Panji Tengkorak Darah 3

Diposting oleh eysa cerita silat chin yung khu lung on Senin, 05 September 2011

Rombongan Sin-bu-kiong sudah mengundurkan diri. Kini tinggal Hek Gak yang berhadapan dengan Thiat-hiat-bun.
Dan kitab pusaka It Bi siangjin jelas jatuh ke tangan pemuda itu. Diam-diam ketua Hek Gak membuat kesimpulan;
pertempuran saat itu akan membawa akibat hebat, tetapi juga akan membuahkan keuntungan luar biasa. Mati hidup
tergantung dari hasil pertempuran saat itu!
Dahi ketua Hek Gak bercucuran keringat. Matanya tak berkedip mengawasi Bok Sam-pi.
Siau-bun dan Im Yang songsat yang bersembunyi di balik geombol pohon juga gelisah sekali. Sekeliling penjuru
hening seketika.
Wajah Bok Sam-pi dan Thian-leng berobah merah gelap. Tubuh mereka menghamburkan asap tipis. Pertanda
bagaimana dahsyatnya adu tenaga dalam itu berlangsung. Masing-masing telah mengerahkan seluruh tenaga
dalamnya.
Selang sepeminum teh lamanya, wajah mereka berobah biru gelap, kemudian hijau lalu pucat lesi. Tubuh mereka
mandi keringat, mata berkedip-kedip dan bahu bergetaran. Demikianlah detik demi detik berlangsung. Keadaan
mereka makin menyeramkan. Rupanya mereka bertekad hancur bersama-sama……
Sekonyong-konyong terdengar bunyi genderang. Datangnya secar tiba-tiba, nadanya tak begitu keras. Tetapi bunyigenderang itu mengandung kekuaan gaib yang dapat menyedot pikiran dan semangat orang. Termasuk Jenggot
perak, ketua Hek gak dan Siau-bun, serta Im Yang songsat yang tak kuasa membebaskan diri dari pengaruh suara
genderang itu. Buru-buru Jenggot perak menyalurkan tenaga dalamnya untuk menenangkan semangatnya.
Tung…. terdengar pula genderang itu meletup. Kali ini lebih hebat dari tadi.
“Celaka, malam ini habislah riwayat kita.” diam-diam Jenggot perak menghela napas. betapapun ia berusaha untuk
menolak, namun talu genderang itu tetap melengking tajam menembus dinding pertahanannya. Dadanya terasa
sesak, darah bergolak keras, sehingga kakinya pun terhuyung. Orang yang tak tinggi kepandaiannya, pasti akan
binasa seketika itu juga.
Thian-leng dan Bok Sam-pi masih terbenam dalam adu tenaga dalam. Rupanya mereka tak menghiraukan perobahan
yang terjadi di sekelilingnya. Tiba-tiba genderang itu makin gencar. Tung...tung....tung.....tung...... deras bagaikan
hujan dicurahkan. Bluk, bluk, bluk... satu demi satu anak buah Thiat-hiat-bun dan Hek Gak susul menyusul roboh ke
tanah.. Dan paling akhir adalah ketua Hek Gak sendiri serta Jenggot perak yang tak dapat bertahan lagi. Keduanya
jatuh terduduk di tanah. Bagaimana keadaan Bok Sam-pi dan Thian-leng, tak dapatlah mereka mengetahui lebih
jauh.
Ternyata Thian-leng dan Bok Sam-pi pun mengealami nasib yang hebat. Pada saat genderang bertalu gencar,
keduanya terlempar sampai dua tombak jauhnya dan tak ingat diri lagi.
Sebenarnya mereka sudah tak kuat lagi. Tetatpi emreka memaksakan diri untuk bertempur terus. Sampai akhirnya,
habislah sudah pertahanan mereka. Pancaran tenaga dalam mereka menimbulkan tenaga membalik yang membuat
mereka terpental.......
Pada saat lapangan penuh dengan tubuh orang-orang yang menggeletak pingsan, sesosok tubuh kecil melesat keluar
dari dalam hutan. Orang itu mengenakan pakaian warna merah. Dandanannya seperti seorang wanita. Di belakang
punggungnya menggemblok sebuah genderang kecil. Sepintas pandang ia mirip dengan nona rombongan main sulap
yang suka mempertunjukkan permainan di jalan-jalan.
Usianya paling banyak baru sebelas-duabelas tahun. Seorang dara belia yang berwajah cantik berseri. Dalam pakaian
warna merah makin menonjollah kecantikannya!
Begitu lari ke tengah lapangan, ia celingukan kian kemari. Orang-orang yang menggeletak itu tak dihiraukan. Begitu
matanya tertumbuk pada Thian-leng, segera ia menyambar tubuh pemuda itu terus dibawa lari. Hanya dalam dua
lompatan saja, dara tak dikenal itu sudag lenyap dalam kegelapan malam.....
Sekalian orang tak mengetahui apa yang terjadi pada saat itu. Satu-satunya yang samar-samar masih dapat melihat
ialah Jenggot perak Lu Liang-ong. Namun karena tenaganya punah dan kaki tangannya lemas, ia tak dapat berbuat
apa-apa.
Berselang beberapa saat, Jenggot perak loncat bangun. Dialah orang pertama yang dapat bangun. Kemudian ketua
Hek Gak, lalu keempat su-kiat dari partai thiat-hiat-bun. Sejam kemudian barulah anak buah Thiat-hiat-bun dan hek
gak.
Jenggot perak tegak berdiam diri. Tampaknya seperti menyalurkan tenaga dalam untuk memulihkan diri. Tetapi
sebenarnya ia tengah merenung keras. Pikirannya bekerja keras untuk mencari tahu siapakah dara berbaju merah itu.
Jelas bahwa bunyi genderang itu mengandung tenaga dalam yang tinggi sekali. Dan yang paling istimewa, dara itu
pandai sekali menyusupkan bunyi genderangnya di kala pikiran oeang sedang kosong. Andaikata dalam keadaan
biasa, tidak sedan mencurahkan perhatian pada Bok Sam-pi dan Thian-leng yang sedang mengadu tenaga dalam,
mungkin ia dan jago-jago Thiat-hiat-bun tak semudah itu dijatuhkan oleh genderang si dara.
Namun ia tetap mengagumi si dara. Dara itu baru berumur duabelasan tahun, tetapi sudah sedemikian hebat, apalagi
orang tuanya, tentulah sakti luar biasa. Betapapun Jenggot perak menggali ingatannya, namun tak dapat juga ia
mengetahui siapa gerangan si dara itu.
Saat itu sekalian orang pun sudah lama sadar. Tetapi mereka terkesima. Tiba-tiba ketua Hek Gak lari menubruk tubuh
Bok Sam-pi. “Bok cong houhwat, suhu.... “ melihat keadaan gurunya ia tak tahan lagi berteriak-teriak seperti orang
kalap.
Kaki dan tangan jago tua itu kaku. Daya menolak dari tenaga dalam thian-leng telah membuat organ dalam tubuhnya
terluka parah. Wajahnya pucat seperti kertas, napasnya lemah. Keadaannya seperti lilin yang tertiup angin……
Ketua Hek gak berbalik diri dan menatap Jenggot perak, serunya, “Mana orangmu?”
“Lenyap!” sahut Jenggot perak lesu.
“Lenyap!” ketua hek gak tersentak kaget. Gurunya terluka parah dan pemuda itu lenyap. Apakah pemuda itu benar-
benar lebih sakti dari Bok Sam-pi?
Dan……. dan bunyi genderang tadi! Mengapa begitu hebat perbawanya sehingga dapat merobohkan sekalian orang.
Ajaib sekali! Siapakah gerangan yang membunyikannya?Ketua Hek Gak pun tak lepas dari mencari-cari. tetapi ia pun tak dapat menduga-duga siapakah si pemukul
genderang ajaib itu. Hanya satu hal yang melegakan hatinya, ialah orang itu terang tak bermusuhan dengan pihak
Thiat-hiat-bun maupun Hek Gak.
Kelegaan hatinya hanya sesaat, karena pada lain saat timbullah kecemasannya pula. Tiang andalannya ialah Bok
Sam-pi. Kini gurunya itu terluka parah, apabila Jenggot perak memerintahkan anak buahnya menyerang,
bukankah......
“Apa yang terjadi malam ini benar-benar di luar dugaan!” ia tutup kecemasan hatinya dengan tertawa terpaksa.
“Benar,... memang tak terduga-duga, ” sahut Jenggot perak dengan tertawa lesu juga. Tiba-tiba ia menyadari
maksud ketua Hek Gak. Buru-buru ia menyusuli kata-katanya, “Tak nanti aku menyerang secara hina, silakan kalian
pergi!”
Lega hati ketua Hek Gak, serunya, “Bagaimanapun juga Hek Gak dan Thiat-hiat-bun tak dapat hidup bersama. Kelak
kita selesaikan perhitungan lagi!”
Jenggot perak tertawa hambar, “Berani masuk ke daerah tionggoan, berati berani menangung resikonya. Di mana
dan kapan saja aku selalu melayani kehendakmu!”
“Ingatlah, kelak Hek Gak tentu akan mencucui bersih hinaan dua hari dua malam ini!” ketua Hek gak tertawa dingin.
Habis itu segera ia mengajak anak buahnya pulang. Bok Sam-pi disuruhnya digotong.
“Tunggu!” tiba-tiba Jenggot perak membentak.
“Eh, apakah kau menyesal?” ketua Hek Gak mendengus geram.
Jenggot perak tertawa, “Kau mengukur baju orang dengan badanmu sendiri! Sekali kukatakan boleh pergi, tentu
takkan kurintangi lagi. tetapi……….” ia tertegun sejenak, katanya pula. “Tahun depan bulan satu tanggal lima belas,
aku hendak menyelenggarakan rapat besar orang gagah di gunung Tiam-jong-san. Hendak kuundang sahabat-
sahabat dunia persilatan Tiong-goan. Kuharap kau juga hadir!”
Ketua Hek Gak tertegun, ujarnya, “Asal kau masih dapat hidup sampai saat itu, aku pasti datang!”
Jenggot perak tertawa, “Akan kuberi kesempatan besar, tentulah kau datang!”
“Kesempatan apa yang kau berikan padaku itu?” ketua Hek Gak heran.
“Kabarnya kau mempunyai rencana hendak melenyapkan sembilan partai dan semua tokoh-tokoh dunia persilatan.
Apabila kuundang mereka semua, bukankah kau mempunyai kesempatan untuk melaksanakan cita-citamu itu?”
“Kau kira aku tak mampu melaksanakan?“ merah muka ketua Hek Gak.
Jenggot perak tertawa, “Mampu atau tidak, saat itu baru dapat dibuktikan. Silakan pergi, jangan tunggu lama-lama di
sini. Siapa tahu nanti hatiku berobah!”
Dengan menahan kemarahan, ketua Hek Gak segera melanjutkan perjalanan. Kini yang tinggal di lapangan hanyalah
rombongan Thiat-hiat-bun. Setelah merenung beberapa lama, Jenggot perakpun hendak mengajak rombongannya
pergi.
Tiba-tiba muncul tiga sosok bayangan. Walaupun terpisah berpuluh-puluh tombak jauhnya, namun dengan ilmu
Melihat-langit-mendengarkan-bumi, dapatlah ia menangkap gerak-gerik mereka. Seharusnya ia tahu bahwa ketiga
orang itu Siau-bun dan kedua suami isteri Im Yang songsat. Tetapi karena seluruh perhatiannya ditumpahkan pada
kejadian di lapangan, maka ia tak mengetahui tempat persembunyian mereka.
Siau-bun melangkah perlahan-lahan ke hadapan ketua Thiat-hiat-bun. Jenggot perak risih dibuatnya. Ia tahu Siau-
bun itu cucunya, tetapi tak pernah sang cucu itu menatapnya begitu rupa. Belum sempat ia memikirkan bagaimana
menghadapi cucu itu, tiba-tiba Siau-bun sudah berlutut di hadapannya, “Kek…..”
Jenggot perak tertawa meloroh dan segera mengangkat bangun nona itu, “Ah, kau…… sudah tahu bukan?”
“Aku bukan seorang tolol. Tetapi …… selama kakek tak mau mengakui diriku, akupun tak mau minta kasihan!”
“Tetapi mengapa sekarang kau menemui diriku?” Jenggot perak tertawa.
„Ah, karena kakek tak suka melihatku, akupun hendak pergi saja!“ Siau-bun terus hendak berputar diri.
Jenggot perak terkejut dan buru-buru mengibaskan lengannya. Segulung tenaga lunak seperti menahan langkah
Siau-bun. Siau-bun tak dapat bergerak dan memang sebenarnya ia tak bersungguh-sungguh hendak pergi.
“Kakek tak mau mengakui aku, perlu apa menahan?” lengkingnya dengan sikap aleman.“Siapa bilang kakek tak mau mengakui kau?”Jenggot perak tertawa. Tiba-tiba iamenarik nona itu ke dalam
pelukannya. Dibelai-belainya rambut dara itu dengan penuh kasih sayang. Dan tanpa dapat ditahan dua butir air mata
mengucur keluar dari kelopak jago tua itu..................
Sekalian anak buah Thiat-hiat-bun dan kedua suami isteri Im Yang songsat hanya mengawasi adegan itu tanpa berani
berkata apa-apa.
Sampai beberapa lama kemudain barulah Siau-bun melepaskan diri dari pelukan kakeknya itu.
“Kek....., ” serunya lembut.
“Hm……”
“Aku hendak bertanya padamu.”
“Bilanglah!”
“Kemankah Bu Beng-jin?”
“Bu Beng-jin?” Jenggot perak terbeliak, “mengapa kau menaruh perhatian pada Bu Beng-jin?”
Merahlah seketika wajah Siau-bun, “Aku……….aku sudah berjanji untuk sehidup semati
dengannya……………………..”
Jenggot perak seperti disengit kalajengking. Wajahnya berobah seketika.
“Aha? Katakan sekali lagi!” teriaknya.
oo000000oo
Dara baju merah
“Dia...... dia telah setuju memperisterikan aku. Sudah selayaknya aku menanyakannya...........!” Siau-bun menjawab
terbata-bata, “dengan kepandaian kakek yang sakti, tentulah tahu ke mana perginya tadi?“
Wajah Jenggot perak pucat lesi, serunya agak gugup, “Dia .....dibawa lari oleh seorang dara baju merah!”
Siau-bun pun terbeliak kaget, “Apa? Dibawa lari orang?”
“Benar, dia telah dilarikan……. tetapi rupanya orang itu tak bermaksud jahat dan memang bermaksud
menolong………….”
“Dengan ilmu Mendengar bumi, bukankah kakek dapat mengetahui kemana larinya? Siapakah dara itu?”
“Kakekpun telah menyelidiki….. Tetapi genderang dara itu telah menghanyutkan pikiran kakek, sehingga ia sempat
melaksanakan rencananya. ketika kakek dadar dara itu telah jauh sekali…..”
“Lantas kakek tak menghiraukan lagi nasibnya?”
“Kutanggung pemuda itu tentu takkan mati……Ah, jangan banyak bertanya ini itu dulu. Aku hendak bertanya
padamu………… tetapi jangan bohong!”
“Silakan!”
“Bilakah pemuda itu mengadakan perjanjian hidup dengan engkau?”
“Hanya beberapa hari yang lalu….” Siau-bun mengedipkan matanya sambil menggelendot manja di dada Jenggot
perak.
Sambil mengenang peristiwa malam sumpah hidup bersama Thian-leng, nona itu berkata dengan berbisik-bisik, “Pada
malam itu kami menginap di hotel Bu-khek-can. Karena kamar tinggal satu, terpaksa kami pakai….”
“Hai, kalian sudah tidur sekamar?” Jenggot perak berteriak kaget.
Siau-bun hanya mendengus, “Bukan hanya sekamar, melainkan juga seranjang….”
Rambut Jenggot perak berdiri seketika. Tiba-tiba ia menggeram keras, “Celaka!”
“Mengapa celaka? Apakah kakek tak suka?” Siau-bun heran.
“Jangan memutus omonganku!” bentak Jenggot perak, “kau yang memikat pemuda itu atau dia yang memikatmu,
bilanglah dengan jujur!”Wajah Siau-bun memerah, “Kau anggap aku anak perempuan yang bagaimana. Mengapa kau masih tak sungkan
menanyakan begitu? Aku….. aku tak mau hidup lagi, kek!” tiba-tiba ia menangis dan mengayunkan tangannya hendak
menampar batok kepala sendiri.
Sudah tentu Jenggot perak gelagapan dan cepat mencegahnya. Siau-bun menangis tersedu-sedu.
“Ah, akulah yang bersalah. Kukuatir kelak masih akan timbul kesulitan lagi!” Jenggot perak menghela napas.
Sambil meronta dari pelukan kakeknya, Siau-bun berseru, “Kakek bersalah? Akan timbul kesulitan?”
Kembali Jenggot perak menghela napas. Mulutnya berkomat-kamit sberkata seorang diri, “Kenal orangnya tak kenal
hatinya. Tak kira anak itu ternyata seorang pemuda hidung belang!”
Siau-bun pura-pura tak mendengar. Tiba-tiba ia bertanya ,”Apakah kakek tahu di mana ibu berada?”
Jenggot perak gelagapan, “Kemarin malam ia mengantarkan ketua Tiam-jong-pay Lu Cu-liong pulang ke Tiam-jong-
san!”
“Apakah kakek tahu jelas?”
“Pada saat Thiat-hiat-bun mengepung Sin-bu-kiong dan Hek Gak, ibumu masih sempat menggunakan ilmu menyusup
suara untuk bercakap-cakap dengan aku.”
“Kalau begitu aku hendak mencarinya!” kata Siau-bun.
Sejenak Jenggot perak melirik Im Yang song-sat, lalu menggunakan ilmu menyusup suara kepada Siau-bun, “Saat ini
jago-jago Hun-tiong-mo-hu sudah berbondong-bondong menuju ke Tiam-jong-san. Kakek bermaksud untuk
menyelesaikan pergolakan dunia persilatan Tiong-goandalam rapat besar yang akan kuadakan pada tahun depan,
bulan satu tanggal lima belas. Baiklah kalau kau hendak menyusul ibumu ke sana. Beritahukan kepada ibumu tentang
urusanmu itu, terserah bagaimana ia hendak memberi keputusan. Kakek tak dapat mengurusi kesulitan-kesulitan
begitu……” Jenggot perak berhenti sejenak, lalu katanya pula, “Tentulah kau belum memberitahukan hal itu kepada
ibumu?”
Siau-bun tertawa mengikik, “Beliau sudah tahu!”
“Sudah tahu?” kembali jenggot perak terbelalak kaget, “ dia setuju?”
“Masakah kakek tak kenal akan perangai ibu? Jika ia tak setuju, masakah aku berani……..”
“Ya, ya…. mungkin hal ini sudah suratan takdir. Kukuatir kalian akan menghadapi kehebohan!” Jenggot perak tertawa
datar.
“Apa? Aku tak mengerti masksud kakek..... ”
“Sudahlah, jangan banayk bertanya lagi, berangkatlah sekarang juga!” buru-buru Jenggot perak membentak untuk
menutupi kekagetannya.
Diam-diam Siau-bun girang. Dalam gelanggang asmara, ia telah berhasil memakan jurus kedua. Betapapun Jenggot
perak sudah mengikat Thian-leng supaya bersumpah memperisterikan Lu Bu-song, tetapi sampai babak ini, mau tak
mau ia tentu terpaksa harus menyerahkan Thian-leng padanya.
Tetapi saat itu Siau-bun tetap gelisah. Siapakah dara baju merah yang melarikan Thian-leng itu.
Apakah maksudnya? Namun ada sedikit hal yang melonggarkan perasaan Siau-bun, ialah Thian-leng tentu tak mati.
Dengan terpilihnya pemuda itu sebagi pewaris It Bi siang-jin, tentulah sudah diramalkan jelas bahwa pemuda itu
takkan berumur pendek.....
“Selamat tinggal kek, harap kakek baik-baik menjaga diri.” Siau-bun terus melangkah pergi. Im Yang song-sat pun
segera mengikutinya.
“Tunggu!” Tiba-tiba Jenggot perak berseru. Siau-bun terpaksa berhenti. Jenggot perak melesat ke depannya.
“Kakek hendak memberi pesan apa lagi?”
Wajah Jenggot perak mengerut tegang,“Adik misanmu Lu Bu-song saat ini juga berada di gunung Tiam-jong-san!”
“Sejak kecil kita tak pernah berjumpa. Kali ini kita tentu dapat bermain-main dengan gembira!”
“Sejak kecil ia sudah kehilangan ayah bunda dan ikut aku sampai besar. Dia,,,,, sungguh kasihan sekali!” kata
Jenggot perak dengan nada berat.
Siau-bun tertegun. Tak tahu ia apa yang tersembunyi dalam kata-kata kakeknya itu. Namun ia segera menjawab
dengan hati lapang, “Harap kakek jangan kuatir, aku tentu ekan memperlakukannya dengan baik sebagai adikkusendiri!”
Jenggot pertak mengangguk-angguk, “Selain itu, kau .......,” ia bersangsi sejenak, katanya pula, “Urusan dengan
budak itu jangan kau katakan padanya!”
“Mengapa ?” Siau-bun kaget.
Jenggot perak menghela napas, “Jangan mendesak aku, pokoknya kau harus ingat permintaanku ini!”
Siau-bun tak mau mendesak. Ia pura-pura mengerti, Baik kek. Apakah masih ada pesan lain lagi?”
“Masih,” kata jenggot perak, “karena sejak kecil adik misanmu itu kumanjakan, perangainyapun kurang baik. Kau
lebih besar, sebagai cici harap kau suka mengalah sedikit…..”
“Tentu kek, tentu,” sahut Siau-bun.
Jenggot perak menghela napas lagi, “Sudahlah, kau boleh pergi!”
Dengan diikuti kedua suami isteri Im Yang song-sat, Siu-bun segera pamit. Dalam beberapa loncatan saja mereka
sudah lenyap.
Jenggot perak menghela napas. Iapun segera memberi isyarat kepada anak buahnya. Tetapi langkah kakinya terasa
berat. Selangkah demi selangkah ia berjalan seperti orang kehilangan semangat.
Keempat Su-kiat, ketiga puluh enam Thian-kong, ketujuh puluh dua Te-sat dan anak buah Thiat-hiat-bun tahu juga
akan kesulitan yang dihadapi ketuanya. tetapi mereka tak berani mengucapkan apa-apa.
Rombongan Thiat-hiat-bun berbopndong-bondong menuruni gunung Thay-heng-san. Saat itu haripun sudah fajar.
oo0000000oo
Thian-leng yang pingsan karena terluka dalam itu, setelah berselang beberapa lama, barulah dapat juga tersadar.
Samar-samar ia masih ingat akan peristiwa yang dialami tadi. Pada saat tenaga dalamnya hampir habis, tiba-tiba
terdengar genderang dipukul dan tak ingatlah lagi ia apa yang terjadi selanjutnya……
Tubuhnya terasa panas ketika sinar matahari menimpa ke mukanya. Ia paksakan membuka matanya, tetapi
pandangannya masih sayup, tenaganya seperti lenyap.
Sekonyong-konyong ia loncat hendak bangun, ah………..kepalanya terasa berat sekali dan iapun terpaksa harus
telentang di pembaringan lagi. Tak tahu ia saat itu berada di mana.
Ia paksakan diri merentang mata lebar-lebar. Walaupun keadaan sekelilingnya masih gelap, tetaoi lama kelamaan
dapat juga ia melihat agak terang.
Didapatinya dirinya berada di sebuah rumah gubuk yang serba sederhana perabotannya, tetapi cukup bersih. Ia
sedang terlentang di atas sebuah ranjang kayu. Sinar matahari pagi tumpah ruah menyinari matanya. Ah, itulah
ebabnya ia merasa panas seperti terbakar!
Gubuk itu tertutup rapat. Tiada seorangpun ada di situ. “Heran, siapakah yang menolongku ini?” demikian pertanyaan
yang meliputi pikirannya.
Tiba-tiba ia terkejut sekali. matanya tertumbuk pada sebuah genderang kecil yang tergantung di sudut dinding.
Pikirannya segera melayang-layang.
“Apakah pemilik gubuk ini, benar-benar dia.....”, baru ia memikir sampai sampai di situ, tiba-tiba pintu dibuka orang.
Samar-samar Thian-leng melihat seorang dara berbaju merah menerobos masuk. Usianya baru belasan tahun,
rambut dikuncir, kulit mukanya berwarna merah segar. Dalam pakaian warna merah, dara itu tampak menyala sekali.
“Kau sudah bangun?” dara itu terkejut begitu melihat Thian-leng tersadar.
“Adik kecil, di manakah aku ini, aku.......”
“Jangan banyak bicara dulu, minumlah obat ini,” kata si dara itu seraya menghampiri. ternyata ia membawa sebutir
pil putih dan disisipkan ke mulut Thian-leng.
Dara itu lincah dan ramah. Thian-leng menerima saja. Pil terus ditelannya.
“Eh, kau minum pil tanpa diantar air?” dara itu tertawa bertepuk tangan.
“Jam berapakah ini?” tanya Thian-leng.
“Hampir tengah hari!”“Sudah berapa lamakah aku tidur di sini…………”Thian-leng menggeliat bangun.
“Berapa lama……………………….. kau sudah hampir sebulan lebih di sini. Dan baru sekarang kau dapat membuka
mata.”
“Sebulan lebih?”teriak Thian-leng, “jangan bergurau!” Ia merasa pertempurannya melawan Bok Sam-pi baru kemarin
malam.
“Sungguh,” kata dara itu dengan nada sungguh-sungguh, “sekarang sudah akhir bulan sebelas,s ebulan lagi bakal
tahun baru…….” tiba-tiba wajah dara itu berseri girang, serunya, “Tahun baru yang lalu, hanya aku dan ayah yang
merayakan. Tetapis ekarang kita akan merayakan dengan ramai. Selain kau, juga kedua enci Ki juga..... ”
“Maaf, aku tak dapat melewatkan tahun baru di sini. Aku masih punya banyak urusan dan harus segera pergi,” tukas
Thian-leng.
“Mana bisa,” dara itu tertawa, “lukamu masih belum sembuh. Lewat tahun baru, baru kau sembuh sama sekali!”
Kembali Thian-leng terbeliak kaget. Ia menghela napas, “Apakah ayahmu yang menolong aku?”
“Aku sendiri!”
“Kau?” Thian-leng menatap dara itu tajam-tajam, lalu melirik pada genderang di dinding, “Genderang itu
kepunyaanmu?”
“Ya, peninggalan dari nenekku…..eh, tahukah kau siapa nenekku?”
Thian-leng menggelengkan kepala.
“Dulu semasa hidupnnya, nenek telah membuat nama yang termashyur sekali, digelari sebagai Sin-ko-sian-poh,….”
dara itu memandang sejenak wajah Thian-leng. Rupanya ia yakin Thian-leng tentu akan menunjukkan kekaguman.
Tetapi di luar dugaan Thian-leng
menggelengkan kepala. Ia tak kenal siapa Sin-ko-sian-poh ( Dewi genderang sakti ) itu.
“Ibuku juga sudah meningal dunia,” kata dara itu dengan rawan, “Aku hanya hidup bersama kakek. Kakek
membawaku ke Tiong-goan!”
“Oh, kau bukan orang Han?”
“Bukan, tetapi kakek bangsa Han..... aku berasal dari daerah ajauh, di padang pasir yang tak dihuni orang. Dari sana
kemari memerlukan perjalanan tiga hari tiga malam.”
Mendengar cerita itu, diam-diam timbullah rasa kasihan Thian-leng pada si dara. Neneknya pasti mati kemudian
ibunya. Dia kini hidup sebatang kara ikut pada kakeknya. Ah, nyata di dunia ini banyak sekali manusia-manusia yang
menderita!
“Ayahmu?” tanyanya.
“Dia sedang keluar mengurus suatu hal, mungkin juga segera akan pulang,” dara itu buru-buru menyahut, “eh
siapakah namamu? Bagaimana seharusnya aku memanggilmu?”
Thian-leng mengerutkan alisnya, “Aku tak punya nama , panggil saja Bu-beng-jin....”
“Ih, mengapa orang tak punya nama, bohong!” dara itu melengking.
Thian-leng menghela napas, “Tidak, aku tak bohong. Memang dulu aku punya nama, tetapi nama itu palsu......, ah,
jika kututurkan hal itu kepadamu, kaupun tentu tak mengerti juga.......”
“Ih, mengapa nama ada yang palsu? Siapakah nama palsumu itu?” si dara semakin heran.
“Namaku yang palsu itu Kang Thian-leng.”
( bersambung ke jilid 22 )
Jilid 22 .
“Kang Thian-leng? Ah, merdu juga kedengarannya,” tiba-tiba dara itu berseru gembira, “begini saja, kuanggap kau
sebagai kaka angkatku. Kau pakai saja she keluarga kami, mau?”
“Tentu saja aku suka mendapatkan seorang adik seperti kau. Ya, ya, baiklah. Tapi siapakah namamu?”
“Kau setuju?” dara itu melonjak-lonjak gembira sekali seperti anak kecil mendapat permen, “keluargaku orang she
Pok. Namaku Pok Lian-ci, tetapi ayah selalu memanggilku Ang-ko ( si merah). Kau pun boleh panggil Ang-po saja!”Baru Thian-leng hendak membuka mulut, tiba-tiba seorang sasterawan melangkah masuk.
Pedang bebas.
“Kau sudah pulang, yah!” teriak Ang-ko seraya menubruk dada sasterawan setengah umur itu. “Dia sudah sadar dan
kuangkat sebagai engkoh. Kau tetntu suka, bukan?”
Sasterawan setengah umur itu tertawa. Dibelainya rambut si dara itu dengan penuh kasih,“Sudahlah jangan ribut-
ribut............. ”
Mata sasterawan itu itu menuju ke Thian-leng yang gagal bangun. Tangan dan kaki Thian-leng lemas tak bertenaga.
terpaksa ia rebah lagi.
“Pok cianpwe, maaf aku tak dapat bangun menghaturkan hormat..... ” serunya.
Sasterawan itu melangkah ke muka pembaringan dan memberi isyarat tangan, “Tak apa, tidur sajalah!”
Kini barulah Thian-leng dapat memandang jelas wajah sasterawan itu. Seorang lelaki cakap dan berwibawa. Hidung
mancung, mulut lebar, mata bundar dengan sepasang alis tebal. Hanya sayang pada gumpalan alisnya terdapat dekik
warna gelap dan kerut-kerut tanda ketuaan. Seri wajahnya sunyi dan rawan.
Thian-leng menghaturkan terima kasih atas pertolongan si dara.
“Aku paling tak suka dengan peradatan-peradatan kesungkanan…….,”sahut sasterawan itu. Ditatapnya wajah Thian-
leng, tegurnya, “Siapakah namamu?”
“Dia bernama Kang Thian-leng, tetapi katanya nama itu palsu dan tak dipakainya lagi. Karena sudah jadi engkoh
angkat, diapun memakai she keluarga kita.” si dara menyeletuk.
‘Jangan ribut saja, nak…………” ayahnya mendamprat halus. Ia minta maaf kepada Thian-leng atas keliaran Ang-ko.
“Tetapi wanpwe sendiri menerima dengan senang hati.”
“Ah, kau tentu terpaksa karena sungkan,” tukas sasterawan itu.
“Tidak, memang wanpwe sendiri senang dengan setulusnya. Kalau Pok cianpwe mengatakan begitu, berarti cianpwe
tak mau menerima diri wanpwe!”
Sasterawan itu terpaksa mengalah. Kemudian ia menanyakan diri anak muda itu. Thian-leng menuturkan riwayat
hidupnya dengan terus terang.
“Dulu aku sedih karena tak punya she, tetapi kini aku girang sekali memakai she Pok. Pok Thian-leng!” kata Thian-
leng.
Sasterawan setengah tua itu menghela napas dalam-dalam.
“Nak, tahukah kau siapa aku…?”
“Aku Pendekar pedang bebas Pok Thiat-beng,” tanpa menunggu jawaban Thian-leng, sasterawan itu memberi
keterangan sendiri.
“Oh......” Thian-leng mendesah, “seharusnya aku dapat menduga,” ia tak dapat melanjutkan kata-katanya.
Sanubarinya penuh sesak dengan rasa kaget dan girang.
Ia teringat akan pesan Toan-jong-jin Cu Giok-bun untuk mencari pendekar pedang itu. Kini bukan saja telah bertemu,
bahkan dipungut sebagai anak angkat. Dengan begitu Toan-jong-jin pun menjadi ibu angkatnya. Tak tahu ia
bagaimana perasaan hatinya kala itu.
Menurut keterangan Nyo Sam-koan, sepasang suami isteri Pok Thiat-beng dan Toan-jong-jin itu retak hubungannya
akibat salah paham. Dan hal itu akibat rencana busuk yang dilakukan oleh Ma Hong-ing.
Kini jelaslah sudah bahwa setelah meninggalkan Toan-jong-jin, Pok Thiat-beng mengembara ke luar perbatasan(daerah Tibet), bertemu Sin-ko-Sian-lo (Dewi tambur, nenek si dara Ang-ko), menikah dengan anak perempuannya
dan mendapat seorang puteri, yakni si Ang-ko. Setelah Sin-ko Sian-lo dan ibu si Ang-ko meninggal dunia, maka Pok
Thiat-bengpun lalu membawa anaknya kembali ke Tiong-goan pula.
Timbul pertanyaan dalam hati Thian-leng. Apakah Pok Thiat-beng mengetahui tentang drama salah paham antara ia
dengan Toan-jong-jin? Dan kembalinya jago pedang itu ke Tiong-goan apakah karena teringat akan Toan-jong-jin
atau hendak menundukkan dunia persilatan Tiong-goan lagi?
Sejenak Thian-leng memandang Ang-ko. Wajah dara yang sedemikian kekanak-kanakan itu, tak mungkin mengetahui
sekian banyak rahasia dalam diri ayahnya.
Pesan dari Toan-jong-jin yang sedianya hendak dikatakan kepada Pok Thiat-beng, entah bagaimana, Thian-leng ragu-
ragu mengatakan.
“Gihu (ayah angkat), aku hendak mohon tanya sedikit hal!” akhirnya Thian-leng membuka mulut.
“Silakan!”
“Pernahkah gihu mengunjungi puncak Giok-lo-hong di gunung Heng-san?”
Mendengar itu Ang-ko tercengang. Tak tahu ia apa maksud pertanyaan engkoh angkatnya itu.
Pok Thiat-beng pun terkesiap lalu menyahut dengan terbata-bata, “Giok.... lo..... hong.....”
“Aneh sekali pertanyaanmu, nak!” serunya pula.
Dengan wajah dan nada bersungguh-sungguh, Thian-leng menyusuli bertanya pula. “Apakah dahulu gihu pernah
berjanji dengan seorang sahabat untuk pesiar ke puncak Giok-lo-hong?” Habis berkata Thian-leng diam-diam melirik
kepada Ang-ko.
Seketika berobah wajah Pok Thiat-beng. Segera ia megerti apa maksud Thian-leng. Setelah merenung sejenak, ia
berpaling kepada Ang-ko yang terlongong-longong, “Coba tengoklah kedua taci beradik Ki, apakah nasi sudah
masak?”
“Ya, ya, kalian hendak bicara rahasia yang tak boleh kudengarkan……..” Ang-ko mencibirkan bibir. Dara yang masih
kekanak-kanakan itu tiba-tiba bertepuk tangan dan tertawa. “Ai, benar… benar, aku memang hendak
memberitahukan kedua cici itu!”
Setelah puterinya pergi, Pok Thiat-beng segera meminta Thian-leng bicara.
“Sudah beberapa kali aku bertemu dengan gibo (ibu angkat)….”
“Maksudmu Giok-bun, apakah dia tak kurang suatu apapun?” belum Thian-leng menyelesaikan kata-katanya, Pok
Thiat-beng sudah menukasnya.
“Beliau baik-baik saja,” buru-buru Thian-leng menyahut, “hanya saja beliau setiap saat selalu mengenangkan gihu.
Karena kejadian yang lalu itu ternyata hanya suatu kesalah-pahaman saja.....”
“Bagaimana kau tahu?” Pok Thiat-beng mengerutkan dahi.
“Aku pernah bertemu dengan Nyo Sam-koan di dalam penjara Sin-bu-kiong. Dialah yang menceritakan hal itu.” jawab
Thian-leng.
Pok Thiat-beng diam, hatinya bergolak-golak.
“Gi-bo suruh aku mencari berita di mana gihu berada.” kata Thian-leng pula, “apabila bertemu supaya menyampaikan
pesan beliau agar gihu suka menemuinya di puncak Giok-lo-hong........” ia berhenti sejenak, katanya pula. “Gi-bo tak
mau mengatakan dirinya dengan terus terang dan menyamar sebagai seorang nenek berambut putih yang bernama
Toan-jong-jin. Tetapi dari pesan itu dapatlah kuketahui bahwa beliau memang sungguh-sungguh terkenang pada gi-
hu!”
Pok Thiat-beng menundukkan kepala, karena ia malu diketahui bahwa dua butir air mata telah mengalir dari pelupuk
matanya.“Apakah ia benar telah melupakan peristiwa yang lampau?” katanya dengan suara tersekat.
“Apakah gi-hu masih menyangsikan hati gi-bo?”
Pok Thiat-beng menghela napas, “Tidak, aku tak menyangsikannya, tetapi aku ….. telah berbuat hal yang
menyalahinya. Pada waktu itu seharusnya aku menyelidiki dulu dan selama tujuh belas tahun itu seharusnya aku
mencarinya…..dan.. dan….akupun telah menikah lagi…..”
Setelah berhenti beberapa saat, barulah jago pedang itu berkata pula, “Karena itu, maka aku tak berani bertemu
muka dengannya!”
“Aku berani memastikan bahwa tak sedikitpun gi-bo pernah melupakan gi-hu. Sudah tentu beliau tidak marah kepada
gihu. Tahukah gi-hu bahwa beliau tinggal…..” tiba-tiba Thian-leng tak melanjutkan kata-katanya. Karena ia merasa
salah omong. Dia sendiri tak tahu di mana tempat tinggal Toan-jong-jin dan Cu Siau-bun. Teringat nona itu, hatinya
terasa tersayat dan pikirannya segera melayang ke peristiwa yang dialami baru-baru ini. Ketika ia pingsan dalam adu
tenaga dalam dengan Bok Sam-pi, ia ingat si Jenggot perak masih tantang-tantangan dengan ketua Hek Gak. Siau-
bun dan kedua suami isteri Im Yang song-sat bersembunyi di sekitar tempat itu. Tetapi ketika ia sadar, orang-orang
itu sudah lenyap…..
“Setelah kuajak Ang-ko kembali ke Tiong-goan, aku menetap di gunung Thay-heng-san. Meskipun mendengar juga
sedikit tentang diri gi-bomu, tetapi belum mendapat bukti-bukti yang jelas. Karena itulah aku tak menemuinya!”
“Apakah di sini masih termasuk lingkungan Thay-heng-san?”
Pok Thiat-beng mengangguk, “Gunung Thay-heng-san luasnya sampai beratus-ratus li.Tempat ini termasuk daerah
pinggirannya!”
“Apakah gi-hu tak pernah berjumpa dengan ketua Thiat-hiat-bun si Jenggot perak itu?” tanya Thian-leng.
“Aku tak tahu bagaimana pandangannya terhadap diriku. Tetapi karena aku menikah dengan gi-bomu hanya setahun
lalu berpisah, mungkin dia ( Jenggot perak ) tak dapat memaafkan aku….”
“Asal dapat bertemu dengan orang tua itu, tentu dapat menanyakan tempat tinggal gi-bo. Dan jika gi-hu dapat
bersatu lagi dengan gi-bo, beliau tentu girang sekali dan takkan membenci gi-hu!” kata Thian-leng
Pok Thiat-beng mondar-mandir dalam ruangan sambil menggendong tangan.
“Ah, temponya terlalu lama, delapan bulan siapa tahu……” tiba-tiba Thian-leng membuka mulut lagi, tetapi secepat itu
pula ia berhenti. Rupanya ia merasa kelepasan omong.
“Selain itu, masih ada satu daya……” tiba-tiba Pok Thiat-beng berkata sambil tertawa rawan.
“Bagaimana?” tanya Thian-leng.
Pok Thiat-beng menghela napas. “Menurut apa yang kuketahui, gi-bomu telah pergi ke gunung Tiam-jong-san….”
Diam-diam Thian-leng mengakui ketepatan kata-kata ayah angkatnya itu.
“Jika aku ke Tiam-jong-san juga, mungkin dapat menjumpai gi-bomu. Akan kujelaskan salah paham yang dulu dan
melepaskan rinduku kepada puteri Siau-bun. Tetapi………..”
Mendengar itu hati Thian-leng gelisah sekali. Ternyata Pok Thiat-beng sudah mengetahui tentang kejadian di luaran.
Apakah jago itu mengetahui juga tentang hubungannya dengan Siau-bun?
“Kalau begitu, silakan gi-hu segera menuju ke Tiam-jong-san saja.” Thian-leng tak menghiraukan dirinya. Pokoknya
asal kedua suami isteri itu dapat bersatu padu lagi.
Pok Thiat-beng menghela napas, “Tetapi aku masih mempunyai keresahan, ialah tentang Ang-ko…..Selama ini dia tak
kuberitahukan hal itu, bahkan mendiang mamanyapun tidak tahu. Mungkin perasaan anak itu akan tersinggung…..”
“Ang-ko cerdas dan lapang hati. Biarlah aku yang memberitahukan hal itu, rasanya dia tentu....... ” belum selesai
Thian-leng berkata, Pok Thiat-beng sudah menukas, “Baik, aku akan ke Tiam-jong-san, tetapi,.......ah, nanti saja bila
lukamu sudah sembuh. Sesudah tahun baru , baru aku berangkat!”“Tak usah gi-hu tunggu aku, silakan berangkat sendiri…..”
“Keputusanku sudah tetap, jangan banyak bicara lagi!” berkata Pok Thiat-beng, “kau menderita luka dalam yang
parah, masih memerlukan perawatan yang teratur........mereka datang!” tiba-tiba Pok Thiat-beng berseru.
“Yah, nasi sudah masak..... hari ini engkoh Leng pun boleh makan nasi!”, masih di luar kamar si dara Ang-ko sudah
berteriak. Dan sesaat kemudian muncullah ia bersama dua orang nona yang membawa hidangan.
Kejut Thian-leng bukan kepalang. Kedua nona itu bukan lain ialah Ki Gwat-wan dan Ki Seng-wan. Dan kedua nona
itupun girang karena Thian-leng sudah sadar. Mereka mencuri lirik sejenak, lalu menunduk tersipu-sipu.
Adalah Thian-leng yang menegur dulu, menanyakan keadaan mereka selama ini dan luka Ki Seng-wan.
Ki Seng-wan tak mau menjawab. Ia mengunjukkan sikap dingin. Ki Gwat-wan yang menuturkan bahwa mereka
ditolong dan disembuhkan Jenggot perak, tetapi ditinggalkan begitu saja, hingga di temukan dan dibawa pulang oleh
Pok Thiat-beng.
“Untunglah Pok tay-hiap memungut kami sebagai anak angkat, sehingga kini kami mempunyai tempat meneduh yang
tetap. Oleh karena usia kami lebih tua, baiklah kau panggil taci kepada kami!” kata Ki Gwat-wan lebih lanjut.
“Baiklah,” Thian-leng tertawa meringis, “nanti setelah lukaku sembuh, tentu akan kuberi hormat kepada taci berdua!”
Dia percaya keterangan nona itu tentu tak bohong.
“Dulu aku seorang diri, sekarang aku mempunyai seorang engkoh dan dua orang taci….” Ang-ko berseru dengan
melonjak-lonjak kegirangan. Ia mendekap dada ayahnya, “Yah, kaupun harus bergembira!”
Sekalipun berseri girang, namun lekuk alis jago pedang itu mengerut kedukaan yang dalam.
“Setelah berpisah, apakah kau masih ingat kepada kami berdua?” tiba-tiba Ki Gwat-wan bertanya.
“Aku....uh, siaote (adik).....” Thian-leng berkata tersekat-sekat.
“Hai, mengapa kau tersendat-sendat? Lekas bilang, kau pernah teringat kedua taci ini atau tidak?” tiba-tiba Ang-ko
membentak.
Thian-leng sebenarnya sukar untuk mengutarakan hal itu. Terus terang sejak berpisah, ia tak ingat lagi kepada kedua
nona Ki itu.
“Sejak berpisah, aku selalu menghadapi bahaya maut, sehingga tak pernah mengingat mereka lagi…..” akhirnya
Thian-leng terpaksa menerangkan.
Ki Gwat-wan tertawa dingin, “Sekalipun tidak menghadapi bahaya maut, masakah kau mau mengingat kita
berdua……. karena kami berdua ialah anak angkat dari Song-bun-Kui-mo Ki Pek-lam!”
“Ah, janganlah terlalu menyiksa diriku……..”
Gwat-wan tak menghiraukan anak muda itu. Tiba-tiba ia berlutut di hadapan Pok Thiat-beng. Sudah tentu Pok Thiat-
beng tersipu-sipu mengangkatnya bangun, “Kalau ada persoalan, katakanlah…..”
Dengan masih berlutut Ki Gwat-wan menyurut mundur selangkah, serunya, “Ada sebuah hal tak penting yang anak
hendak mohon gi-hu memberi keputusan!”
“Katakanlah!”
Ki Seng-wan yang sedang mengemasi piring mangkok, kaget tak terkira, “Cici……….”
“Mengapa? Apakah tak boleh kukatakan?” balas Ki Gwat-wan.
Ki Seng-wan tersipu-sipu malu, ujarnya rawan, “Perlu apa mengungkit hal yang sudah lampau?”
“Apa? Hal yang sudah lampau? Tetapi hal itu menyangkut nasibmu. Sekalipun kau sanggup menderita, tetapi aku
sebagai taci tak dapat melihat kau tersiksa!”Ki Seng-wan jengah dan menundukkan kepala.
“Eh, apa saja? Bilanglah, nanti dapat kuputuskan!” desak Pok Thiat-beng.
“Tentang diri adik Seng-wan itu. Pada suatu hari ketika lewat di lembah Hong-lim-koh, kami melihat sesosok....... ” ia
berhenti sejenak, melirik ke arah Thian-leng, katanya pula, “ dikata mayat, tapi sebenarnya masih hidup. Hanya
orang itu sudah sehari semalam menggeletak di muka lembah. Kaki tangannya kaku, napasnya hampir habis. Paling
banyak dia hanya dapat hidup sejam dua jam lagi.....”
Thian-leng terbeliak. Teringat ia akan peristiwa dahulu itu.
“Orang itu ternyata menderita pukulan dahsyat dari Cong-hou-hwat Sin-bu-kiong yang brnama Ni Jin-hiong. Organ
dalamnya goncang, darah bergolak, napas hampir putus. Benar keadaannya menyedihkan sekali!” kata Ki Gwat-wan
pula. Tiba-tiba ia menuding pada Thian-leng, “Orang itu adalah dia!”
“Jadi …… kalian berdua yang menolong aku?” Thian-leng tersekat-sekat. Memang pada saat itu ketika tersadar ia
mendapatkan dirinya berada dalam biara rusak. Karena tubuhnya tertutuk, ia tak tahu kalau dihantam Ni Jin-hiong.
“Aku sih tak punya hati sebaik itu. Jika menurut kehendakku mungkin saat ini kau sudah menjadi tumpukan
tulang..... ” Gwat-wan tertawa dingin.
“Lalu siapakah yang menolongku?” Thian-leng heran.
“Adikku..... ” sahut Gwat-wan dengan nada berat, “dengan ilmu Hian-im-kiu-coan adikku telah mengorbankan
kesuciannya hingga dapat menolong jiwamu!”
Thian-leng mendengus. Wajahnya pucat, serentak ia hampir pingsan.
“Hian-im-kiu-coan……?” Pok Thiat-beng mengerutkan kening.
“Apakah gi-hu tahu cara pertolongan dengan ilmu Hian-im-kiu-coan itu?” tanya Ki Gwat-wan.
Pok Thiat-beng mengangguk, “Sudah tentu…..aku tahu!”
“Adik Seng-wan telah menolong jiwanya, untuk itu ia tak berkeberatan menyerahkan kehormatannya. Bagaimanakah
baiknya, harap gi-hu suka memberikan pertimbangan,” kata Gwat-wan pula.
Ki Seng-wan meringkuk di ujung dinding. Wajahnya merah sekali. Sedang Ang-ko melongo, sebentar memandang ke
sana, sebentar melihat ke sini. Ia tak tahu apa itu Hian-im-kiu-coan.
Thian-leng seperti dipalu kepalanya. Matanya berkunang-kunang, dadanya serasa sesak, napas sukar dihembus.
Benar-benar ia tak percaya apa yang diceritakan nona itu. Lu Bu-song dan Cu Siau-bun, sudah membuatnya pusing.
Sekarang tampil lagi seorang Ki Seng-wan, amboi……
Ki Seng-wan masih tetap berlutut dan Pok Thiat-beng terdiam. Ruangan hening lelap.
“Gwat-wan …. bangunlah!” beberapa saat kemudian Pok Thiat-beng berseru.
“Sebelum gi-hu memberi keputusan, aku takkan bangkit,” sahut Gwan-wan.
Pok Thiat-beng mengerang, “Ah..kau…menyiksa aku……..” ia tak dapat melanjutkan kata-katanya, karena pikirannya
benar-benar limbung.
“Cici, hidangan sudah dingin, engkoh akan kuberi makan!” tiba-tiba Ang-ko melengking.
“Tak usah, mungkin dia tak bernapsu makan malam ini. Mari kita ke ruang belakang!” sahut Ki Gwat-wan. Ia terus
ajak dara itu menuju keluar.
Tak berapa lama, ruangan itu menjadi sunyi.
ooo000ooo
Waktu berjalan laksana anak panah terlepas dari busur. Cepat sekali tahun barupun sudah tiba.Sejak partai Thiat-hiat-bun, Sin-bu-kiong dan Hek gak berhadapan di gunung Thay-heng-san tanpa hasil apa-apa,
dunia persilatan aman tenang.
Pembunuhan yang dilakukan oleh tokoh misterius yang selalu meninggalkan tanda panji tengkorak darah pun sudah
dua bulan lebih tak mengganas lagi.
Tetapi benarkah begitu? Tidak, tidak! Ketenangan itu hanyalah suatu persiapan dari banjir darah yang akan melanda
dunia persilatan!
Sebenarnya kaum persilatan sedang membayang-bayangkan suatu malapetaka besar. Cemas mereka
membayangkan, sekali peristiwa itu meletus, maka dunia persilatan akan dilanda oleh gempa hebat yang mungkin
akan merobah wajah dunia persilatan seluruhnya.
Ah, benarlah. Bayang-bayang itu akhirnya menjadi kenyataan……
Rencana dari ke sembilan partai persilatan, untuk menantang Hun-tiong Sin-mo bertempur di puncak gunung Bu-san
telah dibatalkan. Tetapi sebagai gantinya, mereka telah menerima undangan dari ketua partai Thiat-hiat-bun untuk
menghadiri rapat-besar kaum gagah di gunung Tiam-jong-san. Undangan itu tersebar luas. Bukan hanya terbatas
pada ke sembilan partai persialtan saja, bahkan kelompok perguruan yang ternama dan berpengaruh di setiap daerah
sama mendapat undangan.
