong menghaturkan hormat kepada Ong-hui,” seru orang itu.
“Mengapa … kau kemari?” tegur Te-it Ong-hui.
Ni Jin-hiong tertawa sinis: “Te-kun memerintahkan begitu!”
Te-it Ong-hui agak tergetar. Ia terkejut namun ia berlaku setenang mungkin: “Mengapa dia tahu aku kemari?”
Kembali Ni Jin-hiong tertawa sinis: “Terus terang saja, hambalah yang melaporkan!”
“Manusia bosan hidup!” damprat Te-it Ong-hui marah sekali, “mengapa kau memberitahu padanya?”
“Ong-hui tinggalkan istana, bukan hal yang biasa. Karena tugas, hamba tak berani …”
“Rubah yang licin!” tukas Te-it Ong-hui, “lekas katakan apa maksudmu?”
Sejenak Ni Jin-hiong sapukan mata ke arah empat bujang, ujarnya: “Bolehkah … aku mendapat kebebasan bicara?”
“Mereka adalah orang kepercayaanku. Segala urusanku, mereka tahu. Masakan kau tak tahu?”
Kali ini Ni Jin-hiong tertawa keras: “Baiklah. Terlebih dahulu aku hendak menghaturkan selamat kepadamu!”
“Dalam hal apa?” Te-it Ong-hui kerutkan alis.
“Kau sudah mendapatkah peta Telaga Zamrud, apakah itu tak layak mendapat pemberian selamat?”
“Ah, kau …”
“Dapatkah kau mengelabui aku?” ejek Ni Jin-hiong. Di luar dugaan tiba-tiba ia menyambar siku lengan kiri Te-it Ong-
hui, kemudian tangan kirinya menarik kain kerudung yang menutupi wajah Te-it Ong-hui.
Sebuah wajah tersembul. Sebuah wajah yang cantik sekali. Sayang sudah agak setengah tua. Kira-kira berumur 35-
an tahun lebih.
Keempat bujang terbeliak kaget. Cepat mereka mengepung Ni Jin-hiong. Ni Jin-hiong tersenyum dingin dan perkeras
cengkeramannya. Karena menahan kesakitan, Te-it Ong-hui pucat wajahnya. Segera ia memberi perintah supaya
keempat bujangnya mundur. Terpaksa keempat bujang itupun mundur.
“Ma Hong-ing, sekarang kau tentu mau mengatakan!”
Te-it Ong-hui merandek sejenak, sahutnya: “Benar, memang peta itu telah berada dalam tanganku!”
Ni Jin-hiong kendorkan cengkeramannya, tertawa: “Sejak saat ini, dunia persilatan bakal menjadi milikmu dan milikku
…”
“Tetapi Te-kun …”
“Asal sudah menyimpan kitab pusaka dari It Bi Sianjin itu, masakan kau takut dimakan Te-kun?” Ni Jin-hiong
mendengus.“Tetapi …” masih Te-it Ong-hui atau Ma Hong-ing bersangsi.
Ni Jin-hiong deliki mata: “Tetapi apa? Apakah kau masih sayang dengan kedudukanmu sebagai Ong-hui?”
“Mengapa kau menuduh begitu? Kita …”
Ni Jin-hiong tertawa meloroh: “Adik Ing, jangan kuatir. Aku Ni Jin-hiong bukan Song-bun Kui-mo yang memelihara
tiga sampai empat orang isteri …”
“Masakan kau berani!” dengus Ma Hong-ing.
Masih Ni Jin-hiong lanjutkan rayuannya: “Adik Ing, sebenarnya aku hanya mencintaimu seorang. Apabila aku sampai
berhasil merajai dunia persilatan, hanya kau seorang yang kujadikan isteriku!”
Merah selebar wajah Ma Hong-ing. Sambil menunjuk ujung hidungnya ia melengking: “Kutu busuk, mulutmu selalu
berbalut gula …”
“Berikan!” Ni Jin-hiong angsurkan tangan.
“Apa?” Ma Hong-ing terkesiap.
“Apa lagi kalau bukan peta Telaga Zamrud!”
“Apakah kau menyuruh kuserahkan padamu?”
Ni Jin-hiong tertawa berat: “Paling tidak kita harus memeriksanya dan mempelajari letak tempat itu!”
Ma Hong-ing merenung sejenak kemudian mengeluarkan bungkusan kain yang berisi robekan peta Giok-ti-tho.
Mereka berdua segera asyik memeriksa peta itu. Tiba-tiba wajah Ni Jin-hiong berobah.
“Palsu!” serunya dengan putus asa.
Juga Ma Hong-ing mengerut gigi, menggeram sengit: “Bangsat tua itu sungguh menjengkelkan sekali, aku termakan
tipunya … Celaka, kitab pusaka It Bi Sianjin takkan muncul di dunia lagi!” – Ma Hong-ing membanting-banting kaki.
“Mengapa?” tanya Ni Jin-hiong.
“Bangsat tua Sip U-jong telah menipu aku dengan menyerahkan peta yang palsu. Yang tulen tentu masih berada
padanya!”
“Ya, benar. Lekas tangkap si tua celaka itu, peta tentu masih berada di tangannya!”
“Dia telah kubunuh!” Ma Hong-ing gelengkan kepala.
“Kalau begitu carilah mayatnya!”
Sahut Ma Hong-ing dengan nada lemah: “Mayatnya sudah hangus jadi abu!”
“Kau bakar?”
Hampir pingsan Ma Hong-ing mengalami kegoncangan batin yang sedemikian hebatnya.
Plak … Sekonyong-konyong Ni Jin-hiong menampar pipi Ma Hong-ing. Lima buah telapak jari darah segera menghias
pipi wanita itu. Namun ia tak mau berusaha membalas melainkan terhuyung-huyung jatuh ke tanah. Untung dua
bujangnya cepat menyanggapi.
“Wanita busuk bagus sekali kerjaanmu …” Ni Jin-hiong masih marah.
Ma Hong-ing agak meramkan mata tak mau menyahut. Ni Jin-hiong menghela napas panjang, ujarnya pula: “Kau dan
aku rupanya memang sudah ditakdirkan menjadi budak. Dengan hilangnya kesempatan kali ini, seumur hidup jangan
harap kita dapat meloloskan diri dari cengkeraman Song-bun Kui-mo …”
Berhenti sejenak, ia membentak pula: “Mengapa tak lekas kembali ke istana? Jika dia mengetahui hubungan kita,
mungkin kedudukan jadi hamba sajapun kita tak dapat menikmati!”
Ma Hong-ing menghela napas kecewa, serunya lemah kepada bujang yang berada di belakangnya: “Bawa budak itu
lekas!”
Dua bujang segera menyeret Thian-leng. Tetapi baru berjalan beberapa langkah, tiba-tiba Ni Jin-hiong membentak
marah: “Berhenti …!”
Tanyanya kepada Ma Hong-ing: “Apakah itu budak Kang Thian-leng yang kau pelihara selama 17 tahun?”
Ma Hong-ing mengangguk.
“Budak itu sudah tak berharga lagi, perlu apa kau bawa pulang?”
“Hun-tiong Sin-mo pernah membebaskan dan menolongnya, mungkin …” tiba-tiba Ma Hong-ing berhenti sejenak,
gelengkan kepala, “ah, tetapi terserah padamulah. Aku tak peduli!”
“Lepaskan saja!” tiba-tiba Ni Jin-hiong membentak keras kepada kedua bujang. Kedua bujang yang mencekal Thian-
leng itupun segera lepaskan tawanannya dan loncat menyingkir.Karena jalan darahnya masih tertutuk, ketika dilepaskan, Thian-leng hendak rubuh lagi. Tetapi pada saat tubuhnya
melorot jatuh, Ni Jin-hiong telah membarengi dengan sebuah hantaman dahsyat … Hantaman itu disertai dendam
kebencian!
Bum … karena tak dapat berkutik, maka Thian-leng terlempar seperti layang-layang putus. Setelah berjumpalitan di
udara beberapa kali lalu jatuh dua puluhan tombak jauhnya!
Ni Jin-hiong yakin anak muda itu tentu sudah mati, maka iapun tak mau memeriksanya lagi.
Ma Hong-ing atau isteri dari Sin-bu Te-kun yang ternyata main gila dengan Ni Jin-hiong, mengawasi kesemua itu
dengan menghela napas perlahan. Ia tak dapat berbuat apa-apa terhadap kepala penjaga Sin-bu-kiong itu.
Demikian dengan diantar oleh keempat bujang kepercayaannya, Ma Hong-ing atau Te-it Ong-hui segera tinggalkan
tempat itu.
Sejenak Ni Jin-hiong kerutkan alis. Kemudian iapun turun gunung juga …
***
Pengorbanan.
Keesokan hari menjjelang magrib, tampak dua buah tandu melintas di muka lembah Hong-lim-koh. Tandu yang
dipikul oleh berpuluh orang tua baju biru, berjalan perlahan-lahan menyusur lamping gunung.
Tiba-tiba dari tandu yang di sebelah muka terdengar perintah berhenti. Seorang gadis berpakaian hijau keluar dari
tandu itu. Ia menghampiri sebuah semak pohon.
Tandu yang di belakangpun berhenti. Yang keluarpun seorang dara yang lebih muda dari gadis tadi. Bajunya warna
ungu.
“Ci, kau melihat apa?” serunya.
“Lihatlah kemari!” seru gadis baju hijau yang dipanggil taci itu.
Ketika menghampiri, dara itu melihat seorang pemuda baju biru menggeletak di tengah semak dengan tubuh
berlumuran darah. Tampaknya pemuda itu sudah mati beberapa waktu yang lalu.
“Perlu apa kita nonton sebuah mayat?” kembali dara itu menggerutu.
Gadis baju hijau tersenyum: “Sudahkah kau melihat jelas wajahnya?”
Rupanya dara itu muak melihat mayat. Serunya: “Perlu apa melihat mayat yang begitu ngeri?”
“Eh, kita pernah kenal, cobalah periksa!” seru si gadis.
Adiknya terkejut. Ketika ia memandang dengan seksama, menjeritlah ia: “Hai … dia …!” – ia terus lari menghampiri.
Dara itu ialah puteri kedua dari Sin-bu Te-kun yakni Ki Seng-wan. Dan si gadis ialah tacinya Ki Gwat-wan. Dan
pemuda yang terkapar mati itu bukan lain Kang Thian-leng.
Beberapa kali Ki Seng-wan berjumpa dengan pemuda itu. Walaupun dalam kedudukan bermusuhan tetapi dalam
sanubari dara itu telah bersemi suatu bibit perasaan cinta. Maka betapalah kejut dan sedih hatinya ketika
menyaksikan pemuda idam-idamannya itu mati.
“Oh, mengapa kau mati begini mengenaskan …” dara itu berjongkok menangis di samping mayat Thian-leng.
“Budak tolol, apa-apaan kau ini? … Apakah kau benar-benar mencintainya?” Ki Gwat-wan kerutkan dahi.
Namun dara itu diam mematung. Matanya tak berkedip memandang tubuh Thian-leng yang berlumuran darah itu. Ia
tak menghiraukan ucapan kakaknya.
“Hm, ternyata budak ini sungguh-sungguh telah …” gerutu Ki Gwat-wan. Ia gelengkan kepala menghela napas
kemudian menarik lengan baju Ki Seng-wan. “Ajo, kita pergi …”
Ki Seng-wan gelagapan: “Tidak, aku tak pergi.”
Ki Gwat-wan kaget: “Tidak berangkat? Lalu hendak mengapa kau …? Eh, apakah kau hendak turut bela pati?”
“Sekurang-kurangnya aku harus menguburnya dengan baik,” sahut Ki Seng-wan. Dipandangnya sang kakak. “Ci,
maukah kau berjalan lebih dulu …”
“Dulu ketika terjadi peristiwa di Hong-ho, jika bukan berhasil merampas panji tengkorak dari tangannya (Thian-leng),
kita berdua tentu sudah diganyang Hun-tiong Sin-mo. Sekarang kalau kita melanggar peraturan lagi, ayah tentu
marah pada kita …”Tiba-tiba Ki Seng-wan menangis: “Aku tak peduli. Biarlah segala apa aku sendiri yang menanggung, takkan
merembet taci!”
Ki Gwat-wan mendengus: “Budak tolol, bukan karena aku takut terembet, tetapi …” – ia berhenti sebentar: “Ong-hui
dan cong-hou-hwat tidak berada dalam istana. Kemungkinan besar mereka memergoki kita di sini, tentu hebat
akbatnya. Lebih baik kita segera berangkat saja!”
Ki Seng-wan tetap dengan kemauannya sendiri. Dengan sebilah dahan kayu segera ia menggali liang. Ki Gwat-wan
jengkel sekali, tetapi terhadap adiknya yang begitu keras kepala, ia tak dapat berbuat apa-apa.
Ki Gwat-wan memandang wajah pemuda itu. Ah, memang seorang pemuda yang cakap. Sebenarnya sayang kalau
mati. Pun Hun-tiong Sin-mo pernah menolongnya? Mengapa sekarang mati di sini? Siapa pembunuhnya? Apa
hubungannya dengan Hun-tiong Sin-mo?
Tiba-tiba ia terbeliak kaget. Bahu Thian-leng tampak bergerak-gerak. Bukankah pemuda itu sudah mati? Ia tak
percaya pada matanya dan memandang dengan tak berkedip. Tiba-tiba ia berteriak kaget: “Hai, dia … hidup!”
“Apa?” Ki Seng-wan tertegun.
“Dia … agaknya bisa bergerak!”
Berdebar keras hati Ki Seng-wan mendengar keterangan itu. Segera ia menghampiri dan mengamat-amati dengan
penuh perhatian. Ah, benar, benar. Thian-leng tampak menggeliat-geliat, hidungnya kedengaran bernapas. Bukan
kepalang girang dara itu.
“Kang …Kang Siangkong, Kang Siangkong …” cepat ia berjongkok membisiki telinga pemuda itu. Namun Thian-leng
diam saja.
“Benar dia belum mati tetapipun tak dapat hidup lebih lama lagi … lebih baik lekas menguburnya saja!” seru Ki Gwat-
wan.
Tiba-tiba Ki Seng-wan berlutut di hadapan tacinya, menangis: “Cici, tolonglah dia!”
“Mana bisa?”
“Di dalam Sin-bu-kiong, selain ayah, hanya kaulah yang mengerti ilmu pengobatan …”
Ki Gwat-wan menyurut mundur, bentaknya: “Budak gila, cukup sudah kau merecoki aku. Dalam urusan ini aku tak
dapat meluluskanmu!”
“Walaupun bagaimana aku meminta, kau tetap tak mau meluluskan?” Ki Seng-wan mengusap air mata.
“Tidak ada kompromi lagi!” sahut Ki Gwat-wan dengan tegas.
“Baik, toh aku juga sudah bosan hidup …” sejenak Ki Seng-wan menarik napas lalu berseru pula: “Cici, harap kau …
menjaga diri baik-baik …!”
“Budak tolol, hendak mengapa kau?” teriak Ki Gwat-wan terkejut.
Ki Seng-wan tak menyahut melainkan ayunkan tangannya ke batok kepalanya sendiri. Cepat Ki Gwat-wan mencekal
tangan adiknya: “Seng-wan, kau memang terlalu!”
“Ci, apakah kau meluluskan?” Ki Seng-wan berlinang air mata.
Ki Gwat-wan menghela napas. Ia berpaling kepada pengawalnya: “Dua puluh li ke selatan ialah desa Liu-ke-ci.
Tunggulah kalian di sana!”
Sebelum pengawal itu berlalu, ia memberi pesan supaya jangan menguwarkan kepada siapapun apa yang terjadi saat
itu.
“Adikku, kita makin mendalam di lingkungan bahaya!” katanya kepada Ki Seng-wan.
“Semua kemarahan dan hukuman ayah, biarlah aku yang menanggung!” sahut Ki Seng-wan.
“Sudahlah,” kata Ki Gwat-wan, “tetapi menolong pemuda itu bukan hal yang mudah …”
“Tetapi aku sanggup melakukan apa saja,” seru si dara.
“Begitu mati-matian kau mencintainya. Tetapi setelah dia hidup kembali, apakah dia akan membalas cintamu? Hm,
mungkin dia akan membalikkan muka padamu!”
“Hal itu tak kuhiraukan. Yang penting, dia harus ditolong!” sahut Ki Seng-wan dengan mantep.
“Baik, angkatlah!”
Ki Seng-wan segera mengangkat tubuh Thian-leng mengikuti Ki Gwat-wan. Ternyata Ki Gwat-wan menuju ke sebuah
kuil rusak yang terletak di kaki puncak. Ia menyuruh adiknya meletakkan si pemuda dalam sebuah ruangan gelap.Kemudian ia sendiri duduk di ambang pintu dengan membelakangi tubuh.
“Apakah cici merobah keputusan?” tegur Ki Seng-wan.
Ki Gwat-wan tertawa getir: “Kalau mau menolong, hanya kau sendiri yang harus turun tangan. Aku tak dapat …” ia
mengeluarkan sebuah bungkusan kain dan mengangsurkan kepada Ki Seng-wan. “Pakailah ketiga jarum ini!”
“Cici …”
“Lepaskan pakaiannya!”
“Apa? Melepaskan pakaiannya?” Ki Seng-wan kaget.
“Ya! Kau harus menusuk ke 72 jalan darahnya. Kalau tidak, walaupun sembuh, dia bakal jadi seorang invalid!”
“Aku … tidak bisa!”
“Kalau begitu, mari tinggalkan saja!” terus Ki Gwat-wan hendak bangkit pergi.
“Ci … ci … apakah tak ada lain jalan lagi?” Ki Seng-wan berseru kebingungan.
“Tidak ada …” katanya dengan serius: “Telah kukatakan tadi bahwa memang tak mudah untuk menolongnya. Karena
nantinya akan meminta pengorbanan dirimu. Lebih baik jangan …”
Ki Seng-wan tak menyahut tetapi terdengar suara pakaian dibuka.
“Ci … ci …” seru dara itu dengan gemetar.
“Apakah sudah kau lepaskan semua?”
“Su … dah …!”
“Baik, rebahkan dengan terlentang. Siapkan tusukan jarum pertama … Tusuk jalan darah Kian-li-hiat di dadanya,
kemudian jalan darah Gi-tay-hiat di perutnya. Setelah keluar darah baru berhenti … Yang ketiga, tusuk jalan darah
than-tiong-hiat. Cabut jarum kesatu dan tusuk 3 kali jalan darah Ciang-tay-hat. Jika mengalirkan darah hitam,
barulah kau berhenti …”
Dengan gemetar Ki Seng-wan melaksanakan petunjuk-petunjuk tacinya. Untung karena ia mengerti letak jalan darah
pada tubuh manusia, dengan menahan rasa malu dan jengah, terpaksa ia kerjakan.
Kira-kira setengah jam selesailah ke 72 buah jalan darah Thian-leng ditusuki jarum. Kalau semula tubuhnya pucat lesi
seperti mayat, kini sudah tampak kemerah-merahan.
“Coba periksa apakah mulutnja berbusa!” kembali Ki Gwat-wan berseru.
“Ada … keningnya berkeringat juga!” sahut Ki Seng-wan. “Tetapi mengapa ia masih belum tersadar?”
“Tadi hanya membuka jalan darahnya yang tertutuk, agar darahnya mengalir. Dia menderita luka dalam yang parah,
mana bisa sembuh begitu cepat!” djawab Ki Gwat-wan.
“Lalu …?”
“Buka pakaianmu juga!” tiba-tiba Ki Gwat-wan memberi perintah.
“Ai … pakaianku?” Ki Seng-wan menjerit kaget.
“Kecuali menggunakan cara Tay-hwe-yang-sut dalam ilmu Hian-im-kiu-coan, tak ada lain cara lagi. Sudah terlanjur
begini, apakah kau hendak membatalkan?”
“Tetapi aku …”
“Untuk menolongnya, tak ada lain jalan kecuali harus mengorbankan diri!” tukas Ki Gwat-wan.
Akhirnya terpaksa Ki Seng-wan menurut. Yang disebut pengobatan menurut Hian-im-kiu-coan itu ialah menyalurkan
hawa murni ke dalam tubuh si sakit melalui anggauta kelamin. Memang ilmu pengobatan cara kuno, aneh tetapi
mustajab. Dan Ki Seng-wan seorang dara yang masih suci terpaksa harus mengorbankan kesuciannya demi menolong
pemuda yang dikasihinya.
Setengah jam kemudian, berserulah Ki Gwat-wan: “Cukup, biarkan dia beristirahat!”
Memang saat itu wajah Thian-leng tampak berobah agak segar dan hidungnya mulai bernapas. Ki Seng-wan buru-
buru mengenakan pakaian dan memakaikan pakaian si anak muda lagi. Setelah itu dipapahnya pemuda itu duduk.
Memang dahi Thian-leng mulai mengucurkan keringat. Dia sudah dapat melakukan pernapasan sendiri, tetapi
matanya masih meram.
Sebenarnya pukulan Ni Jin-hiong tadi pasti menghancur-luluhkan tubuh Thian-leng. Untunglah karena sudah
mendapat saluran lwekang dari mendiang Oh-se Gong-mo dan menelan pil Kong-yan-sin-tan, dia dapat terlindung
dari bahaya kematian.Tusuk jarum dan pengobatan Hian-im-kiu-coan makin melancarkan darahnya. Sekalipun pikirannya masih belum
sadar tetapi ia sudah dapat bernapas dengan baik.
“Kang Thian-leng, telah kuserahkan kehormatanku kepadamu. Seluruh kebahagiaan hdupku tergantung padamu …”
diam-diam Ki Seng-wan berdoa. Ia menghampiri tacinya dan menanyakan keadaan pemuda itu: “Bukankah dia sudah
tak berbahaya?”
“Dia telah memperoleh rejeki yang luar biasa. Mungkin orang yang seumur hidup meyakinkan ilmu silat, belum tentu
bisa mencapai kesempurnaan lwekang seperti dia. Masakan begitu cepatnya ia sembuh …!” sahut Ki Gwat-wan. Lebih
lanjut ia mengatakan bahwa paling banyak dalam waktu sejam lagi Thian-leng tentu sudah dapat bergerak seperti
biasa.
“Ci, mari kita pergi!” tiba-tiba Ki Seng-wan berkata.
“Pergi?” Ki Gwat-wan heran. “Setelah kau korbankan kesucianmu, lalu begitu saja meninggalkannya? Kalau kau
memang mencintainya, mengapa tak kau nyatakan kepadanya agar memperisteri kau?”
“Memperisteri aku …?” Ki Seng-wan tersenyum redup, “dia adalah musuh dari Ong-hui. Meskipun kita ini anak angkat
dari ayah tetapi tak lain tak bukan hanya sebagai budak saja. Coba pikirkan, layakkah itu?”
“Hm, baru sekarang kau sadar tetapi sudah terlambat,” Ki Gwat-wan mengeluh.
Ki Seng-wan tundukkan kepala berbisik: “Telah lama kuketahui hal itu, tetapi aku tak dapat tak menolongnya. Ci, kau
tak mungkin dapat mengerti hal itu!”
“Tak mungkin mengerti? Hm, kau benar-benar budak yang paling tolol di dunia!”
“Sudahlah, mari kita pergi!” Ki Seng-wan menahan air mata.
Apa boleh buat, terpaksa Ki Gwat-wan bangkit dan mengikuti sang adik melangkah keluar. Sekonjong-konyong ia
tertegun. Cepat ia menarik tangan adiknya: “Sst, lekas sembunyi di belakang arca itu!”
Ki Seng-wan juga kaget. Cepat ia mengikuti tacinya loncat ke belakang patung besar yang menempel pada meja
sembahyang di ruang tengah. Arca malaekat itu tinggi dan besar, cukup melindungi kedua gadis itu dari penglihatan
orang.
Sesaat kedua gadis itu bersembunyi, beberapa sosok bayangan melesat masuk. Empat orang yang masuk lebih dulu,
ialah kawanan bujang perempuan baju biru. Cepat-cepat mereka menyapu ruang tengah lalu berjajar di kedua
samping sambil mencekal kebut hudtim.
Tak lama masuklah seorang wanita memakai kerudung muka. Ah, itulah Te-it-ong-hui atau Ma Hong-ing. Kedua taci-
adik Ki melihat jelas. Mereka gelisah sekali. Apalagi kalau memikirkan keadaan Thian-leng yang tengah menjalankan
pernapasan itu. Sekali diketahui Ma Hong-ing, pasti akan dibunuh.
Kedua gadis itu tak dapat berbuat-apa-apa kecuali menantikan perkembangan dengan hati berdebar-debar …
***
Rahasia di balik rahasia.
Rupanya Te-it Ong-hui Ma Hong-ing sedang gelisah menunggu kedatangan seseorang. Kegelisahan itu menyebabkan
perhatiannya tak sampai pada tindakan memeriksa ruang situ. Sehingga dengan demikian, ia tak mengetahui bahwa
di dalam ruang itu terdapat tiga insan lainnya.
Tak berapa lama tiba-tiba di luar terdengar suitan panjang berasal dari jarak beberapa li jauhnya. Tetapi ketika suitan
kedua terdengar lagi, ternyata sudah berada di depan kuil. Kecepatan gerak orang itu sungguh hebat sekali!
Seorang tua berjenggot putih dengan jubah warna ungu, melangkah masuk.
“Bagaimana kabarnya?” Te-it Ong-hui serentak menyambutnya dengan pertanyaan.
Orang tua itu ternyata Ni Jin-hiong, kepala pegawal Sin-bu-kiong. Ia tertawa sinis, ujarnya: “Coba katakan dulu,
bagaimana kau akan berterima kasih padaku?”
“Gila, masakan hal itu perlu meminta pernyataanku lagi? Apa yang harus kuterima kasihi? Tubuhku dan hatiku
seluruhnya telah kuserahkan padamu, mengapa masih meminta aku berterima kasih lagi …”
Berhenti sejenak, Te-it Ong-hui berkata pula: “Jika orang-orang Thiat-hiat-bun (partai Darah Besi) benar-benar
masuk ke daerah Tionggoan, tentu dapat menjumpai Sin-bu Te-kun. Kita berdua jangan harap dapat lolos dari tangan
maut Te-kun!”Tersirap darah kedua taci-beradik Ki mendengar pembicaraan itu. Sungguh tak terlintas dalam pemikiran mereka
bahwa ternyata Te-it Ong-hui dan cong-hou-hwat Ni Jin-hiong mempunyai hubungan rahasia. Tetapi siapakah yang
disebut partai Thiat-hiat-bun itu? Apa hubungannya dengan Ong-hui?
“Eh, apa-apaan kau begini gelisah?” terdengar Ni Jin-hiong berkata.
“Apakah kabar itu tidak benar dan Thiat-hiat-bun belum masuk ke Tionggoan?” seru Ong-hui.
“Thiat-hiat-bun benar memang masuk ke Tionggoan tetapi tak terdengar bahwa orang she Pok itu juga ikut serta.
Mungkin hendak menyelidiki tentang keadaan dunia persilatan di Tionggoan …”
“Bukan begitu! Meskipun Siau-yau-kiam-khek (pendekar pedang bebas) Pok Thiat-bing belum pergi ke markas Thiat-
hiat-bun dan Thiat-hiat-bun sendiripun juga bukan datang kemari karena urusan itu, tetapi toh kedatangannya ke
Tionggoan itu akan membangkitkan lagi kejadian pada 17 tahun yang lalu …”
“Adik Ing,” Ni Jin-hiong tertawa, “kau terlalu meremehkan diriku. Jika kuminta kau jangan kuatir, sudah tentu aku
telah menyiapkan rencana yang tepat …”
“Coba katakanlah rencanamu itu!”
“Sebaiknyalah kalau Thiat-hiat-bun tidak masuk ke Tionggoan. Tetapi kalau mereka datang, tentu akan mengalami
kehancuran total sehingga partai itu pasti akan lenyap selamanya …”
“Apakah kau mempunyai rencana sedemikian hebatnya?” tanya Ong-hui.
Ni Jin-hiong tertawa bangga: “Kau sudah tak percaya lagi kepadaku?”
Te-it Ong-hui Ma Hong-ing menghela napas: “Bukan tak percaya lagi melainkan urusan ini maha penting, sekali salah
tindak, akibatnya …”
“jika peta Telaga Zamrud belum terbakar, tak sampai kita begini resah …” ia menghela napas lalu membisiki ke dekat
telinga Ma Hong-ing. Wanita itu mengangguk dan mengulum seri kegirangan.
“Teserah padamu, sudah beberapa hari aku pergi, harus lekas-lekas pulang,” katanya. Ia bangkit tetapi tiba-tiba
hentikan langkah lagi. Matanya berkeliaran menyapu ke sekeliling ruang lalu membentak kepada keempat
pelayannya. “Apakah kalian sudah memeriksa seluruh sudut kuil ini?”
Salah seorang dayang yang bernama Jun Hong tampil ke muka dan menjatakan bahwa karena sudah terlalu rusak,
merekapun menduga tentu tak terdapat penghuninya.
Kiranya Ma Hong-ing telah melihat bekas-bekas gurat lukisan pada lantai di ambang pintu. Itulah perbuatan Ki Gwat-
wan yang pada waktu keisengan menunggu Ki Seng-wan mengobati Thian-leng dengan ilmu Hian-im-kiu-coan, telah
mencorat-coret lantai.
“Kelengahan kecil berarti malapetaka besar! Jika di dalam ruang ini terdapat orang. Te-kun tentu bakal mendengar.
Kita sekalian tentu akan hancur-lebur!”
Sesaat Ni Jin-hiong terkejut tetapi pada lain saat ia tertawa gelak-gelak: “Kau memang terlalu berhati-hati, tetapi
peristiwa di sini tak nanti sampai bocor keluar!”
Ni Jin-hiong tertawa sinis lalu melangkah ke ruang dalam. Sekonyong-konyong dua bayangan melesat keluar dari
balik arca.
“Aha, kiranya kalian berdua,” Ni Jin-hiong menyurut kaget. Seketika dahinya mengerut kebuasan tetapi pada lain saat
ia segera memberi hormat kepada kedua nona yang menjadi puteri dari majikannya itu.
Te-it Ong-hui Ma Hong-ing merah-padam selebar wajahnya. Dan kedua taci-beradik Ki pucat lesi.
“Menghaturkan hormat kepada Ong-hui,” mereka berdua segera maju dan berlutut di hadapan Ma Hong-ing. Kepala
menunduk tak berani memandang.
Ke 10 jari tangan Ma Hong-ing bergetaran gemetar. Sampai beberapa saat baru ia berkata: “Kalian berani mati,
berani mencuri dengar aku …” – tetapi karena ia merasa bertindak serong, maka terpaksa ia tahan kemarahannya.
“Anak memang bersalah,” sahut kedua taci-beradik Ki. “Karena kebetulan lewat di sini kami hendak melepaskan lelah.
Tak tahu Ong-hui …”
Ki Gwat-wan mengangkat kepala memandang Ma Hong-ing, serunya dengan lemah: “Ong-hui senantiasa menyayang
pada anak berdua. Kami berdua adalah buah hati Ong-hui …” – Ucapan itu mengandung maksud bahwa mereka
berjanji takkan memberitahukan kepada Te-kun.Ma Hong-ing agak bersangsi. Sebenarnya ia tak menyayang sungguh-sungguh kepada kedua puterinya itu, maka
iapun tak percaya kedua gadis itu akan menyimpan rahasia. Tetapi jika membunuh mereka, Te-kun tentu akan marah
sekali.
Ni Jin-hiong juga gelisah. Tiba-tiba ia memberi kedipan mata kepada Ma Hong-ing kemudian gunakan ilmu menyusup
suara: “Adik Ing, kita harus bertindak cepat dan tepat. Perlukah mereka dibiarkan hidup?”
“Tetapi kalau dibunuh, Te-kun tentu bisa menyelidiki. Sekali ketahuan …” sahut Ma Hong-ing.
“Mengapa pikiranmu selimbung itu?”
“Limbung bagaimana? Aku tak mengerti!”
“Kabarnya Hun-tiong Sin-mo sudah meninggalkan gunung, mengapa kita tak gunakan siasat adu domba?”
“Tetapi aku tak mempunyai panji Tengkorak Darah yang asli!”
“Kebetulan sekali aku memperoleh sebuah!” kata Ni Jin-hiong.
Ma Hong-ing girang sekali. Kemudian ia memberi perintah kepada kakak-beradik Ki dengan nada bengis: “Kalian
membunuh diri sendiri atau perlu dibantu orang!”
“Terserah pada Ong-hui!” seru kedua nona.
Ma Hong-ing berseru bengis: Ni Cong-hou-hwat!”
Ni Jin-hiong tertawa meloroh: “Hamba siap!”
“Toa-kongcu dan ji-kongcu melanggar kesalahan yang tak berampun. Siaplah melaksanakan hukuman …”
Kedua gadis saling berpandangan. Mereka insyaf kalau tak mungkin lolos dari kematian. Tiba-tiba Ki Gwat-wan loncat
bangun dan tertawa nyaring penuh kerawanan. Dipandangnya Ma Hong-ing si ibu angkat dengan tajam, serunya
menantang: “Apakah Ong-hui tetap hendak menghukum mati kami berdua? Kami tak berani membangkang, tetapi
apakah dosa kami?”
Berobah seketika wajah Ma Hong-ing.
“Kau berani menantang aku …?” tiba-tiba ia menampar muka Ki Gwat-wan. Plak … pipi kiri nona itu membengkak
merah, darahnya mengucur.
Ni Jin-hiong tertawa mengekeh. Segera ia melesat hendak turun tangan. Merah-padam selebar muka Ki Gwat-wan
menerima tamparan itu. Dadanya berombak-ombak menahan dendam kemarahan.
Segera Ki Seng-wan merangkak maju dan menangis merintih-rintih. “Harap Ong-hui jangan marah. Biarlah anak
membunuh diri saja untuk membalas budi …” – ia berhenti sejenak, katanya pula: “Tetapi mohon Ong-hui suka
memberi kelonggaran untuk anak menggali liang kubur sendiri!”
Kiranya nona itu hendak memancing Ni Jin-hiong dan Ma Hong-ing keluar dari kuil agar jangan mengetahui diri Thian-
leng.
Ma Hong-ing memandang kepada Ni Jin-hiong, meminta pendapatnya.
Kepala pengawal Sin-bu-kiong itu tertawa hambar: “Usah ji-kongcu kuatir. Kedua kongcu adalah puteri Te-kun yang
kami hormati. Sudah tentu nanti jenazah kongcu berdua akan kami bawa pulang ke Sin-bu-kiong dengan segala
upacara!”
“Benar, nanti akan kita atur selayaknya!” kata Te-it Ong-hui.
Ki Gwat-wan memberi lirikan kepada adiknya. Matanya memancar pembunuhan. Maksudnya mengajak sang adik
bersama-sama turun tangan. Lebih baik melawan daripada mati konyol. Tetapi Ki Seng-wan membalas dengan
pandangan putus asa dan pasrah nasib.
Ki Gwat-wan menghela napas. Tiba-tiba ia berteriak dengan marah: “Aku Ki Gwat-wan, sebagai putera-puteri
persilatan tak takut mati. Tetapi kalau harus mati di tangan kalian, penghianat dan wanita cabul, benar-benar
penasaran sekali!”
Ia menutup kata-katanya dengan sebuah loncatan menerjang Te-it Ong-hui.
“Cici …!” Ki Seng-wan menjerit kaget. Namun Ki Gwat-wan sudah mengambil keputusan untuk mengadu jiwa. Seluruh
tenaganya ditumpahkan pada pukulan yang diterjangkan itu. Sekalipun ia menginsyafi bahwa kepandaiannya masih
kalah, namun ia masih mempunyai harapan. Selagi Te-it Ong-hui belum bersiap, hendak diterjangnya. Jika berhasil
melukainya, matipun puas.
Tetapi Te-it Ong-hui Ma Hong-ing hanya mendengus. Secepat kilat ia kebutkan lengan baju. Pukulan dan terjangan Ki
Gwat-wan serasa terbentur ke dalam sebuah jaring yang lunak sehingga buyarlah dayanja. Tubuh nona itu terpentalmundur, bum … ia membentur kaki tembok!
Ma Hong-ing segera hendak menyusuli pula dengan sebuah hantaman dan Ni Jin-hiong pun membarengi memukul
dari samping. Mereka berdua merupakan jago kelas satu dalam Sin-bu-kiong.
Sekonjong-konyong sewaktu jiwa Ki Gwat-wan terancam maut, sesosok bayangan hitam melesat ke dalam ruangan
dan tahu-tahu setiup tenaga dahsyat melanda pukulan kedua tokoh itu. Bum … terdengar ledakan keras. Tiang
bergetar, atap berhamburan jatuh dan seketika ruangan itu terasa panas sekali!
Bukan main kagetnya Ma Hong-ing dan Ni jin-hiong. Mereka serempak menyurut tiga langkah ke belakang. Lebih
besar lagi kaget mereka setelah mengetahui siapa penyerangnya itu. Hampir mereka tak percaya pada matanya.
Mulut mereka ternganga …
Kiranya pendatang itu ialah Kang Thian-leng, pemuda yang telah mati dibunuh Ni Jin-hiong. Bukan saja pemuda itu
hidup kembali bahkan ilmu pukulan Lui-hwe-ciangnya sudah “jadi”.
Kiranya tadi, penyaluran napas Thian-leng telah berhasil menormalkan darahnya pula. Cepat-cepat ia bangun. Ketika
hendak menyelidiki di mana ia berada saat itu, tiba-tiba ia melihat Ni jin-hiong dan Ma Hong-ing tengah melancarkan
pukulan maut kepada Ki Gwat-wan. Tanpa berayal lagi segera ia loncat menerjang. Dan hasil dari pada pukulannya
membuatnya heran sendiri. Ia dapatkan pukulannya sepuluh kali lipat dari semula.
Tentu diketahui jelas bahwa yang dihadapinya itu ialah ibu palsunya. Ibu palsu yang pura-pura meninggal dunia dan
menyuruhnya membalaskan sakit hati kepada Hun-tiong Sin-mo. Ibu palsu yang menutuk jalan darahnya dan
menyerahkannya kepada Ni Jin-hiong untuk dibunuh.
Kejut Te-it Ong-hui Ma Hong-ing tak kalah dengan Thian-leng. Tujuh belas tahun memelihara lalu memberi Pek-to-
jong dalam rangka rencananya untuk membunuh Hun-tiong Sin-mo ternyata gagal. Hun-tiong Sin-mo tak terduga-
duga telah melepaskan anak itu. Juga hukuman mati yang dijatuhkan Ni jin-hiong ternyata tak membuat pemuda itu
mati. Bahkan sebaliknya kini anak itu malah bertambah hebat lwekangnya. Benar-benar Ma Hong-ing tak dapat
membayangkan.
“Budak, ternyata umurmu masih panjang!” seru Ni Jin-hiong.
Thian-leng tak menggubrisnya. Ia melangkah maju selangkah ke hadapan Ma Hong-ing, serunya: “Tak tahu aku siapa
sebenarnya kau ini? Tetapi biarlah kupanggilmu untuk yang terakhir kalinya dengan sebutan ‘mamah’ …”
Ma Hong-ing menyurut mundur, mukanya merah. “Toh kau sudah tahu bahwa aku bukan ibumu …”
“Lalu siapakah kau ini? Mengapa kau memelihara aku sejak kecil tetapi kemudian menipu aku dengan pura-pura
mati? Siapakah ayah-bundaku yang sesungguhnya? Hendak kau apakan diriku …?”
“Aku … aku tak dapat memberitahukan padamu!” Ma Hong-ing melengking, kemudian berseru: “Ni Jin-hiong,
mengapa tak lekas-lekas membunuhnya?”
Ni Jin-hiong tertawa hambar: “Mudah sekali untuk membunuhnya, tetapi rupanya dia mempunyai hubungan dengan
kedua kongcu. Biarlah kita membikin terang hal ini dulu …” – tiba-tiba ia berhenti berkata lalu gunakan ilmu
menyusup suara Coan-im-jip-bi kepada Ma Hong-ing: “Aku mempunyai kecurigaan. Sebelum kau tiba di lembah
Hong-lim-koh, budak itu sudah berjumpa dengan Sip U-jong. Buktinya, ada tanda-tanda bahwa dia makan pil Kong-
yang-sin-tan dari Sip U-jong. Kemungkinan peta Telaga Zamrud itupun sudah diberikan kepadanya. Paling tidak, dia
tentu mengetahui di mana beradanya peta itu …”
Tersirap darah Ma Hong-ing. Sekonyong-konyong ia hendak mencengkeram dada Thian-leng dengan jurus Ngo-hian-
ki-poh (lima busur meluncur). Jurus ini merupakan jurus yang paling ganas dalam ilmu jari Hian-im-ci.
Thian-leng rasakan tubuhnya terlanda hawa dingin. Buru-buru ia balas memukul. Terdengar suara letupan dan
keduanya sama mundur selangkah.
Ilmu Hian-im-ci bukan saja dapat meleburkan segala macam benda, pun dapat menghapus serangan tanaga lawan.
Tetapi ternyata Thian-leng mampu menembus. Tujuh bagian tenaga pukulan Lui-hwe-ciang terhapus, tiga bagian
masih dapat mengenai tubuh Ma Hong-ing Hanya tiga bagian tenaga, tetapi cukup membuat darah wanita itu
bergolak-golak dan tubuhnya terhuyung-huyung mau rubuh. Pun Than-leng juga menderita serupa, wajahnya pucat
lesi!
Kedua taci-beradik Ki terlongong-longong, Berbagai perasaan mencengkam hati mereka: kaget, sangsi, cemas,gelisah. Mereka tak menduga bahwa Ma Hong-ing dan Thian-leng ternyata pernah menjadi ibu dan anak.
Di lain pihak Ma Hong-ing memberi lirikan kepada Ni Jin-hiong supaya menyerang lagi. Kemudian ia sendiri segera
mulai bergerak. Tetapi ketika hendak mengangkat tangan, ternyata lemah tak bertenaga.
“Jangan kuatir, silahkan menanyainya!” Ni Jin-hiong tak mau menyerang melainkan tertawa.
Thian-leng tak kenal siapa Ni Jin-hiong, pun karena pingsan ia tak tahu kalau orang she Ni itulah yang memberi
pukulan maut ketika di lembah Hong-lim-koh. Sampai di mana kepandaian Ni Jin-hiong, juga tak diketahuinya. Yang
penting bagi Thian-leng saat itu, ialah hendak mengorek keterangan dari Ma Hong-ing, siapakah sebenarnya ayah-
bundanya itu.
“Mengingat budimu memelihara aku selama 17 tahun, sekalipun jelas kau bukan ibuku dan pernah menipu aku
mengantar kematian kepada Hun-tiong Sin-mo, akupun tak mau membunuhmu!” seru Thian-leng.
“Huh, masakan kau mampu!” bentak Ma Hong-ing.
“Lekas beritahukan, siapakah ayah-bundaku? Apakah sudah kau bunuh?”
“Ngaco! Kau tak punya orang tua! Kuketemukan kau di tengah hutan …”
“Jangan bohong! Jika kau tetap menolak, terpaksa kuhapus budimu selama 17 tahun itu,” teriak Thian-leng marah.
“Perlu apa kau memelihara aku sampai 17 tahun? Mengapa tak kau bunuh saja? Perlu apa kau menipu aku mengantar
kematian kepada Hun-tiong Sin-mo? Kau mempunyai permusuhan apa dengan Hun-tiong Sin-mo?”
Hujan pertanyaan itu membuat Ma Hong-ing tergugu tak dapat berkata. Hatinya gelisah menampung berbagai
perasaan.
Thian-leng perlahan-lahan ajukan langkah serta siapkan tinjunya. Tiba-tiba Ni Jin-hiong maju: “Bolehkah aku bicara
sepatah kata?”
“Siapa kau?” Thian-leng berpaling.
“Aku kepala pengawal Sin-bu-kiong, Ci-chiu-hoan-thian Ni Jin-hiong!”
“Besar juga namamu! Apakah yang akan kau katakan?”
“Jika kau mau menjawab beberapa pertanyaanku, kutanggung ‘ibumu’ itu tentu akan menerangkan asal-usul dirimu
dan orang tuamu …”
“Ngaco! Aku tak dapat mengatakan hal itu!” tiba-tiba Ma Hong-ing melengking.
Ni Jin-hiong memandangnya tajam, lalu berkata pula kepada Thian-leng: “Kau telah menelan pil Kong-yang-sin-tan
dari Sip U-jong, tentulah kau mendapat lain hadiah lagi darinya!”
“Hadiah apa?” Thian-leng tertegun.
“Peta Telaga Zamrud!”
“Telaga Zamrud …? Tidak tahu!”
Ni Jin-hiong tertawa sinis: “Penderitaan batin yang paling menyiksa, ialah apabila kita tak tahu asal-usul diri kita. Jika
kau mau mengorbankan peta itu segera kau akan jelas akan asal-usul dirimu. Bukankah itu lebih berharga bagimu?”
Diam-diam Thian-leng menimang. Ia tak percaya orang akan menetapi janji. Baiklah ia gunakan siasat untuk
melawan siasat.
“Memang benar Sip-locianpwe itu pernah mengatakan hendak memberi aku sebuah peta,” katanya, “tetapi …”
“Tetapi bagaimana?” teriak Ni Jin-hiong dengan tegang. Juga Ma Hong-ing tak kurang kagetnya.
“Tetapi beliau belum memberikan padaku dan hanya suruh aku mengambil ke sebuah tempat!”
“Di mana?” Ni Jin-hiong makin bernapsu.
“Untuk sementara tak leluasa kukatakan. Asal kalian lebih dulu mengatakan asal-usul diriku, segera akan kubawa
kalian ke sana. Tempat itu tak jauh dari sini!”
“Hm, masakan kau mampu lolos dari tanganku,” gerutu Ni Jin-hiong. Kemudian berpaling kepada Ma Hong-ing: “Kasih
tahu padanya!”
Ma Hong-ing gugup, serunya: “Tidak, aku tak dapat mengatakan. Aku tak tahu apa-apa ”
Thian-leng sedih-sedih gusar. Maju selangkah segera ia mencengkeram leher baju Ma Hong-ing. Saat itu Ma Hong-ing
sedang limbung pikirannya. Ia diam saja ketika dicengkeram Thian-leng.Ni Jin-hiong terkejut dan hendak turun tangan. Tetapi ketika dilihatnya Thian-leng tak melakukan pemukulan, iapun
tak jadi menyerang juga.
“Kau bilang atau tidak?” teriak Thian-leng.
“Bilang apa?” Ma Hong-ing tergugu.
“Siapakah ayah-bundaku?”
Ma Hong-ing tergetar hatinya. Ia deliki mata membentak murka: “Ayah-bundamu ialah musuh besarku! Aku hendak
mencincang tubuh mereka …!”
Rasa dendam kemarahan yang menumpah dari sanubari Te-it Ong-hui itu telah memancarkan lwekang-nya keluar.
Lwekang Im-han-keng yang bersifat dingin meluncur keluar dari lubang jalan darahnya.
Sama sekali Thian-leng tak menduga akan menderita serangan semacam itu. Seketika ia rasakan tangan kirinya yang
mencengkeram leher baju Ma Hong-ing sakit sekali seperti dipatah-patahkan tulangnya.
Ia lepaskan cengkeramannya dan mundur tiga langkah …
“Perempuan siluman, apakah kau benar menyuruh aku membunuhmu?” teriaknya seraya mengangkat tinju
kanannya.
Ma Hong-ing kertek gigi: “Sia-sia jerih-payahku selama 17 tahun. Sekarang lebih baik kulenyapkan saja!”
Sepasang tangannya dikencangkan. Ia hendak gunakan ilmu pukulan Hian-im-ciang untuk menghancurkan Thian-
leng.
“Kurang toleransi akan menggagalkan rencana besar! Janganlah adik Ing…” tiba-tiba Ni Jin-hiong menghadang di
tengah dan gunakan ilmu menyusup suara kepada Ma Hong-ing. Setelah itu ia berpaling ke arah Thian-leng: “Telah
kujanjikan padamu, harapanmu tentu terlaksana. Apalagi berkumpul selama 17 tahun itu, walaupun bukan ibu dan
anak tetapi seharusnya juga mempunyai ikatan rasa. Perlu apa harus saling bunuh-membunuh?”
Thian-leng menghela napas, serunya pula: “Di manakah ayah-bundaku? Apakah sudah kau bunuh?”
Ma Hong-ing tertawa mengekeh: “Sudah 17 tahun lamanya orang tuamu tak ada beritanya. Akupun juga mencari
mereka kemana-mana untuk membalaskan sakit hatiku!”
“Kau mempunyai dendam permusuhan apa dengan Hun-tiong Sin-mo?” tanya Thian-leng.
“Dia juga musuhku besar!” sahut Ma Hong-ing.
Hati Thian-leng resah tak keruan. Berbagai pertanyaan memenuhi hatinya. Tetapi saat itu tak tahu ia bagaimana
harus bertindak untuk mencari keterangan tentang asal-usul dirinya.
“Siapakah namamu yang sesungguhnya?” tiba-tiba ia mengajukan pertanyaan pula.
Sejenak Ma Hong-ing tertegun lalu menyahut: “Ma Hong-ing!”
“Ma Hong-ing …?” Thian-leng mengulang: “Siapakah suamimu?”
“Nyo Sam-koan!”
“Eh, bukankah dahulu kau mengatakan namamu Liok Boh-bwe dan suamimu Kang Siang-liong yang telah mati
dibunuh Hun-tiong Sin-mo pada 17 tahun yang lalu?”
Ma Hong-ing tertawa nyaring: “Sudah tentu nama itu palsu. Untuk mengelabui musuhku terpaksa kupakai nama palsu
…”
“Suamiku juga belum mati tetapi hilang 17 tahun yang lalu!” tiba-tiba Ma Hong-ing menggeram dengan nada penuh
kemurkaan.
Thian-leng makin tenggelam ke dalam lembah kebingungan. Serentak ia teringat akan wanita yang menolongnya di
tepi sungai Hong-ho dan kemudian memberinya sebatang pedang, Wanita itu menamakan dirinya sebagai Toan-jong-
jin. Agaknya wanita itulah yang mengetahui asal-usul dirinya. Bukankah wanita itu pernah mengatakan bahwa dirinya
(Thian-leng) memang seperti orang yang dicurigai, tetapi seharusnya dia (Thian-leng) beribu orang she Ma dan
berayah orang she Nyo! Toan-jong-jin yakin bahwa Thian-leng itu adalah putera kandung dari orang she Ma dan
orang she Nyo. Dan kini wanita yang merawatnya selama 17 tahun itu juga mengaku sebagai orang she Ma dan
mengatakan suaminya orang she Nyo. Ah …
Tetapi … tiba-tiba Thian-leng tersentak. Apakah tidak mungkin Ma Hong-ing itu memang sengaja memakai nama ibu
Thian-leng yang sesungguhnya. Karena sukar menerangkan, maka wanita itu selanjutnya terus memakai nama itu
sekali. Benak Thian-leng serasa berdenyut-denyut pusing …
“Siapakah nama dan she dari orang tuaku itu?” bentaknya pula.
Ma Hong-ing tergetar dan terhuyung-huyung. “Tak dapat kukatakan, aku …”
Wut, kembali Thian-leng menyambar leher baju wanita itu. Tetapi kali ini Ma Hong-ing sudah berjaga. Secepat kilat iamenyambar siku kiri Thian-leng yang merasakan separoh tubuhnya kesemutan dan serempak jatuhlah ia dalam
kekuasaan Ma Hong-ing!
Tetapi Ma Hong-ing salah duga, Thian-leng yang dicekalnya saat ini bukanlah Thian-leng yang dirawatnya selama 17
tahun yang lalu. Lwekang-nya Lui-hwat-ciang sudah mencapai tingkat yang hampir dapat dikuasai semau hatinya.
Pada saat Ma Hong-ing mencengkeram, pada saat itu pula Lui-hwe-sin-kang menyalur ke lengan. Ma Hong-ing
tersentak mundur tiga langkah!
Kang Thian-leng hendak memburu, tiba-tiba kedua nona Ki meneriaki: “Kang-siangkong, hati-hatilah!”
Thian-leng merasa belakang tubuhnya tersambar angin. Buru-buru ia berputar dan menghantam. Itulah Ni Jin-hiong
yang menyerang. Karena melihat Ma Hong-ing tak dapat menguasai ketenangan pikiran, terpaksa Ni Jin-hiong turun
tangan. Ia hendak meringkus Thian-leng dulu baru diperiksa lagi.
Ia yakin sekali bergerak tentu mampu menjatuhkan si anak muda. Tak terduga kedua taci-beradik Ki berseru
memberi peringatan pada Thian-leng sehingga pemuda itu cepat menyambut. Des … terdengar suara benturan yang
aneh, macam api tersiram minyak.
Thian-leng kaget, Ni Jin-hiong pucat. Masing-masing terkejut atas kesaktian lawan. Tetapi secepat itu Thian-leng
sudah mengirim pukulan pula: “Aku tak kenal padamu, harap jangan campur tangan!”
Kini Ni Jin-hiong tak berani memandang rendah. Ia kerahkan delapan bagian tenaga dalam menyongsong sebuah
pukulan.
Ces, Ces, ces … Thian-leng terhuyung mundur tiga langkah. Ternyata ilmu Lui-hwe-ciang itu berlawanan dengan ilmu
Hian-im-ciang Ni Jin-hiong. Yang satu bersifat keras, yang satu lunak. Masing-masing mempunyai kelebihan dan
kekurangan sendiri. Ketika beradu, maka keduanyapun sama-sama terhapus.
Hanya karena belum mampu menguasai , maka darah Thian-leng bergolak dan tubuhnya terhuyung. Meskipun Ni Jin-
hiong juga bergolak darahnya tetapi ia tetap dapat berdiri tegak.
“Budak, lekas katakan di mana peta itu? Kalau berkeras kepala, jiwamu tentu hilang!” serunya.
Thian-leng mendengus tertawa dingin. Sebagai jawaban ia mencabut sebatang pedang pendek. Seketika ruangan
terpancar oleh sinar kemilau. Ma Hong-ing terkejut, demikian Ni Jin-hiong.
“Rupanya kau memang tak dapat diberi hidup!” masih Ni Jin-hiong berlaku setenang mungkin.
Thian-leng menyahut dengan tusukan ke dadanya. Bukannya mundur sebaliknya Ni Jin-hiong malah menyongsong
maju hendak merebut. Ia yakin sekali gerak, pedang lawan tentu kena dirampas. Tetapi alangkah kejutnya ketika
pedang Thian-leng menyambar-nyambar seperti petir memecah angkasa. Sedemikian aneh dan dahsyat sehingga Ni
Jin-hiong ketakutan dan loncat mundur.
Ternyata yang dilancarkan Thian-leng itu ialah jurus Hong-ki-hun-yong (angin meniup awan bertebar), salah sebuah
jurus dari ilmu pedang Toh-beng-sam-kiam ajaran Toan-jong-jin, si wanita misterius.
Thian-leng tak mau memberi hati. Dengan jurus kedua yang disebut Nok-hay-keng-liong atau Laut bergolak
mengejutkan naga, ia mengejar. Ni Jin-hiong makin gentar. Kepalanya serasa diselubungi deru sinar pedang
sedahsyat ombak mendampar. Betapa sakti dan luas pengalamannya namun kali ini benar-benar ia tercengang kaget.
Belum pernah ia menyaksikan permainan pedang yang sedemikian aneh dan dahsyatnya. Kembali ia loncat mundur.
Thian-leng terus memburunya dengan jurus ketiga Liu-hun-cek-thian atau Awan menebar menutup langit!
Ni Jin-hiong benar-benar tak berdaya. Saat itu ia sudah terpojok di sudut ruang, tak dapat loncat mundur lagi, untuk
menangkis, ia jeri. Karena permainan pedang si anak muda itu selain aneh sekali juga sambarannya kuat. Di dalam
kebingungan akhirnja ia menempuh jalan nekad. Wut, seketika ia lontjat melambung dua tombak tingginya dan
lekatkan tubuhnya pada tiang penglari. Bret … mantelnya kena terbabat robek. Untung tak sampai melukai tubuh!
Murka sekali kepala pengawal istana Sin-bu-kiong itu. Sejak keluar dari perguruan, belum pernah ia mengalami
hinaan semacam itu. Apalagi dari seorang anak muda yang tak ternama. Namun ia sabarkan hati menunggu sampai si
anak muda sudah menyelesaikan jurus permainannya.
Sesaat kemudian Thian-leng berhenti. Tiga jurus permainan pedang Toh-beng-kiam telah habis dimainkan. Tetapi tak
berhasil mengenai karena musuh melekat pada tiang penglari. Ia tercengang heran.
Sekonyong-konyong Ni Jin-hiong menggerung keras dan meluncur turun sambil menghantam. Gerakannya cepat dan
dahsyat macam burung garuda menukik dari udara. Thian-leng menyongsong dengan pukulan Lui-hwe-ciang. Tetapi
saat itu ia rasakan punggungnya disambar angin. Itulah Ma Hong-ing yang melakukan.“Awas belakang …” baru kedua taci-beradik Ki berseru, mereka terputus oleh gempuran angin.
Marah sekali Thian-leng akan tindakan ganas dan licik dari Ma Hong-ing. Ia insyaf betapa gawat situasi yang
dihadapinya saat itu. Kalau pecah tenaga menghadapi kedua lawan itu, terang ia bakal celaka. Ia nekad. Lebih baik
hancur bersama-sama. Maka tanpa menghiraukan ancaman Ma Hong-ing, ia segera kerahkan lwekang-nya untuk
menyongsong Ni Jin-hiong, dess … sepercik asap menghambur dari benturan kedua tenaga.
Ni Jin-hiong mencelat ke belakang sampai lima langkah, dadanya berombak dan kedua bahunya bergemetaran. Jelas
ia menderita luka dalam yang parah!
Tetapi Thian-leng pun tak kurang menderitanya. Ia terhuyung-huyung sampai beberapa langkah. Darahnya bergolak.
Buru-buru ia telan ludah ketika merasa darahnya hendak menyembur dari mulut. Wajahnya pucat, dadanya sesak
sekali. Tetapi ada suatu keanehan. Ialah tutukan jari Ma Hong-ing tadi, entah apa sebabnya, tahu-tahu lenyap!
Serentak Thian-leng berputar diri untuk mencari tahu mengapa hal itu bisa terjadi. Tetapi apa yang dilihatnya hanya
membuatnya terbelalak kaget sekali. Ya, Ki Seng-wan ngelumpruk jatuh di tanah, wajahnja pucat seperti kertas dan
mulutnya mengucurkan darah. Jelas dara itu menderita luka parah.
Memang dara itu tak henti-hentinya memberi pengorbanan. Pertama, ia menyerahkan kesuciannya demi mengobati
luka Thian-leng. Dan kini ia loncat menyambuti serangan ganas dari Ma Hong-ing yang diarahkan kepada Thian-leng

Ki Gwat-wan buru-buru menolong adiknya. Ia tekan jalan darah gi-hay-hiat Ki Seng-wan dan salurkan lwekang-nya
untuk mengobati.
Tiba-tiba Ma Hong-ing melengking marah: “Budak hina, kau berani …” ucapannya itu diteruskan dengan sebuah
hantaman Hian-im-ciang yang ganas. Kedua gadis anak-angkatnya itu hendak dibunuhnya!
Dess … tiba-tiba Thian-leng sadar apa yang telah terjadi. Tanpa ayal segera ia lontarkan pukulan kepada Ma Hong-
ing. Ma Hong-ing tersurut mundur tiga langkah …
Jelas bahwa sekarang tenaga Thian-leng sudah berimbang dengan Ni Jin-hiong maupun Ma Hong-ng. Hanya karena
tadi ia sudah menderita luka dalam, maka habis memukul ia tak dapat menahan darahnya yang menyembur keluar
dari mulut. Tubuhnyapun terhuyung-huyung hendak jatuh!
Ma Hong-ing juga terhuyung-huyung. Darahnya bergolak hebat. Buru-buru ia menyalurkan napasnya. Namun karena
melihat Thian-leng juga sempoyongan, cepat ia berseru memerintahkan Ni Jin-hiong supaya turun tangan.
Tetapi kepala penjaga Sin-bu-kiong saat itupun sedang menjalanan peredaran darah. Setelah agak baik, barulah ia
tertawa gelak-gelak: “Masakan dia mampu lolos lagi?”
Lima jari yang direntang kencang macam cakar burung garuda, segera diulurkan untuk mencengkeram Thian-leng.
Thian-leng masih berusaha untuk menyabet dengan pedangnya. Namun karena tenaganya sudah lemah sekali,
gerakan tangan Ni jin-hiong dapat lolos dari tebasan lalu nyelonong mencengkeram bahu Thian-leng yang kiri.
Maksudnya bukan hendak membunuh anak muda itu, melainkan hendak menangkapnya karena perlu menanyai
keterangan tentang peta Telaga Zamrud.
Thian-leng tak mampu berbuat apa-apa, tenaganya sudah habis. Tiba-tiba pada saat bahunya tercengkeram tangan
Ni Jin-hiong, kepala pengawal Sin-bu-kiong itu menjerit kaget dan loncat mundur. Ia memeriksa mantel yang
menggelantung di punggung. Astaga … sebatang passer kecil yang runcing menancap di mantelnya. Tangkai passer
itu berukir lukisan seekor burung cendrawasih yang berkilau-kilauan indah sekali!
Ni Jin-hiong terkesima, tetapi secepat itu segera ia berseru kepada Ma Hong-ing dengan ilmu menyusup suara:
“Celaka, orang Thiat-hiat-bun …”
Ma Hong-ing pun telah mendapat firasat. Cepat ia menukas dengan ilmu menyusup suara Coan-im-jip-bi: “Bukankah
kau mengatakan …”
“Tak ada tempo untuk menerangkan, urusan ini memang di luar dugaan …” Ni Jin-hiong mendesak, mengajak sang
kekasih melarikan diri. Te-it Ong-hui terkejut. Melirik pada sebuah jendela yang terbuka, segera ia enjot tubuhnya
melayang keluar. Keempat bujangnya segera mengikuti, Ni Jin-hiong menyusul di belakang. Dalam sekejap mata,
kelima orang dari Sin-bu-kiong itu sudah lenyap.
Thian-leng mengawasi kesemua itu dengan terkesima. Tak tahu ia mengapa mendadak mereka melarikan diri. Pada
hal saat itu ia sudah tak berdaya. Teringat pada pembicaraan dengan Ma Hong-ing tadi, hatinya makin resah. Siapa
dirinya dan siapa orang tuanya, tetap masih gelap.“Mereka … telah pergi!” sekonyong-konyong Ki Gwat-wan berkata.
Thian-leng terkesiap, sahutnya: “Benar, telah pergi …” – Sesaat teringat ia akan keadaan Ki Seng-wan yang terluka
tadi, buru-buru ia bertanya: “Bagaimana dengan luka adikmu?”
Ki Gwat-wan menghela napas: “Ia terluka dalam dan tulang-tulangnya telah tersusup hawa Im-han, mungkin … sukar
tertolong!”
“Sukar ditolong? … Akulah yang mencelakainya, aku harus …!” Thiat-leng menggeram. Ia tahu Ki Seng-wan telah
menolong jiwanya dengan menyambuti pukulan Te-it Ong-hui Ma Hong-ing, tetapi ia tak tahu bahwa nona itupun
telah mengorbankan kehormatannya dalam pengobatan Hian-im-kiu-coan.
“Tetapi kau … kau juga terluka …!” kata Ki Gwat-wan.
“Lukaku tak berapa berat, tetapi adikmu …” wajah Thian-leng mengerut. Tak tahu ia mengapa Ki Seng-wan rela
menolongnya. Bukankah kedua nona itu selalu mengejar dan bersikap memusuhinya? Bukankah mereka puteri Song-
bun Kui-mo dari Sin-bu-kiong, durjana yang hendak ditumpasnya? Ah, budi dan dendam harus dipisahkan. Yang
penting sekarang ini ia harus berdaya untuk membalas budi si nona yang telah menolong jiwanya.
“Mengapa mereka mendadak lari?” tiba-tiba Ki Gwat-wan bertanya pula.
“Ya, aku sendiripun tak tahu …!” jawab si anak muda, “tetapi bukankah nona berdua ini puteri dari Sin-bu-kiong?
Mengapa bentrok dengan mereka?”
Ki Gwat-wan menghela napas, memandangnya lekat-lekat: “Apa lagi kalau bukan karena kau? Ah … jika adikku ini
sampai meninggal, bagaimana … bagaimana pertanggungan jawabku kepada arwah ibu di alam baka?”
Air mata Ki Gwat-wan berderai turun. Thian-leng tergerak hatinya. Tiba-tiba ia bertanya: “Tahukah nona siapa Ma
Hong-ing itu …”
“Ia adalah Te-it Ong-hui (isteri pertama) dari Hu-ong (ayah). Kecuali itu, kita tak tahu apa-apa lagi tentang dirinya …
Eh, tetapi pembicaraanmu dengannya tadi juga mengherankan!” baru Ki Gwat-wan berkata begitu, ia dikejutkan oleh
tindakan Thian-leng yang tiba-tiba mengangkat tubuh Ki Seng-wan. “Hai … mengapa kau?”
“Dia menolong aku dan akupun hendak berdaya menolongnya!”
Ki Gwat-wan tertawa getir: “Maksudmu mulia, tetapi dia sudah tak dapat ditolong lagi!”
“Kudengar di gunung Thay-gak terdapat seorang tabib sakti …”
“Thay-gak-sian-ong …?”
“Ya, aku hendak mencari tabib itu …”
“Ah …” Ki Gwat-wan menghela napas, “dia tak mau sembarangan menolong orang. Malah kabarnya dia sudah pindah
ke lain tempat. Apalagi hawa Im-han sudah menyusup ke dalam tulang Seng-wan, paling lama dalam tiga jam lagi
darahnya tentu sudah beku. Sekalipun kau berhasil mendapatkan Thay-gak-sian-ong pun sudah terlambat!”
Sekonyong-konyong di luar kuil terdengar suara orang tertawa mengekeh. Thian-leng dan si nona terbeliak. Seorang
dara berbaju kuning tampak muncul di ambang pintu. Di belakang bahunya tersembul sebatang pedang pusaka.
Kemunculan seorang dara di tengah malam dalam sebuah kuil tua, sungguh mengherankan sekali. Thian-leng duga
dara itu tentu seorang dara persilatan.
Sejenak mengejapkan matanya yang bagus, dara itu menggerutu: “Eh, mana ada pertempuran berdarah di sini.
Kedua momok itu sungguh menggelikan …” – Tiba-tiba ia menegur: “Hai, siapakah kalian ini?”
Thian-leng tak mau buang tempo. Ia harus lekas-lekas membawa Ki Seng-wan. Maka acuh tak acuh ia mengatakan
bahwa iapun hanya singgah sebentar di kuil itu. Habis berkata terus memanggul Ki Seng-wan keluar kuil.
Dara baju kuning itu kerutkan alis, mendamprat: “Kau benar-benar seorang manusia yang tak tahu budi, tadi jika
bukan …”
“Karena ada urusan penting, maaf, aku tak dapat melayani nona!” tukas Thian-leng.
“Nyalimu besar sekali …” si dara loncat menghadang.
Thian-leng terkejut. Sungguh tak terduga dara yang masih semuda itu ternyata memiliki gerakan yang sedemikian
hebatnya. Namun Thian-leng tak puas dengan tindakan si dara.
“Aku tak kenal padamu, mengapa nona menghadang?” serunya.
Dara itu tertegun. Ia tak dapat menjawab melainkan menatap Thian-leng dengan kemerah-merahan malu.“Kalau nona tak mempunyai urusan apa-apa, maaf aku hendak meneruskan perjalanan!” kata Thian-leng pula seraya
terus melangkah pergi.
Dara itu malu dan marah. Sekali melesat ia mencegat lagi: “Berhenti!”
Ki Gwat-wan yang mengikuti di belakang Thian-leng terpaksa tampil ke muka: “Siapakah adik ini? Mengapa …”
“Siapa yang kau panggil sebagai adikmu itu? Aku tak kenal padamu …!” bentak dara itu.
Ki Gwat-wan menyeringai malu: “Aku bermaksud baik …”
Dara itu deliki mata: “Aku tak bicara padamu, perlu apa kau banyak mulut!”
Melihat sikap si dara yang begitu ketus, marah juga Ki Gwat-wan: “Jangan keliwat menghina orang …”
“Kalau aku menghina, kau mau apa …?” bentak si dara. Ia kedipkan mata lalu menantangnya, “bukan hanya
menghina saja, pun akan kupukul engkau juga …”
Dara itu serempakkan ucapannya dengan mengayun tangan ke pipi Ki Gwat-wan. Plak … karena tak mengira orang
akan berbuat segarang itu, Ki Gwat-wan tak bersiap. Pipinya kena tertampar dan tubuhnya terhuung-huyung
beberapa langkah ke belakang.
Rupanya dara itu masih belum puas. Ia memburu maju dan hendak menampar lagi. Melihat itu Thian-leng segera
letakkan Ki Seng-wan di tanah lalu loncat menghadang si dara: “Jangan terlalu galak!”
“Kalau ia tidak terima, boleh coba-coba dengan aku!” si dara deliki mata kepada Ki Gwat-wan.
Sebenarnya Ki Gwat-wan sudah hendak menerjang tetapi karena dihadang Thian-leng, terpaksa ia berhenti.
Thian-leng menghela napas: “Tiada dendam tiada permusuhan, perlu apa harus berkelahi? Anggap aku bersalah dan
harap nona suka maafkan!”
Adalah karena perlu menolong Ki Seng-wan maka Thian-leng berlaku luar biasa sabarnya. Ia memberi hormat lalu
hendak memanggul Ki Seng-wan lagi.
Karena mendapat muka terang, nada dara itu berobah lunak: “Ini baru ucapan orang terhormat. Eh, siapakah
namamu?”
Thian-leng kerutkan alis, sahutnya: “Aku bernama … Bu-beng-jin!”
“Bu-beng-jin …?” dara itu cebikan bibir, katanya dengan ewah: “Anjing dan kucingpun mempunyai nama, mengapa
kau tak punya nama!”
“Sayang, kau bukan seorang lelaki!” bentak Thian-leng dengan kesal.
“Kalau lelaki lalu bagaimana?” dengus si dara.
“Kalau lelaki, tentu sudah kutampar mulutmu!”
Dara baju kuning kerutkan kening, mengejek: “Coba lihat saja siapa yang akan ditampar mulutnya!”
Plak … tiba-tiba dara itu sudah menampar pipi Thian-leng. Gerakan dara itu luar biasa aneh dan cepatnya. Sekalipun
andaikata Thian-leng sudah mengetahui, juga sukar rasanya untuk menghindar.
Thian-leng tertegun. Tinju dikepal siap hendak diayunkan. Tetapi ia masih menahan kemarahannya sekuat mungkin.
Sejenak menatap wajah si dara, segera ia berputar tubuh dan mengangkat Ki Seng-wan. “Mari kita berangkat!”
ajaknya kepada Ki Gwat-wan.
Ki Gwat-wan mengiyakan. Tanpa mengacuhkan si dara lagi, ia segera mengikuti langkah Thian-leng. Tetapi belum
berapa langkah, terdengar si dara baju kuning melengking: “Bu-beng-jin, kau berani menghina aku … aku hendak
mengadu jiwa padamu!”
Thian-leng serahkan Ki Seng-wan pada Ki Gwat-wan: “Tolong pondongkan sebentar, aku hendak menghajar budak
liar itu …”
Si dara melesat ke depan mereka, malah sudah mencabut pedang.
“Nona sudah cukup puas memaki dan memukul, mengapa masih menuduh aku menghinamu? jangan terlalu bicara
seenakmu saja! Ketahuilah bahwa aku …”
“Mau marah? Hm, jika bukan aku, kau tentu sudah mati!” lengking si dara.
“Kalau begitu kuhaturkan terima kasih atas budi pertolonganmu …” tiba-tiba dengan nada bengis Thian-leng
membentak: “Lalu apakah maksud nona?”“Kau pakai senjata apa?” teriak si dara.
“Apakah nona tetap hendak …”
“Kau yang mati atau aku yang mati!”
“Aku tak punya dendam suatu apa …”
“Lekas cabut senjatamu!” bentak dara itu.
Karena didesak terus akhirnya Thian-leng mencabut pedang pendek, ujarnya: “Karena nona terus mendesak, baiklah
kita main-main barang tiga jurus.”
“Bagaimana kalau kau kalah?”
“Aku rela menyatakan kalah …”
“Tidak!” si dara menolak.
“Lalu apa kemauanmu?” tanya Thian-leng.
“Menyerah dan terima hukuman mati …!”
***
Siapakah dara aneh itu?
(Bersambung jilid 4)
Jilid 4 .
Harimau betina.
“Apakah nona yakin tentu menang?” Thian- leng tertawa dingin.
Dara baju kuning itu mendengus: “Meskipun menang-kalah belum ketentuan, tetapi aku tetap menghendaki begitu!”
Marahlah Thian-leng: “Terserah, silahkan nona mulai!”
Dara baju kuning tertawa mengikik. Sekali gerakkan pedang, ia menusuk ke arah dada.
Sekalipun ajaran ilmu pedang Toh-beng-sam-kian dari wanita aneh Toan-jong-jin membuktikan kesaktiannya, namun
karena tadi si dara dapat menamparnya begitu mudah, maka Thian-leng pun tak berani memandang rendah. Ia
biarkan saja sampai ujung pedang si dara hampir mengenai dadanya, barulah ia menangkis. Setelah itu ia hendak
gunakan jurus pertama dari ilmu pedang Toh-beng-sam-kiam yang disebut Hong-ji-hun-yong (angin meniup awan
buyar) untuk secepatnya mengakhiri pertempuran itu. Memang ia tak mau terlibat lama-lama karena perlu lekas-
lekas menolong Ki Seng-wan.
Tetapi betapa terkejutnya ketika tangkisannya itu luput. Tusukan si dara itu hanya sebuah gertakan kosong belaka.
Thian-leng tercengang. Dua hal yang membuatnya heran. Dalam gebrak pertama, si dara sudah menggunakan jurus
kosong. Ini tidak umum. Dan yang paling mengejutkan ialah gerakan si dara yang luar biasa cepatnya. Matanya
sampai tak dapat menangkap bagaimana lenyapnya pedang si dara itu tadi.
Rasa kejut membangkitkan kesadaran Thian-leng bahwa yang dihadapinya itu bukan dara sembarang dara, melainkan
seorang dara yang lihay sekali. Segera ia mainkan jurus Hong-ji-hun-yong itu dengan sungguh-sungguh. Tetapi baru
separoh bagian jurus itu ia kembangkan, tiba-tiba ia rasakan sekujur tubuhnya kedinginan dan hujan sinar pelangipun
sudah mencurah ke arah kepalanya.
Ilmu pedang Toh-beng-sam-kiam memang hebat, tetapi berhadapan dengan ilmu pedang si dara yang luar biasa itu,
tak sempat lagi Thian-leng mengembangkan permainannya.
Bret … baju dada Thian-leng telah tergurat robek sampai panjang. Untung dagingnya tak sampai terluka.
“Ah …” Ki Gwat-wan mengeluh putus asa dan tundukkan kepala. Sementara Thian-leng pucat wajahnya, bungkam
seribu bahasa.
Sebaliknya si dara itu angkuh menegur: “Bagaimana … apa kau menyerah kalah!”
“ya, aku menyerah kalah tetapi masih penasaran dengan kekalahan itu!”
Si dara deliki mata: “Kau hendak menyangkal?”
“Dalam soal kepandaian, aku tak kalah padamu! Tetapi dalam soal siasat licik, kau lebih pintar. Maka sekalipun kau
menang, tetapi bukan kemenangan yang gemilang!”Saking marahnya alis si dara menjungkit dan berteriaklah ia: “Menggunakan pedang tak ubah seperti mengatur
barisan. Keistimewaan terletak pada seni mempedayakan musuh yang tak mudah menduga isi-kosongnya serangan
kita. Kau harus malu pada dirimu sendiri yang tak mengerti intisari ilmu pedang!”
“Aku tetap tak puas dengan cara-cara begitu …” Thian-leng mendengus, “aku sudah kalah, silahkan nona bertindak!”
– Ia meramkan kedua mata menunggu kematian dengan ikhlas.
Si dara terkesiap. Pedang di tangan hanya dicekal saja, tak tahu ia bagaimana harus bertindak.
Sebenarnya kegelisahan berkecamuk dalam hati Thian-leng. Benar kekalahan itu dikarenakan pengetahuannya
kurang luas, tetapi karena licinnya mulut si dara maka ia membuat pernyataan sebelum bertanding. Mau tak mau ia
terpaksa harus mentaati. Tetapi sampai sekian saat tak juga si dara itu turun tangan. Ia membuka mata, ah, dara itu
tengah menatapnya dengan penuh perhatian.
“Nona, silahkan turun tangan!” kembali Thian-leng berseru.
“Turun tangan bagaimana?”
“Bukankah tadi nona hendak menghukum mati aku? Sekarang silahkan!”
Wajah dara itu sebentar pucat sebentar merah dan akhirnya menggigit bibir keras-keras.
“Sebelum kubunuh, hendak kusuruh kau benar-benar menyerah setulusnya!”
Sambil kiblatkan pedangnya, dara itu berseru: “Mari kita bertanding lagi. Silahkan kau mulai dulu!”
Thian-leng tertawa menghina: “Jika bertempur lagi, mungkin kau tak dapat menggunakan akalan!”
Merah-padam wajah dara itu, lengkingnya: “Jangan banyak mulut, lekas mulai!”
Thian-leng mendongkol sekali atas kecongkakkan si dara. Sambil kiblatkan pedang pendeknya berserulah ia: “Karena
nona yang menghendaki, terpaksa aku menurut saja.”
Jurus pertama Hong-ji-hun-yong dari ilmu pedang Toh-beng-sam-kiam, segera dilandaskan. Pedangnya yang pendek
itu seketika berobah panjang. Hawanya sampai bertebaran seluas satu tombak keliling.
Si dara tak tinggal diam. Iapun kembangkan pedangnya. Tring, tring, tring, dalam sekejap mata terdengarlah tiga kali
beradunya pedang mereka. Thian-leng terkejut. Sikap congkak si dara itu ternyata karena mengandalkan
kepandaiannya yang sakti. Bukan saja ilmu pedangnya luar biasa aneh, pun memiliki tenaga-dalam yang hebat. Tak
jauh terpaut dengan tenaga dalamnya. Pada hal ia (Thian-leng) telah mendapat penyaluran tenaga dalam dari Oh-se
Gong-mo dan minum pil Kong-yang-sin-tan.
Dara itu usianya tak lebih dari 18 tahun. Taruh kata sejak lahir ia sudah berlatih, pun tak nanti dapat mencapai
kesempurnaan yang sedemikian hebatnya. Apakah dara itu juga mendapat rejeki luar biasa? Demikian Thian-leng
bertanya-tanya dalam hati.
Selesainya jurus pertama terus dilanjutkan dengan jurus kedua yang disebut Nok-hay-keng-liong (laut marah
mengejutkan naga). Sambaran angin yang menerbitkan lengking tajam segera berhamburan seluas dua tombak.
Rupanya dara itu juga terkedjut, serunya: “Bagus, ternyata boleh juga!” – Ia taburkan pedangnya menjadi gumpalan
sinar untuk menahan serangan lawan.
Tiba-tiba Thian-leng tertawa nyaring, serunya: “Hati-hatilah nona!”
Serempak dengan peringatan itu tiba-tiba permainan pedang Thian-leng berganti dengan jurus ketiga yang disebut
Liu-hun-ci-thian atau awan berarak menutup langit. Jurus ini jauh berlainan dengan jurus pertama dan kedua tadi.
Sinar pedang tiba-tiba melambung naik ke atas, berobah laksana ribuan bintang. Sesaat ribuan bintang itupun
mencurah ke arah kepala si dara.
Kali ini benar-benar si dara itu terkejut sekali. Cepat ia loncat mundur. Karena tak bermaksud hendak membunuh,
maka Thian-leng tak mau mengejar. Segera ia tarik pedang dan berdiri tegak, serunya sambil tersenyum: “Terima
kasih atas kesungkanan nona!”Wajah dara itu berobah gelap. Ternyata dua jemput rambut di kanan-kiri keningnya kena terpapas! Thian-leng pun
melongo sendiri. Dara itu memang congkak sekali, tetapi memapas rambut seorang anak perempuan adalah
perbuatan yang keliwat garis …
Si dara terlongong-longong mengawasi rambutnya yang terkupas tadi. Tiba-tiba ia menutup muka dan menangis …
Thian-leng tak enak sendiri. Setelah menghela napas, ia melangkah menghampiri, ujarnya: “Adalah karena nona suka
mengalah maka aku beruntung bisa menang. Harap nona jangan taruh di hati … Maaf, karena ada urusan penting,
terpaksa aku mohon diri!”
Dara baju kuning itu tetap menangis tersedu-sedu …
Ketika tertumbuk pada gumpalan rambut si dara yang jatuh di tanah, Thian-leng hentikan langkah. ”Sungguh aku tak
sengadja, nona …” ia hendak minta maaf, tetapi tiba-tiba si dara berhenti menangis dan membentaknya: “Jangan jual
lagak kau! Jika sungguh mau membunuhmu adalah semudah membalikkan tanganku!”
Thian-leng tertawa kecut. Pikirnya, dara itu benar-benar centil sekali. Masakan ia minta maaf malah diberi semprotan
yang menusuk hati! Namun tak mau ia meladeni. Berpaling ia mengajak Ki Gwat-wan pergi. Tanpa diulang, nona
itupun segera memanggul Ki Seng-wan. Thian-leng pun segera mengikuti.
Tiba-tiba dara itu taburkan tangannya ke punggung Thian-leng, serunya: “Bu-beng-jin, awas kau!”
Thian-leng tertegun. Punggungnya tersambar angin tajam. Ia tahu si dara tentu gunakan senjata rahasia, namun tak
sempat lagi ia menghindar. Senjata rahasia itu meluncur dengan luar biasa cepatnya. Tubuh Thian-leng tergetar.
Rasanya seperti tersusup oleh beberapa batang senjata rahasia!
“Kang-siangkong, kau terluka …!” Ki Gwat-wan berseru kaget.
Thian-leng terkesiap. Ia merasa memang telah terkena senjata rahasia, tetapi anehnya ia tak merasa sakit sama
sekali. Tetapi ketika memeriksa, kejutnya bukan kepalang. Kedua bahunya kanan-kiri dan punggung, tertancap 3
batang passer (anak panah kecil) yang tangkainya berukir kepala burung hong. Tiga batang passer itu berjajar
merupakan bentuk segi-tiga. Yang membuat Thian-leng hampir tak percaya pada penglihatan matanya ialah
bahwasanya ke 3 passer itu hanya menancap pada bajunya saja, sedikitpun tak menyentuh kulit. Ilmu kepandaian
serupa itu benar-benar mempesonakan sekali!
Setelah mencabut ke tiga passer itu, terlongong-longonglah Thian-leng. Benar-benar ia kehilangan paham kepada
dara itu. Seorang dara yang muda-belia, mengapa memiliki beberapa kepandaian yang tiada taranya!
Si dara tertawa mengikik: “Bu-beng-jin, telah kukatakan tadi bahwa kalau hendak membunuhmu adalah semudah
membalikkan telapak tangan. Apakah sekarang kau sungguh tunduk?”
Thian-leng mengangguk, sahutnya serta merta: “Ya, sekarang aku tunduk sungguh atas kesaktian nona!”
Ia segera memberi hormat kepada dara itu lalu berputar tubuh dan terus berlalu. Kali ini si dara tak mau merintangi
lagi. Dipandangnya si anak muda yang berjalan mengikuti Ki Gwat-wan. Setelah itu ia memungut gumpalan
rambutnya yang jatuh di tanah dan menghela napas panjang.
Sekonyong-konyong terdengar suara orang tertawa gelak-gelak.
“Niu-niu, apakah kau setuju dengan budak itu?” menyusul terdengar suara lantang nyaring. Sesosok tubuh melayang
turun dari puncak sebuah karang. Seorang lelaki tua yang berambut putih tetapi wajahnya segar kemerah-merahan
seperti seorang anak. Usianya lebih dari 70 tahun namun masih tampak gagah.
“Ayah, kembali kau mengoceh yang tidak-tidak!” sambil berpaling si dara melengking manja.
“Kurang ajar kau, Niu-niu, berani memaki ayahmu!” bentak lelaki tua itu.
Si dara tertawa mengikik: “Mengapa ayah mengolok aku?”
Lelaki tua tertawa meloroh: “Niu-niu, ayah tahu kau suka padanya. Tetapi caramu tadi dapat menimbulkan salah
pahamnya, mungkin …”“Mungkin bagaimana, yah?”
Lelaki tua menggeleng-geleng: “Mungkin malah meletus. Budak itu tampaknya juga keras kepala …”
“Peduli dengan dia! Sayang tadi tak kubunuh saja … dia keliwat menghina padaku!”
“Amboi, apakah dia berani menghina puteri kesayanganku?” sengaja nada si lelaki tua dibuat-buat.
Dengan berlinang-linang dara itu berseru manja: “Lihatlah sendiri ini.” Sekali goyangkan bahunya maka berhamburan
gumpalan rambutnya yang terkupas tadi.
“Kurang ajar, Niu-niu, tunggulah. Paling lama setengah jam ayah tentu akan menghancurkan kepala budak liar itu!”
habis berkata, lelaki tua segera melesat pergi.
“Yah, kau hendak …” tiba-tiba si dara berseru kaget.
Lelaki tua deliki mata: “Ayah hendak membalaskan penasaranmu. Hendak kubunuh budak itu!”
“Seorang budak tak bernama masakan layak kau ajak berkelahi. Sudahlah, yah!” di luar dugaan dara itu mencegah.
“Apa? Apa kau hendak berikan rambutmu digunduli olehnya?”
Si dara merah wajahnya. “Kelak kalau berjumpa padanya, tentu kubuat perhitungan!”
Sejenak memandang sang puteri, tertawalah lelaki tua itu: “Kelak kalau kau berjumpa padanya, mungkin dia sudah
jadi suami orang … Niu-niu, lebih baik kita kejar dia sekarang saja!”
Sepasang pipi si dara merah jambu. Segera ia susupkan kepalanya ke dada ayahnya: “Yah, kau memang suka
mengolok-olok, bagaimana hukumannya?”
Lelaki tua tertawa: “Hukumannya mudah saja, suruhlah aku minum secawan arak kebahagiaanmu!”
Tiba-tiba tubuhnya mencelat sampai beberapa tombak jauhnya. Dia hendak mengejar Thian-leng.
“Yah, awas kau!” si dara berkaok-kaok seraya menyusul.
Sementara itu Thian-leng dan Ki Gwat-wan yang memanggul adiknya sudah berjalan beberapa li jauhnya. Kala itu
sudah hampir terang tanah. Tiba-tiba Ki Gwat-wan menghela napas dan hentikan langkah.
Thian-leng terkejut, serunya: “Ah, karena mendongkol pada anak perempuan tadi, aku sampai lupa membiarkan kau
…” ia ulurkan tangan hendak menyambuti tubuh Ki Seng-wan. Ia kira Ki Gwat-wan letih memanggul.
Di luar dugaan Ki Gwat-wan gelengkan kepala: “Mungkin … tak keburu menolongnya lagi!”
Thian-leng kaget dan buru-buru memeriksa. Tampak wajah K Seng-wan pucat seperti mayat, mulut terkancing rapat
dan napasnya makin lemah seperti orang yang tengah meregang jiwa.
“Budak itulah yang mencelakai, kalau tidak …” Thian-leng menggeram sedih.
Ki Gwat-wan tertawa hambar: “Thay-gak-san terpisah ribuan li jauhnya. Betapapun cepatnya kita berjalan juga harus
memakan waktu lebih dari satu hari padahal adikku yang malang ini hanya mampu bertahan paling lama satu jam
saja.”
Thian-leng banting-banting kaki: “Biarlah kusalurkan seluruh tenaga dalamku, mungkin dia dapat bertahan beberapa
jam. Asal kita percepat perjalanan, mungkin …”
“Percuma,” Ki Gwat-wan gelengkan kepala, “hawa Im-han telah menyusup ke dalam sumsumnya. jika kau hendak
salurkan tenaga dalam, darahnya pasti bergolak dan berarti malah mempercepat kematiannya …” beberapa butir air
mata menetes dari mata Ki Gwat-wan. Setelah itu berkata pula: “Di dalam Sin-bu-kiong, kecuali ayah, akulah yang
paling mahir dalam ilmu pengobatan. Jika masih ada daya menolongnya masakan aku tak berusaha?”
Thian-leng kucurkan air mata terharu, ujarnya rawan: “Apakah kita berpeluk tangan saja melihat ia meninggal …”“Kita … tak berdaya lagi,” sahut Ki Gwat-wan. Segera ia angsurkan tubuh Ki Seng-wan kepada Thian-leng: “Adikku ini
terhadap kau …”
Ki Gwat-wan segera menceritakan bagaimana sang adik telah mengorbankan kesuciannya untuk menolong jiwa
pemuda itu. Tetapi baru bercerita sampai separoh bagian, tiba-tiba dari jauh terdengar derap kaki orang berlari-lari
mendatangi. Beberapa saat kemudian tampak beberapa sosok bayangan melesat bermunculan. Ki Gwat-wan
terkesiap kaget. Buru-buru ia gunakan ilmu menyusup suara kepada Thian-leng. “Celaka, mereka datang kembali …”
Thian-leng segera mengajak bersembunyi di dalam hutan. Diketahui pendatang-pendatang itu ialah rombongan orang
Sin-bu-kiong, yakni Te-it Ong-hui Ma hong-ing, Ci-chiu-hoan-thian Ni Jin-hiong, 4 orang dayang wanita dan sejumlah
besar jago-jago persilatan yang bermuka bengis.
“Apakah mereka dapat menyusul kemari?” kata Ni Jin-hiong dengan wajah tegang.
Salah seorang rombongan jago silat yang sudah berambut putih segera menjawab: “Lereng Gan-beng-poh biasanya
menjadi tempat pertemuan kita, sudah tentu dapat mencari …”
Kata-kata itu diganggu oleh terdengarnya derap kaki yang berlari-lari mendatangi. Seorang lelaki bertubuh kekar
muncul terus memberi hormat kepada orang tua itu: “Melapor pada bengcu (ketua), bahwa menurut laporan mata-
mata, sampai seluas 30 li belum tampak tanda-tanda jejak musuh!”
Ternjata lelaki kekar itu adalah salah seorang kepala cabang suatu perserikatan partai-partai persilatan. Dan lelaki tua
itu ialah Suma Beng, ketua perserikatan partai-partai persilatan dari 13 propinsi. Suma Beng bergelar Tok-bok-sin-
tiau atau Kokok-beluk sakti bermata satu.
Entah kapan si Kokok-beluk itu menggabungkan diri pada Sin-bu-kiong.
Tanya Ni Jin-hiong dengan gelisah: “Kalau orang Thiat-hiat-bun belum muncul, apakah kalian menemukan jejak
budak she Kang dengan kedua puteri ketua kami … eh, apakah biara tua itu sudah diselidiki?”
Lelaki kekar itu mengatakan bahwa semua tempat dan biara tua tu sudah dijelajahi, tetapi tak menemukan suatu
apa. Hanya saja caranya bicara itu tak lancar seperti menyembunyikan sesuatu.
Melihat itu dengan membawa sikap sebagai seorang Ong-hui (ratu), Ma Hong-ing membentak Suma Beng: “Tadi di
dalam biara rusak jelas terdapat tanda-tanda munculnya orang Thiat-hiat-bun dan kedua puteri itu juga berada di
dalam situ. Mengapa mengatakan tak ada jejak apa-apa. Kalian membanggakan diri sebagai kaum persilatan yang
palng pandai mencari berita, mengapa ternyata tak berguna sama sekali?”
Kokok-beluk sakti Suma Beng terbata-bata: “Entah kapankah Ong-hui mengetahui … mengapa …”
Sebenarnya ia hendak menegur Ong-hui, kalau memang tahu mengapa membiarkan mereka lolos. Tetapi ia merasa
ucapan itu kurang layak, maka ditelannya kembali.
Merahlah wajah Ma Hong-ing. Ia deliki mata kepada Ni Jin-hiong lalu mendengus. Itulah suatu dampratan halus
kepada Ni Jin-hiong yang belum-belum sudah panik karena mengira orang Thiat-hiat-bun muncul.
Ni Jin-hiong pun kerutkan alisnya. Ia menginsyafi gawatnya urusan saat itu. Tentang Kang Thian-leng itu tak menjadi
soal, tetapi yang menggelisahkan adalah kedua kakak-beradik Ki itu. Jika kedua nona itu sampai melapor pada
ayahnya (Sin-bu-te-kun) tentang hubungan gelap antara Ma Hong-ing dengannya (Ni Jin-hiong), pasti mereka akan
dibunuh.
Sejenak merenung, berkatalah Ni Jin-hiong kepada Kokok-beluk hantu Suma Beng: “Tolong Suma-bengcu suka
mengirim berita dengan burung, memberi tahukan tokoh-tokoh persilatan yang tinggal di sekitar 100 li jaraknya, agar
mengerahkan tenaga untuk mencari jejak kepada kedua puteri ketua kami itu. Begitu tahu, harus segera
menyampaikan laporan!”
Suma Beng mengiyakan dan lalu memberi perintah kepada si lelaki bertubuh kekar: “Urusan ini harus kusampaikan
sendiri pada cabang di daerah selatan. Kalian harus hati-hati menjaga di sini!”
Jago tua bermata satu itu segera melesat pergi. Ma Hong-ing mondar-mandir dengan gelisah dan Ni Jin-hiong pun
cemas sekali.
Thian-leng dan Ki Gwat-wan yang bersembunyi beberapa tombak jauhnya, tak kurang cemasnya. Jarak begitu dekatdan Ni Jin-hiong seorang tokoh yang berkepandaian tinggi. Sedikit gerakan saja pasti diketahuinya. Apalagi Thian-
leng saat itu mewajibkan diri untuk melndungi kedua nona Ki. Mereka berdua tak berani bergerak sedikitpun juga.
Berapa lama kemudian, tiba-tiba wajah Ni Jin-hiong mengerut kejut. Ia melirik ke arah Ma Hong-ing dan bibirnya
bergerak-gerak, seperti orang menggunakan ilmu menyusup suara.
Ma Hong-ing tegang seketika. Segera ia memberi isyarat kepada ke 4 dayangnya dan beberapa jago-jago persilatan
untuk bersembunyi di balik gundukan batu di belakang gerumbul pohon.
Thian-leng pun kaget. Tetapi ia tak mendengar suatu suara apapun. Namun ia percaya Ni Jin-hiong tentu bukan pura-
pura. Tentu ada sesuatu yang dicurigai. Thian-leng pun tumpahkan perhatian menanti perkembangan selanjutnya …
Ah, ternyata benar. Tak berapa lama terdengarlah derap kaki ringan dan dari jarak 10 tombak jauhnya muncullah 3
orang imam bertubuh kurus. Begitu kurus hingga mirip dengan orang-orangan bambu yang diberi pakaian jubah.
Punggung mereka masing-masing menyelinap hud-tim (kebut yang dipakai kaum paderi atau imam).
Tak tahu Thian-leng siapa ketiga imam itu. Hanya diduganya tentulah orang dari salah satu 9 partai besar di dunia
persilatan.
Secara kebetulan ketiga imam itu melalui tempat persembunyian Thian-leng. Kuatir dipergoki, terpaksa Thian-leng
menyandar pada sebatang pohon. Siapa tahu, tubuhnya membentur sebatang ranting kering. Ranting patah dan jatuh
berkeresekan …
Ketiga imam itu menghentikan langkah, menyebut doa O-mi-to-hut. Yang di tengah, seorang imam tua berambut
puth segera melengking: “Hai, siapakah yang malam-malam bersembunyi di sini?”
Wut, ia kebutkan lengan jubahnya menampar ke arah tempat persembunyian Thian-leng. Saking kaget dan kuatir
atas keselamatan Ki Seng-wan yang sudah terluka parah itu, tanpa banyak pikir Thian-leng segera lepaskan pukulan
Lui-hwe-sin-ciang. Dar … si imam tua itupun terhuyung-huyung ke belakang Kedua imam lainnya segera mundur ke
samping seraya mencabut hud-tim nya. Demikianpun si imam tua yang terhuyung ke belakang tadi.
“Ah, tak nyana di sini aku bertemu dengan orang sakti,” serunya seraya mencabut hudtim. Tetapi seruannya segera
mendapat sambutan dari suara orang tertawa gelak: “Ah, kiranya ketiga totiang dari Lo-san …!”
Ketiga imam itu tersirap kaget. Ketika berpaling tampak beberapa sosok tubuh melesat dari balik gerumbul pohon.
Heran ketiga orang itu dibuatnya. Tetapi segera imam itu tertawa menegur: “Bukankah sicu ini kepala penjaga istana
Sin-bu-kiong?
Memang yang keluar itu adalah Ni Jin-hiong dan rombongannya. Kepala penjaga Sin-bu-kiong ini menjawab:
“Sungguh kuat sekali ingatan totiang,” ia keliarkan mata sejenak. “Ah, jika bukan totiang yang kebetulan lewat di sini,
mungkin beberapa budak murtad itu dapat mengelabui aku!”
Imam berjenggot putih itu berseru heran: “Ini … ini bagaimana duduk perkaranya?”
Wajah Ni Jin-hiong membesi: “Hendak kuhaturkan pertanyaan pada totiang bertiga. Bagaimanakah sikap totiang
bertiga terhadap Sin-bu-kiong …”
“Terus terang saja, kami memang hendak menggabungkan diri pada Sin-bu-kiong!” tukas ketiga imam dari Lo-san
itu.
Ni Jin-hiong tertawa sinis: “Menggabung pada Sin-bu-kiong …”
Imam tua itu menghela napas perlahan, ujarnya: “Walaupun sudah mendekati hari-hari tua, tapi rupanya Hun-tiong
Sin-mo itu masih gemar menjagal manusia. Peristiwa pembunuhan ketua kuil Siau-lim-si dan ke delapan paderi
tinggi, telah menggemparkan dunia persilatan. Sejak itu dunia persilatan menjadi gelisah. Panji Tengkorak Darah
muncul di mana-mana.
Ratusan jiwa telah melayang. Sebenarnya gunung Lo-san merupakan daerah yang suci, tetapi beberapa hari yang lalu
Panji Tengkorak Darahpun muncul di situ …”
“Siapakah yang menjadi korban?” seru Ni Jin hiong.
Imam tua menggeram: “Kalau yang dijagal itu kaum persilatan, itu dapat dimengerti …”“Apa? Apakah Hun-tiong Sin-mo membunuh orang yang tak mengerti ilmu silat?” Ni Jin-hiong pura-pura kaget.
“Benar!” imam tua itu makin merah matanya, “beberapa hari yang lalu terdapat dua belas pemburu yang mati
dibunuh di bawah puncak Ou-lay-hong. Di samping mayat mereka terdapat panji berlukis tengkorak darah …” – ia
berhenti sejenak, katanya pula: “kami dengar para pemimpin sembilan partai besar telah meminta bantuan pada Sin-
bu Te-kun dan Te-kun pun sudah menerima baik untuk memimpin gerakan membasmi Hun-tiong Sin-mo. Maka jauh-
jauh kami perlukan menuju ke Sin-bu-kiong!”
Serta merta Ni Jin-hiong memberi pujian atas sikap ketiga imam dari Lo-san yang sedia berjoang untuk peri-
kemanusiaan. Tiba-tiba ia beralih pembicaraan: “Tetapi baiklah hal itu kita bicarakan lagi setelah menangkap ketiga
murid murtad ini …”
Imam tua menatap pada Thian-leng, serunya: “Rupanya budak itu memiliki ilmu pukulan bagus, tenaga dalamnyapun
tinggi, tadi kamipun hampir …” teringat akan peristiwa tadi, ia tak jadi lanjutkan kata-katanya. Mukanya merah-
padam.
Lo-san Sam-to atau tiga imam dari Lo-san, meskipun bukan termasuk tokoh-tokoh sembilan partai, tetapi juga
tergolong tokoh yang dimalui. Beberapa puluh yang lalu banyak juga jago-jago yang dijatuhkan. Maka ia merasa
malu, kalau ketahuan orang bahwa dirinya sampai dipukul sempoyongan oleh seseorang anak yang tak terkenal!
Setelah dirinya dipergoki dan mengetahui bahwa ketiga imam itu hendak menggabung diri pada Sin-bu-kiong,
terpaksa Thian-leng ambil putusan nekad. Dengan melindungi Gwat-wan yang memondong adiknya, Thian-leng tegak
bersiap sambil menghunus pedang pendeknya.
Pada saat itu Ma Hong-ing dengan beberapa jago-jago persilatanpun menyusul datang. Mereka segera mengepung
Thian-leng. Thian-leng hanya tertawa dingin saja. Dipandangnya wanita itu dengan tatapan kemarahan dan
kekecewaan.
Tiba-tiba Ni Jin-hiong berseru: “Budak, menyerahlah. Jika kau mau membunuh diri sendiri, mayatmu kubiarkan utuh.
Tetapi kalau membangkang, hm, aku bukan orang yang suka memberi ampun!”
Namun sekalipun mulut berkata begitu garang, diam-diam hati Ni Jin-hiong cemas juga. Permainan pedang si anak
muda yang dapat menggurat robek mantelnya tadi, cukup membuat nyalinya nanar. Maka iapun memberi isyarat
mata kepada Ma Hong-ing supaya siap-siap menyerang dari belakang anak itu.
Justru Ma Hong-ing memang mempunyai rencana begitu. Mengisar ke belakang Thian-leng segera ia mengancam Ki
Gwat-wan: “Budak hina, mengapa tak lekas menyerah menerima hukuman?”
Karena tengah memondong adiknya maka Ki Gwat-wan tak berdaya melawan. Thian-leng juga tak kurang gelisahnya.
Ia tahu seorang Ni Jin-hiong saja sudah cukup berat, apalagi harus melindungi kedua nona itu. Malah keempat
pelayan Ma Hong-ing pun menghunus kebutannya. Dan untuk mendirikan jasa pada Sin-bu-kiong, ketiga imam dari
Lo-san pun siap dengan tinjunya, Thian-leng diam-diam mengeluh.
Setelah melihat kepungan yang sedemikian rapat tertawalah Ni Jin-hiong mengejek. Tiba-tiba ia memberi perintah:
“Serang! – Ia sendiri segera mempelopori dengan sebuah hantaman.
Ia memutuskan untuk membunuh Thian-leng agar jangan menimbulkan bahaya di kemudian hari, maka sekali gebrak
iapun lantas gunakan ilmu pukulan Hian-im-ciang yang dilambari dengan tenaga penuh. Ma Hong-ing pun taburkan
kelima jarinya. Keempat dayangnya menampar dengan kebutan, sedang ketiga imam dari Lo-san menghujankan
pukulan. Tak ketinggalan pula dengan jago-jago silat anak buah Kokok-beluk Suma Beng yang menghujankan
pukulan. Situasi berobah ngeri sekali …
Sambil mencekal pedang di tangan kiri, Thian-leng pun siapkan ilmu pukulan Lui-hwe-sin-ciang. Dia siap bertempur
mati-matian.
Sekonyong-konyong terdengar suara ketawa meloroh dan belasan jago-jago yang mengepung Thian-leng itu,
menjerit kaget. Tinju mereka yang sudah diluncurkan terpaksa ditarik setengah jalan dan loncatlah mereka mundur …
Thian-leng juga kaget. Ketika mengawasi, kiranya di sebelah muka muncul seorang tua yang jenggotnya menjulai
sampai ke dada, bermuka merah, tengah memandang dirinya dengan tertawa.
Kiranya serempak dengan suara ketawa yang menggetarkan urat jantung itu, juga tangan Ni Jin-hiong serta
kawannya yang dihantamkan kepada Thian-leng itu, terasa sakit sekali. Tangan mereka masing-masing, tertusuksebatang passer kecil yang berkepala burung hong. Ujung passer kecil runcing sekali dan tepat menyusup di sela jari.
Itulah yang menyebabkan mereka menjerit kaget dan loncat mundur.
Hebat dan luar biasa sekali kepandaian orang yang menimpukkan passer kecil itu. Belasan jago-jago yang menyerang
Thian-leng, tidak seorangpun yang mampu menghindar. Bahkan ke empat dayang pelayan Ma Hong-ing pun
menderita senjata rahasia itu.
Orang tua itu mengusap-usap jenggotnya yang putih mengkilap seperti perak seraya tertawa terkekeh-kekeh.
Rupanya ia gembira sekali.
Ni Jin-hiong cepat mencabut passer kecil yang menancap di punggung telapak tangannya. Demi mengetahui siapa
orang tua itu, mukanya pun segera berobah seperti orang dicekik setan. Mulutnya terbata-bata berseru: “Kau …
bukankah Gin-hi-sin-soh Lu Liang-ong?”
Gin-hi-sin-soh artinja Jenggot perak si kurus sakti. Orang tua berjenggot perak itu tertawa: “Selama hidup aku belum
pernah masuk ke daerah Tionggoan, mengapa kau kenal padaku!”
Makin pucat wajah Ni Jin-hiong, ujarnya: “Kalau begitu kau lo-ciangbun (pemimpin) perkumpulan Thiat-hiat-bun
(Darah besi).”
Orang tua berjenggot perak itu mengangguk tertawa: “Benar, memang aku ini …” – ia keliarkan matanya ke
sekeliling, serunya: “Melihat kamu begini banyak mengeroyok seorang anak muda, mataku tak tahan maka tadi
kuberi peringatan …”
Ucapan sedap, wajah berseri tertawa. Enak sekali tampaknya orang tua jenggot perak itu bicara seolah-olah
menghadapi anak kecil saja.
Sebenarnya dada Ni Jin-hiong sudah seperti mau meledak, tetapi karena mengetahui riwayat ketua partai Darah Besi,
terpaksa ia menyumbat kemarahannya. Kemunculan ketua partai Darah Besi itu menimbulkan kecemasan hebat
dalam hati Ni Jin-hiong. Ia kuatir suatu peristiwa ngeri tak mungkin dihindari lagi. Segera ia memberi isyarat mata
kepada Ma Hong-ing. Kemudian bertanyalah ia kepada Jenggot perak Lu Liang-ong: “Kabarnya Siau-yau-kiam-khek
Pok Thiat-beng kembali pula pada partai Thiat-hiat-bun, entah …”
“Siapa kau? Perlu apa kau tanyakan hal itu?” tukas Lu Liang-ong tak lupa dengan ketawanya.
Ni Jin-hiong terkesiap, serunja: “Aku Ni Jin-hong karena mengagumi pribadi Pok-tayhiap, maka ingin mengetahui hal
itu!”
Lu Liang-ong tertawa: “Entahlah, aku juga sudah beberapa tahun tak ketemu dengan dia!”
Mendengar itu longgarlah perasaan Ni Jin-hiong. Ia percaya keterangan orang tua berjenggot perak itu tentu benar.
Kini berobah nadanya menjadi nyaring, serunya: “Entah apakah maksud saudara berkunjung ke Tionggoan ini?”
Tiba-tiba wajah Lu Liang-ong mengerut bengis: “Apakah Tionggoan ini tanah milikmu? Apakah aku tak boleh datang
kemari?”
Tersipu-sipu Ni Jin-hiong dibuatnya, segera ia menyahut: “Saudara sudah melukai orang masih omong besar.
Janganlah keliwat menghina orang! Ketahuilah, aku juga bukan bangsa kerucuk tak bernama. Adalah karena
mengindahkan nama partai Thiat-hiat-bun maka aku masih menaruh kesungkanan padamu!”
Ketua Thiat-hiat-bun tertawa tergelak-gelak: “Bagus, bagus, jika kau penasaran, silahkan turun tangan saja …” – ia
tertegun sejenak lalu berkata pula: “Ya, ya, tiada halangan kuberitahukan padamu bahwa aku memang kekurangan
lawan di daerah Lam-hong sehingga tanganku gatal. Kedatanganku ke Tionggoan ini tak lain karena hendak menguji
kepandaian dengan datuk-datuk persilatan di sini. Aku ingin sekali berjumpa dengan seorang lawan yang berimbang
agar sisa hidupku tak kecewa …”
Lagi-lagi Ni Jin-hiong terperanjat. Tetapi secepat itu ia tutupi dengan tertawa, ujarnya: “Maksud saudara tentu akan
mendapat sambutan gembira, tetapi …”
“Tetapi bagaimana?”
Ni Jin-hiong tertawa sinis: “Melintasi pagar baja harus dipatahkan, apalagi negara Tionggoan adalah kandang naga
dan harimau …”“Kamipun menghormati partai Thiat-hiat-bun yang termasyhur,” ketiga imam dari Lo-san menyeletuk, “tokoh yang
berkepandaian paling tinggi di daerah Tionggoan adalah Hun-tiong Sin-mo! Jika lo-sicu dapat melenyapkan momok
itu, semua kaum persilatan daerah Tionggoan …”
Mengetahui betapa tinggi kepandaian ketua Thiat-hiat-bun, ketiga imam dari Lo-san itu hendak gunakan siasat
memprovokasi (membakar) hati Lu Liang-ong agar menempur Hun-tiong Sin-mo. Pikirnya, siasat adu domba itu
adalah yang paling tepat. Tetapi demi diperhatikan Ni Jin-hiong tak mengajukan siasat itu, maka ketiga imampun tak
dapat menahan kesabarannya lagi.
Di luar dugaan Ni Jin-hiong dan Ma Hong-ing berobah wajahnya ketika mendengar ucapan itu. Cepat-cepat Ni Jin-
hiong menukasnya: “Jangan … janganlah Lu locianpwe menempur Hun-tiong Sin-mo!”
“Mengapa?” tanya ketua Thiat-hiat-bun.
Ni Jin-hiong menyahut tersekal-sekal, “Karena … karena Hun-tiong Sin-mo itu manusia licik yang banyak muslihatnya.
Kini tokoh-tokoh sembilan partai persilatan di Tionggoan sudah bersatu-padu untuk menghancurkan momok itu. Jika
saudara menempur Hun-tiong Sin-mo, dikuatirkan malah menganggu rencana sembilan partai persilatan itu …”
“Kalau begitu, aku tak usah pergi saja!” ketua partai Thiat-hiat-bun tersenyum.
Ni Jin-hiong menghela napas longgar. “Tetapi baik kiranya saudara pesiar menikmati alam pemandangan Tionggoan
dulu, kemudian …”
“Hm, kau hendak mengusir aku?” dengus orang tua berjenggot perak itu.
“Mana aku berani …” Ni Jin-hiong tersipu-sipu menerangkan.
“Eh, masakan kalian tak marah karena kulukai tadi?” Si Jenggot perak tertawa.
Memang mata sekalian jago pada merah, tetapi mereka tak berani berbuat apa-apa. Ni Jin-hiong memaksa tertawa:
“Ah, itu hanya sedikit salah paham. Hanya luka tak berarti saja!”
“Eh, tadi pertanyaanku belum terjawab! Mengapa kalian mengeroyok kedua anak itu!” tiba-tiba ketua partai Thiat-
hiat-bun berganti pembicaraan.
“Itu juga urusan salah paham!” buru-buru Ni Jin-hiong menjelaskan. Kemudian ia melirik Thian-leng dan Ki Gwat-
wan, serunya: “Mereka adalah murid-murid Sin-bu-kiong yang murtad, maka hendak kami tangkap. Kiranya
locianpwe tentu tak suka mengurus hal-hal semacam begitu bukan?”
Thian-leng menyaksikan beberapa hal yang tak diduga-duga. Jelas bahwa Ni Jjin-hiong merasa takut dengan orang
tua jenggot perak yang sakti itu. Dan nyata pula bahwa orang tua itu bukan tokoh golongan hitam melainkan
pendekar yang suka membela kebenaran. Ada titik terang yang memantul dalam harapan Thian-leng.
Tetapi harapan itu juga tercampur kecemasan. Passer kecil berkepala burung hong yang mengenai tangan orang-
orang itu, serupa benar dengan passer yang ditimpukkan si dara baju kuning ke padanya. Dan juga caranya
menimpuk terdapat persamaan. Apakah si dara dan orang tua berjenggot perak itu sekaum? Karena belum mendapat
kesimpulan jelas maka Thian-leng pun hanya diam saja, menunggu perkembangan selanjutnya.
Tetapi ketika mendengar Ni Jin-hiong mengatakan dia murid Sin-bu-kiong yang murtad, tak dapat lagi ia menahan
kemurkaannya. “Ngaco! Siapa sudi mengaku guru kepada bangsa penjahat!” bentaknya, lalu berpaling menghadap si
Jenggot perak, serunya: “Harap locianpwe jangan percaya omongannya. Aku adalah musuh dari gerombolan Sin-bu-
kiong …” – tiba-tiba ia merasa bahwa permusuhannya dengan orang Sin-bu-kiong berbelit-belit, tak dapat sepatah
dua patah dapat dijelaskan.
Ni Jin-hiong tertawa sinis: “Meskipun kau bukan anak murid Sin-bu-kiong, tetapi kau telah melarikan kedua puteri
Sin-bu Te-kun. Tentunya kau tak menyangkal …” – ia menunjuk pada nona Ki Gwat-wan yang berada di belakang
Thian-leng, lalu berkata kepada ketua Thiat-hiat-bun: “Silahkan locianpwe tanyakan, benar tidak?”
Karena tak dapat memberi jawaban, Thian-leng merah-padam mukanya.
Jenggot perak Lu Liang-ong tertawa: “Aku tak punya tempo mengurusi soal tetek-bengek begitu, tetapi …” ia berhenti
sejenak, katanya pula:“Anak ini rupanya berjodoh padaku, kalau tidak tentu tak ketemu dengan aku. Sekali bertemu tak dapat kutinggal
diam saja …”
Wajah Ni Jin-hiong berobah pucat, buru-buru serunya: “Habis, locianpwe hendak berbuat apa!”
“Tinggalkan anak itu!”
Ni Jin-hiong mengeluh tertahan, serunja cemas: “Tetapi … kedua puteri …”
“Tinggalkan juga!” tukas Jenggot perak Lu Liang-ong.
“Ini …”
“Apa? Tidak boleh …?”
Ni Jin-hiong meringis seperti kera termakan getah. Ia tertawa menyeringai: “Kalau begitu apakah locianpwe hendak
bermusuhan dengan Sin-bu-kiong?”
“Biarlah! Eh apa jabatanmu dalam Sin-bu-kiong?” seru Jenggot perak Lu Liang-ong.
“Kepala penjaga istana …”
“Pergi kau beritahukan pada Sin-bu Te-kun, aku akan tinggal di Tionggoan selama beberapa bulan. Di mana dan
kapan saja dia boleh mencari aku kalau minta orang!”
Ni Jin-hiong alihkan pandangannya kepada Ma Hong-ing seperti hendak minta keterangan. Tetapi wanita itu hanya
kerutkan alis tak dapat berkata apa-apa.
“Pergilah kalian!” tiba-tiba ketua Thiat-hiat-bun membentak seraya menampar.
Ni Jin-hiong serasa terbang semangatnya. Ia hendak menangkis, tetapi, ah, kiranya jago Thiat-hiat-bun itutidak
menamparnya melainkan menghantam ke arah sebatang pohon cemara yang beberapa tombak jauhnya!
Pukulannya itu tampak lemah dan tak mengeluarkan deru angin apa-apa. Mengira kalau orang tua itu hanya main
gertak, Ni Jin-hiong terlongong-longong, dalam batin ia malu-malu mendongkol.
Tetapi selagi sekalian orang tertegun, tiba-tiba terdengar bunyi benda berhamburan riuh gemuruh. Ketika melihat apa
yang terjadi, kejut sekalian jago-jago bukan alang-kepalang!
Daun dari pohon cemara yang sebesar dua pemeluk tangan orang, rontok berguguran akibat pukulan kosong dari
jago tua Thiat-hiat-bun. Suara gemuruh tadi berasal dari ribuan daun yang berhamburan ke tanah. Kini pohon cemara
itu berobah gundul.
Seluas-luas pengalaman dan sehebat-hebat kepandaian Ni Jin-hiong, namun baru pertama kali itu ia menyaksikan
ilmu kepandaian yang luar biasa. Di luar kesadarannya, lidahnya bercekat menelan ludahnya.
“Ho ho, kali ini pukulanku kutujukan pada batang pohon, tetapi lain kali tentu pada orang!” Jenggot perak Lu Liang-
ong tertawa meloroh.
Mendengar itu serasa terbanglah semangat jago-jago, baik dari rombongan Sin-bu-kiong maupun anak buah Kokok-
beluk bermata satu Suma Beng. Pertama-tama adalah Ma Hong-ing yang angkat kaki diiring oleh ke empat
dayangnya, setelah itu menyusul Ni Jin-hiong, ketiga imam dari Lo-san dan berpuluh anak buah Suma Beng,
berbondong-bondong tinggalkan tempat itu …
Istana Hantu.
Thian-leng menghaturkan terima kasih atas pertolongan orang tua berjenggot perak itu.
“Memang jitu, tepat! Mata Niu-niu memang tajam sekali … ha, ha, ha!” ketua Thiat-hiat-bun tertawa sambil
mengawasi Thian-leng.
Thian-leng tak mengerti apa yang diucapkan orang tua berjenggot perak itu. Sejenak ia berpaling ke arah Ki Seng-
wan. Ah, kedua mata nona itu meram. Keadaannya sedemikian parah seperti pelita yang sudah hampir padamsinarnya. Taci-nya bercucuran air mata. Nona itupun menghaturkan terima kasih kepada ketua Thiat-hiat-bun tetapi
tak berkata suatu apa.
“Maaf, sekiranya locianpwe tak keberatan, aku hendak mohon … diri!” akhirnya Thian-leng memberanikan diri berkata
kepada orang tua itu.
Jenggot perak Lu Liang-ong tiba-tiba mengerutkan wajah, dengusnya: “Nanti dulu …!”
“Locianpwe hendak memberi petunjuk apa lagi?”
“Siapa namamu?” tanya si Jenggot perak.
Thian-leng tertegun, sahutnya: “Bu-beng-jin!”
“Bu-beng-jin …?” dengus Jenggot perak, “kau tak mau mengatakan namamu atau memang tak punya nama?”
“Masakan aku berani mempermainkan locianpwe? Memang …” Thian-leng tak dapat melanjutkan kata-katanya karena
sukar untuk menerangkan. Beberapa jenak kemudian baru ia berkata pula: “Sedari kecil aku bernasib malang.
Sampai sekarang tak tahu siapa ayah-bundaku, maka …”
“O, kiranya kau bernasib begitu malang!” jago Thiat-hiat-bun mengangguk-angguk.
“Locianpwe, sesungguhnya aku perlu sekali harus cepat-cepat menuju ke gunung Gak-san …”
“Perlu apa?” tukas Jenggot perak.
“Nona itu,” kata Thian-leng sembari melirik ke arah Ki Seng-wan yang pingsan, “menderita luka parah sekali. Kecuali
Thay-gak Sian-ong, siapa lagi yang dapat menolongnya. Maka terpaksa aku harus cepat-cepat ke sana!”
“Pernah apa kau dengan nona itu?” tanya Lu Liang-ong.
“Sebenarnya bukan apa-apa, tetapi lukanya itu karena ia hendak menolong aku, maka akupun harus membalas budi
…”
“Eh, andaikata tadi aku tak muncul, apakah kau mampu melanjutkan perjalananmu ke Gak-san?”
Thian-leng tergagap-gagap: “Ini …” – ia tak dapat menemukan kata-kata untuk diucapkan lagi.
“Ayo, coba jawablah sebuah pertanyaanku lagi!” kembali ketua Thiat-hiat-bun itu berkata.
“Silahkan!”
“Jiwa kalian bertiga, bukankah aku yang menyelamatkan?”
“Sudah tentu, budi locianpwe itu takkan kulupakan. Tetapi aku …”
“Aku tak suka berpura-pura. Ada ubi ada talas. Kau sudah hutang budi, sekarang harus membayar!” ketua Thiat-hiat-
bun tertawa.
Thian-leng tertegun mendengar ucapan yang tak diduga-duga itu. Cepat-cepat ia menyahut: “Asal locianpwe yang
memerintah, aku sanggup menerjang ke dalam lautan api, barisan golok!”
Ketua Thiat-hiat-bun tertawa: “Ah, bukan meminta kau harus menerjang bahaya, hanya …” ia berhenti sejenak lalu
berganti nada berat, “kuminta kau meluluskan sebuah hal!”
“Silahkan locianpwe mengatakan!”
Jenggot perak Lu Liang-ong tertawa renyah: “Urusan itu tak memerlukan kau buru-buru melaksanakan, tetapi cukup
kau mengatakan janji dulu.”
“Mengapa locianpwe tak mengatakan sejelas-jelasnya?”
“Jadi kau tak mau meluluskan?” nada ketua That-hiat-bun berobah berat.“Mana aku berani menolak? Sekalipun locianpwe meminta kepalaku, tentu akan kuberikan. Hanya …”
“Hanya bagaimana?” tegas si Jenggot perak.
“Aku merasa heran, mengapa locianpwe tak mau segera mengatakan apakah urusan yang locianpwe kehendaki itu …
apalagi aku seorang kelana yang tak punya tempat tinggal menentu. Mungkin kelak sukar berjumpa dengan
locianpwe, apakah itu tak akan mengecewakan …”
“Tak usah kau resahkan hal itu. Pokoknya sekarang kau harus menyatakan persetujuanmu dulu.”
Thian-leng menimang sejenak, lalu serentak memberi pernyataan: “Baik, aku meluluskan!”
“Belum cukup hanya mengucapkan pernyataan saja, kaupun harus bersumpah pada langit!” seru LuLiang-ong dengan
serius.
“Aku seorang yang taat akan janji, kiranya janganlah locianpwe meragukan pernyataanku tadi!”
“Selama kau tak bersumpah, tetap aku tak mempercayai!” seru Jenggot perak Lu-liang-ong.
Thian-leng tertawa masam. Ia anggap orang tua sakti itu memang aneh. Namun karena sudah berhutang budi,
akhirnya Thian-leng pun segera berlutut dan menyatakan sumpahnya.
“Bagus, sekarang bolehlah kau pergi!” ketua Thiat-hiat-bun tertawa puas sambil mengusap-usap jenggotnya yang
putih seperti perak.
“Nona Ki, marilah …” belum habis Thian-leng berkata mengajak pergi Ki Gwat-wan, tiba-tiba ketua Thiat-hiat-bun
sudah membentaknya: “Kau sendiri yang pergi, kedua anak perempuan ini tinggalkan padaku!”
“Locianpwe …” Thian-leng berseru kaget.
“Luka budak perempuan itu keliwat parahnya. Sebelum kau dapat mencapai gunung Gak-san, tentu ia sudah mati di
tengah jalan!”
“Terserah pada nasibnya, tetapi aku harus berusaha!”
Mendengar itu Ki Gwat-wan segera berlutut meminta pada ketua Thiat-hiat-bun: “Mohon locianpwe suka menolong
adikku yang bernasib malang ini!”
Jenggot perak Lu Liang-ong mengeluarkan sebuah botol kecil dan menuang sebutir pil warna hijau. Segera ia
menyusupkan pil itu ke mulut Ki Seng-wan.
Sungguh ajaib, tak berapa lama muka nona itu mulai merah dan napasnya makin deras. Thian-leng dan Ki Gwat-wan
girang sekali.
“Rupanya kau juga banyak urusan,” kata ketua Thiat-hiat-bun kepada Thian-leng, “nona itu masih perlu mendapat
perawatan. Maka jika kau hendak menyelidiki asal-usul dirimu, silahkan pergi. Jangan kuatir, tinggalkan saja nona itu
padaku!”
Sebenarnya Thian-leng memang tak punya perasaan apa-apa terhadap kedua nona kecuali hanya hendak membalas
budi. Ucapan orang tua Jenggot perak itu dirasa memang tepat. Dia masih mempunyai beberapa urusan penting
mencari tahu asal-usul dirinya dan melaksanakan pesan Oh-se Gong-mo untuk membunuh Song-bun Kui-mo dan
merebut kitab pusaka. Tak ketinggalan Cu Siau-bun, pemuda yang baik budi itu …
“Kemanakah locianpwe hendak pergi dan di mana kiranya kelak aku dapat menjumpai?” tanyanya.
“Jangan hiraukan hal itu. Jika aku hendak mencarimu, sekalipun kau berada di ujung langit, setiap saat aku dapat
menemukan juga …!”
“Kalau begitu, aku mohon diri,” Thian-leng segera pamit. Melihat itu Ki Gwat-wan seperti kehilangan sesuatu. Buru-
buru ia menghampiri pemuda itu dan berbisik rawan: “Harap Kang-siangkong baik-baik menjaga adikku ini …”Tak dapat nona itu melanjutkan kata-katanya karena tiba-tiba ketua Thiat-hiat-bun melesat di tengah mereka dan
memberi isyarat agar Thian-leng segera angkat kaki. Terpaksa anak muda itu melangkah pergi.
Setelah pemuda itu jauh, tiba-tiba ketua Thiat-hiat-bun tertawa keras: “Niu-niu, mengapa kau tak lekas muncul!”
Sesosok tubuh kecil melayang turun dari sebatang pohon yang beberapa tombak jauhnya. Gerakannya gesit seperti
burung walet. Sedikitpun tak mengeluarkan suara ketika kakinya menginjak tanah. Itulah si dara baju kuning Niu-niu.
Melihat itu segera Ki Gwat-wan tahu apa sesungguhnya maksud yang tersembunyi dalam percakapan si Jenggot
perak tadi. Seketika luluhlah hatinya. Ia membungkuk membisiki ke dekat telinga adiknya yang masih belum sadar,
perlahan: “Oh, adikku, malang benar nasibmu …”
“Niu-niu, bagus tidak caraku bekerja tadi!” seru Jenggot perak Lu Liang-ong.
“Uh, masih bertanya begitu? Apa ingin aku mati kaku?” dengus Niu-niu.
“Mati kaku?” ayahnya melongo.
“Karena kau selalu mengolok saja!”
Lu Liang-ong membelai-belai rambut puterinya, tertawa: “Budak tolol, ayah tahu hatimu. Jangan kuatir, urusan itu
tentu beres. Lain kali kau ketemu dengannya, dia adalah milikmu!”
Wajah Niu-niu merah: “Lain kali? Siapa tahu bagaimana dengan lain kali itu …!”
Lu Liang-ong mencekal dagu si dara, tertawa: “Niu-niu, masakan kau begitu terburu-buru?”
Niu-niu menampar dada ayahnya: “Yah, kau benar-benar hendak membuat aku mati kaku!”
Lu Liang-ong tertawa tergelak-gelak, kemudian berseru kepada Ki Gwat-wan: “Bawa adikmu dan ikutlah aku. Dalam
dua belas jam tanggung adikmu akan waras kembali!”
Ketua Thiat-hiat-bun itu segera ayunkan langkah. Niu-niu melirik kedua saudara Ki, tiba-tiba ia gunakan ilmu
menyusup suara berkata kepada ayahnya: “Yah, kedua anak perempuan itu tak boleh dibiarkan!”
Liu Liang-ong kerut alis dan menjawab dengan ilmu menyusup suara juga: “Habis, kemauanmu?”
Niu-niu terkesiap, lalu menggeram: “Bunuh saja. Aku benci kepada mereka!”
“Membunuh mereka berarti kau akan kehilangan budak laki itu selama-lamanya …!” ketua Thiat-hiat-bun merenung
sejenak, katanya pula: “Ketahuilah Niu-niu. Ayah memang cinta dan sayang sekali padamu. Tetapi pun takkan
membiarkan kau melakukan perbuatan yang melanggar undang-undang alam!”
Niu-niu si dara manja, terkejut sekali mendengar kata-kata sang ayah. Biasanya ayah itu tentu suka bergurau dan
memanjakannya sekali. Tetapi kali ini sampai berkata dengan nada yang begitu serius dan bengis!
Niu-niu tak berani banyak bicara lagi. Iapun mengikuti saja di belakang ayahnya.
Demikianlah keempat orang itu segera lenyap dalam kepekatan malam …
***
Entah berapa jauh sudah, hanya ketika cuaca di ufuk timur sudah mulai terang, Thian-leng pun kendorkan
langkahnya. Ia menghela napas panjang. Ia bingung apa yang harus dilakukan lebih dulu.
Ni Jin-hiong tadi menyebut-nyebut tentang Siau-yau-kiam-kek (Pendekar Pedang Kelana) Pok Thian-beng, tetapi
ketua Thiat-hiat-bun mengatakan bahwa sudah belasan tahun tak berjumpa dengan tokoh itu. Ah, bukankah Pok
Thian-beng itu orang yang wanita tua Toan-jong-jin menyuruh ia mencari? Dari percakapan tadi, jelas bahwa ketua
Thiat-hiat-bun bersahabat baik dengan jago pedang itu. Tetapi mengapa Ni Jin-hiong menanyakan orang itu?
Hubungan apakah yang menyelak di antara mereka?
Thian-leng benar-benar tak dapat menganalisa persoalan itu. Dan terutama, asal-usul dirinya sendiripun masih
merupakan teka-teki besar …
Tiba-tiba ada sesuatu yang terlintas dalam benaknya. Ya, ia memutuskan untuk menyelidiki istana Sin-bu-kiong digunung Hun-san saja. Di sana ia akan mendapatkan Ma Hong-ing, wanita yang telah mengaku menjadi ibunya dan
memelihara selama tujuh belas tahun. Dan Sin-bu Te-kun ialah Song-bu Kui-mo, orang yang dikehendaki Oh-se
Gong-mo untuk dibunuh! Sekali tepuk dua lalat. Dapat menyelidiki asal-usulnya dan membunuh momok itu.
Memang Sin-bu-kiong penuh bahaya maut, tetapi jika tak berani masuk ke sarang harimau, mana ia akan
memperoleh anak harimau?
Dengan gunakan ilmu berjalan cepat, pada hari kedua ia sudah tiba di kaki gunung Hun-san. Sebuah gunung yang
tinggi penuh dengan tebing curam dan hutan lebat.
Ketika mencapai puncak, bertemulah ia dengan sebuah tempat alam yang strategis sekali. Di atas puncak terdapat
sebuah lembah yang empat penjuru dikelilingi karang tinggi. Di tengah lembah terdapat beratus-ratus bangunan
gedung. Diam-diam Thian-leng terpaksa memikir-mikir lagi. Istana Sin-bu-kiong yang seolah-olah seperti benteng itu
tentu penuh dengan alat-alat rahasia dan penjagaan yang kuat.
Teringat akan rejeki yang diperolehnya selama ini, antara lain mendapat saluran lwekang dari Oh-se Gong-mo,
pelajaran ilmu pedang Toh-beng-sam-kiam dari wanita Toan-jong-jin dan minum pil mujijat Kong-yang-sin-tan dari
Sip U-jong, serta ilmu pukulan Lui-hwe-ciang yang sudah hampir sempurna diyakinkan itu, timbullah keberaniannya.
Seketika iapun lari menuju ke gedung Sin-bu-kiong. Cepat sekali ia sudah tiba di kaki tembok istana. Tembok yang
memagari istana, tak kurang dari tiga tombak tingginya, terbuat dari tumpukan batu-batu besar. Thian-leng gunakan
ilmu Ciam-liong-seng-thian (naga muncul ke atas) untuk loncat ke atas tembok. Ia mencekal pedang dan siapkan
pukulan Lui-hwe-ciang pada tangan kiri. Tetapi keadaan di sekeliling, sunyi-senyap saja. Hanya lampu yang menyinari
menembus atap gedung-gedung itu.
Ah, apakah penghuni gedung sudah tidur semua? Demikian sambil berjalan di sepanjang tembok, pikirannya
bertanja-tanya.
Sekonyong-konyong ia tersentak kaget. Dua sosok tubuh rebah melintang di tanah. Ketika dihampiri, ah, ternyata
dua sosok mayat. Dua lelaki berpakaian biru, tangan masing-masing masih mencekal pedang yang menancap pada
bahu mereka. Rupanya mereka berusaha hendak mencabut tetapi sudah keburu dihantam lagi oleh musuh.
Dari pemeriksaannya, Thian-leng tak mendapatkan suatu luka apapun di tubuh mereka. Tapi jelas bahwa mereka
sudah mati beberapa waktu yang lalu. Thian-leng makin waspada. Ia teruskan langkahnya. Hai … kembali ia bertemu
dua sosok mayat yang keadaannya persis seperti tadi. Berturut-turut Thian-leng mendapatkan belasan mayat begitu.
Karena baik pakaian maupun cara kematiannya sama, Thian-leng duga mereka tentu rombongan penjaga Sin-bu-
kiong. Dengan begitu jelas bahwa telah ada orang yang mendahului masuk ke Sin-bu-kiong. Tetapi siapakah
gerangan orang itu? Jenggot perak Lu Liang-ong? Ah tak mungkin! Tetapi kalau bukan dia siapa lagi yang mempunyai
kepandaian begitu sakti?
Tiba-tiba Thian-leng dikejutkan oleh munculnya sesosok bayangan orang berkelebat di antara jajaran gedung-gedung.
Tanpa berayal lagi, Thian-leng segera loncat memburu. Begitu melayang turun ke tanah, ia dapatkan dirinya berada
di sebuah taman kecil.
Taman penuh ditumbuhi pohon-pohon bunga yang harum. Bayangan itupun telah lenyap. Thian-leng terkejut atas
kegesitan orang itu. Sejak tadi ia ikuti dengan lekat, tahu-tahu orang itu sudah menghilang di luar pengetahuannya!
Hai … tiba-tiba ia tersirap demi menangkap derap kaki ringan menghampiri. Ah, ternyata seorang bujang perempuan
muncul dari pintu dengan membawa pelita tanduk kambing. Bujang itu melalui taman hendak menuju ke ruang besar.
Cepat Thian-leng bersembunyi di balik sebatang pohon. Begitu bujang itu lewat, segera ia tutuk jalan darahnya.
“Jangan menjerit nanti kubuka jalan darahmu, mau?” bentak Thian-leng.
Bujang itu mengangguk dan Thian-leng pun segera membuka jalan darahnya. Setelah menghela napas bujang itu
berkata terbata-bata: “Kau … kau …”
“Asal kau mau menjawab pertanyaanku, tentu takkan kuapa-apakan!” ancam Thian-leng.
“Silahkan!” sahut budak perempuan itu dengan tenang. Rupanya ia sudah mempunyai pengalaman dalam
menghadapi bahaya.
“Apakah Te-it Ong-hui sudah pulang?” tanya Thian-leng.
“Sudah, kemarin dulu!”“Dan Te-kun?”
“Te-kun tak pernah pergi, sudah tentu tetap berada di istana.”
“Di mana dia sekarang?”
“Di Pek-bong-lo (pagoda seratus impian)!”
“Apakah tinggal bersama dengan Ong-hui?”
Budak itu agak mengerut alis, ujarnya: “Sudah tiga hari ini Te-kun tak pernah berkunjung ke ruang Ing-jun-wan.
Mungkin Ong-hui akan kesepian.”
“Bawa aku ke sana!” seru Thian-leng.
Semula budak itu terkejut, tetapi sesaat kemudian ia bertanya: “Siapa yang akan kau cari, Te-kun atau Te-it Ong-
hui?”
“Te-it Ong-hui dulu!” kata Thian-leng. Ia hendak bicara empat mata dengan Ma Hong-ing untuk menjelaskan teka-teki
yang selama ini menyelubungi asal-usul dirinya. Tetapi dia lupa bahwa saat itu ia berada di dalam sarang harimau.
Setiap saat dan setiap sudut merupakan bencana maut.
“Baik, mari kuantarkan!” tanpa bersangsi budak itupun menyahut. Berputar tubuh iapun balik menuju ke pintu tadi
lagi. Thian-leng lekatkan ujung pedang di punggung budak itu dan mengancam: “Awas, kalau berani bohong, jiwamu
tentu melayang!”
Setelah melalui belasan pintu bundar dan melintasi lorong yang berbelok-belok, tiba-tiba budak itu berhenti. Ternyata
mereka tiba di sebuah tempat yang dikelilingi gedung-gedung tinggi berpagar tembok.
“Kemana kau hendak membawa aku?” tegur Thian-leng.
“Bukankah kau hendak ke gedung Ing-jun-wan menemui Te-it Ong-hui?”
Thian-leng malu dalam hati mengapa ia begitu menguatirkan seorang budak saja.
Kemudian ia bertanya lebih lanjut: “Apakah masih jauh?”
“Tidak, tetapi kalau berjalan lurus, mungkin kepergok penjaga. Maka lebih baik mengitar saja, meskipun sedikit jauh.”
Melihat budak itu ramah-tamah, hilanglah kecurigaan Thian-leng. Demikian mereka meneruskan perjalanan lagi.
Kira-kira dua puluhan tombak setelah membeluk pada sebuah gang kecil dan melintasi sebuah lorong sempit, tibalah
mereka pada sebuah gedung yang pintunya tertutup. “Inilah gedung Ing-jun-wan,” kata budak itu.
Gedung itu luas sekali, karena temboknya tinggi maka tak dapat Thian-leng memperkirakan dalamnya. Halaman
gedung ditumbuhi pohon cemara yang tinggi-tinggi sehingga menambah seram suasana.
“Benarkah ini Ing-jun-wan?” tegas Thian-leng.
Budak itu mengangguk: “Perlukah kumintakan pintu?”
“Tak usah ...” sahut Thian-leng, “ingat, jangan mengatakan kepada siapapun atau kau …”
“Masakan aku sudah jemu hidup,” celetuk budak itu.
Kata-kata budak itu menghilangkan keraguan Thian-leng. Sekali loncat ia melesat ke dalam ruangan, hai … pada saat
tubuhnya melayang, tiba-tiba seperti ada suatu tenaga kuat yang menariknya balik. Berbareng itu terdengar suara
orang tertahan. Astaga … budak perempuan itu rubuh di tanah tak berkutik lagi!
Kejut Thian-leng bukan kepalang. Segera ia kembali untuk menghampiri. Tiba-tiba ia melihat sesosok tubuh warna
biru tegak berdiri di muka segerombol semak yang tumbuh pada tiga langkah jauhnya. Ketika mengetahui siapa
orang itu, bukan main girang Thian-leng. Segera ia lari menghampiri dan berseru perlahan: “Toan-jong-jin locianpwe,
kau di sini …!”Kiranya orang itu memang si wanita sakti Toan-jong-jin. Wanita itu cepat-cepat gunakan ilmu menyusup suara: “Di
sini banyak jago-jago lihay, jangan membikin kaget mereka...”
“Locianpwe, mengapa kau juga …” baru Thian-leng gunakan ilmu menyusup suara bertanya, Toan-jong-jin pun sudah
menghela napas: “Aku mempunyai beberapa persoalan yang masih gelap, maka hendak kuselidiki kemari … Kabarnya
kau, ketika di lembah Sing-sim-kiap di gunung Thay-heng-san telah di …”
“Mungkin nasibku masih belum ditakdirkan mati,” sahut Thian-leng, “di dalam bahaya selalu mendapat penolong.
Untuk mencari asal-usul diriku, maka akupun …”
“Kau benar membereskan hal itu?”
“Locianpwe, ternyata Te-it Ong-hui lah yang memelihara aku selama tujuh belas tahun. Maka aku sengaja kemari
hendak …”
“Kau sudah ketemu dengannya?”
“Sudah dua kali, tetapi ia …”
“Bagaimana?”
“Bukan saja ia tak mau menerangkan asal-usulku, bahkan malah hendak membunuhku. Jika tiada orang sakti yang
menolong, mungkin aku sudah binasa di tangannya!”
Toan-jong-jin kerutkan alis: “Betapapun buasnya seekor harimau takkan memakan anaknya. Tetapi mengapa ia …”
Thian-leng tergetar hatinya: “Locianpwe, kau maksudkan?”
“Seharusnya ia adalah ibu kandungmu!”
“Bagaimana locianpwe tahu?”
“Bukankah ia bernama Ma Hong-ing? Bukankah ayahmu bernama Nyo Sam-koan?” Toan-jong-jin balas bertanya.
Thian-leng mengangguk: “Benar! Ia memang telah mengakui hal itu, tetapi selama selama tahun ia mengaku
bernama Liok Poh-bwe dan mengatakan ayahku bernama Kang Siang-liong …”
Toan-jong-jin tertawa getir: “Itu bohong, mungkin karena takut aku nanti mencari mereka!”
Kembali jantung Thian-leng berdenyut keras, serunya: “Locianpwe, sebenarnya apakah kau kenal dengan dia?
Mengapa tahu …”
Toan-jong-jin menghela napas: “Nyo Sam-koan dan Ma Hong-ing itu pernah menjadi bujangku selama delapan tahun.
Tujuh belas tahun yang lalu baru berpisah.”
Thian-leng mengeluh tertahan. Ia tak menyangka kalau Toan-jong-jin dan Ma Hong-ing mempunyai hubungan
sedemikian erat. Tetapi dalam pada itu Thian-leng pun kecewa sekali. Kalau Ma Hong-ing itu benar ibu kandungnya
mengapa sedikitpun tak punya kasih-sayang? Mengapa selalu berusaha hendak mencelakainya?
“Tidak, tak mungkin Ma Hong-ing itu ibuku!” akhirnya Thian-leng mengambil kesimpulan dalam hati.
“Locianpwe …” Thian-leng menunjuk ke arah gedung mewah, “‘ibuku’ berada dalam gedung Ing-jun-wan, aku hendak
menyelidiki soal itu.” Toan-jong-jin kerutkan kening tertawa hambar: “Itu bukan gedung Ing-jun-wan. Kalau kau
masuk, bukan saja kau takkan menjumpai ibumu selama-lamanya, pun kau bakal menjadi setan tanpa kepala …”
Thian-leng seperti disengat kalajengking kejutnya. Baru ia hendak minta keterangan tiba-tiba wajah Toan-jong-jin
berobah gelap dan menarik ujung baju Thian-leng untuk diajak bersembunyi di balik gerombolan pohon.
Thian-leng cepat mengikuti tindakan wanita sakti itu. Tetapi sampai beberapa saat, keadaan di sekelilingnya tetap
sunyi saja. Karena heran, iapun segera bertanya dengan ilmu menyusup suara: “Tampaknya tidak ada apa-apa,
mengapa locianpwe …”“Berapa jauh jarak pendengaranmu?”
“Seluas 50 tombak jauhnya, aku dapat mendengar daun yang rontok ke tanah!” sahut Thian-leng dengan bangga.
“Kalau kukerahkan perhatian, dalam lingkaran 10 li jauhnya aku tak kena dikelabui oleh suara apapun juga!”
Hampir tak percaya Thian-leng akan keterangan itu, namun karena tampaknya Toan-jong-jin serius, iapun tak berani
menyangsikan hal itu.
“Apa yang locianpwe dengar saat ini?” tanyanya.
“Tak lama lagi tentu ada orang datang!”
Than-leng tak mau banyak bicara lagi. Segera ia pusatkan perhatiannya menunggu apa yang akan terjadi …
Sin-bu Te-kun.
Tak lama kemudian, memang terdengarlah derap kaki orang. Pada lain saat muncul serombongan orang. Dua orang
yang berjalan di sebelah muka, rupanya menjadi pembuka jalan. Mereka membolang-balingkan pedang ke kanan-kiri
dengan sikap yang mengerikan.
Kemudian di belakangnya tampak seorang berjubah merah darah. Tubuhnya pendek sekali, kurus dan kecil.
Memelihara segumpal jenggot seperti jenggot kambing. Gerakannya bersemangat, matanya bersinar tajam.
Mempunyai perbawa yang memaksa orang menaruh rasa hormat!
Di belakang mengiring Ni Jin-hiong, kepala penjaga istana Sin-bu-kiong yang bertubuh tinggi besar, ia mengepalai
serombongan lelaki tua yang mengenakan jubah warna ungu.
Thian-leng menyingkap sebatang ranting kecil. Ketika matanya melihat rombongan orang itu, segera ia gunakan ilmu
menyusup suara berkata kepada Toan-jong-jin: “Orang itu tentu …”
“Song-bun Kui-mo, juga Sin-bu Te-kun yang belakangan ini memalsu sebagai Hun-tiong Sin-mo untuk membunuhi
jiwa manusia dan meninggalkan tanda Panji Tengkorak Darah!”
Saat itu rombongan Sin-bu Te-kun hanya terpisah satu tombak dari persembunyian Thian-leng.
Darah Thian-leng mendidih. Digenggamnya pedang pemberian Toan-jong-jin erat-erat. Urat syarafnya tegang sekali.
Sin-bu Te-kun alias Song-bun Kui-mo ialah musuh dari Oh-se Gong-mo. Sekalipun bukan guru, tetapi Thian-leng
berhutang budi besar sekali kepada Oh-se Gong-mo. Saat itu Song-bun Kui-mo berada di hadapannya, apakah
hendak ia biarkan saja kesempatan sebagus itu?
Di samping membalaskan sakit hati Oh-se Gong-mo, juga untuk membalas budi kebaikan Hun-tiong Sin-mo. Karena
Song-bun Kui-mo telah memfitnah nama baik Hun-tiong Sin-mo.
Dan … dan juga untuk kepentingannya sendiri. Ma Hong-ing menjadi Ong-hui (isteri) dari Song-bun Kui-mo. Jika
keterangan Toan-jong-jin tadi benar, Ma Hong-ing itu adalah ibu kandungnya. Relakah hatinya membiarkan sang ibu
diperisteri seorang manusia serigala …?
Pikiran Thian-leng melayang lebih jauh … Ya, berobahnya watak ibunya sehingga sampai tega hendak membunuhnya
serta perbuatannya berlaku serong dengan Ni Jin-hiong, mungkin karena akibat dijadikan isteri oleh Sin-bu Te-kun.
Kalau tidak, mungkin ibunya itu tentu masih hidup bersamanya di lembah Pek-hun-koh yang tenteram.
Mendadak Thian-leng menganggap Song-bun Kui-mo itu sebagai musuh besarnya! Dan cepat sekali Thian-leng
mengambil putusan …
Lelaki pendek kurus yang memelihara jenggot kambing itu memang Song-bun Kui-mo yang kini berganti gelar
sebagai Sin-bu Te-kun atau raja dari istana Sin-bu-kiong. Tiba-tiba Sin-bu Te-kun berhenti dan memandang ke
sekeliling. Jaraknya dengan gerumbul pohon tempat persembunyian Thian-leng hanya 2-3 meter saja. Mayat budak
perempuan yang terkapar di muka pintupun hanya dua tombak jaraknya. Sudah tentu Sin-bu Te-kun dan
rombongannya tahu. Tetapi di luar dugaan mereka seperti acuh tak acuh.
Tetapi selagi Thian-leng terbenam dalam keheranan, sekonyong-konyong Sin-bu Te-kun memberi isyarat kepada
rombongannya: “Singkirkan budak itu!”
Keheranan Thian-leng pecah menjadi rasa kaget. Kiranya Sin-bu Te-kun telah mengetahui mayat si budak. Tetapi
mengapa dia bersikap diam saja?
Thian-leng palingkan muka ke arah Toan-jong-jin. Tampak wanita sakti itu tenang sekali.Perintah Sin-bu Te-kun segera dilakukan. Dua lelaki berjubah biru menyeret mayat si budak. Sesaat kemudian Sin-bu
Te-kun mengusap-usap jenggot kambingnya dengan kelima jarinya yang kurus kering macam cakar. Sekonyong-
konyong ia menengadah ke langit dan tertawa nyaring. Orangnya pendek kurus tetapi suara tertawanya ternyata
seperti singa meraung. Jantung Thian-leng berdetak keras, darahnya bergolak.
Buru-buru ia kerahkan semangat untuk menenangkan darahnya.
Berhenti tertawa, tiba-tiba Sin-bu Te-kun berseru: “Ni Cong-hou-hwat!”
Buru-buru Ni Jin-hiong menyahut dengan hormat.
“Sin-bu-kiong telah mempersiapkan diri untuk menguasai dunia persilatan. Tetapi belum lagi pahlawan-pahlawan kita
muncul menjalankan tugas, istana kita telah kebobolan musuh. Jika hal ini sampai tersiar …”
Mendengar ucapan itu pucatlah seketika wajah Ni Jin-hiong, ujarnya dengan gemetar: “Hamba telah alpa, mohon Te-
kun memberi hukuman.”
“Siapa orangnya itu?” seru Sin-bu Te-kun.
“Hamba telah kerahkan penjagaan kuat, tentu dapat …”
“Apakah sudah kau ketahui berapa jumlahnya dan dari golongan apa mereka itu?” bentak Sin-bu Te-kun dengan
gusar.
“Ini … ini hamba segera dapat mengetahui. Segera mereka tentu dapat ditangkap!” Ni Jin-hiong makin gugup.
“Seorang saja dari mereka sampai lolos, awas batang kepalamu!” Sin-bu Te-kun berseru bengis.
“Baik, baik …” Ni Jin-hiong terbata-bata.
“Sebelum tengah malam, datang ke Pek-bong-loh terima perintah lagi!” seru Sin-bu Te-kun seraya berputar diri
hendak berlalu.
Sekonyong-konyong sesosok tubuh meloncat dari balik gerumbul pohon dan terus menikamnya. Itulah Than-leng
yang sudah tak dapat mengendalikan diri lagi. Bukan saja Sin-bu Te-kun, pun Toan-jong-jin juga terkejut melihat
tindakan pemuda itu.
Thian-leng telah mengerahkan seluruh tenaganya menyerang. Pukulan kiri melancarkan ilmu Lui-hwe-ciang dan
tangan kanan gunakan jurus Liu-hun-ci-thian (awan menutup langit) dari ilmu pedang Toh-beng-sam-kiam.
Sin-bu Te-kun terperanjat dan Ni Jin-hiong sekalipun tahu juga, namun karena menurut peraturan Sin-bu Te-kun tak
beranilah ia sembarangan bergerak. Maka terpaksa ia diam saja.
Sin-bu Te-kun kebutkan kedua lengan jubahnya, tersebar asap berhamburan. Dalam batin Thian-leng mengejek.
Masakan momok Sin-bu-kiong itu mampu menerima sebuah pukulan dan serangan pedang yang dilambari seluruh
tenaganya. Ia hendak menjadikan serangan itu sebagai suatu duel mati atau hidup.
Dar … terdengar suara menggelegar perlahan. Thian-leng sepert membentur segumpal tembok keras. Matanya
berkunang-kunang, pedang hampir terlepas dan tubuhnya terhuyung-huyung beberapa langkah. Untung lwekang-nya
cukup kuat, serta lwekang yang dilontarkan Sin-bu Te-kun itu lwekang lunak, sehingga pemuda itu tak sampai
menderita luka dalam. Namun sekalipun demikian, cukuplah membuatnya terkejut sekali. Ya, betapa tidak, Sin-bu Te-
kun tidak menangkis, melainkan hanya mengebut dengan lengan jubah dan toh cukup untuk membuatnya pusing
tujuh keliling …
Ketika memandang ke muka tampak Sin-bu Te-kun tegak seperti karang, wajahnya beringas murka! Setelah
memulangkan napas, Thian-leng pun segera menyerang lagi.
“Mohon Te-kun memberi perintah kepada hamba untuk menghajarnya …” bisik Ni Jin-hiong meminta izin. Ia kuatir
pemuda itu akan membuka rahasia hubungan gelapnya dengan Ma Hong-ing. Lebih baik dilenyapkan dulu.
“Hendak kubunuh sendiri, kau mundur saja!” dengus Sin-bu Te-kun.Mendengar itu pucatlah wajah Ni Jin-hiong. Keringat dingin membasahi keningnya, namun tak berani membantah. Ia
memberi tanda kepada rombongan anak buahnya untuk mundur.
“Kau membawa berapa konco?” tegur Sin-bu Te-kun kepada Thian-leng.
“Hanya tuanmu ini seorang!” Thian-leng menyahut nyaring.
Sin-bu Te-kun gusar, segera ia gerakkan jari kanannya untuk menutuk. Ilmu kepandaian yang dibuat andalan Thian-
leng ialah pukulan Lui-hwe-sin-ciang dan ilmu pedang Toh-beng-sam-kiam. Tetapi karena serangan pertama tadi
gagal, hampir saja nyalinya menurun. Cepat ia siapkan pedang di tangan kiri untuk menyambut. Melihat itu Sin-bu
Te-kun turunkan pula tangannya.
“Siapa namamu?” serunya.
“Bu-beng-jin!”
Terkesiap Sin-bu Te-kun mendengar jawaban itu, tetapi pada lain kilas ia tertawa: “Oh, kiranya orang yang tak
bernama … Mengapa kau berani masuk ke istana ini?”
“Song-bun Kui-mo, malam ini tuanmu akan mengambil jiwamu!” bentak Thian-leng.
Wut, kemarahan Sin-bu Te-kun telah ditumpahkan dalam tamparannya. Thian-leng segera menyambut serangan itu
dengan pukulan dan tebasan.
Tiba-tiba Sin-bu Te-kun merobah pukulannya, diarahkan ke sebelah kanan. Tampaknya lemah dan tak mengeluarkan
suara, tetapi tiba-tiba terdengarlah suara gemuruh. Sebuah paviliun hancur, atapnya berhamburan ke mana-mana.
Itulah akibat dari pukulan Sin-bu Te-kun! Di samping itu, akibat lwekang pertahanan diri dari Sin-bu Te-kun, maka
kembali Thian-leng tersurut mundur sampai tujuh delapan langkah … Bahkan kali ini, lebih hebat. Bukan saja mata
Thian-leng berkunang-kunang, pun tulang-belulangnya terasa sakit, tenaganya serasa lunglai. Buru-buru ia kerahkan
tenaga dalam. Lebih baik bunuh diri saja daripada mati di tangan momok jahat itu. Dalam pada itu diam-diam ia
heran mengapa Toan-jong-jin tak muncul? Apakah wanita itu marah karena ia bertindak tanpa meminta persetujuan
wanita itu? Apakah wanita itu hendak biarkan ia mati di tangan Song-bun Kui-mo? Tetapi mengapa Sin-bu Te-kun pun
tak jadi menghantamnya?
Keheranan itu membuatnya memandang kepada Sin-bu Te-kun. Tampaknya momok itu dingin-dingin saja.
“Tadi jika sungguh-sungguh kuhantam, kau tentu sudah jadi gumpalan darah!” beberapa saat kemudian kedengaran
Sin-bu Te-kun berseru.
“Tuanmu sudah tak menghiraukan mati-hidup lagi. Hanya aku kecewa kalau mati di tanganmu!” bentak Thian-leng.
Wajah Sin-bu Te-kun berseri dan tersenyum, nadanyapun lebih ramah. Serunya: “Kau tak takut mati?”
“Tak ada kata-kata ‘takut mati’ dalam hati tuanmu!”
Sin-bu Te-kun tertawa: “Di dunia tak ada orang yang tak takut mati. Sekalipun mulut mengatakan tak takut mati,
tetapi dalam hati tentu takut! Mungkin kau hendak berlagak sebagai ksatria gagah …”
“Setan tua, itu anggapanmu sendiri. Seorang lelaki, mati boleh hiduppun baik. Tidak seperti manusia tak tahu malu
macam kau …”
Amarah Sin-bu Te-kun tak terkendalikan lagi. Kelima jarinya segera ditamparkan ke muka Thian-leng. Jaraknya tak
begitu jauh dan Thian-leng pun segera menyabet dengan pedang. “Plak “… entah bagaimana, tahu-tahu tangan Sin-
bu Te-kun sudah lebih cepat menampar muka Thian-leng. Pipi pemuda itu merah membara, mulutnya mengucur
darah.
Thian-leng kaget-kaget marah. Tubuhnya menggigil gemetar dan wajahnya muram membesi. Dengan sisa tenaganya,
ia hendak menimpukkan pedang itu kepada lawan.
“Tahan! Tamparan tadi, hanya sebagai hukuman kecil atas penghinaanmu …” Sin-bu Te-kun tersenyum, “sekarang
marilah bicara perlahan-lahan.
“Tak sudi aku berunding denganmu!”Masih tetap tersenyum Sin-bu Te-kun bertanya: “Kau mempunyai dendam apa sehingga hendak membunuh aku?”
“Hm, apakah kau tak mengakui bahwa kau ialah salah seorang dari Su-mo (4 momok)?” tanya Thian-leng.
“Aku tak pernah menyangkal dan semua orang persilatan memang sudah mengetahui!”
“Bagaimana hubunganmu dengan Oh-se Gong-mo?”
Sin-bu Te-kun kerutkan alis, namun dengan nada masih ramah ia menyahut: “Bersama-sama menjadi Su-mo dan
bersahabat lama, hanya itu …” – ia kerlingkan mata, ujarnya pula: “Perlu apa kau tanyakan hal itu?”
“Agar kau tahu alasanku hendak membunuhmu terpaksa harus menyebut hal itu. Tentunya hal itu mencemarkan kau
dan kau tentu menyesal!”
“Kurang ajar, aku tak pernah menyesali apa yang kuperbuat, masakan kau …”
“Kau telah merebut kitab Im-hu-po-kip milik Oh-se Gong-mo Locianpwe secara licik! Beranikah kau menerangkan
secara blak-blakan …”
“Apakah kau mempunyai hubungan dengan Oh-se Gong-mo!” tukas Sin-bu Te-kun dengan wajah berobah muram.
“Tidak ada hubungan apa-apa!” sahut Thian-leng, “tetapi di kala Oh-se Gong-mo hendak menutup mata aku, telah
mendapat perintahnya supaya membunuh musuhnya dan merebut kembali kitab pusaka itu!”
“Rupanya kau hanya mendengar keterangan sepihak dari dia saja!” – sejenak matanya berkeliaran, serunya, “karena
memandang usiamu masih muda sehingga kena dipergunakan orang, maka aku tak mau membunuhmu. Ketahuilah,
bahwa aku hendak membangun kesejahteraan bagi umat manusia, sudah tentu aku tak mau melakukan hal-hal yang
hina. Jika kau masih berani menghina namaku, awas, akan kubuat mayatmu tiada tempat berkubur lagi!”
Thian-leng tak jeri dengan ancaman itu, dengusnya: “Selain ini, tuanmu ini masih mempunyi lain alasan lagi untuk
membunuhmu!”
“Katakanlah!” Sin-bu Te-kun terkesiap heran.
“Dewasa ini di unia persilatan telah terjadi pembunuhan, dan di mana-mana muncullah Panji Tengkorak Darah. Tetapi
kesemuanya itu palsu belaka …” Thian-leng berhenti untuk memperhatikan wajah Sin-bu Te-kun, kemudian katanya
pula: “Panji Tengkorak Darah itu sumbernya ialah dari istana Sin-bu-kiong ini. Kau bermaksud hendak
membangkitkan kemarahan dunia persilatan terhadap diri Hun-tiong Sin-mo agar kau dapat mencapai tujuanmu
menguasai dunia persilatan. Karena satu-satunya orang yang kau takuti ialah Hun-tiong Sin-mo. Jika dia lenyap, kau
tentu mudah menguasai dunia persilatan dan malang-melintang di dunia. Tetapi kau salah …”
Semula wajah Sin-bu Te-kun marah tetapi akhirnya tenang kembali, malah lalu berseri-seri. “Bagaimana salahnya,”
serunya.
Thian-leng tertawa nyaring: “Andaikata Hun-tiong Sin-mo mati, tetapi masih ada lagi Thiat-hiat-bun …!
Sebenarnya Thian-leng belum kenal jelas pada Jenggot perak Lu Liang-ong, tetapi karena menyaksikan kepandaian
dan perbawa jago berjenggot perak itu sedemikian hebatnya, maka ia mendapat kesimpulan bahwa partai Thiat-hiat-
bun tentulah sebuah partai yang paling lihay sendiri.
Mendengar itu teganglah seketika kerut muka Sin-bu Te-kun. Mulutnya tergagap-gagap: “Thiat-hiat-bun … Thiat …
hiat … bun …”
Thian-leng kembali tertawa gelak-gelak: “Dan andaikata Thiat-hiat-bun pun dapat kau lenyapkan, tetap masih ada
sebuah benda yang akan menghancurkan kau. Lambat atau cepat, kelak kau pasti akan berlutut di hadapan benda itu
…”
“Apa itu?” bentak Sin-bu Te-kun.
“Bu-lim-ceng-gi!” seru Thian-leng tak mau kalah nyaring. Bu-lim-ceng-gi artinya Demi kebenaran dunia persilatan.
“Bu … lim …ceng … gi …” ulang Sin-bu Te-kun tersekat-sekat. Tiba-tiba ia tertawa sekeras-kerasnya.Thian-leng tunggu sampai orang berhenti tertawa, baru berkata: “Sejak dahulu sampai sekarang, kecongkakan
kesewenang-wenangan, kelicikan dan kejahatan, hanya dapat berjalan sementara waktu. Karena pada akhirnya
kebenaranlah yang akan menang!”
***
Pertaruhan.
“Budak, bukan saja kau bertulang dan berotak bagus, pun kau pandai berdebat, sungguh hebat!” Di luar dugaan Sin-
bu Te-kun malah memberi pujian. Hal itu mengejutkan Thian-leng yang bermaksud hendak membikin marah orang.
Diam-diam ia maki momok itu sebagai manusia yang licin dan bermuka tebal.
Terlintas dalam benak Thian-leng tentang kedudukannya pada saat itu. Ia berada dalam keadaan serba sukar. Tidak
dapat mengalahkan lawan, tetapipun tak mampu lolos. Hanya ada dua pilihan baginya: Menyerah atau bunuh dri!
Diam-diam ia mempersiapkan diri, daripada malu jatuh di tangan musuh, lebih baik ia bunuh diri saja.
Perobahan air muka Thian-leng yang seolah-olah menahan gelombang kemarahan itu, tak luput dari perhatian Sin-bu
Te-kun juga. Tiba-tiba ia berputar tubuh dan memandang Ni Jin-hiong dan anak buahnya.
Ni Jin-hiong dan sekalian anak buahnya pucat seketika. Mereka cukup kenal akan perangai tuannya itu. Betapa
keganasan Sin-bu Te-kun telah diketahuinya. Maka heranlah mereka mengapa Te-kun begitu sabar terhadap pemuda
yang berani memaki-makinya. Namun Ni Jin-hiong tak berani mengatakan apa-apa.
“Kalian keluar dulu dari halaman ini, sebelum mendapat perintah jangan masuk!” tiba-tiba Sin-bu Te-kun berseru.
Tanpa banyak bicara, Ni Jin-hiong pun segera mengajak anak buahnya keluar. Juga Thian-leng sendiripun tak kurang
herannya. Namun karena sudah mantap, iapun tak acuh apa yang akan dilakukan oleh si momok. Ia besarkan
nyalinya dengan tertawa dingin dan sikap congkak.
Tiba-tiba Sin-bu Te-kun menghampiri. Dengan seri wajah yang ramah, ia berkata: “Lwekang-mu kuat dan ilmu
pedangmu luar biasa. Menilik usiamu yang masih muda, tak mungkin hal itu mampu kau yakinkan kecuali kau
memperoleh suatu rejeki yang luar biasa!”
“Mungkin!” sahut Thian-leng tawar.
“Apakah kau diterima murid oleh Oh-se Gong-mo?” Sin-bu Te-kun tersenyum.
“Tidak!”
Sin-bu Te-kun tertegun, ujarnya pula: “Oh-se Gong-mo pernah meyakinkan ilmu pukulan Lui-hwe-ciang di goa Toan-
hun-tong. Dan jelas ilmu pukulanmu tadi …”
“Tuanmu tak perlu bicara banyak dengan kau!” bentak Thian-leng.
Kembali Sin-bu Te-kun terkesiap. Namun secepat itu ia menghapus mukanya dengan tertawa: “Sejak mengangkat
nama di dunia, belum pernah ada orang yang berani menghina diriku. Sejak berpuluh tahun baru kali ini yang
pertama kalinya …”
Ditatapnya wajah Thian-leng dengan tajam, lalu katanya pula: “Tetapi kupuji juga keberanianmu itu! Meskipun kau
telah memperoleh rejeki luar biasa dan kepandaian yang kau miliki itu dapat digolongkan sebagai jago kelas satu,
tetapi bagiku hal itu tetap tak berarti apa-apa!”
“Telah kukatakan, aku tak menghiraukan mati atau hidup. Kalah bertempur dan mati, sudah selayaknya. Momok tua,
silahkan kau turun tangan!” Thian-leng menantang.
Sin-bu Te-kun geleng-gelengkan kepala: “Tidak, itu tidak adil!”
Thian-leng heran, namun ia tahu bahwa manusia licik yang ganas itu tentu menyembunyikan apa-apa dalam
keramahannya. Segera ia berseru: “Bagaimana maksudmu?”
Sin-bu Te-kun tersenyum: “Baik kita mengadakan taruhan!”
“Taruhan bagaimana?”“Akan kubuat sebuah lingkaran di tanah. Aku berada dalam lingkaran itu untuk menerima 100 jurus seranganmu!”
“Cara baru yang menarik!”
“Aku hanya bertahan, tak balas menyerang. Silahkan kau gunakan tinju, pedang, jari atau apa saja. Jangankan kau
dapat melukai aku, cukup asal kau mampu membuat aku keluar dari lingkaran itu, kau menang!”
Mau tak mau Thian-leng leletkan lidah. Ia anggap hal itu tak mungkin. Pada lain saat, marahlah ia karena dirinya
diremehkan sebagai anak kecil.
“Setan tua, katakan terus terang saja ilmu sulap apa yang hendak kau pertunjukkan di hadapanku!” bentaknya.
“Akan kutundukkan hati dan mulutmu!” bentak Sin-bu Te-kun marah, “berani tidak kau?”
Diam-diam Thian-leng menimbang. Sekalipun pertanyaan itu merendahkan dirinya, namun terhadap momok yang
begitu jahat, perlu apa ia harus memegang peraturan persilatan lagi? Apalagi momok itu sendiri yang mengatakan.
“Karena kau yang menghendaki sendiri, baik kuterima!” sahutnya.
“Kita adakan perjanjian dulu,” Sin-bu Te-kun tersenyum.
“Tuanmu tak punya perjanjian apa-apa. Terserah padamu saja!”
Kata Sin-bu Te-kun: “Kalau dalam 100 jurus kau dapat melukai atau mendesak aku keluar dari lingkaran, aku
mengaku kalah dan segera membubarkan istana Sin-bu-kiong. Aku sendiripun akan bunuh diri di hadapanmu.
Puaskah kau?”
“Jangan-jangan kau nanti ingkar!” seru Thian-leng yang tak percaya akan ucapan itu.
“Tetapi kalau kau yang kalah, kau harus menyerahkan mati-hidupmu kepadaku. Entah apa yang akan kujatuhkan
kepadamu, kau tak boleh membantah!” kata Sin-bu Te-kun lebih lanjut.
“Baik, kuterima!” serentak Thian-leng menyambut.
Sin-bu Te-kun tertawa meloroh: “Tetapi akupun seperti kau tadi, tak dapat mempercayai keteranganmu!”
Thian-leng terkesiap: “Apa syarat kepercayaanmu itu?”
Sin-bu Te-kun bergontaian melangkah, sejenak kemudian berseru seenaknya: “Hanya dengan sebuah cara …”
“Cara bagaimana?”
“Bersumpah pada Thian!”
“Bersumpah pada Thian …?”
Thian-leng menatap tajam pada Sin-bu Te-kun. Ia bingung dibuatnya. Sebenarnya ia tak dapat percaya penuh pada
momok itu, namun karena melihat kesungguhannya dan bahkan menurut sumpah, kecurigaannyapun mulai goyah. Ia
coba merenungkan apa yang tersirat dalam maksud tuntutan itu. Kemudian tanpa ragu-ragu segera berseru:
“Tuanmu menerima tuntutanmu itu!”
Sin-bu Te-kun menyambut dengan gelak tertawa yang gembira. Tiba-tiba ia berteriak memanggil anak buahnya, Ni
Jin-hiong muncul dengan dua lelaki baju biru: “Te-kun hendak memberi perintah apa?”
“Siapkan meja sembahyang!” seru Te-kun.
Jin-hiong melongo, tetapi terpaksa ia lakukan perintah juga. Tak lama meja sembahyangpun disiapkan. Setelah dupa
disulut maka suasanapun berobah seram. Ni Jin-hiong pun disuruh keluar lagi, Sin-bu Te-kun segera mendahului
berlutut di muka meja dan mengucapkan sumpah berat. Thian-leng heran melihatnya. Tiba-tiba Sin-bu Te-kun
bangkit dan suruh Thian-leng juga mengucapkan sumpah. Terpaksa Thian-leng menurut juga.
Sesaat kemudian Sin-bu Te-kun menggurat sebuah lingkaran kecil di tanah, lalu melangkah masuk ke dalamnya,serunya: “Pertandingan boleh dimulai sekarang!”
Thian-leng menyeringai. “Kau sendiri yang mengusulkan pertandingan ini, jangan salahkan tuanmu berhati jahat!”
“Ha, ha,” Sin-bu Te-kun tertawa menghina, “silahkan tumplak seluruh kepandaianmu, jangan sungkan-sungkan!”
“Baik, hati-hatilah!” seru Than-leng seraya menusuk lurus ke muka. Itulah jurus pertama dari ilmu pedang Toh-beng-
sam-kiam yang disebut Hong-jin-hun-yong. Tetapi tusukan itu digerakkan perlahan dan menggunakan 4 bagian
tenaganya saja, karena ia hendak menjajaki tenaga lawannya.
Sin-bu Te-kun tegak dengan tenangnya. Begitu ujung pedang hampir menyentuh dada, tiba-tiba ia kempiskan
dadanya. Ujung pedang tak dapat mengenai, tetapi tampaknya Sin-bu Te-kun seolah-olah seperti tak bergerak apa-
apa. Momok itu tertawa sinis, serunya: “Satu!”
Thian-leng terbeliak. Cara penghindaran Sin-bu Te-kun itu sungguh enak sekali, walaupun sebenarnya amat
berbahaya sekali. Karena ujung pedang hanya terpisah selembar rambut dari dada.
Tetapi Thian-leng tak gentar. Serangannya itu hanya percobaan untuk menjajaki tenaga lawan. Apalagi baru satu
jurus, masih ada 99 jurus. Ia yakin tentu dapat sekurang-kurangnya melukai lawan.
Nok-hay-keng-liong atau Laut marah mengejutkan naga, jurus kedua dari ilmu pedang Toh-beng-sam-kiam secepat
kilat segera dilancarkan. Seketika tampak segulung sinar pedang seperti ombak besar, mendampar ke tubuh Sin-bu
Te-kun. Dan tenaga yang digunakanpun ditambah menjadi sembilan bagian, sehingga menimbulkan deru angin yang
dahsyat …
“Dua!” tiba-tiba terdengar Sin-bu Te-kun berseru hambar.
Kejut Thian-leng bukan kepalang. Segera ia tarik pulang pedangnya. Tak tahu ia bagaimana cara Sin-bu Te-kun
menghindar tadi. Tetapi yang jelas momok itu masih tegak berdiri dengan tenang.
Thian-leng menggembor keras dan menyerang dengan jurus ketiga, Liu-hun-ci-thian atau Awan berarak menutup
langit. Jurus ini merupakan yang teristimewa dari ilmu pedang Toh-beng-sam-kiam. Seluas tiga tombak keliling, telah
diliputi oleh gulungan sinar pedang. Sin-bu Te-kun pun seolah-olah tertelan dalam gulungan sinar pedang. Tetapi
heran … gulungan sinar pedang yang tak dapat tertembus air hujan itu, sedikitpun tak dapat menyentuh secarik
pakaian Sin-bu Te-kun!
“Tiga!” terdengar Sin-bu Te-kun berseru tawar.
Thian-leng pucat seketika. Mimpipun tidak ia, bahwa ternyata Sin-bu Te-kun itu seorang sakti yang luar biasa. Kedua
kakinya tetap terpaku namun mampu menghindari gelombang sinar pedang yang sedemikian gencarnya.
Di lain pihak, Sin-bu Te-kun saat itu tampak berseri-seri memandang kepadanya. Sekonyong-konyong Thian-leng
meraung. Laksana seekor harimau kelaparan, ia menerjang lawan.
Kali ini ia menyerang dengan kedua tangannya. Tangan kiri menghantam dengan pukulan Lui-hwe-sin-ciang dan
tangan kanan menyerang dengan ilmu pedang Toh-beng-sam-kian. Tinju dan pedang serempak digunakan bersama.
Walaupun tubuh Sin-bu Te-kun itu terbuat dari daging baja dan tulang besi, namun tak mungkin ia dapat terhindar
dari luka-luka.
“Empat!” tiba-tiba Sin-bu Te-kun berseru pula, ia tampak tegak di dalam lingkaran.
Sedikitpun kakinya tak berkisar …
Dapatkah Thian-leng memenangkan pertempuran ini?
(Bersambung jilid 5)
Jilid 5 .
Ilmu melawan otak
Nyali Thian-leng turun dengan drastis. Jurus yang paling istimewa telah digunakan, namun tak dapat menyentuh
secarik pakaianpun dari Sin-bu Te-kun. Iblis itu seakan-akan memiliki kesaktian dapat membuka langit menyusup
bumi.Suatu gambaran muram terlintas dalam benak Thian-leng. Kekalahan mulai membayang di mukanya, dan apakah
hukuman yang akan dijatuhkan Sin-bu Te-kun kepadanya nanti..
Namun karena sudah mengucapkan sumpah, apapun hukuman itu, ia harus menerima dengan rela, dan untuk itu ia
tak menyesal sedikitpun juga. Tetapi ada suatu hal yang menjadi pemikirannya. Dengan kesaktian itu, jelas bahwa
Sin-bu Te-kun mudah sekali untuk membunuhnya. Mengapa ia perlu mengusulkan pertaruhan seganjil itu? Apakah
yang tersembunyi di balik tindakan Sin-bu Te-kun yang aneh itu?
Tetapi ah, apa pedulinya dengan itu. Toh ia sudah mengambil keputusan. Apabila dalam jurus ke sembilan puluh
sembilan nanti ia tetap gagal, segera ia hendak bunuh diri....
“Hai budak, masih ada sembilan puluh enam jurus lagi, mengapa tak lekas menyerang? tiba-tiba Thian-leng
dikejutkan oleh tertawa mengejekdari Sin-bu Te-kun.
Tertawa itu membangkitkan kemarahan Thian-leng. Serentak ia menyerang lagi dengan pukulan dan pedang.
“Lima!” kembali terdengar Sin-bu Te-kun menghitung. Disusul lagi dengan seruan berturut-turut, “Enam ! “…. “Tujuh !
“…….“Delapan ! “….Sembilan ! “…..Sepuluh ! “
Thian“-leng seperti orang kalap. Tinju dan pedang dilancarkan sederas-derasnya. Cepat sekali lima puluh jurus sudah
berlangsung. Pukulannya memang sedahsyat gunung rubuh, dan tebasan pedangnya segencar hujan mencurah.
Namun Sin-bu Te-kun yang bertubuh pendek kurus itu tetap seperti bayangan saja. Jelas tampaknya ujung pedang
sudah menusuk kena, tetapi entah bagaimana tiba-tiba meleset lagi ke samping. Kedua kaki momok itu seolah-olah
berakar di tanah !
Thian-leng tersentak kaget demi mendengar Sin-bu te-kun menghitung sampai lima puluh jurus. Serempak ia
menghentikan serangannya. Kini jelas seperti burung dara terbang di siang hari, bahwa ia akan kalah.
Sin-bu Te-kun tertawa sinis, “Separoh dari seratus jurus telah selesai, ternyata harapanmu memang tipis sekali ! “
Thian-leng mengkal dan gusar sekali, gelisah dan gugup. Badannya terasa dijepit oleh dua buah batu karang yang
membuatnya tak dapat bicara lagi. Tiba-tiba ia menyadari suatu kekeliruan. Serangan secara kilat memang hebat
sekali. Tetapi ia tak dapat melihat bagaimana cara lawan menghindarkan diri. Masih ada kesempatan lima puluh jurus
untuk mengganti siasat baru.
Keputusan itu dimulai dengan sebuah serangan perlahan menusuk ke dada lawan. Bahkan kali ini tidak menurut tata
cara ilmu pedang lagi. toh Sin-bu Te-kun hanya membela diri dan tak boleh balas menyerang !
Perobahan siasat itu telah memberinya hasil seperti yang diharapkan. Pada saat ujung pedang menuju ke dada,
tampak tubuh Sin-bu Te-kun bergeliatan dan pada saat itu mengeluarkan semacam tenaga lwekang lunak untuk
mendorong ujung pedang ke samping, sehingga pedang itu lewat di sisinya dan orangnya berkisar ke samping!
Kini jelaslah bagi Thian-leng! Tadi karena ia menyerang secara cepat sehingga tak mengetahui gerak lawan. Kiranya
kini ketahuanlah bahwa Sin-bu Te-kun bukan malaikat atau menggunakan ilmu sihir, melainkan menggunakan
gerakan tubuh dan tenaga lwekang juga. Hanya gerakan dan lwekang itu memang tepat sekali digunakannya.
“Lima puluh satu…. “ seru Sin-bu Te-kun. “… Hai budak, kau sungguh cerdik ! “
Thian-leng seolah-olah tak mendengar pujiannya, seluruh perhatiannya terpesona melihat keindahan jurus-jurus
gerakan Sin-bu Te-kun yang luar biasa. Habis menyerang, diam-diam Thian-leng mencatatnya dalam hati.
Selanjutnya menyeranglah ia dengan perlahan-lahan. Baik memukul maupun menusukkan pedang, ia gunakan
gerakan perlahan sekali. Begitu pula arah dan bagian tubuh lawan yang diserang, selalu diganti-ganti. Dengan
demikian dapatlah ia mengetahui lebih banyak lagi tentang jurus-jurus Sin-bu te-kun yang ajaib.
Thian-leng tak menghiraukan lagi bahwa berturut-turut Sin-bu Te-kun terus menghitung dari lima puluh dua,
limapuluh tiga , terus naik ….nalk… sehingga menjadi jurus ke sembilan puluh….
Thian-leng seakan-akan mabuk dan lupa segalanya. Seluruh pikirannya tertumpah mengikuti gerak-gerik Sin-bu Te
kun yang aneh itu. Memang demikianlah orang yang mempelajari ilmu silat. Apabila menyaksikan suatu ilmu silat
baru yang luar biasa anehnya, tentu akan tertarik perhatiannya. Dan Thian-leng pun seperti orang yang kena sihir! Ia
lupa bahwa sepuluh jurus lagi akan selesailah pertandingan itu dengan membawa kekalahan baginya.
Tiba-tiba terdengar suara bentakan lantang di tengah udara, “Budak tolol, masih tak berhenti?”
Sesosok bayangan kuning melesat dan tahu-tahu muncullah seorang dara yang cantik sekali. Kemunculannya yang
begitu mendadak dan cepat itu bukan saja mengejutkan Thian-leng, juga Sin-bu te-kun tercengang. Bagi Thian-leng
merupakan suatu keuntungan karena saat itu tersadarlah ia dari pesonanya. Ia gelagapan. Ya, sepuluh jurus lagi dan
ia harus bunuh diri karena menderita kekalahan!
Dipandangnya dara itu, amboi……. itulah dara yang dijumpainya di biara tempo hari. Ya, si dara baju kuning yang
angkuh dan menjengkelkan! Dan serempak dengan itu, teringatlah Thian-leng pada wanita sakti Toan-jong-jin.Kemanakah gerangan perginya wanita itu. Mengapa sampai sekian lama tak juga wanita itu unjuk diri?
Tiba-tiba ia berpaling ke arah gerombolan pohon. Ah, gerombol itu sunyi senyap saja. Hanya ada dua kemungkinan,
Toan-jong-jin masih bersembunyi di situ tapi tak berani bergerak atau memang sudah pergi.
Si dara melirik Thian-leng dan tersenyum tawa.
“Bagus, dalam satu malam ini rupanya banyak tamu berkunjung. Entah bagaimana harus…. “tiba-tiba Sin-bu Te-kun
tertawa. “Apakah kalian datang bersama?" tiba-tiba ia memebentak.
“Hm, siapa kenal padanya? Siapa datang bersamanya?” dengus dara itu.
Mendengar itu Thian-leng kerutkan alis. Ia mendongkol dengan sikap acuh tak acuh dara angkuh itu, namun diam-
diam ia berterima kasih juga. Karena kemunculan dara itu telah membuatnya menyadari kenyataan yang dihadapi
saat itu.
“Namamu?” seru Sin-bu Te-kun pula.
“Lu Bu-song ! “ sahut si dara.
Sin-bu Te-kun kedipkan mata, serunya tersekat, “Lu Bu-song ?.... Kau ini…. “
“Kalau tak dapat mengingat, baik tutup saja mulutmu ! “ lengking si dara.
Sin-bu Te-kun tersenyum, “Tetapi dari gerakan-gerakanmu datang kemari, tentulah kau seorang yang mempunyai
nama besar juga, mungkin…. “ Sin-bu Te-kun sengaja tak mau melanjutkan kata-katanya dan segera mengganti
dengan pertanyaan, “Katakan maksud kedatanganmu ! “
“Untuk menelanjangi akal bulusmu ! “ seru si dara.
Sin-bu Te-kun marah, “Aku selalu bertindak dengan terang-teranga, mengapa….“
Ia tak dapat meneruskan kata-katanya karena terputus oleh ketawa Lu Bu-song yang nyaring dan panjang.
“Apa yang kau tertawakan ? “ tegur Sin-bu Te-kun.
Lu Bu-song berhenti tertawa dan menyahut, “Katakan saja apa rencanamu terhadap dirinya. ? “ Di kala mengucapkan
kata-kata terakhir si dara kembali melirik ke arah Thian-leng. Setelah itu cepat-cepat berpaling ke muka lagi.
Sin-bu Te-kun tertawa sinis, “Apakah kau dengan dia…… ? “
“Aku hanya membicarakan persoalan, jangan banyak bicara yang tak berguna ! “ bentak si dara.
Sin-bu Te-kun tertawa, “Dia berani masuk ke Sin-bu-kiong dan membunuh belasan penjaga. Menurut peraturan Sin-
bu-kiong, harus dijatuhi hukuman mati. Tetapi aku justru membebaskannya dari hukuman itu dan melainkan
mengajaknya taruhan bertanding dalam seratus jurus. Itulah suatu kemurahan besar….“
Bu-song cebikan bibirnya, “Ucapan yang indah merdu, sayang keluar dari mulutmu ! Kecuali budak goblok itu,
siapapun tentu tak percaya ! “
Thian-leng mendelik, mukanya merah padam.
“Menurutmu, bagaimanakah muslihatku itu ? “ Sin-bu Te-kun berseru marah.
Tangkas sekali dara baju kuning itu menjawab. ”Sebelumnya kau sudah mengetahui sampai di mana tingkat
kepandaiannya. Meskipun kuat, tapi tidak dahsyat. Meskipun aneh, tapi tidak sempurna. Dengan kepandaianmu,
terang kau dapat mengalahkannya dalam seratus jurus. itulah maka kau lantas pura-pura jual kemurahan hati.”
“Aku dapat membunuhnya dengan seketika, perlu apa harus mengatur tipu muslihat!”
“Justru di situlah letak rahasia muslihatmu!”
“Jelaskan!”
“Untuk menundukkan orang, harus menundukkan hatinya. Sekalipun kau tak dapat menundukkan hatinya, tapi kau
akan membuatnya menyerah tanpa syarat, karena kau tahu dia tentu tak mau ingkar janji, seorang yang keras
hati….”
“Aku tak mengerti omonganmu!”
“Melakukan sumpah, mengadakan pertandingan seratus jurus. Ya, entah apa saja yang kau usulkan dia tentu
menerima, karena dia tak mau menjilat ludahnya. Apalagi selama pertandingan seratus jurus itu berlangsung,sengaja kau memberi pelajaran, sehingga dia makin jinak dalam cengkeramanmu ! ”
”Perlu apa aku membutuhkannya?”
“Bakat bagus, sukar dicari. Mungkin kau hendak mengambilnya sebagai murid untuk menjadi pewarismu!”
Tiba-tiba Sin-bu te-kun tertawa keras. Lama kumandangnya bergema di seluruh istana.
“Salahkah bicaraku?” tegur Bu-song.
”Benar…….benar….” tiba-tiba Sin-bu Te-kun berhenti tertawa dan maju selangkah, kemudian tertawa sinis,
“kecerdasanmu menggembirakan hatiku. Akupun ingin sekalian memungutmu menjadi putri angkat!”
“Tak sudi!” dengus si dara.
Wajah Sin-bu Te-kun membesi seketika, serunya bengis. ”Apa yang kuhendaki harus tercapai, kalau tidak, lebih baik
kuhancurkan saja. Membiarkan seorang seperti kau hidup di dunia, berarti menanam bahaya di kemudian hari. Jika
kau tak mau menjadi anak pungutku, lebih baik kuhancur-leburkan tubuhmu saja ! ”
”Masakah kau berani!” lengking Bu-song.
”Masakah kau mampu bertanding dengan aku?” Sin-bu Te-kun marah.
Bu-song tertawa hina, ”Mungkin aku tak menang, tetapi sekalipun bisa menang, akupun tak sudi mengotorkan tangan
bertanding dengan manusia semacam kau…… ” sejenak ia kedipkan mata, serunya pula, ”Barangkali kau lupa
namaku!”
Sin-bu Te-kun terkesiap, ujarnya, “Tidak, aku tak lupa, tetapi karena kau berani masuk ke istanaku, kalau
kubunuhpun kakekmu yang tersayang itu juga tak dapat berbuat apa-apa terhadap aku…!”
Lu Bu-song tetap tertawa hina, “Kakekku seorang memang tak perlu kau takuti. Tetapi beliau adalah ketua dari
sebuah perkumpulan besar. Dan saat ini beliau mengajak rombongan tokoh-tokoh sakti masuk ke Tionggoan.
Mungkin dalam waktu yang singkat akan menyelenggarakan suatu Eng-hiong-tay-hwee ( pertemuan besar para orang
gagah), untuk menguji kepandaian dengan jago-jago persilatan dari daerah Tionggoan. Nah, hal itu besar sekali
pengaruhnya terhadap kewibawaanmu.
Menjadi musuh atau menjadi kawan, tergantung pada tindakanmu……” – ia berhenti sejenak, lalu berkata pula. “ Jika
berhasil mendapat dukungan partai Thiat-hiat-bun, tentu mudah sekali hendak menguasai dunia persilatan Tiong-
goan. Namun jika menempatkan Thiat-hiat-bun sebagai musuh, mungkin namamu akan hancur di dalam sampah.
Paling tidak kedua-duanya tentu sama menderita kerugian besar!”
Thian-leng tergetar hatinya. Kini baru ia tersadar kalau hampir saja masuk ke dalam perangkap Sin-bu Te-kun. Jika ia
melaksanakan keputusannya untuk bunuh diri, bukankah akan sia-sia saja pengorbanannya itu?
Dan kini tahu juga ia bahwa orang tua jenggot perak yang menjadi ketua partai Thiat-hiat-bun itu ternyata kakek si
dara baju kuning. Eh, mengapa dara itu juga menyelundup ke Sin-bu-kiong? Ia mempunyai rencana sendiri atau
memang hanya hendak menolongnya?
Mengapa? Ya, Mengapa? Apakah dara itu……..?
Dan yang paling meresahkan hatinya ialah, bahwa penyaluran lwekang 18 tahun dari Oh-se Gong-mo dan ilmu
pedang Toh-beng-sam-kiam dari wanita Toan-jong-jin, ternyata tak dapat mengapa-apakan Sin-bu Te-kun. Taruh
kata nanti ia dapat keluar dari Sin-bu-kiong, tetapi cita-citanya untuk melakukan pembalasan akan kabur selama-
lamanya.
Tampak Sin-bu Te-kun mengerutkan alisnya, merenungkan ucapan si dara. Beberapa jenak kemudian tiba-tiba ia
tertawa sinis, “ Ha, budak perempuan, meskipun otakmu cerdas sekali, bicaramu sangat tajam, tetapi kali ini kau
salah hitung!”
“Salah hitung!?” Bu-song terkesiap.
Sin-bu Te-kun tertawa keras, “Kakekmu itu menyayangi dirimu melebihi jiwanya sendiri. Segala permintaanmu tentu
dituruti!”
“Boleh dikata begitulah!” sahut Bu-song.
Sin-bu te-kun makin gembira, “Kalau begitu akupun tak mau membunuh, tetapi juga tak akan melepaskanmu.
Hendak kukurung kau dalam istanaku sini….”
Bu-song tersentak kaget. Memang ia tak memperhitungkan kemungkinan itu.
Melihat perubahan wajah si dara, tertawalah Sin-bu te-kun, “Dengan barang tanggungan dirimu, masakah kukuatir
kakekmu takkan menurut perintahku!”Sejenak saja mengedipkan mata, Bu-song sudah mendapat ketenangannya lagi, serunya tawar, “Jika kemungkinan
itu aku tak dapat memperhitungkan, aku benar-benar seorang goblok!”
“Andaikata dapat memikirkan, pun apa gunanya. Asal kau terkurung dalam istana ini, sekalipun kakekmu mempunyai
tiga kepala dan enam lengan, juga tentu takkan berani main-main mempertaruhkan jiwamu !” Sin-bu Te-kun tertawa
sinis.
”Untuk menghadapi kemungkinan itu, aku telah mengatur persiapan!” dengus Bu-song.
Sin-bu Te-kun tertegun, serunya, ”Coba katakanlah ! ”
Senaknya saja Bu-song berkata, “Pertama, jika kau berani menyerang aku, akupun segera memberikankan tanda…..”
“Begitu kakekmu tiba, kau sudah menjadi tawananku!” Sin-bu Te-kun tertawa.
”Tentulah kau kenal pada Thiat-hiat Su-kiat dari Thiat-hiat-bun? ” seru Bu-song.
Thiat-hiat Su-kiat artinya Empat tokoh gagah dari partai Thiat-hiat.
”Kalau tahu lalu bagaimana ? ” jawab Sin-bu Te-kun.
”Sedang aku yang masuk ke sini orang-orangmu tak mengetahui, apalagi Thia-hiat Su-kiat yang jauh lebih lihay dari
aku, mungkin…..”
Kali ini Sin-bu Te-kun terbeliak, serunya, ”Kau maksudkan…. ”
”Thia-hiat Su-kiat datang bersama aku. Mereka menjaga keselamatanku secara diam-diam. Asal kau berani bertindak,
merekapun tentu akan turun tangan!”
“Hm, Thiat-hiat Su-kiat mau menggertak aku?” tukas Sin-bu Te-kun.
”Mungkin tidak mampu. Tetapi sekurang-kurangnya mereka tentu melibat kau dalam pertempuran seru mengobrak-
abrik istanamu. Selain itu……. ” sejenak Bu-song kerlingkan ekor mata, katanya pula, ”Kakekku akan memimpin
rombongan tiga puluh enam Thian-kong dari tujuh puluh dua Te-sat ( nama-nama tingkatan tokoh-tokoh dalam Thiat-
hiat-bun ) untuk mengurung istana Sin-bu-kiong.
Begitu di dalam istana timbul gerakan, mereka tentu segera menerjang masuk. Siapa tahu istanamu ini akan
diratakan, paling tidak tentu akan menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk membangunnya lagi. Dan
kemungkinan juga akan meludaskan jiwamu sekali…”
Tampaknya Sin-bu Te-kun percaya akan ancaman si dara. Hatinya gelisah. Mengingat bahwa kedua anak muda itu
toh mampu menyelundup dari penjagaan Sin-bu-kiong, Sin-bu Te-kun jengkel dan marah. Namun sebagai rase tua
yang berpengalaman, ia tak mau menunjukkan kegentarannya. Segera ia berpaling dan berseru kepada Thian-leng,
”Pertandingan kita tadi, masih kurang sepuluh jurus. Ayo, lekas selesaikan, karena aku hendak segera membereskan
budak perempuan itu….”
Sin-bu Te-kun melangkah ke dalam lingkaran dan tegak menunggu serangan. Hal itu menggelisahkan Thian-leng. Ia
sudah melakukan sumpah dan menyatakan janji. Tak dapat ia menarik omongan lagi. Apalagi pertandingan sudah
berjalan sembilan puluh jurus. Tetapi jika melanjutkan pertandingan, hasilnya sudah jelas.
Thian-leng seperti limbung, namun ia tetap maju menghampiri dan siap menyerang Sin-bu Te-kun lagi.
Bu-song mengikuti gerak-gerik pemuda itu. Setelah Thian-leng hendak menyerang, barulah ia berteriak, “Bu-beng-
jin, apakah kau sungguh hendak jadi budaknya seumur hidup!”
Thian-leng tertegun serunya, “Janji sudah diucapkan, laksana kuda terlepas dari kendali. Bagaimana akibatnya, bukan
soal. Aku hanya hendak melaksanakan janji!”
Bu-song mendengus, “Goblok, apakah kau tak dapat tak melanjutkan pertandingan itu?”
“Ini…. ini….” kening Thian-leng mengerut.
Sin-bu Te-kun tertawa hina, “Hm, menolak melanjutkan pertandingan berarti ingkar janji.”
“Sebagai putra persilatan, sudah tentu dia tak mau ingkar janji menolak pertandingan!” sahut Bu-song.
”Habis mengapa kau banyak mulut!” bentak Sin-bu Te-kun.
Bu-song tertawa dingin, ”Aku hanya menganggap dia goblok sekali. Toh bisa saja dia minta pertandingan itu diundur!”
Thian-leng seperti orang tersadar dari mimpinya. Cepat ia menanggapi, “Benar, di dalam perjanjian tak disebut bahwa
pertandingan itu harus selesai dalam saat itu juga. Maka sisa sepuluh jurus, lain hari saja kita lanjutkan. Tuanmu
hendak pergi dulu!”Jenggot kambing Sin-bu Te-kun menjengit , bentaknya, “Ngaco…..!” jubahnya mengembung, darahnya memancar
keras. Ia marah sekali dan hendak menghantam Thian-leng.
“Eh, kau mau naik pitam ? Lupa malu mau menyerang ? ” Bu-song menertawakan.
Gemetar tubuh Sin-bu Te-kun karena marahnya. ” Ya, aku tak peduli bagaimana akibatnya, malam ini aku hendak
membunuhmu budak !” Habis berkata segera ia mengangkat lengannya.
”Hai, jika urusan kecil tak dapat menahan hati, urusan besar tentu kapiran. Apakah kau benar-benar mau turun
tangan tanpa pertimbangan lagi?”
Wajah Sin-bu Te-kun berobah seketika. Ia termangu-mangu.
Tiba-tiba terdengar tiga kali lengking genta bertalu. Seketika berserilah wajah Bu-song, serunya, “Nah, itulah kakekku
sudah datang.”
Seketika alis Sin-bu Te-kun mengerut cekung. Dengan mata berapi dibakar kemarahan dan kebencian dipandangnya
si dara. Habis itu tanpa berkata apa-apa, ia terus melesat pergi.
Rupanya tiga kali lengking genta tadi merupakan pertandaan penting. Maka tanpa menghiraukan kedua anak muda
itu, Sin-bu te-kun segera meninggalkan mereka.
Dengan muka tersipu-sipu malu, Thian-leng segera menghaturkan terima kasih, ”Terima kasih, nona….”
ooo0000ooo
Si dara merah
Pipi Bu-song bersemu merah. Diliriknya pemuda itu dengan setengah menyesali, “Aku hanya secara kebetulan saja
lewat di sini. Sekali-kali bukan sengaja datang untuk menolongmu...” tiba-tiba ia hentikan kata-katanya. Ia merasa
makin memberi penjelasan makin ketahuan kalau ia memang datang memberi pertolongan.
Sebenarnya Thian-leng tak menaruh perhatian akan hal itu. Kini ia memandang ke arah gerumbul pohon tempat ia
bersembunyi tadi. Cepat ia lari menghampiri. Ah, ternyata Toan-jong-jin tak berada di situ.
“Siapa yang kau cari?” tegur Bu-song.
”Tidak apa-apa…… eh kalau nona datang bersama rombongan, mengapa ………”
Cepat Bu-song gunakan ilmu menyusup suara menukasnya, “Apa yang kukatakan tadi hanya gertakan kosong saja.
Thia-hiat Su-kiat dan kakekku tidak tahu kepergianku!”
Thian-leng kerutkan dahinya, “Mengapa nona menempuh tempat yang berbahaya ini. Andaikan terjadi sesuatu…”
“Aku menuruti kesukaan hatiku, apa pedulimu!” Bu-song tertawa.
Thian-leng tertegun. Dara itu memang centil sekali, pintar mendamprat orang. Ujarnya, “Kalau begitu, momok itu
tentu akan kemari lagi, lebih baik nona lekas tinggalkan tempat ini. Aku sudah terlanjur masuk ke sarang hantu, tak
mau kupergi tanpa hasil. Sekurang-kurangnya hendak kutemui Te-it Ong-hui itu!”
Bu-song tertawa dingin, “Kalau kau tak pergi, perlu apa mengusir aku….” tiba-tiba ia merasa kelepasan omong lagi,
mukanya merah. Diam-diam ia jengkel terhadap dirinya sendiri. Ia seorang dara yang centil, tetapi mengapa selalu
limbung terhadap pemuda itu.
Syukur Thian-leng tak mengetahui hal itu. Ia mengerutkan sepasang alisnya, “Aku memikirkan kepentingan nona,
karena kakek nona…”
Hampir Bu-song tak dapat menahan gelinya.
Jika tadi ia terlambat datang menelanjangi muslihat Sin-bu Te-kun, mungkin pemuda itu sudah menjadi seorang
budak belian yang terbelenggu kemerdekaannya.
“Sekalipun aku dapat menerobos penjagaan Sin-bu-kiong yang kuat, tetapi untuk keluar tidaklah semudah itu.
Dikuatirkan momok itu sudah menyiapkan jago-jagonya untuk menutup semua jalan keluar!”
“Maksud nona, apakah……?” Thian-leng mengerutkan kening.
“Lebih baik kutemui Te-it Ong-hui juga, mari kita bersama-sama mencarinya!” dengus Bu-song.
Thian-leng cukup kenal perangai si dara. Terpaksa ia menuruti saja. Tetapi baru beberapa langkah, kembali ia
bersangsi. Gerumbul pohon cemara yang lebat dan gedung yang pintunya tertutup rapat itu, menurut Toan-jong-jin
bukanlah wisma Ing-jun-wan, tetapi sebuah tempat yang berbahaya sekali. Thian-leng hentikan langkah, berdiri
terlongong-longong!“Bah, goblok, bagaimana kau?” Bu-song tak dapat menahan tertawanya lagi.
Sebenarnya jengkel juga Thian-leng selalu dimaki goblok itu. Namun karena mengingat budi terpaksa ia menahan
sabar. Ujarnya, “Aku hendak mencari tempat kediaman Te-it Ong-hui, tetapi tak tahu yang mana!”
“Gedung dalam istana Sin-bu-kiong tak terhitung jumlahnya. Kamarnya ribuan buah. Sudah tentu sukar mencarinya,
apalagi para penjaganya tentu tak akan membiarkan kau mencari satu persatu.”
“Kalau demikian, bukankah…..”
“Mumpung Sin-bu Te-kun menyambut tamu di luar, kita berusaha menerobos. Kalau tidak tentu sukar meloloskan
diri!”
Thian-leng gelengkan kepala, “Sudah terlanjur masuk ke sini, tak dapat aku pergi dengan begitu saja!” Thian-leng
mengucapkan kata-katanya dan lantas melangkah ke muka.
Bu-song deliki mata dan menggeram.
Jilid 6 .
Namun terpaksa ia mengikuti juga. Mereka berjalan di sebuah lorong, tetapi belum setombak jauhnya, empat orang
yang berjubah ungu menghalang dengan bentakan bengis.
Thian-leng mencekal pedang erat-erat, bentaknya, “Tahukah kau di mana wisma Ing-jun- wan?”
Salah seorang baju ungu itu tertawa hina, “ Kami mendapat tugas untuk menjaga tempat ini. Sebelum Te-kun
kembali, kalian tidak boleh pergi!”
“Eh, kalian hendak mencari mati?” Thian-leng berseru gusar. Ia kibatkan pedangnya, seketika berhamburanlah
segulung sinar dingin.
Keempat penghadang itu memelihara jenggot putih yang menjulai ke dada. Matanya bersinar tajam. Baik usia dan
dandanannya serupa dengan Ni Jin-hiong. Tiba-tiba mereka mencabut pedang. Gerakannya serempak dan tangkas
sekali sehingga Thian-leng terkesiap.
Saat itu Bu-songpun tiba dengan dampratannya, “Goblok, mengapa tertegun…” ia taburkan tangannya, serunya,
“Keadaan sudah mendesak, mengapa tak menempur?”
Keempat pengawal baju ungu itu agak terkejut ketika diri mereka tertusuk jarum kepala burung Hong ( Hong-thau-
kiong) . Mereka mundur selangkah. Tetapi jarum itu tidak beracun dan tidak mengenai jalan darah penting. Apalagi
mereka berempat berkepandaian tinggi, dengan serentak jarum itu dicabutnya.
Sekalipun begitu, ilmu menebar jarum dari si dara cukup menggetarkan hati mereka. Saat itu Thian-lengpun tak mau
berayal lagi. Ilmu pedang toh-beng-sam-kiam dan pukulan Lui-hwe-sin-ciang, segera dilancarkan dengan gencar !
Ilmu pedang ke empat pengawal baju ungu itu hebat juga. Apalagi mereka maju bersama, selang beberapa jurus,
pertandingan tetap berimbang.
Bu-song marah bukan kepalang, dengan melengking nyaring ia menyerang dengan pedangnya. Seketika berobahlah
jalannya pertempuran. Terdengar jeritan dari seorang pengawal baju ungu yang terpapas kutung sebelah tangannya!
Mendapat angin, thian-leng menggerung dan melepaskan tiga buah pukulan dan lima kali tebasan. Dengan bantuan
Bu-song, sekejap saja mereka dapat mendesak mundur ketiga lawannya.
“Lekas lari!” seru Bu-song seraya menerobos keluar. Tetapi baru beberapa langkah, ia sudah didampar oleh tenaga
dahsyat dan bentakan keras, sehingga kepalanya pusing. Hampir saja dara itu tak dapat mempertahankan
keseimbangan dirinya.
Thian-leng yang menyusul tiba terkejut sekali. Ternyata yang menghadang kali ini adalah Ni Jin-hiong. Di
Belakangnya tegak belasan anak buahnya dalam seragam warna ungu. Jelas mereka itu ialah rombongan jago-jago
kelas satu dalam istana Sin-bu-kiong.
“Hm, apakah kalian hendak menghadang kami?” bentak Bu-song.
“Bukan hanya menghadang, tapi hendak mencincang kalian berdua…” sahut Ni Jin-jiong dengan bengis. Kemudian ia
memebri perintah kepada anak buahnya, ”Tangkap kedua budak itu hidup atau mati!”
Belasan jago-jago kelas satu itu mengiyakan. Serempak mereka menyerang. Thian-leng cepat menyrang Ni Jin-hiong.
Karena pernah menderita kerugian menghadapi ilmu pedang Toh-beng-sam-kiam maka Ni Jin-hiong bertempur
dengan hati-hati sekali, maka dapatlah Thian-leng mendesaknya mundur. Sambil menarik pulang serangan, Thian-
leng berseru pada Bu-song dengan ilmu menyusup suara, “Harap nona lekas lolos, biarlah aku yang menghadapiurusan di sini….”
“Goblok! Jangan banyak bicara kosong, curahkan perhatianmu sepenuhnya untuk menghadapi musuh!” tukas Bu-song
juga dengan ilmu menyusup suara.
Thian-leng mengerutkan keningnya. Ia bertempur lagi dengan seru. Belasan jago-jago baju ungu itupun cepat
menerjang. Kepandaian mereka memang hebat, apalagi jumlahnya banyak. Bu-song terkurung dan Thian-leng pun
sibuk sekali.
Bu-song menggunakan taktik, sambil memainkan pedang, tangan kirinya tak henti-hentinya menaburkan jarum
Hong-thau-kiong. Setiap batang jarum tentu mendapat hasil, tetapi karena jarum itu tak beracun dan hanya dapat
menimbulkan luka kecil, maka belasan jago baju ungu itupun tidak menderita apa-apa. Mereka tetap melancarkan
serangan bertubi-tubi. Tak berapa lama, jalannya pertempuranpun berubah lagi.
Ilmu pedang Bu-song tak sehebat ilmu pedang Thian-leng. Jarum Hong-thau-kiong pun telah dipakai habis.
Berhadapan dengan Ni Jin-hiong saja, Thian-leng sudah payah, apalagi menghadapi serangan serempak dari belasan
jago-jago lihay. Sudah tentu makin payah lagi. Kedua anak muda itu berada dalam keadaan berbahaya, sewaktu-
waktu tentu akan celaka.
Sekonyong-konyong sesosok bayangan merah melayang tiba. Ketika masih berada di udara, orang itu menaburkan
senjata rahasia. Seketika dua orang baju ungu terjungkal rubuh. Tiga orang lagi menderita luka parah dan terhuyung-
huyung beberapa langkah ke belakang, lalu jatuh terduduk di tanah!
Hebat sekali. Rombongan pengawal baju ungu itu adalah jago-jago kelas satu dalam istana Sin-bu-kiong, bahwa
sekali muncul, pendatang tak dikenal itu dapat merubuhkan lima orang baju ungu sungguh mengejutkan sekali. Ni
Jin-hiong menjadi pucat dan terpaksa ia mundur serta menghentikan serangannnya.
Ketika pendatang itu sudah melayang tiba di tanah , sekalian orang semakin terbeliak kaget. Bukan dewa bukan lelaki
gagah perkasa, melainkan hanya seorang dara yang cantik jelita, segar meriah dalam pakaian merah menyala.
Thian-leng terbelalak matanya. Ia seperti pernah melihat dara itu tapi entah di mana.
“Hai, siapa kau budak,” teriak Ni Jin-hiong, “kau berani mengganas dalam istana Sin-bu-kiong? Hm, tidakkah kau
mengetahui bahwa istana ini mudah dimasuki tapi sukar keluarnya?”
Si dara merah itu tertawa hina, “Kalau berani masuk tentu berani keluar!”
” Tetapi Sin-bu-kiong toh tak bermusuhan padamu, mengapa kau menggunakan senjata rahasia mengganas anak
buah kami ? ”
Secepat kilat dara merah itu mencuri lirik ke arah Thian-leng dan Bu-song, lalu tertawa dingin, ” Senjata rahasia
milikku itu tanggung tak beracun, tetapi dapat menembus ke jantung dan menyebabkan orang mati seketika ! ”
Ni Jin-hiong menggertek gigi, ” Kalau tak dapat mencincang tubuhmu, aku segera akan bunuh diri di tempat ini !”
”Ih, mungkin kau tak mempunyai kemampuan melakukan hal itu,” ejek si dara baju merah. Tiba-tiba menaburkan
senjata rahasia jarum. Tetapi Ni Jin-hiong sudah siap. Ia mengerahkan lwekang untuk menutup seluruh jalan
darahnya.
Tring … tring… terdengar dering jarum terbentur benda keras dan jatuh berhamburan ke tanah.
Si dara baju merah terbeliak kaget. Ia tak mengira bahwa kepala pengawal Sin-bu-kiong memiliki ilmu Thiat-poh-san
( ilmu baju besi) yang tak tembus jarum Tui-hong-kiong.
Selagi dara itu masih terkesima, tiba-tiba Ni Jin-hiong menerkam dengan jurus Jip-hay-kin-kau (masuk ke laut
menangkap naga ). Marah sekali kepala pengawal Sin-bu-kiong itu , maka serangannyapun dilakukan dengan cepat
dan dahsyat sekali.
Tiba-tiba terdengar lengking bentakan, ”Berhenti!” Menyusul sesosok tubuh langsing melayang di udara.
Ketika orang itu tiba di tanah, kembali sekalian orang terbeliak matanya…..
Ternyata yang muncul itu ialah Te-it-ong-hui Hong-ing sendiri, diikuti oleh keempat dayangnya. Ni Jin-hiong dan
belasan pengawal baju ungu itu segera menghaturkan hormatnya.
“Sudahlah, jangan banyak peradatan!” Ma Hong-ing melambaikan tangannya.
Ni Jin-hiong segera menggunakan ilmu menyusup suara, “Adik Ing, mengapa kau tak tahu gelagat? Mengapa kau
mencampuri urusan ini. Kalau Te-kun sampai mengetahui hubungan kita berdua….”
Sahut Ma Hong-ing juga dengan ilmu menyusup suara, ” Lain-lainnya boleh kau bunuh, tetapi dara baju merah ini
jangan kau apa-apakan! ”” Wanita selalu lemah hati! Apakah kau tak takut membuat kapiran urusan besar?” masih Ni Jin-hiong menyanggah.
“Ni cong-houhwat!” bentak Ma Hong-ing dengan suara biasa. Tidak lagi menggunakan ilmu menyusup suara.
Sekalipun marah sekali, namun di hadapan para pengawal baju ungu terpaksa Ni Jin-hiong berlaku hormat kepada
‘permaisuri’ ini. Buru-buru ia mengiyakan.
“Dara baju merah itu hendak kubawa pergi….” Ma Hong-ing menuding pada Thian-leng dan Bu-song. “Mereka berdua
terserah padamu hendak mengurusnya. Lain-lainnya harus segera melapor kepada Te-kun.!”
“Baik, hamba segera mengerjakan!” Ni Jin-hiong mengiyakan. Kemudian ia menggunakan ilmu menyusup suara,
“Hong-ing, kau gila! Jika Te-kun menyelidiki, bagaimana kau hendak menjawab. Jangan karena urusan kecil
membikin kapiran urusan besar. Ada hubungan apa kau dengan budak perempuan ini hingga kau hendak
melindunginya!”
Ma hong-ing pun menyahut dengan ilmu suara, “Lain-lain urusan memang aku boleh berunding dengan kau. Tetapi
urusan ini, janganlah kau bertanya. Jika takut urusan kita ketahuan Te-kun, bunuh saja budak laki itu. Lebih baik
kalau dapat menemukan jejak kedua taci beradik Ki….. Entah bagaimana akibatnya, sekalipun harus mempertaruhkan
jiwa di hadapan Te-kun, tetap aku harus menolong anak peremouan ini!”
Habis itu segera ia memberi anggukan kepada si dara baju merah,” Ikutlah aku!”
“Kemana?” si dara baju merah tertawa dingin.
Ma Hong-ing tertegun. Buru-buru ia gunakan ilmu menyusup suara, “Hendak kutolong jiwamu dan mengantarkan
engkau keluar dari istana ini! Lekas!”
Sudah tentu dara baju merah itu tertegun. Heran ia mengapa Te-it-ong-hui ini begitu baik hati kepadanya. Setelah
merenung sejenak, segera ia memaberi isyarat mata kepada Thian-leng, serunya, “Mengapa tak ikut!”
Karena ingin bicara berdua dengan Ma Hong-ing untuk meminta penjelasan tentang asal-usul dirinya, maka Thian-
lengpun segera meloncat mengikuti. Lu Bu-song juga segera menyusul. Tetapi secepat itu Ni Jin-hiong dan
rombongan pengawal segera menghadang, “Tinggalkan jiwamu!”
Ni Jin-hiong memelopori. Ia mencengkeram dengan ke sepuluh jarinya. Thian-leng cepat menyabet siku lengannya.
Karena gentar akan ilmu pedang si anak muda, Ni Jin-hiong menarik kembali cengkeramannya dan berganti menusuk
dengan sebuah jarinya. Seketika itu dada Thian-leng seperti dilanda lwekang yang berat. Cepat-cepat ia menagkisnya
dengan pukulan Lui-hwe-sin-ciang.
Terjadi suatu benturan antara lwekang keras dan lwekang lunak. terdengar semacam suara mendesis, kedua macam
lwekang itu hampir buyar kekuatannya. Thian-leng masih merasakan tubuhnya seperti terserap lwekang dingin
sehingga ia menggigil dan terpaksa mundur selangkah.
Kedua pihak bergerak cepat sekali. Dua jurus serangan hanya berlangsung dlam sekejap mata saja. Celakanya, ketika
Thian-leng terhuyung mundur, belasan pengawal baju ungu itupun segera mengepungnya.
Di lain pihak Lu Bu-song pun mendapat rintangan berat. Ia mainkan pedangnya dan berhasil mendesak dua pengawal
baju ungu. Berbareng itu si dara berbalik dan menaburkan serangkum jarum Tui-hong-kiong ke arah Ni Jin-hiong.
Saat itu Ni Jin-hiong tengah memusatkan perhatiannyauntuk membinasakan Thian-leng. Serangan jarum dari
belakang oleh si dara baju merah itu membuatnya sedikit lambat menangkis. Apalagi jarum si dara baju merah itu
memang tak mengeluarkan suara. Betapapun Ni Jin-hiong berusaha hendak menghindar, namun tak urung pahanya
tertusuk juga. Sebatang jarum telah menembus pahanya. Sakitnya bukan kepalang. Karena marahnya ia berkaok-
kaok seperti kerbau. Dengan berputar tubuh, cepat ia menyerang si dara baju merah. Kacaulah jalannya
pertempuran, acak-acakan tak keruan.
“Berhenti!” tiba-tiba Te-it Ong-hui Ma Hong-ing membentak nyaring.
Belasan pengawal baju ungu meloncat mundur. Ni Jin-hiong pun terpaksa mendengus dan mundur beberapa langkah.
“Apa kau sudah bosan hidup ? “ tatap Ma Hong-ing kepada si dara baju merah.
Dara itu tertawa ringan, “Belum tentu kalian dapat merenggut jiwaku!”
Ma Hong-ing membanting-banting kaki, “Ah, sungguh tak nyana, kaupun menirukan perangainya……….sekalipun
mempunyai tiga kepala enam lengan, belum tentu kau dapat keluar dari istana Sin-bu-kiong!”
Dara baju merah itu mengerutkan alisnya keheranan….Bukan saja tingkah laku Ma Hong-ing itu tak wajar, tetapi
ucapannya….’tak nyana kaupun menirukan perangainya’…. makin membuatnya tak mengerti. Siapakah perempuan
yang dimaksudkan dengan ‘nya’ itu? Dan perlu apa ia harus mengucapkan kata-kata semacam itu?
Tiba-tiba dari dalam gedung terdengar suara genta bertalu. Ma Hong-ing tegang wajahnya, buru-buru ia gunakanilmu menyusup suara, “Budak perempuan, jika kau ingin hidup, lebih baik iktu aku tinggalkan tempat ini. Begitu Te-
kun datang bersama anak buahnya, tentu sudah terlambat…..!
Kutanggung tentu dapat mengantarkan engkau keluar. Kalau kau masih penasaran, di kemudian hari bolehlah kau
kemari lagi ! “
Rupanya kali ini termakan dalam hari si dara baju merah. Sahutnya dengan ilmu menyusup suara, “ Aku mau, tetapi
pemuda she Kang itupun harus bersama-sama diantar keluar! “
Berobahlah wajah Ma Hong-ing sesaat. Diam-diam ia menghela napas, “Keparat apakah kau juga jatuh hati
kepadanya…..” ia merenung sejenak, lalu cepat menjawab, “Baik! Kuturuti permintaanmu!”
Wajah Ni Jin-hiong mengerut. Marah dan gelisah, mengkal dan cemas. Tetapi di hadapan rombongan pengawal anak
buahnya, tak mau ia mengunjukkan reaksi apa-apa.
Rombongan baju ungu yang menjadi jago-jago kelas satu dalam istana Sin-bu-kiong itupun tercengang heran. Mereka
saling berpandangan. Mereka menyaksikan sendiri keeratan hubungan Ong-hui dengan si dara baju merah. Aneh,
mengapa Ong-hui tak membunuhnya tetapi kebalikannya malah hendak mengantarnya keluar? Hubungan apakah
antara Ong-hui dengan dara itu? Namun kedudukan Ong-hui dalam Sin-bu-kiong hanyalh di bawah Sin-bu Te-kun.
Wanita itu merupakan orang kedua yang berpengaruh. Walaupun pengawal baju ungu itu tak keruan perasannya,
namun mereka tak berani berbuat apa-apa.
“Serahkan ketiga budak itu kepadaku. Silakan kalian mundur semua!” tiba-tiba ma Hong-ing berseru keras kepada Ni
Jin-hiong.
Ni Jin-hiong gelagapan…..” Ini… hamba takut kepada Te-kun!” Buru-buru ia gunakan ilmu menyusup suara
mendamprat, ”Ma Hong-ing, apa kau benar-benar sudah gila ? “
Wajah Ma Hong-ingpun menggelap beku, bentaknya,”Te-kun belum hadir, akulah yang berkuasa. Apa kau berani
membangkang perintah Ong-hui?” Tetapi secepat itu juga ia segera menggunakan ilmu menyusup suara,”Barisan Bi-
hun-tin di belakang wisma Ing-jun-wan, cukup untuk menahan kedua budak laki perempuan itu. Saat itu bolehlah kau
menghancurkan mereka, aku tak perduli. Tetapi anak perempuan baju merah ini harus kuantar keluar istana!”
Dengan mengerutkan gigi, terpaksa Ni Jin-hiong mengiyakan. Belasan pengawal baju ungu itupun meloncat mundur
dan menghilang dalam kegelapan.
“Kaupun mundur juga!” bentak Ma Hong-ing kepada Ni Jin-hiong. Lalu menyusuli kata-katanya dengan ilmu
menyusup suara, “Hendak kubawa mereka melalui barisan Bi-hun-tin, pergilah kau mengatur persiapan dulu!”
“Harap Ong-hui berhati-hati, hamba mohon diri,” buru-buru Ni Jin-hiong memberi hormat dan ngeloyor pergi.
Kini dalam halaman yang luas itu hanya tinggal empat orang saja. Tiba-tiba thian-leng melangkah menghampiri Ma
Hong-ing.
“Mah….!” serunya lirih.
Ma Hong-ing terbeliak. Bu-song dan si dara baju merahpun terkesiap kaget! Tetapi pada lain saat wajah Ma hong-ing
pun membeku! “Tentulah kau sudah tahu bahwa aku bukan ibu kandungmu!”
Thian-leng mengakui Ma Hong-ing sebagai ibunya karena percaya akan keterangn wanita sakti Toan-jong-jin. Tetapi
sikap Ma Hong-ing yang sedemikian dingin membuatnya ngeri. Cepat-cepat Thian-leng menyusuli kata-katanya pula,
“Kutahu kau adalah ibu kandungku. Sekarang aku ingin tahu siapa ayahku dan sebab apa kau menetap di istana Sin-
bu-kiong menjadi istri Sin-bu Te-kun, mengapa….?”
“Aku tak butuh membohongimu! Aku tak butuh anak semacam engkau! Aku ingin mencacah-cacah tubuhmu agar
puas penasaran hatiku!”
Hati Thian-leng seperti disayat-sayat. Dia tak berdaya mengetahui hal yang sebenarnya. Dan sesaat timbullah
kesangsiannya akan ucapan wanita Toan-jong-jin. Menilik sikap Ma Hong-ing itu tak menyerupai seorang ibu
kandung.
“Kasih tahu aku hal yang sebenarnya!” teriak nya kalap.
Namun Ma Hong-ing hanya tertawa sinis, “Biarlah kau merasakan siksaan batin begitu. Selamanya tak sudi aku
memberitahukan kepadamu!”
Thian-leng mengertek gigi, “Tetapi aku sudah mendengar dari seseorang!”
“Siapa?” Ma Hong-ing terbeliak.
“Toan-jong-jin!” sahut thian-leng. Ia tertegun. Tak tahu ia siapa nama sebenarnya dari wanita sakti yang
menggunakan nama samaran Toan-jong-jin atau si Patah hati itu.“Toan-jong-jin….” Ma Hong-ing tergugu. “Bagaimana wajah orang itu?”
“Seorang wanita tua yang sudah berambut putih!”
Kendor ketegangan di dahi Ma Hong-ing, ujarnya,” Wanita tua…. mungkin kau menjumpai seorang wanita edan!”
Si dara baju merah terkejut. Wajahnya sebentar pucat, sebentar merah. Jelas bahwa ia menderita goncangan hati.
“Sekalipun aku tak tahu nama beliau, tetapi rupanya ia mempunyai hubungan erat dengan beliau. Tentunya kau
dapat menduga siapa orangnya!” seru Thian-leng.
“Apa hubunganku dengan dia?” Ma Hong-ing terkesiap.
“Beliau mengatakan bahwa kau pernah menjadi budaknya pada tujuh belas tahun yang lalu!”
Mendengar itu seketika pucatlah wajah Ma Hong-ing. Tubuhnya gemetar dan terhuyung mau rubuh. Mulutnya
meracau, “Dia? Apakah dia hendak sungguh-sungguh menyelidiki urusan ini…! Kata-katanya itu diucapkan seperti
orang mengoceh tak keruan sehingga si dara baju merah yang berada di dekatnyapun tak mengerti maksudnya.
“Benar, memang dia! Dan saat ini beliaupun sudah berada dalam istana ini!” seru Thian-leng.
Ma Hong-ing melonjak kaget, serunya,”Apa? Dia …. msauk ke dalam istana ini, dia…. berada di mana?”
Thian-leng mengerutkan alisnya. Diam-diam ia merasa aneh mengapa mendadak Ma Hong-ing begitu tegang ketika
mendengar kisah tentang Toan-jong-jin. Ah, tentu ada sesuatu yang terselip di antara kedua wanita itu!
“Entah beliau berada di mana, tetapi tentu masih berada di dalam istana ini…. Beliau seorang wanita yang memiliki
kepandaian sakti. Mau datang bisa datang seketika. Mau pergipun dapat lenyap seketika. Istana Sin-bu-kiong yang
begini kecil mana mampu menghalanginya?”
Tiba-tiba Ma Hong-ing mendongak dan tertawa nyaring, “Baik, biarlah datang! Agar segala urusan dapat dibereskan!”
“R upanya kau mempunyai hubungan yang berbelit-belit dengan Toan-jong-jin itu….!” tiba-tiba si dara melengkingkan
tawa ejekan kepada Ma Hong-ing.
”Aku tak kenal dengan segala macam Toan-jong-jin…! bentak Ma Hong-ing. Berpaling pula kepada Thian-leng
berserulah ia dengan menggertek gigi. “Jangan coba memburuk-burukkan namaku. Masakah aku pernah menjadi
budak orang. Lelucon yang edan….!”
“Habis mengapa kau perlu memelihara aku selama tujuh belas tahun? Mengapa kau tak mau memberitahukan nama
ayah bundaku ? Mengapa kau menjerumuskan aku supaya mati bersama Hun-tiong Sin-mo? Mengapa … ? ”
“Aku tak punya waktu ribut-ribut dengan kau…!” Ma Hong-ing membentak bengis.
“Lekas! Kalau ayal tentu terlambat!” Ma Hong-ing berseru kepada si dara baju merah. Tanpa menghiraukan reaksi
Thian-leng dan si dara baju merah lagi, iapun terus mengayunkan langkah. Keempat bujangnya segera mengiringkan.
Si dara baju merah memberi anggukan kepada Thian-leng lalu mengikuti Ma Hong-ing. Sementara itu Bu-song yang
masih terlongong-longong mendengari percakapan itu, begitu melihat Ma Hong-ing pergi, segera menggamit Thian-
leng, ”Goblok ! Mengapa tak lekas mengikuti wanita itu. Jika Te-kun sampai muncul kemari, tentu sukarlah lolos.
Rupanya Ong-hui itu memang bersungguh hati hendak menolong si gadis baju merah itu tadi. Ayo , kita ikuti ! ”
Thian-leng seperti tersadar dari mimpi. Cepat ia melesat.
Ma Hong-ing diiringi keempat dayangnya berjalan di sebelah muka, menyusur lorong yang berliku-liku.
Tetapi mereka berjalan perlahan dan setiap kali berhenti, seolah-olah kuatir ketahuan orang. Si dara baju merah
mengikuti di belakangnya. Tiap-tiap kali ia berpaling ke belakang menengok Thian-leng dan Bu-song.
Karena pikirannya dipusatkan untuk mengungkap asal-usul dirinya, Thian-leng tak sempat memperhatikan diri si dara
baju merah. Tetapi rasanya ia pernah kenal, tetapi entah di mana. Dia mengikuti di belakang si dara. Tiba-tiba timbul
keinginannya bertanya, ”Terima kasih atas bantuan nona tadi, entah nona….. ”
“Apa yang hendak kau tanyakan?” tukas dara baju merah itu.
“Rasanya aku pernah kenal dengan nona, tetapi entah di mana?” kata Thian-leng.
“Benar?” dara itu mengulum tawa, “mengapa aku tak merasa?”
Thian-leng terpaksa menyeringai, “Mungkin aku yang lupa….!” Entah siapakah nama nona…..”
“Cu Siau-bun…..!”Thian-leng seperti disengat lebah, ulangnya,”Cu….Siau….bun…!”
”Apa kau sungguh kenal padaku?” dara baju merah itu melengking.
Thian-leng sejenak tertegun, lalu menggelengkan kepala, ”Tidak! Hanya karena mendengar nama nona, maka
teringatlah aku akan seorang sahabat. Sejak berpisah, aku belum tahu rimbanya……!”
Thian-leng menghela napas panjang.
“Apakah kau teringat padanya?” Cu Siau-bun bertanya dengan nada bersemangat.
Thian-leng mengangguk, ” Sudah tentu, dia banyak melepas budi padaku, dan lagi…. ”
“Dan lagi bagaimana?” tukas Cu Siau-bun.
Thian-leng menghela napas sebelum menyahut, “Dia pernah mengucap janji indah kepadaku. Dikuatirkan di dalam
kehidupan sekarang hal itu sukar terlaksana, mungkin besok dalam penjelmaan yang akan datang!”
Wajah Cu Siau-bun berwarna merah, bisiknya, « Mungkin dalam kehidupan sekarang hal itu bisa terlaksana. Apabila
aku dapat mencari orang itu, apakah kau masih bersedia memenuhi janji itu? Bersama-sama mengasingkan diri dari
dunia keramaian dan hidup tenang sampai di hari tua. ? ”
Sampai beberapa jenak Thian-leng tak menyahut. Dipandangnya dara itu lekat-lekat. Cu Siau-bun risih, buru-buru ia
berpaling ke muka lagi.
“Di saat dan tempat seperti sekarang, mengapa nona mengemukakan hal itu?” tanya Thian-leng.
Cu Siau-bun menghela napas, ujarnya,” Aku hanya menruh simpati kepada kalian. Tetapi mungkin aku dapat
membantu kalian agar kalian dapat melaksanakan cita-cita kalian itu!”
Thian-leng menghela napas rawan. “Ah, mungkin dalam kehidupan sekarang hal itu sukar. Karena setiap saat jiwaku
terancam maut, dan aku kuatir sahabatku itupun sudah…. tiada di dunia lagi!”
Tiba-tiba Cu Siau-bun tertawa, ”Mengapa karena aku maka kau lantas teringat padanya?”
“Karena nama nona sama dengan dia! Sahabatku itupun bernama Cu Siau-bun, dan lagi…” ia berhenti sejenak, “maaf,
meskipun tubuhnya lemah dan sakitan, tetapi mirip sekali dengan nona…. inilah sebabnya kukatakan aku seperti
pernah kenal dengan nona!”
Cu Siau-bun merah mukanya. Ia menundukkan kepalanya dan tidak mengatakan apa-apa.
Pembicaraan kedua anak muda itu didengar jelas oleh Ma Hong-ing. Tetapi ia tak mau mencegah. Bu-song pun
menangkap pembicaraan itu. Juga seperti Ma Hong-ing ia mengerutkan dahi.
Tiba-tiba Ma Hong-ing berhenti. Tibalah mereka di muka sebuah gedung. Meskipun kala itu sudah musim rontok,
tetapi beberapa batang pohon dahlia masih menyiarkan bau yang harum. Pintu gedung yang bercat merah perlahan-
lahan terbuka. Setelah melepaskan pandangan ke sekeliling penjuru, Ma Hong-ing pun segera melangkah masuk.
Keempat dayang dan anak-anak muda itupun mengikuti di belakangnya.
Gedung itu sebuah gedung bertingkat yang luas dan indah. Lampunya terang benderang, kain jendela warna warni.
Gedung itu adalah Ing-ju-wan (wisma menyambut musim semi) yang didiami oleh Te-it Ong-hui Ma Hong-ing.
Ma Hong-ing segera membisiki keempat dayangnya. Keempat dayang itupun segera menuju ke ruang belakang.
Thian-leng gelisah. Bukan karena menghadapi bahaya maut, bukan pula takut memikirkan bagaimana akibatnya
nanti. Ia hanya merasa dadanya penuh sesak seolah-olah tertindih batu besar.
Sesaat kemudian tampak Ma Hong-ing bergegas ke arah Cu Siau-bun, “Dari belakang gedung kediamanku ini dapat
menembus keluar. Sekarang tiada tempo lagi untuk menahan kalian lebih lama, segeralah kalian keluar dari istana
ini.!”
Ma hong-ing segera mengitari sebuah loteng kecil lalu menuju ke bagian belakang. Setelah beberapa kali membelok,
tibalah di sebuah lorong yang gelap. Rupanya lorong itu disanggah oleh tonggak-tonggak balok besar. Tonggak-
tonggak itu dipenuhi semak-semak lebat sehingga pada malam hari makin tampak gelap.
Ma Hong-ing mempelopori di muka. Tiba-tiba Cu Siau-bun mendengus dingin, “Jangan cepat-cepat!”
Ma Hong-ing menghentikan langkahnya, “Mengapa?”
“Katakan terus terang, kau hendak mengatur perangkap apa ? “ Cu Siau-bun berseru bengis.Mata Ma Hong-ing berkaca-kaca, katanya dnegan nada gemetar, “Nak, aku tak memasang perangkap apa-apa,
kecuali hendak menolongmu keluar dari bahaya… “ Dua butir air mata keluar dari mata Ma Hong-ing, buru-buru ia
melengos ke samping.
Cu Siau-bun tergetar hatinya. Dari sinar matanya yang rawan, ia mendapat kesan bahwa air mata Ma Hong-ing itu
sungguh-sungguh air mata kesedihan. Beberapa perkataan yang sedianya hendak dilontarkan kepada Ma hong-ing
terpaksa tak jadi diucapkan.
Sebagai gantinya kini timbullah berbagai macam perasaan heran. Betapapun ia membuat analisa, namun tetap tak
memperoleh jawaban. betapapun kejam sikap Ma Hong-ing terhadap puteranya, namun mengapa wanita itu bersikap
begitu sayang sekali kepadanya. Mengapa wanita itu mengucurkan air mata? Mengapa menyebutnya pula dengan
kata-kata’anak’? Dan mengapa bertekad keras untuk menolong dirinya keluar dari Sin-bu-kiong? Ya , mengapa,
mengapa…..?
Berdenyut-denyut otak Cu Siau-bun merenungkan sikap dan tindakan Ma Hong-ing yang begitu aneh. Namun tak jua
ia dapat menyingkap tabir teka-teki yang menyelimuti diri Ma Hong-ing.
Tiba-tiba pikirannya jauh melayang ke puncak lamunan yang ngeri. Ah, tidak, tidak ! Tak dapat ia mempunyai ikatan
apa-apa dengan wanita yang ganas ini. Biar, biarlah ….. tak mau Cu Siau-bun menyelidiki rahasia apa yang terselip
antara Ma Hong-ing dengan dirinya. Biarlah hal itu terpendam. Ngeri ia membayangkan andaikata Ma Hong-ing itu
benar-benar mempunyai ikatan hubungan darah dengan dirinya!
Tiba-tiba ia menemukan suatu keputusan yang seram. Ya, tak ada jalan lain kecuali harus melenyapkan Ma Hong-ing.
Asal wanita itu mati, maka segala rahasia…-andaikan ada- biarlah turut lenyap selama-lamanya.
Saat itu tampak Ma Hong-ing membesut air matanya, kemudian berpaling ke arah Cu Siau-bun, “Nak, percayalah
kepadaku. Jika lambat tentu sudah kasip.”
Tetapi Cu Siau-bun sudah mempunyai keputusan. Sahutnya tertawa, “Apakah kau sungguh hendak menolong kami
dari bahaya?”
“Perlukah aku bersumpah?” Ma Hong-ing berkata dengan nada berat.
“Hal itu tak perlu, hanya saja…. “ Cu Siau-bun sejenak kerlingkan pandangannya ke arah lorong gelap, katanya,”
Lorong segelap itu, masakah tak tada perkakas rahasianya?”
“Nak, kau memang terlalu curiga,” Ma Hong-ing banting-banting kaki, “ Di dalam istana Sin-bu-kiong terdapat lebih
dari dua belas lorong yang segelap itu. Meskipun lorongnya berliku-liku dan sempit, tetapi dapat menembus keluar
istana……. ”, ia berhenti sejenak dan katanya pula, “Memang lorong itu dijaga oleh jago-jago tangguh, tetapi asal aku
mengantar kalian sampai di pintu istana, tentulah kalian selamat….”
Cu Siau-bun tertawa dingin, “Sin-bu-kiong dapat dimasuki dari empat penjuru. Ketika kami masuk, kami tak
menemukan rintangan apa-apa. Perlu apa kau harus memilih jalan gelap yang begini berbahaya?”
Wajah Ma Hong-ing mengerut gelap, “Memang Sin-bu-kiong bisa dimasuki, tetapi tak mungkin bisa keluar dari sini.
Te-kun sendiri yang mengatur perlengkapan istana ini. Tak peduli tokoh-tokoh silat yang bagaimana saktipun, sekali
berani masuk ke sini, jangan harap dia dapat keluar lagi.!”
Cu Siau-bun merenung sejenak, ujarnya,”Baik, tolong kau tunjukkan jalannya!”
Ma Hong-ing menghela napas longgar. Segera ia memelopori jalan di muka. Lorong gelap itu memang penuh dengan
lika-liku tikungan. Ada kalanya ke timur, adakalanya menikung ke barat dan setempo ke selatan , setempo ke utara.
Atap dari lorong itu penuh tertutup semak-semak lebat, sehingga sukar melihat langit.
Thian-leng dan Bu-song mengikuti di belakang. Berkat lwekangnya yang tinggi, sekalipun dalam malam gelap,
mereka dapat melihat terang. Tetapi di dalam lorong yang rindang dengan semak-semak lebat itu, merekapun tak
berdaya, hanya dapat melihat pada jarak beberapa meter saja.
Tiba-tiba terdengar suara bentakan nyaring. Di tempat sesempit itu, bentakan orang itu terdengar menggelegar
sekali, Thian-leng terkejut dan cepat siap mencekal pedangnya.
Sesosok bayangan hitam melesat keluar dari sebuah sudut lorong. dengan pedang terhunus, orang itu menghadang di
tengah jalan. bentaknya, “Siapa tengah malam berani melintasi Kian-koan? Apakah membawa perintah Te-kun?”
“Aku Ong-hui yang datang, perlu apa harus membawa perintah Te-kun? Apakah matamu buta?” Ma Hong-ing
mendamprat.
Orang itu mengeluh dan buru-buru berlutut minta maaf. ”Hamba tak tahu kalau Ong-hui yang datang ! ” Kemudian ia
bangkit dan berdiri dengan kepala menunduk.
Ma Hong-ing mendengus sambil melangkah masuk diikuti oleh rombongan anak muda itu. Orang itu tetap tak berani
mengangkat kepala. Setelah rombongan Ong-hui lewat, barulah ia bersembunyi lagi.Pada saat lewat di sisi pengawal itu, thian-leng memerhatikan wajah orang. Seorang tua berjubah ungu, mata
bersinar-sinar tajam, pelipisnya menonjol, menandakan seorang ahli lwekang yang berilmu tinggi.
Kira-kira berjalan lima-enam puluh tombak jauhnya dan sudah melalui tiga pos penjagaan yang semuanya dapat
dilalui Ma Hong-ing dengan mudah, tiba-tiba cu Siau-bun berhenti, serunya, “Masih berapa lama lagi kita harus
menyusuri?”
Ma Hong-ing menghentikan langkah, “Cepat, paling lama dua puluhan tombak lagi sudah tiba di luar istana!”
“Apakah masih ada penjagaannya?”
“Tidak asal….” Ma Hong-ing bersangsi.
“Kalau begitu tolong lekas sedikit saja!” buru-buru Cu Siau-bun meminta.
Baru Ma Hong-ing pun berputar dan hendak melangkah, tiba-tiba Cu Siau-bun taburkan tangannya ke punggung Ma
Hong-ing. Karena tak menduga, menjeritlah Ma Hong-ing dan rubuh di tanah….. !
Jilid 7 .
Thian-leng dan Bu-song terkejut juga. Mereka tak menyangka bahwa Cu Siau-bun akan berbuat begitu. Mereka buru-
buru menghampiri Ma Hong-ing.
Cu Siau-bun sendiri walaupun sudah memutuskan untuk membunuh Ma Hong-ing, tetapi dikala melontarkan jarum
entah bagaimana hatinya keder, tangannya lemas sehingga agak mencong.
Sebelum Thian-leng dan Bu-song menolong, Ma Hong-ing sudah dapat berdiri sendiri. Meskipun punggungnya
tertusuk tiga batang jarum hingga tembus sampai ke dada, tetapi karena tangan Cu Siau-bun mencong, maka tidak
sampai mengenai jalan darah yang berbahaya.
Ma Hong-ing pucat seperti kertas, setelah terengah-engah sebentar, ia menatap Cu Siau-bun, ”Kau....... sungguh
ganas.......”, tiba-tiba wajahnya berobah dan berkata pula tergagap, “tetapi tak dapat mempersalahkan engkau. Aku
...aku memang pantas mati dan seharusnya mati di tanganmu .......!” selanjutnya ia berbicara tak jelas sehingga
Thian-leng dan Bu-song tak mendengar apa yang dikatakan itu.
Cu Siau-bun pun juga. Ia tak dapat berkata sepatahpun. Perasaan hatinya berkecamuk keras. Tak tahu ia apakah
tindakannya itu benar atau salah. Ia hanya merasa mempunyai keharusan untuk membunuh wanita itu. Ia hanya
menuruti suara hatinya, bahwa wanita itu tak boleh hidup bersama-sama di dunia!
Tetapi mengapa pada detik-detik ia melaksanakan keputusannya itu mendadak sontak tangannya lemas, hatinya
goncang? Hal itu ia tak tahu, tak mengerti apa sebabnya!
Thian-leng menghela napas kecil, serunya tersekat, “Kau…..terluka?”
Tiba-tiba Ma Hong-ing membeliakkan matanya dan menyahut dingin, “Aku tidak mati! Tak usah kau tanyakan!”
Thian-leng terkesiap. Ia tercengang. Wanita di hadapannya itu, sungguh seorang wanita yang misterius. Kalau
menurut Toan-jong-jin, Ma Hong-ing adalah ibu kandungnya. Tetapi mengapa wanita itu sedemikian dingin sikapnya.
Mengapa wanita itu menganggap dirinya seolah-olah sebagai musuh bebuyutan? Kapankah ia dapat menyingkap tabir
yang menyelimuti dirinya? Thian-leng tercekam dalam kabut misterius yang makin gelap!
Ma Hong-ing mendekap dada menahan sakit. Tetapi wajahnya kembali membesi, dengusnya, “Ayo, jalan lagi….!”
Dengan terhuyung-huyung wanita itu melanjutkan perjalanan lagi. Diam-diam Cu Siau-bun menyesal. Tanpa bicara
apa-apa, ia mengikuti.
Tak lama kemudian tibalah mereka di muka sebuah pintu besi yang menutup jalanan. Ma Hong-ing segera memijat
sebuah alat yang berbentuk seperti gelang kecil. Terdengarlah bunyi berderak-derak dan terbukalah seketika sebuah
pintu kecil. Pintu itu hanya cukup dimasuki seorang. Pun tidak bisa masuk dengan tegak, tetapi harus membungkuk.
“Sekeluarnya dari lorong berdinding besi ini kita bakal tiba di luar istana yang gelap pintunya!” kata Ma Hong-ing
sambil mendahului jalan.
Kali Cu Siau-bun tak bersangsi. Ia terus mengikuti saja. Tetapi baru ia melangkah melalui pintu besi itu, tiba-tiba
terjadilah suatu peristiwa yang mengejutkan!
Habis melalui pintu besi, Ma Hong-ing segera berhenti menjaga di samping pintu. Karena mengira Ong-hui hendak
melindungi sampai rombongan muda-mudi itu selamat melalui pintu besi, maka tanpa curiga apa-apa Cu Siau-bun
pun segera ayunkan langkah.
Demikianlah Thian-leng dan Bu-songpun segera mengikuti tindakan dara baju merah itu. Begitu Cu Siau-bun sudahmasuk, maka Thian-leng dan Bu-song pun melangkah maju ke pintu. Sekonyong-konyong Ma Hong-ing mengangkat
tangannya menghantam kepada kedua muda-mudi itu.
Daarr…. karena tak menyangka, Thian-leng dan Bu-song termakan pukulan Hian-im-ciang dari Ma Hong-ing dengan
jitu. Tubuh kedua anak muda itu serasa dilanda oleh hawa dingin, darah merekapun bergolak sehingga terhuyung-
huyung mundur beberapa langkah. Dan pada saat itu tiba-tiba pintu besi tertutup pula. Thian-leng dan Bu-song baru
hendak berusaha memperbaiki keseimbangan tubuh, sekonyong-konyong tanah yang mereka injak itu amblas dan
terceburlah mereka ke dalam sebuah lubang jebakan yang gelap….
Cu Siau-bun kaget sekali. Buru-buru ia hendak menerjang keluar untuk menolong Thian-leng, tapi sudah terlambat.
Pintu besi itu sudah tertutup. Ternyata pintu itu ditutup oleh dua orang penjaga.
Pada saat melontarkan pukulan, Ma Hong-ing memberi isyarat kepada kedua penjaga supaya segera menutup pintu….
Kini Ma Hong-ing mendekap dadanya yang terluka dengan kedua tangannya. Rupanya karena menggunakan banyak
tenaga untuk memukul, maka lukanyapun goncang. Mulutnya gemetar dan tiba-tiba ia muntahkan segumpal darah
segar!
“Apakah Ong-hui masih ada perintah?” kedua pengawal baju biru segera menanya.
Ma Hong-ing mengembalikan napasnya dulu. Ia paksakan untuk berdiri tegak, serunya. “Cabut pedang!”
Kedua pengawal saling berpandangan. Tampaknya mereka tekejut, tetapi tak berani membantah. Keduanya segera
mencabut pedang masing-masing.
“Bunuh diri kalian sendiri!” Kembali Ma Hong-ing memberi perintah singkat.
Berobahlah wajah kedua pengawal itu. Mereka kembali berpandangan satu sama lain.
“Kalian berani membantah?” bentak Ma Hong-ing.
Kedua pengawal itu mengangkat kepala, serunya dengan gemetar, “Hamba merasa tak berdosa, mohon Ong-hui suka
melimpahkan ampun!”
Ma Hong-ing mendengus, “Membunuh kalian mengapa harus membuktikan kesalahanmu…..” berkilauan mata Ma
Hong-ing memancarkan hawa pembunuhan, bentaknya, “Jika kesabaranku habis, mungkin kalian tak mempunyai
kesempatan untuk melakukan perintah bunuh diri lagi!”
Wajah kedua pengawal itu pucat pasi. Namun tanpa ayal lagi mereka segera menusukkan pedang ke dadanya sendiri.
Terdengar dua sosok tubuh mengelepar jatuh ke tanah. Kedua pengawal itupun melayang jiwanya.
Ma Hong-ing terengah mengembalikan napasnya, lalu menunjuk ke muka, “Kita jalan lagi! Di sanalah pintu Kian-kwan
yang gelap! Lewat pintu itu sudah di luar istana Sin-bu-kiong.”
Tiba-tiba Cu Siau-bun mencabut pedang dan diancamkan ke dada Ma Hong-ing, bentaknya, “Lekas buka pintu besi
itu!”
Dingin-dingin Ma Hong-ing menyahut, “Dibukapun tak ada gunanya. Anak itu sudah terjerumus ke dalam neraka di
bawah tanah. Mungkin saat ini kedua budak itu sudah mati! Kalau masih hiduppun tentu sudah dibunuh penjaga di
situ!”
“Perempuan siluman, mengapa kau begitu ganas?” saking geramnya geraham Cu Siau-bun sampai bercatrukan.
Sebaliknya Ma Hong-ing malah tenang sekali sahutnya, “Tidak kenapa-kenapa! Tak kuijinkan kau mencintai budak
lelaki itu. Kecuali membunuhnya rasanya tiada cara lain lagi……”
Cu Siau-bun tiba-tiba memutar tubuhnya. Ia memukul dan menebas pintu besi itu. Tetapi betapapun ia habiskan
tenaganya, pintu besi itu tak bergeming sedikitpun jua. Matanya yang mengembang air mata menyinarkan gelora
pembunuhan yang menyala-nyala. Cepat ia berputar dan mengancamkan pedangnya ke dada Ma Hong-ing lagi,
bentaknya, “Jika kau tak mau membuka pintu besi ini, segera akan kubunuh!”
Ma Hong-ing tak mau melawan. Ia memeramkan mata dan menantang, ”Kalau mau membunuh, silakan ! Tetapi
jangan harap kau dapat menyuruh aku membuka pintu itu…”, ia berhenti sejenak untuk mengatur napasnya lagi,
kemudian berseru pula, ”Mungkin aku sudah diharuskan mati di tanganmu. Dan memang hanya mati di tanganmu
baru tenteram hatiku….. ”
Lagi-lagi Cu Siau-bun tekejut. Tampaknya wanita itu memang mempunyai hubungan rahasia dengan dirinya.
Membayangkan hal itu, ngerilah hatinya. Benaknya penuh lalu –lalang renungan……”Ah, lebih baik kubunuh saja!
Hanya kalau wanita ini mati, maka barulah rahasia itu terkubur selama-lamanya,” Akhirnya keputusan untuk
melenyapkan wanita itu timbul kuat kembali.
Sebenarnya ia tak tahu apakah rahasia terpendam itu. Hanya ia merasa bahwa hal itu tentu tak menguntungkandirinya, “Bunuh, bunuhlah saja….!” demikian sang hati meronta-ronta mendesak sang pikiran yang masih ayal.
Tiba-tiba dengan sekuat tenaga, ia menusuk dada Ma Hong-ing sekuat-kuatnya. Dan Ma Hong-ingpun hanya
memeramkan mata menyerahkan jiwanya….
Sekonyong-konyong pada detik ujung pedang menyentuh dada Ma Hong-ing, Cu Siau-bun merasa lengannya seperti
ditarik oleh suatu tenaga kuat yang tak kelihatan. Terkejutnya bukan kepalang. Cepat-cepat ia berpaling ke belakang
dan lemas lunglailah api pembunuhan yang membakar hatinya itu.
Entah kapan dan bagaimana caranya, tahu-tahu seorang wanita tua berambut putih dan wajahnya sudah keriput
tampak tegak berdiri di belakangnya. Seperti seekor domba yang melihat induknya, maka Cu Siau-bunpun segera
loncat menubruk ke dada wanita itu seraya menangis, “Mah….”
Wanita itu membelai rambut Cu Siau-bun. “Apakah kau menderita kesukaran nak?”
“Dia…… dia mungkin telah dicelakai mereka!” Cu Siau-bun tersedu-sedu.
“Dia….. dia siapa?”
“Kang Thian-leng………,” sahut Cu Siau-bun. “Mah kemanakah kau tadi? Mengapa tak membantu kami?”
Wanita itu mengerutkan dahi, “Sekarang belum saatnya aku menunjukkan diri. Aku hendak menyelidiki secara diam-
diam, baru nanti turun tangan menyelesaikan seluruh persoalan….”
“Tetapi karena kau tak mengamat-amati kami, Kang Thian-lengpun mati…..”, tenggorokannya tersekat isak tangisnya
sehingga tak dapat melanjutkan kata-katanya.
Kemudian ia menyusupkan kepalanya ke dada sang ibu dan meratap iba. “Kalau dia mati, akupun tak mau hidup
lagi!”
“Nak, janganlah kau mengucapkan kata-kata yang melemahkan semangat hidupmu. Apalagi budak itu belum tentu
terus begitu cepat mati….!”
“Bagaimana mamah tahu?”
“Lupakah kau bahwa aku mengerti juga tentang ilmu meramal ?”
”Apakah kau telah melihat nasibnya?”
Wanita itu paksakan tertawa, “Tak usah diramal lagi, jelas bahwa wajahnya tak memantulkan tanda kenaasan!”
Agak longgar hati Cu Siau-bun, namun ia tetap mendesak ibunya, “Kalau begitu baiklah kita lekas menolongnya!”
“Tak perlu, karena tentu sudah ada orang yang menolongnya!” wanita itu tersenyum.
“Aku tak percaya,” Siau-bun menyengit, “mungkin saat ini dia sudah meninggal!”
“Percayalah omonganku, nak! Tadi aku telah berjumpa dengan seseorang!”
“Siapa?”
“Ka……kekmu!”
“Kakek….?” Siau-bun tertegun, “Mengapa mamah tak pernah mengatakan sebelumnya? Apakah beliau sakti?” Ibunya
tak suka banyak omong. Ia menghela napas perlahan.
“Mamah mempunyai alasan yang sukar diutarakan. Baiklah kau jangan banyak tanya lagi!”
“Apakah kakek yang menolongnya?”
“Tidak, tetapi aku dan kekekmu telah mempersiapkan rencana untuk menolongnya. Jangan kuatir!”
Siau-bun tertegun diam. Sekalipun hatinya belum longgar seluruhnya, tetapi terhadap ibunya ia menaruh
kepercayaan besar. Ia percaya setiap patah kata dari ibunya seperti orang memuja dewa.
Ibunya seorang wanita yang keras tetapi mengasihinya dan terutama sang ibu itu tak pernah berbohong.
Sekalipun manja tetapi Siau-bun mengindahkan ibunya.
Wanita itu menghela napas. Tiba-tiba ia melangkah maju menghampiri Ma Hong-ing. Betaknya, “Apakah kau masih
kenal padaku……?”
ooo000ooooSejak wanita itu muncul, Ma Hong-ing terlongong-longong berdiri di samping. Ditatapnya wanita tua itu dengan penuh
perhatian. Diam-diam ia terkejut. Kalau tak salah ia seperti kenal siapa wanita itu. Namun tak dapat ia membuktikan
dugaannya itu.
Baru setelah wanita itu membentaknya, Ma Hong-ing gelagapan, serunya, ”Kau……kau..ini……!”
Wanita tua itu mendengus dingin. Tiba-tiba ia mengusap mukanya. Hai….. kulit mukanya bergulung seperti dikupas.
Ah….. , kiranya ia memakai kedok dari kulit orang. Dan hilangnya muka orang tua berwajah keriput itu, tampaklah
wajahnya yang asli.
Seorang wanita yang cantik sekali. Walaupun usianya sudah mendekati tiga puluh enam-tiga puluh tujuh tahun,
namun kecantikannya masih memancar gilang-gemilang….
Ma Hong-ing terbeliak kaget, serunya tergugu, “Ah, kiranya memang kau ….Cu Giok-bun!”
Wanita yang ternyata bernama Cu Giok-bun itu terpukau dalam badai perasaan yang melanda hatinya. Dia tegang,
hatinya bergolak-golak!
“Tujuh belas tahun tak bertemu, ternyata kau masih dapat mengenali diriku,” akhirnya meluncurlah kata-kata dari
mulutnya.
“Jangankan tujuh belas tahun, tujuh puluh tahunpun aku tetap mengenalimu. Siang malam aku selalu terkenang
padamu…….” Ma Hong-ing menjerit geram. “Ya, ingin sekali kumakan dagingmu, membeset kulitmu!” tiba-tiba Ma
Hong-ing menjerit pula dengan kalap.
Cu Giok-bun mengerutkan alisnya, “Itulah sebabnya aku sengaja datang kemari! Mengapa kau membenci aku?
Mengapa kau tak sayang menyuruh puteramu mati bersamaku…” sejenak ia menggerakkan matanya, kemudian
melanjutkan berkata pula, “Ingatlah, bahwa kita pernah tinggal bersama selama delapan tahun. Hubungan kita
selama itu cukup baik, aku tak pernah memperlakukan kau secara tak baik dan kaupun tak pernah mendendam
padaku. Mengapa……..”
Kata-katanya terputus oleh derai tertawa Ma Hong-ing yang melengking panjang penuh kecongkakan.
“Mengapa? Karena hendak membalas sakit hati!” bentak Ma Hong-ing, “selama delapan tahun kusiksa diriku menjadi
budakmu karena hendak mencari kesempatan membalas sakit hati. Sayang selama itu tak pernah kudapatkan
kesempatan itu…”
“Sebelum menjadi pelayanku, kau toh belum kenal padaku? Mengapa kau mempunyai dendam sakit hati?” Cu Giok-
bun mengerutkan dahi.
Kembali Ma Hong-ing tertawa menyombong.
“Mungkin kau memang lupa. Kau telah membunuh ratusan jiwa manusia, sudah tentu tak teringat akan peristiwa kecil
itu…..” seru Ma Hong-ing,”tetapi yang jelas, seluruh empat belas jiwa keluargaku, telah mati di tanganmu!”
Wajah Cu Giok-bun mengerut gelap, serunya sengit, “Meskipun sejak kecil aku sudah belajar silat, tetapi belum
pernah membunuh seorang manusia. Apalagi ketika kau menjadi pelayanku, aku masih kecil, mana dapat membunuh
orang!”
“Memang bukan tanganmu yang membunuh! “ teriak Ma Hong-ing makin sengit, “tetapi ketahuilah bahwa ‘lidah itu
lebih tajam daripada pedang’. Mungkin keluargaku mati karena pengaruh lidahmu!”
Cu Giok-bun makin heran, serunya, ”Aku sungguh tak ingat hal itu. Lebih baik segera jelaskan. Jika benar aku yang
membunuh keluargamu, silakan kau melakukan pembalasan dendam sesukamu!”
Ma Hong-ing tertawa hina, “Aku tak suka bicara yang tak berguna! Saat ini aku jatuh di tanganmu, adalah nasibku
yang jelek. Jika kau takut terancam bahaya di kemudian hari, lekas bunuh aku!”
Cu Giok-bun tertawa getir, “Telah kukatakan, tak tahu aku di mana letaknya permusuhan kita ini. Perlu apa aku harus
membunuhmu……” matanya berkilat-kilat dan nadanya berubah serius. “Aku ingin mengetahui duduk perkara yang
sebenarnya. Apakah dendammu kepadaku itu ? Mengapa kau mati-matian hendak mencari balas padaku? Mengapa
kau tahu bahwa aku adalah Hun-tiong…., “ tiba-tiba ia mengganti kata-katanya, “Tuduhanmu aku takut menerima
pembalasanmu, sungguh menggelikan. Asal kau mau mengatakan sejujurnya, segera aku angkat kaki dari sini.
Silakan kau mengatur rencana pembalasanmu. Aku Cu Giok-bun setiap saat dan di manapun saja selalu bersedia
menerima kedatanganmu!”
Lagi-lag Ma Hong-ing tertawa angkuh, ”Karena tak dapat melakukan pembalasan, maka biarlah urusan yang kau ingin
tahu itu menyiksa batinmu. Betapapun kau hendak bertanya, jangan harap aku sudi mengatakan !”
Alis yang melengkung indah di dahi Cu Giok-bun menjungkat ke atas. Bentaknya, “Aku tak mau membunuhmu, tetapi
hendak menyuruhmu merasakan siksaan. Coba saja sampai berapa lama kau mampu bertahan….”
Tiba-tiba Cu Giok-bun mencengkeram bahu Ma Hong-ing. Ma Hong-ing tetap diam saja tak mau menghindar. Hanya
tubuhnya bergoyang-goyang dan tiba-tiba ia muntah darah. Ia menjamah sebatang pohon kecil untuk menjagakeseimbangan tubuhnya. Dengan susah payah barulah ia dapat berdiri tegak pula.
Tangan Cu Giok-bun yang sudah diulur terpaksa ditarik kembali.
“Siau-bun , apakah kau melukainya…. ? ” serunya kepada si dara baju merah.
Siau-bun mengangguk. Entah mengapa tiba-tiba ia merasa kasihan kepada Ma Hong-ing. Timbullah rasa simpatinya
kepada wanita yang terluka itu.
“Mah, ampunilah dia!” serentak ia mintakan kebebasan kepada ibunya.
Cu Giok-bun merenung. Sejenak kemudian berseru bengis, “Kalau begitu terang Thian-leng adalah puteramu. Tetapi
mengapa kau begitu tega menyuruhnya mati?”
“Mah, dia bukan putera wanita ini. Aku mempunyai beberapa bukti!” tiba-tiba Siau-bun menyeletuk.
“Siau-bun, jangan banyak mulut!” bentak Cu Giok-bun dengan suara tegang.
Sambil menahan rasa sakit, Ma Hong-ing kertak giginya memaksakan diri berseru, ”Puteraku sendiri atau bukan ,
bukanlah urusanmu! ”
Cu Giok-bun menghela napas longgar.
”Kalau begitu pemuda itu benar-benar anak kandungmu sendiri?” serunya.
Ma Hong-ing menengadahkan kepalanya dan tertawa congkak. Serunya, “Kalau benar, mau apa? ”
Cu Giok-bun tertawa dingin, “Kalau begitu, pertanyaanku cukup sampai sekian saja. Apakah dendammu kepadaku itu
tepat atau palsu, aku tak mau membunuhmu. Aku hendak menunggu kau datang untuk menuntut balas….”
“Siau-bun , mari kita pergi,” ia berpaling dan ajak si dara baju merah.
”Pergi…..?” Siau-bun cebikan bibir, “Apakah tak dapat menolongnya dan membawanya keluar bersama?”
Cu Giok-bun berobah dingin wajahnya, “Nak, kau jangan terlalu manja. Mamah sudah mengatur…..”
Kata-kata Cu Giok-bun terputus oleh munculnya tiga sosok bayangan yang melayang dari atas. Cu Siau-bun terkejut.
Ternyata yang datang itu ialah Ni Jin-hiong dengan kedua orang pengawal baju ungu. Ketiga orang itu sama
menghunus pedang.
Ketika melihat seorang wanita cantik, Ni Jin-hiong terkesiap. Tetapi pada lain saat ia membentak,” Siapa kau…….?”
Cu Giok-bun mendengus hina, “Kau tak layak bertanya!”
Ni Jin-hiong mengerutkan alis, berpaling kepada Ma Hong-ing, “Hai, apakah Ong-hui terluka?”
Ma Hong-ing tampak gugup, “Lepaskan mereka, kau ….. mengapa datang …. kemari?”
“Hamba mendapat perintah Te-kun, tak boleh melepaskan orang. Karena tugas, terpaksa hamba tak dapat
meluluskan perintah Ong-hui,” sahut Ni Jin-hiong. Habis itu ia mengumpulkan tenaga dan sekoyong-konyong
menghantam.
Kedua pengawal baju ungupun , yang satu hendak menyerang punggung Cu Giok-bun, yang satu hendak menerjang
Cu Siau-bun.
“Berhenti! Kalian bukan tandingannya!” tiba-tiba Ma Hong-ing membentak keras.
Ni Jin-hiong tertawa congkak, “Tak peduli dia orang bagaimana, sekali jatuh ke dalam tanganku, tentu tamat
riwayatnya.”
Di dalam tertawa itu, ia sudah mengerahkan lwekang ke tangannya. Dengan sekuat tenaga ia menghantam. Sebagai
kepala penjaga istana Sin-bu-kiong, sudah tentu Ni Jin-hiong terpilih sebagai jago yang paling tinggi sendiri
kepandaiannya. Ilmu pukulan lwekang dingin Hian-im-ciang telah diyakinkan dengan sempurna.
Ia tak kenal siapa wanita pertengahn umur yang cantik itu. Tetapi ia yakin wanita itu tentu tak kuat bertahan dalam
tiga buah jurus serangannya. Bahkan mungkin sekali pukulan saja, wanita itu sudah mampus. Maka dengan
keyakinan itulah ia tak menghiraukan peringatan Ma Hong-ing. Cu Giok-bun hanya tertawa dingin. Sikapnya acuh tak
acuh.
Diam-diam Ni Jin-hiong terkesiap. Buru-buru ia melipatgandakan lwekang yang dilontarkan pada pukulannya itu.
Seketika berhamburan semacam hawa dingin-dingin seram.Adalah ketika tenaga dingin itu menyambar ke muka Cu Giok-bun, barulah wanita itu menggerakkan tangan
menyongsong ke muka. Berbareng dengan itu tangan kirinya dibalikkan ke belakang untuk menutuk kedua pengawal
baju ungu yang menyerang dari belakang itu.
Seketika terdengar erang rintihan perlahan dan timbullah beberapa peristiwa mengejutkan!
Sama sekali Ni Jin-hiong tak mengetahui ilmu pukulan apa dan tenaga apa yang dilancarkan si wanita itu, tetapi ia
merasa suatu aliran hawa panas melanda semacam banjir lahar. Bukan saja lwekang dingin Hian-im-sicang sirna
seketika, bahkan hawa panas itu masih menembus menyerang dadanya! Ia terkejut sekali.
Saat itu baru ia menginsyafi kalau berhadapan dengan seorang wanita sakti. Buru-buru ia hendak menghindar, tetapi
sudah tak keburu lagi. Dadanya merasa di tampar taufan panas, darahnya bergolak dan tubuhnya serasa dibakar. Tak
mampu lagi ia berdiri tegak. Tubuhnya terhuyung-huyung mundur sampai beberapa langkah. ‘Huak….’ segumpal
darah panas muntah dari mulutnya…..
Kedua pengawal baju ungu lebih mengenaskan lagi keadaannya. Keduanya hanya dapat mengerang perlahan
sebentar, karena batok kepalanya keburu pecah. Otaknya berhamburan kemana-mana. Mereka rubuh menjadi setan
tanpa kepala….
Ternyata sebelum pukulan mereka melayang, tutukan jari Cu Giok-bun tadi telah menghamburkan angin keras.
Sekeras palu besi yang menghantam kepala mereka. Betapapun kerasnya batok kepala, tetapi tetap hancur diadu
dengan palu besi!
Sekali gerak Cu Giok-bun dapat melukai kepala penjaga Sin-bu-kiong dan membunuh dua orang pengawal, benar-
benar menakjubkan. Wanita cantik itu tampak tegak berdiri, seolah-olah tak terjadi apa-apa.
Tanpa menghiraukan bagaimana jadinya, Ni Jin-hiong segera memeramkan mata menyalurkan darahnya. Untung Cu
Giok-bun tak mau berlaku ganas. Dipandangnya kepala penjaga istana Sin-bu-kiong itu dengan tertawa hina.
Beberapa kejap kemudian, Ni Jin-hiong merasakan darahnya sudah normal kembali. Begitu membuka mata ia segera
berseru, “Terima kasih atas kemurahan hatimu tak mau menyerang lagi. Tetapi hinaan hari ini kelak pasti aku
membalasnya. Harap tinggalkan namamu!”
Cu Giok-bun hanya perdengarkan tawa hina tak mau menyahut.
Tiba-tiba Ma Hong-ing menghela napas dan menyeletuk, “Dia adalah tokoh terkenal jaman ini, Hun-tiong Sin-mo!”
“Hun-tiong Sin-mo…..!” Ni Jin-hiong menjerit kaget. Ia terhuyung-huyung beberapa langkah lagi.
“Hun-tiong Sin-mo, mengapa dia….”
“Hari ini kuberi ampun kalian, tetapi…….” tiba-tiba Cu Giok-bun berseru bengis, “jika berani membocorkan rahasia ini,
segera akan kuhancur leburkan tubuh kalian!”
Ni Jin-hiong seketika lemas lunglai macam balon kempes. Hampir saja ia putus jantungnya. Ia sadar bahwa cita-
citanya untuk menuntut balas tentu hanya menjadi lamunan kosong belaka.
Kembali Cu Giok-bun perdengarkan tawa hina. Ia menarik Siau-bun,”Ayo, kita pergi!”
Walaupun segan, namun Siau-bun tak dapat membantah lagi. Sekali enjot tubuh, kedua ibu dan anak itu lenyap dari
pandangan !
Ni Jin-hiong melirik ke arah kedua pengawal yang sudah menjadi mayat itu, mulutnya mengoceh seorang diri, “Hun-
tiong Sin-mo….mengapa hanya seorang wanita yang begitu cantik…. ?” Tiba-tiba ia berpaling ke arah Ma Hong-ing,
“Benarkah keteranganmu ini?”
Ma Hong-ing menyahut hambar, “Bukankah dulu pernah kukatakan padamu?”
Ni Jin-hiong mengerutkan alis, “Kau hanya mengatakan kalau mempunyai dendam permusuhan besar dengan Hun-
tiong Sin-mo, tetapi tak pernah menerangkan bahwa Hun-tiong Sin-mo itu hanya seorang wanita, apalagi masih
muda……”
Ia termenung sejenak, ujarnya pula, “Menurut cerita, Hun-tiong Sin-mo itu sudah berusia sembilan puluhan tahun
dan lagi dia itu seorang lelaki. Adik Ing, bagaimanakah hal ini...”
Agak tak sabar Ma Hong-ing menjawab, “Hal itu sekarang enggan aku menceritakan. Apalagi sekalipun kuterangkan
juga tak dapat sejelas-jelasnya.” Ia tertawa rawan, serunya, “Apakah anak itu sudah kau bunuh?”
“ Belum …….”Ni Jin-hiong terkejut, “pada saat hendak kubunuh, tiba-tiba Te-kun mengirim perintah anak itu harus
ditangkap hidup-hidup dan tak boleh dibunuh, maka…..”
Seketika pucat pasilah wajah Ma Hong-ing, serunya gugup, “Di mana dia sekarang?”“Di dalam penjara Cui-lo (penjara air). tetapi Te-kun telah menitahkan kedua Su-cia untuk melihatnya !”
“Celaka! Urusan kita tentu bakal ketahuan Te-kun……” Ma Hong-ing menghela napas.
Mendengar itu pucatlah wajah Ni Jin-hiong, ia menggelengkan kepalanya, ” Sekalipun budak itu tidak menceritakan
urusan kita kepada Te-kun. Tetapi peristiwa malam ini, tentu sukar kita pertanggung jawabkan kepada Te-kun.
Menilik gelagat, dikuatirkan…… ” ia tak melanjutkan kata-katanya melainkan menghela napas panjang.
”Kalau begitu kita harus mencari akal, masakah kita mandah saja menunggu hukuman Te-kun…..” kata Ma Hong-ing.
Tiba-tiba mata Ni Jin-hiong berkilat, serunya, ”Sekarang hanya ada sebuah akal. Kita tinggalkan istana ini!”
“Kau maksudkan melarikan diri?”
“Benar, kita lari sejauh-jauhnya. Tinggalkan segala dendam permusuhan, mencari tempat yang sunyi, jauh dari
masyarakat ramai……”
“Mungkin tidak leluasa! Apalagi aku…..”
”Adik Ing, kalau terlambat tentu kasip. Mungkin Te-kun akan keluar sendiri…… percayalah, adik Ing, marilah kita
lewatkan sisa hidup kita….. ”
Tiba-tiba kata-kata Ni Jin-hiong itu terputus oleh sebuah suara yang bernada dingin, ”Siapa yang kau sebut adik Ing
itu?”
******
Penjara Air
Ni Jin-hiong dan Ma Hong-ing terkejut. Tubuh mereka menggigil gemetaran. Suara itu datangnya secara tiba-tiba
sekali. Baru sekejap mata Ni Jin-hiong tadi berpaling ke belakang, tetapi tak melihat suatu apappun. Baru ia bicara
dengan Ma Hong-ing tahu-tahu terdengarlah suara dari sampingnya. Ketika Ni Jin-hiong memandang dengan
seksama, kejutnya bukan alang kepalang !
Seorang pendek kurus, berjenggot kambing dan mengenakan jubah warna merah, tengah berdiri tak jauh di
sebelahnya!
Itulah Sin-bu Te-kun!
Mata Sin-bu Te-kun berkilat-kilat memancarkan api memandang kepada Ni Jin-hiong dan Ma Hong-ing.
Tiba-tiba ia membentak, ”Mengapa tak menjawab pertanyaanku itu?”
Semangat Ni Jin-hiong serasa terbang, mukanya pucat seperti mayat. Serta merta ia berlutut dan meratap, “Hamba
pantas dibunuh….!”
Ma Hong-ing pun wajahnya seputih kertas. Ia segera berlutut di hadapan Sin-bu Te-kun dan meratap tangis, ”Hamba
…. tersesat. Mohon demi mengingat kecintaan sebagai suami isteri, sukalah mengampuni jiwaku ! Selanjutnya
aku……. ”
Wajah Te-kun membesi, “Bukankah kalian hendak melarikan diri ke tempat jauh? Ayo, pergilah sekarang juga!”
Ni Jin-hiong yang masih berlutut tak henti-hentinya merintih-rintih, “Hamba memang harus mati…….!”
Ma Hong-ingpun segera memeluk kaki kanan Sin-bu te-kun dan menangis tersedu-sedu, meratap memohon ampun.
Sin-bu Te-kun sejenak menengadahkan kepala, serunya, ”Dengan kesaktian yang merajai empat lautan, aku
bermaksud hendak menguasai dunia persilatan. Tetapi tak terduga, peristiwa yang memalukan ini telah menimpa
diriku… !”
Dipandangnya kedua lelaki perempuan itu. Serunya geram, “Yang satu permaisuri tersayang dari Te-kun, yang satu
kepala penjaga istana Sin-bu-kiong yang paling kupercaya. Ah, ternyata mereka telah melakukan perbuatan zinah.
Kedua-duanya telah menghianati aku….”
Tiba-tiba ia menutup dampratannya itu dengan sebuah tendangan. Terdengar jeritan ngeri dari tubuh Ma Hong-ing
yang terlempar di udara. Bum…. ia jatuh dua tombak jauhnya, sejenak meronta lalu tak berkutik lagi….
Sin-bu Te-kun rupanya masih belum puas. Ia kibatkan dua buah jari tangannya, yang satu ke arah Ni Jin-hiong, yang
satu pada Ma Hong-ing.
Ni Jin-hiong tak berani begerak. Ia mandah punggungnya ditutuk. Seketika ia merasakan tubuhnya kesemutan lalu
terkapar di tanah!
“Bawa kedua anjing ini ke dalam penjara Si-lo. lain hari aku sendiri yang hendak memberi hukuman kepada mereka!”Dua pengawal baju ungu segera tampil. Mereka mengangkut tubuh Ni Jin-hiong dan Ma Hong-ing menuju ke pintu
besi. Pada lain saat, pintu besi itupun tertutup lagi.
Suasana di luar pintu besi kembali diselubungi oleh kesunyian. Mayat dari kedua pengawal baju biru yang disuruh
bunuh diri oleh Ma Hong-ing dan dua pengawal baju ungu yang dibunuh oleh Cu Giok-bun masih malang melintang di
tanah…..
Sekarang marilah kita ikuti Thian-leng dan Bu-song yang jatuh ke dalam liang jebakan itu.
Akibat pukulan Ma Hong-ing, kedua anak muda itu telah menderita luka yang tak ringan. Darah mereka serasa
bergolak-golak. Untung lwekang mereka cukup kokoh.
Pada saat menerima pukulan, mereka segera mengerahkan tenaga untuk menahan, sehingga pukulan lwekang Ma
Hong-ing yang mengandung racun Im-han (dingin) itu tak sampai menembus ke dalam tulang.
Lubang perangkap itu cukup dalam. Adalah karena lwekangnya buyar, Thian-leng tak dapat memusatkan pertahanan
diri lagi. Ia coba kerahkan sisa tenaga untuk memusatkan ketenangan pikirannya ketika sang tubuh meluncur turun
ke bawah.
Diam-diam ia menghitung jarak luncurannya itu. Kira-kira limapuluhan tombak, tiba-tiba kakinya menginjak tanah
lunak, macam gundukan pasir. Sekalipun begitu, toh ia masih merasakan kepalanya pening sekali. Sampai beberapa
saat ia tak dapat bangkit.
Api kebencian membakar hatinya. Tak mungkin Ma Hong-ing itu ibunya. Macan yang buaspun tak akan memakan
anaknya. Ma Hong-ing ternyata lebih buas dari macan. Apalagi selama berkumpul tujuh belas tahun itu, seingatnya ia
tak pernah berbuat salah terhadap ibunya itu. Ah, benarkah wanita itu ibunya….?
Tiba-tiba ia teringat kepada Bu-song. Bukankah tadi nona itu juga terkena pukulan Ma Hong-ing dan bersama-sama
jatuh ke dalam lubang jebakan ini?
“Nona Lu……,” serentak berteriaklah ia memanggil.
Tiada suatu sahutan.
Thian-leng tergetar. Ia mengulangi lagi berteriak lebih keras, “Nona Lu! No…na..Lu..!”
Tetap tiada sahutan.
Mulailah Thian-leng memandang ke sekeliling tempatnya. Agaknya ia berada di dalam sebuah sumur besar yang
dalam sekali. Di sekeliling penjuru tak tampak barang sepercik sinar. Gelap, gelap sekali di sekelilingnya.
Bahkan ketika memandang ke tangannya, tak dapat ia melihat jari tangannya sendiri….
Beberapa saat kemudian, lapat-lapat ia seperti mendengar suara napas orang merintih. Ia terkejut girang. Buru-buru
ia paksakan diri merangkak menghampiri. Kira-kira setombak jauhnya, dilihatnya memang Bu-song adanya. Tetapi
betapa terkejutnya ia ketika diperhatikannya tubuh nona itu mandi darah. Rupanya ia menderita luka yang lebih
parah lagi. Ternyata tempat nona itu jatuh selain pasir juga terdapat kerikil yang tajam. Pinggang dan kaki nona itu
pecah-pecah berdarah. Untung hanya luka luar, namun cukup membuatnya pingsan beberapa saat sehingga tak
mendengar panggilan Thian-leng.
“Nona Lu!” kembali Thian-leng memanggilnya.
Bu-song berusaha untuk mengangkat kepalanya dan menyahut limbung. “Di manakah kita sekarang?”
“Dalam sebuah lubang jebakan yang berpuluh-puluh tombak dalamnya!”
“Ah, mungkin kita akan mati di sini, " Bu-song menghela napas. Thian-lengpun rawan hatinya. Meskipun tak takut
mati, tetapi ia kecewa dengan kematian cara begitu.
Ia masih belum mengetahui asal-usul dirinya. Tugas yang diletakkan oleh beberapa tokoh kepadanya,belum
terpenuhi. Kalau harus mati pada saat dan seperti itu, bagaimana ia tak kecewa?
Bayang-bayang dari Oh-se Gong-mo, Hun-tiong Sin-mo, Cu Siau-bun, Tui-hong Hui-mo, Sip uh-jong, kedua taci
beradik Ki, mulai berlalu-lalang di benaknya. Mereka telah melimpahkan budi dan menitipkan harapan kepadanya
agar membalaskan sakit hati terhadap Sin-bu Te-kun. Belum cita-cita itu terlaksana, kini ia sudah terjeblos dalam
lubang jebakan maut. Dan yang mencelakainya ialah Ma Hong-ing!
Siapakah Ma Hong-ing itu sebenarnya?
Apakah wanita itu ibunya atau bukan…..?
Jilid 8 .
KenanganBayangan orang-orang itu lalu-lalang di benak Thian-leng. Kepada mereka ia mempunyai budi dan dendam yang
belum lunas.
Akhirnya setelah hatinya tenteram, ia tersenyum kepada Bu-song, ”Bagaimana luka nona?”
Bu-song tertawa getir, ”Lukaku tak menguatirkan, tetapi yang penting bagaimana kita keluar dari tempat ini...?”
“Tak usah nona kuatir, “Thian-leng paksakan tertawa menghiburnya, “lebih baik kita beristirahat mengembalikan
semangat dulu. Setelah itu baru kita berusaha!”
Bu-song mengiyakan, kemudian balas menanyakan luka pemuda itu, Thian-leng mengatakan tak berbahaya.
Biji mata Bu-song yang berkilau-kilau laksana bintang kejora menatap tajam pada Thian-leng, ujarnya,”Mungkin
kau........masih mendongkol padaku?”
Thian-leng tertegun, “Eh, mengapa nona mengatakan begitu, mana aku berani....”
“Sewaktu di biara rusak, aku memang agak galak, tetapi......” tiba-tiba ia menghambur tertawa tak melanjutkan
ucapannya lagi.
Thian-leng menyeringai. Untung karena gelap kerut wajahnya tak kelihatab Bu-song. Ia terbatuk-batuk sebentar, lalu
menjawab, “Nona tak bersalah, memang aku sendiripun juga tidak benar!”
“Ih, kau ini kiranya...... seorang yang lemah lembut…..”
Thian-leng tersipu-sipu . Buru-buru ia mengulang anjurannya agar nona itu suka mengumpulkan semangatnya.
“Tak perlu menyalurkan lwekang, nanti saja setelah berada di neraka kalian boleh melakukan hal itu!” tiba-tiba
terdengar suara tertawa sinis.
Thian-leng terbeliak kaget! Walaupun tak tampak orangnya, tapi ia kenal suara ketawa itu sebagai suara Ni Jin-hiong.
Buru-buru Thian-leng kerahkan lwekangnya siap sedia. Tetapi ia menderita luka parah, geraknya agak ayal. Seketika
ia rasakan punggungnya kesemutan dan tahu-tahu jalan darahnya kena tersambar angin tutukan jari Ni Jin-hiong.
Bu-songpun mengalami nasib serupa.
Pada lain saat Ni Jin-hiong muncul. Sambil menyambar pedang salah seorang pengikutnya, segera ia tebaskan kepada
kedua anak muda itu.........
Sekonyong-konyong pada detik-detik maut hendak merenggut jiwa kedua anak muda itu, terdengarlah derap kaki
bergegas mendatangi. Berbareng dengan itu terdengar suara bentakan nyaring, “Te-kun memberi perintah, semua
orang yang menyelundup ke dalam istana harus ditangkap hidup-hidup, tak boleh dibunuh. Tawanan harus segera
dijebloskan ke dalam penjara Cui-lo. Kedua penjaga Co-yu sucia diwajibkan mengawasi!”
Ni Jin-hiong terpaksa menarik pulang pedangnya dan banting-banting kaki. Namun ia tak berani membantah. Sesaat
kemudian orang itu terdengar menyelinap pergi lagi.
“Jebloskan ke dalam penjara Cui-lo!” Ni Jin-hiong berseru dengan tak bersemangat.
Beberapa penjaga tampil menjerat Thian-leng dan Bu-song. Karena jalan darahnya tertutuk, Thian-leng tak dapat
berbuat apa-apa. Lapat-lapat ia mendengar Ni Jin-hiong memberi perintah kepada salah seorang pengawal, “Aku
hendak melapor pada Te-kun. Kalian harus hati-hati menyerahkan kedua tawanan ini kepada Co dan Yu kedua sucia!”
Pada lain saat Ni Jin-hiongpun lenyap. Tampak di sebelah muka terdapat sebuah pintu batu yang tertutup rapat. Di
kedua sampingnya diterangi oleh empat batang lilin yang sebesar lengan anak kecil.
“Apakah yang kau bawa itu kedua tawanan tadi?” tiba-tiba terdengar suara bentakan keras. Dua penjaga tua yang
bertubuh kurus dan gemuk muncul dari kiri-kanan pintu.
Rombongan yang membawa Thian-leng dan Bu-song serempak menyahut, “Benar, atas perintah Te-kun, tawanan ini
supaya diserahkan kepada su-cia berdua!”
Penjaga yang bertubuh gemuk dan kurus itu brseru, “Baik, jebloskan ke dalam!”
Terdengar suara berdrak-derak dan kedua daun pintu batu itupun perlahan-lahan terbuka. Di dalam pintu ternyata
merupakan sebuah kubangan seluas sepuluh tombak, penuh digenangi air busuk. Baunya menusuk hidung. Di tengah
kubangan terdapat beberapa tiang batu yang ujungnya diberi gelang baja besar.
Rombongan pengawal segera mengikat Thian-leng dan Bu-song. Kedua anak itu diikat pada gelang baja. Dengan
demikian Thian-leng dan Bu-song dibenam dalam kubangan air itu sebatas dada. Kedua tangan mereka diikat pada
tiang batu. Keadaannya tak berdaya sama sekali karena jalan darah mereka tertutuk….
Selesai mengikat, rombongan pengawal segera pergi dan pintu batupun tertutup pula. Kini di dalam penjara Cui-lohanya tertinggal kedua anak muda itu. Lama sekali keduanya tak dapat bicara. Akhirnya Thian-lenglah yang mulai
membuka mulut, “Nona Lu……… lukamu…..”
Bu-song tertawa getir, “Jiwapun belum tentu selamat, mengapa masih menyibuki luka!”
Pedih hati Thian-leng, katanya dengan rawan, ”Mati tak kusayangkan, tetapi tak seharusnya kurembet nona…..”
Bu-song menghela napas, “Aku tak sesalkan kau, biarlah kita serahkan pada nasib!”
Habis berkata dara itu pejamkan mata, Thian-lengpun ikut terbenam dalam renungan.
Sesaat sunyi senyap dalam penjara air. Dari berpuluh-puluh tonggak batu yang berada dalam kubangan air busuk itu,
semua kosong kecuali terisi mereka berdua.
Dinding tembok penjara itu terbuat dari batu yang tebal, hanya bagian wuwungan atas diberi berpuluh lubang kecil
untuk udara. Penjara air yang sekokoh itu masih dijaga pula oleh dua penjaga yang bertubuh gemuk dan kurus…..
Gelap makin gelap!
Perlahan-lahan Thian-leng mengedarkan pandangannya memandang sekeliling tempat itu. Diam-diam ia mengeluh.
Jangankan dirinya diikat pada tonggak batu, sekalipun dibebaskan tetap sukar sekali untuk lolos dari penjara air yang
sedemikian kokohnya.
Kubangan air busuk sekali hawanya. Sedemikian busuk sampai membuat orang hampir muntah. Bu-song mengkertak
gigi, dahinya mengerut dan tak henti-hentinya tubuhnya bergetar. Jelas dara itu tengah berjuang menahan derita
kesakitan.
Melihat itu Thian-leng makin pedih, serunya, “Nona Lu…..”
Bu-song menghela napas, menyahut perlahan, “Hmm……” Thian-leng hendak menghibur dara itu, tetapi sesaat tak
tahulah ia bagaimana hendak mengucapkan kata-katanya. Mulutnya bergerak-gerak, tetapi tak jelas apa yang
dikatakan.
”Kau hendak berkata apa, mengapa tak jadi?” dengus Bu-song.
Kini Thian-leng yang menghela napas, ”Semua adalah salahku, sehingga menyebabkan nona ikut menderita.
Aku....minta maaf!”
“Apakah cukup dengan permintaan maaf saja?” dengus Bu-song pula.
Thian-leng tertegun ujarnya, “Jika berhasil lolos dari neraka ini, kelak aku tentu akan membalas budi nona. tetapi jika
tak beruntung mati di sini, biarlah dalam penjelmaan kelak kubalas budi nona!”
Mendengar ucapan itu lupalah sejenak Bu-song akan penderitaannya. Matanya berkilat-kilat menatap Thian-leng.
“Jika kita tidak mati, bagaimana kau hendak membalas budi padaku?”
Setitikpun Thian-leng tak menyangka bahwa si dara akan mengutarakan pertanyaan semacam itu. Ia tertawa rawan
dan cepat-cepat mengalihkan pembicaraan, “Yang penting sekarang kita harus berdaya mencari jalan lolos. Entah
bagaimana dengan luka nona sekarang...?”
“Tidak, kau harus mengatakan hal itu. Setelah itu baru kita bicarakan lain-lainnya!” si dara bersikukuh.
Thian-leng kerutkan alis, ”Jika beruntung tak mati di sini, apapun yang nona hendak perintahkan padaku, tentu aku
sanggup melaksanakan, sekalipun harus terjun ke dalam lautan api !”
”Hanya begitu?” Bu-song agak kurang puas.
Diam-diam Thian-leng membatin. Anak perawan ini aneh sekali. Budi dibalas budi adalah sudah layak. Mengapa masih
ngotot, apa yang dikehendaki lagi?
“Maaf, aku tak dapat memikirkan, bagaimana cara membalas budi yang memuaskan nona, hanya saja.......aaa, tak
peduli nona akan menitahkan apapun, tentu kululuskan!”
Kini barulah Bu-song tersenyum puas, ujarnya, “Mulutmu yang mengatakan sendiri, kelak janganlah menyesal!”
“Apakah aku ini orang yang tak pegang janji? Nona......”
“Aku percaya padamu. Tak usah berkata lagi.....” tukas Bu-song. “Coba terka, apa yang hendak kuminta darimu?”
Kembali Thian-leng tertegun, “Bagaimana aku tahu hati nona? Tetapi pokoknya apapun yang nona katakan, pasti
kulakukan dengan sepenuh tenaga. Tentu takkan mengecewakan!”Tiba-tiba mata Bu-song berkilat-kilat penuh sinar harapan hidup dan mulutnya tersekat-sekat berkata, “Aku .......
menghendaki kau seumur hidup.............”
Sekonyong-konyong terdengar pintu batu berderak-derak terbuka sehingga Bu-song tak dapat melanjutkan kata-
katanya. Kedua anak muda itu cepat berpaling. Ternyata pintu penjara air itu terbuka lebar. Penjaga gemuk dan
kurus yang disebut Co sucia dan Yu sucia itu tegak berdiri di ambang pintu.
“Bawa anak perempuan itu!” serunya dengan bengis. Dua penjaga berpakaian hitam muncul menghampiri Bu-song.
Mereka membuka ikatan si nona lalu menyeretnya pergi.
“Kalian hendak membawa aku kemana?” karena jalan darahnya tertutuk, Bu-song tak dapat berbuat apa-apa kecuali
menjerit-jerit.
“Jangan ribut!” bentak kedua pengawal gemuk dan kurus, “sebentar kau tentu tahu sendiri!”
“Aku tak mau pergi!” Bu-song menjerit-jerit, “kalau mau membawa aku, bawalah pemuda itu juga....”
Si gemuk dan si kurus tertawa tergelak-gelak, “Aneh, apakah enaknya dibenam dalam air busuk dengan tangan
diikat? Sebentar kau akan ke tempat bahagia........”
“Awas jangan sampai melukainya..........,” kedua sucia memberi perintah bengis. Kedua anak buah baju hitam
mengiyakan. Mereka menggusur Bu-song keluar. Lenyapnya suara tertawa dari kedua su-cia gemuk kurus dibarengi
dengan tertutupnya pintu baru.
Masih terdengar suara Bu-song yang penghabisan kalinya, “Kang Thian-leng, jika aku tak mati, aku tentu datang
menolongmu, kau.......” Hanya itu suara yang dapat diteriakkan si dara karena sekejap kemudian suaranya telah
lenyap ditelan tertutupnya pintu batu.
Hati Thian-leng pun ikut tenggelam. Kemanakah mereka hendak membawa si dara? Akan dibunuh atau dilepaskan?
BetapaThian-leng berusaha untuk menganalisa, namun tak dapat ia membuat kesimpulan.
Penjara airpun kembali dalam kegelapan. Kini hanya berisi Thian-leng seorang. Badannya yang terikat dan rasa sakit
pada luka-lukanya, tak dihiraukan sama sekali. Ia masih dapat bertahan. Tetapi derita batin memikirkan keselamatan
Bu-song jauh lebih menyiksa hatinya. Dalam kemarahan yang tak berdaya itu, hampir putuslah segala harapan.
Betapa inginnya saat itu ia segera mati saja! Ya, hanya kematianlah yang kiranya dapat membebaskannya dari
penderitaan semacam itu.
Sekilas kemudian, terlintas suatu percikan sinar terang dalam otaknya. Mati, ya, kematian memang enak, memang
satu-satunya cara untuk membebaskan penderitaan.
Tetapi hal itu hanyalah suatu penghindaran diri dari kenyataan. Suatu pengelakan dari tanggung jawab.
Suatu perbuatan pengecut dari manusia yang tak berani menghadapi kenyataan hidup. Bukankah ia seorang jantan ?
Mengapa ia takut menanggung segala akibat perjalanan hidupnya ?
Sesaat tenanglah pikirannya. tetapi ketenangan itu hanya berlangsung beberapa detik saja. Karena segera pikirannya
terlintas pula oleh bayangan Lu Bu-song. Adalah karena hendak menolong dirinya, maka dara itu sampai
menyelundup masuk ke dalam istana Sin-bu-kiong. Jika dara itu tak muncul, mungkin saat ini ia sudah menjadi budak
pengikut Sin-bu Te-kun atau mungkin sudah menjadi mayat!
Memang perangai dara itu agak kemanja-manjaan dan congkak. Tetapi betapapun ia telah menolong jiwanya. Telah
mempertaruhkan jiwanya sendiri untuk melepaskannya dari belenggu perbudakan Sin-bu Te-kun. Adalah sudah
menjadi kewajibannya untuk balas budi menolong si dara dari cengkeraman iblis-iblis Sin-bu-kiong.
Mengapa dara itu dibawa pergi kalau tidak akan dibunuh? Memikirkan hal itu kembali hati thian-leng tegang sekali.
tetapi pada lain saat ia teringat bahwa Bu-song adalah cucu kesayangan dari ketua partai Thiat-hiat-bun. Kakek
berjenggot perak ketua partai Thiat-hiat-bun adalah seorang tokoh sakti. Mungkin tentu dapat menolong cucunya.
Sesaat cemas, sesaat terhibur. Pikiran Thian-leng teraduk-aduk oleh berbagai lamunan. Entah berapa lama ia berada
dalam gelombang kecemasan yang pasang surut tak henti-henti melanda batinnya. Sekonyong-konyong ia dikejutkan
oleh suatu suara yang mencurigakan. Suara itu terdengar lemah sekali hingga hampir tak tertangkap oleh telinga
andaikata tak secara kebetulan Thian-leng dapat mendengarnya. Suara itu lemah dan sebentar-sebentar lenyap.
Cepat-cepat Thian-leng pusatkan seluruh perhatiannya. Ia memandang ke sekeliling penjara dengan seksama. Ah,
dinding tembok itu terbuat dari batu yang kokoh dan licin. Tak tampak barang sedikitpun retakan ataupun liang. Tak
mungkin suara orang dapat menembus ke dalam. ia mendongak memandang pada langit-langit ruangan, tak
memungkinkan juga ditembus suara.
Thian-leng pejamkan mata. Diam-diam ia menertawakan dirinya yang sudah kacau. Paling-paling suara itu tentu
berombaknya air busuk dalam kubangan. Teringat akan air, iapun menunduk memandang ke permukaan air.
Permukaan air tenang sekali, sedikitpun tidak beralun. Apalagi di dalam air yang sedemikian busuknya, tak mungkin
terdapat mahluk hidup.Tiba-tiba ia tersentak kaget lagi. Mau tak mau ia harus mempercayai pendengaran telinganya. Ya, terdengar pula
suara lemah itu. Malah kini lebih dari yang tadi. Ia yakin tentu tak salah dengar. Jelas bahwa suara itu merupakan
suara erang seruan seseorang. Ah, tak salah lagi !
Satu-satunya jalan yang dapat ditembusi ialah dari lubang-lubang kecil pada langit-langit ruang penjara. Maka kali ini
ia hentikan pernapasan dan mendongak ke atas mendengarkan dengan penuh perhatian. Ah, benarlah. Suara lemah
itu terdengar jelas…..
Sayup-sayup terdengar suara seorang tua yang parau, “Nak, apakah kau mendengar suaraku….?”
Girang Thian-leng tak terkira, segera ia menyahut. “Ya, mendengar. Siapa kau?” karena meluapnya rasa girang,
Thian-lengpun menghamburkan suaranya dengan keras sehingga ruang penjara air itu seolah-olah terselubung oleh
suara kumandangnya yang bergema lama.
Ketika suara Thian-leng sudah lenyap, terdengar pula suara parau itu, “Nak, jangan keras-keras, aku tak dapat
mendengar dan lagi akan menarik perhatian penjaga!”
“Cianpwe, di manakah kau?” Thian-leng segera merobah suaranya seperlahan mungkin.
Orang tak dikenal itu menghela napas, “Aku berada di ruang penjara Si-lo ( Penjara maut), di sebelah penjara air……”
Penjara Si-lo…… ! Thian-leng berseru kaget, ‘’ Bilakah cianpwe dijebloskan mereka?”
Orang itu mengerang sejenak, ujarnya, “Tujuh belas tahun yang lalu…………”
“Tujuh belas tahun yang lalu?” kembali Thian-leng terkejut, ‘’siapakah nama locianpwe.. ?”
Kata-kata tujuh belas tahun itu memberi getaran keras pada perasaan Thian-leng. Ia mendapat firasat bahwa pada
masa itu telah terjadi suatu peristiwa yang tak wajar dan peristiwa itu mempunyai sangkut-paut dengan dirinya.
Orang itu berhenti sejenak, kemudian katanya pula, “Nak, jangan banyak tanya dulu. Bagaimana keadaanmu
sekarang?”
Thian-leng tertawa getir, “Jalan darahku tertutuk, kedua tanganku diikat dan aku dijebloskan dalam penjara air yang
berdinding kokoh. Locianpwe, kiranya engkau tentu dapat membayangkan keadaanku itu!”
“Yang kutanyakan ialah lukamu!” cepat orang itu menyeletuk.
“Sekalipun menderita luka, tetapi aku telah mendapat peruntungan yang luar biasa dari seorang sakti. Tenaga
dalamku telah digembleng sehingga luka yang kuderita ini tak menjadi soal.”
“Dapatkah kau menguasai ilmu mengerahkan lwekang untuk membuka jalan darah yang tertutuk?” tanya orang itu
pula.
Thian-leng tertegun, ujarnya, “Ini…. ini aku belum pernah mencoba!”
“Sekarang kau boleh mencobanya!”
Masih Thian-leng meragu, serunya, “Locianpwe, sukakah kau memberitahukan namamu yang mulia?”
“Jangan banyak mulut!” orang itu membentak marah, “ lekas cobalah!”
Thian-leng tak berani banyak bicara lagi. Ia anggap perkataan orang tak dikenal itu memang benar. Siapa tahu jika
memang dengan pengerahan tenaga lwekang dapat membuka jalan darahnya yang tertutuk, bukankah itu suatu
pertolongan yang besar? Segera ia mengerahkan semangat dan pusatkan seluruh perhatiannya. Setelah tenaga itu
terpusat, segera ia salurkan ke arah jalan darahnya yang tertutuk. Tetapi secepat itu ia merasakan suatu penderitaan
yang hebat. Tulang-tulangnya serasa ditusuk senjata tajam. Sakitnya bukan kepalang sehingga ia mengerang.
“Ah, aku tak dapat melakukan,” rintihnya.
“Karena takut sakit?” orang itu mengejek.
Thian-leng tak dapat menyahut. Diam-diam ia malu dalam hati.
Tiba-tiba terdengar keluh orang itu, “Ah, mungkin aku salah menilai orang. Hm, kita sudahi saja pembicaraan sampai
di sini!”
Bukan kepalang terkejutnya Thian-leng, serunya tersipu-sipu. “Locianpwe…. Locianpwe. …”, tetapi betapapun ia
meneriaki, tak terdengar suara sahutan. Rupanya orang itu benar-benar marah, tak mau lagi bicara padanya.
Terdorong oleh rasa malu dan gugup, ia segera menggertak gigi dan mengerahkan seluruh lwekangnya untukmembuka jalan darahnya yang tertutuk itu. Sekali…. dua kali… tiga kali…. ia tahan segala kesakitan, terus
menggempurkan lwekangnya.
Sampai pada putaran yang ke sembilan kali, terdengarlah tulang-tulangnya berkerotokan dan jalan darahnya yang
tertutuk itupun …terbuka!
Girang Thian-leng bukan kepalang! Tetapi saat itu ia merasa letih sekali. Tulang-tulangnya serasa lunglai, kepalanya
mandi keringat, napas terengah-engah.
Sekonyong-konyong terdengar pula orang tak dikenal itu tertawa perlahan. “Bagaimana nak?”
“Aku berhasil melakukan……” sahut Thian-leng terengah-engah.
“Ah, nyata kau tak mengecewakan harapanku!”
“Tetapi….”
“Tetapi bagaimana?”
“Karena terikat oleh kulit ular , sekalipun jalan darahku sudah terbuka, tetapi belum dapat memutuskan tali pengikat
itu!”
Orang di dalam penjara air itu tertawa, “Tak perlu kuatir! Cobalah kau ulangi lagi jurus-jurus yang kau pelajari dari
Sin-bu Te-kun itu!”
Kembali Thian-leng terkejut. Memang selama bertanding dengan Sin-bu Te-kun, karena Sin-bu Te-kun bergerak
perlahan, maka dapatlah ia mempelajari jurus gerakannya yang luar biasa. Tetapi yang membuat pemuda itu tak
habis heran, orang yang telah dijebloskan ke dalam penjara maut selama tujuh belas tahun, mengapa tahu kalau ia
habis bertempur dengan Sin-bu Te-kun?
“Cianpwe, rupanya kau mengetahui segala apa, mengapa……….”
“Jangan banyak bicara ?” tiba-tiba orang itu menukas, “lekas turut perintahku ini!”
Thian-leng yang sudah mengenal akan perangai orang, terpaksa tak berani membantah. Segera ia ulangi
menjalankan jurus-jurus dari permainan Sin-bu Te-kun. Makin lama makin terlelap ia dalam ilmu permainan yang luar
biasa itu.
Entah berapa lama ia terbenam dalam permainan itu. Satu demi satu, dari jurus ke jurus, telah dimainkan sampai
selesai. Setelah inti pelajaran itu dicamkan benar-benar, barulah ia berkata, ’’Locianpwe, telah kupelajari pelajaran itu
dengan paham !’’
Dengan suara menghibur, orang aneh itu berseru, “ Bagus, sekarang kau boleh bertanya!”
Buru-buru Thian-leng menanyakan nama orang aneh itu.
“Nyo Sam-koan!” sahut orang itu serentak.
“Ha….? Mohon locianpwe mengatakan sekali lagi!”
Dengan tegas orang itu mengulangi lagi ,”Nyo… Sam….. Koan……”
Thian-leng merasakan jantungnya hampir melompat ke luar. Darahnya serasa membeku dan dengan suara lemah-
lunglai ia berseru, “Kalau begitu, locianpwe ini adalah Sin-bu-kiong Te-it Ong-hui punya……”
“Benar, Ma Hong-ing memang semula adalah istriku!”
Makin terengah napas Thian-leng seketika. Serunya , “Pada tujuh belas tahun berselang, bukankah kau pernah
mempunyai seorang putera? Mengapa kau sekarang dijebloskan dalam penjara maut ini?”
Nyo Sam-koan tertawa getir, “Nak, akan kuceritakan padamu dengan perlahan-lahan. Tetapi yang jelas, aku bukanlah
ayahmu……! Siapa ayahmu aku sendiri tak jelas….! Mungkin kau anaka pungut Ma Hong-ing atau mungkin anak orang
lain yang dicuri… ‘’
Dada Thian-leng berombak keras menahan gelombang perasaannya yang bergolak-golak. Namun ia tahankn diri tak
mau menyambung bicara.
Kata Nyo Sam-koan pula, “Sekarang aku sudah berumur tujuh puluh lima tahun. Dahulu sejak kecil aku menjadi
bujang dari keluarga Pok di Lulam. Keluarga Pok termasyhur sebagai tokoh silat yang dihormati orang. Aku disuruh
melayani puteranya yang bernama Pendekar pedang bebas Pok Thiat-beng…..”
“Pok Thiat-beng……!” menjeritlah Thian-leng dengan terkejut. Bukankah Pok Thiat-beng itu orang yang hendak dicari
wanita sakti Toan-jong-jin? Apakah hubungan mereka berdua? Dan apa sangkut pautnya dengan dirinya…“Jangan keburu memutuskan omonganku dulu, nak. Dengarlah ceritaku lebih lanjut….” kata Nyo Sam-koan dengan
suara lemah, “Pok kongcu itu seorang pemuda yang gagah perwira. Ia bercita-cita hendak menjelajahi dunia, maka
diajaknyalah aku mengembara, mengunjungi tempat-tempat termasyhur…..
Peristiw itu terjadi pada delapan belas tahun yang lalu. Pada waktu itu, aku baru berumur enam puluh tahunan.
Karena selama menjadi bujang keluarga Pok aku juga diajari ilmu silat, mak tubuhku masih tampak segar kuat. Dan
kala itu Pok kongcu baru berumur duapuluh tahunan. Karena tertarik dengan kemasyhuran alam daerah selatan,
maka kami segera menuju ke selatan. Sebulan kemudian tibalah kami di daerah Ling-lam….” Nyo Sam-koan berhenti
sejenak untuk mengatur napasnya.
“Lalu?” desak Thian-leng.
“Mungkin seharusnya Pok kongcu jangan pesiar ke Ling-lam. Karena hal itulah maka sampai menimbulkan bermacam
kejadian yang berbelit-belit!”
“Memang Pok kongcu memiliki kepandaian silat yang hebat, sehingga dalam usia kurang dari dua puluh tahun saja dia
sudah merupakan tokoh silat yang termasyhur di dunia persilatan Tiong-goan. Sebagai anak muda, tak lepas Pok
kongcu dari rasa bangga. Julukan Siau-yau kiam-khek (Pendekar pedang bebas) itu dia sendirilah yang
mengumumkan. Selama dalam pengembaraan itu, tak sedikit sahabat-sahabat persilatan yang coba-coba hendak
menjajal kepandaian Pok kongcu. Tetapi rata-rata mereka hanya mampu melayani Pok kongcu sampai sepuluh jurus
saja. Tak seorangpun dari tokoh persilatan yang tak mengagumi ilmu pedang Pok kongcu! Tetapi setiba di Liang-lam,
terjadilah suatu peristiwa yang luar biasa. Pok kongcu telah ketemu batunya…. »
‘’Apakah dia dikalahkan orang ?’’ Thian-leng tak dapat menahan diri lagi.
“Benar!” sahut Nyo Sam-koan. “Bahkan menderita kekalahan yang mengenaskan. Baru bertempur tiga jurus saja,
pedangnya telah dimentalkan jauh, lengan kanannya terluka. Sekalipun lawan tak bermaksud melukainya sungguh-
sungguh, namun hal itu dianggapnya suatu penghinaa yang hebat!”
Thian-leng dapat memahami. Memang seorang tokoh persilatan, menganggap nama itu jauh lebih berharga dari jiwa.
Apalagi seorang pemuda yang tinggi hati macam Pok Thian-beng. Tidak sampai tiga jurus sudah dikalahkan
orang,benar-benar lebih baik mati saja.
“Siapa lawannya yang begitu lihai itu?” tanya Thian-leng.
“Thiat-hiat-bun!” sahut Nyo Sam-koan.
“Thiat-hiat-bun?” untuk kesekian kalinya Thian-leng berjingkrak kaget.
“Lawannya itu hanya seorang dara yang baru kira-kira berumur enam belas tahun. Puteri kesayangan dari Lu Liang-
ong, ketua partai Thiat-hiat-bun sendiri!” kata Nyo Sam-koan lebih lanjut.
Hati Thian-leng bergelombang keras. Seketika teringatlah dia akan si dara Bu-song. Bu-song ialah cucu si Jenggot
Perak Lu Liang-ong, ketua Thiat-hiat-bun. Kalau begitu bukankah yang mengalahkan Pok Thiat-beng itu ibu dari Bu-
song?
Sesaat kemudian Nyo Sam-koan berkata pula, “Seteloah menderita kekalahan itu, Pok kongcu segera hendak
membunuh diri. tetapi ah………. rupanya masih panjang lelakonnya. Ternyata dara yang mengalahkan Pok kongcu itu
malah jatuh cinta padanya….!”
”Apakah mereka lalu menikah?” seru Thian-leng.
“Ya,” jawab Nyo Sam-koan, “tiga hari kemudian disaksikan oleh ketua Thiat-hiat-bun Lu Liang-ong, mereka terangkap
menjadi suami isteri, bersumpah sehidup semati…..!”
Kembali pikiran Thian-leng melayang-layang. Wanita sakti Toan-jong-jin minta padanya supaya mencarikan jejak
Pedang bebas Pok Thiat-beng. Dalam ucapan wanita itu seperti tersimpan urusan cinta. Tetapi si Patah hati itu kini
sudah merupakan seorang nenek berumur tujuh-delapan puluh tahun. Rasanya tentu bukan puteri dari ketua Thiat-
hiat-bun. Memikir sampai di situ, peninglah kepala Thian-leng…..
“Siapa nama gadis yang menikah dengan Pok Thian-beng itu?” tanyanya.
“Lu Giok-bun !” jawab Nyo Sam-koan.
Thian-leng hanya mendesis. Ia tetap merasa terbungkus dalam halimun kegelapan…
Dua gembong bertemu.
“Meskipun Pok kongcu sudah menikah dengan nona Lu, tetapi ia tak mau menetap di daerah Ling-lam. Setelah
beberapa bulan kemudian ia pamit pada ayah mertuanya dan membawa isterinya pulang ke utara.
Nona Lu mempunyai seorang pelayan perempuan yang semestinya ditinggal di rumah untuk melayani Lu Liang-ong.Tetapi bujang perempuan itu dengan sangat meminta pada nona Lu supaya diperbolehkan mengikutinya. Katanya ia
ingin melayani nona majikannya selama-lamanya. Sekalipun terharu atas kesetiaan bujang itu, namun nona Lu tak
meluluskan, karena mengingat kepentingan ayahnya nanti.
Di luar dugaan bujang itu menyatakn bahwa ia jatuh cinta padaku dan ingin menjadi isteriku…..”
“Sungguh baik sekali!” seru Thian-leng.
“Baik sih baik, tetapi akhirnya menjadi buruk…..”
“Apakah budak perempuan itu…..”
“Ialah Ma Hong-ing yang menjadi Teit Ong-hui dari Sin-bu Te-kun sekarang!” ia menutup kata-katanya dengan helaan
napas.
“Lo-cianpwe, lekas lanjutkan ceritamu!” Thian-leng tak sabar lagi.
“Baik, “ kata Nyo Sam-koan, “atas permintaan yang sangat dari Ma Hong-ing, akhirnya nona Lu meluluskan Ma Hong-
ing jadi dinikahkan dengan aku lalu diajak pulang ke rumah Pok kongcu. Tetapi sebelum sempat pulang ke Lu-lam, di
tengah jalan telah timbul peristiwa….”
“Karena tujuan semula Pok kongcu hendak pesiar, maka iapun mengajak isterinya berbulan madu dahulu, pesiar ke
berbagai tempat yang indah alamnya. Maka kurang lebih delapan bulan lamanya, barulah kami tiba di daerah Su-
chuan. Waktu itu nona Lu dan Ma Hong-ing masing-masing sudah mengancdung. Karena kuatir tak keburu mencapai
rumah , maka Pok kongcu segera mengutus aku untuk memberi kabar dulu ke lu-lam. Pok kongcu dan isteri terpaksa
tinggal di Su-chuan menunggu kelahiran….”
“Pergi pulang ke Lu-lam itu memakan waktu delapan bulan lebih. Ketika aku kembali ke Su-chuan, nona Lu dan Ma
Hong-ing pun telah melahirkan anak. Nona Lu melahirkan seorang puteri dan Ma Hong-ing seorang lelaki….”
Nyo Sam-koan berhenti sejenak untuk mengatur napas. Tiba-tiba ia berseru, “Anak lelaki itu ialah Kau!”
Jantung Thian-leng berdebar keras, serunya, “Kalau begitu apakah kesemuanya ini benar? Ma Hong-ing adalah ibu
kandungku dan kau..... adalah ayahku....”
Nyo Sam-koan tertawa getir, “Tidak, yang jelas aku bukanlah ayahmu!”
“Hai, bagaimana kau begitu yakin?” seru Thian-leng.
“Karena …. karena aku tak pernah meniduri Ma Hong-ing!”
“Hai.....! Bagaimana ia bisa hamil?”
“Ini........ ada dua kemungkinan. Pertama, dia pura-pura hamil. Pada saatnya melahirkan, dia diam-diam menculik
bayi dari salah seorang penduduk yang tinggal di dekat desa situ.....”
“Ah, jadi ........ aku ini anak curian...........?” Thian-leng mengeluh.
Nyo Sam-koan menghela napas, ujarnya pula, “Dan kemungkina kedua, Ma Hong-ing hamil sungguhan!”
“Dengan siapa?” seru Thian-leng.
“Dia berjinah dengan orang lain!”
Darah Thian-leng serasa membeku. Kalau benar begitu, ia seorang anak haram. Hai…. tiba-tiba ia teringat akan
tingkah laku Ma Hong-ing. Apakah ...... apakah dia berjinah dengan Ni Jin-hiong? Ah.... kalau begitu, Ni Jin-hiong
itukah ayahnya...? Sungguh ngeri....!
Kesimpulan ini lebih banyak mendapat tempat dalam pikiran Thian-leng. Karena kalau tidak, perlu apa Ma Hong-ing
pura-pura hamil lalu mencuri bayi orang? Kemungkinan pertama itu, rasanya lebih tidak masuk akal. Mungkin Ma
Hong-ing takkan berbuat begitu!
Jika benar ia itu putera Ni Jin-hiong, ah.....! Tak tahu bagaimana perasaan Thian-leng saat itu. Yang nyata ia kepingin
segera mati saat itu juga!
Kembali suara parau dari Nyo Sam-koan terdengar pula, “Nak, tak usah kau resah. Macan betina yang buas, tetap
takkan memakan anaknya. Tetapi melihat tindakan Ma Hong-ing yang dengan berbagai tipu muslihat hendak
membunuhmu, membuktikan bahwa kau bukanlah anak kandungnya.....!”
Thian-leng menghela napas, “Namun andaikata benar mereka itu ayah bundaku, akupun ....”
“Justru hal itulah yang harus kau selidiki sampai jelas!” tukas Nyo Sam-koan.
Thian-leng tertawa getir, “Lo-cianpwe, silakan melanjutkan lagi!”Nyo Sam-koan menarik napas, ujarnya, “Pada saat aku kembali ke Su-chuan, terjadilah suatu peristiwa yang tak
terduga-duga…..” ia berhenti sejenak untuk menggali ingatan. Kemudian melanjutkan, “ Saat itu tengah malam buta.
Tiba-tiba kudengar percekcokan mulut antara Pok kongcu dengan nona Lu. Baru pertama kali itu sejak menikah
mereka cekcok. Yang pertama, tetapi juga yang terakhir!
Semula hanya dengan suara perlahan, tetapi makin lama makin keras dan nyolot. Ketika aku menyadari bahwa
keduanya sudah sama-sama naik darah, segera aku bergegas keluar hendak meramaikan. Tetapi sudah terlambat.
Kedua suami isteri itu sudah bertempur!
Mereka sama-sama memiliki kepandaian sakti. Betapapun usahaku hendak melerai, namun tak berdaya juga. Pok
kongcu dapat melukai lengan kiri nona Lu, tetapi nona Lu pun dapat menusuk dadanya. Sepasang suami isteri yang
saling mencintai satu sama lain, pada saat itu telah berobah menjadi dua musuh yang mendendam. Akibatnya telah
menimbulkan peristiwa-peristiwa yang menyedihkan sekali…..
Akhirnya Pok kongcu marah dan tinggalkan isterinya. Dan nona Lu pun membawa puterinya itu pergi. Sepasang
burung merpati, kini saling terbang tercerai-berai....”
“Urusan apakah yang menyebabkan mereka sampai terpecah-belah begitu macam?” tanya Thian-leng.
Kali ini Nyo Sam-koan menghela napas panjang, ujarnya, “ Semula aku sendiripun tak tahu persoalannya. Tetapi
akhirnya ku ketahui juga. Kiranya wanita busuk Ma Hong-ing itulah yang menjadi gara-garanya. Dia telah mengatur
siasat mengadu domba…….”
“Bagaimana caranya mengadu domba?”
“Di hadapan Pok kongcu ia merangkai cerita bahwa sewaktu masih gadis di Liong-lam, nona Lu sudah mempunyai
kekasih. Juga sebaliknya di depan nona Lu, Ma hOng-ing menggosok-gosok bahwa Pok kongcu itu sebenarnya sudah
mempunyai isteri di rumah!”
“Masakan kedua suami isteri itu begitu mudah saja memercayai cerita itu?” seru Thian-leng.
“Ah, Pok kongcu dan nona Lu sama-sama masih muda. Darah mereka mudah meluap. Apalagi karena rasa cintanya,
mereka mudah dihinggapi rasa cemburu. Pada saat masing-masing menganggap bahwa orang yang dicintainya itu
ternyata sudah mempunyai kekasih, meletuslah perang mulut yang berakhir dengan pecahnya istana kasih yang
mereka bentuk selama itu. Perempuan busuk Ma Hong-ing memang lihay. Selain cerita, iapun dapat menunjukkan
beberapa bukti untuk memperkuat ceritanya itu. Demikianlah akhirnya kedua suami isteri itu berpisah……”
Thian-leng termenung mendengar kisah-kasih yang tragis itu. Tiba-tiba ia teringat pada si wanita Patah Hati.
Mengapa wanita aneh itu memakai nama Toan-jong-jin? Bukan tidak ada sebabnya ia menggunakan nama itu! Dan
kalau menilik gerak-geriknya, kecuali hanya umurnya yang berbeda, wanita itu menyerupai benar dengan Lu Giok-
bun. Hal ini........
“Begitu mengetahui persoalannya, “ tiba-tiba lamunan Thian-leng terbuyar oleh kata-kata Nyo Sam-koan pula,
“segera kususul Pok kongcu. Kepadanya kujelaskan bahwa sebenarnya nona Lu tak bersalah, tetapi......” Nyo Sam-
koan tertawa rawan dan tak melanjutkan kata-katanya.
Thian-leng dapat meraba apa yang telah terjadi. Namun dicobanya berkata juga, “Bukankah akhirnya kau kena
diringkus Ma Hong-ing dan dijebloskan ke dalam Sin-bu-kiong sini……”
“Benar!” sahut Nyo Sam-koan, “ternyata orang-orang Sin-bu-kiong sudah memasang pengaruh sampai di Suchuan.
Mereka diam-diam sudah mengepung tempat tinggal Pok kongcu…….” ia berhenti sejenak, katanya pula, “tetapi
sampai sekarang ini aku belum jelas kapankah Ma Hong-ing itu mulai mengadakan hubungan rahasia dengan Sin-bu
Te-kun dan akhirnya menjadi Te-it Ong-hui?”
Cerita itu telah memberi banyak pengetahuan pada Thian-leng. Tetapi juga lebih mempertebal kabut rahasia yang
menyelimuti asal-usul dirinya.
“Lo cianpwe, apakah selama tujuh belas tahun ini kau dijebloskan dalam penjara air ini?” tanyanya.
“Ya,” Nyo Sam-koan mengiyakan, “mereka telah melumpuhkan kepandaianku. Kedua kakiku dirantai sehingga
setapakpun aku tak dapat keluar dari penjara air ini. Selama tujuh belas tahun aku tak pernah melihat sinar matahari
lagi!”
“Tetapi mengapa lo-cianpwe tahu semua kejadian dalam istana Sin-bu-kiong ini?” Mengapa lo-cianpwe tahu aku....”
Nyo Sam-koan menukas tertawa, “Memang sudah selayaknya kau heran! Dahulu aku pernah menerima ajaran ilmu
gaib dari nona Lu yang disebut ilmu Melihat-langit-mendengarkan-bumi…”
“Melihat langit mendengarkan bumi?” Thian-leng menegas.
“Apabila ilmu itu diyakinkan sampai sempurna, maka apa yang terjadi di daerah seluas sepuluh li, apakah itu angin
meniup atau rumput bergoyang, kita dapat mendengarkan dengan jelas!”
“Tetapi bukankah kepandaian lo-cianpwe sudah dilumpuhkan? Mengapa bisa meyakinkan ilmu itu?”“Ilmi itu tak memerlukan suatu tenaga dalam, melainkan hanya konsentrasi hati, pikiran dan indra. Selama tujuh
belas tahun disekap di sini, tak henti-hentinya kulatih ilmu itu.
Baru setahun yang lalu aku berhasil mencapai kesempurnaan. Tetapi penangkapan pendengarankupun hanya
mencapai seluas satu li saja. Maka apa yang terjadi dalam istana ini tentu tak terluput dari pendengaranku. Di luar
istana, aku masih belum mampu menangkapnya!”
Kata Thian-leng dengan tegas, “Apabila aku berhasil lolos dari penjara air sini, aku tentu berdaya menolong lo
cianpwe. Tetapi bagaimana cara memecahkan penjara Si-lo itu? Apakah di situ tak dipasangi alat rahasia?”
“Jangan!” sahut Nyo Sam-koan, “jika kau berhasil lolos, harus segera tinggalkan Sin-bu-kiong untuk menyiapkan
rencana menghancurkan Sin-bu Te-kun. Yang perlu kau ketahui, penjara Si-lo ini adalah pos terpenting dalam istana
Sin-bu-kiong. Bukan hanya penuh dengan alat rahasia, tapi juga dijaga keras oleh sejumlah besar jago-jago tangguh.
Jangan sekali-kali gegabah ke tempat berbahaya ini....!”
Nyo Sam-koan berhenti untuk menghela napas, ujarnya pula, “Apalagi selama disiksa tujuh belas tahun ini, kini diriku
hanya tinggal serangka tulang. Sekali melihat sinar matahari, mungkin aku tak tahan. Bisa buta atau mati seketika!”
Thian-leng hendak menyambung, tetapi Nyo Sam-koan meneruskan kata-katanya, “Eh, ada orang datang! Mungkin
ada bintang penolong datang. Ingat-kata-kataku tadi. Segera tinggalkan tempat ini dan teruskan usahamu untuk
menumpas Sin-bu Te-kun. Setelah itu barulah kau perlahan-lahan menyelidiki asal-usulmu..!”
Serentak Thian-leng meminta agar Nyo Sam-koan menceritakan bagaimana ia dapat dijebloskan ke dalam penjara Si-
lo, tetapi Nyo Sam-koan sudah menukasnya.
“Orang yang datang itu sudah tiba di luar penjara air, sudahlah, jangan banyak cakap lagi!” serunya.
Kata-kata Nyo Sam-koan terputus oleh bunyi berderak-derak dari pintu batu yang terpentang.
Jilid 9 .
Thian-leng pura-pura meramkan mata, napas terengah-engah macam orang yang sudah lemas-lunglai. tetapi diam-
diam ia siap sedia untuk menghadapi segala kemungkinan!
Begitu pintu batu terbuka, maka empat orang penjaga berpakaian ungu segera menerobos masuk. Dua diantaranya
segera terjun ke dalam air dan melepaskan tali pengikat kedua tangan Thian-leng. Kemudian tanpa berkata apa-apa,
kedua penjaga itu segera memapah Thian-leng keluar.
Thian-leng masih pura-pura seperti orang yang tertutuk jalan darahnya. Ia menggelendot pada kedua penjaga itu.
Tetapi begitu tiba di depan kedua penjaga yang lain, tiba-tiba ia melepaskan dua buah pukulan. Karena jaraknya
teramat dekat, apalagi tak mengira sama sekali, maka kedua penjaga itupun tak sempat menghindar lagi. Kedua
penjaga itupun bagaikan layang-layang yang putus talinya mencelat keluar. Sebelum kedua penjaga itu sempat
mengerang, kepala mereka terbentur pada tembok. Benak mereka berhamburan keluar karena dinding kepalanya
hancur...... Dan yang lebih menyeramkan lagi, pukulan Lui-hwe-ciang yang yang dilepaskan Thain-leng itu telah
membakar hangus tubuh kedua korbannya. Serentak terhamburlah bau daging terbakar yang menusuk hidung!
Kedua pengawal yang menyeret Thian-leng tadi terperanjat sekali. Tetapi cepat sekali Thian-leng sudah mencabut
pedangnya. Sebelum kedua penjaga itu sempat menyerang, tahu-tahu tubuh mereka sudah tertebas. Dalam sekejap
mata saja, keempat penjaga itupun sudah menjadi setan penghuni penjara air!
Setelah membereskan keempat penjaga, Thian-leng segera hendak loncat keluar. Tetapi sekonyong-konyong
terdengar bentakan keras. Dari sebelah kanan dan kiri pintu batu, muncullah dua penjaga lagi yang serentak
menerkamnya. Tetapi pada saat itu Thian-leng sudah mendapat hati. Ia tak mau menghindar, sebaliknya malah
membolang-balingkan pedangnya ke kanan dan ke kiri. Kedua penjaga itu menggembor keras, namun mereka
terpaksa loncat mundur seraya merogoh ke dalam bajunya. Rupanya mereka mengambil senjata rahasia.
Thian-leng tak gentar. Ia serang kedua lawannya itu.
“Tahan!” tiba-tiba sebelum Thian-leng menerjang, terdengar sebuah bentakan dahsyat. Nadanya berat penuh dengan
hamburan tenaga dalam yang hebat.
Kedua penjaga itupun mundur. Juga Thian-leng tertegun dan membatalkan serangannya. Ketika mengawasi siapa
pendatang baru itu, kejutnya bukan kepalang.
Ternyata di sebelah luar dari penjara air, tampak muncul serombongan orang yang dikepalai oleh Sin-bu Te-kun
sendiri!
Yang membuat Thian-leng terkejut bukanlah kepala dari Sin-bu-kiong itu, melainkan munculnya seorang tua
berjenggot putih yang berada di samping Sin-bu Te-kun. Itulah Lu Ling-ong , ketua Thiat-hiat-bun yang bergelar si
Jenggot Perak.
Tersipu-sipu Thian-leng memberi horamat kepada jago tua itu, “ Locianpwe…….”Jenggot Perak Lu Liang-ong tertawa gelak-gelak, “Ah, tak usah banyak peradatan! Mana cucu perempuanku?”
“Ia bersama diriku telah dijebloskan ke dalam penjara air, tetapi diambil pergi oleh dua penjaga lagi, entah di
mana………..” sahut Thian-leng.
“Bagaimana, apakah kau tetap menyangkal?” segera Jenggot Perak Lu Liang-ong menegur Sin-bu Te-kun.
Sin-bu Te-kun tertawa sinis, “Sejak semula memang tak kusangkal hal itu. Cucumu telah mendapat pelayanan
istimewa dari istana kami. Makan dan oakaian tak kekurangan, harap Lu lo-hiapsu jangan kuatir!”
Lu Liang-ong mendengus, “Hm, jika tak salah anak itu tentu sudah dimasukkan ke dalam penjara Si-lo, kaki
tangannya dirantai. Apakah itu yang kausebut sebagai pelayanan istimewa?”
Sin-bu Te-kun tampak agak terkejut, namun segera menghamburkan tawa sinis. “Memang begitu. Tetapi bagaimana
lo-hiapsu tahu?”
Lu Liang-ong tertawa dingin, “Salahmu sendiri, mengapa kurang luas pengalaman. Apakah kau tak pernah mendengar
tentang ilmu ‘melihat ke langit-mendengar bumi’ dari Thiat-hiat-bun.....?”
Jago tua itu sejenak keliarkan matanya, lalu berkata pula, “Terus terang, segala sesuatu yang terjadi dalam istana
sekecil ini, tentu tak terlepas dari pengetahuanku!”
Sin-bu Te-kun tertawa lepas, “Di dalam kitab Im-hu-po-coan juga terdapat semacam ilmu begitu, hanya namanya
yang berlainan, ialah Liok-ji-thong-leng ( enam telinga menembus alam ). Rasanya tak lebih rendah dari ilmu Lu lo-
hiapsu....”
Ketua Thia-hiat-bun tertawa misterius, “Berapa jauhnya ilmu Liok-ji-thong-leng itu dapat menangkap suara?”
“Seluas tiga li dapat membedakan langkah kaki orang!” jawab Sin-bu Te-kun dengan bangga.
Lu Liang-ong tertawa tergelak-gelak. Lama sekali belum berhenti, Sin-bu Te-kun memgerutkan alis.
“Mengapa? Apakah lo-hiapsu terserang penyakit?”
Ketua Thiat-hiat-bun terpaksa berhenti tertawa, ujarnya, “Aku tak sakit melainkan menertawakan pengalamanmu
yang sedemikian dangkal itu. Hanya dapat menangkap suara sejauh tiga li saja mengapa sudah dibanggakan?”
Merah padam muka Sin-bu Te-kun atas hinaan itu. Rasa malu merobah menjadi gusar, “Coba katakan sampai di
mana kelihayan ilmu ‘Melihat langit mendengar bumi’ mu itu?”
“Seluas lima belas li aku dapat mendengarkan angin berhembus, rumput bergoyang dan serangga beringsut!” sahut
ketua Thiat-hiat-bun.
Seketika berobahlah wajah Sin-bu Te-kun, namun ia masih bersikap tenang. Serunya dengan tertawa dingin, “Kata-
kata besar itu biasanya hanya untuk menggertak orang saja!”
Tiba-tiba Jenggot Perak Lu Liang-ong picingkan matanya sehingga menjadi selarik garis kecil. Ia memandang dinding
penjara air lalu berkata dengan perlahan, “Saat ini aku dapat melihat apa yang terjadi di sekeliling delapan li…”
“Apa yang kau lihat?” tanya Sin-bu Te-kun dengan nada mengejek.
“Ada dua anak buahmu yang saat ini tengah bertempur dengan orang sakti. Yang seorang terbunuh dan yang seorang
lari……”
“Omong kosong!” teriak Sin-bu Te-kun.
Jenggot Perak Lu Liang-ong tertawa, “Omong kosong atau benar, nanti dapat dibuktikan! Untung masih ada seorang
yang hidup. Asal kakinya panjang (bisa lari cepat), tentu dia bisa selamat kembali ke istana Sin-bu-kiong!”
Muka Sin-bu Te-kun sebentar pucat sebentar merah. Mulutnya tak dapat berkata apa-apa. Thian-leng pun hanya
tercengang-cengang saja mendengarkan percakapan itu.
Ketua Thiat-hiat-bun hanya ganda tertawa. Sebentar-bentar mengedipkan mata ke arah Thian-leng. Sikapnya lucu
sekali. Karena sampai sekian lama Sin-bu Te-kun tak bersuara, akhirnya ketua thiat-hiat-bun itu tertawa, “Dari ribuan
li jauhnya aku sengaja perlukan datang mengunjungi Sin-bu-kiong. Entah apakah saudara bermaksud hendak
bersahabat atau bermusuhan dengan pihakku?”
Sin-bu Te-kun menjawab dengan nada dingin, “Bersahabat bagaimana? Bermusuhan bagaimana?”
“Jika menghendaki permusuhan, partai Thiat-hiat-bun pun tak takut kepada istana Sin-bu-kiong! Anggota-anggotaThiat-hiat-bun saat ini sedang berbondong-bondong kemari. Sekali kau sudah memaklumkan permusuhan, segera
orang-orangku siap bertempur sampai ludas….”
“Kalau Sin-bu-kiong sudah berani memikul tanggung jawab mempersatukan dunia persilatan, sudah tentu tak gentar
terhadap sebuah gerombolan di daerah perbatasan yang menyebut dirinya sebagai partai Thiat-hiat-bun….” Sin-bu
Te-kun berhenti sejenak, katanya pula, “Hanya saja, telah kuperhitungkan bahwa Lu lo-hiapsu tak nanti berbuat
demikian. Karena cucu kesayanganmu itu saat ini berada dalam tanganku. Jika kau sungguh mengandung masksud
bermusuhan, lebih dahulu cucumu yang tersayang itu….”
Sin-bu Te-kun tertawa meloroh. Ia tak menyelesaikan perkataannya, karena sudah cukup jelas. Si dara Bu-song akan
dijadikan barang tanggungan untuk menggertak Jenggot Perak Lu Liang-ong.
Di luar dugaan, ketua Thiat-hiat-bun yang berjenggot putih mengilap itu tertawa lebar, serunya, “Aku tak ambil
pusing dengan cucuku itu. Anak itu memang besar kepala dan manja, biarlah ada orang yang memebrinya hajaran.
Andaikata sampai dibunuh orangpun malah meringankan bebanku dari rongrongannya. Bunuhlah, aku malah
berterima kasih padamu ! ”
Sin-bu Te-kun terkejut mendengar ucapan jago tua itu. Serunya sesaat kemudian, “ Kalau bersahabat lalu bagaimana
?”
Sambil mengusap-usap jenggotnya yang putih mengilat, Lu Liang-ong tertawa, “ Kalau bersahabat, baiklah kau
adakan perjamuan untukku dan anak ini. Aku telah memutuskan untuk mengadakan sebuah Eng-hiong-tay-hwe (
pertemuan besar orang gagah ) di gunung Tiam-jong-san. Akan kuundang seluruh sahabat persilatan untuk hadir.
Kemudian pada saat itu tentu kubantu usahamu untuk merebut kedudukan sebagai Bu-lim-beng-cu ( pemimpin kaum
persilatan ). Setelah selesai barulah aku pulang ke King-lam. Bukankah hal itu sesuai dengan kehendakmu ? ”
”Tiam-jong-san?” Sin-bu Te-kun menegas.
“Ketua partai Tiam-jong-pay adalah sahabat lamaku. Karena aku tak punya banyak kenalan di tionggoan, maka
terpaksa aku hendak pinjam tempatnya di gunung Tiam-jong-san ….ini……mengapa tak leluasa?”
Sin-bu Te-kun tertawa sinis, “Sekalipun kurang leluasa, tetapi mengapa aku takut? Jika Lo-hiapsu bermaksud
sungguh-sungguh hendak mengadakan pertemuan besar itu, sudah tentu aku akan hadir. Entah kapankah kiranya
pertemuan itu akan diadakan?”
“Tahun depan tanggal lima belas bulan satu.”
“Pertengahan bulan satu?” gumam Sin-bu Te-kun, “mengapa harus pada tanggal itu?”
“Mengapa tak boleh pada tanggal itu ? »balas Lu Liang-ong tertawa.
Rupanya Sin-bu Te-kun merasa kelepasan omong. Buru-buru ia batuk-batuk dan berkata. “Bulan satu tanggal lima
belas adalah hari dari sembilan partai besar mengundang Hun-tiong Sin-mo untuk mengadu kepandaian di puncak
Sin-li-hong gunung Busan. Pada saat itu semua tokoh persilatan sama berkumpul di Jwan-tang. Kemungkinan besar
tentu tak ada yang memenuhi undangan ke Tiam-jong-san!”
Ketua Thiat-hiat-bun tertawa lebar. “Tak usah saudara meresahkan hal itu. Ke sembilan partai besar itu pasti akan
merobah tanggal undangannya kepada Hun-tiong Sin-mo!”
“Kenapa?” Sin-bu Te-kun tertegun.
Jenggot Perak Lu Liang-ong tertawa, “Karena Hun-tiong Sin-mo sudah menerima undanganku!”
Kembali Sin-bu Te-kun tersentak kaget, serunya, “Bagaimana dengan ke sembilan partai besar?”
“Bagaimana kalau kuserahkan kepada saudara untuk mengundang mereka?” Lu Liang-ong tertawa.
Lagi-lagi wajah Sin-bu Te-kun berobah, ujarnya, “Selama ini Sin-bu-kiong tak mempunyai hubungan dengan ke
sembilan partai besar. Msing-masing menuntut jalannya sendiri-sendiri. Permintaan lo-hiapsu ini, aku……”
“Ah janganlah menolak, “Lu Liang-ong tertawa, “tentang hubungan Sin-bu-kiong dengan ke sembilan partai besar....
tak perlu disinggung-singgung......”
Dan belum lagi Sin-bu Te-kun menyahut, ketua Thia-hiat-bun itu sudah menyeletuk pula, “ Eh, bagaimana sikap kita
ini? Bermusuhan atau bersahabat?”
Sin-bu Te-kun mendengus dengan geram. Tiba-tiba ia berputar tubuh dan memberi perintah kepada anak buahnya
supaya menyiapkan perjamuan. Kemudian tanpa menghiraukan Lu Liang-ong dan Thian-leng serta keempat penjaga
yang terbunuh mati dalam penjara air, ia segera melangkah pergi......
“Buyung, kau tentu lapar, mari kita suruh dia menjamu dulu!” Jenggot Perak Lu Liang-ong menarik tangan Thian-leng.
oooo0000ooooo
Mengadu Kesaktian
Ketika menghadapi meja perjamuan yang tumpah ruah penuh dengan segala macam hidangan lezat, Jenggot perak
Lu Liang-ong segera gunakan ilmu menyusup suara membisiki Thian-leng, “Buyung, tak usah sungkan. Hidangan tak
ada racunnya, makanlah sepuasnya. Habis makan baru kita pergi…..”
Kala itu mereka berada dalam sebuah ruangan yang indah hiasannya, menghadapi meja yang penuh hidangan dan
dilayani oleh berpuluh bujang wanita. Lu Liang-ong bersikap sebebas-bebasnya. Tanpa dipersilakan oleh Sin-bu Te-
kun lagi, segera ia menyambar cawan arak, terus diteguk habis.
Melihat sikap jago tua itu, diam-diam Thian-leng gelisah. Iapun gunakan ilmu menyusup suara, “Locianpwe, cucumu
nona Lu…….”
“Hai, apakah kalian berdua…..?” Lu Liang-ong tertawa mengikik lalu meneguk cawannya lagi.
Melihat kedua tamunya saling menggunakan ilmu menyusup suara untuk bercakap-cakap, timbullah kecurigaan Sin-
bu Te-kun. Namun ia pura-pura tak melihatnya. Seolah-olah tak terjadi suatu apapun, ia tetap perintahkan pelayan-
pelayan untuk menuangkan arak dan menghidangkan makanan yang lezat-lezat.
“Nona Lu masih berada dalam penjara Si-lo, bagaimana kita bisa tinggalkan tempat ini?“ kembali Thian-leng bertanya
dengan ilmu menyusup suara.
“Budak itu memang kelewat liar, biarlah ia rasakan sedikit penderitaan!” Lu Liang-ong tetap acuh tak acuh.
Jawaban itu membuat Thian-leng heran sekali. Sikap manja dari dara itu tenttulah karena jago tua itu kelewat
menyayangnya. Mengapa tiba-tiba sekarang tak dipedulikan?
Tatkala ia hendak membuka mulutnya lagi, tiba-tiba seorang penjaga istana masuk menghadap Sin-bu te-kun.
Dengan tergagap-gagap orang itu memberi hormat kepada pemimpinnya.
“Ada urusan apa?” bentak Sin-bu Te-kun.
Penjaga tua waju ungu itu memandang sejenak kepada Thian-leng dan Lu Liang-ong, tampaknya ia kurang leluasa
bicara.
Melihat itu Lu Ling-ong mengulum tawa. Ia meneruskan makan dan minum seenaknya.
“Tak apa-apa, katakanlah!” kembali Sin-bu Te-kun berseru.
Mendengar perintah barulah si baju ungu berani berkata dengan suara perlahan, “Dua orang murid dari paseban Hian-
tian telah bertempur dengan musuh di luar istana, satu meninggal satu terluka…….”
Serentak bangkitlah Sin-bu Te-kun dari tempat duduknya, “Di mana terjadinya peristiwa itu?” serunya dengan gusar.
“kira-kira tiga belas li jauhnya……”
Tiba-tiba Lu Liang-ong menyeletuk, “Berita yang kau bawa itu bukan hal yang baru! Tadi akupun sudah mengatakan
kepada Te-kun kalian!”
Wajah Sin-bu Te-kun seperti direbus, serunya nyaring,” Siapakah orang yang berani mencabut kumis harimau itu?”
“………………..Tiam-jong-pay…….” sahut pengawal baju ungu dengan tergagap.
“Tiam-jong-pay…!” Sin-bu te-kun berseru tertahan. Kemudian ia berpaling kepada Lu Liang-ong, “Bukankah tadi Lu
lohiapsu mengatakan bahwa nanti bulan satu tanggal lima belas akan mengadakan rapat besar kaum gagah di
gunung Tiam-jong-san? Mengapa sekarang mendadak orang Tiam-jong-pay berani mengganggu istanaku ini….?”
Lu Liang-ong tertawa, “Apakah kau menuduh aku hendak mengadu domba?”
“Memang sukar untuk dikata.” sahut Sin-bu Te-kun, “namun sekali Sin-bu-kiong sudah berani mencita-citakan
menguasai dunia persilatan, sudah tentu tak takut pada siapa saja….”
Lu Liang-ong hanya tertawa hambar. Dia tak mau menyahut tetapi gunakan ilmu menyusup suara kepada Thian-leng,
“Buyung, sudahlah, jangan pikirkan apa-apa. Makanlah sekenyangmu, habis itu kita pergi!”
Memang Thian-leng merasa lapar. Iapun segera menurut perintah jago tua itu.
Masih penjaga baju ungu itu berkata dengan terbata-bata, “Karena hal ini.... menyangkut ke sembilan partai, maka
hamba mohon Te-kun sudi memberi petunjuk...”Sin-bu Te-kun mendengus, ujarnya sambil mengerutkan dahi, “Segera lepaskan burung merpati supaya membawa
surat kepada ketua Tiam-jong-pay Poh-ih-siau-su Li Cu-liong agar dalam waktu tiga hari mengantarkan anak buahnya
yang bersalah itu kemari menerima hukuman. Kalau tidak, akan kukerahkan anak buah Sin-bu-kiong untuk
meratakan markas Tiam-jong-pay!”
Serta merta pengawal baju ungu itu mengiyakan dan minta diri. Pada saat itu Jenggot Perak Lu Liang-ong pun sudah
kenyang melalap hidangan. Sambil mengusap-usap mulut, ia berkata, “Jangan lupa bahwa aku sudah meminjam
tempat Tiam-jong-san untuk mengadakan pertemuan besar. Takkan kubiarkan tempat itu dirusak orang. Jika saudara
sungguh-sungguh....”
“Kalau begitu Lu lo-hiapsu hendak mewakili pihak Tiam-jong-pay untuk mempertanggung jawabkan peristiwa itu?”
tukas Sin-bu Te-kun.
“Maksudku,” kata Lu Liang-ong, “kalau hendak membikin perhitungan, baiklah ditangguhkan sampai pertemuan besar
itu selesai diadakan.”
“Jika aku tak setuju?”
“Sekali partai Thia-hiat-bun masuk ke daerah iong-goan, tentu takkan membiarkan namanya jatuh! Dimulai dari aku
si orang tua, seluruh anggota Thiat-hiat-bun menyatakan berdiri di belakang Tiam-jong-pay!”
Mata Sin-bu Te-kun meliar buas, serunya, ”Jangan lupa bahwa hidup matinya cucumu itu masih berada dalam
tanganku!”
Jenggot perak Lu Liang-ong tertawa meloroh, “Telah kukatakan tadi, membunuh budak perempuan itu berarti
mengurangi bebanku. Silakan bunuh saja.....................” ketua Thai-hiat-bun itu berpaling kepada Thian-leng,
ujarnya, “Buyung, apa sudah kenyang? Mari kita kita pergi!”
Mimik Sin-bu Te-kun berobah gelap, serunya, “Kuhormati pribadi Lu lo-hiapsu, tetapi hal itu bukan berarti aku takut
padamu atau gentar terhadap partai Thiat-hiat-bun.....”
“Ah, kau keliwat merendah!” Lu Liang-ong tertawa sambil mengurut jenggot peraknya yang putih mengkilap. Ia
bangkit hendak angkat kaki. Thian-leng pun mengikuti tindakan jago tua itu. Ia berdiri tetapi diam-diam salurkan
tenaga dalam untuk berjaga-jaga.
Wajah Sin-bu Te-kun makin merah, bentaknya dengan bengis, “Tua bangka Lu, jika dalam waktu tiga hari Tiam-jong-
pay tak menyerahkan orangnya, bukan saja cucu perempuanmu akan kubunuh, gunung Tiam-jong-san pun akan
kubumi-hanguskan!”
Enak saja ketua Thiat-hiat-bun itu menyahut, “Akan kusampaikan ucapanmu itu kepada Tiam-jong-pay. Mau bersikap
musuh atau sahabat, terserah saja padamu. Atau menyelesaikan dulu pertentangan antara Sin-bu-kiong dengan
Tiam-jong-pay, kemudian baru mengadakan pertemuan besar tokoh-tokoh persilatan pun baik saja...... Atas
kerepotanmu menjamu hidangan tadi, nanti Tiam-jong-san tetntu akan membalasnya, nah, selamat tinggal!”
Habis berkata jago tua itupun segera melangkah pergi.
“Nanti dulu!” tiba-tiba Sin-bu Te-kun menghadang.
“Apa ? Apakah sekarang mau menantang berkelahi ?“ tegur Lu Liang-ong dengan nada berat.
Sin-bu Te-kun tertawa sinis, “Aku bukanlah orang yang tak menghormati peraturan, tetapi…“
Ia menunjuk pada Thian-leng, “Anak muda itu telah mengucap sumpah, akan bertempur melawan aku sampai seratus
jurus. Sekarang masih kurang sepuluh jurus yang belum diselesaikan. Tambahan pula, tindakannya membunuh ke
empat anak buahku tadipun memerlukan ia harus tinggal di sini dulu ! “
Mata Jenggot perak Lu Liang-ong berputar sebentar, lalu katanya, “Selain paham dalam ilmu ‘melihat-langit-
mendengar-bumi’, aku si orang tua ini juga mempunyai semacam kesaktian. Apakah kau ingin mengenalnya ? “
Sin-bu Te-kun terbeliak mendengar jawaban orang yang menyimpang dari pertanyaan tadi, serunya , “Masakah kau
hendak mengunjuk kepandaian di hadapanku ? “
Jenggot perak Lu Liang-ong tertawa gelak-gelak, “Benar, aku si orang tua memang bermaksud demikian…… “ ia
mengedipkan mata, “Hanya pertunjukan itu memerlukan lapangan yang luas ! “
Sampai berapa jauh kesaktian jago Thiat-hiat-bun itu, ingin juga Sin-bu Te-kun untuk menjajakinya. Setelah
merenung sejenak, berkatalah ia, “Halaman di ruang muka luasnya duapuluhan tombak, bagaimana kalau kau
berikan pelajaran padaku di situ saja ? “
Lu Liang-ong melirik ke arah ruang dalam, ujarnya, “ Dua puluh tombak cukuplah…. “ ia tarik tangan Thian-leng,
“Untuk mempertunjukkan ilmu gaib itu, harus ada seorang pembantu. Tolong kau bantu!”
Terpaksa Thian-leng mengiyakan. Sin-bu Te-kun makin heran. Segera ia ayunkan langkah menuju keluar halaman.Sekeliling halaman penuh dengan anak buah Sin-bu-kiong yang siap sedia dengan senjatanya. Jelas bahwa
sebelumnya memang Sin-bu Te-kun sudah mempersiapkan penjagaan yang kuat.
Setelah tiba di tengah halaman, dengan masih memimpin tangan Thian-leng, berserulah Jenggot perak Lu Liang-ong
dengan nyaring, “Aku si orang tua hendak mempertunjukkan sebuah ilmu permainan yang cukup memesonakan.
Nanti semua serangga yang berada seluas sepuluh tombak tentu mati. Maka kuharap kalian menyingkir agak jauh
sedikit!”
Sin-bu Tekun ganda tersenyum, tetapi diam-diam hatinya kebat-kebit. Segera ia memberi perintah supaya anak
buahnya mundur sedikit. Merekapun menyingkir sampai batas sepuluh tombak. Dengan penuh perhatian ia mengikuti
apa yang akan terjadi.
Ketua Thiat-hiat-bun tertawa riang, serunya, “Apa yang kupertunjukkan disebut Sin-liong-sam-sian ( naga sakti tiga
kali muncul ), suatu ilmu meringankan tubuh yang istimewa…” Tiba-tiba ia menggunakan ilmu menyusup suara
kepada Thian-leng, “Perhatikanlah pohon besar yang berada di sebelah selatan tiga puluh tombak dari sini itu! Itulah
tempat pertama munculnya Sin-liong sam-sian…”
Thian-leng sudah mempunyai rabaan, ia menyahut dengan ilmu menyusup suara juga, “Tetapi kepandaianku masih
rendah, dikuatirkan tak dapat mengikuti lo-cianpwe…”
Tiba-tiba Sin-bu Te-kun berseru dengan agak marah, “Bagaimanakah kehebatannya ilmu meringankan tubuh itu! Lu
lo-hiapsu, apakah kau hendak menggunakan kesempatan…”
Jenggot perak Lu Liang-ong tidak memperdulikan kata-kata Sin-bu Te-kun. Segera ia menarik Thian-leng seraya
membentaknya, “Naiklah!”
Thian-leng sudah dapat menagkap maksud Lu Liang-ong. Maka diam-diam ia sudah kerahkan seluruh tenaganya.
Begitu ditarik segera ia enjot tubuhnya ke udara. Ditambah dengan tarikan Lu Liang-ong tadi, maka meluncurlah
tubuh keduanya bagai meteor yang melesat di udara. Tepat mereka hinggap di puncak pohon yang berada tiga puluh
tombak jauhnya seperti yang ditunjuk si Jenggot perak tadi.
Bukan kepalang marahnya Sin-bu te-kun mengetahui dirinya ditipu mentah-menatah. Segera ia menggerung keras
dan hendak enjot tubuhnya mengejar. Tetapi secepat itu terdengarlah Lu Liang-ong membentaknya, “Awas, panah
Hong-thau-kiong ku akan mengambil kedua matamu!”
Ketua Thiat-hiat-bun itupun mengayunkan tangan kanannya. Walapun kemarahannya menyala-nyala, tetapi Sin-bu
Te-kun cukup mengetahui kelihayan panah Hong-thau-kiong dari Thiat-hiat-bun yang tak pernah luput. Segera ia
mendorong dengan kedua tangannya dan dengan meminjam tenaga dorongan itu ia apungkan tubuhnya sampai
beberapa meter ke udara.
Di luar dugaan, taburan Lu Liang-ong itu hanya gertakan kosong. Kembali Sin-bu te-kun termakan tipu. Ia harus
berjumpalitan di udara untuk menghindari angin kosong !
Dalam pada itu Lu Liang-ong pun tertawa geli. Katanya kepada Thian-leng, “Buyung, tempat munculnya Sin-liong-
sam-sian yang kedua ialah pada puncak lereng yang tinggi itu. Kali ini kita harus loncat sampai empat puluhan
tombak. Slain tenagaku, kau sendiripun harus gunakan tenaga!”
Thian-leng kerahkan seluruh tenaga ke arah kedua kakinya. Begitu ditarik Lu Liang-ong segera ia loncat
mengikutinya. Pada saat itu Sin-bu Te-kun menyadari dirinya tertipu, segera ia enjot tubuhnya mengejar ke puncak
pohon, tetapi saat itu Lu Liang-ong dan Thian-leng sudah berada di puncak tingkat ( loteng ) yang tinggi. Loteng itu
merupakan tingkat yang tertinggi dari gedung Sin-bu-kiong. Dari situ dapat melihat seluruh bangunan istana Sin-bu-
kiong. Di sebelah selatan kira-kira lima puluh tombak, terdapat dinding tembok. Apabila melintasi dinding tembok itu,
maka sudah dapat keluar dari Sin-bu-kiong.
Diam-diam Thian-leng gelisah. Lima puluh tombak bukan jarak yang mudah dilompati. Apalagi seluruh anak buah Sin-
bu-kiong pun sudah beramai-ramai mengepung dengan membawa obor. Bahkan saat itu Sin-bu te-kun sendiri juga
sudah mengejar.
“Buyung, tempat ketiga dari munculnya Sin-liong-sam-sian ialah dinding tembok sebelah selatan itu. Kali ini kita
harus loncat lima puluh tombak jauhnya…”
“Lo-cianpwe, ini tak mungkin……..”
“Di dunia tiada hal yang tak mungkin! Apakah kau hendak suruh aku si orang tua begini menggendongmu!” bentak
ketua Thiat-hiat-bun dengan murka. Berabreng dengan itu terdengar gemboran keras dari Sin-bu Te-kun yang
melayang mengejar.
Jenggot perak Lu Liang-ong tertawa mengejek, “Tolol, lihatlah Hong-thau-kiong makan kedua matamu!” ia ayunkan
tangan kanannya.
Sin-bu Te-kun tak percaya kalau orang benar-benar hendak menimpuknya. Dan kedua kalinya ia sedang dirangsang
kemarahan, maka tanpa menghiraukan suatu apapun, ia terus melayang. Dan memang selama itu tak terjadi apa-apa. Bahkan ketika hampir dekat ia seilangkan kedua tangannya untuk melindungi mata. Begitu tiba segera ia hendak
menghantam remuk lawan!
Tiba-tiba terdengar Lu linag-ong tertawa gelak-gelak. Ternyata ancamannya kali ini bukan gertakan kosong tetapi
sungguh-sungguh. Hanya saja yang diarah bukan mata melainkan kedua bahu orang.
Panah rahasia yang berkepala burung Hong dari partai Thiat-hiat-bun itu sudah bertahun-tahun menggetarkan dunia
persilatan. Tak pernah panah itu gagal memenuhi tugasnya. Cikal bakal pendiri Thiat-hiat-bun yang dulu merendam
panah itu dalam racun. Setiap korban tentu binasa. Tetapi untunglah ketua Thiat-hiat-bun yang sekarang tak mau
melanjutkan warisan itu. Ia melarang panah diberi racun dan tak boleh sembarangan digunakan. Maka sekalipun
panah Hong-thau-kiong termasuk salah satu dari tiga-senjata-rahasia ampuh dalam dunia persilatan, tetapi yang
binasa karena panah itu boleh dikata tak ada!
Setelah menghisap ilmu kepandaian dalam kitab pusaka Im-hu-po-kip, Sin-bu Te-kun bercita-cita hendak menguasai
dunia persilatan. Memang telah didengarnya juga tentang panah sakti dari Thiat-hiat-bun itu, tetapi dalam hati ia tak
tunduk. Adalah karena hendak menggunakan tenaga partai Thiat-hiat-bun, maka ia tetap bersabar terhadap tingkah
laku ketua Thiat-hiat-bun.
Tetapi kini setelah dirinya dipermainkan begitu rupa oleh Lu Liang-ong, tak dapat lagi ia menahan kemarahannya.
Persetan dengan panah hong-thau-kiong!
Alangkah terkejutnya ketika menghadapai tipu orang yang licin. Ia tak menyangka bahwa yang di arah lawan bukan
kedua matanya, melainkan bahu.
Anda sedang membaca artikel tentang Panji Tengkorak Darah 1 dan anda bisa menemukan artikel Panji Tengkorak Darah 1 ini dengan url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/09/panji-tengkorak-darah-1.html,anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel Panji Tengkorak Darah 1 ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,namun jangan lupa untuk meletakkan link Panji Tengkorak Darah 1 sumbernya.

Unknown ~ Cerita Silat Abg Dewasa

Cersil Or Post Panji Tengkorak Darah 1 with url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/09/panji-tengkorak-darah-1.html. Thanks For All.
Cerita Silat Terbaik...

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar