Laron Penghisap Darah 1

Diposting oleh eysa cerita silat chin yung khu lung on Jumat, 09 September 2011

Laron Pengisap DarahKarya : Huang Ying
Ide Cerita : Gu Long
Terjemahan Tjan ID
Bab 1.
Nyawa terbang sukma buyar.
Bulan tiga, hujan gerimis membasahi wilayah Kanglam.
Berdiri seorang diri ditengah guguran bunga.
Burung walet melintas ditengah hujan.

2
Ketika sepasang burung walet terbang melintas diatas
dinding pekarangan, Siang Huhoa masih berdiri seorang diri
ditengah halaman.
Butiran air hujan telah membasahi pakaiannya, namun dia
seolah belum merasa, wajahnya kusam, kesepian.
Pancaran sinar matanya sayu dan kesepian, dia tidak
memandang guguran bunga di sekelilingnya, pun tidak
mengejar burung walet yang terbang berpasangan, sorot mata
itu hanya tertuju keatas sepucuk surat, surat yang berada
ditangannya.
Selembar kertas berwarna putih, dengan tulisan berwarna
hitam.
Setiap huruf yang tertera nyaris meliuk tidak beraturan,
seakan si penulis surat sedang tercekam rasa takut dan ngeri
yang luar biasa, demikian takutnya hingga batang pit juga
tidak sanggup digenggam kencang.
Mungkin semuanya adalah sebuah kenyataan. Sebab surat
itu adalah sepucuk surat permohonan minta tolong.
Laron Penghisap Darah tiap hari mengintai, nyawa kami
berada diujung tanduk!!!
Betapapun besarnya nyali Siang Huhoa, tidak urung
bergidik juga setelah membaca sampai disitu.
"Laron penghisap darah? Apa itu Laron penghisap darah?"
Berapa saat dia termenung, paras mukanya yang semula
kusam karena kesepian, kini telah berubah jadi penuh keraguraguan,
penuh rasa sangsi, setelah buru-buru menyelesaikan
pembacaan surat itu, dia segera beranjak dari tempat itu.
Langkah kakinya amat ringan, seringan bunga yang
berguguran.

3
Diujung kebun bunga sebelah depan, berdiri sebuah gardu
kecil, dua orang gadis secantik bunga, selembut tangkainya,
sedang duduk santai di dalam gardu.
Suara mereka indah, merdu bagaikan kicauan burung nuri,
senyum mereka pun cerah secerah bunga dimusin semi.
Bahkan nama mereka pun mengandung arti yang tidak
jauh dari jenis bunga.
Siau-tho mengenakan pakaian serba merah paras mukanya
putih lembut, Siau-tho meski mengenakan pakaian yang
sederhana, paras mukanya justru lebih mirip bunga Hua
ketimbang wajah Siau-tho.
Sebenarnya mereka berdua adalah dua ekor lebah jahat,
penyamun wanita yang seringkali malang melintang
disepanjang sungai Tiangkang, orang menyebutnya Heng
kang It ok Li ong hong (Seonggok lebah ratu dari sungai
besar), tapi sekarang, mereka lebih lembut ketimbang kupu
kupu, berdiam dalam perkampungan Ban hoa ceng dan selalu
melayani kebutuhan Siang Huhoa.
Hal ini bukan lantaran Siang Huhoa pernah selamatkan
nyawa mereka, tapi justru karena Siang huhoa adalah idola
mereka, Enghiong mereka, kuncu diantara kaum penyamun!
Mereka menyebut diri sebagai budak bunga dari Ban hoa
ceng (perkampungan selaksa bunga), pelayan Siang Huhoa.
Sementara Siang Huhoa sendiri selalu menganggap mereka
sebagai temannya, sahabat karibnya.
Tidak lebih tidak kurang hanya sebagai sahabat. Inilah
satu-satunya persoalan yang membuat mereka tidak puas.
Biarpun begitu mereka tetap gembira, asal masih bisa
berdiam dalam perkampungan selaksa bunga, mereka tetap
gembira, tetap merasa puas.

4
Aneka bunga selalu mekar di perkampungan Ban hoa ceng,
mekar di empat musim, begitu pula dengan senyuman diwajah
Siang Huhoa, senyum yang riang selalu menghiasi bibirnya
sepanjang tahun.
Mereka senang bunga, tapi lebih senang melihat wajah
Siang Huhoa yang ramah, dengan senyuman yang memikat
hati.
Tentu saja Siang Huhoa tidak selalu tertawa, ada kalanya
dia pun tidak tertawa.
Tidak heran kalau saat itu ke dua orang gadis itu dibuat
terperanjat setelah melihat Siang Huhoa berjalan mendekat
tanpa senyuman dibibir.
Mereka segera sadar, suatu peristiwa yang luar biasa tentu
telah terjadi!
Suara canda dan tawanya berhenti seketika, Siau-sin dan
Siau-tho serentak melompat bangun dari tempat duduknya.
Siang Huhoa melangkah masuk ke dalam gardu, sambil
mengacungkan surat dalam genggamannya, tiba tiba dia
bertanya:
"Siapa yang mengirim surat ini kemari?"
"Seorang lelaki setengah umur berdandan kacung, dia
mengaku bernama Jui Gi, datang dari Perpustakaan Ki po cay"
jawab Siau-tho.
Baru saja Siang Huhoa akan mengajukan pertanyaan lagi,
Siau-sin yang berada disisinya telah menyela duluan:
"Sebetulnya surat dari siapa itu?"
"Pemilik Perpustakaan Ki po cay, Jui Pakhay"
"Apakah dia temanmu?"
"Dulu yaa!" Siang Huhoa menghela napas riangan.

5
"Dan sekarang?" Siau-sin mendesak lebih jauh.
"Sekarang sudah tidak lagi"
Siau-sin tidak bertanya lebih lanjut, dia cukup tahu manusia
macam apakah Siang Huhoa itu, bila Jui Pakhay tidak kelewat
memuakkan, tidak kelewat memandang hina dirinya, tidak
mungkin dia tidak menganggap orang itu sebagai sahabatnya.
"Ada urusan apa dia menulis surat kepadamu?" tanya Siautho
sesaat kemudian.
"Suruh aku pergi menolong jiwanya"
"Suruh atau minta?"
"Suruh!"
"Memangnya Jui Pakhay belum tahu kalau kau sudah tidak
menganggap dia sebagai sahabatmu lagi?"
"Dia sudah tahu"
"Kalau memangnya sudah tahu, kenapa masih berkirim
surat?" tanya Siau-tho keheranan.
"Sebab ketika masih menjadi sahabatku dulu, dia pernah
menolongku satu kali, biarpun aku belum tentu akan mati
meski tidak peroleh bantuannya, bagaimanapun aku tetap
telah menerima bantuannya, sudah berhutang budi
kepadanya"
Setelah berhenti sejenak untuk menukar napas, lanjutnya:
"Dia tahu dan yakin, aku bukan orang yang lupa budi,
membalas air susu dengan air tuba!"
"Ooh, jadi dia minta balas jasa budi mu?"
"Setahuku, dia bukan manusia semacam ini, bisa jadi
peristiwa yang dialaminya kali ini kelewat horor, kelewat
menggidikkan hati, terjadi sangat mendadak sehingga
membuat hati dan pikirannya kalut, oleh karena tidak yakin

6
bisa menghadapi ancaman tersebut hingga terpaksa dia
datang minta bantuanku"
"Kesulitan macam apa yang dia hadapi sebenarnya?"
Pelan-pelan Siang Huhoa mengalihkan sorot matanya
keatas surat yang berada dalam genggamannya, dia bertanya:
"Apakah kalian pernah mendengar sesuatu benda yang
disebut Laron penghisap darah?"
"Laron penghisap darah?" sambil miringkan kepalanya Siautho
berpikir sejenak, ketika tidak peroleh jawaban, dia
berpaling ke arah Siau-sin.
Siau-sin sendiri pun balas memandangnya dengan mata
terbelalak lebar, tampaknya dia pun tak tahu.
"Apakah kalian sama sekali tidak punya gambaran?" tanya
Siang Huhoa kemudian setelah melihat tingkah laku ke dua
orang gadis itu.
"Sebetulnya benda apakah itu?"
"Aku sendiripun kurang begitu jelas" sahut Siang Huhoa.
Setelah berpikir sejenak, kembali dia melanjutkan:
"Bila kita telaah tulisan dalam surat itu, semestinya yang
dia maksud adalah seekor Laron penghisap darah"
Tiba-tiba Siau-tho mendongakkan kepalanya memandang
sebuah belandar berukir yang ada diatas gardu kecil itu.
Seekor kupu-kupu sedang hinggap diatas tiang belandar
berukir itu.
Seekor kupu-kupu dengan tujuh warna warni, walaupun
bukan berada dibawah cahaya sang surya, namun
keindahannya amat menawan hati.
Sebetulnya bukan belandar berukir yang diamati Siau-tho,
dia sedang mengawasi kupu kupu yang hinggap disitu:

7
"Menurut pandanganku, Laron tidak beda jauh dengan
kupu-kupu......."
"Dipandang sepintas dari bentuk tubuhnya memang agak
mirip" tukas Siang Huhoa cepat, "padahal beda didalam
banyak hal, kupu kupu akan hinggap didahan jika malam tiba,
sementara Laron akan muncul diwaktu malam, ketika hinggap,
sepasang sayap kupu-kupu berdiri tegak dibelakang
punggungnya, sedang sayap Laron terpentang di kiri kanan"
Ternyata bukan saja dia memiliki pengetahuan yang luas
mengenai bunga-bungaan, pengetahuannya dalam hal
serangga pun amat mengagumkan.
"Paling tidak dalam satu hal ada kesamaan" kata Siau-tho.
"Hal yang mana?" tanya Siau-sin tidak tahan
"Serangga-serangga itu tidak suka darah, terlebih
menghisap darah"
“Itulah sebabnya aku merasa kejadian ini sangat aneh"
Siang Huhoa menerangkan.
Siau-sin dan Siau-tho tertegun, untuk sesaat mereka hanya
bisa berdiri termangu.
Kembali Siang Huhoa merentangkan suratnya seraya
berkata:
"Jui Pakhay sengaja berkirim surat kepadaku karena si
Laron penghisap darah itu mengintainya setiap hari, siang
maupun malam, keselamatan jiwanya sudah berada diujung
tanduk"
Sekali lagi Siau-sin dan Siau-tho tertegun.
"Benarkah ada kejadian seperti ini?" seru Siau-tho tanpa
terasa.
"Bila kita tinjau dari isi surat ini, rasanya memang benarbenar
telah terjadi peristiwa semacam ini"

8
"Jangan-jangan nama tersebut hanya julukan seseorang?"
tiba tiba Siau-sin menyela.
"Rasanya sih bukan"
"Tapi anehnya, kenapa Laron penghisap darah itu mencari
gara gara dengannya?" kembali Siau-tho bertanya.
Tiba-tiba Siang Huhoa bergidik, bulu kuduknya pada
bangun berdiri, setelah bersin berulang kali dengan nada
suara yang berubah sangat aneh jawabnya:
"Karena bininya adalah jelmaan Laron penghisap darah,
seorang siluman Laron!"
Bukan merasa takut atau ngeri, Siau-sin dan Siau-tho
malah tertawa tergelak.
"Aaah, masa kaupun percaya kalau di dunia ini terdapat
setan iblis atau siluman?" ejek Siau-tho sambil tertawa.
"Aku bicara demikian lantaran isi surat berbicara begitu"
kata Siang Huhoa cepat, kemudian dia sodorkan surat itu ke
tangan mereka.
Serentak Siau-sin dan Siau-tho menerima sodoran surat
tersebut, tapi begitu selesai membaca isi surat itu, senyuman
mereka seketika hilang lenyap tidak berbekas
"Jangan jangan otak Jui Pakhay kurang waras atau tidak
beres?" gumam Siau-tho dengan wajah hijau membesi.
"Paling tidak pada tiga tahun berselang dia masih waras,
kalau sekarang mah aku kurang tahu"
"Berarti sudah tiga tahun kau tidak pernah bersua
dengannya?"
"Yaa, tiga tahun lamanya" Siang Huhoa membenarkan
sambil menghela napas panjang, pelan-pelan dia alihkan
sorotnya ke angkasa.

9
"Apakah tiga tahun berselang dia sudah berbini?" kembali
Siau-tho bertanya.
Siang Huhoa menggeleng.
"Maksudmu kau belum pernah berjumpa dengan bininya?"
Siau-tho bertanya lagi.
"Benar, sampai sekarang aku belum pernah bertemu muka"
Siang Huhoa mengangguk, "tapi tidak lama kemudian kami
akan segera berjumpa"
"Berarti kau sudah putuskan untuk berangkat ke sana?"
Siau-tho nampak agak terperanjat.
"Benar, apa pun yang terjadi, aku tetap harus berangkat"
"Kau tidak kuatir bininya benar benar adalah siluman
Laron?" Siau-tho mulai cemberut tidak puas.
"Hingga detik ini aku belum merasa perlu untuk takut"
"Oya?"
"Karena hingga saat ini, seekor Laron penghisap darah juga
belum pernah kujumpai"
“Tidak ada salahnya kita ikut meramaikan suasana, toh
sudah agak lama kita tidak pernah berjalan-jalan" timbrung
Siau-sin sambil tertawa.
Siang Huhoa tersenyum.
"Tapi sayang, kali ini hanya aku seorang saja yang akan
berangkat ke sana"
"Aah....." Siau-sin mendesis lirih lalu terbungkam seketika.
Siau-tho ikut jadi lemas dan tidak bersemangat lagi.
Mereka tahu apa yang telah diputuskan Siang Huhoa, tidak
mungkinada seorangpun yang dapat merubahnya.

10
"Persoalan ini adalah urusan pribadiku, aku tidak ingin
kalian ikut campur di dalam masalah ini" sambung Siang
Huhoa lagi sambil tertawa.
Siau-sin dan Siau-tho tetap terbungkam tanpa bersuara.
"Apakah Jui Gie si penghantar surat itu sudah berlalu?"
kembali Siang Huhoa bertanya setelah hening sesaat.
"Aku menyuruh dia menunggu jawabanmu di serambi
samping" jawab Siau-tho.
Ternyata orang itu masih menunggu di serambi samping.
Rupanya Jui Gie kenal dengan Siang Huhoa , begitu melihat
orang itu muncul di dalam serambi, dia segera bangkit berdiri.
"Ternyata memang benar kau" sapa Siang Huhoa dengan
mata mendelik.
"Tidak nyana Siang-ya masih kenal dengan hamba" ujar Jui
Gie sambil soja.
"Sewaktu mengabdi kepada Jui Pakhay, rasanya usiamu
sudah tidak terlalu muda lagi?"
"Turun temurun hamba selalu mengabdi kepada keluarga
Jui"
"Ooh...." Siang Huhoa kembali manggut-manggut,
kemudian dia mengalihkan pembicaraan dan bertanya lagi,
"sebenarnya apa yang telah terjadi di perkampunganmu?"
"Selama berapa hari beruntun majikan selalu di teror Laron
penghisap darah, mengerikan sekali............." jawaban Jui Gie
tergagap seperti orang yang amat ketakutan.
Ternyata benar-benar ada Laron penghisap darah!!
Siang Huhoa agak tertegun, desaknya kemudian:
"Jadi kaupun sudah pernah bertemu dengan Laron
penghisap darah?"

11
"Belum, belum pernah" Jui Gie menggeleng.
"Bagaimana dengan penghuni yang lain?"
"Setahuku, mereka pun tidak pernah melihat"
"Berarti hanya Jui Pakhay seorang yang pernah melihat
makhluk itu?" Jui gie tertawa getir:
"Dalam hal ini aku sendiripun kurang begitu jelas"
Kembali Siang Huhoa berpaling sambil bertanya lebih jauh:
"Ketika menyerahkan surat itu kepadamu, apa yang dia
katakan?"
"Dia hanya berpesan agar secepat mungkin menyerahkan
surat ini ke perkampungan selaksa bunga:
Dan dia memang melaksanakan tugas itu dengan amat
cepat!
Ketika surat itu terkirim masih tanggal tujuh bulan tiga, hari
ini adalah bulan tiga tanggal tiga belas.
Jarak dari Perpustakaan Ki po cay menuju perkampungan
selaksa bunga ternyata bisa ditempuh tidak sampai enam hari.
Siang Huhoa berpikir sejenak, lalu katanya lagi:
"Waktu itu, apakah kau menjumpai sesuatu yang tidak
beres dengan dirinya?"
"Paras muka majikan sangat tidak sedap dipandang waktu
itu, bahkan sepasang tangannya gemetar terus tiada hentinya"
Siang Huhoa tidak bertanya lebih lanjut, sebab dia tahu
ditanya pun percuma karena orang ini tidak akan bisa
memberi penjelasan yang diperlukan.
Tiba-tiba dia berpaling, kemudian perintahnya:
"Siapkan kuda!"

12
Kakek yang berdiri menanti didepan pintu baru saja
menyahut dan siap mengundurkan diri, tiba tiba dari halaman
luar sudah berkumandang suara ringkikan kuda.
Ternyata Siau-tho dan Siau-sin telah menyiapkan kuda
baginya.
Sambil tersenyum Siang Huhoa segera melangkah keluar
diikuti Jui gie yang menguntil ketat di belakangnya.
Kulit tubuh yang putih, gagang pedang berwarna kuning
emas dengan sarung pedang berwarna merah tua.
Siau-tho segera membantu Siang Huhoa menggembolkan
pedangnya sementara Siau-sin memasangkan mantel
ditubuhnya. Sambil tersenyum Siang Huhoa segera melompat
naik ke punggung kudanya.
Lautan bunga menyelimuti seluruh halaman tengah, diluar
pintu bunga terhampar bagai menyelimuti langit, hujan
gerimis masih berderai ditengah kabut nan tebal, entah
berapa banyak bunga yang berguguran tertimpa olehnya.
Dengan sekali bentakan, Siang Huhoa melarikan kudanya
menembus lapisan hujan dan kabut yang menyelimuti udara.
Hari ini bulan tiga tanggal dua, kentongan ke dua,
rembulan yang melengkung bagai sabit menghiasi langit yang
bening bagai permukaan air. Perasaan hati Jui Pakhay terasa
lega dan nyaman bagai ikan yang berenang di dalam air.
Berapa butir mutiara mestika yang bernilai tiga ratus tahil
emas murni ternyata laku dijual dengan harga lima ratus tahil
emas murni. Kejadian semacam ini pada hakekatnya
merupakan satu kejadian yang layak digirangkan.
Setelah menghantar tamunya hingga didepan pintu
gerbang, sambil menggembol uang kertas senilai lima ratus
tahil emas murni, dia berjalan masuk dengan langkah yang
ringan dan cepat, menelusuri serambi panjang, melalui jalan

13
setapak ditengah kebun bunga dan kembali ke
perpustakaannya di halaman paling belakang.
Perpustakaan ini merupakan tempatnya untuk membaca
buku, juga merupakan tempatnya untuk menyimpan dan
menyembunyikan harta kekayaannya. Pada dinding samping
perpustakaan itu terdapat sebuah pintu rahasia, dibalik pintu
terbentang satu susun undak-undakan yang terbuat dari batu,
langsung berhubungan dengan sebuah ruang bawah tanah.
Dari pintu rahasia sampai ke ruang bawah tanah,
semuanya terdapat tujuh lapis alat jebakan rahasia yang bisa
mencabut nyawa siapa pun dalam sekejap mata, selain dia,
belum pernah ada orang yang berhasil melalui ke tujuh lapis
alat jebakan rahasia itu dengan aman dan selamat.
Dia percaya dan sangat yakin, karena ke tujuh lapis alat
jebakan maut itu adalah hasil rancangannya, dia sendiri yang
merancang, mencipta, membuat dan dia sendiri pula yang
memasangkan.
Dia memang murid paling buncit dari Hiun-cicu, seorang
ahli tehnik yang amat tersohor namanya dalam dunia
persilatan, hampir semua kepandaian gurunya dalam
menciptakan pelbagai peralatan telah dikuasahinya dengan
matang, tidak heran kalau ke tujuh lapis alat jebakan maut itu
merupakan hasil karyanya yang paling hebat.
Dia percaya dan yakin, ke tujuh buah alat jebakan mautnya
sangat dapat diandalkan, diapun sadar betapa dahsyatnya
kekuatan penghancur yang dihasilkan alat-alat jebakan itu.
Tombol buka tutup untuk membuka pintu rahasia itu
dipasang diatas dinding, dibalik dinding itu tergantung sebuah
lukisan antik.
Sebuah lukisan antik dari Tong Pak-hau, padahal lukisan itu
tidak ternilai harganya, namun dia hanya menggantungkan
dengan begitu saja, karena harta karun yang tersimpan dibalik

14
kamar rahasia, beribu kali lipat lebih berharga daripada lukisan
antik itu.
Kini, dia sedang berdiri dihadapan lukisan antik tersebut.
Tertimpa cahaya lentera yang terang benderang, diatas
dinding terbias bayangan tubuhnya yang tinggi besar.
Ketika dia mulai menyingkap lukisan tersebut, bayangan
tubuhnya juga bagai terbelah dari atas kepala hingga ke
bawah, terbelah jadi dua.
Keadaan semacam ini sudah banyak kali dialami, tapi baru
kali pertama ini tiba-tiba muncul suatu perasaan yang aneh
sekali dalam hati kecilnya.
Bersamaan waktunya, tiba-tiba bayangan tubuhnya hilang
lenyap tidak berbekas, lenyap ditengah bayangan aneh yang
tinggi besar dan sangat luar biasa.
Bayangan itu sudah pasti bukan bayangan tubuhnya sendiri
yang mendadak berubah menjadi besar, raksasa dan sangat
aneh: Sejenis makhluk tiba-tiba sudah muncul dari belakang
tubuhnya, merampas bayangan tubuh sendiri yang semula
terbias karena pantulan cahaya lentera.
Sejenis makhluk, yang jelas bukan manusia!
Dipandang dengan cara apa pun, bayangan tersebut sudah
pasti tidak mirip bayangan manusia, sama sekali tidak mirip,
malah kalau mau bicara jujur, bayangan itu mirip sekali
dengan bayangan kupu-kupu.
Bayangan itu sama sekali tidak bergerak, dia hanya muncul
secara mendadak, terlewat tiba-tiba sehingga mencekam
perasaan hatinya.
Agak tertegun Jui Pakhay merendahkan separuh badannya,
begitu merendahkan badannya, dia langsung menerobos
masuk ke balik ruang rahasia.

15
Bayangan itu langsung menutupi seluruh wajahnya, hampir
bersamaan waktunya dia pun telah melihat suatu makhluk.
Makhluk itu bukan kupu-kupu, melainkan seekor Laron!
Seekor Laron berwarna hijau kemala yang bening dan indah,
Laron itu menempel diatas kain penutup diatas lampu lentera
yang terletak dimeja tulis.
Dibawah pancaran sinar lentera, dari seluruh tubuh Laron
itu seakan memancarkan cahaya seram yang membawa
pancaran sinar siluman! Dibalik pancaran sinar siluman itu
tampak sepasang mata berwarna merah darah.
Bukan mata, ternyata bukan sepasang mata! Benda itu
tidak lebih hanya guratan garis merah darah yang berbentuk
mata, satu di sebelah kiri satu lagi disebelah kanan sayap
Laron hijau itu.
Disekeliling guratan sisik merah darah berbentuk mata itu
merupakan guratan-guratan sisik lain yang berwarna merah
darah pula, seakan sekujur tubuhnya terdiri dari serat-serat
berdarah.
Serat darah itu meliuk-liuk dari bawah membentang sampai
di atas dan berkumpul disekeliling "mata" itu, sekilas pandang
bentuknya mirip dengan sepasang alis mata, sementara garis
bulatan dibagian perut Laron hijau itu berbentuk seperti
sebuah hidung.
Dengan komposisi semacam ini, pada hakekatnya
terbentuklah selembar wajah, wajah tanpa muka, sebuah
wajah setan!!
Manusia, rasanya belum tentu bisa memiliki sebuah raut
wajah yang begitu menakutkan dan begitu menyeramkannya.
Raut wajah itu ternyata tidak lain adalah sepasang sayap
dari Laron itu, diatasnya pun terdapat guratan sisik berwarna
merah darah, hanya jumlahnya lebih tipis dan sedikit,

16
sepasang sayapnya ini berbentuk seperti sebuah mahkota
kemala hijau yang aneh sekali bentuknya.
Ditengah mahkota kemala hijau itu tentu saja terletak
kepala dari sang Laron.
Disebelah kiri kanan kepala Laron itu terdapat sebuah
sungut berbentuk sayap, selain itu terdapat pula sepasang
benda berbentuk bulat bagaikan bola, inilah sepasang mata
yang sebenarnya.
Ternyata sepasang mata inipun memiliki warna yang sama
dengan sepasang mata yang tumbuh diatas sayapnya itu,
merah bagai pancaran darah segar, bahkan memancarkan
pula sinar tajam yang menggidikkan hati
Cahaya darah! Sepasang mata yang memancarkan cahaya
darah itu seakan sedang melotot ke arah Jui Pakhay!
Benarkah Laron tersebut sedang mengawasinya? Jui
Pakhay tidak tahu dan tidak yakin, namun paling tidak dia
mempunyai perasaan semacam ini. Tidak heran kalau seketika
itu juga timbul perasaan ngeri dan perasaan takut yang luar
biasa dari dalam lubuk hatinya.
Semacam rasa ngeri, rasa takut yang belum pernah dialami
sebelumnya!
Dia ingin sekali mengalihkan sinar matanya ke tempat lain,
namun dalam detik tersebut, tiba-tiba dia menjumpai bahwa
sepasang matanya sudah jadi kaku, bahkan sekujur tubuhnya
mulai terasa kesemutan, mulai menjadi kaku.
Sepasang mata Laron yang berwarna merah darah itu
seakan menyimpan semacam kekuatan iblis yang maha aneh
dan maha dahsyat, yang menghisap sepasang mata Jui
Pakhay sehingga tidak mampu bergeser.
Kini, bukan Cuma sepasang matanya saja yang terhisap, Jui
Pakhay merasa bahkan sukmanya dan nyawanya pun seakan
ikut terhisap.

17
Lambat laun dia mulai merasakan betapa sukmanya,
nyawanya perlahan-lahan mulai melambung, mulai melayang
meninggalkan rongga badan kasarnya.
Pada detik itulah, dia pun mulai melihat mulut dari Laron
penghisap darah itu.
Dari balik mulut Laron merah darah itu menyembur keluar
sebatang tabung penghisap yang berwarna merah darah pula,
bagaikan sebatang jarum tajam, membiaskan cahaya tajam
yang menyilaukan mata ketika terkena cahaya lentera.
Segulung hawa dingin yang menggidikkan hati seketika
muncul dari dasar telapak kaki Jui Pakhay dan menyusup naik
ke atas kepala, bagaikan tertusuk jarum yang amat tajam,
dengan cepat menyusup naik dan menghujam ke ulu hatinya.
Dia sangat terkesiap, amat tercekat perasaan hatinya,
kesadaran otaknya seakan menjadi terang kembali, sekujur
badannya seakan tercebur ke dalam kolam yang berisi air
dingin, nyawanya, sukmanya seolah sudah terbang melayang
ke angkasa.
Dari balik matanya sudah mulai terpancar sinar kengerikan,
cahaya ketakutan yang luar biasa, tiba-tiba dia seakan sudah
teringat dengan suatu kejadian yang amat menakutkan!
Tak kuasa lagi dia menjerit keras:
"Laron penghisap darah!!"
Suara jeritannya parau dan gemetar, sama sekali tidak
mirip dengan suara jeritannya dihari hari biasa.
Begitu kata "Laron penghisap darah" meluncur dari
mulutnya, seluruh otot dan kulit wajahnya mengejang keras,
seluruh badannya menggigil keras bagaikan orang kedinginan,
raut muka itupun sama sekali tidak mirip dengan raut
wajahnya.

18
Dia seakan-akan telah berubah jadi orang lain, menjelma
jadi manusia yang berbeda!
"Sreeet!" bergema suara robekan yang tersayat oleh suatu
benda, tahu tahu di atas kain penutup lampu lentera itu sudah
muncul sebuah lubang kecil, tabung penghisap berwarna
merah darah dari Laron hijau itu tahu-tahu sudah menancap
diatas lubang tersebut.
Tidak dapat disangkal lagi kalau tabung penghisap itu
bentuknya memang tidak berbeda jauh dengan sebatang
jarum, bahkan dalam kenyataan memiliki ketajaman yang
melebihi ujung dari sebatang jarum.
Benda setajam itu tentu saja tidak terlalu sulit untuk
menusuk masuk ke dalam tubuh manusia dan menembusnya.
Mengawasi tutup lentera yang tertusuk hingga berlubang
itu, Jui Pakhay merasa seakan-akan kulit tubuh sendiripun ikut
tertusuk hingga tembus, terasa darah segar sedang terhisap
keluar dengan derasnya.
Kini sepasang tangannya mulai dingin membeku, sepasang
tangan yang dingin membeku itu sudah ditekan berbarengan
ke atas pinggangnya.
Ikat pinggang itu bukan ikat pinggang biasa, dibalik ikat
pinggang tersebut tersembunyi senjata tajam andalannya,
senjata yang membuat dia tersohor di dalam dunia persilatan,
Jit seng coat mia kiam (pedang tujuh bintang pemusnah
nyawa).
Pedang lemas sepanjang tiga depa dengan tujuh biji
senjata rahasia berbentuk bintang yang tersembunyi di balik
senjata tersebut, ketika melepaskan tusukan dengan
menyalurkan tenaga dalamnya, maka ke tujuh buah senjata
rahasia berbentuk bintang itu akan melesat keluar dengan
kecepatan luar biasa, mencabut nyawa lawan disaat musuh
sama sekali tidak menduga.

19
Hingga kini, belum pernah ada seorang manusia pun yang
berhasil mempertahankan selembar jiwanya dibawah ujung
pedang Jit seng coat mia kiam itu.
"Jit seng toh hun, It kiam coat mia" (tujuh bintang
pembetot sukma, satu tusukan mencabut nyawa) begitulah
gambaran senjatanya ketika menghadapi manusia, tapi
bagaimana pula kehebatannya sewaktu berhadapan dengan
seekor Laron?
Tabung penghisap telah ditarik kembali, setitik cahaya yang
luar biasa tajamnya terbias dari ujung jarum diatas kepala
Laron itu.
Dari balik keheningan yang mencekam suasana
Perpustakaan itu, tiba-tiba bergema suara yang sangat aneh..
"Seeerrr...serrrrr...!"
Sepasang sayap Laron itu mulai bergetar, mulai dikibaskibaskan,
perasaan hati Jui Pakhay mulai menyusut, mulai
mengecil sementara suara "Seerrr, seerrr" itu makin lama
semakin bertambah nyaring.
Laron hijau yang semula hanya sebesar kepalan tangan,
kini berubah selebar telapak tangan... suara "Seerrr, seerrr"
pun makin lama bergema makin keras dan memekikkan
telinga.
Akhirnya seluruh penutup lentera itu sudah tertutup oleh
tubuh Laron hijau itu.
Kelopak mata Jui Pakhay makin menyusut, peluh yang
bercucuran makin deras, peluh itu peluh dingin.
"Sreeet!" diiringi suara kebasan keras, Laron itu mulai
terbang meninggalkan penutup lentera, bagaikan setan iblis
yang ganas, langsung menerkam ke arah Jui Pakhay.
Sepasang mata diatas kepala Laron itu, sepasang mata
bermotif bunga di sayap Laron itu, bagaikan kobaran api yang

20
membara ditengah genangan darah, berkilauan ditengah
cahaya api yang membara.
Mendadak jarum penghisap itu kembali disemburkan
keluar, bersamaan waktunya pedang pun melepaskan sebuah
tusukan kilat.
Laron penghisap darah!! Jui Pakhay nyaris menjerit ngeri,
hampir pecah nyalinya membayangkan kengerian serta teror
horor yang terbentang di depan mata, akhirnya dia turun
tangan, pedang jit-seng-coat-mia-kiam melancarkan sebuah
tusukan maut.
Cahaya pedang yang meluncur bagai sambaran kilat, sinar
dingin yang cemerlang bagaikan cahaya bintang, sekali serang
tujuh bintang meluncur berbarengan ke arah depan.
Jit seng toh hun, It kiam coat mia (tujuh bintang pembetot
sukma, satu tusukan mencabut nyawa).
"Traak, traak, traak" tujuh kali dentingan nyaring bergema
memecahkan keheningan, ke tujuh batang senjata rahasia
berbentuk bintang itu sudah menancap semua diatas
permukaan meja.
Ditengah kilatan cahaya pedang yang menyambar diatas
penutup lentera, benda itu terpapas kutung jadi dua bagian,
tapi.......
"Sreet!" satu suara desingan angin melejit tinggi ke tengah
udara.
Lidah api dari lentera itu ikut terpapas kutung menjadi dua,
terpapas ditengah kilatan cahaya pedang yang menyambar
lewat bagai sambaran halilintar, melejit dan terbang ke tengah
udara.
Seketika itu juga suasana di dalam ruang perpustakaan
dicekam kegelapan yang luar biasa, sementara lidah api dari
lentera yang terbelah dan mencelat ke udara itu masih
menari-nari di angkasa bagaikan api setan yang membara.

21
Bagaimana dengan sang Laron? Dalam waktu singkat
tubuhnya berubah bagaikan setan gentayangan membuat
tubuh Laron penghisap darah itu berubah menjadi tembus
pandang hingga tersisa segulung lingkaran cahaya yang
memancarkan sinar terang, ketika tusukan pedang itu
menghampiri badannya, lingkaran cahaya itupun turut hilang
lenyap tidak berbekas.
Lenyap bagaikan setan iblis! Jui Pakhay celingukan ke sana
kemari, peluh bercucuran membasahi seluruh tubuhnya.
Tiba-tiba serangan pedangnya kembali dilancarkan,
menyambut lidah api yang sedang menari ditengah udara dan
menggesernya kembali ke atas lentera.
Sekali lagi cahaya lentera menerangi seluruh ruangan,
lambat laun suasana ditempat itupun jadi terang benderang,
dibawah cahaya lampu, dengan jelas Jui Pakhay menyaksikan
bahwa disana, dalam perpustakaan buku itu hanya ada dia
seorang.
Tidak ada Laron, nyamuk dan lalat pun tidak nampak
seekor pun, apa yang terpampang dihadapan matanya tadi
seolah hanya sebuah ilusi, sebuah khayalan yang tidak nyata.
Dia membungkukkan badan, memungut kembali penutup
lentera yang terjatuh diatas lantai.
Sebuah lubang tusukan kecil sebesar tusukan jarum,
terlihat muncul diatas penutup lentera itu, lubang tersebut
tidak lain adalah tempat yang ditusuk oleh Laron penghisap
darah itu dengan alat penghisapnya yang tajam.
Jelas peristiwa itu bukan sebuah ilusi, bukan sebuah
lamunan atau khayalan!! Sekujur badan Jui Pakhay mulai
gemetar keras, peluh dingin mulai bercucuran membasahi
seluruh tubuhnya.
Bab 2.

22
Teka teki seputar Raja Laron.
Bulan tiga tanggal dua, menjelang tengah hari, di tepi
telaga.
Air kelihatan jernih berwarna hijau dengan latar belakang
bukit nan biru, pepohonan Liu tumbuh rimbun disepanjang
tepi telaga, musim semi memang musim yang mudah
membuat orang mabuk, membuat orang terpesona.
Perasaan Jui Pakhay sangat murung, kesal dan masgul,
jauh lebih murung ketimbang mabuk oleh air kata-kata,
kemurungan yang susah terurai, bahkan semakin berusaha
dihilangkan, perasaan itu semakin mencekam.
Kejadian semalam masih jelas terbayang di depan matanya,
meski kini dia sedang berjalan menelusuri pepohonan Liu yang
rindang, namun langkah kakinya terasa berat.
Pemandangan alam nan indah yang terbentang
dihadapannya tidak membuat perasaannya tenang, dia bahkan
seakan tidak melihatnya, seakan tidak merasakannya.
Dalam keadaan seperti ini, dia memang tidak punya napsu
untuk menikmati kesemuanya itu.
Hari ini dia memang sengaja datang kesana, karena
ditempat inilah dia akan menemukan Tu Siau-thian.
Tu Siau-thian adalah sahabat karibnya, diapun seorang
wakil opas diwilayah itu, seorang jago golok yang handal,
selain pintar, kungfunya juga hebat. Hingga sampai hari ini
sudah begitu banyak kasus besar yang berhasil dibongkar
olehnya.
Ada orang bilang, bila latar belakang Tu Siau-thian
setengah saja melebihi Nyoo Sin, maka yang jadi komandan
opas di kota ini bukan Nyoo Sin melainkan Tu Siau-thian.
Menanggapi gurauan semacam ini, Tu Siau-thian tidak
pernah memberikan pandangan maupun pendapat pribadinya.

23
Dia seperti sudah amat puas dengan posisinya sekarang, wakil
komandan opas.
Sekarang dia sedang berjalan menuju ke sisi Jui Pakhay,
lagak maupun gayanya persis seperti orang yang sedang
terbuai karena mabuk oleh keindahan alam di tepi telaga yang
rimbun dengan pohon liu itu.
Berbicara sejujurnya, kedatangannya ke tempat itu
memang khusus untuk menikmati pemandangan alam disana.
Karena belum lama ini dia berhasil membongkar sebuah
kasus kriminal yang sangat berat, dalam kondisi demikian, dia
butuh tempat rileks untuk mengendorkan semua otot dan
uratnya yang telah cukup lama kencang dan tegang.
Dia baru terperanjat setelah Jui Pakhay berada disisinya,
dengan pandangan terkejut bercampur keheranan ditatapnya
wajah sahabatnya lekat-lekat.
Dia seperti tertegun, keheranan dan tidak percaya kalau
bakal berjumpa dengan Jui Pakhay ditempat seperti ini, dia
sangat mengenal siapa Jui Pakhay itu dan tahu pasti apa
kegemerannya.
Tempat semacam ini jelas bukan tempat yang cocok bagi
Jui Pakhay, dia bukan termasuk type manusia yang bisa
menikmati keindahan alam, terlebih kedatangan Jui Pakhay
kali ini hanya seorang diri.
Jui Pakhay sedang mengawasi dirinya pula, dia menatap
wajah rekannya dengan mimik muka yang sangat aneh, mimik
muka istimewa.
Tu Siau-thian semakin keheranan, setelah menyapanya
sambil tertawa, dia menegur:
"Jadi kaupun menyukai tempat ini?"
"Tidak terlalu suka" jawab Jui Pakhay dengan sorot mata
tidak tenang.

24
"Sungguh aneh, aku tidak menyangka bakal berjumpa
dengan kau di tempat semacam ini" kembali Tu Siau-thian
berseru sambil tertawa.
"Tapi aku dapat menduganya"
"Oya?" Tu Siau-thian tertegun.
"Aku telah berkunjung ke rumahmu, orang rumah yang
mengatakan kalau kau berada disini"
"Ooh, jadi kau sengaja datang kemari karena ada
keperluan denganku?" seru Tu Siau-thian seperti baru
mengerti.
Jui Pakhay manggut manggut pelan.
"Persoalan apa yang kau hadapi? Kenapa terburu-buru
mencari aku?" kembali Tu Siau-thian bertanya keheranan.
"Aku khusus kemari karena butuh petunjukmu tentang satu
hal" bicara sampai disitu, dia berbalik badan dan kembali
berjalan menelusuri jalanan yang baru saja dilaluinya.
Dalam keadaan begini terpaksa Tu Siau-thian mengikuti
dari belakang.
Sambil berjalan kembali Jui Pakhay berkata lagi:
"Aku tahu kau sudah banyak mengembara di seantero
jagad, pengetahuan dan pengalamanmu sangat luas, banyak
kejadian, banyak wilayah yang mungkin tidak pernah diketahui
orang, bagimu bukan satu kejadian yang aneh atau paling
tidak sama sekali tidak ada bayangan"
"Sebenarnya apa masalahmu?" tidak tahan Tu Siau-thian
menegur.
"Pernah tahu makhluk yang bernama Laron penghisap
darah?" tanya Jui Pakhay sambil bersin beberapa kali.

25
"Laron penghisap darah?" Tu Siau-thian agak tertegun,
"maksudmu Laron penghisap darah yang banyak hidup di
dalam belantara hutan diwilayah Siau-siang?"
"Aaah, rupanya kau tahu juga tentang hal ini" seru Jui
Pakhay kegirangan.
"Aku memang berasal dari wilayah Siau-siang"
"Bagus sekali....."
"Kenapa secara tiba-tiba kau menanyakan soal makhluk
itu?" Tu Siau-thian bertanya lebih jauh.
Jui Pakhay tidak langsung menjawab, kembali dia bertanya:
"Sebenarnya makhluk apakah itu?"
"Salah satu jenis Laron" sahut Tu Siau-thian sambil
berusaha menekan perasaan heran dan tercengangnya.
"Jadi sama persis seperti jenis Laron pada umumnya?"
"Bentuk luarnya memang sama persis, tapi warnanya
sangat berbeda"
"Apa warnanya?"
"Hijau muda" Tu Siau-thian menerangkan sambil tertawa,
"hijau muda mendekati warna batu kemala hijau, matanya
berwarna merah, pada kedua belah sayapnya terdapat pula
guratan merah bermotif mata, sepasang mata itupun
berwarna merah, semerah darah segar, sementara disekeliling
matanya dipenuhi serat-serat merah seperti guratan darah
segar"
"Apakah karena sering menghisap darah manusia dan
hewan, maka dia berubah menjadi bentuk seperti itu?"
"Ooh, jadi kaupun terpengaruh oleh cerita dongeng itu?"
seru Tu Siau-thian sambil gelengkan kepalanya berulang kali.
"Memangnya berita itu hanya sekedar berita angin?"

26
"Memang begitulah!" seru Tu Siau-thian sambil tertawa dan
manggut manggut.
"Kalau memang begitu, kenapa makhluk tersebut
dinamakan Laron penghisap darah?"
"Ini disebabkan sepasang matanya yang berwarna merah
darah, garis guratan mata yang merah darah serta garis garis
darah pada sepasang sayapnya, orang yang kurang tahu
beranggapan bahwa merahnya mata tersebut lantaran
kebanyakan menghisap darah manusia dan hewan, akhirnya
semua orangpun menyebut Laron tersebut sebagai Laron
penghisap darah"
Setelah berhenti sejenak, kembali terusnya:
"Orang bukan hanya menyebutnya sebagai Laron
penghisap darah, malahan ada yang menyebutnya sebagai
penyamun bermuka setan"
"Yaa, betul, jika dipandang dari punggungnya makhluk itu
memang mirip sekali dengan selembar wajah setan" tanpa
terasa Jui Pakhay mengangguk membenarkan.
Tiba-tiba Tu Siau-thian tertawa tergelak, selanya:
"Kapan sih kau pernah bertemu setan?"
Jui Pakhay melengak, sesaat kemudian dia menggeleng:
"Belum pernah aku melihat setan"
"Lantas darimana kau bisa membayangkan tampang setan
itu seperti apa?"
"Aku sendiripun kurang tahu, aku hanya berpendapat
tampang manusia tidak mungkin sejelek dan seseram itu"
Tu Siau-thian kembali tertawa tergelak, terusnya:
"Ada sementara orang menyebut makhluk itu sebagai Laron
bermata burung gereja, Laron bermata iblis, hal ini disebabkan

27
pada sepasang sayapnya terdapat guratan merah bermotif
mata darah"
"Apakah Laron semacam ini dapat menghisap darah?"
"Tentu saja tidak dapat, sebab guratan merah darah
bermotif mata yang tumbuh di sayap makhluk itu sudah ada
semenjak lahir"
"Kau yakin?"
Tu Siau-thian tidak menjawab, dia terbungkam.
Melihat itu, Jui Pakhay segera menatapnya lekat-lekat
Ditatapnya wajah rekannya itu sekejap, kemudian setelah
tertawa getir kembali Tu Siau-thian berkata:
"Walaupun aku tidak berani mengatakan yakin, namun
hingga detik ini belum satu kalipun menyaksikan ada Laron
yang bisa menghisap darah, bahkan mendengar cerita orang
pun belum pernah"
"Siapa tahu orang yang benar-benar pernah melihatnya
sudah pada mampus semua, mati karena badannya kering,
mati karena cairan darahnya telah dihisap habis oleh si Laron
penghisap darah itu"
Setelah menarik napas dalam-dalam, lanjutnya:
"Orang mati kan tidak mungkin bisa berbicara"
Tu Siau-thian tertawa getir:
"Mungkin saja apa yang kau katakan itu benar, tapi
menurut apa yang kuketahui, jenis Laron itu tidak suka darah"
"Siapa tahu ada pengecualian?"
Sekali lagi Tu Siau-thian gelengkan kepalanya berulang kali,
ujarnya:

28
"Hingga detik ini aku tetap berpendapat bahwa apa yang
kau ucapkan itu hanya sekedar berita angin, isapan jempol,
hanya sekedar dongeng!"
"Akupun berharap kesemuanya itu hanya sekedar berita
isapan jempol belaka"
"Oya...?"
"Paling tidak, aku sudah tidak perlu menguatirkannya lagi"
lanjut Jui Pakhay.
"Sebenarnya apa yang kau kuatirkan?" tanya Tu Siau-thian
agak melengak.
"Aku kuatir ada Laron penghisap darah yang menghisap
darah tubuhku hingga mengering"
Tu Siau-thian semakin tercengang, dengan perasaan tidak
habis mengerti kembali tanyanya:
"Kapan kau telah bertemu dengan Laron penghisap darah?"
"Kemarin malam"
"Kemarin malam?" Tu Siau-thian semakin tercengang.
"Walaupun aku pernah mendengar cerita dongeng
mengenai Laron penghisap darah, namun selama hidup belum
pernah berkunjung ke wilayah Siau-siang, akupun belum
pernah melihat Laron penghisap darah, tapi kemarin
malam..........."
"Atas dasar apa kau yakin kalau makhluk yang kau jumpai
semalam adalah Laron penghisap darah?" sela Tu Siau-thian
cepat.
Jui Pakhay menghela napas panjang:
"Karena Laron yang tiba tiba muncul di dalam perpustakaan
ku semalam, persis sama seperti Laron penghisap darah yang
dilukiskan dalam cerita dongeng"

29
"Tapi wilayah Siau-siang selisih jauh sekali dari tempat ini,
mana mungkin Laron penghisap darah bisa terbang melewati
wilayah yang begitu luas hingga tiba disini? Belum pernah
kudengar ada kejadian seperti ini" seru Tu Siau-thian semakin
keheranan.
"Benar, aku sendiripun belum pernah dengar orang
bercerita kalau di tempat ini bisa melihat kehadiran Laron
penghisap darah"
"Mungkin juga lantaran ketidak sesuaian suasana dan hawa
ditempat ini dengan daerah asalnya, walau begitu bukan
berarti suasana dan hawa disini tidak mungkin bisa terjadi
perubahan, juga tidak menutup kemungkinan ada Laron
penghisap darah yang mampu terbang melintasi wilayah yang
luas untuk tiba di sini"
Setelah tertawa dan berganti napas, kembali terusnya:
"Padahal meskipun kau telah melihat munculnya seekor
Laron penghisap darah disini, bukan berarti kau mesti kuatir
setengah mati. Ketika masih berdiam di daerah Siau-siang
dulu, akupun sering bertemu dengan Laron penghisap darah,
tapi kenyataannya bukankah hingga detik ini aku masih bisa
hidup segar bugar?"
"Tatkala kau bertemu dengan makhluk-makhluk tersebut
tempo hari, bisa jadi mereka sudah kekenyangan sehingga
tidak berniat menghisap darahmu lagi" ujar Jui Pakhay.
"Hahaha.. mungkin saja perkataanmu itu benar"
Jui Pakhay tidak ikut tertawa, wajahnya semakin murung,
keningnya makin berkerut.
Tu Siau-thian merasa kurang leluasa untuk tertawa
sendirian, maka sambil berhenti tertawa katanya lagi:
"Aku lihat kau sudah dibikin ketakutan lantaran bertemu
dengan Laron penghisap darah semalam"

30
Jui Pakhay tidak menyangkal, dengan mulut membungkam
dia mengangguk berulang kali.
"Memangnya Laron penghisap darah yang kau jumpai
semalam ada niat akan menghisap darahmu?" tanya Tu Siauthian
lebih lanjut.
Paras muka Jui Pakhay berubah hebat, sahutnya tegas:
"Yaa, aku memang melihat kalau dia bermaksud demikian!"
"Kemudian, apakah dia sudah menghisap darahmu?" ejek
Tu Siau-thian lagi sambil tertawa.
Bila dilihat dari lagaknya, dia seakan telah menganggap
perkataan dari Jui Pakhay itu sebagai bahan gurauan.
Jui Pakhay masih tetap membungkam, tidak tertawa, pun
tidak perduli dengan ejekan dari Tu Siau-thian, ujarnya
bersungguh-sungguh:
"Tidak, baru saja dia akan menerkam tubuhku, pedangku
sudah melancarkan serangan maut ke tubuhnya"
Kali ini Tu Siau-thian nampak terperanjat, serunya
tertahan:
"Untuk menghadapi seekor Laron pun kau telah
menggunakan senjata andalanmu?"
Jika ditinjau dari lagak serta logat bicaranya, dia seolah
sedang menyindir Jui Pakhay karena membesar-besarkan
sebuah masalah yang sesungguhnya kecil.
Jui Pakhay sama sekali tak menggubris, bahkan
tambahnya:
"Bukan hanya menggunakan senjata andalanku, bahkan
senjata rahasia telah kugunakan juga"
"It kiam jit seng, satu pedang tujuh bintang?"

31
"Benar, hampir semuanya telah aku gunakan" jawab Jui
Pakhay serius.
Kini Tu Siau-thian baru benar benar terkesiap, akhirnya dia
sadar bahwa apa yang diceritakan Jui Pakhay bukanlah cerita
lelucon.
Jit seng toh hun, It kiam coat mia (tujuh bintang pembetot
sukma, satu tusukan mencabut nyawa) merupakan
kepandaian pamungkas andalan Jui Pakhay, tidak
sembarangan jago yang mampu menghadapi nya, selama
inipun kepandaian pamungkas ini tidak ikan digunakan bila
keadaan tidak terlampau gawat.
"Lantas, bagaimana hasilnya?" tanya Tu Siau-thian
kemudian.
"Begitu aku lancarkan serangan dengan satu pedang tujuh
bintang, tahu-tahu Laron penghisap darah lenyap tidak
berbekas"
"Bagaimana lenyapnya?" desak Tu Siau-thian.
"Hilang lenyap dengan begitu saja, lenyap secara tiba-tiba
bagaikan setan iblis"
"Apakah semalam kau mabuk berat?" tegur Tu Siau-thian
kemudian sambil menatap rekannya lekat-lekat.
"Tidak, jangan lagi mabuk, minum arak setetespun tidak"
"Berarti kau tidur kelewat awal hingga bermimpi?" kata Tu
Siau-thian lebih jauh.
"Waktu itu aku baru saja menghantar tamuku pulang,
kemudian balik ke perpustakaan dan baru saja akan masuk ke
dalam"
Tu Siau-thian membelalakkan matanya lebar-lebar, serunya
cepat:

32
"Kalau memang bukan mabuk kepayang karena pengaruh
alkohol, juga bukan bermimpi karena kebanyakan tidur, berarti
apa yang kau ceritakan merupakan kejadian yang beneran?"
Jui Pakhay menghela napas panjang:
"Haai, masa sampai sekarang kau masih sangsi dengan
perkataanku?"
Tu Siau-thian tertawa getir:
"Kini kau sudah menceritakan semua kejadian dengan
begitu nyata, biar masih sangsi juga aku harus mulai belajar
menerima ucapanmu sebagai satu kenyataan"
"Padahal kalau bukan mengalami sendiri belum tentu aku
percaya kalau peristiwa ini merupakan sebuah kenyataan"
kata Jui Pakhay pula sambil tertawa getir.
"Kali ini kau datang mencari aku, apakah tujuanmu hanya
ingin beritahukan kejadian ini saja?"
"Masih ada dua alasan lain"
"Apa alasanmu yang pertama?"
"Aku ingin tahu secara jelas, apakah benar terdapat
makhluk yang disebut Laron penghisap darah?"
"Dan sekarang kau sudah jelas, lantas apa alasanmu yang
kedua?"
"Minta petunjukmu, bagaimana cara menanggulangi
serangan dari makhluk semacam ini"
Untuk sesaat Tu Siau-thian berdiri termangu, agaknya dia
tidak menyangka kalau harus menghadapi permintaan
semacam ini.
Terdengar Jui Pakhay berkata lebih jauh:
"Sebenarnya cara apa yang paling tepat untuk
menanggulangi serangan mematikan dari Laron penghisap

33
darah? Benda apa pula yang paling dipantang Laron
penghisap darah semacam ini?"
Tu Siau-thian berdiri melongo, lama kemudian dia baru
tertawa getir sembari menggeleng:
"Aku sendiri juga tidak tahu"
Seketika itu juga semangat Jui Pakhay surut kembali, dia
jadi lemas dan tidak bernapsu untuk bicara lagi.
"Tapi kaupun tidak usah kelewat kuatir" buru buru Tu Siauthian
menghibur, "aku rasa makhluk tersebut belum tentu
sangat menakutkan seperti apa yang diceritakan orang"
Tiba-tiba Jui Pakhay berkata lagi:
"Aku masih dengar ada orang bercerita demikian, Laron
pertama yang munculkan diri biasanya adalah utusan dari raja
Laron penghisap darah, ketika sang raja Laron sudah memilih
sasaran yang akan dijadikan korban penghisapan darah, dia
akan mengirim utusannya, seakan hendak memberi kabar
kepada orang tersebut bahwa dia akan terpilih menjadi
korban, maka setelah kemunculan sang utusan, Laron
penghisap darah baru akan muncul berikutnya, menanti sang
raja Laron sudah menampilkan diri, kawanan Laron itu baru
akan menyerang bersama-sama, setiap Laron akan
menusukkan tabung suntiknya ke tubuh sang korban lalu
beramai-ramai menghisap cairan darah korbannya sampai
mengering!"
"Benar, cerita yang beredar memang mengatakan begitu"
Tu Siau-thian mengangguk tanda membenarkan.
"Aku dengar raja Laron baru akan muncul disaat malam
bulan purnama"
"Konon memang begitu" kembali Tu Siau-thian
mengangguk setelah termenung dan berpikir sejenak.
Menyusul kemudian ia berkata lebih jauh:

34
"Malam ini baru tanggal dua, hingga tanggal lima belas
berarti masih ada tiga belas malam"
"Tapi dengan cepat tiga belas malam akan berlalu dengan
begitu saja"
"Kalau begitu selama berapa malam nanti cobalah lebih
waspada dan berhati-hati, apabila Laron penghisap darah itu
muncul kembali, rasanya belum terlambat bagi kita untuk
mencari akal guna menghadapinya"
Jui Pakhay tidak bicara lagi, dia terbungkam dalam seribu
bahasa.
"Berapa hari lagi, aku pasti akan datang berkunjung ke
rumahmu" kembali Tu Siau-thian berjanji.
Jui Pakhay tetap membungkam tanpa menjawab,
mendadak dia menghentikan langkah kakinya.
Tanpa terasa Tu Siau-thian ikut menghentikan langkahnya
sembari bergumam:
"Mungkin apa yang kau tampak hanya gambar ilusi yang
muncul sesaat, karena terpengaruh oleh ilusi tersebut maka
kau kira ada Laron penghisap darah hendak menghisap
darahmu"
Ketika selesai mengucapkan perkataan itu, dia baru
menjumpai kalau sepasang mata Jui Pakhay sedang terbelalak
lebar-lebar, dengan wajah tertegun dan mulut melongo dia
sedang mengawasi sebuah dahan pohon liu yang tumbuh
ditepi jalan.
Tanpa terasa dia mengikuti arah pandangan mata rekannya
dan mengawasi pula dahan pohon itu.
Namun dengan cepat paras mukanya berubah hebat,
ternyata diatas dahan pohon itu bertengger dua ekor Laron.

35
Laron hijau yang tubuhnya mengkilat bagaikan batu kemala
hijau, diatas sayapnya seakan dipenuhi garis-garis merah
darah dengan sepasang mata yang merah membara.
Sepasang mata Laron yang tumbuh diatas kepalanya juga
berwarna merah membara, begitu merahnya sehingga mirip
dengan darah segar.
Laron penghisap darah!! Tu Siau-thian tertegun, matanya
mendelong, wajahnya berubah hebat, setelah tertegun sesaat
tiba tiba dia melangkah maju, dengan satu gerakan cepat
dihampirinya dahan pohon Liu itu.
Jui Pakhay mencoba menghalangi namun tidak berhasil,
untuk sesaat dia jadi melongo dan tidak sepatah kata pun
mampu diucapkan.
Ketika tiba di dekat pohon Liu itu, Tu Siau-thian
memperlambat langkah kakinya, begitu dia berhenti
melangkah, tangan kanannya secepat kilat menyambar ke
depan, mencengkeram seekor Laron penghisap darah yang
berada disitu.
Biarpun gerakan serangannya amat cepat, ternyata
gerakan Laron penghisap darah itu jauh lebih cepat, belum
sempat menyentuh makhluk tersebut, tahu-tahu ke dua ekor
Laron penghisap darah itu sudah terbang ke angkasa.
Reaksi maupun ke sensitifan Laron penghisap darah itu
ternyata sama sekali tidak berada dibawah kecepatan reaksi
kupu-kupu.
Gerakan tubuh Tu Siau-thian semakin cekatan, mendadak
dia melambung ke tengah udara sambil melancarkan tiga kali
sambaran, akhirnya dengan satu gerakan cepat dia berhasil
menangkap Laron penghisap darah itu.
Jangan dilihat gerakan tubuhnya sangat cekat dan kasar,
ternyata kekuatan yang digunakan telah diperhitungkan
dengan matang, hal ini menyebabkan Laron penghisap darah

36
itu sama sekali tidak sampai tergencet mati walau telah
berhasil dicengkeram olehnya, sepasang sayapnya masih
bergetar tiada hentinya.
Bubuk Laron berwarna hijau kepucat-pu catan telah
memenuhi telapak tangan Tu Siau-thian, melihat itu dia
tertawa terbahak bahak.
Tampaknya Laron penghisap darah itu seakan sudah
ketakutan setengah mati hingga mendekati gila, sepasang
matanya yang merah kini bertambah merah tajam, bahkan
seolah sudah mulai melelehkan darah segar.
Sambil tertawa Tu Siau-thian segera berpaling ke arah Jui
Pakhay, kemudian ujarnya:
"Bila Laron semacam ini benar-benar pandai menghisap
darah, sekarang sudah seharusnya menghisapkan
darahku..............."
Belum habis perkataan itu diucapkan, tiba-tiba paras
mukanya berubah hebat.
Satu tusukan keras yang menimbulkan perasaan sakit yang
luar biasa muncul dari ibu jarinya, dengan perasaan
terperanjat dia berpaling
Tampak olehnya sebuah tabung hisap berwarna merah
darah dengan ujung jarumnya yang tajam telah menancap di
ibu jari tangannya dan saat itu darah segar miliknya mulai
dihisap oleh Laron penghisap darah itu.
Tidak terlukiskan rasa kaget bercampur ngeri yang dialami
Tu Siau-thian waktu itu, paras mukanya sampai berubah
menjadi hijau membesi.
Ketika dia mulai merasa bahwa darah segar telah dihisap
keluar melalui jari tangannya, saat itu pula dia berdiri
termangu, benarkah apa yang sedang dialaminya saat ini
merupakan sebuah kejadian nyata? Apakah bukan hanya

37
sebuah ilusi? Untuk berapa saat dia jadi kebingungan dan
tidak bisa membedakan secara jelas.
"Laron penghisap darah!!" dengan perasaan takut
bercampur ngeri yang luar biasa dia menjerit.
Karena teriakan yang keras disertai perasaan kaget yang
luar biasa ini, tanpa sadar genggamannya pada Laron
penghisap darah itupun jadi mengendor.
"Sreeet!" diiringi desingan angin tajam, Laron penghisap
darah itu meloloskan diri dari genggamannya dan terbang ke
udara, langsung menyusup ke balik pepohonan Liu yang
rindang.
Dalam pada itu, Laron penghisap darah yang ke dua pun
sudah terbang lenyap entah ke mana.
Sorot mata Tu Siau-thian tidak pernah terlepas dari tubuh
Laron yang sedang terbang ke balik rimbunnya pepohonan.
Menanti bayangan tubuh makhluk itu sudah lenyap dari
pandangan, dia baru mengalihkan kembali sorot matanya
keatas ujung jari telunjuk sendiri.
Tidak ada darah yang meleleh keluar, diujung jari
tangannya hanya tersisa setitik darah segar, namun hal itu
sudah cukup membuat pandangan matanya terbelalak lebar.
Jui Pakhay ikut mengawasi ibu jari tangan Tu Siau-thian
yang berdarah itu, paras mukanya kini telah memucat
bagaikan selembar kertas.
Rasa takut, ngeri dan seram yang mencekam perasaan
hatinya sekarang sediktpun tidak berada dibawah perasaan Tu
Siau-thian.
Untuk berapa saat lamanya kedua orang itu hanya bisa
berdiri termangu tanpa mampu melakukan suatu perbuatan
apa pun.

38
Entah berapa saat sudah lewat, lama kemudian akhirnya Tu
Siau-thian memecahkan kesunyian lebih dahulu, katanya:
"Tidak disangka ternyata makhluk ini benar-benar mampu
menghisap darah"
Dalam keadaan seperti ini, ternyata dia masih sanggup
tertawa walaupun senyuman yang menghiasi bibirnya boleh
dibilang sama sekali tidak mirip sebuah senyuman.
Terlebih Jui Pakhay, boleh dibilang dia tidak sanggup
tertawa lagi, sambil mengamati ujung jari Tu Siau-thian yang
berdarah, gumamnya lirih:
"Kemarin malam hanya muncul seekor, hari ini sudah dua
ekor, berapa banyak yang akan muncul besok malam?"
Ucapan tersebut diutarakan dengan suara yang sangat
aneh, boleh dibilang sama sekali tidak mirip dengan suara
aslinya.
Tu Siau-thian hanya mendengarkan dengan wajah
tertegun, hatinya bergidik, bulu romanya tanpa terasa pada
bangun berdiri.
Tiba-tiba Jui Pakhay mengalihkan sorot matanya ke atas
wajah Tu Siau-thian, kemudian katanya lirih:
"Begitu kau berhasil menemukan cara yang tepat untuk
menanggulangi serangan makhluk itu, cepatlah beritahu
kepadaku"
Begitu selesai berkata, ia segera beranjak pergi dari tempat
itu dengan kecepatan luar biasa.
"Kau akan ke mana sekarang?" teriak Tu Siau-thian keraskeras.
"Aku akan mencari teman-teman yang lain, siapa tahu
mereka punya cara untuk menghadapinya" ketika selesai
mengucapkan perkataan itu, tubuhnya sudah berada jauh
sekali.

39
Tu Siau-thian tidak mengejar, sekujur tubuhnya seolah
sudah menjadi kaku dan membeku ditengah rimbunnya
pepohonan.
Dia sebetulnya tidak mau percaya kalau kejadian semacam
ini merupakan sebuah kenyataan, tapi sekarang mau tidak
mau dia harus mempercayainya.
Menjelang tengah hari, kabut tipis makin menyelimuti tepi
telaga, membungkus seluruh pepohonan Liu hingga tampak
samar.
Dahan Liu bergoyang terhembus angin musim semi,
bergerak naik turun ditengah gulungan kabut, sesungguhnya
pemandangan saat ini sangat indah, namun dalam pandangan
Tu Siau-thian justru terasa menyeramkan dan mendirikan bulu
roma.
Dahan pohon Liu yang bergoyang, ibarat kerumunan Laron
yang sedang menggeliat, Laron penghisap darah!
0-0-0
Bulan tiga tanggal tiga, senja telah menjelang tiba, hujan
disertai angin membasahi seluruh jagad, membuat udara
terasa dingin.
Jui Pakhay duduk termenung seorang diri di dalam ruang
kamarnya, kemasgulan dan kemurungan jelas membekas
diatas raut mukanya
Dia baru saja selesai bersantap, ketika sisa nasi dan sayur
dibawa keluar, semuanya utuh seolah tidak satupun yang
pernah disentuh olehnya, dalam dua hari belakangan selera
makannya memang kurang begitu baik.
Kemarin malam, meski Laron penghisap darah tidak muncul
lagi, namun kemunculan dua ekor Laron penghisap darah
ditepi telaga siang tadi sudah lebih dari cukup untuk
mempengaruhi selera makannya.

40
Menyaksikan mimik mukanya itu, Gi Tiok-kun ikut hilang
selera makannya, jangan lagi bersantap, selera untuk
berbicara pun ikut lenyap tidak berbekas.
Gi Tiok-kun bukan orang lain, dia adalah istri Jui Pakhay,
usianya sepuluh tahun lebih muda dibandingkan usia
suaminya.
Tiga tahun berselang, dia masih nampak bagaikan
sekuntum bunga segar yang terhembus angin musim semi,
segar dan bergairah sehingga memancing datangnya kupukupu
dan serangga, cantik, segar dan menawan hati.
Tapi tiga tahun kemudian, dia nampak jauh lebih tua
ketimbang Jui Pakhay.
Meskipun belum tampak kerutan dahinya namun masa
remaja seakan sudah jauh meninggalkan dirinya, yang tersisa
sekarang hanya sepasang matanya yang jeli, sepasang mata
jeli yang masih membawa sebuah kehangatan dari masa
remajanya.
Biji matanya yang berkilat ibarat dua gulungan bara api
berwarna hitam, masih tetap berkialauan, masih tetap
membara. Siapa pun yang pernah bersua dengannya, pasti
dapat menduga kalau penghidupannya selama tiga tahun
terakhir pasti kurang nyaman, pasti kurang bahagia.
Kehidupan yang serba kecukupan bukan jaminan dapat
menghilangkan semua kemurungan, kemasgulan dan
kesengsaraan perasaan hatinya.
Karena orang yang dinikahi sekarang bukanlah orang yang
dia ingin nikahi.
Semenjak menikah dengan Jui Pakhay, kehidupannya
seolah sudah mati separuh.
Walaupun sampai kini dia belum sampai mati, namun
wajahnya, perasaan hatinya tidak berbeda dengan sekuntum

41
bunga yang mulai layu karena tidak pernah mendapat siraman
air segar.
Jui Pakhay sama sekali tidak bisa menyelami perasaan hati
istrinya, berbeda dengan Gi Toa-ma, ibu angkatnya, orang tua
ini sangat memahami perasaan hati anak asuhnya, hanya
sayang Gi Toa-ma tidak pernah memikirkan persoalan itu ke
dalam hatinya.
Apa yang dipikirkan Gi Toa-ma tidak lebih hanya semacam
benda, semacam benda yang bisa digunakan untuk membeli
apa-apa, duit!
Dulu, dia sengaja memelihara Gi Tiok-kun karena dia tahu
perempuan ini adalah seorang perempuan cantik, setelah
tumbuh dewasa nanti, dari tubuhnya dia bisa meraup duit
dalam jumlah yang sangat besar.
Itulah sebabnya dia selalu memberikan hidangan dan
pakaian terbaik untuk Gi Tiok-kun, melatihnya menyanyi,
menari dan memainkan alat musik, dia paksa gadis itu
menjual nyanyi tanpa menjual badan, menemani orang minum
arak tapi tidak menemani tidur, hal ini bukan dikarenakan dia
sayang dengan perempuan ini, tapi ingin menunggu hingga
munculnya sang pembeli yang ideal dan sesuai dengan
kehendak hatinya.
Ketika tawar menawar mencapai satu angka kesepakatan,
maka diapun serahkan Gi Tiok-kun kepada Jui Pakhay
bagaikan menyerahkan sebuah barang pesanan saja.
Saat itulah Gi Tiok-kun baru tahu manusia macam apakah
Gi Toa-ma dan apa maksud tujuannya, namun dia tidak bisa
berbuat lain kecuali pasrah.
Gi Toa-ma punya banyak anak buah dan begundal, terlebih
Jui Pakhay, dia adalah seorang jagoan yang luar biasa, bila
dirinya menolak perkawinan tersebut, bisa dipastikan hanya
jalan kematian yang terbentang di depan matanya

42
Tentu saja dia tidak ingin memilih jalan kematian, sebab
usianya masih sangat muda, sewaktu dikawinkan dengan Jui
Pakhay, usianya baru mencapai sembilan belas tahun.
Orang muda mana yang tidak menyayangi nyawanya
sendiri? Apalagi seorang gadis yang baru berusia sembilan
belas tahun.
Selama ini dia selalu beranggapan bisa menahan semua
siksaan batin itu. namun kenyataan membuktikan dia harus
menerima kesemuanya itu dengan susah payah.
Biarpun dia tumbuh dewasa dalam lingkungan pelacuran,
gadis ini tidak pernah tertular gaya hidup serta tingkah laku
kaum pelacur.
Tapi kesemuanya itu bukan merupakan alasannya yang
paling utama, alasannya yang terutama adalah karena hatinya
sudah dimiliki orang lain.
Pada malam pertama dia menikah dengan Jui Pakhay,
malam pengantin harus dia lalui bagaikan dalam malam
siksaan, malam perkosaan, dia merasa bagaikan sedang
dinodai orang, diperkosa orang lain, siksaan batin tersebut
selalu tersimpan dalam lubuk hatinya hingga detik ini.
Dia tidak menjadi gila sudah merupakan satu mukjizat,
bayangkan saja, perempuan mana yang bisa hidup tenteram
dalam suasana seperti ini.
Tidak heran kalau kini raut mukanya berubah menjadi
cepat tua. Meski penampilan mukanya hanya lebih tua sepuluh
tahun, namun perasaan hatinya sudah lama mati, mati
ketuaan.
Tidak seorang manusia pun yang memahami perasaan
hatinya, bahkan Jui Pakhay sendiripun sama sekali tidak tahu.
Selama ini dia selalu menunjukkan sikap seakan dia amat
mencintai Gi Tiok-kun, selalu berusaha dan berupaya untuk

43
merebut hati perempuan itu, berusaha membuatnya senang,
gembira.....
Sayang dua hari ini sikapnya agak berubah, selama dua
hari ini dia sama sekali tidak berselera untuk melakukan
kebiasaan itu, dia sama sekali tidak punya semangat untuk
melakukannya.
Kehadiran Laron penghisap darah telah membuat
pikirannya kalut, membuat perasaan hatinya kacau balau.
Mengapa Laron penghisap darah selalu menampakkan diri
dihadapannya? Apakah Raja Laron telah jatuhkan pilihannya
terhadapnya?
Laron yang muncul pada malam tanggal satu bulan tiga,
apakah dia adalah utusan dari Raja Laron? Apakah Laron
penghisap darah itu adalah utusan khususnya?
Mengapa si Raja Laron justru jatuhkan pilihannya terhadap
dia?
Bila seandainya kawanan Laron penghisap darah datang
menghisap darahnya, apa yang harus dia lakukan? Tindakan
apa yang harus dia ambil?
Setiap hari setiap waktu dia selalu memikirkan persoalan
itu, tidak terkecuali pada saat sekarang.
Butiran air hujan sudah lama berhenti menetes, namun air
masih mengalir dari luar jendela, butir air berkilauan ketika
tertimpa cahaya lentera, sekilas lewat kemudian lenyap dari
pandangan mata.
Dengan pikiran kusut Jui Pakhay mengawasi butiran air
diluar jendela, pikiran dan perasaan harinya kusut sekusut
tumpukan jerami, tiba tiba cahaya lentera meredup lalu mati,
kegelapan segera mencekam seluruh ruangan.
Bagaikan burung yang takut dengan anak panah, Jui
Pakhay segera melompat bangun sambil memutar badannya

44
secepat kilat, sorot matanya segera ditujukan ke atas lentera
perak diatas meja kecil, tidak jauh dihadapannya sana.
Diatas penutup lentera perak itu bertengger empat ekor
Laron penghisap darah, satu disisi kiri, satu di kanan, satu
diatas dan satu lagi di bawah, persis membentuk tanda salib.
Empat ekor Laron penghisap darah dengan empat pasang
mata pada sayapnya yang berwarna merah darah, seakan
akan sedang mengawasi Jui Pakhay tanpa berkedip,
mengawasinya dibawah sorot cahaya yang redup......
Tidak diketahui mereka datang dari mana, juga tidak
terdengar suara sayap mereka sewaktu terbang memasuki
ruangan itu, cahaya lentera hanya terasa redup bagaikan
padam secara tiba-tiba lalu mereka telah muncul disana,
muncul bagaikan kehadiran setan iblis.
Sepasang mata Jui Pakhay terbelalak semakin lebar,
diawasinya ke empat ekor Laron penghisap darah itu tanpa
berkedip, kulit, otot dan daging wajahnya mulai mengejang
keras lalu berdenyut tiada hentinya.
Tangan kanannya sudah menggenggam kencang pedang
Jit seng coat mia kiam, peluh dingin membasahi seluruh
jidatnya.
Biarpun senjatanya belum diloloskan, meskipun serangan
belum dilancarkan, namun hawa pembunuhan telah
menyelimuti seluruh udara.
Ke empat ekor Laron penghisap darah itu seolah belum
merasakan datangnya ancaman, mereka tidak bergerak, pun
tidak menunjukkan reaksi apapun.
Justru yang dibuat terkejut oleh ulah dan tingkah laku Jui
Pakhay adalah Gi Tiok-kun.
Sebenarnya dia sedang duduk terpekur disampingnya,
duduk sambil menundukkan kepalanya, dia sama sekali tidak
memperhatikan Jui Pakhay, maka ketika suaminya melompat

45
bangun secara tiba-tiba, bangku tempat duduk itu ikut dipukul
balik oleh ulahnya.
"Blaaam!" ditengah keheningan yang mencekam, suara itu
kedengaran amat nyaring dan memekikkan telinga.
Dengan perasaan terkesiap dia mendongakkan kepalanya,
dengan cepat perempuan itu telah menyaksikan raut muka Jui
Pakhay yang dicekam rasa takut, selembar wajah yang begitu
ketakutan dan penuh diliputi rasa gelisah bercampur ngeri.
"Apa yang terjadi?" tanpa terasa dia menegur.
"Laron!" bisik Jui Pakhay dengan suara gemetar.
"Apa? Laron apa?" Gi Tiok-kun keheranan.
"Laron penghisap darah!"
"Laron penghisap darah?" Gi Tiok-kun semakin keheranan.
Dia belum pernah mendengar judulan itu, belum pernah tahu
makhluk apakah itu.
"Yaa, empat ekor Laron penghisap darah!" ulang Jui
Pakhay dengan nada parau.
"Di mana?"
"Itu, diatas penutup lentera!" seru Jui Pakhay sambil
menuding ke depan.
Gi Tiok-kun segera menoleh dan memandang ke arah mana
yang ditunjuk.
Tadi dia duduk persis dibawah lentera perak itu, sama
sekali tidak merasa kalau diatas penutup lentera itu sudah
bertengger empat ekor Laron penghisap darah, ketika cahaya
lentera jadi redup tadi, dia pun seakan tidak merasakan
kehadiran makhluk-makhluk itu.
Kini, sorot matanya telah dialihkan ke atas penutup lentera
itu, perasaan tercengang, keheranan dan tidak habis mengerti
terlintas diwajahnya.

46
Hanya perasaan keheranan, sama sekali tidak terbias rasa
takut, atau ngeri atau seram.
Dengan keheranan dia berpaling lagi memandang wajah Jui
Pakhay, kemudian serunya:
"Empat ekor Laron penghisap darah yang bertengger di
penutup lentera? Mana? Kenapa aku tidak melihatnya?"
Jui Pakhay tertegun, dia tidak sanggup menjawab,
sepasang matanya terbelalak semakin lebar.
Dengan sangat jelas dan nyata dia saksikan ada empat
ekor Laron penghisap darah, bahkan sekarang pun masih
bertengger diatas penutup lentera itu.
Kenapa Gi Tiok-kun tidak melihatnya? Jangan-jangan
sewaktu dia berpaling tadi, ke empat ekor Laron penghisap
darah itu sudah menyembunyikan diri?
Dia membelalakkan matanya semakin lebar, serunya
gelisah:
"Coba perhatikan lagi dengan seksama"
Gi Tiok-kun mengiakan seraya berpaling, kali ini dia sama
seperti Jui Pakhay, membelalakkan sepasang matanya lebarlebar.
Biarpun ukuran badan ke empat ekor Laron penghisap
darah itu lebih kecil dari lalat pun, sekarang, seharusnya
sudah tidak bisa lolos dari pengamatan matanya.
Dia memeriksa dengan lebih seksama lagi, namun akhirnya
tetap menggeleng, ternyata perempuan itu tetap tidak
menyaksikan sesuatu apa pun.
"Sudah kau lihat?" tidak tahan Jui Pakhay bertanya.
"Belum" Gi Tiok-kun menggeleng.
"Tapi.... aku melihat dengan jelas, ada empat ekor Laron
penghisap darah!"

47
"Haai, tapi aku tidak melihatnya, walau hanya seekor pun"
sahut Gi Tiok-kun sambil menghela napas panjang.
Dia tidak mirip lagi berbohong, atau jangan-jangan
pandangan mata sendiri yang telah kabur?
Sambil mengucak matanya berulang kali kembali Jui Pakhay
berpaling mengawasi penutup lentera itu.
Bab 4.
Gerombolan Laron muncul kembali.
Bulan tiga tanggal tujuh, guguran bunga beterbangan di
kebun sebelah timur, kabut pun ikut beterbangan.
Padahal bukan kabut yang beterbangan tapi air hujan.
Air hujan dimusim semi lembut bagaikan serat, kabut tipis
menyelimuti seluruh halaman, Jui Pakhay berada pula dalam
halaman itu.
Biarpun kerutan alis matanya masih terbesit perasaan ngeri
dan ketakutan yang dialaminya semalam, namun perasaan
hatinya sudah tidak seberat semalam, karena secara rahasia
dia telah menulis sepucuk surat, secara rahasia mengutus Jui
Gi untuk menyampaikannya kepada Siang Huhoa.
Sepucuk surat permintaan tolong. Secara ringkas dia telah
menceritakan situasi yang sedang dihadapinya sekarang,
menyampaikan juga betapa butuhnya dia akan perlindungan
dari Siang Huhoa.
Dia tidak menulis surat kepada orang lain, surat semacam
ini hanya diberikan untuk Siang Huhoa seorang.
Hal ini bukan hanya lantaran kepandaian silat yang dimiliki
Siang Huhoa sangat hebat, hal inipun disebabkan meski Siang
Huhoa adalah seorang penyamun, namun dia adalah seorang

48
penyamun budiman, seorang pendekar pedang sejati yang
menjunjung tinggi kebenaran dan kesetia-kawanan.
Sekalipun di dunia ini benar-benar terdapat setan iblis atau
siluman jelmaan, dia yakin kawanan siluman itu tidak nanti
berani mengusik seorang pendekar pedang sejati.
Dia hanya berharap Siang Huhoa bisa datang tepat pada
waktunya, dia sama sekali tidak perlu kuatir bila Siang Huhoa
tak mau datang.
Dia sama sekali tidak lupa kalau mereka sudah bukan
sahabat lagi, juga belum pernah lupa kalau sewaktu mereka
masih bersahabat dulu, dia pernah menyelamatkan selembar
nyawa Siang Huhoa.
Siang Huhoa bukan orang yang melupakan budi. Tentang
hal ini dia jauh lebih jelas dari siapa pun.
Bila Siang Huhoa memang bukan orang yang suka
melupakan budi, bagaimana mungkin dia tidak akan datang
untuk membalas budinya?
Sayang seluruh mental dan kekuatan tubuhnya sudah
rontok, sudah hancur berantakan, dia memang tidak bisa
menjumpai orang ke dua lainnya yang bisa dimintai
pertolongan.
Hujan rintik di musim semi masih turun dengan tiada
hentinya, ketika angin berhembus lewat, berpuluh puluh
kuntum bunga jatuh berguguran, bunga yang berguguran
sekilas tampak bagaikan hujan, bagaikan kabut tipis yang
menyelimuti udara.
Mengawasi bunga-bunga yang berguguran, tiba tiba Jui
Pakhay merasa amat sedih, perasaan hatinya amat pedih.
Tanpa terasa dia mengambil sekuntum bunga yang rontok.
Diatas putik bunga berwarna putih itu ternyata muncul titik
warna merah, merah darah.

49
Jui Pakhay agak tertegun, belum sempat ingatan ke dua
melintas lewat, tiba tiba ujung jari tengahnya terasa amat
sakit, sakit sekali, sakit karena tertusuk oleh sebuah benda
yang sangat tajam.
Dari balik titik cahaya merah darah diujung putik bunga itu
tiba-tiba sudah muncul sebatang jarum tajam berwarna merah
darah, sementara putik bunga berwarna putih itu tahu-tahu
sudah berubah jadi hijau bening!
Laron penghisap darah!!
Seekor Laron penghisap darah ternyata sedang berdiam diri
diatas putik bunga berwarna putih itu, ketika Jui Pakhay
mengambil bunga itu, Laron penghisap darah pun
menusukkan tabung hisapnya yang tajam, langsung ke ujung
jari tengahnya.
Jui Pakhay terkesiap, buru buru dia ayunkan tangannya
kuat-kuat, membanting kuntum bunga yang berada dalam
genggamannya itu ke atas tanah.
Belum lagi kuntum bunga itu mencapai permukaan tanah,
Laron penghisap darah tersebut sudah melejit dan sang bunga
dan terbang ke udara.
Hanya didalam waktu singkat makhluk itu sudah terbang ke
angkasa dan lenyap dari pandangan mata.
Jui Pakhay segera menghembuskan napas lega......... tapi
sayang hembusan napas leganya kelewat awal dilakukan.
Angin masih berhembus kencang, bunga masih terus
berguguran ke tanah, dalam waktu Hekejap diatas bunga yang
berguguran itu kembali muncul setitik warna merah, merah d
irah.
Dari setiap kuntum bunga yang berguguran itu segera
bermunculan titik warna merah darah, setitik merah darah
yang berubah menjadi seekor Laron penghisap darah.

50
Berapa banyak bunga yang berguguran disitu? Dan berapa
banyak Laron penghisap darah yang hinggap diatasnya?
Menyaksikan kesemuanya itu Jui Pakhay mulai merasakan
jantungnya berdebar keras, hatinya seakan menyusut kecil,
tubuhnya mundur sempoyongan dan mulai menggigil keras
bagaikan orang kedinginan.
Setelah mundur sejauh berapa kaki, pedang Jit seng toh
hun kiam nya segera diloloskan dan digetarkan ditengah udara
hingga tegak kaku.
Kawanan Laron penghisap darah itu serentak terbang
meninggalkan guguran bunga-bungaan, lalu sambil
memuntahkan jarum tajam penghisap darahnya mereka
menyerang tubuh Jui Pakhay habis-habisan.
Rontokan bunga berwarna hijau pucat ditambah sayap
Laron berwarna hijau muda dan lidah mata berwarna merah
darah, membentuk serangka! lukisan yang sangat aneh dibalik
hujan berkabut itu.
Dalam keadaan begini, Jui Pakhay tidak berminat untuk
menikmati keanehan alam itu, sambil membentak gusar
kembali pedang Jit seng toh hun kiam nya melancarkan
selapis hujan pedang yang menyelimuti angkasa.
"Sreeet, sreet, sreet!" air hujan terbelah oleh babatan
cahaya pedang, guguran bunga hancur berkeping terhajar
angin tajam.
Yang nampak hanya air hujan, hanya guguran bunga yang
hancur, sementara puluhan ekor Laron penghisap darah itu
tidak satupun yang terhajar hingga rontok ke tanah, hampir
semuanya hilang lenyap dengan begitu saja.
Dalam waktu sekejap puluhan ekor Laron penghisap darah
itu seakan selapis kabut yang tipis, buyar, hilang dengan
begitu saja, seakan menguap ke angkasa,

51
Jui Pakhay sadar, lenyapnya kawanan Laron penghisap
darah itu bukan karena kepandaiannya, dia sadar kemampuan
yang dimiliki masih belum mencapai taraf sehebat itu, dia pun
tahu puluhan ekor Laron penghisap darah itu lagi-lagi hilang
lenyap seakan musnahnya setan iblis.
Menghadapi musuh tangguh semacam ini, dia benar-benar
dibuat kehabisan akal, dia merasa tidak tahu bagaimana harus
berbuat
Sambil melintangkan pedangnya di depan dada, dia berdiri
kaku ditempat, otot dan kulit badannya mengejang kencang,
dalam kelopak matanya meski tak ada air mata, namun serasa
ada gerakan yang membuat dia pingin melelehkan air mata.
Meskipun surat permintaan tolong telah dikirim, paling
cepat pun butuh enam hari untuk tiba di perkampungan
selaksa bunga, seandainya Siang Huhoa langsung berangkat
sehabis membaca surat itu, paling tidak dia baru bisa tiba di
perpustakaan Ci-po-cay pada tanggal delapan belas bulan tiga.
Itu berarti hati yang ditentukan kawanan Laron penghisap
darah itu untuk mulai melancarkan pembunuhan!
Bila Raja Laron sudah menampakkan diri, berarti kawanan
Laron penghisap darah itu akan mulai menyerang secara
serentak, mereka akan menggunakan badannya sebagai
sasaran penusukan jarum jarum penghisap darahnya, lalu
menggunakan cairan darah di dalam tubuhnya sebagai bahan
konsumsi.
Konon Raja Laron selalu akan muncul disaat bulan sedang
purnama, malam bulan purnama berarti malam tanggal lima
belas
Bila dongeng yang selama ini tersiar merupakan kenyataan,
berarti ketika Siang Huhoa tiba disana, kehadirannya sudah
terlambat tiga hari, seandainya kawanan Laron penghisap
darah itu benar-benar akan menghisap darahnya, waktu itu

52
dia sudah tinggal sesosok mumi, sesosok mayat yang telah
mengering.
0-0-0
Bulan tiga tanggal delapan, malam itu kawanan Laron
penghisap darah kembali munculkan diri.
Satu rombongan besar Laron penghisap darah, jumlahnya
satu kali lipat lebih banyak ketimbang jumlah yang muncul
pada malam sebelumnya, kawanan Laron itu mengelilingi
cahaya lentera dan menari-nari kian kemari
Jui Pakhay sama sekali tidak menggubris, juga tidak
mengusik, ketika kawanan Laron penghisap darah itu sudah
beterbangan selama seperminum teh lamanya, bagaikan
bayangan setan, lagi-lagi hilang lenyap tidak berbekas.
0-0-0
Bulan tiga tanggal sembilan, malam itu ketika Jui Pakhay
pulang dari bepergian, dia pulang dengan wajah yang muram.
Hari ini sudah berapa kali dia ceritakan kisah Laron
penghisap darah itu kepada sebelas orang sahabatnya.
Diantara ke sebelas orang sahabatnya itu ada yang sebagai
piausu, ada pedagang bahkan ada pula penjual obat keliling.
Tempat ini merupakan tempat yang dipenuhi dengan
pejabat-pejabat tinggi, Komandan opas Nyoo Sin termasuk
salah satu orang yang mengetahui kisah horor yang
dialaminya.
Sebagian besar orang orang itu merupakan orang yang
sudah cukup lama hidup menjelajahi seluruh kolong langit,
pengetahuan mereka sangat luas, Jui Pakhay sengaja
memberitahukan kejadian ini kepada mereka, tujuannya tidak
lain adalah berharap agar mereka bisa mengusulkan
kepadanya untuk menghubungi seseorang yang sanggup
menghadapi kejadian seperti ini, bahkan kalau mungkin

53
sebuah cara yang ampuh untuk membasmi serangan horor
dari kawanan Laron penghisap darah itu.
Tapi alhasil dia merasa sangat kecewa, malahan dia merasa
sedikit menyesal.
Kawanan orang-orang itu bukan saja tidak mempercayai
apa yang dia katakan, malah dianggapnya dia sedang
bergurau, hanya ada dua orang di antaranya yang terkecuali.
Ke dua orang ini menganggap otaknya sudah miring, ada
penyakitnya sehingga berpikiran yung bukan-bukan, Jui
Pakhay sama sekali tidak membantah ataupun berdebat, dia
hanya tertawa getir.
Sebab sejak awal dia sudah menduga, kemungkinan besar
akan peroleh hasil seperti ini.
Seandainya peristiwa Laron penghisap darah bukan
menimpa dirinya, dia pun sama seperti rekan-rekan lainnya,
tidak bakal percaya kalau ada kejadian seperti ini.
Sejak tanggal enam malam, dia sudah tidak berani lagi
tidur bersama Gi Tiok-kun.
Selama dua malam sebelumnya, dia selalu tidur seorang
diri di dalam perpustakaan bukunya.
Malam ini pun ada rembulan yang bersinar di angkasa.
Jui Pakhay berdiri seorang diri di depan jendela, mengawasi
cahaya rembulan yang bening bersih, timbul perasaan sedih
dan murung yang amat sangat di dalam hatinya.
Tiba tiba dia merasa sangat kesepian, merasa dirinya hidup
seorang diri, sebatang kara.
"Sreet, sreet, sreet" tiba-tiba bergema suara gemerisik dari
belakang tubuhnya, suara semacam ini sudah tidak terlalu
asing lagi baginya.

54
Setiap kali Laron penghisap darah itu munculkan diri,
mereka selalu muncul dengan membawa suara desiran tajam
semacam ini.
Suara itu muncul dari kebasan sayap kawanan Laron
penghisap darah itu, dengan satu kecepatan luar biasa dia
berpaling.
Tapi sepanjang mata memandang hanya kegelapan yang
menyelimuti seluruh ruangan, rupanya ketika memasuki ruang
perpustakaan dengan perasaan masgul tadi, dia lupa menyulut
api lentera.
Ditengah kegelapan yang mencekam seluruh ruangan, tiba
tiba tampak berpuluh puluh bintik cahaya redup berwarna
hijau muda, cahaya api yang berkedip kedip persis seperti api
setan yang sedang gentayangan.
Dibalik setiap cahaya berwarna hijau itu tampak pula setitik
cahaya berwarna merah, walaupun titik cahaya itu kecil dan
lembut namun justru amat terang dan mencolong, cahaya
darah yang menakutkan!
Berpuluh-puluh titik cahaya hijau bercampur merah darah
itu beterbangan di udara bagaikan berpuluh pasang mata
setan yang sedang mengintai dan mengawasinya dari balik
kegelapan.
Laron penghisap darah!!
Jui Pakhay mulai menjerit di dalam hati, namun
tenggorokannya seolah telah tersumbat oleh sesuatu, suara
jeritannya sama sekali tidak bisa muncul keluar.
Mendadak ia membalikkan badannya lalu menerjang masuk
ke balik kegelapan!
Dia sudah hapal dengan setiap seluk beluk di dalam
Perpustakaan bukunya, karena itu dia bisa langsung
menerjang ke depan meja tulis, dia masih ingat, diatas meja
itu terletak sebuah lentera.

55
Jui Pakhay segera mengayunkan tangan kirinya, "PlaakF
cahaya api berkelebat lewat, tahu tahu dia sudah menyulut
sebuah korek api dan menyulut lampu lentera yang berada di
atas meja.
Seketika itu juga cahaya lentera yang redup mengusir
kegelapan yang mencekam ruangan itu.
Bersamaan dengan munculnya cahaya lentera, kerlipan
cahaya hijau kemerah-merahan itu hilang lenyap seketika,
bahkan suara desingan tajam dari sayap sayap itu pun ikut
lenyap tidak berbekas.
Tidak nampak seekor Laron penghisap darah pun di dalam
ruang baca Perpustakaan buku itu.
Ketika sinar hijau kemerah merahan itu sirna tertimpa
cahaya lentera, kawanan Laron penghisap darah itupun ikut
lenyap tidak berbekas! Sambil memegangi lentera untuk
menyinari sekeliling tempat itu, Jui Pakhay mulai bersumpah
serapah di dalam hati kecilnya.
0-0-0
Bulan tiga tanggal sepuluh, suasana amat hening, rembulan
bersinar lembut, angin berhembus sepoi.
Jui Pakhay berbaring seorang diri di dalam perpustakaan
bukunya, dia merasa lelah sekali, meski begitu dia belum
sampai tertidur pulas.
Dia paksakan diri untuk mementang sepasang matanya
lebar-lebar, tujuh buah cahaya api sebesar kepalan tangan
menyinari ruangan perpustakaan itu.
Tujuh buah lentera besar dengan tujuh buah lidah api yang
besar menerangi setiap sudut ruangan.
Separuh bagian dari lidah api itu terbenam didalam sebuah
tabung tembaga yang dipenuhi minyak, tabung tersebut

56
berada diatas sebuah meja kecil, sementara meja kecil itu
berada ditengah sebuah tempat yang ceper bentuknya.
Kuali ceper itu dipenuhi air, membuat meja kecil itu
terbenam didalam air, bahkan tabung tembaga itupun
setengah bagiannya terendam air.
Tujuh buah lidah api yang besar bersama-sama
memancarkan cahaya yang terang benderang, ketika terpantul
diatas permukaan air, membuat seluruh ruang perpustakaan
itu menjadi terang bagaikan disiang hari.
Jui Pakhay harus berpikir satu harian penuh sebelum
akhirnya berhasil menemukan jebakan tersebut.
Biasanya Laron akan mendekati cahaya api, maka bila ada
rombongan Laron yang menghampiri cahaya dan menari hari
disekelilingnya, jika penutup lentera diambil, otomatis Laron-
Laron itu akan menerjang langsung ke tengah jilatan api.
Bila kawanan Laron itu sampai menubruk ke atas jilatan
api, dapat dipastikan kawanan makhluk itu akan terbakar, bila
di bawah lentera diberi sebaskom air, tidak dapat disangkal
lagi binatang-binatang itu pasti akan mati semua.
Sementara kawanan Laron yang terluka akan segera
tercebur ke dalam air, bila sayapnya sudah basah maka
mereka tidak bakal mampu terbang tinggi lagi.
Kini, Jui Pakhay hanya berharap kebiasaan I aron
penghisap darah menghampiri cahaya api tidak berbeda
dengan keadaan pada umumnya.
Dia lebih berharap lagi jika api dapat memusnahkan
pengaruh sihir, dengan air pun bisa menenggelamkan sihir,
asal kawanan Laron penghisap darah itu sudah menubruk ke
dalam ipi lalu tercebur ke air maka mereka akan musnah dan
lenyap untuk selamanya.
Asal dia bisa mendapatkan satu saja bangkai Laron
penghisap darah, maka dia dapat menggunakannya untuk

57
membuktikan dihadapan teman-teman lainnya bahwa dia
bukan lagi berbohong.
Asal kecurigaan mereka bisa dihilangkan, dengan
sendirinya rekan-rekannya akan bersedia melakukan
penyelidikan, atau bahkan bergabung dengannya untuk
bersama-sama menghadapi kawanan Laron penghisap darah
itu.
Paling tidak dia tidak akan terpencil, tidak akan sendirian
seperti keadaannya saat ini.
Sekarang dia tidak tidur, berusaha dengan sekuat tenaga
untuk mempertahankan diri, dia ingin menunggu munculnya
kawanan Laron penghisap darah itu, menunggu kawanan
makhluk itu masuk perangkap dan bunuh diri.
Tiga kali suara kentungan bergema dari luar kamar,
ternyata waktu sudah menunjukkan kentongan ke tiga.
Jui Pakhay dengan menahan rasa kantuk yang luar biasa
berusaha memejamkan sejenak sepasang matanya, sementara
perasaan hatinya mulai gelisah, mulai tidak sabar.
Berbicara menurut pengalaman yang dirnilikinya di masa
lampau, bila kawanan Laron penghisap darah itu akan muncul
lagi pada malam ini, sudah seharusnya mereka muncul pada
saat ini.
Tapi anehnya, hingga sekarang kawanan Laron penghisap
darah itu belum juga menampakkan diri.
Benarkah kawanan makhluk itu sangat cerdas dan pandai
melihat gelagat sehingga tahu kalau disitu telah dipasang
sebuah perangkap maut?
Baru saja ingatan tersebut melintas lewat, tiba-tiba Jui
Pakhay mulai mendengar suara desingan angin tajam.
Setiap kali Laron penghisap darah munculkan diri, dia pasti
akan mendengar suara aneh semacam ini.

58
Suara itu memang suara sayap Laron penghisap darah
ketika berkebas menembusi angkasa.
...............Apakah sudah datang?
Jui Pakhay segera merasakan semangatnya bangkit, dia
membuka sepasang matanya lebar-lebar.
Baru saja dia membuka matanya, tiba tiba dirasakan
kelopak matanya berat sekali bagaikan diberi beban besi
ribuan kati, beberapa kali dia ingin membuka matanya namun
tidak berhasil.
Terpaksa dia pejamkan matanya sambil mengatur
pernapasan, dia hanya pejamkan matanya tapi berusaha
untuk tidak tertidur. Aneh, sebenarnya apa yang telah terjadi?
Belum lama berselang dia masih segar bugar, mengapa
sekarang berubah jadi lemas tidak bertenaga?
Buru buru dia menggerakkan tangannya, mencoba untuk
meraba kelopak matanya, siapa tahu biarpun sudah dicoba
berapa kali ternyata tangannya sama sekali tidak sanggup
untuk digerakkan.
Dalam waktu sekejap mata, seluruh tenaga dalam yang
dirriiliknya seakan hilang lenyap tidak berbekas.
Tidak terlukiskan rasa kaget, ngeri dan takut yang
mencekam perasaan hatinya sekarang. Apa yang sebenarnya
telah terjadi?
Dia menjerit di dalam hati namun tenaga untuk berbicara
pun tidak punya, namun dia masih dapat merasakan, juga
masih bisa mendengarkan dengan sangat jelas.
"Sreet, sreett" suara desingan makin lama semakin jelas,
makin lama semakin bertambah nyaring.
Rupanya kawanan Laron penghisap darah itu mulai
beterbangan dalam ruang perpustakaan, mulai menari-nari
kian kemari.

59
Jui Pakhay merasa hatinya makin lama makin gelisah, dia
ingin sekali meronta untuk bangkit berdiri, mendadak
perasaan kantuk yang luar biasa hebatnya, sedemikian
hebatnya sehingga serasa tidak mampu dilawan, menyerang
dan mencekam seluruh tubuhnya.
Lambat laun pikirannya mulai kabur, bahkan perasaan nya
pun lambat laun ikut lenyap tidak berbekas.
Entah berapa saat sudah lewat, mendadak Jui Pakhay
mendapatkan kembali semua kesadaran dan perasaannya.
Begitu kesadarannya pulih kembali, dia mulai mendengar
semacam suara, semacam suara yang sangat aneh, seakan
ada sesuatu benda sedang menjerit lengking, sedang merintih
penuh kesedihan.
Dia ingin sekali melihat berada dimanakah dirinya sekarang,
sudah berubah menjadi apakah dirinya? Sebab dia memang
sangat kuatir, kuatir sewaktu tidak sadar tadi kawanan Laron
penghisap darah itu sudah memindahkan tubuhnya keluar dan
perpustakaan, menghisap darahnya hingga mengering.
Masih untung semua kejadian yang telah dialaminya
sebelum tidak sadarkan diri tadi, dia masih teringat semuanya,
dia pun amat kuatir dapatkah sepasang matanya dibuka
kembali, dapatkah dia menggerakkan tubuhnya lagi.
Dia mencoba untuk membuka matanya, begitu
dipentangkan lebar dengan cepat dia memejamkan kembali
matanya.
Walau pun hanya membuka matanya sebentar, namun dia
menjumpai tubuhnya masih berada di dalam ruang
perpustakaan, paling tidak satu hal tidak perlu dikuatirkan lagi.
Biarpun dia sangsi apakah masih berada dalam
perpustakaan, walaupun masih ragu apakah perasaannya
sudah pulih kembali, asal Laron penghisap darah belum

60
menghisap kering darah dalam tubuhnya, dia percaya dia
masih dapat hidup terus.
Dia mencoba membuka matanya lagi, kali ini keadaannya
jauh lebih mendingan.
Menanti matanya sudah terbiasa dengan keadaan diseputar
sana, paras mukanya pun ikut berubah jadi sangat aneh.
Dia telah menyaksikan sebuah kejadian yang luar biasa
anehnya.
Dari tujuh buah lidah api yang membara di tabung tembaga
itu ada dua diantaranya sudah terjatuh ke dalam air dan
padam, kini tinggal lima buah lidah api yang masih membara.
Lima buah lidah api memancarkan cahaya yang amat
terang, membuat seluruh ruangan perpustakaan itu jadi
terang benderang bermandikan cahaya.
Dibawah pancaran sinar api, cahaya air sudah tidak
nampak sama sekali, sejauh mata memandang hanya selapis
cahaya hijau yang berkedip, seluruh permukaan air seakan
dilapisi oleh cahaya kemala berwarna hijau.
Diantara kerlipan cahaya kemala hijau terbesit setitik
cahaya lain, cahaya terang berwarna merah darah.
Lapisan hijau kemala itu bukan terbentuk dari sebuah
lapisan besar, tapi terbentuk karena gabungan dari lembaranlembaran
kecil, penggabungan itu tidak terlalu rapi, tidak
terlalu rapat satu dengan lainnya.
Ketika cahaya merah darah itu berkedip tiada hentinya,
lapisan-lapisan kecil dibawahnya pun ikut bergoncang,
bentuknya mirip sekali dengan lapisan sisik ikan.
Tentu saja Jui Pakhay tahu lapisan itu bukan lapisan sisik
ikan, dia telah menyaksikan dengan jelas sekali, sisik-sisik
bening itu tak lain adalah laron-laron penghisap darah yang

61
mengambang diatas permukaan air, titik cahaya merah darah
tidak lain adalah mata laron-laron itu.
Perangkap yang dipersiapkan ternyata mulai membuahkan
hasil, kawanan laron penghisap darah itu benar-benar
berkumpul begitu berjumpa dengan cahaya api.
Tujuh buah lidah api yang besar dan kasar nyaris telah
membakar dan melukai sayap kawanan laron penghisap darah
itu, membuat tubuh mereka tercebur ke dalam air dalam
baskom.
Tapi kejadian aneh yang berlangsung justru bukan
mengambangnya bangkai laron penghisap darah yang
memenuhi permukaan air.
Sorot mata Jui Pakhay yang keheranan bukan tertuju ke
atas kawanan laron penghisap darah diatas permukaan air,
sinar matanya justru terpaku oleh seekor laron penghisap
darah yang sedang terbang mengelilingi baskom air itu
Laron penghisap darah yang sama namun berbeda dalam
keindahan warnanya, bentuk badan laron penghisap darah ini
tiga-empat kali lipat lebih besar dari rekannya, sayap
ditubuhnya selebar telapak tangan, ketika dikebaskan maka
bergemalah suara dengungan yang keras bagaikan kipas yang
sedang diayunkan kuat-kuat, sayap itu dikebaskan disekeliling
lidah api sehingga membuat jilatan api itu bergoyang tiada
hentinya.
Laron penghisap darah itu tidak menerkam ke arah jilatan
api yang membara, dia hanya beterbangan naik turun
disekeliling api.
Setiap kali tubuhnya bergerak naik turun, maka ada seekor
laron penghisap darah yang tercengkeram dari permukaan air
kemudian diangkat dan diletakkan disisi baskom air itu.

62
Ternyata dia sedang memberi pertolongan kepada rekan
rekan laron penghisap darah yang terluka bakar dan tercebur
ke dalam air.
Sekeliling baskom sudah dibuat basah kuyup, sekitar duatiga
puluhan ekor laron penghisap darah yang terluka sedang
mengerang dan menggeliat disitu, menggeliat sembari
menggetarkan sayapnya
Jeritan lengking yang begitu aneh, desisan lirih yang begitu
mengibakan hati ternyata berasal dari kawanan laron
penghisap darah yang terapung diatas permukaan air dan
tergeletak disekeliling baskom itu.
Tatkala kesadarannya pulih kembali, otomatis ketajaman
pendengaran-nya pun semakin meningkat tajam, semua suara
itu terdengar semakin jelas dan nyata, membuat perasaan hati
Jui Pakhay semakin tercekat.
Ditatapnya laron penghisap darah yang luar biasa besarnya
itu tanpa berkedip.
Tampaknya upaya pertolongan yang dilakukan laron
penghisap darah raksasa itu sudah berlangsung cukup lama,
kemunculannya paling tidak disaat kawanan laron penghisap
darah lainnya mulai muncul disitu dan menerjang ke arah
jilatan api, kalau tidak kenapa tak ada lagi kawanan laron
penghisap darah yang menerkam api? Kenapa tiada lagi
kawanan laron penghisap darah yang tercebur ke air?
Begitu sibuknya laron penghisap darah raksasa itu bekerja
sehingga rupanya diapun tidak tahu kalau Jui Pakhay sudah
mendusin dan sedang menatapnya lekat-lekat, bahkan sudah
bersiap sedia melakukan tindak selanjutnya.
Waktu itu, Jui Pakhay memang sudah siap melakukan
langkah selanjutnya, tangannya mulai meraba dan
menggenggam kencang gagang pedangnya.

63
Jit seng coat mia kiam miliknya memang selalu berada
disisi tubuhnya, gagang pedang memang selalu menempel
diantara telapak tangannya.
Tatkala dia selesai menyiapkan perangkap maut itu,
pedang jit seng coat mia kiam juga telah dipersiapkan dan
diletakkan pada posisi yang paling strategis dan paling
gampang untuk digunakan.
Memang sejak awal dia sudah siap melancarkan serangan
maut.
Begitu tangannya mulai menggenggam gagang pedang, dia
pun mulai sadar kalau tenaga dalam miliknya sama sekali tidak
buyar, dia pun tidak merasakan rasa sakit dibagian tubuhnya
yang mana pun.
Lalu mengapa dia tidak sadarkan diri? Apa benar lantaran
dia kelewat lelah sehingga tidak sanggup membendung rasa
kantuk yang luar biasa ketika mulai menyerang tubuhnya tadi?
Jui Pakhay tidak sempat berpikir lebih jauh, dia memang
tidak punya waktu untuk berpikir ke situ, sekarang dia hanya
tahu memusatkan seluruh pikiran dan perhatiannya untuk
membantai laron penghisap darah raksasa itu.
Bila ditinjau dari bentuk dan sepak teriang laron penghisap
darah itu, kalau dia bukan raja laron penghisap darah, sudah
pasti merupakan pimpinan dari kawanan laron penghisap
darah yang datang menyerang
Asal pemimpinnya sudah dibantai, tidak terlalu sulit untuk
menghabisi anak buahnya, apalagi kecuali pemimpin laron
penghisap darah yang amat besar itu, sebagian besar
kawanan laron penghisap darah lainnya sudah terluka parah
atau mati atau tergeletak lemas ditepi baskom.
Tanpa pemimpin ditambah jumlah korban yang tewas dan
terluka sangat banyak, biarpun raja laron penghisap darah

64
datang untuk menuntut balas, setelah melihat keadaan seperti
ini, dia tentu akan mempertimbangkan kembali rencananya.
Itu berarti raja laron penghisap darah akan menunda saat
munculnya, tatkala rombongan besar laron penghisap darah
itu berdatangan untuk melancarkan serangan, dia percaya
Siang Huhoa tentu sudah tiba disana.
Maka dari itu, bila dia ingin menyelamatkan jiwa sendiri
maka mau tidak mau saat ini dia harus berusaha untuk
membunuh pentolan laron penghisap darah itu, harus dibantai
hingga mampus!
Gagang pedang segera digenggam semakin kencang, hawa
napsu membunuh mulai menyelimuti seluruh wajah Jui
Pakhay, dia sudah siap menyerang, siap melakukan
pembunuhan besar-besaran.
Dalam waktu singkat seluruh tubuh Jui Pakhay sudah
dilapisi oleh selapis kabut tipis yang berwarna putih. Cahaya
tentera dalam ruangan pun seakan ikut berubah jadi remang
karena lapisan kabut.
Tampaknya laron penghisap darah yang sangat besar itu
mulai merasakan datangnya hawa pembunuhan yang
menekan tubuhnya, tiba-tiba dia menghentikan semua
gerakannya kemudian sambil menggerakkan sayapnya dia
berbalik menerjang ke arah Jui Pakhay.
Dengan membalikkan tubuhnya, kini Jui Pakhay dapat
melihat bentuk laron penghisap darah itu dengan lebih jelas,
ternyata laron penghisap darah tersebut benar benar luar
biasa besarnya.
Tidak terlukiskan rasa kaget Jui Pakhay setelah melihat
kejadian ini, hatinya tercekat, jantungnya berdebar keras,
bukan saja bentuk tubuh serangga ini luar biasa besarnya,
sepasang matanya pun lebih besar daripada bentuk mata
manusia.

65
Sepasang mata laron penghisap darah itu merah membara,
jauh lebih merah dari kentalnya darah, begitu merah seperti
lidah api yang membara, selain mencolok juga amat
mengerikan dan menggidikkan hati.
Apalagi ketika sepasang mata Jui Pakhay saling bertatapan
dengan sorot mata serangga itu, rasa seram dan ngeri yang
mencekam perasaan hatinya semakin menjadi-jadi.
Namun kesemuanya itu hanya berlangsung dalam waktu
singkat, karena dengan cepat semua perasaannya itu telah
diambil alih oleh semacam perasaan yang lain.
Semacam perasaan yang tidak terlukiskan dengan kata,
bahkan termasuk Jui Pakhay sendiripun tidak dapat
menerangkan bagaimana macam perasaan hatinya saat itu.
Dia hanya merasakan sukmanya seakan sedang bergerak
meninggalkan tubuh kasarnya, dia merasa kesadaran otaknya
lambat laun makin memudar dan menghilang.
Pedang yang semula sudah digenggam kencang, sudah
siap melancarkan serangan mematikan, tahu tahu menjadi
lemas kembali bahkan tanpa sadar dia sudah mengendorkan
genggamannya.
Baru saja pedang itu terangkat setengah depa, tahu tahu
genggamannya sudah mengendor dan melepaskannya,
pedang itupun segera terjatuh ke atas kakinya.
Untung saja punggung pedang yang menjatuhi betisnya,
bukan mata pedang yang tajam sehingga sama sekali tidak
melukainya, walau begitu hawa pedang yang dingin bagaikan
es seakan jarum jarum tajam yang menusuk betisnya,
menusuk ke dalam syaraf dibalik tulang belulangnya hingga
menimbulkan rasa sakit yang luar biasa.
Dengan tubuh merinding dia tersentak kaget dan sadar
kembali! Aaah, tampaknya sepasang mata serangga itu yang
membuat ulah!!

66
Dia segera tersadar kembali apa gerangan yang telah
terjadi, hatinya makin tercekat, makin merasa seram.
Apakah serangga itu akan menghisap darahnya? Apakah
sukmanya akan dibetot dan dilarikan?? Aaah tidak! Aku harus
pertahankan hidupku, aku harus mempompa dan
membangkitkan kembali semangat tempurku! Aku tidak boleh
terpengaruh lagi oleh kekuatan magic yang terpancar keluar
dari sepasang matanya....
Begitulah dia mencoba memperingatkan diri, memberitahu
diri sendiri, meskipun sepasang matanya masih saling
bertatapan dengan mata laron penghisap darah itu, namun
semangat tempurnya harus tetap teguh, seteguh batu karang,
syarafnya juga harus tetap mengeras bagai kawat baja.
Orang yang terbiasa berlatih pedang seringkali juga melatih
pikiran dan perasaannya, tidak terkecuali dirinya.
Kembali dia menggenggam pedang itu erat erat, sorot mata
yang memancar keluar pun kini lebih tajam dari mata
senjatanya
Kelihatannya laron penghisap darah yang amat besar itu
mulai sadar kalau Jui Pakhay telah memperoleh kembali
kesadaran otaknya, serangga itupun mulai sadar kalau
pengaruh matanya sudah tidak mampu mempengaruhi pikiran
lawan, tiba tiba sepasang matanya yang berwarna merah
darah itu mulai meredup dan samar.
Tidak selang berapa saat kemudian dia sudah
menggerakkan sayapnya dan terbang menuju ke sisi jendela.
Apakah dia sudah menyadari datangnya mara bahaya dan
sekarang bersiap untuk melarikan diri?
Pada saat yang bersamaan, Jui Pakhay telah meluncur ke
depan langsung menerjang ke arah jendela.
"Nguung.......1" pedang jit seng coat mia kiam telah
digetarkan hingga menegang kencang, tubuh berpadu dengan

67
pedang segera berubah menjadi sekilas cahaya bianglala dan
langsung menerjang ke tubuh laron penghisap darah itu.
Belum lagi ujung pedang mengenai sasaran, hawa pedang
yang terpancar keluar telah menderu-deru hingga
memadamkan dua lidah api yang masih menyala.
Bersamaan dengan meredupnya suasana dalam
perpustakaan buku itu, tiba-tiba terdengar suara jeritan
seseorang yang amat keras, suara itu jelas bukan suara jeritan
dari Jui Pakhay.
Suara jeritan itu tinggi melengking dan merdu, jelas suara
seorang wanita! Tapi, darimana munculnya perempuan itu?
Di dalam ruangan perpustakaan itu hanya ada seorang pria,
dia adalah Jui Pakhay.
Suara jeritan wanita itu ternyata berasal dari mulut laron
penghisap darah yang maha besar itu.
Bersamaan dengan bergemanya jeritan lengking itu, laron
penghisap darah yang maha besar itu pun bagaikan setan
yang tembus pandang, seluruh tubuhnya mendadak berubah
bening lalu menerobos dari daun jendela dan lenyap di luar
ruangan sana.
Tusukan maut yang dilancarkan Jui Pakhay pun mengenai
sasaran kosong, tubuhnya tahu tahu sudah berdiri disisi
baskom besar berisi air itu.
Cahaya api menyinari tubuhnya, juga menyinari pedang
dalam genggamannya!
Diujung pedang itu nampak ada cahaya darah, Jui Pakhay
coba mendekatkan pedangnya ke depan mata.
Ternyata benar, memang noda darah, setitik noda darah
sebesar kacang kedele yang membasahi ujung pedang itu.

68
Dengan jari tangannya dia mencoba untuk meraba cairan
tersebut, memang darah! Terasa cairan itu masih hangat dan
sedikit kental, darah yang masih segar!
Biarpun ujung pedang itu mengenai tempat yang kosong,
namun semuanya itu terjadi disaat laron penghisap darah itu
belum sempat lenyap dari pandangan mata
Mungkinkah tusukan kilatnya berhasil mengenai tubuh
laron penghisap darah raksasa itu?
Benarkah cairan darah yang menodai ujung pedangnya
sekarang adalah darah dari tubuh laron penghisap darah
tersebut?
Tapi anehnya, mengapa darah laron berwarna merah?
Kenapa darah laron terasa hangat seperti darah manusia?
Atau..... jangan-jangan laron penghisap darah itu benarbenar
adalah jelmaan dari siluman laron? Kalau semuanya
merupakan kenyataan, sudah pasti siluman itu adalah siluman
laron perempuan!
Bukankah suara jeritan yang terdengar tadi berasal dari
suara seorang wanita?
Dengan pandangan terkesima dan ketakutan, Jui Pakhay
berdiri termangu disisi baskom air, memandang darah yang
menodai jari tangannya sekarang, perasaan ngeri bercampur
seram menghiasi seluruh mimik mukanya.
Tanpa sadar dia tundukkan kepalanya sambil menengok,
namun perasaan hatinya makin membeku, darahnya semakin
dingin, begitu dingin dan membeku bagaikan gumpalan salju
abadi.
Sebaskom laron terluka yang menggelepar diatas
permukaan air, membiaskan cahaya hijau bening yang
mencolok mata, bagai sisik ikan yang menggelepar, kawanan
serangga itu masih meronta, masih berjuang untuk
mempertahankan hidupnya.

69
Sementara suara aneh yang mirip rintihan, bergema makin
keras dan nyaring, membuat suasana disekitar situ bukan
Cuma menyeramkan, bahkan sangat menggidikkan hati.
Jui Pakhay merasa dirinya seakan-akan sudah terperosok
ke dalam neraka jahanam, terperosok dalam suasa seram
yang mencekat hati.
Kembali dia menyapu sekeliling tempat itu sekejap, tibatiba
pandangan matanya terhenti lagi diatas lantai persis
dimuka jendela, lagi-lagi ditemukan bercak darah segar.
Jui Pakhay menarik napas panjang, tubuhnya segera
melambung lalu menerobos keluar melalui daun jendela.
Angin malam berhembus kencang diluar jendela sana,
rembulan masih tergantung di awang-awang, rembulan yang
bersinar terang dan angin yang menderu-deru.
Ketika Jui Pakhay melompat keluar dari jendela, kebetulan
rembulan sedang bersembunyi dibalik awan, hal ini membuat
suasana diseputar halaman terasa redup dan gelap, angin
musim semi yang semula terasa hangat, tahu tahu berubah
jadi dingin dan menusuk tulang.
Cahaya lentera yang memancar keluar dari balik ruang
perpustakaan masih cukup menerangi sekeliling bangunan,
membuat keadaan diseputar sana masih terlihat cukup jelas.
Kembali dijumpai bercak darah diatas lantai, ini
membuktikan tusukan yang dilepaskan Jui Pakhay tadi cukup
hebat.
Biarpun siluman laron itu sudah hilang lenyap tidak
berbekas, lenyap bagaikan setan iblis, namun cairan darah
yang meleleh keluar dari mulut lukanya tidak urung
membocorkan juga jejaknya yang misterius.
Asal mengikuti bercak darah yang menodai sepanjang
jalan, tidak sulit bagi kita untuk menemukan tempat
persembunyiannya.

70
Namun sayang Jui Pakhay sudah tidak sanggup lagi untuk
memandang lebih jauh ke depan, karena waktu itu cahaya
rembulan telah bersembunyi dibalik awan, seluruh halaman
dicekam dalam kegelapan yang mengerikan.
Tiba-tiba dia membalikkan badan lalu menerjang masuk
lagi ke dalam ruangan, dalam kamar ada lentera, dia bersiap
mengambil lentera untuk kemudian melanjutkan lagi
pengejarannya.
Tapi begitu tubuhnya melayang turun, kembali jagoan ini
berdiri tertegun.
Baskom berisi air masih tetap seperti sediakala, lidah api
dalam tabung tembaga juga masih membara seperti semula,
namun kawanan laron penghisap darah yang terluka dan
semula tergeletak disekeliling baskon, kini sudah hilang lenyap
tidak berbekas, seekor pun tidak nampak.
Bukan begitu saja bahkan sekawanan laron penghisap
darah yang semula masih mengapung diatas permukaan air
pun kini juga ikut lenyap.
Padahal serangga-serangga itu dalam keadaan terluka,
mustahil mereka bisa menggerakkan lagi sayapnya, aneh,
mengapa mereka dapat pergi meninggalkan tempat ini?
Terbang? Jelas tidak mungkin, atau pergi dengan merangkak?
Dengan sebuah lompatan kilat Jui Pakhay mendekati
baskom berisi air itu, lalu sambil pentangkan matanya lebarlebar
dia periksa seputar tempat itu.
Meski sudah ada empat buah lidah api yang padam dalam
tabung tembaga itu, namun masih ada tiga yang hidup dan
tetap membakar, cahaya yang terpancar keluar pun sangat
terang, membuat dia dapat melihat seputar sana dengan
sangat jelas.

71
Tidak salah, disana memang tidak ada seekor laron pun,
namun air bersih yang semula memenuhi baskom itu, kini
telah berubah jadi air darah!
Jangan-jangan bangkai dari kawanan laron penghisap
darah itu sudah hancur dan berubah jadi air darah? Dengan
perasaan penuh tanda tanya, jagoan itu mencoba
mencelupkan ujung pedangnya ke dalam air darah.
Belum sempat ujung pedang menyentuh permukaan air,
mendadak air darah dalam baskom itu hilang lenyap. Yang
lenyap hanya darah, bukan airnya.
Baskom itu masih dipenuhi dengan air, air bersih. Jui
Pakhay segera mengurungkan niatnya untuk mencelupkan
ujung pedang ke dalam air.
Dengan sigap dia berpaling ke arah jendela, namun bercak
darah yang semula menodai permukaan lantai, kinipun hilang
lenyap tidak berbekas, seakan sudah meresap ke dasar tanah.
Dengan perasaan tercekat dia periksa tangan sendiri, ujung
jarinya sempat memegang noda darah itu bahkan masih dapat
merasakan hangatnya darah, tapi..... ternyata diujung jaripun
tidak nampak ada noda darah, jangan jangan semua yang
dialami hanya ilusi? Hanya khayalan? Atau darah itu memang
benar-benar darah iblis?
Jui Pakhay tidak tahu. Peristiwa aneh ini benar-benar
membuatnya tidak habis mengerti dan tidak percaya, namun
mau tidak mau dia harus mempercayainya juga
Sebenarnya air bersih? Atau air darah?
Bab 5.
Sakit hati dan Obat hati.
Kalau dia sendiripun tidak percaya, biar diceritakan kepada
orang pun ada siapa yang mau mempercayainya?

72
Dia tertawa getir, yaa! Dia memang hanya bisa tertawa
getir.
0-0-0
Bulan tiga tanggal sebelas. Fajar. Angin timur kembali
berhembus kencang, guguran bebungahan rontok bagaikan
hujan gerimis.
Jui Pakhay berdiri termangu ditengah guguran bunga. Dia
berdiri kaku ditengah serambi panjang.
Tidak sedikit guguran bunga yang terbawa masuk ke dalam
serambi oleh hembusan angin timur, namun dia tidak
memungutnya, menggubris pun tidak
Dia kuatir dibalik guguran bunga itu hinggap seekor laron
penghisap darah, dia takut sewaktu dia pungut bunga
tersebut, sang laron akan menusuk tangannya dan menghisap
darahnya.
Mengawasi guguran bunga yang berserakan ditanah,
perasaan hatinya amat masgul, sedikitpun tak terlintas
keriangan musim semi.
Dia tidak merasakan apa-apa, dia tidak punya perasaaan
apa pun. Sorot matanya mendelong seperti orang bodoh,
hatinya sudah kaku, sudah membeku, sedikitpun tak ada
perasaan apapun.
Rasa takut yang mencekam, teror horor yang berulang,
rasa mengantuk, kurang tidur, harus dialami belasan hari
secara beruntun, dalam situasi dan kondisi seperti ini,
bagaimana mungkin ia dapat mempertahankan diri? Tidak
menjadi gila pun sudah sangat beruntung.
Bahkan dia sama sekali tidak merasa kalau Gi Tiok-kun
telah berjalan mendekatinya.
Kelihatannya Gi Tiok-kun sendiripun tidak menyangka akan
berjumpa dengan Jui Pakhay di serambi tersebut pada saat

73
sperti ini, padahal serambi itu letaknya sangat jauh dari
Perpustakaan buku.
Serambi tersebut selain penuh dengan kelokan dan
tikungan, Jui Pakhay juga bukan berdiri ditengah jalan, diapun
sama sekali tidak menimbulkan suara apa pun, menanti dia
bertemu dengan suaminya, untuk menghindar sudah tidak
sempat lagi.
Begitu melihat kehadiran suaminya, paras muka perempuan
itu segera menunjukkan perasaan kaget bercampur ngeri,
cepat badannya menyusut dan berusaha untuk
menghindarkan diri dari pertemuan itu.
Sayang walaupun Jui Pakhay tidak melihat bayangan
tubuhnya, namun suara langkah kakinya yang nyaring sudah
cukup menarik perhatian suaminya.
Pelan-pelan Jui Pakhay berpaling, namun ketika sorot
matanya yang kaku dan mendelong itu bertemu dengan tubuh
Gi Tiok-kun, mendadak dia gemetar keras kelopak matanya
seketika menyusut kencang.
"Laron............."
Baru mengucapkan sepatah kata, dia segera menghentikan
teriakannya di tengah jalan.
Hari ini Gi Tiok-kun mengenakan pakaian berwarna hijau
pupus, hijau bagaikan warna kemala, persis seperti warna
tubuh sang laron, warna sayap dari laron.
Keadaan Jui Pakhay saat itu tidak ubahnya seperti sang
burung yang takut melihat busur, baru menjumpai warna
semacam itu dia sudah ketakutan setengah mati, karena
secara otomatis dia menghubungkan warna tersebut dengan
sang laron penghisap darah.
Tanpa sadar tangannya sudah mulai menggenggam gagang
pedangnya kencang-kencang, masih untung dia dapat

74
membedakan kalau bayangan yang muncul adalah seorang
manusia, bininya.
Itulah sebabnya teriakannya ditelan kembali separuh jalan,
kemudian karena tidak ada lagi bahan pembicaraan maka
untuk sesaat dia hanya mengawasi wajah bininya dengan
pandangan tertegun.
Gi Tiok-kun sendiripun tidak bicara, perasaan ketakutan
bercampur ngeri masih kental menghiasi wajahnya, dia seakan
baru saja bertemu dengan seorang manusia sinting, orang
gila!
Bila seseorang bertemu dengan orang gila dan sang orang
gila memancarkan sinar napsu membunuh yang tebal, apalagi
ditangannya menggenggam sebilah pedang tajam, tentu saja
siapa pun akan berusaha untuk menghindarkan diri, dan
paling baik adalah membungkam diri.
Gi Tiok-kun tidak bersuara, diapun tidak bisa bersuara
karena dia tak lain adalah bininya si orang gila.
Begitulah, kedua orang itu saling berhadapan dan saling
berpandangan bagaikan sepasang boneka kayu, tak ada yang
bicara, pun tak ada yang melakukan suatu tindakan atau
gerakan apapun
Keadaan mereka berdua sama sekali tidak mirip dengan
sepasang suami istri, jangan lagi suami istri, dengan orang
asingpun jauh lebih terasa asing.
Dua orang asing yang bersua dipagi hari pun kadangkala
akan saling menyapa, tidak mungkin mereka akan berusaha
menghindar begitu bertemu dari kejauhan.
Kembali Jui Pakhay merasa amat pedih, akhirnya dia tidak
kuasa menahan diri, tegurnya lebih dulu:
"Sepagi ini, kau hendak kemana?"
"Mencari angin di tepi kolam teratai"

75
"Kenapa? Murung? Masgul?"
Gi Tiok-kun tidak menjawab.
Jui Pakhay tidak mendesak lebih jauh, setelah menghela
napas panjang kembali ujarnya:
"Bunga teratai memang masih mekar berkembang,
mumpung belum layu, kalau ingin menikmati memang
sekarang waktunya....."
Walaupun bicara begitu namun kakinya sama sekali tidak
bergeser setengah langkah pun, sorot matanya juga tidak
pernah beralih untuk mengawasi perempuan itu, dia seakan
sama sekali tidak berniat untuk menemani bininya berjalan
jalan ke tepi kolam.
Gi Tiok-kun sendiripun tetap membungkam diri, dia masih
berdiri mematung.
"Apa lagi yang kau tunggu?" kembali Jui Pakhay menegur
sambil menghela napas.
"Kau tidak ikut?" tanya Gi Tiok-kun lirih.
"Kau berharap aku turut serta?"
Kembali Gi Tiok-kun terbungkam, dia seakan tidak tahu
bagaimana harus menjawab pertanyaan itu.
Setelah tertawa getir kembali Jui Pakhay berkata:
"Sebenarnya akupun ingin menemani kau berjalan-jalan ke
sana, sayang aku masih ada urusan lain yang harus segera
diselesaikan, lebih baik kau pergilah seorang diri"
Tertawanya nampak begitu mengenaskan, sorot matanya
juga mengenaskan, benarkah dia tidak sanggup untuk ikut
serta bersama istrinya? Benarkah ada urusan penting yang
harus segera dia selesaikan?
Gi Tiok-kun tidak bertanya, dengan kepala tertunduk dia
melanjutkan kembali langkahnya meninggalkan tempat itu.

76
Dengan termangu dan pandangan mendelong Jui Pakhay
mengawasi bininya berjalan lewat dari sisi tubuhnya. Baru
berjalan setengah kaki, mendadak perempuan itu mulai
mempercepat langkahnya dan buru buru kabur dari situ.
"Tiok-kun!" teriak Jui Pakhay lantang. Teriakan itu sangat
mendadak, nada suara yang digunakan pun aneh sekali.
Seketika itu juga Gi Tiok-kun nampak tertegun, langkah
kakinya yang mulai diayunkan cepat seketika terhenti, namun
dia tidak berpaling.
Begitu memanggil nama istrinya, Jui Pakhay segera
bergerak cepat mengejar kearah depan. Apakah dia telah
berubah pikiran dan sekarang berniat menemani Gi Tiok-kun
berjalan jalan di tepi kolam bunga teratai?
Menyaksikan suaminya berjalan mendekat, wajah Gi Tiokkun
sama sekali tidak menunjukkan perasaan girang atau
puas, bahkan berpaling pun tidak.
Menanti suaminya telah menyusul tiba dan berhenti persis
disisi tubuhnya, Gi Tiok-kun baru tidak bisa menahan diri, dia
berpaling lalu menegur:
"Ada apa?"
Jui Pakhay tidak menjawab, hanya sepasang matanya yang
terbelalak lebar mengawasi terus tangan kiri bininya tanpa
berkedip.
Waktu itu sepasang tangan Gi Tiok-kun disembunyikan
dibalik bajunya, sekarang yang dia tatap adalah ujung
bajunya.
Ujung baju berwarna hijau bagaikan kemala itu tampak
dihiasi segumpal bercak warna merah yang mencolok, begitu
merahnya hingga mirip sekali dengan darah segar.
Kelihatannya Gi Tiok-kun sudah merasa apa yang sedang
diperhatikan suaminya, tanpa sadar dia menarik tangan kirinya

77
makin ke dalam, namun gerakan tubuh Jui Pakhay jauh lebih
cepat, dengan suatu gerakan kilat dia sudah pegang tangan
kiri itu dan menariknya kuat kuat.
Cengkeraman itu nampaknya mengenai bagian tangannya
yang sakit, keningnya nampak berkerut dan wajahnya
menunjukkan kesakitan yang luar biasa.
Jui Pakhay tidak memperhatikan hal itu, sinar matanya
seratus persen tertuju ke ujung baju itu, mendadak ia
menegur:
"Kenapa dengan tangan kirimu itu?"
Sekujur tubuh Gi Tiok-kun gemetar keras, agak tersedak
sahutnya:
"Tidak apa apa, tidak apa apa......."
"Kalau tidak apa apa, kenapa ada darah yang mengalir?
Kenapa sampai baju mu pun ada bercak darahnya?"
"Jangan jangan lenganmu terluka? Darah itu mengalir
keluar dari mulut luka di lengan mu?"
Tanpa banyak bicara lagi dia tarik keluar lengan kiri Gi Tiokkun
dari balik bajunya, benar juga, lengan yang putih mulus
bagaikan pualam itu kini sudah dibalut dengan selembar kain
putih.
Kain perban putih itu sudah berubah menjadi merah, basah
oleh cucuran darah segar.
"Apa yang terjadi?" kembali Jui Pakhay menegur dengan
wajah berubah, "mengapa lenganmu terluka dan
mengucurkan banyak darah?"
"Tadi...... tadi aku sedang menjahit pakaian, karena kurang
hati hati.... lenganku.... lenganku terkena gunting hingga
terluka......." sahut Gi Tiok-kun agak tergagap.

78
Menjahit pakaian? Kena gunting? Bagaimana cara dia
memegang gunting hingga bisa melukai lengan sendiri? Mana
mungkin sebuah gunting bisa melukai lengannya separah ini?
Satu ingatan melintas dalam benak Jui Pakhay, serunya
kemudian:
"Coba aku periksa bagaimana keadaan lukamu itu?"
Tidak menunggu persetujuan dari bininya, ia segera
membuka kain perban yang membungkus lengan perempuan
itu, benar juga, luka yang dideritanya cukup parah, mulut luka
sepanjang lima-enam inci dengan kedalaman dua-tiga mili,
cairan darah masih bercucuran dengan derasnya dari mulut
luka itu.
Ditinjau dari mulut luka yang begitu dalam, mena mungkin
disebabkan terluka oleh gunting?
Dalam sekilas pandangan saja, Jui Pakhay sudah
mengetahui kalau luka itu berasal dari luka pedang, air
mukanya seketika berubah hebat, dia pingin menjerit, namun
tidak sepatah kata pun yang meluncur keluar.
Dia percaya dan yakin, dugaan dan kesimpulan yang dibuat
tidak bakal salah. Tidak seharusnya salah.
Bagaimanapun juga dia adalah seorang jagoan lihay dalam
penggunaan pedang, seharusnya bukan pekerjaan yang
kelewat sulit untuk membedakan mulut luka itu berasal dari
luka pedang atau bukan.
......Tapi.......mengapa dia harus berbohong?
Tanpa sadar sorot mata Jui Pakhay pelan-pelan dialihkan ke
wajah perempuan itu, tampak paras muka Gi Tiok-kun
dicekam perasaan takut dan ngeri yang luar biasa, apa yang
dia takuti? Apa yang membuatnya merasa ngeri?

79
Dengan terkesima Jui Pakhay mengawasi bininya tanpa
berkedip, rasa takut dan ngeri yang mencekam perasaan
hatinya sedikitpun tidak dibawah rasa takut perempuan itu.
......Dia tak mengerti ilmu silat, tidak ada alasan dia
menggunakan pedang, tapi mengapa dia terluka? Mengapa
luka yang ada dilengannya berasal dari luka bekas tusukan
pedang?
......Jangan jangan.........? Mana mungkin dia?
Tapi kalau bukan dia, lantas siapa?
......Ditempat ini, dirumah kediaman mereka, siapa yang
berani melukainya dengan menggunakan pedang? Tidak ada
orang lain, kecuali aku!
.....Jangan-jangan laron penghisap darah yang amat besar
dan muncul dalam perpustakaan semalam adalah jelmaannya?
Jangan-jangan dia jelmaan dari siluman laron?
.....Itu berarti tusukan pedang yang dilancarkan semalam
telah mengenai lengannya, darah yang menodai ujung
pedangnya, bercak darah dilantai, semua adalah darah yang
berasal dari tubuhnya?
.....Tapi.... mengapa bercak bercak darah itu
bisa lenyap dalam waktu singkat? Mungkinkah ketika dia
menjelma jadi laron penghisap darah, cairan darah yang
mengalir dalam tubuhnya ikut berubah pula jadi darah
siluman?
....Kesemuanya ini merupakan kenyataan, jangan-jangan
dia memang benar-benar jelmaan dari siluman laron
penghisap darah? Dia adalah seekor siluman laron? Makin
berpikir, Jui Pakhay merasa makin terkejut dan ngeri.
......Bukankah hal ini berarti, untuk menyelamatkan nyawa
sendiri, dia harus menghabisi nyawanya?

80
..... Tapi, bagaimana pun juga dia adalah istriku, tegakah
aku membunuhnya?
Kelopak mata Jui Pakhay mulai bergetar, kulit matanya
seakan melompat-lompat, dia memandang sekejap tangan
sendiri lalu memandang pula tangan Gi Tiok-kun, akhirnya dia
lepaskan genggamannya dan menghela napas panjang.
"Percuma kalau kau hanya membungkus dengan kain
perban, si nenek tukang masak mengerti soal luka pisau, pergi
dan cari dia, mintalah obat luka luar, kalau tidak mulut luka itu
akan membusuk dan semakin parah"
"Baik, aku segera pergi mencarinya" akhirnya Gi Tiok-kun
mengangguk.
"Bukankah tadi kau bilang mau jalan jalan ke kolam
teratai?" kembali Jui Pakhay berkata sambil tertawa hambar.
Gi Tiok-kun nampak tertegun, tapi akhirnya dia tundukkan
kepalanya.
Belum sempat dia mengucapkan sesuatu, kembali Jui
Pakhay melanjutkan:
"Jalan-jalan mah urusan kecil, lebih baik perhatikan
kesehatan badan sendiri, aku rasa luka itu tidak terlalu serius,
Liu popo tentu bisa mengobatinya"
"Ehmml"
"Kenapa tidak segera pergi?"
Gi Tiok-kun memang seorang bini yang penurut, dia segera
beranjak pergi dari situ.
Memandang hingga bayangan tubuhnya menjauh, sorot
mata kesedihan yang terpancar keluar dari mata Jui Pakhay
nampak makin tebal dan kental.
Mengawini istri hasil jelmaan siluman laron, siluman yang
berusaha menghisap darahnya, sama parahnya sama

81
pedihnya seperti mengawini istri yang membohongi dirinya,
tidak setia kepadanya, bila semua kejadian terbukti
merupakan kenyataan, jelas hal ini merupakan sebuah tragedi
yang amat memilukan hati.
Angin timur kembali berhembus lewat, kembab bunga
berguguran, ditengah guguran bunga yang menyelimuti
angkasa, kembali Jui Pakhay menghela napas panjang.
Tahun ini bunga berguguran, tahun depan bunga akan
kuncup dan mekar kembali, tapi bagaimana dengan perasaan
yang mulai retak, hubungan yang mulai renggang, masih
adakah kesempatan untuk memperbaiki dan membinanya
kembali jadi utuh dan damai?
0-0-0
Bulan tiga tanggal dua belas, ditengah hujan rintik dan
angin kencang, seorang rekan lama telah datang berkunjung.
Orang yang datang sebenarnya bukan sanak, bukan pula
keluarga dengan Jui Pakhay, karena orang ini tidak lain adalah
kakak misan Gi Tiok-kun.
Sebutan kakak misan atau piauko sering bukan hanya
melambangkan seorang piauko yang sebenarnya, terkadang
melambangkan juga bekas kekasih lama.
Konon banyak perempuan yang senang menyebut kekasih
hatinya sebagai piauko, sebab panggilan ini bukan saja dapat
mengurai kesungkanan dalam penyebutan, pun jauh lebih
leluasa dan bebas, tidak gampang memancing kasak usuk
orang lain.
Tentu saja piauko dari Gi Tiok-kun ini belum tentu piauko
macam begitu.
Piauko nya ini bernama Kwee Bok, sepintas lalu
memandang usianya mungkin jauh lebih muda ketimbang usia
Gi Tiok-kun. Selain masih muda, dia pun berwajah tampan.

82
Bukankah pemuda tampan semacam ini merupakan pilihan
setiap gadis muda di dunia ini? Tidak heran kalau Jui Pakhay
merasa amat tidak senang dengan kehadiran Kwee Bok.
Setelah sibuk seharian penuh dan menyerahkan urusan lain
kepada pegawainya, dia berencana kembali ke Perpustakaan
untuk beristirahat, saat itulah Gi Tiok-kun muncul sambil
membawa piauko nya Kwee Bok.
Ternyata mereka berdua datang bersama ke Ruang
Perpustaan, paling tidak mereka datang berurutan, satu
didepan dan yang lain menyusul di belakangnya.
Gi Tiok-kun berjalan dimuka, berulang kali dia berpaling
menengok sekejap piaukonya, sementara Kwee Bok menyusul
dibelakang, sepasang matanya seakan belum pernah berpisah
dari tubuh Gi Tiok-kun yang ramping semampai.
Melihat kesemuanya itu, Jui Pakhay merasa sangat kheki,
jengkel bercampur mendongkol, namun dia berusaha
menahan diri, emosinya tidak sampai diutarakan keluar.
Masih dengari senyum dikulum dia segera menyapa:
"Siapakah saudara cilik ini?"
"Ooh, dia piauko ku" buru buru Gi Tiok-kun
memperkenalkan saudaranya.
"Ooh, rupanya piauko mu, siapa namanya?"
"Kwee Bok!"
"Ehmm, aku seperti pernah mendengar nama ini"
"Padahal kau semestinya sudah pernah berjumpa
dengannya"
"Apa sewaktu dirumah ibu angkatmu dulu?"
Gi Tiok-kun mengangguk.

83
"Tidak aneh kalau rasanya pernah bertemu, silahkan
duduk!"
Dia mengulapkan tangannya mempersilahkan tamunya
duduk, mimik muka serta penampilannya amat sopan.
Bagai terkejut dan tidak menyangka akan perlakuan orang,
Kwee Bok nampak salah tingkah dan buru buru duduk
disebuah bangku dengan tersipu.
Dengan pandangan dingin Jui Pakhay mengawasi orang itu
hingga duduk, meski dimulut dia bicara sungkan padahal hati
kecilnya dongkol bukan kepalang, kalau bisa dia pingin
menendang pantat sang piauko hingga menggelinding keluar
dari pintu.
Meski api cemburu sudah membara dalam hati kecilnya,
namun dia berusaha untuk menahan diri, karena dia pingin
tahu apa sebabnya Gi Tiok-kun mengajak piauko nya datang
menghadap?
Seakan tidak ada kejadian apa pun, dia berkata kepada
Kwee Bok:
"Sudah hampir tiga tahun lamanya aku tidak berkunjung ke
rumahnya Gi Toama, tidak heran kalau meski sudah pernah
bertemu, namun lantaran kejadian sudah kelewat tiga tahun,
sekarang aku sudah tidak mengenalinya lagi"
"Tidak berani, tidak berani" buru-buru Kwee Bok merendah
"Boleh aku tahu ada urusan apa kau datang berkunjung kali
ini?"
Sebelum Kwee Bok buka suara, Gi Tiok-kun sudah berebut
menjawab duluan:
"Piauko ku adalah seorang tabib kenamaan, sejak kecil dia
sudah belajar ilmu pengobatan, pandai periksa nadi, pandai
mengobati pelbagai penyakit, dua tahun terakhir da sudah

84
banyak mengobati penyakit orang dan selamatkan jiwa
mereka"
"Ooh?"
"Aku lihat pikiran dan kesadaranmu kurang normal, sering
mengucapkan kata kata yang aneh dan sama sekali tidak
masuk diakal, maka aku sengaja mengundangnya datang
untuk memeriksakan kondisi kesehatanmu"
Ternyata inilah alasan kedatangannya.
Bila ditinjau dari perkataan Gi Tiok-kun barusan, dia seakan
sama sekali tidak tahu persoalan yang sebenarnya, dia sangka
otak Jui Pakhay sudah tak waras, dia sudah dianggapnya gila,
edan!
.....Mungkin dia memang bukan jelmaan dari laron
penghisap darah? Dia memang bukan jelmaan dari siluman
laron?
.....Benarkah selama berapa hari belakangan, dia benarbenar
tidak pernah melihat kawanan laron penghisap darah
itu?
.....Benarkah dia sangat memperhatikan kondisi
kesehatannya?
Jui Pakhay merasakan hatinya dingin, sekulum senyuman
aneh menghiasi wajahnya, seperti sedang tertawa dingin,
seperti juga sedang tertawa getir.
Sambil tertawa, ujarnya: "biarpun perasaanku tidak stabil,
gerak gerikku masih tetap normal dan wajar, apa yang
kuucapkan juga tidak aneh, aku sama sekali tidak sakit, buat
apa kau mencarikan tabib?"
"Diperiksa tabib bukanlah suatu kejadian yang buruk" bujuk
Gi Tiok-kun sambil menghela napas.
"Kalau kau bersikeras mengatakan aku sedang sakit,
penyakit yang kuderita hanya semacam!"

85
"Apa penyakitmu?"
"Sakit hati"
"Sakit hati?" Gi Tiok-kun nampak tertegun.
“Yaa. Sakit hati" pelan-pelan dia membalikkan badan dan
berpaling ke arah Kwee Bok kemudian terusnya, "tahukah kau
sakit hati mesti disembuhkan dengan apa?"
Kwee Bok tertegun.
Belum sempat dia mengucapkan sepatah katapun, Jui
Pakhay telah bicara lebih jauh:
"Penyakit lain mungkin harus disembuhkan oleh seorang
tabib, tapi sakit hati .....? Aku rasa tidak perlu tabib untuk
menyembuhkannya"
Kwee Bok manggut-manggut, baru saja dia akan
mengucapkan sesuatu, Jui Pakhay telah berkata lebih jauh:
"Padahal hanya ada satu cara untuk menyembuhkan
penyakit semacam ini"
Pelan-pelan sorot matanya dialihkan ke tempat kejauhan
sana, setelah menghela napas panjang, lanjutnya:
"Untuk menyembuhkan sakit hati dibutuhkan tabib penyakit
hati, sang tabib penyakit hati bila ingin mengobati sakit hati,
diapun harus menggunakan obat hati"
Setelah menghela napas panjang, tambahnya:
"Oleh sebab itu obat hati memang paling susah dicari dan
didapatkan dibandingkan dengan obat apa pun"
Gi Tiok-kun dan Kwee Bok saling berpandangan dengan
wajah termangu, walau hanya sekali saling berpandangan
namun dibalik pandangan tersebut seakan mengandung
banyak, banyak sekali maksud yang mungkin hanya diketahui
mereka berdua.

86
Setelah itu sorot mata mereka berdua kembali dialihkan ke
wajah Jui Pakhay, hanya kali ini mimik muka yang mereka
tampilkan adalah perasaan iba dan kasihan.
Pandangan ke dua orang ini seakan pandangan terhadap
seseorang yang telah mengidap penyakit yang amat parah
Tentu saja Jui Pakhay dapat melihat perubahan mimik
muka mereka berdua, dia segera tertawa, mendadak ujarnya
lagi:
"Perkataanku mungkin tidak kalian pahami, mungkin juga
dipahami, perduli mau mengerti atau tidak, aku tak ambil
perduli"
Sekali lagi dia berpaling menatap wajah Kwee Bok, sambil
meletakkan tangannya ke atas meja kecil, ujarnya:
"Kalau memang kau sudah banyak belajar ilmu pertabiban,
pandai memeriksa nadi dan membuka resep obat, coba
periksakan denyut nadiku, lihatlah apa aku benar-benar telah
mengidap penyakit?"
Kwee Bok melirik Gi Tiok-kun sekejap, kemudian baru
mengangguk.
"Baiklah, akan kuperiksa!"
Dia tempelkan jari tangannya ke atas pergelangan tangan
Jui Pakhay, sementara paras mukanya berubah amat serius,
seluruh perhatiannya dipusatkan jadi satu, lagaknya persis
seperti seperti seorang tabib pengalaman.
Jui Pakhay tidak menampilkan perubahan mimik wajah
apapun, sementara dihati kecilnya diam-diam dia tertawa geli,
dia tidak percaya orang itu berhasil menemukan sesuatu
penyakit pada dirinya, karena jauh sebelum kejadian ini, dia
sudah dua kali memeriksa sendiri seluruh badannya.

87
Dia yakin kalau badannya sehat dan tidak mengidap
penyakit apapun, meski begitu, dia tetap membiarkan Gi Tiokkun
dan Kwee Bok melakukan apa mereka mereka kehendaki
Sebab dia sudah menaruh curiga, dia ingin tahu permainan
busuk apa yang sebenarnya sedang dipersiapkan kedua orang
itu, diapun ingin menjajal apa benar Kwee Bok adalah seorang
tabib sakti seperti apa yang dia katakan.
Kalau dibilang seorang pemuda tampan macam dia adalah
seorang tabib pintar yang pandai mengobati pelbagai
penyakit, siapa pun rasanya tak mau percaya dengan begitu
saja.
Sejak awal, Jui Pakhay nampaknya sudah mencurigai setiap
tindak tanduk dan perkataan yang diucapkan Gi Tiok-kun
Sekalipun begitu, kadangkala wajah seseorang memang tak
bisa mencerminkan kehebatan yang dimiliki orang itu.
Pemuda yang bernama Kwee Bok ini bukan saja pandai
memeriksa denyut nadi orang, dia bahkan benar-benar
memiliki kepandaian pertabiban yang mengagumkan.
Setelah memeriksa denyut nadinya, Kwee Bok memeriksa
juga raut wajah Jui Pakhay dengan seksama, tiba tiba sorot
matanya berubah jadi aneh sekli.
Melihat perubahan wajah orang, dengan cepat Jui Pakhay
merasakannya, buru-buru dia menegur:
"Bagaimana? Apakah aku berpenyakit?"
"Denyut nadinya sangat normal sama sekali tak ada gejala
sakit atau menderita suatu penyakit, aku lihat kau hanya
kurang tidur saja"
Jui Pakhay agak tertegun, kemudian ia tertawa tergelak:
"Hahahaha....ternyata kau hebat juga, terus terang aku
sendiripun mengerti sedikit tentang ilmu pertabiban,
menderita sakit atau tidak aku mengetahui dengn jelas sekali"

88
Kwee Bok tertawa getir.
"Kalau dibiang kau sedang sakit, rasanya penyakitmu
memang semacam sakit hati yang baru bisa disembuhkan bila
diobati dengan obat hati"
"Hahaha....memang begitulah masalahnya"
"Kalau memang begitu, aku tidak bisa membantumu"
"Untuk mengobati penyakit hati memang tidak dibutuhkan
seorang tabib, asal kita bisa menemukan sumber penyakitnya,
biar seseorang yang tidak memahami ilmu pertabiban pun,
rasanya tidak sulit untuk menemukan cara yag tepat untuk
mengobatinya"
"Dan kau telah berhasil menemukan sumber penyakitnya?"
tanya Kwee Bok ceat.
Jui Pakhay manggut manggut:
"Yaa, sejak awal sudah kutemukan"
"Lalu sudah kau temukan cara untuk mengobati penyakit
itu?"
"Sudah"
"Waah, kalau begitu kedatanganku sama sekali tidak ada
gunanya" kata Kwee Bok kemudia sambil menghela napas
panjang.
Setelah berhenti sejenak, tiba-tiba dia tertawa tergelak,
katanya lebih jauh:
"Tapi begini pun ada baiknya juga, paling tidak piaumoayku
tidak usah kuatir dan risau siang malam"
Sambil tertawa dia mengerling sekejap ke arah Gi Tiok-kun.
Gi Tiok-kun ikut tertawa, hanya tertawanya kelewat
dipaksakan, kalau dilihat dari tampangnya seakan dia lebih

89
suka merasa kuatir siang dan malam daripada menjumpai Jui
Pakhay tidak menderita sakit.
Seandainya suaminya benar-benar menderita sakit, belum
tentu dia akan merasa kuatir siang dan malam.
Dalam hati kecilnya Jui Pakhay berpikir terus sementara
penampilan wajahnya justru lain, senyuman mulai menghiasi
ujung bibirnya, kepada Kwee Bok ujarnya:
"Aku lihat kedatanganmu memang tepat pada waktunya"
"Oya....?" Kwee Bok agak tercengang.
"Saat ini aku memang sedang murung bercampur masgul,
aku memang butuh seseorang untuk menemani aku minum
barang berapa cawan"
Sekali lagi Kwee Bok tertegun.
"Kau sudah makan siang?" Gi Tiok-kun bertanya pula.
"Belum!"
"Mengerti cara minum arak?" sambung Jui Pakhay.
"Berapa cawan mah masih sanggup"
"Bagus sekali!" seru Jui Pakhay sambil bertepuk tangan.
Dia segera berpaling, belum sempat minta kepada istrinya
untuk mempersiapkan perjamuan, Gi Tiok-kun sudah berkata
duluan:
"Biar kuperintahkan orang untuk menyiapkan sayur dan
arak"
Selesai berkata dia segera berlalu dengan senyuman
menghiasi wajahnya.
Kalau dilihat tampang wajahnya, dia seperti amat gembira
karena Kwee Bok bisa tinggal lebih lama lagi disitu.
Sedemikian gembiranya sehingga dia lupa untuk bertanya
kepada Jui Pakhay, perjamuan harus disiapkan dimana.

90
Bab 6.
Malam bulan purnama.
Meja perjamuan telah dipersiapkan dalam ruang samping.
Disitulah Jui Pakhay biasanya menjamu para tamutamunya,
paling tidak Gi Tiok-kun masih teringat dengan
kebiasaan suaminya ini. Dia perintahkan orang untuk
menyiapkan enam macam hidangan, lima macam hidangan
lezat ditambah semacam hidangan lagi yang masih tertutup
dengan kain sutera halus.
Dengan sorot mata berkilat Jui Pakhay menyebutkan nama
dari kelima macam hidangan itu satu per satu, akhirnya dia
berhenti memandang di atas hidangan yang masih tertutup
dengan kain sutera itu, tanyanya keheranan:
"Hidangan macam apa lagi yang ada dibalik kain itu?"
"Ooh, hidangn ini adalah bola udang masak madu, sebuah
hidangan yang khusus aku masak sendiri" sahut Gi Tiok-kun
sambil membuka penutupnya.
Bola udang goreng yang ditaburi madu bening diatasnya,
dihiasi pula denga mentimun yang hijau sehingga bentuk
hidangan ini mirip dengan sebuah mutiara berwarna hijau
kemala.
Selain indah bentuknya juga lezat rasanya, jelas Gi Tiokkun
sudah menggunakan banyak pikiran dan tenaga untuk
mempersiapkan hidangan istimewa ini.
Kwee Bok dengan mata melotot besar sedang mengawasi
hidangan bola udang itu tanpa berkedip, wajahnya nampak
kerakusannya.
Dilihat dari tampang mukanya, jelas dia merasa tidak asing
dengan hidangan tersebut, hunya saja sudah kelewat lama
tidak pernah mencicipinya lagi.

91
Sebaliknya Jui Pakhay justru menunjukkan wajah
keheranan, dia sepertinya belum pernah mendengar nama
hidangan seperti itu, terlebih diapun tidak tahu kalau istrinya
memiliki kepandaian sehebat ini.
Ditatapnya wajah perempuan itu dengan termangu,
kemudian baru tegurnya:
"Rupanya kau mempunyai kepandaian dihidang memasak?"
"Kepandaiannya yang paling utama memang dalam bidang
ini" sambung Kwee Bok sebelum perempuan itu sempat
menjawab.
Tidak nyana sang kakak misan ternyata jauh lebih mengerti
ketimbang Jui Pakhay yang menjadi suaminya, bisa
dibayangkan bagaimana perasaan hatinya saat ini.
"Oya.....?" serunya kemudian.
Kembali Kwee Bok berkata:
Bola udang dilapisi madu merupakan hidangan andalannya,
buatan dia sangat lezat, sudah tiga tahun aku tidak pernah
mencicipinya"
Jui Pakhay merasakan hatinya makin kecut, meski begitu
dia sempat tertawa juga, katanya:
"Aneh, aku yang menjadi suaminya malah belum pernah
mencicipi"
Meskipun dia masih tertawa namun nada suaranya sudah
kedengaran agak berubah, Gi Tiok-kun segera dapat
merasakan perubahan itu.
Kwee Bok bukan orang bodoh, tentu saja diapun dapat
mendengar perubahan nada suara pembicaraannya, teringat
kembali apa yang diucapkan orang itu, kontan wajah pemuda
tampan ini berubah menjadi beku.
Setelah tertawa tergelak kembali Jui Pakhay berkata:

92
"Rupanya lantaran kehadiranmu kali ini, dia khusus turun
ke dapur untuk mempersiapkan sendiri beberapa hidangan ini,
hahaha.....kelihatannya aku telah membonceng hokkie mu!"
Begitu perkataan tersebut diutarakan, paras muka Gi Tiokkun
kontan berubah makin tidak sedap dipandang.
Sambil tertawa paksa buru buru Kwee Bok berkata:
"Setelah menikah dengan orang kaya, kebanyakan wanita
memang enggan turun tangan sendiri, mungkin lantaran
kedatangan aku si piauko kali ini, dia jadi teringat akan
kepandaiannya memasak hingga turun tangan sendiri,
mungkin dia pingin tahu apakah kepandaiannya masih ada
atau tidak......"
Kemudian sambil berpaling ke arah Gi Tiok-kun, terusnya:
"Bukan begitu maksudmu piaumoay?"
Tentu saja Gi Tiok-kun segera mengangguk berulang kali.
"Aaah, kalau begitu aku harus mencobanya, siapa tahu
kalau akupun cocok dengan selera masaknya....."
Seraya berkata, kembali dia tertawa tergelak.
Melihat suasana mereda kembali, Gi Tiok-kun maupun
Kwee Bok diam diam menghembuskan napas lega.
Kembali Jui Pakhay berkata sambil tertawa:
"Kita semua kan orang sendiri, kenapa mesti sungkan
sungkan? Mari, mumpung masih panas, kita makan bersama"
Sambil berkata, dia segera menyumpit sepotong udang dan
digigit ke dalam mulut.
"Ciiit......ciiit....!" siapa tahu begitu udang tersebut digigit,
bergema suara yang sangat aneh, ternyata bukan udang yang
dia gigit melainkan daging seekor tikus.

93
Bangkai tikus! Cairan merah darah segera memancar keluar
dari daging yang digigit dan mengalir masuk melalui
tenggorokannya.
Cairan darah itu membawa semacam bau busuk yang tidak
terlukiskan dengan kata, mirip sekali dengan bau busuk dan
bangkai tikus yang mulai membusuk.
Semestinya bau udang tidak seperti bau begini, sudah pasti
bukan!
Lalu apa isi bola udang berlapis madu itu? Kenapa baunya
mirip bangkai tikus?
Jui Pakhay tidak ingin bersikap kurang sopan dihadapan
tamunya, tapi setelah ditahan berapa saat, akhirnya dia tidak
kuasa menahan diri lagi.
Cairan berbau busuk itu benar benar membuat perutnya
mual, membuat dia pusing dan pingin muntah rasanya....
Dan..... "Huaaa.....!" dia membuka mulutnya lebar-lebar
dan muntahkan keluar bola udang yang ditelannya tadi.
Ketika bola udang terjatuh persis diatas meja, tenhat jelas
daging itu telah tergigit hingga nyaris terbelah dua, ternyata
isi dibalik bungkusan madu itu bukan daging udang, melainkan
seekor laron.
Seekor laron penghisap darah dengan sayap berwarna
hijau kemala dan sepasang mata berwarna merah darah.
Bola laron penghisap darah yang dibungkus dengan madu!
Entah laron penghisap darah itu mati karena tergigit atau
pada dasarnya memang seekor bangkai laron penghisap
darah, yang pasti darah terlihat bercucuran keluar dari tubuh
bangkai itu, membasahi lapisan luar madu yang membungkus
hidangan tersebut hingga warnanya ikut berubah jadi merah.
Darah yang berwarna merah kental, dengan membawa
semacam bau busuk yag sukar dilukiskan dengan kata

94
mengalir masuk melalui tenggorokan Jui Pakhay bau busuk
semakin menyebar ke mana-mana.
Masih mending kalau tidak dipandang, begitu dilihat paras
mukanya kontan berubah jadi pucat pias bagai mayat.
Sambil berpegangan disisi meja, kontan dia memuntahkan
seluruh isi perutnya.
Darah laron penghisap darah yang berbau busuk seketika
mengotori seluruh permukaan lantai, bukan cuma itu saja
bahkan seluruh isi perutnya ikut tertumpah keluar, membuat
Gi Tiok-kun serta Kwee Bok berdiri terkesima.
Sorot mata mereka berdua sama-sama bertuju keatas bola
udang yang ditumpahkan Jui Pakhay, namun tiada perasaan
aneh atau kaget yang terbesit dari wajah mereka, seakan
didalam pandangan mereka, benda itu sama sekali tidak aneh
atau menakutkan.
Apakah mereka telah menduga benda apa yang berada
dibalik bungkusan madu itu? Buktinya mereka tidak ikut
memakan hidangan tersebut.
Jui Pakhay masih saja memuntahkan isi perutnya, malah
sekarang air getir pun ikut tertumpah keluar.
Paras mukanya yang semula pucat keabu-abuan kini telah
berubah jadi merah padam, tubuhnya ikut gontai dan lemas
lantaran tumpahannya nyaris telah menguras seluruh isi
perutnya, dia nampak sempoyongan seakan setiap saat bisa
roboh terjungkal.
Tanpa terasa Gi Tiok-kun dan Kwee Bok bangkit berdiri lalu
memburu ke depan dengan langkah cepat, baru saja mereka
akan memayang tubuh Jui Pakhay, tiba-tiba lelaki itu
mendongakkan kepalanya lalu melotot ke arah mereka dengan
pandangan buas.
Dipelototi dengan pandangan yang begitu buas, tangan Gi
Tiok-kun dan Kwee Bok yang sudah terangkat pun seketika

95
terhenti ditengah jalan, mereka berdua melengak dan berdiri
mematung.
Bersamaan dengan berhentinya muntahan, otot dan kulit
tenggorokan Jui Pakhay mulai mengejang keras.
Mulutnya masih ternganga, air liur bercampur sisa
muntahan masih meleleh dari ujung mulut, sementara butiran
peluh sebesar kacang kedele jatuh bercucuran membasahi
seluruh badan, seluruh otot tubuhnya nyaris ikut mengejang
keras, tampang dan mimik mukanya menampilkan perubahan
yang sangat aneh, entah dia sedang ketakutan atau justru
sedang amat gusar.
Mengawasi wajah suaminya, Gi Tiok-kun tertegun berapa
saat lalu tegurnya tanpa terasa:
"Kee....kenapa kau?"
Jui Pakhay berusaha mengendalikan ujung bibirnya yang
mengejang, dengan susah payah akhirnya bisiknya juga:
"La.....la....ron......."
"Apa? Laron? Laron penghisap darah?" mimik muka Gi
Tiok-kun menampilkan suatu perubahan yang sangat aneh.
Jui Pakhay berusaha miringkan badannya, lalu sambil
menuding Gi Tiok-kun katanya dengan suara parau:
"Darimana kau dapatkan begitu banyak laron penghisap
darah?"
"Laron penghisap darah? Dimana lagi kau jumpai laron
penghisap darah?" Gi Tiok-kun menghela napas panjang.
Dengan jari tangan yang gemetar keras Jui Pakhay
menunjuk ke arah bola udang bungkus madu diatas piring,
serunya:
"Kau.....kau bilang.... masakan apa itu?"

96
"Bukankah bola udang bungkus madu?" sahut Gi Tiok-kun
setelah tertegun sejenak.
"Bola udang? Hahaha.....bola udang.....?" Jui Pakhay
tertawa seram, "benarkah dibalik bungkusan madu itu berisi
bola udang?"
"Haii.....kalau bukan bola udang lantas apa?"
"Apa? Laron! Laron penghisap darah!"
Gi Tiok-kun gelengkan kepalanya berulang kali tanpa
komentar lagi.
Kembali Jui Pakhay berkata:
"Kau sengaja masuk ke dapur mempersiapkan secara
khusus hidangan bola udang bungkus madu, sebetulnya
hidangan ini kau siapkan untuk siapa?"
Sekali lagi Gi Tiok-kun gelengkan kepalanya dengan mulut
terbungkam.
"Mana ada laron penghisap darah?" sela Kwee Bok tibatiba.
"Itu dia! Masa kau tidak melihat......" teriak Jui Pakhay
gusar.
Sembari berkata, dia menuding kearah bola udang yang
baru saja dimuntahkan ke atas meja.
Tadi, bola udang itu berbentuk seekor laron penghisap
darah, tapi sekarang telah berubah jadi cairan lebah berwarna
kuning emas.
Dalam sekejap mata itu pula mendadak dia merasa
mulutnya yang semula berbau sangat amis dan busuk, kini
telah berubah jadi harum semerbak seperti harumnya patih
bunga.
Jui Pakhay berdiri melongo dengan mata terbelalak
lebar........ entah berapa lama sudah lewat, kemudian sinar

97
matanya baru pelan-pelan dialihkan ke wajah Gi Tiok-kun
berdua.
Saat inilah dia telah menyaksikan dua orang "manusia"
yang sangat menakutkan!
Dua orang manusia dengan wajah berwarna hijau kemala,
sepasang mata tanpa pupil berwarna merah darah dan bola
mata yang menyerupai berapa sarang tawon yang bergabung
menjadi satu.
Kalau mereka adalah manusia, kenapa begitu seram
tampangnya? Siluman! Pekik Jui Pakhay dalam hati kecilnya.
Belum sempat suara jeritannya terlontar keluar, ke dua
siluman menyeramkan itu sudah lenyap tidak berbekas,
termasuk juga bayangan tubuhnya, bilang lenyap seakan
sudah menguap ke udara.
Yang lebih tepat sebenarnya yang hilang lenyap hanya raut
wajah mereka berdua yang menyeramkan itu.
Ke dua lembar wajah siluman itu sebenarnya tidak lenyap
dengan begitu saja, yang benar wajah itu sudah tidak lagi
berwarna hijau, matanya tidak lagi berwarna merah dan biji
matanya yang hitam tidak lagi melotot keluar.
Dua lembar wajah siluman itu telah berubah jadi dua
lembar wajah manusia lagi, wajah Gi Tiok-kun dan Kwee Bok.
Raut muka berwarna hijau kemala, mata berwarna merah
darah, pada hakekatnya mereka berdua merupakan jelmaan
dari laron penghisap darah.
Jangan jangan mereka berdua adalah jelmaan dari siluman
laron penghisap darah?
Jui Pakhay merasa darah yang mengalir dalam tubuhnya
seolah membeku, ditatapnya wajah Gi Tiok-kun dan Kwee Bok
dengan pandangan kaku.

98
Sebaliknya Gi Tiok-kun dan Kwee Bok juga sedang menatap
Jui Pakhay tanpa berkedip, begitu melihat dia berpaling, Kwee
Bok segera menegur:
"Dimana sih laron penghisap darah nya?"
Jui Pakhay tidak menjawab, namun sinar matanya lagi lagi
mencerminkan perasaan takut dan ngeri yang luar biasa.
Akhirnya Gi Tiok-kun menghela napas panjang, seraya
berpaling ke arah Kwee Bok katanya:
"Begitulah kondisinya, berulang kali dia ribut mengatakan
telah melihat laron penghisap darah, menurut pendapatku ada
baiknya kau periksakan dulu denyut nadinya, mungkin
sekarang kau sudah bisa menemukan penyebab penyakitnya"
"Yaa, aku memang punya maksud begitu" Kwee Bok
mengangguk.
Baru dia maju dua langkah dan siap memegang nadinya,
mendadak terdengar Jui Pakhay menjerit sekeras kerasnya
sambil berteriak:
"Jangan dekati aku!"
Teriakan itu sangat aneh dan sangat menggidikkan hati.
Kwee Bok nyaris mati lantaran kaget, sambil paksakan diri
tertawa katanya:
"Lebih, baik biarkan aku periksa dulu nadimu"
“Apa yang perlu dilihat?" sahut Jui Pakhay dingin,
"sekarang...... sekarang aku semakin mengerti......."
Gi Tiok-kun dan Kwee Bok saling bertukar pandangan
sekejap, seakan mereka tidak mengerti apa yang dimaksud Jui
Pakhay.
"Laron penghisap darah....... wahai laron penghisap darah!
Sebenarnya apa salahku dengan kalian.....?”

99
Setelah bergumam sendirian, tiba-tiba dia mendongakkan
kepala nya dan tertawa seram Wajahnya diliputi kedukaan,
dibalik gelak tertawanya terselip pula perasaan pedih dan
sedih yang luar biasa.
Kembali Gi Tiok-kun dan Kwee Bok saling bertukar
pandangan, tiba tiba mereka berdua menghela napas panjang.
"Kelihatannya penyakit lamanya telah kambuh lagi" bisik Gi
Tiok-kun sambil menarik napas panjang.
Kelihatannya Jui Pakhay ikut mendengar gumaman itu,
mendadak serunya sambil tertawa pedih:
"Yaa betul, penyakit lamaku kambuh kembali!"
Begitu selesai bicara, mendadak dia membalikkan tubuh
dan kabur dari situ.
0-0-0
Air dalam kolam teratai terasa dingin bagaikan es.
Jui Pakhay menggunakan sepasang tangannya meraup
segenggam air kemudian diguyurkan ke wajah sendiri, gejolak
emosinya yang menggelora tadi lambat laun menjadi tenang
kembali, perasaan hatinya saat ini tidak ubahnya seperti
rerumputan di musim semi.
Ketika Gi Tiok-kun kawin denganku, dia bukan dalam status
seorang gadis perawan, walaupun lantaran amat mencintainya
aku tidak membongkar rahasia tersebut, juga tidak membuat
perhitungan dengan Gi Toa-ma, namun kejadian ini selalu
menjadi ganjalan dalam hatiku, aku selalu berharap suatu
ketika nanti bisa menemukan orang yang telah merenggut
mahkota kegadisannya.
Jangan jangan orang itu adalah kakak misannya, Kwee
Bok?
Siapa pun orangnya, bila dia bisa memperoleh gadis
secantik dan semenarik Gi Tiok-kun, dapat dipastikan orang

100
itu akan berusaha untuk mempertahankan kepemilikannya,
Kwee Bok tidak berani berebut denganku waktu itu dan
membiarkan pujaan hatinya kawin denganku, dapat dipastikan
karena dia merasa takut untuk berhadapan denganku
sehingga tidak berani menampilkan diri dan berebut
denganku.
Selama tiga tahun ini bisa jadi dia telah pergi mempelajari
semacam ilmu sesat, dan kali ini dia sengaja kembali ke sini
untuk merebut Gi Tiok-kun dari tanganku, atau mungkin
kemunculan kawanan laron penghisap darah itu ada hubungan
dan sangkut pautnya dengannya? Siapa tahu dialah pawang
dari laron penghisap darah? Siapa tahu semua peristiwa aneh
yang terjadi selama ini adalah hasil karyanya?
Mungkinkah mereka berdua memang jelmaan dari siluman
laron penghisap darah? Mungkinkah Kwee Bok memang
sengaja membiarkan Gi Tiok-kun kawin denganku, agar
setelah saatnya tiba dia bisa muncul dalam wujud aslinya dan
menghisap darahku, mencabut nyawaku?
Kalau apa yang diduga memang merupakan satu
kenyataan, tujuan mereka jelas tidak akan sedemikian
sederhana, mungkinkah hal ini dikarenakan darah yang
mengalir dalam tubuhku merupakan sebuah mestika yang luar
biasa? Karena itu mereka tidak segan membuang waktu
selama tiga tahun untuk mempersiapkan segala sesuatunya?
Kalau bukan karena itu, lantas apa tujuan mereka yang
sebenarnya?
Semakin dipikir, Jui Pakhay merasa pikirannya semakin
kalut.
Kalau tujuan mereka benar benar berniat akan mencelakai
aku, jelas akupun tidak boleh berlaku sungkan lagi terhadap
mereka, terlepas dia manusia asli atau jelmaan dari siluman
laron penghisap darah, yang penting semuanya harus
dibunuh, dibantai sampai habis!

101
Begitu napsu membunuhnya muncul, tanpa sadar Jui
Pakhay meraba gagang pedang yang tersoren dipinggangnya.
Tapi kesemuanya itu hanya dugaanku sendiri, analisaku
sendiri, tanpa diperkuat dengan bukti dan fakta, lebih baik
tunggu lagi selama beberapa hari, siapa tahu dalam satu dua
hari mendatang aku akan menemukan bukti yang
menunjukkan bahwa mereka memang berencana akan
membunuhku, nah saat itulah aku baru akan turun tangan.
Berpikir sampai disitu, lambat laun Jui Pakhay mulai
mengendorkan kembali genggamannya, genggaman atas
gagang pedangnya.
Dia putuskan akan menunggu satu hari lagi.
0-0-0
Bulan tiga tanggal tiga belas, malam ini rembulan nampak
tidak utuh, meski tidak terlalu benjol namun masih sebesar
setengah bulatan jendela.
Kertas daun jendela ruang Perpustakaan yang menghadap
ke arah rembulan telah berubah warnanya menjadi putih
kepucat pucatan, pucat seperti wajah sesosok mayat.
Seorang diri Jui Pakhay bersandar diujung pembaringan,
dengan tenang mengawasi kertas jendela yang berwarna
putih kepucat-pucatan, paras mukanya saat itu berwarna putih
juga, putih pucat seperti mayat.
Wajahnya nampak sangat letih, sepasang matanya
terbelalak lebar.
Setelah sibuk seharian penuh, dia telah menelusuri hampir
setiap sudut ruangan di perkampungan itu, setiap barang milik
Gi Tiok-kun sudah diperiksa secara diam diam dan seksama.
Tapi dia tidak berhasil menemukan bukti apa pun, juga
tidak berhasil menemukan sesuatu benda yang mencurigakan,
bahkan seekor laron penghisap darah pun tidak dijumpainya.

102
Mungkinkah mereka sudah menduga kalau aku bakal
melakukan penyelidikan sehingga bertindak lebih awal dengan
menyembunyikan semua benda yang membawa persoalan?
Mungkinkah sarang dari kawanan laron penghisap darah itu
bukan berada di perkampungan ini tapi di tempat lain?
Sejak pagi hingga petang dia sudah menyibukkan diri
seharian penuh, tapi tidak seekor laron penghisap darah pun
ditemukan dan sekarang, baru saja dia merebahkan diri,
kawanan laron penghisap darah itu sudah muncul kembali.
Kawanan laron penghisap darah yang mengerikan itu
muncul diluar ruangan perpustakaannya, kebasan sayap
mereka yang bising kedengaran amat menusuk telinga,
apalagi di tengah keheningan malam seperti ini, suara itu
menambah seram dan ngerinya suasana.
Mereka seakan terbang datang dan rembulan. Sinar
rembulan yang memancar diatas kertas jendela membiaskan
pula bayangan tubuh mereka yang kecil.
Bayangan laron-laron itu beterbangan bagaikan
gerombolan setan iblis yang sedang menari, dari jauh semakin
mendekat, dari besar menjadi kecil!
Cahaya rembulan sudah dihancurkan oleh tarian bayangan
sang laron, kertas jendela pun seakan ikut hancur diterjang
oleh tarian binatang binatang itu.
Namun Jui Pakhay masih menahan diri, dia masih berusaha
tidak bergerak, tidak melakukan sesuatu tindakan apa pun.
Entah berapa lama sudah lewat, suara kebasan sayap dari
kawanan laron penghisap darah itupun berhenti secara
mendadak, bukan hanya suaranya hilang lenyap, bayangan
tarian mereka pun ikut terhenti, suasana serasa menjadi
hening dan sepi.

103
Beribu ribu ekor bayangan laron seakan seluruhnya
mendekam tenang, mendekam tanpa bergerak diatas kertas
jendela yang putih memucat itu.
Kertas jendela bukan lantaran kejadian ini lalu berubah jadi
suram, jadi gelap, sebaliknya malah tampak lebih hijau
bersinar, hijau dari ebongkah batu kemala.
Cahaya rembulan menyinari tubuh laron laron itu, membuat
kawanan binatang itu seakan bermandikan cahaya putih.
Paras muka Jui Pakhay yang putih memucat tiba tiba
berubah jadi hijau membesi, mendadak badannya melejit ke
udara, melompat bangun dari ujung pembaringan.
"Sreeet!" bagaikan anak panah yang terlepas dari
busurnya, dia hinggap didepan jendela, jendela dengan beribu
buah bayangan laron.
Dengan mata yang melotot besar diawasinya kawanan
laron penghisap darah itu tanpa berkedip, dia akan menunggu
sampai kawanan binatang itu benar-benar jadi tenang
sebelum mengambil sesuatu tindakan.
Sementara tubuhnya masih melambung, sepasang
tangannya sudah siap melancarkan serangan, begitu kakinya
hinggap di tanah, sepasang tangannya itu langsung
melepaskan sebuah bacokan, menghajar daun jendela itu.
Begitu bacokan sudah dilepas, tangan kanannya berputar
pula cepat dan "Criiing!" dia sudah meloloskan pedangnya.
Dia sudah bersiap sedia menghadapi serbuan dari kawanan
laron itu ketika daun jendela terbentang lebar karena bacokan
mautnya tadi.
Siapa tahu sama sekali diluar dugaannya, kawanan laron
penghisap darah yang semula menempel penuh diatas kertas
jendela, kini sudah hilang lenyap tidak berbekas, lenyap
seakan menguap menjadi asap.

104
Namun dihalaman luar, dibalik kabut tebal yang
menyelimuti kegelapan malam, seakan terlihat ada ribuan titik
cahaya berkedip mirip api setan sedang bergoyang menarikan
tari samba disana, cahayanya berwarna hijau yang
menggidikkan hati.
Jui Pakhay tidak melakukan pengejaran, tapi rasa duka,
rasa gusar bercampur aduk dalam lubuk hatinya dan tercermin
jelas diraut mukanya.
Mendadak dia mengayunkan kepalan tinjunya,
menghantam daun jendela dihadapannya kuat-kuat.
"Braaak...!" seluruh daun jendela hancur berantakan
terhajar pukulan itu, sayang hancurnya jendela tidak
menguraikan rasa duka dan gusar yang mengganjal dalam
hatinya.
Walaupun dia tidak tahu mengapa kawanan laron
penghisap darah yang menampakkan diri secara beruntun
selama berapa hari ini tidak melakukan tindakan lebih jauh,
walaupun dia tidak tahu apakah hal ini merupakan kebiasaan
dari kawanan laron tersebut atau karena takut dan jeri
terhadapnya, tapi ada satu hal yang dia ketahui secara pasti,
jika keadaan demikian dibiarkan berlangsung terus maka pada
akhirnya dia akan menjadi orang gila, orang yang tidak waras
otaknya karena gangguan jiwa.
Bila seseorang harus hidup berkepanjangan dalam suasana
teror, suasana horor dan suasana ketakutan yang begitu
mencekam, lambat laun rasa percaya diri orang tersebut akan
luntur dan memudar, kesadaran otaknya juga akan hancur
berantakan, pada akhirnya kalau bukan jadi pemurung, tentu
menjadi orang yang tidak waras olaknya.
Masih untung hari ini baru bulan tiga tanggal tiga belas,
lusa baru bulan tiga tanggal lima belas.

105
Konon ketika bulan sedang purnama setiap tanggal lima
belas, raja laron akan munculkan diri untuk menikmati
keindahan alam dan menghisap sari cahaya dari langit.
Ketika raja laron sudah menampakkan diri, maka saat itulah
semua masalah, semua persoalan akan berakhir.
Ini berarti dia masih harus hidup selama dua hari lagi
dalam suasana penuh teror, penuh horor seperti ini.
Jui Pakhay hanya berharap selama dua hari ini dia masih
dapat mempertahankan kejernihan otaknya, dia berharap
tidak sampai berubah jadi orang sinting, orang gila yang tidak
waras otaknya.
Walaupun disaat berakhirnya semua masalah dan semua
persoalan sama artinya saat berakhirnya kehidupan dia,
namun paling tidak, saat itu dia sudah tak perlu lagi
menghadapi teror dan horor yang menegangkan pikiran
seperti saat ini.
Rasa takut karena teror dan horor kadangkala memang
jauh lebih menyiksa daripada menghadapi kematian itu
sendiri.
0-0-0
Bulan tiga tanggal empat belas, saat itu matahari sore
sudah mulai condong ke langit barat.
Jui Pakhay sedang duduk santai ditengah halaman barat,
duduk dibawah cahaya matahari senja yang mulai redup, pada
saat itulah seorang pelayannya muncul diiringi Tu Siau-thian.
Dengan dandanan seorang wakil opas Tu Siau-thian
munculkan diri disitu, wajahnya nampak letih dan penuh debu.
Begitu melihat kehadiran orang tersebut, dengan penuh
kegirangan Jui Pakhay maju menyambut seraya berseru:
"Saudara Tu, kenapa baru muncul sekarang? Kau tahu, aku
sudah hampir gila karena menantikan kehadiranmu!"

106
Dengan penuh tenaga Jui Pakhay menepuk bahu Tu Siauthian,
tepukan yang merupakan luapan rasa gembiranya.
Tapi tepukan itu menyebabkan pula debu dan pasir
beterbangan ke udara.
Jui Pakhay nampak agak tertegun, sepasang tangannya
segera terhenti ditengah jalan.
Buru-buru Tu Siau-thian menyingkir ke samping, lalu
sahutnya sambil tertawa tergelak:
"Jika kau tepuk lebih jauh, maka tubuhmu pun akan ikut
bermandikan debu dan pasir"
Setelah tertegun sesaat Jui Pakhay baru bertanya:
"Sebenarnya kau datang dari mana? Mengapa seluruh
tubuhmu bermandikan pasir dan debu? Memangnya kau
menongol dan dalam tanah?"
"Hahaha.... tentu saja aku bukan baru nongol dari dalam
tanah, baru saja aku pulang dari menempuh perjalanan jauh,
seharian penuh berjalan ditengah pasir yang menderu"
"Oooh... jadi selama sepuluh hari terakhir kau sedang
pergi? Ke mana kau pergi selama ini?"
"Ke Hong-yang!"
"Karena urusan dinas?"
Tu Siau-thian mengangguk tanda membenarkan.
"Sudah kau selesaikan tugas kantormu itu?” kembali Jui
Pakhay bertanya.
"Yaaa, sudah selesai"
"Lantas kenapa kau masih nampak terburu-buru?"
"Sebab aku terburu-buru kemari karena ingin berjumpa
denganmu"
"Oya?”

107
"Jadi kau anggap aku sudah melupakan sama sekali urusan
tentang laron penghisap darah itu?"
"Yaa, kelihatannya aku memang berpendapat begitu" Jui
Pakhay mengangguk membenarkan.
"Ooh, jadi kau anggap aku termasuk manusia yang tidak
akan memperdulikan keselamatan jiwa rekan sendiri?"
"Bukan begitu maksudku" ujar Jui Pakhay serius, "tapi
kejadian ini memang tidak masuk akal, susah membuat orang
lain percaya, sekalipun kau benar-benar tidak memikirkannya
dihati, aku juga tidak bakal salahkan dirimu"
"Seandainya secara tidak sengaja aku tidak bertemu
dengan dua ekor laron penghisap darah ditepi telaga tempo
hari, bahkan secara tanpa sengaja tertusuk oleh salah satu
diantaranya, mungkin aku benar benar tidak akan
memikirkannya dihati"
"Kau sudah menemukan cara yang paling jitu untuk
menghadapi kawanan binatang itu?”
"Belum!"
"Lantas mau apa kau datang kemari mencari aku?"
"Coba lihat kau, kenapa watakmu berubah jadi begini
rupa?" seru Tu Siau-thian cepat, kemudian setelah
memperhatikan sekejap wajah rekannya, dia berkata lebih
jauh, "sekarang, tampaknya kau tetap sehat tanpa
kekurangan sesuatu apa pun?"
Jui Pakhay tidak menjawab, dia hanya tertawa getir.
Kembali Tu Siau-thian berkata:
"Seandainya apa yang diceritakan orang selama ini benar,
Raja laron baru akan muncul pada malam tanggal lima belas
dikala bulan sedang purnama, hari ini toh baru tanggal empat
belas, maka kepulanganku kali ini masih pada aatnya, aku

108
masih cukup waktu untuk membantumu menghadapi
serangan kawanan laron penghisap darah tersebut"
"Haai, walaupun kepulanganmu tepat pada aatnya, tapi aku
kuatir kau tidak bisa membantu apa apa kepadaku"
Tu Siau-thian melengak, serunya:
"Kalau didengar dari perkataanmu barusan, seakan dalam
sepuluh hari terakhir kau sudah banyak mengalami kejadian
yang aneh?"
"Benar, sudah terlalu banyak" Jui Pakhay mengangguk
membenarkan.
"Apakah kawanan laron penghisap darah itu kembali
menampakkan diri?"
"Bukan hanya menampakkan diri, bahkan ctiap kali
kemunculannya jumlah mereka tambah lama tambah banyak,
sewaktu muncul !ugi semalam, aku lihat jumlah mereka sudah
mencapai ribuan ekor"
Agak berubah paras muka Tu Siau-thian, tanpa sadar
serunya:
"Masa kejadian seperti ini bukan hanya sebuah dongeng
belaka?"
"Yaa, tampaknya bukan, semua sudah menjadi sebuah
kenyataan, aku telah melihat dan mengalaminya sendiri"
"Mereka terbang, datang dari mana?" tiba tiba Tu Siauthian
bertanya lagi.
"Entahlah, aku sendiri juga tidak tahu"
"Apakah mereka menyerangmu?" Tu Siau-thian bertanya
lebih jauh.
"Tidak, mereka hanya menebar teror dan horor, mungkin
begitulah kebiasaan mereka, mungkin juga merupakan
perintah dari si Raja laron, sebelum tiba tanggal lima belas,

109
sebelum bulan jadi purnama, sebelum raja laron
menampakkan diri, mereka dilarang melakukan suatu tindakan
apa pun"
"Bagaimana dengan kau sendiri" desak Tu Siau-thian,
"Apakah kau tidak melakukan sesuatu tindakan terhadap
mereka?"
"Sudah, aku telah melakukan suatu tindakan"
"Tidak mampu mencegah mereka? Tidak mampu
menghadapi mereka?"
"Bukan cuma tidak mampu mencegah mereka, pada
hakekatnya sama sekali tidak berguna"
"Memangnya mereka tidak takut dengan bacokan golok
atau sambaran pedang?"
"Betul, persis seperti kejadian pertama kali dulu"
"Apakah mereka mendadak hilang lenyap bagaikan
bayangan setan setiap kali kau siap melakukan sesuatu
tindakan?"
Jui Pakhay menghela napas panjang.
"Haai...... pada hakekatnya mereka memang jelmaan dari
setan iblis" bisiknya.
Tu Siau-thian termenung sambil berpikir sejenak, lalu
tanyanya:
"Pernah berpikir, sejak kapan kau usik kawanan makhluk
itu?"
Tampaknya Jui Pakhay tidak mengira kalau rekannya akan
mengajukan pertanyaan seperti itu, untuk sesaat dia
terbelalak dengan wajah tertegun.
Kembali terdengar Tu Siau-thian berkata:

110
"Pernah kau berpikir, ada begitu banyak manusia di dunia
ini, mengapa mereka justru menjatuhkan pilihannya
kepadamu? Jelas mereka pasti mempunyai alasan tertentu,
maka aku pikir asal kita memahami alasan mereka, urusan
akan lebih gampang untuk diatasi dan diselesaikan"
Jui Pakhay tertawa getir, dia seperti akan mengucapkan
sesuatu tapi kemudian niat tersebut diurungkan.
Dengan kepala tertunduk kembali Tu Siau-thian berpikir,
dia seakan tidak menaruh perhatian atas perubahan sikap
yang ditampilkan Jui Pakhay, tanyanya lebih jauh:
"Kebanyakan mereka muncul di mana?"
"Nyaris tidak pernah sama, setiap kali muncul mereka
selalu memilih tempat penampilan yang berbeda"
"Semalam mereka muncul di mana?" desak Tu Siau-thian
lagi.
"Diluar ruang perpustakaan"
"Beberapa hari berselang, mereka muncul di mana?"
Jui Pakhay segera menutup mulutnya rapat-rapat, dia
seperti enggan untuk menjawab pertanyaan itu.
"Sudah lupa?" tanya Tu Siau-thian.
"Memangnya aku mirip seorang pelupa?" teriak Jui Pakhay.
"Berarti ada kesulitan bagimu untuk bicara terus terang?"
Sekali lagi Jui Pakhay menutup mulutnya rapat-rapat.
"Bila tidak keberatan, katakanlah terus terang" pinta Tu
Siau-thian, "siapa tahu dari keterangan yang kau ungkap nanti
aku bisa menemukan titik kelemahan dari laron penghisap
darah tersebut dan merancangkan siasat untuk
menghadapinya, sebaliknya bila kau enggan mengungkapnya,
aku kuatir aku benar-benar tidak akan bisa membantu apaapa
lagi"

111
Sekali lagi Jui Pakhay tertawa getir, katanya:
"Ada sementara persoalan biar sudah kuungkap pun belum
tentu kau mau mempercayainya"
"Aaah belum tentu, coba saja kau utarakan"
Tapi Jui Pakhay hanya terbungkam sambil termenung,
sampai lama sekali dia belum juga memberikan tanggapan.
Tu Siau-thian tidak merecokinya, dia hanya menunggu
disisinya dengan tenang.
Bab 7.
Bianglala melintas dalam keremangan.
Jui Pakhay termenung sambil berpikir sejenak, kemudian
dia menghela napas panjang dan menggelengkan kepalanya
berulang kali.
Melihat sikapnya yang serba ragu, Tu Siau-thian segera
menukas:
"Kalau memang kau anggap sulit untuk diutarakan, yaa
sudahlah, aku tidak akan memaksamu lebih jauh"
"Ada satu hal aku perlu mengatakannya kepadamu" ujar Jui
Pakhay sambil tertawa pahit.
"Katakan saja, akan kudengarkan"
"Setiap kali kawanan laron penghisap darah itu
menampakkan diri, tidak setiap kali aku sedang berada
seorang diri, tapi selain aku, orang lain yang turut hadir
ditempat kejadian sama sekali tidak melihat kehadiran
mereka, coba kau bayangkan, aneh tidak kejadian ini?"
"Aaah, masa ada kejadian seperti ini?"
"Masa saudara Tu juga tidak percaya dengan
penuturanku?"

112
"Bukan begitu" cepat cepat Tu Siau-thian menggeleng,
"tapi jika hal ini merupakan kenyataan, berarti kawanan laron
penghisap darah itu memang benar-benar merupakan jelmaan
dari setan iblis"
Tiba-tiba ia tertawa getir, setelah termenung sejenak,
terusnya:
"Tapi..... apa benar di dunia ini terdapat setan iblis atau
siluman? Aku tidak percaya!"
"Aku sendiripun tidak percaya kalau di dunia ini terdapat
setan iblis ataupun siluman, tapi.... dengan mata kepalaku
sendiri kusaksikan bagaimana ribuan ekor laron penghisap
darah itu munculkan diri secara bersamaan waktu, bahkan
selain aku seorang, kenyataannya orang lain tidak ikut
melihat, lantas..... bagaimana penjelasannya dengan peristiwa
ini?"
Tu Siau-thian tidak mampu memberi penjelasan, tentu saja
dia hanya bisa membungkam diri.
Kembali Jui Pakhay berkata:
"Kecuali mereka yang hadir bersama aku waktu kejadian,
aku pun sudah bertanya kepada seluruh penghuni
perkampungan ini, tapi jawaban mereka sama, semuanya
bilang tidak tahu, kalau hal tersebut bukan merupakan
kenyataan maka satu satunya penjelasan adalah mereka
semua sedang berbohong kepadaku!"
"Berapa saat berselang, bukankah kau pernah bilang
bahwa seluruh penghuni perkampungan ini amat setia
kepadamu?"
"Betul, waktu itu aku memang pernah berkata begitu.
Waktu itu aku bisa berkata demikian karena aku selalu
melupakan akan satu hal"
"Melupakan apa?"

113
"Hati manusia memang sukar diduga!" sahut Jui Pakhay
sambil menghela napas.
"Apakah kau tidak merasa kalau perkataan itu muncul
karena luapan emosi?"
Kembali Jui Pakhay menghela napas panjang.
"Andaikata mereka semua benar benar setia kepadaku,
tidak membohongiku, urusan ini malah lebih mudah
penyelesaiannya"
"Oya?"
"Sebab tinggal tiga kemungkinan yang perlu dibahas,
pertama kawanan laron penghisap darah itu memang benarbenar
jelmaan dari siluman, karena itu hanya aku sang korban
yang bisa melihat kehadirannya"
"Kalau tidak lantas kenapa?"
"Berarti akulah yang sedang berbohong, sengaja
mengarang cerita bohong, sengaja menakuti orang dengan
cerita horor, atau kalau tidak berarti otakku ada yang kurang
beres, segala sesuatu yang kuucapkan hanya muncul dari
ilusiku, dari khayalanku saja"
"Waah, bukankah hal ini berarti juga bahwa otak ku pun
tidak beres?" seru Tu Siau-thian sambil tertawa tergelak.
Jui Pakhay tidak menjawab, dia hanya menghela napas
berulang kali.
Perlahan-lahan Tu Siau-thian mengalihkan sinar matanya
ke ujung jari sendiri, ujung jari yang terluka karena tusukan
laron penghisap darah, mendadak senyumannya hilang
lenyap, katanya:
"Belum tentu kawanan makhluk itu merupakan jelmaan dari
setan iblis, tapi wujud dan keberadaan mereka itu nyata dan
benar benar ada"

114
Dia memang amat mempercayai pandangan mata sendiri,
apalagi saat itu dia sempat menangkap seekor laron
penghisap darah dan mencengkeramnya dalam genggaman
Bukankah ujung jarinya telah ditusuk oleh laron penghisap
darah itu? Masa kejadian itupun hanya sebuah ilusi? Sebuah
khayalan?
Bila otaknya waras, bila pikirannya tidak sinting, tidak gila,
semestinya otak Jui Pakhay pun waras dan tidak ada masalah.
Tapi.......apa yang telah terjadi dalam sepuluh hari itu?
Mengapa Jui Pakhay enggan menceritakannya keluar?
Mengapa dia harus merahasiakan semua pengalamannya?
Tanpa terasa sorot mata Tu Siau-thian beralih kembali ke
wajah Jui Pakhay, dia menemukan rekannya sedang berdiri
dengan mata mendelong, bukan sedang mengawasinya tapi
sedang memandang ke tempat kejauhan sana.
Sebenarnya apa yang sedang dia perhatikan?
Tanpa terasa pandangan mata Tu Siau-thian mengikuti
arah mata Jui Pakhay dan ikut berpaling.
Dengan cepat dia pun menyaksikan sepasang laron! Mata
yang merah padam bagai darah dengan sepasang sayap yang
hijau bagai pualam.
Laron penghisap darah! Tidak kuasa lagi Tu Siau-thian
bersin berulang kali, bulu kuduknya pada bangun berdiri.
Dibawah sinar matahari senja yang berwarna kuning
keemas-emasan, sepasang laron penghisap darah itu nampak
lebih cantik, lebih menarik dan sangat aneh.
Mereka terbang berpasangan dan menari di antara
kelompok bunga-bunga an yang mekar.
Kelopak bunga nampak berguguran, bergetar ditengah
hembusan angin senja yang dingin, apakah bunga bunga itu
pun berfirasat? Apakah mereka pun tahu kalau kehadiran

115
sepasang laron penghisap darah itu membawa petaka,
membawa bencana besar sehingga mereka ketakutan dan
gemetaran?
Ternyata benar juga, bencana memang segera tiba.
"Weeesss....!" diiringi desingan angin tajam, mendadak
bagaikan anak panah yang terlepas dari busurnya tubuh Jui
Pakhay meluncur ke depan, menerjang ke tengah gerombolan
bunga itu.
Belum lagi tubuhnya tiba, serangan pedangnya sudah
dilancarkan duluan, pedang jit seng coat mia kiam bagaikan
titiran air hujan telah berhamburan disekeliling tempat itu.
Seketika itu juga segerombol bunga-bunga hancur dan
berguguran terbabat sambaran pedang yang tajam, apakah
sepasang laron penghisap darah itupun ikut tercincang dan
mati dengan tubuh hancur?
Ketika serangannya berakhir, tubuh Jui Pakhay ikut
melayang turun ke bawah, hujan pedang telah merontokan
sebagian besar kuncup bunga ditaman itu.
"Criiing....!" pedang telah disarungkan kembali, seluruh
gerakan tubuh Jui Pakhay ikut berhenti, berdiri mematung
ditengah guguran bunga, sepasang matanya terbelalak lebar
dan sinar matanya berkilauan.
Hampir pada saat yang bersamaan Tu Siau-thian ikut
melayang turun disamping tubuh Jui Pakhay, segera tegurnya:
"Saudara Jui, bagaimana?"
Jui Pakhay mengalihkan sorot matanya menatap tajam
wajah Tu Siau-thian, lalu tegurnya:
"Barusan, apakah kau pun ikut melihat ada sepasang laron
penghisap darah?"
Tu Siau-thian mengangguk tanpa menjawab.

116
"Apakah kau sedang membohongi aku? Kembali Jui Pakhay
bertanya dengan suara dalam.
"Aku rasa tidak ada alasan untuk membohongi dirimu,
apalagi sekarang bukan saat yang tepat untuk bergurau"
Mendadak Jui Pakhay mendongakkan kepalanya dan
tertawa nyaring.
Gelak tertawa itu kontan membuat Tu Siau-thian tertegun,
tidak tahan lagi diapun menegur:
"Hey, apa yang kau tertawakan?"
"Aku benar benar merasa gembira, benar benar merasa
riang"
"Oya?" sekali lagi Tu Siau-thian tertegun.
Sambil tertawa Jui Pakhay berkata lebih jauh:
"Bila sekali lagi hanya aku seorang yang melihatnya, berarti
otakku memang benar benar kurang beres, tapi sekarang kau
pun ikut melihatnya bahkan melihat untuk kedua kalinya, hal
ini membuktikan bahwa laron penghisap darah memang
benar-benar nyata, memang ada makhluk semacam ini di
dunia kita, aku sendiripun tidak percaya kalau di dunia ini ada
kejadian yang kebetulan, otak kita berdua sama-sama sehat,
sama sama tidak ada masalah, tidak mungkin bukan secara
kebetulan dikala untuk ke dua kalinya kita berada bersama,
kita berdua telah sama sama melihat seeekor makhluk yang
tidak mungkin ada di dunia ini"
"Yaa, aku pikir otak kita seharusnya memang tidak ada
masalah......." ujar Tu Siau-thian sambil mengangguk.
"Sewaktu aku melancarkan serangan pedang tadi, apakah
kau sempat menyaksikan sepasang laron penghisap darah itu
kabur dari balik jaring pedang?" tiba-tiba Jui Pakhay menukas.
"Rasanya tidak pernah" Tu Siau-thian menggeleng.

117
"Padahal seluruh tubuh mereka sudah terkurung didalam
jaring pedang" ujar Jui Pakhay dengan gemas, "tapi begitu
aku mulai mempersempit jaring pedang itu, mereka seakan
berubah jadi tembus pandang dan lenyap dengan begitu saja
bagaikan setan iblis!"
Tu Siau-thian tertawa getir, sorot matanya dialihkan keatas
permukaan tanah.
Dia hanya berharap bisa menemukan sebuah saja bangkai
laron, sebab hal tersebut sudah lebih dari cukup untuk
membuktikan bahwa laron penghisap darah itu sudah mati
karena tusukan pedang tersebut dan apa yang dikatakan Jui
Pakhay tidak lebih karena akibat pandangan matanya yang
mulai kabur.
Tapi apa yang dia temukan? Hanya hancuran daun-daunan,
juga hancuran bunga yang berserakan dimana mana.
Diantara hancuran daun dan bunga itu tidak ditemukan
bangkai laron, jangan lagi tubuhnya, biar selembar sayapnya
yang kecil pun tidak ada.
Tu Siau-thian segera mengebaskan ujung bajunya,
membuat daun-daunan dan bunga-bungaan itu segera
beterbangan ke angkasa, namun bangkai laron yang dicari
satupun tidak ditemukan, dibawah tumpukan daun dan bunga
ternyata memang tidak ditemukan bangkai makhluk kecil itu.
Lantas ke mana perginya laron penghisap darah itu? Masa
mereka benar-benar dapat lenyap bagaikan setan iblis?
Apa benar mereka memang jelmaan dari setan iblis atau
siluman?
Tidak kuasa lagi Tu Siau-thian menghela napas panjang,
begitu juga dengan Jui Pakhay, dia pun menghela napas tiada
hentinya.
"Apa yang hendak kau lakukan sekarang?" tiba tiba Tu
Siau-thian bertanya.

118
"Menunggu mati!" jawaban dari Jui Pakhay ini singkat tapi
jelas.
"Apa?" Tu Siau-thian nampak seperti tertegun, "besok
sudah tanggal lima belas, berarti kau masih mempunyai waktu
satu hari"
"Kau anggap waktu yang tinggal satu hari itu sudah lebih
dari cukup untuk menemukan suatu cara yang tepat untuk
menghadapi serangan itu?"
"Tapi paling tidak kau toh bisa memanfaatkan kesempatan
itu untuk pergi jauh, pergi tinggalkan tempat ini, atau mungkin
mencari sebuah tempat yang rahasia dan bersembunyi
sementara waktu, muncullah selewatnya tanggal lima belas"
"Kalau aku kabur dari sini, sejak awal aku sudah pergi
meninggalkan tempat ini"
"Lalu.... kenapa kau tidak pergi dan sini?" tanya Tu Siauthian
keheranan.
"Seandainya kawanan laron penghisap darah itu benarbenar
jelmaan dari iblis atau setan, biar ke mana pun aku
pergi, mereka tetap masih bisa menemukan jejakku"
Sekali lagi Tu Siau-thian berdiri termangu, apa yang
dikatakan Jui Pakhay memang sangat masuk di akal.
Menurut cerita orang kuno, setan iblis itu tahu segalanya
dan mampu melakukan apa pun, mau kabur dan bersembunyi
ke dasar tanah pun tidak ada gunanya, sebab akhirnya akan
ditemukan juga.
Tiba-tiba satu ingatan melintas dalam benak Tu Siau-thian,
buru buru serunya:
"Kau bisa kabur ke biara atau kuil Buddha untuk
menghindarkan diri"
"Kau anggap aku tidak pernah berpikir sampai ke situ?" Jui
Pakhay balik bertanya sambil tertawa.

119
"Menurut apa yang kuketahui, setan iblis pasti akan
menghindari tempat tempat suci seperti biara atau kuil
Buddha"
"Aku pun tahu kalau diseputar sini banyak terdapat biara
atau kuil Buddha"
"Memangnya sudah kau coba cara ini? Sudah tahu dan
yakin kalau cara tersebut sama sekali tidak bermanfaat?"
"Aku hanya mengetahui satu hal"
"Apa?"
"Walaupun diseputar tempat ini banyak terdapat biara atau
kuil Buddha, namun belum uda sebuah tempat pun yang
benar-benar merupakan biara atau kuil Buddha yang sangat
tenang, juga tidak seorang pendeta suci pun yang terdapat
disini"
Tu Siau-thian tidak mencoba untuk membantah apa yang
dikatakan Jui Pakhay, tebagai seorang opas, dia memang
cukup tahu keadaan diseputar wilayah itu, tidak ada orang
kedua yang lebih jelas ketimbang dirinya.
Apa yang diucapkan Jui Pakhay memang benar dan
merupakan satu kenyataan.
Maka setelah menghela napas panjang, ujarnya:
"Yaaa, kalau mau bicara jujur, berapa banyak biara dan kuil
suci yang terdapat didunia ini? Berapa banyak pendeta suci
yang menghuni di sekeliling kita?"
"Apalagi semakin tinggi ajaran To, semakin tinggi pula
pengaruh sesat" sambung Jui Pakhay cepat, "sekalipun aku
benar benar bersembunyi didalam biara suci, biarpun ada
seorang pendeta suci yang mendampingiku, apakah
kesemuanya ini menjamin kalau si Raja laron tidak akan
munculkan diri?"

120
"Maka kau lebih suka menunggu kemunculan si Raja laron
disini?"
"Betul, terus terang, aku sendiripun ingin sekali bertemu
dengannya!" kata Jui Pakhay sambil manggut-manggut.
"Oya?"
"Lebih baik lagi bila tiba pada saatnya nanti dia bisa muncul
dengan wujud sebagai manusia, dapat berbicara seperti
manusia dan memberi kesempatan pula kepadaku untuk
berbicara dan mengeluarkan seluruh isi hatiku"
"Kau ingin bertanya kepadanya, mengapa kau yang dipilih
sebagai korbannya?"
Sekali lagi Jui Pakhay tertawa sedih.
"Asal dia bersedia memberikan sedikit keterangan
kepadaku, aku pun rela mempersembahkan darahku
kepadanya, mempersembahkan dengan ikhlas"
Tu Siau-thian tidak bicara lagi, dia tertunduk dengan mulut
membungkam.
"Aku hanya menuntut sebuah penjelasan" sambung Jui
Pakhay lagi perlahan.
"Yaa, aku sendiripun berharap bisa mendengar sebuah
penjelasan" tanpa terasa Tu Siau-thian menambahkan.
"Kalau itu agak sulit, sebab disaat aku memahami semua
duduknya persoalan, saat itulah ajalku akan tiba, orang mati
kan tidak bisa menyampaikan kabar apa apa"
"Besok malam aku akan mendampingimu setiap saat setiap
detik, asal kau diberi penjelasan maka aku pun pasti akan
mendengarnya juga" ujar Tu Siau-thian sambil tertawa.
"Jangan, jangan sekali kali kau berbuat begitu!" cegah Jui
Pakhay. "Kenapa?"

121
"Sebab kau adalah sahabatku, kau tidak seharusnya
mempertaruhkan nyawamu demi seorang teman macam aku"
"Semakin kau berkata begitu, aku semakin harus
menyerempet bahaya ini"
Jui Pakhay tidak berbicara lagi, dia hanya mengawasi
rekannya dengan mata melotot.
Terdengar Tu Siau-thian berkata lebih jauh:
"Bila kau sudah anggap aku sebagai sahabatmu, kenapa
aku tidak boleh memandang kau sebagai temanku? Ketika
melihat teman sedang menghadapi kesulitan, masa aku harus
berpeluk tangan belaka?"
"Tahukah kau, siapa pun itu orangnya, bila dia berada
bersama aku besok malam, besar kemungkinan dia pun akan
dijadikan target sasaran dan kawanan laron penghisap darah
itu?"
Tu Siau-thian mengangguk.
"Tahukah kau, bila apa yang dikatakan orang benar,
kemungkinan besar kawanan laron itu akan menghisap darah
dalam tubuhmu hingga mengering?" kembali Jui Pakhay
berkata.
Untuk kedua kalinya Tu Siau-thian mengangguk.
"Kalau sudah tahu begitu, kau masih tetap bersikeras akan
menyerempet bahaya?" sambung Jui Pakhay.
Sekali lagi Tu Siau-thian mengangguk.
Mendadak Jui Pakhay menepuk bahu Tu Siau-thian keras
keras, serunya sambil tertawa tergelak:
"Hahaha.... sahabat karib, sahabat karib!"
"Jadi kau sudah mengijinkan aku untuk mendampingimu
besok malam?" tanya Tu Siau-thian.

122
"Tidak, aku masih tetap menolak!" tiba tiba Jui Pakhay
menghentikan gelak tertawanya, kemudian setelah menatap
wajah Tu Siau-thian sesaat, terusnya, "bila kuijinkan kau
mendampingiku, berarti aku lah yang tidak setiakawan"
Sambil menggeleng berulang kali, Tu Siau-thian menghela
napas panjang:
"Aaai.... kau terlalu kolot, terlalu kaku dan keras kepala"
"Betul, memang begitu watakku sejak lahir"
"Tapi sampai waktunya aku tetap akan datang, kau toh
tidak mungkin bisa mengusirku" tiba tiba Tu Siau-thian
tertawa.
"Karena kau adalah seorang opas?"
"Benar, aku bertanggung jawab untuk menghentikan setiap
pembunuhan yang bakal terjadi diwilayahku"
"Tapi berbicara dari kedudukanku dalam masyarakat, masa
dikala aku sedang tidur pun kau bisa masuk ke kamarku
seenaknya?"
"Baiklah, kalau begitu besok malam aku akan berjaga-jaga
diluar kamarmu saja" kata Tu Siau-thian sambil tertawa
"Apakah ada sesuatu yang bisa mengubah rencanamu itu?"
"Tidak ada"
Dengan perasaan apa boleh buat Jui Pakhay menghela
napas panjang, ujarnya kemudian:
"Asalkan kau tidak menyerbu masuk ke dalam kamarku
ketika gerombolan laron itu muncul, semestinya diluar pintu
merupakan sebuah tempat yang sangat aman"
Tu Siau-thian segera tertawa tergelak.
Terdengar Jui Pakhay berkata lebih jauh:

123
"Aku tahu, kau tidak bakal memiliki kesabaran seperti itu,
jangan lagi gerombolan laron itu sudah menampakkan diri,
asal di dalam kamarku terdapat sedikit gerakan pun mungkin
kau sudah menyerbu masuk ke dalam"
"Hey, sejak kapan kau tahu dengan begitu jelas tentang
watakku?"
Jui Pakhay tidak menanggapi pertanyaan itu, dia hanya
bertanya:
"Besok, jam berapa kau akan datang kemari?"
"Semakin awal tentu saja semakin baik"
"Besok, seharian penuh aku akan tetap berdiam di dalam
perpustakaan ku"
"Ehmmm, memang tidak salah pilih, pemandangan diluar
perpustakaanmu memang cukup indah"
"Memang indah, mungkin pemandangan dikala malam
bulan purnama jauh lebih indah lagi, hanya sayang hawa pasti
dingin dan angin pasti bertambah kencang"
"Kalau udara terlalu dingin, aku bisa mengenakan pakaian
lebih"
"Haai, tidak kusangka kau lebih keras kepala ketimbang
aku" keluh Jui Pakhay sambil gelengkan kepalanya berulang
kali.
Tu Siau-thian hanya tertawa saja, kemudian dia
mengalihkan pokok pembicaraan ke soal lain, ujarnya:
"Aku masih bermandikan debu dan berwajah letih, kenapa
kau tidak memberikan pernyataan apa pun?"
"Semestinya aku harus menjamu kedatanganmu dari
tempat yang jauh, hanya sayang perasaan hatiku saat ini
sedang kurang baik sehingga aku merasa segan untuk
melakukan sesuatu apa pun"

124
"Kalau begitu aku mesti mohon diri lebih dulu?"
Jui Pakhay sama sekali tidak berminat untuk menahannya
lebih jauh, dengan menunjukkan perasaan menyesal katanya:
"Bila aku masih tetap hidup selepasnya besok malam, aku
pasti akan menjamumu besar besaran dan mengajakmu
mabuk selama tiga hari tiga malam"
"Sampai waktunya, jangan lupa kau keluarkan semua arak
simpananmu!"
"Asal kita dapatkan kesempatan seperti ini, kau anggap aku
merasa sayang untuk mengeluarkan barang barang
simpananku?" sahut Jui Pakhay sambil tertawa pedih.
Menyaksikan mimik wajah rekannya yang begitu
mengenaskan, tentu saja Tu Siau-thian tidak bisa bicara apa
apa lagi, katanya kemudian sambil menghela napas:
"Padahal kau tidak perlu begitu kuatir....."
"Aaai.....apa mungkin aku tidak kuatir?"
Tu Siau-thian tidak bicara lagi, diapun segera berpamitan
dan beranjak pergi meninggalkan tempat itu.
Jui Pakhay benar benar tidak menghantar kepergjan
rekannya, bahkan dia hanya berdiri mematung ditempat,
bergerak sedikitpun tidak.
Matahari senja sudah condong diluar jendela kecil,
menyinari tanah lapang diluar dinding pekarangan.
Walaupun malam belum menjelang, namun cuaca lambat
laun bertambah gelap dan suram, angin malam yang dingin
pun mulai berhembus kencang.
Segulung angin berhembus lewat menyibak mantel panjang
yang dikenakan Jui Pakhay, menyibak pula tumpukan daundaunan
yang berada disisi kakinya.

125
Diatas daun terdapat bercak darah, darah itu darah kental,
walaupun hanya setetes namun memancarkan sinar yang
menyilaukan.
Ketika cahaya darah siluman itu berkelebat lewat kemudian
lenyap, daun itu kembali berbalik dan jatuh kembali ke tempat
semula.
Jui Pakhay membalikkan badan, sorot matanya mengawasi
bayangan tubuh Tu Siau thian yang lenyap di balik pintu
didepan situ, ketika kakinya bergeser itulah cahaya darah
kembali menampakkan diri.
Bercak darah yang terlihat kali ini bukan berada diatas
daun-daunan, juga bukan hanya setitik saja.
Segumpal bercak darah membasahi permukaan lantai,
darah itu kental dan bersinar aneh, sebenarnya darah apa itu?
Darah muncul dari bawah kaki Jui Pakhay, mungkinkah
darah tersebut adalah darah yang meleleh dari tubuhnya?
Kalau benar darahnya, mengapa dia berdarah?
Darah itu kental bagaikan cairan lem yang telah
menggumpal, lamat-lamat terendus pula bau amis yang aneh,
bau yang sukar dilukiskan dengan kata, cahaya darah yang
aneh membuat suasana disekeliling tempat itu terasa seakan
menyeramkan.
Mimik muka Jui Pakhay tiba-tiba mengalami perubahan,
raut wajahnya seakan ikut berubah jadi aneh karena pengaruh
suasana itu.
0-0-0
Bulan tiga tanggal lima belas, hujan rintik-rintik membasahi
bumi disaat senja menjelang datang, ketika malam semakin
mencekam jagad, hujan rintik itu seakan buyar terhembus
angin malam yang kencang.

126
Perlahan lahan rembulan mulai muncul dari balik awan
gelap, sinar yang redup mulai merambah seluruh jagad.
Tanggal lima belas saat bulan purnama, rembulan nampak
bulat bagai cermin.
"Aneh...." mendadak Tu Siau-thian seperti menemukan
sesuatu, "kenapa seawal ini rembulan sudah menampakkan
diri?"
Tidak kuasa dia merasakan bulu kuduknya pada bangun
berdiri hingga bersin berulang kali.
Rembulan yang berada diangkasa seakan mendatangkan
hawa dingin yang membekukan tubuh, mendatangkan
perasaan dingin, aneh, seram bagi siapa pun yang melihatnya.
Sekarang dia sedang berada di dalam perpustakaan Ki po
cay.
Karena sejak awal Jui Pakhay sudah meninggalkan pesan,
maka begitu Tu Siau-thian muncul disitu, pelayan segera
menghantarnya ke ruang perpustakaan dan meninggalkannya
di depan ruangan itu.
Memang inilah kehendak Tu Siau-thian sendiri, dia ingin
berjaga jaga didepan gedung.
Pelayan itu segera pergi meninggalkan tamunya seorang
diri, karena Jui Pakhay telah berpesan pula, bila Tu Siau-thian
sudah tiba disana, maka siapa pun dilarang mendekati lagi
ruang perpustakaan itu.
Dia memang sengaja berbuat demikian agar tidak menyeret
orang lain ke dalam kancah kekalutan ini.
Tu Siau-thian cukup memahami maksud dan niat rekannya
itu, maka dia bukan datang seorang diri, dia muncul
didampingi dua orang rekan opas lainnya, Tan Piau dan Yau
Kun.

127
Kedua orang ini merupakan opas opas andalannya, anak
buah yang sangat dipercaya olehnya, mereka miliki
kepandaian silat yang cukup tangguh.
Pintu ruang perpustakaan berada dalam keadaan tertutup
rapat, biarpun cahaya lentera telah menerangi ruangan itu,
namun tidak terlihat sesosok bayangan manusia pun berada
disitu.
Pelan pelan Tu Siau-thian mengalihkan sorot matanya
keatas pintu, dia sedang mempertimbangkan haruskah
mengetuk pintu ruang perpustakaan atau tidak, dia pingin
menyapa Jui Pakhay rekannya itu sekalian memeriksa
bagaimana kondisi dalam ruangan itu sekarang.
Belum lagi dia melakukan sesuatu, mendadak pintu
ruangan dibuka orang.
Sambil memegangi pintu ruangan dengan kedua
tangannya, Jui Pakhay melongok keluar dari balik ruangan,
namun dia tidak bertindak keluar dari situ.
Maka sorot mata Tu Siau-thian pun beralih keatas wajah
rekannya, tapi dengan cepat dia merinding sambil bersin
berulang kali.
Baru berpisah satu hari, raut muka Jui Pakhay telah
berubah hebat, kini air mukanya tampak putih memucat,
bahkan pucat kehijauan persis seperti wajah sesosok mayat,
ketika tertimpa sinar rembulan yang redup, membuat raut
muka itu tampil menyeramkan, persis seperti wajah siluman.
Tampaknya sebelum membukakan pintu dia sudah tahu
akan kehadiran Tu Siau-thian, tapi diapun seakan baru
sekarang tahu akan kehadiran rekannya, suara maupun mimik
mukanya nampak dingin, kaku dan sangat aneh.
"Apa yang telah terjadi?" buru-buru Tu Siau-thian bertanya.

128
"Apa yang terjadi?" Jui Pakhay nampak agak melengak,
"tidak ada kejadian apa apa disini, kenapa kau mengajukan
pertanyaan yang aneh?"
"Masa kau tidak merasa kalau wajahmu nampak jelek
sekali?"
Jui Pakhay tertawa getir.
"Kalau orang tidak bisa tidur barang sekejap pun sepanjang
malam, seharian penuh mesti bersiap dalam suasana tegang
dan panik, apakah tampangnya masih bisa tampil bagus dan
enak dipandang?"
"Apa yang kau sibukkan seharian ini?"
"Mencatat semua peristiwa yang telah kualami selama
belasan hari ini dalam sebuah kitab catatan......."
"Boleh aku melihatnya?"
"Boleh sih boleh, tapi bukan sekarang"
"Kalau bukan sekarang, aku harus menunggu sampai
kapan?" desak Tu Siau-thian lebih jauh.
"Tunggu setelah aku mati"
Tu Siau-thian tertegun, berapa saat lamanya dia hanya bisa
berdiri mematung tanpa mengucapkan sepat ah kata pun.
Dengan sedih Jui Pakhay berkata lebih jauh:
"Seandainya aku tidak jadi mati, maka akan kuusut
peristiwa ini hingga tuntas dan melakukan penyelesaian sesuai
dengan caraku sendiri"
"Bagaimana kalau kau keburu mati duluan?" seru Tu Siauthian
tanpa sadar.
"Cepat atau lambat kau pasti akan menemukan kitab
catatanku itu, dengan membaca seluruh rangkaian peristiwa
yang kucatat dalam kitab itu, kau bakal paham sendiri hal

129
ikhwal terjadinya peristiwa ini dan tidak sulit untuk
menemukan latar belakang yang sebenarnya atas kematianku
itu"
Tu Siau-thian gelengkan kepalanya berulang kali, katanya:
"Kenapa tidak kau tunjukkan kepadaku sekarang saja?
Siapa tahu aku akan menemukan cara penanggulangan yang
belum terpikirkan sebelumnya, siapa tahu dengan cara
tersebut nyawamu masih bisa diselamatkan?"
Jui Pakhay menggelengkan kepalanya berulang kali,
tukasnya:
"Kitab catatan tersebut hanya boleh dibaca setelah aku
mati"
"Buat apa sih kau gunakan nyawa sendiri sebagai taruhan
untuk membuktikan kebenaran dari semua peristiwa ini?" seru
Tu Siau-thian dengan mata terbelalak.
"Sebab hanya cara inilah merupakan satu satunya cara
yang terbaik"
"Jadi kau sudah bosan hidup?"
"Siapa yang tidak bosan hidup bila tiap saat tiap detik harus
hidup dalam suasana horor dan penuh teror?"
Tu Siau-thian memperhatikan rekannya sekejap,
mengawasi dari ujung kepala hingga ke ujung kakinya,
kemudian bergumam:
"Aku lihat kau sudah mirip dengan orang gila........”
"Aku justru berharap diriku benar-benar bisa berubah
menjadi orang gila!"
Sesudah tertawa getir, lanjutnya:
"Kalau aku berubah menjadi orang gila maka aku tidak
perlu menguatirkan persoalan apa pun, juga tidak perlu
tersiksa oleh perasaan apa pun, aku tak usah takut, tak perlu

130
kuatir, tak usah tegang dan ketakutan, tak usah marah atau
sedih......."
Sekali lagi Tu Siau-thian tertegun.
BAB 8
Bayangan Laron Berlapis-lapis
Dari dalam sakunya Jui Pakhay mengeluarkan sepucuk
surat, sambil disodorkan ke depan, ujarnya:
“Aku sempat menulis sepucuk surat ini.”
“Surat? Apa yang akan kau perbuat dengan surat ini?”
“Untuk kuserahkan kepadamu.”
“Buat aku?” Tu Siau-thian tercengang.
“Bukan, surat itu bukan untukmu,” Jui Pakhay menggeleng.
“Lantas, kenapa kau serahkan kepadaku?”
“Karena aku sudah tidak punya kesempatan untuk keluar
lagi dari tempat ini, sedang sekelilingku juga tidak ada
seorangpun orang yang bisa kupercaya, maka dari itu
terpaksa kugunakan kesempatan ini untuk menyerahkannya
kepadamu, tolong bantu aku untuk sampaikan surat tersebut
kepada alamat yang kumaksud.”
“Aku harus menghantar surat ini kemana?”
“Ke kantor polisi.”
“Serahkan kepada siapa?”
“Kepada penguasa setempat, Ko Thian-liok!”
Tampaknya Tu Siau-thian sangat tercengang dengan sikap
rekannya itu, buru buru dia bertanya lagi:

131
“Sebenarnya apa isi surat ini?”
“Sebetulnya bukan sebuah surat, lebih tepatnya sebuah
surat wasiat.”
“Surat wasiat?”
“Aku minta tuan Ko untuk mengaturkan semua harta
warisanku sepeninggalku nanti.”
“Ooh....”
“Tentu saja bila aku masih bisa hidup sampai esok pagi,
surat tersebut tidak perlu kau sampaikan lagi, segera
kembalikan kepadaku,” Jui Pakhay menambahkan sambil
tertawa paksa.
“Maksudmu, untuk sementara waktu kau minta aku untuk
menyimpankan surat wasiat ini?”
“Benar.”
Tiba-tiba Tu Siau-thian tertawa tergelak.
“Hahaha... aku kuatir sepeninggal gerombola laron
penghisap darah itu, aku sendiripun telah berubah jadi
sesosok mayat kering, kalau sampai begitu, tentu saja aku
tidak bisa sampaikan suratmu itu kepada yang bersangkutan.”
“Kalaupun kau telah berubah jadi sesosok mayat
mengering, toh masih ada dua orang anak buahmu.”
“Siapa tahu mereka akan senasib pula dengan diriku?” ucap
Tu Siau-thian sambil berpaling sekejap memandang ke dua
orang anak buahnya.
“Oooh, tidak kusangka hatimu begitu mulia....”
Tu Siau-thian menghela napas panjang, ujarnya:
“Kalau sampai kau dengan andalanmu jit-seng-toh-hun, Itkiam-
coat-mia tujuh bintang pencabut nyawa, pedang sakti
perenggut sukma pun masih tidak yakin bisa hidup,

132
bagaimana mungkin sepasang tombak pendeknya ditambah
ruyung bajanya mampu menandingi kehebatan pedang tujuh
bintang pencabut nyawamu?”
“Belum tentu gerombolan laron penghisap darah itu akan
menyerang kalian, seandainya kalian pun tertimpa musibah
hingga mati semua, aku yakin surat tersebut pun akan turut
musnah, jadi tidak perlu dipermasalahkan.”
Tu Siau-thian tidak mengerti, dia mengawasi rekannya
dengan termangu.
Buru-buru Jui Pakhay menjelaskan:
“Sebab selain surat itu, aku masih mempersiapkan lagi
sepucuk surat dengan isi yang sama sekali berbeda, surat itu
kutaruh menjadi satu dengan kitab catatanku itu, bila kita
semua harus mati bersama, tiga hari kemudian pun surat
tersebut tetap akan sampai ke tangan pejabat Ko.”
Tu Siau-thian semakin tidak mengerti, dia semakin
tertegun.
Terdengar Jui Pakhay berkata lagi:
“Tiga hari lagi seorang sahabatku akan tiba di sini, dalam
keadaan apa pun dia pasti akan muncul di tempat ini, dengan
kecerdasan otaknya, aku yakin dia pasti akan menemukan
kitab catatan beserta surat wasiatku itu, di atas surat sudah
kucantumkan nama si penerimanya dengan jelas, aku percaya
dia akan membantu aku untuk menyampaikannya.”
“Tampaknya kau termasuk orang yang sangat berhati-hati.”
“Kalau seseorang sudah berada dalam keadaan seperti ini,
bagaimana mungkin dia tidak berhati-hati?”
“Boleh aku tahu, siapa sih temanmu itu?” tiba-tiba Tu Siauthian
bertanya.
“Siang Hu-hoa!”

133
“Apa? Siang Hu-hoa?” begitu nama tersebut disebut, paras
muka Tu Siau-thian, Tan Piau maupun Yau Kun segera
berubah hebat.
“Memangnya kalian belum pernah mendengar nama
sahabatku itu?” tanya Jui Pakhay sambil melirik ke tiga orang
itu sekejap.
“Aku rasa tidak banyak lagi jago dalam persilatan yang
tidak pernah mendengar nama dari sahabatmu itu.”
“Betul,” Jui Pakhay mengangguk berulang kali, “nama
besarnya memang cukup tersohor di dalam dunia persilatan,
aku lihat di antara jagoan pedang yang ada di dunia saat ini,
mungkin dialah jagoan nomor wahid.”
Kelihatannya Tu Siau-thian sependapat dengan ucapan
rekannya, katanya:
“Walaupun aku belum pernah berjumpa dengan orang ini,
pun belum pernah melihat ilmu pedangnya, tapi di dalam
dunia persilatan saat ini rasanya memang belum ditemukan
orang ke dua yang sanggup menandingi kehebatannya.”
“Kalian pasti tidak menyangka bukan kalau aku mempunyai
seorang sahabat yang hebat macam dia?”
“Aku sudah kenal denganmu bertahun-tahun lamanya, tapi
baru pertama kali ini kudengar cerita tersebut.”
Jui Pakhay tidak bicara lagi, dia termenung dan terbungkam
mulutnya.
Kelihatannya Tu Siau-thian tidak merasakan perubahan
aneh di wajah rekannya itu, kembali ujarnya:
“Menurut apa yang kudengar, konon sahabatmu itu tinggal
di perkampungan selaksa bunga Ban-hoa-sanceng?”
Jui Pakhay tidak menjawab, dia hanya mengangguk.

134
“Aku rasa selisih jarak dari perkampungan Ban-hoa sanceng
sampai di sini tidaklah terlampau jauh,” kembali Tu Siau-thian
berkata.
“Dengan menunggang kuda tercepat pun butuh enam hari
untuk sampai di sini.”
“Apakah kau tidak berusaha menghubunginya sejak awal?”
“Tanggal tujuh aku baru mengutus Jui Gi untuk membawa
suratku berangkat ke perkampungan Ban-hoa sanceng.”
“Jui Gi?”
“Mestinya kau tidak asing dengan orang ini!”
“Yaa, rasanya aku ingat kalau ada manusia seperti ini.”
“Keluarganya turun temurun selalu bekerja melayani
keluarga Jui, aku percaya seratus persen dengan orang ini,
karenanya dialah yang kuutus untuk pergi menjumpai Siang
Hu-hoa.”
“Seharusnya kau utus dia lebih awal lagi, mungkin saat ini
dia sudah tiba di sini.”
“Kalau bukan betul-betul terpaksa, semestinya aku tidak
ingin pergi mencarinya....”
Setelah menghela napas panjang, lanjutnya:
“Sebab... sebetulnya kami sudah tidak bersahabat lagi”
“Oya?”
Jui Pakhay tidak menjelaskan lebih jauh, dia alihkan sorot
matanya ke atas surat itu dan katanya:
“Surat ini sudah disegel dengan lak merah dan bukan kali
pertama kukirim surat semacam ini kepada ko thayjin, biarpun
belum tentu dia mengenali gaya tulisanku, tapi bila
disejajarkan dengan surat yang lama, bentuk maupun
modelnya persis sama.”

135
“Kau kuatir ada orang mengganti atau merubah isi surat
wasiatmu itu?” tegur Tu Siau-thian sambil tertawa.
“Yaa benar, aku memang menguatirkan hal ini, itulah
sebabnya di atas segel tersebut sengaja kuberikan cap
pribadiku sebanyak dua kali.”
Kemudian setelah tertawa paksa, lanjutnya:
“Surat wasiat yang telah dirancang macam begini, tentunya
tidak bakal terjadi hal-hal yang tidak diinginkan bukan?”
Tu Siau-thian tidak langsung menjawab, ujarnya setelah
menghela napas:
“Kalau dibilang otakmu sudah tidak waras, kau sudah jadi
orang gila, kenapa jalan pemikiranmu masih begitu teliti dan
cermat?”
Jui Pakhay ikut menghela napas panjang, tapi dia tidak
berkata apa-apa, suratnya segera dilontarkan ke depan.
Ketika Tu Siau-thian menerima surat tersebut, dengan
cepat dia menutup kembali pintu ruangannya, oleh sebab itu
dia pun tidak bisa berkata apa-apa lagi.
Serta-merta sorot matanya dialihkan ke atas surat itu,
diperiksanya sekejap dari depan ke belakang, dari atas hingga
ke bawah, memang surat itu merupakan sepucuk surat yang
sangat rapat dan tertutup.
Dengan sangat hati-hati Tu Siau-thian menyimpan surat itu
ke dalam sakunya, lalu setelah mengerling sekejap ke arah
dua orang pembantunya, dia berkata lagi:
“Di sebelah sana terdapat gardu, mari kita berjaga-jaga di
dalam gardu itu saja.”
Waktu itu sisa cahaya senja sama sekali sudah lenyap dari
pandangan, rembulan yang bulat di ujung langit sana nampak
masih bening bagaikan air.

136
??>
Bangunan gardu itu berada di tengah pepohonan dan
bebungaan, namun daun-daunan dan pohon-pohonan
tersebut sama sekali tidak menutupi pandangan orang ke
empat penjuru, tidak terlampau sulit untuk melihat keadaan
ruang perpustakaan dari situ, sebaliknya dari ruang
perpustakaan pun tidak sulit untuk memandang ke arah
gardu.
Di tengah gardu itu terdapat sebuah meja yang terbuat dari
batu dan beberapa buah bangku dari batu pula.
Tu Siau-thian segera memilih sebuah bangku yang persis
menghadap ke arah ruang perpustakaan dan duduk, perasaan
hatinya mulai tegang bercampur sedikit panik.
Tan Piau dan Yau Kun duduk di sisi kiri kanannya.
“Komandan,” ujar Yau Kun kemudian, “kalau didengar dari
nada pembicaraan orang she-Jui itu, tampaknya di sini benarbenar
terdapat makhluk yang disebut laron penghisap darah
itu?”
“Dalam kenyataan memang ada!”
“Apakah komandan juga telah menjumpai sendiri makhluk
itu?”
“Betul, sudah bertemu sebanyak dua kali” Tu Siau-thian
mengangguk.
“Benarkah makhluk itu adalah laron yang bisa menghisap
darah?” desak Yau Kun lebih jauh.
Sekali lagi Tu Siau-thian mengangguk.
Berubah paras muka Yau Kun, serunya:
“Kalau dilihat jawaban komandan yang begitu meyakinkan,
apakah kau pernah juga dihisap darahnya oleh makhluk itu?”
Untuk kesekian kalinya Tu Siau-thian mengangguk.

137
“Waktu itu yang muncul hanya seekor, baru saja laron
penghisap darah itu mulai menghisap darahku, segera
kukebaskan tanganku hingga terlepas gigitannya.”
Kali ini paras muka Yau Kun benar-benar berubah hebat,
seketika dia terbungkam.
Tan Piau yang berada di sisinya tidak tahan untuk ikut
menimbrung, tanyanya:
“Bagaimana sih ceritanya hingga orang she-Jui itu direcoki
makhluk tersebut?”
“Aku sendiripun kurang begitu jelas.”
“Dia sendiri juga tidak tahu?”
“Bila kudengar dari logat bicaranya, jelas dia tahu secara
pasti, Cuma dia enggan untuk mengatakannya, seakan ada
kesulitan yang sukar diterangkan.”
Setelah berhenti sejenak, tambahnya: “Cuma, sekalipun dia
enggan berbicara pun tidak jadi masalah, sebab pada malam
nanti, besar kemungkinan kita akan peroleh sebuah jawaban
yang jelas.”
“Tampaknya malam sudah menjelang tiba....”
Tu Siau-thian mengalihkan pandangan matanya ke luar
gardu, benar saja, kegelapan malam mulai menyelimuti
seluruh jagad.
Halaman mulai terselubung dalam kegelapan, hanya sedikit
cahaya remang terlihat memancar keluar dari balik ruang
perpustakaan.
Lambat laun Tu Siau-thian bertiga pun terkepung di balik
kegelapan, dalam suasana seperti ini mereka bertiga tidak
banyak bicara lagi.
??>

138
Malam semakin larut, bulan yang purnama pun lambat laun
semakin bergeser ke tengah angkasa.
Cahaya lentera yang menyorot keluar dari balik jendela
ruang perpustakaan makin bertambah terang-benderang,
seluruh daun jendela seakan berubah jadi memutih karena
bermandikan sinar.
Bayangan tubuh Jui Pakhay kelihatan lamat-lamat, ada
kalanya dia nampak berdiri, ada kalanya berjalan kian kemari,
ada kalanya berputar-putar saja dalam ruangan seperti semut
yang kepanasan di atas kuali.
Biarpun tidak terdengar suara apa pun, walau hanya
bayangan tubuh Jui Pakhay yang nampak, namun Tu Siauthian
bertiga dapat ikut merasaan ketidaktenangan, kepanikan
serta ketidaksabaran orang itu.
Tanpa sadar mereka bertiga pun ikut panik, ikut tidak
tenang, tidak sabar, sampai kapan kawanan laron penghisap
darah itu baru akan munculkan diri?
??>
Malam bertambah larut, rembulan semakin tinggi
menerawang, juga nampak semakin bulat.
Sinar rembulan yang dingin menyinari seluruh permukaan
bumi, kabut tipis mulai membungkus seluruh halaman.
Entah darimana datangnya kabut itu, tidak tahu pula sejak
kapan kemunculannya, di bawah cahaya rembulan lapisan
kabut tipis itu seakan menyebarkan hawa dingin yang
menggidikkan hati.
Tu Siau-thian bertiga seolah sudah kaku karena kedinginan,
mereka sama sekali tak bergerak, cahaya rembulan yang ikut
membeku seolah tak pernah bergeser pula dari jendela ruang
perpustakaan.

139
Kini cahaya lentera yang muncul dari balik jendela nampak
semakin terang, seluruh permukaan jendela seolah telah
berubah jadi putih bersih karena lapisan salju.
Bayangan tubuh Jui Pakhay masih tertera pula dari balik
jendela, sesosok bayangan tubuh yang sama sekali tak
bergerak.
Bila ditinjau dari bayangan yang memantul, tampaknya Jui
Pakhay sedang duduk di sisi lentera, betapa panik dan
gelisahnya seseorang ada saatnya juga untuk bersikap tenang.
Kentongan pertama, kentongan ke dua, kentongan ke
tiga....
Kini rembulan sudah berada tepat di atas angkasa, bening
bulat bagaikan sebuah cermin, sebuah bulan purnama yang
amat sempurna.
Suara kentongan sekali lagi berkumandang, tiba-tiba...
rembulan itu seakan retak dan mulai merekah....
Selapis awan yang berbentuk sangat aneh tiba-tiba
melayang datang, seakan ada sebuah tangan iblis yang
muncul entah dari mana dan secara tiba-tiba menerkam sang
rembulan dan mencabik-cabiknya.
Awan itu berwarna merah pekat, merah bagaikan
genangan darah segar.
Kini sang rembulan seakan sudah tercebur ke dalam
sebuah bak berisi darah, rembulan yang merah darah....
Saat itu Tu Siau-thian kebetulan sedang menengok ke
angkasa, sebenarnya dia ingin menikmati indahnya bulan
purnama, namun yang terlihat olehnya adalah bulan purnama
yang berwarna merah, merah darah kental.
Perasaan bergidik segera mencekam seluruh hatinya,
sungguh aneh, mengapa awan dan rembulan yang muncul
pada malam ini tampak begitu aneh?

140
Kini cahaya rembulan sudah sama sekali lenyap di balik
awan berwarna merah darah itu.
Dan pada saat itu pula bayangan tubuh Jui Pakhay yang
berada di tepi jendela mulai menunjukkan sebuah reaksi yang
luar biasa.
Diikuti kemudian sebuah jeritan ketakutan yang sangat
menggidikkan hati:
“Laron penghisap darah!”
Suara jeritan dari Jui Pakhay, akhirnya laron penghisap
darah itu muncul juga!
Sorot mata Tu Siau-thian segera dialihkan kembali ke arah
ruang perpustakaan diikuti “Criiing!” terdengar suara pedang
yang diloloskan dari sarungnya berkumandang memecahkan
keheningan.
Semua suara itu jelas muncul dari balik ruangan,
sedemikian nyaringnya suara itu sehingga Tu Siau-thian
bertiga yang berada di dalam gardu pun dapat mendengar
dengan jelas sekali.
Malam itu memang malam yang kelewat sepi.
Bayangan pedang, bayangan manusia melejit hampir pada
saat yang bersamaan, tiba-tiba seluruh cahaya lentera di
dalam ruang perpustakaan itu padam.
Seketika itu juga kegelapan yang luar biasa mencekam
seluruh bangunan perpustakaan itu.
Tu Siau-thian tidak berayal lagi, segera bentaknya:
“Cepat!”
Golok telah diloloskan dari sarungnya, hampir pada saat
yang bersamaan dia sudah melayang keluar dari gardu itu,
langsung menerjang ke arah ruang perpustakaan.

141
Reaksi dari Tan Piau dan Yau Kun cukup cepat juga, Yau
Kun segera membalikkan kedua lengannya meloloskan
sepasang tombak yang tersoren di punggungnya, “Criiiing!”
Tan Piau juga telah meloloskan senjata ruyung bajanya yang
selama ini melilit di pinggangnya, hampir pada waktu yang
bersamaan ke dua orang itu sudah menerjang keluar dari
gardu dan mengikuti di belakang komandannya.
Dalam satu kali lompatan Tu Siau-thian sudah melayang
turun tepat di depan pintu ruang perpustakaan, segera
teriaknya keras:
“Saudara Jui!”
Tiada jawaban, suasana dalam ruang perpustakaan sangat
hening, amat sepi, keheningan yang amat menakutkan!
“Bagaimana komandan?” bisik Yau Kun kemudian ketika
tiada reaksi dari dalam ruangan itu.
“Kita dobrak!” perintah Tu Siau-thian.
Begitu selesai bicara, kaki kanannya langsung melayang ke
depan dan “Duuuk!” menghajar di atas pintu ruangan.
“Braaak!” pintu ruangan segera jebol terhajar tendangan
dahsyat itu.
Sambil memutar goloknya membentuk selapis cahaya
perlindungan yang membungkus seluruh tubuhnya, Tu Siauthian
siap menerjang masuk ke dalam.
Kini pintu ruangan sudah terbuka, seandainya gerombolan
laron penghisap darah itu menerjang keluar dari balik ruangan
maka lapisan cahaya golok itu dapat dipakai untuk sementara
waktu memblokir serbuannya.
Di luar dugaan tidak ada laron penghisap darah yang
muncul dari balik ruangan, jangan lagi segerombolan, seekor
pun tidak nampak.

142
Suasana di balik pintu sangat gelap, sedemikian gelapnya
hingga sulit melihat keadaan di sekelilingnya dengan jelas.
Tu Siau-thian memandang sekejap sekeliling tempat itu,
kemudian dia menjatuhkan diri ke lantai dan berguling masuk
ke dalam ruangan, mengikuti gerakan itu cahaya golok diputar
sedemikian rupa untuk melindungi tubuhnya.
Tidak usah diperintah lagi, Yau Kun dan Tan Piau segera
mendobrak jendela yang berada di kiri dan kanan ruangan,
lalu yang satu melintangkan sepasang tombaknya untuk
melindungi badan, yang lain memutar ruyungnya langsung
menerjang masuk ke dalam ruang perpustakaan melalui
jendela yang terbuka itu.
Dalam waktu singkat mereka bertiga sudah tertelan di balik
kegelapan.
Kegelapan hanya berlangsung dalam waktu singkat, tibatiba
berkelebat sekilas cahaya terang, sebuah korek api telah
disulut orang.
Tu Siau-thian memang bukan opas kemarin sore yang
miskin pengalaman, korek api ternyata berada di dalam
genggamannya.
Kini dia telah bangkit berdiri, mengangkat tinggi korek api
tersebut dengan golok di tangan kanannya melintang di depan
dada, sorot matanya yang tajam tiada hentinya bergeser
memeriksa sekeliling tempat itu.
Sementara itu Tan Piau dan Yau Kun telah menyulut pula
dua obor, suasana di dalam ruang perpustakaan pun kembali
jadi terang-benderang.
Sekarang semuanya sudah terlihat jelas, di dalam ruang
perpustakaan itu kecuali dia bersama ke dua orang anak
buahnya, di situ tak nampak hadir orang ke empat.
Lalu ke mana perginya Jui Pakhay?

143
??>
Lampu lentera masih berada di atas meja, namun penutup
lampu itu sudah terbelah jadi dua, begitu pula dengan sumbu
api lentera, sumbu itu terbelah juga jadi dua bagian.
Tampaknya tusukan kilat yang dilancarkan Jui Pakhay
dengan pedangnya telah membelah penutup lampu itu hingga
terpapas menjadi dua bagian.
Bacokan pedang itu tepat membelah penutup lampu, tentu
saja Jui Pakhay mempunyai alasan yang kuat untuk berbuat
begitu.
Dia memang bukan orang gila, bukan orang yang tidak
waras otaknya,
... Laron penghisap darah!
Waktu itu dia memang berteriak kaget: Laron penghisap
darah! Mungkinkah laron itu muncul di sekitar atau di atas
penutup lampu itu? Karena makhluk penghisap darah itu
muncul di sana, maka serangan pedangnya ditujukan ke arah
sana dan membuat penutup lampu serta sumbu lampunya
terpapas jadi dua?
Untung sumbu lampu itu tidak terpapas habis dan masih
bisa disulut, Tu Siau-thian segera menyulut kembali lampu
lentera itu.
Dengan cepat cahaya lampu menerangi seluruh sudut
ruang perpustakaan, kini suasana jadi terang benderang
bagaikan di tengah hari.
Tu Siau-thian dapat melihat setiap benda yang ada dalam
ruangan dengan jelas, Jui Pakhay memang benar-benar tidak
berada dalam ruang perpustakaan.
Tidak nampak bayangan manusia, yang kelihatan justru
bercak darah, bercak darah itu berada di tepi lampu lentera, di
bawah cahaya sinar lampu yang terang.

144
Darah itu berwarna merah cerah, cahaya darah yang
membawa hawa sesat, mungkinkah berasal dari darah
manusia? Atau darah laron?
Darah laron biasanya tidak berwarna, atau mungkin darah
laron penghisap darah adalah pengecualian?
Kalau bukan berasal dan darah laron, berarti darah itu
adalah darah yang meleleh keluar dari tubuh Jui Pakhay.
Bercak darah masih tersisa di atas meja, tapi ke mana
perginya orang itu?
Tu Siau-thian mencoba mengambil darah itu dengan ujung
jarinya kemudian diendus sebentar, setelah itu gumamnya:
“Kalau ditinjau dari baunya, darah ini semestinya darah
manusia.”
Sudah belasan tahun dia bekerja sebagai seorang opas,
sudah tidak terhitung jumlah penjahat yang jatuh ke
tangannya, tentu saja kawanan penyamun itu tidak akan
menyerah dengan begitu saja, ini membuat kehidupannya
selama belasan tahun ini ibarat masuk keluar di antara
kehidupan dan kematian, bahkan dia sendiripun sampai lupa
sudah berapa banyak pertarungan yang dia lakukan.
Dengan pengalaman semacam ini, otomatis bau anyirnya
darah manusia sudah sangat dikenal olehnya, karena golok
andalannya entah sudah berapa kali mesti berpelepotan darah
kental.
Tapi sekarang, dia tidak yakin akan penemuannya, dia tidak
yakin kalau bercak darah itu berasal dari darah manusia.
Biarpun sudah dua kali dia menjumpai laron penghisap
darah, namun tidak sekali pun pernah melihat darah dari
kawanan laron itu.
Kawanan laron penghisap darah itu menghisap darah
manusia, berarti darah yang terhisap akan tersimpan di dalam

145
tubuhnya, mungkinkah lantaran menghisap darah manusia
maka darah yang mengalir dalam tubuh laron penghisap darah
itu berubah jadi darah manusia?
Atau mungkin cairan darah yang berada dalam tubuh laron
penghisap darah pada hakekatnya sama persis seperti darah
manusia?
Tu Siau-thian tidak berpikir lebih jauh, dia kuatir pikirannya
bertambah kalut, dewasa ini masih ada persoalan lain yang
jauh lebih penting daripada persoalan tersebut, persoalan
yang butuh penyelesaiannya.
Terlepas rekannya masih hidup atau sudah jadi mayat,
yang paling penting saat ini adalah menemukan dulu Jui
Pakhay.
Setelah menyimpan korek apinya, dia ambil lentera dari
atas meja dan menerangi sekeliling ruang perpustakaan itu
dengan seksama.
Dengan bergesernya dia, cahaya lentera pun ikut bergeser,
dia telusuri seluruh ruang perpustakaan, menggeledah dan
meneliti setiap bagian dari ruangan itu.
Sudah barang tentu Tan Piau dan Yau Kun tidak berpangku
tangan belaka, tempat yang telah diperiksa Tu Siau-thian,
sekali lagi mereka periksa dan geledah dengan seksama.
Dengan pemeriksaan dan penggeledahan seperti ini,
biarpun tubuh Jui Pakhay tiba-tiba berubah tinggal berapa inci
pun rasanya tidak sulit untuk ditemukan oleh mereka bertiga.
Seorang manusia dengan perawakan setinggi tujuh depa,
bila tiba-tiba berubah menjadi berapa inci saja tingginya maka
hanya ada satu jawabannya, Jui Pakhay pasti telah bertemu
dengan siluman atau dia sendirilah sang siluman itu.
Tadi dia berteriak kaget, meneriakkan laron penghisap
darah, seandainya dia benar-benar telah berjumpa dengan

146
siluman, semestinya siluman itu adalah seekor siluman laron
penghisap darah!
Masa benar bukan hanya dongeng saja? Masa di dunia ini
benar-benar terdapat setan iblis dan siluman?
Untuk ke tiga kalinya Tu Siau-thian menggeledah seluruh
ruangan, selain pintu, jendela pun dia periksa satu per satu
dengan seksama.
Pintu ruangan perpustakaan masih berada dalam posisi
terkunci dari dalam, pintu itu terbuka lantaran jebol terhajar
tendangannya, sementara Tan Piau dan Yau Kun menerjang
masuk melalui daun jendela.
Ini berarti seluruh ruangan perpustakaan itu dalam
keadaan terkunci dari dalam, sama sekali tidak ada akses
keluar yang mungkin bisa dipergunakan.
Biar Jui Pakhay punya sepasang sayap pun mustahil dia
bisa terbang meninggalkan ruangan itu tanpa membuka
jendela atau pintu, apalagi ruang perpustakaan berada di
bawah pengawasan yang ketat dari mereka bertiga.
Tidak mungkin dia meneriakkan laron penghisap darah
tanpa sebab musabab yang jelas, dia baru menjerit keras
karena telah berjumpa dengan laron penghisap darah
tersebut.
Jeritan itu penuh dengan rasa takut, kaget, ngeri dan
seram, jeritan yang sangat memilukan hati.
Sekalipun tidak sempat menyaksikan perubahan mimik
mukanya, meski mereka hanya sempat mendengar suara
jeritannya, tapi tidak sulit bagi mereka untuk membayangkan
betapa ketakutannya orang itu.
Padahal bukan untuk pertama kalinya dia berjumpa dengan
laron penghisap darah.

147
Seandainya yang muncul waktu itu hanya berapa ekor laron
penghisap darah, tidak nanti dia akan berteriak sekeras itu,
tidak ada alasan baginya untuk menunjukkan rasa takutnya
yang luar biasa.
Jangan-jangan pada saat yang bersamaan di dalam ruang
perpustakaan telah muncul berjuta-juta ekor laron penghisap
darah yang secara serentak menyerangnya?
Bila hal tersebut merupakan kenyataan, kenapa kawanan
laron penghisap darah itu bisa lolos dari pengawasan Tu Siauthian
bertiga? Dengan cara apa mereka memasuki ruang
perpustakaan dan mereka masuk melalui jalan yang mana?
Kelihatannya hanya hembusan angin yang bisa membawa
mereka masuk ke dalam ruang perpustakaan melalui celahcelah
pintu dan jendela yang apa, kendatipun bentuk tubuh
kawanan laron penghisap darah itu lebih tipis dari kertas,
mungkinkah dalam waktu yang relatip singkat mereka bisa
masuk secara bersama? Mungkinkah berjuta-juta ekor laron
itu bisa menyusup masuk dalam waktu singkat?
Sebenarnya laron penghisap darah yang dijumpai Jui
Pakhay adalah laron penghisap darah macam apa?
Atau jangan-jangan... yang muncul waktu itu adalah raja
sang laron? Rajadiraja dari kawanan laron penghisap darah?
Mungkinkah suasana seram yang mencekam tempat
tersebut tatkala kemunculan sang raja laron, seribu bahkan
selaksa kali lipat lebih menakutkan, lebih menyeramkan
ketimbang keseraman yang dijumpainya ketika melihat
kemunculan laron penghisap darah untuk pertama kalinya
dulu?
Sejak dia menjerit kaget untuk pertama kalinya, hingga dia
mencabut pedangnya, menerjang ke muka, padamnya cahaya
lentera sampai kemunculan Tu Siau-thian bertiga dengan
mendobrak pintu, semua kejadian tersebut hanya berlangsung
dalam waktu singkat.

148
Kalau benar Jui Pakhay gagal di dalam serangannya, kalau
dia memang tewas dibantai kawanan laron penghisap darah,
andaikata mayatnya sudah dibawa kabur kawanan makhluk
seram itu, lalu... dengan cara apa mereka membawanya
pergi? Melalui jalan mana mereka kabur dari situ?
Memangnya tubuh Jui Pakhay tiba-tiba menguap seperti
segumpal kapur? Menguap di dalam ruang perpustakaan dan
hilang lenyap dengan begitu saja?
Kejadian ini jelas bukan sulap, hanya sulap yang bisa
berbuat begitu.
Benarkah di kolong langit memang terdapat setan iblis dan
siluman?
Tu Siau-thian berdiri mematung, mengawasi bercak darah
di atas meja dengan termangu, dia merasa sekujur badannya
terasa sangat dingin, seolah-olah baru saja dia tercebur ke
dalam kolam yang berisi bongkahan salju beku.
Tubuhnya dingin kaku bahkan menggigil keras, namun
jidatnya basah oleh keringat, tentu saja keringat dingin!
??>
Bulan tiga tanggal enam belas, Tu Siau-thian masih
melanjutkan penggeledahannya, seluruh bangunan
perpustakaan Ki-po-cay hingga ke seluruh halaman di
sekeliling bangunan itu telah digeledah dan diperiksa dengan
seksama.
Selain Tan Piau dan Yau Kun, kali ini dia melibatkan pula
sepuluh orang anggota opas lainnya. Tu Siau-thian bahkan
turunkan larangan, barangsiapa yang terlibat dalam tugas ini
dilarang membocorkan kejadian tersebut kepada siapa pun.
Sebelum melalui pembuktian yang jelas dan ditemukannya
fakta, dia tidak ingin membocorkan berita yang sangat aneh
dan menyeramkan itu kepada khalayak ramai, dia tidak ingin

149
terjadinya kehebohan dan kegaduhan dalam kehidupan
masyarakat.
Walaupun perintah itu dijalankan tegas, tidak urung cerita
burung beredar juga di seantero kota dengan cepatnya.
Siapa yang telah membocorkan rahasia ini? Siapa yang
telah menyebarkan berita burung itu?
Tu Siau-thian tidak punya waktu untuk mengusut kejadian
itu, dia pun tidak membiarkan siapa pun mencegah atau
menghalangi pemeriksaan dan penggeledahan yang dilakukan.
Seharian penuh mereka menggeledah setiap jengkal tanah
yang ada di seputar gedung perpustakaan Ki-po-cay, namun
bayangan tubuh Jui Pakhay masih tetap menjadi tanda tanya
besar.
Kalau seseorang sudah mati, seharusnya ada mayat yang
ditinggalkan.
Mungkinkah kawanan laron penghisap darah itu sekalian
melahap mayat tubuhnya setelah menghisap kering cairan
darah yang mengalir dalam tubuhnya?
??>
Bulan tiga tanggal tujuh belas, lingkup penggeledahan
diperluas, kini mereka telah memeriksa setiap tempat yang
ada dalam kota itu.
Usul ini bukan muncul dari Tu Siau-thian, melainkan atas
perintah dari Ko Thian-liok, penguasa tertinggi kota itu.
Sebagaimana diketahui, Ko Thian-liok termasuk sahabat
karib Jui Pakhay.
Di kota tersebut Jui Pakhay bukan saja termashur sebagai
seorang hartawan yang kaya raya, dia pun termasuk seorang
tokoh masyarakat yang berstatus sosial tinggi dan sangat
terpandang.

150
Berita tentang hilangnya sang hartawan segera menyebar
ke seantero tempat, kini semua penduduk kota ikut
mengetahui kabar tersebut, maka tak sedikit penduduk yang
mulai bergabung dan ikut serta dalam pencarian itu.
Tapi alhasil, pencarian itu sama sekali tidak membuahkan
hasil.
??>
Bulan tiga tanggal delapan belas, atas perintah Ko Thianliok
dilakukan penggeledahan sekali lagi dalam gedung
perpustakaan Ki-po-cay, penggeledahan kali ini bukan
dipimpin oleh Tu Siau-thian melainkan langsung oleh
atasannya, Nyo Sin.
Akhirnya Nyo Sin harus turun tangan sendiri, dia pimpin
langsung penggeledahan dan pemeriksaan tersebut.
Selama ini Nyo sin memang selalu berpendapat dia jauh
lebih teliti ketimbang Tu Siau-thian, bahkan jauh lebih teliti
dan cekatan ketimbang siapa pun.
Tu Siau-thian tidak pernah membantah pandangan seperti
itu, tiap kali Nyo sin hadir di tempat kejadian, dia memang
sangat jarang mengemukakan pendapat pribadinya.
Dia bukan termasuk orang yang gila nama, dia pun tidak
pernah ambil perduli bagaimana pandangan orang lain
terhadap dirinya.
Selama sepuluh tahun berbakti, dia hanya tahu setia pada
tugas dan taat pada kewajiban.
Angin berhembus sepoi di pagi hari yang cerah itu, dengan
langkah lebar Nyo Sin berjalan di paling depan, baju
kebesarannya tampak berkibar ketika terhembus angin.
Tiba di depan pintu utara, dengan suara yang lantang Nyo
sin segera menghardik:

151
“Siapa yang akan masuk untuk mengabarkan
kehadiranku?”
Tu Siau-thian segera mengiakan dan melangkah maju ke
depan, saat itulah pintu utama Ki-po-cay dibuka orang,
seorang kacung cilik menongolkan kepalanya dari balik pintu.
Teriak dari Nyo Sin memang sangat keras, suaranya ibarat
guntur yang menggelegar di siang hari bolong, teriakannya
paling tidak bisa bergema hingga sepuluh kaki jauhnya.
Sementara Tu Siau-thian sedang berbincang-bincang
dengan kacung cilik itu, mendadak dari ujung jalan
kedengaran suara kelenengan yang amat merdu bergema
tiba.
Suara keleningan itu berasal dari kepala seekor kuda,
begitu merdu dan nyaringnya suara tersebut membuat semua
orang tanpa terasa sama-sama berpaling.
Dua ekor kuda berlari cepat di sudut jalan sana, tapi dalam
waktu singkat ke dua ekor kuda tunggangan itu sudah
berjalan mendekat.
Suara kelenengan yang merdu itu ternyata berasal dari
kuda tunggangan yang pertama.
Kuda berbulu merah dengan kelenengan berwarna kuning
emas, penunggangnya adalah seorang pemuda tampan
berbaju putih dengan sebilah pedang mestika bergagang emas
bersarung kulit ular tersoren di pinggangnya, seorang pemuda
gagah yang nyaris mirip seorang pangeran.
Siang Hu-hoa!
Bab 9.
Tujuh bintang pencabut nyawa.
Akhirnya Siang Huhoa muncul juga ditempat itu.

152
Begitu suara kelenengan berhenti berdenting, kuda berbulu
merah itupun berhenti berlari tepat di depan pintu
perpustakaan Ki po cay dan "Wees!" dengan sebuah gerakan
tubuh yang enteng Siang Huhoa sudah melompat turun dari
kudanya.
Jui Gi yang menyusul ketat di belakangnya segera
melompat turun juga dari kudanya dan berdiri persis di
belakangnya, tubuh yang semula tegak bagai batang pit kini
sudah terbongkok seperti udang ebi.
Maklum, kondisi badannya jelas tidak mampu menandingi
Siang Hu-hoa, apalagi secara beruntun dalam dua belas hari
dia mesti menempuh perjalanan jauh, tiap hari harus
menghabiskan waktunya duduk di pelana kuda sambil
menempuh perjalanan jauh.
Untuk itu semua dia sudah dua kali berganti kuda, jadi
harus disyukuri kalau pinggangnya tidak sampai patah dua
lantaran itu.
Dengan menuntun kudanya terburu buru dia berjalan
disamping Siang Hu-hoa.
Waktu itu Siang Huhoa sama sekali tidak memperdulikan
dirinya lagi, jagoan muda ini sedang mengalihkan sorot
matanya ke arah Nyo Sin, memandangnya dengan sinar kaget
bercampur tercengang.
Kalau tidak terjadi suatu peristiwa besar, todak nanti sepagi
ini sudah berkerumun begitu banyak opas di depan pintu
rumah, ini kejadian yang sangat lumrah, orang bodoh pun
pasti akan menyadari juga.
Lantas, apa yang telah terjadi?
Baru saja Siang Huhoa akan mengajukan pertanyaan, Nyoo
Sin dengan lagaknya yang angkuh sudah melotot ke arahnya
sambil berteriak:
"Siapa kau?"

153
Biarpun lagaknya masih menunjukkan gaya seorang
pejabat, namun nada suaranya sudah tidak segalak tadi.
Dandanan maupun cara berpakaian Siang Hu-hoa sudah
menunjukkan kalau dia bukan berasal dari keluarga
sembarangan, biasanya dia memang tak pingin cari masalah
dengan orang yang berasal dari keluarga luar biasa.
Bukannya menjawab Siang Hu-hoa malah balik bertanya:
"Siapa pula dirimu?"
"Komandan tertinggi dari pasukan opas kota ini!" jawab
Nyo Sin sambil membusungkan dadanya.
"Ohh.....Nyo Sin?"
"Haah, kau juga kenal aku?" Nyo Sin tampak melengak.
"Tidak kenal, hanya kebetulan ditengah perjalanan tadi Jui
Gi sempat menyinggung tentang dirimu"
"Oooh....kau belum menyebutkan namamu!” ujar Nyo sin
kemudian, lagak orang ini memang tak bisa terlepas dari
kebiasaannya sebagai seorang pejabat negara, lagak tengik.
Baru saja Siang Huhoa akan menjawab, Jui Gi yang berada
disampingnya telah menyela duluan:
"Nyo tayjin, dia adalah sahabat majikan kami......."
"Siapa namanya?" tukas Nyo Sin cepat.
"Siang Hu-hoa!"
"Siang Huhoa?" kali ini nada suara Nyo Sin penuh diliputi
rasa kaget, heran dan tidak percaya, tampaknya dia pun
merasa tidak asing dengan nama besar tersebut.
Tu Siau-thian segera memburu maju ke depan, sapanya:
"Oooh, rupanya saudara Siang, kemarin saudara Jui sempat
menyinggung tentang dirimu, dia bilang kau pasti akan datang
kemari"

154
Siang Hu-hoa berpaling, diawasinya Tu Siau-thian sekejap
lalu balik bertanya:
"Kau adalah Tu Siau-thian, saudara Tu?"
Tu Siau-thian manggut m anggut.
"Rupanya saudara Jui pernah menyinggung tentang aku
dihadapanmu" katanya.
"Konon kau adalah sahabat paling akrab dari saudara Jui?"
"Kalau bicara soal keakraban, mungkin hubungan kami
masih kalah jauh dibandingkan hubunganmu dengannya, aku
baru kenal dia sekitar tiga tahun yang lalu"
"Keakraban suatu hubungan persahabatan tidak dinilai dari
pendek panjangnya masa perkenalan, ada orang yang begitu
berjumpa lantas hubungan jadi akrab, ada pula yang sudah
berkenalan sejak sepuluh tahun berselang, tapi hubungannya
tidak lebih hanya sekedar teman"
"Perkataanmu memang ada benarnya juga, Cuma tak
terbantahkan bahwa hubungan persahabatanmu dengannya
jauh lebih kental dan akrab ketimbang hubunganku
denganhnya"
"Atas dasar apa kau berkata begitu?"
"Seperti contohnya dalam peristiwa ini, dia tidak pernah
mau menjelaskan kepadaku secara terperinci, tapi dia justru
siap berterus terang kepadamu, agar kau bisa melakukan
penyelidikan baginya"
"Oya?' Siang Hu-hoa tampak agak tertegun kemudian
berpikir dengan wajah sangsi.
Dia memang tidak mengerti dengan ucapan Tu Siau-thian
itu, apa makna dibalik kesemuanya itu?
"Kemudian bila ditinjau dari sudutmu" ujar Tu Siau-thian
lebih jauh." begitu Jui Gi datang menyampaikan kabar,

155
nyatanya kau segera berangkat menuju kemari, bila bukan
disebabkan hubungan kalian yang begitu akrab, mana
mungkin kau sudi berbuat demikian?"
Siang Hu-hoa tertawa hambar, dia segera mengalihkan
pokok pembicaraan ke soal lain, katanya:
"Sepagi ini kalian semua sudah bergerombol ditempat ini,
apakah dalam gedung perpustakaan Ki-po-cay sudah terjadi
peristiwa yang amat serius?"
"Betul!"
"Apakah majikanku sudah ketimpa musibah?" sela Jui Gi
tak tahan.
Sebelum Tu Siau-thian sempat menjawab, tiba tiba Nyo Sin
menyela dari samping:
"Darimana kau bisa tahu kalau majikanmu ketimpa
musibah?"
"Aku hanya menduga"
"Tepat amat dugaanmu itu" jengek Nyo Sin lagi sambil
tertawa dingin.
Berubah hebat paras muka Jui Gi setelah mendengar
perkataan itu, tanyana dengan perasaan terperanjat:
"Bagaimana keadaan majikanku sekarang?"
Nyo sin tidak menjawab pertanyaan itu sebaliknya malah
bertanya lagi:
"Sejak kapan kau tinggalkan gedung perpustakaan Ki-pocay?"
"Bulan tiga tanggal tujuh"
"Ke mana?"
"Mendapat perintah dari majikanku untuk menghantar
sepucuk surat ke perkampungan Ban-hoa sanceng"

156
"Untuk diberikan kepada siapa?" kembali Nyo Sin
mendesak.
Seraya berpaling ke arah Siang Hu-hoa, sahut Jui Gi:
"Untuk pemilik perkampungan Ba-hoa sanceng, tuan
Siang!"
"Selama tenggang waktu ini, apakah secara diam diam kau
pernah berbalik kemari?"
Sekarang Jui Gi baru merasa kalau Nyo sin sedang
mengintrogasi dirinya, seakan sudah menganggapnya sebagai
seorang tersangka, sambil tertawa getir diapun berkata;
"Nyo tayjin, jarak antara Ki-po-cay dengan perkampungan
Ban-hoa-sanceng itu sangat jauh, untuk pulang pergi
dibutuhkan waktu paling tidak dua belas hari"
"Apa betul begitu?"
"Nyo tayjin, kalau tidak percaya dengan perkataan hamba,
silahkan utus orang untuk membuktikannya, setiap rumah
penginapan yang hamba gunakan masih tercatat rapi, tayjin
bisa telusuri semua tempat untuk mencocokkan perkataan
hamba"
"Tidak usah" Nyo Sin segera mengulapkan tangannya.
"Jadi Nyo tayjin sudah percaya?"
"Terlalu awal untuk berkata begitu"
Jui Gi menghela napas panjang, sementara dia ingin
berkata lagi, Siang Hu-hoa sudah menukas duluan:
"Sebenarnya apa yang telah terjadi dengan saudara Jui?"
"Dia sudah lenyap selama dua hari" kata Tu Siau-thian.
"Kejadiannya berarti pada malam tanggal lima belas?"
tanya Siang Hu-hoa terperanjat.
"Benar"

157
Kembali Nyo Sin menyela pembicaraan itu, tanyanya
kepada Siang Hu-hoa:
"Darimana kau bisa tahu kalau peristiwa tersebut terjadi
pada malam tanggal lima belas?"
"Sebab dua hari berselang tepat tanggal lima belas, Raja
laron punya kebiasaan munculkan diri di malam tanggal lima
belas, persis saat bulan sedang purnama"
Begitu pernyataan itu diutarakan, paras muka Nyo sin dan
Tu Siau-thian seketika berubah sangat hebat.
"Darimana kau bisa tahu kalau saat itu si Raja laron telah
menampakkan diri?" desak Nyo Sin lagi.
"Siapa bilang aku tahu?"
"Tadi, bukankah kau berkata Raja laron muncul pada
malam tanggal lima belas, disaat bulan sedang purnama......."
"Tadi aku kan bilang si Raja laron punya kebiasaan berbuat
begitu"
"Jadi kaupun mengetahui tentang kebiasaan sang raja
laron?"
"Kalau cerita dongeng tentang laron penghisap darah pun
kuketahui, masa kebiasaan sang raja laron tidak kupahami?"
Sambil m anggut manggut Tu Siau-thian segera berkata:
"Atas dasar apa kau merasa yakin kalau lenyapnya Jui
Pakhay ada hubungan yang sangat erat dengan laron
penghisap darah?"
"Belum pernah kugunakan kata yakin!"
"Kau tidak pernah menyebut?" kembali Nyo Sin berseru,
"lantas darimana kau bisa tahu kalau ke dua hal itu saling
berhubungan?"

158
"Apakah di dalam surat yang ditulis saudara Jui untukmu,
dia sudah menyinggung tentang peristiwa aneh yang telah
dialaminya pada permulaan bulan?" kembali Tu Siau-thian
menyela.
Siang Hu-hoa manggut manggut membenarkan.
"Apa yang ditulis dalam suratnya?"
"Laron penghisap darah tiap hari mengintai, nyawa kami
berada diujung tanduk!!!"
"Karena itu kau buru buru datang kemari?"
"Yaaa, dan kelihatannya kedatanganku sedikit agak
terlambat"
"Apa lagi yang telah dia katakan kepadamu" kembali Tu
Siau-thian bertanya.
"Semua kejadian yang dialaminya sejak tanggal satu hingga
tanggal enam telah dia sampaikan kepadaku secara terperinci
dan jelas"
Berbinar sepasang mata Nyo Sin sesudah mendengar
jawaban tersebut, baru saja dia akan menimbrung, Tu Siauthian
telah berkata duluan:
"Tanggal dua aku bersama dia berada ditepi telaga, saat
itulah kami telah berjumpa dengan dua ekor laron penghisap
darah, salah satu diantar anya malah sempat menggigit ujung
jariku, apakah dia juga menyinggung tentang peristiwa ini?"
"Benar, dia sempat menyinggung soal ini" jawab Siang Huhoa,
kemudian sambil menatap wajah orang dengan sorot
mata tajam, terusnya, "Apa benar telah terjadi peristiwa
semacam ini?"
"Benar, sama sekali tidak bohong" Tu Siau-thian
mengangguk.
Agak berubah air muka Siang Hu-hoa.

159
"Jadi di kolong langit benar benar terdapat makhluk
semacam laron penghisap darah?" tegasnya.
"Memang nyata ada!"
"Kelihatannya kau begitu yakin?*
"Aku sangat yakin, karena aku memang berasal dari
wilayah Siau-siang"
"Oooh......."
"Laron semacam itu memang merupakan makhluk khas dari
hutan seputar wilayah Siau-siang, sudah sejak jaman dulu
makhluk tersebut hidup disana"
"Mereka benar benar pandai menghisap darah?"
"Kalau soal ini mah aku kurang yakin...." bisik Tu Siauthian.
"Kalau kutinjau dari isi surat yang ditulis saudara Jui,
kelihatannya laron itu selain pandai menghisap darah,
bentuknya pun sangat aneh, khas dan memiliki warna yang
sangat indah"
"Kalau dibilang bentuknya aneh, khas dan berwarna indah,
rasanya dia memang tidak berbohong" Tu Siau-thian
menegaskan.
Kemudian setelah berhenti sejenak, terusnya:
"Tidak usah melihat makhluk tersebut dengan mata kepala
sendiripun, kita bisa membayangkan betapa aneh dan
indahnya binatang itu dari nama-nama yang diberikan orang"
"Ooh, mereka punya banyak nama? Apa saja?"
"Di wilayah Siau-siang, kebanyakan orang menyebutnya
laron penghisap darah, tapi ada juga yang menyebut laron
berwajah setan, laron bermata iblis, laron bermata burung
hantu"

160
"Bagaimana sih bentuk laron itu?" tidak tahan Siang Hu-hoa
bertanya lebih jauh.
"Bentuk luarnya tidak jauh berbeda dengan kebanyakan
laron, tapi warnanya sangat berbeda, laron penghisap darah
mempunyai tubuh berwarna hijau kemala, sepasang sayapnya
berwarna hijau pula"
"Hijau kemala itu warna yang cantik dan indah, kenapa
dikatakan menyeramkan?"
"Sebab dibalik warna hijau yang menyelimuti seluruh
badannya, khusus pada bagian sayapnya justru penuh ditebari
garis garis merah darah yang mencolok, diatas sepasang
sayapnya itu terdapat pula garis merah yang berbentuk seperti
mata, mata berwarna merah darah sehingga sekilas pandang
mirip sekali dengan sepasang mata hantu yang berlumuran
darah"
"Oooh, tidak aneh kalau ada begitu banyak nama sebutan"
sekarang Siang Hu-hoa baru paham.
Tu Siau-thian kembali mengalihkan pokok pembicaraan,
ujarnya:
"Peristiwa yang terjadi selama berapa hari belakangan
memang terasa aneh sekali, bukan Cuma aneh bahkan sulit
dipercaya dengan akal sehat"
"Ehmmm, aku pun sependapat dengan pandanganmu itu,
mana mungkin di dunia ini terdapat setan hantu atau siluman
dan sebangsanya, mana mungkin istrinya adalah jelmaan dari
laron penghisap darah? Mana ada siluman laron di jagat raya
ini?"
Begitu perkataan itu diutarakan, suasana pun berubah jadi
gempar, hampir semua yang hadir dibuat terperanjat dan
keheranan.

161
"Siapa bilang istrinya adalah jelmaan dari laron penghisap
darah? Siapa bilang dia adalah siluman laron?" tidak kuasa
Nyo Sin berteriak keras.
"Apakah dia menulis begitu di dalam suratnya?" tanya Tu
Siau-thian pula.
Kini giliran Siang Hu-hoa yang melengak.
"Jadi kau tidak mengetahui secara keseluruhan peristiwa
yang terjadi waktu itu?" dia balik bertanya.
Ternyata Tu Siau-thian tidak menyangkal akan hal itu.
"Berarti kau hanya tahu peristiwa yang terjadi pada tanggal
satu saja?" kembali Siang Hu-hoa bertanya
"Dia pernah menyinggung soal peristiwa yang dialami pada
tanggal satu malam, tapi kemudian sejak tanggal tiga aku
mendapat tugas hingga mesti pergi dari sini, ketika balik lagi
waktu sudah menunjukkan tanggal empat belas bulan tiga
malam"
"Pada tanggal empat belas dan lima belas, apakah kau
pernah bersua dengannya?"
"Selama dua hari ini kami selalu bersama......."
"Ketika bertemu, apakah dia sempat mengatakan sesuatu
kepadamu?"
Tu Siau-thian menggeleng.
"Aku pernah bertanya, tapi dia sepertinya enggan untuk
menjawab" katanya.
"Bila kutinjau dari apa yang kau utarakan tadi, seakan kau
sudah tahu secara jelas semua persoalan ini?"
Perasaan menyesal sempat melintas diwajah Tu Siau-thian,
sahutnya kemudian:

162
"Kalau bukan begitu, tak nanti aku bisa mengorek
keterangan sebanyak itu"
"Sudah berapa lama kau bekerja di kantor pengadilan (laksan-
bun)?"
"Sepuluh tahun lebih"
"Tidak heran kalau kaupun berhasil mengorek keterangan
dari mulutku, tampaknya kau selalu menggunakan cara seperti
ini untuk mengorek keterangan dari para tersangka"
"Cara sih bukan Cuma itu saja, masih banyak macam"
"Waah, kalau begitu aku mesti lebih waspada lagi jika harus
berbicara lagi dengan orang orang dari kalangan kalian
dikemudian hari"
Tu Siau-thian tidak menanggapi ucapan itu, kembali dia
mengalihkan pokok pembicaraan, tanyanya:
"Apa lagi yang saudara Jui terangkan didalam suratnya
kepadamu?"
Sebelum Siang Hu-hoa menjawab, Nyo Sin sudah
menimbrung lagi dengan suara keras:
"Apakah surat itu masih kau simpan?"
"Masih!"
"Kau bawa dalam sakumu?"
"Tidak"
"Sekarang surat itu berada di mana?"
"Perkampungan Ban-hoa sanceng"
"Kau taruh dimana dalam perkampunganmu itu?"
"Dalam kamar bacaku!" jawab Siang Huhoa ketus,
ditatapnya pembesar itu sekejap dengan pandangan dingin.

163
"Kalau begitu akan kuutus anak buahku untuk pergi
mengambilnya"
"Sayang kecuali aku sendiri, tidak pernah ada orang lain
yang sanggup mengambil dan membawa pergi benda apa pun
yang tersimpan dalam kamar bacaku di perkampungan Banhoa
san-ceng"
Mendengar perkataan itu, Nyo Sin kontan tertegun dan
tidak sanggup berkata-kata lagi.
Siang Hu-hoa tidak menggubris dia lagi, seraya berpaling
ke arah Tu Siau-thian, ujarnya:
"Ketika lenyap tidak berbekas, kebetulan saudara Jui
sedang berada di mana?"
"Di dalam ruangan perpustakaannya, Ki po cay!"
"Apakah di dalam ruang perpustakaan waktu itu hadir
orang lain?"
"Rasanya sih tidak ada"
"Diluar perpustakaan?"
"Aku dan ke dua anak buahku berjaga-jaga disitu"
"Apa yang sedang kalian bertiga lakukan waktu itu?"
"Lantaran kuatir pada malam tanggal lima belas benarbenar
akan terjadi peristiwa yang tidak diinginkan, maka aku
mengajak dua orang anak buahku untuk bersiaga disini,
maksud kami, bila terjadi sesuatu kegaduhan maka kami bisa
segera memberi bantuan"
"Kalau memang bermaksud begitu, kenapa kalian tidak
sekalian bergabung dengannya di dalam ruangan?"
"Sebab dia bersikeras menampik tawaran kami"
"Oya?"

164
"Alasannya, dia tidak ingin ada teman yang
mempertaruhkan jiwa demi dirinya"
"Maka dari itu kalian bertiga hanya bisa berjaga jaga diluar
perpustakaan?"
Tu Siau-thian mengangguk membenarkan.
"Sebenarnya bagaimana kisah kejadian itu?" tanya Siang
Hu-hoa lagi.
Waktu itu kami bertiga berjaga didalam gardu diluar
halaman perpustakaan itu sambil mengawasi gerak gerik
disekeliling tempat itu, sejak kentongan pertama hingga
kentongan kedua, dari kentongan ke dua hingga kentongan
ketiga, selama itu suasana sangat tenang, tapi begitu tiba
pada kentongan ke tiga........."
"Apa yang terjadi?"
"Tiba-tiba terdengar jeritan kaget dari dalam ruang
perpustakaan"
"Kalian yakin dia yang menjerit?"
Tu Siau-thian mengangguk.
"Waktu itu bayangan tubuhnya menempel diatas kertas
jendela, begitu berkumandang suara jeritan, bayangan
tubuhnya segera melejit ke udara diikuti suara gemerincing
senjata yang diloloskan dari sarung!"
"Apa yang dia teriakkan?"
"Hanya tiga kata, laron penghisap darah!"
"Apa pula yang terjadi sesudah dia meloloskan
pedangnya?" tanya Siang Huhoa lebih jauh.
"Tubuh dan pedangnya melejit bersama ke udara!"
"Ehmmm, itulah tujuh bintang pencabut nyawa, pedang
sakti perenggut sukma, biarpun selama tiga tahun belakangan

165
ilmu tersebut tak pernah dilatih lagi, namun bukan setiap
orang mampu menghadapi serangan maut itu"
"Sayang musuh yang dia hadapi kali ini bukan manusia"
sela Tu Siau-thian.
"Setelah dia melancarkan serangan dengan pedangnya, apa
pula yang terjadi?"
"Tiba tiba seluruh cahaya lentera di dalam perpustakaan
padam, disusul kemudian semua suara yang semula gaduh
mendadak jadi hening, sepi dan tidak kedengaran sedikit
suara pun, ketika kami bertiga menerjang masuk dengan
menjebol pintu, bayangan tubuhnya sudah lenyap tak
berbekas, yang kami jumpai hanya dua buah sayatan bekas
bacokan senjata diujung meja tepi lentera serta sebercak
darah kental"
"Bisa jadi bercak darah itu berasal dari darah musuh,
setelah berhasil pukul mundur musuhnya, dia segera
melakukan pengejaran" kata Siang Hu-hoa.
"Tapi semua pintu dan jendela berada dalam keadaan
tertutup, kami saja masuk dengan menjebol pintu sementara
semua jendela terkunci dari dalam, dengan cara apa dia
meninggalkan ruangan ini?"
"Kalian yakin tidak keliru?" Siang Hu-hoa mulai
mengerutkan dahinya.
"Kami sudah memeriksanya berulang kali dan yakin tidak
salah"
Siang Hu-hoa tidak bicara lagi, dia mulai termenung sambil
memutar otak.
Setelah menghela napas panjang Tu Siau-thian berkata
lagi:
"Kecuali didalam waktu yang relatip singkat dia sudah
dimakan kawanan laron penghisap darah itu hingga tulang

166
belulangnya pun ikut termakan, atau dia terkena kekuatan
siluman dari si Raja laron hingga badannya menguap jadi
asap, kalau bukan begitu, dia pasti memiliki ilmu penembus
dinding, kalau tidak, tak mungkin dia bisa meninggalkan
perpustakaan itu tanpa kami ketahui......."
"Perpustakaan itu berada dimana?" tiba tiba Siang Hu-hoa
bertanya, "cepat bawa aku ke sana"
Belum sempat Tu Siau-thian memberikan jawaban, Jui Gi
yang berada disampingnya telah menyela duluan:
"Siang-ya, ikuti hamba" dia segera berjalan meninggalkan
tempat itu.
Tampaknya dia jauh lebih gelisah ketimbang Siang Hu-hoa.
Tanpa banyak bicara Siang Hu-hoa mengikuti di
belakangnya. Dengan cepat mereka berdua berjalan melewati
disisi Nyoo Sin, sewaktu lewat mereka sama sekali tidak
menggubris pembesar itu, seakan mereka sama sekali tidak
memandang sebelah matapun terhadap orang ini.
Bagaimana mungkin Nyo Sin bisa menela rasa
mendongkolnya, baru saja dia hendak menghardik, Tu Siauthian
yang tiba disampingnya segera menyela:
"Komandan, kita pun harus segera masuk"
Nyo Sin mengiakan seraya berpaling, ditatapnya Tu Siauthian
dengan mata melotot, tampaknya dia segera akan
mencaci maki anak buahnya ini.
Tampaknya Tu Siau-thian tahu gelagat, buru buru ujarnya
lagi:
"Nama besar Siang Hu-hoa sudah amat termashur dalam
dunia persilatan, baik ilmu silatnya maupun kecerdasan
otaknya konon jarang yang bisa menandingi, asal dia mau
membantu, aku yakin kasus ini bisa terkuak lebih cepat dan
gampang"

167
Nyo Sin tertawa dingin.
"Memangnya tanpa bantuan dia, kasus ini akan sulit
terkuak dan terselesaikan?" sahutnya tidak terima.
"Bukan begitu maksudku, kalau ada jalan pintas kenapa
kita mesti berputar? Komandan, tentunya kau paham akan
teori ini bukan?"
"Darimana kau bisa tahu kalau jalan yang bakal kutempuh
bukan jalan pintas? Dan penyelidikanku tak bakal lebih awal
mengungkap kasus ini?"
Tu Siau-thian tertawa hambar, katanya:
"Aku hanya tahu sampai sekarang kita masih tetap berada
disini, kalau memang komandan bisa menemukan kunci dari
seluruh persoalan dalam sekilas pandangan, aku yakin kita
pasti akan lebih cepat mengungkap kasus ini"
"Nah, begitu baru masuk akal" seru Nyo Sin sambil
manggut.
Dia segera berpaling sambil memberi tanda, serunya:
"Ayoh anak anak, ikuti aku!"
Dibawah pimpinan Nyo Sin, berangkatlah kawanan opas itu
menuju ke gedung perpustakaan Ki-po-cay.
Tentu saja tak ada orang yang menghalangi kepergian
mereka, dimana Jui Gi dan Siang Hu-hoa bisa masuk, mereka
pun dapat memasuki juga.
Jui Gi adalah kepala pengurus rumah tangga, disaat Jui
Pakhay tidak ada dirumah, kecuali Gi Tiok-kun, urusan apa
pun yang terjadi disana dapat dia putuskan sendiri.
Kini Gi Tiok-kun sama sekali tidak munculkan diri, besar
kemungkinan belum ada orang yang menyampaikan berita
buruk ini kepadanya hingga dia sama sekali tidak mengetahui
akan terjadinya peristiwa ini.

168
0-0-0
Angin timur berhembus sepoi ditengah halaman, bunga dan
dedaunan tampak berguguran dan mengotori permukaan
tanah.
Ketika menelusuri jalan setapak ditengah taman itu, tidak
tahan Nyo Sin berkata lagi:
"Aku adalah komandan opas diwilayah ini, perduli dia
seorang jago kenamaan dari dunia persilatan atau bukan,
tanpa seijin diriku siapa pun dilarang memasuki tempat
kejadian kasus barang setengah langkah pun, kalau tidak aku
bisa menjatukan tuduhan sebagai tersangka yang
mencurigakan terhadap dirinya!"
"Semestinya memang begitu" sahut Tu Siau-thian sambil
tertawa, "tapi sayang hingga sekarang keluarga Jui tidak ada
yang melaporkan kejadian ini kepada pengadilan"
Nyo Sin tertegun.
"Sekarang posisi kita tidak jauh berbeda dengan posisinya"
Tu Siau-thian berkata lebih jauh, "kita semua sama sama
masuk kemari dengan status sebagai teman Jui Pakhay, jadi
kita datang bukan untuk menyelidiki kasus ini tapi datang
untuk menjenguk teman"
Setelah berhenti sejenak, kembali terusnya: "Kini Jui
Pakhay tidak ditempat, nyonya rumah juga tidak nampak,
maka bila Jui Gi si kepala rumah tangga merasa tidak senang
menerima kita sebagai tamunya, jangankan memasuki
perpustakaan itu, mau berdiam lebih lama disini pun mungkin
akan jadi masalah besar, sebab setiap saat dia berhak untuk
mempersilahkan kita keluar dari sini"
"Tapi.....bukankah Jui Pakhay telah lenyap?"
"Kalau mereka bersikeras mengatakan tidak, apa yang bisa
kita lakukan?"

169
"Kita bisa meminta Jui Pakhay tampil keluar dan bertemu
dengan kita semua"
"Kalau mereka mengatakan bahwa tuan rumah tidak ingin
menerima tamu, apa yang bisa kita perbuat? Atau kalau
mereka mengatakan tuan rumah sedang bepergian, apa pula
yang bisa kita perbuat?"
"Tapi.....bukankah kau menyaksikan dengan
mata kepala sendiri........"
"Tuduhan tanpa bukti sama sekali tidak ada kekuatan
hukumnya, apalagi kejadian semacam itu memang sulit
dipercaya dengan akal sehat"
"Lalu........." Nyo sin mulai kelimpungan.
"Kecuali keluarga Jui melaporkan kasus kejadian ini ke
pengadilan, atau kita temukan mayat, kalau bukan begitu
kehadiran kita tetap berstatus sebagai tamu"
"Lalu bagaimana baiknya?" tanya Nyo Sin kemudian agak
tergagap.
"Biarkan saja Siang Hu-hoa yang berperan"
"Kalau sampai dia yang memperoleh pahala, kita bisa
kehilangan muda"
"Dia adalah seorang anggota persilatan, sekalipun sudah
berjasa, apa gunanya?"
"Ehmm, benar juga perkataan itu"
"Seandainya dia yang bekerja keras dan berhasil
mengungkap kejadian yang sebenarnya, buat kita hal ini lebih
banyak untungnya daripada rugi" kembali Tu Siau-thian
berkata.
"Ehrnmm, betul juga" Nyo Sin m anggut m anggut, ditinjau
dari mimik mukanya, dia seakan sudah punya rencana sendiri.

170
Tentu saja Tu Siau-thian dapat melihat semua perubahan
mimik muka itu dengan jelas, buru buru ujarnya lagi:
"Tapi demi martabat dan harga diri, tentu saja dalam
bidang ini kitapun mesti ikut berusaha, kalau bisa tentu saja
komandan mesti bertindak lebih dini sehingga bisa mendahului
dia"
"Sudah pasti harus begitu" Nyo Sin manggut manggut
sambil mempercepat langkah kakinya.
Setelah memasuki pintu berbentuk setengah bulan dan
melewati gardu ditengah halaman, tibalah mereka di depan
gedung perpustakaan.
Nyo Sin dan Tu Siau-thian langsung melangkah masuk ke
dalam ruang gedung.
Pintu yang jebol masih tergeletak ditanah, hancuran daun
jendela pun masih berserakan disekeliling sana, segala
sesuatunya masih berada dalam posi» semula.
Cara kerja Siang Hu-hoa sangat berhati-hati, dia sama
sekali tidak menggeser benda apa pun yang ada disitu, ketika
Nyo Sin dan Tu Siau-thian berjalan masuk ke dalam ruangan,
dia sedang berdiri didepan meja sambil bergendong tangan,
seluruh perhatiannya tertuju pada bercak darah yang
tertinggal diatas meja.
Bercak darah itu sudah menghitam, sementara Jui Gi
berdiri disamping Siang Hu-hoa walaupun sorot matanya
justru tertuju ke wajah orang itu.
Tiba tiba Siang Hu-hoa mengernyitkan dahinya.
Melihat hal itu Jui Gi segera bertanya:
"Siang-ya, menurut pandanganmu apakah noda itu berasal
dari darah manusia?"
"Rasanya sih mirip, tapi darah lama atau darah baru tidak
ada bedanya, jadi lebih baik kita tanyai dulu opas Tu"

171
Dia tidak perlu berpaling sebab Tu Siau-thian sudah
menghampiri mereka dengan langkah cepat.
Begitu mendekat Tu Siau-thian segera menjawab:
"Aku rasa itu darah manusia, tapi seperti juga kalian, aku
pun tidak yakin seratus persen"
"Kenapa tidak terlalu yakin?"
Tu Siau-thian tertawa getir.
"Walaupun aku pernah bertemu laron penghisap darah
namun belum pernah menyaksikan darah dari laron laron
penghisap darah tersebut, aku tidak bisa membedakan apakah
darah dari laron penghisap darah sama seperti darah dari
manusia!"
"Sebelum terjadinya peristiwa ini, apakah kalian tidak
pernah berjumpa dengan laron penghisap darah?" tanya Siang
Hu-hoa kemudian.
"Belum pernah" Tu Siau-thian menggeleng.
"Setelah kejadian, apakah kalian juga tidak melihat laron
penghisap darah itu terbang pergi dari hadapan kalian?"
Sekali lagi Tu Siau-thian menggeleng:
"Juga tidak" sahutnya, "sewaktu kami menerjang masuk
dengan menjebol pintu, tidak seekorpun laron penghisap
darah yang kami saksikan"
"Dan dia juga sudah lenyap tidak berbekas?"
Tu Siau-thian mengangguk tanda membenarkan.
Siang Hu-hoa menyapu sekejap sekeliling ruangan,
kemudian tanyanya lagi:
"Waktu itu apakah posisi dan keadaan didalam
perpustakaan persis seperti keadaan saat ini?"

172
"Benar, aku berusaha agar segala sesuatunya tetap berada
pada posisi semula"
"Selama dua hari terakhir, aku percaya kalian pasti sudah
mendatangi tempat ini dan melakukan pelacakan secermat
mungkin"
"Segala sesuatunya telah kami periksa dengan seksama" Tu
Siau-thian membenarkan.
Kemudian setelah menyapu sekeliling tempat itu sekejap,
terusnya:
"Gedung perpustakaan ini tidak terlalu luas, untuk
memeriksa dan melacak setiap jengkal tanah di dalam Ki-pocay
ini tidak perlu waktu satu hari"
"Ehm, bila kutinjau dari ungkapanmu itu, berarti setiap
jengkal tanah di dalam gedung Ki-po-cay ini sudah kalian lacak
dan periksa dengan seksama?"
Untuk kesekian kalinya Tu Siau-thian mengangguk.
"Kemarin, lingkup penyelidikan kami malah sudah diperluas
hingga ke setiap sudut tempat di dalam kota"
"Apa berhasil menemukan sesuatu?"
"Tidak, dia seakan sudah berubah jadi segulung asap,
seonggok debu yang terbang melayang dan menyebar ke
angkasa, hilang lenyap dari permukaan bumi"
Dengan kening semakin berkerut Siang Hu-hoa mulai
berjalan mondar mandir dalam ruangan, sembari berjalan
gumamnya tiada hentinya:
"Jelas jelas gedung perpustakaan ini berada dalam keadaan
terkunci, bagaimana mungkin di dalam waktu yang amat
singkat seorang manusia yang begitu besar bisa hilang lenyap
tidak berbekas, memangnya ini sulapan? Memangnya dia
punya ilmu siluman?"

173
"Kau pun percaya dengan segala macam ilmu siluman atau
setan iblis?" dengan pandangan keheranan Tu Siau-thian
mengawasinya.
"Tentu saja tidak percaya" jawaban Siang Hu-hoa sangat
hambar.
"Kalau tidak, lantas bagaimana penjelasanmu tentang
peristiwa ini?"
Siang Hu-hoa tidak menyahut, sesungguhnya dia memang
tidak tahu bagaimana mesti memberikan penjelasannya,
mendadak dia menghentikan langkah kakinya lalu berputar
berapa kali disekeliling dinding ruangan.
Bab 10.
Pintu rahasia.
Sorot mata Tu Siau-thian ikut bergerak menyusul gerakan
pemuda itu, tiba-tiba dia berseru:
"Aaah. Ada beberapa hal hampir saja aku lupa untuk
menyampaikan kepadamu"
"Soal apa?" Siang Huhoa segera menghentikan langkahnya.
"Malam tanggal lima belas, ketika aku bersama ke dua
orang anak buahku sedang berjaga di luar gedung
Perpustakaan, tiba-tiba dia membuka pintu dan berjalan
keluar, dia mengundangku untuk berbicara"
"Apa saja yang dia katakan?" buru-buru Siang Huhoa
bertanya.
"Dia memberitahu kepadaku bahwa Jui Gi sudah diutus ke
perkampungan Ban hoa sanceng untuk mengundang
kehadiranmu, dia bilang kau pasti akan tiba disini"
"Selain itu?"

174
"Dia pun berkata kalau sebuah catatan terperinci yang
berisikan semua kejadian yang dialaminya selama belasan hari
ini telah dipersiapkan dan disimpan menjadi satu dengan
sepucuk surat"
"Dimana disimpannya?"
"Dia tidak beritahu, katanya dengan kecerdasan dan
kemampuanmu seharusnya tidak susah untuk
menemukannya"
Mendengar itu Siang Huhoa segera tertawa getir, namun
dia tidak berkata-kata.
Setelah berhenti sejenak, kembali Tu Siau-thian berkata:
"Katanya, asal kau berhasil mendapatkan kitab catatan itu
dan membaca isinya maka semua kasus peristiwa ini akan
terkuak lebih jelas, tidak sulit bagimu untuk menemukan latar
belakang yang sebenarnya dari kematiannya!"
"Kalau kudengar dari penjelasanmu itu, seolah dia sudah
tahu bakal mati, sudah tahu kalau keselamatan jiwanya
terancam, tapi, kenapa dia tidak mencari suatu tempat yang
aman dan mengungsi untuk sementara waktu?" gumam Siang
Hu-hoa dengan kening berkerut.
"Sebab dia beranggapan mau lari ke ujung dunia pun tidak
ada gunanya, sebab dia tidak akan bisa lolos dari musibah ini"
Setelah menghela napas panjang, kembali meneruskan:
"Tampaknya dia seolah-olah sudah yakin kalau kawanan
laron penghisap darah itu adalah jelmaan dari setan iblis,
bukankah orang kuno selalu berkata, setan iblis adalah
makhluk yang serba tahu dan serba bisa?"
Tanpa terasa Siang Huhoa ikut menghela napas panjang.
"Menurut apa yang kuketahui" ujarnya, "selama ini dia
bukan termasuk manusia yang terlalu percaya dengan setan

175
iblis, kenapa dalam waktu singkat pandangan dan prinsipnya
bisa berubah drastis?"
Setelah memandang lagi sekeliling tempat itu sekejap,
kembali dia bergumam:
"Gedung perpustakaan Ki po cay bukan terhitung sebuah
tempat yang kelewat kecil, memangnya gampang untuk
menemukan sepucuk surat dan sebuah buku catatan dari
dalam gedung sebesar ini?"
"Kalau dalam hal ini tentu saja kau tidak perlu kuatir"
"Oya?"
"Sewaktu dia membuka pintu dan mengajak aku berbicara,
dia bilang surat dan buku catatan itu telah selesai
dipersiapkan, setelah itu dia tidak pernah melangkah keluar
dari gedung perpustakaannya, itu berarti surat dan kitab
catatan itu seharusnya masih berada di dalam ruang
perpustakaan ini"
"Memangnya segampang itu analisamu?"
"Aku rasa analisa ku ini bukan sederhana"
"Bukankah kalian telah membuang banyak pikiran dan
tenaga untuk memeriksa dan melacak setiap jengkal tanah
disini? Apa hasilnya? Apakah berhasil menemukan sesuatu?"
Tu Siau-thian segera terbungkam, tidak bisa menjawab.
Siang Hu-hoa berkata lebih jauh:
"Diantara kalian adakah seseorang yang mengerti soal alat
rahasia?"
Tu Siau-thian menggeleng.
"Apakah kau mempunyai kesan tentang seseorang yang
bernama Hiankicu?" kembali Siang Huhoa bertanya,

176
"Apakah Hiankicu yang kau maksud adalah seorang ahli
tehnik yang amat tersohor itu?"
"Benar, dialah yang kumaksud"
"Apa hubungannya dengan Hiankicu?"
"Dia justru murid adalah terakhir dari Hiankicu"
"Murid penutup?" Tu Siau-thian tertegun, "rasanya belum
pernah kudengar dia mengungkap tentang hal ini"
Tapi kemudian setelah tertawa tambahnya:
"Sekalipun dia mengerti tentang alat rahasia dan
menyembunyikan barang-barang itu dalam sebuah bilik yang
dilengkapi alat rahasia, tapi setelah melalui pelacakan dan
pemeriksaan yang begitu seksama dari kami semua, sehebat
dan serapi apapun alat rahasia tersebut semestinya tempatnya
sudah berhasil kita temukan"
"Apa benar begitu?" Siang Huhoa tertawa.
Sinar matanya dialihkan ke bawah, lalu tambahnya:
"Kalian sudah memeriksa seluruh permukaan lantai?"
"Kalau bisa dibalik, seluruh lantai gedung ini sudah kami
balikan"
"Atap ruangan?"
"Seluruh atap pun sudah kami periksa"
"Apakah seluruh dinding ruangan ini ada yang
mencurigakan?"
"Sama sekali tidak" jawab Tu Siau-thian, kemudian setelah
menyapu sekejap sekeliling tempat itu tambahnya, "Setiap
benda, setiap jengkal tanah ditempat ini sudah kami periksa
dengan sangat teliti, andaikata dipasang alat rahasia, dimana
dia menaruhnya?"
"Dia bisa memasangnya di segala tempat"

177
"Oya?" perasaan ragu melintas diwajah Tu Siau-thian.
Tiba-tiba Siang Hu-hoa bertanya lagi:
"Apakah gara-gara perkataanku tadi, kau baru terbayang
kemungkinan di tempat ini sudah terpasang alat rahasia?"
"Tempo hari sudah kupertimbangkan kemungkinan itu, tapi
tidak terlalu yakin"
"Oleh sebab itu dalam pemeriksaanmu yang lalu,
kemungkinan besar, banyak tempat yang kau lewatkan karena
kelalaian, kau mesti tahu, tombol rahasia yang dirancang oleh
ilmu rahasia Hiancicu tidak gampang ditemukan"
"Atas dasar apa kau begitu yakin kalau disini sudah
terpasang alat rahasia?" tanya Tu Siau-thian mendadak.
"Sebab dibalik perkataannya, secara diam-diam dia sudah
memberi tanda"
"Berarti kau telah menemukan sesuatu?"
Siang Huhoa menggelengkan kepalanya sebagai pertanda
jawaban, kembali dia menggeser langkah kakinya.
Kali ini dia menggeser langkah kakinya dengan lebih
lambat, sementara sinar matanya berubah jadi lebih tajam dan
lebih mencorong.
Dia sebentar bergeser, sebentar berhenti, hampir seluruh
ruangan dijelajahi satu putaran lagi sebelum akhirnya
melangkah keluar dari ruangan itu.
Tu Siau-thian dan Jui Gi mengikuti terus di belakangnya,
Nyo Sin yang melihat itu tanpa sadar dia juga mengikuti pula
di paling belakang.
Matahari memancarkan sinar emas menyinari seluruh
halaman, kabut tipis tampak masih melayang diantara
pepohonan dan bunga.

178
Setibanya diluar pintu, Siang Hu-hoa mundur lagi sejauh
tiga kaki hingga tiba didepan gardu itu, kini dia berada dua
depa jauhnya dan pintu ruangan.
Tu Siau-thian segera menghampiri seraya berseru:
"Malam itu kamipun berdiri didalam gardu tersebut sambil
mengawasi gerak gerik di dalam ruang perpustakaan"
"Ehmmm, posisi ini memang cukup strategis" sahut Siang
Hu-hoa sambil mengangguk, "satu satunya kelemahan adalah
tidak bisa melihat jelas keadaan di belakang ruang
perpustakaan"
"Masih untung bagian belakang ruang perpustakaan adalah
sebuah dinding tembok, disitu juga tidak ada jendelanya" sela
Tu Siau-thian
"Moga-moga saja disitu tidak ada pintu rahasianya" Siang
Hu-hoa nyelutuk.
"Pintu rahasia?" Tu Siau-thian melengak keheranan.
Siang Hu-hoa tidak berkata apa apa lagi, dengan langkah
lebar dia berjalan balik ke arah ruang perpustakaan.
Tu Siau-thian, Jui Gi dan Nyo Sin segera mengikuti di
belakangnya, mereka bertiga seakan telah berubah menjadi
anak buahnya lelaki itu.
Ternyata Siang Hu-hoa tidak jadi masuk ke dalam ruang
perpustakaan melainkan berjalan mengelilingi seputar gedung.
Gedung perpustakaan itu dikelilingi taman bunga yang
sangat luas, waktu itu aneka bunga sedang mekar dengan
indahnya.
Meskipun bulan ke tiga sudah berjalan setengahnya namun
saat itu memang sedang musim bunga berkembang,
mekarnya aneka bunga membuat suasana disitu begitu tenang
dan nyaman.

179
Sayang Siang Hu-hoa tidak berminat untuk menikmati
keindahan alam, dia hanya berhenti sejenak di bagian
belakang gedung perpustakaan itu.
Di bagian belakang gedung ditanam sebatang pohon
mawar dan beberapa batang pohon pisang-pisangan.
Gedung perpustakaan itu dibangun menghadap ke timur,
waktu itu sinar sang surya yang baru terbit belum lagi
mencapai bagian belakang bangunan itu.
Waktu itu sinar mata Siang Hu-hoa sedang tertuju pada
dinding di belakang pohon mawar serta permukaan tanah
dialas rak mawar.
Setelah berhenti sejenak kembali dia beranjak pergi,
mengitari sudut lain dari gedung itu kemudian balik ke pintu
depan.
Kini sekulum senyuman telah menghiasi ujung bibirnya,
langkah kakinya jauh lebih ringan dan cepat, seakan setelah
berjalan mengelilingi bangunan itu, dia berhasil menemukan
sesuatu.
Waktu itu Tu Siau-thian berjalan mengikuti di belakang
Siang Hu-hoa, tentu saja dia tidak sempat melihat jelas
senyuman itu, dia hanya melihat langkah kaki lelaki tampan
itu lebih ringan dan lebih cepat.
Dia segera mempercepat langkahnya mendampingi Siang
Huhoa, kemudia bisiknya:
"Siang-heng, apakah kau berhasil menemukan sesuatu?"
Siang Hu-hoa tidak menjawab, dia hanya mengangguk
sambil meneruskan langkahnya masuk ke dalam ruang
perpustakaan.
Nyo Sin yang berada di belakang dapat mendengar semua
pembicaraan itu dengan jelas dan melihat dengan jelas pula,
dia segera percepat langkah kakinya, sewaktu memasuki pintu

180
ruangan, dia sudah berebut untuk masuk mendahului Tu Siauthian.
Siang Huhoa sama sekali tidak menggubris tingkah laku
orang ini, dia tetap berjalan masuk ke dalam ruangan dan
baru berhenti setelah berada didepan dinding kurang lebih
tiga depa dihadapan pintu masuk, perlahan-lahan sorot
matanya dialihkan ke atas dinding itu dan menelitinya dengan
seksama.
Dinding itu penuh bergantungan lukisan kuno, selain itu
juga tergantung dua buah ukiran kayu yang besar lagi tua.
Kedua lembar ukiran kayu itu sama bentuknya, setengah
kaki lebar dengan satu kaki tingginya dan masing-masing
terpaku di kiri kanan dinding.
Ukiran yang berada disebelah kiri menggambarkan seorang
dewi Jian nien Kwan im sementara ukiran disebelah kanan
melukiskan seorang Milek Hud.
Walaupun ukiran itu sangat halus dan indah namun bukan
hasil karya dari pengukir kenamaan.
Kembali Siang Hu-hoa memeriksa sekeliling dinding itu, lagi
lagi sekulum senyuman tersungging diujung bibirnya.
Buru-buru Nyo Sin menyusul ke samping Siang Huhoa,
setelah mengerling sekejap ke arah lelaki itu, serunya:
"Aku rasa dibalik dinding ini ada hal yang mencurigakan"
"Oooh, jadi kau pun berpendapat demikian?" seru Siang
Huhoa seraya berpaling.
Nyo Sin tidak menjawab, dia hanya mengelus jenggot
sendiri seraya manggut-manggut.
"Menurut pendapatmu, bagian mana yang mencurigakan?"
kembali Siang Huhoa bertanya
"Dinding itu!"

181
Siang Hu-hoa segera tertawa hambar dan tidak bertanya
lebih jauh.
Walaupun gerak gerik Nyo sin menunjukkan seolah dia
menemukan sesuatu, namun setelah ditanya, segera ketahuan
kalau dia tidak tahu apa-apa selain soal dinding itu.
Tu Siau-thian segera memburu maju, tanyanya:
"Saudara Siang, sebenarnya apa yang kau temukan?"
"Hanya masalah dinding ini" sahut Siang Huhoa sambil
mengalihkan kembali sorot matanya keatas dinding.
Waktu itu sorot mata Tu Siau-thian sudah tertumpu pula
pada dinding ruangan, namun setelah diperhatikan sekian
lama dia tidak berhasil menemukan sesuatu yang aneh,
serunya lagi seraya menggeleng:
"Sebenarnya apa yang aneh dengan dinding ini? Aku tidak
menemukan sesuatu yang mencurigakan"
"Sekilas pandang dinding ini memang kelihatannya wajar
dan tidak ada yang aneh, padahal dibalik semuanya, justru
terdapat ketidak wajaran yang amat besar"
"Jangan-jangan diatas dinding ini tersembunyi sebuah
lubang rahasia?"
"Bisa jadi sebuah lubang rahasia tapi bisa juga sebuah
pintu rahasia, yang jelas sebuah lubang masuk yang
berhubungan dengan ruang rahasia dibelakang dinding itu"
"Ruang rahasia di belakang dinding?" seru Tu Siau-thian
tertegun.
"Sekalipun di belakang dinding benar benar tersembunyi
sebuah ruang rahasia, rasanya hal ini bukan sesuatu yang
patut diherankan"
Kontan Tu Siau-thian tertawa terbahak-bahak, serunya:
See Yan Tjin Djin

182
"Hahahaha...... tapi di belakang dinding itu hanya terdapat
sebuah rak yang berisi bunga mawar serta beberapa batang
pohon pisang-pisangan"
"Menurut perkiraanmu, seberapa tebal dinding tembok itu?"
tiba-tiba Siang Hu-hoa bertanya.
"Ketebalannya paling banter dua depa, bagian tengah yang
kosong hanya satu depa, kalau benar disitu ada ruang
rahasianya berarti luas ruangan itu hanya satu depa. sama
sekali tidak cukup untuk berdiri seorang manusia pun, masa
ruangan semacam inipun patut disebut sebuah ruang
rahasia?"
"Bagaimana kalau ruangan itu mempunyai luas empat-lima
depa?"
"Maksudmu ruang kosong yang terdapat dibalik dinding ini
mempunyai luas mencapai empat lima depa?"
"Bahkan bisa jadi lebih dari itu"
"Atas dasar apa kau merasa begitu yakin?" tidak tahan Tu
Siau-thian berseru.
"Sewaktu melangkah di dalam ruang perpustakaan tadi,
secara diam-diam sudah kuukur panjang lebar dari seluruh
ruangan, kemudian setelah aku berjalan mengelilingi halaman
luar gedung ini, tiba-tiba kutemukan sesuatu hal"
"Temukan apa?" desak Tu Siau-thian.
"Walaupun sekilas pandang lebar ruang dalam dan halaman
luar gedung perpustakaan ini hampir seimbang, namun dalam
kenyataan panjangnya terdapat selisih yang cukup besar,
panjang ruang dalam perpustakaan itu ternyata tujuh-delapan
depa lebih luas ketimbang panjang di halaman depan,
kemudian ketebalan dinding di bagian belakang perpustakaan
itu rata-rata mencapai dua depa, ini berarti masih ada selisih
empat sampai lima depa, lalu ke mana larinya selisih
tersebut?"

183
Seketika itu juga Tu Siau-thian jadi paham.
Terdengar Siang Hu-hoa berkata lebih jauh:
"Semula kukira bagian belakang perpustakaan itu mungkin
cekung ke dalam sepanjang berapa depa, tapi setelah
kuperiksa ternyata bukan begitu keadaannya, ini menunjukkan
hanya ada satu kemungkinan yakni tempat seluas empat lima
depa yang hilang itu kemungkinan besar tersembunyi di
belakang dinding itu"
Sambil menuding ke arah dinding dihadapannya, kembali
dia berkata:
"Kecuali orang gila, kalau tidak, mustahil seorang normal
akan membuat sisi dinding ruangannya setebal tujuh delapan
depa, oleh sebab itu aku yakin dibalik dinding ini pasti
terdapat ruang kosong, ruangan itu tentu seluas empat lima
depa dan lebih dari cukup untuk digunakan berbuat sesuatu"
Mendengar sampai disitu, tanpa terasa Nyo Sin menyela:
"Kalau benar di belakang dinding ini terdapat ruang
rahasia, lalu pintu rahasianya berada dibagian dinding yang
mana?"
Sebelum Siang Hu-hoa menjawab, Tu Siau-thian sudah
menyahut duluan:
"Menurut analisaku, besar kemungkinan berada dibelakang
ke dua ukiran kayu itu"
"Betul, aku pun berpendapat demikian" Siang Huhoa
manggut manggut.
Kemudian sambil meraba ukiran Milek Hud itu, dia berkata
lagi:
"Sejak awal aku sudah mencurigai ke dua ukiran kayu itu"

184
"Apakah lantaran ke dua ukira kayu itu tidak serasi
digantung bersama dengan sebuah lukisan diatas dinding
yang sama?"
Siang Huhoa berpaling dan memandang Tu Siau-thian
sekejap, katanya:
"Menggantungkan sebuah lukisan tangan diatas dinding
sudah merupakan satu hal yang tidak serasi"
"Aku tidak mengerti soal lukisan"
"Kalau memang begitu, kenapa bisa timbul perasaan
kurang serasi dalam hati kecilmu?" sebuah pertanyaan dari
Siang Huhoa yang kedengaran sangat aneh.
"Bukan baru kali ini saja kulihat bentuk ukiran semacam
ini..........."
"Lalu biasanya di mana kau menjumpai ukiran semacam
ini?"
"Dalam kuil!"
"Bisa saja sebagai umat Buddha dia membeli ukiran
tersebut dan digantungkan di rumahnya untuk disembah"
"Sekalipun begitu, jarang ada yang menggantungkan dalam
ruang perpustakaan, apalagi menurut apa yang kuketahui, dia
bukan penganut Buddha"
Siang Huhoa kembali manggut-manggut.
Terdengar Tu Siau-thian berkata lagi:
"Meskipun sejak awal aku sudah merasakan sesuatu yang
kurang serasi dengan tempat ini, namun tidak menaruh curiga
lebih jauh, sebab belakang dinding itu adalah halaman
terbuka, dinding disebelah situ tidak kujumpai sesuatu celah,
juga penuh ditumbuhi lumut hijau hingga mustahil terdapat
ruang rahasia dibaliknya, permukaan tanah disekeliling tempat
itupun tidak meninggalkan jejak pernah diinjak manusia"

185
Setelah berhenti sejenak, terusnya:
"Apalagi selama berapa waktu belakang, otaknya hanya
dipenuhi bayangan setan iblis dan siluman, aku mengira dia
sengaja memindahkan ukiran Buddha itu kemari karena ingin
mengatasi rasa takut dan seramnya terhadap gangguan setan
iblis"
"Tapi rasanya kedua buah ukiran kayu itu tidak mirip baru
saja digantungkan disitu"
"Soal itu aku kurang jelas, sebab sejak lima belas hari
berselang aku sudah tidak pernah lagi masuk ke dalam
perpustakaan ini"
Sorot matanya kembali dialihkan keatas dinding itu,
katanya lagi:
"Bagaimana pula lukisan yang tidak serasi bisa tergantung
disitu?"
"Coba kau perhatikan lukisan itu" ujar Siang Huhoa sambil
menuding sebuah lukisan diantaranya yang tergantung diatas
dinding, "menurut kalian, berapa harga lukisan itu?"
Tu Siau-thian tertawa getir, dia bukan orang yang gemar
lukisan, mengerti saja tidak, darimana bisa tahu berapa harga
dari lukisan itu?
Kembali Siang Hu-hoa berkata:
"Kalau kau membawa lukisan itu ke toko, toko mana pun
diseantero negeri, maka kau segera dapat menjualnya dengan
harga dua sampai tiga ribu tahil perak"
"Wouw... mahal amat, lukisan siapa sih?" seru Tu Siauthian
tanpa sadar.
"Tong Pek-hauw!"
"Ooh... pantas begitu mahal"

186
Biarpun dia tidak mengerti soal lukisan, nama besar Tong
Pek-hauw sudah lama diketahuinya dan dia sadar bahwa
orang itu memang seorang pelukis terkenal.
Setelah memandang sekejap sekitar tempat itu, ujarnya
lagi:
"Ditempat ini paling tidak terdapat dua puluhan lukisan
semacam ini, padahal setiap lukisan bernilai beberapa ribu
tahil perak, bukankah sama artinya kalau dijumlahkan
seluruhnya sudah bernilai tiga puluh ribu tahil perak? Gila,
barang yang begini berharga dia hanya menempelkan diatas
dinding, jangan jangan pemilik tempat ini sudah sinting atau
tidak waras otaknya?"
"Lagi-lagi kau keliru besar" tukas Siang Huhoa hambar,
"kecuali lukisan buah tangan dari Tong Pek-hauw, jika kau
bisa menjual gabungan lukisan yang lain senilai seratus tahil
perak saja, kau sudah kuanggap luar biasa hebatnya"
"Maksudku lukisan-lukisan yang lain paling banter hanya
laku tiga-empat tahil perak?"
"Malah ada empat lukisan diantaranya tidak bakal laku lebih
dari satu tahil perak"
Dengan keheranan Tu Siau-thian menatap wajah Siang
Huhoa, dia seakan merasa kagum, tapi seakan juga merasa
tercengang dibuatnya.
Dengan tenang Siang Hu-hoa berkata lagi:
"Sebab ke empat buah lukisan itu adalah buah karya dia
sendiri"
"Waah, kelihatannya kalian memang bersahabat karib
hingga dalam sekilas pandang saja kau dapat mengenali
lukisan mana yang merupakan hasil karyanya sendiri"
"Menerut spa yang kau katakan, berarti tidak susah untuk
bersahabat karib dengannya bukan!"

187
Tu Siau-thian tidak mengerti dengan ucapan tersebut, dia
hanya berdiri melongo.
Tampaknya Siang Hu-hoa tahu akan kebingungan orang,
segera dia memberi penjelasan:
"Dia sudah meninggalkan nama sendiri diatas ke empat
lukisan itu, asal mau diperhatikan dengan lebih seksama, tidak
sulit untuk mengetahuinya"
Tu Siau-thian segera menghela napas panjang, mau tidak
mau dia mesti merasa kagum atas kejelian orang ini, manusia
teliti dan cermat macam Siang Hu-hoa memang merupakan
sesuatu yang langka.
Sejak hadir dalam ruang perpustakaan hingga sekarang,
Siang Hu-hoa hanya menghabiskan waktu yang amat singkat,
tapi hasil penyelidikannya ternyata jauh lebih banyak
ketimbang pemeriksaan nya yang dilakukan selama berharihari.
Bukan cuma begitu, pemeriksaan yang berhari hari itu
bahkan sama sekali tidak membuahkan hasil apa-apa.
Terdengar Siang Hu-hoa berkata lagi:
"Bagi orang yang sama sekali tidak tertarik dengan lukisan,
tidak aneh bila tidak terlalu memperhatikan soal seperti itu"
"Benarkah lukisan hasil karyanya tidak laku barang setahil
perak pun?" tiba-tiba Tu Siau-thian tertawa.
"Harga tersebut menurut penilaianku, dalam pandanganku
lukisan hasil karyanya memang tidak laku satu tahil pun"
Setelah tertawa lebar, lanjutnya:
"Dia memang hebat dalam bermain pedang, namun soal
lukisannya.......amat payah!"
"Menurut apa yang kuketahui, dia bukan termasuk orang
yang tidak suka menyembunyikan sesuatu dihadapan orang"

188
Siang Huhoa mengangguk.
"Bukan hanya dalam soal intan permata dan mutu
manikam, dalam masalah lukisan pun dia punya selera tinggi
dan sangat memperhatikan hal hal yang detil, bagi seorang
ahli yang mengerti nilai sesuatu benda, masa dia tidak tahu
kalau lukisan tersebut adalah lukisan asli dari pelukis Tong
Pek-hauw?"
Setelah mengalihkan kembali sorot matanya keatas lukisan
itu, katanya lebih jauh:
"Sampai detik ini belum pernah kujumpai ada orang yang
berani menggantungkan sebuah lukisan ternama
disembarangan tempat, kalau dibilang tujuannya untuk
mempamerkan kekayaan, tidak ada alasan untuk
menggantungkannya ditempat ini, apalagi sejak tiga tahun
berselang dia telah berhasil mengumpulkan tiga lukisan yang
lain dari Tong Pek-hauw, kalau ingin pamer kekayaan, paling
tidak seharusnya dia gantungkan ke empat lukisan kenamaan
itu sekaligus, kenapa sekarang yang digantungkan cuma satu?
Bukankah kejadian ini sangat aneh?"
"Itu berarti dia punya maksud lain" seru Tu Siau-thian.
"Benar, tombol pembuka pintu rahasia tersebut kalau
bukan terletak diatas ke dua ukiran kayu itu, besar
kemungkinan berada di belakang lukisan antik dari Tong Pekhauw"
Baru selesai dia berkata, Nyo Sin yang berada
disampingnya telah memburu maju ke depan dan menyingkap
lukisan antik dari Tong Pek-hauw itu.
Gerak geriknya sangat berhati hati, lamban dan seakan
sangat menguras tenaga, seperti sedang memegang dua-tiga
ribu tahil perak dalam genggamannya.
Siang Hu-hoa tidak berusaha untuk mencegah, dia
membiarkan Nyo Sin berulah, sorot matanya justru mengikuti

189
gerak gerik pembesar itu dan dialihkan keatas dinding di
belakang lukisan.
Tidak ada lekukan atau tonjolan apapun ditempat itu,
permukaan dinding kelihatan rata dan halus.
"Mana tombol rahasianya?" seru Nyo Sin kemudian
tertegun.
Siang Huhoa memburu maju ke depan, setelah diperhatikan
sekejap tiba-tiba dia menekan beberapa kali diatas permukaan
dinding itu.
"Ternyata memang berada disini" serunya dengan
senyuman menghiasi wajahnya.
"Sudah kau temukan? Di mana?" sela Nyo sin.
"Itu dia, dibalik dinding"
"Kalau begitu biar kuperintahkan orang untuk membongkar
dinding ini"
"Tidak usah" Siang Hu-hoa menggeleng, setelah tertawa
lanjutnya, "tidak gampang menjumpai kesempatan semacam
ini, mari kita kenali lebih jauh kehebatan dan keampuhan alat
rahasia yang dirancang berdasarkan ajaran Hiankicu"
Tangannya segera diputar lalu ditabokkan ke tengah
dinding itu.
Pukulan tersebut sama sekali tidak menggunakan tenaga,
tapi begitu tangannya menempel diatas dinding terdengar
suara mantap yang sangat aneh, jelas dalam pukulan tadi dia
telah sertakan tenaga dalam yang kuat.
"Triiing!" dentingan aneh seketika bergema dari balik
dinding, meski suaranya lirih dan lemah namun Nyo Sin
maupun Tu Siau-thian dapat mendengarnya dengan jelas.

190
Rupanya ketika Siang Hu-hoa melepaskan pukulannya tadi,
mereka telah menghimpun tenaga sambil pasang mata baikbaik.
Seluruh ruangan perpustakaan itu tercekam dalam
keheningan yang luar biasa, menyusul suara dentingan itu,
bergema suara gemerutuk yang panjang, suara itupun
kedengaran sangat jelas.
Lapisan dinding dimana tergantung dua buah ukisan kayu
yang melukiskan Kwan-Im bertangan seribu dan Milek Hud itu
segera bergeser ke samping kiri dan kanan, ternyata dinding
dengan dua ukiran kayu itu merupakan dua buah pintu
rahasia.
Suasana dibalik pintu itu sangat gelap, tapi luasnya
memang sekitar empat-lima depa, dibelakang itu terdapat lagi
sebuah lapisan dinding, dinding berwarna hitam gelap.
Gelap dan suramnya suasana dibalik pintu rahasia itu
mungkin disebabkan warna hitam pekat yang mendominasi
warna ruang rahasia itu.
Siang Huhoa memandang sekejap ke pintu sebelah kiri
kemudian menengok pula pintu disebelah kanan, untuk berapa
saat lamanya dia hanya bisa berdiri tertegun.
Munculnya dua buah pintu rahasia yang sekaligus
tampaknya jauh diluar dugaan lelaki tampan ini, dia tidak
habis mengerti, sebuah pintu saja seharusnya lebih dari
cukup, kenapa harus dibuatkan dua buah pintu rahasia?
Lalu pintu yang manakah merupakan pintu masuk yang
sebenarnya? Apa pula gunanya pintu rahasia ke dua?
Bab 11.
Kwan-Im bertangan seribu.

191
Tanpa terasa Siang Hu-hoa termenung berapa saat
lamanya, untuk sesaat dia tidak tahu apa yang mesti
dilakukan, begitu juga dengan Tu Siau-thian, dia hanya berdiri
dengan wajah penuh tanda tanya.
"Heran" tiba tiba Nyo Sin berkomentar setelah
memperhatikan wajah Siang Hu-hoa sekejap, "kenapa kau
begitu menguasahi tentang alat rahasia di sini?"
"Dia adalah sahabat karibku, sudah banyak waktu kita
sering jalan bersama, apa yang dia ketahui paling tidak aku
ketahui juga sebagian, ini toh bukan suatu kejadian yang
aneh"
"Menurut anggapanmu, kita mesti masuk melalui jalan
rahasia yang mana?" Nyo Sin memperlunak nada suaranya.
"Aku belum bisa memastikan"
"Padahal gampang sekali pemecahannya" ujar Nyo Sin
kemudian, "kita masuk saja melalui salah satu pintu rahasia
itu, kalau salah masuk, keluar dan berganti dengan pintu yang
lain, urusan kan beres"
Selesai bicara dia langsung melangkah masuk melalui pintu
rahasia yang bergambar Kwan-im bertangan seribu.
"Hati-hati!" teriak Siang Hu-hoa ketika menyaksikan ulah
pembesar itu.
Dengan satu gerakan cepat dia melesat maju ke depan dan
menyambar bahu Nyo Sin.
Waktu itu Nyo sin baru saja melangkah masuk ke dalam
pintu rahasia, begitu mendengar bentakan Siang Huhoa, dia
segera berpaling dengan hati kaget, belum sempat berbuat
sesuatu, seluruh badannya sudah dibetot Siang Huhoa dan
menariknya ke samping pintu luar.
Hampir pada saat yang bersamaan terdengar suara
desingan angin tajam membelah angkasa, dua tiga puluhan

192
batang anak panah mendadak meluncur keluar dari dalam
ruang rahasia dan meluncur keluar dengan cepatnya.
Untung mereka mundur dengan cepat meski bukan berarti
sama sekali sudah lolos dari ancaman yang datang, baru saja
tubuh mereka bergeser ke samping, tiga batang anak panah
sudah meluncur ke arah dada Nyo sin dengan kecepatan
tinggi.
Waktu itu Siang Huhoa menarik bahu Nyo Sin dengan
tangan kanannya, dengan tangan kiri yang kosong dia segera
menyambar ke depan menangkap dua batang anak panah
diantaranya, sementara sisa satu batang yang lolos dari
sambarannya langsung menyambar ke tubuh Nyo Sin dan
merobek pakaian bagian iganya.
Tidak terlukiskan rasa kaget Tu Siau-thian menyaksikan
kejadian itu, Siang Huhoa sendiripun diam-diam bermandikan
peluh dingin.
Sementara Nyo Sin sendiri sudah dibuat ketakutan
setengah mati, wajahnya berubah jadi pucat pias, sepasang
kakinya jadi lemas dan gemetaran, sewaktu Siang Huhoa
melepaskan cekalannya, nyaris dia jatuh berlutut ke tanah.
Buru-buru Tu Siau-thian memayangnya seraya menegur:
"Bagaimana keadaanmu komandan? Apakah terluka?"
Dengan pandangan terkesima Nyo Sin mengawasi bajunya
yang berlubang besar. Sampai lama kemudian dia baru bisa
menjawab:
"Untung hanya pakaianku yang tersambar!"
Kemudian sambil berpaling dan memperhatikan Siang
Huhoa dari atas hingga ke bawah, dia pun menegur:
"Apakah saudara Siang tidak terluka?"
"Tidak!"

193
"Untung tidak sampai terluka" Nyo Sin segera
menghembuskan napas lega, "kalau tidak, kejadian ini pasti
akan membuat perasaan ku tambah sungkan"
Perlahan-lahan dia bangkit berdiri sorot matanya dialihkan
kembali ke permukaan lantai di depan pintu rahasia.
Tampak beberapa batang anak panah itu hampir semuanya
menancap diatas ubin, bukan hanya menancap bahkan
menembusnya hingga sangat dalam.
Dari kejadian ini bisa diketahui betapa tajamnya mata anak
panah itu dan betapa kuatnya tenaga bidikan yang dihasilkan,
bisa dibayangkan apa jadinya bila ke dua-tiga puluhan anak
panah itu serentak menghujam diatas tubuh?
Diam diam Nyo Sin bergidik sambil merinding, tanpa sadar
dia berpaling lagi ke arah Siang Huhoa sambil berseru:
"Saudara Siang, untung kau sempat menarikku........."
Sebetulnya dia ingin sekali mengucapkan sepatah dua
patah kata ucapan terima kasih, namun untuk sesaat dia pun
tidak tahu bagaimana harus mengemukakan perasaan hatinya
itu.
Meskipun ungkapan kata terima kasih belum terlupakan
sama sekali dari otaknya, paling tidak sebagian besar
perbendaan katanya nyaris sudah dia lupakan.
Agaknya Siang Huhoa sama sekali tidak ambil perduli,
kembali dia mengalihkan pandangan matanya ke wajah Tu
Siau-thian.
Tampaknya Tu Siau-thian mengerti yang dimaksud, dia
segera membungkukkan tubuhnya dan mencabut keluar
sebatang anak panah yang tertancap dilantai itu.
Ternyata tidak mudah untuk mencabut keluar, dia harus
mengerahkan tenaga penuh sebelum berhasil mencabutnya.

194
Begitu anak panah sudah tercabut, paras muka Tu Siauthian
kontan berubah hebat
"Kau mengira ubin apa yang terpasang dilantai?" tegur
Siang Hu-hoa sambil tertawa.
Tu Siau-thian menghela napas panjang.
"Justru karena aku tahu kalau ubin yang dipasang dilantai
ruangan ini adalah ubin hijau yang digosok dengan air, maka
aku baru merasa keheranan, kenapa panah panah tersebut
dapat menembusi lantai ini se dalam itu" katanya.
Sekali lagi sinar matanya dialihkan ke atas panah yang
berada dalam genggamannya.
Anak panah itu panjangnya tidak sampai satu depa, mata
panah tajam dan memancarkan sinar berkilauan, seluruh
tubuh panah berwarna hitam dan amat berat, jelas terbuat
dari baja asli.
Setelah diperhatikan lagi berapa kejap, dia baru meletakkan
kembali anak panah itu ke lantai, kemudian sambil bangkit
berdiri dan sekali lagi menghela napas, ujarnya:
"Sungguh tidak kusangka dia dapat menciptakan alat
jebakan sedemikian hebatnya"
"Tapi aku dapat menduganya"
"Tentu saja sebab kalian adalah sahabat lama, kau sudah
tahu sejak awal kalau dia adalah murid penutup dari Hiankicu"
"Itulah sebabnya aku pun mengetahui kebiasaan dari
Hiankicu"
"Kebiasaan apa?"
"Ketika merancang alat jebakan jenis apa pun, dia pasti
akan sertakan alat pembunuh yang luar biasa hebatnya, bila
seseorang berani memasuki suatu tempat sebelum mematikan

195
alat jebakan itu maka sembilan puluh persen orang itu pasti
akan mati"
Tu Siau-thian segera manggut-manggut, dia memang tidak
perlu meragukan kebenaran dari ucapan tersebut.
Nyo Sin lebih percaya lagi, tadi, seandainya Siang Huhoa
tidak menariknya tepat waktu mungkin saat ini dia sudah mati
konyol, mati terhajar puluhan anak panah dari ruang rahasia.
Meski begitu dia bergumam juga dengan perasaan tidak
habis mengerti:
"Aneh benar, sebuah ruang perpustakaan yang begini
hebat kenapa mesti dilengkali dengan pelbagai alat jebakan
yang mematikan? Kalau bukan orang ini mempunyai tujuan
tertentu, pasti otaknya yang ada masalah"
"Sekalipun otaknya benar benar punya masalah,
masalahnya tidak akan berbeda dengan masalah setiap orang"
sambung Siang Huhoa sambil tertawa.
"Oya?"
"Bukankah siapa pun orangnya, dia pasti akan menyimpan
barang barang berharganya di suatu tempat yang paling
rahasia dan paling aman?"
Nyo Sin mengangguk.
"Itulah dia" ujar Siang Hu-hoa lagi, "dia hanya menciptakan
sebuah tempat yang rahasia dan sangat aman di dalam ruang
perpustakaannya untuk menyimpan semua barang barang
berharga miliknya"
"Mestika apa sih yang dia milik sehingga diperlukan tempat
seperti........"
Belum selesai dia berkata tiba-tiba dia menutup mulutnya
kembali.

196
Rupanya secara tiba-tiba dia teringat kembali dengan nama
gedung perpustakaan itu, Ki Po cay, perpustakaan penyimpan
mestika, apalagi pekerjaan resmi Jui Pakhay adalah seorang
pengusaha.
Sementara dia masih termenung, terdengar Tu Siau-thian
telah bertanya kembali:
"Saudara Siang, apakah kau punya cara untuk mematikan
semua alat jebakan itu?"
"Akan kucoba untuk menemukan tombol rahasia itu........."
"Tidak usah dicari lagi" tukas Nyo Sin, "bukankah alat
jebakan itu sudah bekerja dengan melepaskan seluruh anak
panahnya? Aku rasa kita bisa masuk ke dalam sekarang
dengan perasaan aman"
Komentar boleh cepat, namun sepasang kakinya sama
sekali tidak bergerak, dia tetap berdiri ditempat semula.
Siang Hu-hoa mengerling sekejap ke arahnya, kemudian
menegur:
"Jadi kau anggap hanya ada sebuah alat jebakan saja
disitu?"
"Memangnya masih ada yang lain?”
"Aku rasa masih banyak sekali"
Tanpa sadar Nyo Sin mundur setengah langkah, kemudian
dengan pandangan berkilat ujarnya lagi:
"Alat jebakan itu pasti berada dibalik pintu rahasia, tapi
pintu mana yang benar-benar merupakan pintu masuk yang
sebenarnya? Atau mungkin pintu ke dua yang merupakan
pintu masuk sebenarnya?"
"Apakah kau yakin dibalik pintu rahasia ke dua itu tidak ada
alat jebakannya?" Siang Hu-hoa bertanya.
Nyo Sin tidak berani menjawab, dia segera terbungkam.

197
Siang Hu-hoa tidak banyak bicara lagi, tiba-tiba dia maju ke
depan, menyambar sebuah bangku lalu dilemparkan ke dalam
pintu rahasia itu kuat kuat.
"Weeess!" bangku itu segera melayang masuk melalui pintu
dan terjatuh ke balik ruang rahasia.
Ketika bangku itu menyentuh lantai, pintu itupun seketika
menutup kembali, seolah ada orang yang tiba-tiba mendorong
pintu itu kuat-kuat.
Dan pada itulah mereka semua melihat adanya kilatan
cahaya golok.
Berpuluh puluh batang pisau terbang dengan dahsyatnya
menyembur keluar dari balik dinding ruang rahasia dan
menyambar ke tengah ruangan.
Dengan tertutupnya pintu rahasia itu, cahaya golok pun
turut lenyap dari pandangan mata, namun secara lamat lamat
semua orang dapat mendengar suara benturan logam dengan
lantai yang amat ramai dibalik ruang rahasia itu.
Pucat pias selembar wajah Nyo Sin setelah menyaksikan
kejadian ini.
Air muka Tu Siau-thian pun nampak sangat jelek, serunya
tanpa sadar:
"Waah.... sungguh mengerikan, tampaknya alat rahasia ini
jauh lebih hebat dan mematikan ketimbang alat jebakan yang
pertama tadi, begitu pintu tertutup sama artinya jalan mundur
terpotong, bila ada orang didalam ruangan itu niscaya dia
akan jadi bulan bulanan pisau terbang itu"
"Betul" Siang Huhoa mengangguk, "ruang rahasia itu paling
banter empat lima depa, biar membawa senjata tajam pun
rasanya tidak gampang untuk dipergunakan melindungi diri"

198
"Sekalipun membawa senjata, rasanya tidak gampang
untuk menghadapi serangan pisau terbang yang muncul dari
empat arah delapan penjuru"
Siang Huhoa kembali manggut manggut, sorot matanya
masih belum beralih dari pintu rahasia yang tertutup rapat itu.
Ukiran Mi lek Hud di depan pintu rahasia itu masih tetap
seperti sedia kala, mengulumkan senyumannya yang khas.
Sekarang Siang Huhoa baru dapat melihat jelas mimik
muka ukiran tersebut, rupanya Mi LekHud digambarkan
sedang tertawa lebar, tertawanya begitu lembut, begitu
gembira dan peluh welas asih.
Tampaknya Tu Siau-thian pun sedang memperhatikan
ukiran itu, tiba-tiba dia menggelengkan kepala seraya berseru:
"Tampaknya alat jebakan ini dia namakan
menyembunyikan golok dibalik senyuman!"
"Masih untung hanya sebuah ukiran kayu" sambung Siang
Huhoa, "coba kalau dia adalah orang sungguhan, biar kita
tidak masuk ke dalam pun tetap ada peluang kena dibokong
dengan pisau terbang"
Bila ada manusia mirip Mi Lek Hud, selalu tersenyum
kepada siapa pun, bila dia ingin menghadiahkan sebuah
tusukan, hal ini memang bisa dilakukan sangat mudah.
Alat jebakan itu mati, tapi manusia hidup.
Bila kau tidak menyentuhnya, alat jebakan pun tidak akan
mengejar dan berusaha membunuhmu.
Berbeda sekali dengan manusia, berada disaat apa pun,
berada dimana pun, dia tetap bisa membunuhmu.
Karena alat jebakan merupakan hasil rancangan dan karya
seorang manusia, maka benda inipun bisa membunuh.

199
Tu Siau-thian sangat memahami ucapan dari Siang Hu-hoa
itu, katanya sambil tertawa:
"Tepat sekali perkataanmu, manusia memang lebih sukar
diwaspadai ketimbang sebuah alat jebakan"
Kini Nyo Sin tidak bisa tertawa lagi, sesudah celingukan ke
sana ke mari dia baru menatap wajah Siang Hu-hoa seraya
menghela napas, katanya perlahan:
"Ke dua buah pintu rahasia itu sudah dilengkapi dengan
alat perangkap, lantas menurutmu pintu yang mana
merupakan pintu masuk yang sebenarnya?"
"Tentu saja pintu yang ini!" sambil berkata Siang Hu-hoa
menuding ke arah pintu rahasia dengan ukisan Kwan-im
bertangan seribu, "sekarang Mi-Lek-hud sudah terbongkar
kedoknya, pintu rahasia itupun sudah terkunci dari dalam,
otomatis kita hanya punya satu pilihan saja"
Nyo Sin tertawa getir.
"Kwan-im bertangan seribu ini mesti tidak
menyembunyikan pisau dibalik senyumannya, namun cukup
membuat orang berubah jadi seekor landak" keluhnya.
"Asal kita tidak mengganggu dan mengusiknya hingga
marah, dia pasti tidak akan merecoki kita lagi"
"Jadi kau punya akal untuk membuatnya tidak marah?"
"Sekarang mah belum ketemu"
Mendadak dia berjongkok lalu memeriksa sekali lagi ukiran
kayu Kwan-im bertangan seribu itu dengan lebih seksama.
Tanpa terasa Tu Siau-thian ikut mengalihkan perhatiannya
ke situ, begitu juga Nyo Sin, tapi setelah diawasi berapa saat
belum juga menemukan sesuatu yang aneh, tidak tahan
pembesar itu berteriak:
"Hey, apa yang sedang kau lakukan?"

200
"Mencari tombol yang mengendalikan alat perangkap ini"
jawab Siang Hu-hoa tanpa berpaling.
"Mungkin tombol pengendalinya berada didalam"
"Kalau tombolnya di dalam, dengan cara apa dia masuk ke
situ?"
Merah jengah selembar wajah Nyo Sin, dia tidak bersuara
lagi.
Terdengar Siang Huhoa berkata lebih jauh:
"Hiankicu adalah seorang ahli tehnik yang amat hebat,
sementara Jui Pakhay merupakan murid didikannya yang luar
biasa, sejak berapa tahun berselang dia sudah mampu
menyambung kunci sontekan didalam pintu dengan sebuah
tombol yang berada diluar pintu, asal kita memukul diatas
dinding yang berisi tombol rahasia itu maka getaran yang
ditimbulkan akan menggerakkan kunci dibalik dinding yang
akan bergerak menarik sontekan pintu ke samping, dengan
begitu pintu pun akan terbuka. Tapi bila kau ingin menutup
pintu itu dari luar maka kau mesti mendorong dengan
menggunakan tanganmu. Maka kalau kulihat permukaan
dinding yang licin, begitu juga dengan lantai yang licin, besar
dugaan tombol tersebut dia sembunyikan diatas pintu rahasia
itu sendiri"
Berbicara sampai disitu, tangannya mulai meraba ukiran
kayu Kwan-im bertangan seribu itu dari atas hingga ke bawah.
Ketika tangannya mulai bergeser, mendadak timbul satu
perasaan aneh dalam hatinya, perasaan seakan dia sedang
dipelototi seseorang.
Dia tidak tahu kenapa bisa muncul perasaan seperti itu,
tanpa terasa tangannya yang bergeser pun ikut berhenti.
Tapi dihadap annya tidak ada seorang manusia pun, yang
ada hanya sebuah ukiran kayu.

201
Ukiran kayu bergambar Kwan-im bertangan seribu.
Kwan-im bertangan seribu dikenal juga sebagai Kwan-im
bertangan seribu bermata seribu.
Menurut kitab suci Gavatamo, Kwan-im ini memiliki dua
puluh buah tangan dimasing masing tangannya, pada setiap
tangan terdapat sebuah mata hingga bila dijumlah maka
terdapat empat puluh tangan dengan empat puluh buah mata.
Dan sekarang, ukiran kayu bergambar Kwan-im bertangan
seribu pun memiliki empat puluh buah mata dan empat puluh
buah tangan, sama persis seperti apa yang tertera dalam kitab
suci itu.
Bukan hanya bentuk bahkan cara duduknya pun persis
sama seperti apa yang dilukiskan dalam kitab suci, tiga puluh
delapan buah tangannya membentang dibelakang tubuhnya
membentuk lingkaran, sementara dua tangannya yang asli
menempel diatas lutut dengan membuat tekukan jari.
Sekarang sepasang tangan Siang Huhoa sedang menekan
tangan Kwan-im bertangan seribu yang diletakkan diatas lutut
itu.
Dengan termangu-mangu dia awasi ukiran itu tanpa
berkedip, seolah ada sesuatu yang sedang dipikirkan.
Belum sempat Tu Siau-thian bertanya, sepasang tangan
Siang Hu-hoa sudah mulai bergerak dan menggeser ke
samping.
Dia menggeser tangannya mulai dari jari tangan Kwan-im
bertangan seribu yang ditekuk diatas lutut itu menuju ke atas,
sementara sepasang matanya mengawasi biji mata Kwan-im
bertangan seribu itu tanpa berkedip.
Betul juga dugaannya, pupil mata Kwan-im bertangan
seribu itu ternyata ikut bergerak menyusul pergeseran jari
tangannya menuju ke atas, mata itu bergerak seakan sedang
menegurnya kenapa berani menyentuh tubuh sucinya.

202
Ternyata sepasang mata itu yang sedang mengawasi aku
terus menerus!" serunya kemudian sambil tertawa, sementara
jari tangannya mulai bergeser ke kiri kanan jari tangan Kwanim
itu.
Rupanya jari tangan yang ditekuk diatas lutut itupun bukan
ukiran mati, tapi bisa digerakkan dengan leluasa.
Ketika dia menggeser ke kiri, kekanan maupun ke bawah,
tiada reaksi apa pun yang timbul, tapi ketika jari tangan itu
digeser keatas maka ......"Kraaak!" terdengar bunyi gemerutuk
yang lembut diikuti melompat keluarnya pupil mata dari ukiran
Kwan-im bertangan seribu itu ke depan.
Biji mata itu tidak melejit ke udara tapi hanya melompat
keluar sejauh setengah depa, ternyata di belakang ukiran biji
mata itu tersambung dengan sebatang kayu sepanjang
setengah depa.
Siang Huhoa segera melepaskan ukiran jari tangan dilutut
itu lalu memegang sepasang biji mata yang melompat keluar
Ketika disentuh ternyata benda itu terasa dingin dan bukan
terbuat dari kayu, rupanya biji mata itu dibuat khusus dengan
baja.
Siang Huhoa mulai menggerakkan biji mata itu, ketika
digeser dari kiri menuju ke kanan, dari balik pintu rahasia pun
bergema suara yang sangat aneh.
Suara itu mirip suara sekelompok tikus yang sedang
menggigit dan mencakar sesosok bangkai atau mayat.
Karena suasana waktu itu sangat hening, maka suara aneh
itu kedengaran jelas sekali.
Suasana yang semula sudah terasa menyeramkan kini
terasa makin mengerikan dan menggidikkan hati, jangan lagi
orang lain, Siang Huhoa sendiripun tidak kuasa untuk
merinding dan bersin berulang kali.

203
Tapi tidak lama kemudian sekulum senyuman telah
menghiasi ujung bibirnya, sambil bertepuk tangan dan bangkit
berdiri serunya:
"Sekarang kita sudah boleh masuk!"
"Sudah kau tutup semua alat jebakan yang ada didalam
ruang rahasia itu?" tanya Nyo Sin kuatir.
"Mungkin saja dia telah mempersiapkan alat jebakan lain di
dalam ruangan itu, tapi untuk memasuki pintu rahasia,
menurut pendapatku, semestinya memang tidak ada masalah
lagi"
Biarpun sudah dikatakan kalau tidak ada masalah, Nyo Sin
tetap tidak berani beranjak dari tempatnya berdiri.
Tampaknya Siang Huhoa sendiripun tidak berani seratus
persen percaya dengan analisa sendiri, kembali dia mundur
beberapa langkah, menyambar lagi sebuah bangku kemudian
dilemparkan ke dalam pintu rahasia.
"Blaaaam!" bangku itu seketika hancur berantakan dibalik
ruang rahasia itu.
Bagaikan burung yang kaget melihat busur Nyo Sin
tergopoh gopoh melompat ke samping untuk menghindarkan
diri.
Ternyata kali ini tiada reaksi apa pun yang muncul dari
balik pintu rahasia, suasana tetap tenang.
Melihat kenyataan tersebut, dengan perasaan tenang Siang
Hu-hoa baru melangkah kakinya memasuki pintu rahasia itu.
Jui Gi yang pertama kali menyusul di belakang lelaki itu.
Tu Siau-thian menyusul di belakangnya, namun baru dua
langkah, Nyo Sin sudah mendahuluinya dengan langkah cepat.

204
Meskipun berani melampui anak buahnya, ternyata
pembesar ini hanya mengintil terus di belakang Siang Huhoa
dan Jui Gi.
Biarpun dia suka merebut pahala orang, bagaimana pun
termasuk juga seorang lelaki yang pintar.
Suasana dalam ruang rahasia itu gelap dan menyeramkan.
Baru satu langkah memasuki ruang rahasia tersebut, tibatiba
Siang Huhoa menghentikan kembali langkahnya.
Nyo Sin yang menyaksikan kejadian itu buru-buru
melompat ke samping untuk menghindar, dia mengira secara
tiba tiba Siang Hu-hoa telah menemukan sesuatu ancaman
mara bahaya.
Tampaknya Tu Siau-thian pun berpendapat sama, tanpa
sadar dia berseru nyaring:
"Hati-hati!"
Siang Huhoa sama sekali tidak memperlihatkan rasa gugup
atau panik, malah sembari berpaling ujarnya:
"Saudara Tu, tolong ambilkan lampu minyak yang berada di
meja sebelah sana"
Ternyata dia berhenti karena tiba-tiba teringat untuk
membawa lampu.
Tu Siau-thian segera menyahut dan membalikan badan
menuju ke arah meja.
Dia tidak mengucapkan sepatah kata pun, juga tidak
menunjukkan sikap apapun, terhadap seluruh peristiwa yang
baru terjadi dia seakan sudah melupakannya.
Siang Huhoa sendiripun berlagak seolah tidak pernah
terjadi apa-apa, dia tidak menegur Nyo Sin, pun tidak
berbicara apa apa, seolah dia sama sekali tidak tahu apa yang
telah dilakukan orang itu di belakang tubuhnya.

205
Tidak heran kalau Nyo Sin merasa rikuh bercampur jengah,
segera dia berjalan balik ke posisinya semula, kemudian baru
berkata:
"Tadi, kukira kau temukan alat jebakan lagi"
Siang Huhoa hanya tersenyum tanpa menjawab, sementara
Tu Siau-thian dengan membawa lampu lentera telah berjalan
mauk lagi ke dalam ruang rahasia.
Dibawah sorot cahaya lampu, kini Siang Hu-hoa dapat
melihat sangat jelas suasana di sekelilingnya.
Ternyata ruang rahasia itu memiliki kedalaman empat-lima
depa dengan lebar lebih kurang dua kaki.
Ketika berbelok enam depa ke kiri, maka akan terlihat
sebuah dinding ruangan yang memisahkan ruang ini dengan
ruang di balik pintu rahasia dengan ukiran Mi lek Hud,
sebaliknya ujung dari belokan ke kanan adalah sebuah dinding
pula, tapi setengah kaki sebelum dinding itu terlihat
permukaan tanahnya menjorok turun ke bawah, disana
terlihat anak tangga yang menghubungkan ruang atas dengan
ruang bawah.
Dari balik ruang bawah lamat-lamat terlihat ada cahaya
lampu yang memancar keluar.
Dinding disekeliling ruangan gelap karena dicat warna
hitam, diatas dinding hitam itu muncul lubang lubang kecil
yang banyak jumlahnya, dari balik lubang kecil itu terlihat
ujung anak panah yang menonjol keluar siap dibidikkan, ketika
tertimpa cahaya lampu, ujung senjata itu kelihatan
gemerlapan membiaskan cahaya tajam.
Untung tombol rahasia sudah dimatikan sebelum mereka
memasuki ruang rahasia itu, coba kalau tidak, bisa jadi hujan
panah akan berhamburan keluar melalui lubang lubang kecil
itu.

206
Padahal ruangan itu begitu sempit, tentu saja sulit bagi
mereka untuk menggerakkan badannya dengan leluasa, dalam
keadaan begini, biarpun kau memiliki kepandaian silat yang
hebat pun bukan pekerjaan yang gampang untuk menghadapi
datangnya ancaman dari empat penjuru.
Kecuali lubang lubang kecil berisi anak panah, disekeliling
dinding tidak tampak benda apa pun.
Ternyata ruang rahasia ini tidak lebih hanya sebuah lorong
penghubung.
Begitu melangkah masuk ke dalam ruang rahasia dan
menyaksikan ujung panah yang gemerlapan dibalik lubang
dinding, Nyo Sin seketika merasakan sepasang kakinya mulai
lemas, buru buru bertanya lagi:
"Saudara Siang, apakah semua alat perangkap sudah
dimatikan?"
Waktu itu Siang Huhoa sudah berada didepan anak tangga
yang menuju ke ruang bawah tanah, tanpa berpaling
sahutnya:
"Bukankah sampai saat ini aku baik-baik saja?"
Begitu selesai berkata, dia melanjutkan langkahnya
menuruni anak tangga.
Kini Nyo Sin baru merasa lega untuk melangkah masuk ke
dalam ruangan, agaknya baru sekarang dia merasa yakin
kalau semua alat jebakan benar-benar telah dimatikan.
Tu Siau-thian mengikuti di belakang Nyo Sin, perasaan
tidak sabar sudah muncul diwajahnya, namun dia masih
berusaha untuk menahan diri.
Memang sejak berapa tahun ini dia harus mulai belajar dan
mengerti apa arti dari sebuah kesabaran.

207
Justru karena dia memahami arti dari sebuah kesabaran,
maka sekarang dia baru bisa menjadi seorang opas yang
cekatan dan menonjol namanya.
Anak tangga yang menjorok ke bawah tanah itu tidak
terlalu panjang, paling banter hanya ada tiga puluhan
undakan.
Ujung dari anak tangga berupa sebuah pintu batu, pintu itu
sudah berada dalam keadaan terbuka, dari balik ruangan
itulah munculnya cahaya lentera.
Mungkinkah buka tutupnya pintu batu ini dikendalikan dari
atas? Karena semua tombol alat jebakan telah dimatikan,
maka secara otomatis pintu batu itu terbuka dengan
sendirinya?
Siang Huhoa berhenti sebentar diluar pintu batu itu, tapi
kemudian dengan mengangkat tinggi lenteranya dia
melanjutkan langkahnya masuk ke dalam ruangan.
Cahaya lentera lembut bagaikan sinar rembulan.
Begitu masuk ke dalam pintu batu itu maka terlihatlah
sebuah ruang batu yang luas. Ukuran ruangan batu ini
sedemikian luasnya sehingga setara dengan ukuran ruang
perpustakaan yang berada diatasnya.
Interior didalam ruang batu itu amat indah, ke empat
dindingnya diberi kain tirai yang terbuat dari kain sutera halus,
sementara permukaan lantainya dilapisi permadani tebal
berwarna merah menyala, permadani dari Persia, sehingga
waktu berjalan diatasnya, sama sekali tidak kedengaran suara
langkah kaki kita.
Lampu penerangan diletakkan ditengah ruangan, delapan
buah lampu abadi yang diatur berbentuk formasi tujuh bintang
mengelilingi rembulan' berjajar rapi diatas sebuah rak
tembaga berbentuk lingkaran.

208
Rak tembaga itu digantungkan diatap ruangan dengan
memakai sebuah kawat baja yang besar dan kuat, seakan
tujuh buah bintang yang mengelilingi sebuah rembulan.
Sebab dari ke delapan buah lampu itu, hanya sebuah
dibagian tengah yang dibiarkan menyala
Dibawah gelang lampu itu terletak meja dan bangku,
sebuah meja dikelilingi tujuh buah bangku, benda benda
itupun diatur dalam formasi tujuh bintang mengelilingi
rembulan.
Tentu saja meja kursi yang diletakkan disitu merupakan
meja kursi dengan kwalitas luar biasa sempurnanya.
Dibawah tirai sutera di ke empat dinding ruangan itu
terletak pula meja meja kecil, jumlahnya mencapai dua-tiga
puluhan, diatas meja meja itu lah diletakkan aneka ragam
intan permata, mutu manikam yang tidak ternilai harganya,
tiada satu benda pun yang sama dengan benda lainnya, tapi
hampir semua yang ada disitu merupakan mestika langka
yang luar biasa indah dan berharganya.
Intan permata sebesar telur ayam, mutu manikam yang
menyala bagai bara api.......membuat seluruh ruangan
bermandikan cahaya terang.
Seandainya ke delapan buah lampu disitu dinyalakan
semua, niscaya ruangan itu akan bertambah terang dan
menyilaukan mata.
Sekarang pun Nyo Sin, Tu Siau-thian serta Jui Gi sudah
dibuat silau dan terbelalak matanya setelah menyaksikan
gemerlapannya cahaya diruangan itu.
Untuk sesaat mereka bertiga berdiri terkesima dengan mata
melotot dan mulut melongo, sesaat mereka seolah hanya bisa
berdiri mematung tanpa mengetahui apa yang mesti
dilakukan, hanya Siang Huhoa seorang yang terkecuali.

209
Sambil memegang lampu dia masih menelusuri seluruh
ruangan, ditinjau dari mimik mukanya dia seakan sama sekali
tidak memandang sebelah mata pun terhadap semua intan
permata, mutu manikam dan benda berharga lainnya yang
ada disana.
Selesai mengelilingi seluruh ruangan itu satu lingkaran, tiba
tiba dia menarik sebuah kursi ditengah ruangan dan duduk,
sementara lampunya diletakkan ditengah meja.
"Tuuukk.....!" suara lampu yang membentur permukaan
meja menimbulkan gema suara yang luar biasa nyaringnya
ditengah keheningan dalam ruang batu.
Seketika itu juga Nyo Sin, Tu Siau-thian dan Jui Gi tersadar
kembali dari lamunannya, sinar mata mereka serentak
dialihkan ke wajah Siang Huhoa dan menatapnya lekat-lekat.
Siang Huhoa tidak menanggapi pandangan semua orang,
kepada Jui Gi mendadak dia bertanya:
"Apa sebelumnya, kau pernah berkunjung kemari?"
Jui Gi menggeleng.
"Belum pernah" sahutnya, "baru kali ini aku tahu kalau
dibawah ruang perpustakaan ternyata terdapat sebuah ruang
rahasia macam ini, kalau tidak, meski aku tidak seberapa
mengerti soal peralatan rahasia itu, paling tidak tidak bakal
hanya berpeluk tangan belaka"
Siang Huhoa menatapnya sekejap kemudian manggutmanggut,
ujarnya lagi setelah termenung sejenak:
"Kalau sampai kau juga tidak tahu, berarti mustahil dia
akan bocorkan rahasia ini kepada orang lain, dengan
perlengkapan alat jebakan yang begini hebat, tempat ini boleh
dibilang sangat rahasia dan aman, memang paling cocok bila
digunakan sebagai tempat untuk menyimpan intan permata
dan benda berharga lainnya"

210
"Seandainya dia juga bersembunnyi disini, bukankah dia
menjadi aman sekali?" tiba-tiba Nyo Sin menyela.
"Semestinya memang begitu" Siang Huhoa mengangguk
"Siapa tahu lenyapnya dia pada malam tersebut karena dia
sudah menyembunyikan diri di tempat ini?"
"Tapi kami tidak mendengar suara apa-apa waktu itu" Tu
Siau-thian menimbrung.
"Waktu itu dia kabur kemari dengan tergopoh-gopoh, tentu
saja semua gerakan dilakukan sambil menahan napas dan
tidak berani menimbulkan suara apa pun"
"Tapi sewaktu aku bersama Tan Piau dan Yau Kun
menyerbu masuk ke dalam ruang perpustakaan, dia
semestinya tahu akan hal ini dan segera tampil keluar"
"Mungkin saja pada saat itu dia sudah berada dalam ruang
batu ini dan menutup pintunya rapat rapat sehingga sama
sekali tidak mendengar suara apa pun”
Tidak menunggu pendapat dari Tu Siau-thian, dia berkata
lebih jauh:
"Mungkin juga pada waktu itu dia sudah pingsan"
"Sekalipun sempat pingsan, toh ada saatnya tersadar
kembali"
"Tentu saja...."
"Tapi sejak peristiwa itu terjadi hingga senja hari ke dua,
orang orang kita selalu berjaga-jaga di dalam ruang
perpustakaan ini"
"Mungkin saja dia pingsan selama tiga hari tiga malam,
mungkin saja dia sudah........" baru sampai ditengah jalan
mendadak pembesar itu menghentikan kata-katanya.
"Mungkin saja dia sudah mati waktu itu" Siang Hu-hoa
segera menyambung ucapannya yang terpotong itu.

211
"Benar" Nyo Sin berkata lagi, "bila seseorang sudah mati,
tentu saja reaksi apa pun tidak nanti bisa dia lakukan"
"Bila seseorang sudah mati, seharusnya dia meninggalkan
suatu benda" kata Siang Huhoa.
"Benda apa?"
"Mayatnya!"
Dalam ruangan batu itu tidak ditemukan jenasah dari Jui
Pakhay.
Seandainya Jui Pakhay mati di dalam ruangan batu itu,
seharusnya jenasahnya berada pula di dalam ruangan batu ini.
Nyo Sin menyapu sekejap seluruh ruangan, tiba tiba sambil
menuding ke satu arah serunya:
"Mungkin saja mayatnya tersembunyi di balik peti peti kayu
itu"
Yang dituding memang merupakan sebuah sudut ruangan
dimana terletak beberapa peti kayu besar.
Siang Huhoa melirik peti itu sekejap, tiba-tiba tanyanya:
"Apa kau pernah melihat ada mayat yang bisa berjalan?"
Kalau mayat itu tidak bisa berjalan, darimana dia bisa
menyembunyikan diri dibalik peti?
"Aku tidak pernah melihatnya" Nyo Sin menggeleng,
"sewaktu berjalan masuk ke dalam peti, bisa saja saat itu dia
belum mati"
"Ooh, maksudmu dia sendiri yang berjalan masuk ke dalam
peti itu kemudian mati di dalam peti?”
Kali ini Nyo Sin manggut-manggut tanda membenarkan.
"Bukankah ruangan ini sudah lebih dari aman?” ujar Siang
Hu-hoa.

212
"Ketika dia kabur ke dalam ruangan ini dengan membawa
luka, bisa saja ada sebagian dari kawanan laron penghisap
darah itu yang turut masuk, karena kehabisan akal akhirnya
dia memilih bersembunyi di dalam peti"
Tiba-tiba Siang Huhoa tertawa tergelak, serunya:
"Memangnya kau anggap dia adalah siluman?"
"Apa maksud perkataanmu itu?" Nyo Sin tertegun.
"Kalau bukan siluman, bagaimana caranya dia bersembunyi
di dalam peti lalu mengunci peti itu dengan sebuah gembokan
besar dari luar?" kata Siang Hu-hoa sambil tertawa.
"Gembokan itu bisa saja bukan dia sendiri yang melakukan"
ngotot Nyo sin dengan wajah tidak berubah.
"Kalau bukan dia, lalu siapa yang melakukan?"
"Bisa saja kawanan laron penghisap darah itu!"
"Memangnya kau anggap laron penghisap darah itu adalah
siluman?"
"Mungkin saja"
Siang Huhoa segera tertawa.
Hingga kini dia masih belum pernah melihat apa yang
dikatakan sebagai laron penghisap darah, karena itu dia pun
tidak ingin berdiskusi tentang hal hal yang tidak diketahui
olehnya secara pasti.
Terdengar Nyo Sin berkata lebih jauh:
"Begini saja, bagaimana kalau sekarang kita buka seluruh
peti yang ada disitu?"
Dalam hal ini ternyata Siang Huhoa malah sangat setuju.
Maka satu per satu peti peti itu dibuka semua, ternyata
gembokan yang berada diluar peti itu bukan dikunci beneran,

213
tanpa menggunakan anak kunci pun mereka dapat membuka
semua peti itu secara mudah.
Peti itu semuanya berjumlah tujuh buah dan ternyata
terbuat dari baja asli, bukan kayu.
Empat buah peti penuh berisikan emas murni dan perak
sementara tiga peti lainnya berisikan intan permata, mutiara,
batu zamrud, berlian dan mutu manikam yang tidak ternilai
harganya.
Sekali lagi Nyo sin dan Tu Siau-thian berdiri terkesima,
untuk sesaat mereka hanya bisa berdiri melongo.
Tampaknya kekayaan yang dimiliki Jui Pakhay jauh diluar
dugaan mereka semua, mereka tidak menyangka kalau ada
begitu banyak barang berharga yang tersimpan disitu.
Akhirnya setelah menghela napas panjang Nyo Sin berbisik:
"Kalau ditanya siapa orang paling kaya di wilayah ini,
kelihatannya dialah yang menduduki ranking nomor satu"
Jui Gi sendiripun berdiri termangu, biarpun dia adalah
pengurus rumah tangga tempat itu, namun dia sendiripun
tidak menyangka kalau Jui Pakhay ternyata memiliki kekayaan
yang luar biasa banyaknya.
Hanya mimik muka Siang Huhoa yang sama sekali tidak
berubah, tampaknya dia sudah tahu akan hal ini sehingga
sama sekali tidak tertarik untuk mempersoalkan.
Isi peti peti itu hanya emas, perak dan benda berharga,
sama sekali tidak ada mayat bahkan tulang belulang orang
mati pun tidak dijumpai.
Dengan susah payah akhirnya Nyo Sin dapat menarik
kembali sorot matanya, sambil mengelus jenggotnya dia
berkata kemudian:

214
"Mungkin saja setelah menghisap darahnya hingga kering,
kawanan laron penghisap darah itu sekalian memakan daging
dan tulangnya hingga habis"
"Oya?"
Karena tidak yakin dengan dugaan tersebut, setelah
berpikir sejenak Nyo Sin segera mengalihkan pembicaraan ke
soal lain, katanya:
"Mungkin di dalam ruangan batu ini masih terdapat jalan
keluar yang lain"
Bab 12.
Kabut hujan gerimis.
Dalam ruang batu itu tidak ditemukan jalan keluar yang
lain.
Mereka telah menyingkap semua tirai sutera yang melapisi
empat penjuru dinding, bahkan permadani yang melapisi
lantai pun sudah dibongkar, namun tidak ditemukan sesuatu
yang mencurigakan.
Akhirnya ke empat orang itu menghentikan
penggeledahannya.
Siang Huhoa berjalan balik ke tempat semula dan duduk
kembali sambil menengok ke arah Nyo Sin.
Kali ini Nyo sin tidak sanggup berkata-kata lagi.
Siang Hu-hoa menunggu beberapa saat, ketika melihat Nyo
Sin belum juga bersuara lagi maka dia pun menegur:
"Apakah kau pikir masih ada kemungkinan yang lain?"
"Rasanya sudah tidak ada lagi" sahut Nyo Sin sambil
menghela napas.

215
"Kalau memang sudah tidak ada, bagaimana kalau
sekarang mendengar kemungkinanku?"
"Aku sudah siap mendengarkan pendapatmu"
"Mungkin setelah berteriak kaget dan ketakutan, dia
menyembunyikan diri disini, hingga ruang perpustakaan
benar-benar tidak ada orang lagi, dia baru diam-diam
membuka pintu rahasia dan pergi meninggalkan tempat ini"
Nyo Sin mengawasi Siang Hu-hoa dengan mata mendelik,
dia seakan hendak mengatakan sesuatu, tapi sebelum dia
lakukan hal tersebut, Siang Huhoa sudah berkata lebih jauh:
"Apa yang kuuraikan barusan sebenarnya merupakan
alasan yang paling pas, sebab kalau tidak............."
"Kalau tidak kenapa?"
"Kita harus menerima kisah tentang laron penghisap darah
itu sebagai suatu kenyataan"
Mendadak Tu Siau-thian menimbrung:
"Kalau kudengar dari perkataanmu itu, seolah kau masih
curiga kalau kisah tentang laron penghisap darah itu
sebenarnya hanya cerita khayalan belaka"
"Benar, aku memang masih curiga"
"Tapi sikap semacam itu rasanya tidak bermanfaat bagi dia"
"Memang sama sekali tidak bermanfaat"
Siang Huhoa membenarkan seraya tertawa, "siapa tahu
lantaran kelewat jemu dan kesal, dia sengaja mengajak kita
semua bergurau"
Tu Siau-thian tahu kalau rekannya tidak serius dengan
perkataan itu, maka diapun hanya tertawa tanpa menjawab.
Berbeda dengan Nyo Sin, dia anggap serius perkataan itu,
segera bantahnya:

216
"Tapi menurut apa yang ku tahu, dia bukan seseorang yang
gemar bergurau"
"Aku tahu, dia memang bukan manusia type itu"
Setelah menyapu sekejap sekeliling tempat itu, ujarnya
lebih jauh:
"Tampaknya kita sudah melupakan tujuan utama kita
datang kemari"
Tujuan utama kedatangan mereka adalah untuk mencari
buku catatan milik Jui Pakhay yang berisi catatan terperinci
tentang pengalamannya.
Seakan baru tersadar dari lamunan buru-buru Tu Siau-thian
menyahut:
"Aaah benar, aku rasa buku catatan itu pasti sudah dia
sembunyikan disuatu tempat diseputar sini"
Siang Huhoa mengangguk.
"Aku memang tidak menemukan tempat lain yang lebih
aman dan lebih rahasia didalam gedung perpustakaan ini
selain ruang rahasia ini..........."
"Tapi buku catatan itu dimana dia sembunyikan?" tukas
Nyo Sin tidak sabar.
"Jauh diujung langit, dekat di depan mata" jawab Siang
Huhoa sambil mengalihkan pandangan matanya ke samping
meja.
Diatas meja itu tergeletak berpuluh gulung lukisan,
dibawah tumpukan lukisan terlihat sepucuk sampul surat.
Setiap gulung lukisan yang tertumpuk disitu bukan berisi
lukisan berharga, melainkan tertulis tanggal hari dan bulan.
"Bulan tiga tanggal satu...... bulan tiga tanggal dua....bulan
tiga tanggal tiga...... bulantiga tanggal empat belas!"

217
Mungkinkah catatan yang sedang mereka cari ada di
tumpukan lukisan itu?
Tanpa terasa Nyo Sin, Tu Siau-thian maupun Jui Gi berjalan
mendekat dan mengelilingi meja itu.
Mula-mula Siang Hu-hoa mengambil dulu surat itu, ternyata
surat tersebut bukan ditujukan kepadanya, diatas sampul
surat itu tertulis dengan jelas bahwa surat itu dititipkan
sementara waktu kepadanya, bila Jui Pakhay sudah mati maka
diminta untuk menyerahkan surat tersebut kepada Ko Thianliok.
Dalam sekilas pandang Tu Siau-thian dapat melihat kalau
surat itu persis sama bentuknya dengan surat yang diserahkan
Jui Pakhay kepadanya pada malam tanggal lima belas dan
hingga kini masih tersimpan dalam sakunya.
Sampul surat yang sama dengan tulisan yang sama pula.
Dengan keheranan Siang Hu-hoa berpaling ke arah Tu
Siau-thian, kemudian tegurnya:
"Sebenarnya apa yang telah terjadi?"
Buru-buru Tu Siau-thian menjelaskan apa yang dialami
pada malam tanggal lima belas serta apa saja yang dikatakan
Jui Pakhay kepadanya.
Siang Huhoa mendengarkan dengan serius, sampai Tu
Siau-thian menyelesaikan kata-katanya, dia baru berkata:
"Cara kerja orang ini selamanya memang teliti dan cermat"
Tu Siau-thian manggut membenarkan, dia simpan kembali
surat miliknya.
Siang Huhoa memasukkan pula surat itu ke dalam sakunya,
kemudian baru berkata lagi:
"Sebelum membuktikan kematiannya, lebih baik kita berdua
masing-masing menyimpan sepucuk surat tersebut, jika nanti

218
sudah terbukti kalau dia memang mati, barulah kita serahkan
surat tersebut ke alamat yang bersangkutan"
"Kelihatannya dia memang bermaksud begitu"
Maka Siang Huhoa mengambil gulungan kertas yang
bertuliskan tanggal satu bulan tiga, ujarnya:
"Sekarang kita harus mulai memeriksa isi lukisan ini"
Sambil berkata dia mulai membuka gulungan lukisan itu
dan dibentangkan diatas meja.
Ternyata gulungan kertas itu bukan berisi lukisan tapi
penuh dengan tulisan, catatan kisah kejadian yang dialami
pada tanggal satu bulan tiga.
0-0-0
Malam tanggal satu bulan tiga, untuk pertama kalinya Jui
Pakhay bertemu dengan laron penghisap darah.
Dengan ilmu pedang andalannya, tujuh bintang perenggut
nyawa, pedang sakti pencabut sukma, dia melancarkan
serangan namun gagal membinasakan laron penghisap darah
itu.
Baru saja serangan dilancarkan, mendadak laron penghisap
darah itu hilang lenyap tidak berbekas, lenyap bagaikan setan
iblis.
0-0-0
Lukisan Jui Pakhay tidak bagus, ternyata tulisannya jauh
lebih payah apalagi ditulis dalam keadaan tergesa-gesa,
tulisannya benar benar sangat payah seperti tulisan cakar
ayam.
Masih untung apa yang dituturkan dalam tulisannya itu
merupakan sebuah kisah kejadian yang sangat menggidikkan
hati, sekalipun tulisannya jelek, orang tetap tertarik untuk
membacanya hingga selesai.

219
Empat belas gulung kertas lukisan berisikan catatan
lengkap tentang peristiwa yang terjadi selama empat belas
hari.
Satu gulung menandakan satu hari.
Dibawah sinar lentera yang redup, dari balik tulisan yang
tertera diatas gulungan kertas itu seolah terpancar keluar
hawa siluman yang sangat kental.
Hawa siluman yang aneh, hawa siluman yang mengerikan
dan menakutkan.
Tanpa terasa ke empat orang itu bergidik, bulu roma
bangun berdiri, namun pandangan mata mereka seolah sudah
tersihir, sulit dialihkan lagi dari atas gulungan kertas itu.
0-0-0
Bulan tiga tanggal satu, bulan tiga tanggal dua, bulan tiga
tanggal tiga,..........
Pada tiga gulungan yang pertama, Siang Huhoa hanya
membuka dan membacanya secara perlahan, namun mulai
gulungan ke empat, gerakannya dilakukan semakin cepat,
semakin dibaca dia membuka gulungan tersebut semakin
cepat.
Ternyata sorot mata Tu Siau-thian Nyo Sin dan Jui Gi ikut
bergerak mengikuti ke arah mana Siang Hu-hoa bergerak.
Ketika selesai membaca ke empat belas gulung tulisan itu,
Siang Huhoa merasa napasnya sesak dan nyaris tidak bisa
menghembuskan napas lagi.
Tu Siau-thian bertiga pun ikut menjadi sesak napas, hawa
siluman seolah memancar keluar dari balik gulungan kertas
dan mulai menyelimuti seluruh ruangan batu.
Ketika Siang Huhoa meletakkan kembali gulungan kertas ke
sepuluh, sepasang tangannya meski tidak sampai membeku

220
kaku saking dinginnya, namun seluruh tubuhnya sudah
bermandikan peluh dingin.
Paras muka Tu Siau-thian dan Nyo Sin berubah pucat pias,
sementara Jui Gi berdiri dengan badan gemetar keras.
Mereka semua ikut merasakan ketakutan, ngeri dengan
teror seperti apa yang dialami Jui Pakhay waktu itu.
Untuk sesaat ke empat orang itu tidak mampu berkata
kata, mereka tidak mampu melakukan gerakan apa pun,
seakan akan semuanya sudah dibuat beku dan kaku oleh
gulungan hawa siluman dalam ruangan.
Entah berapa saat sudah lewat, akhirnya Tu Siau-thian
memecahkan keheningan:
"Kejadian ini menyangkut nama baik bininya, tidak heran
kalau sulit baginya untuk bercerita"
"Tapi..... apa benar bininya adalah jelmaan dari laron
penghisap darah? Apa benar dia adalah siluman laron?" kata
Nyo Sin.
Tu Siau-thian tidak menjawab, dia memang tidak tahu
bagaimana meski menjawab pertanyaan itu.
"Aku tidak percaya kalau semua kejadian itu adalah nyata!"
mendadak Jui Gi berteriak keras.
Kalau dia tidak percaya, lalu siapa pula yang percaya?
Nyo Sin tertawa getir, ujarnya tiba-tiba:
"Kau tidak percaya? Jadi kau anggap majikanmu sedang
berbohong?"
Jui Gi kontan tertegun, dia jadi gelagapan dan tidak mampu
menjawab.
Sementara itu Nyo Sin sudah berpaling ke arah Siang Huhoa
seraya bertanya:

221
"Bagaimana menurut saudara Siang?"
Siang Huhoa hanya menghela napas tanpa menjawab. Dia
pun sama seperti yang lain, tidak tahu harus menjawab apa.
Kalau dibilang Jui Pakhay kurang waras otaknya, mustahil
dia bisa menuturkan semua pengalamannya secara terperici
dalam empat belas gulungan kertas.
Berarti semua peristiwa itu nyata? Tidak ada yang berani
mengiayakan.
Sekali lagi Tu Siau-thian memecahkan keheningan, kali ini
dia hanya menghela napas panjang.
"Saudara Tu" Siang Huhoa segera mengalihkan pandangan
matanya ke wajah Tu Siau-thian, "dalam dua hari belakangan,
apakah kau telah bersua dengan bininya?"
"Gi Tiok-kun maksudmu?" seru Tu Siau-thian tertegun.
"Memangnya selain Gi Tiok-kun, dia masih mempunyai bini
ke dua?" Siang Hu-hoa balik bertanya keheranan.
"Tidak punya"
"Lantas kenapa kau tunjukkan wajah keheranan ketika aku
menyinggung tentang dia?"
"Aku hanya keheranan, kenapa secara tiba-tiba kau
menyinggung soal dia"
"Tentu saja ada alasan yang kuat, jawab dulu
pertanyaanku"
"Malam tanggal enam belas, dia sudah tahu kalau saudara
Jui lenyap tidak berbekas, dia sempat mendatangi ruang
perpustakaan untuk mencari berita, kemarin malam ketika aku
datang menjenguk untuk menanyakan lagi kabar tentang
saudara Jui, dia pula yang muncul untuk menyambut
kedatanganku"
"Kalau begitu aneh sekali"

222
"Apanya yang aneh?" Tu Siau-thian tertawa getir.
"Kau tidak mengerti?"
"Lebih baik kau terangkan sejelas-jelasnya" sahut Tu Siauthian
sambil menggeleng.
"Barusan kau telah ikut membaca catatan pengalamannya,
apakah kau tidak merasa banyak bagian dalam catatan itu
yang kelewat emosional?"
Tu Siau-thian membenarkan.
"Bila kita bahas dari catatan yang dia tulis" sambung Siang
Huhoa lebih jauh, "maka tidak sulit untuk kita ketahui bahwa
dia memang menaruh perasaan takut yang luar biasa, rasa
diteror yang membuatnya amat tersiksa, membuat kita bisa
menduga bahwa dia mempunyai satu pemikiran yang
menakutkan"
"Pemikiran yang bagaimana?"
"Dia ingin sekali membunuh Gi Tiok-kun dan Kwe Bok!"
"Bila mereka benar-benar berniat mencelakai aku, akupun
tidak akan berlaku sungkan terhadap mereka, mau manusia
atau siluman laron, aku harus membunuhnya!"
Demikian Jui Pakhay menuliskan jalan pemikirannya dalam
gulungan kertas yang bertuliskan bulan tiga tanggal dua belas.
"Benar, tampaknya dia memang punya maksud untuk
berbuat begitu" Tu Siau-thian segera teringat pula dengan
pernyataan itu.
"Mungkin saja apa yang kukatakan kelewatan batas" Siang
Huhoa berkata lebih jauh, "tapi satu hal dapat dipastikan, dia
memang amat takut dan ngeri terhadap makhluk yang
dinamakan laron penghisap darah itu, kemungkinan besar rasa
takut yang berlebihan membuat otaknya jadi tidak waras,
akibatnya dia menganggap bininya sendiri sebagai laron
penghisap darah"

223
"Bila apa yang dikatakan merupakan kenyataan, Gi Tiokkun
tidak mungkin bisa hidup sampai sekarang” sela Nyo Sin.
"Kalau otaknya memang tidak waras, matinya Gi Tiok-kun
dan lenyapnya dia malah tidak susah untuk ditebak"
Setelah bersin berulang kali, dia melanjutkan:
"Sebab dia bisa beralasan kalau dia membunuh Gi Tiok-kun
lantaran sudah menganggap bininya sebagai jelmaan siluman
laron, dan dia kabur karena berusaha untuk menyembunyikan
diri"
"Kita pun bisa menganggap semua catatan aneh yang dia
tuangkan dalam gulungan kertas ini sebagai buah pikirannya
yang ngawur dan tidak waras" sambung Siang Huhoa.
Bicara sampai disitu dia menggelengkan kepalanya, setelah
berhenti sejenak lanjutnya:
"Persoalannya adalah walaupun Kwee Bok dan Gi Tiok-kun
tidak melihat kawanan laron penghisap darah itu, namun
bukan hanya dia seorang yang telah menyaksikan makhluk
tersebut, selain dia, kaupun sempat melihatnya"
"Benar, aku memang menyaksikannya, waktu itu tanggal
dua bulan tiga dan tanggal empat belas, aku masih ingat
dengan jelas" Tu Siau-thian menandaskan.
"Justru itulah, kejadian ini baru merupakan satu masalah"
tukas Siang Hu-hoa.
"Lantas bagaimana kau menerangkan persoalan ini?" tanya
Nyo Sin.
"Penjelasan yang paling masuk diakal adalah satu diantara
mereka bertiga ada yang sedang berbohong!"
"Siapa yang kau maksud dengan mereka bertiga?" kembali
Nyo Sin menimbrung sembari mengerling sekejap ke arah Tu
Siau-thian.

224
"Maksudku Jui Pakhay, Gi Tiok-kun dan Kwee Bok"
Setelah berhenti sejenak kembali tambahnya:
"Tapi uraianku tadi hanya sebatas analisaku pribadi,
sebelum melihat sendiri bagaimana bentuk dari kawanan laron
penghisap darah itu serta segala kemungkinan yang bisa
dilakukan laron laron tersebut, untuk sementara waktu kita
tidak bisa seratus persen menyangkal"
"Lalu apa yang harus kita lakukan sekarang?"
"Bagaimana pun juga kita harus temukan dulu Jui Pakhay,
kecuali kawanan laron penghisap darah itu selain telah
menghisap kering darahnya, juga melahap daging termasuk
tulang belulangnya hingga habis, kalau tidak, biarpun dia
sudah menjadi orang mati, paling tidak harus meninggalkan
jenasahnya"
"Tapi di mana mayatnya sekarang?" tanya Nyo Sin tanpa
sadar.
Kontan Siang Hu-hoa tertawa tergelak:
"Hahahaha.... darimana aku tahu?"
Sadar kalau dirinya telah salah bicara, buru-buru Nyo Sin
berkata lagi:
"Kalau begitu mari kita periksa lagi dengan hati-hati, siapa
tahu kali ini kita akan berhasil menemukannya"
"Sebelum mulai mencari jenasahnya, terlebih dulu kita
harus menjumpai dua orang" kata Siang Hu-hoa.
"Siapa?"
"Gi Tiok-kun dan Kwee Bok. Siapa tahu dari mulut mereka
kita akan berhasil mendapat keterangan tambahan”'
"Benar, siapa tahu mereka memang jelmaan dari laron
penghisap darah atau siluman laron seperti apa yang dicurigai
Jui Pakhay"

225
"Kalau benar begitu, urusan malah jadi semakin gampang!"
seru Siang Hu-hoa sambil tertawa. Pelan pelan dia
membalikkan tubuhnya, kemudian tambahnya, "sebelum
meninggalkan ruang perpustakaan ini, aku akan menutup dulu
ruang rahasia ini"
"Sudah seharusnya kau berbuat begitu, aku pun akan
mengirim berapa orang anak buah untuk berjaga jaga diluar
gedung secara bergilir, didalam sini tersimpan begitu banyak
harta karum, kalau sampai hilang, siapa yang sanggup
bertanggung jawab"
"Kalau hanya harta karun yang hilang, urusan itu lebih
gampang diatasi, justru yang paling aku kuatirkan adalah ada
orang yang masuk kemari secara sembrono, bila sampai
menggerakkan alat perangkap disini........ bisa berabe nanti!"
"Jadi disini masih terdapat alat perangkap yang lain?" tanya
Nyo Sin terperanjat.
"Hasil rancangan dari Hiankicu merupakan sebuah
rancangan yang sempurna, menurut apa yang kuketahui, tidak
mungkin dia hanya memasang satu dua macam alat
perangkap saja"
Tiba-tiba Nyo Sin tertawa terbahak bahak, serunya:
"Bukankah kita sudah menjelajahi hampir seluruh pelosok
ruangan ini, kapan kita menjumpai ancaman bahaya maut?"
"Mungkin saja hal ini terjadi lantaran alat perangkap itu
tidak jalan"
Kemudian setelah berpaling ke arah pintu masuk, terusnya:
"Kita ambil contoh pintu masuk ruang rahasia itu,
semestinya pintu itupun sudah dilengkapi alat perangkap yang
ampuh dan berada dalam keadaan tertutup, tapi sewaktu kita
masuk kemari tadi, pintu sudah berada dalam keadaan
terbuka, bukankah hal ini merupakan satu contoh yang sangat
jelas?"

226
Tidak kuasa Nyo Sin manggut manggut.
Kembali Siang Huhoa berkata:
"Jadi menurut pendapatku, mungkin untuk saat ini semua
alat perangkap telah dimatikan"
Baru selesai dia berkata, mendadak dari arah pintu masuk
itu sudah berkumandang suara gemerutuk yang sangat aneh.
Paras muka Siang Huhoa seketika berubah hebat, buruburu
serunya:
"Cepat kita tinggalkan tempat ini"
Kalau diapun mendengar suara tersebut, tentu saja Nyo Sin
bertiga dapat mendengar pula suara aneh itu.
Paras muka Nyo Sin seketika berubah jadi pucat kehijauhijauan,
tanpa disuruh, dia orang pertama yang kabur lebih
dulu dari sana.
Siang Huhoa merupakan orang terakhir yang keluar dari
ruangan, ketika kakinya baru melangkah keluar dari balik
pintu, pintu rahasia ruang batu itu sudah mulai bergerak
pelahan menutup diri.
"Sebenarnya apa yang telah terjadi?" tanya Tu Siau-thian
dengan mata terbelalak.
"Aku sendiripun kurang jelas" sahut Siang Huhoa sambil
menggeleng, matanya masih mengawasi pintu ruangan itu
dengan pandangan mendelong, "atau mungkin alat perangkap
yang kubilang sudah dimatikan, sekarang telah berjalan
normal kembali"
"Haai......tidak ubahnya seperti ulah setan iblis atau siluman
saja......." teriak Nyo Sin ketakutan.
Suara itu berasal dari atas, ternyata dia sudah berdiri
disamping ukiran kayu Kwan-im bertangan seriu.

227
Kalau sudah dibikin ketakutan, ternyata kecepatan kabur
orang ini jauh lebih cepat daripada larinya seekor kuda.
Perubahan cuaca saja sukar diramalkan, apalagi menduga
hati manusia?
Cuaca yang semula terang benderang, entah sejak kapan
telah berubah menjadi mendung dan gelap, awan tebal
menyelimuti seluruh angkasa.
Ketika sinar sang surya telah menghilang dibalik awan,
sewaktu awan semakin tebal dan gelap, hujan pun mulai
turun, hujan gerimis yang lembut bagaikan lapisan kabut.
Awan gelap menyelimuti pula sebuah bangunan loteng,
tidak terkecuali menyelimuti juga perasaan penghuninya.
Seseorang duduk sendirian ditepi jendela.
Sebenarnya orang itu masih muda, namun masa remajanya
seolah sudah lenyap, menguap ke angkasa, yang tersisa
tinggal sepasang matanya yang memancarkan kehangatan
dan kegairahan seorang remaja, sepasang biji mata yang
bening bersinar, bagai dua bara api yang sedang berkobar. Gi
Tiok-kun!
Ketika Siang Hu-hoa memandang perempuan itu dari
kejauhan, timbul suatu perasaan duka yang aneh didalam hati
kecilnya.
Tu Siau-thian, Nyo Sin bahkan belasan orang opas yang
mengikuti dibelakang mereka, seolah terbuai juga oleh
perasaan duka yang begitu tebal, tanpa terasa muncul
perasaan murung diwajah setiap orang, terkecuali satu orang,
Jui Gil
Perasaan benci, muak, dendam bercampur aduk dalam
benak Jui Gi, hal ini disebabkan dia telah terpengaruh oleh
catatan peninggalan Jui Pakhay.

228
Tentu saja seorang pelayan yang setia tidak akan menaruh
perasaan simpatik terhadap seorang pembunuh yang dicurigai
telah menghabisi nyawa majikannya, yang tersisa dalam
benaknya kini hanya kebencian, rasa muak disamping
perasaan ngeri dan takut yang aneh.
Bila isi catatan pengalaman itu merupakan suatu
kenyataan, berarti Gi Tiok-kun bukan manusia, dia adalah
jelmaan dari laron penghisap darah, dia adalah siluman laron!
Jelas kenyataan ini merupakan sebuah kejadian yang
mengerikan. Masih untung hingga kini kecurigaan tersebut
belum terbukti kebenarannya.
Agaknya Jui Gi masih belum melupakan akan hal ini, dia
pun masih mengerti apa status dan kedudukan Gi Tiok-kun
hingga kini.
Maka begitu memasuki ruang utama, walaupun dalam hati
kecilnya tidak rela, dia tetap menghadap Gi Tiok-kun sambil
memberikan salam.
Dengan pandangan hambar Gi Tiok-kun meliriknya sekejap,
kemudian menegur:
"Berapa hari belakangan ini, kau telah pergi ke mana saja?"
"Menjalankan perintah majikan, mengunjungi
perkampungan Ban hoa sanceng"
"Majikan yang suruh kau pergi?"
"Benar!" Jui Gi menundukkan kepalanya rendah-rendah.
"Mau apa majikan mengutusmu pergi ke perkampungan
Ban hoa sanceng?" Gi Tiok-kun bertanya lebih lanjut.
"Mengundang kehadiran temannya"
"Ooh.....siapa dia?"
"Pemilik perkampungan selaksa bunga, Siang Huhoa, Siang
toaya!"

229
"Apa tamunya sudah datang?" tanya Gi Tiok-kun lebih
lanjut setelah berpikir sebentar.
"Sudah datang"
Tergopoh-gopoh Gi Tiok-kun bangkit berdiri lalu memberi
hormat, sebelum ia sempat mengucapkan sesuatu, Siang
Huhoa telah berkata duluan:
"Kelihatannya saudara Jui belum pernah menyinggung
tentang aku dihadapan enso"
"Satu dua kali pernah disinggung"
Sementara pembicaraan masih berlangsung, secara
beruntun Nyo Sin dan Tu Siau-thian telah berjalan masuk.
Gi Tiok-kun mengerling pada mereka, sekejap kemudian
tegurnya:
"Oooh... ternyata Nyo tayjin dan Tu tayjin ikut datang juga"
biarpun nada suaranya sedikit kaget, paras mukanya sama
sekali tidak berubah.
Dia memang berasal dari dunia hiburan, tidak aneh bila
kenal dengan seorang pembesar macam Nyo Sin.
Nyo Sin serta Tu Siau-thian segera balas memberi hormat,
sebelum berkata-kata, Gi Tiok-kun telah berkata kembali:
"Sepagi ini tayjin berdua telah datang berkunjung, apakah
sudah mendapat sebuah berita?"
Nyo Sin menggeleng, dalam hati dia tertawa dingin.
"Pintar amat perempuan ini berlagak pilon.......!" tentu saja
ucapan semacam ini tidak nanti diutarakan.
Sementara itu Tu Siau-thian telah menanggapi, katanya:
"Apakah hujin sudah mendapat kabar?"
"Belum, sama sekali tidak ada kabar beritanya"

230
"Sebelum saudara Jui menghilang, pernahkah enso
berjumpa dengannya?" sela Siang Hu-hoa.
Gi Tiok-kun berpikir sejenak, kemudian jawabnya seraya
menggeleng:
"Rasanya tidak pernah"
"Kapan terakhir kali enso berjumpa dengannya?"
"Bulan tiga tanggal tiga belas"
"Waktu itu, apakah saudara Jui sempat mengatakan
sesuatu?"
Kembali Gi Tiok-kun menggeleng.
"Tidak sepatah kata pun yang dia ucapkan, ketika melihat
aku ditempat kejauhan, tergopoh gopoh dia membalikkan
badan dan kabur pergi"
Siang Huhoa termenung sambil berpikir sejenak. Menurut
data dalam catatan, pada tanggal tiga belas bulan tiga,
seharian penuh Jui Pakhay menelusuri seluruh perkampungan
dalam rangka melacak dan mengumpulkan barang bukti.
"Bagaimana dengan bulan tiga tanggal dua belas?"
tanyanya kemudian.
Gi Tiok-kun tidak langsung menjawab, dia perhatikan dulu
Siang Huhoa dan atas hingga ke bawah, lalu tegurnya:
"Aku lihat paman pasti kerap kali berhubungan dengan
orang orang pengadilan"
Mula mula Siang Huhoa agak tertegun, kemudian katanya:
"Maksud enso, caraku mengajukan pertanyaan barusan
mirip seorang opas yang sedang memeriksa seorang
tersangka?"
"Tidak berani"
Setelah berhenti sejenak, dia melanjutkan:

231
"Sejak permulaan bulan ini, tingkah laku saudaramu itu
aneh dan tidak wajar, jauh berbeda dari sikapnya dulu, selama
belasan hari belakangan, dia selalu berteriak telah melihat
laron penghisap darah, kadangkala dia membuat keonaran
dengan mengobrak abrik barang, ada kalanya jendela pun
dibongkar sampai hancur, aku amat menguatirkan kesehatan
dan keselamatannya, maka pada tanggal dua belas aku
mengundang kakak misanku Kwee Bok agar datang
memeriksakan kesehatan tubuhnya, ternyata didapati dia
dalam kondisi sehat, namun ketika kami sedang makan
bersama, ketika dia menyumpit sepotong bola udang masak
madu, tiba-tiba dia muntah, katanya bola udang yang dia
telan adalah bola daging laron penghisap darah, malah
kemudian sambil tertawa kalap dia kabur meninggalkan meja
makan. Itulah peristiwa yang terjadi di hari itu"
Ternyata apa yang dituturkan Gi Tiok-kun persis sama
seperti apa yang tercatat dalam gulungan kertas catatan Jui
Pakhay.
Ketika selesai mendengarkan penuturan itu, Siang Huhoa
kembali termenung.
Gi Tiok-kun sendiripun tidak berbicara banyak lagi, dia
hanya mengawasi Siang Huhoa tanpa berkedip. Paras
mukanya kelihatan putih memucat, sedemikian pucatnya
seakan sama sekali tidak ada aliran darah.
Dibalik putih kepucatan terselip pula warna hijau kemala
yang bening.
Sewaktu Tu Siau-thian, Nyo Sin dan Jui Gi melirik sekejap
ke arahnya, entah mengapa, tiba tiba muncul perasaan
bergidik dari hati kecilnya.
Benarkah perempuan ini jelmaan dari siluman laron?
Bahkan Siang Hu-hoa sendiripun mempunyai pemikiran seperti
itu.

232
Gi Tiok-kun sendiri seakan tidak menyadari akan hal itu,
paras mukanya tetap hambar, kaku, tanpa perubahan mimik
wajah sedikitpun, dia ibarat sesosok mayat hidup yang tidak
berperasaan.
Kembali Siang Hu-hoa termenung berapa saat, akhirnya
setelah menghela napas, katanya:
"Enso, kami mempunyai satu permintaan yang mungkin
kurang pantas........”
“Katakan saja berterus terang"
"Kami bermaksud melakukan penggeledahan diseputar
gedung ini, apakah enso mengijinkan?"
Gi Tiok-kun melirik sekejap ke arah Tu Siau-thian dan Nyo
Sin, lalu mengerling juga ke arah Jui Gi, setelah itu baru
sahutnya:
"Kelihatannya keputusanku tidak akan berpengaruh apaapa
lagi........"
Siang Huhoa tidak menanggapi, dia hanya membungkam.
Sekali lagi sorot mata Gi Tiok-kun dialihkan ke wajah Siang
Huhoa, ujarnya lebih jauh:
"Aku dengar paman adalah seorang yang jujur dan penuh
timbang rasa, kelihatannya kau minta persetujuanku karena
kuatir aku sedih, padahal pertanyaanmu tidak ada gunanya"
"Ucapan enso kelewat serius!"
"Boleh tahu, apa yang sebenarnya sedang kalian cari?"
"Kabar berita saudara Jui"
"Jadi kalian curiga kalau dia bersembunyi disini?" Gi Tiokkun
nampak melengak dan sedikit diluar dugaan.

233
"Kami hanya berharap dapat menggeledah seluruh
bangunan yang ada disini, baik bangunan luar maupun
bangunan bagian dalam"
"Apakah baru hari ini paman tiba disini?"
Siang Huhoa mengangguk tanda membenarkan.
"Apakah tahu juga kalau dalam dua hari belakangan, Tu
tayjin sudah melakukan penggeledahan secara besar-besaran
diseluruh perkampungan?" lanjut Gi Tiok-kun.
"Aku tahu cara kerja saudara Tu selalu teliti dan cermat,
tapi sayang dia telah melupakan bangunan dalam"
"Bangunan bagian dalam tidak terlalu luas, seandainya ada
yang bersembunyi disini, masa aku tidak tahu?"
"Saudara Tu juga berpendapat sama, hanya
persoalannya...... ....." dia seperti ingin mengucapkan sesuatu,
namun akhirnya diurungkan.
"Kenapa?' tanya Gi Tiok-kun cepat.
Siang Hu-hoa menghela napas panjang.
"Masalahnya, mungkin dia sudah bukan seorang manusia
hidup lagi"
Berubah hebat paras muka Gi Tiok-kun.
Setelah menghela napas lagi, Siang Huhoa berkata lebih
jauh:
"Orang mati tidak nanti bisa menimbulkan suara apa pun"
Gi Tiok-kun termenung sesaat, ujarnya kemudian:
"Kalau toh ada kecurigaan semacam ini, alangkah baiknya
kalau dilakukan penggeledahan yang seksama, mari, aku akan
menjadi petunjuk jalan"
Tidak berani merepotkan enso"
"Tidak jadi masalah" Gi Tiok-kun menggeleng.

234
Perlahan-lahan dia beranjak dari tempat itu, ke dua orang
dayangnya tanpa diperintah lagi segera maju dan
mendampingi majikannya.
Tapi Gi Tiok-kun segera menggoyangkan tangan kanannya
sambil menahan pundak dayangnya itu.
Tangannya kelihatan ramping dan indah, putih bagaikan
salju, berkilat bagai batu pualam, sayang tiada warna merah
darah sehingga nyaris tidak mirip tangan seorang manusia.
Dia pun memiliki pinggang yang sangat ramping, ketika
angin berhembus lewat melalui daun jendela, tubuhnya
tampak bergoyang keras seakan segera akan terhempas
karena dorongan angin itu.
Siang Huhoa berjalan persis di belakang tubuhnya, dia
dapat menyaksikan kesemuanya itu dengan amat jelas.
Dia merasa sedikit tidak percaya, mungkinkah perempuan
yang lemah lembut dan tidak tahan hembusan angin,
sesungguhnya adalah siluman laron, setan iblis yang telah
berubah menjadi laron penghisap darah.
Bab 13.
Serangan kawanan laron.
Bangunan bagian dalam terhitung cukup luas, namun
mereka tidak berhasil menemukan sesuatu apa pun meski
seluruh bagian bangunan itu sudah diperiksa dan dilacak
dengan seksama.
Akhirnya tibalah mereka di kamar tidurnya Jui Pakhay.
Segala sesuatu benda yang ada didalam kamar itu tertata
rapi, biarpun kamar itu tidak terhitung kecil namun segala
sesuatunya dapat terlihat dalam sekali pandangan, disana
memang tidak terdapat tempat yang bisa digunakan untuk
bersembunyi.

235
Mereka mencoba untuk memeriksa almari baju, namun
kecuali tumpukan pakaian, disitu tidak nampak sesuatu yang
mencurigakan, bahkan kolong ranjang pun tidak ditemukan
sesuatu apa pun.
Kamar tidur ini merupakan tempat terakhir yang mereka
periksa, di belakang kamar tidur itu masih tersisa sebuah
pintu.
Siang Hu-hoa berhenti sejenak didepan pintu itu, kemudian
tanyanya:
Tempat apa yang terdapat di belakang pintu ini?"
"Sebuah gudang kecil"
Siang Huhoa segera mendorong pintu itu dan berjalan
masuk.
Ruangan dibalik pintu itu memang merupakan sebuah
gudang kecil, tidak banyak barang yang tersimpan di situ.
Ruangan itu terbagi jadi dua bagian, satu setengah kaki
diatasnya terdapat sebuah loteng yang tidak begitu luas.
Anak tangga yang merupakan jalan masuk menuju ke
ruang loteng itu dibangun menempel pada dinding, begitu
sempit sehingga hanya cukup dilalui satu orang, pada ujung
anak tangga terdapat lagi sebuah pintu.
Pintu itu sama sekali tidak terkunci, hanya ditutup rapat,
dibawah pintu merupakan tangga yang terbuat dari kayu.
Ketika mulai melangkah naik ke atas tangga itu, paras
muka Siang Huhoa tiba tiba berubah menjadi sangat aneh.
Penghubung ruang kecil dengan kamar tidur hanya berupa
sebuah pintu, dinding disekeliling ruangan itu tidak nampak
pintu lain, bahkan jendela pun tidak ada.

236
Biasanya ruang kecil semacam ini pasti gelap gulita dan lagi
amat sunyi, tapi anehnya saat ini ruangan tersebut tidak
nampak gelap, juga tidak dalam kondisi senyap.
Pintu dalam keadaan terbuka lebar, walaupun tidak bisa
dibilang terlalu cerah, paling tidak masih ada secerca cahaya
yang menyoroti tempat itu, dengan sendirinya suasana di
dalam ruang kecil itupun tidak amat gelap, namun suasana
disitu tidak ikut berubah karena kehadiran beberapa orang itu.
Semenjak mereka masuk ke dalam ruangan, disitu sudah
terdapat semacam suara yang sangat aneh, seakan ada suara
kipas yang digoyangkan terus menerus, "Nguuung,....
nguungg...."
Suara "Nguuung,.... nguungg....." itu tidak terlalu nyaring,
namun lantaran berkumandang dalam lingkungan yang sunyi
maka semua orang yang hadir disitu dapat mendengarnya
dengan jelas sekali.
Nyo Sin merupakan orang ke dua yang berjalan masuk, ia
segera berseru:
"Hey, suara apa itu?"
Tu Siau-thian segera pasang telinga ikut mendengarkan,
dia tidak berkata apa apa namun paras mukanya mulai
berubah hebat.
Gi Tiok-kun dengan dituntun dayangnya ikut berjalan
masuk, namun mimik mukanya sangat wajar, dia seolah sama
sekali tidak merasakan apa-apa.
Siang Huhoa segera mundur satu langkah, menghampiri ke
samping Gi Tiok-kun, kemudian tegurnya:
"Enso, apakah kau mendengar sejenis suara yang aneh?"
"Suara? Suara apa?" paras muka Gi Tiok-kun tetap kaku.
Siang Huhoa tertegun sejenak, kemudian serunya:

237
"Itu..... suara dengungan aneh, suara yang berbunyi
Nguuung .....nguungg....."
"Tidak....! Tidak ada suara apa apa......." sahut Gi Tiok-kun
sambil menggeleng.
Sekali lagi Siang Huhoa tertegun, ditatapnya perempuan itu
tanpa berkedip.
Gi Tiok-kun sama sekali tidak menunjukkan reaksi apapun,
dia hanya berdiri mematung, persis seperti sebuah arca yang
terbuat dari tanah liat.
Pada saat itulah tiba-tiba Tu Siau-thian berteriak keras:
"Suara itu mirip sekali dengan suara sayap laron penghisap
darah yang sedang berkerumun!"
Begitu teriakan tersebut berkumandang, suasana di dalam
ruangan pun seketika serasa membeku bagaikan es.
Nyo Sin adalah orang pertama yang bergidik, teriaknya
dengan suara gemetar:
"Berasal dari mana suara itu?"
Tidak seorangpun yang menjawab, kecuali Gi Tiok-kun,
hampir semua sorot mata telah tertuju ke atas bangunan
loteng.
Sekalipun Nyo Sin sedang berbicara, sorot matanya tetap
tertuju ke atas loteng, hal ini membuat semua yang hadir mau
tidak mau mesti menahan napas untuk mendengarkan dengan
lebih seksama.
Maka terdengarlah suara "Ngungg....nguuung.....!" itu
makin lama semakin bertambah jelas dan nyata.
Mendadak Siang Huhoa mulai melangkah maju, langsung
berjalan menuju ke depan anak tangga, setelah
mendongakkan kepalanya memperhatikan pintu di atas loteng
sekejap, dia pun mulai melangkah naik, langkah kakinya amat

238
lambat tapi ringan, meskipun anak tangga cuma terdiri dari
berapa buah namun dibutuhkan waktu yang lama untuk
mencapainya.
Setibanya di depan pintu itu, perlahan-lahan dia mulai
mendorong dan membuka pintu loteng tersebut, tapi begitu
pintu dibuka, suara "Ngungg.... nguuung.....!"tadi kedengaran
bertambah nyaring dan jelas.
Siang Huhoa mencoba untuk menengok sekejap ke ruang
dalam, tapi paras mukanya seketika berubah sangat hebat.
Buru-buru dia merapatkan kembali pintu loteng kemudian
segera beranjak turun dari anak tangga.
Sebenarnya Tu Siau-thian maupun Nyo Sin yang berada
dibawah tidak mengetahui apa yang telah terjadi, namun
melihat perubahan wajah Siang Huhoa ditambah tindakannya
yang meninggalkan loteng dengan gerak cepat, diam-diam
mereka ikut terkesiap.
Perubahan air muka Siang Huhoa memang amat tidak
sedap dipandang.
Walaupun selisih waktu hanya sekejap, namun air mukanya
saat ini tidak ubahnya seperti paras muka seseorang yang
sudah terendam ditengah air salju selama setengah harian
lamanya, pucat kehijau-hijauan.
"Saudara Siang, sebenarnya apa isi ruang loteng itu?" tidak
tahan Tu Siau-thian bertanya.
"Laron penghisap darah!" jawab Siang Huhoa setelah
menarik napas panjang.
Walaupun dia telah berusaha untuk menenangkan
suaranya, namun baik Tu Siau-thian maupun Nyo Sin dapat
mendengar betapa ngeri dan seramnya lelaki itu.
Tanpa sadar paras muka mereka berdua pun turut berubah
hebat.

239
"Laron penghisap darah?" seru Nyo Sin tidak tahan.
"Benar, beribu ribu ekor laron penghisap darah serta
sesosok tengkorak manusia!"
"Tengkorak manusia?" Tu Siau-thian menjerit kaget.
"Tengkorak siapa?" seru Nyo Sin pula. Siang Hu-hoa tidak
menjawab, mendadak dia berpaling seraya berseru:
"Jui Gi!"
Waktu itu Jui Gi sedang berdiri disamping dengan wajah
termangu, paras mukanya pucat kehijau hijauan, ketika
dipanggil Siang Huhoa, dia nampak sangat terperanjat hingga
tubuhnya bergetar keras.
Buru-buru dia maju menghampiri sambil bertanya:
"Ada urusan apa tuan Siang?"
"Disebelah sana ada lampu lentera, tolong ambilkan dua
untukku!"
"Baik!"
Buru-buru Jui Gi mengundurkan diri, sementara Nyo Sin
maju dua langkah ke depan, namun diapun tidak berbicara
lagi.
Suasana didalam ruang kecil ini sudah begitu remang, tentu
saja suasana diatas ruang loteng itu lebih gelap lagi, apalagi
disana tidak ada jendela, bila seseorang telah berubah jadi
tengkorak, darimana mungkin kau bisa mengenali raut muka
aslinya?
Saat ini tentu saja Nyo Sin pun memahami akan hal
tersebut, sebab dia memang bukan seseorang yang kelewat
tolol.
Dalam ruangan terdapat lampu lentera, kebetulan
jumlahnya ada dua buah.

240
Baru saja Jui Gi menyulut lampu lampu itu, Nyo Sin dan Tu
Siau-thian sudah tidak sabar lagi menanti, dengan cepat
mereka maju mendekat dan masing-masing menyambar
sebuah lampu.
Dua bilah golok panjang pun serentak diloloskan dari
sarungnya.
Tu Siau-thian serta Nyo Sin, masing masing dengan tangan
kiri memegang lampu, tangan kanan menggenggam golok,
dengan satu lompatan sudah tiba didepan anak tangga dan
berebut naik ke atas, saat ini perasaan mereka jauh lebih
gelisah dan cemas ketimbang Siang Hu-hoa.
Waktu itu, Siang Huhoa sama sekali tidak ikut berebut,
dalam keadaan begini perasaan hatinya malah jauh lebih
tenang, dia bahkan sama sekali tidak menggeserkan kakinya,
walaupun tangannya sudah menempel diatas gagang senjata,
pedang itu masih berada dalam sarungnya, hawa pedangpun
seolah sudah terpancar keluar, dia memang sudah berada
dalam posisi tempur.
Tentu saja sorot matanya telah tertuju ke atas pintu ruang
loteng itu.
Pintu sudah didongkel hingga terbuka, didongkel oleh ujung
golok Nyo Sin.
Rupanya dia yang pertama-tama tiba diujung tangga,
dengan golok ditangan kanannya dia mencongkel pintu hingga
terbuka, lampu ditangan kirinya segera didorong masuk ke
dalam.
Cahaya lentera yang berwarna kuning seketika berubah
menjadi hijau kemala.
Hanya didalam waktu amat singkat, penutup lentera itu
sudah dipenuhi oleh laron laron terbang.

241
Laron laron itu berwarna hijau pupus, hijau bagaikan
sebuah kemala, sepasang matanya merah membara bagaikan
darah segar, laron penghisap darah!
Penutup lampu kini telah berubah jadi penutup laron, ketika
cahaya lampu menembusi tubuh laron yang hijau, terpantullah
sinar lentera berwarna hijau kemala.
Berpuluh puluh ekor laron penghisap darah seakan terbang
bersama, suara "Ngungg....nguuung.....” yang menggema di
udara seakan telah berubah menjadi gelak tertawa seram dari
setan iblis.
Kawanan laron penghisap darah itu seakan merupakan
jelmaan dari setan iblis yang sedang gentayangan di angkasa.
Nyo Sin hanya merasakan pandangan matanya diselimuti
cahaya hijau dikombinasi dengan titik titik merah darah,
telinganya menangkap suara gemuruh sayap yang seolah
telah berubah menjadi gelak tertawa setan iblis....
Karena dia berdiri persis di depan pintu, kawanan laron
penghisap darah itupun persis menyongsong kehadirannya.
Dalam waktu singkat suasana seram menyelimuti seluruh
ruangan, sedemikian seram dan ngeri nya hingga susah
dilukiskan dengan kata-kata.
Perasaan takut, seram, ngeri dan horor yang mencekam
hati Nyo Sin saat itupun sukar dilukiskan dengan ucapan.
Sambil memejamkan matanya rapat rapat dia mulai
menjerit, suara jeritannya keras menyayat hati, jeritan yang
penuh ketakutan dan kengerian yang luar biasa.
Sedemikian seramnya jeritan ifu sehingga pada hakekatnya
tidak mirip dengan suara jeritan seorang manusia.
Tampaknya kawanan laron penghisap darah yang sedang
menempel dialas penutup lentera itu ikut dikagetkan oleh

242
suara jeritan, serentak mereka terbang di angkasa dan
menyambar kian kemari di udara dengan kalutnya.
Sekejap kemudian kawanan laron penghisap darah itu
sudah menerjang diatas tubuh Nyo Sin, menyambar
wajahnya......
Biarpun waktu itu Nyo Sin memejamkan matanya rapatrapat,
namun dia sempat merasakan sekujur badannya amat
sakit, hidungnya seakan terendus bau anyirnya darah!
"Mereka akan menghisap darahku!"
Sekali lagi Nyo Sin memperdengarkan suara jeritannya
yang menyayat hati, dengan sepasang tangan melindungi
kepalanya, buru buru dia melarikan diri meninggalkan tempat
itu, sedemikian terburunya sampai lampu dan golok miliknya
pun dilempar ke lantai.
Dia bahkan sudah lupa kalau tubuhnya berdiri diatas anak
tangga, begitu membalikkan badan, seketika itu juga
tubuhnya terguling dari atas anak tangga dan terjun bebas ke
bawah.
Tu Siau-thian yang mengikuti di belakang Nyo Sin agaknya
dibuat terkesiap juga oleh pemandangan yang terpampang di
depan mata, rasa terkesiap yang membuatnya tertegun dan
tidak mampu berbuat apa apa, bahkan dia seakan lupa untuk
memayang tubuh Nyo Sin yang sedang terpelanting jatuh ke
bawah.
Padahal meski dia bisa memayang pun belum tentu bisa
menghentikan tubuhnya.
Tidak ubahnya seperti sebuah buli-buli kosong, tubuh Nyo
Sin terguling ke bawah, jatuh menimpa diatas tubuh Tu Siauthian.
Maka tubuh Tu Siau-thian pun seketika ikut berubah
menjadi sebuah buli-buli dan terguling ke bawah.

243
Kini dihadapan Siang Huhoa telah bertambah dengan dua
buah buli-buli yang sedang bergulingan diatas lantai
Ternyata dia tidak maju ke depan untuk membangunkan
mereka, dia pun tidak meloloskan pedangnya, untuk sesaat
lelaki ini hanya berdiri termangu di tempatnya dan tidak tahu
apa yang mesti diperbuat.
Sekalipun tangannya masih menggenggam diatas gagang
pedang, namun dia seolah dia sudah lupa kalau benda yang
dipegangnya adalah sebilah pedang, dia seperti lupa benda itu
dipersiapkan untuk berbuat apa.
Sebenarnya dia sudah berada dalam posisi siap siaga,
setiap waktu setiap saat pedangnya bersiap melancarkan
serangan, namun dalam waktu sekejap dia seakan sudah
terkesima oleh suasana seram dan ngeri yang mencekam
sekeliling tempat itu.
Jui Gi, dua orang dayang yang memayang Gi Tiok-kun
maupun puluhan orang opas yang ada diluar pintu ikut
dicekam oleh perasaan takut dan ngeri yang luar biasa, paras
muka mereka sudah berubah jadi pucat melebihi mayat.
Bahkan ada diantara mereka yang sudah dibuat ketakutan
hingga kabur dari situ sambil melindungi kepala sendiri, ada
pula yang tergeletak dilantai dalam keadaan lemas tidak
bertenaga, rasanya saat itu hanya ada satu orang yang
terkecuali, dia adalah Gi Tiok-kun!
Paras muka Gi Tiok-kun sama sekali tidak menampilkan
perubahan apa pun, dia masih berdiri bagaikan sebuah patung
pouwsat.
Satu satunya yang berubah hanya air mukanya, paras
muka yang pada dasarnya sudah pucat pias kini bertambah
pucat lagi, sedemikian pucatnya hingga mirip mayat yang
sudah membujur selama berhari hari.
0-0-0

244
Lampu yang terguling dilantai sudah padam, dua buah
lentera padam hampir bersamaan waktunya.
Tampaknya lantaran kehilangan cahaya kawanan laron
itupun seolah kehilangan sasaran, mereka beterbangan di
udara beberapa saat lamanya kemudian tiba-tiba berkumpul
menjadi satu dan terbang menuju ke luar ruangan.
Diluar pintu ruangan terdapat cahaya, walaupun makhluk
semacam laron lebih suka api namun tampaknya takut dengan
cahaya langit, itulah sebabnya mereka hanya muncul dikala
malam sudah tiba.
Tidak terkecuali pula dengan kawanan laron penghisap
darah itu, tapi ke mana mereka akan pergi?
Tidak seorang pun yang memperdulikan pertanyaan ini,
semua yang hadir seakan sudah terpengaruh oleh keadaan
disitu, seolah sudah terkena teluh, mereka hanya mengawasi
perginya kawanan laron penghisap darah itu dengan mata
terbelalak dan mulut melongo, tidak terkecuali Siang Huhoa.
Akhirnya kawanan laron itu telah terbang pergi, suara
"Ngungg.... nguuung.....” pun makin reda dan akhirnya
lenyap, kini suasana dalam ruangan pulih kembali dalam
keheningan yang luar biasa.
Semua suara seakan telah terhenti, bahkan suara dengusan
napas pun seakan ikut terhenti.
Semua orang seperti telah berubah jadi orang bodoh, orang
blo'on yang tidak tahu apa apa, untuk sesaat mereka hanya
berdiri mematung, tanpa bergerak tanpa bersuara.
Suasana benar benar dicekam dalam keheningan yang luar
biasa.
Udara yang sejak awal sudah kurang segar di dalam ruang
kecil itu kini terasa makin tidak sehat, karena lamat lamat
terendus bau busuk yang sangat aneh, bau busuk yang sukar
dicerna dengan perkataan.

245
Bau busuk itu seolah berasal dari ruang loteng, bau busuk
laron? Atau bau busuk dari mayat yang mulai membusuk?
Seorang dayang yang berdiri disamping Gi Tiok-kun
tampaknya mulai tidak tahan dengan bau busuk yang luar
biasa itu, tiba-tiba dia mulai muntah........
Isi perut yang tertumpah keluar hanya air pahit, tapi
muntahan itu justru seakan telah mengembalikan sukma
setiap orang yang sempat hilang untuk sesaat.
Siang Huhoa menghembuskan napas panjang, dia segera
maju ke depan dan memungut sebuah lentera diantaranya.
Sebuah lentera masih berada dalam keadaan utuh
sementara lentera yang lain sudah hancur berantakan, dia pun
mengeluarkan korek api dan menyulut sumbu lampu.
Bersama dengan terangnya cahaya lampu lentera, Nyo Sin
dan Tu Siau-thian segera merangkak bangun dari atas tanah,
tampaknya mereka tidak sampai terluka gara-gara terjatuh
tadi.
Walau begitu, paras muka Nyo Sin telah berubah menjadi
pucat pias bagaikan mayat, bibirnya gemetar keras, sampai
lama kemudian ia baru mampu bersuara:
"Jadi.....jadi makhluk itulah laron penghisap darah?"
"Bee.....benar........" jawaban dari Tu Siau-thian
kedengaran sangat lirih karena suara itu seolah muncul dari
balik sela-sela giginya.
"Coba tolong periksakan wajahku, apakah ada sesuatu
yang tidak beres" pinta Nyo Sin kemudian sambil menunjuk ke
wajah sendiri.
Tu Siau-thian segera mengalihkan perhatiannya ke wajah
Nyo Sin.

246
Siang Hu-hoa yang ikut mendengarkan pembicaraan itu
turut maju menghampiri, dia angkat lampu tinggi tinggi
sehingga paras muka Nyo Sin dapat terlihat sangat jelas.
Tampak kilatan cahaya kehijau hijauan memancar dari
seluruh wajah pembesar itu.
Ternyata seluruh permukaan wajahnya telah dilapisi oleh
serbuk berwarna putih kehijau hijauan, masih untung hanya
serbuk laron, sama sekali tidak ada luka apalagi darah.
"Apakah berdarah?" kembali Nyo Sin bertanya.
“Tidak!"
Sekarang Nyo Sin baru bisa menghembuskan napas lega,
dari dalam sakunya dia mengeluarkan selembar saputangan
lalu digosokkan ke atas wajah sendiri.
Sementara itu Tu Siau-thian telah melirik sekejap ke arah
pintu ruangan, sambil memperhatikan ruang sempit itu
katanya:
"Aku rasa jumlah laron penghisap darah yang berkumpul
disana tadi mencapai ribuan banyaknya....."
"Ehmmm..." Siang Huhoa mengangguk.
Kemudian setelah memandang lagi ruang loteng itu
sekejap, Tu Siau-thian berkata lebih jauh:
"Aneh, apa yang sedang dilakukan ribuan ekor laron
penghisap darah itu diatas ruang loteng?"
Sebelum Siang Huhoa sempat menjawab, Nyo Sin telah
berteriak aneh:
"Mereka sedang melalap daging manusia"
Begitu ucapan tersebut diutarakan, bahkan dia sendiripun
ikut merinding dan bersin berulang kali.

247
Pucat pasi selembar wajah Siang Huhoa, begitu pula
dengan Tu Siau-thian, dengan wajah hijau kepucat pucatan ia
berbisik:
"Apa kau bilang? Sedang melahap daging manusia?"
"Benar" suara Nyo Sin kedengaran gemetar keras, "ketika
kuterangi ruangan dengan lampu, kusaksikan mereka sedang
mengerubungi sesosok jenasah manusia, menempel diatas
mayat itu sambil mengeluarkan suara mencicit yang amat
menyeramkan!"
"Sesosok mayat atau tengkorak manusia?" Siang Huhoa
mencoba menegaskan, nada suaranya kedengaran gemetar
juga.
"Yang kusaksikan adalah sesosok mayat"
"Sekarang kawanan laron itu sudah terbang pergi, ayoh
kita ke atas dan periksa lagi dengan lebih seksama!"
Dengan membawa lampu untuk menerangi sekeliling
tempat itu, Siang Huhoa segera beranjak naik ke atas anak
tangga.
Tampaknya nyali orang ini sangat besar.
Ternyata Tu Siau-thian cukup bernyali juga, dia segera
mengikuti dibelakang Siang Huhoa, tapi goloknya tetap di
persiapkan, tangannya yang menggenggam golok basah oleh
keringat dingin.
Kali ini Nyo Sin tidak berani berebut maju ke depan, namun
setelah ada dua orang yang bertindak sebagai pembuka jalan,
nyali nya tumbuh kembali.
Apalagi saat itu berada dihadapan anak buahnya, kalau
tidak ikut naik, jelas dia akan kehilangan muka.
Maka sambil keraskan kepala, dia memungut kembali
goloknya yang tergeletak dilantai kemudian sekali lagi menaiki
anak tangga.

248
Sebenarnya anak tangga itu cukup kokoh, namun berat
badan ke tiga orang itu terhitung lumayan juga, maka begitu
Nyo Sin mulai menaiki anak tangga itu, terdengarlah suara
mencicit yang sangat keras.
Sebuah suara yang amat menyeramkan dan menakutkan
dalam situasi seperti ini.
Biarpun Nyo Sin tahu kalau suara mencicit itu berasal dari
anak tangga, tidak urung bergidik juga perasaan hatinya.
Sekarang dia kuatir anak tangga itu tidak mampu menahan
bobot badan mereka hingga patah secara tiba tiba, kalau hal
itu sampai terjadi, sekali lagi mereka akan menjadi buli-buli
yang bergulingan diatas tanah
Tentu saja dia tidak ingin kehilangan muka lagi dihadapan
anak buahnya.
Untung pada saat itu Siang Huhoa sudah meninggalkan
anak tangga dan mulai melangkah masuk ke dalam ruang
loteng.
Cahaya yang terpancar keluar dari sebuah lentera ternyata
masih cukup untuk menerangi seluruh ruangan loteng.
Kali ini cahaya lentera yang terpancar keluar tidak lagi
berubah jadi hijau kemala, tidak seekor laron penghisap darah
pun yang tampak di dalam ruang loteng, tampaknya
rombongan makhluk aneh itu sudah terbang keluar dari
tempat itu.
Begitu melangkah masuk ke dalam ruangan, terenduslah
bau busuk yang makin lama semakin tajam dan kuat, sebuah
bau busuk yang memuakkan, membuat orang pingin muntah
rasanya.
Ternyata Siang Hu-hoa memiliki daya tahan yang luar
biasa, dia tidak sampai muntah karena bau busuk yang
menyengat itu, namun sekujur tubuhnya kelihatan gemetar
keras.

249
Pemandangan yang terpampang dihadapan matanya
sekarang sudah tidak mungkin dilukiskan dengan kata "Seram"
atau "menakutkan" atau "ngeri" lagi.
Biarpun dia telah berhasil melatih sepasang mata
malamnya, namun apa yang terlihat tidak sejelas apa yang
terpampang dibawah cahaya lentera saat ini, ketika untuk
pertama kalinya dia mendorong pintu dan berjalan masuk,
yang terlihat hanya sebuah raut muka yang samar, kendatipun
dia segera tahu apa yang sebenarnya telah terjadi.
Sekarang dia sudah melihat semuanya dengan sangat jelas,
ternyata kejadian yang ada di depan mata tidak sesederhana
apa yang dibayangkan semula.
Dibawah sinar lentera yang remang, dengan jelas dia
saksikan sesosok mayat membujur kaku diatas lantai, bahkan
mayat itu sudah berubah menjadi sesosok tengkorak.
Tadi dia mengatakan telah melihat sesosok tengkorak,
sementara Nyo Sin bersikeras mengatakan telah melihat
sesosok mayat, padahal mereka berdua sama-sama benar,
hanya penjelasan diberikan kurang lengkap.
Mayat itu berada dalam posisi duduk bersila ditengah
ruangan, bagian tengkuk ke bawah masih tetap berdaging tapi
bagian tengkuk ke atas telah berubah menjadi sesosok
tengkorak.
Tulang tengkorak yang berwarna putih memucat tampak
memancarkan sinar yang amat menyeramkan.
Dibalik kelopak mata tengkorak itu sudah tidak nampak biji
matanya, kelopak itu berada dalam keadaan berlubang besar,
lamat lamat terlihat cahaya api yang mirip dengan api setan
berkelip dari balik lubang hitam itu.
Ketika Siang Huhoa mencoba memperhatikan tengkorak
itu, dia segera merasakan kedua lubang mata yang hitam

250
diatas kepala tengkorak itu seakan akan sedang melotot pula
ke arahnya.
Biarpun kelopak mata itu sudah tidak punya biji mata,
namun seakan masih terdapat biji mata disitu, seakan masih
bisa mengutarakan perasaan hatinya.
Dalam sekejap mata Siang Huhoa segera merasakan suatu
pancaran kebencian dan dendam kesumat yang sangat kuat
terpancar keluar dari balik kelopak mata yang berlubang hitam
itu.
Dia bergidik, dia saksikan hidung tengkorak itupun telah
berubah jadi sebuah lubang hitam yang menyeramkan,
mulutnya.......
Tengkorak itu tidak bermulut tapi barisan giginya masih
utuh, mulutnya dalam keadaan ternganga, seolah sedang
mengucapkan kutukan atau sumpah serapa, mata yang
memancarkan kebencian dipadukan dengan mulut yang seolah
mengucapkan kutukan jahat......
Lidah dimulutnya juga telah lenyap, dari balik lubang
mulutnya yang hitam gelap seakan memancarkan selapis uap
putih yang lembut dan halus....
Jelas itulah hawa mayat!
Dibawah dagu tengkorak itu masih nampak ada sedikit
daging, namun daging disitu pun sudah tidak utuh, sebab
daging itu hakekatnya sudah tidak mirip daging tapi lebih
mirip ubur ubur.
Hancuran daging itu bergelantungan disepanjang dagunya,
daging itu sudah hancur dan membusuk, seakan pernah
digigit dan dicincang oleh sekelompok makhluk bergigi tajam.
Benarkah kawanan laron penghisap darah itu selain
menghisap darah manusia, juga pandai makan daging
manusia?

251
Hanya daging, tidak ada lelehan darah, hancuran daging
yang meleleh disepanjang dagu itu bukan saja bentuknya
mirip ubur ubur bahkan dalam kenyataan tidak ubahnya
seperti ubur-ubur, selain memancarkan cahaya yang
menyeramkan, pada setiap ujung hancuran daging itu seakan
terdapat setitik air yang sedang menetes jatuh.... Air mayat!
Kepala tengkorak pun terlihat basah karena cairan air
mayat yang sudah membusuk, cairan busuk itu bahkan
membiaskan cahaya fosfor yang berwarna putih kehijauhijauan.
Serbuk laron berwarna putih kehijau-hijauan nyaris hampir
menempel diseluruh kepala tengkorak itu bahkan pakaian
yang dikenakan mayat itupun penuh bertaburan serbuk laron
berwarna putih kehijau hijauan.
Pakaian yang dikenakan mayat tersebut masih berada
dalam keadaan utuh, namun sepasang tangannya yang
muncul dari balik ujung bajunya tinggal tulang tengkorak
berwarna putih pucat.
Tangan itu masih menggenggam sebilah pedang!
Ujung pedang menancap dalam dalam diatas lantai
ruangan, sementara tubuh pedang melengkung bagaikan
bianglala karena tenaga tekanan dari atas, rupanya jenasah
itu tidak sampai roboh ke lantai karena ditunjang oleh
kekuatan pedang itu.
Dalam sekilas pandangan saja Tu Siau-thian telah melihat
jelas bentuk pedang itu, tidak kuasa lagi dia menjerit kaget.
Nyo Sin segera memburu masuk ke dalam ruangan, begitu
memandang pedang tersebut, tidak kuasa lagi dia berseru
tertahan:
"Apa benar pedang itu adalah pedang tujuh bintang
pencabut nyawa miliknya?"
"Rasanya tidak mungkin salah" jawab Siang Huhoa.

252
Setelah berhenti sejenak, lanjutnya:
"Pedang itu sesungguhnya merupakan pedang pusaka milik
keluarga Hiankicu yang diwariskan turun temurun, selama ini
Hiankicu hanya mewariskan ilmunya pada satu orang, karena
tidak punya keturunan maka pusaka itu dia wariskan kepada
muridnya, jadi hakekatnya selain menjadi murid penutup dari
Hiankicu, Jui Pakhay juga terhitung anak angkatnya"
"Sekarang kita temukan pedang itu sebagai pedang
miliknya, berarti mayat itu......mayat itu juga mayatnya?" bisik
Nyo Sin tergagap.
Siang Huhoa menghela napas panjang.
"Menurut apa yang kuketahui, diatas gagang pedang itu
tertera beberapa huruf yang berbunyi: Pedang utuh manusia
hidup, pedang hilang manusia mati...."
"Pedang utuh manusia hidup, pedang hilang manusia
mati...." Tu Siau-thian turut menghela napas panjang.
Terdengar Siang Huhoa berkata lebih jauh:
"Selama ini dia selalu menganggap pedang tersebut
melebihi nyawa sendiri, kalau dia masih hidup, tidak nanti
pedangnya ditinggalkan ditempat ini, sekarang kita temukan
pedang tersebut tergenggam ditangan sang mayat, sedang dia
sendiri hilang tanpa jejak, ini membuktikan kalau mayat ini
bukan dia lalu siapa?"
"Aku pun berpendapat begitu, apalagi......." tiba-tiba Tu
Siau-thian menghentikan kata katanya.
"Apalagi kenapa?" tanya Nyo Sin.
"Pada senja hari tanggal lima belas, yaitu saat untuk
terakhir kalinya aku berjumpa dengannya, pakaian yang dia
kenakan waktu itu persis sama seperti pakaian yang
dikenakan mayat ini"

253
Kali ini paras muka Siang Huhoa benar-benar berubah
hebat, rupanya tadi meskipun dia berkata begitu namun dalam
hati kecilnya masih menaruh setitik pengharapan kalau
dugaannya meleset.
Paras muka Nyo Sin turut berubah hebat, dia pun tidak
percaya kalau dikolong langit benar-benar bisa terjadi
peristiwa yang begitu kebetulan.
"Kau tidak salah ingat?" tegurnya kemudian.
"Komandan, bila kau kurang yakin, panggil saja Tan Piau
dan Yau Kun, suruh mereka ikut kenali, sebab mereka pun ikut
hadir waktu itu"
"Tidak usah, aku tahu kalau daya ingatmu selalu memang
bagus" sambil berkata, pembesar itu miringkan kepalanya dan
melirik Tu Siau-thian sekejap.
Sudah cukup lama Tu Siau-thian bekerja mengikuti
komandannya ini, dia pun sudah amat hapal dengan
kebiasaannya, melihat tingkah laku orang tersebut diapun
segera tahu kalau ada tugas yang harus dia kerjakan, maka
tanyanya:
"Komandan ada perintah apa?"
"Coba dekati gagang pedang itu dan periksa, apakah betul
ada ukiran tulisan yang dimaksud"
"Haaahh?" berubah hebat paras muka Tu Siau-thian.
Gagang pedang itu masih tergenggam oleh sepasang
tangan mayat tersebut, bila ingin memeriksa ukiran tulisan
diatas gagang pedangnya maka dia mesti menarik lepas dulu
sepasang tangan sang mayat yang menggenggam kencang
itu, tak heran kalau paras mukanya langsung berubah.
Betul mayat itu adalah mayat sahabat karibnya, betul
selama dia masih hidup sudah berulang kali dia berjabatan
tangan dengannya, tapi sekarang kondisi mayat itu sangat

254
menjijikkan dan mengerikan, cukup dilihatpun sudah membuat
perut mual, apalagi mesti menyentuh dan
menyingkirkannya......?
Tampaknya Nyo Sin sudah mengambil ke putusan untuk
memaksa Tu Siau-thian melaksanakan perintahnya, melihat
keraguan anak buahnya, kembali dia menegur:
"Apakah kau kurang jelas mendengar perintahku?"
Tu Siau-thian menghela napas panjang.
"Baiklah, akan segera kulakukan" sahutnya terpaksa.
Sembari berkata dia alihkan sorot matanya ke atas kepala
tengkorak itu, baru pertama kali ini dia benar-benar menatap
kepala tengkorak tersebut.
Jilatan api berwarna hijau yang seolah memancar keluar
dari balik mata tengkorak itu tampak semakin menyala tajam,
tengkorak itu seakan sedang balas menatap Tu Siau-thian
karena dia merasa sedang diawasi opas itu.
Rasa benci, dendam dan hawa jahat yang terpancar keluar
dari mata tengkorak itu terasa makin menebal dan berat.
Hawa mayat yang menyembur keluar lewat rongga giginya
pun tampak semakin menebal, dia seolah sedang peringatkan
Tu Siau-thian agar tidak menyentuh jenasahnya, kalau tidak,
dia akan menurunkan kutukan yang paling jahat terhadap
opas itu.
Bagaimanapun beraninya Tu Siau-thian, betapa besarnya
nyali orang ini, tidak urung bergidik juga perasaan hatinya
setelah dihadapkan dengan suasana seperti ini.
Padahal dia sudah menjadi opas selama puluhan tahun,
entah berapa banyak jenasah yang pernah disentuhnya,
namun baru pertama kali ini dia merasa begitu seram, begitu
takut dan ngeri untuk menyentuh mayat itu.

255
Tapi akhirnya dia tetap maju mendekat, baginya sekarang,
tugas tersebut mustahil bisa dihindari lagi.
Semakin mendekati mayat itu bau busuk yang tersiar keluar
makin tebal, dengan pengalaman Tu Siau-thian yang luas, dia
segera tahu kalau kematian orang itu paling tidak sudah
terjadi dua hari berselang, sebab hanya kematian selama ini
akan menghasilkan bau busuk mayat seperti sekarang
Padahal Jui Pakhay sudah lenyap sejak dua hari berselang,
tiga hari pun belum sampai.
Pakaian yang sama dengan senjata yang sama pula, tidak
bisa disangkal mayat itu adalah mayat dari Jui Pakhay.
Sekarang dia semakin percaya dengan apa yang telah
dikatakan Siang Huhoa tadi.
Dengan pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki Siang
Huhoa, tidak ada alasan untuk tidak bisa mengenali sebilah
pedang, apalagi pemilik pedang itu adalah sahabat karibnya.
Sebagai teman karibnya, Siang Huhoa pasti sangat
mengenal dengan segala kebiasaan rekannya itu, kalau dia
bisa mengenali pedang itu sebagai pedang miliki Jui Pakhay,
tentu saja dia pun tahu kalau diatas gagang pedangnya terukir
beberapa huruf kecil.
Sekalipun begitu, menurut prosedur dia tetap harus
melakukan perintah itu, maka dia tidak keberatan untuk
melaksanakan titah dari Nyo Sin, satu satunya hal yang
membuat dia merasa keberatan adalah tidak seharusnya
perintahkan dia untuk turun tangan sendiri.
Namun dalam keadaan seperti saat ini, tentu saja dia tidak
bisa protes dan tidak mungkin untuk protes, maka setelah
maju ke depan, dia pun mengeluarkan sebuah saputangan lalu
dibalutkan di tangan kanannya.
Dengan hidung berkerut, sorot matanya mulai dialihkan ke
tangan mayat itu, sepasang matanya sengaja disipitkan, agar

256
wajah seram dari tengkorak itu terlihat agak samar. Untung
keadaan dari sepasang tangan itu tidak terlampau
mengerikan.
Dengan tangan kirinya dia cengkeram gagang pedang,
tangan kanannya segera menggenggam tangan kiri mayat itu.
Walaupun sudah dilapisi dengan sapu tangan namun dia
masih bisa merasakan kalau tangan yang digenggamnya
hanya sekerat tulang, pada saat itulah bau busuknya mayat
terendus makin berat dan tebal.
Sambil menahan diri Tu Siau-thian mencoba untuk menarik
tangan itu, padahal dia sudah mengerahkan tenaga cukup
besar namun usahanya untuk menarik lepas gagang pedang
dari genggaman tangan mayat itu tetap tidak berhasil.
Dia mencoba untuk menarik tangan yang lain, namun
hasilnya sama saja.
Sangat aneh, kenapa genggaman sepasang tangan mayat
itu bisa begitu kuat? Kenapa tangannya yang menggenggam
gagang pedang susah dilepaskan. Tapi kesemuanya ini
semakin membuktikan sesuatu yakni tidak mungkin pedang itu
disusupkan ke tangan mayat tersebut setelah kematian orang
itu, kalau hal ini yang dilakukan, tidak mungkin tangan mayat
itu bisa menggenggam gagang pedang sedemikian
kencangnya.
Orang mati tidak akan menggenggam pedangnya sangat
kencang, dengan perkataan lain, sewaktu orang ini menemui
ajalnya, dia berada dalam kondisi menggenggam pedang itu.
Jika pedang ini benar benar adalah pedang tujuh bintang
pencabut nyawa, bukankah hal ini semakin memperkuat bukti
bahwa sang korban adalah Jui Pakhay?
Hanya Jui Pakhay seorang yang menganggap pedang tujuh
bintang lebih berharga daripada nyawa sendiri, hanya dia

257
seorang yang tidak akan melepaskan senjatanya sampai maut
menjemput dirinya.
Bab 14.
Pedang utuh manusia mati.
Cairan mayat yang berbau busuk telah membasahi seluruh
saputangannya.
Cairan mayat yang dingin, lengket berlendir serasa sudah
menodai seluruh kulit badannya, perasaannya waktu itu mirip
sekali dengan perasaan sewaktu memegang beberapa ekor
cacing yang baru digali dari dalam tanah.....
Tu Siau-thian merasa amat bergidik, perutnya terasa amat
mual, entah sudah berapa kali dia bersin, bulu kuduknya
sudah bangun berdiri.
Tapi dia paksakan diri untuk menekan rasa mual, rasa
seram dan rasa jijik yang mencekam perasaan hatinya,
dengan sekuat tenaga dia mencoba untuk merentangkan jari
jemari tengkorak itu.
Jari tangan tengkorak itu menggenggam kencang, seakan
sudah merasuk ke dalam gagang pedang itu.
Ketika dia membetot dengan sepenuh tenaga......."Kraak,
Kraak, Kraaaak!" tiga buah jari tangan tengkorak itu patah
seketika.
Mayat yang baru mati selama tiga hari ternyata memiliki
tulang belulang yang begitu rapuh, kejadian ini sedikit diluar
dugaan Tu Siau-thian.
Mengawasi ke tiga batang tulang jari yang patah dan
tergenggam ditangannya, sekali lagi opas itu bergidik sambil
bersin berulang kali, dia merasa tidak sanggup lagi untuk
melanjutkan tugasnya.

258
Bagaimana pun juga mayat itu adalah mayat sahabatnya,
dia tidak ingin setelah sahabatnya itu mati, sukmanya akan
gentayangan tanpa memiliki jari tangan lagi....
Walaupun selama ini dia tidak pernah mau percaya tentang
dongeng yang mengatakan bahwa manusia setelah mati akan
jadi setan gentayangan, namun setelah mengalami pelbagai
peristiwa aneh selama berapa hari belakangan, keyakinan itu
mulai goyah.
Kalau siluman laron pun terbukti ada, berarti setan
gentayangan pun pasti ada juga, untuk sesaat dia berdiri
terbelalak, tertegun bercampur kaget.
Melihat mimik muka anak buahnya itu Nyo Sin tercengang,
segera tegurnya:
"Hey, apa yang terjadi?"
"Aaah, tidak apa apa" jawab Tu Siau-thian tanpa berpaling,
"karena kurang berhati-hati, aku telah mematahkan tiga
batang tulang jarinya"
"Apakah pada gagang pedang itu kau jumpai tulisan yang
dimaksud?" kembali Nyo Sin bertanya.
"Aku belum lagi mengambil pedang itu"
"Ooh..."
Diam-diam Tu Siau-thian menghela napas, sambil bulatkan
tekad tangan kanannya segera ditekan kebawah lalu
membetot ke samping, dia mengangkat paksa tangan mayat
itu ke atas lalu bersamaan waktunya dia tarik pedang itu ke
luar.
"Kraak, kraaaak!" kembali dua buah jari tangan tengkorak
itu patah jadi dua, namun pedang itu berhasil direbut paksa
dari genggaman tangan mayat itu.
Karena pedang yang menopang tubuhnya telah direbut
paksa, tengkorak manusia itupun langsung terjungkal dan

259
roboh ke lantai, masih untung Tu Siau-thian berhasil
menyambar lengan tengkorak itu sehingga sang mayat tidak
sampai terjerembab keras ke tanah.
Pada saat itulah dari balik lubang mata sang tengkorak
yang berlubang itu mengucur keluar dua deret cairan mayat
yang berbau sangat busuk.
Cairan itu mirip sekali dengan lelehan air mata, apakah
mayat itu masih punya perasaan? Apakah dia merasa
menderita karena tulang jarinya patah?
Tu Siau-thian semakin bergidik disamping terharu dan iba,
dia paksakan diri untuk membetulkan posisi mayat itu
kemudian baru mundur ke belakang dan membalikkan badan,
sorot matanya segera dialihkan keatas gagang pedang itu.
Benar juga, diatas gagang pedang tertera beberapa huruf
kecil:
"Pedang utuh manusia hidup, pedang hancur manusia
mati!"
Tidak bisa disangkal lagi, pedang ini memang pedang tujuh
bintang milik Jui Pakhay, itu berarti mayat tersebut adalah
mayat dari Jui Pakhay.
Dengan mata melotot besar Nyo Sin mengawasi tulisan itu,
akhirnya tidak tahan dia menghela napas panjang, katanya:
"Pedang utuh manusia hidup, pedang hancur manusia mati,
tapi kenyataannya sekarang, pedang utuh manusia nya justru
mati!"
Siang Huhoa memandang pula gagang pedang itu sekejap,
namun dia tidak berkomentar atau pun mengucapkan sesuatu
pernyataan.
Nyo Sin memandang Siang Hu-hoa sekejap, tiba-tiba dia
membalikkan badan dan beranjak keluar dari situ.

260
Baru satu langkah dia berjalan, tubuhnya telah menumbuk
ditubuh seseorang, Jui Gi!
Entah sedari kapan Jui Gi ikut masuk ke dalam, sepasang
matanya mengawasi mayat tersebut dengan mata mendelik,
wajahnya penuh diliputi kedukaan dan amarah.
Di dalam pandangan matanya seakan hanya ada mayat
tersebut, dia bahkan tidak tahu kalau Nyo Sin sedang
membalikkan badan, begitu tabrakan terjadi tubuhnya kontan
jatuh terpelanting ke tanah.
Tubuh Nyo Sin ikut bergetar keras, masih untung dia tidak
ikut roboh.
Jui Gi tidak segera merangkak bangun, sambil berlutut dan
menyembah dihadapan Nyo Sin, serunya pedih:
Nyo tayjin, kau harus mencarikan keadilan buat majikan
kami!"
"Tidak usah diucapkan pun pasti akan kulakukan" sahut
Nyo Sin setelah berhasil berdiri tegak, dengan cepat dia
melampui Jui Gi dan menuruni anak tangga.
Sementara itu para jago lainnya masih menunggu di
bawah, sorot mata semua orang tertuju ke pintu masuk ruang
loteng, begitu Nyo Sin munculkan diri, otomatis sorot mata
semua orangpun tertuju ke tubuhnya.
Sekalipun mereka tidak tahu peristiwa apa yang telah
terjadi dalam ruang loteng, namun dari mimik muka Nyo Sin,
mereka sadar bahwa persoalan tersebut pasti sangat serius
Begitu menuruni anak tangga, Nyo Sin langsung
menghampiri Gi Tiok-kun dan mengawasinya dengan mata
melotot.
Sorot mata semua orang pun mengikuti gerakan tubuhnya
ikut bergeser ke atas wajah perempuan itu.

261
Gi Tiok-kun masih berdiri mematung seperti patung pousat,
wajahnya hambar tanpa perubahan apa pun.
Nyo Sin mengawasi perempuan itu berapa saat, mendadak
dia menarik napas panjang dan sambil menuding bentaknya:
"Tangkap dia!"
Gi Tiok-kun nampak tertegun, kawanan opas lebih tertegun
lagi, mereka tidak menyangka akan datangnya perintah
tersebut sehingga untuk berapa saat semua orang hanya
berdiri melongo dan tidak memberikan reaksi apapun.
"Hey, kenapa kalian semua?" sekali lagi Nyo Sin
menghardik, "telinga kalian sudah pada tuli? Tidak memahami
maksud perkataanku?"
Seakan baru sadar dari impian kawanan opas itu serentak
bergerak maju. Tan Piau dan Yau Kun saling bertukar
pandangan sekejap, lalu terdengar Yau Kun berbisik ragu:
"Komandan. Kau.....kau suruh kami membekuk Jui hujin?"
"Benar!" jawaban Nyo Sin amat tegas.
"Tapi kesalahan apa yang telah dilakukan Jui hujin?" tanya
Tan Piau keheranan.
"Pembunuhan!"
"Siapa yang dibunuh?" desak Tan Piau lebih jauh.
"Jui Pakhay!"
Tan Piau berseru tertahan dan tidak bertanya lagi, namun
rasa sangsi masih menyelimuti wajahnya.
Begitu juga keadaan Yau Kun, meskipun tidak ikut
menimbrung namun dia pun tidak melakukan suatu tindakan
apa pun.
Seorang wanita cantik yang begitu lemah lembut, begitu
halus dan begitu tidak bertenaga ternyata adalah seorang

262
pembunuh, kejadian ini sudah sangat aneh dan sukar
dipercaya apalagi orang yang dibunuh ternyata adalah
seorang lelaki yang berilmu silat sangat tinggi.
Bukan hanya begitu, lelaki itu bahkan adalah suaminya
sendiri, Jui Pakhay!
Karena ke dua orang itu tidak melakukan reaksi apa pun,
dengan sendirinya kawanan opas yang lain pun tidak
melakukan tindakan apapun Melihat anak buahnya tidak
melakukan tindakan apapun, Nyo Sin jadi semakin
mendongkol, teriaknya penuh amarah:
"Kenapa kalian masih berdiri termangu macam orang
bodoh? Cepat tangkap dia!"
"Baik!" sahut Tan Piau dan Yau Kun tergagap. Cepat
mereka memberi tanda, seorang opas yang berdiri di belakang
mereka segera maju menghampiri sambil menyerahkan
sebuah borgol.
Setelah menerima borgol itu Yau Kun maju ke hadapan Gi
Tiok-kun seraya serunya:
"Gi hujin, tolong ulurkan tanganmu!"
Gi Tiok-kun memandang borgol itu sekejap, setelah tertawa
getir dia sodorkan sepasang tangannya ke depan.
Dia sama sekali tidak melawan bahkan mengucapkan
sepatah kata pun tidak, tampang dan mimik mukanya saat itu
terlihat amat mengenaskan, sangat kasihan.........
Yau Kun merasakan hatinya ikut remuk redam, dalam
kondisi demikian bagaimana mungkin dia bisa memasangkan
itu ke tangannya?
Hanya Nyo Sin seorang yang sama sekali tidak terpengaruh
oleh kesedihan dari perempuan itu, dengan hati sekeras baja
sekali lagi dia menghardik:
"Cepat diborgol!"

263
Terpaksa dengan keraskan hati Yau Kun mempersiapkan
borgolnya dan siap dipasangkan ke tangan Gi Tiok-kun. Saat
itulah dari balik ruang loteng kedengaran seseorang berseru
keras:
"Tunggu sebentar!"
Suara teriakan dari Siang Huhoa, bersamaan dengan
seruan tersebut dia pun muncul dari balik ruangan.
Ternyata Yau Kun menurut sekali dengan seruannya itu,
seketika dia menghentikan semua tindakannya.
Nyo Sin semakin mendongkol melihat kejadian ini, namun
dia tidak memberikan reaksinya dan cuma membungkam.
Bagaimana pun juga dia masih ingat bagaimana Siang
Huhoa telah menyelamatkan jiwanya ketika akan masuk ke
ruang rahasia tadi, pelan-pelan dia mendongakkan kepalanya
dan menatap lelaki itu tajam.
Selangkah demi selangkah Siang Huhoa berjalan menuruni
anak tangga, dia langsung berjalan menuju ke samping Nyo
Sin.
"Saudara Siang, apakah kau telah menemukan sesuatu
yang baru diatas ruang loteng?" Nyo Sin segera bertanya.
Siang Hu-hoa menggeleng.
"Lantas kenapa kau mencegah kami untuk membekuk
perempuan itu?" desak Nyo Sin lebih jauh.
"Sampai detik ini kita masih belum punya bukti yang
menunjukkan bahwa dialah pembunuh Jui Pakhay"
"Bukankah catatan yang ditinggalkan Jui Pakhay bisa kita
pakai sebagai tanda bukti?"
"Apakah kau tidak merasa kalau isi catatan itu kelewat
aneh, kelewat berbau mistik dan sulit membuat orang
percaya?"

264
"Jadi kau tidak percaya?"
"Kau percaya?" bukan menjawab Siang Huhoa malah balik
bertanya.
"Mau tidak percaya pun rasanya tidak mungkin"
"Tapi isi catatan itu hanya merupakan kesaksian sepihak"
"Kita semua telah menyaksikan dengan mata kepala sendiri
bagaimana ada sekelompok laron penghisap darah yang
terbang keluar dari ruang loteng ini, kawanan laron tersebut
sedang menghisap darah Jui Pakhay diatas loteng, melalap
dan memakan daging mayatnya, bukankah kita semua telah
menyaksikan sendiri?"
Ketika mengucapkan perkataan tersebut, sekali lagi
tubuhnya bergidik hingga bersin berulang kali, rupanya dia
terbayang kembali adegan mengerikan yang telah
disaksikannya itu.
Meskipun para opas yang lain tidak ikut menyaksikan, tapi
berdasarkan penuturan dari Nyo Sin, tak urung mereka semua
ikut bergidik.
Paras muka Gi Tiok-kun yang sudah putih memucat, kini
seakan bertambah pucat hingga tak ubahnya seperti wajah
sesosok mayat.
Siang Huhoa tidak menjawab, dia pun tidak menyangkal,
sebab apa yang diutarakan Nyo Sin memang merupakan
sebuah kenyataan.
Untuk sesaat suasana didalam ruangan tercekam dalam
keheningan.
Sampai lama kemudian, akhirnya keheningan itu
dipecahkan oleh suara Gi Tiok-kun, terdengar ia berbisik-
"Benarkah apa yang kau katakan tadi?"

265
Pertanyaan dari Gi Tiok-kun khusus ditujukan kepada Nyo
Sin, bibirnya kelihatan gemetar keras bahkan nada suaranya
pun kedengaran ikut gemetar.
Ditengah keheningan yang mencekam, suara pembicaraan
yang gemetar itu kedengaran seperti malayang di udara,
lamat-lamat tak jelas hingga nyaris tak mirip dengan suara
manusia.
Nyo Sin tidak menjawab pertanyaan itu, malah kepada
Siang Hu-hoa bisiknya:
"Coba kau dengar suaranya......"
"Kenapa dengan suaranya?" tanya Siang Hu-hoa
keheranan.
"Kau tidak merasakan sesuatu?" suara bisikan Nyo Sin
semakin merendah.
Siang Hu-hoa kembali menggeleng.
"Suaranya kedengaran sangat aneh" ujar Nyo Sin lebih
jauh, "seakan akan panggilan setan iblis dari sesuatu tempat,
seperti jeritan sukma gentayangan yang datang dari akhirat"
"Kapan sih kau pernah mendengar suara jeritan sukma
gentayangan yang datang dan akhirat?" tiba-tiba Siang Huhoa
tertawa.
Nyo Sin agak melengak, sahutnya kemudian:
"Tentu saja aku tak pernah mendengarnya"
"Lantas darimana kau bisa tahu kalau suara semacam itu
mirip dengan jeritan dari sukma gentayangan?"
Seketika itu juga Nyo Sin terbungkam, tak sanggup
membantah.
"Sekalipun kita mengetahui bahwa kawanan laron
penghisap darah itu terbang keluar dari tempat ini, bukan

266
berarti kawanan makhluk tersebut peliharaan dia" kata Siang
Huhoa lebih jauh.
"Kalau bukan dia yang pelihara, lalu siapa?" "Kalau aku
sudah tahu, buat apa bertanya lagi kepadamu"
"Kalau memang tidak tahu, atas dasar apa kau merasa
yakin kalau kawanan laron penghisap darah itu bukan makhluk
peliharaannya?"
"Aku tidak mengatakan yakin"
"Tapi kau menghalangi perbuatan kami"
"Betul, aku berbuat demikian karena kuanggap hingga
sekarang kita belum berhasil mengumpulkan bukti dan saksi
yang meyakinkan, sebelum kita bisa membuktikan kalau dialah
pembunuhnya, tidak pantas bila kita tangkap perempuan ini"
"Oya?"
"Bila dikemudian hari ternyata dia sama sekali tidak
terlibat........."
"Tentu saja aku segera akan membebaskan dirinya" tukas
Nyo Sin.
"Tapi tindakanmu menyangkut martabat, harga diri dan
nama baik seseorang......."
"Percayalah, tindakanku ini tak akan berpengaruh banyak"
kembali Nyo Sin menukas sembari mengidapkan tangannya,
"apalagi tindakan ini terpaksa harus kita lakukan"
"Ooh......"
"Sebab sesuai dengan prosedur dan aturan, kita memang
harus bertindak begitu"
Kali ini Siang Huhoa tidak dapat berbicara lagi.
Perkataan dari seorang "pembesar" biasanya memang
merupakan sebuah peraturan, karena biarpun tidak pakai

267
aturan pun tetap dianggap sangat beraturan, apalagi kalau
sudah menyangkut masalah prosedur dan peraturan, orang
awam memang tak mungkin bisa membantah lagi.
Terdengar Nyo Sm berkata lebih jauh:
"Aku rasa kau pasti tak bisa menyangkal bukan kalau pada
saat ini tersangka yang paling mencurigakan adalah dirinya?"
Siang Huhoa tidak menyangkal.
"Terhadap seorang tersangka pembunuhan macam dia,
bukankah pantas bila kita tangkap dan menahannya lebih
dahulu?" kembali Nyo Sin mendesak.
Kemudian setelah berhenti sejenak, lanjutnya: "Seandainya
dia sampai lolos, mungkin dosa yang akan menimpa kita
semua akan jadi berat sekali. Saudara Siang, kau pasti
mengerti soal ini bukan?"
"Tapi kalian toh bisa mengirim petugas untuk
mengawasinya siang malam?"
"Andaikata dia benar-benar seorang siluman Laron,
seandainya ia benar-benar jelmaan dari laron penghisap
darah, siapa yang bisa mengawasinya?"
"Seandainya dia benar benar seorang siluman laron,
seandainya dia memang jelmaan dari laron penghisap darah,
biar sudah kau tangkap pun dia tetap sanggup melarikan diri"
"Kalau benar benar terjadi hal semacam ini, paling tidak
kita kan bisa mempertanggung jawabkan diri?" bantah Nyo
Sin.
Siang Huhoa menghela napas panjang dan tidak
melanjutkan perdebatan itu lagi, dia berjalan ke hadapan Gi
Tiok-kun lalu ujarnya:
"Enso, sudah kau dengar semua pembicaraan ini?"
Gi Tiok-kun menghela napas sedih.

268
"Mendengar mah sudah, tapi aku tidak mengerti"
"Tidak mengerti apa yang sedang kami bicarakan?"
"Juga tidak tahu apa yang sebenarnya sudah terjadi disini"
sambung Gi Tiok-kun sambil menghela napas.
"Enso benar benar tidak tahu duduknya persoalan?" Siang
Hu-hoa kembali bertanya.
"Bila kalian tidak percaya, akupun tak bisa berbuat apa
apa"
"Kalau begitu secara ringkas akan kuceritakan semua
kejadian yang telah terjadi disini"
Gi Tiok-kun manggut manggut.
Setelah termenung sejenak, Siang Hu-hoa mulai berkisah:
"Peristiwa ini dimulai pada tanggal satu malam dan
berlangsung hingga malam tanggal lima belas, hampir setiap
hari setiap saat saudara Jui diteror oleh kemunculan laron
penghisap darah, mengenai semua peristiwa yang dialami, dia
telah membuatkan sebuah catatan yang lengkap dan
membeberkannya secara detil"
Gi Tiok-kun hanya mendengarkan, sama sekali tidak
komentar.
Terdengar Siang Huhoa berkata lebih jauh:
"Bila kita tinjau berdasarkan penuturannya lewat catatan
tersebut, tampaknya kejadian aneh yang ditimbulkan laron
penghisap darah itu memang sangat menakutkan, oleh sebab
alasan inilah maka pada tanggal tujuh dia mengutus Jui Gi
untuk berangkat ke perkampungan selaksa bunga dan datang
mencari aku, dia minta aku datang kemari untuk menghadapi
teror dari laron penghisap darah"
"Ooh... jadi selama belasan hari tidak nampak Jui Gi,
rupanya dia telah berangkat ke perkampungan selaksa bunga"

269
"Benar! Sayangnya ketika aku tiba disini pagi tadi, saudara
Jui sudah lenyap semenjak tiga hari berselang"
Kali ini Gi Tiok-kun tidak memberikan komentar.
Setelah menarik napas, Siang Hu-hoa berkata lebih jauh:
"Dalam tiga hari belakangan, opas Nyo telah mengirim
segenap kekuatannya untuk menggeledah seluruh kota,
namun kabar berita tentang saudara Jui belum juga
ditemukan, dan sekarang, hanya tempat ini yang belum
diperiksa, maka kami pun mendatangi tempat ini....."
Siang Hu-hoa mengalihkan sorot matanya ke arah ruang
loteng, kemudian menambahkan:
"Maksudku, di dalam ruang loteng itulah akhirnya kami
berhasil menemukan jenasahnya"
"Apa benar jenasahnya?" tiba-tiba Gi Tiok-kun bertanya
"Rasanya memang jenasahnya!"
"Kedengarannya kau sendiripun tidak yakin?" tanya Gi Tiokkun.
Siang Huhoa tidak menyangkal.
"Aku pingin naik ke atas dan memeriksa sendiri" pinta Gi
Tiok-kun setelah berpikir sejenak.
"Biarpun enso naik sendiri pun kau tetap tak bisa
mengenalinya lagi"
"Ohh... kenapa?"
"Sebab lapisan daging dan kulit saudara Jui khususnya
pada seputar batok kepalanya sudah habis dimakan kawanan
laron penghisap darah itu, sekarang yang tersisa tinggal
sebuah tengkorak, bahkan sepasang tangannya pun tinggal
tulang belulang"

270
Gi Tiok-kun menjerit tertahan, paras mukanya berubah jadi
pucat pias, reaksinya sangat wajar dan sama sekali tak
nampak seperti dibuat-buat.
Menyaksikan hal itu Siang Hu-hoa segera berpikir:
"Jangan-jangan peristiwa ini memang sama sekali tak ada
sangkut paut dengan dirinya?"
Sebaliknya Nyo Sin tertawa dingin tiada hentinya.
Gi Tiok-kun sama sekali tidak menggubris sikap Nyo Sin,
dia hanya mengawasi Siang Huhoa dengan wajah tertegun.
Setelah berhasil mengendalikan emosinya, dia berkata lagi:
"Lantas atas dasar apa kalian bisa mengenali kalau mayat
itu adalah mayatnya?"
"Berdasarkan pakaian yang dikenakan jenasah itu, menurut
kesaksian opas Tu, pada saat malam menjelang lenyapnya
saudara Jui, pakaian yang dikenakan waktu itu persis sama
seperti pakaian yang dikenakan mayat ini, lagipula mayat
tersebut menggenggam sebilah pedang, pedang mestika
miliknya"
"Pedang tujuh bintang pencabut nyawa?"
"Betul, pedang tujuh bintang pencabut nyawa"
Sepasang mata Gi Tiok-kun mulai berkaca-kaca.
Terdengar Siang Huhoa berkata lagi:
"Menurut apa yang kuketahui, pedang tujuh pedang
pencabut nyawa merupakan pedang pusaka perguruannya,
dia selalu menyimpan nya secara baik baik, bahkan berulang
kali telah menyelamatkan jiwanya ketika terancam bahaya"
"Benar, dia pernah mengungkap persoalan ini denganku" Gi
Tiok-kun mengangguk.

271
"Oleh karena itu, walaupun kami tidak bisa mengenali raut
muka jenasah itu, namun berdasarkan pakaian dan pedang
tujuh bintang pencabut nyawa yang masih berada dalam
genggamannya, kami bisa membuktikan kalau jenasah itu
adalah mayat dari saudara Jui"
"Tapi apa sangkut pautnya dengan aku?"
"Di dalam catatan yang dia tinggalkan, secara lamat-lamat
dia menerangkan bahwa bila terjadi sesuatu atas dirinya,
besar kemungkinan enso lah pembunuhnya"
Sekali lagi Gi Tiok-kun terbelalak dengan mulut melongo,
tidak sepatah kata pun sanggup diucapkan.
"Terlepas apakah isi catatan itu jujur atau hanya rekayasa,
sampai detik ini enso adalah satu satunya orang yang patut
dicurigai" Siang Hu-hoa menerangkan lebih jauh.
"Kenapa?"
"Ruangan kecil ini berada di bagian belakang kamar tidur,
untuk mencapai ruangan tersebut orang harus melalui kamar
tidur lebih dahulu, selain enso, siapa yang bisa masuk keluar
tempat ini dengan leluasa?"
"Tapi ada saatnya aku pun pergi meninggalkan kamar
tidur!"
"Maksudmu kemungkinan besar ada orang yang menyusup
masuk ke dalam kamar tidurmu secara diam diam disaat kau
sedang keluar?"
"Apakah tidak ada kemungkinan seperti ini?"
"Selama dua hari belakangan ini, kau pernah pergi ke mana
saja?" timbrung Nyo Sin tiba tiba
"Aku hanya berada disekeliling perkampungan, tidak
pernah melangkah keluar dari perkampungan barang
selangkah pun"

272
"Benarkah begitu? Baik, tidak sulit bagiku untuk memeriksa
apakah kau sedang berbohong atau tidak" seru Nyo Sin lagi.
Gi Tiok-kun tidak berbicara apa apa, dia membungkam
dalam seribu basa.
Dari sudut ruangan sana terdengar Tu Siau-thian berseru:
"Dalam masalah ini aku telah melakukan penyelidikan
dengan seksama, di dalam dua tiga hari belakangan nyonya
Jui memang tidak pernah pergi meninggalkan perkampungan"
Sementara berbicara, Tu Siau-thian telah muncul kembali
dari balik ruang loteng, lanjutnya:
"Sejak terjadinya peristiwa pada malam itu, secara
beruntun dalam dua hari belakangan aku selalu menugaskan
orang untuk mengawasi sekeliling perkampungan, semisal ada
orang membawa mayat keluar atau bergerak masuk keluar
dari halaman ini, niscaya jejak mereka akan segera ketahuan"
Sesudah berhenti sejenak, kembali lanjutnya:
"Betul setiap malam orang orang kita mengundurkan diri
dari sini, tapi aku percaya nyonya Jui pasti tidur di dalam
kamar tidurnya, sehingga kalau ada orang yang masuk secara
diam-diam, rasanya sulit kemungkinannya untuk tidak
membangunkan nyonya Jui"
Mau tidak mau Gi Tiok-kun mengakui juga:
"Benar, dalam dua malam terakhir tidurku memang kurang
nyenyak, sehingga saban kali mau berangkat tidur, aku tidak
pernah lupa untuk mengunci pintu kamarku dari dalam"
"Nah itulah dia" seru Tu Siau-thian, "bila seseorang ingin
memasuki ruang tidur ini, berarti dia mesti mematahkan
palang pintu lebih dulu, padahal sudah kuperhatikan dengan
seksama barusan, semua pintu dan jendela berada dalam
keadaan utuh, jika mataku tidak bermasalah, semestinya

273
keadaan dalam ruangan ini tidak jauh berbeda dengan
keadaan semula"
Tentu saja sepasang mata Tu Siau-thian tidak bermasalah.
Siang Huhoa segera menyambung pula:
"Apalagi selainjenasah itu, disini pun terdapat sekelompok
besar laron penghisap darah, untuk bergerak ke sana kemari,
kelompok makhluk itu sangat menyolok mata, apalagi
beterbangan dalam perkampungan, jelas hal ini akan
mengejutkan seluruh penghuni perkampungan ini,
maka............."
"Maka hal ini mungkin bisa terjadi jika sebelumnya sudah
ada orang yang mengatur kesemuanya ini dan meletakkan
laron laron itu di dalam ruang loteng" sambung Gi Tiok-kun
cepat.
"Atau mereka memang benar benar jelmaan dari siluman
atau setan iblis" Siang Huhoa menambahkan.
"Kau percaya kalau di dunia ini benar-benar terdapat
siluman atau setan iblis?" mendadak perempuan itu bertanya.
Untuk sesaat Siang Huhoa hanya melongo, dia tidak tahu
bagaimana harus menjawab pertanyaan itu.
Setelah menghela napas kembali Gi Tiok-kun berkata:
"Bukankah isu siluman atau setan iblis merupakan sebuah
lelucon yang tidak lucu? Siapa sih yang mau percaya?"
Siang Huhoa, Nyo Sin maupun Tu Siau-thian berdiri
melongo, untuk sesaat mereka hanya bisa tertegun.
Bukankah mereka semua sedang mencurigai Gi Tiok-kun
sebagai siluman laron? Sebagai jelmaan dari laron penghisap
darah?

274
"Hai, seandainya bukan ulah dari bangsa siluman atau
setan iblis, berarti akulah yang paling dicurigai dalam kasus
pembunuhan ini" keluh Gi Tiok-kun sambil menghela napas.
"Sekalipun peristiwa ini ulah dari siluman atau setan iblis,
tetap kau yang paling dicurigai!" nyaris perkataan semacam
itu meluncur keluar dari mulut Nyo Sin, untung pada akhirnya
dia urungkan niatnya.
Dengan sorot mata yang tajam Gi Tiok-kun menatap wajah
Siang Huhoa, kemudian tanyanya:
"Menurut pandanganmu, apakah aku mirip dengan manusia
macam itu?"
Siang Huhoa hanya menghela napas tanpa bicara.
"Tahu orangnya, tahu wajahnya sukar untuk tahu hatinya,
apalagi hati manusia lebih dalam dari lautan, darimana kami
bisa melihatnya?" perkataan inipun nyaris meluncur keluar dari
mulut Nyo Sin.
Gi Tiok-kun memandang Siang Huhoa sekejap, kemudian
memandang pula ke arah Nyo Sin dan Tu Siau-thian, akhirnya
setelah menghela napas dia ulurkan ke dua tangannya ke
depan.
Yau Kun dengan memegang borgol hanya berdiri disamping
sambil mengawasi sepasang tangan Gi Tiok-kun, ternyata dia
tidak berusaha untuk memborgol tangan perempuan cantik
itu.
"Borgol dia!" sekali lagi Nyo Sin menghardik sembari
mengulapkan tangannya.
Bentakannya kali ini sudah tidak segarang tadi, maka Yau
Kun mengiakan dan segera memborgol sepasang tangan Gi
Tiok-kun.
Kali ini Siang Hu-hoa tidak berusaha menghalangi, hanya
ujarnya:

275
"Persoalan separah dan seberat apa pun, cepat atau lambat
akhirnya akan tiba juga saatnya untuk menjadi terang"
Gi Tiok-kun hanya tertawa pedih.
Nyo Sin kembali berpikir sekejap, kemudian perintahnya
kepada Tan Piau dan Yau Kun:
"Segera kalian siapkan sebuah tandu, hantar balik nyonya
Jui terlebih dulu"
Agaknya pembesar inipun tidak ingin terlalu menyusahkan
Gi Tiok-kun, maka dia perintahkan orang untuk menghantar
perempuan itu dengan memakai tandu.
Mungkinkah pertimbangan ini dia lakukan setelah
menyaksikan sikap dari Gi Tiok-kun yang siap bekerja sama?
"Baik!" sahut Yau Kun dan Tan Piau hampir berbareng.
Sambil melangkah keluar dari ruangan, tiba-tiba Gi Tiokkun
berpaling lagi memandang ke arah Nyo Sin sambil
berkata:
"Apa aku boleh ikut membaca catatan itu?"
"Semua catatan tersebut telah kuperintahkan orang untuk
membawanya ke kantor polisi"
"Untung sekarang pun aku akan berangkat ke kantor polisi"
sahut Gi Tiok-kun sambil tertawa getir, bagaikan sukma
gentayangan diapun melanjutkan langkahnya.
Bab 15.
Gelang terbang Pedang baja.
Memandang hingga bayangan punggung Gi Tiok-kun
lenyap dari pandangan mata, kembali Siang Hu-hoa
termenung tanpa bicara.

276
Tu Siau-thian yang selama ini hanya membungkam
perlahan-lahan berjalan menghampiri Siang Hu-hoa, kemudian
ujarnya:
"Kelihatannya saudara Siang masih tetap ragu dan
menaruh curiga terhadap persoalan ini?"
Siang Hu-hoa mengangguk membenarkan:
"Apakah saudara Tu tidak ragu atau menaruh curiga
terhadap semua yang telah kita temukan?" dia balik bertanya.
Tu Siau-thian hanya menghela napas tanpa menjawab.
Terdengar Siang Huhoa berkata lebih jauh:
"Semisalnya perempuan itu yang melakukan pembunuhan,
rasanya tidak masuk diakal jika dia tetap membiarkan mayat
korbannya tergeletak dalam ruang loteng"
"Mungkin saja dia tidak menyangka kalau secepat ini kita
akan menggeledah tempat ini" sela Nyo Sin.
"Aku rasa dia bukan orang bodoh, masa tidak bisa
menduga sampai ke situ?" kata Siang Hu-hoa.
Mendadak Nyo Sin bergidik, dengan badan merinding
katanya:
"Atau mungkin dia mengira kalau kawanan laron penghisap
darah itu telah melalap habis mayat itu?"
Kemudian setelah bersin berulang kali, tambahnya:
"Mungkin juga dia masih merasa sayang untuk membuang
mayat tersebut dan ingin melahapnya lagi..........."
"Jadi kau menuduh Gi Tiok-kun adalah siluman laron,
jelmaan dari seekor laron penghisap darah?" tukas Siang
Huhoa cepat.
"Betul!"

277
"Kalau persoalannya hanya begitu, kasus ini malah lebih
gampang penyelesaiannya, paling tidak jawaban untuk apa
yang ditulis Jui Pakhay dalam catatannya tentang peristiwa
aneh yang dialaminya sejak tanggal satu bulan tiga sampai
tanggal lima belas bulan tiga beserta lenyapnya jejak dia serta
kemunculan jenasahnya dalam ruang loteng sudah sangat
jelas sekali yakni ulah dari siluman laron atau ulah dari
jelmaan laron penghisap darah, kita tidak usah lagi peras otak
banting tulang untuk melacak dan melakukan penyelidikan"
"Itupun kita mesti membuktikan dulu bahwa dia memang
siluman laron atau jelmaan dari laron penghisap darah"
sambung Tu Siau-thian.
"Benar" kata Siang Hu-hoa, "bila dia memang siluman laron
atau jelmaan dari laron penghisap darah, cepat atau lambat
dia pasti akan tunjukkan wujud aslinya, asal kita menunggu
sampai dia tampil dengan wujud lain, semua urusanpun akan
terungkap"
"Saat itu kita semua bakal dibuat pusing kepala" Nyo Sin
menambahkan sambil memegang kepala sendiri.
"Oleh sebab itulah sekarang kita harus membuat dua
perumpamaan, ke satu seandainya Gi Tiok-kun benar-benar
adalah siluman laron dan kedua bila ternyata bukan demikian
kejadiannya"
"Maksudmu kita tetap harus melanjutkan penyelidikan?"
"Benar” Siang Huhoa mengangguk.
"Tapi penyelidikan kita harus dimulai dari mana?" tanya
Nyo Sin tiba tiba, namun begitu ucapan tersebut diutarakan,
dia pun merasa amat menyesal.
Sebagai seorang komandan opas yang terkenal pintar dan
punya nama besar, sama sekali tidak masuk diakal bila
persoalan macam begini juga harus menanyakan kepada

278
Siang Hu-hoa, dia seharusnya tahu dari bagian mana
penyelidikan ini harus mulai dilakukan.
Tampaknya Siang Hu-hoa tidak memperhatikan akan hal
itu, setelah berpikir sebentar dia berkata lagi:
"Terlepas kemungkinan mana yang akan terjadi, sekarang
sudah saatnya bagi kita untuk memeriksa seseorang"
"Siapa?"
"Kwee Bok!"
"Kakak misan Gi Tiok-kun?"
"Benar, bila kita tinjau dari keterangan yang tercantum
dalam catatan tersebut, bukankah dia termasuk orang yang
penuh tanda tanya?"
"Diantara kalian semua, siapa yang merasa pernah kenal
dengan orang ini?" Nyo Sin segera bertepuk tangan dan
bertanya kepada anak buahnya.
Ada empat orang opas berdiri berjaga didepan pintu, salah
seorang diantaranya segera menyahut:
"Aku kenal!"
"Apa pekerjaannya?"
"Dia adalah seorang tabib, tempat prakteknya di selatan
kota, konon ilmu pertabibannya sangat hebat, hingga kini
sudah banyak pasiennya yang berhasil disembuhkan"
"Kalian berempat cepat pergi mencarinya dan bawa dia
kemari" tukas Nyo Sin cepat.
"Baik!" sahut tiga orang opas itu.
"Membawanya kemari?" salah seorang opas itu bertanya
"Goblok, kau anggap tempat ini tempat apa?"
"Perpustakaan Ki po cay!" jawab opas itu tertegun.

279
"Memangnya perpustakaan Ki po cay adalah tempat untuk
melakukan interogasi terhadap tersangka?"
"Bukan!"
"Jadi menurutmu tempat mana yang cocok untuk
melakukan interogasi?"
"Kantor polisi!"
"Goblok, kalau begitu segera cari orang itu dan seret ke
kantor polisi!"
"Baik!" buru-buru opas itu mengundurkan diri diikuti tiga
orang rekan lainnya,
"Aku rasa ada baiknya kita pun ikut ke sana" tiba-tiba Siang
Huhoa berkata.
"Tidak usah, mereka berempat termasuk opas yang handal,
untuk menghadapi Kwee Bok seorang rasanya lebih dari
cukup"
"Seandainya Kwee bok pun jelmaan dari laron penghisap
darah..........."
"Ditengah hari bolong macam begini, aku percaya setan
iblis tidak akan mampu mengeluarkan kesaktiannya, bukankah
terbukti dengan Gi Tiok-kun tadi? Dia pun tidak mampu
berbuat banyak terhadap kita" tukas Nyo Sin sambil tertawa.
Siang Huhoa hanya tersenyum tanpa menanggapi.
Kembali Nyo Sin berkata:
"Apalagi saat ini masih ada satu persoalan lain yang sedang
menanti kita semua"
"Oya?"
"Sekarang Jui Pakhay sudah terbukti mati, itu berarti ke
dua pucuk surat wasiat peninggalannya harus dibuka dan
diperiksa isinya."

280
"Maksudmu sekarang juga kita harus menghadapi Ko Taysiu?"
"Bukankah diatas sampul surat wasiat itu sudah tertulis
jelas, surat itu harus dibuka sendiri oleh Ko tayjin?"
Siang Huhoa mengangguk, dia memang belum melupakan
hal ini.
"Siapa tahu dari dalam surat wasiatnya, kita bisa menggali
lebih banyak keterangan dan petunjuk yang berharga" kata
Nyo Sin lagi. "Yaa, mungkin....."
Hampir berbarengan waktu mereka bertiga segera beranjak
pergi dari situ, jelas mereka semua ingin secepatnya tahu apa
yang sebenarnya yang ditulis Jui Pakhay didalam ke dua pucuk
surat wasiatnya.
0-0-0
Angin masih berhembus kencang, hujan pun masih turun
dengan derasnya, kabut tebal menyelimuti sepanjang jalan
raya, membuat pemandangan kabur dan suasana sepi
Siang Hu-hoa, Tu Siau-thian maupun Nyo Sin merasakan
pula keseriusan suasana yang mencekam perasaan mereka.
Tanpa mengucapkan sepatah kata pun mereka berjalan
menelusuri jalan raya, dengan wajah murung dan berat
mereka meniti jalan raya itu, siapa pun tidak ingin bicara,
semua orang terpekur dalam lamunan masing masing.
Saat ini mereka hanya ingin tiba di kantor polisi
secepatnya, ingin segera bertemu dengan pembesar Ko dan
ikut membaca isi surat wasiat peninggalan Jui Pakhay.
Sekarang mereka bertiga sudah tiba disebuah tikungan
jalan, pintu gerbang kantor polisi sudah terlihat di depan
mata.

281
Ketika mereka sedang mempercepat langkah kakinya,
mendadak dari arah belakang terdengar seseorang mengejar
sambil berteriak memanggil:
"Siang tayhiap! Nyo tayjin! Tu tayjin!"
Seketika Siang Hu-hoa, Nyo Sin dan Tu Siau-thian
menghentikan langkahnya seraya berpaling, tapi begitu
melihat siapa yang muncul, mereka bertiga segera tertegun
dan berdiri melongo.
Biasanya hanya orang yang kenal akrab dengan mereka
yang akan memanggil dengan cara begitu, tapi kenyataannya,
orang itu terasa sangat asing bagi mereka bertiga.
Orang itu masih muda, tampan dan berpakaian sederhana.
"Kelihatannya orang ini tidak mirip anak buahmu" ujar
Siang Huhoa sambil berpaling ke arah Nyo Sin.
"Aku malah sama sekali tidak kenal dengan orang itu"
sahut Nyo Sin seraya menggeleng.
"Saudara Tu juga tidak kenal?" Siang Huhoa kembali
berpaling ke arah Tu Siau-thian.
Dengan cepat opas Tu menggeleng.
"Kalau begitu aneh sekali" ujar Siang Huhoa lebih jauh,
"kalau kita semua tidak kenal dengannya, kenapa dia justru
kenal dengan kita bertiga?"
"Aku malah mengira dia adalah sahabatmu" kata Tu Siauthian.
"Aku malah merasa asing sekali dengan orang ini"
"Oya?"
Sementara pembicaraan masih berlangsung, orang itu
sudah menyusul tiba, sambil menghentikan langkahnya
dihadapan Nyo Sin, dia berdiri dengan napas terengah-engah.

282
"Siapa kau?" dengan mata melotot Nyo Sin segera
menegur.
"Siaubin adalah Kwee Bok!" jawab pemuda itu sambil
terengah.
Untuk kesekian kalinya Nyo Sin berdiri tertegun.
Rasa heran dan tidak habis mengerti pun segera
menyelimuti wajah Siang Huhoa serta Tu Siau-thian, tanpa
terasa mereka berdua sama-sama mengawasi pemuda yang
mengaku bernama Kwee Bok itu tanpa berkedip.
Pemuda yang bernama Kwee Bok ini tidak mirip seorang
yang jahat.
Setelah sekian lama Nyo Sin mengawasi pemuda itu
dengan termangu, akhirnya dia berseru keras:
"Kwee bok? Jadi kau yang bernama Kwee Bok?"
"Benar"
"Kepandaian yang hebat!" puji Nyo Sin tiba-tiba.
Kali ini giliran Kwee Bok yang dibuat tertegun dan tidak
habis mengerti.
Terdengar Nyo Sin berkata lebih jauh:
"Keempat orang anak buahku adalah empat opas yang
handal, sungguh tidak kusangka secepat itu kau berhasil
merobohkan mereka semua"
"Nyo tayjin, apa yang kau maksud?" seru Kwee Bok
keheranan.
Nyo Sin tertawa dingin.
"Bagus, bagus sekali monyet kecil!" serunya, "sampai
sekarangpun kau masih berani berlagak pilon?"

283
Mendadak dia menggenggam gagang goloknya dan siap
diloloskan, untung Tu Siau-thian yang berada disampingnya
mengetahui hal ini dan segera menahan tangannya.
Dengan mata mendelik Nyo Sin segera berpaling ke arah
Tu Siau-thian, baru saja dia hendak membentak agar
melepaskan tangannya, opas itu sudah berkata duluan kepada
Kwee Bok:
"Apakah kau telah bersua dengan ke empat opas yang
kami kirim untuk mencarimu?"
"Tidak!" sahut Kwee Bok seraya menggeleng.
"Lantas kau hendak ke mana sekarang?" kembali Tu Siauthian
bertanya
"Kantor polisi"
"Mau apa pergi ke kantor polisi?"
"Apakah hendak menyerahkan diri?" timbrung Nyo Sin
"Menyerahkan diri?" Kwee Bok tertegun.
"Yaa atau tidak?" desak Nyo Sin lebih jauh.
Tampaknya Kwee Bok tidak habis mengerti dengan
pertanyaan itu, dia berdiri dengan wajah tercengang, bingung
dan tidak tahu apa yang mesti dijawab.
Baru saja Nyo Sin akan mendesak lebih jauh, kembali Tu
Siau-thian menarik tangannya sembari berkata:
"Lebih baik kita dengarkan dulu penjelasannya"
Nyo Sin mendengus dingin dan terpaksa membungkam diri.
"Ada urusan apa kau datangi kantor polisi?" tanya Tu Siauthian
kemudian.
"Tadi kakek Gi datang ke kantor praktekku di selatan kota,
mengabarkan kalau kalian telah membawa piaumoay ku ke

284
kantor polisi, maka aku segera menyusul kemari untuk
mencari tahu apa masalahnya"
"Jadi kau adalah piauko nya Gi Tiok-kun?"
"Benar"
"Lalu apa pula hubungan kakek Gi dengan Gi Tiok-kun?"
"Dia adalah salah satu famili jauh adik misanku, orangnya
sudah tua dan sangat miskin, karena kasihan melihat
kondisinya maka sejak dua tahun terakhir piaumoay
menerimanya di rumah dan dipekerjakan sebagai salah satu
pembantunya"
"Apa lagi yang dia katakan kepadamu?"
"Beritahu kepadaku apa alasan kalian menangkap
piaumoay ku"
"Berapa usia kakek Gi?" tanya Tu Siau-thian lebih jauh.
"Enam puluh tahun lebih"
"Enam puluh tahun?" kembali Nyo Sin menimbrung.
"Usia yang pasti tidak terlalu jelas"
Kontan Nyo Sin tertawa dingin.
"Hmmm, heran, usianya sudah tua ternyata telinganya
masih tajam dan larinya masih cepat, belum lagi ke empat
orang anak buahku tiba, ia sudah tiba duluan"
"Menurut penuturannya, kenapa kami menangkap Gi Tiokkun?"
kembali Tu Siau-thian bertanya.
"Konon dia ditangkap karenakalian menuduhnya sebagai
pembunuh Jui Pakhay"
"Tepat sekali!"
"Tidak mungkin!" teriak Kwee Bok lantang, "dia bukan
manusia type begitu, mana mungkin dia adalah seorang
pembunuh, apalagi pembunuh suami sendiri?"

285
"Benar atau tidak percuma diperdebatkan sekarang, lebih
baik kita tunggu semua bukti sudah terkumpul karena sampai
sekarang pun kami belum yakin seratus persen"
"Kalau memang belum yakin, kenapa dia tetap ditangkap?"
"Sebab dialah satu satunya orang yang paling mungkin jadi
pembunuh berdarah itu"
"Jadi kalian utus orang untuk memanggilku karena
menganggap akupun patut dicurigai sebagai salah satu
pembunuhnya?"
Tu Siau-thian mengangguk membenarkan.
"Atas dasar apa kalian menuduh aku?" protes Kwee Bok.
Baru saja Tu Siau-thian hendak menjawab, mendadak Nyo
Sin bertanya pula:
"Darimana kau bisa mengenali kami?"
"Rasanya tidak banyak orang disini yang tidak kenal
dengan tayjin berdua"
"Tapi aku tidak kenal kau"
Kwee Bok tertawa getir.
"Aku ini manusia macam apa, tentu saja Nyo tayjin tidak
bakal kenal aku. Seperti juga penduduk kota ini jarang yang
pernah bersua dengan Ko tayjin, tapi hampir setiap kepala
tahu akan nama besar Ko tayjin, sebaliknya Ko tayjin sendiri
belum tentu akan mengetahui penduduk kota ini, jangan lagi
namanya, bagaimana bentuk mukanya pun tidak bakal tahu"
Dalam hati kecilnya Nyo Sin merasa senang sekali dengan
pujian itu, tapi dengan lagak sok keren kembali ia menegur:
"Baru pertama kali ini Siang tayhiap berkunjung kemari,
darimana kau bisa mengenalinya?"

286
"Kakek Gi yang beritahu kepadaku, katanya Jui Gi telah
pulang bersama seorang pendekar besar yang dipanggil Siang
tayhiap!" jawab Kwee Bok tenang.
"Kalau hanya mendengar kata orang, kenapa kau bisa
mengenali bahkan berteriak memanggil meski masih berada
dikejauhan?"
"Sebab kakek Gi telah melukiskan bentuk badan dan bentuk
wajah Siang tayhiap"
"Apalagi yang dia katakan kepadamu?" smdir Nyo Sin
sambil tertawa dingin.
"Tidak ada lagi"
"Tapi suara panggilanmu tadi kedengaran begitu kenal
dengan hangat"
"Biarpun baru pertama kali ini kami bersua, namun
sebelumnya aku sudah kerapkali mendengar orang
menyinggung tentang nama besar Siang tayhiap"
"Siapa yang pernah membicarakan masalah ini?" tanya Nyo
Sin.
"Pasien yang datang berobat, aku tidak pernah berkelana di
dalam dunia persilatan tapi pasien yang datang mencariku
banyak sekali merupakan anggota dunia persilatan"
"Oya?"
"Dari penuturan mereka, sudah lama aku tahu manusia
macam apakah Siang tayhiap ini, asal Siang tayhiap mau
tampilkan diri niscaya segala masalah akan menjadi beres dan
tuntas"
Nyo Sin mendengus tidak senang hati.
"Maksudmu, kalau kami yang selesaikan persoalan ini maka
penyelesaiannya tidak beres dan tidak tuntas?" serunya.
"Aku tidak pernah berkata begitu"

287
"Tapi dalam hati kecilmu kau berpendapat demikian
bukan?"
"Tidak berani!"
"Kau anggap kami sudah salah menangkap, salah menuduh
Gi Tiok-kun?" kembali Nyo Sin bertanya.
"Salah menuduh atau tidak persis seperti apa yang telah
dikatakan Tu tayjin tadi, harus menunggu pembuktian serta
lengkapnya penyelidikan, tapi berbicara dari sudut pandangku,
sampai detik terakhir pun aku tetap beranggapan bahwa
piaumoay ku bukanlah manusia semacam itu!"
"Bagaimana dengan kau sendiri?" Kwee Bok tertawa getir.
"Aku? Hingga detik inipun aku masih belum tahu apa
gerangan yang sebenarnya telah terjadi"
"Hmmm, kalau didengar dari nada pembicaraanmu, seakan
kau benar-benar tidak tahu"
"Tapi di dalam kenyataan aku memang tidak tahu"
Nyo Sin tertawa dingin, hanya tertawa dingin.
Siang Huhoa yang selama ini hanya membungkam,
mendadak memecahkan keheningan dengan bertanya kepada
Kwee Bok:
"Tanggal dua belas bulan tiga hari itu, benarkah kau telah
terkunjung ke perpustakaan Ki po cay?"
"Benar!"
"Gi Tiok-kun yang mengundangmu?"
"Darimana kau bisa tahu? Apakah piaumoay ku yang
mengatakan?" tanya Kwee Bok keheranan.
Bukannya menjawab, Siang Huhoa bertanya lebih lanjut:
"Ada urusan apa Gi Tiok-kun mengundangmu untuk datang
mengunjungi perpustakaan Ki po cay?"

288
"Memeriksa pasien"
"Siapa pasiennya?"
"Jui Pakhay!"
"Atas ide siapa ini?"
"Adik misanku!"
"Apakah Jui Pakhay mengetahui rencana ini?"
"Tidak tahu"
"Kenapa dia mencari mu secara mendadak?" Siang Hu-hoa
mendesak lagi.
"Dia bilang selama berapa hari belakangan, pikiran dan
perasaan suaminya sangat kalut, tingkah lakunya sering diluar
batas kewajaran bahkan kerap mengucapkan kata-kata yang
aneh dan mengherankan, dia curiga suaminya mengidap sakit
gila atau tidak waras otaknya, maka aku diundang untuk
melakukan pemeriksaan"
"Menurut kau penyakit apa yang diidapnya?"
"Menurut pandanganku, dia sehat, sama sekali tidak
mengidap penyakit apa pun"
Siang Huhoa segera berpaling ke arah Nyo Sin seraya
bertanya:
"Apakah dalam catatan tersebut, dia menulis begitu?"
"Sejak awal aku sudah tahu kalau isi catatan itu sama sekali
tidak ada masalah"
"Catatan apa sih yang kalian maksudkan?" tanya Kwee Bok
keheranan.
"Catatan peninggalan Jui Pakhay yang berisikan semua
pengalaman yang dialaminya sejak tanggal satu bulan tiga
hingga tanggal lima belas bulan tiga"

289
"Dia pun mencatat peristiwa yang dialaminya pada tanggal
dua belas bulan tiga?"
"Benar, bahkan dicatat dengan sangat terperinci" sahut
Siang Hu-hoa sambil mengangguk.
"Ooh...?"
"Selesai memeriksa penyakitnya, benarkah Jui Pakhay
mengundangmu untuk makan bersama di rumahnya?"
"Benar"
"Benarkah Gi Tiok-kun turun tangan sendiri ke dapur
dengan mempersiapkan sebuah hidangan yang disebut bola
udang masak madu?"
Kembali Kwee Bok mengangguk.
"Hidangan tersebut memang merupakan hidangan
faforitnya, dia paling senang memasak masakan itu"
"Sewaktu Jui Pakhay makan bola udang masak madu itu,
benarkah telah terjadi suatu peristiwa yang sangat aneh?"
"Apa dia menulis begitu di dalam buku catatannya?"
"Benar"
"Peristiwa itu memang aneh sekali, ketika dia menyumpit
sebiji bola daging dan baru saja dimasukkan mulut dan
menggigitnya sekali, tiba tiba hidangan tersebut dimuntahkan
kembali, kemudian dia muntah tiada hentinya sambil menuduh
bola udang itu bukan hidangan udang melainkan bola laron
penghisap darah"
"Apakah memang begitu dalam kenyataannya?"
"Mana mungkin?" bantah Kwee Bok cepat, "sebenarnya aku
yakin benar dengan hasil pemeriksaan nadiku, tapi setelah
menyaksikan ulah serta tingkah lakunya, mau tidak mau aku
menjadi sangsi juga"

290
"Apa yang kau sangsikan?" "Aku curiga otaknya memang
kurang waras, sekalipun dari denyut nadi bisa dicari sumber
dari kekalutan itu, namun jika penyakitnya timbul pada
otaknya maka akan jadi sulit untuk menemukan sumber
penyakitnya hanya dari pemeriksaan denyut nadi, atau dengan
perkataan lain hasil diagnosaku sebelumnya memang tidak
keliru"
"Kalau memang sudah muncul kecurigaan semacam itu,
kenapa kau tidak lakukan pemeriksaan sekali lagi dengan lebih
teliti?"
Kwee Bok tertawa getir.
"Sebenarnya aku pun punya rencana untuk berbuat begitu,
tapi sejak peristiwa itu, pada hakekatnya dia sudah
menganggap kami berdua sebagai siluman atau setan iblis,
setelah menghardik kami agar tidak mendekatinya, dia
langsung melarikan diri dari meja perjamuan"
"Jadi dia benar-benar telah menganggap kalian sebagai
siluman atau setan iblis?" Nyo Sin menatap tajam pemuda
tampan itu.
"Kenapa dia bisa berpendapat begitu?" tanya Kwee Bok
tercengang.
"Seharusnya kau mengerti akan hal ini" "Tapi aku benar
benar tidak tahu" sekali lagi Kwee Bok tertawa getir.
"Hmmm, pandai amat kau berlagak pilon" jengek Nyo Sin.
Kwee Bok menghela napas panjang, selang sesaat
kemudian dia baru bertanya lagi: "Jui Pakhay benar benar
telah mati?" "Kenapa kau masih belum yakin kalau dia telah
mati?"
"Kenapa pula Nyo tayjin begitu yakin kalau kematian Jui
Pakhay benar-benar ada sangkut pautnya dengan kami
berdua?" Kwee Bok balik bertanya sambil menghela napas.

291
"Karena dua alasan"
"Apa itu alasannya?"
"Pertama, didalam catatan yang ditinggalkan Jui Pakhay,
dia pernah menyinggung kalau kalian berdua punya rencana
akan menghabisi nyawanya!"
"Soal ini................"
Tidak menunggu pemuda itu membantah, Nyo Sin berkata
lebih jauh:
"Kedua, jenasah Jui Pakhay ditemukan didalam sebuah
ruang kecil persis dibelakang kamar tidur mereka suami istri
berdua, untuk bisa mencapai ruangan kecil itu, orang harus
melalui kamar tidurnya lebih dulu, disaat kami menjumpai
mayat dari Jui Pakhay, kami pun menemukan juga sejumlah
laron penghisap darah"
"Laron penghisap darah?" "Beribu-ribu ekor laron
penghisap darah sedang menghisap darah jenasah dan
melalap daging mayat"
"Benarkah ada kejadian seperti ini?" seru Kwee Bok dengan
tubuh bergidik.
Kalau ditinjau dari lagaknya, dia seakan memang benarbenar
tidak mengetahui akan peristiwa ini.
Sorot mata Siang Hu-hoa tidak pernah bergeser dari raut
muka Kwee Bok, dia memperhatikan terus setiap perubahan
mimik muka pemuda itu, setelah dicermati sampai disitu,
tanpa terasa pikirnya:
"Apa benar peristiwa ini memang sama sekali tidak ada
sangkut pautnya dengan mereka?"
Sementara dia masih termenung, Nyo Sin telah berkata
lebih jauih:

292
"Kecuali mereka suami istri berdua, aku tidak percaya kalau
masih ada orang luar yang bisa menyembunyikan mayat serta
sejumlah laron penghisap darah didalam ruangan kecil itu
tanpa ketahuan orang lain"
"Aku pun tidak percaya" sahut Kwee Bok setelah
termenung sejenak.
"Bila sang korban adalah satu diantara sepasang suami istri
tersebut, bukankah orang yang tersisa merupakan tersangka
yang pantas paling dicurigai?"
Mau tidak mau Kwee Bok harus mengangguk juga.
"Jadi berdasarkan dua alasan tersebut maka kau
menangkap kami berdua?" tanyanya.
"Memangnya dengan dua alasan tersebut masih belum
cukup?"
"Benar, memang sudah lebih dari cukup" Kwee Bok
mengangguk.
"Kalau memang begitu, ayoh ikut kami kembali ke kantor
polisi" seru Nyo Sin sambil mengulurkan tangan kirinya dan
mencengkeram bahu pemuda itu.
Kwee Bok tidak membiarkan bahunya ditangkap orang,
belum sampai tangan pembesar itu menyentuh badannya, dia
sudah menarik diri sambil bergeser mundur.
"Kunyuk jelek, kau berani melawan?" kontan saja Nyo Sin
berkaok kaok gusar.
"Aku bukannya bermaksud melawan, tapi ada yang mesti
kusampaikan dulu" sahut Kwee Bok sambil menggoyangkan
tangannya berulang kali.
"Kalau ada yang hendak disampaikan, katakan saja setelah
tiba di kantor polisi"

293
"Kalau harus menunggu sampai waktu itu, mungkin
keadaan sudah terlambat"
"Tidak ada gunanya kau berusaha mengulur waktu......."
Mendadak Siang Huhoa menyela, ujarnya:
"Biarkan dia sampaikan dulu apa yang hendak dikatakan"
Nyo Sin memandang Siang Huhoa sekejap, akhirnya
dengan perasaan apa boleh buat sahutnya:
"Baiklah kalau begitu"
Sesudah menghembuskan napas panjang ujar Kwee Bok:
"Terlepas Nyo tayjin mau percaya atau tidak, perkataanku
ini harus kusampaikan dulu sejelasnya"
"Kalau ingin berbicara, cepat katakan" tukas Nyo Sin tak
sabar.
"Aku sama sekali tidak membunuh Jui Pakhay!"
"Mungkin kau tidak, tapi Gi Tiok-kun yang melakukan
pembantaian tersebut"
"Aku yakin peristiwa ini sama sekali tidak ada sangkut
pautnya dengan adik misanku"
"Oya?" jengek Nyo Sin sambil tertawa dingin.
"Jika kami yang melakukan pembunuhan itu, kenapa
mayatnya tidak kami musnahkan saja untuk menghilangkan
jejak, kalau dibilang peristiwa itu merupakan hasil perbuatan
pribadi, akupun tidak mempunyai alasan untuk berbuat
demikian, terlebih lagi tidak mungkin akan kumasukkan
jenasahnya ke dalam ruangan kecil itu. Apalagi jika
pembunuhan ini dilakukan piaumoay ku, dia terlebih tak
mungkin akan meninggalkan mayatnya ke dalam ruangan
yang dekat dengan kamar tidur pribadinya"

294
"Dalam hal ini kau tidak perlu menguatirkan cara kerja kami
sebab kami sudah mempunyai alasan yang paling bagus untuk
menerangkan kesemuanya itu"
"Aku percaya, tapi aku yakin semua penjelasan kalian
hanya berdasarkan perkiraan"
Nyo Sin tidak menyangkal akan hal tersebut.
Terdengar Kwee Bok berkata lebih jauh:
"Nyo tayjin, pernahkah kau mencurigai seseorang lain yang
bisa jadi sedang menfitnah kami berdua atau ada orang lain
yang menjadikan kami berdua sebagai kambing hitam atas
perbuatannya?"
"Hmm, siapa yang sudi mengkambing hitamkan kalian
berdua?" jengek Nyo Sin sambil tertawa dingin.
"Mungkin saja semuanya ini merupakan ulah dari Si Siangho"
"Si Siang-ho?" Nyo Sin mengerutkan dahinya, "nama ini
rasanya seperti pernah kudengar disuatu tempat"
"Si Siang-ho adalah pemilik lama gedung perpustakaan Ki
po cay ini" Tu Siau-thian segera menerangkan.
Begitu dijelaskan, Nyo Sin seakan teringat kembali akan
orang tersebut, serunya tertahan:
"Oooh, rupanya dia!"
Sementara itu Tu Siau-thian telah berpaling ke arah Siang
Hu-hoa sambil bertanya:
"Saudara Siang, pernah mendengar nama orang ini?"
Siang Huhoa manggut-manggut.
"Si Siang-ho dengan sebilah pedang baja dan tiga buah
gelang terbangnya sudah lama menjagoi dunia persilatan,

295
hampir semua anggota persilatan pernah mendengar nama
besarnya itu"
"Menurut apa yang kuketahui, dia mempunyai sebuah
julukan yaitu Pedang baja gelang terbang!" Tu Siau-thian
kembali menjelaskan.
Bab 16.
Pertaruhan Gedung perpustakaan Ki po cay.
"Berapa tahun belakangan sudah jarang kami dengar
tentang kabar beritanya" kata Siang Huhoa.
"Menurut pendapat saudara Siang, manusia macam apakah
dia ini?"
"Aku tidak pernah bertemu dengannya jadi tidak terlalu
jelas bagaimana tabiat serta sepak terjangnya, tapi menurut
apa yang kudengar, dia terhitung seorang hiapkek, pendekar
sejati"
"Moga-moga saja kesemuanya itu memang sebuah
kenyataan"
"Jadi kau tidak kenal dengan orang ini?"
Tu Siau-thian menggeleng.
"Kami hanya pernah bertemu beberapa kali ditengah jalan"
"Apakah dia mempunyai ganjalan atau sakit hati dengan Jui
Pakhay?"
"Kalau bukan gara-gara Jui Pakhay, adik misanku sudah
lama menjadi bininya" Kwee Bok segera menimbrung.
"Oooh, jadi mereka adalah musuh cinta?"
"Boleh dibilang begitu"
"Kalau begitu aneh sekali....." seru Siang Huhoa lebih jauh.

296
"Apanya yang aneh?" sela Nyo Sin.
"Kenapa Si Siang-ho rela menjual perpustakaan ki po cay
miliknya ini kepada musuh cintanya?"
Ehmmm, betul juga, akupun merasa kejadian ini rada
aneh" kata Nyo Sin setelah termenung sejenak.
Kwee Bok segera menerangkan:
"Ketika Si Siang-ho akan menjual gedung perpustakaan ki
po cay ini kepada Jui Pakhay, dia sama sekali tidak tahu kalau
Jui Pakhay adalah musuh cintanya, apalagi dalam kenyataan
Ki po cay tidak pernah dijual kepada Jui Pakhay"
"Kalau bukan dijual, memangnya dihibahkan kepadanya?"
"Bukan, bukan dihibahkan tapi diserahkan dengan begitu
saja karena kalah bertaruh" kata Kwee Bok sambil
menggeleng.
"Maksudmu gedung perpustakaan Ki po cay diperoleh Jui
Pakhay dari tangan Si Siang-ho karena dia menang bertaruh?"
"Begitulah kenyataannya"
"Aku pernah mendengar juga tentang hal ini" sela Tu Siauthian,
"Ki po cay memang diperoleh Jui Pakhay setelah
menangkan pertaruhan dari tangan Si Siang-ho"
"Wah, sepak terjangnya ternyata hebat sekali"
"Sebenarnya orang ini gemar sekali berjudi, bertaruh
merupakan kegemarannya yang paling utama, biasanya kalau
dia sudah mulai berjudi maka barang taruhannya pasti sangat
mengerikan, mempertaruhkan sebuah perkampungan
memang merupakan satu angka pertaruhan yang
menakutkan"
"Oooh, tidak kusangka kalau kecanduan Jui Pakhay pada
bertaruh demikian hebatnya"

297
"Kalau aku sih sudah pernah menduga sampai ke situ" kata
Tu Siau-thian.
"Waktu itu, dia memang berniat untuk menantang Si Siangho
bertaruh habis habisan!" Kwee Bok menambahkan.
"Kenapa sampai muncul niat seperti itu?" tanya Siang Huhoa
keheranan.
"Sebab sudah lama dia mengincar gedung Ki po cay bahkan
sangat berminat untuk menguasahinya"
"Kalau begitu gedung Ki po cay jelas merupakan sebuah
tempat yang sangat bagus dan hebat"
"Sebelum terjadinya peristiwa itu" sambung Kwee Bok lebih
lanjut, "sudah beberapa kali dia mengutus orang untuk
mengadakan pembicaraan dengan Si Siang-ho, dia berencana
untuk membeli gedung Ki po cay dengan harga yang pantas"
"Dan Si Siang-ho enggan menjual kepadanya?"
"Benar, penawaran itu ditolak mentah-mentah"
"Kalau tidak punya uang, tidak nanti orang itu memiliki
sebuah perkampungan sebesar itu, kalau seseorang punya
uang banyak, tentu saja dia tidak bakal menjual
perkampungan miliknya"
"Tapi waktu itu dia sudah tidak seberapa punya uang"
“Oya?"
"Dulunya Ki po cay adalah sebuah toko yang menjual aneka
mutiara, tapi saat itu usaha dagangnya sudah nyaris bangkrut"
Kwee Bok menerangkan.
Kemudian setelah berhenti sejenak, lanjutnya:
"Si Siang-ho sendiripun amat tergila-gila dengan berjudi,
dia pun tidak pandai berdagang, jauh sebelum kejadian
tersebut didalam gedungnya yang dinamakan penyimpan
mestika nyaris sudah tidak tersisa sebuah mestika pun"

298
"Kalau memang sudah nyaris bangkrut, mengapa Si Siangho
segan untuk menjual gedungnya itu?" ujar Siang Hu-hoa
keheranan.
"Sebab perkampungan itu merupakan warisan dari
leluhurnya"
"Kalau sudah tahu merupakan warisan dari leluhurnya,
mengapa pula dia dijadikan barang taruhan?"
"Sebab pada waktu itu dia sudah kelewat banyak minum
arak, bila seseorang sudah mabuk berat, seringkali
perbuatannya bisa mengakibatkan kejadian fatal"
"Jui Pakhay yang suruh dia mempertaruhkan
perkampungan Ki Po cay atau dia sendiri yang berniat
mempertaruhkan perkampungannya?"
"Pada mulanya yang mereka pertaruhkan hanya uang,
sejumlah uang yang lebih dari cukup untuk membeli seluruh
perkampungan Ki po cay"
"Waktu itu apakah Si Siang-ho memiliki jumlah uang
sebanyak itu?"
"Tidak punya"
"Saat itu dia baru mabuk tiga puluh persen, semestinya dia
tahu bahwa dirinya tidak memiliki uang sebanyak itu untuk
diper-taruhkan?"
"Mungkin dia menyadari akan hal tersebut, tapi kemudian
Jui Pakhay memanasi hatinya dengan perkataan dan minta dia
menggunakan perkampungan Ki po cay sebagai barang
taruhan"
"Tapi sepantasnya dia waspada dan hati-hati sebelum
mengambil keputusan" kata Siang Hu-hoa.
"Sayangnya dia sudah mabuk duluan, apalagi ditambah
wataknya yang pingin menang sendiri, dia takut dipandang
hina orang lain terutama dikala itu banyak sekali yang hadir

299
dan menyaksikan pertaruhan tersebut, kuatir orang
mengatakan dia bernyali kecil, takut kalah, ditambah lagi
diapun menganggap dirinya belum tentu akan kalah, maka
tantangan itu diterimanya tanpa dipikir lagi"
Siang Hu-hoa cukup mengetahui keadaan seperti ini,
bukankah pemikiran semacam itu selalu dimiliki setiap
penjudi?
Terdengar Kwee Bok berkata lebih jauh:
"Tampaknya dia tidak sadar, kecuali dia tolak taruhan
tersebut, kalau tidak, dapat dipastikan dia pasti akan kalah
ditangan Jui Pakhay"
"Tapi setahuku, dibidang pertaruhan kemampuan yang
dimiliki Jui Pakhay tidak terlampau hebat atau luar biasa"
"Demikian pula dengan keadaan Si Siang-ho, apalagi saat
itu dia sudah sangat mabuk, ditambah lagi Jui Pakhay memiliki
uang kontan yang lebih dari cukup untuk menantangnya
bertaruh"
"Justru kondisi semacam inilah merupakan kunci yang
paling utama untuk meraih sebuah kemenangan"
"Itulah sebabnya kecuali dia bernasib luar biasa bagusnya
dan selalu meraih kemenangan dalam setiap taruhan, kalau
tidak, kekalahan sudah menunggunya di depan mata" Siang
Huhoa manggut manggut. "Benar, sesungguhnya posisinya
waktu itu sangat tidak menguntungkan, sebab Jui Pakhay
boleh kalah berulang kali namun baginya dia hanya bisa kalah
satu kali dari Jui Pakhay"
"Ternyata nasibnya memang jelek sekali, pertaruhan baru
saja dimulai, dia sudah kalah ditangan Jui Pakhay" Kwee Bok
menerangkan.
"Bukankah dengan begitu pertaruhan tidak bisa dilanjutkan
lagi?"

300
"Yaa, selain memiliki perkampungan Ki po cay, dia memang
sudah tidak memiliki secuwil benda pun yang bisa digunakan
sebagai barang taruhan"
"Ehmm, sepintas lalu pertaruhan ini kelihatannya seakan
adil sekali!"
"Padahal sama sekali tidak adil" seru Kwee Bok, "sebab
sejak awal Jui Pakhay memang sengaja mengatur jebakan itu,
dia sengaja meloloh Si Siang-ho dengan arak agar cepat
mabuk, kemudian sengaja mengajaknya bertaruh,
kesemuanya ini merupakan satu rancangan siasat yang luar
biasa"
"Tentunya Si Siang-ho juga menyadari akan hal itu bukan?"
"Waktu itu dia sih tidak mengatakan sekecap katapun,
perkampungan Ki po cay langsung dia serahkan kepada Jui
Pakhay, bagaimanapun dia merupakan seorang lelaki yang
berani berbuat berani pula menerima resiko"
"Setelah kehilangan perkampungan Ki po cay, dengan
sendirinya dia pun tidak akan berhasil menangkan Gi Tiok-kun
dari tangan Jui Pakhay?" kata Siang Hu-hoa.
"Benar, saat itulah dia baru betul-betul naik pitam"
"Terjadinya ke dua peristiwa itu berselisih berapa lama?"
"Paling banter cuma dua bulan, itulah sebabnya Si Siang-ho
menganggap semua peristiwa ini merupakan serangkaian
rencana keji yang sengaja diatur Jui Pakhay dengan tujuan
untuk mendapatkan adik misanku"
"Tindakan apa yang kemudian dilakukan Si Siang-ho untuk
menuntut balas atas sakit hati ini?"
"Dia tidak melakukan pembalasan, pada hari dimana adik
misanku menikah dengan Jui Pakhay, dia segera bebenah dan
diam diam pergi meninggalkan tempat ini"
"Dia pergi ke mana?"

301
"Tidak pernah diungkapkan, juga tidak seorang manusia
pun yang memperdulikan dirinya"
Tidak sulit bagi Siang Huhoa untuk membayangkan
suasana seperti itu, dingin atau hangatnya hubungan sesama
manusia seringkali ada hubungan yang erat dengan banyak
dan tidaknya kekayaan yang kau miliki, semakin kau banyak
uang dan kaya raya, biasanya orang lain akan berusaha untuk
mendekatimu dan bersikap hangat kepadamu, semakin sedikit
kekayaan yang kau miliki, semakin dingin pula sikap orang
terhadapmu.
"Aaai, kelihatannya orang ini memang termasuk orang yang
berani berbuat, berani pula menanggung akibatnya" kata
Siang Hu-hoa perlahan.
Tu Siau-thian yang selama ini hanya membungkam, kini
tidak kuasa lagi menahan rasa kesalnya, tiba tiba dia menyela:
"Kalau toh dia sudah pergi meninggalkan tempat ini, lantas
mengapa kau menghubungkan peristriwa tentang laron
penghisap darah dengan dirinya?”
"Karena sejak tiga bulan berselang dia sudah muncul lagi
disini" Kwee Bok menjelaskan.
Tu Siau-thian tertegun.
"Kembalinya dia kali ini bertujuan untuk mencari Jui Pakhay
dan membuat perhitungan dengannya" kata Kwee Bok lebih
jauh.
"Seandainya dia memang berniat membuat perhitungan
dengan Jui Pakhay, seharusnya hal ini dilakukan sedari dulu"
kata Tu Siau-thian.
"Tiga tahun berselang, dia tahu kemampuan yang
dimilikinya masih bukan tandingan dari Jui Pakhay"

302
"Apakah dalam tiga tahun terakhir dia telah berhasil
mempelajari suatu kepandaian silat yang tangguh?" tanya Tu
Siau-thian.
"Dalam hal ini aku kurang begitu tahu, mungkin saja dia
telah berhasil mempelajari sejenis ilmu silat yang sangat
tangguh, mungkin juga telah memperoleh sejenis ilmu sesat
yang hebat, yang pasti katanya dia mampu menghabisi nyawa
Jui Pakhay setiap waktu setiap saat"
"Waah, nampaknya perbuatan orang ini mencerminkan jiwa
seorang kuncu" tiba tiba Siang Hu-hoa tertawa.
"Maksudmu?"
"Orang bilang bila seorang kuncu ingin membalas dendam,
tiga tahun pun belum terlambat"
"Ooh, rupanya begitu maksudmu" kata Kwee Bok kemudian
sambil tertawa.
Mendadak Siang Huhoa menarik kembali senyumannya,
sambil mengawasi Kwee Bok dengan mata melotot, tegurnya:
"Kenapa kau bisa mengetahui urusannya dengan begitu
jelas?"
"Kapan kau pernah bersua dengannya? Kenapa pula dia
beritahukan segala sesuatunya kepadamu?" tanya Tu Siauthian
pula.
"Sebenarnya apa hubunganmu dengan dirinya?" Nyo Sin
menimbrung pula.
Karena ke tiga orang itu mengajukan pertanyaan hampir
bersamaan waktunya, untuk sesaat Kwee Bok jadi bingung,
dia tidak tahu pertanyaan mana yang harus dijawab terlebih
dulu.
Setelah menghela napas panjang, katanya perlahan:
"Si Siang-ho pernah menjadi pasienku!"

303
"Karena sakit apa dia mencarimu?" tidak tahan Nyo Sin
bertanya lagi.
"Tempo hari karena kurang hati hati dia masuk angin,
setelah minum obat yang kubuat sebanyak satu tiap lalu
beristirahat sejenak, kondisi badannya telah pulih kembali"
"Darimana kau bisa begitu yakin?"
"Sebab obat itu dimasak di rumahku" jawab Kwee Bok
Setelah berpikir sejenak kembali ujarnya:
"Setiap kali melihat aku sedang menganggur tidak ada
pekerjaan, dia selalu memaksaku untuk menemaninya minum
berapa cawan arak, menghadapi pasien yang tidak tahu
menyayangi kesehatan sendiri macam begini, saat itu aku
benar-benar dibuat serba salah"
"Akhirnya apakah kau menemaninya dia pergi minum
arak?"
"Menolak pun tidak ada gunanya"
"Kenapa?"
"Tenagaku tidak sekuat tenaganya, apalagi dia berbuat
demikianpun berdasarkan niat baik"
Maka dia pun memberitahukan semua rahasia tersebut
kepadamu?"
"Waktu bercerita, dia sudah berada dalam kondisi mabuk,
maka aku percaya semua yang dia tuturkan adalah perkataan
yang sejujurnya"
"Apakah dia jugamem beritahu kepadamu bahwa
kedatangannya kali ini bertujuan untuk membalas dendam?"
Kwee Bok mengangguk
Kembali Nyo Sin bertanya:

304
"Apakah dia sempat menyinggung masalah yang ada
hubungannya dengan laron penghisap darah?"
"Soal itu, tidak pernah"
"Selain kepada kami, apakah kau pernah memberitahukan
persoalan ini kepada orang lain?"
"Tidak pernah"
"Juga tidak pernah memberitahu kepada Jui Pakhay?"
"Selama ini antara aku dengan dia tidak pernah
berhubungan atau mengadakan kontak"
"Kau pun tidak pernah mendatangi perkampungan Ki po
cay?" desak Nyo Sin lebih jauh.
"Aku hanya pernah datang satu kali yaitu pada tanggal dua
belas bulan tiga, ketika itu aku diundang adik misanku untuk
memeriksakan kondisi kesehatan tubuhnya"
"Waktu itu kau toh punya peluang untuk menyampaikan
kabar tersebut kepadanya?"
"Waktu itu tidak terpikirkan olehku akan kejadian tersebut,
sewaktu aku mulai teringat dan akan sampaikan kabar
kepadanya, dia sudah anggap kami sebagai jelmaan siluman
atau setan iblis, untuk menghindar saja rasanya sudah tidak
sempat apalagi mau berbicara denganku, mendengarkan
perkataanku?"
"Ooh......" wajah Nyo Sin mulai menunjukkan kesangsian
dan keraguan.
"Setelah kejadian itu, apakah kau pernah berjumpa lagi
dengan Si Siang-ho?" tanya Tu Siau-thian kemudian
"Masih bertemu satu kali lagi"
"Lagi-lagi untuk memeriksakan kesehatan tubuhnya?"

305
"Benar, datang untuk memeriksakan diri, hanya kali ini dia
mengutus orang untuk mengundangku datang ke tempat
tinggalnya"
"Jangan-jangan perbuatannya?"
"Benar!"
"Kali ini dia sakit apa lagi?"
"Seperti yang lalu, masuk angin, hanya kali ini kondisinya
sedikit lebih parah"
"Dia tinggal di mana?" tiba-tiba Nyo Sin menyela.
"Sebuah rumah penginapan disebelah timur kota, konon
penginapan itu merupakan perusahaan miliknya"
"Apa nama penginapan itu?" desak Nyo Sin lebih jauh.
"Hun-lay!"
Nyo Sin segera berpaling ke arah Siang Hu-hoa dan
ajaknya:
"Bagaimana kalau kita mengunjungi rumah penginapan
Hun-lay?"
Siang Huhoa tidak berkata apa apa, dia pun tidak menolak
atau mengajukan usul lain.
"Siapa tahu disana kita akan menemukan lagi sesuatu"
sambung Nyo Sin.
Sorot matanya segera dialihkan ke wajah Kwee Bok, lalu
katanya lagi:
"Kau ikut bersama kami dan menjadi petunjuk jalan"
"Bolehkah aku tidak ikut serta?" pinta Kwee Bok sambil
tertawa hambar.
"Tentu saja tidak boleh, mulai sekarang tanpa seijinku,
jangan harap kau bisa berlalu dari hadapanku barang
setengah langkah pun"

306
"Nyo tayjin tidak usah kuatir" ucap Kwee Bok sambil
menghela napas, "sebelum duduknya persoalan menjadi jelas
dan tuntas, aku tidak akan pergi meninggalkan tempat ini"
"Memang paling bagus begitu, jadi masing masing tidak
perlu direpotkan oleh yang lain"
Kwee Bok tidak banyak bicara lagi, dia segera beranjak,
sikapnya sangat tenang dan sama sekali tidak memperlihatkan
perubahan apapun.
Ketika sikapnya yang tenang itu terlihat oleh Siang Huhoa,
Nyo Sin maupun Tu Siau-thian, tanpa terasa satu ingatan
melintas bersama dalam benak mereka.
Benarkah peristiwa berdarah ini sama sekali tidak ada
sangkut pautnya dengan dirinya? Benarkah semua kejadian ini
merupakan ulah dari Si Siang-ho?
Tanpa terasa mereka pun ikut beranjak dan mengikuti di
belakang tubuhnya.
Terlepas benar atau tidak, asal Si Siang-ho berhasil
ditemukan, sudah pasti akan diperoleh jawaban yang jelas,
mereka hanya berharap Si Siang-ho masih tetap berdiam di
rumah penginapan Hun-lay.
0-0-0
Rumah penginapan Hun-lay, sebuah nama yang sangat
indah, sayang letaknya sedikit diluar kota, disisi timur pintu
gerbang kota.
Jalanan menuju ke luar kota sangat tidak rata dan tidak
enak dilalui. Rumah penginapan itu meski dibangun tidak
terlalu dekat dengan kota namun tidak juga terhitung kelewat
jauh, asal langkah mereka agak cepat maka sebelum malam
menjelang tiba nanti, mereka masih sempat untuk balik ke
dalam kota.

307
Oleh sebab itu rumah penginapan Hun-lay bukan termasuk
sebuah penginapan yang berlimpah tetamunya, dusun itu
pada hakekatnya merupakan sebuah dusun yang amat miskin.
Dalam seluruh dusun tersebut hanya terdapat sebuah
jalanan yang beralaskan batu, tentu saja rumah penginapan
Hun-lay dibangun disisi jalan besar.
Beberapa orang bocah cilik nampak sedang bermain disisi
jalan, pintu depan rumah penginapan kelihatan amat sepi dan
hening.
Ketika Siang Hu-hoa sekalian sudah berjalan mendekat,
mereka baru tahu kalau sepasang pintu gerbang rumah
penginapan itu berada dalam keadaan tertutup rapat, malah
diatas salah satu pintunya tertempel selembar kertas
pengumuman yang bertuliskan:
"Sementara berhenti usaha"
Kertas itu sudah lusuh dan warnanya sudah luntur, ini
menunjukkan kalau sudah lama rumah penginapan Hun-lay
menutup usahanya, tanpa terasa Siang Huhoa bertiga
mengalihkan sorot matanya mengawasi wajah Kwee Bok.
"Sejak enam bulan berselang rumah penginapan ini
memang sudah menghentikan usahanya untuk sementara
waktu" Kwee Bok menerangkan.
Dia segera maju ke depan, memegang gelang diatas pintu
dan dipukulkan kuat kuat sebanyak berapa kali diatas pintu
itu.
Tidak lama kemudian kedengaran seseorang menegur dari
dalam pintu:
"Siapa?"
"Aku, Kwee Bok!" jawab pemuda itu cepat.
"Ooh, rupanya saudara Kwee!" suara orang itu segera
berubah jadi tinggi melengking.

308
Menyusul kemudian kedengaran suara langkah kaki yang
berjalan mendekat, suara langkah yang sangat aneh, seolaholah
orang tersebut sangat rapuh kesehatannya sehingga
tenaga untuk berdiri tegak pun tidak ada.
henti dibalik pintu tapi pintu itu tidak segera dibuka, sampai
sesaat kemudian dia baru membukakan pintu gerbang.
Bau arak yang sangat menyengat segera menyebar
disekeliling tempat itu, tanpa terasa Siang Huhoa berempat
pun mengalihkan perhatiannya ke wajah orang itu.
Orang itu berdiri sambil berpegangan pada daun pintu,
namun tubuhnya masih kelihatan gontai seakan akan setiap
saat bakal roboh ke tanah.
Dalam genggamannya masih terdapat sebuah cawan arak,
cawan itu penuh berisikan arak, pakaian berwarna biru yang
dikenakannya juga dipenuhi oleh noda arak yang menusuk
hidung.
Rambutnya awut awutan, jenggotnya tidak terawat,
mukanya sangat dekil, entah sudah berapa hari dia tidak
pernah cuci muka dan menyisir rambutnya.
Dalam ruangan itupun tidak ada lentera, seluruh jendela
dibiarkan dalam keadaan tertutup rapat, hal ini membuat
suasana dalam bangunan itu terasa remang remang dan
sangat menyeramkan, seakan sebuah neraka ditengah alam
manusia.
Dalam kenyataan raut muka orang ini memang tidak jauh
berbeda seperti wajah setan gentayangan dari neraka,
wajahnya pucat kehijau hijauan dan sama sekali tidak ada
rona merahnya, namun sepasang matanya justru dipenuhi
dengan garis garis merah darah, sedemikian merahnya
sehingga mirip dengan lelehan darah segar.
Siapa pun yang bertemu dengan manusia macam begini,
dapat dipastikan mereka akan terkesiap bercampur ngeri.

309
Untung saja waktu itu masih tengah hari sehingga nyali
mereka pun otomatis jauh lebih besar.
Sejak terjadinya peristiwa berdarah dalam perkampungan
Ki-po-cay, segala persoalan yang kemudian mereka jumpai
seakan tak ada yang tidak mengejutkan hati, semua
penemuan, semua kejadian seolah sama sekali diluar dugaan
dan mendatangkan kabut tanda tanya yang semakin besar.
Saat itu, orang yang benar benar terperanjat ternyata
hanya Kwee Bok seorang, tampaknya pemuda itupun baru
pertama kali ini bersua dengan manusia tersebut, untuk
berapa saat dia nampak berdiri termangu dan tak tahu apa
yang mesti dilakukan.
Siang Hu-hoa melirik sekejap wajah orang itu, kemudian
sambil berpaling ke arah Tu Siau-thian, ujarnya:
"Apakah orang ini yang bernama Si Siang-ho?"
"Benar, dialah orangnya"
"Dulu, apakah begitu juga tampangnya?" tanya Siang
Huhoa lebih jauh.
Tu Siau-thian segera menggeleng.
"Tidak, dulu dia sangat memperhatikan penampilan,
pakaiannya, dandanannya selalu rapi dan perlente"
"Pakaian yang dikenakan seseorang bisa saja berganti tiga
kali dalam sehari, tapi apa raut wajah orang tidak mungkin
berubah setiap tiga tahun?"
"Itulah sebabnya meski keadaannya saat ini sangat payah,
aku masih tetap dapat mengenalinya dalam pandangan
pertama"
"Aku pun dapat mengenali dirinya" Nyo Sin menambahkan.
"Aku rasa usianya jauh lebih tua ketimbang usia Jui
Pakhay" kata Siang Hu-hoa.

310
"Waah, kalau soal ini aku kurang begitu jelas" ucap Tu
Siau-thian.
"Kalau dilihat dari penampilannya sekarang, paling tidak dia
telah berusia diatas lima puluh tahunan" Nyo Sin menimpali.
"Aku benar benar kurang jelas tentang masalah ini" kembali
Tu Siau-thian menggeleng.
Mendadak terdengar Si Siang-ho menghela napas panjang,
tanyanya:
"Benarkah penampilanku sekarang nampak sangat tua?"
Tampaknya semua pembicaraan mereka bertiga terdengar
pula oleh Si Siang-ho.
"Sebenarnya berapa sih usiamu tahun ini?" tanya Nyo Sin
kemudian.
"Satu bulan lagi aku baru berusia tiga puluh sembilan
tahun"
"Apa? Empat puluh tahun pun belum sampai?"
"Aku toh bukan wanita, kenapa mesti merahasiakan umur?"
"Tapi kalau dilihat dari penampilanmu sekarang, kau lebih
mirip berusia lima puluhan tahun ketimbang berusia tiga puluh
sembilan tahun"
"Mana mungkin" bantah Si Siang-ho sambil garuk-garuk
kepalanya, "malah tiga tahun berselang orang bilang dari
penampilanku, usiaku paling banter baru tiga puluhan tahun"
Sesudah menghela napas panjang, tambahnya:
"Masa baru lewat tidak sampai tiga tahun, penampilanku
sudah berubah dua puluh tahun lebih tua?"
"Memangnya kau tidak menyadari?"
"Aku hanya menyadari akan sesuatu"
"Soal apa?"

311
"Perasaan hatiku memang sudah semakin tua, bahkan
sedemikian tuanya hingga mendekati saat ajalnya"
"Berarti kau masih terbayang terus akan peristiwa yang
telah terjadi tiga tahun berselang?" tanya Nyo Sin
Si Siang-ho mengangguk berulang kali.
Tidak tahan lagi Nyo Sin menghela napas panjang, namun
dia tidak berkata-kata.
Terdengar Si Siang-ho berkata lebih jauh:
"Padahal aku sudah berusaha dengan segala cara untuk
melupakan kejadian itu"
"Jadi inikah alasanmu kenapa minum arak sebanyakbanyaknya?"
Si Siang-ho mengangguk membenarkan.
"Sebenarnya aku menyangka cara ini merupakan sebuah
cara terbaik untuk melupakan kejadian lama, namun
belakangan aku malah semakin sulit dibuat mabuk"
"Mengapa tidak langsung pergi mencari Jui Pakhay dan
menantangnya untuk berduel, agar semua sakit hatimu
terlampiaskan?" tanya Nyo Sin.
Tiba-tiba Si Siang-ho tertawa tergelak, katanya:
"Hahahaha......karena tidak lama setelah itu, aku telah
berhasil memahami semua masalah yang sedang kuhadapi"
"Kau berhasil memahami? Memahami apa?" Nyo Sin
semakin keheranan.
"Walaupun peristiwa ini terjadi gara-gara rencana busuk
yang diatur Jui Pakhay, seandainya aku tidak gemar berjudi,
sebenarnya diapun tidak akan berhasil menjalankan rencana
busuknya itu, dan dengan sendirinya perkampungan Ki po cay
pun tidak nanti bisa terjatuh ke tangannya, jadi kalau mau
mecari sumber masalahnya, aku harus menyalahkan diriku

312
sendiri, aku tidak boleh menyalahkan orang lain saja, kalau
aku tidak kemaruk, kalau aku tidak suka bertaruh, peristiwa ini
tidak mungkin akan menimpa diriku"
Kemudian setelah berhenti sejenak untuk berganti napas,
lanjutnya:
"Terus terang saja aku katakan, waktu itu aku memang
terlalu suka berjudi, aku gemar bertaruh, jadi, seandainya
perkampungan Ki po cay tidak hilang pada saat itu, suatu
ketika akupun pasti akan kehilangan perkampungan tersebut,
karena masalahnya tinggal cepat atau lambat"
Nyo Sin mengawasi Si Siang-ho dengan mata melotot,
mimik mukanya dipenuhi rasa heran dan tercengang.
Terdengar Si Siang-ho berkata lebih jauh:
"Kalau mau bicara yang lebih jujur, sebenarnya pertaruhan
yang berlangsung waktu itu cukup adil, aku mesti salahkan
nasibku yang tidak mujur, jadi peristiwa itu merupakan
kejadian yang lumpah, tidak ada yang bisa disalahkan"
"Tapi bagaimana pula dengan masalah yang menyangkut
Gi Tiok-kun?"
"Bila perkampungan Ki po cay sudah jatuh ke tangan orang
lain, dengan sendirinya Gi Tiok-kun juga tidak bakal jatuh ke
tanganku, sebab aku pasti bukan tandingannya lagi" kata Si
Siang-ho dengan wajah sedih.
"Tapi kau tidak mirip dengan orang yang rela menerima
kekalahan?"
"Kalau kenyataan sudah terpampang di depan mata, tidak
rela pun harus rela juga menerima nasib"
Sesudah menghela napas panjang, tambahnya:
"Waktu itu, sisa harta kekayaan yang kumiliki bila
dijumlahkan keseluruhannya, paling banter baru senilai
perkampungan Ki po cay, apakah aku mampu menandingi

313
kekayaan Jui Pakhay rasanya tidak perlu dipertanyakan lagi,
pada hakekatnya aku sudah tidak mungkin memenuhi
kebutuhan dari Gi toama"
"Maka terpaksa kau lepas tangan?"
"Kalau tidak lepas tangan, apa lagi yang bisa kuperbuat?"
"Ooh, rupanya kau belum sampai mabuk, kenyataannya
kau masih bisa berbicara dengan jelas"
Si Siang-ho tertawa terkekeh.
"Hahaha.... walaupun saat ini aku merasakan kepalaku
berat dan kakiku ringan, namun otak dan kesadaranku masih
sangat waras"
"Apa yang barusan kau katakan apakah ungkapan yang
sejujurnya?" tanya Nyo Sin lagi.
"Sekarang aku sudah terjerumus dalam kehidupan yang
susah, keadaanku sudah bukan rahasia lagi, kenapa aku mesti
takut untuk bicara sejujurnya?" Si Siang-ho balik bertanya
sambil tertawa.
"Kau tetap akan bercerita kepada orang asing mana pun?"
"Bagiku, kau bukan termasuk orang yang terlalu asing" kata
Si Siang-ho seraya mengangguk.
"Berarti kau sudah tahu siapakah aku?"
"Siapa yang tidak kenal dengan komandan Nyo yang punya
nama besar dan amat tersohor di kolong langit? Tidak banyak
orang diseputar sini yang tidak mengenali namamu" Nyo Sin
tertawa senang.
"Tidak heran kalau semua pertanyaan yang kuajukan telah
kau jawab dengan sejujurnya, seolah bukan sedang berbicara
dengan orang asing saja"
Perlahan-lahan Si Siang-ho mengalihkan sorot matanya ke
wajah Tu Siau-thian, kemudian katanya lagi:

314
"Bila aku tidak salah ingat, semestinya saudara ini adalah
wakil komandan opas Tu Siau-thian bukan?"
"Benar akulah orangnya" Tu Siau-thian menyahut.
Dia berpaling ke arah Siang Huhoa lalu tanyanya:
"Apakah saudara Si tahu siapakah dia?"
Sambil memicingkan matanya yang setengah mabuk, Si
Siang-ho mengawasi Siang Hu-hoa berulang kali, lama
kemudian dia baru menggeleng.
"Wajahnya terasa asing sekali bagiku, apakah dia........."
"Dia adalah Siang Huhoa, Siang tayhiap" Tu Siau-thian
memperkenalkan rekannya.
Mula-mula Si Siang-ho agak tertegun, kemudian sambil
tertawa tergelak serunya:
"Hahaha.......ternyata saudara Siang!"
"Aneh, tadi bilang tidak kenal, sekarang kenapa tiba-tiba
sudah kenal?" sindir Nyo Sin dingin.
Si Siang-ho tertawa.
"Aku hanya mengenali nama besarnya, aku rasa tidak
banyak orang persilatan yang tidak mengenali nama besarnya"
Bab 17.
Kawanan laron muncul kembali.
Dia maju kedepan menghampiri Siang Huhoa, kemudian
sambil tertawa lanjutnya:
"Sudah lama aku mengagumi nama besar anda, sayang
selama ini tidak ada kesempatan untuk bersua, sungguh
beruntung aku bisa menjumpaimu hari ini, untuk merayakan
pertemuan ini, aku harus meneguk habis isi cawan ini"

315
Selesai berkata dia segera mengangkat cawannya dan
meneguk habis isinya.
Dengan bertambahnya secawan arak, langkah kakinya
semakin enteng dan gontai, namun untung tidak sampai roboh
terkapar ke tanah.
Siang Huhoa memandangnya sekejap, tiba-tiba tanyanya
sambil tertawa:
"Kau hanya memiliki secawan arak?"
"Hahahaha........ aku punya banyak arak didalam sana,
apakah saudara Siang sudi memberi muka kepadaku?" Si
Siang-ho tertawa tergelak.
"Sayang saat ini bukan saat yang tepat untuk minum arak,
masih banyak urusan yang sedang menanti kami"
Seakan baru teringat akan sesuatu, buru-buru Si Siang-ho
bertanya:
"Apakah kedatangan kalian adalah untuk mencari aku?"
"Benar!"
"Boleh tahu ada urusan apa?"
"Memang ada berapa persoalan yang tidak dapat kami
pecahkan, karena itu terpaksa harus berkunjung kemari dan
menantikan petunjukmu"
"Tidak berani, tidak berani, kalau memang ada persoalan,
katakan saja berterus terang, asal bisa kujawab pasti akan
kukatakan sejujurnya"
"Sejak pertaruhan tempo hari, saudara Si telah menyingkir
ke mana saja?" tanya Siang Huhoa kemudian.
Si Siang-ho segera menunjuk ke arah dalam rumah,
sahutnya:
"Aku selalu bersembunyi di dalam rumah penginapan ini"

316
Kemudian setelah menghela napas, lanjutnya:
"Waktu itu aku putus asa bercampur kecewa, ditambah lagi
akupun merasa sangat kehilangan muka, aku benar benar
tidak ingin dijadikan bahan tertawaan orang kota, maka
berapa saat lamanya aku hidup menyembunyikan diri"
"Ada orang bilang, waktu itu kau telah pergi jauh
meninggalkan kota?"
"Tidak ada, tidak ada kejadian semacam ini" Si Siang-ho
gelengkan kepalanya berulang kali, "meskipun aku telah
kehilangan perkampungan Ki po cay, namun aku masih
memiliki harta kekayaan lain, asal aku mau hidup tenang dan
tidak tergila gila untuk main judi lagi, masalah kehidupan
sudah bukan masalah lagi bagiku"
Kemudian setelah tertawa getir, tambahnya:
"Sejak peristiwa itu, dalam kenyataan aku memang tidak
pernah main judi lagi"
"Benarkah begitu?"
"Penduduk sekitar tempat ini bisa bertindak sebagai saksi
ku"
"Dengan cara apa kau urusi harta kekayaanmu itu?" tanya
Siang Huhoa lagi
"Hampir semuanya kusewakan kepada orang lain"
"Maksudmu, kau hanya menerima uang sewa?"
Kembali Si Siang-ho mengangguk.
"Walaupun aku punya keinginan untuk meninggalkan
berapa bau sawah untuk dikerjakan sendiri, sayang
pengetahuan tentang bercocok tanam sama sekali tidak
kumiliki"
"Bagaimana sistim pembayaran uang sewa itu?"

317
"Setiap kali panenan mereka akan menghantar uang
sewanya kemari"
"Maksudmu ke rumah penginapan Hun-lay?"
"Benar"
"Selama tiga tahun terakhir kau tidak pernah pergi ke
tempat jauh, apakah mereka dapat bertindak sebagai
saksimu?"
"Benar"
Kwee Bok yang selama ini hanya membungkam diri, kini
tidak tahan untuk menimbrung:
"Bukankah kau pernah berkata kepadaku kalau selama tiga
tahun terakhir kau hidup berkelana di dalam dunia persilatan
dan baru balik kemari pada tiga bulan berselang?"
Si Siang-ho nampak tertegun, lalu serunya:
"Kepan aku pernah berkata begitu kepadamu?"
"Waktu pertama kali kau datang memeriksakan badanmu"
"Aku memang pernah datang mencarimu untuk berobat"
"Bukankah resep obat yang kubuatkan untukmu kau masak
di ruang praktekku?" seru Kwee Bok.
"Benar"
"Setelah itu bukankah kau mengundangku pergi minum
arak?"
"Benar"
"Aku rasa kau belum lupa bukan ditempat mana kita minum
arak?"
"Tentu saja, di rumah makan cong-goan" jawab Si Siang-ho
tanpa ragu.
"Bukankah waktu itu kau minum sampai mabuk?"

318
Kali ini ternyata Si Siang-ho menggelengkan kepalanya
seraya membantah:
"Siapa bilang aku minum sampai mabuk waktu itu?"
Kontan Kwee Bok mendelikkan matanya lebar-lebar.
Terdengar Si Siang-ho berkata lebih jauh:
"Aku masih ingat, waktu itu semuanya kita pesan empat
poci arak ditambah empat macam hidangan"
"Kita pesan dua poci arak, satu setengah poci diantaranya
kau sendiri yang menghabiskan" Kwee Bok mencoba meralat.
"Dengan takaran minum yang kumiliki saat ini, jangankan
baru satu setengah poci, ditambah lagi empat lima kali lipat
pun aku masih tetap bisa melayaninya tanpa mabuk"
"Sewaktu kita meninggalkan rumah makan itu, kau sudah
tak mampu berdiri tegak"
"Apakah waktu itu aku minta kepadamu untuk memayang
atau menuntun diriku?" ucap Si Siang-ho sambil tertawa.
"Kalau itu sih tidak!"
"Apakah aku pergi membayar rekening lalu turun dari
loteng sendirian?" "Benar"
"Waktu itu kita menghabiskan tiga tahil perak" kata Si
Siang-ho lebih jauh, kemudian setelah berhenti sejenak
lanjutnya, "sewaktu turun dari loteng, kita bertemu dengan
nenek Cho......"
"Nenek Cho yang menjual gula-gula? Tukas Tu Siau-thian.
"Betul, nenek Cho yang menjual gula-gula!"
Setelah berpikir sejenak, kembali ujarnya:
"Ternyata dia masih mengenali aku, dia ribut dan minta aku
membeli sebungkus gula-gula"
"Apakah kau membelinya?"

319
"Aku tetap membelinya, walaupun saat itu kondisi ku sudah
tidak semakmur dulu, namun untuk membeli sebungkus gulagula
rasanya aku masih mampu untuk melakukannya"
"Berapa harga gula gula yang dijual nenek Cho waktu itu?"
tanya Tu Siau-thian.
"Masih seperti harga lama, lima hun untuk satu bungkus
gula gula, aku minta sebungkus dan memberinya satu tangce"
Tu Siau-thian segera mengerling sekejap ke arah Kwee
Bok, sementara pemuda itu berdiri termangu dengan mata
terbelalak dan mulut melongo, diawasinya wajah Si Siang-ho
dengan tertegun.
Seandainya waktu itu Si Siang-ho benar-benar berada
dalam keadaan mabuk, tidak mungkin dia masih ingat semua
kejadian yang dialaminya secara jelas dan terperinci, hanya
orang sadar yang bisa melakukan hal seperti itu.
Kembali Tu Siau-thian bertanya kepada Si Siang-ho:
"Waktu itu sebenarnya apa saja yang telah kau katakan
kepadanya?"
Si Siang-ho mencoba mengingat kembali, kemudian
sahutnya:
"Rasanya tidak banyak yang kami bicarakan, seingatku,
bahan pembicaraan saat itu hanya sekitar masalah sepele dan
hal yang ringan ringan saja"
"Betul tidak ada urusan yang sedikit lebih istimewa?" desak
Tu Siau-thian lebih jauh.
"Kalau dibilang sedikit rada istimewa, mungkin urusan ini
yang dimaksud agak istimewa"
"Urusan apa?"

320
"Sewaktu sedang bersantap, dia pernah bertanya kepadaku
apakah disekitar tempat tinggalku ada rumah kosong yang
hendak disewakan"
"Bagaimana jawabanmu?"
"Aku menjawab sejujurnya, sekitar tempat tinggalku tidak
ada rumah kosong yang akan disewakan, tapi rumah
penginapan Hun-lay milikku sudah tutup usaha, jadi tempat
kami terdapat ruang kosong yang bisa disewa"
"Bagaimana jawabannya?"
"Dia akan mengunjungi tempat kami berapa hari kemudian,
apabila cocok dia akan menyewanya"
"Kemudian, apakah dia datang berkunjung?"
"Benar"
"Kapan itu kejadiannya?"
"Kurang lebih sepuluh hari kemudian"
"Datang untuk melihat rumahmu?"
"Benar"
"Berarti bukan datang karena dipanggil untuk
memeriksakan sakitmu?" tukas Siang Hu-hoa tiba-tiba.
"Siapa bilang aku sakit?" tanya Si Siang-ho tertegun.
"Aku!" jawaban Kwee Bok keras dan lantang.
"Apa maksudmu berkata begitu?" tegur Si Siang-ho.
"Justru aku yang ingin bertanya kepadamu, apa maksudmu
berkata begitu?" teriak Kwee Bok semakin keras.
"Jadi kau menuduh aku sedang berbohong?"
"Kau memang sedang berbohong!"
"Buat apa aku meski berbohong?"

321
"Untuk menutupi semua dosa dan perbuatan bejadmu"
"Perbuatan bejad apa yang telah kulakukan? Kenapa harus
kututupi?" Si Siang-ho balik bertanya.
"Seharusnya kau lebih mengerti"
"Aku benar-benar tidak mengerti" seru Si Siang-ho cepat,
kemudian sambil berpaling ke arah Siang Huhoa katanya lebih
jauh, "hingga sekarang aku masih belum tahu peristiwa apa
yang sebenarnya telah terjadi"
"Benarkah begitu?" jengek Siang Huhoa hambar
"Sebenarnya apa maksud dan tujuan kedatangan kalian
semua mencari aku?" tanya Si Siang-ho lagi.
Siang Hu-hoa tidak menjawab, malah katanya kepada Kwee
Bok:
"Kau bilang dia mengutus orang untuk mengundangmu
kemari dan memeriksakan kesehatan tubuhnya?"
"Memang begitu kenyataannya!"
"Siapa yang dia utus waktu itu untuk mengundang
kedatanganmu?"
"Seorang kakek yang mengaku dari marga Kwee, kakek itu
tetangganya, sewaktu datang membawa sebuah kereta kuda
yang sudah kuno dan jelek"
"Dengan kereta kudanya itu si kakek Kwe menghantarmu
sampai disini?"
"Tidak, hanya menghantar sampai di mulut dusun, dia
bilang harus pergi ke tempat lain maka setelah aku turun dari
kereta, dia pun segera pergi"
Baru saja Siang Hu-hoa ingin bertanya lagi, mendadak Si
Siang-ho menukas:

322
"Di dalam dusun ini sama sekali tidak ada kakek dari marga
Kwee, juga tidak ada kakek Kwee yang memiliki kereta kuda"
"Hmmm, benarkah begitu?" Kwee Bok mendengus dingin.
"Aku rasa didalam dusun ini bukan hanya aku seorang yang
masih hidup, bukan hanya aku seorang yang bisa berbicara"
"Maksudmu asal diselidiki, segera akan diketahui apakah
didusun ini terdapat seorang kakek semacam ini atau bukan?"
sambung Siang Hu-hoa.
Setelah menatap wajah Si Siang-ho lekat lekat, kembali
tanyanya:
"Kau bilang Kwee Bok datang kemari untuk melihat
rumahmu?"
Si Siang-ho mengangguk tanda membenarkan.
"Bagaimana hasilnya setelah peninjauan itu?"
"Tampaknya merasa sangat puas"
"Dan jadi menyewanya?"
Kembali Si Siang-ho mengangguk.
"Dia bahkan bersedia membayar tiga ribu tahil perak"
sahutnya.
"Ehmmm, satu jumlah yang tidak kecil"
"Benar, sebuah penawaran yang sangat menggiurkan
karena pada tahun yang paling baguspun pemasukan rumah
penginapan Hun-lay paling banter Cuma seribu tahil perak"
"Tentu saja kau menyetujuinya bukan?"
"Tentu saja" sahut Si Siang-ho.
Setelah berhenti sejenak, kembali terusnya:
"Rumah penginapan ini terpaksa tutup usaha karena tamu
yang menginap ditempat kami akhir-akhir ini amat sepi dan

323
minim, sekarang bertemu dengan orang yang mau membayar
tinggi rumah kami, tentu saja tidak akan kulepas kesempatan
baik itu, apalagi pihak penyewa bersedia membayar dengan
tiga ribu tahil perak”
"Dengan uang sebesar tiga ribu tahil perak, rasanya sudah
lebih dari cukup untuk membeli rumah penginapan ini" kata
Siang Hu-hoa.
Si Siang-ho segera tertawa.
"Jangan lagi tiga ribu tahil perak, sewaktu membeli rumah
penginapan ini, aku hanya cukup mengeluarkan uang lima
ratus tahil"
"Memangnya dia tidak bisa menilai berapa harga dari
rumah penginapan itu?"
"Mungkin saja dia memang tidak tahu" jawab Si Siang-ho.
Kemudian setelah mengerling Kwee Bok sekejap, terusnya,
"mungkin juga uang sebesar tiga ribu tahil perak merupakan
sebuah angka yang kecil baginya, atau bahkan dia tidak
pernah pandang sebelah matapun atas jumlah tersebut"
"Kenapa tidak membeli sekalian rumah penginapan itu?"
"Menurut pendapatku, hal ini disebabkan ada dua alasan"
"Salah satu alasannya pasti karena dia kuatir kau enggan
menjual kepadanya"
Si Siang-ho mengangguk membenarkan.
"Selain itu masih ada sebuah alasan lagi yakni karena dia
hanya butuh rumah penginapan ini untuk sementara waktu"
katanya.
"Sebenarnya dia mau pakai rumah penginapan ini berapa
lama?" tanya Siang Hu-hoa.
"Setengah tahun"

324
"Tiga ribu tahil perak untuk menyewa selama setengah
tahun? Wah, siapa pun pasti akan bersedia untuk melakukan
transaksi yang sangat menguntungkan ini"
"Itulah sebabnya aku segera mengabulkan pennintaannya"
seru Si Siang-ho, kemudian setelah mengerling lagi Kwee Bok
sekejap, lanjutnya, "cuma, ke tiga ribu tahil perak itu bukan
seluruhnya untuk membayar uang sewa"
"Lalu berapa semestinya uang sewa gedung?"
"Hanya seribu tahil perak"
"Lalu yang dua ribu tahil perak untuk apa?"
"Upah kerjakul"
"Upah kerja? Apa yang harus kau lakukan?"
"Menjaga rumah ini, melarang siapa pun masuk keluar
tempat ini dan setiap hari mempersiapkan sejumlah makanan
untuk segerombolan mestika miliknya"
"Kau bersedia melakukan pekerjaan seperti itu?" tanya
Siang Huhoa keheranan
"Tiga ribu tahil perak masih belum kupandang sebelah
matapun, aku mengabulkan tawarannya karena terdorong
oleh rasa ingin tahu, aku merasa sangat tertarik dengan
pekerjaan yang ditawarkan dan mulai asyik mengerjakannya"
"Sebenarnya apa tujuannya menyewa rumah penginapan
ini?" tanya Siang Hu-hoa keheranan.
"Mencarikan tempat tinggal bagi sekelompok mestika nya!"
"Makhluk apa sih yang kau sebut sebagai sekelompok
mestika itu?" desak Siang Huhoa lebih jauh.
Seketika itu juga paras muka Si Siang-ho berubah sangat
aneh, bahkan nada ucapannya pun ikut berubah jadi aneh
sekali, jawabnya:

325
"Sekelompok laron, sekelompok laron hijau!"
Laron hijau!
Siang Huhoa merasa hatinya tercekat sementara paras
muka Tu Siau-thian dan Nyo Sin berubah hebat.
Paras muka Kwee Bok turut berubah hebat, baru saja dia
membuka mulutnya siap mengatakan sesuatu, Si Siang-ho
telah berkata lebih jauh:
"Kelompok laron hijau yang kupelihara merupakan sejenis
laron yang paling aneh dan paling cantik yang pernah
kujumpai sepanjang hidupku! Mereka memiliki tubuh yang
bening bagaikan batu kemala hijau, matanya merah seperti
bercak darah, sayapnya dipenuhi garis garis merah seperti
lelehan darah segar sementara diatas sepasang sayapnya
terdapat garis darah yang berbentuk seperti mata, bentuk
mata itu mirip mata burung hantu, tapi mirip juga ular kobra
sementara perutnya berbentuk seperti hidung sehingga kalau
dilihat dari punggungnya, pada hakekatnya sangat mirip
dengan selembar wajah setan!"
Belum selesai dia mengucapkan perkataannya, semua
orang sudah merasakan badannya merinding hingga bersin
berulang kali.
Begitu Si Siang-ho menyelesaikan perkataannya, Nyo Sin
langsung menjerit keras:
"Laron Penghisap darah! Itulah Laron Penghisap darah!"
"Laron Penghisap darah?" Si Siang-ho agak tertegun.
"Laron laron yang kau maksud itu adalah Laron Penghisap
darah"
Mendadak Si Siang-ho seakan teringat akan sesuatu, paras
mukanya berubah jadi hijau membesi, serunya tertahan:
"Aaah, benar! Kelihatannya mereka memang pandai sekali
menghisap darah..............."

326
"Darimana kau bisa tahu?" tukas Siang Hu-hoa.
"Sebab setiap hari aku harus menghantar makanan untuk
kawanan laron itu, setiap hari mereka butuh sepuluh ekor
kelinci hidup"
"Lalu apa hubungannya dengan menghisap darah?” tanya
Siang Hu-hoa.
Dengan wajah hijau membesi sahut Si Siang-ho:
"Keesokan harinya ketika aku balik lagi ke kandang, maka
akan kujumpai ke sepuluh ekor kelinci itu tinggal sepuluh
kerat tulang belulang, kulitnya sudah tersayat, dagingnya
sudah habis dan darah pun sudah lenyap"
"Apakah kau pernah melihat bagaimana cara kawanan
laron itu menyerbu santapannya?" tanya Siang Huhoa lebih
lanjut.
"Satu kali, setelah memberi makanan kepada mereka, aku
mengintipnya dari balik celah celah pintu"
"Apa yang kau saksikan?"
"Aku saksikan rombongan laron itu mengerumuni kelincikelinci
tersebut, yang kudengar hanya suara dengungan dan
suara cicitan, suara itu mirip sekali seperti suara yang sedang
menghisap cairan dan mengunyah daging......." kata Si Siangho
dengan nada gemetar.
Tidak kuasa lagi Siang Huhoa merasakan hatinya bergidik,
cepat tanyanya:
"Sekarang dimana rombongan laron itu berada?"
"Diruangan atas loteng"
"Cepat ajak kami ke sana, akan kulihat bagaimana
keadaannya"
Si Siang-ho manggut-manggut, ujarnya tiba-tiba:

327
"Kedatangan kalian memang tepat pada waktunya"
"Oya?"
Buru-buru Si Siang-ho menerangkan lebih jauh:
"Selama belasan hari terakhir, setiap malam mereka selalu
terbang keluar secara rombongan, pada mulanya aku kuatir
mereka terbang dan tidak balik lagi, tapi kenyataannya
keesokan harinya mereka terbang balik lagi secara
rombongan"
"Kapan mereka baru balik malam ini?"
"Jauh lebih malam ketimbang dihari biasa, mereka baru
saja balik ke kandangnya"
Tergerak perasaan Siang Huhoa setelah mendengar
penjelasan itu, tanpa terasa dia melirik sekejap ke arah Tu
Siau-thian kemudian menengok pula ke arah Nyo Sin.
Pada saat yang sama Tu Siau-thian dan Nyo Sin
memandang pula ke arahnya, maka mereka bertiga pun saling
bertukar pandangan sekejap lalu bersama-sama mengalihkan
sorot matanya ke wajah Kwee Bok.
Dalam pada itu Kwee Bok kembali berdiri tertegun dengan
wajah melongo dan mata terbelalak, agaknya dia merasa jauh
diluar dugaan terhadap apa yang barusan diucapkan Si Siangho
itu.
Sepasang mata Siang Huhoa berbinar-binar, kembali dia
menatap wajah Si Siang-ho, setelah berpikir sejenak, tanyanya
lagi:
"Sewaktu dalam kenyataan kau ketahui bahwa dia
menyewa rumah penginapanmu bukan untuk ditempati
manusia melainkan untuk memelihara laron, pernahkan timbul
rasa antipati dalam hati kecilmu?"
"Siapa bilang tidak?"

328
"Tapi nyatanya kau tidak pernah protes, kau terima semua
kenyataan itu dengan mulut membungkam?"
"Bagaimana pun juga bangunan rumah ini sudah disewa
orang, selama pihak penyewa tidak menggunakannya untuk
membuka usaha gelap, atau melakukan pembunuhan dan
perampokan, biar mau dipakai untuk pelihara babi pun tidak
ada alasan bagiku untuk merasa keberatan, apalagi aku
sendiripun sebenarnya pingin tahu apa maksud dan tujuannya
yang terutama dengan memelihara sekelompok laron itu"
"Apakah pihak penyewa pernah menyinggung soal ini?"
tanya Siang Hu-hoa.
Si Siang-ho mengangguk.
"Apa yang dia katakan?" tanya Siang Hu-hoa lagi.
"Berulang kali dia kemukakan alasan yang sama yaitu
hendak dipakai untuk meramu sejenis obat"
"Obat apa?"
"Obat untuk menyembuhkan sejenis penyakit, obat untuk
melenyapkan nyawa seseorang"
"Kau percaya dengan pengakuannya itu?"
"Tidak percaya"
"Kalau hanya dipakai untuk meramu obat, dia tidak perlu
jauh jauh datang kemari dan lagi dia pun tidak perlu berlagak
sok rahasia"
"Dalam hal ini dia mempunyai alasan dan penjelasannya"
ujar Si Siang-ho menerangkan.
"Bagaimana penjelasannya?"
"Menurut dia, bentuk dari kawanan Laron Penghisap darah
itu menakutkan dan sangat mengerikan hati, bila dipelihara
ditempat ramai dan banyak penghuninya, kejadian ini pasti
gampang menjadi pembicaraan orang, gampang pula

329
memancing kecurigaan pihak pemerintah, sekalipun tidak
banyak berpengaruh terhadap perkembangan kawanan laron
tersebut, namun hal mana akan sangat merepotkan, maka
untuk memeliharanya secara diam diam dan tidak mudah
diketahui orang banyak, satu satunya cara adalah pindah ke
pinggiran kota"
"Penjelasan yang sangat bagus" puji Siang Hu-hoa,
kemudian setelah berhenti sejenak tanyanya lagi:
"Sebelum dipindah kemari, kawanan laron itu pernah
dipelihara di mana?"
"Itu sih kurang jelas" Si Siang-ho menggeleng.
"Dengan cara apa dia memindahkan kawanan Laron
Penghisap darah itu kemari?" Siang Hu-hoa mengalihkan
pertanyaannya.
"Diangkut kemari dengan menggunakan sebuah kereta
kuda"
"Kereta kuda milik siapa?"
"Kurang jelas"
"Berapa besar usia sang kusir kereta? Bagaimana bentuk
tubuh dan wajahnya? Apakah masih tersisa ingatan tentang
orang tersebut?"
"Kusirnya bukan orang lain tapi dia sendiri"
"Semua pekerjaan dia lakukan seorang diri, tanpa bantuan
orang lain?"
"Benar, semua pekerjaan dia lakukan seorang diri kecuali
tugas menghantar masuk kawanan kelinci ke dalam kamar
setiap harinya, karena dia tidak punya waktu untuk
mendatangi tempat ini saban hari"

330
"Lalu dengan cara apa pula dia mengangkut masuk
kawanan Laron Penghisap darah itu ke dalam rumah
penginapan?"
"Menggunakan kerangkengan, dia masukkan kawanan
laron itu ke dalam beberapa buah kerangkeng"
"Beberapa buah kerangkeng? Berapa besar kerangkeng
itu?”
"Kurang lebih lima enam depa persegi"
"Berapa banyak Laron Penghisap darah yang dia angkut
kemari?" agak berubah paras muka Siang Huhoa.
Si Siang-ho termenung seperti berpikir sejenak, kemudian
sahutnya:
"Menurut perkiraanku, jumlahnya bisa mencapai ribuan
ekor"
Tanpa terasa sekali lagi Siang Huhoa, Tu Siau-thian dan
Nyo Sin saling bertukar pandangan sekejap, sebaliknya paras
muka Kwee Bok telah berubah jadi hijau membesi.
Kembali Siang Huhoa berkata:
"Oleh sebab itu setiap hari mereka butuh sepuluh ekor
kelinci sebagai santapannya?"
Sebelum pertanyaan itu dijawab, kembali dia bertanya:
"Dia yang mempersiapkan kelinci-kelinci itu setiap harinya
atau kau yang pergi membelinya di pekan?"
"Setiap sepuluh hari satu kali dia datang menghantar
kawanan kelinci itu dengan menunggang kereta kuda"
"Bukankah berarti penduduk didusun ini hampir sebagian
besar mengenalinya?"
"Seharusnya begitu"

331
"Apakah mereka juga tahu kalau dia telah memindahkan
berapa buah kerangkeng berisi Laron Penghisap darah
kemari?"
"Aku percaya mereka tidak akan tahu soal ini, pertama
karena aku tidak pernah menyinggung persoalan ini dengan
orang lain, kedua sewaktu memindahkan beberapa buah
kerangkeng berisi Laron Penghisap darah itu, seluruh
kerangkeng telah dikerudungi dengan selembar kain warna
hitam"
"Kemudian ketika setiap kali dia datang menghantar begitu
banyak kelinci, masa tidak ada yang menaruh curiga? Atau
tidak ada yang mengajukan pertanyaan?" tanya Siang Hu-hoa.
"Sewaktu mengirim kawanan kelinci itupun dia gunakan
kerangkeng yang ditutupi kain hitam, kalau tidak memangnya
orang lain tidak akan menaruh curiga kepadaku, masa tidak
membuka toko penjual kelinci, aku mendatangkan begitu
banyak binatang tersebut, memangnya aku seorang bisa
menghabiskan begitu banyak kelinci sekaligus?"
"Paling tidak semestinya mereka menaruh curiga juga
bukan ketika melihat ada begitu banyak barang yang
dibongkar dari atas kereta dan diangkut masuk ke dalam
rumah penginapan?" kata Siang Huhoa.
"Seandainya aku jadi mereka, aku pasti akan menaruh
curiga"
"Apa pernah ada orang yang bertanya kepadamu, barang
apa yang kau bongkar dari atas kereta dan diangkut ke dalam
rumah? Apa mereka tidak bertanya, siapa tamu asing yang
kerap datang berkunjung?"
"Mungkin saja mereka curiga, tapi selama ini tidak
seorangpun yang berani datang menanyakan kepadaku"
"Kenapa tidak berani?"

332
"Sebab sudah berapa kali aku mabuk berat karena arak dan
membuat keonaran yang sangat hebat disini, maka selama ini
mereka selalu menaruh perasaaan was was dan ngeri
terhadapku, otomatis semua tingkah laku dan perbuatanku
juga tidak ada yang berani bertanya"
Setelah tertawa santai, lanjutnya:
"Walaupun begitu aku juga sudah banyak mendengar isu
yang beredar di masyarakat, di antara mereka ada yang
mengira aku sedang bersiap sedia untuk membangun kembali
usahaku, mungkin saja barang yang diangkut kereta kuda itu
adalah barang perabot baru untuk keperluan rumah
penginapan, tapi ada juga yang menuduh aku sebagai seorang
perampok ulung dan barang yang diangkut masuk merupakan
barang barang hasil rampokan"
"Isu tersebut pasti akan menakutkan orang banyak!"
"Apalagi selama setengah bulan terakhir, mereka semakin
ngeri terhadapku, setiap kali bertemu, tergopoh gopoh mereka
akan menghindar dan bersembunyi" Si Siang-ho berkata
kembali.
"Kenapa bisa begitu?"
"Mungkin saja mereka sempat menyaksikan munculnya
sekelompok laron dari dalam rumah penginapan yang sangat
banyak bagaikan gerombolan lebah"
"Atas dasar apa kau menduga begitu?"
"Berapa hari berselang, ketika aku lewat disebuah tanah
lapang diluar dusun sana, kebetulan disitu sedang ada
sekelompok bocah sedang bermain, tapi begitu melihat
kemunculanku, seperti bertemu setan saja mereka langsung
membubarkan diri, bahkan satu diantara mereka sempat
berteriak.........."
"Teriak apa?"

333
"Siluman tosu pemelihara laron telah datang!" sahut Si
Siang-ho sambil tertawa getir.
"Siluman tosu?"
Sembari meraba batok kepala sendiri Si Siang-ho
menerangkan:
"Mungkin lantaran saban hari aku selalu menggulung
rambutku diatas kepala dan menggunakan sebuah tusuk
konde dari bambu, mereka mengira aku adalah seorang tosu"
Sekarang Siang Huhoa baru memperhatikan gulungan
rambut Si Siang-ho itu, benar juga, dia memang mirip sekali
dengan seorang tosu.
Maka tanyanya sambil tertawa:
"Setelah mendengar olokan itu, apakah kau merasa marah
sekali?"
"Marah sih tidak, Cuma merasa mendongkol bercampur
geli"
"Kapan teraldiir kalinya dia berkunjung kemari?" selidik
Siang Huhoa lebih jauh.
"Lima hari berselang"
"Datang menghantar kelinci?"
"Yaa, menghantar tiga puluh ekor kelinci"
"Apakah masih ada sisa dari pengiriman yang terakhir kali?"
"Seekor pun sudah tidak tersisa"
"Tiga puluh ekor kelinci berarti jatah ransum tiga hari untuk
kawanan Laron Penghisap darah itu?"
"Benar"
"Biasanya berapa banyak kelinci yang dia kirim setiap
kalinya?"

334
"Seratus ekor kelinci setiap sepuluh hari"
"Kali ini dia hanya mengirim tiga puluh ekor, tentunya kau
bertanya apa alasannya bukan?"
Si Siang-ho mengangguk.
"Apa jawabannya?" tanya Siang Hu-hoa.
"Dia bilang ada rencana lain setelah tiga hari"
"Selain itu adakah pesan istimewa yang dia sampaikan?"
Si Siang-ho berpikir sejenak, kemudian katanya:
"Aku seperti mendengar ada beberapa patah kata......."
Tanpa terasa Siang Huhoa, Tu Siau-thian serta Nyo Sin
pasang telinga baik baik untuk mendengarkan, sementara
Kwee Bok sendiripun ikut pasang telinga.
Terdengar Si Siang-ho berkata:
Tanpa sengaja aku seperti mendengar dia sedang
bergumam, katanya..... selewat bulan purnama tanggal lima
belas, semua urusan akan beres......"
"Apakah kau paham apa maksud dan perkataannya itu?"
tanya Siang Hu-hoa.
"Tidak, aku tidak mengerti" Si Siang-ho menggeleng.
Siang Huhoa, Tu Siau-thian dan Nyo Sin saling bertukar
pandangan sekejap, Si Siang-ho memang tidak mengerti, tapi
mereka mengerti amat jelas.
"Pada malam bulan purnama tanggal lima belas, apakah
kawanan Laron Penghisap darah itu terbang keluar lagi?"
tanya Siang Huhoa lagi.
"Benar, malam itu sebelum bulan purnama berada diatas
angkasa, kawanan laron itu sudah mulai bergolak dengan
hebatnya"
"Waktu itu kau belum tidur?"

335
"Sedang bersiap siap untuk tidur"
"Kau dikejutkan oleh kegaduhan yang ditimbulkan kawanan
laron itu?"
Kembali Si Siang-ho mengangguk.
"Kegaduhan yang mereka lakukan saat itu luar biasa
hebatnya dan belum pernah terjadi sebelum ini, secara
kebetulan akupun sempat menyaksikan kawanan laron itu
terbang menyongsong datangnya rembulan di angkasa"
"Keesokan harinya baru kembali?"
"Tidak, pagi tadi baru kembali ke kandang" kata Si Siangho
sambil menggeleng.
"Ini berarti mereka telah hilang selama dua, tiga hari
lamanya?"
"Benar"
"Apakah selama berapa hari ini kau tidak berusaha untuk
melacak jejak mereka?"
"Pernah terlintas ingatan tersebut dalam benakku,
khususnya pada malam tanggal lima belas, keinginanku untuk
menguntil ke mana perginya kawanan laron itu kuat sekali"
Tiba-tiba dia menggeleng, terusnya:
"Sayang aku tidak bersayap, kecepatan terbang mereka
luar biasa, dalam sekejap mata bayangan dari rombongan
laron itu sudah lenyap dibalik kegelapan malam"
"Benarkah begitu?"
"Benar, aku benar benar tidak tahu selama tiga hari ini ke
mana saja perginya kawanan laron tersebut" kata Si Siang-ho
sambil angkat tangannya.
Siang Hu-hoa manggut manggut sementara Tu Siau-thian
dan Nyo Sin saling bertukar pandangan.

336
Si Siang-ho memang tidak tahu, tapi mereka tahu jelas.
Bab 18.
Membingungkan
Siang Huhoa segera mengalihkan sorot matanya ke wajah
Kwee Bok, tanyanya:
"Sudah kau dengar semua penjelasannya?"
Tidak kuasa lagi Kwee Bok mengangguk.
"Apakah semua yang dia tuturkan adalah kenyataan?"
desak Siang Huhoa.
Sekujur badan Kwee Bok bergetar keras, tiba-tiba dia
berteriak lantang:
"Siapa bilang semuanya kenyataan, dia sedang bohong!"
Mendadak tubuhnya menubruk maju ke muka, sambil
mencengkeram dada Si Siang-ho teriaknya lagi:
"Kenapa kau harus berbohong? Kenapa kau harus
menfitnah aku? Kenapa harus mencelakai aku?"
Si Siang-ho sama sekali tidak berkelit, dia membiarkan
Kwee Bok mencengkeram baju dibagian dadanya, dia pun
tidak berubah membantah, sorot matanya malah dialihkan
memandang ke wajah Siang Huhoa.
Sementara itu Siang Huhoa sendiripun hanya berdiri tanpa
bergerak, sebab pada saat itulah Tu Siau-thian dan Nyo Sin
sudah maju ke depan dan satu dari kiri yang lain dari kanan
telah menangkap sepasang tangan Kwee Bok serta
menariknya dengan paksa hingga cengkeraman pemuda itu
terlepas.

337
"Kalian jangan percaya dengan perkataannya" jerit Kwee
Bok sambil meronta keras.
"Tutup mulutmu!" bentak Nyo Sin lantang, suara bentakan
yang begitu nyaring itu seketika membuat Kwee Bok
terbungkam.
Saat itulah Siang Huhoa baru berkata:
"Mari kita naik ke loteng untuk memeriksa dulu kawanan
Laron Penghisap darah tersebut"
Si Siang-ho yang pertama menyetujui usulan itu, sahutnya
sambil mengangguk:
"Mari ikut aku!"
Dia segera membalikkan badan dan beranjak masuk ke
dalam rumah penginapan diikuti Siang Hu-hoa di belakangnya.
Kwee Bok merupakan orang ke dua yang menguntil di
belakangnya, bukan karena kemauan sendiri tapi Nyo Sin dan
Tu Siau-thian lah yang mendorong tubuhnya agar bergerak
masuk duluan.
Sembari mendorong tubuhnya Nyo Sin dan Tu Siau-thian
segera menghunus pula goloknya untuk bersiap sedia.
Mereka berharap bisa secepatnya membuktikan apakah
semua keterangan yang diberikan Si Siang-ho merupakan
kenyataan.
Mungkin saja Kwee Bok terkecuali, tapi sayang dia tidak
mampu berbuat lain kecuali mengikuti rombongan itu, sebab
didepan ada Si Siang-ho dan Siang Huhoa sementara
dibelakangnya mengikuti Tu Siau-thian dan Nyo Sin, semua
tindak tanduknya sudah diluar kontrol diri sendiri, bahkan mau
pergi meninggalkan tempat itupun sudah menjadi masalah.
Baginya hanya ada satu jalan bila ingin pergi meninggalkan
tempat itu, yakni kecuali dia memang benar-benar seorang
siluman.

338
Entah sudah berapa lama rumah penginapan itu tidak
pernah disapu dan dibersihkan, sebagian besar tempat telah
dilapisi sarang laba-laba yang tebal, bahkan debu dan kotoran
nyaris mengotori setiap tempat.
Sebuah bangunan rumah yang pada dasarnya sudah jelek,
kuno dan mengenaskan, kini nampak lebih jelek, lebih kuno
dan lebih mengenaskan lagi.
Hanya anak tangga menuju ke bangunan loteng yang
nampak agak bersih, mungkin lantaran terlalu sering
digunakan untuk berlalu lalang, walau begitu, bentuknya
kelihatan tidak begitu kokoh, sewaktu berjalan diatasnya, anak
tangga itu segera memperdengarkan suara mencicit yang
keras, seakan setiap saat anak tangga itu bisa patah dan
roboh.
Dengan perasaan kebat kebit Nyo Sin ikut menaiki anak
tangga itu, baru berapa langkah dia sudah berseru sambil
tertawa:
"Terus terang, aku kuatir kalau anak tangga ini patah dan
roboh secara tiba-tiba"
"Soal ini kau tidak usah kuatir" jawab Si Siang-ho sambil
menghentikan langkahnya dan berpaling, "setiap hari, paling
tidak aku naik turun sebanyak dua kali, bukankah hingga
sekarang aku masih tetap hidup segar bugar?"
"Sebetulnya tempat ini cukup bagus, hanya sayang debu
dan sarang laba-labanya kelewat banyak, kenapa tidak kau
bersihkan?"
"Sebab aku tidak punya waktu senggang"
"Apa yang kau sibukkan setiap hari?"
"Minum arak"

339
"Kelihatannya nasib rumah penginapan Hun-lay sudah
mendekati masa akhirnya" gumam Nyo Sin sambil
menggelengkan kepalanya berulang kali.
Si Siang-ho tidak menjawab, dia hanya tertawa.
Kembali Nyo Sin berkata:
"Heran, kenapa kau bisa betah bertempat tinggal di tempat
seperti ini?"
"Nyo tayjin, apakah kau tertarik juga dengan arak?"
kembali Si Siang-ho tertawa.
"Aku jamin arak yang telah kuminum tidak lebih sedikit dari
apa yang telah kau minum" sahut Nyo Sin sambil manggutmanggut.
"Indah bukan impian sewaktu mabok?" mendadak Si Siangho
bertanya.
"Tentu, indah sekali" sahut Nyo Sin, setelah berhenti
sejenak, lanjutnya, "setiap kali berada dalam mendusin, aku
tahu bahwa diriku hanya seorang opas, tapi begitu sudah
memasuki impian indah ketika sedang mabuk, aku selalu
merasa diriku bukan seorang opas lagi, tapi seorang raja
muda"
"Itulah dia" seru Si Siang-ho segera, "hampir sepanjang
tahun aku berada dalam impian mabuk ku"
"Maka kau tidak acuh dan tidak ambil perduli terhadap
lingkungan yang dalam kenyataan mengelilingi dirimu?"
"Betul, aku sama sekali tidak acuh"
Sementara pembicaraan masih berlangsung, mereka
berlima sudah tiba diatas bangunan loteng.
Sebelum melangkah masuk ke ruang atas, semua orang
sudah mengendus semacam bau busuk yang sangat
memualkan, sedemikian busuknya bau yang tersebar

340
membuat setiap orang nyaris muntahkan seluruh isi perutnya,
apalagi ketika melangkah masuk ke dalam ruang atas, bau
busuk itu semakin menusuk penciuman.
Mereka semua seolah-olah sudah terjerumus ke dalam
alam kebusukan, bau busuk yang menyebar luas seolah
sedang menyusup ke dalam tubuh mereka dan mulai beredar
dalam badan mengikuti aliran darah.
Tiba-tiba saja mereka merasakan cairan darah dalam tubuh
masing masing seakan ikut mulai berbau, seakan seluruh
badan mereka ikut mengeluarkan bau busuk yang menusuk
hidung.........
Untung saja semuanya itu bukan sebuah kenyataan!
0-0-0
Sebuah beranda yang memanjang terbentang dihadapan
mereka semua.
Dikedua sisi beranda itu masing masing terdapat empat
buah kamar disisi kiri dan empat kamar disisi kanan, saat ini
ada tujuh buah kamar yang terbuka lebar pintu dan jendela
kamarnya, hanya ruang disudut paling kiri yang terkecuali.
Pintu dan jendela ruang kamar itu hampir semuanya
tertutup rapat, sebelah sisi kiri pintu merupakan ujung paling
dalam dari beranda itu tersusun beberapa buah kerangkengan
besi, bau busuk yang memuakkan itu tampaknya muncul dari
balik ruangan tersebut.
Sebelum mereka mendekati ruangan itu, lamat lamat
terdengarlah suara yang sangat aneh berkumandang keluar
dari dalam ruangan itu, suara tersebut mirip suara
serombongan manusia yang bersama-sama sedang
mengunyah sesuatu benda.

341
Terhadap suara asing semacam itu, Siang Hu-hoa, Tu Siauthian
maupun Nyo Sm tidak merasa terlalu asing.
Tanpa sadar paras muka mereka bertiga berubah hebat,
badan mereka merinding keras hingga bersin berulang kali.
"Jadi kawanan laron itu berdiam didalam kamar itu?" tanya
Tu Siau-thian kemudian dengan wajah hijau membesi.
Si Siang-ho manggut manggut membenarkan.
"Dan kau juga yang membuka kerangkeng besi itu serta
melepaskan mereka semua?" tanya Tu Siau-thian lebih jauh.
"Bukan aku, tapi dia!" jawab Si Siang-ho sambil melirik
Kwee Bok sekejap.
"Omong kosong!" teriak Kwee Bok gusar.
Si Siang-ho sama sekali tidak menggubris, katanya lebih
jauh:
"Sewaktu baru dipindahkan kemari, dialah yang membuka
kerangkengan itu serta melepaskan mereka semua"
"Selanjutnya kau yang setiap hari masuk ke dalam kamar
untuk mengirim kawanan kelinci itu?"
"Benar"
"Setiap kali sedang bekerja, apakah kau berada dalam
keadaan mabuk?"
"Sebelum menghantar kawanan kelinci itu kepada mereka,
aku tidak berani menyentuh arak walau hanya setetes pun"
"Oya?"
"Sebab aku kuatir napsu minumku kambuh hingga benarbenar
dibikin mabuk, kalau sampai aku masuk dalam keadaan
mabuk, bisa berabe nantinya...."

342
"Bukankah selama ini kau selalu masuk ke dalam kamar
untuk menghantar kelinci kelinci itu? Kenapa bisa berabe?"
tanya Tu Siau-thian keheranan.
"Tidak, aku sendiri tidak punya keberanian sebesar itu"
seru Si Siang-ho sambil gelengkan kepalanya berulang kali.
"Lalu dengan cara apa kau laksanakan tugas itu?"
"Diatas pintu ruangan terdapat sebuah pintu otomatis, aku
cukup memasukkan kelinci kelinci itu seekor demi seekor
melalui pintu otomatis"
Dia segera mempercepat langkah kakinya mendekati
ruangan itu, kemudian tangannya menekan sebuah tombol
diatas pintu.
Begitu tombol tersebut ditekan maka terbukalah sebuah
lubang pintu selebar satu depa, tapi begitu tombol dilepas,
pintu itupun menutup secara otomatis.
Tiba-tiba Siang Hu-hoa menatap wajah Si Siang-ho lekatlekat
lalu berkata:
"Kalau tadi aku melihat kau masih dipengaruhi oleh mabuk,
tapi sekarang aku lihat tidak secuwilpun pengaruh arak yang
masih tersisa ditubuhmu"
"Betul, sekarang pengaruh arak dalam tubuhku benarbenar
telah punah" jawab Si Siang-ho, kemudian setelah otot
tenggorokannya nampak mengejang, dia lanjutkan, "suara
seperti ini, bau memuakkan semacam ini tidak disangkal
merupakan obat penghilang mabuk yang paling jitu dan
mujarab"
Mau tidak mau Siang Hu-hoa harus mengangguk juga,
sebab apa yang dia katakan memang sangat tepat.
Kini mereka telah tiba didepan ruang kamar itu, segerombol
laron sedang mengunyah sesuatu karena menimbulkan suara
kunyahan yang aneh, tajam, melengking dan sangat

343
menegangkan syarat, bahkan bau busuk yang tersiar keluar
seolah sudah menembusi dinding lambung dan dinding usus
mereka.
Dia memang tidak sampai memuntahkan isi perutnya,
namun lambungnya terasa mulai menyusut kencang dan
mengejang keras.
"Kenapa bisa begitu bau?" gumamnya tanpa terasa, dia
berjalan semakin mendekat lalu menekan tombol diatas pintu
sehingga pintu otomatis itu terbuka sedikit.
Bau busuk terendus makin tajam dan keras, dia mencoba
untuk menahan napas sambil melongok ke dalam ruang kamar
itu.
Laron Penghisap darah!
Ada sekamar penuh Laron Penghisap darah yang sedang
beterbangan disana!
Dalam ruang kamar itu tidak ada perabot lain, semua
barang yang semula terdapat disetiap kamar penginapan kini
nyaris sudah terangkut keluar semua, yang tersisa hanya
sebuah rak yang terbuat dari bambu.
Rak bambu itu lebarnya mencapai separuh ruang kamar itu,
batang bambu yang digunakan pun merupakan batang bambu
alami yang belum dibersihkan, bahkan daun daun bambu pun
masih nampak berserakan disana sini.
Beribu ekor Laron Penghisap darah itu berada disekeliling
dahan dan ranting bambu itu, ada yang sedang terbang
mengelilingi rak bambu ada pula yang hinggap diantara
ranting dan dedaunan, matanya yang merah dan sayapnya
yang hijau membuat pemandangan yang menawan ditempat
itu.
Dalam pandangan mata Siang Hu-hoa, semua keindahan
yang ditampilkan laron laron itu justru mendatangkan
perasaan ngeri dan seram yang menggidikkan hati.

344
Ternyata jendela dibagian luar ruang kamar itu berada
dalam keadaan terbuka lebar.
Biarpun jendela dalam keadaan terbuka, namun kawanan
Laron Penghisap darah itu tidak seekor pun yang terbang
keluar dari ruang kamar itu, mereka hanya beterbangan
disekeliling rak bambu.
Didepan rak bambu itu berserakan setumpuk tulang
belulang, bukan tulang belulang manusia, dari bentuk dan
wujudnya tulang itu semestinya tulang belulang dari kelinci.
Tumpukan tulang belulang itu memancarkan sinar putih
yang pucat, pantulan sinar yang aneh sekali, seolah setelah
dikerati daging dan kulitnya kemudian dicuci bersih dengan air
dan diskat satu per satu.
Siang Hu-hoa menghembuskan napas dingin, buru buru dia
lepaskan tombol rahasia itu dan mundur tiga langkah.
Tu Siau-thian dan Nyo Sin segera maju ke depan
menggantikan posisi Siang Hu-hoa tadi.
Tapi begitu melihat suasana dalam ruang kamar itu, paras
muka mereka berubah langsung berubah hebat, cepat-cepat
mereka pun mundur ke belakang.
Dengan kedua belah tangannya Nyo Sin memegangi
tenggorokan sendiri, dia seakan harus berbuat begini agar isi
perutnya tidak sampai tumpah keluar.
Lama kemudian, Siang Huhoa baru menghembuskan napas
panjang, kepada Si Siang-ho tanyanya:
"Kenapa semua jendela bagian luar bisa dalam keadaan
terbuka?"
Sekali lagi Si Siang-ho mengerling Kwee Bok sekejap,
kemudian jawabnya:
"Mungkin saja agar kawanan laron itu bisa masuk keluar
dengan lebih leluasa, mengenai bagaimana caranya untuk

345
membuka jendela itu........lebih baik tanyakan saja langsung
kepadanya"
Sementara itu Kwee Bok sudah berjalan menuju ke depan
pintu amar, dia pun ikut melongok ke dalam melalui pintu
otomatis, tapi tidak lama kemudian paras mukanya ikut
berubah sangat hebat.
Tampaknya dia sama sekali tidak mengetahui tentang
semua persoalan disitu, diapun seakan tidak mendengar apa
yang diucapkan Si Siang-ho barusan, kali ini dia sama sekali
tidak menunjukkan reaksi apapun.
"Kau bilang, dia yang membuka jendela jendela itu?" tanya
Siang Huhoa kemudian.
"Sebelum melepaskan kawanan laron itu ke dalam ruangan
tersebut, dia sudah membuka semua jendela itu terlebih dulu"
"Tidak kuatir kawanan Laron Penghisap darah itu kabur
melalui jendela?" tanya Siang Huhoa keheranan.
"Aku sendiripun merasa agak heran, di hari hari biasa
kawanan laron itu hanya beterbangan didalam ruang kamar,
tidak seekor pun yang berusaha untuk terbang keluar dari
situ"
Siang Hu-hoa kembali berpikir sejenak, kemudian tanyanya
lagi:
"Apakah tumpukan tulang belulang yang ada didepan rak
bambu itu adalah tulang belulang dari kawanan kelinci?"
"Benar"
"Tapi aku lihat tulang belulang dari tiga puluh ekor kelinci
pun tidak genap?"
"Tepat tiga puluh ekor!"

346
"Tiga puluh ekor kelinci hanya cukup untuk rangsum tiga
hari, memangnya kawanan Laron Penghisap darah itu sudah
melalap habis sisa sisa tulang belulang yang dulu?"
Si Siang-ho kembali memandang Kwee Bok sekejap,
kemudian katanya:
"Setiap kali datang menghantar kelinci baru, dia pasti akan
masuk ke dalam ruangan dan membersihkan sisa-sisa tulang
belulang kelinci yang sudah terlalap habis"
"Ooh rupanya begitu, aku masih mengira kawanan Laron
Penghisap darah itu sudah melalap habis seluruh kelinci itu
berikut tulang belulangnya" ujar Siang Huhoa sambil manggut
manggut, kemudian dia bertanya lagi:
"Apakah kau tahu semua tulang belulang kelinci itu sudah
dipindahkan ke mana?"
"Aku hanya tahu semua tulang belulang itu dia angkut
pergi dengan menggunakan kereta kuda"
Kembali Siang Huhoa manggut manggut, baru saja dia
akan mengajukan pertanyaan lagi, mendadak hidungnya
mengendus semacam bau harum yang sangat aneh.
Bau harum itu tidak diketahui berasal dari benda apa, juga
tidak diketahui bersumber dari mana, bau itu seolah olah ada
tapi seolah olah tidak ada, kadang baunya tipis kadang baunya
menebal dan melayang layang terus ditengah udara.
Siang Hu-hoa belum pernah mendengus bau harum
semacam ini.
Dia segera memusatkan seluruh perhatiannya dan baru
saja akan menyelidiki sumber dari bau harum itu, tiba-tiba dia
menjumpai bahwa suara dengungan dan suara mengunyah
yang semula amat ramai mendadak jadi mereda, sebaliknya
suara kepakan sayap kian lama kian bertambah ramai dan
keras.

347
Dengan satu gerakan refleks dia melompat ke depan,
mendorong tubuh Kwee Bok kesamping lalu menekan tombol
dan melongok ke dalam ruangan.
Tampak olehnya beribu-ribu ekor Laron Penghisap darah
yang semula berkerumun diatas rak bambu itu kini sudah
mengepakkan sayapnya dan beterbangan keluar dari ruangan
melalui daun jendela.
Menyaksikan kejadian itu Siang Huhoa nampak tertegun,
gumamnya:
"Heran, tidak ada hujan tidak ada angin, kenapa secara
tiba- tiba pada terbang pergi?"
Tu Siau-thian maupun Nyo Sin serentak menerjang maju
dan melongok ke dalam ruangan, tapi dengan cepat paras
muka ke dua orang itupun diliputi perasaan tercengang
bercampur tidak habis mengerti.
"Mungkin saja kawanan laron itu terpengaruh oleh bau
harum ini" ujar Si Siang-ho pelan, tampaknya diapun turut
mengendus bau harum yang sangat aneh itu.
"Berasal dari benda apakah bau harum itu?" tanya Siang
Huhoa.
"Entahlah, aku sendiri juga kurang jelas" sahut Si Siang-ho
seraya menggeleng.
"Sebelum hari ini, apakah kau pernah mengendus bau
harum semacam ini?"
"Pernah, malah beberapa kali"
"Kira-kira kapan kau pernah mengendus bau harum itu?"
sela Siang Huhoa.
"Sesaat sebelum gerombolan laron itu terbang
meninggalkan kandangnya"

348
"Oooh......." seru Siang Hu-hoa, dia melongok lagi ke dalam
ruangan, ternyata hanya dalam waktu singkat beribu-ribu ekor
Laron Penghisap darah itu sudah terbang bersih dari ruangan
tersebut.
Tanpa terasa pandangan matanya dialihkan ke atas gelang
pintu, tanyanya mendadak:
"Kau membawa kunci ruangan?"
Diantara dua gelang pintu memang tergantung sebuah
gembokan kunci yang sangat besar, gembokan besi disertai
rantai besar.
Si Siang-ho gelengkan kepalanya.
"Dia yang menyimpan ke dua buah anak kunci itu!"
katanya, sementara berbicara sinar matanya kembali dialihkan
ke wajah Kwee Bok.
Waktu itu Kwee Bok sedang berdiri termangu-mangu, tapi
begitu mendengar perkataan Si Siang-ho apalagi melihat sorot
matanya tertuju ke wajah sendiri, kontan saja dia mencak
mencak kegusaran, teriaknya:
"Siapa bilang aku mempunyai kuncinya?"
Si Siang-ho hanya tertawa, dia tidak menanggapi teriakan
orang.
Dengan cepat Nyo Sin melotot sekejap ke arah Kwee Bok,
hardiknya:
"Siau Tu, cepat geledah sakunya!"
Tentu saja Tu Siau-thian tidak berani membangkang
perintah komandannya, dia menyahut dan segera jalan
mendekat.
Kwee Bok tidak berusaha untuk menghindar, diapun tidak
melakukan perlawanan, sambil tertawa pedih ujarnya:
"Baik, silahkan kalian geledah!"

349
Tu Siau-thian tidak sungkan sungkan lagi, dengan seksama
dia geledah seluruh badan Kwee Bok, alhasil tidak ditemukan
anak kunci walau hanya sebuah pun.
Sambil gelengkan kepalanya berulang kali Tu Siau-thian
terpaksa lepas tangan dan mundur kembali.
Nyo Sin melirik Kwee Bok sekejap, tiba-tiba dia berpaling
seraya berseru:
"Ayoh kita dobrak pintu itu dan menerjang masuk!"
Begitu selesai bicara, dia mundur selangkah dan siap
menendang pintu itu.
Belum lagi kakinya terangkat, Siang Huhoa telah
mencegahnya.
"Tidak perlu!" cegah Siang Hu-hoa sambil menggeleng.
Sepasang tangannya serentak dijatuhkan keatas gelang
pintu disebelah kiri, ketika hawa murninya disalurkan,
"Kraaak" gelang pintu itu seketika terbetot hingga hancur
berantakan.
Pintu pun perlahan-lahan mulai terbuka lebar, bau busuk
yang semakin menyengat hidung segera menyembur keluar
dan tersebar ke mana-mana.
Dengan cepat Siang Huhoa berpaling ke arah lain untuk
menghindari semburan bau busuk itu, Tu Siau-thian menutupi
hidungnya, Nyo Sin membuang napas sementara Kwee Bok
mulai memuntahkan isi perutnya.
Menghadapi bau busuk yang luar biasa hebatnya itu jelas
dia sudah tidak mampu untuk mengendalikan diri.
Seandainya dialah pemilik kawanan Laron Penghisap darah
itu, semestinya dia sudah terbiasa dengan bau busuk
semacam ini, atau mungkin dia memang bukan pemiliknya?

350
"Hmmm, pandai amat kau berlagak!" jengek Nyo Sin sambil
tertawa dingin.
Kwee Bok tidak menggubris, dia masih muntah terus tiada
hentinya.
"Mari kita masuk ke dalam" ajak Nyo Sin kemudian sambil
mengerling Tu Siau-thian sekejap, walaupun dia berkata
begitu namun tubuhnya sama sekali bergeming.
Akhirnya Tu Siau-thian menghela napas panjang, dia tahu
tidak ada pilihan lain baginya kecuali masuk ke dalam ruangan
terlebih dulu.
Nyo Sin segera menyambar bahu Kwee Bok dan
mendorongnya masuk ke dalam ruang kamar, setelah itu dia
baru mengikuti di belakangnya.
Siang Huhoa dan Si Siang-ho ikut masuk ke dalam, namun
tidak terlihat seekor Laron Penghisap darah pun didalam
ruangan itu.
Seluruh ruangan seolah dicekam bau busuk yang sangat
tebal, ditengah bau busuk lamat lamat terendus bau harum
yang aneh, bau harum itu meski sangat tipis namun masih
dapat tercium dengan jelas.
Tiba-tiba Nyo Sin merasa bahwa bau harum itu rupanya
datang dari tubuh Kwee Bok.
Dia segera melepaskan cengkeraman pada bahunya,
setelah mundur tiga langkah, diamatinya tubuh Kwee Bok dari
atas hingga ke bawah.
Waktu itu Kwee Bok masih muntah tiada hentinya, bukan
cuma seluruh isi perutnya tertumpah keluar bahkan air pahit
pun ikut tertumpah keluar.
Nyo Sin mencoba mengendus beberapa kali diseputar
tubuh Kwee Bok, tiba-tiba tanyanya kepada Tu Siau-thian:
"Tadi, kau sudah menggeledah seluruh sakunya?"

351
Tu Siau-thian membenarkan.
"Kenapa bau harum itu seolah olah muncul dari tubuhnya?”
tanya Nyo Sin lagi.
"Masa begitu?" tanya Tu Siau-thian keheranan, ia segera
maju mendekat, mengendusnya beberapa kali, kemudian
dengan wajah tercengang bercampur keheranan, serunya
tertahan:
"Aaah, benar, bau harum itu berasal dari tubuhnya"
Seraya berpaling ke arah Nyo Sin, gumamnya:
"Aneh, kenapa tidak kurasakan sejak tadi?"
"Coba kau geledah sakunya sekali lagi!" perintah Nyo Sin.
"Padahal tadi sudah kugeledah dengan teliti"
"Mungkin kau kurang seksama, coba digeledah sekali lagi"
"Yaa. Mungkin aku kurang teliti, tapi sudah kuperiksa
semuanya, apalagi yang mesti aku geledah......."
"Mungkin lipatan bajunya!" tiba-tiba Siang Hu-hoa menyela
dari samping.
Berbinar sepasang mata Tu Siau-thian, serunya tertahan:
"Lipatan ujung bajunya?"
Dengan cepat dia sambar tangan kanan Kwee Bok dan
mencengkeram lipatan ujung bajunya.
Begitu dicengkeram, dia segera berhasil menggenggam
sebuah benda bulatan, karena cengkeramannya kelewat
keras, benda bulatan itu segera hancur berantakan.
"Blukkkk!" dari balik lipatan baju Kwee Bok segera
berkumandang suara ledakan kecil, disusul kemudian tampak
segumpal asap putih menyembur keluar dari sela sela
bajunya, bau harum yang sangat menyengat pun menyebar
ke seluruh angkasa.

352
Berubah hebat paras muka semua orang, sementara Kwee
Bok sendiri seolah berubah jadi orang yang sangat bodoh, dia
tampak tertegun hingga melanjutkan muntahannya pun jadi
terhenti sementara waktu.
Dengan wajah berubah hebat Nyo Sin segera berseru:
"Hati-hati racun dibalik asap........."
Seraya berkata buru buru dia menutup seluruh
pernapasannya.
Tu Siau-thian tidak ketinggalan untuk menutup
pernapasannya, sedangkan Siang Huhoa sudah menutup
napasnya semenjak tadi.
"Aku percaya tidak ada racun dibalik asap itu" kata Si
Siang-ho kemudian, "aku sudah berulang kali mengendus bau
harum seperti ini, seandainya ada racun, memangnya aku
masih bisa hidup hingga kini?"
"Ehm, benar juga" Nyo Sin manggut-manggut, "lantas
menurut pendapatmu, apa kegunaan asap itu?"
Si Siang-ho termenung sambil berpikir sejenak, kemudian
sahutnya:
"Bisa jadi asap wangi itu digunakan untuk mengendalikan
kawanan Laron Penghisap darah, benar atau tidak dugaanku
ini, kita mesti tanyakan kepadanya"
Kali ini, tidak menunggu dia mengalihkan sorot matanya,
Kwee Bok sudah berteriak sambil mencak-mencak kegusaran:
"Si Siang-ho, kenapa kau menfitnah aku? Kenapa kau
berupaya mencelakai aku?"
"Buat apa aku menfitnahmu? Buat apa aku mencelakaimu?
Toh antara kau dan aku tidak punya ikatan dendam atau sakit
hati?" sahut Si Siang-ho sambil tertawa getir.

353
"Lalu kenapa kau menuduh aku dengan segala tuduhan
yang tidak masuk diakal?" jerit Kwee Bok.
Si Siang-ho menghela napas panjang.
"Aai, bila kenyataan memang demikian, apalagi yang bisa
kuperbuat?" sahutnya.
Kembali dia berpaling ke arah Siang Huhoa dan Tu Siauthian,
lalu terusnya:
"Semua yang kukatakan adalah kata yang sejujurnya!"
"Dia bohong! Dia sedang menfitnah aku!" jerit Kwee Bok
sambil mengepal tinjunya.
Kalau dilihat dari gayanya, dia seakan hendak menerjang
ke depan dan menghadiahkan dua pukulan tinju ke dada Si
Siang-ho, sayang sebelum hal ini dilakukan, tangannya sudah
keburu ditangkap Tu Siau-thian.
Ketika Tu Siau-thian menggetarkan tangannya, beberapa
buah kotak lilin berbentuk bulat terjatuh dari balik lipatan baju
kanannya, dari balik kotak lilin itulah asap putih itu berasal.
Sambil tertawa dingin Tu Siau-thian segera menegur:
"Jika dia sedang menfitnahmu, lalu apa penjelasanmu
tentang bulatan bulatan lilin yang jatuh dari balik lipatan
bajumu?"
"Darimana aku bisa tahu kalau bulatan lilin itu bisa muncul
dibalik lipatan bajuku" jawab Kwee Bok sambil tertawa getir.
Tu Siau-thian tertawa dingin, sebelum dia sempat bersuara,
sambil tertawa dingin Nyo Sin sudah bicara duluan:
"Kalau kau tidak tahu, siapa yang tahu?"
"Aku benar-benar......"

354
"Benar-benar kenapa?" tukas Nyo Sin, "semuanya sudah
terbukti didepan orang banyak, memangnya tuduhan inipun
merupakan fitnahan?"
Perkataan itu kontan saja membuat paras muka Kwee Bok
berubah jadi merah jengah dan panas, untuk sesaat dia tidak
sanggup mengucapkan sepatah kata pun.
Kembali Nyo Sin berkata:
"Sebentar kami akan menanyai semua penduduk dusun,
apa benar setiap sepuluh hari kau datang satu kali kemari, apa
benar kau pernah mengangkut keranjang besi menggunakan
kereta kuda yang ditutup kain hitam, asal semua sudah
ditanyakan, urusan akan lebih jelas lagi"
Dengan wajah merah padam Kwee Bok melotot Si Siang-ho
sekejap, teriaknya:
"Semua penduduk dusun ini merupakan komplotannya!"
"Hmmm, kalau begitu kami juga merupakan
komplotannya?" jengek Nyo Sin sambil tertawa dingin.
Kontan Kwee Bok terbungkam mulutnya.
Nyo Sin segera berpaling ke arah Tu Siau-thian, lalu
perintahnya:
"Coba geledah sekeliling tempat ini, periksa apakah masih
ada benda lain yang mencurigakan"
Tu Siau-thian mengangguk dan segera berlalu.
Dalam pada itu Siang Huhoa sudah mulai berjalan
mengitari ruang kamar itu.
Ruang kamar itu tidak terlalu besar. Tidak selang berapa
saat kemudian ke dua orang itu sudah selesai memeriksa dan
menggeledah seluruh ruangan.
Tidak ditemukan sesuatu benda yang mencurigakan, tidak
juga ditemukan sesuatu penemuan yang baru.

355
Kembali ke sisi Nyo Sin, Tu Siau-thian segera melapor
seraya menggeleng:
"Aku lihat ruang kamar itu tidak ada yang perlu
dicurigakan"
"Apakah saudara Siang berhasil menemukan sesuatu?" Nyo
Sin segera berpaling ke arah Siang Huhoa.
Siang Huhoa tidak menjawab, tiba-tiba dia
membungkukkan badannya dan memungut berapa buah
potongan kotak lilin yang terjatuh ke lantai.
Mendadak sorot matanya membeku, ternyata ditemukan
tulisan diatas kerak lilin itu.
Buru-buru dia menyatukan kedua potongan kotak lilin itu
hingga muncullah tiga buah huruf yang amat jelas: Hui cun
tong.
Sebuah cap berwarna merah tertera sangat jelas diatas
lapisan lilin.
Semua tingkah laku Siang Huhoa diikuti terus oleh Nyo Sin
dengan seksama, maka sebelum Siang Hu-hoa sempat
mengatakan sesuatu, dia sudah memburu ke depan untuk
memeriksa sendiri penemuan apa yang berhasil didapatkan.
Sementara itu Siang Huhoa sudah berpaling ke arah Kwee
Bok, sambil menatap tajam wajah pemuda itu tanyanya:
"Boleh aku tahu apa nama balai pengobatan milikmu itu?"
"Hui Cun-tong!" jawab Kwee Bok tanpa ragu.
Siang Huhoa menghela napas panjang, pelan-pelan dia
sodorkan sepasang tangannya ke depan.
Dengan ketajaman mata Nyo Sin, hanya dalam sekali
pandang saja dia sudah melihat jelas tulisan itu, teriaknya
tanpa sadar:
"Aaah, Hui cun tong!"

356
Sebelum Siang Huhoa menyodorkan lilin itu ke hadapan
Kwee Bok, agaknya pemuda itu pun sudah melihat dengan
jelas tulisan yang tertera disitu.
Berubah hebat paras muka Kwee Bok, apalagi setelah
lapisan lilin itu disodorkan ke hadapannya, air mukanya saat
ini telah berubah jadi putih pucat bagai selembar kertas.
Tampaknya dia sudah melihat dengan jelas benda itu,
sudah melihat pula dengan jelas ke tiga huruf yang tertera
disitu.
Dengan mata melotot Siang Huhoa segera menegur:
"Betulkah benda itu hasil produksi dari balai
pengobatanmu?"
"Benar, obat itu memang aku buat sendiri" jawab Kwee Bok
sambil mengangguk, wajahnya penuh diliputi kebingungan."
"Berdasarkan apa kau bisa membedakan kalau obat ini hasil
produksimu?"
"Diatas lapisan lilin itu tertera cap identitasku"
"Tapi cap ini bisa dipalsukan orang...."
"Apakah kau tidak merasa bahwa warna merah dari cap itu
sedikit agak istimewa bila dibandingkan dengan warna lain?"
tiba tiba Kwee Bok bertanya.
"Benar" Siang Hu-hoa mengangguk, "rasanya warna jenis
begini jarang sekali dijumpai"
"Warna itu merupakan hasil pencampuranku sendiri,
sementara cap itu diterakan diatas lapisan lilin ketika lilin
belum sama sekali membeku, itulah sebabnya warna yang
ditimbulkan sangat berbeda dengan warna pada umumnya,
biar orang lain bisa memalsukan cap ku, belum tentu ia bisa
memalsukan persis seperti apa yang kuhasilkan"
Sesudah menghela napas, terusnya:

357
"Rahasia ini hanya diketahui aku seorang, sejak meramu
obat sampai memasukkan ke dalam kapsul lilin itu, aku tidak
pernah suruh orang lain yang mengerjakan, hampir semuanya
aku lakukan sendiri"
"Apa tujuanmu berbuat demikian?"
"Untuk mencegah agar tidak dipalsukan orang lain"
"Sebetulnya obat itu dipakai untuk mengobati sakit apa?"
tanya Siang Huhoa lagi.
"Terhadap beberapa jenis penyakit yang sering dijumpai
dalam masyarakat, obat itu manjur sekali"
"Oooh, jadi obat itulah yang disebut orang si mia wan (pil
penyambung nyawa) dari Hui cun tong?" timbrung Tu Siauthian
tiba tiba.
"Benar!"
"Apa benar bisa menyambung nyawa orang?" tanya Siang
Huhoa agak sangsi.
"Kalau dibilang benar benar bisa menyambung nyawa
orang, hal itu sih kelewat dibesar besarkan, tapi nama ini
paling tidak sudah digunakan hampir lima puluh tahun
lamanya"
"Bukankah kau bilang obat itu kau sendiri yang buat?"
"Sekarang memang aku sendiri yang membuat obat
tersebut, tapi dulu tidak, pencipta ramuan obat itu toh bukan
aku"
Bab 19.
Membetot serat menguliti kepompong.
"Kalau bukan kau, lantas siapa?" tanya Siang Huhoa.

358
"Mendiang guruku!"
"Waah.... obat itu pasti laku keras di pasaran?"
"Betul" Kwee Bok mengangguk, "justru karena itulah diluar
sana banyak beredar obat palsu"
"Apakah obat sejenis itu hanya diperjual belikan di Hui cun
tong?"
"Benar"
"Sebenarnya pil Si mia wan itu mahal tidak harganya?”
"Yang tulen murah harganya, justru yang palsu baru mahal
sekali"
"Maka kau pandang sebelah mata terhadap obat itu?"
"Aku memang memandang sebelah mata, masalahnya
bukan dalam hal untung rugi, balai pengobatan Hui cun tong
bukan usaha dagang yang mengejar keuntungan besar, aku
belajar ilmu pengobatan karena aku ingin menolong orang"
"Kalau memang begitu, kenapa kau masih memandang
sebelah mata?" sindir Nyo Sin sambil tertawa dingin.
"Sebab mereka yang memalsukan obatku hanya mampu
meniru bagian luarnya saja, sedang isinya sangat berbeda,
meskipun setelah diminum tidak sampai menimbulkan
kematian namun obat itu tidak banyak berpengaruh bagi
penderita sakit, bahkan bila berlarut larut bisa menimbulkan
kematian"
"Hmmm, kelihatannya kau bukan termasuk orang berhati
keji" kembali sindir Nyo Sin.
"Apakah kau yakin obat Si mia wan yang kutemukan adalah
obat asli buatanmu sendiri?" tiba-tiba Siang Hu-hoa menyela.
Kwee Bok mengangguk.

359
"Kalau memang asli buatanmu, seharusnya isi kapsul lilin
itu adalah bubuk obat" kata Siang Huhoa lebih jauh, "kenapa
isinya sekarang justru segumpal asap harum? Bagaimana
penjelasanmu tentang kejadian ini?"
Kwee Bok menghela napas panjang.
"Aaai.... mungkin ada orang telah mengeluarkan isi bubuk
obat itu, kemudian memasukkan bubuk obat yang lain ke
dalam kapsul tersebut"
"Siapa orang itu?" jengek Nyo Sin sambil tertawa dingin.
"Alangkah baiknya bila aku tahu akan hal ini" sahut Kwee
Bok sambil mengalihkan sorot matanya ke wajah Si Siang-ho.
Walau dipandang dengan sinar mata tajam, Si Siang-ho
masih tetap berdiri tenang, begitu tenangnya seolah tidak ada
urusan dengan dirinya.
"ooh, jadi kau mencurigai dia?" tegur Nyo Sin kemudian.
"Benar, aku memang mempunyai kecurigaan itu"
"Ketika memeriksakan kesehatan tubuhnya, apakah kau
pernah memberi Si mia wan kepada nya?" tanya Nyo Sin.
"Penyakit yang dideritanya sangat ringan, tidak perlu obat
macam si mia wan"
"Apakah dia pernah membeli obat Si mia wan dari balai
pengobatanmu?"
"Juga tidak pernah"
"Lalu darimana dia dapatkan Si mia wan dari Hui cun
tong?"
"Mungkin saja dia suruh orang lain yang membeli"
"Mungkin?" jengek Nyo Sin ketus, "jadi kau tidak yakin?"
Mau tidak mau Kwee Bok harus mengakuinya.

360
"Mungkin kau tidak yakin, tapi aku telah yakin akan satu
hal" kata Nyo Sin lebih jauh.
Kwee Bok tidak bertanya apa yang dia yakini, sebab dia
sudah dapat menebak apa jawaban-nya.
Terdengar Nyo Sin berkata lebih jauh:
"Kapsul lilin itu disembunyikan dibalik lipatan ujung bajumu,
sementara opas itu meremuk kapsul lilin itu dari luar lipatan
baju........"
Kwee Bok tidak dapat membantah, sebab apa yang
diutarakan memang merupakan sebuah kenyataan.
Setelah tertawa dingin lanjut Nyo Sin:
"Sekarang kau hanya bisa berharap orang dusun tidak ada
yang kenal dengan dirimu, dan tidak ada yang tahu kalau
setiap sepuluh hari sekali kau pasti datang kemari dengan
menunggang kereta kuda"
Kwee Bok tidak berbicara lagi, entah sejak kapan dengus
napasnya mulai memburu hingga nyaris tersengkal, dengan
sorot mata penuh kebencian dia awasi wajah Si Siang-ho.
Si Siang-ho sama sekali tidak menghindari sorot matanya,
sekulum senyum tidak senyum justru menghiasi wajahnya.
Dengus napas Kwee Bok makin lama semakin bertambah
cepat, tiba tiba dia berteriak keras, sambil mengayunkan
tinjunya dia menerjang ke tubuh Si Siang-ho.
Sejak awal Tu Siau-thian sudah menduga sampai ke situ,
dia memang sudah bersiap sedia sejak tadi, maka begitu
ayunan tinju mulai dilontarkanh, dia segera menghadang
dihadapannya.
Siapa tahu baru melangkah beberapa tindak mendadak
Kwee Bok berganti arah dan langsung kabur keluar dari
ruangan itu.

361
Tindakan ini jauh diluar dugaan siapa pun, untuk sesaat Tu
Siau-thian hanya berdiri tertegun sementara Nyo Sin tidak
sempat lagi untuk menghalangi.
Siang Huhoa pun nampaknya agak tercengang dengan
kejadian ini, tanpa terasa sinar matanya dialihkan ke wajah Si
Siang-ho.
Dalam pada itu Si Siang-ho sedang mengangkat tinggi
tangan kirinya, jari telunjukkan ditempelkan diujung hidung
sementara diatas jari manisnya nampak sebuah cincin yang
aneh sekali bentuknya.
Cincin itu terbuat dari besi dan sangat besar bentuknya,
sebuah cincin berwarna hitam yang memancarkan cahaya
tajam.
"Mau kabur ke mana kau!" hardik Tu Siau-thian.
"Berhenti!" bentak Nyo Sin pula, baru dia buka mulut, Kwee
Bok sudah menerjang keluar dari pintu kamar.
"Kena!" terdengar Si Siang-ho membentak nyaring.
Tangan kirinya segera diayunkan ke muka, cincin besi yang
dikenakan dijari telunjuknya itu segera melesat ke tengah
udara dan meluncur ke muka dengan kecepatan luar biasa.
Diantara kilatan cahaya berwarna hitam, terdengar Kwee
Bok mendengus tertahan dan jatuh berlutut diluar pintu.
"Traang!" cincin besi itupun jatuh ke lantai dari lekukan
lutut kakinya.
Dengan satu lompatan cepat Si Siang-ho menghampiri
pemuda itu, memungut kembali cincin besi itu dan dikenakan
pada jari telunjuknya.
Tidak lama kemudian Siang Huhoa bertiga telah memburu
pula dari balik kamar dan menyusul ke samping tubuhnya.
Berbinar sepasang mata Siang Huhoa, pujinya:

362
"Pedang baja gelang terbang, ternyata memang bukan
nama kosong"
"Aaah, hanya permainan kucing kaki tiga, tidak ada
harganya untuk dikagumi" sahut Si Siang-ho merendah.
"Takaran minum arakmu terhitung hebat juga" kembali
Siang Hu-hoa memuji.
"Kenyataan memang begitu, tapi seandainya kedatangan
saudara Siang sedikit agak terlambat sehingga aku
berkesempatan minum lagi berapa cawan, mungkin kau tidak
akan memuji takaran minumku lagi"
Sembari menggosokkan cincin besi itu diantara telapak
tangannya, dia berkata lebih jauh:
"Kalau sampai serangan dilancarkan dalam keadaan pusing
dan tidak tepat dalam penggunaan tenaga, mungkin yang
kena bukan lututnya melainkan batok kepalanya"
Setelah tertawa tergelak, tambahnya:
"Jika sampai terjadi peristiwa macam itu, besar
kemungkinan aku bakal menjadi seorang pembunuh
sungguhan!"
Siang Huhoa hanya tertawa tanpa komentar.
Sementara pembicaraan masih berlangsung, Tu Siau-thian
sudah mencengkeram kerah baju Kwee Bok dan menariknya
hingga terbangun dari tanah.
Nyo Sin tidak tinggal diam, dia ikut maju sambil menelikung
tangan Kwee Bok ke belakang punggungnya.
Telikungan itu mestinya tidak menggunakan tenaga yang
terlalu besar, namun Kwee Bok tidak mampu menahan diri,
tubuhnya segera melengkung bagaikan seekor udang.

363
"Kau tidak usah main akal akalan lagi" seru Nyo Sin sambil
tertawa seram, "belum pernah ada tersangka yang berhasil
kabur dari hadapanku"
Dia pada hakekatnya telah menganggap Si Siang-ho
sebagai anak buahnya.
"Aku bukannya mau melarikan diri" bantah Kwee Bok
dengan wajah hijau membesi.
"Oya?"
"Aku hanya ingin keluar dari sini secepatnya, mencari
seseorang dan menanyai masalah ini hingga jelas" teriak Kwee
Bok lagi.
Nyo Sin sambil tertawa dingin, "apalagi mau cepat atau
lambat, jawabannya tetap sama, buat apa kau mesti terburu
napsu"
Kwee Bok menutup mulutnya rapat rapat, tapi sepasang
matanya mengawasi terus wajah Si Siang-ho dengan penuh
amarah.
"Buat apa kau mendelik kepadanya?" tegur Nyo Sin yang
menyaksikan hal itu.
"Aku pingin melihat jelas rencana busuk apa lagi yang
sedang dia persiapkan"
"Waaah, kau punya kepandaian sehebat itu, mampu
melihat jelas rencana yang sedang dia persiapkan?"
Kwee Bok mendengus dingin, tentu saja dia tidak memiliki
kepandaian seperti itu.
"Jadi selama ini kau masih menyangka dia yang
menfitnahmu, dia yang sengaja mengatur jebakan untuk
mencelakaimu?" tanya Nyo Sin.
"Sudah tentu ulah dia!"
"Tapi ada satu hal kau mesti tahu terlebih dulu"

364
"Soal apa yang kau maksud?"
"Jenasah Jui Pak-hay telah ditemukan dimana?"
"Kau pernah menjelaskan tadi, aku belum lupa"
"Nah itulah dia, jika dia yang membunuh Jui Pak-hay,
kenapa jenasah Jui Pak-hay bisa ditemukan ditempat itu?"
"Aku memang tahu dengan pasti bahwa tempat itu
merupakan kamar tidur Jui Pak-hay dan bininya, tapi ada satu
hal lebih baik jangan komandan lupakan"
"Soal apa?"
"Dulu, Si Siang-ho adalah pemilik perkampungan Ki po
cay!"
"Kalau yaa, lalu kenapa?"
"Tentu saja dia hapal sekali dengan keadaan disekeliling
perkampungan Ki po cay, karena dulu tempat ini memang
miliknya, apalagi dengan kehebatan ilmu silatnya, bukan satu
pekerjaan yang sulit untuk menyelundupkan sesosok jenasah
ke dalam ruang loteng itu"
"Tapi hampir sepanjang hari Gi Tiok-kun berada didalam
kamar tidurnya, memangnya perempuan itu tidak akan
memergoki kehadirannya?" seru Nyo Sin.
"Adik misanku nyaris tidak mengerti ilmu silat, dengan
kemampuan ilmu silat yang dia miliki, bukan pekerjaan yang
terlampau sulit untuk memasuki kamar tidur adik misanku
tanpa harus dipergoki"
"Menurut kau, kenapa dia harus berbuat begitu?"
"Tentu saja untuk menuntut balas" sahut Kwee Bok.
Kemudian setelah mendelik ke arah Si Siang-ho, lanjutnya:
"Hingga sekarang dia belum pernah lupa dengan sakit
hatinya, sakit hati lantaran Jui Pak-hay berhasil merebut

365
pujaan hatinya bahkan menikahinya, setiap waktu setiap saat
dia selalu berusaha untuk balas dendam sambil menunggu
tibanya kesempatan yang sangat baik. Dan kini waktunya
sudah tiba, dia bukan saja telah merenggut nyawa Jui Pakhay,
bahkan dengan cara begini dia ingin menghabisi pula
nyawa adik misanku, satu batu dua burung, satu siasat yang
amat keji dan jahat dan sesuai dengan keinginan
hatinya.........."
Setelah berhenti sejenak untuk berganti napas, terusnya
lagi:
"Sedang mengenai aku.....karena kehadiranku yang tidak
terduga olehnya, maka demi kesempurnaan rencana kejinya,
dia pun sekalian menghabisi aku"
Tiba-tiba Nyo Sin tertawa dingin, selanya:
"Kau boleh saja bicara semaumu, tapi lebih baik jangan
melupakan peristiwa apa saja yang telah berlangsung mulai
tanggal satu bulan tiga hingga tanggal lima belas"
Kwee Bok menggelengkan kepalanya berulang kali,
teriaknya:
"Antara aku dengan kawanan Laron Penghisap darah itu
sama sekali tidak ada hubungannya"
Nyo Sin tidak berkata apa-apa. Dia hanya tertawa dingin.
Dalam pada itu Si Siang-ho sudah berjalan mendekat, tibatiba
dia mengeluarkan selembar uang kertas dari sakunya lalu
berkata:
"Uang cek ini bernilai tiga ribu tahil perak yang dia
serahkan kepadaku, mungkin dengan barang buku ini kau
lebih leluasa melacak dan mengungkap kasus ini"
Nyo Sin segera menerimanya.
"Uang cek itu berasal dari rumah uang mana?" tanya Siang
Hu-hoa.

366
"Kwang-hong!"
"Betul, Rumah uang Kwang-hong" kata Nyo Sin pula
setelah memeriksa lembaran uang cek itu.
"Dibuka tanggal berapa?"
"Bulan dua belas tanggal lima belas" jawab Nyo Sin lagi
setelah periksa cek itu.
"Terus, lembaran cek itu bernomor berapa?"
"Hong-ci nomor dua ratus empat puluh sembilan"
Siang Huhoa segera berpaling ke arah Tu Siau-thian dan
ujarnya:
"Saudara Tu, coba kau turut mengingat nomor cek itu"
Tu Siau-thian manggut-manggut.
"Tidak perlu dicatat lagi" tukas Nyo Sin sambil menggeleng,
"lebih baik kita sita lembaran cek ini sebagai barang bukti,
agar lebih gampang sewaktu dibutuhkan dalam penyelidikan
nanti"
"Tadi lembaran cek itu bernilai nominal tiga ribu tahil perak,
yaa... tiga ribu tahil perak, sekalipun pemilik cek percaya
dengan kita pun, lebih baik kita pertimbangkan lagi"
"Tiga ribu tahil perak memang bukan jumlah yang kecil"
Nyo Sin mengangguk sambil mengelus jenggotnya, "apalagi
itu hanya selembar kertas tipis yang setiap saat bisa rusak
atau hilang, kalau sampai hilang, wah... susah buat kita untuk
mencarikan penggantinya:
Ternyata walaupun dalam keadaan tegang, dia masih
sempat juga berseloroh dengan rekannya.
Tu Siau-thian tidak bicara apa-apa, dia hanya tertawa getir.
Kembali Nyo Sin berkata:

367
"Biarpun kita mampu menggantinya, buat apa mesti
menanggung resiko sebesar itu? Baiklah, aku rasa asal kita
catat nomor cek dan tanggal dibukanya cek tersebut, itu pun
sudah lebih dari cukup"
Seraya berkata diapun mengembalikan lembaran uang cek
itu ke tangan Si Siang-ho.
"Kalau dimasa dulu uang sebesar tiga ribu tahil perak masih
tidak kupandang sebelah matapun" kata Si Siang-ho sambil
tertawa, kelihatan kalau tertawa itu kelewat dipaksakan,
tertawa pedih.
Kalau mesti bicara jujur, baginya sekarang, uang sebesar
tiga ribu tahil perak memang merupakan sebuah angka yang
amat besar. Dengan sangat berhati hati dia lipat kertas cek itu
kemudian dengan berhati hati pula memasukkannya ke dalam
saku.
Dalam pada itu Nyo Sin telah mengalihkan sorot matanya
ke wajah Kwee Bok dan tegurnya:
"Benarkah cek itu milikmu?"
"Bukan!" jawab Kwee Bok cepat.
Jawaban tersebut tentu saja jauh diluar dugaan Nyo Sin,
dia nampak tertegun, tapi kemudian ujarnya sambil tertawa:
"Cek itu dibuka pada tanggal lima belas bulan dua belas,
berarti baru tiga bulnanan, aku percaya pemilik rumah uang
kwong-hong masih bisa mengenali pemilik cek itu. Asal kita
datangi tempat itu dan melakukan penyelidikan rasanya tidak
gampang untuk mengungkap siapa pemilik cek tersebut,
apalagi tiga ribu tahil perak bukan sebuah angka yang kecil"
"Silahkan saja ke sana dan tanya saja sampai jelas" seru
Kwee Bok.
Sambil tertawa dingin Nyo Sin segera beranjak pergi.

368
Tidak usah diperintah lagi, Tu Siau-thian segera
mencengkeram bahu Kwee Bok dan menggelandangnya
mengikuti di belakang sang komandan.
Si Siang-ho ikut menyusul diikuti Siang Hu-hoa di paling
belakang. Sepasang keningnya nampak berkerut kencang, dia
seakan sedang memikirkan sesuatu, atau mungkin lelaki ini
telah berhasil menemukan sesuatu?
Tiba kembali di ruang penginapan lantai bawah, suasana
terasa jauh lebih nyaman dan segar, sekarang mereka sudah
terbebas dari bau busuk yang sangat menusuk hidung
kendatipun lamat lamat bau tersebut seakan masih menempel
terus diujung hidung masing masing.
Untung saja keadaan tersebut hanya berlangsung sekejap
karena tidak lama kemudian bau harumnya arak telah
mengusir jauh-jauh bau busuk tersebut.
Nyo Sin segera berjalan menghampiri tepi meja, sambil
menghadap guci arak yang sama sekali tak tertutup itu, dia
menarik napas panjang panjang.
Setelah menghirup bau harumnya arak, dia merasa
semangatnya segar kembali, pujinya sambil tertawa:
"Ehmm, arak bagus!"
Si Siang-ho ikut tertawa.
"Tentu saja arak bagus, aku tidak pernah sembarangan
memilih dalam soal kwalitas arak"
Diambilnya sebuah cawan arak lalu katanya lagi:
"Bagaimana kalau meneguk dulu satu cawan?"
Sambil mengelus jenggotnya mendadak Nyo Sin menarik
muka.
"Tidak boleh, sekarang aku sedang berdinas" katanya.

369
Si Siang-ho pun tertawa dan tidak memaksa lagi,
sementara Nyo Sin juga tidak berkata apa apa lagi.
Segulung angin berhembus lewat, menembusi pintu
belakang dan menerpa ke dalam ruangan. Angin itu dengan
cepat membuyarkan bau harumnya arak, tapi mendatangkan
semacam bau harum lain yang terasa sangat aneh.
Nyo Sin dengan daya penciumannya yang sensitip seketika
dapat menangkap bau harum yang aneh itu.
Dia segera berpaling ke arah Siang Huhoa dan Tu Siauthian,
ternyata ke dua orang itupun sedang berpaling ke arah
sumber datangnya hembusan angin itu, tampaknya daya
penciuman mereka berdua tidak kalah dengan kemampuannya
dan merasakan pula hal tersebut.
"Bau harum apa lagi itu?" akhirnya tidak tahan dia berseru.
"Entahlah, belum pernah kuendus bau harum semacam ini"
sahut Tu Siau-thian seraya menggeleng.
Begitu pula dengan Siang Huhoa, dengan penuh tanda
tanya dia berpaling ke arah Si Siang-ho.
Sebelum dia sempat bersuara, Si Siang-ho sudah menjawab
duluan:
"Oh, bau harum itu berasal dari harumnya sejenis bunga"
"Bunga apa?"
"Aku sendiripun kurang jelas, ketika kubeli rumah
penginapan ini, di belakang bangunan sudah tumbuh bunga
jenis itu"
"Tidak pernah kau tanyakan kepada pemilik lama?" tanya
Siang Hu-hoa.
"Waktu itu tidak terpikir olehku sampai ke situ"
"Setelah itu apakah kalian pernah bersua lagi?"

370
"Tatkala aku mencarinya untuk menanyakan masalah ini,
ternyata orang itu sudah pergi meninggalkan desa"
Siang Huhoa mencoba untuk mengendus bau harum itu
berulang kali, kemudian ujarnya:
"Bau harum ini sangat khas dan istimewa, sudah pasti
berasal dari sejenis bunga langka yang jarang ada"
Si Siang-ho mengangguk membenarkan.
"Bagaimana kalau kita periksa sebentar bunga itu?" ajak
Siang Huhoa sambil melirik Tu Siau-thian sekejap.
Begitu selesai berkata dia segera membalikan tubuh dan
beranjak pergi, dia tidak menunggu lagi jawaban dari Tu Siauthian,
juga tidak ambil perduli apakah Si Siang-ho setuju atau
tidak.
Rasa ingin tahu orang ini memang sangat besar, apa yang
aneh, apa yang tidak diketahui olehnya pasti ditinjau dengan
segera.
Dengan pandangan heran dan penuh kesangsian Tu Siauthian
melirik Siang Hu-hoa sekejap, kemudian setelah
termenung sejenak, tanpa mengucapkan sepatah katapun dia
menggelandang Kwee Bok dan mengikuti di belakangnya.
Nyo Sin sendiripun menunjukkan kesangsian, dia seakan
enggan untuk ikut ke belakang, tapi pada akhirnya dia tetap
mengayunkan langkahnya menyusul dari belakang.
Si Siang-ho mengikuti di paling belakang, dia tidak
bermaksud mencegah atau menghalangi. Mungkin lantaran dia
sadar, mau dicegah pun jelas tidak mungkin.
0-0-0

371
Ternyata halaman belakang rumah penginapan itu sangat
lebar dan luas, dimana mana tumbuh pepohonan dan
bebungahan.
Diantara pepohonan dan bebungahan itu membujur sebuah
jalan setapak selebar tiga depa yang beralaskan batu putih,
jalanan setapak itu berada disisi kiri yang berawal dari
beranda belakang, mengelilingi tembok pagar dan
membentang terus ke depan, kemudian berputar lagi ke sisi
kanan hingga menyambung ke beranda sebelah kanan.
Pohon-pohonan dan bunga-bungaan yang tumbuh disitu
sama sekali tidak terawat, sedemikian lebatnya daun-daunan
hingga siapa pun yang berada dijalan setapak itu, bayangan
tubuhnya segera akan tenggelam dibalik semak belukar.
Dinding pekarangan yang mengelilingi kebun itu tingginya
mencapai dua kaki, kecuali memanjat ke puncak dinding,
maka sulit bagi orang luar untuk mengetahui bahwa dibalik
dinding terdapat pohon-pohonan dan bunga-bungaan yang
begitu lebat.
Bunga yang tumbuh sepanjang jalan setapak itu berwarna
kuning segar, daunnya panjang dan rantingnya penuh tumbuh
duri yang tajam.
Sepanjang hidup belum pernah Siang Hu-hoa menjumpai
bunga macam begini.
Lama sekali dia berdiri ditengah bunga-bungaan sambil
mengawasi tumbuhan itu, kemudian gumamnya:
"Kelihatannya bunga jenis ini bukan berasal dari daratan
Tionggoan"
"Darimana kau bisa berpikir begitu?" tanya Tu Siau-thian
yang mengikuti di belakangnya.
"Kau tentu tahu bukan bahwa aku tinggal di perkampungan
selaksa bunga?"

372
Tu Siau-thian kembali mengangguk.
"Didalam perkampungan selaksa bunga milikku itu, meski
tidak terdapat selaksa jenis bunga, namun kalau dibilang tiga
empat ribu jenis mah lebih dari itu" kata Siang Huhoa lagi.
Tu Siau-thian terbelalak matanya, semula dia mengira
nama perkampungan selaksa bunga hanya berupa sebuah
nama belaka, kalaupun dibilang tumbuh aneka bunga, dalam
perkiraannya semula paling banter hanya ada dua ratusan
jenis bunga.
Sebab siapa pun sadar, bukan pekerjaan yang gampang
untuk mengumpulkan dua ratusan jenis bunga sekaligus.
Terdengar Siang Hu-hoa berkata lebih jauh:
"Hampir semua jenis bunga yang bisa tumbuh di daratan
Tionggoan telah kutanam dalam perkampunganku, kecuali
tumbuhan yang tidak mungkin bisa ditanam disitu atau selama
ini belum pernah kulihat atau kudengar, hampir seluruhnya
pernah ku telusuri dan kucari. Selain itu akupun memiliki buku
catatan tentang aneka bunga, sehingga terhadap jenis bunga
yang langka lainnya bisa kupelajari dari buku itu. Tapi
kenyataannya sekarang, jangan lagi aku tidak mengenali jenis
bunga ini, didengar pun belum pernah"
"Maka kau menaruh curiga kalau bunga ini bukan berasal
dari daratan Tionggoan?" kata Tu Siau-thian.
Baru saja Siang Hu-hoa hendak menjawab, Tu Siau-thian
sudah maju mendekat sambil berbisik:
"Tentunya kedatanganmu ke kebun belakang bukan cuma
untuk menonton jenis bunga itu bukan?"
"Boleh dibilang begitu" jawab Siang Huhoa setelah berpikir
sebentar.
"Jadi masih ada maksud lain?" desak Tu Siau-thian.
Siang Huhoa mengangguk.
Anda sedang membaca artikel tentang Laron Penghisap Darah 1 dan anda bisa menemukan artikel Laron Penghisap Darah 1 ini dengan url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/09/laron-penghisap-darah-1.html,anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel Laron Penghisap Darah 1 ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,namun jangan lupa untuk meletakkan link Laron Penghisap Darah 1 sumbernya.

Unknown ~ Cerita Silat Abg Dewasa

Cersil Or Post Laron Penghisap Darah 1 with url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/09/laron-penghisap-darah-1.html. Thanks For All.
Cerita Silat Terbaik...

{ 1 komentar... read them below or add one }

Unknown mengatakan...

Nia penulis salah kaprah atau gimana ttg ukuran panjang\tinggi. 1 kaki = 33 cm, 1 tombak = +-3 meter. Yang bener dunk...

Posting Komentar