Rapat pertemuan orang gagah itu akan diselenggarakan di markas partai Tiam-jong-pay pada bulan satu tanggal lima
belas. Disebut perjamuan, tetapi tak ada acara hidangannya. Baru pertama kali itu dalam sejarah dunia persilatan
menerima undangan yang seaneh itu. Dan perhatian kaum persilatan segera tertumpah pada markas Hun-tiong-hu!
Apakah tokoh Hun-tiong Sin-mo yang menjagoi dunia persilatan selama enam puluh tahun itu juga menerima
undangan? Dan kalau menerima apakah dia akan menghadiri?
Pecah berita yang menambah keseraman suasana. Yakni ada orang yang menyaksikan sendiri pihak Hun-tiong-hu
telah menyebar anak buahnya berbondong-bondong menuju ke gunung Tiam-jong-san. Rombongan anak buah Hun-
tiong-hu itu mengenakan pakaian aneh dari berbagai corak.
Inilah yang menimbulkan berbagai tafsiran. Kalau Hun-tiong Sin-mo benar-benar mau menghadiri pertemuan di Tiam-
jong-san itu, mengapa tak datang saja dengan terang-terangan, tetapi mengirim anak buahnya secara rahasia….
Berita yang lebih mengejutkan lagi telah tersiar, bahwa rombongan Hun-tiong-hu itu telah disambut dengan penuh
penghormatan oleh pihak Tiam-jong-pay.
Memang telah diduga semula bahwa antara Hun-tiong-hu, Thiat-hiat-bun dan Tiam-jong-pay mempunyai hubungan
yang erat.
Dunia persilatan hiruk-pikuk dalam topan desas-desus. Tetapi anehnya ke sembilan partai persilatan tampaknya
tenang-tenang saja dan tak mengadakan reaksi apapun.
Setelah Hun-tiong-hu, sasaran kedua yang diperhatikan kaum persilatan ialah Sin-bu-kiong.
Peristiwa Sin-bu Te-kun dihajar oleh Bu-beng-jin di gunung Thay-heng-san telah menjadi buah pembicaraan luas di
kalangan persilatan. Bahwa Bu-beng-jin telah menerima ilmu pelajaran dalam kitab peninggalan It Bi siangjin pun
telah diketahui oleh kaum persilatan.
Dengan adanya peristiwa itu, kaum persilatan menganggap bahwa undangan Thiat-hiat-bun untuk mengadakan
pertemuan orang gagah di gunung Tiam-jong-san itu, bagi Sin-bu-kiong benar-benar suatu tamparan yang hebat!
Apakah Sin-bu-kiong akan menghadiri rapat itu? Ah, kali ini Sin-bu-kiong benar-benar dihadapkan pada persoalan
yang pahit. Kalau tak hadir, tentu dianggap menyerah kalah. Namun kalau hadir, tentu akan menghadapi bahaya
kekalahan yang fatal.
Pihak pengundang ialah Thiat-hiat-bun, sebuah partai persilatan yang kuat dan berpengaruh. Apa lagi dibantu oleh
Hun-tiong Sin-mo, ah, benar-benar ngeri.
Seluruh perhatian dunia persilatan tercurah pada pertemuan besar di Tiam-jong-san.
Walaupun lambat, tetapi akhirnya haripun merayap terus. Akhirnya………….
Bulan satu tanggal lima belas telah tiba.
Hari itu adalah malam widadari ( malam sehari sebelumnya ) dari rapat besar orang gagah di gunung Tiam-jong-san….
Heboh!
Tanggal satu bulan satu.
Gunung Tiam-jong-san ramai sekali. Orang datang berbondong-bondong dari seluruh penjuru. Kesibukan tampak
nyata. Mulai dari markas besar Tiam-jong-pay yang terletak di muka puncak Lok-he-hong sampai turun ke kaki
gunung, telah dihias dengan lampu warna-warni yang gilang-gemilang.
Di muka markas Tiam-jong-pay, juga didirikan bangsal penginapan untuk para tetamu. Tiam-jong-san saat itu benar-
benar tenggelam dalam lautan kesibukan yang luar biasa.
Perjamuan atau pertemuan orang gagah yang diselenggarakan saat itu, bukan saja merupakan lembaran baru dari
sejarah partai Tiam-jong-pay, tapi juga merupakan peristiwa besar yang terjadi di dunia persilatan!
Para tokoh-tokoh gagah dari empat penjuru gunung dan delapan pelosok daerah di seluruh negeri, sama datang
hadir.
Anak buah Tiam-jong-pay bekerja keras dan teratur, sehingga banjir tamu itu dapat diatur rapi.
Yang datang termasuk ke sembilan partai persilatan, kelompok-kelompok perguruan dari tiap-tiap daerah, pemimpin-
pemimpin piau-kiok (pengantar barang), jago-jago ternama sampai pada pendekar-pendekar yang tak begitu
terkenal. Mereka terdiri dari segala lapisan. Kaum paderi, biarawati (nikoh), imam, pengemis, lelaki, perempuan, tua
dan muda.
Telah dituturkan bahwa sekalipun tempat pertemuan diadakan di gunung Tiam-jong-san, tetapi yang menjadi tuan
rumah ialah partai Thiat-hiat-bun yang dipimpin oleh Jenggot perak Lu Liang-ong. Ketua Tiam-jong-pay, yakni Poh-ih
siu-su Li Cu-liong hanya merupakan salah seorang anak buah dari Jenggot perak.
Banyak tafsiran dan dugaan telah dilontarkan. Tetapi sedikit orang yang tahu bagaimana sesungguhnya hubungan
antara ketua Thiat-hiat-bun dengan ketua Tiam-jong-pay itu. Mengapa Li Cu-liong begitu menghormat sekali terhadap
Jenggot perak Lu Liang-ong….
Yang tahu akan rahasia mereka hanyalah sedikit sekali, bahwa Li Cu-liong itu sebenarnya adalah anak angkat dari Lu
Liang-ong.
Partai Thiat-hiat-bun ternyata mengerahkan seluruh anak buahnya. Selain ke empat Su-kiat, ke tiga puluh enam
Thian-kong dan ke tujuh puluh dua Te-sat, masih ada juga ratusan jago-jagonya yang berada di Tiam-jong-san.
Mereka ikut dalam mendirikan perkemahan, menjaga keamanan dan menyambut tamu.
Sekilas pandang, pertemuan itu merupakan suatu perjamuan besar. Suatu pesta ria antara kaum persilatan. Tetapi
sebenarnya pertemuan itu membawa arti yang besar. Merupakan suatu pertemuan yang memastikan. Barangsiapa
yang berhasil merajai pertemuan itu, dialah yang akan dinobatkan sebagai yang dipertuan dalam dunia persilatan!
Untuk menjaga keamanan , selain petugas-petugas yang mengadakan perondaan, dibentuk pula sebuah regu rahasia.
Regu ini mengenakan pakaian serba putih, rambut terurai dan serba menyeramkan.
Gerak-gerik merekapun serba misterius. Sebentar tampak, sebentar lenyap. Mereka tak ditempatkan di suatu tempat
tertentu dan tak diketahui jumlahnya. Tetapi setiap orang merasa bahwa setiap sudut dari daerah Tiam-jong-san,
selalu terdapat bayangan mereka.
Siapakah regu rahasia itu?
Bagi setiap orang persilatan yang hadir dalam pertemuan itu segera mencium bau. Regu rahasia itu bukan lain adalah
jago-jago dari Hun-tiong-hu yang berilmu tinggi.
Apakah Hun-tiong Sin-mo juga hadir?
Adanya regu rahasia dari Hun-tiong-hu itu menyebabkan setiap tamu tak berani sembarangan bergerak kemana-
mana. Mereka takut menghadapi hal-hal yang tak diinginkan.
Perhatian para tamu beraalih pada lain sasarn.
Mengapa sampai detik itu pihak Sin-bu-kiong dan Hek Gak tak tampak muncul?
Soal Sin-bu Te-kun dan Hek Gak telah menjadi bahan pembicaraan para tamu.
Hjek Gak muncul kembali setelah memendam diri selama enam puluh - tujuh puluh tahun.Kembalinya Hek Gak di dunia persilatan itu tentu dengan tujuan besar, dan tujuan besar itu jelas ditunjukkan pada
hiasan pagar tembok markasnya.
Di sekeliling pagar tembok markas Hek Gak, penuh digantung patung-patung tokoh persilatan yang ternama. Tokoh-
tokoh itulah yang hendak dilenyapkan. Dan sekali muncul, ketua Hek Gak tentu sudah mempersenjatai diri dengan
ilmu kepandaian yang sakti.
Antara lain misalnya, cukup dengan mengandalkan tenaga dari Ang-tim-gong-khek Bok Sam-pi yang menjabat
sebagai Cong-hou-hwat Hek Gak saja, cukuplah sudah menundukkan jago-jago persilatan yang manapun juga.
Munculnya Hek Gak benar-benar merupakan ancaman besar di dunia persilatan.!
Sementara mengenai diri Sin-bu Te-kun, dia sebenarnya adalah Song-bun Kui-mo, salah seorang dari kui-mo yang
pernah menggetarkan dunia persilatan. Di samping Hek Gak, Sin-bu-kiong pun merupakan momok yang menyita
perhatian besar.
Membicarakan Hek Gak dan Sin-bu Te-kun, orang tak dapat lepas dari membicarakan Hun-tiong Sin-mo. Selama lebih
dari enam puluh tahun lamanya, setiap bulan sembilan tanggal lima belas, markas Hun-tiong-hu selalu menerima
kedatangan jago-jago yang hendak menantang bertempur. Selama enam puluh tahun, entah sudah berapa banyak
jago-jago yang harus menderita kekalahan pahit. Mereka yang berani datang, tentu tak pernah pulang lagi!
Selama enam puluh tahun, Hun-tiong Sin-mo telah menjagoi dunia persilatan. Beberapa bulan yang lalu, di dunia
persilatan telah timbul kehebohan. Di sana-sini timbul pembunuhan dan pembunuhnya meninggalkan Panji tengkorak
darah.
Rakyat dan dunia persilatan gentar. Mereka membenci Hun-tiong Sin-mo yang diduga tentu melakukan keganasan
itu.
Adalah karena pernah dikalahkan Hun-tiong Sin-mo, maka Hek Gak segera bertapa selama enam puluh tahun. Dia
hendak menuntut balas atas kekalahannya dari Hun-tiong Sin-mo yang telah membuat cacat tubuhnya.
Pihak Sin-bu-kiong selalu menjaga perdamaian dengan kaum persilatan. Beberapa bulan yang lalu, mereka telah
menerima undangan dari pihak Siu-lim-pay untuk bersama-sama mengeroyok Hun-tiong Sin-mo.
Sekalipun akhirnya rencana itu batal karena adanya undangan rapat orang gagah oleh Thiat-hiat-bun ini, namun
takkan berobah sifatnya. Dalam pertemuan maut kali ini, tentu akan terjadi pertempuran maut yang menentukan.
Ditinjau dari perkembangan selama ini, posisi Hun-tiong Sin-mo tidak menguntungkan. Ke sembilan partai besar, Sin-
bu-kiong dan Hek Gak memusuhinya.
(bersambung ke jilid 23)
Jilid 23 .
Tetapi di luar dugaan, kini muncul Thiat-hiat-bun. Partai dari luar Tiong-goan ini muncul di wilayah Tiong-goan dan
rupanya bersekutu dengan Hun-tiong Sin-mo. Orang sama menduga, bahwa pihak Hun-tiong-hu tentu sudah berada
lebih dulu di Tiam-jong-san. Tidak menampilkan muka kepada para tamu, mungkin telah direncanakan oleh hun-tiong
Sin-mo dan thiat-hiat-bun. Sekaligus mereka hendak menjaring seluruh tokoh-tokoh silat untuk dilenyapkan.
Apabila sampai pada kesimpulan itu, mau tak mau bergidiklah bulu roma sekalian tamau. Dan yang lebih
mencemaskan hati mereka, mengapa sampai detik ini Sin-bu Te-kun dan ketua Hek Gak tak muncul! Takutkah kedua
tokoh itu?
Menurut perhitungan, tanpa hadirnya ketua Sin-bu-kiong dan Hek Gak, pasti akan merupakan kehilangan yang besar.
Sekalipun seluruh tokoh-tokoh silat yang hadir di tiam-jong-san itu bersatu padu menghadapi tantangan tuan rumah
dan Hun-tiong Sin-mo, namun mereka tetap seperti telor beradu dengan tanduk. Pasti mereka akan dihancur -
leburkan oleh momok Hun-tiong Sin-mo. Bayang-bayang dunia persilatan bakal dikuasai oleh momok Hun-tiong Sin-
mo makin jelas.
Ada lagi sebuah hal yang lebih merontokkan nyali sekalian tamu. Ialah tentang pemuda Bu-beng-jin yang konon telah
mendapat ajaran kitab pusaka It Bi siang-jin. Pemuda itu memang sakti sekali. Pernah bertempur belum selesai
dengan Sin-bu Te-kun dan bertempur seri dengan sama-sama terluka melawan Bok Sam-pi. Kemanakah beradanya
pemuda itu sekarang? Apakah ia sudah mati atau masih hidup?
Demikianlah hal-hal yang menjadi pokok pembicaraan penting di kalangan para tamu. Kebanyakan mereka itu tak
tahu jelas bagaimana keadaan pertempuran di gunung Thay-heng-san yang lalu. Karena mereka membenci Hun-tiong
Sin-mo, maka simpati merekapun tertuju pada Hek Gak dan Sin-bu-kiong. Karena Bu-beng-jin dianggap bermusuhandengan Sin-bu Te-kun dan Hek Gak, maka sekalian tamu mengharap agar pemuda itu sudah mati dan jangan muncul
lagi di dunia persilatan.
Pemuda itu pernah membunuh orang-orang dari ke sembilan partai persilatan dan ke sembilan partai persilatan
menganggap pemuda itu sebagai anak buah Hun-tiong Sin-mo, sehingga dipukul dan dilempar ke dalam sungai. Jelas
pemuda itu tentu mendendam. Jika ia muncul lagi di Tiam-jong-san, hebatlah akibatnya bagi kesembilan partai
persilatan.
Ramai dan sibuk sekali para tamu memperbincangkan kemungkinan-kemungkina yang bakal mereka hadapi besok
pagi. Tetapi pada keseluruhannya, mereka lebih banyak bergelisah dari pada besar hati.
Sampai jauh malam masih terdengar orang bercakap-cakap memperbincangkan hal itu.....
ooo000ooo
Pembukaan
Di bawah naungan kabut rahasia yang penuh teka-teki, tibalah hari pembukaan rapat orang gagah di gunung Tiam-
jong-san. Rapat yang sangat dinanti-nantikan dengan penuh perhatian oleh seluruh kaum persilatan.
Jelas sudah bahwa maksud ketua Thiat-hiat-bun menyelenggarakan rapat itu bukan untuk menjamu dalam rangka
perkenalannya dengan kaum persilatan daerah Tiong-goan. Apakah maksud ketua Thiat-hiat-bun di balik
undangannya itu, belum diketahui jelas!
Di muka halaman markas Tiam-jong-pay, telah dibuat sebuah lapangan seluas berpuluh-puluh bau. Tanahnya dibuat
rata sekali dan licin hingga tepat dijadikan gelanggang adu kepandaian.
Gunung Tiam-jong-san seolah-olah bermandikan cahaya lampu warna-warni. Beberapa pos penjagaan didirikan,
petugas-petugas yang melakukan ronda keamananpun dilipat-gandakan jumlahnya.
Di balik kesibukan dan ketegangan suasana yang meliputi medan perjamuan, di dalam sebuah kamar rahasia dalam
markas Tiam-jong-pay, sedang berlangsung perundingan rahasia juga.
Limapuluh jago-jago Hun-tiong-hu golongan Pek-ih-tiang-hwat ( orang tua jenggot putih berbaju putih). Jangan harap
orang dapat mendekati kamar rahasia itu.
Siapakah yang sedang mengadakan perundingan rahasia di situ? Di dalam kamar rahasia terdapat beberapa kursi.
Yang duduk di kursi kehormatan ialah si Jenggot Perak Lu Liang-ong, kemudian Li Cu-liong ketua Tiam-jong-pay.
Duduk di sebelah Jenggot perak, seorang wanita pertengahan umur, yakni puteri semata wayang dari Jenggot Perak
atau isteri yang ditelantarkan oleh pedang bebas pok Thiat-beng, ialah Cu Giok-bun...
Momok hun-tiong Sin-mo yang menggetarkan dunia persilatan itu tak lain tak bukan ialah Cu Giok-bun sendiri.
Mengapa Giok-bun memakai she Cu dan mengapa ia menjadi Hun-tiong Sin-mo, memang tak diketahui jelas.
Duduk di samping Cu Giok-bun adalah puterinya, yakni Cu Siau-bun. Selain keempat orang itu tampak juga seorang
pengemis tua. Bahwa seorang pengemis tua mendapat kehormatan diajak berunding oleh tokoh-tokoh seperti Hun-
tiong Sin-mo dan Jenggot perak, tentulah bukan sembarangan pengemis. Dan memang demikianlah halnya. Pengemis
tua itu ialah Thiat-ik Sin-kay atau Pengemis sakti sayap besi, cousu (guru besar) angkatan yang terdahulu dari partai
pengemis.
Kiranya sewaktu Thian-leng memerintahkan Lau Gik-siu supaya menjaga di luar lembah Pak-bong-kiap dahulu, Thiat-
ik Sin-kay tiba-tiba muncul. Dalam kedudukannya sebagai seorang cousu, ia menyuruh Lau Gik-siu mengajak
rombongannya pulang ke markas Kay-pang. Sementara ia sendiri menuju ke Tiam-jong-san.
Perundingan dalam kamar rahasia itu berlangsung dalam suasana yang sepi. Rupanya mereka tengah menghadapi
masalah berat. Beberapa saat kemudian tiba-tiba Li Cu-liong membuka mulut, “Dari regu penyelidik yang pulang
melapor, pihak Sin-bu-kiong dan Hek Gak tak memperlihatkan gerakan apa-apa. Kemungkinan besar mereka tak
menghadiri rapat ini!”
Jenggot perak menghela napas perlahan, “ Pintar juga tindakan mereka itu, tetapi..... ia tertawa datar, “mungkin
perhitunganmu itu meleset!”
Merahlah wajah Li Cu-liong.“Menurut pendapatku, bukan saja mereka akan datang, juga kedatangan mereka itu tentu dengan tujuan jahat.
Mungkin........” tiba-tiba Cu Siau-bun menyeletuk, tetapi belum sempat ia menyelesaikan ucapannya, ibunya sudah
memutuskan , “Eh, apakah kau berhak bicara di sini?”
Siau-bun bungkam.
“Giok-bun, mengapa kau begitu keras terhadap anak!” Jenggot perak tertawa. kemudian dengan pandangan ramah ia
menatap Siau-bun, ujarnya, “Sebenarnya dugaanmu itu tadi benar. Mereka pasti datang dengan berbekal rencana
jahat. Tetapi, ..eh, mengapa kau
dapat menduga begitu?”
Siau-bun hendak menyahut, tetapi didahului Lu Bu-song, “Itu mudah saja! Kalau tidak masakah kakek tegang sekali
sehingga memerintahkan supaya Tiam-jong-san dijaga seketat ini?”
Kembali Jenggot perak tertawa keras, “Benar, benar jugalah. kalian memang anak perempuan keranjingan.......”
ketika memandang Cu Siau-bun, tiba-tiba Jenggot perak berhenti bicara. Teringatlah ia akan kata-kata Siau-bun
ketika berada di gunung Thay-heng-san tempo hari. Ia telah meluluskan untuk menjodohkan Bu-song dengan Bu-
beng-jin. Siapa tahu ternyata sebelumnya Bu-beng-jin telah mengadakan hubungan luar biasa dengan Siau-bun.
Jenggot perak pedih hatinya atas tindakan Bu-beng-jin yang beriman tipis itu. Bagaimana nanti dengan Lu Bu-song.
Sebaliknya karena dipuji sang kakek, Bu-song girang hatinya. Dengan membusungkan dada ia memandang Siau-bun
beberapa saat. Siau-bun pun balas memandang adik misannya itu.
Karena tak tahu apa yang sedang dipikirkan Jenggot perak saat itu, begitu tampak wajah orang tua itu muram, diam-
diam Li Cu-liong terkejut. Sejak kecil ia dipungut anak oleh jenggot perak, maka tahulah ia bagaimana perangai ayah
angkatnya itu.
Menghadapi persoalan yang bagaimanapun beratnya, selalu Jenggot perak itu tak acuh. Tetapi kalau saat itu tampak
begitu gelisah, terang masalahnya genting sekali.
“Sin-bu-kiong dan Hek Gak sudah menderita kekalahan di gunung Thay-heng-san. Kegarangan mereka pun tentu
sudah merosot. Maksud gi-hu menyelenggarakan rapat orang gagah ini, selain untuk berkenalan dengan kaum
persilatan Tiong-goan, juga hendak membantu mereka melenyapkan kedua momok jahat itu.
Dalam hal ini mungkin pihak Sin-bu-kiong dan Hek Gak sudah mencium itu, maka kemungkinan besar mereka tentu
tak datang.....”
“Mereka datang atau tidak, aku tak peduli. begitu perjamuan ini selesai, aku segera mengajak Bu-song pulang ke
Ling-lam lagi....” ia menghela napas, “Dunia persilatan Tiong-goan bakal menjadi bagaimana, aku tak sudi mengurus
lagi!” Kata-kata terakhir itu diucapkan dengan nada rawan.
Li Cu-liong melongo. Ia tak tahu apa yang dimaksud dalam ucapan ayah angkatnya itu. Suasana kamar rahasia itu
diliputi oleh kerawanan.
“Kek,....... apa katamu?” teriak Bu-song.
Beberapa bulan yang lalu karena marah-marah, ia berpisah dengan Thian-leng. Tetapi hatinya selalu terkenang pada
anak muda itu. Diam-diam ia menyesal atas tingkah lakunya sendiri. Karena tak tahu kemana perginya Thian-leng,
terpaksa ia menggabungkan diri dengan kakeknya lagi. Jenggot perak menghibur cucunya dan memeberi jaminan,
bahwa Thian-leng pasti akan berkumpul lagi dengan dara itu. Karena mendapat jaminan, barulah dara itu mau ikut ke
Tiam-jong-san. Tetapi dalam perjalanan, Jenggot perak telah mengetahui hubungan antara Thian-leng dengan Cu
Siau-bun. Sikap Jenggot perak serentak berobah seratus delapan puluh derajat. Hanya saja ia mendapat kesulitan
untuk menceritakan hal itu kepada Bu-song.
“Apakah kata-kataku tadi belum jelas?” Jenggot perak menyeringai kepada Bu-song.
Bu-song terkejut. Selama ini belum pernah kakeknya bersikap begitu kepadanya.
“Kek, kuminta kau mengatakan lagi!” serunya.
“Besok lusa, kita pulang ke Ling-lam dan takkan datang ke Tiong-goan lagi selama-lamanya!” kata Jenggot perak
dengan suara berat.
“Mengapa ..?” wajah Bu-song berobah seketika.“Tidak apa-apa,” kata Jenggot perak dengan suara tetap, “kudapatkan dunia ini kotor palsu, hati manusia banyak
yang culas. Aku tak mau keluar ke dunia ramai lagi selama-lamanya!”
“Eh, kek, mengapa hari ini? ” serentak Bu-song bangkit dengan kaget, “apakah yang terjadi? Apakah ... ” cepat sekali
dara itu mereka dugaan, jangan-jangan Bu-beng-jin mendapat bahaya. Bukankah tempo hari kakeknya itu pernah
mengatakan bahwa pemuda itu lenyap di gunung Thay-heng-san?
Jenggot perak menghela napas pula, ujarnya, “Nak, jangan mendesak pertanyaan. Aku mau pulang ke Ling-lam
adalah demi kebaikanmu!”
Bu-song makin bingung. Segera ia menubruk kapada kakeknya dan merajuk,“Kek, kau harus mengatakan yang
sebenarnya. Apakah dia....., bagaimana?”
Siau-bun mengulum lidah dan tertawa dingin, “Eh, Adik Song, siapakah yang kaumaksudkan ‘dia’ itu?”
Tetapi Bu-song tak menghiraukan, ia tetap menggelendoti bahu kakeknya. “Bilanglah kek, bagaimana dia?”
Sejenak Jenggot perak melirik kepada Siau-bun, ingin berkata tetapi tak jadi.
“Kek, aku bukannya anak kecil yang tak tahan menderita siksaan batin. Bilanglah, apakah dia mati?” kembali Bu-song
mendesak dengan garang.
Dengan gerakan yang perlahan, Jenggot perak menganggukkan kepala, “Benar, dia....mati!”
Air mata yang sudah mengembang di pelupuk mata Bu-song segera melanda keluar laksana banjir meluap.
Melihat itu hati Siau-bun pilu. Ia menundukkan kepala. Kedukaan kakek dan cucunya itu benar-benar menyayat
sanubari.
Tiba-tiba Bu-song mengusap air matanya dan berkata dengan suara gagah. “Lebih baik mati, dia….. memang
seharusnya dulu-dulu sudah mati!”
Kata-kata dara itu mengejutkan sekalian orang. Jenggot perak mengelus-elus bahu Bu-song dan berkata dengan
lemah, “Nak, kau…..”
“Aku benci padanya. Sebenarnya akan kubunuh , syukur kalau dia sudah mati!” Bu-song tertawa.
“Benarkah itu?” Jenggot perak terbelalak.
“Mengapa tidak ? Setelah rapat besok pagi selesai, kita segera pulang saja!”
“Bagus, besok lusa kita tentu pulang!”
“Tetapi… siapakah yang membunuhnya?” tiba-tiba Bu-song bertanya.
“Kau toh sudah benci, buat apa menanyakan?” sahut Jenggot perak yang sebenarnya tak tahu bagaimana keadaan
Bu-beng-jin .
“Ah, aku hanya ingin tahu saja. Siapa tahu aku akan berterima kasih padanya.”
Terpaksa Jenggot perak memberitahukan, “Bok Sam-pi, tetapi dia sendiripun terluka parah!”
“Apakah besok pagi dia datang,” Bu-song tertawa.
Jenggot perak terkejut melihat sikap cucunya yang tak wajar. Ia tertawa getir. “Bok Sam-pi menjabat Cong-hou-hwat
dari Hek Gak. Jika pihak Hek Gak berani datang, sudah tentu diapun ikut serta!”
Bu-song mengangguk, “Baik, akupun hanya ingin tahu begitu saja. Sekarang silakan membicarakan hal-hal lain yang
penting.” Ia kembali duduk di tempatnya semula. Wajahnya menyungging senyum yang aneh.
Beberapa kali sebenarnya Cu Siau-bun hendak membuka mulut, tapi tak jadi. Sedangkan Thian-ik Sin-kay pun hanya
terlongong-longong saja mengawasi Jenggot Perak.Tiba-tiba terdengar pintu kamar diketuk perlahan tiga kali…..
“Masuk!” seru Jenggot perak.
Li Cu-liong segera bangkit dan membukakan pintu. Seorang anggota rombongan Pek-ih-tiang-hwat (jago-jago Hun-
tiong-hu yang berjenggot dan berbaju putih) memberi hormat di ambang pintu.
“Seorang murid Kay-pang mohon menghadap!” serunya. Jenggot perakpun menyuruhnya membawa masuk.
Seorang pengemis melangkah masuk dan setelah memberi hormat kepadanya serta Jenggot perak, lalu berlutut di
hadapan Thiat-ik Sin-kay. “Murid Nyo Bu-hiong kepala cabang Liang-ci, mohon menghadap cousu!”
“Lekas katakan berita yang kau bawa kepada Lu lo-cianpwe!” perintah Thia-ik Sin-kay.
Nyo Bu-hiong mengiyakan, lalu menghadapi Jenggot perak, ujarnya, “Kami mendapat berita dari anggota kami yang
sedang bertugas… ”
“Katakanlah terus!” seru Jenggot perak
“Pihak Sin-bu-kiong dan Hek Gak telah mulai mengunjukkan tanda-tanda bergerak. Tetapi yang keluar hanya
beberapa orang saja…..”
“Ah, dugaanku tak meleset!” Jenggot perak menepuk perlahan-lahan, “mereka akan bergerak secara bergelombang.
Apakah mereka itu terdiri dari orang-orang Sin-bu-kiong atau Hek gak semua?”
“Benar, Sin-bu-kiong dan Hek Gak mengeluarkan beberapa jago-jago desa yang sudah lama tak muncul,” sahut Nyo
Bu-hiong.
“Apakah mengetahui siapa mereka itu?”
Nyo Bu-hiong menyahut agak gugup, “ Ini….maaf, tecu kurang cermat, sehingga tak menyelidiki asal-usul mereka.
Hanya salah satu dikenal sebagai Cian-bin cuncia….”
“Cukup!” tiba-tiba Jenggot perak bangkit lalu mondar-mandir di dalam kamar rahasia. Rupanya persoalan memang
genting sekali.
Kecuali Thiat-ik Sin-kay, sekalian orang yang berada dalam kamar rahasia itu sama tercengang. Cian-bin cun-cia atau
paderi seribu wajah, memang asing bagi mereka. Namun dari reaksi Jenggot perak, jelas bahwa Cian-bin cuncia itu
tentu bukan tokoh sembarangan.
Sampai beberapa lama kemudian barulah jenggot perak menyuruh Nyo Bu-hiong keluar.
“Anak tak kenal siapa Cian-bin cuncia itu Gihu… ” baru Li Cu-liong bertanya begitu Jenggot perak sudah menukas.
“Gelar Cian-bin cuncia itu diperoleh karena orang itu benar-benar dapat berobah dalam seribu macam wajah.
Sebentar menyaru jadi pengemis, sebentar imam tua. Jadi pendek kata menyaru jadi orang apa saja dia bisa. Ilmu
kepandaian itu benar-benar menyesatkan orang..... ”
“Ah, kalau begitu pertempuran besok pagi sudah tentu akan membuat Lu lohiap sibuk sekali,” seru Thiat-ik Sin-kay.
“Tetapi telah kukatakan tadi, begitu rapat besok pagi itu selesai, aku segera kembali ke Ling-lam. Tetapi menilik
gelagatnya, Sin-bu-kiong telah berhasil menarik manusia belut itu dalam pihaknya. Siapa tahu rencanaku pulang akan
mengalami kegagalan, karen atulang-tulangku yang bangkotan ini bakal terkubur di sini!”
Thiat-ik Sin-kay tertawa, “Ah, ucapan Lu lohiap itu terlalu meremehkan diri sendiri. Jangankan Cian-bin cuncia belum
tentu berani menghadapi engkau secara terang-terangan, sekalipun berani tetap takkan menang. Kekuatiran Lu
lohiap tak beralasan....,” ia berhenti sejenak lalu melanjutkan pula, “Sekalipun aku si pengemis tak berguna ini, juga
belum tentu begitu mudah menyerah!”
“Tetapi yang aku kuatirkan bukan Cian-bin cuncia itu melainkan mengenai hidup matinya seseorang. Ketahuilah,
kalau Sin-bu-kiong berhasil menarik Cian-bin cuncia, mungkin Lam-yau (siluman selatan), Pak-koay (orang aneh
utara) Bu Te suseng dan lainnya telah dapat dikuasai Sin-bu-kiong. Jika kawanan pentolan itu bersatu, tentu sukar
ditundukkan. Dalam pertempuran besok pagi, tentu akan timbul pertumpahan darah yang hebat....”Thiat-ik Sin-kay pun tegang wajahnya. Apa yang menjadi kekuatiran Jengot perak , memang bukan mustahil.
Kawanan Cian-bin cuncia itu merupakan momok-momok termashyur di dunia persilatan. Munculnya mereka tentu
akan mempergenting suasana rapat besok pagi.!
Siau-bun diam saja. Wajahnya mengerut, hatinya bergolak. Demikian juga Bu-song. Kedua gadis ini sama gelisah
memikirkan Bu-beng-jin.
Tiba-tiba kesunyian dipecahkan oleh suara jenggot perak yang bertanya kepada Li Cu-liong, “Apakah tamu-tamu yang
hadir itu telah diketahui asal-usulnya?”
Li Cu-liong tersentak kaget. Serentak ia bangkit, “Setiap tamu tentu membawa undangan. Kebanyakan pemimpin-
pemimpin partai persilatan yang terkenal. Sampai sebegitu jauh belum terdapat orang yang mencurigakan....”
“Apakah kau sudah memeriksa sendiri?”
“Ah, ini.....”
“Bagaimana?” desak Jenggot perak.
“Karena banyak pekerjaan, anak sampai tak melakukan hal itu,” wajah Li Cu-liong berobah pucat.
Jenggot perak menghela napas. “Kelalaian sedetik dapat menyebabkan mala petaka seumur hidup.... tetapi tak dapat
kusalahkan engkau. Akulah yang lalai..”
“Anak segera akan melakukan pemeriksaan, entah.....”
“Kini para tamu sudah hadir, masakah engkau hendak memeriksanya satu persatu?” tukas Jenggot perak.
“Tidak!” Thiat-ik Sin-kay menyeletuk, “hal ini dapat dianggap menghina kaum persilatan....”
Li Cu-liong bungkam. Memang memreiksa tamu satu persatu, tidak dapat dibenarkan.
Akhirnya Cu Giok-bun menghela napas. Katanya kepada Jengot perak, “Kalau begitu biarlah li-ji (anak perempuan)
saja yang melakukan tugas itu!”
Jenggot perak tertawa mengangguk. “Kalau kau yang bertindak itulah bagus. Tetapi ayahmu mempunyai rencana
yang lebih bagus!”
“Apakah itu, kek?”Cu Siau-bun menyeletuk.
“Sebaiknya kita pergi beramai-ramai agar mudah menghadapi sesuatu!” sahut Jenggot perak.
Cu Giok-bun mngerutkan kening, “Apakah memang berat sekali?”
Jenggot perak mengelengkan kepala, “Mungkin kecurigaanku berlebihan. tetapi tiada jeleknya kita berhati-hati!” Ia
bangkit dan menyuruh Li Cu-liong segera membukakan pintu.
Demi melihat pemimpin mereka keluar, rombongan Thiat-ik Sin-kay serentak mengundurkan diri bersembunyi dalam
kegelapan malam.
Li Cu-liong menjadi penunjuk jalan. Mereka menuju ke lapangan di luar markas. Walaupun malam gelap tiada
bintang, tetapi karena empat penjuru dihias lentera warna-warni, lapangan terang-benderang seperti siang hari.
Dengan ilmu Memandang langit mendengar bumi, dapatlah Jenggot perak mengetahui persiapan-persiapan yang telah
dilakukan oleh anak buahnya. Anak buah Thiat-hiat-bun, Tiam-jong-pay dan jago-jago Hun-tiong-hu mengadakan
penjagaan dengan ketat. Bangsal penginapan untuk para tamu telah dijaga rapat. Diam-diam jago tua itu
mengangguk puas. Dia mengikuti Li Cu-liong menuju ke bangsal penginapan para tamu.
Bangsal penginapan para tamu didirikan tepat di muka markas tiam-jong-pay. Meskipun terbuat dari bambu, tetapi
dibuat indah sekali. Dari pintu bangsal, terbentang sebuah jalan panjang yang masuk ke dalam. Di dalam penuh
dengan ruangan-ruang untuk para tamu. Meskipun belum larut malam, tetapi pintu-pintu kamar sudah tertutup
semua. Keadaan sunyi senyap.Kiranya para tamu mempunyai perhitungan sama. Dalam tempat dan suasana yang sedemikian gawat, lebih baik
mereka jangan gegabah keluar kemana-mana. Kalau tidak tidur, mereka lebih suka menyekap diri bersemedhi
memelihara tenaga.
Kurang lebih setengah jam, rombongan Jenggot perak sudah menjelajahi seluruh kamar-kamar para tamu. Li Cu-liong
berhenti di ujung bangsal dan dengan suara berbisik-bisik menanyakan pada Jenggot perak apakah melihat sesuatu
yang mencurigakan.
“Selain bangsal ini, apakah tak ada tempat untuk menampung para tamu lagi?” Jenggot perak mengerutkan kening.
“Anak hanya menurut semua petunjuk gi-hu. Selain di sini, memang tak ada lain tempat penampungan lagi.”
Jenggot perak tersenyum, lalu berpaling kepada Cu Giok-bun, “Mungkin ayahmu sekarang sudah tua, sehingga tadi
tak mendengar dan melihat sesuatu yang menimbulkan kecurigaan. Tetapi entah bagaimana kesanmu?”
Sahut hun-tiong Sin-mo Cu Giok-bun, “Li-ji pun tak mendapatkan sesuatu hal yang mencurigakan, hanya......” ia
berhenti sejenak, lalu berkata pula, “li-ji telah menemukan sesuatu hal yang agak aneh!”
“Coba katakanlah!”
“Sekarang baru kurang lebih jam sepuluh malam, mengapa tak seorangpun yang keluar? Apakah mereka sudah tidur
semua?”
“Mungkin mereka tak mau terlibat hal-hal yang tak diinginkan, maka lebih baik mengeram diri dalam kamar saja.....”
“Akupun semula mempunyai kesimpulan begitu. Memang kalau lain-lain partai berbuat begitu, dapatlah dimaklumi.
Tetapi lain halnya dengan Siau-lim-pay....” tukas Cu Giok-bun. Tetapi belum ia menyelesaikan pendapatnya, Jenggot
perak sudah balas menukas, “Benar! Siau-lim-pay adalah pemimpin dari ke sembilan parta persilatan. Ketiga cuncia
Siau-lim-pay pernah mengajak sembilan partai dan mengundang Sin-bu-kiong untuk menempurmu di puncak Giok-li-
hong. Seharusnya sekarang ia tak bertindak begini aneh....”
Jenggot perak merenung sejenak, serunya kemudian, “Apakah kecurigaanmu tertumpah pada kamar Siau-lim-pay?”
Belum Cu Giok-bun menyahut, tiba-tiba Cu Siau-bun menyeletuk, “Mungkin tidak!”
Cu Giok-bun memberi isyarat mata kepada puterinya itu, tetapi tak mengatakan apa-apa.
“Cobalah terangkan mengapa tidak?” seru Jenggot perak.
Sambil tersenyum kecil, Cu Siau-bun berkata, “Aku tak mengatakan kamar Siau-lim-pay tak boleh dicurigai,
melainkan mengatakan bahwa kecurigaan itu dapat ditujukan pada semua kamar tamu!” ia berhenti sejenak, lalu
mengedipkan mata. “Kakek seorang cerdik, tentu mengetahui apa sebabnya!”
Senang juga hati Jenggot perak mendapat pujian itu. Dan berbareng itu diapun menyadari. Sambil mengelus-elus
jenggotnya, ia tertawa, “Benar, memang Siau-lim-pay patut dicurigai, tetapi lain-lain partai yang tak keluar dari
kamar itupun juga harus mendapat perhatian kita. Karena kalau tidak, masakah mereka tak mau keluar semua!”
Meliha tSiu-bun mendapat angin, Bu-song resah hatinya. Segera iapun berseru, “Kek, bolehkah aku buka suara?”
Bu-song mencibirkan bibir, serunya, “Dari segala jenis racun yang beredar di dunia persilatan, kabarnya racun Peh-
tok-jong ( kutu beracun) yang paling ganas sendiri. Benarkah itu?”
Jenggot perak terkesiap, tanyanya, “Bukan saja Peh-tok-jong itu merupakan rajanya racun, juga merupakan raja kutu
beracun. Tetapi mengapa kau menanyakan hal itu?”
“Bagaiana keganasan kutu itu?”
“Korbannya segera meleleh menjadi cairan darah. Tak ada obatnya lagi!”
“Siapa yang pertama mendapatkan kutu itu?”“Raja kutu beracun Coh Sing!”
Bu-song menghela napas, “Agaknya kita telah mendapat ancaman hebat!”
Bukan hanya Jenggot perak, juga Cu Siau-bun terheran-heran memandang Bu-song.
“Nak, mengapa kau main goda dengan kakek? Katakanlah lekas!” Akhirnya Jenggot perak berseru.
“Masakah kakek belum tahu?” tanya Bu-song.
Dara itu segera melirikkan matanya ke ujung kamar yang terakhir.
Sekalian orangpun ikut memandang ke sana. Di belakang kamar tamu itu, tampak berserakan selongsong kulit ular,
kaki laba-laba, betis tonggeret dan lain-lain. Sayup-sayup seperti terbaur hawa anyir.
“Kamar tamu itu ditempati oleh partai Ji-tok-kau,” Jenggot perak tertawa hambar, “karena kuatir lain tamu tak puas
dengan adat kebiasaan Ji-tok-kau, maka kuperintahkan supaya rombongan Ji-tok-kau ditempatkan di kamar yang
paling belakang sendiri... apakah hubungannya dengan Peh-tok-jong?”
Bu-song tertawa, “Coh Sing si raja kutu beracun itu mungkin berada di sini!”
“Mustahil!” teriak Jenggot perak, “apakah kau tahu sendiri?”
“Sekalipun Peh-tok-jong itu memerlukan ramuan macam-macam binatang beracun, tetapi yang paling penting adalah
sejenis Lok-bi-ciat ( kalajengking hijau) dan ular Ang-sian-nio ( ular merah). Bukankah kakek pernah menceritakan
hal itu?” kata Bu-song.
“Ya, kakek memang pernah bercerita begitu.... ” Jenggot perak mengerang perlahan.
Sekalian orangpun segera menyadari tentang hal yang mencurigakan itu. Kosongan kulit kutu yang berhamburan di
tanah itu memang layak dicurigai. Yang paling menarik perhatian ialah selongsongan kulit ular berwarna merah dan
seekor kalajengking warna hijau.
Kedua binatang beracun itu merupakan unsur utama dari racun Peh-tok-jong. Partai Ji-tok-kau termashyur dalam
ilmu racun, sudah tentu takkan membawanya kemana-mana!
Jenggot perak merenung, ujarnya, “Nak, kau memang teliti sekali. Kalau tidak, perjamuan besok pagi tentu gagal
berantakan!”
“Bersihkan kotoran ini!” Jenggot perak memberi perintah kepada Li Cu-liong. Ketua Tiam-jong-pay itu mengiyakan
dan segera hendak keluar.
“Nanti dulu, kek!” tiba-tiba Cu Siau-bun berseru.
“Eh, kau mau apa lagi?”
Siau-bun cebikan bibir tertawa, “Aku hendak unjuk ketololan di hadapanmu, tidak secerdik adik Song. Tetapi cobalah
kakek pikirkan. Di dalam perumahan para tamu ini penuh dengan jago-jago ulung yang membawa rombongan anak
buahnya. Bagaimana juga gerak-gerik Coh Seng tentu akan ketahuan. Tetapi ada dua hal yang patut menjadi
perhatian.... ”
“Apakah itu?”tanya Jenggot perak dengan segan.
Siau-bun tertawa, “Pertama, agar kawanan penjaga dapat mempertinggi kewaspadaan. Siapa tahu bakal menghadapi
hal-hal yang genting. Kedua, menjaga jangan samapai menimbulkan kesalah-pahaman partai-partai persilatan...”
“Lalu bagaimnana menurut pendapatmu?” Jenggot perak bertanya.
Siau-bun tertawa pula, “Hanya beberapa anak buah partai Ji-tok-kau dan ditambah seorang Raja kutu beracun Coh
Seng, dapat berbuat apa? Asal kita dapat menjaga jangan sampai mereka sempat menggunakan racun, tentulah
pertemuan besok dapat diselamatkan. Masakah kakek tak mampu menindak mereka?”
“Baik, biarlah aku sendiri yang turun tangan!” kata Jenggot perak seraya loncat ke udara, melayang ke dalam ruang
tamu.Thiat-ik Sin-kay, Li Cu-liong , Cu Giok-bun, Cu Siau-bun dan Bu-song segera mengikuti. Mereka melesat ke tengah
ruang tamu.
Tempat mereka omong-omong tadi tak berapa jauh dari ruang tamu. Bagi tamu yang tinggi ilmu lwekangnya,
tentulah dapat menangkap pembicaraan Jenggot perak tadi. Tetapi ternyata keadaan sepi-sepi saja.
Bahkan setibanya di dalam ruanga tamu, Jenggot perak sudah disambut oleh bau anyir darah. Dan segera jago tua itu
menyaksikan pemandangan yang mengerikan. Di ruang tamu kamar tengah, tampak empat sosok tubuh manusia
tergeletak di lantai.
Ketika dihampiri, kiranya mereka adalah anak buahTiam-jong-pay yang bertugas melayani keperluan para tamu.
Wajah mereka menjadi hitam, jelas terkena racun.
“Biadab sekali.......” Li Cu-liong menggertak gigi, lalu menggunakan ilmu menyusup suara kepada Jenggot perak.
“Anak hendak menuntut balas atas kematian merek!”
Sebelum Jenggot perak membuka mulut, Li Cu-liong sudah menggeliat melesat ke ruangan tengah.
Jenggot perak terkejut sekali. Buru-buru ia memanggil. “Tahan dulu!”
Tetapi seruannya agak terlambat. Li Cu-liong menghantam daun pintu kamar dan menerobos masuk.
Karena kamar-kamar itu terbuat dari bambu, maka sekali hantam dapatlah Li Cu-liong menjebolnya.
Karena dia sendiri yang mengawasi pembuatan bangsal penginapan para tamu, maka pahamlah ia akan keadaan di
situ. Setiap ruang terdiri dari empat buah kamar yang di jajar empat jurusan. Di tengah-tengahnya sebuah ruang
tamu dan dua buah kamar tidur.
Di luar dugaan, kamar-kamar di situ sunyi senyap saja. Dan ketika ia mendorong pintu sebuah kamar, serangkum
asap hitam membaur ke luar. Buru-buru ia menutup pernapasan dan melepaskan sebuah pukulan. Brak.... terdengar
suara benda berhamburan jatuh, tetapi anehnya tak seorangpun manusia yang muncul. Pukulan itu menghembus
asap hitam ke samping.
Li Cu-liong terkejut. Secepat kilat ia mengayunkan tubuhnya mencelat kembali ke tengah ruangan. Ia tahu bahwa
asap itu tentulah asap beracun. Asal menghentikan pernapasan, tentulah takkan kemasukan racun. Tetapi
perhitungannya meleset. Asap beracun itu luar biasa cara kerjanya. Begitu menyentuh tubuh manusia, terus
merembes masuk melalui lubang pori-pori.
Terjangannya melalui taburan asap, cukup membuatnya celaka. Begitu berada di luar, seketika ia merasakan sendi-
sendi tulangnya sakit sekali, dada sesak dan kepala serasa berputar. Bluk.... jatuhlah ia terkapar di lantai.....
Kagt dan marah sekali Jenggot perak, serunya, “Memang racun Peh-tok-jong! Kau.... ”
“Pil Tay-hoan-tan masih tinggal dua butir, untung kubawa!” seru Hun-tiong Sin-mo Cu Giok-bun. Segera Li Cu-liong
diberinya minum sebutir. Ketua Tiam-jong-pay itu muntah-muntah dan tersadar.
Suasana di bangsal penginapan para tamu itu sunyi saja. Seolah-olah tak ada orang yang mendengar apapun yang
terjadi di luar ruangan.
Jenggot perak tertawa datar, “Kalau samapai jatuh di tangan tikus kecil itu, kami ayah dan anak tentu mendapat malu
besar. Bagaimana dengan pertemuan besok pagi?”
“Mengapa ayah masih bersikap seperti dulu, begitu mengindahkan kepada mereka?” kata Cu Giok-bun.
Jenggot perak mengepal-ngepal tinju seraya menggeram, “Kalau sudah ganas biarlah ganas habis-habisan. Coba saja
lihat nanti apakah mereka mampu menerima tinjuku ini!”
Begitu marahnya Jenggot perak saat itu sehingga dari tubuhnya menghambur semacam hawa panas yang mendesis-
desis.
“Nanti dulu kek!” tiba-tiba Cu Siau-bun mencegah kakeknya yang bersiap hendak menghantam.
Jenggot perak mengakui kecerdikan kedua anak perempuan itu. Mendengar Siau-bun mencegahnya, iapun berhenti.
“Apa lagi?”Sahut Siau-bun dengan perlahan. “Gerombolan Ji-tok-kau mahir sekali dalam ilmu racun. Tadi Li ciang-bun telah
terkena racun Peh-tok-jong. Ini menandakan bahwa si raja racun Coh Seng tentu berada di sini. Pukulan kakek luar
biasa hebatnya. Seluruh isi ruang gerombolan Ji-tok-kau tentu hancur binasa. Tetapi tidakkah dengan begitu racun
mereka akan berhamburan kemana-mana. Mereka dapat dibinasakan, tetapi kitapun tentu celaka......”
“Ah, benar! Tetapi...apakah membiarkan saja mereka berbuat sesuka hatinya? Apakah kita rela mengundurkan diri?”
Jenggot perak membantah.
“Tidak, perbuatan merekapun harus mendapat hukuman yang setimpal!” Siau-bun tertawa, “segala jenis racun tak
ada yang dapat melawan api. Pukulan Cek-ih-ciang dari mamahku, mungkin ada gunanya!”
Cu giok-bun mendengus, “Hm, budak, kau berani mempamerkan ibumu!” walaupun mulutnya mengatakan begitu
tetapi ia segera bertindak.
Tangannya diangkat, seketika menghamburlah serangan sinar merah. Tenaga tamparan segera menghambur ke
dalam jendela. Seketika sekeliling tiga tombak terasa panas. Menyusul terdengar bunyi berkeretekan bambu yang
termakan api. Susul menyusul jeritan ngeri dari beberapa orang di dalam kamarpun berhamburan mengaduh.
Ruang yang terbuat dari bambu itu terbakar oleh pukulan Cu Giok-bun. Asap mengepul membawa bau daging gosong.
Selain bau bangkai manusia, juga tercampur dengan bau anyir dari binatang-binatang beracun yang mati terbakar.
Jenggot perak mengerutkan alis, “Meskipun cara ini baik, tetapi bagaimana pertanggungan jawab kita terhadap
sekalian tamu? Bukankah tindakan kita ini akan menjadi buah ejekan dari para tamu besok pagi? Tidakkah mereka
akan mengatakan kita sebagai tuan rumah telah menindas tamu?”
Cu Siau-bun mengerutkan kening, “Kakek terlalu baik. Tetapi bukankah setiap kejahatan harus diberantas habis? Jika
bangsa manusia ganas semacam ini dibiarkan hidup, dunia akan terancam bahaya! Cara kita tadi, rasanya tepat!”
“Kek, aku mempunyai cara untuk menundukkan sekalian tamu besok pagi!” tiba-tiba Bu-song menyeletuk. Ia melirik
Siau-bun.
“Mengapa tak lekas bilang?” dengus Jenggot perak.
Bu-song tertawa mengikik, “Keempat orang Tiam-jong-pay yang menjadi korban itu cukup menjadi bukti. Apabila
besok pagi keempat mayat mereka ditunjukkan dalam pertemuan, tentulah mereka akan mengerti dan memaklumi
tindakan kita!”
Jenggot perak bertepuk tangan, “Benar, tepat sekali....ayo, lekas pindahkan mayat anggota Tiam-jong-pay itu!”
Li Cu-liong yang sudah sembuh segera memerintahkan anggotanya mengangkut keempat mayat itu keluar.
Bangsal penginapan para tamu tetap sunyi-sunyi saja.
Hanya sebuah kamar, yakni tempoat menginap gerombolan partai Ji-tok-kau yang terbakar. Dan sekalian tamu tetap
berdiam diri dalam kamar tak berani menjenguk keluar.
Memang dari dalam kamar Ji-tok-kau telah menghambur keluar bau manusia terbakar, tetapi apakah si Raja racun
Coh Seng juga turut terbakar, masih belum diketahui.
Api makin menjalar besar. Jika tak dipadamkan tentu akan memakan seluruh abngsal.
“Api ini seharusnya .....” baru Siau-bun berseru begitu, Jenggot perak sudah menukasnya, “Api yang menyulut ibumu,
bagaimana kau hendak suruh kakek yang memadamkan?” Sekalipun mulutnya mengatakan begitu, tetapi jago tua itu
segera menampar beberapa kali. Serangkum hawa dingin segera menghambur keluar. Api makin lama makin
menyurut kecil.
Di dalam kejadian itu, sukar diketahui berapa jumlah korban yang terbakar. Tetapi dengan ilmu Melihat langit
mendengar bumi, dapatlah Jenggot perak mengetahui bahwa tak seorangpun yang ada dalam kamar Ji-tok-kau dapat
meloloskan diri.
“Bagaimana sekarang?” tanya Li cu-liong kepada Jenggot perak.
“ Terpaksa kita harus minta ibu melepas pukulan lagi, biar seluruh orang ji-tok-kau mati semua!” Cu Siau-bunmenyeletuk.
“Ah, tetapi tindakan itu agak terlalu ganas,” Jenggot perak mengerutkan dahi.
Bu-song menyeletuk, “Ganas atau tidak ganas, tak usah dibicarakan dulu. Tetapi dalam hal ini memang masih ada
hal-hal yang mencurigakan....” ia berhenti sejenak lalu berkata pula, “Tiga buah kamar yang dihuni rombongan Ji-tok-
kau tentulah bukan terdiri dari orang-orang tuli semua. Apakah mereka begitu saja mau menerima kematian tanpa
memberi perlawanan apa-apa? Apakah tak ada seorangpun yang mempunyai pikiran untuk lolos?”
“Benar-benar, akupun mempunyai pikiran begitu.... ” sambung Jenggot perak, “ruangan penuh orang, tetapi
sedikitpun tak tampak suatu gerakan apa-apa!”
“Kek, bolehkah aku masuk memeriksa salah sebuah kamar mereka?”akhirnya Siau-bun berseru.
Jenggot perak tergopoh-gopoh menolak.
Siau-bun tertawa gelak-gelak, “Kek, kecurigaanmu berlebihan. Meskipun aku nanti terkena racun Peh-tok-jong, tetapi
ibu masih mempunyai pil Tay-hoan-tan yang mukjijat!” Tanpa menunggu ijin kakeknya, gadis itu sudah mencelat
masuk ke dalam sebuah kamar.
“Gadis liar!” bentak Cu Giok-bun yang menyusul puterinya. Jenggot perak sedianya hendak menyusul, tetapi setelah
melihat Cu Giok-bun sudah bertindak, ia membatalkan maksudnya.
“Kek, kemarilah lekas!” tiba-tiba terdengar Siau-bun berseru dari dalam kamar. Ketua Thiat-hiat-bun itu terkejut
bukan kepalang. Sekali loncat ia menerjang ke dalam. Thiat-ik Sin-kay, Bu-song dan Li Cu-liong pun mengikuti.
Apa yang mereka lihat di dalam kamar benar-benar membuat mereka tercengang. Di dalam kamar itu tampak tujuh-
delapan orang Ji-tok-kau. Sekilas pandang mereka seperti orang yang duduk bersemedhi dengan mata merem melek.
tetapi setelah diperhatikan lagi kiranya mereka sudah tak bernyawa lagi.
Seperti telah dikatakan di atas, ketiga ruangan itu khusus ditinggali oleh rombongan Ji-tok-kau. Di luar bangsal dijaga
keras oleh para penjaga, baik yang terang maupun yang meronda secara gelap. Ketatnya penjagaan begitu rupa,
sehingga umpama lalat terbang masukpun tentu diketahui.
Jenggot perak mengerutkan alis. Selama hidup baru sekali itu menyaksikan perbuatan yang sedemikian kejamnya.
“Kek, mereka mati keracunan semua!” kata Bu-song sehabis memeriksa orang-orang itu.
“Kali ini mungkin kau salah raba!” Jenggot perak menggelengkan kepala.
Ternyata korban-korban itu wajahnya seperti biasa, seperti orang yang hanya ditutuk jalan darahnya saja. Baik alis
maupun bibir mereka sedikitpun tak tampak tanda-tanda keracunan.
Thiat-ik Sin-kay dan lain-lain yang banyak pengalamanpun, tak dapat memberi komentar apa-apa. Segala sesuatu
yang mereka hadapi memang sukar diduga....
“Budak, mengapa kau diam saja?” tegur Jenggot perak kepada Siau-bun.
Nona itu menggelengkan kepala, “Adik Song sudah mengatakan tepat. Mereka memang mati keracunan, apa yang
masih harus kukatakan lagi?”
Jenggot perak tercengang, “Mengapa kau juga berpendapat begitu? Kalau memang mati keracunan, mengapa tak ada
tanda-tandanya?”
Siau-bun tertawa, “Kek, apakah kau memang berpura-pura hendak menguji kami! Pertama, mereka telah terlatih dan
kebal terhadap racun. Begitu kena racun, sudah tentu tubuhnya biasa saja. Kedua, jika tidak mati keracunan,
mengapa mereka duduk begitu rapi? Dan ketiga, karena raja racun Coh Seng berada di sini, siapa lagi yang berbuat
begitu kalau bukan dia........ kakek kaya pengalaman, dalam hal-hal sekecil ini, bagaimana aku dapat mengelabuimu?
Benar atau salahkah kata-kataku ini?”
“Kalau dapat menganalisa sedemikian rinci, mungkin ibumu belum tentu menang....” Jenggot perak memuji. Siapa
tahu Bu-song mendengus karena Siau-bun mendapat pujian.“Ayo, kaupun juga ikut menyatakan pendapat!” seru Jenggot perak kepada Cu Giok-bun, “Si Raja racun Coh Seng
diundang partai Ji-tok-kau untuk membantu meracuni jago-jago yang kita undang. Tetapi mengapa mendadak sontak
ia malah meracuni orang-orang Ji-tok-kau sendiri?”
Bu-song tertawa dingin, “Tak usah kakek memuji aku, aku tak secerdas cici Bun...” dara itu agak merajuk, tetapi
pada lain kejap ia menyusuli pula, “Itupun sebenarnya sederhana saja. Tentulah kakek mengetahui bahwa sekalipun
kutu dengan racun itu berbeda, tetapi pada hakekatnya mempunyai kegunaan yang sama. Raja racun Coh Seng
memang hebat dalam menggunakan kutu, tetapi ia tak mampu melawan kepandaian orang Ji-tok-kau dalam
menggunakan racun. Kalau tidak, tentulah dulu-dulu kedua orang itu sudah bersatu. Mengapa Ji-tok-kau tak mau
berdaya menyelidiki penggunaan kutu itu.
Akibatnya undangan Ji-tok-kau kepada Coh Seng itu suatu kesalahan besar. Coh Seng mendapat kesempatan untuk
menghancurkan saingannya.
Rombongan partai Ji-tok-kau yang datang kesini antara lain termasuk ketuanya, yakni Ti Bo dan jago-jago pilihan
mereka. Apabila dapat melenyapkan mereka, mudahlah bagi Coh Seng untuk menguasai Ji-tok-kau dan mengambil
alih partai itu!
Nah, cukup dengan hal-hal yang kusebutkan ini, jelas menunjukkan bahwa kebinasaan orang-orang Ji-tok-kau itu
adalah dilakukan oleh Coh Seng.”
(bersambung ke jilid 24)
Jilid 24 .
Si Wajah Seribu!
Jenggot perak tercengang. Apa yang dikatakan Bu-song memang mungkin. Meskipun ada Thiat-hiat-bun, Hun-tiong
Sin-mo, Tiam-jong-pay dan jago-jago sakti, tetapi tiada pimpinan yang cakap. Jika menderita serangan dari luar,
tentu markas akan kacau balau. Jika sampai terjadi hal itu, bagaimana nanti pertanggungan jawab mereka dalam
pertemuan besok pagi? Bukankah mereka akan kehilangan muka?
Karena gugup, tanpa menunggu perintah Jenggot perak lagi, sekalian orang segera lari serabutan menuju ke markas.
Jenggot perak hendak menyusul, tetapi tiba-tiba terdengar suara mengiang di telinganya, “Ah, sudah terlambat Lu
tua! Kalian kali ini tentu akan hancur lebur! ”
Menyusul kata-kata itu, terdengar ledakan keras diiringi dengan muncratnya nyala api ke udara.
“Celaka, kekalahan kali ini benar-benar hebat.....” Jenggot perak menghela napas. Ia segera mencelat keluar sambil
menamparkan kedua tangannya. Serangkum hawa dingin berhamburan keluar dan apipun mulai reda.
Tetapi ledakan itu rupanya berasal dari bahan peledak. Sekalipun api dapat dipadamkan, tetapi sebagian besar dari
markas telah hancur berantakan.
Jenggot perak menghela napas dalam-dalam dan membanting-banting kaki, “Ah, tak kira aku bakal mengalami
kekalahan di Tiong-goan. Kemana hendak kutaruh mukaku besok di hadapan sekalian orang gagah?”
Sekonyong-konyong terdengar suara tertawa nyaring memecah angkasa. Seorang wanita tua bertubuh pendek gemuk
loncat keluar dari lautan api. Bukan kepalang terkejutnya sekalian orang. Perempuan tua itu dapat berjalan di tengah
api tanpa merasa apa-apa.
“Kek, siapakah dia? Manusia atau setan?” Bu-song berseru kaget.
Jenggot perak sendiripun tertegun. Cepat-cepat ia berpandangan sejenak dengan Thiat-ik Sin-kay, lalu ia balas
tertawa nyaring, serunya, “Ah, saudara lincah benar. Belum sempat aku keluar menyambut, saudara sudah tiba!”
Perempuan tua itu tertawa mengekeh, “Oh, kau kenal juga diriku?”
Jenggot perakpun tertawa, “Sekalipun kenalanku tidak banyak, tetapi terhadap tokoh ternama seperti saudara,
mungkin aku akan kenal.... Kalau tak salah saudara ini tentu Cian-bin Cuncia Auyang teng.... ”
Perempuan tua bertubuh gemuk pendek itu memang Cian-bin cuncia atau rahib wajah seribu Auyang Teng.!
“Ah, matamu ternyata masih awas Lu tua,” Rahib wajah seribu tertawa.
Bu-song dan Siau-bun terkejut mendengar nama rahib tua itu. Juga Li Cu-liong dan Cu Giok-bun pun tak terkecuali.
Baru saja tadi mereka mendapat berita dari para pengintai dan dalam beberapa kejap saja
Rahib seribu wajah sudah muncul. Juga ilmu berjalan di tengah api yang diperagakan tadi benar-benar menakjubkan.
“Maaf, karena satu dan lain hal, aku tak dapat menyambutmu dengan penuh kehormatan,” Jenggot perak tertawa.“Disambut atau tidak, aku tak pusing. Tetapi apakah satu dan lain hal yang kau katakan itu? Katakanlah!” seru si
wajah seribu.
“Kesatu, seorang lelaki jantan mengapa mengenakan pakaian wanita? Orang begitu aku paling muak. Kedua, kalau
toh datang, datanglah dengan terang-terangan, tak perlu main sembunyi-sembunyian macam bangsa perampok yang
membakari rumah rakyat! Terhadap orang begitupun aku paling benci sekali. Ketiga, kabarnya kau sudah
menggabung pada Sin-bu-kiong, rela menjadi anak buah Song-bun Kui-mo. Ah, dalam hal ini aku tak berani campur
tangan…..”
“Cukup! Terhadap orang semacam aku, mengapa kau berani berkata begitu keterlaluan!” marahlah Si wajah seribu
seketika.
Jenggot perak tertawa mengejek, “Sebenarnya gerak-gerikmu banyak sekali yang memalukan, tetapi enggan
kukatakan. Cukup dengan beberapa hal yang kukatakan tadi, cukuplah sudah untuk meremehkanmu. Maka selain tak
memberi penyambutan yang pantas, juga malam ini aku hendak mengadu kekuatan dengan kau, siapa yang nanti
lebih kuat!”
Wajah-seribu tertawa mengekeh, “Baiklah, memang aku selalu bertindak menurut kemauanku sendiri, tak peduli
orang senang atau tidak senang. Jika kau mengehendaki begitu, akupun tak keberatan.!”
Habis berkata begitu ia mencelat sampai tujuh-delapan tombak dan pada lain saat lenyap dari pemandangan.
“Kek, iblis itu memuakkan sekali. Mengapa kau biarkan dia pergi?” teriak Bu-song.
Jenggot perak tertawa, “Mungkin tak semudah itu kita menundukkan dia!”
Baru ia mengucapkan begitu, tiba-tiba terdengar suara orang mengucap salam. Suaranya
lantang nyaring, berasal dari arah sebelah kiri. Dan pada lain saat muncullah seorang imam tua bertubuh kurus
kering.
Kembali Bu-song dan Siau-bun menjerit kaget.
“Hai, imam hidung kerbau, dari mana kau?” serentak Bu-song berseru.
“Eh, budak perempuan, apa kau lupa?” imam tua itu tertawa meloroh.
Jenggot perak tertawa dingin, “Cian-bin cuncia, betapapun kau hendak unjuk kepandaianmu menyaru, jangan harap
kau dapat mengelabui mataku!”
“Hai, apakah dia si Wajah seribu?” Bu-song menjerit kaget.
“Benar,” kata Jenggot perak, “dia memang mahir dalam hal itu. Sebentar menjadi lelaki sebentar jadi perempuan
atau sesaat seorang paderi, pada lain saat seorang rahib. Tubuhnyapun dapat berobah menjadi gemuk-pendek,
kurus-kering, tinggi-besar menurut kemauannya! Tetapi kakekmu tak nanti dapat dikelabuinya!”
Memang imam tua itu adalah si Wajah seribu, ia tertawa terkial-kial, “Lu tua, kau memang hebat, dapat mengenali
diriku!”
Bu-song, Siau-bun dan Li Cu-liong terkesiap. Jika bukan Jenggot perak yang mengatakan, tentu mereka takkan
percaya. Apa yang dilihat memang berbeda sama sekali. Yang tadi seorang perempuan gemuk pendek, kini seorang
imam tua bertubuh tinggi kurus. Kalau tadi seorang rahib, kini seorang imam....
Kebakaran dari bahan peledak itu telah menimbulkan kerusakan besar. Beberapa bagian dari gedung markas Tiam-
jong-pay telah ambruk. Kamar rahasia yang dibuat berunding oleh Jenggot perak tadipun hancur. Beberapa penjaga
regu Pik-ih-tiang-hoat dari Hun-tiong-hu menjadi korban. Kesemuanya itu adalah perbuatan si Wajah seribu...
Dengan gusar berserulah Jenggot perak, “Ayo suruh kawan-kawanmu keluar. Kita putuskan dulu siapa di antara kita
yang lebih unggul.... ”
Wajah seribu tertawa keras, “Kawan? Hm, masakah kau tak pernah mendengar bahwa aku selalu bergerak seorang
diri?”
“Baik, katakan apa tujuanmu kemari!”
“Aku senang melihat keramaian yang bakal diadakan di sini. Sekalipun kau lupa mengundang aku, aku tetap akan
datang sendiri..... Kenbakaran markasmu itu adalah selaku hukuman kecil untuk kelalaianmu mengundang aku!”
Ketua Tiam-jong-pay tak dapat menahan amarahnya lagi. Sambil loncat ke muka, ia mendamprat, “Iblis tua, jangan
ngaco belo di sini, serahkan jiwamu!” kata-katanya ditutup dengan sebuah pukulan.
Bukannya menghindar atau menangkis atau balas memukul, sebaliknya Wajah seribu itu hanya tertawa gelak-gelak.Tetapi pada saat tinju Li Cu-liong tiba, entah bagaimana tiba-tiba Wajah seribu hilang lenyap. Ketua Tiam-jong-pay
itu terkejut hingga membuatnya terlongong-longong seperti melihat hantu.
Dan alangkah kagetnya ketika sesaat kemudian ia melihat dua orang Wajah seribu berdiri di kanan kirinya….
Ketua Tiam-jong-pay tak mau dibuat permainan. Dia ayunkan kedua tinjunya memukul ke kanan dan ke kiri.
Terdengar kedua Wajah seribu itu tertawa gelak-gelak dan sekonyong-konyong lenyap!
Li Cu-liong tertegun. Hai…… tiba-tiba ia terbeliak kaget sekali. Kini bukan hanya dua, tetapi empat orang Wajah seribu
yang berdiri mengepungnya dari empat jurusan….!
Li Cu-liong menyadari bahwa di antara keempat Wajah seribu, hanya satulah yang tulen. Yang tiga hanya bayangan
kosong. Tetapi pengertian itupun tak banyak membantunya, karena ia tak tahu yang manakah yang tulen dan yang
palsu.
Selagi ia bingung, tiba-tiba keempat Wajah seribu itupun sudah menyerangnya. Li Cu-liong kaget. Serentak iapun
menghantam mereka. Ia menggunakan seluruh tenaganya untuk menyambut serangan mereka. Pikirnya, asal
dihantam serempak saja, tentu beres. Yang tulen kena, yang palsu ambyar.
Tetapi perhitungannya meleset. Adalah karena ia menyerang dengan tenaga penuh, kerugian yang dideritanyapun
makin besar. Tampaknya ia sedang menghadapi serangan empat orang musuh, tetapi ketika saling bentur pukulan,
ternyata hanya tiga musuh yang menyerang.
Ketua Tiam-jong-pay itu tak sempat memikirkan apa-apa lagi. Kemarahannya makin meluap-luap. Dengan kalapnya
dihantamnya pula sang musuh dengan tenaga berlipat ganda. Ah.... segera ia menyadari kalau termakan tipu Wajah
seribu. Ketiga musuh yang dihantamnya itu hanya bayangan belaka. Dengan begitu tenaga pukulannya tadi hanya
penghamburan yang sia-sia. Dan karena memukul sasaran kosong, mau tak mau keseimbangan tubuhnyapun goyah.
Ia terperosok ke muka. Dan sebelum ia sempat memperbaiki posisinya, sesosok tubuh sudah melesat sambil
menghantamnya.
Itulah Wajah seribu yang asli!
Pada saat Li Cu-liong terancam maut, bertindaklah Hun-tiong Sin-mo Cu Giok-bun. Sambil menunjukkan jarinya ke
muka, ia membentak, “Siluman, jangan terlalu liar!”
Mengira orang sudah tak berdaya, Wajah seribu segera hendak memberi pukulan maut kepada Li Cu-liong.
Pukulannya dilancarkan cepat dan ganas.
Tetapi tutukan jari maut Hun-tiong Sin-mo pun sakti sekali. Walaupun dari jauh, tetapi angin tenaganya bagaikan
kilat menyambarnya. Wajah seribu kaget. Untuk menyelamatkan jiwanya, terpaksa ia loncat menghindar.
Li Cu-liong diam-diam mengeluh. Dengan keringat bercucuran, ia loncat mundur. Wajahnya tersipu-sipu merah.
Sampai beberapa saat ia terlongong-longong. Seumur hidup belum pernah ia mengalami peristiwa aneh sedemikian
rupa.
Di sana Hun-tiong Sin-mo pun agak terkesiap. Meskipun tutukan jari maut itu bukan merupakan ilmu simpanannya,
tetapi Wajah seribu dapat menghindar dengan begitu mudah, mau tak mau membuat Hun-tiong Sin-mo tercengang
juga. Karena sejak belasan tahun, belum pernah terdapat orang yang mampu lolos dari tutukan jarinya. Dan belum
pernah ada yang selamat. Kalau tidak mati, tentu menderita luka parah.........
Tetapi kekagetan Wajah seribu pun tak kalah besarnya. Di dalam dunia persilatan, tak ada orang yang sekali gebrak
dapat mengundurkannya. Sebelumnya ia tak percaya, tetapi apa yang dialaminya saat itu, benar-benar membuatnya
seperti orang bermimpi!
Hun-tiong Sin-mo bersikap seperti tak minat bertempur. Sehabis berhasil menolong Li Cu-liong iapun segera loncat
mundur pula.
Tetapi sikap itu bahkan membangkitkan kemarahan Wajah seribu. Dengan murka ia membentak, “Perempuan hina,
jika malam ini tak kuhancurkan tubuhmu, aku tak mau meningalkan Tiam-jong-san ini!”
“Oh, mungkin tak mudah bagimu untuk meninggalkan gunung ini!” Hun-tiong Sin-mo membalas.
Wajah seribu pun segera merangsek. Tubuhnya pecah berkembang menjadi tujuh-delapan sosok bayangan. Hun-
tiong Sin-mo tak gentar. Ia hendak menyambut, tetapi dicegah Jenggot perak, “Giok-bun, belum saatnya kau turun
tangan, ayah masih dapat melayaninya!”
Ia menutup kata-katanya dengan sebuah pukulan. Terdengar suara ledakan keras. Pasir dan batu berhamburan. Ke
tujuh-delapan sosok bayangan itupun lenyap. Yang tampak hanya seorang Wajah seribu terhuyung-huyung
melangkah ke belakang.
Kiranya Jenggot perak telah berhasil menghantam dadanya. Tetapi dia sendiripun menderita juga. Tenaga tolakan
yang dilancarkan Wajah seribu membuat Jenggot perak juga terhuyung-huyung sampai tiga langkah. Jago Thiat-hiat-bun itu tertegun. Ia merasa sekali ini benar-benar mendapat tanding.
Dengan penasaran Jenggot perak maju pula mengirim sebuah pukulan ke punggung lawan!
Wajah seribu mengeluh kaget. Cepat ia menggoyangkan tubuhnya, seketika pecahlah tubuhnya menjadi belasan
sosok bayangan yang bagaikan pinang dibelah dua semuanya. Mereka bergerak-gerak mengepung Jenggot perak.
Jenggot perak mendengus. Ia menarik pukulannya untuk melindungi tubuh. Ia tegak berdiri tak mau bergerak lagi,
tetapi diam-diam mengerahkan seluruh tenaga dalamnya untuk melapis diri.
Dalam beberapa saat, belasan sosok bayangan Wajah seribu itupun lenyap. Kini tampaklah ia tegak berdiri beberapa
langkah di hadapan Jenggot perak.
Dengan mata berkilat-kilat Wajah seribu menatapnya, “Lu tua, mengapa kau diam saja? Takutkah kau kepadaku?”
Jenggot perak tertawa keras, “Pernahkah kau mendengar cerita orang, kepada siapa aku pernah merasa gentar?”
Wajah si Wajah seribu berobah gelap, “Kalau begitu, mengapa kau tak bergerak? Lebih baik kau menyerah sajalah!”
“Memang aku sengaja mengalah supaya kau menyerang dulu!” sahut Jenggot perak.
“Binatang tua yang sombong, kau berani menghina aku!” Wajah seribu berteriak seraya menggerakkan kedua
tangannya. Gayanya mirip hendak menampar, tetapi juga seperti hendak menutuk. Tampaknya hendak
mencengkeram, tetapi juga menyerupai orang hendak meremas. Secepat kilat tangannya sudah menjulur ke muka
Jenggot perak. Berbareng itu sekonyong-konyong tubuhnya pecah menjadi tiga-empat sosok bayangan.
Seketika itu Jenggot perak seperti diserang oleh banyak Wajah seribu. Sukar dibedakan mana yang palsu dan mana
yang sungguhan.
Jago Thiat-hiat-bun itu tegak laksana sebuah gunung. Pada saat serangan itu tiba, barulah ia bergerak dengan tak
terduga-duga. Sekonyong-konyong ia menamparkan tangannya ke kanan dan ke kiri. Tar... tar.., terdengar letupan
keras dan bayangan yang menyerupai Wajah seribu itupun lenyap seketika, berganti dengan Wajah seribu asli yang
terhuyung-huyung sampai empat-lima langkah.
Jenggot perak sendiripun terhuyung tiga langkah ke belakang. Ia merasakan darah dalam tubuhnya agak bergolak.
Sekilas pandang memang tampaknya Jenggot perak yang lebih unggul!
Wajah seribu mengerutkan dahi dan termangu sampai beberapa saat, serunya kemudian, “Setan tua, bagaimana kau
dapat membedakan diriku dengan bayanganku?”
“Hm, masakah permainan anak kecil semacam itu dapat mengelabui aku......” Jenggot perak tertawa gelak-gelak,
“tetapi memang ilmu ginkangmu patut dipuji!”
“Ilmu Pek-pian-mo-ing ( bayangan setan seratus macam) ku tiada duanya di dunia persilatan. Mana hanya
mengandalkan ilmu ginkang saja?”
Jenggot perak tertawa pula, serunya “Mungkin kau belum tahu bahwa aku si tua ini memiliki ilmu Melihat langit
mendengar bumi? Betapapun kau hendak merobah dirimu menjadi apa saja, memang pada detik permulaan mungkin
dapat mengelabui mataku, tetapi beberapa saat kemudian, tentu kuketahui juga....”
“Melihat langit mendengar bumi?“ Wajah seribu berseru kaget.
“Ho, kau belum pernah mendengar ilmu itu?”
“Tetapi ilmu itu kan kekuatannya hanya tertuju pada jarak luas dan jauh, bagaimana kau dapat meneropong ilmu
sakti Pek-pian-mo-ing ku?”
Jenggot perak tertawa nyaring.
“Sebenarnya ilmu Pek-pian-mo-ing itu hanya suatu ilmu ginkang yang tinggi. Bayang-bayangmu itu hanya kosong.
Dengan ilmu Melihat langit mendengar bumi, sudah tentu dapat kuteropong mana dirimu yang asli, mana yang palsu.
Mengapa kau heran.....”
Wajah seribu meringkikkan tawa hantu.
“Silakan kau kerahkan seluruh kepandaianmu. Tetapi malam ini adalah malam kejatuhanmu. Besok pagi, jangan
harap kau dapat membuka rapat para orang gagah.....!”
Tambur Mukjijat.
“Oh, mungkin kau tak mempunyai kemampuan begitu!” sahut Jenggot perak.Pengemis sakti Thiat-ik Sin-kay dan Hun-tiong Sin-mo tak ikut bicara. Mereka berdiri di samping mendengarkan
percakapan Jenggot perak dan si Wajah seribu dengan penuh perhatian.
Kebakaran di markas besar Tiam-jong-pay pun sudah reda. Tetapi asap masih bergulung-gulung memekatkan udara.
Banyak anak buah Thiat-hiat-bun, Hun-tiong-hu dan Tiam-jong-pay yang menjadi korban. Tetapi sebagian yang dapat
lolos keluar. segera tenang kembali.
Saat itu sudah terang tanah. Pertemuan besar para orang gagah, segera akan tiba waktunya. Menilik letak
pesanggrahan tempat menginap para tamu itu tak jauh di muka markas Tiam-jong-pay, maka kebakaran di markas
itu tentu diketahui oleh para tamu. Tetapi anehnya, pesanggrahan para tamu itu tampak sunyi-sunyi saja.
Ketua Tiam-jong-pay Li Cu-liong mulai gelisah. Ia mencuri kesempatan untuk bertanya pada Jenggot perak dengan
ilmu menyusup suara, “Hari sudah terang tanah, pertemuan akan segera dimulai. Rupanya durjana ini hendak
mengulur waktu supaya pertemuan tak dapat berlangsung tepat pada waktunya….” Ia melirik memandang ke empat
penjuru, lalu berkata pula, “Menurut pendapat anak, lebih baik kita lekas bertindak menyingkirkan durjana ini. Tak
perlu kita menghiraukan tata kehormatan kaum persilatan lagi!”
“Pertemuan tetap akan dibuka tepat pada waktunya! Serahkan momok ini padaku, kau lekas atur prsiapan pertemuan
itu. Apakah meja kursi sudah diatur menurut rencana!” sahut Jenggot perak dengan ilmu menyusup suara juga.
Li Cu-liong mengerutkan alis, ujarnya, “Tetapi durjana ini licin sekali, apakah ayah…..”
“Jangan banyak bertanya lagi, aku dapat mengatasinya!” tukas Jenggot perak dengan ilmu menyusup suara.
Kemudian ia berganti nada dengan bentakan biasa, “Lekas kerjakan persiapan yang perlu!”
Li Cu-liong mengiyakan lalu pergi. Wajah seribu berpaling memandang markas Tiam-jong-pay yang menderita
kerusakan. Ia tertawa mengejek.
Sejenak melirik pada pengemis Thiat-ik Sin-kay dan Hun-tiong Sin-mo, tiba-tiba Jenggot perak membentak lawannya,
“Hai, iblis tua, kalau membawa kawan, suruh mereka unjukkan diri!”
Wajah seribu terbeliak, teriaknya, “Aku selalu bekerja seorang diri, tak pernah kubersekongkol dengan orang. Jangan
banyak curiga!”
“Kek, bolehkah aku bicara?” mendadak Bu-song maju selangkah.
Jenggot perak berpaling, “Eh, kau melihat hantu apa lagi?”
Dara itu tertawa melengking, “Durjana ini seolah-olah membanggakan keagungan dirinya, tetapi sebenarnya dia
seorang hina! Percvuma kau tanya ini itu padanya, bunuh sajalah!”
Bukan kepalang marahnya Wajah seribu, teriaknya, “Kau berani menghina aku, budak? Kaupun takkan menjadi
mayat utuh....” tiba-tiba ia menampar.
“Iblis hina, kau tak malu mengganas pada seorang anak perempuan!” iapun menyongsongkan pukulannya.
Karena ilmu Pek-pian-mo-ing ( seratus bayangan iblis) tak mempan, Wajah seribu menggunakan pukulan biasa.
Plak.... terdengar letupan keras dari dua pukulan yang beradu. Debu dan tanah berhamburan. Kedua tokoh itu
mundur beberapa langkah. Sekalipun tampaknya Jenggot perak menang angin, tetapi kekuatan mereka berimbang.
Sesaat berdiri tegak, Wajah seribu tertawa nyaring.”Setan tua, kecuali kalian maju berbareng, jangan harap dapat
menangkan aku!”
“Aku paling benci main keroyok. Mari kita bertanding satu lawan satu!” Jenggot perak marah sekali.
Wajah seribu tertawa, “Aku tak suka menggunakan kekerasan. Membunuh engkaupun tak ada gunanya. Cukup asal
jiwamu tak tenteram, aku sudah puas!”
“Kau benar, iblis!” tiba-tiba Bu-song menyeletuk, “hanya sayang tipu muslihatmu itu tak berguna. Pertemuan orang
gagah takkan terpengaruh oleh pengacauanmu!”
Wajah seribu tertawa sinis, “Orangnya kecil tetapi mulutmu besar! Coba katakan, siasatku apa yang gagal?”
Bu-song tertawa dingin, “Menghadapi seorang manusia rendah semacam engkau, perlu apa memakai akal!” Tiba-tiba
ia menantang, “Apakah kau berani bertempur sejurus saja denganku?”
“Kau berani menantang aku?” Wajah seribu tertawa menghina.
“Kau sudah mendapat kehormatan!” Bu-song mengejek.
Wajah seribu melangkah maju, bentaknya ,“Aku mengalah tiga jurus untukmu....” dari tubuhnya mengepul asap tipis.Ia bersiap menerima serangan.
Bu-songpun dengan tenang segera mencabut pedang dari belakang bahunya.
“Budak, kakekmu di sini, jangan lancang!” serentak Jenggot perak membentak si dara.
“Iblis tua ini kelewat sombong. Aku hendak mewakili kakek menghajar adat padanya!”
“Jangan ngaco, lekas enyah!” bentak Jenggot perak. Kemudian ia menyusuli dengan ilmu menyusup suara, “Dia
seorang tak perlu dikuatirkan, tetapi Lam-yau (siluman selatan), Pak-koay (manusia aneh dari utara) dan Bu-cui-su-
seng (pelajar tak berdosa) tentu juga berada di sekitar tempat ini…….”
“Dan si Raja kutu Coh Seng , eh, mengapa kakek melupakannya?” tukas Bu-song dengan ilmu menyusup suara.
“Benar,” sahut Jenggot perak, “orang itu dapat meluputkan diri dari ilmu Melihat langit mendengar bumi, tentulah
sakti sekali. Jauh beberapa kali saktinya dari berpuluh tahun yang lalu. Kakek harus hati-hati menghadapi mereka.
Mengapa kau hendak sembrono, ayo lekas menyingkir!”
“Bagaimana kakek hendak menghadapi meeka!” tanya Bu-song.
Jenggot perak tertegun. Memang pertanyaan sang cucu itu tepat sekali. Baru ilmu Pek-pian-mo-ing atau Seratus
wajah tanpa bayangan dari si Wajah seribu saja sudah cukup memusingkan, apalagi ditambah dengan beberapa tokoh
lagi. Tetapi bagaimanapun ia harus bertindak.
Pertandingan tadi menunjukkan bahwa kekuatannya berimbang dengan si Wajah seribu. Untuk menundukkan tokoh
ini, ia harus menggunakan waktu sedikitnya sejam. Ah, terlalu lama.
“Jangan kuatir, kakek mempunyai rencana.” akhirnya ia menghibur si dara.
Bu-song cebikan bibirnya, “Tindakanku ini justru hendak membantu kakek. Hendak kupancing mereka keluar baru
kita hancurkan!”
Ia tahu jelas suasana saat itu. Pengemis sakti Thiat-ik Sin-kay, Hun-tiong Sin-mo, Cu Siau-bun dan tokoh-tokoh
lainnya, terpancang oleh Jenggot perak. Tanpa perintah jago tua itu, mereka tak berani bertindak.
Tetapi tampaknya Jenggot perak tak punya rencana apa-apa. Kalau terus-menerus hanya tantang-tantangan begitu
saja, tentulah pertemuan para orang gagah tak dapat berlangsung!
“Bagaimana akalmu hendak memancing mereka?” tanya Jenggot perak.
Bu-song tertawa, “Ini…..sekarang tak dapat kukatakan dulu! Tetapi paling tidak hendak kuberi hajaran dulu pada
momok ini, syukur kalau dapat membunuhnya! Dengan begitu gerombolan mereka tentu keluar semua!”
Jenggot perak mengelus-elus jenggotnya. Beberapa saat ia tak dapat bicara. Ia percaya akan kecerdasan bocah
perempuan itu. Sekalipun tindakannya kali ini sangat berbahaya, tetapi ia berada di sana. Setiap saat tentu dapat
memberikan pertolongan apabila perlu.
Melihat Jenggot perak dan Bu-song bicara dengan ilmu menyusup suara, Wajah seribu hanya tersenyum ewa saja.
Setelah beberapa saat, baru ia melengking , “Eh, sudah berunding beres atau belum?”
Jenggot perak menyahut dingin, “Karena cucuku ingin sekali mendapat pelajaran dari engkau, maka kali ini aku
memberikan kelonggaran padanya!”
Wajah seribu tertawa gelak-gelak, “Aku seorang yang ganas, sekali turun tangan kalau sampai cucumu mati, harap
jangan salahkan aku!”
“Iblis tua, mungkin kau tak mempunyai kemampuan berbuat begitu!” Bu-song melengking marah.
“Silakan kau mulai!” Wajah seribu tertawa mengejek.
Bu-song tertawa gemerincing. Ia memutar pedangnya, tetapi ia berpaling melirik pada Siau-bun.
Siau-bun tegak berdiri di tempat. Hanya mulutnya menyungging senyuman. Diam-diam ia menggunakan ilmu
menyusup suara kepada si dara, “Bertindaklah, jangan kuatir! Aku tahu maksudmu!”
“Kau pintar juga!” sahut Bu-song juga dengan ilmu menyusup suara. Dan mulailah ia melancarkan serangannya….
Wajah seribu tertawa mengekeh. Sekali kedua bahunya bergoyang, terpecahlah dirinya menjadi tiga-empat sosok
bayangan yang menyerangnya dari empat penjuru.
Bu-song seorang dara yang cerdik. Serangannya ini hanya serangan kosong. Ia tahu bahwa menghadapi si Wajah
Seribu, tak boleh menggunakan kekerasan melulu, tetapi harus pakai tipuan. Maka ia menggunakan ilmu Suara ditimur serangan dari barat.
Begitu perhatian lawan tercurah pada serangan pedang, secepat kilat tangan kiri Bu-song menaburkan senjata
rahasia Hong-thau-kiong ( passer kepala burung Hong).
Sekalipun Bu-song tak dapat membedakan mana bayangan lawan yang tulen dan mana yang palsu, tetapi empat
batang passer yang ditaburkan itu kiranya cukup untuk menghancurkan keempat sosok bayangan itu.
Untuk memperoleh hasil yang mengesankan, ia menggunakan ilmu timpuk yang paling ganas. Tiap-tiap passer itu
sengaja diarahkan untuk mencari mata si bayangan.
Seketika terdengar raung kemarahan yang hebat dan lenyaplah ke empat sosok bayangan itu.
Sama sekali Wajah seribu tak menduga bahwa Bu-song akan menggunakan senjata rahasia, karena itu ia agak
lengah. Dan juga ia tak tahu bahwa ilmu menimpuk Hong-thau-kiong dari partai Thiat-hiat-bun hebat sekali. Seratus
kali timpuk, tentu seratus kali kena. Dan masih ada kelemahan bagi Wajah seribu, ialah bahwa telinga, mata, hidung
dan lubang-lubang tubuh manusia itu paling sukar untuk disaluri tenaga dalam. Betapapun lihainya si Wajah seribu,
namun tak dapat ia mengerahkan tenaga dalamnya ke bagian-bagian itu. Untung dia banyak pengalaman. Pada detik-
detik maut henak merenggut nyawa, masih dapat memiringkan kepalanya sedikit ke samping, sehingga matanya
terhindar dari kehancuran. Namun tak urung, sudut matanya tetap termakan passer si dara...
Wajah seribu menggerung laksana harimau terluka. Sebelum ia sempat mencabut passer yang menancap di ujung
matanya, sekonyong-konyong angin berkesiur dan serangkum benda mengkilap menyambar mukanya!
Tetapi yang menaburkan senjata rahasia kali ini bukan Bu-song, melainkan Siau-bun. Nona itupun tak ketinggalan. Ia
menaburkan tiga batang passer Tui-hong-kiong ( passer pemburu angin). Sebelum si Wajah seribu berdiri tegak,
Siau-bun sudah membarengi. Dalam hal menimpuk, Siau-bun tak kalah sebatnya dengan Bu-song. Betapapun
lihaynya Wajah seribu, namun sukar untuknya menyingkir.
Dalam usahanya yang terakhir, ia masih dapat menyelamatkan bagian berbahaya dari tubuhnya. Bahunya sebelah
kanan menjadi mangsa Tui-hong-kiong. Sakitnya bukan kepalang, sehingga hampir saja ia terjungkal roboh. Ia
terhuyung-huyung empat lima langkah ke belakang. Bahu kanannya tak dapat digerakkan lagi......
Tui-hong-kiong merupakan senjata pusaka Hun-tiong-san. Sekalipun tak dilumuri racun, tetapi senjata rahasia itu
dibuat sehalus rambut. Begitu menyusup ke dalam jalan darah, sang korban pasti mati seketika!
Setitikpun Wajah seribu tak pernah bermimpi, bahwa hari ini ia bakal jatuh di tangan dua orang anak perempuan.
Saking marahnya tubuhnya sampai menggigil dan mulut meraung-raung. Tetapi sudut matanya yang kiri sakit sekali ,
begitu pula bahu kanannya seperti putus rasanya......
“Sasaran tepat, sayang tak dapat menembus ulu hatinya!” Bu-song berpaling dan berseru kepada Siau-bun.
“Apa perlu ditambahi lagi?” sahut Siau-bun dengan tertawa.
Buru-buru Bu-song menggunakan ilmu menyusup suara, “Tadi saja sudah menyalahi peraturan kakek. Kalau tak
percaya, boleh coba lagi, lihat saja kakek akan menghajarmu atau tidak!”
Siau-bun terkejut. tetapi secepat itu ia insyaf. Mungkin yang dikatakan si dara itu benar. Jenggot perak, kakek
mereka memang seorang tua yang aneh perangainya.
Siau-bun tertawa tawar, serunya dengan ilmu menyusup suara, “Tadi aku hanya bermaksud membantumu saja. Jika
aku tak turun tangan, iblis tua itu tentu dingin saja menghadapi passer Hong-thau-kiong mu. Mungkin.............”
“Tak usah kau bicara semerdu itu, aku tak menerima bantuanmu!” sahut Bu-song dengan dingin.
“He, kuterangkan sedikit,” sahut Siau-bun, “sebelum kau turun tangan, tentulah kau sudah mengetahui bahwa aku
tentu akan membantumu. Dengan begitu barulah kau berani berkata besar di depan kakek!”
“Benar,” Bu-song tertawa, “hal itu didasarkan pada watakmu. Kutahu kau tentu takkan melepaskan kesempatan
untuk mendirikan pahala!”
“Salah!” Siau-bun tertawa.
“Ha?” Bu-song terkesiap.
“Kau melupakan Lam-yau, Pak-koay, Bu-cui-su-seng dan raja kutu Coh Seng?” seru Siau-bun.
Bu-song tertegun. Diam-diam ia mengakui kelalaiannya.
Kalau tokoh-tokoh itu memang datang dan bersembunyi, setelah tahu kawannya terluka, tentulah segera akan
muncul. Tetapi mengapa mereka tak menampakkan diri?
Sekilas merosotlah ambisi Bu-song. Tadi ia berani membuka mulut besar di hadapan Jenggot perak, bahwa ia tentu
dapat memikat gerombolan Wajah seribu keluar.
Tetapi buktinya, tak seorangpun dari gerombolan lawan yang muncul...Di sana tampak Wajah seribu berkeliaran memandang ke empat penjuru. Begitu dilihatnya Jenggot perak dan tokoh-
tokoh lainnya tak bergerak, barulah ia agak tenteram dan segera meramkan matanya untuk menyalurkan tenaga
dalam. Ia hendak memulihkan bahunya yang mati rasa itu.
Bu-song memandang lawannya dengan tajam. Tiba-tiba ia melengking dan menerjangnya.
“Eh, bocah perempuan, partai Thiat-hiat-bun tak pernah menyerang orang yang sedang terluka. Tak boleh mencari
kemenangan secara curang....!” tiba-tiba Jenggot perak berseru.
“Kek, sekarang aku tak sempat memberi penjelasan padamu!” teriak si dara yang terus melanjutkan serangannya.
Dara baju merah
Jenggot perak berteriak mencegah, tapi tak berbuat apa-apa. Sementara si Wajah seribu masih meram sambil
menyalurkan tenaga dalam. Tampaknya ia tak melawan...
Pada saat pedang akan menusuk tubuh Wajah seribu, tiba-tiba sesosok bayangan melayang dari udara. Seorang yang
bertubuh pendek seperti semangka, tetapi luar biasa cepatnya sekali ulurkan tangan, telah mencengkeram pedang si
dara.
Bu-song seorang dara yang cekatan dan cedas. Meskipun tengah menusuk, tetapi diam-diam ia sudah
memperhitungkan tentu bakal ada orang yang akan menolong Wajah seribu. Secepat kilat ia menggeliatkan mata
pedang dan membabat pergelangan tangan orang itu. Berbareng itu tangan kirinya menimpukkan tiga batang
passer....
Orang itu tertawa meloroh seraya turun ke bumi. Sepasang tangannya mengibas. Terdengar dering pedang tertampar
dan gemerincing tiga batang passer jatuh berhamburan!
Bu-song terkejut bukan kepalang. Ia mundur tiga langkah.
Terhindar dari maut, Wajah seribu marah bukan kepalang. Pada saat Bu-song menyurut mundur, sekonyong-konyong
Wajah seribu mengayunkan tubuhnya mencengkeram si dara dengan sepuluh jarinya yang dipentangkan.
Kali ini dia tidak menggunakan ilmu Pek-pian-mo-ing, melainkan menggunakan ilmu nyata. Sekali gerak ingin
menghancurkan tulang-belulang si dara.
Memang bukan olah-olah kepandaian Wajah seribu. Jika orang lain, bahunya tentu sudah lumpuh. Paling tidak harus
istirahat beberapa hari baru sembuh. Tetapi dalam waktu singkat ia sudah dapat menyembuhkannya seperti
sediakala. Bahkan dapat digunakan untuk menyerang.
Sebenarnya ketika Bu-song menyerang tadi, ia bukan sekali-kali meramkan mata menunggu nasib. Ia sudah tahu
bahwa dalam saat-saat genting, kawannya tentu akan muncul. Dan dugaannya ternyata benar. Begitu si pendek
muncul dan mengundurkan Bu-song, terus disusuli lagi dengan taburan asap hitam.
Kini keadaan berbalik seratus delapan puluh derajat. Kalau tadi Wajah seribu yang terancam, sekarang Bu-songlah
yang terancam. Dua tokoh sakti berbareng menyerangnya.
Melihat itu tak dapat Hun-tiong Sin-mo tinggal diam lagi. Serentak ia melepaskan pukulan Cek-koay-ciang kepada si
orang pendek. Demikian pun Jenggot perak. Ia menghantam Wajah seribu.
Terdengar suara mendesis macam api meranggas.
Itulah suara dari pukulan Cek-koay-ciang. Asap yang dihamburkan si orang pendek itu adalah asap beracun. Tetapi
ketika terhantam pukulan panas Cek-koay-ciang, seketika asap itu menjadi menjadi hangus dan membumbung ke
udara.
Tidak cukup hanya membuyarkan asap saja, tenaga pukulan Cek-koay-ciang juga masih dapat membuat si orang
pendek terpental sampai tujuh-delapan langkah jauhnya.
Jenggot perak pun berhasil. Sekalipun luka Wajah seribu sudah sembuh, tetapi menghadapi pukulan maut dari ketua
Thiat-hiat-bun, ia harus menelan pil pahit. Memang kepandaiannya kalah setingkat dari Jenggot perak, apalagi ia baru
saja sembuh dari luka di bahunya. Wajah seribu terhuyung sampai lima langkah. Wajahnya pucat lesi, darah dalam
tubuhnya bergolak-golak......
Jenggot perak hanya tersurut mundur selangkah. Sikapnya biasa seperti tak mengalami apa-apa.
Kini jelaslah sudah kekuatan mereka.
Wajah seribu dan orang pendek itu saling berpandangan.
“Coh Seng, sungguh beruntung dapat berjumpa!” tiba-tiba Jenggot perak berseru tertawa.
Ah, kiranya orang pendek itu si Raja kutu Coh Seng. Selain mahir dalam ilmu pengetahuan jenis kutu-kutu beracun,
Coh Seng pun memiliki sebuah ilmu yang dapat membuat tulang-belulangnya sekeras baja.
Itulah sebabnya maka passer Hong-thau-kiong yang dilepaskan Bu-song tak mempan.Pada saat Coh Seng hendak bicara, tiba-tiba terdengar suara seruling melengking di udara. Jenggot perak terkesiap.
Buru-buru ia berpaling dan menyuruh rombongannya menyalurkan tenaga dalam melawan lengkingan seruling.
Sepintas lalu, suara seruling itu seperti alunan suling biasa. Tetapi lagu yang ditiupnya sangat memikat hati.
“Tentulah Bu-cui Su-seng yang meniup seruling itu. Lekas, jangan sampai terpikat oleh suara seruling....” pengemis
Thiat-ik Sin-kay pun memberi peringatan kepada rombongannya.
Sekalian orang menurut. Jenggot perak memang hebat. Selain dapat membentengi diri dari lengkingan seruling, ia
masih dapat membagi perhatiannya untuk menjaga gerak-gerik Coh Seng dan Wajah seribu.
Suara seruling tetap melengking-lengking. Tiba-tiba suaranya berobah menjadi menyeramkan, seperti burung hantu
berbunyi di tengah malam. Rupanya si peniup menggunakan ilmu Cian-li-yang-seng ( dari ribuan li meniup seruling).
Betapapun lihaynya ilmu Melihat langit mendengar bumi dari Jenggot perak, namun tak berhasil mengetahui di mana
beradanya si peniup seruling itu.
Jenggot perak, Thiat-ik Sin-kay dan Hun-tiong Sin-mo masih dapat bertahan. Tapi Bu-song dan Siau-bun harus
menderita. Beberapa saat kemudian, kedua nona itu hampir tak tahan lagi.
Kedua anak perempuan itu mulai berkunang-kunang matanya, semangatnya mulai limbung. Suara seruling itu serasa
menembus ke dalam ulu hati, meremas-remas jantung. Menangis tak dapat mengeluarkan air mata, tertawa tak
dapat bersuara.
Jenggot perak tahu keadaan kedua anak perempuan itu, tetapi ia tak dapat menolong. Ia sendiri sedang berjuang
mempertahankan diri.
Hari makin terang. Pertemuan makin mendesak waktunya. Tuan rumah terancam kemusnahan!
Sekonyong-konyong terdengar tambur bertalu-talu nyaring.
Jenggot perak mengerang. Ia kaget-kaget gembira. Suara tambur itu tak asing baginya. Teringatlah ia ketika melihat
Bu-beng-jin bertempur dengan Bok Sam-pi di gunung Thay-heng-san, tambur itupun terdengar. Hanya bedanya bunyi
tambur itu keras sekali, jauh lebih nyaring dari ketika di Thay-heng-san.
Aneh! Begitu tambur menderu, serulingpun sirap seketika.
(bersambung ke jilid 25)
Jilid 25 .
Raja kutu Coh Seng dan Wajah seribu pucat pasi. Setelah saling berpandangan, mereka terhuyung mundur.
Genderang itu mempunyai pengaruh besar terhadap mereka. Dengan terhuyung-huyung kedua durjana itu lari
menyembunyikan diri dalam kegelapan.
Setelah seruling sirap dan kedua durjana itu mundur, tamburpun perlahan-lahan lenyap. Suasana pun hening...........
Jenggot perak mengerutkan kening. Serunya tergagap, “Siapa.......?”
“Siapakah yang membunyikan tambur itu?” tanya Bu-song. Jenggot perak hanya menggeleng.
“Masakah kakek yang banyak pengalamannya sedikitpun tak dapat meraba?” desak Bu-song.
Setelah merenung sejenak, berkatalah Jenggot perak, “Beberapa tahun yang lalu, kudengar di daerah Se-hek (Tibet)
terdapat seorang tokoh wanita bergelar Sin-ku-sian-lo ( dewi tambur). Mungkin tambur itu mempunyai hubungan
dengan wanita sakti itu. Tetapi kakek belum pernah mendengarnya!”
Diam-diam Jenggot perak teringat akan Bu-beng-jin. Nasib pemuda itu terletak di tangan si pemilik tambur. Karena
jelas ketika di gunung Thay-heng-san, pembawa tambur itu tak lain tak bukan hanyalah seorang dara baju merah
yang baru berumur belasan tahun. Tetapi, ah, mengapa dara itu tak muncul?
Juga Hun-tiong Sin-mo dan pengemis sakti Thiat-ik Sin-kay bingung. Suara tambur itu terdengar jelas dan lenyap
secara misterius. Tetapi yang jelas, suaranya hebat sekali, menggetarkan urat-urat jantung orang.
“Kek, di mana orang itu?” seru Bu-song pula.
“Mungkin ia tak mau menemui kita....... atau mungkin ia mendapat perintah jangan menemui kita,” kata Jenggot
perak.
“Kakek kenal padanya?” Bu-song terkesiap.
Jenggot perak tertegun, “Baru kali ini kakek mendengar tambur, bagaimana aku tahu?”
“Kalau tak kenal, mengapa kakek bisa mengatakan dia mendapat perintah orang?” tanya Bu-song lagi.“Ah,.......kakek hanya menduga saja,” Jenggot perak kewalahan.
“Lalu di mana dia? Mengapa tak menjumpainya?”
“Bagaimana kakek bisa tahu?”
“Toh kakek mempunyai ilmu Melihat langit mendengar bumi?” desak si dara.
“Dia menggunakan ilmu Cian-li-yang-seng, ilmu Melihat langit mendengar bumi percuma saja!”
Bu-song tertawa dingin, “Ah, tak kira malam ini kita bertemu dengan tokoh-tokoh sakti. Tetapi sayang mereka tak
mau unjuk diri!” Dengan kata-kata itu, ia hendak memancing supaya si pemukul tambur unjuk diri. Ia yakin kata-
katanya tentu terdengar sampai beberapa puluh tombak.
Tetapi tetap tiada reaksi apa-apa.
“Sudahlah, budak, jangan ribut-ribut saja!” akhirnya Jenggot perak membentak.
Sebaliknya Bu-song malah penasaran, Dengan sekeras-kerasnya ia berteriak, “Huh, apa-apaan itu. Hanya ilmu
memukul tambur saja masa hendak dibanggakan!”
Pemilik tambur sebenarnya masih bersembunyi di sekitar tempat itu. Waktu mendengar hinaan Bu-song, ia tak dapat
menahan lagi. Serentak ia loncat melayang keluar dan muncul di hadapan Bu-song.
Bu-song terkejut bukan kepalang. Ternyata yang muncul di hadapannya itu hanya seorang dara belasan tahun yang
memakai pakaian serba merah. Rambutnya dikepang dua, sepasang matanya yang bundar melotot marah kepada Bu-
song.
Sambil menepuk-nepuk tambur kecil yang digendong di belakang punggungnya, dara itu melengking congkak,
“Memang tamburku yang butut ini tak berguna, tetapi..... ” ia mengerutkan keningnya menyengir, dan tiba-tiba
membentak, “Kau mempunyai berapa muka!”
Walaupun bernada marah, tetapi sikap dara itu wajar kekanak-kanakan sekali. Memang usianya baru sekitar dua
belas-tiga belas tahun.
“Oh, aku tak menyangka kalau yang memukul tambur engkau.” seru Bu-song setelah hilang kejutnya.
“Kau sangka siapa?”lengking si dara.
“Kukira tentu seorang yang tua, seorang kakek yang berwajah bengis. Ah, tak kira ternyata seorang adik yang manis
dan lincah!”
“Eh, benarkah aku ini manis?” seru si dara.
Bu-song tertawa, “Benar, aku tak pernah memuji orang. Kalau kau mau, aku suka mengakumu sebagai adik!”
Dara itu memandang Bu-song dari ujung kaki sampai ke ujung kepala, kemudian tertawa, “Bagus, sekarang aku
mempunyai tiga orang taci, seorang engkoh.....” setelah memainkan matanya yang bundar, dara itu berseru pula,
“Cici, aku bernama Pok Lian-ci. Siapakah namamu?”
Bu-song mengerutkan keningnya, “Hai, apakah ibumu,”
“Sudah meninggal…!” sahut Pok Lian-ci dengan rawan.
“Meninggal?” Bu-song terharu juga. Maskah seorang dara yang masih begitu kecil sudah tak beribu lagi. Dan
teringatlah ia akan nasibnya sendiri. Ayah bundanya sudah meninggal. Bu-beng-jin yang sudah berjanji pada
kakeknya untuk dijodohkan padanya, ternyata hilang di gunung Thay-heng-san. Bu-song berlinang-linang……
“Eh, mengapa kau? Bagaimana aku harus memanggilmu?” seru si dara.
Bu-song tertawa rawan, “Tak apa-apa! Aku bernama Lu Bu-song. Kita senasib. Sejak kecil akupun sudah kehilangan
ayah bunda dan ikut pada kakek.......” ia menunjuk pada Jenggot perak, “Kenalkanlah pada kakekku!”
Pok Lain-ci maju ke hadapan Jenggot perak, serunya, “Kek....eh, bagaimana aku memanggilmu?”
Jenggot perak tertawa meloroh, “Ya, ya....dengan siapa kau datang ke Tiong-goan?”
“Dengan ayah!” sahut si dara.
“Apakah ayahmu orang Mongol?”“Tidak, nenekku!”
“Nenekmu?” Jenggot perak terkesiap, “Kalau begitu, nenekmu tentulah Dewi Tambur!”
Pok Lain-ci bertepuk tangan, “Tepat sekali dugaanmu, kek! Selain tambur, nenek juga pandai meniup seruling,
memainkan harpa dan lain-lain…. eh, apakah kakek kenal padanya?”
Jenggot perak menggelengkan kepalanya, “Telah lama kudengar namanya, tetapi tak pernah berjumpa muka. Apakah
dia sehat-sehat saja?”
“Nenek sudah meninggal!” kembali wajah Pok Lian-ci mengerut rawan.
Jenggot perak menghela napas. Tiba-tiba ia berseru, “Ayahmu?”
“Dia …. dia datang bersama aku…..” katanya tergagap. Dara itu tak dapat berbohong. Walupun sebenarnya ia tak mau
mengatakan hal itu, namun tak dapat juga ia menyimpan rahasia.
“Dimana ayahmu? Mengapa tak ajak ia menjumpai aku!” Jenggot perak berseru tegang.
“Tidak!” seru Pok Lian-ci, “Ayah mengatakan, jika tak perlu tak mau menemui kakek. Sebenarnya aku tak boleh
mengatakan tentang dirinya, karena kuatir kakek mendampratnya.....!”
“Kalau begitu ayahmu itu....”
“Juga tak boleh mengatakan namanya!” tukas Pok Lian-ci.
Mendengar itu Cu Giok-bun segera menghampiri. Dengan lemah-lembut dibelainya rambut Pok Lian-ci. Katanya halus,
Nah, jika kau mengaku mempunyai taci, mempunyai kakak, akulah bibimu!”
Bibi!” seru Lian-ci tertawa riang.
Cu Giok-bun sejenak bertukar pandang dengan Jenggot Perak, lalu berkata kepada Lian-ci, “Nak, katakanlah siapa
nama ayahmu. Kita sekarang orang sendiri!”
Pok Lian-ci mengedip-ngedipkan matanya beberapa kali. Ia hendak mengatakan sesuatu, tetapi ragu-ragu. Akhirnya
ia menggelengkan kepalanya, “Tidak, aku tak boleh melanggar pesan ayah!”
Cu Giok-bun kewalahan. Katanya pula, “Bukankah ayahmu itu tokoh yang gemar memakai pedang besi, yang
batangnya digantungi kantong kecil berbentuk hati.....”
“Benar!” teriak Pok Lain-ci serentak, “apakah bibi kenal padanya?”
Seketika berobahlah muka Cu Giok-bun, “Tidak, aku tak kenal......mungkin dulu pernah kenal, tetapi sekarang tidak!”
Pok Lain-ci memandang bibi itu dengan heran. Namun ia tak berani mengatakan apa-apa.
Siau-bun telah melihat perobahan airmuka ibunya. Begitupun pengemis sakti Thiat-ik Sin-kay dan Lu Bu-song, tetapi
mereka tak berani bertanya.
Adalah Jenggot perak yang memecah kebuntuan dengan berbatuk-batuk, ujarnya, “Eh, kau mempunyai seorang
engkoh dan dua orang taci?”
Lian-ci tertawa, “Sekarang tambah dengan seorang taci lagi..... tetapi ibuku hanya melahirkan seorang anak saja.
Yang lain adalah setelah aku datang ke Tiong-goan, aku mendapat engkoh dan taci angkat....”
“Apakah engkoh angkatmu itu kau dapatkan di gunung Thay-heng-san?” tanya Jenggot perak.
Lian-ci mengangguk.
Jenggot perak menghela napas. Tiba-tiba ia berpaling kepada Cu Giok-bun, “Urusan ini masih penuh tabir kegelapan,
kau.....”
“Tujuh belas tahun telah lampau, masakah aku masih mndendam hal itu?” Cu Giok-bun tertawa.
Jenggot perak tertawa juga, “Itulah baik. Apabila dia benar Thiat-beng, tentulah dia juga menderita. Jika bertemu
muka, kau harus mengalah....” kata-kata itu ia ucapkan dengan ilmu Menyusup suara, sehingga orang lain tak
mndengarnya.
Cu Giok-bun tertawa rawan, “Memang , kini aku tahu bahwa dia bukan orang yang tak setia. Adalah karena perbuatan
Ma Hong-ing yang mengadu domba sehingga kami suami isteri menjadi retak........” ia tak dapat melanjutkan kata-
katanya karena tersekat rasa haru.Po Lian-ci bergantian memandang pada Jenggot perak dan Cu Giok-bun, serunya terbata-bata, “Bibi, ..... kau kenapa?
Apakah kau juga mempunyai kesedihan?”
Cu Giok-bun menghela napas, “Nak, bibi hendak bertanya padamu, maukah engkau menjawab dengan terus terang?”
Lian-ci mengangguk, “Asal jangan menanyakan nama ayahku, tentulah akan kuberi keterangan sejujurnya!”
“Tak usah kau katakan hal itu. Cukup asal kau jawab apakah yang kukatakan itu benar atau tidak!” Cu Giok-bun
berhenti sejenak, lalu berkata pula, “Bukankah ayahmu bernama Pedang bebas Pok Thiat-beng?”
Gemetar tubuh si dara mendengar pertanyaan itu. Serunya terkejut, “Bibi,...kau.....?”
“Apa yang kukatakan itu benar atau tidak?” Hun-tiong Sin-mo Cu Giok-bun mendesak.
Lian-ci terengah-engah napasnya seperti orang menghadapi soal sulit.
“Benar sih benar, tetapi ayah melarang aku mengatakan!” sahutnya.
Cu giok-bun menghela napas, “Kalau kata-kataku itu benar, janganlah kau memanggilku bibi lagi, nak...”
“Eh, habis bagaimana aku harus memanggil?” kata si dara gugup.
“Panggil aku mamah!” seru Cu Giok-bun dengan nada mantap.
Bukan saja Lian-ci, tetapi Siau-bun dan Bu-song pun terbeliak kaget.
Siau-bun menarik ujung baju ibunya dan bertanya dengan tegang, “Mah, apakah ayah.....”
“Mungkin tak salah .....” Cu Giok-bun menghela napas, “Kalau datang mengapa tak lekas menemui aku!”
“Mengapa aku harus menyebutmu mamah? Mamahku.... sudah meninggal!“ teriak Lian-ci.
Cu Giok-bun tertegun, “Apakah ayahmu tak pernah menceritakan?”
Eng-hiong tay-hwe.
“Tidak!” Lian-ci menggelengkan kepala. Ia merenung sejenak lalu berkata pula, “Memang ibuku dulu pernah bercerita
bahwa ketika tiba di daerah Se-hek, ayah sakit berat. Tubuhnya kurus kering seperti tulang terbungkus kulit. Sudah
tiga hari menggeletak di tepi telaga. Jika tak ditemui ibu, ayah tentu sudah mati!”
Cu Giok-bun menghela napas. Ia membayangkan keadaan Pok Thiat-beng kala itu. Karena salah paham, Thiat-beng
merantau ke Se-hek (Tibet). Bukan mustahil keadaannya menderita, jatuh sakit tiada yang merawat. Tentulah ia
merasa berhutang budi pada puteri Dewi tambur yang menolongnya. Kemudian mereka tentu menikah. Hal itu
mungkin juga karena Thiat-beng tentu masih mendendam kepadanya. Kemungkinan Thiat-beng tak mau mengatakan
bahwa sebenarnya ia sudah menikah dengan Cu Giok-bun.
Beberapa saat Cu Giok-bun , Lian-ci, Jenggot perak dan yang lain-lain berdiam diri. Tiba-tiba terdengar bunyi lonceng
dan tambur. Itulah tanda pembukaan rapat Eng-hiong-tay-hwe ( rapat besar orang gagah), akan dimulai.
Jenggot perak gelagapan, “Bun-ji, dalam beberapa hal Thiat-beng memang harus dikasihani. Dalam Eng-hiong-tay-
hwe nanti, mungkin kau bisa berjumpa…..” ia berhenti sejenak, katanya pula, “Dahulu ayah yang menjodohkan.
Sekarang ayahpun tetap hendak berusaha supaya kalian suami isteri bisa berkumpul kembali.”
Tiba-tiba seorang lelaki berlari-lari mendatangi dan memberi hormat di hadapan Jenggot perak, “Subuh sudah lewat,
apakah rapat akan dibuka menurut waktu yang telah ditetapkan?”
Orang itu ternyata Li Cu-liong, ketua partai Tiam-jong-pay yang menjadi anak angkat Jenggot perak. Dahi dan kepala
ketua Tiam-jong-pay itu mandi keringat, sikapnya gugup dan gelisah. Tetapi ketika pandangannya tertumbuk pada si
dara Pok Lian-ci, ia tertegun.
“Seorang ksatria harus memegang janji. Apalagi mengenai urusan yang sedemikian pentingnya. Rapat tetap dibuka
tepat pada waktu yang telah ditetapkan!”
Li Cu-liong tersipu-sippu mengiyakan. Ia menerangkan bahwa saat itulah rapat sudah harus dimulai.
“Apakah persiapan sudah lengkap semua?”
Li Cu-liong mengiyakan.
“Apakah para tamu sudah hadir semua?”
“Sudah tujuh-delapan bagian yang hadir, tapi……” ketua Tiam-jong-pay itu sejenak mengedipkan mata,katanya,”Rombongan Sin-bu-kiong dan Hek Gak belum tampak!”
Jenggot perak tertawa meloroh, “Jika mereka sungguh tak datang. Setelah mendapat persetujuan rapat, aku hendak
mengajak sekalian tamu untuk ngeluruk ke Sin-bu-kiong dan Hek Gak………”
Jenggot perak segera mengajak rombongannya menuju ke lapangan, “Ayo kita bertemu dengan para ksatria dari
delapan penjuru.!”
Bangsal pertemuan penuh dengan orang. Meja berhias hidangan-hidangan minuman arak dan makanan yang lezat.
Perjamuan itu benar-benar meupakan pertemuan yang jarang terjadi selama beberapa puluh tahun. Sekalian orang
gagah dari seluruh penjuru berkumpul menjadi satu, sama-sama menikmati hidangan dan menguji kesaktian.
Tetapi suasana perjamuan bukan diliputi oleh kegembiraan, melainkan kecemasan. Sekaligus ada beberapa ratus
orang yang hadir, tetapi suasanya masih sunyi-sunyi saja.
Pol Lian-ci m emang masih kekanak-kanakan. Kalau orang-orang gelisah, sebaliknya dia malah gembira sekali. Sambil
melonjak-lonjak seperti anak kecil, ia bertanya kepada Jenggot perak, “Kek, apakah hari kau mengadakan ulang
tahun?”
Ia teringat dulu ketika neneknya merayakan ulang tahun, juga menyelenggarakan pesta besar.
“Bukan ulang-tahunku, tetapi kakek sedang mengundang tamu!” Jenggot perak tertawa.
“Mengundang tamu?” Lian-ci heran.
Jenggot perak menyahut dengan nada mantap. “Adalah karena telah mengundang para tamu ini, maka kakek sampai
perlu datang dari tempat yang jauh…..”
Walupun kata-kata itu ditujukan pada Lian-ci tetapi sebenarnya Jenggot perak hendak menumpahkan keresahan
hatinya. Yang paling menjadi pikirannya ialah diri Bu-beng-jin. Jika pemuda itu muncul dalam perjamuan nanti,
bagaimana reaksi Bu-song dan Siau-bun? Bagaimana ia akan menyelesaikan urusan mereka?
Dari keterangan Lian-ci tadi, jelas bahwa Bu-beng-jin telah ditolongnya. Kemungkinan pemuda itu akan datang
bersama dengan Pok Thiat-beng.
Saat itu Jenggot perak sudah memasuki ruang pertemuan dan diantar oleh Li Cu-liong ke tempat duduk yang
disediakan untuknya. Tempat duduk itu merupakan kursi pimpinan rapat. Letaknya di tengah. Di sebelah kanan dan
kiri, terdapat dua buah kursi kosong. Itulah kursi yang diperuntukkan bagi Sin-bu Te-kun dan ketua Hek Gak. Tetapi
saat itu kedua tokoh tersebut belum juga muncul.
Sambil mengambil tempat duduk, jago tua itu bertanya kepada Li Cu-liong, “Karena gara-gara partai Ji-tok-kau,
Wajah seribu sampai muncul. Selain itu apakah masih terdapat orang-orang yang patut dicurigai lagi?”
Li Cu-liong buru-buru menyahut, “Dalam rombongan partai Go-bi-pay terdapat dua orang paderi yang tak diketahui
asal-usulnya. Lain-lain rombongan tak sempat menyelidiki….”
“Rapat boleh segera dimulai!” seru Jenggot perak.
Serentak Li Cu-liong loncat ke atas sebuah meja kosong dan mengumumkan bahwa rapat Eng-hiong-tay-hwe dibuka.
Atas nama tuan rumah ia menghaturkan selamat datang kepada sekalian orang gagah. Ketua Tiam-jong-pay itu
memeiliki tenaga dalam yang kuat. Suaranya terdengar nyaring dan jelas. Pidatonya mendapat sambutan hangat dari
hadirin.
Tetapi tidak semua orang gagah yang hadir di situ, suka kepada Tiam-jong-pay. Mereka sudah mempunyai prasangka
yang jelek terhadap Hun-tiong Sin-mo yang ganas. Hubungan yang rapat antara Hun-tiong Sin-mo dengan Thiat-hiat-
bun dan Tiam-jong-pay, menimbulkan kecurigaan dalam hati mereka.
Di bawah meja tempat Li Cu-liong berdiri, tampak empat sosok mayat terbujur. Ketika itu Li Cu-liong menerangkan
bahwa korban-korban itu adalah anak buah partai Tiam-jong-pay yang diracuni oleh partai Ji-tok-kau. Hadirin terdiam
semua. Ada yang tak percaya, ada juga yang takut memberi pernyataan , karena kuatir membuat marah salah satu
pihak.
Setelah Li Cu-liong turun, Jenggot perak bangkit dan mengangkat cawan arak mengajak sekalian hadirin minum,
“Inilah yang pertama kali aku mengunjungi Tiong-goan. Pertama karena ingin menyaksikan keindahan tanah Tiong-
goan yang termashyur dan kedua karena hendak mengikat persahabatan dengan para ksatria Tiong-goan. Maka
dengan meminjam tempat di markas Tiam-jong-pay ini, aku menyelenggarakan perjamuan besar guna menghormati
sekalian sahabat. Atas kesudian dan penghargaan saudara-saudara untuk memenuhi undanganku, kuhaturkan banyak
terima kasih dan marilah kita minum untuk keselamatan kita bersama!”
Jenggot perak segera hendak mengantar cawan ke mulutnya, tetapi sekonyong-konyong terdengar suara orang
membentak, “Tunggu!”
Suaranya lantang nyaring bagai genta bertalu. Sekalian hadirin tersentak kaget.Jenggot perak melirik. Seorang paderi gemuk bangkit di tengah-tengah hadirin dan berjalan ke muka.
“Toa-suhu hendak memberi pelajaran apa?” tegur Jenggot perak.
Paderi itu tertawa dingin, “Ada beberapa hal yang lo-ni (paderi membahasakan dirinya) tak jelas, dan mohon saudara
menjelaskan.”
“Dalam hal apa, silakan toa-suhu mengatakan,” kata Jenggot perak.
“Saudara adalah partai dari luar daerah. Tetapi saudara berani memaksa mengundang ksatria Tiong-goan berkumpul
di sini. Ini sudah tak menghormat. Dan pula, pada malam sebelum pembukaan rapat, saudara telah membunuh
empat puluh orang rombongan patai Ji-tok-kau. Tindakan itu jelas hendak saudara tunjukkan sebagai pameran
kekuatan. Untuk mematahkan nyali sekalian ksatria. Untuk cara-cara yang serendah itu, apakah alasan yang saudara
hendak kemukakan?”
Jemggot perak tertawa nyaring, “Akupun hendak bertanya sepatah kata padamu. Apakah kau bukan si Wajah seribu?”
Memang paderi gemuk itu bukan lain adalah si Wajah seribu yang telah menyamar. Setelah dipukul mundur oleh ilmu
Tambur dara Pok Lian-ci, dia terus menyusup ke dalam rombongan partai Go-bi-pay.
Wajah seribu tertawa congkak, “Benar, matamu memang tajam benar. Kalau sudah mengenal aku, mengapa kau
masih berlagak... ” Ia memandang ke empat penjuru lalu berseru keras, “Ho, apakah kau hendak mengelak dari
pertanyaanku tadi?”
“Kalau kau sudah mengakui sebagai Wajah seribu, aku hendak bertanya sebuah hal lagi!” sahut Jenggot perak.
“Silakan!”
“Dimanakah Sin-bu Te-kun sekarang?”
“Mana aku tahu!” jawab Wajah seribu.
“Ada orang menyaksikan sendiri bahwa kau bersama Lam-yau, Pak-koay dan Bu-kiu su-seng telah menggabungkan
diri pada Sin-bu-kiong!”
“Fitnah yang keji! Siapakah yang berani menghina aku begitu?” teriak Wajah seribu.
“Aku.......!” sekonyong-konyong terdengar suara nyaring disusul dengan melesatnya sesosok bayangan ke tengah
gelanggang.
Hadirin sekalian terkejut. Itulah pengemis sakti Thiat-ik Sin-kay. Sekalipun dalam dunia persilatan nama partai Kay-
pang itu tak tinggi kedudukannya, tetapi termashyur sebagai partai yang jujur dan adil. Apalagi Thiat-ik Sin-kay
adalah ketua angkatan terdahulu dari Kay-pang. Mereka yakin akan kesaksian ketua Kay-pang itu yang tentu tak
bohong. Tetapi anehnya, soal masuknya Wajah seribu ke dalam Sin-bu-kiong itu tak banyak menimbulkan keheranan
sekalian hadirin. Hal ini dikarenakan sebagian tokoh-tokoh yang hadir tak mempunyai dendam permusuhan dengan
Sin-bu-kiong.
Wajah seribu tertawa, “Nah sekarang kau harus menjawab pertanyaanku tadi!”
Jenddot perak berseru dengan nyaring, “Sekalipun kebinasaan rombongan partai Ji-tok-kau itu karena perbuatan Raja
kutu Coh Seng, tetapi kaulah yang menjadi biang keladinya. Coh Seng hanya menerima perintahmu saja. Adapun
mengenai kedatanganku di Tiong-goan, memang mempunyai dua tujuan. Pertama, hendak mengikat persahabatan
dengan kaum ksatria daerah Tiong-goan dan kedua, hendak membantu ksatria Tiong-goan membasmi dua benggolan
yang mengancam keselamatan dunia persilatan...!”
“Siapakah yang kau maksudkan dengan dua benggolan itu?”
“Hek Gak dan Sin-bu-kiong…..!” sahut Jenggot perak. “Yang pertama adalah seorang durjana ganas. Sepal terjangnya
pada enam puluh tahun berselang tak mudah dilupakan sekalian kaum persilatan. Kini dengan tipu daya, dia berhasil
mengikat Ang-tim-gong-khek Bok Sam-pi. Membangun markasnya di gunung Tang-san dan bermaksud hendak
menguasai dunia persilatan. Sedangkan Sin-bu-kiong pun lebih licik dan hina lagi. Dia memfitnah dan memalsukan
panji Tengkorak darah agar kaum persilatan membenci Hun-tiong Sin-mo. Dengan memperoleh dukungan sekalian
kaum persilatan, dia hendak membasmi Hun-tiong-san dan kemudian merajai dunia persilatan.
Apabila kedua durjana ini berhasil melaksanakan rencananya, kaum persilatan pasti akan melewati hari-hari yang
menyedihkan!”
Mata Wajah seribu berkeliaraan ke empat penjuru. Ia tertawa senyaring-nyaringnya, “Apakah sekalian hadirin percaya
pada ocehan si tua bangka ini?”
Para hadirin tak berani menjawab. Mereka takut menderita akibat yang tak diinginkan.Seketika berobahlah muka si Wajah seribu, “Soal ini baiklah kita tangguhkan dahulu. Sekarang aku hendak bertanya
padamu.....” ia berhenti untuk tertawa, kemudian melanjutkan pertanyaannya, “Apakah kau mengundang Hun-tiong
Sin-mo?”
Jenggot perak terkesiap, kemudian menyahut samar-samar, “Benar!”
“Apakah saat ini dia juga hadir?”
“Tentu saja!” sahut Jenggot perak.
Keterangan ketua Thiat-hiat-bun itu menimbulkan kegemparan dalam rapat. Sekalian orang saling pandang-
memandang, tetapi mereka tak atahu yang manakah tokoh Hun-tiong Sin-mo itu.
Kecuali beberapa gelintir tokoh persilatan, boleh dikata kaum persilatan pada umumnya menganggap Hun-tiong Sin-
mo itu sebagai tokoh dalam dongeng yang ajaib. taks eorangpun yang pernah melihat wajahnya.
Juga Wajah seribu tak henti-hentinya menyapukan mata ke empat penjuru. Serunya pula, “Kalau dia benar sudah
hadir, mengapa tak diperkenalkan dengan sekalian hadirin?”
“Apa gunanya diperkenalkan? Apakah kau bersedia menempurnya sampai mati?” sahut Jenggot perak.
Wajah seribu berobah air mukanya. Pada lain saat ia tertawa congkak, serunya “Memang aku mempunyai maksud
begitu!”
“Karena kau sendiri yang meminta, biarlah kukabulkan permintaannmu itu!” tiba-tiba terdngar lengking suara wanita.
Dan pada lain saat Hun-tiong Sin-mo Cu Giok-bun melayang di hadapan Wajah seribu.
Terdengar seruan tertahan dari mulut Wajah seribu dan teriakan gemuruh dari para hadirin. Hampir mereka tak
percaya bahwa momok yang begitu disohorkan karena keganasannya, ternyata hanya seorang wanita yang bertubuh
langsing kecil.
Sesaat terbangun dari ketegunan. Wajah seribu menghambur tertawa nyaring, “Siapa kau? Anak perempuan dari
Hun-tiong Sin-mo atau cucunya atau………”
“Aku inilah Hun-tiong Sin-mo!” bentak Cu Giok-bun.
Masih Wajah seribu tertawa gelak-gelak, “Aneh, siapakah yang tak tahu kalau Hun-tiong Sin-mo seorang lelaki tinggi
besar? Mengapa kini berobah menjadi seorang wanita……”
Cu Giok-bun tertawa dingin, “Di hadapan sekalian ksatria dari seluruh penjuru, biarlah kusingkapkan rahasia ini. Hun-
tiong Sin-mo Teng Ih-hui adalah mendiang guruku. Sebelum menutup mata, beliau telah menurunkan seluruh
kepandaiannya padaku. Beliau meninggalkan pesan bahwa turun temurun, kaum Hun-tiong-san hanya boleh
mempunyai seorang murid tunggal dan pewaris itu harus tetap memakai nama Hun-tiong Sin-mo, serta tinggal di
gunung Hun-tiong san. Maka…….”
Sekalian orang gagah terlongong-longong mendengar keterangan itu. Mereka setengah tak percaya..
“Ngaco belo, keterangan itu sukar kupercaya!” teriak Wajah seribu.
“Kalau tak percaya, mengapa kau tak mencoba?” Cu Giok-bun tertawa dngin.
“Baik, memang aku ingin menguji kesaktian kaum Hun-tiong-san yang dishorkan itu!” Wajah seribu tertawa seraya
bergeser maju. Ia tetap tak percaya yang dihadapannya itu adalah Hun-tiong Sin-mo. Maka iapun bersikap acuh tak
acuh.
“Tetapi Hun-tiong-hu mempunyai sebuah peraturan. JIka bertempur dengan orang, tak pernah membiarkan orang itu
hidup!”
“Asal kau mempunyai kemampuan begitu, matipun aku rela!” teriak Wajah seribu. Tiba-tiba ia menamparkan
tangannya dan serentak dengan itu tubuhnya bergoyang dan pecah menjadi beberapa sosok bayangan.
Sekalian hadirin tercengang kaget.
“Baik, akan kupenuhi keinginanmu!” teriak Hun-tiong Sin-mo seraya menghantam. Yang dituju hanya sesosok
bayangan saja. Padahal beberapa bayangan berhamburan menerjangnya, sehingga sekalian hadirin sama
mengucurkan keringat dingin.
Dess… terdengar bunyi mendesis dan beberapa sosok bayangan itupun lenyap. Cu Giok-bun dan Wajah seribu sama-
sama tegak di tempat masing-masing. Tampaknya pertukaran pukulan itu berimbang kekuatannya.
Wajah Cu Giok-bun dingin membeku, serunya, “ Enam puluh tahun lamanya, belum pernah peraturan Hun-tiong-hu
dilanggar. Coba saja, apakah kau mampu melanggar peraturan itu!”Kelima jarinya dipentang dan dicengkeramkan kepada lawan…
Wajah seribu baru saja mengadu pukulan dan sadarlah ia akan tenaga lawan. Meskipun pukulan lawannya tak
membuatnya mundur, tetapi ia cukup tergetar hatinya.
Jelas tenaga pukulan lawan itu mengandung daya dorong yang luar biasa……
Sebelum ia sempat menilai lebih jauh, cengkeraman jari Cu Giok-bun sudah merangsaknya. Tampaknya gerakan
wanita itu biasa dan perlahan., tetapi sebenarnya Cu Giok-bun tengah melancarkan jurus yang sangat ganas.
Wajah seribu tak berani berayal, cepat ia hendak menangkis, tetapi ia terlambat. Ilmu yang paling diandalkan
hanyalah Pek-pian-mo-ing, merobah diri menjadi seratus bayangan. Tetapi ia lupa bahwa lawan mahir juga dalam
ilmu melihat langit mendengar bumi, maka Pek-pian-mo-ing tak berguna sama sekali.
Cu Giok-bun kali ini telah melancarkan serangan yang sangat telengas sekali. Jauh lebih hebat dari pukulan-pukulan
yang dilepaskan Jenggot perak tadi.
Seketika Wajah seribu merasakan dadanya sakit sekali. Tak dapat ia bertahan lagi. Tubuhnya terhuyung-huyung
beberapa langkah dan sempoyongan hendak jatuh.
Hun-tiong Sin-mo Cu Giok-bun meloncat maju dan menyusuli pula dengan sebuah tamparan. Segumpal sinar merah
menghambur, disusul dengan segulung asap.
Sebelum Wajah seribu sempat mengerang, ia sudah roboh di tanah menjadi sesosok tubuh yang telah hangus…..
Hun-tiong Sin-mo telah menggunakan ilmu pukulan Cek-koay-ciang yang dilampiri tenaga penuh. Pukulan pusaka
Hun-tiong-hu yang tak pernah gagal selama enampuluh tahun.
Sebenarnya Hun-tiong Sin-mo Cu Giok-bun sudah gemas dengan tingkah laku Wajah seribu yang telah membakar
markas besar Tiam-jong-pay. Tetapi karena selama itu ayahnya yang menghadapiny, ia tak mau menyinggung
perasaan ayahnya dan membiarkan sang ayah yang menyelesaikan.
Tetapi kini di hadapan ratusan ksatria dari seluruh penjuru, Wajah seribu berani meremehkan dirinya, benar-benar
tak dapat diberi ampun lagi. Untuk menegakkan kewibawaan Hun-tiong-hu yang sudah enam puluh tahun merajai
dunia persilatan, Cu Giok-bun terpaksa harus membunuh lawannya.
Pemandangan yang sengeri itu membuat sekalian hadirin serentak berdiri. Mereka terkejut melihat kesaktian Hun-
tiong Sin-mo yang sedemikian hebatnya. Kini baru mereka terbuka matanya, bahwa Hun-tiong Sin-mo yang
disohorkan itu ternyata memang tidak bernama kosong.
Jerit teriakan kaget-kaget ngeri, berkumandang memenuhi gelanggang pertempuran!
Bahkan Jenggot perak sendiripun tak urung terkesiap dalam hati. Ia tak menyangka kalau anak perempuannya itu
memiliki ilmu pukulan yang sedemikian saktinya.
“Ayah tak mengira kalau Hun-tiong Sin-mo memiliki pukulan yang sedemikian saktinya....!”
(bersambung ke jilid 26)
Jilid 26 .
Lam-yau dan Pak-koay
Kini barulah sekalian hadirin percaya bahwa wanita yang tegak di tengah gelanggang itu memang benar Hun-tiong
Sin-mo.
Sekonyong-konyong terdengar serangkum gelak tawa yang riuh. Sekalian hadirin gempar. Sesaat kemudian tampak
serombongan orang masuk. Yang mengantar adalah beberpa anak buah Thiat-hiat-bun dan Tiam-jong-pay.
Dan ternyata yang diantar adalah rombongan Sin-bu-kiong dan Hek Gak.
Berpuluh-puluh anak buah Sin-bu-kiong dan Hek Gak dengan dipimpin sendiri oelh ketuanya telah tiba!
Jelas bahwa kedua partai itu memang telah bersepakat untuk datang bersama-sama. Dan jelas pula, bahwa kedua
partai itu telah bertekad hendak menghadapi Thiat-hiat-bun, Tiam-jong-pay dan Hun-tiong-hu.
Sesaat masuk di ruangan petemuan, ketua Hek Gak dan Sin-bu Te-kun segera memberi salam kepada hadirin.
“Karena ada urusan, kami datang terlambat. Harap sekalian saudara memaafkan!”
Ucapan itu mendapat sambutan gemuruh dari hadirin. Karena rata-rata mereka ngeri dan benci melihat keganasan
Hun-tiong Sin-mo tadi.
Jenggot perak tertawa gelak-gelak, “Kami kira saudara berdua tak sudi datang. Apabila demikian, sebenarnya kami
hendak mengunjungi istana kalian. Siapa tahu ternyata saudara sudi memenuhi undangan kami, sehingga kami tak
perlu bersusah payah mengadakan perjalanan lagi!”Marah benar Sin-bu Te-kun mendapat sambutan begitu. Serunya, “Menekan kaum persilatan, mengganas partai Ji-
tok-kau dan merangkul momok Hun-tiong Sin-mo yang bergelimang darah. Hm, kedatanganku kemari adalah hendak
membasmi kuman berbahaya dalam dunia persilatan!”
Jenggot perak melantang, “Memalsukan panji Tengkorak darah, memfitnah orang, membujuk kaum persilatan untuk
mencapai tujuan menguasai dunia persilatan, itulah akal busukmu, hai setan laknat!”
“Percuma banyak bicara! Pepatah mengatakan, kalau menang menjadi raja, kalau kalah menjadi buronan. Lebih dulu
lenyapkan merka saja....... ” tukas ketua Hek Gak.
“Kau benar, saudara Kongsun..... ” Sin-bu Te-kun cepat balas memutus omongan. Kemudian ia menuding pada Cu
Giok-bun, “Hun-tiong Sin-mo Teng Ih-hui sudah mampus. Jika saudara Kongsun hendak membalas hinaan dulu,
balaslah pada wanita itu!”
“Siapakah dia?” ketua Hek Gak terkesiap.
Sin-bu Te-kun tertawa, “Dia adalah murid pewaris Hun-tiong Sin-mo teng Ih-hui, atau anak perempuan ketua Thiat-
hiat-bun!”
Tiba-tiba ketua Hek Gak tertawa mengekeh, “Heh,he, kiranya si tua Teng Ih-hui itu sudah mampus! ”
“Kalau dapat membunuh perempuan itu juga sama artinya!” Sin-bu Te-kun tertawa dingin.
Ketua Hek Gak mendengus, “Tentu! Setelah membunuh, aku tetap hendak ke gunung Hun-tiong-san untuk
merangket mayat Teng Ih-hui sampai tiga ratus kali.....” tiba-tiba ia menuding pada Cu Giok-bun dan berseru
memberi perintah, “Lekas ringkus perempuan itu dan cincang dagingnya!”
Dua lelaki yang berdiri di belakang, yang satu Bok Sam-pi dan yang satu seorang tua bertubuh kurus, segera melesat
maju.
Cu Giok-bun tertawa datar. Menghadapi Bok Sam-pi dan si tua kurus, ia berseru, “Jika kalian tak ingin cari mati,
harap tinggalkan tempat ini saja!”
“Mah, hati-hatilah terhadap si gemuk. Dia adalah Ang-tim-gong-khek Bok Sam-pi….” buru-buru Siau-bun memberi
peringatan kepada ibunya. “Dia diberi obat bius oleh ketua Hek Gak, hingga lupa ingatan.!”
“Aku sudah tahu, kau urus dirimu sendiri sajalah!” sahut Cu Giok-bun dengan dingin.
Bok Sam-pi tak mau bicara. Diam-diam ia mengerahkan lwekang dan tiba-tiba menghantam. Juga si tua kurus tak
bicara. Sepuluh jarinya yang runcing macam cakar segera dicengkeramkan. Gerakan itu menimbulkan angin
mendesis-desis. Suatu tanda bahwa ilmu orang kurus itu telah mencapai tingkat yang tinggi.
Cu Giok-bun hanya mendengus. Ia menggunakan telunjuk jari kiri dan pukulan tangan kanan untuk menangkis.
Sekaligus ia menyambut dua buah serangan dari tokoh-tokoh sakti.
Tiga tokoh sakti yang berilmu tinggi berbareng adu tenaga. Hadirin sekalian mengira bakal menyaksikan kejadian
yang dahsyat. Tetapi alangkah terkejutnya mereka.
Ketika tenaga ketiga orang itu saling berbenturan, di luar dugaan sebagian besar kekeuatan tenaga itu buyar lenyap.
Tampaknya gerakan ketiga tokoh itu tidak menggunakan tenaga.
Tetapi dari wajah mereka bertiga yang berobah gelap, terlihat bahwa sebenarnya mereka sedang melakukan
pertempuran yang dahsyat. Dibandingkan dengan adu pukulan yang mengeluarkan suara dahsyat, jauh lebih hebat
beberapa kali.
Sebagian besar dari hadirin adalah jago-jago silat yang memiliki ilmu lwekang. Serentak mereka berdiri dan
memperhatikan dengan seksama pada ketiga tokoh yang sedang adu kekuatan itu.
Sin-bu Te-kun mengekeh sinis, “Lu tua, kau pun jangan menjadi penonton saja. Aku telah mengundang dua sahabat
untuk mengadu kepandaian dengan engkau!”
Jenggot perak tertawa, “Karena ada tamu agung, aku tentu akan melayani!”
Sin-bu Te-kun tertawa meloroh, lalu memberi isyarat kepada rombongannya. “Orang tua ini adalah ketua Thiat-hiat-
bun. Jika kedua saudara suka, boleh bermain-main dengannya!”
Dua lelaki berwajah buruk seperti siluman, melangkah ke depan. Mereka memberi hormat kepada Jenggot perak,
“Sebenarnya hasrat kami dua bersaudara hendak mengukur kepandaian dengan Hun-tiong Sin-mo, demi membalas
kematian Wajah seribu. tetapi karena Hun-tiong Sin-mo sudah ada lain saudara yang melayani, maka kami ingin
bermain-main dengan saudara saja!”Kedua orang perawakannya sama. Hanya yang satu berpakaian warna putih dan yang satu berwarna hitam. Sepasang
mata mereka menonjol keluar, rambutnya terurai sampai ke bahu. Sepintas pandang mirip dengan setan.
Jenggot perak tertawa nyaring, serunya, “Lam-yau dan Pak-koay, sungguh beruntung dapat berjumpa dengan
kalian!”
Memang kedua orang berwajah seram itu adalah Lam-yau (siluman selatan) dan Pak-koay (manusia aneh dari utara).
Jenggot perak maju selangkah, ujarnya, “Karena saudara berdua mendapat perintah dari Sin-bu Te-kun, silakan saja.
Aku tentu akan melayani dengan gembira!”
Merah wajah kedua orang itu. Serempak mereka melengking. “Ngaco! Cukup dengan mengenal kami berdua kakak
beradik saja, masakah dapat diperintah orang!”
Sin-bu Te-kun tertawa nyaring, “Harap saudara jangan pedulikan ocehan yang memanaskan dari setan tua itu. Aku
pasti membantu saudara!”
Lam-yau dan Pak-koay saling berpandangan. Pada lain saat merekapun segera menyerang berbareng.
Gaya serangan mereka aneh sekali. Yang satu membentuk jarinya seperti cakar baja. Yang lain tidak meyerang
dengan jari atau tinju, tetapi dengan siku lengan. Keduanya mirip dengan orang tolol.
Jenggot perak tak berani memandang remeh. Ia duga mereka tentu menggunakan ilmu silat yang istimewa. Iapun
serentak menggerakkan kedua tangannya menyambut kedua lawan.
Dar…. terdengar getaran keras dan ketiga tokoh itu masing-masing mundur tiga-empat langkah. Jelas bahwa
kekuatan mereka berimbang.
Lam-yau dan Pak-koay menggembor keras, lalu mengayunkan tubuh menerjang lagi. jenggot perakpun tak mau kalah
hawa. Ia juga menggerung keras dan menyongsong.
Saat itu di gelanggang rapat Eng-hiong-tay-hwe telah terjadi dua kelompok pertempuran yang dahsyat. Hun-tiong
Sin-mo dikeroyok Bok Sam-pi dan si tua kurus. Jenggot perakpun dikerubut Lam-yau dan Pak-koay. Pertempuran
yang dilakukan oleh tokoh-tokoh itu, lain dari yang lain. Begitu dahsyat dan rapat sehingga sukar dipisah dan
dibedakan satu dengan yang lain.
Kesempatan itu tak disia-siakan ketua Hek Gak. Ia segera menghampiri Li Cu-liong ketua Tiam-jong-pay, “Karena tak
ada musuh, maka kaulah yang akan kuganyang!”
Kata-kata itu ditutup dengan sebuah pukulan dahsyat. Li Cu-liong tak berani berayal. Ia menyongsong dengan kedua
tangannya.
Bum.... terdengar letupan keras dan Li Cu-liong terhuyung-huyung ke belakang. Hal itu jelas menunjukkan bahwa
tenga ketua Tiam-jong-pay masih kalah jauh dibandingkan ketua Hek Gak!
Ketua Hek Gak tertawa mengekeh, “Ho, kantong nasi yang tak berguna, lekas serahkan jiwamu!”
Ia membarengi meloncat dengan sebuah pukulan. Pada saat Li Cu-liong terancam maut, sekonyong-konyong
terdengar bentakan nyaring dan meluncurnya empat sosok tubuh, yang serentak menangkis pukulan ketua Hek Gak.
Keempat orang itu ternyata Thiat-hiat Su-kiat atau empat pahlawan Thiat-hiat-bun.
Betapapun saktinya ketua Hek Gak, namun ia tetap tak mampu menahan tenaga empat jago sakti dari Thiat-hiat-bun.
Seketika ketua Hek gak terhuyung-huyung ke belakang, hampir saja ia roboh.
Melihat itu empat orang su-cia dari Hek Gak pun tak tinggal diam. Mereka cepat melompat menerjang empat su-kiat
dari Thiat-hiat-bun. Seketika suasana menjadi gaduh dengan pertempuran amuk-amukan.
Sin-bu Te-kun tertawa mengekeh pula. Sekali melambaikan tangan, terdengarlah tambur berbunyi menggemuruh.
Ternyata di dalam rombongannyapun terdapat beberapa tokoh yang memiliki Im-in sin-kang ( suara sakti). Delapan
orang duduk sambil memukul tambur. Nadanya makin tinggi dan hati setiap orang yang berada di situ seperti
dipalu....
Dara Pok Lian-ci yang sejak tadi terlongong-longong mengawasi ribut-ribut itu, tampak gelagapan. Buru-buru ia
menjemput tambur kecil di belakang bahunya, lalu ditabuhnya.
Sekalipun hanya sebuah tambur kecil, tapi nadanya hebat sekali. Udara seolah-olah penuh dengan kumandang bunyi
tambur dan bumi serasa bergetar-getar.
Kedelapan orang penabuh tambur dari rombongan Hek Gak tadi, segera menghentikan pukulannya. Mereka tak dapat
menahan desakan bunyi tambur si dara.
Pertempuran secara massal segera terjadi. Ke tiga puluh enam Tian-kong, tujuh puluh dua Te-sat dari Thiat-hiat-bun
segera terjun dalam gelanggang, disambut oleh jago-jago Hek Gak dan Sin-bu-kiong.Sekonyong-konyong Sin-bu Te-kun memekik keras. Tubuhnya mencelat ke udara dan dengan gaya Jip-hau-kin-kau (
masuk ke laut menangkap naga), ia meluncur ke arah Bu-song dan Siau-bun.
“Cici Bun, lekas Tui-hong-kiongmu!” seru Bu-song kepada Siau-bun. Dan ia sendiri segera menaburkan tiga batang
Hong-thau-kiong (passer berkepala burung Hong).
Siau-bun cepat melakukan seruan si dara. Serangkum passer Tui-hong-kiong ( passer pemburu angin) segera
ditaburkan.
Sin-bu Te-kun hanya mengekeh tertawa, “Ho, budak perempuan, hari ini kalian tentu akan mati di tanganku!”
Tubuhnya bergetaran di udara, disusul oleh dering gemerincing dari passer Hong-thau-kiong dan Tui-hong-kiong yang
berhamburan jatuh di tanah.
Medan pertempuran kacau seketika. Hadirin serempak bubar. Meja berantakan, hidangan tumpah ruah. Mereka
menyingkir karena tak mau ikut bertempur.
Saat itu Bu-song dan Siau-bun pun terkesiap kaget.Untung saat itu pengemis sakti Thiat-ik Sin-kay segera bertindak
menolong. Ia loncat menghantam Sin-bu Te-kun.
Tetapi Sin-bu Te-kun bukan tokoh sembarnagan. Pengemis sakti Thiat-ik Sin-kay terpental sampai setombak lebih
jauhnya. Bu-song dan Siau-bun pun meundur belasan langkah.
Sin-bu Te-kun makin merangsak. Ia melepaskan sebuah pukulan lagi kepada kedua nona itu.
Sekonyong-konyong di udara terdengar suara gemboran keras dan sesosok tubuh melayang. Di tengah udara orang
itu melontarkan sebuah pukulan kepada Sin-bu Te-kun....
Reuni
Sin-bu Te-kun terkejut.
Yang paling ditakuti ialah Thian-leng. tetapi yang menyerangnya itu seorang yang tak dikenal, maka iapun tak gentar.
Diiringi dengan gemboran keras, ia menamparnya.
Lwe-kang yang dimiliki oleh Sin-bu Te-kun sudah mencapai tingkat yang hebat. Jarang orang yang kuat menerima
pukulannya. Apalagi pukulannya saat itu dilakukan dengan cepat dan keras. Kalau tak mati atau luka berat, tentulah
korbannya akan mencelat beberapa langkah.
Tetapi orang itu hanya tertawa mengejek . Tidak menangkis pukulan, melainkan hanya menghindar dan tetap
melayang ke samping.
Sin-bu Te-kun terkejut bukan kepalang. Ilmu pelajaran Im-hu-po-kip, mengutamakan kecepatan. Tak mungkin orang
akan dapat menghindar. Tetapi bahwa orang itu dengan mudah dan leluasa dapat menghindar, benar-benar ia tak
menyangkanya.
Siau-bun dan Bu-song pun terkejut. Mereka tak kenal siapa pendatang itu. Pengemis sakti Thiat-ik Sin-kay
sebenarnya hendak menegur pendatang itu, tetapi tak jadi.
“Siapa kau?” bentak Sin-bu Te-kun.
“Masakah kau tak dapat menduga!” sahut orang itu dengan nyaring.
Sin-bu Te-kun terbeliak. Ia hendak menjawab, tetapi suasana pertempuran tiba-tiba berobah. Yang pertama meloncat
mundur ialah Hun-tiong Sin-mo Cu Giok-bun.
Tetapi setelah meloncat mundur, ia hendak menyerang lagi. Tiba-tiba ia bersangsi, berhenti dan berpaling.
Sebenarnya pertempuran antara Bok Sam-pi dan si tua kurus melawan Cu Giok-bun , masih berjalan seimbang.
Sebenarnya kedua pengeroyok itu kewalahan. Melihat Cu Giok-bun tiba-tiba mundur, merekapun mendapat
kesempatan untuk memulangkan napas.
Wajah Jenggot perak pun berobah. Secepat kilat ia melontarkan tiga buah pukulan untuk mendesak mundur Lam-yau
dan Pak-koay, lalu jago Thiat-hiat-bun itu mengenjot tubuhnya ke udara dan melayang ke samping pendatang itu.
Lam-yau dan Pak-koay terkesiap. Merekapun memandang kepada si pendatang dengan tercengang.
Pok Lian-ci juga menghentikan tamburnya. Rombongan penabur dari Sin-bu-kiong sudah tak kuat. Dara itupun tak
mau mendesak.
Anak buah Thiat-hiat-bun, Hun-tiong-san,Tiam-jong-pay, Hek Gak dan Sin-bu-kiong yang bertempur, karena melihat
pemimpinnya berhenti, merekapun ikut berhenti.Kini seluruh mata ditujukan ke arah pendatang yang tak dikenal itu.
“Thiat-beng.......!” tiba-tiba Jenggot perak berseru perlahan. Nadanya rawan, mata berlinang-linang.
Memang orang itu adalah Pok Thiat-beng, si Pedang bebas. Juga Thiat-beng berkaca-kaca menyambut, “Gak-hu….”
“Nak, beberapa tahun ini.........”
“Panjang sekali ceritanya, tetapi siau-say ( anak mantu ) memang bersalah…..” tukas Thiat-beng.
Jenggot perak menggoyangkan tangan, “Sudahlah jangan mengungkit hal yang lampau. Asal kau sudah tak kurang
suatu apapun, sudahlah…..” ia berpaling memandang Cu Giok-bun. “Apakah kau tahu Giok-bun…..”
“Ya, aku bersalah padanya, aku…….” Thiat-beng tak dapat melanjutkan kata-katanya karena Sin-bu Te-kun tiba-tiba
mundur selangkah dan menukas. “Oh, kiranya kau Pedang bebas Pok Thiat-beng……….!”
“Kau baru tahu sekarang?” Thiat-beng menertawakan.
Sin-bu Te-kun tertawa sinis. “Tahu atau tidak, tidak penting. Aku hanya merasa kasihan padamu!”
“Ki Pek-lam!” bentak Thiat-beng, “Aku tak kenal padamu. Bagaimana si Ma Hong-ing dapat menjadi gundikmu!”
Sin-bu Te-kun tertawa mengekeh. “Itulah yang kukatakan kasihan! Banyak sekali hal yang tak kau ketahui. Sekalipun
kau merengek-rengek sampai mati, jangan harap kuberitahukan.......” ia sejenak mengedipkan matanya dan
menyambung pula, “Kasihan puluhan tahun kau telah menderita.....”
“Tutup mulutmu!” bentak Thiat-beng.
“Oh, oh, apakah kata-kataku menyinggung hatimu?” Sin-bu Te-kun mengejek.
Thiat-beng mengerutkan kening, “Asal kau serahkan Ma hong-ing, aku takkan memusuhimu!”
“Seumur hidup aku tak pernah menerima tekanan orang. Bagaimanapun pribadi Ma Hong-ing, tetap ia adalah
permaisuri Sin-bu-kiong. Mana dapat diserahkan padamu!”
“Oh, kalau begitu kau hendak bermusuhan denganku!”
“Bukan hanya musuh, tetapi kita harus memutuskan siapa yang harus mati dan hidup..... ” ia maju selangkah,
mendengus, “Pok tayhiap..., ayolah mulai!”
Thiat-beng tertawa dingin, “Bukan karena aku tak sudi bertempur denganmu, sebenarnya.......”
Sin-bu Te-kun tertegun, serunya, “Bagaimana? Kecuali kau sudah menyadari bahwa percuma untuk melawan....”
Thiat-beng tertawa, “Aku kuatir sekali turun tangan nyawamu amblas. Padahal jiwamu hendak kuserahkan pada
orang lain....”
“Pok Thiat-beng, jangan terlalu sombong!” bentak Sin-bu Te-kun dengan murka. Cepat ia menghantam dengan
pukulan Hian-im-ciang.
Ilmu pukulan Hian-im-ciang sebenarnya tergolong Im-khi-han-sin-kang ( ilmu sakti lwekang dingin). Sin-bu Te-kun
telah mempelajari isi kitab Im-hu-po-kip. Dan ia menggunakan tenaga penuh dalam pukulannya itu. Sekalipun
tampaknya tidak begitu dahsyat, tetapi dayanya bukan kepalang. Sekaligus dapat meremukkan sepuluh jago sakti.
Seluas dua tombak, saat itu terbaur oleh oleh hawa dingin yang menusuk tulang, sehingga sekalian orang menggigil
kedinginan.
Thiat-beng mengerutkan dahi. Ia tahu bahwa pukulan lawan sukar dihindari. Ia harus menangkisnya. Tetapi sebelum
ia bertindak, tiba-tiba terdengar getaran keras dan Sin-bu Te-kun terhuyung-huyung sampai tujuh-delapan langkah
jauhnya!
Kiranya serangkum tenaga kuat tiba-tiba meluncur dari udara dan membentur pukulan Sin-bu Te-kun. Itulah tenaga
pukulan Hian-im-ciang yang hebat. Datangnya pukulan itu benar-benar tak terduga sama sekali. Sin-bu Te-kun tak
mampu mendengarnya. Pada saat menghantam Thiat-beng, ia sudah memperhitungkan bahwa tentu takkan ada
orang yang membantu lawan. Bahwa Jenggot perak yang berada di samping Thiat-beng pun tak nanti dapat
mengimbangi kecepatan serangannya itu!.
Bukan hanya Sin-bu Te-kun saja, tetapi semua hadirinpun kaget. Mereka menjerit terkejut.
Sesosok bayangan biru meluncur turun dari udara dan tegak berdiri di tengah-tengah Sin-bu te-kun dan Thiat-beng.
Kang Thian-leng......“Bu-beng-jin, memang telah kuduga tentu engkau!” teriak Sin-bu Te-kun dengan murka.
Thian-leng telah melayang dari jarak sepuluh tombak jauhnya. Tetapi ia dapat menghantam Sin-bu Te-kun sampai
mundur beberapa langkah.
“Aku bukan Bu-beng-jin lagi!” sahut pemuda itu.
“Eh, apakah kau sekarang sudah mempunyai nama? Siapakah namamu?” ejek Sin-bu Te-kun.
“Pok Thian-leng!”
“Ha, ha, ha, !” Sin-bu Te-kun tertawa tergelak-gelak, “oh, kiranya begitu. Kau....”
“Memakai nama ayah angkatku, apakah salah?”
“Baik, taruh kata kau Pok Thian-leng, tetapi ayah bunda kandungmu..... ”
“Setan tua, kau berani mengoceh tak keruan? Hari ini hendak kucincang tubuhmu sampai hancur-lenur!” bentak
Thian-leng dengan bengis, walaupun diam-diam hatinya pedih. Karena apa yang dikatakan Sin-bu Te-kun itu memang
nyata. Sampai saat itu ia belum mengetahui asal-usulnya.
Begitu pula Sin-bu Te-kun. Sebenarnya ia juga kebat-kebit, mendengar ancaman Thian-leng. Ia sadar bahwa
kepandaiannya sekarang kalah dengan pemuda itu. Begitu pula situasi pertempuran tadi, tak menunjukkan
keuntungan apapun bagi pihaknya.
“Rupanya kau mengandalkan ilmu pelajaran It Bi siangjin!” serunya.
“Begitulah!” sahut Thian-leng.
“Kalau begitu pukulanmu tadi….”
“Ya, benar! Itulah yang disebut Coan-hun-ciang (pukulan menembus awan). Dalam jarak sepuluh tombak dapat
menghantam mati orang. Lain-lain ilmu mungkin kau tak pernah dengar!”
Sin-bu Te-kun terkesiap, tetapi cepat ia tertawa, ”Jangan membual! Sekalipun ilmu pelajaran It Bi siangjin tinggi,
tetapi belum tentu sesakti itu…. dan juga paling-paling kau hanya mempelajari beberapa jurus permainan saja!”
“Hm, sejak dahulu kala siapakah yang dapat mencapai kesempurnaan?” Thian-leng tertawa mengejek.
“Ya, memang hanya It Bi siangjin seorang,” Sin-bu Te-kun menghela napas.
Sejenak menyapu pandangan ke sekeliling medan perjamuan, berkatalah Thian-leng, “Aku tak sudi banyak bicara
dengan kau. Pertaruhan seratus jurus kita dulu, masih kurang delapan jurus. Sekarang di hadapan para tokoh-tokoh
persilatan, seharusnya kita selesaikan!”
Wajah Sin-bu Te-kun berobah, “Dahulu bukankah kaupun pernah meminta-minta supaya diundur, bukan?”
“Jika kau minta mundur, akupun tak keberatan!” sahut Thian-leng,”Tetapi sebutkanlah waktu dan tempatnya!”
Sin-bu Te-kun tertawa, “Baiklah, nanti sepuluh hari lagi kutunggu kedatanganmu di istana Sin-bu-kiong!”
“Dan menyelesaikan sisa delapan jurus itu?”
“Bukan hanya delapan jurus itu saja, juga segala macam kepandaianmu boleh kau keluarkan!” sahut Sin-bu Te-kun
dengan garang.
Thian-leng tertawa mengejek, “Baik, kali ini kuampuni jiwamu!” ia melirik tajam kepada lawannya, serunya, “tetapi
apakah lain-lain cianpwe mau memberi ampun kepadamu atau tidak, terserah saja, aku tak berani mencampuri!”
Jenggot perak memandang sejenak kepada Pok Thiat-beng, Cu Giok-bun dan lain-lain, lalu tertawa gelak-gelak,
“Dalam hal ini aku dapat memberi keputusan. Kita setuju sepuluh hari lagi ke Sin-bu-kiong, bahkan akupun bersedia
menjadi saksi!”
Sekalian orang diam saja.
Thiat-beng dan Giok-bun diam-diam mengerti, bahwa ayah mereka tentu sudah mempunyai rencana.
Pertama supaya mereka segera terangkap sebagai suami isteri lagi. Kedua supaya lekas dapat mencari Ma Hong-ing.
Karena hanya dari si bujang wanita yang beracun lidahnya itu dapat diketahui duduk perkara yang sebenarnya.
Dan ketiga, soal Thian-leng dengan Siau-bun dan Bu-song harus segera diselesaikan juga.
Di antara sekalian orang, Bu-songlah yang mempunyai pikiran tersendiri. Setelah mendapat keterangan dari Jenggotperak bahwa Thian-leng mati di tanganBok Sam-pi, bencinya terhadap Bok Sam-pi meluap-luap. Bu-song
memutuskan, apabila hun-tiong Sin-mo dapat membunuh Bok Sam-pi, ia hendak mencincang tubuh si gemuk itu.
Tetapi andaikata Hun-tiong Sin-mo kalah, BU-song bertekad hendak mengadu jiwa dengan Bok Sam-pi.
Di luar dugaan, Thian-leng telah muncul dengan tak kurang sesuatu apapun, bahkan dengan membawa kesaktian
yang mengagumkan, Bu-song sampai terlongong-longong tak dapat berbicara.
Juga Siau-bun tak kurang girangnya. Hampir saja ia tak dapat mengendalikan diri untuk menghampiri pemuda itu.
Tetapi karena malu dengan sekian banyak orang, terpaksa ia hanya berdiam diri saja. Paling-paling ia mencuri
kesempatan melirik pemuda itu.
“Kalau begitu aku pulang dulu!” dengan gaya garang Sin-bu Te-kun yang licin segera menggunakan kesempatan.
Jenggot perak tertawa, “Dari jauh-jauh saudara datang kemari, mengapa terburu-buru hendak pulang?”
Sin-bu Te-kun terbeliak, “Apakah kau hendak mengajukan acara lain lagi?”
Jenggot perak tertawa, “Jangan kuatir, sahabat! Sekali sudah kusetujui pengunduran sepuluh hari itu, tak nanti aku
berobah pikiran....” ia berhenti sejenak lalu berkata pula, “meskipun medan perjamuan ini sudah morat-marit, tetapi
dalam setengah jam saja dapat diatur rapih lagi. Mengapa saudara tak mau menghadiri perjamuan para ksatria ini?”
Kerut wajah Sin-bu Te-kun agak mengendor, ujarnya, “Terima ksih, tetapi lebih baik aku pulang saja!” tanpa
menunggu sahutan orang lagi, segera ia melangkah pergi. Berhenti di depan ketua Hek Gak, ia menggunakan ilmu
menyusup suara, “Situasi berobah begini, apakah saudara Kongsun masih mempunyai rencana lain?”
Tiang andalan ketua Hek Gak hanyalah Bok Sam-pi. tetapi ternyata walaupun bok Sam-pi maju bersama si tua kurus,
tetap tak dapat mengalahkan Hun-tiong Sin-mo Cu Giok-bun. Diam-diam hati ketua Hek Gak sudah gentar. Apalagi
Pok Thiat-beng dan Thian-leng berturut-turut muncul, nyali ketua Hek Gak semakin rontok.
Segera ia menyahut dengan ilmu menyusup suara, “Akupun sudah kehilangan paham, harap saudara Ki memberi
petunjuk!”
“Saudara masih mempunyai dendam dari enam puluh tahun silam,” Sin-bu Te-kun tertawa, “Nafsu besar tetapi nyali
kecil. Jika mempunyai rencana untuk menguasai dunia persilatan, tak boleh kita takut menghadapi kesulitan!”
Merahlah muka ketua Hek Gak, serunya, “Bagaimanakah pendapat saudara Ki!”
“Terus terang, aku sudah mempunyai rencana untuk mati bersama-sama mereka!”
Mendengar itu ketua Hek Gak terbelalak, tetapi cepat ia menegas, “Bagaimanakah caranya?”
“Telah dapat kuundurkan pertempuran kita sampai sepuluh hari lagi dan tempatnyapun kupilih di Sin-bu-kiong. Lihat
saja apakah mereka nanti dapat keluar dari Sin-bu-kiong dengan masih bernyawa!” sahut Sin-bu Te-kun dengan
bangga.
“Apakah saudara bermaksud.....”
“Harap saudara Kongsun jangan mendesak pertanyaan lagi. Maksudku hanya hendak membantu saudara membuka
jalan hidup!”
“Terserah pada kebijaksanaan saudara saja!” buru-buru ketua Hek Gak menyambuti dengan nada setengah merintih
kasihan.
Sin-bu Te-kun tersenyum, “Asal saudara Kongsun mau meluluskan sebuah syaratku, kutanggung Hek Gak tentu
takkan hancur, bahkan akan dapat bangkit kembali untuk menegakkan keharuman nama di dunia persilatan!”
“Jangankan hanya satu. Sepuluh buah permintaanpun aku bersedia menyanggupi!”
sahut ketua Hek Gak.
Tiba-tiba Sin-bu Te-kun berganti nada serius, “Asal saudara suka mengajak anak buah saudara berkumpul di Sin-bu-
kiong, kutanggung harapanmu tentu terlaksana….,” ia berhenti sejenak, lalu melanjutkan, “bersatu kita teguh,
bercerai kita runtuh. Asal kita bersatu, siapakah yang dapat menandingi? Harap saudara Kongsun memberi
keputusan!”
Ketua Hek Gak mengerutkan wajah dan menjawab terbata-bata, “Ini..... sebagai ketua Hek Gak aku.....”
Permintaan Sin-bu Te-kun itu berarti menyuruh ketua Hek Gak takluk pada Sin-bu Te-kun. Suatu hal yang terlampau
berat bagi ketua Hek Gak.
“Bagaimana? Apakah saudara keberatan!” Sin-bu Te-kun mendesak.
“Ya, ya, setuju, setuju.....” akhirnya dengan wajah meringis, ketua Hek Gak menyahut, “memang seharusnya kubantukesulitan saudara dalam pertempuran di Sin-bu-kiong nanti!”
Sekalipun kedudukannya terpojok, namun ketua Hek Gak berusaha untuk menjaga gengsi dengan ulasan kata-kata
garang.
Tiba-tiba wajah Sin-bu Te-kun mengerut gelap, ujarnya, “Mungkin saudara belum menangkap kata-kataku. Maksudku
agar saudara menggabung pada Sin-bu-kiong atau jelasnya supaya Hek Gak masuk menjadi anak buah Sin-bu-kiong.
Segala apa harus menurut perintahku......” ia berhenti sejenak, katanya pula, “tetapi hendaknya saudara Kongsun
jangan cemas. Kesemuanya ini hanya rencana sementara. Begitu sudah berhasil, dunia persilatan akan menjadi di
bawah kekuasaan Hek Gak dan Sin-bu-kiong! Aku pasti tak akan...”
Walaupun di dalam hati benci sekali, namun ia tak berdaya dan terpaksa batuk-batuk, “Ya, ya , aku menurut saja!”
Percakapan yang dilakukan oleh kedua tokoh itu menggunakan ilmu menyusup suara, sehingga orang lain tak
mendengar sama sekali. Tetapi karena memakan waktu lama, Thian-leng pun tak sabar lagi, bentaknya, “Kalau tetap
tak lekas enyah, jangan menyesal kalau keputusanku berobah menjadi tak menguntungkan dirimu!”
Ia menutup peringannya dengan sebuah tamparan. terdengar deru angin menggelegar dan teriakan kaget dari para
hadirin....
Kiranya tamparan yang ditujukan pada Sin-bu Te-kun itu itu tidak langsung ditujukan pada orangnya, melainkan ke
sebelahnya.
Seketika tanah seluas dua meter di sisi Sin-bu Te-kun meranggas hangus. Sampai beberapa lama api baru padam.
Sekalian orang terkejut bukan kepalang.
Pukulan yang dapat membakar tanah...... Di dunia persilatan mungkin tak ada orang kedua yang memiliki ilmu
pukulan semacam itu.
Sin-bu Te-kun mundur beberapa langkah. Wajahnya pucat seperti kertas. Beberapa saat baru ia dapat menenangkan
hatinya. Dengan dengusan mengejek yang disengaja untuk menutupi ketakutannya, segera ia memutar diri dan
melangkah pergi.
Tiba-tiba terdengar raung seperti singa. Sesosok tubuh gendut loncat ke muka Thian-leng.
Thian-leng terkesiap, serunya, “Locianpwe, apakah kau sudah sembuh?”
Kiranya yang tegak di hadapannya itu ialah Bok Sam-pi, tokoh linglung yang bertubuh gemuk.
“Buyung, ayo kita bertanding sejurus lagi!” Bok Sam-pi menggerung. Walaupun linglung, namun ia masih ingat akan
pertempuran di gunung Thay-heng-san tempo hari.
Karena belum memperdalam ilmu ajaran It Bi siangjin, Thian-leng lebih parah lukanya, walaupun begitu Bok Sam-pi
pun harus beristirahat lebih dari sebulan untuk memulihkan lukanya.
“Bok cong-hou-hwat!” cepat-cepat ketua Hek Gak meneriaki.
“Ya, hamba di sini!” Bok Sam-pi tertegun.
“Sebelum mendapat perintahku, tak boleh bertindak sendiri , mengapa kau…..”
“Dalam kedudukan sebagai guru dan murid, siapakah yang harus mendengar perintah?” di luar dugaan Bok Sam-pi
marah.
Jago tua itu selama hidup jarang menderita kekalahan. Bencinya terhadap Thian-leng benar-benar merasuk tulang. Ia
tak menghiraukan peringatan ketua Hek Gak lagi.
Ketua Hek Gak semakin gelisah. Ia tahu bahwa kalau Bok Sam-pi menempur Thian-leng, tentu akan kalah. Tiang
andalan satu-satunya hanyalah pada Bok Sam-pi. Jika Bok Sam-pi sampai kenapa-napa, ia tentu akan kehilangan
tiang andalannya.
“Locianpwe, apakah kau tak ingat pada cucumu Bok Ceng-ceng?” masih Thian-leng bersabar. Dia berusaha hendak
menyadarkan ingatan jago tua itu. Mungkin dengan mengemukakan Ceng-ceng, Bok Sam-pi akan pulih
kesadarannya.
Di luar dugaan, usaha Thian-leng itu malah menimbulkan kebalikan. Bok Sam-pi marah sekali dan membentak-
bentak, “Siapa suruh kau mengatakan anak perempuan itu!” sekoyong-konyong ia menghantam.
Thian-leng tahu bahwa orang tua itu masih hilang ingatannya. Maka ia tak mau menandingi dan hanya menghindar ke
samping saja.
Bok Sam-pi terkesiap. Ia kaget menyaksikan kegesitan si anak muda menghindar. Tubuh Thian-leng berputar-putar
seperti angin dan tahu-tahu sudah beberapa meter di sebelah kirinya.“Suhu!” kembali ketua Hek Gak meneriaki dengan cemas.
Tetapi Bok Sam-pi tetap tak mau menghiraukan dan membentak Thian-leng, “Buyung, mengapa kau tak berani
menyambut pukulanku!”
“Locianpwe, aku tak bermusuhan denganmu. Mengapa locianpwe berkeras hendak membunuh aku?”
Sebenarnya Sin-bu Te-kun sudah melangkah pergi, tetapi begitu Bok Sam-pi menantang Thian-leng, ia menghentikan
langkahnya dan mengikuti perkelahian itu.
Ketika melihat ketua Hek Gak gelisah, segera ia menghampirinya.
“Saudara Kongsun, apakah obat pembius sudah punah dayanya?” tegurnya dengan ilmu menyusup suara.
Ketua Hek Gak menggeleng, “Tak mungkin! Kekuatan obat itu dapat bertahan sampai petang hari!”
“Kalau begitu..... ”
Antara suami isteri
“Dengan beberapa patah kata, aku dapat menguasainya!” seru Sin-bu Te-kun.
“Apakah saudara Ki bergurau?” ketua Hek Gak menegas girang.
Wajah Sin-bu Te-kun mengerut serius, “Masakah dalam saat seperti sekarang aku bergurau?”
“Kalau benar, aku taat dan ikhlas untuk menjadi orang bawahan sin-bu-kiong!”
Sin-bu Te-kun tertawa sinis. Tiba-tiba ia menggunakan ilmu menyusup suara kepada Bok Sam-pi, “Tahukah Bok
locianpwe saat ini berada di tempat apa?”
Bok Sam-pi yang sebenarnya hendak melontarkan pukulan lagi, tiba-tiba tertegun mendengar kata-kata Sin-bu Te-
kun. Sesaat kemudian ia menyahut dengan ilmu menyusup suara juga, “Apa hubungannya dengan diriku?”
“Banyak sekali locianpwe,” kata Sin-bu Te-kun, “perlukah kukatakan?”
“Katakanlah!”
“Kesatu, di hadapan sekian banyak jago-jago dari seluruh penjuru, kemarahan locianpwe untuk bertempur dengan
seorang anak muda, dapat menurunkan derajat locianpwe. Kedua, pertempuran di gunung Thay-heng-san antara
locianpwe dengan budak liar itu belum banyak yang tahu. Kalau sekarang locianpwe hendak mengulangi lagi, apakah
tidak berarti memberitahukan orang-orang?
Ketiga, sepuluh hari lagi budak itu tentu akan datang ke Sin-bu-kiong, akan kuatur supaya cianpwe dapat
mengahjarnya dan kusiapkan segala sesuatu agar budak itu jangan sampai lolos.
Dan keempat.....”
Bok Sam-pi yang semula terlongong-longong, tiba-tiba tertawa mengekeh, serunya,“Benar! Benar! Kuterima
usulmu....” kemudian ia berpaling kepada Thian-leng, “Budak, kuberi engkau hidup sepuluh hari lagi!”
Dan tanpa menghiraukan sahutan orang lagi, jago tua itu berputar dan terus melangkah pergi dengan kepala
menengadah.
Thian-leng meringis. Sekalipun ia tak tahu apa yang dibicarakan antara Sin-bu Te-kun dan Bok Sam-pi tadi, tapi ia
mempunyai dugaan bahwa Bok Sam-pi tentu kena ditipu. Diam-diam ia kasihan dengan locianpwe yang kehilangan
pikirannya itu. Sayang ia belum dapat mempelajari ilmu pengobatan dari kitab It Bi siangjin, sehingga tak dapat
menolong jago tua itu.
Bok Sam-pi tak menghiraukan semua orang. Dia terus melangkah keluar. Ketua Hek Gak segera memberi isyarat
kepada anak buahnya. Seluruh rombogan Hek Gak pun segera mengikuti Bok Sam-pi. Sin-bu Te-kun, Lam-yau, Pak-
koay, Bu-ciu su-seng dan rombongan Sin-bu-kiong pun segera angkat kaki.
Karena pemimpinnya tak memberi komando, anak buah Tiam-jong-pay dan Thiat-hiat-bun pun tak berani mencegah
mereka.
Saat itu fajar mulai menyingsing. Hanya kurang lebih setengah jam lamanya, Sin-bu Te-kun dan ketua Hek Gak
datang dengan semangat menyala-nyala, tetapi pergi dengan nyali pecah. Sekalian hadirin menyaksikan kejadian itu,
tetapi mereka tak berani bicara dengan mulut melainkan dalam hati. Ada sebagian besar yang masih menganggap
bahwa pihak Sin-bu-kiong adalah bintang penolong, yang akan menyelamatkan dunia persilatan Tiong-goan dari
kekejaman Hun-tiong Sin-mo dan Thiat-hiat-bun.
Kepergian jago-jago yang mereka harapkan kemenangannya itu, meninggalkan kegelisahan di kalangan hadirin.
Lebih-lebih ketiga cuncia dari Siau-lim-si dan rombongan ke sembilan partai. Mereka kenal Thian-leng. Mereka merasa
telah membuat kesalahan pada pemuda itu, yaitu telah melemparkannya ke dalam sungai. Rasa takut segera
mencengkam mereka. Biasanya anak muda tentu berdarah panas dan suka mendendam. Apabila pemuda itu akanmenuntut balas, ah..... ngeri mereka membayangkan.
Tetapi apa yang terjadi, benar-benar di luar dugaan mereka. Thian-leng sama sekali tak menghiraukan rombongan
sembilan partai. Tampaknya pemuda itu sudah lupa pada apa yang terjadi di selat Sing-sim-kiap dulu. Dia hanya
sibuk berbicara dengan ketua Thiat-hiat-bun saja.
Yang lucu adalah kedua tokoh Im Yang song-sat. Semula kedua orang itu ikut Cu Siau-bun, tetapi ketika Thian-leng
muncul, mereka segera terbirit-birit melarikan diri.
Sejenak melayangkan pandangan ke medan perjamuan, tertawalah Jenggot perak, serunya nyaring, “Berhubung ada
sedikit keributan, maka sampai mengganggu medan perjamuan. Dalam hal ini kuharap saudara-saudara suka
memaafkan!”
Pernyataan ketua Thiat-hiat-bun itu benar-benar melegakan dada hadirin. Mereka tersipu-sipu membalas hormat
kepada tuan rumah. Keteganganpun menjadi agak reda.
“Li-ciangbun!” tiba-tiba Jenggot perak berseru kepada Li Cu-liong ketua Tiam-jong-pay.
(bersambung ke jilid 27)
Jilid 27 .
Li Cu-liong buru-buru maju. “Apakah pesan gihu?”
Ketua Thiat-hiat-bun berkata dengan keren, “Medan pesta telah berobah menjadi medan pertempuran. Kegembiraan
para tamu kita terganggu.... Entah makan waktu berapa lama untuk mengembalikan meja kursi yang telah morat-
marit ini?”
“Setengah jam cukup!” sahut Li Cu-liong.
“Kalau begitu harap Li Ciangbun suka menyuruh orang untuk mengatur lagi!”
Li Cu-liong mengiyakan.
Jenggot perak menatap Thiat-beng dan Hun-tiong Sin-mo Cu Giok-bun. Tiba-tiba ia berputar dan lalu berjalan menuju
ke markas Tiam-jong-pay. Walaupun kebakaran tadi cukup besar, tetapi di dalam markas masih terdapat banyak
ruangan yang masih utuh.
Jenggot perak tak menuju ke ruangan besar, tetapi ke belakang markas. Di situ terdapat sebuah hutan kecil, yang
walaupun tak lebat, namun cukup sepi. Ketika berada di tengah hutan, ia berhenti. Tanpa memalingkan tubuh ia
sudah tahu bahwa Pok Thiat-beng, Cu Giok-bun, Siau-bun, Bu-song serta si pengemis sakti Thiat-ik Sin-kay
mengikutinya.
“Thiat-beng.....!” serunya tanpa berpaling kepala.
“Gakhu, apakah selama ini kau baik-baik saja?” Thiat-beng tertegun menghela napas. Gakhu artinya ayah mertua.
“Ngaco, apakah aku tak sehat?” lengking si Jenggot perak.
Thiat-beng kemerah-merahan wajahnya.
Jenggot perak tertawa, “Anak tolol, mengapa seorang yang sudah berumur empat puluhan tahun masih seperti
kanak-kanak. Apakah tak mau mengakui kesalahan yang dulu?”
Thiat-beng terdesak. Berpaling ke arah rombongan yang berada di situ, merahlah mukanya. Tetapi tanpa ragu-ragu ia
segera menghampiri ke muka Hun-tiong Sin-mo Cu Giok-bun.
“Giok-bun, dahulu.........akulah yang bersalah!” serunya dengan perlahan.
Hun-tiong Sin-mo Cu Giok-bun merah mukanya. Namun karena di hadapan anaknya dan beberapa orang lain, ia
merasa malu.
“Tujuh belas tahun lamanya!” tiba-tiba dari mulutnya meluncur kata-kata sayu.
“Ya, ya, tujuh belas tahun……” Thiat-beng menyambuti.
Keduanya tenggelam dalam kenangan. Salah paham pada tujuh belas tahun berselang, menimbulkan berbagai duka
nestapa. Banyak sekali hal-hal yang telah terjadi selama tujuh belas tahun itu. Setelah berpisah selama tujuh belas
tahun, kini mereka berjumpa pula. Lama, lama benar kedua suami isteri itu terbenam dalam lautan kenangan…..
Thiat-beng mengusap dua titik air mata yang mengucur di celah matanya. “Giok-bun, aku…. berdosa padamu,
aku……”“Ah, kau tak bersalah. Semuanya itu, akulah yang paling bersalah…..”
“Tidak!” Thiat-beng berkeras, “Kumaksudkan ….. sejak kutinggalkan engkau ….”
“Teringat akan ibu dan anaknya?”
“Oh, kau sudah tahu?”
“Aku tak menyesalinya,” kata Giok-bun. “Aku tahu waktu itu kau kesepian?”
“Bukan maksudku untuk menghianatimu, selama tujuh belasa tahun itu telah banyak mengalami perubahan, namun
hatiku tidak sedikitpun berubah. Walaupun kepergianku membawa semua kemarahan, kegalauan dan bermaksud
untuk mengasingkan diri karena kekecewan hati, ditambah aku beristeri lagi, tak pernah aku melupakan dirimu.
Sebenarnya aku berniat pulang, namun aku merasa takut kalau kau membenciku, maka .........”
Hun-tiong Sin-mo Cu Giok-bun menundukkan kepala penuh haru dan katanya, “Aku....pun begitu juga, tetapi tak
sekeras hatimu. Andaikata kutahu tempat tinggalmu tentu........ akan segera kususul!”
Thiat-beng menatap isterinya dengan penuh kasih, “Giok-bun, maafkanlah aku, marilah kita susun kembali tali kasih
kita dan membangun kembali mahligai rumah tangga kita yang telah berantakan. Marilah kita ...” Tiba-tiba pecahlah
suara tangis. Ah, kiranya si dara Pok Lian-ci yang menggelendot pada batang pohon dan menangis tersedu-sedu.
Thiat-beng menghampirinya, “Ang-ko.....”
Tetapi dara itu tetap menangis tak mau menghiraukan ayahnya. Hun-tiong Sin-mo yang ikut menghampiri tersenyum.
Ujarnya dengan ramah, “Nak, apakah kau tak suka mempunyai seorang ibu seperti aku?”
Tiba-tiba dara Lian-ci mengangkat kepala dan tangan berserabutan menolak, “Tidak, aku tak bermaksud begitu......”
Hun-tiong Sin-mo melangkah selangkah lagi dan memeluknya, “Nak, mengapa kau menangis?”
“Seharusnya dahulu ayah .......tak membohongi aku! Kuteringat akan mendiang ibuku!”
Hati Pok Thiat-beng seperti disayat. Dua butir air mata mengalir dari kelopaknya. Sampai lama mereka tak dapat
berkata-kata.
Tiba-tiba Hun-tiong Sin-mo Cu Giok-bun memecah kesunyian, “Siau-bun, mari kita pergi!”
“Pergi? Me...ngapa?” Siau-bun tergagap.
Thiat-beng pun terbelalak. Ia baru tahu bahwa gadis cantik yang berada di hadapannya itu adalah puterinya sendiri.
“Kau Siau-bun?” serunya gugup.
Tiba-tiba Siau-bun melengking menangis, “Yah, kau...... menyiksa mamah..”
Thiat-beng gelagapan. Ia berpaling kepada Hun-tiong Sin-mo, “Apakah karena Lian-ci, kau lantas mau pergi?”
Hun-tiong Sin-mo menggelengkan kepala, “Sebagian memang begitu, tetapi masih ada lagi lain hal yang memaksa
aku harus pergi!”
“Bolehkah aku mengetahui?”
“Tahukah kau bahwa aku adalah ahli waris dari Hun-tiong Sin-mo?”
“Aku .... tahu!”
“Tahukah kau mengapa aku memakai she Cu?”
“Ini .... ” Thiat-beng terkesiap sesaat, “aku tak tahu!”
Hun-tiong Sin-mo Cu Giok-bun menghela napas, ujarnya “Kalau diceritakan panjang sekali. Saat ini hanya dapat
kututurkan secara singkat. Jika dahulu tak berjumpa dengan seorang penolong she Cu, mungkin kami ibu dan anak
tentu sudah mati!”
“Eh, mengapa kau tak memberitahukan hal itu kepadaku? Apakah kau mendapat ayah angkat?” tiba-tiba Jenggot
perak menyeletuk.
“Hubungannya tak sampai di situ saja!” sahut Cu Giok-bun dengan tegas.
“Lalu ....”“Yah, kau hatus memaafkan. Orang tua she Cu itu telah melepas budi sebesar lautan kepadaku. Dia tak ubahnya
seperti ayah kandungku sendiri. Kalau tak ada dia, tak mungkin aku bertemu dengan suhu. Tak menjadi ahli waris
dari Hun-tiong-hu.”
Ia berhenti sejenak lalu melanjutkan pula, “Karena itu maka aku telah mengucapkan sumpah di hadapannya, akan
merawatnya sampai mati dan mengganti she dengan she Cu, menganggapnya sebagai ayah kandung sendiri.....”
“Hai, apakah dia bukan Tabib sakti Cu Thian-hoan?“ celetuk Jenggot perak.
Cu Giok-bun mengerutkan alis, “Benar, memang dia.”
“Dia .... adalah sahabatku juga! Sekarang ...... apakah dia tak kurang suatu apapun?”
Cu Giok-bun tertawa rawan, “Seorang yang banyak menolong jiwa manusia dan berbuat kebaikan, pada hari tuanya
malah menderita penyakit....”
“Eh, apakah sakitnya?”
“Entahlah, aku tak tahu. Hanya kaki tangannya terasa lemas, tak bertenaga sama sekali. Bangun dan bergerak harus
dibantu orang!”
“Di mana dia sekarang?”
“Di Hun-tiong-hu!”
Jenggot perak mengelus-elus jenggotnya, tertawa, “Nak, meskipun kau sudah berganti she Cu, aku tak menyalahkan.
Membalas budi adalah perbuatan yang mulia. Apalagi Cu Thian-hoan itu juga sahabatku sendiri.”
Sejenak ia mengedarkan pandangan, lalu berkata pula, “Setelah urusan di sini selesai, mungkin aku hendak
menjenguk ke Hun-tiong-san menyambangi si tua itu....”
“Kalau begitu, maaf, aku hendak pulang dulu!” kata Cu Giok-bun.
“Pulang ke Hung-tiong-san?”
“Ya, aku harus lekas-lekas menjenguk ayah angkatku itu,”sahut Cu Giok-bun, kemudian ia memandang Thiat-beng,
ujarnya, “Tetapi nanti sepuluh hari lagi, aku hendak ke Sin-bu-kiong mencari budak hina Ma Hong-ing, agar apa yang
terjadi dahulu menjadi terang semua!”
Thiat-beng hendak membuka mulut tetapi sukar bicara.
“Siau-bun, apakah kau tak ikut mamah?” tegur Cu Giok-bun kepada si dara. Lalu dipandangnya Thian-leng dengan
tatapan tajam. Thian-leng tersipu-sipu menundukkan kepala. Banyak nian yang berkecamuk dalam hatinya, sehingga
sesaat ia tak dapat berkata apa-apa.
Walaupun mulutnya mengiyakan tetapi berat sekali kaki Siau-bun bergerak. Juga wajah Jenggot perak tegang. Cu
Giok-bun telah menceritakan kepadanya tentang hubungan Siau-bun dengan Thian-leng dan perjanjian hidup mereka.
Bahkan yang lebih lanjut, tentang hubungan yang sudah melampaui batas antara kedua anak muda itu. Siau-bun
sudah tentu tak mau pergi.....
Yang agak mendingan adalah si dara Bu-song. Ia sudah mempunyai keyakinan bahwa Thian-leng telah mengikat
pertunangan dengannya. Ia tak kuatir pemuda itu akan meninggalkannya lagi. Biarkan Siau-bun berusaha setengah
mati untuk merebut, tentu tak mungkin dapat merobah ikatan itu. Sayang, ia tak tahu apa yang telah terjadi antara
Siau-bun dengan pemuda tunangannya itu. Begitu pula hubungan Thian-leng dengan kedua taci beradik Ki, Bu-song
sama sekali tak tahu.......
Hun-tiong Sin-mo Cu Giok-bun tak sabar lagi. Memang sebenarnya ia tak bermaksud sungguh-sungguh untuk
mengajak putrinya pergi. Tetapi hal itu hanya siasat saja agar Thian-leng memberi reaksi. Siapa tahu, di luar dugaan
Thian-leng tak memberi reaksi apapun dan Siau-bun pun enggan pergi. Suatu hal yang membuat Hun-tiong Sin-mo
risih.
“Siau-bun, karena kau tak suka ikut, terpaksa aku akan pergi sendiri!” serunya sesaat kemudian.
Siau-bun tergopoh-gopoh menyusul, serunya dengan rawan, “Mah, silakan berjalan dulu, aku tentu akan menyusul!”
“Sesukamulah,” kata Hun-tiong Sin-mo seraya melesat pergi.
Thiat-beng hendak mengucapkan sesuatu, tetapi mulutnya terasa berat. Suasana hening seketika. Hanya angin pagi
yang berhembus menusuk kulit.
Lian-ci sudah berhenti menangis. Kedua kelopak matanya bendul. Sekonyong-konyong kesunyian itu tergetar oleh
munculnya sesosok bayangan. Ah, ternyata Li Cu-liong ketua Tiam-jong-pay yang melapor kepada Jenggot perak
bahwa medan perjamuan telah disiapkan lagi.“Apakah hidangan sudah dikeluarkan,” tanya Jenggot perak.
“Sudah!”
“Bagaimana sikap para tamu?”
“Ini ...”
“Bagaimana,” tegur Jenggot perak.
“Tampaknya mereka diliputi oleh kecemasan. Apapun yang Gihu rencanakan rupanya mereka hanya menurut saja,”
jawab Li Cu-liong.
Jenggot perak melirik Bu-song, Thiat-beng dan lainnya. Ia paksakan tertawa, “Sebagai tuan rumah sudah tentu aku
tak mau mengecewakan mereka..... silakan kalian bercakap-cakap, aku hendak melayani mereka!”
Thiat-beng mempersilakan ayah mertuanya. Walaupun memikirkan diri puterinya dan anak mantunya, namun
terpaksa Jenggot perak harus menjamu para tamunya.
Kepergian Jenggot perak itu kembali meninggalkan kesepian. Siau-bun perlahan-lahan menghampiri Thian-leng,
serunya lirih, “Engkoh Leng!”
Baru pertama kali itulah ia memanggil Thian-leng seperti itu. Walaupun sudah dibesarkan nyalinya, namun nadanya
tetap bergetar juga.
Wajah Thian-leng agak berubah. Ia menyurut mundur dua langkah. Mulutnya bergerak-gerak tetapi tak dapat
mengucapkan kata-kata.
Pok Thiat-beng pun mengerutkan dahi, serunya, “Siau-bun!”
Tahu Pok Thiat-beng itu ayahnya, tetapi karena sejak kecil ia tak pernah berkumpul, maka perasaannyapun seperti
orang asing.
“Ayah hendak memesan apa?” serunya hambar.
Thiat-beng sedikit banyak dapat mengetahui hubungan kedua anak muda itu, serunya dengan tegang, “Thian-leng
sekarang menjadi putera angkatku. Kalian harus berbahasa engkoh-adik!”
Dendam dan Kasih
“Berbahasa engkoh dan adik?” tiba-tiba Siau-bun tertawa acuh.
“Itulah sudah selayaknya!” sahut Thiat-beng.
Siau-bun tertawa manja, “Yah, tahukah kau siapa di antara kami berdua yang lebih tua? Kalau aku lebih tua beberapa
hari, bagaimanakah harus memanggilnya?”
Thiat-beng tertegun. Ia tak menyangka bahwa puterinya ternyata seorang gadis yang pandai bicara.
“Sudah tentu ayahmu tahu. Panggillah ia engkoh!”
Tetapi Siau-bun seorang gadis yang berhati keras. Untuk menumpahkan kemengkalan, ia berseru dengan nada sinis,
“Oh, engkoh Leng, kuhaturkan selamat padamu.”
“Adik ... Adik ....” Thian-leng tergagap-gagap.
“Apa yang hendak kau perintahkan?” Siau-bun tertawa dingin.
Merah seketika telinga Thian-leng, serunya, “Mana aku berani memberi perintah padamu, hanya .... ada sebuah hal
yang perlu kuberitahukan padamu!”
“Katakanlah saja!”
Baru Thian-leng hendak berkata, Bu-song sudah mendahului, “Piauci, bolehkah aku bicara beberapa patah padamu?”
Siau-bun meliriknya, “Tentu, apa halangan bicara beberapa patah saja?”
Bu-song muramkan wajah, “Apakah kau tahu dia……. berhubungan dengan aku?”
Siau-bun tertawa dingin, “Mengapa tidak? Kakek telah menjodohkannya dengan kau, bukan?”Wajah Bu-song merah, “Kalau sudah tahu ya sudah. Tetapi mengapa kau terus-menerus melihatnya saja?”
Seketika merahlah wajah Siau-bun, lengkingnya, “Ngaco! Jika tak memandang muka kakek, tentu sudah kutampar
mulutmu!”
Dan bertengkarlah kedua dara itu dengan ngotot. Sekalian orang tak mengerti apa persoalan mereka.
“Berhenti!” tiba-tiba Thiat-beng membentak Bu-song yang hendak bicara. Nadanya menggeledek penuh wibawa.
Kedua dara itupun bungkam. Mereka saling berpandangan dengan mata melotot.
Thiat-beng mengerutkan dahi. Ditatapnya Siau-bun dengan tajam, “Apa katamu tadi?”
Siau-bun tertegun. Sahutnya dengan terbata-bata, “Mengapa ayah tak langsung menanyainya?” katanya seraya
melirik pada Bu-song.
Si dara Bu-song merah pipinya dan menunduk.
Setelah memandang pada Thian-leng, Pok Thiat-beng pun menghamapiri Bu-song, serunya dengan tertawa,
“Bilanglah, putera-puteri persilatan pantang bersikap malu-malu!”
Bu-song menenangkan hatinya lalu mengangkat muka, “Belum lama ini atas kehendak kakek, aku telah…..
dijodohkan padanya!”
“Benarkah itu?” Thiat-beng terkejut.
“Silakan paman bertanya pada kakek!”
Thiat-beng menyurut mundur, keningnya agak mengerut dan mulutnya berkemak-kemik “Celaka! Celaka! Ini ....” ia
berpaling kepada Thian-leng, serunya, “Benarkah itu?”
Thiat-beng membanting-banting kaki, “Mengapa tak kau katakan hal ini dari dulu?”
“Semula memang anak hendak menceritakan hal itu kepada gihu. Tetapi karena gihu melarang aku banyak bicara,
jadi sampai sekarang belum ......”
Memang Thiat-beng teringat hal itu dan bahkan pernah memaksa pemuda itu menikah dengan Ki Seng-wan.
“Ah, aku yang salah, akulah yang mencelakai kalian ....” Akhirnya ia menghela napas.
“Paman, apa kesalahanmu? Ini,…. apa artinya?” seru Bu-song dengan heran.
“Tahukah kau bahwa Thian-leng sudah menjadi calon suami orang?” seru Thiat-beng.
Bu-song mendesak kaget, “Apa?”
“Thian-leng sudah mempunyai isteri!”
“Benarkah ...?” Bu-song melengking kaget. Lebih kaget dari mendengar halilintar menyambar di tengah hari.
Tubuhnya gemetar hampir tak kuat berdiri lagi. Ia tekan keras supaya darahnya jangan meluap keluar dari mulut.
Juga Siau-bun gemetar. Wajahnya pucat seperti kertas. Kegoncangan hatinya tak kalah dengan Bu-song.
“Sudah tentu sungguh!” jawab Thiat-beng.
Bu-song segera mengalihkan matanya menatap Thian-leng, serunya kalap, “Kau .... terlalu....” dia tak dapat
melanjutkan kata-katanya lagi karena tersekat oleh tangis.
“Tak dapat menyalahkannya, akulah yang bersalah!” Thiat-beng menghela napas.
Bu-song mengusap air matanya, ujarnya, “Kalau begitu perkawinannya itu atas kehendak paman?”
“Be..... nar ....”
“Siapa isterinya?”
“Ki Seng-wan!”
“Ki Seng-wan? .... eh, puteri kedua dari Sin-bu-kiong?”
“Ya, tetapi mereka berdua taci beradik itu baik-baik, dan pula ...”
“Paman, aku ……benci kau” tiba-tiba Bu-song menjerit.Thiat-beng mengerutkan dahi tak bicara. Dia tak tahu peristiwa Thian-leng dengan Bu-song. Jika tahu tentu takkan
dipaksanya Thian-leng menikah dengan Ki Seng-wan. Tetapi apa mau dikata, nasi sudah menjadi bubur. Bahwa Bu-
song menyatakan kebenciannya, Thiat-beng tak dapat berbuat apa-apa. Ia mandah saja!
Sebenarnya Bu-song hendak menghambur kemarahannya, tetapi ketika melihat Thiat-beng terlongong-longong diam,
kemarahannya pun menurun. Tiba-tiba ia memutar dan melesat pergi…..
“Bu-song, kembalilah!” Thiat-beng berseru kaget.
Tetapi dara itu tak mau mempedulikan, bahkan berteriak, “Aku takkan kembali selama-lamanya dan takkan menemui
kalian lagi!”
Sembari berlari dara itu sudah menyelinap jauh. Thiat-beng termangu-mangu tak dapat berbuat apa-apa. Mau
mengejar tak enak, tidak mengejarpun tak enak. Bagaimana ia harus bertanggung jawab kepada Jenggot perak
apabila dara itu sampai kena apa-apa.
“Adik Song, tunggulah!” tiba-tiba Siau-bun berteriak.
Bu-song yang sudah jauh terpaksa berhenti. Sambil berpaling ia tertawa sinis, “Perlu apa kau hendak mencari aku?
Apakah kau hendak menuduh aku melarikannya?”
Sekejap saja Siau-bun telah tiba di hadapan dara itu, “Adik Song, sekarang kita harus bersatu padu!”
“Apa guna bersatu padu? Toh dia sudah menikah dengan orang lain!”
Siau-bun tertawa getir, “Lalu bagaimana kalau menurut pendapatmu?”
“Kita aduk-aduk sampai kacau balau baru kemudian mencukur rambuk masuk menjadi rahib!”
“Apakah cara itu tepat?” Siau-bun tertawa tawar.
“Lalu bagaimana pendapatmu?”
“Kalau tak dapat memperolehnya, jangan sampai orang lain bisa mendapatkannya!” sahut Siau-bun.
“Tetapi orang sudah mendapatkannya, nasi sudah menjadi bubur, apa daya kita?”
“Hancurkan mereka!” Siau-bun menjerit sengit.
“Hancurkan .....?” Bu-song mengerutkan dahi, lalu berseru, “Bagus, pikiranmu tepat!”
Siau-bun berseru gembira, “Suami isteri yang berantakan jauh lebih menderita dari kekasih yang patah hati!”
Tiba-tiba Bu-song mengerutkan kening, “Rencana sih bagus tapi bagaimana pelaksanaannya?”
“Eh, kau biasanya cerdik mengapa sekarang tak dapat memikirkan hal itu?” Siau-bun tertawa.
Bu-song agak kemerah-merahan mukanya. “Kalau kau hanya hendak mengolok-olok saja, lebih baik jangan
mengganggu aku!”
Siau-bun tersenyum lalu membisik ke telinga Bu-song, wajah Bu-song segera berseri gembira. “Benar, siasatmu itu
memang tepat. Kita memang bukan orang baik-baik. Jika tak suruh mereka merasakan pil pahit, hati kita tentu tak
lega.”
Siau-bun segera mengajak berangkat. Dalam beberapa loncatan, kedua gadis itu pun sudah lenyap.
Semula Thiat-beng mengira Siau-bun hendak menasehati Bu-song. Ia tak mengira kalau gadis itu malah mengajak
lari.
“Thian-leng, lekas kejar!” serunya gelagapan.
“Gihu ... ” baru Thian-leng hendak berkata. Thiat-beng sudah membentak, “Lekas kejar!”
Thian-leng segera loncat menyusul.
ooo000ooo
Menjerat Kerbau
Bu-song dan Siau-bun tahu bahwa Thian-leng mengejar mereka, namun mereka pura-pura tak menghiraukan dan lari
sekencang-kencangnya.“Hai, kalian berhenti dulu,” teriak Thian-leng.
“Piauci, rencana berhasil. Manusia lupa budi itu mengejar!” Bu-song berseru kepada Siau-bun dengan ilmu menyusup
suara.
Siau-bun menyahut dengan ilmu menyusup suara juga, “Asal rencana pertama berhasil, kemungkinan besar kita
tentu berhasil!”
Kedua gadis itu mempercepat larinya. Sebenarnya Thian-leng dapat menyusul tetapi ia tahu watak kedua gadis yang
keras kepala itu. Maka ia sengaja memperlambat larinya. Dalam sekejap saja mereka sudah mencapai tiga-empat li
jauhnya. Kedua gadis itu lari sekencangnya tanpa menghiraukan teriakan Thian-leng lagi.
Akhirnya Thian-leng tak tahan lagi. Sekali empos semangat, ia melesat mendahului kedua gadis itu dan menghadang
mereka. “Harap kalian suka memandang mukaku..”
“Orang she Pok, hendak apa kau!” tukas Siau-bun.
“Kau hendak merintangi kami?” lengking Bu-song.
Thian-leng tertawa hambar. “Aku mempunyai kesukaran yang susah kukatakan, harap nona berdua suka memafkan
... sejak saat ini aku berjanji hendak memperlakukan kalian berdua sebagai adik kandung. Untung ....”
“Jangan banyak bicara, lekas menyingkir!” bentak Bu-song.
Siau-bun ikut menyeletuk, “Menempuh beribu kesulitan, sayang hanya bersua dengn orang yang tak bertanggung
jawab. Adik song, mari kita ambil jalan lain saja!”
“Ya, ya, mari kita belok ke jalan ini!” sahut Bu-song seraya melesat ke jurusan lain.
Thian-leng cepat mengayunkan diri menghadang mereka lagi. “Harap nona berdua berpikir masak-masak, jangan
hanya menuruti hawa marah.....”
Tetapi kedua nona itu tidak menghiraukannya dan tetap berjalan maju. Thian-leng terpaksa melintangkan kedua
tangannya. “Andaikata aku bersalah, harap nona suka .....”
“Eh, apakah kau hendak berkelahi?” teriak Siau-bun.
“Tidak!” buru-buru Thian-leng menyahut.
“Kalau tidak mengapa kau gerakkan kaki dan tanganmu?” teriak Bu-song.
Thian-leng tertawa meringis. “Eh, mengapa kalian begini pemarah?”
Kedua gadis itu tertawa dingin dan tetap melesat dari samping Thian-leng. Karena gugup, Thian-leng melintangkan
lagi tangannya.
“Fui, laki dan perempuan tak boleh bersentuhan. Mengapa kau begitu tak tahu aturan?” bentak Siau-bun. Tiba-tiba ia
mengayunkan tangannya...
Plak .... karena tak menduga, pipi Thian-leng kena tampar. Lima buah bekas jari-jari halus melekat di pipinya. Dan
dari ujung mulutnya mengalir darah.
Bu-song tertegun. Ia tak menyangka Siau-bun bertindak demikian. Tetapi melihat keadaan Thian-leng yang meringis-
ringsi, ia tertawa geli.
Thian-leng malu dan menyesal tetapi ia tak berani berkata apa-apa. Dilepasnya kedua nona itu dengan mata
terlongong-longong. Setelah beberapa saat, barulah ia ayunkan langkah mengikuti mereka.
Ia tahu bahwa kedua nona itu tentu mendendam sekali kepadanya. Mereka rela berkorban segalanya. Maka dapat
dimengerti bagaimana terpukulnya hati mereka ketika mendengar ia sudah menikah dengan lain nona. Melihat watak
mereka, bukan mustahil mereka akan melakukan hal-hal yang sukar diduga. Dan andaikata terjadi sesuatu dengan
mereka, bukan saja ia harus mempertanggung jawabkan kepada Jenggot perak dan Hun-tiong Sin-mo Cu Giok-bun,
ia sendiri juga akan tersiksa seumur hidup.
( bersambung ke jilid 28)
Jilid 28 .
Kalau yang mengikuti dicengkeram kecemasan, yang diikuti sebaliknya malah riang gembira. Berjalan perlahan-lahan
sambil bercakap-cakap. Bagaikan tingkah pemburu, mereka mengambil jalan di lereng gunung curam.
Thian-leng benar-benar tersiksa perasannya, tetapi ia tak dapat berbuat apa-apa kecuali mengikuti saja kurang lebihduapuluhan tombak di belakang mereka. Ketika matahari tenggelam, barulah kedua nona itu berhenti di sebuah kuil
kecil.
“Cici, hari sudah malam, kita bermalam di kuil ini saja!” kata Bu-song.
Siau-bun mengangguk, “Baik, sehari suntuk perut kita tak terisi. Mari kita buat sate kelinci yang kutangkap di hutan
tadi,” sahut Siau-bun.
Sambil bercakap-cakap diseling tertawa-tawa, kedua nona itu membuat api dan membakar kelinci. Tampaknya
mereka riang gembira. Thian-leng yang bersembunyi di balik sebuah batu yang berada sepuluhan tombak di luar kuil,
hanya mengigit jari saja. Bau sate kelinci yang dibawa oleh angin malam, benar-benar mengelitik perutnya. Air
liurnyapun beberapa kali terpaksa ditelannya.
Tetapi karena sikap kedua nona yang begitu dingin, ia tak berani menghampiri ke dalam kuil. Terpaksa ia mengawasi
mereka di luar saja.
Menjelang tengah malam, tak terdengar lagi percakapan kedua nona. Rupanya mereka tidur nyenyak di dekat api
unggun. Sebaliknya Thian-leng tak berani memejamkan mata karena kuatir kedua nona itu lenyap.
Tiba-tiba dari dalam kuil terdengar suara helaan napas. Thian-leng terkejut. Jelas itulah suara helaan napas Bu-song.
Benar-benar ia tak dapat mengendalikan diri lagi. Ia memberanikan diri menghampiri ke dalam kuil. Melangkah ke
dalam ruangan kuil, barulah hatinya lega. Kedua nona itu tidur disamping api unggun.
“Adik Bun .... adik Song,” Thian-leng membangunkan dengan perlahan-lahan.
Siau-bun menggeliat bangun, “Eh, orang she Pok, mengapa kau kemari lagi?”
“Apakah adik Song Sakit?” sahut Thian-leng.
Tiba-tiba dara itu mencelat bangun. “Aku sakit atau tidak, apa pedulimu,” ia tengkurap lagi.
Thian-leng terkesiap, serunya, “Adik berdua ... mengapa kalian ini?”
Siau-bun tertawa tawar, “Apakah kau benar-benar menaruh perhatian kepada kami?”
“Biarlah langit dan bumi menjadi saksi isi hatiku. Mengapa kau tak dapat memaafkan aku?”
“Lalu mengapa kau....?”
Thian-leng menghela napas, “Mengapa bisa terjadi hal itu, ah ....”
Thian-leng masih menanyakan keadaan Bu-song.
“Jangan kuatir, dia hanya masuk angin karena mendongkol,” jawab Siau-bun. Ia memberi minum dara itu sebutir pil.
Tak berapa lama dara itupun sudah dapat bangun. Tetapi ketika melihat Thian-leng ia segera melengos.
Sampai sekian saat Thian-leng terlongong-longong, baru ia dapat berkata, “Apakah kalian masih marah kepadaku?”
“Seumur hidup membencimu, takkan kulupakan selama-lamanya!” teriak Bu-song dengan marah.
“Sekarang jangan turut campur urusan kami lagi!” celetuk Siau-bun.
Thian-leng menghela napas, “Jika kalian tak mau pulang, akupun takut menemui Lu dan Cu cianpwe dan ikut saja
pada kalian terus!”
Siau-bun tertawa mengikik, “Percuma kau ikut, toh takan kupedulikan...”
“Apakah kalian sungguh-sungguh membenci aku sedemikian rupa?” Thian-leng tertawa getir.
“Coba katakan apa maksudmu mengintil aku?” Siau-bun tertawa dingin.
“Untuk minta kalian pulang!”
“Boleh tetapi paling tidak harus memenuhi sebuah syarat!” kata Siau-bun.
“Jangankan hanya sebuah, tujuh-delapan bahkan sepuluh syarat pun aku sanggup memenuhi!” sahut Thian-leng
serentak.
Siau-bun tertawa, “Ah, sebenarnya bukan syarat yang sukar. Hanya asal kau mau mengatakan dengan sejujurnya!”
“Ah, aku tak pernah bohong. Silakan adik Bun bertanya?”Siau-bun memberi lirikan kepada Bu-song, ujarnya, “Apakah pernikahanmu dengan Ki Seng-wan itu keluar dari
setulus hatimu?”
“Bukan, tetapi karena didesak oleh ayahmu!” sahut Thian-leng tegas.
“Kau tak cinta padanya?”
“Ini .... dia pernah menolong jiwaku dengan ilmu Hian-im-kiu-coan dan karena itu ia telah kehilangan kehormatannya,
maka ......”
”Di mana ia sekarang?”
“Di rumah ayahmu di gunung Thay-heng-san!”
Siau-bun tertawa datar dan berpaling kepada Bu-song, “Adik, pertanyaanku sudah selesai.”
Bu-song mendengus, serunya. “Eh, sampai berapa jauh telah kau pelajari ilmu dalam kitab It Bi siangjin itu?”
“Ah, belum seberapa,” sahut Thian-leng.
“Apakah ada ilmu mengobati binatang beracun jenis Tok-jong!”
“Ada, tetapi aku belum sempat mempelajari.”
“Hm, pertanyaankupun selesai .... itu ada sisa sate kelinci, silakan makan!”
“Aku tak lapar!”
“Kau takut sate itu beracun?” Bu-song delikkan mata.
“Ah, adik Song terlalu menghina!” kata Thian-leng terus menyambar paha kelinci dan dimakannya.
Tetapi begitu daging kelinci masuk ke dalam perut, perutnya seperti diaduk. Serangkum hawa memuakkan
menghambur ke atas. Kepalanya serasa pusing dan bluk ..... jatuhlah ia tak sadarkan diri.
“Hola, taci, rencana kedua, berhasil!” Bu-song tertawa mengikik.
“Jangan lagi kedua, sampai habispun tentu berhasil!” sahut Siau-bun, “Mana ayam alasnya?”
Bu-song mengambil seekor ayam hutan dari meja. Kaki ayam itu diikat kencang. Siau-bun menyambut dengan
gembira. Dirobeknya baju Thian-leng sedikit di bagian dada.
“Rencana ketiga mungkin tak berhasil!” tiba-tiba Bu-song berkata.
“Apa sebabnya?” Siau-bun heran.
“Jika aku, tentu tak mau kemari!”
Siau-bun tertawa,“Sayang wanita itu tak secerdas kau. Jika ia tak datang. Aku berani memberikan kepalaku
kepadamu!”
“Apa yang hendak kau tulis?”
“Sederhana saja, lihatlah!” Siau-bun segera menusuk ayam hutan dan memotes kepalanya. Kemudian ia
menggunakan darah ayam itu untuk menulis di baju Thian-leng :
Kepada isteriku Seng-wan,
Aku terkena racun, jiwaku tak dapat tertolong.Entah siang entah malam tentu mati.
Harap lekas datang ke puncak Ceng-liong-ma gunung Tiam-jong-san di kuil gunung.
Thian-leng
Di belakang baju itu ditulis pula kata-kata, “Penting!”
“Wanita hina itu jika menerima surat ini tentu segera datang dan tentu menangis sedih,” kata Siau-bun.
“Ya,ya, kita lihat pertunjukan itu di sini. Kemudian kita cari akal lagi untuk menyiksanya lebih lanjut. Ah, cici benar-
benar cerdik.... eh, tetapi bagaimana mengirimkan surat ini?”
“Dia sekarang adalah ketua Kay-pang. Anak buah partai Kay-pang banyak sekali. Asal kita mencari seorang anak
buahnya, surat berdarah ini tentu segera disampaikan pada penerimanya....”
“Thay-heng-san jauh sekali. Taruh kata wanita itu segera berangkat paling tidak juga memakan waktu seminggu.Dalam jangka waktu sekian lama apakah takkan terjadi sesuatu?” Bu-song menyatakan kekuatirannya.
“Setelah menerima surat ini, dia tentu segera berangkat dan menempuh perjalanan siang malam. Mungkin dalam
waktu tiga-empat hari tentu tiba di gunung Thay-heng-san. Tentang terjadinya perobahan, memang sukar diduga.
Tetapi .........paling tidak pemuda ini tetap berada dalam tangan kita!”
“Benar, benar,” Bu-song tertawa, “ tetapi sampai berapa lama kekuatan obat tidur itu?”
“Jika orang biasa tentu tertidur selama sepuluh jam. Tetapi karena dia yang makan, mungkin hanya tahan dua jam
saja.”
Bu-song tertawa. Tiba-tiba ia mainkan jarinya menutuki seluruh tubuh Thian-leng, “Nah, begini dia tentu tak berdaya
lagi. Biarlah dia bangun tak jadi soal!”
“Mengapa?”
“Seluruh jalan darah di tubuhnya telah kututuki, hanya kutinggalkan jalan darah pembisu. Nanti kalau bangun, dia
hanya dapat mendengar dan bicara tetapi tak dapat bergerak ...”
“Mungkin tak semudah itu....” di luar dugaan Siau-bun membantah.
“Eh, mengapa?” Bu-song terkejut, “apakah ada orang yang hendak melindunginya?”
“Bukan begitu maksudku,” Siaubun tertawa, “aku kuatir ilmu tutukanmu tak mempan kepadanya!”
Bu-song terkejut, “Ya, Ya, benar. Dia sudah mendapatkan pelajaran sakti dari It Bi siangjin. Mungkin dapat mengatasi
tutukanku dengan mudah!”
Kedua nona itu menjadi bingung.
“Jika tak dapat melumpuhkan kepandaiannya atau memotong kedua kakinya, rasanya sukar untuk menguasai
pemuda ini,” akhirnya Bu-song berkata.
“Ah, tidak sampai begitu,” Siau-bun menghibur, “meskipun kepandaiannya telah sempurna sehingga ia kebal di tutuk
jalan darahnya, tetapi dia tentu tak berdaya apabila diikat dengan semacam tali istimewa. Misalnya tali dari urat ular
atau ulat sutera dan sebagainya….”
“Tetapi benda itu sukar di dapat. Dan saat ini kita berada di tengah gunung yang terpencil. Kemana hendak kita cari?”
bantah Bu-song
“Kalau kau dapat menyulap?”
“Menyulap?” Bu-song terkejut heran, “apakah kau sudah membawanya?”
Dari bajunya Siau-bun mengeluarkan dua kerat otot ular besar, serunya, “Telah lama kusimpan benda ini. Bukan
karena khusus untuk menangkap pemuda ini, tetapi memang menjadi alat-alat yang kubekal. Ah, tak kira hari ini ada
gunanya!”
“Memang banyak hal-hal yang tak terkira. Ayo, kita ikat saja dia!” seru Bu-song.
Dara itu segera menyambar tali dari Siau-bun, terus diikatnya tubuh Thian-leng sekencang-kencangnya.
“Sekarang kita harus cari anggota Kay-pang untuk mengirimkan surat ini kepada perempuan hina itu ...” kata Siau-
bun.
“Aku yang menunggu di sini, silakan taci yang mencari!” kata Bu-song.
Setelah menyimpan robekan baju yang bertuliskan darah. Siau-bun segera pergi. Ia tak paham jalan di gunung situ
apalagi di tengah malam. Hampir sejam lamanya baru ia dapat mencapai kaki gunung dan berhasil menemukan
seorang anak buah Kay-pang.
Demi mendengar ketuanya sakit, pengemis itu pucat. Segera ia menyerahkan surat darah itu kepada kepalanya.
Siau-bunpun bergegas-gegas kembali ke gunung. Tiba di kuil, hari sudah hampir terang tanah. Thian-leng pun sudah
terjaga tetapi matanya tetap meram dan terdiam. Kedua belah pipinya terdapat jalur bekas merah biru, mulutnyapun
berdarah. Terang bahwa dia menerima beberapa tamparan dari Bu-song.
Siau-bun mengerutkan dahi, “Perempuan hina itu tentu beberapa hari baru dapat tiba kemari. Tak perlu buru-buru
menyiksanya. Jika dia sampai mati, urusan malah menjadi .... ”
“Dia pernah berjanji mengikat jodoh dengan aku. Sedang aku tak merasa kasihan sedikitpun kepadanya, mengapa
kau berbalik hendak membelanya?” Bu-song melengking.Siau-bun tertawa dingin, “Banyak sekala hal-hal di dunia yang di luar dugaan manusia. Memang hati manusia sukar
diduga. Dia sudah berjanji menikah dengan kau, mengapa bisa jatuh di pelukan lain orang. Sejak ini mungkin ......”
Dada Bu-song berombak keras, “Tunggu kalau perempuan hina itu sudah datang, di hadapannya nanti tentu akan
kubunuh lalu kucincang perempuan hina itu, barulah hatiku puas!”
“Apa katamu?” sekonyong-konyong Thian-leng membuka mata dan berteriak.
Bu-song terkesiap kaget. Katanya kemudian, “Aku tak bicara padamu, mengapa kau bertanya?”
Thian-leng menyahut, “Jika kalian membenci padaku, bunuhlah segera tetapi jangan memaki aku sebagai orang yang
tak kenal budi. Ketahuilah ......” ia berhenti sejenak, lalu katanya pula, “Walaupun jagad raya tak terbatas luasnya,
tetapi kekuasan Thian tiada batasnya. Janganlah nona berdua lekas berputus asa!”
“Apakah kau hendak menasehati kami?” bentak Bu-song dengan marah. Plak .... ia memberi sebuah tamparan lagi.
Pipi Thian-leng makin bengap. Pemuda itu tak dapat menahan kemarahannya lagi, “Akulah yang buta sehingga tak
dapat mengetahui bahwa kalian ternyata begini buas!”
“Hm, kau toh sudah mendapat ilmu sakti dari It Bi siangjin, mengapa tak mampu melepaskan diri dari ikatan tali
saja? Ayo, mari kita bertempur!”
Thian-leng benar-benar marah sekali. Ia mulai meronta-ronta, mengerahkan tenaganya.
“Hi, hi, hi ,” Siau-bun tertawa, “tali itu walaupun tampaknya kecil tetapi tak mudah putus. Asal kau mampu
memutuskannya, tak perlu bertempur lagi, aku dan adik Song segera akan bunuh diri!”
Thian-leng menghentikan usahanya. Memang tak perlu dinasehati, ia sudah mencoba kekuatan tali itu. Jika bukan tali
dari urat ular, tentulah dari ulat Thian-jan yang jarang terdapat di dunia. Betapun saktinya tentu tak mungkin dapat
memutuskan tali itu.
Ia menghela napas, serunya perlahan , “Bilanglah, apa maksud kalian ini?”
“Pada saatnya kau tentu tahu sendiri. Sekarang kau harus menderita beberapa hari dulu!” seru Bu-song.
“Adik Song, kasih tahu dong!” Siau-bun tertawa.
“Mengapa?”
“Adik Song, kau toh seorang cerdik, mengapa harus kuterangkan lagi? Dia toh saat ini menjadi tawanan kita, takut
apa kita kasih tahu padanya?”
Bu-song bertepuk tangan, serunya, “Ya, ya, benar. Toh perempuan hina itu baru empat-lima hari lagi datang. Kita
beritahukan dia agar dia bisa merenungkan!”
Hati Thian-leng seperti disayat, serunya “Bilanglah, sebenarnya ......”
Bu-song tertawa, “Biarlah kuberitahukan sekarang. Ki Seng-wan dalam empat-lima hari tentu datang kemari.”
Thian-leng terkejut, “Bagaimana kau tahu?”
“Kamilah yang memanggilnya!” sahut Bu-song.
“Tak nanti dia menurut perintahmu, tentu takkan datang kemari,” jawab Thian-leng.
“Jika ia tak datang, kau akan kubebaskan dan aku akan bunuh diri!” seru Bu-song.
“Apakah yang kalian rencanakan ini?”
“Oh, kau sungguh-sungguh tak mengerti?” Bu-song tertawa.
Dipandangnya baju Thian-leng yang robek dan bangkai ayam hutan, lalu tertawa mengikik, “Kami telah membuat
surat palsu yang ditulis dengan darah ayam. Dan telah menyerahkan surat itu kepada anak buah Kay-pang supaya
diantarkan ke Thay-heng-san. Dalam surat itu kukatakan bahwa kau tengah meregang nyawa karena keracunan dan
minta perempuan hina itu segera datang....”
“Keji sekali!” damprat Thian-leng.
“Terhadap manusia rendah budi semacam kau, terpaksa harus dihadapi dengan siasat begitu. Tunggu saja
pertunjukan yang lebih bagus bila perempuan hina itu sudah datang nanti.!”
Thian leng tak dapat berbuat apa-apa kecuali menghela napas dalam-dalam. Ia tahu bahwa keganasan kedua nona
itu disebabkan kekecewaan hatinya. Hati yang patah karena merasa dikhianati cintanya....Diam-diam Siau-bun memperhatikan gerak-gerik pemuda itu. Ia tahu bahwa tindakannya terhadap pemuda itu terlalu
ganas. Dan ia pedih sekali sebenarnya melakukan hal-hal yang di luar suara hatinya itu.
Haripun makin terang. Akhirnya Siau-bun menghela napas, “Adik Song aku lelah. Harap kau yang menjaga dulu.”
Memang Siau-bun letih. Letih tenaga dan hati. Sekalipun saat itu ia mendapat kemenangan, tetapi hatinya rawan
sekali. Tak beberapa lama iapun jatuh tertidur.
Setelah memberi tamparan beberapa kali, hati Bu-songpun longgar sekali. Karena mengingat kuil di situ sunyi senyap
dan tak mungkin terjadi apa-apa, maka iapun mulai layap-layap tidur.
Tiba-tiba pada saat ia meram-meram ayam, serangkum angin dingin menghambur dari belakang. Ia terkejut dan
cepat loncat bangun tetapi sudah terlambat. Angin itu merupakan angin tenaga tutukan jari yang tak bersuara. Pada
saat ia hendak menggeliat bangun, jalan darah bagian Ciang-tay-hiat sudah terkena. Bluk..... iapun jatuh terkulai......
Tetapi suara itu cukup membangunkan Siau-bun. Jelas dilihatnya bahwa seorang manusia aneh yang bermuka hitam
sekali dan berambut putih, berpakaian warna merah tengah menutuk roboh Bu-song. Dan kini orang itu tengah
menyerangnya.
Kejut Siau-bun bukan kepalang. Walaupun tengah tidur, tetapi suara yang timbul dari jarak beberapa puluh tombak
jauhnya, dapat diketahuinya. Anehnya, manusia aneh itu muncul tanpa suara sama sekali, dan cara-cara
serangannyapun luar biasa. Kalau Bu-song tak roboh tentu dia tak mendengar suara apa-apa.
Cepat-cepat Siau-bun menggelinding di lantai sampai lima tombak jauhnya, sehingga ia dapat terhindar dari serangan
si orang aneh.
“Lekas bukakan ikatanku. Kau bukan tandingan orang itu!” terdengar Thian-leng berseru kepadanya. Tetapi Siau-bun
tak menghirauka. Ia tahu bahwa manusia aneh itu tentulah seorang tokoh yang sakti. Cepat ia taburkan passer Tui-
hong-kiong. Kaki, perut dan tenggorokan orang itu sekaligus diserangnya.
Tring, tring tring ..... terdengar orang aneh itu mengekeh dan menangkis jatuh Tui-hong-kiong. Menyusul ia gerakkan
tangan kirinya. Dari kelima jarinya terdengar angin mendesis-desis menyambar ke arah Siau-bun.
Siau-bun terkejut dan tergopoh-gopoh loncat menghindar. Hanya sedikit memakai tenaga kaki, orang aneh itu sudah
melesat ke tengah-tengah Siau-bun dan Thian-leng.
Karena tak dapat berkutik, Thian-leng hanya mengawasi kejadian itu dengan mata melotot.
Siau-bun mencabut pedang. Tiga buah jurus ia lancarkan ke arah manusia aneh itu. Suaranya menderu-deru,
sinarnya berkelebatan laksana kilat menyambar. Jurus itu dinamakan Toh beng sam-kiam atau Pedang pencabut
nyawa. Sejak kecil Siau-bun sudah meyakinkannya, sehingga sudah mendarah daging.
Orang aneh itu tetap tak memakai senjata. Dengan kesepuluh jarinya yang runcing seperti cakar besi, ia menyambar
pedang Siau-bun.
“Siluman, kau hendak cari mampus!” teriak Siau-bun. Ia percepat gerak permainannya. Segulung sinar perak
berhamburan menyilaukan mata.
Orang aneh itu tetap tak berkisar. Matanya berapi-api membentak, “Serahkan!”
Hok Mo tongcu
Tring...tring.... tahu-tahu pedang Siau-bun sudah berpindah ke tangan si orang aneh.
Kepandaian orang aneh itu benar-benar mengagumkan. Bukan hanya Siau-bun, Thian-leng pun yang masih terikat
kaki dan tangannya juga tercengang-cengang.
“Budak perempuan, ayo keluarkan kepandaianmu lagi!” seru orang aneh itu seraya tertawa mengikik.
Siau-bun kaget dan marah sekali. Dengan berteriak kalap seperti orang gila, ia menaburkan tui-hong-kiong lagi.
“Eh, mainan anak kecil itu hendak kau pertunjukkan di hadapanku?” orang aneh itu tertawa gelak-gelak seraya
menyapu dengan tangannya. Tring,..tring... tring... Tui-hong-kiong jatuh berhamburan.
“Silumankah engkau?” Siau-bun terlongong-longong kaget.
“Aku adalah naganya manusia, mengapa kau katakan siluman?” orang aneh
berbaju merah itu tertawa.
“Siapakah kau!” Siau-bun membentak.
“Aku adalah Hok Mo tongcu....pernahkah kau mendengarnya?”“Apa itu? Siapa kenal dengan bangsa manusia tak ternama!”teriak Siau-bun.
Hok Mo tongcu atau kepala dari goa Hok-mo-tong, tertawa dingin, “Benar, aku memang bukan manusia ternama.
Tetapi banyak sudah tokoh-tokoh terkenal yang menyembah kakiku.....” ia menyapu pandangannya kepada si nona,
lalu berkata pula, “Jadi kau tak memandang mata kepadaku?”
Siau-bun membelalakkan matanya. Thian-leng masih terikat, sedang Bu-song sudah tertutuk jalan darahnya.
Menghadapi manusia setengah siluman yang berkepandaian sakti itu, ia benar-benar bingung.
“Oh, jadi kau menganggap dirimu sebagai tokoh nomor satu di dunia?” serunya sesaat kemudian.
Hok-mo-tong-cu tertegun sejenak, ujarnya, “Sekalipun bukan begitu, tetapi hampirlah!”
“Lalu apa maksud kedatanganmu kemari!”
Orang aneh itu kembali tertegun. Tiba-tiba ia membentak keras, “Budak perempuan, kau terlalu lancang!”
Siau-bun tak menghiraukan dan melanjutkan kata-katanya, “Kalau kau menganggap dirimu tokoh nomor satu di
dunia, beranikah kau bertanding dengan jagoku? Cukup tiga jurus saja. Asal kau mampu menerima pukulannya, aku
sedia menyerah padamu!”
“Siapa?” dengus Hok-mo-tong-cu.
“Dia!” Siau-bun menunjuk pada Thian-leng.
Wajah si orang aneh yang hitam seperti pantat kuali tampak berobah. Pada lain saat ia tertawa nyaring, “Dia seorang
pemuda yang lemah, bagaimana aku sudi bertanding dengannya?”
“Jangan pakai alasan ini-itu. Pokoknya, kau berani atau tidak!” teriak Siau-bun.
Mata Hok-mo-tong-cu berkeliaran, serunya mengejek, “Jika dia sakti, mengapa diringkus orang sampai tak berkutik?”
Siau-bun hendak membikin panas hati orang aneh itu sehingga memberi kesempatan padanya untuk membuka ikatan
Thian-leng. Tetapi ternyata walaupun tampaknya ketolol-tololan, orang aneh itu cerdik juga. Dia tak kena diakali.
Thian-leng tak kurang gelisahnya. Tetapi karena masih terikat. Ia tak dapat berbuat apa-apa.
Pada saat itu Bu-songpun sudah berusaha keras untuk menyalurkan tenaga dalamnya. Tetapi sampai detik itu ia
belum berhasil membuka jalan darah yang tertutuk.
“Heh, heh, budak perempuan, kau tunduk padaku atau tidak ?” tiba-tiba manusia aneh itu tertawa mengekeh.
“Huh, siapa sudi mendengar ocehanmu...” dengus Siau-bun. Ia terus hendak mengulur waktu sambil mencari akal.
Orang aneh itu menatap Siau-bun tajam-tajam. Tiba-tiba ia tertawa mengikik, “Budak perempuan, aku hendak
bertanya padamu. Asal kau mau menjawab sejujurnya, tentu takkan kubikin susah. Tetapi kalau berani membohong,
awas…., kalian tentu akan kusiksa satu demi satu!”
“Bertanyalah!” seru Siau-bun.
Hok –motong-cu melirik Thian-leng, serunya, “Apakah dia benar Bu-beng-jin yang telah mendapat ilmu pelajaran dari
It Bi siangjin itu?”
“Hm, kini kau mulai membuka kartu,” kata Siau-bun. “Kalau benar bagaimana dan kalau bukan bagaimana pula?”
Hok-mo-tong-cu membentak, “Aku hanya minta kau menjawab sejujurnya. Jika kau banyak mulut, jangan sesalkan
aku berlaku ganas. Tentu kuberi engkau sedikit hajaran.... lekas bilang, apakah dia benar Bu-beng-jin?”
“Benar!” Siau-bun terkejut.
Hok-mo-tong-cu tertawa puas. “Benda apapun di dunia ini, tak ada yang kuinginkan, kecuali satu ialah kitab pusaka
peninggalan It Bi siangjin…..” Ia berhenti sejenak lalu menyambung pula. “Apakah kitab itu berada padanya?”
“Mengapa kau tak tanya sendiri padanya?” balas Siau-bun.
Hok-mo-tong-cu tersenyum, “Kukira wanita mudah bicara terus terang…..”
“Mungkin kau buta!” Siau-bun tertawa mengikik. “Jangankan aku memang tak tahu, sekalipun tahu, jangan kau harap
dapat mencari keterangan dariku.”
Hok mo-tong-cu marah, “Rupanya tulangmu keras sekali, budak! Jika tak kuberi hajaran tentu tak mau berkata terusterang!” tiba-tiba ia mencengkeram bahu Siau-bun.
Karena pedang dan senjata rahasianya tak berhasil, Siau-bun sudah putus asa. Dengan berteriak seperti orang gila ia
menerjang manusia aneh itu. Tetapi ia terkejut sekali karena tahu-tahu tenaganya hilang. Yang dirasakan hanya
angin dingin yang menghambur dari kelima jari Hok mo-tong-cu, tahu-tahu tenaganya terbawa hanyut. Dan yang
lebih mengejutkan, jari-jari berhawa dingin dari Ho-mo-tong-cu itu langsung menusuknya.....
Siau-bun sudah kehilangan daya perlawanannya lagi. Ia mengerahkan tenaganya untuk bergulingan di tanah.
Keadaannya benar-benar pontang-panting.
Sebenarnya Hok-mo-tong-cu tak bermaksud sungguh-sungguh untuk melukainya. Tetapi ia sengaja menggembor
keras dan melesat mendekati. Tangannya diangkat hendak dihantamkan.
“Berhenti!” teriak Thian-leng.
Hok-mo-tong-cu tertawa sinis. Ia menghentikan tinjunya, “Heh, heh, kau hendak mengaku.”
Thian-leng berteriak, “Kau seorang tongcu, mengapa kau hendak menganiaya seorang anak perempuan,? Apakah kau
tak malu kepada dirimu?”
“Selamanya aku hanya mementingkan tujuan!” Hok-mo tong-cu tertawa.
“Manusia rendah!” damprat Thian-leng.
Menggunakan kesempatan mereka sedang berbicara, diam-diam Siau-bun beringsut ke dekat Thian-leng. Secepat
kilat segera ia hendak membuka tali pengikat pemuda itu.
Tetapi hal itu tak dapat lepas dari mata Hok-mo-tong-cu. Dengan tertawa mengekeh, ia membalikkan tangannya.
Serangkum asap putih menyembur ke arah Siau-bun. Tuk ..... jalan darah Ciang-thay-hiat Siau-bun tertutuk.
Robohlah nona itu........
“Iblis tua, jangan melukainya!” teriak Thian-leng.
“Heh, heh, erat sekali hubungan kalian ini. Mereka berdua telah mengikatmu dan menyiksamu, tetapi kau masih
begitu sayang kepada mereka, hm, jarang sekali ada orang semacam kau.....” Hok mo-tong-cu tertawa mengejek.
Sejenak memandang kepada ketiga anak muda yang terbaring di tanah, momok itu kembali berseru, “Karena kau
begitu sayang kepada mereka, baiklah hendak kusiksa mereka supaya kau dapat menikmati!”
Ia menutup kata-katanya dengan mencengkeram bahu Siau-bun. Karena jalan darahnya tertutuk, Siau-bun tak dapat
berbuat apa-apa. Ia meramkan mata menerima nasib....
“Jangan menyiksanya, baik, akan kuberitahukan padamu!” teriak Thian-leng.
“Kau bawa?” Hok mo-tong-cu menghentikan tangannya.
“Tidak, tetapi aku dapat mengantarkan engkau!” sahut Thian-leng.
Hok-mo-tong-cu sangsi, “Tetapi ingat, jangan kau berani menipuku atau kalian bertiga tentu akan kusiksa sampai
mati!”
“Bagaimana supaya kau bisa percaya?”
“Bersumpahlah!”
Tanpa ragu-ragu Thian-leng segera mengangkat sumpah berat.
“Dimana tempatnya?” Hok-mo-tong-cu tertawa puas.
“Sudah tentu berada di gunung Thay-heng-san!”
Hok-mo-tong-cu merenung sejenak, ujarnya. “Kalau siang malam menempuh perjalanan, lima hari baru sampai. Hm,
tak apalah, karena kau sudah bersumpah, akibatnya kau tentu dapat membayangkan sendiri......”
Thian-leng tertawa, “Sekali meluluskan sudah tentu takkan bohong. Lekas lepaskan aku dan marilah kita berangkat!”
Iblis Hok-mo-tong-cu tertawa mengekeh, “Budak, enak sekali kau bicara. Sekali kulepas, habislah segala jerih
payahku.”
Ia mengeluarkan sehelai karung dari kain hitam, serunya, “Biarlah dalam beberapa hari aku memeras tenaga dan
kaupun perlu menderita sedikit.”Habis berkata, ia terus menjinjing Thian-leng dan dimasukkan ke dalam karung, lalu dipanggulnya. Dalam keadaan
begitu, tiada seorangpun yang mengira iblis itu tengah membawa karung berisi manusia.
Siau-bun dan Bu-song meskipun tak dapat berkutik, tetapi pikiran mereka masih tetap sadar. Mereka menyaksikan
sendiri apa yang terjadi pada diri Thian-leng. Diam-diam timbullah rasa sesal mereka.
Tiba-tiba Hok-mo-Tong-cu menghentikan langkah dan berputar. Ia mengambil dua butir pil merah, serunya, “Jika
gagal mendapatkan kitab pusaka It Bi siangjin, aku akan kembali menyembelih kalian. Tetapi pulang pergi kesana,
paling tidak tentu memakan waktu sepuluhan hari. Agar kalian jangan sampai mati kelaparan, kuberi masing-masing
sebutir pil tahan lapar.”
Ia menyusupkan pil itu ke mulut Siau-bun dan Bu-song.
“Kuil yang kalian pilih ini memang tepat sekali. Takkan ada orang yang datang kemari, takkan ada orang yang
mengetahui kalian!”
Momok dari Hok-mo-tong itupun segera lenyap. Tak berapa lama haripun terang. Sinar matahari mulai merembes di
celah-celah retakan dinding kuil, seolah berusaha menerobos masuk untuk membantu mengeringkan air mata yang
membasahi pipi kedua dara itu.....
Siau-bun dan Bu-song membasuh muka mereka dengan kucuran air mata yang deras. Sampai lama mereka bungkam
dibenam penyesalan.
“Taci, kita salah perhitungan!” kata Bu-song.
Siau-bun mendengus, “Bukan rencana kita yang salah, tetapi karena diganggu oleh kejadian yang tak terduga-duga!”
Bu-song menghela napas, “Bagaimanapun juga, kita mencelakai orang akhirnya mencelakai diri kita sendiri...”
“Kau menyesal?”
Bu-song tertegun, serunya, “Aku tak menyesal. Yang penting sekarang kita harus mencari akal bagaimana supaya
jangan tersiksa begini!”
“Jangan takut!” kata Siau-bun, “dia hanya menutuk jalan darah kita. Beberapa saat lagi kita tentu dapat terlepas!”
Bu-song tersenyum tawar. “Ah, percuma. Ilmu tutuk iblis itu berbeda dengan yang lain. Kalau tak percaya kau boleh
coba!”
Siau-bun diam-diam mengerahkan tenaganya. Tetapi sampai sepeminuman teh lamanya belum juga ia berhasil
membuka jalan darahnya.
“Bagaimana?” Bu-song tertawa rawan, “rupanya kita harus menunggu ajal dengan perlahan!”
Siau-bun pun tertawa sedih, “Ah, belum tentu. Kita toh masih mempunyai waktu lima hari. Perempuan hina Ki-seng-
wan itu tentu datang kemari….”
“Itu lebih celaka lagi, ia tentu akan membunuh kita!” seru Bu-song.
Siau-bun menghela napas. “Apa boleh buat kalau memang harus begitu!”
“Manusia berdaya, Thian yang berkuasa. Taci Bun. Aku tetap menganggap rencana kita ini gagal.”
Siau-bun tak menyahut. Dan memang ia tak mempunyai bahan yang dapat dikatakan lagi. Adalah karena munculnya
iblis Hok mo-tong itu maka rencananya gagal total, bahkan dirinya sendiripun celaka.
Kembali mereka berdiam diri.
Daerah gunung Ceng-liong-nia memang daerah terpencil, jarang didatangi manusia. Meskipun siang hari, tak tampak
manusia atau binatang yang berkeliaran. Dan haripun berganti malam, berarti mereka telah tersiksa sehari.
Hari keduapun tak ada perobahan. Demikianpun ketiga dan keempat, hingga hari yang kelimapun tiba.
Menjelang magrib, tiba-tiba mereka dikejutkan oleh derap kaki orang berlari-lari mendatangi.
“Dia datang....” bisik Siau-bun.
“Tetapi agaknya bukan hanya seorang, apakah tidak .....” baru Bu-song berkata sampai di situ, sesosok bayangan
warna ungu dan hijau menerobos ke dalam kuil. Ah, pendatang itu bukan lain Ki Gwat-wan dan Ki Seng-wan taci
beradik.
Wajah mereka kumal penuh debu dan tampaknya letih sekali. Jelas bahwa mereka telah melakukan perjalanan jauhtanpa berhenti.
Begitu masuk ke dalam kuil, mereka terlongong-longong, Gwat-wan cepat menarik adiknya diajak keluar ke pintu
lagi, serunya, “Adik, apa yang kukatakan ternyata benar. Pok siangkong mempunyai kepandaian yang sakti, mungkin
dalam masa ini ia terhitung jago yang nomor satu. Tetapi mengapa bisa keracunan. Dan taruh kata keracunan,
mengapa tidak diangkut pulang oleh anak buah Kay-pang? Melainkan hanya mengirim surat memanggil kau kemari.
Dan lagi, bukankah dia bersama gihu menuju gunung Tiam-jong-san? Sekarang mengapa gihu tak tampak………..?”
Ki Seng-wan menghela napas, “Kita harus percaya apa yang nyata. Memang aku tak pernah berpikir begitu
jauh………..” ia melirik ke arah Bu-song dan Siau-bun lalu tertawa dingin. “Bangunlah! Karena kalian sudah berhasil
menipu kami berdua kemari, ayo bangun dan bereskan perhitungan. Mengapa kalian pura-pura menggeletak di situ?”
Tetapi Siau-bun dan Bu-song tak menyahut dan tak bergerak. Suatu hal yang menimbulkan keheranan kedua taci
beradik Ki itu.
“Apa kalian bisu?” tegur Ki Seng-wan.
Siau-bun dan Bu-song tetap membisu.
Walaupun marah tetapi diam-diam hati Ki Seng-wan lega juga. Ia tahu bahwa dirinya telah dijebak kedua dara itu.
Tetapi karena Thian-leng tak berada di situ, berarti tentu selamat. Bahwa pemuda itu terkena racun, tentu isapan
jempol saja.
“Takkan kubenci kalian asal kalian mau mengatakan dia sekarang?” katanya kepada Siau-bun dan Bu-song.
Tetapi Gwat-wan cepat menarik adiknya, “Tak perlu tanya mereka, masakah kita tak mampu mencari sendiri?”
“Tetapi dunia begini luasnya, kemana kita harus mencari?” Seng-wan meragu.
Gwat-wan tertawa dingin, “Dia toh hadir dalam rapat Eng-hiong tay-hwe di gunung Tiam-jong-san. Kita kesana tentu
dapat menemuinya. Paling tidak kita dapat bertanya pada orang!”
“Benar, benar. Ayo, kita kesana!” seru Seng-wan seraya terus hendak melangkah pergi.
“Tunggu!” tiba-tiba Siau-bun berseru, “tak nanti kalian bisa mencari di sana!”
Seng-wan menghentikan langkah, “Eh, mengapa? Apa dia sudah pergi?” ditatapnya kedua dara itu tajam-tajam.
“Hai, mengapa kalian terus-menerus berbaring di lantai saja?”
Bu-song mendengus, “Jika kami dapat bangun tentu tak mau membuang waktu bicara dengan engkau! Eh, coba kau
tolong bukakan jalan darah Ciang-thay-hiat ini!”
Kini baru kedua taci beradik itu tahu akan keadaan kedua dara itu. Ki Seng-wan serentak hendak memberi bantuan.
“Tunggu dulu,” tiba-tiba Gwat-wan mencegah, “mereka membencimu setengah mati. Mereka telah menipu supaya
kau datang kemari. Jika kau tolong mereka, bukankah seperti melepas naga ke dalam lautan? Apakah kita berdua
dapat hidup?”
Setelah merenung beberapa saat, berkatalah Ki Seng-wan, “Kita harus dapat memaafkan orang, jangan orang yang
memaafkan kita. Bermusuhan atau bersahabat tergantung dari anggapan mereka sendiri!”
Tanpa menghiraukan peringatan tacinya, Seng-wan segera menghampiri kedua dara itu. Gwat-wan menghela napas
seraya menggelengkan kepala. Ia tahu watak adiknya yang sukar dicegah.
Dua buah tamparan berhasil membuka jalan darah Bu-song dan Siau-bun.
“Apakah adik berdua tahu dimana dia sekarang?”
“Jika ingin menemuinya, harap ikut kami!” sahut Bu-song dingin. Terus ia hendak bangkit.
Ah....walaupun jalan darahnya sudah terbuka, tetapi tubuhnya masih tak dapat berkutik, seolah-olah seperti terikat
oleh tali. Juga Siau-bun serupa keadaannya.
ooo000ooo
Jilid 29 .
Air susu dibalas air tuba
“Percuma,” kata Ki Gwat-wan, “Ilmu tutukannya istimewa sekali. Kepandaian kita tak mampu membukanya. Lebih
baik kita tinggalkan saja!”Seng-wan menghela napas, “Bukan karena aku tak mau menolong kalian, tetapi benar-benar.....” habis berkata ia
terus mengikuti Gwat-wan pergi.
“Jangan terburu-buru,” tiba-tiba Siau-bun berseru, “Tahukah kau kemana perginya? Dan tahukah kau bagaimana
keadaannya sekarang?”
Seng-wan terhenti.
“Mungkin kaupun tak tahu!” ujarnya.
“Hm, kita tahu sejelas-jelasnya, tetapi tak semudah begini memberitahukan padamu!”
“Apa syaratnya?” tanya Seng-wan.
“Paling tidak kau harus berusaha membuka jalan darahku ini!” sahut Siau-bun.
Seng-wan mengerutkan dahi, “Kalau dapat membukanya tentu saat ini kalian sudah sembuh. Bukan karena tak mau
membantu kalian, tetapi sesungguhnya aku tak mampu.....”
“Aku ada akal!” seru Siau-bun.
“Lekas katakan! Asal aku mampu tentu tak menolak!” kata Seng-wan.
Sejenak Siau-bun berdiam diri, ujarnya, “Asal kau dapat membuka jalan darah kami berdua, tentu akan
kuberitahukan dimana Thian-leng berada. Tetapi aku hendak bertanya padamu!”
“Silakan.”
“Apa kau kenal Hok-mo-tong-cu?”
Seng-wan tertegun, “Tidak! Jangankan kenal, mendengar namanyapun belum pernah!”
Kata Siau-bun, “Dia mempunyai pukulan dan tutukan jari yang berhawa dingin. Dibanding dengan Sin-bu-Te-kun,
Hok-mo-tong-cu lebih tinggi kepandaiannya.....”
“Apakah kau berkata dengan sesungguhnya?” Seng-wan makin heran.
“Masakah aku berolok-olok!”
Seng-wan melirik kepada Gwat-wan, serunya, “Sin-bu Te-kun mendapat kesaktiannya dari kitab Im-hu-po-coan yang
berinti tenaga Im-han (dingin). Kuingat dulu Sin-bu Te-kun pernah mengatakan bahwa dia hanya mendapat kitab Im
hu-po-tong-cu.....”
“Hai, benar!” teriak Siau-bun, “dengan begitu ilmu kepandaian kalian sesumber dengan iblis itu.... tentulah sedikit
banyak Sin-bu Te-kun telah memberi kalian pelajaran-pelajaran dasar?”
“Tetapi hanya kulitnya saja!” sahut Seng-wan.
“Tak apa,” kata Siau-bun, “Ini kuberitahu. Tiap hari tolong kau mengurut-urut jalan darahku yang tertutuk itu sampai
tiga jam. Paling lama dalam tiga hari, betapapun hebatnya ilmu tutukan itu, tentu akan terbuka juga. Maukah kalian
meluluskan permintaan ini?”
Seng-wan mengerutkan dahi, ujarnya, “Jika permintaanmu itu keluar dari hati setulusnya, aku mau. Tetapi kalau
hanya siasat, aku ................”
“Adik, maukah kau mendengar nasehatku?” tiba-tiba Gwat-wan menyeletuk.
“Silakan, masakah aku tak mau mendengar?“
Gwat-wan menggeleng-gelengkan kepala, “Kedua budak perempuan ini, hatinya sekejam ular. Menolong mereka
mungkin akan mendatangkan bahaya. Menurut hematku, lebih baik kita ....”
Siau-bun berteriak, “Walaupun kalian mempunyai hubungan kakak beradik, tetapi dengan kami adalah ipar. Jangan
kau mengadu domba untuk meretakkan hubungan rumah tangga kami.... Ensoh,” teriak Siau-bun kepada Seng-wan.
“Pok Thian-leng mengaku ayahku sebagai gihu dan ikut memakai she Pok. Dengan begitu kau adalah ensohku...!”
“Akupun saudara misan, jadi kau ensoh misanku. Apakah kau tega hendak meninggalkan tempat ini?” Bu-songpun
ikut berseru.
Seng-wan memandang tacinya, “Karena ada jalan untuk menolong, aku harus berusaha melakukannya. Kalau tidak,
bagaimana aku harus mempertanggung jawabkan apabila bertemu dengan Thian-leng?”Gwat-wan menghela napas dan tak berkata apa-apa lagi. Tak berani lagi ia berbicara. Ia lebih tua dari Seng-wan,
tetapi karena Seng-wan sudah menikah dengan Thian-leng, iapun tak berani campur tangan menguasai adiknya lagi.
Ia tak dapat mencegah Seng-wan menolong Siau-bun dan Bu-song yang merupakan adik Thian-leng.
Seng-wan segera menghampiri Siau-bun, ujarnya, “Sekarang aku hendak mulai menggunakan ilmu Hian-im-chiu-
hwat untuk mengurut jalan darahmu yang tertutuk itu. Tetapi kau sendiripun harus mengerahkan lwekangmu untuk
membantu dari dalam!”
Siau-bun tersenyum kemenangan. Sambil melirik kepada Gwat-wan, ia segera mengucapkan terima kasih kepada
Seng-wan. Dan mulailah Seng-wan melakukan pengurutan. Siau-bunpun mengerahkan lwekang untuk membantu
menerobos jalan darahnya yang tertutuk itu.
Dengan bermuram durja, Gwat-wanpun terpaksa mengurut Bu-song. Setelah hampir tiga jam lamanya, barulah
pengurutan dihentikan. Kedua kakak beradik itu mandi keringat, napasnya terengah-engah. Tiga jam mengurut,
cukup menghabiskan tenaga.
“Bagaimana sekarang?” tanya Seng-wan.
Siau-bun tersenyum manis, “Boleh juga!”
“Bagus!” seru Seng-wan. “Tak perlu tunggu besok pagi, nanti saja akan kuurut lagi. Hanya harapanku, jangan kau
......mendendam!”
“Ah, enso, jangan mencurigai aku!” kata Siau-bun.
Ki Seng-wan tak menyahut. Ia memejamkan mata menjalankan pernapasan. Lewat lohor ia mendusin. “Taci, mari
kita mengurut lagi!” katanya.
Gwat-wan tersenyum hambar, “Budak perempuan, kau benar-benar meletihkan aku!”
Namun sekalipun mulutnya bersungut, iapun segera mengurut Bu-song lagi. Kali ini pengurutan berjalan lebih payah.
Selang sejam kemudian, kedua taci beradik Ki itu sudah mandi keringat. Dua jam lagi haripun sudah malam. Di luar
angin malam menderu-deru, menambah keseraman suasana.
Wajah kedua taci beradik itu pucat, kedua bahunyapun mulai gemetar. Jelas bahwa mereka telah menguras seluruh
tenaga dalamnya. Hampir mendekati tiga jam, rupanya Seng-wan tak kuat. Mulutnya gemetar dan tubuhnya
terjerembab roboh.
“Adik! Adik...kau....!” Gwat-wan menghentikan urutannya, lalu merangkak menghampiri sang adik. Tetapi belum
sampai di tempat Seng-wan, iapun juga terjungkal roboh.
Suasana di dalam kuil menjadi sunyi-senyap. Entah berselang beberapa lama, tampak Siau-bun bergeliat duduk.
Setelah memejamkan mata mengambil napas, ia tersenyum girang dan memandang kedua saudara Ki, lalu bangkit
berdiri karena jalan darahnya telah terbuka.
Semula Bu-song masih menggeletak di tanah. Tetapi begitu melihat Siau-bun berdiri, iapun ikut bergerak. Ah,
ternyata ia juga sudah sembuh.
“Cici Bun, kita sudah sembuh!” serunya girang.
Siau-bun tertawa, “Rencana kita semula ialah menipu mereka supaya datang kemari, lalu kita siksa, baru kemudian
kita bunuh. Ah, siapa kira mereka malah berbalik menjadi penolong kita!”
Bu-song mengerutkan keningnya, “Lalu bagaimana tindakan kita sekarang?”
Sejenak Siau-bun merenung, ujarnya, “Karena mereka telah melepas budi, kita terpaksa memberi ampun jiwanya!”
Bu-song mendengus, “Uh, sayang aku tak pemurah hati seperti engkau! Dia telah merebut tunanganku. Kuanggap dia
musuh bebuyutan. Dia atau aku yang berhak hidup di dunia!”
Walaupun kehabisan tenaga, tetapi panca indera kedua saudara Ki masih baik. Mereka terkejut mendengar ucapan
kedua gadis itu. Seng-wan memaksakan diri berseru, “Taciku memang benar. Kalian ternyata memang bangsa ular
berbisa. Jika tidak kami berdua yang menolong, masakah kalian bisa hidup. Kalau tidak dimakan binatang buas, tentu
akan mati kelaparan!”
Siau-bun tertawa, “Ah, tidak begitu mengerikan! Sebelum pergi, iblis Hok-mo-tong-cu telah memakankan sebutir pil
kepada kami. Pil itu dapat menahan lapar selama sepuluh hari!”
“Kalau begitu, kalian hendak mengapakan kami?” Seng-wan tertawa getir.
Jawab Siau-bun, “Kau adalah ensohku. Aku tak dapat mengapa-apakan kau. Tetapi......” ia mengedipkan mata, lalu
berkata pula, “Sebelum menikah dengan engkau, Pok Thian-leng sudah bertunangan dengan adik misanku ini. Sakithati direbut suaminya, termasuk dendam yang hebat. Hal ini biarlah adikku yang mengambil keputusan!”
Bu-song tertawa riang, “Akupun bukan orang yang haus darah. Apalagi kalian sudah melepas budi kepadaku. Sedikit
banyak tentu akan kubalas…..” ia berhenti sejenak, lalu ujarnya pula, “Sebenarnya kau harus menerima hukuman
mati. Tetapi hukuman itu kutiadakan. Hanya akan kusuruh kalian menerima hukuman hidup!”
Seng-wan terkejut, serunya, “Jika hal itu dianggap bersalah, biarlah aku yang menanggung sendiri. Taciku ini tiada
sangkut-pautnya. Hendak kau bunuh atau kau siksa, aku rela menerima asalkan jangan kau ganggu taciku ini!”
Bu-song diam beberapa saat. Siau-bun tersenyum, “Eh, tetapi jika ditinjau sedalam-dalamnya, tacimulah yang
berdosa!”
“Ngaco!” teriak Seng-wan, “tacikulah yang menolong nona Lu dan dulupun belum pernah bersalah kepada kalian.
Jangan mengada-ada kesalahan pada dirinya!”
Siau-bun tertawa, “Segala rencana adalah dia yang mengeluarkan. Masakah dia tak bersalah....”
ia melirik Bu-song, katanya pula, “Sesungguhnya, biang keladinya ialah tacimu. Dalam hal hukuman, dia juga harus
menerima......”
“Gadis busuk!” damprat Seng-wan marah sekali, “jangan memfitnah orang sesukamu! Coba saja bagaimana kelak
kau akan mempertanggung jawabkan perbuatanmu kepada kakekmu dan Pok Thian-leng!”
Siau-bun tertawa mengikik, “Tak usah kau pikirkan diriku. Akupun hanya mengatakan hal yang sebenarnya. Tentang
bagaimana hukuman padamu, tetap kuserahkan pada adikku!”
Teriak Seng-wan, “Baik, anggap saja aku seorang buta. tetapi ingat, Jika kau tak membunuh aku, kelak pada suatu
hari aku tentu akan membalas dendam, padamu.....”
Gwat-wan tertawa rawan, “Adik, sudahlah, jangan banyak bicara. Jatuh di tangan gadis yang sebuas itu, masakah
kita dapat bicara tentang budi welas asih?”
Kemarahan Seng-wan tak dapat ditumpahkan. Ia berusaha sekuat-kuatnya untuk bergerak, tetapi ah…… kedua kaki
tangannya lemas lunglai, tenaga dalamnya habis.
Ia sadar tak dapat memberikan perlawanan lagi. Akhirnya ia memejamkan matanya saja menunggu kematian.
“Adik Song, aku sudah memberi siksaan batin kepada mereka. Sekarang silakan kau memberi hukuman badan!” kata
Siau-bun.
“Menurut pendapatmu, apakah iblis Hok Mo tongcu itu bisa kembali lagi ke sini atau tidak?” tanya Bu-song.
Siau-bun menggelengkan kepalanya dan menyahut dengan yakin, “Tidak bisa!”
“Bagaimana kau bisa mengatakan begitu?”
“Bukankah Thian-leng mengatakan kitab pusaka itu berada di gunung Thay-heng-san? Kuduga Hok Mo tongcu tentu
takkan balik ke sini lagi!”
“ Mengapa?” tanya Bu-song.
“Mungkin kau masih belum jelas. Apa yang disebut kitab pusaka peninggalan It Bi siangjin itu, terukir pada dinding
goa rahasia di dalam telaga zamrud....”
“Jadi dia akan mengajak iblis itu ke dalam goa?”
“Ya!”
Bu-song terkejut sekali, serunya, “Tetapi tangan dan kaki Thian-leng terikat dengan tali urat-ular. Jika Hok Mo tongcu
berhasil masuk ke dalam goa Telaga zamrud dan dapat meyakinkan lukisan di dinding goa, bukankah........ ”
”Siau-bun tertawa, “Kau tahu satu, tetapi tak tahu dua. Di dalam Telaga zamrud maish dijaga oleh seorang tokoh
aneh. Dia juga banyak mempelajari ilmu peninggalan It Bi siangjin. Dia sudah mengangkat saudara dengan Thian-
leng. Begitu masuk goa, Hok Mo tongcu tentu bakal dibekuk oleh murid It Bi siangjin itu. Maka kita tak perlu kuatir
lagi!”
Bu-song tertawa riang, “Kalau begitu iblis Hok Mo tongcu itu pasti mampus dan takkan balik lagi ke sini. Di sini jarang
didatangi orang. Bagaimana kalau kita tiru saja tindakan Hok Mo tongcu untuk menghukum mereka?”
Siau-bun tertawa, “Sayang kita tak mampu menutuk seperti Hok Mo tongcu!”
Bu-song mendengus, “Sekalipun bisa, tetapi kita takkan menyuruh mereka enak-enak tidur di lantai. Aku sudah
mempersiapkan suatu rencana bagus.......kita lakukan tutukan Tiam-hong-kian-jin-yok!”
Tiam-hong-kian-jin-yok artinya menutuk angin menyusupkan ke daging orang.Siau-bun tertegun, “Apakah itu? Apakah yang hendak kau rencanakan itu?”
Bu-song tak menyahut, melainkan mengeluarkan dua utas tali sebesar ibu jari. Direntangnya tali itu di hadapan Siau-
bun.
“Tali ini terbuat dari sutera asli. Walaupun tak sesakti tali urat ularmu, tetapi dapat menahan tenaga meeka. Tiang
penglari di atas itu rasanya tempat yang cocok untuk mereka beristirahat!”
Tak lama Bu-song telah melaksanakan rencananya. Kedua taci beradik Ki dikerek ke atas dan digantung pada tiang
penglari dengan tubuh terikat. Tubuh mereka bergelantungan kian kemari mirip daging yang digantung di warung.
Ki Gwat-wan dan Ki Seng-wan memejamkan matanya. Tak sepatahpun mereka keluarkan erangan.
Setelah puas menertawakan pemandangan yang dianggap lucu, Siau-bun dan Bu-song segera menutup pintu dan
melangkah keluar. Kala itu sudah lewat tengah malam.
Tantangan
“Taci Bun, kemanakah sekarang kita hendak pergi?” tanya Bu-song setelah menguap.
“Eng-hiong-tay-hwe sudah lewat beberapa hari. Saat ini kakek dan ayah tentu sudah meninggalkan Tiam-jong-
san……”
“Sin-bu Te-kun sudah menantang. Sepuluh hari lagi akan menunggu mereka di Sin-bu-kiong. Mungkin mereka sudah
menuju ke sana!” tukas Bu-song.
“Benar,” sahut Siau-bun, “bukan hanya mereka saja, rasanya Thian-leng pun juga akan ke sana……. eh, kalau
berjumpa dengannya, kita harus merangkai cerita bohong untuk mengelabuinya!”
“Tetapi ia sudah tahu sendiri, bagaimana kita dapat membohonginya?” tanya Bu-song.
Siau-bun tertawa lagi. Tiba-tiba ia mendekati telinga Bu-song dan membisikinya. Bu-song serentak bertepuk tangan
dan tertawa riang, “Bagus, kau sungguh pintar benar….. ayo kita cepat ke sana. Kini waktunya hanya tinggal satu hari
saja!”
Menjelang tengah hari baru mereka tiba di kaki gunung Ceng-hun-san. Gunung itu tak berbahaya, tetapi puncak-
puncaknya saling berdekatan.
Sambil memandang ke atas puncak, berkatalah Bu-song, “Pintar juga Sin-bu Te-kun memilih tempat. Jika dia tak
temaha hendak merajai dunia persilatan, tentulah sudah hidup enak di tempat setenang ini!”
Siau-bun tertawa, “Eh, mengapa kau tiba-tiba punya lamunan begitu?”
Bu-song hanya tertawa dan terus berlari. Karena paham jalannya dan dengan menggunakan ilmu berlari cepat,
mereka segera tiba di Sin-bu-kiong.
“Celaka……” tiba-tiba Siau-bun berhenti.
“Mengapa?”
“Thian-leng bukan pemuda yang berhati sempit. Walaupun kita bertindak terlalu kejam padanya, tetapi kita pernah
menolong jiwanya. Dia tentu tetap memperhatikan keselamatan kita!”
“Bukankah itu lebih baik?” seru Bu-song.
Siau-bun menghela napas, “Kalau sudah lolos dari Thay-heng-san, dia tentu segera ke Tiam-jong-san untuk menolong
kita…..”
“Ai, benar!” Bu-song membanting-banting kaki, “begitu tiba di puncak Ceng-liong-nia, dia tentu akan mendapatkan
perempuan hina itu. Dan perbuatan kita tentu akan diketahuinya….kita balik ke sana saja!”
Siau-bun menghela napas, “Ke sana paling tidak tentu memakan waktu empat hari. Dan lagi dia dengan kedua dara
Ki itu, belum tentu masih ada di sana!”
Bu-song bingung, “Kalau begitu, bagaimana tindakan kita sekarang? Ai, harap kau cari rencana lagilah!”
“Tetapi sudah begini, tak ada jalan lain lagi…..” Siau-bun tertawa tertawa getir.
“Eh, kakekku....... Sekalipun kuminta bintang di langit, kakek tentu akan menuruti!” kata Bu-song dengan aleman.Siau-bun bertepuk tangan, “Kalau begitu jadilah....” segera ia membisiki telinga Bu-song. Wajah si dara tampak
berseri.
“Ayo, kita lekas cari kakek!” serunya.
Kedua gadis itu segera meneruskan larinya. Tetapi mereka tidak menuju ke pintu gerbang Sin-bu-kiong, melainkan
menyelinap ke dalam gerombol di samping gedung itu.
ooo0000ooo
Baru saja hari mulai gelap, istana Sin-bu-kiong sudah terang benderang dengan penerangan yang gemilang. Memang
malam itu adalah hari ke sepuluh dari tantangan Sin-bu Te-kun kepada Thian-leng dan rombongannya.
Tetapi suasana dalam istana itu tampak sunyi saja. Berpuluh-puluh penjaga dengan menyelipkan senjata di pinggang
tampak mondar-mandir berseliweran kian kemari. Seolah-olah sedang menghadapi kesibukan. Tetapi mereka diam,
tidak menimbulkan suara berisik....
Di ruang tengah, penerangannya paling terang. Hanya sunyinya luar biasa. Sehingga apabila ada sebatang jarum
jatuh ke lantai, pasti terdengar juga.
Di luar ruangan, berjajar dua deret pengawal tua berseragam baju ungu. Mereka membentuk diri dalam formasi
burung garuda. Dengan senjata terhunus di pinggang masing-masing, tampaknya mereka gagah sekali.
Di dalam ruangan besar, tak tampak barang seorangpun juga. Tetapi di dalam bilik, sedang berkumpul belasan orang.
Wajah mereka tampak tegang sekali. Rupanya mereka tengah berunding dengan suara seperlahan mungkin.
Di antara orang-orang yang tengah rapat itu, terdapat Sin-bu Te-kun, ketua Hek Gak, Bu Cui suseng, kedua Lam-yau
dan Pak-koay, Ko Liu siangjin, Bok Sam-pi dan lain-lain.
Di antara sekian hadirin, hanya Bok Sam-pi yang tetap tenang wajahnya. Dia duduk dengan kepala menengadah.
Tangannya memegang sebuah cawan arak yang tak hentinya diteguk.
Yang istimewa, jago tua itu tidak lagi telanjang badan, tetapi sudah mengenakan baju kapas yang kedombrongan,
sehingga menutupi kedua lengannya.
Walaupun tenang, tetapi sebenarnya sikap dan tingkah laku Bok Sam-pi saat itu jauh lebih linglung dari beberapa hari
yang lalu.
Selain orang itu, masih terdapat juga tiga orang aneh yang wajahnya mirip satu sama lain. Sama mengenakan
pakaian putih, berambut merah. Tiga bagian seperti manusia, tujuh bagian menyerupai setan.
Ketua Hek Gak duduk di sudut dengan lunglai.
Tiba-tiba ia bangkit dan mondar-mondir, kemudian berkata perlahan-lahan kepada Sin-bu Te-kun, “Rencana kita hari
ini harus berhasil, jangan sampai gagal. Apakah saudara Ki menganggap persiapan-persiapan sekarang ini sudah
sempurna? Karena kalau sampai gagal, entah bagaimana kedudukan kita di hari-hari yang akan datang!”
Sin-bu Te-kun tertawa meloroh, “Seorang lelaki, hanya mempunyai dua pilihan. Gagal atau berhasil. Berhasil kita
mulia, gagal kita binasa. Kalau yakin takkan berhasil, lebih baik kita lekas-lekas sediakan peti mati saja. Mengapa kau
begitu kuatir..........”
Sin-bu Te-kun berhenti sejenak, kemudian tertawa iblis, “Sebenarnya saudara Kongsun tak usah kuatir lagi. Sekalipun
si tua Lu itu mengundang seluruh jago-jago persilatan, jangan harap mereka mampu keluar dari istanaku ini.........!”
Perjanjian Sin-bu Te-kun
“Yang kutakuti bukan jago-jago persilatan lainnya, melainkan hanya Pok Thian-leng seorang!” kata ketua Hek Gak,
“asal dia sudah lenyap, barulah kita dapat melaksanakan cita-cita………”
Sin-bu Te-kun mengangguk.
“Benar. Tetapi ruang Thiau-hui-thia (pencuci dosa) yang telah kupersiapkan itu memakan waktu berpuluh tahun.
Dibangun atas dasar Ngo-heng-ki-bun ( ilmu ajaib lima unsur ). Biar dia atau malaikat, asal berani masuk ke dalam
ruang itu, tentu akan amblas nyawanya……”
Ketua Hek Gak mengerutkan alisnya.
“Rupanya saudara Ki mempunyai keyakinan besar. Kita pasti menang!”
Tetapi wajah Sin-bu Te-kun mengerut, ujarnya, “Menang atau kalah lebih baik jangan kita bicarakan dulu. Lebih dulu
aku hendak memperingatkan engkau!”“Silakan!”
Sinbu Te-kun tertawa iblis, “Kuperingatkan padamu agar engkau jangan melupakan perjanjian kita di Tiam-jong-
san…….”
Raja Sin-bu-kiong batuk-batuk sebentar, lalu katanya pula, “Apakah layak kalau sekarang kita menggunakan
panggilan saudara?”
Ketua Hek Gak terkejut bukan kepalang. Tubuhnya menggigil seperti terserang demam.
“Harap Te-kun suka memberi ampun kesalahan hamba!” tersipu-sipu ia mengerang karena menahan kemarahan.
Sin-bu Te-kun tertawa melorroh.
“Tahu akan kesalahan dan dapat merobah, adalah suatu berkah. Aku bukan manusia yang berhati sempit.”
“Terima kasih Te-kun!” buru-buru ketua Hek Gak menyambut. Ia memberi hormat lalu mengundurkan diri.
Sambil mencekal serulingnya yang panjang, Bu Cui suseng tiba-tiba bangkit dari tempat duduknya. “Walaupun kita
menderita kekalahan di Tiam-jong-san, tetapi saat ini kedudukannya sudah berobah. Aku berani mengatakan dengan
bangga, seklaipun tak ada persiapan alat-alat rahasia dari Saudara Ki, tetapi jangan harap Pok Thian-leng dan
gerombolan Lu tua itu dapat meninggalkan istana Sin-bu-kiong.....” katanya dengan tersenyum. Sejenak
mengedarkan pandangan matanya, ia berkata pula, “Mo-pak-sam-cat mana mau membiarkan orang terlepas dari
cengkeramannya?”
Kiranya ketiga orang aneh yang berpakaian putih dan rambut merah itu adalah yang disebut Mo-pak-sam-cat ( tiga
durjana dari padang pasir utara).
Mereka adalah orang-orang yang dibawa oleh Bu-cui suseng. Karena itulah maka Bu Cuui suseng berani menepuk
dada. Diagulkannya kesaktian Mo-pak sam-cat yang garang untuk menonjolkan pahalanya dalam menghadapi
kawanan Thiat-hiat-bun.
Mo-pak sam-cat menyambut dengan tertawa tajam. Serempak mereka berseru dengan nada yang menusuk, “Harap
saudara-saudara jangan kuatir! Asal kami bertiga saudara ada di sini, sekalipun yang datang barisan dewa dari langit,
tentu dapat tertangkap hidup. Kalau sampai mati, jangan anggap kami orang berilmu!”
Sin-bu Te-kun tersipu-sipu memberi hormat.
“Tentu, tentu! Begitu saudara bertiga berada di sini, hatiku setenang laut. Dan memang telah kupersiapkan
perjamuan besar untuk merayakan jasa-jasa saudara!” katanya.
Setelah disentil secara halus oleh Sin-bu Te-kun, ketua Hek Gak tak berani membuka suara lagi. Tetapi diam-diam ia
mendekati Bok Sam-pi.
“Bagaimana keadaan in-su sekarang?” tanyanya perlahan.
Bok Sam-pi mendengus, “Hm, aku tak kurang suatu apapun. Hanya jubah yang kupakai ini amat ketat!”
“Meskipun ketat, tetapi besar gunanya. Baiklah suhu suka tahankan diri dulu!” kata ketua Hek Gak.
Bok Sam-pi mengangguk dan tetap enak-enak mengganyang makanannya.
Sekonyong-konyong….. Genta bertalu nyaring. Semua orang yang sedang berkumpul dalam ruangan itu saling
berpandangan. Mereka hening seketika. Tak berapa lama terdengar derap orang masuk. Seorang anak buah Sin-bu-
kiong dengan dandannya yang ringkas, melangkah masuk ke ambang pintu.
Anak buah itu bejongkok dan berseru dengan suara lantang, “Ingin memberi tahu kepada Te-kun bahwa tamu telah
tiba!”
“Sebutkan siapa namanya!” teriak Sin-bu Te-kun.
Serentak anak buah itu menyahut dengan nyaring, menyebut nama-nama tetamu ynag datang:
“Lu Liang-ong ketua partai Thiat-hiat-bun.
Pedang bebas Pok Thiat-beng. Hun-tiong Sin-mo Cu Giok-bun. Li Cu-liong ketua partai Tiam jong-pay. Thiat-ik Sin-
kay Auyang Beng.....”
“Cukup!” bentak Sin-bu Te-kun, “Katakan aku sendiri yang segera akan keluar menyambut!”
Anak buah Sin-bu-kiong itu memberi hormat dan segera berlalu.
Sin-bu Te-kun memandang kepada hadirin dan mengulum senyum, “Kuminta sekalian saudara untuk menyertai aku
menyambut tetamu kita!”Sin-bu Te-kun segera mendahului melangkah keluar. Sekalian hadirin pun segera mengikutinya.
Dari ruang yang mereka tempati tadi sampai ke pintu gerbang istana Sin-bu-kiong, tak kurang dari seratus tombak
jauhnya. Sepanjang lorong yang mereka lalui tampak penjagaan yang kuat dari anak buah Sin-bu-kiong.
Pintu gerbang dibuka dan yang pertama kali melangkah masuk ialah si Jenggot perak! Di belakangnya mengikuti
Pedang bebas Pok Thiat-beng, Hun-tiong Sin-mo Cu Giok-bun, ketua Tiam-jong-pay Li Cu-liong, Thiat-ik Sin-kay, si
dara Pok Lian-ci, kedua Im Yang songsat dan beberapa pengikut.
Sin-bu Te-kun tertawa. Sambil memberi hormat berserulah Sin-bu Te-kun dengan nyaring, “Kalian benar-benar orang
yang dapat dipercaya. Kuhaturkan selamat datang kepada tuan-tuan sekalian.”
Jenggot perak balas tertawa keras. “Ah, suatu kata sambutan yang terlalu berat bagi kami. Memang aku si orang tua
ini senantiasa menjunjung kepercayaan. Pula.....”
Ia berhenti sejenak untuk mengedarkan matanya lalu berkata pula dengan perlahan, “Jika kami hari ini tak datang,
dunia persilatan Tiong-goan tentu bakal menjadi duniamu!”
Wajah Sin-bu Te-kun agak berobah.
“Dengan penuh kehormatan telah kuberi sambutan, kuharap Lu lohiapsu suka berlaku sungkuan sedikit!”
Jenggot perak tertawa lebar. “Memang perangaiku sejak dulu selalu begitu, terus terang secara blak-blakan. Bicaraku
selalu gamblang. Meskipun mungkin tak enak bagi pendengaran, tetapi......”
Belum selesai ia berkata, tiba-tiba terdengar suara bentakan menggeledek, “Tutup mulutmu! Dengan mengandalkan
usia tuamu, kau berani memandang rendah kepada kami tiga bersaudara?”
Yang berseru itu ialah Sitho Hong, saudara tertua dari tiga serangkai Mo-pak-sam-cat. Mereka berdiri di belakang Sin-
bu Te-kun.
Jenggot perak meliriknya dengan dingin, serunya, “Kukira siapa, kiranya saudara Sitho dari Mo-pak sam-cat yang
termashyur......!”
“Kalau sudah tahu nama kami, seharusnya kau berlaku sopan sedikit!” tukas Sitho Hong.
Jenggot perak tertawa datar, “Justru kebalikannya. Aku tak doyan kepada kawanan manusia dari padang pasir.....”
Sejenak matanya menegang, lalu berteriak sekeras-kerasnya. “Di hadapan kalian bertiga, jangan menganggap aku
mengandalkan usia tua. Sekalipun setan-setan leluhurmu kau seret kemari, aku tetap akan menghajarnya.....”
Bukan kepalang marahnya ketiga Mo-pak-sam-cat.
“Bangsat tua, jangan menghamburkan lidah tajam! Kami bertigalah yang hendak menghajarmu lebih dulu!” serentak
ketiga durjana itu mengapungkan tubuh. Begitu tiba di hadapan Jenggot perak, mereka serentak mengangkat tinju
hendak menghantam.
“Tahan!” buru-buru Sin-bu Te-kun berseru dan menghadang di muka ketiga Mo-pak-sam-cat. “Harap saudara bertiga
jangan berkelahi dahulu!”
Dengan congkak ketiga durjana itu menyahut, “Beta sabarnyapun tetap tak tahan mendengar ocehannya. Apakah
saudara Ki hendak menyuruh kami menelan hinaan anjing tua itu?”
Sin-bu Te-kun mengerutkan alis. Buru-buru ia menggunakan ilmu menyusup suara kepada ketiga orang itu. “Urusan
kecil tak dapat menahan diri, bisa mengakibatkan urusan besar terlantar! Harap saudara bersabar sedikit. Tunggu
setelah mereka dapat ditangkap, kuserahkan kepada saudara yang menghukunnya. Masakah saudara takkan puas?”
Mo-pak Sam-cat mendengus, tetapi kerut di wajah mereka mulai longgar. Tanpa bicara apa-apa merekapun mundur
dan berdiri di samping.
Jenggot perak hanya mengulum senyum saja. Dipandangnya ketiga Mo-pak-sam-cat itu dingin-dingin. Seolah-olah
tak memandang mata sama sekali.
Sin-bu Te-kun memaksakan diri berlaku hormat selaku tuan rumah, ujarnya, “Pada pertemuan di gunung Tiam-jong-
san, karena satu sama lain salah paham, maka tak menghasilkan apa-apa. Kita bubar dengan persaan tak puas. Hari
ini akulah yang berganti menjadi tuan rumah. Harap tuan-tuan suka menghadiri dengan sepenuh hati. Kita sama-
sama melaksanakan peraturan dunia persilatan, menjunjung kelakuan kaum berilmu……”
“Ah, tak usah bicara terlalu muluk-muluk!” tukas Jenggot perak, “mengapa tak meniru saja aku si orang tua yang
suka bicara secara blak-blakan.”
Sin-bu Te-kun menelan kemarahannya.
“Lu lohiapsu memang seorang manusia bebas yang tak mau terikat peradatan. Sungguh sesuai dengan tingkah lakubangsa Ko-jin ( orang sakti)…” seru Sin-bu Te-kun, “tetapi ai, di sini bukan tempat yang layak untuk menyambut
tamu. Mari silakan masuk!”
Ia terus menyisih ke samping untuk memberi jalan kepada rombongan tamu. Tetapi di luar dugaan, Jenggot perak
hanya tertawa nyaring.
“Tak usah! Aku tak suka merepotkan kalian. Lebih baik tak masuk saja,” serunya.
Wajah Sin-bu Te-kun berobah seketika.
“Karena tuan-tuan sudah memberi muka padaku, maka sudah kusiapkan perjamuan sekedarnya untuk menyambut
kunjungan tuan-tuan, Lu lohiapsu menolak?”
“Telah kukatakan tadi. Aku selalu bicara secara blak-blakan,” kata Jenggot perak, “ruang Thiau-kui-thia dalam
istanamu itu penuh dengan alat perangkap dan perkakas rahasia. Sekali masuk tentu menemui kesukaran. Maka lebih
baik aku tak masuk saja!”
Seketika wajah Sin-bu Te-kun berobah seperti kertas. Buru-buru ia batuk-batuk, ujarnya, “Lu lohiapsu mengolok-
olok....” ia berhenti sejenak, mengedipkan mata, lalu berkata pula, “adalah karena tuan-tuan mencurigai adanya alat-
alat perangkap dalam Thiau-hui-thia , maka silakan tuan mengutus orang untuk memeriksanya dulu!”
Kembali Jenggot perak tertawa keras, “Tak usah mengutus orang, tetapi aku sendiri cukup tahu tentang alat-alat
rahasia!”
“Bagus,” seru Sin-bu Te-kun, “kalau begitu silakan Lu lohiapsu saja yang memeriksanya..... ”
Jenggot perak menggeleng, “Sekalipun aku sudah kenyang dengan segala macam alat perangkap, tapi tentu tak
berhasil mendapatkan jejak dalam ruang Thiau-hui-thia itu.... ”
Sin-bu Te-kun mulai meradang, serunya, “Kalau begitu Lu lohiapsu sengaja hendak menghina dan memfitnah!”
Jenggot perak mengidarkan matanya memandang Mo-pak sam-cat, Lam-yau pak-koay, Ko liu sianjin, ketua Hek Gak
dan Ang tim-gong-khek Bok Sam-pi.
“Apakah orang yang kau undang membantu sudah siap datang semuanya?” akhirnya ia berseru.
Wajah Sin-bu Te-kun benar-benar merah padam.
“Beberapa saudara ini adalah orang-orang persilatan yang ternama. Mereka sengaja kuundang untuk ikut
merundingkan kedudukan dunia persilatan. Mengapa kau menuduh mereka sebagai orang-orangku?” serunya.
Jenggot perak tertawa nyaring, “Membantumupun boleh, ikut merundingkan kedudukan dunia persilatanpun boleh.
Yang kutanyakan, apakah mereka sudah berkumpul di sini semua?”
“Ini....aku tak suka menjawab!” Sin-bu Te-kun menjawab ketus.
Jenggot perak mendengus, lalu berpaling kepada rombongannya, ia berkata, “Apakah saudara-saudara kenal akan
seorang ahli banguna bernama Cukat Jin, bergelar si Cakar langit.?”
Pengemis sakti Thiat-ik Sin-kay tampil ke muka, “Aku si pengemis tua ini termasuk orang yang tak punya kepandaian
apa-apa. Tetapi aku kenal banyak sekali orang-orang yang ternama. Cukat Jin si Cakar langit itu memang tak terkenal
di dunia persilatan. Kebanyakan orang tentu tak kenal. Tetapi bagiku si pengemis tua ini, dia bukanlah orang asing
lagi!”
“Kalau saudara kenal, sukakah menceritakan dirinya dengan singkat?” seru Jenggot perak.
Thiat-ik Sin-kay mengangguk.
“Cukat jin seorang yang berwatak aneh. Semasa mudanya pernah bertemu dengan orang sakti yang memberinya
pelajaran tentang berbagai ilmu Ngo-heng-tun-kah ( ilmu lima unsur bumi), bangunan-bangunan rahasia. Pernah
membuat goa di bawah gunung Lian-hoa-san yang diselesaikan hanya dalam waktu tiga hari saja. Padahal goa itu
cukup untuk dimasuki lima ribu orang. Oleh karena itu ia digelari sebagai Pencakar langit atau jelmaasn dari Lu pan.
Tentang dirinya....... ”
“Cukuplah, terima kasih........” tukas Jenggot perak dengan tertawa.
“Apakah Cukat Jin sianseng itu saat ini juga berada di sini?” tanyanya kepada Sin-bu Te-kun.
Sin-bu Te-kun paksakan menelan kemarahan, sahutnya, “Cukat Jin sianseng memang di sini. Tetapi karena
perangainya aneh, tak suka menerima balas jasa dan tak senang mencampuri urusan dunia persilatan, maka dia tak
mau keluar menyambut!”
Jenggot perak kembali berkata kepada Thiat-ik Sin-kay, “Jika Cukat Jin yang membuat alat perangkap dalam ruang
Thiau-hui-thia di sini, dapatkah kita semua mengetahuinya?”Tanpa ragu-ragu Thiat-ik Sin-kay menjawab, “Dia mempunyai kepandaian yang luar biasa. Karyanya diatur
sedemikian rupa sehingga tak mungkin diketahui orang. Kepandaian engkau dan aku tentang alat-alat rahasia yang
hanya di kulit saja, tak mungkin mengetahui buatannya!”
“Apakah andaikata kita terjebak di situ, kita mampu lolos?” tanya Jenggot perak pula.
Thiat-ik Sin-kay menggelengkan kepalanya, “Dikuatirkan sukar, sukar sekali.....”
Sekalian orang mendengar jelas percakapan antara kedua tokoh itu. Mau tak mau tergetar juga hati mereka.
Yang paling risih sendiri adalah Sin-bu Te-kun. Dia tak berhasil memikat rombongan tamunya masuk dan tak dapat
juga mencegah percakapan mereka. Benar-benar ia sibuk seperti semut di atas kuali panas. Paling-paling ia hanya
tertawa meringis seperti monyet makan terasi....
Akhirnya Jenggot perak menatap tajam kepadanya, “Jelaslah kini apa rencanamu. Hei, tak heran walaupun sudah
menderita kekalahan di Tiam-jong-san, kau masih berani menantang lagi. Bahkan kaupun mengundang banyak bala
bantuan. Kiranya kau sudah mempunyai tiang andalan yang hebat. Kau menyuruh Cukat Jin membuat alat-alat
perangkap dalam Thiau-hui-thia untuk menjebak rombonganku. Dengan begitu jelas isi hatimu yang seganas
serigala!”
Sebenarnya Sin-bu Te-kun sudah akan meledak marah, tetapi ia masih dapat menekan dan memaksakan tertawa,
“Jika Lu lohiapsu tetap mengatakan begitu, akupun tak dapat berbuat apa-apa...... Ketika di Tiam-jong-san, yang
kutantang ialah Pok Thian-leng. Apakah Lu Lohiapsu akan menjadi saksi? Tetapi karena dia tak datang, maka
tantangan ini mungkin akan diundur sampai lain kali....”
Jilid 30 .
Sin-bu Te-kun terkesiap. Adalah karena Thian-leng tak kelihatan, maka ia berani mengatakan seperti tadi. Tetapi
mengapa Jenggot peraka menolak. Ditelitinya ke arah rombongan tamu. Ah, tak salah lagi. Thian-leng tak berada di
antara mereka.
Hatinyapun tenang. Serunya dengan tertawa, “Apakah pemuda itu sudah datang?”
“Belum!” sahut Jenggot perak dengan tegas.
“Apakah Lu lohiap tak membawanya datang?” Sin-bu Te-kun coba-coba menyelidiki lebih lanjut.
“TIdak!”
“Hai, mengapa dia tak memenuhi perjanjian? Mungkin dia sudah lebih berpengalaman tentang keadaan Sin-bu-kiong,
sehingga dipikir-pikir lebih baik megnundurkan diri saja!” kata Sin-bu Te-kun.
“Jangan takabur!” bentak Jenggot perak, “anak muda itu bukan manusia yang ingkar janji. Kecuali mendapat
halangan besar, tentu dia akan datang tepat pada saatnya!”
“Ah, langit memang sukar diukur tingginya. Orang yang sakti masih ada yang lebih sakti lagi. Meskipun dia sudah
mendapat ilmu warisan dari It Bi siangjin, tetapi kemungkian dia ketemu dengan batunya, seorang yang lebih sakti
lagi. kemungkinan dia dikalahkan dan bahkan.....sudah amblas nyawanya....”
“Mati hidup, kaya miskin, sudah suratan takdir,” seru Jenggot perak dengan nada serius, “andaikata dia bernasib
seperti yang kau katakan, itulah sudah ditentukan oleh takdir. Aku tak kecewa.....”
“Dengan begitu pertandinganku seratus jurus dengannya itu sudah dapat dianggap selesai!”seru Sin-bu Te-kun.
“Tetapi dia datang atau tidak, belum ada kepastiannya!”
Apabila sampai jam lima pagi dia tetap tak muncul, maka pertandingan ini kuanggap selesai!” seru Sin-bu Te-kun.
Jenggot perak tertawa lebar, “Tetapi sekarang toh baru jam sepuluhan!”
Percakapan itu menimbulkan berbagai tafsiran di dalam hati Sin-bu T-kun. Dari kata-kata Jeggot perak, ia benar-
benar tak jelas tentang keadaan yang sesungguhnya dari rombonagn tamunya. Benarkah Pok Thian-leng mendapat
kesukaran? Kalau tidak,mengapa ia tak ikut serta?.
Tetapi sikap dan kata-kata Jenggot perak yang selalu dihias senyuman, menimbulkan kecurigaan. Jangan-jangan
Thian-leng memang sengaja disimpan supaya jangan muncul dahulu.
Ruang Thiau-hui-thia memang dibuat oleh ahli bangunan Cakar langit Cukat Ji. Dia memasang alat-alat rahasia di
bawah tanah. Asal rombongan Jenggot perak dapat dibujuk masuk, tak nanti mereka mampu keluar lagi.!
Pada waktu memasang alat-alat perangkap itu, penjagaan dilakukan sedemikian kerasnya. Hanya beberapa anak
buah Sin-bu-kiong saja yang mengetahui. Sudah tentu Jenggot perak sukar juga untuk melakukan penyelidikan.Memang Jenggot perak seekor rase tua yang licin. Tak mudah memikatnya masuk jebakan. Dan dengan
terbongkarnya rahasia Thiau-hui-thia itu, berarti pihak Sin-bu-kiong sudah menderita kekalahan setengah bagian…..
Bagi Sin-bu Te-kun, saat itu hanya ada dua harapan. Pertama, ia mengharap agar thian-leng benar-benar bertemu
dengan lawan yang lebih sakti. Anak muda itu dapat dikalahkan, syukur terbunuh mati.
Harapan kedua, mengandalkan tenaga jago-jago lihai sepeti Mo-pak sam-cat dan mengerahkan alat-alat rahasia
dalam istana Sin-bu-kiong untuk menghancurkan musuh. Tetapi harapan itu hanya harapan. Boleh diharap tetapi tak
dapat dipastikan.
Sin Bu Te-kun gelisah. Wajahnya pucat pasi. Rupanya isi hati Sin-bu Te-kun diketahui jenggot perak yang dapat
melihat perobahan air muka orang.
“Engkau mempunyai cita-cita menguasai dunia persilatan, menjagoi kaum persilatan. Apakah kau sudah mempunyai
pegangan untuk melaksanakan cita-cita itu. Jika tak salah, engkau....
Baru Jenggot perak mengatakan sampai di situ, Sin-bu Te-kun cepat mendengus, “Kepergianku dari Tiam-jong-san
memang sengaja hendak menantang Thian-leng agar melanjutkan sisa pertandingan yang belum selesai itu. Tetapi
oleh karena dia belum datang, terpaksa akupun tak dapat menerima kunjungan lain tamu. Maafkan, aku tak dapat
menemani kalian lebih lama lagi....” ia terus berputar dan hendak masuk ke dalam.
Memang Sin-bu Te-kun sudah mempunyai rencana. Dengan alasan karena Thian-leng tak datang, maka dia hendak
masuk ke dalam istana. Jika Jenggot perak tak merintangi, nanti ia hendak mengajak Mo-pak-sam-cat dan lain-
lainnya merundingkan rencana mereka lagi.
tetapi kalau Jenggot perak merintangi, dapatlah ia menjebak mereka supaya masuk kedalam istana. Biarlah mereka
hati-hati supaya jangan tersesat memasuki ruang Thiau-hui-thia, tetapi lain-lain tempat dalam istananya penuh
dengan alat-alat rahasia yang cukup mampu untuk menangkap mereka.
Tetapi untuk kesekian kalinya, Sin-bu Te-kun terkejut. Baru ia hendak melangkah, tiba-tiba terdengar orang berseru
dan melesat menghadang jalannya.!
Makin terkejut Sin-bu Te-kun ketika mengetahui siapa penghadangnya itu. Pok Thiat-beng si Jago pedang bebas dan
Hun-tiong Sin-mo Cu Giok-bun, sepasang suami isteri yang pernah menggegerkan dunia persilatan!
Di belakang kedua suami isteri itu tampak pula Pok Lian-ci, si dara tambur sakti dan Cu Siau-bun. Dua saudara
tunggal ayah lain ibu.
Tujuh belas tahun sepasang suami isteri itu berpisah atau lebih tepat dipisahkan oleh mulut berbisa. Kini mereka telah
bersatu padu pula dan tegak mencegat di hadapan Sin-bu Te-kun. Wajah mereka serius.
Thiat-beng melintangkan pedangnya. Cu Giok-bun menyiapkan jarinya. Walaupun tampaknya tenang-tenang saja,
tetapi jelas bahwa kedua suami isteri itu sedang mengerahka seluruh perhatiannya. Sekali bergerak tentu dahsyat
sekali.....
Mau tak mau Sin-bu Te-kun tergetar juga hatinya. Namun ia paksakan tertawa.
“Ah, aku turut prihatin atas nasib kalian berdua. Tujuh belas tahun berpisah, kini dapat bersatu pula. Aku turut
merasa bersyukur sekali......”
“Song-bun Kui-mo Ki Pek-lam!” seru Pedang bebas Pok Thiat-beng dengan nyaring, “Aku tak perlu mendapat
simpatimu. Hanya satu hal yang hendak kutanyakan padamu. Mengapa Ma Hong-ing menjadi isterimu? Cukup kau
jelaskan dengan jujur dan kuhabiskan semua kesalahanmu!”
Saat itu Thiat-beng dan Cu Giok-bun bediri di tengah-tengah Sin-bu Te-kun dengan rombongan Mo-pak-sam-cat dan
ketua Hek Gak dan lain-lainnya.
Posisi yang diambil oleh kedua suami isteri itu memang berbahaya. Tetapi justru karena tindakan yang luar biasa
beraninya itu, Mo-pak-sam-cat dan kawan-kawannya tergetar nyalinya. Mereka tak berani betindak sembarangan dan
hanya termangu melihat saja.....
Sin-bu Te-kun seorang yang pandai melihat gelagat. Sejenak memperhatikan suasana, tahulah ia apa yang harus
dilakukan. Melihat Pok Thiat-beng dan Cu Giok-bun menggunting di tengah dan toh Mo-pak-sam-cat, ketua Hek Gak
dan lainnya tak bertindak apa-apa, Sin-bu Te-kun tersinggung. Namun dia juga seorang rase tua yang licik,
dipaksanya sang mulut tertawa....
“Karena Pok Tayhiap tetap ingin tahu hal itu, dengan segala kerendahan hati aku akan memberitahukan,” katanya,
“sebelumnya aku tak pernah mempunyai ikatan apa-apa dengan Ma Hong-ing, waktu kuambil ia sebagai Te-it ong-hui
( permaisuri). Kesemuanya itu adalah atas perkenalan Cong-hou-hwat Ni Jin-hiong yang mengaturnya....”
“Jadi kau tak mabuk oleh kecantikannya?” tegur Pok Thiat-beng.
Sin-bu Te-kun tertawa menyeringai, “Sudah tentu ti...... sebenarnya aku sudah mempunyai delapan isteri. Jadi dia
termasuk isteri yang ke sembilan. Tetapi karena ia......”
“Tak usah kau lanjutkan.....!” tiba-tiba Jenggot perak menukas.“Mengapa tidak?” sahut Jenggot perak nyaring.
“Ma Hong-ing adalah budak tersayang dari Thiat-hiat-bun, sudah tentu ia tahu banyak sekali tentang rahasia partai
itu. Oleh karena itu maka kau tak segan-segan mengangkatnya sebagai permaisuri, yaitu agar kau dapat menyelidiki
rahasia partai Thiat-hiat-bun. Jadi jelaslah bahwa kau memang sudah lama mengidamkan rencana untuk menindas
Thiat-hiat-bun!”
Sin-bu Te-kun tertawa sinis, “He,h, heh, boleh juga kau mau mengatkan begitu. Tetapi masih ada sebab-sebab lain
lagi!“
Jenggot perak mengelus-elus jenggotnya dan tertawa, “Aha, dalam hal ini perlukah kuminta petunjuk padamu!”
Mata Sin-bu Te-kun berkilat-kilat, serunya, “Ceritanya harus dijelaskan sejak permulaan. Pada masa Pok Tayhiap
mengembara ke daerah selatan, diam-diam kuperhatikan gerak-geriknya. Dengan keluarga Pok yang termashyur dan
nama Pok tayhiap yang menggetarkan seluruh dunia persilatan, aku merasa mendapat rintangan. Bagiku mereka
adalah duri dalam benak....”
“He, ternyata kau juga suka bercerita secara jujur. Sungguh patut dipuji!” Seru Jenggot perak.
Sin-bu Te-kun hanya tertawa dingin, ia melanjutkan ceritanya, “Pada waktu itu juga, aku pun mengutus orang untuk
mengikat persahabatan dengan tokoh-tokoh daerah.....”
“Iblis tua, kau tak malu menceritakan urusan itu lagi!” tiba-tiba Thiat-beng membentak bengis.
Rupanya Sin-bu Te-kun sudah membulatkan hati. Biarlah ia dihina atau dicaci, tak mau ia marah.
“Tetapi waktu itu Pok Tayhiap berkeras menolak uluran tanganku. Sedikitpun ia tak tertarik menggabungkan diri
dalam persekutuan yang kubentuk itu. Tetapi sekalipun begitu, aku tak pernah berputus asa untuk mengambil
hatinya. Pada waktu akhirnya Pok Tayhiap menikah dengan nona Lu, aku benar-benar seperti mendapat tamparan
yang hebat......”
“Ki tua, kiranya peristiwa itu kaulah yang merencanakan.......!” teriak hun-tiong Sin-mo Cu Giok-bun yang tak dapat
mengendalikan kemarahannya lagi. Gerahamnya sampai berkeretekan.
Sin-bu Te-kun menggelengkan kepala, “Aku belum menyelesaikan ceritaku. Janganlah memutus dulu!”
“Lekas lanjutkan!” bentak Hun-tiong Sin-mo.
Sin-bu Te-kun tertawa tawar. Ia segera melanjutkan penuturannya.
“Pada saat pikiranku ruwet untuk mencari jejak Pok tayhiap, kudengar bahwa Pok Tayhiap suami isteri menetap di
daerah Secuan. Ni Jin-hiong, cong hou-hwat kami yang dulu, telah memberi usul supaya memikat budak perempuan
dari Pok tayhiap saja. Berulang kali kutandaskan bahwa usul semacam itu pada hakekatnya tentu akan gagal.
Tetapi Ni Jin-hiong tetap yakin pasti berhasil. Akhirnya kusetujui dengan menandaskan bahwa Ni Jin-hionglah yang
harus melaksanakan. Diapun sanggup, tetapi di luar dugaan......”
Sejenak Sin-bu Te-kun menghentikan penuturannya. Ia mengedipkan mata, lalu berkata, “Akhirnya Ni Jin-hiong dapat
melaksanakan dengan berhasil. Tetapi ternyata dalam peristiwa itu terselip sesuatu... ”
Jenggot perak tiba-tiba tertawa, “Sungguh terperinci sekali ceritamu kali ini.Tetapi di antaranya kau telah melewatkan
sedikit. Perlukah kuperingatkan kepadamu. Memang Ni Jin-hiong berhasil memikat budak perempuan itu dengan cara
merayunya.
Walaupun usia mereka terpaut jauh, tetapi nyatanya Ni Jin-hiong itu adalah kekasih dari Ma Hong-ing sendiri. Kau
ambil Ma Hong-ing sebagai Te-it ong-hui, berarti kau dikelabui secara terang-terangan....... ha, ha, ha,” Jenggot
perak tertawa mencemooh.
Seketika wajah Sin-bu Te-kun pucat pasi.
“Akupun sudah mencium tentang itu.... Apakah kalian masih suka mendengarkan lanjutan ceritaku ini?”
Jenggot perak tertawa, “Kau mau melanjutkan atau tidak, pada hakekatnya serupa saja. Tak begitu penting artinya.
Karena andaikata kucegah kau bercerita, toh kau tentu berkeras melanjutkan juga. Karena kau memang hendak
menggunakan siasat mengulur waktu, agar anak buahmu sempat mengatur persiapan-persiapan dalam istana!”
Kembali wajah Sin-bu Te-kun berobah. Namun ia masih memaksakan diri untuk tertawa.
“Terserah kau hendak mengatakan apa saja! Tetapi karena aku sudah berjanji hendak menceritakan, maka tentu
akan kuceritakan sampai jelas. Ma Hong-ing rela menikah dengan Nyo Sam-kui agar dapat ikut pada nona Lu, guna
melaksanakan rencana membalas dendam...”
Yang dimaksud nona lu di atas ialah Cu Giok-bun. Seperti diterangkan terdahulu, Hun-tiong Sin-mo Cu Giok-bun itu
adalah puteri dari Lu Liang-ong ketua Thiat-hiat-bun.Tetapi karena Giok-bun dipungut anak oleh tabib sakti Cu Thian-hoan, maka ia mengganti she dengan she Cu.
Sahut Cu Giok-bun, “Sebagai permaisurimu, kau tentu mengetahui apa sakit hati Ma Hong-ing kepadaku itu?”
Mata Sin-bu Te-kun berkilat, ujarnya, “Tiada halangan untuk memberitahukan hal itu kepadamu sekarang. Eh, apakah
kau masih ingat akan seorang yang bernama Ma Beng-seng?”
Cu Giok-bun merenung beberapa saat.
“Apa itu Ma Beng-seng!” serunya heran, “rasanya aku belum pernah mendengar nama itu. Apakah hubungan Ma
Beng-seng dengan Ma Hong-ing? Apakah ia....”
Tiba-tiba Jenggot perak bertepuk tangan, “Benar, aku ingat sekarang.....”
“Yah, bagaimana?” seru Cu Giok-bun serentak.
“Ma Beng-seng adalah salah seorang dari rombongan tiga puluh enam Thian-kong partai Thiat-hiat-bun. Karena dia
bersekongkol dengan gerombolan Ngo-tok-bun dan hendak berkhianat pada partai Thiat-hiat-bun .....”
“Ya, ya, sekarang aku ingat,” tukas Cu Giok-bun, “Ma Beng-seng berkhianat kepada Thiat-hiat-bun. Dosanya tak
terampunkan. Sebenarnya kala itu ayah tak mau memperbanyak dosa, tetapi akulah yang kelepasan omong sehingga
akhirnya Ma Beng-seng dijatuhi hukuman tumpas seluruh keluarganya yang terdiri dari empat belas jiwa....... Kalau
tak salah peristiwa itu terjadi pada dua puluh tahun yang lalu, bukan?”
Sin-bu Te-kun menyela, “Benar! Sudah dua puluh lima tahun yang lalu. Ma Hong-ing adalah anak ketiga dari Ma
Beng-seng. Pada saat keluarganya dibunuh, dia kebetulan sedang berada di tempat neneknya, sehingga tak turut
terbunuh. Pembunuhan keluarganya itu, benar-benar menghancurkan seluruh jiwa raganya. Ia bertekad untuk
melakukan pembalasan. Diam-diam ia masuk dalam partai Thiat-hiat-bun, menjadi pelayanmu. Sudah tentu tiada
seoarangpun yang tahu siapa dirinya........”
Hun-tiong Sin-mo Cu Giok-bun menggertak giginya dan berkata seorang diri. “Hm, tak heran kalau ia mendendam
sekali padaku. Tetapi anaknya itu...........”
“Sayang Pok Thian-leng bukan puterinya!” Sin-bu Te-kun tertawa tajam.
“Eh, tahukah kau bagaimana hubungan antara Pok Thian-leng dengan Ma Hong-ing itu?” Cu Giok-bun gugup.
“Tentang itu maaf, aku tak dapat mengatakan,” sahut Sin-bu Te-kun.
“Kau tak mau mengatakan?” teriak Cu Giok-bun.
“Aku tak tahu.....” teriak Sin-bu Te-kun dengan nyaring. Kemudian ia menghela napas lalu berkata pula, “Hal itu telah
terikat dalam perjanjian kita. Ni Jin-hiong membawa keterangan bahwa Ma Hong-ing mau menerima kedudukan
sebagai Te-it Ong-hui dengan syarat, ia memeinta tinggal di lembah Pek-hun-koh di gunung Lu Liang-san untuk
merawat anak lelaki yang bukan anaknya itu hingga besar....”
“Apakah sama sekali ia tak pernah kelepasan omong tentang anak itu?” Cu Giok-bun mendesak.
Sin-bu Te-kun menggelengkan kepala.
“Sampai saat ini, tiada gunanya aku berbohong padamu. Syarat Ma Hong-ing itu kuterima. Selama ia dapat mengatur
rencana menceraikan kalian, apapun syarat yang diajukan aku sanggup meluluskan!”
“Rencana keji!”
“Untuk mencapai tujuan, segala jalan harus ditempuh. Inilah menjadi pendirianku!” sahut Sin-bu Te-kun.
ooo000ooo
Detik penentuan
Jenggot perak menatap Sin-bu Te-kun dengan tajam, serunya, “Barangsiapa menepuk air di dulang, tentu terpercik
muka sendiri! Rencanamu untuk menceraikan rumah tangga mereka, agar menghilangkan duri dalam
dagingmumemang semula tampaknya lancar. Tetapi ketahuilah! Barangsiapa yang mencelakai orang lain, tentu akan
celaka sendiri. Sekarang nyata kau sendiripun harus mengenyam buah perbuatanmu!”
Sin-bu Te-kun mendengus, “Tak lama setelah itu akupun mengetahui tentang peristiwa yang mengejutkan!”
“Benar!” tukas Cu Giok-bun, “tentu peristiwa nona Lu…..”
Sin-bu Te-kun batuk-batuk, lalu melanjutkan, “Meskipun Ma Hong-ing berhasil memisahkan kalian, namun aku belum
tenteram. Pok Tayhiap yang lenyap ke luar perbatasan, tak kuketahui jejaknya. Tetapi gerak-gerik nona Lu tetap takterlepas dari pengawasanku…..”
Sejenak ia berhenti untuk memandang ke arah Cu Giok-bun, katanya, “Kau menderita luka parah yang hampir
membawa ajalmu. Kemudian beruntung bertemu tabib sakti Cu Thian-hoan dan akhirnya diambil murid oleh Hun-
tiong Sin-mo Theng Ih-hui, telah kuketahui semua….”
“Hm, rencana Ma Hong-ing untuk membesarkan Thian-leng agar melakukan pembalasan padaku, tentu keluar dari
rencanamu juga!” seru Hun-tiong Sin-mo Cu Giok-bun.
Sin-bu Te-kun tertawa, “Boleh dikata begitu, boleh dikata tidak…”
“Apa artinya?” teriak Cu Giok-bun.
“Bersumpah memelihara Pok Thian-leng sampai besar agar melakukan pembalasan padamu, adalah rencana Ma
Hong-ing sendiri. Tetapi tentang Hun-tiong Sin-mo pada saat hendak menutup mata mengambil engkau sebagai
murid, adalah sesuai dengan rencanaku yang kuberitahukan pada Ma Hong-ing!”
“Cukup! Mana perempuan hina itu!” teriak Cu Giok-bun dengan murka.
Sin-bu Te-kun tertawa, “Sudah tentu berada dalam istana Sin-bu-kiong ini!”
“Serahkan perempuan hina itu kepadaku dan segala dendam permusuhan antara kita, akan kuhabiskan sampai di
sini!”
Sin-bu Te-kun tertawa sinis, “Ini……….”
“Mengajukan usul begitu, seperti menyulitkan kau tampaknya.... ” tiba-tiba Jenggot perak menyeletuk. Ia berpaling
memandang Cu Giok-bun, serunya, “Menurut pendapatku, hal mencari perempuan hina itu kita tangguhkan nanti
saja. Sekarang.....”
“Terserah bagaimana ayah hendak mengatur!” cepat-cepat Cu Giok-bun menanggapi.
Jenggot perak tertawa meloroh, serunya, “Ki Pek-lam, dalam pertemuan di Tiam-jong-san, meskipun kau dapat
meloloskan diri, tetapi rapat besar itu tidak lantas bubar!”
Sin-bu Te-kun terkesiap, “Apakah kalian bermaksud hendak melanjutkan lagi?”
Jenggot perak mengangguk tertawa, “Benar, dan masih ada lagi suatu penyelesaian yang memuaskan!”
“Penyelesaian bagaimana?” Sin-bu Te-kun mengerutkan dahi. Diam-diam hatinya kebat-kebit. Ada satu hal yang
menghiburnya. Dalam rapat di Tiam-jong-san tempo hari, jelas bahwa partai-partai persilatan masih menaruh respek
pada Sin-bu-kiong dan tak senang kepada Thiat-hiat-bun, serta Hun-tiong Sin-mo. Kesemuanya itu harus dijaga dan
ditumbuhkan. Kalau rahasia Sin-bu-kiong sampai dibongkar di depan sekalian kaum persilatan, hebat sekali akibatnya
bagi kehidupan Sin-bu-kiong!
“Hal itu sepantasnya bukan aku yang mengatakan.......” Jenggot perak tertawa lalu berpaling kepada rombongannya,
“harap saudara-saudara masuk!”
Memang percakapan antara tuan rumah dan rombongan tamu itu terjadi di depan pintu gerbang Sin-bu-kiong.
Rombongan Jenggot perak sebagian masih berada di luar pintu. Maka tak dapatlah Sin-bu Te-kun mengetahui berapa
besar jumlah rombongan yang dibawa Jenggot perak saat itu!
Serentak dengan seruan Jenggot perak, rombongan yang berada di luar pintu itu segera bergerak masuk.
Sin-bu Te-kun terbeliak kaget. Kiranya dalam rombongan itu ikut serta ke sembilan partai dan semua partai persilatan
yang hadir di Tiam-jong-san.
Bahwa partai-partai persilatan ternyata mau ikut pada Thiat-hiat-bun, terang tentu takkan menguntungkan Sin-bu-
kiong. Namun Sin-bu Te-kun masih dapat menahan diri dan memaksa tertawa memberi selamat datang kepada para
tamu itu.
Tetapi alangkah kaget Sin-bu Te-kun ketika sambutannya itu mendapat tanggapan dingin dari sekalian partai
persilatan. Sepatahpun mereka tak mau bicara.
Tiba-tiba seorang imam berambut putih loncat dari tengah rombongan dan berseru lantang, “Ki sicu, betapa pahit
derita yang telah kurasakan dari kebohonganmu!”
Sin-bu Te-kun kenal imam itu sebagai Ki Tim totiang, ketua dari partai Hoa-san-pay. Di belakangnya ikut serta empat
tothong (imam kecil) yang memanggul pedang.
“Apakah maksud totiang?” tegur Sin-bu To-tiang.Ki Tim menghela napas panjang, “Jika Lu lohiap dari Thiat-hiat-bun tak membongkar rahasia itu, entah bagaimana
jadinya kami sekalian akibat perbuatanmu........” ia berhenti sejenak menyapukan mata ke sekeliling, lalu berkata
pula, “Kami sekalian sekarang sudah mengetahui kedokmu. Kiranya yang menimbulkan hujan darah dan menyamar
menjadi Hun-tiong Sin-mo bukan lain adalah pihak Sin-bu-kiong sendiri!”
Berobahlah wajah Sin-bu Te-kun seketika.
“Di depan sekalian saudara persilatan totiang berani menghina padaku, apakah maksud totiang?”
“Aku adalah seorang ketua partai yang terang. Tidak seperti engkau yang suka mencelakai orang secara menggelap.
Bukti sudah nyata, tak mungkin kau menyangkal lagi!” seru si imam dengan sengit.
Sin-bu Te-kun tertawa sinis.
Ki Tim mendengus, “Bukan hanya mewakili ke sembilan partai, tetapi mewakili seluruh kaum persilatan yang
menjunjung kebenaran...........”
Imam itu berhenti sejenak, lalu berkata pula, “Dalam pertemuan di Tiam-jong-san, atas kepercayaan seluruh kaum
persilatan, aku telah diangkat menjadi Bu-lim bengcu!”
“Bu-lim bengcu?” Sin-bu Te-kun menegas. Bu-lim bengcu artinya kepala atau pemimpin kaum persilatan. Sin-bu Te-
kun hampir tak percaya pendengarannya. Sungguh ia tak dapat mempercayai pendengarannya. Sungguh-sungguh
tak dapat dipercaya..... Kedudukan pemimpin dunia persilatan yang siang malam diimpikan, ternyata direbut oleh
sebuah partai kecil seperti Hoa-san-pay.
Disapunya seluruh rombongan itu dengan tatapan mata yang tajam. Jelas sikap sekalian orang gagah menunjang
pernyataan imam Ki Tim. Sampai beberapa detik Sin-bu Te-kun terpaku diam.
Cita-citanya yang dikandung beberapa tahun dan hampir menjadi kenyataan, kini telah buyar laksana awan ditiup
angin. Bahkan yang lebih mengerikan, saat itu keadaan Sin-bu Te-kun dalam bahaya. Siasatnya telah terbongkar,
kedoknya terbuka. Apakah Sin-bu-kiong yang berpuluh tahun didirikan akan hancur dalam sekejap mata saja?
“Menjadi Bu-lim bengcu bukan suatu kebanggan, tetapi suatu beban kewajiban yang maha berat. Sebenarnya aku
berat menerimanya,” kata imam Ki Tim, “sepak terjangmu menghina dunia persilatan dan mencelakai jiwa manusia,
merupakan bencana bagi dunia persilatan. Di antara satu beban berat dari Bu-lim bengcu adalah memberantas
kejahatan semacam yang kau lakukan selama ini. Di bahuku kini terletak kewajiban melenyapkan gerombolanmu!”
Masih Sin-bu Te-kun tak dapat bicara apa-apa. Hanya air mukanya yang sebentar pucat sebentar gelap. Tiba-tiba ia
berpaling kepada Mo-pak sam-cat dan Bu-cui suseng, serunya, “Suasana malam ini sudah jelas. Siapa kuat menang,
yang kalah menjadi buronan. Karena saudara-saudara sudah sedia membantu tenaga padaku, kumohon saudara suka
berjoang mati-matian!”
Sin-bu Te-kun telah membulatkan tekad. Bersama-sama orang undangannya, antara lain Mo-pak sam-cat, Bu-cui
suseng dan lain-lain, ia hendak mengadu jiwa dengan Thiat-hiat-bun dan imam Ki Tim. Maka sehabis berkata, ia
lantas menyambar Ki Tim.
“Tahan!” sekonyong-konyong terdengar bentakan keras. Nadanya menggeledek memecahkan telinga.
Bukan hanya Sin-bu Te-kun saja yang serentak menghentikan cengkeramannya, juga sekalian jago-jago yang berada
di situ terbeliak kaget mendengar suara mengguntur itu.
Sesosok bayangan biru, tahu-tahu sudah tegak berdiri di hadapan Sin-bu Te-kun.
“Ki Pek-lam, perjanjian sepuluh hari telah tiba. Tuan mudamu sekarang telah datang!” seru bayangan itu.
Serasa terbanglah semangat Sin-bu Te-kun demi mengetahui siapa yang berada di hadapannya itu.
“Kau....kau....” ia berseru tersendat-sendat. Ia tak dapat melanjutkan kata-katanya lebih jauh. Karena tak tahu apa
yang harus dikatakan lagi. Rencana menjebak musuh dalam ruang Thiau-hui-thia telah dibongkar. Pemuda yang
paling ditakutipun sudah muncul. Habis, habislah sudah segala harapannya...........
Pemuda yang menggetarkan nyali Sin-bu Te-kun itu bukan lain adalah Thian-leng sendiri.
“Aku datang memenuhi janji!” seru Thian-leng.
Setelah menenangkan semangat, barulah Sin-bu Te-kun dapat berkata, “Aku hendak mengusulkan pengunduran
waktu lagi. Pertempuran yang sedianya berlangsung hari ini, dibatalkan!”
Thian-leng tertawa dingin, “Memang, memang kau tentu akan mengundurkan pertempuran lagi. Aku tak keberatan,
tetapi....” ia berhenti sejenak untuk mengedipkan mata, lalu berkata pula, “Tetapi selain untuk pertempuran itu,
akupun memang hendak mencarimu untuk suatu hal!”“Soal apa lagi?”
“Tak lain tak bukan adalah untuk meminta ganti rugi jiwa atas kematian Oh-se gong-mo, Tui-hun-hui-mo dan Sip U-
jong locianpwe!” seru Thian-leng.
Sin-bu Te-kun terkejut bukan kepalang, sehingga ia sampai menyurut mundur beberapa langkah.
Thian-leng tertawa hambar. “Kuberi engkau dua jalan. Terserah kau hendak memilih yang mana. Pertama, kau boleh
mempertahankan diri melawan aku mati-matian. Kita bertempur sampai ada salah satu yang mati. Kedua, kita
lanjutkan lagi sisa pertandingan yang kurang delapan jurus itu. Setelah pertempuran itu selesai, akan kuanggap habis
dan tak akan mengungkit-ungkit lagi atas kematian beberapa cianpwe yang kusebutkan tadi!”
Mata Sin-bu Te-kun memancarkan sinar iblis. Ujarnya, “Setelah kita bertempur, apakah ayah angkatmu dan yang
lainnya tetap hendak mencari perkara padaku?”
Thian-leng mendengus, “Kata-kata ‘cari perkara’ itu tidak tepat digunakan. Lebih tepat kalau disebut ‘membasmi
kejahatan’. Baik, mungkin ayah angkatku tentu suka menghentikan gerakannya membersihkan Sin-bu-kiong……..Dan
lagi dalam menyelesaikan sisa delapan jurus itu, akupun hendak meniru perbuatanmu. Aku hendak membuat garis
lingkaran di sekelilingku, kau boleh menyerang dan aku tetap bertahan saja!”
“Hai,…. sungguhkah itu!” Sin-bu Te-kun tertegun.
Thian-leng membentak, “Di hadapan para cianpwe dan jago-jago dunia persilatan, masakah tuanmu hendak menipu!”
Sin-bu Te-kun mengusap mukanya dan batuk-batuk, “Baik, aku menurut saja!” ujarnya.
Wajah Thian-leng tampak serius. Ia berpaling menghadap ke Jenggot perak, Pok Thiat-beng , Cu Giok-bun dan lain-
lain, lalu memberi hormat, ujarnya, “Apakah para cianpwe sekalian mengijinkan aku unjuk kecongkakan kepadanya!”
Jenggot perak tertawa meloroh, “Tampaknya kau memperoleh kemajuan lagi. Kalau tidak masakah kau berani begitu
garang!”
Thian-leng agak merah mukanya. Segera ia membuat garis lingkaran di sekelilingnya. Setelah itu lalu berseru
nyaring, “ Iblis tua, ayo mulailah…….! Meskipun hanya tinggal delapan jurus, tetapi kalau kau belum puas, kau boleh
melanjutkan seranganmu sampai berapa saja yang kau kehendaki. Aku sedia menerimanya. Tetapi ingat setelah
delapan jurus, terpaksa aku akn menggunakan tenaga tolakan untuk menghancurkan urat-uratmu!”
Sin-bu Te-kun seperti orang yang disadarkan. Mau tak mau ia terkesiap melihat kegarangan pemuda itu.
“Apakah benar kau memiliki kesaktian yang berlebih-lebihan?” tegurnya.
Sin-bu Te-kun menganggap ilmu dalam kitab Im-hu-po-kip yang telah dipelajarinya itu, benar-benar sakti tanpa
tandingan. Walaupun ilmu ajaran It Bi siangjin sakti sekali, tetapi ia tak percaya kalau Im-hu-po-kip kalah sampai
begitu jauh dengan ajaran It Bi siangjin.
Thian-leng tertawa dingin, “Sekali meludah, tak kan kujilat kembali. Jika aku sampai kalah, segera aku bunuh diri!”
“BAgus!” seru Sin-bu Te-kun dengan girang, “aku hanya menurut saja. Awas, hati-hatilah!”
Kata-kata itu ditutup dengan sebuah pukulan dahsyat. Ia bermaksud sekali pukul dapat menghantam mati anak muda
itu, maka seluruh tenaganya telah dilampirkan dalam pukulannya itu. Pukulan dengan tenaga Im-han ( lwekang
dingin) dapat membuat orang yang terpisah beberapa tombak gemetar kedinginan.
Namun Thian-leng tetap tegak dengan tenangnya. Dengan sebuah gerakan yang bergaya melindungi tubuh, ia dapat
melenyapkan pukulan Im-han dari lawan.
“Satu jurus!” serunya.
Hati Sin-bu Te-kun seperti disayat. Hanya dalam waktu yang singkat, ternyata pemuda itu telah memiliki kepandaian
yang sedemikian sakti. Dengan tubuh gemetaran, ia menghentikan serangannya.
“Masih ada tujuh jurus!” seru Thian-leng.
Terdengar Sin-bu Te-kun menghela napas kecil.
Sekonyong-konyong ia merangsek dengan jari. Cepat sekali enam jurus telah dilancarkan. Ilmu cengkeraman jari
kepala Sin-bu-kiong itu memang hebat bukan kepalang. Sekalian orang gagah yang menyaksikan serasa kabur
pandangannya. Yang tampak hanya bayangan berhamburan. Tubuh Sin-bu Te-kun sudah tak kelihatan bentuknya
lagi.
Keenam jurus ilmu jari yang dilancarkan Sin-bu Te-kun itu adalah jurus yang paling ganas dari pelajaran dalam kitab
Im-hu-po-kip. Semenjak ia menjadi ’raja’ Sin-bu-kiong, belum pernah ia menggunakannya. Karena belum sampai
menggunakan, musuh tentu sudah kalah.Sin-bu Te-kun tak menyangka sama sekali, bahwa ilmu yang paling diandalkan ternyata tak dapat berbuat apa-apa
terhadap Thian-leng. Padahal pemuda itu hanya menangkis, tak balas menyerang...
Sin-bu Te-kun menghentikan serangannya. tampak Thian-leng tetap dalam lingkaran dengan sikap tenang. Sepasang
kakinya seperti terpaku di tanah.
Bergetarlah jantung Sin-bu Te-kun. Ia menyadari, satu jurus lagi akan menentukan nasibnya. Thian-leng akan
melancarkan tenaga tolak untuk menghancurkan urat-uratnya.
“Sudah tujuh jurus, masih tinggal sejurus lagi. Ayo, mengapa tak lekas menyerang!” seru Thian-leng.
Sin-bu Te-kun menatapnya tajam-tajam.
“Aku hendak mengucapkan beberapa kata terakhir yang akan kukatakan sejelas-jelasnya!”
Thian-leng terkesiap, “Pesan terakhir…..? Kau sudah tahu akan mati?”
“Aku tak mau mengingkari janji.........” ia tertawa kecut, tetapi kemudian mengekeh, “Meskipun aku mati, tetapi aku
tak penasaran….”
Thian-leng mengerutkan dahi, “Asal kau dapat merobah jalan hidupmu yang sesat, aku tak keberatan membiarkan
kau hidup!”
Sin-bu Te-kun menolak dengan tangannya, “Bukan karena aku tak mau menerima kebaikanmu, tetapi dahulu jika
bukan karena aku suka pada bakatmu dan berminat menerimamu sebagai murid, tentu aku takkan menerima nasib
seperti saat ini..... ”
Mau tak mau tergeraklah hati Thian-leng. Memang apa yang dikatakan momok itu benar. Pertama kali ditawan pihak
Sin-bu-kiong, kepandaiannya kalah jauh dengan Sin-bu Te-kun. Kalau saat itu Sin-bu Te-kun mau, tentu sudah dapat
membunuhnya.
“Sejak berhasil memiliki kesaktian,” kata Sin-bu Te-kun pula, “aku telah malang melintang di dunia persilatan dengan
mendapat kehormatan dan nama yang gilang-gemilang. Matipun aku tak penasaran, tetapi.....” ia berhenti sejenak,
lalu berkata pula, “Aku tak punya anak yang dapat meneruskan cita-citaku. Maka aku hendak mengajukan
permintaan padamu!”
“Silakan!” seru Thian-leng.
Lenyapnya awan
“Carikan aku pewaris yang dapat melanjutkan kebangkitan Sin-bu-kiong!” seru Sin-bu Te-kun dengan nada rawan.
Thian-leng tertegun. Beberapa saat ia tak tahu bagaimana harus menjawab. Sin-bu Te-kun tetap tak menyesal atas
perjalanan hidupnya selama ini. Tetapi dalam saat-saat seperti itu Thian-leng tak sampai hatinya.
“Hal itu serahkan saja kepadaku. Kau tak usah sibuk memikirkan!” tiba-tiba Jenggot perak berseru kepada Thian-
leng.
Sin-bu Te-kun terbeliak. Tiba-tiba ia memberi hormat kepada ketua Thiat-hiat-bun. “Bagaimana hendak kau atur hal
itu?”
Jenggot perak menyahut dengan nada bersungguh-sungguh, “Sin-bu-kiong tetap takkan diganggu. Anak buah Sin-bu-
kiong boleh memilih. Yang ingin tinggal, boleh tinggal. Yang mau pergi silakan pergi. Akan kupilih orang yang boleh
dipercaya untuk melanjutkan usahamu ini. Sin-bu-kiong takkan lenyap, ilmu pelajaran Im-hu-po-kip takkan hilang….”
Sebelum Sin-bu Te-kun membuka mulut, Thian-leng sudah mendahului, “Tetapi almarhum Oh-se gong-mo telah
memberi pesan kepadaku untuk mengambil kembali kitab itu. Karena kitab itu sebenarnya menjadi miliknya, tetapi
direbut secara licik oleh Song-bun Kui-mo Ki Pek-lam ini…..”
Jenggot perak tertawa, “Sayang Oh-se gong-mo sudah meninggal dan tak mempunyai pewaris. Lalu perlu apa
menghendaki kitab itu?”
“Sekurang-kurangnya harus dikubur dalam liang kuburnya!” seru Thian-leng.
“Ah, cara yang tolol!” Jenggot perak tertawa pula, “ketahuilah bahwa maksud Oh-se gong-mo waktu itu, tak lain tentu
menghendaki supaya kau yang memiliki kitab itu. Tetapi kini kau sudah memiliki ilmu ajaran It Bi siangjin. Perlu apa
mempelajari Im-hu-po-kip lagi?”
“Terserah saja bagaimana locianpwe hendak mengatur,” akhirnya Thian-leng mengalah.
“Bagus, keputusan seperti itu saja,” Jenggot perak tertawa.Sin-bu Te-kun mengerutkan alis, “Tentang siapa yang akan menjadi pewarisku itu, sebelum mati ingin aku
mendengar namanya!”
Jenggot perak tertawa, “Tak usah kau kuatir. Sebelumnya memang sudah kusiapkan untukmu!”
“Siapa?” seru Sin-bu Te-kun.
“Ki Gwat-wan! Puaskah kau?”
Tiba-tiba Sin-bu Te-kun mengucurkan air mata, serunya terharu, “Anak angkatku itu, dia….apa masih hidup?”
“Bukan saja masih hidup dan sehat, juga masih ada lain hal yang perlu kuberitahukan padamu. Adiknya, Ki Seng-
wan……”
“Adiknya itu bagaimana? Apakah dia…....” Sin-bu Te-kun menukas cemas.
Menunjuk pada Thian-leng, berkatalah Jenggot perak, “Dia adalah suaminya!”
Hampir pingsan Sin-Te-kun mendengar keterangan itu. Tetapi bagaimanapun halnya, ia kejut-kejut girang.
“Kalau begitu, aku Ki Pek-lam takkan mati penasaran lagi.” ia menghela napas. Tiba-tiba ia mengayunkan tangannya
menampar ubun-ubun kepalanya sendiri.
“Ki Pek-lam, jangan setolol itu!” Mo-pak-sam-cat berteriak kaget, “apakah kedatangan kami ini kau undang untuk
menyaksikan kau bunuh diri?”
Ketiga tokoh dari padang pasir itu serentak loncat untuk menghalangi, tetapi Sin-bu Te-kun bergerak terlalu cepat.
Plak….. batok kepalanya hancur serempak dengan hamburan otak. tubuhnyapun terkulai roboh.
Seorang durjana besar yang menggemparkan dunia persilatan, akhirnya harus menerima kematian dari tangannya
sendiri…..
Thian-leng tak sampai hati menyaksikan kejadian yang sedemikian tragis. Ia melengos ke belakang.
Orang mengira dengan kematian Sin-bu Te-kun, ramai-ramai akan selesai. Tetapi di luar dugaan ketegangan tetap
tak mereda. Mo-pak-sam-cat, ketua Hek Gak dan lainnya, tak puas dengan kekalahan begitu. Serempak mereka
mengamuk, menyerang dengan dahsyat!
Pertempuran pecah, hiruk-pikuk teriakan perintah menyerang berhamburan memekakkan telinga. Ketua Hek Gak
menyuruh Bok Sam-pi menyerang Jenggot perak. Melihat itu Thian-leng pun tak mau berpeluk tangan. Ia mendahului
menyerang Mo-pak-sam-cat.
Pok Thiat-beng dan Hun-tiong Sin-mo Cu Giok-bun pun ikut bagian. Si dara Lian-ci juga tak mau ketinggalan
menabuh tamburnya. Suasana penuh ketegangan, penuh hawa pembunuhan.
Tetapi amuk-amukan itu tak berlangsung lama. Hanya dalam beberapa kejap saja sudah sirap kembali.
Kekalapan Mo-pak-sam-cat dan ketua Hek Gak untuk mengadu jiwa, tidaklah dapat membalikkan keadaan. Thian-
leng, Pok Thiat-beng, Hun-tiong Sin-mo, Jenggot perak dan kawan-kawannya dapat menumpas mereka.
Mo-pak-sam-cat mengandalkan kepandaiannya, mengira tentu tak ada yang mampu melawan. Tetapi begitu beradu
dengan Thian-leng, barulah diketahui kalau terpaut terlalu jauh. Jago-jago padang pasir itu menyesal dan hendak
meloloskan diri, tetapi sudah terlambat.
Tiga buah jeritan ngeri terdengar. Dua orang Mo-pak-sam-cat roboh binasa dan seorang lagi terluka!
Ketua Hek Gak menerima kematian yang lebih mengerikan. Separoh dari tubuhnya yang memang sudah tak utuh,
terbakar hangus oleh pukulan Ceng-koay-ciang ( pukulan lwekang panas) dari Hun-tiong Sin-mo.
Seruling besi dari tokoh pelajar Bu-cui- su-seng telah dibungkam oleh gema tambur si dara Lian-ci. Kemudian dada
pelajar itu ditembus oleh ujung pedang Pok Thiat-beng.
Sebenarnya Lam-yau Pak-koay dan Mo-pak-sam-cat hendak serempak menyerbu Thian-leng. tetapi gerakan anak
muda itu terlalu cepat. Sekali hantam ia membinasakan dua anggota Mo-pak dan melukai yang seorang. Setelah itu
ganti menghantam kedua Lam-yau dan Pak-koay.
Lam-yau Pak-koay serentak menangkis. Mereka yakin tenaga gabungan dua orang, walaupun tidak menang tapi
sekurang-kurangnya tentu dapat melindungi diri dan kemudian kabur. Tetapi begitu terjadi benturan, kedua Lam-yau
Pak-koay menjerit ngeri. Tubuh mereka laksana layang-layang putus talinya, berhamburan jatuh tak bernyawa lagi!
Yang paling beruntung adalah Bok Sam-pi. Dia mendapat lawan Jenggot perak. Karena melihat serangannyasedemikian dahsyat, Jenggot perak terpaksa menghindar. Tetapi ia tak mengira bahwa pengemis sakti Thiat-ik Sin-
kay berada di belakangnya. Karena ia menghindar, maka Thiat-ik Sin-kay lah yang menjadi sasaran Bok Sam-pi.
Thiat-ik Sin-kay tak keburu menghindar lagi. Dalam gugupnya terpaksa ia menangkis. Sebenarnya kekuatan kedua
tokoh itu tak terpaut jauh. Thiat-ik Sin-kay tak sampai binasa karena adu pukulan itu. Tetapi di luar dugaan ketika
tangan saling bertemu, ia merasakan siku lengannya seperti ditusuk jarum…. Itulah tipu muslihat ketua Hek Gak dan
Sin-bu Te-kun. Bok Sam-pi sengaja diberi pakaian jubah gedombrongan. Bagian ujung lengan, bawah kaki, dada dan
punggung pakaiannya, diberi berpuluh-puluh jarum beracun. Asal lawan tertusuk jarum itu, dalam waktu setengah
jam saja racun itu pasti akan mengganyang tubuhnya. Tiada obat yang dapat menolong lagi………
Seketika Thiat-ik Sin-kay merasakan lengannya nyeri sekali dan separoh tubuhnya kesemutan. Tahu dirinya kena
racun, cepat-cepat ia mundur beberapa langkah.
Si linglung Bok Sam-pi sama sekali tak menghiraukan perobahan apa yang terjadi di sekelilingnya. Apakah kawan-
kawannya sudah mati atau masih bertempur, ia tak ambil peduli. Pokoknya menyerang Thiat-ik Sin-kay lagi.
Tetapi baru ia hendak bergerak, tiba-tiba terdengar jeritan melengking dari seorang dara, “Kek!”
Bok Sam-pi tertegun. Cucu perempuannya Bok Ceng-ceng muncul dari pintu gerbang. Di belakangnya ikut serta
seorang tua berambut putih.
“Hai, budak, mengapa kau kemari?” tegur Bok Sam-pi. Jelas bahwa ia masih terpengaruh obat bius.
“Ah, kek, mengapa kau masih begitu?” lengking si dara.
Bok Sam-pi deliki mata. Sekonyong-konyong ia mengangkat tinjunya. “Aku tak sudi dengan anak perempuan yang
berkhianat!”
Ucapan itu ditutup dengan ayunan tinju, tetapi tiba-tiba orang tua berambut putih mengayunkan lengan bajunya.
Segulung asap putih menyembur ke arah Bok Sam-pi. Sebenarnya Thian-lengpun sudah siap menolong si dara, tetapi
kalah cepat dengan hembusan asap itu.
Aneh.....begitu tersembur asap, tubuh Bok Sam-pi seperti balon karet yang kempes. Serentak ia jatuh terduduk di
tanah.
Orang tua berambut putih itu menghela napas. “Muridku, lekas kasih dia minum rumput Liong-yan-coh-kuo!”
Bok Ceng-ceng mengiyakan. Ia mengambil pil merah dari dalam bajunya dan disusupkan ke mulut sang kakek. Bok
Sam-pi serta merta membuka mulutnya menelan. Beberapa saat kemudian, perut Bok Sam-pi berkeruyukan keras.
Tak lama ia mengucurkan airmata dan memandang sekelilingnya. Bagai orang bangun dari tidur, ia mengeluh kaget.
Tangannya merangkul Ceng-ceng. Ceng-ceng menjerit terharu dan menyusupkan kepala ke dada sang kakek.
Karena pertempuran sudah berhenti, maka semua mata ditujukan pada Bok Sam-pi dan cucunya.
Di kala suasan hening sunyi, dua sosok tubuh langsung menerobos dari luar pintu. Kemunculan dua orang itu
menimbulkan bisikan gempar.
Kedua orang itu bukan lain Bu-song dan Siau-bun. Ternyata kedua gadis itu bersembunyi di luar Sin-bu-kiong. Siau-
bun tahu bahwa Thiat-hiat-bun telah mengerahkan rombongan besar menuju ke Sin-bu-kiong. Ia memutuskan lebih
baik menunggu di luar istana saja. Apabila ada anak buah Thiat-hiat-bun atau Tiam-jong-pay atau Hun-tiong-hu yang
dijumpainya, ia hendak menyuruhnya membawa surat kepada Jenggot perak.
Ia hendak merangkai cerita bahwa ia dengan Bu-song telah dicelakai orang. Apabila Jenggot perak dan
rombongannya datang, ia hendak merangkai cerita palsu. Mengatakan kalau dicelakai oleh kedua taci beradik Ki. Ia
hendak mendesak kakeknya supaya menekan Thian-leng, agar membatalkan perkawainannya dengan Ki Seng-wan.
Siau-bun menganggap rencananya itu tentu memberi hasil baik. Dan apabila Thian-leng tak ikut serta dalam
rombongan Thiat-hiat-bun, juga tak apa-apa. Setidaknya rencana itu sudah berhasil separoh bagian.
Di luar dugaan, sampai setengah hari menunggu, tetap tak berjumpa dengan seorangpun anak buah Thiat-hiat-bun.
Yang dijumpai malah Bok Ceng-ceng dengan orang tua berambut putih. Siau-bun pernah menolong Ceng-ceng
sebelumnya, tetapi karena kuatir Ceng-ceng bergaul rapat dengan Thian-leng, ia menyuruh dara itu menuju ke Hun-
tiong-san saja. Mudah-mudahan dara itu tertangkap oleh salah satu penjaga Hun-tiong-hu.....
Tetapi dara yang hendak dicelakai itu ternyata beruntung berjumpa dengan si orang tua berambut putih. Orang tua
itu bukan lain adalah Ko Gwat lojin, juga seorang tokoh sakti yang mahir dalam ilmu pengobatan. Ia setingkat dengan
tabib sakti Cu Thian-hoan yang pernah menolong jiwa Cu Giok-bun.
Ko Gwat lojin senang dengan Ceng-ceng dan mengangkatnya sebagai murid.
Setelah mendengar cerita Ceng-ceng tentang peristiwa rapat di Tiam-jong-san dan perjanjian di Sin-bu-kiong, Ko
Gwat lojin segera mengajak muridnya menuju ke Sin-bu-kiong. Tujuannya hendak mengobati Bok Sam-pi.
“Hai, budak perempuan, kalian memuaskan diri bermain-main kemana saja?” tegur Jenggot perak kepada Siau-bundan Bu-song.
Dengan sikap manja Bu-song segera memeluk dada kakeknya, “Kek, aku dihina orang. Ayo, tolong kakek yang
menyelesaikan!”
“Siapa berani menghinamu?”
“Kedua taci beradik she Ki.! Mereka telah mencelakai kami berdua dengan racun!”
Berobahlah airmuka Jenggot perak seketika, “Apa katamu?” ia menegas.
Belum sampai Bu-song merangkai cerita, Thian-leng sudah tampil ke hadapannya dan memberi hormat kepada Bu-
song dan Siau-bun, “Lebih dulu aku hendak mengaturkan maaf kepada adik berdua. Sukalah mendengar sepatah
kataku……”
Bu-song mencibirkan bibirnya, “Huh, apa yang hendak kau katakan lagi? Bukankah kau sudah tahu ia hendak
mencelakai kami berdua?”
Siau-bun merah wajahnya. Ia tak mau ikut bicara.
Akhirnya Jenggot peraklah yang menengahi, “Baik, ceritakanlah!” katanya kepada Thian-leng.
Thian-leng tersipu-sipu memberi hormat lagi. Kemudian ia bercerita tentang pengalamannya selama beberapa hari
itu.
Ketika ditawan Hok-mo-tong-cu dan dibawa ke gunung Thay-heng-san. Seperti yang diperkirakan oleh Siau-bun, di
sana It-bi-cu berhasil mengalahkan momok dari Hok-mo-tong itu. Momok itu tidak dibunuh, tetapi ilmu
kepandaiannya dilumpuhkan selama-lamanya dan kemudain dilepaskan pergi.
Karena teringat akan kedua dara yang masih tertawan di kuil tua, Thian-leng bergegas kembali ke puncak Ceng-liong-
nia. Terdorong oleh rasa tanggung jawabnya, Thian-leng mengerahkan seluruh kepandaiannya. Perjalanan yang
sedemikian jauh dapat ditempuh hanya dalam waktu dua hari saja.
Tetapi yang dijumpai dalam kuil itu bukan Bu-song dan Siau-bun, melainkan kedua kakak beradik Ki yang digantung
di tiang penglari. Kedua taci beradik itu menuturkan apa yang telah terjadi.
Mengingat bahwa waktu perjanjian di Sin-bu-kiong hanya tinggal dua hari saja, maka Thian-leng menyuruh kedua
nona itu beristirahat, sedangkan ia sendiri segera menuju ke Sin-bu-kiong.
Semua kejadian telah dituturkan dengan jelas, kecuali bagian Siau-bun dan Bu-song menyiksanya di dalam biara tua.
Sekalipun demikian Jenggot perak dan sekalian orang tua juga tahu. Atas desakan Jenggot perak, Thian-leng tak
mampu menghindar lagi. Terpaksa ia menceritakan juga.
“Budak, kakeklah yang merusakmu. Perbuatanmu itu memang keterlaluan sekali!” Jenggot perak menegur Bu-song.
Si dara hanya mengucurkan air mata.
Juga Hun-tiong Sin-mo menegur puterinya, “Nak, bagaimana mamah mendidikmu?”
“Mah, aku merasa salah!” Siau-bun merintih. Hun-tiong Sin-mo menghela napas.
Dalam kedudukan sebagi Bu-lim Bengcu, imam Ki Tim segera bertindak. Ia menyuruh supaya mayat-mayat dikubur
sebagai mana mestinya. Kepada anak buah Sin-bu-kiong dan Hek Gak diberi penjelasan. Yang ingin pulang boleh
pulang, yang tetap hendak tinggal, pun tak dilarang.
Boleh dikata tokoh-tokoh durjana telah tersapu. Tetapi dalam rombongan Jenggot perakpun terdapat seorang korban,
yakni pengemis sakti Thiat-ik Sin-kay. Walaupun Ko Gwat lojin sudah meminumkan beberapa pil mukjijat, tetapi
karena racun sudah menyusup ke dalam darah, tak dapatlah pengemis itu ditolong lagi.
Sewaktu hendak menghembuskan napas terakhir, Thiat-ik Sin-kay memberi pesan kepada Thian-leng supaya
berusaha mengembangkan perhimpunan Kay-pang.
Untuk menenteramkan hati jago tua yang hendak berangkat ke alam baka itu, Thian-leng pun bersumpah selama ia
masih hidup tentu akan bekerja keras untuk kepentingan kay-pang.
Bok Sam-pi yang sudah pulih kesadarannya, menangis di hadapan jenasah Thiat-ik Sin-kay. Kemarahannya hendak
ditumpahkan kepada ketua Hek Gak yang selama ini telah menjadikan dirinya seperti boneka hidup. Tetapi sayang
ketua Hek Gak pun sudah mati. Ia kalap karena tak dapat menumpahkan amarahnya. Akhirnya ia kena juga dibujuk
oleh cucunya Bok Ceng-ceng.
Jenggot perak berkata, “Karena aku sudah meluluskan permintaan Ki Pek-lam, maka istana Sin-bu-kiong takkan
kuhancurkan. Tetapi alat-alat rahasia dalam istana ini harus dibongkar. Sayang sukar mencari siapa….”
Sesosok tubuh kurus meloncat keluar dari dalam istana dan menghampiri Jenggot perak, ujarnya, “Aku si orang tua,sanggup melakukan pembongkaran itu!”
“Siapakah saudara………” baru Jenggot perak hendak bertanya, orang itu sudah menyahut, “Aku si Cakar langit Cukat
Jin!”
“Ya, akupun sudah menduga,” Jenggot perak tertawa.
Dengan wajah merah, Cukat Jin menerangkan bahwa ia terpaksa membuat alat-alat rahasia itu karena ditekan oleh
Sin-bu Te-kun. Jenggot perakpun tak mempersalahkan. Segera ia menyerahkan pembongkaran itu kepada Cukat Jin.
Cukat Jin lalu membawa rombongan mereka ke dalam istana.
Pok Thiat-beng dan Cu Giok-bun sudah baik kembali. Setelah meninggalkan Tiam-jong-san dengan perasaan
mendongkol karena tersinggung oleh ucapan anak tirinya ( Lian-ci), tetapi ketika tiba di Hun-tiong san, diam-diam Cu
Giok-bun menyesal. Tak seharusnya ia bertindak demikian seperti anak kecil.
Tiga hari kemudian ia berangkat kembali menggabungkan diri dengan Jenggot perak. Beramai-ramai mereka segera
menuju ke Sin-bu-kiong di gunung Ceng-hun-san.
Di antara suami isteri Thiat-beng dan Giok-bun masih ada sebuah ganjalan. Ialah tentang diri Nyo Sam-kui dan Ma
Hong-ing. Dari kedua orang itulah mereka hendak mencari keterangan yang sejelas-jelasnya, tentang apa yang
sebenarnya telah terjadi selama ini. Keterangan itu dapat membuka semua kesalah-pahaman yang terjadi.
Thian-leng tak kurang tegangnya. Ia benar-benar hendak mengetahui asal-usul dirinya. Maka begitu masuk Sin-bu-
kiong, ia terus mencari bagian penjara.
Cukat Jin membawa mereka ke penjara. Tiba di muka pintu, mereka sudah disambut bau amis dan rintihan seram.
Dan begitu masuk, mata mereka disuguhi oleh tulang-belulang yang digantung. Setiap korban tentu digantung
sampai menjadi tengkorak.
Penjara itu cukup luas. Dengan hati kebat-kebit Thian-leng segera masuk. Tiba-tiba……….
Penyelesaian
Thian-leng mendengus dan lari memburu ke muka .
Pok Thiat-beng, Cu Giok-bun serta Jenggot perak dan rombongannya terkejut. Mereka segera menyusul Thian-leng.
Pada tiang batu yang terletak di bagian belakang penjara itu, terdapat dua orang yang diikat tubuhnya dengan rantai
besi. Mereka ialah Nyo Sam-kui dan Ma Hong-ing.
Hal itu memang telah diduga oleh sekalian orang. Tetapi yang mengejutkan hati mereka ialah, wajah Nyo Sam-kui
dan Ma Hong-ing berwarna hitam. Beberapa bagian dari wajah mereka sudah rusak dan mengalirkan nanah busuk.
Jelaslah sudah. Sebelum diikat di situ, mereka telah diberi racun oleh Sin-bu Te-kun. Racun yang bekerja secara
perlahan, agar kedua orang itu mati tersiksa secara perlahan.
Thian-leng segera memutuskan rantai mereka. Tetapi Nyo Sam-kui sudah mati dan Ma Hong-ing hanya tinggal
menunggu saatnya saja.
Betapapun kebencian Ma Hong-ing kepada Thian-leng, tapi jerih payah selama tujuh belas tahun memelihara anak
muda itu, telah menumbuhkan akar kasih sayang yang dalam.
Thian-leng terharu melihat keadaan wanita yang pernah mengaku sebagai ibunya itu!
Ternyata kesadaran Ma Hong-ing masih terang dan dapat melihat jelas kedatangan Pok Thiat-beng, Cu Giok-bun dan
rombongan yang lain.
“Ma Hong-ing, masih kenalkah kau akan diriku?” seru Jenggot perak dengan mengerutkan wajah.
Pipi Ma Hong-ing yang sudah peyot tampak bekernyit. Sahutnya dengan suara lemah, “Kenal….kau …..adalah
……..majikan tua……..”
Jenggot perak menghela napas dalam-dalam, “Apa sebabnya kau sampai menjadi seperti begini?”
Ma Hong-ing menghela napas. Tiba-tiba dengan bersemangat ia menyahut, “Aku tak dapat bercerita panjang lebar,
lekas....” ia menunjuk kepada Thian-leng, “Aku hendak berkata beberapa patah kata kepadamu....”
Buru-buru Thian-leng berjongkok ke dekat wanita yang sedang meregang jiwa itu. Sahutnya dengan rawan, “Mah,
bilanglah.....!”
Ma Hong-ing menghela napas panjang, “Ah, janganlah memanggil aku mamah. Ayah bundamu yang sebenarnya,
adalah.....”“Siapa.............?” Thian-leng tegang sekali.
Sekali lagi Ma Hong-ing mengangkat tangannya dan menunjuk pada Pedang bebas Pok Thiat-beng dan Hun-tiong Sin-
mo Cu Giok-bun, “Merekalah.....”
Pernyataan itu disambut dengan rasa kaget oleh semua orang. Pok Thiat-beng dan Cu Giok-bun serempak menjerit
kaget.
“Apa katamu?” Thian-leng menegas.
Ma Hong-ing menghela napas lagi, “Ketika kau dilahirkan, aku segera mengganti lain bayi..... Kau kubawa pergi dan
bayiku kutinggal........ Siau-bun adalah anakku yang sebenarnya. Tahi lalat merah pada tengkukmu......menjadi bukti
yang nyata!”
Kata-kata dari seorang yang tengah meregang jiwa, tentu sesungguhnya. Apalagi kata-kata itu diucapkan dengan
nada yang ramah. Tiada seorangpun yang tak percaya atas keterangan yang diucpkan Ma hong-ing itu.
Sambil memutar tubuh, berserulah Thian-leng kepada Pok T”hiat-beng dan Hun-tiong Sin-mo, “Yah,… mah…!”
nadanya penuh haru, dan tersekat putus oleh isak tangis ….. Cu Siau-bun….
Memang Siau-bun telah mendapat firasat bahwa ia bakal mendapatkan hal-hal yang tak baik. Tetapi entah kapan dan
bagaimana kejadian malang itu, tak tahulah ia. Bahwa kemalangan itu ternyata sedemikian tragisnya, benar-benar ia
tak menduganya sama sekali.
Dengan kalap ia menerkam tubuh Ma Hong-ing dan menggoncang-goncangkannya, “Ngaco, jangan bohong!”
Airmata Ma Hong-ing mengucur deras. Ujarnya dengan rawan, “Nak, telah kupertimbangkan semuanya itu. Kita harus
berani menghadapi kenyataan, betapapun pahitnya kenyataan itu bagi kita. Jangan kau coba menghindar. Aku segera
akan berangkat ke alam baka, mengapa aku harus menambah dosa membohongi engkau? Nak, kau memang anak
kandungku sendiri.....!”
Tiba-tiba Siau-bun seperti tersadar dari impian. Yubuhnya gemetar, wajahnya pucat pasi.
“Dan siapakah ayahku..........?”
“Ni........... Jin-hiong .........tetapi dia tak tahu!” sahut Ma Hong-ing dengan nada gemetar.
“Oh, Thian! Mengapa nasibku begini mengerikan?” serentak menjeritlah Siau-bun tersedu-sedu.
“Dimana sekarang dia?” sejenak kemudian Siau-bun bertanya.
Keadaan Ma Hong-ing benar-benar ibarat pelita yang sudah kehabisan minyak. Dengan nada setengah berbisik ia
menyahut, “Dia telah mati dibunuh Sin-bu Te-kun, mayatnya dibuang!”
Suasana dalam penjara maut itu hening sesaat.
Tak seorangpun yang dapat mengucapkan apa-apa. Sunyi senyap sehingga suara orang bernapas pun terdengar.
Ma Hong-ing menghela napas, katanya, “Nak, jika kau mau memaafkan aku, panggillah aku dengan sepatah kata
‘mamah’!”
Siau-bun hanya diam bagaikan patung. Hanya kelopak matanya yang mengucurkan air mata berderai-derai.
“Nak, apakah kau tak mau memaafkan aku?” dengan penuh harap Ma Hong-ing menanti.
Siau-bun tetap membisu.
Air muka Ma Hong-ing semakin gelap. Sinar matanya makin redup. Jelas bahwa jiwanya hampir mendekati akhirnya.
Betapapun semasa hidupnya ia telah melakukan berbagai kejahatan dan dosa yang mengerikan, tetapi keadaannya
pada saat itu benar-benar mengetuk rasa kasihan orang…..
Ditatapnya wajah Siau-bun bagaikan musafir yang mengharapkan tetesan air….
Akhirnya terketuklah hati nurani Siau-bun. Betapapun muaknya kepada wanita itu, tetap dia adalah ibunya. Ibu yang
telah melahirkannya ke dunia. Dan ibu itu kini hampir menutup mata. Apakah dia masih ngotot membencinya?
Tiba-tiba Siau-bun mengulurkan tangannya dan dijabatnya tangan Ma Hong-ing erat-erat. Dengan perlahan penuh
keharuan, ia memanggil, “Mamah…”
Tubuh Ma Hong-ing menggigil keras. Matanya yang sudah redup tampak berkilat-kilat memancarkan sinar lagi.
Wajahnya tampak berseri tenteram….
tetapi ibarat pelita yang hampir padam, pancaran terang itu merupakan pancaran yang terakhir. Begitu pula MaHong-ing, hanya sekejap ia menghamburkan cahaya hidup. Cahaya yang merupakan ujung kehidupannya. Setelah itu
mengatuplah kedua matanya perlahan-lahan. Mengatup selama-lamanya…….
Siau-bun menangis tersedu-sedu.
Melihat itu, tak sampailah hati Thian-leng. Dihampirinya nona itu dan dipanggilnya dengan halus, “Adik Bun! Adik
Bun…”
Tetapi Siau-bun seolah-olah tak menghiraukan apa-apa lagi. Ia menumpahkan seluruh kedukaan hatinya dengan
tangis yang melimpah ruah. Setelah suaranya parau, barulah ia berhenti dan mengusap air matanya.
Ia menghampiri Hun-tiong Sin-mo dan menjatuhkan diri berlutut, “Gibo….. atas budi kebaikanmu merawat aku
selama tujuh belas tahun, sungguh aku tak dapat membalasnya meski dengan jiwa ragaku. Tetapi karena sekarang
asal-usulku telah diketahui, tak layak lagi aku bernaung pada Gibo. Sejak saat ini…….”
Ia tersekat oleh rasa haru yang mencengkam perasaannya. Namun dipaksakannya juga untuk melanjutkan, “Sejak
saat ini, anak bersumpah hendak mengembara. Mudah-mudahan pada suatu hari nanti, anak dapat membalas budi
gibo yang sebesar lautan itu!”
Habis berkata, tanpa menunggu sahutan lagi, ia segera bangkit berdiri.
“Nak, apa katamu?” Hun-tiong Sin-mo Cu Giok-bun mengerutkan alis.
“Anak hendak pergi!” sahut Siau-bun sambil menunduk.
“Pergi? Kau hendak pergi kemana?”
“Entahlah, anak tak tahu, tetapi….dunia yang begini luas tentu akan kuperoleh tempat meneduh yang sesuai bagiku!”
Cu Giok-bun menghela napas, “Nak, janganlah kau teruskan niatmu yang tak tepat itu…. apapun yang terjadi, bagiku
kau tetap sama. Akan kuanggap dan kuperlakukan seperti anakku dahulu. Ingatlah Siau-bun, kau tetap anakku….”
Air mata Siau-bun membanjir seperti air bah. Rasa haru yang meluap-luap menyebabkan Siau-bun segera memeluk
Hun-tiong Sin-mo Cu Giok-bun. Rintihnya, “Mah, kau kuanggap sebagai ibuku yang kucintai segenap hati!”
Cu Giok-bun membelai-belai rambut gadis itu. Tiba-tiba tangannya menyambar Lian-ci dan didekapnya juga. “Nak,
kaupun serupa juga...!”
“Mah…..” Lian-ci pun menangis tersedu-sedu.
Hun-tiong Sin-mo mengulum senyum. Tetapi dari sudut matanya ia mengucurkan air mata.....
Sejenak merenung, berkatalah Hun-tiong Sin-mo Cu Giok-bun dengan ilmu menyusup suara, “Yah, ada kesulitan!”
“Benar, memang kesulitan itu sudah beberapa waktu timbulnya,” sahut Jenggot perak dengan ilmu menyusup suara
juga.
“Aku mempunyai rencana yang sekali dayung tiga tepian tercapai,” kata Cu Giok-bun.
“Sekali dayung tiga tepian?” ulang Jenggot perak.
“Ya,” sahut Cu Giok-bun, “Thian-leng sudah memperisteri Seng-wan, tapi Bu-song dan Siau-bun mencintainya. Satu-
satunya jalan ialah menikahkan mereka menjadi satu.....”
“Apa?” Jeenggot perak mengulang, “kau hendak menikahkan Siau-bun dan Bu-song kepada budak itu juga?”
“Benar!” Cu Giok-bun mengiyakan.
“Ini............”
“Apakah ayah anggap tak layak?”
Tiba-tiba Jenggot perak tertawa lebar, “Tepat, sungguh tepat sekali, tetapi……………aku seorang tua yang paling takut
menghadapi kerewelan. Sebaiknya urusan ini kuserahkan padamu sajalah!”
“Baik, aku bersedia mengurusnya!” Hun-tiong Sin-mo mengiyakan.
Jenggot perak mengelus-elus jenggotnya dengan gembira. Kemudian ia berpaling kepada Thian-leng, “Ayo,
katakanlah, bagaimana rencanamu di kemudian hari?”
Thian-leng merenung beberapa saat.
“Terlebih dahulu aku hendak kembali ke goa Giok-ti-tong di gunung Thay-heng-san, untuk melanjutkan pelajarandalam kitab It Bi siangjin. Setelah berhasil barulah kulaksanakan pesan mendiang Thiat-ik Sin-kay cianpwe,
menyempurnakan partai Kay-pang, mengemban tugas sebagai ketua partai itu. Kemudian……………..”
“Uruslah hal yang kau anggap penting itu dulu, baru kau nanti pulang ke Hun-tiong-san, maukah kau?” tukas Hun-
tiong Sin-mo Cu Giok-bun.
Serta merta Thian-leng menyahut, “Sudah tentu anak akan mengunjukkan bakti kepada ayah ibu berdua. Setelah
urusan-urusan itu selesai, aku tentu akan segera pulang ke Hun-tiong-san!”
Cu Giok-bun tersenyum, “Baiklah, sekarang kau boleh berangkat.....ingat, harus lekas-lekas pulang!”
Walaupun agak heran, namun Thian-leng tak mau banyak bertanya lagi. Setelah memberi hormat kepada sekalian
orang tua, ia segera meninggalkan Sin-bu-kiong.
Puas mengantar keberangkatan sang cucu dengan pandangan mata, Jenggot perak tertawa keras.
“Kira-kira sebulan lagi, aku si orang tua bakal minum arak kegirangan, ha, haa, ha....!” serunya.
Melihat Thian-leng pergi, sebenarnya Bu-song gelisah sekali.
“Kek, mengapa kau begitu girang?” tegurnya kepada Jenggot perak.
“Sudahlah, jangan banyak tanya. Nanti pada waktunya kau tentu akan tahu sendiri!” sahut Jenggot perak. Kemudain
ia berpaling dan membisiki telinga mantunya.
“Apa? Bu-song dan Siau-bun henak dinikahkan kepadanya?” Pok Thiat-beng terbelalak. Tiba-tiba ia tertegun karena
merasa telah kelepasan omong. Namun hal itu cukup didengar oleh Bu-song dan Siau-bun. Merah padam wajah
kedua gadis itu. Tetapi mereka berdua memang cerdik, pura-pura tak mendengar.
Jenggot perak tertawa, tegurnya kepada Cu Hiok-bun, “Eh, Hun-tiong-hu melulu sebuah kuburan, tak tepat dijadikan
tempat pesta kawin. Baiklah aku kembali dulu ke Tiam-jong-san. Kau tunggu Thian-leng di Hun-tiong-san. Begitu dia
pulang, kalian segera menuju ke Tiam-jong-san....”
Tanpa menunggu jawaban Cu Giok-bun, Jenggot perak kembali memberi perintah kepada Li Cu-liong, ketua Tiam-
jong-pay, “Seorang tamu tak mau merepotkan dua orang tuan rumah. Kali ini adalah pesta perkawinan yang meriah.
Ayo, kita lekas pulang membuat persiapan!”
Walaupun tak mengerti, tetapi Li Cu-liong hanya menurut saja.
Yang terakhir, Jenggot perak berkata kepada Ki Tim totiang, “Totiang, sebagai Bu-lim beng-cu, kuserahkan urusan di
sini kepada totiang!”
Ki Tim tersipu-sipu mengiyakan.
“Sudah tentu ini menjadi kewajibanku. Silakan Lu lohiapsu mengurus keperluan Lu lohiapsu sendiri. Setelah urusan di
sini selesai, akupun tentu beramai-ramai akan mengunjungi Tiam-jong-san untuk minta arak kegirangan dari
lohiapsu!”
Jenggot perak menggerutu seorang diri, “Ai, memang aku ditakdirkan untuk menjadi tukang urus orang. Setelah
urusan Thian-leng selesai, masih ada Ki Gwat-wan yang harus menerima warisan istana Sin-bu-kiong....”
Jago tua itu segera mengajak Bu-song, Li Cu-liong serta Im Yang songsat, Bok Sam-pi dan Ceng-ceng serta
rombongannya menuju ke Tiam-jong-san.
Pok Thiat-beng dengan isterinya Cu Giok-bun serta kedua gadisnya Siau-bun dan Lian-ci berangkat ke Hun-tiong-san.
Pada saat mereka keluar dari Sin-bu-kiong, fajarpun memancarkan sinarnya yang gemilang.
Dunia persilatan mulai dengan lembaran baru lagi.....
Tamat
Anda sedang membaca artikel tentang Panji Tengkorak Darah 3 dan anda bisa menemukan artikel Panji Tengkorak Darah 3 ini dengan url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/09/panji-tengkorak-darah-3.html,anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel Panji Tengkorak Darah 3 ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,namun jangan lupa untuk meletakkan link Panji Tengkorak Darah 3 sumbernya.

Unknown ~ Cerita Silat Abg Dewasa

Cersil Or Post Panji Tengkorak Darah 3 with url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/09/panji-tengkorak-darah-3.html. Thanks For All.
Cerita Silat Terbaik...

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar