lanjutan Han Bu Kong

Diposting oleh eysa cerita silat chin yung khu lung on Senin, 05 September 2011

lanjutan han bu kong

Yap manjing tertawa, katanya, ‘Meski kawanan pengemis ini suka berlagak
setan dan main gertak, tapi kelakuan mereka pun tidak terlalu jahat.”
Lamkiong Peng sendiri sedang berpikir, “Kawanan pengemis ini pasti ada
hubungan erat dengan suhu, kalu tidak masakah hanya bergebrak satu kali
saja lantas ,mengenali asal-usul perguruanku?” “Meski Go-kui-pang
(gerombolan setan lapar) ini tidak menentu baik jahatnya, tapi sasaran yang
mereka incar biasanya pasti manusia kaya yang tidak berhati baik, “ujar Ban
Tat sambil menatap kakek botak tadi.
Kakek itu ternyata sedang memandang Lamkiong Peng dengan terkesima,
tampaknya kagum dan juga iri, mendadak ia menjura kepada anak muda itu.
Cepat Lamkiong Peng membalas hormat, katanya kemdian. “Ah, hanya urusan
kecil begini, buat apa Lotiang (bapak) memberi hormat sebesar ini?”
“Ya memang urusan kecil, mestinya aku tidak perlu banyak adat,
penghormatan sekedar saja sudah cukup, “kata kakek botak itu, “Tapi yang
kau selamatkan adalah harta bendaku dan bukan menolong jiwaku, sebab
itulah penghormatanku harus kuberikan dengann sepenuhnya.”
Yap manjing dan Lamkiong Peng saling pandang dengan bingung.
Si botak lantas menyambung, “Keluarga Lamkiong kaya raya menjagoi dunia,
jika engkau benar Lamkiong kongcu, pasti engkau terlebih kaya dari padaku,
sebab itulah penghormatanku ini juga harus kulakukan dengan sebesarbesarnya.”
“O, apakah penghormatanmu ini ditujukan kepada uangnya?” ujar Manjing.
“Memang betul, malahan penghormatanku ini juga ditujukan kepada ayahnya
yang kaya itu,” ujar si kakek botak.

Lamkiong Peng melongo oleh uraian orang yang luar biasa ini.
“Jadi yang kau hormati adalah kekayaan seorang, bagimu uang di atas
segalanya, begitu bukan?” tanya Manjing.
Dengan serius si kakek botak menjawab, “Benda apa pun di dunia ini tidak ada
yang lebih penting daripada uang. Di dunia ini tidak ada yang berharga selain
sepotong uang perak, dengan sendirinya dua potong uang perak akan lebih
berharga lagi, dan yang lebih berharga daripada dua potong uang perak adalah
tiga....”
“Tiga potong uang perak, begitu bukan?.....” tukas Manjing, mendadak ia
mendekap di pundak Lamkiong Peng dan tertawa geli.
“Jika begitu, tentu engkau ini sangat kaya, rupanya Yu-leng-kun-kai itu
memang tidak salah lihat,” kata Ban Tat dengan tertawa.
Air muka si kakek botak berubah seketika, sahutnya sambil merangkul erat
karung goni yang dibawanya, “O, tidak, tidak! Mana aku punya duit.........”
Karena gugupnya, tanpa terasa ia bicara dengan logat kampungnya.
Lamkiong Peng menaha rasa gelinya dan berkata, “Lotiang ternyata tahu cara
sayang terhadap duit, sungguh aku sangat kagum.......”
“Saat ini orang yang minta duit padamu sudah pergi, tentu kaupun boleh pergi
saja,” sela Manjing. Tiba-tiba teringat kepada urusan sendiri, pelahan ia
berkata pula, “Dan aku pun akan pergi.”
Ban Tat berdehem, “Setelah bertemu dengan kongcu dan ternyata tidak
berkurang suatu apa pun, sungguh aku sangat gembira. Segera aku akan
menuju ke Kwangwa, entah kongcu akan pergi kemana?”

“Aku.......” tiba-tiba timbul rasa kesepian dalam hati Lamkiong Peng, “Aku
ingin pulang rumah dulu, kemudian.....” ia memandang jauh ke depan dengan
hampa.
“Jika begitu....” sela Manjing tidak melanjutkan ucapannya, dia masih
memegang surat tinggalan Put-si-si-liong, sesungguhnya di sangat berharap
sepatah kata Lamkiong Peng saja dan dia rela mendampingi anak muda itu
selamanya.
Akan tetapi hati Lamkiong Peng terasa pedih dan tidak sanggup berucap.
Diam-diam Ban Tat menghela nafas, katanya, “Jika nona Yap tidak ada urusan,
apa alangannya berangkat ke Kanglam bersama Lamkiong kongcu, semoga
kalian menjaga diri dengan baik, kumohon diri dulu.”
Ia memberi hormat terus melangkah pergi.
“Tik Yang keracunan dan menjadi gila, kemana perginya juga tidak jelas,
apakah engkau tidak mau ikut mencarinya bersamaku?” tanya Lamkiong Peng.
Seketika Ban Tat berhenti dan berpaling kembali.
Tiba-tiba si kakek botak berkata, “Tik Yang yang kcumaksudkan itu apakah
seorang pemuda berpedang dan keracunan parah itu?”
“Betul,” jawab Ban Tat dengan girang.
“Dia sudah ditolong Yan-pek (arwah cantik) Ih Lo dari kawanan setan lapar itu
serta dikirim ke Kwan Gwa,” tutur Kakek botak itu.
“Untung mendadak ia muncul mengganggu, kalau tidak mana bisa kulari
sampai di sini. Tampaknya Ih-jinio itu rada menaksir padanya dan tentu
takkan membikin susah dia, kukira kalian tidak perlu kuatir baginya.”

Lamkiong Peng menghela nafas lega, tanyanya, “Dan entah perempuan
macam apakah Ih-jinio yang berjuluk arwah cantik itu?”
“Orang baik tentu akan selamat, setiba di kwangwa nanti tentu akan kucari
jejak Tik Kongcu,” kata Ban Tat, “Menurut pandanganku, Ih-jinio pasti bukan
orang jahat, apalagi dia menaksir Tik kongcu, kalau tidak mustahil dia mau
pulang ke kwan gwa secepat itu. Setiba disana tentu dia akan berdaya
sebisanya untuk menolong Tik Kongcu. Kalian tahu, ketulusan hati dan
kemurnian cinta terkadang menimbulkan kekuatan yang sukar dibayangkan.”
“Kemurnian cinta terkadang menimbulkan yang sukar dibayangkan,” ucapan
ini terus menyelimuti benak Yap manjing. Waktu ia mengangkat kepala,
dilihatnya Ban Tat sudah pergi jauh.
Sekian lama Yap manjing berdiri terkesima, dilihatnya muka Lamkiong Peng
rada pucat dan diam saja. Mendadak si nona menggentak kaki dan melengos.
Ditunggunya sekian lama dan Lamkiong Peng tetap tidak bicara apa pun
padanya, akhirnya gadis yang berhati keras ini pun melangkah pergi.
Dengan terkesima Lamkiong Peng memandangi bayangan si nona, ucapan Ban
Tat tadi pun berkecamuk dalam benaknya, samar-samar muncul berbagai
bayangan orang, tiba-tiba di rasakan sebagai bayangan Bwe Kiam soat, tapi
dirasakan pula seperti bayangan sebagai bayangan Bwe Kiam soat, tapi
dirasakan pula seperti bayangan Yap manjing.
Kelelahan dan kelaparan selama beberapa hari, pertentangan batin dan kusut
memikirkan cinta, semua itu memeras tenaga dan pikiran..........mendadak
dirasakan tangan dan kaki lemas, seperti menginjak tempat kosong, terus
roboh.
Si kakek botak menjerit kaget.

Yap manjing sedang melangkah ke sana, melangkah lambat, demi mendengar
suara jeritan itu, tanpa terasa ia berpaling. Ketika diketahuinya Lamkiong Peng
menggeletak di tanah, secepat terbang ia berlari kembali, kekuatan apap pun
di dunia ini tidak dapat mencegahnya untuk tidak menghiraukan anak muda
itu.....
**********
Di ufuk timur sudah mulai remang-remang terang, hawa sejuk.
Sebuah kereta berkabin tampak dilarikan menuju ke Sun yang dari kota Se-an.
Kakek aneh yang berdandan aneh dan botak kelimis itu setengah berebah di
depan kabin sambil tetap merangkul erat karung goni yang dibawanya.
Dari dalam kereta terkadang ada suara rintihan dan keluhan sedih dua orang.
Tiba-tiba si kakek botak mengetuk dinding kabin dan berseru, “Hei nona cilik
apakah kaubawa uang perak!?”
“Bawa,” jawab suara orang perempuan dengan marah dari dalam kereta.
Dengan sungguh-sungguh si kakek berkata pula, “Kemana pun pergi, duit
tidak boleh kekurangan.”
Ia tersenyum puas, lalu memejamkan mata dan mengantuk.
Setiba di Sunyang, hari sudah gelap, lampu sudah dinyalakan sana-sini.
Mendadak si kakek membuka mata dan mengetok dinding kabin lagi sembari
bertanya, “Hei nona cilik, banyak tidak uang yang kau bawa?”
“Cukup banyak,” jengek suara di dalam kereta.

Si kakek melirik kusir kereta sekejap dan berpesan,”Carilah sebuah hotel
paling besar, sebaiknya hotel merangkap restoran.”
Pasar malam di kota Sunyang sangat ramai.
Setiba di hotel, dengan lagak tuan besar si kakek memerintahkan kusir dibantu
pelayan hotel menggotong Lamkiong Peng ke dalam kamar, Manjing turun dari
kereta dengan lesu.
“Nona cilik, berikan lima tail perak dulu untuk sewa kereta,” kata kakek botak.
Kusir kereta sangat senang, ia pikir sekali ini tip yang akan diterimanya cukup
untuk minum arak sepuasnya.
Siapa tahu setelah si kakek menerima sepotong perak lima tail dari Yap
manjing, baru saja disodorkan kepada si kusir, mendadak ditarik kembali lagi
sembari berkata,”Berikan kembalinya dua tail dahulu.”
Tentu saja si kusir melenggong, terpaksa ia memberi uang kembalian, lalu
tinggal pergi dengan menggerutu.
Dengan berseri-seri si kakek botak masuk ke hotel, dua tail perak uang
kembalian tadi diberikan kepada pelayan dan berkata, “Siapkan semeja makan
seharga sepuluh tail perak harus disuguhkan sekaligus!”.
Tidak kepalang gembira si pelayan, ia pikir biarpun pakaian tamunya serupa
pengemis, tapi persennya ternyata tidak sedikit. Dengan ucapan terimakasih
pelayan lantas mengiakan.
Dengan lagak tuan besar si botak masuk ke ruangan restoran, dengan karung
goni tetap dirangkulnya ia pilih sebuah meja besar dan duduk di situ.

Pelayan sibuk mengantarkan teh panas dan memberi handuk wangi, tidak
lama kemudian santapann semeja penuh pun selesai di siapkan dengan
tertawa yang dibuat-buat si pelayan menyapa,” Apakah tuan ingin minum
arak?”
Si kakek menarik muka, ucapnya ketus, “Minum arak bisa membikin runyam
urusan, kalau mabuk, biarpun badan digeryangi orang juga tidak tahu, kan
rugi. Padahal kau tahu, mencari uang tidaklah mudah.”
Si pelayan melenggongg, terpaksa mengiakan.
“Eh dimana uang pemberianku tadi?” tanya si kakek mendadak.
“Masih ada,” cepat si pelayan menjawab.
“Tukarkan mata uang tembaga seluruhnya dan lekas bawa kemari.”
Keruan si pelyan melongo. Dua tail perak itu disangkanya tip, tak tahunya
Cuma titipan untuk menukarkan mata uang. Sambil menggerutu terpaksa ia
melangkah pergi.
SI kakek memandang santapan lezat yang tersedia di depannya dengan
menggosok-gosok tangan serupa orang putus lotre, berbareng ia berseru, “He
nona cilik, jika kau perlu menjaga orang sakit, biarlah kumakan sendiri!”
Terdengar suara jawaban Manjing tak acuh di kamar pojok sana.
“Hm, bilamana keluarga Lamkiong bukan orang kaya, biarpun kau pikat
dengan segala macam bujuk rayu juga aku tidak mau menempuh perjalanan
bersamamu,” demikian si kakek botak bergumam sendiri, lalu ia taruh karung
goni di pangkuannya dan menyikat hidangan yang tersedia.

Caranya makan sungguh rakus dan juga besar takarannya, semeja penuh
hidangan itu disapu bersih tanpa sisa.
Pada saat itulah pelayan baru kembali dari menukar mata uang. Si kakek
menghitung dengan teliti mata uang itu, akhirnya ia comot tiga buah mata
uang.
IA ragu sejenak, akhirnya jari mengendur dan dua buah mata uang dijatuhkan
kembali, hanya sisa sebuah mata uang saja ditaruh di atas meja dan berkata
dengan rasa berat, “ini untukmu!”
Si pelayan melongo, katanya kemudian dengan mendongkol, “Kukira boleh
tuan simpan simpan untuk dipakai sendiri saja.”
Si kakek tertawa senang, “Haha, betul juga, biar kupakai sendiri!”
Sebiji mata uang tembaga itu benar-benar diambilnya kembali, lalu angkat
karung goninya dan masuk sebuah kamar dan menutup pintu rapat.
Dengan gemas si pelayan menuju ke halaman dan mengomel panjang pendek.
*********
Di dalam kamar Manjing lagi memegangi semangkuk air obat yang baru
diseduhnya dan disuapkan ke mulut Lamkiong Peng dengan tangan agak
gemetar.
Meski perkenalannya dengan anak muda itu belum lama terjadi, namun aneh,
rasanya sudah timbul semacam perasaan yang sukar dilupakan terhadap
pemuda yang berjiwa luhur dan berdarah panas ini.
“Persahabatan harus dipupuk dengan pelahan, cinta justru timbul dalam
sekejap,” ia jadi teringat kepada ucapan seorang pemikir, pernah dia

mencemoohkan filsafah ini, tapi sekarang baru dirasakan kebenaran ucapan
tersebut.
Ia teringat kepada Koh-ih-hong, Tik Yang dan juga pendekar muda congkak
“Boh-in-jiu” itu, dia pernah berkumpul dengan mereka di puncak Hoasan yang
tinggi dan sepi itu, ia kenal watak dan ketahanan mereka.
Tapi terhadap Lamkiong Peng, pada pertemuan pertama itu juga lantas timbul
rasa sukanya, tapi kemudian terpaksa ia meninggalkan Hoasan dengan
kenangan indah terhadap anak muda itu.
Ia tidak tahu apa yang terjadi di rumah gubuk di puncak Hoasan itu, serupa
halnya ia tidak dapat meraba sebenarnya bagaimana perasaan Lamkiong Peng
terhadap dia.
Sudah tiga hari dia melayani anak muda yang sakit dan tak sadar itu. Dia
enggan bicara dan berdekatan dengan oarng tua itu, tapi ia pun tidak dapat
mencegahnya tinggal bersama di sebuah hotel.
Di dengarnya di kamar sebelah kakek botak itu asyik menghitung mata uang
tembaga, sudah larut malam dia masih sibuk dengan duit, sungguh kakek
yang mata duitan.
Esok paginya, sakit Lamkiong Peng sudah agak sembuh, petangnya dia sudah
dapat turun dari pembaringan. Memandangi Manjing yang agak letih dan kurus
itu, perasaan Lamkiong Peng menjadi tidak enak, ucapnya dengan menyesal,
“Aku sakit, engkau yang repot.”
“Asalkan kau sembuh, apapun kukerjakan dengan senang hati,” ujar si nona.
Terharu hati Lamkiong Peng, tak terduga olehnya selama tiga hari ini telah
sebanyak ini perubahan sikap nona itu terhadapnya. Tanpa terasa ia
memandangnya lagi sekejap dengan penuh rasa terimakasih.

Ketika melihat Lamkiong Peng muncul dalam kamarnya, segera si kakek botak
yang sedang menghitung uang itu menegur dengan tertawa, “Aha, agaknya
sakit mu sudah sembuh?!”
“Terimakasih atas perhatian Lotiang,” jawab Lamkiong Peng dengan
tersenyum.
“Bila aku menjadi dirimu, aku tentu ingin sakit lebih lama lagi,” kata si kakek
dengan tertawa.
Lamkiong Peng melenggong.
Si botak lantas menyambung, “jika bukan lantaran sakitmu, mana anak dara
ini mau mentraktirku makan minum di sini, bila bukan karena kau sakit, mana
nona ini mau memperlihatkan perhatiannya kepdamu. Maka kalau engkau
sakit lebih lama lagi beberapa hari, tentu aku dapat makan enak lebih lama
dan kaupun akan mendapat pelyanan lembut, kita jadi sama-sama gembira,
kenapa tidak mau?”
Dia mencerocos terus hingga ludahnya berhamburan, namun setiap katanya
memang tepat.
Manjing menunduk malu, meski seperti orang sinting, namun ucapan kakek itu
memang kena di hatinya.
Dengan tersenyum Lamkiong Peng berkata, “Jika Lotiang ingin makan minum.
Setelah kusehat nanti tentu akan kutraktir.”
“Haha, bagus,” seru si kakek. Tapi dengan serius ia menambahkan, “Tapi
biarpun kalian telah traktir makan padaku, tidak perlu kuterima kasih padamu.
Kutahu, sebabnya kalian memperbolehkan aku berada bersama kalian adalah

demi keuntungan kalian, tapi aku.....haha, boleh juga kugunakan kesempatan
baik ini untuk makan minum sepuasnya.”
Kata-kata ini kembali kena di hati Lamkiong Peng dan Yap manjing.
“Tapi kalau Lotiang ada keperluan lain, dapat juga kubantu.........”
“Hah, memangnya kaukira aku suka menerima sedekah orang?” jawab si
kakek dengan kereng.
“Umpama pakaian Lotiang, dapat kubelikan beberapa potong baju.........”
“Eh selamanya kita tidak bermusuhan, kenapa sengaja kau bikin sudah
padaku?” cepat si kakek menjawab.
Lamkiong Peng jadi melenggong, “Bikin susah padamu?”
“Coba kau lihat,” si kakek berdiri dan menuding bajunya yang serupa karung
itu, “betapa enak bajuku ini, sama sekali tidak perlu kurisaukan kemungkinan
akan robek.........”
Lalu ia menuding kepala sendiri yang botak, “Dan ini kau tahu, demi untuk
membuat botak kepalaku ini betapa jerih payahku selama ini. Sekarang aku
tidak perlu sibuk merawat rambut, juga tidak perlu keluarkan duit untuk
memotong, inilah cara yang paling baik untuk hidup hemat. Tapi sekarang kau
mau memberi pakaian baru kepadaku, jika kukenakan baju pemberianmu,
tentu setiap saat kuperlu memikirkan baju baru, itu berarti membuang waktu
dan mengurangi kesempatan untuk mencari duit. Bukankah semua itu hanya
membikin susah padaku?”
Lamkiong Peng dan Yap manjing saling pandang sekejap, logika si kakek botak
ini sungguh luar biasa, tapi juga membuat mereka sukar membantah.

Si kakek lantas mendengus dan duduk kembali, sembari makan ia menggerutu
pula, “Maka bila kalian ingin kuiringi kalian, selanjutnya jangan bicara lagi
tentang hal-hal ini. Hm, jika tidak mengingat keuntungan yang akan kuraih,
bisa jadi sudah sejak tadi kutinggal pergi.”
Yap manjing mendengus dan melengos ke arah lain. Sedangkan Lamkiong
Peng hanya menghela nafas menyesal, katanya, “Masa urusan duit bagi lotiang
sedemikian pentingnya?”
Kakek botak juga menghela nafas, “Ai, rasanya sukar bagiku untuk
menjelaskan kepada putra hartawan seperti dirimu ini akan betapa pentingnya
duit. Tapi bilamana engkau sekali tempo menghadapi kesulitan, tanpa
penjelasanku baru kau tahu pentingnya duit.”
Tiba-tiba timbul juga perasaan hampa dalam hati Lamkiong Peng, pikirnya,
“Semoga aku juga dapat mencicipi rasanya miskin, tapi alangkah sulitnya
untuk membuat aku miskin.”
Ia tertawa ejek terhadap diri sendiri.
“Setiap kataku cukup beralasan, memangnya apa yang kau tertawakan?”
oemel si kakaek.
“Yang kutertawai adalah karena sejauh ini belum lagi kuketahui nama
Lotiang,” jawab Lamkiong Peng.
“Ah, apa artinya nama?” ujar si kakek. “Cukup kausebut diriku Ci TI saja.”
“Ci Ti (gila uang)?” Lamkiong Peng menegas dengan heran, “Tapi yang
kutertawai bukan soal ini, lotiang.......”
“Siapa pun tidak berhak mengurus jalan pikiran orang lain,” kata si kakek,
“Apa yang kau pikirkan tentu juga tidak ada sangkut paut dengan ku. Bagiku,

asalkan tingkah laku dan tutur kata orang cuckup baik terhadapku, biarpun
dalam hati dia benci kepadaku juga masa bodoh. Apabila setiap hari selalu
kupikirkan apa yang dipiikir orang lain terhadapku, bisa jadi aku akan berubah
linglung atau sinting.”
Ucapan ini serupa cambuk yang memecut lubuk hati Lamkiong Peng. Ia
tertunduk dan melamun hingga lama.
Dalam pada itu si kakek botak alias Ci Ti sudah kenyang makan, ia mengulet
kemalasan dan memandang Yap manjing sekejap, lalu berucap hambar, “Nona
cilik, kuberi nasehat padamu, janganlah suka mengusut pikiran orang lain,
dengan begitu tentu engkau akan jauh dari kekesalan.”
Manjing juga sedang termenung, ketika ia angkat kepala, dilihatnya si kakek
telah melangkah ke halaman dalam.
Tiba-tiba dari luar masuk belasan lelaki berbaju ringkas dan bersenjata golok,
seorang lelaki kekar lain dengan punggung menyandang sehelai panji warna
merah, memanggul sebuah peti kayu masuk ke halaman sana.
Langkah beberapa orang itu tampak gesit dan cekatan, sorot mata orang
terakhir itu pun bercahaya tajam, ia melirik sekejap kepada si kakek botak,
masuk ke pintu bulat yang membatasi halaman itu.
Sinar mata si kakek mendadak meneorong terang, dengan tersenyum ia
bergumam, “Angki-piaukok (perusahaan pengawalan panji merah)........” lalu
ia menguap dan berkata pula, “Ai, makan banyak, suka kantuk, lebih baik tidur
saja.”
Ia masuk ke kamarnya dan menutup pintu.
Setelah termenung sekian lama, akhirnya Lamkiong Peng juga berbangkit dan
masuk ke kamar.

Manjiing merasa kesepian, dipandangnya pintu kamar Lamkiong Peng dan
memandang pintu kamar si kakek, ia menghela nafas, lalu ia melangkah
pelahan ke halaman.
Suasana sunyi, cahaya lampu sudah padam. Entah berapa lama Manjing
berdiri di halaman, dari kejauhan terdengar suara kentongan menandakan
sudah lewat tengah malam.
Selagi perasaannya diliputi rasa kekosongan, tiba-tiba dari balik wuwungan
rumah ada orang tertawa pelahan, seorang mendesis, “Untuk apa berdiri
termenung di tengah malam?”
Manjing terkejut, “Siapa?!” bentaknya dengan suara tertahan sambil melompat
ke atas rumah.
Dilihatnya sesosok bayangan secepat terbang melayang ke kegelapan sana,
sungguh sangat mengejutkan kecepatan orang.
“Berhenti!” bentak pula Manjing sembari memburu ke sana.
Akan tetapi meski ginkangnya juga sangat tinggi, ternyata tetap tidak dapat
menyusul orang, ia terus memburu dan mencari di sekitar situ, namun
bayangan orang sudah menghilang.
Lamkiong Peng lagi duduk terpekur di atas tempat tidur, ia berusaha
menenangkan pikiran, tapi rasanya kusut dan sukar diatasi. Ia tidak tahu Yap
manjing melamun di halaman dan juga tidak tahu nona itu melompat keluar
untuk memburu seorang.
Entah sudah berapa lama, ketika pikiran Lamkiong Peng melayang-layang tak
menentu, tiba-tiba di dengarnya suara seperti daun jatuh diluar jendela, cepat
ia melompat bangun dan membuka daun jendela.

Di tengah keremangan malam dilihatnya Yap manjing berdiri di luar dengan
rambut kusut.
“Engkau belum tidur?” tanya Manjing dengan pandangan sayu.
Lamkiong Peng menggeleng, tanyanya, “Apakah nona Yap melihat sesuatu?”
“Baru saja kulihat seorang Ya-heng-jin (orang pejalan malam), telah kususul
dia tapi tidak dapat menemukannya,” tutur si nona.
“Sungguh hebat orang itu, dengan ginkang nona saja tidak sanggup
menyusulnya,” kata Lamkiong Peng dengan terkesiap.
Muka Manjing menjadi merah, ucapnya, “ya, tak terduga di tempat ini juga
terdapat tokoh selihai ini. Anehnya kedatangan orang seperti tidak bermaksud
baik, tapi juga tidak berniat jahat. Sungguh sukar dimengerti dia kawan atau
lawan dan apa maksud kedatangannya?”
“Mungkin dia memang tidak bermaksud jahat, kalau tidak, kenapa dia tidak
berbuat sesuatu?” ujar Lamkiong Peng.
Walaupun di mulut dia bicara demikian, tapi dalam hati ia menyesal juga. Ia
tahu banyak orang kangouw sekarang memusuhinya. Hanya karena membela
Bwe kiam soat sehingga mendatangkan banyak persoalan ruwet ini. Ia sendiri
tidak sanggup memberikan penjelasan mengapa dia bertindak demikian.
“Fajar hampir tiba, silahkan nona masuk saja ke dalam,” kata Lamkiong Peng
kemudian.
Mereka tidak tidur lagi melainkan menuju ke ruangan tengah, keduanya duduk
berhadapan, seketika tidak tahu apa yang perlu dibicarakan.

Terdegar suara ayam berkokok di kejauhan, ufuk timur sudah mulai remangremang
dan membangkitkan berbagai berisik di dunia ini.
Mandadak si kakek botak alias Ci Ti yang gila uang itu melongok keluar pintu
kamar, dengan matanya yang masih sepat ia menegur, “Eh, kalian sungguh
iseng, ternyata mengobrol sepanjang malam, haha, dasar orang muda!”
Tiba-tiba seorang muncul pula dari balik pintu sana dengan mata yang masih
belekan, kiranya si pelayan, dengan tertawa ia menyapa, “Selamat pagi!”
Buru-buru ia mengambilkan air teh, lalu berkata,” Maaf rekening tuan
tamu........”
Mendengar urusan rekening hotel, si kakek botak segera menghilang lagi di
balik pintu kamarnya.
Lamkiong Peng tersenyum, katanya, “Tidak menjadi soal, boleh hitung saja
seluruhnya.”
Dengan tertawa cerah si pelayan menjawab, “Sebenarnya juga tidak banyak,
Cuma tuan besar itu makan minum terlalu banyak, maka seluruhnya menjadi
93 tail lebih........”
Jumlah ini sebenarnya tidak sedikit, tapi bagi pandangan Lamkiong Peng tentu
saja tidak berarti. Tapi segera teringat olehnya di atas tubuh sendiri sekarang
tidak membawa sepeser pun, cara bagaimana akan mampu membayar
rekening hotel dan makan minum sebanyak itu.
Terpaksa ia berpaling dan berkata dengan tertawa kepada Manjing, “Dapatkah
nona Yap membayarkan dahulu?”
Tapi Yap manjing lantas tersenyum, jawabnya, “Selamanya aku jarang
membawa uang.”

Baru sekarang Lamkiong Peng melenggong, dilihatnya mata si pelayan
menatapnya dengan rasa sangsi.
Terpikir pula oleh Lamkiong Peng bahwa dirinya sekarang sudah tidak
membawa lagi sesuatu benda berharga, terpaksa ia berkata kepada pelayan,
“Coba ambilkan alat tulis, biar kubikin secarik surat dan segera dapat kau
pergi ambil uang.”
Meski dengan ogah-ogahan, terpaksa si pelayan ,mengiakan.
Selagi dia hendak melangkah pergi. Sekonyong-konyong pintu si kakek botak
terbuka lagi, kelihatan dia melongok keluar sambil berkata, “Jangan kuatir,
pelayan, memangnya kau tahu siapa kongcuya ini? Jangankan Cuma sekian
puluh tail perak, biarpun sekian ribu laksa tail, cukup dengan secarik bon saja,
kongcuya ini dapat menarik dengan kontan.”
Dengan sendirinya si pelayan kurang percaya, ia melirik Lamkiong Peng
dengan sangsi.
Si kakek botak alias Ci ti atau gila uang itu terbahak, serunya, “Supaya kau
tahu, biar kujelaskan, dia tak lain tak bukan ialah Lamkiong kongcu keluarga
hartawan Lamkiong dari kanglam!”
Seketika air muka si pelayan berubah.
Diam-diam Lamkiong Peng menggeleng kepala, pkirnya, “Ai, dasar manusia
rendah, asal mendengar nama.......”
Tak terduga, mendadak si pelayan bergelak tertawa, habis itu ia lantas
menarik muka dan menjengek, “Hm, meski banyak juga kulihat orang yang
menipu makan minum, tapi tidak pernah kulihat perbuatan sebusuk dan
sebodoh seperti ini, masa.....”

“kau bilang apa?” bentak Manjing dengan mendelik.
Si pelayan menyurut mundur setindak, tapi lantas menjengek pula, “hm, masa
tidak kalian ketahui bahwa berpuluh kota di sekitar daerah ini, dimana
terdapat cabang perusahaan keluarga Lamkiong, hanya dalam waktu beberapa
hari terakhir ini seluruhnya telah dipindah tangankan kepada orang lain.
Segenap bekas pegawai perusahaan Lamkiong itu sudah dibubarkan dan telah
mencari jalan hidup sendiri-sendiri, tapi ternyata ada orang berani lagi
mengaku sebagai Lamkiong kongcu yang maha kaya raya itu, hmk,
hmk..........”
Begitulah pelayan itu mengakhiri ucapannya sambil mendengus berulang
dengan tangan bertolak pingggang dan mata mendelik.
Dengan sendirinya keterangan ini membuat Lamkiong Peng melenggak, Yap
manjing juga merasa bingung.
Perubahan yang mengejutkan ini sungguh luar biasa, sukar untuk dipercaya
hal ini bisa terjadi mendadak begitu, masakah keluarga Lamkiong yang maha
kaya raya itu, sampai menjualkan berpuluh cabang perusahaannya dengan
tergesa-gesa begitu dan mengapa bisa terjadi pula dalam waktu sesingkat itu?
Sungguh sukar diduga mengapa sungai yang membeku itu dapat cair dalam
sekejap?
Uacapan si pelayan tadi juga di dengar oleh si kakek botak yang berdiri di
samping pintu, ia pun melongo heran.
Mungkin baru pertama kali ini selama hidup Lamkiong Peng mengalami
kekikukkan seperti sekarang. Selagi merasa bingung cara bagaimana
menghadapi sikap si pelayan yang tidak sungkan itu, sekonyong-konyong dari
halaman dalam berkumandang suara ribut-ribut.

“Wah....celaka!........celaka!.........” demikian terdengar teriakan ramai orang
banyak.
Pelayan tadi terkejut, cepat ia berlari ke sana dan lupa mengurus Lamkiong
Peng lagi.
Mendadak Lamkiong Peng teringat kepada keluhan singkat yang didengarnya
serta bayangan yang dikejar Yap manjing itu.
“Jangan-jangan terjadi sesuatu pembunuhan di halaman sebelah semalam?
Demikian timbul rasa curiganya.
Karena ingatan itu, serentak ia pun, melangkah ke halaman sana disusul oleh
Yap manjing. Dalam demikian mereka tidak memperlihatkan lagi terhadap
gerak-gerik si kakek botak.
Di halaman sebelah sudah berkerumun orang banyak, ada orang berteriak
kaget dan berlari masuk keluar.
“Sungguh aneh, mengapa semalam tidak terdengar sesuatu suara apapun?”
demikian ada orang berkata.
Segera ada yang menanggapi, “Anehnya hal ini bisa terjadi atas orang Angkipiaukiok
yang termashur, entah orang lihai macam apa sehingga berani
merecoki panji merah yang disegani itu?”
Suara ribut dan komentar oarng yang yang kaget itu membuat hati Lamkiong
Peng tidak tentram karena belum tahu duduknya perkara.
Sesudah dekat, dilihatnya di pintu bulat yang membatasi halaman ini
terpancang panji merah yang berkibar tertiup angin.

Semula disangkanya panji ini adalah panji pengenal Angki-piaukiok, tapi
setelah di perhatikan, kiranya merah panji ini karena lumuran darah, di tengah
warna merah darah itu bersemu biru-hitam, sehingga membuat orang merasa
ngeri.
Ia masuk ke halaman situ, suasana dalam hiruk-pikuk, tapi ruangan kamar
sana sunyi senyap.
Seorang lelaki berbaju panjang, tampaknya seperti kasir atau kuasa hotel
berdiri di luar pintu kamar yang tertutup rapat.
Waktu Lamkiong Peng mendekat, segera lelaki itu mengadangnya dengan
membentangkan tangan dan berucap, “Tempat ini dilarang...”
Belum lanjut ucapannya, sekali dorong Lamkiong Peng membuatnya
sempoyongan dan hampir jatuh terjengkang.
Meski Lamkiong Peng baru sembuh dari sakitnya, namun tenaganya tentu lain
dari pada orang bisa, apalagi dalam keadaan mendongkol, tentu saja cukup
kuat untuk membuta orang itu jatuh.
Waktu ia menolak daun pintu, begitu terbuka, seketika detak jantungnya
hampir berhenti demi mengetahui apa yang terjadi dalam kamar.
Cahaya sang surya pagi menembus masuk melalui celah jendela yang tertutup
rapat sehingga remang-remang di lanati kamar kelihatan bergelimpangan
belasan mayat. Segera dikenali Lamkiong Peng sebagai kawanan lelaki berbaju
hitam yang berdandan ringkas kekar itu, sekarang semuanya sudah
menggeletak tak bernyawa.
Kematian kawanan lelaki kekar ini ternyata tidak serupa. Seorang yang brewok
dengan mata melotot mencengkram kusen jendela sehingga jari pun amblas
ke dalam kayu, ia mati dengan setengah bersandar di dinding.

Pada dadanya yang bidang tertancap miring sehelai panji merah, tangkai panji
yang terbuat dari besi itu hampir ambles seluruhnya ke dalam dada, darah pun
membasahi bajunya yang hitam.
Seorang lagi yang beralis tebal dan bermulut besar rebah terlentang dengan
wajah beringas penuh rasa ngeri, tangannya menggenggam cawan arak yang
sudah pecah, daanya juga tertancap panji merah.
Dan begitulah beberapa kawannya yang lain, ada yang mati duduk di kursi,
ada yang binasa bersandar di kaki meja, ada yang bajunya tidak rapi, bahkan
ada yang telanjang kaki, tampaknya ia ingin lari, tapi belum sempat keluar
sudah roboh binasa.
Cara kematian orang-orang iu tidak sama. Tapi yang membuat mati mereka
ternyata sama yaitu dada tertancap oleh panji merah pengenal yang mereka
bawa sendiri, sekali serang membuat mereka binasa.
Dari sikap orang-orang yang mati ini agaknya belum lagi sempat mereka
melolos senjata dan balas menyerang, tahu-tahu mereka sudah terbunuh.
Pelahan Lamkiong Peng memandangi mayat itu satu-persatu, aliran darah
sendiri serasa mau beku.
Han Bu Kong
Jilid 12
Lamkiong Peng Mengenali kawanan lelaki barbaju hitam ini adalah anak buah
Suma Tiong-thian dari Angki-piaukiok. Padahal para jago pengawal dari panji
merah ini biasanya terkenal berkungfu tinggi dan disegani, namun sekarang
belasan jago pengawal ini sama tergeletak menjadi mayat di hotel kecil ini,
kematiannya juga tampak mengerikan, sungguh kejadian yang sukar
dibayangkan.

Siapakah yang berani merecoki Angki-piaukiok pimpinan Suma Tiong-thian
yang terkenal dengan julukan “Ang-ki-thi-cian-cin-tiongcu” (panji merah dan
tombak baja menggetarkan daratan tengah) itu? Siapa pula yang mempunyai
kependaian setinggi ini, tanpa bergebrak dapat membinasakan jago sebanyak
ini?
Setelah menenangkan diri, Lamkiong Peng Coba masuk ke dalam kamar,
dilihatnya di belakang kelambu juga menggeletak sesosok mayat, agaknya
orang ini ingin lari atau bersembunyi, tapi akhirnya terpantek mati juga.
Orang ini juga mati terpantek oleh gagang bendera pada dadanya.
Lamkiong Peng berjongkok dan mengangkat mayat itu, mendadak hatinya
tergetar, dirasakannya tubuh orang masih hangat, ia coba mengurut hiat-to
orang, ternyata hiat-tonya tidak tertutuk, juga tidak ada tanda keracunan,
sungguh sukar dimengerti mengapa orang ini mandah terbunuh begitu saja
tanpa balas menyerang, apakah lawannya begitu lihai sehingga satu gebrak
pun tidak mampu menangkis?
Selagi Lamkiong Peng merasa sangsi dan ngeri, tiba-tiba mayat yang
dipegangnya bergetar sedikit, tentu saja Lamkiong Peng sangat girang,
pelahan ia bertanya,”Kuatkan dirimu, kawan!”
Orang itu membuka matanya sedikit, ucapnya dengan lemah,”Sia......siapa
kau?”
“Aku Lamkiong Peng, sahabat perusahaan piaukiok kalian, siapa yang
mencelakai kalian, harap katakan.........”
Belum lanjut ucapan Lamkiong Peng segera muka orang itu berkerut dan
bergumam lemah,” Lamkiong Peng.......Lamkiong........habis.......ha........”

“Habis apa maksudmu?” seru Lamkiong Peng terkejut, dilihatnya pandangan
orang menatap ujung rumah dengan kaku, belum sempat “bis” terucapkan,
kepala lantas miring ke samping dan tak dapat bicara lagi untuk selamanya.
Lamkiong Peng menghela nafas, ia coba menoleh ke arah sana, dilihatnya
ujung rumah sana kosong tanpa sesuatu benda, waktu ia mengawasi lebih
lanjut baru dirasakan tempat itu sebelumnya pernah dibuat menaruh barang
sebangsa peti dan sebagainya, tapi sekarang sudah hilang.
“Perampokan!” demikian kesimpulan yang dapat ditarik Lamkiong Peng bila
melihat keadaan ini, namun peristiwa ini cukup misterius dan mengerikan.
Lamkiong Peng tidak tahu ucapan orang tadi, apakah mungkin urusan ini ada
hubungannya dengan keluarga Lamkiong?
Waktu ia berpaling, dilihatnya Yap manjing juga sudah berdiri di belakangnya
dan tampak sedang termenung.
“Lamkiong........... habis..........” demikian Manjing bergumam, mendadak ia
tanya Lamkiong Peng. “Apakah Angki piaukiok sering mengantar harta benda
lagi keluargamu?”
“ya,” jawab Lamkiong Peng sambil mengangguk.
“Jika begitu, barang kawalan mereka sekali ini mungkin juga harta milik
keluarga Lamkiong kalian, sebab itulah tadi dia menyebut nama keluargamu
dan merasa malu untuk menjelaskannya.”
Lamkiong Peng berpikir sejenak, akhirnya menghela nafas panjang.
“Apa yang kau sesalkan?” tanya Manjing. “Meski sedikit harta benda keluarga
Lamkiong Peng kalian dirampok, jumlah sekian tentu juga tidak artinya bagi
kekayaan keluargamu.”

“Mana aku menyesal?” ujar Lamkiong Peng, “Aku hanya merasa bodoh karena
memikirkan urusan yang yang cukup jelas ini dengan ruwet.”
Pada saat itulah mendadak di luar bergema suara anjing yang menyalak,
suaranya galak dan berbeda dengan anjing biasa.
Menuyusul cahaya emas berkelebat, seekor anjing berbulu kuning emas mulus
dengan tubuh panjang serupa busur, mata meneorong terang, kuping kecil,
kuping kecil dan moneong panjang, sekilas pandang serupa seekor kuda kecil,
dengan langkah cepat anjing emas itu lari ke dalam kamar.
Anjing galak ini bukan Cuma suara menyalaknya saja, gerak-geriknya juga
tidak sama dengan anjing umumnya.
Pada lehernya penuh dihiasi mutiara dan rantai emas, hidungnya mengendusendus
ke sana –sini, sikapnya buas.
Seorang berbaju hitam dengan mata elang dan hidung betet, tangan
memegang rantai emas yang mengalung di leher anjing kuning itu ikut masuk
ke dalam kamar, mungkin orang itu adalah pawang anjing kuning emas itu.
Diluar terdengar suara ribut orang banyak, ada yang sedang bicara, “Tak
tersangka detektif ulung dari saiho ‘Kim-sian-loh’ (budak si dewa emas) hari
ini bisa berada di Sunyang.
Dengan kehadirannya, peristiwa perampokan yang terjadi ini pasti akan
terbongkar dengan segera.”
Dalam pada itu si baju hitam alias Kim sian-loh memandang Lamkiong Peng
dan Yap Manjing sekejap dengan kening bekerut lalu ia menoleh dan
bertanya,”Juragan Lim, sebelum kutiba, kenapa kauperbolehkan sembarangan
orang masuk ke sini?”

Juragan hotel yang berdiri di luar tampak gugup, jawabnya takut,”O,
ini....ini.........”
Kim sian-loh mendengus kurang senang.
Melihat anjing kuning emas itu sangat menarik, sungguh Yap manjing ingin
mengelusnya, siapa tahu belum lagi tangannya menyentuh, mendadak anjing
itu menggerang dengan bulu emas menegak.
“Lekas mundur, anak perempuan, apakah kau ingin mampus?!” seru si baju
hitam alias Kim sian-loh.
Alis Manjing menegak, segera ia hendak mengumbar rasa gemasnya, tapi
Lamkiong Peng lantas menarik lengan bajunya sehingga makian yang hampir
dilontarkan ditelannya kembali.
Dilihatnya Kim sian-loh lagi berjongkok dan mengelus punggung anjingnya
sambil berkata,”Jangan marah, mereka tidak berani menyentuhmu lagi!”
Sikapnya itu serupa budak terhadap tuannya.
Segera orang itu berdiri dan membentak, “Siapa kalian? Untuk apa lagi berdiri
di sini?”
“Aku mau berdiri di sini, peduli apa dengan kau?” jawab Manjing dengan ketus
“Hm, sungguh anak perempuan yang tidak tahu diri,” jenegk Kim sian-loh.
“Apakah kau tahu siapa aku? Berani kau ganggu tugasku?”
“Huh, memangnya kau kira aku tidak tahu siapa dirimu? Paling-paling kau
Cuma budak seekor anjing saja,” ejek Manjing.

Ia bicara lantang tanpa tedeng aling-aling, setiap orang yang berada diluar
kamar sama mendengar, keruan semua orang sama berkuatir baginya.
Kiranya anjing bebrbulu kuning emas itu diberi nama ‘kim-sian’ atau dewa
emas, seekor anjing yang sangat cekatan dan juga sangat galak, jago
persilatan umumnya sukar menahan tubrukannya yang kuat. Yang paling
hebat adalah daya ciumnya, segala perkara pembunuhan asalkan anjing ini
dibawa ke tempat kejadian tepat pada waktunya, dengan sedikit bau yang
tertinggal di situ anjing ini sanggup mengusut dan mengejar ke mana larinya
atau tempat sembunyi penjahat.
Sudah sekian tahun entah banyak perkara yang telah dibongkar berkat
ketajaman indra penciuman aning berbulu emas ini. Pemilik anjing yang
berbaju hitam itu juga ikut terkenal karena anjingnya sehingga diberi julukan
kim sian loh atau budak dewa dan jadilah dia detektif terkenal di beberapa
propinsi daerah utara.
Meski dia jaya berkat anjingnya, bahkan mengaku kim sian loh, tapi dia justru
pantang orang menyinggung hal ini. Sekarang tanpa tedeng aling-aling Yap
manjing mengejek boroknya itu, seketika ia naik darah, segera ia berteriak,
“Mana orangnya, tangkap perempuan kurang ajar ini.”
Manjing mendengus, “Hm, seharusnya anjing budak manusia, tapi ada
manusia justru mau menjadi budak anjing.........Hmk!”
Dengan sikap menentang ia tatap empat petugas yang membawa borgol yang
menerjang masuk itu sambil membentak,”Jika kalian berani maju lagi
selangkah, segera akan kubinasakan!”
Kim sian loh menjadi gusar, diam-diam ia mengendurkan rantai yang
dipegangnya dan mendengus, “Apa betul begitu lihai kau?”
Cepat Lamkiong Peng mengadang di depan manjing dan berkata, “Nanti dulu!”

Melihat pemuda yang mengadang di depan ini meski bermuka agak kurus,
namun sikapnya gagah dan anggun, tanpa terasa Kim sian loh menyurut
mundur.
Semula dia bermaksud melepaskan anjingnya, tapi sekarang dia tidak berani
semabrang bertindak lagi, bentaknya, “Siapa kau? Apakah kau pun.........”
Lamkiong Peng tersenyum dan memotong, “Sudah lama kudengar anda
seorang detektif ulung, masa orang baik atau jahat juga tidak dapat kau
bedakan?”
“Kalian sembarangan berada di tempat pembunuhan dan pencurian, dapatkah
kalian terhindar dari prasangka?” ujar kim sian loh.
“Jika begitu, jadi Kim pohtau menganggap kami ikut tersangkut dalam perkara
ini? Memangnya kami berdiam di sini untuk menunggu ditangkap oleh Kim
pohtau?” jawab Lamkiong Peng.
Kim sian loh mendengus, “Saat ini belum dapat dipastikan, tapi sebentar lagi
segala suatunya tentu akan ketahuan dengan jelas.”
Segera ia mengendurkan pegangannya dan menepuk anjingnya, katanya
“Kim-loji bikin repot padamu lagi.”
Begitu rantai dilepaskan, segera anjing si dewa emas melompat ke depan,
hanya sekejap saja dia telah mengitari empat ruangan, lalu menyalak tiga kali
dan melompat lagi kebawah kaki Lamkiong Peng dan Yap manjing sambil
mengendus beberapa kali, habis itu mendadak melompat pergi lagi
Kembali ia mengitari beberapa kali ruangan itu dengan cepat, kemudian berlari
menyusur kaki dinding, makin lari makin lambat.

Semula Kim sian loh merasa bangga dan penuh keyakinan akan kemampuan
anjingnya tapi ketika anjingnya mengitari ruangan untuk kedua kalinya,
tertampaklah rasa gelisah dan herannya.
Setiap kali anjing itu mengitar lagi satu kali, rasa heran dan cemasnya juga
bertambah, sampai butiran keringat pun menghiasi dahinya. Tanpa terasa ia
pun ikut mengitari rumah sambil bergumam,”He, masa belum kautemukan
sesuatu, Loji.......masa tidak.............”
Manjing tertawa dingin dengan sikap mengejek.
Mendadak terlihat anjing malangkah keluar, serentak perhatian semua orang
yang berdiri di luar pintu terpusat kepada anjing dan memberi jalan padanya.
Kim sian loh menghela nafas lega, ia yakin anjingnya telah menemukan
petunjuk baru, ia melirik Lamkiong Peng dan Yap manjing, katanya, “Awasi
mereka berdua, jangan sampai kabur.”
Lalu ia mengikuti anjing itu keluar.
“Jika benar dia dspat menemukan pembunuhnya, aku justru sangat berterima
kasih padanya,” ucap Lamkiong Peng pelahan.
“Mari kita ikut ke sana,” ajak Manjing.
“Mau kemana?” bentak empat opas yang memegang rantai sambil mengadang
dengan borgolnya.
Tapi sekali tangan Manjing bekerja, terdengarlah suara gemerantang yang
nyaring, borgol dan pentungan yang dipegang keempat opas itu sama jatuh ke
lantai.

Keruan beberapa opas itu terperanjat, belum pernah mereka melihat kungfu
selihai ini, mereka sama melenggong dan menyaksikan Manjing berdua
melangkah keluar dan tidak mencegahnya lagi.
Sementara itu anjing emas kim sian sudah sampai di halaman, sesudah
mengitar sebentar mendadak ia melompat melintasi pagar tembok, tanpa ayal
Kim sian loh ikut melintasi pagar tembok itu, dilihatnya anjingnya sedang
menyalak ke kamar yang terletak di halaman itu.
Sikap Kim sian loh menjadi tegang, segera ia membentak, “Siapa yang tinggal
di sini?”
Orang banyak pun sudah membanjir ke dalam halaman, mendengar
bentakannya, semua orang sama memandang ke belakang, tertampak
Lamkiong Peng dan Manjing sedang mendatangi menyongsong tatapan
berpuluh pasang mata.
“Jadi kalian berdua yang tinggal disini? ?” bentak kim sian loh pula.
“Mau apa jika kami tinggal di sini ?” Jawab Manjing ketus.
“Jika begitu, jadi kalian ini penjahat yang merampok dan juga pembunuhnya,”
teriak kim sian loh.
Suasana menjadi panik seketika, pemilik hotel lantas menyingkir dengan
ketakutan, semua orang sama menjauhi Manjing berdua.
“ Kau harus bertanggung jawab atas ucapanmu,” jengek Lamkiong Peng.
“Selama belasan tahun entah berapa banyak yang telah kuringkus dan tidak
ada satu pun yang keliru tangkap, maka lebih baik kalian menyerah saja.”

Lamkiong Peng melirik sekejap anjing yang sedang menggonggong itu, tibatiba
teringat olehnya si kakek yang gila uang yang misterius dan tamak harta
itu, tanpa terasa berubah air mukanya, ia memburu maju dan mendorong
pintu kamar, ternyata kamar sudah kosong, mana ada bayangan si kakek.
Kim sian loh terbahak-bahak,”Haha, meski begundalmu sudah minggat, asal
kubekuk kalian mustahil jejak begundalmu takkan ketahuan.”
Segera ia mengeluarkan senjata tombak berantai yang melilit di pinggangnya,
sekali menyendal, tombak berantai menegeluarkan suara gemerincing,
pelahan ia mendekati Lamkiong Peng berdua dan membentak,”Ayolah, lekas
kalian menyerah saja untuk dibekuk.”
Para penonton sama menyingkir ketakutan, si pemilih hotel bahkan sudah
kabur. Dengan kening berkerut Lamkiong Peng berkata, “Sebelum terang
duduk perkaranya masakah kau..........”
“Dengan hidung Kim sian, mustahil urusan bisa salah?” kata kim sian loh.
Begitu tombak berantai bergerak, kontan ia sabet kepala Lamkiong Peng.
Kuatir anak muda yang baru sembuh dari sakitnya itu belum kuat, cepat
Manjing memburu maju dengan membentak.
Tak terduga dari belakang lantas terdengar angin menyambar tiba, rupanya si
anjing bulu emas yang sejak tadi hanya menyalak saja kini telah menubruk ke
arahnya dengan buas.
Anjing ini memang bertubuh tinggi besar, setelah berdiri menegak dengan
taring menyeringai, segera leher Manjing hendak digigit.
Keruan semua ornang menjerit kuatir, tampaknya dalam sekejap anak
perempuan yang cantik molek ini akan menjadi mangsa anjing buas.

Namun Manjing semapat mengegos, dengan gesit ia menggeser ke samping.
Tak terduga anjing itu memang sangat tangkas, sekali luput menubruk, segera
ia membalik dan menerkam pula.
Manjing terkejut, diam-diam ia mengakui kelihaian anjing yang tidak kalah
dibandingkan jago silat biasa ini.
Dia memenag tidak ingin melukai anjing itu, sekarang ia tambah sayang
kepada binatang cerdik ini. Hanya sebelah tangannya menabas dan tepat
mengenai kuduk anjing itu sambil berseru kepada Lamkiong Peng,”Lekas kau
mundur saja!”
Dilihatnya Lamkiong Peng cukup tangkas menghadapi tombak berantai Kim
sian loh meski kesehatannya belum pulih seluruhnya. Dengan gerakan yang
lincah ia menghindar kian kemari sehingga tombak lawan sukar
menyentuhnya.
Semua orang tercengang melihat ketangkasan kedua muda mudi ini,
tampaknya mereka memang benar penjahat yang merampok dan membunuh
ini, kalau tidak masakah menguasai kungfu setinggi ini.
Tapi ketika untuk kedua kalinya Kiam sian hendak menerkam Yap manjing
lagi, tanpa terasa mereka menjerit kuatir pula.
“binatang!” bentak Manjing sambil menabas, namun anjing itu tidak kurang
gesitmya, ia sempat menghindar dan mendekam di tanah dan siap menubruk
maju lagi.
Pada saat itulah terdengar suara gemuruh dari luar berlari masuk lagi berpuluh
petugas bersenjata.

Bekerenyit kening Lamkiong Peng, dihindarkannya sekali serangan Kim sian
loh, lalu bentaknya, “jika engkau tidak segera berhenti bikin jelas dulu
persoalannya, jangan menyesal bila aku.........”
Belum habis ucapannya mendadak seorang membentak, “Berhenti semua!”
Menggelegar suara bentakannya, menyusul angin tajam lantas menyambar
dari udara, sebatang tombak dengan ujung terikat sehelai panji merah
meluncur tiba dan ‘crat’, tombak menancap di halaman.
Kim sian loh tekejut dan melompat mundur dari kalangan.
Terdengarlah suara seorang tua sedang menegur dari jauh, “Kim-pohtau,
apakah penjahatnya sudah kau temukan?”
Begitu lenyap suaranya, muncul juga seorang kakek berambut ubanan dan
berpakaian perlente, dahi lebar dan mulut besar.
“Hah, suma-lopiauthau datang, urusan menjadi mudah diselesaikan, “ seru kim
sian loh girang. Berbareng ia menuding Lamkiong Peng berdua, ‘Penjahatnya
berada di sini.”
“Kau bilang dia penjahatnya?” tanya si kakek dengan dahi bekerenyit, jelas dia
kurang senang.
“Betul, selain keduua muda mudi ini adalagi begundalnya........”
“Tutup mulut!” bentak si kakek sebelum Kim sian loh berucap lebih lanjut.
Kim sian loh tercengang dan menyurut mundur.

Sebaliknya si kakek lantas menyongsong ke depan Lamkiong Peng, sapanya
dengan menyesal, “Ku datang terlambat sehingga Hiantit (keponakan baik)
mendapat perlakuan tidak pantas, harap dimaafkan.”
Lamkiong Peng tertawa sambil memberi hormat, jawabnya, “Tak tersangka
hari ini paman pun datang kemari.”
Si kakek alias suma tiong-thian menarik tangan Lamkiong Peng dan berkata
kepada Kim sian loh, “Kim pohtau coba kemari.”
Dengan bingung kim sian loh mendekati mereka.
“Kau bilang dia ini penjahatnya? Tanya si kakek.
Detektif yang biasanyan sangat angkuh ini sekarang menjadi melenggong oleh
sikap kakek yang kereng ini, seketika ia tidak dapat menjawab.
“Sungguh aku merasa kuatir caramu memecahkan setiap perkara, bila begini
cara kerjamu.” Kata Suma tiong thian.
Kim sian loh memandang anjing kesayangannya sekejap, sekarang anjing ini
juga tampak jinak setelah berhadapan dengan si kakek perlente.
“Wanpe sebenarnya juga tidak percaya, kenyataannya.........”
“Hm, kenyataan apa?” jengek si kakek, sebelum lanjut jawaban kim sian loh,
“Memangnya kau tahu siapa dia?”
Ia merandek sejenak, lalu menyambung dengan pandangan tajam, “Dia tak
lain tak bukan adalah putra kesayangan keluarga Lamkiong yang termashur,
murid sanjungan Put-si-sin-liong, namanya Lamkiong Peng.”

Keterangan ini membuat muka Kin sian loh berubah pucat dan memandang
Lamkiong Peng dengan melongo.
Lamkiong Peng tersenyum, katanya, “Sebenarnya urusan ini.......”
Belum lanjut ucapnya, sekonyong-konyong selarik sinar hitam menyambar tiba
dari kerumunan orang banyak.
Cepat Lamkiong Peng mengegos, si kakek pun membentak dan menghantam,
sinar hitam terpental ke samping, berbareng ia terus memburu kesana.
Manjing tidak bersuara, segera ia pun melayang ke tengah kerumunan orang
banyak, tempat menyambarnya senjata rahasia. Hampir bersama saatnya dia
dan Suma Tiong-thian tiba di situ.
Anjing si dewa emas juga menguntit di belakang si kakek. Namun tiada
seorang pun yang pantas dicurigai, agaknya penyergap itu sudah menyelinap
pergi.
“Apakah Locianpwe ini Thi-cian-ang-ki Suma-Locianpwe?” sapa Manjing
dengan tersenyum.
“Betul,” jawab Suma tiong thian sambil memandang si nona, “dan nona inikah
Khong-jiok Huicu yang termashur itu?”
Manjing hanya menggeleng sambil tersenyum.
Pada saat itulah terdengar seorang lelaki berbaju panjang menuding keluar
sambil berseru, “Itu dia sudah pergi!.........sudah pergi!....sudah pergi!........Ai,
sungguh keji caranya menyerang..........”
Belum habis ucapannya segera Suma tiong-Thian dan Yap manjing memeburu
ke arah yang ditunjuk.

Gemerdep sinar mata lelaki berbaju panjang ini dengan senyuman licik, diamdiam
ia hendak menyusup pergi dari kerumunan orang banyak.
Tak terduga mendadak Lamkiong Peng sudah mengadang di depannya sambil
menegur, “Hm, apakah sahabat mau pergi begitu saja?”
Terkejut juga orang itu.
“Selamanya kita tidak kenal dan juga tidak bermusuhan, mengapa kau serang
diriku dengan senjata rahasia?” tanya pula Lamkiong Peng, pelahan ia
memperlihatkan saputangan yang dipegangnya, pada saputangan itu ada
sebatang senjata rahasia berbentuk aneh, seperti jarum, tajam kedua
ujungnya, dan bercahaya hitam gilap.
“Am-gi (senjata rahasia) sekeji ini, kalau bukan terhadap musuh besar mana
boleh digunakannya?” kata Lamkiong Peng pula.
“Kau .........kau bilang apa? Aku sama..... sama sekali tidak paham? Ujar
orang itu dengan muka pucat.
Berbareng itu kedua tangannya terus menyodok ke dada Lamkiong Peng.
“Hm,” Lamkiong Peng mendengus sambil berkelit.
Orang itu mengannggap lawan cuma seorang pemuda lemah, segera ia
mendesak maju dan menghantam lagi.
Tak terduga, belum lagi hantamannya dilontarkan, tahu-tahu kuduk bajunya
dicengkram orang dari belakang.

Keruan ia terkejut, sekilas melirik dilihatnya Suma tiong-thian berdiri
dibelakangnya dengan muka kereng dan membentak, “Kaum tikus celurut,
berani main gila di depanku!”
Sekali angkat kontan orang itu dilemparkan jauh kesana.
Diam-diam Lamkiong Peng menggeleng kepala, pikirnya, “Sudah lanjut usia
orang ini mengapa perangainya masih keras begini.” Bilamana orang ini
terbanting mati, kepada siapa lagi akan dikorek keterangan pembunuhan di
sini?”
Pada saat itulah mendadak bayangan orang berkelabat lagi, orang yang
dilemparkan Suma tiong-thian itu telah dilempar kembali ke sini. Cepat Suma
tiong-thian menangkapnya kembali, waktu ia mengawasi, ternyata Yap
manjing telah berdiri di depannya dengan tersenyum.
“Hebat amat ginkang nona. Jangan-jangan murid Tan hong siancu? Kata si
kakek.
Manjing tersenyum, “Sungguh tajam pandangan Locianpwe, wanpwe memang
murid Tan hong adanya.”
“Hahaha, memang sudah kuduga, kecuali anak murid Tan hong siancu, siapa
pula yang dapat mendidik murid dengan ginkang setinggi ini,” seru Suma
tiong-thian dengan tertawa.
“Haha, sungguh menyenangkan, anak muda memang selalu melampaui
angkatan tua, inilah kemajuan zaman.”
Pelahan ia lemparkan tawanannya ke tanah, dilihatnya muka orang sudah
pucat pasi.

Lamkiong Peng memburu maju dan menegur, “Sesungguhnya sebab apa
sahabat menyerangku? Siapa yang menyuruhmu? Asalkan mengaku terus
terang, tentub takkan kubikin susah padamu.”
Orang itu menghela nafas, dipandangnya sekeliling, mendadak sinar matanya
menampilkan rasa takut, lalu tutup mulut tanpa berucap sepatah pun.
Dengan kikuk Kim sian loh melangkah maju, katanya, “hamba mempunyai
cara untuk membikin dia mengaku terus terang, entah bolehkah kucoba?”
Suma tiong-thian mendengus, “orang ini pasti tidak ada sangkut paut dengan
perkara perampokan ini, hal ini tidak perlu kau ributkan. Betapa bodohnya
kaum penjahat di dunia tentu juga tidak mau berdiam di sini setelah berbuat
kejahatan. Mengenai urusan lain, hm, kukira tidak perlu Kim pohtau ikut
campur, aku sendiri mempunyai cara untuk mengorek keterangannya.”
Kim sia loh mengiakan dan mengundurkan diri dengan kikuk.
Suma tiong-thian menjengek, mendadak mencengkram tulang lemas pundak
orang itu, lalu bertanya dengan suara tertahan, “Atas suruhan siapa, lekas
mengaku!”
Kontan butiran keringat merembes di dahi orang itu, namun dia tetap tutup
mulut tanpa bersuara apa pun.
Waktu suma Tiong-thian memperkeras remasannya, tak tertahan lagi orang itu
merintih kesakitan, namu tetap tidak mau bicara.
“Aku tidak terluka, jika dia tidak mau mengaku, biarkan saja,” ujar Lamkiong
Peng.

“Hiantit tidak tahu, keluarga Lamkiong kalian saat ini sedang menghadapi ujian
berat bahwa orang ini sengaja menyerang dirimu secara menggelap, jelas
pasti ada dalangnya di belakang layar, mana boleh disudahi begini saja?”
“Ujian berat apa?” tanya Lamkiong Peng.
Suma tiong-thian menghela nafas sedih, tuturnya, “Urusan ini agak panjang
untuk diceritakan, untung Hiantit sudah akan pulang ke rumah........Ai, tiba
saatnya tentu engkau akan tahu sendiri.”
Lamkiong Peng tambah bingung dan entah terjadi apa dengan keluarganya. Ia
menunduk dan termenung, mendadak dilihatnya kabut tipis mengambang dari
permukaan bumi, hanya sekejap saja sudah menyelubungi telapak kaki orang
banyak.
Tergerak hatinya, waktu ia menengadah, sang surya terang benderang di
langit, cepat ia membentak, “Lekas mundur, kabut berbisa!”
Segera ia mendahului menyurut keluar.
Suma tiong-thian melenggong bingung, tanyanya, “Ada apa?”
Tanpa terasa remasannya mengendur, kesempatan itu segera digunakan
orang itu untuk meronta sekuatnya, lalu berguling ke sana dan menghilang di
balik kabut.
Seketika terjadi kekacauan, segera Suma tiong-thian mengejar sambil
membentak, “Hendak lari kemana?!”
Cepat Lamkiong Peng berseru pula, “Lekas pergi dari sini!”

Tanpa pikir Yap manjing menahan pundak Lamkiong Peng terus melompat ke
atas wuwungan, waktu memandang ke sana, orang tadi agaknya sudah
mencampurkan diri di tengah kerumunan orang banyak.
Janggut panjang Suma Tiong-thian berkibar, ia pun menyelinap kian kemari di
tengah orang banyak untuk mencari.
Kim sian loh lantas menarik rantai emas namun anjing yang terantai itu seperti
tidak mau tunduk lagi pada perintahnya melainkan terus mengikut di belakang
Suma tiong-thian sambil menggonggong pelahan.
“Kau tinggal disini, biar kubantu Suma locianpwee membekuk kembali orang
tadi” pesan Manjing kepada Lamkiong Peng.
“tidak perlu lagi,” ujar anak muda itu.
“Tentang asal-usul orang itu sudah kuketahui. Yang tak tersangka adalah
dalam waktu sehari dua hari saja orang-orang ini sudah dapat memupuk
kekuatan seluas ini.”
“Orang siapa maksudmu?” tanya Manjing dengan bingung.
Dilihatnya air muka Lamkiong Peng mendadak berubah dan berseru, “Wah,
celaka!” Segera ia membalik tubuh dan berlari ke sana, karena badan masih
lemah, hampir saja ia jatuh keserimpet.
Cepat Manjing memburu maju untuk memegangnya sambil bertanya, “Hendak
ke mana kau? Ai, ada sementara urusan mengapa tidak kaukatakan terus
terang padaku?”
“Sesungguhnya aku sendiri tidak tahu sampai di mana perkembangan urusan
ini.......Ai, saat ini sungguh kuharap bisa tumbuh sayap untuk terbang pulang
ke rumah,” demikian ucap Lamkiong Peng dengan sedih.

Tiba-tiba timbul semacam firasat yang tidak enak, seperti berbagai macam
malapetaka akan menimpa keluarga Lamkiong, terutama bila teringat kepada
gerombolan ‘hong-uh-biau-hiang’ (dupa mengambang di tengah hujan angin)
yang begitu luas pengaruhnya, sungguh tambah besar rasa kuatirnya.
“Apakah engkau mau pulang?” tanya Manjing dengan hampa.
“Ya dan engkau.....” jawab Lamkiong Peng ragu.
“Apakah perlu kutemanimu?” Meneorong sinar mata si nona.
Lamkiong Peng mengangguk dengan pikiran kusut, selain sedih terhadap
urusan yang dihadapi keluarganya, kini bertambah lagi dengan keruwetan
benang cinta.
“Jika begitu marilah kita lekas berangkat,” seru Manjing girang. Segera ia
menarik anak muda itu dan diajak berlari pergi.
Asalkan berada bersama Lamkiong Peng, urusan lain sama sekali tidak terpikir
lagi olehnya.
Kabut makin tebal, orang banyak menjadi kacau dan akhirnya bubar.
Dengan muka masam dan mengepal tinjunya Suma Tiong-thian mengentak
kaki dengan geram. Selama hidupnya malang melintang di dunia kangouw, tak
terduga sesudah tua berbalik banyak mengalami macam-macam gangguan,
sekarang seorang kroco malahan dapat kabur di bawah tangannya. Tentu saja
ia dongkol dan juga heran.
Waktu ia berpaling, dilihatnya Kim-sian-loh masih berdiri di belakang dan
sedang memandangnya dengan bingung. Anjing berbulu emas si dewa emas
jugga mendekam di samping kakinya dengan jinak.

IA menghela nafas pelahan dan mengelus kepala anjing itu, katanya, “Dunia
kangouw memang banyak gelombang badai, apakah engkau tidak ingin
pensiun saja, Kim pohtau.”
Kim-sian-loh menunduk dan menjawab dengan tergagap,”Wanpwee.........”
“Kukira anjing ini pun sudah waktunya kaupulangkan,” kata Suma Tiong-thian
pula.
“Tapi sudah belasan tahun Kim-sian ikut padaku, sungguh aku.......aku
tidak.......”
“Di dunia ini tidak ada perjamuan yang tidak bubar,” ujar suma Tiong thian
dengan gegetun.” Apalagi, tentunya kau tahu majikannya saat ini jauh lebih
memerlukan dia daripadamu.”
Kim-sian-loh berdiri termangu dengan termenung.
Tiba-tiba dari balik kabut sana muncul lima sosok bayangan, seorang lantas
menegur dengan suara lembut, “Suma-cianpwee, apakah engkau masih kenal
padaku?”
Waktu Suma tiong-thian memandang ke sana, tertampaklah seorang nyonya
cantik baju merah dan bermata jeli sedang melangkah tiba dengan lemah
gemulai, dengan girang ia menjawab, “Hah, biarpun tua mataku belum lagi
rabun, masakah tidak kenal lagi padamu? Wah, bagus sekali. Ternyata Ciokheng
juga datang. Eh dimana Liong hui, mengapa dia malah tidak ikut
kemari?”
Kiranya nyonya cantik itu ialah Kwee Giok he, dengan menyesal ia berkata
pula, “Ai, aku pun sedang mencarinya kian kemari, tapi tidak.........ai, salahku

juga, mungkin aku berbuat sesuatu yang membikin marah dia, kalau tidak,
entah mengapa dia.........”
Mendadak senyumnya lenyap dan berubah menjadi sangat sedih.
Kening Suma Tiong-thian bekerenyit, katanya, “Dan dimanakah So-so?
Mungkinkah dia ikut bersama Liong hui?”
Giok he mengangguk pelahan.
“Ah, anak ini.........” gumam Suma tiong thian.
Yang berdiri di samping Ciok Tim yang ebrwajah kaku itu terdapat pula Yim
hong peng yang tampak bersikap santai, ia berdehem lalu berucap, “Anda ini
mungkin ialah Thi-cian-ang-ki yang termashur itu? Cayhe Yim hong peng.”
“Yim hong peng?..........Ah bagus sekali, tak tersangka dapat bertemu dengan
Yim taihiap disini?” kata Suma tiong-thian.
Sekilas dilihatnya jauh di belakang mereka berdiri lagi dua orang serupa kaum
budak ikut dibelakang majikannya, jelas dikenalnya kedua orang ini adalah
kedua elang hijau dan kuning dari Jit-eng-tong, gembong perusahaan
pengawalan yang termashur dahulu.
Dengan girang Suma tiong thian mendekati mereka sambil menyapa, “Wi-heng
dan Leng-heng, masa kalian sudah pangling padaku?”
Siapa tahu si elang kuning Wi leng thian dan elang hijau Leng Gin thian hanya
saling pandang sekejap seperti samasekali tidak mengenalnya, mereka tetap
berdiri diam dan kaku.
Suma tiong thian jadi melenggong sendiri, katanya pula dengan mendongkol,
“Hah, meski ang-ki-piaukiok dan Jit-eng-tong perusahaan sejenis, namun jalan

yang ditempuh memang tidak sama. Tak tersangka begini sempit jalan pikiran
kalian.”
Leng Gin thian dan Wi leng thian tetap diam saja seperti tidak mendengar.
Yim hong peng dan Kwe giok he saling pandang sekejap dengan sorot mata
mengandung senyuman puas, sedangkan Ciok Tim kelihatan merasa kasihan
kepada kedua jago pengawal tua itu.
Pelahan Giok he lantas menarik ujung baju Suma tiong thian dan berbisik
kepadanya, “Suma cianpwee, ada sementara orang takkan menjadi soal
dijadikan kawan atau tidak.........Eh, betapa gagah anjing ini, tentu inilah Kin
sian yang termashur itu?”
Kim sian loh memberi hormat dan menjawab, “Betul, dan cayhe Kim sian loh,
apabila nyonya ada keperluan...........”
“Oya, hampir lupa kuberitahukan padamu,” seru Suma tiong thian mendadak,
“Peng-ji juga berada disini!”
“Gote Lamkiong peng maksud Cian pwee?” tanya Giok-he.
“betul,” jawab Suma tiong thian, waktu ia berpaling, kabut tadi sudah mulai
menipis, namun di halaman sana kosong sepi tiada seorang pun.
“Peng-ji! Peng-ji!” cepat Suma tiong thian berteriak.
“Mungkin dia sudah pergi,” ujar Giok he dengan tersenyum.
“Pergi?” heran juga Suma tiong thian.
“Akhir-akhir ini entah mengapa, bila melihat diriku dan samte dia lantas
menyingkir jauh, padahal.....ai, umpama dia berbuat sesuatu kesalahan,

antara sesama saudara seperguruan tentu juga akan kami maafkan.” Giok he
merandek sejenak, lalu menyambung lagi dengan menyesal, “Anak
ini........pintar lagi cekatan, semuanya baik. Kuharap kelak dia dapat
melakukan sesuatu pekerjaan besar, siapa tahu..........Ai!”
“Memangnya dia kenapa?” tanya Suma tiong thian melenggak.
“Betapapun dia masih muda belia, hanya lantaran seorang perempuan bejat
dia tidak sayang bermusuhan dengan orang banyak, “tutur Giok he. “Demi
membela Bwe-leng-hiat dia telah membunuh Hui-goan Wi loenghing.”
“Hah apa betul?” teriak Suma tiong thian terkeju dan gusar.
Giok he tidak menjawab melainkan menunduk dan menghela nafas.
Yim hong peng juga menggeleng, ucapnya, “Maklum anak muda!”
Dengan geram Suma tiong thian bergumam, “Keluarga Lamkiong sendiri
sedang gawat dan dia masih bebruat demikian..........” mendadak ia berpaling
dan bertanya, “Apakah kautahu perempuan she Bwe itu telah memperalat
kemala tanda pengenal Peng-ji untuk menarik harta benda dari berbagai
cabang perusahaan Lamkiong di sekitar Se-an?”
Giok he melirik Yim hong peng sekejap, lalu berucap dengan lagak terkejut,
“Apa betul?”
“Berpuluh laksa tail perak memangnya bukan urusan besar bagi keluarga
Lamkiong, tapi sekarang........” ia memandang ke depan dan menghela nafas
panjang.
Gemerdep sinar mata Giok he, katanya, “Apakah keluarga Lamkiong
mengalami sesuatu?”

“ya sesuatu yang luar biasa, bisa..bisa bangkrut........” gumam si kakek.
Mendadak terlihat seorang lelaki berbaju hitam berlari masuk dengan
membawa sehelai panji merah, rambut semerawut, nafas ngos-ngosan, begitu
masuk segera ia berlutut dan menyembah sambil melapor, “Wah celaka
Ciongpiauthau!”...........”
“Ada apa?” tanya Suma tiong thian dengan bengis.
Orang itu melapor pula, “Beberapa cabang perusahaan keluarga Lamkiong di
Buwi, Tioya, Kolong, Engting dan Lanciu, semuanya telah dilelang, manjadi
seratus lima puluh tail perak, semuanya diringkas menjadi batu permata,
selagi diangkut sampai di Thayan lantas........lantas...........”
“Lantas bagaimana?” bentak Suma tiong thian.
“Lantas dirampok orang tanpa meninggalkan bekas, sambung orang itu,
“kecuali hamba yang merintis jalan di depan, saudara yang lain
seluruhnya..........seluruhnya telah terbunuh oleh panji merahnya sendiri,
melihat gelagatnya, tiada seorang pun diantaranya sempat membela diri.”
Belum habis ucapannya, tahu-tahu Suma tiong thian berteriak terus roboh
terkulai, jatuh pingsan.
Wajah Giok he dan Yim hong peng tampak menampilkan rasa kejut juga,
seperti sama sekali tidak tahu menahu atas urusan perampokan ini.
**********
Dari Sunyang lewat Pekho sampai di Ansia, sepanjang jalan hanya ladang luas,
jarang kampung dan sedikit penduduk.

Waktu senja, di sebuah dusun kecil di luar kota Ansia yang tenang, asap dapur
mengepul sana-sini, nyata sudah dekat orang makan malam.
Beberapa orang lelaki dengan baju robek dan telanjang kaki tampak berdiri di
depan satu-satunya penjaja makanan di dusun ini sedang membeli kacang
goreng dengan satu duit, atau membeli siopia dengan dua duit sebiji, tiga duit
dapat memebeli secawan arak putih, empat duit dapat dapat setahil daging
rebus. Lalu menongkrong di atas bangku panjang dan menikmati makanan itu
sambil minum arak serta mengobrol ke timur dan ke barat.
Mendadak salah seoarang itu melenggong dan mendesis sambil memandang
ke depan sana, “Lihat alangkah cakapnya sepasang muda mudi ini. Wah
juragan, tampakanya daganganmu akan laris!”
Penjaja makanan itu menoleh, terlihat dari ujung jalan sana melangkah tiba
sepasang muda mudi, meski kelihatan letih akibat perjalanan jauh, namun
sikapnya tetap gagah dan anggun.
Penjual makanan yang sudah ompong itu tertawa dan berkata, “Ah, mana
orang sudi jajan di tempat seperti ini........”
Tak terduga, tahu-tahu kedua muda mudi itu langsung menuju ke tempatnya,
si gadis berbaju hijau yang cantik itu lantas mengeluarkan empat duit dan
berkata, “Beli siopia dua biji.”
Dengan gugup kakek penjual makanan itu membungkuskan dua siopia.
Sambil menerima bungkusan siopia, si nona bertanya, “Sudah dekat Ansia
bukan?”
Serentak beberapa orang menjawab, “Ya, sudah dekat di depan!”

Gadis jelita itu mengucapkan teriamkasih dan melanjutkan perjalanan bersama
si pemuda.
Sambil berjalan si nona membagi siopia kepada pemuda itu, katanya, “Lekas
dimakan, biarpun penganan udik juga perlu untuk menambah tenagamu agar
dapat menempuh perjalanan lebih jauh, setiba di Ansi dapatlah kita mengambil
dua ekor kuda di cabang perusahaanmu, juga perlu tambah sangu.”
“Beberapa hari ini syukur bersamamu, kalau........kalau tidak..........”gumam si
pemuda dengan gegetun.
Si nona menatapnya dengan sinar mata meneorong terang serupa kerlip
lampu di kejauhan.
Tidak lama kemudian mereka sudah memasuki kota Ansia yang telah
bermandikan cahya. Mereka coba mencari cabang perusahaan keluarga
Lamkiong. Akan tetapi seorang di tepi jalan yang ditanya memperlihatkan rasa
heran.
“Kalian mencari toko milik keluarga Lamkiong?” jawab orang itu. “Di kota ini
sebenarnya ada sebuah toko hasil bumi milik keluarga Lamkiong yang
terkenal, tapi beberapa hari yang lalu toko itu telah dioperkan kepada orang
lain, semua pegawainya juga telah dibubarkan. Kejadian ini memang sangat
mengherankan penduduk di sini.”
Bagi Lamkiong Peng, bukan Cuma heran saja, tapi juga gelisah dan cemas
karena tidak tahu apa yang telah terjadi.
Si nona berbaju hijau, Yap manjing, juga melenggong, tapi segera ia tertawa
dan berkata, “Ah, untuk apa diherankan, bisa jadi Tuhan besar Lamkiong kita
mendadak tidak mau berdagang lagi dan ingin pensiun saja di rumah.”
Tanpa pikir ia ajak Lamkiong Peng meneruskan perjalanan keluar kota.

Hati Lamkiong Peng penuh diliputi tanda tanya, “Sesungguhnya apa yang telah
terjadi?”
Ia tidak dapat menerka, juga sukar mendapat penjelasan.
Hawa malam mulai dingin, waktu ia menengadah, tertampak bayangan lereng
gunung memanjang di depan.
Itulah lereng gunung Butong, disana pula terletak pusat ilmu silat perguruan
ternama, Bu tong Pai yang termashur.
Sementara itu mereka sudah berada di kaki gunung dengan pepohonan yang
rimbun.
“Tentu engkau sudah lelah, biarlah kita mengaso saja disini.” Kata Manjing.
Mereka lantas mencari suatu tempat teduh dan berduduk, untuk sejenak
suasana terasa sunyi senyap, tiba-tiba terdengar perut Lamkiong Peng
berkeruyukan.
Manjing tertawa, “Hah, kau lapar lagi!”
Segera ia merogoh saku dan mengeluarkan sisa sepotong siopia, katanya pula,
“ini, makanlah!”
Lamkiong Peng terharu, katanya dengan kerongkongan serasa tersumbat,
“Engkau sendiri...........”
“Baiklah, kutahu engaku takkan mau makan sendiri,” ucap manjing dengan
tersenyum sambil merobek siopia itu menjadi dua dan separoh diberikan
kepada Lamkiong Peng.

Sambil makan siopia, Lamkiong Peng merasa panganan ini jauh lebih lezat
daripada makanan apapun. Jika bukan dalam keadaan begini dan penganan
pemberian kekasih, mana dapat dirasakan nikmatnya siopia itu.
Deangan tersenyum Manjing berucap, “Pantas kakek botak itu kemaruk harta,
kiranya uang memang pegang peranan sedemikian penting dalam kehidupan
manusia.........Eh, menurut pendapatmu, apakah perampokan itu dilakukan
olehnya?”
“Hanya tenaga satu orang saja mana dapat membunuh kawanan jago
pengawal Ang-ki-piaukiok itu?” ujar Lamkiong Peng.
“Jika begitu, mengapa mendadak ia kabur tanpa sebab?”
“Ya, akupun tidak mengerti,” jawab si anak muda.
Selagi manjing mau bicara lagi, mendadak Lamkiong Peng menarik tangannya
dan mendesis, “Ssst, jangan bersuara!”
Terdengarlah suara orang tertawa berkumandang dari atas lereng sana,
seorang tertawa sambil berkata, “Jika tidak ada urusan penting, mana berani
sembarangan kuganggu ketenangan keempat totiang?”
Berubah air muka Maniing, bisiknya, “Coba dengarkan, suara siapa ini?”
Tanpa pikir Lamkiong Peng menjawab, “ siapa lagi, jelas si tua gila uang itu!”
Logat kampung aslinya dari propinsi Soasai memang sukar dilupakan oleh
orang yang pernah mendengar suaranya.
“Mengapa ia pun berada di sini.........”
“Sssst!” desis Lamkiong Peng.

Rupanya beberapa orang itu sudah makin dekat, terdengar suara seorang
berucap dengan nada berat, “Ada urusan, harap lekas bicara.”
“Sepanjang jalan kukuntit di belakang Totiang selama dua hari, tujuanku
justru ingin mencari suatu tempat bicara yang terahasia.” Kata Ci Ti alias gila
uang.
Agaknya lawan bicaranya melenggak, lalu berkata, “Bagaimana kalau kita
bicara di atas tebing sana?”
“Bagus sekali.” Seru Ci Ti.
Terkesiap Lamkiong Peng berdua segera terdengar suara angin mendesir,
beberapa orang itu telah melompat ke atas.
Ternyata keempat orang tepat berdiri di suatu tebing yang mencuat di depan
tempat sembunyi Lamkiong Peng dan Yap manjing, Cuma mereka berada di
bawah pohon dan teraling oleh akar tertumbuhan yang rimbun, maka mereka
dapat melihat pihak lawan dan lawan tak dapat melihat mereka.
Tertampak jelas empat tojin berjubah hijau dan berkaos kaki putih, rambut
disanggul tinggi dia atas kepala, pedang tergantung di pinggang, di punggung
masing–masing menggendong sebuah bungkusan kuning. Usia mereka ratarata
sudah lebih 50an, sikapnya kereng berwibawa, jelas mereka bukan orang
sembarangan.
Seorang di antaranya berwajah kelam dan berjenggot sehingga sikapnya
terlebih gagah, dengan berkerut kening ia lantas berkata, “Nah, apa yang ingin
Sicu bicarakan sekarang dapatlah kaukatakan saja.”
“Silahkan duduk, silahkan duduk dulu,” ujar si kakek botak alias Ci Ti, lali ia
mendahului duduk bersila.

“Selama ini kami tidak suka bergurau dengan siapa pun, “ ujar Tojin bermuka
kelam itu.
Mnedadak si botak juga bicara dengan serius, “Tempo sama dengan uang, aku
pun tidak pernah membuang-buang waktu untuk bergurau.”
Keempat tojin saling pandang sekejap, lalu ikut duduk bersila.
Seorang tojin lain yang berwajah dingin meraba tangkai pedang dan berucap,
“Sesungguhnya apa yang hendak dibicarakan Sicu?”
Ci Ti memandang cuaca sekejap, lalu berkata, “Saat ini seperti sudah tengah
malam, bukan?”
Selagi tojin bermuka kelam mendengus dongkol, segera Ci Ti menyambung,
“Tengah malam kemarin.........”
Baru selesai bicara demikian, serentak air muka keempat tojin itu berubah
hebat, teriaknya, “Apa katamu?” berbareng mereka pun meraba pedang
masing-masing.
Selagi Lamkiong Peng terkesiap, terdengar Ci TI terbahak dan berkata pula,
“Tengah malam kemarin, ketika keempat totiang memperlihatkan ketangkasan
kalian, mungkin tak pernah tersangka ada orang menonton permainan kalian
di samping.”
Ia merandek sejenak, tanpa menunggu jawaban ia meneruskan, “Tapi
sebelumnya juga tidak kuduga bahwa kawanan permapok berkedok yang
turun tangan keji itu tak lain tak bukan adalah jago Bu tong pai yang terkenal
dan dipandang sebagai pimpinan dunia persilatan, bahkan tidak ada yang
menyangka hal itu bisa dilakukan oleh Bu tong su bok (empat pohon dari
Butong) yang merupakan para tertua andalan Bu tong pai.”

Mendengar ini, jantung Manjing hampie melompat keluar dari rongga dadanya,
Dirasakan Tangan Lamkiong Peng yang memegangnya juga bergemetar.
Bahwa kawanan tojin Bu tong pai bisa menjadi perampok, sungguh berita yang
amat mengejutkan.
Baru slesai Ci Ti berucap, serentak terdengar suara bentakan, bayangan orang
berkelebat, sinar pedang pun menyambar, dalam sekejap Bu tong su bok telah
mengepung Ci Ti di tengah, ujung pedang mereka pun mengancam di depan
leher kakek botak itu.
Namun kakek botak yang aneh alias si mata duitan itu tetap duduk bersila di
tempatnya tanpa bergerak, sikapnya tetap tenang, katanya, “Lebih baik kalian
tetap duduk saja, memangnya kalian sangka urusan ini dapat diselesaikan
dengan main senjata?”
Si tojin bermuka kelam membentak, “Omong kosong, sembarangan memfitnah
orang! Masa kaukira Butong su bok tidak mampu membinasakan kakek sialan
macam dirimu ini?”
Ci Ti mendengus, “Memfitnah? Hm, numpang tanya bungkusan apa yang
kalian panggul itu?”
Ujung pedang yang mengancam leher si kakek tampak bergetar, air muka Bu
tong su bok juga berubah hebat.
“Hah, keempat totiang adalah orang cerdik dan pintar, coba pikir saja, hanya
aku saja sendirian, kalau tidak ada bala bantuan yang telah kuatur, masa
kuberani sembarangan merecoki Bu tong su bok yang termashur ini?” ejek si
kakek botak. Pendek kata, apabila malam ini kalian mencederai diriku, maka
dalam waktu lima hari saja setiap orang Bulim pasti akan athu bahwa keempat
tokoh Bu-tong-pai yang ternama dan disegani sesungguhnya tidak lain adalah
perampok belaka.”

“Meski tersiar juga tidak ada orang mau percaya, pada hakikatnya di sini tidak
ada orang lain lagi,” jengek si tojin muka kelam.
Kalau tidak ada api, dari mana datangnya asap, sesuatu kejadian tentu ada
sebabnya, apakah ada orang lain yang tahu atau tidak, perlu kukatakan lagi
bahwa sebelum kudatang kemari sudah kuatur segala kemungkinannya. Maka
menurut pendapatku, akan lebih baik jika kalian meletakkan senjata saja dan
coba bicara lagi.”
Benar juga, pelahan keempat pedang yang mengancam itu lantas diturunkan.
“Nah silahkan duduk, segala apa kan dapat dirundingkan secara baik, aku si
gila uang juga bukan manusia tak tahu malu,” ucap si kakek.
Tidak ada pilihan lain, perlahan Bu tong su bok duduk kembali dengan air
muka agak merah. Nyata biarpun kungfu mereka cukup mengejutkan, namun
pengalaman kangouw mereka terlalu dangkal.
Segera si kakek mata duitan berkata pula, “Sudah lama kudengar orang bilang
Bu tong su bok adalah tokoh saleh dan tinggi agamanya, kalau tidak
menyaksikan sendriri sungguh aku pun tidak percaya kalian dapat berbuat
demikian. Agknya kalian baru pertama klai ini berbuat sehingga sangat
tegang, kalau tidak dengan ketajaman mata telinga kalian tentu dapat
mengetahui penonton yang tak diundang serupa diriku ini.”
Bu tyong su bok tertegun dan tidak dapat menjawab.
Ci Ti tersenyum, katanya pula, “Kerena kalian baru pertama kali berbuat
sungguh aku tidak mau merusak nama baik yang kalian pupuk dengan susah
payah selama ini, asal saja kalian menerima dua syaratku, selamanya akan
kurahasiakan kejadian ini.”

Si tojin bermuka kelam adalah kepala Bu tong su bok, namanya Ci pek tojin, si
cemara ungu, dengan kening bekerenyit ia berkata, “Apa syaratmu?”
“Urusan ini sebenarnya tidak sulit, asalkan.........”
Belum si kakek botak selesaikan ucapannya, mendadak Ci pek tojin
memotong, “Urusan apa pun, asal sanggup kulakukan pasti akan kami terima.
Tapi entah cara bagaimana akan kau jamin bahwa seterusnya kau pasti akan
menutupi rapat urusan ini dan takkan disiarkan!”
Ci Ti berpikir sejenak, katanya kemudian, “Tentang ini..........” mendadak ia
berbangkit, telapak tangan kiri melindungi dada, telapak tangan kanan
terangkat ke depan, jari besar dan jari telunjuk membuat lingkaran dan sisa
ketiga jari lain terjulur miring ke depan, sedikit ia menarik nafas, serentak
tubuhnya memanjang lebih setengah kaki, lalu berucap, “Nah, apa yang
kukatakan tentunya dapat kalian percaya bukan?”
Lamkiong Peng dan Yap manjing sama terkesiap, hampir berteriak. Sungguh
mereka tidak menduga si kakek botak yang semula kelihatan loyo dan mata
duitan itu mendadak bisa berubah gagah perkasa..
Bu tong su bok juga kaget, Ci pek tojin lantas bertanya, “Apakah Cian pwe ini
salah seorang tokoh ajaib yang termashur di dunia kangouw pada 30 tahun
yang lalu dan konon sudah lama mengasingkan diri, Hong tun sam yu
adanya?”
Ci Ti alias si mata duitan hanya tersenyum saja, dalam sekejap ia sudah
keliahatan lagi keadaannya yang konyol tadi.
Ci pek tojin menghela nafas, katanya, “Jika benar Cianpwe adalah tokoh Hong
tun sam yu yang dahulu pernah menumpas kawanan iblis, apa pula yang perlu
kukatakan, cianpwee ingin memberi petunjuk apa., terpaksa kami hanya
menurut saja.”

Nyata keempat tojin andalan Bu tong pai yang namanya disegani serupa
ketuanya, Kong tiok Tojin, kini ternyata juga jeri terhadap Hong tun sam yu
yang biasanya jarang muncul di dunia persilatan itu. Maka dapat dibayangkan
betapa jayanya ketiga Hong tun sam yu ketika masih aktif dulu.
Manjing saling pandang sekejap dengan Lamkiong Peng dengan heran.
Terdengar Ci Ti berkata pelahan, “Nah, dengarkan pertama, hendaknya kalian
serahkan bungkusan yang kalian panggul itu kepadaku.”
Bu tong su bok
Melenggak dan saling pandang dengan serba susah. Akhirnya Ci pek tojin
menghela nafas, pedang dimasukkan kembali ke sarungnya, bungkusan yang
dipanggulnya ditanggalkan, dengan hormat ketiga kawanannya, jing tiong,
tokgo, dan koh tong tojin juga menirukan perbuatan Ci-pek.
“Keempat bungkusan itu diikat menjadi satu”, kata Ci Ti.
Segera Bu tong su bok membuka bungkusan mereka, tertampaklah cahaya
mengkilat menyilaukan mata, ternyata isi keempat bungkusan itu adalah batu
permata yang tak ternilai jumlahnya. Sejenak kemudian isi keempat
bungkusan itu telah diringkas menjadi satu.
Ci Ti menerima satu kantungan besar itu lalu berkata, “Harta benda ini adalah
milik keluarga Lamkiong yang diserahkan dalam pengawalan Ang-ki-piaukiok
bukan?”
Bergetar tangan Lamkiong Peng.

Dilihatnya mata Ci Ti menampilkan cahya yang aneh, lalu berkata pula, “dan
urusan kedua, ingin kutanya, sesungguhnya lantaran apa kalian berempat rela
mengorbankan nama baik untuk merampas harta benda ini?”
Air muka Bu tong su bok berubah hebat, cipek tojin menyapu pandang
sekitarnya, suasana malam sunyi, hanya angin mendesir dingin.
“Selain aku kukira tiada orang lain lagi,” kata Ci Ti.
Lamkiong Peng menggenggam tangan Manjing, tangan kedua orang terasa
sedingin es.
Terdengar Ci pek tojin menghela nafas dan berkata, “Apakah Cianpwe pernah
mendengar nama Kun mo to (pulau kawanan iblis)?”
“Kun mo to?” Ci Ti menegas dengan melenggak, suaranya juga mengandung
nada terkejut.
“Ya, entah sudah beberapa puluh tahun yang lalu cerita tentang Kun mo to
telah tersiar luas di dunia kangouw,” tutur Ci Pek pula. “Entah mulai kapan dan
entah bagaimana duduk perkaranya, diam-diam Kun mo to telah mengadakan
perjanjian rahasia dengan ketujuh perguruan besar dunia persilatan, yaitu
pihak Kun mo to berjanji takkan ikut campur urusan ketujuh perguruan besar,
juga takkan mengganggu anak muridnya. Sebaliknya Jit-toa-mui-pai (ketujuh
perguruan besar) harus berjanji akan mengerjakan sesuatu rusan bagi Kun mo
to, kapan dan apa pun.”
Ia menghela nafas, lalu menyambung lagi, “Perjanjian rahasia ini turun
temurun diketahui oleh para ketua dan beberapa tokoh terkemuka Jit-toa-muipai
kami, yakni siau-lim, kun-lun, kong-tong, Tiam-jong, Gobi, Hoa-san dan
Bu-tong pai kami. Sudah lama perjanjian rahasia ini berlangsung turun
temurun, tapi sejauh ini Kun mo to tidak pernah melaksanakan haknya, baru
akhir-akhir ini..........”

Ia menghela nafas lagi sambungnya, “Kira-kira lebih sebulan yang lalu,
mendadak datang kurir pihak Kun mo to, kami diminta bilamana mengetahui
ada harta benda keluarga Lamkiong yang dikirim lewat jarak ratusan li, di
sekitar Bu tong san, maka orang Bu tong pai kami diharuskan merampasnya,
juga wajib membunuh setiap orang yang mengawal harta benda itu dengan
tanda pengenal merak sendiri, adapun harta bendanya boleh terserah kepada
kami untuk diatur bagaimana baiknya.”
Gemerdep sinar mata Ci Ti, katanya, “meski perusahaan keluarga Lamkiong
sudah bersejarah ratusan tahun, tapi selain ada hubungan denga perusahaan
pengawalan umumnya tidak pernah terdengar ada hubungan lain dengan
orang persilatan, mengapa keluarga Lamkiong bisa bermusuhan dengan pihak
Kun mo to?”
“Kami juga merasa heran,” ucap Ci pek. “mengingat perjanjian rahasia pihak
Kun mo to dengan Jit-toa-mui-pai kami sudah berlangsung sekian lama dan
sejauh ini tidak pernah menggunakan hakknya, dapat diduga karena mereka
memandang hal ini sangat penting dan tidak mau sembarangan menggunakan
haknya. Siapa tahu sekarang mereka justru menggunakan hak ini untuk
bertindak terhadap keluarga Lamkiong yang tidak ada sangkut pautnya
dengan dunia persilatan. . Cuma lantaran pejabat ketua kami juga harus patuh
kepada perjanjian leluhur, juga tidak ingin bermusuhan dengan Kun mo to,
dalam keadaan terpaksa kami lantas di tugaskan melakukan tindakan yang tak
terpuji ini.”
Jing siong tojin lantas menymabung, “Bukan Cuma Bi tong pai kami saja yang
bertindak, kuyakin Gobi, Kunlun, Kongtong dan pergururan lain pasti juga
berbuat yang sama. Sungguh harus disesalkan, entah ada permusuhan apa
antara Kun mo to dengan keluarga Lamkiong, biarpun keluraga lmakiong kaya
raya, tapi mana tahan bermusuhan dengan Jit-toa-mui-pai?”
C Ti duduk termenung tanpa memberi tanggapan, suasana menjadi sunyi.

Mendadak terdengar di bawah pohon yang rimbun sana ada seruan orang
tertahan, “Hei, kau.........”
Tahu-tahu muncul seorang pemuda cakap dengan muka pucat dan mendekati
Bu tong su bok.
Serentak Bu tong su bok berbangkit,. Ci Ti juga berseru, “lamkiong Peng!”
“hah, Lamkiong Peng?!” Ci pek tojin bersuara kaget.
Langsung Lankiong Peng mendekati Ci pek tojin, mendadak ia membentak dan
melancarkan pukulan.
Ci-pek berkelit, lengan bajunya mengebas.
Karena dia menyesali perbuatannya, maka kebasan lengan bajunya hanya
digunakan untuk menagkis saja, tak terduga Lamkiong Peng ternyata tidak
tahan oleh tenaga kebasannya, kontan ia roboh terjengkal.
Sekonyong-konyonh bayangan orang berkelebat, seorang gadis jelita
melayang tiba dan menubruk di atas tubuh Lamkiong Peng sambil menjerit,
“Hei kau.........” segera ia mendongak dan memaki, “Sebenarnya ada
permusuhan apa antara keluarga Lamkiong dengan Bu tong pai kalian? Kenapa
kalian bertindak sekeji ini?”
Bu tong su bok saling pandang dengan gugup dan tak dapat menjawab.
Ci Ti memandang Lamkiong Peng sekejap, katanya, “jangan kuatir, dia tidak
parah, hanya karena tubuhnya masih lemah dan dirangsang rasa murka,
ditambah lagi rasa cemas, gusar dan lelah, maka mendadak ia jatuh pingsan
dan bukan terluka dalam, asal mengaso dua hari dan makan sedikit obat tentu
akan sembuh.”

Pelahan Manjing mengangkat tubuh Lamkiong Peng, ucapnya dengan gemas,
“Hm, baru sekarang kutahu wajah asli Bu tong pai, ternyata semuanya Cuma
manusia rendah dan tidak tahu malu belaka. Tunggulah pembalasanku.”
Habis berkata ia lantas melangkah pergi.
Tapi bayangan orang lantas berkelebat, Bu tong su bok telah mengadang di
depannya, “Nanti dulu nona !”
“Kau mau apa lagi?” bentak Manjing.
Ci pek menghela nafas, “Kami bertindak demikian sesungguhnya juga
terpaksa, mohon nona dapat memahami kesulitan kami.”
“Hm, kesulitan apa?” jengek manjing.
“Demi kepentingan pihak sendiri lantas mengadakan perjanjian rahasia dengan
kaum iblis dan sembarangan berbuat tanpa menghiraukan kepentingan orang
kangouw, sungguh rendah dan memalukan.”
Bu tong su bok melongo oleh makian si nona.
Ci Ti berdehem dan coba menyela, “Nona....”
“Peduli apa denganmu?” damprat Manjing dengan melotot, “Bagimu, asal ada
duit, habis perkara, apa yang perlu kaukatakan?”
Ci Ti melenggong juga.
“Nah, kalau kalian mau, boleh silahkan cincang saja diriku di sini, kalau tidak
hendaknya lekas menyingkir dan memberi jalan.” Bentak Manjing.

“Maaf nona, kami tidak ingin membikin susah nona, juga tidak dapat
membiarkan nona pergi dari sini, terpaksa mesti minta nona suka tinggal
sementara di suatu tempat, nanti kalau...............’
“Nanti apa?” bentak Manjing sebelum lanjut ucapan Koh tong tojin, “Barangkali
kalian sedang mimpi, kalian kira nonamu dapat kalian perlakukan sesukanya?
Biarpun Bu tong su bok terkenal di dunia kangouw juga aku Yap manjing tidak
jeri.”
Pada saat itulah mendadak seorang tertawa nyaring dan mendengus, “Hm,
empat orang tua mengerubut seorang nona cilik, terhitung orang gagah
macam apa?”
“Siapa?!” bentak Bu tong su bok dengan kaget.
Segera suara orang itu tertawa pula, “Hihi jangan takut, adik cilik, Tacimu
datang membantumu!”
Belum lenyap suaranya sesosok bayangan orang lantas melayang tiba dari
bawah tebing.
Diam-diam Bu tong su bok terkesiap oleh ginkang orang yang hebat.
Ternyata kedua pendatang seorang lelaki dan seorang perempuan, yang lelaki
gagah tampan, Cuma sikapnya rada angkuh, yang perempuan cantik molek
mempesona.
“Bwe kiam soat!” seru Manjing. Kedua pendatang ini memang Bwe kiam soat
dan Cian tong lai adanya.
Bu tong su bok terkejut.

Dengan tertawa genit Kiam soat berucap, “Adik cilik, coba beritahukan padaku,
apakah beberapa tosu brengsek ini hendak mengerubut dirimu? Biar kuhajar
adat kepada mereka.”
Manjing menarik muka dan mendengus, “Urusanku tidak perlu kau ikut
campur.”
“Ahh, masih juga kau bicara segalak ini?” uajr Kiam soat dengan tertawa. “Kau
pondong seorang lelaki sebesar ini, mana bisa kau lawan keempat tosu ini.
Kalau aku tidak kebetulan pergoki kejadian ini, bukan mustahil nona jelita
seperti dirimu ini akan dikerjai orang.”
Sembari bicara ia pun tertawa terkial-kial serupa tangkai bunga bergoyang
tertiup angin.
Muka Ci pek tojin yang kelam itu tambah gelap, katanya , “Nama kebesaran
nona Bwe sudah lama kami kenal, namun caramu bicara itu hendaknya tahu
aturan sedikit di hadapan kami.”
“Eh tong-lai, coba kaudengar, cara bicara tosu tua ini bukanlah terlampau
latah?” tanya Kiam soat kepada pemuda yang berdiri di sebelahnya.
“Hehe, memang, kukira memang agak terlalu latah,” Cian tong lai
mengangguk seperti orang linglung.
“Bukan urusan kalian, lekas kalian pergi...........” jengek Manjing.
“Urusan kami atau bukan, yang pasti akan kuikut campur, kukira akan lebih
baik jika kau pergi saja membawa dia lebih dulu,” ujar Kiam soat dengan
tertawa.
“Baik, biar ku pergi,” kata Manjing dan segera hendak melangkah.

“Nanti dulu!” bentak Koh-tong Tojin.
“Eh, apa macamnya seorang tosu tua main adang seorang nona cara begini?”
segera Bwe kiam soat mengejek.
Waktu Bu tong su bok berpaling, ternyata si kakek botak alias Ci Ti entah
sudah menghilang ke mana.
Koh tong tojin berkata pula, “Sudah lama kami dengar ilmu silat nona meliputi
intisari berbagai aliran ternama dan sukar diukur dalamnya. Sekarang nona
bersikap segarang ini terhadap kami, agaknya engkau sengaja hendak pamer
kepandaian di sini?”
Serentak Jing siong dan Tok go tojin berputar dan siap di belakang Bwe kiam
soat, hanya Ci pek saja dengan muka kelam tetap berdiri di depan lawan.
Kiam soat tersenyum tak acuh, katanya sambil melirik kawannya, Tong-lai,
coba ada orang berani bicara kasar padaku, masa engkau tidak memberi hajar
adat kepada mereka?”
Alis Cian tong-lai tampak menegak, serunya, ”Orang beragama bersikap
sekasar ini, memang pantas diberi hajar adat!”
“Huh, anak ingusan juga berani bicara tentang hajar adat terhadap Bu tong su
bok?” jengek Koh tong tojin dengan gusar.
“Bu tong su bok?” melenggak juga Cian tong-lai.
“Ya, itulah kami berempat!” sahut Koh tong sambil melolos pedang.
“Hm, memangnya mau apa jika Bu tong su bok?” bentak Cian tong-lai
mendadak, sekali melangkah maju, segera telapak tangannya menabas iga
Koh tong.

Sebenarnya antara Bu-tong pai dan Kun-lun pai perguruan Cian tong-lai ada
hubungan erat, tapi pemuda yang angkuh dan biasanya suka bertindak
menuruti watak sendiri ini sekarang tidak menghiraukan hubungan baik segala
demi membela si cantik.
“Kurang ajar!” bentak Koh tong tojin sambil menggeser ke samping, berbareng
pedangnya balas menabas pergelangan tangan Cian tong-lai.
Gerak menghindar yang cepat dan serang balasan yang lihai.
Tak terduga Cian tong-lai lantas mendesak maju malah sambil menghantam
lagi, dengan tangan yang lain ia tolak tangan lawan yang berpedang.
Koh tong terkejut, cepat ia melompat mundur dan membentak, “Apakah kau
murid Kun-lun pai?”
HAN BU KONG
JILID 13
“Kalau murid Kun-lun pai lantas mau apa?” jawab Cian tong-lai sambil
melancarkan pukulan tiga kali di tengah berkelebat sinar pedang lawan.
“bagus serangan hebat!” seru Kiam soat memuji, “apabila ditambah lagi jurus
Sam kun ce hoat (tiga pasukan menyerang bersama), tosu brengsek ini pasti
akan kelabakan.”
Kiranya dalam waktu beberapa hari yang singkat ini, demi merebut hati si
cantik, tanpa pikir Cian tong-lai telah memberitahukan padanya segenap
intisari kungfu kun lun pai.

“Hm, boleh coba!” jengek Koh-tong Tojin sambil berputar, secepat kilat
pedangnya juga menusuk tiga kali, tapi saking cepatnya seakan-akan hanya
satu jurus saja.
“Bu tong kiam hoat yang hebat!” puji Kiam soat. “tapi coba rasakan jurus Sam
kun ce hoat orang !”
Di tengah tertawa nyaringnya, dilihatnya Cian tong-lai melompat ke atas,
sebelah kaki menendang pergelangan tangan lawan yang memegang pedang.
Ketika Koh-tong tojin menarik peadngnya tahu-tahu tangan Cian tong-lai
menerobos masuk di bawah cahaya pedang dan menusuk hiat-to maut pada
pelipisnya.
Mendadak Koh-tong tojin tarik pedang ke samping, segera Cian tong-lai
menerobos maju dan menutuk Ki-bun dan Ciang-tai-hiat di dadanya.
Cepat Koh-tong putar pedangnya untuk menabas, tapi Cian tong-lai lantas
melompat ke samping dan menghantam iga lawan.
Dengan terkejut Koh-tong mengelak, menyusul pedang menusuk lagi. Tak
terduga kedua tangan Cian tong-lai lantas mengatup dan tepat menjepit
batang pedangnya dengan kuat.
Dalam kaget dan gusarnya koh-tong menarik sekuatnya. Akan tetapi pedang
serasa melengket di tangan lawan dan sukar terlepas.
“Hehe, bagaimana, aku tidak berdusta, bukan?” terdengar Bwe kiam soat
berucap dengan tertawa.
Cian tong-lai tampak senang, bentaknya mendadak, “Lepas!”

Tahu-tahu pedang Koh tong tojin tergetar mencelat, cepat Koh tong melompat
juga ke atas untuk meraih kembali pedangnya.
Pada saat yang sama, Jing-siong Tojin telah memburu maju, kontan pedang
menabas pergelangan tangan Cian tong-lai. Tok-go Tojin juga tidak tinggal
diam, berbareng ia pun menusuk iga kiri musuh.
“Hm, tidak tahu malu...........” jengek Bwe kiam soat.
Mendadak dirasakan angin tajam menyambar tiba, pedang Koh tong tojin telah
menabasnya dengan cepat.
Tapi Bwe kiam soat tidak berkelit atau mengegos, tentu saja Koh-tong
bergirang. Tak terduga mendadak Bwe kiam soat menyurut mundur, pedang
Koh-tong menyambar lewat dan mengenai dinding karang ‘trang’, lelatu api
munerat dan membuat tangan Koh tong kesemutan sendiri.
Di antara Bu-tong-su-bok meski masing-masing mempunyai kungfu andalan,
tapi bicara tentang ginkang dan kiam hoat tiada yang dapat menandingi Kohtong.
Sekarang dia ternyata tidak sanggup melawan Cian tong-lai, juga tidak
mampu, mengalahkan Bwe kiam soat, tentu saja ia malu dan gusar, sedikit
bergeser,, sebelah kakinya menendang dada Kiam soat.
“Hm, apakah ini pun jurus serangan seorang tojin?” jengek Kiam soat sambil
menghindar ke samping.
Di sebelah sana Jing-siong dan Tok-go berdua telah mengurung Cian tong-lai
di tengah sinar pedang mereka, ilmu pedang mereka Liang-gi-kiam-hoat dapat
bekerja sama dengan sangat rapat, meski sangat lihai kungfu Cian tong-lai
juga rada kerepotan.

Sementara itu Ci-pek Tojin berdiri menghadapi Yap manjing, ia juga gengsi,
asal Manjing tidak bergerak, ia pun tidak mau turun tangan.
“Apa benar kau larang aku pergi?” tanya Manjing.
“Urusan menyangkut nama baik perguruan kami, terpaksa aku bertindak
demikian,” jawab Ci-pek.
Manjing menunduk memandang Lamkiong Peng sekejap, muka anak muda itu
kelihatan pucat dan mata terpejam, nafas sangat lemah.
Ia kuatir dan mendongkol pula, tapi juga tak berdaya, terpaksa ia berkata,
“Bila aku bersumpah takkan menyiarkan kejadian yang kulihat ini, tentu aku
boleh pergi bukan?”
Ci-pek tojin berpikir sejenak, tiba-tiba dilihatnya sisutenya sudah diatasi Bwe
kiam soat, pikirannya berubah, katanya segera, “Nona berasal dari perguruan
ternama, tentu saja dapat kupercayai janjimu.”
Mendadak ia mnyingkir ke samping dan memberi tanda, “Silahkan!”
Manjing jadi melenggak karena urusan berakhir semudah ini, tapi mengingat
keselamatan Lamkiong Peng, tanpa bicara lagi segera ia angkat kaki.
Dalam pada itu dengan mengancam Hiat-to maut punggung Koh-tong tojin
segera Bwe kiam soat berseru, “nah, ketiga totiang dapat berhenti, barang
siapa sembarangan bergeral lagi, terpaksa ku.............”
Sampai di sini sekilas dilihatnya Yap manjing sedang melangkah pergi dan
melompat terjun ke bawah tebing. Tapi lantaran keadaannya juga sangat
lemah, mendadak terdengar jeritan Manjing yang jatuh di bawah.

Tanpa pikir Kiam soat mendorong Koh-tong dan ikut melayang turun ke
bawah.
Cepat Ci-pek bertiga membangunkan Koh-tong yang terluka itu. Sedangkan
Cian tong-lai segera menyusul Bwe kiam soat ke bawah tebing, serunya,
“Nona Bwe, kita pun dapat pergi saja.”
Rupanya berhubungan selama beberapa hari ini di antara mereka sudah
tambah akrab, Cian tong-lai jadi semakin terpikat.
Dilihatnya Bwe kiam soat sudah berada di samping Yap manjing dan ingin
menariknya bangun, tapi Manjing sedang mendengus, “Tidak perlu, aku dapat
berdiri sendiri.”
Cian tong-lai memburu maju, jengeknya, “Hm, sungguh orang yang tidak tahu
budi, baru saja kita membebaskan dia dari kesukaran, sekarang dia tidak tahu
terimakasih lagi.”
Meski jatuh terduduk karena lompat dari ketinggian, namun Lamkiong Peng
masih tetap dalam rangkulannya, sekarang Manjing lantas melompat bangun
dan menjawab, “Hm, memangnya kalian yang membebaskanku dari kepungan
musuh?”
“Ya, kau sendiri yang tinggal pergi,” ujar Kiam soat dengan tertawa, “Eh, adik
cilik, kau mau kemana?”
“Ku pergi kemana, apa sangkut pautnya denganmu?” jengek Manjing.
“Siapa yang peduli,” sela Cian tong-lai dengan gemas sambil menarik lengan
baju Bwe kiam soat, “Jika dia tidak tahu diri, marilah kita pergi saja.”

Tapi Bwe kiam soat tidak menghiraukannya, katanya pula kepada Manjing,
“Adik cilik, kau gendong seorang sakit, tenagamu lemah di sekitar sini juga
sukar mencari tempat pondokan, hanya seorang diri ke mana kau mau pergi?”
Manjing menjadi ragu juga, tubuh sendiri memang lemah, tidak membawa
biaya pula, apalagi tidak kelihatan rumah penduduk di sekitar situ. Jika tidak
mendapat pertolongan sungguh keadaan Lamkiong Peng memang
menguatirkan.
Sejenak kemudian barulah ia menjawab, “Habis bagaimana?”
“Marilah kita meneruskan perjalanan bersama dan menyembuhkan
penyakitnya dahulu,” kata Kiam soat.
“Kau mau pergi bersama mereka?” seru Cian tong-lai, “Bukankah kita akan
pergi bersama.”
“Berdasarkan apa kau ikut campur urusanku? Jengek Kiam soat mendadak.
“Bukankah .......segala apa sudah kuberitahukan padamu, mengapa
kau...........”
“Semua itu kau lakukan dengan sukarela, apakah pernah kujanjikan sesuatu
kepadamu?” jawab Kiam soat dengan ketus.
Cia tong-lai melenggong, mendadak ia berteriak, “Tapi..........tapi engkau tak
dapat pergi........jangan tingggalkan aku.............”
Segera ia menubruk maju dan bermaksud merangkul Bwe kiam soat.
Sambil bekerenyit kening Kiam soat membentak, “Lelaki hina!”

Kontan sebelah tangannya menghantam. Sama sekali Cian tong-lai tidak
mengelak dan menghindar, ‘plak’, pukulan itu tepat jatuh mengenai dadanya
dan mencelat jauh ke sana, roboh dan pingsan seketika.
Kiam soat mencibir, katanya kepada Manjing, “Marilah kita pergi!”
Manjing hanya menoleh sekejap, akhirnya ikut pergi tanpa bicara.
Diam-diam Manjing membatin, “Pantas setiap orang bilang dia berdarah
dingin, tingkah lakunya memang keji dan dingin. Tapi........terhadap Lamkiong
Peng tampaknya dia tidak dingin.”
Dalam pada itu terdengar Bwe kiam soat lagi berkata, “Ada sementara lelaki di
dunia ini memang menggemaskan, asalkan kau beri sedikit kebaikan, dia
lantas ingin menarik keuntungan darimu. Untung sekarang, bilamana terjadi
belasan tahu lalu, hm, jiwa orang she Cian itu tentu sudah melayang.”
***************
Lamkiong Peng berbaring di tempat tidur dan tampak bergulang-guling dengan
keringat memenuhi dahinya. Ia sedang bermimpi buruk, seperti beratus
senjata lagi menghunjam kepalanya, seperti api hendak membakarnya, serupa
setan iblis yang tak terhitung jumlahnya hendak mengerubutnya.
Mendadak ia berteriak dan bangun, waktu ia membuka mata, mana ada api,
senjata dan setan segala. DI bawah cahya lampu hanya kelihatan dua raut
wajah cantik molek yang sedang memandangnya dengan cemas.
Setelah menenangkan diri, ia pandang Bwe kiam soat dengan tercengang,
katanya, “Engkau .........engkau berada di sini?”
Kiam soat tersenyum manis, sebaliknya Manjing menunduk sedih, pelahan ia
meninggalkan kamar Lamkiong Peng kembali ke kamar sendiri.

Sungguh kusut pikirannya, sampai jauh malam ia tidak dapat tidur, pikirnya,
“Yang dicintainya ialah Bwe kiam soat, untuk apa ku bikin susah sendiri
dengan menyelipkan diri di tengah mereka?”
Setelah dipkir lagi pulang pergi, akhirnya ia menghela nafas, ia membuka daun
jendela dan bergumam, “Ku pergi saja, semoga kalian hidup bahagia
selamanya dan aku pun........” tak tertahan menitiklah air matanya.
Ia tidak tahu bahwa pada saat yang sama Bwe kiam soat juga sedang
termenung-menung di kamarnya, ia pun sedang memikirkan nasibnya dan
berkeluh kesah, “Wahai Bwe kiam soat mengepa engkau menjadi lupa daratan
seperti ini, masa kau lupa pada usiamu yang sudah tidak muda lagi, dirimu
pun berlumuran dosa, mana setimpal dirimu baginya. Dia sudah sembuh, dia
juga sudah didampingi seorang gadis jelita yang pantas baginya, untuk apa
lagi kau tinggal di sini?”
Ia menghela nafas dan berbangkit, gumamnya, “ Biarlah ku pergi saja, kalau
aku tidak pergi sekarang, bisa jadi sebentar lagi aku tidak sanggup pergi.”
Dengan sedih ia membuka daun jendela, dengan perasaan berat ia
memandang ke arah kamar Lamkiong Peng, gumamnya pelahan “Ku pergi
saja, jangan kau sesalkan diriku, semua ini demi kebaikanmu,
padahal........masa aku tidak ingin mendampingimu selamanya?..........”
Tanpa terasa air matanya berderai, dengan mengeraskan hati akhirnya ia
melompat keluar jendela dan meninggalkan kamar hotel.
Tidak ada yang tahu hampir pada saat yang sama, di kamarnya Lamkiong
Peng juga sedang bingung memikirkan kedua nona itu, selama dua tiga hari ini
ia berbaring sakit di tempat tidur, ia sedih akan malapetaka yang menimpa
keluarganya, juga murung bagi persoalan diri sendiri yang terlibat di tengah
cinta kasih dua nona itu.

Ia pikir keluarganya sedang menghadapi ujian berat, hari depannya sukar
diramalkan, betapapun ia tidak dapat membikin susah kedua nona itu.
Akhirnya ia pun mengambil keputusan akan tinggal pergi saja demi
kebahagiaan kedua nona itu. Ia ingin pulang dulu ke Kanglam untuk
menjenguk orang tua dan mencari tahu sesungguhnya apa yang terjadi.
***********
Beberapa hari kemudian, di suatu malam yang pekat dengan hujan angin,
sebuah pintu gapura megah berdiri tegak dalam kegelapan malam. Dibalik
gapura itu adalah jalan yang panjang berliku diapit oleh pepohonan yang
bergoyang tertiup angin.
Guntur menggelegar, cahaya kilat berkelebat, sesosok bayangan orang tampak
merandek dan agak ragu untuk meneruskan langkahnya. Sekujur badannya
basah kuyup, bajunya tak teratur, rambutnya semerawut dan mencucurkan
air, entah air hujan atau air keringat.
Kening orang itu bekerenyit, ia menyapu pandang sekelilingnya dengan sinar
matanya yang tajam.
Nyata dia inilah Lamkiong Peng, malam ini juga dia sudah pulang sampai di
rumah disambut oleh hujan angin yang keras. Kepulangannya membawa tanda
tanya yang belum terjawab, yang membuatnya gelisah dan cemas.
Sepanjang jalan dari utara sampai ke selatan, segenap cabang perusahaan
keluarga Lamkiong ternyata sudah ditutup seluruhnya, hal ini membuatnya
bingung dan juga kapiran sepanjang perjalanan.

Maklumlah, selama ini ke mana pun dia pergi tidak pernah kekuarangan
sesuatu. Tapi sekarang dia tidak punya segalanya, dia tidak pernah membawa
sangu, untuk makan saja harus menjual baju.
Syukurlah sekarang dia sudah tiba di rumah sendiri. Ia membusungkan dada
dan mengusap air yang membasahi mukanya , ia melangkah lagi ke depan.
Mendadak dari balik pohon di tepi jalan itu ada orang yang membentak,
“Berhenti!”
Di bawah sinar kilat dua sosok bayangan melompat keluar dari kanan kiri
jalan. Lamkiong Peng berhenti dengan melenggak.
Dilihatnya dua lelaki berbaju hitam dan memakai kedok, yang seorang
bersenjata pedang dan yangn lain memakai sepasang senjata potlot baja,
keduanya mengadang di depan dan menegur, “Sahabat berani menerobos ke
dalam Lamkiong san ceng di tengah malam buta begini, apakah engkau sudah
tidak sayang lagi pada nyawamu?”
Segera orang yang berpedang itu menusuk leher Lamkiong Peng. Serangannya
cepat, jurusnya lihai, sekali serang segera hendak merenggut nyawa orang.
Lamkiong Peng melenggong, cepat ia berkelit sambil membentak, “Berhenti
dulu! Apakah kalian tidak kenal siapa diriku?..........”
Orang yang bersenjata potlot baja segera menutuk dua hiat- to di dada V
sambil membentak, “Tidak peduli siapa pun, selama 30 hari ini dilarang masuk
kesini.”
Lamkiong Peng melompat mundur dan berseru pula, “Berhenti dulu, aku inilah
Lamkiong Peng!”

Orang itu merandek sejenak, mendadak ia tertawa keras dan berakata, “Haha,
Lamkiong Peng, dari mana datangnya Lamkiong Peng sebanyak ini, termasuk
kau sudah ada empat orang memalsukan nama Lamkiong Peng untuk masuk
ke sini.”
Sembari bicara pedangnya menyerang pula tiga kali sekaligus.
Mau tak mau gusar juga Lamkiong Peng, teriaknya, “Jika kalian tidak percaya,
terpaksa harus kuterobos secara paksa.”
Sekali menghantam ia desak mundur orang berpedang itu.
“Saat ini Lamkiong san ceng sudah berada di bawah lindungan 17 tokoh
terkemuka, biarpun setinggi langit kepandaianmu juga jangan harap akan
memasuki perkampungan ini!” teriak orang bersenjata potlot.
Berbareng potlot bajanya lantas menutuk.
Serangan orang ini sangat lihai, setiap tempat yang di arah selalu bagian yang
mematikan.
Tentu saja hati Lamkiong Peng penuh diliputi tanda tanya, sungguh kalau bisa
ia ingin terbang masuk untuk menemui ayahnya. Tapi apa daya, kedua orang
ini ngotot merintanginya dan sukar memberi penjelasan. Menghadapi
kerubutan mereka, seketika Lamkiong Peng tidak mampu melepaskan diri.
Terdengar angin berkesiur, kembali tiga sosok bayangan melayang tiba.
Sekilas lirik lelaki berpedang lantas berseru, “Ciok-loji, kedatangan musuh lain
lagi lekas kau papaki mereka!”

Lelaki berpotlot yang disebut Ciok-loji itu berkerut kening, katanya, “Ketiga
pendatang ini tampaknya tidak lemah, lekas kau lepaskan isyarat tanda
bahaya saja.”
“Hm, jika malam ini kita tidak mampu mempertahankan pos penjagaan kita
ini, selanjutnya apakah kita ada muka utnuk menemui orang?” Jengek lelaki
berpedang.
Mendadak tangannya bergerak, tiga larik sinar perak langsung menyambar
ketiga sosok bayangan yang melayang tiba di bawah hujan itu.
Ciok-loji tertegun sejenak, segera ia pun menubruk ke sana. Dilihatnya
seorang di antaranya mengayun tangannya, kontan ketiga larik sinar perak
tergetar balik.
Cepat Ciok-loji memukul, angin pukulan menyambar, ketiga senjata rahasia itu
dapat dipukulnya jatuh. “Siapa sahabat yang menerobos Lamkiong san ceng di
tengah malam buta ini, lekas mundur kembali!” bentaknya.
Dilihatnya ketiga sosok bayangan itu berseragam sama, baju hitam dan pakai
kedok, kedua orang kanan kiri bersenjata golok, yang di tengah bertangan
kosong, di bawah kain kedoknya kelihatan jenggotnya yang putih.
Ketiga orang itu mendengus, serentak mereka mengerubut maju.
Kedua potlot baja Ciok-loji bekerja cepat, serentak ia tutuk dada ketiga
penyatron.
Si kakek berjenggot memberi tanda berhenti kepada kawannya, lalu berseru,
“Apakah sahabat yang mengadang ini kedua saudara keluarga Ciok dari Tiamjong-
pai?”

“Kalau betul mau apa?” jawab Ciok-loji bengis. “lekas mundur, kalau tidak,
jangan menyesal jika kami tidak sungkan lagi.”
“Hm, aku justru ingin coba-coba kepandaian jago Tiam-jong, jengek Si kakek.
Kedua orang berkedok dan bergolook itu segera menyurut mundur dan si
kakek pun perang tanding dengan ciok-loji.
Senjata si kakek berkedok ini adalah cambuk panjang berwarna hitam, hanya
sekali dua serangan saja Ciok-loji sudah terkurung di tengah bayangan
cambuk yang dasyat.
“Yim ong-hong!” seru Ciok-loji terkesiap.
“Betul,” kata si kakek berkedok dengan tertawa. “Haha, tak tersangka setelah
mengasingkan diri 20 tahun masih ada kawan Bulim yang kenal diriku.”
Lelaki berpedang itu juga terperanjat, ia sudah kerepotan melawan Lamkiongpeng,
kini diketahui pula si kakek berkedok ini adalah bandit termashur pada
20 tahun yang lalu, tentu saja ia tambah kuatir. Segera ia merogoh saku dan
dilemparkan ke udara, selarik cahaya meluncur dan meletus di atas, seketika
tersebarkan bunga api sebagai hujan.
Lamkiong Peng juga curiga karena kedua orang itu merintanginya matimatian,
apabila benra mereka melindungi perkampungannya, mengapa jejak
mereka dirahasiakan dan main sembunyi, jelas karena asal usul mereka tidak
boleh diketahui orang lain. Jika Yim ong-hong yang sudah menhilang 20 tahun
ini, apa maksud tujuan kedatangannya ini?
Dalam pada itu terdengar Ciok-lojj lagi berseru, “Yim ong-hong, kau berani
melanggar sumpahmu sendiri, dan kini mengaduk lagi di dunia kangouw,
apakah kau tidak takut Hong-tun-sam-yu akan mencarimu?”

“Hahaha, sudah belasan tahun jejak Hong-tun-sam-yu tidak kelihatan di dunia
kangouw, mungkin ketiga tua bangka itu sudah mampus semua, maka
sumpahku dengan sendirinya juga batal,” jawab Yim ong-hong dengan
tertawa. “Baru-baru ini kudengar di sini ada berjuta tahil perak, tanpa terasa
hatiku tergelitik. Anehnya Tiam-jong-siang-kiat yang termashur mengapa sudi
menjadi penjaga rumah orang, apakah barang kali kalian juga mengincar harta
berjuta tahil ini?”
“Hm, jika kaupun mengincar harta benda yang berada disini, sama halnya kau
lagi mimpi,” jengek Ciok-loji.
Ia terus berjaga dengan rapat, meski cambuk Yim ong-hong menyerang
dengan gencar belum juga mampu merobohkan lawan.
“Menyingkir!” bentak Lamkiong Peng mendadak, sekali hantam ia desak
mundur pengadangnya.
Tentu saja kedua ciok bersaudara, tercengang. Juga Yim ong-hong melenggak,
teriaknya, “He, anak muda, apa maksudmu ini? jika perkampungan ini berhasil
diserbu, tentu engkau akan mendapat bagian yang menarik, lekas bereskan
Ciok-lotoa dulu!”
Sesudah menyebarkan bunga api tadi dan sejauh ini belum kelihatan datang
bala bantuan, diam-diam Ciok-lotoa yang berepdang itu menjadi gelisah, cepat
ia menanggapi ucapan Yim ong-hong,” jangan percaya ocehannya sahabat
muda, orang ini adalah bandit yang terkenal kejam, caranya merampok
terkenal main sapu bersih tanpa kenal ampun, mana mungkin dia membagi
bagian rezeeki padamu. Jika kau bantu kami menggempurnya mundur,
mungkin engkau akan mendapat ongkos yang layak.”
Diam-diam Lamkiong Peng mendongkol, sudah dirinya disangka sebagai
penjahat, sekarang harta benda keluarganya menjadi incaran pula. Meski dia
meragukan tingkah laku kedua Ciok bersaudara, tapi orang memang

mempertahankan keselamatan perkampungannya, jelas kawan dan bukan
lawan, sebaliknya komplotan Yim ong-hong ini jelas adalah penyatron yang
mengincar harta keluarganya.
Segera ia melancarkan pukulan dahsyat sehingga cambuk Yim ong-hong sama
sekali tidak berdaya menembus pertahanannya.
Tentu saja Yim ong-hong terkejut oleh ketangkasan anak muda itu, hanya
dengan bertangan kosong ternyata mampu melawan cambuknya yang lihai ini.
Sementara itu kedua Ciok bersaudara sempat mengalihkan perhatian untuk
melayani kedua orang berkedok yang bergolok itu.
“Hm, rupanya kedua saudara Li dari Thay-hing-san,” jengek Ciok-loji.
Salah seorang berbaju hitam dan berkedok itu balsa mendengus. “Hm, tajam
amat mata Ciok-loji!”. Mendadak ia menarik kedoknya dan bergelak, “Haha,
baiklah biar kuperlihatkan wajah asli tuan besar Li!”
Kakak kedua Li bersaudara ini bernama Li Thi-hai berjuluk Hoa-to atau golok
kembangan, adiknya soat-to Li Hui-hai, si golok salju juga membuang kain
kedoknya sambil berteriak, “Nah, setelah kalian melihat dengan jelas wajah
kami, bolehlah kalian mengadu kepada raja akhirat!”
Kedua Li bersaudara ini sama berkepala besar dan bermata melotot,
bercambang dengan perawakan tinggi besa. Namun golok mereka adalah
senjata ringan dan gesit.
Keempat golok segera bekerja sama dengan rapat, cahaya perak berhamburan
serupa salju, serentak Ciok-loji berdua terserang dengan gencar.
Tanpa bicara kedua Ciok bersaudara melayani lawan dengan sama
tangkasnya.

Diam-diam Lamkiong Peng membatin, “Sekaligus tokoh Bulim kelas tinggi ini
membanjiri Lamkiong san ceng, jangan-jangan ayah telah mengumpulkan
harta benda hasil penjualan berbagai cabang perusahaan ke sini, entah apa
maksud tujuan ayah dengan tindakannya ini?”
Angin meniup semakin kencang, hujan pu tambah lebat, di kegelapan hutan
sana mendadak meluncur pula tiga larik cahaya terang, lalu bunga api
berteberan di udara.
Menyusul di sekeliling bergema suara teriakan dan bentakan diseling suara
nyaring beradunya senjata.
Seketika air muka semua orang sama berubah.
Tampaknya sebelah sana kedatangan penyatron lagi,” desis Ciok-loji kepada
saudaranya.
“Antara Yim ong-hong dan Cin Luan-ih biasanya ada satu tentu ada dua,
selama ini keduanya hampir tidak pernah berpisah, jika sekarang Yim onghong
berada disini,. Dengan sendirinya Cian Luan-ih juga sudah ikut datang,”
kata Ciok-lotoa.
Yim ong-hong terbahak-bahak, katanya, “Biar kukatakan terus terang,
segenap kawan, kalangan hitam dari ke-13 propinsi sudah datang semua ke
lamkiong san ceng ini, apa kalian mesti jual nyawa percuma bagi Lamkiong
Sian-ju?”
Habis bicara cambuknya bekerja terlebih kencang, ia menyabat kian kemari
sehingga kedua Ciok bersaudara agak kerepotan.

Lamkiong Peng tambah gelisah, ia pikir ayah tidak mahir ilmu silat, jika
kawanan penyatron ini sampai berhasil menyerbu ke dalam rumah, entah
bagaimana akibatnya nanti.”
Karena cemasnya, mendadak ia bersuit dan melompat tinggi ke atas, kedua
tangannya meraik, secepat klat ujung cambuk Yim ong-hong terpegang
olehnya.
Dengan sendirinya Yim ong-hong menahan cambuknya dengan kuat sambil
berseru kaget, “gaya Si-liong, murid Ci-hau!”
Kedua Ciok bersaudara saling pandang sekejap sambil berucap, “Ternyata
benar Lamkiong Peng adanya!”
Dalam pada itu Lamkiong Peng juga telah melayang turun ke tanah dan
menarik sekuatnya sehingga cambuk Yim ong-hong terbetot lurus. Kedua
orang saling tarik dengan kuat, keempat kaki mereka sampai amblas ke dalam
tanah.
DI tengah hujan angin yang lebat, suara suitan semakin ramai dan juga
tambah dekat di udara muncul bunga api berhamburan.
Pada saat itulah sekonmyong-konyong sesosok bayangan orang mucul dari
dalam hutan, dengan dua tiga kali lompatan, langsung bayangan ini menerjang
ke sini.
“Aha, bagus!” seru Ciok-lotoa dengan girang.
“Tiam-jong-yan juga datang?!” seru Yim ong-hong kaget sehingga tenaganya
mengendur.
Pada saat yang sama Lamkiong Peng terus membentak sambil membetot
sekuatnya sehingga cambuk lawan kena dirampasnya.

Bayangan yang menerjang tiba itu, Tiam Jong Yan, si walet dari Tiam-jong,
mendengus, “Hm, Yim ong-hong ternyata benar berada di sini. Dan siapakah
sahabat ini?”
“Dia inilah Lamkiong Peng,” kata Ciok-loji.
“Apa betul?” Tim jong yan menegas.
“Gaya Sin-liong, tidak mungkin salah,” ujar Ciok-loji.
Diam-diam Lamkiong Peng merasa lega keran akhirnya identitas dirinya dapat
dikenali mereka.
Ia memberi hormat dan berkata, “Atas kebaikan hadirin yang sudi membela
Lamkiong san ceng, di sini Lamkiong Peng mengucapkan terimakasih. Harap
kalian bertahan sementara di sini, biar kujenguk dulu ayahku.”
Selagi dia hendak tinggal pergi, siapa tahu bayangan orang lantas berkelebat,
tahu-tahu Tiam Jong Yan mengadang lagi di depannya.
Lamkiong Peng tercengang, “apakah anda belum percaya bahwa aku inilah
Lamkiong peng?”
Dengan dingin Tiam Jong Yan menjawab,”justru lantaran anda Lamkiong Peng,
maka terlebih tidak boleh masuk ke sana.”
“Meng.........mengapa begitu?” tanya Lamkiong Peng dengan tercengang.
“Tiada gunanya banyak bertanya, lekas mundur ke sana!” seru Tiam jong yan,
sebelah tangannya lantas menilak ke depan.

Tentu saja lamkiong peng bertambah curiga, sambil mengelak, mendadak
tangan terasa mengencang, kiranya ujung cambuk sebelah sana kena di
pegang lagi oleh Yim ong-hong, sekali bentak segera ia menarik cambuk
sekuatnya, menyusul lantas diputar dan menyabat kepada Lamkiong Peng.
Malahan Tiam Jong Yan juga melancarkan pukulan maut ke dada anak muda
itu.
Kedua orang ini terhitung tokoh kelas tinggi, serangannya sangat lihai, cepat
Lamkiong Peng mengelak.
Yim ong-hong tergelak, “haha, kukira Tim jong pai kalian juga tidak
bermaksud baik.......”
Belum lenyap suaranya, kedua telapak tangan Tiam jonbg pai menghantam
sekaligus, yang kiri memukul Lamkiong Peng, yang kanan menghantam Yim
ong-hong sekuatnya.
Terpaksa Yim ong-hong menarik kembali serangnnya kepada Lamkiong Peng,
cambuknya berganti arah di tengah jalan dan menyabat iga Tiam Jong Yan.
Kesempatan itu digunakan Oelh Lamkiong peng menarik diri, dengan cepat ia
hendak melompat ke arah perkampungan. Tak terduga Yim ong-hong dan
Tiam Jong Yan kembali merintanginya.
“Tiam Jong Yan” bentak Lamkiong Peng, “percuma engkau dikenal sebagai
tokoh perguruan ternama, apakah sekarang kaupun menjadi bandit yang
tamak harta?”
“Hm, siapa yang menghendaki hartamu?” jengek Tiam Jong Yan.
“Jika begitu mengapa kau ganggu rezeki kami?” tukas Yim ong hong.
“dan mengapa kau pun merintangi jalanku?” bentak lamkiong Peng murka.

Muka Tiam Jong Yan tampak masam, ia tidak menjawab, tapi serangannya
tambah dasyat.
Di sebelah sana kedua Ciok bersaudara yang menandingi kedua Li bersaudara
tampak sudah muali unggul, sedangkan suara suitan dan bentakan di tengah
hutan sana semkin mendekat, malahan sering diselingi suara jeritan ngeri,
jelas ada orang terluka dan binasa.
Hanya di perkampungan yang terletak di kedalaman hutan sana tetap kelam
tanpa terdengar seuatu suara.
Sekonyong-konyong terdengar orang menjerit di samping. Permainan golok Li
hui-hai menjadi kacau, pedang Ciok-loji telah menusuk bahu kirinya, darah
munerat membasahi baju Ciok-loji.
Li thi-hai terkejut, serunya, “He, jite, apakah parah lukamu?”
Li hui-hai menggertak gigi, ia menerjang maju lagi, serangannya tambah
kalap, mendadak kakinya menendang sehingga sebuah potlot baja ciok-lotoa
terlepas dari pegangan.
Li Thi-hai meraung sambil menabas sehingga lengan kiri terluka panjang,
pedang Ciok-loji juga membalik dan melukai lengan kanan Li thi-hai.
Dalam sekejap keempat orang sama terluka dan berlumuran darah, namun
semuanya pantang mundur, tetap bertempur dengan sengit.
“Hm, jika kalian bertiga bukan tamak terhadap harta untuk apa kalian
mengadu jiwa bagi Lamkiong siang-ju?” bentak Yim ong-hong.
“Dan bila kalian benar membela lamkiong-san-ceng kami, mengapa kalian
merintangiku ke sana?” lamkiong Peng juga berteriak.

Namun Tiam Jong Yan dan kedua ciok bersaudara tetap bertempur tanpa
bicara. Air hujan mengguyur air darah dan menggenangi jalan yang becek.
Mendadak terdengar suara bentakan dan jeritan, sesosok bayangan terguling
keluar dari kegelapan hutan sana dengan luka di dada.
Sekilas pandang segera Tiam Jong Yan menendang sehingga orang itu
terpental.
“Wah, celaka, si harimau gila Tio Kang terjungkal,” teriak Li thi-hai.
“Hm, jika tidak lekas mundur, tiada satupun diantara kalian dapat pergi
dengan hidup,” jengek Ciok-loji.
Belum lenyap suaranya kembali seorang bayangan menerjang keluar dari
kegelapan hutan sambil menjerit, langsung ia menerjang ke depan Li thi-hai,
pedang yang dipegangnya lantas menabas, tapi ia sendiri keburu
menyemburkan darah segar, mata mendelik dan segera roboh terjungkal.
Agaknya orang ini binasa terkena pukulan kuat.
“Celaka, Go sute terbunuh,” teriak Ciok-lotoa, selagi ia hendak memeriksa
kawannya mendadak dua kali tabasan golok Li Hui-hai membuatnya melompat
mundur.
“Hm, sahabat Hek-to ke 13 propinsi sudah berkumpul di sini, Tiam jong pai
kalian hari ini mungkin akan tertumpas seluruhnya di sini,” jengek Li thi-hai.
“Kentut busuk!” bentak Ciok-loji murka sekaligus ia melancarkan lima kali
tusukan.
Tergerak hati Lamkiong Peng, ia tidak mau terlibat lebih lama lagi dalam
pertempuran yang tak keruan juntrungannya ini. Mendadak ia mendesak

mundur Tiam Jong Yan, kebetulan waktu itu cambuk Yim ong-hong juga
menyabat, selagi Tiam Jong Yan kerepotan menghindari serangan dua jurusan,
kesempatan ini segera digunakan Lamkiong Peng untuk melompat ke arah
perkampungan.
Baru saja tubuh Lamkiong Peng meluncur ke depan, Ciok-lotoa membentak,
sebelah potlot bajanya disambitkan.
Ketika mendengar desing angin tajam menyambar dari belakang, tanpa
menoleh Lamkiong Peng melompat sekuatnya ke depan sambil mengebaskan
sebelah tangan ke belakang, potlot baja lawan jadi ketinggalan dan jatuh di
tanah.
Li hui-hai menjadi kalap, selagi Ciok-loji menabas dengan pedangnya, ia tidak
menghindar, sebaliknya golok langsung menabas pundak Ciok-lotoa hingga
darah munerat.
Sambil meraung kesakitan, ciok-lotoa, menubruk maju, kontan kedua golok Li
hui-hai menikam sehingga menembus perut Ciok-lotoa, tapi kedua tangan
Ciok-lotoa yang kuat juga mencekik leher Li hui-hai, sebelum Li hui-hai sempat
meronta tahu-tahu mata mendelik dan tulang kerongkongan tercekik patah,
darah pun mengucur dari mulutnya dan binasa seketika.
Kejut dan gusar Ciok loji sambil meraung kalap pedangnya juga menusuk iga
Li hui-hai hingga menembus ke iga sebelahnya.
Tentu saja Li Thi-hai tidak tinggal diam, goloknya juga membacok sehingga
lengan kanan Ciok-loji terpenggal, teriaknya parau, “Serahkan nyawamu!”
Belum lenyap suaranya, pukulan Ciok-loji juga tepat mengenai dada Li Thi-hai.
Kontan Li thi-hai tumpah darah dan golok jatuh ke tanah. Lengan kanan Ciokloji
pun buntung sebatas pangkal pundak, namun dia tidak merasakan sakit,

seperti lengan kutung itu bukan miliknya, menyusul kakinya menendang pula
ke selangkangan Li thi-hai.
Terdengarlah jeritan Li thi-hai, tubuhnya mencelat dan jatuh ke dalam hutan,
jelas nyawa pun amblas. Kedua tokoh kalangan hitam semuanya binasa dalam
sekejap.
Ciok-loji sempoyongan, tersembul senyuman pedih pada ujung mulutnya,
gumamnya, “Lotoa, sudah kubalaskan sakit hatimu..........”
Belum lanjut ucapannya ia pun jatuh kelenger.
Karena tersabat oleh cambuk Yim Ong Hong, Tiam Jong yan juga kesakitan,
sekilas pandang dilihatnya kedua Ciok bersaudara telah sama menggeletak,
tentu saja ia terkesiap, diam-diam ia berkeluh, “Ai, habislah semuanya!”
Waktu ia memandang ke sana, dilihatnya Yim ong hong lagi berjongkok
kesakitan kena tendangannya tadi. Bentaknya,” Kau bilang sahabat kalangan
hitam ke 13 propinsi hampir semuanya berkumpul di sini, apakah benar tujuan
kalian adalah harta benda keluarga Lamkiong ini?”
Meski kesakitan, Yim ong hong tetap tenang, jawabnya, “Habis untuk apa para
kawan berkumpul di sini jika bukan lantaran ada rezeki?”
Tiba-tiba timbul akal keji Tiam jong yan katanya, “Setelah mendapatkan
bagian rezeki itu, apakah kalian segera angkat kaki dari sini?”
“Sesudah berhasil, tentu saja kami akan pergi, untuk apa berdiam di sini? Hah,
orang pintar sebagai Tiam jong yan mengapa mengajukan pertanyaan begini?”
sahut Yim ong-hong tertawa.

Mendadak Tiam-jong-yan alias Kongsun Yan meluncurkan tiga larik sinar lagi
ke udara, terdengar letusan disertai bunga api yang bertebaran memenuhi
angkasa.
Tergerak hati Yim Ong-hong, ia tahu orang sedang memanggil kawannya,
segera ia pun bersuit memberi tanda.
Dalam sekejap terdengarlah suara teriakan di dalam hutan yang menyerukan
berhenti bertempur.
Segera sesosok bayangan tingggi besar melompat keluar dari kegelapan hutan
sana sambil berseru, "Bagaimana, Yim-lotoa?”
Orang ini berambut ubanan semua, suaranya lantang, namun keadaannya
kelihatan runyam, baju tak teratur berlepotan air darah dan air hujan, ia pun
bersenjata cambuk. Dia inilah Cin Luan-ih, salah seorang dari Hong-ih-siangpian,
kedua cambuk angin dan hujan, dua tokoh bandit yang pernah
mengguncangkan dunia kangouw.
"Tiam-jong-yan lopas tangan!" jawab Yim Ong-hong.
Cin Luan-ih tertawa puas, tapi kelika melihat mayat kedua Li bersaudara. ia
pun terkejut.
Sementara itu bayangan orang berbondong-bondong melayang keluar pula
dari dalam hutan, sebagian besar melompat ke belakang Hong-ih-siang-pian,
sebagian kecil, empat orang tojin dan tiga pemuda berpedang, mendekati
Kongsun Yan.
Terkesiap juga Kongsun Yan melihat sisa kawannya itu, tidak terkecuali
kawannya juga kaget melihat keadaan medan tempur, salah seorang tojin
berjenggot berseru, "Hah, Ciok toako dan Ciok-jiko . . . ."

Kiranya di antara ke-17 jago Tiam-jong-pai yang datang ini, ada sembilan
orang yang terbunuh.
''Sudahlah . . . ." ucap Kongsun Yan dengan menghela napas.
"Sudahlah bagaimana? Apa maksudmu?' tanya si tojin jonggot hitam yang
bergelar Thian-go Tojin.
"Biarkan mereka lewat ke sana," ucap Kongsun Yan pelahan.
"Jiko, mana boleh . . . ."
Belum lagi Thian-go bicara lebih lanjut, mendadak Kongsun Yan memberi
tanda, "Jangan banyak bicara, biarkan mereka lewat!"
Thian-go Tojin mengepal erat kedua tinju nya, suatu tanda tidak rela atas
kebijaksanaan sang Suheng. Serentak belasan orang sama me-layang ke arah
perkampungan sana.
Kongsun Yan lantas mendesis, "Agaknya Samte tidak tahu maksudku. Hari ini
kawanan penyatron yang datang tidaklah sedikit, untuk menghemat tenaga,
apa salahnya kita biarkan mereka langsung menuju ke sana, tentu mereka
akan disambut golongan lain yang sudah menunggu di sana. Kita boleh tunggu
saja di sini, apakah mungkin kita akan membiarkan harta benda diboyong
mereka begitu saja?”
Thian-go melenggong, ia simpan kembaili pedangnya dan mengangguk,
katanya, "Ya, perhitungan Jiko memang harus dipuji.”
Kongsun Yan memandang para anak mu-rid Tiam-jong yang hadir, ucapnya
pula dengan menyesal, "Kalian tahu, demi memenuhi janji dengan kaum iblis
pada berpuluh tahun yang lalu oleh leluhur kita, bilamana sekarang kita dapat
membendung musuh dan mempertahankan diri sudahlah lumayan. Yang

kuharap asalkan harta benda itu tidak sampai diangkut pergi, untuk itu
biarpun jiwaku barus melayang juga kurela. Ciangbun Suheng sudah .... Ai,
selanjutnya hanya Samsute saja yang harus memikul tugas mengembangkan
Tiam-jong-pai kita."
Thian-go To-jin menunduk terharu, anak murid Tiam-jong-pai yang lain pun
sama prihatin menghadapi tugas selanjutnya yang berat
Angin mendesir, hujan masih turun dengan lebatnya membuyarkan darah
yang memenuhi tanah di situ.
Malam tambah larut, di bawah hujan Lamkiong Peng terus berlari dengan
cepat. Ha-nya sebentar saja bayangan rumah megah di depan sudah
kelihatan.
Terbangkit semangat Lamkiong Peng, ber-bagai tanda tanya dalarn benaknya
sejenak lagi akan menjadi jelas. Namun hatinya tetap diliputi ketegangan.
Secepat terbang Lamkiong Peng melompati undak undakan rurnah yang
panjangnya lebih 20 tingkat itu. Tempat ini sudah dikenalnya dengan baik
sejak kecil, begitu kaki menyentuh undakan batu yang dingin itu, timbul juga
perasaan hangat dalam lubuk hatinya.
Tak terduga pada saat itu juga mendadak dari dalam rumah bergema suara
bentakan pe-lahan, “Kembali!”
Tiga bintik perak serentak menyambar tiba, dua titik perak di depan, satu titik
di belakang. Akan tetapi ketika hampir mendekati sasaran, titik perak terakhir
itu mendadak meluncur terlebih cepat dan mendahului yang lain.
Keruan Lamkiong Peng terkejut, cepat ia mengegos, terdengar suara desing
tajam me -nyambar lewat di samping telinga, berbareng itu ia melompat ke
atas sehingga kedua titik senjata rahasia yang lain pun Iuput mengenainya.

Waktu ia hinggap kembali di lantai, suasana dalam rumah lantas sunyi senyap
seperti tidak pernah terjadi sesuaiu.
Cemas hati Lamkiong Peng memikirkan kedua orang tua, segera ia berteriak,
''Siapa yang berada di dalam, ini Lamkiong Pmg sudah pulang!"
Belum Ienyap suaranya terdengarlah orang berseru di dalam, "Ah, kiranya
anak Peng adanya!"
Sesosok bayangan secepat terbang me-layang keluar. Belum lagi Larnkiong
Peng sem-pat menghindar, tahu-tahu bayangan orang sudah memegang
pundaknya, Sekuatnya Lamkiong Peng meronta, tapi sukar terlepas.
Sekilas pandang dilihatnya rambut orang semrawut, namun kedua matanya
terang dan bersinar welas asih, siapa lagi kalau bukan sang ibu.
Sungguh mimpi pun tak terpikir olehnya bahwa sang ibu mempunyai kungfu
setinggi itu.
Selagi ia melenggong, sang ibu telah me-rangkulnya dengan erat sumbil
berseru. ' O, anakku, engkau sudah pulang, sungguh sangat kebetulan!"
Kasih sayang ibunda sungguh menghibur hati Lamkiong Peng yang cemas,
lapar, lelah dan curiga.
Di tengah ruangan besar yang guram itu hanya diterangi sebuah lentera kecil
hampir padam tertiup angin ketika pintu mendadak terbuka.
Waktu Larnkiong Peng masuk ke dalam tertampaklah berpuluh peti besar
tertimbun di tengah ruangan, di atas peti penuh menancap berbagai senjata
rahasia.

Pada deretan kursi di sekitar sana duduk bersandar beberapa lelaki kekar yang
kelihatan lesu, malahan ada yang kelihatan berlepot-an darah, ada yang
napasnya terengah dan sebagian memejamkan mata setengah mengantuk,
jelas mereka habis mengalami pertempuran sengit dan terluka.
Di tengah ruangan yang agak runyam ini berdiri pula dengan tenang seorang
tua berbaju perlente, jenggotnya kelihatan bergoyang tertiup angin, namun
sikapnya tetap tenang dan sinar matanya meneorong.
"Ayah!" seru Lamkiong Peng sambil mem-buru maju dan berlutut di depan
orang tua ini.
Dia memang ayah Lamkiong Peng, Lamkiong Siang-ju.
Orang tua ini menghela napas pelahan dan membelai kepala anak
kesayangannya, sampai sekian lama tidak sanggup berucap apa pun.
Dengan penuh kasih sayang Lamkiong hujin (nyonya Lamkiong) menggunakan
saputangan-nya untuk mengusap air hujan dan air keringat di kepala
Lamkiong Peng, ucapnya dengan lembut, "Nak selama ini tentu telah bikin susah
padamu, selanjutnya mungkin engkau akan tambah sengsara lagi."
Lamkiong Siangju hanya tersenyum getir saja tanpa bersuara.
Melihat wajah sang ayah yang rawan dan muka ibunda yang pucat kurus,
keadaan di dalam rumah juga tampak runyam. Lamkiong Peng tahu tentu
telah terjadi hal-hal yang luar biasa, capat ia tanya, "Ayah, sebenarnya apa
yang terjadi'' Kenapa berbagai cabang per-usahaan kita telah kaututup? Tiamjong-
pai yang selamanya tidak ada sangkut-paut apa pun dengan kita
mengapa sekarang ikut mengepung perkampungan kita, seperti menjaga, tapi
juga kelihatan tidak bermaksud baik terhadap kita. Kecuali itu, Kun-mo-to
yang sering terdengar di dunia kangouw tapi tidak pernah terlihat orangnya,

mengapa juga memusuhi kita? Ayah, mohon jelaskan semua itu, sungguh
anak teramat cemas dan gelisah."
"Sabar dulu, nak, kenapa kaujadi segopoh ini?" ujar Lamkiong-hujin.
"Sebentar ayahmu tentu akan menjelaskan duduknya perkara."
Dengan wajah prihatin Lamkiong Siang-ju naelangkah ke luar pintu, setelah
memandang sejenak, mendadak ia membalik tubuh dan memberi hormat
sambil berkata, "Maaf, jika terpaksa kuperlakukan kalian secara kurang
hormat!"
Selagi semua orang yang duduk lesu itu merasa heran, ada yang berdiri dan
bertanya, "Ada . . ada apa . . . . "
Tahu-tahu bayangan Lamkiong Siang-ju berkelebat dan memenuhi seluruh
ruangan, semua orang yang baru berdiri itu sama roboh terduduk lagi di kursi
masing-masing serta tak sadarkan diri, hanya sebentar saja lantas mendengkur
dan tertidur dengan nyenyak.
Melihat ketangkasan sang ayah yang hanya dalam sekejap saja telah menutuk
hiat-to tidur semua orang, keruan kejut dan heran sekali Lamkiong Peng,
serunya, "Hah, kiranya ayah menguasai kungfu sehebat ini?!"
Kiranya di kolong langit ini tidak ada seorang pun yang tahu bahwa bos
keluarga Lamkiong yang kaya raya dan termashur ini ternyata teorang ahli
silat maha tinggi yang jarang ada bandingannya, sampai putra kesayangan
sendiri juga baru sekarang tahu hal ini.
Dalam pada itu Lamkiong Siang-ju telah berdiri menghadapi dinding dan
berucap dengan suara berat, "Anak Peng, sejak kecil kauhidup tidak
kekurangan apa pun, hanya kau saja permata hati ayah-bunda, apa pun kesalahanmu
ayah-bunda tidak pernah marah padamu, apakah kautahu sebab
apa semua ini?"

Lamkiong Peng tidak dapat melihat wajah sang ayah, tapi dari pundaknya
yang bergetar jelas hati orang tua itu sangat dirangsang emosi, tentu saja ia
gugup, sahutnya, "Anak . . . anak tidak tahu, mungkinkah anak berbuat
sesuatu kesalahan?"
"Apa yang kukatakan itu adalah karena menyangkut nasibmu selanjutnya."
ucap Lamkiong Sian ju pula. "Soalnya, untuk seterusnya tak dapat lagi
kauhidup enak soperti sebelum ini, mungkin malah akan hidup menderita dan
harus berani menghadapi ujian berat."
Lamkiong Peng merasa bingung, tanyanya dengan suara gemetar, "Bilamana
anak harus menderita bagi ayah-bunda kan pantas juga, hanya . . . hanya
mengapa ayah bicara, demi-kian, sesungguhnya ada . . . ada urusan apakah?"
"Keluarga Lamkiong, maha kaya raya, apakah kautahu dari mana datangnya
kekayaan sebesar ini?" ucap Lamkiong Siang-ju dengan prihatin.
Lamkiong Peng melongo bingung.
“Kakek-moyangmu berasal dan keluarga miskin," demikian tutur Lamkiong
Siang-ju. "Seperti juga orang miskin umumnya, kakek-moyang kita kenyang
menjalami penderitaan hidup sengsara. Akhirnya beliau bersumpah ingin
menjadi orang kaya, dengan hemat beliau mengumpulkan sedikit sangu dan
ikut berlayar dengan serombongan pelaut.
"Tak terduga, di tengah jalan kapal yang di tumpangi mengalami angin badai
dan kapal tarbalik, kakek-moyang kita beruntung men-dapatkan sepotong
kayu dan terhanyut meng-ikuti arus, untunglah beliau tidak meninggal dan
terdampar ke sebuah pulau yang tak diketahui namanya.
"Dalam keadaan begitu, cita-cita beliau ingin menjadi kaya kembali buyar
serupa mimpi belaka, saking sedihnya dia menangis tergerung-gerung. Tak

terduga, pulau karang itu ternyata bukan pulau kosong tanpa peng-huni. pada
saat kakek moyang merasa putus asa, tiba tiba diketahuinya di tengah pulau
terdapat banyak orang tua yang berpakaian model kuno. Kiranya pulau karang
itu adalah pulau misterius yang dalam dongeng dunia persilatan di sebut Cusia-
ci-tian (istananya para dewa)."
Kembali Lamkiong Peng melenggong.
Didengarnya sang ayah menyambung lagi, "Setelah menemukan kakek
moyang, kawanan orang tua itu tanya tentang asal-usul dan pengalamannya.
Beliau diamat-amati dengan teliti, akbirnya kakek moyang- diperbolehkan
tinggal di situ.
"Dengan cepat sekali tiga tahun sudah lewat, selama tiga tahun itu kakek
moyang banyak mengalami kesukaran, beliau harus be-kerja giat siang malam
tanpa kenal lelah, setelah mengalami gemblengan tiga tahun, mendadak
kawanan kakek itu membawa kakek-moyang ke tepi laut. . Ternyata di situ
sudah berlabuh sebuah kapal besar, dalam kapal ter-timbun harta benda yang
tak terhitung jumlah-nya.
"Tentu saja kakek moyang terbelalak heran dan bingung, sama sekali tak
tersangka olehnya bahwa kavvanan kakek aneh itu dapat memberi hadiah
kapal besar dengan isinya. Hanya saja syaratnya kakek moyang diharus-kan
bersumpah takkan menyiarkan rahasia ke-kayaan Cu-sin-tian. Selain itu kakek
moyang diwajibkan mencicil utang yang dibawanya sekapal penuh itu.
“Rupanya isi kapal itu hanya sebagai modal pinjaman kepada kakek moyang
ber-hubung keterangannya yang bersumpah ingin menjadi orang kaya itu.
Kawanan kakek ajaib di pulau itu sengaja membantu memenuhi cita-citanya,
cuma untuk itu kakek moyang di-haruskan turun temurun keluarga Lamkiong
mesti menugaskan putra sulungnya membawa sejumlah harta kekayaannya ke
pulau Cu-sin-tian. Setiap turunan jumlah antaran itu harus bertambah sekali

lipat, kecuali keluarga Lam-kiong tidak punya keturunan lagi, kalau tidak
betapapun janji bayar utang itu tidak boleh diingkari.
"Sampai pada angkatan kakekmu, jumlah utang yang berlipat itu telah
berjumlah sukar dihitung dan mendadak datang pula utusan Cu-sin-tian
mendesak antaran upeti yang harus dipenuhi itu. Terpaksa kakekmu harus
me-ngumpulkan harta kekayaan yang tersebar di berbagai tempat dan
menugaskan pamanmu mengantarnya ke Cu-sin-tian. Waktu itu, aku sendiri
belum menikah sedangkan pamanmu sudah mempunyai seorang anak bayi . .
. . “
Baru sekarang Larnkiong Peng mengetahui sejarah keluarganya yang diliputi
keanehan itu dengan suara rada gemetar ia tanya, "Dan di . . . . di manakah
paman sekarang? Di mana pula saudara sepupuku itu?"
Lamkiong Siang-ju mengeleng, jawabnya, "Sehari sebelum pamanmu
berangkat, dengan nekat dia membunuh istri dan anak kesayangannya yang
masih bayi itu. Rupanya dia sudah menghitung,satu angkatan lagi, biarpun
keluarga Lamkiong menjual semua harta benda kekayaannya juga sukar
memenuhi utang kepada Cu-sin-tian.
“Rupanya pamanmu tidak sampai hati anak keturunannya akan menderita,
juga tidak ingin aku kawin dan beranak yang akibatnya juga cuma akan
tertimpa sengsara, maka pamanmu meninggalkan pesan sepucuk surat, lalu
berangkat dengan membawa harta benda itu dan berlayar ke lautan, sejak itu
pun tidak ada kabar beritanya lagi . . . ."
Bertutur sampai di sini, ia menjadi ber-duka dan tersendat-sendat.
Pada umumnya orang luar hanya tahu keluarga Lamkiong kaya-raya tiada
bandingannya, siapa pula yang tahu keluarga kaya ini ternyata penuh dengan
darah dan air mata.

"Tidak lama sesudah pamanmu berangkat, kakek juga lantas wafat." tutur
Lamkiong Siang-ju lebih lanjut. "Setelah berkabung selama ti-ga tahun, aku
lantai keluar mencari kabar jejak pamanmu. Biasanya setiap kali anggota
keluarga kita mengirim upeti, sebelumnya pihak Cu sin tian selalu mengirim
utusan dengan membawa surat dan memberi petunjuk ke pelabuhan mana
harus dituju. Jadi anggota keluarga kita tidak ada yang tahu di mana letak
pulau Cu-sin-tian yang sebenarnya, meski sudah sekian tahun aku berkelana
tetap tidak mendapatkan sesuatu petunjuk. Akhirnya aku pun putus asa, tak
tersangka pada waktu itulah aku bertemu dengan ibumu."
Mendadak Lamkiong-hujin mengusap air mata dan memegang tangan sang
suami, lalu berucap pelahan, '"Biarlah kuteruskan ceritamu Sesudah bertemu
dengan ayahmu, kami lantas saling jatuh cinta. Cuma ayahmu senantiasa
berusaha menghindariku. Sudah tentu aku heran dan sedih. Dalam gusarku
segera kuputuskan juga akan menikah dengan seorang lain.
"Orang itu juga sahabat ayahmu, siapa sangka pada suatu hari ayahmu . . .
ayahmu kena disergap orang dan keracunan hebat, dalam keadaan sakit parah
ayahmu menceritakan sejarah keluarganya kepadaku, maka aku baru tahu
sebabnya dia selalu menghindari diriku. rupunya dia mempunyai alasannya,
yaitu dia menyadari keluarga Lamkiong yang termashur ini akhirnya akan
runtuh, akan bangkrut, ayahmu tidak tega membuatku sengsara di kemu-dian
hari, juga tidak tega melahirkan anak yang nasibnya akan menderita, begitu
dewasa wajib membayar utang bagi leluhurnya
"Tapi ibumu ternyata tidak gentar meng-hadapi semua itu," tiba-tiba Lamkiong
Siang-ju menyambung, 'dia juga tidak takut kepada kehidupan miskin. Dalam
semalam dia meng-gendongku ke Thian-san untuk mencari obat penawar.
Maka sejak itu kami tidak pernah berpi-sah lagi," tukas Lamkiong-hujin sambil
meng-gelendot di tubuh sang suami. 'Kemudian, se-telah kaulahir, kami
bertekad akan membuat bahagia hidupmu, tidak ingin kau belajar ilmu silat,
maka kami tidak pernah mengajarkan kungfu padamu. Siapa tahu watak
pembawaanmu justru gemar ilmu silat, kami tidak tega pula melawan

kehendakmu, maka kami me-ngirim dirimu kepada Liong Po-si . . . .O, nak,
sungguh kami telah membikin susah padamu karena selama ini selalu kami
rahasiakan se-mua ini."
Habis bertutur, menangislah nyonya Lam-kiong tersedu.
Sambil membelai rambut putranya, Lamkiong Siang-ju bertutur lagi
"Sebenarnya ku-harapkan utusan Cu-sin-tian takkan datang se-cepat ini,
sebab itulah kami pun tidak meng-hendaki pernikahanmu. Siapa tahu sekali
ini, agaknya mereka sudah memperhitungkan keka-yaan keluarga Lamkiong
takkan terdapat sisa lagi, maka tanpa menunggu kau kawin dan melahirkan
anak segera menyampaikan pesan agar selekasnya menyelesaikan pengiriman
harta benda kita, untuk itu dirimu ditunjuk yang ha-rus melaksanakan tugas.
"Nak, kautahu semua ini untuk memenuhi sumpah kakek moyangmu, meski . .
. meski ayah-bunda sangat sayang padamu, tapi . . . tapi apa yang dapat kami
lakukan lagi . . . " sampai di sini. berderailah air matanya.
Mendadak Lamkiong Peng membusungkan dada dan berseru tegas, "Ayah dan
ibu, urusan utang keluarga Lamkiong kita dengan sendirinya harus kita
tuntaskan . . . . "
"Tapi kau, nak . . . . " Lamkiong-hujin tidak sanggup meneruskan lagi.
"Anak pasti akan pulang kembali," seru Lamkiong Peng tegas. "betapa
misteriusnya Cu-sin-thian itu, anak bersumpah akan pulang ke sini untuk
mendampingi ayah dan ibu. Biarpun di sana ada dinding tembaga dan tembok
baja juga takkan mampu mengurung anak. Apalagi jika para penghuni di sana
berjuluk Para Dewa, masa mereka memaksa orang berbuat tidak bakti kepada
orang tua?'
"Tapi . . . tapi sekali ini lain daripada biasanya," ujar Lamkiong Siang-ju
dengan sedih. "Akhir-akhir ini orang dari Kun-mo-to justru muncul lagi di dunia

kangouw, bahkan mereka bertekad merintangi kita mengirim harta ke Cu-sintian."
Baru sekarang Lamkiong Peng menyadari duduknya perkara, "Pantas dengan
janji rahasia mereka memaksa berbagai golongan orang Bu-lim untuk
bersama-sama merampas harta kiriman keluarga Lamkiong."
Lamkiong Siang-ju menghela napas, "Sekarang anak murid Tiam-jong yang
datang itu masih berkumpul di luar perkampungan sana, sebab mereka gagal
merampas harta benda yang tidak sedikit ini. Kelihatan mereka seperti
berjaga, sebenarnya mereka mengawasi supaya kita tidak dapat mengirim
keluar harta benda yang tidak sedikit ini. Selain itu ada lagi kawanan bandit
besar dunia kangouw yang juga mengincar rejeki nomplok ini.
"Selama beberapa hari ini entah berapa kali telah terjadi pertempuran sengit di
perkampungan kita ini dan banyak mengalirkan darah. Ai, harta, selain
membawa sengsara bagi keluarga Lamkiong kita, apa pula yang kita
dapatkan? Anakku. jika engkau dilahirkan di keluarga miskin, tentu takkan
kaurasakan penderitaan seperti sekarang ini."
Di luar hujan nusih turun dengan lebatnya.
Mendadak di luar jendela ada orang menghela napas panjang, "Ai, aku salah!"
Lamkiong Peng terkejut, bentaknya, "Siapa itu?"
Segera Lamkiong Siang-ju pun melompat ke depan jendela dan membuka
daun jendela.
Tapi sebelum orang tua itu bertindak lebih lanjut, suara orang tadi telah
menegur, "Lotoa, apa sudah pangling padaku?'
"Hah, Loh Ih-sian!" seru Lamkiong-hujin sambil memburu maju.

Lamkiong Siangju juga berseru kaget, "He, Jite, kiranya engkau?"
Waktu Lamkiong Peng mengawasi, ter-tampak di luar jendela berdiri seorang
tua berkepala botak, segera dikenalinya si kakek aneh bernama Ci Ti alias
mata duitan itu.
Sungguh tak tersangka olehnya bahwa kakek yang mata duitan ini adalah
"Jite" atau saudara kedua sang ayah. Seketika ia jadi melongo.
Dilihatnya kakek botak itu telak melompat masuk dan berhadapan dengan
sang ayah.
"Jite," ucap Lamkiong Siang-ju sambil memegangi pundak Ci Ti, "Sekian lama
tidak bertemu, mengapa...mengapa engkau berubah begini?"
Ci Ti termenung-menung seperti orang linglung, tiba-tiba ia bergumam, "Aku
salah, aku salah!"
"Ah, urusan yang sudah lalu, untuk apa kaupikirkan lag!," ucap Lamkionghujin
dengan sedih. "Aku dan Toako tidak menyalahkanmu, sebaliknya malah
merasa . . . merasa bersalah padamu."
"Tidak, aku salah," seru Ci Ti mendadak sambil berlutut di depan Lamkiong
Siang-ju dan mencucurkan air mata. "Toako, kuminta maaf . . . . "
Lekas, bangun, Jite," kata Lamkiong Siang-ju sambil menarik si kakek botak.
"Tidak, Selama urusannya tidak kukatakan, mati pun aku tidak mau berdiri
lagi," kata Ci Ti. "Soal ini sudah 20 tahun menekan hatiku. Pada waktu itu,
kusangka Samoay (adik ketiga) silau kepada kekayaan keluarga Lamkiong,
maka aku ditinggalkan untuk menikah denganmu. Aku tidak tahu bahwa
sebelum berkenalan denganku dia sudah mencintaimu. Tidak kuduga bahwa

dia menikah denganmu, bukan lantaran kemaruk kepada kekayaanmu, dia
justru rela ikut sengsara bersamamu, sebaliknya aku . . . aku malah tinggal
pergi tanpa pamit, bahkan kudatangkan serombongan musuh untuk merecoki
kalian . . . . "
"Ai, Jite, aku dan Samoay kan tidak beralangan apa pun, untuk apa
mengangkat lagi urusan lampau dan buat apa engkau menista diri sendiri,"
ujar Lamkiong Siang-ju dengan menyesal.
Tidak boleh tidak harus kukutuk diriku sendiri, dengan begitu barulah hatiku
bisa agak tentram," kata Ci Ti. "Selama puluhan tahun ini siang dan malam
kukutuki kalian, seperti orang gila aku mencari harta benda, kecuali merampok
dan mencuri. hampir dengan segala jalan aku berusaha mengumpulkan harta
benda, akupun mengasingkan diri, hidup hemat dan melarat, orang sama
menganggap aku orang gila, tidak ada yang tahu bahwa aku sengaja
bersumpah akan mengumpulkan harta benda yang lebih banyak daripada
kekayaan keluarga Lamkiong, akan tetapi . . . ."
Mendadak ia melemparkan karung yang dibawanya dan berteriak pula, "Ini,
biarpun kukumpulkan harta benda berjuta-juta tahil, lalu apa gunanya? Baru
sekarang kutahu betapa besarnya harta benda tetap tidak dapat membeli cinta
yang murni, biarpun kekayaan berlimpah tetap tak dapat mengurangi derita
seorang. Baru sekarang kusadar, Toako aku . . . aku salah padamu, harap
engkau sudi memberi ampun."
"Sudah kaudengar ceritaku tadi?'' tanya Lamkiong Siang-ju dengan rawan.
Ci Ti mengangguk.
Cepat Lamkiong Siang-ju membangunkan-nya dan berkata, "Apa pun juga hari
ini kita bertiga telah berkumpul kembali di sini, sungguh menggembirakan dan
bahagia."

Ia tertawa cerah, lalu berpaling dan berkata pula, "Anak Peng, lekas memberi
hormat kepada paman. Inilah Loh lh-sian, paman Loh yang dahulu terkenal
sebagai Sin-heng-bu-eng-tang-kun-thi-ciang (si pelari cepat tanpa bayangan,
kepala tembaga dan pukulan besi)."
Lekas Lamkiong Peng melangkah maju dan memberi hormat.
Loh Ih-sian mengusap air matanya, kata-nya dengan tertawa, "Nak, tentu tak
kausangka kakek yang mata duitan ini adalah pamanmu."
Lamkiong-hujin juga terharu, ucapnya dengan tersendat, "Sungguh tak
terduga akhirnya kita berkumpul lagi, tak nyana sekarang engkau suka
berdandan secara begini. Ai, masa . . . masa engkau begitu miskin sehingga
baju pun tidak mampu beli."
"Aku bukan miskin, tapi terlampau kikir," ujar Loh Ih-sian dengan tertawa.
"Meski dalam karungku terisi berjuta tahil perak, tapi satu tahil pun kusayang
menggunakannya."
"Kutahu apa yang kaulakukan ini adalah lantaran dia (maksudnya sang istri),"
kata Laro-kiong Siang-ju dengan gegetun. "Ai, engkau memang . . . .
"Cis. sudah sama tua, untuk apa bicara kejadian dulu di depan anak," omel
Lamkiong-hujin dengan agak jengah.
Meski hati ketiga orang tua ini diliputi rasa sedih dan haru, tapi juga merasa
gembira karena dapat berkumpul kembali. Sesaat itu mereka seakan-akan
berada pada 20 tahun yang lalu. tatkala mereka masih muda dan malang
melintang di dunia kangouw bersama.
Pada saat itulah mendadak terdengar orang membentak di luar serentak tiga
batang panah bersuara menyambar masuk lewat jendela dan "cret", sama
menancap di atas peti yang bertumpak di tengah ruangan itu.

"Haha, bagus, tak tersangka ada kawanan bandit berani menyatroni rumah
Toako se-karang." kata Loh Ih-slan dengan tergelak.
"Tenaga pemanah ini tampaknya tidak lemah, entah orang gagah dari mana?"
kata Lamkiong Siang-ju dengan tertawa.
Segera terdengar seorang berteriak di luar, "'Yim Ong-hong dan Cin Lun-ih
bersama para orang gagah dari ke-18 gunung datang untuk meminta sedikit
biaya kepada Lamkiong-cengcu, harap Lamkiong cengcu memberi
kebijaksanaan akan menerima dengan hormat atau menolak secara tegas?"
"Kenapa Hong-ih-siang-pian muncul kembali?" ucap Lamkiong Siang-ju dengan
kening bekerenyit.
"Tampaknya Hong-ih-siang-pian belum tahu siapa yang tinggal di sini," ujar
Loh Ih-sian sambil membusungkan dada. seketika perawakannya seakan-akan
tumbuh lebih tegap. Lalu sambungnya, "Siaute belum Iagi tua, bagaimana
dengan Toako?'
"Masa kaukira Toako sudah tua?" sahut Lamkiong Siang-ju.
"Haha, bagus!" Loh Ih-sian bergelak tertawa sambil menepuk pinggang
sehingga terdengar bunyi genta, "Sekarang juga?"
"Ya, tunggu kapan lagi?" jawab Siang-ju.
Lamkiong-hujin tertawa, "Bagus, Hau-hoa-leng (genta pembela bunga) kalian
masih lengkap, sebaliknya bunga macam diriku ini sudah layu!"
Tiba-tiba orang di luar menbentak pula, "Lekas beri jawaban, bila kami
menghitung tiga kali tidak ada keputusan, segera kami menyerbu masuk!"

Loh Ih-sian menanggapi ucapan Lamkiong-hujin tadi, "Ah, kami bersaudara
belum Iagi tua, masa engkau mengaku sudah layu? Eh, Lo-toa, perintis jalan
kan tetap diriku?"
"Baik," kata Siang-ju.
Baru saja kata itu terucapkan, mendadak Loh Ih-sian melompat dan hinggap di
atas kedua tangan Lamkiong Siang-ju yang diangkat ke atas. Begitu Siang-ju
membentak, "Pergi!"
Sekali tolak, kontan tub ah Loh Ih-sian terlempar ke luar secepat terbang.
Terdengarlah Suara "blang", daun pintu terpentang, menyusul terdengar
gemerinting, seutas benang emas terbang masuk dari luar, berbareng ada
benang emas lain menyambar keluar dari tangan Lamkiong Siang-ju.
Kembali terdengar bunyi genta, kedua benang emas terlibat menjadi satu,
menyusul Siang-ju membentak pula, "Masuk!"
Seketika di luar ada orang menjerit dan terdengar suara menderu, tubuh Loh
Ih-iian melayang masuk kembali, tangan kiri terbelit oleh benang emas,
tangan kanan mencengkeram seorang kakek bertubuh tinggi besar.
Segera Loh Ih-sian membanting tawanan-nya ke lantai. Ternyata yang
dibekuknya ada-lah satu di antara Hong-ih-siang-pian, yaitu Yim Ong-hong.
Lamkiong Peng terkesima, entah kejut atau kagum. Waktu ia mengamati lebih
lanjut baru diketahuinya bahwa pada ujung kedua utas benang emas itu sama
terikat sebuah genta kecil warna emas. ketika Loh Ih-sian melayang keluar
atas tenaga lemparan Lamkiong Siang-ju, segera ia melemparkan genta emas
ke dalam, berbareng itu genta emas Lamkiong Siang-ju juga dilemparkan
keluar, kedua utas benang emas saling belit dengan kuat, waktu Siang-ju

menarik Iagi dengan kuat, sementara itu Loh Ih-sian sempat menerkam ke
bawah dan Yim Ong-hong tercengkeram dan diangkat.
Berkat tenaga tarikan Lamkiong Siang itu Loh Ih-sian dapat melayang keluar
secepat terbang dan melayang masuk kembali dengan sama cepatnya. Biar
pun Yim Ong-hong juga bukan jago lemah, tapi dalam keadaan terkejut ia
menjadi kelabakan dan tak tempat mengelak.
Dalam pada itu di luar telah terjadi kekacauan, ada suara orang tua berteriak,
"Yang di dalam apakah Hong-tun sam-yu adanya?'
Lamkiong Siang-ju dan Loh Ih-sian sali pandang dengan tertawa.
Waktu itu Yim Ong-hong sudah merangkak bangun, dengan muka pucat dan
ketakutan berseru, "Hah, ternyata bsnar Hong-tun-sam yu adanya!"
"Sudah sekian tahun tidak bertemu, syukur engkau masih kenal kami
bersaudara," ucap Loh Ih-sian.
Yim Ong-hong menghela napas menyesal ucapnya dengan menunduk,
"Sekalipun Caihe tidak kenal Iagi kepada kalian bertiga, tapi gaya 'genta emas
pencabut nyawa' tadi tidak mungkin kulupakan."
"Haha, genta pencabut nyawa ... . .. Sungguh tidak terduga permainan yang
kami ciptakan untuk bersenda gurau telah dipandang orang persilatan sebagai
ilmu sakti," ujar, Loh Ih-sian dengan tertawa. Mendadak ia membentak'
dengan wajah kereng, "Jika kauingat juga kepada kami bersaudara, apakah
sudah kau lupakan sumpah yang pernah kalian ucapkan di depan kami?"
Yim Ong-hong menjawab dengan takut, "Bilamana kutahu Lamkiong-cengcu
tak-lain-tak-bukan adalah Leng-bin-jing-ih-khek (si baju biru berwajah dingin)
dari Hong-tun-sam-yu dahulu, betapa besar nyaliku juga tidak berani
melanggar Lamkiong-san-ceng satu langkah pun."

HAN BU KONG
JILID ke 14
“Dan bagaimana setelah kau tahu sekarang?” jengek Loh Ih-sian.
Di luar sana masih gaduh, segera Yim ong hong berteriak, “Cin-loji, lekas
membawa para saudara kita mengundurkan diri keluar perkampungan, Hongtun-
sam-yu berada disini!”
Belum lenyap suaranya Cin Luan-ih telah melompat ke depan pintu, serunya
kaget, “Ah, kiranya betul ketiga Taihiap berada disini, tak terduga kungfu yang
kami latih selama berpuluh tahun ini tetap tidak mampu menahan sekali
terkam dari udara oleh Loh tai-hiap.”
DI bawah hujan lebat sana mendadak ada orang berteriak, “Huh, Hong-tun
sam-yu apa segala? Jauh-jauh kita sudah datang kemari, masa selalu satu
patah kata ini saja kita lantas mundur dengan tangan hampa.”
Pada saat yang sama serentak belasan bayangan orang lantas menerjang
maju.
Mendadak Cin Luan-ih membalik tubuh dan membentak, “Siapa itu yang
bicara?”
Segera seorang leleki pendek kecil dengan sinar mata tajam tampil ke muka,
seorang di sebelah kiri juga menjengek, “Hm, menyuruh kawan sendiri pergi,
sedikitnya kau perlu di beri sedikit sangu? Betul tidak, kawan-kawan?”
Belasan orang sama mengiakan.

“Ah, kiranya kedua Pek cecu,” ucap Yim ong hong dengan tertawa sambil
mendekati kedua orang itu. “Katakan saja terus terang, sesungguhnya apa
yang kalian minta?”
Orang yang di sebelah kiri menjawab, “Dari jauh kami datang kemari, adalah
layak bilamana kami minta bagian, sebagai orang tua tentu juga harus
memikirkan nasib para saudara kami yang sudah lelah ini.”
“Baik, terimalah ini?” seru Yim ong hong sambil tertawa, berbareng kedua
tangannya menyodok ke depan.
Terdengarlah suara “blang-blang” dua kali, kontan kedua Pek bersaudara
menjerit dan tumpah darah serta terguling ke bawah undakan sana.
“Nah, siapa lagi yang minta bagian rezeki?” jengek Yim ong hong kemudian.
Seketika kawanan bandit sana bungkam, hanya suara hujan saja yang
terdengar, belasan orang itu sama berdiri diam, bernafas saja tidak berani
terlampau keras.
“Enyah!” bentak Yim ong hong.
Buru-buru belasan orang itu ngacir keluar.
Hong-ih-siang-pian lantas memberi hormat dan mohon diri.
“Sudah lama kita berkenalan, kalian ternyata belum lagi melupakan kami,
meski sekarang kami sedang menghadapi urusan gawat, tapi bilamana kalian
perlu bantuan sedikit banyak masih dapat kuberikan,” kata Lamkiong siang ju.
“Ah, cengcu tidak menghukum kami saja sudah membuat kami
berterimakasih, mana kami berani mengharapkan urusan lain,” jawab Yim ong
hong.

“Jika demikian, karena kami masih ada urusan, biarlah kita sudahi sampai di
sini,” kata siang-ju sambil memberi tanda mengantar tamu.
Yim ong hong dan Cin luan-ih memberi hormat. Selagi mereka hendak
melangkah pergi, mendadak Loh-ih-sian berkata, “nanti dulu, Ingin kutanya
sedikit, ketika kalian datang tadi, tentu kalian telah bertemu dengan anak
murid Tiam-jong di depan sana?”
“ya, Anak murid Tiam-jong sudah terluka lebih separuh, kecuali Tiam jong yan
dan Thian-go berdua, yang masih sanggup bertempur tidak seberapa orang
lagi.”
Habis menutur, kedua orang itu lantas mohon diri dan angkat kaki.
Setelah berada di tengah ruangan, Loh-ih-sian berkata, “Jika kepungan
kawanan penyatron sudah menipis, kenapa kesempatan ini tidak digunakan
Toako untuk mengangkat peti-peti ini keluar?”
Lamkiong siang-ju tersenyum pedih,”Para utusan Cu-sin-to sudah datang satu
kali, tapi mereka tidak menjelaskan tempat penyerahan harta benda ini,
umpama peti ini kita angkut keluar, lalu harus diantar kemana?”
Loh-ih-sian tercengang, mendadak ia menengadah dan bergelak tertawa,
“Haha, dimana dan kapanpun, betapa banyak penyatron di sana, memangnya
dengan gabungan kita takut takkan mampu menerobosnya?”
Sembari bicara, serentak ia guncangkan genta emas yang dipegangnya, suara
genta yang nyaring berkumandang jauh di tengah hujan lebat.
Melihat Lamkiong Peng memandangi gentanya dengan terkesima, Loh-ih-sian
bertanya, “Nak, apakah dapat kau dengar di mana letak keajaibannya bunyi
genta ini?”

Lamkiong peng menggeleng dengan tersenyum.
“Genta emas ini sebenarnya adalah benda pusaka keluarga lamkiong kita,”
tukas Lamkiong hujin, “genta ini seluruhnya ada tiga pasang, satu hal aneh
mengenai genta emas ini adalah bila salah satu pasang diantaranya
berguncang, kedua pasang yang lain juga akan ikut berbunyi. Gejala ini serupa
paduan suara alat musik saja.”
Segera ia mengeluarkan sepasang genta emas dan diberikan kepada Lamkiong
Peng, sesudah genta itu dipegang, mendadak Loh-ih-sian mengguncangkan
gentanya, seketika genta di tangan Lamkiong peng juga ikut berbunyi.
Tentu saja Lamkiong Peng terheran heran dunia ini memang penuh keajaiban,
banyak urusan yang sukar dijelaskan dengan akal.
'"Ketika kami bertiga masih malang melintang di dunia kangouw dahulu, hanya
kung fu ibumu yang paling lemah." tutur Lamkiong Siang-ju. "Kami kuatir
suatu tempo ibumu akan menghadapi bahaya, maka kubagikan genta emas ini
kepada mereka masing-masing satu pasang, bila ibumu mengalami bahaya,
sekali genta berbunyi, segera kedua pasang genta yang kami pegang ini juga
akan mengeluarkan suara dan segera pula kami dapat menyusul ke tempatnya
untuk memberi bantuan . . . . "
Makanya ayahmu telah memberikan nama yang aneh dan juga enak didengar
kepada genta yang serupa ini, yaitu Hou hou-leng." sambung Loh Ih-sian
dengan tertawa.
"Ah, kisah berpuluh tahun yang lalu buat apa mengungkapnya Iagi." ujar
Lamkiong- hujin
"Anak Peng, apabila kaumau, biarlah sepasang gentaku ini boleh kuberikan
padamu, selanjutnya bila berkelana di dunia kangouw

Mendadak teringat olehnya putra kesayangan sebentar Iagi akan menuju ke
tempat jauh yang tidak diketahui di mana letaknya, seketika wajahnya yang
berseri berubah muram durja.
Lamkiong Siang-ju menghela napas pelahan, "Ya, nak, bolehlah kau simpan
saja sepasang genta ini, ayah-ibu tidak dapat memberi benda berharga lain,
hendaknya kedua pasang genta ini dapat kausimpan dengan baik, kelak .... "
Bicara urusan kelak, tanpa terasa ia menjadi sedih dan tidak sanggup
meneruskan.
Di luar hujan masih lebat, suasana gelap gulita.
Memegangi keempat buah genta emas, Lamkiorig Peng juga menunduk diam.
Tiba-tiba Loh Ih-sian berkata dan tertawa lantang, "Haha, jika ayah-bundamu
sudah menghadiahkan gentanya kepadamu, bila kusimpan gentaku sendiri,
bisa jadi akan kau pandang pamanmu ini memang orang kikir. Nak, ambil
saja, biar kuberikan sekalian gentaku ini dm simpanlah baik-baik, kelak bila
ketemukan gadis setimpal, bolehlah kaubagi dia sepasang genta ini."
Dengan hormat Lamkiong Peng menerima pemberian itu.
"Apa pun juga, hari ini kita dapat berkumpul kembali, hal ini harus kita
rayakan," kata Lamkiong hujin. "Biarlah kuolah dua-tiga macam hidangan
untuk teman minum arak kalian. Dengan hadirnya Loh-loji dan anak Peng di
sini, paling tidak perasaanku akan lebih longgar."
"Ah, masa mesti bikin repot Samoay sendiri," ujar Loh Ih-sian.
"Apa boleh buat, kan semua kaum hamba di sini sudah dilepas," kata
Lamkiong-hujin.

Lalu Lamkiong Siang-ju membuka hiat-to para lelaki yang terluka karena
membela perkampungannya tadi disertai permintaan maaf, kemudian mereka
disilakan istirahat di belakang.
Selesai mengatur, makanan sederhana pun sudah dihidangkan.
Tapi belum lagi tiga cawan arak habis terminum, mendadak Loh Ih-sian berdiri
dan membentak," Siapa itu di luar?"
Di tengah kegelapan malam di luar masih hujan lebat, terdengar suara
gemersak ramai di undak-undakan. Sekali Lamkiong Sian-ju tolak dari jauh,
terpentanglah daun pintu, tapi di luar tidak kelihatan sesuatu.
Air muka Lamkiong Siang-ju dan Loh Ih-lian sama berubah, tiba-tiba angin
meniup membawa semacam bau amis yang aneh.
Kebetulan Lamkiong-hujin datang me-bawakan sepiring Ang-sio-bak, sekilas
pandang terlihat dalam kegelapan di luar ada dua titik cahaya, tanpa terasa ia
menjerit, "Hah, ular!"
"Prang!" piring yang dipegangnya jatuh dan pecah berantakan.
Terlihat. kedua titik cahaya hijau itu bergoyang-goyang dan semakin dekat.
Selagi Lamkiong Peng hendak bertindak, mendadak Loh Ih-sian mencegahnya
sambil mendesis, "Nanti dulu !"
Sekali ia menyembur, seutas benang perak terpancar ke arah kedua titik
cahaya hijau.
Di tengah desir angin yang berbau amis tercium pula bau arak, kiranya Loh Ihsian
telah menggunakan tenaga dalam untuk menekan arak yang diminumnya

sehingga terpancur keluar, serupa panah arak, sungguh hebat sekali
semprotan panah arak itu, seketika kedua titik cahaya hijau itu padam.
Dengan kening bekerenyit Lamkiong Siang-ju berucap, "Sejak Ban-siu-sanceng
(perkampungan seribu binatang) terbakar, di dunia persilatan sudah
langka ahli yang mahir mengendalikan ular dan binatang liar, kedatangan ular
ini sungguh rada aneh."
Belum habis terpikir, tiba-tiba bergema suara musik di kejauhan, segera kedua
titik cahaya hijau muncul lagi, bergoyang-goyang mengikuti irama musik dan
meninggi ke atas. Berubah air muka Lamkiong Siang-ju, diraihnya poci arak di
atas meja dan disiramkan ke sana, seutas air mancur lantas tersebar sampai
di depan pintu, segera. ia jemput pula lentera tembaga dan berjongkok untuk
menyulut, "buss", api lantas menyala dan berkobar mengikuti jalur arak.
Di bawah cahaya api tampaknya di atas undak-undakan luar sana seckor ular
hijau sebesar lengan lagi menegak leher dengan lidahnya yang terjulur
sembari menyurut mundur.
Loh Ih-sian berteriak kaget dan menyingkir ke pojok.
"Hah, Loh-loji juga takut ular?" ujar Lam-kiong-hujin dengan tersenyum-
Baru sekarang Lamkiong Peng tahu sebab-nya kakek botak ini ketakutan
terhadapan kawanan setan dari Kwan-gwa dulu, rupanya bukan orangnya yang
ditakuti melainkan ular piaraan mereka.
Dengan cepat api yang menyala dari alkohol itu telah paham, suara musik tadi
tambah melengking.
Cepat Lamkiong-hujin juga turun tangan, dua titik cahaya perak menyambar
ke depan, cahaya hijau seketika padam, ular pun terguling ke bawah undakKoleksi
Kang Zusi
undakan. Mendadak suara musik berubah keras, menyusul lantas terdengar
suara harimau meraung, seekor macan kumbang melompat ke atas,
''Binatang!" bentak Lamkiong Peng sambil memapak ke depan.
Harimau itu sedang menubruk dari atas, sekali berkelit Lamkiong Peng
mengelak ke samping, menyusul sebelah tangannya lantas menghantam
kepala binatang itu. "Prak", tanpa ampun kepala macan hancur, darah
munerat, kepala binatang buas itu luluh dan binasa.
Sekalian kaki Lamkiong Peng mendepak, bangkai karimau ditendangnya ke
bawah undak undakan sana.
"Sungguh hebat, itulah murid Sin-long maha sakti!" puji Loh Ih-sian sambil
berkeplok tertawa.
Mendadak suara musik berganti nada lagi, suara musik ringan hilang, sebagai
gantinya adalah suara alat musik berat, yaitu tambur dan gembreng ditabuh
bertalu-talu. Di tengah hujan angin empat sosok bayangan tinggi besar
tampak muncul dari kegelapan dan serentak melompat ke atas undakundakan.
Ternyanta ke-empatnya adalah kingkong yang bertenaga raksasa.
Di bawah cahaya remang bulu keempat ekor kingkong yang berwarna kuning
emas itu membentangkan kedua lengan dengan mulut ternganga serta
mengeluarkan suara garang di selingi suara gemuruh menepuk dada, buas dan
mengerikan.
"Lekas kembali, anak Peng," seru Lamkiong Siang-ju.
Namun Lamkiong Peng tetap berdiri menghadapi keempat ekor kingkong itu.

Tiba-tiba bergema suara orang di dalam kegelapan hutau, "Lamkiong Siang ju,
untuk apa kaubertahan di situ, jika tidak lekas angkat kaki, sebentar lagi bila
binatang sakti membanjir tiba, kematian kalian pun takkan terkubur."
Suaranya kecil melengking, berkumandang jelas di tengah suara genderang
yang ramai,''Omong kosong!" bentak Lamkiong Peng, berbareng kedua
tangannya lantas memukul langsung kepada kedua ekor kingkong yang
tengah.
Sambil meraung aneh, kedua ekor kingkong itu terguling ke bawah undakundakan.
tapi segera mereka melompat bangun dan menerjang maju lagi
sambil menyeringai sehingga kelihatan barisan giginya yang menakutkan.
Dalam pada itu kedua ekor kingkong yang lain segera menubruk maju dari
kanan-kiri. Namun secara gesit Lamkiong Peng melompat ke samping.
Kedua ekor kingkong yang terguling tadi sudah menerjang tiba dan
mengerubuti Lamkiong Peng. Mangkin gencar suara tambur ditabuh, makin
kalap keempat ekor kingkong itu menerjang musuh.
Melihat putranya kewalahan dikerubut keempat ekor kingkong itu, Lamkiong
Siang-ju tidak tinggal diam, dari samping ia pun menghantam. kontan salah
seekor" kingkong itu terpukul jatuh. Tapi dengan cepat merangkak bangun dan
menerjang maju lagi.
Mendadak Loh Ih-sian mendekap bibir dan bersuit sekerasnya, begitu keras
suara suitannya sehingga irama tambur menjadi kacau, seketika cara
bertempur keempat ekor kingkong itu pun tidak teratur lagi.
Kesempatan itu digunakan Lamkiong Siang-ju untuk menghantam lagi,
'"blang". dada salah seekor kingkong iiu tertonjok. Sungguh dahsyat pukulan
ini, kontan kingkong tumpah darah dan terguling ke bawah undak undakan.

Loh Ih-sian masih terus bersuit. Mendadak iapun menghantam dua tangan
sekaligus, salah seekor kingkong itu mendoyong ke belakang, tapi segera kaki
Loh Ih-sian mengait dan "bluk" kingkong ttu jatuh terjengkang.
Tanpa ayal Loh Ih-sian memegang kedua kaki kingkong sambil menggertak,
sekali angkat tubuh kingkong sebesar manusia itu terus diputar dua-tiga kali,
lalu dliemparkan hingga jatuh jauh di hutan sana.
Semangat Lamkiong Peng tambah terbangkit, kembali ia menghantam dan
menendang sehingga seekor kingkong mencelat.
Sekarang suara tambur itu bergema lagi, namun sisa seekor kingkong itu
rupanya tahu gelagat dan tidak berani bertempur lagi, segera ngacir pergi.
Loh Ih-sian bergelak tertawa puas dan memuji, '"Sungguh kungfu hebat,
murid Sin-liong memang lain daripada yang lain."
Dalam pada itu Lamkiong Siang-ju sedang berseru lantang ke sana,
"Dengarkan para kawan, harta benda di Lamkiong-san ceng saat ini berada di
sini, apabila kalian mengincarnya, silakan mengambilnya menurut kemampuan
kalian, kenapa mesti main sembunyi dalam kegelapan hutan dan menyuruh
kawanan binatang yang tak berarti ini untuk membikin malu kalian sendiri?"
Suara tambur mulai mereda, sebagai gantinya suara musik halus tadi kembali
bergema, lembut dan ulem.
Waktu angin meniup lagi, bau amis tadi sudah hilang, sebaliknya malah
mengandung bau harum sayup sayup aneh membuat perasaan tergelitik dan
membangkitkan nafsu.
Mendadak di tengah hutan yang gelap menyala empat cahaya lampu yang
menyilaukan mata, pekarangan di depan uudak-urdakan batu, seluas dua-tiga

tombak itu tiba-tiba muncul enam orang gadis berbaju sutera putih tipis dan
berkerudung topi bunga serta mulai menari mengikuti irama musik.
Hujan masih turun, hanya sekejap saja baju tipis keenam gadis jelita itu sudah
basah kuyup sehingga hampu tembus pandang garis tubuh mereka yang
menggiurkan.
Makin lama makin asyik bunyi musiknya dan makin panas tariannya, kening
Lamkiong Peng bekerenyit, ia melengos ke arah lain.
Alis Lamkiong Siang-ju juga menegak, katanya, "Jite, apakah kauingat cara
mempengaruhi lawan dengan kemaksiatan dan menggertak dengan kekerasan
seperti ini biasanya digunakan tokoh kangouw dari mana?"
"Apakah maksud Toako hendak mengatakan kebiasaan majikan perempuan
dari Ban-siu san-ceng, yaitu Tek-ih-huicu (si nyonya senang)?” jawab Loh Ihsian.
"Sesudah kebakaran yang menimpa Ban-siu-san-ceng, sudah lama Tek-ihhuicu
meng-hilang dan tiada kabar beritanya," kata Lam-kiong Siang-ju.
“Bahwa sekarang dia muncul kembali, nyata caranya sudah tidak selihai dulu
lagi, namun gayanya masih tidak berubah."
"Ya, memang sudah berpuluh tahun tidak ada kabar tentang Tek-ih-huicu,
apakah mungkin iblis perempuan yang menyendiri ini dahulu juga pernah
mendidik murid?"
Tengah bicara, suara musik tadi tambah gencar, gaya menari keenam gadis
berbaju sutera itu pun semakin menghanyutkan, di antara gerak-geriknya
seperti sengaja dan seperti tidak sengaja selalu menonjolkan bagian tubuh
yang seharusnya dirahasiakan, lirikan matanya juga memikat.

Cahaya lampu juga tambah remang, dari kegelapan hutan sana lantas muncul
empat gadis lagi dengan menggotong sobuah joli kecil beratap.
Waktu joli berhenti dan tabir tersingkap, kedua gadis jelita di depan lantas
membentang dua buah payung, maka turunlah dari joli seorang nona berbaju
warna lembayung dengan potongan tubuh yang ramping, cantik sekali nona ini
tampaknya tapi mukanya justru dialingi sebuah kipas bambu.
"Joli kecil dan baju ungu, semua ini adalah ciri pengenal Tek-ih-huicu dahulu.
jangan-jangan memang betul Tek-ih-huicu telah rnuncul lagi di dunia
kangouw?" gumam Lamkiong Siang-ju.
Loh Ih-sian tidak menanggapi, dia kelihataprihatin, mendadak ia membentak,
"Siapa itu?"
Waktu ia berpaling, di bawah cahaya lampu yang remang, di atas tumpukan
peti ternyata sudah bertambah beberapa sosok bayangan orang.
Pada saat itu juga gadis berbaju ungu juga mulai melangkah ke atas undakundakan
mengikuti irama musik, gayanya jauh lebih monggiurkan daripada
gadis yang lain.
Serentak belasan gadis jelita tadi mengikut di belakangnya, sambil menaiki
undakan batu para gadis itu melepaskan baunya yang tipis sepotong demi
sepotong sehingga akhirnya telanjang bulat tanpa sehelai benang pun.
Sementara itu di tengah ruangan pendopo bayangan orang banyak serentak
berputar mengitari tumpukan peti, seorang yang mengepalainya tampak
berperawakan kekar, alis tebal mata cekung, seorang lagi bertubuh jangkung
dan berwajah kurus. Kiranya mereka ini adalah tokoh Tiam-jong-pai, yaitu
Kongsua Yan dan Thian-go Tojin.

"Hm, kukira Tiam-joNg-pai adalah golongan ternama dan aliran lurus rupanya
juga biasa berbuat secara sembunyi-sembunyi, tengah malam buta menyusup
ke rumah orang, barangkali memang beginilah ajaran Tiam-jong-pai?" segera
Loh Ih-sian mengejek.
Thian-go Tojin meniadi gusar. Sedangkan Kongsun Yan tidak menghiraukan
ejekan itu, ucapnya ketus, "Kami hanya minta birara dengan Lamkiongcengcu."
"Melihat perbuatan para Totiaug, rasanya tidak ada yang perlu kubicarakan
lagi," ujar Lamkiong Siang-ju dengan dingin.
"Creng", segera Thian-go Tojin melolos pedang.
Kongsun Yan tetap tenang saja, katanya, "Apabila Cengcu mau mendengar
nasihatku sebaiknya harta bendamu ini kautitipkan dalam pengawasan kami
selama tiga tahun, sesudah tiga tahun akan kami kembalikan dalam keadaan
utuh tanpa kurang sesuatu . . . ."
"Hehe, anjing kelaparan ingin pinjam bakpau, sungguh menggelikan," ejek Loh
Ih-sian.
Kongsun Yan berlagak tidak mendengar, katanya pula, "Atas kehormatan
Tiam-jong-pay kuberani memberi jaminan takkan mengganggu sedikit pun
harta bendamu ini."
“Hehe, kehormatan Tiam-jong-pai? Memangnya berapa harganya sekati?"'
jengek pula Loh Ih-sian.
Thian-go membentak murta, segera pedang bergerak dan hendak menyerang.
Namun Kongsun Yan keburu mencegahnya, katanya, "Nanti dulu Samte,
dengarkan dulu jawaban Lamkiong-cengcu.'"

"Kukira Toako juga tidak ada jawaban, kami justru ingin tahu apa yang dapat
diperbuat orang Tiam-jong-pai Kalian?" jengek Loh Ih-sian.
Belum lenyap suaranya segera pedang Thian-go Tojin menusuk, cepat Loh Ihsian
berkelit dari keduanya lantas saling labrak.
Di luar sana suara musik masih berkumandang, belasan gadis jelita itu sudah
berada di ujung undak-undakan, semuanya telanjang bulat dengan tubuh yang
mulus menggiurkan.
Gadis jelita berbaju ungu menggoyang goyang kipasnya setengah menutupi
wajahnya, meski dia tidak menanggalkan bajunya. Tapi terkadang
mengeluarkan suara tertawa genit yang memikat.
"Turun?" bentak Lamkiong Peng.
Namun kawanan gadis itu tetap menari seperti tidak mendengar, Kerlingan
mereka terpusat ke arah Lamkiong Peng seakan-akan ingin menelan bulatbulat
anak muda itu.
Melihat goyang pinggul dan gerakan memikat yang terpampang di depan mata
itu, tentu saja Lamkioug Pong serba susah, mana dia sampai hati turun tangan
terhadap gadis telanjaug begilu.
Dalam pada itu Thian-go Tojin dan Loh Ih-sian sedang bertempur dengan
sengit. Pedang Thian-go berputar cepat dengan tipu serangan yang ganas,
ilmu pedang Tiam-jong-pai memang cepat dan lincah, namun Loh Ih-sian iuga
tidak kurang lihainya Dia bergerak terlebih cepat daripada sambaran pedang
lawan. Sedikit pun senjata lawan tidak mampu meyentuh ujung bajunya,
malahan dia seperti sengaja hendak mempermainkan orang dan tidak balas
menyerang, serupa kucing mempermainkan tikus.

Dengan gemas mendadak pedang Thian-go tojin menusuk dari arah yang tak
terduga akan tetapi mendadak tersengar suara ‘trang’ kiranya Loh ih-sian
sempat meraih sebuah piring sebagi tameng sehingga tertusuk berantakan
oleh pedang Thian go tojin, hidangan dalam piring berhamburan mengotori
bajunya.
Tentu saja Thian go tojin bertambah murka, seklai depak ia bikin meja
terbalik, mangkuk piring pecah berserakan, lampu perunggu di atas meja juga
ikut terguling dan padam seketika.
Tapi pada saat itu cahaya lampu dari dalam hutan sana telah menyorot tiba,
kawanan penari telanjang juga sudah berada di depan ruangan.
Lamkiong siang ju berkerut kening, ucapnya, “Jite, jangan bergurau lagi,
sudah waktunya turun tangan sungguh-sungguh!”
“Baik,” seru Loh-ih sian, segera jurus serangannya berubah, sekaligus ia
melancarkan dua tiga kali pukulan sehingga Thian go tojin terdesak ke pojok
ruangan.
Siang ju berseru kepada sang istri, “hujin boleh kaulayani yang di luar dan
yang di dalam serahkan saja kepadaku.”
Dengan sendirinya lmakiong hujin sudah melihat datangnya kawanan penari
telanjang itu, Cuma seketika ia pun bingung menghadapi adegan luar biasa
itu.
Nona berbaju ungu tadi tampaknya melangkah maju dengan gaya gemulai,
tahu-tahu ia sudah bergeser ke depan Lamkiong Peng, seketika anal muda itu
pun mencium bau harum yang memabukkan, pikirannya serasa melayang.
“Mundur!” cepat ia membentak sembari ayun sebelah tangannya ke depan
untuk menghantam Koh-cing-hiat di pundak orang.

Tak tersangka nona cantik itu sama sekali tidak menghindar, sebaliknya sambil
tertawa genit ia malah menyongsong maju, dengan dadanya yang montok ia
sambut pukulan Lamkiong Peng itu.
Cepat Lamkiong Peng menarik kembali pukulannya, betapapun ia tidak dapat
menyerang seorang gadis yang tidak melawan.
“Menyingkir Peng-ji!” seru lamkiong hujin.
Tapi baru saja dia bergerak, tahu-tahu empat penari telanjang sudah
mengadang di depannya. Empat penari telanjang Iain lantas mengepung
Lamkiong Peng dengan goyang pinggul dan guncang dada secara merangsang.
Saat itu Lamkiong Peng berdiri di depan pintu, bila dia menyingkir berarti
memberi kesempatan kepada kawanan penari telanjang itu untuk menyerbu ke
dalam, tapi kalau tidak menghindar. tentu dia akan terkurung di tengah gadis
telanjang, betapapun teguh imannya jika dibuai oleh irama musik yang
masyuk dan tarian yang merangsang, tentu tidak tahan akhirnya.
Dalam pada itu keempat penari telanjang itu sudah semakin mendekat, gaya
mereka yang cabul sungguh bisa membuat setiap lelaki lupa daratan ....
Di sebelah dalam pertarungan Thian-go dan Loh Ih-sian juga tambah seru,
jsgo pedang Tiam-jong-pai yang lain sudah memegang pedang dan siap
tempur juga,
Tiba-tiba Kongsun Yan melolos pedang dan berkata, "Hari Ini bukan
pertandingan biasa, umpama main kerubut juga bukan soal lagi"
Ia memberi tanda dan segera msnyerang disusul oleh begundalnya.

Mendadak Loh Ih-sian merasa angin tajam menyambar dari belakang, tiga
pedang serentak menabasnya.
Thian-go Tojin juga tidak tinggal diam , berbareng ia pun menyerang
'"Hm, biasanya Tiam jong- pai tidaklah jahat, mestinya aku tidak suka
membikin susah orang. tapi perbuatan kalian sungguh keterlaluan, terpaksa
aku harus bertindak." kata Lamkiong Siang-ju.
Mendadak ia menghantam ke belakang, angin pukulannya mendampar
keempat penari telanjang yang mengepung di depan Lamkiong Peng, meski
dia menyerang tanpa berpaling, namun pukulannya cukup telak, mana
kawanan gadis telanjang itu tahan angin pukulannya, terdengar jeritan kaget,
dua di antaranya tergetar jatuh ke bawah undakan batu.
"Harap ayah menghadapi mereka di sini, biar anak melayani orang Tiam-jongpai,"
seru Lamkiong peng.
Belum lanjut ucapannya, kembali Lamkiong Siang-ju menghantam lagi satu
kali, si nona berbaju ungu tergetar mundur, cepat Lamkiong Peng mendesak
maju dan menutuk pundak lavvan.
Namun kipas si nona mendadak menabas pergelangun tangan Lamkiong Peng,
sekilas tertampaklah wajahnya di bawah cahaya remang.
Seketika hati Lamkiong Peng tergetar, seru-nya, "Hei, kau . . . kau . . . . "
Sungguh tak tersangka dan tak terduga nona berbaju ungu ini adalah Suci
atau kakak seperguruannya, yaitu Koh-ih-hong alias Ong So-so.
Dengan tersenyum manis dan kerlingan genit kembali Koh Ih-hong memotong
lagi dengan kipasnya menurut irama musik.

"He, Sisuci, ken .. kenapa engkau menyerangku?' seru Lamkiong Peng. "Masa
engkau tidak . . . tidak kenal lagi padaku? Di mana Toako sekarang?"
Koh Ih-hong terkekek, "Hehe, siapa kenal padamu? Siapa Toakomu?"
Dalam pada itu kawanan penari telanjang lantas menerjang maju pula,
Dengan tercengang Lamkiong Peng menyurut mundur ke dalam ruangan.
Kening Lamkiong Sian-ju bekerenyit, serunya, "Gadis ini mungkin sudah
terpengaruh oleh obat bius. boleh kau menyingkir dulu...."
Belum lenyap suaranya. mendadak cahaya pedang berkelebat. Kongsun Yan
telah menusuk dari samping.
Lamkiong Peng membentak, segera ia menendang pergelangan tangan lawan
yang memegang senjata.
Di sebelah. sana Lamkiong hujin tampaknya juga serba susah menghadapi
keempat penari telanjang tadi, meski ia sendiri juga orang perempuan, tidak
urung mukanya menjadi merah melihat gerak cabul mereka.
"Awas obat bius mereka, Hujin," seru Lamkiong Siang-ju mendadak.
Terkesiap Lamkiong-hujin. benar juga, baru saja ia menahan napas, serentak
keempat penari telanjang itu menaburkan kabut tipis.
Dengan gusar Lamkiong-hujin mengebaskan lengan bajunya sehingga bubuk
putih buyar, sekaligus ia kebut hiat-to tangan lawan.
Di sebelah sana Loh ih sian satu lawan empat dan sedang melancarkan
pukulan dasyat, "blang blang", mendadak ia menyikut ke belakang sehingga

dua orang lawan menjerit kaget dan pedang terlepas, kedua tojin itu pun
tumpah darah.
Dalam pada itu Lamkiong Peng telah menandingi Kongsun Yan dan dua pemudi
berdandan ringkas. Ia terkejut, kuatir dan sangsi pula, ia kuatir mengenai
keadaan sang Toako, yaitu Liong hui, juga sangsi mengapa Koh ih hong bisa
berubah menjadi begitu.
“Jangan melukai dia ayah!” seru Lamkiong Peng mendadak.
Kiranya pada saat itu Koh Ih-hong kena ditutuk oleh lamkiong sian ju dan
sempoyongan terjatuh ke bawah undakan batu.
Pada saat itulah itulah tiba-tiba dari kegelapan hutan sana muncul sesosok
bayangan
sambil membentak terus menerjang tiba, sekali raih dapatlah dia merangkul
tubuh Koh Ih hong yang hampir roboh itu.
Pendatang ini bertubuh tinggi besar dan berbaju mentereng muka penuh
berewok pendek kaku serupa dari landak. Nyata dia inilah Liong hui.
“He, toako...........” seru lamkiong Peng setelah mengenali orang.
"Apakah orang ini Liong Hui?" tanya Lamkiong Siang ju dengan melenggak.
'"Betul,"jawab Lamkiong Peng, segera ia berseru pula, “Toako, siaute
Lamkiong Peng berada di sini!”
Siapa tahu air muka Lioug Hui tidak memperlihatkan sesuatu perasaan serupa
orang ling lung saja, sambil merangkul Koh Ih-hong segera ia pentang kelima
jarinya mencakar muka Lamkiong Sian ju.

Baru saja Lamkiong siang ju mendak ke bawah, segera Liong hui menendang
lagi.
Meski ganas serangannya, tapi sebenarnya banyak lubang kelemahannya.
Namun Lamkiong siang ju tidak ingin melukainya, ia melompat mundur untuk
menghindari tendangan lawan.
Tak terduga mendadak Laiong hui menaruh Koh ih hong, lalu membentak,
“Biarlah aku mengadu jiwa dengan kawanan bangsat kalian ini?”
Sekali tendang ia bikin seorang penari telanjang hingga terjungkal, menyusul
sebelah tangannya menghantam lamkiong siang ju dengan dasyat.
“he, Toako, ken.........kenapa kau?.............” jerit Lamkiong Peng keget, tibatiba
pundak terasa dingin, kiranya telah terserempet oleh pedang Kongsun Yan
sehingga tergores luka.
"Layani saja lawanmu dengan tekun, biar kuselesaikan urusan Suhengmu ini,"
kata Lam kiong Siang-ju.
Tanpa menghiraukan luka sendiri, Lam kiong Peng berseru kuatir, "Ayah,
apakah Toaka terpengaruh juga oleh obat?"
"tampaknya memang begitu," kata Lamkiong Siang-ju.
"Sungguh rendah Tiam-jong-pai, pakai obat bius segala?!" teriak Lemkiong
Peng dengan murka, mendadak ia jepit batang pedang Kong-sun Yan yang
menyambar tiba, sekali tekuk pedang lawan lantas patah, sebelah kaki
menendang seorang jago pedang Tiam-jong-pai. Menyusul pedang patah
membalik dan digunakan untuk menusuk lawan.

Jago pedang menjerit dan jatuh terguling dengan tangan memegang dada ia
bergulingan di lantai yang penuh pecahan mangkuk piring; sehingga sekujur
badan berlumuran darah, akibatnya tak sadarkan diri.
"Keji amat!" geram Kongsun Yan.
Selagi dia hendak menyerang pula dengan pedang patah, tak tersangka
Lamkiong-hujin telah berhasil mengebas hiat-to keempat penari telanjang dan
saat. itu sedang melompat tiba, sekali tepuk pelahan Ciang-tai-hiat di punggung
Kongsun Yan tertutuk.
Pada saat itu juga pedang patah yang dirampas Lamkiong Peng juga
ditusukkan ke bahu Kongsun Yan, terdengar jeritan, darah pun mengucur.
"Jisuheng . . . ."seru Thian-go kuatir.
Dengan tumpah darah Kongsun Yan berseru, "Samte, le . . . lekas pergi!"
Habis berkata ia pun jatuh terguling.
Tiba-tiba dalam kegelapan sana berkumandang suara kuda lari, cepat seorang
berteriak dari kejauhan. "Lamkiong-cengcu, Lam-kiong-heng, saudaramu
Suma Tiong-thian datang terlambat!"
Hanya sekejap saja seckor kuda sudah mendekat, Thi cian ang-ki Suma Tiongthian,
si jago tua bertombak besi dan panji merah, memutar tombaknya di
bawah hujan, langsung ia larikan kudanya ke atas undak-undakan sambil
berteriak pula "Jangan kuatir, Lam kiong heng, inilah Suma Tiong-thian!"
Begitu tombak bergerak, secepat kilat ia tusuk Liong Hui.
Sekilas pandang Lamkiong Peng melihat kuda jago tua itu akan menginjak
tubuh Koh Ih-hong yang menggeletak di undakan batu itu. ia berteriak kuatir

dan melompat maju sambil mendorong dengan kuat sehingga Iari kuda
tertolak ke samping.
Tentu saja kuda itu meringkik kaget dan tusukan tombak Suma Tiong-thian
juga meleset.
Liong Hui membentak gusar, sekali raih ujung tombak kena dipegangnya.
Baru sekarang Suma Tiong-thian dapat melihat jelas siapa orang yang
diserangnya tadi, serunya, "Hei, Liong. . . Liong-taihiap . . . ."
Pada saat itu tiba-tiba dari hutan Sana berkumandang suara orang tertawa
seram, keempat jalur cahaya api serentak padam, suara musik juga lantas
lenyap.
Angin dan hujan kembali menderu lebat, bumi raya gelap gulita dan hampir
tidak kelihatan jari sendiri.
Pada saat itulah terdengar Lamkiong-hujin menjerit kaget dan bentakan Liong
Hui, mendadak Liong Hui menarik sekuatnya sehingga Suma Tiong-thian
terseret jatuh ke bawah kuda, berbareng itu Liong Hui juga berguling dan
mengangkat Koh Ih-hong terus dibawa lari ke tengah kegelapan sana.
Lamkiong Peng tercengang. sedang Thian-go Tojin melancarkan dua-tiga kali
tusukan untuk mendesak mundur Loh Ih-sian, lalu ia mendobrak daun jendela
dan melompat pergi.
Kuatir di luar musuh akan menyergapnya Loh Ih-sian tidak mengejar.
Suma Tiong-thian ternyata sangat tangkas meski sudah berusia lanjut, sekali
lompat ia berusaha menahan kudanya yang menjadi liar dan membedal ke
dalam ruangan, terdengar suara gemuruh, tumpukan peti diterjang roboh. Isi

peti berserakan, semuanya berupa batu permata yang kemilauan dalam
kegelapan.
Selagi Suma Tiong-thiau hendak mengatasi kudanya, sekonyong-konyong
sinar tajam menyambar dari luar, seorang jago pedang Tiam jong-pai
menyambitkan pedangnya, cepat jago tua itu mengelak, pedang menyambar
lewat dan menancap di perut kuda.
Keruan kuda itu kesakitan dan tambah liar terus membedal keluar seperti
kesetanan.
Jago pedang Tiam-jong-pai tadi tertendang jatuh dan belum sempat
merangkak bangun, kontan dia terinjak mampus oleh lari kuda yang kesetanan
itu.
Habis menginjak orang, kuda itu pun keserimpat dan jatuh terjungkal ke
bawah undak -ondakan sambil meringkik, lalu tidak bergerak lagi.
Suma Tiong-thian terkesima kehilangan kuda kesayangan.
Lamkiong Peng berteriak, "Toako . . ." Akan tetapi Lamkiong Siang-ju lantas
rnembujuknya, "Tenang, anak Peng, tampaknya kedua orang itu kehilangan
kesadarannya dan saat ini entah sudah lari ke mana, bukan mustahil . . . ."
Meski tldak lanjut ucapannya, namun dapat diduga dia pasti akan mengatakan
keselamatan Liong Hui dan Koh Ih-hong sukar diramalkan.
Lamkiong Peng tertegun sejenak, mendadak ia menjadi beringas, diseretnya
bangun Kong-sun Yan, bentaknya, "Coba katakan, dengan obat bius apa Tiamjong-
pai kalian mengerjai Toako kami sehingga dia lupa daratan?'
Selain sang guru, orang yang paling dikasih dan dihormatinya ialah Liong Hui,
dengan sendirinya hatinya sekarang sangat sedih dan gusar.

Ujung mulut Kong-sun Yan berlumuran darah, setengah potong pedang masih
menancap di bahunya, keadaannya payah, ucapnya lemah, "Orang Tiam-jongpai
tidak pernah menggunakan obat bius."
'Omong kosong, jika bukan perbuatan Tiam-jong-pai kalian, habis siapa?"
teriak Lamkiong Peng,
Kongsun Yan memejamkau mata dan tidak menanggapi.
"Sabar anak Peng," ucap Lamkiong Siang-ju, "Kuyakin Tiam-jong-pai memang
bukan orang yang suka menggunakan obat bius, apa yang diperbuatnya ini
tentu karena terpaksa, juga pakai perempuan cantik untuk memikat musuh,
cara ini pun pasti tidak sudi dilakukan Tiam-jong-pai, seharusnya kaukatakan
terus terang apa yang terjadi. Kalau tidak, peristiwa hari ini telah disaksikan
orang banyak. betapa pun kalian menyangkal juga sukar membuat orang
percaya."
Tiam-jong-yan Kongsun Yan tersenyum sedih, ucapnya, 'Di mana Samsuteku
Thian-go?"
Loh Ih-sian menjawab, 'Meski Tiam-jong-pai kalian mernusuhi kami, tapi kami
tidak bertindak kejam, Thio-go sudah. kami lepaskan.
Kongsun Yan terdiam sejenak, akhirnya ia menghela napas dan bertutur,
"Bilamana kalian ingin ke luar dari perkampungan ini dengan selamat, kukira
teramat sulit."
"Apa maksudmu?' tanya Lamkiong Siang-ju. "Kalau kalian ingin hidup,
hendaknya kauserahkan harta bendamu ini kepada mereka, kalau tidak . . . . "
"Memangnya kaum iblis Kun-mo-to sudah tiba?" tanya Lamkiong Siang-ju.

"Betul," Kongsun Yan mengangguk," "agaknya Kun-mo-to terlalu meremehkan
Lamkiong-sanceng kalian, mereka tidak mengirim jago kelas tinggi melainkan
cuma seorang pelayan rendahan saja dengan kawanan gadis dan binatang
buas itu, katanya hendak membantu Tiam jong pai kami menduduki
perkampungan ini siapa tahu Lamkiong-cengcu suami-istri yang selama ini
dikenal sebagai orang awam ternyata menguasai kungfu setinggi ini. Sekarang
pihak mereka untuk sementara menghentikan serangan, tentu sedang
menyiapkan langkah selanjut-nya yang lebih lihai."
Bicara sampai di sini napasnya tampak tersengal dan seperti tidak tahan lagi.
Lamkiong Siang-ju tampak sedih, ucapnya, "Terima kasih atas
keterusterangan Totiang, bilamana tidak menolak, padaku tersedia obat luka.”
"Tiada gunanya." ucap Kongsun Yan dengan tersenyum pedih, ''Urat nadiku
sudah tergetar putus oleh pukulan nyonya, ditambah lagi tusukan pedang
Lamkiong-kongcu tadi .... Namun semua itu tidaklah menjadikan aku dendam
kepada kalian, aku hanya memohon bilamana mungkin, kelak semoga kalian
dapat membantu Suteku membangun kembali Tiam-jong-pai kami ....'"
Sampai di sini, suaranya hampir tak terdengar lagi, napas pun semakin lemah.
Tiba-tiba hati Lamkiong Peng tergerak, serunya, "Jika benar kawanan iblis dari
Kun mo-to tadi harus menyusun kekuatan untuk menyerang lagi, saat ini
kepungan tentu agak longgar, kesempatan ini dapat kita gunakan untuk
menerjang keluar daripada menunggu ajal di sini."
"BetuI," tnkas Loh Ih-sian, "Setelah menerjang keluar dapat kita berusaha
mengadakan kontak dengan utusan dari Cu-sin-tian . ... "
"Usul yang baik," kata Suma Tiong thian. ''Saat ini di !uar ada belasan orang
kawanku dan ..."

"Belasan Piauthau kawan Suma-cianpwe sekarang juga lagi istirahat di
ruangan belakang, biar kupanggil keluar mereka," kata Lamkiong Peng tibatiba
sambil lari ke belakang.
"Apakah Toako dan Toaso masih ingin berbenah sesuatu lagi?" tanya Loh Ihsian.
"Selanjutnya kami takkan punya kediaman tetap lagi, mau bebenah apa pula?"
ujar Lam-kiong-hujin sambil menghela napas.
Selagi Loh Ih-sian hendak bicara pula, mendadak terdengar suara kaget
Lamkiong Peng yang berlari keluar.
"Ada apa?" tanya Lamkiong Siang-ju.-
'"Semua . . . mati semua . . . . ucap Lamkiong Peng dengan gugup.
Semua orang sama melenggong.
"Semuanya mati dengan urat nadi tergetar putus," tutur Lamkiong Peng.
"Dada mereka terasa masih hangat, jelas mati belum lama, tapi sudah
kuperiksa dan tiada nampak bayangan seorang pun."
Semua orang saling pandang dengan ter cengang, Bahwa di ruangan depan
berkumpul tokoh kelas tinggi sebanyak ini dan tiada seorang pun mendengar
sesuatu, tahu-tahu orang di belakang sama terbunuh, sungguh kejadian yang
mengerikan.
Pelahan Kongsun Yan membuka matanya dan berucap dengan lemah, "Sudah .
. . sudah terlambat, kawanan . . . kawanan iblis sudah datang ...."
Mendadak matanya mendelik, napas tersumbat dan meninggal dunia.

Angin masih menderu, hujan tetap lebat.
Di tengah suara tegang itu. perasaan semua orang sama tertekan.
Lamkiong-hujin menggunakan saputangannya untuk membalut luka lengan
Lamkiong Peng, katanya pelahan, ''Coba angkat tanganmu, nak, apakah
melukai uratmu tidak?"
Lamkiong Peng menggerakan tangannya dan menjawab, "Tidak apa-apa."
Dalam pada itu terdengar pula derap kaki kuda yang ramai dalam kegelapan,
kedengarannya tidak cuma satu-dua penunggang kuda saja.
"Suma-heng," tanya Lamkiong Siang-ju, "yang datang itu mungkin anak
buahmu?"
Suma Tiong-thian berlari ke depan, dilihatnya empat ekor kuda berlari datang
dengan cepat di bawah hujan lebat. Waktu diamati, ternyata tiada seorang
penunggang pun, hanya kuda yang terakhir terikat miring sebuah panji merah
dan berkibar tertiup angin, mendadak panji itu tertiup jatuh ke tanah dan
terinjak kuda sehingga sukar dikenali lagi.
Tergetar hati Suma Tiong-thian dan menyurut mundur, gumamnya, "Wah,
habis . . . habis sudah .... "
Apakah para saudaramu di luar perkampungan sana juga mengalami sesuatu?'
tanya Lamkiong Siang-ju.
"Ada kuda tanpa penunggangnya. dengan sendirinya lebih banyak celaka dari
pada selamatnya," ucap Suma Tiong-thian. Mendadak ia berteriak lantang,
"Wahai kawanan tikus Kun-mo-to! Jika berani ayolah keluar untuk menentukan
siapa yang lebih unggul, kenapa main sembunyi dan sergap, terhitung orang
gagah macam apa?"

Sambil berteriak ia jemput tombaknya yang terlempar ke undakan batu tadi
terus berlari dengan tombak terhunus.
Mendadak dari kegelapan hutan sana melayang keluar tiga gulung bayangan
hitam. Cepat tombak Suma Tiong-thian menyampuk dan menusuk, kedua
guling bayang hitam terpukul jatuh, bayangan ketiga tertusuk oleh ujung
tombak.
Lamkiong Siang-ju memburu maju dan berseru, "Sabar dulu, Suma-heng,
jangan terburu nafsu dan terpancing muslihat musuh!"
Tanpa terasa Suma Tiong-thian diseret kembali ke dalam ruangan, waktu ia
memeriksa ujung tombaknya. ternyata yang tersunduk di situ adalah sebuah
kepala manusia dan segera dikenali sebagai anak buah sendiri.
Keruan air muka Suma Tiong-thian berubah hebat. tangan pun terasa lemas
dan tombak terjatuh ke lantai.
"Sungguh keji kawanan iblis Kun-mo-to." geram Loh Ih-sian. "Toako, dengan
kemampuan kita, memangnya kita tidak dapat menerjang keluar . . . ."
"Jite," kata Lamkiong Siang-ju, "musuh dalam keadaan gelap dan kita di pihak
terang, betapapun kita sudah berada dalam posisi yang lemah. Jika kita tidak
sabar dan menghadapi persoalan dengan tenang, bisa jadi urusan akan
runyam."'
Tapi . , . tapi kalau mesti menunggu dan menunggu lagi, sampai kapan baru
akan berakhir?"
Dengan beringas Suma Tiong-thian berseru, "Aku Iebih suka menerjang ke
kegelapan sana dan bertempur mati-matian daripada menunggu dengan
tersiksa cara begini?"

Lamkiong Peng juga memandang sang ayah dengan semangat menyala, anak
muda ini pun ingin bertempur saja daripada menunggu secara tidak menentu.
Pelahan Lamkiong Siang-ju menghela napas, "Soal mati atau hidup adalah
urusan kecil, tapi menepati janji adalah soal lebih besar. Sejak dulu hingga kini
keluarga Lamkiong tidak pernah berbuat sesuatu yang melanggar janji, meski
sekarang keluarga Lamkiong kita menghadapi keruntuhan juga tetap tidak
boleh melanggar janji. Apapun juga kita harus menunggu kedatangan utusan
Cu-sin-tian dan menyerah-terimakan harta benda ini, kalau tidak mati pun aku
tidak tentram."
Pada saat itulah tiba-tiba di bawah hujan terdengar suara gemersik, suara
orang berjalan yang semakin mendekat. Seketika hati semua orang menjadi
tegang.
Sekali lompat Loh Ih-sian menuju ke depan pintu.
Di atas undak-undakan akhirnya muncul tiga sosok bayangan orang,
selangkah demi selangkah naik ke atas, kedatangannya seperti tidak
bermaksud jahat.
"Siapa itu?" bentak Loh Ih-sian.
Tiba-tiba orang yang di tengah berdehem pelahan, dalam kegelapan kelihatan
kepalanya yang gundul kelimis, seperti seorang hwesio. Sekali mengangkat
kaki. tahu-tahu sudah di depan Loh Ih-sian.
Keruan Ih-sian terkejut.
Terdengar pendatang itu berkata, "Paderi tua tidak sering berkecipung di dunia
kangouw, umpama kuberitahukan namaku juga Sicu takkan kenal."

Waktu Loh Ih-tian memandang ke sana, dilihatnya sekujur badan orang basah
kuyup, jenggot dan alisnya sama putih, sikapnya kereng berwibawa, tanpa
terasa timbul rasa hormat dan segan Koh Ih-iian.
Kedua orang lain juga menyusul naik ke atas undakan, seorang memakai
tudung sebangsa caping dan memakai mantel ijuk, tangan memegang sebuah
karung goni yang basah.
Karena tudungnya yang lebar sehingga wajahnya tidak terlihat jelas. Orang
ketiga berjubah biru, ternyata seorang tojin.
Meski dandanan ketiga orang ini, tidak sama, tapi semuanya sudah berusia
lanjut.
Dalam keadaan tidak biasa ini. entah ada keperluan apa kunjungan kalian
bertiga?" tegur Loh Ih-sian.
Hwesio pertama memberi salam dengan tersenyum, jawabnya, "Kedatangan
kami justru menyangkut kejadian di Lamkiong-san-ceng ini.
Apabila Sicu tidak keberatan, biarlah kututurkan setelah berada di dalam."
Loh Ih-sian agak ragu, tapi ketiga orang itu lantas melangkah ke dalam
ruangan.
Tergerak hati Larnkiong Peng, pikirnya, '"Kepungan di luar perkampungan
cukup ketat, entah cara bagaimana ketiga orang ini dapat masuk kesini
dengan leluasa?"
Waktu ia melirik sang ayah, orang tua itu kelihatan tetap tenang taja. maka ia
pun tidak kuatir lagi.

Begitu masuk ke dalam dan melihat mayat yang bergelimpangan itu, si hwesio
lantas berkata; "Ai, hanya persoalan sedikit harta benda dan harus jatuh
korban jiwa sebanyak ini, apakah para Sicu tidak merasa berdosa?"
"Kejadian ini bukanlah kehendak kami dan terjadi karena terpaksa, biarlah
kelak akan kami mengadakan selamatan bagi arwah para korban ini," kata
Lamkiong Siang-ju
"Jika benar Sicu mempunyai nazar begini, hal ini menandakan Sicu masih
mempunyai nurani yang baik," kata si hwesio. "Tapi akan Lebih baik lagi
bilamana Sicu sudi rnendermakan barang-barang yang mengakibatkan
bencana ini untuk amal bagi anak-cucumu."
Air muka samua orang sama berubah, baru sekarang kelihatan belangnya
maksud tujuan kedatangan ketiga orang mi. '
Dengan tenang Lamkiong Siang-ju men-jawab, "Meski Caihe ada maksud
demikian, cuma sayang, harta benda ini sudah bukan milikku lagi."
"Ah, masa Harta benda ini masih berada di tempat Sicu, kenapa bukan lagi
milikmu?" kata si hwesio dengan tersenyum.
Mendadak Suma Tiong-thian membentak, ' Umpama benar miliknya, jika tidak
didermakan padamu, memangnya akan kaupaksa?"
Si hwesio tua tetap tersenyum tanpa gusar. jawabnya sambil tergelak. "Haha,
bila para Sicu tidak sudi beramal, maka urusan di sini pun tidak ada sangkutpautnya
dengan kami."
Memangnya apa sangkut-pautnya urusan ini dengan kalian?" bentak Suma
Tiong-thian dengan gusar. "Lekas kalian enyah dan sini!"

'Eeh, Sicu ini ternyata seorang pemberang?" seru si tojin berjubah biru dengan
tertawa.
"Wah, air muka Sicu kelihatan gelap, ini tanda tidak baik, hendaknya jangan
suka marah, kalau tidak, pesti akan mengalami malapetaka. Ingat dan
camkan!"
Saking gusarnya sampai Suma Tiong-thian tidak sanggup bersuara, hanya
dadanya yang tampak naik turun.
Si kakek bermantel ljuk lantas mendekati Suma Tiong-thian, mendadak ia
menyingkap tudungnya dan mendengus, "Hm, apakah kau tidak percaya
ucapannya?"
"Memang tidak ..." belum lanjut per-kataan Suma Tiong-thian, mendadak
dilihatnya wajah orang yang luar biasa.
Ternyata muka orang tua ini sangat menyeramkan, bagian di atas hidung
penuh goresan bekas luka serupa sebuah semangka yang diiris kian kemari,
rambut dan alisnya juga terkerik licin, kedua matanya bersinar galak,
wajahnya sangat menakutkan.
Semua orang juga terkesiap menyaksikan wajah yang seram ini.
Si kakek tertawa, 'Haha, jangan takut, biar mukaku jelek, tapi hatiku sangat
baik, seorang pedagang sejati. Jika mereka datang dengan bertangan kosong
untuk menderma, kedatanganku justru membawa barang dagangan dan ingin
jual beli secara adil."
"Memangnya barang dagangan apa yang kaubawa, bolehkah diperlihatkan
kepada hadirin di sini?" ujar Lamkiong Siang-ju dengan tersenyum.

"Wah, tampaknya Lamkiong-cengcu juga seorang pedagang," kata kakek itu
sembari menuang semua isi karungnya. Ternyata isinya adalah buah kepala
manusia yang sudah terguyur air hujan sehingga putih pucat.
"Semua barangku ini masih segar dan baru, sebuah kepala bertukar dengan
sebuah peti, jual-beli ini tentu cukup adil bukan?"
"Satu kepala tukar sebuah peti, hm, jual-beli ini memang pantas, cuma kukira
barang daganganmu sudah tidak segar lagi," jengek Siang-ju.
"Oo, apakah kauminta barang yang lebih segar?' tanya si kakek.
Mendadak Lamkiong Siang-ju melompat ke sana dan mengangkat sebuah peti,
serunya, "Jika sekarang juga kupotong kepalamu sendiri, maka peti ini akan
kutukar."
"Eh, jadi atau tidak bisnis kita, kenapa Cengcu mesti mengincar jiwaku?" sahut
si kakek dengan tertawa sambil melangkah maju.
Selagi semua orang melenggong, mendadak sebelah kaki si kakek menyampar
sebuah kepala manusia yang dituangnya dari karung tadi, langsung kepala itu
menyambar ke muka Suma Tiong-thian. Berbareng itu sebelah tangan si kakek
terus meraih peti yang dipegang Lamkiong Siang-ju, tangan lain juga
memotong pundak Lamkiong-hujin, sedangkan kaki kanan terus menyampar
pula sehingga sebuah kepala kembali mencelat menuju ke muka Loh Ih-sian
dengan keras.
Beberapa gerakan itu seakan-akan dilakukannya. secara bersamaan. Keruan
semua orang melengak.
Dalam pada itu Suma Tiong-thian juga kaget ketika mendadak sebuah kepala
manusia menyambar kearahnya, seketika ia tidak sempat mengelak, cepat ia
mengebas dengan tangan sehingga kepala itu mencelat jauh ke luar ruangan.

Habis itu baru mendadak teringat olehnya wajah kepala tadi seperti sudah
dikenalnya, yaitu salah seorang anak buahnya sendiri. Keruan hati terkesiap,
rasanya mual, isi perut hampir tertumpah keluar seluruhnya. Ia membentak
dan menghantam pula dengan dahsyat.
Dalam pada itu Loh Ih-sian menggeser ke samping sehingga kepala manusia
tadi menyambar Lewat di tampingnya dan '"bluk", membentur dinding.
Sedang Lamkiong Siang-ju berusaha mempertahankan petinya, tiba-tiba
dirasakan tenaga dahsyat menyodok tiba, sekuatnya ia bertahan.
Pada saat hampir sama Lamkiong-hujin lantas menabas, ia balas memotong
pergelangan tangan si kakek.
''Sambil bergelak kakek itu meluncur ke samping, peti Lamkiong Siang-ju ikut
tertolak ke depan karena kehilangan imbangan, saat itu juga Suma Tiong-thian
lagi menghantam dan tepat mengenai peti, "brak", seketika peti jatuh terbuka
dan isinya berhamburan.
Diam-diam Lamkiong Peng terkejut, sekaligus kakek itu menggunakan tangan
dan kakinya untuk rnenyerang empat orang dengan cara yang berbeda,
kungfunya sungguh sangat lihai, mengapa selama ini tidak terdengar asal-usul
seorang tokoh kosen seperti-ini?"
Si hwesio tua tadi tersenyum dan berkata "Tenaga dalam Lamkiong-sicu
sungguh hebat, pukulan Lamkiong-hujin juga sangat gesit, bicara sejujurnya
kalian sudah terhitung lumayan. Mengenai Sicu yang ini .... "
Ia melirik Suma Tiong-tian sekejap, lalu menyambung, "Dia tidak lebih serupa
anak yang baru masuk sekolah dasar, bila ingin maju masih harus belajar lebih
giat lagi."

"Dan bagaimana dengan diriku?" tanya Loh Ih-sian sambil melompat maju dan
menyerang si hwesio.
'Akulah pengujinya, jangan salah sasaran!" seru si kakek kelimis tadi sambil
mengadang di depan Loh Ih-sian, tangan terangkat, kontan ia colok kedua
mata Loh Ih-sian.
Dalam keadaan demikian, Loh Ih-sian tidak sempat menarik kembali
pukulannya untuk menangkis, tak terduga mendadak ia mendongak sedikit, ia
pentang mulut terus hendak menggigit jari lawan.
Keruan kakek kelimis itu terkesiap dan cepat tarik kembali tangannya.
"Haha, boleh juga, dengan cara menggigit ini sudah terhitung lulusan kelas
menengah," seru si hwesio.
"Huh, terhitung jurus serangan macam apa ini?" jengek si kakek kelimis
"Oo, belum pernah kaulihat? Hehe, tampaknya engkau perlu banyak
menambah pengalaman." ejek Loh Ih sian.
Sembari bicara kedua orang sudah saling gebrak lagi, hanya sekejap saja
belasan jurus sudah lalu.
Meski cara bertempur Loh Ih-sian tampak serabutan. tapi serangannya justru
sangat berbahaya, sama sekali si kakek kelimis tidak mampu mengatasinya.
Suma Tiong-thian sampai melongo menyaksikan pertarungan mereka.
"Tak tersangka di dunia persilatan sekarang masih ada beberapa jago lumayan
seperti ini, bilamana harus kubinasakan mereka sungguh rasanya tidak tega,"
ucap ti tojin berjubah biru tadi.

Mendadak Lamkiong Peng mendengus, "Hm, jika setiap penghuni Kun-mo-to
cuma punya kepandaian seperti mereka ini, maka ketakutan orang kangouw
terhadap kawanan iblis dari pulau hantu itu sebenarnya agak berlebihan."
"Eh, kautahu kami datang dari Kun-mo-to anak muda?" tanya si tojin dengan
mata melotot.
"Lahiriah bajik, hati ternyata kejam dan keji, ucapan licin. kungfu tidak lemah,
usia pun rata-rata sudah mendekati waktunya masuk peti mati, orang begini
jika tidak datang dari Kun-mo-to masakah mungkin datang dari tempat lain?"
jengek Lamkiong Peng.
"Hahaha, bagus!" seru tojin berjubah biru dengan terbahak, anak muda
memang lebih cepat berpikir . . . ."
Belum lanjut ucapannya Lamkiong Peng telah jemput sebatang pedang di
lantai terus menusuk.
Tojin itu tidak mengelak melainkan cuma mengebaskan lengan jubahnya.
kontan pedang terbelit oleh lengan jubah yang longgar itu.
Tak terduga pedang Lamkiong Peng yang kelihatan keras itu, sebenarnya
cuma serangan pancingan belaka, mendadak ujung pedang bergetar terus
menyambar ke samping, Ialu secepat kilat menusuk lagi dari arah lain.
Lengan jubah si tojin membelit tempat kosong, tahu-tahu ujung pedang lawan
menyambar lagi ke tenggorokannya, sungguh tak terpikir olehnya anak muda
belia ini menguasai ilmu pedang sehebat ini. Cepat ia menyurut mundur duatiga
selangkah.
Si hwesio tua berkerut kening, nyata dia terkesiap ucapnya, "Aha, Sicu cilik ini
sungguh anak berbakat. Apabila kaumau ikut kami ke lautan sana, tanggung

dalam waktu sepuluh tahun pasti akan menonjol dan menjagoi dunia
kangouw."
"Huh, Lamkiong Peng adalah seorang lelaki sejati matipun tidak sudi
berkomplot dengan kawanan iblis," seru Lamkiong Peng.
"Lamkiong Peng?!" si hwesio menegas, "Jadi dirimu inilah putra sulung
lamkiong san-ceng sekarang ini?"
"Betul!" teriak Lamkiong Peng, berbareng Pedang menyabat sambil menggeser
ke samping.
Si hwesio tua mengelak dengan ringan, katanya. "Lamkiong-sicu, rasanya
paderi tua menjadi terpikat oleh bakat putramu ini dan ingin memboyong
segenap anggota keluarga Lamkiong ke pulau sana untuk menikmati hidup
bahagia bersama. Tapi bila Sicu sendiri berkeras pada pendirianmu, kami juga
tidak boleh membiarkan harta benda ini digunakan sebagai dana kejahatan
kawanan tua bangka di Cu-sin-to sana, apalagi kalau putramu yang berbakat
ini sampai diperalat oleh mereka, tentu urasan akan tambah runyam. Maka
terpaksa hari ini kami mesti melanggar pantangan membunuh."
Tiba-tiba pikiran Lamkiong Siang-ju tergerak, serunya cepat, "Jite dan anak
Peng, berhenti dulu semuanya!"
Lamkiong Peng segera melompat mundur. Sedangkan Loh Ih-sian
molancarkan pukulan dahsyat untuk memaksa mundur si kakek kelimis, habis
itu ia pun melompat ke samping Lamkiong Sian-ju sambil berkata, "Toako,
jangan kau percaya kepada ocehan hwesio ini.
Penghuni Kun-mo-to kebanyakan adalah manusia jahat dan orang buangan,
sebaliknya penghuni Cu-sin-to adalah kaum kesatria dunia persilatan yang
mengasingkan diri. tidak perlu bicara urusan lain, melulu nama Kun-mo dan

Ca-sin saja sudah merupakan pembedaan yang menyolok, urusan sekarang
sudah telanjur begini, biarlah kita hadapi kawanan iblis ini sekuatnya."
Segera Suma Tiong-thian menyatakaa setuju, "Betul, gempur saja!"
Segera Lamkiong Siang-ju berkata pula, "Antara keluarga Lamkiong sudah ada
perjanjian dengan Cu sin-to yang telah berlangsung selama ratusan tahun,
tentang siapa baik dan siapa jahat bukan urusan kita, yang jelas tidak
mungkin kurusak perjanjian leluhur yang sudah ada. Urusan hari ini biarlah
kuselesaikan langsung dengan Taysu saja."
"Jika begitu, jadi Sicu bermaksud menantang bertarung denganku satu lawan
satu?" tanya si hwesio dengan sinar mata gemerdep.
"Begitulah maksudku," jawab Siang-ju.
"Dan bagaimana pula jika hasil pertandingan kita sudah jelas?" tanya si hwesio
tua.
"Bila kukalah, maka segala urusan keluarga Lamkiong kuserahkan kepada
semua Kehendakmu," jawab Siang-ju dengan tegas dan mantap.
Loh Ih-sian dan lain-lain yakin ilmu silat hwesio tua ini pasti sangat tinggi dan
sukar diukur, tapi mereka pun tahu watak Lamkiong Siang-ju yang pendiam
dan cermat, tidak nanti berbuat sesuatu yang tidak yakin berhasil, sebab itulah
meski merasa ragu, namun tidak ada yang bersuara.
Si hwesio tua tersenyum, katanya sambil mengerling ke arah kedua kawanya,"
"Sebenar-nya aku tidak keberatan atas tantangan Lam-kiong-sicu ini, cuma
sayang, kedua kawanku ini jelas tidak dapat meluluskan."
Serentak si jubah biru dan si kakek kelimis berseru, "Ya, tidak!"

Loh lh-sian dan Iain-lain menjadi heran, jelas pertarungan ini menguntungkan
pihak mereka, mengapa kedua orang ini menolak dengan tegas.
Lamkiong Siang-ju tertawa, "Haha, rupanya tidak meleset dugaanku . . . . "
"Dugaan apa?" tanya si hwesio.
Tertawa Lamkiong Siang-ju terhenti, ucapnya pelahan, "Orang bilang Teh-ih
Hujin mahir ilmu rias yang tidak ada bandingannya di dunia ini, setelah
bertemu sekarang memang harus kupuji ternyata tidak bernama kosong.
Cuma sayang, betapa cermat tindakanmu tetap melupakan sesuatu."
Hati semua orang sama tergetar, sama heran atas ucapan Siang-ju ini.
Pelahan si hwesio menjawab, "Melupakan apa?"
"Meski Hujin bicara dengan alim serupa seorang paderi saleh, tapi engkau lupa
bahwa seorang hwesio harus menjalani pembabtisan dengan kepala diselomoti
api dupa. Engkau tidak membawa tasbih pula, meski memakai kasa (jubah
kaum hwesio), tapi kaki memakai sandal orang awam. Yang lebih kentara lagi
adalah wajah Hujin yang dibuat kereng, namun kerlingan matamu tidak
berubah, mana mungkin seorang paderi saleh selalu main mata."
Hwesio tua itu terdiam sejenak, mendadak ia tertawa ngekek, katanya, "Ah,
rupanya aku terlalu menilai rendah keeerdasan kalian, sebab itulah aku telah
bertindak ceroboh. Sungguh hebat juga dapat kaulihat samaranku. Tadi aku
pun tidak seharusnya menggunakan “gema irama iblis dan tari pembetot
sukma” sehingga dapat kauterka Tek-ih Hujin pasti berada di sekitar sini. Yang
lebih tidak pantas lagi adalah aku menyamar sebagai hwesio, padahal di dunia
ini mana ada hwesio yang punya mata jeli serupa diriku? "
Waktu semua orang memandangnya, meski wajahnya kelihatan kereng,
namun kerlingan matanya memang jalang. Mau-tak-mau semua orang sama

gegetun. di samping memuji kemahiran penyamaran Tek-ih Hujin yang luar
biasa berbareng juga mengagumi ketajaman mata Lamkiong Siang-ju, orang
lain tidak tahu Samarannya, tapi dia ternyata dapat mengetahui hwesio tua ini
adalah samaran Tek-ih hujin.
Di tengah tertawa merdunya, pelahan tangan si “hwesio" mengusap dan
menarik muka sendiri, ketika ia membuka tangan, tahu-tahu hwesio tua yang
saleh telah berubah menjadi seorang perempuan setengah baya dan masih
sangat cantik mempesona.
"Setelah jejak Hujin ketahuan, kenapa tidak lekas pergi saja, memangnya
perlu mengalirkan darah di sini?" kata Siang-ju.
Tek-ih Hujin mengerling genit, ucapnya, 'Kami bertiga melawan kalian berlima
memang terasa kalah kuat, cuma sayang, betapapun cerdik Lamkiong-cengcu
tetap melupakan sesuatu."
Nyata, suaranya sekarang telah berubah menjadi halus merdu.
"Melupakan apa?" tanya Siang-ju.
Tek-ih Hujin tertawa ngikik, "Kaulupa bahwa selain mahir merias dan
mengubah suara, Tek-ih Hujin masih menguasai sejenis kepandaian yang tidak
ada bandingannya di dunia....."
Tergerak hati Lamkiong Siang-ju, serunya mendadak, "Hah menggunakan
racun maksudmu? . ..."
"Betul, kembali dapat kauterka dengan jitu," ajar Tek-ih Hujin. "Cuma sayang
kini sudah terlambat."
Serentak Lamkiong Siang-ju menyurut mundur sambil membentak "Lekas
tahan napas!"

"Sudah kukatakan terlambat, masa engkau tak percaya?" ujar Tek-ih Hujin
dengan tertawa. "Saat ini kalian sudah mengisap hawa racun yang tak
berwujud dan tak berbau, dalam setengah jam kalian akan mati dengan tubuh
membusuk, apa gunanya sekarang kalian mau menahan napas? Selama
hidupku senantiasa 'tek-ih' (senang), jika lebih sering tidak senang tak
mungkin orang kangouw memberi nama julukan Tek-ih Hujin padaku?"
Ia meraba rambut pada pelipisnya, lalu berucap pula dengan tersenyum
manis, "Jika saat ini kalian mengaku salah dan mau me nurut kepada
perkataanku, bisa jadi akan kuberi ampun kepada kalian dan menawarkan
racun yang kalian isap. Kalau tidak, selang setengah jam Iagi, biarpun tabib
sakti Hoa To lahir kembali juga tidak mampu menyelamatkan kalian."
Muka Lamkiong Siang-ju tampak pucat, damperatnya, "Huh, ngaco-belo,
betapapun kau putar lidah tetap takkan kupercaya."
Tek-ih Hujin tertawa senang, "Hihi, meski mulutmu keras, padahal dalam
hatimu sudah percaya. betul tidak? Soalnya engkau tentu sudah pernah
mendengar cerita orang kangouw bahwa kabut wangi pencabut nyawa Tek-ih
Hujin tidak berbau dan tidak berwujud, kalau tidak segera minum obat
penawar, dalam jarak seluas tiga tombak baik manusia maupun hewan,
asalkan keciprat setitik saja kabut beracun itu. tidak ada yang dapat hidup
lebih dari satu jam.
"Cuma sayang kabut ini tak dapat mencapai jauh, dengan susah payah aku
menyaru sebagai hwesio tua dan menuju ke sini di bawah hujan, tujuanku
adalah membuat kalian tidak berjaga-jaga, dengan begitulah baru dapat
kumasuk ke ruangan ini dengan leluasa dan dapat meracun mati kalian dengan
mudah.”
Dia bicara dengan berlenggak-lenggok dan main mata dengan genit.

Tiba-tiba pikiran Lamkiong Peng melayang-layang, tanpa terasa teringat
olehnya akan diri Kwe giok ge, diam-diam ia membatin,” mengapa perempuan
yang berhati keji dan jahat sama berbentuk cantik molek?”
Pada saat itulah terdengar Loh-ih-sian membentak,”perempuan keji, biar aku
mengadu jiwa denganmu!”
Serentak Suma Tiong-thian juga jemput kembali tombaknya.
Tapi si kakek kelimis dan tojin jubah biru lantas mengadang di depan mereka.
Han Bu Kong
Jilid 15
Tek-ili Hujin juga lantas mendmgus, "Hm, kalian tidak lekas minta ampun
padaku, memangnya kalian tidak ingin hidup lagi?''
Seketika Suma Tiong-thian merandek, sebab mendadak leringat olehnya akan
anak-istri dan keluarganya.
"Aku memang sudah bosan hidup!" teriak Loh Ih-sian, berbareng ia
menghantam dengan kalap.
"Kau sendiri bosan hidup, apakah orang lain juga bosan hidup?” ucap Tek-ih
Hujin.
Seketika Loh Ih-.sian melengak dan berhenti menyerang, waktu ia
memandang ke sana, Suma Tiong-thian kelihatan lesu, sedangkan Lamkiong
Siang-ju tampak sedih. Lamkiong-hujin memandang putra kesayangannya
dengan cemas.
Loh Ih-sian terharu. pikirnya, "Aku sendiri sebatangkara, dengan sendirinya
mati hidup tidak menjadi soal bagiku. Tapi orang lain berumah tangga dan

anak istri lengkap bahagia, mana mereka bisa meniru dirimu dan menyuruh
mereka mati begitu saja?"
Maklumlah, lantaran wataknya yang mudah tersinggung, makanya dia putus
asa dan mengasingkan diri selama 20 tahun, dengan segala daya upaya
berusaha mengumpulkan duit, sebaliknya pribadinya sama sekaili tidak
terawat. Sekarang hatinya menjadi dingin dan berdiri termangu tanpa bicara.
Tiba-tiba Lamkiong Peng berseru, "Cara bagaimana kau bikin susah Toako
kami, kemana perginya sekarang?"
Tek-ih Hujin tersenyum, "Asalkan kau turut perkataanku, urusan Toakomu
tentu akan kuberitahukan padamu, Sekarang hari sudah hampir pagi racun
yang kalian minum sudah hampir bekerja. kalian tidak berani bertempur dan
juga tidak mau menyerah, apakah memang ingin menanti ajal saja di sini?"
"Hm, jangan kau gembira dalu, segala macam racun di dunia ini pasti ada obat
penawarnya" Jengek Lamkiong Siang-ju mendadak
"Ah. tidak perlu kau bicara lagi kutahu maksudmu hanya ingin memancing
supaya kuberi tahu seluk-beluk racun ini," kata Tek-ih Hujin dengan tertawa,
"Terus terang kukatakan, racunku ini di dunia hanya dipunyai dua keluarga
saja, atau dengan lain perkataan juga cuma dua tempat ini saja yang
mempunyai obat penawar, salah satu tempat itu justru jauh terletak di luar
perbatasan utara sana. biarpun sekarang engkau dapat terbang ke sana juga
tidak keburu lagi"
Hati Lamkiong Peng tergerak, didengarnya sang ibu sedang berkata, "Habis
cara bagaimana baru dapat kauberi . . . ."
Belum lanjut ucapannya, "kekk", mendadak seekor burung beo menerobos
masuk melalui jendela dan hinggap di atas sebuah peti lalu mengguncangkan

sayap untuk merontokkan air hujan yang membasahi bulunya, kemudian
bersuara panjang pula satu kali. Meski kecil burungnya, tapi tampak gagah.
"Aha. sudah datang!" Mendadak Lamkiong Siang-ju berseru girang.
Beruang beo itu melayang dan hinggap di pundak Siang-ju serta menirukan
ucapannya, "Sudah datang . . … "
Benar juga segera terdengar suara langkah orang di undakan batu, sesosok
bayangan tinggi besar lantas muncul di depan pintu.
Orang yang berperawakan raksasa ini memakai baju satin yang sangat
mewah, tapi caranya memakai justru tidak teratur, dari tujuh buah kancing
hanya dirapatkan tiga buah saja sehingga dadanya terbuka dan kelihatan
dadanya yang bidang dengan simbar (bulu) dada yang hitam lebat.
Rambut orang ini juga semerawut tak teratur, kedua alisnya sangat tebal,
mata kiri justru tertutup oleh sebuah kedok mata sehingga menambah
keseraman mata kanannya.
Tangan kirinya tampak melambai lurus dan lengan kanan menyanggah pada
sebuah tongkat hitam, kaki kanan buntung sebatas dengkul.
Sorot matanya yang tajam itu sekarang sedang menyapu pandang keadaan
sekelilingaya. Tergetar hati Tek-ih Hujin melihat kemunculan orang aneh ini.
Burung beo tadi segera terbang dan hinggap di pundak si buntung kaki dan
bermata satu ini.
Lamkiong Siang-ju memberi hormat dan berseru, "Sudah lama kami
menunggu, silakan masuk."
Pelahan orang aneh itu mengangguk, katanya tambil memandang Lamkiong
Peng, "Inikah putra kesayanganmu? .... Haha, bagus. memang hebat!"

Diam-diam Tek-ih Hujin menyurut mundur ke sudut yang agak gelap. Sedang
si tojin berjubah biru dan si kakek berdiri dengan air muka prihatin
memandangi pendatang yang aneh ini.
Seperti tak acuh si buntung tersenyum, katanya, "Sudahlah, tidak perlu
bertempur lagi, kabut racunmu sama sekali takkan mempan terhadapku."
Tek-ih Hujin terkesiap. Belum lagi dia bertindak, tongkat lelaki buntung itu
mengetuk lantai, pelahan ia melangkah masuk, katanya, “ Bagus, peti-peti ini
sudah siap . . . . "
Burung beo tadi menirukan, "Bagus . . Bagus,... “
Si tojin jubah biru dan si kakek kurus saling memberi tanda, berbareng
mereka hendak menubruk maju.
Tanpa berpaling lelaki buntung itu mendadak membentak, "Jangan bergerak!"
Seketika kedua orang itu urung bertindak.
Dengan tak acuh lelaki buntung itu membalik tubuh, lalu berkata, "Aha, sekian
tahun tidak bertemu, mengapa kalian masih suka main sergap begini?"
Tojin jubah biru terkekeh, "Ah, masakah main sergap, maksud kami banya
ingin menyapa kepada kenalan lama saja.!"
"Bagus, bagus . . . . " ucap si buntung sambil membelai bulu burung beo yang
hitam legam itu. "Rupanya kalian berdua juga berhasil menemukan Kun-mo-to
dan kedatanganmu sekarang hendak memusuhiku, bukan?"
Mendadak si kakek menyela, "Betul?" Sinar matanya meneorong terang dan
siap tempur.

Namun si buntung hanya memandangnya sekejap dengan hambar, ia berkata
ke arah lain, "Lamkiong-cengcu, jika putramu sudah datang, peti juga sudah
siap, bila ada arak harap sediakan dua guci.habis minum segera berangkat!"
"Hm, kutahu kami tidak kaupandang sebelah mata," jengek sikakek
mendadak. "Tapi bila peti-peti ini hendak kaubawa pergi, sedikitnya harus
kaulangkahi dulu mayatku."
Dengan terkekeh si tojin jubah biru lantas menyambung, "Meski kungfu kami
bukan tandinganmu, tapi jika. dua lawan satu, jelas engkau takkan menarik
keuntungan. Apalagi, hehe. bukan mustahil keluarga lamkiong akan berdiri di
pihak kami."
Si buntung bermata satu itu berucap, "Bagus, boleh kalian coba saja nanti . . .
Hehe, dan nona besar itu, jika obat penawar tidak kauberikan, apakah kaukira
dapat keluar dari Lamkiong-san-ceng dengan hidup?"
Air muka Tek-ih Hujin berubah, katanya dengan tersenyum genit, "Eh, jika
engkau melarang kupergi, biarlah kutemanimu di sini."
"Haha. bagus, Bu-tau-ong, Hek-sim-khek, coba kalian bekuk dia, akan kuberi
rasa enak padanya," seru si buntung.
Suma Tiong-thian tertesiap mendengar nama-nama yang disebut itu, kiranya
kedua orang ini adalah “Bu-sim-siang-ok” atau dua manusia jahat tak berhati
yang terkenal berpuluh tahun lampau itu, pantas kungfu mereka tinggi dan
tindak-tanduknya keji.
Lamkiong Peng belum luas pengalaman kangouw, tak diketahuinya asal-usul
Bu-sim-siang-ok yang ditakuti beberapa puluh tahun yang lalu ini.

Si kakek kurus, Bu-tau-ong atau kakak tanpa kepala, tertawa ngekek,
ucapnya, "Hehe, kau minta kami membekuk dia? .... Hah, barangkali setelah
kau masuk Co-sin-tian, pikiranmu menjadi kurang waras."
"Hm, apakah kalian memang sudah bosan hidup dan tidak mau minta obat
penawar kepadanya?" jengek si buntung.
Bu-tau-ong dan Hek-sim-khek sama melengak, seru mereka, "Apa artinya?"
"Hah, rupanya kalian belum lagi tahu," seru si buntung dengan tertawa. "Baik,
ingin kutanya padamu, apakah sebelumnya kalian telah mencium obat
penawar?"
Kedua orang sama terkesiap dan tidak dapat bicara.
"Haha, kalian mengira ucapannya tadi hanya untuk menggertak pihat
Lamkiong-cengcu saja dan tidak benar telah menebarkan kabut berbisa
soalnya kalian memang tidak tahu kapan dia menyebarkan racun, begitu
bukan?”
Muka Hek-sim-khek tambah pucat, wajah Bu-sim-ong pun semakin beringas.
"Huh, jangan kalian percaya kepada ocehannya," kata Tek-ih Hujin dengan
tertawa, namun suaranya rada gemetar
Serentak Bu-sim-siang-ok berputar tubuh, Hek-sim-khek lantas menegur,
"Jadi benar kaugunakan racun?"
Bu-tau-ong juga lantas melangkah maju sambil menjulurkan tangan.
"Serahkan obat penawarnya!"

Si buntung kelihatan tertawa senang. ia bersandar tak acuh di atas peti,
katanya "Obat penawar tulen. setelah dicium, kontan akan bersin tujuh kali,
harus kaucoba du!u, jangan sampai tertipu."
Tek-ih Hujin menyurut mundur, ucapnya gugup, "Jangan . . jangan kau
percaya, dia bohong!"
"Jika tidak serahkan obat penawar, akan kucincang dirimu, dagingmu akan
"kumakan bersama arak," bentak Bu-tau-ong bengis.
"Kulitnya putih halus, dagingnya tentu empuk, rasanya pasti enak." Tukas
Hek-sim-khek.
"Cuma sayang, tentu rada berbau langu," ujar si buntung dengan tertawa.
Dalam pada jtu Tek-ih Hujin masih terus menyurut mundur, ucapnya, "Baik,
akan…akan kuberi…"
Ia meraba bajunya, tapi mendadak tangannya terangkat, berpuluh titik perak
tajam serenntak berhamburan, ia sendiri segera melayang keluar melalui
jendela.
Cepat lengan baju Hek-sim-khek mengebas, kedua tangan Bu-sim-ong juga
menghantam dari jauh sehingga senjata rahasia lawan dibikin rontok, tanpa
berhenti mereka terus mengejar sambil membentak, "Lari ke mana?!"
Pada saat itu juga dari luar menyambar masuk setitik cahaya tajam menuju ke
arah Lamkiong Peng. Selagi anak muda itu hendak menangkap senjata rahasia
itu, sekonyong-konyong tangan terasa kesemutan, "tring", cahaya perak itu
mencelat jauh ke sana. Entah sejak kapan si buntung bermata satu sudah
berada di sampingnya, jarinya mengetuk pelahan tangan Lamkiong Peng,
tongkat yang menyanggah ketiaknya membentur senjata rahasia musuh

hingga mencelat. Meski tinggi besar tubuhnya, namun gerak-gerik ternyata
sangat gesit.
Lamkiong Peng jadi melengak sendiri.
Dengan tak acuh si buntung melangkah ke sana dan bersandar pula di peti,
katanya, "Permainan itu tidak boleh disentuh."
"Tidak boleh disentuh?" Lamkiong Peng menegas.
Si mata satu tertawa, katanya, "Meski nona besar itu tidak betul menyebarkan
kabut berbisa tanpa wujud itu, tapi senjata rahasianya memang betul berbisa
jahat dan tidak boleh disentuh. Kakiku ini justru korban senjata rahasia lakinya
pada waktu Ban-siu-san-ceng terbakar dulu, hampir saja jiwaku ikut
melayang. Sampai akhirnya bahkan harus dipotong."
Semua orang sama terkejut,
Si mata satu menyeringai, ucapnya pula, “Ah di dunia ini mana ada racun
tanpa bau dan tiada wujud, kalau ada, bukankah nona besar itu dapat malang
melintang di dunia ini tanpa tandingan?"
Sinar matanya menyapa pandang wajah semua orang yang kelihatan bingung
itu, tuturnya pula, "Kabut pembetot sukma hanya semacam asap berbisa yang
tipis dan dapat terlibat oleh mata, racun ini sudah pernah kuratakan, apa yang
kukatakan tadi tidak lebih hanya untuk mengadu domba antara mereka sendiri
supaya anjing menggigit anjing, biar nona besar itu merasakan betapa
kejamnya kedua kawannya sendiri- Haha, mana mungkin dapat diberikannya
obat penawar yang dapat membuat orang bersin tujuh kali. Cuma . . . nona
besar itu juga bukan seteru yang mudah ditandingi, akhirnya Bu-sim-siang-ok
juga takkan menarik sesuatu keuntungan, bisa jadi kedua pihak akan samasama
konyol."

Suma Tiong-thian berseru senang, "Haha, hampir saja aku tertipu olehnya."
Si mata satu memandangnya sekejap, jengeknya, "Orang yang tidak takut
mati tak mungkin tertipu olehnya."
"Memangnya engkau sendiri tidak takut mati? tanya Suma Tiong-thian.
"Siapa bilang aku tidak takut mati? Orang yang tidak takut mati tentu orang
tolol."
Mendadak Suma Tiong-thian menunduk, gumamnya, "Tapi jelas.engkau tidak
takut mati, kalau takut, mustahil engkau mau menerjang
Bao-siu-san-ceng di tengah malam buta sendirian dan membakar beratus
binatang buas serta membinasakan Hok-siu-san-kun . . . . "
"Ah, itu cuma perbuatan ugal-ugalanku pada waktu muda," ujar si mata satu
dengan tertawa. 'Manusia makin tua makin licik, hari ini aku juga tidak mau
bergebrak dengan orang, terpaksa menggunakan akal licik untuk mengadu
domba mereka sendiri."
Dengan tersenyum Lamkiong Siang-ju berucap, "Meski sudah lama kutahu
kungfu Anda maha tinggi, tapi tak pernah terpikir Cianpwe ini ialah Hong Manthian,
Hong-taihiap. terlebih tidak menyangka setelah pertemuan Wi-tan
dahulu Hong-taihiap lantas menghilang sekian lamanya dan ternyata masih
sehat walafiat."
"Haha, seiudah pertemuan Wi-san, orang kangouw lama mengira kawanan
makhluk tua itu sudah mampus semua dan cuma tersisa Sin-liong dan Tanhong
berdua, tidak ada yang tahu bahwa kawanan tua bangka itu masih
banyak yang hidup di dunia fana ini, cuma kebanyakan sudah mengasingkan
diri ke Cu-sin-to dan Kun-moto, bicara sesungguhnya. keadaannya tidak
banyak bedanya dengan mati."

"Hah, jadi Hong-taihiap inilah yang terkenal di dunia persilatan sebagai Mohiam-
kuncu (si jantan petualang) Tiang-jiu-thian-kun (Si ksatria suka
tertawa)?” tanya Lamkiong Peng.
Hong Man-thian menengadah dan tergelak, "Ah, itu hanya sebutan yang
sembarangan diberikan oleh kawan kangouw, mana aku dapat disebut sbagai
Kuncu segala, kalau Siaujin (orang rendah) sih lebih tepat."
Dalam pada itu hajan sudah reda. cahaya remang subuh sudah kelihatan di
luar.
Lamkiong Siang-ju dan Loh Ih-sian mengumpulkan batu permata yang
berserakan tadi dan dimasukan lagi ke dalam peti.
Lamkiong-hujin mengeluarkan seguci arak dan seperangkat baju kering, arak
untuk Hong Man-thian, baju diberikan kepada Lamkiong Peng yang basah
kuyup itu.
Suasana yang diliputi ketegangan tadi kini berubah menjadi sepi dan haru
akan perpisahan.
Hong Man-thiaa dan Loh Ih-sian duduk berhadapan tanpa bicara dan asyik
menenggak arak, hanya sekejap saja seguci arak sudah dihabiskan mereka
berdua.
"Sungguh kuat takaran minummu," sera Hong Man-thian sambil menepuk
bahu Loh Ih-sian.
Sambil bergelak tertawa Loh Ih-sian menjawab, "Kekuatanmu minum arak
juga sangat hebat, sungguh aku tidak mengerti mengapa engkau sengaja
tinggal menyepi di Cu-sin-to, padahal alangkah senangnya jika tinggal di dunia
fana sini, kan bisa lebih banyak minum arak beberapa guci lagi."

Hong Man-thian menengadah dengan termangu-mangu, gumamnya,
"Alangkah senangnya minum arak….Hah, tidak ada pesta yang tidak bubar,
sekarang sudah terang tanah, sudah waktunya berangkat! Untuk ini kiranya
perlu bantuan beberapa kereta Suma-taihiap di luar sana.”
"Untuk mengantar keberangkatan anak Peng keluar lautan, biarlah kami antar
beberapa jauhnva, jika tidak keberatan, sudilah Suma-heng tinggal dulu di sini
sampai datangnya penghuni baru perkampungan ini."
Suma Tiong-thian mengangguk setuju, katanya, "Jangan kuatir, Lamkiongheng,
meski sudah tua bangka, sedikit urusan ini tentu dapat kubereskan."
"Biar kudatangkan kereta di luar sana," seru Loh Ih-sian sambil melompat
pergi.
"Akan kubantu, Jicek," seru Lamkiong Peng terus ikut lari keluar.
Kedua orang berlari menuju ke luar perkampungan, tertampak sepanjang jalan
senjata berserakan, di tengah hutan, di semak belukar. mayat
bergelimpangan, darah sudah bersih terguyur air hujan,
Tidak jauh di sebelah sana beberapa ekor kuda tanpa bertuan sedang asyik
makan rumput yang segar.
Lamkiong Peng dan Loh Ih-sian baru saja sampai di depan hutan, mendadak di
tengah semak-semak sana berkumandang suara rintihan orang. Keduanya
saling pandang sekejap terus melompat maju, terlihat dua batang pohon
babak-belur serupa habis dipahat dan dibacok oleh senjata tajam.
Tetumbuhan di sekitar pohon juga bekas terinjak-injak. Dengan hati-hati
kedua orang melangkah ke depan.

Mendadak terdengar suara tertawa seram, dua sosok bayangan orang muncul
dari balik semak-semak pohon sana.
“Siapa?”bentak Lamkiong Peng.
Tapi segera dapat mereka kenali kedua orang ini ternyata Bu-sim-siang-ok
adanya.
Pakaian kedua orang ini kelihatan morat-marit penuh rumput, seperti
berguling-guling dari sana, sedang muka, hidung, mulut dan telinga berlepotan
darah, mata mendelik kalap.
Berapa tabah Lamkiong Peng dan Loh Ih-sian merasa ngeri juga melihat
keadaan kedua orang itu.
"Hehe, obat penawar . . . mana obat pe-nawar ..." Bu-sim-ong terkekeh,
kedua tangan terpentang dan segera menubruk maju.
Lamkiong Peng kaget dan menyurut mundur. Tak terduga baru saja Bu-simong
melangkah segera jatuh terguling.
Hek-sim-khek juga membentak, "Ganti nyawaku!”
Belum lenyap suaranya dia juga terjungkal, tapi tangannya sempat terangkat,
selarik sinar hitam gilap lantas menyambar ke arah Lamkiong Peng. Serangan
sebelum ajalnya ternyata sangat lihai.
Cepat Lamkiong Peng menggeser ke samping, terdengar suara mendesing
menyambat lewat di topi telinganya, cahaya hitam gilap itu masih terus
melayang ke sana dan menumbuk batang pohon, Kiranya benda itu sebuah
kotak kecil

Untuk sejenak Lamkiong Peng dan Loh Ih-sian siap siaga, setelah sekian lama
kedua orang itu tidak berkutik lagi barulah mereka mendekati, ternyata
keduanya sudah mati dengan. mata mendelik.
Demi melihat kotak itu, Loh Ih-sian berucap dengan gegetun, "Ai, Tek-ih Hujin
itu memang sangat keji, kotak racun ini dikatakannya sebagai obat penawar,
betapa licin juga Bu-sim-siang-ok takkan menyangka obat yang diserahkan
Teh-ih Hujin dalam keadaan terpaksa ini justru adalah racun, dan sekali dicium
maka celakalah mereka."
Sebagai seorang jago kawakan dugaannya ternyata tidak keliru. Cuma tidak
diketahuinya bahwa pada waktu sebelum "Bu-sim-siang-ok mencium racun itu,
lebih dulu mereka sudah memaksa Teh-ih Hujin mencium dulu obat itu,
setelah menyaksikan tidak terjadi sesuatu barulah mereka berebut
menciumnya. Dan karena itulah mereka jadi benar-benar terjebak, sebab
sebelumnya Teh-ih Hujin sudah memakai obat penawar lebih dulu, makanya
dia tidak mengalami sesuatu setelah mencium racunnya,
Padahal bubuk racun dalam kotaknya itu kalau disebarkan dan tertiup angin,
maka sedikitnya akan menimbulkan korban beratus orang, sebab asalkan
mencium hawanya saja cukup membuat jiwa melayang.
Apalagi Bu-sim-siang-ok kuatir obat penawar yang mereka endus itu kurang
banyak, mereka mencium sekuat-kuatnya sehingga sekotak kecil bubuk racun
itu hampir seluruhnya masuk rongga dada mereka, keruan jiwa mereka tak
tertolong lagi.
Begitulah mereka berguling di tanah dan tersiksa oleh bekerjanya racun, tubuh
serasa ditusuk beribu jarum tak tertahankan rasa sakitnya. Mereka menjadi
kalap seperti orang gila, batang pohon dicakar sekuatnya, rumput dibetot,
keadaan itulah yang dilihat Lamkiong Peng tadi. Sedangkan Teh ih Hujin
sempat melarikan diri.

Biarpun Bu-sim-siang-ok memang penjahat yang berlumuran darah
tangannya, tidak urung Lamkiong Peng terharu melihat kematian mereka yang
mengenaskan itu. la mengumpulkan ranting kayu dan rumput kering untuk
menutupi mayat mereka dan tinggal pergi.
Ia menemukan beberapa ekor kuda, lain dipasang pada kedua kereta kosong
di luar perkampungan sana serta dibawa pulang.
Tertampak ayah-ibunya dan lain-lain sama berdiri di depan rumah sedang
menunggu. Beramai-ramai semua peti lantas dimuat keatas kereta.
Suma Tiong-thian mengucapkan selamat jalan kepada semua orang. ia pegang
tangan Lamkiong Peng dan memberi nasihat agar berjaga diri baik-baik,
terutama harus awas terhadap orang perempuan. Rupanya dia belum lagi lupa
kepada Kwe Giok-he yang diam-diam berusaha menjatuhkan nama anak muda
itu.
Lamkiong Peng terkesiap dan tidak paham maksud orang tua itu, tapi
mengiakannya dengan terima kasih.
Dan begitulah 20-an peti termuat dua kereta terus berangkat menuju ke
timur. Loh Ih-sian dan Hong Man-thian menumpang bersama satu kereta dan
asyik minum arak sepanjang jalan.
Sedangkan Lamkiong Siang-ju bersama anak dan istrinya menumpang pada
kereta lain, ketiganya tidak banyak bicara sepanjang jalan.
Malamnya mereka sampai di suatu kota dan mendapatkan rumah pondokan.
Kereta di parkir di halaman. Hong Man-thian mencari sepotong kapur dan
menulis sebuah huruf “koan" pada dinding kereta.
"Apakah peti perlu diturunkan?" tanya Koh Ih-sian.

"Dengan huruf “koan” ini, siapa pula di dunia ini yang berani mengincarnya?'
ujar Hong Man-thian dengan tertawa.
Kiranya tulisan "koan" ini adalah tanda tangannya yang dulu pernah
mengguncangkan dunia pestilatan.
Satu kali dia membantu seorang teman yang harta bendanya dirampok kaum
bandit di Thay-hing-san, tanpa susah-payah Hong Man-thian berhasil meminta
kembali harta yang hilang itu. Beberapa peti harta benda itu ditumpuk di
lereng bukit sunyi, peti diberi tanda pengenal huruf "koan", lalu ditinggalkan
pulang, kawan pemilik barang disuruh mengambil sendiri ke tempat
penimbunan peti.
Tentu saja kawannya kaget, disangkanya harta benda yang baru diminta
kembali itu pasti akan dicuri orang lagi. Cepat ja menuju ke tempat yang
dimaksudkan yang berjarak tiga-hari-tiga-malam perjalanan itu
Siapa tahu setiba di tempat, harta yang dimaksud ternyata masih utuh tanpa
terganggu sedikit pun. Rupanya orang dunia parsilatan setelah melihat tanda
pengenal Hong Man-thian itu bukannya mengganggu, sebaliknya diam diam
memberi perlindungan malah.
Begitulah dia berkisah kegagahannya pada masa lampau sehingga tambah
semangatnya minum arak. Lamkiong-hujin lantas minta disediakan berbagai
jenis arak, ia mencampur sendiri arak yang paling enak, dan ternyata sangat
menyocoki selera Hong Man-thian dan Loh Ih-sian sehingga tiada hentihentinya
kedua orang itu memuji.
Dan seterusnya setiap persinggahan selalu Hong Man-thian minum sampai
mabuk oleh ramuan arak Lamkiong-hujin yang istimewa itu. Entah karena
ingin menikmati arak enak atau karena ada sebab lain, perjalanan makin hari
makin lambat.

Anehnya pada setiap tempat persinggahan Hong Man-thian pasti keluar
sampai setengah harian, pulangnya dia membawa satu kereta penuh muatan,
kebanyakan berupa peti besar dan kecil, semuanya tertutup rapat entah apa
isinya. Peti yang paling besar serupa peti mati, yang paling kecil juga
berukuran dua-tiga kaki panjangnya.
Akhirnya kereta yang dikumpulkan bertambah banyak sehingga merupakan
satu iring-iringan kereta.
Wilayah timur ini kebanyakan daerah pegunungan dan merupakan sarang
penjahat. Dengan sendirinya iring-iringan kereta mereka menimbulkan
perhatian orang. Banyak lelaki kekar berkuda mondar-mandir mengawasi
konvoi mereka, namun Hong Man-thian anggap seperti tidak tahu saja.
Walaupun begitu, kawanan bandit juga heran dan sangsi melihat iringan
kereta yang panjang itu ternyata tidak dikawal sebagaimana lazimnya, karena
belum jelas asal-usulnya, seketika pun tidak ada yang berani mendahului
turun tangan mengganggunya.
Hari ini rombongan mereka sampai di Tangyang, di depan adalah lereng
gunung pertemuan antara pegunungan, Hwekeh, Thian-tai dan Sa-beng-san.
Menjelang magrib mereka pun berhenti pada rumah pondokan. Hong Manthian
keluar lagi mengilari kota.
Esok paginya, rumah pondokan itu mendadak menjadi riuh ramai didatangi
orang banyak.
Kiranya kemarin Hong Man-thian telah mendatangi semua pandai besi di kota
Tangyang ini dan minta dibuatkan satu-dua buah sangkar besi yang besarnya
antara satu tombak sehingga jumlah seluruhnya lebih 20 buah.

Dengan sendirinya orang lain tidak tahu apa gunanya sangkar besi sebanyak
itu. Tapi Hong Man-thian lantas menyuruh orang memindahkan peti ke dalam
sangkar besi, lalu dimuat lagi ke atas kereta dan melanjutkan perjalanan.
Kawanan bandit yang selalu mengintai gerak-gerik konvoi mereka ini menjadi
geIi, pikir mereka, "Biarpun harta benda telah kau simpan di dalam sangkar
besi, memangnya kami tidak dapat merampas sekalian bersama sangkarnya?"
Karena itu mereka mentertawai kebodohan pemilik barang ini, hati mereka jadi
mantap dan malam ini juga berniat turun tangan.
Setelah lewat beberapa kampung lagi, di depan adalah lereng pegunungan,
penunggang kuda yang wira-wiri mengikuti iringan kereta mereka tambah
banyak, semuanya bertampang jahat menakutkan.
Tentu saja para kusir kereta jadi ketakutan, diam-diam mereka bersepakat
bilamana kawanan bandit datang mereka akan menyelamatkan diri lebih dulu.
Lamkiong Siang-ju dan lain-lain juga tidak tahu untuk apa Hong Man-thian
membeli sangkar besi besar sebanyak itu, akhirnya mereka coba minta
keterangan kepadanya.
Hong Man-thian tertawa, tuturnya, ''Dulu, terjadi sebuah Lelucon, begini
ceritanya. Seorang membawa galah bambu masuk ke kota. Baik bambu
melintang maupun menegak tetap sukar memasuki gerbang kota. Setelah
berkutak-kutek sekian lamanya, akhirnya orang itu melemparkan galah bambu
ke dalam kota melalui atas tembok benteng.
"Seorang di tepi jalan terbahak-bahak geli, katanya, 'Bodoh amat orang ini,
kenapa galah bambu itu tidak dipatahkan menjadi dua atau tiga potong,
dengan begitu kan leluasa pergi ke mana pun'."

Loh Ih-sian melenggong, ia pun tidak paham arti lelucon itu, katanya, "Kenapa
dia tidak meluruskan bambunya dan menerobos masuk ke kota . . . . "
"Jika dia masuk kota begitu saja kan bukan lagi lelucon namanya," ujar Hong
Man-thian dengan tergelak.
Lamkiong Peng juga tertawa geli.
Maka Hong Man-thian melanjutkan, "Jika kawanan penjahat melihat kusimpan
peti harta benda di dalam sangkar besi, tentu mereka akan tertawa akan
kebodohanku serupa orang vang membawa galah bambu itu, kan sangkar besi
dapat juga diangkut sekalian biarpun peti tersimpan di dalamnya. Mereka lupa
bahwa orang yang membawa galah bambu itu mendadak. bisa membawa
galahnya masuk ke kota dengan lurus begitu saja, untuk ini kawanan bandit
itu tentu tak bisa tertawa lagi."
Loh Ih-sian meraba kepalanya yang botak, "Memangnya apa gunanya sangkar
besi sebanyak ini?"
"Jika kuceritakan apa gunanya, tentu juga bukan lelucon lagi." kata Hong Manthian.
Mendadak burung beo yang selalu hinggap di pundak Hong Man-thian itu ikut
bersuara, "Lelucon , .. lelucon . . . . "
Pada saat itulah sekonyong-konyong tiga anak panah mendenging memecah
angkasa sunyi.
Kembali burung beo itu berteriak, "Lelucon datang . . . lelucon datang . . . . "
Lamkiong Siang-ju tidak heran, ia memang sudah menduga akan kejadian
demikian. Ia cuma mengatur rombongan kereta menjadi satu lingkaran, para
kusir sama menyingkir ketakutan.

Terdengar dari kanan-kiri suara derap kaki kuda yang ramai, debu mengepul,
serentak muncul berpuluh penunggang kuda. Dari arah timur dipimpin seorang
bermuka hitam dan berjenggot pendek, kelihatan gagah perkasa, segera ia
berteriak, "Inilah Thian-gwa-hui-lai-poan-cai-thian (setengah bukit melayang
turun dari langit) berada di sini, para saudara siap!"
Sambil bersuara ia terus melompat ke atas dan berdiri di atas pelana kudanya
dengan gagah. Segera kawanan penunggang kuda dari beberapa penjuru itu
sama berhenti di sekeliling lelaki kekar itu.
Dari rombongan sana tampil lagi tiga penunggang kuda yang gagah, mereka
melompat turun dari kudanya dan berkumpul untuk berunding.
"Hah, rupanya beberapa rombongan bandit ini sudah saling kenal, semula
kukira mereka akan saling cakar-cakaran, agaknya tontonan menarik ini tidak
jadi muncul," ucap Loh Ih-sian dengan tertawa.
"Tontonan menarik sih masih ada," ujar Hong Man-thian. "Untuk itu hendaknya
kalian jangan turun tangan dulu, turutlah kepada caraku."
Dalam pada itu keempat lelaki tadi setelah berkumpul dan berunding, lalu
mereka melangkah maju seorang diantaranya yang kurus kecil tapi mata
bersinar tajam segera beseru, "Di mana pemilik iringan kereta ini harap tampil
untuk bicara."
Orangnya kecil, tapi suaranya besar, Hong Man-thian berlagak bingung dan
memandang kian kemari, tanyanya, "Eh, di mana orang yang bicara itu?"
Tentu saja si kurus kecil mendongkol, jengeknya, "Apakah matamu belum
melek, di sinilah aku yang bicara."

Hong Man-thian sengaja berkerut kening, katanya, "Ai, rasanya kita belum
saling kenal, entah ada petunjuk apa Anda mengajak bicara padaku?"
Si kurus terbahak, "Haha, supaya kautahu, aku inilah Jiu-hong-kui-yap (angin
musim rontok menyapu daun) Toh Stau-giok dari Lok-yap-ceng .... "
"Haha, Lok-yap-ceng (perkampungan daun rontok), tampaknya nama yang
baik juga," seru Hong Man-thian,
"Ketiga orang ini yang satu adalah Oh-taihiap yang terkenal dengan ilmu
goloknya dari Hun-cui-koan dan . . . . "
"Untuk apa banyak omong dengan dia," sela seorang temannya yang bersuara
lantang tadi. "Ayolah sahabat, terus terang saja kita buka kartu, memangnya
perlu apa kau berlagak bodoh. Tinggalkan keretamu dengan seluruh isinya dan
jiwa kalian akan diampuni."
Hong Man-thian mengelus jenggot dan pura-pura kaget, "Hah, kukira kalian
datang untuk ikut minum arak bersamaku, tak tahu-nya kalian mengincar
harta benda juga?"
'O, barangkali engkau ini penggemar sanjak," si jangkung menyeringai.
"Baiklah, biar aku Thi Toa-kan membawakan sajak bagimu, nah dengarkan . . .
Gunung ini aku yang buka, hutan ini aku yang tanam. Jika ingin lalu di sini,
bayar dulu uang jalan. Ingat, jangan coba coba bilang tidak, senjata kami
tidak kenal ampun."
Mendadak ia ayun kepalan dan meng-hantam kepala salah seekor kuda,
kontan kepala kuda pecah, belum lagi sempat meringkik sudah roboh binasa.
Lamkiong Siang-ju dan lain-lain tetap tenang saja. Sebaliknya Toh Siau-giok
dan dan begundalnya sama berseri kaget, "Wah, tangan hebat!"

Thi Toa-kan tertawa, katanya, "Nah, dapat kalian pahami tidak akan sajakku?"
Hong Man-thian berlagak terkejut, "Wah, kusangka kalian adalah kaum
pelancong yang iseng, siapa tahu kalian ini kaum bandit dan perampok. . . "
Diam-diam ia mengedipi Lamkiong Peng, lalu berteriak. "Ai celaka, ada bandit!
Ayolah lekas kemari pengawalku, hajarlah bandit ini!"
Lamkiong Peng merasa geli. segera ia tampil ke muka.
Semula Thi Toa-kan dan begundalnya melengak juga, tapi ketika diketahui
yang muncul cama seorang anak muda belia, hati mereka menjadi tabah,
dengan tertawa Thi Toa-kan berseru, "Haha, apakah ini jago pengawalmu. Eh,
Toa piauthau yang terhormat engkau dari Piaukiok mana? Setelah kenal nama
kami, masakah kauberani main kayu lagi dengan kami?”
Belum lenyap suaranya, tahu-tahu Lamkiong Peng melompat maju dan "plok",
pipi-nya telah tergampar dengan tepat.
Keruan Thi Toa-kan melengak. teriaknya murka, "Binatang ,...."
Baru saja bersuara, pipi sebelah lain juga kena gamparan keras, ia tergetar
mundur dengan mulut berdarah, sambil mengusap darah segera ia hendak
menerjang maju.
Tapi Toh Siau-giok keburu menarik baju-nya dan mendesis, "Sabar dulu!"
Lalu ia berkata kepada Lamkiong Peng, 'Eh, lihai benar kungfu saudara muda
ini, siapakah namamu dan murid dari perguruan mana?"
"Aku murid Sin-Hong, Lamkiong Peng ada nya!" seru anak muda itu lantang.

Thi Toa-kan, Toh Siau-giok, dan Oh Cin, si jago golok dan seorang lagi berbaju
hitam bernama Tio Hiong-to berjuluk Im-yang-poh, si kampak, saling pandang
dengan air muka berubah, seru Toh Siau-giok, "Hah, Anda inikah Lamkiong
Peng?"
Lamkiong Peng hanya mendengus saja tanpa bicara lagi.
Hendaknya maklum, sejak pertarungan sengit di restoran Koai-cip-lau dan
menerjang Hui-goan-san-ceng tempat Wi.Ki dahulu, Lamkiong Peng lantas
tersiar luas di kangouw dan disegani.
Keruan keempat orang itu sama gentar, Thi Toa-kan menyingkir ke samping
dan memanggil seorang anak buahnya, mendadak dijambretnya leher baju
orang dan didamperatnya, "Inikah hasil selidikanmu, kaubilang pengawal
iringan kereta ini cuma orang tua yang cacat dan reyot, mengapa bisa
mendadak muncul seorang Lamkiong Peng?"
Anak buahnya ketakutan, 'Hah, dia . . . dia Lamkiong Peng?"
Kontan Thi Toa-kan menjotosnya sehingga mencelat.
Segera keempat orang itu berunding apa yang harus dilakukannya lebih lanjut.
Tio Hiong-to mendesis, "Kabarnya Lam kiong Peng ini sangat lihai, tapi kita
sudah telanjur datang, masa harus pulang dengan tangan hampa. Biarpun
hebat, dua kepalan takkan mampu melawan empat tangan, kalau kita maju
sekaligus, masa kali perlu takut padanya?"
"Betul". sambut Oh Cin. "Betapapun kita berempat harus mengujinya dulu."
Setelah sepakat, segera mereka maju lagi bersama, cuma sikap mereka sudah
tidak segalak tadi.

Toh Siau-giok mendahului bicara, "Jika iringan kereta ini dikawal oleh
Lamkiong-kongcu, mestinya kami akan segera angkat kaki dari sini. Cuma,
hehe, ketiga sahabatku ini justru ingin belajar kenal dulu sejurus dua dengan
Lamkiong-kongcu, sedikitnya agar menambah pengalaman kami."
Dia memang licik, semua tanggung jawab ia tumplek atas diri ketiga
kawannya.
Lamkiong Peng mendengus, "Ayolah silakan mana dulu yang akan maju?!"
Toh Siau-giok menyurut mundur malah, Thi Toa-kan bertiga juga saling
pandang dengan ragu, mereka hanya berani main kerubut, untuk satu lawan
satu mereka jeri. Terlebih Thi Toa-kan yang habis merasakan digampar,
betapapun ia tidak berani maju sendirian.
Terdengar Toh Siau-giok berucap di samping, "Ketiga saudara jangan berebut
turun tangan, masa di antara saudara sendiri perlu rendah hati?"
Muka Oh Cin tampak merah, mendadak ia berpaling dan menjengek, "Aneh
juga, kenapa mendadak Toh-heng seperti tidak berkepentingan lagi akan
urusan ini?"
"Aku memang tidak ingin berebut duluan dengan kalian, jika Oh-heng juga
sangsi, silakan mundur saja menonton di samping." sahut Toh Siau-giok.
Oh Giu menjadi gusar, Hm, memangnya kaukira aku jeri, apa langannya
kaumaju untuk belajar kenal dengan dia," ucap Oh Cin. Segera ia melangkah
maju sambil melolos golok.
Mendadak Hong Man-thian berseru sambil menggoyangkan tangannya, "Eh,
jangan! Nanti dulu!'
Oh Cin melengak dan bertanya, "Ada apa lagi?"

"Lamkiong-piauthau," kata Hong Man-thian. "Hendaknya urusan ini jangan
sampai terjadi perkelahian."
Lamkiong Peng melongo heran juga.
Hong Man-thian lantas menyambung, "Sebab kalau perkelahian ini terjadi
serentak kawanan orang gagah ini pasti akan main kerubut, jika terjadi
demikian, wah, aku si tua bangka ini pasti akan celaka. Padahal kuminta
engkau menjadi pengawalku justru berharap cukup dengan namamu dapatlah
barang kirimanku ini akan sampai di tempat tujuan dengan aman, sekarang
gelagatnya ternyata kurang menguntungkan, rasanya lebih baik kukorbankan
sedikit harta bendaku saja, yang penting aman dan selamat."
"Hm, ternyata kaupun bisa berpikir panjang," jengek Oh Cin. "Jika kau mau
kompromi baiklah akan kudamaikan bagimu."
Si dogol Thi Toa-kan juga lantas membusungkan dada dan berseru,
"Mendingan kau dapat melihat gelagat, kalau tidak, hmm . . . ."
Diam-diam Lamkiong Peng merasa geli dan mengundurkan diri.
Hong Man-thian lantas berkata pula, "Sangkar besi di atas kereta tidak
digembok, bilamana kalian mau, silakan ambil saja, asal-kan jangan dikuras
habis, tapi sisakan yang pantas uutuk hari tuaku."
Meski Lamkiong Peng dan lain-lain tahu tingkah orang tua ini pasti menarik,
tapi sejauh ini belum lagi diketahui apa sebenarnya maksudnya.
Sebaliknya Thi Toa-kan dan Iain-lain sangat girang, segera mereka memberi
tanda kepada anak buahnya dan siap hendak membongkar peti.
Mendadak Thio Hiong-to berteriak. "Nanti dulu!"

"Ada apa?" tanya Oh Gin kurang senang.
"Biarpun saudara sekandung, utang-piutang juga harus dihitung dengan
betul," kata Tio Hiong-to. "Tampaknya rejeki hari ini tidaklah sedikit, meski di
antara kita sudah kenal baik, perlu juga segala sesuatu diatur secara jelas.
Peti-peti ini berukuran yang sama, isinya juga tidak seragam, bilamana antara
kita cuma ambil begitu saja dan bisa kacau dan tidak adil"
"Betul," sambut Oh Cin, "tadi pihak kami turun tangan dahulu, dengan
sendirinya hak utama berada padaku. Mengenai Toh heng, jika dia sudah rela
menonton saja di samping, dengan sendirinya ia pun melepaskan haknya."
Seketika orang Lok-yap-ceng menjadi gempar, segera ada yang melolos
senjata dan siap tempur. Tapi Toh Siau-giok memberi tanda kepada anak
buahnya itu supaya tenang.
Rupanya dia sudah menduga di balik urusan ini pasti ada sesuatu yang tidak
beres, umpama betul persoalannya semudah ini juga dia sudah siap sedia
untuk merobohkan lawan.
Di antara keempat pentolan bengal ini memang Toh Siau-giok yang paling licik
dan licin, selain kungfunya lebih tinggi juga lebih pandai menggunakan otak.
Tio Hiong-to lantas menarik muka dan mendengus, "Hm, bilakah Oh-heng
pernah turun tangan' Thi-beng, apakah kaulihat?"
"Kalau bicara turun tangan, kukira akulah yang paling dulu," ujar Thi Toa-kan.
Teringat pada dua gamparan yang dirasakannya tadi, tanpa terasa mukanya
menjadi merah.
Tentu saja Oh Cin kurang senang, goloknya bergerak, serunya, "Habis
bagaimana cara membaginya menurut pendapat kalian?"

"Dengan sendirinya pihak Thian-tai-ce kami berhak mengambil dulu." seru Thi
Toa-kan sambil membusungkan dada. Dia memang tinggi besar, sekali
membusung mendadak perawakannya bertambah satu kepala lebih tinggi
daripada orang lain.
"Hm, kalau bicara tentang tubuh dengan sendirinya Thi-heng lebih gede, cuma
sayang tubuh gede terkadang juga tiada gunanya," ejek Tio Hiong-to.
"Kurangajar! Kaubilang apa?" bentak Thi Toa kan.
Oh Cin juga angkat goloknya dan berseru "Apa pun engkau tidak berhak ambil
dulu.”
Tio Hiong-to melirik Toh Siau-giok sekejap lalu berkata, "Kukira biarkan Tohheng
saja yang membagi rata rejeki ini. Kepandaian Toh-heng paling tinggi,
anggota Lok-yap-ceng juga paling banyak, kupercaya dia pasti tidak akan
menang sendiri dan bikin rugi orang lain."
Rupanya dia merasa pihak sendiri tidak sanggup menghadapi pihak yang lain,
maka cepat ia ganti haluan dan ingin mencari kawan.
Diam-diam Toh Siau-giok mengawasi air muka Lamkiong Peng dan lain-lain,
dilihat-nya anak muda itu tenang-tenang saja. sorot matanya menampilkan
rasa geli, tergerak hatinya, dengan tertawa ia berkata, "Ah, soal harta bagiku
sih tidak kupikirkan lagi, silakan kalian bertiga membagi sendiri."
Habis berkata, benar juga ia lantas memberi tanda agar anak buahnya
menyingkir mundur. Meski penasaran, terpaksa anak buahnya menurut.
Selagi Thi Toa kan bertiga melenggong, tiba-tiba Hong Man-thian berseru pula
dengan tertawa, "Ai, sudah kukatakan silakan bagi saja sendiri, tapi kalian

ternyata sungkan-sungkan. Jika begitu, aku ada juga suatu akal baik, mungkin
dapat kalian setujui."
Tio Hiong-to kuatir pihaknya akan dikerubut oleh Oh Cin dan Thi Toa-kan,
segera ia mendahului menyatakan setuju, "Bagus, jika Losiansing mau turun
tangan dengan bijaksana, kupercaya caramu membagi pasti adil."
Oh Cin dan Thi Toa-kan saling pandang sekejap, dalam hati mereka juga
berpikir sama seperti Tio Hiong-to, maka tiada jalan lain kecuali mengangguk
setuju.
"Kalian tahu, orang tua semacam aku ini paling takut melihat darah
bercucuran, sebab itulah kurela menyerahkan sebagian harta bendaku ini,
yang penting semuanya berjalan aman dan lancar. Cuma kalian harus berjanji
juga setelah mendapatkan pesangon yang layak jangan lagi kalian cari perkara
lagi, kalau tidak . . .. " mendadak Hong Man-thian menarik muka dan
menyambung, "Kalian sudah menyaksikan sendiri kepandaian jago
pengawalku, bilamana dia tidak mau turut lagi kepada perkataanku, tentu
kalian tahu sendiri akibatnya."
Mau-tak-mau ketiga orang itu merasa ngeri juga, terutama Thi Toa-kan yang
sudah kena hajaran Lamkiong Peng tadi, cepat Tio Hiong-to mendahului
menanggapi, "Baik, asal saja caramu adil, kami pasti setuju."
"Haha, tentu saja adil," kata Hong Man-thian. "Kalian adalah kesatria kaum
Lok-lian makin gagah makin mengagumkan, makin banyak tangan kalian
berlumuran darah makin dipuja, Maka sekarang kuingin tahu dulu siapa
kiranya di antara kalian yang paling gagah perkasa. Asalkan setiap orang
dapat menceritakan suatu kejadian nyata dari hasil karyanya yang paling
gagah perkasa, maka dia berhak mengambil dulu isi petiku ini. Tapi jika
perbuatan yang pernah dilakukannya kurang gemilang, terpaksa harus
disilakan menyingkir saja ke pinggir."

Selesai berucap, mendadak tongkatnya terjulur, sebuah peti di luar sangkar
dicungkit dan diraihnya ke depannya, lalu berkata pula, "Nah, ingin
kutambahkan lagi, peti yang semakin dekat danganku isinya juga semakin
berharga. Maka nanti bilamana di antara kalian harus berebut dulu mendului,
terpaksa kalian harus menggunakan kepandaian sejati masing-masing untuk
memperoleh peti ini."
Semula orang-orang itu sama ragu oleh cara aneh yang diuraikan Hong Manthian
itu, tapi kemudian demi peti dibuka dan isinya ternyata penuh batu
permata yang sukar di nilai, seketika mata mereka menjadi merah dan lupa
daratan.
Maklum, kebanyakan manusia tamak kalau urusannya sudah menyangkut
harta, maka tujuan menghalalkan cara dan tidak kenal malu lagi, segera
mereka berebut dulu menceritakan perbuatannya yang gagah perkasa.
Sambil menepuk dada Thi Toa-kan ber-teriak, "Pernah pada suatu malam di
kota Limhai sekaligus kulakukan tujuh perkara besar, kusikat habis setiap
orang yang memergokiku dan melawan, kubunuh semuanya sehingga mata
golokku pun tumpul. Kejadian ini cukup diketahui siapa pun sehingga tidak
perlu kuberi bukti atau saksi. Nah, apakah perbuatanku itu bukan sesuatu
yang gagah perkasa?"
Habis berkata ia bergelak tertawa bangga. Oh Cin tidak mau kalah, segera ia
menyambung, "Huh, hanya begitu saja belum masuk hitungan. Pernah pada
suatu hari, di luar kota Thaisun, di tengah siang hari bolong sekaligus kukerjai
berpuluh anak perempuan yang sedang berziarah ke Gan-tang-san, semuanya
kusikat . . . . "
Begitulah mereka seperti kuatir ketinggalan, satu persatu mereka menuturkan
"karya besar" masing-masing, bahkan kuatir tidak di percaya, mereka berani
memberi bukti dan mengajukan saksi segala.

Seketika apa yang didengar Lamkiong Peng dan lain-lain adalah kisah
kejahatan yang meliputi perampokan, pembunuhan dan sebagainya yang
membuat darah meluap. Setiap perbuatannya yang "gemilang" itu pantas
dijatuhi hukuman penggal kepala sepuluh kali.
Toh Siau-giok tetap mengikuti semua kejadian itu secara diam-diam, makin
dipandang makin dirasakan urusan tidak biasa.
Tadi ketika tongkat Hong Man-thian menggait peti sudah dapat didengarnya
suara logam, jelas bukan sembarangan tongkat. Apalagi cara kakek yang
kelihatan reyot itu menentukan pemberian isi peti juga harus diragukan. Makin
dipikir makin ngeri hati Toh Siau-giok, tanpa terasa ia pun menyurut mundur
terlebih jauh.
Anak buah Lok-yap-ceng mestinya penasaran karena orang lain bakal
mendapat rejeki nomplok, tapi pihaknya justru diperintahkan mundur. Tapi
biasanya mereka sangat tunduk kepada kebijaksanaan sang Cengcu, terpaksa
mereka ikut mundur sesuai perintah Toh Siau-giok.
Dan begitulah, setelah gembong Lok-lim itu sama menguraikan perbuatan
gagah masing-masing, kemudian mereka lantas bersiap-siap di sekeliling Hong
Man-thian.
"Bagus, bagus, kalian ternyata sama gagah perkasa," seru Hong Man-thian.
''Sekarang bolehlah kalian siap sedia, sekali kuberi tanda dengan tepukan
tangan, bolehlah kalian buka dulu peti dalam sangkar yang sudah terbuka itu."
Pelahan ia lantas angkat tangannya, jantung semua orang sama berdebar
menantikan beradunya telapak tangannya, semuanya melotot dan siap
tempur.
"Plok," begitu tangan Hong Man-thian menepuk, beramai-ramai orang-orang
itu lantas menyerbu serupa segerombolan binatang buas menerkam

mangsanya. Ada yang menubruk peti besar-kecil di atas kereta, ada yang
membuka peti di dalam berbagai sangkar besi itu.
Melihat kelakuan orang-orang yang biadab itu, sebenarnya Lamkiong Peng dan
Loh Ih-sian sudah tidak tahan lagi rasa gemasnya. Sedangkan Lamkiong Siang
ju dan istrinya tetap tenang saja, mereka yakin tokoh kosen angkatan tua
seperti Hong Man-thian ini pasti mempunyai maksud tajuan yang di luar
dugaan.
Dalam pada itu berpuluh orang itu sebagian besar telah menyerbu peti di
dalam sangkar besi tanpa pikir akibatnya.
Mendadak Hong Man-thian membentak, "Tutup pintu sangkar!"
Serentak Lamkiong Siang-ju berempat bergarak cepat, hanya sekejap saja
berpuluh pintu sangkar besi itu sudah ditutup rapat.
Kawanan berandal itu lagi lupa daratan ingin merebut rejeki, tentu saja
mereka tidak memperhatikan kejadian lain. Ketika mereka menyadari apa
yang terjadi, mereka hanya bisa mengeluh dan semuanya sudah terlambat.
Mendadak Hong Man-thian mendekap bibir dan bersuit keras, makin lama
makin melengking suitannya sehingga anak telinga orang terasa pekak.
Lamkiong Sian-ju berempat saja sama tergetar jantungnya, apalagi kawanan
berandal itu, sebagian sudah kelengar, ada yang sanggup bertahan juga tidak
urung muka pucat dan gigi gemertuk, Toh Siau-giok yang berdiri agak jauh
pun merasa lemas kakinya, ingin lari pun tidak mampu.
Di tengah suara suitan dahsyat itu, satu-dua tutup peti besar di antara
puluhan buah peti itu pelahan mulai terbuka. Sekonyong-konyong terdengar
raungan yang menggetar, seekor singa pelahan menongol dari dalam peti
besar itu.

Menyusul terdengar pula suara harimau meraung, suara serigala, beruang dan
sebagai-nya, suara berbagai binatang buas itu serasa mengguncang bumi dan
menggetar sukma.
Sebagian binatang buas itu muncul dari peti di sangkar besi sana, dari sangkar
besi sini menongol kawanan ular berpuluh ekor banyaknya
Tadi kawanan berandal itu menyerbu serupa binatang buas kelaparan,
sekarang mereka sendiri yang menjadi mangsa kawanan binatang buas yang
benar-benar kelaparan itu, seketika darah berhamburan dan daging
beterbangan, sungguh adegan yang mengerikan.
Pada saat itulah dari kejauhan mestinya sedang melayang tiba beberapa sosok
bayangan orang Begitu mendengar suara suitan dahsyat itu, serentak mereka
berhenti, seorang di antaranya bertubuh ramping dan gemulai, dia itulah Kwe
Giok he.
Di kanan-kirinya dua orang lelaki, yang seorang adalah Yim Hong-peng yang
gagah dan yang lain adalah Ciok Tim yang bermuka pucat. Di belakang mereka
mengikut empat orang tua, mereka adalah empat di antara Kang-lam-jit-eng
atau tujuh elang dari daerah Kanglam.
"Suara suitan siapa itu, begitu lihai!" tanya Giok-he dengan kening bekerenyit.
"Kalau tidak salah duga, rasanya seperti suara Hong Man-thian yang dahulu
seorang diri menerjang dan membakar Ban-siu-san-ceng, itulah Iwekang Bohgiok-
siu (suitan penghancur batu pualam) yang maha lihai," ujar si elang
hitam sambil mendekap telinganya.
"Masakah tokoh tua itu belum mati?" tanya Giok-he.

"Konon dahulu dengan lwekangnya yang maha ampuh Boh-giok~siau itu dia
dapat menundukkan kawanan binatang buas sehingga Ban-siu-san-ceng dapat
dibobolnya," tutur Yim Hong-peng.
"Jika makhluk tua she Hong itu berada di situ, tampaknya kedatangan kita ini
hanya sia-sia belaka, marilah kita pergi saja," ajak Giok-he sambil menarik
tangan Yim Hong-peng.
Dengan sendirinya tingkah laku Giok-he itu tidak terlepas dari pengawasan
Ciok Tim, air mukanya tampak kelam, entah gusar entah sedih, tapi akhirnya
ia ikut juga di belakang Giok-he dengan kepala menunduk, mereka berlari
pergi secepat datangnya tadi.
Ketujuh orang ini datang dan pergi lagi, dengan sendirinya hal ini tidak
diketahui oleh orang-orang yang berada di sana.
Sementara itu suitan Hoag Man-thian sudah mereda, namun suara raungan
binatang buas belum lagi lenyap, apalagi ditambah dengan suara kawanan
binatang buas itu sedang mengganyang mangsanya.
Menyaksikan kejadian ngeri itu, Lamkiong Peng merasa ingin tumpah, tapi
darah pun bergolak, meski jelas diketahuinya orang-orang itu seluruhnya
adalah kaum penjahat yang tak terampunkan, tapi dia tidak sampai hati
menyaksikan mereka dijadikan umpan binatang buas itu.
Ia memburu ke depan Hong Man-thian dan berseru, "Sudahlah, berhenti!"
Dibukanya semua pintu sangkar besi itu'
Hong Man-thian melengak, tapi mendadak ia mendongak dan tertawa keras.
Begitu hebat suara tertawanya sehingga kawanan binatang itu sama
terpengaruh pula serupa kena sihir dan lupa mengganyang mangsanya lagi.

Di dalam sangkar besi masih ada belasan orang yang belum mati dan masih
meronta-ronta, demi mendengar suara lengking tawa Hong Man-thian,
serentak mereka terhentak sadar, cepat mereka merangkak dan menerobos
keluar, Thi Toa kan kelihatan buntung lengan kanan akibat digigit singa. Thio
Hiong-to sekujur badan berlumuran darah dan terluka parah. Sedangkan Oh
Cin sudah hancur lebur dirobek oleh cakar harimau dan sebagian tubuhnya
sudah menjadi isi perut binatang buas itu.
Dalam sekejap saja orang-orang yang beruntung masih hidup itu segera
melarikan diri. Diam-diam Toh Siau-giok juga bersyukur tidak menjadi mangsa
kawanan binatang dan lekas-lekas mengeluyur pergi.
Serentak Hong Man-thian juga beraksi pula dengan tongkatnya, ia mengetuk
tubuh binatang buas itu, lalu dicengkeram kuduknya terus dilemparkan ke
dalam peti, hanya sebentar saja berpuluh ekor singa, harimau dan serigala
telah dibekuk seluruhnya dan ditutup lagi ke dalam peti.
Puluhan ekor ular berbisa itu pun digiring masuk kembali ke dalam peti,
suasana menjadi tenang pula. Kalau tidak ada bekas darah dan ceceran
daging. siapa pun tidak tahu baru saja telah terjadi peristiwa yang mengerikan
itu.
"Nah, setelah kenyang makan darah dan daging orang jahat, tentu kalian
dapat meringkuk dan puasa belasan hari lagi," ucap
Man-thian dengan tertawa. "Beginikah caramu memberi makan kawanan
binatang?" tanya Lamkiong Peng.
"Kawanan penjahat itu digunakan sebagai umpan binatang buas kan cukup adil
dan setimpal bagi perbuatan mereka?" jawab Hong Man-thian tertawa.
Seketika Lamkiong Peng melongo dan tidak dapat bicara lagi.

Loh Ih-sian menghela napas, katanya, "Sungguh tak terpikir olehku dalam
petimu itu tersimpan barang hidup, anehnya mengapa kawanan binatang itu
sedemikian menurut dan mau mendekam diam di dalam peti. Kalau tidak
melihat sendiri sungguh sukar untuk dipercaya"
"Kalau diceritakan sebenarnya juga tidak perlu diherankan," tutur Hong Manthian.
"Caraku mengendalikan kawanan binatang ini tiada ubahnya seperti ilmu tiamhiat,
pada bagian tertentu tiap binatang juga ada tempat yang lemah, asalkan
dapat kaukuasai tempat dan waktunya secara tepat, sekali ketuk dia takkan
berdaya dan akan tunduk padamu."
Selagi mereka asyik bicara tentang cara mengatasi binatang buas di sebelah
sana Lamkiong Peng lagi sibuk menggali liang untuk mengubur sisa tubuh
manusia yang berserakan itu.
Tidak lama kemudian, kawanan kuda yang juga jatuh kelengar karena suara
suitan Hong Man-thian tadi sebagian telah sadar kembali, sebagian lain mati
ketakutan melihat binatang buas tadi.
Iringan kereta lantas melanjutkan perjalanan, perasaan semua orang sama
tertekan dan jarang yang bicara.
Dua hari kemudian, sampailah mereka di semenanjung Sam-bun-wan, sejauh
mata memandang tertampaklah air laut yang biru dan beriak itu.
Sudah sejak jaman kuno perdagangan Tiong-kok melalui laut terbuka secara
luas, semenanjung Sam-bun wan ini adalah pelabuhan perdagangan yang
merupakan pangkalan besar bagi padagang di wilayah Ciatkang. Kangsoh dan
Anhui. Sebab itulah kota pelabuhan ini sangat ramai.

Menjelang magrib, di jalanan kota lantas penuh orang berlalu lalang,
kebanyakan adalah kaum nelayan yang berbau amis dan pelaut yang berbaju
pendek dan berbadan kekar, dada terbuka dan lengan telanjang. Mereka
masuk ke kota untuk mencari hiburan, makan minum, tidak ketinggalan main
perempuan pula.
Dengan sendirinya suasana kota pelabuhan begini dirasakan serba baru bagi
Lamkiong Peng, ia berdiri di luar hotel memandangi keramaian itu.
Hong Man-thian sendiri asyik minum arak Iagi. Mendadak ia mengeluarkan
sehelai kertas panjang dan dibentang di atas meja. Kertas itu penuh tulisan
yang tidak rajin, ada yang gaya tulisannya indah, ada yang tulisannya serupa
cakar ayam.
Baris pertama tulisan itu berbunyi: Timbel 300 kati, air raksa 100 kati.
Baris berikutnya tertulis: Benang 100 kati, besi seribu kati.
Lalu tertulis Iagi berbagai jenis barang keperluan lain.
Rupanya kertas itu adalah sehelai daftar belanja. Anehnya kebanyakan barang
yang tertulis itu bukanlah barang keperluan sehari-hari.
Yang paling aneh adalah bagian terakhir, barang belanja yang diperlukan
ternyata tertulis: Harimau satu ekor, singa jantan-betina sepasang, ular
berbisa 120 ekor. Serigala dan macan tutul masing-masing dua ekor.
Waktu Lamkiong Peng dan lain-lain ikut membaca daftar itu, semuanya
terheran-heran, entah apa yang akan di perbuat oleh tokoh-tokoh kosen yang
berdiam di pulau misterius Cu-sin-to dengan barang belanjaannya yang luar
biasa ini?

Yang paling membingungkan adalah baris terakhir yang terbaca oleh Lamkiong
Peng, yaitu tertulis: Orang jahat sepuluh.
'Masa orang jahat terhitung juga barang belanjaan? Apa gunanya dan akan
dibeli di mana?" tanyanya heran.
"Nanti tentu kautahu sendiri," ujar Hong Man-thian dengan tersenyum aneh,
senyum misterius dan juga mengandung rasa duka.
Lamkiong Peng tidak dapat menerka maksudnya, ia pun tidak tanya lebih
lanjut.
Habis makan-minum, Hong Man-thian lantas keluar untuk belanja, tapi
pulangnya ternyata tidak membawa sesuatu barang.
Malamnya, Hong Man-thian memesan satu meja penuh santapan pilihan,
sambil makan-minum ia mengajak mengobrol macam macam urusan. Dia
memang pandai bercerita sehingga orang lain sama lupa lelah dan kantuk juga
lupa tanya padanya kapan dan di mana dia akan berlayar.
Tanpa terasa perjamuan berlangsung hingga hampir tengah malam, tiba-tiba
Hong Man-thian menuangkan arak bagi Lamkiong Siang-ju berempat, lalu
angkat cawan dan berucap, "Betapa lama berkumpul akhirnya harus berpisah
juga, di dunia ini memang tidak ada pesta yang tidak bubar. Bahwa sekali ini
Hong Man thian dapat berkunjung ke Kanglam dan bertemu dengan para
sahabat, sungguh kejadian yang menggembirakan. Cuma sayang tidak dapat
berkumpul lebih lama, waktu berpisah sudah tiba, marilah kita habiskan
secawan ini dan segera kumohon diri."
Semua orang menyangka barang belanjaannya belum lagi lengkap, tentu dia
akan tinggal lagi beberapa hari lagi, siapa tahu mendadak ia mengucapkan
kata perpisahan, tentu saja semua orang terkesiap.

Lamkiong-hujin memandang putra kesayangan dengan perasaan berat,
katanya, "Kenapa Hong-taihiap mendadak hendak berangkat di tengah malam
buta, apakah tidak menunggu sampai . . . . "
Belum lenyap suaranya, mendadak kepala terasa pening dan tidak sanggup
bicara lagi.
Bahkan Loh Ih-sian dan lain-lain serentak juga merasa kepala pusing dan mata
berkunang-kunang, bumi seperti berputar dan langit akan ambruk. Segala
benda serasa berputar seperti kitiran.
Lamkiong-hujin terkejut, serunya kuatir, "Anak Peng . . . . "
Segera ia berbangkit hendak mendekati Lamkiong Peng, tapi baru melangkah
segera ia jatuh terkulai.
Lamkiong Peng juga tidak tahan oleh rasa pusing, samar samar dilihatnya
sorot mata ibu kesayangan yang kuatir itu, tapi ia pun tidak berdaya dan tidak
ingat sesuatu lagi.
Entah berselang berapa lama lagi, Samar-samar Lamkiong Peng merasa
berada di sebuah pulau yang indah, tetumbuhan menghijau permai. Banyak
bebuahan yang aneh, bahkan bumi penuh berserakan batu permata.
Di kejauhan ada sebuah istana megah dengan undak-undakan batu kemala
dan tiang emas, di depan istana tampak bergerombol orang mondar-mandir
serupa malaikat dewata di sorgaloka. Malahan mendadak dilihatnya ayahibunda
juga berada di tengah orang banyak itu.
Saking girangnya mendadak ia memburu ke sana. Tapi tahu-tahu kakinya
menginjak tempat kosong, di bawah ternyata jurang yang tertutup mega.

Ia menjerit kaget dan sekuatnya berusaha melompat ke atas, waktu ia
membuka mata, dirasakan keringat membasahi tubahnya, kiranya baru saja
mimpi buruk.
Ia berpaling, tampak dirinya berbaring di dalam ruang yang kosong, hanya
terlihat sebuah tempat tidur, sebuah meja dengan dua kursi. Di ketinggian ada
sebuah jendela kecil, bintang gemerlip di angkasa Iuar.
Rupanya ia telah tertidur sehari semalam, ia coba menenangkan diri dan
meronta bangun, dirasakan lantai bergoyang-goyang, terdengar pula suara
gemercak air di sekeliling, tiba-tiba disadarinya dirinya berada di dalam sebuah
kapal yang terombang-ambing di tengah laut. Kiranya dalam keadaan tidak
sadar ia telah jauh meninggalkan ayah-bundanya, meninggalkan tanah
kelahirannya, meninggalkan kampung halaman dan orang yang dikenalnya,
kini jaraknya entah sudah berapa jauh, sedetik demi sedetik bertambah jauh
terpisah.
Pedih rasa hatinya, apakah akan tamat begini saja kehidupannya? Sedangkan
budi kebaikan orang tua dan guru belum lagi dibalas-nya, masih banyak amal
bakti yang perlu dilaksanakannya pula.
Setelah termenung sekian lama, mendadak ia mengepal tinjunya dan
bergumam, "Tidak, aku masih harus pulang ke sana, harus!"
Mendadak seorang tertawa dan berkata sambil mendorong pintu kamar,
"Haha, bagus!
Tekadmu harus dipuji."
Kelihatan Hong Man-thian muncul dengan membawa poci arak, langkahnya
agak sempoyongan, jelas terlalu banyak menenggak arak.
"Mari keluar," kata Hong Man-thian kemudian.

Ketika Lamkiong Peng ikut ke geladak kapal, tertampak jauh di ufuk timur
sana sudah ada cahaya remang-remang, hanya sebentar saja subuh ternyata
sudah tiba. Pemandangan kelihatan indah, tapi keadaan di atas geladak kapal
morat-marit penuh tertimbun berbagai macam barang.
Di buritan sana, di samping tiang layar tertaruh sebaris sangkar besi, isinya
tentu saja kawanan binatang buas yang sudah dilepaskan dari peti, semuanya
meraung dan menyeringai ketika melihat manusia.
Seorang lelaki kurus dan pendiam dengan dada baju terbuka berdiri di buritan
sambil memegang kemudi, ada lagi seorang lelaki pendek kecil dan agak
buntak dengan baju yang dekil, kepala kurapan dan lagi cengar-cengir.
Melihat orang ini, timbul rasa jemu dan mual. Kebanyakan pelaut dan nelayan,
biarpun kasar dan miskin, rata-rata juga kelihatan sehat dan bersih, tapi orang
ini selain kotor dan menjemukan mukanya, suaranya juga tidak enak didengar.
"Siapa orang ini?" tanya Lamkiong Peng.
"Juru masak," jawab Hong Man-thian.
Lamkiong Peng melengak, terbayang sayur mayur yang akan dimakannya
selanjutnya adalah hasil pengolahan orang dekil jni, seketika tambah mual
rasanya, gumamnya.
"Kenapa mencari juru masak seperti ini?"
Hong Man-thian tergelak, katanya, "Kau-tahu, bukan pekerjaan gampang
untuk mendapatkan pelaut ini. Biarpun orang yang biasa hidup berkecimpung
di lautan, siapa yang mau ikut berlayar tanpa batas waktu dengan kapal yang
tak dikenalnya?"

"Dan cara bagaimana Cianpwe mendapatkannnya?" tanya Lamkiong Peng.
Mendadak Hong Man-thian bersuit pelahan, burung beo piaraannya yang selalu
mengintil ke mana dia pergi itu lantas hinggap di pundaknya.
"Panggil Jitko," kata Hong-thian.
Segera beo itu berteriak, "Jitko...Jitko...."
Mendadak papan geladak tersingkap, seorang lelaki hitam kekar melompat
keluar dari bawah geladak.
Terperanjat juga Lamkiong Peng melihat bentuk orang yang aneh ini,
perawakannya pendek gemuk, pundaknya lebar sehingga bentuknya mirip
peti. Punggung agak bungkuk dan kepala seakan-akan terselip di antara
pundaknya, Namun gerak-geriknya justru sangat gesit, sekali lompat sudah
berada di depan Hong Man-thian.
Rupanya yang buruk juga sangat mengejutkan, mulut lebar dengan gigi
panjang serupa siung, dagunya mencuat ke depan. kelakuannya kasar.
Dengan tunduk kepala ia berkata kepada Hong Man-thian, "Apa yang Cukong
ingin hamba kerjakan?"
Hong Man-thian terbahak-bahak, katanya kepada Lamkiong Peng, "Bersama
dia inilah kami berdua berlayar mengarungi samudera raya dengan sebuah
perahu kecil dan akhirnya sampai di daerah Kanglam. Kembalinya sekarang
tentu saja kami tidak ingin menderita lagi, kami ganti kapal besar ini, tapi juga
tambah muatan sedemikian banyak, maka kami juga perlu pakai tenaga pelaut
cukup banyak."
"Berapa banyak pelaut yang kaubawa?' tanya Lamkiong Peng.
"Belasan orang", jawab Hong Man-thian, "Apakah kauingin melihat mereka?"

"Ah, tidak," jawab Lamkiong Peng sambil menggeleng. Setelah melihat bentuk
"Jitko' yang serupa binatang dan si juru masak yang memualkan itu, ia pikir
kebanyakan pelaut yang mau bekerja di kapal ini tentu juga manusia yang
tidak sedap dipandang.
Bangun kapal ini sangat kukuh, cuma ada sebuah tiang layar, sekarang layar
sudah berkembang dan tertiup angin, ada layar buritan juga sudah
dikembangkan, kapal laju dengan cepat.
Untuk pertama kalinya Lamkiong Peng merasakan kehidupan berlayar di
samudera raya ini, lambat laun terlupalah segala rasa kesalnya, sebaliknya
timbul rasa serba baru. Namun juga diharapkannya selekasnya mencapai
tempat tujuan, dengan begitu dapat berdaya untuk selekasnya pulang ke
Kanglam.
AMANAT MARGA
Jilid 16
Kebanyakan pelaut yang bekerja di kapal ini memang berwajah bengis,
semuanya memandang Lamkiong Peng dengan sorot mata yang waswas
serupa binatang buas lagi mengincar mangsanya.
Diam-diam Lamkiong Peng juga waspada, sebaliknya Hong Man-thian seperti
tak mengacuhkan.
Setiap pagi pada waktu sang surya baru terbit, tentu Hong Man-thian berdiri di
haluan kapal, selain itu dia hanya duduk minum arak di dalam kabin, makin
jarang dia bicara, terkadang sehari suntuk tidak buka suara.
Selain minum arak sendiri, setiap kali ia pun membujuk Lamkiong Peng ikut
minum beberapa cawan arak yang keras itu. Tapi bila melihat si tukang masak

kudisan itu membawakan makanan, hati Lamkiong Peng lantas mual, tanpa
didorong dengan arak memang sukar menelan makanan itu.
Tukang masak kudisan itu sungguh sangat jorok, terkadang tidak cuci muka
sehingga masih belekan. Untungnya dia memang mahir mengolah makanan
yang sangat meneocoki se-lera sehingga biarpun menjemukan masih dibiarkan
saja.
Sepanjang hari tukang masak itu hanya tertawa linglung, segala urusan tak
diacuhkannya, bila melihat Lamkiong Peng ia suka menyengir, sebaliknya
Lamkiong Peng cepat melengos.
Beberapa hari kapal berlayar, laut luas tanpa kelihatan tepinya.
"Apakah masih jauh?" demikian Lamkiong Peng sering bertanya.
"Sabar, setibanya di sana akan kautahu sendiri," jawab Hong Man-thian
dengan dingin. Makin lama kapal berlayar, air muka orang tua itu pun tambah
kelam, arak yang diminum juga tambah banyak, dengan sendirinya ini agak
janggal, sebab umumnya orang yang pulang, semakin dekat rumah sendiri
seharusnya semakin senang, kenapa dia justru tambah murung?
Malam ini ombak sangat besar, Lamkiong Peng lebih banyak minum arak dan
terkenang kepada ayah-bunda, hati merasa kesal. Ia melangkah ke atas
geladak dan bersandar di haluan, dilihatnya bintang bertaburan di langit,
suasana sepi, hanya debur ombak yang terdengar.
Selagi pikirannya merasa lapang, sekonyong-konyong didengarnya di bawah
geladak suara tertawa orang yang khas, menyusul ada suara orang melangkah
tiba, suara tertawa itu dikenalnya sebagai suara si tukang masak kudisan itu.

Sesungguhnya Lamkiong Peng tidak suka melihat orang ini, kening bekerenyit
dan berusaha menggeser ke bagian yang gelap. Waktu berpaling, terlihat dua
kelasi menarik si kudisan naik ke atas geladak.
Mestinya Lamkiong Peng hendak tinggal pergi, demi melihat gerak-gerik ketiga
orang ini rada mencurigakan, tergerak pikiran Lamkiong Peng, cepat ia
sembunyi di balik kabin.
Kedua kelasi yang kurus dan gesit itu bernama Kim Siong, seorang lagi si juru
mudi bernama Tio Cin-tong, kedua orang ini adalah kelasi yang
berpengalaman dan disegani di antara sesama kelasi, maka Lamkiong Peng
kenal mereka.
Begitu melompat ke geladak dan memandang sekellling, dengan pelahan Kim
Siong lantas mendesis, "Sepi!"
"Coba periksa lagi, apakah juru mudinya kawan sendiri atau bukan?" sahut Tio
Cin-tong.
Mereka bicara dengan bahasa sandi kaum bandit, hal ini menimbulkan curiga
Lamkiong Peng.
Dilihatnya Kim Siong lantas memeriksa keadaan sekitar geladak, ia sempat
lewat di samping tempat sembunyi Lamkiong Peng, lalu lapor kepada
kawannya, "Aman, hanya juru-mudi berada di kabinnya dan agaknya sedang
mengantuk."
Tio Cin-tong mengangguk, si juru masak kudisan diseretnya ke samping
setumpukan barang muatan. Si kudisan kelihatan sempoyongan, muka pun
pucat.

"Sret", Tio Cin-tong melolos belati yang terselip pada sepatu bot yang
dipakainya, lalu belati yang mengkilat itu bergerak gerak di de-pan hidung si
juru masak, desisnya dengan meyeringai, "Kauingin mati atau minta hidup?"
"Dengan . . . dengan sendirinya ingin hidup," jawab si kudisan dengan
gelagapan karena ketakutan.
"Kalau ingin hidup harus tunduk kepada perintahku," kata Tio Cin-tong. "Terus
terang, kami ini adalah tokoh-tokoh yang biasa membunuh orang tanpa
berkedip, jika memang biasa berkacimpung di lautan tentu pernah kaudengar
nama kami, aku inilah Hai-pa (singa laut) Tio-lotoa dari Hai-pa-pang (kawanan
bajak singa laut) di sekitar Ciu-san!"
Juru masa itu tampak malengak, jawabnya dengan gemetar, "Ah, tentu . . .
tentu hamba akan menurut."
"Memangnya kau berani membantah," je-ngek Tio Cin-tong. Lalu ia
mengeluarkan satu bungkusan kertas dan berkata pula, "Nah, besok
hendaknya kaumasak kuah ayam yang sedap. separoh isi bungkusan ini
masukkan ke dalam kuah dan separoh lagi campurkan pada makanan lain."
"Eh, kuah ayam kan tidak perlu pakai merica." ujar si kudisan dengan lagak
seorang nhli masak.
"Sialan," omel Tio Cin-tong. "Ini bukan merica melainkan racun, tahu?!
Barangsiapa makan sititik saja, dalam sekejap akan mampus dengan matahidung-
telinga-mulut keluar darah, maka ingat, jangan kauanggap sebagai
gula dan kaumakan, sesudah urusan beres dan tuanmu mendapat rejeki
nomplok, tentu kaupun akan kami bagi sedikit. Tapi bila urusan ini sampai
bocor, biar kami cencang dirimu lebih dulu dan kami buang ke laut sebagai
umpan ikan. Tahu?"
Juru masak itu menjura dan mengiakan berulang.

Kim Siong tertawa, katanya, "Menurut pengamatanku selama beberapa hari
ini, rejeki ini memang sukar dinilai jumlahnya- Cuma si buntung itu jelas
bukan lawan yang empuk, juga si makhluk aneh itu, malahan si bagus itu pun
kelihatan bisa sejurus dua."
Tio Cin-tong mendengus, "Hm, kecuali mereka, apakah kaukira Ong Ti, Sun
Ciau dan si jurumudi Li-losam itu adalah orang baik? Kurasa tujuan mereka
ikut dalum kapal ini juga tidak bermaksud baik, besar kemungkinan mereka
pun sahabat kalangan hitam. Cuma mereka bukan segaris dengan kita, besok
kita kerjai mereka sekalian."
Mereka bicara dengan lirih, namun dapat didengar jelas oleh Lamkiong Peng,
diam-diam anak muda itu terkejut dan bersyukur juga, "Untung kudengar tipu
muslihat mereka, kalau tidak bukan mustahil akan dikerjai mereka."
Selagi berpikir, sekonyong-konyong dari sebelah kiri terdengar suara
mendesir, sesosok bayangan orang melayang tiba.
Langsung pendatang ini mendengus, "Hm, Tio-lotoa, keji amat hatimu, sampai
kami bersaudara juga akan kaukerjai?"
Air muka Tio Cin Tong berubah, ia melompat mundur sambil membentak,
"Siapa?"
Bayangan orang itu melangkah maju, tertampak wajahnya yang kaku, tangan
besar kaki panjang. dia inilah Li-losam, si juru mudi.
Tio Cin-tong dan Kim Siong siap siaga, sebaliknya Li-losam seperti tidak
mengacuhkannya, pelahan ia melangkah ke sana dan berucap "Anjing kudisan,
serahkan racunnya tadi?"

Juru masak kudisan itu ketakutan dan sembunyi di tengah tumpukan barang
muatan sehingga mirip anjing kudisan memang.
Belum lagi si juru masak menjawab, mendadak Tio Cin-tong membentak, "Kau
serahkan jiwamu!"
Sekali belati terangkat segera ia hendak menerjang maju.
"Nanti dulu," seru Li-losam mendadak. "Rupanya engkau tidak tahu maksudku,
kuminta racun ini tidaklah berniat jahat, Hendaknya ingat, si buntung itu tokoh
macam apa, masa dia dapat dibereskan dengan sebungkus racun begini saja?
Jika ketahuan, engkau bisa mati konyol malah. Lekas lemparkan racun itu ke
dalam laut, biarlah kuatur rencana lain untuk membereskan mereka."
Tio Cin-tong urung menyerang, tapi mulutnya tetap garang, "Hm, kau ini apa,
aku Hai-pa Tio-lotoa harus tunduk padamu?"
"Hm, jadi tidak kaukenal diriku?" jengek Li-losam, mendadak ia melangkah
maju lagi dan mendesiskan dua-tiga kata dengan lirih.
Seketika air muka Tio Cin-tong berubah, badan gemetar dan "trang", belati
pun jatuh, ucapnya dengan terputus-putus, "Hah . . . engkau . . . mengapa . .
. . "
"Tidak perlu banyak omong, lekas kembali ke kamarmu dan tidur saja, tiba
saatnya tentu akan kuberitahukan padamu," ujar Li-losam, "Hai-pa-pang
kalian telah bekerja dengan susah-payah, tentu takkan kubikin rugi kalian."
Terpaksa Tio Cin-tong mengiakan dan melangkah pergi dengan menarik Kim
Siong.

Si juru makan kudisan juga mau ikut pergi dengan takut-takut, mendadak Lilosam
mencengkeram lengannya sambil membentak, "Kurangajar! Kauberani
berlagak dungu di depan tuanmu? .... Serahkan nyawamu!"
Berbareng itu sebelah tangannya terus mengliantam kepala orang.
Lamkiong Peng menjadi heran apakah mungkin si kudisan ini samaran seorang
tokoh persilatan?
Dilihatnya juru masak itu ketakutan hingga terkulai lemas di lantai, pukulan Lilosam
tampaknya segera akan membuat batok kepalanya hancur tapi dia
masih diam saja. Tak terduga pukulan Li-losam itu mendadak berhenti
setongah jalan, dia hanya menepuk pelahan pada pundak si kudisan dan
berkata, "Jangan takut, aku hanya mencoba dirimu saja. Nah, pergilah
sekarang!"
Apa yang diperbuat dan apa yang di-bicarakannya air mukanya tidak pernah
berubah, tetap kaku dm dingin. Habis bicara ia lantas kembali ke tempat
kemudi.
Si kudisan lantas merambat turun ke bawah geladak, sinar matanya melirik
sekejap ke tempat sembunyi Lamkiong Peng seperti tidak sengaja.
Melihat sekeliling tiada orang lagi, pelahan Lamkiong Peng menyelinap kembali
ke kamarnya, tapi baru saja dia msnarik pintu ka-mar, tiba-tiba diketahuinya
dalam kegelapan sepasang mata mencorong sedang menatapnya, orang
seperti sudah sejak tadi menunggunya di balik pintu, Lamkiong Peng terkejut,
segera ia siap menghadapi ssgala kemungkinan. Tapi setelah diamati, kiranya
dia bukan lain daripada si makhluk aneh yang dipanggil "Jitko"' itu.
Jitko menyengir sehingga kelihatan barisan giginya yang putih panjang serupa
taring itu. lalu melangkah pergi.

Kejut dan heran Lamkiong Peng, ia pikir apakah makhluk aneh ini pun
mendergar percakapan orang orang tadi? Mengapa dia tidak bertindak
sesuatu?
ia lantas masuk ke dalam kabin dan mencari Hong Man-thian, dilihatnya orang
tua itu asyik minum arak di bawah cahaya lampu yang sudah redup, orang dua
cacat ini seakan-akan tidak tidur dan juga tidak makan nasi, dia seperti
dilahirkan melulu untuk minum arak saja.
Tanpa menoleh ia menegur Lamkiong Peng, "Belum tidur? Apo mau minum
dua cawan?"
"Sekarang Cianpwe boleh minum sepuasnya, selanjutnya mungkin tidak dapat
minum lagi."' kata Lamkiong Peng.
Hong Man-thian tertawa, "Masa di dunia ini ada sesuatu urusan yang dapat
membuatku tidak minum arak Wah, rasanya aku jadi ingin tahu apa
urusannya?"
Habis bicara ia menenggak lagi satu cawan.
"Apakah Cianpwe tahu kelasi kapalmu ini ,adalah kawanan bajak yang biasa
main bunuh dan rampok?" kata Lamkiong Peng, lalu diceritakannya apa yang
dilihat dan didengar tadi.
Siapa tahu Hong Man-thian tetap tenang saja.
Dengan kening bekerenyit Lamkiong Peng berkata pula,"Meski wanpwe juga
tidak menguatirkan gangguan penjahat itu, tapi setelah kutahu maksud jahat
mereka, sedikit banyak harus mengawasi gerak-gerik mereka."
"Memangnya kaukira aku tidak tahu," ja-wab Hong Man-thian dengan tergelak.
"Sejak mereka menginjak kapal ini segera kutahu mereka tiada seorang pun

orang baik. Hanya si kudisan yang kelihatan linglung itu bukanlah sekomplotan
mereka, sebab itulah kusuruh di kudisan menjadi juru masak. Namun aku
tetap mengawasi gerak-gerik mereka, untuk menjaga segala kemungkinan, di
dalam arak sudah kutaruh obat penawar segala macam racun, makanya setiap
kali makan kusuruh kauminum dua-tiga cawan untuk berjaga bilamana
diracun, apabila mereka berani main kekerasan, haha. itu berarti mereka
mencari mampus sendiri. Kau lihat sepanjang hari aku selalu minum arak, apa
kaukira aku bisa mabuk?"
Diam-diam Lamkiong Peng menghela napas, ucapnya. "Kehebatan Cianpwe
sungguh sukar dibandingi siapa pun . . . . "
Hong Man-thian tertawa bangga, lalu berkata pula, "Sebenarnya aku cuma tua
keladi dan dapat melihat segala sesuatu dengan lebih jelas, bila usiamu juga
setingkat diriku tentu akan kaurasakan segala tipu muslihat di dunia ini tidak
lebih hanya begini-begini saja. Cuma Li-losam itu tampaknya memang seorang
tokoh yang tidak boleh diremehkan, entah dia berasal dari orang macam apa?"
"Orang ini pasti mempunyai asal-usul tertentu, tapi di depan Locianpwe
masakah dia mampu berbuat sesuka hatinya?" ujar Lamkiong Peng.
"Tidak peduli bagaimana asal-usulnya, yang jelas dia suruh orang she Tio
jangan menaruh racun dalam makanan, hal ini menandakan dia cukup cerdik,"
ujar Hong Man-tliian. "Padahal betapa hebatnya racun atau obat bius, di mana
pun dia campurkan, jika tidak kuketahui hal ini kan berarti sia-sia hidupku
selama sekian puluh tahun di dunia ini."
"Apakah Cianpwe tidak ingin membongkar tipu muslihat mereka?" tanya
Lamkiong Peng.
"Jika kubongkar rencana keji mereka dan membunuh mereka, lalu siapa yang
akan menjadi kuli di kapal ini?" Hong Man-thian tergelak. "Kawanan penjahat
ini memang sial bertemu dengan diriku."

Mendadak hati Lamkiong Peng tergerak, tanyanya, "Apakah mungkin Cianpwe
hendak menggunakan mereka untuk memenuhi daftar belanja yang terakhir
itu?"'
"Memang begitulah," ujar Hong Man-thian dengan tertawa. "Sudah. kuduga
ada orang akan mengantarkan dirinya sendiri. maka akupun tidak perlu repot
mencari-cari orang, setiba di sana, haha . . . ." mendadak ia berhenti tertawa
dan menenggak arak lagi.
Lamkiong Peng hanya menggeleng kepala saja, dirasakan orang tua ini selain
mengagumkan, juga menakutkan. Dilihatnya alis orang tua itu berkerut rapat,
serupa menanggung urusan ynng membuatnya masgul, maka arak terus
ditenggaknya secawan demi secawan.
Mendadak ia berpaling dan berkata pula kepada Lamkiong Peng, ''Selama
hidupku hanya ada suatu penyesalan, apakah kautahu urusan apa?"
Lamkiong Peng menggeleng dan menjawab tidak tahu.
"Brak", mendadak Hong Man-thian menggabrukkan cawan arak di atas meja,
lalu berkata, "Urusan yang membuatku menyesal selama hidup ini adalah
minum arak tidak pernah mabuk, biarpun kuminum sepanjang hari pikiranku
tetapjernih, sungguh aku sangat menyesal mengapa bisa terjadi begini."
"Minum tidak pernah mabuk, itu tandanya takaran minum Locianpwe yang luar
biasa, masa dibuat menyesal malah?" ujar Lamkiong Peng.
Kembali Hong Man-thian menenggak tiga cawan pula, lalu berkata, "Manusia
minum arak sebenarnya untuk menghilangkan rasa kesal. Orang yang takaran
minumnya kurang kuat, cukup sedikit minum saja sudah melupakan semua
kesedihan, dan inilah yang dicari. Orang yang kuat takaran minumnya, sudah
banyak arak yang diminum diminum dan tetap tidak mabuk, selain makan

waktu juga makan biaya, hal ini kan tidak menguntungkan. Jika serupa diriku,
selamanya minum tanpa mabuk, jelas ini kemalangan besar dan terlebih harus
disesalkan."
Uraian orang tua ini sungguh tidak dimengerti oleh Lamkiong Peng, ia tertawa
dan berkata, "Selama hidup Locianpwe gagah perkasa, namamu termashur di
seluruh jagat, sesudah tua pun tirakat di Cu-sin-tian, tempat yang serupa
sorgaloka bagi pandangan setiap orang persilatan, semua ini sukar dibandingi
orang lain, mengapa Locianpwe justru menggunakan arak untuk menghapus
rasa kesal?" "Cu-sin-tian ..." Hong Man-thian ber-gumam dengan terkesima,
mendadak ia memberi tanda, "Aku sudah dikawani oleh arak, boleh kaupergi
tidur saja."
Sungguh Lamkiong Peng tetap tidak mengerti mengapa orang tua itu selalu
murung.
Esok paginya ia naik ke atas geladak, dilihatnya Tio Cin-tong, Kim Siong dan
Li-lo-sam masih tetap bertugas seperti biasa. Dengan sendirinya ia pun
berlagak tidak tahu apa-apa, cuma diam diam ia pun gegetun bagi nasib
malang beberapa orang ini.
Selama brberapa hari terakhir ini Hong Man-thian juga tampak pendiam,
hanya cara minum araknya tambah banyak.
Melihat orang tua itu semakin lama semakin lesu. hati Lamkiong Peng juga
ikut tertekan dan lesu serupa binatang buas di dalam kurungan itu.
Maklumlah, di tengah lautan makanan dan air minum adalah benda paling
berharga, dengan sendirinya tidak ada rangsum yang cukup bagi kawanan
binatang itu, ditambah lagi ombak besar yang mengombang-ambingkan kapal,
betapapun kawanan binatang itu pun mabuk sehingga binatang yang, biasanya
buas dan garang tersiksa hingga lemas dan lesu, sama sekali kehilangan
kegarangannya, sampai ssuara meraung pun jarang terdengar.

Memandangi Hong Man-thian dan memandang pula kawanan binatang buas
itu, tanpa terasa Lamkiong Peng menghela napas.
Layar mengembang, kapal terus laju di tengah lautan yang tiada kelihatan
ujung pangkalnya. Li-losam dengan wajahnya yang kaku itu duduk di pinggir
kapal dan sedang memancing ikan.
Menjelang magrib, Hong Man-thian juga membawa buli-buli arak dan
bersandar di tiang layar untuk menyaksikan orang mancing.
“Masa ikan laut juga mau dipancing?” tanya Lamkiong Peng dengan tertawa.
“Asal ada umpan, ikan dimana pun dapat dipancing,” ujar Hong Man-thian.
Belum lenyap suaranya, mendadak Li-losam menarik tali pancing, benar juga
seekor ikan kakap kena dikailnya,
"Aha, bagus, ikan ini pasti sangat lezat, cuma sayang di sini tidak ada ahli
masak serupa ibumu," kata Hong Man-thian dengan gegetun.
Menyinggung ibunya, Lamkiong Peng menjadi sedih, tapi segera ia tertawa
cerah. dan berucap, "Rasanya caraku masak pun lumayan."
"Apa betul?" Hong Man-thian menegas dengan girang.
"Tentu saja betul," jawab Lamkiong Peng. Untuk membuat senang hati orang
tua ini, dia benar-benar bawa ikan hasil kaitan Li-losam itu ke dapur.
Hendaklah maklum, kepandaian memasak pun diperlukan kungfu (sesuatu
keahlian disebut kungfu, jadi arti kungfu tidak identik dengan ilmu silat) yang
khas, antara lain cara memotong, bahannya, apinya, rempah-rempahnya

semuanya memerlukan kepandaian khusus.
Bakat Lamkiong Peng memang tinggi, selain ilmu silat dan kesusastraan,
dalam hal masak memasak ia pun belajar dan cukup menguasainya.
Maka tidak seberapa lama seporsi Ang-sio-hi sudah di bawa keluar, ternyata
memang sangat hebat, baik warna, bau maupun rasanya, semuanya
memenuhi selera Hong Man-thian, sembari makan Ang-sio-hi berulang- ulang
ia menenggak arak, hanya sebentar saja seekor ikan sudah tersisa kepala dan
ekornya saja.
"Kenapa kausendiri tidak makan ang-sio-hi buatan sendiri?" sesudah kenyang
makan baru Hong Man-thian ingat kepada Lamkiong Peng yang sejak tadi
hanya menyaksikan dia makan.
Dengan tersenyum Lamkiong Peng menyumpit ekor ikan, ekor ang-sio-hi
biasanya kering dan rasanya seperti keripik, dengan nikmatnya anak muda itu
mengunyah keripik ekor ikan itu. Ia pun gembira melihat Hong Man-thian
makan Ang-sio-hi dengan bernafsu.
Waktu menoleh, Hong Man-thian melihat si makhluk aneh "Jitko" berdiri di
samping dan biji lehernya naik turun, tampaknya hampir mengiler, dengan
tertawa ia berseru, "Apakah kaupun ingin makan? Ambil saja kepalanya!"
'Tanpa disuruh lagi segera Jitko comot kepala ikan terus dijejalkan ke dalam
mulut dan dikunyah kulit bersama tulangnya, caranya makan sungguh rakus
serupa binatang buas saja.
"Haha., ibunya ahli masak, anaknya juga lumayan . . . . " selagi Hong Manthian
ber-seru memuji, mendadak suaranya berubah serak dan mata melotot,
ia meraung, "Wah, celakal"
Langsung sebelah tangannya terus mencangkeram ke arah Lamkiong Peng.

Karena bingung, Lamkiong Peng diam saja, tapi gerakan Hong Man-thian itu
ternyata bukan menyerang melainkan merampas sisa tulang ikan yang masih
belum habis dimakan anak muda itu.
"Bangsat, aku jadi terjebak juga olehmu!" bentak Hong Man-thian dengan
beringas, langsung ia sambitkan tulang ikan yang dirampasnya itu ke arah Lilosam
yang memegang pancing dan berdiri di pinggir kapal sana.
Namun cepat Li-losam sempat menegas. Hong Man-thian lantas berteriak,
"Makanan beracun! Lekas binasakan kawanan bangsat ini!"
Serentak ia melompat bangun dan tongkat berputar
Tanpa ayal si makhluk aneh Jitko segera bertindak, ia meraung serupa
binatang buat terus menerkam salah seorang anggota Hai-pa-pang itu seakanakan
pecah nyalinya dan tidak tahu menghindar, segera ia terpegang,
kesepuluh jarinya Jitko mencengkram masuk ulu hatinya, baru saja ia menjerit
sudah lantas binasa.
Waktu Jitko menarik tangannya, isi perut orang itu kena dirogoh keluar
seluruhnya, bahwa isi perut korbannya terus dilalapnya serupa binatang buas
benar-benar. Kelihatan sinar matanya yang jelilatan, mukanya penuh
berlepotan darah, sembari tertawa aneh ia menerkam lagi korban yang lain.
Keruan orang itu ketakutan setengah mati, segera ia hendak kabur, tak
terduga belum lagi lenyap suara tertawanya, mendadak kedua mata jitko
mendelik terus jatuh terjengkang, darah tampak mengucur dari mulutnya.
Sekali hantam Lamkiong Peng juga membinasakan seorang lelaki lalu,
bergebrak dengan Kim Siong, tapi baru satu-dua gebrakan tiba-tiba kepala
terasa pening dan hampir tidak tahan. Diam-diam ia mengeluh bisa celaka.

Betapapun ia tidak ingin jatuh di tangan kawanan bandit ini, segera ia
bergerak hendak terjun ke laut.
Siapa tahu mendadak Tio Cin-tong sempat menarik ikat pinggangnya, katanya
sambil menyeringai, "Huh, masa kauingin mati dengan enak!"
Di sebelah sana secepat terbang Hong Man-thian lantas menubruk Li-losam,
melihat betapa lihai orang tua itu, mau-tak-mau Li-losam merasa takut. Ia
tidak berani melawan tapi melompat mundur sambil menjengek, "Hm, tua
bangka, masakah engkau tidak segera roboh?!'
Namun gerakan Hong Man-thian terlampau cepat baginya, sekali raih baju Lilosam
sempat dipegangnya.
Saking kagetnya Li-losam meronta sekuat nya, "bret", baju robek, pecah nyali
Li losam, tanpa pikir ia terjun ke dalam laut untuk menyelamatkan diri.
Serentak Hong Man-thian membalik tubuh, tongkatnya menyambar seorang
lelaki. Perawakan ornng ini sangat kekar, mukanya juga buas, ia bermaksud
menangkis, tapi tahu-tahu dia kena dicengkeram Hong Man-thian dan diangkat
terus dilemparkan hingga terbanting di geladak. Ia hanya sempat meraung,
segera kepala pecah dan otak berhamburan. Tanpa berhenti Hong Man-thian
menubruk pula ke arah Kim Siong. Ia menyadari keracunan, maka niatnya
membinasakan segenap penjahat di atas kapal. Tak terduga racun yang masuk
tubuhnya teramat banyak, obat bius ini pun lain dari-yang lain, biarpun dia
memiliki lwekang tinggi tetap tidak tahan. Terasa mata berkunang-kunang,
bayangan Tio Cin-tong mulai berubah dua dan dari dua menjadi empat dan
lebih banyak lagi, semuanya melayang kian kemari di sekitarnya.
Ia tahu tidak sanggup tahan lagi, sungguh celaka, seorang gagah perkasa
harus jatuh di tangan orang pengecut tak dikenal. Mendadak ia meraung
sambil melemparkan tongkatnya, lalu roboh terkapar. Serangan terakhir ini
menggunakan segenap sisa tenaganya, tentu saja dahsyat sekali.

Ketika tongkat itu menyambar tiba, Kim Siong seperti tidak tahu cara
bagaimana harus menghindar. Rupanya nyalinya pecah saking takutnya
sehingga dia melongo seperti patung, keruan .dadanya ditembus oleh tongkat
baja dan terpantek di lantai kapal.
Semua ini terjadi dalam sekejap, kelasi kapal yang beruntung tidak mati
menjadi ke takutan juga, semuanya gemetar.
Yang tersisa tanpa cedera hanya si juru masak kudisan saja yang sibuk
bekerja di dapur, ketika mendengar ramai-ramai di geladak dan jeritan ngeri,
buru-buru ia naik ke atas untuk melihat apa yang terjadi.
Dalam pada itu Lamkiong Peng, Hong Man-thian dan si makhluk aneh Jitko
sudah roboh terkapar, hanya burung beo saja yang masih terbang kian
kemari, dan hinggap di sana-sini sambil menjerit, "Lucu . . . haha, lucu . . . . "
Dengan basah kuyup Li-losam merangkak ke atas kapal lagi, setelah
memandang sekeliling, ia berucap, 'Mendingan, cuma mati empat. Lemparkan
mereka ke laut, cuci bersih papan geladak, esok akan kubereskan mereka bertiga."
Meski mengalami kejadian ini, dia -tetap tenang saja, ia tutuk beberapa kali
pada tubuh Lamkiong Peng,. Hong Man-thian dan si makhluk aneh Jitko, ini
pun tidak mengurangi rasa kuatirnya, ditambahi lagi ikatan tali yang ketat
pada tubuh ketiga tawanannya, habis ini barulah ia tinggal pergi.
Tio Cin-tong dan Iain-lain tentu saja sangat kagum atas hasil tipu Li losam itu,
mereka lantas membersihkan lantai geladak.
Kiranya tadi Li-losam menggunakan obat bius yang paling keras pada umpan
pancing, ikan yang dapat dikailnya itu makan umpan yang penuh racun,
karena tidak menduga akan hal ini, apalagi Hong Man-thian melihat sendiri

ikan itu baru saja ditangkap dari dalam laut, ang-sio hi juga diolah sendiri oleh
Lamkiong Peng, maka tanpa sangsi ia makan ikan saus manis itu.
Tak tersangka bahwa ikan yaug dianggapnya pasti bersih itu justru telah
ditaruhi obat bius yang tidak dapat dipunahkan oleh sembarangan ohat
penawar, ketika Hong Man-thian menyadari apa yang terjadi dan bermaksud
menolak keluar racun yang masuk tubuh, namun sudah kasip, akhirnya tokoh
yang tidak ada bandingannya toh kena diringkus orang tanpa berdaya.
Setelah lewat sekian lama, ketika hari sudah pagi, Li-losam sudah kenyang
tidur dan keluar dari kamarnya, lalu ia menyuruh orang menyiram Hong Manthian
bertiga dengan air dingin, akhirnya barulah mereka siuman.
Segera Lamkiong Peng merasakan cahaya matahari yang menyilaukan mata,
namun tubuh sama sekali tidak dapat berkutik.
Terdengar Li-losam mendengus, "Hm, ha-nya dengan sedikit perangkap saja
kalian lan-tas terjebak, rupanya hanya begini saja kelihaian kalian"
Waktu Lamkiong Peng memandang ke sana, terlihat Hong Man-thian dan si
makhluk aneh Jitko juga teringkus seperti dirinya dan tidak dapat bergerak.
Tertampak Li-losam memegang cambuk panjang, ujung cambuk menuding
hidung Hong Man-thian dan lagi menegur, 'Eh, Hong Man-thian, apa pula yang
akan kaukatakan, konon kungfumu maha lihai, kenapa sekarang kaupun mati
kutu dan jatuh dalam cengkeramanku?"
Meski sudah siuman, namun sejauh ini Hong Man-thian tidak membuka mata,
kini medadak ia mendengus, "Hm, aku memang sudah bosan hidup, mau
bunuh atau mau sembelih boleh terserah kepadamu?"
"Sudah berpuluh tahun kutunggu kesempatan seperti ini, baru gekarang kau
jatuh dalam tanganku, bila kubiarkan kaumati dengan enak rasanya aku kan

berdosa terhadap diriku sendiri," suaranya sebenarnya serak, tapi dua kalimat
terakhir itu mendadak berubah tajam nyaring,
Seketika Hong Man-thian terbelalak, muka berubah pucat dan berseru, "Hah,
kira-nya . ."
"Haha, bagus, akhirnya dapat kaukenali diriku, cuma sudah terlambat!" seru
Li-losam sambil tergelak. Berbareng cambuknya menggeletar di udara.
Mendadak Lamkiong Peng mendengar suara raungan harimau, kiranya di
belakangnya adalah kurungan harimau. Tapi karena bunyi cambuk Li-losam,
harimau itu lantas mendekam dan tidak berani bertingkah lagi.
Setelah mendengar suara Li-losam yang melengking nyaring dan
kepandaiannya menjinakkan harimau, hati Lamkiong Peng tergerak, tiba-tiba
teringat olehnya akan seorang, seru-nya, "Hah, Tek-ih Hujin!"
Li-losam terbahak-bahak, "Haha, bagus, kaupun mengenali diriku!"
Sembari bicara terus berpaling kesana, waktu ia menoleh kembali ke sini,
tahu-tahu mukanya yang dingin kaku serupa orang mati itu mendadak
berubah menjadi wajah yang cantik molek, wajah Tek-ih Hujin yang
mempesona itu.
Diam-diam Lamkiong Peng gegetun, "Pantas dia dapat menaruh racun pada
ikan segar dan pandai menundukkan harimau, kiranya dia samaran Tek-ih
Hujin. Sekarang kujatuh di tangan orang ini, entah bagaimana nasibku nanti."
Tek-ih Hujin lantas-mendekati Hong Man-thian, pelahan ia meraba mukanya
dan berkata dengan tertawa, "Hong-lotaucu, sudah lama aku merindukan
dirimu, cara bagaimana akan kuperlakukan dirimu sekarang, apakah dapat
kauterka?"

Mendadak ia mengeluarkan sebuah botol kecil, sambungnya, "Apa kautahu apa
isi botol ini?"
Hong Man-thian memejamkan mata dan tidak menggubrisnya.
Tek-ih Hujin mengerling genit, ucapnya dengan terkekeh, "Hihi, biar
kuberitahukan, isi botol ini adalah obat perangsang lelaki yang paling kuat,
barangsiapa asalkan menciumnya sedikit, seketika nafsu berahi akan
berkobar. Apakah kaumau menciumnya sedikit saja?!"
Waktu menyamar tadi mukanya kelihatan kaku dingin, tapi sekarang setiap
kali bicara wajahnya kelihatan sangat mempersona dan menggiurkan, gayanya
itu membuat Tio Cin-tong dan Iain-lain sama terkesima.
Namun Hong Man-thian tetap diam saja. Tek-ih Hujin lantas menyodorkan
botol kecil itu dan berkata, "Eh, coba endus sedikit, sesudah mencium bubuk
ini, meski sekujur badan tidak dapat berkutik, rasanya tentu luar biasa,
kujamin engkau pasti tidak pernah mengalami perasaan demikian . . . . "
Lamkiong Peng belum berpengalaman, ia tidak tahu apa yang bakal terjadi, ia
coba memandang ke sana,
Dilihatnya botol keeil yang dipegang Tek-ih Hujin semakin mendekati hidung
Hong Man-thian, dengan mata terpejam Hong Man-thian tetap tidak
menghiraukannya, namun apa daya, sama sekali ia tidak dapat bergerak.
Pada saat itulah mendadak seorang menjerit, harimau juga meraung kaget
karena jeritan itu, serentak Tek-ih Hujin berpaling sehingga botol yang
dipegangnya sedikit miring dan isinya tertuang setitik dan kabur terbawa
angin.
Kiranya si juru masak kudisan itulah yang menjerit, waktu Tek-ih Hujin
berpaling, dengan tergegap ia berkata, "Ken . . . kenapa engkau berubah

menjadi orang perempuan? Ap .... apakah engkau dewa yang dapat berubah
wu-jud?"
Tek-ih Hujin tersenyum senang, "Kaulihat aku cakap tidak?"
"Ya, cakap . . . cakap sekali!" jawab si kudisan dengan menyengir.
"Mendingan kaupun dapat membedakan orang cakap dan tidak," ujar Tek-ih
Hujin dengan senang. "Baiklah, lekas pergi membuatkan beberapa macam
makanan enak, sebentar boleh kaupandang diriku lebih lama." Si kudisan
tertawa dan berlari pergi. Tek-ih Hujin membetulkan rambutnya, katanya pula
dengan tertawa, "Hong-lotaucu, coba kaulihat, seorang linglung saja
mengetahui aku .... "
Belum lanjut ucapannya, sekilas diketahuinya seorang kelasi kekar di
sebelahnya sedang menatapnya dengan sorot mata merah beringas serupa
binatang buas lagi mengincar mangsanya
Ia terkejut dan menegur, "Kaumau apa?" Tubuh lelaki itu tampak gemetar,
muka merah beringas, mendadak ia pentang kedua tangan terus menubruk
maju, karena tidak tersangka sangka, tubuh Tek-ih Hujin terpeluk dengan
erat, dengan kalap lelaki itu berteriak, "Kuharap . . . kuminta engkau . . . aku
tidak tahan • . . . "
Kiranya karena isi botol tadi sedikit tertuang dan terbawa angin, lalu terisap
oleh kelasi itu, obat itu adalah obat perangsarg yang sangat keras, seketika
mengobarkan nafsu birahinya sehingga membuatnya beringas dan lupa
daratan.
Sama sekali tak terpikir oleh Tek-ih Hu-jin bahwa kelasi itu berani
merangkulnya, seketika ia terpeluk dengan erat, dirasakan badan orang panas
seperti dibakar, bagian tertentu juga membuat hatinya terguncang. Pada

dasarnya perangai Tek-ih Hujin memang cabul, dia tidak marah, sebaliknya
malah tertawa sambil mengomel, "Orang mampus . . . . "
"Bluk", akhirnya dia roboh tertindih lelaki kalap itu.
Mendadak Tio Cin-tong menubruk maju, sekali menikam dengan belatinya,
kontan punggung kelasi itu tertembus, bentaknya, "Berani kurangajar
terhadap Hujin?!"
Lelaki itu meraung keras, tubuh membalik dan binasa.
Muka Tek-ih Hujin tampak merah, cepat ia melompat bangun, omelnya, "Siapa
suruh kaubunuh dia?"
Tio Cin-tong melenggong, tapi Tek-ih Hujin lantas berkata pula, "Ah, kutahu,
tentunya engkau cemburu!"
Mendadak sebelah tangannya menampar tehingga Tio Cin-tong jatuh terguling.
Dengan muka kereng Tek-ih Hujin menyapu pandang sekejap para kelasi,
bentaknya dengan bengis, 'Nah, inilah contohnya! Asalkan kalian bekerja
dergan baik dan menurut perintah, tentu akan kuberi imbalan yang setimpal.
Cuma, siapa pun tidak boleh cemburu, tahu?"
Lalu ia mendekati Tio Cin-tong dan menjulurkan tangan.
Muka Tio Cin-tong tampak pucat dan melongo bingung.
Tak terduga Tek-ih Hujin hanya meraba perlahan pada mukanya yang
digampar tadi. mendadak ia berkata dengan tertawa, "Lemparkan keparat itu
ke laut, pergilah pegang kemudi, kerjalah baik-baik, tahu?"
Seperti mendapat pengampunan, cepat Tio Cin-tong mengiakan dan berlari
pergi.

Semua kejadian i!u dapat di saksikan oleh Lamkiong Peng, ia hanya geleng
kepala, ia merasa bila orang jatuh dalam cengkeraman perempuan seperti ini,
sungguh lebih baik mati daripada hidup.
Dilihatnya si juru masak kudisan telah muncul kembali dengan membawa
enam macam hidangan, bau sedapnya sungguh menusuk hidung.
"Biarlah di sini juga kita makan siang, sembari maksud ingin kulihat permainan
si tua bangka she Hong itu," kata Tek-ih Hujin.
Dengan cepat para kelasi lantas mengatur meja kursi, Tek-ih Hujin menuang
secawan arak dan dibawa ke depan Hong Man-thian katanya, "Sedap tidak
baunya?
Lalu ia mendekati Lamkiong Peng dan si makhluk aneh serta mengiming iming
arak itu di depan hidung mereka.
Makhluk aneh Jitko menyeringai, mata pun melotot,
Tek-ih Hujin memperlihatkan botol kecil tadi, katanya pula dengan tertawa,
"Jangan kuatir, saat ini pendirianku sudah berubah, biar kalian merasakan dulu
siksaan orang kelaparan dan kehausan, habis itu baru merasakan betapa
celakanya orang yang dirangsang nafsu berahi."
Mendadak ia memberi tanda kepada Tio Cin-tong, katanva, "Ikat dulu
kemudinya, marilah kita minum bersama untuk merayakan kemenangan ini!"
Kecuali Lamkiong Peng bertiga, yang berada di atas kapal kini tersisa tujuh
orang saja, jadi tepat untuk memenuhi satu meja.
Kawanan anggota Hai-pa-pang meski biasanya sangat garang, tapi
menghadapi Tek-ih Hujin, mereka benar-benar mati kutu dan juga kebat-kebit.

Yang paling senang jelas adalah Tek-ih Hujin sendiri, bahwa musuh utama
selama hidupnya kini dapat ditawan, sungguh hal ini harus dirayakan. Ia
angkat cawan arak dan berseru, "Wahai Hong Man-thian, betapa gagahnya
engkau dahulu ketika membakar Ban-siu-san-ceng kami dan aku terusir
hingga tiada tempat berteduh. Dua bulan yang lalu, di Lamkiong-san-ceng
hampir juga jiwaku melayang di tanganmu, tapi sekarang di mana
kegagahanmu?"
Sernbari berolok-olok tidak lupa pula menenggak arah, dia memang ayu,
setelah minum arak wajahnya semakin menggiurkan.
Kawanan berandal Hai-pa-pang semua masih takut-takut, sesudah minum
secawan arak, mereka bertambah tabah dan segera makan minum tanpa
pantang lagi.
Si juru masak kudisan sibuk naik turun membawakan hidangan dan tambah
arak, namun lirikan matanya tidak pernah melepaskan gerak-gerik Tek-ih
Hujin.
Tiba-tiba Tek-ih Hujin berbangkit dan mendekati Lamkiong Peng, sambil
mengamati anak muda itu ia bertanya, "Adik cilik, berapa usiamu tahun ini?"
Lamkiong Peng diam saja.
Tek-ih Hujin tertawa, katanya pula. "Ai, kenapa malu-malu bicara dengan Taci,
bila..."
Belum lanjut ucapannya, mendadak terdengar suara gemerincing. mangkuk
piring sama tumpah, ketujuh lelaki itu sama roboh terjungkal, semuanya
mabuk serupa orang mampus.

"Huh, manusia tak berguna, baru dua-tiga cawan sudah menggeletak," omel
Tek-ih Hujin. Tak terduga mendadak ia pun mengeluh, "Celaka!"
Cepat ia melompat ke samping si juru masak, segera ia cengkeram
pergelangan tangannya.
"Ada . . . ada apa?" tanya si kudisan dengan melongo.
"Budak kurang ajar!" bentak Tek-ih Hujin. "Kauberani menaruh racun dalam
arak, lekas serahkan obat penawarnya, kalau tidak . . . ."
"Hehehehe!" tiba-tiba si kudisan terkekeh. "Akhirnya kautahu juga? Cuma,
semuanya sudah terlambat."
Dia menirukan ucapan Tek-ih Hujin tadi, tentu saja air muka Tek-ih Hujin alias
si nyonya senang menjadi pucat seketika.
Semangat Lamkiong Peng dan Hong Man-thian sama terbangkit juga melihat
kejadian itu.
Terdengar si kudisan lagi tertawa, katanya, "Obat ini kuterima dari kalian,
sekarang kugunakan untuk kalian, ini kan adil dan pantas?"
Di tengah tertawa juru masak itu, Tek-ih Hujin segera roboh terkulai.
"Hehe, nyonya senang ternyata tidak lama senangnya," si kudisan berolokolok
pula, kelakuannya tetap angin-anginan,
Diam-diam Lamkiong Peng merasa gegetun, sungguh sukar dinilai dari
lahiriahnya, tak terduga orang yang bermuka jelek dan kelihatan bodoh ini
ternyata juga memiliki kecerdasan. Kecuali dia rasanya juga jarang ada orang
yang sanggup mengelabui mata Tek-ih Hujin.

Dengan langkahnya yang lamban si juru masak kudisan lantas mendekati
Lamkiong Peng bertiga dan membuka tali pengikatnya. Tapi karena hiat-to
mereka masih tertutuk sehingga belum dapat bargerak.
"Budi besar tidak berani balas dengan ucapan terima kasih, untuk selanjutnya
masih diharapkan bantuan Anda untuk membuka hiat-to kami," ucap Hong
Man-thian dengan sungkan.
"Hiat-to apa maksudmu?" si kudisan bertanya dengan ketolol-tololan.
"Ai, jika. Anda sengaja menyembanyikan kepandaian, terpaksa aku pun tak
dapat memaksa," ujar Man-thian dengan gegetun.
"Mana . . . mana hamba tahu hiat-to apa segala, tapi kalau Loyacu mau
memberi petunjuk, mungkin . , . mungkin bisa kucoba," kata si kudisan.
Hong Man-thian pikir jika orang memang sengaja berlagak bodoh, apa
salahnya kukatakan cara membuka hiat-to yang harus dilakukannya. Maka
dengan pelahan ia lantas menguraikan bagian mana yang harus dipijat dan
ditutuk, juru masak yang kotor itu menuruti petuinjuk itu dan meraba-raba
tubuh Lamkiong Peng, walaupun begitu diperlukan sekian lamanya baru anak
muda itu dapat dibebaskan dari kelumpuhannya.
Hidung Lamkiong Peng tereium bau busuk kudis di tubuh orang, rasanya ingin
tumpah. Untung segera ia merasa dirinya audah dapat bergerak, tanpa tunggu
lagi ia melompat bangun sehingga si kudisan tertumbuk sempoyongan.
Cepat Lamkiong Peng membuka hiat-to Hong Man-thian yang tertutuk, begitu
melompat bangun Man-thian lantas menjura kepada si kudisan.
"Ah. Loyacu jangan banyak adat," ujar si juru masak dengan gugup.

"Yang kuhormati bukan karena jiwaku kau selamatkan, tapi karena engkau
telah membebaskan diriku dari hinaan dan aniaya musuh,"ujar Hong Manthian.
Tiba-tiba terlihat si Jitko sedang menyeret salah seorang kelasi tadi ke tepi
kapal.
"He, akan kau apakan dia?" tegur Lam-kiong Peng.
"Buang saja ke laut untuk umpan ikan." jawab Jitko.
"Nanti dulu,' kata Lamkiong Peng. "Apa pun juga kita tidak sampai
diperlakukan melampaui batas, biarlah jiwa mereka boleh di ampuni saja,
Taruh saja mereka di dalam sekoci dan hanyutkan sekoci itu, terserah kepada
nasib mereka akan selamat atau ditelan laut, bukan lagi urusan kita,"
Hati Lamkiong Peng memang luhur, betapapun ia tidak sampai hati
melemparkan orang-orang yang belum mati itu ke laut.
Hong Man-thian menggeleng kepala atas jalan pikiran anak muda itu. Si juru
masak kudisan juga tidak membantah, segera mereka menurunkan sekoci dan
memindahkan tujuh lelaki dan seorang perempuan itu ke dalam perahu kecil
itu dan dihanyutkan di tengah laut.
Ketika mereka bertiga tertawan, Tek-ih Hujin telah memerintahkan kapal
berlayar kembali ke arah semula, sekarang kapal juga tetap laju menuju
pulang.
Lamkiong Peng pikir juru masak kotor ini sungguh banyak terdapat keanehan,
ia coba tanya, "Bila tidak keberatan, apakah boleh kami tanya siapa nama
Anda yang sebenar-nya?"

"Ah, nama orang rendah semacam hamba mana ada harganya untuk disebut,"
jawab si kudisan tetap dengan tertawa seperti orang bo-doh. Cuma nama
Lamkiong-kongcu justru sudah pernah hamba dengar dari seorang kawanmu."
"Hah, apa betul, siapa dia?" tanya Lamkiong Peng.
Juru masak itu memandang jauh ke sana, katanya kemudian, "Orang itu
bukan saja kawan Kongcu, bahkan boleh dikatakan orang terdekat Kongcu."
"Eh, jangan-jangan engkau kenal Liong-toakoku?" Lamkiong Peng menegas
dengan girang.
"Bukan," kata si juru masak.
' Lantas siapa? Apakah Ciok-siko, atau Su-ma-lopiauthau atau Loh-sacek . . . .
" begitu-lah sekaligus la menyebut beberapa nama orang yang ada hubungan
rapat dengan dirinya, malahan nama Kwe Giok-he, Ong So-so dan Yap Manjing
juga disebutnya.
Namun si juru masak tetap menggeleng dan menjawab bukan.
Lamkiong Peng menjadi bingung sendiri. la pikir orang yang rapat dengan
dirinya selain yang sudah disebutkan tinggal Bwe Kim-soat yang juga boleh
dikatakan orang yang ada hubungan rapat denganku. Tapi dia berwatak
dingin, juga suka pada kebersihan. misalnya sslama sepuluh tahun ia tersekap
di dalam peti mati, jika orang lain tentu sudah mati konyol, tapi dia dapat
keluar dengan hidup dan pakaiannya masih tetap putih bersih. Mustahil dia
tidak jijik melihat orang dekil dan ber-bau busuk semacam ini, apalagi mau
bicara dengan dia?
Karena itulah akhirnya ia menggeleng dan mengaku, "Wah, rasanya aku tidak
ingat lagi ada orang lain yang ada hubungan dekat denganku."

juru masak ia memandang jauh tanpa bicara. sekian lama barulah itu berkata
pula dengan pelahan, "Masa selain orang-orang itu Kongcu tidak mempunyai
sahabat lain lagi?"
"Rasanya tidak . . . tidak ada lagi," jawab Lamkiong Peng.
Juru masak itu termenung sejenak pula, mendadak ia tertawa, katanya, "Ah,
tahulah aku, tentu orang itu sengaja mengaku sebagai sahabat baik Kongcu."
Lalu ia melangkah ke pinggir kapal dan mengelamun sendiri.
Hong Man-thian yang sedang pegang ke-mudi itu memandang Lamkiong Peng
sekejap selagi dia hendak bicara, mendadak si juru masak berteriak, "Wah,
eelaka!"
"Ada apa?" tanya Man-thian cepat.
Jura masak kudisan itu menuding badan kapal, waktu Hong Man-thian
melongok ke bawah, seketika air mukanya juga berubah hebat. Kiranya badan
kapal yang terapung di permukaan air kini tinggal tiga-empat ka-ki saja.
"Hah, jadi kapal ini lagi tenggelam dengan pelahan?!" teriak Lamkiong Peng
kuatir.
Hong Man-thian tidak menjawab, sekali lompat, tubuhnya yang gede itu
melayang ke bawah kabin, Meski tongkatnya sudah terlempar ke laut, namun
gerak-geriknya tetap cepat dan gesit.
Segera Lamkiong Peng menyusul ke sana, setiba di bawah dek, keduanya
saling pandang dengan muka pucat. Ternyata di antara celah-celah kabin
sudah mulai merembes air laut, makin lama makin keras, sebagian barang
sudah terapung di permukaan air. Malahan rembesan air segera berubah
deras, sebentar saja sudah sebatas paha Lamkiong Peng.

"Lekas naik ke atas!" seru Man-thian.
Keduanya lantas melompat lagi ke atas geladak, Jitko yang lagi pasang mata
di puncak layar juga merambat turun.
"Bagaimana?" tanya si juru masak dengan kuatir.
"Kapal bocor, air laut sudah merembes. masuk dan hampir menggenangi dek
bawah, tidak sampai setengah jam lagi kapal ini akan tenggelam," tutur Hong
Man-thian.
Juru masak itu tampak bingung, mendadak ia mengentak kaki dan berkata.
"Pantas sebelum Tek-ih Hujin memperlihatkah jejaknya, setiap hari dia pasti
mendatangi dek, agaknya diam-diam dia sudah membuat lubang di dasar
kapal dan setiap hari harus disumbat. Bilamana akal kejinya berhasil, lubang
itu tetap dibikin rapat, jika gagal usahanya, lubang itu akan membesar dan
semuanya akan terkubur didalam laut. Saat Ini tentu penyumbat lubang itu
sudah jebol dan air laut merembes masuk dengan deras di luar tahu kita."
"Sungguh keji amat perempuan itu," gerutu Lamkiong Peng dengan gemas.
Lantas apa daya kita?"
"Kecuali meninggalkan kapal, masa ada jalan lain?" jengek Man-thian.
"Ai, jika aku tidak memberikan sekoji itu, tentu . ..." si juru masak juga
menyesal.
"Jiwa kami diselamatkan olehmu, buat apa engkau menyecal?" kata Man-thian.
"Mati-hidup manusia sudah tercatat lakdir, apa arti-nya mati bagi kita. Cuma
akhirnya aku tetap mati di tangan Tek-ih Hujin, sampai di akhirat dia tetap
merasa senang, sungguh aku tidak rela."
"Biar kuperiksa lagi, mungkin bisa . . . . " kata Lamkiong Peng.

'Bisa apa?" ujar Man-thian, "Perbekalan dan air minum sudah terendam air
laut, biar-pun kita terapung dan tidak karam juga akan mati kelaparan dan
kehausan."
Lamkiong Peng melenggong dan urung melangkah pergi.
"Hong-locianpwe sungguh seorang yang tidak gentar mati," ujar si juru masak.
"Aku memang sudah bosan hidup, apa artinya mati bagiku, cuma sayang,
kalian yang masih muda ini harut ikut menjadi korban,"' ucap Man-thian
dengan menyesal. "Jitko, coba kaucari beberapa guci aruk lagi, sebelum mati
marilah kita minum sepuasnya."
Makhluk hidup ltu tampaknya juga tidak menghiraukan hidup atau mati, ia
pergi ke bawah dan mendapatkan dua guci arak, kata-nya, "Tinggal ini saja.
yang lain sudah pecah tertumbuk."
Segera Hong Man-thian membuka guci arak dan menenggak arak, kapal
tenggelam dengan cepat, kawanan binatang buas itu agak-nya juga
merasakan gelagat tidak enak, semula mereka lesu, sekarang lantas meraungraung
di dalam kurungan.
Lamkiong Peng ikut minum arak dan mendadak menghela napas.
"Kenapa engkau menghela napas?" tanya Man-thian. "Toh setiba di Cu-sin-to,
hidupmu juga tidak lebih baik daripada mati, Jika dapat mati sekarang kan
lebih menyenangkan malah''
Seketika Lamkiong Peng tidak dapat me-rasakan makna yang terkandung
dalam ucapan orang tua itu, katanya, "Jelek-jelek Wanpwe bukanlah manusia
yang tamak hidup dan takut mati, soalnya Wanpwe mendadak teringat kepada

seorang, maka merasa menyesal. Bilamana orang itu ikut di atas kapal ini,
tentu akal keji Tek-ih Hajin takkan terlaksana."
"Siapa yang kaumaksudkan?" tanya si juru masak kudisan dengan mata
terbeliak.
Pelahan Lamkiong Peng menjawab, "Bw; ...." "Bwe Kim-soat maksudmu?"
tukas si kudisan mendadak dengan badan tergetar.
"Kaukenal dia?' tanya Lamkiong Peng dengan heran
Juru masak itu tidak menjawab, ucapnya dengan gemetar, "Dalam keadaan
dan di tempat seperti ini, mengapa engkau teringat kepadanya?"
Kembali Lamkiong Peng menghela napas gumamnya, "Teringat padanya, masa
aku teringat padanya?"
Sekilas pandang dilihatnya tubuh si kudisan gemetar dan berlinang air mata,
tentu saja Lamkiong Peng heran, tanyanya, "Kenapa kau . .. . "
"Dapat mendengar ucapanmu ini, mati pun aku . . . . "
Belum lanjut ucapan si juru masak, mendadak makhluk aneh Jitko berteriak,
"Aha, itu dia, ada daratan . . . daratan .... "
Seketika si juru masak urung bicara lebih lanjut dan tanya Jitko, "Mana ada
daratan?"'
"Ya, memang ada daratan," Man-thian ikut bicara. "Meski manusia adalah
makhluk yang paling pintar, tapi daya cium tak dapat menandingi binatang.
Coba kaulihat, kawanan binatang buas itu kelihatan lain, tentu dari angin laut
dapat mereka mencium bau daratan."

Sementara itu Jitko telah merambat lagi ke puncak tiang layar, sesudah
memandang jauh sejenak, la!u merosot turun lagi, diambilnya sebuah ember
dan turun ke dek, sementara itu badan kapal tinggal satu kaki saja di
permukaan air.
Pada saat bahaya rnendadak menemukan titik terang seharusnya mereka
bersyukur dan gembira, tapi Hong Man-thian dan si juru masak kudisan tidak
kelihatan senang sedikit pun.
Lamkiong Peng menjadi sangsi, ia coba tanya, "Tadi kaubilang setelah
mendengar ucapanku, lalu bagaimana?'
Juru masak itu termangu-mangu, sejenak kemudian baru menjawab,
''Kubilang mati pun engkau menggelikan dan kasihan"
Ia berdiri dan melangkah ke pinggir kapal, katanya pula, "Dari nama kawanmu
yang kausebut tadi jelas semuanya pendekar ternama di dunia persilatan,
bahkan Yap Man-jing, Ong So-so dan Iain-lain juga anak perempuan yang
cantik dan lamah lembut, hanya Bwe Kim-soat saja, hm, dia berhati kejam,
namanya busuk, usianya juga jauh lebih tua, tapi engkau justru teringat
padanya, bukankah menggelikan dan harus dikasihani."
Air muka Lamkiong Peng berubah hebat, mendadak ia menenggak arak dua
cawan, pelahan ia mendekati si kudisan dan berkata, "Apa pun yang
kaukatakan, namun kutahu dia adalah perempuan yang paling lembut, paling
berbudi. Demi untuk menolong orang lain dan membela orang lain, dia rela
menderita sendiri, terhina dan tersiksa, dan mengorbankan nama baik sendiri.
Meski usianya lebih tua daripadaku, namun aku rela mendampingi dia
selamanya."
Tubuh si kudisan tampak tergetar, tapi tidak berpaling.

Dengan kasih mesra Lamkiong Peng memandangi kepala orang yang penuh
borok itu, ucapnya pelahan, "Dia sebenarnya seorang yang suka kepada
kebersihan, tapi demi diriku dia rela membikin kotor sendiri. Dia seorang yang
tinggi hati, lantaran diriku dia tidak sayang merendahkan diri. Dia begitu baik
padaku, namun selagi aku masih hidup dia tidak mau bicara terus terang
padaku melainkan rela menderita sendirian. Sekarang aku menghadapi jalan
buntu, apakah dia masih tetap . . .. "
Belum habis ucapannya berderailah air matanya.
Dahi si kudisan juga kelihatan berkerut-kerut, air mata pun meleleh
membasahi mukanya yang dekil itu.
Mendadak Lamkiong Peng meratap, "O, Kim-soat, mengapa engkau sampai
hati mengelabuiku sejauh ini, memangnya engkau belum cukup berkorban
bagiku ..."
'"O, adik Peng .... " tiba-tiba si kudisan membalik tubuh dan mendekap anak
muda itu.
Dengan erat Lamkiong Peng merangkulnya, kini tak dihiraukan !agi mukanya
yang kotor dan baunya yang busuk, sebab ia tahu semua itu tidak lain hanya
bualan belaka, samaran Bwe Kim-soat yang cantik dan harum itu.
"Selamanya aku takkan berpisah lagi denganmu, apa pun yang terjadi dan
betapapun komentar orang atas diriku, aku akan berkumpu! denganmu," ratap
si kudisan alias Bwe Kim-soat.
"O, mengapa tidak sejak mula kaukatakan padaku, mengapa engkau lebih
suka menderita sendiri?" keluh Lamkiong Peng.
"Engkau tidak tahu, berapa kali ingin kubongkar penyamaranku ini dan
memberitahukan siapa diriku, tapi aku .... "

Begitulah kedua orang saling mengutarakan rasa rindu dan sedih masingmasing
tanpa menghiraukan keadaan sekitarnya.
Hong Man-thian sendiri duduk termenung tanpa menghiraukannya, betapa
keras hatinya juga terharu oleh cinta murni kedua orang itu.
Sekonyong-konyong terdengar suara "blang" yang keras disertai guncangan
badan kapal, kiranya telah kandas, kelihatan jaraknya dengan pantai yang
berpasir kuning itu cuma beberapa puluh tombak saja dan genangan air laut
belum lagi mencapai geladak.
Kegirangan pertemuan kembali setelah berpisah sekian lama, kegembiraan
karena hilangnya salah paham, ditambah lagi kegirangan lolos dari maut,
sungguh sukar dilukiskan perasaan Lamkiong Peng dan Bwe Kim soat pada
saat itu.
Mereka lantas berenang dan mendarat di pulau karang yang tak diketahui
namanya serta tak berpenghuni itu.
Melihat kemesraan kedua orang itu, hati Hong Man thian juga ikut senang dan
juga terharu.
Dengan sendirinya Bwe Kim soat sudah membersihkan semua obat rias yang
membuat wajah dan tubuhnya kelihatan kotor dan berbau itu, kembalilah
wajah aslinya yang cantik, cuma sekarang kelihatan agak kurus dan pucat,
namun semakin menambah kemolekannya.
Pulau karang ini ternyata cukup subur di bagian pedalamannya, pepohonan
menghijau permai, langit cerah tanpa awan, suasana penuh gairah hidup,
segala urusan duniawi yang kotor saakan-akan tak dikenal di sini.

Pulau ini banyak tumbuh pohon kelapa, Hong Man-thian duduk mengelamun di
bawah pohon sambil minum arak.
Mendadak ombak mendampar dengan dahsyat, kapal yang kandas itu
terdampar ke pesisir. Kawanan binatang buas di dalam kurungan menjadi
garang lagi demi melihat daratan. semuanya meraung-raung.
Jitko telah mengumpulkan berbagai buah-buahan liar dan beberapa biji kelapa,
akan tapi setelah dibuka airnya sudah kering.
Meski makhluk aneh ini kelihatan bodoh, dia ternyata tidak mau diam, selalu
ada-ada saja yang dikerjakan, ia sibuk mercari sesuatu di dalam kapal,
akhirnya ditemukan sebuah kampak, dengan alat ini dia membuat lubang
badan kapal yang bocor itu terlebih besar, dengan begitu air yang
menggenang di dalam kapal dapat mengalir keluar dengan cepat.
Lalu dia membongkar papan geladak kapal dan mendapatkan bahan pelekat
yang biasanya tersedia di dalam kapal, dipaku dan di-tambalnya lubang yang
bocor itu hingga rapat.
Setelah sibuk setengah harian, akhirnya ia tertawa. dan berkata, "Sebentar
bila air naik pasang, kapal ini akan menyurut kembali ke tengah laut, dengan
demikian kita pun akan terbawa berlayar lagi daripada mati konyol di sini.
Terutama sepasang pengantin baru kita bolehlah berbulan madu di tengah
lautan."
Lamkiong Peng dan Bwe Kiam soat saling genggam tangan dan saling pandang
dengan terharu dan entah apa yang harus diucapkan.
Benar juga, menjelang magrib, air laut naik pasang, lambat-laun kapal itu
terapung pula di permukaan laut, Jitko memegang kemudi dan pasang layar,
pelahan kapal itu melaju lagi ke tengah laut.

Perbekalan di dalam kapal sudah hampir ludes rusak atau hanyut terbawa air
laut, yang masih tersisa dan umpamanya sekadar dapat digunakan juga
takkan tahan lebih lama dari beberapa hari saja. Terutama air minumnya,
tiada tersisa setetes pun.
Untunglah si makhluk aneh dapat menernukan dua guci arak yang belum
peeah.
Arak selain dapat melepas dahaga juga sekadar dapat digunakan sebagai
tangsal perut.
Dan begitulah tiga hari sudah lampau pula, pada malam hari keempat, selagi
mereka putus asa karena sudah kehabisan perbekalan, tampaknya mereka
hanya menanti ajal saja.
Tiba-tiba si makhluk aneh dapat menemukan lagi seguci arak yang semula
disangka sudah pecah, ternyata pada dasarnya masih tersisa setengah guci.
Seperti menemukan barang mestika saja mereka bergantian meneguk isi guci
itu.
Tak terduga mendadak Hong Man-thian berteriak, "Wah, celaka!"
Rupanya dia memiliki lwekang paling tinggi, maka dia paling cepat merasakan
sesuatu yang tidak beres pada arak itu.
Nyata arak itu beracun, agaknya memang sudah diatur oleh Tek-ih Hujin,
beberapa guci arak yang tersedia itu telah ditaruh racun, telah
diperhitungkannya bilamana tidak tenggelam dan kandas, tentu juga
penumpangnya akan kehabisan perbekalan dan segala apa di-makan dan
diminum, maka arak ini pun tidak terkecuali akan dihabiskan oleh mereka dan
tak terhindarlah akan keracunan.

Di antara mereka berempat lwekang si makhluk aneh paling cetek, dia yang
menjadi korban lebih dulu. Tahu-tahu matanya mendelik, lalu roboh binasa.
Tentu saja Lamkiong Peng kaget, waktu barpaling, dilihatnya muka Hong Manthian
juga hitam kelam, orang tua itu sudah kaku dengan mata terpejam.
"Hei, kenapa Hong-locianpwc." seru Lamkiong Peng kuatir.
"Aku . . . . " belum sempat bicara apa pun, Hong Man-thian tampak berkejang
dan gigi gemertuk, tanpa ayal Lamkiong Peng menutuk hiat-to tidurnya supaya
tidak merasakan siksaan yang melampaui batas.
Orang tua itu sempat mengucapkan "terima kasih', lalu roboh terkapar.
Waktu ia menoleh, sungguh kagetnya tak terkatakan, tanpa pamit Bwe Kimsoat
ternyata juga sudah rebah seperti orang tidur nyenyak, ujung mulutnya
malah kelihatan mengulum senyum.
"Hah ..." ia tidak tahu apa yang harus diperbuatnya, ia rangkul tubuh Bwe
Kim-soat dengan erat, ia pun ingin selekasnya menyusulnya ke alam baka.
Malam tiba, kegelapan yang tidak ada ujungnya, Lamkiong Peng merasa dunia
ini sedemikian seram, makin lama makin mencekam, namun rasanya racun
dalam tubuhnya tidak cepat bekerjanya.
Betapa pun ia tidak tahu mengapa bisa terjadi begini.
Kiranya tempo hari ketika di hutan perkampungan Lamkiong-san-ceng dia
pernah mengisap sedikit bubuk racun Tek-ih Hujin yang membinasakan Busim-
siang-ok itu, waktu itu kotak yang dilemparkan Tek-ih Hujin itu
menyambar lewat di sisinya dan tanpa terasa terendus bau harum olehnya,
cuma saat itu tidak diperhatikan kejadian ini.

Racun yang tersiap olehnya itu tidak segera bekerja, sebab racun buatan Tekih
Hujin itu merupakan racun maha dingin, sebaliknya sejak kecil Lamkiong
Peng berlatih lwekang yang mengutamakan hawa murni maha panas, maka
setitik racun dingin itu dapat ditahannya.
Sekarang racun dalam arak yang diminum itu justru racun maha panas, sebab
itulah Bwe Kim-soat tidak tahan, ia roboh dengan tubuh panas membara. Bagi
Lamkiong Peng, sekaligus terjadi pertarungan dua macam racun dalam
tubuhnya, tentu saja hal ini tidak dirasakan oleh Lamkiong Peng sendiri.
Akan tetapi apa pun juja akhirnya racun meluas juga dan membuatnya
menggigil, pikiran pun mulai kabur, mata berkunang-kunang.
Pada waktu dia' hampir kehilangan kesadaran, tiba-tiba dari kejauhan
permukaan laut sana berkumandang suara orang berteriak, "Hong Man thian,
apakah engkau sudah pulang?!"
Suaranya kedengaran sangat jauh, namun bagi telinga Lamkiong Peng
dirasakan juga begitu jelas.
la hanya sempat berpikir, "Ah, barangkali sudah sampai di Cu-sin-to!"
Habis itu ia lantas tidak ingat apa pun.
Pada saat itulah dalam kegelapan yang tak berujung itu ada setitik sinar lampu
bergoyang-goyang mendekati mengikuti gelom-bang ombak, menuju ke kapal
maut ini....
Di ujung pulau sana mencuat tinggi tebing yang curam, di atas tebing berdiri
sebuah ru-mah yang berdmding tinggi dan kelihatan se-ram. Sekeliling rumah
tiada terdapat daun jendela.di tengah malam sunyi hanya kelihatan setitik
cahaya lampu yang berkelip serupa api setan menghias ruangan yang luas.

Di sekeliling ruang luas ini berderet sebaris meja, semuanya memakai taplak
meja warna hitam. dalam jarak dua-tiga kaki jauhnya tertaruh sebuah
tempurung dan di depan ada sebuah Lengpai (papan dengan tulisan nama
orang mati), suasana kelihatan seram.
Di tengah ruangan besar yang seram ini tertaruh sebuah dipan, ternyata yang
rebah di atas dipan adalah seorang perempuan cantik, mukanya pucat, mata
terpejam, agaknya dalam keadaan tidak sadar. Dari cahaya lampu yang guram
itu samar-samar kelihatan dia adalah Bwe Kim-soat yang mati keracunan itu.
Sumbu lampu yang semakin guram itu bergoyang, ruangan sunyi senyap,
sekonyong-konyang Bwe Kim-soat yang rebah di atas di-pan itu bergerak
pelahan.
Kelihatan dia membuka mata, sorot mata nya menampilkan rasa kaget dan
ngeri, ia menyapu pandang sekelilingnya, lalu merangkak bangun.
Sesungguhnya dia sudah mati atau hidup? Setan atau manusia?
Dengan langkah terhuyung ia berjalan ke pojok sana, merambat tepi meja dan
menegakkan tubuh, lalu dipandangnya Lengpai yang berjajar di atas meja itu.
Ia melengak selolah membacanya, sebab ia kenal nama-nama yang tertulis
pada beberapa
Lengpai itu adalah tokoh-tokoh dunia persilatan masa lampau.
Ia heran,tempat apakah ini? Mengapa Lengpai para tokoh ini terkumpul di sini?
Padahal tokoh-tokoh itu berlainun perguruan, bahkan berlainan jaman,
mengapa bisa terdapat dan dipuja di sini. Ia coba memandang lagi lebih lanjut,
mendadak air mukanya berubah, ia menjerit tertahan dan jatuh terduduk, air
mata pun bercucuran, ratapnya. "O, masa engkau . . . engkau sudah
meninggal?"

Kiranya lengpai terakhir yang dibacanya itu tertulis, "Lamkiong Peng . . . ."
Nama ini serupa belati tajam yang menikam hulu hatinya, seketika tubuhnya
serasa dingin.
Tiba-tiba terdengar suara "kriuut", pintu ruangan besar itu terbuka sedikit,
sesosok tubuh tinggi kurus dengan jenggot panjang putih da berbaju belacu
menyelinap ke dalam serupa badan halus saja.
Meski sinar matanya meneorong terang, tapi tajam dingin tanpa perasaan.
Mukanya juga dingin kaku serupa mayat yang baru merangkak keluar dari
liang kubur.
Ia pandang Bwe Kim-soat sekejap, lalu menegur kaku, "Engkau sudah
mendusin?"
"Mendusin? .... Memangnya aku tidak mati?" tergetar hatinya dan tangis pun
tak ter-tahan lagi. Jika dia tidak mati, lantas bagai-mana dengan Lamkiong
Peng, apakah anak muda itu sudah mati?
Si kakek baju belacu hanya memandangi dia menangis tanpa mencegahnya.
"Di mana dia . . . di mana jenazahnya? Aku . . . aku ingin mati bersama dia,"
jerit Kim-soat sambil nienubruk maju.
Seperti tidak bergerak, tahu-tahu kakek itu menggeser ke samping, sahutnya
ketus, "Apakah tangismu sudah cukup?"
"Lamkiong Peng, di . . . di mana dia . . . ," ratap Kim-soat.

"Jika belum cukup menangis boleh kau menangis sepuasnya," kata si kakek.
"Kalau sudah cukup menangis, segera kubawamu ke atas kapal, urusan lain
tidak perlu kautanya."
Mendadak Kim-soat berbangkit, ia mengusap air mata, tanpa bicara ia terus
melangkah keluar.
"He, kaumau ke mana?" tanya si kakek. "Engkau tidak mau menjawab, biar
kucari dia sendiri, peduli apa denganmu?" jengek Kim-soat, berbareng ia
melangkah lagi.
AMANAT MARGA
Jilid 17
"Hm, berani kaukeluar selangkah laja dari pulau ini, segera kopotong kakimu,"
jengek si kakek, dia tidak kelihatan bergerak, tahu-tahu sudah mengadang di
depan Bwe Kim-soat.
Padahal ginkang Kim-soat terkenal tiada tandingannya di dunia persilatan,
maka dapat dibayangkan betapa hebat ginkang si kakek baju belacu ini.
"Jika tidak lekas naik kapal dan meninggalkan tempat ini. jangan menyesal bila
kuperlakukan dirimu dengan kasar," kata si kakek pula.
Kim-soat melengak, tapi biji matanya lantas berputar, mer dadak ia tersenyum
manis, katanya, "Ai, kakek setua ini masakah menggoda anak perempuan, apa
tidak malu?"
Kakek itu melenggong, belum lagi ia bersuara mendadak Kim-soat melayang
lewat di sisinya dan menerjang keluar pintu yang setengah terbuka itu.

Sementara itu fajar sudah hampir menyingsing, di tengah keremangan pagi itu
kelihatan sebuah sungai mengalir di bawah tebing sana. pepohonan lebat di
kanan-kiri sungai.
Selagi ia hendak melompat turun dari tebing, sekonyong-konyong orang
membentak dari belakang. "Sungguh perempuan licin . . . . "
Terdengar suara ungin menderu, tahu-tahu si kakek berbaju belacu sudah
mengadang di depannya dengan sikap dingin.
"Dia sudah mati, mengapa tidak kauperlihatkan jenazahnya kepadaku . . . . "
ucap Kim- soat dengnn terputus dan air mata pun bercucuran.
Namun kakek itu sama sekali tidak ter-haru, mendadak ia bertepuk tangan,
dari bawah tebing segera melompat ke atas seorang lelaki kekar bertelanjang
badan, hanya pada pinggangnya tertutup sepotong kulit macan tutul, sekujur
badan pun berbulu kuning se-hingga tampak mengkilat, mulut lebar dan
bersiung, sekilas pandang akan disangka orang hutan, terdengar ia berkata,
"Cukong ada perintah apa?"
"Sudahkah semua barang muatan dibongkar?" tanya si kakek.
Orang itu menjawab dengan hormat, "Belum!"
"Lekas selesaikan tugasmu!" si kakek memberi tanda, secepat kilat mendadak
ia menutuk Nui-moa-hiat di pinggang Bwe Kim-soat.
Karena tidak tersangka, Kim-soat menjerit dan roboh terkulai.
Si kakek lantas membawanya kembali ke ruangan seram itu dan ditaruh di
atas dipan, jengeknya, "Begitu selesai barang muatan di-bongkar segera
kunaikkan dirimu ke atas kapal, sudah kuselamatkan jiwamu dengan obat
mujarab, masakan engkau belum puas?"

Pelahan ia menutup pinta ruangan dan ditinggalkan pergi
Dengan penuh rasa curiga diam- diam Kim-soat mengerahkan tenuga dalam,
tadi waktu tutukan si kakek menyentuh pinggang, sedikit banyak ia sempat
mengelak sehinga tutukan kakek itu tidak tepat teluruhnya, maka setelah
berusaha sebentar, dapatlah ia melancarkan hiat-to yang tertutuk itu.
Segera ia melompat bangun dan berlari ke depan pintu, ia coba membukanya,
ternyata pintu tembaga itu digembok dari Juar. Dinding sekeliling juga terbuat
dari tembaga, kecuali pintu ini tiada jalan tembus lain.
Seketika ia merasa seperti tersekap kembali di dalam peti mati itu, kecuali
ukuran ruang-an ini jauh lebih luas daripada peti mati, rasa seramnya sungguh
tiada ubahnya berada di dalam peti mati.
Sesudah berusaha dan tetap tiada jalan keluar, akhirnya ia putus asa, kembali
ia ber-linang air mata, dicarinya lagi meja pemujaan tadi, abu jenazah di
dalam kaleng masih ter-letak di situ, tiba-tiba terpikir olehnya, jika barang
muatan kapal belum dibongkar, kenapa jenazahnya sudah terbakar menjadi
abu?
"Dia belum mati, dia pasti tidak mati!' demikian timbul harapan baru.
Tiba-tiba terdengar suara pintu berbunyi pelahan, cepat ia menyusup ke
kolong meja sembahyang, tabir meja yang panjang itu da-pat mengalingi
tubuhnya.
Menyusul terdengar suara orang melang- kah ke dalam, terdengar suara si
kakek ber-baju belacu bersuara heran, "He, di mana orangnya? Huh,
memangnya dia tumbuh sayap dan dapat terbang pergi, apakah dia dapat
menghilang?"

Suaranya lantang, jelas dia Hong Mao-thian adanya.
"Selama ratusan tahun Cu-sin-to ini tidak pernah didatangi oleh orang
perempuan, jika kaubawa perempuan ini ke sini, engkau juga yang harus
membawanya pergi," jengek si ka-kek baju belacu.
"Tapi dia sudah menghilang, bukan mustahil engkau yang melepaskan dia
pergi," ujar Man-thian.
"Huh, dia justru bersembunyi di kolong meja di depanmu, begitu kita masuk
kulihat tabir meja masih bergoyang, memangnya dia dapat mengelabuhi aku?"
jengek si kakek.
Belum lenyap suaranya mendadak tabir meja tersingkap dan Bwe Kim-soat
melompat keluar, segera ia memegang bahu Hong Man-thian dan bersuara,
"Dia tidak mati bukan? Di mana dia sekarang?"
Air muka Hong Man-thian tampak dingin dan tidak bergerak, kini ia pun ludah
berganti baju belacu.
Mendadak si kakek tadi berseru, "Betul, dia memang belum mati, tapi selama
hidupmu jangan harap akan melihatnya lagi."
Sedih dan juga murka Bwe Kim-Soat. serentak ia menubruk maja dan hendak
menyerang si kakek.
Tapi Hong Man-thian lantas mengadang di depannya dan berteriak, "Ikut
padaku!'
"Ke mana?!" seru Kim-soat dan si kakek baju belacu tadi.
"Kubawa menemui dia," jawab Man-thian.

Kim-soat melenggong sejenak, serunya girang, "Apa . . . apa berul?"
"Tidak!" tukas si kakek baju belacu. Serentak Hong Man-thian berpaling ke
arah rekannya itu dengan sorot mata tajam.
Tapi kakek itu tidak menghiraukannya. katanya pelahan, "Hilang perasaan,
hilang nafsu, hilang nama, hilang keuntungan. Ke-empat pantangan besar
yang turun tumurun di Cu-sin-to ini masakah sudah kaulupakan?'
"Tidak, tidak pernah kulupakan," jawab Man-thian.
"Jika begitu, mengapa kau . . . . " "Sudah sejak 40 tahun yang lalu orang she
Hong tidak pernah memikirkan urusan nama, keuntungan dan mengenai orang
perempuan lagi, tapi dalam hal perasaan betapa-pun takdapat kuhapus.
Biarlah kubawa dia, menemuinya, segala akibatnya kutanggung sen-diri dan
takkan membikin susah padamu."
Kedua orang saling melotot dengan dingin, sampai sekian lama, akhirnya si
kakek baju belacu berkata, "Jika kaumau cari susah sendiri, terpaksa masa
bodoh . . . . " lalu ia ber-paling dan berkata kepada Kim-soat, "Cuma setelah
kaulihat dia, mungkin kaupun akan menderita."
Habis berkata ia lantas mendahului me-langkah pergi.
Bwe Kim-soat dan Hong Man-thian ikut di belakangnya, setelah menuruni
tebing dan membelok ke kiri, hanya belasan tombak jauh-nya msndadak
mereka berhenti.
"Sudah sampai," kata Man-thian.
Kim-soat berseru kegirangan dan memburu maju, tertampak di depansebuah
gua yang ge-lap terdapat pagar jeruji tembaga dengan kaki telanjang dan

berbaju belacu Lamkiong Peng tampak duduk bersila di balik pagar beruji itu,
kepalanya terbebat kain putih dan berlepotan darah.
Hati Kim-soat serasa disayat-sayat, ratap-nya, "Oo . . . apa dosamu, mengapa
mereka mengurungmu di sini?"
Kulit daging pada wajah Lamkiong Peng tampak berkerut-kerut menahan
derita, namun mata tetap terpejam.
"Siapa pun, begitu datang ke pulau ini harus bertapa selama seratus hari baru
boleh keluar dari sini,"kata Man-thian.
Kim-soat memegang ruji pagar tembaga itu dan berseru, "Mengapa engkau
tidak . . .tidak membuka mata, lihatlah . . . aku . . . aku yang datang!"
Namun kedua mata Lamkiong Peng tetap terpejam tanpa bersuara.
Kim-soat menggoyangkan pagar tembaga sehingga menimbulkan suara
nyaring, air mata pun berderai, ratapnya pedih, "Oo , . . mengapa engkau
tidak . . . tidak menggubris diri-ku? . . . . "
“Sekarang sudah kaulihat dia, jelas dia tidak menghiraukan dirimu lagi. maka
bolehlah kaupergi saja," kata si baju belacu.
Mendadak Kim-soat membalik tubuh, bertanya, "Baik aku akan pergi. Cuma
ingin kutanya padamu, engkau menawarkan racunku dan menolong jiwaku,
untuk ini apakah dia rela bersumpah takkan menghiraukan diriku lagi
seterusnya?"
"Hm, cerdik juga kau," jawab si kakek dengan dingin.
Dengan tersenyum pedih Kim-soat meman-ang Lamkiong Peng lagi dan
berkata, "Peng cilik, engkau salah, masa engkau tidak tahu aku rela mati

bersamamu, mati dalam pangkuanmu daripada diselamatkan oleh tangan yang
kotor ini?"
Muka Lamkiong Peng tampak berkerut lagi.
Tapi si kakek baju belacu lantas berucap, "Setelah meninggalkan pulau ini,
mau mati atau ingin hidup adalah urusanmu, yang pasti sekarang juga harus
lekas kautinggalkan pulau itu.
Sembari bicara segera ia pun menutuk hiat-to kelumpuhan Bwe Kim-soat.
Tak terduga mendadak Hong Man-thian menangkis tutukannya dengan tongkat
dan membentak, "Nanti dulu!"
"Hong heng, apakah engkau sudah lupa...."
"Lupa apa?" jengek Hong Man-thian.
"Masa sudah kaulupakan larangan keras di pulau ini?" kata si kakek. "Hanya
dengan kekuatan kalian berdua saja ingin kaulawan peraturan Cu-sin-to yang
kau kenal, apakah engkau bukan lagi mimpi? Jika sampai para Tianglo di
istana mengetahui tindakanmu, tatkala mana kalian pasti akan serba susah,
minta mati tak bisa, ingin hidup pun takkan diluluskan."
Air muka Hong Man-thian tampak pucat, tongkat ditarik kembali.
"Peng cilik," seru Kim-soat pula, "bukankah engkau mau mati bersamaku?
Lebih baik kita mati bersama daripada hidup tersiksa di sini. Bukalah matamu,
pandanglah diriku ....
Siapa tahu Lamkiong Peng tetap memejamkan mata saja.

"Orang hidup paling-paling cuma mati saja, memangnya sumpahmu begitu
penting?"
Namun Lamkiong Peng tetap diam saja.
"Hm kausendiri ingin mati.. tapi orang lain justru tidak mau," jengek si kakek
baju belacu.
Kim-soat termenung sejenak, mendadak ia mengusap air mata dan berucap,
"Baiklah, kupergi saja.
“Ikut padaku," kata si kakek baju belacu, keduanya lantas menuju ke tepi laut.
Remuk rendam hati Bwe Kim-soat. ia tidak menoleh lagi, air matanya tetap
berlinang tapi tidak lagi menitik.
Lamkiong Peng mendengar langkah si dia yang semakin menjauh dengan bibir
terkancing rapat, akhirnya ia pun meratap pelahan, "O, Kim-soat, aku . . . aku
bersalah padamu . . . . "
Hong Man-thian juga berdiri termangu seperti patung, ucapnya kemudian,
"Semoga dia dapat memahami kesusahan kita ....."
"Kutahu dia pasti akan benci padaku selama hidup," kata Lamkiong Peng
dengan menitikkan air mata. "Tapi aku tidak menyalahkan dia, sungguh aku . .
. aku ingin dia mengetahui untuk apakah aku bertindak demikian."
Apakah benar Bwe Kim-soat takkan tahu? Saat itu dia sudah mulai terombangambing
lagi di tengah lautan, mati atau hidup sukar diramal, mungkin dia akan
menanggung ke-hancuran hatinya itu telama hidup.
Akan tetapi untuk apakah kedua lelaki sejati serupa Lamkiong Peng dan Hong
Man-thian itu harus bertindak demikian?

_____________________________**********________________________
____
Gua itu gelap lagi lembab, sekeliling pe-nuh tumbuh lumut hijau, bila musim
panas penuh nyamuk dan semut.
Serupa orang mati saja Lamkiong Peng duduk di dalam gua, semula dia masih
kelihatan menahan penderitaan itu, tapi kemudian perasaannya serupa sudah
beku dan tidak memikirkan lagi apa yang menimpa dirinya.
Musim semi berubah musim panas, baju belacu yang dipakainya sudah robek,
kotor lagi berbau, sampai akhirnya hancur menjadi gombal juga tak terpikir
olehnya. Makanan yang setiap hari diantarkan oleh "orang hutan" itu juga
sukar ditelan, namun Lamkiong Peng dapat makan minum tanpa mengeluh.
Banyak terjadi perubahan pada sifiknya tanpa disadarinya, hanya diketahuinya
janggut-nya mulai tumbuh lebat dan membuatnya kelihatan banyak lebih tua.
Sejak hari itu dia tidak melihut Hong Man-thian lagi, juga si kakek berbaju
belacu. Hari berganti hari dan entah berselang berapa lama, suatu hari ketika
ia sedang duduk semadi, selagi segala apa terasa kosong, sekonyong-konyong
terdengar suara "srek", pagar tembaga itu terbuka, si kakek berbaju belacu
berdiri di depan gua dan berkata bepadanya, "Selamat, kini Anda resmi
menjadi anggota penghuni Cu-sin-to ini."
Meski di mulut ia mengucapkan selamat, namun sikapnya tiada rasa gembira
sedikit pun.
Dengan kaku Lamkiong Peng berdiri, sedikit pun dia tidak memandang orang
tua itu.
'"Mulai hari ini Anda boleh berganti tempat kediaman baru," kata pala si kakek.

Tanpa bicara Lamkiong Peng ikut dia menyusuri sungai dan menuju ke suatu
tempat yang rimbun, jalan tembus ini kelihatan resik, waktu tembus kebalik
hutan sana, tertampak sebuah tanah lapang yang luas mengitari empat deret
rumah papan, setiap deret terdiri dan dua-tiga puluh rumah, di depan setiap
rumah sama duduk seorang tua berambut ubanan dan berbaju belacu,
semuanya duduk lurus kaku.
Kawanan kakek itu beraneka ragamnya, ada yang tinggi, ada yang pendek,
ada gemuk, ada kurus, yang sama adalah air muka mereka, semuanya dingin
kaku tanpa memperlihatkaa sesuatu perasaan, ada yang memandang ke langit
dengan termangu-mangu, ada yang sedang membaca dengan tenang, puluhan
orang duduk bersama di situ, namun tidak terdengar suara sedikit pun.
Waktu Lamkiong Peng lewat di samping mereka, yang asyik membaca tetap
membaca, yang melamun tetap melamun, tiada seorang pun yang melirik
sekejap ke arah Lamkiong Peng.
Kakek itu membawa Lamkiong Peng ke sebuah rumah papan yang terletak di
ujung sana, tertampak di atas pintu tertulis dua hu-ruf besar "Ci Cui" yang
berarti air mandek.
Sambil menunjuk tulisan itu, si kakek ber-kata, "Inilah rempat tinggalmu yang
baru, dan ini pula namamu. Tiba waktunya akan kubawa engkau ke dalam
istana, tapi sebelum waktunya engkau dilarang meninggalkan tempat ini
barang selangkah pun."
Lamkiong Peng hanya mendengus pelahan saja sebagai jawaban.
"Apakah engkau tak ingin tanya apa-apa terhadapku?" tanya si kakek.
"Tidak ada," sahut Lamkiong Peng ketus.

Si kakek memandangnya sekejap, lalu tinggal pergi menuju ke hutan yang
rimbun itu. Semua orang yang berada di sini sama memakai baju belacu yang
berwarna kekuningan, namun baju belacu kakek yang menghantarnya ini
diwenter menjadi warna lembayung. Kiranya dia termasuk salah seorang
pengurus di pulau ini, sebab itulah warna bajunya berbeda dengan kakek lain.
Pengurus pulau ini hanya tujuh orang, Hong Man-thian dan kakek itu terhitung
anggota pengurus. Setiap anggota pengurus diberi seorang murid sebagai
pesuruh, si aneh yang bernama Jitko dan "orang hutan" berbulu emas itu
terhitung murid merangkap pesuruh dari ketujuh anggota pengurus.
Hal hal ini baru diketahui Lamkiong Peng di kemudian hari. Sekarang ia lantas
membuka pintu rumah, dilihatnya rumah ini hampir tidak ada isinya kecuali
sebuah dipan, sebuah meja dan sebuah bangku. Di atas meja tertaruh
sepotong baju belacu, sepasang sumpit dan se-buah mangkuk kayu dan sejilid
buku, di bawah meja ada sepasang sepatu rami. Panjang dipan itu cuma lima
kaki saja, tanpa kasur tiada se-limut, yang ada cuma sehelai tikar saja.
la menoleh dan memandang para kakek yang duduk diam itu, pikirnya,
"Apakah tempat ini tanah suci yang menurut cerita dalam dunia persilatan
sebagai Cu-sin-ci-tian (istana para dewa)? Beginikah kehidupan Cu-$in-tian?
Pantas semakin mendekat dengan tempat tinggalnya ini Hong Man-thian
tambah sedih. Soal-nya di sini tiada orang lain yang mempunyai perasaan
sebagai manusia kecuali dia- saja seorang."
Kurungan selama seratus hari di gua yang terisolasi itu telah membuat
Lamkiong Peng lebih tawakal, lebih sabar.
la pindahkan bangku ke depan pintu, di-ambilnya buku di atas meja itu, ia pun
meniru kawanan kakek itu, mulai membaca kitab. Tapi begitu dia membuka
halaman kulit buku itu, seketika jantungnya berdebar keras. Ternyata kitab itu
berjudul ' Tamo-cap-pek-sik".

Hendaknya dimaklumi, Tamo-cap-pek-sik atau delapan belas jurus ciptaan
Budha Darma adalah. ilmu silat khas Siau-lim-si, di dunia persilatan sekarang
hampir jarang sekali orang yang menguasai kungfu ini. Bilamana ada kitab
pusaka semacam ini muncul di dunia persilatan tentu akan menimbulkan
gelombang perebutan yang ramai dan menimbulkan korban jiwa dan raga.
Tapi sekarang kitab pusaka yang diimpi impikan orang persilatan, di pulau ini
ternyata di pandang sebagai buku rombengan saja dan ditaruh secara
sembarangan.
Seketika perhatian Lamkiong Peng tak terlepas lagi dari isi kitab itu, dia asyik
menyelami ilmu silat yang tercamum di situ, sampai lohor, "orang hutan" itu
datang dengan membawa dua ember, para kakek lantas mengluarkan
mangkuk kaya dan sumpit, masing-masing mengisi semangkuk rangsum yang
diantarkan itu, lalu sibuk bersantap tanpa bicara apa pun, malahan di antara
merekajuga tidak ada yang tegur-sapa.
Tiga hari kemudian"orang hutan"' itu datang lagi dan menukar kitab di atas
meja dengan kitab lain. Selagi Lamkiong Peng menyesal, tak terduga ketika
kitab baru itu dibuka, isinya adalah kungfu yang sudah lama menghilang dari
dunia persilatan, yaitu "Bu-eng-sin-kun", ilmu pukulan sakti tanpa wujud.
Begitulah selang 50 60 hari kemudian, berturut-turut kitab di atas meja
Lamkiong Peng telah berganti 20-an kali, setiap kitab selalu berisi ilmu silat
yang jarang diketemu-kan lagi di dunia persilatan sekarang. Tentu saja
Lamkiong Peng sangat senang, sedapatnya ia mengingat semua isi kitab itu.
Supaya diketahui bahwa kawanan kakek ini sebelum datang di Cu-sin-to ratarata
sudah pernah berbuat sesuatu yang menggempar-kan. semuanya adalah
tokoh Bu-lim ternama yang disegani, begitu datang ke Cu-sin-to, ka-rena tidak
dapat lagi meninggalkan pulau ini, maka kitab pusaka bagi mereka dipandang
se-bagai barang tak berguna lagi, maka sebagian cuma membacanya secara
iseng, malahan ada yang sama sekali tidak tertarik.

Hari berganti hari, entah berselang berapa lama pula, sejauh itu belum pernah
Lamkiong Peng mendengar percakapan kawanan kakek itu, terkadang ia
mengira mereka adalah orang bisu-tuli semua atau mayat hidup.
Suatu hari mendadak turun hujan, tapi kawanan kakek ini seperti tidak
merasakan gu-yuran air hujan, tiada satu pun yang me-nyingkir ke dalam
rumah.
Ketika musim rontok hampir berlalu dan musim dingin hampir tiba, mereka
tetap me-makai baju belacu tanpa mengenal rasa dingin. Namun Lamkiong
Peng sendiri merasa meng-gigil. Terpaksa ia mengerahkan lwekang untuk
menahan serangan hawa dingin.
Lewat beberapa hari kemudian barulah dia merasa biasa. Baru sekarang
diketahuinya kungfu sendiri sudah banyak lebih maju, rupa-nya ilmu silat sakti
yang dibacanya dari ber-bagai kitab itu serupa makanan kasar di pulau ini
telah dicerna seluruhnya olehnya.
Maka tidurnya tambah sedikit, makannya juga semakin sedikit, namun
semangatnya justru tambah berkobar.
Suatu pagi hari. tiba-tiba diketahui kakek penghuni rumah di depan sudan
tidak ada lagi. Siapa pun tidak tahu kemana perginya kakek itu dan tidak ada
yang menanyakannya. Mati-hidup bagi para kakek itu serupa halnya ma-kan
dan tidur saja, teperti uruian biasa, biarpun ada orang kehilangan kepala di
depan mereka juga takkan diperhatikan oleh mereka. Dengan cepat seratus
hari telah lalu pula, pada waktu pagi, mendadak si kakek berbaju belacu
muncul pula di depan pintu Lamkiong Peng dan berkata padanya, "Mari ikut
padaku!" Tanpa tanya Lamkiong Peng berbangkit dan ikut berangkat. Waktu
melalui lapangan luas itu, tiba-tiba diketahui beberapa kakek di antaranya
sama menoleh dan memandangnya sekejap dengan sorot mata merasa
kagum, hal ini tidak pernah terjadi selama Lamkiong Peng berada di pulau ini.

Tentu saja anak muda itu merasa heran, pikirnya, ' Kiranya orang-orang ini
sebenarnya juga punya perasaan, cuma mereka pandai me-nyembunyikan
perasaan masing-masing sehingga biasanya tidak kentara. Tapi apa yang
mereka kagumi atas diriku? Apakah karena tempat yang akan kutuju ini?"
Diam-diam Lamkiong Peng menduga mung-kin tempat .yang akan dituju
adalah Cu-sin-ci-tian atau istananya para dewa, tempat yang penuh misterius
itu, tanpa terasa hatinya men-jadi tegang.
Mendadak terdengar suara menggeletar, suara bunyi cambuk berkumandang
dari ke-lebatan pepohonan sana, waktu Lamkiong Peng memandang ke sana,
kelihatan di dalam po-hon sana terjulur tali putih, pada tali putih yang kecil itu
menggelantung tubuh Hong Man-thian yang besar.
Tertampak pula si manusia kera itu se-dang mengayun cambuk dan menyabat
tubuh Hong Man-thian berulang-ulang sambil menghitung, "Dua puluh delapan
. . . dua puluh sembilan ....""
Mendadak tali putus dan Hong Man-thian jatuh terbanting ke tanah. Si
manusia kera tidak banyak urusan, segera ia pasang tali lagi dan Hong Manthian
lantas melompat ke atas, dengan tangan memegang tali, tubuhnya
lantas menggelantung pula di udara.
Kembali cambuk si manusia kera bekerja lagi menghajar tubuh Hong Manthian
sambil mengulang pula dari semula, "Satu .... dua . . . tiga . . . . "
Tali itu tidak besar, sedang cambuk pan-jang lagi kasar, biarpun Hong Manthian
memiliki lwekang yang kuat, untuk menggelantung begitu saia sudah
sulit, apalagi mesti me-nahan didera oleh cambuk.
Lamkiong Peng mengikuti sejenak kejadian itu dengan menahan napas,
dilihatnya Hong Man-thian berwajah kaku dan bertahan dengan diam, serupa
anak bandel yang sedang dihajar orang tuanya.

Segera Lamkiong Peng melangkah ke de-pan karena tidak tega memandang
lagi.
"Itulah hukuman bagi pelanggar hukum di sini," kata si kakek baju belacu.
"Setiap hari 36 kali cambukan, harus dihajar berturut-turut selama 360 hari,
bila tali putus harus diulang kembali. Maka mereka yang berani coba
melanggar peraturan di sini perlu bertanya dulu kepada dirinya sendiri apakah
mampu menahan hajaran dan punya keberanian atau tidak?"
Lamkiong Peng diam saja dan terus melangkah ke depan, akhirnya sampai di
ujung hutan, di depan mengadang tebing gunung. tapi tidak kelihatan
bayangan rumah.
Si kakek mendekati tebing, ia raba dinding tebing, pada suatu bagian yang
belenduk pe-lahan ia menepuk tiga kali, mendadak terjadi keajaiban pada
dinding batu itu, bagian yang belenduk itu berputar, lalu merenggang dan
kelihatan sebuah jalan tembus.
Tanpa sangsi Lamkiong Peng terus melangkah ke dalam sana bersama si
kakek, “brak", segera dinding tebing itu merapat kembali.
Terendus bau amis busuk dalam lorong rahasia ini, sebuah lentera tergantung
di din-ding lorong dan memancarkan cahaya yang guram, pada ujung lorong
terdapat sebuah pin-tu tembaga.
Waktu Lamkiong Peng menoleh, tahu-tahu si kakek baju belacu sudah
menghilang,
Segala sesuatu di sini seakan-akan di luar dalil umum. Tanpa pikir Lamkiong
Peng melangkah lagi ke depan, terdengar dari ke-dalaman saja berkumandang
suara melengking tajam, "Kamu sudah datang?"

Belum lenyap suara itu, pintu tembaga di ujung lorong itu lantas terbuka.
Segala apa tidak terpikir lagi oleh Lamkiong Peng, dengan bersitegang leher ia
masuk ke situ.
Dilihatnya di balik pintu ada lagi sebuah lorong, tapi dikedua tepi lorong ini
terbuka berbagai gua sehingga serupa sarang tawon, lubang ini berbaris
panjang ke sana dan ter-dapat di atas bawah dinding lorong sehingga berapa
jumlahnya sukar dihitung.
Di antara lubang atau gua batu itu terkadang ada orangnya, ada yang kosong,
ada yang diterangi lentera, ada yang gelap dan seram.
"Jalan terus ke depan, jangan berpaling!" terdengar suara melengking tajam
tadi berseru pula.
Lamkiong Peng terus menuju ke depan dengan langkah lebar tanpa
memandang lagi ke kanan-kiri, diam-diam ia. gegetun, "Apakah begini Cu-sintian
yang termasyhur itu?"
Belum lagi lenyap pikirannya, terdengar lagi suara tadi, "Di sini! Naik kemari!"
Jelas suara itu berkumandang dari tempat ketinggian.
Waktu Lamkiong Peng mendongak, ter-tampak pada dinding di ujung lorong
sana juga ada sebuah dekukan yang berwujud gua, ting-ginya dua-tiga
tombak dan permukaan tanah.
Segera Lamkiong Peng melompat ke atas,semula ia ragu apakah dapat
mencapai mulut gua itu, ia bormaksud mencari suatu tempat hinggapan, siapa
tahu dengan enteng sekali dapatlah ia mencapai tempat setinggi itu dan
menyusup ke dalam gua.

Di dalam gua bau amis busuk tambah ke-ras, di pojok sana terpasang kerai
bambu, di belakang sebuah meja batu besar di depan kerai bambu menongol
sebuah kepala berambut ubanan, mata cekung dan hidung besar, sorot mata
tajam, dahi lebar, dengan dingin sedang menatap Lamkiong Peng.
Tanpa terasa Lamkiong Peng agak ngeri, ia memberi hormat dan berucap,
"Cayhe Lamkiong Peng .... "
Mendadak kakek ubanan itu membentak, "Ci-cui, namamu Ci-cui, ingat tidak?
Begitu masuk Pulau ini engkau lantas sama sekali melepaskan diri dari dunia
ramai, harus kaulupakan segala masa lampau, tahu?"
Suaranya tajam dan cepat, seperti membawa semacam daya pengaruh yang
misterius.
Lamkiong Peng diam saja, ia pandang kakek ubanan itu dengan tenang.
"Sungguh beruntung engkau dapat tinggal di Ci-cui-sit (ruangan air mandek),"
kata si kakek dengan tertawa cerah. "Mungkin engkau tidak tahu bahwa Cicui-
sit itu dahulu dihuni oleh Sin-tiau-taihiap Nyo Ko . . . . "
"Urusan dunia ramai sudah tidak kupikir-kan lagi," jawab Lamkiong Peng
dingin.
"Haha, bagus, bagus!" si kakek bergelak tertawa.
Sejak datang di pulau ini untuk pertama kalinya Lamkiong Peng mendengar
orang tertawa, tentu saja ia melenggong. Terdengar si kakek berkata pula, '
Berdasarkan ucapanmu ini pantas untuk diberi minum satu cawan."
Mendadak ia tepuk tangan satnbil berseru, "Ambilkan arak!"
Bahwa disini juga tersedia arak, Lamkiong Peng tambah heran.

Tertampak kerai bambu tersingkap, sesosok tubuh tinngi kurus terbalut kain
putih dengan wajah tidak mirip manusia juga tidak serupa binatang muncul
dengan membawa sebuah nampan kayu, kelihatan rambutnya yang
semerawut, matanya siwer, mulutnya lebar dan hampir tak berbibir, setelah
menaruh nampan dengan poci arak dan cawan, lalu mengundur-kan diri lagi.
Seketika timbu! rasa ngeri Lamkiong Peng ketika dilihatnya telapak tangan
makhluk itu hanya mempunyai dua jari, daun telinganya lancip kecil dan penuh
berbulu
Akhir-akhir ini sudah banyak makhluk aneh setengah manusia dan setengah
binatang yang dilihatnya, tidak urung ia mengkirik me-lihat makhluk seram ini.
Melihat perubahan air mukanya, si kakek terbahak, "Silakan minum!"
Begitu tangan si kakek mendorong, segera secawan arak melayang ke arah
Lamkiong Peng dengan anteng serupa dipegang orang.
Tanpa pikir Lamkiong Peng menangkap cawan itu dan ditenggak, rasa arak
agak pedas, tapi sedap.
"Tentu engkau tidak pernah melihat makhluk hidup semacam tadi, ketahuilah
sesung-guhnya dia bukan manusia melainkan seekor binatang," ucap si kakek
dengan tertawa.
"Hah, jadi Jitko itu dan . . . . " kembali Lamkiong Peng mengkirik.
"Ya, semuanya binatang," ujar si kakek dengan tertawa. "Selama hidupku
mencurahkan tenaga dalam penelitian ilmu pertabiban, hasil jerih payahku
selama berpuluh tahun ada-lah dapat kuciptakan belasan ekor binatang
menjadi serupa manusia . . . . "

"Hah . . . . "
Mendadak lenyap tertawa si kakek, air mukanya berubah menjadi merah dan
pena-saran, katanya, "Kautahu, sebabnya manusia hidup sengsara dan
menjadi cacat, selain ka-rena pengaruh lingkungan juga banyak karena
pembawaan yang jahat. Untuk merombak ting-kah polah manusia harus
diawali dari bentuk-nya. Selama berpuluh tahun aku berusaha memperdalam
ilmu pertabiban, lebih dulu aku telah merombak wujud diriku sendiri, lalu kupraktekkan
berbagai operasi yang selama ini belum pernah dilakukan oleh
tabib mana pun . . . . "
Ngeri Lamkiong Peng membayangkan beberapa makhluk aneh yang telah
dilihatnya itu.
"Apa yang kulakukan ini tidak dapat kujelaskan begitu saja, kelak dari apa
yang kau-lihat dan kaudengar tentu. akan paham lebih banyak," kata pula si
kakek. "Para penghuni pulau ini meski semuanya adalah bekas tokoh dunia
persilatan, tapi mereka yang dapat masuk ke ruangan ini tidaklah banyak.
Selama berpuluh tahun ini segala biaya kepulauan ini berkat bantuan dari
keluarga Lamkiong kalian, makanya kuberi prioritas kepadamu untuk
menghuni ruangan ini."
"Setelah Cayhe masak ke sini, segala urusanku memang tidak pernah terpikir
lagi oleh-ku, hanya satu hal ini masih mengganjal hatiku, yaitu kuharap dapat
berjumpa satu kali saja dengan pamanku itu."
"Jika segala urusan lampau sudah kau lupakan, kenapa kauingin menemui
pamanmu?" jengek si kakek.
Lamkiong Peng melengak, dilihatnya si kakek menarik muka dan berkata
dengan serius, '"Perlu kautahu untuk apa kuharap setiap penghuni Cu-sin-to
ini melupakan segala cita-rasa dan sama sekali putus dari perasaan kasih,
nafsu, nama dan keuntungan, setiap orang yang kuajak berdiam di pulau ini

seluruhnya juga merupakan tokoh inti dunia persilatan yang sudah
berpengalaman."
"Cayhe memang tidak tahu seluk beluk ini," javvab Lamkiong Peng.
"Soalnya aku ingin membangun sesuatu yang selama ini belum pernah
dilakukan siapa pun, kudatangkan orang pandai untuk menjadi penghuni pulau
ini, dari mereka kuharapkan akan dapat mengembangkan bakat
mereka.supaya menciptakan sesuatu yang serba baru tanpa gangguan.
Bilamana usahaku ini berhasil, maka suksesku ini takkan dibandingi oleh tokoh
sejarah mana pun. Tapi lucu juga, orang dunia persilatan justru mernandang
Cu-sin-to ini sebagai tempat pengasingan yang misterius dan ditakuti."
"Usaha apa yang Cianpwe lakukan?' tanya Lamklong Peng.
Meneorong sinar mata si kakek, "Tentu pernah juga terjadi atas dirimu, setiap
orang pada waktu masa anak-anak tentu mempunyai banyak khayalan,
setelah hesar khayalan ini akan menjadi kenangan indah. Waktu keeilmu tentu
juga pernah kaupikirkan betapa senang-nya bila dapat menghilang, dapat
menggembleng besi menjadi emas dan berbagai hal yang mustahil?"
' Ya, memang begitulah khayalan anak kecil," kata Lamkiong Peng dengan
tersenyum.
"Padahal hal-hal seperti menghilang atau menggembleng besi menjadi emas '
adalah khayalan yang jamak, tapi masih ada urusan lain yang jauh lebih
menakjubkan yang jarang dibayangkan orang, misalnya ada orang ber-khayal
tanpa sekolah, asalkan kitab dibakar menjadi abu dan abu diminum bersama
air, lalu dia akan pintar secara mendadak. Ada yang berkhayal lampu tanpa
minyak akan terang benderang, ada yang berfantasi kereta atau kuda dapat
terbang dan menjelajahi jagat raya ini. Ada yang berkhayal setelah minum
satu biji obat segera akan merasa kenyang dan tidak perlu makan sepanjang
tahun . . . ."

la berhenti sejenak, lalu menyambung dengan tertawa, "'Ada cerita lucu di
jaman dahulu, konon ada orang berkhayal bilamana bulu alis seorang tumbuh
di jari tangan. maka jari akan dapat digunakan menyikat gigi. Jika lubang
hidung tumbuh mcenghadap ke atas, tentu ingus seorang takkan meleleh.
Bilamana mata tumbuh di muka dari belakang. untuk melihat tentu tidak perlu
lagi berpaling. Le-lucon inilah yang menjadi khayalanku, tapi sekarang
khayalan ini sudah berubah menjadi kenyataan. Umpama sekarang jika
kauminta alismu dipindah ke jari atau hidungmu diputar ke atas. segera dapat
kulaksanakannya bagimu, tidak percaya bolehlah kaucoba."
"Tapi kukira biarkan saja ingus tetap meleleh ke bawah, untuk berpaling juga
tidak terlalu merepotkan," ujar Lamkiong Peng.
Si kakek terbahak, "Haha, bukan saja khayalanku ini sudah terlaksana
sekarang, bahkan hal-hal yang mustahil dan tidak pernah terjadi sekarang
juga akan terlaksana."
"Apa betul?" kaget juga Lamkiong Peng.
"Tentu saja betul," ucap si kakek. "Setelah kucuci bersih otak orang-orang itu
dari pikiran kolot mereka, selanjutnya akan kusuruh mereka menekuni
pekerjaan baru ini . ..."
la menuding berbagai gua di kedua din-ding lorong dan menyambung pula, "Di
dalam gua gua itulah tempat bekerja mereka. Coba kaubayangkan, bilamana
hal-hal yang dahulu cuma khayalan belaka sekarang dapat terlaksana,
bukankah sukses ini akan membuat sejarah baru bagi hidup manusia yang
akan datang."
Lamkiong Peng memandang orang tua ini dengan termangu, tidak
diketahuinya sesungguhnya kakek ini seorang gila atau manusia super?

Dilihatnya si kakek mendadak menarik muka lagi dan berkata, "Apa yang
kubicarakan hari ini sudah terlampau banyak dan banyak pula menggnnggu
pekerjaan yang lebih penting. Setelah engkau masuk ruangan ini, segala
tindak-tanduk dan tutur katamu sudah bebas dari pembatasan. Tapi setiap
tahun engkau hanya boleh keluar dan melihat cahaya matahari satu kali.
Sekarang boleh kauperiksa sekeliling tempat ini, silakan pilih satu ruangan
sebagai tempat tinggalmu, besok akan kupanggil dirimu lagi."
Dengan ragu dan kejut Lamkiong Peng melompat turun dari gua itu,
dipandangnya lubang gua di kedua sisi dinding lorong, terbayang pekerjaan
yang sedang berlangsung di situ, meski hati penuh diliputi rasa ingin tahu, tapi
ia tidak berani menghadap mereka, sebab tak berani dibayangkannya
bagaimana jadinya dunia ini apabila berbagai khayalan itu menjadi kenyataan.
Tiba tiba terpikir pula olehnya, "Pantas Hong Man-thian mengumpulkan barang
aneh sebanyak itu, pantas juga pihak kun mo to berusaha merebut usaha
Hong Man thian yang akan mengangkut harta benda keluargaku sini, tentunya
disebabkan pihak kun mo to juga tahu apa yang sedang terjadi di sini dan
kuatir khayalan ini akan menjadi kenyataan, tatkala mana orang Kun mo to
tentu akan di jadikn budak oleh pihak Cu-sin-tian.
Tengah berpikir, tanpa terasa ia sudah berada di depan gua pertama,
dilihatnya ruangan gua ini agak longgar, di bawah remang cahaya lampu
berduduk dua orang kakek, di atas meja penuh tertumpuk kertas tulis dan
kepingan kayu.
Melihat Lamkiong Peng, kedua kakek itu rada tercengang, Lamkiong Peng
tidak berani bertanya nama asli mereka, hanya sekadarnya ia tanya pekerjaan
yang sedang dilakukan mereka.
Salah seorang kakek itu lantas menjelaskan bahvva mereka sedang
mempelajari semacam cara baru membangun rumah, yaitu dimulai dari atap
rumah dan menurun ke bawah, akhir-nya baru mem-bikin pondasi rumah.

Menurut keterangannya, cara mereka itu serupa cara dua macam serangga
yang paling pintar membangun sarangnya, yaitu tawon dan labah-labah.
Lamkiong Peng mengucapkan terima kasih dan pindah ke ruangan yang lain.
Tertampak di situ juga penuh tertumpuk bahan riset dua penghuninya, yaitu
berbentuk macam-macam kaleng yang berukuran tidak sama serta lapisan
tepung terigu yang sudah diaduk.
Menurut penjelasan kedua kakek itu, me-reka sudah hampir berhasil
menciptakan se-jenis air obat misterius, dengan air obat itu sebagai tinta, lalu
dituliskan isi kitab pengetahuan apa pun di atas lapisan adukan tepung,
kemudian berpuasa sepuluh hari, habis itu panganan tepung dimakan, maka
segala ilmu pengetahuan dari isi kitab dapat dikuasai sepenuhnya oleh orang
yang makan adukan tepung itu.
Lamkiong Pong mengucapkan terima kasih atas penjelasan itu walaupun
dengan perasaan bimbang, di ruangan gua lainnya dilihatnya cahaya lampu
terang benderang serupa siang hari, sekeliling ruangan tergantung botol kristal
yang tak terhitung jumlahnya, dalam botol ber-isi macam-macam warna air
obat. Sekilas pandang mata bisa silau oleh warna-warni botol kristal yang
indah itu.
Tapi kakek penghuni gua ini tampak kurus kering tinggal kulit membungkus
tulang, jenggotnya yang sudah putih seluruhnya me-manjang hingga
menyentuh lantai. Kiranya kakek ini menekuni ilmu menghilang selama lebih
60 tahun, begitu melihat Lamkiong Peng segera ia mengajaknya bicara
tentang ilmu yang sedang ditekuninya itu, dalilnya sungguh ajaib dan sukar
dilakukan.
Lamkiong Peng mendengarkan dengan cermat, tapi sukar memahanii
intisarinya. Hanya diketahuinya si kakek berusaha membuat tubuh manusia
berubah tembus cahaya seluruhnya serupa benda kristal, dengan begitu
manusia menjadi serupa benda tak berwujud dan takkan terlihat lagi.

Keluar dari gua ini, pikiran Lamkiong Peng tambah bingung. Selanjutnya
ditemui lagi pandai besi yang sedang menggembleng benda logam supaya
berubah menjadi emas. Lalu filosof yang duduk tepekur dalam kegelapan dan
berbagai kakek yang aneh yang tidak pernah dilihat dan didengarnya.
Tentu saja pikiran Lamkiong Peng tambah ruwet, sungguh sukar dipastikan
apakah kawanan kakek ini memang betul manusia super atau orang sinting,
juga tak diketahuinya apakah riset mereka itu akhirnya akan menjadi
kenyataan atau tidak.
Yang jelas rasa ingin tahu Lamkiong Peng bertambah besar, dari lubang gua
tingkat ba-wah sekarang dia memeriksa gua bagian atas. la melompat ke atas,
di suatu lubang gua itu kelihatan gelap gulita seperti tiada jejak se-orang pun.
Selagi dia hendak tinggal pergi, tiba-tiba dalam kegelapan bergema suara
orang "Siapa itu?"
Lamkiong Peng coba memandang ke sana, setelah diperhatikan, tertampak di
pojok gua yang gelap itu duduk sesosok bayangan, di depannya berserakan
botol dan kaleng serta benda lain.
"Entah apa pula yang sedang dipelajari orang..sinting ini?" demikian pikirnya.
Segera ia mengatakan maksud kedatangannya.
Suara serak tua itu berkata, "Aku sedang mempelajari mengubah hawa udara
menjadi makanan, kautahu hawa udara itu apa? Hawa udara adalah . . . . "
Mendadak terhenti ucapannya ketika pelahan ia mendongak, serunya dengan
suara gemetar, "Hei, Peng-ji .... Kiranya kau . . . . " Hati Lamkiong Peng
tergetar hebat, ia terasa ucapan terakhir itu sudah sedemikian dikenalnya, ia
coba mengamati lebih jelas, di lihatnya bayangan dalam kegelapan ini
berambut semrawut, sorot mata tajam, lamat-lamat dapat dikenalnya siapa
orang tua ini.

"Ahh . . . Suhu!" teriak Lamkiong Peng sambil menubruk maju dan
menyembah di depan orang.
Kiranya kakek yang nelangsa ysng duduk dalam kegelapan ini tak-lain-takbukan
ialah guru Lamkiong Peng yang termashur di dunia Kangouw, tokoh
nomor satu dunia persilatan yang tak terkalahkan, yaitu Put-si-sin-liong Liong
Po-si adanya.
Dalam keadaan dan di tempat seperti ini antara guru dan murid dapat
berjumpa di sini, sungguh kejadian yang sukar dibayangkan. Tentu saja
mereka terkejut. heran dan merasa seperti dalam mimpi.
"Mengapa kaudatang ke sini, Peng-ji?" tanya Liong Po-si, sungguh ia tidak
mengerti anak muda yang baru mulai berkecimpung di dunia Kangouw ini bisa
datang ke Cu-sin-to yang merupakan tempat pengasingan tokoh tua ini.
Setelah menenangkan diri, Lamkiong Peng lantas menceritakan
pengalamannya, terutama mengenai diri Bwe Kim-soat.
Liong Po-si menghela napas, ucapnya, ''Orang bilang perempuan cantik
kebanyakan bernasib malang. tampaknya kemalangan nasibnya memang jauh
melebihi perempuan lain."
Kedua orang duduk berhadapan dengan diam, terlihat orang tua itu jauh lebih
tua dari-pada waktu berpisah di Hoa-san dahulu, hati Lamkiong Peng merasa
pedih,,ia coba tanya, "Ketika murid melihat ukiran tulisan di puncak Hoa-san
dahulu, kami menyangka Suhu telah mengasingkan diri ke suatu tempat
rahasia. Entah apa yang terjadi sesungguhnya di puncak Hoa-San dahulu,
mengapa Suhu bisa sampai di sini."
"Puncak Hoa-san . . . . " Liong Po si bergumam dengan menunduk sedih,
sampai sekian lama baru ia menghela napas dan bertutur, "Empat puluh tahun

yang lalu untuk pertama kalinya kudengar tempat Cu-sin-tian, terhadap-nya
lantas timbul macam-macam khayalanku. Sekarang aku benar telah berada di
tempat yang dimaksud, akan tetapi aku menjadi sangat kecewa, namun . . . .
ai, semuanya sudah terlambat."
Tiba-tiba Lamkiong Peng bertanya, "Suhu hawa udara yang dimaksudkan
apakah sama seperti hawa udara umumnya yang tak berwujud itu? Cara
bagaimana Suhu akan membuatnya menjadi barang santapan, jika hawa
udara dapat berubah menjadi makanan, kan di dunia ini takkan ada orang
kelaparan lagi?"
Liong Po-si tertawa, "Peng ji. kautahu orang di pulau ini hampir seluruhnya
adalah orang gila, andaikan tidak- gila, setelah mengalami kurungan ratusan
hari, setelah dicuci otak dan hidup sebagai orang dalam kuburan. akhirnya pun
akan serupa orang gila ....'"
Teringat kepada kawanan kakek berbaju belacu yang duduk tepekur di depan
rumah dan hidup kesepian itu, tanpa terasa Lamkiong Peng menghela napas.
"Orang yang paling gila di antara orang gila itu ialah si Tocu yang berkepala
besar itu," tutur Liong Posi. "Pulau ini berada di bawah pimpinannya, setiba di
sini dan melihat keadaan mereka, aku jadi lebih suka tinggal dan merenung
sendirian, maka sengaja kuberi macam-macam komentar yang aneh dan sukar
dimengerti."
"Komentar apa?" tanya Lamkiong Peng.
"Kubilang kepada Cu-sin tosu itu bahwa sebabnya pepohonan dan tetumbuhan
lain hidup subur adalah karena mengisap unsur hawa udara, apabila manusia
dapat memisahkan se-macam unsur misterius itu dari hawa udara dan
dijadikan makanan, tentu akan banyak menghemat tenaga manusia dan
jumlah barang, sedangkan di jagat raya ini penuh hawa udara dan takkan
habis terpakai, jadinya tidak ba-kal lagi ada orang mati kelaparan."

la berhenti sejenak, lalu menyambung dengan tertawa, "Setelah kuberi
macam-macam omong kosong itu, Cu-sin-tocu itu sangat tertarik dan kagum
pada teoriku, ia anggap. gagas-anku itu sebagai rencana besar yang belum
per-nah ada dalam sejarah, sebab itulah aku diperlakukan secara istimewa dan
diberi tempat tinggal ini dengan segala fasilitas yang ada, makanya disini
tersedia juga arak sebanyak ini."
Meski dia bicara dengan tertawa, namun suaranya penuh rasa hampa dan
kesepian. Bah-wa jago nomor satu dunia persilatan yang termasyhur ini
sekarang juga perlu minum arak sekadar pelipur lara, sungguh mengharukan.
"Peng-ji," kata Liong Po-si pula, "meski setiap hari aku minum arak untuk
menghilangkan rasa hampa dan sepi ini, namun se-jauh ini tidak pernah putus
asa dan selalu mencari kesempatan untuk bertindak. Bilamana nanti Tocu
memanggil lagi dirimu, boleh kau-minta agar dikirim ke sini untuk
membantuku mempelajari makanan misterius yang sedang kulakukan ini.
Beperapa bulan lagi akan datang kesempatan baik, tatkala mana harapan bagi
kita untuk kabur dari sini akan sangat besar."
Terbangkit setnangat Lamkiong Peng mendengar keterangan ini.
Kiranya di Cu-sin-to ini setiap tahun ada suatu hari raya. waktu itu setiap
orang diberi kebebasan untuk bergembira ria, walaupun pada hakikatnya kaum
kakek itu tiada sesuatu yang dapat dibuat gembira, namun sedikitnya ada
kebebasan bergerak.
Esoknya Lamkiong Peng dipanggil menghadap Cu-sin-tocu itu, agaknya dia
akan memberi tugai khusus kepada anak murid ke-luarga Lamkiong, tapi demi
mendengar per-mintaan Lamkiong Peng yang ingin ikut mem-pelajari "rencana
besar" itu, segera , ia me-luluskan permintaannya.

Hidup dalam gua yang gelap sang waktu terasa berlalu dengan sangat lambat,
Tapi sekarang Lamkiong Peng sudah berhasil belajar sabar.
Entah sudah lewat berapa lama lagi, baginya segalanya berlalu dengan tenang
tanpa berubah sesuatu apa pun. Hanya Cu-sin-tocu terkadang memanggilnya
menghadap dan selalu menatapnya dengan penuh perhatian serta bertanya
sekadarnya dengan hambar.
Dapat dirasakan oleh Lamkiong Peng sinar mata Cu-sin-tocu yang aneh itu
lambat-laun mulai keruh dan kelihatan sedih, setiap kali bertemu lagi rasa
kusut dan sedih itu seakan-akan selalu bertambah besar.
Diam-diam Lamkiong curiga apakah mungkin Cu-sin-tocu telah merasakan
tanda bahaya yang bakal menimpa pulau ini?
Selama ini Liong Po-si sangat jarang bicara. Sedangkan Lamkiong Peng sendiri
tekun menyelami berbagai ilmu silat yang telah dibacanya itu. la merasa
ketajaman pandangan sendiri tambah kuat, tubuhpun tambah enteng, sukar
baginya untuk mengukur sampai di mana kemajuan kungfu sendiri.
Suatu hari selagi dia duduk tenang di dalam gua bersama sang guru,
mendadak di luar sana bergema suara tambur, tidak lama kemudian seorang
melompat masuk ke dalam gua, kiranya si kakek berbaju belacu dahulu itu, ia
pandang sekejap keadaan gua itu, lalu berucap, "Sudah tiba harinya!"
Meski air mukanya kelihatan kaku, tapi sorot matanya mrmancarkan semacam
cahaya misterius seakan-akan banyak rahasia yang diketahuinya.
Tergetar hati Lamkiong Peng, tanyanya, "Tiba hari apa?"
"Tiba hari kebebasan untuk berbuat apa pun sesukamu," ucap si kakek dengan
dingin. Lalu ia melompat pergi lagi.

Lamkiong Peng tercengang, Mungkinkah dia tahu? "
"Apa pun yang diketahuinya, selanjutnya dia takkan tahu apa-apa lagi," jengek
, Liong Po-si. '
"Maksud Suhu, akan kita lenyapkan dia," tanya Lamkiong Peng.
"Betul," pelahan Liong Po-si menepuk pundak anak muda itu.. "Tunggu
kesempatan dan bertindak menurut keadaan jika tidak ada kapal atau rakit
berenang pun kita akan tinggalkan tempat ini."
Dari nada ucapan orang tua ini dapat dirasakan tekadnya yang bulat itu oleh
Lamkiong Pang. Berbareng mereka lantas keluar dari gua.
Pintu rahasia gua itu sudah terbuka, waktu melangkah keluar, segera terasa
angin sejuk mengembus dan membangkitkan gairah hidup Lamkiong P-ing
yang sudah sekian lama tersirap.
Dilihatnya kawanan kakek itu tetap duduk di depan rumah masing-masing
dengan kaku dan linglung, hanya jenggot mereka yang panjang berkibar
tertiup angin.
Setelah .menyusuri hutan,. sampailah di rumah bambu itu, cuma keadaan
gubuk yang semula jelek itu sekarang sudah berbeda jauh.
Gubuk ini tetap tidak ada sesuatu pajangan istimewa, tapi di lapangan depan
rumah teruruk banyak bunga segar dan makanan, di atas gundukan api
unggun sedang dipanggang beberapa ekor kambing, kijang dan sebagainya,
Bau sedap daging panggang bercampur dengan bau harum bunga terbawa
angin sejuk sehingga membuat tempat yang semula seperti kuburan ini
mendadak penuh diliputi gairah hidup.

Di sini berkumpul kawanan kakek yang belum sempat masuk ke gua gunung
sana, di antaranya banyak yang berbaju lebih teratur dan resik, mereka asyik
menanti dimulainya pesta pora ini, tapi di antara mereka sempat dilihat
Lamkiong Peng saling memandang dengan sorot mata yang aneh seakan-akan
tersem bunyi sesuatu rahasia.
Tergerak hati Lamkiong Peng, pikirnya, "Mungkinkah kawanan kakek ini pun
sedang merancang sesuatu, bisa jadi akan memberontak atau ingin kabur dari
sini."
Waktu ia menoleh, entah ke mana perginya Liong Po-si, orang tua itu sudah
menghilang.
Selagi Lamkiong Peng merasa ragu dan bermaksud mencari jejak sang guru,
tiba-tiba terdengar di samping sana, di bawah pohon ada suara orang tertawa.
Cepat ia berpaling, dilihatnya Hong Man-thian duduk bersandar di bawah
pohon, bajunya sudah compang-camping, mukanya kelihatan kuyuh, jelas
telah banyak tersiksa selama beberapa hari ini. Jenggotnya juga tak teratur
namun sinar matanya tetap bercahaya dan memandang dengan tajam.
Lamkiong Peng tidak dapat menahan perasaannya, ia mendekati orang tua itu
dan berkata dengan terharu, "Cianpwe, lantaran kami engkau yang mendapat
susah."
"Susah . ; . . " senyuman Hong Man-thian berubah menjadi ejekan, “Justru
penderitaan inilah yang merangsang kehidupan kami yang hampa ini.
Penderitaan ini yang membangkitkan semangat perlawananku ini."
Mendadak ia memegang pundak Lamkiong Peng dan berkata dengan
semangat, "Coba lihat, kawanan kakek di sebelah sana itu, dapatkah kau lihat
sesuatu kelainan pada diri mereka?"

Lamkiong Peng dapat merasakan kekuatan pada ucapan orang tua ini, segera
teringat olehnya sinar mata kawanan kakek yang aneh itu, sekatika berdetak
jantungnya, "Ah, apakah kalian hendak . . . . "
"Betul, diam-diam sudah kuhasut mereka, kubakar semangat dan rasa gusar
mereka. Maka hari ini juga di pulau ini akan terjadi peristiwa besar. Kalau
bukan kawanan orang gila di dalam gua itu yang menuju ke neraka biarlah
kami saja yang mati. Umpama mati juga lebih baik daripada hidup cara begini
bagi mereka."
Lamkiong Peng mengangguk sependapat, katanya, '"Ya, tapi mana kapalnya?
di sini kan tidak ada kapal?"
"Kapal? Untuk apa?" tanya Hong Man-thian.
Lamkiong Peng melengak, "Tidak ada kapal cara bagaimana dapat pulang ke
sana?"
"Pulang?” Siapa bilang mau pulang?" je-ngek Hong Man-thian.
Kembali Lamkiong Peng melenggong.
Terdengar Hong Man-thian menghela napas dan berkata pula, "Apakah pernah
kau bayangkan bilamana kawanan kakek yang aneh ini pulang ke daratan
sana, lalu huru hara apa yang akan timbul di dunia persilatan?"
Seketika Lamkiong Peng bungkam, sungguh ia tidak berani
membayangkannya.
"Kutahu pikiranmu," kata Hong Mar-thian pula sambil berbangkit, tongkat
besinya sudah hilang, sekarang ia gunakan sebatang tongkat pendek. "Marilah
kita pergi minum arak dulu dan menonton permainan menarik."

Segera mereka keluar dari hulan itu, setiba di depan hutan, Lamkiong Peng
berdiri di bawah keteduhan pohon dengan perasaan tidak tentram.
Tidak lama kemudian, mendadak suara tambur bergema keras, lima orang
kakek berbaju belacu tampak muncul, di belakang mereka mengikut lima
pelayan "manusia binatang" itu dengan menggotong sebuah dipan batu, di
atas dipan duduk bersila Cu-sin-tocu yang berkening lebar dan bersinar mata
tajam itu.
Waktu itu tepat lohor, air muka Cu-sin-tocu yang pucat itu kelihatan seperti
tembus cahaya, dia seperti takut kepada cahaya matahari, maka menyuruh
kawanan pelayan menaruh dipannya di bawah pohon yang rindang.
Baru saja dipan batu ditaruh, serentak meledak suara tertawa orang.
Biasanya di pulau ini sangat jarang ada orang tertawa, apalagi tertawa keras
bebas begini.
Cu-sin-tocu menyapu pandang sekejap, lalu membentak ke arah suara tertawa
itu, "Siu Yan, kaub tertawa apa.?".
Hong Man-thian melompat maju dan berseru, "Hong adalah she keluargaku
turun temurun. Man-thian adalah nama pemberian ayah-bundaku, seorang
lelaki sejati berjalan takkan ganti nama, duduk tidak perlu tukar she. Namaku
ialah Hong Man-thian, siapa yang bernama Siu Yan?"
Kiranya Siu Yan adalah nama Hong Man-thian pemberian Cu-sin-tocu, serupa
halnya Lamkiong Peng juga diberinya bernama Ci Cui.
Kawanan kakek yang lain sudah sangat lama tidak mendengar ucapan orang
segagah berani ini, meski hati mereka sudah beku, tidak urung agak tergugah
juga perasaan mereka sehingga memperlihatkan sikap terangsang.

Setitik lelatu api yang jatuh ke sekam bisa juga menimbulkan bara.
Air muka Cu-sin-tocu yang kelam tetap tidak berubah. katanya pelahan,
"Baiklah, apa yang kau tertawakan, Hong Man-thian?"
'"Aku tertawa geli, sebab kebanyakan orang yang berada di pulau ini rata-rata
adalah tokoh yang pernah mengguncangkan dunia persilatan, tapi sekarang
semuanya telah berubah serupa mayat hidup dan harus tunduk kepada
perintah seorang gila, seorang makhluk cacat. jika kejadian ini diceritakan
tentu tiada seorang pun mau percaya, bukankah aneh dan menggelikan?"
Sorot mata Cu-sin-tocu yang tajam menatap wajah Hong Man-thian, mukanya
tambah pucat, tapi tidak segera menanggapi.
Dengan membusung dada Hong Man thian berteriak pula, "Kedatangan kami
ke sini sebenarnya disebabkan sudah bosan kepada kehidupan dunia ramai
dan ingin hidup tenang, tapi bukan datang untuk diperlakukan sadis olehmu
dan hidup serupa hewan. Ingin kutanya padamu, berdasarkan apa engkau
memerintah para tokoh, terkemuka dunia persilatan ini?"
Kawanan kakek yang lain tetap tidak bersuara, namun sikap mereka jelas
tambah terangsang, begitu pula Lamkiong, Peng, hampir saja ia bersorak
memuji.
Gemerdep sinar mata Cu-sin-tocu, katanya pelahan, "Bagus, kau berani bicara
dan tertawa, tentunya kau yakin akan mampu menghadapiku. Nah, siapa pula
yang sehaluan denganmu, boleh silakan tampil sekalian."
Lamkiong Peng berdiri di bawah pohon di samping belakang Cu-sin-tocu
sehingga tidak dapat melihat sinar matanya, hanya dari suaranya memang
menimbulkan semacam daya pengaruh yang sukar dibantah. Dilihatnya
kawanan kakek yang berdiri di depan sana sama berubah pucat, tidak ada

yang berani tampil ke muka, sebaliknya kelihatan menyurut mundur dengan
takut.
"Hm, jadi cuma kau sendiri aja yang akan melawanku?" jengek Cu-sin-tocu.
Air muka Hong Man-thian juga berubah, mendadak ia membalik tubuh dan
berseru, "Hm, kalian takut apa? Memangnya kalian sudah lupa kepada
persetujuan yang telah kita rundingkan selama ini?"
Kawanan kakek itu berdiri diam saja dengan menunduk Air muka Hong Manthian
menjadi pucat juga, pelahan ia berpaling kembali menghadapi Cu-sintocu
dengan tangan agak gemetar.
"Hm, jadi cuma kau sendiri yang berniat berebut kedudukan Tocu denganku?
Kukira gampang urusannya ..." mendadak ia memberi tanda.
Serentak kelima kakek berbaju belacu warna kuning melompat maju dan
mengepung di sekeliling Hong Man-thian.
"Bilamana kusuruh mereka menawan dirimu mati pun tentu kau penasaran,"
kata Cu-sin-tocu. "Selama ini engkau menjadi salah seorang anggota pengurus
di sini, ilmu silatmu tentu selalu terlatih baik. Nah, asalkan dapat kau kalahkan
diriku, selanjutnya pulau ini akan menjadi kekuasaanmu."
Tangan Hong Man-thian yang memegang tongkat tampak rada gemetar,
agaknya dia sedang mengerahkan tenaga dan siap menyerang bila ada
kesempatan.
Cu-sin-tocu juga menatap lawannya dengan melotot, keduanya sama tidak
bergerak, namun air muka kedua orang makin lama makin prihatin, para
penonton juga tambah tegang.

Lambat laun butiran keringat tampak menghiasi kening Hong Man-thian, selagi
dia hendak melancarkan serangan, sekonyong-konyong dari dalam hutan sana
ada orang membentak, "Nanti dulu!"
Berbareng itu Lamkiong Peng melompat keluar, rupanya teringat olehnya
berbagai kebaikan Hong Man thian, ia tidak dapat tinggal diam lagi dan harus
menyatakan sikapnya.
Selagi semua orang melengak, dengan lantang Lamkiong Peng berseru,
"Lamkiong Peng juga berdiri di pihak Hong-locianpwe!"
Dengan sikap gagah ia berdiri di depan Hong Man-thian.
Sorot mata Cu-sin-tocu memancarkan cahaya mengejek, katanya, "Hm.
kaupun, berniat ikut berebut kedudukanku?"
"Salah," kata Lamkiong Peng. "Soalnya pendirianku sepaham dengan Honglocianpwe,
bilamana aku tidak berani ikut bicara, rasanya serupa duri di dalam
kerongkongan."
"Hah, bagus," jengek Cu-sin-tocu. "Anak muda serupa dirimu juga berani
bicara begini.
Apakah kau tidak sayang lagi akan jiwamu?" Kaupun takkan menyesal atas
sikapmu ini?"
"Aku tahu apa yarg kulakukan, kenapa mesti menyesal," jawab Lamkiong
Peng.
"Bagus!" mendadak terdengar teriakan orang di kejauhan, sesosok bayangan
melayang tiba secepat terbang dan berhenti di samping Lamkiong Peng. Siapa
dia kalau bukan Put-si-sin-liong Liong Po-si.

"Hm, kaupun datang!" jengek Cu-sin-tocu.
"Betul, tak kau sangka bukan?" jawab Liong Po-si. "Hong-heng dan Peng-ji,
silakan kalian mundur dulu, biar kubelajar kenal dengan tokoh misterius yang
disegani ini, ingin kutahu kepandaian apa yang dikuasainya."
Habis bicara, ia ambil tongkat Hong Man-thian, tanpa banyak omong lagi ia
mengemplang kepala Cu-sin-tocu.
Tak terduga oleh Cu-sin-tocu orang berani bergebrak begitu saja dengan
dirinya, segera lengan bajunya mengebut dengan keras, tanpa kelihatan
bergerak serangan Liong Po-si itu dapat dipatahkannya.
Namun tongkat Liong Po-si terus berputar. dalam sekejap saja ia menyerang
enam-tujuh kali.
"Apa benar engkau tidak, ingin hidup lagi?" bentak Cu-sin-tocu yang
terbungkus di tengah bayangan tongkat.
"Betul, coba unjukkan kepandaianmu, bentak Liong Po-si sambi! tetap
menyerang.
"Apakah rencanamu itu sudah kau lupakan?"
"Huh, rencana apa? Hanya untuk menipu anak kecil saja," seru Liong Po-si
dengan tertawa.
Cu-sin-tocu menjadi gusar, mendadak sebelah tangannya meraih, kontan
ujung tongkat terpegang, tangan yang lain terus menghantam dada lawan.
Semua orang menjerit kaget, “krek", tongkat patah menjadi tiga bagian,
bagian tengah yang patah mencelat dan menancap di batang pohon.

Dengan tongkat patah Liong Po-si tetap menyabat ke depan, namun dadanya
tepat kena dihantam oleh Cu sin-tocu sehingga jatuh terjengkang. namun
pundak Cu-sin-tocu juga terluka oleh tusukan tongkat patah Liong Po-si.
Para penonton sama terkesiap, Lamkiong Peng memburu maju sambil berseru
"Suhu ...."
Akan tetapi Liong Po-si lantas melompat bangun dan membentak, "Minggir!"
Cepat ia memburu ke depan dipan batu, kedua potong tongkat patah
digunakan sebagai Boan-koan-pit, sekaligus ia menutuk beberapa hiat-to maut
di dada lawan.
Terkejut juga Cu-sin-tocu oleh serangan kalap Liong Po-si, kedua tangannya
bekerja cepat, menangkis dan balas menyerang dengan sodokan kuat,
bentaknya, "Kembali!"
"Tidak!" Liong Po-si bertahan, tongkat patah berputar dan kembali ia menutuk
lagi dua-tiga kali.
Karena bersuara, segera darah segar terpancur dari mulutnya. Rupanya
hantaman Gu-sin-tocu yang mengenai dadanya tadi membuatnya terluka
dalam.
Kuatir juga Lamkiong Peng, dilihatnya sang guru tetap tidak gentar dan masih
menyerang dengan kalap.
Darah yang ditumpahkan Liong Po-si agaknya merangsang lagi semangat
kawanan kekek, segera dua-tiga kelompok merubung maju, hanya para kakek
penghuni gua itu tetap berdiri di samping tanpa menghiraukan. "Awas, Suhu,"
desis Lamkiong Peng kepada gurunya. "Tocu ini bertempur dengan duduk
sejak tadi, jika dia berdiri . . . . "

"Sudah lama orang ini mengalami kelumpuhan akibat latihan Iwekang, kedua
kakinya cacat, tidak dapat berdiri lagi," ujar Hong Man-thian.
Mendadak terdengar lagi suara "plak-plok", kembali Liong Po-si tergetar jatuh
oleh adu pukulan, tubuh Cu-sin-tocu juga tergoyang.
Kiranya kedua orang sama-sama terkena pukulan Iawan.
"He, Suhu, bagaimana keadaanmu?" seru Lamkiong Peng kuatir sambil
memburu maju.
"Boleh kau lihat mereka," ujar Liong Po-si dengan tersenyum pedih dan muka
kelihatan pucat.
Waktu Lamkiong Peng berpaling ke sana, terlihat kawanan kakek berbaju
belacu lama terbangkit semangat perlawanannya, serentak Cu-sin-tocu
terkepung di tengah.
Cu-sin-tocu duduk diam saja dengan muka pucat. sejenak kemudian
mendadak ia pun tumpah darah.
"Huh, kaupun terluka parah," jengek Hong Man-thian. "Apa yang akan
kaukatakan lagi?"
''Ya, aku terluka parah, apa yang dapat kukatakan lagi. terpaksa kuserahkan
tempatku ini." ujar Cu-sin-tocu. "Bukan cuma kedudukan saja yang
kuserahkan, juga jiwaku kuserahkan. Cuma kuharap aku diberi kesempatan
untuk membereskan segala sesuatu sebelum ajalku."
Para kakek menjadi ragu, selagi Hong Man-thian hendak bicara, tiba-tiba Liong
Po-si berkata, "Biarkan dia pergi.”

Lalu Cu-sin-tocu berpaling ke arah kelima kakek anggota pengurus yang
berbaju belacu warna kuning, tanyanya, "Dan bagaimana dengan kalian?"
Para kakek anggota pengurus saling pandang sekejap, tanpa bersuara mereka
menyingkir jauh ke sana.
"Bagus, kalian juga meninggalkan diriku," ucap Cu-sin-tocu dengan tersenyum
pedih.
Mendadak terdengar suara meraung, menyusul ada orang menjerit.
Kiranya kelima manusia binatang itu serentak menerjang tiba, seorang kakek
yang lengah telah dipegang mereka dan terbeset mentah-mentah menjadi dua
sehingga darah daging berceceran.
Kakek yang lain menjadi murka. serentak mereka melancarkan serangan
balasan, segera terdengar dua kali jeritan ngeri, dua manusia kera itu
terlempar dan terbanting binasa.
"Berhenti!" cepat Cu-sin-tocu membentak.
Waktu kawanan kakek itu tersentak kaget, Cu-sin-tocu lantas memberi tanda
pada ketiga manusia kera itu, bentaknya pula, "Bawa ku pulang!"
Cepat ketiga manusia kera mengangkat dipan batu dan dibawa ke gua.
Cu-sin-tocu sempat menoleh dan berkata, "Segera akan kuberi kabar pada
waktu matahari terbenam nanti!"
'"Memangnya kami kuatir tak ada kabarmu?" jengek Hong Man-thian.
Cu-sin- tocu mendengus, mendadak ia melirik ke arah Lamkiong Peng seperti
hendak bicara tapi urung dan terus dibawa pergi.

Sementara itu air muka Liong Po-si tambah pucat, napas pun mulai lemah.
Melihat keadaan sang guru yang gavvat itu, Lamkiong Peng sangat sedih,
mendadak ia berbangkit dan berteriak kepada para kakek, "Kalian dahulu
adalah kaum ksatria pujaan, kenapa sekarang sama berubah menjadi
pengecut? Bilamana tadi kalian ikut bertindak, tentu guruku tak akan
mengalami cedera seperti ini."
Semua orang sama berdiri termangu, sorot mata mereka tampak buram lagi.
"Wahai Suhu, jika merasa bukan tandingan lawan, untuk apa . . . , "
Belum lanjut keluhan Lamkioeg Peng, pelahan Liong Po-si membuka mata,
katanya dengan tersenyum pedih, "Peng-ji, duduk saja, dengarkan suatu
ceritaku."
Seketika semua orang sama diam dan ikut mendengarkan apa yarng akan
diceritakan orang tua itu.
Dengan pelahan Liong Po-si bertutur, 'Di suatu hutan jaman purba suasana
tenang dan damai. Siapa tahu mendadak datang seekor binatang buas, setiap
hari pasti seekor binatang kecil akan dimakannya, Tentu saja kawanan
binatang lain sama panik, tapi tidak ada yang mampu melawan dan terpaksa
mereka hidup terinjak-injak di bawah keganasan binatang buas itu.
"Saking tak tahan, akhirnya kawanan binatang itu berkumpul dan mencari akal
cara bagaimana merobohkan binatang buas itu. Namun semuanya tak
berdaya, hanya seekor kelinci saja menyatakan mempunyai akal yang mampu
membunuh binatang buas itu.
"Tentu saja kawanan binatang lain sama sangsi. Tapi kelinci itu juga tidak
omong, ia pulang ke rumah, lalu melumuri diri sendiri dengan air racun yang

paling keras, kemudian ia datang ke tempat binatang buas itu dan serahkan
diri untuk dimakan.
"Akhirnya kelinci itu dimakan binatang buas itu, tentu saja dia mati keracunan.
Maka suasana hutan itu pun kembali tentram dan damai. Namun hati kawanan
binatang lain sama sedih bagi pengorbanan si kelinci. Coba katakan
pengorbanan kelinci itu berharga atau tidak?"
Habis bercerita. keadaan sunyi senyap, tiada seorang pun bersuara, Lamkiong
Peng pun menunduk dan mencucurkan air mata terharu.
HAN BU KONG
Jilid 18
Put-si-sin-liong Liong Po-si tersenyum, lalu menyambung ceritanya, "Tadi telah
kuperiksa sekeliling pulau ini, ternyata tidak ada harapan bagi kita untuk kabur
dan sini, maka timbul niatku meniru pengorbanan si kelinci untuk
menyelamatkan orang banyak.
"Serangan Tocu tadi sebenarnya cuma tipu pancingan saja, ia yakin aku pasti
mampu menghindar, tak tersangka aku justru tidak mengelak dan tidak
menghindar, tapi pada detik menentukan yang cuma sekilas itu kulancarkan
serangan maut dan melukainya.
Meski aku pun terluka, namun pengorbanan ini rasanya cukup berharga."
"Liong-taihiap, sungguh aku . . . . " tersendat ucapan Hong Man-thian
sehingga tidak sanggup melanjutkan, ia coba periksa keadaan luka Liong Po-si,
kawanan kakek yang lain juga memberikan obat luka. Meski Liong Po-si
menyadari lukanya sukar disembuhkan, namun ia pun tidak menolak
pemberian obat itu.
Sementara itu sang surya sudah bergeser ke barat, senja sudah tiba.

Tertampak seorang manusia kera berlari datang dengan membawa sehelai
surat.
Cepat Hong Man-thian menerimanya, dengan kening bekerenyit ia membaca
dengan suara lantang, “Sudah kuputuskan akan mengundurkan diri, bila di
antara kalian ada yang ingin menjadi Tocu, silakan ikut kemari bersama
utusan ini untuk berunding lebih lanjut tentang penggantiku."
Selesai Hong Man-thian membacakan surat ringkas ini, serentak kawanan
kakek itu sama gempar. Kelihatan kelima kakek berbaju belacu juga sibuk
membicarakan hal ini.
Mendadak Hong Man-thian berteriak, "Bukan tujuan kita untuk menjadi Tocu
segala, tapi barang siapa yang terpilih hendaknya jangan lupa pada
pengorbanan Liong-taihiap ini, kalau tidak, harus dia hadapi aku lebih dulu."
"Kau sendiri perlu ke sana . . . . "
"Jangan kau pikirkan urusan ini,'" sela Horg Man-thian. "Yang penting harus
kita usahakan meninggalkan pulau ini."
Sementara itu si manusia kera sudah mendahului melangkah pergi dan diikuti
serombongan kakek.
Cuaca mulai gelap belum lagi mereka tiba di tempat tujuan, sekonyong
konyong terdengar suara gemuruh bergema dari gua rahasia, suaranya
menggelegar dan dalam sekejap suasana lantas sunyi kembali.
"Celaka!" teriak Liong Po-si, kawanan kakek juga sama melengak.
Ada urusan apa?" tanya Lamkiong Peng.
Tapi Hong Man-thian terus berlari ke sana bersama kawanan kakek.

"Peng-ji, coba kaupun melihat ke sana, apa yang terjadi sesungguhnya," kata
Liong Po-si.
Lamkiong Peng mengiakan sambil berlari pergi secepat terbang, ginkangnya
sekarang sudah berlipat lebih tinggi daripada dulu, hanya sekeJap saja ia
sudah sampai di depan tebing yang curam itu, tertampak pintu gua rahasia itu
tertutup rapat. Hong Man-thian dan kawanan kekek berdiri di situ dengan
tertegun.
"Apa yang terjadi?" tanya Lamkiong Peng dengan bingung.
"Wah, kenapa kulupakan langkah ini," ucap Hong Man-thian sambil mengentak
kaki. "Sungguh tak tersangka keparat ini sedemikian keji . . . . "
Melihat orang tua itu juga bisa gelisah, Lamkiong Peng coba tanya pula apa
yang terjadi?
Hong Man-thian menghela napas, tuturnya, "Gua ini sebenarnya tempat yang
biasa digunakan untuk bersembunyi orang yang lari dari dataran sana, lubang
masuk keluar gua dibangun serupa makam kuno dengan batu penutup yang
bisa anjlok sendiri. Sekarang Tocu itu sudah melepaskan batu penutup
sehingga jalan keluar sudah tersumbat buntu, kawan yang berada di dalam
gua jelas akan terkubur hidup-hidup bersama dia. Memang sudah kuduga
orang itu pasti akan bertindak secara drastis, tak tersangka dia dapat berlaku
sekejam ini, kematian sendiri harus disertai teman kubur sebanyak ini."
Lamkiong Peng merasa ngeri, "Apakah tidak ada jalan untuk menyelamatkan
mereka?"
“Sekali batu penyumbat sudah dilepaskan, biarpun malaikat dewata juga sukar
masuk-keluar, bukan saja mereka akan tamat seluruhnya, bahkan keadaan
kita juga .... juga menguatirkan," tutur Hong Man-thian sambil menggeleng.

"Kenapa jadi begitu?" tanya Lamkiong Peng cepat.
"Kautahu, semua perbekalan yang tersedia di pulau ini tersimpan di dalam
gua, pulau ini tidak menghasilkan tetumbuhan yang dapat dimakan, binatang
juga sangat sedikit. Ai, selanjutnya mungkin kita harus isi perut dengan akar
rumput atau kulit pohon."
Perasaan semua orang jadi tertekan, semua merasa sedih.
"Jika pulau ini tidak dapat didiami lagi, lebih baik kita berdaya pulang ke
daratan selekasnya," ujar Lamkiong Peng.
"Omong sih gampang, tapi prakteknya maha sukar," ujar Hong Man-thian.
"Lautan seluas ini, andaikan kita dapat membuat perahu kecil atau rakit juga
takkan tahan damparan gelombang ombak yang dahsyat."
"Bukankah tempo hari Cianpwe juga mengarungi samudra jauh dari daratan
sana, masa. sekarang ... ."
"Sekarang musimnya berbeda," ujar Hong Man-thian. "Mestinya di pulau ini
ada belasan kapal yang terbuat dari kayu besi yang kuat dan tahan damparan
ombak, sebab itulah biasanya kami gunakan kapal itu pada waktu tertentu
untuk pergi dan pulang dari sini ke daratan sana. Kini kapal itu tersisa tiga
buah saja, tapi sisa ketiga kapal itu juga berada di dalam gua."
Belum lagi mereka merasakan hasil kemenangan segera mereka diliputi
kesedihan lagi akan nasib mereka selanjutnya.
Selama beberapa hari Iuka Liong Po-si sudah ada kemajuan. namun tetap
parah. Tenaga pukulan Tocu itu sungguh hebat, kalau bukan Liong Po-si pasti
sudah binasa.

Untung juga di tengah pulau ada sumber air tawar yang dapat diminum
mereka, namun hidup mereka serupa orang yang terkurung di gurun pasir.
Bilamana Liang Po-si tidur, Lamkiong Peng lantas berbicara dengan kawanan
kakek itu, mengenai llmu silat. Padanya sudah apal berbagai macam kungfu
sakti yang dibacanya dari kitab-kitab pusaka itu, sekarang ditambah lagi
petunjuk kawanan kakek yang berpengalaman luas, tentu saja kemajuannya
sangat mengejutkan.
Tapi bila teringat olehnya hidupnya akan berakhir di pulau terpencil ini dalam
waktu tidak lama lagi, biarpun kungfunya maha sakti juga tidak ada gunanya.
Bila teringat demikian, segera hatinya berduka juga.
Selang beberapa hari lagi, hawa bertambah panas. Lamkiong Peng menjaga di
samping Liong Po-si dan mengipasnya dengan kipas daun antuk mengusir
nyamuk dan lalat.
"Bikin susah padamu saja, anak Peng," ucap Liong Po-si dengan pedih.
"Ah, yang susah kan Suhu," kata anak muda itu. "Suhu, sungguh murid tidak
mengerti mengapa dari. puncak Hoa-san engkau bisa datang ke sini?"
Liong Po-si menghela napas, "Kalau diceritakan sungguh sangat panjang. Hari
itu, di puncak Hoa-san kulihat Yap Jiu-pek ternyata belum mati, tentu saja aku
kaget dan juga girang. Sepanjang jalan dia telah mempermainkan diriku
dengan berbagai cara, dan karena tidak mau menyerah kalah, aku terus
menerjang ke atas. Tapi sesudah melihat ke-adaannya yang mengharukan,
rasa dongkolku lantas lenyap."
Diam-diam Lamkiong Peng merasa sang guru yang gagah perkasa itu ternyata
juga berhati Lemah terhadap orang perempuan. Segera teringat olehnya akan
diri Bwe Kim-soat .... Didengarnya Liong Po-si menyambung lagi, "Sesaat itu

aku berdiri tertegun di depannya dan tidak tahu apa yang harus kukatakan,
waktu . . . . "
Belum lanjut ceritanya, mendadak di kejauhan terdengar suara ribut dan
jeritan di sana sini.
"Ada apa?" tanya Liong Po-si.
"Akan kuperiksa ke sana," kata Lamkiong Peng sambil menyelinap keluar dari
gubuk itu.
Dilihatnya bayangan orang berkelebat di dalam hutan sana kian. kemari
dengan cepat, terdengar pula suara Hong Man-thian lagi ber-kata. "Coba
periksa sekeliling, kujaga di sini!" Cepat Lamkiong Peng memburu ke sana,
setiba di tepi sebuah lungai kecil, tertampak menggeletak empat sosok mayat,
wajah Hong Man-thian tampak kelam, tongkat kayu yang dipegangnya
berulang mengentak tanah.
"Ken . . . kenapa mereka mati? Masa. . . ." "Coba lihat," ucap Hong Man-thian.
Waktu Lamkiong Peng mengamati, dilihatnya tubuh keempat mayat itu telah
berubah menjadi hitam serupa daging busuk, baunya bacin. Padahal tidak
terlihat tanda terluka, namun air muka korban kelihatan berkerut serupa orang
yang menderita keracunan.
Jangan-jangan ada racun dalam air?" sela Lamkiong Peng.
Belum lagi Hong Man-thian menjawah, seorang kakek berlari datang dengan
membawa sebuah mangkuk perak, waktu air sungai diceduk, mangkuk perak
segera berubah hitam warnanya.
"Hah, benar air beracun," seru Lamkiong Peng kaget.

Seketika Hong Man-thian tak bisa bicara, jika satu-satunya sumber air di pulau
ini juga beracun. maka nasib mereka selanjutnya sukar dibayangkan.
Selagi semua orang tak berdaya, mendadak Lamkiong Peng berseru, "Tidak
menjadi soal, air sungai ini terus mengalir, umpama di hulu sungai diracuni,
suatu ketika air yang beracun juga akan habis teralir, asal kita berjaga di
bagian hulu, tentu takkan sampai mati kehausan,"
"Hah, betul, lekas ke sana," seru Hong Mari-thian.
Sementara itu beberapa kakek sudah memeriksa ke sekeliling situ dan telah
kembali dengan tangan hampa, dua di antaranya lantas lari ke hulu sungai
untuk berjaga.
"Untung sumber air ini terus mengalir, namun urusan ini belum lagi selesai,
sebelum orang yang menaruh racun ditemukan, selama itu kita tetap akan
terganggu," ujar Hong Man-thian.
Semua orang saling pandang dan tidak da pat menerka siapa yang menaruh
racun dalam air.
Waktu Lamkiong Peng memandang ke sana, mendadak ia berteriak kaget,
"He, lihat?"
Semua orang memandang ke arah yang ditunjuk, ternyata asap tebal
mengepul di tengah hutan sana, di tengah asap terbawa lelatu api, ketika
tertiup angin, segera api berkobar terlebih bahaya.
"Wah, hutan terbakar," seru Hong Man-thian kuatir.
Serentak mereka memburu ke sana, Hanya sekejap saja mereka sudah sampai
di depan hutan, namun begitu sukar lagi mendekat karena api yang menjilat
dengan hebatnya.

Angin pun meniup dengan santar sehingga makin menambah berkobarnya api,
hanya sekejap saja hutan itu sudah berubah menjadi lautan api. Padahal di
dalam hutan ada tetumbuhan yang merupakan sumber hidup mereka,
sekarang sudah hangus semuanya.
Selagi mereka melenggong tak berdaya, mendadak dari tengah hutan yang
terbakar itu melompat keluar dua sosok bayangan, kiranya kedua kakek yang
disuruh memeriksa sekeliling sana, baju mereka sudah terjilat api, rambut dan
jenggot juga terbakar.
Segera mereka menjatuhkan diri dan menggelinding di tanah untuk
memadamkan api, begitu melompat bangun lagi seorang lantai menuding ke
tengah hutan sambil berseru, "Dia... . " tapi baru bersuara ia lantas roboh lagi.
"Siapa maksudmu?" Lamkiong Peng men-dekatinya dan bertanya.
Dilihatnya kulit badannya sama melepuh terbakar, nyata lukanya sangat
parah, berkat lweekangnya yang tinggi ia bertahan dan menerjang keluar
hutan, namun akhirnya tetap mati karena lukanya.
Waktu Lamkiong Peng berpaling, dilihatnya kakek yang satu lagi juga sudah
menggeletak tak berkutik.
"Siapa . . . siapa maksudnya?" gumam Hong Man-thian dengan beringas.
Mendadak ia menambahkan, "Lekas kembali ke sana, jangan sampai tempat
tinggal disana juga dibakar musuh!"
Belum habis ucapannya, serentak mereka lari kembali ke tempat tadi.
Sesudah dekat dan melihat gubuk itu tidak beralangan barulah hati mereka
merasa tentram.

"Suhu . . . Suhu ..." dari jauh Lamkiong Peng lantas berteriak, lamat-lamat ia
merasa firarat tidak enak.
Benar juga, setiba di depan gabuk, waktu ia melongok ke dalam, seketika air
mukanya pucat, ia sempoyongan dan jatuh terduduk sambil berteriak, "Oo,
Suhu . . . Suhu . . . . "
Ternyata Liong Po-si sudah tidak terlihat lagi di situ entah menghilang ke
mana.
Tentu saja Hong Man-thian dan lain-lain juga kaget, dalam pada itu suara
pletak-pletok api yang menyala terdengar semakin dahsyat.
"Liong-taihiap hilang, kita wajib mencari-nya, hendaknya sebagian berjaga di
sini dain sebagian ikut padaku . . . ."
Belum lagi selesai ucapan Hong Man-thian tiba-tiba seorang menjengek, "Hm,
kau ini kutu apa?"
Lima orang kakek berjenggot panjang dengan rambut semrawut muncul dari
sana, sekarang lantas bicara pula, "Suasana pulau ini mestinya aman dan
damai, tapi sejak kau pulang dari daratan, keadaan lantas kacau. Seharusnya
kau mati saja untuk menebus dosamu tapi kau malah main perintah di sini."
"Huh. apakah kalian rela diperintah oleh orang gila itu?" teriak Hong Manthian.
"Tapi apa pula yang kau dapatkan se karang jelas kalian pun akan mati
kelaparan dan kehausan tanpa berdaya," jengek kakek jenggot panjang itu
sembari mendekat.
"Lantas apa kehendakmu?" bentak Hong Man-thian.

"Membunuhmu!" teriak si kakek terus menghantam.
"Hm, manusia tidak tahu diri, rela diperbudak orang, tahu begini rendah jiwa
kalian, buat apa kususah payah berjuang?" kata Man-thian sambil putar
tongkatnya, sekaligus ia balas menyerang beberapa kali.
Akan tetapi keempat kakek lain tidak tinggal diam, serentak mereka pun
menerjang maju. Betapapun tangguh Hong Man-thian juga rada kerepotan
menghadapi kerubutan keempat kakek.
Selagi orang lain tiap-tiap hendak memberi bantuan, mendadak ada orang
berteriak pula, "Berhenti, berhenti!"
Tiga orang kakek berambut putih membawa tiga sosok mayat berlari datang.
Kakek yang paling depan segera berteriak, '"Baru saja ada tiga orang kawan
disergap di semak-semak sana. semuanya mati dengan tubuh biru, jelas juga
mati keracunan.
Keadaan pulau ini penuh bahaya, dalam keadaan demikian kita justru harus
bersatu padu untuk menghadapi kesukaran bergema, jika saling membunuh,
akibatnya cuma akan merugikan kita sendiri."
Uraian ini agaknya telah menggugah hati nurani semua orang, seketika
pertempuran berhenti.
"Betul," seru Hong Man-thian. "Kita harus mencari dulu biang keladi yang
menyalakan api dan meracuni air minum itu, selanjutnya bahkan harus
bersatu untuk berusaha mencari hidup bersana, kuyakin akhirnya kita pasti
dapat selamat."
Sekarang tiada lagi yang membantah, semuanya menurut pendapat Hong
Man-thian

Itu, yang sebagian tinggal di sini untuk berjaga, yang lain lantas terpencar
untuk menyelidiki jejak musuh dan juga mencari Liong Po-si.
Ombak mendampar menimbulkan suara mendebur, angin mendesir seakanakan
menyayat daun telinga, Lamkiong Peng berjalan menyusuri pantai,
tampak rumah hitam berdiri megah di depan sana. rumah yang entah telah
mengubur banyak pahlawan dunia
Terpikir olehnya musuh yang tak kelihatan ini, ia mencari tanpa arah tertentu,
padahal sejauh mata memandang pantai kelihatan rata tiada seorang pun.
Tiba-tiba terlihat olehnya sebuah sepatu anysman rumput tertinggal di selasela
batu sana, ujung sepatu menghadap ke timur dan kelihatan ada tetesan
darah.
Tergerak hati Lamkiong Peng, "Apakah inilah barang tinggalan suhu?"
Segera ia menoleh ke arah yang ditunjuk oleh ujung sepatu.
Tidak jauh, benar juga ditemukan sebelah sepatu lagi, kini ujung sepatu
mengarah miring ke barat laut.
Tanpa pikir Lamkiong Peng mengikuti petunjuk itu, dihhatnya tebing karang
malang melintang di tepi laut, dinding tebing terjal sekali, di bawahnya adalah
air laut yang mendebur debar.
Diam-diam ia mengukur dan menaksir, dapat dihitung tebing karang ini seperti
bagian atas gua yang sudah tertutup buntu itu.
la coba menyelidiki lagi sekitar situ, tebing itu memang sangat rapat dan tiada
jalan tembus.

Matahari sudah terbenam, sisa cahaya senja menyinari permukaan laut dan
memantulkan pemandangan yang indah. Sudah tentu Lamkiong Peng tidak
ada minat untuk menikmati pemandangan itu.
Dengan kesal ia duduk di atas batu karang tiba-tiba terdengar suara bicara
orang yang pelahan sayup-sayup berkumandang dari bawah dinding tebing
sana, lamat-lamat dapat dikenali sebagai suara Cu-sin-tocu itu, dia seperti lagi
berkata, " Kenapa Liong Po-si bertelanjang laki, kemana pergi sepatunya."
Sejenak kemudian dan balik dinding tebing sana menongol kepala Cu-sin-tocu
yang berdahi lebar dengan rambut semrawut itu.
Lamkiong Peng tidak berani bergerak dan mendekam di tempatnya, dilihatnya
Cu-sin-tocu digendong oleh seorang manusia kera, dengan langkah cepat
sebentar saja sudah menyusup masuk ke sela sela karang sana.
Tanpa pikir Lamkiong Peng merunduk ke depan, dengan ginkangnya sekarang
tidak sulit baginya untuk menguntit musuh. Ketika ia melayang turun ke sana,
ternyata di bawah hanya air laut belaka dan tiada tempat untuk berpijak.
Ia heran, ke mana menghilangnya Cu-sin-tocu dengan manusia kera tadi.
Waktu ia periksa lagi, di lihatnya ada tali rotan yang melambai-lambai tertiup
angin di dinding tebing.
Ia pikir mungkin tali ini digunakan untuk merambat naik-turun.
Segera ia pegang tali rotan itu dan me-lorot ke bawah, benar juga, hanya
satu-dua tombak melorot, dilihatnya sebuah celah-celah batu, segera ia
menyelinap ke situ. Mulut celah batu itu hanya dapat dimasuki dengan
memiringkan tubuh, lalu merangkak ke depan.

Beberapa tombak ke dalam, tiba tiba lorong itu melebar, di depan adalah
sebuah gua dengan beraneka macam tonjolan batu. Akan tetapi tiada
kelihatan bayangan seorang pun.
Ia coba maju lagi dan menurun ke bawah, tiba-tiba dilihatnya di depan seperti
ditutup oleh dinding kayu
Waktu ia tertegun, tiba-tiba terdengar suara "krek", dari samping sana
melompat keluar dua sosok bayangan, ternyata dua manusia kera, tanpa
bicara mereka terus menerjang Lamkiong Peng.
Anak muda itu membentak, kedua tangan menghantam sekaligus, sebelum
lawan mendekat sudah lebih dulu tergenjot hingga mencelat, ' bluk",
menumbuk dinding batu dan tumpah darah, lalu roboh binasa.
Setelah menarik napas, ia coba memandang lebih cermat, baru sekarang
dilihat jelas dinding kayu itu ternyata dinding sebuah perahu yang berdiri
tegak, segera teringat olehnya akan cerita Hong Man-thian tentang perahu
buatan dari kayu besi itu, tentu inilah perahu yang dimaksud.
Cepat ia memutar kesana, maju lagi adalah sebuah kamar batu yang penuh
tertimbun perbekalan dan guci air. Di pojok sana ada sebuah dipan batu dan
seorang terbujur di situ, dadanya kelihatan berjumbul naik-turun, agaknya
sedang tidur dengan nyenyak, waktu ditegasi, ternyata Put-si-sin-liong Liong
Po-si adanya.
Tentu saja Lamkiong Peng kegirangan, serunya, "Suhu . . . . "
Tapi baru dia bersuara. mendadak seorang menjengek di belakang, "Hm,
kaupun datang, bagus sekali!"

Tergetar hati Lamkiong Peng, cepat ia berpaling, ternyata Cu-sin-tocu dengan
memegang dua tongkat bambu dan digendong manusia kera tadi tahu-tahu
sudah muncul di situ.
Lamkiong Peng tahu akibat terlalu lama menghuni pulau terpencil ini, jalan
pikiran orang tua ini sudah rada kurang waras, apalagi sekarang setelah
kehilangan wibawa, tentu saja sifat gilanya meledak dan ingin memusnakan
setiap orang yang dianggapnya memusuhi dia.
"Semua perbuatan keji itu tentu dilakukan olehmu bukan?" tanya Lamkiong
Peng dengan gusar.
Cu-sin-tocu terbahak, "Kecuali diriku masa ada orang lain. Pendek kata, yang
tunduk pada ? ku akan hidup, yang membangkang harus mati. Jika mereka
sudah mengkhianati aku, harus kubinasakan mereka sama sekali."
Suara tertawanya yang serupa orang gila, ketika bicara juga beringas, ngeri
juga Lamkiong Peng melihat orang tua yang sudah kalap ini. Pelahan ia
mrnyurut mundur ke dipan batu, tapi manusia kera itu pun mendesak maju.
Mendadak Lamkiong Peng bergerak hendak menyerang, seketika manusia kera
itu berbalik menyurut mundur.
"Kaupun berani bergebrak denganku?" bentak Cu-sin-tocu.
"Tidak cuma bergebrak gaja, bahkan ingin kutumpas dirimu," teriak Lamkiong
Peng terus melancarkan pukulan berantai.
Namun Cu-sin-tocu lantas putar tongkatnya sehingga serangan Lamkiong Peng
tertahan.

Dengan penuh semangat Lamkiong Peng melancarkan serangan lagi dengan
berbagai jurus, di antaranya terseling kungfu yang baru diselaminya dari
berbagai kitab pusaka yang baru dibacanya dipulau ini.
"Haha, anak keluarga Lamkiong memang serba pintar," seru Cu-sin-tocu
dengan tertawa. ' Meski cuma beberapa jilid buku yang kuberi kaubaca, namun
hasil yang kautarik ternyata tidak mengecewakan."
Sambari bicara terus berputar dan mematahkan setiap pukulan Lamkiong
Peng.
Perawakan manusia kera itu memang tinggi besar. Cu-sin-tocu mendekap di
atas punggungnya sehingga kedudukannya. lebih tinggi dan lebih
menguntungkan, lambat-laun serangan I.amkiong Peng semakin berat.
Tiba-tiba timbul pikirannya, ia tidak lagi menyerang Cu-sin-toca melainkan
hanya mencecar manusia kera itu.
Karenaa kedua tangan harus digunakan untuk mendukung Cu-sin-tocu yang
digendongnya di punggung dengan sendirinya manusia kera itu tidak sanggup
menangkis, ia hanya menggerung murka dan tidak dapat balas menyerang,
setelah berapa kali menghindar, tahu tahu dia sudah menyurut mundur sampai
di luar gua.
Segera serangan Lamkiong Peng tambah gencar, suatu kali ia yakin pasti
dapat merobohkan musuh, siapa tahu bayangan tongkat mendadak
menyambar tiba sehingga terpaksa ia melompat mundur malah.
"Sudah belasan jurus kauserang, sekarang giliranku," seru Gu-sin-tocu,
sekarang dia menyerang dengan cerdik sambil melindungi manusia kera yang
digendongnya.

Karena lawan lebih tinggi, sukar bagi Lamkiong Peng untuk balas menyerang,
kembali ia terdesak mundur hingga mepet dinding.
Mendadak tongkat menyambar tiba, cepat Lamkiong Peng menggeser ke
samping, "brak",tongkat mengenai dinding dan batu kerikil munerat.
Untuk mundur lagi sudah tidak mungkin, tiba-tiba Lamkiong Peng melihat
mayat manusia kera yang mati tadi menggeletak disampingnya, cepat ia
meraihnya terus dilemparkan ke arah musuh.
Darah mayat manusia itu belum kering sehingga berhamburan mengenai
kepala dan muka manusia kera yang menggendong Cu-sin-tocu.
Bau anyir darah merangsang kebuasannya, mendakak ia meraung, bangkai
kawannya ditangkap terus dirobek, bahkan isi perut terus dilahapnya.
Dalam keadaan begitu Cu-sin-tocu jadi tidak terpegang lagi dan terperosot ke
bawah, cepat sebelah tongkatnya menahan di tanah, tongkat yang lain
menutuk manusia kera yang buas itu hingga roboh. Berbareng itu iapun
terkulai di tanah.
Tentu saja Lamkiong Peng tidak tinggal diam, serentak ia menubruk maju.
Terpaksa Cu-sin-tocu menggunakan tongkat untuk menolak tanah sehingga
tubuhnya melayang ke sana, masuk ke kamar batu.
Lamkiong Peng berteriak kaget dan cepat memburu, dilihatnya Cu-sin-tocu
sudah hinggap di atas dipan batu, "Hm, apakah kau minta kumampuskan
gurumu?"
Seketika Lamkiong Pang tidak bisa berkutik dan tidak berani melangkah maju
lagi.

"Sudah kututuk hiat-to tidurnya, cukup tongkatku kutekan ke bawah dan
jiwanya segera melayang, tapi bila kaumau . . . . "
“Mau apa?" teriak Lamkiong Peng.
"Asal kaumau bekerja menurut perintahku, tentu beres urusan ini."
"Sungguh tak tersangka orang terhormat semacam dirimu juga dapat
bertindak serendah ini," damperat Lamkiong Peng.
"Haha, tidak perlu kaugunakan kata-kata kasar untuk memancingku," seru Cusin-
tocu. "Pokoknya, jika engkau tidak mau menurut, maka jiwa gurumu
berarti akan amblas di tanganmu."
"Apa kehendakmu?" Janya Lamkiong Pens;
"Anak buah yang melayaniku sudah kaubunuh semua," ucap Cu-sin-tocu.
"Maka sebagai gantinya harus ka ukerjakan semua tugas mereka. Nah, kuberi
waktu satu jam bagimu untuk menggusur perahu ini ke mulut gua. lalu
mengusung semua perbekalan ini dan dimuat ke atas perahu. Jika melampaui
batas waktu atau sengaja main gila padaku, hm, tentu kau-tahu sendiri
akibatnya."
"Maksudmu hendak meninggalkan pulau ini?" tanya Lamkiong Peng terkejut.
"Betul, pulau ini sudah terbakar ludes, hilanglah segala rencanaku yang telah
kuatur selama ini, untuk apa pula kutinggal lagi di sini dan hidup serupa orang
hutan?" kata Cu-sin-tocu dengan tertawa. "Meski orang-orang itu belum mati
seluruhnya, tapi biarkan mereka tinggal di sini dan apa yang akan mereka
alami pun sudah cukup setimpal bagi mereka."
Kejut dan gusar Lamking Peng, seketika ia tidak sanggup bersuara.

"Tapi jangan kaukuatir," kata Cu-sin-tocu pula. "Kalian berdua guru dan murid
bukan saja akan kubawa serta, bisa jadi akan ku wariskan pula ilmu
pertabibanku yang telah kupelajari selama berpuluh tahun ini. Coba kau
bayangkan, bilamana dapat kau kuasai ilmu mujijat, dapat kau tentukan matihidup
orang dapat kau pindah dan sambung anggota badan orang, bagaimana
perasaanmu nanti?"
Namun Lamkiong Peng tetap tidak ber gerak, jawabnya, "Tidak perlu . . ..'?
"Lekas kerjakan!" bentak Cu-tin-tocu mendadak sambil mengangkat
tongkatnya.
Diam-diam Lamkiong Peng merasa menyesal, sebenarnya dia rela menerima
risiko apa pun, tapi dia juga tidak ingin keselamatan sang guru terancam,
terpakia ia kerjakan apa yang diminta orang.
Ukuran perahu itu cukup besar, bahkan sangat berat, dengan sepenuh tenaga
barulah Lamkiong Peng dapat mengangkut semua barang ke mulut gua, di luar
gua adalah lautan, rupanya di sini adalah sebuah kanal sempit yang
menembus ke laut.
Setelah segala sesuatu sudah selesai dikerjakan, tentu saja ia mandi keringat
dan letih.
"Boleh juga, sekarang boleh kau duduk di mulut gua sana, jangan
sembarangan bertindak," kata Cu-sin-tocu.
Tiada jalan lain terpaksa Lamkiong Peng menurut. Setelah menunggu sejenak,
tampak Cu-sin-tocu memanggul Liong Po-si dan berlompatan dengan kedua
tongkatnya menuju ke atas perahu.
"Dorong perahu ini ke air, lalu kau pun melompat ke atas perahu." bentak Cusin-
tocu.

Terpaksa Lamkiong Peng melakukan apa yang diperintahkan. Jika dia tidak
naik ke atas perahu, jelas sang guru sudah ikut terbawa. Mau-tak-mau ia pun
melompat ke dalam perahu. Waktu tongkat Cu-sin-tocu menolak tepian kanal,
segera perahu itu meluncur jauh ke sana.
Hanya beberapa kali tolakan saja perahu itu sudah keluar gua dan berada di
lautan le pas, terlihat ombak mendampar-dampar, perahu terombang-ambing
dan berguncang dengan hebat.
Mau-tak-mau berubah juga air muka Cu-sin-tocu, katanya, "Ambil penggayuh
dan dayung sekuatnya, akan kupegang kemudi di buritan."
Melihat perubahan air muka orang, pelahan Lamkiong Peng berucap. "Pulau
yang telah kau benah selama berpuluh tahun dengan susah payah, apakah
tidak berat kau tinggalkan begini saja?"
"Tentu saja berat," jengek Cu-sin-tocu.
"Jika begitu, lebih baik kembali saja ke sana." seru Lamkiong Peng.
"Tidak, berat atau tidak harus pergi."
Lamkiong Peng menggelang kepala, bukannya dia tidak ingin meninggalkan
pulau ini, dia cuma tidak tega pada kawan-kawan yang tertinggal di sana.
Terpaksa ia mendayung sekuatnya, pulau itu kelihatan semakin kecil, sampai
akhirnya hanya tersisa setitik hitam saja di kejauhan, lalu lenyap dari
pandangan.
Ujung tongkat Cu-sin-tocu tetap mengancam didekat tenggorokan Liong Po-si
yang masih belum sadar itu, kelopak matanya kellihatan terpejam, agaknya
sudah tidur.

Pelahan Lamkiong Peng mengangkat dayungnya dan bermaksud menghantam
kepala orang tua itu
Siapa tahu. baru saja dayung terangkat sedikit segera Cu-sin-tocu membuka
mata, terpaksa ia jatuhkan dayung ke air dan berteriak dengan gusar,
"Sesungguhnya hendak kauapakan kami?"
"Mestinya kauharus berterima kasih padaku," ujar Cu-sin-tocu. "Kubawa pergi
dirimu, tujuanku dalam waktu setahun akan kuwariskan segenap ilmu
pertabibanku kepadamu, dengan ilmu itu harus kau sembuhkan kelumpuhan
kakiku '
"Siapa yang sudi belajar ilmu pertabibanmu yang gila itu?" jawab Lamkiong
Peng dengan gusar.
"Mau atau tidak mau be!ajar tetap harus kauterima, sebab hal ini bukan
permintaanku melainkan perintah. Jika tidak kau terima, hm, tentu kautahu
sendiri akibatnya, sebab kedua kaki guru mu juga akan serupa kakiku ini."
"Apa maksudmu, jadi akan kau . . .." "Betul sudah kututuk dengan cara yang
berat sehingga kaki gurumu pun sudah cacat, jika hendak kausembuhkan dia
harus kaubelajar ilmu pertabibanku dan lebih dulu harus memenyembuhkan
kakiku."
"Keparat! Biar ku . . . " segera Lamkiong Peng hendak menerjang musuh.
Tapi baru saja bergerak segera tongkat Cu-sin-tocu mengancam tenggorokan
Liong Po-si sambil membentak, "Berani sembarang bergerak?"
Lamkiong Peng mati kutu, dengan menunduk ia duduk kembali, "Ken'.". .
kenapa kau ...."

"Soalnya meski aku menguasai ilmu pertabiban maha tinggi, tapi aku tidak
mampu melakukan pembedahan atas kakiku sendiri," ujar Cu-sin-tocu.
"Di atas pulau tadi masih ada beratus orang lain, mengapa kaupilih diriku
saja?"
"Sudah tentu ada alasanku, cuma sekarang belum dapat kuberitahukan
padamu," ujar Cu- sin-tocu dengan tersenyum.
Melihat senyuman orang sangat aneh, seperti ada sesuatu rahasia, seketika ia
menjadi sangsi, namun dia justru mendayung terlebih kuat.
Entah sudah berapa jauh ia mendayung, tangan pun terasa pedas, namun
pikirannya mulai tenang dan merenungkan akal untuk meloloskan diiri.
Malam sudah larut, bintang bertaburan di langit, perahu keeil ini terombangambing
di lautan lepas yang gelap dan tak teriihat ujung pangkalnya, sunyi
ngeri rasanya.
Cu-sin-tocu juga sedang memandangi bintang di langit untuk membedakan
arah, sorot matanya yang beringas itu kini sudah berubah juga, tampak ia pun
sedih, seperti menanggung tekanan batin.
Sekonyong-konyong angin mulai meniup, angin kencang menghimpun awan
tebal sehingga kerlipan bintang mulai tak kelihatan.
"Celaka!" keluh Cu-sin-tocu sambil me-mandang kejauhan.
"Ada apa?" tanya Lamkiong Peng.
"Sebentar lagi akan datang hujan badai," serti Cu-sin-tocu kuatir.

Baru habis ucapannya, gumpalan awan hitam sudah meluas hingga berpuluh
kali lebih banyak, seluruh langit seakan-akan tertutup semua.
Angin bertambah keras, di tengah deru angin seperti membawa butiran air
hujan sebesar biji kacang. Ombak juga bergolak hebat, jika perahu biasa
mungkin akan terbalik.
Setelah ragu sebentar, akhirnya Cu-sin-tocu menepuk hiat-to Liong Po-si, lalu
menarik napas dalam, lalu memandang sekeliling.
"Suhu, engkau tidak apa-apa bukan?" seru Lamkiong Peng.
Sinar mata Lior;g Po-si meneorong terang, teriaknya dengan kejut dan gusar,
"Mengapa aku berada di sini?"
"Sekarang bukan waktunya untuk bicara," kata Cu-sin-tocu. "Meski perahu ini
terbuat dari kayu besi yang berat, tapi juga tidak tahan damparan ombak
sedahsyat ini, tampaknya angin yang akan berjangkit adalah sejenis Liong-kuihong
(angin lesus berputar), tiada jalan lagi bagi kita kecuali harus berusaha
mengerahkan tenaga untuk menahan perahu ini agar jangan oleng '...."
Pada saat dia bicara inilah hujan deras dan badai lantas berjangkit, ombak
mendampar dengan dahsyatnya sehingga perahu seolah-olah terlempar ke
udara mengikuti gelombang.
Sekuatnya mereka bertiga mengerahkan tenaga dalam antuk menahan
perahu, ombak mendampar susul menyusul, suasana gelap gulita, sekujur
badan Lamkiong Peng sudah basah kuyup, ia mendapatkan sebuah ember
untuk membuang air yang masuk ke dalam perahu. Namun hujan tambah
deras, air di dalam perahu bertambah banyak dan tidak berkurang.
Menghadapi bahaya maut membuat mereka melupakan permusuhan pribadi
mereka, sekarang mereka harus bersatu dan bergotong royong menghadapi

maut, harus berjuang mati-matian supaya perahu tidak terbalik dan
tenggelam.
Perjuangan mereka ini sungguh sangat sulit, sebab ombak semakin dasyat,
betapa kukuh perahu ini dan betapa tinggi ilmu silat mereka, tampaknya tetap
lebih banyak celaka daripada selamatnya.
Dalam keadaan demikian mendadak Cu-tin-tocu berseru, "Liong Po-si,
Lamkiong Peng, apakah kalian benci padaku karena kubawa kalian ke tengah
lautan ini?"
Namun kedua orang itu sedang menghadapi pergolakan ombak yang
menguatirkan itu, mereka tidak menjawabnya.
Cu-sin-tocu menghela napas panjang, katanya pula, "Kekuatan manusia
memang tidak dapat melawan kekuasaan Thian, semula ingin kututup terus
rahasia ini, tapi sekarang kita lagi menghadapi maut, setiap saat ada
kemungkinan akan tenggelam ke dasar laut, rasanya aku pun tidak perlu
menunggu lagi."
"Rahasia apa?" serentak Liong Po-si dan Lamkiong Peng bertanya dengan
tercengang.
"Apakah kalian tahu siapa aku?" teriak Cu-sin-tocu.
Lamkiong Peng melengak, sedang Liong Po-si lantas menegas, "Sesungguhnya
siapa kau?"
"Lamkiong Peng, ketahuilah, aku inilah pamanmu," teriak Cu-sin-tocu dengan
terbahak. "Dan kau, Liong Po-si, akulah yang merusak kebahagiaan selama
hidupmu."

Terguncang perasaan Lamkiong Peng, berbagai tanda tanya yang membuatnya
bingung selama ini sekarang jadi terjawab.
Pantas orang tua ini memperlakukan diriku lain daripada orang lain, pantas
juga dia mengharuskan aku mewarisi ilmu pertabibannya.
Pada waktu dia meninggalkan rumah, dia membunuh anak-istrinya, tentu
hatinya sangat sedih dan menyesal, kehidupan sepi dan merana selama
berpuluh tahun tentu membuat tekanan batinnya bertambah berat sehingga
pikiran pun kurang waras, makanya dia melakukan hal-hal yang kejam dan
gila itu. Tapi sebab apa pula dia merusak kebahagiaan hidup Liong Po-si?
Seketika Lamkiong Peng meraia heran, sedih, kasihan, kejut dan juga gusar.
Dilihatnya Liong Po-si juga terkejut dan bertanya. "Hah, jadi . . . jadi engkau
ini Lamkiong Eng-lok, jadi kaulah yang membuat Yap Jiu-pek membenciku
selama hidup, engkaulah orang berkedok kain hijau dahulu itu?"
Sekuatnya Cu-sin-tocu memegangi perahu yang oleng itu, pikirannya juga
bergolak serupa ombak samudra yang mengamuk itu.
Dengan suara parau ia menjawab, "Betul, akulah Lamkiong Eng-lok, akulah si
orang berkedok kain hijau itu. 40 tahun yang lalu, waktu pertama kali kulihat
Yap Jiu-pek, saat itu juga aku jatuh cinta padanya dan lupa daratan bahwa aku
sudah mempunyai anak istri, juga lupa tidak lama lagi aku harus
meninggalkan masyarakat ramai dan hidup terpencil kesepian di pulau itu.
"Waktu itu antara kalian berdua sudah terkenal sebagai pasangan setimpal di
dunia kangouw, timbul benci dan iriku, aku bertekad mengacau hubungan
kalian, dengan sendirinya orang kangouw takkan menduga semua itu
dilakukan olehku, sebab orang kangouw tidak ada yang tahu putra sulung
pujaan keluarga Lamkiong menguasai kungfu yang mengejutkan.

"Ketika akhirnya terjadi pertengkaran dan bahkan menjadi musuh antara Yap
Jiu-pek denganmu, pada saat itu pula aku berangkat jauh ke lautan sini
dengan meninggalkan kampung halaman. Karena rasa sedih dan dengki aku
bertekat akan berpisah selamanya dengan kehidupan ramai, maka secara
kejam kubunuh anak istri sendiri."
Mendadak angin mendera dan meniup dengan keras sehingga menambah
seram ucapan yang terakhir itu.
"Meski kaupergi meninggalkan dunia ramai, tapi hidupku telah kaubikin
susah," teriak Liong Po-si dengan gemas, seketika rasa dendam lama dan
benci baru timbul serentak, segera ia bermaksud menghantam.
"Nanti dulu," bentak Lamkiong Eng-lok. "Sekalipun kauingin balas dendam,
hendaknya tunggu dulu setelah habis ceritaku."
Mukanya kelihatan basah, entah air laut atau air mata, dengan suara parau ia
menyambung lagi, "Setiba di atap pulau tetap takdapat kulupakan kehidupan
dunia ramai sana, terlebih tidak dapat melupakan kalian, tambah lama tambah
jelas terbayang kejadian masa lampau. bayangan Yap Jiu-pek juga sukar
terhapus dalam benakku."
Liong Po-si menggerung murka, tapi Lam-kiong Eng-lok meneruskan lagi,
"Untung turun temurun orang keluarga Lamkiong adalah Cu-sin-tocu "
"Apa katamu?" tergetar hati Lamkiong Peng.
"Kautahu, pulau para dewata ini justru adalah ciptaan keluarga Lamkiong,
setiap keturunan keluarga Lamkiong kita, anak sulung harus dikirim ke sini,
yaitu untuk mewarisi kedudukan Tocu. Hal ini tetap merupakan rahasia dunia
persilatan selama ini, sebab itulah kaupun tidak tahu. Waktu kaudatang mulamula
sudah kukatakan akan memberi tugas padamu, maksudku adalah bila
aku sudah wafat, kedudukan Tocu akan kuserahkan padamu."

Mendadak Liong Po-si berteriak, "Setelah kaujadi Tocu di sini, engkau belum
melupakan kami dan mengirim utusan untuk mencari kami dan akhirnya
bertemu di puncak Hoa-san, pada saat kami sedang lengah aku telah dikerjai
kalian dan dibawa ke sini .... Sekarang ingin kutanya padamu. Yap Jiu-pek
telah kausembunyikan di mana?"
Lamkiong Eng-lok termenung sejenak, kata-nya kemudian, "Yap Jiu-pek su . .
. sudah terjerumus ke dalam jurang, dia sudah mati, sampai mayat pun sukar
ditemukan lagi. Karena pukulan batin itulah, maka pikiranku rada terganggu
....-"
Deru ombak yang mendampar membuat suaranya terputus-putus dan hampir
tak terdengar.
"Kaubilang apa?" bentak Liong Po-si.
"Dia sudah mati!" jawab Cu-sin-tocu alias Lamkiong Eng-lok dengan parau.
"Mati . . . sudah mati!" gumam Liong Po-si dengan melotot, mendadak ia
meraung murka, serentak la melompat maju terus menghantam batok kepala
lawan.
Akan tetapi Lamkiong Eng-lok sempat menangkisnya, icrunya dengan tertawa
pedih, "Baik, baik, permusuhan kita selama puluhan tahun boleh juga
diselesaikan saja sekarang."
Maka terdengarlah suara "plak-plok" beberapa kali, dalam waktu singkat
keduanya sudah saling gebrak enam-tujuh jurus.
Karena gerakan kedua orang yang keras, imbangan perahu tambah oleng dan
naik turun terlempar ombak, perbekalan yang dimuat perahu pun sama
terjatuh ke laut.

Sambil memegang perahu yang oleng Lamkiong Peng berteriak, "Suhu ....
Paman, berhenti . . . berhenti . . . . "
Tapi kedua orang tua itu tidak mendengar lagi seruannya, meski kaki kedua
orang takbisa bergerak, namun empat tangan mereka dapat saling
menghantam.
Lamkiong Peng serba susah, ia tidak dapat membantu guru untuk membunuh
paman, sebaliknya juga tidak dapat membantu paman untuk memusuhi guru.
Mendadak terdengar Liong Po-si dan Lamkiong Peng membentak bersama,
menyusul perahu pun terlempar ke atas oleh gelombang yang tinggi.
Kontan perahu miring ke samping, belum lagi tempat Lamkiong Peng menjerit,
tahu-tahu ia sudah tergelincir ke dalam laut.
Segera gelombang ombak mendamparnya dengan dahsyat sehingga
membuatnya tak berdaya, hanya dalam hati ia dapat mengeluh tamatlah
segalanya.
Ia tenggelam ke dalam laut, ditengah setengah sadar mendadak tangannya
menyentuh sesuatu, secara di bawah sadar ia terus pegang benda itu dan tak
dilepaskan lagi.
Sang surya memancarkan cahayanya yang gilang gemilang sehingga membuat
permukaan laut gemerdep dan memantulkan kelip cahaya keemasan. Angin
laut mendesir dan menimbulkan gemersik daun pohon kelapa yang banyak
tumbuh di tepi pantai.
Pesisir yang berwarna keemasan itu semula tiada jejak manusia, tapi ombak
yang tidak kenal ampun itu mendadak mengantarkan sesosok tubuh ke pantai,
tubuh itu tak bergerak, mata terpejam, entah sudah mati atau masih hidup.

Janggutnya pendek kaku, namun mata alisnya kelihatan cakap dan masih
muda. Kedua tangannya mencengkeram kencang se-buah peti kayu dan tak
terlepaskan.
Rupanya ketika hampir tenggelam, men-dadak tangan Lamkiong Peng sempat
meraih sebuah peti kayu, peti inilah yang me-nyelamatkan jiwanya dan
akhirnya terdampar ke pantai.
Tidak lama kemudian, tangan yang mencengkeram peti itu mulai mengendur,
kelopak mata pun bergerak, akhirnya terbuka sedikit, tapi karena si1au oleh
sinar matahari, ia menutupi mata dengan tangan.
Pelahan ia meronta bangun dan duduk. ia tumpahkan air laut yang membuat
perutnya rada gembung, Ia pandang sekelilingnya yang lapang dan sunyi.
Sekali lagi Lamkiong Peng lolos dari renggutan elmaut. Namun dia sudah
kehabisan tenaga, hati pun kecut, apakah mungkin dia dapat bertahan hidup
di pulau kecil ini?
Ia berdiri, ia tidak ingin memikirkan apa yang sudah terjadi, juga tidak berani
membayangkan nasib guru dan pamannya, entah mati atau masih hidup.
Ia tidak tahan sinar matahari yang menyengat itu, ia menuju ke bawah pohon
kelapa, di balik deretan pohon kelapa sana ada sebuah hutan yang rindang
dengan macam macam pohon.
Dengan langkah sempoyongan Lamkiong Peng menuju ke balik pepohonan
kelapa, ketika dekat dengan hutan yang rindang sana, dilihatnya di atas tanah
kuning yang kering itu ada bekas tapak kaki yang aneh, tapak kaki raksasa.
--- 000 ---

Terkesiap anak muda itu, pada tapak kaki itu kelihatan bekas tiga jari serupa
bekas kaki burung, tapi bagian tungkak dan telapak se rupa kaki manusia.
la tertarik untuk mengetahui sebenarnya bekas kaki makhluk apa itu.
Baru saja ia melangkah lagi, mendadak tanah yang diinjaknya longgor ke
bawah. Kira-nya di sumping bekas kaki ini ada sebuah jebakan sebulatan satu
tombak luasnya, ketika merasa kaki menginjak tempat kosong, ia terkejut,
sekuatnya ia pegang tepian lubang dan berusaha melompat ke atas.
Bahkan ia tidak berani lagi hinggap di sekitar situ melainkan terus meloncat
setingginya dan meiayang ke dalam hutan. Tapi mendadak kaki tersandung
ranting pohon, ia terkejut, sedapatnya ia ingin hinggap di atas dahan.
Tak terduga di saat itu juga sepotong ranting menyambar tiba pula. Bahkan
karena getaran ranting yang serupa panah itu mengakibatkan ranting kayu
yang lain, sehingga dari sana sini menyambar tiba pula panah kayu yang
tajam.
Dihujani panah dalam keadaan terapung, tentu saja Lamkiong Peng agak
kerepotan, apalagi beberapa kali lompatan itu telah banyak memakan
tenaganya. Untuk menyelamatkan diri, terpaksa ia anjlok ke bawah.
Siapa tahu, begitu kaki menyentuh tanah, segera diketahuinya kembali
kejeblos ke dalam perangkap. Sekali ini ia mati kutu, meski se kuatnya ia
berusaha melompat lagi ke atas, namun sukar mengeluarkan tenaga lagi.
"Plung", tahu tahu ia kejeblos ke dalam air.
Kiranya lubang perangkap ini selain luas dan dalam, bahkan pada dasar lubang
ada air sedalam enam-tujuh kaki. Betapapun tinggi ginkang seorang, bila
sudah kejeblos ke dalam lubang seperti ini, tentu juga tak berdaya seketika.

Sekujur badan Lamkiong Peng terendam air, bahkan hampir tenggelam sama
sekali, sebisanya ia berjinjit sehingga hidung dapat menongol di permukaan
air.
Lebih celaka lagi, mendadak terdengar suara "brak", ada penutup yang
menutupi lubang perangkap itu, keadaan menjadi gelap gulita.
Kejut dan sangsi pula Lamkiong Peng, pikirnya, "Tak tersangka di pulau
terpencil ini ternyata ada manusia. Melihat cara pembuatan perangkap ini
agaknya bukan digunakan untuk menangkap binatang melainkan ditujukan
terhadap tokoh persilatan kelas tinggi yang memiliki ginkang yang hebat.
Entah siapa gerangan pemasang perangkap ini dan siapa pula yang hendak di
jebaknya."
Selagi dia merasa ngeri terhadap musuh yaag tidak diketahui ini, sekonyongkonyong
terdengar suara orang tertawa, suaranya seram serupa bunyi burung
hantu.
Kiranya pada waktu penutup lubang jebakan tadi merapat dan menimbulkan
suara "bluk", suara itu menggema jauh ke tengah hutan yang lebat, segera
dari dalam sebuah rumah yang dibangun di atas dahan pohon serupa sarang
burung itu melayang keluar sesosok bayangan manusia.
Bayangan orang itu berambut panjang rupanya seorang perempuan, namun
tubuhnya hanya dibungkus dengan dedaunan dan akar-akaran, kulit badannya
tampak kering karena terbakar sinar matahari. Kesepuluh jarinya kurus kering.
tulang pipi tinggi menonjol, hanya kedua matanya masih mencorong, tapi
mencorong buas serupa kelaparan dan menimbulkan rasa ngeri bagi yang
melihatnya.
Dia tertawa latah dan beikata, "Baru sekarang kau rasakan kelihaian nyonya . .
. . "

Meski cepat gerak tubuhnya, tapi dilakukannya dengan hati-hati seperti di
dalam hutan ini penuh perangkap. Ketika dia sudah berdiri di atas papan
penutup lubang jebakan itulah baru ia berteriak pula sambil tertawa terkekeh,
"Siapa itu yang di atas? Mengapa kau jebak diriku dengan cara sekeji ini?"
teriak Lamkiong Peng.
Karena ucapannya ini, suara tertawa di atas seketika berhenti, perempuan
kurus kering itu melenggong sendiri, sorot matanya yang meneorong
menampilkan rasa terkejut, bentak nya dengan bengis, "He, bu . . . bukan kau
.... Siapa kau?"
Baru sekarang hati Lamkiong Peng merasa longgar, sebab diketahuinya
sasaran perangkap orang ternyata bukan dirinya. Tapi bila didengar dari
suaranya, mau-tak-mau ia pun kuatir.
Mendadak papan penutup itu terbuka, sebuah wajah orang perempuan
berambut panjang yang sangat buruk menongol di tepi lubang jebakan dan
sedang mendamperat pada-nya, "Keparat, jahanam . . . . "
Begitulah ia terus memaki dengan segala kata kotor yang keji.
Tentu saja Lamkiong Peng juga gusar, "Selamanya kita tidak kenal .... "
Mendadak ia melongo dan terputus ucapannya.
Tampaknya perempuan kurus kering itu pun terkejut, tapi segera ia tertawa
latah pula dan berseru, "Haha, kiranya kau . . ? Haha, ternyata engkau yang
masuk perangkapku, agak nya usahaku ini pun tidak sia-sia belaka. Wahai
Lamkiong Peng, apakah engkau masih kenal padaku."
Kaget juga Lamkiong Peng setelah me ngenali tiapa perempuan ini, "Hah,
kiranya engkau belum ... belum mati? Engkau Tek-ih Hujin bukan?"

"Betul, aku belum mati, akulah Tek-ih Hujin!" seru perempuan itu sambil
tertawa latah. Meski kalian menghanyutkan aku di tengah lautan bebas,
namun aku justru tidak mati kelaparan dan kehausan!"
Seketika Lamkiong Feng tidak sanggup bicara lagi.
Kiranya cukup lama juga Tek-ih Hujin terombang-ambing di tengah lautan
dengan sekoci itu, tiang hari ia dipanggang oleh terik matahari, pada waktu
malam hari dia kedinginan oleh angin lautan sehingga tubuhnya kurus kering
tinggal kulit membungkus tulang. Beberapa lelaki yang dihanyutkan bersama
dia, karena kungfunya kalah tinggi daripada dia, juga tipu akalnya kalah keji,
akhirnya semua terbunuh olehnya dan dijadikan isi perut.
Berkat darah dan daging orang-orang itu-lah Tek-ih Hujin bertahan berpuluh
hari di tengah lautan dan akhirnya terdampar ke pulau ini.
Selama tinggal di pulau ini juga penuh derita dan sengsara, bila musim dingin
tiba bahkan kedinginan setengah mati.
Hidup tersiksa ini telah membuat fisiknya berubah sama tekali, bahkan
suaranya juga berubah, hanya matanya saja dengan sinarnya masih tetap
serupa dulu, malahan tambah memancarkan cehaya rasa benci dan dendam
Kalau tidak melihat sinar matanya itu, tentu Lamkiong Peng tidak kenal iagi
perempuan kurus kering dan bermuka buruk ini adalah Tek-ih Hujin yang
dahulu terkenal pintar berubah rupa dan cantik molek itu.
Dalam keadaan demikian, Lamkiong Peng hanya merasa menyesal saja, maka
ia tutup mulut tanpa bicara.
"Kenapa engkau diam saja?" tanya Tek-iu Hujin dengan tertawa senang.

"Setelah jatuh di tanganmu, terserah padamu akan diapakan diriku," ajar
Lamkiong Peng.
"Apakah kau minta kubunuhmu?" "Silakan, makin cepat makin baik." "Haha,
kau ingin kubunuhmu, aku justru merasa keberatan," Tek-ih Hujin terbahak,
lalu sambungnya, "Sekarang engkau telah menjadi mestika ratuku, mana
kutega membunuhmu. Nanti setelah kehabisan tenaga baru akan kutarik kau
ke atas."
Terbayang entah apa yeng akan terjadi bila jatuh dalam cengkeraman
perempuun keji ini, Lamkiong Peng merasa lebih baik mati saja sekarang.
Tanpa ragu segera ia angkat tangan dan hendak menghantam kepala sendiri.
Mendadak Tek-ih Hujin terkekeh pula dan berseru, "Haha, masa akan kau
bunuh diri begitu saja? Apakah engkau tidak ingin tahu di pulau ini masih ada
siapa lagi selain diriku?"
"Hah, ada siapa Iagi?" seru Lamkiong Peng.
"Biarpun pecah kepalamu kaupikir juga takkan kau duga Bwe Kim-soat juga
berada di sini," tutur Tek-ih Hujin dengan tartawa senang.
Tentu saja Lamkiong Peng terkojut, "Kenapa dia berada di sini?"
"Dia menumpang sebuah perahu tua dan terdampar ke sini, perahunya kandas
di pantai karang sana, perahu pecah dan tak dapat berlayar Iagi, terpaksa ia
mendarat. Waktu itu aku tidak tahu dia adalah orang yang membikin celaka
diriku, sebaliknya dia juga tidak mengenali diriku . . . . "
Kiranya tempo hari Bwe Kim-goat menumpang perahu sendirian dan
meninggalkan mereka, meski dia paham cara berlayar, namun cuma sendirian.

mana dia mampu menguasai sebuah perahu di tengah gelombang laut
sedahsyat itu.
Di tengah lautan seluas itu, dia kehilangan arah, air minum dan perbekalan
yang dibawanya pun habis.
Mendingan kalau cuma lapar saja. kehausan itulah yang sukar ditahan. Dalam
keadaan lapar dan haus akhirnya ia jatuh pingsan.
Entah berapa lama ia terbawa perahu tanpa kemudi itu, akhirnya perahunya
kandas-
Memangnya perahu itu sudah tua, karena benturan batu karang. perahu
pecah, hanya tidak segera tenggelam karena tertahan oleh batu karang.
Tentu saja Tek-ih Hujin sangat girang melihat ada perahu singgah di pulau itu,
tapi setelah diperiksanya baru diketahui perahu itu tidak bisa dipakai lagi,
malahan dikenali perahu itu adalah perahu bekas dipakai Hong Man-thian dan
rombongannya. Sekarang di atas perahu tertinggal seorang perempuan saja.
Ia heran dan juga rada sangsi, namun dia sesungguhnya sangat kesepian
tinggal di pulau ini, kalau mendapatkan teman tentu saja sangat
menyenangkan, maka ia lantas menolong Bwe Kim-soat dan dibawa ke atas
pulau.
Mengingat Bwe Kim-soat pernah dalam satu perahu dengan Lamkiong Peng,
Tek-ih Hujin coba mengorek keterangannya, "Apakah hnbunganmu dengan
Lamkiong Peng'"
Karena baru sadar. seketika Bwe Kim-soat tidak mengenali Tek-ih Hujin,
jawabnya, "Dari mana kautahu kukenal dia?"
"Selagi pingsan pernah kau sebut-sebut namanya," ujar Tek-ih Hujin.

"Dia ... dia suamiku," kata Kim-soat dengan pedih.
Tentu saja Tek-ih Hujin terheran-heran, tapi dia tidak memperlihatkan sesuatu
tanda, tanyanya pula dengan tak acuh, "Oo, dan mengapa sengaja kau
menyamar sebagai orang kudisan yang kotor dan berbau serta menumpang
kapal itu?"
Terkejut Bwe Kim-soat, "Dari . . . dari mana kautahu?"
"Tentu saja kutahu," sahut Tek-ih Hujin dengan tertawa.
"Masakah engkau ini Tek . . . Tek-ih Hujin? . . . ."
Belum lanjut ucapan Kim-soat, tahu-tahu Tek-ih Hujin sudah menutuknya
hingga tak-bisa berkutik.
"Hahaha, Thian yang mengantarmu ke sini supaya aku dapat membalas sakit
hatiku, tapi jangan kuatir, sementara ini takkan kubinasakan dirimu, boleh
kautinggal di sini bersamaku, harus kaurasakan juga rasanya orang menderita
di pulau terpencil ini, kehidupan yang ingin hidup sukar dan minta mati pun
takbisa."
Begitulah Tek-ih Hujin menceritakan apa yang terjadi itu kepada Lamkiong
Peng, cemas dan gusar pula anak muda itu, teriaknya parau, "Dan sekarang di
mana dia? Betapa telah kau siksa dia?"
"Hm, bagaimana keadaannya sebentar akan kaulihat sendiri."
Apa yang dikatakan Tek-ih Hujin memang bukan omong kosong, cuma saat itu
Bwe Kim-loat tidak begitu buruk keadaannya sebagaimana disangka oleh
Lamkiong Peng.

Kiranya sesudah Bwe Kim-soat tertahan di pulau ini, Tek-ih Hujin telah
menyiksanya dengan berbagai macam cara, terutama mengenai air minum,
setiap hari hanya diberinya beberapa ceguk saja.
Dengan sendirinya kesegaran tubuh Bwe Kim-soat langat cepat menyusut,
namun dia tetap bertahan. Meski mulai kurus, namun belum banyak
menghilangkan kecantikannya.
Tek-ih Hujin merasa kagum juga terhadap kecantikan orang, dia sengaja
berolok, "Ehm, molek benar kau ini, pantai pemuda seperti Lamkiong Peng itu
pun jatuh hati padamu."
"Mungkin belum kau ketahui bahwa aku inilah Bwe Kim-soat," kata Kim-soat
dengan tertawa.
"He, jadi kau ini Khong-jiok Huicu?" seru Tek-ih Hujin terkejut.
Dengan sendirinya ia kenal nama itu, cuma menurut perhitungan, seharusnya
usia Bwe Kim-soat sudah setengah baya, mengapa sekarang kelihatan masih
begini muda.
Tiba-tiba tergerak hati Tek-ih Hujin, ia yakin orang dapat awet muda, tentu
karena sudah rnenguasai sesuatu ilmu perawatan. Karena itulah ia berusaha
memancing kepandaian awet muda dari Bwe Kim-soat.
Tentu saja hal ini dapat diketahui oleh Bwe Kim-soat. ia justru mienggunakan
hal ini untuk memeras, minta air minum lebih banyak, minta makanan
sekadarnya. Lebih dari itu ia pun minta dibebaskan dari ringkusannya
walaupun hiat-to tetap tertutuk dan tak ber-tenaga.
Diam-diam Tek-ih Hujin menggerutu, tapi dasar orang perempuan, siapa yang
tidak terpikat kepada ilmu kecantikan. Demi untuk memperoleh resep awet

muda dari Bwe Kim-soat, sedapatnya Tek ih Hujin memenuhi semua
tuntutannya.
Bwe Kim-soat menyadari lawan bukan orang bodoh, tentu tidak dapat ditipu
begitu saja, maka ia lantas menguraikan Iwekang untuk merawat diri agar
tetap awet muda.
Sebagai seorang tokoh persilatan, Tek- ih Hujiu tahu Iwekang yang diajarkan
ltu tulen atau palsu, dari kalimat dan istilah yang disebut Bwe Kim-soat jelas
memang pengantar untuk memperdalam sesuatu ilmu Iwekang.
Maka tanpa sangsi ia mengikuti petunjuk Bwe Kim-soat dan mulai berlatih. Ia
tidak tahu justru lweekang inilah yang telah membuat Bwe Kim-soat menderita
selama beberapa tahun.
Akibatnya memang begitu, Tek-ih Hujin duduk bersila dan mengerahkan
tenaga dalam, lambat laun terlihat butiran keringat menghias dahinya, sekujur
badan lantas gemetar. Baru sekarang ia kaget dan merasa tertipu, karena
gejolak perasaannya, tenaga dalam lantas menyasar, bagian kaki terasa kaku
dan mati rasa.
Mendadak Bwe Kim-soat tertawa dan melepaskan, diri dari ringkusannya,
katanya, "Eh, perasaanmu sekarang tentu sangat segar bukan?"
"Keparat, berani kautipu diriku?" damperat Tek-ih Hujin dan cepat
menghentikan latihannya.
Namun sudah telanjur, badan bagian bawah terasa kaku, hanya kedua tangan
masih bertenaga, ia pikir bila orang berani mendekat, segera akan dipukuluya
binasa.
Meski sudah bebas dari ringkusan, tapi tubuh tidak bertenaga karena tutukan
Tek-ih Hujin tadi. dengan sendirinya Kim-soat tidak mau sembarangan

mendekati orang. Sebaliknya ia berkata, "Cici yang baik, engkau telah
menyelamatkan jiwaku, maka aku pun takkan membunuhmu. Boleh kau
tinggal di sini, nanti kujengukmu lagi."
Habis berkata ia lantas melangkah pergi masuk ke dalam hutan.
Tentu saja Tek-ih Hujin geregetan, ia mencaci-maki, segala kata kotor
dihamburkan seluruhnya.
Setelah melintasi hutan, diam-diam Bwe Kim-soat juga memikirkan
kemungkinan apa yang akan terjadi, sebab ia tahu beberapa hari lagi
kelumpuhan Tek ih Hujin itu akan sembuh kembali, hal ini sudah pernah
dialaminya sendiri. Sebaliknya ia tidak tahu bilakah hiat-to sendiri yang
tertutuk akan dapat dilancarkannya kembali.
Setiba di balik hutan gana, setelah mengamati keadaan setempat, segera. ia
mengatur berbagai perangkap di dalam hutan. Lalu menuju ke perahu rusak
untuk mengambil peralatan yang diperlukan untuk memotong kayu dan
sebagainya.
Ia memotong beberapa puluh batang kayu dan dipasang sedemikian rupa di
tengah semak-semak sebagai penghalang, di samping itu juga diaturnya
banderingan batu dengan mengikat dahan pohon yang lemas.
Selama dua hari ia bekerja ksras sehingga lemas letih. Namun jerih payah itu
cukup menjaga keamanannya dari gangguan musuh.
Di pihak lain. Tek-ih Hujin menyaksikan kepergian Bwe Kim-soat dengan
gemas dan gusar, tapi tak berdaya.
Terpaksa ia harus merangkak ke dalam hutan dan berusaha menyembuhkan
kelumpuhannya. Tak terduga olehnya, pada pagi hari kelima, mendadak

kakinya dapat bergerak lagi, rupanya peredaran darah dalam tubuhnya telah
lancar dengan sendirinya,
Ia sangat girang, ia istirahat dan menghimpun tenaga, petangnya ia mulai
mencari jejak Bwe Kim-soat, ia bersumpah akan mencencangnya.
Dengan mudah dapatlah hutan dekat pantai itu didatanginya, tapi baru saja ia
melangkah masuk ke dalam hutan, sekonyong konyong batu berhamburan dan
kaki tersandung.
Cepat ia melompat mundur, dengan murka ia merdamperat, "Porempuan hina
she Bwe, kalau berani ayolah keluar!"
Tak terduga, tiba-tiba seorang mendengus, Bwe Kim-soat tampak melayang
keluar dari semak-semak dalam hutan, gerakannya ringan serupa terbang,
sungguh ginkang yang luar biasa.
Keruan Tek-ih Hujin terkejut, "Hah, siapa .... siapa yang membukakan hiattomu?"
Kim-soat tertawa, "Mungkin tidak kauketahui bahwa kungfuku yang sudah
dipunahkan oleh Liong Po-si akhirnya dapat pulih juga, apalagi cuma
tutukanmu yang tidak berarti ini. Sudah kusiapkan tempat berbincang-bincang
yang baik di dalam hutan, apakah engkau mau mampir sebentar?"
Semakin sepele cara bicara Bwe Kim-soat semakin membuat sangsi Tek-ih
Hujin, ia tambah mengkeret dan menyangka orang hendak menjebaknya lagi.
"Hm, tidak perlu mengoceh seenaknya, keledai pun takkan kesandung untuk
kedua kalinya di tempat yang sama, memangnya hendak kautipuku lagi?" seru
Tek-ih Hujin sambil tertawa, lalu ia berlari kembali ke tempatnya sendiri.

Ia tidak tahu bahwa tenaga Bwe Kim-soat sebenarnya belum pulih seluruhnya,
bilamana terjadi pertarungan, siapa yang lebih unggul pun belum dapat
dipastikan.
Begitulah Tek-ih Hujin menceritakan kejadian itu, walaupun tidak terperinci
dengan jelas.
Akhirnya ia berkata pula, "Sekembaliku disini, kukuatir akan diganggu oleh
perempuan hina itu, maka aku pun mengatur berbagai perangkap di hutan ini,
kubangun rumah sarang di atas pohon. Hm, betapapun licinnya, memangnya
aku dapat diakali? Sejauh ini apakah dia berani ke sini?"
Lega hati Lamkiong Peng mengetahui Bwe Kim-soat dalam keadaan selamat,
pikirnya, "Kiranya perengkap yang di pasangnya di sini ditujukan kepada Kimsoat."
"Selama ini perempuan hina itu menjaga perahu rusak itu," tutur Tek-ih Hujin
pula. 'Setiap hari ia berusaha memperbaiki perahu itu, kukuatir bila selesai
perahu diperbaiki bisa jadi dia akan lolos pergi, tertinggal aku saja merana di
pulau sepi ini. Akan tetapi sekarang datang lagi dirimu, aku tidak takut lagi ....
"
Berucap sampai di sini ia lantas terbahak bahak.
"Hm, apakah maksudmu hendak kauguna kan diriku untuk memeras dia?"
bentak Lam kiong Peng dengan gusar.
"Haha, cerdas juga kau," seru Tek-ih Hujin dengan gembira, segera ia angkat
Lam-kiong Peng dan dibawa lari ke balik hutan sana.
Setelah menembus hutan lebat ini, di depan adalah tebing karang yang curam,
di samping sana ada lagi hutan, di situlah tinggal Bwe Kim-soat.

Lamkiong Peng hendak berseru memanggil, mendadak Tek-ih Hujin menutuk
lagi hiat-to bisunya. Lalu ditaruhnya di belakang sepotong batu karang.
kemudian ia menuju ke de-pan hutan dan berteriak, "Bwe Kim-soat . , . ayolah
lekas keluar,"
Suaranya tajam melengking sehingga mengejutkan burung malam di dalam
hutan dan sama terbang serabutan.
Menyusul terdengarlah suara orang tertawa panjang, dengan memegang
setangkai ranting Bwa Kim-soat muncul dari dalam hutan, dia memakai jubah
yaug terbuat dari terpal bekas layar, meski kasar, tapi cukup resik.
Dengan tertawa hambar ia menegur, "Kau datang kemari, tentu ada urusan,
mairi, silakan masuk!"
Tek-ih Hujin tertawa dan berkata, "Adik yang baik, sekian lama tidak bertemu,
engkau telah banyak bertambah cantik."
"Kemarin dapat kutangkap dua ekor kelinci hutan, sungguh sedap rasanya,
apakah mau kujamu makan padamu?" ucap Bwa Kim-soat.
Mereka bicara seperti kenalan lama yang baru bertemu, padahal di dalam hati
sama-sama ingin mengerumus pihak lawan.
Mendengar suara Bwe Kim-soat, pedih dan girang hati Lamkiocg Peng,
sungguh kalau bisa ia ingin berteriak. Namun apa daya, hiat-to bisu tertutuk,
sungguh gemasnya tak terkatakan. Bwe Kim-soat berkata pula, "Eh, hari ini
tampaknya engkau sangat gembira, barangkali ada sesuatu urusan yang
menyenangkanmu?"
"Betul, tentunya perahu sadah hampir selesai kauperbaiki, makanya hatiku
sangat senang," jawab Tek- ih Hujin.

Kim-soat tertawa terkekeh, "Aha, engkau sungguh sangat baik, bilamana
perahu sudah kuperbaiki dan kuberangkat sendiri, tentu engkau akan
kesepian, teringat hal ini sungguh aku pun ikut sedih."
Dalam hati Tek-ih Hujin menggerutu, tapi di mulut ia tertawa. "Ai, adik
sungguh mem-perhatikan diriku, cuma engkau pun jangan kuatir. aku tidak
bakal kesepian lagi. Sebab, biarlah kuberitahukan padamu bahwa. hari ini aku
telah kedatangan seorang tamu."
"Oo. apa benar? Wah, tamu itu tentu orang luar biasa. Siapakah dia?"
"Lamkiong Peng!" jawab Tek ih Hujin dengan dingin.
Seketika tubuh Bwe Kim-soat bergetar, seketika lenyap suara tertawanya,
jeritnya kaget, "Apa katamu? Lamkiong Peng? Dia datang ke pulau ini?"
HAN BU KONG
Jilid 19
Dengan tak acuh Tek-ih Hujin menjawab, "Betul, tamuku itu ialah Lamkiong
Peng. Apakah ingin kautemui dia? la justru sangat ingin melihatmu?"
"Kenapa kutemui dia?" gumam Kim-soat ' Dalam hatiku kuanggap dia sudah
mati."
"Masa sudah kaulupakan janji setia kalian? Kaulupa kalian sudah terikat
menjadi suami-isteri?"
"Aku tidak lupa, tapi sekarang kubenci dia," ucap Kim-soat dingin. "Ketika di
Cu sin-to kuminta dia membuka mata dan memandang sekejap padaku, apa
pun dia tidak sudi, kenapa sekarang harus kutemui dia?"
Habis berkata demikian ia terus tinggal pergi.

"Nanti dulu," seru Tek-ih Hujin. "dengan susah payah orang mencarimu, apa
pun juga harus kautemui dia."
Kim-soat merandek, katanya, "Menemui dia atau tidak apa gunanya?"
"Tunggu sebentar, segera kubawa dia ke sini," seru Tek-ih Hujin sambil berlari
pergi. Sungguh lucu juga, semula dia berharap Bwe Kim-soat akan memohon
padanya agar membawa Lamkiong Peng ke sini. siapa tahu sekarang dia yang
memohon Bwe Kim-soat suka menemai anak muda itu.
Lamkiong Peng mendengar percakapan msreka, hati terasa duka dan juga.
girang, sebentar kecewa, sebentar lagi mendongkol karena Bwe Kim-soat tidak
dapat memahami jalan pikirannya, tapi segera terpikir pula oleh-nya,
"Biasanya dia dapat berpikir panjang, jangan jangan dia tahu maksud tujuan
Tek-ih Hujin, maka sengaja hendak memperalatnya..."
Selagi sangsi, dilihatnya Tek-ih Hujin sudah berlari tiba, ia berjongkok
membetulkan baju Lamkiong Peng dan merapikan rambutnya, lalu berkata
dengan bengis, "Setelah bertemu nanti, harus kaumohon dia dengan sangat,
pengaruhi perasaannya, mohon dia mengampunimu, tahu tidak? Hm, kalau
tidak, kau tahu sendiri, apa pun dapat kulakukan."
Lamkiong Peng mengertak gigi dan tidak bersuara. Tek-ih Hujin lantas
mengangkatnya dan menuju ke tempat tadi.
Dari jauh Lamkiong Peng melihat sesosok tubuh yang ramping berdiri mungkur
di hutan yang rindang itu, seketika hatinya berdebar, serunya, "Kim-soat . . .
."
Tubuh Bwe Kim soat seperti rada gemetar tapi tetap tidak berpaling.

"Adik yang baik," kata Tek-ih Hujin dengan tertawa. "Lihatlah, Cici sudah
membawa datang buah hatimu. Lihatlah betapa kurus dan cemasnya karena
rindu padamu"
Sampai sekian lama barulah Kim-soat membalik tubuh, namun sikapnya tetap
dingin Melihat sikap dingin itu, berbagai isi hati yang hendak dilampiaskan
Lamkiong Peng serasa tersumbat di kerongkongan dan sukar dikeluarkan.
Meiihat keduanya diam saja; Tek-ih Hujin menarik tangan Lamkiong Peng dan
berkata, "Ayolah bicara, kenapa diam saja? Mengapa kau tidak senang melihat
dia? Segala apa hendaknya kaukatakan, masa malu?"
"Apa pula yang dapat dikatakannya?" jengek Kim-ioat. "Lekas kaubawa pergi
dia?"
"Masa engkau benar-benar putus hubungan dengan dia?" teriak Tek-ih Hujin.
"Memang tepat ucapanmu," jawab Kim-soat.
Tek-ih Hujia mendengus, "Hm, jika begitu segera akan kusiksa dengan cara
yang paling keji, biarkan dia mati,dengan tumpah darah, ingin kulihat apakah
hatimu tahan."
Sambil bicara tangan lantas meraba hiat-to Lamkiong Peng, diam-diam ia
melirik Bwe Kim-soat dan berharap orang akan turun tangan menolong.
Siapa duga Bwe Kim-soat hanya mendengus saja, "Hm, silakan mampuskan
dia, aku pun ingin tahu betapa dia akan tersiksa."
Tek-ih Hujin melengak, mendadak ia melompat bangun sambil memaki,
"Sungguh perempuan hina yang tak berbudi, tega kausaksikan suami mati
konyol, pantas orang kangouw menyebut dirimu perempuan berdarah dingin,
ternyata benar engkau berdarah dingin dan berhati keji."

"Terima kasid atas pujianmu, ' ujar Kim-soat dengan tertawa. "Jika darahku
tidak dingin, entah berapa kali aku sudah mati . . . . " Mendadak ia berhenti
tertawa dan mengeluarkan sebuah genta emas kecil dan dilemparkan dan
jatuh di sebelah kaki Lamkiong Peng, katanya, "Ini adalah tanda matamu
ketika kita mengikat janji, sekarang kukembalikan padamu. Selanjutnya kita
putus hubungan dan tidak ada sangkut paut."
Hati Lamkiong Pong serasa disayat-sayat, telinga seperti mendengung.
Dengan gusar Tek-ih Hujin memaki, "Sungguh perempuan hina, biasanya
cuma lelaki yang menceraikan istri, sekarang berbalik kau ceraikan suami.
Sungguh keji dan tidak tahu malu."
"Huh, kukira yang paling keji dan tidak tahu malu ialah dirimu sendiri," ejek
Kim-soat "Silakan kau temani dia di sini, kapalku sudah selesai kubetulkan,
selamat tinggal, aku mau berangkat!"
Sembari tertawa ia berlari pergi lecepat terbang. Setiba di dalam hutan, suara
tertawanya berubah menjadi ratapan, "O, Peng cilik. hendaknya maklum, jika
aku tidak bersikap demikian tentu sukar mengelabuhi Tek-ih Hujin yang keji
itu."
Belum habis ucapannya darah segar lantas tertumpah keluar. la melangkah ke
depan dengan sempoyongan dan mencari suatu tempat, lalu duduk. la tahu
betapa kejinya Tek-ih Hujin, maka sengaja berlagak memutuskan hubungan
dengan Lamkiong Peng supaya Tak-ih Hujin putus asa.
Dengan sendirinya tindakannya ini harus dibayarnya dengan mahal, sebab ia
telah melukai hati Lamkiong Peng. Tapi ia pun tahu semakin sukses
kepalsuannya itu, betapapun liciknya Tek-ih Hujin juga dapat ditipunya.

"Nah, datanglah kemari, Tek-ih Hujin, kutunggu kedatanganmu ke hutan ini
dengan berbagai perangkap? Lekas kaudatang!" demikian gumamnya.
Melihat kepergian Bwe Kim-ioat tadi, remuk rendam juga hati Lamkiong peng,
tanpa terasa ia pun tumpah darah.
Tek-ih Hujin mondar-mandir di sekitar Lamkiong Peng, sejenak kemudian
mendadak tergerak pikirannya, ia dorong Lamkiong Peng dan berkata, "Ayo,
ke depan sana."
Setelah menyusuri hutan dan mengitar ke samping. tertampak tebing curam
menegak didepan, di bawah adalah pepohonan lebat, setelah berpikir, Tek-ih
Hujin mencari dua potong batu api.
Terkesiap Lamkiong peng, serunya, "He, hendak kaubakar?"
"Betul," dengus Tek-ih Hujin. "Akan kubakar ludes hutan ini.coba lihat,
perangkap apa yang diaturnya disini."
Maklumlah, selama ini dia tidak berani menggunakan api untuk membakar
hutan tempat tinggal Bwe Kim soat, soalnya ia kuatir dibalas dengan cara yang
sama oleh lawan. Bilamana terjadi demikian, tentu keduanya akan gugur
bersama.
Tapi sekarang dia tidak ada pertimbangan lain lagi, dikumpulkannya ranting
dan.daun kering, lalu di bakar, ranting berapi terus dilemparkan ke tengah
hutan.
Angin meniup kencang, hawa panas, segera api menyala dengan cepat, asap
tebal pun membubung tinggi.
"Haha, ingin kulihat apa yang dapat kau lakukan sekarang, kecuali ...."?

"Hm, biarpun kaubakar seluruh hutan ini, bilamana dia sudah berlayar, apa
yang ,dapat kauperbuat atas dia?" jengek Lamkiong Peng.
Tergetar hati Tek-ih Hujin, ia termangu-mangu sejenak, mendadak ia
berteriak, "Baik, biarlah kita mati seluruhnya dan habis per-kara . . . . "
Ia tepuk Hiat-to anak muda itu sehingga dapat bergerak bebas, lalu
didorongnya sambil berteriak, "Ayolah terjang sana, susul dia!
Tak terduga tangan Lamkiong Peng lantas meraih ke belakang, Tek-ih Hujin
berbalik ditariknya terus dilemparkan ke bawah, kontan Tek-ih Hujin tergelincir
masuk hutan yang mulai terjilat api itu.
Sambil menjerit, tubuh Tek-ih Hujin disambar lidah api, cepat ia melompat
bangun dan berlari ke tampat yang belum terbakar seperti kesetanan.
Tak terduga baru berapa tombak jauhnya ia berlari, mendadak ia menjerit lagi,
ia jatuh tersungkur, tahu-tahu tubuhnya terkerek terbalik ke atas, rupanya
kakinya terjerat oleh rotan yang terpasang di situ, menyusul dari kerindangan
pepohonan menyambar keluar panah kayu sebagai hujan, sebagian panah itu
sama menghinggap pada tubuhnya.
Lamkiong Peng tertegun menyaksiikan itu, ia menghela napas dan berlari ke
arah datang-nya tadi sambil berteriak, "Kim-soat, dia sudah terperangkap,
dapatkah kaulihat?"
Ia mengira Bwe Kim soat tadi sengaja memancing kedatangan musuh, setelah
terjebak tentu dia akan muncul. Tak tahunya saat itu Bwe Kim-soat sendiri
dalam keadaan tak sadar, meski Lamkiong Peng berkaok-kaok tetap tidak ada
jawaban. Ia kecewa dan juga putus asa, mendadak ia pun menerjang ke
dalam hutan.

Ia lupa bahwa setiap jengkal tanah di tengah hutan ini penuh perangkap,
maka belum beberapa langkah ia lari ke situ segera ia jatuh tersandung,
sepotong batu menyambar dari balik pohon dan tepat menghantam
punggungnya, kembali ia tumpah darah dan jatuh kelengar.
Angin laut meniup kencang, api tambah berkobar ....
Tidak seberapa lama pulau kecil itu sudah berubah menjadi lautan api.
Lamkiong Peng bertiga tetap tidak sadar di tampat masing-masing, api yang
berkobar itu semakin mendekat, tampaknya dalam waktu singkat mereka pasti
akan terbakar menjadi abu dan tamatlah segalanya ....
Pada waktu yang hampir bersamaan, jauh di lautan lepas itu tampak sebuah
kapal layar sedang laju mendapat angin buritan.
Layar kapal itu tampak indah berwarna-warni, kelasi kapal juga berbaju sutera
warna-warni dengan rambut panjang sebatas pundak, bila diamati baru
ketahuan mereka adalah kaum wanita seluruhnya. Cuma seluruhnya berotot
kuat dan berbadan tegap sehingga tidak kalah dengan kelasi lelaki.
Seorang perempuan kekar berambut pendek berdiri di atas geladak dengan
bertolak pinggang mendadak berteriak, "Aha, daratan!" Seorang pemuda
berbaju perlente menongol dari balik tabir kabin dan lari ke sam ping si
perempuan tegap, waktu memandang ke depan sana, benar juga di kejauhan
muncul bayangan daratan.
Segera ia msmberi tanda dan berseru. "Putar haluan, maju sepenuh
kecepatan!"
Serentak kawanan kelasi betina itu lama bersorak, kelasi yang sudah lama
berlayar tentu saja sangat senang bilamana melihat daratan.

"Apa sudah kelihatan daratan?" terdengar suara merdu bertanya dari dalam
kabin.
Dua nona jelita lantas muncul, seorang berbaju mewah dan berpupur tebal,
memakai ikat kepala kain hijau, gelang tangan berbunyi gemerincing,
tampaknya dia adalah pengantin baru.
Nona yang lain tidak berdandan juga tidak bersolek, tapi justru kelihatan
kecantikannya yang asli.
"Betul, di depan sudah kelihatan daratan," jawab anak muda tadi sambil
menoleh.
Pelahan nona bersolek itu menghela na-pas, ucapnya, "Semoga pulau ini betul
Cu-sin-to menurut dongeng itu, supaya adikku ini tidak kuatir setiap hari.
Selama ini entah sudah berapa banyak tubuhnya bertambah kurus."
Si pemuda menanggapi, "Bukan cuma dia saja yang gelisah, aku juga . . . . "
Belum lanjut ucapannya, mendadak dilihatnya asap tebal mengepul di daratan
sana, ia berteriak knget, "Hah, timbul kebakaran di sana!"
"Jika di pulau itu ada api, pasti ada manusia yang tinggal di sana, janganjangan
pulau ini memang betul Cu-sin-to adanya," ujar nona bersolek tadi.
Si nona berbaju hijau tadi juga kelihatan bersemangat, air mukanya yang
dingin mendadak bersemu merah.
Cepat pemuda itu berteriak dan memberi tanda "Ayo, cepat! Kebakaran di
pulau itu, api menjalar dengan cepat, kita harus mencapai sana sebelum api
meluas, kalau tidak. . . wah"

la seperti merasakan alamat tidak enak, maka ia pandangi nona baju hijau
sekejap dan tidak melanjutkan ucapannya. ,
Kapal layar itu meluncur mengikuti angin buritan, maka tidak lama kemudian
sudah mencapai pantai, sebelum kapal menepi, si pemuda dan kedua nona
tadi lantas melompat ke daratan.
Nona baju hijau itu paling cemas, serentak ia berlari secepat terbang ke hutan
yang berkobar itu.
Si pemuda dan nona berdandan mewah itu melompat ke atas batu karang
yang tinggi sambil berteriak, "Adakah orang di tengah pulau?"
Suaranya keras bergema jauh namun teng gelam di tengah api yang berkobar
dengan suaranya yang gemuruh itu, dari pulau tiada kelihatan sesuatu
jawaban.
Bekerenyit kening si nona bersolek, katanya, "Jika ada orang di tengah pulau
kenapa tidak ada jawaban, tampaknya . . . . "
Belum lenyap suarannya mendadak pemuda berbaju mewah berteriak, "Hei,
lihat, apa itu?"
Waktu si nona memandang ke arah yang ditunjuk, terlihat di tengah asap tebal
itu, di dalam hutan seperti ada sesosok bayangan tergantung di udara.
Keduanya saling pandang sekejap, segera anak muda itu menanggalkan baju
luar untuk membungkus kepala.
"Jangan, berbahaya," ucap si nona.
"Selama hidupku sudah kenyang menghadapi hal-hal yang berbahaya, engkau
jangan kuatir," kata pemuda itu sambil mengeluarkan sebuah tombak

bergagang lemas, sekali putar terjadilah lingkaran sinar, dengan gesit ia terus
melayang ke sana, menerobos ke dalam hutan.
Sesudah dekat, pemuda itu melihat di dahan pohon besar sana bergantung
perempuan bermuka jelek dengan terjungkir, tubuhnya berdarah, rambut
terurai dan sebagian sudah terbakar, bilamana dia terlambat sedikit saja
perempuan ini pasti akan terbakar menjadi arang.
Tanpa pikir ia melompat ke depan, sekali tabas ia putuskan rotan yang
mengikat kaki perempuan itu, Ialu menangkap tubuhnya dan dibawa lari
kembali ke atas batu karang tadi.
Cepat si nona cantik memadamkan lelatu api yang hinggap di tubuh pemuda
itu, tanya nya dengan kuatir, "Tidak terbakar bukan?"
"Haha, hanya api begitu saja bukan apa-apa bagiku," ujar pemuda itu dengan
tertawa.
"Siapa perempuan ini? Kenapa begini rupa?" tanya si nona.
"Jangan urus siapa dia, jika di atas pulau ada orang, tentu tidak cuma dia saja
seorang, apakah mungkin dia menggantung dirinya sendiri di situ?"
Belum lanjut mereka bicara, mendadak dari kejauhan sana si nona baju hijau
tadi lagi berteriak, "Itu dia, di situ, Lamkiong Peng dia . . . dia memang benar
berada di sini."
Hati si pemuda dan si nona cantik tergetar, seru mereka, "Haha, dia telah
menemukannya."
Segera mereka berlari ke sana, tertampak nona baju hijau duduk di atas batu
karang sambil memangku seorang, mukanya cemas, gugup, berair mata, tapi
juga gembira, katanya demi melihat kedua kawannya, "Dia .. . dia terluka."

"Apakah parah?' tanya si nona cantik.
"Sangat parah, untung luka luar, sudah kuberi obat," tutur si nona baju hijau.
Pemuda itu menaruh Tek-ih Hujin di tanah, Ialu bantu menolong Lamkiong
Peng.
"Jangan menangis adik bodoh.kan sudah kautemukan dia," ucap si nona cantik
sambil mengusapkan air mata si nona baju hijau.
"Tidak, aku tidak menangis, aku terlampau gembira," kata si nona baju hijau.
Dia bilang tidak menangis, namun air mata terus meleleh.
Dengan bantuan lwekang pemuda perlente itu, pelahan Lamkiong Peng mulai
siuman Wak-tu membuka mata dilihatnyi tiga buah wajah yang sudah
dikenalnya, seketika rasa duka dan girang membanjiri hatinya, ia sangka
berada dalam mimpi.
Rada gemetar tubuh si nona baju hijau begitu beradu pandang dengan
Lamkioug Peng, segera ia menunduk malu dan melepaskan ta-ngannya yang
merangkul anak muda itu.
Lamkiong Peng berdiri, sapanya kepada pemuda perlente itu, "Tik-heng,
sekian larna berpisah, sungguh seperti lahir kembali pertermuan ini."
Mendadak si nona cantik bersolek tadi menyela, "Lamkiong Peng, dengan
susah payah nona Yap mencarimu kian kemari, akhirnya jiwamu dapat
diselamatkannya, masa ti-dak kaulihat dia?"
Lamkiong Peng melengak, pelahan pandangannya beralih ke arah si nona baju
hijau. ucapnya, "Nona . . . nona Yap, sungguh aku,..."

"Lukamu belum sembuh, lebih baik jangan banyak bicara dulu," kata si nona
baiu hijau alias Yap Man-jing.
Lamkiong Peng memandang nona cantik bersolek itu sekejap, tanyanya
dengan ragu, "Dan ini . . . ini . .. "
"Dia inilah pengantin baru, iparmu alias istriku . ..." pemuda baju perlente itu
bergelak tertawa.
Lamkiong Peng tercengang, tapi cepat ia berseru girang, "Aha, tak , kusangka
Tik-heng sudah menikah, selamat dan berbahagialah!"
Kiranya pemuda perlente ini adalnh Tik Yang dan nona cantik itu bernama Ih
Loh.
Tik Yang tertawa, katanya, "Haha, dalam urusan lain aku memang ketinggalan
jauh, tapi urusan kawin aku telah mendahuluimu, pertemuan kita ini sungguh
sangat . ..."
Mendadak ucapannya terhenti ketika dilihatnya air muka Lamkiong Peng
berubah pucat, ia melenggong dan coba tanya apa yang terjadi.
Dangan menyeesal Lamkiong Peng lantas menceritakan kisah cintanya dengan
Bwe Kim-soat serta sikap Kim-soat terakhir tadi . . . .
______________________________****_____________________________
______
Mengenai Bwe Kim-soat, selagi dalam keadaan tak sadar, samar-samar
dirasakan hawa panas yang sukar tertahan, waktu ia membuka mata
dilihatnya hutan di sekelilingnya sudah hampir berubah menjadi lautan api.

Ia terkejut dan eepat melompat bangun. Ketika teringat pada Lamkiong Peng,
ia menjadi kuatir akan keselamatan anak muda itu.
Segera ia berdiri keluar hutan. Selagi ia hendak bersuara memanggil, pada
saat itulah dilihatnya di ketinggian tebing karang sana ada beberapa bayangan
orang. Bahkan Lam-kiong Peng yang dicemaskan keselamatannya saat itu
justru berada dalam pangkuan seorang gadis.
Ia kenal gadis itu ialah Yap Man-jing, sesaat itu hatinya terasa pedih, cepat ia
me narik diri dan sembunyi.
Percakapan antara Lamkiong Peng dan Tik Yang dapat didengarnya dengan
jelas, terdengar olehnya ucapan anak muda itu yang mengatakan dia telah
memutuskan hubungan, maka anak muda itu pun tidak ingin melihat-nya lagi.
Sungguh hancur luluh hatinya.
Terdengar olehnya seorang nyonya cantik mendengus, "Jika perempuan itu
sudah meninggalkanmu, buat apa kaupikirkan dia lagi?'
"Aku . . . aku memang takkan memikirkan dia lagi," sahut Lamkiong Peng
dengan lesu.
"Makanya selanjutnya harus kaucurahkan perhatianmu kepada adik Yap kita
ini," kata nyonya cantik itu dengan tertawa.
"Kautahu demi mencari dirimu, betapa dia telah menderita lahir dan baiin."
Lamkiong Peng hanya menghela napas sambil menunduk tanpa bersuara.
Tambah remuk hati Bwe Kim-soat, dari jauh dilihatnya Lamkiong Peng berjajar
dengan Yap Man-jing, keduanya sungguh pasangan yang setimpal, sebaliknya
dirinya sendiri compang camping dan kurus pucat, siapa yang tahu bahwa
pengorbanannya ini juga demi Lamkiong Peng.

Api berkobar dengan hebat, tanpa ber-henti Kim-soat berlari menuju ke dalam
gua, di ujung gua yang menembus perairan itu sudah siap kapal layar yang
telah direparasinya dan siap berlayar.
Ia lemparkan tambatan kapal dan didorong dengan galah, lambat-laun kapal
meluncur ke perairan bebas. Kim-soat melompat ke atas kapal, dan pasang
layar, ia datang sendirian, sekarang pun berlayar pulang sendirian, Datangnya
tidak membawa apa-apa, pulangnya justru membawa hati yang luka ....
Di tempat lain Lamkiong Peng dan Tik Yang sedang berusaha menolong Tek-ih
Hujin, namun perempuian itu tampak sudah payah karena luka terbakar.
Lamkiong Peng telah memberitahukan kepada Tik Yang bertiga tentang siapa
Tek-ih Hujin.
Pelahan Tek-ih Huj in membuka mata, dengan sinar matanya yang guram ia
mengerling Lamkiong Peng sekejap, lalu bertanya, "Bwe . . . Bwe Kim-soat, di
… di mana dia?"
Lamkiong Peng tidak menjawab.
Dengan lemah Tek-ih Hujin menghela na-pas, katanya, "Selama hidupku
malang melintang di dunia kangouw dan banyak orang kosen yang telah
kutipu, tak tersangka akhirnya aku juga kena ditipa oleh seorang perempuan
semacam Bwe Kim-soat. Wahai Bwe Kim-soat, hebat juga kau!"
"Hm, orang suka menipu tentu juga akan ditipu, kenapa.mesti menyesal?"
jengek Ih Loh mendadak.
"Kautahu apa?" kata Tek-ih Hujin dengan gusar. "Meski dia menipuku, tapi
pada saat kulompat ke bawah tebing sudah dapat kuduga muslihatnya, ia
cuma berlagak dingin terhadap Lamkiong Peng, sesudah aku tertipu dan
tertawan, lalu dia akan bergabung lagi dengan Lamkiong Peng."

"Haha, tapi sekarang ternjata telah makan tuan, akhirnya kalian jadi terceraiberai,
betapapun rasa dendamku terlampias juga .... Hahahaha . . . . "
Di tengah gelak tawa latahnya, perempuan siluman ini mendadak mendelik.
sekujur badan lantas berkejang, lalu putus napasnya. Tamatlah riwayatnya
yang penuh dosa itu.
Mendadak Lamkiong Peng berteriak sekali terus melepaskan diri dari pegangan
Tik Yang. serunya parau, "Dia pasti masih berada di sana . . . . "
Dengan langkah sempoyongan ia terus hen dak berlari ke tengah hutan yang
sudah menjadi lautan api itu.
Tik Yang terkejut, cepat ia menarik tangannya.
"Lepaskan aku . . . . " teriak Lamkiong Peng.
Pada saat itulah seorang kelasi perempuan tampak berlari datang sambil
berteriak, "Jalan ke pantai hampir tertutup seluruhnya oleh api, harap tuan
dan nona lekas keluar dan sini, kalau tidak tentu sukar lagi meninggalkan
pulau ini. Baru saja orang lain sudah berlayar..."
"Hah, siapa yang berlayar? Siapa yang kaulihat?" tanya Tik Yang cepat.
"Waktu hamba pasang mata di atas puncak tiang layar, tertampak di ujung
pulau sebelah sana meluncur sebuah kapal, sedangkan api telah mengililingi
seluruh pulau ini."
"Siapa penumpang kapal itu, terlihat jelas tidak?" tanya Tik Yang.

"Kapal layar itu mendapat angin buritan dan melaju dengan cepat. hanya
sebentar saja sudah jauh sehingga sukar terlihat siapa penumpangnya, karena
kuatir keselamatan nona, maka hamba Iantas lari kemari."
Tik Yang, Ih Loh dan Yap Man-jing saling pandang, dalam hati sama membatin
tentu Bwe Kim-soat yang telah pergi dengan kapal layar itu. Mereka sama
memandang Lamkiong Peng, anak muda itu kelihatan pucat dan berdiri
termenung, mendadak tumpah darah dan jatuh pingsan.
Cepat Tik Yang mengangkat tubuh Lam-kiong Peng dan mengajak kawankawannya
berlari ke pantai. Setiba mereka di atas kapal, tempat berada
mereka tadi pun mulai terjilat api.
Pelahan Lamkiong Peng siuman kembali, kapal mereka mengitari dulu pulau
yang terbakar itu, mereka berharap dapat melihat ba-yangan kapa! Bwe Kimsoat
atau menemukan jejak Liong Po-si dan Lamkiong Eng-lok. Namun tiada
sesuatu yang mereka lihat.
Hampir sebulan kapal mereka berlayar kembali, Lamkiong Peng berkabung
dengan sedih, sepanjang hari dia tidak bicara. Orang lain ikut berduka dan tak
berdaya.
Waktu kapal sudah dekat pantai, kendaraan air yang berlalu lintas bertambah
banyak, Kapal layar mereka ini banyak menarik perhatian kapal Iain, namun
tidak ada yang berani mendekat.
Menurut taksiran Tik Yang, tidak berapa lama lagi kapal pasti dapat menepi,
dengan sendirinya hati terasa senang.
Beberapa saat ketnudian, tiba-tiba dari depan muncul sebuah kapal layar
putih, makin lama makin mendekat, meski kedua kapal seperti akan saling
tubruk, namun kapal itu seperti tidak mau menghindar, bahkan tampaknya
sengaja menyongsong kedatangan kapal Tik Yang ini.

Tentu saja Tik Yang kaget dan heran, gumamnya, "Mungkinkah kapal bajak?
kalau tidak kenapa . . . . "
"Kuharap kapal ini memang kapal bajak laut, supaya aku dapat melemaskan
otot melabrak mereka, sudah sekian lamanya aku kesal," Ih Loh tertawa
cerah.
Tidak lama kapal itu sudah dekat. di haluan berdiri seorang lelaki berbaju biru
sedang mengayun-ayunkan sehelai kain putih sambi! berteriak, "Apakah ,Tikkongcu
yang datang di kapal depan itu? Mohon turun layar sebentar, ada
sedikit urusan hendak kubicarakan."
Sel.agi Tik Yang merasa ragu, Ih Loh telah mendahului menjawab, "Betul,
sahabat ini siapa? Ada urusan apa?"
Layar kapal itu sudah diturunkan sehingga laju kapal menjadi lambat, Tik Yang
Iantas memerintahkan juga menurunkan layar dan mengurangi laju kapalnya.
Setelah bersimpangan haluan, kedua kapal berdempetan, segera orang itu
melompat ke geladak kapal Tik Yang sambil menatap para penumpangnya.
Dengan kurang senang Tik Yang berkata "Selamanya kita tidak berkenalan,
dari mana sahabat tahu aku berada di kapal ini?"
Lelaki itu tersenyum, ia pandang Lam-kiong Peng sekejap, lalu menjawab,"
"Tik-kongcu pesiar ke lautan bersama nyonya, hal ini sudah tersiar luas di
dunia penilatan, terutama layar berwarna-warni kapal Tik-kongcu ini mudah
dikenali oleh siapa pun."
"Sahabat sedemikian menaruh perhatian kepada kami, sesungguhnya ada
urusan a pa?" jengek Tik Yang.

Orang itu tersenyum tanpa menjawab, ia memberi tanda tepukan tangan,
segera di atas kapalnya dikerek naik belasan batang galah bambu panjang,
pada ujung galah tergantung keranjang dan diantarkan ke kapal Tik Yang.
"Majikan kami tahu Tik-kongcu dan nyonya sudah sekian lama berlayar di
lautan lepas, tentu kurang teratur dalam hal makan minum,maka hamba
khusus ditugaskan mengantar sedikit hidangan sekadar memberi servis
kepada Tik-kongcu."
"Siapa majikan kalian?" tanya Tik Yang.
"Majikan sedang menuggu di pantai akan kedatangan Tik-kongcu, setelah
bertemu tentu Tik-kongcu akan tahu siapa beliau," jawab orang itu dengan
tertawa.
Habis berkata ia lantas mengundurkan diri dan kemball ke kapalnya sendiri,
lalu layar berkembang dan kapalnya melaju lagi, Tik Yang saling pandang
sekejap dengan Ih Loh, mendadak nyonya itu membuang belasan macam
hidangan itu ke laut, untuk menghindari segala kemungkinan. mereka tidak
mau mengambil risiko makan hidangan itu.
Diam-diam semua orang berpikir apa maksud tujuan orang mengantarkan
makanan itu.
Semalam tidak terjadi apa pun, esoknya selagi mereka berdiri di haluan kapal,
dan jauh muncul lagi sebuah kapal layar.
Sesudah dekat, kembali dari haluan kapal pendatang itu ada orang berteriak,
"Adakah Tik-kongcu di atas kapal situ?"
"Di sini aku berada, masa perlu tanya lagi?" jawab Tik Yang dengan tertawa.

Tertampak orang yang berdiri di haluan itu bukanlah lelaki yang kemarin.
Sikap orang ini terlebih hormat, oleh oleh yang diantarnya terlebih baik
daripada kemarin.
"Semalam kalian baru saja mengantarkan makanan, pagi-pagi sekarang kalian
sudah datang lagi, rasanya majikan kalian agak terlalu sungkan kepada kami,"
segera Ih Loh mendahului menegur.
Lelaki itu tampak melenggong bingung". jawabnya, "Pang kami baru pagi tadi
menerima kabar kepulangan Tik-kongcu suami-istri dan segera Pangcu kami
mengirim kami kemari."
"Jadi yang datang kemarin itu bukan temanmu?" tanya Ih Loh.
Lelaki berbaju panjang itu menggeleng.
"Siapa Pangcu kalian, bolehkah kami diberitahu?" tanya Ih Loh pula.
"Sesudah berhadapan tentu Tik-kongcu akan tahu sendiri," jawab lelaki itu,
tanpa banyak bicara kapalnya terus putar haluan dan berlayar pergi.
Kembali Tik Yang saling pandang dengan kawan-kawannya, mereka tidak tahu
sebenarnya apa maksud pengantar makanan ini. Kembali semua antaran itu
dibuangnya ke laut.
Menjelang lohor, berturut-turut datang lagi empat kelompok pengantar hadiah,
satu terlebih hormat daripada yang lain, antaran yang datang juga semakin
bernilai, namun tiada seorang pun mau menceritakan asal-usulnya sendiri,
semuanya menjawab nanti tentu tahu sendiri setelah bertemu.
Yang paling aneh adaiah orang-orang inii tiada satu pun yang kenal Tik Yang,
mereka seperti mewakili setiap golongan atau perguruan masing-masing dan
berusaha menarik Tik Yang ke pihaknya.

Lewat lohor dari jauh sudah kelihatan bayangan daratan, seketika semangat
mereka terbangkit, para kelasi wanita itu pun bekerja terlebih giat agar
selekasnya dapat mencapai pantai.
Cahaya senja indah permai, air laut ber kilauan dengan ombak yang mendebur
banyak juga perahu nelayan sedang menuju ke tepi, Di pantai kelihatan
bergerombolan puluhan orang, waktu diamati. semuanya adalah orang
perempuan.
' Sungguh aneh," ucap lh Loh dengan heran. "Memangnya beberapa kelompok
orang yang mengantar oleh-oleh itu sama hendak memungut dirimu sebagai
menantu, kenapa sebanyak ini orang perempuan menanti kedatanganmu?"
Tik Yang tertawa, pada saat itulah orang perempuan di pantai itu sama
bersorak gembira sambil mengangkat tangan.
Rupanya pada saat itu berpuluh perahu nelayan telah merapat di pantai dan
sama mendarat, lalu saling berdekapan dengan orang-orang perempuan itu,
Maklumlah. adat-istiadat penduduk pantai tidak sekolot orang pedalaman,
hubungan antara lelaki dan perempuan terlebih bebas dan tidak banyak
pantangan.
Tik Yang terbahak-hahak, serunya, "Nah, sudah kaulihat jelas merska sedang
menunggu suami masing-masing yang menangkap lkan di laut dan bukan
menyambut kedatanganku."
Hanya sebentar saja kawanan nelayan itu sudah pergi semua bersama anggota
keluarga masing-masing.
"Aneh juga, mengapa pengantar makanan kepadaku itu tidak muncul
menyambut kedatangan kita?" gumam Tik Yang dengan heran.

"Di balik urusan ini tentu tersembunyi sesuatu yang tidak beres," ujar Yap
Man-jing.
Keempat orang lantas mendarat, dilihatnya kota kecil tepi pantai ini cukup
ramai, alamnya rajin dan resik, setelah bertanya baru diketahui kota ini cukup
terkenal di propinsi Ciatkang, yaitu Lok-jing, berjarak tidak jauh dengan teluk
Sam-bun-wan, tempat mereka berlayar semula.
Mereka lantas mencari rumah penginapan. Meski tempat ini masih asing bagi
mereka, namun kuasa hotel dari kawanan pelayan seakan-akan sangat ramah
dan hormat kepada mereka. Begitu datang mereka lantas disambut dengan
perkataan, "Selamat datang, Tik-kongcu!"
"Dari mana kalian tahu siapa diriku?" tanya Tik Yang dengan sangsi.
Kuasa hotel tertawa misterius, ia berbalik tanya, "Ada lima paviliun di hotel
kami,semuanya sudah kami bersihkan dan siap untuk dihuni Tik-kongcu."
"Untuk apa lima paviliun, kami hanya minta dua saja," kata Ih Loh.
"Agaknya Tik-kongcu tidak tahu, hari ini kami kedatangan lima juragan,
masing-masing memesan sebuah paviliun bagimu, bahkan uang sewa sudah
dibayar lipat dan tamu yang telanjur masuk lebih dulu disuruh pindah," tutur
kuasa hotel itu "Hamba juga lagi heran, Tik-kongcu cuma satu keluarga.
paviliun mana yang kan kalian gunakan?"
Tik Yang saling pandang sekejap dengan sang istri. Lalu Ih Loh berkata.
"Orang yang pesan kamar itu apakah meninggalkan sesuatu pesan lagi?"
"Hanya meninggalkan uang sewa dan tidak meninggalkan pesan," jawab kuasa
hotel dengan tertawa.
"Coba bolehkah kulihat uang yang mereka bayar kepadamu?" tukas Ih Loh.

Kuasa hotel melenggak, tapi ia pun tidak berani menolak.
"Masakah dapat kautemukan sesuatu pada uang perak mereka?" tanya Tik
Yang.
Ih Loh Tertawa, "Rupanya engkau tidak paham Setiap bentuk uang perak atau
uang kertas tentu ada ciri-ciri asal-usulnya, sebab umumnya ginbio (uang
kertas sebangsa cek) setiap tempat berlainan buatannya Dari uang mereka
akan dapat ditemukan mereka datang dari mana"
"Tampaknya banyak juga urusan yang kauketahui." kata Tik Yang.
Maklumlah, Ih Loh adalah adik perempuan Ih Hong, tokoh Kai-pang atau kaum
jembel di daerah perbatasan utara, gerombolan mereka khusus membegal
harta benda yang tidak halal dari kaum perampok, koruptor dan sebagainya.
Maka pengetahuan uang perak atau uang kertas dari berbagai tempat cukup
dikuasai oleh. Ih Loh,
Tidak lama kemudian kuasa hotel membawa keluar satu kotak tempat uang,
isinya ada uang perak, ada uang kertas. Lebih dulu Ih Loh mengamat amati
sepotong uang perak lantakan.
Buatan lantakan perak itu agak kasar, namun kadarnya cukup murni Hanya
dipandang sekejap saja Ih Loh lantas berkata, "Perak ini berasal dari daerah
Jinghai, Sekong dan Tibet. Sungguh aneh, mengapa ada orang dari daerah
terpencil itu sampai di tepi pantai sini?"
Lalu ia memeriksa lagi empat helai ginbio. lembaran pertama keluaran , Wihong
gin-ceng (sebangsa bank jaman kini), ginbio ini beredar luas di mana
mana sehingga tiada sesuatu yang mencurigakan.

Ginbio kedua adalah keluaran daerah Sujoan, ginbio ketiga juga sering terlihat
beredar di daerah Kanglam.
'Kenapa erang orang dari Sujoan yang jauh juga datang kemari, sungguh
sukar dimengerti apa tujuannya?" ucap Ih Loh dengan gegetun.
Waktu ia periksa lagi ginbio keempat, tertampak bentuknya agak aneh,
sekeliling uang kertas itu terlukis hiasan bunga warna warni.
Selagi Ih Loh merata heran, mendadak sebuah tangan merampas uang kertas
itu
Lamkiong Peng yang sejak tadi diam saja mendadak merebut uang kertas itu,
sebab di kenali uang kertas itu semula adalah milik keluarga Lamkiong.
"Tak tersangka ada di antara orang orang ini membayar dengan ginbio
keluarga Lamkiong," ucap Tik Yang dengan heran, sukar diketahuinya dari
golongan mana orang itu.
"Siapa yang membayar dengan uang ini?" tanya Lamkiong Peng.
Kuasa hotel rada ketakutan melihat sikap anak muda itu, jawabnya tergegap, '
O, . . dari tamu kedua , . . . "
"Paviliun mana yang dipesannya?" tanya Lamkiong Peng.
"Akan kutunjukkan," jawab si kuasa hotel.
Lamkiong Peng melemparkan ginbio itu ke dalam kotak, lalu ikut pergi
bersama kuasa hotel.

Setelah menembus sebuah pintu yang membatasi antar halaman,
tertampaklah sebuah paviliun dengan halaman yang indah, memang berbeda
daripada di depan.
"Apakah Tuan hendak memakai paviliun ini?" tanya kuasa hotel.
"Betul," jawab Lamkiong Peng dan mendahului masuk ke rumah itu, di situ ia
berdiri termenung.'
Melihat perubahan sikap pemuda itu, semua orang tidak berani bertanya.
Selagi mereka bergegas hendak istirahat, mendadak terdengar suara ramairamai
di luar hotel serta suara riuh orang berlari.
Dengan sendirinya Tik Yang, In Loh dan lain semua ingin tahu apa yang
terjadi. Waktu mereka meloagok koluar hotel, tertampak di jalan raya orang
berlari kian kemari sambil membawa keranjang, ember dan
sebagainya,semuanya menuju ke pantai.
Karena ingin tahu apa yang terjadi, Tik Yang dan Ih Loh coba ikut menuju ke
tepi laut.
Hari sudah gelap, tertampak orang berjubel di pantai, semuanya bersorak
gembira, ada kawanan pemuda sudah melepas baju dan terjun ke laut.
Waktu mereka mendesak maju ke tepi laut, sekilai pandang seketika mereka
melengak.
Ternyata di tengah debur ombak terbawa cahaya gemerlip, yaitu gemerlip sisik
ikan, namun ikan yaag beratus ribu terdampar ombak itu sudah mati semua.
Rupanya membanjirnya penduduk ke tepi pantai adalah untuk mencari ikan.
Sebagai kaum nelayan, menangkap ikan tanpa susah payah tentu sangat

menggembirakan mereka, selama hidup mereka juga tidak pernah melihat
ikan tebanyak ini.
Tik Yang saling pandang dengan Ih Loh, sebab mereka merasa munculnya
bangkai ikan ini pasti ada sesuatu yang tidak beres.
Cepat Tik Yang menarik Ih Loh ke luar dari kerumunan orang banyak, katanya
dengan pelahan, "Dugaanmu memang tidak salah, untung kita tidak makan
hidangan yang di antar orang-orang itu, kalau tidak . . . . "
Setelah melihat bangkai ikan sebanyak itu, dapatlah diduga pasti kawanan
ikan itu, telah makan berbagai makanan yang mereka buang ke laut itu dan
mati keracunan, lalu bangkai ikan terdampar ke pantai terbawa arus.
Sungguh mengerikan melihat beratus ribu bahkan berjuta ikan mati itu.
"Keji amat racun mereka, siapakah yang sengaja hendak meracuni kita dengan
obat racun sejahat ini?" gumam Ih Loh dengan ke-ning bekerenyit. "Tapi
apakah semua pengantar makanan itu memberi racun atau cuma satu di
antara mereka, hal ini juga tidak jelas."
"Pada suatu hari hal ini pasti dapat diketahui," ujar Tik Yang.
"Wah celaka!" teru Ih Loh mendadak.
"Ada apa?" tanya Tik Yang.
"Ikan ini mati keracunan, jika bangkai ikan ini diambil dan dimakan, bukankah
yaug makan juga akan ikut keracunan?"
Tergugah juga hati Tik Yang, waktu ia memandang ke sana, entah betapa
banyak orang yang berjubel di pantai sekarang, cara bagaimana harus

mencegah tindakan mereka yang hendak panen bangkai ikan itu. Bisa jadi
beribu orang ini pun akan menjadi korban racun.
"Wah, Bagaimana baiknya? Cara bagaimana kita memberi keterangan kepada
mereka supaya mereka mau percaya?" gumam Ih Loh dengan bingung.
Tik Yang juga tak berdaya, dilihatnya beberapa nelayan dengan menjinjing
keranjang penuh ikan sedang beranjak pulang dengan riang gembira. Selagi ia
bermaksud memburu maju untuk memberi penjelasan, tiba tiba dari kejauhan
ada suara teriakan orang.
Beberapa lelaki berbaju kuning dengan rambut diikat tampak berlari datang
sembari berteriak. "Losinsian ada perintah, katanya ikan ini tidak bo!eh
dimakan!"
Dalam sekejap segera orang-orang berbaju kuning itu di kerumuni orang
banyak dan ditanyai. Kawanan nelayan yang.akan pulang itu berputar balik
untuk mencari tahu apa yang terjadi.
Salah seorang berbaju kuning itu berteriak pula, "Saudara sekalian, lekas
bangkai ikan itu ditanam saja dan janganlah sekali-kali dimakan.”
"Kenapa tidak boleh dimakan?" demikian ada orang bertanya.
"Losinsian bilang ikan ini beracun dan dikirim oleh kaum iblis untuk membikin
celaka manusia, bila dimakan segera akan mati keracunan," seru si baju
kuning.
Berubah hebat air muka kawanan nelayan, ada yang berkata. "Syukurlah
Losinsian berada di sini, kalau tidak tentu banyak nyawa akan melayang." .
Diam-diam Tik Yang merasa lega, mau-tak-mau ia pun merasa heran, ia tidak
tahu

"Losinsian" atau si dewa tua yang dimaksudkan mereka itu sesungguhnya
orang macam apa, mengapa kaum nelayan sedemikian percaya kepadanya? ??
Ia coba mendekati seorang nelayan dan bertanya, "Numpang tanya, Losinsian
yang disebut itu sebenarnya siapa?"
Nelayan itu mengamati dia sejenak, lalu menjawab dengan tertawa, "Agaknya
Anda berdua kaum pelancong dari tempat lain sehingga tidak tahu siapa
Losinsian. Beliau seorang tua yang serba pintar, dari ilmu bintang sampai ilmu
bumi semuanya dipahaminya, beliau boleh dikatakan serba tahu dan serba
bisa, di dunia tidak ada bandingannya."
Tik Yang mengucapkan terima kasih, lalu mengajak Ih Loh pulang ke hotel.
"Losinsian ini tentu seorang kosen, kalau sempat ingin kutemui dia," kata Ih
Loh-
"Orang kosen apa. kukira cuma sebangsa dukun saja," ujar Tik Yang.
"Kalau dukun, cara bagaimana dia tahu bangkai ikan beracun dan menyuruh
orang jangan memakannya," kata Ih; Loh. "Kawanan nelayan itu memang
banyak yang tahayul, tapi tidak semuanya orang bodoh."
Tik Yang tidak membantah lebih lanjut Sepulang di hotel, tertampak Lamkiong
Peng dan Yap Man-jing duduk berhadapan dengan diam diruang duduk. Segera
Tik Yang menceritakan apa yang dilihatnya tadi.
Tentu saja orang yang memesankan kamar bagi mereka mengantarkan lagi
berbagai Santapan, tapi setelah utusan ikan mati keracunan tadi, mana
mereka berani makan. Mereka menyuruh pelayan; membeli ratusan telur
ayam' dan direbus untuk mengisi perut.

Meski mereka tidak banyak bicara lagi, tapi diam-diam sama merasakan
urusan bertambah gawat, dengan perasaan tertekan mereka kembali ke kamar
masing-masing.
Tentu saja Lamkiong Peng tidak dapat pulas, pikirannya bergolak. teringat
olehnya akan kedua orang tua, terkenang juga kepada guru dan saudara
seperguruan, juga kawan dan kerabat Iain.
Malam bertambah larut, namun tetap sukar pulas. Selagi suasana sunyi
senyap. tiba-tiba terdengar suara mendesir di luar jendela, suara kain baju
tertiup angin, menyusul ada suara "cit-cit" dua kali.
Tergerak hati Lamkiong Peng, cepat ia bangun, terdengar suara mencicit dua
kali lagi di luar, suara seperti bunyi serangga di malam sunyi.
Ia masih ingat dahulu ketika dia baru saja masuk perguruan, di antara
beberapa saudara seperguruan berkumpul main sembunyi-sembunyian untuk
berlatih ginkang.
Waktu itu mereka sama masih muda belia, Liong Hui sudah meningkat
dewasa, namun pikirannya masih serupa anak kecil, ia membawa para Sute
dan Somoay bermain kucing-kucingan di hutan agar tidak dirasakan meeeka
sedang berlatih ginkang melainkan seperti permainan biasa kanak-kanak saja.
Seketika Lamkiong Peng terkenang kepada kejadian lalu, semua itu seperti
baru terjadi kemarin.
"Hah, jangan-jangan Toasuheng yang da-tang?!"." tlba-tiba timbul pikirannya.
Segera ia membuka jendela, dilihatnya sesosok bayangan orang mendekam di
emper rumah depan nana dan lagi menggapai padanya.

Tanpa pikir Lamkiong Peng keluar, dilihatnya bayangan orang itu sudah
melompat ke halaman rumah lain dan berdiri di bawah pohon yang rindang.
Waktu Lamkiong Peng menyusul ke situ, dalam kegelapan samar-samar dapat
dikenali-nya bayangan oraag ini ternyata Samsuhengnya yaitu Ciok Tim yang
sudah lama berpisah itu. Sungguh girang sekali Lamkiong Peng, cepat ia
pegang tangan Ciok Tim dia berketa ' Simsuheng, engkau . . . , " seketika
kerongkongan seperti tersumbat dan sukar bersuara
Dalam kegelapan kelihatan Ciok Tim yang dulu gagah dan cakap itu sekarang
sangat kurus, muka pucat, mata celling dan guram sinar matanya.
Duka, pedih dan girang pula Lamkiong Peng. Didengarnya Ciok Tim berkata,
"Kudengar engkau datang kemari dan segera menyusul ke sini."
Suaranya kedengaran berat daa pelahan, tidak bersemangat lagi seperti dulu.
"Kalau sudah datang, mengapa Samsuheng tidak masuk kamarku?" tanya
Lamkiong Peng.
Giok Tim menggeleng, sorot matanya yang guram menampilkan rasa duka dan
hampa, katanya, "Aku tidak mau masuk, aku cuma ingin memberitahukan
padamu, jangan kau percaya kepada omongan orang, jangan menyanggupi
sesuatu kepada siapa pun. Hanya . . . hanya sekianlah pesanku."
Lamkiong Peng tertegun sejenak, katanya kemudian, "Baik-baikkah selama ini,
Sam-suheng? Tentu Toaso dan lain-lain juga berada denganmu?”
Ciok Tim termenung sambil memandang bintang di langit, jawabnya
kemudian, "Aku ini orang sial dan berdosa, selanjutnya jangan kauanggap lagi
diriku sebagai Suhengmu, sebaiknya anggap aku sudah mati."

"Kenapa Suheng bicara seperti ini, apa pun juga engkau adalah Suhengku,"
kata Lamkiong Peng dengan terharu.
Ciok Tim menggeleng dan menghela napas, "Engkau .... engkau tidak tahu ....
Sudahlah, hendaknya kaujaga dirimu dengan baik, kupergi saja."
Habis bicara segera ia melayang pergi, hanya sekejap saja sudah menghilang
dalam kegelapan.
Suasana sunyi, angin mendesir, Lamkiong Peng berdiri di halaman yang luas
dan gelap, itu dengan perasaan tertekan.
Ciok Tim adalah salah seorang di antara. lima saudara seperguruannya yang
gagah dan tangkas tapi sekarang dia kelihatan lesu, sedih dan putus asa, jika
tidak mengalami sesuatu pukulan batin tentu takkan membuatnya jadi begini.
Sejak berpisah di Hoa san dahulu antara sesama saudara,seperguruan mereka
lantas ter-pencar dan sudah dekat setahun tidak pernah berjumpa, sekarang
Ciok Tim terburu-buru tinggal pergi lagi, memangnya apa yang dihindarinya?
Begitulah perasaan Lamkiong Peng bergolak, pedih dan haru, tanpa terasa air
mata pun meleleh, terutama bila mengingat pengalamannya sendiri.
Di bawah bayangan pohon yang bergerak tertiup angin, sekilas tertampak di
sisinya su-dah bertambah dengan sesosok bayangan yang ramping. '
Cepat Lamkiong Peng berpaling, kiranya Yap Man-jing adanya, dengan
tercengang si nona lagi menatapnya, "engkau menangis?" tanya nona itu.
"Tidak," eepat Lamkiong Peng memperlihatkan senyumnya, namun tidak dapat
menutupi bekas air mata pada pipinya.

"Malam dingin dan banyak embun, lekas pulang ke kamar saja," ucap Man-jing
dengan lembut.
Lamkiong Peng memandangnya sekejap sambil mengangguk, lalu kembali ke
kamar. Ia duduk termenung dan seperti hilang rasa kantuknya.
Suasana sunyi senyap, pikirannya bergolak, berbagai urutan seakan-akan
terbayang lagi olehnya.
Entah berapa lama ia melamun, sekonyong- konyong terdengar orang
melangkah di serambi luar, sejenak kemudian mendadak terdengar suara
bentakan Yap .Man-jing, "Lari kemana, bangsat!" -.
Menyusul dua sosok bayangan orang melayang lewat ke atas rumah terus
kabur ke arah barat.
Tanpa pikir Lamkiong Peng melompat keluar lagi melalui jendela dan memburu
ke sana.
Selama hampir setahun berdiam di Cu-, sin-to dan mempelajari berbagai ilmu
sakti dari kitab pusaka yang dibacanya, kemajuan ginkangnya sekarang sudah
sukar diukur. Maka hanya sekejap saja-kedua orang tadi sudah dapat
disusulnya. Waktu ia mengamati, yang lari di depan adalah seorang lelaki
berpakaian ringkas, yang mengejar di belakang bertubuh ramping dan
berambut panjang, jelas Yap Man-jing adanya.
Lamkiong Peng mempercepat langkahnya, hanya sejenak saja jarak mereka
tinggal belasan tombak saja.
Tiba-tiba lelaki itu berhenti di depan pohon besar sana, begitu menubruk maju
segera Yap Man-jing menyerang entah kenapa, ia menyerang dengan ganas
dan keji tanpa kenal ampun.

Hanya beberapa gebrakan saja, dengan suatu serangan pancingan, menyusul
telapak tangan Yan Man-jing dapat menabas pundak lawan, bahkan dada
orang lantas dihantamnya lagi.
"Tahan dulu, nona Yap!" seru Lamkiong Peng.
Namun sudah terlambat, dada orang itu sudah kena digenjot Yap Man-jing
hingga tumpah darah dan terjungkal.
Lamkiong Peng memburu maju dan memeriksa pernapasan orang itu, ternyata
sudah putus napas.
"Bangsat rendah mati pun murah baginya," damperat Yap Man-jing penasaran.
"Mestinya ditawan dulu untuk dimintai keterangan," ujar Lamkiong Peng.
"Sesungguhnya apa yang sudah terjadi sehingga engkau sedemikian marah?"'
"Coba kauperiksa benda apa yang dibawanya?" kata Man-jing.
Waktu Lamkiong Peng berjongkok, dikeluarkannya sesuatu dari baju lelaki itu,
ternyata sebuah tempurung berbentuk ceret dengan leher panjang terbuat dari
timbel. Dari mulut leher ceret terendus bau harum yang aneh.
'O. kiranya seorang maling cabul," ujar Lamkiang Peng.
Kiranya tempurung timbel berbentuk ceret itu berisi semacam asap bius,
biasanya digunakan manusia rendah yang suka merusak orang perempuan,
korbannya dibius lebih dulu lalu dikerjainya.
"Coba, bangsat kotor semacam ini buat apa dibiarkan hidup?' damperat Yap
Man-jing pula.

Lamkiong Peng berpikir sejenak, katanya kemudian, "Tapi urusan tentu tidak
sederhana begini. bukan mustahil orang ini ada hubungannya dengan kelima
kelompok orang yang mengantar makanan kepada kita itu."
Sejenak kemudian mendadak ia berteriak pula, '"Celaka. ayo lekas kembali ke
hotel!"
Sembari bicara ia terus mendahului berlari kembali ke arah semula.
Seketika Yap Man-jing juga menyadari apa yang mungkin terjadi, tanpa ragu
segera ia menyusulnya.
Setiba di hotel, cepat Lamkiong Peng mendatangi kamar Tik Yang suami istri
dan ber teriak, "Tik-heng.............”.
Namun sampai beberapa kali ia bicara tetap tidak ada jawaban. Tanpa ayal ia
men dobrak pintu dan menerjang ke dalam.
Ternyata kamar sudah kosong, bayangan Tik Yang dan Ih Loh tidak kelihatan
lagi, bahkan rangsal, senjata dan barang lain juga tidak kelihatan.
"Ke mana mereka?' tanya Man-jing.
Bekerenyit kening Lamkiong Peng, ia termenung tanpa menjawab.
"Coba kaucium, rasanya masih ada bau harum khas itu," kata si nona pula.
"Ya, urusan ini agak janggal," ujar Lamkiong Peng. "Rasanya tidak mudah
untuk menyelidiki urusan ini."
"Rasanya kita harus mulai menyelidiki urusan ini dari kelima kelompok
pengantar makanan itu," ujar Man-jing

"Ya, dan hal ini pun jelas tidak mudah dan sederhana," kata Lamkiong Peng.
"Baru lewat tengah malam, percuma kita gelisah di sini, marilah kembali ke
kamar dan besok kita mencari akal lagi."
"Esoknya setelah berundiug, Yan Man-jing sementara tinggal di hotel untuk
mengawasi apa yang akan terjadi lagi. Lamkiong Peng yang keluar untuk
mencari keterangan.
Menjelang lohor baru Lamkiong Peng kembali ke hotel. Segera Yap Man-jing
menyongsongnya dan bertanya adakah sesuatu yang ditemukan.
"Bawa senjatamu dan mari ikut pergi,"kata anak muda itu.
Cepat keduanya membawa pedang dan merapatkan pintu kamar lalu
meninggalkan hotel, langsung mereka keluar kota dan berlari ke arah barat.
Sembari. berlari Yap Man-jing tanya hendak pergi ke mana.
"Setahuku beberapa kelompok orang yang mengantar makanan dan pesan
kamar bagi kita itu bukan Cuma ada sangkut pautnya dengan Yim Hong-peng,
hilangnya Tik Yang dan
Ih Loh juga berhubungan erat dengan dia," tutur Lamkiong Peng.
Manjing mendongkol karena jawaban tidak cocok dengan apa yang ditanya,
katanya,
"Yim Hong-peng kan tinggal di barat-laut yang jauh sana, kenapa sekarang dia
lari ke daerah Kanglam?"
"Selama setahun ini siapa yang berani menjamin takkan terjadi perubahan?"
ucap Lamkiong Peng. "Bukan mustahil sekarang pengaruh Yim Hong-peng
sudah merata sehingga daerah utara dan selatan sungai sini."

"Perubahan dan pengaruh Yim Hong-peng apa maksudmu?" tanya Man-jing.
Lamkiong Peng tertegun. tapi segera teringat olehnya ketika di kota Tiang-an
di barat laut dulu. waktu Yim Hong-peng memberi keterangan bahwa Swe
Thian-banga ada niat merajai dunia persilatan, hal ini hanya didengar oleh Bwe
Kim-soat, Tik Yang dan dirinya sendiri.
Yim Hong-peng memang licik dan licin, segala usahanya dilakukan secara
terselubung, makanya Yap Man-jing tidak tahu seluk-beluk-nya.
Maka Lamkiong Peng menjawab, "panjang; sekali untuk menceritakan urusan
ini, kelak tentu akan kuberitahu, sekarang lekas kita menuju ke Lam-san."
Segera mereka lari terlebih cepat. Tidak lama kemudian mereka sudah sampai
di lereng gunung, jalan setapak semakin sulit ditempuh. Lamkiong Peng coba
berhenti, katanya kepada Yap Man-jing, "Jalan ini memang sempit dan sukar
dilalui, anak buah Yim Hong-peng pasti juga akan berhenti di tempat ini,
biarlah kita menunggu di sini dan menyergap mereka. Sekarang kita istrahat
dan himpun tenaga, bisa jadi akan berlangsung pertempuran sengit nanti."
Habis bicara meraka lantas mencari tempat berlindung dan duduk di kaki batu
karang yang tejal.
Tidak lama kemudian, benar juga terdengar suara gemertak dari kejauhan,
suara roda kereta dan ringkik kuda yang makin mendekat.
Cepat Lamkiong Peng dan Yap Man-jing berbangkit dan menyelinap ke
belakang batu.
Hanya sebentar saja suara kereta kuda itu sudah dekat.

Karena latihannya selama tinggal di Cu sin-to, kini ketajaman mata Lamkiong
Peng memandang dalam kegelapan sudah serupa di siang hari. Waktu ia
mengawasi pendatang itu, tertampak sebuah kereta berkabin ditarik dua ekor
kuda, di depannya ada tujuh orang penunggang kuda.
Kira-kira tiga tombak di depan batu tempat sembunyi Lamkiong Peng segera
ketujuh penunggang kuda itu berhenti. Dua lelaki pengendara kereta
melompat turun dan berlari ke samping kereta untuk membuka tabir hitam,
lalu diseretnya turun dua orang.
Begitu melihat kedua orang yang diseret turun itu, seketika hati Lamkiong
Peng tergetar kiranya kedua orang jtu adalah Tik Yang dan Ih Loh, keduanya
kelihatan berlumuran darah rambut kusut, baju robek sehingga hampir
setengah telanjang.
Lamkiong Peng tidak tahan, mendadak ia melompat keluar sambil bersuit
panjang, sambil melolos pedang pusaka "Yao-siang-jiu-loh" ia terus menubruk
maju.
Yang mengepalai ketujuh penunggang kuda itu adalah seorang kakek berusia
50-an, sembari menghindari tusukan Lamkiong Peng ia berteriak, "Hei,
sahabat, selamanya kita tidak kenal, kenapa tanpa bicara kaumain serang? '
Mata Lamkiong Peng tampak merah membara, dengan gencar ia menyerang
lagi tiga kali.
Kakek itu mengelak dan menyurut mundur sambil berseru, "Apa pun juga
hendaknya bicara dulu urusannya . . . • "
"Urusan apa, binasakan kalian dulu!'' teriak Lamkiong Peng dengan murka.
Pedang pusaka berkelebat, dengan ilmu pedang Lam-hai-kiam-hoat yang
dipelajarinya di Cu-sin-to yang menabas terlebih kencang.

Sembari berkelit kian kemari, kakek itu tahu sia-sia saja ia bicara, cepat ia
menanggalkan senjatanya, yaitu cambuk sepanjang tiga meter, secepat kilat ia
sabet pergelangan tangan Limkiong Peng yang memegang pedang, dari
bertahan ia balas menyerang.
Lamkiong Peng tidak menduga kelihaian kakek ini. Namun anak muda ini pan
bukan anak muda dahulu lagi, sekali pedang berputar, sambil mengelak
cambuk lawan pedang terus menabas pinggang musuh.
Si kakek tidak menduga anak muda itu dapat bergerak secepat itu, baru saja
merasakan cambuknya mengenai tempat kosong, tahu-tahu pinggang sudah
terancam. hendak melompat mundur pun tidak keburu lagi, kontan pinggang
tertabas, darah berhamburan dan muncrat ke mana-mana.
Tanpa ayal Lamkiong peng terus menerjang maju lagi, serupa burung terbang
ia tubruk ke tengah kawanan lelaki berbaju hitam.
Kawanan lelaki itu juga telah diterjang oleh Yap Manjing, walupun tidak sampai
kocar-kacir, namun mereka pun kalang kabut menghadapi kelihaian Yap
Manjing. Sakarang di tambah lagi Lamkiong Peng, keruan barisan mereka
menjadi kacau, kontan dua orang terbinasa di bawah pedang Lam~ kiong
Peng.
Dua orang lagi sedang menjaga Tik Yang dan Ih Loh, mereka sembunyi di
belakang ke-reta. melihat keadaan tidak menguntungkan, segera timbul
pikiran untuk kabur.
Dalam pada itu dua lelaki berbaju hitam yang lain tidak tahan kelihaian pedang
Lamkiong Peng, kembali perut mereka di tembus pedang dan binasa. Sekali
lompat Lamkiong Peng memburu kedua orang yang menjaga Tik Yang
bersama istrinya itu.

Tentu saja kedua orang itu kaget dan cepat melompat mundur.
Selagi Lamkiong Peng hendak menubruk maju lagi. sekonyong-konyoug ada
orang membentak di belakangnya, '"Berhenti!"
Tanpa terasa Lamkiong Peng berpaling, dilihatnya tidak jauh di belakang
berdiri empat sosok bayangan tinggi besar.
Waktu itu sudah tengah malam, rembulan tepat menghias di tengah cakrawala
sehingga menerangi keempat orang itu.
Ternyata seorang yang paling depan ialah Ban- li-liu-hiang Yim Hong-peng,
dua orang di sebelah kirinya" adalah Bin-san-ji-yu. kedua sahabat dari Binsan,
yaitu Tiangsun Tan dan Tiangsun Kong.
Sedangkan seorang di sebelah kanan tidak dikenalnya, seorang kakek kereng
berbaju hitam panjang dengan rambut terikat tinggi di atas kepala, sepasang
tombak pandak berwarna emas terselip di pinggang. .
Kedatangan Yim Hong-peng sebenarnya sudah dalam dugaan Lamkiong Peng,
sebab itulah dia tidak heran atau terkejut, sebaliknya Yim Hong-peng yang
merasa heran, pelahan ia mendekati Lamkiong Peng dan menyapa, "Selamat
Lamkiong heng selama berpisah ini, Konon setiap orang yang masuk ke Cusih-
to tidak pernah ada yang pulang dengan hidup, tampaknya Lamkiong-heng
tergolong yang paling beruntung."
"Bilamana aku tidak dapat pulang ke sini, tentu Yim-heng merasa senang,"
jengek Lamkiong Peng.
"Ah, kenapa Lamkiong-heng bicara demi kian, sama sekali tidak ada pikiran
begitu padaku," kata Yim Hong-peng. "Harap Lamkiong heng jangan salah
paham Justru suasana dunia persilatan sekarang kacau-balau, ada maksudku
mengajak Lamkiong-heng untuk mengadakan penataran . . . . "

Belum habis ucapannya Lamkiong Peng lantas memotong "Ah, apa
kepandaianku, mana berani kuterima tugas berat itu, rasanya Yim-heng salah
sasaran."
"Haha, kukira Lamkiong-heng terlampau rendah hati," seru Yim Hong-peng
dengan tertawa. "Bilamana mengingat tempo hari ketika Lamkiong-heng
mengalahkan Giok-jiu-sun-yang di restoran Thian-tiang-lau dan menerobos ke
Boh-Hong ceng untuk mencari obat bagi Tik Yang, kemudian menuju ke Cusin-
to dan pulang lagi dengan selamat, semua peristiwa keperkasaanmu sudah
tersiar luas, tentang kecerdasan dan kemahiran kungfu Anda sudah lama
dikagumi Swe-siansing, bila beliau dapat memperoleh bantuan Lamkiongheng,
berani kukatakan dalam setahun saja dunia persilatan seluruh
Tionggoan pasti akan dikuasainya."
Pada saat itulah mendadak terdengar Yap Man-jing membentak sambil
menubruk maju, "Mau ke mana?!"
Waktu Lamkiong Peng menoleh, kiranya kedua lelaki berbaju hitam yang
menjaga Tik Yang dan Ih Loh tadi diam diam hendak melangkah pergi. Karena
bentakan Man-jing, keduanya lantas berhenti dan memandang Yim Hong-pmg.
"Sungguh aku tidak mengerti sebab apakah Yim-heng sampai memperlakukan
Tik-heng dan istrinya dengan cara begini?" tegur Lamkiong Peng.
"Kawanan jembel Yu-leng-kun-kui sudah menggabungkan diri dengan Swee
Thian-bang untuk bekerja sama, Ih Hong menghendaki adik perempuannya
juga mengikuti jejaknya, maka aku diminta kemari untuk membawanya pulang
ke utara," tutur Yim Hong-peng.
"Hm, kalau cuma menghendaki Ih Loh juga bergabung dengan Swe Thianbang,
meng-apa Yim-heng perlu menggunakan dupa bius segala, sungguh aku
tidak mengerti," ejek Lam-kiong Peng.

"Seluk-beluk urusan ini tidak dapat dijelaskan dengan singkat, soalnya
kukuatir menimbulkan salah paham, terpaksa menggunakan cara kurang
terhormat itu," jawab Hong-peng.
"Lantas bagaimana dengan Tik Yang, dia juga perlu kautawan?" jengek
Lamkiong Peng pula.
"Mereka sudah terikat menjadi suami-istri, dengan sendirinya satu sama lain
harus satu tujuan," kata Hong-peng.
"Aku cukup kenal jiwa dan kepribadian Tik heng, meski mereka sudah terikat
menjadi suami- istri, jika persoalannya menyangkut kepribadian, tidak nanti
dia mau ikut secara ngawur."
"Haha, mungkin Lamkiong heng tidak tahu bahwa ketika dulu Tik-heng
keracunan dan mendekat ajal, syukurlah ditemukan Ih Loh dan berusaha
menolongnya dengan sepenuh tenaga, jadi Tik Yang sesungguhnya utang budi
kepada istrinya. Kalau Ih Hong sudah bergabung dengan Swe Thian-bang,
dengan sendirinya Ih Loh takkan membangkang dan mengikuti jejak sang
kakak, lalu Tik Yang apakah dapat mengingkari kehendak istri sendiri?"
"Kawanan jembel Yu-leng-kun-kai terkenal jujur lurus, sasaran mereka
kebanyakan adalah orang kaya yang tidak berbudi atau pembesar korup,
biasanya mereka juga membantu yang miskin dan menolong yang lemah, hal
ini cu-kup dikelahui setiap orang kongouw, apalagi ih Hong terkenal tinggi hati
dan menyendiri. masa dia rela menjual kehormatan sendiri dan bergabung
dengan Swe Thian-bang?"
Man-jing tahu bilamana perang dingin akan segera berubah menjadi perang
tanding, maka diam diam ia mendekati Lamkiong Peng.

Yim Hong-peng memandang Man-jing sekejap. katanya, "Pada waktu
Lamkiong-heng berangkat ke lautan dulu, pada waktu yang sama Leng-hiathuicu
juga menghilang. Ka-wan kaugouw umumnya menyangka dia ikut
berengkat bersama Lamkiongheng ke Cu-sin-to, siapa tahu yang pulang
bersamamu ternyata nona Yap adanya. Apakah Leng-hiat-huicu memang betul
telah hilang?"
' Lamkiong Peng bergelak tertawa, "Hahaha, hal ini apakah sangat
mengecewakan Yim-heng? Bahwa Bwe Kim-soat tidak berada bersama
sehingga maksud Yim-heng akan sekaligus menjaringnya tidak tercapai, maka
engkau menyesal bukan?"
Mendadak anak muda itu berubah bengis dan berteriak, "Yim Hong peng,
berturut kau-kirim lima kelompok orang untuk mengantar makanan beracun
dan bermaksud meracun Tik Yang, syukur muslihatmu dapat diketahui Tik
Yang. Karena gagalnya rencana itu, kau-pasang perangkap lagi di hotel itu
sehingga akhirnya Tik Yang suami-istri tertawan, untung aku dan nona Yap
sempat lolos, soalnya sebeium ini engkau tidak menyangka aku akan ikut
pulang dan tidak memberitahukan kepada anak buahmu yang memang tidak
kenal diriku. Haha ternyata di antara anak buahmu terdapat juga kaum rendah
yang suka menggunakan dupa bias sehingga dapat kubongkar kelicikanmu ....
"
"Diam!" bentak Yim Hong-peng.
Orang-orang yang berdiri di samping Yim Hong-peng sejak tadi tidak ada yang
bersuara. jelas karena disiplin Swe Thian-bang cukup tegas dan mereka harus
tunduk kepada Yim hong-peng.
Sekarang kakek kereng berbaju hitam panjang dan bersenjata sepasang
tombak pandak itu tampaknya tidak tahan lagi, ia melangkah maju dan
membentak, "Anak kurang ajar, kau-kira tidak ada orang berani
menghadapimu di sini?"

Lamkiong Peng meliriknya sekejap, tanya-nya dengan tertawa kepada Yim
Hong-peng, "'Apakah Cianpwe ini adalah jugo kepercayaan Swe Thian-bang
yang terkenal dengan se pasang tombak pencabut nyawa, Ko Tiong-hai, Kotaihiap
adanya?"
"Betul, beliau memang Ko-loenghiong," jawab Yim Hong-peng.
"Sudah lama kudengar kedua tombak Ko taihiap maha sakti, sungguh
beruntung bila hari ini dapat berkenalan,'" seru Lamkiong Peng dengan
tertawa.
Ko Tiong-hai memandang Yim Hong-peng sekejap agaknya minta
persetujuannya sebelum turun Tangan.
Namun Yim Hong-peng diam saja. 'Kenapa Yim-heng tidak mengangguk?" ejek
Lamkiong Peng.
Mendadak Ko Tiong-hai membentak terus menerjang maju. dia tidak menarik
tombak nya melainkan menggunakan kedua telapak tangan untuk
menghantam sekaligus.
Lamkiong Peng sudah siap siaga, kedua tangan menangkis sambil meraih
pergelangan tangan lawan, berbareng sebelah kaki menendang perut.
Kaget juga Yim Hong-peng melibat ketangkasan Lamkiong Peng, hanya
setahun ber pisah ternyata kungfu anak muda ini sudah maju pesat.
Ko Tiong-hai tidak gentar, cepat ia menarik tangan dan menyurut mundur,
menyusul telapak tangan memotong pula ke lambung lawan.
HAN BU KONG
Jilid 20

Di sebelah sana lantas terdengar juga bentakan Yap Man-jing, rupanya ia pun
mulai melabrak Bin-san-ji-yu.
Terkejut juga Ko Tiong-hai melihat pu-kulan Lamkiong Peng yang dahsyat,
cepat ia tangkis.
Tak tersangka sekali ini Lamkiong Peng hanya serangan pancingan saja, ia
melancarkan "Ta-mo cap-pek-sik" yang pernah dipelajarinya di pulau itu,
hanya saja dia belum menyelaminya secara mendalam, walaupun begitu untuk
digunakan melayani KoTiong-hai tetap dapat membuatnya kelabakan dan
terdesak mundur.
Yim Hong-Peng menyaksikan serangan Lamkiong Peng itu, teriaknya, "Hah,
Ta-mo-cap-pek-sik?!"
"Bagus, boleh kalian rasakan kelihaianku," jengek Lamkiong Peng. "Kalau tahu
gelagat hendaklah lekas lepaskan Tik Yang berdua sebelum terlambat."
Karena terdesak, dahi Ko Tiong-hai mulai berkeringat dan lagi mencari jalan
untuk mematahkan serangan lawan.
Pada saat itulah mendadak terdengar bentakan Bin-san-ji-yu. rupanya Yap
Man-jing kelihatan kewalahan dikerubut mereka, sambil menangkis sebisanya
ia terdesak mundur.
"Coba kaumampu bertahan berapa lama lagi!" teriak Tiangsun Kong sumbil
melangkah maju, pedang berputar terui menabas pinggang lawan.
Tiangiun Tan tidak tinggal diam, berbareng ia pun mengitar ke samping,
secepat kilat pedang menusuk punggung Yap Man-jing.

Dalam keadaan diserang dari muka dan belakang. tentu saja keadaan
cukupgawat bagi Yap Man-jing, sedapatnya ia menangkis dan mengelak.
Namun sayang tenaganya sudah lemah, langkahnya sempoyongan sehingga
pundak kanan tertusuk pedang Tiangsun Tan.
Ia bersuara tertahan, pada saat itu juga pedangnya terkacip oleh kedua
pedang Tiang-sun Kong sehingga terlepas. Tanpa ayal Tiangsun Kong terus
menubruk maju, sekaligus ia tutuk dua hiat-to si nona, kontan Man-jing ro-boh
terkulai.
Tanpa berhenti Bin-san-ji-yu terus mem-buru ke sana dan mengerubut
Lamkiong Peng bersama Ko Tiong-hai.
Lamkiong Peng menjadi murka, ia bersuit panjang, pedang Yap-siang-jiu-Ioh
dilolosnya, sekali berputar, ketiga lawan didesak mundur.
Ko Tiong-hai tertawa dingin. segera ia pun putar sepasang tombak emas dan
menyerang terlebih gencar.
Meski tinggi ilmu silat Bin-san-ji-yu, tapi bila dibandingkan Lamkiong Peng
sekarang mereka rada kewalahan juga sehingga berulang terdesak mundur.
Untung Ko Tiong-hai terus menyerang dengan lihai sehingga Lamkiong Peng
tidak dapat mendesak lebih lanjut.
Anak muda itu menyadari untuk lolos begitu saja rada sukar, apalagi dia harus
memikirkan Yap Man-jing. Dilihatnya di antara ketiga lawan hanya Tiangsun
Tan yang paling lemah, segera ia ganti siasat, lawan paling lemah itulah yang
terus dicecar.
Tentu saja Ko Tiong hai dan Tiangsun Kong dapat meraba maksud Lamkiong
Peng, keduanya seperti sudah berjanji lebih dulu, serentak mereka pun
menyerang terlebih gencar.

Belasan jurus pula, Lamkiong Peng mulai tidak tahan, dikerubut tiga tokoh
kelas tinggi seperti itu, betapa tangkas anak muda itu juga kerepotan.
Yim Hong-peng tersenyum girang melihat kawannya berada di atas angin.
Mendadak Ko Tiong-hai membentak, kedua tombak cmas bekerja naik-turun,
tombak tangan kanan segera menusuk iga kiri Lamkiong Peng, tombak tangan
kiri secepat kilat menyabet tangan kanan anak muda itu yang berpedang.
Bin-san-ji-yu serentak juga menghujamkan pedang mereka ke tubuh
Lamkiong Peng.
Dengan kalap Lamkiong Peng putar pe-dangnya, "sret-sret-sret" tiga kali,
berturut ia melancarkan tiga jurus serangan, walau tetap, sukar menghadapi
kerubutan tiga tokoh tangguh ini, tombak Ko Tiong-hai tertangkis, sekuatnya
pedang lantas menusuk dada Tiangsun Tan.
Tusukan ini cepat lagi di luar dugaan, lelagi Tiangsun Tan hendak melompat
mundur. namun sudah kasip, ia menjerit ngeri dan dada tertembus pedapg.
Lamkiong Peng tertawa seram sambil menarik pedang, pada saat itu kedua
pedang Tiangsun Kang juga sempat menabas sehingga membuat luka panjang
pada bahu kirinya, darah lantas munerat. Malahan tombak kiri Ko Tiong-hai
pada saat yang sama juga menancap di paha kanan Lamkiong Peng.
Dengan nekat Lamkiong Peng ayun pe-angnya dan mendesak mundur
Tiangsun Kong dah Ko Tiong-hai yang henda menyerang lagi sehingga tombok
emas tidak sempat ditarik Ko Tiong-hai dan masih menancap di paha.
Belum pernah Ko Tiong-hai melihat orang setangkas ini, seketika ia
melenggong bingung.

Tiangsun Kong sangat sedih atas gugurnya sang adik, dengan meraung kalap
ia menubruk maju lagi.
Mendadak Lamkiong Peng berteriak seram, "Put-si-sin-liong, naga sakti tak
termatikan!"
Berbareng ia cabut tombak emas yang menancap di pahanya itu, tanpa
diperiksa terus dilemparkan ke belakang.
Kematian Tiangsun Tan membakar hati Tiangsun Kong sehingga terangannya
yang kalap itu tidak terjaga sama sekali, apalagi ia mengira Lamkiong Peng
pasti juga tidak mampu melawan lagi. Siapa tahu mendadak tombak emas
menyambar tiba, keruan ia kaget, cepat kedua pedangnya disilangkan untuk
menangkis.
Namun tangkisannya ternyata meleset, tombak menerobos lewat dan "erat",
tepat menancap di bahu kirinya, kontan ia meng-geletak.
"Sungguh tidak malu sebagai murid Put-si-sin-liong!" ucap Ko Tiong-hai
dengan gegetun, pelahan ia mendekati Tiangsun Kong yang tak bisa berkutik
itu.
Yim Hong-peng juga gegetun, ucapnya, "Bilamana mempunyai pembantu
sehebat ini, mustahil dunia takkan kukuasai!"
"Jangan mimpi!" bentak Lamkiong Peng.
Baru bersuara, kembali ia tumpah darah, lan-kahnya sempoyongan dan
akhirnya tidak tahan, "bluk", ia pun roboh terkapar.
Cepat Yam Hong-peng memburu maju, dengan beringas sebelah tangannya
segera terangkat dan hendak dihantamkan pada Lamkiong Peng.

Syukurlah sebelum pukulannya dilontarkan, mendadak seorang membentak di
belakangnya, ''Nanti dulu!"
Dengan terkejut Yim Hong-Peng berpaling, dilihatnya tidak jauh di
belakangnya berdiri seorang lelaki setengah umur yang bertubuh pendek kecil
dan wajah tidak menarik.
"Tunggu dulu, orang ini hendak kubawa pergi!" kata pendatang ini sambil
melangkah maju.
Ko Tiong-hai lantas melompat maju sambil membentak "Siapa kau?!"
Orang itu meliriknya sekejap dan berucap, "Gunung besar tinggi di kejauhan!"
Yim Hong-peng dan Ko Tiong-hai melengak, serentak mereka menjawab,
"Hujan angin menyebarkan harum!"
Orang itu lantas mengeluarkan sepotong kayu cendana kecil dan diangkat ke
atas sambil membentak, 'Kalian kenal pening ini?"
"Kenal," jawab Yim Hong peng dengan menunduk.
"Melihat pening ini serupa melihat orangnya," kata orang itu "Sekarang hendak
kubawa orang ini, kalian mempunyai pendapat "Tecu tidak berani," jawab Yim
Hong-peng.
Orang itu mendengus, didekatinya Lam-kiong Peng dan berjongkok, anak
muda itu diangkatnya, tanpa berpaling lagi ia melangkah pergi.
Setelah bayangan orang setengah umur yang pendek kecil itu menghilang
dalam kegelapan barulah Yim Hong peng bicara de-ngan gegetun, "Entah sejak
kapan Swe-sian-sing menerima lagi tokoh pembantu serupa ini, kenapa kita
tidak mengenalnya?"

"Sudah lebih setengah tahun kita keluar," ucap Ko Tiong-hai. "Darah baru
yang disedot Swe-siansing tentu saja tidak kita kenal sebelum diberitahu."
Sementara itu orang tadi telah membawa lari Lamkiong Peng dengan ecpat,
kira-kira satu jam kemudian, sampailah di depan hutan yang lebat.
Di bawah cahaya rembulan kelihatan di bawah pohon besar sana dua ekor
kuda asyik makan rumput, di samping kuda berdiri seorang perempuan cantik
molek dengan wajah muram durja.
Siapa lagi dia kalau bukan Bwe Kim-soat.
Begitu orang setengah umur itu mendekat, segera Kim-soat menyongsongnya,
dipandangnya sekejap Lamkiong Peng yang dipanggul itu sambil bertanya,
"Apakah parah lukanya?"
"Tenaga terkuras habis, darah keluar terlampau banyak," jawab orang itu.
"Untung kudatang tepat waktunya, kalau tidak jiwanya pasti sudah melayang
di bawah tangan Yim Hong-Peng."
Mata Lamkiong Peng terpejam rapat dan wajah pucat pasi, darah masih
menetes dari punggung dan pahanya, keadaannya tampak kempas-kempis,
tubuh kelihatan kaku, kecuali dadanya yang bergerak pelahan, hampir serupa
dengan orang mati.
Dengan air mata berlinang Kim-soat berucap dangan sedih, "Begini parah
lukanya, entah dia tahan sampai bertemu dengan gurunya atau tidak?"
"Kuyakin dia bukan pemuda cekak umur," ucap orang setengah umur itu.
"Kupercaya pasti akan timbul keajaiban dan dapat kau-selamatkan dia"
Kim-soat tidak bicara lagi, ia pondong Lamkiong Peng dari tangan orang.

"Jaga dia dengan baik, nona, kupergi se-karang," kata orang itu. "Adapun
pening ini ...."
"Kayu itu untukmu saja, bagiku pun tidak ada gunanya." kata Kim-soat.
Orang itu mengucapkan terima kasih, segera ia mencemplak ke atas kuda dan
dibedal pergi secepat terbang.
Kim-soat juga lantas naik kuda dan menyandarkan Lamkiong Peng di
pangkuannya. dengan pelahan ia melarikan kudanya.
Menjelang fajar, sampailah Kim-soat di Sam-bun-wan, langsung ia mendatangi
sebuah hotel dan membawa Lamkiong Peng ke dalam kamar.
Di dalam kamar ada tiga dipan, dua di antaranya berbaring dua sosok tubuh,
kiranya Put-si-sin-liong Liong Po-si dan Cu-sin-tian-cu Lamkiong Eng-lok
adanya.
Dengan pandangan cemas mereka menyaksikan Bwe Kim soat masuk
membawa Lamkiong Peng.
"Anak Peng terluka?" tanya Liong Po-si dengan kuatir.
Kim soat mengangguk, tanpa bersuara ia membaringkan Lamkiong Peng di
tempat tidur yang kosong itu.
"Siapa yang melukai dia?" tanya Lamkiong Eng-lok, ia merangkak bangun dan
coba memeriksa keadaan Lamkiong Peng, katanya dengan lemah, "Ehm,
cukup parah lukanya. Tapi jangan kuatir, akan kusembuhkan dia dalam waktu
dua hari."
"Tidak, jangan kausentuh dia," seru Liong Po-si.

Lamkiong Eng-lok menjawab dengan gusar, "Dia keponakanku sendiri, peduli
apa denganmu?"
"Dia juga muridku," teriak Liong Po-si dengan parau.
"Sudahlah," dengan sedih Bwe K.im-soat memohon, "keadaannya sangat
payah, kenapa kalian malahan ribut sendiri."
Kedua orang tua itu saling melotot sekejap, akhirnya tidak bicara lagi.
Sampai sekian lama barulah Lamkiong Eng-lok berkata kepada Kim-soat,
"Selama belasan hari ini sudah kuajarkan seluruh ilmu pertabibanku
kepadamu, melihat kecerdasanmu pasti sudah kaukuasai dangan baik, kenapa
sekarang tidak kaupraktekkan atas diri anak Peng?"
"Tapi aku hanya . . . hanya menguasai teori saja dan belum pernah praktek,
mungkin . . . . " jawab Kim-soat dengan ragu.
"Aku mendampingimu, masa kuatir," ujar Lamkiong Eng-lok. "Lekas kerjakan,
keadaannya cukup gawat, tidak boleh ditunda lagi."
Kim-soat memandang Liong Po-si sekejap, melihat orang tua itu hanya diam
saja, akhir-nya Kim-soat berkata, "Baik, akan kucoba."
Lamkiong Eng-lok tersenyum senang, ka-tanya, "Sekarang kaupergi membeli
sebuah jarum panjang. sebotol arak putih dan segulung benang, lekas jangan
terlambat!"
Cepat Kim soat mengiakan dan pergi membeli barang yang diperlukan itu.
Sesudah segala keperluan siap, di bawah pengawasan Lamkiong Eng lok
mulailah Bwe Kim soat menggunakan jarum untuk menusuk beberapa hiat-to

penting di tubuh Lamkiong Peng, kemudian mencuci lukanya dengan arak dan
menjahit lukanya.
Setelah sibuk sekian lamanya, akhirnya selesai pekerjaannya. Keadaan
Lamktong Peng ternyata cukup memuaskan, anak muda itu dapat tidur dengan
nyenyak.
Saking lelahnya Kim-soat sendiri pun mengantuk dan mendekap di samping
Lamkiong Peng dan terpulas.
Liong Po-si saling pandang dengan Lamkiong Eng-lok, keduanya tidak ribut
mulut lagi. Sampai lama, ketika pelahan Lamkiong Peng bergerak, Kim-soat
terjaga bangun, waktu Lamkiong Peng membuka mata dan melihat Kim-soat
berada di sampingnya. tanpa terasa ia berseru, "Hah, kau Kim-soat . . . . "
Karena bersuara dan lukanya terguncang, ia meringis kesakitan.
"Jangan bergerak dan jangan bicara," kata Kim-soat. "Lukamu belum sembuh,
boleh istirahat saja dengan tenang."
Sungguh kejut, girang dan terharu Lamkiong Peng mendadak melihat Bwe
Kim-soat, kalau bisa sungguh ia ingin melompat bangun dan merangkulnya,
maka dia memejamkan mata lagi, dengan suara pelahan ia tanya, "Kim-soat,
apakah ini bukan dalam mimpi?"
"Jangan bicara dulu, istirahatlah dengan tenang,” ucap Kim-soat dengan
lembut.
Lamkiong Peng melihat pula Liong Po si berbaring di tempat tidur lain,
perasaannya tambah terangsang, serunya, "Ah, Suhu juga sudah pulang. Hai,
Kim-soat, lekas ceritakan apa yang akan terjadi?'

"Sungguh panjang kalau diceritakan, biarlah setelah engkau sehat baru
kuberitahukan, sekarang istirahat saja," kata Kim-soat satnbil menutuk hiat-to
tidurnya.
Setelah Lamkiong Peng tertidur pula barulah Liong Po-si membuka matanya,
katanya dengan menghela napas, "Sampai ribuan jurus aku bertempur dongan
Lamkiong-loji di bawah hujan badai, kupukul dia beberapa kali, aku pun kena
dipukulnya beberapa kali, tenaga murni kedua orang sama terkuras habis, tak
tersangka selagi terombang-ambing di lautan dapat ditemukan oleh nona
sehingga diselamatkan ke sini. Ai, selama hidup Put-si-sin-liong sudah sering
menghadapi maut, tak terduga sekali ini aku benar-benar akan mati di sini.
Meski aku tidak takut mati, tapi aku merasa penasaran bila beberapa urusan
belum kita bereskan."
"Di dunia kangouw terkenal obat mujarab si tabib sakti Po Tan-Han dapat
menghidup-kan orang mati, asalkan mendapatkan obat tersebut tentu Liongcianpwee
dapat disembuhkan," ucap Kim-soat.
"Obat mujarab si Po tua memang sangat bagus, namun ke mana akan mencari
Po tua itu dan minta obatnya?" ujar Liong Po li de-ngan gegetun.
Tengah bicara, pelayan mengetuk pintu dan memberitahu, "Makan siang, tuan
tamu!"
"Masuk!" teru Kim soat.
Habis pelayan mengantar santapan siang, mendadak masuk pula seorang tua.
Liong Po-si terkejut melihat pendatang ini, kiranya sa-habat sendiri yang
sudah sekian lama, tidak berjumpa, yaitu Thi-cian-ang-ki Suma Tiong thian.
'Aha, baik-baik Suma-heng!" seru Liong Po-si kegirangan. "Dari mana kautahu
aku berada di sini?"

Suma Tiong-thian menghela napas, katanya, "Sesudah pertandingan di Hoasan
dahulu engkau lantas menghilang di dunia kangouw, tersiar macammacam
cerita mengenai dirimu, ada yang bilang engkau dikalahkan Tan-hong
dan bunuh diri, ada yang mengatakan engkau putus asa dan mengasingkan
diri. Malahan ada yang bilang engkau pergi ke Cu-sin-to segala dan tidak jelas
yang mana yang benar."
Liong Po-si lantas menuturkan pengalamannya selama ini secara singkat.
"Wah, bilamana urusan ini tersiar, tentu dunia persilatan akan gempar," kata
Suma Tiong-thian.
"Dan mengapa Sumaheng sampai di sini?" tanya Liong Po-»i.
Suma T'ong-thian lantas menceritakan beberapa kejadian yang
menggemparkan dunia kangouw ltu serta piaukioknya yang telah dibubarkan.
akhirnya ia berkata dengan menyesal, "Malahan keluarga Lamkiong yang
termashur juga tamat sekarang. Lamkiong Siang-ju mengasingkan diri di
Thay-oh, aku dipesan Lamkiong-hujin untuk mencari kabar Lamkiong Peng,
dalam perjalanan bertemu dengan Ban Tat yang dahulu suka numpang makan
di rumah keluarga Lamkiong, dari dia diketahui Lamkiong Peng telah pulang ke
sini, maka cepat kususul kemari."
Lalu Suma Tiong-thian menutur pula dengan suara pelahan, "Dalam perjalanan
dapat kulihat berkumpulnya orang kangouw yang berbondong bondong
menuju kemari, entah urusan penting apa yang akan terjadi di sini?"
Belum lenyap suaranya, mendadak di luar jendela ada orang tertawa dingin.
Keruan mereka terperanjat.
"Siapa itu?" bentak Suma Tiong-thian, serentak in melompat keluar melalui
jendela.

Pada saat yang sama Bwe Kim-soat menyelinap ke dalam kamar dan berseru,
"Liong-locianpwe, keadaan cukup gawat ...-."
"Ada urusan apa, tampaknya nona begini gugup?" tanya Liong Po-si.
"Belum lagi Bwe Kim-soat menjelaskan persoalannya, mendadak terdengar
pintu digedor orang, berubah air mukanya, cepat ia sambar pedang Lamkiong
Peng yang terletak di tepi tempat tidur, lalu mendekati pintu dan membentak,
"Masuk!"
Waktu pintu terkuak, di depan pintu berdiri seorang tua berusia antara 50-an,
berjubah warna kelabu dengan wajah yang jelek.
"Siapa kau? Ada urusan apa?" bentak Kim-soat dengan kurang senang.
Kakek itu terkekeh, jawabnya, "Numpang tanya, bukankah di sini tinggal Put
si-sin-liong Liong Po si dan Cu-sin tian-cu?"
"Betul," jawab Kim-soat.
"Jika begitu, majikan kami ingin mengundangnya," kata kakek itu dengan
khidmat sambil mengeluarkan sehelai kartu undangan warna hitam.
Kim-soat menerima kartu itu, pintu dirapatkan, lalu ia serahkan kartu itu
kepada Liong Po si.
Terkesiap juga Liong Po-si setelah membaca tulisan pada kartu itu. dengan
singkat tertulis delapan huruf di situ yang berbunyi: "Para dewa telah bubar,
Sin-liong hendaknya menyerah!"
"Hahaha!" Liong Po-si bergelak tertawa. "Hebat benar, Sin-liong disuruh
menyerah? Aku justru ingin tahu tokoh kosen dari manakah mampu menyuruh
orang she Liong ini menyerah?"

Pada saat itu juga mendadak pintu terpentang dan seorang menerobos ke
dalam diikuti belasan begundalnya.
"Enyah!" bentak Kim-ioat dengan murka.
Tapi kakek tadi segera menghadapinya dan siap tempur.
"Nanti dulu!" tiba-tiba seorang setengah umur bermuka putih dan berdandan
sastrawan mem-bentak. Lalu katanya dengan tersenyum- "Maaf jika kawanku
bersikap kasar."
"Siapa kalian!' bentak Kim-soat gusar.
"Caihe Sun Tiong-giok, putra Kun-mo-tocu," jawab lelaki bermuka putih itu.
"Ini Ko Sat, satu di antara kesepuluh punggawa ayahku. Maaf, karena kami
tinggal jauh di luar lautan sana sehingga mungkin kurang adat, untuk itu
mohon dimaklumi."
Lalu ia berpaling kepada si kakek tadi dan memberi pesan, "Kalian keluar saja,
tanpa dipanggil dilarang masuk."
Si kakek yang disebut Ko Sat itu seperti sangat takut kepada Sun Tiong-giok,
dengan munduk-munduk mengiakan dan mengundurkan diri bersama
begundalnya.
"Anda ini tentu Put-si-sin-liong adanya, dan siapakah nona jelita ini?" tanya
Sun Tiong-giok.
"Aku Bwe Kim-soat," sebelum Liong Po-ii bersuara Kim-soat sudah mendahului
menjawab.

"Aha, kiranya Leng-hiat Huicu adanya, sebelum kuberangkat, ayah memang
sudah memberi gambaran siapa-siapa yang mungkin akan kutemui di sini,
sungguh kebetulan sekaligus dapat berjumpa dengan Huicu di sini," kata Sun
Tieng-giok dengan tertawa. "Maksud ayah, hendaknya Liong-taihiap
menyerah, untuk itu berarti perdamaian bagi dunia persilatan umumnya, kalau
tidak, hehe .... "
"Tidak kepalang gusar Liong Po-si, mendadak matanya mendelik dan darah
tersembur dari mulutnya,
Pada saat itu juga Suma Tiong-thian telah menerjang masuk lagi ke dalam
kamar dan membentak, "Jangan temberang, anak muda, sebe1um
menghadapi Liong-taihiap, hadapi dulu diriku!"
Sun Tiong-giok meliriknya sekejap, jengeknya, "Tampaknya di sini terlalu
ramai, biarlah tengah malam nanti kutunggu kalian di biara bobrok yang
terletak di barat kota Sana."
Habis berkata, tanpa menanti jawaban ia terus melangkah pergi.
Saking menahan gusar, kembali Liong Po-si tumpah darah.
"Engkau kenapa, Liong heng?" tanya Suma Tiong-thian.
"Karena banyak bicara, luka dalam tambah parah, rasanya tidak jauh lagi
ajalku," ucap Liong Po-si dengan suara lemah.
"Jangan kuatir, Liong-heng," kata Suma Tiong-thian. "Akan kuantar engkau
pulang ke Ci hau-san-ceng, menjelajah ke ujung langit pun akan kucari Po tua
unsuk mengobati lu-kamu."

Liong Po si tersenyum pedih. "Keadaanku sekarang ibarat pelita kehabisan
minyak, mumpung masih ada sisa tenagaku, sedapatnya akan kusalurkan
semua tenaga rnurni kepada anak Peng. Nah, kemarilah anak Peng . . . . "
"Jangan, Suhu," seru Lamkiong Peng.
"Tidak, kauperlu menyadari keadaan yang gawat," kata Liong Po-si dongan
lemah. "Saat ini musuh tangguh sudah mengintai di sekeliling kita, kawanan
iblis membanjir dari barat, dunia persilatan Tionggoan terancam bahaya.
Kautahu betapa berat tugas yang kauemban? Majulah sini, duduk di tepi
ranjang!"
Lamkiong Peng tahu maksud sang guru, yaitu demi kepentingan dunia
persilatan umumnya hendak menyalurkan segenap tenaga murni kepadanya,
agar kelak dapat digunakan untuk menghadapi musuh tangguh. Dengan ragu
ia pandang sang guru, cemas dan terharu.
"Seorang lelaki sejati harus bertindak cepat dan tegas, kenapa seperti anak
kecil saja. Duduklah di sini, anak Peng," kata Po-si pula.
Akhirnya Lamkiong Peng duduk juga di tepi ranjang.
Lalu Liong Po-ti berkata kepada Suma Tiong-thian dan Bwe Kim-soat, "Pada
waktu kukerahkan tenaga, harap kalian berjaga sementara, mungkin nanti aku
tidak sempat lagi mohon diri, maka sekarang juga kuucapkan, terima kasih
kepada kalian. Nah, anak Peng, pusatkan pikiran dan kerahkan tenaga . ..."
Lamkiong Peng menurut dan memusatkan segenap pikiran menerima anugrah
lwekang sang guru ....
Dengan tegang Suma Tiong-thian dan Bwe Kim soat memandangi mereka,
suasana sunyi senyap. Setelah sekian lamanya, tubuh Liong Po-si tampak
gemetar.

Selagi Suma Tiong-thian berdua berdebar, Sekonyang-konyong terdengar
suara gemuruh, pintu kamar didobrak orang. Dengan terleejut Suma Tiongthian
dan Bwe Kim soat melompat ke sana, tertampaklah serombongan orang
menerjang ke dalam.
Dua orang paling depdan ternyata Ban-li-liu-hiang Yim Hong peng dan Toat
beng-siang jiang Ko Tiong hai adanya. Beberapa orang di belakang mereka
adalah Thian hong-jit-eng yang kelihatan kaku itu.
Segera Kim-soat melolos pedang, Suma Tiong-thian juga siapkan tombaknya
dan berjaga di depan tempat tidur.
"Ah. nona Bwe, baik-baik selama berpisah?!" sapa Yim Hong-peng dengan
tertawa sarnbil menggoyangkan kipasnya.
"Baik, terima kasih," jawab Kim-soat dengan tersenyum.
Sekilas lirik Yim Hong-peng melihat keadaan Liong Po-si dan Lamkiong Peng,
ia kelihatan heran, tapi segera berkata pula dengan tertawa, "Wah, sungguh
cepat amat Lam-kiong-kongcu ini, belum lama baru saja bertemu di Sam-bun
wan, tahu-tahu sekarang sudah berada di sini."
"Dia terluka parah dan Liong taihiap sedang menyembuhkan dia," kata Kim
soat dengan lagak sedih.
Yim Hong peng melenggong, katanya, "Tersiar kabar bahwa Put-si-sin-liong
menderita sakit parah, kenapa . . . ."
"Kabar burung dunia kangouw mana boleh dipercaya," ujar Kim-soat dengan
tertawa, "Kaulihat sendiri, dengan tenaga sakti beliau Liong-taihiap telah
menolong murid kesayangannya itu."

Dia cukup cerdik, sedapatnya berbohong untuk mengulur waktu dan ternyata
Yim Hong-peng dibuat jeri
Tapi dengan tertawa Yim Hong peng berkata pula, "Tahun lalu urusan yang
kuberi tahukan itu tentu sudah nona pertimbangkan dengan baik, untuk itu
nona pun menerima pening Hong-uh-biau-hiang dari Swee-sian sing, dan
bagaimana keputusan nona?"
"Kayu itu sudah hilang," jawab Kim-soat dengan tertawa genit.
Air muka Yim Hong peng berubah mendadak, Ko Tiong hai melangkah maju
dan membentak, "Jika pening itu kauhilangkan harus kauganti dengan
nyawamul"
Kim-soat meliriknya sekejap, katanya ke-pada Hong peng, "Eh. sejak
kapankah Yim-taihiap memiara seekor anjing galak begini?"
Ko Tiong-hai menjadi murka, sambil meraung ia menubruk maju, kedua
tangan menghantam berturut-turut.
Kim-soat mendengus, sambil mengegos pedang terus menabas tangan lawan.
Begitu tangan lawan ditarik kembali, segera pula ia tusuk tenggorokan orang.
Keruan Ko Tiong-hai terkejut, cepat ia berkelit dan balas menyerang, dan
begitulah terjadi pertarungan sengit.
"Untuk apa kalian berdiri saja?!" bentak Yim Hong-peng terhadap Thian-hongjit-
eng, kawanan elang pelangi langit.
Tampaknya Thian-hong jit-eng masih terpengaruh oleh obat sehingga
kehilangan kesadaran, dengan kaku segera mereka mengerubuti Suma Tiong
thian.

Dengan sendirinya Tiong-thian tidak gentar, setelah beberapa jurus, segera ia
cecar elang merah yang berkepandaian paling lemah.
Keruan elang merah Ang Hau-thian terkejut, sedikit gugup tahu-tahu
kepalanya sudah pecah kena tombak.
Keenam elang yang lain tidak peduli seorang saudaranya telah menjadi
korban, mereka tetap menyerang dengan gencar. Walaupun tangkas,
dikerubut enam orang juga rada kerepotan, maka dalam waktu sungkat Suma
Tiong-thiat, juga terkena dua-tiga kali pukulan dan tumpah darah.
Namun makin lama makin tangkas Suma Tiong-thian, sekali tombak berputar,
kembali elang hijau kena ditusuknya hingga terguling. Tapi pada saat yang
sama bahu kirinya juga terpukul sehingga tombak kiri terlepas dari cekalan.
Tanpa ayal kelima elang yang lain menubruk maju, tapi sekali tombak kanan
berputar, dapatlah Suma Tiong-thian memaksa lawan mundur.
Terdengar Ko Tiong-hai meraung murka dan menghantam beberapa kali,
karena lengah, Bwe Kim-soat tertabas oleh telapak tangannya dan tumpah
darah serta jatuh terduduk.
Sambil menyeringai segera Ko Tiong-hai hendak menambahi suatu pukulan
lagi, mendadak seorang membentak, "Tunggu dulu!"
Ko Tiong-hai berpaling, kiranya rombongan Sun Tiong-giok muncul kembali .
Dalam pada itu mendadak terdengar juga jeritan Suma Tiong-thian, sambil
tumpah darah jago tua itu kelihatan roboh terkapar, menyusal elang ungu juga
ambruk dengan perut tertancap tombak dan mengucurkan darah.
Keempat elang yang lain serentak menubruk maju hendak menyerang Liong
Po-si dan Lamkiong Peng.

Bwe Kim-soat menjerit kuatir, segera Sun Tiong-giok bertindak, ia melompak
maju dan melancarkan pukulan dari jauh sehingga keempat elang itu dipaksa
mundur.
Dengan lemah Kim-soat memandangnya sekejap dengan rasa terima kasih.
Segera Yim Hong-peng membentak, "Hah, sejak kapan Kun-mo-to berkomplot
dengan Put-si-sin-liong' Selama ini Kun-mo-to dengan kami tidak ada
permusuhan, kenapa kalian ikut campur urusan orang lain?"
"Hm, main kerubut, hanya berani karena menang jumlah banyak, peraturan
dunia per-silatan mana? Jika jantan sejati, ayolah keluar dan perang tanding di
tempat yang luas!" tantang Sun Tiong-giok yang berwatak angkuh.
"Kematian sudah di depan mata, tetapi berani membual, memangnya siapa
yang gentar padamu?" mendadak Yim Hong-peng berteriak, "Mundur keluar!"
Dan begitulah berbondong bondong anak huah kedua pihak lantas mundur
keluar untuk bertempur.
Selagi pertarungan sengit berlangsung di luar, sementara itu penyaluran
tenaga murni Liong Po-si kepada Lamkiong Peng sudah berakhir. Ketika
mendadak Lamkiong Peng membuka mata, keadaan di dalam kamar yang
dilihatnya membuatnya terkejut.
Cepat ia melompat bangun dan memburu ke samping Bwe Kim-soat, ia coba
memeriksa napasnya, ternyata masih bernapas, legalah hatinya. Waktu ia
periksa Suma Tiong-thian, mata jago tua itu kelihatan mendelik dan tangan
tergenggam erat, ternyata sudah meninggal sejak tadi.

Mendadak terdengar suara tubuh roboh di tempat tidur, waktu Lamkiong Peng
berpaling, tertampak Liong Po-si roboh terkulai di tempat tidur. Cepat ia
memburu ke tempat tidur dan berteriak, "Suhu . ..."
Dengan lemah Liong Po-si membuka matanya yang buram, lalu terpejam pula
dan ber-suara parau, "Aku . . . aku tidak . . . tidak tahan lagi, Anak . . . anak
Peng, hendaknya kau . . . . "
Belum habis ucapannya putuslah napasnya.
Sungguh tidak kepalang rasa duka Lamkiong Peng, ia ingin menangis
sekerasnya, namun tidak keluar suaranya.
Tiba-tiba terdengar keluhan pelahan Bwe Kim-soat, cepat ia berpaling dan
melompat ke sampingnya serta diangkatnya, serunya kua-tir, "Kim-soat,
bagaimana keadaanmu?"
Dengan lemah Kim-soat menjawab, "Aku tahan, lepaskan aku. Lekas kaubantu
orang yang lagi bertempur dengan Yim Hong-peng itu."
Selagi Lamkiong Peng hendak tanya lagi tiba-tiba terdengar suara jeritan ngeri
di luar disertai suara robohnya tubuh.
Lamkiong Peng tahu keadaan cukup genting ia angkat Kim-soat dan
dibaringkan ditempat tidur. Lalu ia mengumpulkan jenazah Suma Tiong-thian
dijajarkan dengan jenazah Liong Po-si Habis itu ia raih pedang Yap-siang-jiuloh
dan memburu keluar.
Keadaan di luar membuatnya terperanjat, mayat sudah bergelimpangan,
pertempuran masih berlangsung dengaa sengit, belasan anak buah Yim Hongpeng
memasang barisan Thian-hong-gin-uh-tin sedang mengepung musuh,
cuma jumlah anggotanya sudah banyak berkurang, namun daya tempurnya

tambah kuat, jelas barisan itu telah mengalami gemblengan baru dibandingkan
waktu mengepung Lamkiong Peng dahulu.
Musuh yang terkepung di tengah barisan itu tinggal tiga orang, yaitu Sun
Tiong-giok, Ko Sat dan seorang kakek tinggi besar. Ketiganya tampak
beringas, rambut kusut, baju robek dan mandi darah dan keringat,
keadaannya tampak runyam, namun mereka masih terus bertempur dengan
kalap.
"Berhenti semua!" bentak Lamkiong Peng dengan suara menggelegar.
Melihat yang datang ini adalah Lamkiong Peng, Yim Hong-peng mengeluh
urusan bisa celaka.
Dalam pada itu Lamkiong Peng terus menerjang ke tengah barisan, sekali
pedang berputar dan menabas, kontan tiga orang berseragam hitam roboh
binasa dengan darah berhamburan.
Tanpa berhenti Lamkiong Peng terut berputar lagi ke samping, dalam sekejap
tiga orang lain tertabas mati pula.
Dengan robohnya keenam orang itu, barisan pengepung itu rnenjadi bobol,
Sun Tiong-giok bertiga segera melancarkan serangan balasan.
Ko Tiong-hai menjadi murka, sambil meraung ia menerjang ke arah Lamkiong
Peng dan melancarkan pukulan dahsyat.
Akan tetapi Lamkiong Peng sekarang sudah lain daripada Lamkiong Peng tadi
dengan tambahan tenaga murni dari sang guru, serangan Ko Tiong-hai itu
tidak ada artinya baginya. Sedikit mengegos, berbareng pedang menabas,
sebelum Ko Tiong hai sempat menggunakan tombaknya, tubuh jago andalan
Swe Thian-bang ini telah terkutung menjadi dua oleh tabasan pedang
Lamkiong Peng.

Tanpa ayal Lamkiong Peng terus menerjang lagi ke depan, menuju Yim Hongpeng
dan begundalnya. Karena diserang dari kanan kiri, terpaksa Yim Hongpeng
melompat mundur.
Lamkiong Peng memburu maju dan me-nusuk lagi. Sun Tiong-giok juga gemas
ter-hadap Yim Hong-peng yang telah menimbulkan banyak korban di
pihaknya, serentak ia pun menyerangnya dengan gencar.
Yim Hong-peng menyadari sukar melawan kedua jago kelas tinggi itu, diamdiam
ia mengeluh dan berusaha mencari jalan lolos.
Sekonyong-konyong terdengar jeritan ngeri si elang kuning telah mati
terbacok oleh senjata Ko Sat.
Tergerak hati Yim Hong-psng, timbul akal kejinya, mendadak ia mendesak
maju, tangan kiri berlagak menghantam Sun Tiong-giok, sekaligus kipasnya
menutuk Ki-bun-hiat di dada Lamkiong Peng.
Dengan sendirinya Lamkiong Peng berdua mengelak, kesempatan itu segera
digunakan oleh Yim Hong-peng untuk melompat mundur dan kabur.
Serentak Lamkiong Peng dan Sun Tiong-giok membentak dan mengejar.
Secepat terbang Yim Hong-peng menyusup kedalam kamar. Waktu Lamkiong
Peng dan Sun Tiong giok menyusul ke dalam, dilihatnya sebelah tangan Yim
Hong-peng mengempit Bwe Kim-soat yang parah itu dengan tangan kanan
mengancam punggungnya.
Sambil menyeringai Yim Hong-peng membentak, "Berhenti, maju lagi
selangkah segera kubinasakan dia!"

Sungguh tidak kepalang murka dan gemas Lamkiong Peng, tapi apa daya.
terpaksa ia berhenti dengan mendelik. Sun Tioag giok juga berdiri
melenggong.
"Berani kauganggu seujung rambutnya, aku bersumpah akan mencencang
tubuhmu hingga hancur lebur," teriak Lamkiong Peng dengan kalap.
Dalam pada itu suara pertempuran di luar juga Sudah mereda, mungkin sisa
ketiga elang juga sudah terbunuh oleh Ko Sat dan kawannya si kakek tinggi
besar
Selagi Yim Hong-peng merasa terpojok dan mencari akal cara bagaimana
meloloskan diri dengan menggunakan Bwe Kim soat sebagai sandera, tiba-tiba
di luar ada orang tertawa nyaring, menyusul pintu kamar terbuka dan
masuklah serombongan orang.
Begitu melihat pendatang ini, sungguh tak terkatakan girang Yim hong-peng.
Orang yang masuk paling dahulu ternyata Kwe Giok-he adanya, di
belakangnya mengikut tiga orang kakek berbaju hitam.
Kening Lamkiong Peng bekerenyit, dilihatnya Kwe Giok-he mendekatinya
dengan tersenyum sambil menyapa, "Bagaimana Go-te, baik-baik selama
berpisah?"
Lamkiong Peng merasa tidak sabar, cuma mengingat Liong Hui, ia tidak berani
bersikap kasar, terpaksa ia menjawab dengan hambar, "Baik."
Dalam pada itu ketiga kakek berbaju hitam juga sudah berdiri di samping Yim
Hong-peng, meski wajah ketiga kakek ini tidak luar biasa. namun sinar mata
mereka meneorong, jelas lwekangnya kelas satu.

Keadaan Lamkiong Peng sekarang berubah pada posisi tidak menguntungkan,
namun ia tidak gentar, diam diam ia ambil keputusan akan bertempur matimatian.
Sun Tiong-giok bertiga juga merasakan keadaan cukup gawat, mereka pun
siap tempur.
Dengan tertawa Giok-he lantas berkata, "Go-te, menurut berita dunia
bangouw, katanya engkau pergi ke Cu-sin-to dan pulang dengan memperoleh
kepandaian sakti, apa betul kabar itu?"
"Memang betul," jawab Lamkiong Peng dengan aseran dan tetap menatap Yim
Hong-peng.
"Eh, ada apakah antara kalian ini?" ucap Giok-he pula dengan lagak heran.
"Yim-tai-hiap berhasil menawan Leng-hiat Huicu, tampaknya Go-te berbalik
membela perempuan berdarah dingin ini? Memangnya kabar yang tersiar di
dunia kangouw bahwa Go te bergaul erat dengan dia adalah kabar yang
benar?"
"Aku cuma patuh kepada pesan Suhu untuk menjaganya, pula hatinya
sebenarnya bajik, segala sesuatu kebusukannya hanya fitnah orang kangouw
padanya," kata Lamkiong peng dengan nada gusar.
"Wah, tampaknya berita hubunganmu dengan dia memang tidak salah,"
dengus Giok-he. "Selaku kakak gurumu sekarang kuperintahkan agar engkau
membiarkan Yim-taihiap membawa pergi Bwe Kim soat."
"Memangnya engkau dapat memerintahku lagi?" jawab Lamkiong Peng dengan
tertawa.
"Kenapa tidak?" seru Giok-he dengan gusar.

'Engkau menhianati guru dan mengacau dunia persilatan, nama baik Suhu
telah kau cemarkan, hubungan kita sudah putus, berdasarkan apa berani
kauberi perintah padaku?" jawab Lamkiong Peng.
"Kurangajar, kauberani melawan kakak guru sendiri?!" bentak Giok-he.
"Biarlah hari ini kuwakili guru melaksana haknya menumpas murid murtad."
Habis bicara segera ia melancarkan pukulan.
Gusar dan benci Lamkiong Peng, meski tetap mengawasi Yim Hong-peng,
sebelah tangan lantas digunakan menangkis.
Kwe Giok-he tidak menyangka Iwekang sang Sute sekarang sedemikian lihai,
begitu kedua tangan beradu, kontan ia tergetar sempoyongan.
Kejut dan gusar Giok-he, selagi hendak menerjang maju lagi, sekonyongkonyong
sesosok bayangan orang melayang masuk, kiranya Ciok Tim adanya.
"Jangan takut, Go-te, kudatang membantumu!" seru Ciok Tim, berbareng ia
terjang Kwe Giok he.
Keruan Giok-he terkejut bentaknya, "Hei, Ciok Tim, apa engkau sudah gila?!"
"Aku tidak gila," jawab Ciok Tim. "Sudah sekian lama aku mimpi, sekarang aku
sadar. Kausendiri telah membuat malu Sin-liong-bun, Toako tidak berada di
sini, sebagai wakilnya kugantikan Suhu memberi hajaran padamu."
Sembari bicara ia terus melancarkan pu-kalan, Terpaksa Giok-he menangkis
dan balas menyerang.
Dalam sekejap saja kedua orang sudah bergebrak belasan jurus, Ciok Tim
menyerang serupa harimau gila, semua jurus serangan mematikan tanpa
kenal ampun. Giok-he terdesak hingga mundur ke pojok.

Pada saat gawat itulah mendadak seorang kakek berbaju hitam di sebelah
kanan membentak serentak menubruk ke arah Ciok Tim,
Menyusul kedua kakek seragam hitam yang lain juga menerjang Lamkiong
Peng,
Lamkiong Peng tahu menghadapi lawan tangguh, cepat ia melompat ke
samping, berbareng tangan kanan menghantam Yim Hong-Peng.
Yim Hong-peng tertawa terkekeh, segera angkat Bwe Kim-soat dan
ditangkiskan pada serangan Lamkiong Peng itu.
Tentu saja Lamkiong Peng terkejut dan gusar, cepat ia menarik kembali
serangannya dan menggeser ke samping, secepat kilat ia hantam lagi kedua
kakek.
Kesempatan itu segera digunakan Yim Hong-peng untuk melompat ke pintu,
baru saja ia hendak kabur, dengan kalap Lamkiong Peng memburu maju dan
meraih pinggangnya.
Yim Hong-peng mendengus, sedikit berputar, kembali ia sodorkan tubuh Bwe
Kim-soat sebagai tameng.
Karena berulang dijadikan alat penangkis, luka Kim-soat tambah parah,
seketika ia tak sadarkan diri.
Dengan sendirinya Lamkiong Peng rada repot menghadapi lawan yang licik itu.
Pada saat itu kedua kedua kakek baju hitam pun sudah menubruk tiba dari
kanan dan kiri.
Terpaksa Lamkiong Peng putar balik untuk melayani mereka dan kesempatan
itu segera digunakan Yim Hong peng untuk kabur keluar.

"Lari ke mana?!" bentak Lamkiong Peng dengan murka, kedua tangan
menghantam sekaligus, kedua kakek dipaksa melompat mundur. Namun
kakek itu memang bukan jago rendahan, begitu menyurut mundur segera
menubruk maju lagi sehingga Lamkiong Peng sukar melepaskan diri.
Mendadak terdengar Kwe Giok-he juga membentak, ia pun meninggalkan Ciok
Tim dan lari keluar.
"Jangah kuatir, Lamkiong Peng, akan kurampas kembali nona Bwe." seru Sun
Tiongsiok, berbareng ia pimpin Ko Sat dan si kakek tinggi besar mengejar ke
sana.
Saking gemasnya Lamkiong Peng melancarkan serangan maut To-mo-cappek-
sik dilontarkan, keruan kedua Kakek itu kaget. Kakek sebelah kiri belum
sempat melancarkan pukulan sepenuhnya sudah tersodok lebih dulu iganya
oleh lamkong Peng, ia hanya bersuara tertahan dan roboh binasa.
Kakek yang lain bermaksud menarik diri, namun Lamkiong Peng lantas
membentak pula dan mendssak maju, sekali tutuk ia pun bikin lawan
terguling.
Mendadak terdengar bentakan Ciok Tim, waktu Lamkiong Peng berpaling,
dilihatnya kakek baju hitam di sebelah sana tergetar mundur sempoyongan,
baju Ciok Tim juga robek dan muka pucat, jelas Suhengnya juga terluka.
Tanpa pikir Lamkiong Peng memburu maju dan menghantam. Setelah
mengalami berbagai kejadian ini, watak Lamkiong Peng yang biasanya halus
itu berubah menjadi ganas pula. Kakek itu tidak sempat menghindar, kontan
terjungkal dan binasa.

Waktu Lamkiong Peng memandang ke depan, cahaya matahari senja kelihatan
indah menyilaukan mata, mana ada lagi bayangan Yim Hong peng dan Kwe
Giok-he?
Lamkiong Peng memandang mayat Liong po-si dan Suma Tiong-thian sekejap,
lalu mendekati tempat tidur Lamkiong Eng-lok, waktu diperiksa, orang tua ini
ternyata sudah kaku, rupanya sejak tadi sang paman juga sudah
mengembuskan napas terakhir.
Pantas orang tua ini tidak memberi rcaksi apa-apa meski di sektiarnya terjadi
kegemparan.
Meski tidak banyak kenal pribadi sang paman, namun apapun masih hubungan
keluarga sedarah. Memandangi jenazah orang tua yang hidupnya merana di
pulau terpencil dan akhirnya meninggal di tanah air. Gurunya juga meninggal,
sahabat karib ayah dan gurunya, yaitu Suma Tieng-thian juga tewas Hanya
da-lam satu hari tiga orang tua yang paling erat hubungannya telah meninggal
seluruhnya, betapapun tidak tahan oleh pukulan batin ini. Kalau saja hatinya
tidak dibakar oleh rasa gusar dan dendam tentu sejak tadi ia runtuh.
Melihat anak muda itu diam saja, Ciok Tim coba mendekatinya, ia tidak kenal
Lamkiong Eng-lok, terlebih tidak tahu bahwa orang tua inilah Cu-sin-tocu yang
termasyhur dan disegani itu.
Melihat Ciok Tim, tiba-tiba timbul pikiran Lamkiong Peng mengenai Tik Yang
dan istrinya serta Yap Man-jing yang dibawa lari ke Lam-san oloh Yim Hongpeng
itu. Apalagi Bwe Kim soat tadi juga digondol oleh orang she Yim itu,
sangat mungkin juga akan dibawa ke Lam san, bilamana sekarang juga menyusul
ke sana, rasanya masih belum terlambat. Karena itu segera ia berkata
kepada Ciok Tim dengan menahan rasa dukanya, "Sam-suheng, masih ada
sesuatu urusan penting yang harus kuselesaikan, bilamana esok malam Siaute
tidak kembali ke sini, mohon Samsuheng membawa pulang dulu jenazah
Suhu ke Ci-hau-ian-ceng."

Ciok Tim mengiakan dengan sedih sambil memandang jenazah sang guru.
Habis bicara Lamkiong Peng lantas mohon diri lebih dulu.
__o0O0o—
Apa yang dimaksudkan Lam-san itu adalah sebuah perkampungan yang
dibangun di lereng bukit yang dikelilingi dengan pepohouan yang rindang,
kalau diperhatikan dengan cermat, setiap pohon yang ditanam itu seakan akan
diatur menurut perhitungan barisan tertentu.
Saat itu bulan sudah menghiasi langit, di bawah cahaya remang bulan
kelihatan belasan sosok bayangan orang berlompatan di antara pepohonan
yang teratur itu.
Dari gerak tubuh mereka yang cepat dan enteng itu, jelas semuanya
menguasai ginkang yang amat tinggi, lamat-lamat kelihatan semuanya
berdandan sebagai kaum pengemis. Dua orang yang di depan membawa
tongkat bambu hijau. Kiranya mereka adalah Kiong-sin Ih Hong dan Ok-kui
Song Cing, si arwah rudin dan si setan jahat.
Tidak perlu dijelaskan lagi, kawanan pengemis ini adalah Yu-leng-kun-kai atau
kawanan jembel arwah halus.
Suasana perkampungan yang megah itu kelihatan sunyi senyap. namun dapat
dirasakan ketegangan yang segera akan terjadi sesuatu.
Ih Hong mengamat amati keadaan sejenak, habis itu ia memberi tanda dan
segera mendahului melintasi pagar bambu yang mengelilingi perkampungan
itu. Sejenak kemudian mereka sudah berada di halaman yang luas, namun
bangunan yang terlihat di depan semuanya dalam keadaan gelap gulita.

Ih Hong dan Song Cing merasa sangsi, suasana terasa seram.
"Sekali sudah datang, masa kita mundur lagi?" kata Song Cing dengan
tertawa. "Memangnya Yu-leng-kun-kai kita pernah gentar kepada siapa? Ayo
kawan, biarpun neraka juga akan kita terjang."
Belum lenyap suaranya, sekonyong-konyong cahaya lampu menyala serentak
dengan terang benderang, keruan kawanan pengemis seketika merasa silau.
Tertampak bayangan orang berkelebat di ruangan tengah, pintu lantas
terbuka, seorang setengah umur bertubuh jangkung dan bermuka putih
dengan jubah hitam melangkah keluar. Sungguh kontras sekali muka orang
yang putih dan berjubah hitam.
Setelah keluar. dengan angkuh orang ini lantas menegur, Tengah malam buta
kalian berkunjung kemari, entah apa keperluan kalian?"
Dia bicara dengan lembut serupa orang perempuan, kawanan pengemis itu
lama melenggong, segera Ih Hong berseru, "Apakah Anda tuan rumah di sini?"
"Ah, cayhe cuma Congkoan dan perkampungan ini, Bi Pek-hiang adanya,"
jawab orang itu.
"Kami ingin bicara dengan majikanmu," seru Ih Hong.
"Tengah malam buta tuan rumah tidak menerima tamu, ada urusan apa coba
bicara saja denganku," kata Bi Pek-hiang.
"Hm, orang terang tidak perlu berbuat gelap," jengek Song Cing. "Kukira
kaupun tidak perlu berlagak pilon, kedatangan kami tiada lain adalah ingin
minta orang. Adik Ih-pangcu dan Tik Yang suami-isteri telah diculik kalian dan
dibawa ke sini, kedatangan kami sekarang justru ingin minta kembali kedua
orang ini."

Selagi Bi Pek-hiang hendak menjawab, mendadak dari ruangan dalam
bergema suara seorang, "Bi-congkoan, ada tamu datang dari jauh, kenapa
tidak kausilakan masuk ke dalam, kan kurang hormat meladeni tamu di luar?"
Kawanan jembel sama melengak, sebaliknya tikap Bi Pek-hiang lantas
berubah, cepat ia berkata sambil membungkuk tubuh, "Majikan menyilakan
para tamu masuk ke dalam!"
Ih Hong saling pandang sekejap dengan Song Cing, mereka merasa orang
yang bersuara di dalam itu seperti sudah dikenalnya.
Namun mereka tidak gentar, segera mereka ikut Bi Pek-hiang masuk ke
ruangan tamu.
Cahaya lampu di dalam ruangan terang benderang, pada kursi besar yang
terletak di tengah ruangaa berduduk seorang yang bertubuh sedang dengan
muka pakai kedok sutera hitam.
Serentak orang berkedok itu berbangkit demi nampak rombongan Ih Hong
masuk, katanya, "Silakan duduk untuk bicara. Sungguh beruntung atas
kunjungan kalian dari kejauhan, cuma sudah jauh malam sehingga tidak dapat
memberi pelayanan yang layak."
"Ah, kukira tidak perlu bicara bertele-tele," ucap Ih Hong. "Biarlah kukatakan
langsung saja, kedatangan kami ini adalah minta orang padamu."
"Haha, Ih-heng sungguh orang yang tak sabar," kata orang berkedok itu
dengan tertawa. "Padahal setelah sekian lama berpisah dan sekarang dapat
berkumpul pula, seharusnya kita bercengkerama mengenang masa lalu."

Kawanan jembel Yu-leng-kun-kai sama melengak, dari nada ucapan orang
berkedok ini, agaknya mereka adalah kenalan lama, tapi karena tertutup oleh
kain kedok sehingga tidak kelihatan wajah aslinya.
Hati Song Cing tergerak, ia pun tertawa dan berseru, "Aha, jika kita memang
kenalan lama, kenapa Anda tidak menanggalkan kedok supaya kami dapat
melihat jelas kawan lama yang mana?"
"Apa susahnya membuka kendok, soalnya belum tiba waktunya," kata orang
berkedok dengan tertawa.
Mendadak Ih Hong menjengek, "Hm, hanya orang yang berdosa saja selalu
menutupi wajah aslinya, mangkin Anda pun berlumuran dosa, makn harus
manutupi muka sendiri untuk mengelabui mata orang."
Orang berkedok memandangnya sekejap, mendadak ia berpaling dan
membentak ke dalam, "Tamu agung sudah tiba, kenapa santapan belum
disiapkan?"
Ih Hong dan Song Cing sama melengak, mereka tidak tahu apa maksud tuan
rumah, dengan tergelak Song Cing lantas berkata, "Ka-lau tidak menerima
berarti kurang hormat, lebih dulu kami mengucapkan terima kasih atas
pelayanan Anda."
Orang berkedok itu tertawa dan mendahului masuk ke ruangan tamu, segera
Ih Hong dan iringannya ikut masuk ke dalam.
Ruangan tamu sudah berderet meja dengan hidangan dan arak.
Orang berkedok terus duduk di tempat tuan rumah dan menyilakan duduk
para tamunya.

Kawanan pengemis itu pun tidak sungkan, cuma mereka menjadi ragu-ragu
jangan jangan di dalam makanan dan arak itu diberi obat racun.
Terdengar oraug berkedok mengangkat ca-wan araknya dan berseru,
"Sungguh beruntung malam ini dapat minum bersama dengan para ksatria
Kai-pang, sebagai penghormatanku, marilah kita habiskan satu cawan!"
"Nanti dulu," kata Ih Hong tiba-tiba. "Kedatangan kami ini bukan cari makan
dan minum, akan tetapi ingin kutanya di mana adik perempuanku yang
ditawan anak buah Swe-siansing, bilamana nasib adikku dan Tik Yang sudah
jelas belum lagi terlambat untuk mengiringi makan minum denganmu."
"Maksud Ih-heng hendak mengajak pulang nona Ih?" tanya orang berkedok.
"Memang begitulah," jawab Ih Hong.
Sembari menuang arak lagi orang berkedok berkata, "Dan bila nona Ih tidak
mau?"
"Omong kosong!" bentak Ih Hong aseran. "Sebelum berhadapan, dari mana
kautahu adikku tidak mau pulang."
Orang berkedok memandangnya sekejap, mendadak ia terbahak-bahak,
"Haha, kukira ksatria Kai-pang adalah tokoh gagah perwira, namun hidangan
yang sengaja kusiapkan ternyata belum lagi disentuh. sebaliknya urusan kecil
yang dipersoalkan."
Tiba-tiba Song Cing terkekeh, katanya, "Hehe, memangnya kaukira kami tidak
berani makan minum suguhanmu?"
Segera ia angkat cawan dan menenggak habis isinya. Melihat pemimpinnya
sudah minum, jago pengemis yang lain segera ikut minum.

Hanya Ih Hong saja berseru pula, "Bagiku yang penting harus segera
kaubebaskan adikku, sebelum itu aku tidak ada selera untuk makan minum."
"Apa susahnya jika ingin melihat adikmu?" ujar orang berkedok. Mendadak ia
tepuk tangan dan berseru, "Silakan nona Ih menemui tamu!"
Bi Pek-hiang mengiakan dengan hormat dan menuju ke ruangan belakang.
Sejenak kemudian terdengarlah suara gemerincing perhiasan orang
perempuan, Ih Loh tampak me-langkah keluar dengan lemah gemulai.
Wajahnya kelihatan cantik bercahaya, sedikit pun tidak ada tanda tersiksa
sebagai tawanan.
Lega hati Ih Hong, segera.ia menyapa, "Adik Loh!"
Ih Loh mengerlingnya sekejap, namun tidak memperlihatkan rasa girang
sebagaimana layaknya kalau kakak bertemu dengan adik setelah lama
berpisah, ia malah mendekat ke samping si orang berkedok dan tersenyum
manis padanya.
Kawanan pengemis lama melengok, Ih Hong juga terkejut, katanya dengan
suara ge-metar, "Adik Loh, masa tidak . . . tidak kau-kenal lagi kakak sendiri?"
"Mana mungkin aku tidak kenal kakak lagi," ucap Ih Loh dengan tertawa.
Rada lega hati Ih Hong, "Sekarang kakak datang untuk membawamu pulang."
"Aku cukup senang tinggal di sini, tidak perlu lagi kakak susah payah
membawaku pulang jauh ke utara sana." ujar Ih Loh,
"Hah. apa engkau sudah gila? Masa engkau tidak ingat lagi kepada rumah dan
keluarga kita sendiri?' seru Ih Hong dengan k-rang senang. ,

"Siapa bilang aku gila?" jawab Ih Loh. " Ai, sudahlah, aku masih ada
pekerjaan, tak-dapat kutemui kakak lagi."
Mendadak Ih Hong membentak, "Adik Loh?!"
Namun Ih Loh terus melangkah pergi tanpa berpaling.
Ih Hong hendak menyusulnya, namun keburu ditahan oleh Song Cing,
katanya, "Sabar dulu, adik Hong, tampaknya urusan ini tidak beres, tentu ada
sesuatu yang tidak benar."
Ih Hong kelihatan lesu, ia tuding orang berkedok dan mendamperat, "Dengan .
. . dengan obat apa kaucekoki dia sehingga dia kehilangan kesadaran aslinya?"
"Pikirannya cukup jernih, masa terpengaruh obat apa segala?" jawab orang
berkedok itu dengan tertawa.
Mendadak Song Cing berseru, "Sungguh orang she Song sangat kagum
caramu mengerjai orang sehingga dapat membuat mereka ka-kak beradik
serupa orang asing yang tidak saling kenal lagi. Cuma, orang terang tidak
perlu berbuat gelap, bilamana Anda seorang kesatria, kenapa tidak membuka
kedokmu supaya kami dapat melihat wajah aslimu yang terhormat." "Jika
kalian berkeras ingin tahu, apa salahnya jika kuperlihatkan," ucap orang
berkedok itu sambil menarik kain kedoknya.
Ketika kawanan pengemis itu melihat jelas wajah orang, mereka sama
terkejut.
"Hah, jadi engkau ini Tik . . . Tik Yang!" seru Song Cing kaget.
"Betul, memang akulah Tik Yang," jawab orang berkedok itu dengan tertawa.

"Bangsat, kiranya kau manusia berhati binatang ini, kembalikan adik
perempuanku!" teriak Ih Hong dengan kalap, serentak ia menubruk maju dan
menyerang.
"Pantas kaupakai kedok segala, kiranya kau bangsat ini," teriak Song Cing
sambil menerjang maju pula.
Akan tetapi Tik Yang tidak menghindar, mendadak kedua tangan menahan
permukaan meja, segera terdengar suara gemuruh, orangnya berikut kursi
sama anjlok ke bawah sehingga serangan Ih Hong berdua mengenai tempat
kosong.
Selagi Ih Hong hendak menubruk maju lagi, tahu-tahu bagian yang ambles ke
bawah tadi menjeblak ke atas lagi sehingga permukaan lantai rata kembali.
Segera Ih Hong mengangkat sebelah kaki dan mengentak sekuatnya, namun
lantai tidak bergeming sedikit pun.
Malahan lantas terdengar suara keriat-keriut, waktu mendongak, tertampak
dari atas menurun jaring baja serupa kurungan, tahu -tahu tnereka sudah
terkurung.
"Celaka, kita terjebak," seru Song Cing.
Ia coba mendobrak kurungan baja itu, namun percuma, biarpun senjata tajam
pun sukar membobolnya, apalagi bertangan kosong.
Bulan sudah condong ke barat, sesosok bayangan tampak menyelinap ke
dalam perkampungan di lereng Lam-san itu, hanya se-kejap saja ia sudah
melintasi beberapa deret rumah dan hinggap di wuwungan gedung induk. Di
bawah cahaya bulan kelihatan perawakannya yang keras dan wajahnya yang
cakap.

Siapa lagi dia kalau bukan Lamkiong Peng.
Selagi anak muda itu mengawasi sekeliling-nya untuk bertindak lebih lanjut,
tiba-tiba terdengar suara desir angin, tahu-tahu di belakangnya sudsh berdiri
seorang lelaki setengah umur berwajah putih, tapi berjubah hitam mulus.
Dengan tersenyum orang ini menegur, "Tengah malam buta Anda berkunjung
kemari, barangkali ada keperluan yang mendesak?"
'Caihe Lamkiong Peng adanya, Anda sendiri siapa?" tanya Lamkiong Peng.
Orang bermuka putih itu tampak melengak, "Aha, kiranya Lamkiong-kongcu,
caihe Bi Pek-hiang, congkoan perkampungan ini,sudah lama caihe menunggu
kedatanganmu di sini atas perintah majikan."
"Siapa majikanmu?" tanya Lamkiong Peng. "Setelah bertemu tentu Lamkiongkongcu
tahu sendiri." jawab Bi Pek-hiang. "Marilah ikut!"
Lamkiong Peng sudah bertekad akan menyelidiki keadaan perkampungan ini,
maka tanpa pikir ia ikut melayang turun ke sebuah ruangan besar yang
megah.
"Harap Lamkiong-kongcu menunggu seben-tar, segera caihe memberi lapor ke
dalam " kata Bi Pek-hiang setelah menyilakan Lem-kiong Peng duduk, lalu
masuk ke belakang melalui pintu samping.
Tidak lama kemudian muncul Tik Yang yang berkedok sutera hitam itu.
"Aha, Lamkiong-heng, selamat bertemu kembali," seru Tik Yang dengan
tertawa.
Lamkiong Peng merasa sudah kenal suara orang, tapi tidak tahu siapa,
jawabnya dengan bingung, '"Siapakah Anda?"

"Hah, baru berpisah beberapa hari masa Lamkinng-heng sudah tidak kenal
diriku lagi?" sembari bicara Tik yang terus menanggalkan kedoknya.
Sungguh mimpi pun Lamkiong Peng tidak menyangka orang berkedok ini
adalah Tik Yang, tentu saja ia kaget dan juga girang, ia memburu maju dan
menjabat tangan Tik Yang sambil berseru, "Ah, Tik-heng, kiranya engkau
adanya!”
Tik Yang menepuk bahu Lamkiong Peng, "Tak kauduga bukan?”
"Ya, sungguh mimpi pun tak terpikir oleh-ku," kata Lamkiong Peng. "Tapi ... ai,
ada yang tidak benar."
"Ada apa?" tanya Tik Yang.
Dengan kening bekerenyit Lamkiong Peng berkata, "Bukankah Tik-heng
bersama nona Ih ditawan Yim Hong-peng? Mengapa mendadak bisa menjadi
majikan perkampungan Lam-san ini?"
Tik Yang tersenyum tanpa bicara.
"Dan di manakah nona Ih dan nona Yap?' tanya Lamkiong Peng.
"Sesungguhnya apa yang terjadi?"
"Kedua nona itu sedang tidar nyenyak." jawab Tik Yang dengan tertawa.
"Perkampungan lam-san ini sudah menjadi milikku, kedatangan Lamkiong
heng ini sungguh kebetulan, marilah kita bekerja sama untuk membangun
pekerjaan besar."
"Pekerjaan besar apa?" tanya Lamkiong Peng.

"Yaitu melaksanakan rencana sesuai apa yang digariskan oleh Swe-siansing,
cara bagaimana merajai dunia bersilatan ini," tutur Tik Yang.
"Apakah engkau sudah gila, Tik-heng? Betul sudah kau masuk ke dalam
organisasi Swe Thian-bang?" tanya Lamkieng Perg dengan cmosi.
"Kautahu aku tidak pernah berdusta," seru Tik Yang.
"Dan bagaimana dengan nona Ih dan nona Yap?' tanya Lamkiong Peng.
"Mereka berdua juga sudah mengikuti jejakku."
"Omong kosong!' bentak Lamkiong Peng. Tapi segera terpikir olehnya jika
orang semacam Tik Yang saja juga rela bekerja bagi Swe Thian-bang. maka
anak perempuan semacam Ih Loh dan Yap Man-jing tentu juga sangat mudah
mengikuti jejaknya.
Selagi merasa bimbang, tiba-tiba terdengar orang bergelak tertawa, di
ruangan tamu sudah tambah seseorang.
Waktu Lamkiong Peng mengawasi, terlihat orang ini berperawakan pendek
kecil, muka penuh berewok, tapi kepalanya sebesar gantang sehingga sangat
tidak seimbang dengan tubuhnya yang pendek kecil.
Dia memakai baju warna kelabu gelap, sinar matanya meneorong, usianya
antara 40-an.
Begitu melihat orang ini, air muka Tik Yang dan Bi Pek-hiang sama berubah
dan segera mereka memberi hormat sambil menyapa "Tong-toako!'
Sikap orang yang dipangil Tong-toako itu sangat angkuh, ia hanya
mengangguk saja, lalu mendekati Lamkiong Peng.

Melihat sikap angkuh orang dan Tik Yang berdua sedemikian hormat padanya,
Lamkiong Peng menduga orang tentu tokoh yang berkedudukan tinggi dan
berkepandaian lihai.
Didengarnya orang telah menegurnya, "Apa-kah kau ini Lamkiong Peng?"
"Betul, dan siapa nama Anda yang terhormat" jawab Lamkiong Peng dengan
hambar.
"Namaku Tong Goan, sahabat kangouw memberi julukan Soan-hong-tui-hunkiam
(si angin lesus dan padang pengejar sukma) padaku," jawab orang she
Tong itu.
Diam diam Lamkiong Peng heran apa yang terjadi sehingga Swe Thian-bang
mengerahkan tokoh-tokoh andalannya seperti Ko Tiong-hai, Yim Hong Peng
dan Tong Goan ini ke daerah Kanglam.
Terdengar Tong Goan berucap pula, "Atas perintah Swe-siansing, Lamkiongkongcu
diharap ikut berkunjung ke markas pusat kami."
"Maaf. Lamkiong Peng merasa terlampau hormat menerima undangan
tersebut," jawab anak muda itu dengan tidak kalah angkuhnya.
Tong Goan tampak kurang senang, katanya, "Dengan maksud baik Swesiansing
mengundangmu, memangnya engkau berani menolaknya?"
Sambil membentak Tong Goan melangkah maju, sebelah tangannya terus
mencengkeram.
Dengan gesit Lamkiong Peng mengegos ke samping dan balas menghantam.
Ketika Tong Goan menangkis, "blang", terjadi adu tenaga pukulan dan
keduanya sama tergetar mundur.

"Boleh juga anak muda," seru Tong Goan.
"Coba sekali lagi!"
Kedua tangan sekaligus didorong ke depan.
Lamkiong Peng tahu tenaga dalam orang sangat lihai, ia tidak berani gegabah,
ia pun mengerahkan tenaga dan menangkis.
"Blang", kembali terjadi adu tenaga dengan dahsyat dan keduanya sama
tergetar mundur lagi.
Pertarungsn ini membuktikan tenaga dalam kedua orang ternyata sama kuat.
Keruan Tong Goan terkesiap, sama sekali tak terduga olehnya seorang anak
muda memiliki kekuatan sehebat ini.
"Hm, ternyata Soan-hong-tui-hun-kiam yang termashur tidak lebih cuma
begini saja," jengek Lamkiong Peng,
"Baik, sekarang boleh kita coba senjata," kata Tong Goan.
"Silakan," jawab Lamkiang Peng sambil melolos pedang.
Dengan prihatin Tong Goan mengeluarkan sebatang pedang lemas yang
panjang dan sempit, batang pedang berwarna putih, sedang ujung pedang
berwarna hitam gelap.
Lamkiong Peng tidak berani ayal. ia siap menghadapi musuh dengan penuh
perhatian.
Mendadak Tong Goan membentak, pedang disendal sehingga lurus dan
langsung ia menusuk lawan.

Lamkiong Peng mengegos ke samping, berbareng pedang pusaka Yap-siang
jiu-loh balas menusuk tiga hiat-to penting di bagian dada Tong Goan.
Terdengar Tong Goan mendengus sambil mendak ke bawah, pedang berputar
dan kembali ia menusuk Koh-cing hiat di bahu kiri Lamkiong Peng.
Dan begitulah serang menyerang terus berlangsung dengan sama lihainya.
Keduanya sama tahu menghadapi lawan tangguh sehingga tidak berani lengah
sedikit pun.
Mendadak Tong Goan membentak tertahan, seecpat kilat pedang lemas
menusuk lagi. Tapi pada saat yang sama Lamkiong Peng juga membentak,
sama cepatnya ia pun menusuk. Terdengar suara "ering" sekali, kedua pedang
seakan-akan lengket menjadi satu.
Tong Goan kelihatan bergirang, sedikit diangkat, ujung pedang yang hitam
gilap tepat mengarah muka Lamkiong Peng.
Keruan anak muda itu terkejut, ia bermaksud menarik kembali pedangnya,
tetapi lantaran tenaga kedua orang sembabat sehingga seketika Yap-siang-jiuloh
sukar ditarik,
Sambil menyeringai senang Tong Goan membentak, "Lepas pedang!"
"Belum tentu bisa!" jawab Lamkiong Peng dengan angkuh.
Tapi baru saja ia berucap, ujung pedang lawan yang hitam gilap itu mendadak
meletus dan menyambar ke muka Lamkiong Peng, berbareng ada cairan warna
biru dan berbau amis muncrat ke mukanya.
HAN BU KONG
Jilid 21 (tamat)

Begitu cepat serangan itu sehingga dalam sekejap saja ujung pedang dan
cairan berbisa itu sudah berhambur sampai di depan mata Lamkiong Peng.
Di sinilah Lamkiong Peng memperlihatkan kemahirannya, secepat kilat ia
mendoyong ke belakang, bahkan kedua kaki beruntun menendang
pergelangan tangan lawan.
Cairan berbisa munerat lewat ke sana, terpaksa juga Tong Goan menarik
kembali pedangnya. Sambil menggeliat ke samping dapatlah Lamkiong Peng
menegak kembali.
Tong Goan hanya tercengang sejenak, serentak ia membentak dan menubruk
maju lagi, pedangnya yang berbentuk aneh segera membacok lagi.
Mendadak terdengar Bi Pek-hiang dan Tik Yang juga membentak sambil
menerjang maju, serentak mereka pun menyerang.
Dikerubut tiga lawan tangguh, seketika Lamkiong Peng merasa kerepotan,
hanya beberapa jurus saja keringat sudah memenuhi dahinya.
Lamkiong Peng menjadi nekat, sambil menggertak, tangan kiri menghantam Bi
Pek-hiang, pedang di tangan kanan terus menyabat sehingga ketiga lawan
terdesak mundur.
Selagi ketiga orang jtu melenggong, Lammkiong Peng lantas mengangkat
tinggi pedangnya dengan kedua tangan, dengan sikap tegak beringas ia
berteriak. "Keparat, biarlah hari ini kubereskan kalian”
Walaupun tidak gentar melihat sikap kalap anak muda itu, tapi Tong Goan
terus menerjang maju lagi, begitu pula Tik Yang dan Bi Pek hiang serentak
juga menyerang.

Dengan kedua tangan memegang pedang. sekali bergerak tiga jurus, ia tahan
serbuan ketiga lawan, menyusul lagi sekaligus menyerang tiga kali, ia
keluarkan ilmu pedang Sin-Liong cap-pek-sik yang lihai, mau-tak-mau ketiga
lawan terdesak mundur lagi dua tindak.
Pada saat itulah mendadak terdengar lagi suara bentakan nyaring orang
perempuan, tertampak Yap Man-jing dan Ih Loh menerjang tiba, sesudah
berhadapan, tanpa bicara lagi mereka terus mengerubuti Lamkiong Peng.
"He, nona Yap dan nona Ih, masa kalian tidak kenal lagi padaku" seru
Lamkiong Peng.
"Peduli siapa kau, sekarang kami adalah majikan di Lam san-piat-yap
(perkampungan gunung selatan) sini. siapa pun dilarang main gila di sini,"
seru Ih Loh.
Sembari bicara ia terus menghantam pula, Lamkiong Peng menangkis
serangannya sambil berkata, "Kenapa kalian tidak terima penjelasanku?”
"Tidak perlu penjelasan, serahkan nyawamu!" teriak Yap Man-jing sambil
menyerang terlebih gencar.
Tik Yang juga tidak tinggal diam, ia pun menubruk maju dan ikut bertempur.
Di bawah kerubutan orang banyak, apalagi oleh kedua nona yang dikenalnya
dengan baik, setika ia tidak dapat balas menyerang secara ganas, ingin
melepaskan diri pun sulit. Terpaksa ia keluarkan kepandaiannya untuk
bertahan melulu.
Pada saat itu Tong Goan bertiga sudah mengundurkan diri ke dalam, terdengar
suara tertawanya yang menusuk telinga.

Sejenak kemudian, Lamkiong Peng kembali terdesak ke tengah ruangan,
setelah bertempur sekian lamanya. betapa kuat tenaganya juga mulai lemas,
ia mdah mandi keringat dan lelah, gerak-geriknya mulai lamban, jelas tidak
tahan lagi ....
Didalam kamar tahanan berlapis baja sana kawanan pengemis Yu-leng-kun-kai
sedang berdaya untuk meloloskan diri, namun tetap tidak menemukan sesuatu
jalan, semuanya cemas dan gelisah.
Sekonyong konyong atap kamar tahanan itu berbunyi keriat-keriut. kawanan
pengemis saling pandang dengan bingung dan mendongak.
Tertampak sepotong papan besi pada langit-langit kamar sedang tersingkap
pelahan, dari situ terjulur seutas tali.
Song Ciong terkejut dan bergirang, cepat ia berseru, "Ayo cepat!"
Segera ia mendahului melompat ke atas, tali itu dipegangnya terus merambat
ke atas sehingga menerobos keluar.
Setiba di atas, segera dilihatnya di samping ruang berdiri seorang setengah
umur berwajah putih dan berperawakan sedang, mukanya kaku dingin.
Song Giong tidak kenal orang ini, tapi dapat diketahuinya tentu orang inilah
yang menolongnya keluar, segera ia memberi hormat dan menyapa, "Banyak
terima kasih atas pertolongan Anda, budi kebaikan ini takkan kami lupakan."
Sementara itu kawanan pengemit berturut-turut sudah melompat keluar dan
berdiri di gamping Song Ciong.
Ih Hong melangkah maju dan memberi hormat kepada orang itu, lerunya,
"Sungguh Kaipang utang budi atas pertolongan Anda, entah bolehkah
mengetahui nama Anda yang mulia . . . . "

Dengan kaku orang itu menjawab, "Aku cuma diminta oleh Thian-ah Totiang
untuk menolong kalian, bilamana kalian mau berterima kasih boleh katakan
saja kepada dia,"
"Thian-ah Totiang," Ih Hong bergumam dengan heran. "Rasanya kami tidak
kenal padanya?"
"Aku tidak urus? kalian kenal dia atau tidak, tujuanku menolong kalian keluar
juga ada suatu permintaan," kata orang itu.
"Silakan bicara saja, asalkan kami sanggup tentu akan kami laksanakan,"
jawab Song Ciong.
"Kalian kenal Lamkiong Peng?"
Song Ciong menggeleng, tapi Ih Hong lantas berkata, "Rasanya pemah
kukenal dia."
"Saat ini dia juga terancam bahaya, hubungannya denganku sangat erat, tapi
lantaran kedudukanku pribadi tidak leluasa untuk tampil menolongnya
sehingga terpaksa kuminta bantuan tenaga kalian," tutur orang itu. "Mungkin
kalian tidak tahu siapa diriku."
"Kami tidak tahu," kata Song Ciong.
"Aku adalah majikan yang sesungguhnya dari Lam-san piat-yap ini," kata
orang itu.
Kejut dan heran kawanan psngemis itu, seketika mereka tidak bersuara.

Dengan serius lelaki setengah umnr itu berkata pula, "Aku masih ada urusan
penting lain dan tidak dapat tinggal lama di sini, kuharap kalian tidak lupa
pada janji kalian."
"Lamkiong Peng berada di mana sekarang?" tanya Ih Hong
Orang itu mengeluarkan sepucuk surat dan diserahkan kepada Song Ciong,
katanya, "Saat ini dia sedang bertempur mati matian di ruangan depan sana,
silakan kalian menyusul ke sana dan berikan surat ini kepadanya. Sesudah
surat ini dibacanya hendaknya kalian melindungi dia meninggalkan tempat ini.
Hanya sekian saja pesanku, urusan selanjutnya diharapkan bantuan kalian
sepenuh tenaga."
Habis berkata ia lantas melayang pergi.
Song Ciong dan Ih Hong saling pandang sskejap, segera Ih Hong berseru, "Ayo
berangkat!"
Segera ia mendahului berlari ke ruangan depan.
Dalam pada itu pertarungan di ruangan depan masih berlangsung dengan
sengit.
Lamkiong Peng sudah mandi keringat dan terdesak ke pojok oleh ketiga
pengerubutnya.
Sambil membentak Ih Hong terus menerjang ke tengah kalangan
pertempuran, dengan jurus "Hing-sau jian-kun" atau menyapu seribu
perajurit, langsung ia serampang pinggang Tik Yang dengan tongkatnya.
Melihat munculnya kawanan pengemis Tik Yang terkejut dan bingung, tahutahu
tongkat bambu Ih Hong sudah menyerampang tiba dengan dahiyatnya,
terpaksa ia melompat mundur.

Saat itu Song Ciong juga sudah memburu maju, kontan ia pun serang Yap
Man-jing.
Seketika daya tekan terhadap Lamkiong Peng menjadi ringan, begitu
mendesak mundur Yap Man-jing, Song Ciong lantai menyodorkan surat itu
kepada Lamkiong Peng lambil berseru, "Surat untukmu, terimalah!"
Lamkiong Peng melenggong bingung, tapi diterima juga surat itu,
Pada saat itu kawanan pengemis juga sudah menyerbu ke dalam, dua di
antaranya menerjang Ih Loh, tapi bagian yang diserang mereka hanya tempat
yang tidak fatal, paling-paling hanya untuk membuatnya pingsan.
Tong Goan dan Bi Pek-hiang yang telah mengundurkan diri juga kaget demi
melihat datangnya kawanan pengemis, cepat mereka memburu maju lagi
menyambut serbuan para pengemis,
Pertempuran sengit seketika terjadi diruangan besar itu. Sejenak kemudian
dari luar membanjir tiba juga kawanan lelaki berseragam hitam.
Melihat keadaan tidak menguntungkan, cepat Song Ciong mendesak mundur
Tik Yang, berbareng is berteriak kepada Lamkiong Peng, "Lekas buka dan baca
surat itu!"
Meski di tengah ruangan terjadi pertempuran gaduh, namun sementara ini
Lamkiong Peng malah tidak mendapatkan lawan, cepat ia membuka sampul
dan membaca suratnya, ternyata isinya berbunyi: "Jiwa ibumu terancam
bahaya, lekas pergi ke tepi timur Thay-oh dan mencarinya di Liu-im ceng,
kalau terlambat mungkin bisa gawat, lekas berangkat."
Peenanda tangan surat itu ialah Ban Tat.

Lamkiong Peng merasa sangsi, tapi tulisannya memang dikenalnya tebagai
tulisan tangan Ban Tat. Seketika ia terkesima dan tidak tabu apa yang harus
dilakukannya.
Melihat anak muda itu bardiri mematung, Song Ciong teringat kepada pesan
lelaki setengah umur sebelum pergi itu, segera ia membentak, "Apa yang
tertulis dalam surat itu, kenapa engkau merasa sangsi? Inilah saatnya jika
harus pergi dari sini!
"Sia . . . siapa yang menyerahkan surat ini kepadamu?" taaya Lamkiong Peng.
Sekaligus Song Ciong menyerang tiga kali sehingga Yap Man-jing terdesek
mundur, berbareng ia menjawab, "Kuterima dari seorang lelaki setengah umur
yang berwajah kaku dingin."
"Siapa namanya?' tanya Lamkiong Peng pula dengan kening bekerenyit.
"Aku tidak tahu, ia cuma bilang surat itu berasal dari Thian-ah Totiang," jawab
Song Ciong.
Mendengar nama Thian-ah Totiang atau imam gagak, seketika berubah air
muka Lamkiong Peng, sebab Thian-ah Totiang memang betul Ban Tat adanya.
Seketika Lamkiong Peng merasa sedih dan gelisah, teriaknya, "Terima kasih
atas bantuan kalian, budi kalian takkan kulupakan gelama hidap. Karena ada
urusan penting, maaf kutinggal pergi dulu!"
"Mau pergi lekas pergi, tidak perlu banyak omong," seru Song Ciong
mendongkol. Tanpa ayal lagi Lamkiong Peng berlari keluar.
Namun Tong Goan tidak tinggal diam, segera ia hendak menubruk maju untuk
mencegat. Tapi kawanan pengemis juga serentak menyerangnya sehingga dia
terpaksa melompat mundur lagi.

Tampaknya segera Lamkiong Peng akan lari keluar ruangan itu, cepat Tik Yang
ber teriak memberi perintah, "Cegat orang itu!"
Serentak kawanan lelaki berseragam hitam merintangi jalan lari Lamkiong
Peng. Namun anak muda itu tidak sabar lagi, pedang berputar dan menyerang
tanpa kenal ampun, terdengar suara jeritan ngeri di sana-sini, seketika
beberapa orang dirobohkan, ia terjang keluar meninggalkan pertempuran
sengit yang masih berlangsung ....
Sang surya sudah hampir terbenam, cahaya senja indah menghias langit.
Di restoran merangkap hotel Hong an-lo-tiam di kota Oheiu yang terlelak di
utara propinsi Ciatkang, di sebuah meja yang dekat pin-tu masuk saat itu
berduduk seorang pemuda cakap dan gagah didampingi dua orang kacung
berusia 15 an.
Pemuda cakap itu berdandan ringkai dan menyandang pedang. mata besar
dan alis tebal, di antara kegagahannya kelihatan rada murung.
Meski dihadapannya sudah siap santapan lezat dan arak sedap namun
tampaknya dia tidak bemafsu makan dan kelihatan menangung rasa sedih.
Dia bukan lain daripada Cian Tong-lai, murid Kun-lun-pai yang baru saja mulai
Terjun ke dunia kang-auw. Kedua kacung yang mengiringi dia adalah Pek-ji
dan Giok-ji.
Cian Tong-lai memegangi cawan arak dan lupa minum, sebentar-sebentar
menghela napas.
Kiranya dia sedang rindu kepada Bwe Kim-soat yang sekali pandang telah
menawan hatinya.

Sudah hampir setahun mereka berpisah, meski ketika bertemu dulu Bwe Kimsoat
tidak menyatakan perasaannya, tapi juga tidak bersikap jemu kepadanya.
Cian Tong-lai yakin dengan tampang sendiri dan kungfunya yang tinggi cukup
memenuhi syarat untuk merebut hati si nona: Akan tetapi Bwe Kim-soat justru
tak acuh kepadanya
Hal ini membuyarkan impiannya yang pemah dibayangkannya dengan mulukmuluk.
Melihat majikannya mengelamun dengan murung, Giok-ji dan Pek-ji ikat
cemas.
Pada laat itulah tiba-tiba datang seorang sastrawan setengah baya berbaju
panjang wama putih, pada bahu kanan berpegangan seorang gadis jelita
dengan rambut terurai.
Di siang hari dan di depan umum seorang gadis menggemblok di pundak
seorang lelaki dan masuk ke hotel yang banyak tamu ini, tentu saja membuat
setiap orang yang melihatnya lama gempar membicarakannya.
Waktu Cian Tong-lai berpaling, serentak ia berdiri dan menyapa, "Aha, Yimheng
kiranya, selamat bertemu pula!"
Kiranya saitrawan setengah umur ini adalah Yim Hong-peng yang membawa
lari Bwe Kim-soat itu, ia menoleh dan menyengir setelah mengenali Cian Tonglai,
jawabnya hambar, "Eh, kiranya Cian-heng, selamat bertemu."
"Kenapa Yim-heng membawa "
Belum lanjut ucapan Cian Tong-lai segera Yim Hong-peng memotong, "Ah, dia
saudara misanku, badan lagi kurang sehat dan harus kuantar pulang. maka
terpaksa tidak kupikirkan sopan santun lagi."

Dengan sorot mata yang agak buram karena banyak minum arak, Cian Tonglai
coba mengamat-amati Bwe Kim-soat yang tertutup oleh rambutnya yang
panjang itu.
Walaupun tidak terlihat jelas wajahnya, tapi dari garis tubuhnya dapat
diketahui pasti seorang gadis cantik, malahan terasa sudah dikenalnya.
Dengan kening bekemyit Cian Tong-lai berkata, "Eh, sanak taudara Yim ini
rasanya seperti pemah kulihat."
Berdebar hati Yim Hong-peng, ia sengaja menjawab dengan tak acuh.
"Saudara ini memang sering juga berkelana di dunia kangauw, bisa jadi pemah
kaulihat.
Pada saat itulah tiba tiba Bwe Kim-soat mengigau, "Peng . . . Peng cilik . . . . "
Meski Lirih suaranya tapi cukup jelas terdengar oleh Cian Tong-lai, walaupun
sangsi, namun tak terpikir olehnya bahwa justru gadis inilah Bwe Kim-soat
yang dirindukannya itu.
Cepat Yim Hong-peng mencari alasan akan mengantar pulang saudaranya dan
langsung masuk ke kamamya.
Dengan sangsi Cian Tong-lai berkomat-kamit pula, "Aneh, seperti pemah
Lulihat dia, juga suaranya . . . . "
Tiba tiba Pek-ji berkata, "Kongcu, tidakkah kaulihat nona yang sakit itu seperti
nona Bwe?"
"Hus, jangan sembarangan omong," ujar Giok-ji sambil menarik kawannya.
Tapi Pek-ji lantai mengemel, "Memang betul kulihat dia serupa nona Bwe."

Hati Cian Tong-lai tergetar, mendadak ia pegang pundak Pek-ji dan menegas,
"Kau-bilang apa? Coba ulangi!"
Pek-ji menjadi takut, jawabnya dengan tergagap, "Hamba .. . hamba bilang
nona tadi seperti .. . seperti nona Bwe."
"Ah, pintar juga kau," se.ru Cian Tong-lai. Tapi ia lantas menggeleng kepala,
"Namun bukan, bukan dia."
'Ken .. . kenapa Kongcu tidak coba menjenguknya ke sana?"' ujar Pek-ji.
Ucapan ini menyadarkan Cian Tong-lai, katanya, "Betul, kenapa tidak kulihat
dia lagi?!"
Tanpa pikir lagi ia terus berlari menuju ke kamar Yim Hong-peng dan
mengetuk pintu.
Waktu pintu dibuka dan melihat pendatang adalah Ciann Tong-lai, seketika air
muka Yim Hong-peng berubah, ia coba tanya, "Ada urusan apa Cian-heng?"
"O, baru saja teringat olehku tentang penyakit sanak keluarga Yim-heng,
jelek-jelek Siaute pemah belajar ilmu pengobatan, kalau mau dapat kubantu .
. . . "
"Ah, mana berani kubikin repot Gian heng," sela Yim Hong-peng sebelum habis
ucapan orang. "Piaumoayku ini hanya masuk angin saja, sebentar lagi juga
sembuh."
Pada saat itulah kebetulan Bwe Kim-soat membalik tubuh dan mengigau pula,
"Peng... Peng cilik .... "

Walaupun mukanya sebagaian tertutup oleh rambut namun sekilas Cian Tong
Lai dapat melihatnya memang mirip benar dengan Bwe Kim-soat. Tentu saja ia
tambah sangsi, bentaknya, "Dia menyebut Pang siapa?"
'Dari mana kutahu siapa yang dimaksudkannya?" ujar Yim Hong-peng dengan
tertawa.
"Tentu Lamkiong Peng yang dimaksudkannya, ah, betul, dia memang nona
Bwe adanya," seru Cian Tong-lai sambil menyelinap ke dalam kamar dan
bermaksud mendekati nona yang berbaring di tempat tidur itu.
Tentu taja Yim Hong-peng tidak tinggal diam, cepat ia mendorong dengan
kedua tangannya sambil membentak. "Hendaknya tahu aturan sedikit, Cianheng?!"
'Hm, apa maksudmu menawan nona Bwe ke sini?" damperat Cian Tong-lai
lambil mengelak, menyusul sebelah kaki lantas menendang.
Dan begitulah kedua orang lantas taling gebrak, baru belasan jurus, mulailah
Yim Hong-peng merasa kewalahan, dahi sudah penuh keringat, napas pun
tersengal.
Cian Tong-lai menyerang terlebih gencar dan ganas.
Mendadak Yim Hong-peng mengeluarkan kipasnya dan balas menyerang.
"Hm. memangnya bisa apa dengan kipasmu itu" ejek Cian Tong-lai.
Yim Hong-peng diam saja, kipasnya terbentang dan merapat Ingi, "jret",
mendadak ia menutuk.
"Hahaah!" Cian Tong lai tertawa ejek, "Dalam 20 jurus akan kubikin kipasmu
terlepas dari tanganmu!"

Habis bicara mendadak kedua kakinya menendang secara berantai, Yim Hongpeng
terkejut, cepat ia tarik kembali kipasnya sambil melompat mundur.
Dengan tertawa dingin segera Cian Tong -lai hendak menubruk maju tapi pada
saat itulah leorang telah menibentak, "Berhenti!"
Pintu terbuka dan masuktah tiga orang.
Cian Tong-lai tidak kenal ketiga pen datang ini, tapi air muka Yim Hong-peng
seketika berubah dan diam-diam mengeluh.
Kiranya mereka ini adalah Sun Tiong-giok dari Kun-mo-to beserta kedua kakek
dari kesepuluh jago pengawalnya yang masih tersisa, yaitu Ko Sat dan Wi Gan.
Sambil tertawa Sun Tiong-giok mendekati Yim Hong-peng dan menegur, ' Nah,
coba sekali ini apakah dapat kaukabur lagi?"
Cian Tong-lai tinggi hati dan angkuh, ia tidak tuka terhadap sikap Sun Tionggiok
itu, segera ia membentak, "Kalian main terobos ke sini, bahkan bicara
dengan kasar, sesungguhnya apa kshendakmu?"
"Hm, memangnya mau apa? Ingin campur urusanku?" jawab Sun Tiong-giok
tidak kalah angkuhnya.
"Eeh, jangan ribut dulu. rasanya urusan ini semuanya punya andil," seru Yim
Hong-peng mendadak.
Tentu saja Cian Tong-lai tidak mengerti, "Apa artinya ucapanmu?"
Yim Hong-peng menyeringai, jawabnya "Kan kita bertiga satu tujuan,
kauminta Bwe Kim-soat, dia juga mengincar Bwe Kim-ioat, apalagi aku. Nah,
bukankah kita sama-sama punya andil?"

Dengan gusar Cian Tong lai segera hendak menyerang.
Tapi Sun Tiong-giok lantas mencegahnyn, ' Nanti dulu! Sebagian besar
kesepuluh anak buahku telah menjadi korban keganasannya, utang darah
ingin kutagih langsang dari dia, mana boleh tembarangan kaubunuh dia begitu
saja."
"Hai, kau ini kutu apa, berani memerintahku?" tetiak Cian Tong-lai dengan
gusar.
Mendadak terdengar si kakek Wi Gaa membentak, "Huh, mau lari?"
Berbareng itu ia menubruk ke sana terus menghantam.
Kiranya pada waktu Cian Tong-lai ber-tengkar dengan Sun Tion-giok, diamdiam
Yim Hong-peng hendak mengeluyur pergi. tapi keburu dilihat Wi Gan.
Karena pukulan kakek itu, terpaksa Yim Hong peng menyurut mundur ke
tempatnya semuia.
Waktu Sun Tiong-giok memandang ke sana, dilihatnya Bwe Kim-soat berbaring
ditempat tidur. meski berselimut, tapi jelas kelihatan dada dan perutnya
bergerak lemah, napasnya seperti sesak. Segera ia hendak mendekat ke sana
Akan tetapi Cian Tong-lai lantas merintanginya.
"Memangnya kaumau apa?" teriak Sun-Tiong-giok dsngaa gusar. "Lekas
menyingkir, memangnya dia apamu?"
Dengan angkuh Gian Tong-lai menjawab, "Pokoknya berani kaumaju lagi,
jagan menyeial jika pedangku tidak kenal ampun."
"Hm hanya dirimu juga mampu merintangiku?" jengek Sun Tiong-giok.

"Boleh kaucoba," jawab Gian Tong-lai ketus.
Agar tidak membuang waktu, terpaksa Sun Tiong-giok menahan perasaannya
dan berkata pula, "Kautahu nona Bwe terluka dan keadaannya cukup
menguatirkan?"
"Nona Bwe terluka atau tidak, apa sangkut pautnya denganmu?" tanya Cian
Tong-lai.
"Soalnya aku telah berjanji kepada Lam-kiong peng akan menyembuhkan
nona Bwe dan akan kuserahkan kembali kepadanya," ujar Tiong-giok.
Mendingan tidak tahu, demi mendengar bwe Kim-soat akan diserahkan
kembali kepada Lamkiong Peng, seketika Cian Tong-lai menjadi murka, "Hm
jadi maksudmu hendak membela Lamkiong Peng, rasakan dulu pukulanku ini!"
Tanpa pikir ia menghantam dengan dahsyat.
Sejak tadi Sun Tiong giok bersabar, sekarang lawan mendahului menyerang,
maka ia pun tidak sungkan lagi, ia sambut pukulan lawan dengan sepenuh
tenaga.
"Plak", kedua tangan beradu, Sun Tiong Giok tetap tegak di tempatnya,
sebaliknya wajah Cian Tong-lai tampak pucat dan tergetar mundur selangkah.
"Ini, kaupun rasakan pukulanku," tanpa ayal Sun Tong giok melancarkan
pukulan sama dahsyatnya.
Dengan beringas terpaksa Cian Tong-lai menahan serangan lawan, ia pun
menangkis sekuatnya.
"Brak," kembali kedua tangan beradu, air muka Cian Tong-lai tambah pucat
dan tergetar mundar lagi.

"Ini pukulan ketiga!" bentak Sun Tiong-Giok pula dan menghantam sepenuh
tenaga.
Keadaan Gian Tong-lai sudah payah, mata berkunang-kunang. namun
terpaksa ia menangkis lagi.
"Blang," wajah Sun Tiong giok kelihatan pucat dan tergetar mundur dengan
dahi berkeringat.
Sebaliknya Cian Tong lai mencelat dan terbanting di tanah dengan mata
terpejam.
Dengan kulit muka berkerut tersembul senyuman kemenangan Sun Tionggiok,
pelahan ia mendekati tempat tidur dan mengangkat Bwe Kim-soat,
katanya kepada kedua kakek, "Ayo berangkat!"
Segera ia meadahului keluar. Baru saja melangkah keluar kamar, mendadak
darah segar tersembur keluar dari mulutnya ia pun terluka dalam cukup parah
setelah tiga kali mengadu pukulan dengan Cian Tong-lai.
Merasa bukan tandingan orang, terutama kedua kakek Ko Sat dan Wi Gan,
terpaksa Yim Hong-peng hanya diam saja.
"Sementara jiwamu diampuni, bilamana Siau tocu sudah sembuh tentu kami
bikin perhitungan lagi padamu," jengek Wi Gan terhadap Yim Hong-peng, lalu
mereka pun ikut pergi.
Waktu sennja pula, di suatu perkampungan yang dikelilingi pepohonan yangliu
yang rindang dengan pagar tembok yang kurang terawat, suasana sunyi
senyap seperti sudah lama perkampungan itu ditinggaikan penghuniya.

Sekonyong-konyong terdengar derap kuda lari, seekor kuda tampak membedal
tiba, dari peluh yang memenuhi tubuh binatang itu dapat diduga kuda itu telah
dilarikan dengan ce pat dan menempuh perjalanan jauh.
Begitu sampai di depan perkampungan itu, penunggang kuda lantas melompat
turun dan pada saat itu juga kuda lantas roboh terkulai dengan lemas.
Tanpa menghiraukan kudanya orang itu terus berlari ke dalam perkampungan.
Kiranya dia adalah Lamkiong Peng yang diberitahu tentang keadaan gawat
ayah-bunda-nya dan segera menuju ke Liu-im-ceng ini.
Langsung ia menggedor pintu gerbang perkampungan itu. Sejenak kemudian
baru terdengar suara orang bertanya di dalam.
Suaranya begitu berat dan parau, tapi bagi pendengaran Lamkiong Peng suara
itu tidak asing lagi, jelas itulah luara yang sudah lebih setahun tak pemah
didengamya. Suara sang ayah.
Segera ia berseru, "Ayah, ayah! Aku anak Peng, anak Peng sudah pulang!"
Tak terduga karena jawabannya, ini, keadaan di dalam rumah lantas sunyi
kembali.
Tentu laja ia ragu dan kuatir, tanpa pikir lagi ia mendorong pintu sehingga
terpentang ierta berlari ke dalam, sekilas pandang dapatlah la menghela napas
lega.
Dilihatnya ayah-bundanya duduk bersila berjajar di atas sebuah dipan di dalam
ruangan sana, sorot mata mereka yang mancorong sedang menatapnya
dengan terkesima, melihat gelagatnya keadaan kedua orang tua ini tidak
seburuk berita yang diterimanya.

Setelah pikiran agak tenang, segera Lam¬kiong Peng memburu maju dan
memberi sembah, katanya," Anak Peng yang tidak berbakti menyampaikan
hormat kepada ayah dan ibu."
Mendadak Lamkiong Siang-ju menatap Lamkiong Peng dengan tajam,
ucapnya, "Anak Peng, apakah kaupulang dari Cu-sin-tian sana?"
"Betul," Lamkiong Peng mengangguk, "anak memang pulang dari sana, cuma .
. . . "
"Apakah Cu-sin-tiancu yang membebaskanmu pulang kemari" potong sang
ayah.
"Bukan . . . ."
Belum lanjut ucapan Lamkiong Peng tang ayah lantas memotong lagi,
"Binatang cilik yang tidak bisa pegang janji, memangnya sudah kaulupakan
peraturan keluarga yang sudah turun temurunT"
Lamkiong Peng tidak tahu sebab apa ayahnya mendadak marah marah,
dengan menunduk ia menjawab, "Anak selalu mentaati psraturan keluarga dan
mengutamakan setia kawan dan keluhuran budi,"
"Jika begitu mengapa kautinggalkan Cu-lin to dan pulang ke sini sehingga
mengingkari janji keluarga kita yang sudah turun temurun?" damprat
Lamkiong Siang-ju.
Baru sekarang Lamkiong Peng tahu sebabnya sang ayah marah. Namun
kejadian selama setahun ini terlampau banyak, seketika sukar untuk
diceritakan seluruhnya. 1a pun bingung harus bertutur mulai dari bagian
mana, sejenak ia gelagapan.

"Anak Peng," lekas Lamkiong-hujin menyela dengan suara lembut,
"sesungguhnya apa yang terjadi, bolehlah kau ceritakan dengan pelahan."
Lamkiong Peng memandang sekejap terhadap sang ibu yang lembut itu
sesudah menenangkan diri barulah ia bercerita sejak berlayar sehingga
pengalamannya di Cu-sin-to serta kejadian selanjutnya.
Setelah mengikuti pengalaman Lamkiong Peng itu, sejenak Lamkiong Siang-ju
termenung. akhimya ia menghela napas dan berkata, "Nak. jika begitu ayah
telah salah mengomeli dirimu. Tak tersangka dalam waktu setahun yang
pendek ini telah kaualami berbagai kesukaran itu, sungguh kejadian di dunia
fana ini memang sukar dibayangkan . . . ..
Akhimya Lamkiong Peng berkata pula, "Setelah anak menerima surat paman
Ban yang memberitahukan ayah ibu terancam bahaya, maka cepat anak
datang kemari. Tampaknya paman Ban hanya menakuti anak saja."
Tiba-tiba wajah Lamkiong Siang-ju ber-ubah muram, ia pandang istrinya
sekejap, lalu berucap, "Nak, memang betul keselamatan ayah dan ibumu
dalam bahaya, paling . . , paling lama kami hanya bertahan hidup dua-tiga
hari lagi."
'Hah, mengapa bisa begitut" teriak Lam-Hong Peng dengan kaget dan pucat.
"Tidak, tidak mungkin! Bukankah ayah dan ibu baik-baik begini, mana bisa . , .
. "
Dengan pandangan tenang Lamkiong Siang-iu berucap. 'Meski dari luar ayah
dan ibu kelihatan sehat walafiat. tapi sebenamya kami keracunan berat dan
terluka dalam yang parah. Untuk sementara kami dapat bertahan berkat
Iwekang yang terlatih selama berpuluh tahun, harapan kami justru ingin
bertemu denganmu untuk terakhir kali, mungkin lusa atau esok pagi kami
akan . . akan . . . . "

"Tidak, kenapa bisa jadi begini!" Jeriak Lamkiong Peng sambil memburu maju
dan memeluk lutut sang ibu, ratapnya, "O, ibu, kenapa bisa terjadi begini,
tidak .... anak tidak parcaya . . . . "
"Anak bodoh." ucap Lamkiong-hujin dengan menyesal, "masa ayah dusta
padamu."
"Jika begitu, mohon . . . mohon diberi-tahu siapakah yang turun tangan keji
terhadap ayah dan ibu?' tanya Lamkiong Peng dengan mendelik.
"Siapa lagi kecuali Swe Thian-bang yang sudah kausebut hendak merajai dunia
persilatan itu," ucap Lamkiong Siang-ju dengan sorot mata mengandung
dendam.
"Swe Thian-bang, kembali dia!" terii»k Lamkiong Peng sambil berbangkit.
"Sesungguhnya ada permusuhan apa antara dia dengan kita, mengapa dia
bertindak sekeji ini?"
"Entah cara bagaimana keparat itu dapat menyelidiki seluk-beluk urusanku
dengan ibu, maka ia sendiri menemui kita agar mau ikut dalam organisasinya,"
tutur Lamkiong Siang-ju dengan gemas. 'Dengan sendirinya ayah-ibu tidak
sudi bekerja sama dengan dia sehingga kedua pihak bertengkar. Tak terduga
bangsat itu telah berbuat licik, pada waktu datang mereka sudah menyebarkan
racun yang tak berwujud di luar tahuku, ketika ayah dan ibu bergebrak dengan
dia baru merasakan ke-racunan, dengan sendirinya tenaga terganggu dan
akhimya terpukul luka olehnya . . . . "
Darah dalam tubuh Lamkiong Peng serasa mendidih, tangan terkepal kencang,
teriaknya murka, "Bangsat, kalau tidak kucincang dirimu hingga hancur lebur
aku bersumpah takkan menjadi manusia . . . . "
Belum Ienyap luaranya tiba-tiba terdengar juara orang mendengus, sesosok
bayangan menyelinap ke dalam rumah.

Di bawah keremangan senja Lamkiong Peng melihat pendatang ini seorang
cendekia setengah baya, bermuka halus tanpa jenggot, perawakan jangkung.
Agaknya Lamkiong Siang-ju dan istrinya sudah menduga akan kedatangan
orang sehingga mereka tidak terkejut dan tetap tenang saja.
Tapi Lamkiong Peng tidak dapat menahan emosi lagi, serentak ia membentak.
"Siapa kau? Ada keperluan apa?"
Orang itu memberi salam, jawabnya dengan tertawa. 'Gaihe Siau Bong-wan,
kudatang menjenguk Lamkiong kongcu, sekalian untuk mengantar
mangkatnya ayah ibumu."
'Keparat, jadi kau ini begundal Swe Thian-bang," teriak Lamkiong peng murka.
"Ah, Caihe tidak lebih hanya tangan kanan-kiri Swe-siansing saja," ucap orang
yang mengaku bemama Siau Bong-wan itu.
"Creng" segera Lamkiong Peng melolos pedang pusaka Yap-siang-jiu-loh dan
mem-bentak. "Bedebah! Ayolah maju untuk terima kematian habis itu baru
kubikin pehitungan dengan Swe Thian-bang.'
Siau Borg-wan terkekeh, "Hehe, garang amat Lamkiong-kongcu terhadap
tamu. Apa kah mampu kaubunuh diriku atau tidak masih tanda tanya. Hanya
ingin kutanya apakah keselamatan orang tua sudah tidak kaupikirkan lagi?
Padahal jiwa ayah ibumu tinggal satu-dua hari saja, bagaimana nasibnya
bergantung kepada keputusanmu sekarang."
Seketika Lamkiong Peng takdapat bicara. Betapapun keselamatan orang tua
memang membuatnya sangsi untuk bertindak.

Siau Bong-wan tertawa licik, katanya pula, "Keluarga Lamkiong kaya raya
turun temurun sekian lamanya, ayah-bundamu juga pemah mengguncangkan
dunia kangouw, jika sekarang mereka mengalami nasib seperti ini, memangnya
atas perbuatan siapa? Kongcu masih muda dan gagah perkasa, engkau
tidak berusaha membangun kembali keluarga Lamkiong dan mengembalikan
kehormatannya dan menuntut balas pada sumbemya yang membuat runtuhnya
keluarga Lamkiong kalian, tapi sekarang Kongcu cuma memikirkan sakit
hati pribadi tanpa menghiraukan keselamatan orang tua, pikiran sempit
demikian sungguh sukar untuk dimengerti."
Lamkiong Peng menjadi ragu dan bingung.Ucapan Siau Bong-wan memang
juga betul, sebabnya keluarga Lamkiong sampai runtuh seperti ini adalah
berkat tindakan Cu sin-tocu. namun jayanya keluarga Lamkiong juga boleh
dikatakan berkat Cu-sin-to.
Apaiagi sekarang Cu-sin-to sudah runtuh dan bubar, Cu-sin-to-cu Lamkiong
Eng-lok juga sudah mening;gsl dunia, ke mana lagi dia harus menuntut balas?
la menjadi bingung siapakah misuhnya yang sebenamya, apakah Swe Thianbang?
Memang sekarang terbukti juga Swe Thian-bang telah membikin celaka
orang tuanya, tapi umpama Swe Thian-bang dibunubnya apakah mungkin
dapat memulihkan marga Lamkiong yang telah runtuh.
Selagi kusut dan bingung pikiran Lam¬kiong Peng, tiba-tiba Lamkiong Siang-ju
bergelak iertawa, "Haha, jangan kaupercaya ocehannya, Anak Peng. Apa pun
yang akan terjadi adalah kewajibanku sebagai ahliwaris marga Lamkiong. Swe
Thiaa-bang adalah manusia culas dan keji, secara kejam dunia kangouw
hendak ditaklukkannya, adalah kewajibanmu untuk menumpas kebatilan demi
keamanan umum, apa yang kauragukan lagi, anak Peng?'
Semangat Lamkiong Peng tergugah oleh seruan gang ayah, serentak ia
membentak, "Ayo, bangsat. majulah untuk menerima kematianmu!"

"Hehehe," Siau Bong-wan terkekeh. “Orang bilang Lamkiong-kongcu ahli waris
marga terkemuka dan murid Sin-liong tak terkalahkan, tampaknya memang
gagah perkasa tapi apakah tidak kaupikirkan lagi nyawa kedua orang tua yang
terletak dalam genggamanku?"
Karena ancaman ini, kembali Lamkiong Peng merasa sangsi.
"Maju anak Peng, mampuskan bangsat itu!" teriak Lamkiong Siang-ju.
Segera Lamkiong Peng hendak menubruk maju.
Tapi Siau Bong-wan lantas berseru pula, “Haha, obat penawamya berada
padaku, apakah benar engkau tidak peduli lagi akan mati-hidup ayah-ibumu"
Baru saja Lamkiong Peng kelihatan ragu, cepat Lamkiong Liang-ju berteriak,
"Tidak anak Peng, jangan kaulupakan amanat leluhur kita. Bila benar engkau
taat kepada ajaran marga, lekas kaumampuskan bangsat ita tanpa
menghiraukan kami."
Perasaan Lamkiong Peng seraia disayat sayat ia paham kebesaran jiwa sang
ayah, tapi sebagai anak masa dia lega menyaksikan orang tua mati begitu saja
"Tidak ayah, tak dapat ku . ... " Belum lanjut ucapan Lamkiong Peng,
mendadak Lamkiong Siang-ju mengangkat sebelah tangannya dan
mengancam" Anak Peng, jika kausangsi lagi segera kuhancurkan kepala ibumu
din segera kubunuh diri pula. Daripada menyaksikan anak tak berbakti yang
tidak tegas, lebih baik kami mendahului mangkat!"
"Jangan ayah, jangan ..." ratap Lam¬kiong Pong. Segera ia menambahkan
dengan beringas," Baik, ayah, anak siap melaksanakan perintahmu dan
bersumpah membalaskan sakit hatimu!"

Habis berkata, serentak ia menubruk maju sambil membentak, "Bangsat,
serahkan nyawamu!"
Melihat sikap beringas anak muda itu, segera Siau Bong-wan meraba sakunya
dan bermaksud menghamburkan racun asap yang telah disiapkannya.
Akan tetapi sebelum dia bertindak, sekonyong-konyong sesosok bayangan
melayang tiba secepat terbang, baru saja Sian Bong-wan berpaling, tahu-tahu
pinggang terasa kesakitan dan roboh terkulai tanpa bisa berkutik lagi.
Kejut dan girang Lamkiong Peng, ia urung menubruk maju serunya setelah
melihat jelas penolong ini, "Hah kiranya engkau orang tua!"
Kiranya penolong yang datang tepat waktunya ini adalah seorang kakek botak
dengan perawakan kecil dan bermuka jelek, dia bukan lain daripada Leh Ihsian,
salah seorang "Hong-tim-sam-yu" atau tiga sekawan pengelana.
"Maaf kedatangan paman agak terlambat sehingga membuat susah kalian,"
kata Loh Ih-sian terhadap Lamkiong Peng.
Seketika timbul rasa duka anak muda itu demi teringat kepada nasib ayah
bundanya, ucapnya dengan air mata berlinang, "Ayah dan ibu mungkin . . . ."
"Jangan kuatir, Hiantit (kemenakan yang baik)," ucap Loh Ih-sian dengan
tertawa. "Urusan ini kujamin beres . . . . "
Tengah bicara, dari luar sana kembali melayang tiba sesosok bayangan orang,
sesudah berhadapan, kiranya seorang kakek pendek gemuk berdandan
sebagai tabib kelilingan.
"Bagaimana, sudah beres semua" tanya Loh Ih-sian terhadap kakek gemuk
itu.

Tanpa bersuara kakek pendek gemuk itu hanya mengangguk aaja.
"Hiantit, inilah Toat-beng-long-tiong (si tabib pencabut nyawa) Cui Beng-kui
yang termashur itu," segera Loh Ih-sian memperkenalkan kawannya kepada
Lamkiong Peng.
Sudah lama Lamkiong Peng kenal nama si tabib sakti itu, keruan ia
kegirangan, cepat ia memberi hormat.
Sikup Cui Beng-kui tetap dingin saja, ia cuma mengangguk pelahan tanpa
bersuara.
Lamkiong Peng tahu tabiat orang yang nyentrik, ia pun tidak tanya lebih
lanjut, katanya terhadap Loh Ih-sian, "Sungguh beruntung atas kedatangan
paman, namun . . . . "
"Nanti dulu, biar kuperiksa saja ayah-bundamu," sela Loh Ih-sian, diseretnya
Siau Bong-wan, benama Cui Beng-kui mereka lantas masuk ke dalam.
Tatkala itu Lamkiong Siang-ju dan istrinya sudah tambah payah dengan napas
terkembang kempis, tentu saja Lamkiong Peng sangat sedih
Setelah menaruh Siau Bong-wan, kata Loh Ih-sian kepada Cui Beng-kui, "Nah,
sekarang giliranmu untuk memperlihatkan kemahiranmu,"
Tanpa bicara Cui Beng-kui mendekati Lamkiong Siang-ju, diperiksanya nadi
suami-istri itu, lalu berucap. "Tidak beralangan!"
Ia Santas mengeluarkan sebuah bungkusan kecil, diambil sebuah botol hitam
kecil dan menuang dua biji pil serta dijejalkan ke mulut Lamkiong Siang-ju dan
istrinya. lalu berkata pula, "Selang setengah jam racun dalam tubuh mereka
akan punah, habis itu baru akan kuobati luka mereka."

Habis bicara ia terus menyingkir ke samping dan duduk bersila sambil
memejamkan mata.
Lamkiong Peng bergirang dan juga ragu, namun tidak enak untuk bertanya,
terpaksa ia hanya memandang Loh Ih-sian.
"Jangan kuatir, Hiantit," ucap Loh Ih -sian, '"Obat setan tua she Cui ini
biasanya cespleng, kita percaya penuh kepada kemahiranya. Kuterima berita
dari Ban Tat teatang keadaan ayah bundamu ini, cepat kuajak setan tua Cui
Beng-kui kemari, kalau bukan teralang beberapa kroco di luar kampung tentu
sejak tadi sudah berada di sini,"
Ia berhenti sejenak, lalu bertanya, "Eh, bukankah kaupergi ke Cu sin-to,
kenapa pulang kemari?"
Lamkiong Peng menghela napas panjang, lalu diceritakannya pengalaman
selama setahun i ni.
Loh Ih sian menggeleng kepala deagan gegetun, katanya, 'Sungguh tak
tersangka dalam waktu sesingkatnya ini bisa terjadi hal-hal seperti ini, nanti
kalau ayah-ibumu sudah sembuh boleh kita berunding tentang cara bagaimana
membangun kembali marga Lamkiong kalian yang jaya . . . . "
Tengah bicara, terdengar Lamkiong Siang-ju dan istrinya menarik napat
panjang, rupanya sudah siuman.
Dengan girang Lamkiong Peng memburu maju sambil berseru, "Ayah. Ibu . . .
, "
Lamkiong Siang-ju membuka mata dan memandang sekelilingnya sekejap, ia
tersenyum dan berkata dengan lemah, "Kutahu tidak perlu kaujelaskan. tentu
kedua saudaraku inilah yang telah menyelamatkan jiwa kami . . . ."

"Bukan jasaku, jika mau berterima kasih harus leautujukan kepada setan tua
she Cui itu," ucap Loh Ih-sian.
"Tidak perlu terima kasih segala, adalah tugasku menyembuhkan saudara
sendiri," seru Gui Beng-kui sambil berbangkit. "Sekarang masih harus kuobati
luka dalam kalian."
Sambil berkata la lantas mengeluarkan pula sebuah botol putih kecil dan
menuang lagi dua biji pil putih serta disuruh minum Siang ju dan istrinya. Lalu
ia bantu menyalurkan tenaga dalam kepada Siang-ju berdua.
Tidak seberapa, lama, keluar keringat Siang ju dan badan terasa segar
kembali Cui Beng-kui tersenyum puas dan menyudahi pekerjaannya, ia beri
lagi dua biji pil putih kepada suami-istri itu dan suruh mereka istirahat
sebentar.
"Bangsat Swe Thian-bang itu sungguh keji," kata Loh Ih-sian kemudian, "Demi
keamanan dunis persilatan Tionggoan umumnya, kita perlu menyiapkan siasat
untuk menghadapi rencana kejinya."
Siang-ju menghela napas, ucapnya, "Setelah kuberangkatkan anak Peng,
mestinya kami bermaksud mengasingkan diri untuk menghabiskan hari tua,
siapa tahu kami tetap tidak terlepas dari incaran gembong iblis semacam Swe
Thian-bang itu. Bagaimana Loh dan Cui-hiante, dari pengamatan kalian,
dapatkah kalian memberi pendapat tentang kegiatan dan ambisi Swc Thianbang?"
"Kami hanya tahu dia mempengaruhi tokoh dunia kangouw Tionggoan dengan
obat racunnya serta cara-cara kotor dan rendah yang lain, kini ketujuh aliran
dan golongan besar sudah terpengaruh olehnya dan tidak lama lagi akan
mengadakan pertemuan besar untuk memilih ketua porserikatan dunia
persilatan, hanya waktu dan tempatnya belum ditentukan. Apa Toako sendiri
sudah mendapat keterangan lebih banyak tentang iblis itu?"

Siang-ju menggeleng kepala, tutumya, "Aku pun tidak banyak mengetahui
gembong iblis itu. Jika orang she Siau ini mengaku sebagai tangan kantin Swe
Thian-bang, barangkali dari dia bisa kita peroleh informasi seperlunya."
"Betui juga pendapat Toako," seru Loh Ih-xian, segera ia menepuk dua kali di
pinggang Siau Bong-wan sehingga dapatlah orang itu bergerak, lalu ditanyai,
"Nah, sekarang kauingin hidup atau mati, coba jawab dulu."
Siau Bong-wan bermaksud berdiri, tapi baru saja badan terangkat, kontan ia
roboh terguling pula dengan lemas Baru sekarang ia sadar tenaga sendiri
belum dapat dikerahkan. Namun dia tetap bandel. dengan menyeringai ia
menjawab, "Hm tidak perlu kauperas diriku. Jika kauingin keteranganku, lebih
dulu kalian harus berjanji akan bekerja bagi Swe-siansing."
"Hm, mati sudah di depan mata, masih berani kepala batu," jengek Loh Ihsian.
"Tampaknya kaupilih mati daripada hidup. Baik, boleh coba kaurasakan Bangi-
coan sim hoat yang sudah lama tidak pernah kugunakan."
Sembari bicara ia terus berjongkok dan menutuk beberapa hiat-to tertentu di
tubuh Siau Bong-wan. Dalam sekejap laja Siau Bong-wan lantas bergeliat dan
melolong.
Namun dia memang bandel, meski menahan sakit ia tidak minta ampun sama
sekali.
Loh Ih-sian terkesiap juga, "Hah, boleh juga kau!"
Sambi menjengek ia tambahi lagi dua kali depakan, seketika Siau Bong wan
berkelojotan.

"Nah, waktunya tidak banyak lagi, hendaknya jawab pertanyaanku, kapan dan
di mana Swe Thian bang akan menyelenggarakan pertemuan besar tokoh
dunia penilatan?" tanya Loh Ih-sian.
Sorot mala Siau Bong-wan yang semula beringas akhimya berubah guram dan
menunjuk rasa mohon kasihan, akhimya tercetus juga dari mulutnya, "Ci-hau
.... "
Tapi cuma satu kata saja ucapannya, mendadak darah tersembur dari
mulutnya, lalu roboh telentang dan tidak bergerak pula.
Loh Ih-iian melompat maju dan memeriksa pemapasan orang, ternyata sudab
tak bernyawa lagi, ia menggeleng kepala dan ber-ucap "Swe Thian-bang keji,
anak buahnya juga nekat,"
"Ai, lantas bagaimana sekarang, sumber keteranganku sudah buntu. adakah
jalan lain?" kata Lamkiong Siang-ju dengan menyesal.
Loh Ih-sian garuk garuk kepals tanpa bersuara.
Mendadak Lamkiong Peng berseru, "Dia menyebut Ci-hau, jangan-jangan
maksudnya Ci-hau-san-ceng tempat guruku. Biar segera kuberangkat ke
sana."
Loh Ih-sian manggut-manggut, "Ya.meski Put-si-sin-liong sudah mati, tapi
pengaruhnya belum lagi surut, bukan mustahil Swe Thian-bang sengaja
memilih tempat itu untuk menyelenggarakan pertemuan besar itu."
la berhenti dan mengeluarkan satu bungkus kecil obat dan diserahaan kepada
Lamkiong Peng, katanya, "Jika Hiantit mau berangkat, bawalah obat berasal
dari Cui-heng ini yang khusus dibuatnya untuk menghadapi racun andalan Swe
Thian-bang, setiap korban racunnya dapat disembuhkan dengan obat ini."
Dengan senang hati Lamkiong Peng menerima obat itu, segera ia mohon diri

kepada kedua orang tua dan bebenah seperlunya, lalu berangkat ke Ci-hausan-
ceng.
Malam sunyi senyap, angin meniup santar.Ci-hau-san-ceng yang termashur itu
juga tenggelam dalam keheningan, hanya pada ruang tengah yang luas itu
kelihatan ada cahaya lampu yang agak guram. Di tengah ruangan berjajar tiga
buah peti mati, di dalamnya berbaring untuk selamnnya Put-si-sin-liong Liong
Po-si, Thi-cian-ang-ki Suma Tiong-thian dan Cu-sin-tocu Lamkiong Eng-lok
Di kedua samping sebuah meja panjang di depan ketiga peti mati itu berduduk
Liong Hui, Koh Ih-hong dan Ciok Tim.
Ketiga orang itu sama duduk diam dengan khidmat. Akhimya terdengar Liong
Hui menghela napas dan berkata, "Adakah pendapat kalian, apa tindakan kita
sekarang!"
Koh Ih-hong dan Ciok Tim saling pandang sekejap, mendadak Ciok Tim
menggebrak meja dan berseru, "Apa pun yang akan terjadi, Ci-hau-san-ceng
tetap harus kita pertahankan, tidak boleh kita bikin malu nama baik
perguruan."
"Tentu saja aku setuju atas sikap Samko ini," kata Koh Ih-hong. "Namun
melulu tenaga kita bertiga mungkin sukar menghadapi lawan."
"Biarpun tidak mampu melawan juga harus kita pertahankan mati-matian,"
teriak Ciok Tim.
Ketiga orang lantas bungkam dan termenung pula. "Akimya Liong Hui
bergumam, ''Alangkah baiknya jika saat ini Gote hadir di sini . . . . "
Belum selesai ucapannya tiba-tiba terdengar orang berseru di luar, "Toako,
Samko dan Sici, inilah aku sudah pulang!"

Serentak Liong Hui bertiga berpaling, semuanya melonjak girang sambil
berseru, "Hah, Gote, sungguh sangat kebetulan!"
Pondatang ini memang Lamkiong Peng adanya. Sesudah berada di ruang
besar, seketika mukanya berubah menghadapi peti mati itu.
"Inilah layau Suhu, paman Suma dan paman Lamkiong, Samte yang
mengusungnya pulang kemari," tutur Liong Hui.
Dengan air mata berlinang Lamkiong Peng menyembah kepada masing-masing
peti mati itu, habis itu barulah ia memberi salam hormat kepada para Suheng,
katanya, "Siaute menerima kabar ada kemungkinan Swe Thian-bang akan
berbuat sesuatu tsrhadap Ci-hau-san-ceng, maka cepat kudatang kemari,
entah Toako sudah menerima kabar atau belum?"
"Kenapa tidak," jawab Liong Hui sambil menunjuk sepucuk surat di atas meja.
Temyata di atas meja ada sepucuk surat bersampul hitam, cepat Lamkiong
Peng mengambil dan membacanya. seketika ia murka, "Bangsat, sungguh
terlalu menghina Ci-hau-san-ceng kita. Dan bagaimana tindakan Toako?"
"Justru kuharapkan kedatangan Gote untuk berunding dan cari jalan yang
baik," jawab Liong Hui.
"Menurut pendapatku, kekuatan nyata kita memang bukan tandingan
gembong iblis itu bersama begundalnya," ucap Lamkiong Peng. "Akan tetapi
perkembangan kekuatannya hanya mengandalkan pengaruh racun dan
caranya yang kotor, jika dapat kita sadarkan orang yang terbius oleh racunnya
dan membongkar kedoknya yang keji itu, tentu kekuatannya akan me mereteli
sehingga tidak sulit untuk menghancurkan dia. Dan yang utama, tokoh ketujuh
aliran dan golongan besar yang terpengaruh. mereka itu harus kita rebut
kembali lebih dulu."

Malam tambah larut, tengah bicara, tiba-tiba terdengar suara tetabuhan yang
nyaring menggema angkasa malam sunyi, makin lama makin mendekat suara
musik itu.
"HM, tampaknya kawanan iblis itu sudah datang, harap Toako jugs siap
menghadapi mereka," kata Lamkiong Peng. "Suruh membuka pintu, lihat saja
apa yang akan dilakukan mereka."
Segera Liong Hui memberi perintah agar pintu gerbang dibuka. Tidak lama
kemudian di tengah kegelapan malam sana muncul berpuluh titik cahaya
lentera yang terbagi menjadi dua baris dan beriring-iring masuk ke Ci-hausan-
ceng,
Di bawah cahaya lampu kelihatan di de-pan adalah delapan anak pemain
musik diikuti serombongan orang yang berdandan berbeda-beda, di
belakangnya lagi kembali dua pembawa lentera kerudung mendampingi
sebuah tandu berhias di bawah iringan sekawanan lelaki berbaju hitam.
Setiba di haiaman depan ruang tamu. rombongan orang yang berdandan
berbeda itu lantas berdiri tegak dan hormat di kedua samping.
Hampir sebagian besar dari rombongan orang ini dikenal Lamkiong Peng,
mereka ialah Yim Hong-peng, keempat tokoh Tui-bun-si-kiam, Bin san.-ji-yu,
Ko Hong dan jago Ngo-hou-toan to Pang Liat dan Iain-Iain.
Yang lebih mengejutkan lagi adalah di antara rombongan ini terdapat juga Yap
Man-jing, Tik Yang. Ih Lob dan Kwe Giok-he, dengan sendirinya mereka sama
kelihatan linglung, sudah kehilangan pikiran warasnya dan rela diperalat
musuh.
Diam-diam Lamkiong Peng pikir bilamana obat pemberian Cui Beng-kui nanti
kehilangan khasiatnya, maka akibatnya sukar dibayangkan.

Dalam pada itu tandu tadi diusung ke de-pan, waktu kedua kacung itu
menyingkap tabir, keluarlah seorang lelaki setengah baya dengan wajah putih
tapi berwibawa.
Lamkiong Peng dan Iain-lain sama heran, sungguh tak terduga gembong iblis
yang disegani ini ternyata belum lanjut usia, bahkan tidak mirip orang
kangouw umumnya.
Begitu menampakkan diri, dengan suara lantang Swe Thian-bang berseru,
"Sungguh sayang waktu hidupnya belum sempat berjumpa dengan Liong-tai
hiap, sesudah beliau wafat baru dapat aku berkunjung kemari. Adalah pantas
jika sekarang kuberi penghormatan kepadanya."
la lantas memberi hormat kepada Layon Liong Po ti, lalu ia beneru, "Put-si-sinliong
sudah mati seterusnya Ci-hau-san-ceng harus dicoret dari dunia
persilatan, kukira setiap orang yang hadir di sini sependapat denganku?"
Serentak terdengar anak buahnya bersorak setuju.
"Diam!" bentak Liong Hui dengan melotot. "Gi-hau-san-ceng bersejarah
ratusan tahun dan merupakan bintang kejora di dunia persilatan Tionggoan,
memangnya kaum lblis semacam kalian ini ingin mengaduk di depan kaum
ksa-tria yang hadir di sini, jangan mimpi!"
"Hehe, kematian sudah di depan mata, masih berani bicara besar," jenget Swe
Thian-bang.
"Hm, anak murid Sin-Hong, memangnya takut digertak?" jawab Liong Hui
tegas
"Ayo siap, anak murid Ci-hau-san-ceng!"

Serentak terdengar suara gemuruh beratui orang di luar ruangan, berbareng
berpuluh obor pun dinyalakan sehingga terang ben-derang.
"Huh, hanya ratusan orang saja juga berani pamer kekuatan padaku? Cukup
sekali tanganku bergerak saja ratusan orang kalian akan menjadi setan!" ejek
Swe Thian-bang.
Baru lenyap suaranya, tiba-tiba dari luar ruangan seorang menanggapi, "Haha.
begus, bagus! Justru kawanan pengemis yang kelaparan ini sudah bosan
hidup, kebetulan jika ada yang pandai membuat orang menjadi setan!"
Dari suaranya yang serak itu segera Lamkiong Peng mengenalnya sebagai Ih
Hong, tentu saja ia sangat girang.
"Haha bagus jika kalian minta menjadi setan daripada hidup selalu kurang
makan!" seru Swe Thian-bang. Segera ia pun memberi tanda sehingga para
pengiringnya lama siap tempur.
Melihat gelagatnya, jelas pertarungan sengit sukar lagi dihindarkan, diam diam
ia gelisah karena sejauh ini rombongan ayah-bunda-nya belum kelihatan
muncul, padahal tenaga mereka sangat diperlukan.
Dalam pada itu Liong Hui juga sudah memberi tanda, terdengar suara barisan
pemanah memasang panah dan membentang busur di sekeliling ruangan.
Diam-diam Yim Hong-peng mendekati Swe Thian-bang dan mengisiki apa yang
didengamya di luar itu. Tampak air muka Swe Thian-bang sedikit berubah,
segera ia pun memberi pesan kepada Yim Hong-peng agar menempati posisi
yang sudah ditentukan dan siap bertindak.
Selagi ketegangan memuncak dan segera akan terjadi banjir darah, tiba-tiba
ada anak buah Kai-pang berseru di luar. "Hong-tim-sam-hiap datang!"

Girang sekali Lamkiong Peng mendengar kedatangan rombongan ayahnya,
Dilihatnya Swe Thian- bang juga tersenyum senang,
Sejenak kemudian tertampak Lamkiong Siaog-ju dan istrinya serta Loh Ih-sian
masuk ke ruangan, segera Swe Thian-bang menyapa "Memang sudah kuduga
kalian akan tiba tepat pada waktunya, kenapa Bong-wan tidak kelihatan ikut
datang?"
Lamkiong Sian-ju memberi hormat, jawabnya, "Kami suami-istri perlu
mengajak bersama Lamte sehingga agak terlambat datang, harap dimaafkan.
Mengenai Siau-siansing, dia ternyatakan ada sedikit urusan lain dan segera
akan menyusul tiba."
Swe Thian bang tampak heran dan sangsi, tapi tidak tanya lebih lanjut,
katanya, "Syukurlah Lamkiong-taihiap sudah datang, sesungguhnya
kuharapkan adanya persepakatan antara sesama orang persilatan dan tidak
perlu menimbulkan sengketa berdarah. Untuk ini mungkin sekali Lamkiongtaihiap
mempunyai gagasan sesuai dengan rencana kita semula?"
Lamkiong Siang-ju tersenyum, ucapnya, "Kami berterima kasih atas
penghargaan Swe siaming terhadapku, adapun urusan sekarang sedapatnya
akan kuselesaikan secara damai."
Lalu ia berpaling, katanya kepada Lamkiong Peng yang berdiri tercengang di
sana, "Anak Peng, coba maju sini!"
Meski ragu, namun Lamkiong Peng yakin sang ayah pasti mempunyai maksud
tertentu maka pelahan ia mengisiki Liong Hui dan Iain-lain agar siap tempur,
lalu mendekat ke depan sang ayah, ucapnya, "Anak mohon petunjuk ayah!"
Dengan kereng Lamkiong Siang-ju berkata* "Anak masih muda, seharusnya
belajar dari pengalaman orang itu. Bahwa Swe - siansing bermaksud
mempersatukan dunia penilatan demi kesejahteraan kaum kita, kebijaksanaan

yang luhur ini harus kita dukung. Lekas memberi hormat kepada Swe-siansing
dan beri penjelasan lebih lanjut kepada kawan dan saudara seperguruanmu
yang lain, sebentar lagi kita masih akan bermusyawarah lebih lanjut."
Mestinya Lamkiong Peng bermaktud menyatakan pendapatnya, tapi segera ia
paham di balik ucapan tang ayah tentu mengandung makna lain, maka ia
hanya mengiakan saja, ia memberi hormat sekadarnya kepada Swe Thianbang,
lalu mengundurkan diri ke dekat rombongan Yap Man-jing, Tik Yang, Ih
Loh dan Kwe Giok-he.
Tak terduga mendadak Liong Hui berteriak dengan mendelik, "Nanti dulu!
Paman Lamkiong adalah tokoh pujaanku, sungguh sayang engkau bisa
mengemukakan gagasan seperti ini. Bagi anak murid Sin-liong, lebih baik
gugur sebagai ratna daripada hidup mengekor krpada kaum durjana?"
"Liong hiantit, kenapa kaubicara ceperti ini," kata Lamkiong Siang ju dengan
kereng. "Bahwa Ci-hau-lan-ceng kini berada di bavvah pimpinanmu, tapi
apakah tidak kaupikirkan kepentingan orang banyak dan lebih suka menjadi
orang berdosa bagi dunia persilatan umumnya?"
"Paman Lamkiong." teriak Liong Hui, "Swe Thian-bang manusia berhati
binatang, biarpun kita berdamai dengan dia akhimya pasti akan dicaploknya
juga."
"Kurang ajar!" bentak Swe Thian bang dengan gusar. "Antara Lamkiongtaihiap
dengan pihak kami sudah ada persetujuan, dengan hak apa kauberani
ikut bicara, bahkan menghasut, apakah kautahu apa hukumannya bagi
dosamu ini."
"Sabar dulu, Swe-siansing," sela Lamkiong Siang-ju. "Seorang pemimpin,
bilamana ingin orang lain tunduk lahir batin hendaknya berlaku bijaksana. Tapi
melihat tindak tanduk Swe siansing sekarang, aku menjadi sangsi apakah
pergerakanmu akan berhasil."

Seketika berubah hebat air muka Swe Thian-bang, bentaknya. '"Hah, kaupun
berani bicara demikian, apakah tidak kaupikirkan lagi keselamatanmu,
tidakkah kautahu apa akibatnya pembangkanganmu ini, Siau Bong-wan tidak
pemah bicara padamu?"
"Haha," Siang ju tertawa. "Siau Bong-wan jangan kau singgung lagi, dia
takkan datang lagi untuk selamanya. Semula kusangka Swe-Siansing pasti ada
kelebihan daripada orang lain, siapa tahu engkau cuma mengandalkan obat
racun saja untuk mengelabui mata telinga orang, baru sekarang terlihat jelas
ke pribadianmu yang sesungguhnya, sungguh menertawakan dan pantas
dikasihani."
Merah padam muka Swe Thian-bang saking geramya, teriaknya, "Memangnya
kaukira tanpa obat takdapat kutaklukkan kalian?"
"Itu perlu dibuktikan dulu," jawab Lamkiong Siang-ju.
"Baik," jengek Swa Thian-bang. Lalu ia herteriak, "Mana Su-tai kim kong
(empat jago utama)."
Serentak terdengar Yap Man-jing, Tik Yang, Ih Loh dan Kwe Giok-he
mengiakan sambi! melangkah ke depan Swe Thian-bang.
Dengan tatapan tajam Swe Thian-bang berseru, ' Su-tai-kim-kong terima
perintah, segera penggal kepala Lamkiong Siang-ju dan begandalnya yang
membangkang!"
Tik Yang berempat kelihatan kaku, serupa terpengaruh obat bius. Terdengar
mereka mengiakan dan membalik tubuh, serentak mereka melolos pedang.

Akan tetapi mendadak mereka membalik tubuh pula, empat pedang menutuk
sekaligus, bukan Lamkiong Siang-ju yang diserang melainkan Swe Thian-bung
sendiri.
Sudah tentu kejadian ini lama sekali tak terduga oleh Swe Thian-bang, tanpa
ampun dada dan perutnya tertusuk keempat pedang. Namun dia memang
tokoh maha tangkas, sebelah kakinya masih sempat balas menendang dan
tepat mengenai bawah perut Kwe Giok-he.
Kontan Giok-he menjerit dan roboh terguling. Swe Thian-bang juga tidak
tahan lagi, sambil meraung ia pun roboh terjungkal dengan tangan memegang
dada dan perutnya yang mengucurkan darah.
Kiranya tadi waktu Lamkiong Peng disuruh berdamai dengan bekas sahabat
dan saudara seperguruannya oleh sang ayah, kesempatan itu telah digunakan
olehnya untuk memberi obat penawar racun kepada Tik Yang berempat.
Sesudah pikiran sehat mereka jemih kembali, diain-diam Tik Yang berempat
merencanakan tindakan balasan terhadap Swe Thian bang, terutama Kwe
Giok-he yang merasa telah tersesat dan malu terhadap suami dan para adik
seperguruan, ia menyerang paling ganas dan akibatnya ia sendiri pun tewas
kena tendangan Swe Thian-bang
Kejadian tak terduga ini seketika membuat begundal Swe Thian-bang menjadi
panik mereka bingung dan tidak tahu apa yang harus berbuat serupa ular
tanpa kepala.
Segera, Lamkiong Peng beneru, "Ayo kawan, sikat kawanan durjana ini!"
Serentak orang banyak bersorak ramai dan menerjang maju.
Dengan sendirinya Yim Hong-peng dan kawannya tidak tinggal diam,
mendadak ia menyebarkan kabut putih, hanya sekejap saja kabut tebal telah

memenuhi seluruh ruangan. Lamkiong Peng pemah melihat kabut berbisa ini
dan tahu berbahayanya, cepat ia berteriak, "Awas kabut beracun, tahan napas
dan mundur keluar!"
Karena tebalnya kabut itu, Lamkiong Siang-ju suami-istri dan jago lain tidak
sempat lagi menerjang begundal Swe Thian-bang. beramai mereka berusaha
menyingkir.
Hanya sekejap saja anak buah Swe Thian-bang sudah terlindung di tengah
kabut dan bermaksud kabur.
Dengan menyesal Lamkiong Peng berucap, "Sungguh sayang, meski biang
keladinya sudah binasa, namun antek-anteknya sempat lolos!" Belum lenyap
suaranya, sekonyong-konyong terdengar gelak tertawa orang, sesosok
bayangan melayang tiba dari luar didahului oleh cahaya bunga api wama biru
yang gemerlapan di tengah kabut tadi, menyusul pendatang itu lantas
membentak, "Kawanan tikus semuanya perlihatan diri!"
Aneh juga, begitu kabut tebal itu berbaur dengan cahaya biru itu, seketika
kabut menipis dan buyar serupa kabut pagi tertimpa sinar sang surya.
Di bawah cahaya lampu terlihat Yim Hong-peng bersama begundalnya sudah
mundur sampai di ambang pintu perkampungan.
"Panah!" bentak Liong Hui mendadak.
Serentak terjadi hujan panah bagaikan belalang terbang, pintu gerbang
perkampungan teralang dan sukar ditembus, anak buah Swe Thian-bang yang
lari paling depan sana menjerit terkena panah dan roboh binasa, hanya
sekejap saja 20-30 orang sudah terkapar.
Melihat gelagat jelek, cepat Yim Hong-peng memberi tanda agar begundalnya
meenyerbu kembali ke tengah ruangan.

Dengan membentak gusar segera mereka disambut Liong Hui, Koh Ih-hong,
Ciok Tim dan anak buah Ci-hau-san-ceng.
Dengan sendirinya Lamkiong Peng dan lain-lain juga lantas ikut bertempur,
juga kawanan pengemis pimpinan Ih Hong lantas menyerbu dari luar
Maka terjadilah pertempuran sengit di perkampungan termashur ini. Lamkiong
Peng berhadapan dengan Tong Goan satu lawan satu hanya beberapa gebrak
saja, anak muda itu membentak, pedang pusaka Yap-siang-jiu-loh berkelebat,
kontan kepala Tong Goan terbelah menjadi dua tanpa sempat menjerit.
Yim Hong-peng dikerubut Ih Loh dan Tik Yang, juga cuma beberapa jurus taja
tubuh Yim Hong-peng sudah terkacip menjadi tiga bagian oleh kedua pedang
Tik Yang dan Ih Loh.
Melihat gelagat tidak enak, Pang Liat dan Iain-lain yang masih tersisa cepat
mencari jalan untuk kabur, begitu pula anak buahnya.
Karena biang keladi sudah binasa, Lamkiong Siang ju lantas memberi tanda
agar pertempuran dihentikan supaya tidak lebih banyak menimbulkan
jatuhnya korban.
Setelah semuanya tenang kembali, dengan terharu Lamkiong Peng berpegang
tangan dengan Yap Man-jing. Liong Hui pun sedang men-cucurkan air mata
dan memandangi jenazah tang istri yang terkapar di lantai itu.
Sejenak kemudian barulah Lamkiong Siang ju teringat kepada pendatang
terakhir yang menghamburkan cahaya biru penghapus kabut berbisa tadi.
Waktu ia memandang ke sana, ketahuanlah siapa gerangannya. Kiranya Cak
lain-tak-bukan adalah orang yang dulu menumpang makan di rumahnya, yaitu
Ban Tat adanya.

Sagera ia mendekati orang dan mengucapkan terima kasih, "Syukurlah
kaudatang tepat pada waktunya, kalau tidak sungguh sukar di-bayangkan
bagaimana jadinya."
"Ah, itu pun kewajibanku yang tidak berarti," kata Ban Tat. "Malahan di tengah
perjalanan aku bertemu dengan nona Bwe dan mendapat titipan sepucuk
turat."
Lalu ia mengeluarkan sepucuk surat kepada Lamkiong Peng.
Tergetar hati anak muda itu, cepat ia tanya, "Ke mana dia?"
Ban Tat menghela napas, katanya dengan menyesal, "Dia .... dia sudah ikut ke
Kun-mo-to bersnma Sun-siau tocu."
Seketika kepala Lamkiong Peng mendengung, hampir saja ia jatuh pingsan.
"Nona Bwe sungguh perempuan hebat," kata Ben Tat pula. "Justru dia rela
berkorban demi kesejahteraan dunia persilatan umumnya. Dia yang minta
pimpinan Kun-mo-to itu mencegah bargabungnya tokoh ketujuh aliran besar
dengan Swe Thian-bang, Kukira sukar bagimu untuk membalas jasanya ini."
Baru sekarang Lamkiong Peng paham apa sebabnya tokoh ketujuh aliran itu
tidak muncul membela Swe Thian-bang, kiranya telah mendapat perintah
pimpianan Kun-mo-to untuk mengundurkan diri atas permintaan Bwe Kimsoat.
Dengan berlinang air mata ia membaca surat Bwe Kim-soat yang antara lain
tertulis: '". . . hendaknya kaujaga adik Jing dengan baik, aku ini perempuan
yang teramat jelek, semoga mengikat jodoh pada. jelmaan yang akan datang .
. . . "

"Semoga . . . . " Laaikiong Peng mengulang kalimat itu, mendadak tercetus
dari mulutnya, "Tidak, tidak, biarpun ke ujung tangit juga akan kutemukan
dikau . . . . "
Tiba-tiba sebuah tangan halus memegang lengannya dan suara lembut
mendesis di tepi telinganya, "Engkoh Peng!"
Pelahan Lamkiong Peng berpaling, dilihat-nya Yap Man-jing sedang
menatapnya dengan sorot mata yang penuh rasa kasih sayang, tanpa terasa ia
pegang tangan si nona ....
Malam sudah hampir lalu, cahaya subuh mulai menerangi bumi raya ini
--- TAMAT ---
Anda sedang membaca artikel tentang lanjutan Han Bu Kong dan anda bisa menemukan artikel lanjutan Han Bu Kong ini dengan url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/09/lanjutan-han-bu-kong.html,anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel lanjutan Han Bu Kong ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,namun jangan lupa untuk meletakkan link lanjutan Han Bu Kong sumbernya.

Unknown ~ Cerita Silat Abg Dewasa

Cersil Or Post lanjutan Han Bu Kong with url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/09/lanjutan-han-bu-kong.html. Thanks For All.
Cerita Silat Terbaik...

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar