KEDELE MAUT 2

Diposting oleh eysa cerita silat chin yung khu lung on Jumat, 09 September 2011

Memanfaatkan kesempatan yg sangat baik itulah Kho Beng
segera melarikan diri dari situ, dalam enam tujuh kali lompatan saja
ia telah berhasil menyusup masuk kebalik telaga tersebut.

Perlu diketahui, tumbuhan tgelaga yg berada disitu tingginya
melebihi tubuh manusia, begitu masuk kebalik gelaga, Kho Beng
mendekam sejenak sambil memperhatikan situasi, kemudian ia baru
merangkak secara pelan-pelan meninggalkan tempat itu.
Dia tak tahu, siapakah orang yg bakal menolongnya seperti apa
yang dijanjikan Li Sam, karena itu diam-diam dia merangkak maju
ketepi sungai dan mendekam disitu.
Pikirnya, andaikata waktu itu ada sebuah perahu yg lewat, maka
tak sulit baginya utnuk meloloskan diri dari kepungan para jago,
atau mungkin memang begitulah maksud Li sam sewaktu menyuruh
menelusuri sungai..?
Siapa tahu ketika ia sudah merangkak hingga mencapai tepi
sungai dan melongok Keluar yg terlihat hanya gulungan ombak yg
amat ganas, jangan lagi bayangan perahu, sepotong kayu atau
papan pun sama sekali tak nampak.
Dg perasaan kecewa, Kho Beng segera duduk tepekur diatas
tanah, sementara matanya mengawasi sekeliling tempat itu dg
seksama, ia kuatir ada orang yg berhasil menyusup masuk kesitu.
Atau mungkin Li Sam hanya berbohong? Atau mungkin orang yg
berniat menolongnya belum datang?
Dg perasaan amat gelisah Kho Beng menanti kedatangan bala
bantuan, sementara telinganya dapat menangkap suara
pembicaraan yg bergema datang terbawa oleh hembusan angin.
“Rekan-rekan sekalian, jangan digeledah secara sembarangan!
Yang penting kita kurung lebih dulu sekeliling hutan telaga ini, lalu
selangkah demi selangkah kita geledah kedalam, asal iblis itu bukan
jelmaan siluman, lolap jamin dia tak akan lolos dari pencarian kita
pada malam ini.”
Habis berkata, kembali gelak tawa yg amat nyaring
berkumandang memecah keheningan, jelas sudah orang yg memberi
komando tadi tak lain adalah Bok sian taysu dari Siau lim pay.
Menyusul perkataan tadi, dari sekeliling tempat tersebut
kedengaran langkah kaki manusia serta suara rumput yg disingkap
orang.
Tak terlukiskan rasa terperanjat Kho Beng pada waktu itu, ia
berusaha memeras otak untuk menemukan jalan keluar, namun
usahanya sia-sia belaka, kecuali terjun kesungai dan kabur dg jalan
menyelam, rasanya tiada jalan lain lagi.

Apa lacur, sama sekali ia tak mengerti ilmu berenang,
menceburkan diri ke dalam sungai sama artinya bunuh diri.
Menjumpai keadaan seperti ini, tanpa terasa ia mendongakkan
kepalanya sambil menghela napas pikirnya:
“Apa yg dikatakan Bok sian taysu memang benar, biar memiliki
sayappun jangan harap kau Kho Beng bisa lolos pada malam ini!”
Padahal Kho Beng masih mempunyai sebuah jalan lagi yaitu
muncul dalam wajah aslinya dan melangsungkan pertarungan sekuat
tenaga untuk membuka sebuah jalan berdarah guna lolos dari
kepungan.
Tapi jalan tersebut merupakan jalan terakhir yg tak akan
dilaksanakan sebelum keadaan betul-betul terpaksa, sebab ia pun
hanya mempunyai sedikit harapan, sebab jumlah musuh yg
mengepung disekeliling sana benar-benar kelewat banyak.
Sementara Kho Beng duduk termenung dibalik tumbuhan gelaga,
kawanan jago persilatan yg jumlahnya mencapai ratusan orang itu
sudah mulai membentuk gerakan menjepit dirinya, semuanya
membawa senjata terhunus dan selangkah demi selangkah
memasuki hutan gelaga dg wajah tegang.
Manusia beriring manusia, pedang berlapis pedang, boleh
dibilang tiada tempat luang yg tersisa, bukan Cuma begitu, kawanan
jago yg mendapat tugas ditempat lain pun secara berbondongbondong
berdatangan semua kesitu.
Dalam waktu singkat, wailayah yg berada dlm radius pencarian
mereka makin lama makin meluas.
Disaat para jago sudah memasuki hutan gelaga sejauh dua
puluhan kaki itulah mendadak dari balik sungai berkelebat sesosok
bayangan putih yg membawa sebuah payung bulat, bagaikan
sambaran petir cepatnya bayangan itu dan langsung terjun ke dalam
sungai.
Melihat kejadian tersebut, para jago segera menjerit kaget:
“Kedele maut melarikan diri ke dalam sungai…”
“Kedele Maut terjun keair!”
“…..”
Ditengah jeritan kaget itulah tiba-tiba terdengar seseorang
berseru sambil tertawa nyaring:
“Andaikata berada didaratan mungkin aku harus mengalah tiga
bagian kepadanya, tapi kalau berada dalam air….ha…ha…ha…dia

sama artinya dg mencari kematian buat diri sendiri, lihat saja nanti
aku akan membekuknya hidup-hidup!”
Ditengah pembicaraan, sesosok tubuh yg tinggi besar telah
melompat ke depan dan menyusul dibelakang Kedele Maut, ikut
terjun pula ke dalam sungai…
Ternyata jago yg ke air itu tak lain adalah ketua istana naga
Kiong Ceng san sendiri.
Dg terjunnya Kiong Ceng san ke dalam sungai Tiangkang, maka
para jago yg melakukan penggeledahan pun ikut menghentikan
gerakannya, serentak mereka berkumpul ditepi sungai untuk
mengikuti jalannya peristiwa tersebut.
Benar juga, tak selang beberapa saat kemudian dari balik sungai
yg hitam berlumpur telah muncul sebuah kepala manusia, kemudian
terdengar Kiong Ceng san berseru sambil tertawa terbahak-bahak:
“Ha…ha…ha…aku telah berhasil membekuk iblis tersebut!”
Sambil berkata dia mengangkat tinggi-tinggi tubuh seseorang yg
basah kuyup.
Bok sian taysu yg berdiri ditepi sungai segera berseru dg
gembira:
“Kiong lo sicu, cepat seret gembong iblis itu naik ke daratan!”
Kiong Ceng san membenamkan kembali tubuh Kedele Maut kedalam
air sungai kemudian ujarnya sambil tertawa, “Taysu aku belum mau
naik kedaratan.”
“Kenapa?” tanya Bok sian taysu tertegun.
“Sudah berhari-hari lamanya aku mesti menderita siksaan batin
yg berat gara-gara ulah iblis tersebut, maka pada malam ini aku
hendak menyuruh si iblis jahat ini merasakan nikmatnya air sungai,
selain itu tenaga dalam yg dimiliki iblis ini terlalu hebat, hanya
selama berada dalam air aku dapat mengatasinya. Aku pikir lebih
baik iblis ini kubawa berenang menuju ketelaga Tong ting, toh
jaraknya jauh lebih dekat ketimbang lewat daratan.
Ha…ha…ha…oleh sebab itu aku putuskan akan membawanya pulang
kebukit Kun san dg lewat jalan air, nah kutunggu kedatangan kalian
disana!”
Padahal begitu banyak jago lihay yg melakukan penjagaan
disekitar sana, asalkan jalan darah di Kedele Maut sudah tertotok,
apakah ia sanggup untuk melarikan diri?
Tentu saja tidak, yg benar adalah Kiong Ceng san hendak
memanfaatkan kesempatan ini dg sebaik-baiknya untuk

meningkatkan pamor serta kedudukannya dimata orang banyak.
Itulah sebabnya ia sengaja mendemontrasikan kehebatannya
dihadapan para jago.
Bok sian taysu sebagai seorang jago kawakan yg berpengalaman
tentu saja memahami maksud hati rekannya, baginya asal iblis itu
sudah tertangkap maka persoalan lain bukan masalah, itulah
sebabnya iapun memberi kesempatan buat Kiong Ceng san untuk
memperlihatkan kebolehannya.
Sambil tertawa segera ujarnya:
“Bagus, bagus sekali, tapi lolap perlu menjelaskan dulu bila
sampai terjadi sesuatu mala lo sicu seorang yg mesti bertanggung
jawab!”
Kiong Ceng san segera tertawa terbahak-bahak:
“Ha…ha…ha…bila terjadi sesuatu hal yg tak diinginkan, aku akan
pertaruhkan sebutir batok kapalaku ini, ha…ha…ha…maaf aku harus
berangkat duluan!”
Selesai berkata dia lantas menyelam kembali kedalam air dan
meluncur kedepan dg cepatnya, dalam waktu singkat diatas
permukaan air hanya tertinggal sebuah jalur panjang yg memutih.
Sambil tertawa tergelak, Bok sian taysu segera berkata:
“Kiong tayhiap betul-betul hebat, makin tua makin gagah saja
nampaknya….”
Kemudian sambil mengulapkan tangannya kepada para jago
serunya kembali:
“Sicu sekalian, mari kita segera berangkat, coba kita lihat siapa
yg lebih cepat tiba ditempat tujuan, Kiong tayhiap atau kita?”
“Baik! Hayo berangkat!”
Diiringi sorak sorai yg keras, berangkatlah kawanan jago itu
kembali kearah telaga Tong ting.
Betulkah orang yg berhasil ditawan adalah Kho Beng?
Ternyata bukan! Waktu itu Kho Beng masih bersembunyi dibalik
hutan gelaga, betapa bingung dan bimbangnya sia setelah
menyaksikan terjadinya adegan tersebut.
Suara sorak sorai dan gelak tawa dari para jago makin lama
semakin menjauh, suasana disekeliling hutan gelaga pun pelan-pelan
pulih kembali dalam keheningan, tapi pikiran Kho Beng tetap kalut
dan bergelombang dg hebatnya.
“Siapa gerangan orang itu? Mengapa dia mewakiliku agar dibekuk
orang? Mungkin kah orang tersebut yg dimaksud Li sam?”

Pelbagai pertanyaan membelenggu pikiran dan perasaannya,
namun tak sebuah pun yg dapat ditemukan jawabannya.
Akhirnya dalam hutan gelaga itu juga dia melepaskan rambut
palsunya, membuang payung bulat, melepaskan baju perempuan
dan mengenakan kembali baju sendiri.
Kemudian setelah muncul dalam wujud aslinya, ia baru melompat
keluar dari balik hutan gelaga serta memperhatikan sejenak suasana
disekitar tempat itu.
Menurut rencana semula, Kho Beng memutuskan akan pergi
meninggalkan telaga Tong ting dan berangkat ke Yang ciu untuk
mencari Sastrawan berkipas kumala Beng Tan atau kalau tidak
berusaha mengadakan kontak dg encinya.
Tapi sekarang ia harus merubah rencananya semula, sebab dia
ingin tahu siapakah orang yg telah mewakilinya untuk mencari mati?
Sebab ia sangat terharu oleh tindakan orang tersebut disamping
perubahan yg terjadi benar-benar diluar dugaan. Tapi persoalan yg
membuatnya ragu adalah dapatkah ia kembali kesitu dg selamat?
Mungkinkah orang lain sudah mencurigai gerak-geriknya?
Sementara Kho Beng masih mempertimbangkan persoalan tsb,
mendadak dari belakang tubuhnya kedengaran seseorang menegur:
“Kho sauhiap, mengapa kau masih berada disini?”
Kho Beng sangat terkejut, secepat kilat ia membalikkan badannya
sambil memperhatikan kearah mana berasalnya suara teguran tsb.
Tampak tiga sosok bayangan manusia melayang turun persis
dihadapannya, ternyata mereka adalah Kim kong sam pian, Kim
bersaudara.
Pelbagai perasaan yg tak keruan pun berkecamuk dlm benaknya,
tapi dg cepat ia pun balik bertanya:
“Oooh…rupanya kalian bertiga, mengapa kamu bertiga pun masih
berada disini?”
Sambil tertawa Kim lo ji segera berkata:
“Kami dapat tugas utk menarik kembali semua penjagaan yg
berada di sekitar sini, kenapa sauhiap tidak kembali?”
Kho Beng pura2 tertawa getir:
“Kembali? Sewaktu mengikuti kalian mengejar Kedele Maut tadi,
tiba2 kulihat adanya tanda bahaya muncul disebelah sana, maka aku
buru2 kesitu, ditempat tsb kutemukan sesosok mayat tosu,
karenanya aku berusaha mencari rekan2 lainnya disekitar sini, siapa
tahu tidak kutemukan seorang teman pun berada disini…”

Ketika berbicara sampai disitu, tiba2 ia merasa penjelasannya
banyak terdapat kelemahan, maka cepat2 ia balik bertanya:
“Mengapa kalian bertiga menarik kembali semua penjagaan
disekitar sini?”
“Apakah Kedele Maut sudah lolos?”
Kim kong sam pian adalah para lelaki periang yg berjiwa terbuka,
ditambah pula mereka menaruh kesan baik terhadap Kho Beng dan
bermaksud mengikat tali persahabatan dgnya, maka pada
hakikatnya semua kelemahan dibalik penjelasan Kho Beng tadi tidak
diperhatikan sama sekali.
Terdengar Kim lo jin tertawa terbahak-bahak.
“Ha…ha…ha…rupanya sauhiap belum tahu? Gembong iblis itu
sudah tertangkap hidup2…”
“Kedele Maut sudah tertangkap hidup2?” Kho Beng pura2 terkejut
bercampur keheranan, “siapa yg berjasa membekuk iblis tsb?”
“Siapa lagi, tentu saja Kiong locianpwee dari bukit Kun san” sahut
Kim losam sambil tersenyum, “malah ia ketelaga tong ting lewat
jalan air. Kho sauhiap, mari kita cepat2 pulang, siapa tahu disana
bakal berlangsung suatu pertunjukkan yg sangat menarik!”
Seraya berkata, ia segera menarik Kho Beng dan diajak berlalu
dari situ…
Berada dalam keadaan begini, terpaksa Kho Beng ikut pulang,
walaupun demikian ia toh menunjukkan kembali wajah tercengang,
tanyanya:
“Pulang lewat jalan air? Mengapa tidak kulihat ada perahu di
sungai?”
Kembali Kim lo toa tertawa terbahak-bahak:
“Ha…ha…ha… dg ilmu berenang yg dimiliki Kiong locianpwee, apa
gunanya perahu baginya? Biarpun sungai tiangkang lima enam puluh
li namun dalam pandangannya tak lebih hanya sebuah selokan
kecil.”
“Maksud saudara Kim, Kiong tayhiap pulang ke Kun san dg jalan
berenang diair?” kembali Kho Beng berlagak tak percaya.
Kim lo toa manggut2.
“Tampaknya sauhiap baru pertama kali menginjakkan kaki di Gak
yang sehingga tidak mengetahui kemashurannya, biarpun dlm kurun
waktu belasan tahun belakangan ini banyak sudah bermunculan
jago2 kenamaan diseputar wilayah Sam siang, sesungguhnya belum
ada seorang manusia pun yg sanggup melampaui kepandaian

berenang yg dimiliki Kiong tayhiap, itulah sebabnya gedung keluarga
Kiong dibukit Kun san disebut sebagai istana naga, karena ilmu
berenangnya luar biasa, malah pernah mengungguli enam belas jago
berenang dari lima telaga, itulah sebabnya ia pun dihormati sebagai
seorang sincu.”
Ditengah pembicaraan yg santai, tanpa terasa mereka berempat
sudah tiba dikota Gak yang.
Sewaktu tiba ditepi telaga Tong ting hari sudah terang tanah, dari
kejauhan Kho Beng dapat menyaksikan hasil karyanya semalam,
gedung wisma tsb nyaris terbakar habis, puing2 nampak berserakan
dimana-mana.
Untuk menutup perbuatannya, pemuda itu sengaja menggerutu
sambil menghela napas mencaci maki perbuatan tsb, kemudian
mereka baru berangkat kebukit Kun san dg menaiki sampan yg
tersedia.
Saat itu hatinya merasa tegang sekali sebab teka teki akan
segera terjawab. Ia ingin tahu apakah orang tsb ada hubungan dg
dirinya atau tidak.
Setibanya dibukit Kun san, diiringi Kim kong sam pian mereka
memasuki gedung istana naga yg megah. Waktu itu eluruh ruangan
sudah dipenuhi jago yg masing2 sedang berbisik-bisk
mempersoalkan kejadian itu.
Pada saat itulah petugas penerima tamu dari Bu tong pay telah
berseru keras:
“Kho sauhiap tiba!”
Para jago yg semula berjalan dimuka pintu gerbang serentak
memisahkan diri menjadi dua dan menyingkir kesamping, lalu
nampak seorang nona cantik tampil kedepan pintu seraya menyapa.
“Sauhiap, rupanya kau telah pulang.”
Melihat orang yg datang menyambutnya adalah Walet Terbang
berwajah ganda Chin sian kun, lagi2 Kho Beng merasakan hatinya
tak tenang, buru2 ia menjura seraya menyahut:
“Terima kasih atas sambutan dari lihiap”
“Sewaktu terjadi kebakaran di wisma semalam, aku menjadi
panik sekali karena tidak menjumpai sauhiap!” gumam Chin sian kun
lagi.
Diam2 Kho Beng merasakan hatinya tercekat, dia tak tahu apa
maksud pertanyaan tsb, menjebakkah atau sengaja hendak
menyelidiki?

Sebelum ia sempat menjawab, kim lo toa telah berkata suluan
sambil tertawa terbahak-bahak:
“Ha…ha…ha… tak nyana nona Chin pun merasa gelisah krn
memikirkan seseorang, wah nampaknya benih cinta sudah mulai
bersemi dalam hatimu!”
“Huh, usil!” umpat Sian kun sambil berkerut kening, sementara
wajahnya berubah menjadi semu merah krn jengah.
Atas terjadinya peristiwa ini, perasaan tegang yg semula
mencekam perasaan Kho Beng pun menjadi jauh berkurang, buru2
ia berkata sambil tersenyum:
“Oleh karena aku mengetahui terjadinya kebakaran sejak awal,
waktu itu jejak musuh belum hilang maka tanpa berpikir panjang
aku melakukan pengejaran…”
Kemudian sambil mengalihkan pembicaraan kesoal lain,
lanjutnya:
“Konon Kiong tayhiap telah berhasil membekuk Kedele Maut, apa
benar..?”
Chin sian kun manggut2:
“Yaa, sekarang iblis tsb sudah dibelenggu ditengah ruangan dan
siap menerima pengadilan masal!”
“Sebenarnya siapa sih gembong iblis tsb?” desak Kho Beng ingin
tahu.
Chin sian kun segera tertawa misterius:
“Tak ada salahnya bila sauhiap mencoba untuk menerkanya
sendiri..!”
Sambil tertawa Kim lo ji ikut menimbrung.
“Waah…buat apa sih kau menjual mahal? Asal kita masuk
keruangan, bukankah segala sesuatunya akan jelas?”
Chin sian kun segera mendengus:
“Hmm, aku yakin kalian tak bakal bisa menerkanya, sauhiap
cepat masuk dapat kuberitahukan kepadamu, Kedele Maut tsb hanya
gadungan…”
Dalam hal ini tentu saja Kho Beng lebih mengerti, sebab yg
dimaksud sebagai Kedele Maut bukan lain adalah enci kandungnya,
sedang encinya pun mustahil mengambil arah yg sama dg arah yg
ditempuh.
Namun utk menghilangkan kecurigaan orang, mau tak mau ia
meski berlagak terkejut juga, serunya keheranan.
“Oooh…Cuma gadungan? Lantas siapakah perempuan itu?”

Kembali Chin sian kun tersenyum.
“Dia bukan wanita, tapi seorang laki-laki!”
Kali ini Kho Beng benar2 dibuat tercengang, setengah tak
percaya serunya:
“Mana mungkin seorang laki-laki?”
Tiba2 Chin sian kun menghela napas panjang:
“Aaai…kalau dibicarakan mungkin kau semakin tak percaya lagi,
ternyata laki-laki yg menyaru sebagai Kedele Maut itu adalah Thi
koay siang coat Li Sam yg baru2 ini termasyur dlm dunia persilatan!”
Sewaktu berbicara sampai disini, mereka berempat telah
melangkah masuk ke dalam pintu ruangan. Tapi nama “Li Sam” yg
disebutkan terakhir itu ibarat guntur yg membelah bumi disiang hari
bolong, kontan saja membuat pandangan mata Kho Beng
berkunang-kunang.
Li Sam? Si toya baja Li Sam? Apakah dunia persilatan dewasa ini
,asih ada orang kedua yg menggunakan nama Li Sam.
Aan tetapi sewaktu sorot matanya dialihkan kewajah orang yg
diikat kencang2 ditiang ruang tengah itu, ia makin tercekat lagi,
ternyata orang itu benar2 adalah Li Sam yg dicintai dan dihormati.
Dalam waktu singkat Kho Beng merasakan hatinya bergolak keras
sekali, untuk berapa saat lamanya dia hanya bisa termangu-mangu.
Sekarang ia mengerti, rupanya sewaktu ia menolak untuk
menuruti nasehatnya, ia telah mempersiapkan rencana untuk
menolong jiwanya dg korbankan diri sendiri, tak heran kalau ia
sempat berpesan kepadanya bahwa disaat terdesak nanti, dari balik
hutan gelaga pasti akan muncul seseorang yg akan menolongnya,
ternyata orang yg dimaksud tak lain adalah dirinya sendiri.
Pada saat Kho Beng dicekam rasa sedih yg luar biasa itulah,
teredngar Bok sian taysu berseru:
“Berikan tempat duduk untuk Kho sicu!”
Kho Beng tersentak kaget, ia tak berani menunjukkan perubahan
sikap dihadapan orang banyak, apalagi disitu penuh hadir jago2
persilatan yg tak terhitung jumlahnya.
Dibagian terdepan terdapat lima buah kursi, selain bok sian taysu
dan pemilik istana naga Kiong Ceng san yg duduk dibagian tengah,
disebelah kanannya adalah Hek pek ji lo dari Hoa san pay, sedang
disebelah kiri adalah seorang tosu tua, Hian it totiang dari Bu tong
pay.

Sementara itu dua orang centeng telah menyiapkan sebuah kursi
kebesaran yg diletakkan disamping Hian it totiang, kemudian
mengundurkan diri kembali.
Kho Beng segera menjura, serunya cepat2:
“Aku yg muda hanya seorang angkatan muda, tak berani duduk
bersanding dg cianpwee sekalian…”
Sambil mengelus jenggotnya yg putih Kiong Ceng san segera
menyela:
“Sauhiap adalah tamu agung kami, tidak pantaskah kami
menghormati? Hayo silahkan duduk, kita harus segera mengadili
mata2 ini!”
Kho Beng merasakan pikirannya sangat kalut, maka tanpa
sungkan2 lagi ia menempati kursi yg telah disediakan.
Baru saja ia duduk, Bok sian taysu telah berkata:
“Sau sicu, kau tidak menyangka bukan?”
Kho Beng merasakan hatinya amat sakit bagaikan diiris dg pisau,
tanpa berbicara ia manggut2, kemudian mengalihkan pandangannya
ke wajah Li Sam yg terikat diatas tiang.
Waktu itu Li Sam masih mengenakan baju perempuan berwarna
putih yg basah kuyup, mukanya pucat menghijau, selain tanpa
emosi iapun tidak menengok sekejap pun kearahnya.
Kho Beng betul2 menyesal, pekiknya dlm hati:
“Samko..ooh samko…akulah yg telah mencelakaimu…!”
Sementara itu, Bok sian taysu telah berseru dg lantang:
“Li Sam, selama ini lolap bersikap cukup baik kepadamu,
mengapa kau justru membalas dg cara begini?”
“Aku rasa Li Sam belum pernah bersikap jelek kepada taysu”
sahut Li Sam dingin.
“Apa maksud perkataanmu itu?” bentak Bok sian taysu dg suara
dalam dan berat.
“Sederhana sekali, sebenarnya aku orang she Li dapat
membunuhmu setiap saat, tapi aku toh tak pernah melakukannya,
hal ini disebabkan sikapmu kepadaku pun sangat baik, maka aku
enggan membalas air susu dg air tuba!”
Kontan saja Bok sian taysu melototkan matanya bulat2,
bentaknya keras:
“Dendam sakit hati apakah yg pernah terjalin antara kau dg
aku…?”
“Sama sekali tiada dendam sakit hati apa pun!”

“Lantas mengapa kau berbuat begitu?” Bok sian taysu
mengerutkan dahinya rapat2.
“Aku sedang melaksanakan tugas dari guruku!”
“Siapakah gurumu?” sela Kiong Ceng san.
“Maaf tak dapat kujawab!”
Bok sian taysu segera menghentakkan tongkatnya keras2 ke
tanah, kemudian bentaknya dg gusar:
“Kau mau mengaku tidak!”
Paras muka Li Sam sama sekali tak berubah, tanpa emosi
sahutnya dingin:
“Apa yg mesti kuakui?”
“Katakan siapa gurumu? Mengapa kau menyaru sebagai Keele
Maut dan apa maksud tujuanmu?”
Tiga pertanyaan yg diutarakan secara beruntun ini segera
membuat para jago menjadi tegang, mereka semua pasang telinga
baik2 untuk mendengarkan jawabannya.
Namun Li Sam tetap hambar, tanpa emosi katanya ketus:
“Kuanjurkan kepadamu agar tak usah membuang energi sia2,
percuma ! aku tak bakal menjawab semua pertanyaanmu.”
Mendadak Bok sian taysu tertawa seram:
“He…he…he…Li Sam, sekalipun tidak kau katakan, lolap juga bisa
menebaknya, kau sengaja berperan sebagai si Kedele Maut
bukankah karena ingin memancing perhatian para rekan2 persilatan
sehingga memberi kesempatan kepada si iblis jahat itu untuk
meloloskan diri?”
“Cerdik benar kamu ini!” jengek Li Sam sambil tertawa dingin,”
sayang sekali agak terlambat kau mengetahui soal ini.”
Sekali lagi Bok sian taysu tertawa seram:
“Selama kau Li Sam masih berada dibawah cengkeramanku,
maka belum terhitung terlambat bagiku. Sekarang aku hanya
berharap kepadamu untuk menjawab pertanyaan saja, siapa gurumu
dan apa hubunganmu dg Kedele Maut? Asal kau bersedia mengakui
secara blak-blakan bisa jadi akupun dapat mempertimbangkan
kembali hukuman yg jauh lebih ringan bagimu.”
Li Sam tertawa mengejek, katanya:
“Kalau toh kau si hwesio dapat menebaknya sendiri, mengapa
tidak kau tebak saja jawabannya?”

Kiong Ceng san tak dapat mengendalikan hawa amarahnya,
sambil mengebaskan ujung bajunya ia membentak: “Mana
pengawal? Siapkan alat2 siksa dg api!”
Lelaki2 kekar yg berdiri disamping arena segera mengiakan,
seketika itu juga muncul empat orang lelaki yg segera berlarian
keluar dari ruangan.
Pada saat itulah tiba2 Hian it totiang dari Bu tong pay buka
suara, ujarnya:
“Li sicu, pinto anjurkan kepadamu agar mau menjawab dg
sejujurnya, asal sicu bersedia untuk bertobat serta menyesali
perbuatanmu dimasa lalu, aku jamin selembar jiwamu pasti selamat
tanpa cedera.”
“He…he…he…” Li Sam tertawa dingin tiada hentinya, “Kau
hendak menjamin keselamatanku? Siapa yg dapat menjamin pula
keselamatanmu sendiri? Hmmm siapa tahu kau sendiripun hanya
bisa hidup selama beberapa hari?”
Paras muka Hian ti totiang seketika itu berubah menjadi hijau
membesi gemetar keras seluruh tubuhnya karena mendongkol,
bentaknya keras2:
“Bajingan laknat yg tak tahu diri! Kau berani mencari gara2 dg
ku?” Baru selesai ia berkata keempat lelaki kekar tadi telah muncul
kembali dari pintu ruangan sambil menggotong masuk sebuah kuali
besi yg besar sekali, ditengah kuali kelihatan bara api yg merah
kehijau-hijauan, lidah api yg mengerikan tampak menjilat-jilat
keatas, sementara dibalik bara api yg membara, masing2 terdapat
dua batang besi yg telah membara pula.
Kuali besi berisi api yg membara tadi diletakkan dihadapan Li
Sam, sementara keempat lelaki bengis tadi berdiri berjajar disisinya.
Jilid 11
Dalam waktu singkat suasana diseluruh ruangan tsb telah
dicekam oleh suasana seram, tegang dan serius, lebih2 untuk Kho
Beng, ia sangat terperanjat sehingga untuk sesaat lamanya tidak
tahu apa yg mesti diperbuat.
Namun Li Sam yg dibelenggu diatas tiang tetap tenang, wajahnya
tetap hambar tanpa perubahan, ia seperti tak gentar menghadapi
ancaman tsb…

Sekalipun berhadapan dg api yg membara, jangan lagi berkedip,
melihat sekejap pun tidak, seakan akan masalah mati atau hidup
sudah bukan menjadi masalah lagi baginya.
Dalam sekejap mata, suasana didalam ruangan tercekam dlm
keheningan yg luar biasa, begitu hening sampai jarum yg terjatuh
pun mungkin akan terdengar jelas.
Sinar mata dan perhatian semua jago telah tertuju ketubuh Li
Sam seorang, semua orang ingin melihat bagaimanakah reaksi orang
tsb.
Tiba2 terdengar pemilik istana naga, Kiong Ceng san membentak
lagi dg suara menggeledek:
“Li Sam sebetulnya kau bersedia mengaku atau tidak!”
“Seperti perkataanku semula, tiada persoalan yg bisa diakui oleh
Li Sam kpd kalian.....”
“Betul2 keras kepala dan membandel!” seru Kiong Ceng san
sambil tertawa seram, “Baik, akan kubuktikan hari ini, apa benar
tubuhmu terdiri dari otot kawat tulang baja sehingga tahan
disiksa....mana pengawal? Siapkan alat siksaan!”
Keempat lelaki kekar pelaksana siksaan segera mengiakan
bersama, salah seorang diantaranya segera menyambar gagang besi
yg membara itu kemudian selangkah demi selangkah berjalan
menuju kehadapan Li Sam.
Berada dlm keadaan seperti ini hampir saja jantung Kho Beng
melompat keluar dari tenggorokannya, selama ini ia sudah berusaha
memutar otak untuk mencarikan cara baik guna menyelamatkan Li
Sam dari bahaya maut, namun biarpun sudah dipikirkan lebih jauh,
bagaimanapun jua ia gagal menemukan cara terbaik.
Bukit Kun san dikelilingi air, ditambah lagi ratusan jago silat yg
memadati ruangan dlm serta ratusan lagi diluar ruangan, andaikata
ia tak segan2 untuk mengungkapkan identitas diri dan tampil ke
depan untuk melindungi keselamatan Li Sam, belum tentu usahanya
tsb dapat menolong Li Sam dari bahaya serta membawanya lolos
dari situ.
Oleh karenanya Kho Beng hanya bisa duduk dg perasaan
tertegun dan tidak tenang, pelbagai pikiran dan perasaan yg kalut
berkecamuk dlm benaknya.
Tapi sekarang siksaan segera akan dilaksanakan, ini berarti sudah
tiada kesempatan lagi baginya untuk mempertimbangkan lebih jauh,
kesetian Li Sam membuat darahnya terasa mendidih, ia berpendapat

sekalipun tubuh sendiri bakal remuk, bagaimanapun jua tak mungkin
bagi dirinya untuk berpeluk tangan belaka.
Sementara darahnya terasa mendidih dan bergolak keras, pada
saat itulah kedengaran seseorang membentak dg suara yg dalam
dan berat:
“Tunggu sebentar!”
Bentakan tsb bukan saja membuat beberapa orang tokoh
persilatan yg hadir menjadi tertegun, Kho Beng sendiripun turut
termangu dibuatnya.
Cepat2 dia mengalihkan sorot matanya kearah mana berasalnya
suara bentakan tsb, ternyata orang itu tak lain adalah kakek
bermuka hitam satu diantara dua sesepuh hitam putih dari Hoa san
pay.
Waktu itu besi membara yg disiapkan lelaki kekar pelaksana
siksaan telah tiba didepan dada Li Sam, ia segera menghentikan
perbuatannya sesudah mendengar bentakan tsb.
Dg keheranan dan tak habis mengerti Kiong Ceng san segera
bertanya:
“Sik tayhiap mengapa kau menghalangi jalannya siksaan?”
Sambil menjura kearah Kiong Ceng san si kakek bermuka hitam
berkata lagi sambil tertawa:
“Aku Sik Tin phu tak berani menghalangi jalan penyiksaan, hanya
ada satu permintaan ingin kuajukan kepada sidang?”
“Silahkan Sik tayhiap katakan!” buru2 Kiong Ceng san berseru
seraya menjura.
Sik Tin phu, kakek bermuka hitam itu segera tertawa:
“Aku hanya berharap pelaksana siksaan dapat ditunda sebentar
saja…”
Sepasang sesepuh hitam putih dari Hoa san pay ini boleh dibilang
merupakan tokoh silat yg memiliki pamor dan kedudukan tinggi
didunia persilatan, tapi sekarang tokoh semacam itu bisa berkata
demikian, hal mana segera menimbulkan perasaan heran dihati para
jago lainnya.
Sementara semua orang masih tertegun, kakek bermuka putih
telah memberi penjelasan sambil tertawa:
“Sebagaimana diketahui, semalam kami dua bersaudara sudah
cukup menderita gara2 ulah bajingan busuk ini, maka kami ingin
melampiaskan rasa mendongkol tsb saat ini juga, itulah sebabnya

kami mohon penyiksaan terhadap bajingan tsb dapat diserahkan
saja pelaksanaannya kepada kami berdua.”
Dg penjelasan tsb, para jago baru mengerti maksud dan
keinginannya.
Kiong Ceng san segera tertawa terbahak-bahak:
“Ha….ha…ha….rupanya begitu, kalau toh saudara Sik mempunyai
kegembiraan untuk berbuat demikian silahkan saja dilakukan dg
sesuka hati.”
Sekali lagi kakek bermuka hitam itu menjura kemudian baru
membalikkan badan dan berjalan menuju ketengah arena.
Diambilnya sebatang besi yg telah membara, lalu sambil berjalan
menuju kehadapan Li Sam, jengeknya sambil tertawa seram:
“Sewaktu berada ditepi sungai semalam, aku sama sekali tak
menyangka kalau orang yg kami hadapi adalah Li tayhiap,
he…he…he…masih ingatkah kau dg apa yg telah diucapkan
semalam?”
Li Sam nampak agak bingung tapi segera jawabnya dingin:
“Maaf aku Li Sam tidak dpt mengingatnya kembali…”
“He…he…he…” sekali lagi kakek bermuka hitam tertawa seram,
“semalam kau begitu bergaya dg ucapanmu yg begitu sombong, tak
sebuah perkumpulanpun yg luput dari cercaanmu, maka sekarang
aku hendak menyuruh kau merasakan pembalasan kami atas
perkataanmu yg tidak senonoh semalam.”
Tentu saja sikakek bermuka hitam ini tidak tahu kalau orang yg
mengejeknya semalam adalah Kho Beng, sehingga semua rasa
dendam dan sakit hatinya dilimpahkan kepada Li Sam seorang.
Paras muka Li Sam waktu itu sudah berubah menjadi hijau
membesi, hawa panas yg memancar keluar dari besi membara tsb
cukup membuat peluh diatas jidatnya mengucur keluar dg deras.
Sementara itu sikakek bermuka hitam kembali tertawa seram
seusai mengucapkan perkataannya tadi, tiba2 besi yg membara itu
ditusukkan keatas dada Li Sam.
Dlm keadaan seperti ini, Kho Beng sudah tak sanggup utk
menahan diri lagi, ia segera melompat bangun dan siap membentak:
Tapi sebelum suara bentakannya meluncur dari balik bibirnya, Li
Sam dg mata melotot besar telah membentak keras lebih dulu:
“Tahan!”

Walaupun suara bentakan itu tidak nampak bertenaga namun
berhubung dipancarkan dg sepenuh tenaga, maka suaranya cukup
menggetarkan seluruh ruangan.
Dg sorot mata yg berapi-api kembali ia membentak keras:
“Barangsiapa berani bertindak sembarangan, aku Li Sam tak
segan2 akan menghabisi nyawa sendiri!”
Didalam teriakan tsb seolah-olah tak sengaja sorot matanya
dialihkan sampai dua kali kewajah Kho Beng.
Menyaksikan hal tsb, Kho Beng menjadi tertegun lalu menghela
napas panjang dan duduk kembali ketempat semula.
Ia mengerti perkataan Li Sam tsb sengaja dituju kepadanya, ia
seperti memberi petunjuk kepadanya agar tdk bertindak secara
gegabah karena dorongan emosi, sebab hasilnya hanya mengantar
selembar jiwanya dg percuma.
Sementara itu sikakek bermuka hitam telah mengejek kembali
sambil tertawa seram:
“He...he...he...dalam keadaan seperti inipun kau masih ingin
berlagak sok?”
Besi yg merah membara itu segera disodokkan kedepan...
“Coossss......!”
Dipakaian Li Sam yg basah kuyup segera menyembur keluar
segulung asap berwarna hijau, disusul kemudian seluruh jago yg
hadir dlm ruangan mengendus bau daging yg hangus....
Jerit kesakitan yg memilukan hatipun berkumandang dari mulut Li
Sam serta bergema diseluruh ruangan.
Kho Beng tak tega menyaksikan adegan semacam itu, ia
memejamkan matanya rapat2 sambil berusaha keras menahan
cucuran air matanya yg telah mengambang dalam kelopak matanya
sekuat tenaga, ia berusaha utk menahan rasa gusar, dendam dan
gejolak emosi yg membara dalam dadanya. Dlm hati kecilnya diam2
ia berpekik, “Maafkan aku sam ko....selama Kho Beng masih dapat
bernapas didunia ini aku bersumpah akan membalaskan dendam
sakit hatimu ini” Tiba2 terdengar suara teriakan kaget bergema dari
sekeliling ruangan tsb,
“Sik tua cepat hentikan perbuatanmu!”
Sik tua tahan, dg wajah tertegun Kho Beng membuka matanya
kembali, ia saksikan darah segar telah meleleh keluar dari ujung
bibir Li Sam, sementara kepalanya telah terkulai lemas diatas
dadanya.

Dg perasaan terkejut kakek bermuka hitam membuang besi
membara yg berada ditangannya, kemudian memeriksa denyut nadi
Li Sam tapi akhirnya ia membalikkan badan dan mengundurkan diri
seraya bergumam:
“Aaaah...sudah mampus.....”
Perasaan menyesal jelas terlintas diatas wajahnya.
Sementara itu Bok sian taysu telah bangkit berdiri pula, ketika
menyaksikan peristiwa tsb ia segera berkata sambil menghela napas:
“Aaaaai…aku tidak menyangka kalau dia akan bunuh diri dg
menggigit lidah sendiri, akibatnya jejak kita untk menelusuri Kedele
Maut lagi2 terputus ditengah jalan.”
Kho Beng sendiri hampir semaput setelah meyaksikan kematian
yg mengenaskan dari Li Sam, tapi dg sekuat tenaga ia menggigit gigi
menahan diri.
Sekarang ia sudah dapat melihat dg jelas wajah2 sebenarnya
orang persilatan yg menganggap dirinya sbg golongan putih, demi
tercapainya apa yg diharapkan ternyata mereka pun tak segan2
menggunakan cara siksaan yg paling keji bahkan sama sekali tidak
menggubris peraturan dunia persilatan.
Diam2 ia mulai berjanji, peduli pihak istana naga dari bukit Kun
san serta sepasang sesepuh hitam putih Hoa san pay mempunyai
ikatan permusuhan atau tidak dg dirinya, suatu saat dia pasti akan
membalaskan dendam bagi kematian Li Sam…”
Begitulah malam itu juga Kho Beng berangkat meninggalkan
bukit Kun san…
Peristiwa berdarah yg berlangsung dibukit Kun san pun dg
cepatnya tersebar luas diseluruh dunia persilatan.
Kematian Leng hun totiang dari Bu tong pay, bunuh dirinya Li
Sam yg belum lama termasyur didunia persilatan…semua berita tsb
mendatangkan perasaan terkejut dan heran bagi semua jago
diseluruh negeri….
Tentu saja semua orang menduga Kedele Maut telah berhasil
meninggalkan kawasan telaga Tong ting, maka usaha pembalasan
dendam dari Kedele Maut pun mendatangkan perasaan misteri dan
seram bagi setiap umat persilatan. Orang jadi lebih waspada dan
berhati-hati lagi dalam kehidupannya.
Lebih2 dg kematian Li Sam, kematiannya mendatangkan akibat
yg luar biasa bagi umat persilatan. Semua orang tidak tahu barapa

banyakkah komplotan yg berpihak kepada Kedele Maut dan masih
berkeliaran diantara mereka.
Dibawah pemberitaan yg sambung menyambung, akhirnya
keseraman dan kehebatan Kedele Maut telah menimbulkan suatu
gambaran yg mengerikan bagi semua orang, seolah-olah tiada
lubang sekecil apapun yg tak bisa ditembusi Kedele Maut.
Dg terjadinya peristiwa itu, setiap jago mulai tak percaya dg
orang2 disekelilingnya, tindak tanduk setiap orang pun berubah
menjadi lebih hati2 dan penuh perhitungan, semuanya takut
dicurigai dan sebagai komplotan dari Kedele Maut tsb.
Terutama bagi kawanan tokoh persilatan yg berkumpul dibukit
Kun san kecuali menderita kekalahan yg tragis, mereka pun mulai
tak tenang hatinya akibat lenyapnya Kho Beng secara tak berbekas.
Waktu itu Kho Beng dg membawa perasaan sedih yg luar biasa
telah meneruskan perjalanannya utk mencari jejak encinya.
Entah berapa waktu sudah lewat, suatu hari sampailah dia dikota
Yang ciu.
Kota Yang ciu sebagai kota termasyur dikawasan Kang lam
benar2 memiliki kejayaan dan kemegahan yg luar biasa.
Walaupun kota Yang ciu sangat indah, sayang Kho Beng tidak
berkesan untuk menikmatinya.
Sejak kematian Li Sam, putusnya berita encinya, membuat
pemuda ini masgul dan berpikir kosong, dia tak tahu sampai kapan
baru dapat berkumpul kembali dg kakaknya itu.
Ketua Sam goan bun pernah memberitahukannya untuk
menemukan Sastrawan berkipas kemala Beng yu, maka dianjurkan
mencarinya kekota Yang ciu.
Tapi sejak kedatangannya dikota tsb, sudah hampir sore ia
berusaha menelusuri jejaknya, alhasil alamat tsb belum ketahuan
juga.
Dlm putus asanya dia mulai merasa ragu2 atas kebenaran
tindakan yg telah dilakukannya selama ini.
Dg perasaan bimbang dan kosong ia mencoba memperhatikan
sekejap sekeliling itu, mendadak dari ujung jalan sana tampak
seorang lelaki berbaju kuning yg menyoren pedang munculkan diri
dan bergerak mendekati dg cepat.
Orang itu berwajah panjang seperti muka kuda, alis matanya
tebal, meski wajahnya amat asing anmun warna kuning bajunya

persis sama seperti pakaian kuning yg dipakai rombongan jago
pedang yg pernah dijumpai di Tong sia tempo hari.
Seketika itu juga Kho Beng merasakan semangatnya berkobar
kembali, pikirnya:
“Seandainya orang berbaju kuning ini merupakan anggota
perguruan dari dewi In nu siancu, sudah pasti dia mengetahui pula
kabar berita tentang sastrawan berkipas kemala.”
Buru2 dihampirinya orang tsb, lalu seraya menjura sapanya:
“Saudara harap berhenti sebentar!”
Orang berbaju kuning itu tertegun, diamatinya wajah Kho Beng
dari atas hingga kebawah, kemudian tegurnya:
“Ada urusan apa?”
“Benarkah saudara anak buah dewi In nu siancu?” selidik Kho
Beng sambil tersenyum.
Berubah hebat paras muka jago pedang berbaju kuning itu, dg
suara dingin ia balik bertanya:
“Siapa kau? Darimana bisa tahu nama besar dewi kami?”
Dari nada jawaban orang tsb, Kho Beng tahu kalau ia sudah
menemukan lawan bicara yg benar, namun oleh karena sikap orang
tsb sangat tidak bersahabat, mau tak mau secara diam2 ia mesti
tingkatkan kewaspadaannya.
Sengaja ia membohongi orang tsb, segera ujarnya sambil tertawa
terkekeh-kekeh:
“Aku yg muda Tio ki mempunyai sobat yg menjadi anggota
perguruan dari dewi In nu siancu, oleh sebab itu sudah lama aku yg
muda menaruh rasa kagum dan hormat terhadap kebajikan
siancu…..”
“Siapakah rekanmu itu?” tukas lelaki berbaju kuning tsb dingin.
“Dia she Beng, orang persilatan menyebutnya sebagai sastrawan
berkipas kemala!”
Lelaki berbaju kuning itu segera mendengus dingin:
“Besar amat nyali Beng loji sehingga pantangan siancu kami pun
berani dilanggar, bahkan membocorkan rahasia sebesar ini kepada
orang lain….he…he….tampaknya ia sudah bosan hidup….”
Kho Beng segera merasa gelagat kurang menguntungkan, selain
itu dia pun tak berani menanyakan alamat sastrawan berkipas
kemala secara langsung, sebab sebagai sobat lama, mana mungkin
alamat rumahnya pun tidak diketahui? Bila ditanyakan secara
langsung, bukanka rahasianya justru akan terbongkar?

Satu ingatan segera melintas didalam benaknya, tidak sampai
perkataan lawan selesai diutarakan, segera ia tertawa terbahakbahak:
“Mengingat saudara adalah kenalan Beng jiko, berarti kaupun
sahabat diriku, harap anda jangan menganggap asing diriku.
Mari,mari…biar siaute menjadi tuan rumah dg menjamu saudara
dirumah makan Tay ang wan…”
Agaknya tindakan tsb sangat memenuhi selera manusia berbaju
kuning itu, air mukanya segera berubah kembali lebih kendor, malah
sambil tertawa katanya:
“Tio lote tak usah sungkan2, untung kau bersua dg diriku hari ini,
coba kalau orang lain….hmmm, mereka tak bakal bersikap
bersahabat seperti aku Han Tiong lin!”
Kho Beng segera tertawa bergelak:
“Sejak pandangan pertama tadi, aku sudah tahu kalau saudara
Han seorang lelaki yg amat bersahabat, tahu perasaan orang, itulah
sebabnya aku telah menegurmu secara lancang, ha…ha…ha…kalau
ada persoalan mari kita bicarakan didalam saja, mari berangkat, jika
saudara Han masih sungkan2 terus sama artinya tidak menganggap
diriku sbg sahabat!”
Sambil berkata, ia segera menarik ujung baju orang itu dan
diajak berlalu dari sana.
Han Tiong lin segera memicingkan matanya, lalu pura2 tertawa
rikuh, katanya:
“Kalau toh saudara bersikap begitu bersahabat, tentu saja aku
orang she Han harus menurutinya!”
Begitulah mereka berangkat berdua menuju rumah pelacuran Tay
ang wan.
Sambil berjalan Kho Beng kembali berkata sambil tertawa:
“Saudara Han tak usah merendah, biarpun aku tak punya nama
besar dalam dunia persilatan, tapi kesukaanku adalah mengikat tali
persahabatan dg siapa saja, apalagi manusia macam saudara Han.
Waah, aku tak pernah melewatkan biar seorangpun!”
Kata2 umpakan tsb makin menggirangkan hati Han Tiong lin,
wajahnya makin cerah, tidak sedingin tadi waktu bertemu pertama
kali tadi.
Baru saja mereka berdua melangkah masuk kedalam pintu
gerbang rumah pelacuran Tay ang wan, penjaga pintu telah
berteriak dg suara lantang:

“Ada tamu datang?”
“Silahkan!” jawaban lengking bergema dari balik ruangan.
Disusul kemudian muncul serombongan perempuan yg
berdandan menyolok dan bergaya amat genit.
Begitu genit jalannya perempuan2 tsb membuat Kho Beng bukan
saja bingung dan gugup, pandangan matanya serasa berkunangkunang.
Sejak terjun kedunia persilatan, baru pertama kali ini ia
terjun kebidang tsb sehingga pada hakekatnya tidak mengerti akan
tata cara yg berlaku disitu. Tapi untuk mengikat tali hubungan yg
lebih akrab dg Han Tiong lin sehingga usahanya memperoleh alamat
sastrawan berkipas kemala terwujud, buru2 ia mengeluarkan dua
puluh tail perak yg tersisa dalam sakunya dan dijejalkan ketangan
petugas disisinya sambil berpesan. Terima hadiah tersebut tapi kau
keluarkan semua nona yg paling top disini untuk menemati Han
toako ini...
Petugas rumah pelacuran itu nampak agak tertegun tapi
kemudian dg wajah berseri-seri serunya:
“Boleh hamba tahu toaya she apa?”
“She Tio!” dg suara keras petugas itu berteriak kembali.
“Tio kongcu telah menghadiahkan dua puluh tail perak, siapkan
kamar kelas satu.” Menyusul kemudian muncul sang germo diikuti
sekawanan dayang yg bersama-sama mengucapkan terima kasih:
Sang germo dg genitnya menerjang kehadapan Han Tiong lin lalu
katanya setengah merayu:
“Oooh....tuan Han kau toh bukan tamu asing buat apa menyuruh
Tio kongcu membayar mahal?”
Han Tiong lin terbahak-bahak:
“Li toanio jangan mentertawakan, Tio lote ku ini baru pertama
kali berkunjung kemari, karena itulah sebabnya baru masuk gedung
lantas membagi hadiah, harap toanio bisa melayani secara baik2…..”
“Ooooh…kalau toh sahabat tuan Han, masa aku berani berayal
kepadanya….he…he…kebetulan sekali Cui hong sedang kangen dg
tuan Han, mari ajak sekalian Tio kongcu ini untuk duduk dikamar
tidurnya Cui hong.”
Sambil berkata ia lantas menyingkir kesamping untuk memberi
jalan lewat…
Han Tiong itu tertawa terbahak-bahak, diiringi sekawanan
dayang, berjalanlah dia masuk kedalam gedung dan naik keatas
loteng.

Sementara itu paras muka Kho Beng telah berubah menjadi
merah jengah, ia tahu perbuatannya memberi hadiah tadi
memperlihatkan kepada orang lain bahwa ia baru kali ini berkunjung
ketempat macam begitu.
Sedikit banyak ia menyesal juga dg lenyapnya uang sebesar dua
puluh tail secara sia2, pikirnya kalau sekarang ia sudah berlagak
menjadi seorang toaya, entah bagaimana caranya untuk keluar dari
gedung ini nanti?
Tapi ibaratnya menunggang dipungung harimau, dalam keadaan
begini tak sempat lagi baginya untuk berpikir lain, setelah duduk
dalam ruangan, segera katanya kepada Han Tiong lin:
“Tak kusangka sama sekali saudara Han adalah langganan lama
tempat ini!”
Han Tiong lin tertawa terbahak-bahak:
“Ha…ha…ha…harap lote jangan mentertawakan, paling banter
aku Cuma iseng kemari kalau ada waktu senggang, habis kalau
menganggur sumpek rasanya!”
Kho Beng ikut tertawa terbahak-bahak, selanya:
“Ha…ha…ha…mana aku berani mentertawakan Han toako, tapi
aku pikir seorang enghiong tak bisa meninggalkan perempuan cantik
memang tepat sekali, buktinya saudara Han sebagai seorang jagoan
tg perkasa pun suka dg perempuan2 cantik…”
Kata2 umpakan tsb tak ubahnya menyanjung Han Tiong lin
setinggi langit, kontan saja ia kegirangan setenga mati.
Kebetulan sekali pada saat itulah tirai pintu ruangaan terbuka dan
muncul seorang perempuan cantik yg genit dan jalang.
Sembil tertawa tergelak Han Tiong lin segera berkata:
“Betul, betul sekali, Cui hong cepat kau jumpai Tio lote, sahabat
karibku ini!”
Sepelacur cantik, Cui hong mengerling dulu kearah Kho Beng,
kemudian setelah memberi hormat, ia baru merapatkan tubuhnya
kesamping Han Tiong lin dg manja.
Sang germo yg mengira Kho Beng sebagai putra seorang
hartawan, buru2 bertanya:
“Kongcu ingin makan apa?”
Setelah berada dalam posisi demikian, terpaksa Kho Beng harus
berpesan lebih lanjut, pesannya:
“Siapkan meja perjamuan dg hidangan terbaik.”

“Kongcu baru pertama kali berkunjung kemari, apakah perlu
hamba pilihkan seseorang….”
Tapi sebelum germo itu selesai bicara, Kho Beng sudah
menggoyangkan tangannya berulang kali dg kekuatiran.
“Tidak usah…tidak usah, harap toanio siapkan sebuah meja
perjamuan.”
Sang germo tertawa geli dan segera mengundurkan diri dari situ
sambil mengajak sekawanan dayang.
Pada saat itulah Han Tiong lin seperti teringat akan sesuatu.
Buru2 dia mendorong kesamping tubuh Cui hong, lalu ujarnya
kepada Kho Beng yg berada disisinya:
“Lote aku benar2 amat bodoh, aku lupa menanyakan sesuatu
kepadamu….”
“Soal apa?” tanya Kho Beng sambil tersenyum.
“Sebetulnya lote ada urusan apa datang mencariku?” tanya Han
Tiong lin hangat.
Diam2 Kho Beng agak tertegu, tapi setelah berpikir sebentar
buru2 jawabnya:
“Kalau toh saudara Han sudah mengajukan pertanyaan tsb,
terpaksa akupun hendak mohon bantuan saudara!”
“Katakan saja secara terus terang” seru Han Tiong lin sambil
menepuk dada, “Asal aku orang she Han sanggup melaksanakannya,
biar terjun kelautan api pun pasti tak akan kutampik!”
“Sesungguhnya persoalan besar sebagaimana diketahui, sudah
cukup lama siaute mengagumi nama besar siancu , oleh sebab itu
sudah berapa kali kumohon kepada Beng toako agar mau
memperkenalkan aku menjadi anggota perguruan siancu, siapa tahu
Beng toako berulang kali menampik permintaanku itu, sehingga
siaute pikir hendak mohon bantuan saudara Han untuk mencapai
cita2 ku!”
Setelah mengaku sebagai teman karib sastrawan berkipas
kemala, tentu saja ia tak bisa mengatakan kalau tak tahu alamat
rumahnya, karena itu satu ingatan cerdik segera melintas dalam
benaknya, membuat pemuda tsb segera menyusun sebuah alasan
palsu.
Ketika mendengar permintaan tsb, kening Han Tiong lin segera
berkerut kencang, dg sikap serba susah ia tampak termenung
beberapa saat lamanya:
Menggunakan kesempatan itu, buru2 Kho Beng berkata lagi:

“Siaute tidak terburu-buru dg keinginan tsb, harap saudata Han
usahakan saja secara pelan2 dikemudian hari!”
Dg serius Han Tiong lin manggut2, sahutnya:
“Ya betul, persoalan semacam ini memang tak bisa terburu-buru,
tapi tak usah kuatir, aku orang she Han pasti akan mencarikan
kesempatan untukmu!”
“Saat ini saudara Han berdiam dimana? Tolong diberikan alamat,
agar dikemudian hari siaute dapat berkunjung!”
“Kebetulan sekali aku sedang berdiam dirumah Beng loji saat
ini...!”
Mendengar itu Kho Beng menjadi sangat kegirangan, segera
ujarnya sambil tertawa:
“Ooooh kalau begitu sangat kebetulan sekali, siaute memang
berhasrat untuk mengunungi Bok toako dirumahnya, sebentar mari
kita berangkat bersama.”
Mendadak Han Tiong lin berbisik:
“Tahukah kau saat ini Beng loji berdiam dimana?”
Kho Beng tertegun, tapi ia segera balik bertanya:
“Apakah Beng toako sudah pindah alamat?”
Han Tiong lin segera tertawa misterius:
“Beng loji bukan hanya sudah berpindah alamat, malah dia
sekarang harus berpindah rumah setiap dua tiga hari sekali.”
“Aaaa…lantas Beng toako berdiam dimana sekarang?” tanya
pemuda itu keheranan.
Han Tiong lin semakin merendahkan suaranya, setengah berbisik
ia berkata:
“Selama dua hari terakhir ini dia berdiam ditengah kebun
terbengkalai gedung keluarga Nyoo disebelah timur kota.”
“Mengapa begitu?” seru Kho Beng lagi keheranan, “rumah sendiri
tidak ditempati, kenapa malah berdiam disebuah gedung yg sudah
tak terurus lagi…?”
“Karena ia sedang melarikan diri dari pengejaran si Kedele Maut,
kau tahu sekarang ia tidur tak nyenyak makan tak enak, setiap saat
hatinya selalu berdebar dan dicekam perasaan takut.”
“Apakah Kedele Maut telah menemukan Beng toako?” seru Kho
Beng makin tertegun.
Han Tiong lin menggelengkan kepalanya berulang kali:

“Seandainya bisa menduga, persiapan malah lebih gampang
dilakukan, justru karena kehadirannya tak dapat diramalkan, maka ia
jadi ketakutan setiap saat…”
Saat itulah sejumlah dayang muncul kedalam ruangan
menyiapkan semeja hidangan yg lezat, dalam keadaan begini mau
tak mau Kho Beng harus menghentikan dulu pembicaraannya.
Si pelacur Cui hong pun segera berseru pula sambil cemberut:
“Sudah setengah harian lebih tuan berdua bicara melulu, tapi tak
sepotong kata pun kupahami, coba lihat, aku jadi tersisih kan
saja….hayo kalian berdua mesti dihukum dg tiga cawan arak!”
Sambil memicingkan matanya, Han Tiong lin lalu tertawa
terbahak-bahak:
“Ha…ha…ha…baik2 memang harus dihukum”
Secara beruntun dia meneguk habis tiga cawan arak, kemudian
dg kasar ia merangkul pinggang Cui hong dan ujarnya sambil
tertawa cabul, “Seharusnya kaupun dihukum dg tiga cawan arak
pula!”
Cui hong berseru genit:
“Tuan Han kau ini memang keterlaluan…masa main gerayang
didepan tamu, apakah tidak kuatir ditertawai Tia kongcu?”
Han Tiong lin kembali tertawa, “Saudara ku ini bukan orang yg
kolot, mari,mari kita berciuman bibir dulu”
Adegan yg hangat tsb kontan saja mendebarkan hati Kho Beng,
tapi ia mesti berlagak seolah-olah tak pernah terjadi sesuatu apapun,
malah dg mengalihkan perhatiannya keatas hidangan, ia makan dg
lahapnya. Tiba2 Han Tiong lin kembali berpaling seraya bertanya:
“Apakah kau kenal dg Kedele Maut?”
Kho Beng agak tertegun, lalu pura2 tercengang sahutnya:
“Orang persilatan bilang orang tsb harus dimusnahkan dari muka
bumi, apakah saudara Han mengetahui siapakah orangnya?”
Han Tiong lin tertawa misterius.
“Aku pernah mendengar siancu membicarakan soal ini, konon
orang itu masih ada sangkut pautnya dg perkumpulan Hui im ceng!”
Diam2 Kho Beng sangat terkejut, buru2 tanyanya lagi:
“Darimana siancu bisa mengetahui persoalan ini sedemikian
jelas….?”
“Siancu sendiripun hanya menduga-duga, tapi lote mesti tahu,
atasanku ini jarang sekali berbicara dihari-hari biasa, tapi sekali ia

sudah berkata maka biasanya apa yg diucapkan tak akan meleset
dari kenyataan….”
Dg berlagak tidak mengerti Kho Beng berkata lagi:
“Tapi rasanya belum pernah siaute dengar tentang perkumpulan
Hui im ceng didunia persilatan saat ini.”
“Aaah..berapa sih usia lote ini? Tentu saja kau tak bakal tahu.
Pada sembilan belas tahun berselang nama perkampungan Hui im
ceng boleh dibilang dikenal oleh setiap orang didunia saat itu.”
“Kalau demikian, mengapa tiada orang yg menyinggungnya lagi
sekarang?”
“Sebab semua penghuninya sudah mati semua, apa lagi yg
dibicarakan? Itulah yg dibilang orangnya hidup namanya termasyur,
orangnya mati nama pun ikut musnah.”
“Aaaah...rupanya saudara Han sedang membalik sejarah lama”
goda Kho Beng sambil tertawa.
“Lote rupanya kau belum mengerti, ketahuilah meski hutang tsb
telah berlangsung sembilan belas tahun sesungguhnya hingga
sekarang masalahnya belum selesai.”
“Kalau toh peristiwanya sudah terjadi pada sembilan belas tahun
berselang, apanya lagi yg belum selesai?”
Secara beruntun Han Tiong lin meneguk habis dua cawan arak,
mukanya yg jelek segera berubah menjadi semu merah, dg
semangat berkobar segera ujarnya lagi:
Perkampungan hui im ceng musnah disebabkan sejilid kitab
pusaka dunia persilatan, tapi orangnya mati bukunya ikut lenyap dan
hingga kini belum diketahui nasibnya, disamping itu dari
perkampungan Hui im ceng pun masih ada empat yg berhasil lolos,
hingga sekarang kecuali diketahui kematian Kho Po koan seorang
pelayan tua perkampungan tsb, nasib si mak inang serta putra-putri
Kho Po koan masih belum diketahui jelas. Atas dasar dua persoalan
itulah bagaimana mungkin persoalannya bisa diselesaikan dg begitu
saja...”
Baru pertama kali ini Kho Beng mendengar orang lain
membicarakan tentang peristiwa yg menimpa keluarganya, ia
merasa sedih sekali.
Tapi untuk menyelidiki persoalan tsb lebih lanjut terutama
tentang kitab pusaka yg lenyap, buru2 tanyanya lagi:

“Siaute masih sangat muda dan rendah sekali pengetahuannya,
apa salahnya bila saudara Han mengungkap kembali peristiwa tsb
agar pengetahuan siaute pun ikut bertambah?”
Dg rasa bangga Han Tiong lin manggut2:
“Boleh saja mengungkapkan kembali perkampungan Hui im ceng
diota Han ciu, waktu itu boleh dibilang erupakan tempat suci yg
disegani setiap angggota persilatan pada saat itu, sayang sekali Hui
in cengcu terlalu cerdik sehingga akhirnya malah mendatangkan
bencana kemusnahan bagi keluarganya….”
“Sungguh siaute tak mengerti” sela Kho Beng cepat, “kalau toh
Hui im cengcu seorang yg cerdik melebihi orang lain, mengapa
keluarganya malah tertimpa musibah besar?”
“Peristiwa ini harus dibicarakan kembali sejak hari Tong ciu pada
bulan delapan, sembilan belas tahun berselang, waktu itu Hui im
cengcu menyelenggarakan perjamuan besar untuk merayakan
hadirnya putra pertamanya, konon yg menghadiri perjamuan tsb
mencapai lima ratusan orang lebih, tentu saja hadiah yg diterimanya
pun tak terhitung jumlahnya.
Siapa tahu pada saat perjamuan diselenggarakan itulah, tiba2
datang sebuah bingkisan yg dihantar seorang tak dikenal hingga
dimuka pintu gerbang, orang itu segera berlalu tanpa meninggalkan
pesan setelah menyerahkan bingkisan tsb, padahal diatas kotak
bingkisan tsb sama sekali tidak ditinggali nama atau alamat
pemberinya, kejadian inilah yg menimbulkan perasaan ingin tahu
perasaan semua hadirin.
Berhubung bingkisan itu kelewat misterius datangnya, maka Hui
im cengcu Kho Ban siu pun memutuskan untuk membukanya
didepan umum, coba lote terka apa isi bingkisn tsb?”
Kho Beng segera menggelengkan kepalanya berulang kali.
Melihat pemuda itu menggeleng Han Tiong lin berkata lebih
lanjut:
“Ternyata isi bungkusan tsb tidak lain adalah kitab pusaka thian
goan bu boh yg menjadi incaran setiap umat persilatan sejak
belasan tahun berselang.”
“Oooo…begitu berharganya bingkisan tsb!” pekik Kho Beng agak
tertegun.
“Ya, memang kelewat harganya” sahut Han Tiong lin sambil
tertawa, “Begitu berharga sampai Hui im cengcu yg termasyur
namanya diseantero jagad pun tak sanggup menerimanya, akibat

dari bingkisan tsb lima enam lembar nyawa mesti berkorban dg
sia2!”
Kho Beng erasakan darah dlm tubuhnya mendidih dan panas,
segera tanyanya:
“Apakah diantara tamu yg menghadiri perjamuan tsb ada yg iri
hati dan berniat merampas kitab tsb?”
“Lote dugaanmu itu keliru besar, justru Hui im cengcu sendiri yg
bersedia menyerahkan kitab itu kepada semua umat persilatan,
Cuma diapun mempunyai jurus permainan sendiri.”
“Permainan apa?” tanya pemuda itu tertegun.
“Waktu itu Hui im cengcu belum juga habis berpikir siapa
gerangan yg menghadiahkan bingkisan tsb kepadanya? Mengapa ia
rela menghadiahkan kitab pusaka tsb kepadanya? Tapi ia mengerti
dg pasti bahwa menyimpan kitab mestika sama artinya mengundang
bencana bagi diri sendiri, maka pada saat itulah dia mengumumkan
rela menyebar luaskan isi kitab pusaka Thian goan bu boh tsb
kepada seluruh umat persilatan, tapi untuk menghindari agar ilmu
sakti tsb jangan terjatuh ketangan bangsa kurcaci yg tidak
bertanggung jawab hingga mendatangkan bencana dikemudian hari,
maka dia mohon para jago agar mau menunggu selama tiga hari
agar ia dapat mencarikan cara yg terbaik dala pelaksanaan
tujuannya itu.”
Mendengar sampai disini tanpa terasa Kho Beng menyela:
“Apakah tiga hari kemudian Hui im cengcu telah berubah
pikiran?”
Han Tiong lin segera tertawa bergelak:
“Ha...ha...ha...Hui im cengcu tak akan sebodoh itu, tiga hari
kemudian bukan saja ia telah mengumumkan cara tsb malah
menimbulkan rasa gembira yg amat sangat bagi para jago yg
menghadiri perjamuan tsb, semua orang berpamitan dg perasaan
amat lega!”
“Kalau memang demikian keadaannya, toh tak bisa dibilang Hui
im cengcu telah melakukan permainan dibalik tindakannya itu?” seru
Kho Beng emosi.
Setelah mengeringkan secawan arak, sambil tertawa Han Tiong
lin kembali berkata:
“Lote kau hanya tahu satu tak tahu dua, justru masalahnya
berada dibelakang. Waktu itu Hui im cengcu telah mengumumkan
secara blak-blakan kalau kitab pusaka Thian goan bu boh telah

diserahkan kepada Bu wi lojin untuk dibuatkan tujuh buah
salinannya yg masing2 hendak dihadiahkan kepada tujuh perguruan
besar, tentunya lote akan bertanya bukan apa salahnya kalau ia
sendiri yg membuatkan salinan tsb?”
“Ya, benar!” Kho Beng manggut2.
“Ya disinilah letak kebijaksanaan Hui im cengcu, ia kuatir orang
lain mencurigainya tidak jujur atau sengaja menyembunyikan
sebagian dari rahasia ilmu silat tsb, sedangkan Bu wi lojin sudah
tersohor didalam dunia persilatan sebagai seorang tokoh silat yg
berwatak baik, saleh serta hambar akan perebutan nama dan
kedudukan, oleh sebab itulah semua orang merasa tindakan Hui im
cengcu itu sangat jujur, bijaksana dan mengagumkan.
Kemudian peraturan yg ditentukan Hui im cengcu pun sangat
teliti dan luar biasa, ia bilang setiap umat persilatan yg bertabiat baik
dan bermoral tinggi bila ingin mengajukan permintaannya untuk
mempelajari ilmu sakti yg tercantum dalam kittab Thian goan bu boh
tsb, maka ciangbunjin dari perguruan mana pun dilarang
menyembunyikan sebagian dari ilmu silat tersebut secara sengaja.
“Akhirnya Hui im cengcu berkata: Bu wi lojin akan menunggu
kehadiran mereka dikaki gunung Hong san pada setengah bulan
kemudian, ia berharap semua ciangbunjin dari pelbagai perguruan
bisa hadir pada saatnya, siapa tak hadir artinya mengundurkan diri
dari keinginan untuk memperoleh salinan kitab tsb.”
“Mengapa harus menunggu sampai setengah bulan kemudian?”
tanya Kho Beng lebih jauh.”
“Didalam persoalan inipun Hui im cengcu memberi penjelasan,
konon Bu wi lojin baru sembuh dari sakit parah dan lagi telah
memutuskan akan hidup terpencil, maka ia tak berharap mengulur
waktu kelewat lama hingga menimbulkan kerisauan semua pihak,
maka ketujuh partai besar serta sekalian rekan2 persilatan yg hadir
dalam erjamuan itu sama2 berpamitan kepada Hui im cengcu dg
membawa perasaan gembira dan agar tidak terlambat sampai
ditempat tujuan, ketujuh orang ciangbunjin dari tujuh partai besar
segera berangkat kebukit Hong san. Siapa tahu sepuluh hari
kemudian, tatkala mereka belum tiba dibukit Hong san, ditengah
jalan telah bersua dg Bu wi lojin, siapa tahu perjumpaan tsb
membuat semua orang menjadi amat kecewa.”
“Mengapa begitu?” tanya Kho Beng tertegun.

“Waktu itu Bu wi lojin malah marah2, ia bilang bukan saja Hui im
cengcu tak pernah menyerahkan sesuatu kitab pusaka kepadanya,
bahkan ia sama sekali tidak mengetahui akan persoalan tsb!”
Mendengar sampai disini Kho Beng segera merasakan hatinya
bergetar keras, serunya tanpa sadar:
“Mana mungkin hal ini bisa terjadi?”
Han Tiong lin tertawa terbahak-bahak:
“Ha…ha…ha…tampaknya Hui im cengcu telah menggunakan
siasat memindah bunga menyambung ranting untuk menipu orang
banyak, waktu itu ketujuh ketua partai besar merasa amat gusar,
mereka menganggap permainan Hui im cengcu sangat keterlaluan
sehingga menyiksa mereka harus bersusah payah berangkat kebukit
Hong san tapi pulang dg rasa kecewa.
Maka sepanjang jalan pun mereka mengumpulkan segenap rekan
persilatan serta anak murid masing2 untuk kembali ke Hang ciu dan
menegur Kho Bun sin atas ulahnya. Akibatnya terjadilah suatu drama
yg sangat tragis, Hui im cengcu yg gagah perkasa akhirnya tewas
dan musnah karena tak tahan menghadapi kerubutan ratusan orang
jago lihay.”
Kisah cerita sudah berakhir, tapi Kho Beng justru terjerumus
dalam suasana sedih dan murung.
Ia percaya ayahnya bukan manusia semacam itu tapi diapun tahu
kisah cerita yg disampaikan Han Tiong lin sekarang bukan Cuma
diketahuinya seorang, jadi mustahil orang itu sengaja
membohonginya.
Lalu mungkinkah Bu wi lojin yg kemaruk wasiat hingga lupa
daratan..?
Kho Beng menganggap hal ini mustahil bisa terjadi bila orang tua
tsb berniat melalap kitab pusaka itu, tak nanti dia akan menyesal
setengah mati karena kehilangan pusaka tsb tiga bulan berselang,
bukan saja dia bersedia mengorbankan setengah dari tenaga
latihannya, bahkan tergesa-gesa turun gunung untuk menyelidiki
kemana larinya pusaka tadi, berpikir sampai disini tanpa terasa Kho
Beng teringat kembali dg pesan gurunya si Unta sakti berpunggung
baja, orang tua itu pernah memberi kisikan kepadanya bahwa dibalik
dendam kesumatnya itu ada penyakitnya.
Mungkinkah penyakit tsb muncul pada Bu wi lojin yg dijumpai
para ciangbunjin tujuh partai besar ditengah jalan?

Berpikir sampai disini perasaan hatinya segera bergetar keras,
satu ingatan melintas dalam benaknya.
Ia merasa besar kemungkinan ada orang yg menyaru sebagai Bu
wi lojin pada waktu itu, dimana orang tsb sengaja menunggu
kedatangan para ciangbunjin dari tujuh partai besar ditengah jalan
dan melaksanakan siasat liciknya untuk menjerumuskan keluarga
Hui im cengcu kelembah kehancuran.
Dari kisah yg diceritakan Han Tiong lin, secara lamat2 Kho Beng
pun dapat merasakan bahwa ada seseorang yg telah menyamar
sebagai pegawai ayahnya untuk mendapatkan lencana Siong in giok
ceng dari tangan pelayan setia keluarganya Kho Po koan dan
mengambil kitab pusaka yg disimpan Bu wi lojin.
Bila semua cerita itu dikaitkan satu dg lainnya, maka posisi si
sastrawan berkipas kemala dalam rencana keji itupun makin lama
serasa semakin penting.
Sementara dia masih melongo seperti orang kehilangan
semangat, terdengar Han Tiong lin menegur sambil tertawa:
“Lote aku sudah selesai bercerita, apalagi yg kau pikirkan? Mari
aku hendak menghormati secawan arak kepadamu sebagai rasa
terima kasih atas kebaikanmu hari ini!”
Kho Beng segera sadar kembali dari lamunannya setelah
mendengar teguran tsb, buru2 dia mengulumkan senyuman
dibibirnya serta meneguk habis secawan arak.
Sedang dalam hati kecilnya ia merasa sangat gembira, sebab
sama sekali tak terduga olehnya bahwa perjamuan yg
diselenggarakan kali ini justru meraih hasil yg sama sekali diluar
dugaan.
Ini berarti rencananya untuk mencari sastrawan berkipas kemala
pun tak bisa ditunda-tunda lagi.
Sementara itu malam hari sudah semakin kelam, Kho Beng mulai
gelisah karena Han Tiong lin sama sekali tidak berhasrat untuk
meningalkan rumah pelacur tsb, dlm keadaan setengah mabuk,
apalagi dirayu oleh seorang pelacur cantik Cui hong, bagaimana
mungkin orang she Han tsb tega meninggalkan ditengah jalan?
Ia tak tahu bagaimana caranya melepaskan diri dari pengawasan
Han Tiong lin, ditambah lagi isi sakunya telah ludes, dg cara apa
mereka harus keluar dari rumah pelacur Tay ang wan tsb?
Pikir punya pikir, akhirnya ia berhasil menemukan sebuah cara yg
dirasakan terbaik.

Satu-satunya jalan yg terbaik baginya sekarang adalah berusaha
meloloh lawan dg arak sehingga mabuk, dalam keadaan begitu,
tentu saja ia biasa meloloskan diri dg mudah.
Maka dg pelbagai alasan yg dibuat-buat, ia mulai meloloh Han
Tiong lin dg arak menjelang kentongan yg pertama Han Tiong lin
sudah dibikin benar2 mabuk.
Dlm keadaan beginilah Kho Beng moho diri dg alasan hendak
kekamar kecil, begitu keluar dari kamar tidur Cui hong, ia segera
menerobos keluar dari jendela dan secepatnya berangkat kerumah
kosong keluarga Nyoo disebelah timur kota.
Sebetulnya gedung keluarga Nyoo merupakan sebuah gedung
bangunan yg paling luas diseluruh kota Yang ciu, kebunnya yg luas
dg pepohonan yg rimbun, benar2 merupakan sebuah tempat tinggal
yg sangat nyaman.
Tapi kini, bangunan tsb tinggal sebuah gedung yg kotor tanpa
penghuni, kebunnya yg luas telah ditumbuhi rumput liar setinggi
manusia, sarang laba2 menambah semaraknya suasana, membuat
keadaan disitu betul2 amat mengenaskan.
Setelah meninggalkan tempat pelacuran Tay ang wan dg gerakan
cepat Kho Beng berangkat menuju gedung kosong tsb, dari
kejauhan ia sudah melihat bangunan gedung yg gelap gulita dan
menyeramkan itu.
Seandainya Han Tiong lin tidak menjelaskan lebih dulu, ia
sendiripun hampir tak percaya kalau dalam gedung semacam begini
ada penghuninya.
Setelah sampai disana, pemuda itu segera menjejakkan kakinya
keatas tanah dan melompat masuk kedalam dinding pekarangan
gedung.
Mendadak terdengar seorang membentak dg suara dalam:
“Sobat ada urusan apa malam begini datang kemari?”
Sesosok bayangan manusia berbaju kuning munculkan diri secara
tiba2 dari balik hutan dan menghadang jalan perginya.
Kho Beng tahu orang ini pastilah salah satu diantara kawanan
jago pedang berbaju kuning rombongan Han Tiong lin maka sambil
menghimpun tenaga untuk menghindari segala hal yg tidak
diinginkan, ia menjawab dg lantang:

“Aku adalah sahabat dari Han tiong lin toako, atas permintaan
Han toako ada urusan penting hendak kusampaikan kepada
sastrawan berkipas kemala Beng jihiap!”
Jago pedang berbaju kuning itu segera menyarungkan kembali
pedangnya, lalu berkata seraya mengulap tangannya:
“Harap sobat mengikuti aku!”
Ia membalikkan badan dan melompat kehalaman belakang.
Sesudah melalui dua lapis bangunan yg setengah roboh
sampailah mereka didepan sebuah bangunan rendah yg amat gelap.
Jago pedang berbaju kuning itu segera bertepuk tangan dua kali,
dari balik bangunan rumah itu segera muncul setitik cahaya lentera
disusul kemudian seorang bertanya:
“Ada urusan apa?”
“Han toako mengutus orang untuk menyampaikan suatu berita!”
jawab jago pedang berbaju kuning itu.
Baru selesai ucapan tsb, pintu sudah dibuka orang, lalu terlihatlah
dibawah cahaya lentera yg redup, lima enam buah peti mati nampak
berjajar dalam ruangan, sementara sastrawan berkipas kemala dg
sikap yg was-was dan agak tercengang munculkan diri dari balik
pintu.
Ketika ia sudah melihat jelas wajah Kho Beng, paas mukanya
segera berubah hebat, serunya tanpa terasa:
“Aaaah...rupanya kau?”
Kho Beng tertawa nyaring, segera ujarnya sambil menjura:
“Beng Jihiap, sejak perpisahan tempo hari, aku benar2 rindu
sekali kepadamu.”
“Kho Beng, darimana kau bisa tahu kalau aku berdiam disini?”
tegur Sastrawan berkipas kemala dg suara dingin.
Kembali Kho Beng tertawa terbahak-bahak:
“Ha…ha…ha…sewaktu berada dikota Yang ciu, secara kebetulan
aku telah bersua dg Han toako, dari dialah dapat kuketahui bahwa
jihiap telah pindah, hanya saja sikap jihiap mendiami tempat
semacam ini benar2 membuat hatiku terkejut bercampur
keheranan!”
“Kau kenal dg Han lotoa?” seru Sastrawan berkipas kemala dg
wajah tertegun dan hati bergetar keras.
“aku sudah bersahabat hampir setahun lamanya dg saudara Han,
bukan kenalan baru lagi namanya….”

“Tolong tanya ada urusan apa kau datang mencariku?” tukas
Sastrawan berkipas kemala kemudian.
“Jihiap bagaimana kalau kita berbincang-bincang didalam
ruangan saja…?”
Sastrawan berkipas kemala itu termenung beberapa saat,
akhirnya dia manggut2, namn disaat Kho Beng melangkah masuk
kedalam ruangan, secara diam2 ia memberi tanda rahasia kepada
sijago pedang berbaju kuning yg berada diluar pintu itu.
Setelah berada dalam ruangan, Kho Beng baru dapat melihat dg
jelas keadaan dalam ruangan, ternyata kecuali keenam buah peti
mati itu, disana tak nampak benda lain.
Sarang laba2 kelihatan memenuhi setiap sudut ruangan, hal ini
menunjukkan kalau tempat tsb telah dirubah oleh rakyat setempat
sebagai ruangan penitipan jenasah.
Bila seseorang yg tak tahu keadaan sebenarnya, pada
hakekatnya tak pernah akan menduga kalau ada orang berdiam
ditempat semacam ini.
Setelah menutup kembali pintu ruangannya, Sastrawan berkipas
kemala segera berkata dg suara dingin:
“Maaf kalau aku tak bisa memberi pelayanan yg baik ditempat
semacam ini, nah sauhiap bila ada persoalan silahkan saja
diutarakan keluar!”
Kho Beng tertawa hambar.
“Jihiap tidak usah sungkan, persoalan pertama yg hendak
kusampaikan adalah berita kematian dari saudara angkatmu sesaat
sebelum meninggal kakak angkatmu merasa amat menyesal karena
tak dapat kembali bersua dg mu!”
Sekilas perasaan malu dan menyesal menyelimuti seluruh wajah
Sastrawan berkipas kemala, tapi sejenak kemudian ia sudah berkata
lagi dingin:
“Berita kematian kakak angkatku telah kuperolah sejak lama,
kecuali persoalan ini apakah sauhiap masih ada urusan lain?”
Sikap lawannya segera menimbulkan pandangan yg menghina
dari Kho Beng, diam2 pikirnya:
“Tampak untuk menghadapi manusia semacam ini, lebih baik
kugunakan siasat untuk menjebaknya ketimbang bertanya secara
baik2.”
Berpikir begitu, dg wajah serius segera katanya:

“Sebelum menghembuskan napas yg terakhir kakakmu telah
memberitahukan satu persoalan kepadaku, itulah sebabnya aku
sengaja datang mencari jihiap untuk membuktikan kebenaran
ceritanya.”
“Soal apa?” tanya Sastrawan berkipas kemala mulai ragu2.
“Masih ingatkah jihiap dg tempat dimana kita bersua pertama
kalinya?”
Sastrawan berkipas kemala manggut2.
“Maksudmu perkampungan Hui im ceng didalam kota Tang an?”
“Betul!” Kho Beng mengangguk, “konon kalian berhasil
mendapatkan sebuah lencana Siong im giok leng…”
“Ada urusan apa lotoa ku memberitahukan soal tsb kepadamu?”
seru si sastrawan berkipas kemala tercengang, wajahnya nampak
agak kaget.
Dari nada pembicaraannya, Kho Beng tahu kalau dugaannya
memang benar, maka sambil menarik muka katanya lebih jauh:
“Tentu saja persoalan ini ada hubungannya dgku, sekarang aku
Kho Beng hanya ingin tahu apa benar lencana Siong im giok leng tsb
telah diserahkan kepada orang lain?”
“Menurut lotoa, benda tsb telah diserahkan kepada siapa?” paras
muka Sastrawan berkipas kemala berubah hebat.
“Jihiap seharusnya mengerti aku Kho Beng hanya berharap Jihiap
memberikan jawabannya sehingga bisa dicocokkan dg apa yg
kuketahui.”
Tiba2 Sastrawan berkipas kemala tertawa dingin, jengeknya:
“Kau tidak usah menggunakan tipu muslihat untuk menjebakku,
aku Beng yu tak mau menjawab pertanyaan tsb.”
Menyaksikan siasatnya berhasil dibongkar lawan tanpa terasa Kho
Beng berpikir:
“Nyata sekarang betapa licik dan lihaynya orang ini!”
Sambil menarik muka ia segera berseru:
“Jadi jihiap benar2 enggan menjawab?”
Mendadak Sastrawan berkipas kemala tertawa licik:
“Kho Beng, jelaskan dulu apa hubunganmu dg persoalan tsb!”
Sastrawan berkipas kemala segera tertawa bergelak:
“Ha…ha…ha…siapa sih yg hendak kau tipu? Justru Bu wi lojin
sendiri yg telah meminta kembali lencananya…”
Seketika itu juga Kho Beng merasakan hatinya bergetar keras,
sekarang ia baru mengerti kalau toh Sastrawan berkipas kemala

mengatakan bahwa lencana tsb telah diminta kembali Bu wi lojin,
berarti persoalan ini ada hubungannya dg orang yg menyamar
sebagai pegawai Hui im ceng dan melarikan kitab pusaka Thian goan
bu boh tsb.
Karenanya dg suara dalam katanya:
“Beng Yu, dari mana kau bisa tahu kalau lencana Siong im giok
leng telah diminta kembali Bu wi cianpwee?”
Kembali Sastrawa berkipas kemala tertawa licik, tiba2 ia bertepuk
tangan keras2:
Jilid 12
Bersamaan dg bergemanya suara tepukan itu, tiba2 pintu
ruangan terpentang lebar dan muncullah serombongan jago pedang
berbaju kuning, dg pedang terhunus mereka mengawasi Kho Beng
tajam2 sementara serangan telah siap dilancarkan setiap saat.
Berubah hebat paras muka Kho Beng, terutama karena jumlah
lawannya mencapai delapan orang lebih.
Diawasinya wajah Sastrawan berwajah kemala lekat2, kemudian
tegurnya dg suara dalam:
“Apa yg hendak kau perbuat?”
Sastrawan berkipas kemala sama sekali tidak menggubris teguran
Kho Beng, kepada kedelapan orang jago pedang berbaju kuning itu
bentaknya keras2:
“Dialah Kho Beng, orang yg sedang dicari-cari siancu, apabila
dapat dibekuk dalam keadaan hidup, hal itu merupakan sebuah
pahala yg amat besar!”
Kho Beng sangat terkesiap, tiba2 satu ingatan melintas dalam
benaknya, segera hardiknya:
“Beng yu, rupanya kau telah menyerahkan tanda pengenal milik
Bu wi cianpwee itu kepada dewi In nu siancu.”
Sastrawan berkipas kemala tidak menyangka kalau sepatah
katanya tadi telah membongkar seluruh rahasianya, berubah hebat
paras mukanya, tapi sambil tertawa seram ia kemudian berkata:
“Benar, malah siancu telah mencurigai dirimu sebagai putra
sipelayan dari Hui im ceng, hari ini kau tak dapat dilepaskan dg
begitu saja…”
Dlm terperanjatnya Kho Beng merasakan pikiran serta
perasaannya bergolak keras.

Ternyata dewi In nu siancu pun mencurigai hubungannya dg
pihak perkampungan Hui im ceng, tapi darimana ia bisa tahu kalau
kita pusaka Thian goan bu boh masih berada ditangan Bu wi lojin?
Mungkinkah dalang dibelakang layar yg menyebabkan kematian
tragis ayah ibunya serta hancurnya perkampungan Hui im ceng
tempo hari tak lain adalah Dewi in nu siancu tsb?
Tapi sayang situasi saat ini tidak memberi kesempatan kepada
Kho Beng untuk berpikir lebih jauh, karena dua bilah pedang yg
membawa desiran angin tajam telah menusuk kedepan dadanya.
Kho Beng merasakan darah panas mendidih dalam dadanya, dg
penuh kegusaran ia melompat naik keatas peti mati untuk
meloloskan diri dari ancaman tsb, kemudian ia meloloskan
pedangnya dan sambil membentak keras ia melancarkan sebuah
sapuan kedepan mengancam keselamatan jiwa Sastrawan berkipas
kemala.
“Bajingan ! Anjing yg tak tahu malu!” bentaknya keras2,
“sekalipun kau tidak mencari gara2 dgku, hari ini akupun hendak
membekukmu hidup2 serta mengorek keterangan dari mulutmu.”
Sementara itu Sastrawan berkipas kemala telah meloloskan pula
senjata kipas tulang kemala putihnya sambil tertawa dingin ia
menjengek.
“He…he….he…tampaknya kau benar2 sebagai putra Kho Po koan,
sunguh menggelikan sekali, kau telah membunuh ayah sendiri tapi
sampai sekarang masih tidak merasakannya…”
Gerak serangan Kho Beng segera terhadang oleh empat orang
jago pedang berbaju kuning sewaktu berada ditengah jalan, ia
makin gusar sehabis mendengar perkataan itu, baru satu jurus
serangan tangguh hendak dilancarkan, mendadak dari luar
terdengar dua kali jeritan ngeri yg memilukan hati bergema
memecahkan keheningan.
Kedua belah pihak sama2 terperanjat dan serentak berpaling
kebelakang, dibawah cahaya lentera yg redup kelihatan jelas dua
orang jago pedang berbaju kuning telah mengeletak mati diatas
tanah.
Tak terlukiskan rasa kaget Sastrawan berkipas kemala serta
kawanan jago pedang lainnya, paras muka mereka berubah hebat.
Rupanya entah sejak kapan dari depan pintu gedung telah
bertambah dg tiga orang nona berbaju putih, ketiga orang nona itu
munculkan diri tanpa menimbulkan sedikit suara pun sehingga

semua orang yg berada dalam ruangan tak seorangpun yg
mengetahui kehadiran mereka.
Hampir saja Kho Beng menjerit tertahan, setelah melihat
kehadiran nona berkerudung yg membawa sebuah payung bulat
diantara gadis2 tsb, sebab orang itu tak lain adalah kakak
kandungnya.
Tapi bila teringat disitu masih hadir orang lain, akhirnya pemuda
kita berusaha untuk menahan diri, sebab dia tahu jika identitas
kakaknya sampai terbongkar maka akan mendatangkan banyak
kerugian bagi pihaknya.
Olehkarena itulah untuk sementara waktu dia Cuma bisa
membungkam sembil menunggu perkembangan selanjutnya.
“Siapa kalian…?” terdengar Sastrawan berkipas kemala
membentak dg tercengang.
Nona berkerudung perak yg berdiri ditengah mendengus dingin,
ia sama sekali tidak menggubris teguran Sastrawan berkipas kemala
itu, sebaliknya kepada keenam jago pedang berbaju kuning lainnya
ia berkata dg suara sedingin salju:
“Mencari kemenangan dg mengandalkan jumlah banyak bukan
sifat gagah seorang pendekar sejati, tinggalkan orang she Beng dan
orang she Kho itu, yg lain boleh segera menggelinding dari sini!”
Tiba2 salah seorang diantara jago pedang berbaju kuning itu
menjengek sambil tertawa dingin:
“Kami harus pergi dari sini hanya atas dasar kata2 perempuan
rendah macam dirimu? He…he…he…terus terang kukatakan, aku
Liok Bo beng merasa amat tak puas!”
Agaknya ia masih belum sadar kalau nona yg berada
dihadapannya sekarang tidak lain adalah Kedele Maut yg telah
mengobrak abrik seluruh dunia persilatan dewasa ini.
Mencorong sinar tajam dari balik mata Kho Yang ciu setelah
mendengar ucapan tsb, mendadak serunya dingin:
“Bwee hiang!”
Dayangnya, Bwee hiang segera tampil kedepan seraya bertanya:
“Apa perintah nona?”
“Lecuti orang she Liok itu hingga berdarah, agar lain kali jangan
mencaci orang lain semaunya sendiri!”
Bwee hiang segera mengiakan, dirabanya sebuah angkin perak
yg melilit pinggangnya lalu diayunkan kedepan menyambar tubuh
jago pedang berbaju kuning itu, kecepatan serangannya begitu

mengagumkan sehingga pada hakekatnya tak dapat diikuti dg
pandangan mata.
Semenjak tadi si jago pedang berbaju kuning itu telah membuat
persiapan, sambil tertawa dingin segera jengeknya:
“He…he…he…belum tentu seranganmu bisa mengapa apa diriku!”
Sambil berkelebat kesamping, pedangnya diputar secepat kilat
lalu menusuk kemuka, sasarannya adalah pinggang Bwee hiang.
Tiba2 terdengar Bwee hiang membentak nyaring, cahaya perak
menggulung bagaikan seekor naga sakti, kemudian…
“Praakk…”
Ujung angkinnya telah melecuti bahu kanan jago pedang berbaju
kuning itu keras2.
Seketika itu juga si jago pedang berbaju kuning itu menjerit
ketakutan, pedangnya segera jatuh keatas tanah sementara
tubuhnya mundur dua langkah dg sempoyongan dan akhirnya…
“Blummm…”
Ia jatuh terduduk diatas tanah.
Tampak paras mukanya telah berubah menjadi menguning, peluh
bercucuran keluar seperti air terjun, dibagian bahu kanannya robek
besar, daging dan kulitnya robek hingga kelihatan hancuran
rulangnya yg berwarna putih.
Peristiwa ini sangat mengejutkan kawanan jago pedang lainnya,
paras muka mereka berubah hebat.
Bukan saja mereka tak sempat melihat cara pasti perubahan
jurus serangan dari Bwee hiang, bahkan mereka tak mengira kalau
lecutan yg kelihatan begitu ringan ternyata menimbulkan kekuatan
sehebat itu, siapa tak ciut hatinya setelah melihat adegan ini?
Sementara itu Kho Yan chiu telah melirik sekejap kearah jago
pedang yg terluka itu, lalu bentaknya tiba2:
“Batalkan dua lecutan terakhir!”
Waktu itu lecutan kedua dari Bwee hiang hampir menempel
diatas dada lawan, serentak ia menggetarkan tangannya setelah
mendengar bentakan tsb.
Angkin peraknya dg membawa cahaya yg berkilauan segera
menggulung balik kebelakang..
Kho Yang chiu kembali tertawa sinis, ejeknya:

“Hmmm, mengakunya seorang pendekar hebat, tapi
kenyataannya tak mampu menahan sebuah lecutan pun, buat apa
kau mengibul terus menerus? Hmm...siapa lagi yg merasa tak puas?”
Ciut hati kawanan jago pedang lainnya setelah menyaksikan
adegan tsb, ternyata tak seorangpun diantara mereka yg berani
bersuara lagi.
“Kalau sudah mengakui keunggulan kami, mengapa kalian belum
enyah juga dari sini? Hmm, apakah masih kepingin mampus?” hardik
Kho Yang chiu lebih jauh.
Kelima orang jago pedang berbaju kuning itu saling pandang
sekejap, tiba2 mereka menggeserkan badannya dan berdiri berjajar
dibelakang Sastrawan berkipas kemala.
Pada saat itulah paras muka Sastrawan berkipas kemala berubah
hebat, dia seperti teringat akan sesuatu, dipandangnya Kho Beng
sekejap, lalu serunya tertahan:
“Payung Thian lo san, lecut pengikat dewa, jangan2 kau adalah
Kedele Maut”
Nama Kedele Maut bagaikan kekuatan yg mengerikan hati, tiba2
kawanan jago berbaju kuning ittu menggeserkan badannya kembali
dg wajah memucat, kemudian tanpa banyak berbicara mereka
bersiap-siap melarikan diri dari situ.
Menghadapi suasana seperti ini, tentu saja Sastrawan berkipas
kemala enggan berdiam kelewat lama disitu, dg cepat iapun bersiap
siap ikut kabur dari sana.
Tapi sayang gerakan tubuh Kho Yang chiu beserta kedua orang
dayangnya kelewat cepat, bahunya baru nampak bergerak, payung
bulat ditambah dua utas tali pengikat dewa secara terpisah telah
menutup mati seluruh jalan keluar dari ruangan tsb.
Sambil tertawa dingin nona itu berkata:
“Beng Yu, ternyata otakmu cukup cerdas, tepat sekali, akulah
Kedele Maut yg kalian cari2, tapi sayang setiap orang yg namanya
sudah tercantum dlm daftar kematianku jangan harap ia dapat lolos
dari cengkeramanku.”
Menyusul kemudian pandangan matanya dialihkan kewajah lima
orang jago pedang berbaju kuning itu dan katanya lebih lanjut:
“Mengingat kalian semua bukan sasaran yg hendak kucabut
nyawanya, maka aku persilahkan kalian pergi dari sini, tapi kalian
harus membungkam terhadap peristiwa yg terjadi pada malam ini,
bila kuketahui dikemudian hari bahwa satu diantara kalian telah

membocorkan peristiwa ini keluaran, hmmm…saat bertemu kembali
dilain waktu berarti waktu kalian untuk berangkat keakhirat! Nah,
sekarang bawa serta yg tewas dan terluka dan cepatlah enyah dari
sini!”
“Eh…kalian jangan pergi!” teriak Sastrawan berkipas kemala
ketakutan.
Namun dibawah ancaman kematian yg mengerikan, kawanan
jago pedang tsb sama sekali tidak memperdulikan teriakan
Sastrawan berkipas kemala lagi, seorang demi seorang mereka
kabur dg secepatnya dari situ…
Pada saat itulah Kho Beng tak dapat menahan diri lagi, ia segera
berteriak keras:
“Tunggu dulu! Orang2 itu tak bolh dilepaskan barang
seorangpun…”
“Hmmm!” Kho Yang ciu mendengus dingin, “Siapa yg berani
membangkang terhadap perintahku?”
Karena takut terjadinya perubahan , tanpa membuang waktu lagi
kawanan jago berbaju kuning itu melarikan diri terbirit-birit dari
sana.
Waktu itu, walaupun paras muka Kho Yang ciu tertutup oleh kain
kerudung sehingga tidak diketahui bagaimanakah perubahan
wajahnya, namun pancaran sinar matanya benar2 menggidikkan
hati!
Kepada Kho Beng ia berseru sambil tertawa dingin:
“Masih ingatkah kau apa yg kuperingatkan kepadamu sewaktu
mengampunimu dikota tong ciu tempo hari?
Hmm...hmmm...sekarang aku hendak membuat perhitungan dulu dg
mu, akan kulihat dg beberapa butir batok kepala kau akan
membayar hutang tsb!”
Kho Beng menjadi tertegun untuk sesaat, tak tahan ia berteriak
keras:
“Cici....apakah Li sam tidak memberi tahukan kepadamu siapakah
aku sebenarnya?”
Panggilan tsb seketika menggetarkan perasaan setiap orang yg
hadir dalam ruangan.
Berapa saat kemudian, Kho Yang ciu baru berbisik:
“Kau......kau adalah adik Beng?”
Suaranya gemetar keras menandakan betapa kerasnya gejolak
perasaannya waktu itu.

Dg agak emosi dan air mata bercucuran Kho Beng mengangguk,
lalu selangkah maju menghampiri nona tsb.
Siapa tahu pada saat itulah tiba2 Kho Yang ciu membentak keras:
“Berhenti!”
Dg perasaan tertegun Kho Beng menghentikan langkahnya, lalu
bertanya keheranan:
“Cici, apakah kau tak percaya dgku?”
“Hmm, tidak sedikit manusia licik didunia ini, aku harus bersikap
lebih waspada dan berhati-hati!” jawab Kho Yang ciu dingin.
“Empat musim mengenakan bunga seruni putih disanggul, siang
malam tak pernah dilepas, yang lelaki menerima panji bergambar
naga sebagai lambang, apakah semuanya ini bukan suatu bukti?”
“Kalau toh kau sudah mengetahui akan hal ini, cepat tunjukkan
panji bergambar naga itu sebagai bukti!”
Buru2 Kho Beng menyodorkan lencana giok bei yg berada
dipinggangnya seraya berkata:
“Lencana panji telah hilang, tapi giok bei kemala masih ada,
silahkan toaci memeriksa keasliannya!”
Kho Yang ciu menyambut benda tsb dan diperiksanya beberapa
saat, kemudian katanya dingin:
“Hmmm, barang bukti kurang satu, ini membuat diriku masih
mencurigai gerak gerikmu, ambil contoh dg kematian Kho lotoa, aku
dengar mati ditanganmu, benarkah begitu?”
Buru2 Kho Beng berseru:
“Kho lotoa sudah jelas tewas karena racun jahat dari jarum
pembeku darah perasuk tulang, dalam hal ini Li Sam pun
mengetahui secara jelas?”
Belum habis perkataan tsb diutarakan, Sastrawan berkipas
kemala yg berada disamping arena segera tertawa dingin dan
selanya:
“Hmmm, seorang lelaki sejati berani berbuat berani bertanggung
jawab, sewaktu berada di perkampungan Hui im ceng tempo hari,
bukankah kau sudah mengakui sebagai pembunuhnya? Mengapa
kau menyangkalnya kembali sekarang…?”
Tampaknya ia sadar kalau tiada harapan lagi untuk lolos dari
kematian, maka satu2nya jalan baginya sekarang adalah berusaha
mengadu domba dua bersaudara itu sehingga saling gontokgontokan
sendiri, sebab hanya cara inilah kemungkinan besar ia
masih punya harapan untuk hidup?

Dg tujuan itulah ia bersikeras menuduh Kho Beng sebagai
pembunuh Kho Po koan.
Kho Beng bukan orang bodoh, tentu saja ia dapat menduga
maksud serta tujuan si Sastrawan berkipas kemala, dg penuh
amarah segera bentaknya keras2:
“Waktu itu aku toh belum mengetahui keadaan yg sebenarnya,
karena itu berbicara sekenanya dg kalian….”
“Paling tidak waktu itu kau hadir dalam arena” tukas Kho Yong
ciu tiba2 dg suara dingin, “tapi kenyataannya kau tidak memberi
pertolongan kepadanya yg terancam bahaya, hal ini merupakan
suatu kejadian yg patut disesalkan, tapi soal tersebut tak usah
dibicarakan kembali, sekarang mari kita singgung masalah kedua,
dimana kau telah melaporkan identitas serta ciri khas ku kepada
para jago lihay yg berkumpul dikawasan telaga Tong ting dan kota
Gak yang, apakah tujuanmu hendak membunuh diriku?”
Dg perasaan gelisah buru2 Kho Beng memberi penjelasan:
“Cici, waktu itu aku belum memahami betul tentang asal usulku
sehingga aku telah melakukan perbuatan yg amat bersalah, atas
kejadian tsb aku menyesal sekali sehingga untuk menyelamatkan
keadaan aku menyusul pula ketelaga Tong ting…”
Setelah berhenti sejenak dan menghela napas panjang, kembali
lanjutnya:
“Cici, seharusnya semua persoalan ini telah dilaporkan Li Sam
kepadamu….”
“Tidak! Li Sam sama sekali tidak memberitahukan apa2
kepadaku…”
Kho Beng menjadi tertegun, selanya:
“Mengapa tidak?”
Setelah mendengus, kata Kho Yang ciu:
“Sewaktu meninggalkan kota Gak yang, aku sama sekali tidak
berjumpa dg Li Sam….”
“Kalau begitu dg cara apa cici dapat meloloskan diri dari
pemeriksaan begitu banyak pos penjagaan…”
Bwee hiang yg berada disisi arena segera menyela:
“Orang baik selalu dilindungi Thian, ketika pihak Sam goan bun
menarik diri secara tiba2, nona kami segera mendapat berita tsb
sehingga memanfaatkan kesempatan yg sangat baik ini untuk
meloloskan diri.”

Perasaan menyesal dan masgul seketika menyelimuti perasaan
Kho Beng, sambil menghentakkan kakinya dan menghela napas
keluhnya:
“Aaai…sungguh tak nyana aku harus dibikin bodoh karena
kecerdikan sendiri, akibatnya Li Sam harus tewas dg mata tak
meram!”
Tiba2 mencorong sinar mata yg tajam dari balik mata Kho Yang
ciu, serunya dingin:
“Jadi Li Sam telah tewas?”
Agaknya ia belum mengetahui kejadian tsb hingga tubuhnya
kelihatan gemetar keras dan nada pembicaraannya penuh diliputi
perasaan kaget dan terkesiap.
Dg air mata ercucuran dan mulut membungkam Kho Beng
manggut2.
“Bagaimana matinya?” bentak Kho Yang ciu kemudian.
Secara ringkas Kho Beng bercerita bagaimana ia menyusun
rencana pertolongan darurat, bagaimana ia menyaru sebagai
encinya untuk memancing perhatian musuh dan sebagainya….
Kho Yang ciu mendengarkan semua penuturan tsb dg seksama,
sementara pancaran sinar matanya berkilat-kilat, mendadak
terdengar ia membentak keras, lalu payung Thian lo san nya
menyambar kemuka dg kecepatan bagaikan sabaran kilat.
Tak terlukiskan rasa kaget Kho Beng melihat kejadian itu,
teriaknya ketakutan:
“Cici….”
Ternyata serangan payung yg dilancarkan Kho Yang ciu tsb
bukan kearahnya, sewaktu berpaling ia saksikan Sastrawan berkipas
kemala telah beralih dari posisi semula.
Ternyata memanfaatkan kesempatan disaat Kho Beng berdua
sedang terlibat dalam pembicaraan serius, secara diam2 Sastrawan
berkipas kemala telah bergeser ke sisi peti mati yg berada dipaling
kanan dan membukanya secara pelan2.
Pada saat itulah Kho Yang ciu mengetahui akan perbuatannya itu,
dalam keadaanbegini dg sekuat tenaga orang she Beng
menghentakkan tutup peti matinya dan membuang kearah tubuh
Kho Yang ciu yg sedang menerjang kearahnya.
Memanfaatkan kesempatan mana, ia sendiri segera melompat
masuk kedalam peti mati tsb.

Tusukan kilat payung thian li san dari Kho Yang ciu seketika
tertahan oleh penutup peti mati itu.
Untung saja Bwee hiang yg berdiri disisinya cukup sigap
menghadapi perubahan tsb, begitu mendengar tanda bahaya dg
cepat dia menghentakkan lecutnya kemuka disusul kemudian
badannya ikut menerjang kesisi peti mati.
Bagaikan seekor ular sakti, nona itu menyusup kedalam peti mati
sambil mengayunkan kembali tangannya kebawah, tiba2 saja
dengusan tertahan bergema dari balik peti mati itu.
Menyusul suara dengusan tsb, Bwee hiang menarik tali angkinnya
keatas, ternyata tubuh Sastrawan berkipas kemala sudah terjirat dan
segera terseret keluar dari balik peti mati.
Pada saat itulah Kho Beng telah menerjang pula kesisi peti mati
tsb sambil melongok kebawah, sekarang ia baru tahu rupanya dibalik
peti mati tsb terdapat sebuah mulut lorong rahasia yg tembus
kebawah tanah.
Dg perasaan terkejut bercampur heran, sekali lagi ia menengok
tubuh Sastrawan berkipas kemala yg tergeletak ditanah, waktu itu
matanya kelihatan melotot keluar, lidahnya menjulur panjang,
ternyata ia sudah tewas terjirat oleh tali mestika pengikat dewa.
“Aduh celaka ia sudah mampus!” serunya tanpa sadar.
“Lebih bagus kalau sudah mampus” sahut Kho Yang ciu dingin,
“Kho Beng, seandainya kau benar2 adalah adikku, aku Cuma bisa
menghela napas atas ulahmu selama ini.”
“Cici, apa yg kau maksudkan?” tanya Kho Beng tertegun.
Dg nada suara yg tetap sedingin es, Kho Yang ciu berkata lebih
jauh:
“Sejak kematian Kho lo tia ditangan orang sampai kematian Li
Sam karena tersiksa, meski bukan menjadi tanggung jawabmu tapi
semua peristiwa tsb berlangsung gara2 kebodohanmu.”
“Umpakan cici benar, aku mengaku salah!” bisik Kho Beng sangat
menyesal.
Kembali Kho Yang ciu mendengus:
“Hmmm...umpatanku tak akan mampu menghidupkan kembali Li
Sam, tapi aku menghela napas bukan disebabkan persoalan tsb.”
Dg suara tergagap Kho Beng berkata:
“Saudara tua bagaikan ayah, kakak perempuan bagai ibu, toaci,
bila aku telah melakukan kesalahan atau kebodohan, silahkan kau
menghukumku sehabis-habisnya, mengapa kau menghela napas?”

“Bukan hanya menghela napas, pada hakekatnya aku merasa
amat kecewa, sebagai putra keluarga Kho yg memikul beban
dendam berdarah sedalam lautan, apalagi sudah berhasil memiliki
ilmu silat yg cukup tangguh seharusnya setiap waktu yg dimiliki
dipergunakan untuk membalas dendam serta membangun kembali
nama baik serta kejayaan keluarga, tapi kau hingga kini belum
nampak sesuatu kegiatan apapun, aku tak mengerti apa saja yang
kau repotkan selama ini, begitukah caramu membalas budi kedua
orang tua mu serta para pembantu setia yg sudah membela Hui im
ceng hingga titik darah penghabisan?”
Kho Beng terkesiap sekali, dg serius segera katanya:
“Aku tak akan melupakan semuanya itu, aaai...terus terang saja
cici, kedatanganku hari ini tak lain adalah untuk menyelidiki siapa
gerangan pembunuh sebenarnya dari kedua orang tua kita, hanya
saja cara berpikirku jauh berbeda dg pikiran cici...”
“Hmmm...bagaimana menurut jalan pikiranmu?” tanya Kho Yang
ciu dg suara dingin.
“Bagiku, kita harus menemukan dalang dari peristiwa berdarah
itu, bukan melakukan pembantaian secara membabi buta dan
membunuh setiap orang yg dicurigai, dg begitu paling tidak kita
akan menghibur arwah ayah dan ibu yg telah beristirahat tenang
dialam baka, meski orang yg ikut menyerbu keperkampungan Hui
im ceng waktu itu banyak sekali, tapi mereka berbuat demikian
karena siasat licik si dalang yg masih bersembunyi dibelakang layar.
Hingga kini kau telah membantai ratusan orang, bersediakah cici
untuk menuruti nasehatku, banyak membunuh tak akan menolong
keadaan, kau seharusnya mulai menghentikan kegemaran
membunuhmu itu...”
“Hmmm, besar amat jiwamu” dengus Kho Yang ciu dingin, “Lalu
tahukah kau siapakah dalang dari peristiwa berdarah itu?”
“Aku rasa dewi in nu siancu yg paling mencurigakan!”
“Kalau hanya mencurigakan saja, kau anggap aku tidak tahu?”
“Jadi cici sudah?” seru Kho Beng termangu.
“Hmmm..tadi kau anggap aku membunuh semaunya sendiri...”
Kho Beng segera berkerut kening, katanya cepat:
“Cici, kalau toh kau sudah tahu mengapa kau…… “
“Tidak menghentikan pembunuhan secara besar-besaran,
bukan?” sambung Kho Yang ciu melanjutkan kata2 Kho Beng yg
belum selesai, setelah mendengus dingin terusnya:

“Tahukah kau apa alasan dan penyebab dari orang2 yg tewas
ditanganku itu?”
“Apakah ada alasan lain?”
“Terus terang saja kukatakan, justru karena manusia tsb enggan
memberitahukan asal usul serta tempat kediaman dewi in un siancu,
maka dalam gusarnya aku telah menghabisi nyawa mereka.”
Kho Beng baru menjadi paham setelah mendengar perkataan ini,
ia tak menyangka kalau apa yg diketahuinya ternyata telah diketahui
semua oleh cicinya, malah apa yg diperbuatnya selama ini justru
merupakan sebagian dari usahanya untuk mencapai tujuan tsb.
Tak tertahan lagi dia menghela napas panjang, katanya dg nada
minta maaf:
“Cici, maafkanlah kelancanganku tadi, ya…semua kesalahan
hanya terletak mengapa kita berpisah sejak kecil sehingga aku tak
dapat memahami perasaanmu, tapi tidak seharusnya cici tidak
menuruti perkataanku tadi dg membebaskan kawanan jago pedang
berbaju kuning itu.”
“Mengapa?”
“Sebab orang2 itu adalah anak buah dewi in nu siancu!”
Kho Yang ciu kelihatan tertegun, lalu katanya dingin:
“Mengapa tidak kau katakan sedari tadi?”
“Aaai…tadi kau sama sekali tidak memberi kesempatan kepadaku
untuk berbicara lebih jauh.”
Sesudah termenung beberapa saat lamanya, tiba2 Kho Yang ciu
mengulapkan tangannya kepada Bwee hiang berdua sambil serunya:
“Mari kita pergi!”
“Cici, mengapa kau hendak pergi?” buru2 Kho Beng berseru dg
gelisah.
“Kalau tidak pergi, mau apa tetap tinggal disini?”
“Cici, kalau begitu mari kita pergi bersama.” Kata Kho Beng
kemudian sambil manggut2.
Kho Yang ciu mendengus dingin:
“Tahukah kau aku bersedia atau tidak menempuh perjalanan
bersamamu....?”
“Kita kan sesama saudara kandung, apakah cicipun tetap
membedakan antara pria dan wanita?” seru Kho Beng termangu.
“Hmmm...enak benar kedengarannya, terus terang saja aku
bilang, dua tanda bukti yg kuminta masih kurang satu, jadi aku tak
berani menerima sebutan “cici” dari mu, tunggulah sampai kau

berhasil mendapatkan kembali lencana panji Hui im ceng sebelum
kita berkumpul kembali secara resmi!”
Habis berkata ia mengulapkan tangannya dan melayang keluar
dari ruangan, dlm waktu singkat bayangan tubuhnya sudah lenyap
dibalik kegelapan malam.
Memandang tiga sosok bayangan manusia yg makin menjauh,
tanpa terasa Kho Beng menghela napas panjang.
Ia menyadari sekarang bahwa cicinya meski seorang wanita
namun wataknya amat keras dan pendiriannya amat kukuh, tanpa
sadar semuanya ini makin menunjukkan kelemahan dirinya.
Tapi....benarkah ia begitu lemah?
Mendadak ia menggertak gigi keras2 dan melompat keudara
meninggalkan tempat tsb. Ia bertekad akan membuktikan dg
tindakan bahwa dirinya tidak lemah, sasaran yg pertama dari
gerakannya in adalah Siau lim si, sebab dia harus merebut kembali
lencana panji Hui im leng tersebut.
Kuil Siau lim si....
Selama beberapa hari ini, walaupun suasana dikuil tsb nampak
tenang dg para pejiarah yg datang berdoa, namun dibalik
kesemuanya itu suasana tegang menyelimuti perasaan setiap orang,
hal ini disebabkan berita penting yg dibawa oleh Bok sian taysu.
Setiap hari boleh dibilang para pendeta tingkat tinggi kuil itu
selalu menyelenggarakan rapat rahasia dg ketuanya untuk
membicarakan soal Kho Beng serta pelbagai kemungkinan untuk
menghadapinya.
Pagi ini, seperti juga diwaktu lain, pintu gerbang kuil Siau lim si
yg besar dan berat pelan2 terbuka lebar, dua orang pendeta muda
muncul diplataran da mulai membersihkan debu disekitar kuil.
Ketika salah seorang pemuda itu selesai menyapu dan
memandang sekeliling kuil, tiba2 paras mukanya berubah hebat dan
menjerit kaget.
Mendengar jeritan kaget itu, rekannya segera berpaling seraya
menegur keras:
“Hiong pun sute, persoalan apa yg membuatm kaget? Apakah
kau lupa sg pelajaran tentang “ketenangan” yg selalu diajarkan suhu
kepada kita semua.”
Hiong pun taysu tidak menjadi tenang karena teguran tsb, sambil
menunding keatas pintu kembali serunya:

“Suheng, coba lihat…..”
Hiong hoat taysu mengikuti arah yg ditunjuk dan segera
mendongak, tapi apa yg kemudian terlihat membuat air mukanya
berubah hebat dan menjerit tertahan pula.
Ternyata papan nama “Siau lim si” yg terbuat dari sepuhan emas
itu sudah hilang lenyap dalam semalaman saja, sedang pada tempat
semula kini telah muncul dua baris tulisan yg berbunyi demikian:
“Kutunggu kedatangan Bok cuncu untuk mengembalikan panji
Hui im ki dipuncak Siau lim kentongan pertama malam nanti, bila
nanti main kerubut dg menggunakan akal licik, jangan salahkan
kalau papan nama kalian kuhancurkan.”
Dibawah tulisan tsb sama sekali tidak dijumpai tanda tangan.
Hiong hoat taysu yg semula menegur sutenya tentang
“ketenangan” kali ini tak dapat mengendalikan “ketenangan” sendiri,
sambil berpaling segera teriaknya:
“Sute, cepat hapus semua tulisan disitu!”
Kemudian dg langkah cepat dia berlarian masuk kedalam kuil
untuk memberi laporan.
Tak sampai setengah peminuman teh kemudian, suara genta
dalam kuil telah dibunyikan sembilan kali.
Ditengah dentangan suara genta yg amat nyaring, berbondongbondong
para penghuni kuil keluar dari kamar masing2 dan bergerak
menuju keruang tengah Tay hiong po tian.
Dalam waktu singkat ruangan Tay hiong po tian telah dipenuhi
lima ratusan orang pendeta dg pandangan tidak mengerti dan saling
bertanya, mereka seling berpandangan satu sama lainnya.
Tak lama kemudian kelima pendeta agung ngo heng dari ruang
Tat mo beserta para pemimpin ruangan telah hadir semua disitu dan
akhirnya ketua kuil Siau lim si pun muncul dg membawa tongkat
kebesarannya.
Serentak para anggota kuil memberi hormat dg wajah serius.
Setelah membalas hormat dan menghentakkan tongkatnya
keatas tanah, ketua siau lim si mulai berkata dg suara dalam :
“Barusan murid kita Hiong pun menemukan papan nama kuil kita
telah dicuri orang, untuk itu apakah ada diantara kalian telah melihat
seseorang yg mencurigakan kemari ? “
Dg perasaan terkejut dan bimbang segera murid Siau lim si saling
berpandangan dg mulut membungkam, nampaknya tak seorangpun
yg menyaksikan peristiwa ini.

Dg wajah serius dan nada dalam kembali ketua Siau lim si ini
berkata :
“Papan nama gereja kita merupakan hadiah dari bagina
almarhum, bukan saja melambangkan kewibawaan da sejarah kuil
kita selama seratus tahun terakhir ini, juga melambangkan posisi
terhormat kita dimata umat persilatan pada umumnya, tapi sekarang
ternyata papan nama itu telah dicuri orang tanpa diketahui kabar
beritanya, peristiwa ini betul2 merupakan suatu aib dan penghinaan
untuk kuil kita, oleh karenanya sejak hari ini tidak terbatas dari
tingkatan mana saja kalian semua diwajibkan siaga, tak boleh lalai,
tak boleh gegabah, semuanya harus siap sedia setiap saat untuk
menanggulangi hal2 yg tidak diinginkan, barang siapa berani lalai dia
akan ditindak secara tegas!”
“Menurut perintah ciangbunjin!” segenap anggota kuil menyahut
bersama-sama.
Maka ditengah ulapan tangan ketuanya, beratus orang pendeta
itu pun mengundurkan diri dari ruangan itu.
Tak lama kemudian pintu ruangan telah tertutup kembali, kini yg
tinggal hanya para tongcu serta kelima pendeta ngo heng dari ruang
Tat mo wan.
Terdengar ketua Siau lim si berkata:
“Bok lim sute, yakinkah kau bahwa ini adalah perbuatan Kho
Beng?”
Dg nada yakin Bok sian taysu menjawab:
“Menjawab pertanyaan ciangbunjin, menurut dugaanku hal ini tak
bakal salah lagi , bukankah sangkut paut serta hubungannya
persoalan ini telah kujelaskan tadi?”
“Semula menurut laporanmu dari telaga Tong ting, kau
mengatakan Kho Beng masih belum mengetahui asal usulnya
sehingga mengusulkan kepadanya untuk menariknya sebagai murid
kita sehingga tindak tanduknya dikemudian hari bisa diawasi tapi
sekarang mengapa ia bisa mengetahui asal usul sendiri sehingga
mencari gara2 dg pihak kita?”
“Menurut dugaanku, andaikata bukan si unta sakti berpunggung
baja Thio Ciong san telah mengingkari janjinya, tentu ketua Sam
goan bun yg membongkar rahasia tsb atau kemungkinan terakhir
adalah Li Sam yg telah tewas telah mengungkap asal usulnya
menjelang kematian, kecuali tiga orang ini aku rasa tiada
kemungkinan yg lain lagi.”

Ketua Siau lim si itu nampak termenung sebentar, tiba2 ujarnya
sambil tertawa dingin:
“Budha maha pengasih, demi melenyapkan bibit bencana bagi
umat persilatan, mau tak mau kita mesti menggunakan tindakan yg
keji untuk mengatasinya, Li Sam sudah mati, jejak si unta sakti
berpunggung baja pun masih penuh tanda tanya, satu-satunya jalan
adalah mengundang kehadiran ketua Sam goan bun untuk ditanyai
persoalan tsb, entah bagaimana menurut pendapat para tongcu
serta tianglo berlima?”
Padahal yg dimaksud “mengundang: dari ketua Siau lim si itu.
Lebih tepat kalau dibilang “diciduk”.
Serentak para sesepuh Siau lim si memberikan persetujuannya.
Maka dg beberapa patah kata itulah nasib tragis perguruan Sam
goan bun telah diputuskan.
Melihat tak ada lagi usul lain, ketua Siau lim si segera berpaling
kearah Bok sian taysu seraya berkata:
“Entah tindakan apa yg mesti kita ambil untuk menghadapi
perjanjian malam nanti?”
Dg suara tenang Bok sian taysu berkata:
“Pamor serta nama baik Siau lim si harus kita bela mati-matian,
menurut pendapatku, malam nanti kita penuhi undangannya
kemudian setelah mendapatkan kembali papan nama tsb, kita bekuk
orangnya.”
“Yakinkah sute akan keberhasilan kita?” tanya ketua Siau lim si
dg secara dalam.
Bok sian taysu tersenyum:
“Tak usah kuatir, pokoknya aku tak akan mengecewakan
pengharapan ciangbun suheng.”
“Baiklah” kata ketua Siau lim si kemudian sambil manggut2,
“Silahkan sute memenuhi janji itu, aku akan mengatur persoalan
lainnya.”
Dan perundingan rahasia pun diakhiri sampai disitu.
Pintu gerbang ruang Tay hiong po tian kembali terbuka lebar,
para sesepuh Siau lim si itupun kembali keruangannya masing2.
Tulisan diatas pintu gerbang kuil Siau lim si juga telah dihapus,
segala sesuatunya pulih kembali dalam ketenangan, seakan-akan
sebelum itu tak pernah terjadi sesuatu peristiwa pun.

Waktu berlalu dg cepatnya, dalam waktu singkat sehari sudah
lewat, kini rembulan sudah bersinar diatas angkasa, kentongan
pertama telah menjelang tiba.
Ditengah keheningan dan kegelapan yg mencekam seluruh kuil
Siau lim si, tiba2 kelihatan sesosok bayangan abu2 berkelebat keluar
dari ruangan dan bergerak menuju kepuncak bukit.
Tampak ditangan kanan orang itu membawa sebuah toya besi,
sementara ditangan kirinya membawa sebuah panji yg berbentuk
segi tiga.
Ternyata orang itu tak lain adalah Bok cuncu, sesepuh Siau lim si
yg sedang berangkat kebelakang bukit untuk memenuhi janji.
Sementara itu malam amat hening, selain hembusan angin
malam yg terasa dingin, tak kedengaran sedikit suara pun yg
memecah keheningan.
Bok sian taysu dari Tat mo wan berdiri tegak dipuncak bukit dg
sorot mata yg tajam mengawasi sekeliling tempat itu, namun
suasana tetap hening dan tidak kelihatan setitik bayangan manusia
pun.
Karena terlalu mengandalkan kemampuan ilmu silatnya yg amat
lihay, ditambah lagi ia tahu kalau ciangbun suhengnya telah
mempersiapkan bala bantuan disekitar sana, maka wajahnya sama
sekali tidak nampak tegang ataupun gelisah.
Ditunggunya sampai kentongan pertama menjelang tiba, sewaktu
dilihatnya orang itu belum nampak juga maka dg suara lantang ia
berseru:
“Kemana perginya orang yg mencuri papan nama? Aku telah
datang memenuhi janjiku, apakah kau tidak segera menampilkan
diri?”
Baru selesai perkataan tsb diucapkan, suara jawaban yg nyaring
telah bergema tiba:
“Bok sian hweesio, apakah sudah kau bawa panji Hui im ki leng
tsb…?
“Panji Hui im ki leng berada ditanganku…” sahut Bok sian taysu
lantang.
“Harap bentangkan panji tsb dan kibarkan tiga kali.”
Bok sian taysu menurut dan kibarkan panji tsb tiga kali, kemudian
baru ujarnya dingin:
“Apakah sicu sudah melihatnya dg jelas?”

Mendadak berkumandang suara gelak tertawa yg amat nyaring
berasal dari atas puncak bukit sebelah kiri, ditengah gelak tertawa
yg amat keras itu nampak sesosok bayangan manusia menerobos
angkasa dan melayang turun dihadapan Bok sian taysu.
Ternyata orang yg bermata tajam dan berwajah tampan itu
memang tak lain adalah Kho Beng, orang yg sudah diduga oleh Bok
sian taysu sebelumnya.
Sambil tertawa seram Bok sian taysu segera berkata:
“He...he...he...ternyata memang sauhiap, tak kusangka aku
masih punya jodoh untuk bersua kembali dg sicu”
“Tak usah banyak bicara” tukas Kho Beng sambil menarik muka,
“nah hweesio gede cepat serahkan panji Hui im ki leng tsb
kepadaku!”
Bukan diserahkan, Bok sian taysu malah menyimpan kembali
panji tsb, kemudian katanya sambil tersenyum:
“Sau sicu, bolehkah aku berbicara dulu barang sepatah dua patah
kata?”
“Kalau ingin bicara, katakan saja terus terang!”
“Masih ingatkah sau sicu dg kata2 ku ketika berada dalam wisma
tamu di bukit Kun san ditepi telaga Tong ting?”
Kho Beng segera tertawa bergelak:
“Ha…ha…ha…jadi kau masih ingin menerimaku sebagai muridmu
hweesio tua?”
“Membujuk orang berbuat baik merupakan suatu amal yg sangat
mulia, Budha maha pengasih, aku tak boleh melenyapkan
kesempatan seseorang untuk kembali kejalan yg benar, asal
tindakan yg sau sicu lakukan sekarang hanya merupakan dorongan
emosi maka pintu gerbang Siau lim si masih terbuka bagi sau sicu.”
“Hweesio gede! Enak amat perkataanmu itu” jengek Kho Beng
sambil tertawa dingin, “Masih ingatkah dg drama penyiksaan
terhadap Li Sam tempo hari?”
“Sau sicu, ketahuilah bahwa perbuatanku itu demi
kepentinganmu sendiri…”
“Sayang sekali hweesio tua, aku Kho Beng justru hendak
menyingkap topeng dibalik kebajikanmu itu!” tukas anak muda itu.
Tiba2 saja paras muka Bok sian taysu berubah hebat, serunya dg
penuh kegusaran:

“Selama ini aku selalu berusaha membujuk mu agar berbuat
kebaikan serta kembali kejalan yg benar, tindakan inikah yg kau
tuduh sebagai tindakan pura2?”
“He…he….he…kalian toh bukan pejabat pengadilan, atas hak apa
kamu semua menyelenggarakan sidang penyiksaan? Hey hweesio
tua mengapa kau tidak memberi kesempatan kepada Li Sam untuk
menempuh hidup baru? Mengapa kau hanya memberi kesempatan
macam itu kepadaku seorang?”
Merah padam selembar wajah Bok sian taysu, tapi justru karena
itu dia menjadi marah hingga wajahnya hijau membesi, ujarnya
kemudian dg suara dalam:
“Sau sicu, kalau toh kau enggan menuruti nasehatku, sampai
waktunya kau pasti akan menyesal sekali.”
Kho Beng tertawa angkuh…
“Tentang soal ini tak usah kau kuatirkan, yang datang tak akan
membawa maksud baik, orang baik tak akan datang mencari gara2.
He…he…he…hweesio tua, tahukah kau apa sebabnya aku Kho Beng
justru menunjuk dirimu untuk datang memenuhi janji?”
“Sayang aku tak paham niatmu itu!” dengus Bok sian taysu.
Kho Beng tertawa dingin…
“Kalau begitu tak ada salahnya bila kuberitahukan kepadamu,
selain menukar papan nama kuil kalian dg panji tsb, akupun hendak
memenggal batok kepalamu untuk dipakai bersembahyang didepan
meja abu engkoh Li Sam!”
Mendengar perkataan tsb, Bok sian taysu segera tertawa
terbahak-bahak:
“Ha…ha…ha…asal sau sicu merasa yakin dg kemampuanmu,
silahkan saja untuk berusaha memenggalnya, tapi sayang batok
kepalaku ini bukan barang yg bisa dipetik sembarangan….Hmmmm,
sebelum itu aku ingin bertanya dulu kepadamu, sesungguhnya apa
sih hubunganmu dg Li Sam?”
“Li Sam adalah kakak angkatku, nah hweesio, serahkan panji tsb
kepadaku sekarang juga!”
“Apakah sicu telah membawa serta papan nama kuil kami?”
“Papan nama itu terlalu besar dan berat lagi hingga kurang
leluasa untuk dibawa kesana kemari, tapi tak usah kuatir perkataan
seorang lelaki sejati tak akan diingkari lagi, asal panji tsb sudah kau
serahkan, tentu papan nama itu akan kukembalikan kepada kalian.”

“Hmmm…dalam soal ini aku dapat mempercayai perkataanmu,
tapi akupun merasa heran dg mempertaruhkan selembar jiwau kau
berusaha untuk mendapatkan panji tsb, sebetulnya apa sih
kegunaan panji itu bagimu.”
“Hmmm hweesio busuk, tahukah kau siapakah Kho Beng yg
sebenarnya?” seru pemuda itu sambil tertawa dingin.
Bok sian taysu balik tertawa dingin:
“Bila dugaanku tidak keliru, sicu adalah putra Kho Po koan,
pelayan dari perkampungan Hui im ceng dimasa lalu!”
Kho Beng segera manggut2, katanya dg suara dalam :
“Kho lo tia pernah melepaskan budi setinggi bukit kepadaku,
sudah sepantasnya kalau kusebut dia orang tua sebagai ayah
angkatku, tapi aku bukan putra kandungnya.”
“Jadi sicu bukan anak kandung si toya baja pedang tembaga Kho
Po koan?”
Bok sian taysu menyela dg wajah tercengang. Tepat sekali
perkataanmu, sebab mendiang ayahku tak lain adalah Hui im cengcu
yg termashur itu!”
Bok sian taysu terperanjat sekali, tapi sejenak kemudian ia sudah
mendongakkan kepalanya sambil tertawa terbahak-bahak:
“Ha...ha...ha....siapa sih yg hendak kau tipu? Putra tunggal Hui in
cengcu sudah mampus diujung pedang Ciu bu ki, Ciu tayhiap
semasa masih bayi dulu. Mana mungkin bisa muncul putra kedua
dari Hui im cengcu dewasa ini....”
“Hmmm...tak nyana kau si hweesio begitu dungu” ejek Kho Beng
sambil tertawa sinis, “Orang yg mewakiliku mati waktu itu lah baru
putra tunggal pelayan kami, kasihan kamu semua ternyata hingga
kini masih belum menyadarinya”
Sekali lagi paras muka Bok sian taysu berubah hebat.
Dulu pendeta dari Siau lim si ini memang menaruh curiga atas
raut wajah Kho Beng yg dianggapnya mirip Hui im cengcu, tapi
selama ini ia selalu berpendapat itu hanya suatu kebetulan saja.
Karena itu setelah menyelami kembali peristiwa masa lampau, ia
tak mau percaya kalau bocah yg telah mampus diujung pedang
tempo hari, ternyata masih hidup terus hingga hari ini.
Sekarang, pendeta agung dari Siau lim si ini baru memahami
duduk persoalan yg sebenarnya, diam2 ia menyesal sekali karena
sudah menyia-nyiakan kesempatan baik sewaktu masih ditelaga

Tong ting tempo hari, coba kalau waktu itu ia bertindak tegas,
niscaya Kho Beng tak akan lolos hingga hari ini.
Hawa nafsu membunuh pelan2 menyelimuti perasaan Bok sian
taysu, meski begitu sikapnya masih tetap tenang dan lembut seperti
sedia kala, malah ujarnya sambil tertawa nyaring:
“Kalau toh sicu adalah putra kandung Hui im cengcu, tentu saja
aku harus mengembalikan benda ini kepada pemiliknya, nah
ambillah!”
Tangan kirinya segera diayunkan kemuka, panji Hui im ki leng
segera meluncur kemuka bagaikan sekilas cahaya hijau dan....
“Duuuk!”
Segera menancap diatas sebuah batu karang, persis ditengah
antara kedua orang itu.
Menyusul kemudian tangan kanannya bergeser dari batang
tongkat keujung senjatanya. Setelah itu toyanya diputar dan
dijajarkan didepan dada, inilah gaya pembukaan dari suatu
serangan.
Sebagai orang persilatan tentu saja Kho Beng dapat melihat hal
tsb, dg kening berkerut serunya dingin:
“Hey Hweesio, kelihatannya kau sudah tak sabar lagi untuk
bertarung melawanku.”
Bok sian taysu tersenyum:
“Bukankah sicu menghendaki batok kepalaku? Sekarang kau
dapat menyelesaikan dua persoalan sekaligus, selain lencana panji
bisa kau peroleh, batok kepalaku bisa kau penggal, Cuma
masalahnya sekarang apakah sicu mempunyai kesanggupan untuk
melakukannya.”
Kho Beng mendengus dingin, sambil membusungkan dada ia
segera berjalan kemuka mendekati lencana panjinya.
Ia tahu baik kecerdasan maupun tenaga dalam yg dimiliki Bok
sian taysu masih satu setengah tingkat diatas kemampuannya,
diapun menyadari bahwa pihak lawan tak akan membiarkan dirinya
mendapatkan kembali panji tsb secara aman, bahkan bisa jadi
serangan yg bakal dilancarkan musuh luar biasa hebatnya.
Akan tetapi kobaran semangat yg dibangun oleh sindiran encinya,
menimbulkan kegagahan dan kejantanan yg tak terbendung dalam
tubuh Kho Beng, apalagi kematian Li Sam yg tragis amat melekat
didalam benaknya, boleh dibilang rasa bencinya terhadap Bok sian
taysu sudah merasuk sampai ke tulang sumsum.

Maka mempergunakan kesempatan disaat ia selangkah demi
selangkah mendekati panji tsb, dg teliti dan hati2 sekali ia mulai
memperhatikan kemungkinan2 yg dilakukan Bok sian taysu dalam
menghadapi dirinya, dia pun mulai mempersiapkan jurus serangan
yg mungkin bisa dipakai untuk menanggulanginya.
Selisih jarak sejauh berapa kaki tidak terlalu jauh, ditengah
suasana tegang yg mencekam seluruh kalangan inilah akhirnya Kho
Beng telah sampai disisi panji tsb.
Dalam keadaan demikian, mau tak mau dia harus mengalihkan
sorot matanya yg semula mengawasi wajah Bok sian taysu lekat2
kini harus beralih keatas panji yg berada diatas tanah.
Pada saat inilah sekulum senyuman dingin yg licik tersungging
diujung bibir Bok sian taysu, sebelum jari tangan Kho Beng
menyentuh panji itu mendadak ia membentak keras,
” lihat senjata!”
Toyanya diputar sambil bergetar menciptakan selapis cahaya
hitam yg disertai angin tajam langsung mengancam tubuh anak
muda tsb.
Inilah jurus “Cahaya suci bayangan budha” dari ilmu delapan
belas jurus penaklus iblis yg merupakan ilmu toya rahasia dari Siau
lim si, seperti apa yg telah diduga semula, ternyata kekuatan yg
disertakan didalam serangan tsb benar2 hebat dan luar biasa sekali.
Berbicara menurut keadaan situasi saat itu rasanya selain
membendung ancaman mana dg mempergunakan senata, hanya
ada satu jalan saja bagi Kho Beng yakni menghindarkan diri.
Akan tetapi Kho Beng tak rela melepaskan panji yg sudah hampir
tersentuh oleh tangannya itu, dalam terperanjatnya ia pun bertekad
mengambil tindakan yg amat berbahaya sekali.
Tiba2 saja badanya menerjang maju kedepan lalu menjatuhkan
diri mendekam ketanah, dg suatu gerakan yg manis tapi berbahaya
ia berhasil lolos dari sapuan tenaga lawan.
Memanfaatkan kesempatan inilah dia menyambar panji tsb,
kemudian menjejakkan kakinya kebelakang keras2.
Laksana anak panah yg terlepas dari busurnya, pemuda itu pun
meluncur kemuka langsung menerjang kedada Bok sian taysu,
pedangnya menusuk sejajar dada dan menggunakan gerakan
“ombak berbaring gelombang memburu” dia mengancam lambung
lawan.

Baru saja serangan toya Bok sian taysu menemui sasaran
kosong, ia makin terperanjat lagi setelah menyaksikan kejadian itu.
Ia bukan terkejut karena tindakan pembalasan dari Kho Beng yg
menyerempet bahaya, sebab tindak serangan balasan dari anak
muda tsb telah berada dalam dugaan pendeta agung dari Siau lim si
ini.
Yang membuatnya amat terperanjat adalah jurus serangan yg
digunakan Kho Beng untuk melancarkan serangan balasan tadi , ia
tak mengira kalau jurus serangan yg dipakai adalah ilmu pedang
aliran air Lin sui jit si yg amat termasyur itu.
Dg suara dalam dan berat Bok sian taysu segera menegur:
“Rupanya sicu telah memperoleh warisan ilmu silat dari Bu wi
lojin…”
Toyanya kembali diputar dg jurus “Guntur sakti penakluk iblis”
sepenuh tenaga ia babat tubuh lawan.
Disaat melejit kedepan tadi Kho Beng telah mencabut panjinya
dari batu, kini semangatnya berkobar-kobar, namun oleh karena
perubahan jurus yg dilakukan Bok sian taysu kelewat cepat, maka
dalam keadaan terdesak dan tak mungkin dapat dihindari lagi, ia
segera tertawa keras2 sambil serunya:
“Hey hweesio gede, aku Kho Beng akan menjajal sampai
dimanakah kemampuan tenaga dalammu!”
Tubuhnya cepat2 meluncur kebawah, begitu menginjak
permukaan tanah, pedangnya ditarik sambil berputar, lalu
membentak keras ia bendung serangan musuh dg kekerasan.
“Traaanggg…!”
Dua senjata yg saling bertemu menimbulkan suara bentrokan yg
nyaring sekali, percikan bunga api memancar kemana-mana.
Kho Beng segera merasakan kekuatan serangan Bok sian taysu
begitu berat dan kuat seperti tindihan bukit karang sehingga seluruh
lengan kanannya menjadi skit dan kesemutan, hampir saja
pedangnya lepas dari genggaman.
Akan tetapi senjata toya Bok sian taysu yg tertangkis pedang kho
Beng pun dibuat mencelat kebelakang, akibatnya pendeta dari Siau
lim si ini menjadi terkejut sekali sampai paras mukanya berubah
hebat, buru2 dia menghindarkan diri kebelakang.
Mimpipun dia tak pernah menyangka kalau Kho Beng pemuda yg
lemah lembut selain mendapatkan warisan ilmu pedang Lui sui jit si,
juga memiliki tenaga dalam yg begitu sempurna sampai2 bila

dibandingkan dg tenaga latihannya selama enam puluh tahun
selisihnya cuma sedikit sekali.
Jilid 13
Begitulah, setelah terjadi dua kali bentrokan, masing2 pihak
segera mundur kembali sejauh dua kaki dan saling berhadapan dg
penuh konsentrasi.
Dg penilaian yg salah terhadap Kho Beng sebelum ini, kini Bok
Sian taysu tak berani bertindak gegabah lagi, terutama setelah
menyaksikan Kho Beng berdiri sambil menyilangkan pedangnya
didepan dada, tentu saja ia semakin tak berani bertindak secara
gegabah.
Sebaliknya Kho Beng pun tak berani bertindak secara
sembarangan krn lengan kanannya dibuat kesemutan hingga sama
sekali tak bertenaga lagi, kini ia membutuhkan waktu yg cukup
untuk beristirahat dan memulihkan kembali kekuatan tubuhnya.
Walaupun demikian, namun ia sendiripun sudah mengerti bahwa
niatnya untuk mencabut nyawa Bok sian taysu tak mungkin berhasil,
krn kemampuan yg dimilikinya sekarang masih ketinggalan jauh dari
musuhnya.
Maka secara diam2, ia pun mengambil keputusan untuk
mengundurkan diri saja dari situ, toh bagaimana jua lencana panji
warisan ayahnya telah diperoleh kembali.
Siapa tahu pada saat itulah mendadak terdengar seseorang
menegur dari belakang tubuhnya:
“Bok sian sute, apakah kau terluka?”
Bok sian taysu segera berpaling, tiba2 saja semangatnya makin
berkobar, sahutnya dg gembira:
“Lapor ciangbun hongtiang, pinceng dalam keadaan sehat, hanya
sampai kini aku belum berhasil mendapatkan kembali papan nama
kuil kita!”
Dg perasaan terperanjat Kho Beng berpaling, ternyata diujung
bukit sana telah muncul seorang pendeta tua yg membawa sebuah
toya baja, dari sebutan Bok sian taysu diapun segera mendapat tahu
kalau orang itu tak lain adalah ketua Siau lim pay sendiri.
Hatinya segera berdebar keras, ia sadar posisinya berbahaya
sekali.
Dalam keadaan begini, satu2 nya jalan terbaik baginya adalah
mengambil langkah seribu, cepat2 dia melejit keudara dan berusaha
meloloskan diri dari situ.

Siapa sangka baru saja tubuhnya melambung ketengah udara,
ketua Siau lim pay itu sudah memutar toyanya tiga kali.
Dari empat penjuru sekeliling bukit pun segera bermunculan
bayangan manusia yg dg cepat mengambil posisi mengurung.
Dlm waktu singkat puluhan orang pendeta yg bersenjata lengkap
telah mengepung tempat itu, hawa nafsu membunuhpun
menyelimuti wajah setiap orang.
Sambil tertawa dingin, Bok sian taysu segera berkata:
“Sicu, apakah kau masih berharap bisa meninggalkan kuil Siau
lim si ini?”
Kho Beng amat terperanjat, melihat sekeliling tempat tsb sudah
terkurung musuh, terpaksa ia melayang turun kembali keatas tanah
dan bentaknya penuh kegusaran:
“Pendeta yg tak tahu malu! Apakah kalian berniat mencari
kemenangan dg mengandalkan jumlah yg banyak?”
“He…he…he…sicu belum menyerahkan kembali papan nama kuil
kami mana mungkin aku akan membiarkan kau pergi dari sini?”
sahut Bok sian taysu sambil menjengek dingin.
Kho Beng segera tertawa seram.
“Bagaimana pula andaikata aku telah mengembalikan papan
nama tersebut?”
Sementara Bok sian taysu tertegun, ketua Siau lim pay telah
menyambung:
“Sicu ini memang tidak mengingkari janji, papan nama telah
tergantung kembali diatas pintu gerbang kuil kita!”
Rupanya sebelum malam menjelang tiba tadi, Kho Beng telah
bersembunyi disekitar kuil Siau lim si, begitu melihat Bok sian taysu
sudah meninggalkan kuil untuk memenuhi janji, ia segera
menggantungkan lebih dulu papan nama ketempat semula, sesudah
itu ia baru membuntuti Bok sian taysu menuju ketempat perjanjian.
Tentu saja Bok sian taysu menjadi tertegun dibuatnya, saat itu
juga ia mulai sadar bahwa kecerdikan dan kelicikan Kho Beng tak
boleh dianggap enteng.
Tapi sebelum sempat ia menegur sesuatu, ketua Siau lim pay,
Phu sian sangjin telah berkata lebih dulu:
“Bok sian sute, anak siapa sih orang ini?”
“Dialah Kho Beng, putra tunggal Hui im cengcu dimasa lalu!”
Berubah hebat paras muka Phu sian sangjin, serunya tercengang:
“Darimana munculnya putra kedua dari Hui im cengcu?”

Bok sian taysu menghela napas panjang.
“Aaaai…rupanya si toya baja pedang tembaga Kho Po koan telah
mengorbankan putranya sendiri untuk menyelamatkan putra
majikannya, ternyata siasatnya itu berhasil mengelabui seluruh umat
persilatan sampai bertahun-tahun lamanya. Ciangbun suheng, kita
tak boleh melepaskan bibit bencana ini lagi!”
“Ooooh….” Phu sian sangjin mengalihkan pandangannya dan
mengawasi Kho Beng lekat2, kemudian katanya:
“Sau sicu sebagai putra tunggal Hui im cengcu tentunya
mengetahui juga bukan atas peristiwa yg terjadi dimasa lalu?”
“Tahu!” sahut Kho Beng dingin.
“Sesungguhnya Hui im cengcu Kho tayhiap adalah seorang
pendekar yg berjiwa ksatria dan gagah perkasa, sayang seribu kali
sayang ia berubah menjadi licik dan munafik karena terpengaruh
kitab pusaka Thian goan bu boh sehingga semua orang hilang
kepercayaan terhadap dirinya.
Bukan saja ia telah mempermainkan umat persilatan sehingga
mondar mandir tak ada tujuannya, ia pun sudah membohongi semua
orang hingga akhirnya mengorbankan amarah orang banyak dan
menderita nasib yg amat tragis.
Kalau toh sicu sudah mengetahui secara jelas duduk persoalan
itu, sepantasnya juga bila kau banyak berbuat kebajikan dan
perbuatan sosial untuk menebus dosa dan kesalahan ayahmu
dimasa lalu, tapi nyatanya sekarang…….kau malah melakukan
perbuatan amoral, perbuatan yg terkutuk, nampaknya kau
sendiripun sudah bosan hidup!”
Dg kening berkerut Kho Beng berseru:
“Ayahku adalah seorang pendekar berjiwa besar, setelah beliau
berjanji akan menghadiahkan kitab pusaka itu kepada seluruh
persilatan, dia tak akan mengingkari janji. Biarpun masa lalu sudah
lewat namun masih banyak titik kelemahan yg mendatangkan
kecurigaan, sayang kau sebagai seorang pendeta agung dari suatu
perguruan besar justru kelewat bodoh dan pikun, tidakkah kau tahu
bahwa perbuatan bodohmu telah ditertawakan sidalang yg masih
bersembunyi dibalik layar.”
“Seorang anak membelai ayahnya merupakan kejadian yg
lumrah” kata Phu sian sangjin dg suara dalam, “tapi memutar
balikkan kenyataan merupakan perbuatan terkutuk, tahukah sicu

bahwa pembelaanmu barusan justru semakin merusak nama baik
ayahmu?”
Kho Beng tertawa dingin:
“Aku bukan manusia yg suka memutar balikkan duduknya
persoalan, sayangnya kau sebagai seorang ciangbunjin justru tak
mampu meneliti persoalan yg terjadi. Padahal dalam kenyataannya
diwaktu itu justru ada seorang yg telah menyaru sebagai Bu wi
cianpwee untuk menipu kalian serta mengadu domba kalian semua,
siasat licik itulah yg menimbulkan kesalahpahaman umat persilatan
terhadap ayahku, sungguh tak disangka ternyata tak seorangpun yg
menyelidiki persoalan tsb secara teliti sehingga tanpa disadari telah
dijadikan alat oleh orang lain.”
Phu sian sangjin nampak terperanjat sekali, serunya tertahan:
“Darimana sicu mengetahui persoalan ini?”
“Aku telah bertemu dg Bu wi cianpwee, justru untuk
membersihkan diri ia mengajarkan ilmu silatnya kepadaku, malah ia
telah kembali terjun kedalam dunia persilatan untuk menyelidiki
siapa gerangan otak atau dalang dibelakang layar yg menyebabkan
terjadinya peristiwa berdarah itu…..”
“Apakah sicu sudah mengetahui siapakah dalangnya?”
“Tentu saja tahu”
“Siapakah dia?”
“Dewi In nu!”
Phu sian sangjin segera tertawa terbahak-bahak:
“Ha...ha...ha...sudah hampir lima puluh tahun lolap memimpin
partai Siau lim pay, banyak sudah tokoh persilatan dimasa lalu yg
kukenal atau paling tidak pernah kudengar namanya, tapi rasanya
belum pernah kudengar tentang seseorang yg bernama In nu
siancu, ditinjau dari namanya, lolap duga ia seorang wanita, tapi
tanpa bukti yg nyata siapa yg akan mempercayai keteranganmu
itu...”
Kembali Kho Beng tertawa dingin:
“Bila ciangbunjin tidak percaya, hal ini merupakan urusan
ciangbunjin sendiri, tapi aku, Kho Beng bertekad akan
membersihkan nama baik ayahku dari segala tuduhan yg tidak
benar, akan kusingkap dulu persoalan yg sebenarnya dan
kuumumkan kepada seluruh umat persilatan.”
“Untuk sementara waktu tak usah kita singgung dulu masalah
tsb” kata Phu sian sangjin kemudian sambil menarik muka,

“sekarang lolap ingin menegur sicu lebih dulu, apa sebabnya kau
mencari gara2 dg partai kami?”
“Ha….ha….ha….tanpa sebab tak mungkin timbul akibat” kata Kho
Beng sambil tertawa lantang, “mengapa ciangbunjin tidak bertanya
lebih dulu kepada Bok sian hwesio, apa sebabnya ia telah mencuri
panji Hui im ki leng milik ayahku tempo dulu?”
Phu sian sangjin mendengus dingin:
“Bila anda hanya menginginkan panji tsb toh bisa mendatangi kuil
kami secara terang-terangan dan memohonnya kembali secara
baik2, mengapa kau justru melanggar peraturan dunia persilatan dg
mengambil tindakan mencuri?”
Kho Beng tertawa keras:
“Ha…ha…ha…Bok sian sebagai seorang pendeta agung dari suatu
perguruan besar telah merampok panji Hui im ki leng secara paksa,
apakah tindakan semacam ini bukan termasuk tindakan pencurian?
Aku toh cuma mengambil papan nama kalian untuk ditukar dg
panji, apa salahnya bila tindakan semacam ini kuperbuat?”
Phu sian sangjin benar2 sangat gusar, serunya kemudian dg
suara dalam:
“Anak muda kau harus tahu bahwa lolap sengaja menegurmu
karena berharap kau bisa menyadari atas kesalahanmu serta
bertobat, tak disangka kau justru keras kepala dan tak tahu adat….”
“Hmmm, aku Kho Beng toh belum perah berbuat kesalahan
kenapa mesti bertobat, Ciangbunjin, kau tak usah manis dimulut
jahat dihati, sekarang bila kau tak segera membubarkan kepungan,
terpaksa aku hendak mengandalkan pedang ini untuk beradu jiwa dg
kalian!”
“Omitohud!” Phu sian sangjin segera merangkapkan tangannya
didepan dada, “Buddha maha pengasih, melenyapkan bibit bencana
bagi umat persilatan merupakan perbuatan mulia, maaf lolap akan
melanggar pantangan membunuh….!”
Berbicara sampai disini, ia pentang matanya lebar2 seraya
membentak keras:
“Kemana perginya Ngo heng cuncu dari ruang Tat mo?”
“Tecu siap melaksanakan perintah ciangbun suheng!”
Jawaban serentak bergema dari sisi kiri bukit, menyusul
kemudian tampak empat sosok bayangan abu2 melayang turun

bagaikan rajawali sakti, mereka tak lain adalah Kim cuncu, Hwee
cuncu, Sui Cuncu dan Toh Cuncu.
Sementara itu Kho Beng telah bersiap sedia dg wajah serius, kini
ia sudah tak memikirkan lagi soal mati hidupnya, dg pedang
terhunus ia telah siap melangsungkan pertarungan mati-matian.
Dg suara lantang Phu sian sangjin berseru kembali:
“Kuharap Tianglo berlima dapat membekuk orang ini hidup2, bila
terpaksa cabut jiwanya....”
Tapi sebelum perkataan itu selesai diucapkan, tiba2 dari bawah
bukit sana telah muncul gulungan api, ternyata arah munculnya
cahaya api tsb tak lain adalah kuil Siau lim si.
Kelima orang Ngo heng cuncu telah siap melancarkan
serangannya ketika secara tiba2 melihat munculnya cahaya api tsb,
dg wajah tertegun mereka segera berpaling.
Betapa terperanjatnya jago2 tsb setelah melihat bangunan kuil
mereka terjadi kebakaran besar, saking kagetnya mereka sampai
menjerit tertahan.
Sementara itu para pendeta yg berdiri disisi kanan bukit telah
berteriak keras:
“Lapor ciangbunjin, kuil kita terbakar!”
Berubah hebat paras muka Phu sian sangjin, belum pernah
bangunan kuil itu terbakar, apalagi terjadi disaat suasana setegang
ini tanpa terasa ia melirik sekejap kearah Kho Beng, hatinya curiga
sekali.
Tapi hanya tertegun sejenak, ketua dari Siau lim si ini segera
membentak dg suara dalam:
“Harap kesepuluh Tianglo pelindung hukum segera pulang kekuil
untuk menyelidiki sebab musabab terjadinya kebakaran, begitu
mendapat kabar segera kirim laporan kemari!”
Sepuluh orang pendeta tua yg berada disisi kanan bukit serentak
menyahut dan beranjak meninggalkan tempat tsb.
Dg demikian selain Ngo heng cuncu dari Tat mo wan, diatas
puncak bukit itu masih terdapat juga para ketua ruangan yg lain,
Phu sian sangjin segera mmbentak lagi:
“Tianglo berlima...!”
Namun sebelum perkataan itu selesai diutarakan, dari balik
kegelapan tiba2 berkumandang lagi suara teriakan seseorang dg
penuh nada panik:

“Ciangbunjin dari Siau lim pay, bila kau tak segera pulang,
mungkin kuil Siau lim si akan berubah jadi abu dan anak buahmu
akan habis dibantai orang!”
Dg wajah berubah Phu sian sangjin segera membentak:
“Tolong tanya siapakah sicu?”
Kali ini jawaban berasal dari tebing sebelah kanan:
“Lo pousat, aku jauh2 datang kemari memberi kabar hanya atas
dasar niat baik, jangan bertanya siapa aku, bila nanti perguruan Siau
lim si bisa lolos dari musibah malam ini, akhirnya toh akan tahu
sendiri siapakah aku…..”
Phu sian sangjin segera mengalihkan pandangan matanya kearah
batuan karang serta gua batu yg berada disisi kanan bukit, sesudah
termenung sejenak, sahutnya kemudian:
“Terima kasih atas pemberitahuan sicu, tapi lolap telah mengutus
sepuluh tianglo pelindung…”
Sambil tertawa dingin suara itu bergema lagi:
“Wahai hwesio tua, bukan aku sengaja meremehkan kekuatan
kalian, bila kau hanya mengutus sepuluh orang tianglo pelindung
hukum saja, sementara seluruh kekuatan lain yg bisa diandalkan
terhimpun disini, aku kuatir mereka yg telah pergi tak akan kembali
lagi, kasihan sepuluh lembar jiwa melayang dg percuma!”
Tanpa terasa Phu sian sangjin mengalihkan sorot matanya
kebawah bukit, betul juga kobaran api kelihatan makin lama semakin
membesar sehingga separuh langit menjadi merah membara.
Padahal setahunya dalam kuil masih terdapat empat lima ratus
anggota kuil angkatan dua dan tiga yg tak lemah kekuatannya,
apabila bukan terjadi serbuan yg tangguh dari luar, mustahil dg
kekuatan sebesar itu mereka tak sempat memadamkan api hingga
api yg membakar kuil makin lama semakin membesar.
Begitu dipikir, tanpa terasa dia pun mempercayai keterangan
orang tsb sebesar lima bagian, segera tanyanya kembali:
“Tahukah sicu kawanan bajingan darimana yg melakukan
serbuan kekuil kami?”
“Kawanan manusia tsb semuanya baju dan kerudung hitam, ilmu
silatnya amat tangguh...aaai, ciangbunjin, apa lagi yg kau ragukan?
Apakah kau lebih memberatkan seorang bocah ingusan ketimbang
karya Siau lim si selama lima ratusan tahun?”

Kata2 yg sangat mengena itu segera membuat hati Phu sian
sangjin menjadi gugup, diam2 ia memikirkan untung dan ruginya
meninggalkan tempat ini.
Memang benar Kho Beng merupakan bibit bencana yg harus
dilenyapkan dari muka bumi, akan tetapi hasil karya Siau lim si
selama lima ratusan tahun jauh lebih penting lagi.
Maka setelah mempertimbangkan untung ruginya, dg perasaan
apa boleh buat ketua Siau lim si ini menatap sekejap kearah Kho
Beng dan berkata dg suara dalam:
“Bocah keparat, malam ini aku akan membebaskan dirimu untuk
sementara waktu, kuharap kau bisa memperbaiki perbuatanmu
selanjutnya, janganlah mengikuti jejak ayahmu dulu sehingga
menyebabkan kematian yg tragis bagi diri sendiri!”
Selesai berkata ia segera mengibaskan ujung bajunya kearah
kawanan pendeta Siau lim si yg berada disekitar situ.
“Hayo jalan!”
Secepat kilat ia segera meluncur turun kebawah bukit.
Waktu itu kelima cuncu Ngo heng dari ruang Tat mo telah dibuat
terperanjat sampai termangu oleh berita yg barusan didengarnya
maka begitu ketuanya memberi perintah untuk kembali kekuil
mereka tak berani ayal-ayalan lagi dan menyusul dibelakang Phu
sian sangjin.
Dlm waktu singkat seluruh pendeta sakti yg berada diseputar
bukit telah mengundurkan diri dari sana dan cepat2 pulang ke Siau
lim si.
Ditengah jalan mereka saksikan kobaran api masih belum juga
mereda, kejadian mana membuat para pendeta menjadi panik dan
gelisah, nafsu membunuhpun telah menyelimuti wajah setiap orang.
Terutama sekali Phu sian sangjin sebagai ketua Siau lim pay,
hawa amarah menyelimuti dadanya, akan tetapi ia pun curiga.
Ia tak habis mengerti manusia darimanakah dewasa ini yg
bernyali begitu besar dg melakukan penyerbuan kekuil Siau lim si?
Mungkinkah kawanan manusia penyerbu tsb adalah komplotan
dari si Kedele Maut yg misterius itu?
Siapa tahu belum habis ingatan tsb melintas lewat, dari kejauhan
sana ia telah menyaksikan sepuluh sosok bayangan manusia
meluncur datang dg cepatnya.

Ketika bayangan manusia itu semakin dekat, segera mereka
kenali sebagai kesepuluh tianglo pelindung hukum yg diutus untuk
menolong kuil mereka.
Phu sian sangjin segera menghentikan langkahnya lalu dg wajah
tertegun tegurnya:
“Mengapa kalian buru2 balik kemari? Apakah anak murid kita
sudah tak mampu lagi menahan serbuan musuh?”
Kesepuluh tianglo itu cepat2 menghentikan larinya, setelah
memberi hormat maka pemimpin dari kesepuluh pendeta tsb, Sin
tiong taysu berkata dg pelan:
“Lapor cingbun hongtiang, meskipun tanda bahaya telah
dibunyikan dari dalam kuil namun hingga sekarang belum ditemukan
jejak musuhnya....”
Phu sian sangjin semakin tertegun, serunya agak keheranan:
“Kalau toh jejak musuh tak ditemukan, mengapa kobaran api
didalam kuil semakin membesar?”
“Api itu membakar hutan pohon siong disisi kuil, entah siapa yg
telah mengguyur minyak disekitar sana sehingga begitu terkena api
maka kobaran apinya menjulang sampai kelangit. Kini pepohonan
disekitar tempat kebakaran sudah mulai ditebangi anak murid kita
hingga lokasi kebakaran pun telah diisolir, bila minyak sudah habis
terbakar niscaya kobaran api akan padam dg sendirinya….”
“Jadi kuil kita tak terbakar?” sela Phu sian sangjin.
“Kuil kita selamat dan tetap utuh, namun tecu telah perintahkan
untuk meningkatkan kesiap siagaan!”
Berubah hebat paras muka Phu sian sangjin, serunya kemudian
sambil menghentakkan kakinya ketanah:
“Celaka! Kalau begitu sipembawa berita tadi adalah komplotan
bajingan muda tsb, tak disangka aku sudah termakan oleh siasat
licik?”
Rupanya bila dilihat dari puncak bukit maka hutan pohon siong
tsb justru menyelimuti sekeliling kuil, tak heran kalau para pendeta
tsb salah mengira kuil mereka telah terbakar.
Demikianlah, setelah selesai berbicara ketua dari Siau lim si itu
segera mengebaskan ujung bajunya dan beranjak pergi menuju
kepuncak bukit kembali.
Tentu saja kawanan pendeta lainnya harus mengikuti dari
belakangnya, tak selang berapa saat kemudian mereka telah tiba
kembali ditempat semula, namun apa yg terlihat membuat mereka

termangu-mangu, suasana dipuncak bukit itu amat hening, tak
nampak sesosok bayangan manusia pun disitu…..
Tak terlukiskan rasa gusar yg menyelimuti perasaan Phu sian
sangjin waktu itu, tiba2 ujarnya kepada Bok sian taysu:
“Sute, sekembalinya kedalam kuil nanti segera utus orang untuk
memberi kabar kepada seluruh partai yg ada, beritahu tentang asal
usul bocah keparat itu, suruh semua rekan2 persilatan yg terlibat
dalam peristiwa berdarah saat itu untuk memperketat gerak
geriknya, barang siapa membocorkan rahasia tsb bunuh saja tanpa
ampun ..he…he…he… biarpun kolong langit amat luas, aku justru
akan memojokkannya hingga tiada tempat berpijak lagi….”
oooOOooo
Malam sangat gelap.
Ditengah pegunungan yg membentang dari puncak Siong san
sebelah utara sampai dikota The ciu tampak ada dua sosok
bayangan manusia yg sedang berlarian dg kecepatan tinggi.
Orang yg berada dimuka adalah seorang menusia berkerudung
hitam yg bertubuh kecil pendek, sedangkan orang yg mengikuti
dibelakangnya adalah seorang pemuda berbaju biru, dia adalah tak
lain dari pada Kho Beng yg baru lolos dari kepungan para jago Siau
lim pay.
Waktu itu, Kho Beng bertanya sambil meneruskan larinya:
“Sobat, sebenarnya siapa sih kau ini? Hendak kau bawa diriku
kemana….?”
Manusia berkerudung hitam yg berada didepan sama sekali tak
berpaling, ia berlarian terus dg kencangnya, hanya sahutnya dingin:
“Bocah muda, tak usah banyak bicara terus, setelah keluar dari
pegunungan ini belum terlambat kalau ingin bicara!”
Kali ini adalah kali keempat Kho Beng mengajukan pertanyaan yg
sama, sebaliknya yg menjawab pun empat kali memberikan jawaban
yg sama, hal ini membuat Kho Beng merasakan betapa misteriusnya
si manusia berkerudung hitam itu.
Kini, walaupun ia sudah tahu kalau orang tsb tidak bermaksud
jahat, akan tetapi pelbagai kecurigaan masih mencekam dalam
perasaannya, ia tak tahu akan dibawa kemanakah dirinya setelah
orang itu berhasil memancing pergi kawanan pendeta dari Siau lim
pay? Dan apa pula maksud tujuannya?

Sesungguhnya Kho Beng ingin menanyakan kecurigaan2nya itu
akan tetapi akhirnya ia berusaha mengendalikan perasaan tsb, sebab
ia tahu kalau lawannya enggan berbicara, ini berarti ditanya pun tak
ada gunanya.
Begitulah, mereka berada satu dimuka yg lain dibelakang saling
berkejaran menelusuri jalan setapak.
Lebih kurang dua jam kemudian, manusia berkerudung hitam yg
berjalan dimuka itu memperlambat gerak larinya.
Sementara itu titik cahaya terang sudah mulai muncul diufuk
timur, ini menandakan kalau fajar mulai menyingsing, jalan yg
terbentang didepan mata pun sudah makin mendatar atau dg
perkataan lain mereka sudah meninggalkan pegunungan Siong san
sebalah timur.
Akhirnya manusia berkerudung hitam itu menghentikan
langkahnya, dadanya nampak tersengal-sengal, suara dengusan
napas yg memburu lamat2 kedengaran jelas.
Begitu pula keadaan Kho Beng napasnya terengah-engah,
dadanya naik turun hingga untuk berbicara pun rasanya susah
sekali.
Lama sekali mereka berdua termenung sambil mengatur napas
akhirnya manusia berkerudung hitam itu menghembuskan napas
panjang dan berkata lebih dulu.
“Akhirnya kita berhasil juga lolos dari kawasan yg berbahaya, kita
tak usah kuatirkan pengejaran dari kawanan hwesio Siau lim si
lagi….!”
Perkataan itu diucapkan seakan-akan bergumam, tapi seperti
juga memberi penjelasan kepada Kho Beng mengapa ia tidak
memberikan jawaban tadi. Kho Beng manggut2 sekarang ia baru
bisa bernapas lega, sahutnya sambil tersenyum:
“Terima kasih atas bantuan saudara yg telah menolongku dari
pengepungan, aku rasa sobat boleh segera melepaskan kain
kerudungmu sehingga kita dapat saling berhadapan dg wajah
sebenarnya.”
Manusia berkerudung itu tertawa terkekeh-kekeh, pelan2 dia
melepaskan pula jubahnya yg kedodoran...
Begitu melihat jelas muka orang itu, Kho Beng jadi tertegun,
tanpa terasa ia berseru tertahan:
“Aaaah, rupanya kau!”

Siapakah dia? Ternyata orang itu adalah lelaki yg membawa
sekarung kedele yg pernah ditemuinya dirumah makan kota Kwan
tong tempo hari.
Waktu itu dg senyuman dikulum ia mengawasi Kho Beng lekatlekat....
“He...he...he...daya ingatan sauhiap memang sangat bagus”
katanya sambil tertawa terkekeh, “rupanya kau masih ingat dg
ku.....aaah betul, hamba Chee Tay hap menjumpai kongcu!”
Seraya berkata ia memberi hormat dalam2.
“Chee Tay hap?” Kho Beng berbisik dg wajah tertegun, “dia telah
melepaskan budi pertolongan kepadaku, masa aku harus
menyebutnya dg nama secara langsung?”
Maka ia pun buru2 menjura untuk memberi hormat.
“Kongcu tak usah keheranan atau terkejut” kata Chee Tay hap
lagi sambil tertawa,”hamba hanya melaksanakan perintah majikan
untuk melindungi keselamatan kongcu secara diam2”
“Siapa sih atasanmu itu?” tanya Kho Beng gelisah.
Chee Tay hap segera tertawa misterius, “Atasanku tak lain adalah
nona Kho”
“Oooh rupanya toaci, Ya betul, bila ditinjau dari kantung kedele
yg kau bawa sewaktu di Kwan tong tempo hari seharusnya aku
sudah menduga kesitu.
Jadi kau mulai menguntil dibelakangku semenjak kau
meninggalkan Yang ciu tempo hari.”
Chee Tay hap manggut2.
Kembali Kho Beng bertanya:
“Kalau begitu kau juga yg telah melepaskan api di Siau lim si
malam tadi?”
Sekulum senyum kebanggaan segera tersungging diujung bibir
Chee Tay hap, katanya:
“Aaaai, aku cuma menggunakan sedikit siasat untuk menipu
mereka”
“Aaaai….bagaimanapun juga perbuatanmu itu sedikit
keterlaluan….” Kata Kho Beng sambil menghela napas.
Chee Tay hap segera tertawa terkekeh-kekeh:
“Membunuh seorang hwesio Siau lim atau melepaskan api
membakar ludes seluruh kuil Siau lim rasanya tiada perbedaan
menyolok, toh satu kali berhutang juga tetap hutang….”

“Biarpun perkataanmu ada benarnya juga” kata Kho Beng dg
wajah serius, “tapi pandangan kita harus benar, tak boleh emosi
atau berat sebelah dalam penilaian, kalau tidak maka kita sendirilah
yg bakal terjerumus dalam posisi yg sulit”
“Perkataan kongcu memang benar” buru2 Chee Tay hap memberi
hormat.
Kembali Kho Beng berkata:
“Kuharap sekembalinya dari sini kaupun bisa menyampaikan
kata2 yg sama kepada enciku, apalagi jejak dalang yg sesungguhnya
sudah diketahui, kuharap ia tidak bertindak secara membabi buta
lagi. Ketahuilah orang2 yg terlibat dlm peristiwa berdarah tempo
hari, sampai sekarangpun belum mengetahui duduk persoalan yg
sebenarnya, siapa tak tahu dia tak bersalah, banyak membunuh
hanya akan dikutuk Thian”
Mendengar perkataan tsb, Chee Tay hap segera menghela napas
panjang, katanya kemudian:
“Aaaaai…kongcu berjiwa besar dan berhati mulia, jauh sekali
berbeda dg sifat majikanku, tapi kuharap jangan sampai bentrok dg
majikan hanya dikarenakan mempunyai pandangan yg berbeda,
sesungguhnya majikan mempunyai wajah yg dingin dan kaku namun
berhati lembut dan mulia, ketika ia tahu kalau kongcu adalah adik
kandungnya, saat itu juga ia menitahkan hamba untuk melindungi
kongcu secara diam2, betapa hangat dan besarnya perhatian
majikan terhadap kongcu sungguh tak terurai dg kata2…..”
Dg perasaan bergolak Kho Beng ikut menghela napas panjang:
“Mengerti, kakak yg tertua bagaikan ibu kandung, aku sebagai
adik tentu saja cuma bisa memberi saran, masa antar saudara
sendiri sampai terjadi bentrokan? Sudahlah, mulai sekarang kau tak
usah mengikuti diriku lagi….”
“Kongcu menyuruh aku pulang?” tanya Chee Tay hap tercengang.
Kho Beng mengangguk.
“Toaci bercita-cita hendak menuntut balas, itu berarti dalam
setiap aksinya ia selalu membutuhkan bantuan, sebaliknya aku saat
ini cuma ingin menyelidiki jejak pembunuh sebenarnya secara diamdiam,
apalagi panji Hui im ki leng sudah kuperoleh kembali, rasanya
sudah tiada lagi urusan penting yg akan kukerjakan lagi, oleh sebab
itu aku pikir lebih baik kau pulang saja untuk melindungi
keselamatan toaci”

Chee Tay hap berpikir sebentar, akhirnya dia manggut seraya
berkata:
“Perintah kongcu pasti akan kulaksanakan, cuma sebelum pergi
hamba ingin menyampaikan dulu sesuatu kepadamu”
Sambil berkata ia mengeluarkan sebuah kantung kecil dari
sakunya, melihat kantung itu menggunung dg tercengang Kho Beng
bertanya:
“Apa sih isi kantung itu?”
“Apalagi selain kedele pencabut nyawa”
Terkesiap juga hati Kho Beng sesudah mendengar penjelasan itu,
terdengar Chee Tay hap berkata lebih jauh:
“Sekarang hamba akan menjelaskan rahasia dari ilmu tsb,
kuharap kongcu dapat mengingat sebaik-baiknya
Im dikiri dan Yang di kanan, Yang dilepas Im ditarik, nyata dikiri
kosong dikanan, empat penjuru berputar terbang melayang. Nah
kongcu! Apakah kau sudah mengingatnya?”
“Ingat sih sudah kuingat, tapi tidak kupahami apa arti dari
rahasia tsb?”
Kembali Chee Tay hap tertawa:
“Sesungguhnya kepandaian ini merupakan suatu kepandaian yg
luar biasa, padahal kalau sudah diketahui rahasianya bukan suatu
kepandaian yg hebat. Pernahkah kongcu melihat kanak2 yg bermain
kelereng….?”
Kho Beng segera menggeleng.
Melihat itu Chee Tay hap berkata lebih jauh:
“Padahal asal kongcu bisa membayangkan saja rasanya tak susah
untuk memperoleh gambaran, misalnya sebutir kelereng yg
disentilkan dg jari tangan, ia pasti menggelinding kemuka secara
lurus, akan tetapi kalau sewaktu menyentil kita melakukan gerakan
menekan dg jari tangan maka keadaannya menjadi berbeda!”
Bagaimanapun juga sifat kekanak-kanakan Kho Beng belum
hilang, karena tertarik segera ujarnya sambil manggut2.
“Ya benar, bila ditekan dg jari maka setelah kelereng itu melejit
kedepan maka ia akan menggelinding balik kembali, tapi apa sih
hubungannya dg ilmu melepaskan kedele?”
Chee Tay hap segera tertawa terkekeh-kekeh:
“Ilmu hwee hun toh mia (sukma membalik pencabut nyawa) dari
tuan putri justru mempergunakan prinsip kerja dari kelereng tsb,
hanya saja kalau main kelereng kita menggunakan kekuatan jari

maka dalam bermain kedele kita mesti menggunakan sepasang
tangan secara bersamaan dan disini pula letak perbedaan antara
ilmu sukma membalik pencabut nyawa dg ilmu pelepas senjata
rahasia pada umumnya!”
Seraya berkata dia mengeluarkan empat butir kedele dari
sakunya dan diletakkan pada telapak tangan, lalu katanya lagi
sambil tertawa,
“Bila senjata rahasia menggantungkan kekuatannya pada
lontaran jari tangan maka ilmu Hwee hun toh mia ini justru
mengandalkan pancaran tenaga dalam yg menyembur keluar dari
balik telapak tangan, disaat telapak tangan kanan memancarkan
tenaga yang kang maka telapak tangan kiri yg merapat secara diam2
memancarkan tenaga Im kang, sewaktu melancarkan serangan pun
dua butir yg didepan dipakai untuk memancing perhatian lawan
sebaliknya dua butir yg menyusul kemudian sebagai senjata
pembunuh, sasaran termudah tak lain adalah sepasang mata
musuh.”
Kho Beng memperhatikan keterangan tsb dg bersungguhsungguh
sampai disitu tak tahan lagi ia menyela:
“Mengapa sasaran yg termudah justru terletak pada sepasang
mata musuh…?”
“Mata adalah bagian terutama dari tubuh manusia, begitu
terkena maka daya kerja obat akan menyebar dg cepat, karenanya
barang siapa terkena maka dia akan segera tewas. Berbeda sekali dg
bagian lain, bukan saja belum tentu bisa membunuh lawan, daya
kerja obat racun pun belum tentu bisa berkasiat sebagaimana
mestinya, kedua, pandangan mata siapapun, entah bagaimanapun
tajamnya pasti bakal keliru……he….he….he….dg memanfaatkan
kesalahan pada pandangan manusia inilah ilmu sukma berbalik
pencabut nyawa seringkali menewaskan lawannya!”
Berbicara sampai disini, sambil tertawa ia segera menambahkan:
“Dua kaki didepan sana terdapat dua batang pohon besar yg
berdiri berjajar, apa salahnya jika kongcu membuat dua lingkaran
pada masing2 pohon, kemudian menyaksikan demontrasi ilmu
sukma berbalik pencabut nyawaku?”
Dg gembira Kho Beng melompat kesisi pohon lalu dg jarinya ia
membuat dua buah lingkaran pada batang pohon itu, setelah itu
diperhatikannya pohon lain yg berjarak lebih kurang lima inci
disisinya.

Mendadak satu ingatan melintas dalam benaknya, ia sengaja
melukis dua lingkaran yg bengkok2 dan selisih satu inci satu sama
lainnya, kemudian sambil berjalan balik kesamping Chee Tay hap
katanya sambil tertawa:
“Sekarang akan kulihat kebolehanmu dalam menggunakan ilmu
sukma pencabut nyawa”
Dari kejauhan Che Tay hap dapat melihat bagaimana Kho Beng
sengaja melukis lingkaran tsb secara bengkok2, dg kening berkerut
ia menegur:
“Kongcu sengaja melukis lingkaran secara bengkok2, mana ada
mata manusia yg berbentuk seperti itu?”
Kho Beng tertawa”
“He....he....he....katanya ilmu tsb hebat sekali? Kalau cuma
keadaan seperti inipun tak sanggup dilakukan dimana lagi letak
keistimewaannya?”
“He...he...he...terus terang saja kongcu, hamba sendiri pun baru
belajar jadi tak sehebat kepandaian yg dilakukan tuan puteri sendiri,
tapi hamba akan memberanikan diri untuk mencobanya, silahkan
kongcu lihat dg seksama!”
Tangannya segera digoncangkan, tahu2 keempat butir kedele itu
sudah berjajar menjadi satu baris.
Kemudian ia merapatkan telapak tangan kirinya sambil menarik
kebelakang, ketika tangan kanannya diayunkan kemuka maka,
“Sreet!”
Dua buah titik bayangan hitam telah meluncur dari tangannya
dan melayang kearah kiri.
Kho Beng menjadi tertegun, segera pikirnya dg keheranan,
“Aneh benar orang ini, padahal sasarannya berada didepan,
mengapa kedua butir kedele itu justru dilontarkan kesebelah kiri?”
Belum habis ingatan tsb melintas lewat, tampak olehnya kedua
titik bayangan hitam itu sudah meluncur sejauh dua kaki lebih, tiba2
saja benda tadi membuat suatu gerakan melingkar dan tahu2 sudah
menancap ditengah lingkaran pada batang pohon tsb.
Diam2 Kho Beng merasa terkesiap, pikirnya tanpa terasa:
“Aaai…ternyata kepandaian tsb benar2 sangat tangguh…”
“Duuuk,duukk…!”
Sekali lagi bergema suara benturan nyaring, ternyata lingkaran
pada batang pohon yg lain pun sudah terkena serangan kedele tadi
meski satu diantaranya tidak mengena persis pada sasarannya.

Tapi satu hal yg membuat pemuda itu tercengang adalah sejak
kapan kedua butir kedele yg terakhir dilepaskan Chee Tay hap,
saking kesemsemnya memperhatikan perubahan pada dua butir
kedele pertama, ia sampai lupa memperhatikan gerakan selanjutnya.
Sementara itu Chee Tay hap telah berkata sambil tertawa rikuh:
“Aaaai, dasar tidak berbakat, baru dicoba pertama kali sudah
meleset”
Setelah berhenti seenak, kembali ia berkata:
“Rasanya kongcu sudah mengetahui garis besarnya bukan? Bila
kita andaikan pohon yg pertama sebagai musuh dan lingkaran yg
dibuat adalah sepasang mata lawan maka dua butir kedele yg
dilepaskan lebih dulu tadi tak lebih berguna untuk memancing
perhatian lawan, disaat musuh melihat datangnya sambaran
bayangan hitam maka ia pasti akan berusaha menghindar, dg
hindarannya tadi muduh pasti akan beralih pada posisi batang
pohon yg kedua, da justru dg posisi inilah dia akan termakan oleh
dua butir kedele yg terakhir.
Cuma sayang kepandaianku kurang matang, coba kalau encimu
yg melakukannya sendiri, dua butir pun sudah lebih dari cukup.”
Sambil tertawa Kho Beng menggelengkan kepalanya berulang
kali, katanya:
“Kau jangan lupa sekarang pohon yg kita anggap manusia adalah
benda mati tak mampu bergerak, jika orang hidup yg kita hadapi dia
tak bakal berdiri saja menanti digebuk”
“Ha....ha....ha....kali ini perkataan kongcu memang tepat,
memang dsisinilah kelemahan dari ilmu silat Sukma berbalik
pencabut nyawa, yakni tak dapat dilepaskan menurut kehendak hati
disaat pertarungan sedang berlangsung, ilmu ini hanya bisa
dipergunakan disaat lawan lengah sedang tenang.
He...he....he...setiap kali encimu mencari sasarannya, dia selalu
memberi kata-kata pembukaan!”
“Apa itu kata2 pembukaan?” tanya Kho Beng agak geli.
“Bila nafsu membunuh telah menyelimuti perasaan nona, dia
pasti berkata begini....aku yakin kalian tentu tak rela menanti
kematian dg begitu saja, tapi nona pun belum tentu harus
membunuh kalian, asal kau bisa menghindari kedua butir kedele
maut ku, akan kubebaskan kau dari kematian....he....he....sepuluh
orang jago sembilan orang diantaranya sudah dibuat keder oleh
keseraman kedele maut, mereka tentu akan menghadapi secara

serius, didalam keadaan seperti inilah serangan dari encimu pasti
akan mengenai sasaran!”
“Aku masih saja tak mengerti!” kata Kho Beng dg kening berkerut
kencang.
“Dalam hal apa kongcu tidak mengerti?”
“Darimana toaci bisa tahu kalau musuhnya hendak menghindar
kemana, kekiri atau kekanan, muka atau belakang?”
Chee Tay hap segera tertawa.
“Pertanyaan kongcu amat tepat, encimu pernah bilang, hal ini
tergantung pada penilaian serta pandangan yg berpengalaman,
reaksi dari seseorang berilmu silat kebanyakan dilakukan setelah
lawan bertindak duluan, maka disaat kau siap sedia melancarkan
serangan, pihak musuh tentu akan memperhatikan serta bersiap
siaga dg penuh keseriusan, sewaktu menghindar pun kalau bukan
kekiri pasti kekanan, sebalknya kau harus mengandalkan
kesempatan disaat butiran kedele itu berputar untuk menentukan
arah gerakan bahu dari lawanmu.Bila gerakannya kekanan pasti
menghindar kekiri, bila gerakannya kekiri pasti berkelit kekanan.
Bagi orang macam encimu, dia tak usah menggunakan empat
butir untuk memancing reaksi lawan, dua butir pun sudah lebih dari
cukup, karena biasanya ia menilai gerakan musuh dari kedipan
matanya, biasanya bila kedele sudah dilontarkan, bukan kedele itu
yg mencari mangsa, justru korbanlah yg menghantarkan diri untuk
disergap kedele maut itu?”
Sampai disini Kho Beng pun segera berpikir, meski encinya sudah
lelewat banyak membunuh orang, namun perbuatannya tsb sengaja
dilakukan demi menuntut balas atas kematian orang tuanya. Ia
sebagai adik kandung sudah menjadi kewajibannya untuk turut
memikul tanggung jawab itu.
Siapa tahu dg sekantung kedele tsb ia bisa mengacaukan
pandangan umat persilatan terhadap encinya, atau paling tidak bisa
mengurangi beban yg menghimpitnya?
Berpikir sampai disitu, katanya kemudian:
“Baiklah, akan kuterima sekantung kedele ini”
Tampaknya Chee Tay hap masih tetap kuatir, kembali dia
bertanya:
“Apakah kongcu sudah memahami teori tsb sekarang?”
“Sudah mengerti” Kho Beng mengangguk sambil tertawa, “Tak
nyana kau sudah menguasai sekali tentang seluk beluk ilmu tsb.”

Chee Tay hap tertawa.
“Sesungguhnya hamba mendapat rejeki gara2 membonceng
dibelakang kongcu, seandainya nona tidak ingin mewariskan ilmu tsb
kepadamu, mana mungkin dia akan mengajarkan kepandaian sakti
itu kepada hamba?”
“Apakah racun dari kedele ini ada obat penawarnya?”
Chee Tay hap menggeleng,
“Hamba tak punya waktu untuk membuatnya, tapi asal kulit tak
robek dan darah tidak mengalir, racun tsb tak akan menyerang
tubuh manusia. “
“Dari Li Sam kudengar kalau ilmu silat toaci berasal dari Gin san
siancu, tapi belum pernah kudengar kalau keahlian gin san siancu
didalam permainan senjata rahasia… “
Kembali Chee Tay hap tertawa :
“Menurut penjelasan majikan, ilmu sukma berbalik pencabut
nyawa diwarisinya dari seorang manusia berkerudung sewaktu ia
baru turun gunung dulu, hanya sewaktu mewariskan kepandaian
tadi, orang tsb menggunakan semacam senjata rahasia yg istimewa
bentuknya, tuan putri menganggap cara membuat senjata rahasia
tsb tidak mudah, maka dg kecerdikannya ia merubah senjata dg
menggunakan kedele.”
“Ooooh…rupanya begitu” Kho Beng manggut2, “Nah sekarang
kau boleh pergi!”
Dg sikap hormat sekali Chee Tay hap menjura katanya:
“Kalau begitu hamba mohon diri lebih dulu”
Ia membalikkan badan dan beranjak pergi tapi belum berapa
langkah tiba2 dua berbalik kembali.
“Apakah kau masih ada persoalan yg belum dijelaskan?” tanya
Kho Beng tertegun.
Sesudah sangsi sejenak Chee Tay hap berkata agak tergagap:
“Mengingat kongcu seorang yg berjiwa besar dan berhati mulia,
ada beberapa persoalan perlu kujelaskan dulu agar kongcu tidak
memikirkan persoalan itu didalam hati”
“Soal apa?” pemuda itu makin bingung.
“Sesungguhnya hamba tidak pernah memasuki kuil Siau lim si,
padahal kongcu mesti membayangkan sendiri, Siau lim si dg lima
ratusan pendeta bukan kekuatan yg lemah, dg mengandalkan
kemampuan hamba seorang, mana ada kemungkinan untuk masuk
kedalam bangunan dan membakarnya.”

“Ehmmm, soal tsb belum pernah kubayangkan” ujar Kho Beng
termangu, “jadi kau masih punya teman?”
Chee Tay hap tertawa jengah,
“Teman sih tidak punya, aku tak lebih Cuma melepaskan api
dihutan siong belakang kuil sehingga memberi kesan kepada para
pendeta yg berada dipuncak bukit bahwa kuil Siau lim si sudah
terbakar, dg cara tsb aku berharap kawanan hwesio itu menjadi
panik dan gugup. Padahal dalam kenyataannya kuil itu tidak rusak
sama sekali, apa yg hamba katakan kepada kongcu tadi lebih Cuma
bualan belaka!”
Kho Beng agak tertegun sejenak, tapi ia segera tertawa terbahakbahak:
“Ha….ha….ha…..sungguh tak kusangka siasat busukmu amat
banyak, tapi bila dilihat dari demontrasi ilmu meringankan tubuh yg
kau lakukan tadi, jelas tenaga dalammu tidak berada dibawahku!”
“Kongcu kelewat memuji” Chee Tay hap tertawa, “lima tahun
berselang hamba masih dikenal orang sebagai Sin hek tok ho atau
saudagar racun berkaki sakti, soal ilmu meringankan tubuh memang
menjadi kepandaian andalanku, padahal kecuali yg satu ini aku tak
punya kemampuan lain yg bisa dibandingkan dg kongcu.”
Habis berkata ia tertawa lagi sambil menambahkan:
“Justru karena pengalaman hamba sebagai saudagar, maka
menjadi kebiasaanku untuk membual dalam bidang apa saja, dalam
hal ini harap kongcu jangan menjadi gusar!”
Setelah memberi hormat diapun beranjak pergi meninggalkan
tempat itu, dari kejauhan ia sempat berseru lagi:
“Aku hendak pergi dulu, soal keselamatan kongcu selanjutnya
kuserahkan pada kalian!”
Dg kecepatan bagaikan sambaran kilat ia berkelebat menuruni
bukit, dalam waktu singkat bayangan tubuhnya sudah lenyap dari
pandangan mata.
Kho Beng yg mendengarkan perkataan itu menjadi tertegun,
pikirnya : “Ia bilang tak punya teman, lantas pesan tsb ditujukan
kepada siapa?”
Berpikir sampai disitu, diapun mencoba untuk memperhatikan
keadaan disekitar sana namun tak nampak sesosok bayangan
manusiapun yg tampak.
Permainan setan apa lagi yg dilakukan Chee Tay hap? Pikir Kho
Beng dg termangu.

Diliputi perasaan heran dan tak mengerti ia berjalan menuruni
bukit.
Siapa tahu baru berjalan sepuluh langkah, mendadak dari balik
semak belukar disisi jalan melompat keluar dua sosok bayangan
manusia yg membawa golok terhunus, dg cepat mereka
menghadang jalan perginya.
Kho Beng terkejut sekali, dg cepat dia melompat mundur sejauh
dua langkah lebih.
Ketika diamati lebih teliti, ditemukan dua orang tsb mempunyai
perawakan tubuh tinggi besar, wajahnya kasar dan bengis, matanya
tajam dan hidungnya melengkung, tampangnya menunjukkan kalau
mereka bukan manusia baik2.
Pakaian yg dikenakan adalah baju ringkas dari bahan kain
kasar,dadanya terbuka lebar hingga nampak bulu dadanya yg hitam
lebat, dg sorot mata yg tajam begaikan sembilu mereka awasi Kho
Beng tanpa berkedip.
Terkejut juga perasaan Kho Beng menghadapi dua orang yg tak
dikenal itu, pikirnya:
“Jangan2 kedua orang ini adalah yg dimaksud Chee Tay hap dg
perkataannya tadi? Tapi Chee Tay hap adalah anak buah enciku,
mengapa ia justru berteman dg kawanan manusia buas? Kalau
dibilang hal ini merupakan ide cici, rasanya lebih mustahil lagi”
“Kaukah yg bernama Kho Beng?”
Dari nada pembicaraan lawan, Kho Beng segera mengetahui
kalau mereka berdua bukan orang Tionggoan, bisa jadi suku asing
dari luar negeri perbatasan, hal ini semakin mencurigakan hatinya.
Sambil mempersiapkan diri secara diam2, sahutnya dingin:
“Betul!”
Tapi sebelum perkataan tsb selesai diucapkan, lelaki berbaju
kembang yg lain tela menyambung:
“Kalau memang benar, hayo cepat ikuti kami berdua!”
“Kalian berdua hendak mengajakku pergi kemana?” tanya Kho
Beng adak tertegun.
“Tidak jauh dari sini!”
“Maaf” kata Kho Beng dg suara dalam, “belum kuketahui nama
kalian berdua!”
“Aku bernama Hapukim dan dia Rumang!” ucap lelaki berdada
bidang pula:
Sambil menjura Kho Beng segera berkata:

“Oooh, rupanya saudara Hapukim dan saudara Rumang, barusan
kalian bilang akan mengajakku pergi tak jauh dari sini, tampat mana
sih yg dimaksud...?”
“Aaah, kau ini kelewat cerewet!” tukas Rumang sambil melotot.
Berubah paras muka Kho Beng katanya pula sambil tertaw
dingin:
“Aku tidak terbiasa menuruti perintah orang, apalagi mengikuti
seseorang secara membuta, bila kalian berdua tak bisa menerangkan
, maaf kalau aku tak bisa mengikuti kehendak kamu berdua.”
“Aku tidak memahami perkataanmu, terus terang saja sekalipun
enggan pun kau harus ikut kami!”
“Bila kalian ingin menggunakan kekerasan, aku akan mencoba
sampai dimanakah kemampuan kalian berdua “ jengek Kho Beng
tertawa dingin.
Berkerut kencang kulit wajah rumang, bentaknya murka:
“Bocah keparat! Bila ingin mencoba silahkan kau rasakan dulu
ketajaman mata golokku! Sreeet!”
Sinar mata golok berkelebat lewat secara kilat, dia babat
pinggang Kho Beng dg derasnya.
Baik dalam kecepatan maupun dalam keganasan serangan, nyata
sekali kepandaian silat orang ini cukup tangguh.
Kho Beng terkesiap, karena tak sempat lagi meloloskan
pedangnya, dalam keadaan tergopoh-gopoh ia melintangkan
panjinya dg tangan kiri, sementara kepalan kanannya siap
disodokkan kemuka.
Mendadak terdengar Hapukim berteriak keras, dg golok
panjangnya ia tangkis bacoan Rumang…
“Traaaang….!”
Ketika dua senjata beradu, kedua belah pihak sama2 tergetar
mundur satu langkah.
Dg wajah tertegun Rumang segera menegurnya:
“Hey saudara
Hapukim, apa-apaan kamu ini?”
Hapukim berkata dg suara dalam.
“Majikan menitahkan kepada kita berdua untuk menyambut
kedatangan seseorang, tidak berarti kita harus melukainya, apalagi
kalau terjadi kesalahan, bagaimana pertanggungjawaban kita
nantinya?”

Rumang segera terbungkam dalam seribu bahasa, namun ia
sempat melotot sekejap kearah Kho Beng dg ganas.
Tiba2 Kho Beng berseru sambil tertawa nyaring:
“Rupanya kalian berdua hanya melaksanakan perintah seseorang,
tapi bolehkah aku tahu siapa majikan kalian?”
“Setibanya ditempat tujuan kau toh akan tahu dg sendirinya,
Cuma tempat tujuannya bisa kuberitahukan dulu kepadamu, yakni
kuil Ngo li bio diluar kota The ciu!”
Tiba2 satu ingatan melintas dalam benak Kho Beng, segera
tanyanya:
“Apakah kalian kenal dg Chee Tay hap yg baru saja berlalu dari
sini?”
“Tentu saja kenall!” jawab Rumang tampaknya tak sabar lagi.
“Kalau begitu kalian berdua adalah sahabat Chee Tay hap?” tanya
Kho Beng lebih jauh.
Hapukim menggeleng:
“Bukan, kami tidak berteman!”
“Kalau sudah kenal, mana mungkin bukan sahabat?” seru sang
pemuda tertegun.
Rumang mendengus dingin:
“Kami Cuma pernah bersua satu kali ditengah jalan, bila orang
semacam inipun dianggap sebagai teman, bukankah semua orang
dikolong langit adalah teman kami semua?”
“Betul!”
Rumang segera berteriak keras:
“Hey bocah muda, mengapa sih kau cerewet sekali, sebenarnya
mau jalan atau tidak!”
Saat ini Kho Beng sudah diliputi oleh perasaan ingin tahu, setelah
berpikir sebentar, katanya sambil tertawa nyaring:
“Baiklah akan kulihat manusia macam apakah majikan kalian itu,
silahkan kalian berdua membawa jalan!”
Rumang kembali mendengus,
“Huuuh, setelah setengah harian ngerocos terus akhirnya toh ikut
juga, kau betul2 lebih susah diatur ketimbang bocah perempuan!”
Sesudah menyarungkan kembali goloknya, ia membalikkan badan
dan berjalan menuruni bukit dg langkah lebar.
Kho Beng mengerti kalau orang itu merupakan suku asing yg
masih belum beradab, karenanya ia Cuma tersenyum tanpa
berbicara lagi.

Setelah menyimpan kembali panjinya dan menyoren pedangnya,
dg langkah lebar ia menyusul dibelakang.
Sementara itu Hapukim mengikuti pula dipaling belakang.
Tak selang beberapa saat kemudian mereka sudah menelusuri
jalan raya yg lebar, tentu saja kehadiran dua lelaki bengis yang
mengiringi seorang pemuda menimbulkan perhatian orang banyak.
Diam-diam Kho Beng berkerut kening menghadapi keadaan tsb,
tapi ia tetap bersabar sebab kota The ciu sudah muncul didepan
mata.
Menjelang masuk kedalam kota, tiba2 Rumang berbelok
kesamping jalan raya dan menelusuri sebuah jalan setapak.
Jalanan setapak itu membentang menembusi sebuah hutan yg
lebat, suasana amat hening agaknya amat jarang dilalui orang.
Belum beberapa langkah mereka berjalan, tiba2 dari sisi kiri dan
kanan jalan masing2 muncul sesosok bayangan manusia yg
menghadang jalan perginya.
Salah seorang diantaranya segera menegur dg suara lantang:
“Loji apakah kau sudah berhasil menemukan orang yg kita cari?”
“Yaa benar, apakah loji ada dirumah?” kata Rumang sambil
manggut2.
Orang itu segera tertawa.
Jilid 14
“Ia sudah tak sabar menunggu lagi, maka kami berdua pun
disuruh keluar untuk mencari kabar.”
Sembari berkata, sinar matanya segera dialihkan ketubuh Kho
Beng dan mengamatinya dg seksama.
Kho Beng baru terperanjat setelah menyaksikan tampang muka
kedua orang tsb, ternyata mereka memiliki perawakan tubuh yg
tinggi lagi ceking, tinggi seperti bambu sementara tampangnya
seseram Rumang serta Hapukin. Hal ini membuktikan kalau mereka
berasal dari satu daerah yg sama.
Hanya bedanya sikap maupun tingkah laku mereka jauh lebih
dingin dan menyeramkan ketimbang Hapukin berdua, menimbulkan
rasa sebal dan muak bagi yg memandang.
Yg lebih istimewa lagi adalah senjata yg tersorong dibahu mereka
berdua bukan saja tanpa sarung, bentuknya pun golok tak mirip
golok, pedang tak mirip, bentuknya meliuk-liuk mirip ular.
Sudah setengah harian lamanya Kho Beng memperhatikan
bentuk senjata tajam tsb namun sampai terakhir pun ia tak

mengetahui apa namanya, sebab belum pernah dijumpai dalam
daratan Tionggoan.
Dalam pada itu si jangkung lagi ceking tadi telah berkata kembali,
“Kami akan jalan duluan untuk memberi laporan kepada si tua,
harap kalian segera menyusul datang!”
Selesai berkata tampak dua sosok bayangan manusia meluncur
bagaikan hembusan angin dalam waktu singkat bayangan tubuh
mereka sudah lenyap dibalik pepohonan sana.
Diam2 Kho Beng merasa amat terkesiap seingatnya kepandaian
silat yg dimiliki keempat orang itu tidak lebih rendah daripada jagoan
kelas satu dari daratan Tionggoan.
Dg kekuatannya seorang diri, andaikata terjadi pertarungan satu
lawan satu mungkin saja ia bisa meraih kemenangan, tapi kalau
sampai mereka berempat maju bersama, sudah pasti dia bukan
tandingannya.
Dalam terkesiapnya tiba2 dia teringat akan sesuatu, sambil
berpaling tanyanya kemudian kepada Hapukim:
“Apakah si tua yg dimaksud adalah majikan kamu semua..?”
“Betul!” Hapukim mengangguk membenarkan.
Dg perasaan tercengang Kho Beng segera berpikir:
“Sebagai seorang hamba ternyata dibelakang majikannya mereka
memanggil sebagai si tua, hal ini menunjukkan kalau orang2 tsb
tidak begitu menaruh hormat kepada majikannya, lantas hubungan
antara hamba dan majikan macam apakah itu?”
Seketika itu juga ia berpendapat bahwa gerak gerik keempat
orang ini bukan saja amat aneh dan mencurigakan, bahkan
hubungan mereka dg majikannya yg belum sempat dijumpai pun
jelas bukan suatu hubungan yg sederhana.
Sementara ia masih termenung, mereka telah membelok dua
tikungan dan sampai didepan sebuah bangunan kuil yg bobrok.
Saat itu dua orang asing berperawakan jangkung lagi ceking itu
sudah berdiri menanti ditepi pintu kuil, mereka segera menggapai
kearah Rumang begitu melihat rekannya munculkan diri.
Dg cepat Kho Beng memperhatikan sekejap keadaan kuil tsb,
rupanya tempat itu hanya merupakan sebuah bangunan yg sudah
tak utuh, jelas sudah terbengkalai dan tak dihuni manusia.
Menghadapi situasi semacam ini, ia tak tahu apakah
kedatangannya bakal beruntung atau sebaliknya, tanpa terasa
pemuda kita menjadi ragu.

Mendadak terdengar Hapukim yg berada dibelakangnya menegur
dg suara rendah:
“Hey anak muda, tinggal dua langkah sudah masuk kedalam kuil,
mengapa kau malah ragu2 untuk melanjutkan?”
Sementara Kho Beng masih tertegun, tiba2 pinggangnya
didorong orang keras2.
Dalam keadaan tidak siap, ia segera terdorong hingga maju
kemuka dg sempoyongan, tahu2 tubuhnya telah berada didepan
pintu kuil.
Dg cepat hawa amarahnya berkobar, sambil membalikkan badan
ia segera menghimpun kekuatan dan siap memberi pelajaran kepada
pihak lawan yg dianggapnya kurang ajar itu.
Tapi belum sempat ia berbuat sesuatu dari balik ruang kuil sudah
terdengar seseorang berseru:
“Kho sauhiap silahkan masuk kedalam, apalah artinya membuat
keributan dg kawanan manusia seperti itu!”
Mendengar perkataan tsb Kho Beng segera berpikir sejenak,
kemudian sambil tertawa dingin pikirnya:
“Betul juga perkataan ini, apa artinya ribut dg kawanan manusia
biadab seperti ini, toh ada alasanpun tak bisa dijelaskan dan pula
mereka hanya tahu melaksanakan perintah seseorang, bila ingin
menegur, mangapa aku tidak menegur langsung kepada majikannya
yg berada didalam ruangan kuil...?”
Dg pandangan dingin ia menyapu sekejap sekeliling ruangan,
tampak olehnya Rumang telah berdiri disamping ruangan sementara
dibagian tengah berdiri seorang kakek bertubuh pendek lagi kecil
tapi kelihatan amat keras.
Setelah melihat dg jelas wajah si kakek yg berdiri sambil
memegang sebuah huncwee, Kho Beng menjadi termangu untuk
beberapa saat lamanya, sementara kejadian lainpun serasa melintas
kembali dalam benaknya.
Dg darah mendidih dan air mata bercucuran membasahi pipinya,
ia maju beberapa langkah kedepan dan segera menjatuhkan diri
berlutut sambil katanya dg suara gemetar:
“Kho Beng tidak menyangka akan bersua kembali dg Thio
cianpwee setelah berpisah setengah tahun berselang, ternyata kita
bersua lagi disini, terimalah salam hormat boanpwee bagi kesehatan
dan keselamatan cianpwee!”

“Ha...ha...ha...” kakek ceking tertawa gelak, “bocah muda, kau
tak usah menyebutku dg panggilan demikian, aku masih Thio
bungkuk malah terasa lebih hangat...”
Ternyata kakek ceking ini tak lain adalah si Unta sakti
berpunggung baja yg pernah dihebohkan karena kematiannya.
Waktu itu sambil berkata ia membangunkan Kho Beng dari atas
tanah, kemudian agak emosi katanya lagi:
“Sebenarnya aku sibungkuk telah berjanji akan menemui dirimu
lagi pada tiga tahun mendatang, siapa sangka dalam setengah tahun
belakangan ini ternyata sudah terjadi perubahan yg besar sekali,
kemajuan ilmu silat yg kau raih pun jauh diluar dugaanku sama
sekali, mari, mari karena kuil ini tanpa bangku, mari kita duduk
dilantai saja sambil berbincang-bincang!”
Dg perasaan gembira yg meluap-luap Kho Beng menyeka air
mata yg membasahi pipinya, lalu bertanya:
“Darimana cianpwee bisa tahu kalau aku pergi ke kuil Siau lim
si..?”
Si unta sakti berpunggung baja segera tertawa:
“Sejak aku melihatmu tanpa sengaja dikota Yang ciu, sampai
sekarang aku selalu membuntuti disekitarmu, masa kau sama sekali
tidak merasakannya.”
“Mengapa cianpwee tak segera munculkan diri untuk bertemu”
seru Kho Beng agak tertahan.
Kali ini si Unta sakti berpunggung baja menghela napas.
“Selama hidup aku sibungkuk enggan ingkar janji, meski
kekalahanku ditangan Bok sian taysu sewaktu berada diperguruan
Sam goan bun tempo hari membuat hatiku tak puas namun karena
ikatan janji tsb, aku tak dapat mengingkarinya lebih dulu!”
Ucapan mana segera menimbulkan perasaan kagum dan hormat
didalam hati Kho Beng, tapi sebelum ia sempat berbicara, si unta
sakti berpunggung baja telah berkata kembali sambil menghela
napas:
“Aku dapat menyaksikan pertemuanmu dg encimu, lalu melihat
pula kau meninggalkan bangunan kosong di Yang ciu dalam keadaan
mendongkol, dari sikap serta gerak gerikmu itu aku segera tahu
kalau kau tak akan mampu menahan diri dan pasti akan berangkat
ke Siau lim si untuk mendapatkan kembali panji tsb, karena itu aku
menguntil terus dibelakangmu. Tatkala kujumpai kalau jejakmu
memang tak meleset dari dugaanku, terpaksa akupun munculkan diri

dan mengajak pengurus rumah tanggamu itu untuk berunding serta
,mengatur siasat, he…he…he…pertama kali ini aku thio bungkuk
ketenggor batunya.”
“Ketenggor batunya? Bagaimana maksudmu?” tanya Kho Beng
agak keheranan.
“Walaupun aku sibungkuk telah berhasil menyelidiki identitas
saudara tsb, namun ia justru tidak kenal dg aku sibungkuk, sewaktu
terjadi pertemuan, aku sibungkuk nyaris sudah mengorek keluar
seluruh isi hatiku, tapi ia sangsi dan curiga, dalam keadaan apa
boleh buat tak mampu mengutarakannya keluar, aku terpaksa
mohon diri dan mengikutinya terus secara diam2”
“Lantas bagaimana akhirnya? Aku lihat dia toh sudah percaya
penuh dg cianpwee?” kata Kho Beng sambil tertawa.
Si Unta sakti berpunggung baja mendesis lirih:
“Kebetulan sekali pada saat kau belum tiba dibukit Siong san,
hampir saja dirimu disatroni orang, agaknya Chee loko itu merasa
kalau gelagat tak menguntungkan, segera ia munculkan diri dan
melakukan penghadangan!”
“Cianpwee, belum kau jelaskan siapa yg telah bermaksud
menyatroni diriku itu?”
“Mereka adalah Leng hong dan Leng tiok totiang, dua diantara
delapan pelindung hukum Bu tong pay. Dalam satu dua patah kata
saja saudara Chee telah terlibat dalam pertarungan sengit melawan
Leng hong serta Leng tiok totiang berdua.
Kemampuan dari anak murid partai besar memang tak boleh
dianggap enteng, tak sampai dua puluh gebrak kemudian saudara
Chee mulai terdesak hebat dan tak mampu bertahan lagi. Maka aku
sibungkuk pun segera memanfaatkan kesempatan itu untuk
memberi bantuan, dalam pertarungan yg kemudian terjadi kami
berhasil memukul mundur dua orang tosu Bu tong pay itu, dg
demikian aku pun bisa memperoleh kepercayaan hingga bersamasama
mengatur siasat api tsb.
“Oooh, rupanya menggunakan api untuk memukul mundur
musuh merupakan siasat yg diatur locianpwee…”
Belum habis perkataan itu diutarakan, tiba2 saja paras muka si
unta sakti berpunggung baja telah pulih menjadi dingin kembali,
segera tegurnya:
“Sebagai seorang laki2 sejati memang wajar memiliki semangat
dan keberanian yg luar biasa, tapi kau kelewat gegabah, terlampau

jumawa, kau tahu berapa ribu orang jumlah anggota kuil Siau lim si
dan berapa ratus orang jago lihay yg mereka miliki? Tapi nyatanya
kau berani mencuri papan namanya seorang diri untuk ditukar panji,
perbuatan semacam begitu betul2 perbuatan bodoh. Apakah kau
anggap Siau lim si yg termasyur itu gampang untuk dihadapi.”
Dg perasaan menyesal Kho Beng menundukkan kepalanya
rendah2, sahutnya lirih:
“Teguran cianpwee memang benar…..”
Sewaktu pandangan matanya membentur kembali dg wajah
Rumang, Hapukim maupun kedua lelaki kurus jangkung yg berdiri
termangu disisi arena dg pandangan bingung itu, tanpa terasa dia
mengalihkan pembicaraan sambil tanyanya:
“Siapakah mereka berempat? Rasanya cianpwee belum
memperkenalkan mereka kepadaku?”
Si unta sakti berpungung baja segera manggut2, katanya:
“Yaa, kita hanya tahu membicarakan persoalan pribadi sehingga
melupakan mereka semua…”
Sambil berkata ia segera bangkit berdiri, lalu gapainya kearah
keempat orang itu sambil serunya dingin:
“Coba kemarilah kalian berempat!”
Keempat lelaki bengis itu serentak maju dua langkah kedepan,
setelah berdiri berjajar, Rumang baru bertanya:
“Apakah cukong hendak memerintahkan sesuatu?”
Si Unta sakti berpunggung baja mendengus dingin, kepada Kho
Beng katanya:
“Aku rasa kau tentu sudah mengetahui bukan nama dari dua
orang yg mengajakmu kemari “
Lalu sambil menunjuk kearah dua lelaki jangkung lagi ceking tsb
ia menambahkan:
“Mereka berdua adalah dua saudara dari keluarga Mo, yg tua
bernama Molim sedang yg muda bernama Mokim seperti juga
Rumang dan Hapukim, mereka semua merupakan penduduk yg
berasal dari kawasan Cing hay….”
“Oooh…rupanya dua bersaudara Mo…” buru2 Kho Beng menjura
kepada dua orang lelaki kurus jangkung itu.
Tapi si Unta sakti berpunggung baja segera menyela dg suara
dalam:
“Kau tidak usah bersikap begitu sungkan terhadap mereka…”

Sementara Kho Beng masih tertegun, si Unta sakti berpunggung
baja telah berkata lagi kepada Molim berempat:
“Hayo kalian berempat cepat maju untuk memberi hormat,
selanjutnya sauhiap ini adalah majikan kalian yg baru!”
Kho Beng semakin termangu lagi sehabis mendengar ucapan tsb,
sebaliknya keempat orang itu pun nampak tertegun, tapi kemudian
paras mukanya berubah hebat.
Rumang yg berangasan tak bisa mengendalikan gejolak emosinya
lagi, ia segera membentak penuh amarah:
“Apa-apan kamu ini? Mak nya…sebetulnya kami mempunyai
berapa orang majikan sih?”
Wajahnya kelihatan menyeringai bengis sementara tangannya
meraba gagang golok yg tersoren dipinggang, agaknya dia merasa
amat tidak puas terhadap perkataan dari si unta sakti tsb.
Kho Beng betul2 dibikin kebingungan setengah mati, dg wajah
tak mengerti dan termangu diawasinya si unta sakti tanpa berkedip,
dia ingin sekali bertanya, namun kedipan mata si unta sakti
mencegahnya untuk mengajukan pertanyaan.
Terdengar si Unta sakti berkata dingin:
“Seekor kuda tak akan bisa dikendalikan dua orang, tentu saja
kalian hanya mempunyai seorang majikan, Cuma selanjutnya Kho
sauhiap lah yg bakal menggantikan kedudukan aku si bungkuk!”
“Tidak bisa!” tukas Molim tiba2 dg suara yg dingin dan
menyeramkan.
“Mengapa tidak bisa?” Si Unta sakti balik bertanya dg wajah sama
sekali tak berubah.
“Sewaktu kami berempat menyatakan kesediaan untuk menjadi
pembantumu tempo hari, kita toh sudah berjanji bahwa mulai saat
itu kami hanya akan menuruti perintahmu seorang, apabila kau si
tua ingin melepaskan diri dari kami berempat…he…he...jangan
mimpi!”
Kho Beng betul2 dibikin tercengang oleh peristiwa ini, kalau
dilihat dari sikap maupun tingkah laku keempat orang tsb,
nampaknya meski mereka sudah menjadi pembantunya si Unta
sakti, namun kesediaan mereka bukan atas dasar benar2 takluk.
Tapi anehnya lagi, ternyata mereka pun enggan meninggalkan si
Unta sakti untuk berganti majikan lain, sebenarnya hubungan
macam apakah yg terjalin diantara mereka berdua?
Mendadak terdengar Si Unta sakti tertawa terbahak-bahak:

“Ha…ha…ha…mengerti aku sekarang, rupanya kalian takut kalau
aku sibungkuk mengingkari janji bukan?”
“Benar!” sahut Molim dingin.
Sambil tertawa terbahak-bahak si Unta sakti berkata lebih jauh:
“Justru lantaran aku sibungkuk hendak menepati janji maka aku
baru perkenalkan Kho sauhiap sebagai majikan kalian yg baru, bila
ingin mempelajari isi kitab pusaka Thian goan bu boh serta tenaga
singkang, selanjutnya kalian harus baik2 melayani majikan kalian
ini….”
Kho Beng merasakan hatinya bergetar keras sekali, terutama
setelah mendengar disinggungnya soal kitab pusaka.
Sementara itu Rumang sudah berteriak keras:
“Kami tak percaya, hayo cepat suruh dia tunjukkan kitab pusaka
tsb….”
Kho Beng pun tak bisa menahan diri lagi, kepada si Unta sakti
serunya:
“Cianpwee, sebenarnya apa yg telah terjadi? Jangan lagi kabar
berita tentang kitab pusaka Thian goan bu boh belum diketahui,
sekalipun benda tsb berada ditanganku pun pewarisnya harus
diseleksi lebih dulu secara ketat!”
Siapa tahu begitu perkataan selesai diucapkan paras muka
Rumang berempat sudah berubah sangat hebat, mereka segera
mundur dg sempoyongan, menyusul kemudian tampak cahaya tajam
berkilauan, ternyata keempat orang itu sudah meloloskan senjata
masing2.
Sambil menyeringai seram Hapukim segera berseru:
“Bagus sekali! Tak disangka kau si tua bangka suka membohongi
kami berempat, jauh2 dari Cing hay kau mengajak kami memasuki
daratan Tionggoan, ternyata apa yg berlangsung Cuma sandiwara
belaka.”
Paras muka si Unta sakti kelihatan dingin kaku tanpa emosi,
agaknya dia sudah mempunyai persiapan yg cukup matang, selanya
dg suara dalam dan berat:
“Selama hidup aku tak pernah berbohong kepada siapapun, siapa
bilang aku telah membohongi kalian berempat?”
Mokim yg selama ini hanya membungkam terus, tiba2
mendengus dingin seraya berkata pula:
“Hey si tua! Jangan lupa kau pernah membual setinggi langit
tentang kehebatan ilmu sakti yg tercantum dalam kitab pusaka Thian

goan bu boh ketika baru pertama kali bertemu dg kami, kaupun
mengatakan bahwa kabar berita tentang kitab pusaka tsb sudah
diketahui, asal sudah ditemukan maka kau bersedia mewariskan
kepandaian sakti tsb kepada kami. Tapi sekarang..hmmm...mana
kitab pusakanya? Mana ilmu saktinya....?”
Si Unta sakti segera tertawa tergelak:
“Ha...ha...ha...betul aku memang pernah berkata demikian
kepadamu, padahal aku telah menemukan Kho sauhiap bagi kalian
sekarang serta memperkenalkan majikan baru untuk kalian semua,
hal ini sesungguhnya berarti aku telah melaksanakan setengah dari
janjiku itu...”
“Apa maksud perkataanmu itu?” tanya Hapukim tidak habis
mengerti, nampaknya dia kebingungan.
“Aku bisa berkata demikian oleh karena kabar berita tentang
kitab pusaka Thian goan bu boh hanya diketahui Kho sauhiap
seorang, lagipula Kho sauhiap lah yg sebenarnya merupakan pemilik
yg telah kehilangan kitab pusaka tsb.”
Molim segera mendengus dingin:
“Hmmm, siapa sih yg sebenarnya kau bohongi? Sudah jelas
bocah muda ini mengatakan kalau berita tentang kitab pusaka tsb
belum jelas....”
Saat ini Kho Beng sudah banyak belajar dari pengalaman, buru2
dia mengulapkan tangannya seraya menyela:
“Coba kalian dengarkan dulu penjelasan dariku, barusan aku
maksudkan kitab pusaka tsb belum jelas kabar beritanya karena aku
masih menelusuri jejak orang yg telah mencuri kitab tsb, jadi bukan
berarti sama sekali tak ada kabar beritanya.”
“Lantas kitab pusaka tsb berada ditangan siapa?” tanya Molim
dingin.
“Beritahu kepada kalianpun tak ada salahnya” ujar si Unta sakti
cepat, “kitab pusaka tsb berada ditangan seorang wanita yg
memakai julukan sebagai In nu siancu!”
“Dewi In nu tsb berdiam dimana?” teriak Rumang lantang.
Sementara si Unta sakti hendak menjawab, Mokim sudah
menyela lebih dulu dg suara dingin:
“Lotoa, kau jangan bodoh, andaikata mereka sudah mengetahui
tempat tinggal perempuan tsb apa gunanya memperalat kita
berempat?”
Sambil tertawa seram si Unta sakti segera menyambung.

“Nah, ucapan Mo loji inilah yg paling sesuai dg jalan pikiranku,
sekarang duduknya persoalan sudah jelas, berarti hanya dua jalan
untuk kalian pilih, kamu berempat hendak memisahkan diri atau
melakukan pencarian secara bersama?”
Molim termenung beberapa saat, tiba2 tanyanya pada Rumang:
“Lotoa, bagaimana menurut pendapatmu?”
Rumang tertawa lebar.
“Aku adalah orang kasar yg dungu, pokoknya bagaimana kalian
memutuskan, aku menurut saja!”
Kembali Molim berpaling kearah Hapukim, sambil tanyanya pula:
“Kalau lotoa tiada pendapat, bagaimana dg pendapat saudara
Hapukim sendiri?”
Hapukim segera menggaruk-garuk kepalanya yg tak gatal,
ujarnya setelah berpikir sebentar:
“Aku rasa mempunyai titik terang jauh lebih mantap ketimbang
mencari secara membabi buta!”
Molim segera tertawa sinis, tukasnya:
“Bukan soal itu yg ingin kutanyakan kepadamu, aku Cuma ingin
tahu jalan yg manakah yg harus kita tempuh?”
Karena melihat Hapukim berotak bebal dan agaknya tak punya
pendapat lain, Mokim segera menyela:
“Toako, aku rasa lebih baik kalau kita teruskan saja perjanjian yg
lama, buat kita yg baru pertama kali melangkah kedaratan
Tionggoan, rasanya seperti orang buta menunggang kuda, kemana
kita mesti pergi untuk menemukan perempuan tsb?”
Molim segera manggut2, kepada Rumang dan Hapukim kembali
tanyanya:
“Bagaimana pendapat kalian berdua atas perkataan dari adikku
barusan..?”
“Kalau Mo jiko telah berkata begitu , yaa sudahlah...kami mah tak
punya pendapat apa-apa” ujar Rumang sambil tertawa kering.
Sedangkan Hapukim juga menggelengkan kepalanya pertanda
tak punya pendapat lain.
Maka dg pandangan mata yg menyeramkan Molim menatap
kembali wajah si Unta sakti dan Kho Beng sambil katanya:
“Baik, kami akan tetap menuruti janji semula!”
Si Unta sakti tertawa seram, sembari menarik muka katanya:
“Kalau memang masih mengikuti perjanjian yg lama berarti kalian
mesti menjaga hubungan kita sebagai majikan dan pembantu, kalian

pun harus menjalankan penghormatan sebagai seorang pelayan
terhadap majikannya. Kenapa sampai sekarang masih
mengacungkan senjata didepan kami?”
Agak tertegun keempat orang tsb setelah mendengar teguran si
Unta sakti, tapi kemudian setelah saling berpandangan sambil
tertawa, cepat2 mereka menyimpan kembali senjata masing2.
Kembali si Unta sakti membentak:
“Kalau toh majikannya sudah ganti, mengapa kalian tak segera
maju untuk menjalankan penghormatan kepada Kho sauhiap?”
Keempat orang itu nampak sangat rikuh tapi setelah sangsi
sejenak, akhirnya toh maju juga dua langkah kedepan dan memberi
hormat kepada Kho Beng sambil katanya:
“Hamba menjumpai majikan baru!”
Pikiran maupun perasaan Kho Beng saat ini benar2 amat kalut,
dg cepat dia mengulapkan tangannya seraya berkata:
“Kalian berempat tak usah banyak adat.”
Sementara itu si Unta sakti telah menimpali pula:
“Sekarang kalian berempat boleh keluar dari sini untuk
melakukan patroli disekitar tempat ini, jangan biarkan sembarangan
orang mendekati bangunan kuil ini, aku masih ada persoalan lain yg
hendak dibicarakan dg Kho sauhiap.”
“Mak nya!” umpat Rumang sambil melotot, “kau toh sudah bukan
majikan kami sekarang, buat apa bergaya dan berlagak terus
didepan kami?”
Kho Beng menjadi tertegun setelah melihat kejadian tsb, buru2
hardiknya:
“Rumang jangan kurang ajar, perkataan Thio cianpwee sama
berarti perkataan diriku!”
Atas teguran mana, Rumang baru mengajak ketiga orang
rekannya mengundurkan diri dari bangunan kuil itu dg wajah uringuringan.
Kho Beng memasang telingan dan memperhatikan terus langkah
keempat orang itu hingga lenyap dari pendengaran, kemudian ia
baru menghela napas panjang seraya berkata:
“Cianpwee, buat apa kau…”
Tidak sampai pemuda itu menyelesaikan kata-katanya, dg wajah
berubah hebat si Unta sakti sudah menukas dg suara dingin:

“Aku sibungkuk melakukan segala sesuatunya demi dirimu, tak
disangka kau malah mengomel dan menggerutu atas perbuatanku
ini!”
Kho Beng menjadi gelagapan, cepat2 katanya:
“Harap cianpwee jangan salah mengerti akan maksudku, aku
hanya maksudkan musuh tangguh yg bakal kita hadapi selanjutnya
sudah amat sulit ditangani, bila kita mendatangkan lagi kawanan
manusia buas tsb disisi kita, bukankah hal ini sama artinya
mengundang srigala masuk rumah dan berteman dg bangsa harimau
buas?”
Unta sakti tertawa dingin:
“Tahukah kau bahwa kawanan jago lihay yg terlibat dalam
penyerbuan keperkampungan Hui im ceng tempo hari melingkupi
jago2 dari tujuh partai besar serta jago pilihan dari golongan putih
maupun hitam.
Kini identitasmu yg sebenarnya sudah terungkap dan diketahui
umum, jago2 persilatan pasti akan berusaha keras untuk
melenyapkan kau si bibit bencana dari muka bumi, atau dg
perkataan lain langkah perjalananmu selanjutnya akan bertambah
sulit, bila aku tidak mencarikan beberapa orang jago silat berilmu
tinggi untuk melindungi keselamatanmu, kau anggap dg kekuatanmu
seorang mampu bertahan berapa lama? Hmm, mungkin sebulan pun
tidak sampai!”
Kho Beng menghela napas panjang,
“Aaaai…aku mengerti, cianpwee melakukan segala sesuatu demi
kebaikanku, tapi kalau toh harus mencari pembantu, rasanya tak
pantas bila mencari manusia sebangsa mereka…”
“He…he…he…kau anggap aku sudah tua dan makin pikun?”
jengek si Unta sakti sambil tertawa dingin, “untuk menemukan
jagoan lihay di ketiga belas propinsi utara maupun selatan daratan
Tionggoan yg tidak terlibat dalam peristiwa pembunuhan berdarah
diperkampungan Hui im ceng bukanlah suatu pekerjaan gampang,
lagipula apakah mau mereka membantu? Coba bayangkan, kemana
kau mesti mencari pembantu?”
“Biarpun perkataan tsb ada benarnya juga, tapi aku tetap merasa
bahwa keempat orang tsb sangat buas, kejam dan susah
dikendalikan, seandainya suatu ketika mereka berubah pikiran dan
berbalik mencari gara2, mungkin….mungkin kita akan sulit untuk
mengatasinya.”

Sekali lagi si Unta sakti tertawa dingin:
“Sebelum kitab pusaka Thian goan bu boh berhasil diketemukan,
aku jamin mereka tak akan berani berpikiran cabang, lagipula
ayahmu pernah memimpin jagoan dari golongan putih maupun
hitam dimasa lalu, andaikata tidak terjadi kesalah pahaman gara2
kitab pusaka tsb, siapa pula yg berani menentangnya? Kau sebagai
seorang lelaki sejati yg mewarisi darah serta semangat ayahmu
almarhum, bila mengendalikan empat orang saja tak mampu, apa
gunanya kau menelusuri dunia persilatan?”
“Terima kasih atas nasihat cianpwee, tapi ada satu persoalan
ingin kutanyakan lagi, seandainya kitab pusaka Thian goan bu boh
sudah berhasil ditemukan, apakah kita benar2 akan mewariskan
kepandaian sakti tsb kepada mereka?”
“Soal itu tergantung bagaimana caramu meninggalkan sifat2 liar
mereka, karena sewaktu kutampung mereka tempo hari, aku hanya
menilai berdasarkan kemampuan silat mereka yg cukup tangguh,
aku rasa walaupun mereka berempat amat buas dan sukar diatur
tapi bila kita menghadapinya secara luwes dan banyak melepaskan
budi, rasanya tidak susah untuk merobah watak serta kelakuan
mereka yg salah, andaikata tabiat jelek itu sudah teratasi, tentu saja
kita akan lebih gampang untuk mengatasi persoalan tsb dikemudian
hari.”
Berbicara sampai disitu, tiba2 dia menghela nafas, katanya lebih
jauh:
Semenjak meninggalkan perguruan Sam goan bun, aku sudah
terikat oleh janji ku sendiri sehingga tak mungkin dapat bersua
kembali dg mu, karenanya aku bermaksud mempersiapkan segala
sesuatunya bagimu, kini urusan telah selesai berarti akupun harus
segera pergi dari sini....”
“Cianpwee, mengapa kau harus pergi?” seru Kho Beng gelisah,
“apakah kau takut diketahui Bok sian taysu dari Siau lim pay?”
Si Unta sakti tertawa dingin:
“Aku si bungkuk toh tak pernah mengingkari janji, siapa yg mesti
kutakuti?”
Sementara Kho Beng masih tertegun, si Unta sakti telah berkata
lebih jauh:
“Kau tak usah pikun, tak sampai tiga hari kemudian, aku
sibungkuk jamin berita tentang “Kho Beng adalah sau cengcu dari
perkampungan Hui im ceng” pasti telah tersebar luas diseantero

jagad, dg tersiarnya identitasmu keseluruh dunia persilatan berarti
ikatan janji Bok sian hwesio dg diriku pun sudah punah dg
sendirinya, apakah kau menganggap tindakanku menjumpaimu
sekarang merupakan suatu perbuatan yg mengingkari janji?”
Merah jengah selembar wajah Kho Beng, agak tergagap ujarnya:
“Kalau toh demikian, mengapa cianpwee mesti tergesa-gesa
meninggalkan tempat ini.”
Kali ini Si Unta sakti tertawa lebar:
“Baiklah tak ada salahnya kalau kuberitahukan kepadamu, aku
sibungkuk harus segera berangkat karena aku ingin melakukan lagi
sebuah tugas bagimu….”
“Masalah penting apakah yg hendak cianpwee lakukan bagiku?”
tanya Kho Beng tertegun.
“Tentu saja ada, kau telah mencuri papan nama Siau lim si untuk
ditukar dg panji, saat ini pihak Siau lim pay pasti sudah mengirim
utusannya untuk mengumumkan identitasmu yg sebenarnya kepada
seluruh umat persilatan, karena itu akupun harus berusaha untuk
mewakilimu menyampaikan kabar tentang maksud tujuan pihak Siau
lim pay sebenarnya, juga menerangkan kepada seluruh umat
persilatan atas terjadinya kesalah pahaman dimasa lampau, akan
kuanjurkan kepada umat persilatan pada umumnya untuk
menyelidiki pembunuh yg sebenarnya serta mengurangi pembalasan
dendam secara membabi buta.
Dg dikuranginya tenaga tekanan pihak Siau lim pay terhadap
dirimu, berarti kita pun bisa menghindari siasat adu domba Dewi In
nu yg dilakukannya selama ini, bila hal ini berhasil berarti kau pun
tak usah menghadapi dua golongan kekuatan yg sama2
memusuhimu. Coba pikirkan apakah hal semacam ini tidak penting?”
Kho Beng benar2 sangat terharu katanya:
“Cianpwee, kau telah mengaturkan diriku secermat dan
sesempurna ini, aku tak tahu bagaimana mesti membalas budi
kebaikanmu ini dikemudian hari…?”
Saking berterima kasihnya, tanpa terasa air mata bercucuran
jatuh dg derasnya.
Dg suara dingin si Unta sakti menukas:
“Aku si bungkuk Cuma mengagumi jiwa serta watak ayahmu
dimasa lalu, aku tidak membutuhkan pembalasan budi
darimu….aaah benar, apa rencanamu selanjutnya?”

Kho Beng makin berterima kasih sekali, dg mengucurkan air mata
terharu katanya:
“Rupanya boanpwee telah salah bicara..”
Sampai lama sekali baru ia dapat mengendalikan perasaan
harunya, setelah berpikir sejenak katanya:
“Saat ini boanpwee merasa kemampuan yg kumiliki masih belum
memadai sehingga juga tiada persoalan yg harus kuselesaikan
secara terburu-buru, daripada mengambil resiko yg tak ada artinya
lebih baik mencari kembali kitab pusaka Thian goan bu boh terlebih
dahulu, sekalian mencari tahu kabar berita tentang Bu wi cianpwee
dan akhirnya membangun kembali perkampungan Hui im ceng!”
Si Unta sakti manggut2:
“Ehmm…gerak langkahmu emang amat tepat, tapi kemanakah
kau hendak pergi?”
Tiba2 satu ingatan melintas didalam benaknya, segera jawabnya:
“Boanpwee masih ingat kalau Dewi In nu mempunyai sebuah
sarang didekat kota Tong sia, karenanya aku berhasrat pergi
berangkat kekota Tong sia untuk melakukan penyelidikan.”
“Bagus sekali, bila aku sibungkuk ada urusan tentu akan datang
mencarimu sendiri, kuharap kau berhati-hati disepanjang jalan, nah
sampai bertemu lagi lain waktu!”
Habis berkata ia segera membalikkan badan dan berjalan keluar
dari ruangan, dalam sekejap mata bayangan tubuhnya sudah lenyap
dari pandangan mata.
Dg perasaan yg kacau dan pikiran yg kosong, Kho Beng
mengawasi bayangan tubuh si Unta sakti hingga lenyap dari
pandangan.
Sementara itu Rumang, Hapukim serta dua saudara Mo telah
menyusul masuk kedalam ruangan, dg suara keras Rumang segera
berseru:
“Cukong, sekarang sudah mendekati tengah hari, sedang situa
pun telah pergi, kita harus masuk kekota dan mencari rumah makan
untuk mengisi perut yg mulai lapar.”
“Tidak!” tukas Kho Beng sambil mengulapkan tangannya, “kita
membeli rangsum ditengah jalan saja, ayo kita segera berangkat!”
“Cukong hendak pergi kemana?” tanya Hapukm agak tertegun.
“Kota Tong sia!”
“Dimana sih letak kota tong sia?” tanya Molim, “berapa jaraknya
dari sini?”

“Lebih kurang dua puluh hari perjalanan....”
“Mau apa pergi kekota Tong sia?” tanya Mokim pula.
Kho Beng benar2 amat mendongkol, sahutnya tak sabar:
“Tentu saja mencari orang yg telah melarikan kitab pusaka Thian
goan bu boh itu!”
“Kalau toh tempat itu jauh sekali, mengapa kita mesti tergesagesa...?”
Rumang berkaok-kaok.
Kho Beng benar2 habis kesabarannya, sambil melotot bentaknya
keras2:
“Sebetulnya kalian yg menuruti perintahku? Atau aku yg menuruti
perkataan kalian.”
Berubah paras muka Rumang, tampaknya ia sangat tidak puas,
tapi Molim segera menyela sambil tertawa seram:
“Lotoa, kau jangan kurang ajar lagi...he....he.....harap cukong
jangan gusar, tentu saja kami akan menuruti perintah cukong!”
Kho Beng mendengus, sinar matanya yg tajam memancar keluar
dari balik matanya, ia berseru lagi dingin:
“Kalau mau menuruti perintahku, mengapa tidak segera
berangkat?”
Agaknya keempat orang itu sudah dibikin terpengaruh oleh
kewibawaan Kho Beng seorang demi seorang mereka keluar dari
ruang kuil dg kepala tertunduk.
Kho Beng sendiri, meski semangatnya sempat dikobarkan oleh
kata2 si Unta sakti, namun menyaksikan kebrutalan keempat orang
tsb, apalagi mengingat kalau dikemudian hari dia mesti ektra
waspada, hatinya menjadi risau sekali.
Dalam suasana pikiran yg berat itulah, Kho Beng dibawah
perlindungan keempat jago tsb berangkat menuju kekota tong sia.
Apa yg diduga si Unta sakti memang tepat sekali, tiga hari
kemudian didalam dunia persilatan telah tersiar kabar tentang masih
hidupnya putra Hui im cengcu, bahkan telah terjun pula kedalam
dunia persilatan untuk menyelidiki mereka yg terlibat dalam
peristiwa berdarah tempo dulu.
Tak disangkal lagi, berita itu bersumber dari Siau lim pay, tapi
bersamaan waktunya juga pelbagai perguruan besar serta jago
ternama dari golongan putih mau pun hitam menerima selembar
kartu yg amat misterius.
Kartu itu ditanda tangani oleh Kho Beng, selain menjelaskan
sebab musabab terjadinya kesalah pahaman dimasa lalu, dimana Bu

wi lojin yg dijumpai para ketua dari tujuh partai besar adalah
gadungan, dijelaskan pula kalau orang yg sesungguhnya sedang
dicari adalah pembunuh atau dalang dibalik peristiwa tsb, ia
berharap semua orang yg pernah menaruh salah paham diwaktu itu
jangan menjadi kaget ataupun panik sehingga peristiwa berdarah
sembilan belas tahun berselang terulang kembali.
Dua berita yg muncul saling susul menyusul itu segera
memancing pembicaraan yg ramai dari kawanan umat persilatan.
Bukan saja sementara orang mulai menelusuri kembali semua
peristiwa yg telah berlangsung diperkampungan Hui im ceng waktu
itu, ada pula yg mulai menaruh dugaan2 tentang gerakan yg diambil
Kho Beng tsb.
Ditengah suasana kalut dan penuh kebingungan itulah secara
diam2 Kho Beng telah tiba dikota Tong sia.
Tengah hari telah menjelang tiba, udara terasa amat panas,
apalagi sang surya memancarkan sinarnya menyoroti seluruh jagad.
Ditengah keramaian kota Tong sia yg dipenuhi manusia yg
berlalu lalang, tiba2 muncul empat manusia yg amat menyolok mata.
Keempat orang itu terdiri dari tiga lelaki dan seorang wanita, yg
lelaki rata2 berperawakan tingi besar, bermuka keren dan memakai
baju ringkas berwarna ungu dg ikat pingang memancarkan cahaya
terang.
Bagi seorang yg berpengalaman, dlm sekali pandang saja dapat
diketahui kalau benda tsb adalah senjata tajam.
Ditinjau dari raut wajah serta dandanan dari ketiga orang tsb,
bisa disimpulkan pula kalau mereka adalah bersaudara.
Sebaliknya sang nona baru berusia dua puluh tahunan, berwajah
cantik dan menggembol sebilah pedang dg pita berwarna kuning,
pita itu amat menyolok mata seperti seekor kupu2 kuning yg
hinggap dibalik bahunya.
Tatkala mereka berempat tiba dimuka rumah makan Poan gwat
kie, tiba2 sinona berkata:
“Nama rumah makan ini menarik sekali, lagi pula udara amat
panas, mari kita beristirahat sejenak disini sambil mengisi perut.”
Sementara berbicara, ketiga orang lelaki setengah umur itu
sama2 mendongakkan kepalanya dan memandang sekejap
kemudian sama2 mengangguk pula.
Maka mereka berempat pun memasuki rumah makan Poan gwat
kie, kedatangan mereka disambut pelayan dg wajah berseri.

Mereka berempat mencari tempat duduk dekat jendela, begitu
tamunya sudah duduk sang pelayan segera menyapa sambil
tertawa:
“Tuan berempat ingin memesan apa?”
Dg segan si nona berkata:
“Selama beberapa hari ini kita keluyuran seperti sukma
gentayangan saja, berhari-hari kesana kemari tanpa makan enak,
hey pelayan siapkan semua hidangan yg paling enak!”
Ketika pelayan mengiakan berulang kali, lelaki berbaju ungu yg
duduk disebelah kiri segera menambahkan:
“Jangan lupa sediakan seguci arak yg harum.”
Sang pelayan mengiakan berulang kali dan mengundurkan diri
sambil tertawa.
Sepeninggal sang pelayan, si nona baru berkata setelah
menghela napas panjang:
“Terus terang saja aku hendak berkata, bila kita mesti keluyuran
terus menerus tanpa tujuan seperti sukma gentayangan saja, aku
rasa hal ini bukan semacam penyelesaian yg baik, oleh karena itu
siaumoy berniat menggunakan perjamuan ini sebagai ucapan
perpisahan dg kalian.”
Ketiga orang lelaki berbaju ungu itu kelihatan agak terkejut dan
serentak bertanya:
“Chin lihiap hendak kemana?”
Si nona menghela napas pelan.
“Aaai…bila mengembara dalam dunia persilatan sudah bosan,
tentu saja aku mesti pulang kandang, hanya saja kalau bertiga pun
akan mengalami teguran bila pulang dg tangan hampa, entah
kemanakah kalian hendak pergi setelah hari ini?”
Lelaki yg duduk dekat jendela segera menggebrak meja keras2,
katanya dg mendongkol.
“Sejak berusia delapan belas tahun terjun kedunia persilatan
hingga sekarang, belum pernah kami tiga bersaudara mengalami
nasib sejelek ini, makanya bagi umat persilatan empat penjuru
adalah rumah sendiri, kalau toh kita tak bisa lagi kembali kesitu,
tentu saja kami tak bakal pulang, memangnya kami mesti takut
kepada mereka?”
Lelaki yg duduk disampingnya segera menegur dg suara dalam:

“Lo sam, selama berapa hari belakangan ini kau selalu
mengumbar hawa amarah, kalau toh kejadiannya sudah lewat,
dimangkeli juga tak berguna, akhirnya toh sendiri yg rugi!”
Lelaki yg disudut kiri ikut menghela napas sambil berkata:
“Lotoa, jangan terlalu menyalahkan Lo sam yg sewot melulu,
sesungguhnya kami pun merasakan Kho sauhiap adalah seorang
lelaki sejati dg watak yg baik sekali, toh tak ada salahnya bila kami
bersikap hangat kepadanya sewaktu bertemu tempo hari, siapa tahu
orang malah menuduh yg bukan2 kepada kita sekarang, jangankan
kami tiga ruyung manusia raksasa Kim kong sam pian memang tak
pernah punya hubungan apa2 dg Kho sauhiap dimasa lalu, meski
ada hubunganpun kami juga tak percaya kalau manusia gagah dan
sopan macam orang she Kho itu merupakan orang jahat yg bisa
dikaitkan dg Kedele Maut.”
Kim Losam menyambung pula setelah mendengus,
“Hmmm, dg susah payah dan mengerahkan seluruh kekuatan yg
ada kita melakukan penjebakan disekitar telaga Tong ting, hasilnya
Cuma Li sam si udang kecil yg masuk jaring, aku lihat tua-tua
bangka celaka itu tak bisa menyalurkan rasa malu dan gusarnya
kepada orang lain, maka kita yg menjadi sasarannya.”
“Aaa...bukan begitu persoalannya” Kim lotoa akhirnya menghela
napas, “walaupun situa Kiong menaruh curiga dg menganggap kita
yg setia sebagai mata2, padahal asal kita berjiwa besar, toh lama
kelamaan kecurigaan tsb bakal sirna dg sendirinya, apalah artinya
bagi lelaki sejati untuk menerima sedikit tuduhan macam begitu....?”
Tiba2 si nona berbaju kuning itu berkata sambil tersenyum:
“Kim lotoa, perkataanmu memang enak benar didengar,
bayangkan saja aku Chin sian kun pada mulanya disanjung dan
dihormati bahkan mendapat tugas untuk mengamati gerak gerik Kho
Beng, tak disangka akhirnya aku dibokong orang, untung saja
nyawaku tak sampai melayang, tapi sekarang, Hmmm!
Bukan saja tak memperoleh jasa atau pujian, sebaliknya malah
dicurigai orang dan setiap hari menjadi sasaran marah dan
mendongkol orang, memangnya kami semua adalah orang-orangan
dari kayu yg tak punya perasaan...”
Belum selesai perkataan itu diucapkan, dg amat mendongkol Kim
loji menyela pula:

“Yaa, andaikata tidak dicegah Lotoa, he...he...aku Kim loji pasti
sudah memberontak, biarpun disana kita tak diterima, aku yakin
masih ada orang lain membutuhkan tenaga kita semua!”
Sementara itu sayur dan arak telah dihidangkan, Kim loji segera
menyambar poci arak dan memenuhi cwan sendiri, kemudian setelah
meneguk sampai habis isinya, ia baru berkata lagi sambil tertawa
seram:
“Ji ko perkataanmu benar2 kelewat pikun, siapa sih yg
menahanmu? Bila ingin memberontak, siapa pula yg hendak kau
tantang?”
Chin sian kun tersenyum, dg kata2 mengandung artimendalam
tiba2 ia berkata:
“Tentu saja kita harus condong kepada Kho sauhiap!”
“Yaa...benar..!” teriak Ki losam setelah menghabiskan tiga cawan
arak, “Kho sauhiap adalah seorang pemuda yg gagah dan berjiwa
ksatria, tapi kenyataannya toh mengalami nasib yg sama seperti kita,
dicurigai dan dituduh orang secara tak senonoh, lalu siapa pula yg
dia tentang...?”
“Sam hiap” ucap Chin sian kun lagi, “Apakah kau lupa dg heboh
sekitar berita tentang Kho sauhiap serta kartu yg disebarkan Kho
sauhiap pribadi? Dia toh sudah mengakui sebagai keturunan dari
Kho Tayhiap, pemilik perkampungan Hui im ceng? Coba menurut
pandanganmu, siapa yg ditentangnya?”
“Hmmm, sekalipun dia adalah keturunan dari Hui im cengcu,
lantas apa pula hubungannya dg kedele maut? Adikku, kau jangan
lupa bahwa kita dituduh yg bukan2 karena dicurigai sebagai mata2
Kedele maut! Hmmm, aku lihat kawanan tua bangka itu sudah gila
lantaran gelisah sehingga tak bisa membedakan lagi mana yg hitam
dan mana yg putih....”
“Sesungguhnya mereka tak salah menuduh” sela Chin sian kun
sambil tersenyum, “apakah samhiap tak pernah mendengar tentang
dugaan Bok sian taysu yg katanya Kedele maut adalah kakak
kandungnya orang she Kho itu...?”
Kim losam mendengus dingin,
“Hmmm, siapa yg mau percaya dg segala dugaan tanpa bukti?”
“Tapi aku rasa apa yg diduga Bok sian taysu tak mungkin akan
meleset...”
Kim kong sam pian menjadi termangu sampai lama, kemudian
Kim lotoa baru berkata:

“Adikku atas dasar apa kau mengatakan kalau apa yg diduga Bok
sian taysu memang betul?”
Chin sian kun tersenyum, bukannya menjawab dia malah balik
bertanya:
“Menurut kalian bertiga, mungkinkah Li sam adalah komplotan
dari si kedele maut?”
”Walaupun si toya dan pedang sakti Li Sam tidak memberikan
pengakuannya, namun dalam hal ini rasanya tak ada yg perlu
dicurigakan lagi.”
Chin sian kun segera manggut2, katanya lebih jauh:
“Sewaktu berlangsung persidangan terbuka tempo hari,
kebetulan aku berdiri disamping Kho sauhiap sehingga setiap
perubahan wajahnya dapat kulihat secara jelas dan pasti, waktu itu
rasa tegang, emosi dan kehilangan kontrol yg menyelimuti dirinya
kentara sekali, aku yakin dia memiliki hubungan yg sangat akrab dg
Li Sam, kalau toh mempunyai hubungan yg erat dg Li Sam, maka
bisa diduga bahwa hubungannya dg Kedele Maut pun sudah pasti!”
Kim lotoa menjadi terperangah, selang sesaat kemudian ia baru
berseru:
“Adikku, mengapa tidak kau utarakan persoalan tsb semenjak
dulu?”
Chin sian kun segera mencibirkan bibirnya dan berseru:
“Huuuh, aku harus bercerita kepada siapa? Kepada kalian? Toh
persoalan ini tak ada sangkut pautnya dg kalian bertiga. Kepada
situa bangka Kiong serta Bok sian taysu? He...he...he...padahal
dalam kenyataannya mereka jauh lebih jelas daripada diriku, apalagi
sejak kematian Li Sam, Kho sauhiap pun pergi tanpa pamit,
dibicarakan pun tak ada gunanya.”
Mendengar perkataan tsb, Kim kong sam pian menjadi
terbungkam dalam seribu bahasa, tampaknya mereka sedang
memikirkan sesuatu....
Sesudah menghela napas ringan, kembali Chin Sian kun berkata:
“Sekarang asal usul Kho sauhiap sudah menjadi jelas, ternyata
dia adalah sau cengcu dari perkampungan Hui im ceng, aku lihat
segala tuduhan yg dilimpahkan kepada kita pun tak mungkin bisa
dicuci bersih dalam waktu singkat, aaai...saat apes rasanya masih
panjang sekali......”
Agaknya Kim losam tak percaya, serunya agak tercengang:

“Bukankah Kho sauhiap sudah menyebar kartu nama yg
menjelaskan bahwa ia Cuma mencari si pembunuh yg sebenarnya
dan tak akan memusuhi orang2 lain? Masa persoalan yg
bagaimanapun besarnya tak bisa diselesaikan dg perkataan?”
Chin sian kun mendengus:
“Hmmm, jalan pemikiran Kim sam hiap kelewat sederhana, kau
tahu bukan bahwa tokoh persilatan yg tersangkut dalam drama
sedih perkampungan Hui im ceng hampir meliputi tujuh partai besar,
kini para cianpwee tsb telah menemukan kehadiran si bibit bencana,
bisa jadi mereka akan dibuat berdebar-debar dan ketakutan
setengah mati, untuk melepaskan dari tuduhan pun rasanya sudah
susah, siapa pula yg mau percaya dg keterangan tsb?”
“Jadi maksudmu isi surat yg disebarkan orang she Kho itu bukan
niatnya yg sebenarnya, tapi merupakan siasat mengulur waktu
berhubung ia merasa tenaganya kelewat minim?” tanya Kim loji
berkerut kening.
Chin sian kun segera menggelengkan kepalanya berulang kali:
“Itu sih tidak, menurut pendapatku, Kho sauhiap bukan seorang
manusia yg lain dimulut lain dihati, aku hanya berpendapat bahwa
apa saja yg dikatakan olehnya dan tindakan apapun yg
dilakukannya, belum tentu orang akan mempercayainya dg begitu
saja!”
Kim lotoa ikut menghela napas panjang,
“Yaaa, kejadian manakah didunia ini yg tidak begitu? Siapa punya
kedudukan dan kekuatan, biar berkentut pun dikatakan harum, tapi
bagi mereka yg tak mempunyai kekuasaan dan kekuatan,
he...he...sekalipun membelah dada dan mengorek keluar hatinya
pun, orang lain tetap menuduhnya yg bukan2.”
Berhubung Kim kong sam pian memang menaruh kesan yg
sangat baik terhadap Kho Beng, otomatis perasaan mereka pun
bertambah berat dan ikut memikirkan keselamatan pemuda tsb.
Chin sian kun memperhatikan sekejap perubahan wajah ketiga
orang rekannya, lamat2 sekulum senyuman nampak tersungging
diujung bibirnya, tapi hanya sebentar kemudian ia sudah berkata lagi
dg wajah amat serius:
“Sejak aku meninggalkan telaga Tong ting dalam keadaan gusar
dan mengundang saudara sekalian keluyuran dalam dunia persilatan
hingga kini sudah lewat sebulan lebih, selama ini pula aku sudah
memutar otak dan merenungi diri bermalam-malam lamanya, aku

rasa ada sepatah dua patah kata yg tak enak rasanya bila tak
kuutarakan keluar!”
Kim lotoa tersenyum, dg sikap bersungguh-sungguh segera
katanya:
“Adikku, kita toh bukan baru berkenalan satu dua hari, apalagi
kita pun mengalami tuduhan yg sama, boleh dibilang kita adalah
senasib sependeritaan, nila kau ingin menyampaikan sesuatu lebih
baik, katakan saja secara blak-blakan.”
Dg suara rendah tapi serius Chin sian kun segera berkata:
“Tapi kalian mesti berjanji dulu, entah perkataanku betul atau
salah, harap kalian bertiga jangan menjadi gusar.”
“Chin lihiap, apa-apan kamu ini” teriak Kim loji, “sekalipun kau
mengumpat kami, terus terang saja kami bersaudara tak akan
berpikiran picik!”
Chin sian kun segera manggut2, setelah memperhatikan sekejap
sekelilingnya dan yakin kalau tiada orang yg mencuri dengar, ia baru
berkata lagi dg suara lirih,
“Selama kalian mengembara dialam dunia persilatan tanpa arah
tujuan, sering kali kalian tiba disuatu tempat, kalian tak pernah
menyambangi teman, baru datang sejenak lalu meninggalkan
tempat tsb secepatnya, sebetulnya maksud tujuan apakah yg
terkandung didalam benak kalian?”
Pertanyaan itu dg cepat membuat Kim kong sam pian menjadi
tertegun dan saling perpandangan dg wajah melongo.
Selang berapa saat kemudian Kim lotoa baru balik bertanya:
“Adikku, menurut pendapatmu apakah tujuan kami yg
sebenarnya?”
Setelah tersenyum, Chin sian kun berkata:
“Menurut pengamatanku, agaknya kalian tiga bersaudara sedang
mengejar sesosok bayangan hanya saja kalian enggan
mengutarakannya keluar karena kalian sendiripun masih suram dan
tak jelas dg perasaan sendiri….”
“Ehmm, rasanya kata-katamu itu memang tepat sekali” seru Kim
loji, “didalam benakku memang terdapat sesosok bayangan samar2,
tapi aku sendiri tak tahu siapakah itu?”
“Tapi bagiku, justru telah kuketahui siapakah bayangan yg
memenuhi benak kalian bertiga selama ini” sela Chin sian kun
tertawa.

Tentu saja Kim kong sam pian menjadi sangat keheranan , tanpa
terasa meeka bertanya bersama-sama:
“Siapakah dia?”
“Dia tak lain adalah Kho sauhiap!” sahut si nona dg wajah serius
dan bersungguh-sungguh.
Nampak jelas Kim kong sam pian bergetar keras sekali, sesudah
gelagapan sesaat, akhirnya mereka terbungkam dalam seribu
bahasa.
Yang dimaksud sepatah kata menyadarkan orang dari
lamunannya adalah begini keadaannya.
Memang benar, sejak tertangkapnya Li Sam dan diadili secara
bersama ditelaga Tong ting, kemudian meninggalkan kota Gak yang
dalam keadaan mendongkol, didalam benak Kim kong sam pian
memang selalu muncul sesosok bayangan, hanya sekejap mereka
sendiri tak tahu bayangan siapakah yg sudah masuk kedalam
benaknya itu.
Tapi setelah diungkap oleh si walet terbang berwajah ganda Chin
sian kun sekarang, kemudian dipikirkan sejenak, segera terasalah
bahwa apa yg dikatakan memang benar.
Namun oleh karena persoalan itu bisa mengakibatkan pengaruh
yg besar sekali bagi nasib mereka semua, padahal mereka pun
belum mengetahui maksud tujuan Chin sian kun yg sebenarnya,
maka mereka bertiga hanya membungkam diri saja.
Setelah menghela napas panjang kembali, Chin sian kun berkata:
“Aaaai, terus terang saja aku bilang, sejak semula sesungguhnya
akupun mempunyai perasaan yg sama, namun setelah kupikir dan
kutelaah lebih jauh akhirnya dapatlah kupahami keadaanku yg
sebenarnya.”
Mendengar itu, Kim lo sam segera tertawa terbahak-bahak:
“Ha...ha...ha...rupanya si walet terbang berwajah ganda yg
namanya menggetarkan kawasan Sam siang telah dihinggapi benih
cinta, tak heran kalau segala persoalan bisa kau pecahkan secara
gamblang...ha...ha...ha...nampaknya kita masih punya kesempatan
untuk menikmati arak kegiranganmu!”
Merah jengah selembar wajah Chin sian kun, cepat2 ia berseru:
“Sam hiap, aku toh sedang membicarakan persoalan yg penting,
kau malah menggoda orang saja….”

“Persoalan perkawinan toh termasuk persoalan yg penting, tak
heran kalau kau menjamu kami hari ini, memangnya kami hendak
disuruh menjadi mak comblang?”
Chin sian kun semakin tersipu-sipu
Jilid 15
..dibuatnya, saking malunya dia sampai menundukkan kepalanya
rendah-rendah.
Akhirnya Kim lotoa yg tak tega, buru-buru tegurnya:
“Lo sam, kau sudah kelewat banyak minum, hayo jangan
berbicara semaunya lagi macam orang edan!”
Kemudian sambil berpaling kearah Chin sian kun, katanya lebih
jauh,
“Adikku, barusan kau bilang sudah dapat memahami persoalan
yg sebenarnya, tapi bagaimana sih persoalan yg sebenarnya itu?”
Sampai lama sekali Chin sian kun baru dpt mengendalikan
debaran hatinya, dg suara lirih ujarnya kemudian,
“Aku rasa perasaanku tak akan berbeda jauh dg perasaan kalian
bertiga, setelah dibuat mendongkol oleh segala tuduhan tanpa
dasar, sebenarnya kita berharap sekali bisa menemukan Kho sauhiap
utk mengungkap seluruh isi hati kita kpdnya, krn hanya berbuat
begitu pikiran dan perasaan kita baru lega, entah bagaimana
menurut Kim tayhiap?”
Kim lotoa menghela napas panjang,
“Yaa, tepat sekali, tak nyana kecerdasan adikku memang benarbenar
hebat, setelah berkumpul hari ini, aku Kim lotoa benar-benar
merasa kagum sekali, terbukti sudah bahwa apa yg tersiar dlm dunia
persilatan selama ini memang benar.”
“Aaah, Kim toako hanya pandai memuji saja,” sela Chin sian kun
sambil tertawa, “ucapanmu malah membuat aku malu berbicara
lebih jauh.”
Kim lotoa segera tertawa terbahak-bahak…
“Ha…ha…ha…padahal perkataanku bukan bermaksud
mengumpakmu, aku benar-benar merasa kagum dan berbicara
sebenarnya. Hanya saja…aaai, kini identitas Kho sauhiap sudah
jelas, keadaan dan situasi pun telah berubah, kalau sebelumnya
kami memang berhasrat utk menemukan jejaknya, maka sekarang
rencana tsb harus mengalami perubahan!”

“Yaa benar!” si nona mengangguk, “apabila kita teruskan
pencarian ini, maka aku kuatir tuduhan yg bukan2 dari pihak mereka
akan berubah menjadi sungguhan.”
Sementara itu Kim losam telah menghabiskan sepoci arak,
agaknya rasa mangkel dan dongkolnya belum habis dilampiaskan
keluar. Ketika mendengar perkataan itu, sambil mendengus segera
serunya:
“Bukankah pernah kukatakan tadi, kalau ingin memberontak,
marilah berontak dg sungguh-sungguh, sekalipun tuduhan mereka
jadi sungguhan, apa pula ruginya buat kita?”
Tiba-tiba Kim lotoa membentak keras:
“Sam te, kau anggap saat ini adalah saat yg bagaimana? Apakah
kau sudah bosan hidup dan ingin mencari kerepotan buat sendiri?”
Agaknya Chin sian kun mempunyai pikiran lagi, ketika mendengar
perkataan mana, cepat ia menyela:
“Kim toako, perkataanmu kelewat berpandangan picik,
bagaimanapun juga Kho sauhiap adalah keturunan orang termasyhu,
baik kecerdikan maupun kebesaran jiwanya jauh melebihi
kebanyakan orang, menurut pendapatku dia bukanlah tokoh dlm
sangkar, jika ingin berbicara soal enghiong hanya atas dugaan
sementara, aku pikir hal ini masih terlalu awal.”
Kim lotoa kelihatan agak tergetar, sekarang baru benar-benar
menyadari bahwa si Walet terbang berwajah ganda yg tersohor ini
benar-benar sudah jatuh cinta kpd Kho Beng.
Maka dg nada menyelidiki segera tanyanya:
“Lantas bagaimana menurut pendapatmu?”
Tanpa pikir panjang sahut Chin sian kun:
“Menurut pendapatku, daripada sepanjang hidup kita
mengembara dalam dunia persilatan tanpa tujuan dan selalu
menjadi cemoohan orang lain, mengapa kita tidak melakukan
pertaruhan besar dg mencari kesempatan lain utk muncul kembali
dlm percaturan dunia persilatan? Asal Kho sauhiap muncul kembali
dlm arena dunia persilatan, berarti saat bagi kita utk melampiaskan
semua rasa mangkel dan mendongkol pun telah tiba. Hanya entah
bagaimana pendapat Kim toako sendiri?”
“Soal ini…”
Krn menghadapi keputusan yg bakal mempengaruhi nasib
mereka selanjutnya, Kim lotoa menjadi ragu-ragu utk mengambil
keputusan.

Terbayang kembali olehnya akan tuduhan tanpa dasar yg
dilontarkan kepadanya ketika berada di Gak yang tempo hari, iapun
mengetahui posisi Kho Beng yg terjepit sekarang.
Sementara ia masih termenung dan susah mengambil keputusan,
Chin sian kun yg sedang mengawasi kejalan raya tiba-tiba tampak
tertegun, lalu serunya gelisah:
“Toako bertiga, cepat lihat! Siapakah dia?”
Dg perasaan terkejut, Kim kong sam pian berpaling, mereka
mengira Chin sian kun telah menemukan Kho Beng.
Ketika menengok kearah jalan raya, disitu mereka hanya
menyaksikan banyak orang sedang berlalu lalang, bukan saja tdk
melihat Kho Beng, seorang yg dikenal puntak nampak.
Dg keheranan Kim lotoa segera bertanya:
“Adikku, siapa yg telah kau lihat?”
Sambil menunding ketempat kejauhan sana, bisik si nona:
“Kim toako, coba kau lihat kearah lima kaki didepan sana,
bukankah dimuka toko kain tsb berdiri seorang perempuan?”
Kim kong sam pian segera berpaling kembali kearah toko kain
diseberang jalan, dan memang benar tampak seorang perempuan
sedang berjalan dg pelan.
Perempuan itu membawa sebuah payung bulat, memakai baju
berwarna putih bersih, meski hanya nampak bayangan punggung
saja hingga tak diketahui bagaimanakah raut mukanya, namun
bunga giok putih yg menghiasi sanggulnya nampak menyolok sekali.
Sayangnya Kim kong sam pian tdk berpikir lebih jauh, krn mereka
sangat asing dg perempuan tsb, tanpa terasa Kim losam bertanya:
“Apakah kau kenal dgnya?”
Dg sedikit kebingungan dan tak habis mengerti Kim kong sam
pian mengawasi nona itu dg wajah melongo, namun oleh krn Chin
sian kun sudah menuruni tangga, terpaksa mereka pun harus
mengikutinya.
Padahal hidangan sebanyak itu diatas meja belum berkurang
sedikit pun juga, tentu saja kejadian ini membuat para pelayan
menjadi gelagapan dan tak tahu apa yg mesti diperbuat.
Ketika mereka berempat meninggalkan rumah makan Poan gwat
kie, tampaklah perempuan berbaju putih itu sudah berada sepuluh
kaki didepan sana.
Dlm keadaan begini, Kim lotoa tak dpt mengendalikan diri lagi,
segera tanyanya:

“Adikku, sebenarnya apa yg telah terjadi?”
Sambil mempercepat langkahnya, Chin sian kun berkata:
“Apakah kalian lupa dg ciri wajah si Kedele Maut yg pernah kita
dengar utk pertama kalinya ditelaga Tong ting tempo hari?”
Paras muka Kim kong sam pian seketika berubah hebat, agak
tercengang Kim lotoa berseru:
“Darimana kau bisa tahu kalau perempuan tsb adalah si Kedele
Maut…?”
“Memakai baju putih, membawa payung bulat dan mengenakan
bunga putih disanggulnya, bukankah ciri tsb pernah disinggung oleh
Kho sauhiap kpd kita semua?”
“Tapi bukankah Kho sauhiap pernah melakukan ralat atas
keterangannya itu?” seru Kim lotoa.
Chin sian kun segera tertawa dingin:
“Kim toako mengapa kau begitu bodoh, tentu saja ralat yg
dilakukan sauhiap hanya bermaksud utk mengelabui pandangan kita
semua, hanya saja memang aku blm mengerti secara pasti,
mengapa utk pertama kalinya dulu ia sampai memberikan
keterangan semacam itu kpd umat persilatan.”
Sementara pembicaraan masih berlangsung, keempat orang itu
sudah berhasil menyusul kebelakang perempuan tadi, selisih jarak
mereka tinggal empat lima langkah lagi.
Tiba-tiba Kim lotoa menarik ujung baju Chin sian kun sembari
bisiknya lirih:
“Ei…tunggu sebentar!”
Chin sian kun agak tertegun, lalu dg wajah bersemu merah
tanyanya keheranan:
“Ada urusan apa?”
Sambil menghentikan langkahnya Kim lotoa segera berkata:
“Benarkah dia sebagai kakak kandung Kho sauhiap hingga kini
masih merupakan teka teki, aku dengar ia sangat gemar membunuh,
seandainya perbuatan kita yg membuntuti serta menegurnya
menimbulkan kecurigaan atas diri kita berempat sehingga
membangkitkan nafsu membunuhnya, bukankah hal ini berarti
mencari penyakit buat diri sendiri, maksud baik berubah menjadi niat
jahat?”
Teguran tsb kontan saja mengejutkan hati Chin sian kun, tanpa
terasa dia menghentikan langkahnya seraya mengangguk,

“Yaa, perkataan toako memang benar, hampir saja aku berbuat
kesalahan besar krn belum terpikir sama sekali akan soal itu.”
“Lagipula aku ingin tahu, megapa kau mesti mengambil tindakan
menyerempet bahaya?” tanya Kim lotoa lebih lanjut.
Dg paras muka bersemu merah sahut Chin sian kun:
“Seandainya ia benar-benar si Kedele Maut, bukankah
menemukan dirinya sama artinya dg menemukan Kho sauhiap?”
Lalau sambil menggigit bibir seraya termenung sesaat, katanya
kemudian:
“Hmmm, aku punya akal sekarang, tolong toako bertiga
mengikuti beberapa langkah dibelakangnya saja, andaikata terjadi
kesalah pahaman sehingga berkobar pertarungan, kalian dpt
membantuku bila perlu. Sekarang biar aku lewat dulu disampingnya,
akan kucoba utk menegurnya dg beberapa kata.”
Kim kong sam pian mengangguk kegirangan, mereka segera
memperlambat langkahnya.
Sementara itu si Walet terbang berwajah ganda telah
mempersiapkan diri baik-baik dan mempercepat langkahnya maju
kedepan.
Belasan langkah kemudian ia sudah melalui sisi tubuh perempuan
berbaju putih tadi.
Setelah lewat ia berlagak menoleh seraya menyapa:
“Hey, tak disangka enci dari keluarga Kho pun berada disini?”
Sikapnya yg begitu hangat seakan-akan sahabat karib yg baru
bersua saja, benar-benar amat mesra.
Akan tetapi setelah ia dpt melihat dg jelas usia serta raut muka
perempuan berbaju putih itu, tiba-tiba saja timbul keraguan dlm
hatinya.
Sewaktu utk pertama kali ia mendengar berita yg dibawa anggota
Sam goan bun tempo hari, konon usia si Kedele Maut baru dua
puluhan tahun, krn usia begitu memang cocok sekali menjadi kakak
kandung Kho Beng.
Sebaliknya meski perempuan ini berdandan amat sederhana,
bermuka bulat telor berhidung mancung dan bibir kecil, namun
usianya pasti lebih dari dua puluhan tahun.
Memang buat seorang wanita utk menebak usia perempuan
lainnya seringkali agak cocok, menurut penilaian si Walet terbang
berwajah ganda, paling tidak perempuan ini telah berusia dua puluh
limaan tahun, lagipula sudah tak mirip seorang gadis perawan.

Lantas benarkah dia si Kedele Maut? Diakah enci kandung Kho
Beng? Jangan-jangan ia salah menegur?
Betul juga, tatkala mendengar sapaan dari Chin sian kun tadi,
perempuan itu nampak menghentikan langkahnya, dg wajah agak
tertegun, tapi setelah memperhatikan lawannya sekejap, segera
jawabnya sambil tertawa ringan:
“Nampaknya adik sudah salah melihat orang!”
Chin sian kun tak mau menyerah dg begitu saja, berlagak-lagak
tertegun kembali serunya,
“Ooooh…jadi toaci tidak berasal dari marga Kho?”
Perempuan itu menggelengkan kepalanya berulang kali,
“Tidak, aku tidak bermarga Kho, aku bermarga Ciu!”
Agak curiga Chin sian kun berkata:
“Aneh benar, sudah jelas Kho sauhiap menerangkan kepadaku
bahwa encinya mempunyai wajah serta dandanan yg mirip sekali
dgmu…”
Mencorong sinar aneh dari balik mata perempuan itu setelah
mendengar ucapan tsb, sambil menggeleng tukasnya,
“Adik pasti sudah salah melihat orang, aku sama sekali tak punya
keluarga dari marga Kho sejak kawin dg suamiki dari marga Ciu,
akupun belum pernah mendengar bila suamiku mempunyai sahabat
atau keluarga dari marga Kho…”
Setelah jelas mengetahui bahwa lawannya bukan seorang gadis,
Chin sian kun baru betul-betul merasa kecewa, sambil segera
katanya cepat-cepat:
“Kalau begitu siaumoy benar-benar telah salah melihat, harap
toaci jangan marah.”
Baru selesai berkata, tiba-tiba terdengar Kim losam berseru dg
suara keras:
“Coba lihat, bukankah dia adalah Kho sauhiap?”
Sambil berkata ia segera menunjuk kebelakang tubuh Chin sian
kun.
Dg perasaan terkejut buru-buru si nona berpaling, benar juga
tampak Kho beng bersama empat orang lelaki aneh berjalan
melintasi sebuah jalanan dan menyusup kedalam lorong kecil,
dimana bayangan tubuhnya segera lenyap dari pandangan.
Sayang sekali ia kelewat gelisah utk menengok kearah Kho Beng
sehingga tak sempat terlihat olehnya bahwa perempuan tadi pun
menyunggingkan sekulum senyuman aneh diujung bibirnya sehabis

mendengar perkataan tsb, tiba-tiba saja ia membalikkan badan lalu
berjalan menuju kearah rumah makan Poan gwat kie.
Sementara itu, Chin sian kun yg telah berhasil menemukan jejak
Kho Beng pun tak mau membuang waktu lagi, ia segera memberi
tanda kepada Kim kong sam pian, kemudian cepat-cepat menyusul
kearah mana pemuda tadi lenyap.
Siapa sangka setibanya ditikungan lorong tadi, ia hanya melihat
banyak manusia berlalu lalang disitu, bayangan Kho Beng maupun
keempat lelaki aneh tadi sudah lenyap dari pandangan.
Dlm pada itu Kim kong sam pian telah menyusul kesisi Chin sian
kun, ketika tak menjumpai bayangan tubuh anak muda itu, buruburu
Kim lotoa berkata:
“Sudah kau temukan dirinya?”
Chin sian kun menghela napas panjang:
“Aaaai…belum, agaknya dia sengaja hendak menghindari dari kita
semua!”
Kim losam segera tertawa:
“Kota Tong sia bukan sebuah kota yg terlalu besar, asalkan
orangnya masih disini, aku rasa tak mungkin ia bersembunyi
dibawah tanah!”
Mendengar itu Chin sian kun segera tersenyum,
“Yaa, perkataan Sam ko memang betul, bagaimanapun jua kita
kan tak punya urusan, mari kita cari jejaknya dg seksama.”
Seraya berkata ia segera beranjak menelusuri jalan sambil
celingukan kesana kemari.
Kalau gadis ini bersemangat utk mencari jejak Kho Beng krn
benih cinta yg sudah tumbuh didlm hatinya, maka Kim kong sam
pian justru mengikuti dibelakangnya dg begitu saja.
Namun kenyataannya ternyata jauh diluar dugaan, walaupun
mereka berempat telah menelusuri seluruh kota Tong sia dan setiap
jengkal tanah sudah hampir mereka periksa semua, namun
bayangan tubuh Kho Beng serta keempat lelaki aneh itu sama sekali
tak nampak kembali.
Akhirnya Chin sian kun mulai mendongkol bercampur kesal,
sedang Kim kong sam pian pun mulai bermandi peluh.
Ketika melihat senja sudah menjelang sementara pencarian
mereka tetap nihil, Chin sian kun yg kelelahan segera berkata kpd
Kim kong sam pian:

“Lebih baik kita mencari sebuah rumah penginapan dulu utk
beristirahat.”
Sesungguhnya Kim kong sam pian sendiri pun sudah kelelahan,
tentu saja mereka tak punya usul lain, maka mereka berempat pun
menginap dirumah penginapan yg memakai merk “Hong hian”
Begitu memasuki ruang belakang dg wajah murung dan kesal
Chin sian kun segera menjatuhkan diri duduk dikursi,
Melihat keadaan si nona, Kim lotoa segera menghiburnya,
“Asal sudah kita ketahui kehadiran Kho sauhiap dikota Tong sia,
aku rasa kau pun tak usah terlalu gelisah lagi?”
Tiba-tiba Chin sian kun menghela napas panjang:
“aaaai… padahal lebih baik kita tak usah mencarinya, sebab bila
ditemukan malah banyak ruginya dari pada untungnya.”
Mendengar perkataan itu, Kim kong sam pian segera menjadi
tertegun dan melongo, pikirnya:
“Yg hendak mencarinya juga kau, sekarang yg mengusulkan
jangan dicari juga kau, yaa….perasaan wanita memang benar-benar
susah diduga…”
Tak tahan lagi Kim loji segera bertanya:
“Adikku, apa maksud perkataanmu itu?”
“Pembicaraan kita sewaktu berada dirumah makan tadi belum
diperoleh suatu kesimpulan ataupun keputusan, tak ada salahnya
kalian bertiga berpikir sekarang, kalau toh kita belum bisa
mengambil keputusan tentang sikap yg bagaimana mesti kita ambil
dalam menghadapi Kho Beng, sekalipun berhasil menemukannya,
lalu apa pula yg hendak kita lakukan…?”
Sekarang Kim kong sam pian baru memahami maksudnya,
serentak mereka terbungkam dlm seribu bahasa.
Sambil mengucap Chin sian kun kembali berkata:
“Persoalan ini menyangkut nasib kita selanjutnya, karena itu
kalian bertiga wajib mempertimbangkan dulu untung ruginya,
sekarang aku hendak kembali kekamar utk beristirahat dulu, kalian
bertiga tak ada salahnya utk memenfaatkan kesempatan ini utk
berpikir masak-masak, tapi ada satu hal yg perlu kujelaskan dulu,
entah bagaimana pun keputusan yg bakal kalian ambil, aku Chin sian
kun sudah bertekad utk melakukan pertarungan besar ini.”
Habis berkata buru-buru dia keluar dari ruangan.

Kim kong sam pian yg berada dlm ruangan saling pandang
sejenak sambil termenung, akhirnya Kim lotoa menggeliat sambil
berkata:
“Aku rasa persoalan ini bisa kita bicarakan secara pelan-pelan,
mari kita pergi bersitirahat lebih dulu.”
Kim loji dan Kim losam menyetujui usul Kim lotoa, saat ini
mereka memang membutuhkan waktu utk beristirahat sebentar,
maka setelah menguap berulang kali, mereka pun membaringkan
diri diatas ranjang.
Belum sampai terlelap tidur, mendadak dari kamar sebelah
berkumandang suara rintihan lirih, tapi makin lama suara rintihan tsb
makin keras.
Orang yg mengantuk seringkali mudah naik darah bila terganggu
oleh suara yg berisik, Kim losam yg pertama-tama naik darah, sambil
melompat bangun dari pembaringan, umpatnya:
“Anjing busuk darimana yg berada dikamar sebelah, berisik betul
mengganggu ketenangan oranng.”
Sambil membetulkan pakaian ia segera bangkit dan membuka
pintu kamar….
Tentu saja Kim lotoa juga tak dpt beristirahat, masing-masing
segera bangun dari pembaringan.
Ketika melihat diknya meninggalkan kamar, Kim lotoa segera
menegur dg suara dalam:
“Sam te, jangan gegabah!”
Sebetulnya Kim losam hendak menerjang kedlm kamar sebelah,
ketika mendengar suara bentakan dari toakonya, terpaksa ia hanya
berhenti dimuka pintu kamar sambil umpatnya dg suara keras:
“Hey sobat, bila kau sedang sakit, suruh lah pelayan utk
memanggilkan tabib, tempat ini bukan rumahmu, tapi penginapan,
bila kesakitan tahanlah sedapat mungkin, jangan sampai
mengganggu ketenangan orang lain….”
Sementara ia masih berkaok-kaok, pintu kamar diujung sana
dibuka orang lalu nampaklah Chin sian kun yg baru bangun tidur
munculkan diri sambil bertanya:
“Sam ko, siapa sih yg berdiam dikamar sebelah?”
Rupanya diruang belakang terdapat tiga buah kamar, krn
sewaktu datang yg tengah sudah diisi tamu, maka mereka tdk terlalu
memperhatikan.

Tapi setelah Kim kong sam pian tdk dpt tidur krn berisik, otomatis
Chin sian kun yg berada dikamar ujung sebelah sana pun mengalami
keadaan yg tak berbeda.
Sementara itu Kim losam telah berseru sambil tertawa dingin:
“Siapa yg tahu manusia atau telur busuk yg berdiam disitu….”
Kalau tdk dimakai keadaan masih mendingan, begitu diumpat
maka suara rintihan yg berasal dari ruangan itu pun berkumandang
makin keras dan nyaring.
Bukankah hal ini sama artinya dg sengaja mencari gara-gara?
Kim lotoa menjadi amat curiga, segera bentaknya:
“Sobat yg berada dlm kamar, benarkah kau menderita sakit
parah?”
Sambil menegur ia mendorong pintu ruangan, ternyata pintu
kamar tdk dikunci dan segera terbuka.
Ketika delapan sorot mata mereka tertuju kw dlm ruangan,
serentak orang-orang itu menjadi tertegun.
Ternyata orang yg merintih didalam kamar adalah seorang kakek
berambut putih yg wajahnya kuning kepucat-pucatan.
Kakek itu duduk diatas pembaringan dg bersandar pd dinding,
mulutnya merintih tiada hentinya, sementara sorot matanya
mengawasi keempat orang yg berada diluar pintu tanpa berkedip,
agaknya tenaga utk berbicara pun sudah tak punya.
Menyaksikan keadaan tsb, perasaan iba segera muncul di dlm
hati kecil Kim kong sam pian serta Chin sian kun, hanya saja dlm
hati kecil masing-masing diliputi perasaan tak habis mengerti, kalau
toh orang tua itu menderita sakit parah, mengapa ia tdk berbaring
sebaliknya malah tetap duduk?
Chin sian kun segera menegur lebih dulu:
“Orang tua, bolehkah kami masuk ke dlm?”
Orang tua itu manggut-manggut.
Tiga saudara Kim segera melangkah masuk kedalam kamar dan
mengambil tempat duduk, kemudian Kim lotoa baru bertanya:
“Parahkah sakit yg kau derita orang tua?”
Kakek itu mengangguk, sambil menghela napas, katanya dg
lemah:
“Terima kasih banyak utk perhatian anda, hanya saja aku
menjadi tak tentram krn sudah mengusik ketenangan tidur kalian.”
Kim losam tertawa jengah,

“Kami hanya tak dpt mengendalikan emosi sehingga mengumpat
kau orang tua sekenanya, utk itu harap lotiang jangan marah,
padahal siapa sih yg bisa menjaga kondisi masing-masing selama
berada diluar rumah? Cuma saja….kalau toh totiang menderita
penyakit parah, mengapa kau tidak meminta tolong pelayan utk
memanggilkan tabib?”
”Aaaai…!” sekali lagi sikakek menghela napas sambil
menggelengkan kepalanya berulang kali.
“Kalau memang sakit mana boleh tidak diobati?” seru Kim loji
cepat, “bila totiang sedang kekurangan bekal, tak perlu sungkansungkan,
kami bersedia utk membantu!”
Sembari berkata dia hendak merogoh saku.
Buru-buru sikakek menggoyangkan tangannya berulang kali
sambil katanya:
“Maksud baik kalian berempat biar lohu terima dlm hati saja,
padahal aku bukannya tak mampu memanggil tabib utk memeriksa
sakitku, dlm kenyataannya penyakit yg kuderita ini tak nanti akan
bisa diobati oleh tabib mana pun!”
“Penyakit apasih yg lotiang derita?” tanya Chin sian kun agak
tercengang.
Sekali lagi si kakek menghela napas, “kalian berempat bukan
tabib sekalipun sudah aku sebut pun tak ada gunanya, hanya saja
ada sebuah persoalan ingin aku tanyakan , semoga kalian dpt
menjawab dg sebenarnya.”
“Katakan saja lotiang!” buru-buru Kim losam berseru.
“Kalau dilihat dandanan kalian berempat sebagai jagoan
persilatan, pernahkah mendengar tentang seorang yg bernama Kho
Beng?”
Mendengar pertanyaan tsb, keempat orang tsb nampak
terperanjat sekali.
“Ada urusan apa sih lotiang mencari Kho Beng?” Chin sian kun
segera menegur.
Setelah menghela napas, kakek itu berkata:
“Aku hanya dpt memberitahukan kpd kalian bahwa aku Cuma
mendapat titipan dari seseorang, apa daya aku sedang menderita
sakit parah dan tak mampu berkutik, krn nya terpaksa aku Cuma
bisa bertanya kpd kalian berempat.”
“Ooooh” Kim lotoa manggut-manggut, “Siapa sih yg menitipkan
persoalan itu kpd lotiang? Persoalan apa yg hendak disampaikan?”

Kakek itu tertawa minta maaf,
“Aku hanya dpt memberitahukan kpd kalian bahwa orang itu
adalah seorang wanita, sedang masalah yg lain maaf kalau aku tak
bisa memberitahukan kpd kalian.”
Dg tak sabar Kim losam berseru:
“Padahal orang she Kho itupun berada dikota Tong sia, sayang
sekali kami hanya sempat melihatnya dari kejauhan, sewaktu disusul
ternyata usaha kami mengalami kegagalan.”
Kakek itu menjadi kegirangan, buru-buru serunya:
“Aaah…tak kusangka begitu kebetulan, ada suatu benda aku
mohon kpd kalian berempat agar disampaikan kpd Kho Beng,
apakah kalian bersedia membantu?”
Sementara Kim lotoa masih termenung, dg gembira Chin sian kun
telah berseru:
“Kalau memang lotiang minta tolong kpd kami, tentu saja kami
akan mengusahakannya.”
Sikakek segera mengalihkan pandangan matanya ke wajah Kim
kong sam pian, kemudian tanyanya:
“Apakah kalian bertiga mempunyai suatu kesulitan?”
Kim lotoa menjawab cepat.
“Setelah Chin lihiap menyanggupi, tentu saja kami akan berusaha
membantunya.”
“Kalau begitu, kuucapkan banyak terima kasih lebih dulu!” seru si
kakek kegirangan.
Sembari berkata ia mengambil sepucuk surat yg tertutup rapat
dari bawah pantatnya, sambil diangsurkan ketangan Kim lotoa,
katanya:
“Isi surat ini penting sekali, harap kalian berempat
menyimpannya secara baik-baik!”
Cepat-cepat Kim lotoa bangkit dari tempat duduknya utk
menerima, siapa tahu ketika ujung jarinya hampir menyentuh
sampul surat itu, mendadak si kakek tadi melepaskan sampul surat
tadi lalu secepat kilat tangannya menyambar kemuka, dg cepat
kelima jari tangannya mencengkeram urat nadi Kim lotoa erat-erat.
Sesungguhnya Kim lotoa bukan orang sembarangan, betapa
terperanjat ia menghadapi kejadian tsb, cepat-cepat ia menarik
tangannya sementara sebuah bacokan kilat dilontarkan dg telapak
tangan kanannya.

Tapi sayang walaupun ia cukup cepat menghindarkan diri toh tak
berhasil meloloskan diri dari ancaman kelima jari tangan kakek itu,
tak ampun pergelangan tangannya segera tercengkeram dg telak.
Dlm waktu singkat Kim lotoa merasakan hawa darah didalam
dadanya bergolak kencang, tenaga pukulan yg dilontarkanpun punah
ditengah jalan.
“Plaaaak…!”
Ketika sampul surat itu jatuh kelantai, ternyata menimbulkan
suara yg berat.
Sementara itu Chin sian kun, Kim loji dan Kim losam telah dibuat
tertegun oelh perubahan yg berlangsung secara mendadak itu, utk
sesaat mereka tak mampu berbuat apa-apa.
Akhirnya Kim losam melotot dg amarah teriaknya keras-keras:
“Bagus sekali! Rupanya kau si keledai tua sedang menipu kami dg
siasat busuk, ayoh cepat bebaskan toako ku!”
Sambil berseru, tubuhnya menerjang kemuka kuat-kuat, telapak
tangannya bagaikan bacokan golok langsung dihantamkan kedada
kakek tsb.
Jangan dilihat kakek tsb kelihatan lemah dan tak bertenaga,
sekalipun tubuhnya tetap duduk tak bergerak diatas pembaringan
namun tindak tanduknya cukup cekatan.
Tiba-tiba saja ia menarik tubuh Kim lotoa, kemudian ia memutar
pergelangan tangannya sehingga tubuh Kim lotoa berputar seratus
delapan puluh derajat dg muka menghadap keluar, dg begitu ia
persis menyambut serangan dari Kim losam dg tubuh rekannya
sendiri.
Tentu saja Kim losam menjadi sangat terperanjat, tergopohgopoh
dia menarik kembali serangannya sambil melompat mundur ,
begitu mendongkolnya dia sampai giginya saling beradu
gemerutukan.
Sementara itu si kakek sudah membentak lagi dg suara dalam:
“Barang siapa berani bertindak bodoh lagi, jangan salahkan bila
kubunuh rekan kalian lebih dulu!”
Oleh karena rekannya dibuat sebagai sandera, maka Kim loji
serta Kim losam hanya bisa mendelik besar sambil berkaok-kaok
penuh amarah.
Sementara itu Chin sian kun pun amat terperanjat, ia tak dpt
menduga asal usul kakek tsb, tapi ia kuatir sekali, sebab bila kakek

ini utusan dari tujuh partai besar, dg diketahuinya usaha membelot
mereka berarti posisi mereka selanjutnya menjadi bertambah
runyam...
Sekuat tenaga ia berusaha utk mengendalikan perasaan ngeri
dan seram yg mencekam hatinya, kemudian setelah tertawa dingin
katanya:
“He...he...he...ternyata lotiang adalah seorang jagoan lihay, tapi
entah apa maksudmu berbuat selicik ini untuk menjebak kami?”
Kakek itu tersenyum.
“Apa yg telah kukatakan bukan alasan yg dibuat-buat tapi benarbenar
merupakan kenyataan, aku pun sungguh menderita luka
parah, bahkan aku memang bersungguh hati hendak minta tolong
kpd kalian utk mencarikan Kho Beng...”
Mengetahui bahwa si kakek benar-benar menderita luka parah,
Kim loji dan Kim losam saling bertukar pandang sekejap, kemudian
bersiap sedia melakukan tindakan berikut.
Tapi si kakek segera membentak keras.
“Lebih baik kalian berdua jangan bertindak bodoh, sekalipun aku
menderita luka parah, namun aku masih yakin bahwa kemampuan
kalian berempat belum sampai kupandang sebelah matapun.”
Sekali lagi Kim loji dan Kim losam amat terperanjat.
Dalam pada itu Chin sian kun telah berkata sambil tertawa
merdu,
“Bukankah kami sudah bersedia utk mencarikan Kho Beng seperti
apa yg kau kehendaki, tapi mengapa kau justru melakukan tindakan
semacam ini...?”
Kakek itu tersenyum,
“Bersediakah nona menyebutkan dulu nama sendiri serta tiga
bersaudara ini?” pintanya.
“Aku bernama Chin sian kun, berdiam di Siang pak, sedang
mereka bertiga adalah Kim kong sam pian dari Gak yang. Tolong
tanya siapa nama kau orang tua?”
Kembali kakek itu tersenyum,
“Aku tak punya nama, tapi orang-orang menyebutku sebagai Bu
wi!”
“Haaaahh...!”
Begitu mendengar nama “Bu wi”, baik Kim kong sam pian
maupun Chin sian kun sama-sama terperanjat dibuatnya sehingga
berseru tertahan.

Mimpi pun mereka tak mengira kalau si kakek tak lain adalah Bu
wi lojin, satu di antara tiga tokoh sakti yg sudah termasyur dlm
dunia persilatan semenjak lima puluh tahun berselang.
Buru-buru Chin sian kun memberi hormat, seraya berkata:
“Oooh, rupanya kau adalah Bu wi locianpwee, terus terang saja
aku bersama tiga bersaudara Kim memang berniat membelot utk
bergabung dg Kho sauhiap, oleh sebab itu harap cianpwee jangan
salah paham dan segera membebaskan Kim toako!”
Namun Bu wi lojin masih mencengkeram tangan Kim lotoa
kencang-kencang, ia menggeleng dan berkata sambil tertawa
lembut,
“Sewaktu terjun kembali kedunia persilatan akupun sudah banyak
mendengar tentang kegagahan Kim kong sam pian serta Walet
terbang berwajah ganda, akupun tahu kalian berempat bukan orang
jahat, itulah sebabnya tindakanku sekarang tidak berniat jahat, tapi
berhubung benda dalam sampul itu penting sekali artinya, sedang
asal usul Kho Beng pun luar biasa sekali, dimana lebih banyak
musuh ketimbang temannya, maka terpaksa aku mesti
menggunakan Kim tayhiap sebagai sandera, utk itu harap kalian sudi
memakluminya.”
Setelah berhenti sejenak dan menunding sampul surat dilantai,
katanya lebih jauh:
“Tolong nona Chin bersama jihiap dan samhiap pergi mencari
Kho Beng serta menyerahkan surat tsb kepadanya, suruh ia datang
kemari secepatnya. Kelicikan manusia didunia ini susah diraba
sehingga mau tak mau aku mesti bertindak lebih berhati-hati, biarlah
kusandera Kim tayhiap sementara waktu, bila Kho Beng telah sampai
disini aku pasti akan minta maaf kpd Kim tayhiap, selain itu utk
kesekian kalinya ingin kutegaskan bahwa aku tidak berniat jahat
terhadap Kim tayhiap, sedang kehadiran Kim tayhiap disini pun pasti
aman. Selesai persoalan ini akan kuberi hadiah lain sebagai balas
jasanya, nah sekarang mohon kalian bertiga utk melakukannya.”
Kim loji, Kim losam maupun Chin sian kun emmang agak jeri
terhadap nama besar Bu wi lojin, mendengar perkataan tsb mereka
saling pandang sekejap, akhirnya Kim losam berkata:
“Kalau toh cianpwee berkata begitu, kami akan segera pergi
mencari Kho sauhiap utk membuktikan ketulusan hati kami yg
sesungguhnya....”

Habis berkata dia memungut sampul surat itu, kemudian
memberi tanda kpd Kim loji dan Chin sian kun.
Namun setelah mereka bertiga keluar dari penginapan Hiong hien
dan mengawasi jalan yg terbentang didepan mata, mereka segera
saling berpandangan sekejap dg perasaan murung.
Sudah setengah harian lebih mereka melakukan pencarian tadi
tanpa hasil yg nyata, sekarang kemanakah mereka harus pergi utk
menemukan jejak Kho Beng?
Padahal, mimpi pun mereka tak mengira sewaktu mereka
melakukan pencarian ketiap sudut rumah tadi, sesungguhnya Kho
Beng sedang duduk dg tenang dirumah makan Pon gwat kie yg baru
mereka tinggalkan.
Memang disinilah letak kelemahan manusia, Chin sian kun
sekalian berpendapat bahwa mereka baru saja meninggalkan rumah
makan Poan gwat kie, maka walaupun sudah dua tiga kali melewati
pintu muka rumah makan tsb, namun mereka tdk masuk utk
memeriksanya kembali.
Berbeda dg Kho Beng, sesungguhnya ia sudah melihat kehadiran
Kim kong sam pian sekalian tapi berhubung maksud kedatangannya
kesitu adalah utk menelusuri jejak In nu siancu dan tak ingin
mencari keributan yg lain, maka sedapat mungkin ia berusaha utk
menghindari orang-orang tsb.
Tapi dia sendiripun tdk menyangka kalau Kim kong sam pian
serta Chin sian kun terpengaruh oleh pembelotan Li sam hingga
dicurigai oleh rakan-rekannya sendiri dimana dalam gusarnya
mereka justru sedang mencarinya utk bergabung.
Tentu saja ia pun tidak tahu kalau Bu wi lojin yg sedang dicaricari
berada pula dikota Tong sia, malah menderita luka parah dan
berdiam dirumah penginapan Hiong hien dimana ia sedang dicaricari
utk bertemu.
Memang kadangkala banyak kejadian yg berlangsung sangat
kebetulan kadangkala justru bertentangan satu sama lainnya
sehingga terjadi banyak peristiwa yg tak diinginkan. Apa yg telah
dialami Kho Beng waktu itu?
Utk mengetahui keadaannya, maka waktu harus diundur
setengah hari lagi yaitu sepeminuman teh setelah Kim kong sam
pian dan Chin sian kun meninggalkan rumah makan Poan gwat kie.
Saat itu Kho Beng beserta keempat pengawalnya menghindar
pula kedalam rumah makan tsb.

Disinilah letak kecerdikan Kho Beng. Ia berpendapat Kim kong
sam pian berempat mustahil akan memeperhatikan tempat itu lagi
krn mereka sebelum meninggalkan tempat tsb, saat menunjukkan
tengah hari yaitu saat banyak orang bersantap siang.
Untuk menghindari hal inilah, maka dia pun mencari tempat
duduk didekat loteng dekat jendela, benar juga apa yg dia duga, dua
kali ia menyaksikan Kim kong sam pian berempat celingukan
disekitar rumah makan tsb tanpa berniat masuk kedalam utk
mencarinya, diam-diam ia jadi sangat geli selain rasa bangga yg
meluap.
Selain memesan hidangan dan belum lagi bersantap, tiba-tiba
Kho Beng kelihatan seperti tercenung lalu bangkit berdiri, ulah
pemuda tsb tentu saja amat mengejutkan Rumang serta Hapukim
sekalian berempat. Ternyata Kho Beng telah menjumpai pula
bayangan punggung perempuan berbaju putih yg pernah ditegur
Chin sian kun tadi sedang berdiri membelakangi meja kasir.
Oelh karena orangtsb memiliki perawakan tubuh yg terlalu mirip
dg encinya, ditambah lagi payung serta bunga putih disanggulnya,
membuat Kho Beng amat kegirangan. Seperti juga Chin sian kun,
kepada Rumang sekalian segera bisiknya:
“Coba kalian tunggu sebentar disini, aku segera balik!”
Selesai berkata buru-buru ia meninggalkan tempat duduknya
menuju kemeja kasir.
Waktu itu si perempuan berbaju putih tadi sedang menyerahkan
seguci arak kepada kasir sambil berkata merdu,
“Arak yg dibutuhkan majikan kami adalah arak terbaik, coba
siapkan satu kati lagi!”
Sang kasir yg gemuk segera mengiakan berulang kali sambil
ketawa namun ketika melihat Kho Beng yg berjalan mendekat,
sekilas perasaan kaget yg susah ditemukan sempat melintas dalam
sorot matanya, ia segera membalikkan badan utk mengambil arak.
Sementara itu Kho Beng telah sampai dibelakang tubuh
perempuan berbaju putih itu, segera sapanya dg suara lirih:
“Enci.....”
Dg cepat perempuan berbaju putih itu berpaling.
“Aaaahh!” tiba-tiba Kho Beng berseru tertahan.
Ternyata sekarang ia baru menyadari bahwa bayangan punggung
yg dianggap sebagai encinya itu ternyata adalah perempuan lain,
kontan saja pipinya berubah menjadi merah padam karena jengah.

“Ooooh, maaf,maaf...” buru-buru serunya, “rupanya aku telah
salah melihat...”
Belum selesai perkataan itu diucapkan, perempuan berbaju putih
itu telah menyela sambil tertawa,
“Oooh...rupanya Kho kongcu!”
Panggilan itu sediit diluar dugaan Kho Beng, ia merasa tak pernah
kenal dg perempuan tsb, tapi kenyataannya pihak lawan justru
kenal dg nya.
Maka sesudah tertegun sejenak, segera ujarnya:
“Kau…kau kenal dg diriku?”
Perempuan berbaju putih itu segera tersenyum,
“Budak bernama Ciu hoa, pernah kudengar nona kami
melukiskan raut muka kongcu…”
“Siapakah nonamu?” seru Kho Beng cepat, setelah melengak
beberapa saat.
Mendadak Ciu hoa merendahkan suaranya dan berbisik,
“Nona kami adalah cicimu, Kho yang ciu!”
Kho Beng menjadi kegirangan setengah mati, segera tanyanya:
“Dimanakah ciciku berada?”
“Dia berada diruang belakang rumah makan Poan gwat kie ini,
biar budak siapkan arak lebih dulu kemudian baru mengajak kongcu
kesitu!”
Sambil berkata ia segera menerima guci arak dari tangan si kusir
gemuk itu.
Kemudian baru ia berkata lagi kpd Kho Beng:
“Silahkan kongcu mengikuti budak!”
Habis berkata ia segera berjalan lebih dulu menuju keruang
belakang rumah makan itu.
Ketika Kho Beng mengikuti dibelakangnya, si kusir gemuk itu
tiba-tiba menampilkan secercah senyuman yg sangat aneh.
Setelah melangkah keluar pintu ruangan, ternyata dibelakang
sana merupakan sebuah kamar tamu yg sangat indah.
Dg pandangan terkejut Kho Beng memperhatikan sekejap
sekeliling tempat itu, lalu serunya:
“Aaah, tak kusangka rumah makan Poan gwat kie merangkap
juga usaha penginapan!”
Ciu hoa tertawa, “Kami berdiam diruangan yg paling belakang
sana....”

“Heran!” gumam Kho Beng tiba-tiba, “sudah dua kali aku
bertemu cici, mengapa belum pernah melihat dirimu?”
“Dulu budak mendapat tugas menjaga abu leluhur,
barubelakangan ini menyusul siocia terjun kedalam dunia persilatan.”
“Aaaah…maksudmu kau enjaga abu dari Gin san siancu
cianpwee?”
Dg suara sedih Ciu hoa mengangguk,
“Sebenarnya budak sudah berjanji kepada nona utk menjaga abu
selama tiga tahun, apa mau dibilang aku tak pernah tentram hatinya
membiarkan nona berkelana sendiri dalam dunia persilatan, krn itu
secara diam-diam meniggalkan gunung utk menyusulnya!”
Tanpa terasa Kho Beng menaruh perasaan kagum atas
kesetiannya dan ditengah tanya jawab inilah mereka telah sampai
dihalaman paling belakang, disitu ia menyaksikan terdapat dua bilik
dg pepohonan liu yg amat rindang, tempat tsb memang merupakan
sebuah tempat tinggal yg amat tenang.
Tapi sesudah melangkah masuk kedalam ruangan, kembali Kho
Beng menjadi termangu, rupanya ditengah ruangan terdapat sebuah
meja besar dg pelbagai macam hidangan, perangkat sumpit dan
cawan elah tersedia namun tak nampak sesosok bayangan manusia
pun.
Baru saja Kho Beng hendak bertanya, ambil tertawa Ciu hoa telah
berkata lebih dulu:
“Berhubung masih ada urusan lain, nona belum kembali silahkan
kongcu duduk lebih dulu.”
Sambil menunjuk kearah hidangan dimeja, Kho Beng bertanya
keheranan:
“Tapi hidangan ini....”
Buru-buru Ciu hoa menukas:
“Sebenarnya nona sedang menjamu seorang teman lamanya, tapi
berhubung chen koan keh masuk secara tergesa-gesa entah
persoalan apa yg dilaporkan, ternyata nona segera mengajak
tamunya pergi dg melompati dinding pagar, tapi sebelumpergi ia
sempat meninggalkan pesan kepada budak, katanya sebentar dia
akan kembali maka budak disuruh tetap menyiapkan hidangan ini!”
“Tapi kemana perginya Cun bwee serta Sin hong?” tanya Kho
Beng setelah mengambil tempat duduk.

“Mereka ikut nona keluar rumah, tak ada salahnya bila kongcu
duduk menanti sambil minum arak, budak rasa segera nona akan
balik kemari, toh ia sudah bilang hanya akan pergi sebentar saja.”
Kho Beng menggelengkan kepalanya berulang kali tanda ia tak
ingin makan, sementara hati kecilnya menaruh curiga, dia tak tahu
persoalan penting apakah yg telah ditemui cicinya? Kalau dibilang
bukan urusan penting, mengapa pula ia pergi secara tergesa-gesa?
Berapa saat sudah lewat, Kho Beng duduk termenung sambil
menunggu cicinya kembali, tapi orang yg ditunggu belum nampak
juga.
Ketika melihat Ciu hoa berdiri terus disisinya tanpa berkutik,
lama-kelamaan ia menjadi rikuh sendiri, maka sambil bangkit berdiri
segera katanya:
‘Aku rasa lebih baik nanti saja aku balik lagi....”
Tapi sebelum perkataan itu selesai diucapkan, buru-buru Ciu hoa
telah berkata lagi:
“Bagaimana pun juga kongcu toh sudah menunggu sampai
sekarang, kenapa mesti buru-buru pergi? Bila nona sampai tahu, ia
pasti akan memarahi budak yg dibilang tak mampu melayani
kongcu.”
“Tapi aku masih mempunyai empat teman yg menunggu
diluar....”ucap Kho Beng.
“Soal ini tak usah kongcu kuatirkan” sela Ciu hoa, “tentu saja
budak dapat berpesan kpd sang kasir agar baik-baik melayani
mereka, hingga kini kongcu belum bersantap siang, masa harus
pergi dg begitu saja? Meski hendak pergi, toh rasanya belum
terlambat jika bersantap lebih dulu.”
Saat ini Kho Beng memang merasa agak lapar, melihat Ciu hoa
begitu bersikap hormat kepadanya, ia pun berpikir:
“Bagaimana pun juga tempat ini toh kediaman cici, kalau mesti
bersikap sungkan, rasanya hal ini malah lucu sekali....”
Berpendapat demikian, maka dia pun manggut-manggut, katanya
sambil tertawa:
“Terus terang saja, perutku memang terasa agak lapar, kalau cici
memang berpesan begitu,baiklah aku mengisi perut lebih dulu!”
Ciu hoa tertawa merdu..
“Sebetulnya diantara saudara sendiri memang tak perku
bersungkan-sungkan, kalau tidak, orang luar pasti mentertawakan.

Mari biar budak mengisikan secawan arak lebih dulu utk melegakan
pikiran..”
Sambil berkata dia mengambil guci arak yg baru dibawa masuk
tadi dan mengisi secawan arak penuh utk Kho Beng.
Buru-buru Kho Beng menerimanya sambil berkata:
“Aku tak biasa minum, biar cukup secawan saja!”
Ia menerima cawan itu dan menegak isinya sampai habis,
seketika itu juga segulung hawa panas muncul dari pusarnya dan
menjalar keseluruh bagian tubuhnya, tiba-tiba saja kepalanya terasa
pening.
Detik itu juga Kho Beng merasakan keadaan tak beres, matanya
segera melotot besar dan ia melompat bangun.
Tapi Ciu hoa sudah berseru sambil tertawa terkekeh-kekeh:
“Roboh! Roboh!”
“Budak bajingan! Besar amat nyalimu!” bentak Kho Beng
membentak keras-keras, “tak nyana kau berani mencelakai diriku
secara licik…”
Sepasang telapak tangannya segera disiapkan utk melancarkan
bacokan kilat ketubuh Ciu hoa.
Tapi sayang keadaa sudah terlambat, tahu-tahu dunia serasa
berputar kencang, pandangan matanya berkunang-kunang, ia tak
sanggup lagi mempertahankan diri….
“Blaaamm!”
Badannya roboh terjungkal keatas tanah.
Ciu hoa kembali tertawa terkekeh-kkeh, mendadak ia bertepuk
tangan tiga kali.
Dari sisi ruangan segera muncul enam orang lelaki berbaju hitam,
kepada Ciu hoa serentak mereka memuji:
“Siasat Lengcu betul-betul hebat sekali!”
Ciu hoa tertawa bangga, katanya:
“Hayo cepat gotong dirinya masuk keloteng rahasia, beritahu
kepada Ong cianpwee dkasir agar baik-baik melayani keempat orang
asing tsb!”
Sementara itu Rumang, Hapukim dan dua bersaudara Mo masih
bersantap dg lahapnya sepeninggalan Kho Beng tadi.
Hingga perutnya terasa kenyang, mereka baru teringat kalau
hingga saat itu Kho Beng belum juga kembali.
Hapukim mulai celingukan kesana kemari dg tak sabar, lalu
berseru keheranan:

“Apa yg sudah terjadi? Kenapa cukong kita hilang lenyap dg
begitu saja?”
“Jangan-jangan bocah keparat itu memanfaatkan kesempatan in
utk melarikan diri” seru Rumang sambil menggebrak meja.
“He…he…he…Molim tertawa dingin, “seandainya ia bermaksud
melarikan diri, sepanjang jalan ia sudah banyak mempunyai
kesempatan utk berbuat begiut, buat apa dia menunggu hingga
sekarang?”
“Yaa, perkataan toako memang benar!” sambung Mokim, “toh
orangnya msih didalam sana, sekalipun belum namapak buat apa
kita mesti gelisah.”
Rumang mengedipka mata, tiba-tiba ia mendongak dan tertawa
terbahak-bahak, Hapukm segera menegur:
“Apa sih yg lucu?”
Sambil tertawa ujar Rumang : “Sebenarnya aku mengira cukong
kita adalah seorang kuncu, kemudian baru kuketahui rupanya dia
adalah seorang pipi licin, yang suka perempuan!”
Mendengar perkataan tsb, Hapukim dan dua bersaudara Mo
segera teringat kembali dg sikap Kho Beng yg buru-buru menghindar
ketika melihat tiga orang lelaki kekar (Kim kong sam pian) dari
kejauhan tadi, namun sekarang setelah masuk mengikuti seorang
perempuan lalu lupa keadaan dan waktu. Hingga tanpa terasa
mereka pun turut tertawa.
Walaupun empat orangjago sakti dari luar perbatasan ini ratarata
buas dan licik, namun jalan pikiran mereka masih terlalu
sederhana, ditambah lagi mereka pun belum begitu paham tentang
seluk beluk Kho Beng dg pelbagai masalahnya, maka kepergian sang
pemuda yg kemudian tak pernah muncul kembali ini bukan dianggap
sebagai suatu tanda bahaya sebaliknya mereka malah menafsirkan
pemuda itu sebagai seorang lelaki hidung bangor yg sedang
menikmati kehangatan tubuh wanita.
Begitulah setelah tertawa terbahak-nahak beberapa saat,
Hapukim berkata kemudian:
“Yaa, berbicara sesungguhnya, nona-nona dari daratan
Tionggoan memang mengasyikkan dg segala macam yg memikat
hati, tidak heran kalau cukong kita menjadi lupa daratan sehingga
begitu masuk kekamar lantas melupakan kita…..”
Molim mendengus dingin, katanya pula:

“Hmmm, mengikuti manusia busuk macam begini, saban hari dari
siang sampai malam mesti menuruti perkataannya, sudah lama kita
merasa muak dan sebal…”
“Yaaa…kalau ingin mendapatkan anak masa masa induknya
dibuang dulu” sambung Mokim, “apa boleh buat terpaksa kita mesti
bersabar dulu sekarang, tapi apa yg mesti kita perbuat dewasa ini?
Memanggilnya keluar dari kamar? Atau duduk saja menanti?”
Baru selesai ia berkata, Si kasir yg gemuk telah datang
menghampiri dan berkata sambil tertawa:
“Toaya berempat, Kho kongcu telah berpesan kepadaku agar
baik-baik melayani kalian, katanya dia masih ada urusan sehingga
tuan berempat tak perlu menunggu lagi, selain itu kongcu pun telah
telah menyuruh hamba utk memesankan sebuah kamar dirumah
penginapan seberang sana, katanya kalian dipersilahkan utk
beristirahat dulu!”
Rumang tertawa terkekeh-kekeh, tanyanya sambil berpaling:
“Sebetulnya cukong kami lagi apaan sih didalam sana?”
Si kasir gemuk pura-pura tertegun, lalu tanyanya keheranan:
“Masa Kho kongcu tidak memberitahukan keperluannya kepada
kalian?”
Hapukim segera menepuk bahu si kusir dan berkata sambil
tertawa terbahak-bahak:
“Ha…ha…ha… toako emmang makin lama makin pintar saja,
kalau pekerjaan yg lain boleh dirahasiakan, masa masalah main
perempuan pun mesti diumumkan? Ha…ha…ha….”
Buru-buru si kusir gemuk membungkukkan badan sambil tertawa
dibuat-buat, katanya kemudian:
“Toaya memang cerdik sekali..he…he…he..utk biaya makan telah
dilunasi Kho kongcu tadi, bila kalian berempat tak ada permintaan
lain, hamba hendak mohon diri dulu.”
Rumang segera mengulapkan tangannya berulang kali, kemudian
kepada Hapukim dan dua bersaudara Mo katanya:
“Begitupun ada baiknya juga, sudah dua puluhan hari lamanya
kita tak pernah beristirahat secara baik, mumpung hari ini punya
kesempatan, mari kita pergi mencari kesenangan, mari kita cicipi
kehangatan nona-nona daratan Tionggoan!”
Karena mereka memang sedang menganggur dan meresa tak
punya urusan lain, tentu saja usul tsb segera disetujui ketiga orang

rekan lainnya, maka berempat pun beranjak pergi dari tempat duduk
masing-masing dan berjalan keluar.
Sewaktu baru melangkah keluar dari pintu rumah makan Poan
gwat kie, kebetulan sekali Chin sian kun serta dua bersaudara Kim
sedang lewati tempat tsb.
Perjumpaan yg sama sekali tak terduga tsb mengundang kedua
belah pihak sama-sama tertegun.
Dg wajah berseri Kim losam segera berbisik kepada Chin sian
kun:
“Bukankah keempat orang itu yg melakukan perjalanan bersama
Kho sauhiap? Tak disangka mereka pun berada dirumah makan Poan
gwat kie..”
Chin sian kun segera tampil kedepan dan menjura kepada
Rumang sambil sapanya:
“Saudara berempat, mengganggu sebentar, boleh kutahu siapa
nama kalian….?”
Melihat kecantikan wajah Chin sian kun ibarat bunga yg baru
mekar, Rumang jadi kegirangan setengah mati sambil tertawa
terkekeh-kekeh segera katanya:
“Belum lagi kami pergi mencari, eeh siapa tahu si nona datang
menghantarkan diri, he...he...he..aku bernama Rumang, sedang
ketiga rekanku ini adalah saudara Hapukim serta saudara Molim dan
Mokim....”
Agak geli Chin sian kun melihat sikap Rumang yg kesemsem oleh
kecantikannya, sambil bersikap lebih genit segera tegurnya lagi
sambil tersenyum manis:
“Ooooh, rupanya saudara Rumang, saudara Hapukim dan dua
bersaudara Mo, tolong tanya kenapa tak nampak Kho kongcu
bersama kalian?”
Rumang segera tertawa bergelak:
“Kau sedang menanyakan cukong kami? Ha...ha...ha...”
Belum sempat dia meneruskan kata-katanya, Molim sudah
menyikutnya keras-keras membuat ia menjadi melengak.
Sambil berpaling segera tegurnya:
“Mo lotoa, apa-apaan kau ini?”
Jilid 16
“Masa kau lupa bahwa cukong kita berusaha menghindari mereka
sewaktu bersua tadi?” bisik Molim lirih, “bukankah hal tsb
menandakan bahwa mereka adalah musuh bukan sahabat?”

Kontan saja Rumang menjadi terkejut, sambil menggaruk-garuk
kepalanya yg tak gatal, katanya:
“Yaa, hampir saja aku melupakan hal ini.”
Dg pandangan dingin Molim menatap sekejap Chin sian kun
bertiga lalu balik tegurnya:
“Boleh kami tanya, siapa nama kalian bertiga?”
“Aku she Chin” sahut si nona sambil tertawa, “sedang mereka
berdua adalah dua bersaudara she Kim dari telaga Tong ting, kami
semua adalah teman Kho sauhiap.”
“Oooh, kalian adalah teman cukong kami, maaf!maaf!” jengek
Molim tertawa dingin.
“Bolehkah kami tahu berada dimanakah Kho sauhiap sekarang?”
buru-buru Kim losam menyela.
“Ada urusan apa kau mencarinya?”
“Kami mempunyai berita penting yg hendak disampaikan
kepadanya, selain itu ada benda yg amat berharga utk diberikan
kepadanya!”
“Soal apa? Dan barang berharga apa? Coba kau sebutkan kepada
kami dulu…”
Cepat-cepat Kim losam menggeleng:
“Tidak bisa! Kami harus bertemu dg sauhiap sekarang juga.”
Tapi Molim segera menggeleng pula sambil menjengek:
“Maaf, rasanya kami belum pernah mendengar cukong kami
menyinggung-nyinggung tentang kalian, karena itu kedatangan
kalian tak bisa kami sampaikan...”
Kim losam menjadi tertegun dan sesaat lamanya tak tahu apa yg
mesti diperbuat.
Melihat itu, Chin sian kun segera berseru sambil tertawa merdu:
“Mo lotoa, tolonglah bantu kami, karena persoalan tsb tak dapat
ditunda-tunda lagi.”
“Hmmm, kalau memang tak bisa ditnda lagi, lebih baik kalian
pergi mencarinya sendiri” seru Molim ketus.
Selesai berkata, ia segera mengulapkan tangannya kpd Rumang
sekalian sambil katanya:
“Hayo kita berangkat mencari kesenangan, jangan biarkan
mereka mengusik kegembiraan kita.”
Melihat kempat orang itu hendak pergi dari sana, Kim loji menjadi
naik darah, segera bentaknya penuh amarah:
“Hey! Sebenarnya kalian mengerti aturan tidak?”

“Siapa bilang kami tak tahu aturan?” balas Rumang sambil
melotot dg sinar bengis.
“Kalau tahu aturan, semestinya kalian pun mengerti bahwa kami
adalah sahabat majikan kalian dan sekarang hendak mencarinya krn
ada urusan penting, mengapa kalian enggan melaporkan
kedatangan kami?”
Rumang tertawa seram, katanya :
“Bila kalian adalah sahabat cukong kami, setelah bertemu kalian
tadi, dia pun tak akan berusaha menghindarkan diri..he...he....siapa
lagi yg hendak kalian bohongi? Bila tidak segera angkat kaki dari
sini, jangan salahkan bila golokku akan membacok tubuh kalian!”
Sekarang Chin sian kun baru tahu sebabnya keempat orang tsb
enggan melaporkan kedatangan mereka, cepat-cepat ia
menjelaskan:
“Aku rasa Kho kongcu menaruh salah paham atas kehadiran
kami.”
Dg suara dingin, Molim menyela:
“Nah, bukankah kalian sudah tahu sendiri, lebih baik kalian
mencari dia lebih dulu untuk menjelaskan kesalah pahaman tsb
kemudian baru mencari kami lagi.”
Menyaksikan keempat orang itu dibujuk halus gagal, didesak dg
kekerasan pun tak bisa, Chin sian kun menjadi sangat mendongkol,
segera bentaknya:
“Sebenarnya kalian mau bicara tidak?”
“He...he...he...sudah mulai sewot nampaknya” ejek Rumang
tertawa seram, “tak susah bila menginginkan kami berbicara, tapi
kau mesti menemani kami dulu tidur semalam!”
Hijau membesi selembar wajah Chin sian kun ketika mendengar
perkataan tsb, tangannya segera meraba gagang pedangnya dan
mencabutnya keluar dari sarung, bentaknya keras-keras:
“Anjing suku asing! Kemari kau! Nyonya muda akan mewakili
majikanmu untuk memberi pelajaran dulu kepada kalian.”
Rumang tertawa makin keras, teriaknya sambil mengejek:
“Aduh mak…benar-benar menarik, rupanya kau ingin main
senjata dg ku?”
Melihat senjata tajam sudah berbicara, penduduk kota yg
kebetulan berada disekitar jalanan tsb segera berlarian tunggang
langgang utk menyelamatkan diri.

Sesungguhnya Kim loji sudah diliputi amarah yg membara namun
setelah melihat suasana disana menjadi kacau, buru-buru dia
menghalangi si nona utk menyerang.
Kepada Mo bersaudara ujarnya kemudian,
“Kami tidak bermaksud jahat terhadap kalian, apakah kamu
berempat tak bisa diajak utk berunding.”
He…he…he…maksud baik atau jahat sama-sama tak ada sangkut
pautnya dg kami, pun kami juga tak mengerti menjalin hubungan dg
orang lain” kata Mokim sinis.
Kim losam sangat marah, bentaknya nyaring:
“Tampaknya kalian anjing-anjing pingin dicambuki.”
Rumang balas tertawa seram.
“Terlepas sampai dimana kemampuan dan jumlah kalian,
memangnya kami takut untuk menghadapi kalian?”
Kemudian setelah mendengus dingin terusnya,
“Cukup mendengarkan ucapan kalian bertiga pada kami, hari ini
kami tak bisa melepaskan kalian dg begitu saja, kamu bertiga mesti
mampus disini!”
Sambil berkata dia pun mencabut keluar toyanya yg berbentuk
ular.
Diantara mereka semua Kim loji paling tenang dan paling
berpikiran panjang, ketika dilihatnya situasi sudah tak mungkin
diselesaikan secara damai, buru-buru ia berkata dg suara dalam:
“Kurang leluasa buat kita utk bertarung ditengah jalan, kalau
memang ingin beradu tenaga, mari kita selesaikan diluar kota saja.”
Hapukim tertawa seram:
“Kebetulan sekali, akupun ingin mencoba sampai dimanakah
kemampuan dari jago-jago Tionggoan, asal kalian tdk kabur, tampat
manapun sama saja buat kita!”
Betapa gelinya si kasir gemuk dari rumah makan Poan gwat kie
yg ikut menyaksikan keramaian tsb dari balik pintu, diam-diam ia
kegirangan setengah mati sebab baginya orang-orang itu paling baik
saling gontok-gontokan dan mampus semua.
Maka kedua belah pihak pun segera berangkat menuju keluar
kota.
Matahari sudah condong kelangit barat.
Si Walet terbang berwajah ganda serta Kim loji dan Kim losam
disatu pihak, Rumang berempat dipihak lain kini telah berada

ditengah hutan yg terpencil diluar kota Tong sia, masing-masing
pihak telah berdiri saling berhadapan siap utk bertarung.
Saat itu Chin sian kun berpendapat bahwa keempat orang suku
asing ini walaupun bengis dan menjengkelkan namun bagaimana jua
mereka adalah anak buah Kho Beng, andaikata benar-benar sampai
jatuh korban niscaya mereka akan sulit memberikan keterangan kpd
pemuda tsb.
Karenanya sambil berusaha utk mengendalikan rasa gusar yg
membara didalam dada, nona itu segera berkata :
“Walaupun kita tak cocok didalam pembicaraan namun sedikit
banyak harus memandang diwajah majikan kalian. Aku rasa
pertarungan yg akan kita langsungkan nanti dibatasi dg saling
menutul saja, bila kami menderita kalah tentu saja segera akan
angkat kaki dari sini sebaliknya bila kalian kalah maka kalian harus
mengajak kami utk bertemu dg Kho sauhiap. “
“Ha…ha…ha…sungguh menarik hati, sungguh menarik hati”
Rumang tertawa kasar, ”dari pada kita gebuk-gebukan dihutan toh
lebih enak bertarung diatas ranjang.”
Pucat pias selembar wajah Chin sian kun saking gusarnya seluruh
badannya gemetar keras, bentaknya tiba-tiba:
“Tutup mulut anjingmu, hey orang asing! Nyonya muda sudah
tak bisa bersabar lagi, bila mulut anjingmu tetap mengeluarkan katakata
kotor.”
Molim tertawa dingin:
“Sesungguhnya kau pun tak perlu bersabar atau mengalah, kami
tidak mengerti apa yg dimaksud “dibatasi saling menutul” itu, bagi
peraturan desa kami, bila bertarung maka mati hidup yg akan
menentukan kemenangan salah satu pihak, siapa yg ungguk dialah
enghiong sejati.”
“Lantas bagaimana menurut pendapatmu? Kita harus bertarung
cara bagaimana?” tanya Kim loji dg suara dalam.
Kembali Molim tertawa seram.
“Walaupun kami berempat, bukan berarti kami ingin mencari
kemenangan dg mengandalkan jumlah banyak, mari kita bertarunf
satu lawan satu, kalian bertiga sama-sama dapat bertahan hidup
terus, toh dipihak kami masih ada seorang yg tetap hidup, ia pasti
akan mengajak kalian utk bertemu dg cukong!”

“Baik, kita tetapkan begitu saja” teriak Kim losam, “sekarang kau
dipersilahkan mencicipi dahulu kehebatan ruyung Kim kong pian ku
ini....”
Sudah sejak tadi ia menekan hawa amarahnya yg meluap-luap,
maka begitu selesai berkata, ruyungnya langsung berputar
membentuk satu lingkaran besar dan langsung membacok batok
kepala Molim.
Terkejut juga Molim melihat datangnya serangan itu, segera
bentaknya sambil menggeserkan tubuhnya tiga langkah kesamping:
“Serangan yg bagus!”
Senjata tongkat berbentuk ularnya diputar dan menyongsong
datangnya serangan itu.
Pedang lebih cocok dipakai utk pertarungan jarak dekat,
sebaliknya ruyung lebih cocok utk pertarungan jarak jauh, tentu saja
Kim losam tidak membiarkan musuh mendekatinya.
Sambil bergerak mundur, sekali lagi dia melepaskan dua kali
serangan cambuk yg memaksa Molim harus beberapa kali
menghindarkan diri.
Nama Kim kong sam pian memang bukan nama kosong belaka,
ketiga jurus serangannya itu dilancarkan lebih lincah daripada
gerakan ular sakti, bukan saja dapat bergerak secara luwes, setiap
ancaman pun selalu menimbulkan angin serangan yg menderu-deru.
Untuk beberapa saat Molim tak mampu mendekati musuhnya,
senjata tongkat berbentuk ularnya meski belum bisa memancarkan
kekuatan hebat, akan tetapi kelincahan geraknya, pertahanannya yg
ketat memaksa permaina ruyung Kim losam pun tak mampu berbuat
banyak terhadapnya.
Begitu pertarungan berkobar, Hapukim yg nonton pun menjadi
gatal, sambil meloloskan goloknya ia segera membentak terhadap
Kim loji:
“Hey, kau jangan ngenggur terus, mari kita coba sampai
dimanakah kehebatan ilmu silatmu!”
Ditengah perkataan, cahaya golok yg menggulung langsung
mengancam kesisi badan Kim loji.
Rupanya ia cukup menbgambil rekannya sebagai pengalaman
dan tahu kalau pihak lawan yg memakai ruyung panjang harus
dihadapi dg pertarungan jarak dekat, sebab sekali posisinya tersedak
niscaya semua jurus serangannya tak bisa dikembangkan.

Karenanya secepat kilat dia menyerang kemuka dan
mengembangkan jurus –jurus serangannya utk mengurung Kim loji
secara ketat.
Berulang kali Kim loji mencoba berkelit ataupun menghindar,
namun tak pernah berhasil melepaskan diri dari jangkauan cahaya
golok lawan.
Ia merasa seolah-olah cahaya golok muncul dari empat arah
delapan penjuru, hal mana membuatnya terperanjat sekali.
Kerena permainan ruyungnya tak bisa dikembangkan, terpaksa ia
mesti mengandalkan rangkaian ilmu pertarungan jarak dekat utk
bertahan sekuat tenaga.
Dlm waktu sigkat pertarungan yg berlangsung telah menjurus
dalam suatu perkelahian mati-matian, diam-diam Chin sian kun yg
mengikuti jalannya pertarungan itu menjadi terkejut sekali.
Sementara ia masih termenung, tiba-tiba terdengar Rumang
berteriak keras:
“Perempuan jahat! Kau jangan menonton saja, mari kita pun
beradu kepandaian!”
Chian sian kun sangat terkejut, tergopoh-gopoh dia melompat
kesamping utk menghindarkan diri.
Ternyata Rumang tdk mendesak maju dg goloknya, melihat sikap
si nona yg gelagapan, segera jengeknya sambil tertawa tergelak:
“Tak usah gugup perempuan jahat, aku kan Cuma kepingin
mencium bibirmu yg mungil, apa sih gunanya membunuhmu?”
Dg pipi bersemu merah, Chin sian kun segera mendesis, saking
marahnya ia segera melepaskan sebuah tusukan kedepan sambil
membentak:
“Anjing suku asing! Biar kupotong dulu lidah anjingmu itu!”
Ilmu pedang Liok hong kiam hoatnya yg diandalkan pun segera
dilancarkan, kilauan cahaya tajam yg berlapis-lapis segera
menyergap dan menggulung tubuh Rumang.
Tapi sepuluh gebrakan kemudian, semakin bertarung Chin sian
kun merasa semakin terperanjat, ia tak mengira sama sekali Rumang
yg pandai bicara kotor dan bebal macam kerbau itu sesungguhnya
memiliki ilmu golok yg luar biasa hebatnya.
Jangan dilihat bacokan demi bacokannya dilancarkan secara
ngawur dan tidak beraturan sama sekali, tapi kenyataannya semua
serangannya tak berhasil dibendungnya sama sekali malah ada
beberapa jurus serangannya yg nyaris menyambar tubuhnya.

Beberapa orang lelaki suku asing yg tak dikenal ini ternyata
memiliki ilmu silat yg sangat hebat, bukan saja membuat Chin sian
kun berubah wajah saking terkejutnya, dia pun merasa bingung da
tak habis mengerti darimana Kho Beng bisa mengumpulkan kawanan
manusia macam begini sebagai anak buahnya….
Kini tingal Mokim seorang yg berdiri sambil berpeluk tangan disisi
arena, jangan dilihat kawanan busuk dari luar perbatasan ini bengis
dan buas, ternyata mereka cukup memegang janji yg diucapkan, ia
tidak bermaksud mencari kemenangan dg mengandalkan jumlah
banyak.
Tapi situasi dlm arena pun makin lama berubah makin berbahaya
dan gawat, selain Kim losam yg berhasil merebut posisi lebih dulu
sehingga dg andalkan ruyung panjangnya utk bertarung jarak jauh
masih tetap mengendalikan keunggulannya, dua orang yg lain Cuma
bisa bertahan sama tanpa mampu melancarkan serangan balasan.
Terutama sekali Kim loji, berulangkali ia berusaha
memperpanjang jaraknya dg Hapukim, namun usahanya selalu
menemui kegagalan, malah serangkaian serangan golok dari
Hapukim sempat membuatnya kalang kabut dan terjebak dlm posisi
yg berbahaya sekali.
Atas terjadinya peristiwa ini tentu saja mempengaruhi juga
semangat Kim losam dlm pertarungan, kegelisahan yg mencekam
hatinya membuat dia nekad dan kurung musuh tapi niatnya tdk
pernah berhasil.
Masih untung Chin sian kun lebih cepat menyadari posisinya yg
tidak menguntungkan, melihat permainan golok Rumang yg aneh, ia
sadar tak mungkin bisa meraih kemenangan, maka dg
mengandalkan ilmu ringan tubuhnya yg sempurna, ia mulai
bertarung sistem gerilya, ternyata usahanya ini menampakkan hasil,
dari posisi yg terdesak sedikit demi sedikit ia berhasil mengimbangi
lawan.
Pertarungan sengit ini berlangsung hingga malam tiba tanpa
memberikan suatu hasil yg nyata, sebaliknya Chin sian kun makin
bertarung makin gelisah, sekarang ia baru mengerti bahwa
bertarung bukan suatu tindakan yg baik.
Jangan lagi pihaknya memang jauh lebih lemah ketimbang lawan,
demi kepentingan Kho Beng dia pun ragu-ragu didalam melancarkan
serangan sehingga hal ini berbalik malah merugikan pihaknya.

Berbeda sekali dg musuh yg tidak menguatirkan soal apapun,
pertarungan yg dilanjutkan pun paling banter hanya menghasilkan
kalah atau menang. Padahal kenyataan mengatakan bahwa
pihaknya yg pasti menderita kekalahan.
Dlm gelisahnya, tiba-tiba muncul akal cerdik dlm benaknya, dg
suara yg berat teriaknya:
“Ji hiap, sam hiap, bertarung terus macam begini bukan suatu
penyelesaian yg baik, lebih baik kita mengundurkan diri saja!”
Sembari berkata, secara beruntun dia melancarkan tiga buah
serangan dan segera melepaskan lebih dulu dari arena pertarungan.
Dua bersaudara Kim tampaknya mengerti, juga kalau usaha
mereka utk meraih kemenangan tak mungkin berhasil.
Melihat Chin sian kun telah meloloskan diri, mereka pun tak
berani bertarung lebih jauh.
Kim losam yg pertama-tama mendesak mundur Molim sampai
sejauh dua kaki lebih, begitu terlepas dari kepungan, ia segera
melompat kehadapan Hapukim sambil memutar ruyungnya kencangkencang.
Rumang sekalian berempat memang hebat didalam ilmu silat,
tapi sayangnya tak punya dasar yg kuat didalam ilmu meringankan
tubuh, melihat ketiga lawannya lenyap dibalik kegelapan dan tak
mungkin terkejar kembali, saking gusarnya Molim menghentakkan
kakinya berulang kali sambil mengumpat:
“Benar-benar keenakan telur busuk itu!”
Terutama sekali Rumang, kalau tadi masih cengar-cengir macam
kuda maka saat ini dicekam hawa amarah yg membara, teriaknya:
“Mak nya! Sebetulnya kita hendak memanfaatkan kesempatan
beristirahat utk mencari kesenangan, sekarang kita malah kelelahan
krn bertarung, aaai…benar-benar lagi apes!”
“Hmmm..buat apa kau berkaok-kaok tanpa guna” tegur Molim
sambil mendengus, “hari sudah malam, siapa tahu cukong kita
sudah menunggu, ayoh cepat pulang”
Maka mereka berempat pun pulang kekota Tong sia dg uringuringan,
mereka langsung menuju kerumah penginapan Say siang.
Tapi mereka tidak pernah menyangka, kalau dua bersaudara Kim
dan Chin sian kun yg sudah kalah tadi, justru menguntil dibelakang
mereka secara diam-diam.

Rupanya inilah taktik dari Chin sian kun, ia berpendapat kalau toh
keempat jago asing itu menyebut Kho Beng sebagai cukongnya,
otomatis mereka adalah pembantu-pembantu Kho Beng.
Karenanya daripada mencari penyakit buat diri sendiri, lebih baik
menguntil dibelakang secara diam-diam, sebab dg cara demikian
niscaya jejak Kho Beng akan ditemukan.
Maka setelah dia menyuruh dua bersaudara Kim mengikutinya
jauh dibelakang, ia sendiri segera mengeluarkan sebuah topeng kulit
manusia dan dikenakan diwajahnya.
Dlm waktu singkat dia telah berubah menjadi seorang dara cantik
yg lain pula raut mukanya, dg wajah seperti ini maka dia bisa
menguntil dibelakang Rumang sekalian secara terang-terangan.
Tapi dia tak menyangka kalau persoalannya sudah terjadi
perubahan semenjak semula, saat ini apakah Rumang sekalian bisa
menemukan kembali Kho Beng pun masih menjadi sebuah
pertanyaan besar.
Sementara itu Rumang, Hapukim serta dua bersaudara Mo telah
kembali kekota dan langsung menuju kerumah penginapan Say
siang yg telah disiapkan si kasir gemuk dari rumah makan Poan gwat
kie.
Baru saja mereka masuk Chin sian kun telah menyusul
dibelakangnya, sedang dua bersaudara Kim tidak ikut masuk,
mereka hanya melakukan pengawasan secara diam-diam dari
seberang jalan.
Sementara itu Kim losam sedang berbisik kepada Kim loji,
“Ji ko, Kho sauhiap menginap dirumah penginapan tsb....!”
“Chin toa moy sudah masuk kesitu,” sahut Kim loji lirih, “aku rasa
kita pun tak usah terlalu gelisah, ada disitu atau tidak segera kita
akan mendapat kabar!”
Tapi dia mempunyai perasaaan yg sama dg Kim losam, ia
berpendapat bahwa rumah penginapan yg dipakai Kho Beng utk
beristirahat sudah pasti penginapan Say siang tsb.
Siapa tahu belum habis ingatan tsb melintas lewat, tampak
Rumang sekalian berempat sudah melangkah keluar dari rumah
penginapan tsb dg langkah tergesa-gesa, wajah mereka kelihatan
marah bercampur mendongkol agaknya pertarungan yg berlangsung
tadi masi merupakan ganjalan dihati kecil mereka.

Menyusul kemudian Chi sian kun pun ikut menyusul keluar dari
penginapan itu, hal tsb membuat dua bersaudara Kim menjadi
tercengang dan tidak habis mengerti.
Secara diam-diam mereka segera munculkan diri dan
menyongsong kedatangan nona tsb, katanya:
“Adikku, mengapa mereka keluar lagi dari penginapan?”
Dg suara agak bimbang sahut Chin sian kun:
“Menurut penuturan pelayan penginapan, Kho sauhiap memang
telah menyuruh kasir gemuk dari rumah makan Poan gwat kie untuk
memesan kamar belakang, tapi hingga sekarang orangnya belum
nongol juga!”
“Lalu kemana perginya pemuda itu? Apakah mereka ragu?” tanya
Kim losam lebih jauh.
Chin sian kun menggelengkan kepalanya berulang kali,
“Menurut apa yg berhasil kusadap dari pembicaraan mereka,
tampaknya mereka sendiripun kurang begitu tahu kemana
majikannya telah pergi, sekarang mereka sedang melakukan
pemeriksaan dirumah makan Poan gwat kie, lebih baik kita pun
menggunakan cara sama, biar aku yg menguntit mereka, sementara
kalian menanti diluar, bila ada kejadian aku pasti akan mengundang
kalian utk masuk!”
Selesai berkata dg langkah tergesa-gesa ia segera mendahului
keempat orang tsb menuju kerumah makan Poan gwat kie.
Begitulah, tujuh orang yg terbagi dalam tiga kelompok segera
berangkat menelusuri jalan raya.
Menanti Chin sian kun sudah berada dalam rumah makan Poan
gwat kie, Molim sekalian baru tiba disitu dan langsung menegur si
kasir gemuk:
“Hey taoke, kemana perginya orang she Kho itu?”
“Ooh, rupanya kalian berempat” sahut si kasir sambil tertawa,
“bukankah Kho kongcu telah pergi kepenginapan Say siang utk
mencari kalian?”
Molim agak terpengaruh oleh jawaban itu, serunya lagi:
“Tapi menurut pemilik penginapan, ia bilang tak pernah
menjumpai bayangan tubuh majikan kami…!”
“Oya…?” kasir gemuk berseru tertahan dg wajah penuh
keheranan, “kalau begitu aku sendiri pun tdk tahu, sudah hampir
sejam yg lalu Kho kongcu pergi meninggalkan tempat ini.”
Mendadak Rumang berseru sambil tertawa bergelak:

“Ha…ha…ha…hey kasir gemuk, kau takusah mewakili majikan
kami utk berbohong….”
Dlm perkiraannya Kho Beng tak akan lebih sedang berbuat
mesum dg gadis-gadis cantik, sebaliknya kasir gemuk rumah makan
itu manafsirkan lain, tiba-tiba saja hatinya menjadi terkejut, sinar
matanya berkilat, buru-buru dia berkata:
“Toaya, kami adalah pedagang yg bermaksud mencari untung,
apa gunanya membohongi langganan?”
Sambil tertawa terkekeh-kekeh, Rumang menggoyangkan
tangannya sambil berseru:
“Itu mah tergantung persoalan apa yg sedang dihadapi, seperti
musim panas saat ini, akurasa inilah saat terbaik utk main
perempuan, lelaki manakah yg tidak romantis…?Ha…ha….apakah
majikan kami sudah kelengketan gula-gula sehingga enggan
meninggalkannya? Mungkin dia yg menyuruh kau berbohong agar
kami berempat menunggu lagi semalaman?”
Setelah mengetahui apa yg diartikan lawannya, kasir gemuk itu
menjadi geli sendiri, tapi segera ujarnya sambil menggelengkan
kepala,
“Harap tuan jangan salah paham, perempuan yg dijumpai Kho
kongcu tadi adalah sahabat karibnya, oleh sebab itu setelah masuk
kedalam tadi, mereka terlibat dalam pembicaraan yg asyik, tidak
seperti apa yg kalian duga, ia bukan perempuan lacur!”
Bila dipikirkan lebih seksama, maka jawaban yg diberikan
sekarang menjadi bertentangan dg pernyataan siang tadi.
Tapi sayang, keempat orang jago lihay dari luar perbatasan ini
tidak cermat sehingga tidak bisa menemukan kejanggalan tsb.
Hapukim nampak agak tertegun, lalu tanyanya,
“Lantas kemana perginya orang itu?”
“Apakah tuan berempat tidak pernah meninggalkan penginapan
tsb?” tanya kasir gemuk setelah berpikir sebentar.
Molim segera menjawab:
“Tadi kami telah bersua dg tiga orang bajingan dan terlibat dlm
suatu pertarungan yg sengit, baru saja kami pulang kepenginapan.”
“Aaah, tidak aneh kalau begitu” seru kasir tsb dg wajah
bersungguh-sungguh, “Siapa tahu Kho kongcu mendapat kalian
berempat sedang terlibat dlm perkelahian, sehingga dia segera pergi
mencari jejak kalian!”

Alasan tsb memang sesuai dg keadaan dan tidak mencurigakan,
oleh sebab itu Molim sekalian berempat segera manggut-manggut.
Kata Molim kemudian:
“Yaa, perkataan si gendut emang masuk akal, kalau begitu
terpaksa kita mesti menunggu dipenginapan saja!”
Dg berlalunya Molim, otomatis ketiga orang lainnya ikut
meninggalkan rumah makan Poan gwat kie tsb.
Ketika menghantar kepergian keempat orang tsb, sekulum
senyum aneh sekali segera melintas diatas wajahnya, dia mengira
tindakannya dlm menghadapi keempat orang asing itu sudah tepat
dan sempurna sekali.
Tentu saja dia tidak menyangka kalau disisi lain masih ada orang
yg menyelidiki jejak Kho Beng, jawaban yg diberikannya barusan
justru telah mengundang kecurigaan dalam hatinya.
Tak salah lagi, orang itu adalah si Walet terbang berwajah ganda,
Chin sian kun.
Saat ini dia duduk didekat pintu masuk dan berlagak seorang
tamu yg sedang memesan semangkuk mie, sewaktu melihat Molim
sekalian berempat pergi meninggalkan tempat itu, dia pun segera
meninggalkan uang utk beranjak keluar rumah makan tsb.
Baru saja melangkah keluar pintu, dua bersaudara Kim telah
menyongsong kedatangannya dg perasaan gelisah.
Agak kurang sabar Kim loji segera menegur,
“Apa yg telah terjadi? Kenapa keempat ekor anjing asing itu
keluar lagi dari sini? Kalau dilihat dari mimik wajahnya, ia seperti tak
berhasil menemukan Kho sauhiap?”
Chin sian kun manggut-manggut dg perasaan berat, katanya:
“Yaa benar, aku lihat Kho sauhiap sudah ditimpa kemalangan!”
Dua bersaudara Kim menjadi terkejut sekali, serentak mereka
berseru dg lirih:
“Kemalangan apa yg telah dialaminya?”
“Aku sendiripun kurang tahu, bisa jadi ia sudah ditangkap dan
disekap orang, bisa juga ia telah dibunuh atau dicelakai orang,
pokoknya aku melihat gelagat kurang beres!”
Paras muka Kim loji segera berubah hebat, buru-buru serunya:
“Sebenarnya apa yg telah terjadi?
Secara ringkas Chin sian kun menuturkan tanya jawab yg
barusan disadapnya, kemudian ia bertanya:

“Apakah kalian berdua tidak berhasil menemukan titik kelemahan
dibalik jawaban tsb?”
Kim loji termenung berapa saat, lalu sahutnya:
“Bila disimpulkan dari apa yg diketahui, tampaknya Kho sauhiap
telah bersua dg seorang perempuan dan masuk keruang belakang
rumah makan Poan gwat kie, sejak itu jejaknya hilang lenyap tak
berbekas!”
Chin sian kun segera manggut-manggut,
“Yaa, memang begitu, selanjutnya?”
Dg cepat Kim loji menggeleng, katanya lagi:
“Soal yg lain...aku pikir sudah tiada hal-hal yg mencurigakan
lagi...”
Chin sian kun segera tertawa merdu:
“Bagaimanapun juga, jalan pemikiran kalian orang laki-laki
memang kelewat ceroboh, tidak teliti, kalau menurut perasaanku,
kecurigaan yg terbesar justru terletak pada pertanyaan “sahabat
lama” tsb.
“Setiap orang pasti mempunyai sahabat lama, apa yg aneh dg
persoalan tsb?” seru Kim losam keheranan.
Chin sian kun mendengus:
“Menurut apa yg berhasil kudengar dari pembicaraan Bok sian
taysu, tidak sampai setahun berselang, Kho sauhiap masih berstatus
seorang pemotong kayu bakar dan menimba air diperguruan Sam
goan bun, bukan saja ia tidak mengetahui asal usulnya yg
sebenarnya, keluar dari dinding pekarangan barang selangkah pun
belum pernah, nah coba kalian pikirkan darimana datangnya
“sahabat lama” tsb?”
“Jangan-jangan ia sudah terpikat oleh kecantikan wajah
perempuan tsb?” kata Kim loji sambil berkerut kening.
Tiba-tiba saja timbul suatu perasaan yg sangat tidak enak dlm
hati Chin sian kun, perasaan tsb tak terlukiskan olehnya dg katakata.
Tapi segera katanya lagi sambil menggeleng:
“Menurut penilaianku pribadi, Kho sauhiap bukan seorang lelaki
yg suka main perempuan,itulah sebabnya dari dua hal aku
berkesimpulan bahwa Kho sauhiap telah menemui ancaman bahaya.
Pertama, seaktu memberi jawaban tadi, sorot mata si kasir
gemuk itu berkedip tak tenang, wajahnya menampilkan senyuman
palsu, jelas persoalan sekitar lenyapnya Kho sauhiap kemungkinan

berhubungan erat dg halaman belakang rumah makan Poan gwat kie
itu.
Kedua, kalau toh si kasir berbohong dg membuat alasan yg
bermacam-macam, hal ini membuktikan kalau dia memang
berkomplot dg perempuan tsb, ini berarti mereka adalah musuh,
bukan teman kita.”
Dg perasaan terkesiap, Kim loji segera berseru:
“Jadi menurut pendapatmu, rumah makan Poan gwat kie tsb
bukan rumah makan biasa tapi mempunyai persoalan besar yg amat
mencurigakan sekali?”
“Bukan hanya mempunyai masalah besar yg amat mencurigakan,
bisa jadi tempat tsb merupakan tempat kediaman sejumlah tokohtokoh
persilatan yg berilmu tinggi.”
“Kalau begitu, apa salahnya jika kita lakukan penggeledahan dari
belakang sana?” usul Kim lo ji cepat.
Buru-buru Chin sian kun berseru:
“Saat ini kita belum boleh berbuat begitu!”
“Kenapa?” Kim loji keheranan.
“Sebelum kita memahami lebih dulu, tokoh persilatan macam apa
dan berasal dari aliran manakah yg bersembunyi didalam ruang
belakang rumah makan Poan gwat kie tsb, jangan sekali-kali kita
bertindak secara gegabah, sebab bila kita sampai menyerbu kedalam
dan bertemu dg sahabat lama atau mungkin juga orang-orang dari
tujuh partai besar, bagaimana kita nantinya?”
Dua bersaudara Kim segera manggut-manggut, mereka dapat
merasakan betapa sempura semua pertimbangan dan pemikiran
Chin sian kun.
“Lantas apa yg harus kita lakukan sekarang?” tanya Kim loji
kemudian dg perasaan gelisah.
Chin sian kun memperhatikan sekejap sekeliling tempat itu,
kemudian katanya:
“Aku telah berhasil mendapatkan sebuah cara yg menguntungkan
bagi kedua belah pihak, sekarang kita menghubungi dahulu
beberapa orang asing itu utk diajak bekerja sama, jika bertemu dg
orang yg dikenal atau orang dari tujuh partai besar maka biarlah
mereka yg tampilkan diri sementara kita membantu secara diamdiam
dg cara demikian kita bisa menghindari diri dari pelbagai
kesulitan yg mungkin terjadi.”

“Baru saja kita langsungkan pertarungan sengit, masa sekarang
hendak menemui mereka lagi? Seandainya orang-orang asing itu tak
mau percaya, bukankah kita bakal terlibat lagi dlm suatu
pertarungan yg seru?”
Chin sian kun menghela napas panjang,
“Demi keselamatan Kho sauhiap, demi merebut kepercayaan Bu
wi cianpwee terhadap kita, aku rasa kita tak mungkin
mempersoalkan masalah macam begitu lagi tapi asal kita bisa
menahan diri, aku rasa tak mungkin pertarungan segera bebrkobar
begitu kita saling bertemu nanti.”
“Yaa, terpaksa kita harus berbuat begitu.” Ucap Kim loji
kemudian sambil menghela napas, “sekalipun apa yg terjadi, kita
memang harus bisa mengendalikan emosi dan sabar. Mari kita
berangkat sekarang juga, jangan membiarkan waktu berlarut
sehingga terjadi hal-hal yg tak diinginkan, apalagi kalau sampai
menimbulkan kesalah pahaman Bu wi cianpwee terhadap kita.”
Maka mereka bertiga pun segera berjalan menuju kerumah
penginapan Say siang.
Setelah memasuki penginapan, mereka bertiga pun tidak
menyapa pelayan, dipimpin sendiri oleh Chin sian kun, mereka
langsung menuju kehalaman belakang dimana mereka berpapasan
langsung dg Rumang sekalian berempat.
Waktu itu Rumang sekalian berempat bermaksud akan jalan-jalan
dikota krn waktu masih pagi dan Kho Beng belum juga kembali.
Begitu berpapasan, air muka mereka segera berubah hebat.
Sambil menyeringai seram, Rumang segera berseru:
“Bagus sekali, rupanya kita bersua kembali disini, apakah kalian
belum puas dg pertarungan tadi?”
Chin sian kun tertawa terbahak-bahak, sambil melepaskan topeng
kulit manusia dari wajahnya, ia berkata:
“Harap kalian jangan menaruh curiga, sesungguhnya kedatangan
kami kali ini adalah ingin mengabarkan keadaan Kho sauhiap yg
sebenarnya.”
Orang-orang asing dari luar perbatasan ini tentu saja tak akan
mengerti ilmu menyaru muka, sewaktu Rumang sekalian melihat
paras muka Chin sian kun bisa berubah-ubah mereka menjadi
terkejut sekali, teriaknya kemudian dg suara seram:
“Siluman! Ada siluman!”

Tanpa banyak berbicara serentak mereka meloloskan senjata dan
bersiap siaga menghadapi segala kemungkinan yg tak diinginkan.
Cepat-cepat Chin sian kun memperlihatkan topeng kulit
manusianya sembari memberi penjelasan:
“Aku bukan siluman, dg bantuan inilah kurubah wajah asliku yg
sebenarnya, kalian berempat tak usah gugup atau panik.”
Setelah diberi penjelasan, keempat orang itu baru bisa menjadi
tenang kembali.
Molim segera berkata dg suara berat:
“Kalau toh kalian sudah mengetahui kabar tentang cukong kami,
ada urusan apa kalian datang mencari kami?”
Dg wajah serius Chin sian kun berkata:
“Apakah kalian berempat belum tahu kalau Kho sauhiap telah
ketimpa mara bahaya?”
Molim agak etrtegun, lalu tanyanya kurang percaya:
“Bahaya apa?”
“Tadi aku telah menguntit dibelakang kalian berempat sewaktu
berada dirumah makan, akupun menjumpai bahwa kasir tsb sedang
membohongi kalian, apa yg dikatakannya kpd kalian Cuma bohong
semua.”
“Darimana kau bisa tahu?” sela Hapukim dg perasaan tidak habis
mengerti.
“Menurut apa yg kuketahui, majikan kalian sama sekali tak punya
teman lama, apalagi teman lama seorang perempuan.”
Mendengar perkataan tsb, Rumang segera tertawa terbahakbahak,
serunya:
“Ha…ha…ha….kau si perempuan dungu tahu apa, cukong kami
orangnya romantis, kau tahu perempuan yg ditemuinya tadi sama
cantiknya seperti kau, mana mungkin dia tidak terpikat oleh
keayuannya?”
Sambil berusaha menahan amarah dan gejolak emosinya, Chin
sian kun berkata lagi:
“Omong kosong! Kho sauhiap tidak suka main perempuan, dia
bukan manusia seperti apa yg kau lukiskan barusan, apalagi
bukankah si kasir telah mengatakan kalau Kho sauhiap telah
meninggalkan tempat itu? Seandainya ia tak ketimpa bahaya,
mengapa pula hingga sekarang belum kembali utk berkumpul dg
kalian?”

Perkataan tsb memang cukup beralasan dan bisa diterima dg akal
sehat, tanpa terasa Molim mulai tercenung sambil menelaah
persoalan mana.
Kembali Chin sian kun bertanya:
“Apakah kalian berempat pun tahu perempuan apakah yg ditemui
Kho sauhiap tadi?”
“Tentu saja kami tahu!” seru Rumang, “perempuan itu membawa
sebuah payung kecil berwarna putih….aaah benar dia pun memakai
baju putih dan menyisipkan sekuntum bunga putih diatas
sanggulnya.”
Begitu mendengar ciri-ciri perempuan tsb, dua bersaudara Kim
segera menjerit tertahan.
“Aaaah rupanya orang itu adalah perempuan berbaju yg telah
salah tegur tadi!”
Paras muka Chin sian kun pun berubah sangat hebat, katanya
sambil menghela napas.
“Aaaai....tampaknya apa yg telah terjadi memang tdk meleset
dari dugaanku, rumah makan Poan gwat kie benar-benar
mencurigakan sekali tapi aku memang lagi berpikir masa dikolong
langit benar-benar ada kejadian yg begitu kebetulan, tapi setelah
ditinjau kembali sekarang, dpt disimpulkan bahwa kesemuanya ini
memang merupakan suatu siasat busuk yg sengaja telah
dipersiapkan, hanya satu masalah yg belum terjawab adalah tokoh
persilatan manakah yg menyelenggarakan rumah makan Poan gwat
kie itu?”
Sesudah berhenti sejenak, segera katanya lagi kepada Molim,
“Mo lotoa, sekarang kita tak boleh menunda waktu lagi, sebab
bila sampai terlambat besar kemungkinan jiwa Kho sauhiap akan
terancam oleh bahaya maut.”
Sementara itu Molim sudah mulai mempercayai perkataan Chin
sian kun, tapi rasa curiga belum juga lenyap sama sekali, katanya
kemudian:
“Kalau toh kau dapat menduga semua persoalan sejelas itu,
mengapa kau masih datang juga membuat gara-gara dg kami?”
Tentu saja Chin sian kun tak bisa membeberkan semua duduk
prsoalan dg begitu saja, ia tahu bahwa masalah budi dan dendam
tak mungkin bisa dijelaskan dg sepatah dua patah kata saja.
Dalam keadaan terpaksa, akhirnya dia sengaja berbohong,
katanya dg gelisah:

“Mo lotoa memang terlalu banyak curiga, seandainya aku tdk
menemukan kalau dibelakang rumah makan tsb berdiam banyak
sekali jago-jago lihay dan mungkin kami bertiga tak bisa
menghadapinya sendiri, kenapa kami tak datang mencari kalian?”
Ketika mendengar perkataan itu, Rumang segera berteriak keras:
“Semenjak melangkah masuk kedaratan Tionggoan, belum
pernah kami jumpai jago-jago yg hebat disini, ayoh berangkat, kita
bekuk dulu di tauke gemuk seperti babi itu dan tanyakan
persoalannya sampai jelas, bila ia terbukti sedang membohongi kita,
biar ku obrak abrik rumah makannya dulu kemudian baru menyerbu
kedalam.”
Molim segera manggut-manggut pertanda setuju.
Keempat orang ini sama sekali tidak mengkuatirkan keselamatan
jiwa Kho Beng, mereka Cuma kuatir kehilangan kesempatan
memperoleh kitab pusaka Thian goan bu boh sehingga impian baik
menjadi sia-sia.
Melihat sikap orang-orang tsb, dg cepat Chin sian kun
menggoyangkan tangannya sambil mencegah,
“Eeeh.....tunggu sebentar, kalian tidak boleh bertindak dlm
keadaan begini!”
“Mengapa tidak boleh?” tanya Rumang sambil melotot.
Chin sian kun tahu bahwa orang-orang tsb berpikiran amat
sederhana, maka segera jelasnya,
“Sekarang malam belum kelam, suasana dijalanan masih ramai,
sedangkan rumah makan Poan gwat kie pun terletak disisi jalan
besar, bila kalian menyerbu dlm keadaan begini secara kekerasan,
bukan saja tindakan mana akan menarik perhatian pembesar kota,
juga mengacau ketentraman sekitar lingkungannya, berbicara buat
kepentingan kita, hal ini lebih banyak ruginya ketimbang untungnya.
Toh persoalan belum sampai berkembang kelewat gawat
sehingga persoalan ini pun tak usah diselesaikan secara tergesagesa,
mari kita tunggu sampai suasana sudah tenang, biar aku
masuk dulu melakukan penyelidikan, setelah itu baru memanggil
kalian berempat, pokoknya kita mesti melakukan sergapan
mendadak, agar mereka menjadi gelagapan setengah mati.”
Maka mereka bertujuh pun utk sementara waktu menanggalkan
sikap permusuhan utk bersama-sama merundingkan aksi berikut.
Kim loji juga segera diutus pulang kepenginapan Hiong hien utk
melaporkan kejadian yg sebenarnya kpd Bu wi lojin, sementara ia

sendiri berangkat kepenginapan Say siang, dimana semuanya sudah
menunggu saat utk bertindak.
Benarkah nasib Kho Beng sedang terancam bahaya maut?
Ya benar, segala sesuatunya memang tdk meleset dari perkiraan
Chin sian kun, saat ini posisinya berbahaya sekali krn harus memilih
antara hidup dan mati.
oooOooo
Dibelakang rumah makan Poan gwat kie terdapat sebuah
bangunan loteng yg berdiri sendiri.
Bangunan tsb tidak jauh berbeda seperti bentuk bangunan rakyat
sekitarnya, antara rumah makan pun hanya selisih sebuah lorong
serta dua lapis dinding pekarangan, sekilas pandang kedua
bangunan tsb tidak ada hubungannya, tapi yg benar ada lorong
rahasia yg menghubungkan kedua tempat tsb.
Waktu itu disebuah ruang rahasia yg tak berjendela diatas loteng
tsb, Kho Beng masih tergeletak diatas pembaringan dlm keadaan tak
sadar.
Disamping pembaringan berdiri dua orang dayang yg berdandan
medok, sementara perempuan berbaju putih yg mengaku sebagai
Ciu hoa duduk disamping pembaringan, sedang dimuka pintu berdiri
pula dua orang lelaki berbaju hitam.
Dihadapan perempuan berbaju putih itu dekat dinding ruangan
terletak sebuah kursi berwarna hitam, saat itu perempuan tadi
sedang memberi perintah dg wajah dingin.
Seret dan dudukkan dia diatas kursi itu, lalu sadarkan dg
semburan air, aku hendak memaksanya utk memberikan
pengakuan.”
Walaupun suara pembicaraan amat merdu bagaikan suara
burung nuri yg berkicau tapi sayang nada suaranya justru dingin
menggidikkan hati.
Dua orang dayang genit tadi segera enyahut dan membangunkan
Kho Beng dari pembaringan, setelah didudukkan dikursi, tiba-tiba
mereka menekan sebuah tombol sehingga muncullah tiga buah
gelang penjepit yg masing-masing menjepit leher Kho Beng serta
sepasang pergelangan tangannya. Dg jepitan itu otomatis Kho Beng
tak mampu bergerak lagi.
Menyusul kemudian seorang dayang muncul dg sebaskom air dan
diguyurkan keatas kepala pemuda tsb.

Tak ampun sekujur badan Kho Beng menjadi basah kuyup.
Dg guyuran air dingin itu, Kho Beng pun segera tersadar kembali
dari pingsannya.
Ketika mengetahui keadaan yg dialaminya, sambil menatap
perempuan berbaju putih itu tajam-tajam, bentaknya keras-keras:
“Siapakah kau?”
Perempuan berbaju putih itu tersenyum , ujarnya:
“Kho kongcu, sekarang kau hanya punya hak utk menjawab,
tidak memiliki kesempatan utk bertanya lagi!”
Kho Beng mendengus dingin, diam-diam ia mencoba mengatur
napas, tapi dg cepat diketahui bahwa hawa murninya tak bisa
terhimpun kembali, hal ini membuat hatinya amat terperanjat.
Sementara itu, perempuan berbaju putih tadi telah berkata lagi
sambil tertawa:
“Walaupun kau sudah sadarkan diri, namun daya kerja obat tsb
belum hilang sama sekali, kuanjurkan kepadamu tak usahlah
membuang tenaga dg percuma, lebih baik jawab saja semua
pertanyaanku.”
Dg sedih Kho Beng menghela napas, dia menyesal sekali atas
keteledoran dirinya, tapi keadaan sudah berubah, disesalipun tak
ada gunanya, dlm keadaan demikian dia hanya berharap agar
Rumang sekalian berempat mengetahui tentang hilangnya dia dan
melakukan penggeledahan hingga kesitu.
Saat ini, diapun menaruh curiga atas asal usul lawannya,
mengapa ia bersikap demikian tehadap dirinya? Siapakah mereka
sebenarnya?
Dorongan rasa ingin tahu justru membuat sang pemuda bersikap
lebih tenang lagi, katanya kemudian dg suara hambar:
“Baik, bila ingin bertanya, silahkan bertanya!”
Perempuan berbaju putih itu manggut-manggut, katanya:
“Aku berharap kau bisa tahu diri dan memberikan jawaban
sebaik-baiknya, asal kau bersedia bekerja sama, kujamin nyawamu
tak akan kami ganggu barang seujung rambut pun, tapi bila menolak
aku sangat mengkuatirkan kehidupanmu selanjutnya.”
“Aku cukup memahami keadaanku sekarang!” sahut Kho Beng
dingin.
“Bagus sekali” perempuan berbaju putih itu kegirangan,
“sekarang jawablah pertanyaan yg pertama, dimanakah gurumu Bu
wi saat ini?”

“Aku sendiripun tidak tahu…” sahut Kho Beng rada melengak.
Perempuan berbaju putih itu segera tersenyum, kembali ujarnya:
“Pertanyaan ini boleh saja tidak kau jawab, asal kau bersedia
mengutarakan kabar berita tentang kitab pusaka Thian goan bu boh,
itupun sama saja buat kami.”
Seketika itu juga Kho Beng merasakan hatinya bergetar keras,
serunya tanpa sadar:
“Apa kau bilang?”
“Aku ingin mengetahui tentang jejak kitab pusaka Thian goan bu
boh itu…..?”
“Darimana aku bisa tahu tentang jejak kitab pusaka Thian goan
bu boh tsb?” seru Kho Beng tercengang.
Tiba-tiba perempuan berbaju putih itu menarik wajahnya sambil
berkata:
“Hmmm…sandiwara mu memang kau perankan secara bagus
sekali, tapi aku berharap kau lebih menghargai jiwamu dan jangan
bersandiwara terus…..”
Secara seksama Kho Beng membayangkan kembali semua
pertanyaan yg diajukan lawan, lalu dikaitkan satu dg lainnya,
mendadak satu ingatan melintas dlm benaknya, tanpa terasa dia
berseru:
“Apakah kau adalah dewi In nu?”
Perempuan berbaju putih itu nampak tertegun, tapi segera
sahutnya sambil tertawa,
“Siancu adalah orang yg anggun, dia tak akan menampakkan diri
semaunya sendiri, aku tak lebih hanya salah seorang anak buahnya,
Ciu hoa Leng cu!”
Sekarang Kho Beng baru mengerti apa sebabnya pihak lawan
menanyakan tentang Bu wi lojin, lalu bertanya pula tentang kitab
pusaka Thian goan bu boh, tampaknya secara kebetulan Bu wi lojin
berada pula di kota Tong sia dan berhasil mendapatkan kembali
kitab pusaka tsb.
Itulah sebabnya kehadiran yg tak disengaja ditempat tsb, segera
disalah artikan kalau dia memang berjalan bersama Bu wi lojin…..
Sementara dia masih merenungkan persoalan tsb, Ciu hoa
Lengcu telah ebrkata kembali,
“Kalau toh kau sudah memahami identitas yg sebenarnya, aku
rasa kau tak bisa mengatakan tak tahu lagi bukan? Gurumu telah
menyusup kedalam istana Siancu dan mencuri kitab pusaka tsb, tapi

akibatnya ia sendiripun menderita luka parah, aku telah membawa
orang melakukan pengejaran sampai disini, aku yakin tentang
persoalan inipun sudah kau ketahui pula, Nah…sekarang ingin
kulihat apakah kau bersedia mengaku atau tidak?”
Sekarang Kho Beng sudah mengetahui semua duduk persoalan
yg sebenarnya, rasa kaget dan girang segera menyelimuti
perasaannya.
Ia terkejut krn Bu wi lojin telah menderita luka parah dan tidak
diketahui apakah jiwanya terancam atau tidak.
Tapi diapun gembira krn kitab pusaka tsb telah berhasil direbut
kembali, lagi pula asal dapat menjumpai Bu wi lojin, berarti dia akan
segera mengetahui kabar berita tentang dewi In nu tsb.
Soal ini jelas akan bermanfaat sekali bagi usahanya utk
membalas dendam, sebab dia tak usah melakukan pencarian lagi
secara membabi buta.
Berpikir sampai disitu, tanpa terasa lagi dia berkata sambil
tertawa dingin:
“Aku sedikit tidak mengerti dg perkataanmu barusan!”
“Dalam hal apa kau tidak mengerti?” tanya Ciu hoa Leng cu agak
tertegun.
Menurut apa yg kuketahui, kitab pusaka Thian goan bu boh
adalah benda milik Bu wi cianpwee, jadi sudah sepantasnya bila dia
mengambilnya kembali, darimana kau mengatakan bahwa dialah yg
telah mencuri? Atas dasar apa pula lau menyuruh aku memberikan
pengakuan?”
Paras muka Ciau hoa Lengcu segera berubah sedingin es,
katanya dg suara sinis:
“Tiada benda mestika yg mempunyai pemilik tetap, siapa yg
mendapatkan dialah pemiliknya yg sah.....sekarang, akupun tak
berhasrat utk ribut terus dg mu, aku hanya ingin tahu, sebenarnya
kau bersedia menjawab tidak?”
Kho Beng tertawa terbahak-bahak....
“Ha…ha…ha…aku baru saja masuk kekota Tong sia, duduk saja
belum hangat, darimana aku bisa mengetahui tempat tinggal Bu wi
cianpwee? Apa pula yg harus kuberikan kepadamu?”
Sebenarnya apa yg dia katakan memang merupakan suatu
kenyataan, namun bagi pendengaran Ciu hoa Lengcu, hal tsb
dinilainya sebagai alasan Kho Beng utk menampik memberi jawaban.
Dg gemas perempuan itu segera mendengus dingin, katanya:

“Hmmm..jangan kau anggap banyak kejadian yg berlangsung
begitu kebetulan didunia ini, tampaknya sebelum kugunakan sedikit
tindakan yg tegas kau tak akan memberi pengakuan yg
sebenarnya….”
Berbicara sampai disitu, ia segera berpaling dan perintahnya
kepada kedua orang dayangnya itu:
“Laksanakan siksaan, cabut dulu otot-otot kakinya!”
Ciu hoa Lengcu betul-betul seorang yg tak berperasaan, ternyata
ia bisa merubah sikapnya secara wajar, seakan-akan ada dua orang
yg berbeda saja.
Dua orang dayang itu segera mengiakan, serentak mereka
mencabut keluar sebilah pisau belati dari sakunya, kemudian
bersiap-siap akan merobek celana Kho Beng.
Tak terlukiskan rasa terkejut Kho Beng menghadapi kejadian ini,
buru-buru ia membentak keras:
“Tunggu sebentar!”
Teringat dendam sakit hatinya yg belum terbalas, ia merasa tak
rela utk mati dg begitu saja, apalagi ia dpt merasakann kalau
lawannya sangat percaya dg perkataannya. Ia bertekad hendak
membohongi orang-orang tsb sambil berusaha mengulur waktu.
Tampak Ciu hoa Lengcu mencibirkan bibirnya sambil tertawa
dingin lalu katanya:
“Kho Beng, saat ini belum terlambat bila kau bersedia mengakui
tempat persembunyian gurumu.”
Kho Beng berlagak termenung sebentar, lalu katanya dg wajah
bersungguh-sunguh,
“Bila kuberikan pengakuan, apakah kau benar-benar akan
membebaskan diriku?”
“Tentu saja, setiap perkataan yg kuucapkan tak pernah diingkari
kembali!”
Kho Beng segera manggut-manggut, dia mencoba mengawasi
sekejap sekeliling tempat itu, ketika tidak melihat ada jendela disana
sehingga tak diketahui jam berapa sekarang, maka tanyanya
kemudian:
“Jam berapa sekarang?”
“Buat apa kau bertanya soal waktu?” tegur Ciu hoa Lengcu sambil
berkerut kening, agaknya kau berharap keempat orang liar itu bisa
datang menolongmu?”

Tak terlukiskan rasa terkesiap Kho Beng sewaktu rahasia hatinya
terungkap, segera tegurnya.
“Kau telah apakan keempat orang anak buahku itu?”
Ciu hoa Lengcu segera tertawa dingin, katanya:
“Kenapa aku mesti bersusah payah mengerjai keempat anjing liar
tsb?”
Sekarang besar kemungkinan mereka sedang bertarung matimatian
melawan Kim kong sam pian sekalian, aku rasa mereka tiada
kesempatan lagi utk mengurusi keselamatan dirimu.”
Sekali lagi Kho Beng merasa terkejut sekali tanpa terasa dia
menghela napas sedih:
Dia tidak mengerti apa sebabnya Rumang sekalian bisa terlibat
dlm pertarungan melawan Kim kong sam pian sekalian, tentu saja
dia pun mengerti bahwa kepandaian silat yg dimiliki Rumang
sekalian berempat sama sekali tdk berada dibawah kemampuan Kim
kong sam pian, andaikata tiga bersaudara Kim mendapat tugas utk
mencari jejaknya, sudah pasti dibelakang mereka masih ada bala
bantuan yg lebih besar lagi, ini berarti keselamatan jiwa keempat
anak buahnya terancam bahaya maut.
Sementara dia masih termenung, terdengar Ciu hoa Lengcu
membentak lagi dg suara dalam:
“Sebenarnya kau bersedia utk bicara atau tidak?”
Dlm keadaan seperti ini, Kho Beng hanya bisa berusaha utk
mengulur waktu maka sahutnya dingin:
“Jika kau enggan memberitahukan waktu kepadaku, bagaimana
mungkin aku bisa memberitahukan kepadamu?”
“Baiklah, kuberitahukan kepadamu pun apa salahnya, sekarang
menjelang kentongan pertama!”
Bu wi cianpwee pernah memberitahukan kepadaku tentang tiga
tempat yg bisa kudatangi, kalau sekarang memang sudah menjelang
kentongan pertama berarti dia orang tua sudah berangkat sepuluh li
diluar kota dan menantikan kedatanganku disebuah kuil dewa tanah.
Ciu hoa Lengcu segera berpaling sambil menurunkan perintah,
“Sampaikan kepada komandan pasukan baju hitam, bawa
segenap anak buah dan lakukan pencarian yg seksama disetiap kuil
yg ada pada radius sepuluh li diluar kota, tapi hati-hati kepandaian
silat dari setan tua itu belum lenyap kemampuannya masih perlu
diperhitungkan, katakan kepada mereka agar bertindak hati-hati bila

perlu lakukan pengepungan yg ketat, awas kalau sampai kebobolan
lagi, hati-hati dg batok kepala mereka..!”
Salah seorang diantara lelaki berbaju hitam yg berdiri didepan
pintu segera mengiakan dan beranjak pergi dari situ.
Jilid 17
Sepeninggal orang itu, Ciu hoa Lengcu berkata lagi kepada Kho
Beng sambil tersenyum,
“Asal alamat yg kau berikan itu benar, aku segera akan
membebaskan dirimu dlm keadaan hidup!”
Melihat kesemuanya itu, diam-diam Kho Beng berpikir:
“Untuk menempuh jarak sepuluh li pulang balik, paling tdk
mereka membutuhkan waktu setengah jam lebih, bila Rumang
sekalian berempat dpt melepaskan diri dari kurungan tiga
bersaudara Kim, seharusnya mereka telah sampai pula disini!”
Belum habis ingatan tsb melintas lewat, tampak lelaki yg
menyampaikan perintah tadi sudah muncul kembali dan berdiri
didepan pintu seraya berkata:
“Lapor Lengcu, komandan pasukan baju hitam menyatakan
kecurigaannya...”
Dg kening berkerut Ciu hoa Lengcu berkata:
“Apa yg dia curigakan?”
“Menurut laporan komandan Sin, sepuluh li disekitar kota Tong
sia sama sekali tidak terdapat kuil dewa tanah!”
Mendengar laporan tsb, seketika itu juga Kho Beng merasa
terkejut sekali.
Ia sama sekali tdk menyangka kalau bohongan yg pertama
segera dibongkar lawan, tapi tidak mau ia menyerah dg begitu saja,
sambil tertawa dingin segera katanya:
“Kalau begitu sungguh mengherankan, orangnya saja belum
keluar pintu rumah, darimana dia bisa tahu kalau sepuluh li
disekeliling kota tidak terdapat sebuah kuil dewa tanah?”
Tapi dg wajah sinis Ciu hoa Lengcu telah berkata sambil tertawa
dingin:
“Tak ada salahnya kuberitahukan kepadamu, Komandan Sin
adalah penduduk asli kota ini, boleh dibilang ia sudah menguasai
penuh keadaan diluar maupun didalam kota Tong sia,
hmmmm.....bila kau ingin hidup terus, lebih baik jangan bermain gila
dg kami.”

Berada dlm keadaan seperti ini, mau tak mau Kho Beng harus
berperan lebih jauh, dg kening berkerut katanya:
“Tapi Bu wi cianpwee dg jelas mengatakan kepadaku, bila ingin
bertemu dgnya sekitar kentongan pertama, aku diharuskan pergi
kekuil diluar kota, mana mungkin keterangan ini bisa keliru?”
Melihat kesungguhan hati Kho Beng sewaktu berbicara, Ciu hoa
Lengcu segera memutar biji matanya sambil termenung, agaknya dia
belum bisa mengambil keputusan.
Tapi setelah berpikir beberapa waktu, segera perintahnya kpd
lelaki berbaju hitam itu,
“Coba tanyakan sekali lagi kepada Komandan Sin, benarkah
disekitar kota Tong sia tidak terdapat bangunan kuil lainnya?”
Lelaki berbaju hitam itu segera mengiakan dan buru-buru
beranjak pergi dari situ.
Tidak sampai setengah peminuman teh kemudian ia sudah
muncul kembali dg langkah terburu-buru, katanya kemudian:
“Komandan Sin telah membawa pasukan meninggalkan tempat!”
Ciu hoa Lengcu jadi tertegun, segera tegurnya, “Bukankah dia
mengatakan kalau disekitar kota tak ada kuil dewa tanah..?”
“Benar komandan Sin berkata sepuluh li disekeliling kota tak ada
kuil dewa tanah, namun ditimur kota terdapat sebuah rumah abu
dari keluarga Liok yg sudah terbengkalai, bisa jadi orang she Kho ini
sudah mengartikan rumah abu sebagai kuil dewa tanah, karena itu
utk berlomba dg waktu komandan telah berangkat lebih dulu!”
Ciu hoa Lengcu segera manggut-manggut, katanya memuji:
“Cara bekerjanya memang cekatan dan tegas, bagus sekali kau
boleh berjaga dimuka pintu.”
Selesai berkata, ia berpaling lagi kearah Kho Beng sambil ujarnya
lebih jauh.
“Nah, sudah kau dengar?”
Memanfaatkan kesempatan tsb, Kho Beng segera berseru:
“Yaa memang benar, tempat pertemuan yg dimaksudkan Bu wi
cianpwee memang sebuah rumah abu bukan kuil dewa tanah seperti
yg kumaksudkan tadi, tak kusangka siasatku dg menunjuk
menjangan sebagai kuda segera terbongkar oleh kecerdikan kalian,
padahal maksudku bisa mengulur sedikit waktu...yaaa tampaknya
memang susah utk membohongi orang pintar macam kalian!”
Ciu hoa Lengcu tertawa dingin.

“Sampai saat ini aku masih mempercayai dirimu, paling banter
setengah jam kemudian aku akan segera tahu apakah laporan itu
benar atau tidak, jika kau membohongi aku, he...he....sampai
waktunya aku akan menyuruh kau rasakan kelihaianku!”
Selesai berkata ia segera bangkit dari tempat duduknya dan
dibawah iringan kedua dayangnya, ia beranjak meninggalkan
ruangan rahasia tsb.
Dua orang lelaki berbaju hitam yg berada didepan pintu itu
segera menutup kembali pintu ruangan rapat-rapat, lalu terdengar
pintu itu dikunci dari luar, ternyata Kho Beng telah disekap seorang
diri dlm ruangan tsb.
Setelah berada seorang diri, Kho Beng segera berusaha utk
menghimpun kembali tenaga dalamnya, tiba-tiba ia merasa aliran
hawa murninya berjalan lancar, kekuatan tubuhnya sama sekali tdk
menderita suatu apapun.
Hanya saja meski daya kerja obat telah hilang, tapi kedua jepitan
baja dikursi itu justru mengekang pergelangan tangannya secara
telak, sehingga walaupun ia memiliki tenaga dalam yg sempurna pun
tidak banyak kegunaannya.
Lambat laun Kho Beng mulai putus asa, setengah jam bukan
suatu jangka waktu yg terlalu lama, bila ia tak mampu
memanfaatkan kesempatan yg sedikit ini utk melepaskan diri dari
belenggu kursi besi tsb, jelas sudah kematian akan menjelang tiba.
Dlm waktu singkat, ia terbayang kembali dg cici nya yg berusaha
membalas dendam....teringat Bu wi lojin yg menderita luka parah
lalu si unta sakti berpunggung baja yg banyak melepaskan budi
kepadanya...Rumang, Hapukim sekalian....
Disaat pikirannya kalut dan dicekam rasa sedih inilah, si Walet
terbang berwajah ganda Chin sian kun, Kim kong sam pian serta
Rumang sekalian berempat telah sampai dimuka rumah makan Poan
gwat kie.
Waktu sudah menunjukkan tepat kentongan pertama, yg aneh
adalah utusan yg dikirim Ciu hoa Lengcu ternyata belum juga
kembali, sedangkan waktu itu Chin sian kun telah memasuki rumah
makan Poan gwat kie utk melakukan pelacakan terhadap jejak Kho
Beng.
Seusai berunding, maka Chin sian kun segera memberi tanda
kepada Rumang sekalian berempat agar mengikutinya melompat

naik keatap rumah disamping rumah makan Poan gwat kie dan
langsung menyusup kebangunan belakang....
Menungu sampai bayangan tubuh Chin sian kun sudah lenyap
dari pandangan, Kim loji serta Kim losam baru saling berpandangan
sekejap lalu menggedor pintu rumah makan Poan gwat kie keraskeras.
Waktu itu sebagian besar penduduk disekitar sana sudah terlelap
tidur, tapi suara gedoran pintu yg keras itu hampir saja
menggetarkan seluruh jalanan.
Ditengah suara gedoran keras ,pintu gerbang rumah makan Poan
gwat kie yg sudah tertutup itu segera memancarkan sinar lentera,
lalu kedengaran seseorang mengumpat:
“Kurangajar! Siapa yg sudah bosan hidup? Malam-malam begini
menggedor pintu?”
“Mak nya!” umpat Kim losam pula, “Kenapa tiada suara jawaban?
Memangnya semua penghuni rumah ini sudah pada mampus?”
Suara gedorannya makin lama semakin bertambah keras, nyaris
pintu itu didobrak dg kekerasan.
Tak lama kemudian pintu dibuka orang, Kim loji dan Kim losam
segera berlagak marah-marah dan langsung menyerbu masuk
kedalam ruangan....
Dg wajah kaget bercampur gusar tampak dua orang pelayan
menegur dg keras:
“Mau apa kalian?”
“Cepat panggil keluar pemilik rumah makan ini, aku hendak
berbicara dg nya!” seru Kim loji sambil menarik muka.
Salah seorang diantara pelayan itu segera mendengus dingin,
katanya:
“Hey sobat, coba lihat dulu, sekarang ini pukul berapa..?”
“Pukul berapa pun buat kami sama saja!” tukas Kim losam kasar,
“Kalau kalian tidak segera melaporkan kedatangan kami, jangan
salahkan bila ku obrak abrik rumah makan ini lebih dulu!”
Belum selesai perkataan itu diutarakan, tiba-tiba dari balik pintu
belakang ruangan sudah terdengar seseorang menjengek sambil
tertawa dingin,
“Hmm....besar amat bacotmu, sobat dari manakah yg sudah
tertarik dg rumah makan Poan gwat kie ku ini?”

Sambil berkata tampak seorang lelaki pendek bertubuh gemuk
telah munculkan diri dari dalam ruangan, dia tak lain adalah Ong
ciangkwee.
Namun setelah melihat jelas wajah dua bersaudara Kim, ia
kelihatan agak tertegun, lalu serunya :
“Ada urusan apakah ditengah malam buta begini kalian berdua
mencari aku orang she Ong?”
Nada suaranya jauh lebih lembut dan lunak.
“Boleh aku tahu siapa nama Ong ciangkwee?” seru Kim loji
dingin.
Seperti juga sikapnya disiang hari tadi, senyuman pura-pura
segera menghiasi wajah Ong ciangkwee, ujarnya sambil tertawa:
“Tuan berdua kelewat serius, masa aku seorang saudagar pun
punya nama besar? Aku bernama Ong kui sudah lama membuka
usaha rumah makan disini, bolehkah aku tahu dalam hal mana aku
telah menyalahi tuan berdua?”
Kim loji mendengus dingin:
“Hey tauke Ong, dalam mata yg sehat tak akan kemasukan pasir,
janganlah menggunakan kata-kata yg kosong, terus terang saja,
kedatangan kami kesini adalah utk mencari seseorang!”
“Mencari seseorang? Siapa yg kalian cari?” tanya Ong kui purapura
tertegun.
“Siapa lagi? Tentu saja Kho Beng!”
“Kho Beng?” kembali Ong kui berlagak tercengang, “rasanya
belum pernah kudengar nama tsb….”
Kim loji menjadi sangat marah, tegurnya:
“Hey orang she Ong! Pentang matamu lebar-lebar, ketahuilah
bahwa Kho Beng adalah buronan yg sedang dicari-cari segenap
umat persilatan, bila kau berani menyembunyikan dirinya,
hmmm….sudah bosan hidup nampaknya….?”
Sementara itu Kim losam juga turut menimbrung, katanya:
“Tauke Ong, kuanjurkan kepadamu agar bertindak lebih terbuka,
terus terang saja kukatakan, tanpa sumber berita yg bisa dipercaya,
kami tak bakal menggedor pintu rumahmu ditengah malam buta!”
Ong kui kelihatan panik, tapi mati-matian ia enggan mengaku,
tangkisnya:
“Tuan berdua, belum pernah ada kejadian macam begitu
ditempat kami, aku Ong kui sudah tiga generasi membuka usaha
ditempat ini, sungguh mati aku tidak kenal dg orang she Kho itu....”

Jawaban semacam ini pada dasarnya telah berada dalam dugaan
dua bersaudara Kim, maka sambil menarik muka Kim loji berkata:
“Hey tauke Ong! Bolehkah aku menggeledah tempatmu?”
Menurut perkiraannya, pihak lawan tak akan mengabulkan
permintaan itu, maka asal orang itu menyatakan keberatan, Kim lo ji
sudah bersiap sedia merusak perabot yg berada disana dan
memancing terjadinya keributan sehingga memancing perhatian
orang-orangnya kesitu.
Dg cara demikian, Chin sian kun tentu akan mempunyai cukup
waktu utk melakukan penggeledahan secara seksama.
Siapa tahu pemilik rumah makan tsb tidak menunjukkan
keberatannya, malah sambil manggut-manggut katanya:
“Boleh, boleh saja, kalau toh kalian berdua tak percaya dg
perkataanku, silahkan saja masuk utk melakukan pemeriksaan, asal
kalian bisa menemukan orang she Kho tsb, aku bersedia
menyerahkan usahaku ini kepada kalian berdua!”
Jawaban tsb segera membuat Kim bersaudara jadi tertegun,
tanpa terasa mereka mulai berpikir:
“Benarkah Kho Beng sudah pergi dari sini? Ayaukah ia sudah
dibokong dan sekarang telah dipindahkan ketempat lain?”
Dari tujuhorang yg ada, rupanya mereka membagi diri menjadi
dua rombongan, satu rombongan memeriksa secara terang-terangan
sedang yg lainnya melakukan pemeriksaan secara diam-diam, hal ini
dimaksudkan agar semua bagian tempat diperiksa dg seksama.
Tapi setelah lawan membolehkan utk digeledah, hal ini segera
memberi firasat kepada Kim loji bahwa usaha mereka
melakukanpenggeledahan tak akan menghasilkan apa-apa.
Tapi dari pada pulang dg begitu saja lebih baik dilakukan
pemeriksaan kedalam, siapa tahu masih ada tanda-tanda yg
ketinggalan?
Karena berpendapat demikian, maka sambil manggut-manggut
katanya kemudian:
“Baiklah, kalau begitu harap tauke suka menjadi petunjuk
jalan....”
Tauke Ong segera memerintahkan kedua orang pelayannya utk
menjaga pintu, sedang kepada dua bersaudara Kim dipersilahkan
mengikuti dibelakangnya masuk kedalam.

Sambil menghimpun hawa murninya dan bersiap sedia
menghadapi segala kemungkinan yg tak diinginkan, dua bersaudara
Kim masuk keruang belakang.
Disekitar ruangan mereka saksikan ada tujuh delapan orang lelaki
yg berkerumun sambil menanyakan persoalan yg terjadi.
Sepintas lalu orang-orang itu nampak seperti pegawai rumah
makan, tapi bagi dua orang bersaudara Kim yg cukup
berpengalaman, dalam sekilas pandang saja ia dapat melihat dg
jelas bahwa beberapa orang diantara mereka memiliki kening yg
menonjol tinggi, jelas mereka adalah jago-jago yang berilmu sangat
tinggi.
Tanpa terasa, rasa kaget yg mencekam makin menyelimuti
perasaan kedua orang itu.
Dalam pada itu, tauke Ong telah mengulapkan tangannya sambil
berkata:
“Kalian tak usah mengada-ada, disini tak ada persoalan, ayoh
kembali kekamar masing-masing!”
Selesai berkata, dia mengajak dua bersaudara Kim melakukan
pemeriksaan yg teliti atas setiap ruangan yg ada disana.
Baik kim loji maupun Kim losam sama sekali tak menyangka
kalau bangunan dibelakang rumah makan Poan gwat kie diatur
serapi dan sehebat itu.
Kebun yg luas dan bangunan rumah yg megah sama sekali tak
kalah dg rumah hartawan kaya, terutama sekali jumlah kamarnya yg
begitu banyak, rasanya tak kalah dg rumah penginapan pada
umumnya.
Tanpa terasa Kim loji tertawa dingin dan sengaja ejeknya,
“Hey tauke, tidak kusangka dibelakang rumah makanmu ternyata
dibuka pula usaha penginapan!”
“Kalian berdua jangan salah paham” buru-buru tauke Ong
menjelaskan, “aku hanya suka menerima teman sehingga sengaja
membangun.
Betapapun besarnya kecurigaan dua bersaudara Kim terhadap
tempat itu, sekarang mereka tak sanggup bicara lagi.
Sesudah menghela napas sedih, Kim loji segera menjura seraya
berkata:
“Maaf atas gangguan kami malam ini, dikemudian hari kami tiga
ruyung dari Tong ting pasti akan datang lagi utk minta maaf!”

“Ooooh....rupanya tiga bersaudara Kim yg termasyur namanya”
seru tauke Ong, “sudah lama kudengar nama besar Kim kong sam
pian, he...he...he...kesalah pahaman semacam ini belum berarti apaapa,
bagaimana kalau kita minum arak sampai pagi?”
Tentu saja Kim loji tak punya muka utk berdiam lebih lama
disana, dg wajah bersemu merah, buru-buru tampiknya,
“Biarlah maksud tauke kami terima dihati saja, maaf kami harus
mohon diri lebih dulu karena ada urusan lain.”
“Aaah, mana....” Ong kui tertawa mengejek.
Baru saja mereka bertiga berjalan menelusuri kebun, mendadak
tampak sesosok bayangan hitam melayang turun persis dihadapan
mereka, ternyata orang itu adalah Chin sian kun.
Kim loji dan Losam sama-sama menjadi tertegun, tegurnya
berbareng:
“Hey, mengapa kaupun kemari?”
Tentu saja dibalik pertanyaan tsb masih terkandung pertanyaan
lain.
Setengah mengomel Chin sian kun berkata:
“Sudah hampir setengah harian lamanya kami menunggu
kedatanganmu berdua, tapi belum juga nampak kalian datang!....aku
toh tak bisa dibiarkan berdiri dibawah langit sambil minum embun
dingin.”
Tauke Ong segera tertawa terbahak-bahak, katanya cepat:
“Ha....ha....ha....tidak kusangka rumah makan Poan gwat kie ini
bisa menarik perhatian begitu banyak jago lihay pada malam ini,
entah siapakah lihiap ini?”
Dg langkah yg lemah gemulai Chin sian kun maju mendekatinya,
sambil tersenyum dia berkata:
“Apakah kau adalah pemilik rumah makan ini?”
“Aaaah, mana, mana...” cepat-cepat Ong kui menjura, “walaupun
aku tak mengerti ilmu silat, namun aku paling kagum dg jago-jago
persilatan, sungguh menjadi kebanggaan bagiku bisa menerima
kunjungan dari lihiap......”
“Tauke memang pandai sekali berbicara” Chin sian kun
tersenyum, “padahal aku Chin sian kun bukan termasuk orang
pandai, justru ciangkwee lah merupakan seorang tokoh silat yg tak
mau mengunjukkan diri!”

Sambil berkata, tiba-tiba saja ia melancarkan sebuah serangan
secepat sambaran kilat dan langsung mengancam jalan darah lemas
dan kaku Ong kui.....
Mimpipun Ong kui tdk menyangka kalau lawannya akan
melancarkan serangan disaat masih tersenyum, ketika menyadari
akan datangnya bahaya, keadaan sudah terlambat,
“Bluuuukk...!”
Tak ampun lagi tubuhnya terserang dan segera roboh terjungkal
keatas tanah.
Dua bersaudara Kim yg menyaksikan kejadian ini menjadi
tertegun, sebelum mereka sempat berbuat sesuatu, tiba-tiba dari
balik kegelapan terengar dua kali bentakan keras,
“Kurang ajar, kalian berani berbuat keonaran disini!”
Tampak dua sosok bayangan manusia dg membawa gulungan
cahaya tajam yg menyilaukan mata meluncur tiba.
Dg suatu gerakan cepat Chin sian kun menyambar tubuh Ong kui
yg tergeletak lemah ditanah, lalu serunya:
“Cepat kalian loloskan senjata utk membendung serangan
lawan!”
Mendengar seruan tsb, Kim loji dan losam segera mencabut
keluar ruyungny lalu diayunkan kedepan utk menghadang serbuan
dari ketiga sosok bayangan manusia itu.
Ternyata oleh gerak serangan ruyung tsb, ketiga sosok bayangan
manusia itu segera melayang turun ketanah.
Kim loji segera mengenali mereka sebagai beberapa orang
pelayan yg dijumpai sewaktu masuk kehalaman tadi, hanya sekarang
mereka berdiri dg senjata terhunus.
Setelah berhasil membendung gerak maju lawan, Kim loji baru
menjengek sambil tertawa dingin:
“Apakah sampai sekarang kalian bertiga belum mau menunjukkan
wajah aslinya? Apakah kalian bersedia menyebutkan nama-nama
kalian semua?”
Salah seorang diantaranya, seorang lelaki bermuka kuda segera
membentak dg keras:
“Kami semua adalah sahabat tauke Ong, tak usah menyebut
nama-nama kami lagi, yg jelas tauke Ong sudah bersikap cukup
sopan kpd kalian, tapi kenyataannya kalian menyergapnya secara
licik, terhitung jagoan macam apakah kalian ini?”

Paras muka dua bersaudara Kim segera berubah merah padam
krn jengah.
Tapi Chin sian kun segera berkata sambil tertawa terkekehkekeh,
“Sudah sepantasnya bila kalian merasa tdk terima, tapi bila aku
tak diberi kesempatan utk memberi penjelasan, pasti kalian akan
menganggap diriku sebagai seorang yg tak tahu malu. Untuk itu
bersediakah kalian bertiga memberi sedikit waktu utk berbincangbincang
dulu dg tauke ini sebelum bertarung?Bila alasan yg kami
kemukakan dianggap tak masuk akal, pertarungan baru diteruskan
kembali?”
Ketiga orang lelaki itu mendengus dingin, samun mereka tdk
memberikan komentar apa-apa.
Sambil menarik muka Chin sian kun segera berpaling kearah
tauke Ong dan menegur dg suara dingin:
“Hey tauke Ong! Aku harap kau bersedia memberi jawaban dg
sejujurnya, sebab kalau tdk, siksaan akan menimpa dirimu, kau tahu
bukan bagaimana rasanya seseorang yg hidup tak bisa mati pun
tidak?”
Dg wajah hampir menangis, tauke Ong merengek:
“Lihiap , apa yg mesti kukatakan? Aai....”
“He...he...he....”Chin sian kun tertawa dingin, “belum lagi
persoalan pokok disebutkan, kenapa kau mesti berkeluh kesah?
Kemampuan Ong ciangkwee dlm menghadapi persoalan benar-benar
mengagumkan dan tak malu disebut jagoan lihai, apalagi bila
dibandingkan dg anak buahmu yg sebentar menjadi pelayan,
sebentar lagi menjadi sahabat itu....kami benar-benar ketinggalan
jauh!”
Beberapa patah kata itu kontan saja membuat paras muka ketiga
orang jago pedang itu berubah hebat, sedangkan air muka Ong kui
makin merah jengah.
Setelah berhenti sejenak, kembali Chin sian kun berkata:
“Sudahlah, tak usah banyak berbicara yg tak guna lagi, mari kita
menyinggung masalah pokok, nah tauke Ong, sebetulnya pemuda
she Kho itu sudah kalian sekap dimana?”
Ong kui menghela napas,
“Chin lihiap, mengapa kau tidak bertanya langsung kpd dua
bersaudara Kim yg telah melakukan penggeledahan yg seksama dari
depan sampai belakang? Apa lagi yg mesti kukatakan kepadamu?”

“Jawabanmu benar-benar sangat hebat” jengek Chin sian kun
sambil tertawa dingin.
“Hey tauke Ong, tolong tanya rumah makan Poan gwat kie ini,
selain pintu besar yg menghadap kejalan raya, apakah masih ada
pintu lain?”
“Ada!” Ong kui mengangguk, “pintu belakang terletak disebelah
kiri kebun!”
“Selain pintu belakang?”
“Sudah tak ada lagi...” Ong kui kembali menggeleng.
Chin sian kun segera menunding kearah gunung-gunungan yg
berada tiga kaki disampingnya, lalu mengejek sambil tertawa dingin:
“Tauke, bolehkah aku tahu, pintu rahasia dibalik gunung itu
tembus kemana?”
Begitu ucapan tsb diutarakan, paras muka ketiga orang jago
pedang serta Ong kui segera berubah sangat hebat.
Dg agak cemas Ong kui berseru:
“Lihiap, kau jangan bergurau, mana mungkin dibalik gununggunung
itu terdapat pintu.”
Mencorong sinar tajam dari balik mata Chin sian kun, segera
bentaknya keras-keras:
“Barusan aku melihat ada orang pelayanmu menerobos masuk
kebalik gunung-gunungan itu dan hingga sekarang belum nampak
muncul kembali, jika disitu tak ada pintu, kau anggap dia bisa
menerobos masuk kedalam tanah?”
“Perempuan rendah!” tiba-tiba jago pedang bermuka kuda itu
membentak keras, “kau tak usah mengada-ngada terus disini,
sebenarnya Ong ciangkwee akan dilepaskan tidak?”
Chin sian kun mengerling sekejap kearah lawannya, lalu
menjengek sinis:
“Nah, mulai panik bukan krn rahasianya ketahuan?
He...he...he....lebih baik kalian bertiga jangan bergerak
sembarangan, sebab aku bisa menghabisi nyawa Ong ciangkwee
paling dulu....”
Jago pedang bermuka kuda itu tdk menggubris, tiba-tiba ia
berpekik nyaring, lalu serunya kpd dua orang jago lainnya:
“Hayo serbu!”
Tubuhnya segera melejit ketengah udara, dari situ pedangnya
menciptakan selapis cahaya tajam dan secara langsung membecok
kepala Chin sian kun.

Tak terlukiskan rasa kaget Chin sian kun menghadapi serangan
tsb, ia tak mengira kalau lawan sama sekali tdk m enggubris
keselamatan sandera yg berada ditangannya.
Melihat Kim loji dan losam telah dihadang musuh, cepat-cepat ia
berkelit kesamping, sambil teriaknya:
“Kalian cepat turun!”
Berbareng dg suara bentakan itu, empat sosok bayangan
manusia segera melompat turun dari atas wuwungan rumah,
ternyata mereka adalah Rumang, Hapukim serta dua bersaudara Mo.
Rumang dg golok terhunus langsung menghadang sijago pedang
bermuka kuda yg menyerang Chin sian kun itu, bentaknya:
“Mak nya! Tak kusangka rumah makan kalian adalah sarang
penyamun yg suka menculik orang, biar kubunuh manusia macam
dirimu lebih dulu....”
Golok segera diputar bagaikan roda, secara beruntun dia telah
melepaskan dua kali bacokan berantai.
Mendadak terdengar Kim loji yg sedang bertarung berseru
lantang:
“Adikku, kalau toh sudah kau ketahui pintu rahasia disitu,
mengapa tdk segera menyuruk kedalam utk melakukan
penggeledahan?”
“Bila pintu rahasianya sudah kuketahui, buat apa aku mesti
menunggu sampai sekarang?” sahut Chin sian kun.
Kemudian kepada Ong kui yg berada digenggamannya ia
membentak:
“Coba lihat sendiri, sobatmu sudah tak ambil peduli dg
keselamatanmu lagi, aku rasa kaupun tak usah menyimpan rahasia
terus.”
Sambil berkata ia segera memberi tanda kpd dua bersaudara Mo
serta Hapukim agar mengikutinya menuju kebalik gunung-gunungan.
Bangunan yg menyerupai gunung-gunungan itu dibuat sangat
tinggi dan besar, dibagian tengahnya terdapat sebuah gua yg saling
berhubungan.
Sementara itu Ong kui masih ragu-ragu, Chin sian kun telah
mencengkeram ujung bajunya, seraya membentak keras :
“Hayo jawab, kau bersedia menunjukkan atau tidak? Asal kau
mau menunjukkan letak tombol rahasia utk membuka pintu tsb,
kami pasti tak akan menyusahkan dirimu lagi.”

Belum selesai perkataan itu diutarakan, tiba-tiba dari balik
gunung-gunungan itu sudah kedengaran seseorang berkata dg suara
merdu,
“Terhadap pelbagai persoalan yg begitu sepele, buat apa kau
memaksanya utk berbicara? Kalau toh ia enggan berkata, biar aku
yg menunjukkan!”
Menyusul perkataan tsb, tiba-tiba dinding kiri gunung-gunungan
itu sudah terbuka lebar dan muncullah seorang perempuan berbaju
putih.
Dia tak lain adalah Chiu hoa Lengcu, anak buah dewi In nu yg
dikenali Chin sian kun pagi tadi sebagai “nyonya Ciu”.
Kehadirannya yg sama sekali tak terduga ini segera menimbulkan
rasa tertegun bagi Chin sian kun, ia tak menyangka kalau pihak
lawan akan menggunakan cara demikian dlm menghadapinya.
Sementara dia masih termenung, Ciu hoa Lengcu telah
memperhatikan sekejap situasi pertarungan, dimana enam orang
sedang terlibat dlm pertarungan sengit.
Mendadak bentaknya:
“Tahan!”
Ketiga orang jago pedang yg sedang bertempur seru itu segera
melepaskan dua rangkai serangan gencar, setelah itu mereka
melompat keluar dari arena pertarungan dan berdiri tenang disitu.
Kepada Chin sian kun kembali Ciu hoa Lengcu berkata seraya
tersenyum ramah,
“Kini pintu rahasia telah terbuka, silahkan nona memasukinya utk
diperiksa!”
Chin sian kun baru saar setelah mendengar ucapan itu, serunya
tanpa sadar:
“Benarkah kau dari marga Ciu?”
Ciu hoa Lengcu manggut-manggut:
“Aku beridam digang sebelah sana, hitung-hitung masih punya
hubungan family dg tauke Ong, apabila ia telah melakukan suatu
kesalahan terhadap nona, bagaimana kalau aku mewakilinya minta
maaf!”
Chin sian kun tersenyum,
“Sungguh tak kusangka tempat ini merupakan sebuah sarang
naga harimau, aku percaya enci orang persilatan juga?”
Sambil tertawa Ciu hoa Lengcu menggelengkan kepalanya
berulang kali, katanya:

“Nona sudah salah menilai, rumah makan Poan gwat kie hanya
sebuah rumah makan biasa dan aku pun bukan manusia bangsa
jago silat yg pandai memainkan senjata.”
“Hmmm, siapa yg percaya dg kata-katamu itu?” Chin sian kun
mendengus, “bila rumah makan ini hanya usaha biasa mengapa
terdapat banyak jago lihay yg berdiam disini? Dan mengapa pula
dibangun lorong bawah tanah yg begitu rahasia?”
“Kalau begitu nona yg sudah salah paham” tukas Ciu hoa Lengcu,
“suamiku lebih sering berjaga diluar, ia jarang pulang, maka sengaja
kami buat lorong rahasia utk menghubungkan tempat ini dg
rumahku, dg begitu antara aku dg tauke Ong pun bisa saling
berhubungan bila perlu, sementara orang-orang itu tak lain adalah
sobat-sobat yg diundang tauke Ong, sesungguhnya kehadiran
mereka tak perlu diributkan nona....”
Kemudian setelah berhenti sejenak, kembali katanya:
“Sekarang aku sudah memberi keterangan yg cukup jelas, aku
rasa nona pun harus membebaskan tauke Ong!”
Kata-katanya diucapkan sangat lembut dan beralasan kuat
sehingga Chin sian kun jadi gelagapan dibuatnya.
Dalam keadaan begini, terpaksa nona itu menjadi nekad, ujarnya
kemudian dg suara dingin:
“Sebetulnya tidak susah utk minta kepadaku membebaskan orang
ini, tapi Kho Beng harus diserahkan dulu!”
“Kho kongcu memang pernah berkunjung kemari” Ciu hoa
Lengcu tersenyum, “tapi ia sudah pergi sejak tadi!”
“Aku tak percaya!”
“Lantas apa yg harus kami perbuat agar nona mau percaya?”
tanya Ciu hoa Lengcu sambil berkerut kening.
Tanpa pikir panjang Rumang menyela dari samping.
“Kecuali kami diberi kesempatan utk melakukan penggeledahan!”
Diluar dugaan ternyata Ciu hoa Lengcu menanggapi sambil
mengangguk:
“Untuk menarik kepercayaan kalian, aku bersedia menjadi
penunjuk jalan, nah silahkan mengikuti diriku!”
Selesai berkata, ia segera masuk dulu kedalam lorong rahasia.
oooOOooo

Disaat Chin sian kun sekalian bertujuh mengikuti Ciu hoa Lengcu
memasuki pintu rahasia tsb, dari mulut gang tampak sebuah kereta
kuda yg mungil dilarikan orang cepat-cepat.
Kusir kuda adalah dua orang lelaki berbaju hitam, tampak mereka
melarikan kudanya dg begitu cepat dan menuju kearah pintu kota
sebelah timur...
Disisi kereta itu duduk dua orang perempuan genit, mereka tak
lain adalah kedua orang dayang Ciu hoa Lengcu, sedangkan orang
ketiga adalah Kho Beng, wajahnya nampak sayu dan diliputi
perasaan terkejut, tubuhnya sama sekali tak bisa berkutik, jalan
darah kakunya telah tertotok.
Kereta kuda itu meluncur terus menembusi pintu kota dan lari
ketempat yg liar dan terpencil dari keramaian, melihat keadaan
mana, dg perasaan terkejut bercampur keheranan Kho Beng segera
menegur:
“Sebenarnya kalian hendak membawaku pergi kemana?”
Dayang genit yg berada disebelah kiri tertawa terkekeh-kekeh,
katanya:
“Bukankah telah kukatakan tadi, sampai waktunya kau toh akan
mengetahui dg sendirinya?”
“Apakah komandan Sin kalian itu sudah kembali?” tanya Kho
Beng lagi dg perasaan tegang.
Dayang genit yg berada disebelah kanan segera mendengus
dingin, sahutnya:
“Siapa yg tahu permainan setan apa yg sedang kau perbuat? Dua
puluhan orang sudah dikirim, namun sudah hampir satu jam
lamanya belum juga ada kabar beritanya!”
Mendengar jawaban tsb, Kho Beng merasa hatinya agak lega,
diam-diam ia menghembuskan napas panjang, lalu katanya sambil
tertawa:
“Rupanya kalian hendak mengajak diriku pergi mencari
mereka....”
“Kau jangan keburu bersenang hati dulu” sela dayang disebelah
kiri sambil tertawa dingin, “terus terang saja aku bilang asal orangorang
kami sampai ketimpa suatu kemalangan, maka kau sendiripun
jangan harap bisa pulang kekota Tong sia dalam keadaan hidup!”
Kembali Kho Beng merasa terkesiap sekali sebab sebagaimana
diketahui keterangan yg diberikannya hanya keterangan palsu,

mustahil Bu wi lojin bisa begitu kebetulan berada juga dirumah abu
keluarga Liok, sepuluh li disebelah timur kota.
Tapi apa sebabnya komandan Sin beserta kedua puluhan orang
yg dipimpinnya belum juga nampak muncul kembali?
Tanpa terasa ia mulai mengkuatirkan pula nasib anak buah Ciu
hoa Lengcu yg sudah pergi dan hingga kini belum balik itu.
Suara derap kaki kuda yg ramai.....
Suara roda kereta yg menggelinding....
Kho Beng tahu inilah kesempatan terbaik baginya utk meloloskan
diri dan itu berarti ini merupakan kesempatannya yg terakhir.
Tapi apa mau dikata jalan darah kakunya tertotok sehingga
tubuhnya tak mampu berkutik, ditambah lagi pengawasan dua
orang dayang yg begitu ketat, membuat ia tak berhasil menembusi
jalan darahnya itu.
Sementara dia masih berpikir mencari akal utk meloloskan diri,
tiba-tiba terasa kereta itu bergetar keras dan segera berhenti.
Sementara itu lelaki berbaju hitam yg berada didepan kereta
segera berkata:
“Nona berdua, komandan Sin telah pulang.”
Mendengar perkataan itu, Kho Beng bersama kedua orang
dayang itu berpaling keluar jendela, benar juga kelihatan ada
puluhan sosok bayangan hitam sedang melesat datang dg kecepatan
tinggi.
Sesudah mendekat, bayangan manusia yg berjalan dipaling
depan berseru tertahan, lalu cepat-cepat menghampiri kereta.
Ternyata orang itu adalah seorang kakek berbaju hitam yg
berperawakan tinggi besar berwajah amat keren.
Dg sorot matanya yg tajam bagaikan sembilu, dia mengawasi
sekejap dua orang lelaki yg berada didepan kereta, lalu tanyanya
keheranan:
“Go hoat, Tan peng kalian hendak kemana?”
Lelaki berbaju hitam yg bertindak sebagi kusir itu segera
menjawab:
“Lapor komandan, hamba mendapat perintah dari Lengcu utk
menghantarkan Kiok hoa dan Kiok bi yg mengawal tawanan Kho
Beng menuju kekebun Kiok wan!”
Mendengar tanya jawab itu, Kho Beng merasakan hatinya
bergetar keras, pikirnya:

“Ternyata orang ini adalah komandan Sin dan pasukan baju
hitam, kalau ditinjau dari tampangnya nampak gagah dan keren,
sama sekali tdk mengandung hawa sesat, tapi heran mengapa ia
justru bergaul dg kawanan manusia sesat itu?”
Sementara itu komandan Sin telah berpaling kearah jendela
kereta seraya berkata:
“Nona Kiok bi, mengapa Lengcu tdk menunggu sampai aku
pulang? Kenapa secara tiba-tiba ia berubah pendapat?”
Kiok bi segera tertawa cekikikan, ujarnya:
“Aduh komandan ku, kenapa kau masih bertanya? Kepergianmu
yg tak ada kabar beritanya nyaris membuat semua urusan menjadi
terbengkalai...!”
“Ketika aku sampai dirumah abu itu, telah ditemukan seorang yg
amat mencurigakan....”
“Aaaah...apakah dia adalah si tua Bu wi?”
“Bukan!” komandan Sin menggeleng.
“Lantas siapakah dia?” tanya Kiok bi keheranan.
“Setelah kulakukan pengejaran sejauh dua puluh li, ternyata
orang itu berhasil meloloskan diri, aku tak sempat melihat dg jelas
raut wajah orang itu, tapi aku yakin dia bukan si tua Bu wi!”
Kiok bi segera tertawa terkekeh-kekeh:
“Masa dibawah kelopak mata komandan Sin pun ada seseorang
yg mampu meloloskan diri? Kecuali kau si komandan sengaja main
sabun.....”
Tiba-tiba komandan Sin menarik muka dan berseru dg suara
dalam:
“Aku tdk terbiasa bergurau, aku harap perkataan nona sedikitlah
tahu diri, meskipun aku she Sin selalu tinggi hati, tapi ilmu
meringankan tubuh yg dimiliki orang itu sudah jelas tidak berada
dibawah kemampuanku.....”
Belum selesai perkataan itu diucapkan, sambil tertawa Kiok hoa
telah menukas:
“Sudah, sudahlah komandan Sin juga tak perlu memberi
penjelasan lagi, kau toh mengerti, kami kakak beradik hanya gemar
bergurau dan menggoda orang lain, masa komandan Sian betulbetul
main sabun? Cuma gara-gara keterlambatanmu itu, dikota
telah terjadi suatu peristiwa besar!”
“Peristiwa apa?” tanya komandan Sin agak tertegun.

“Kim kong sam pian bersama si Walet terbang berwajah ganda
serta kempat anjing asing itu telah berhasil menggeledah rumah
makan Poan gwat kie dan menemukan tempat tinggal kita!”
“Bagaimana dg Lengcu?” tanya komandan Sin dg perasaan amat
terkejut.
“Lengcu masih berusaha mengulur waktu dg meeka, sementara
kami diperintah utk membawa orang she Kho ini kembali kekebun
Kiok wan!”
Mendengar sampai disini Kho Beng baru mengerti apa sebabnya
ia dipindahkan ketempat lain, namun pelbagai kecurigaan pun
menyelimuti perasaan hatinya......
Siapakah yg mengutus Kim kong sam pian dan Walet terbang
berwajah ganda. Bukankah mereka sedang terlibat pertarungan
sengit melawan Rumang sekalian? Mengapa mereka malah
bergabung menjadi satu?
Perubahan sikap dari musuh menjadi teman yg berlangsung
begitu cepat benar-benar membuatnya kebingungan dan tidak habis
mengerti.
Dg paras muka berubah menjadi amat tegang, komandan Sin
berkata:
“Kalau begitu aku harus secepatnya kembali kekota utk memberi
bantuan.........”
“Dalam hal ini Lengcu pun telah berpesan” buru-buru Kiok hoa
menerangkan, “kita diharuskan menyelidiki terus jejak si tua Bu wi
dan mendapatkan kembali kitab pusaka Thian goan bu boh, sebab
hal itu jauh lebih penting daripada persoalan lain, oleh sebab itu
Lengcu berpesan apabila bertemu dg dirimu maka kita diharuskan
segera kembali kekebun Kiok wan dan menyiksa orang she Kho ini
agar mengaku....”
Belum selesai perkataan itu diutarakan, tiba-tiba dari kejauhan
sana terdengar seseorang berseru sambil tertawa tergelak:
“Buat apa mesti disiksa utk mengorek keterangan? Bukankah aku
sudah hadir disini!”
Berubah hebat paras m uka komandan Sin saking kagetnya
setelah mendengar perkataan itu, dg cepat dia mengulapkan
tangannya kepada orang-orang berbaju hitam yg berada disekeliling
sana.
Dalam waktu singkat dua puluhan jago pedang itu telah
menyebarkan diri dan mengepung kereta tsb ketat-ketat, semuanya

berdiri dg pedang terhunus dan punggung menghadap kearah
kereta, agaknya orang-orang itu sudah siap sedia melangsungkan
pertarungan.
Kho Beng yg berada dlm kereta segera mengenali suara itu
sebagai suaranya Bu wi lojin. Ia sangat terkejut dan berpekik dihati:
“Aduh celaka!”
Keadaan sudah jelas tertera, Bu wi lojin seorang diri lagi pula
menderita luka dalam yg cukup parah, bagaimana mungkin ia
sanggup menandingi kawanan jago lihay sebanyak itu?
Dg perasaan gelisah dan cemas dia mengawasi keluar lewat
jendela krn tampak olehnya sesosok bayangan manusia telah
munculkan diri sepuluh kaki didepan sana dan pelan-pelan berjalan
mendekati kereta kuda itu.
Ia baru berhenti setelah berada hanya tiga kaki dari kereta,
wajahnya kelihatan anggun dan tenang dg jenggot putihnya berkibar
terhembus angin, orang ini memang tak lain adalah Bu wi lojin.
Komandan Sin segera menjura utk memberi hormat, lalu katanya
sambil tertawa terbahak-bahak,
“Ha...ha...ha....saudara Bu wi, sejak berpisah tiga puluh tahun
berselang tak disangka kita akan bersua kembali maam ini!”
Ketika bertemu komandan Sin, tiba-tiba paras muka Bu wi lojin
berubah, segera sahutnya sambil menjura pula,
“Ooooh...rupanya Sin tayhiap, apakah kau pun mengharapkan
kitab pusaka Thian goan bu boh?”
Komandan Sin segera tertawa,
“Aku orang she Sin mengerti akan kemampuan serta
keterbatasanku, sehingga sama sekali tdk berambisi dg kitab pusaka
tsb.
Hanya sayang aku sedang melaksanakan perintah sehingga mau
tak mau terpaksa mohon pengertian dari engkoh tua, asal engkoh
tua bersedia memberi muka kpd ku, aku Sin cu beng bertanggung
jawab atas keselamatan dan keamanan Kho kongcu serta engkoh
tua utk meninggalkan tempat ini.”
“Bagus, bagus sekali, ha...ha...ha...”
Setelah mengucapkan dua patah kata itu, Bu wi lojin
memperdengarkan suara tertawanya yg amat pedih, terusnya:
“Sama sekali tak kusangka tokoh sakti yg pernah menggetarkan
dunia persilatan pada tiga puluh tahun berselang sebagai tujuh

pedang tiga belas lelaki, ternyata telah berubah menjadi manusia tak
becus yg sudi tunduk dibawah gaun wanita!”
Ternyata Sin Cu beng tdk menjadi gusar, katanya sambil tertawa:
“Saudara Bu wi, perkataanmu ini keliru besar sekali, atasanku
adalah seorang tokoh sakti yg berwatak mulia dan bersikap anggun
melebihi bidadari, sekalipun Sin Cu beng tunduk dibawah
perintahnya, hal ini tak akan merusak nama baikku.”
Bu wi lojin segera mendengus dingin:
“Sin Cu beng, seorang perempuan rendah yg tak tahu malu pun
kau anggap sebagai bidadari, jangan-jangan matamu sudah silau
sehingga tak bisa menilai orang....?”
“Tutup mulut!” bentak Sin Cu beng dg wajah berubah, “jangan
kau tuduh atasanku dg kata-kata yg jorok dan kotor, bila kau berani
menghinanya lagi, jangan salahkan bila aku Sin Cu beng tak akan
mengingat hubungan kita dahulu dan segera menyerangmu secara
habis-habisan.”
Mendengar perkataan mana, Bu wi lojin segera menghela napas
panjang, ujarnya kemudian,
“Sudah, sudahlah Sin Cu beng! Aku hanya merasa sayang dg
nama besarmu dulu sebagai pedang geledek, tapi.....yaa....setiap
orang mempunyai tujuan yg berbeda dan siapapun tak sapat
memaksakan pendapatnya, nah sekarang aku hanya minta
kepadamu utk segera membebaskan Kho kongcu!”
Dibalik perkataan tsb jelas nada sayang dan kecewa yg amat
sangat.
Sementara itu Kho Beng merasakan hatinya berdebar keras,
kalau didengar dari nada suara Bu wi lojin agaknya komandan Sin ini
bukan saja memiliki kedudukan yg tinggi, lagipula pernah dikenal
sebagai seorang pendekar sejati.
Tak heran kalau ia berpendapat bahwa orang ini tdk mirip
seorang manusia sesat, tapi mengapa tokoh semacam inipun begitu
tunduk dibawah periontah iblis wanita dan rela menjadi kuku
garudanya?
Dalam pada itu, sipedang geledek Sin Cu beng telah berkata dg
suara dalam:
“Kho kongcu berada dalam kereta, asal kau bersedia
mengembalikan kitab pusaka yg kau curi itu, aku pun segera akan
membebaskannya!”

“Bila aku hanya menuntut dikembalikannya orang itu dan tidak
bersedia mengembalikan kitab pusaka?”
Sin Cu beng segera tertawa dingin, jengeknya:
“Mengapa kau tidak mencoba utk mengukur dulu kekuatanmu?
Jangan lagi aku didukung dua puluh jago pedang kelas satu, dg
mengandalkan pedang ini pun belum tentu kau bisa mengungguli
diriku.”
Tapi setelah berhenti sejenak, dg nada pembicaraan yg jauh lebih
lunak, kembali katanya sambil menghela napas:
“Saudara Bu wi, sku Sin Cu beng tahu kalau isi perutmu sudah
terluka parah, sekalipun kau nekad ibaratnya hanya kunang-kunang
yg menubruk api, hanya mencari kematian buat diri sendiri, aku
berharap kau jangan memaksaku turun tangan!”
Bu wi lojin segera tertawa terbahak-bahak:
“Ha...ha...ha...Sin Cu beng! Tak nyana kau masih teringat akan
persahabatan kita dulu, tapi apa kau lupa dg tabiatku?”
Sin Cu beng tertawa:
“Justru aku cukup mengerti akan watakmu yg suka akan
keheningan dan hambar dg segala pertikaian, maka kuanjurkan
kepada mu agar lepas tangan saja, apalah artinya mempertaruhkan
jiwamu hanya demi sebuah benda?”
Bu wi lojin tertawa dingin, jengeknya:
“Kalau sudah tahu kalau aku senang akan keheningan dan
hambar dg segala macam pertikaian, kau seharusnya jangan lupa
kalau aku tak bakal menyerempet bahaya bila tak punya pegangan.
Kalau toh sudah tahu kalau aku tak suka keributan, kau harus
mengerti bahwa tindakanku sekarang krn terdorong kepentingan yg
mendesak bahkan demi kepentingan pribadiku sendiri!”
Sin cu beng tertawa terbahak-bahak:
“Ha...ha...ha...bila kudengar dari nada pembicaraan loheng,
agaknya kau datang dg mengandalkan sesuatu.”
“Memang begitulah keadaannya!”
“Aku jadi ingin tahu apa sih yg kau andalkan itu?”
“Aku sudah terluka parah, kalau tanpa persiapan bukankah
tindakanku ini sama artinya dg mencabuti kumis harimau? Sin cu
beng coba perhatikan jelas-jelas.”
Sambil berkata tiba-tiba ia meloloskan pedangnya dan menunding
langit dg ujung pedangnya lalu diputar satu lingkaran.

Menyusul kode rahasia itu, dari empat penjuru bermunculan
bayangan manusia yg jumlahnya tak kurang dari dua puluhan.
Menyaksikan kejadian tsb, dua orang dayang yg berada dlm
kereta menjadi terkesiap, sebaliknya Kho Beng sangat kegirangan
sehingga hampir saja bersorak kegirangan.
Dengan sinar mata yg tajam si pedang geledek, Sin Cu beng
memperhatikan sekejap wajah orang-orang itu, lalu katanya:
“Tua bangka, tak kusangka kemampuanmu sangat hebat, hanya
dalam seharian saja telah dapat mengumpulkan jago-jago sebanyak
ini!”
Bu wi lojin tersenyum.
“Nah, anak buahku sekarang tdk lebih sedikit daripada kekuatan,
bukan...”
Sambil tertawa seram Sin Cu beng menukas:
“He....he....he.... si tua, kau harap memahami kemampuan yg
kumiliki, sekalipun saat ini Cuma ada aku Sin Cu beng seorang,
puluhan jagomu itu tak akan kupandang sebelah mata pun!”
Baru selesai perkataan itu diutarakan, medadak dari sisi hutan
terdengar seseorang berseru sambil mendengus dingin:
“Hey orang she Sin, apa kau tidak malu membual melulu?”
Sin Cu beng tertawa dingin, sambil berpaling tegurnya:
“Siapa kau?”
“Aku Ang It tiang!”
Berubah paras muka Sin Cu beng mendengar nama itu, jeritnya
tertahan krn kaget,
“Kau adalah si kakek tongkat sakti?”
Sambil tertawa tergelak Bu wi lojin menyela:
“Ha...ha...ha....tepat sekali, memang si tua Ang, jika kau
menganggap seorang kakek tongkat sakti masih belum kau pandang
sebelah mata pun, baiklah kuperkenalkan lagi beberapa orang
sahabatku yg lain.”
Berbicara sampai disini, dia segera berpaling seraya teriaknya
keras-keras:
“Hey pelajar rudin, bersediakah kau mengucapkan beberapa
patah kata bagiku?”
Dari kejauhan sana segera terdengar seseorang menyahut:
“Aku sipelajar rudin Cuma pandai membuat syair, aku tak mampu
berbicara, apalagi ditengah malam yg tak berbintang ini ilhamku

serasa menjadi tersumbat, tapi kalau suruh main pedang putar
golok, rasanya lebih sesuai dg keadaan.”
“Siapakah pelajar rudin itu?” tanya Sin Cu beng tertegun.
“Hmmm...masa pemimpin Lam huang pat ciong (delapan rudin
dari Lam huang) yg lebih dikenal sebagai pelajar rudin Ho Heng pun
tdk kau kenal? Hmmmm, aku lihat kau Sin Cu beng sudah bosan
hidup!”
Sekali lagi paras muka Sin Cu beng berubah hebat, alis matanya
makin lama berkenyit semakin kencang.
Sementara itu Bu wi lojin telah berkata lagi:
“Tampaknya kau Sin Cu beng memang benar-benar punya nyali,
mari, biar kuperkenalkan seorang teman lagi.”
Setelah celingukan sebentar kesekeliling sana, teriaknya lantang,
“Hey hwesio, bagaimana kalau kaupun unjukkan diri?”
“Hidup sebagai seorang pendeta, sama halnya sudah tak punya
nafsu apa-apa, kenapa aku mesti unjuk diri? Tapi aku hwesio tak
pernah membaca doa, tak pernah juga makan hidangan
berpantangan, aku paling tertarik dg segala jenis barang yg aneh,
asal kau tak ingkar janji dan memberi salinan kitab pusaka Thian
goan bu boh kepadaku, biar ada urusan sebesar apapun didunia ini,
aku si hwesio tetap akan menanggulanginya seorang diri.”
Paras muka Sin Cu beng betul-betul berubah hebat, serunya
tanpa sadar:
“Aaai...si hwesio daging anjing Thian tin?”
“Ha...ha...ha...Sin Cu beng, walaupun kita tak pernah bertemu
muka, namun aku si hwesio sudah lama mendengar nama besarmu,
bila kau ingin kabur kuharap larilah kearahku, aki sihwesio pasti
mengundangmu utk mencicipi daging anjing sebelum kuhantar
pulang ke See thian menemui Hud cow!”
Menanti perkataan itu selesai diucapkan, Bu wi lojin segera
berkata pula sambil tertawa bergelak:
“Nah, Sin lote, bagaimana keputusanmu sekarang! Akan kau
bebaskan tawananmu itu? Ataukah ingin bertempur mati-matian?”
Dicekam oleh perasaan terkejut bercampur ngeri, Sin Cu beng
benar-benar tak habis mengerti, darimana Bu wi lojin bisa
mengumpulkan jago-jago lihay yg dihari biasa pun susah dijumpai,
jangan lagi ia belum mengetahui jago lainnya, cukup berbicara
tentang si pelajar rudin, kakek tongkat sakti serta hwesio daging
anjing pun sudah cukup membuat kepalanya pusing.

Sekalipun ia merasa curiga, tapi kenyataannya telah terpampang
didepan mata dan tak mungin dipungkiri lagi.
Jilid 18
Setelah paras muka dari si pedang geledek yg pernah termasyur
dlm dunia persilatan ini berubah berapa kali, akhirnya ia berseru
sambil tertawa tergelak:
“Tua bangka Bu wi, tak kusangka kartu as mu begitu banyak tapi
jangan lupa aku Sin cu beng pun mempunyai pula selembar kartu
as!”
“Oya? Kalau begitu akupun ingin mengetahui sampai dimanakah
kemampuan yg kau miliki!”
Sambil tertawa dingin Sin Cu beng berkata:
“Rupanya kau lupa kalau Sin Cu beng masih memegang bocah
she Kho ini! Selama dia masih berada ditanganku, kenapa aku mesti
jeri dg kekuatanmu?”
Tiba-tiba ia mengulapkan tangannya kebelakang seraya berseru:
“Gusur bocah she Kho itu keatas atap kereta!”
Dua orang dayang itu serentak menjepit tubuh Kho Beng dan
dibawa melompat keatas atap kereta.
Bu wi lojin mendongak serta memandang wajah Kho Beng
sekejap, lalu sambil tetap tersenyum, tanyanya:
“Sin Cu beng, apa yg hendak kau perbuat?”
Dg suara dalam Sin Cu beng berkata:
“Aku akan menghitung sampai angka lima, bila kau masih belum
menyerahkan kitab pusaka tsb kepadaku, terpaksa aku akan
membunuh bocah ini lebih dulu kemudian baru berusaha menembusi
kepungan!”
“Sin lote! Kau tak usah menghitung lagi....” sela Bu wi lojin.
Sin Cu beng jadi kegirangan, segera tegurnya:
“Apakah kau sudah berubah pikiran?”
“Aku tak pernah mau menyerah pada tuntutan orang, lote.
Silahkan kau bunuh bocah she Kho itu lebih dulu!” kata Bu wi lojin
dingin.
Begitu perkataan tsb diutarakan, bukan saja Kho Beng jadi
terperanjat, Sin Cu beng sendiri jadi tertegun, serunya kemudian
sambil membelalakkan matanya:

“Jadi kau telah memutuskan tak akan memperdulikan mati hidup
bocah ini lagi?”
“Aku Cuma mendapat titipan dari sahabatku utk menyimpan kitab
pusaka, tak pernah mendapat pesan utk melindungi keselamatan
putranya, kalau kitab itu lenyap berarti aku telah mengingkari janji,
sebaliknya kalau putranya yg tewas, hal ini hanya bisa dibilang
takdir, apalagi selembar nyawanya bakal ditukar dg nyawa lote, dua
puluh orang anak buahmu ditambah lagi dg dua orang dayang serta
dua orang kusir, sekalipun Kho kongcu tewas diujung pedang, paling
banter satu nyawa ditukar dg dua puluh empat nyawa. Hitung-hitung
aku toh masih bisa mempertanggung jawabkan diri kepada Hui im
cengcu yg telah tiada.”
Sin Cu beng jadi tertegun, tiba-tiba ia berpaling sambil serunya
keras-keras:
“Kho Beng kau sudah dengar perkataannya?”
Dlm kaget dan tercengangnya Kho Beng mengawasi sekejap
wajah Bu wi lojin yg nampak begitu tenang itu, mendadak ia teringat
dg senyuman yg dilemparkan kepadanya tadi, rasanya dibalik
senyuman tsb masih mengandung arti yg mendalam.
Satu ingatan melintas kedalam benaknya, setelah tertawa
tergelak, segera katanya:
“Aku sudah mendengarkan semua perkataannya dg jelas,
menurut anggapanku Bu wi cianpwee memang sudah sewajarnya
berbuat demikian, sebab apalah artinya selembar nyawaku
dibandingkan bila kitab Thian goan bu boh sampai terjatuh ketangan
kaum manusia laknat yg bakal menimbulkan bencana bagi seluruh
umat persilatan? Aku justru merasa berbangga hati krn selembar
nyawaku bisa menyelamatkan beribu lembar nyawa, sehingga kalau
dihitung-hitung kembali, kematianku ini berharga sekali!”
“Baik….”ucap Sin Cu beng tiba-tiba sambil tertawa dingin.
Sambil meloloskan pedang dari sarungnya, ia segera melompat
naik keatas atap kereta itu…..
Agak berubah paras muka Bu wi lojin, segera bentaknya dg suara
dalam dan berat:
“Kau sudah bosan hidup!”
Sin Cu beng tertawa seram.
“He...he...he...aku rasa masih terlalu pagi utk membicarakan soal
hidup mati diriku....”

Kemudian sesudah menempelkan mata pedangnya diatas
tengkuk Kho Beng, kembali teriaknya keras-keras:
“Tujuanku sekarang adalah berusaha sekuat tenaga utk
melindungi kereta ini meloloskan diri dari kepungan....”
Tiba-tiba Bu wi lojin berseru pula ambil tertawa nyaring:
“Sin Cu beng, silahkan saja kau mencoba menembusi
kepunganku, aku akan membuktikan perkataanku tadi!”
Dg sorot mata tajam Sin Cu beng memperhatikan sekejap
keadaan disekeliling tempat itu, kemudian teriaknya keras-keras:
“Ayoh berangkat, kita terjang kearah utara!”
Lelaki berbaju hitam yg bertindak sebagai kusir itu mengiakan,
tapi sebelum kereta dilarikan, mendadak terdengar Kiok bi berseru
dg nada gugup:
“Tunggu sebentar!”
Lelaki berbaju hitam itu segera menarik kembali tali les kudanya
seraya berpaling dg keheranan.
Dg penuh amarah Sin Cu beng ikut berseru:
“Nona, apa-apaan kamu ini?”
Sambil tertawa terkekeh-kekeh, sahut dayang itu:
“Komandan Sin, bila kau sudah bosan hidup adalah urusanmu
sendiri, kalau budak mah belum bosan hidup.”
“Yaa betul” Kiok hoa menimpali, “komandan jangan lupa bahwa
benda yg diinginkan dewi adalah kitab pusaka Thian goan bu boh,
kini kitab pusaka itu belum didapatkan kembali, sekalipun kau bunuh
orang she Kho tsb, bagaimana pula tanggung jawabmu nanti? Bila
kita sampai turut berkorban, waaaah….rugi besar namanya!”
oooOOooo
Sin Cu beng termenung berapa saat kemudian tanyanya:
“Lantas apa yg harus kita perbuat menurut pendapat nona
berdua?”
“Untuk menghindari jatuhnya korban dikedua belah pihak, aku
rasa lebih baik kita bebaskan tawanan dan segera mengundurkan
diri lebih dulu….”
Berubah paras muka Sin Cu beng setelah mendengar ucapan tsb,
segera katanya:
“Tapi tua bangka celaka itu belum menyatakan kesediaannya utk
menyerahkan kitab pusaka itu?”

Setelah menghela napas panjang Kiok bi berkata:
“Selama bukit nan hijau kenapa kita kuatir kehabisan kayu bakar?
Sebaliknya kalau kita mesti beradu jiwa dg begitu saja, bukankah
kita bakal mampus tanpa memberikan hasil?”
Dg gusar Sin Cu beng segera berseru:
“Kelihatannya kalian berdua enggan menuruti perkataanku dan
lebih suka bertindak sendiri-sendiri?”
Kiok hoa segera tertawa terkekeh-kekeh,
“Budak hanya seorang pelayan berkedudukan sangat rendah,
mana berani kutentang perintah dirimu sebagai seorang komandan?
Cuma kami berharap agar komandan tdk mencampur baurkan tugas
seseorang menjadi satu, budak Cuma mendapat perintah utk
memindahkan tawanan ketempat lain, sehingga masalahnya berbeda
sekali dg tugas komandan utk merebut kembali kitab pusaka itu….”
“Tutup mulut!” bentak Sin Cu beng tiba-tiba, “dalam situasi
demikian, aku tdk perkenankan kehadiran dua orang pemimpin
dalam satu kelompok kekuatan….”
Kiok bi yg berada disisinya buru-buru menimbrung:
“Komandan, adik Kiok hoa memang tak pandai bicara, harap kau
jangan gusar padahal....”
Tiba-tiba ia menempelkan bibirnya disisi telinga orang itu dan
membisikkan sesuatu.
Melihat keadaan tsb, dalam hati kecil Kho Beng segera timbul
kecurigaan, pikirnya:
“Jangan-jangan kedua orang dayang ini masihmempunyai
rencana busuk lainnya?”
Terhadap mata pedang yg menempel diatas tengkuknya itu, ia
sama sekali tdk merasa takut, sebab dia tahu si pedang geledek yg
pernah termasyur dlm dunia persilatan dimasa lampau ini tak akan
turun tangan keji terhadapnya.
Namun terhadap kasak kusuk kedua orang dayang tsb, ia justru
merasakan hatinya tdk tentram.
Tampak Sin Cu beng mengerutkan dahinya dg marah, kemudian
dg suara rendah bisiknya:
“Benarkah maksud Lengcu agar berbuat demikian?”
Kiok hoa tertawa dingin, sahutnya:
“Berapa butir batok kepala sih yg budak miliki sehingga berani
membohongi komandan? Bila komandan berbuat demikian maka

bukan saja kau tak akan peroleh teguran, malah sebaliknya bakal
melakukan suatu pahala besar!”
Sin Cu beng termenung berapa saat lamanya, mendadak ia
berseru kpd Bu wi lojin:
“Hey situa Bu wi, bila aku Sin Cu beng bersedia membebaskan
bocah ini, apakah kau pun dpt menjamin agar orang-orang kami
meninggalkan tempat ini tanpa hadangan?”
Bu wi lojin tersenyum,
“Aaaah, tak nyana kau bisa berubah pikiran secepat itu, berapa
kali sih selama hidupku aku pernah mengingkari janji? Asal kalian
pun tdk berbuat permainan busuk terhadap kami, tentu saja akan
kubiarkan kalian meninggalkan tempat ini dg selamat.”
Sin Cu beng segera manggut-manggut,
“Baiklah, selewatnya malam ini, aku akan meminta pelajaran lagi
darimu….”
Seusai berkata dia menarik kembali pedangnya dan berkata
kepada dua orang dayang itu sambil mengulapkan tangannya.
“Hantar orang itu kesana!”
“Tidak!” teriak Bu wi lojin keras-keras, “biar dia sendiri yg
berjalan kemari!”
“Tapi loya…jalan darah kaku Kho kongcu sudah tertotok…”ujar
Kiok bi sambil tertawa.
“Bebaskan dulu jalan darahnya, aku jamin dia pun tdk akan
melancarkan serangan terhadap kalian!”
Kiok bi segera berpaling kearah Kho Beng, dan tanyanya sambil
tersenyum,
“Kho kongcu, bersediakah kau berbuat begitu?”
Kho Beng tertawa dingin.
“Setelah Bu wi cianpwee berkata begitu, utk sementara waktu
akupun akan membebaskan kalian, tapi bila bertemu lagi lain waktu,
he….he……”
Beberapa kali suara tawa dinginnya menyambung kata-kata yg
belum selesai diucapkan.
Kiok bi tertawa terkekeh,
“Bila bersua lagi lain waktu, budak pasti akan mohon maaf
kepada kongcu…!”
Dg cepat ia menepuk bebas jalan darah kaku ditubuh Kho Beng.
Diam-diam pemuda itu mencoba utk mengatur pernapasannya,
ketika dijumpai hawa murninya berjalan lancar dan tiada gejala lain

yg aneh, dia baru melayang turun dari atas atap kereta dan berjalan
menuju kesisi Bu wi lojin.
“Apakah kau merasakan ada sesuatu yg tak beres?” Bu wi lojin
segera bertanya dg cemas.
“Sama sekali tidak!” Kho Beng menggeleng.
Bu wi lojin segera mengulapkan tangannya keempat penjuru,
menanti orang-orang yg berada disekeliling sana telah
mengundurkan diri, ia baru mendongakkan kepalanya seraya
berkata:
“Sin lote, sekarang kau boleh pergi dari sini!”
Dg wajah dingin Sin Cu eng segera menjura, kemudian mengajak
dua puluhan orang anak buahnya dan kereta kuda itu berlalu
darisana menuju kearah barat.
Tidak selang beberapa saat kemudian, bayangan tubuh mereka
sudah lenyap dibalik kegelapan sana.
Saat itulah Kho Beng baru bisa menghembuskan napas lega, baru
saja ia akan mengucapkan terima kasih krn pertolongan tsb, tampak
Bu wi lojin sedang mengawasi kearah dimana mush-musuhnya
melenyapkan diri itu ambil menghembuskan napas panjang, lalu
gumamnya:
“Akhirnya bencana pada malam ini pun dapat dilalui…”
Belum selesai perkataan itu diucapkan, tiba-tiba badannya sudah
roboh terjengkang keatas tanah.
Dg perasaan terkejut buru-buru Kho Beng membangunkan orang
tua tsb seraya berseru:
“Cianpwee kenapa kau?”
Dimana jari tangannya menyentuh, ia merasakan pakaian yg
dikenakan Bu wi lojin basah kuyup bagaikan orang tercebur keair.
Dg perasaan terkesiap ia segera mengawasi wajahnya, sekarang
ia baru menemukan kalau wajah tokoh persilatan ini sudah berubah
menjadi pucat kekuning-kuningan, napasnya lemah sekali.
“Aaaah....!”
Kho Beng benar-benar dibikin tertegun saking kagetnya oleh
perubahan yg berlangsung secara mendadak ini sehingga tanpa
terasa ia menjerit kaget.
Tiba-tiba dari belakang tubuhnya kedengaran seorang berkata
sambil menghela napas:

“Luka dalam yg diderita Bu wi cianpwee belum sembuh, sewaktu
mendapat kabar kalau kau ketimpa musibah, ia menjadi kuatir
sekali, mungkin lantaran kelewat banyak memeras otak akhirnya dia
menjadi kehabisan tenaga....”
Mendengar perkataan tsb, dg rasa terkejut Kho Beng
mendongakkan kepalanya, ia makin terperanjat lagi setelah
mengetahui bahwa orang tsb adalah Kim lotoa dari Kim kong sam
pian.
Buru-buru Kim lotoa memberi hormat seraya berkata:
“Harap sauhiap jangan menaruh curiga kepadaku, yg penting
sekarang adalah berusaha keras untuk menyadarkan kembali Bu wi
cianpwee!”
Kho Beng manggut=manggut, sambil duduk bersila dan menarik
napas panjang, kelima jari tangannya segera ditempelkan keatas
jalan darah Mia bun hiat ditubuh Bu wi lojin, segulung tenaga murni
pun segera meluncur masuk ketubuh orang tua itu dan menyebar
kemana-mana.
Satu perputaran kemudian, Kho Beng sudah basah kuyup mandi
keringat, tapi Bu wi lojin tetap jatuh tak sadarkan diri, sekalipun
dengusan napasnya sudah makin bertambah kuat.
Maka tanpa segan-segan lagi Kho Beng mengerahkan segenap
tenaga dalam yg dimilikinya utk menyembuhkan luka orang tua tsb,
ditengah suasana yg amat kritis inilah, mendadak dari kejauahan
sana kembali muncul beberapa sosok bayangan hitam yg meluncur
datang dg cepatnya.
Kim lotoa yg pertama-tama menjumpai kehadiran bayangan
manusia itu, dg perasan terkejut ia segera meloloskan ruyungnya
sambil bersiap sedia menghadapi segala kemungkinan yg tak
diinginkan.
Dlm keadaan seperti ini, dia tak berani mengusik ketenangan Kho
Beng, sementara hatinya gelisah sekali demi memikirkan
keselamatan Bu wi lojin dan Kho Beng.
Menunggu bayangan manusia itu sudah makin dekat dan
diketahui bahwa mereka adalah saudara-saudaranya sendiri bersama
Chin sian kun sekalian, dia baru menghembuskan napas panjang,
cepat-cepat tangannya digoyangkan berulang kali melarang mereka
berisik.
Betapa gembiranya Chin sian kun setelah menjumpai Kho Beng
berada pula disana, Kim lotoa segera bertanya dg suara lirih:

“Eeei...darimana kalian tahu kalau kami berada disini?”
“Penggeledahan kami dirumah makan Poan gwat kie tdk
memberikan hasil apa-apa” kata Chin sian kun, “kemudian kami
pulang mencarimu, tapi diketahui kalianpun sudah pergi dari sana,
maka kami segera keluar kota utk mencarimu disekitar sini....”
Sementara mereka masih berbicara, tiba-tiba terdengar Kho Beng
menghembuskan napas panjang, seraya bertanya:
“Cianpwee, bagaimana perasaanmu sekarang?”
Mendengar pertanyaan itu semua orang segera berpaling, benar
juga ternyata Bu wi lojin sudah membuka matanya kembali,
sementara Kho Beng yg duduk bersila disampingnya
menghembuskan napas panjang, pakaiannya telah basah pula oleh
keringat.
Bu wi lojin menghela napas pelan, katanya kemudian:
“Walaupun aku telah pulih kembali kesadarannya, namun masih
susah bergerak, tolong Kim bersaudara memayangku dg segera dan
secepatnya meninggalkan tempat ini....”
Akan tetapi sewaktu dia menjumpai kehadiran Ruamng sekalian
berempat, kembali wajahnya nampak tertegun, sambil mengawasi
Kho Beng segera tanyanya:
“Siapakah orang-orang itu?”
“Keempat orang ini adalah anak buah boanpwee...” buru-buru
Kho Beng menerangkan.
Lalu kepada Rumang sekalian katanya:
“Hayo cepat kalian menjumpai Bu wi cianpwee!”
Siapa tahu keempat orang itu sama sekali tidak bergerak dari
posisi semula, malah Hapukim segera berseru sambil tertawa dingin:
“Yang kami sanjung serta hormati adalah seorang enghiong atau
lelaki perkasa, bukan seorang kakek tua bangka yg mati tidak, hidup
pun susah.”
Tak terlukiskan rasa amarah Kho Beng setelah mendengar
perkataan itu, tapi sebelum ia sempat berbicara, Mokim telah
berkata pula dg suara dingin,
“Cukong, kami benar-benar mulai mencurigai ketidak beresan
otakmu, tadi kau berusaha menghindari orang-orang dari kelompok
ini, tapi sekarang malah berusaha menyelamatkan tua bangka ini,
sebenarnya permainan apa sih yg sedang kau perbuat?”
Seandainya Kho Beng tdk merasa lemah sehingga sama sekali tak
bertenaga, ingin benar dia menggaplok orang-orang tsb.

Dalam pada itu Bu wi lojin telah berkata pula sambil
mengernyitkan alisnya:
“Bila didengar dari nada pembicaraannya, aku rasa orang-orang
ini bukan penduduk asli dari daratan tionggoan, hubungan kalian
pun seperti majikan dg pembantu tapi seperti juga bukan,
sebetulnya hubungan apasih yg terjalian diantara kalian?”
“Aaaai.....tak akan habis utk menerangkan persoalan ini dg
sepatah dua patah kata....” ujar Kho Beng sambil menghela napas
panjang.
Mendengar itu Bu wi lojin segera menukas,
“Kalau memang tak akan habis dibicarakan dlm waktu singkat,
sekurangnya kita harus meninggalkan tempat ini selekasnya!”
Sembari berkata ia segera memberi tanda kepada Kim kong sam
pian.
Kim lotoa dan Kim loji segera memayang tubuh orang tua itu, lalu
tanyanya:
“Cianpwee, apakah kita segera pulang kepenginapan?”
Bu wi lojin menggeleng kepala,
“Walaupun musuh tangguh telah mundur, namun sebelum
berhasil merebut kembali kitab pusaka Thian goan bu boh, tak
mungkin mereka akan lepas tangan dg begitu saja. Apalagi didalam
kota terdapat banyak sekali komplotannya, tempat itu tak bakal
aman.
Lebih baik kita berjalan kearah barat sejauh tiga puluh li, ditepi
bukit karang terdapat sebuah gua bekas tempat tinggal sahabatku,
nah sekarang tolonglah kalian menghantarkan aku kesana….”
Sementara itu, Molim bersaudara sekalian yg mendengar tentang
kitab pusaka Thian goaan bu boh, tiba-tiba hatinya tergerak dan
saling bertukar pandangan sekejap.
Sementara itu Kim lotoa telah membangunkan Bu wi lojin dan
siap berangkat meninggalkan tempat itu.”
Mendadak Kho Beng berseru dg cemas:
“Bukankah tadi terdapat begitu banyak cianpwee yg membantu
kita, mengapa kita tdk minta bantuan mereka lagi?”
Mendengar perkataan tsb, Bu wi lojin segera tersenyum.
“Oooh…itu mah Cuma siasatku utk menakuti mereka, padahal
bayangan manusia tadi Cuma orang-orangan dari rumput yg dibuat
Kim tayhiap, masa hingga sekarangpun belum kau ketahui?”

Tapi…mana mungkin orang-orangan dari rumput bisa
berbicara….”
Sambil tertawa Kim lotoa berkata:
“Sesungguhnya yg berbicara adalah aku, sedang bagaimana nada
suaranya dan apa yg mesti kuucapkan merupakan ajaran dari
cianpwee sebelumnya, yaa...satu orang harus berperan tiga manusia
yg berbeda-beda, hampir saja kakiku terasa mau patah.”
“Oooh...rupanya hanya sebuah siasat tentara rumput” kata Kho
Beng sambil tertawa geli, “andaikata siasat tsb sampai ketahuan
komandan Sin, bukankah keadaan jadi lebih berbahaya?”
Bu wi lojin tertawa pula, katanya:
“Selama hidup aku selalu bertindak sangat hati-hati, sekalipun Sin
Cu beng orangnya cerdik dan seksama, tetap saja ia tak bakal
menyangka kalau aku bertindak begitu berani, oleh sebab itulah kita
harus cepat-cepat meninggalkan tempat ini, sebab aku takut dia
akan balik lagi kemari....”
Mendengar penjelasan tsb, Kho Beng tak berani ayal lagi, ia
segera beranjak meninggalkan tempat tsb.
Maka berangkatlah kesembilan orang itu menuju ketebing seratus
kaki.
Ditengah bukit-bukit karang yg terjal, terdapat sebuah lembah
kecil.
Rerumputan nan hijau dan aneka macam bunga tumbuh disekitar
lembah, diujung lembah tadi terdapat sebuah gua yg besar.
Waktu itu pintu gua tertutup rapat-rapat, Bu wi lojin sedang
duduk diatas sebuah pembaringan sambil mengatur pernapasan,
sedangkan Kho Beng menanti disisinya dg perasaan gelisah dan tak
tenang.
Walaupun sejak tiba digua tsb waktu baru lewat setengah jam,
namun bagi perasaan Kho Beng seperti sudah setengah tahun
lamanya, sebab ia merasa banyak persoalan yg hendak diucapkan
keluar, tentu saja ia pun tahu Bu wi lojin pun mempunyai banyak
persoalan yg hendak disampaikan kepadanya.
Baru saja dia hendak menuju kepintu gua, tiba-tiba terdengar Bu
wi lojin menghembuskan napas panjang sambil berseru:
“Nak, kemarilah!”
Dg girang Kho Beng membalikkan badannya sambil memburu
kesamping pembaringan bata, tampak olehnya walaupun Bu wi lojin
telah bersemedi sekian waktu namun sinar matanya tetap sama dan

sama sekali tak bersinar, hal ini tentu saja membuat hatinya amat
gelisah.
“Cianpwee, apakah kau merasa agak baikan?” ia bertanya.
Bu wi lojin manggut-manggut.
“Yaa..badanku memang terasa segar kembali mungkin utk
sementara waktu bukan menjadi masalah lagi, aaai….tapi untuk
mengembalikan kekuatanku seperti sedia kala, mungkin paling tidak
harus bersemedi lagi selama sepuluh tahun, padahal mampkah aku
hidup selama sepuluh tahun lagi masih menjadi suatu pertanyaan
besar. “
“Siapa sih yg telah melukai cianpwee?” tanya Kho Beng dg wajah
berubah karena terperanjat.
“Dewi In nu!”
“Apakah dewi In nu adalah perempuan yg menyamar sebagai
kuasa perkampungan Hui im ceng dimasa lalu kemudian mengambil
kitab pusaka dari cianpwee?”
Bu wi lojin manggut-manggut.
Dg perasaan yg amat bergetar ia berseru :
“Begitu lihaykah perempuan siluman itu?”
Dg sedih ia menghela napas, katanya:
“Aaaai, dia adalah musuh paling tangguh yg belum pernah
kujumpai selama hidup, pukulan Thian goan eng nya hampir saja
membuyarkan tenaga latihanku selama empat puluh tahun!”
“Thian goan eng?” tanya Kho Beng dg perasaan terperanjat.
Kembali Bu wi lojin menghela napas.
“Ilmu pukulan tsb hanya merupakan salah satu macam ilmu yg
tercantum dalam kitab pusaka Thian goan bu boh....”
“Jadi maksud cianpwee, siluman perempuan itu telah berhasil
mempelajari ilmu sakti yg tercantum dalam kitab pusaka Thian goan
bu boh?” tanya Kho Beng dg wajah berubah.
Bu wi lojin manggut-manggut.
“ Untung saja kitab pusaka sakti Thian goan bu boh mengandung
ilmu silat yg sangat mendalam dan cukup rumit, menurut
perkiraanku dia baru bisa menyelami setengah dari isi kitab tsb,
kalau bukan begitu tak nanti dia akan mengirim begitu banyak jago
dan berusaha utk merebutnya kembali ! “
Kembali Kho Beng merasa amat terperanjat, hanya mempelajari
setengah dari kitab pusaka itu pun sudah begitu lihai, andaikata Bu
wi lojin tdk berjuang mati-matian utk merampas sebagian dari kitab

tsb sehingga perempuan siluman itu berhasil mempelajari seluruh isi
kitab itu, bukankah kekuatannya tiada tandingan lagi didunia ini?
Sementara itu Bu wi lojin telah berkata lagi sambil menghela
napas:
“Aku benar-benar merasa malu terhadap arwah ayahmu dialam
baka....”
“Cianpwee, kau sudah kelewat banyak melepaskan budi kepada
boanpwee, harap kau jangan berkata begitu, apa yg cianpwee
lakukan selama ini sudah membuat boanpwee tak tentram.”
Bu wi lojin menggoyangkan tangannya berulang kali, lalau
berkata:
“Walaupun aku sudah berusaha memeras tenaga dan pikiran
bahkan pertaruhkan pula jiwa tuaku, alhasil hanya separuh buku yg
berhasil kurebut kembali.”
“Separuh buku....?” Kho Beng berseru tertahan.
Bu wi lojin tersenyum,
“Biarpun kitab ini sudah tak utuh, namun aku yakin dewi In nu
tak bakal bisa menguasai ilmu silat maha sakti lagi, bagimu pun hal
ini tak akan mendatangkan kerugian.”
Sambil berkata ia segera membuka buntalannya dan
mengeluarkan dua lembar kulit kambing lalu diletakkan diatas
lututnya.
“Aku tidak mengerti…” Kho Beng berbisik kebingungan.
Sambil menunjuk kearah kulit kambing itu, Bu wi lojin berkata:
“Coba kau perhatikan dulu lukisan diatas kertas ini, kemudian
dengarkan penjelasanku maka kau segera akan mengerti.”
Dg seksama Kho Beng segera memperhatikan kedua lembar kulit
kambing itu, pada lembaran pertama berlukiskan sebuah gambar Pet
kwa besar, didalam pat kwa bersila seseorang dg sepasang tangan
menempel pada Im dan Yang.
Yang aneh adalah letak atau posisi pat kwa tsb ternyata tak
karuan bentuknya, walaupun sepasang tangan orang yg dilukis
ditengah menempel pada posisi Im serta Yang namun justru terlukis
pula beberapa bekas telapak yg berpencar disekeliling gambar pat
kwa.
Pada lembaran kedua pun keadaannya tak jauh berbeda, hanya
posisi pat kwanya berubah lagi, sedang gambar orangnya dari posisi

duduk menjadi berdiri, disitu pun tertera bekas bekas telapak yg
terpencar.
Terdengar Bu wi lojin berkata:
“Kitab pusaka Thian goan bu boh seluruhnya terdiri dari enam
halaman, dua lembar pertama adalah kedua lembar gambar ini,
sedang empat lembar berikut adalah penjelasan. Menurut
pendapatmu, jika kau kehilangan kedua gambar ini, mampukah kau
meneruskan latihanmu?”
Kho Beng termenung sebentar, lalu katanya:
“Apa bila seseorang memiliki daya ingatan yg kuat, mungkin saja
ia bisa mengingat sebagian diantaranya.”
Bu wi lojin tersenyum,
“Benar, oleh karena kau belum memahami rahasia dari kedua
lembar gambar ini maka kau bisa berpendapat demikian, memang
jurus silat pelbagai aliran lain memisahkan antara tenaga dalam
serta perubahan jurus, berbeda sekali dg ilmu silat dari Thian goan
bu boh, setiap jurus silatnya harus disesuaikan dg posisi langkah dan
urutan nadi yg tercantum dalam gambar keterangan ini, sebab bila
salah sedikit saja, bukan Cuma akan terjadi reaksi yg luar biasa,
malah bisa jadi akan menderita jalan api menuju neraka dan
kehilangan seluruh tenaga dalamnya.”
Dg perasaan terkejut bercampur keheranan Kho Beng berseru:
“Kalau begitu utk mempelajari ilmu silat dari kitab pusaka Thian
goan bu boh, seseorang harus membutuhkan petunjuk dari kedua
lembar gambar ini....?”
“Yaa...kalau pelajaran ilmu silat bisa dihapalkan maka kedua
lembar gambar tsb mustahil dihapalkan dg begitu saja, karena orang
harus menyelaminya satu persatu menurut kemajuan ilmu yg
dicapai, apalagi kalau mengandalkan daya ingat saja, resikonya
benar-benar kelewat besar....selain itu akupun pernah mendapat
petunjuk dari ayahmu utk membuatkan tujuh lembar salinan buat
ketujuh partai besar, karenanya aku yakin masih bisa menghapalkan
kembali isi dari halaman terakhir kitab pusaka ini....”
Belum habis ia berkata, dg gelisah Kho Beng telah berseru:
“Oya, tentang soal ini aku memang ingin bertanya, setelah
cianpwee selesai menyalin kitab pusaka tsb, apakah pihak tujuh
partai besar telah menerima salinannya?”
“Belum” Bu wi lojin menggeleng, “aku sendiri pun tak habis
mengerti kenapa ayahmu waktu itu tdk menghargai kitab pusaka

tsb, sedang tujuh partai besar pun tdk banyak bertanya, hingga
sekarang aku belum memahami apa sebabnya.”
Kho Beng segera menghela napas,
“Aaai, kalau begitu dugaanku tak meleset, jelas peristiwa ini
merupakan suatu rencana busuk yg paling sempurna.”
“Rencana busuk apa?” tanya Bu wi lojin terkejut.
“Tahukan cianpwee kenapa ketua dari tujuh partai besar tdk
mengambil salinan kitab pusaka itu? Sesungguhnya mereka
bukannya enggan menerima salinan itu, tapi ditengah jalan telah
bertemu dg seseorang yg menyaru sebagai locianpwee dan berlagak
tidak mengetahui persoalan ini, akibatnya para ketua pertai menjadi
gusar, mereka mengira ayahku mempermainkan mereka, maka
kawanan jago yg kecewa pun berbondong-bondong datang
keperkampungan Hui im ceng yg berakibat terjadinya peristiwa
berdarah itu.”
Berubah wajah Bu wi lojin setelah mendengar perkataan itu,
serunya tanpa terasa:
“Benar, benar sebuah rencana busuk yg amat keji, jadi
maksudmu dalangny adalah orang yg menipu kitab dariku yaitu dewi
In nu?”
“Benar!” jawab Kho Beng dg rasa benci.
Bu wi lojin terbatuk-batuk lalu secara tiba-tiba memuntahkan
segumpal darah kental.....
Bu wi lojin memejamkan matanya sejenak, lalu katanya sambil
menggeleng:
“Waktu sudah amat mendesak, lebih baik kau segera
mempelajari ilmu sakti yg tercantum dlm kitab pusaka Thian goan bu
boh, hanya dg menguasai ilmu sakti inilah kau baru bisa membalas
dendam serta menumpas musuh-musuhmu!”
“Tapi luka yg diderita cianpwee lebih penting lagi artinya....”
buru-buru Kho Beng berseru.
Bu wi lojin tertawa getir.
“Aku tak bakal mati, dg luka dalam yg kuderita sekarang, paling
tidak membutuhkan waktu semedi selama sepuluh tahun utk bisa
memulihkan kembali seperti sedia kala, tapi bila kau mampu
manguasai ilmu sakti dari Thian goan bu boh tsb dalam setengah
bulan mendatang dan kemudian kau bersedia membantuku, niscaya
tenaga dalamku bisa dipulihkan kembali seperti sedia kala cukup
dalam waktu satu tahun saja!”

Kemudian setelah berhenti sejenak, kembali katanya dg wajah
serius:
“Tapi dalam lima belas hari berikut tak boleh ada orang yg
mengusik atau pun mengganggu ketenangan kita, kalau tidak bukan
saja pikiranmu akan bercabang sehingga tak sanggup konsentrasi
penuh, bagi keadaan luka yg kuderita pun akan semakin bertambah
parah, karenanya lebih baik kau atur dulu suatu penjagaan yg ketat
dari orang-orangmu yg diluar, setelah itu aku akan mewariskan
semua teori ilmu sakti tsb kepadamu utk dipelajari!”
Kho Beng mengiakan dan buru-buru keluar dari ruangan tsb.
Sementara itu Rumang beserta Hapukim serta dua bersaudara
Mo yg berkelompok menjadi satu, kemudian Kim kong sam pian
serta si Walet terbang berwajah ganda yg mengelompok disudut
lain, sedang menunggu dg perasaan gelisah dan kesal.
Begitu melihat Kho Beng munculkan diri dg semangat yg
berkobar mereka segera maju menyongsong.
Kho Beng menutup dulu pintu gua rapat-rapat, lalu memberi
tanda kepada semua orang agar duduk, sesudah itu baru katanya:
“Luka dalam yg diderita Bu wi cianpwee sangat parah, ia
membutuhkan waktu utk bersemedi dg tenang tanpa gangguan,
sementara aku sendiri pun akan memanfaatkan kesempatan selama
beberapa hari utk mempelajari ilmu sakti yg tercantum dalam kitab
thian goan bu boh, oleh sebab itu selama lima belas hari berikut
kami tak boleh mengalami gangguan apapun!”
“Soal itu tak usah Kho sauhiap kuatirkan” buru-buru Chin sian
kun berseru sambil tertawa, “biar kami yg akan mengawal
keselamatan kalian selama setengah bulan mendatang!”
“Memang begitu maksudku, kalau toh nona Chin telah ebrkata
demikian, aku sendiri pun tak perlu sungkan-sungkan lagi dg
bantuan saudara sekalian diwaktu susah, dihari-hari sukses nanti
pasti akan kubalas budi kebaikan kalian ini!”
“Sauhiap, apa-apan kamu berkata begitu” seru Kim lotoa, “kami
sangat kagum atas kegagahan serta kebijaksanaan kongcu, sudah
sewajarnya bila teman saling membantu, kau jangan salah mengira,
kami bukan manusia yg kemaruk akan harta ataupun kedudukan,
kongcu, bila kau ingin mengataka sesuatu, katakan saja terus
terang!”

Kho Beng merasa sangat terharu, buru-buru dia mengucapkan
terima kasih, tapi teringat bagaimana caranya membagi tugas
diantara mereka semua kembali ia menjadi sangsi.
Dia merasa tak punya hubungan ataupun persahabatan yg cukup
akrab dg orang-orang tsb, padahal keadaan tidak memberi
kesempatan utk berpikir lebih panjang, meski perkataan Kim kong
sam pian enak sekali didengar, namun berdiri pada posisinya
sekarang bagaimanapun jua dia mesti berjaga-jaga terhadap segala
sesuatu yg mungkin saja bakal terjadi.
Sebaliknya terhadap Rumang sekalian mereka tak lebih hanya
orang-orang liar yg ditaklukan dan ditampung si unta sakti
berpunggung baja dg maksud membantunya jelas sudah diketahui
keikut sertaan mereka dalam rombongannya tak lain krn masalah
kitab pusaka Thian goan bu boh, karenanya terhadap orang-orang
semacam ini, dia tak bisa menaruh kepercayaan penuh.
Berada dlm keadaan seperti ini, bagaimana caranya utk mengatur
penjagaan?
Sementara dia masih termenung dan tak tahu bagaimana
memutuskan, tiba-tiba Chin sian kun berkata sambil tertawa:
“Sauhiap, masih ada persoalan yg menyulitkan dirimu? Mengapa
tdk dikemukakan saja?”
“Ooooh…..tidak ada” buru-buru Kho Beng menggeleng, “aku
sedang berpikir, bagaimana cara pembagian tugas?”
Chin sian kun memang seorang gadis yg pintar dan teliti, dari
perkataan pemuda itu, dia segera dpt memahami kerisauan dari Kho
Beng, maka sambil memutar biji matanya dia berkata:
“Apabila sauhiap dpt mempercayai perkataanku, aku ingin sekali
mengajukan sebuah usul!”
“Bagus sekali kalau begitu, silahkan nona Chin katakan!”
“Gua ini persis menghadap kemulut lembah, andaikata benarbenar
ada musuh tangguh yg menyerbu kemari, maka pertarungan
yg berkobar pasti akan mengganggu ketenangan dlm gua, oleh krn
itu aku pikir lebih baik kita membagi orang-orang kita menjadi dua
rombongan, rombongan pertama menjaga mulut lembah dan
rombongan kedua menjaga didalam dua, kedua kelompok kekuatan
ini harus saling bantu membantu.”
Kho Beng segera manggut-manggut.
“Ehmmm…cara membagi seperti ini memang cocok sekali dg
jalan pemikiranku!”

Tapi persoalan baru kembali muncul, siapa yg mendapat tugas
menjaga dimulut lembah dan siapa didalam gua?
Kelompokdari Rumang sekalian tak bisa dipercaya seratus persen,
sedangkan Kim kong sam pian meski pernah membantu, tapi susah
utk diramalkan apakah kedatangan mereka bukan disebabkan kitab
pusaka Thian goan bu boh.
Sementara dia merasa kesulitan utk mengambil keputusan, Chin
sian kun kembali berkata:
“Bila sauhiap bersedia menerima usul dariku, biarlah Kim
bersaudara serta aku menjaga didalam gua, sedangkan keempat
orang saudara itu menjaga diluar gua…”
Tapi sebelum perkataan itu selesai diucapkan, Molim telah
berseru dg suara dingin:
“Kami keberatan!”
“Kenapa keberatan?” tegur Chin sian kun tertegun.
Sambil tertawa dingin Molim berseru:
“Siapa yg tahu rencana busuk apa yg sedang kau persiapkan dg
cara mengatur seperti itu? Kami empat bersaudara mempunyai
tugas melindungi keselamatan majikan, karena itu tugas menjaga
tak akan kuserahkan kepada orang lain.”
Chin sian kun segera tertawa terkekeh-kekeh:
“He….he….he…sebenarnya perkataan kalian berempat memang
masuk diakal, tapi usul yg sengaja kuucapkan barusan pun
mempunyai dasar-dasar alasan yg kuat, karena kenyataan
mengharuskan aku berbuat begitu!”
“Kenyataan bagaimana maksudmu?” sela Molim dingin.
“Tolong tanya apakah kalian berempat bisa memasak nasi,
membuat sayur….?”
Mokim agak tertegun, lalu sahutnya tergagap:
“Soal ini………”
Sambil tertawa Chin sian kun berkata lebih jauh,
“Kuali serta peralatan memasak berada didalam goa, apakah
kalian menyuruh aku membuat tungku lagi diluar gua? Bagaimana
seandainya hujan turun secara tiba-tiba? Apalagi aku adalah seorang
wanita, masa seorang perempuan disuruh tidur ditempat terbuka?”
Dua bersaudara Mo jadi terbelalak dg wajah melongo mereka
terbungkam seketika itu juga.
Kembali Chin sian kun berkata:

“Oleh sebab itu aku harus berdiam didalam gua, karena aku
berada dalam gua maka ketiga toako dari keluarga Kim secara
otomatis menjaga didalam gua pula. Aku lihat kalian berempat lebih
baik mengalah saja dg menjaga diluar lembah, sementara kebutuhan
sehari-hari akan kupersiapkan, Nah, bagaimana menurut pendapat
sauhiap?”
Kho Beng berpikir sebentar, dia merasa cara tsb memang rasanya
paling baik, maka sahutnya kemudian sambil manggut-manggut:
“Kalau toh nona Chin telah berkata demikian, baiklah kita
putuskan begitu saja. Mulai sekarang kuminta kalian sama-sama
menjaga pada posnya masing-masing, budi kebaikan kalian biar
kubalas lima belas hari kemudian disaat latihanku telah selesai.”
Setelah mendengar perkataan itu, dua bersaudara Mo sekalian
segera mengerti kalau keputusan tak mngkin bisa dibantah lagi,
setelah melotot sekejap kearah Chin sian kun dg gemas, mereka
saling bertukar pandang sekejap dan mengundurkan diri dari gua.
Setibanya dimulut gua, Molim segera berseru dg suara dingin:
“Nah saudara Rumang, saudara Hapukim, kalian sudah melihat
dg jelas?”
Rumang bertanya agak tercengang,
“Apa yg sudah terlihat dg jelas?”
“Perempuan sialan itu sengaja mengatur secara tak adil, dg
menyingkirkan kita keluar lembah, jelas sudah kalau dia tidak
mempunyai maksud baik.”
Rumang tdk mengerti soal akal-akalan, dg wajah tertegun
kembali serunya:
“Apa bedanya menjaga didalam ataupun diluar gua? Toh samasama
menjaganya....”
Sambil tertawa dingin Mokim segera menukas,
“Saudara Rumang, mungkin kau sudah lupa apa maksud
kedatangan kita kemari? Mengapa kita bersedia diperintah si bocah
muda itu?”
“Tentu saja demi ilmu silat maha sakti yg tercantum dalam kitab
pusaka Thian goan bu boh!”
“Kalau toh belum melupakannya, apakah kau tak pernah
mempertimbangkan bahwa orang lain pun kemungkinan besar sama
seperti kita, kedatangannya membawa suatu tujuan tertentu?”
Berubah paras muka Rumang, dg bahasa daerahnya dia langsung
mengumpat.

“Perempuan bajingan, rupanya dia memang sengaja
meninyingkirkan kita keluar lembah agar mereka mempunyai
kesempatan utk turun tangan terlebih dahulu?”
“Ehmm....tak nyana kau sudah mengerti sekarang...”
Dg rasa mendongkol, Hapukim berseru pula :
“Kalau begitu lebih baik kita tantang mereka dan segera
menghabisi orang itu, kita serbu sekarang saja, siapa yg kalah toh,
ia akan kabur sendiri dari sini!”
Habis berkata dia segera bermaksud menyerbu kedalam.
Tapi Mokim segera menarik tangannya seraya berseru:
“Saudara Hapukim, buat apa kau mesti terburu-buru? Sekarang
meski kita dapat mengusir mereka dari situ tapi apalah gunanya buat
kita?”
“Lalu kita mesti menunggu sampai kapan?” tanya Hapukim
setelah termangu-mangu sejenak.
Molim tertawa dingin.
“Sekarang kita tak usah menunjukkan tanda-tanda yg
mencurigakan dulu, toh kesempatan kita masih sangat banyak
sekali. He...he....apalagi keadaan sudah kritis, aku yakin dia pasti
akan menyerahkan kitab pusaka tsb kepada kita!”
Maka mereka berempat secara diam-diam mengadakan
perundingan rahasia, utk membahas persoalan tsb.
Pada saat yg sama, Kim kong sam pian serta Chin sian kun yg
berada didalam gua pun sedang melangsungkan perundingan
rahasia, hanya saja yg dirundingkan mereka adalah bagaimana
caranya mencegah serta menghadapi serangan penghianatan dari
keempat orang asing yg menjaga dimulut lembah.
Perubahan wajah Molim sekalian ketika mengundurkan diri dari
gua tadi telah meningkatkan kewaspadaan Chin sian kun sekalian.
Kho Beng sendiri telah kembali kedalam gua setelah selesai
melakukan pembagian tugas tadi, pintu gua segera ditutup rapatrapat
dan putuslah hubungan antara luar dan dalam gua bagaikan
dunia yg terpisah.
Waktu pun berlangsung hari demi hari dg tenang, ketenangan tsb
sesungguhnya hanya saat tenang menjelang tibanya badai besar,
hanya saja tak ada yg bisa meramalkan kapan badai yg dahsyat itu
akan mulai menyerang....
Keadaan seperti itu berlangsung selama tiga hari lamanya.

Pada keesokan hari keempat, ketika Chin sian kun melihat
ransum yg dibawa masing-masing orang sudah habis termakan, dia
pun membawa kantung kain dan keranjang bambu turun gunung utk
membeli bahan makanan.
Sebelum berangkat, dia berpesan dulu kepada Kim kong sam
pian agar lebih berhati-hati, ketika tiba diluar lembah, ia
menyaksikan Rumang sekalian sedang bergurau dalam sebuah
gubuk mesra yg kelihatan masih baru, maka dia pun menyapa
orang-orang tsb sambil tertawa, kemudian meneruskan
perjalanannya menuruni bukit.
Siapa tahu belum mencapai tengah jalan, mendadak ia melihat
ada seseorang berjalan mendekat dg langkah sempoyongan, dg rasa
terkejut nona itu menyelinap kebelakang sebuah batu besar dan
bersembunyi disitu.
Kehadiran seseorang ditengah pegunungan yg terpencil dan sepi
seperti apa yg terjadi hari ini membuat kewaspadaan Chin sian kun
segera ditingkatkan.
Ia tahu dewasa ini Kho Beng sudah menjadi orang yg dicari-cari
seluruh umat persilatan, ditambah lagi usaha dewi In nu yg
berusaha utk mendapatkan kembali kitab pusakanya yg hilang, maka
apabila ada musuh yg mengetahui tempat persembunyian mereka
sehingga mereka mengadakan serbuan secara besar-besaran,
akibatnya pasti susah dibayangkan lagi.
Itulah sebabnya sebelum dia melihat dg jelas wajah orang itu, ia
tak berani bertindak secara gegabah, dia ingin menyelidiki dulu asal
usul lawannya sebelum bertindak lebih jauh.
Sementara itu bayangan manusia tadi makin lama makin
mendekat, malah sambil berjalan orang itu memperdengarkan suara
nyanyian kecil.
Ketika Chin sian kun mencoba utk memperhatikan dg lebih
seksama, ternyata orang it adalah seorang hwesio.
Hwesio itu menggunakan jubah pendeta yg sudah amat dekil,
warnanya sudah luntur hingga semuanya kelihatan berwarna gelap,
dia membawa sebuah buli-buli besar, tangan kirinya membawa
sebuah tongkat bambu, sedang kan tangan kanannya membawa
sebuah bungkusan.

Ia memiliki wajah bulat dg mata yg merah krn mabuk, jalannya
sempoyongan, wajah maupun bentuk tubuhnya yg begitu dekil dan
menjijikkan membuat siapapun pasti akan tumpah bila melihatnya.
Setelah melihat dg jelas keadaan hwesio tsb, Chin sian kun
merasa amat kesal dan murung, ia tak tahu darimana datangnya
pendeta liar tsb? Dimana orang itu justru muncul disitu dalam
keadaan seperti ini?
Terdengar hwesio itu membawakan lagu senandung lirih
mengiringi tiap derap langkahnya:
“Langit tak berawan, cuaca cerah,
Ada arak ada daging, tak bakal kelaparan,
Kantong kosong tanpa sepeserpun, tak takut merampok.
Orang-orang gagah perkasa, tak bermaksud jahat.
Kau tidak mengganggu aku, akupun tidak menggenggumu.
……………………..”
Nyanyi punya nyanyi, orang itu sudah berjalan melewati batu
karang.
Mendadak ia berhenti berjalan, lagu senandung pun ikut berhenti
dibawakan.
Tampak hwesio itu mendengus beberapa kali disekitar sana,
kemudian gumamnya:
“Aneh, aku sihwesio telah bertemu dg memedi?aukah aku sudah
ketimpa rejeki?”
Tercekat perasaan Chin sian kun melihat tingkah laku pendeta
itu, pikirnya:
“Jangan-jangan dia sudah mengetahui kalau aku bersembunyi
dibelakang batu?”
Belum habis ingatan tsb melintas lewat, tampak si hwesio itu
berjalan kembali dg sempoyongan sambil bersenandung:
“Setan dedemit, janganlah mendekat…..
Bila mabukku telah mendusin…..
Biar kupaksa kau unjukkan wujud aslimu……………..
Makin berjalan semakin jauh suara senandungnya makin lirih,
Chin sian kun yg bersembunyi dibelakang batu semakin terperanjat
lagi setelah ia mengintip keluar.
Ternyata meskipun langkah si hwesio itu gontai macam orang
mabuk arak, namun gerak tubuhnya sama sekali tidak lambat, dlm
waktu singkat ia sudah berada sepuluh kaki lebih dari posisi semula,

lagi pula arah yg dituju adalah jalan setapak dimana Chin sian kun
baru saja melewatinya.
Chin sian kun berpikir sejenak, lalu diputuskannya utk
mengikutinya dulu secara diam-diam, bila pihak lawan tdk menuju
kearah lembah dimana dirinya berdiam, ia akan segera balik, kalau
tidak maka dia harus munculkan diri utk menghalanginya.
Secara diam-diam nona itu merangkak keluar dari belakang batu
lalu menelusuri kembali jalan semula dan menguntil dibelakang
pendeta itu.
Setelah melalui sebuah bukit, ternyata ia saksikan pendeta tsb
benar-benar menuju ke gua dimana mereka tinggal.
Chin sian kun segera merasakan gelagat tdk menguntungkan ,
dia tak tahu apa maksud kedatangan pendeta tsb, melakuakan
penyelidikan? Ataukah hendak mencari gara-gara?
Tapi ada satu hal yg pasti yakni dia harus segera munculkan diri
utk menghalangi jalan pergi pendeta tsb, dlm gelisahnya dia segera
menarik napas dan melompat ketengah udara, bentaknya nyaring:
“Hey hwesio! Tunggu sebentar, aku hendak menanyakan sesuatu
kepadamu...!”
Hwesio itu benar-benar menghentikan langkahnya sesudah
mendengar teriakan tsb.
Bagaikan seekor walet yg melintas diangkasa, dalam beberapa
kali jumpalitan saja Chin sian kun telah melayang turun dihadapan
pendeta tsb.
Bau arak yg amat menusuk hidung membuat nona itu berkerut
kening, tapi ia memaksakan diri utk tertawa saja sambil bertanya,
“Taysu hendak kemana?”
Hwesio itu memutar biji matanya beberapa kali, lalu sahutnya
sambil tertawa terkekeh.
“He....he.....he....jadi setengah harian lamanya tujuanmu hanya
ingin mengajukan pertanyaan tsb?”
Merah jengah selembar wajah Chin sian kun, serunya kemudian
agak tersipu-sipu,
“Ternyata taysu sudah mengetahui kehadiranku semenjak tadi,
kalau begitu harap kelancanganku ini sudi dimaafkan.”
Hwesio itu tertawa terkekeh-kekeh.
“Kalau didengar dari nada pembicaraanmu amat sungkan, tapi
siapa yg bisa menduga pikiran macam apa yg terkandung dalam
benakmu?”

“Taysu, aku sama sekali tdk bermaksud jahat...!” kata Chin sian
kun serius.
Hwesio itu memutar biji matanya yg memperhatikan sekejap
tubuh si nona dari atas hingga bawah lalu sambil tetap tertawa
katanya,
“Ehmmm.kalau ku amat-amati wajahmu rasanya memang agak
berbeda dg kelompok manusia yg berada dibawah bukit sana, coba
kalau bukan krn begitu, aku si hwesio sudah tak akan bersikap
sungkan-sungkan lagi kepadamu!”
Sudah setengah harian lamanya mereka berbicara namun
hasilnya belum berbicara banyak, lama kelamaan mendongkol juga
Chian sin kun dibuatnya.
Namun dia masih berusaha utk menahan sabar, kembali katanya:
“Sebenarnya taysu hendak pergi kemana?”
“Ha…ha…ha….pentingkah persoalan ini bagimu?”
“Benar!”
“Kalau begitu tak ada salahnya kalau kuberitahukan kepadamu,
aku si hwesio hendak kemana!”
Ternyata yg ditunjuk adalah arah kemulut lembah tersebut.
Setelah menengok kearah yg ditunjuk, Chin sian kun segera
berseru keras:
“Taysu, apabila kau tdk mempunyai urusan yg begitu penting,
tolong tak usah kesana!”
Pendeta itu agak tertegun, setelah memutar biji matanya
beberapa saat kembali tanyanya:
“Mengapa?”
Setelah termenung sebentar Chin sian kun menjawab:
“Tidak karena apa-apa, aku cma memohon kesudian taysu agar
taysu sudi memakluminya!”
Pendeta itu segera tertawa bergelak:
“Ha....ha....ha....kalau tidak kau kemukakan alasannya,
bagaimana mungkin aku bisa memaklumi dirimu? Ha...ha....dasar
perempuan, aku si hwesio paling tidak suka berhubungan dg kaum
wanita macam dirimu itu, karenanya kuharap kau pun jangan
mengusik diriku lagi, setiap orang mempunyai maksud dan tujuan yg
berbeda. Lebih baik kau tempu jalan raya Yang kwan to mu dan aku
menyebrangi jembatan To bok kiau ku, kau tak punya alasan utk
melarang kepergianku, sebaliknya aku si hwesio pun tak ingin

mengurusi dirimu!”
Habis berkata kembali dia meneruskan langkahnya menuju
kemuka....
Tergopoh gopoh Chin sian kun mengundurkan diri lima langkah
kebelakang, setelah itu bentaknya keras-keras:
“Berhenti! Hey hwesio, apakah kau tak bersedia menuruti
nasehatku.....?”
Sambil memicingkan matanya pendeta itu tertawa terkekehkekeh:
“Tidak banyak lagi manusia didunia ini yg bisa membuat aku si
hwesio menuruti perkataannya, apalagi aku si hwesio sudah menjadi
seorang pendeta, aku tak takut dg teriakan singa betina macam
kau.”
Merah jengah selembar wajah Chin sian kun, segera bentaknya
keras-keras:
“Hey hwesio anjing, masih mending kalau kau enggan
mendengarkan nasehatku, eee..siapa tahu mulutmu usil dan berani
berbicara seenaknya sendiri, aku lihat kau sudah boan hidup
rupanya?”
Sambil membuang keranjang dari tangannya ia segera membalik
tangannya dan meloloskan pedang daribahunya.
Kembali hwesio itu memutar biji matanya sambil menjulurkan
lidah serunya:
“Wah, sungguh lihai, rupanya kau sudah pingin menggunakan
senjata utk membunuh orang?”
“Betul!” sahut Chin sian kun sambil menarik muka, “bila kau si
hwesio bersikeras hendak meneruskan niatmu, terpaksa aku pun
mesti berbuat keji terhadapmu!”
“Baik, baiklah, kerjaku setiap hari Cuma minum arak melulu, tak
nyana hari ini mempunyai kesempatan utk melmaskan otot. Nah, Li
pousat, kalau pingin bertarung sih, aku setuju saja, Cuma mesti
berlaku adil......”
“Hmmmm, cara yg bagaimana kau anggap adil?” dengus Chin
sian kun dingin.
“Seandainya kau tak berhasil mengungguli diriku, maka kau tak
boleh merecoki diriku lagi!”

“Andaikata kau si hwesio benar-benar memiliki kemampuan
semacam itu, tentu saja nyonya mudamu tak akan bernyali lagi utk
mencari penyakit sendiri!”
“He....he....he....betul, betul sekali!” hwesio itu tertawa terkekehkekeh,
“setiap orang mengatakan bahwa buddha adalah maha
pengasih, tapi aku si hwesio ada kalanya berhati keji dan suka
melakukan pembantaian sampai keakar-akarnya!”
“Sebelum bertarung, aku si hwesio ingin menum arak dan makan
daging dulu utk membangkitkan semangat, bersediakah kau
menunggu sebentar saja? Kujamin aku tak bakal menyergapmu
secara licik?”
Jilid 19
Usia pendeta itu mesti nampaknya telah mencapai lima enam
puluh tahunan lebih, ternyata caranya berbicara amat polos dan
kekanak-kanakan, melihat itu Chin sian kun jadi kegelian.
“Hwesio bau, kalau ingin makan silahkan makan dulu sampai
kenyang dan minum juga sepuasnya, dg begitu andaikata nyawamu
sampai melayang meninggalkan raga, kau tak akan mati sebagai
setan yg kelaparan lagi.”
Kembali pendeta itu tertawa terbahak-bahak:
“Ha…ha…ha…arak memang bisa memabukkan orang, tapi
anehnya justru tak pernah bisa membuat aku si hwesio menjadi
mabuk!”
Dg cepat dia menancapkan toyanya keatas tanah, mula-mula
diambilnya buli-buli besar itu, lalu setelah dibuka penutupnya, ia
teguk isinya sampai beberapa tegukan.
Kemudian ia mengeluarkan sebuah bungkusan kertas, ternyata
isinya adalah paha anjing yg telah dikeringkan, digigitnya daging itu
segumpil lalu dikunyahnya dg amat nikmat, tak lama kemudian ia
menyembur keluar sepotong tulang.
Selama ini Chin sian kun mengawasi terus gerak gerik pendeta
tsb, tiba-tiba saja paras mukanya berubah hebat.
Ternyata tulang yg disemburkan si hwesio tadi telah menembusi
batang pohon besar yg tumbuh disisi jalan sehingga muncul sebuah
lubang yg cukup besar.

Demontrasi tenaga dalam yg dilakukan pendeta tsb menunjukkan
betapa sempurnanya kemampuan yg dimilikinya, ini seperti ilmu
silatnya telah mencapai taraf melukai orang dg memetik daun.
Bagaimanapun juga Chin sian kun membayangkan, ia tak pernah
mengira kalau lagak sinting dan kegila-gilaan si hwesio tsb,
sebenarnya hanya tuk menggoda serta mempermainkannya.
Kalau ditinjau dari kemampuannya menembusi batang pohon dg
semburan tulangnya jangan lagi kemampuannya sekarang belum
bisa menandingi, biar mesti berlatih tiga puluh tahun lagi pun belum
tentu kemampuannya bisa mencapai taraf yg dimiliki si hwesio
sekarang.
Dalam terperanjatnya dia sadar, bila benar-benar sampai
berkobar suatu pertarungan, maka orang lain cukup mengandalkan
sebuah jari kelingkingnya sudah mampu utk mencabut nyawanya.
Ini berarti jalan terbaik baginya sekarang adalah pulang lebih
dulu utk memperingatkan teman-teman lainnya.
Berpikir sampai kesitu tanpa memperdulikan keranjangnya lagi, ia
segera membalikkan badan dan kabur menuju kedalam lembah.
Sementara itu terdengar si hwesio yg berada dibelakangnya
berteriak keras-keras:
“Hey, jangan kabur dulu! Jangan kabur dulu! Aku si hwesio kan
sudah selesai bersantap….”
Chin sian kun benar-benar pecah nyalinya, tentu saja ia tak
berani berpaling lagi, sambil mengerahkan segenap tenaga dalam yg
dimilikinya ia melarikan diri semakin cepat lagi.
Dalam waktu singkat ia telah balik kembali kemulut lembah,
sewaktu berpaling dan tidak melihat bayangan tubuh si hwesio dia
baru menghentikan langkahnya sambil terengah-engah.
Hapukim serta Rumang sekalian bertugas menjaga dimulut
lembah menjadi tertegun setelah menyaksikan peristiwa ini, mereka
tak habis mengerti persoalan apa yg telah terjadi sehingga nona itu
kabur terbirit-birit dg napas tersengal.
Hapukim segera bertanya keheranan:
“Nona, mengapa secepat itu kau sudah kembali?”
“Aku telah bertemu musuh tangguh ditengah jalan, kalian harus
berjaga-jaga dg lebih berhati-hati lagi!” seru Chin sian kun segera.
Keempat orang itu menjadi terkejut sekali, paras muka mereka
sampai berubah.

“Nona, berapa banyak musuh yg kau temui?” buru-buru Molim
bertanya dg gelisah.
“Hanya seorang!”
“Hanya seorang?” Molim segera tertawa terkekeh-kekeh, “apalah
artinya kalau Cuma seorang? Nona, kau tak usah terlalu mengadaada,
yg satu itu serahkan saja kepada kami!”
“Biarpun hanya seorang, siapa tahu dibelakangnya masih ada yg
lain, kalian tak boleh bertindak kelewat gegabah” kata Chin sian kun
serius.
Belum selesai perkataan itu diutarakan, dari kejauhan sana sudah
terdengar suara senandung kecil yg bergema dibawa hembusan
angin.
Dg perasaan tercekat, buru-buru Chin sian kun berkata algi:
“Nah itu dia, orangnya sudah datang! Si Hwesio itu berhawa
sesat, kalian tak boleh memandang enteng kemampuannya, lebih
baik lagi jika maju bersama-sama, usahakan utk halangi
keinginannya memasuki lembah ini, aku akan segera masuk dulu utk
memberi tahu Kim bersaudara agar membantu setiap saat!”
Selesai berkata cepat-cepat dia lari masuk kedalam lembah.
Belum lama Chin sian kun berlalu dari situ, bayangan tubuh si
hwesio sudah mulai nampak dari kejauhan sana dan berjalan
mendekat dg langkah sempoyongan.
Melihat kedatangan si hwesio tsb, Molim segera menjengek
sambil tertawa dingin:
“He…he…he…kukira jagoan sehebat apakah yg telah datang
mencari gara-gara, tak tahunya Cuma seorang lhama mabuk….!”
Orang asing menyebut hwesio dg lhama, mendengar perkataan
itu Rumang berkata pula sambil tertawa tergelak.
“Haaa…..haaa….haaaa….kalau untuk menghadapi seorang lhama
mah, biar aku seorang yg menghadapinya, aku lihat orang-orang
Tionggoan hanya setali tiga uang, sama-sama tak becus semuanya!”
“Tunggu dulu!” tiba-tiba Mokim berseru dg suara dalam,
kemudian kepada Molim katanya lagi:
“Lotoa. Dg munculnya si penyerbu tsb, bukankah sama artinya
kesempatan buat kita telah tiba? Sebentar lebih baik kita berpurapura
menghalanginya sebentar, lalu kita biarkan lhama itu menyerbu
masuk, begitu keempat telur busuk itu terlibat dalam pertarungan
seru melawan si lhama, kita segera menyerbu kedalam ruangan batu
dan turun tangan!”

Tapi Molim segera menggeleng, katanya:
“Baru tiga hari lewat, aku rasa bocah she Kho itu belum mencapai
saat yg kritis dalam latihannya, lebih baik kita bersabar lagi beberapa
hari, daripada perbuatan kita menimbulkan rasa curiga dari beberapa
orang telur busuk itu, usaha kita dikemudian hari tentu akan banyak
mengalami kesulitan…”
Sementara pembicaraan masih berlangsung, si hwesio telah
berjalan mendekati mulut lembah sambil mengunyah daging
anjingnya.
Hapukim segera menampilkan diri seraya membentak keras:
“Hey lhama, ada urusan apa kau datang kemari?”
Hwesio itu benar-benar amat dekil, bau arak amat menusuk
hidung, paha anjing yg dikunyahnya kini tinggal sekerat tulang saja.
Ketika ia melihat jalan perginya dihadang oleh Rumang sekalian
dg senjata terhunus, pendeta itu kelihatan agak tertegun sebentar,
setelah itu katanya sambil tertawa terkekeh-kekeh:
“Heee…he….he….rupanya ada orang telah tertarik dg tempatku
ini, tak heran kalau nona tadi berusaha menghalangi kedatanganku
kemari, ha….ha….ha….kalau kuamati dialek kalian berempat,
tampaknya kamu semua bukan penduduk daratan Tionggoan, tapi
apa sebabnya mendirikan sarang dibukit ini?”
Hapukim tertawa seram:
“Heee….he….he….kami berasal dari wilayah Ceng hay, hey
lhama, sudah ada orang yg mendiami lembah ini, karenanya bila kau
sudah tak ada urusan lekaslah menggelinding pergi sejauh-jauhnya
dari sini, kalau tidak, hmmm! Jangan salahkan bila diujung golokku
tak kenal belas kasihan dan kujagal dirimu!”
Hwesio itu segera tertawa terbahak-bahak:
“Haaa…heaaa…haaa…badan aku si hwesio kurus dan tak bisa
menghasilkan berapa puluh kati daging, bila ingin membunuhku
maka golok tsb bakal melengkung terkena tulang. Cuma saja aku si
hwesio pun tidak berniat menjagal kalian sebab berapa kerat tulang
kalian tak akan menghasilkan daging seharum daging anjingku
ini………….”
Hapukim menjadi teramat gusar sehabis mendengar perkataan
itu, teriaknya keras-keras:
“Pendeta bajingan! Kau berani membandingkan kami seperti
anjing? Jangan kabur dulu, kau mesti merasakan dulu sebuah
bacokan golokku ini…!”

Sambil bergerak kedepan, goloknya diputar kencang menciptakan
selapis cahaya golok yg secara langsung menyapu ketubuh hwesio
itu.
Ditengah gulungan cahaya tajam yg menyilaukan mata terdengar
hwesio itu berteriak keras:
“Aduh mak…rupanya kau benar-benar mau membunuh orang,
waaah…tampaknya aku si hwesio terpaksa harus menggunakan
tulangmu utk diadu dg tulang anjing ini, coba kita buktikan mana yg
lebih keras?”
Dg langkah terhuyung dia menghindarkan diri kesamping dan
persis berhasil melepaskan diri dari bacokan golok Hapukim,
menyusul kemudian tangan kanannya diayunkan kedepan, tiba-tiba
saja tulang anjing itu terlepas dari tangannya dan bagaikan sekilas
cahaya putih, langsung menerobos kebalik cahaya golok tsb.
Tiba-tiba saja terdengar Hapukim menjerit kesakitan, golok
terjatuh ketanah dan ia melompat mundur sambil memegangi bahu
kanannya.
Sepasang matanya kelihatan merah membara, mukanya pucat
pias seperti mayat, tampaknya tulang anjing yg disambit kedepan
persis menghajar diatas tulang badannya dan tidak terlalu parah
namun ternyata persis melepaskan tulang sambungan bahunya.
Sementara itu si hwesio telah memejamkan matanya kembali,
setelah memindahkan toyanya ketangan kanan, ia berseru:
“Hey, kenapa kau? Aku toh baru bersiap siap akan berkelahi,
kenapa kau malah membuang senjata dan tidak jadi bertarung?”
Dalam pada itu, Mokim, Molim serta Rumang yg telah melihat
Hapukim telah menderita luka sebelum goloknya sempat menyentuh
tubuh hwesio itu, menjadi terkejut sekali.
Dg suara keras Rumang berteriak:
“Wah lhama ini pandai ilmu sihir!”
“Ha…ha…ha…betul, aku memang pandai ilmu sihir” seru si
hwesio sambil tertawa bergelak, “bukan Cuma ilmu sihir, ilmu
buddha pun kukuasai secara baik, aku bisa membuat orang berubah
menjadi setan! Nah, apakah kalian bertiga ingin mencoba bagaimana
rasanya kalau manusia dirubah menjadi setan?”
Sementara itu satu ingatan telah melintas dalam benak Molim,
tiba-tiba dia menyingkir kesamping sambil katanya”
“Kami tak mampu mengungguli dirimu, nah lhama, bila ingin
masuk kedalam, silahkan saja masuk!”

Oleh karena kenyataan membuktikan bahwa apa yg diucapkan
Chin sian kun tadi memang benar, hwesio itu kelewat lihay sehingga
mereka tdk mampu lagi menandinginya, timbullah niat jahat didalam
benaknya, ia berharap bisa meminjam kemampuan hwesio tsb utk
merobohkan Kim kong sam pian, siapa tahu dg munculnya
kesempatan baik ini maka mereka bisa menyerbu secara langsung
kedalam ruangan utk merebut kitab pusaka Thian goan bu boh!
Begitu melihat saudaranya memberi jalan, Mokim segera
memahami apa yg menjadi tujuan kakaknya, cepat dia menyingkir
kesamping jalan sambil diam-diam tertawa dingin.
Hwesio itu kelihatan agak tertegun setelah menyaksikan apa yg
terjadi, gumamnya:
“Kalau sikapnya tadi begitu bengis, buas dan menyeramkan,
mengapa sikapnya sekarang malah begini sungkan?
Hmmm…kelihatannya dlm lembah tsb benar-benar terdapat sesuatu
yg luar biasa….
Sembari bergumam, dia segera meneruskan perjalanannya
memasuki lembah itu dg sempoyongan.
Baru memasuki kemulut lembah, tampak Kim kong sam pian dg
ruyung terhunus telah berdiri berjajar menghalangi jalan perginya,
sementara Chin sian kun dg pedang melintang didepan dada berdiri
disampingnya.
Melihat hwesio itu munculkan diri, si nona segera menegur dg
suara dalam:
“Hey hwesio, rupanya kau memang sengaja kemari utk
menyelidiki jejak kami?”
Hwesio itu kembali tertawa terkekeh-kekeh:
“Aneh benar perkataanmu itu, aku toh bukan merampok uang
atau membegal barang orang lain, akupun bukan penjahat cabul yg
suka menghisap madu perempuan, buat apa mesti kuselidiki jejak
kalian?”
“Lantas ada urusan apa kau si hwesio datang kemari?” sambung
Kim losam dg suara dalam.
Hwesio itu tertawa tergelak:
“Haaaa…haaaa…haaa…kalian boleh kemari, mengapa aku si
hwesio tak boleh kemari? Lagi pula lembah hati buddha ini
merupoakan tempat tinggal aku si hwesio, kalian bukan saja telah
menduduki tempat tinggalku, sekarang malah bermaksud mengusir

diriku dari sini, coba bayangkan sendiri, adilkah kejadian macam
ini?”
Kim kong sam pian menjadi termangu sesudah mendengar
perkataan tsb, berapa saat kemudian Kim lotoa dg wajah agak
berubah , tanyanya agak gelisah:
“Taysu, kau mengatakan gua ini adalah tempat pertapaanmu?”
“Benar, aku baru pulang dari mengembara selama beberapa
tahun, benar-benar tak kusangka kalau rumah kediamanku telah
berganti pemilik!”
Tiba-tiba saja sikap Kim lotoa berubah menjadi menghormat
sekali, kembali tanyanya:
“Boleh aku tahu nama besar taysu…?”
“Haa…haaa.haaaa….sejak kecil aku si hwesio sudah hidup
sebatang kara, aku tak pernah punya nama, apalagi sesudah
menjadi pendeta, aku lebih-lebih tak butuh nama lagi, tapi karena
kegemaranku yg utama adalah daging anjing, maka orang lain
memanggilku sebagai si hwesio daging anjing…”
Kim lotoa amat terperanjat, baru tiga hari berselang Bu wi lojin
mengajarkan banyak tingkah laku dan logat bicara dari tokoh-tokoh
sakti dunia persilatan, diantaranya terdapat pula nama hwesio
daging anjing yg akhirnya berhasil memukul mundur komandan Sin
anak buah dewi In nu.
Sungguh tak di sangka orang yg dihadapinya sekarang ternyata
adalah pendeta sakti yg termasyur dalam dunia persilatan tapi
jarang ditemui orang itu.
Buru-buru dia menarik kembali ruyungnya dan berseru sambil
memberi hormat:
“Rupanya pendeta agung dari dunia persilatan yg telah datang,
Tiga ruyung dari telaga Tong ting, Kim Lotoa menjumpai taysu..”
Kemudian kepada Kim loji dan losam , bentaknya pula:
“Saudara-saudaraku, kenapa kalian tdk segera menjumpai
pendeta agung………”
Cepat-cepat Kim loji dan losam menyimpan kembali ruyungnya
dan memberi hormat.
Demikian pula dg Chin sian kun, sambil memberi hormat katanya:
“Ditengah jalan tadi aku tak tahu kalau pendeta suci yg datang,
apabila dlm perkataan maupun tingkah laku telah menunjukkan
sikap kurang sopan, harap taysu sudi memaafkan!”
Hwesio daging anjing mengernyitkan alis matanya, lalu berseru:

“Kalian jangan bersikap begitu sungkan dulu kepada aku si
hwesio, heee…heee…coba terangkan dulu, apa yg sedang kalian
perbuat didalam gua tempat kediamanku itu?”
Buru-buru Chin sian kun menjelaskan,
“Taysu, terus terang saja didalam gua ada orang sedang
mengatur napas utk mengobati luka yg dideritanya, sedangkan
boanpwee Chin sian kun bersama Kim bersaudara dan keempat
orang diluar lembah itu mendapat tugas utk melindungi
keselamatannya.”
“Ooooh…siapa yg sedang bersemedi utk mengobati lukanya?”
“Dia adalah Bu wi locianpwee!” sahut Kim lotoa cepat.
“Bu wi lojin yg mana yg kau maksudkan?” seru si hwesio daging
anjing agak tertegun.
Tapi sebentar kemudian ia sudah tertawa tergelak kembali,
katanya lebih jauh:
“Haaaa….haaaa….haaaa…bagus sekali, rupanya si barang antik
itu. Tapi…bukankah kudengar ia telah mengundurkan diri dari
keramaian dunia persilatan? Bagaimana ceritanya sehingga ia dapat
dilukai orang?”
Kim lotoa segera menghela napas panjang:
“Aaaai…persoalan ini panjang sekali utk diceritakan, silahkan
taysu masuk dulu kedalam gua, bonpwee tentu akan memberi
keterangan sejelas-jelasnya.”
Ketika melihat Molim sekalian sedang celingukan dari luar
lembah, buru-buru sserunya pula:
“Silahkan saudara berempat masuk pula kedalam utk menjumpai
taysu….
Molim agak tertegun setelah mendengar perkataan itu,
sebenarnya mereka berempat bermaksud akan menyelundup masuk
kedalam begitu si hwesio telah terlibat dalam pertarungan melawan
Kim bersaudara, siapa tahu hwesio itu ternyata adalah sahabat karib
Bu wi lojin.
Karena sudah ditegur terpaksa mereka bersama Hapukim berdua
harus munculkan diri dan memberi hormat kepada hwesio daging
anjing.
“Tak usah banyak adat” seru hwesio itu cepat, “betul-betul air
bah menggenangi kuil raja naga, anggap aku si hwesio yg salah, hey
saudara tua bagaimana dg luka dibahumu? Bagaimana kalau
kusambungkan kembali tulangmu yg terlepas?”

“Luka yg diderita saudara Hapukim telah kusambung kembali, tak
usah merepotkan toa lhama!” tampik Molim ketus.
Hwesio daging anjing kembali tertawa,
“Baik…baik..biar selewat beberapa hari aku si hwesio akan
memberi ganti kerugian kepada loheng ini.”
Lalu sambil berpaling kembali kearah Chin sian kun, katanya lebih
jauh:
“Hey nona cilik, untung kau lebih cepat tahu gelagat,
he…he….he…kalau tidak kau sendiripun akan merasakan sedikit
pelajaran dariku!”
“Biarpun aku digebuk oleh taysu juga tak jadi masalah, siapa
tahu gara-gara bencana boanpwee akan mendapat rejeki?”
Hwesio daging anjing tertawa bergelak.
“Haaaah…..haaaah…haaaah…tak kunyata kunyana selembar
mulutmu yg mungil begitu pandai berbicara, baik..baiklah, berapa
hari lagi kalian akan menjaga disini?”
“Masih memerlukan waktu selama dua belas hari lagi sebelum
semedi itu diselesaikan!” sahut Kim lotoa segera.
“Bagus sekali, asal disediakan arak dan daging, aku si hwesio
akan mengendon pula disini, kujamin tak ada yg berani mengusik!”
“Hmmm…aku rasa belum tentu demikian” tiba-tiba terdengar
seseorang menjengek dari luar lembah sambil tertawa dingin.
Dg perasaan terkejut ketujuh orang yg berada dalam lembah
berpaling, tampaklah dimulut lembah telah muncul tiga sosok
bayangan manusia.
Dari ketiga orang itu dua diantaranya adalah kakek berusia lima
puluhan yg semuanya memakai jubah panjang berwarna ungu,
sepasang alis matanya tebal lagi hitam, matanya tajam bagaikan
kilat, senjata yg dibawa berbeda sekali dg senjata pada umumnya.
Bentuk senjata mereka seperti dua batang tongkat besi biasa tapi
diujungnya masing-masing terdapat sebuah kupu-kupu besi yg
sedang mementangkan sayapnya, bentuk ukiran itu sangat indah
sehingga mirip sekali dg kupu-kupu sungguhan.
Orang ketiga adalah seorang perempuan cantik jelita yg berusia
tiga puluhan, ia memakai baju berwarna putih dan kelihatan genit
sekali.
Orang yg berbicara barusan tak lain adalah perempuan berbaju
putih itu.

Ketika selesai berbicara, perempuan itu segera mengulapkan
tangannya kebelakang, dari luar lembah pun segera muncul kembali
delapan orang jago pedang yg semuanya memakai pakaian ringkas
bewarna kuning, orang-orang itu kelihatan amat keren, garang dan
penuh napsu membunuh.
Berubah paras muka Kim kong sam pian melihat kehadiran
musuh-musuhnya, mereka segera berpikir dg rasa kaget:
“Orang-orang ini asing sekali wajahnya, entah mereka berasal
dari aliran mana?”
Dalam pada itu si hwesio daging anjing telah berkata sambil
tertawa terbahak-bahak.
“Haaaah…haaaah….haaaah…ternyata lagi-lagi kalian yg datang
mengacau, aku lihat kalian seperti belum puas juga dan
mendatangkan bala bantuan, apakah hendak mencari aku si hwesio
utk menuntut balas?”
Chin sian kun yg melihat hal ini, segera bertanya dg wajah
keheranan:
“Apakah cianpwee kenal dg mereka?”
Hwesio daging anjing tertawa:
“Sewaktu masih berada dibawah bukit tadi, sobat-sobat yg
memakai baju kuning itu bersama lima enam perempuan mengamati
terus aku si hwesio secara membingungkan, tapi akhirnya ada dua
orang yg kucopot tulangnya sebelum mereka bubaran…eeeei…tak
tahunya mereka datang lagi utk mencari gara-gara.”
Perempuan berbaju putih itu segera tertawa dingin, katanya:
“Kesalah pahaman bisa sering terjadi didalam dunia persilatan,
krn itu kedatangan kami kemari bukanlah utk mencari gara-gara dg
kau hwesio, asal kau si hwesio bersedia utk berpeluk tangan belaka,
aku pun berjanji tak akan memusuhi dirimu!”
Hwesio daging anjing nampak agak tertegun, lalu setelah
memutar biji matanya dan tertawa terkekeh-kekeh, katanya:
“Haaah…haaah….haaaah…mengerti sekarang aku si hwesio,
rupanya kalian hendak mencari gara-gara dg si tua Bu wi..?”
Kembali perempuan berbaju putih itu mendengus:
“Hmmm, hwesio bau! Kau tak usah berlagak sok edan atau tak
waras otaknya, tiga hari berselang kau sudah bersatu dg si tua
bangka celaka itu, buat apa kau masih berlagak pilon sekarang?”
“Biar aku si hwesio pikun, rasanya kepikunanku belum sampai
mencapai taraf sepenuh itu” kata hwesio daging anjing sambil

memutar biji matanya, “tiga hari berselang, aku masih berada
ratusan li jauhnya dari sini, bagaimana mungkin aku telah berada
bersama si tua Bu wi?”
Kim lotoa yg ikut mendengarkan pembicaraan tsb dg cepat
mengerti, yg dimaksud kejadian pada tiga hari berselang tak lain
adalah hasil perbuatannya yg menggunakan orang-orangan dari
rumput utk memukul mundur komandan Sin beserta pasukannya.
Maka sambil tertawa segera selanya:
“Rupanya kalian adalah anak buah dari dewi In nu?”
“Betul!” jawab perempuan berbaju putih itu, “Nah katakan
sekarang, dimanakah Bu wi lojin serta bocah keparat she Kho itu?”
“Maaf kalau aku tak bisa memberi jawaban!” ucap Kim lotoa dg
suara dalam.
Kembali perempuan berbaju putih itu mendengus:
“Hmmmm…padahal tidak susah utk memaksamu berbicara…”
Kepada kedua orang kakek berbaju ungu itu katanya tiba-tiba
seraya menjura:
“Tolong merepotkan huhoat berdua agar membekuk dulu orang
she Kim tsb!”
Kedua orang kakek berbaju ungu itu manggut tanpa menjawab,
serentak mereka maju mendekati Kim lotoa.
Tapi si hwesio daging anjing segera menghalangi jalan perginya
dg melintangkan tangannya ditengah jalan, katanya sambil tertawa
terkekeh,
“eeei…jangan terburu nafsu, jangan terburu nafsu, sesudah
setengah harian lamanya kita berbicara tapi aku si hwesio belum
tahu asal usul kalian, apakah kalian bersedia memberi penjelasan
dulu sebelum pertarungan dilakukan?”
Kakek berbaju ungu yg perawakan agak kurus segera berkata dg
suara dingin.
“Aku adalah salah satu diantara dua belasan pasukan pelindung
hukum dibawah pimpinan Siancu yg bernama Tang Bok kong,
sedang dia adalah adik angkatku Tang Soat Leng cu, sudah lama
aku mendengar akan nama besar hwesio daging anjing!”
Paras muka si hwesio daging anjing kelihatan agak berubah, tidak
banyak manusia dalam dunia dewasa ini yg bisa duduk sebanding
dengannya, semakin sedikit orang yg tak berubah wajahnya setelah
mendengar nama Hwesio daging anjing.

Tapi kedua orang kakek berbaju ungu yg belum diketahui asal
usulnya ini ternyata tdk menunjukkan perubahan sikap setelah
bertemu dgnya, kenyataan tsb betul-betul membingungkannya.
Sambil memutar biji matanya, si hwesio daging anjing mengawasi
ketiga orang lawannya berapa saat lalu kembali ujarnya sambil
tertawa terkekeh.
“Kalau toh kalian sudah lama mendengar namaku, biar tidak sudi
memberi muka utk sang pendeta, toh paling tidak memandang
diwajah sang buddha sudilah kalian menyudahi ulah kamu semua!”
Tang Bok kong segera menarik wajahnya, lalu setelah
mendengus dingin, jengeknya:
“Kenapa? Rupanya kau ingin berkelahi lebih dulu dg aku?”
“Haaah….haaah….haah…” hwesio daging anjing tertawa tergelak,
tiba-tiba ia menggapai kearah Hapukim sambil serunya:
“Coba kemarilah!”
Dg wajah termangu Hapukim maju beberapa langkah kedepan,
lalu tanyanya:
“Toa lhama, ada urusan apa kau memanggilku?”
“Coba kau maju dan berkelahilah lebih dulu dg tua bangka itu,
coba lihat sampai dimana kemampuan yg dimilikinya.”
Berubah paras muka Hapukim, teriaknya tertahan.
“Hey toa lhama, apakah kau berniat menyuruh aku mengantar
kematian? Tulang bahuku yg terlepas pun belum sembuh betul….”
Tapi belum selesai ia berkata, hwesio daging anjing telah
menyela sambil tertawa:
“Bukan masalah, maju saja kedepan, asal mau menuruti
perkataanku, asal kau terluka seujung rambut saja, aku si hwesio
akan menggantimu dg selembar nyawa.”
Habis berkata dia segera menekan bahu kanan Hapukim dua kali.
Dalam waktu singkat Hapukim merasakan bahunya panas tapi
terasa nyaman sekali, suatu perasaan ingin tahu pun segera
menyelimuti pikirannya tanpa banyak berbicara lagi dia
mempersiapkan goloknya lalu berjalan menghampiri lawannya.
Tang Bok kong segera menjengek sambil tertawa dingin,
“Hmmm…tak berani maju sendiri tapi suruh orang lain yg pergi
mengantar kematian, inikah alasannya kenapa kau si hwesio menjadi
termashur dlm dunia persilatan?”
Hwesio daging anjing sama sekali tidak menjadi gusar, malah
katanya sambil tertawa terkekeh-kekeh.

“Umpatan yg bagus, tapi asal kau mampu mengusik seujung
rambutnya saja, aku si hwesio tak perlu turun tangan melawanmu
lagi, batok kepalaku akan kutebas dan kupersembahkan kepadamu.
Cuma sebelum itu, aku si hwesio perlu bertanya dulu, kalian ingin
bertarung satu lawan satu ataukah ingin main keroyokan?”
Dg kening berkerut Tan Bok kong berkata:
“Walaupun aku sangat jarang melakukan perjalanan dalam dunia
persilatan, namun paling memandang rendah mereka yg suka main
keroyok, asal kau si hwesio tdk bakal mengingkari janji, biar kusuruh
dia merasakan kelihaian ilmu panji kupu-kupu ku lebih dulu sebelum
menebas kutung batok kepalamu!”
Tiba-tiba saja paras muka hwesio daging anjing berubah hebat,
tapi segera sahutnya,
“Baiklah, nah kalian boleh segera turun tangan!”
Begitu mendengar perkataan tsb, Hapukim segera berkata
kepada Tang Bok kong,
“Hey monyet tua, rasakan dulu sebuah bacokanku ini!”
Goloknya segera diputar langsung dibacokkan kebawah, cahaya
kilat berkelebat lewat seperti sambaran petir.
Sekulum senyuman menghina segera menghiasi bibir Tang Bok
kong setelah melihat gerak serangan dari Hapukim tsb, meski cepat
dan ganas namun gerakannya begitu sederhana.
Dg cekatan dia menghindar kesamping, sementara senjata panji
kupu-kupunya langsung disodorkan kedada Hapukim.
Senjata tsb memang aneh sekali bentuknya, begitu diputar maka
sepasang sayap kupu-kupu tsb ikut bergetar hingga mengeluarkan
suara yg keras, bentuknya sangat hidup tak ubahnya seperti kupukupu
sungguhan.
Terutama sekali misai sepanjang beberapa depa yg terbuat dari
baja tsb, getarannya yg kacau membuat orang susah utk menduga,
arah sasaran manakah yg sedang dituju.
Tampak bacokan golok Hapukim mengenai sasaran yg kosong,
tapi begitu jurus serangannya belum habis digunakan, lagi-lagi ia
membentak keras:
“Lihat serangan!”
Goloknya diputar sambil menyapu kemuka, jangan dilihat gerak
serangannya sangat sederhana namun kecepatannya merubah jurus
tak terlukiskan dg kata-kata.

Tampaknya Tang Bok kong tdk menyangka kalau permainan
golok dari Hapukim begitu cepat dan luar biasa, sepintas lalu
kelihatannya amat sederhana namun kehebatan dan kelihaiannya
justru diluar dugaan.
Tanpa terasa lagi dia berseru tertahan, senjata panji kupu-kupu
yg digunakan utk melancarkan serangan pun cepat ditarik kembali
utk membendung datangnya serangan golok tsb.
“Criiinggggg….”
Ditengah suara bentrokan yg nyaring, Tang Bok kong tergetar
mundur sejauh satu langkah sebaliknya Hapukim terhuyung sejauh
tiga langkah lebih.
Jelas sudah dalam soal tenaga dalam, kemampuan Tang Bok
kong masih satu tingkat lebih unggul.
Setelah dua kali menderita kerugian, sifat buas Hapukim segera
berkobar, sambil membentak keras sekali, ia menubruk kedepan
sambil mengayunkan goloknya, pertarungan sengitpun seera
berkobar.
Sementara itu, si hwesio daging anjing mengawasi jalannya
pertarungan tanpa berkedip, sementara sinar tajam yg sangat aneh
memancar keluar tiada hentinya.
Tapi tak berapa lama kemudian, Hapukim sudah kelihatan mulai
terdesak dan menderita kekalahan, serangan panji kupu-kupu dari
Tang Bok kong yg memutar kekanan menyapu ke kiri membuat
tubuh Hapukim terbungkus dibalik cahaya tajam.
Bukan Cuma begitu, suara dengungan keras dari senjata musuh
menggetarkan perasaan Hapukim, membuat hatinya berdebar,
ditambah lagi serangan-serangan goloknya mengenai sasaran yg
kosong, membuat pertahanan maupun posisinya bertambah kalut.
Ketika situasi kritis dan jiwanya terancam bahaya maut, si Hwesio
daging anjing berteriak keras:
“Suatu ilmu golok yg sangat bagus, ayoh serbu lagi dg gerakan
yg sama bacok saja langsung kebawah!”
Waktu itu cungkilan golok dari Hapukim sedang mengenai
sasaran yg kosong, sementara itu panji kupu-kupu dari Tan Bok
kong sudah menempel diatas pusarnya, kelihatan jelas sudah tiada
kesempatan lagi baginya utk menghindarkan diri.
Mengira jiwanya bakal melayang, sifat buas Hapukim makin
membara, begitu mendengar teriakan tsb dan ia menganggap

anjuran itu benar, ia menjadi nekad dan siap sedia melakukan
serangan adu jiwa.
Tubuhnya miring kesamping sambil melangkah maju kedepan,
pergelangan tangannya diputar sambil menekan kebawah membawa
goloknya yg meleset dari sasaran itu miring kesamping, kemudian
dari situ dia ancam bahu kiri Tang Bok kong serta membacoknya
keras-keras.
Ditengah berkelebatnya cahaya tajam, tiba-tiba terdengar Tang
Bok kong menjerit kaget, tubuhnya mundur kebelakang secepat
kilat.
Sewaktu semua orang mengamati keadaannya dg lebih seksama,
maka tampaklah dibawah jubah ungunya telah muncul bekas
robekan sepanjang satu depa lebih.
Keadaan tsb bukan saja membuat Hapukim sendiri menjadi
termangu, sekalipun kedua belah pihak yg menonton jalannya
pertarungan itupun turut dibikin tertegun dan tak habis mengerti.
Padahal sudah jelas Hapukim bakal tewas diujung senjata lawan,
mengapa hanya sepatah kata dari si hwesio daging anjing bisa
membuatnya nyaris melukai Tang Bok kong.
Padahal Cuma Tang Bok kong yg mengalami sendiri peristiwa tsb
yg menyadari keadaan sebenarnya, ketika misai baja dari senjata
panji kupu-kupunya hampir menempel diujung baju Hapukim,
dimana asal maju setengah inci saja niscaya selembar jiwa lawan
akan melayang, tak disangka secara tiba-tiba Hapukim telah
merubah jurus serangannya begitu selesai mendengar perkataan
tadi.
Golok yg secara tiba-tiba diputar sambil mencungkil keatas tsb
bukan saja langsung mengancam dada sendiri, lagipula persis
mengancam pergelangan tangannya.
Ini berarti apabila senjata panji kupu-kupu dilanjutkan
gerakannya kedepan sekalipun selembar nyawa orang tsb akan
melayang, akan tetapi ia sendiripun akan menderita cacat berat atau
bahkan luka yg sangat parah.
Tentu saja ia tak ingin mengorbankan jiwanya dg percuma, oleh
sebab itulah terpaksa ia harus menarik diri secepatnya dan dari
posisi menang pun dia jadi kalah.
Bisa dibayangkan betapa gusarnya Tang Bok kong menghadapi
keadaan seperti ini, saking mendongkolnya hampir saja ia jatuh
semaput.

Terdengar si Hwesio daging anjing berseru sambil tertawa
terbahak-bahak:
“Haaah…haaah…haaah…saudara Hapukim, mengapa kau hanya
berdiri melulu?”
Setelah ditegur, Hapukim baru sadar kembali dari lamunannya,
saat ini dia telah menganggap hwesio daging anjing melebihi buddha
hidup, buru-buru dia lari kedepan hwesio itu sambil berlutut dan
berseru:
“Lhama adalah pousat hidup, tecu mohon perlindungan darimu!”
Buru-buru si hwesio daging anjing membangunkannya dari atas
tanah, ujarnya sambil tertawa.
“Semua pousat sudah mampus, mana mungkin bisa melindungi
orang? Lain waktu kau mesti mengandalkan kemampuanmu sendiri,
seperti jurus “Menggaris tanah memisah dunia” yg kau gunakan tadi,
sebenranya jurus itu memiliki perubahan ganda, masih ingat dg
kedua perubahan tsb?”
Buru-buru Hapukim mengangguk.
Si hwesio daging anjing segera berkata lebih jauh.
“Sebenarnya ilmu sip ci to hoat dari perguruan Siang bun
diwilayah Ceng hay merupakan ilmu golok paling lurus dikolong
langit, biarpun lima jurus pemula dan lima jurus paling akhir
merupakan jurus-jurus serangan yg sederhana, langsung dan
terbuka, namun bila kau memiliki reaksi yg cekatan dan variasi
perubahan yg kaya maka jurus-jurus tsb bisa dipergunakan dg dua
perubahan yg berbeda. Dg bekal kemampuan tsb, biar bertemu dg
jago tangguh kelas satu pun, dalam ratusan gebrakan belum tentu
bisa membuatmu kalah. Aku harap kau bisa mendalami lagi ilmumu
itu dikemudian hari sedang petunjuk yg kuberikan sekarang hanya
merupakan ganti rugi atas luka yg timbul akibat perbuatanku tadi…”
Walaupun Hapukim belum bisa memahami secara keseluruhan,
tapi bagian yg penting telah dipahami olehnya, tentu saja ia
kegirangan setengah mati sehingga berulangkali mengucapkan
terima kasih, buru-buru ia menyingkir kesamping.
Agaknya dua bersaudara Molim serta Rumang ikut
memperhatikan petunjuk tsb, wajah mereka nampak berubah
beberapa kali begitu merasakan manfaat yg diperoleh, kagum dan
hormat pun segera memancar diwajah masing-masing.

Ketika si hwesio daging anjing baru menyelesaikan kata-katanya
dg penuh kegusaran Tang Bok kong telah berkata sambil tertawa
dingin:
“Mencoba kemampuan orang dg akal licik, memberi petunjuk dari
samping arena, terhitung kemampuan macam apa yg kau miliki?”
Si hwesio daging anjing tertawa terbahak-bahak:
“Haaaah…haaaah…haaaaah…keliru besar kau beranggapan
demikian, kalau sepatah kata saja dari aku si hwesio bisa membuat
kau dari menang jadi kalah, bila benar-benar bertarung, memangnya
kau masih punya nyawa?”
Liok ci ang yg berada disisi arena segera membentak dg suara
dingin:
“Bajingan gundul! Kau jangan bicara tekabur, akan kucoba dulu
sampai dimanakah kemampuanmu!”
Sambil memutar senjata kupu-kupunya, ia berdiri ditengah arena
siap melepaskan serangan.
Tiba-tiba hwesio daging anjing menarik kembali sikap cengar
cengirnya, sambil menarik muka katanya serius.
“Pada mulanya aku masih belum dpt menebak asal usul kalian,
tapi sekarang baru kuketahui bahwa kalian adalah ahli waris dari
partai kupu-kupu. Seratus tahun berselang, Hu tiap siang hui (kupukupu
terbang berpasangan) telah melakukan pembantaian berdarah
dilembah duka, sejak peristiwa itu partai anda tidak pernah muncul
kembali dari tempat persembunyian, sesungguhnya perbuatan tsb
merupakan tindakan yg cerdik, tak disangka seratus tahun kemudian
lagi-lagi aku si hwesio menyaksikan kembali jurus-jurus tangguh dari
Kang siu pat si (delapan partai kupu-kupu) kalian, apakah kamu
berdua sudah lupa dg tragedi lama sehingga berani terjun kembali
kedalam dunia persilatan?”
Dg wajah berubah Liok Ci ang berseru:
“Hey hwesio bau, tak kusangka mata anjingmu betul-betul sangat
tajam, sehingga asal usulku pun dapat kau tebak secara jelas.”
Dg wajah serius hwesio daging anjing berkata:
“Mata buddha bisa menembusi langit, sekalipun aku si hwesio
belum bisa dibilang mengetahui setiap urusan didunia ini, namun
paling tidak masih mengetahui sedikit banyak masalah besar dlm
dunia persilatan serta asal usul ilmu silat pelbagai perguruan besar
dalam dunia kangouw seratus tahun belakangan ini. Apalagi semasa
masih muda dulu, aku si hwesio pernah punya hubungan dg partai

kalian. Kuharap kalian tak usah mengumbar nafsu lagi dan segera
balik kerumah, apa gunanya mesti mencari penyakit seperti apa yg
dialami seratus tahun berselang?”
Liok Ci ang lalu tertawa keras.
“Haaah…haaaah…haaah…kau anggap kami akan segera akan
angkat kaki hanya berdasarkan kata-katamu itu? Hmmm, kau benarbenar
memandang rendah kemampuan partai kupu-kupu kami!”
“Jadi kalian baru mau pergi setelah melangsungkan
pertarungan?” dengus hwesio daging anjing.
“Soal bertarung atau tidak masih menjadi masalah nomor dua,
mengapa kau tidak menanyakan dulu siapa yg benar dan siapa yg
salah?”
Hwesio daging anjing menjadi tertegun, tapi segera ujarnya
sambil tertawa:
“Yaa, soal ini memang merupakan kelalaianku, tapi aku cukup
mengetahui watak dari Bu wi lojin, aku yakin dia tak akan melakukan
suatu perbuatan yg melanggar hukum!”
Tiba-tiba Tang soat Lengcu menyela sambil tertawa dingin:
“Sebelum mengetahui duduk persoalan yg sebenarnya, ia sudah
mempunyai pandangan yg berat sebelah, Liok Ci ang lebih baik
turun tangan secara langsung, apa artinya banyak bicara?”
“Baik, baiklah anggap saja aku sio hwesio yg tak tahu aturan”
sela hwesio daging najing sambil tertawa, “nah Liok loji, sebenarnya
perselisihan apakah yg telah terjalin antara kalian dg situa Bu wi?”
“Bukankah kau mengetahui jelas musibah pernah yg menimpa
partai kupu-kupu pada seratus tahun yg lalu? Coba terangkan apa
sebabnya peristiwa itu sampai terjadi?”
“Aku dengar gara-gara sejilid kitab pusaka Thian goan bu boh…”
kata sang pendeta sambil tertawa.
“Kalau begitu dapat kukatakan bahwa kedatangan kami kali ini
adalah gara-gara kitab pusaka Thian goan bu boh!”
Berubah paras muka si hwesio daging anjing, serunya tertahan..
“Jadi kitab pusaka Thian goan bu boh berada ditangan kakek Bu
wi….?”
“Benar” Chin sian kun menjawab dg cepat, “pada dua puluh
tahun berselang Bu wi cianpwee mendapat titipan dari Hui im
cengcu, siapa tahu kitab tsb dicuri dewi In nu dg mencatut namanya
Kho sauhiap yg mendapat pesan dari ayahmya almarhum untuk
mendapatkan kitab tsb, inilah yg membuat Bu wi locianpwee harus

terjun kembali kedalam dunia persilatan utk menyelidiki jejak kitab
itu, baru kemarin dulu sebagian kitab tsb dapat direbut kembali,
sayang ia menderita luka dalam hingga akhirnya bersama Kho
sauhiap beliau datang kemari utk mengobati lukanya. Nah coba
bayangkan sendiri, darimana munculnya hubungan antara peristiwa
ini dg pihak partai kupu-kupu?”
Si hwesio daging anjing menggelengkan kepala berulang kali,
keluhnya kemudian,
“Kenapa sih persoalannya begitu rumit dan berbelit-belit? Siapa
yg disebut dewi In nu itu? Kenapa aku si hwesio belum pernah
mendengar kalau didalam dunia persilatan terdapat seseorang yg
bernama begitu?”
Dg suara dingin Tang soat Lengcu menjawab:
“Siancu kami adalah orang yg terhormat, bukan sembarangan
orang dapat menjumpainya dg begitu saja!”
Hwesio daging anjing segera tertawa terkekeh-kekeh,
“Heee…he…heee…setelah mendengar perkataanmu itu, aku si
hwesio jadi kepingin melihat sampai dimanakah kehebatan dari
dewi mu itu, tak usah banyak bicara lagi, hey si tua Tang, si tua
Liok, aku harap kalian bersedia utk menunggu selama setengah
bulan, setengah bulan kemudian aku si hwesio bersedia memikul
tanggung jawab tentang kitab pusaka Thian goan bu boh itu utk
membuat penyelesaian dg kalian berdua….”
“Hmmmm, sayang sekali aku tak punya waktu untuk menunggu!”
jengek Liok Ci ang sambil tertawa dingin.
Hwesio daging anjing segera tertawa seram”
“Heeee…heeeeh..heeeh…kesabaran aku si hwesio Cuma sampai
disini saja, bila kalian benar-benar tak mau percaya, lebih baik kita
selesaikan saja persoalan ini lewat pertarungan!”
Sekilas senyuman licik yg mengerikan sempat berkelebat
menghiasi wajah Liok Ci ang, katanya cepat:
“Hwesio, beranikah kau bertarung seorang melawan seorang
denganku….?”
Hwesio daging anjing tertawa bergelak:
“Sudah tiga puluh tahunan lamanya tak pernah bertarung
melawan orang, sungguh tak dinyana hari ini aku bisa menikmatinya
kembali, tapi sebelum bertarung harus ada syaratnya dulu!”
“Apa syaratnya?”

“Bila kau yg unggul, tentu saja aku si hwesio tak bisa banyak
bicara dan segera angkat kaki dari sini, mulai detik ini juga tak akan
mencampuri urusan kalian lagi, tapi bnila kau manusia she Liok yg
kalah, harap segera kau pimpin orang-orangmu utk mengundurkan
diri dari lembah ini, setengah bulan kemudian, aku pasti akan
memberi penyelesaian tentang persoalan ini dihadapan si tua Bu wi,
tapi jangan mencoba main sergap disaat orang lagi tak siap!”
Tanpa terasa Liok Ci ang memandang sekejap kearah Tang soat
Lengcu, lalu katanya agak tergagap:
“Tentang soal ini….”
Mendadak terdengar Tang soat Lengcu berseru sambil tertawa
terkekeh-kekeh:
“Liok ang, apakah kau mempunyai keyakinan utk menang?”
“Sekalipun aku tak bisa menjamin pasti menang, tapi aku percaya
tak baka sampai menderita kalah!”
Tang soat Lengcu segera tersenyum:
“Aku lihat, hari ini kita tak usah bertarung lagi!”
Tang Bok kong maupun Liok Ci ang menjadi tertegun sesudah
mendengar perkataan itu.
Dg perasaan tercengang Tang Bok kong berseru:
“Lengcu, apa maksudmu?”
Tang soat Lengcu menggoyangkan tangannya berulang kali,
tampaknya dia sudah mempunyai perhitungan yg matang, kepada si
hwesio daging anjing katanya kemudian:
“Hey hwesio, biarlah kuberi muka untuk mu pada hari ini,
kuharap sampai waktunya kau tidak melanggar janji!”
Begitu mengetahui bahwa Tang soat Lengcu telah berubah
pikiran bahkan bersedia angkat kaki dg begitu saja, si hwesio daging
anjing turut dibuat tertegun, tapi hanya sebentar saja, kemudian
sambil tertawa nyengar-nyengir katanya:
“Sekali telah berbicara, ibarat kuda pacu yg berlari kencang dan
tak mungkin bisa ditarik kembali, sampai waktunya aku si hwesio
pasti akan menantikan kedatangan kalian!”
Tang soat Lengcu tersenyum dan manggut-manggut, kepada
Tang Bok kong serta Liok Ci ang ia mengulapkan tangannya,
kemudian dg memimpin delapan orang jago pedang berbaju kuning,
segera ia membalikkan badan dan keluar dari lembah.
Dalam waktu singkat, bayangan tubuh mereka sudah lenyap dari
pandangan mata.

Hwesio daging anjing mengawasi terus bayangan tubuh musuhmusuhnya
hingga lenyap diluar lembah sana, kemudian paras
mukanya berubah secara tiba-tiba menjadi berat dan serius sekali.
Pada saat itulah Chin sian kun berkata:
“Taysu, aku lihat tindakan mengundurkan diri yg mereka lakukan
mengandung maksud tertentu, bahkan bisa jadi merupakan sebuah
tipu muslihat yg licik?”
Hwesio daging anjing menggelengkan kepalanya berulang kali.
“Bukannya aku tak tahu tentang soal tsb, namun itu bukan
masalah penting, biarpun dia berakal licik dan jahat, jangan harap ia
mampu bermain gila dihadapanku!”
“Kulihat paras muka taysu menunjukkan sikap yg amat berat dan
serius, sebenarnya persoalan apakah yg membuatmu risau dan
kuatir?”
Hwesio daging anjing menghela napas panjang…
“Aaai….partai kupu-kupu telah muncul kembali didalam dunia
persilatan, aku lihat suatu badai pembunuhan rasanya tak bisa
dihindari lagi...”
Dg perasaan tercengang, Kim lotoa bertanya,
“Sejak terjun kedalam dunia persilatan, belum pernah boanpwee
dengar tentang partai kupu-kupu, mengapa sih taysu
memperhatikan persoalan ini dg begitu serius? Bersediakah taysu
memberi keterangan kepada kami semua...?”
Hwesio daging anjing menggeleng:
“Panjang sekali utk menceritakan persoalan ini, tapi dikemudian
hari kalian akan mengetahui dg sendirinya!”
Berbicara sampai disini, dia segera mengalihkan pokok
pembicaraan kesoal lain, katanya:
“Mulai hari ini, biarlah aku si hwesio menjabat sebagai pemimpin
ditempat ini utk sementara waktu, saudara Hapukim sekalian
berempat tetap bertugas menjaga dimulut lembah, bila menjumpai
ada orang menyatron masuk kedalam lembah, tak usah dilayani,
cepat masuk dan beri laporan dulu kepadaku, pasti akan
kuselesaikan persoalan itu dg sebaik-baiknya.”
Buru-buru Hapukim mengiakan, lalu bersama-sama rekannya
mengundurkan diri dari situ.
Kembali si hwesio daging anjing mengulapkan tangannya kepada
Kim kong sam pian sambil berkata:

“Mari kita masuk ke gua utk berbincang-bincang, sedang nona
Chin kalau pergi membeli makanan, jangan lupa daging anjing dan
arak wangi utk aku si hwesio!”
“Cianpwe tak usah kuatir” Chin Sian kun tersenyum, “betapapun
besarnya nyaliku, tak nanti aku berani melupakan pesanan dari
Taysu!”
oooOOooo
Sejak Tang soat Lengcu menarik semua kekuatannya dari lembah
tsb, waktupun berlangsung lewat dg cepat dalam suasana amat
tenang dan tentram.
Namun hwesio daging anjing yg semula banyak tersenyum, kian
hari kian berubah seakan-akan telah berubah menjadi seorang yg
lain, sepanjang hari dia hanya minum arak terus dg kening berkerut.
Selain minum arak, dia tentu melamun, seakan-akan ada suatu
persoalan besar yg amat berat mengganjal dalam hatinya dan susah
dihilangkan dari dalam benaknya.
Perubahan sikap semacam itu tentu saja membuat Kim kong sam
pian dan Chin Sian kun menjadi terkejut bercampur keheranan,
sudah berapa kali mereka hendak membuka suara utk bertanya,
namun melihat sikap hwesio daging anjing yg tak berbicara maupun
bergerak, akhirnya mereka mengurungkan niat tsb.
Tapi dlm hati kecil mereka mengerti, perubahan sikap dari tokoh
sakti tsb bisa jadi ada sangkut pautnya dg kemunculan partai kupukupu
didalam dunia persilatan.
Partai kupu-kupu merupakan suatu perguruan yg bukan saja tak
pernah didengar namanya dari pembicaraan orang, lagipula belum
pernah melihat berkeliarannya anggota perguruan tsb didalam dunia
persilatan.
Biasanya suatu perguruan yg tak dikenal dan tak banyak
anggotanya adalah suatu perguruan yg kecil, demikian juga dg
keadaan dari partai kupu-kupu itu, tapi sampai dimanakah seriusnya
kehadiran partai ini didalam dunia persilatan? Mengapa pendeta
sakti itu justru menunjukkan sikap yg begitu serius?
Benarkah jago-jago dari partai kupu-kupu memiliki kepandaian
silat yg demikian lihaynya sampai tiada orang yg mampu
menandinginya?

Perubahan sikap dari hwesio daging anjing membuat suasana
didalam dua berubah menjadi serius dan tegang, begitu sumpek
suasana sampai membuat beberapa orang itu susah utk bernapas
lega.
Tapi pintu batu yg memisahkan ruang dalam tetap tertutup rapat
dan sama sekali tiada gerakan apapun.
Dalam waktu singkat tujuh hari kembali udah lewat, berarti hari
ini adalah hari ketiga belas sejak Kho Beng menutup diri dibalik
ruangan.
Pagi itu, baru saja Chin Sian kun mempersiapkan sarapan utk
semua orang, tiba-tiba kelihatan Hapukim berlari masuk kedalam
gua dg wajah sangat tegang.
Begitu sampai dihadapan hwesio daging anjing, segera ia berlutut
sambil serunya:
“Toa lhama, diluar lembah telah muncul serombongan jago silat,
wajah mereka rata-rata kelihatan keren dan serius, jelas tidak
bermaksud baik!”
Sambil minum arak hwesio daging anjing bertanya kemalasmalasan,
“Siapa yg telah datang?”
“Ada lelaki, ada perempuan, ada tosu juga kaum lhama!”
Hapukim termenung dan berpikir sejenak, setelah menghitung
didalam hati dia menjawab:
“Kemungkinan besar diatas enam puluh orang lebih!”
Dg wajah berubah hebat Chin sian kun segera berseru”
“Waaaah…bisa jadi berita tentang kisah tsb sudah bocor sehingga
kawanan iblis itu mengundang konco-konconya utk datang
menyerbu…?”
Hwesio daging anjing bangkit berdiri seraya menguap, katanya
kemudian:
“Buat aku si hwesio, masalah banyak orang bukanlah persoalan
nona Chin, kau bersama Kim bersaudara berjaga-jaga saja disini,
biar aku sendiri yg keluar lembah.”
Disambarnya tongkat bambu andalannya, lalu dg langkah lebar ia
berjalan meninggalkan gua.
Hapukim memutar biji matanya beberapa kali, dg cepat dia pun
mengikuti dibelakang hwesio daging anjing tsb keluar dari gua.
Tak lama setelah hwesio daging anjing dan Hapukim keluar dari
gua batu itu, mendadak muncul tiga sosok bayangan manusia dari

balik sebelah kiri dan langsung menerjang masuk kedalam gua dg
kecepatan bagaikan sambaran kilat.
Kim Lotoa pertama-tama yg menemukan hal tsb, buru-buru
teriaknya kepada Kim loji dan Kim losam:
“Hati-hati, siluman perempuan itu muncul lagi bersama kedua
orang komplotan tua bangkanya!”
Ternyata ketiga sosok bayangan manusia tsb tak lain adalah
Tang soat Lengcu, Tang Bok kong dan Liok Ci ang.
Sambil melintangkan ruyung panjangnya didepan dada, Kim
bersaudara berdiri berjajar menyumbat jalan masuk menuju kedalam
gua.
Dg suara dingin, Kim lotoa segera menegur:
“Walaupun siasat yg anda lakukan ini terhitung cukup hebat,
namun sayang sekali kelewat licik dan memalukan, hmmm...hanya
manusia pengecut yg berusaha mencari keuntungan disaat orang
tidak siap!”
Tang soat Lengcu memperhatikan sekejap disekitar sana dg
pandangan mata yg tajam, kemudian perintahnya:
“Kita harus manfaatkan setiap kesempatan yg ada, hayo
langsung saja menyerbu kedalam gua!”
Tang Bok kong serta Liok Ci ang masing-masing mempersiapkan
senjata panji kupu-kupunya, lalu tanpa berbicara lagi mereka
langsung melancarkan serangan kedepan.
Melihat kedatangan ancaman tsb, Kim bersaudara pun tidak
banyak berbicara lagi, dg penuh kegusaran ruyung masing-masing
diputar kencang lalu balas menyerang kearah lawan.
Maka suatu pertarungan yg amat seru pun segera berkobar dg
hebatnya disana.
Sekalipun Tang Bok kong dan Liok Ci ang memiliki kepandaian
silat yg sangat lihai, akan tetapi Kim kong sam pian bukan manusia
lemah ditambah pula mereka bertiga sudah bertekad
mempertahankan setiap jengkal tanah dg pertaruhan jiwa, maka utk
berapa saat keadaan tetap imang.
Betapa gelisah dan cemasnya Tang soat Lengcu melihat
pertahanan dari Kim kong sam pian yg begitu kokoh sehingga
serbuan dari Tang bok kong dan Liok Ci ang tak berhasil
menembusnya.

Sekalipun dia ingin sekali turun tangan utk membantu, sayang
daerah dimulut gua sangat sempit sehingga tak mungkin baginya utk
ikut serta dlm pertarungan.
Jilid 20
Dalam keadaan begini, tiba-tiba muncul suatu ingatan jahat
dalam hatinya, dg cepat dia melepaskan ikat pinggangnya lalu
secara tiba-tiba dilontarkan ketengah kilatan cahaya ruyung yg
sedang berputar-putar didepan mulut gua.
Kim kong sam pian yg berada didalam gua saat itu sedang
memutar ruyung masing-masing sepenuh tenaga guna membendung
mulut gua dari serbuan musuh.
Begitu melihat ada sesosok bayangan putih menerobos masuk
kebalik pertahanan mereka seperti sambaran ular, Kim lotoa segera
menggerakkan ruyung utk menggulung kearah bayangan tadi dan
segera melilitnya dg kencang.
Tang soat Lengcu tertawa seram, dg cepat ia mengerahkan
segenap kekuatannya seraya membetot teriaknya:
“Kena!”
Begitu mendengar suara bentakan keras, Kim lotoa segera
merasakan gelagat tidak menguntungkan, menunggu ia berniat
menarik kembali ruyung panjangnya, sayang keadaan sudah
terlambat, ujung ruyungnya telah bertautan dg angkin dari Tang
soat Lengcu.
Menyadari kalau gelagat tdk menguntungkan dg cepat dia
menarik napas sambil memperkokoh kuda-kudanya. Ruyungnya
dibetot kebelakang maksudnya dia hendak membetot putus angkin
musuh dg mengerahkan sepenuh kekuatan yg dimilikinya.
Padahal Tang soat Lengcu sendiripun mempunyai keinginan yg
sama, saat tsb ia sedang mengerahkan seluruh tenaga dalam yg
dimilikinya melakukan pembetotan sambil membentak:
“Liok Ci ang, mengapa kau tdk segera menyerbu kedalam gua?”
Liok Ci ang serta Tan Bok kong serentak memutar senjata panji
kupu-kupunya makin kencang, lalu serentak menyerbu kedalam gua.
Kim loji serta Kim losam menjadi terperanjat sekali, hingga kini
mereka bertiga bisa bertahan dimulut gua tanpa memberi
kesempatan kepada musuhnya utk bergerak maju, disatu pihak
karena memanfaatkan mulut gua yg sempit dan kecil, dipihak lain

karena mengandalkan kerja sama ilmu ruyung mereka bertiga yg
tangguh utk menyumbat mati seluruh mulut gua tsb.
Tapi sekarang, senjata ruyung Kim lotoa telah terlilit oleh senjata
angkin Tang soat Lengcu, hal ini sama artinya dg terbukanya sebuah
lubang kelemahan pada sistem pertahanan mereka, bila seorang
harus melawan seorang, bagaimana mungkin Kim kong sam pian
mampu menandingi keampuhan dari Tang Bok kong serta Liok Ci
ang?
Chin sian kun yg berada didalam gua menjadi terperanjat sekali
setelah melihat kejadian tsb, buru-buru dia maju kedepan sambil
menyerang dg pedangnya, ia berniat menguntungi senjata angkin
tsb lebih dulu.
Tapi baru saja serangan pedangnya dilancarkan, terdengar Kim
losam telah berteriak keras:
“Hati-hati adikku!”
Tiba-tiba saja serasa segulung desingan angin tajam menggulung
tiba dari atas, begitu dahsyatnya ancaman tsb membuat si nona
harus mundur kembali dg perasaan terperanjat.
Memanfaatkan kesempatan yg sangat baik inilah, Tang Bok kong
segera menerobos masuk kedalam ruangan dg kecepatan bagaikan
sambaran kilat....
Perputaran senjata panji kupu-kupunya memaksa Kim bersaudara
harus mundur hingga punggungnya menempel pada dinding gua,
keadaan mereka betul-betul terdesak hebat.
Sementara itu, Chin Sian kun dg pedang terhunus telah berdiri
menghadang dimuka pintu ruangan yg tertutup rapat, dg suara
keras ia membentak nyaring:
“Tua bangka yg tak tahu malu, kalian biasanya Cuma
memanfaatkan kelemahan orang lain saja, hmmm! Rupanya orangorang
yg mencari gara-gara diluar lembah sana memang sengaja
kalian bawa utk mengalihkan perhatian kami, sementara kalian
sendiri berusaha menyelundup masuk kemari bagaikan pencoleng?”
Pada saat itu, Tang soat Lengcu telah mengendorkan pula
angkinnya dan turun melayang masuk kedalam gua, sahutnya:
“Perkataanmu memang tepat sekali! Liok ang, ayoh cepat turun
tangan dan jangan membuang waktu lagi!”
Liok Ci ang manggut-manggut, kepada Chin Sian kun segera
ujarnya sambil tertawa dingin:

“Hmmm..kenapa kau tidak segera menyingkir? Kalau nekad terus,
jangan salahkan aku bertindak keji dg mencabut nyawamu!”
Chin Sian kun mendengus dingin, diam-diam ia memberi kedipan
mata kepada Kim kong sam pian.
Tiga bersaudara Kim dari telaga Tong ting segera menanggapi
tanda tsb, serentak mereka bertiga mendekati Chin Sian kun.
Setelah keempat orang itu berdiri berjajar kembali dimuka pintu
gua, Kim lotoa baru berseru sambil tertawa seram.
“Heeeh…heeeh…heeeeh..sebetulnya tidak sulit utk menyingkirkan
kami dari sini, asal kalian mampu memenggal dulu batok kepala
kami berempat!”
“Baiklah, kalau toh kalian tak takut mati, apa susahnya utk
mengantar kematian kalian!” seu Tang Bok kong dingin.
Senjata panji kupu-kupunya segera diputar dg dg jurus “lebah
terbang memainkan putik” menciptakan selapis cahaya hitam yg
amat menyilaukan mata, lalu dg membawa suara desingan tajam
secara langsung menyergap diri Chin Sian kun.
Dg sekuat tenaga Chin Sian kun mencukil pedangnya keatas utk
membendung datangnya ancaman tsb, begitu sepasang senjata
beradu segera terjadilah suara benturan nyaring……
Tampak sekilas cahaya perak mencelat ketengah udara, dususul
jeritan kaget dari Chin Sian kun, rupanya ia sudah kehilangan
senjatanya.
Dalam pada itu Tang Bok kong telah mengayunkan telapak
tangan kirinya melepaskan bacokan segulung tenaga pukulan yg
maha dahsyat langsung menumbuk kemuka.
Tergopoh-gopoh Chin Sian kun menghindarkan diri kesamping….
“Blaaammm…!”
Angin pukulan yg maha dahsyat persis menghantam diatas pintu
gua membuat pintu ruangan tsb terpentang lebar.
Dalam waktu singkat Tang soat Lengcu mengayunkan pula
sepasang tangannya melepaskan tiga buah pukulan kekiri dan
kekanan, lalu tubuhnya seperti segulung asap ringan menerobos
masuk kebalik ruangan dimana Kho Beng sedang bersemedi.
Menanti Kim kong sam pian berusaha utk menghalangi jalan
perginya, keadaan sudah terlambat.
Chin Sian kun menjadi amat terperanjat, ia saksikan Tang soat
Lengcu menyerbu masuk kedalam ruangan batu dan entah apa yg
kemudian terjadi disana……….

Hanya secara tiba-tiba terdengar suara jeritan kaget bergema
memecahkan keheningan lalu tampak tubuh Tang soat Lengcu yg
baru menyerbu masuk kedalam ruangan, tahu-tahu sudah mencelat
balik kembali.
Waktu itu Tan Bok kong serta Liok Ci ang baru saja bersiap-siap
menyerbu kedalam, mereka tak menyangka kalau perempuan
berbaju putih itu bakal mundur kembali secara tiba-tiba, hampir saja
mereka saling bertumbukan satu dg lainnya.
Menanti ketiga orang itu sudah dapat berdiri kembali dg
sempoyongan, dimuka pintu ruangan tahu-tahu sudah bertambah dg
sesosok bayangan manusia, dia tak lain adalah Kho Beng.
Paras muka Kho Beng kelihatan sangat cerah dan penuh
bertenaga, sepasang matanya memancarkan cahaya tajam, waktu
itu ia berdiri disitu dh wajah yg gagah da sikap yg keren, berbeda
sekali dg keadaannya pada tiga belas hari berselang.
Chin Sian kun segera mengucak-ngucak matanya, ia seperti tak
percaya dg pandangan mata sendiri, sesaat kemudian baru serunya
tertahan:
“Kho sauhiap, apakah latihanmu telah selesai?”
Kho Beng mengangguk, setelah melempar pandangan yg penuh
rasa terima kasih, katanya:
“Musuh tangguh telah menyerbu sampai disini, mengapa tidak
kulihat Rumang, Hapukim serta dua bersaudara Mo utk
membendung serangan mereka?”
Sambil menghela napas sahut Chin Sian kun..
“Kawanan jago dari golongan putih maupun hitam telah
berdatangan sama, kini mereka berkumpul diluar lembah, sekarang
Hapukim sekalian berada bersama hwesio daging anjing, tapi
bagaimana keadaannya tidak kuketahui secara pasti.”
Paras muka Kho Beng sedikit berubah, sambil merapatkan
kembali pintu ruangan katanya:
“Bu wi cianpwee masih berada dalam ruangan, tolong nona Chin
dan saudara Kim bertiga menjaga keselamatannya.”
Chin Sian kun mengerling sekejap kearah pemuda itu, lalu
mengiakan….
Pelan-pelan Kho Beng maju beberapa langkah kedepan,
ditatapnya Tang soat Lengcu, Tang Bok kong dan Liok Ci ang
sekejap, kemudian tegurnya dingin:
“Siapakah kalian?”

Tang Bok kong mendengus:
“Hmmmm! Cecunguk muda, kau tak berhak mengetahui, hayo
cepat serahkan kitab pusaka Thian goan bu boh kepada kami,
mengingat kerelaanmu itu bisa jadi aku akan mengampuni selembar
jiwamu!”
“Ooooh…bila kudengar dari nada pembicaraan kalian, tampaknya
kamu semua adalah anak buah dewi In nu?”
“Benar!” sahut Tang soat Lengcu dingin.
Kho Beng segera tertawa bergelak:
“Haaaah…haaaah..haaahh…kebetulan sekali kedatangan kalian,
siauya memang berniat menangkap seorang diantara kalian utk
mencari keterangan. Kitab pusaka Thian goan bu boh berada disaku
siauya, aku Cuma kuatir kalian tak punya kemampuan utk
merebutnya kembali!”
Liok Ci ang tertawa dingin:
“Bocah keparat, kau sangat tekebur!”
Kho Beng balas tertawa dingin:
“Hmmm..bagiku perkataan yg diucapkan tergantung kepada
siapa aku berbicara, padahal siauya tidak tekebur, apa salahnya kau
buktikan sendiri ucapanku tadi!”
“Aku memang berniat mencoba kemampuanmu!” bentak Liok Ci
ang keras.
Senjata panji kupu-kupunya digetarkan menciptakan sebuah
lingkaran busur lalu secara kilat disapu kepinggang Kho Beng.
Menghadapi datangnya sambaran cahaya hitam itu, ternyata Kho
Beng tdk bergerak sama sekali, dia seakan-akan tak memandang
sebelah matapun terhadap kemampuan lawannya.
Tak terlukiskan rasa gusar Liok Ci ang menghadapi kejadian
seperti ini, gerak serangannya segera berubah, kali ini dia
mengancam dada lawan dg sebuah tusukan keatas.
Dg perubahan itu, kupu-kupu yg berada diatas ujung sejatanya
seakan-akan berubah menjadi empat, dalam waktu singkat
disekeliling tubuh Kho Beng seolah-olah beterbangan aneka macam
kupu-kupu yg mengancam bagian mematikan ditubuhnya.
Kim kong sam pian menjadi terperanjat sekali melihat kelihaian
lawan, paras muka mereka sampai berubah hebat.
Tiba-tiba terdengar Kho Beng tertawa ringan, ujung baju kirin
dan kanannya dikebaskan kemuka, lalu tubuhnya menyelinap keluar

dibalik kepungan bayangan kupu-kupu lawan, sementara itu telapak
tangan kirinya melancarkan sebuah bacokan kesisi kiri.
Waktu itu, Tang Bok kong sedang berdiam disisi kiri sambil
menonton jalannya pertarungan, melihat kejadian tsb, dia mengira
Kho Beng hendak membokongnya.
Sambil membentak keras, senjata kupu-kupunya disodok
kedepan keras-keras, lalu berbalik mengancam ubun-ubun Kho
Beng.
Siapa tahu pada saat yg bersamaan inilah Kho Beng membalikkan
telapak tangan kirinya langsung menghantam iga kanan Liok Ci ang.
Waktu itu Liok Ci ang sudah merasakan gelagat tidak
menguntungkan, begitu serangannya mengenai sasaran kosong,
belum sempat dia berbuat sesuatu, desingan angin tajam tahu-tahu
sudah mengancam bahu kirinya.
Berada dalam keadaan seperti ini, buru-buru dia membalikkan
badannya, sementara senjata kupu-kupunya dg jurus “kupu-kupu
terbang bayangan menari” menyodok keluar dg sekuat tenaga.
Siapa tahu pada saat itulah Tang Bok kong melancarkan pula
serangannya, dalam kondisi sama-sama menyerang dg kecepatan
tinggi, menantimereka berdua sama-sama menyadari kalau senjata
mereka bukannya mengancam tubuh lawan sebaliknya malah
menghantam teman sendiri, keadaan sudah terlambat.
“Criiiinnnggg…..!”
Sitengah benturan keras, Liok Ci ang serta Tang Bok kong samasama
tergetar mundur satu langkah, kedua belah pihak sama-sama
merasakan lengan kananya linu dan kesemutan, nyaris senjata
mereka terlepas dari tangan…….
Sementara itu, Kho Beng masih berdiri tenang diposisinya
semula, malah sambil tertawa dingin jengeknya:
“ ‘Jurus panglima langit kembali kepangkuan’ yg barusan
kugunakan merupakan satu diantara tiga puluh enam gerak
perubahan yg tercantum dalam kitab pusaka Thian goan bu boh, bila
kalian berdua menginginkan kitab itu, apa salahnya kalian mulai
belajar sejak kini!”
Liok Ci ang serta Tang Bok kong terperanjat sekali sampai paras
mukanya berubah, sambil membentak nyaring san serentak bersiapsiap
menyerang kembali.
Tapi sebelum mereka sempat berbuat sesuatu, tiba-tiba Tang
soat Lengcu berseru keras:

“Tang tua, Liok tua, hentikan dulu serangan kalian!”
“Lengcu, apa maksudmu?” seru Tang Bok kong tercengang.
“Aku rasa kesempatan baik buat kita masih banyak, buat apa
mesti menyerempet bahaya dg percuma pada hari ini? Apalagi
kerepotan yg datang dari luar lembah sudah cukup memusingkan
kepalanya, ayo kota mundur saja!”
Begitu selesai berkata, tubuhnya segera melesat keluar dari gua
dg kecepatan tinggi.
Liok Ci ang serta Tang Bok kong tidak banyak bicara lagi,
serentak mereka turut mengundurkan diri dari dalam gua.
Medadak Kho Beng membentak dg kening berkerut:
“Mau kabur kemana kalian!”
Ia menggerakkan badannya siap melakukan pengejaran.
Tapi Chin Sian kun segera menghalangi siatnya itu sambil
berseru:
“Kho sauhiap………”
Mau tak mau terpaksa Kho Beng harus menghentikan
langkahnya, lalu bertanya dg kening berkerut,
“Nona Chin, mengapa kau menghalangi niatku?”
“Hwesio daging anjing sedang bertarung melawan kawanan jago
diluar lembah, apa salahnya sauhiap membebaskan mereka untuk
kali ini saja, bagi kita yg penting adalah memukul mundur lebih
dullu… ! “
Kho Beng manggut-manggut, ia mengalihkan pandangan
matanya keluar gua, saat itu Tang soat Lengcu bersama Liok Ci ang
dan Tang Bok kong telah kabur entah kemana.
Maka Kho Beng meminta kepada Kim kong sam pian agar tetap
menjaga dalam gua, sementara ia sendiri segera bergerak menuju
keluar lembah dg kecepatan tinggi.
Dugaan Hapukim memang benar, diluar lembah telah muncul
enam puluhan jago yg terdiri dari aneka macam manusia,
diantaranya meliputi jago-jago dari pelbagai perguruan besar serta
kaum sesat.
Sementara itu si hwesio daging anjing malah berdiri dilmulut
lembah sambil berkata dg lantang :
“Bila kalian bersedia memberi muka kepada aku si hwesio pada
hari ini, harap segera mengundurkan diri sekarang juga, harap
segera mengundurkan diri sekarang juga, kalau tidak, silahkan

mencoba utk menyerbu kedalam, asal aku si hwesio bisa dikalahkan,
lembah hati budha akan menjadi tempat kediaman kalian… “
Sui cuncu dari Siau lim pay segera tampil kedepan, lalu berkata
dg suara dalam.
“kita sebagai murid buddha seharusnya bila taysu berpikir demi
kepentingan umat persilatan, mengapa kau malah berpihak kepada
kaum durjana ? “
Hwesio daging anjing tertawa..
“Walaupun kita sama-sama sebagai murid buddha, bukan berarti
kita mesti bersahabat, aku si hwesio tak akan diterima dikuil kecil,
apalagi dikuil besar macam Siau lim si……..oooh, rupanya aku si
hwesio tak bakal diundang kesana. “
“Toya suka bergurau“ sela Kim cuncu dari Siau lim pay sambil
tertawa, “walau pun kuil Siau lim si sangat besar, rasanya kami tak
akan mampu menampik kehadiran taysu, asal saja taysu senonoh
dan berminat, pintu gerbang Siau lim si selalu terbuka untuk
kehadiran taysu. “
Hwesio daging anjing tertawa terbahak-bahak :
“Haaaahhh…haaahhhh…haaahhh…hwesio gede, kita tak usah
banyak bicara lagi, itu dia, yg bersangkutan telah datang, bila ada
persoalan lebih baik dibicarakan sendiri dengannya, biar aku si
hwesio menjadi saksi saja!”
Habis berkata dia menyingkir kesamping dan ujarnya kepada Kho
Beng sambil tertawa:
“Untung kau segera keluar, kalau tidak…mungkin mereka bakal
naik darah……”
Buru-buru Kho Beng memberi hormat seraya berkata:
“Terima kasih banyak atas bantuan taysu telah melindungi kami,
budi kebaikan itu tak akan boanpwee lupakan!”
Hwesio daging anjing segera tertawa:
“Sudah, jangan banyak berbicara dulu, yg penting kau harus
mengusir pergi orang-orang itu lebih dulu!”
Kho Beng mengiakan dan menjura lagi dalam-dalam, setelah itu
dia baru mengalihkan pandangan matanya kearah para jago sambil
berkata,
“Berita yg kalian peroleh benar-benar amat cepat dan luar biasa,
bolehkah aku tahu karena urusan apakah kalian datang kemari?”
Thian it taysu, ketua Go bi pay segera berkata dg suara dalam,

“Sejak mendapat surat Hui im tiap dari sicu, dimana dikatakan
sicu hendak memberi penjelasan kepada seluruh umat persilatan,
sayang kami tidak mengetahui jejak sicu, maka begitu kudengar
bahwa sicu berada disini, berbondong-bondong kami datang kemari
dg harapan bisa peroleh penjelasan dari sicu!”
Kho Beng jadi tertegun, segera serunya:
“Ucapan taysu benar-benar membingungkan hati orang, kapan
sih aku telah menyebar hui im tiap?”
“Bukankah sicu sendiri yg menyebarkan kartu undangan tsb,
kenapa kau menyangkalnya kembali?” kata Thian itu taysu sambil
berkerut kening, “untung saja aku masih menyimpan baik-baik kartu
tsb, kalau tidak orang tentu menganggap aku membuat alasan yg
bukan-bukan………”
“Mana kartu undangannya? Bolehkah dipinjamkan sebentar
kepadaku?” kata Kho Beng sambil mengulurkan tangannya.
Dari dalam sakunya Thian it taysu mengeluarkan selembar kartu
berwarna merah, lalu serunya:
“Sambutlah sicu!”
Ketika tangannya diayunkan, kartu tsb segera meluncur
kehadapan Kho Beng bagaikan sekuntum awan merah.
Kho Beng mengebaskan ujung bajunya pelan-pelan dan
menyambut kartu tsb, ketika dibuka maka terbaca olehnya tulisan yg
berbunyi begini:
“Kini aku telah mengetahui asal usulku yg jelas, ayahku adalah
Hui im cengcu dari Hang ciu, sebagai putaranya, akupun
berkewajiban menuntut balaskan sakit hati orang tuaku.
Dulu, peristiwa tsb timbul gara-gara kitab pusaka Thian goan bu
boh, karenanya akan kuteruskan cita-cita ayahku almarhum utk
menyebar luaskan ilmu sakti tsb keseluruh dunia persilatan, tapi hal
ini baru bisa diwujudkan bila dalangnya sudah tertangkap, agar umat
persilatan mengetahui dg jelas duduk persoalan yg sebenarnya serta
memperbaiki nama baik ayahku dimata orang banyak.
Mungkin saja anda turut terlibat didalam peristiwa berdarah yg
terjadi di perkampungan Hui im ceng tempo dulu, tapi karena aku
yakin peristiwa ini merupakan siasat busuk seseorang yg masih
bersembunyi dibelakang layar, dan aku percaya kalian terkelabui
semua oleh perbuatan terkutuknya, maka aku tak akan menyalahkan
kalian, sebagai timbal baliknya aku pun berharap kalian pun jangan
memusuhi diriku lagi.

Disaat perkampungan Hui im ceng didirikan kembali nanti, pasti
akan ku undang kehadiran semua untuk merayakan bersama
peristiwa ini.
Adapun waktunya kutetapkan setangah tahun kemudian, jika
takdir menghendaki lain atau terjadi perubahan lain, akan kukirim
surat pemberitahuan tentang perubahan waktu itu, pokoknya aku
tak akan membohongi seluruh kolong langit.
Bila anda ingin mengetahui siapakah dalang dari peristiwa
berdarah tempo hari, dia tak lain adalah Dewi In un.”
Tertanda Kho Beng.
Ketika selesai membaca tulisan itu, Kho Beng segera teringat
kembali dg perkataan si Unta sakti berpunggung baja yg katanya
hendak menyebar Bu lim tiap untuk mengangkat kejadian yg
sebenarnya.
Dg cepat dia pun menjadi paham apa gerangan yg terjadi,
kepada Thian it taysu katanya kemudian:
“Apakah hanya taysu seorang yg menerima kartu tsb……….”
“Tidak, hampir setiap jago atau tokoh kenamaan dunia persilatan
mendapatkan kartu tsb!”
Kho Beng segera manggut-manggut
“Betul, memang aku yg menyebar surat undangan tsb, tapi waktu
yg kutetapkan kan masih setengah tahun kemudian, sebelum
waktunya tiba, apa gunanya taysu memburu kemari?”
Kiong Ceng san dari istana naga munculkan diri secara tiba-tiba
dari kerumunan jago, sambil tertawa seram serunya:
“Bocah keparat, kau anggap aku bakal percaya dg siasat
mengadu dombamu itu?”
“Sejak kuterima kartu undangan tsb, hingga kini sudah tiga orang
rekan persilatan yg tewas oleh Kedele Maut, aku ingin bertanya
kepadamu, sebenarnya siapakah pembunuh keji itu?”
Kho Beng mendengus dingin:
“Hmmm…selama setengah bulan terakhir, aku belum pernah
turun gunung barang setengah langkah pun, darimana aku bisa tahu
siapakah pembunuh yg sebenarnya?”
“Hmmm…kau angap aku masih gampang dikelabui? Sudah dua
kali kau memberi keterangan tentang wajah asli si Kedele Maut, bila
tiada hubungan apapun dg Kedele Maut, siapa yg mau percaya?”

“Benar, aku memang mempunyai hubungan dg kedele maut, tapi
aku tak tahu siapa yg melakukan pembunuhan dimana-mana, aku
minta waktu tiga bulan untuk menyelidiki persoalan ini, sampai
waktunya pasti akan kuberi keterangan yg jelas!”
“Mengapa harus menunggu sampai tiga bulan? Asal kubekuk
dirimu sekarang juga, aku yakin kedele maut pasti akan
menghantarkan diri sendiri masuk perangkap.”
Begitu ucapan tsb diutarakan, para jago segera menangapi dg
penuh luapan emosi.
Melihat keadaan tsb, Kho Beng segera berkata:
“Bila kulihat dari keadaan saat ini, tampaknya saudara sekalian
tak mau menyudahi persoalan tsb hingga disini saja?”
“Tindak tanduk sicu sangat mencurigakan, tak aneh bila
memancing rasa gusar umat persilatan kepadamu.” Thian it taysu
berkata, “menurut pendapatku, lebih baik sicu menyerahkan diri saja
utk dibelenggu, bila semua kecurigaan sudah dibikin jelas, sicu pasti
dibebaskan lagi.”
Kho Beng segera tertawa dingin, jengeknya:
“Sekalipun aku setuju, belum tentu pedang dibahuku serta
sepasang tanganku ini bersedia menuruti anjuranmu itu!”
Dg suara menggeledek Kiong Ceng san membentak:
“Kalau toh ingin berkelahi, buat apa banyak bicara terus? Aku
bersedia utk bertarung dulu melawanmu!”
Sambil berkata ia segera mempersiapkan senjatanya dan
bergerak maju kemuka.
“Kiong tayhiap, apakah kau yakin bisa menang?” ejek Kho Beng
sg suara dingin.
Kiong Ceng san tertawa seram:
“Heeeh…heeeeh…heeeh…bocah keparat, aku mau berkelahi
melawanmu sudah merupakan suatu kehormatan bagimu!”
“Bagus sekali!” Kho Beng tertawa pula dg nyaring, “terima kasih
banyak atas kehormatan yg Kiong tayhiap berikan kepadaku, Cuma
aku pun perlu memberitahukan satu hal kepadamu, yakni aku telah
memperlajari ilmu sakti yg tercantum dalam kitab pusaka Thian goan
bu boh, kuharap tayhiap jangan marah-marah bila menderita
kekalahan nanti!”
Begitu ucapan tsb diutarakan, paras muka Kiong ceng san segera
berubah hebat.

Padahal bukan Cuma Kiong ceng san saja, kawanan jago silat
lainnya pun ikut terperanjat dibuatnya.
Mereka tak tahu apa yg dikatakan Kho Beng itu benar atau Cuma
gertak sambal belaka.
Tapi Kiong ceng san sebagai jago kawakan yg sudah termashur
puluhan tahun lamanya tak berani mengambil resiko besar setelah
melihat sikap tenang lawannya.
Sementara dia masih termenung dg perasaan sangsi, mendadak
dari kerumunan orang banyak kedengaran seorang berteriak keras:
“Aku tidak percaya, Kiong tayhiap ijnkan aku Poa Ho sam
mencoba utk membekuk bocah keparat itu!”
Ditengah seruan tsb, terlihat sesosok bayangan manusia
melayang masuk kedalam arena.
Orang itu berwajah merah membara, senjatanya adalah tombak
pendek, dia berusia empat puluh tahunan serta memakai pakaian
ringkas warna biru, orang tsb tak lain adalah si jago tombak baja
Poa Ho sam, yg namanya terkenal dikawasan Kanglam.
Kiong ceng san menjadi kegirangan, buru-buru serunya:
“Bila Poa lote ingin berebut pahala dg ku baiklah, biar aku
mengalah lebih dulu, Cuma kuharap kau bertindak lebih berhati-hati
lagi……….”
Poa Ho sam tertawa bergelak:
“Haaaahhh….haaaahh……haaaahhh…tak usah kuatir, aku orang
she Poa tak akan percaya dg obrolan setannya!”
Kemudian sambil menatap Kho Beng lekat-lekat, bentaknya
keras:
“Bocah keparat, biar aku yg mencoba lebih dulu kemampuan ilmu
sakti Thian goan bu boh mu!”
Sambil bergendong tangan Kho Beng maju kemuka, lalu katanya
dingin:
“Bagus sekali, biar kucoba kemampuanmu dg mengandalkan
sepasang tangan kosong.”
Berbicara sampai disitu, orangnya telah berdiri persis dihadapan
Poa Ho sam.
Agaknya si tombak sakti Poa ho sam sudah tak sabar lagi,
senjatanya segera diputar kencang, lain saat tampak sekilas cahaya
hitam meluncur kemuka dan langsung menusuk lambung Kho Beng.
Melihat datangnya ancaman itu, Kho Beng mendengus dingin,
sebuah ayunan tangan menyambar kemuka menyongsong

datangnya ancaman lawan, hampir bersamaan maju lagi tiga
langkah kedepan........
Ternyata ketiga langkah kakinya ini luar biasa sekali, bukan saja
dapat menghindari tusukan tombak lawan, lagipula tenaga
pukulannya menjadi mengarah persis pada sasaran.”
Mula-mula Poa Ho sam tertegun, ia tidak mengerti apa kegunaan
dari serangan lawan.
Sebab menurut pengalaman, pada umumnya pada jurus
serangan dari perguruan manapun, selalu mengarah langsung
kepada sasaran yg dihadapi, tidak seperti jurus serangan yg
dgunakan lawannya sekarang, bukan tubuh lawan yg dituju,
sebaliknya menghantam kesisi lain.
Sementara ia masih tertegun, angin serangan yg amat tajam
telah menyambar keatas badannya, dalam keadaan begini, terlambat
sudah baginya utk menghindarkan diri..
“Blaaaaaaaammmm.....!”
Tubuhnya segera terhajar telak sampai mencelat sejauh tiga kaki
lebih dan jatuh terguling diatas tanah, untuk berapa saat lamanya
orang itu tak mampu merangkak bangun kembali.
Dalam satu gebrakan seorang jago silat kenamaan sudah dibikin
keok, bukan saja para jago dibuat terkesiap, sampai si hwesio
daging anjing pun ikut terbelalak dg wajah melongo, sampai
beberapa saat lamanya ia tak mempu berkata-kata.
Sesungguhnya memang disinilah letak keluarbiasaan serta
keampuhan ilmu silat Thian goan bu boh dibandingkan dg ilmu silat
aliran lain.....
Pukulan yg dilancarkan selalu mendahului langkah kaki, tapi
justru menciptakan suatu kerjasama yg amat serasi, bukan saja
membuat musuh susah menghindarkan diri, bahkan pada hakikatnya
tak bisa diduga sebelumnya.
Berhasil merobohkan Pou Ho sam dalam satu gebrakan, Kho
Beng segera memandang sekejap kearah kawanan jago lainnya, lalu
berkata:
“Siapa yg ingin memberi petunjuk lagi”
Para jago saling berpandangan sekejap tanpa berkata-kata,
suasana sangat hening.
Mendadak Kim cuncu dari Siau lim pay memutar toyanya seraya
berkata:

“Jurus serangan dari sau sicu memang sangat hebat, tapi aku
bersedia utk mencoba kemampuanmu yg lihai itu!”
“Apakah taysu ingin mencoba satu pukulan saja?” tanya Kho
Beng dingin.
“Yaa, aku memang berniat mencoba tenaga dalammu, aku rasa
satu pukulan pun sudah dapat melihat kemampuan yg kau miliki!”
“Bagaimana menang kalah telah diketahui?”
Kim cuncu segera tertawa seram,
“Haaa...haaaa....haahh...asal sicu dapat menggungguli diriku,
pinceng akan segera mengundurkan diri dari sini bersama segenap
rekan persilatan yg ada!”
“Sungguhkah perkataanmu itu!”
“Tentu saja, perkataan yg telah kuucapkan pasti akan kutaati,
hanya aku takut sicu tak mampu mengungguli diriku!”
“Bila aku tak mampu mengungguli dirimu, tentu saja aku akan
menyerahkan diri kepada kalian!”
“Bagus sekali........Nah, sicu harus bersiap sedia.........”
“Tunggu sebentar!” tukas Kho Beng mendadak.
“Masih ada urusan lain?”
“Bila aku beruntung bisa menang, masih ada sebuah permintaan
lain yg kuharap dikabulkan.”
“Apa permohonanmu?”
“Orang-orang yg lain boleh pergi, tapi Kiong tayhiap dari istana
naga tak bisa angkat kaki begitu saja!”
Mula-mula Kim Cuncu kelihatan tertegun, lalu sambil mendengus
serunya keras-keras:
“Permintaan mu ini kelewat kebangetan!”
Sambil mendengus dingin, Kiong ceng san berseru pula:
“Hey bocah keparat, dalam hal apa kau bisa tertarik dg ku?:
“Tua bangka celaka! Kau masih ingat dg kematian Li sam?” seru
Kho Beng dg wajah sedingin es.
Kiong Ceng san kelihatan agak tertegun, menyusul kemudian
katanya sambil tertawa seram:
“Li sam mati karena disiksa gara-gara ulahnya menyaru sebagai
Kedele maut, jelas terbukti kalau dia adalah komplotan si iblis keji
itu. Kini kau hendak membalaskan dendam bagi kematiannya, kalau
memang begitu kenapa kau menyangkal tak ada hubungan dg
mereka?”
Dg suara lantang, Kho Beng segera berseru:

“Tahukah kalian, siapa sebenarnya si Kedele Maut itu?”
“Aku memang ingin tahu!” seru Kim Cuncu dg wajah berubah.
Sepatah demi sepatah kata Kho Beng segera berseru:
“Dia tak lain adalah enci kandungku, Kho Yang ciu!”
Begitu pengakuan tsb diucapkan, kawanan jago tsb jadi amat
terkesiap.
Sekarang duduknya persoalan sudah jelas, tapi mereka tak
mengira kalau putra putri Hui im cengcu belum mati dalam peristiwa
berdarah tempo hari.
Dg suara keras Kiong Ceng san segera berteriak:
“Saudara sekalian, apalagi yg kita nantikan? Kalau bocah keparat
ini tidak kita bunuh sekarang juga, setengah tahun kemudian,
mungkin tiada jago persilatan yg bisa lolos dari ancaman mautnya!”
Begitu teriakan tsb berkumandang, suasana jadi sangat gaduh
sekali.
Hwesio daging anjing yg selama ini Cuma mengikuti
perkembangan tsb dari sisi arena, tiba-tiba ikut berkata dg kening
berkerut:
“Aku tidak mengira kalau duduk persoalannya begitu rumit dan
kacau, tapi bersediakah kalian semua mendengarkan sepatah dua
patah kata dariku?”
“Taysu punya pendapat apa?” tanya Kiong ceng san.
“Kuharap pertarungan ditunda pada hari ini, karena saling
membunuh hanya merugikan umat persilatan, lagipula melanggar
ajaran buddha, oleh sebab itu aku keberatan dg terjadinya peristiwa
macam begini.”
“Omitohud!” Thian it taysu segera memuji keagungan buddha,
“tak nyana toyu bisa mengucapkan kata-kata semacam itu, apakah
kau tidak berpihak kepada golongan kami?”
Hwesio daging anjing menggeleng:
“Tidak, aku si hwesio tidak berpihak kepada golongan manapun,
aku Cuma berharap bisa meleyapkan bencana besar ini, aku rasa,
aku hwesio dapat mencegah sobat kecil ini utk melakukan
pembunuhan lebih lanjut.”
“Aku rasa bocah keparat itu enggan menuruti nasehat orang, toh
ilmu sakti telah dipelajari...?” jengek Kiong ceng san sinis.
Hwesio daging anjing segera berpaling kearah Kho Beng, lalu
ujarnya pelan:

“Bersediakah sicu untuk memberi muka kepadaku dg menuruti
nasehatku?”
“Boanpwee pasti akan menerimanya dg senang hati!” sahut Kho
Beng cepat.
Mendengar itu, hwesio daging anjing segera tertawa terbahakbahak:
“Haaaahh...haaaahh...haaahh...sobat kecil Kho telah bersedia
memberi muka kepadaku, bagaimana dg saudara sekalian?”
Thian it taysu termenung sambil berpikir berapa saat, akhirnya
diapun berkata:
“Baiklah, tapi Cuma kali ini saja, biar begitu aku tetap berharap
kepada sauhiap untuk menentukan waktu pertemuan dan
tempatnya!”
“Tak usah ditentukan tempat serta waktunya” sela Kho Beng
dingin, “sekarang juga aku dapat katakan kepada kalian bahwa Bu
wi cianpwee yg kalian jumpai ditengah jalan pada dua puluh tahun
berselang bukan Bu wi cianpwee yg asli, Bu wi cianpwee yg asli
masih merawat lukanya didalam gua, kitab pusaka thian goan bu
boh juga berada ditangan Bu wi cianpwee bahkan sudah dibuatkan
salinannya buat para ciangbunjin dari tujuh partai besar, sayang
sekali para ciangbunjin dari partai-partai besar telah terkecoh oleh
siasat busuk orang lain sehingga mengira ayahku telah
mempermainkan mereka?”
“Sunguh perkataanmu itu?” tanya Thian it taysu dg perasaan
bergetar keras.
“Aku berbicara sejujurnya!”
“Mengapa tidak kau undang Bu wi toyu sekarang juga agar
semua persoalan menjadi terang?”
“Bu wi cianpwee masih membutuhkan waktu satu bulan utk
menyembuhkan luka yg dideritanya, sampai waktunya beliau pasti
akan bertemu dg saudara sekalian!”
“Sekarang siapakah dalang dari rencana busuk ini?” tiba-tiba
Kiong ceng san bertanya pula.
“Dewi In nu!”
Dg perasaan tercengang Thian it taysu berseru:
“Rasanya belum pernah kudengar tokoh persilatan yg bernama
begitu……?”
Tiba-tiba hwesio daging anjing berkata pula sambil tertawa
terkekeh-kekeh.

“Thian it, apakah kau mengetahui tentang peristiwa berdarah yg
menyangkut partai kupu-kupu pada seratus tahun berselang?”
Dg perasaan keheranan Thian it taysu berdiri tertegun, kemudian
sahutnya:
“Partai kupu-kupu………”
“Kupu-kupu indah terbang berpasangan, darah bercucuran
melanda dunia persilatan, air mata bercucuran bagaikan sungai,
tulang berserakan bagaikan bukit, pernah kau dengar tentang bait
syair tsb.”
Berubah hebat paras muka Thian it taysu, serunya tertahan:
“Jadi partai kupu-kupu sungguh-sungguh telah muncul kembali
didalam dunia persilatan?”
“Yaa!” jawab hwesio daging anjing serius, “barusan mereka ikut
datang kemari, buat apa aku si hwesio membohongi dirimu?”
Tiba-tiba Thian it taysu mengulapkan tangannya kepada para
jago sambil berseru:
“Hayo berangkat!”
Dg cepat ia memohon diri kepada hwesio daging anjing, lalu
tergesa-gesa mengundurkan diri keluar lembah.
Diantara kawanan jago yg hadir, mereka yg berusia agak lanjut
mungkin mengetahui sedikit tentang masalah yg dibicarakan,
sebaliknya yg masih muda usia malah dibikin kebingungan.
Tapi melihat semua orang sudah beranjak pergi, tentu saja
mereka harus angkat kaki pula.
Maka suatu pertarungan yg sesungguhnya hampir meletus,
seketika hilang lenyap tak berbekas.
Kho Beng sendiri pun merasa kebingungan, sambil mengawasi
kawanan jago yg mengundurkan diri dari situ, ia berdiri termangumangu.
Sesaat kemudian, pemuda itu baru memberi hormat kepada
hwesio daging anjing, sambil katanya:
“Bolehkan aku tahu naa besar taysu?”
Hwesio daging anjing tertawa bergelak.
“Haaahhh…haaaahhh….haaahhh…aku si hwesio tak punya
julukan apa-apa, mungkin lantaran kegemaranku adalah daging
anjing, maka semua orang menyebutku si hwesio daging anjing!”
“Oooooh..rupanya Kiu tin Sin ceng (pendeta suci penolong jagat).
Aku yang muda bernama Kho Beng, cianpwee bolehkah aku tahu
partai macam apakah partai kupu-kupu itu?”

Hwesio daging anjing menghela napas panjang,
“Sebenarnya partai tsb merupakan suatu perguruan yg paling
istimewa didalam dunia persilatan pada seratus tahun berselang,
perguruan ini tidak bisa disebut partai lurus tapi juga bukan partai
sesat. Adapun senjata andala dari anak muridnya adalah panji kupukupu,
kepandaian silat mereka berasal dari kitab pusaka Thian goan
bu boh!”
“Ilmu silatnya bersumber dari kitab pusaka Thian goan bu boh?”
tanya Kho Beng dg perasaan terkesiap, “tapi menurut apa yg
boanpwee serta Bu wi cianpwee ketahui, isi kitab pusaka Thian goan
bu boh hanya terdiri dari ilmu pukulan serta ilmu pedang!”
“Wah, kalau soal itu mah aku tidak ketahui, semenjak kehilangan
kitab pusaka Thian goan bu boh pada seratus tahun berselang, pihak
partai kupu-kupu telah mengirimkan jagonya utk melakukan
pencarian diseluruh dunia, dunia persilatan seakan-akan diobrak
abrik tak karuan, jumlah korban yg tewas gara-gara peristiwa itu tak
terhitung jumlahnya, keadaan waktu itu sungguh mengerikan sekali,
pokoknya darah seperti menganak sungai dan mayat bertumpuk
bagaikan bukit.
Kho Beng merasakan hatinya bergetar keras, setelah termangumangu
berapa saat, dia bertanya kembali:
“Bagaimana selanjutnya?”
“Akhirnya peristiwa itu mengejutkan tiga dewa dunia persilatan,
tampaknya ketiga tokoh sakti ini merasa tak senang melihat
berlangsungnya peristiwa itu, maka mereka bertiga turun tangan
bersama dan mengundang ketua dari partai kupu-kupu untuk bersua
di tebing hati sedih...”
Setelah menghela napas panjang, terusnya:
“.......dalam peristiwa tsb, boleh dibilang tiga dewa telah
kehabisan seluruh kekuatannya dan mati semua!”
“Kepandaian macam apakah yg diandalkan ketua partai kupukupu?”
tanya Kho Beng keheranan.
“Tentu saja ilmu kupu-kupu terbang berpasangan, senjata kupukupu
yg berada diujung senjatanya terbang melayang, satu berubah
menjadi dua, dua berubah menjadi empat, dan lebih hebat lagi
senjata tsb khusus dipakai utk menjebol pertahanan hawa khikang
orang. Walaupun tiga dewa telah mengeluarkan segenap
kemampuan silat yg dimilikinya, namun tak berhasil meloloskan diri

dari ancaman tsb, dalam keadaan terdesak akhirnya mereka
memutuskan utk beradu jiwa dg ketua partai kupu-kupu.
Akhirnya, ketua dari partai kupu-kupu juga tewas dibawah tebing
hati sedih, sebaliknya tiga dewa pun kehilangan tenaga dalamnya
sebesar lima puluh tahun hasil latihan, sejak kembali ke pulau Bong
lay to, kekuatan tsb tak pernah pulih kembali, sejak pertai kupukupu
mengundurkan diri dari dunia persilatan, dalam dunia kangouw
pun tak pernah kelihatan lagi jejak dari tiga dewa itu!”
Kho Beng termenung berapa saat lamanya, kemudian ia baru
berkata:
“Apakah cianpwee yakin kalau dua orang kakek berbaju ungu tadi
adalah anggota perguruan kupu-kupu?”
“Aku yakin penglihatanku tidak salah!” jawab hwesio daging
anjing dg wajah serius.
Kembali Kho Beng termenung sejenak, lalu ujarnya dg nada
bersungguh-sungguh:
“Boanpwee ingin memohon bantuan, apakah cianpwee bersedia
utk mengabulkan?”
“Ada urusan apa?”
“Boanpwee ingin meninggalkan tempat ini selama berapa hari,
tapi Bu wi cianpwee sedang mengobati lukanya sekarang dan
membutuhkan satu bulan lamanya sebelum kembali seperti sedia
kala. Walaupun Kim bersaudara adalah orang-orang yg setia kawan
dan bisa dipercaya, namun berhubung tenaga dalam yg mereka
miliki sangat terbatas, rasanya sulit utk menghadapi serangan
musuh tangguh, sebaliknya keempat orang anak buahku sangat liar
dan susah dikendalikan, oleh karena itu aku ingin mohon bantuan
cianpwee agar bersedia menjaga ditempat ini selama satu bulan
lamanya……..”
Mendengar perkataan tsb, si hwesio daging anjing segera tertawa
terbahak-bahak:
“Haaaahh…..haaaah…..haaaah….kukira persoalan apa yg kau
minta, kalau soal menjaga bu wi sudah sepantasnya kuterima,
apalagi melindungi keselamatan rekan sendiri. Tapi kau hendak pergi
kemana?”
“Terus terang saja cianpwee, boanpwee ingin secepatnya pegi
mencari dewi In nu, ingin kuketahui manusia macam apakah dirinya
itu?”
“Kau tahu berada dimana dia?” tanya si hwesio agak tertegun.

“Bu wi cianpwe telah menerangkan alamatnya kepadaku, justru
karena itu boanpwee harus secepatnya berangkat kesana, sebab aku
takut ia sudah keburu melarikan diri lebih dulu.”
“Bagus, bagus sekali, orang-orang yg lain boleh kau bawa
semua” kata hwesio daging anjing sambil tertawa, “tempat ini
serahkan saja kepada aku si hwesio seorang, asal yg datang bukan
tiga dewa, aku percaya masih mampu utk menghadapinya.”
“Kalau begitu boanpwe akan berangkat sekarang juga, kelewat
banyak malah kurang leluasa, boanpwee hanya akan mengajak
keempat orang anak buahku saja, sedang Kim bersaudara serta
nona Chin biar tetap tinggal disini, paling tidak kan taysu
membutuhkan juga beberapa orang pembantu!”
“Bagi ku sih tak ada usul lagi, terserahlah maumu!”
Maka Kho Beng pun masuk kembali kedalam gua utk berpamitan
dg Kim bersaudara serta Chin Sian kun, lalu dg mengajak Rumang
berempat segera berangkat eningalkan lembah berhati buddha,
langsung berangkat menuju kebawah bukit seratus kaki.
oooOOooo
Fajar baru menyingsing.
Pintu gerbang sebuah gedung bangunan yg besar, terletak
dilembah Thian sim kok bukit Cian san pelan-pelan dibuka lebar.
Dari balik pintu gerbang yg terpentang lebar, muncullah
serombongan kereta kuda yg semuanya membawa barang yg
bertumpuk-tumpuk, setiap kereta dikusiri oleh seorang lelaki berbaju
hitam dan seorang dayang berbaju hijau.
Tapi anehnya mereka bukan turuni bukit, sebaliknya malah
bergerak menuju keatas bukit.
Puluhan manusia itu berjalan dg mulut bungkam, malah berulang
kali mereka berpaling serta memperhatikan bangunan
perkampungan itu dg perasaan berat hati.
Menanti rombongan manusia itu makin lama semakin menjauh,
mendadak berkobarlah api yg membakar perkampungan tsb,
menyusul kemudian tampak dua orang nona muda berbajumerah
berlarian kesana kemari dg membawa obor utk membakar bangunan
disana.
Si nona yg berusia agak lanjut segera lari menuju kebalik pintu
perkampungan setelah membakar bangunan tadi, mengawasi api yg

berkobar sampai menjulang keangkasa, ia berkata sambil menghela
napas panjang.
“Aaaai….sebuah bangunan rumah yg begitu megah, ternyata
harus dimusnahkan dg begitu saja, kasihan dg jerih payah nona
selama puluhan tahun, akhirnya mesti ludes dg begitu saja….”
Si nona berbaju merah yg berada dibelakangnya, segera
menjawab sambil tertawa:
“Enci Kiok jiu, inilah yg disebut hilang yg lama datang yg baru,
nona sendiri tidak merasa bersedih hati, buat apa kau berkeluh
kesah seorang diri?”
“Bukan begitu maksudku,paling tidak sudah belasan tahun
lamanya kita berdiam disini, siapa yg tak pedih hatinya melihat
bangunan yg begitu megah harus musnah menjadi abu?
Haaai….Hong eng, masa kau tidak melihat nona sendiri sempat
menyeka air matanya sewaktu pergi meninggalkan bangunan tsb
semalam?”
Kembali Hong eng tertawa terkekeh-kekeh.
“Kalau aku mah tak akan risau, sebab memang kejadian ini apa
boleh buat, dirisaukan juga tak ada gunanya!”
Sambil berkata ia segera menyulut pintu gerbang dg obor
ditangannya, dalam waktu singkat pintu itupun terbakar dg
hebatnya.
Menanti kobaran api sudah merata dan membakar semua benda
yg dijumpainya, Kiok Jiu baru membuang obor tsb seraya berkata:
“Sekarang kita harus menanti disekitar sini, coba dilihat apa
benar musuh kita akan datang. “
“Aku tak percaya kalau perhitungan nona bisa begitu tepat. “ kata
Hong eng curiga.
“Perhitungan nona selalu tepat rasanya belum pernah meleset
barang sekalipun, kecuali kedatangan si tua Bu wi yg amat tiba-tiba
tempo hari, sehingga menimbulkan bibit bencana kebakaran yg
berlangsung pada hari ini….. “
Sembari bercakap-cakap mereka berdua segera memasuki hutan
yg lebat ditepi perkampunga yg terbakar itu.
Tak sampai sepenanak nasi kemudian, tiba-tiba dari bawah bukit
sana muncul lima sosok bayangan manusia yg bergerak menuju
keperkampungan itu dg kecepatan tinggi.

Diantara kelima orang itu, seorang diantaranya adalah pemuda
berbaju putih, sementara empat orang lainnya adalah lelaki kekar
berwajah bengis.
Tatkala tiba didepan perkampungan dan menyaksikan api yg
berkobar membakar seluruh bangunan, pemuda itu segera
menghentak hentakkan kakinya ketanah sambil menghela napas
panjang.
“Aaaai…kedatangan kita ternyata masih terlambat juga satu
langkah ! “
Tak salah lagi, orang ini tak lain adalah Kho Beng yg datang
melakukan penyelidikan setelah mendapatkan alamat tsb dari Bu wi
lojin.
Agak tertegun Rumang berseru :
“ Asap tebal masih mengepul dari seluruh perkampungan,
tampaknya kebakaran ini belum lama berlangsung, jangan-jangan
sudah ada orang yg mendahului kita sampai disini dan bertarung
sengit melawan mereka ? “
“Tidak mungkin ! “ Kho Beng menggeleng, “kecuali kita, orang
yg mengetahui dewi In nu masih jarang sekali, sudah jelas pihak
lawan telah menduga akan kedatangan kita mka sebelumnya
membakar perkampungan ini lebih dulu.”
“Sayang……sayang……” gumam Hapukim.
“Apanya yg sayang?” Molim bertanya.
“Padahal sekalipun hendak angkat kaki, bukan berarti seluruh
perkampungan harus dibakar, coba kalau bangunan rumah tsb
diberikan kepada kita…waaah….pasti nyaman sekali.”
“Apanya yg nyaman?” kata Molim tertawa, “terpencil sendirian
ditengah bukit yg jauh dair keramaian manusia, andaikata benarbenar
diberikan kepadaku pun, belum tentu akan kuterima?”
“Sudah, sudahlah, kalian jangan ngaco belo melulu” tukas Kho
Beng segera. “Kini kita sudah kehilangan jejak, berarti selanjutnya
kita harus membuang banyak waktu dan tenaga lagi utk menemukan
jejak mereka………”
“Cukong, kami seperti mendengar ada suara manusia dari balik
hutan sana!”
Dg perasaan terkejut Kho Beng memasang telinganya sambil
memperhatikan dg seksama, betul jua, ia seperti mendengar ada
suara orang tertawa.

Cepat-cepat dia memberi tanda dg kedipan mata kepada anak
buahnya, lalu berbisik:
“Memang mencurigakan sekali kehadiran anak gadis ditengah
bukit yg sepi macam begini, mari kita lakukan pencarian secara
pelan-pelan, tapi kalian jangan turun tangan secara gegabah,
sebelum orang itu adalah musuh kita!”
Siapa tahu belum habis perkataan itu diucapkan, suara tertawa
kedengaran makin lama semakinjelas, lalu tampaklah dua orang
gadis munculkan diri dari balik hutan dan langsung mendekati Kho
Beng.
Menyaksikan munculnya dara-dara muda itu, Kho Beng merasa
agak tertegun, sebab bukan saja kedua orang itu memiliki paras
muka yg cantik jelita, tindak tanduknya pun sangat wajar, seakanakan
disekitar sini sana tiada orang lain.
Agaknya kedua orang nona pun telah melihat Kho Beng serta
rombongannya berada disitu, buru-buru mereka berseru:
“Aaaaah….tidak disangka ditempat ini masih ada orangnya, mari
kita pergi kebagian lain saja!”
Cepat-cepat Kho Beng memburu maju kedepan dan memberi
hormat, katanya:
“Bolehkah aku tahu siapa nama nona berdua?”
Sinona berbaju merah yg agak muda segera menjawab:
“Aku bernama Hong eng, dia adalah ciciku bernama Kiok jin!”
“Ooooh, rupanya nona kiok jin serta nona hong eng, dimanakah
kalian berdiam?”
“Mau apa kau menanyakan alamat kami?” seru Hong eng sambil
menjebikkan bibirnya.
“Nona salah paham, maksudku hanya ingin bertanya apakah
kalian berdua sudah lama berdiam disini?”
Kiok jin manggut-manggut:
“Benar, kami memang berdiam didesa keluarga Li, dibelakang
gunung sana, tapi utk apa kau menanyakan persoalan ini?”
“Kalau begitu tolong tanya, apakah nona kenal dg orang-orang yg
semula berdiam didalam perkampungan yg terbakar sekarang?”
“Siapa bilang tak kenal?” sahut Hong eng sambil berkerut kening,
“dlu kami malah sempat berdiam disini!”
Mencorong sinar terang dari balik mata Kho Beng sesudah
mendengar perkataan itu, segera ujarnya:

“Ooooh....bersediakah nona memberitahukan kepadaku siapa
nama majikan disini?”
“Sebetulnya tempat ini bernama Bwee wan, pemiliknya adalah
seorang perempuan.”
“Apakah dia bernama dewi In nu?” desak Kho Beng lebih jauh.
“Benar!”
“Apa sebabnya perkampungan ini sampai terbakar?”
“Konon, semalam telah datang beberapa orang penyamun yg
mambakar ludes bangunan gedung disini!”
“Lantas bagaimana dg pemilik gedung ini?” tanya Kho Beng agak
tertegun.
“Sudah pergi. Ia sudah pergi menjelang fajar tadi, malah mereka
sempat meminjam tali temali dari kami.”
“Tahukah kalian kemana perginya?”
Kiok jin menggeleng.
“Ia tidak mengatakan kepada kami, waktu itu kami pun belum
bangun maka tak sempat utk bertanya padanya!”
“Lantas dari manakah nona berdua tahu kalau Bwee wan telah
kedatangan kawanan perampok?” seru pemuda itu tercengang.
Kiok jin segera tertawa cekikikan.
“Kenapa kongcu begitu bodoh? Sebelum pergi mereka tentu akan
membicarakan persoalan ini dg ayahku, api berkobar dg begitu
besar, masa ayah kami tidak tahu?”
“Kemana mereka telah pergi?”
“Kalau soal itu mah tidak kuketahui!”
Kho Beng benar-benar merasa amat kecewa, buru-buru dia
datang kesitu namun hasilnya nihil, dia tak mengira begitu cepat
musuhnya angkat kaki dari tempat tsb.
Sementara ia masih termenung memikirkan persoalan itu, Hong
eng telah berkata lagi:
“Kongcu, kalau sudah tak ada urusan lagi, kami kakak beradik
ingin mohon diri lebih dulu!”
“Terima kasih banyak atas petunjuk nona!” buru-buru Kho Beng
menjura utk memberi hormat.
Hong eng tertawa, bersama Kiok jin segera emutar badan dan
berjalan menuju kedalam hutan sana.
Dg termangu mangu Kho Beng hanya bisa mengawasi bayangan
tubuh kedua orang gedis tsb lenyap dibalik pepohonan sana.
Tiba-tiba terdengar Rumang menjerit kaget......

Dg perasaan tertegun Hapukim segera menegur:
“Engkoh Rumang, ada urusan apa?”
“Aku merasakan hawa sesat pada kedua orang gadis kecil tadi!”
“Hawa sesat apa?” tanya Molim.
Jilid 21
“Bukankah dia menerangkan kalau rumahnya berada dibukit
sebelah sana, kalau memang hendak pulang, kenapa mereka
kembali memasuki hutan? Memangnya rumah berada ditengah
hutan?”
“Siapa tahu mereka masih mempunyai keperluan lain? Atau
bahkan mereka sedang berburu dihutan?” kata Molim tertawa.
“Yaa, perkataanmu memang ada benarnya, tapi kalau mereka
ingin berburu, toh mereka harus mengenakan pakaian berburu, tapi
kenyataannya mereka mengenakan gaun biasa, bila nona-nona itu
memang penduduk rakyat biasa, mana mungkin mereka mampu
melewati jalan bukit yg terjal dan licin dg memakai gaun?”
Kho Beng menjadi sangat terperanjat, segera serunya:
“Yaa, tadi aku tak sempat mengawasi secara teliti, ternyata aku
percaya dg begitu saja semua obrolan mereka, siapa tahu kedua
orang itu memang mendapat tugas memberi informasi yg salah agar
kita tak bisa menemukan jejaknya lagi?”
“Bukankah mereka masih berada disekitar sini?” kata Molim
kemudian, “lebih baik kita geledah saja daerah seputar tempat ini,
masa mereka bisa sembunyi terus?”
Kho Beng manggut-manggut:
“Baik, mari kita mencari secara berpisah, setiap tempat kita
periksa dg teliti, coba diperhatikan apakah disekitar sini masih ada
penghuninya!”
Maka berangkatlah kelima orang itu dg menerobos hutan belukar.
Setelah melangkah masuk kedalam hutan, suasana menjadi
remang-remang, bukan saja banyak ularnya, seringkali mereka
mendengar suara auman harimau yg memekakkan telinga.
Kho Beng berlima menembusi hutan dg senjata terhunus, setiap
jengkal tanah boleh dibilang telah diperiksa dg seksama, tapi aneh
bin ajaib, dalam waktu yg relatif singkat ternyata bayangan tubuh
kedua orang nona berbaju merah tadi telah lenyap dari pandangan
mata.

Dari pagi mereka berlima menelusuri hutan sampai tengah hari
sebelum akhirnya muncul pada tepi hutan yg lain, waktu itu
matahari sudah berada diatas kepala, namun tak sesosok bayangan
manusia pun yg ditemukan.
Dg terjadinya peristiwa ini, semakin membuktikan betapa
mencurigakannya kedua orang nona berbaju merah tadi.
Kho Beng menjadi sangat mendongkol bercampur gusar, sambil
menengok cuaca, katanya kemudian dg suara dalam:
“Sekarang kita mengisi perut dulu dg ransum kering, kemudian
baru melanjutkan pelacakan, aku tak percaya kalau kita tak berhasil
menemukan tempat persembunyian mereka.
Maka mereka berlima pun mengisi perut dg ransum kering yg
dibawa, lalu setelah beristirahat sebentar, pelan-pelan mereka
lanjutkan pemeriksaannya disekitar sana.
Setelah melewati dua buah bukit yg tinggi akhirnya secara tibatiba
mereka temukan jalan setapak yg agaknya seringkali dilalui
manusia.
Jalan setapak itu amat bersih dan kering, tampak jelas jalanan itu
sering digunakan utk berlalu lalang.
Kontan saja Kho Beng merasakan semangatnya berkobar
kembali, segera serunya:
“Kemungkinan besar kita sudah berhasil menemukan arah yg
benar!”
Tanpa membuang waktu lagi, segera ia memimpin anak buahnya
utk menelusuri jalan itu.
Tak sampai setengah peminuman teh kemudian, sampailah
mereka didepan sebuah bangunan rumah yg besar, bengunan loteng
yg mungil tapi indah nampak secara lamat-lamat dari kejauhan.
Dg perasaan gembira yg meluap-luap,Rumang segera berseru:
“Siapa tahu bangunan itu yg sedang kita cari, mari kita serbu saja
kedalam!”
“Tunggu sebentar!” cegah Kho Beng, “apabila kita langsung
menyerbu kedalam gedung dan andaikata dugaan kita meleset,
bukankah akan menimbulkan kesalah pahaman yg tak ada artinya?”
“Asalkan perempuan bajingan itu tidak berdiam disini, kita kan
masih bisa mengundurkan diri……….” Seru Hapukim.
“Biasanya hanya orang-orang sakti atau pendekar berilmu tinggi
yg membangun rumahnya ditengah hutan dan pegunungan yg
terpencil seperti ini, padahal kedatangan kita kemari adalah utk

melacak jejak dewi In nu, aku tak ingin menimbulkan banyak
persoalan yg tak ada gunanya. Apalagi andaikata sasaran memang
betul berada disini, kedatangan kita disiang hari begini bukankah
sama artinya dg menggebuk rumput mengejutkan ular.”
“Kalau begitu mari kita menunggu saja sampai malam tiba
sebelum masuk kedalam gedung itu utk melakukan penyelidikan”
usul Molim kemudian.
“Nah, begitu baru cocok dg jalan pikiranku” seru Kho Beng sambil
manggut-manggut, “sekarang waktu sudah siang, mari kita mencari
tempat utk beristirahat sejenak, menanti hari sudah gelap nanti baru
kita masuki perkampungan tsb utk melakkukan penyelidikan, kalau
bukan mereka yg kita cari, kita segera mengundurkan diri,
sebaliknya kalau memang mereka yg kita cari disini, sampai
waktunya kita bicarakan lagi!”
Maka mereka berempat pun mencari hutan yg sepi dan
bersembunyi utk melepaskan lelah dan duduk mengatur pernapasan.
Dalam waktu singkat, senja telah menjelang tiba.
Mereka berlima segera mengisi perut dg ransum kering, setelah
itu berangkat menuju gedung itu.
Langit sudah gelap gulita, cahaya lentera yg memancar keluar
dari balik gedung bagaikan kerdipan bintang yg terbesar diangkasa,
ditengah kegelapan yg mencekam tanah perbukitan tsb, cahaya
lentera itu kelihatan jauh lebih terang benderang.
Ketika mereka berlima tiba dimuka perkampungan tsb, tampaklah
pagar bambu mengelilingi taman, aneka bungan yg tumbuh
diseputarnya, tak salah lagi kalau tempat tsb mirip tempat tinggal
orang pertapaan………
Sambil meloloskan goloknya, Rumang segera berbisik:
“Bagaimana kalau kita langsung menyerbu masuk kedalam utk
melakukan pemeriksaan?”
“Tidak!” seru Kho Beng cepat, “kalau kebanyakan orang, gerak
gerik kita menjadi kurang leluasa, coba kalian menunggu saja diluar,
biarku masuk seorang diri, bila bertemu bahaya akan kuberitahukan
kepada kalian dg suara pekikan sampai saatnya aku rasa belum
terlambat buat kalian utk menyusulku kedalam…………”
Terpaksa Molim sekalian menggut-manggut tanda mengerti.
Maka seusai meninggalkan pesannya, Kho Beng segera melejit
ketengah udara dan menerobos masuk kedalam perkampungan.

Gerakan tubuhnya cepat sekali bagaikan sambaran kilat, bagitu
memasuki perkampungan, ia segera mendekam diatas wuwungan
rumah tanpa menimbulkan sedikitpun suara.
Baru saja dia hendak mengintip kebawah, mendadak dari kiri
kanan dan belakang tubuhnya bergema suara bentakan nyaring,
sewaktu ia berpaling dg perasaan terkejut, tampak empat sosok
bayangan manusia telah melompat naik keatas atap rumah dan
mengepungnya rapat-rapat.
Peristiwa ini boleh dibilang membuatnya terperanjat sekali.
Sejak menyelinap masuk kedalam perkampungan hingga
mendekam diatas wuwungan rumah boleh dibilang ia tak
menimbulkan suara sedikitpun, mengapa jejaknya segera ketauan
lawan?
Tapi saat sekarang tidak memberi kesempatan lagi baginya utk
berpikir panjang, serta merta dia melejit bangun dan berdiri tegak
diatas atap rumah.
Tampak seorang nona berbaju hijau yg berada disisi kiri
membentak keras:
“Bajingan keparat, besar amat nyalimu, berani sekali memasuki
perkampungan Ciu hong san ceng ditengah malam buta begini,
hmmm……tampaknya kau sudah bosan hidup!”
Kho Beng sadar kalau jejaknya tak bisa disembunyikan lagi, maka
sahutnya sambil tertawa:
“Harap nona sekalian jangan gusar, sesungguhnya kedatanganku
kemari adalah utk melacaki jejak seseorang, tak disangka
kehadiranku telah mengejutkan kalian semua.”
“Siapa yg kau cari?” tanya nona itu.
“Sebelum kujawab pertanyaan tsb, dapatkah kuketahui lebih dulu
siapakah kepala perkampungan Ciu hong san ceng ini?”
“Hmmm, siapa kepala perkampungan kami, kau masih belum
pantas utk mengetahuinya.”
“Kalau begitu bolehkah aku tahu, apakah didalam perkampungan
kalian terdapat seorang nona yg bernama Hong ing?” desak Kho
Beng lebih lanjut dg kening berkerut.
Nona berbaju hijau itu kelihatan agak tertegun, kemudian
sahutnya:
“Yaa, ada! Kau kenal dengannya?”
“Yaa benar, bolehkah aku bertemu sebentar dg nya?”

Baru selesai perkataan itu diutarakan, mendadak dari dlm gedung
kedengaran seseorang bertanya:
“Bi kui, siapa yg berada diatas rumah?”
Nona berbaju hijau itu segera menjawab:
“Lapor n ona, kita telah kedatangan seorang pemuda asing yg
mengaku hendak mencari nona Hong ing!”
Kho Beng yg mengikuti tanya jawab tsb dalam hati kecilnya
segera berpikir:
“Bila didengar dari nada pembicaraannya, mungkin orang itu
adalah kepala kampungnya, mengapa tidak kuperiksa dulu apakah
orang tsb adalah dewi In n u atau bukan?”
Berpikir sampai kesitu, ia segera melompat turun keatas tanah
dan langsung melangkah masuk kedalam ruangan.
Tapi apa yg kemudian terlihat segera membuat hatinya bergetar
keras, serunya tertahan:
“Cici…….!”
Ternyata didalam ruangan duduk dua orang nona muda.
Yg seorang mengenakan pakaian baju merah dan berparas cantik
jelita bak bidadari dari kahyangan, matanya jeli, hidungnya mancung
dan mulutnya kecil mungil, dia berusia dua puluh tujuh-delapan
tahunan, agaknya orang inilah yg menegur tadi.
Sedangkan orang kedua adalah seorang nona berbaju putih yg
berwajah dingin, dia tak lain adalah enci kandungnya, Kho Yang ciu
yg telah berpisah dgnya dikota Yang ciu tempo hari.
Waktu itu Kho Beng benar-benar dibuat terkejut bercampur
keheranan, utk sesaat lamanya dia Cuma tertegun seperti patung
saja.
Begitu pula keadaan Kho Yang ciu serta nona berbaju merah itu,
mereka berdua kelihatan tertegun juga.
Akhirnya Kho Yang ciu maju menyongsong kedatangan pemuda
itu dg cepat, sambil menarik tangan Kho Beng serunya:
“Adikku, darimana kau bisa tahu kalau aku berada disini?”
Sewaktu bertanya, sepasang matanya tampak berkaca-kaca dan
hatinya dicekam gejolak meosi yg meluap, jauh berbeda dg sikapnya
sewaktu bertemu utk pertama kali dulu.
Dg perasaan terharu sahut Kho Beng:
“Cici, aku tak mengira kau ada disini!”
Sementara itu si nona berbaju merah tadi telah berseru sambil
tertawa:

“Oooh…rupanya orang sendiri, wah inilah yg dibilang orang air
bah melanda istananya……….”
Tangannya segera diulapkan kepada keempat nona berbaju hijau
yg mengawasi dari luar pintu dg pedang terhunus, katanya:
“Kalian boleh mengundurkan diri dari sini, segera siapkan meja
perjamuan!”
Keempat orang nona berbaju hijau itu mengiakan bersama,
setelah memberi hormat mereka segera mengundurkan diri,
sekalipun rasa tercengang masih menghiasi paras muka masingmasing.
Sementara itu Kho Yang ciu telah membalikkan badan dan
memperkenalkan Kho Beng dg nona berbaju merah itu, katanya:
“Dia adalah enci Li dari perkampungan Ciu hong san ceng!”
Dg pikiran dicekam rasa bingung dan tak habis mengerti, Kho
Beng memberi hormat seraya berkata:
“Ooooh, rupanya nona Li atas kelancanganku tadi, harap nona
sudi memaafkan…………”
Nona berbaju merah itu tersenyum:
”Untuk mengundang kehadiran tamu agung pun bukan suatu
pekerjaan yg gampang, kenapa mesti bersungkan-sungkan…”
“Tapi dimanakah cengcu perkampungan ini? Sudah sepantasnya
kalau Kho Beng bertemu serta menyampaikan dalam dulu
kepadanya.”
“Adikku, nona Li adalah cengcu perkampungan ini……..” kata Kho
Yang ciu cepat.
“Aaaah…….rupanya perkampungan ini adalah hasil karya nona Li,
tapi……tahukah nona bahwa perkampungan Bwee wan dibukit
sebelah muka sana telah terbakar semalam?”
Li sian soat, ketua perkampungan Ciu hong san ceng kembali
tersenyum manis:
“Pagi tadi aku baru melihat cahaya api, saat itulah baru kuketahui
kalau perkampungan Bwee wan telah terbakar hangus………”
“Tahukah cengcu, siapakah pemilik perkampungan Bwee wan
itu?” tukas Kho Beng cepat.
Kembali Li Soan soat menggeleng:
“Hingga kini aku tak pernah meninggalkan rumah barang
selangkah pun, meski kuketahui juga bahwa pemilik perkampungan
Bwee wan pun seorang wanita, tapi sayang belum pernah
kutanyakan siapa namanya.”

Tanpa terasa Kho Beng mengerutkan alis matanya rapat-rapat.
Selisih jarak diantara kedua perkampungan itu Cuma berapa li,
namun kenyataannya mereka tak pernah saling berhubungan, jelas
kejadian semacam ini berada diluar kebiasaan pada umumnya.
Ia mulai menaruh curiga, jangan-jangan Li cengcu dari
perkampungan Ciu hong san ceng adalah dewi In nu yg sedang
dicari-cari, apa mau dibilang dia masih kekurangan bukti-bukti yg
jelas, apalagi encinya pun sedang bertamu disitu..
Dg bekal pelbagai kecurigaan yg tak terjawab, akhirnya dia
memutuskan akan menanyakan persoalan tsb kpd encinya nanti.
Maka dia pun membungkam diri dan tidak berbicara lagi.
Dlm perjamuan yg kemudian diselengggarakan, mereka bertiga
duduk saling berhadapan, meski Li Sian soat banyak bicara dan
senyum, namun Kho Beng selalu menjawab sekenanya.
Ditengah perjamuan itulah, mendadak terdengar nona berbaju
hijau yg berada diluar ruangan berseru dg gelisah:
“Diluar perkampungan telah kedatangan empat orang lelaki kekar
yg tak jelas identitasnya, agaknya mereka sedang mengintip
perkampuangan kita……”
Mendengar ucapan tsb, buru-buru Kho Beng berseru:
“Aaaah betul, hampir saja aku lupa! Keempat orang itu tak lain
adalah anak buahku!”
Kalau memang anak buah Kho kongcu, biar kusuruh mereka
mengundangnya masuk, paling tidak kan mesti dijamu dg sebaikbaiknya”
kata Li Sian soat sambil tertawa.
Perjamuan tsb baru berakhir setelah kentongan pertama lewat,
Kho Yang ciu mohon diri terlebih dahulu kepada Li Sian soat,
kemudian baru mengajak Kho Beng memasuki sebuah kamar tamu
dihalaman belakang.
Ketika mereka berada dalam kamar hanya berdua saja utk
pertama kalinya, Kho Yang ciu merasakan luapan rasa gembira yg
tak terlukiskan dg kata-kata.
Kho Yang ciu yg pertama-tama berkata lebih dulu sambil tertawa:
“Adikku, tempo dulu mungkin cici kepadamu sedikit kelewat
batas, tapi kau mesti memahami sikapku waktu itu yg berusaha utk
mengobarkan semangat balas dendam dalam hati kecilmu, tentunya
kau tak akan menyalahkan aku bukan?”
Dg air mata bercucuran, sahut Kho Beng:

“Cici, aku memahami perasaan itu, malah panji Hui im ki leng
sudah berhasil kurampas kembali.”
“Tentang soal-soal tsb telah kuketahui semua, adikku, apakah
perkampungan Bwee wan yg kau tanyakan tadi adalah tempat
tinggal siluman perempuan itu?”
“Betul!” Kho Beng manggut-manggut.
Mencorong sinar pembunuhan yg amat tebal dari balik mata Kho
Yang ciu, serunya sambil menghentak-hentakkan kakinya berulang
kali keatas tanah:
“Aku tdk tahu kalau pemilik perkampungan Bwee wan adalah
dewi In nu, kalau tidak, aku pasti tak akan membiarkan dia kabur
dari tempat tsb!”
“Apakah Li cengcu tak pernah menyinggung soal perkampungan
Bwee wan?”
“Tidak!”
“Sebenarnya Li cengcu ini berasal dari perguruan mana?”
“Dia tak mempunyai perguruan.”
“Tidak mempunyai perguruan? Lantas darimana dia pelajari ilmu
silatnya?” tanya Kho Beng agak tertegun.
“Konon ayahnya adalah seorang tokoh duni persilatan yg berilmu
tinggi, tapi dikarenakan suatu sebab, akhirnya mengundurkan diri
dan menyendiri hidup disini, sebelum meninggal ia berpesan kepada
keturunannya agar tidak berkelana lagi didalam dunia persilatan,
itulah sebabnya meski sudah berusia tiga puluh tahun, namun ia
tidak pernah sama sekali mennggalkan perkampungannya barang
selangkah pun, sementara ilmu silatnya diperoleh dari warisan
keluarga.”
Setelah memperoleh keterangan tsb, diam-diam Kho Beng
berpikir lagi dalam hati:
“Berusia sekitar tiga puluh tahunan berarti persis seimbang dg
usia dewi In nu!”
Berpikir demikian, kembali ia bertanya:
“Bagaimana ceritanya sampai cici bisa berkenalan dg nya?”
Kho Yang ciu tertawa:
“Sewaktu dlm perjalanan turun gunung tempo hari, secara
kebetulan aku ketimpa hujan sehingga harus berteduh ditempat ini,
tak di sangka pertemuan yg semalam dapat menjalin hubungan yg
lebih akrab diantara kami.”
“Apakah cici tak pernah menaruh curiga kepadanya?”

“Curiga soal apa?”
“Curiga kalau dia adalah dewi In nu yg sedang kita cari-cari?”
Kho Yang ciu tertawa geli:
“Aaah….perasaanmu terlalu sensitif, mana mungkin dia adalah
dewi In nu? Kau tahu, ilmu kedele maut pencabut nyawa yg kumiliki
sebetulnya adalah warisan dari dia!”
Sekali lagi Kho Beng dibikin tertegun oleh kenyataan tsb.
Tapi pelbagai tingkah laku, gerak gerik serta gejala yg
diperolehnya selama bertemu dg Li Sian soat memberi kesan
kepadanya bahwa perempuan she Li ini sangat mencurigakan hati,
maka secara diam-diam dia mengambil keputusan utk melakukan
penyelidikan selewatnya malam nanti, dia ingin mengetahui keadaan
yg sebenarnya disekitar sana.
Maka setelah berbincang-bincang sebentar dg cicinya dan
menunggu sampai Kho Yang ciu meninggalkan tempat itu, dia
padamkan lentera dan pura-pura tidur, padahal secara diam-diam
dia awasi gerak gerik diluar.
Ketika kentongan kedua sudah lewat.
Rembulan nampak bersinar terang diluar jendela.
Kho Beng menunggu sampai suasana diluar menjadi hening baru
secara diam-diam melompat keluar dari jendela belakang dan
menyusup kehalaman tengah.
Dg matanya yg tajam dia mencoba memperhatikan sekejap
sekeliling tempat itu, suasana terasa lenggang dan gelap, hanya
disudut halaman sebelah barat kelihatan masih ada cahaya lentera,
maka diapun segera bergerak menuju kearah sana.
Setelah didekati barulah diketahui bahwa tempat tsb adalah
sebuah halaman gedung yg terpisah, dari dalam gedung kedengaran
suara lelaki yg sedang berbicara.
Secara diam-diam Kho Beng mendekati tempat itu dan melongok
kedalam, tetapi apa yg kemudian terlihat membuat hatinya bergetar
keras.
Ternyata tempat itu merupakan sebuah gedung yg amat lebar,
dlm ruangan duduk enam orang lelaki kekar.
Keenam orang itu semuanya memakai baju berwarna kuning,
malah salah seorang diantaranya tak lain adalah Hang Tiong lin yg
pernah dijumpai dikota Yang ciu tempo hari.
Tak terlukiskan rasa terperanjat si anak muda tsb saat itu.

Dari kehadiran Hang Tiong lin, dia segera menyadari bahwa
perkampungan Ciu Hong san ceng ini sesungguhnya adalah sarang
iblis dari dewi In nu, sedangkan Li Sian soat sendiri meski bukan
dewi In nu pribadi, paling tidak dia adalah komplotannya.
Tapi yg menjadi persoalan sekarang adalah kenapa cicinya bisa
kenal dg perempuan itu, bahkan sama sekali tdk mengetahui
identitas yg sebenarnya?
Bukan hanya itu, mengapa pula dia bersedia mewariskan ilmu
senjata rahasia yg begitu ampuh kepada cicinya? Kalau dibilang
tiada permusuhan diantara mereka, dibalik kesemuanya itu pasti ada
rencana busuk atau latar belakang lainnya, tapi apakah rencana
busuk dan latar belakang tsb?
Diam-diam Kho Beng termenung dg perasaan bimbang dan tak
habis mengerti, namun satu hal telah diketahui secara pasti, ia
sudah terjebak dalam sarang harimau.
Berapa bahaya keadaan demikian, ia pun mengambil keputusan
utk m enghubungi cicinya dulu serta memberitahukan apa yg sudah
terlihat, agar cicinya bisa meningkatkan kewaspadaannya juga.
Berpikir sampai disitu, diam-diam diapun memutuskan utk
mengundurkan diri secara diam-diam dan menghubungi cicinya lebih
dulu.
Siapa tahu baru saja dia membalikkan tubuhnya, tahu-tahu
dibelakang tubuhnya telah berdiri seorang kakek berbaju ungu.
Ditengah malam buta yg sepi begini ternyata kehadiran orang tsb
dibelakang tubuhnya sama sekali tdk menimbulkan suara sedikitpun,
hampir saja Kho Beng dibuat bergidik ngeri saking kagetnya.
Sementara itu si kakek berbaju ungu itu telah menegur dg suara
dingin:
“Siapa kau?”
Kho Beng tdk langsung menjawab, otaknya berputar sebentar,
ketika melihat paras muka si kakek berbaju ungu itu terasa asing
sekali, dia berpendapat lebih baik tdk membongkar identitasnya lebih
dulu.
Maka sambil tersenyum, katanya:
“Aku bernama Kho Beng, tamu dari cengcu perkampungan ini,
boleh aku tahu siapa kah nama locianpwee?”
Mencorong sinar tajam dari balik matya kakek itu, sahutnya
dingin:

“Ooooh, rupanya Kho kongcu, kalau toh sebagai tamu, tak pantas
kau meyelidiki rahasia orang lain ditengah malam buta begini.”
Buru-buru Kho Beng berkata lagi:
“Aku sedang mencari keempat anak buahku karena ada urusan
hendak menitahkan mereka utk dikerjakan, sayang tidak kuketahui
mereka berdiam dan lagi aku pun enggan mengganggu kenyenyakan
tidur tuan rumah, maka terpaksa aku mencari seorang diri, tak
disangka akhirnya aku mencari sampai tempat ini, harap loheng sudi
memaafkan atas kelancanganku ini.”
Kakek berbaju ungu itu termenung sebentar, kemudian katanya:
“Kalau keempat enak buah kongcu mah, aku tahu..?”
“Oya, mereka berada dimana sekarang?”
“Mereka telah pergi.”
“Sudah pergi?” seru Kho Beng tertegun,“memangnya mereka
pergi meninggalkan aku tanpa mencari kabar lebih dulu kepadaku?”
“Kalau soal itu mah tidak kuketahui secara pasti” sahut si kakek
dg nada dingin.
“Aku tidak percaya, sekalipun mereka pergi tanpa pamit, paling
tidak cengcu kalian toh mesti memberitahukan soal ini kepadaku.”
“Disaat mereka pergi meninggalkan tempat ini, cengcu kami
sudah pergi tidur!”
“Oya…?” Kho Beng segera tertawa dingin,
“heeehh…heeeh…heeeh…apalah artinya lotiang membohongi aku?
Toh, aku sudah tahu bahwa perkampungan Ciu Hong san ceng
bukan tempat yg baik!”
Berubah paras muka kakek berbaju ungu itu, segera serunya:
“Hey, apa maksudmu berkata begitu? Kalau bukan tempat yg
baik, memangnya tempat ini tempat jahat?”
“Seharusnya lotiang jauh lebih mengerti ketimbang aku!” jengek
Kho Beng lagi sambil tertawa dingin.
“aku tidak mengerti?”
“Ehmm, tak ada salahnya kalau kujelaskan kepadamu” sambung
Kho Beng segera, “bila perkampungan Ciu Hong san ceng adalah
tempat orang baik-baik, kenapa disini bisa ditemui jago-jago
pedang berbaju kuning dari dewi In nu?”
Begitu perkataan tsb diutarakan keluar, paras muka kakek
berbaju ungu itu berubah sangat hebat.

Dan pada saat yg bersamaan pula, dari balik ruangan telah
berkelebat lewat enam sosok bayangan kuning, dalam waktu singkat
anak muda tsb sudah terkepung rapat-rapat.
Sambil tertawa dingin, kakek berbaju ungu itu berkata:
“Sebenarnya aku masih berminat memberi kesempatan padamu
utk hidup beberapa waktu lagi, tapi sekarang….heeh…heeh…..mau
tak mau terpaksa aku harus mengirim kau utk pulang keneraka lebih
dulu……”
Begitu selesai berkata, sepasang telapak tangannya segera
diayunkan kedepan, segulung angin pukulan yg maha dahsyat pun
meluncur kedepan dan menyambar Kho Beng.
Dalam serangannya kali ini, kakek berbaju ungu tsb telah
menggunakan tenaga dalamnya sebesar sepuluh bagian
lebih……bisa dibayangkan betapa dahsyatnya ancaman tsb.
Menyaksikan betapa dahsyatnya ancaman yg menggulung
datang, Kho Beng tak berani menghadapinya dg keras melawan
keras, dg cekatan dia mengenggos kesamping utk menghindarkan
diri.
Tapi pada saat yg bersamaan, tiba-tiba terdengar lagi desingan
angin tajam menyambar tiba dari sisi kiri.
Sergapan yg dilancarkan secara licik ini kontan saja mengobarkan
hawa amarahnya, dg suara menggeledek segera bentaknya:
“Hmmm, manusia yg tak tahu malu!”
Tenaga pukulannya segera diayunkan kesamping mengimbangi
perputaran badannya, dg cepat sekali dia hantam tubuh sijago
pedang berbaju kuning yg melancarkan sergapan kearahnya itu.
Jeritan ngeri yg memilukan hati pun berkumandang memecah
kesunyian.
Mimpi pun si jago pedang berbaju kuning itu tak menyangka
kalau tenaga pukulan Kho Beng yg sedang tertuju kearah kakek
berbaju ungu tsb, tiba-tiba sudah berpindah sasaran dan
mengancam kearahnya.
Tahu-tahu dadanya terasa amat sakit, tak tahan ia menjerit ngeri
lalu roboh terjungkal keatas tanah.
Berada dalam keadaan begini, Kho Beng tdk menghentikan
perbuatannya sampai ditengah jalan, kembali bentaknya keraskeras,
“Barang siapa masih ingin h idup, hayo cepat menggelinding
pergi dari sini!”

Sepasang tangannya melancarkan sapuan berantai, bayangan
pukulan menderu-deru bagaikan hujan gerimis, dalam waktu singkat
lima orang jago pedang berbaju kuning sudah didesaknya sampai
mundur sejauh tiga kaki lebih.
Melihat peristiwa ini, kakek berbaju ungu itu menjadi sangat
terkesiap, katanya tiba-tiba:
“Sungguh hebat tenaga dalammu, tak heran kalau kau berani
membuat keonaran ditengah malam buta begini!”
“Lotiang!” ujar Kho Beng dingin, “sekarang kau boleh bicara
secara terus terang, sebenarnya dimanakah keempat anak buahku
sekarang?”
Kakek berbaju ungu itu tertawa sinis:
“Heeehh…heeehh…heeehh…kalau sekarang mah jiwa mereka
belum terancam, tapi bila kau berani membuat keonaran lagi disini,
aku tidak dapat m enjamin keselamatan jiwa mereka lagi!”
“Hmmm, kau berani?” dengus Kho Beng.
“Nyawa mereka toh berada ditangan aku Ong Thian siang, aku
juga yg menentukan hidup mati mereka, kenapa tak berani
kulakukan?”
Kho Beng tertawa bergelak:
“Haaahh….haaahh……haaahh…..tapi kau jangan lupa, selembar
nyawamu justru berada ditanganku!”
“Berani kau bertaruh dg ku?” tantang kakek itu tiba-tiba.
“Bertaruh apa?”
“Bila kau yg menang, aku segera membebaskan anak buahmu
dan membiarkan kau pergi dari sini tanpa diganggu!”
“Seandainya aku kalah?”
“Serahkan kitab pusaka Thian goan bu boh kepadaku!”
“Baik!” sahut pemuda itu angkuh.
“Kalau begitu silahkan kau lepaskan seranganmu!”
“Maaf….” Kata Kho Beng dg suara dalam.
Telapak tangan kanannya segera direntangkan didepan dada, lalu
sambil berputar satu lingkaran ia bergerak maju kemuka.
Tiba-tiba Ong Thian siang menjengek dingin:
“Oooh, rupanya kau telah mempelajari sim hoat dari ilmu Thian
goan sinkang…?”
Tubuhnya maju menyongsong, tidakberkelit atau berusaha
menghindar, ia sambut datangnya serangan dari Kho Beng itu dg
keras lawan keras…..

“Blaaaammm……!”
Ditengah suara benturan yg amat keras, tubuh Ong Thian siang
bergoncang amat keras, tapi segera serunya sambil tertawa seram:
“Heeeh…heeeh….heeeh…bocah keparat, tenaga pukulanmu
hanya mampu meniup bulu ayam, hmmm, coba rasakan pula tenaga
pukulanku ini!”
Ditengah bentakan keras, sepasang kepalannya didorong
bersama kemuka dg kekuatan penuh.
Sesungguhnya Kho Beng merasa terkejut sekali ketika menjumpai
tenaga pukulannya sebesar delapan bagian tak berhasil melukai
lawannya, dia sama sekali tak mengira kalau hawa khikang peindung
badan yg dimiliki musuhnya telah mencapai puncak kesempurnaan,
dimana tusukan tombak dan bacokan golok tak mempan lagi melukai
badannya.
Dalam waktu singkat dia segera menyadari bahwa kakek berbaju
ungu ini betul-betul merupakan seorang musuh tangguh yg tak
boleh dipandang enteng, maka begitu melihat datangnya angin
pukulan yg menggulung datang, tergopoh-gopoh dia menghindarkan
diri kesamping.
Sementara itu didalam hati kecilnya, diam-diam dia mengambil
keputusan, selama orang ini tidak dilenyapkan dari muka bumi maka
nasibnya pada malam ini lebih banyak bahayanya ketimbang
selamat.
Belum habis ingatan itu melintas lewat, kelima orang jago pedang
berbaju kuning telah berteriak bersama sambil menyerbu kemuka dg
pedang terhunus.
Sambil tersenyum dingin Kho Beng segera berseru:
“Kalau toh kalian sendiri yg pingin mampus, jangan salahkan
kalau siauya berhati keji!”
Lengan kirinya segera digetarkan keras-keras, bayangan tangan
berputar mengikuti gerakan badannya, dg cepat ia sudah
melepaskan empat buah pukulan berantai yg amat dahsyat.
Seketika itu juga terengarlah empat kali jerit kesakitan yg
memilukan hati, tahu-tahu empat orang jago pedang berbaju kuning
itu sudah roboh terjengkang keatas tanah.
Tinggal seorang jago pedang berbaju kuning lagi yg masih hidup,
tapi nyalinya sudah pecah, dg ketakutan setengah mati ia
membalikkan badan dan melarikan diri terbirit-birit.

Kakek berbaju ungu menjadi sangat gusar, ia membentak keras,
tubuhnya segera menerjang kedepan sambil melancarkan pukulan
berantai….
Ibarat benteng terluka yg menyerang secara membabi buta,
ternyata ia sma sekali tdk memperhatikan keselamatan diri sendiri,
walaupun tubuhnya sudah termakan oleh tiga pukulan secara
beruntun sehingga terhuyung mundur sejauh tiga langkah lebih,
namun ia menerjang lagi kedepan dg garang.
Kho Beng segera berkerut kening setelah menyaksikan peristiwa
ini, tapi sebelum ia sempat mengambil suatu tindakan, mendadak
terdengar suara gembrengan dibunyikan bertalu-talu, kemudian
disekitar halaman bermuncullah bayangan manusia, suasana pun
menjadi terang benderang bermandikan cahaya.
Menyusul munculnya bayangan manusia tsb, dari kejauhan sana
kedengaran seseorang membentak nyaring:
“Tahan!”
Ong Thian siang segera menarik kembali serangannya sambil
melompat mundur dari arena pertarungan setelah mendengar
bentakan tsb.
Ketika Kho Beng turut berpaling, dilihatnya Li Sian soat telah
berdiri diatas dinding pekarangan, ujung bajunya yg berkibar tertiup
angin membuat gadsi tsb nampak sepeti dewi rembulan yg baru
turun dari kahyangan.
Dg sinar matanya yg jeli, dia mengawasi sekejap wajah Kho Beng
serta Ong Thian siang, lalu tegurnya:
“Apa yg telah terjadi?”
Ong Thian siang segera memberi hormat seraya menjawab,
“Ditengah malam buta kongcu telah melakukan penyelidikan atas
perkampungan kita, jelas dia mempunyai maksud tujuan yg tidak
menguntungkan kita!”
Kho Beng segera mendengus dingin, tukasnya:
“Lebih baik tak usah menggunakan tanya jawab sebagai basa
basi lagi, langsung saja menyinggung masalah pokoknya.”
Ternyata Li Sian soat tdk menunjukkan sikap marah atau
tersinggung oleh perkataan tsb, katanya lembut:
“Kongcu dapatkah jelaskan mengapa kau tdk bisa tidur
malam……?”
“Sebelum kujawab pertanyaan tsb. Aku ingin menanyakan satu
hal terlebih dulu.”

“Silahkan bertanya!”
“Tolong tanya sebenarnya siapakah nona?” kata Kho Beng dg
suara dalam.
Li Sian soat segera terkekeh-kekeh, ujarnya:
“Bukankah semala telah kuberitahukan kepadamu?”
Kho Beng mendengus dingin.
“Hmmm, mungkin nona tdk berbicara sejujurnya tapi sengaja
merahasiakan identitasmu yg sebenarnya?”
“Atas dasar apa kau mengatakan perkataanku tidak jujur?” tanya
Li Sian soat sambil tersenyum.
Sambil menunjuk keatas mayat salah seorang jago pedang
berbaju kuning yg tergeletak diatas tanah, ia menjawab:
“Karena aku kenal dg orang ini!”
“Oya? Siapakah dia?”
Sepatah demi sepatah sahut Kho Beng,
“Orang ini adalah jago pedang berbaju kuning anak buah dewi In
nu yg sedang ucari-cari, ia bernama Han Tiong lin, karena sewaktu
berada dikota Yang ciu, aku pernah berkenalan dgnya!”
Li Sian soat segera tertawa terbahak-bahak setelah mendengar
perkataan itu, serunya:
“Aku rasa kau telah salah melihat orang?”
Kho Beng agak tertegun, lalu serunya lagi:
“Aku percaya mataku belum lamur, mana mungkin bisa salah
melihat? Apalagi lotiang inipun sudah memberikan pengakuannya!”
Dg kening berkerut Li Sian soat segera berpaling kearah Ong
Thain siang, lalu tegurnya:
“Apa yg telah kau akui?”
Tiba-tiba saja sekujur badan Ong Thian siang gemetar keras,
cepat-cepat serunya:
“Aku tidak pernah mengakui apa-apa, aku hanya menganggap
kedatangan Kho kongcu amat mencurigakan dan manusia macam
dia tak boleh dibiarkan hidup terus!”
Li Sian soat segera bertanya lagi kepada Kho Beng:
“Benarkah orangu berkata demikian?”
Kho Beng berpikir sebentar, kemudian baru mengangguk.
“Yaa, benar, memang begitu!”
Li Sian soat segera mengalihkan kembali pandangan matanya
kewajah kakek berbaju ungu, lalu katanya:

“Ong Thian siang, kau telah bersikap tak sopan kepada tamu
agung perkampungan kita, dosamu amat besar dan pantas dijatuhi
hukuman mati, mengapa kau tidak segera bunuh diri utk menebus
kesalahanmu itu?”
Kho Beng yg mendengar kejadian ini jadi tertegun, sebaliknya
Ong Thian siang segera menyahut “Menerima perintah!”
Telapak tangannya segera diangkat dan dihantamkan keatas
ubun-ubunnya sendiri.
Kho Beng tdk berpeluk tangan belaka, tiba-tiba dia melepaskan
sebuah totokan menghajar jalan darah disikut Ong Thian siang.
Dalam waktu singkat, Ong thian siang mendengus kaget,
tangannya kaku dan tak mampu bergerak lagi, tanpa terasa dia
melototkan matanya sambil menegur:
“Hey, mau apa kau?”
Kho Beng memutar biji matanya sambil tersenyum, sahutnya:
“aku tak ingin menyaksikan lotiang mampus dg begitu saja!”
Lalu sambil berpaling lagi kearah Li Sian soat, tanyanya lebih
lanjut dg suara dalam:
“Nona Li, sekali lagi aku ingin bertanya kepadamu, sebenarnya
siapakah kau?”
“Aku sama sekali tdk membohongi dirimu!” kata Li Sian soat
sambil tertawa.
“Lantas kemana perginya ke empat orang anak buahku?”
“Hey, bukankah mereka berada di gedung sebelah depan sana
dlm keadaan baik-baik?” seru Li Sian soat tercengang.
Buru-buru Ong Thian siang melapor:
“Mereka sudah meninggalkan tempat ini dua jam berselang!”
“aaah…mengapa aku tidak tahu?” seru Li Sian soat agak
keheranan.
“Oleh karena cengcu sudah beristirahat, maka hamba tdk berani
memberikan laporan.”
“Urusan sebesar ini kenapa mesti ditunda? Kau memang makin
tua semakin pikun!” tegur si nona gusar.
Ong Thian siang segera mengiakan berulang kali.
Berada dlm keadaan seperti ini, Kho Beng benar-benar merasa
agak pikun dan kebingungan, mungkinkah apa yg dia duga keliru?
Tapi apa sebabnya Ong Thian saing bersikap begitu ganas dan buas
kepadanya barusan……?

Disamping itu, bukankah dandanan maupun tindakan keenam
orang jago pedang berbaju kuning itu persis seperti apa yg
dilihatnya dikota Tong sia? Apakah mereka bukan anak buah dewi In
nu?
Dia percaya apa yg terlihat olehnya tapi mengapa nona itu
bersikeras utk menutupi semua persoalan itu?
Rangkaian persoalan yg mencurigakan hatinya bagaikan sebuah
teka-teki saja, membuatnya tak habis mengerti dan tak mampu utk
memecahkannya.
Tentu saja, dg sikap senyuman dikulum dan keramahan nona tsb,
mustahil baginya utk bentrok lebih jauh dgnya dan diapun jadi
kebingungan serta tak tahu apa yg mesti dilakukannya lebih lanjut.
Sementara itu terdengar Li Sian soat telah berkata lagi,
“Kongcu, lebih baik kau kembali kekamar utk beristirahat saja,
bila ada persoalan lebih baik kita bicarakan esok pagi, jangan sampai
membiarkan cicimu menuduh aku kurang melayanimu!”
Lama sekali Kho Beng berdiri termangu-mangu tanpa mengetahui
apa yg mesti dilakukan, akhirnya dg wajah bersemu merah dia
menjura seraya berkata:
“Baiklah, kesalahpahaman yg terjadi pada malam ini biar ku
mintakan maaf kepada nona esok pagi saja!”
“Aaaah…kongcu jangan berkata begitu” kata Li sian soat sambil
tertawa lebar, “dalam suatu kesalah pahaman memang pasti akan
jatuh korban, kau tak usah mempersoalkan masalah itu dalam hati.”
Kho Beng tdk bersungkan-sungkan lagi, setelah memberi hormat,
dia segera kembali menuju kekamar tidurnya.
Sambil berbaring diatas ranjang, makin dippikir ia merasa makin
tak tentram, hatinya pun makin tak habis mengerti, baru menjelang
fajar ia terlelap dalam tidur yg nyenyak.
Menanti ia mendusin kembali dari tidurnya, ternyata suasana
dalam kamar masih tetap gelap gulita, seakan-akan fajar belum lagi
menyingsing.
Kejadian ini tentu saja amat mencengangkan hatinya, karena ia
masih ingat, menjelang fajar tadi baru ia tertidur, mana
mungkin…….
Tapi sewaktu dia memperhatikan kembali keadaan disekeliling
sana, pemuda itu baru merasa terkejut sekali.

Kho Beng masih teringat, sebelum tidur tadi jendela berada dlm
keadaan terbuka, mengapa saat ini ruangan tsb justru gelap gulita
dan tertutup rapat?
Sewaktu ia memeriksa kearah pintu ruangan, ternyata pintu itu
pun tertutup rapat sekali.
Dg cepat pemuda ini sadar bahwa telah terjadi perubahan yg
mencurigakan, buru-buru dia melompat turun dari atas pembaringan
lalu memeriksa ke jendela.
Ketika ia mencoba utk membuka jendela, segera terasa benda
tsb keras dingin, ternyata berupa sebuah lempengan besi baja yg
amat kuat.
Buru-buru dia memeriksa pintu kamar, namun hasilnya sama
saja, ketika dicoba utk mendorongnya dg sekuat tenaga, ternyata
pintu itu sama sekali tak bergerak.
Sekarang Kho Beng baru sadar, ia sudah terjebak kedalam
perangkap musuh, dalam terperanjatnya dg menghimpun segenap
tenaga dalamnya, ia segera menghantam daun jendela.
“Blaaaaammmm…..!”
Suara benturan yg amat keras bergema memecah keheningan,
akan tetapi daun jendela itu tak bergerak sama sekali, malah
sebaliknya dia sendiri yg tergetar sampai mundur sejauh dua tiga
langkah.
Keadaan sudah menjadi jelas sekarang, ternyata kamar dimana ia
berada sekarang telah dilengkapi dg alat rahasia disekelilingnya,
disaat ia sedang tertidur nyenyak tadi, ruangan tsb nampaknya
sudah dirubah sedemikian rupa sehingga berubah menjadi seolah
tahanan utk menyekapnya.
Sementara dia masih menggertak gigi menahan rasa benci dan
marah yg meluap-luap, tiba-tiba dari luar kamar terdengar
seseorang menegurnya dg suara lembut.
“Kho Kongcu, apakah kau telah mendusin?”
Kho Beng mendengus dingin, sahutnya:
“Siapa kau?”
Orang yg berada diluar ruangan segera tertawa cekikikan,
serunya dg genit:
“Budak adalah Hong ing, bukankah semalam kongcu mencari
aku? Sekarang budak telah datang, silahkan kongcu memberi
perintah.”

“Aku tak punya urusan apa-apa, harap buka dulu pintu kamarku
sebelum berbicara lebih jauh.”
“Sesungguhnya tdk sulit bila mengharapkan budak membukakan
pintu kamar, tapi budakpun berharap agar kongcu mengabulkan
pula sebuah permohonanku.”
“Katakan saja!”
“Aku harap kongcu suka menyerahkan kitab pusaka Thian goan
bu boh kepada kami!”
Kho Beng segera mendongakkan kepalanya dan tertawa
terbahak-bahak:
“Haaahh…haaah…haaah…akhirnya ekor si rase kelihatan juga,
kalau dugaanku tak salah, cengcu kalian kalau bukan si perempuan
siluman In nu pribadi, pastilah anak buah dari siluman perempuan
itu……..”
“Kalau toh kongcu sudah tahu, semalam seharusnya kau tidak
balik lagi kemari utk tidur!”
“Hmmm, aku hanya bersikap kelewat gegabah sehingga masuk
perangkap kalian, tapi bila kalian mengharapkan kitab pusaka Thian
goan bu boh….Huuuh! lebih baik tak usah bermimpi disiang hari
bolong.”
“Apakah kongcu tak menghargai selembar jiwamu? Apalah
artinya dua lembar kitab pusaka ketimbang jiwa sendiri?”
Kho Beng tertawa terbahak-bahak:
“Haaahh…haaaahh…haaahh…meskipun aku sudah terperangkap
dlm kurungan ini, tapi utk bisa menghabisi nyawaku mungkin kalian
mesti membuang banyak tenaga lagi.”
“Sama sekali tak usah membuang tenaga,, ruangan ini sudah
dilapisi lempengan baja yg sangat kuat, asal kami memasang api
disekitar ruangan serta membakarnya, meski tidak sampai
membakar hangus tubuhmu paling tidak juga mampu membuat
badanmu jadi arang!”
Kho Beng sangat terkejut, namun dia tak sudi menyerah dg
begitu saja, sambil berkeras kepala katanya:
“Kalau begitu bakarlah sekarang juga, betapapun kallian
mencoba utk menggertakku, jangan harap bisa memeras setengah
patah kata pun dari mulutku.”
Hong ing segera saja tertawa terkekeh-kekeh…

“Heeeehh…heehhh…….heeeehhhh…kongcu, mengapa kau
berbuat begitu bodoh?”
“Ooooh….jadi kau menganggap kecerdasanmu luar biasa? Baiklah
akan kulihat sampai dimanakah kemampuan yg dimiliki oleh kalian
perempuan-perempuan siluman.”
“kongcu, sekalipun kau sudah bertekad akan gugur bersama isi
kitab pusaka tsb, paling tidak kau tak seharusnya menyeret orang
lain utk mati juga.”
“Siapa yg kalian maksudkan?” seru Kho Beng dg perasaan
bergetar hebat.
“Tentu saja keempat orang anak buahmu.”
“Perempuan busuk yg tak tahu malu!” umpat Kho Beng sangat
gusar, “mau dibunuh, mau dicincang lakukan saja segera, buat apa
kau banyak berbicara lagi?”
Kembali Hong ing tertawa tergelak:
“Haaahhh…haaaahhh….haaahhh….kalau begitu kau sudah ambil
peduli dg keselamatan anak buahmu lagi?”
“Mati hidupku sendiripun masih merupakan masalah, kenapa aku
mesti memikirkan nasib orang lain?”
“Sekalipun perkataanmu itu ada benarnya juga, tapi disamping
keempat orang anak buahmu tak bisa hidup lebih jauh, aku rasa
harus ditambah lagi dg seseorang.”
“Siapa?”
“Encimu!”
Tak terlukiskan rasa terkejut Kho Beng setelah mendengar nama
itu, segera bentaknya:
“Bagaimana dg ciciku?”
“Kalau sekarang sih masih berada dalam keadaan baik-baik, tapi
bila kau tetap berkeras kepala, mungkin dia pun bakal diceburkan
kedalam kuali berisi minyak mendidih.”
Kho Beng merasakan detak jantungnya hampir saja berhenti,
diam-diam dia menggertak gigi menahan gejolak emosi dialam
hatinya.
Benar kematian baginya bukan suatu peristiwa yg patut
disayangkan, tapi bila cicinya ikut mati, lalu siapakah yg akan
melanjutkan keturunan dari keluarga Kho mereka?
Sementara dia masih termenung memikirkan persoalan itu,
terdengar Hong ing yg berada diluar kamar telah berseru lagi:

“Bila sauhiap tak percaya, bagaimana kalau budak mengajak
cicimu kemari agar kau bisa berbincang-bincang dulu dengannya?”
“Kau berani…..” pekik Kho Beng keras.
Tapi sebentar kemudian ia sudah menghela napas panjang,
katanya lagi dg suara lemah:
“Baiklah, aku mengabulkan permintaan kalian, kitab tsb kutukar
dg enam lembar jiwa!”
“Nah, begitulah baru terhitung tindakan seorang lelaki sejati yg
tahu diri” seru Hong ing tertawa.
“Tapi bagaimanakah pertukaran ini akan dilaksanakan?”
“Kongcu dapat meletakkan kedua lembar kitab pusaka Thian
goan bu boh itu disisi pintu…”
Belum selesai perkataan itu diucapkan, Kho Beng telah menukas
sambil tertawa dingin:
“Heeehhh…heehh….heeehhh…bagus amat perhitunganmu, tapi
bagaimana dg orang-orang kami?”
“Asal barangnya sudah kami dapatkan tentu saja orang-orang itu
akan kubebaskan semua.”
“Aku tak dapat mempercayai kalian” teriak Kho Beng keras-keras.
“Lantas bagaimanakah menurut pendapat kongcu?”
Kho Beng berpikir sebentar lalu katanya:
“Kalian harus membebaskan aku dahulu atau bebaskan kelima
orang lainnya, kemudian aku baru serahkan kitab pusaka Thian goan
bu boh itu kepadamu.”
Hong ing berpikir sebentar, kemudian sahutnya:
“Baiklah kalau begitu aku akan membebaskan dulu keempat
orang anak buahmu.”
“Tunggu sebentar, aku tak bisa menyaksikan dg mata kepalaku
sendiri, hal ini tak bisa dipercayai……”
Hong ing tertawa terkekeh-kekeh, segera katanya:
“Itu mah soal gampang, tentu saja akan kuajak mereka datang
kemari agar kau bisa bertemu dulu dg mereka kemudian
menyaksikan pula orang-orangmu pergi meninggalkan tempat ini.”
“Bagaimana dg ciciku?”
“Sebentar, cicimu pasti akan datang pula kemari.”
Habis berkata suasana menjadi hening, agaknya Hong ing telah
pergi meninggalkan tempat itu.
Kini tinggal Kho Beng berjalan mondar mandir seorang diri dalam
ruangan.

Benarkah dia akan menyerahkan kitab pusaka Thian goan bu boh
tsb kepada musuh? Tapi kitab tsb tidak berada ditangannya
sekarang, sekalipun dia menyanggupi bukan berarti dia mampu
menyerahkan keluar.
Tapi apa akibatnya bila dia tak mampu menyerahkannya keluar?
Pemuda itu tak bisa membayangkan lebih jauh dia pun tak
sanggup utk menduganya.
Sementara dia masih termenung, tiba-tiba jendela dibuka orang
dan muncullah sebuah lubang kecil.
Ketika Kho Beng mendekati dan mengintip keluar, dia saksikan
didepan ruangan telah berdiri berjajar empat orang, mereka tak lain
adalah Hapukim, Rumang, Molim dan Mokim.
Yang lebih aneh lagi keempat orang tsb bukan saja tidak diikat
lagipula sikap mereka tidak menunjukkan rasa tegang, panik
ataupun rasa gusar.
Disamping keempat orang tsb berdiri Hong ing beserta dua
dayang lainnya.
“Nah, kho kongcu, apakah kau sudah dapat melihatnya
sekarang?” terdengar Hong ing berseru.
Buru-buru Kho Beng berteriak:
“Mo bersaudara, coba kalian kemari semua!”
Molim dan Mokim sekalian segera kemuka sambil berjongkok
didepan lubang itu, tanyanya:
“Cukong, kau ada perintah apa?”
“Kalian tak pernah menderita apa-apa?”
“Tidak!” sahut Molim.
“Baik, siapa diantara kalian yg membawa bom udara?”
Mereka berempat sama-sama menggeleng, Kho Beng termenung
dan berpikir sejenak, kemudian baru ujarnya,
“Sekarang tinggalkan tempat ini secepatnya, begitu tiba didepan
perkampungan gunakan dua kali suara pekikan panjang utk
mengabarkan kepadaku bahwa kalian sudah aman, sebaliknya bila
menjumpai bahaya, gunakan tiga kali pekikan pendek sebagai kode,
kalian tak usah balik lagi kemari, tunggu selama satu hari dibawah
bukit situ, bila sehari sudah lewat tanpa melihat aku munculkan diri,
ini berarti aku sudah tewas, berangkatlah secepatnya kelembah hati
buddha utk mengabarkan berita ini kepada rekan-rekan lainnya!”
Keempat orang itu segera manggut-manggut tanda mengerti.
Setelah menghela napas kembali, Kho Beng berkata:

“Berangkatlah kalian sekalian juga, sepanjang jalan kalian harus
melatih baik-baik kedua jurus serangan yg kuajarkan itu, dua jurus
tsb merupakan dasar ilmu sakt yg tercantum dalam kitab pusaka
Thian goan bu boh, asal kalian sudah menguasai kedua gerakan tsb
secara sempurna, maka gerakan berikutnya akan lebih muda
dipelajari, asal aku dapat meloloskan diri dan asal kalian tidak binal
dan liar, pasti akan kuwariskan semua kepandaian tsb kepadamu….”
Sekali lagi keempat orang itu manggut-manggut, sementara
kelopak mata mereka nampak berkaca-kaca.
Diam-diam Kho Beng pun merasa amat sedih, meski dimasa
lampau dia menaruh hubungan yg tak begitu akrab dg mereka
berempat seolah-olah diantara mereka terdapat dinding pemisah,
tapi pergaulan yg cukup lama, senang bersama sengsara berbareng
yg mereka alami selama ini membuat hubungan batin diantara
mereka bertambah akrab.
Itulah sebabnya perpisahan yg terjadi saat ini cukup
menyedihkan hati mereka semua.
“Cukong, baik-baiklah menjaga dirimu, kami segera akan
berangkat!” kata Molim berempat dg pelan.
Kho Beng manggut-manggut:
“Baiklah, kalau begitu sampai ditempat yg aman, jangan lupa
memberi tanda kepadaku.”
Keempat orang itu manggut-manggut, kemudian dg gerakan
cepat mereka beranjak pergi meninggalkan tempat tsb.
Dalam waktu singkat bayangan tubuh mereka lenyap dari
pandangan mata.
Saat itulah Hong ing baru berkata lagi sambil tertawa:
“Nah, tentunya perasaanmu sudah lega bukan sekarang?”
“Hmmm, bagaimana dg ciciku?” dengus Kho Beng.
“Tunggu dulu, sebagian dari orang yg kau minta sudah
dibebaskan, sekarang kau harus memenuhi janjimu lebih dulu.”
“Janji apa?” Kho Beng berlagak bodoh.
“Bagaimana dg kitab pusaka Thian goan bu boh itu?”
“Kau tak usah membayangkan yg muluk-muluk, kitab pusaka
Thian goan bu boh hanya terdiri dari dua lembar, sedangkan dari
pihakku pun masih ada dua lembar nyawa yg masih berada
ditanganmu, bagaimana mungkin aku bisa menyerahkan sekarang
juga?”

“Lantas sampai kapan kau baru akan menyerahkannya kepada
kami?” tegur Hong ing dg wajah berubah.
“Setelah kau mengundang kemari ciciku, aku akan persembahkan
selembar lebih dulu, menanti kau sudah membebaskan aku, akan
kuberikan lembaran yg terakhir.”
Jilid 22
Hong ing berpikir sebentar kemudian, katanya:
“Baiklah, kalau begitu tunggulah dulu disini!”
Menyusul kemudian lubang dijendela pun tertutup kembali.
Lagi-lagi Kho Beng berjalan bolak balik didalam ruangan,
perasaan hatinya waktu itu amat sedih masgul dan gelisah.
Sementara itu diruang yg indah dibelakang loteng, Kho Yang ciu
sedang berbaring kemalas-malasan diatas ranjang.
Tiba-tiba dari luar pintu kedengaran suara langkah kaki manusia
bergema memecah keheningan.
Menyusul kemudian pintu kamar dibuka orang, Li Sian soat dg
wajah berat dan serius melangkah masuk kedalam ruangan.
Buru-buru Kho Yang ciu melompat bangun sambil menyapa:
“Enci Soat, selamat pagi…….”
“Pagi apa?” jawab Li Sian soat sambil terpaksa, “kau tahu
matahari sudah hampir menyinari seluruh tempat!”
Sambil berkata dia segera duduk persis dihadapan Kho Yang ciu…
“Enci Soat” Kho Yang ciu menegur lagi dg wajah tercengang,
“kenapa paras mukamu kelihatan kurang sedap?”
“Semalam telah terjadi peristiwa berdarah diperkampungan kita
ini” keluh Li Sian soat.
“Peristiwa apa?” dg perasaan kaget Kho Yang ciu melompat
bangun.
Li Sian soat menghela napas panjang.
“Aaaai…..adikku, lebih baik kita tengok keluar sebentar sebelum
berbicara lebih jauh.”
Dg cepat Kho Yang ciu mengenakan pakaian, lalu katanya lagi:
“Enci Soat, sebenarnya apa yg telah terjadi? Mengapa tidak kau
ceritakan dulu kepadaku?”
Sekali lagi Li Sian soat menghela napas panjang:
“Aaai….sesungguhnya aku tak mampu utk menceritakan kembali,
lebih baik tengoklah sendiri, kau pasti akan mengerti setelah melihat
keadaan diluar situ.”

Terpaksa Kho Yang ciu membetulkan letak rambutnya lalu
berkata:
“Kalau begitu mari kita berangkat!”
Mereka berdua berjalan keluar loteng menuju halaman sebelah
barat, disitu Kho Yang ciu melihat ada lima sosok mayat yg
membujur diatas tanah.
Apa yg terlihat olehnya ini kontan saja mengejutkan perasaan
Kho Yang ciu, utk sesaat dia sampai melongo.
Mayat-mayat itu tergeletak diatas genangan darah yg membasahi
seluruh permukaan tanah, sementara belasan orang gadis
berdandan pelayan dan lelaki bertubuh kekar berdiri disekeliling
tempat itu dg wajah murung dan sedih.
Setelah termangu-mangu sesaat, Kho Yang ciu baru bertanya:
“Siapa korban yg mati terbunuh itu?”
“Mereka adalah anggota perkampungan kami!” sahut Li Sian soat
sambil menghela napas.
“Apa yg menyebabkan kematian mereka?” tanya Kho Yang ciu
lebih jauh dg kening berkerut.
“Tewas oleh pukulan dahsyat seseorang!”
“Siapa pelakunya?”
“Aaaai…..mungkin kalau kuungkapkan orangnya kau tak akan
percaya, aaai….bagaimana aku mesti berbicara?”
Kho Yang ciu semakin keheranan lagi, dg dorongan rasa ingin
tahu segera desaknya:
“Enci Soat, mengapa sih kau seperti nampak ragu-ragu utk
berbicara? Aaaai…..membuat hatiku gelisah saja.”
“Sesungguhnya orang yg membunuh mereka tak lain adalah
adikmu sendiri, Kho kongcu.”
Kho Yang ciu merasakan jantungnya seperti berhenti berdetak,
wajahnya berubah hebat, jeritnya tertahan:
“Bagaimana mungkin hal ini bisa terjadi?”
Dalam hati kecilnya diam-diam Li Sian soat tertawa dingin, karena
semuanya ini merupakan bagian dari siasat liciknya, bukan saja dia
telah melibatkan Kho Beng bahkan Kho Yang ciu sendiripun dikelabui
mentah-mentah, tentu saja kesemuanya ini dilakuakannya demi
kitab pusaka Thian goan bu boh tsb.
Sampai matipun Kho Yang ciu tak bakal menyangka kalau apa yg
dilihatnya ini hanya sebagian dari siasat busuk lawannya, dia lebih
tak mengira lagi kalau ilmu senjata rahasia yg diwariskan lawan

kepadanya sebetulnya hanya merupakan siasat meminjam golok
membunuh orang……
Rasa terkejut dan tertegun membuat gadis itu berdiri termangumangu
beberapa saat lamanya, kemudian baru ia berkata:
“Enci soat, kau bukan sedang bergurau bukan?”
“Kau rasa dapatkah aku bergurau dgmu?” Li Sian soat balik
bertanya dg wajah serius.
Rasa bingung dan gelisah segera mencekam perasaan Kho Yang
ciu, lama kemudian ia baru berkata:
“Apa sebabnya adikku bisa membunuh orang tanpa sebab
musabab?”
“Sesungguhnya dia berbuat demikian bukan dikarenakan tanpa
sebab musabab, tapi kelewat besar rasa curiganya” kata Li Sian soat.
“Apa yg dicurigainya?”
“Dia menaruh curiga kalau cici adalah dewi In nu.”
Kho Yang ciu segera menghentak-hentakan kakinya berulang kali,
serunya dg gemas:
“Benar-benar tolol, bukankah semalam aku telah berulang kali
memberi penjelasan kepadanya? Aaaai……bagaimana baiknya
sekarang?”
Li Sian soat menghela napas panjang:
“Orang yg sudah mati tentu saja dapat cici kebumikan
selayaknya, tapi yg kukuatirkan adalah selanjutnya…..”
Dg rada gusar yg meledak-ledak, Kho Yang ciu segera berseru:
“Lain kali bila dia berani bertindak lagi secara sembrono tanpa
membedakan mana yg benar dan mana yg salah, aku yg menjadi
cicinya pasti akan memberi pelajaran dulu kepadanya, cici Soat,
mana orangnya sekarang…….?”
“Semalam dia malah berniat membunuhku” kata Li Sian soat dg
kening berkerut, “oleh sebab itu dlm keadaan apa boleh buat
terpaksa kugunakan siasat utk mengurungnya sementara waktu dlm
kamar berlapis baja!”
“Enci Soat!” seru Kho Yang ciu terperanjat, “apakah kau….”
Li Sian soat segera tertawa terkekeh-kekeh:
“Apa yg bisa kukatakan terhadapnya? Aku hanya berharap dia
tidak mengapa-apa kan diriku saja, hal ini sudah cukup untukku.”
Kho Yang ciu merasa terharu sekali, segera katanya:
“Enci Soat, adikku tidak tahu urusan, kuharap kau sudi memberi
muka kepadaku……”

“Tentu saja memandang diatas wajahmu, kalau tidak masa
kubiarkan dia berulah semau hatinya sendiri?” kata Li Sian soat
tertawa.
“Hayo berangkat, kita tengok dulu keadaannya.”
Li Sian soat manggut-manggut, bersama-sama Kho Yang ciu
mereka menuju kegedung bagian depan.
Kalau kemarin ruangan tsb masih terdiri dari jendela dan pintu,
maka hari ini telah berubah menjadi sebuah ruang besi yg tak
berpintu dan berjendela.
Ditengah ruangan berdiri empat orang nona berbaju hijau, ketika
melihat kedatangan cengcu mereka, serentak orang-orang itu
memberi hormat.
Li Sian soat segera mengulapkan tangannya sambil memberi
perintah:
“Buka lubang dijendela itu!”
Seorang nona berbaju hijau mengiakan dan mendekati rumah
besi itu, lalu menginjak keras-keras diatas sebuah ubin.
Sambil menengok kearah Kho Yang ciu, Li Sian soat segera
berkata:
“Adikmu berada didalam sana, kuharap kau bisa memberi
penjelasan kepadanya serta membujuknya, bila ia sudah mau tahu
keadaan yg sebenarnya, kita baru membukakan pintu baginya.”
Dg perasaan berat Kho Yang ciu manggut-manggut.
Tapi sebelum ia sempat mendekati lubang jendela itu, Kho beng
yg berada dalam ruangan telah mendekati jendela sambil berseru:
“Cici!”
Meskipun Kho Yang ciu merasa sedih dihati, namun berhubung Li
Sian soat hadir pula disampingnya, terpaksa ia membentak keraskeras.
“Apakah dalam pandanganmu masih terdapat aku yg menjadi
cicimu…?”
“Cici, dengarkan dulu penjelasanku” seru Kho Beng dg cemas.
“Justru aku yg hendak memberi penjelasan kepadamu” tukas Kho
Yang ciu dingin, “aku ingin tahu apa sebab kau membunuh orang
tanpa sebab ditengah malam buta?”
“Cici, kau masih dikelabui oleh mereka, tahukah kau, besar
kemungkinan perkampungan Ciu Hong san ceng adalah salah satu
diantara sarang-sarang iblis dari siluman perempuan In nu?”
“Omong kosong!” hardik Kho Yang ciu keras.

“Tidak, aku sama sekali tidak ngaco belo..” Kho Beng menghela
napas panjang.
Dg wajah hijau membesi, Kho Yang ciu kembali berkata:
“Adikku, sekali lagi kuminta kepadamu, hayo cepat minta maaf
kepada Enci Soat!”
“Bolehkah aku memberi keterangan yg lebih jelas lagi
kepadamu?” pinta Kho Beng dg kening berkerut.
“Katakanlah!”
Sambil merendahkan suaranya pemuda itu segera berkata:
“Aku telah menjumpai jago pedang berbaju kuning dari dewi In
nu berada didalam perkampuangan ini.”
“Kau toh tak bisa menganggap setiap jago yg mengenakan baju
berwarna kuning sebagai anak buah dari siluman perempuan itu!”
“Tapi aku kenal dg salah seorang diantara mereka, sebab kami
pernah berkenalan!” bantah Kho Beng.
Kho Yang ciu segera mendengus dingin.
“hmmm, aku tidak berharap kau lanjutkan kata-katamu itu.”
Melihat sikap dari kakaknya itu, Kho Beng menghela napas
panjang, katanya kemudian:
“Aaai…barusan ada orang yg menggunakan keselamatan jiwa cici
utk mengancam kepadaku agar menyerahkan kitab pusaka Thian
goan bu boh, bagaimana pula kejadian ini?”
“Siapakah orang itu?” tanya Kho Yang ciua sambil kerutkan
dahinya kencang-kencang.
“Dia tak lain adalah dayang yg bernama Hong ing, dayang itu
pernah kujumpai didepan perkampungan Bwee wan.”
Tapi Kho Yang ciu segera gelengkan kepalanya berulang kali,
katanya cepat:
“Aku tidak percaya dg semua perkataanmu itu, sekarang aku
Cuma berharap kepadamu agar mau minta maaf kepada enci soat!”
Menghadapi keadaan seperti ini, Kho Beng hanya bisa menghela
napas panjang, katanya kemudian:
“Aaaai, baiklah cici, aku akan menuruti semua perkataanmu, tapi
sekarang mereka harus membebaskan diriku lebih dulu.”
Kho Yang ciu segera berpaling kearah Li Sian soat dan ujarnya,
“Enci Soat, adikku telah menyesali semua perbuatannya dan
bersedia minta maaf kepada enci Soat, kuharap enci soat sudi
mengingat hubungan persahabatan diantara kita dan membebaskan
dirinya.”

“Oooh, tentu saja……” kata Li Sian soat sambil tertawa.
Sambil berkata dia segera mengulapkan tangannya kebelakang.
Tampak seorang nona berbaju hijau yg berada diatas sebuah
pohon besar segera menekan sebuah tombol rahasia disana, tibatiba
saja lapisan baja disekeliling bangunan itu tenggelam kedasar
tanah dan muncullah bangunan rumah yg sebenarnya.
Kho Beng segera melangkah keluar dari dalam ruangan, kepada
Kho Yang ciu ujarnya kemudian dg suara berat:
“Cici, semoga kau dapat menjaga diri baik-baik, aku hendak
mohon diri sekarang juga.”
“Kau hendak kemana?” tanya Kho Yang ciu agak tertegun.
Kho Beng amat sedih, hatinya serasa remuk redam, pertanyaan
dari Kho Yang ciu sama sekali tak dijawab olehnya, bahkan tanpa
mengucapkan sepatah katapun dia menggerakkan tubuhnya dan
secepat sambaran kilat berkelebat meninggalkan perkampungan tsb.
Setelah keluar dari perkampungan, ia merasakan dadanya
bagaikan ditindih dg batu karang yg besar sekali, tak terlukiskan
bagaimanakah perasaan hatinya ketika itu, akhirnya sambil
menghela napas sedih dia melanjutkan perjalanannya kedepan.
Tapi belum jauh dia meninggalkan perkampungan Ciu Hong san
ceng, mendadak dari jarak beberapa kaki dihadapannya telah
bermunculan puluhan sosok bayangan manusia, dg cepat dia sudah
terkurung ditengah kepungan mereka.
Kho Beng melototkan sepasang matanya bulat-bulat, hawa
amarah yg membara didalam dadanya telah memuncak, tanpa
mengucapkan sepatah kata pun dia mengayunkan telapak
tangannya melancarkan sebuah pukulan yg amat dahsyat.
Ternyata puluhan sosok bayangan manusia itu dipmpin oleh
seorang kakek berbaju ungu yag tak lain dalah Ong Thian siang.
Tampak kakek tsb membentak keras-keras, kemudian sepasang
telapak tangannya diputar dan menyongsong datangnya serangan
lawan keras melawan keras.
Dalam melepaskan serangan kali ini, Kho Beng telah
menyertakan tenaga dalamnya sebesar sepuluh bagian, bisa
dibayangkan betapa dahsyatnya serangan tsb.
“Blaaaammm…!”
Ditengah suara benturan keras yg memekakkan telinga, pasir
debu nampak beterbangan diangkasa, akan tetapi Ong Thian siang

justru kelihatan masih berdiri tegak ditempat semula tanpa
menderita cidera barang sedikitpun juga.
Tampak kakek itu mengulapkan tangannya dg dingin, lalu
bentaknya keras-keras:
“Bocah keparat, kau jangan harap bisa kabur lagi dari
cengkeramanku…….?”
Sementara itu, belasan jago pedang yg turut hadir disitu telah
meloloskan senjata masing-masing dan bersiap sedia melancarkan
serangan…..
Tak terlukiskan rasa kaget Kho Beng menghadapi kejadian ini, dia
percaya tenaga pukulannya barusan paling tidak mencapai delapan
sembilan ratus kati, jangan lagi tubuh manusia yg terdiri dari darah
dan daging, besi baja pun pasti akan patah menjadi dua.
Tapi sungguh aneh, mengapa kakek berbaju ungu itu justru tetap
sehat wal afiat tanpa cedera sedikitpun?
Terburu-buru ingin meninggalkan tempat itu secepatnya, timbul
hawa nafsu membunuh dalam hatinya, dg cepat pemuda itu
meloloskan pedangnya lalu dg jurus “Hujan darah melanda langit”
pedangnya dg membawa desingan suara yg memekakkan telinga
langsung ditusukkan ketubuh Ong Thian siang.
Menghadapi datangnya ancaman ini, Ong Thian siang tdk
bermaksud menghindarkan atau berkelit, senjata kupu-kupunya
segera diputar kencang-kencang menyongsong datangnya ancaman
tsb.
Ketika sepasang senjata mereka saling adu satu sama lainnya,
Kho Beng segera merasakan pergelangan tangannya menjadi kaku
dan kesemutan sehingga tak kuasa lagi tubuhnya tergetar mundur
sejauh beberapa langkah.
Walaupun Ong Thian siang sendiripun terhuyung mundur sejauh
dua langkah lebih, namun sikap maupun mimik wajahnya masih
tetap tenang seakan-akan tak pernah terjadi suatu peristiwa pun,
bukan saja dia tak terluka oleh serangan pedang anak muda tsb,
paras mukanya pun sama sekali tidak berubah.
Terdengar kakek itu mendengus dingin seraya menjengek:
“Hmmm, kalau Cuma mengandalkan kepandaian semacam itu,
jangan harap kau bisa lolos dari cengkeramanku lagi!”
Sambil berkata, senjata panji kupu-kupu nya segera digetarkan
lalu dihantamkan keatas kepala Kho Beng.

Dalam waktu singkat anak muda itu terkepung, ia merasakan
sekeliling tubuhnya telah dilapisi oleh bayangan kupu-kupu yg
beterbangan kian kemari, dia tak bisa membedakan lagi mana yg asli
dan mana yg tipuan?
Dalam terperanjatnya buru-buru Kho Beng melompat mundur
kebelakang dan menghindar sampai sejauh dua kaki dari posisi
semula.
Tampak sinar hijau yg menggidikkan hati memancar keluar dari
balik mata Ong Thian siang, utk kedua kalinya dia melancarkan
serangan dg senjata panji kupu-kupunya.
Ditengah deru angin serangan yg memekakkan telinga, selapis
bayangan kupu-kupu kembali menyergap dan mengurung Kho Beng
dari segala penjuru arena.
Kho Beng benar-benar bergidik hatinya menghadapi ancaman
lawan yg begitu bertubi-tubi, mimpipun dia tak pernah menyangka
kalau ilmu silat yg dimiliki setan tua tsb ternyata begitu tangguh dan
luar biasa.
Tak heran kalau Li Sian soat bersikap begitu terbuka dan sok
berjiwa besar dg mempersiapkan jago-jago lihaynya utk melakukan
penyergapan disini.
Lalu apakah tujuan dari rencana busuknya itu?
Sementara dia berpikir tentang kejadian ini, tubuhnya dg cekatan
telah melejit kesana kemari utk meloloskan diri dari ancaman
musuh….
Dalam hati kecilnya dia sudah mempunyai perhitungan, Ong
Thian siang tak boleh dianggap enteng, sebab sedikit salah tingkah
berarti jiwanya besar kemungkinan akan terluka ditangannya.
Akan tetapi Ong thian siang sendiri pun sama sekali tak berayal,
ketika melihat Kho Beng menghindarkan diri sekali lagi kesisi arena,
permainan senjata panji kupu-kupunya segera diperketat, utk ketiga
kalinya dia melancarkan serangan kembali utk menggencet pemuda
tsb, bahkan jurus serangan yg digunakan kali ini jauh lebih ganas
dan hebat lagi….
Setelah berhasil menghindarkan diri utk ketiga kalinya, tiba-tiba
saja pemuda tsb teringat akan sebuah jurus serangan pedang yg
mungkin bisa digunakan utk mematahkan serangan lawan, jurus tsb
merupakan salah satu jurus ciptaannya sendiri, yakni gabungan dari
dua jurus yg yg berbeda diantara tiga puluh enam jurus ilmu pedang
Thian goan kiam hoat.

Walaupun dia tak mengetahui sampai dimanakah kehebatan dari
jurus ciptaannya itu, namun dalam keadaan yg begini kritis dan
berbahaya, dia tak mau berpikir panjang, jurus serangan tsb segera
dipersiapkan utk dipakai.
Begitulah, sambil mempersiapkan pedangnya dia segera
membentak keras-keras:
“Kalau toh kau mengharapkan kematianku, nah silahkan
mencoba dulu jurus Thian goan hap it ku ini!”
Pedangnya diputar membentuk satu gerak melingkar, ditengah
lingkaran bunga pedang yg membentuk garis bagaikan pelangi,
secepat kilat dia tusuk tubuh Ong Thian siang.
Menyaksikan datangnya ancaman tsb, Ong Thian siang sangat
terkesiap, tergopoh-gopoh dia memutar senjata panji kupu-kupu utk
menyongsong datangnya ancaman tsb.
Akan tetapi jurus pedang dari Kho Beng benar-benar luar biasa
hebatnya, sebaris cahaya pelangi tsb tiba-tiba saja berubah menjadi
hujan pedang yg menyelimuti seluruh angkasa.
Baru sekarang Ong Thian siang menyadari betapa lihay dan luar
biasanya jurus pedang dari ilmu yg tercantum dalam pusaka Thian
goan bu boh.
Walaupun dia mengetahui akan kelihaian ilmu pedang Thian goan
kiam hoat, tapi sayang keadaan sudah terlambat………
Terdengar suara dengusan tertahan bergema memecah
keheningan, tampak Ong Thian siang mundur dg sempoyongan,
sementara dadanya sudah berlubang oleh tusukan, darah segar
menyembur keluar membasahi seluruh tubuhnya.
Berubah hebat paras muka belasan orang jago pedang lainnya,
mereka sangat terperanjat oleh peristiwa yg tak terduga sebelumnya
itu.
Begitu berhasil dg seragannya, Kho Beng segera membentak
keras-keras:
“Apabila kalian semua tak ingin hidup terus, silahkan saja maju
kemuka utk menerima kematian!”
Waktu itu, meskipun Ong Thian siang sudah terluka oleh tusukan
pedang, agaknya luka yg dideritanya tdk begitu parah.
Ia segera tertawa seram sesudah mendengar perkataan itu,
katanya:
“Haaahhh…..haaahh…haaahh…..sebuah jurus serangan dari ilmu
pedang Thian goan kiam hoat, ilmu pedang sakti mana yg sudah

punah ratusan tahun lamanya, sekarang digunakan lagi utk
menghadapi diriku lewat kau……..”
Lalu dg sorot mata berkilau tajam, dia berkata lebih jauh:
“Asal kau mampu membunuh habis diriku serta kedelapan belas
orang anak buahku ini, akan kubiarkan kau meninggalkan bukit Cian
san ini dlm keadaan hidup.”
“Heeeh….heeehh….heeehh…kau anggap aku tak tega utk
melakukannya?” jengek Kho Beng sambil tertawa dingin.
“Hmmm, justru aku kuatir kau tdk memiliki kemampuan sehebat
itu……” jengek Ong Thian siang dg suara keras.
Menyusul suara pekikan nyaring yg menembusi angkasa, katanya
lebih jauh:
“Aku akan bertarung seratus jurus lagi melawan dirimu!”
Pada saat itulah tiba-tiba muncul empat sosok bayangan manusia
dari balik hutan sana.
Ketika Kho Beng berpaling dan mengetahui siapa yg datang, ia
menjadi kegirangan setengah mati, ternyata mereka tak lain adalah
Molim, Mokim, Hapukim serta Rumang.
Saat itu keempat orang anak buahnya telah meloloskan senjata
masing-masing siap utk bertarung, kepada Kho Beng teriaknya
lantang:
“Cukong tak usah gugup, kami datang utk melindungimu!”
“Kemarilah kalian!” seru Kho Beng lantang, “bantu aku utk
bertarung mati-matian melawan mereka semua!”
Keempat orang itu segera melayang turun persis disamping Kho
Beng, suasana pun menjadi amat tegang, nampaknya suatu
pertarungan sengit segera akan berlangsung.
Mendadak……..
Disaat keadaan makin kritis dan pertarungan sengit segera akan
berkobar itulah, tiba-tiba terdengar suara gembrengan yg dibunyikan
bertalu-talu berkumandang datang dari arah perkampungan.
Mendengar suara tsb, Ong Thian siang menjadi terkejut sekali,
buru-buru dia mengulapkan tangannya seraya berkata:
“Cepat kembali keperkampungan!”
Kho Beng sendiri pun agak tertegun melihat perubahan tsb, dia
tak habis mengerti apa gerangan yg telah terjadi.
Sementara itu Ong Thian siang telah berkata dg dingin:

“Untuk sementara waktu kubebaskan dirimu hari ini, tapi kau
mesti mengerti, setiap waktu setiap saat nyawamu selalu berada
dalam cengkeraman kami.”
Habis berkata, dia segera memimpin belasan orang jago
pedangnya dan mengundurkan diri dari sana, dalam waktu singkat
bayangan tubuh mereka sudah lenyap dari pandangan mata.
Menanti bayangan Ong thian siang sekalian sudah hilang dari
pandangan. Kho Beng baru berkata dg suara rendah:
“Mari kita pergi dari sini!”
“Cukong!” seru Rumang keras-keras, “tua bangka tadi telah kau
lukai dg babatan pedang, mengapa kau biarkan dia melarikan diri dg
begitu saja?”
Kho Beng menggelengkan kepalanya berulang kali, katanya:
“Walaupun dia sudah menderita luka, namun bila benar-benar
terjadi pertarungan yg sengit, ditambah pula dg belasan orang jago
pedangnya, aku rasa siapa yg menang siapa yg kalah masih belum
dapat diramalkan mulai sekarang…….”
Kemudian setelah memperhatikan sekejap keadaan disekeliling
sana, katanya lebih jauh:
“Disamping itu, pikiranku sangat kalut dan tidak mempunyai
semangat utk melanjutkan pertarungan, hayo kita pergi saja dari
sini.”
“Cukong” kembali Rumang berteriak, “ kau belum bercerita
kepada kami bagaimana kisahmu melarikan diri dari sana…….apakah
kau benar-benar menyerahkan kitab pusaka Thian goan bu boh itu
kepada mereka?”
Dg cepat Kho Beng menggeleng,
“Dikemudian hari kau akan mengerti dg sendirinya, sekarang
lebih baik kita pergi dulu.”
“Tapi kita hendak kemana?” tanya Hapukim.
“Terserahlah, mau kemana pun boleh saja.”
Mendadak seperti teringat akan sesuatu, dia berseru lagi:
“Mari kita pergi mencari tempat utk minum arak!”
Dg perasaan gembira yg meluap Rumang segera berseru:
“Haaaa…….haaaah…….haaaah…bagus sekali, kita pergi minum
arak, sudah lama sekali aku berpantang minum arak…..”
Maka mereka berlima pun segera berangkat menuruni bukit.
Menjelang senja, Kho Beng bersama Molim, Mokim, Rumang
serta Hapukim sekalian sudah berada dalam sebuah rumah makan

kecil dikaki bukit, disitu mereka memesan sayur dan arak serta
bersantap dg lahapnya….
Walaupun arak diharapkan bisa menghilangkan segala
kemasgulan, namun kobaran api dendam yg membara membuat
perasaan Kho Beng tak pernah bisa tenang.
Beberapa poci arak yg berpindah keperut membuat pemuda tsb
mulai dipengaruhi oleh air kata-kata, maka mereka berlima pun
melewatkan malam yg panjang itu didalam rumah makan kecil ini.
Mereka berlima tidur dalam sekamar, namun mereka tidak dapat
memejamkan mata, terutama Kho Beng.
Pikiran dan perasaannya waktu itu sangat kalut dan tak tenang,
bagaimana pun dia berusaha utk memejamkan mata namun tak
setitik rasa ngantuk pun yg menyerang dirinya.
Ketika Molim melihat Kho Beng belum juga dapat tidur, tanpa
terasa segera ia membujuk:
“Cukong, kau harus pergi tidur sebentar, dirisaukan pun
persoalan tsb tak akan terselesaikan dg sendirinya.”
“Ehmmm, kau pergilah tidur sendiri!” sahut Kho Beng dg suara
hambar.
Tapi sambil tertawa paksa Molim segera berkata lagi:
“Aku merasa amat kesal berada didalam kamar, biar aku
berjalan-jalan sebentar diluar kamar sambil mencari udara segar…”
Kho Beng sama sekali tidak menjawab, dia hanya mengangguk
pelan sebab dalam keadaan seperti saat ini, dia pun mempunyai
perasaan yg sama seperti Molim, Cuma saja ia malas utk keluar dari
kamar.
Sementara itu Molim sudah keluar dari kamarnya, ternyata dia
bukan pergi berjalan-jalan seperti yg diutarakan tadi, begitu sampai
diluar halaman, dg sekali lompatan ia sudah melewati pagar
pekarangan dan bergerak menuju keluar kota dg kecepatan tinggi.
Lebih kurang setengah peminuman the kemudian , didepan situ
muncul sebuah kuil dewa tanah, Molim segera memperhatikan
sekejap sekeliling tempat itu dg seksama kemudian menerobos
masuk kedalam kuil tadi……..
Ditengah kegelapan malam yg mencekam, gerak gerik Molim tak
ubahnya seperti sukma gentayangan, tanpa menimbulkan sedikit
suarapun dia menghampiri bangunan kuil tsb.
Kemudian setelah memperhatikan sekejap seputar bangunan kuil,
dia bersiul pelan.

Dari dalam kuil segera segera bergema suara langkah kaki
manusia, disusul seseorang menegur dg suara yg rendah dan dalam.
“Saudara Mo kah yg datang?”
“Yaa, betul, siaute yg datang?” jawab Molim.
Orang yg berada dalam kuil itu tidak berbicara apa-apa lagi, dia
membuka pintu kuil tsb lebar-lebar.
Molim tdk berayal lagi, setelah memperhatikan sekali lagi
sekeliling tempat itu, dg langkah cepat dia berjalan masuk kedalam
ruangan kuil.
Suasana dalam kuil itu gelap gulita sehingga boleh dibilang susah
utk melihat kelima jari tangan sendiri, setibanya disitu, Molim segera
menghentikan langkahnya dan berusaha utk melihat jelas
pemandangan disekelilingnya.
Ternyata yg barusan membukakan pintu adalah seorang manusia
berkerudung yg bertubuh kurus kering, waktu itu dia sudah
mengundurkan diri kedepan ruangan dan duduk bersila disitu.
Gerak gerik serta tingkah lakunya nampak misterius sekali.
Tiba-tiba saja dia menggapai kearah Molim dan menyuruhnya
duduk, setelah itu baru tegurnya:
“Apakah kau datang kemari seorang diri?”
Molim manggut-manggut tanpa menjawab.
Kembali manusia berkerudung itu berkata:
“Sewaktu datang kemari apakah kau telah memperhatikan
belakang tubuhmu? Apakah ada orang yg membuntuti jejakmu?”
“Tidak ada!” jawaban Molim sangat meyakinkan.
Dg persaan amat puas manusia berkerudung itu manggutmanggut,
katanya lagi:
“Bagus sekali, tapi selanjutnya gerak gerikmu harus lebih berhatihati
lagi, asal barang itu sudah didapatkan, pokoknya aku tak akan
lupa utk memberikan sebagian kepadamu, bahkan masih ada balas
jasa lainnya lagi…..”
Mendengar perkataan tsb, Molim segera berkata setelah
termenung sejenak,
“Sayang aku tak punya kesempatan utk menggeledahnya pada
hari ini, sehingga aku pun tak tahu apakah barang tsb masih ada
ditangannya atau tidak?”
Manusia berkerudung itu segera tertawa dingin:

“Persoalan ini tak perlu kau kerjakan secara tergesa-gesa, yg
penting jangan sampai menimbulkan kecurigaan, sebab persoalan
tsb bisa membuat semua masalah jadi terbengkalai.”
“Dalam soal ini kau tak perlu kuatir, aku bisa bekerja dg berhatihati
sekali!” buru-buru Molim berjanji.
Manusia berkerudung itu segera mengangguk,
“Selanjutnya aku bisa membuntutimu secara diam-diam dan
sering melakukan kontak dg mu, tapi ada satu hal yg perlu
kujelaskan lebih dulu kepadamu sebelum akhirnya terjadi…”
“Soal apa?” tanya Molim serius.
Sambil menarik muka, manusia berkerudung itu berkata dg suara
dingin:
“Bila kau berani menghianati diriku maka jiwamu pasti akan
kucabut, nah kuharap kau pertimbangkan persoalan ini dg sebaikbaiknya,
jangan kau pergunakan nyawa sendiri sebagai barang
permainan.”
Molim merasakan sekujur badannya bergetar keras, namun
mulutnya tetap membungkam seribu bahasa.
Kembali manusia berkerudung itu berkata sambil tertawa
hambar:
“Aku tak lebih hanya bermaksud memberi tahukan soal peraturan
perguruanku kepadamu, semoga saja kau bisa bekerja dg berhatihati
sekali…..”
Kemudian setelah memandang sekejap sekitar tempat itu,
katanya lagi sambil mendengus:
“Hmmm, sekarang kau boleh pergi dari sini!”
Tanpa mengucapkan sepatah kata pun Molim segera menjura
dan mengundurkan diri dari ruangan kuil.
Sewaktu tiba dimuka pintu, kembali dia memperhatikan sekejap
sekeliling tempat itu, kemudian baru mengerahkan ilmu
meringankan tubuhnya dan lenyap dibalik kegelapan sana.
Tidak lama setelah Molim meninggalkan tempat itu, dari depan
pintu kuil muncul kembali seorang perempuan berbaju hijau,
perempuan itu menutup wajahnya dg kain kerudung hijau, gerak
geriknya pun sangat misterius….
Walaupun Molim tidak menyadari akan kehadiran perempuan tsb,
namun setiap gerak gerik, tingkah laku serta pembicaraannya,
agaknya sudah diketahui dg jelas oleh perempuan berbaju hijau itu.

Sementara itu tampaknya kakek berkerudung yg berada dalam
ruangan kuil pun telah mengetahui akan kehadiran perempuan
berbaju hijau itu, terdengar ia menegur sambil tertawa dingin:
“Sobat yg berada diluar, apa gunanya kau sembunyi disitu? Aku
sudah tahu kalau kau telah mengintip diluar sejak tadi.”
Pada mulanya perempuan berbaju hijau itu kelihatan agak
terkejut, namun setelah sangsi sejenak, dg langkah lebar dia
berjalan masuk kedalam ruangan kuil itu, katanya sambil tertawa
hambar:
“Ketajaman mata anda sungguh mengagumkan, boleh aku tahu
siapa anda?”
Kakek ceking berkerudung hitam itu mendengus dingin:
“Hmmm, seharusnya akulah yg menanyakan siapa namamu, hayo
cepat sebutkan identitasmu yg sebenarnya!”
Perempuan berbaju hijau itu segera tertawa.
“Selama kau menyembunyikan nama serta identas yg
sebenarnya, aku pun akan merahasiakan nama asliku utk sementara
waktu, nah bagaimana kalau kita masing-masing tak usah saling
bertanya soal nama?”
Kakek ceking itu tertawa lebar:
“Kau betul-betul amat binal, baiklah, boleh aku tahu ada urusan
apa kau datang kemari?”
“Hanya kebetulan lewat!”
“Haaaahh…..haaahh…..haaahh…..kau anggap begitu banyak
kejadian yg kebetulan disunia ini?” seru kakek ceking sambil tertawa
terbahak-bahak, “apalagi ditengah malam buta, kebetulan amat kau
lewat sini?”
Perempuan berbaju hijau itu sama sekali tidak kelihatan
canggung, malah ia menjawab sewajarnya,
“Bila kau bersikeras tak percaya, apa boleh buat? Untung saja
kita tak pernah saling mengenal, lagipula tiada ikatan dendam atau
sakit hati, asal tidak saling mencampuri urusan orang lain, urusan
kan beres?”
Seraya berkata dia segera membalikkan badan dan siap beranjak
pergi dari situ.
“Tunggu dulu!” mendadak kakek ceking itu membentak keras.
Sambil menghentikan langkahnya, nona berbaju hijau itu
menegur:
“Apakah tuan masih ada urusan lain?”

“Sebelum aku mengetahui identitasmu yg sesungguhnya sampai
jelas, jangan harap kau bisa meninggalkan tempat ini dg selamat.”
Nona berbaju hijau itu segera tertawa manis, katanya:
“Aku bukan termasuk manusia yg takut digertak orang, bila kau
benar-benar ingin mengetahui identitasku yg sesungguhnya, hal ini
pun tidak terlalu sulit, asal saja kau melepaskan kain kerudung yg
menutupi wajahmu itu, aku pun bersedia mengemukakan identitasku
yg sesungguhnya.”
Kakek ceking itu mendengus dingin:
“Hmmm, tak kusangka kau si budak susah sekali utk dihadapi,
baiklah akan kuberi kesempatan kepadamu utk menyaksikan paras
mukaku yg sebenarnya!”
Sambil berkata dia segera melepaskan kain kerudung yg
menutupi wajahnya itu.
Ternyata paras muka dibalik kain kerudung tsb adalah selambar
wajah yg tua, jelek lagipula kuning kepucat-pucatan, selambar wajah
yg sangat tidak menarik.
Sampai lama sekali nona berbaju hijau itu mengamati paras muka
kakek ceking itu, kemudian katanya:
“Aku sama sekali tidak kenal dg mu….”
Tapi setelah memutar biji matanya dan tertawa merdu, kembali
ujarnya:
“Setelah tuan berani menunjukkan wajah aslimu, aku rasa
tentunya kau berani juga utk menyatakan nama aslimu bukan?”
“Aku bernama Thia bu ki” kakek ceking itu berkata dg suara
sedingin es.
“Ooooh……dan aku bernama To Ku giok!” nona berbaju hijau itu
menjelaskan.
“Kau berasal dari perguruan mana?”
“Go bi pay!”
Tiba-tiba Thia bu ki bangkit, lalu katanya dg suara dingin:
“Ooooh, rupanya kau adalah murid perguruan kenamaan, To ku
lihiap, aku ingin mencoba kemampuanmu!”
“Apa yg hendak kau coba?”
“Ingin kubuktikan benarkah kau berasal dari perguruan Go bi
pay?”
Tidak sampai perkataan itu selesai diucapkan, sebuah pukulan yg
maha dahsyat telah dilepaskan.

Serangan ini dilancarkan dg kecepatan luar biasa, angin pukulan
yg sangat berat seperti ditindih bukit karang langsung menggulung
kedepan dan mengancam tubuhnya.
Cepat-cepat nona berbaju hijau itu berkelebat kesamping utk
meloloskan diri, serunya:
“Hey, bagaimana sih kau ini? Kan tadi Cuma ingin mengetahui
identitasku? Kenapa malah menyerang secara sungguhan?”
Thia bu ki mendengus dingin:
“Hmmm, aku tak percaya kalau tak mampu mencoba kepandaian
silat aslimu…..”
Telapak tangan kenennya berputar membentuk satu lingkaran,
sekali lagi ia melancarkan sebuah sapuan yg maha dahsyat.
Serangan yg dilancarkan kali ini jauh berbeda dg seranbgan yg
pertama kali tadi, tampak bayangan berlapis-lapis seolah-olah
serangan sungguhan seperti juga gerak tipuan, yg jelas sekujur
badan Tu ku giok terkepung begitu rapat dibalik angin pukulannya.
Tempaknya sinona berbaju hijau itu tidak menyangka kalau
tenaga dalam yg dimiliki kakek ceking itu sedemikian tinggi dan
berbahaya, tergopoh-gopoh dia menghindarkan diri kesamping, tapi
bersamaan waktunya dia meloloskan pedang yg tersoren
dipunggungnya.
Mendadak Thia Bu ki berseru sambil tertawa terbahak-bahak:
“Haaaah….haaaaah……..haaaah………aku memang berharap kau
berbuat demikian!”
“Kalau toh kau begitu mendesak diriku habis-habisan, sekarang
rasakan sebuah tusukan pedangku lebih dulu!” bentak nona berbaju
hijau itu dg penuh amarah.
“Sreeeeet……..!”
Selapis cahaya pedang yg amat menyilaukan mata segera
menyebar kedepan dg sangat hebatnya.
Ditengah pancaran sinar pedang yg menyebar keempat penjuru,
dalam sekejap mata wailayah seluas dua kaki lebih sudah terkkurung
oleh selapis hawa dingin yg menggidikkan hati.
Dg amat cekatan Thia bu ki menarik diri sambil melompat
mundur, serunya kemudian sambil tertawa tergelak:
“Haaaa……..haaaa…..haaaahhh….sebuah jurus “angin menderu
diempat penjuru” yg sangat hebat, ternyata kau memang pandai
ilmu pedang aliran Go bi, maaf, maaf……”

Tidak sampai perkataan tsb selesai diucapkan, ia sudah melejit
ketengah udara dan meluncur keluar dari kuil dewa tanah yg gelap
gulita, dalam beberapa kali lompatan saja bayangan tubuhnya sudah
lenyap dari pandangan mata.
Memandang hingga bayangan tubuh Thia Bu ki pergi jauh, si
nona berbaju hijau itu baru menghembuskan napas panjang,
gumamnya lirih:
“Huuuh, sungguh berbahaya!”
Pelan-pelan dia melepaskan kain kerudung mukanya sehingga
muncullah selembar wajah yang muda lagi cantik jelita, ternyata dia
bukan To Ku giok seperti yg diakui tadi, melainkan si walet terbang
Chin Sian kun.
Setelah membereskan rambutnya yg kusut, dia menyeka peluh
dingin yg sempat membasahi seluruh tubuhnya, dalam hati ia
berpikir:
“Sungguh beruntung aku dapat menghadapi setiap perubahan dg
cukup cekatan kalau tidak……..huuuuh, dg kepandaiannya yg begitu
tinggi, sudah jelas aku bukan tandingannya…….apalagi bila sampai
aku salah langkah, bisa jadi sebuah rahasia kebohonganku bakal
terbongkar……..”
Siapa tahu baru saja hatinya menjadi lega, kembali tampak
bayangan hitam berkelebat lewat dari luar kuil, ternyata Thia Bu ki
bagaikan bayangan sukma gentayangan saja telah melayang
kembali dihadapan matanya.
Dalam tertegun dan kegetnya, buru-buru Chin Sian kun
mengenakan kembali kain cadarnya. Lalau menegur:
“Hey, kenapa kau balik kembali setelah pergi tadi?”
Dg wajah dingin bagaikan es, Thia Bu ki menjawab:
“Tadi aku sudah lupa menanyakan satu hal kepadamu, apakah
kau bersedia menjawab pertanyaanku itu sekarang?”
Chin Sian kun sengaja tertawa lebar katanya:
“Silahkan tuan bertanya, asal aku tahu pasti akan kuberikan
jawaban yg sebaik-baiknya.”
Thia Bu ki manggut-manggut, katanya kemudian:
“Bagus sekali, bolehkah aku tahu kemanakah tujuan kepergianmu
yg sebenarnya?”
Chian Sian kun menjadi tertegun.
“Tentang soal ini……..”

Ia memainkan biji matanya sebentar lalu sambil tertawa hambar
katanya lagi,
“Aku rasa persoalan ini tiada sangkut pautnya dg diri tuan
bukan…?”
“Hmmm, siapa tahu justru ada sangkut pautnya!” jawab Thia Bu
ki dingin.
“Aku bermaksud naik kebukit Cian san” kata si nona kemudian
setelah sangsi sebentar.
“Mau apa kau naik kebukit Cian san?” desak Thian Bu ki lebih
lanjut.
“Saudara, kenapa kau menanyakan persoalan ini sampai
mendetail? Apa maksudmu yg sebenarnya?”
Dg suara berat dan dalam Thia Bu ki berseru:
“Kuanjurkan kepadamu lebih baik jawab semua pertanyaanku dg
sejujurnya, tak usah mencoba berlagak sok pintar dg mengarang
cerita bohong utk menipu diriku, sebab hal ini justru akan merugikan
dirimu sendiri.”
Diam-diam Chin Sian kun menjadi tertegun, tanpa terasa ia
berpikir dalam hati kecilnya,
“Sungguh tajam pandangan mata orang ini, nampaknya aku
harus menghadapinya secara berhati-hati sekali, tapi manusia dari
pihak manakah dia? Mengapa dia memeriksa diriku seteliti dan
secermat ini?”
Tanpa terasa terbayang kembali olehnya tingkah laku Molim yg
dijumpainya tadi serta gerak gerik si kakek ceking yg mencurigakan
ini, mungkinkah dia adalah dari pihak lawan atau mungkin juga anak
buah dari siluman perempuan dewi In nu yg bersekongkol dg
keempat jago asing tsb utk melakukan sesuatu yg tidak
menguntungkan bagi Kho Beng, dan sekarang takut rahasia tsb
terbongkar..
Ingatan tsb melintas lewat dalam benaknya dalam waktu singkat,
belum sempat dia mengucapkan sesuatu, Thia Bu ki telah berkata
lagi sambil tertawa dingin:
“Nona, mengapa kau tidak berbicara lagi? Apakah kau belum
memperoleh jawaban yg tepat utk menjawab pertanyaanku tadi?”
Begitu mengambil keputusan didalam hati kecilnya, sambil
tersenyum Chin Sian kun berkata:
“Apa yg tuan duga memang tepat sekali, aku memang sedang
mempertimbangkan jawabanku!”

Jawaban yg secara gamblang ini justru sama sekali diluar dugaan
Thia Bu ki, utk sesaat lamanya ia menjadi tertegun dibuatnya,
“Aku benar-benar tak habis mengerti” katanya kemudian, “masa
utk berbohong saja kau perlu mempertimbangkan kembali?”
”Tentu saja harus kupertimbangkan masak-masak, sebab tugas
yg kupikul dalam perjalananku kali ini berat sekali, aku tak tahu
harus memberi jawaban secara sejujurnya ataukah lebih baik
mencarikan alasan yg lain utk membohongimu?”
Thia Bu ki segera tertawa seram:
“Haaaahhh……haaaah…….haaaaahhh….nona memang seorang
yg amat jujur, tapi bagaimanapun besar dan pentingnya persoalan
tsb, lebih baik kemukakan saja secara blak-blakan, aku berjanji akan
menyimpan rahasiamu sebaik-baiknya dan pasti tak akan
kubocorkan kepada siapa pun…..”
Tapi Chin Sian kun segera menggelengkan kepalanya berulang
kali, katanya:
“Mulut manusia ibarat mulut botol, asal didalamnya sudah terisi
cairan maka setiap saat bisa meleleh keluar kembali, itulah sebabnya
aku tak usah menjawab saja, karena sekali berbicara toh lebih baik
diutarakan keluar sama sekali.”
“Bicara pulang pergi, sebenarnya kau bersedia utk berbicara atau
tidak…?”
“Tentang persoalan ini, bila tuan bersedia membatalkan
pertanyaanmu itu tentu saja aku merasa amat girang Cuma bila aku
tak bersedia menjawab sudah pasti tuan akan menaruh kesalah
pahaman kepadaku……..”
Thia Bu ki tertawa terbahak-bahak:
“Haaaaa…haaah….haaaahhhh….aku rasa dalam hal ini nona
sudah mengetahui secara pasti, yaaa aku memang harus
mengetahui rahasia kepergian nona kebukit Cian san ini, kalau tidak,
aku kuatir kita susah utk berpisah pada malam ini!”
Chin Sian kun segera termenung sambil berpikir sejenak, setelah
itu baru ujarnya:
“Kalau toh tuan ingin bersikeras ingin tahu boleh saja Cuma aku
pun mempunyai sebuah syarat!”
“Cepat katakan apa syaratmu itu?”
“Sederhana sekali kuharap kau mengemukakan dulu identitasmu
dan sesungguhnya merupakan jago dari aliran mana?”

Thia Bu ki termenung pula beberapa waktu lalu sambil tertawa
seram katanya:
“Heeeehhh….heeeehh…heeeehhhh….boleh saja kalau kau ingin
mengetahui identitasku yg sebenarnya Cuma aku kuatir setelah kau
mengetahui identitasku yg sebenarnya, mungkin sulit bagimu utk
meninggalkan tempat ini dalam keadaan hidup.”
“Tapi bagi diriku, sebelum kutahu identitasmu yg sebenarnya,
sulit pula utk memberitahukan maksud tujuanku yg sebenarnya.”
Mendengar perkataan itu, sepatah demi sepatah kata Thia Bu ki
segera berkata:
“Baiklah, dengarkan baik-baik, aku dari marga Thia……..”
Cepat-cepat Chin Sian kun menggoyangkan tangannya seraya
menukas:
“Tadi tuan sudah menyebutkan nama aslimu dan aku rasa
namamu telah kuketahui secara jelas….”
Kemudian sambil memutar biji matanya dan tertawa, ia berkata
lebih lanjut:
“Oleh karena nama besar tuan kedengarannya masih sangat
asing dalam dunia persilatan, sebaliknya ilmu silat yg kau miliki
justru termasuk dalam golongan kelas satu, maka kejadian ini benarbenar
membuat hatiku bingung dan tak habis mengerti.”
“Perkataanku toh belum selesai kuucapkan, lebih baik kau jangan
menimbrung lebih dulu!”
“Baiklah” sahut Chin Sian kun kemudian sambil tertawa,
“lanjutkanlah perkataanmu tadi.”
Setelah mendengus Thia Bu ki berkata:
“Aku adalah salah satu diantara dua belas pelindung hukum dari
dewi In nu.”
Dalam hati kecilnya Chin Sian kun merasa amat terperanjat,
segera pikirnya:
“Ternyata apa yg kuduga memang benar, kalau begitu
kedatangan Kho Beng kemari tidak menghasilkan apa-apa, tapi tidak
pula mengalami musibah. Hanya disekelilingnya telah dipersiapkan
orang suatu perangkap yg mengerikan hati……..aku mesti membuat
rencana yg sebaik-baiknya utk menghadapi semua persoalan itu!”
Sementara dalam hati kecilnya berpikir, diluaran sahutnya:
“Aku amat jarang berkelana dalam dunia persilatan,
pengetahuanku amat cetek, bolehkah aku tahu siapa sih dewi In nu
itu?”

Kembali Thia Bu ki mendengus:
“Dikemudian hari kau toh akan mengetahui dg sendirinya
sekarang……hayo cepat kemukakan rahasiamu sendiri?”
Dg wajah serius Chin Sian kun segera berkata:
“Sesungguhnya maksud perjalananku kali ini bukan terhitung
suatu rahasia besar, kau toh tahu semua umat persilatan sedang
melacaki jejak si Kedele Maut? Aku dengar si Kedele Maut tak lain
adalah kakak perempuan Kho Beng dan secara kebetulan aku
berhasil mendapat kabar yg mengatakan Kho Beng berada disini,
karena itulah aku sengaja hendak naik kegunung utk menyelidiki
jejaknya!”
Mendengar perkataan itu, Thia Bu ki segera tertawa terbahakbahak:
“Haaaahhh…..haaaahhh……….haaahhhh….rupanya begitu,
kenapa tidak kau ucapkan sedari tadi.”
“Darimana aku bisa tahu kalau tuan bukan komplotan dari Kho
Beng?”
“Sekarang kau harus mengerti” kata Thia Bu ki sambil tertawa,
“bukan saja aku bukan komplotan dari Kho Beng, malah sebaliknya
merupakan musuh besarnya?”
“Kalau begitu sudah terjadi kesalah pahaman diantara kita!” seru
Chin Sian kun sambil tertawa cekikikan.
“Yaa, memang sudah terjadi kesalah pahaman……”
Seelah berhenti sejenak, terusnya lagi dg suara dalam:
“Setelah kesalah pahaman diantara kita telah hilang, aku pun
bersedia memberitahukan pula sebuah rahasia besar kepadamu?”
“Rahasia apakah itu?” buru-buru Chin Sian kun bertanya.
“Kedele Maut yg sedang kalian cari-cari pun berada disini!” bisik
Thia Bu ki sambil tertawa misterius.
“Dimana?” tanya sinona agak tertegun.
“Tentu saja diatas bukit Cian san!”
“Orang she Kho itu?”
“Dia berada didalam sebuah rumah penginapan dikota kecil
dibawah bukit sana, bila nona hendak mencarinya, inilah saat yg
paling tepat……”
Lalu setelah berhenti sejenak, kembali ia melanjutkan:
“Tapi kuanjurkan kepada nona, lebih baik tak usah kesana lagi!”
“Kenapa?”

“Sederhana sekali, sebab berbicara menurut kepandaian silat yg
nona miliki, entah harus menghadapi Kho Beng atau si Kedele Maut
pribadi, kau masih ketinggalan jauh sekali…….maaf, aku masih ada
urusan lain dan tak dapat menemanimu lebih lanjut!”
Tiba-tiba saja dia melejit ketengah udara lalu meluncur pergi
meninggalkan tempat tsb d kecepatan tinggi.
Memandang bayangan punggung Thia Bu ki yg pergi menjauh
utk kedua kalinya, kembali Chin Sian kun menghembuskan nafas
panjang secara diam-diam.
ooooOOoooo
Ketika mendusin kembali dari tidurnya, Kho Beng menemukan
matahari sudah jauh berada diatas angkasa, ia sadar waktu sudah
siang dan buru-buru melompat bangun dari atas ranjang.
Terbayang kembali perbuatannya mabuk-mabukan semalam,
tanpa terasa ia menghela napas panjang.
Belum habis dia menghela napas, tiba-tiba dari luar jendela
kedengaran suara seseorang mendehem lalu menegur:
“Apa cukong telah bangun?”
Ternyata Molim yg menyapanya dari luar jendela.
“Ada urusan apa?” Kho Beng segera bertanya.
“Oooh, tak ada urusan apa-apa” jawab Molim dg suara lirih,
“ketika kulihat cukong telah mendusin tadi, aku takut kau hendak
memerintahkan sesuatu, maka aku segera menegur lebih dulu.”
Kho Beng terharu sekali melihat perhatian anak buahnya, buruburu
dia berkata:
“Kemana perginya adikmu serta Hapukim dan Rumang?”
Ketiga orang yg disebutkan namanya segera mengiakan dari luar
pintu kamar.
Kho Beng segera berkata lagi:
“Aku benar-benar telah menyusahkan kalian berempat,
aaai….padahal kita sudah termasuk teman senasib sependeritaan,
selanjutnya sikap kalian tak perlu muncuk-muncuk dan menghormat,
anggap saja diriku saudara kalian sendiri.”
“Tidak, hamba tak berani” serentak keempat orang itu menjawab
bersama-sama.
Menyusul kemudian tampak keempat orang itu mendorong pintu
dan berjalan masuk kedalam ruangan lalu berdiri tunduk disisi

ruangan, sikap mereka jauh berbeda daripada sikapnya diwaktuwaktu
yg lampau.
Secara tiba-tiba saja Kho Beng mendapat kesan bahwa sifat liar
dan kasar keempat orang tsb seakan-akan tersapu lenyap hingga tak
berbekas, tak terlukiskan rasa gembira didalam hati kecilnya.
Sementara dia masih termenung, terdengar Molim berkata lagi.
“Cukong, apakah kau mempunyai sesuatu rencana pada hari ini?”
Kho Beng berjalan mondar mandir didalam ruangan, lama
kemudian ia beru berkata sambil menghela napas:
“Justru persoalan inilah yg merisaukan hatiku sekarang,
sebenarnya aku berniat akan turun tangan menghadapi perempuan
siluman itu, apa daya enciku justru berada disitu, dilain pihak aku
ingin meninggalkan tempat ini, tapi akupun kuatir enciku mengalami
bahaya maut, ……aaaai, pikiranku jadi amat bingung…….”
Setelah sangsi berapa saat lamanya, sambil menggertak gigi dia
berkata kemudian,
“Aku berniat menyelidiki perkampungan tsb sekali lagi pada
malam nanti, paling tidak aku harus memperoleh bukti yg bisa
membuat enciku percaya dg perkataanku!”
“Kalau toh cukong telah memutuskan demikian, setiap saat kami
siap menantikan perintah.”
“Kalian tak perlu mempersiapkan diri, sebab aku bermaksud pergi
kesana seorang diri.” Kata Kho Beng sambil gelengkan kepalanya
berulang kali.
Jilid 23
Baru saja Molim hendak menjawab, tiba-tiba terdengar suara
langkah kaki manusia yg ramai bergema diluar pintu kamar,
menyusul kemudian terdengar seseorang berseru dg nada suara
gelisah.
“Kho sauhiap, apakah kau tinggal disini?”
Kho Beng menjadi tertegun setelah mendengar suara teriakan
tsb, sebelum ia bertindak sesuatu, Molim telah membuka pintu
kamar sambil menghadang ditengah jalan.
Ternyata orang yg berada diluar pintu adalah seorang pemuda
berbaju ringkas berwarna hijau, wajahnya kelihatan gelisah sekali.
Dg perasaan keheranan Molim segera menegur:
“Darimana kau bisa mengenali majikan kami?”
Sebelum pemuda berbaju ringkas warna hijau itu menjawab, Kho
Beng telah maju menyongsong seraya menegur.

“Cho toako....“
Ternyata pemuda ini adalah Cho Liu san, anak murid dari
perguruan Sam goan bun.
Cho Liu san memandang wajah Kho Beng sekejap, lalu katanya
dg perasaan cemas.
“Oooh....saudara Kho, sungguh amat sulit mencari jejakmu!“
“Cho toako, silahkan duduk didalam kamar, entah dari siapa kau
mendapat kabar kalau aku berada disini?“
Maka Cho Liu san pin dipersilahkan masuk dan mengambil
tempat duduk, kemudian Kho Beng memperkenalkannya dg Molim
sekalian, setelah itu dia baru berkata:
“Aku mendapat kabar kalau saudara Kho berada dilembah hati
Buddha maka terburu-buru menyusul kesitu, disana bertemu dg Kim
tayhiap bertiga, dari merekalah ku ketahui kalau saudara Kho telah
berangkat kebukit Cian san, sudah banyak tempat disekitar bukit ini
kulacaki, akhirnya dg susah payah berhasil juga kujumpai saudara
Kho disini.“
“Cho toako, sebenarnya ada urusan apa sih kau bagitu bernafsu
mencariku?“ tanya Kho Beng keheranan.
Cho Liu san kelihatan agak sangsi sejenak kemudian tanpa
mengucapkan sepatah kata pun tiba-tiba ia bertekuk lutut dan
berlutut dihadapan Kho Beng.
Tentu saja Kho Beng dibuat tertegun, buru-buru dia
membangunkan pemuda tsb dari atas tanah, kemudian katanya:
“Cho toako, sebenarnya apa yg terjadi? Hayo cepat bangun, mari
kita bicara secara baik-baik.“
Setelah berdiri, dg air mata bercucuran Cho Liu san berkata:
“Dg susah payah aku kesana kemari mencari Kho sauhiap,
maksud tak lain adalah mohon bantuan dari Kho sauhiap agar
bersedia menyelamatkan ciangbunjin kami.“
“Apa yg terjadi dg Sun ciangbunjin?“ tanya Kho Beng dg kening
berkerut.
“Ciangbunjin kami telah disekap oleh pihak siau lim pay didalam
ruangan Tat mo wan“
“Apa sebabnya pihak Siau lim pay menyekap Sun ciangbunjin?“
seru Kho Beng tertegun.
Cho Liu san menatap wajah Kho Beng lekat-lekat, lama kemudian
ia baru berkata dg suara dalam:
“Konon hal ini disebabkan Kho sauhiap.....“

“Gara-gara aku?“ Kho Beng semakin tercengang, “Soal ini.....“
“Pihak Siau lim pay mengirim surat kepada perguruan Sam goan
bun yg isinya mengundang kehadiran ciangbunjin utk merundingkan
masalah penangkapan kedele maut dikuil mereka, tentu saja
ciangbunjin tak bisa menampik undangan tsb, siapa tahu begitu tiba
dikuil Siau lim si, ternyata Phu sian ciangbunjin dari pihak Siau lim
pay telah menuduh ciangbunjin sebagai komplotan dari kedele maut,
dg tuduhan itulah akhirnya ciangbunjin disekap disana.”
“Atas dasar apa mereka bisa menuduh begitu?” seru Kho Beng dg
perasaan gusar.
“Konon pihak Siau lim pay menyalahkan pihak Sam goan bun
karena tidak merahasiakan asal usul Kho sauhiap yg sebenarnya.”
“Betul-betul kurangajar!” umpat Kho Beng sambil mendobrak
meja keras-keras.
Pelan-pelan Cho Liu san berkata lagi:
“Aku dengar Kho sauhiap pernah berbuat huru-hara didalam kuil
Siau lim si, setiap umat persilatan boleh dibilang tahu semua,
bagaimana sauhiap mencuri papan mereka untuk ditukar dg panji
Hui im ki, tapi justru karena peristiwa tsb, aku takut semakin sulit
buat ciangbunjin kami utk melepaskan diri!”
Kho Beng termenung sejenak, kemudian katanya:
“Lanyas apa yg mesti kulakukan menurut pendapat Cho toako?”
Dg setengah merengek, Cho Liu san berkata:
“Harap Kho sauhiap mau mengingat hubungan dimasa lalu dg
menyelamatkan ciangbunjin suhu dari sekapan pihak siau lim pay!”
Kho Beng menjadi rada serba salah menghadapi permohonan tsb.
Dg para jago dari seluruh dunia persilatan ia telah mengikat janji
setengah tahun, berarti dalam setengah tahun mendatang ia harus
berusaha mencari bukti dan fakta utk membuktikan kebenaran
pihaknya, disamping berusaha mencegah encinya melakukan
pembantaian lagi secara besar-besaran.
Tapi diantara dua persoalan tsb, belum satu pun diantaranya
mampu terlaksana, bahkan dg pihak perkampungan Ciu hong san
ceng pun sudah terlibat dlm hubungan yg serba runyam, mustahil
baginya utk memisahkan diri guna mencampuri masalah yg lain.
Oleh sebab itu setelah termenung beberapa saat lamanya, dia
pun berkata:
“Harap Cho toako pulang dulu kerumah, sebab siaute harus
menyelesaikan persoalan lebih dulu ditempat ini sebelum dapat

berangkat ke Siau lim pay, tapi kau tak usah kuatir, aku pasti akan
berusaha sekuat tenaga utk menyelamatkan Sun ciangbunjin dari
sekapan orang-orang Siau lim si!”
Sementara itu Molim telah menyuruh pelayan menyiapkan
hidangan, maka semua orang pun bersantap bersama.
Dg menahan rasa murung dan gelisah yg mencekam hatinya, Cho
Liu san mengisi perut kenyang-kenyang lebih dulu sebelum
berpamitan pulang keperguruannya.
Sepeninggal Cho Liu san, Kho Beng segera terjerumus kedalam
keadaan serba salah, sepanjang hari dia mengurung diri didalam
ruangan sambil memikirkan persoalan tsb sementara sepasang alis
matanya berkernyit terus.
Lambat laun hari pun semakin gelap, setelah meninggalkan pesan
kepada Molim sekalian, Kho Beng segera mengganti pakaiannya dg
baju ringkas, lalu dibawah lindungan kegelapan malam berangkatlah
dia menuju keatas bukit.
Ditengah kegelapan malam yg mencekam, sepanjang jalan ia tak
pernah menjumpai penghadangan ataupun cegatan hingga tak
selang berapa saat kemudian, anak muda tsb telah tiba diluar
perkampungan Ciu hong san ceng........
Tapi apa yg kemudian terlihat, seketika membuat pemuda tsb
menjadi tertegun.
Ternyata perkampungan tsb tercekam dalam kegelapan yg luar
biasa, tak setitik cahaya lampu pun yg menerangi tempat tsb.
“Jangan-jangan perkampungan ini sudah tanpa penghuninya?”
Kho Beng berpikir dg perasaan ragu-ragu.
Sementara dia masih terperangah, tiba-tiba tampak bayangan
hijau berkelebat lewat lalu tampak seorang nona berbaju hijau
melompat keluar dari balik perkampungan dan melayang turun
persis dihadapan anak muda tsb……….
Setelah memberi hormat, nona berbaju hijau itu berkata:
“Oooh, rupanya Kho sauhiap telah datang, sudah sejak tadi
cengcu kami menantikan kedatanganmu!”
“Apa yg terjadi dg perkampungan kalian? Mengapa seluruh
perkampungan tercekam dlm kegelapan?” tegur Kho Beng dg kening
berkerut.
Nona berbaju hijau itu segera tertawa.
“Perkampungan kami berada dalam keadaan aman, tak ada
kejadian apa pun yg menimpa kami. Cuma saja cengcu kami telah

menurunkan perintah melarang setiap orang menyulut lentera, itulah
sebabnya perkampungan kami tercekam dalam kegelapan total!”
“Ooooh, rupanya begitu…..” Kho Beng manggut-manggut.
Kemudian setelah memperhatikan sekejap sekeliling tempat itu,
katanya lagi sambil tersenyum.
“Maksud kedatanganku kali ini bukan utk bertemu dg cengcu
kalian, tolong nona sudi melapor kedalam, suruhlah enciku saja yg
keluar utk bersua dg ku.”
“Bila kedatangan Kho sauhiap dimaksudkan utk bertemu dg
cicimu, mungkin kau merasa sangat menyesal!” kata nona berbaju
hijau itu sambil tertawa.
Kho Beng terkejut sekali, buru-buru ia bertanya:
“Kenapa?”
“Sebab encimu sudah meninggalkan perkampungan dan pergi
ketempat lain!”
“Tak mungkin, dia pergi kemana?” tanya sang pemuda semakin
tercengang lagi.
Sambil menarik muka nona berbaju hijau itu berkata:
“Aku toh tak perlu membohongimu, juga tak ada kepentingan utk
menipumu, paling tidak tak akan tahu kemana perginya encimu!”
“Kalau begitu segala persiapan yg diatur cengcu kalian masih
mempunyai rencana busuk lainnya?” jengek Kho Beng sambil
tertawa dingin.
Nona berbaju hijau itu segera tertawa terkekeh-kekeh:
“Bila Kho sauhiap ingin mengetahui duduk persoalan yg
sebenarnya, kenapa tak bersua dg cengcu kami serta menegurnya
secara langsung?”
Kho Beng mendengus.
“Bila ciciku benar-benar telah pergi dari sini, rasanya aku orang
she Kho tidak mempunyai kepentingan lagi utk bersua dg cengcu
kalian......”
Nona berbaju hijau itu segera memutar biji matanya yg jeli,
kemudian ejeknya setengah menghina:
“Ooooh, mengerti aku sekarang, rupanya Kho sauhiap takut
bertemu dg cengcu kami?”
“Aku orang she Kho tak pernah takut dg siapapun” seru Kho Beng
amat gusar.
“Baiklah, harap nona sebagai penunjuk jalan, sekarang juga aku
akan pergi menjumpai cengcu kalian!”

“Kalau memang begitu, silahkan Kho sauhiap mengikuti
dibelakangku......” kata si nona sambil tertawa hambar.
Begitu selesai berkata, ia segera menggerakkan tubuhnya dg
lincah seperti burung walet yg menembusi hutan, dlm waktu singkat
dia telah ebrada didalam perkampungan.
Kho Beng mendengus dingin, dia tak berayal lagi dan segera
menyusul dibelakang nona berbaju hijau itu, dg suatu gerakan
ringan dia melayang turun dibalik halaman perkampungan.
Nona berbaju hijau itu segera berpaling sambil tertawa, kemudian
meneruskan perjalanannya lagi dan langsung menuju kehalaman
belakang, dimana ia baru menghentikan gerakan tubuhnya setelah
tiba diatas sebuah bangunan loteng yg mungil.
Suasana dlm perkampungan itu tetap gelap gulita, tapi diatas
bangunan loteng itu justru memercik cahaya lentera, tapi sinar yg
begitu redup justru enambah suasana misterius da seram disekitar
sana.
Sambil mempersiapkan diri secara baik-baik, Kho Beng
memeriksa sekejap suasana diseputar bangunan loteng itu,
kemudian baru tegurnya dg suara dingin:
“Berada dimanakah cengcu sekarang?”
“Tempat ini adalah kamar tidur cengcu!” sahut nona itu sambil
tertawa misterius.
Tentu saja Kho Beng merasa terperanjat sekali, dg suara dalam
lagi berat hardiknya:
“Nona, mengapa kau mengajak aku datang kemari?”
“Bukankah Kho sauhiap bermaksud menjumpai cengcu kami?”
kata sinona sambil tertawa.
“benar, tapi kalau toh ingin bertemu semestinya pertemuan
diadakan diruang tamu atau tempat lain, masa kau mengajakku
mendatangi kamar tidurnya.....”
Kemudian setelah memutar biji matanya, kembali ia bertanya:
“Dimanakah orangnya sekarang?”
Belum selesai perkataan itu diucapkan, terdengar seseorang telah
menegur dari balik kamar dg suara yg genit:
“Sian kim, siapa yg datang?”
“Oooh, Kho sauhiap telah tiba!” buru-buru nona berbaju hijau itu
memberi laporan.
“Bagus sekali, silahkan dia masuk kedalam!”

Dibalik nada suaranya yg genit, lamat-lamat terdengar suara
sedih yg rendah dan berat hingga kedengarannya begitu memilukan
hati.
Kho Beng segera merasakan hatinya bergetar keras, utk sesaat
dia menjadi ragu-ragu utk melanjutkan langkahnya.
Sementara itu sian kim, sinona berbaju hijau itu telah berkata dg
suara rendah:
“Kho sauhiap, cengcu kami mengundangmu masuk kedalam,
maaf kalau budak tak dapat menemani lagi!”
Habis berkata, dia segera menjejakkan kakinya keatas tanah dan
sekejap mata kemudian bayangan tubuh sudah lenyap dari
pandangan mata.
Kho Beng yg tak berhasil menghalangi kepergiannya merasa
hatinya makin tak tentram, setelah termenung sesaat, akhirnya
pelan-pelan dia berjalan mendekati pintu ruangan.
“Cengcu, ada urusan apa kau mengutus orang mengundangku
kemari?” tegurnya lantang.
Orang yg berada dalam ruangan itu segera tertawa terkekehkekeh:
“Heeh...heeeh....heeeeh...kau memang lucu sekali, toh bukan aku
yg mengundang kehadiranmu utk kedua kalinya diperkampungan
Ciu Hong san ceng ini, kalau mau bilang sebetulnya sauhiaplah yg
datang mencari kami, bukan begitu?”
Meskipun hatinya amat gusar namun Kho Beng merasakan
mulutnya tersumbat dan tak sanggup mengucapkan sepatah
katapun.
Terdengar suara genit itu berkata lebih jauh:
“Tapi setelah Kho sauhiap berkunjung kemari, berarti kau adalah
tamu agung perkampungan ciu hong san ceng kami, sudah
sepantasnya bila kuberi pelayanan yg sebaik-baiknya kepadamu”
“Kalau memang begitu, silahkan nona tampil kedepan utk
bertemu.....”
“Apa salahnya kalau kau yg masuk kedalam ruangan dan duduk
disini.....?”
“antara lelaki dan perempuan ada batasannya, aku tidak berniat
memasuki kamar tidur perempuan lain ditengah malam buta begini!”
Perempuan yg berada dalam kamar itu segera tertawa cekikikan,
serunya geli:

“Buat muda mudi dunia persilatan, batasan seperti itu sudah tak
berlaku lagi, Kho sauhiap, apakah kau tidak merasa bahwa
pandangan semacam itu terlalu kolot?”
“Tapi...”
Tidak sampai Kho Beng sempat berbicara perempuan itu telah
berkata lebih jauh dg suara genit:
“Oooh, rupanya Kho sauhiap takut aku mempersiapkan jebakan
atau perangkap dalam ruangan ini sehingga kau tak berani
memasuki sarang naga gua harimau ini”
Kho Beng menjadi naik pitam, segera teriaknya:
“Biarpun aku tahu nona sedang menggunakan siasat memanasi
hatiku utk memancing aku masuk kedalam ruangan , tapi aku tetap
akan mencoba memasukinya.”
Sambil meraba gagang pedangnya, ia segera masuk kedalam
ruangan dg langkah lebar.
Tapi begitu melangkah masuk kedalam ruangan, kontan saja
paras mukanya berubah menjadi merah padam lantaran jengahnya.
Rupanya perlengkapan perabot yg ada dalam ruangan itu sangat
indah dan mewah, bau harum semerbak memenuhi setiap sudut
ruangan, dibalik pembaringan yg dilapisi kelambu tipis tampaklah
seorang perempuan yg sama sekali bugil sedang berbaring disitu.
Hanya saja suasana dalam ruangan remang-remang hingga utk
sesaat sukar bagi pemuda kita utk mengenali paras mukanya, tapi
dia tahu perempuan tsb adalah Li Sian soat, cengcu perkampungan
Ciu hong san ceng itu.
Agak tersipu-sipu dia segera menegur:
“Tolong tanya ciciku berada dimana?”
“Apakah benda itu sudah kau bawa kemari?” tanya perempuan
bugil itu serius.
“Benda apa?”
Perempuan itu segera tertawa terkekeh-kekeh, mendadak dia
membalikkan kepalanya.
Begitu sepasang mata salng bertemu, Kho Beng menjadi
terperanjat sekali, buru-buru tegurnya,
“Siapa kau?”
Ternyata wanita itu bukan Li Sian soat seperti apa yg diduganya
semula, melainkan seorang perempuan muda yg berparas amat
cantik jelita namun belum pernah dijumpai sebelumnya.
Tanpa terasa Kho Beng berpkir didalam hatinya:

“Tak heran kalau lgat suaranya terasa asing, kenapa tidak
kubayangkan sampai kesitu sejak tadi?”
Dalam pada itu siwanita muda yg cantik itu sudah berkata sambil
tertawa merangsang:
“Sesungguhnya akulah cengcu yg sebenarnya dari perkampungan
ini, Kho sauhiap mengapa kau tidak duduk dulu berbincangbincang?”
“Tapi .....mana nona Li Sian soat?” bentak Kho Beng.
“Aaaai...dia telah pergi!”
“Telah pergi...?” sekali lagi Kho Beng tertegun, tapi segera
tegurnya dg suara dalam, “dihadapan orang yg jujur janganlah
berbohong, sesungguhnya apa hubungan nona dg nona Li?”
“Kami adalah sobat karib!”
“Heeeeh.....heeeehh....heeehh...kalau begitu kaupun satu
komplotan dg dewi In nu?” seru sang pemuda sambil tertawa dingin.
Dg cepat perempuan muda cantik jelita itu menggelengkan
kepalanya berulang kali:
“Tidak, hubungan kami tidak terlalu akrab, apalagi kalau dibilang
sebagai komplotannya.”
Kembali Kho Beng tertawa dingin.
“Lantas mengapa kau bertanya kepadaku apakah benda tsb
sudah dibawa kemari!”
Sambil membenahi rambutnya yg kusut, pelan-pelan perempuan
cantik itu bangkit dan duduk ditepi pembaringan, katanya:
“Sebelum meninggalkan tempat ini, nona Li telah berpesan
kepadaku, katanya kau akan menghantar kitab pusaka Thian goan
bu boh kemari, oleh sebab itulah aku mengira kedatangan Kho
sauhiap ketempat ini adalah utk menyerahkan kitab pusaka tsb?”
“Hmmm berbicara pulang pergi, kalian tetap hanya mengincar
kedua lembar kitab tsb, sayang dalam hal ini terpaksa kalian mesti
menahan kecewa, sebab kedua lembar kitab tsb sesungguhnya
tidak berada disakuku!”
“Kalau memang tidak berada disaku Kho sauhiap, lantas berada
dimanakah benda itu?” tanya si perempuan cantik itu sambil tertawa
lagi.
“Aku telah membakarnya hingga hancur menjadi abu!”
Perempuan cantik itu nampak agak tertegun, kemudian serunya:
“Kalau begitu Kho sauhiap telah menguasai seluruh isi kitab
pusaka yg tercantum dalam kedua lembar kitab itu?”

“Yaa, memang begitulah keadaannya” sang pemuda
mengangguk.
Perempuan cantik itu segera tertawa terkekeh-kekeh:
“Kalau begitu asal kutahan dirimu disini, toh sama saja artinya!”
“Menahan aku…..?” Kho Beng segera tertawa terbahak-bahak,
“aku rasa kau tak akan mampu menahanku!”
“Kho sauhiap, lebih baik kau jangan sombong lebih dulu, coba
saksikan dulu benda apakah ini!”
Seraya berkata perempuan cantik itu segera mengambil sebuah
benda dari bawah pembaringannya dan dilemparkan kedepan.
Begitu menyaksikan benda tsb, Kho Beng segera merasakan
hatinya tercekat, tak tahan lagi jeritnya tertahan:
“Payung Thian lo san!”
“Yaa betul, memang payung Thian Lo san” ujar perempuan cantik
itu sambil tertawa, “apakah Kho sauhiap berharap bisa bertemu dg
pemilik payung ini?”
Rasa sedih dan gusar yg bercampur aduk dalam benak Kho Beng
membuat ia sangat gusar, dg mata melotot besar bentaknya keraskeras:
“Apa yg telah kau lakukan terhadap enciku?”
Perempuan cantik itu tertawa dingin:
“Asal Kho sauhiap bersedia utk tinggal disini, tentu saja akan
kuberitahukan soal tsb kepadamu?”
“Hmmm, bagaimana perhitungan siepoa mu itu!“ hardik Kho
Beng semakin sewot, “baiklah, biar kubekuk dirimu lebih dulu, aku
tak kuatir tak mampu membongkar semua rencana busuk kalian.”
“Criiingg…”
Pedangnya segera diloloskan dari sarung dan bersiap sedia
melancarkan serangan.
“Hey, mau apa kau?” teriak perempuan cantik itu agak gelisah.
“Bila kau tak bersedia menyerahkan diri dg begitu saja, jangan
salahkan bila pedangku tak mengenal perasaan!”
Begitu selesai berkata sebuah tusukan kilat langsung dilontarkan
kedepan mengancam tubuh telanjang perempuan tsb.
Si perempuan cantik itu menjerit kaget, tergopoh-gopoh dia
merentangkan payung Thian Lo san utk menyongsong datangnya
tusukan maut tsb.
Dg gerakan tsb maka tusukan pedang Kho Beng pun persis
menghajar diatas permukaan payung tsb, tapi payung itu betul-betul

kokoh dan ulet, seketika itu juga ujung pedangnya terpeleset dan
tergelincir kesamping.
Tapi pada saat itulah mendadak dari atas permukaan payung itu
menyembur keluar segumpal asap berwarna putih.
Kho Beng menjadi terperanjat sekali, sayang sebelum sempat ia
berbuat sesuatu, bau harum yg aneh tsb telah menerobos masuk
kedalam hidungnya.
Seketika itu juga dia merasakan kepalanya mata berat dan
pening sekali, hampir saja sia tak mampu berdiri tegak lagi.
Dalam terperanjat, buru-buru dia melompat kebelakang dan
berusaha melarikan diri keluar ruangan.
“hmmm, akan kulihat kau bisa kabur sampai dimana?” bentak
perempuan cantik itu sambil tertawa terkekeh-kekeh.
Setelah berhasil melompat keluar dari ruangan loteng itu, buruburu
Kho Beng menarik napas panjang sambil bersiap-siap
melompat utk kdua kalinya.
Namun sayang sepasang kakinya tahu-tahu jadi lemas dan tak
mau menuruti perintahnya lagi, ditambah pula kepalanya amat
pusing dan pandang matanya menjadi gelap.
“Blaaaammm…!”
Tak ampun lagi tubuhnya segera roboh terjengkang diatas tanah.
Perempuan cantik itu bersorak gembira, cepat-cepat dia
mengenakan pakaiannya kembal sambil melompat turun dari
pembaringan.
Lalu sambil mendekati Kho Beng, katanya dg bangga:
“Ciu hoa, Tang soat, Hee im sekalian, coba kau lihat, pekerjaan
yg tak mampu kalian lakukan, tohh akhirnya berhasil diselesaikan
olehku, Cun hong secara mudah. Peristiwa ini benar-benar
merupakan sebuah pahala besar!”
Tampak ia tersenyum simpul dg wajah berseri-seri, dg cepat
diambilnya sebuah gembrengan kecil dari sakunya dan dibunyikan
berulang-ulang.
“Traaang….traaang….traaang…”
Dg bergemanya suara gembrengan, cahaya lentera segera
memancar dari empat penjuru, suasana yg semula gelap gulita kini
berubah menjadi terang benderang.
Si dayang Sian kim yg munculkan diri paling dulu, ketika melihat
kejadian ini segera serunya sambil tertawa:
“Lengcu, kionghi atas keberhasilanmu!”

Sambil mengulapkan tangannya Cun hong Lengcu berkata:
“Cepat kirim dia kedalam kamarku, kemudian cepat kirim surat
melaporkan peristiwa ini kepada Saiancu!”
Buru-buru Sian kim mengiakan, sambil menyeret tubuh Kho Beng
ia berjalan menuju keruangan sebelah kiri.
Sementara itu Cun hong Lengcu segera berjalan menurun tangga
dan berangkat menuju kebangunan sebelah timur.
Tempat tsb merupakan sebuah bangunan loteng yg tidak kecil,
begitu Cun hong Lengcu munculkan diri, Li Sian soat segera
menyambut kedatangannya dan berseru sambil tertawa:
“cici, kionghi atas keberhasilanmu!”
Cun hong Lengcu tertawa cekikikan, tanyanya tiba-tiba:
“Dimanakah Kho Yang ciu sekarang?”
“Ia sudah menelan obat mabukku, sekarang masih tak sadarkan
diri…”
“Bagus sekali, jangan biarkan dia tahu akan peristiwa ini, cepat
kembalikan payung ini kedalam kamarnya.”
Setelah menerima payung thian lo san tsb, Li Sian soat kembali
bertanya:
“Apakah cici sudah menggelesahnya?”
“Belum, tapi menurut pengakuannya, kedua lembar kitab pusaka
thian goan bu boh tsb sudah tidak berada disakunya lagi.”
“Lantas berada dimana?” tanya Li Sian soat agak tertegun.
Dg kening berkerut, Cuh hong Lengc berkata:
“Konon ia sudah membakarnya sampai habis!”
“Waaah, bukankah usaha kita selama ini menjadi sia-sia belaka?
Bagaimana cara kita melaporkan peristiwa ini kepada Siancu?” teriak
Li Sian soat panik.
“Haaahh…haaaaahh…haaahh…apa susahnya dg masalah
semacam ini…” kata Cun hong Lengcu sambil tertawa bergelak.
Dg wajah angkuh sambungnya lebih jauh:
“Ia pernah mempelajari ilmu Thian goan singkang, berarti sudah
mengingat baik semua bagian dari keterangan yg tercantum dalam
dua lembar kertas tsb, asal dia masih berada dalam cengkeraman
kita, masa semua rahasia tsb tak akan dimuntahkan keluar sedikit
demi sedikit?”
“Cici, paling baik kalau kau lakukan penggeledahan dulu, sebab
aku dengar bocah keparat itu banyak tipu muslihatnya, kalau kita

sampai termakan oleh siasat busuknya hingga dipecundangi habishabisan,
waaaah…penasaran rasanya!”
“Benar!” Cun hong Lengcu segera manggut-manggut,”kalau
begitu biar kuperiksa dulu sakunya……”
Kemudian sambil melemparkan kerlingan genit kearah Li Sian
soat, katanya lagi sambil tertawa:
“Sebentar tak ada salahnya bila kau turut kesana, kita nikmati
bersama hasil tangkapan ini!”
“Ciiiisssss…..lebih baik cici menikmatinya seorang diri, aku mah
tak berani mengusiknya.”
Cun hong Lengcu tertawa, dia segera bangun berdiri dan berjalan
menuju kekamar tidurnya.
Udara malam amat cerah, bintang nampak bertaburan diangkasa,
dg pancaran nafsu birahi yg membara Cun hong Lengcu berjalan
kembali kekamar tidurnya.
Sepanjang jalan otaknya berputar terus mencari akal, dia ingin
mencari sebuah cara yg terbaik utk memancing Kho Beng agar
menyerah dibawah kakinya.
Dalam waktu singkat ia telah tiba didepan kamar tidurnya,
cahaya lentera nampak menyinari seluruh bangunan loteng tsb,
namun dayangnya Sian kim tidak kelihatan disitu.
Sambil mmeriksa sekeliling tempat itu, Cun hong Lengcu segera
berseru keras:
“Sian kim, Sian kim……”
Aneh, suasana disekitar bangunan loteng itu amat hening dan tak
kedengaran sedikit suara pun.
Cun hong Lengcu segera bergumam,
“Sialan amat budak itu, hmmm makin lama semakin kurang ajar
saja budak tsb.”
Sambil mengomel panjang pendek dia berjalan naik keatas
loteng.
Begitu masuk kedalam ruang tidurnya, ia saksikan seseorang
berbaring diatas pembaringannya, tapi berhubung kelambunya
diturunkan maka tak jelas paras muka orang tsb.
Tapi bagi Cun hong Lengcu, ia tahu siapa gerangan yg
dibaringkan disana, entah apa yg dibayangkannya tiba-tiba paras
mukanya berubah menjadi merah padam.
Mula-mula diambilnya obat penawar dari sakunya, kemudian baru
menyingkap kelambu dimuka pembaringan.

Tapi begitu kelambunya disingkap, paras mukanya segera
berubah hebat, tak kuasa dia menjerit kaget.....
Ternyata orang yg berbaring disana bukan Kho Beng seperti yg
diduganya semula, melainkan Sian kim dayang kepercayaannya.
Tampak dayang itu berbaring dg mata terpejam dan napas amat
teratur, kiranya dia sudah tertotok jalan darah tidurnya.
Tergopoh-gopoh Cun hong Lengcu menepuk bebas jalan
darahnya, lalu tegurnya dg gelisah:
“Mana orangnya?”
Sian kim menguap ngantuk, lalu bergumam:
“Heran, kenapa aku bisa tertidur? Hey Lengcu, siapa yg kau
tanyakan?”
“Budak sialan!” umpat Cun hong Lengcu sambil menghentakhentakkan
kakinya dg gemas, “siapa lagi yg kutanyakan, tentu saja
Kho Beng, mana orangnya sekarang?”
Sian kim menjerit kaget, cepat-cepat dia melompat bangun dari
atas pembaringan sambil jeritnya:
“Aduh celaka! Orangnya telah diculik seseorang........”
“Siapa yg menculiknya?” bentak Cun hong Lengcu gusar.
Dg wajah ingin menangis, Sian kim menjawab tergagap:
“Aku..........aku benar-benar tidak tahu?”
Cun hong Lengcu benar-benar sangat gusar, mendadak....
“Plaaak!”
Dia menampar wajah Sian kim keras-keras kemudian bentaknya:
“Budak busuk! Masa utk menjaga pun tak becus, sebetulnya apa
kegunaanmu? Hayo cepat katakan, apa yg sebenarnya yg telah
terjadi?”
Dg wajah hampir menangis Sian kim berkata:
“Waktu itu aku sudah membawa Kho sauhiap sampai didalam
kamar dan membaringkannya diatas ranjang, tiba-tiba kurasa ada
angin yg berhembus kencang dari luar jendela maka budak pun
pergi merapatkan daun jendela tsb.......mungkin........mungkin disaat
itulah budak kehilangan kesadaran!”
“Kau benar-benar gentong nasi yg tak berguna!“ umpat Cun hong
Lengcu sangat gusar, “ayoh cepat bunyikan tanda bahaya, ia sudah
terkena bubuk pemabukku, meski telah sadar daya kerja obat tsb
belum hilang. Dia tak mungkin bisa kabur terlalu jauh.”
Sian kim mengiakan berulang kali dan tergopoh-gopoh lari turun
dari atas loteng.

Tak lama kemudian suara gembrengan kembali dibunyikan
bertalu-talu diseluruh perkampungan, hanya saja nada suara
gemberengan tsb jauh berbeda dg suara pertama.
Begitu suara tsb bergema, suasana perkampungan menjadi
kalang kabut dan setiap orang dicekam perasaan gugup dan panik.
Ditengah bunyi suara gembrengan yg amat ramai inilah, tampak
bayangan manusia berkelebat kian kemari, suasana kelihatan sangat
kalut.
Apa yg diduga Cun hong Lengcu memang benar.
Waktu itu Kho Beng belum jauh meninggalkan perkampungan Ciu
hogn san ceng, dia masih berada didalam sebuah hutan hanya
berapa li dari perkampungan tsb.
Suasana dalam hutan itu gelap gulita, sementara dia berbaring
diatas tanah dg tenang, disampingnya duduk siwalet terbang Chin
sian kun.
Waktu itu si nona sedang meneteskan air dari kantung airnya
kedalam mulut Kho Beng.
Chin sian kun tdk mengetahui racun apakah yg telah mengeram
didalam badan Kho Beng, karenanya dia hanya bisa mencoba dg
menggunakan air segar.
Betul juga, tak lama kemudian Kho Beng menggerakkan
badannya dan lambat laun sadar kembali dari pingsannya.
“Kho sauhiap....kho sauhiap...” Chin sian kun memanggil dg suara
lirih.
Akhirnya Kho Beng membuka matanya kembali, ketika ia
merasakan seorang perempuan asing disampingnya, pemuda kita
kelihatan amat terperanjat dan segera melompat bangun.
“Siapa.....siapakah kau?” tegurnya terperanjat.
“Kho sauhiap, jangan gugup, aku yg berada disampingmu!”
cepat-cepat Chin sian kun berbisik.
Akhirnya Kho Beng dapat mengenali kembali siapa gerangan
nona tsb, dg perasaan terkejut bercampur girang segera serunya:
“Aaaaah...rupanya nona Chin....”
Kemudian setelah memperhatikan sekejap sekeliling tempat itu,
katanya lagi agak kebingungan:
“Mengapa kau bisa berada disini?”
“Aku merasa kuatir sekali membiarkan kau mengembara seorang
diri, maka aku segera mencari tahu alamay yg kau tuju dari Bu wi

cianpwee, setelah itu aku pun cepat-cepat menyusulmu kebukit Cian
San, ternyata berhasil juga kutemukan dirimu.”
“Jadi nona yg telah menyelamatkan aku?” tanya Kho Beng dg
perasaan amat berterimakasih.
Chin sian kun tersenyum,
“Sungguh beruntung Cuh hong Lengcu segera meninggalkan
bangunan loteng tsb setelah membokongmu dg obat pemabuk,
mereka tak menyangka sama sekali kalau aku bersembunyi
dibelakang sana, itulah sebabnya dg mudah sekali aku berhasil
membawamu keluar dari sana.”
“Aaaai, aku benar-benar tak tahu bagaimana mesti membalas
budi kebaikan nona....”
Merah jengah selember wajah Chin sian kun, cepat-cepat dia
menukas
“Sebetulnya pekerjaan semacam ini sudah sepantasnya
kulakukan untukmu, buat apa mesti berterima kasih?”
“Bila aku bertemu lagi dg perempuan rendah tsb dikemudian hari,
pasti akan kupenggal batok kepalanya!” sumpah Kho Beng dg
perasaan amat mendendam.
Sementara pembicaraan masih berlangsung, tiba-tiba dari luar
hutan sana terdengar suara langkah kaki manusia yg ramai disusul
munculnya cahaya api secara lamat-lamat.
Dg cepat kedua orang muda mudi itu menahan nafas dan tidak
berbicara lagi.
Tak selang beberapa saat kemudian, suara langkah kaki manusia
itu sudah tiba ditepi hutan, lalu terdengar suara seorang lelaki
berkata:
“Li sam, coba kau lakukan pemeriksaan ketengah hutan sana, bila
ada seseorang yg mencurigakan, segera berilah kabar kepadaku, bila
tak ada yg mencurigakan, kita geledah lebih kedepan.”
Lelaki yg disebut Li sam itu segera mengiakan, dg tangan kiri
membawa obor dan tangan kanan membawa pedang yg disilangkan
didepan dada, selangkah demi selangkah dia berjalan memasuki
hutan tsb.
Pucat pias selembar wajah Chin sian kun setelah mendengar
perkataan itu, tapi Kho Beng sudah melompat bangun sambil
berbisik,
“Pancing saja mereka masuk kedalam, malam ini aku hendak
melakukan pembantaian secara besar-besaran!”

Tapi belum selesai perkataan tsb diucapkan, tiba-tiba saja paras
mukanya berubah hebat.
Rupanya disaat dia mencoba utk mengatur hawa murninya, dg
cepat diketahui bahwa peredaran darahnya tak mampu mengalir dg
lancar. Ini berarti dia tak mampu mengerahkan tenaga dalamnya
lagi.
Tak heran kalau pemuda tsb mejadi terperanjat setengah mati
hingga wajahnya berubah hebat
Chin sian kun yg mengawasi perubahan tsb menjadi agak
tertegun disamping keheranan, buru-buru tanyanya:
“Kho kongcu, mengapa......mengapa kau?”
“Aku sama sekali tak mampu menghimpun tenaga dalamku lagi!
peredaran darahku terasa agak tersumbat!“
Sementara itu lelaki yg bernama Li sam sudah melangkah
mendekati mereka berdua, ini berarti tiada waktu lagi buat mereka
utk berpikir panjang.
Buru-buru Chin sian kun menarik tangan Kho Beng dan diajak
bersembunyi dibalik sebatang pohon besar, lalu bisiknya lirih:
“Mari kubopong kau naik keatas“
Bersemu merah wajah Kho Beng mendengar bisikan itu,
sebaliknya Chin sian kun tertawa wajar, bahkan tak menanti Kho
Beng membuka suara lagi ia segera merangkul pinggangnya
kemudian melompat naik keatas batang pohon besar....
Tapi dg kejadian tsb, gerak gerik mereka segera menimbulkan
suara berisik.
Lelaki yg bernama Li sam itu segera membentak keras:
“Siapa yg berada didalam hutan?”
Diam-diam Chin sian kun berbisik kepada Kho Beng.
“Gelisah sangat tdk menguntungkan, sekarang kau duduk disini
dg tenang, biar kupancing mereka pergi dari sini!“
Dg perasaan sedih bercampur gusar Kho Beng manggutmanggut,
kini tenaga dalamnya telah punah, tentu saja dia tak
mampu berbuat banyak terhadap situasi didepan mata.
Setelah melemparkan sebuah kerlingan mesra kearah Kho Beng,
Chin Sian kun segera melayang turun keatas tanah, kemudian sambil
mengumpulkan hawa murninya dia meluncur keluar dari hutan tsb,
bahkan sewaktu bergerak keluar dia sengaja menimbulkan suara
berisik.
Li Sam segera berpekik panjang, lalu teriaknya keras-keras:

“Kalian cepat kemari! Didalam hutan benar-benar ada orang.“
Dg teriakan tsb, dari luar hutan pun segera terjadi suara sahutan
dan secara beruntun tampak bayangan manusia berkelebat lewat,
dalam waktu singkat delapan buah obor telah menyinari sekeliling
tempat Li Sam berdiri sekarang.
Belasan orang jago tsb dipimpin oleh seorang kakek berbaju
hijau, ia mempunyai wajah kuda yg berbentuk panjang.
Begitu tiba disamping Li Sam, segera tegurnya dg gelisah:
“Dimana orangnya?”
Sambil menunding kearah kiri sahut Li Sam:
“Agaknya ada orang melarikan diri kearah sebelah sana,
pemimpin aku rasa hutan ini mencurigakan sekali!”
“Lakukan pemeriksaan!” kakek berbaju hijau itu segera
menurunkan perintahnya.
Maka belasan orang jago pn memencarkan diri dalam formasi
kipas terbuka lalu pelan-pelan melakukan pencarian disekeliling
tempat itu.
Benar juga sepanjang jalan mereka mendengar ada suara
langkah manusia serta suara ranting yg disingkirkan orang.
Sambil menyeringai seram, kakek berbaju hijau itu segera
berkata:
“Kalau memang ada orang disini, berarti dia adalah bocah
keparat she Kho itu, menurut Cun hong Lengcu, daya kerja obat
dalam tubuhnya belum hilang karena itu tenaga dalamnya belum
pulih kembali, tak heran kalau langkah kakinya menimbulkan suara
berisik.”
Begitu mendengar perkataan tsb, belasan orang jago itupun
melakukan pengejaran dg lebih bernafsu lagi, sebab setiap orang
berharap bisa membuat jasa besar.
Mendadak.......
Dikejauhan sana terlihat ada sesosok bayangan hitam berkelebat
lewat, Li Sam segera membentak keras:
“aku lihat kau bisa kabur kemana?”
Dg cepat dia melejit kedepan lalu menerjang kearah bayangan
hitam tsb dg kecepatan tinggi.
Pada saat itulah bayangan manusia tadi sudah tiba ditepi hutan,
tiba-tiba saja orang itu menghentikan langkahnya.

Li Sam yg sudah menyusul sampai disitu tidak banyak berbicara
lagi, dg cepat tubuhnya melejit keudara sementara pedangnya
melancarkan sebuah tusukan kilat.
Ditengah deruan angin serangan yg amat tajam, sebuah tusukan
telah mengancam punggung bayangan hitam tsb.
Dg cekatan bayangan hitam tadi menghindarkan diri kesamping,
kemudian bentaknya keras-keras:
“Hey, kalian sudah edan semua.......“
Setelah melancarkan tusukan tsb, Li Sam baru merasakan kalau
gelagat tidak beres, tergopoh-gopoh dia menarik kembali
serangannya sambil mengawasi wajah orang itu dg seksama.
Tapi apa yg kemudian terlihat membuat hatinya semakin
terperanjat lagi buru-buru dia berbicara:
“Ooooh...rupanya nona Sian kim, mengapa kaupun berada
disini?“
Sambil menghentak-hentakkan kakinya dg gemas Sian kim
berseru:
“Aku sedang mencari bocah keparat she Kho itu, tak disangka
hampir saja mati diujung pedangmu, bunuh, mengapa sih kalian
tidak melacak jejak musuh sebaliknya malah menguntil
dibelakangku?“
Dalam pada itu si kakek berbaju hijau telah menyusul pula
sampai disitu dg segenap kekuatannya, melihat kejadian ini buruburu
dia menyapa:
“Nona Sian kim, mengapa kau pun sampai disini?“
Sambil menggertak gigi menahan diri jawab Sian kim.
“Lengcu menyuruh aku turut melacaki jejak bocah keparat itu,
tentu saja aku melaksanakan perintahnya, kalian tahu, barusan aku
telah berhasil menemukan bayangan tubuh orang she Kho itu, tapi
gara-gara ulah kalian, sekarang ia berhasil meloloskan diri kembali.“
“Dimanakah nona berhasil melihat jejak orang she Kho itu?“
buru-buru kakek berbaju hijau itu bertanya.
Sian kim segera menunding kedepan sana sambil berkata:
“Itu dia, disudut tebing sebelah selatan, waktu itu sebenarnya
aku sedang melakukan pengejaran kesitu, sungguh tak disangka
anak buahmu justru melancarkan sebuah tusukan kepunggungku
secara tiba-tiba.....untung saja tak sampai melukai tubuhku.....“
Kakek berbaju hijau itu tidak banyak berbicara lagi, buru-buru dia
mengibaskan ujung bajunya sambil membentak:

“Kita geledah kesana!“
“Betul!“ seru Sian kim sambil tertawa, kalian menggeledah kesisi
kiri, biar aku mencarinya dari sebelah kanan, dg begini banyak
orang, aku percaya sekalipun tumbuh sayappun jangan harap bisa
meloloskan diri dari sini!“
“„Baik, kita kerjakan secara demikian saja!“ kata kakek berbaju
hijau itu terburu-buru.
Kemudian tanpa mengucapkan sepatah katapun dia segera
melejit ketengah udara, dalam waktu singkat tubuhnya telah berada
sepuluh kaki lebih dari tempat semula.
Sian kim, si dayang berbaju hijau itupun bergerak menuju
kesebelah kanan utk melakukan pencarian, tapi belum sampai
berjalan sejauh sepuluh kaki, dia sudah belik kembali ketempat
semula, kemudian setelah memeriksa sekejap sekeliling tempat itu
dan yakin kalau disana tak ada orang, tergesa-gesa dia menerobos
masuk kedalam hutan.
Dg suatu gerakan yg cepat sekali, dia balik kepohon besar
dimana Kho Beng bersembunyi tadi, dari atas wajahnya dia
melepaskan selembar topeng kulit manusia dan dimasukkan kembali
ke sakunya.
Ternyata dayang Sian kim tak lain adalah hasil penyamaran dari
si walet terbang Chin sian kun.
“Kho Sauhiap...Kho sauhiap.....“ bisiknya pelan
Dari balik dedaunan yg rimbun tampak Kho Beng menongolkan
kepalanya sambil menyahut:
“Aku berada disini...!“
Chin Sian kun segera melompat naik keatas pohon , lalu katanya
dg pelan:
“Waaah...betul-betul sangat berbahaya!“
“Apakah mereka sudah pergi?“ tanya Kho Beng dg perasaan
sangat gelisah.
Chin Sian kun segera tertawa bangga, katanya :
“aku telah menipu kawanan bajingan itu sehingga mengambil
arah yg salah, mungkin mereka sudah berada berapa li dari sini
sekarang!“
“Dg cara apa nona berhasil memancing mereka menuju kearah
yg salah?“ tanya Kho Beng tak habis mengerti.
Chin Sian kun segera memperlihatkan topeng kulit manusia yg
berada ditangannya, dia berkata:

“Aku mengandalkan benda ini......eeei...bagaimana perasaanmu
sekarang, apakah rada mendingan?“
Kho Beng segera menghela napas panjang,
“Aaaai.....entah bahan obat pemabuk jenis apakah yg
dipergunakan perepuan siluman itu, hingga sekarang tenaga
dalamku masih belum bisa dihimpun kembali.”
Chin Sian kun berpkir sebentar, lalu ujarnya:
“Kita harus meninggalkan tempat ini lebih dulu baru
mengusahakan pengobatan atas lukamu itu, mari biar aku yg
menggendongmu!“
oooOOooo
Hampir semalam suntuk perkampungan Ciu hong san ceng
dilanda kekalutan dan keributan, namun usaha mereka sama sekali
tidak memberikan hasil apa-apa.
Namun keesokan harinya, tiba-tiba dikota kecil dikaki bukit Cian
san telah kedatangan serombongan manusia, mereka terdiri dari
kawanan jago lihay baik dari golongan putih maupun dari golongan
hitam.
Kemunculan mereka amat tiba-tiba tak jauh berbeda dg keadaan
sewaktu berada dilembah hati buddha tempo hari, entah siapa yg
menyiarkan berita tsb namun yg jelas sasaran mereka kali ini bukan
Kho Beng melainkan langsung menuju perkampungan ciu hong san
ceng diatas bukit cian san.
Sebagai pemimpin dari rombongan tsb adalah seorang kakek
berbaju hitam yg menyoren sepasang pedang dipunggungnya, orang
itu termasyur sekali namanya dikawasan Kanglam dan dikenal orang
sebagai Pedang emas berlengan baja To tin.
Dg gerakan yg amat cepat rombongan tsb langsung menyerbu
kedepan perkampungan Ciu hong san ceng, ternyata jagoan yg
terhimpun dalam rombogan ini mencapai lima puluhan orang.
Begitu sampai dimuka pint perkampungan, to tin segera
membentak dg suara keras:
“Apakah dalam perkampungan ada orang?“
Baru saja suara bentakan tsb bergema, pintu perkampungan
telah terbuka lebar-lebar, yg munculkan diri kemudian adalah kakek
berbaju ungu Ong Thian siang.

Ia kelihatan agak tertegun, lalu setelah memperhatikan sekejap
sekeliling tempat itu, tegurnya:
“Bolehkah aku bertanya, ada urusan apa kalian datang
keperkampungan kami?“
Dg suara berat dan dalam Pedang emas berlengan baja To tin
menjawab:
“aku To tin bersama rekan-rekan persilatan dari kawasan
Kanglam sengaja datang kemari karena mendengar diperkampungan
anda telah datang seorang tamu agung, apakah dia masih berada
disini?“
“Yaa betul, rupanya rekan-rekan sekalian datang mencari nona
Kho, bolehkah aku tahu ada urusan apa kalian mencarinya?“
To tin segera mendengus dingin.
“Cepat suruh dia keluar, katakan saja ada orang mencari
dirinya.!“
Ong Thian siang mengiakan dan buru-buru masuk kedalam
perkampungan.
Tak selang berapa saat kemudian, tampak tiga orang perempuan
berkerudung diiringi para dayang telah munculkan diri dari balik
gedung, orang pertama adalah seorang nona berbaju putih, tentu
saja dia adalah Kho Yang ciu, orang kedua menggunakan baju
berwarna hijau, dia adalah Hee im Lengcu Li Sian soat, sedangkan
orang ketiga mengenakan baju bewarna merah darah, dia adalah
Cun hong Lengcu, Jin cun.
Begitu mereka bertiga tiba didepan pintu perkampungan, Kho
Yang ciu lah yg kelihatan terkejut sekali.
Sebagaimana diketahui, perkampungan Ciu hong san ceng sama
sekali tak ada hubungan apa-apa dg dunia persilatan, tapi darimana
kawanan jago persilatan itu bisa tahu kalau dia berada disini?
Disamping itu selapis hawa membunuh pun telah muncul dalam
hati kecilnya, sudah lama ia tak pernah membunuh orang,
bagaimana mungkin dia akan menyia-nyiakan kesempatan baik yg
berada didepan mata sekarang?
Tatkala melihat munculnya tiga orang wanita muda dari balik
perkampungan, kawanan jago persilatan itu kelihatan sangat tegang
dan serius, hawa pembunuhan pun mulai menyelimuti seluruh area.
Dg suara lantang si Pedang emas To tin segera menegur keras:
“Siapakah si Kedele Maut?“
“Nonalah orangnya!“ jawab Kho yang ciu dingin.

“Rupanya kaulah putri Hui im cengcu yg menghebohkan dimasa
lalu, sibiang keladi yg menyebabkan timbulnya badai berdarah
didunia persilatan........hmmm, hari ini sengaja aku datang kemari
bersama rekan-rekan persilatan utk membuat perhitungan atas
kematian rekan-rekan kami........“
Kho Yang ciu segera tertawa terkekeh-kkeh, setelah mendengar
perkataan itu, jengeknya:
“Heeehh....heeehh....heehh...kalian anggap kemampuan yg kamu
semua miliki sudah cukup utk berbuat sesuka hati,
hmmm....memangnya tujuh puluh lembar nyawa yg tewas
diperkampungan Hui im ceng tidak pantas utk dituntut balas?“
“Hmmm, aku tahu percuma saja banyak berbicara dg perempuan
gila macam dirimu itu” tukas To tin gusar, “rekan-rekan semua, hari
ini kita tak boleh membiarkan siluman perempuan siluman itu
meloloskan diri lagi dari cengkraman kita“
Seruan tsb segera disambut penuh antusias oleh kawanan jago
silat lainnya, dalam waktu singkat mereka telah bersiap sedia utk
melancarkan serangan.
Cun hong Lengcu yg menyaksikan kejadian ini buru-buru
mengulapkan tangannya, seraya berkata:
“eeeei....tunggu dulu, tunggu dulu.........“
“Siapa anda?“ To tin segera membentak.
Sambil tertawa merdu jawab Cun hong Lengcu:
“Kami kakak beradik adalah pemilik perkampungan Ciu hong san
ceng ini, ketahuilah perkampungan kami tak pernah mempunyai
ikatan dg dunia luar, hubungan dg dunia persilatan pun tak ada,
kenyataan kalian datang mencari gara-gara, apakah tindakan ini
tidak merupakan suatu perbuatan yg kelewat batas ? “
“Jadi nona bermaksud akan melindungi siluman perempuan ini? “
seru To tin dg suara dingin.
Kembali Cun hong Lengcu tertawa:
“Nenek moyang kami telah membuat suatu peraturan utk
perguruan kami, yakni tidak boleh mencampuri urusan dunia
persilatan, oleh sebab itu aku ingin bertanya kepada kalian, apakah
kami pun akan dihitung menjadi satu? “
To tin tidak langsung menjawab, diam-diam pikirnya:
“Perempuan ini adalah anak murid dari tokoh sakti dunia
persilatan, kepandaian silatnya tak boleh dipandang enteng, apalagi
tujuanku yg utama adalah mlenyapkan perempuan siluman tsb dari

muka bumi, kalau bisa mengurangi dua orang musuh tangguh jelas
hal tsb makin menguntungkan bagi posisiku. “
“Berpikir demikian, buru-buru ia berkata:
Kalau toh pihak perkampungan kalian punya peraturan yg
melarang anggotanya mencampuri urusan dunia persilatan, sudah
barang tentu kamipun tak akan mengusik ketenangan kalian, asal
nona sekalian bersedia menyingkir dari sini dan tidak mencampuri
urusan kami, aku beserta rekan-rekan persilatan lainnya pasti tak
akan mengganggu seujung rambutpun dari perkampungan anda.“
Cun hong Lengcu manggut-manggut, katanya lagi:
“Walaupun perkataan anda memang sangat tepat, namun kami
dua bersaudarapun tetap merasa serba salah.“
“Apa yg menyebabkan kalian serba salah ? “
“Nona Kho adalah sahabat karib kami dua bersaudara, andaikata
kejadian ini berlangsung ditempat lain, tentu saja kami dua
bersaudara dapat berlagak seolah-olah tidak melihat serta tidak
mencampurinya, tapi hari ini.........kalian justru telah datang kemari
utk mencari gara-gara, bagaimanapun jua kami sebagai tuan rumah
toh tak bisa berpeluk tangan belaka, sebab tindakan seperti ini jelas
tidak mencerminkan kesetiakawanan, sebaliknya bila ingin
membantu, kamipun kuatir akan melanggar peraturan leluhur kami,
nah, coba dibayangkan apakah posisi kami saat ini tidak serba
berabe......“
“Cici berdua tak usah kuatir“ cepat-cepat Kho yang ciu berseru,
asal cici berdua mau membantu siaumoy dg berjaga-jaga ditepi
arena, hal tsb sudah lebih dari cukup untukku, apalagi jumlah
manusia seperti ini belum sampai merisaukan hatiku, silahkan cici
berdua berpeluk tangan saja“
Cun hong Lengcu pura-pura menghela napas sedih, lalu katanya:
“Yaa, kalau begitu maafkanlah kami, tapi kami berjanji tak akan
membiarkan adik menderita kerugian ditangan mereka!“
To tin yg mendengar perkataan itu menjadi tertegun, lalu
serunya sambil mendengus:
“Nona, apa maksud perkataanmu itu?“
Cun hong Lengcu tertawa terkekeh-kekeh,
“Kalian berjumlah begitu banyak, padahal lawan yg hendak kalian
hadapi hanya seorang perempuan lemah, sesungguhnya kami
merasa amat tak puas dg tindakan kalian itu!“

“Kalau begitu kalian telah berubah pikiran?“ jengek To tin sambil
tertawa dingin.
“Bukan begitu maksud kami, asal kalian bersedia mengikuti
peraturan dunia persilatan dg pertarungan satu lawan satu, tentu
saja kami akan berpeluk tangan saja, kalau tidak, terpaksa kami
akan mengundang adik keluarga Kho untuk memasuki
perkampungan kami.“
“Apakah kami tak sanggup menyerbu kedalam perkampungan
kalian?“ seru To tin penasaran.
Sambil tertawa Hee im Lengcu Li Sian soat menyela:
“Bila kalian berani menyerbu kedalam perkampungan, urusan
menjadi lebih mudah utk diselesaikan, sebab kami pun tak usah
kuatir akan melanggar peraturan leluhur kami lagi!“
To tin segera tertawa seram.
Jilid 24
“Heeehh…heeehh…heeeehhh…sudah seumur hidup kami
mengembara didalam dunia persilatan, namun belum pernah
mendengar nama perkampungan Ciu hong san ceng kalian. Hmmm!
Kendatipun tempat ini sarang naga gua harimau, aku tetap akan
mencoba menyerbunya………….”
“Aku tidak berharap kalian mencoba perbuatan sebodoh itu” ujar
Cun hong Lengcu pelan “sebab aku kuatir tanah kami yang bersih
segera akan dinodai oleh percikan darah, tapi bila anda kelewat
memandang enteng kekuatan perkampungan kami, jelas perbuatan
tersebut merupakan perbuatan orang buta.”
Begitu selesai berkata, tiba-tiba dia mengibaskan ujung bajunya.
Dari balik dinding pekarangan segera bermunculan empat
puluhan orang jago, separuhnya adalah nona muda bergaun hijau
dan separuhnya lagi adalah kakek berpakaian ringkas.
Terdengar Cun hong Lengcu membentak lagi:
“Cin bu wi, coba demontrasikan kepandaianmu dihadapan
mereka!”
Seorang kakek berbaju hijau yang berada diatas dinding
pekarangan segera menyahut,
“akan kami laksanakan perintah nona!”
“Sreeeeet.............!“

Tampak kakek itu meloloskan sepasang pedang yang tersoren
dipunggungnya, lalu sambil membentak keras sepasang tangannya
diayunkan bersama kedepan.
Tampaklah kedua belah pedang tersebut berubah menjadi dua
jalur cahaya putih yang secepat sambaran petir meluncur kearah
dua batang pohon besar yang tumbuh lima kaki dari tempatnya
berada.
“Duuukkk!Duuuukkk...!“
Diiringi suara bentakan nyaring, mata pedang tahu-tahu sudah
menembusi batang pohon tersebut hingga tinggal gagang
pedangnya saja yang masih menongol diluar.
Untuk menembusi batang pohon dengan dua bilah pedang
sekaligus, paling tidak seseorang harus memiliki dasar tenaga dalam
sebesar enam puluh tahun hasil latihan, tak heran kalau kawanan
jago tersebut menjadi terperanjat dan berubah paras mukanya.
Si pedang emas berlengan baja termasyur dalam dunia persilatan
karena mengandalkan ilmu pedangnya, berarti kepandaiannya dalam
ilmu pedang terhitung cukup tangguh namun dihati kecilnya ia
mengerti bahwa kepandaian silat yang dimiliki anak buah dari
perkampungan Ciu hong san ceng tersebut jauh lebih tangguh dari
kemampuannya.
Mimpi pun dia tak mengira kalau perkampungan Ciu hong san
ceng yang belum pernah terdengar namanya dalam dunia persilatan
ini ternyata memiliki sekawanan jago yang berilmu sangat hebat,
peristiwa ini benar-benar berada diluar dugaannya, bila orang-orang
itu sampai bersekongkol dengan Kedele Maut, bukankah..........
Membayangkan kesemuanya itu diam-diam ia menjadi gelisah,
mendadak timbul sebuah akal dalam benaknya.
Padahal jalan pemikiran tersebut pun merupakan suatu tindakan
apa boleh buat, sebab ia berpendapat walaupun mereka turun
tangan seorang melawan seorang pun asal pihak perkampungan Ciu
hong san ceng tidak ikut campur dalam peristiwa ini, dengan sistem
pertarungan roda berputar, niscaya kekuatan tubuh yang dimiliki
Kedele Maut tersebut lambat laun akan terkuras habis, akhirnya
tidak akan sulit bagi mereka untuk menangkap hidup-hidup.
Berpendapat demikian, pikiran dan perasaan hatinya pun jauh
lebih terbuka, maka sambil tertawa terbahak-bahak katanya:
“Haaaahh......haaaahh......haaaah....sungguh tak kusangka
perkampungan kalian adalah sebuah sarang naga gua harimau, tapi

kalian tak perlu kuatir, aku telah mengambil keputusan untuk
bertindak sesuai dengan peraturan dunia persilatan, tapi dapatkah
pihak kalian memberi jaminan kalau orang-orangmu tak akan
mencampuri urusan ini?“
Cun hong Lengcu segera tertawa:
“Sekali perkataan kami telah diucapkan, biar ada seribu ekor
kuda pun tak akan sanggup utk menariknya kembali.“
“Bagus sekali, kami semua akan mundur sejauh sepuluh kaki
sebagai tanda hormat kami terhadap perkampungan kalian!“
Selesai berkata ia segera mengulapkan tangannya kearah para
jago, kemudian bergerak mundur sejauh sepuluh kaki lebih dulu.
Ketika dilihatnya kawanan jago lainnya masih nampak sangsi
untuk mengikuti petunjuknya, dengan ilmu menyampaikan suara
buru-buru To tin berkata:
“Dengan berbuat demikianlah kita baru bisa memotong jalan
mundur siluman perempuan itu, disaat pertarungan sudah berkobar
nanti, kita gencet kemuka dari dua sudut yang berlawanan,
kemudian hadapi di dengan sistem roda berputar, aku yakin siluman
perempuan itu tentu akan kehabisan tenaga dan akhirnya dapat kita
bekuk hidup-hidup!“
Setelah mendengar bisikan tersebut, kawanan jago tersebut baru
mengerti apa gerangan yang terjadi, tanpa terasa semangat mereka
makin berkobar.........
Sementara itu Cun hong Lengcu yang menyaksikan kawanan jago
tersebut sudah terpengaruh oleh hasutannya, diam-diam tertawa
geli.
Padahal kalau berbicara sejujurnya, andaikata bukan pihak
perkampungan Cui hong san ceng yang sengaja membocorkan
rahasia Kho Yang ciu ke tempat luaran, darimana kawanan jago
persilatan itu bisa mendapat kabar dan berbondong-bondong datang
kesana?
Dan sekarang mereka tidak menunjukkan reaksi apapun, kedua
belah pihak pun sama-sama tidak dibelanya, padahal yang mereka
harapkan justru adalah menonton dua harimau berkelahi sementara
mereka akan menjadi nelayan beruntung yang tinggal memungut
hasilnya.
Betapa tidak? Siapa saja yang kalah, sudah jelas memberikan
keuntungan bagi pihaknya.

Sementara itu Cun hong Lengcu telah berjalan mendekati Kho
Yan ciu, lalu katanya:
“Adik Kho, hanya sampai disini saja yang bisa kami perbuat
untukmu............maafkan kami!“
Waktu itu, bukan saja Kho Yang ciu tidak memahami rencana
busuk dari rekan-rekannya, malah sebaliknya dia merasa terharu dan
berterima kasih sekali, segera jawabnya:
“Cici berdua, apa yang bisa kalian lakukan demi diriku sudah lebih
dari cukup untukku, terima kasih banyak atas bantuan
kalian..............“
Li sian soat yang turut menghampirinya, segera berkata dengan
suara rendah:
“Adikku, kau harus berhati-hati, andaikata kau tak sanggup untuk
menahan diri lagi, cepatlah balik badan dan kabur kemari!“
Sambil tertawa Kho Yang ciu manggut-manggut:
“Tak usah kuatir, sebodoh-bodohku, rasanya tak akan segoblok
seperti apa kalian katakan, harap cici berdua legakan hati!“
Selesai berkata dia segera mempersiapkan sejata payung Thian lo
san nya kemudian berkelebat maju sejauh sepuluh kaki lebih dari
posisi semula, begitu sampai ditengah arena, ia segera menegur
sambil tertawa dingin:
“Heeehh....heehhh....siapakah diantara kalian yang hendak
memberi petunjuk lebih dulu.........?“
Seorang lelaki bercambang yang membawa sebuah golok besar
segera tampil kedepan, sahutnya dengan lantang:
“Aku si Golok setan bercambang baja ingin mencoba
kemampuanmu........“
“Oooh.......rupanya Sun tongkeh yang ingin mencoba sebutir
Kedele Maut ku.........bagus sekali, kau boleh pilih sendiri, ingin
mencari kemenangan dengan mengandalkan tenaga dalam ataukah
mencoba kedele maut ku saja?“
Begitu mendengar nama “Kedele” si Golok Setan Bercambang
Baaja Sun Pah, segera merasakan hatinya bergidik dan peluh dingin
jatuh bercucuran membasahi tubuhnya.
Namun ia tak mau unjuk kelemahannya dihadapan umum,
dengan suara menggeledek segera teriaknya:
“Hanya enghiong hohan yang mencari kemenangan dengan
mengandalkan kepandaian silatnya yang sejati!”

“Baik!” seru Kho Yang ciu sambil tertawa dingin, “kalau toh kau
sudah memilih jalan kematian sendiri, silahkan saja untuk maju
kesini!”
Golok Setan bercambang baja segera membentak keras,
goloknya dengan membawa deruan angin serangan yang maha
dahsyat segera menyapu ke muka.
Cahaya goloknya yang melingkar diangkasa segera membiaskan
sinar yang amat menyilaukanmata, diiringi desingan angin tajam
serangan tersebut langsung membacok kebadan Kho Yang ciu.
Melihat datangnya serangan tersebut, Kho Yang ciu tertawa lirih,
dengan gerakan seenak hatinya sendiri, dia memutar payung thian
lo san nya kebawah, kemudian menyongsong datangnya serangan
bacokan itu.
Buru-buru si Golok Setan bercambang baja menarik kembali
serangannya sambil berganti jurus, lagi-lagi dia membabat pinggang
lawannya.
Siapa sangka gerakan Kho Yang ciu kali ini masih setingkat lebih
cepat daripada serangannya, belum sempat golok tersebut
menyambar pinggang lawan, tahu-tahu senjata payung Thian lo san
gadis tersebut sudah menembusi dadanya.
Jeritan yang memilukan hati segera bergema memecah
keheningan, semburan darah segar membasahi seluruh dada dan
tubuh Golk Setan bercambang baja, Sun Pah.
Setelah mundur belasan langkah kebelakang dengan
sempoyongan, akhirnya ia roboh terjengkang ke atas tanah dan
tewas seketika itu juga.
Belum sampai satu gebrakan, dari pihak kawanan jago persilatan
sudah kehilangan seorang jago lihaynya, peristiwa ini tentu saja
amat menggusarkan hati To tin.
Dengan wajah hijau membesi, buru-buru serunya kepada
kawanan jago dengan ilmu menyampaikan suara:
“Cepat kalian terjun kearah musuh secara bergiliran, bila tak
sanggup menahan serangan siluman perempuan itu, gunakan suara
pekikan sebagai tanda, kami segera akan mengirim jago lain untuk
menggantikan kedudukan kalian.”
Dalam pada itu, Kho Yang ciu merasakan semangatnya berkobar
setelah dalam satu gebrakan berhasil meraih kemenangan, dengan
suara lantang segera teriaknya:

“Apakah masih ada diantara kalian yang ingin memberi
petunjuk?”
Sesosok bayangan manusia segera melompat keluar dari
kerumunan para jago, sambil melayang turun ditengah arena,
teriaknya keras-keras:
“Biar aku yang mencoba kepandaian sakti dari ilmu payung Thian
lo san!”
Ketika bayangan manusia itu sudah berdiri tegak, terlihatlah dia
adalah seorang pemuda yang berusia dua puluh lima tahunan,
wajahnya kelihatan cukup tampan.
Dengan suara dingin Kho Yang ciu segera menegur:
“Boleh aku tahu siapa namamu?”
“Aku Ki Liu si!”
Kho Yang ciu berpikir sebentar, katanya kemudian,
“Aku rasa dalam daftar hitamku tidak tercantum nama tersebut,
kuanjurkan kepadamu lebih baik mengundurkan diri saja secara
teratur, daripada akhirnya mati secara mengenaskan ! ”
Mendengar perkataan tersebut, Ki Liu si tertawa terbahak-bahak :
“Haaaahhh….haaaahhh……..haaahh……..bukankah sepasang
tangan nnona sudah penuh berlepotan darah ? mengapa secara
tiba-tiba kau menunjukkan belas kasihan ? sungguh suatu kejadian
yang aneh ”
Kho Yang ciu mendengus dingin :
“Hmmm….walaupun sudah banyak manusia yang kubunuh,
namun belum pernah kubunuh manusia yang tak berdosa ! ”
“Haaaahhh……..haaaahhh…….haaahhh……….kalau begitu anggap
saja aku sendiri yang mencari mati ! ”
Begitu selesai berkata, pedangnya langsung diayunkan kedepan
menyerang dada Kho Yang ciu.
“Kurang ajar ! ” seru Kho Yang ciu amat marah, “kalau toh pingin
mampus, jangan salahkan bila nonamu berhati kejam ! ”
Sambil memutar senjata payung thian lo san nya, dia sambut
kedatangan lawan.
“Criiiiingggg……… ! ”
Tatkala senjata payung Thian lo san dan pedang itu saling
bertemu satu sama lainya, segera terjadilah suara benturan keras
yang menyebabkan terjadinya percikan bunga api.

Sambil miringkan badan Ki Liu si segera mundur setengah
langkah kebelakang, ia merasakan pergelangan tangannya
kesemutan.
Sebaliknya sepasang bahu Kho Yang ciu pun nampak bergoncang
keras, tak tahan lagi serunya :
“Wah hebat juga tenaga dalammu ! ”
Rasakan dulu sebuah tusukanku ini…. ! ” teriak Ki Liu si lagi
dengan seuara keras.
Pedangnya segera diputar membentuk tiga kuntum bunga
pedang, lalu dalam komposisi segi tiga, ia langsung menyergap
kemuka dengan sangat hebatnya.
Paras muka Kho Yang ciu waktu itu sudah berubah menjadi
dingin bagaikan es, tiba-tiba saja senjata payung Thian lo san nya
dipergunakan bagaikan senjata pedang dengan jurus ”Cahaya tajam
lintasan bayangan”, dia sapu tubuh lawan dari sisi kiri langsung
mengancam lengan kanan Ki Liu si.
Walaupun Ki liu si sendiripun dapat merasakan betapa lihainya
jurus serangan tersebut, sayang sekali keadaan sudah terlambat,
sebab jurus serangan dari Kho Yang ciu memang kelewat aneh dan
sakti.
Ki Liu si sudah tak sempat lagi menarik serangannya sambil
menanggapi ancaman yang datang, tak ampun seperti nasib yang
dialami si Golok setan bercambang baja, terdengar suara sambaran
serangan jurus dari Kho Yang ciu yang sangat aneh dan sakti itu , Ki
Liu si dengan tiba-tiba menjejakkan kakinya, lalu mengundurkan diri
dari serangan Kho Yang ciu yang sangat hebat itu.
Tak lama kemudian Kho Yang ciu menyerang jago kedua dari
kawanan orang jago dunia persilatan itu dengan menggunakan jurus
“Cahaya tajam lintasan bayangan” dia sapu tubuh musuhnya
tersebut.
Dengan tidak dapat menahan serangan dari Kho Yang ciu itu,
maka Ki Liu si, jago kedua itu menggeletak dengan badan yang
bermandikan darah.
Dengan kematian dua orang jago pedang secara beruntun,
kawanan jago dari dunia persilatan mulai dibikin keder dan bergidik.
Kho Yang ciu memperhatikan sekejap sekeliling arena, lalu sambil
tertawa dingin serunya:
“Heeehhh……heeeehhh……….heeeehhh…..orang she To, kau tak
usah menyuruh orang lain datang menghantar kematian lagi, kali ini

nonamu ingin sekali mencoba kehebatan sepasang pedang
berlengan baja mu, beranikah kau menerima tantangan ini?”
Si pedang emas berlengan baja To tin segera merasakan hatinya
bergetar keras sesudah mendengar seruan tersebut.
Ia sama sekali tidak menyangka kalau Kho Yang ciu bakal
menantangnya secara terang-terangan, hal inilah yang membuat
hatinya terperanjat sekali.
Sebagai pimpinan dari rombongan para jago dunia persilatan,
sudah barang tentu dia tak ingin menunjukkan kelemahan sendiri
dihadapan umum, karenanya sambil sengaja tertawa tergelak,
katanya kemudian:
“Haaah…haaahh…..haaaahhh….bagus sekali, aku memang ingin
mencoba sampai dimanakah kelihaian serta keampuhan ilmu payung
Thian lo san mu itu, meski nona tidak menantangku untuk
bertarung, sudah sejak tadi tanganku terasa gatal untuk mencoba
keampuhanmu.”
Dengan suatu gerakan yang sangat ringan, dia melejit keudara
dan melayang turun beberapa kaki dihadapan Kho Yang ciu, dan
pada saat bersamaan dia meloloskan sepasang pedangnya yang
berkilauan tajam ditangan, diapun membentak keras:
“Nah, silahkan nona memberi petunjuk!”
Kho Yang ciu tertawa dingin, katanya :
“Kau sendiri kelewat tinggi menilai kemampuanmu sendiri,
hmmmm! Bagiku, bertarung melawan manusia macam kau tak perlu
berebut melancarkan serangan, kalau bukan demikian, kemana
mesti kutaruh selembar wajahku ini dalam pengembaraanku dalam
dunia persilatan?”
“Kau betul-betul kelewat sombong!” teriak To tin dengan
perasaan amat mendongkol.
Sepasang pedangnya segera diputar menciptakan selapis cahaya
pedang yang amat menyilaukan mata, lalu dengan jurus “Sepasang
naga berebut mutiara” dia langsung menyerang tubuh gadis
tersebut.
Kho Yang ciu tertawa dingin, payung Thian lo san nya
dipentangkan lebar-lebar, dalam waktu singkat kawasan seluas
berapa kaki sudah diliputi cahaya keperak-perakan yang
menyilaukan mata, seluruh serangan gencar dari To tin seketika
terbendung sama sekali.

To tin yang melancarkan tusukan dengan sepasang pedangnya
segera merasakan serangan tersebut seakan-akan sudah membentur
diatas sebuah dinding baja yang sangat kuat, pergelangan
tangannya menjadi tergetar, sampai lamat-lamat terasa sakit dan
kesemutan, hampir saja pedangnya terlepas dari cekalan tangannya.
Sementara itu Kho Yang ciu telah memutar kembali senjata
payung Thian lo san nya sambil tertawa terkekeh-kekeh, jengeknya :
“Heeeeeehh……heeeeeeeehhh……heeeehhh…..dengan
mengandalkan sedikit kepandaian seperti ini pun kau mencoba untuk
memimpin umat persilatan? Huuuh……….masih ketinggalan jauh!”
Merah padam selembar wajah To tin karena jengah, sambil
menggertak gigi menahan gejolak emosi, teriaknya keras-keras:
“Hey perempuan siluman! Kau jangan tekebur dulu, rasakan
sebuah tusukan pedangku ini!”
Sambil mendesak maju kemuka, sepasang pedangnya
melancarkan tusukan mendatar ke tubuh lawan.
Kho Yang ciu menggunakan payungnya menggantikan pedang,
dengan jurus “Malaikat langit menyembahkan hidangan”, terlihat
sinar keperak-perakan menyebar keudara dan mengurung diatas
cahaya pedang dari si Pedang emas berlengan baja To tin serta
menyumbat gerakannya sama sekali.
Sebagai seorang jagoan yang termasyur didalam dunia persilatan
karena permainan ilmu pedangnya, tentu saja si Pedang Emas
berlengan baja dapat melihat pula bahwa jurus serangan yang
digunakan Kho Yang ciu adalah jurus pedang.
Kendatipun demikian, teryata ia tak mampu untuk meraba jurus
serangan macam apakah yang telah dipakai lawannya untuk
menciptakan lapisan cahaya perak yang begitu menyilaukan mata
serta menyumbat seluruh gerak serangannya itu.
Dalam terkejut dan gugupnya, buru-buru dia mengeluarkan jurus
“Rombongan burung terbang melintas”, maksudnya dia hendak
melindungi keselamatan tubuh sendiri dengan lapisan cahaya
pedangnya yang tebal.
Tapi sayang, jurus pedang dari Kho Yang ciu itu justru memiliki
keistimewaan lain,
“Criiiiingggggg………!”
Terdengar suara dentingan nyaring bergema memecahkan
keheningan, ternyata pedang emas ditangan To tin telah saling
beradu keras dengan payung Thian lo san dari Kho Yang ciu.

Tak ampun lagi To tin merasakan lengan kanannya sakit sekali
bagaikan patah, bersamaan waktunya pedang emas dalam
cekalannya tak sanggup dipertahankan lebih jauh dan segera
melesat ketengah udara lalu jatuh dua kaki dari posisi semula.
Dalam terkejutnya, buru-buru dia memutar pedang kirinya untuk
melindungi badan, sementara tubuhnya bergerak mundur dengan
cepat untuk menyelamatkan diri.
Tentu saja Kho Yang ciu tidak memberikan kesempatan kepada
lawannya untuk melarikan diri dari cengkeramannya, sekali lagi
terjadi suara dentingan nyaring yang amat memekakkan telinga.
“Criiiiiiiingggg……….!”
Lagi-lagi Thian lo san nya menghajar pedang kiri To tin hingga
mencelat dari cekalannya.
Dengan kehilangan sepasang pedangnya, maka pertahanan dada
To tin pun menjadi terbuka sama sekali, dengan cepat payung Thian
lo san menerobos masuk kedalam dan menguasai beberapa buah
jalan darahnya.
Perubahan situasi ini berlangsung amat cepat, meski diantara
kelima puluh jago persilatan yang berada disisi arena ada yang
berniat terjun untuk menggantikan kedudukan To tin, namun tak
seorangpun diantara mereka yang sempat berbuat demikian.
Dalam waktu singkat, tubuh To tin sudah terkurung dibawah
ujung payung Thian lo san dari Kho Yang ciu itu.
Betapa pun lihai dan ampuhnya kepandaian silat yang dimiliki
pemimpin dunia persilatan untuk kawasan Kanglam ini, bukti
mengatakan bahwa dia sendiripun hanya mampu bertahan sebanyak
dua jurus saja.
Sambil tertawa dingin Kho Yang ciu segera berkata:
“Hey orang she To! Kau sudah menyerah, bukan?”
To tin memejamkan matanya rapat-rapat, sambil menggertak gigi
serunya lantang:
“Kau boleh segera turun tangan!”
Kho Yang ciu tertawa hambar, dia tak langsung turun tangan,
tapi ujarnya pelan:
“Berhubung kau adalah pemimpin dari rombongan tersebut,
maka aku belum turun tangan, ada beberapa pertanyaan yang ingin
kuajukan kepadamu lebih dulu.”

“Tanyakan saja!” ucap To tin sambil membuka matanya kembali,
“asal dapat kujawab tentu akan kujawab secara baik-baik, tapi bila
tak bisa kujawab, sekalipun kau tanyakan juga tak berguna.”
Kho Yang ciu memutar biji matanya sambil mengawasi wajah
orang itu sekejap, setelah itu tanyanya:
“Dalam peristiwa berdarah diperkampungan Hui im ceng tempo
dulu, apakah kau pun ikut ambil bagian?”
“Bukankah kau sudah mempunyai sebuah daftar hitam? Kenapa
pertanyaan ini mesti diajukan kembali kepadaku?” shut To tin
dengan suara dalam.
“Daftar hitamku tak dapat dipercayai seratus persen, paling tidak
masih banyak nama yang belum tercantum dalam daftar tersebut,
oleh karena itu kuharap kau bisa memberikan jawaban yang
meyakinkan kepadaku.”
To tin segera mendengus dingin:
“Hmmm…..pertanyaan tersebut tak bisa kujawab!”
“Kenapa?” tanya Kho Yang ciu gusar.
Dengan wajah serius To tin berkata:
“aku secara khusus menghubungi rekan-rekan persilatan untuk
datang kemari bersama tujuannya tak lain adalah membasmi si
kedele maut dari muka bumi serta menghilangkan bibit bencana bagi
umat persilatan pada umumnya, sekarang aku gagal dengan
tujuanku, berarti biar mati pun tak perlu kusesali, jika sekarang
kuakui kalau diriku tidak terlibat dalam persitiwa berdarah di
perkampungan Hui im ceng tempo hari, bukankah tindakanku ini
sama artinya dengan tindakan pengecut yang takut mati……….?”
“Ooooh…..jadi kalau begitu kau tidak erasa takut untuk
menghadapi kematian?” jengek Kho Yang ciu sambil tertawa dingin.
“Sudah semenjak permulaan aku tidak memikirkan soal hidup
matiku!”
Kembali Kho Yang ciu mendengus:
“Hmmmm…..kalau memang begitu terpaksa aku harus memenuhi
pengharapanmu itu!”
Payung Thian lo san segera digetarkan dan siap utnuk
menembusi tubuh rang tersebut.
Disaat yang amat kritis inilah, tiba-tiba terdengar seseorang
berteriak keras:
“Tunggu sebentar!”

Menyusul teriakan itu, tampak seorang pendeta tua berbaju
kuning telah meluncur datang dengan kecepatan luar biasa.
Pendeta tua ini tidak termasuk didalam rombongan kawanan jago
persilatan itu, ternyata dia tak lain adalah Cok cuncu dari Siau lim si.
Lima sesepuh panca unsur dari Siau lim si memang merupakan
jago-jago yang bernama besar dan termasyur dalam dunia
persilatan, tak sedikit diantara para jago yang kenal dengan pendeta
agung dari Siau lim pay ini, sehingga dalam waktu singkat suasana
dalam arena berubah menjadi amat hening, sepi dan tak kedengaran
sedikit suara pun.
Begitu melayang turun ditengah arena, pendeta itu segera
berseru memuji keagungan Buddha, sambil katanya :
“Omitohud……ternyata kedatanganku toh masih terlambat satu
langkah, sudah ada korban yang kehilangan nyawa disini!”
Waktu itu, meskipun Kho Yang ciu tidak melanjutkan gerakan
payung Thian lo san nya untuk membunuh To tin yang telah
kehilangan kemampuan untuk melawan, tapi sambil mendengus
dingin segera tegurnya :
“Siapa kau?”
“Aku adalah Bok cuncu dari Siau lim pay!”
“Heeeeehhh……heeeeehh……heeeehhhh…….sebetulnya nona ada
minat untuk menyerbu Siau lim si dan mencuci tanah disitu dengan
darah kalian, sayang hingga sekarang belum ada waktu luang, kalau
toh kau datang lebih dulu untuk menghantar kematian, tentu saja
nona akan mengabulkan permintaanmu itu.”
Buru-buru Bok cuncu menggoyangkan tangannya berulang kali
seraya berseru:
“Kedatanganku pada hari ini sama sekali bukan bermaksud untuk
berkelahi denganmu!”
“Hmmmmm….lantas mau apa kau datang kemari?” dengus Kho
Yang ciu dingin.
Bok cuncu memperhatikan sekejap situasi disana, lalu katanya :
“Bersediakah Li sicu untuk membebaskan To lo sicu lebih
dahulu…..”
Kho Yang ciu termenung sambil berpikir sejenak, lalu katanya :
“Baiklah, mencabut nyawa kalian toh sama gampangnya dengan
membalik telapak tangan sendiri, biar kubebaskan orang ini lebih
dulu, bila aku masih menginginkan nyawanya, nantipun masih bisa
kulakukan secara gampang……..”

Sambil menarik kembali payung Thian lo san, dia segera
mengundurkan diri sejauh satu kaki dari posisi semula.
Si pedang emas berlengan baja To tin yang lolos dari kematian,
buru-buru memberi hormat kepada Bok cuncu seraya berkata:
“Terima kasih banyak atas bantuan dari Lo siansu, tapi tahukah lo
siansu siapa gerangan perempuan itu?”
Bok cuncu tersenyum :
“Bukankah dia adalah puteri dari Kho Bun sin, kepala kampung
dari perkampungan Hui im ceng tempo dulu, atau yang lebih dikenal
dalam dunia persilatan sebagai si Kedele Maut? Lolap mengetahui
persoalan ini dengan amat jelas”
“Kalau toh lo siansu sudah mengetahui tentang persoalan ini,
kenapa kau…..”
Sebelum perkataan dari To tin selesai diucapkan, bok cuncu telah
menukas dengan cepat :
“Tampaknya To lo sicu masih belum mendengar tentang
peristiwa dilembah hati Buddha, kini si hwesio daging anjing serta
Kho Beng telah tampilkan diri, maka sebelum duduknya persoalan
dibikin jelas, kedua belah pihak dilarang melakukan bentrokan serta
pertempuran berdarah lagi.”
“Akupun telah menerima surat pemberitahuan dari Kho Beng, tapi
yatanya si Kedele Maut masih tetap meneruskan ulahnya dengan
menyebarkan maut didalam dunia persilatan.”
“Yaa…..didalam hal ini aku sendiripun merasa sangat menyesal!”
kata Bok cuncu sambil manggut-manggut.
Bebicara sampai disini, dia segera berpaling kearah Kho Yang ciu,
sambil katanya lebih jauh:
“Apakah nona Kho pernah bertemu dengan adikmu?”
“Pernah!” jawab si nona ketus.
“Setelah bertemu muka, aku rasa adikmu pasti telah
menyinggung pula masalah pemberitahuannya kepada seluruh umat
persilatan. Nona, apakah kaupun bersedia mengikat janji dengan
lolap untuk sementara waktu diadakan gencatan senjata sampai
duduk persoalan yang sebenarnya dimasa lalu terungkap sama
sekali?”
“Hmmmm…..apakah kau bisa mengambil keputusan?” dengus
Kho Yang ciu dingin.
Dengan wajah bersungguh-sungguh, Bok cuncu berkata:

“aku memang tak bisa mengambil keputusan, tapi sekembalinya
dari sini lolap akan segera melaporkan peristiwa ini kepada ketua
kami, lalu atas nama ketua kamilah akan disebarkan surat
pemberitahuan keseluruh partai dan perguruan yang ada untuk
mengebarkan gencatan senjata ini, nah bagaimana pendapatmu?”
Kemudian setelah berhenti sejenak, diam engalihkan sorot
matanya dan memperhatikan sekejap To tin beserta kawan-kawan
persilatannya, kemudian menyambung lebih jauh:
“Walaupun umat persilatan berjumlah banyak sekali didunia ini,
aku rasa belum ada seorangpun yang berani melanggar keputusan
dari tujuh partai besar!”
To tin beserta segenap jago persilatan serentak terbungkam
dengan kepala tertunduk, setelah mendengar ucapan itu.
“Omitohud………” kembali Bok cuncu berkata, “bagaimana nona
Kho……?”
“Baik, aku bersedia mengabulkan permintaanmu itu” kata Kho
Yang ciu kemudian dengan suara dingin, “tapi disaat kau telah
selesai dengan penyelidikanmu itu, maka setiap orang yang terlibat
didalam peristiwa pembantaian berdarah diperkampungan Hui im
ceng tempo dulu harus mempertanggung jawabkan perbuatannya,
aku tak akan membiarkan seorang pun diantara mereka yang
berhasil meloloskan diri.”
“Omitohud.......kalau soal itu mah merupakan urusan dikemudian
hari, yang kujanjikan dengan nona adalah masa sebelum duduknya
persoalan menjadi jelas........”
Kho Yang ciu mendengus dingin:
“Hmmmmm........aku telah menyanggupi permintaan kalian,
sekarang kalian semua boleh pergi dari sini!”
Bok Cuncu tidak langsung pergi, ia nampak termenung sebentar,
kemudian katanya lagi:
“Aku perlu memberitahukan pula satu persoalan kepada nona,
yang harus dicari oleh nona sebetulnya adalah Dewi In nu, sebelum
orang tersebut berhasil ditemukan, duduknya persoalan pun jangan
harap bisa menjadi terang untuk selamanya.”
“Soal ini aku cukup mengerti, rasanya lo siansu tak usah banyak
berbicara lagi.”
“Omitohud.....kalau toh begitu, biar lolap segera mohon diri lebih
dahulu.........”
Kemudian kepada To tin sekalian, katanya pula :

“Saudara sekalianpun boleh pergi dari sini!”
Selesai berkata, tampak bayangan kuning berkelebat lewat,
pendeta itu sudah beranjak meninggalkan tempat tersebut.
Kho Yang ciu hanya tertawa dingin tiada hentinya, ia sama sekali
tidak mengucapkan sepatah katapun.
Si pedang emas berlengan baja segera mengawasi sekejap anak
buahnya, kemudian serunya pula :
“Hayo berangkat!”
Dari rombongan para jago segera muncul empat orang untuk
membopong kedua sosok jenasah yang tergeletak ditanah,
kemudian buru-buru berlalu dari situ.
Dalam waktu singkat bayangan tubuh mereka sudah lenyap
dibalik pepohonan sana.
Menanti para jago sudah pergi jauh, Li Sian soat baru
menghampiri gadis tersebut seraya berseru :
“Adik Kho, kau betul-betul hebat dan perkasa, kali ini kau telah
membuat mereka mati kutu!“
“Andaikata pendeta tua dari siau kim pay itu tidak muncul tepat
waktunya, aku tak akan membiarkan kelima puluhan orang jago
tersebut pulang dalam keadaan utuh!” jawab Kho Yang ciu bangga.
Cun hong Lengcu, Jiu cun segera tertawa misterius, ucapnya :
“Hayo cepat siapkan perjamuan, kita harus merayakan
kemenangan dari adik Kho sebaik-baiknya.”
“Cici berdua, kalian sudah bersikap begitu baik kepadaku,
kesemuanya ini membuat siaumoy merasa berterima kasih
sekali…….” Buru-buru Kho Yang ciu berseru.
Kembali Cun hong Lengcu tertawa manis,
“Kita sesama saudara sendiri, buat apa kau mesti bersungkansungkan……?”
Maka rombongan gadis itupun kembali keperkampungan Ciu
hong san ceng dan langsung menuju keruang tengah.
Tak selang berapa saat kemdian, meja perjamuan telah
dipersiapkan ditengah ruangan, Li Sian soat segera turun tangan
sendiri untuk memenuhi cawan Kho Yang ciu dengan arak.
Setelah perjamuan berlangsung sampai setengah jalan, tiba-tiba
Kho Yang ciu bangkit berdiri sambil mengangkat cawan araknya, lalu
ia berkata pelan:
“Siaumoy ingin mempergunakan kesempatan yang sangat baik ini
untuk menghormati cici berdua dengan secawan arak!”

“Aaaaah…kita kan sesama saudara sendiri, tak usahlah memakai
segala adat lagi…….”seru Cun hong Lengcu tertawa.
“Tidak! Cici berdua harus menghabiskan isi cawan ini, sebab
setelah itu aku hendak menyampaikan sesuatu.”
Cun hong Lengcu segera melemparkan sebuah kerlingan mata
kepada Li Sian soat, setelah itu mereka berdua angkat cawan
bersama-sama, seraya berkata:
“Kalau memang begitu, biarlah kami berdua menerima
penghormatan ini……..”
Dengan cepat mereka berdua meneguk habis isi cawan tersebut.
Sambil meletakkan kembali cawan araknya kemeja, Cun hong
Lengcu berkata kemudian:
“Adik Kho, bila kau hendak menyampaikan sesuatu, sekarang
dapat kau utarakan keluar.”
“sudah kelewat lama siaumoy berdiam bersama cici berdua,
terima kasih banyak untuk pelayanan kalian yang begitu bagik
selama ini, tapi siaumoy tak mungkin bisa berdiam terlalu lama lagi
disini, oleh sebab itulah menggunakan kesempatan yang sangat baik
ini, aku ingin memohon diri kepada cici berdua.”
“Adik Kho…hubungan persahabatan diantara kita cukup akrab,
pergaulan kitapun berlangsung begitu hangat dan erat, mengapa
kau mengucapkan kata-kata seperti itu?” seru Li Sian soat dengan
kening berkerut.
“Sesungguhnya siaumoy sendiripun merasa ebrat hati untuk
berpisah dengan cici berdua, tapi mumpung sekarang ada
kesempatan yang sangat baik bagiku untuk berkunjung
keperkampungan Hui im ceng, pertama aku ingin pulang kampung
untuk berjiarah didepan makam kedua orang tuaku, kedua akupun
ingin meneruskan usaha ayahku almarhum untuk membangun
kembali kejayaan perkampungan Hui im ceng, sebab saat ini dunia
persilatan akan menjadi tentram untuk sementara waktu dan
mustahil akan terjadi keributan lagi……..”
Missing page 40-47
……keselamatan jiwaku menjadi berbahaya sekali?”

“Soal ini tak perlu kau kuatirkan adikku, biar langit ambruk
punkami akan berusaha menanggulanginya bagimu, apalagi yang
mesti kau takuti….?”
Kho Yang ciu menggeleng:
“Bukannya aku merasa takut, tapi……..hatiku merasa amat tak
tenang…….”
Mendadak Li Sian soat bertepuk tangan seraya berseru :
“Aaaaai betul…….aku sudah memperoleh sebuah cara yang bagus
sekali untuk mengatasi kesulitan ini!”
“Apakah caramu itu?”
“Kami mempunyai sebuah pesanggrahan lain dengan panorama
yang indah sekali, aku rasa tempat itu cocok sekali bagimu untuk
merawat penyakit yang kau derita, mari kita berangkat kesana dan
tinggal barang dua tiga bulan disana, sampai waktunya pasti
penyakitmua akan sembuh dengan sendirinya……..”
“Pesanggrahanmu itu terletak dimana?”
“Diatas puncak bukit Cian san, letaknya jauh lebih bagus dan
indah ketimbang tepat ini!”
Kho Yang ciu segera menghela napas:
“Bagusnya memang bagus…….Cuma……”
“Sudahlah, kau tak usah berbicara lagi” tukas Li Sian soat sambil
menutup bibirnya, “kecuali kau memang asing terhadap kami.”
“Ooooh cici, kau……kau benar-benar kelewat baik kepadaku!”
bisik Kho Yang ciu dengan perasaan sangat terharu.
Maka keesokan harinya muncullah tiga buah tandu meninggalkan
perkampungan Ciu hong san ceng dan langsung berangkat menuju
kepuncak bukit cian san, selain mereka tampak pula belasan orang
dayang beserta kakek dari marga Tia itu mengiringi dibelakang
mereka.
Dengan keberangkatan rombongan besar tersebut, maka suasana
diperkampungan Ciu hong san ceng pun dicekam dalam keheningan
dan suasana sepi yang luar biasa.
Menjelang senja itu tampak, tampak ada dua orang nona berbaju
putih yang tergesa-gesa menuju keperkampungan itu, kedua orang
tersebut tak lain adalah dayang kepercayaan Kho Yang ciu, yaitu Sia
hong serta Bwee hiong…….
Sampai lama sekali kedua orang itu menggedor pintu sebelum
muncul seorang dayang berbaju hijau yang membukakan pintu.

Begitu bertemu dengan kedua orang tersebut, tanpa terasa lagi
dayang berbaju hijau itu menggerutu :
“Mengapa kalian baru kembali pada saat ini? Huuuuh…..sudah
cukup lama kami menantikan kedatangan kalian.”
Dayang berbaju hijau itu tak lain adalah dayang kepercayaan Cun
hong Lengcu, yakni Sian kim.
Buru-buru Sia hong berkata :
“Enci Sian kim, sebenarnya apa yang telah terjadi? Mengapa
suasana disalam maupun diluar perkampungan nampak lenggang
dan sepi?”
“Mereka semua telah pergi, coba kalau bukan untuk menunggu
kalian, mungkin aku pun sudah pergi sedari tadi!”
“Mereka telah pergi kemana? Mana nona kami?” tanya Bwee
hiang sangat terkejut.
“Tentu saja nona kalian pun ikut pergi dari sini.” Kata Sian kim.
Kemudian setelah berhenti sebentar, kembali ia menambahkan:
“Mari kita segera berangkat, hari hampir gelap, meski perjalanan
tidak terhitung jauh, namun jalan setapak yang dilalui susah sekali
untuk dilewati!”
Selesai berkata, diapun balik kembali kedalam perkampungan.
Tapi tak lama kemudian ia muncul lagi dedepan pintu sambil
membawa sebuah papan nama.
Mula-mula pintu gerbang perkampungan ditutup rapat lebih dulu,
kemudian papan tersebut baru dipakukan diatasnya.
Sewaktu Sia hong dan Bwee hiang memperhatikan tulisan diatas
papan tadi, maka terbacalah beberapa kata yang berbunyi:
“Pemilik perkampungan ini sedang berpesiar keluar daerah,
setahun kemudian baru pulang kembali.”
Dibawahnya dicantumkan tahun dan bulan yang dimaksud.
Selesai memaku tulisan tersebut, Sian kim baru berpaling dan
berkata sambil tertawa :
“Sekarang kita harus segera beangkat!”
Sia hong dan Bwee hiang merasa canggung untuk bertanya lebih
jauh, tanpa bertanya lagi berangkatlah mereka bertiga menuju
kearah puncak bukit tersebut.
oooOOooo

Tak lama setelah kepergian ketiga orang itu, dimuka
perkampungan Ciu hong san ceng kembali muncul dua sosok
bayangan manusia.
Menanti kedua orang itu sudah tiba dimuka perkampungan, baru
terlihat jelas paras muka mereka sebenarnya, ternyata mereka
adalah Kho Beng serta Chin sian kun.
Sewaktu membaca isi pengumuman didepan pintu gerbang
perkampungan itu, Kho Beng kelihatan agak tertegun, lalu
gumamnya :
“Berpesiar keluar daerah, setahun kemudian baru pulang
kembali.......?”
Tapi setelah meneliti bulan dan hari yang tercantum
dibelakangnya, ternyata menunjukkan hari ini, tanpa terasa lagi dia
menghentakkan kakinya keatas tanah seraya berseru:
“Aduh, celaka.....!”
Dengan kening berkerut, Chin Sian kun berkata :
“Mungkin saja apa yang mereka perbuat sekarang Cuma
sebagian dari siasat licik mereka, siapa tahu sesungguhnya mereka
tak pernah meninggalkan tempat ini? Mari kita lakukan pemeriksaan
yang seksama disekeliling perkampungan ini!“
Kho Beng mengangguk :
“Pemeriksaan mah tentu harus dilakukan........“
Sambil berkata ia segera melejit keatas dinding pekarangan,
diikuti Chin Sian kun dari belakang.
Namun suasana dalam perkampungan itu gelap gulita tanpa
setitik cahaya pun, meski mereka berdua sudah melakukan
pemeriksaan yang seksama, atap, setiap halaman dan ruangan yang
ada. Namun semua pintu kamar ditemukan berada dalam keadaan
terkunci, memang tak seorang manusia pun yang nampak disitu.
Kembali Kho Beng menghentakkan kakinya sambil menggerutu :
“Huuuuuhh......kesemuanya ini gara-gara tenaga dalamku tak
bisa pulih kembali dalam waktu cepat, akibatnya mereka berhasil
kabur dari sini.......“
“Marilah kita lakukan pencarian secara pelan-pelan“ hibur Chin
sian kun, “masa kita takut mereka bisa kabur keujung langit.”
“Aaaai.....keselamatan enciku masih berada ditangan mereka, aku
amat mengkuatirkan keselamatannya.“
Chin Sian kun turut menghela napas sedih, katanya pula :

“Biasanya orang baik selalu dilindungi Thian, meski gelisah pun
rasanya tak ada gunanya!“
Tatkala seluruh perkampungan Ciu hong san ceng telah selesai
diperiksa dan mereka mendapatkan kenyataan bahwa
perkampungan tersebut benar-benar sudah tak berpenghuni lagi,
terpaksa kedua orang tersebut harus mengundurkan diri dari
perkampungan itu.
“Sekarang apa yang harus kita lakukan?“ tanya Chin Sian kun
kemudian dengan wajah sedih.
“Selain terburu-buru ingin melacak jejak enciku, masih ada dua
persoalan lagi yang harus kukerjakan, pertama turun kekaki bukit
untuk mencari Molim sekalian berempat, dan kedua berangkat ke
siau lim pay untuk membebaskan ketua Sam gian bun“
“Pergi ke Siau lim si?“
“Aaaai........“ Kho Beng menghela napas panjang, “Aku telah
menyanggupi permintaan dari Cho Lui san, anak murid Sam goan
bun itu untuk berangkat ke siau lim si dan menolong ketuanya Sun
thian hong dari sekapan, Bagaimanapun juga aku toh mesti
melaksanakan janji ini!“
“Aku lihat persoalan ini bukan suatu pekerjaan yang gampang“
kata Chin sian kun dengan kening berkerut, “pihak siau lim pay
mempunyai banyak jago lihai yang tak terhitung jumlahnya, kita tak
boleh memandang enteng kekuatan mereka, selain itu setelah ketua
siau lim pay berani menyekap ketua Sam goan bun dalam kuilnya,
aku yakin dia tak akan membebaskannya hanya disebabkan sepatah
dua patah katamu.“
“Yaaa....entah apa pun yang bakal terjadi, setelah kusanggupi
permintaan mereka, paling tidak tugas tersebut harus dilaksanakan“
ujar Kho Beng dengan wajah serius.
Mendadak terdengar suara seseorang yang amat nyaring
menyambung ucapan tersebut.
“Padahal persoalan tersebut mudah dalam penyelesaiannya,
serahkan saja kepadaku untuk membereskannya!”
Tampak sesosok bayangan kuning berkelebat lewat, tahu-tahu
seorang pendeta tua berwajah anggun telah melayang turun tepat
sihadapan mereka.
Ketika diamati lagi dengan seksama, ternyata pendeta tersebut
tak lain adalah Bok cuncu, salah seorang diantara lima sesepuh lima
unsur dari Siau lim pay.

Kho Beng segera mendengus dingin, tegurnya :
“Hmmm……sebagai seorang pendeta agung dari siau lim pay,
mengapa kau sadap pembicaraan kami?”
“Omitohud!” Bok Cuncu segera berbisik memuji keagungan
Buddha, hampir setengah harian aku berada ditempat ini, toh
sewaktu sicu berbincang-bincang tadi, lolap tak bisa menyumbat
telingan sendiri untuk tidak ikut mendengar……”
“Lo siansu, mengapa kau berada disini sampai setengah harian
lamanya?” seru Kho Beng keheranan.
Kembali Bok cuncu berbisik memuji keagungan Buddha,
kemudian sambil menunjuk kedepan, katanya :
“Noda darah yang berceceran disini belum lagi mengering,
kemarin encimu telah membunuh dua orang lagi disini”
“Lo siansu, terus terang saja kukatakan, akupun sedang mencari
jejak enciku, sebab aku perlu memberi penjelasan kepadanya bahwa
untuk sementara waktu semua pertumpahan darah harus
dihentikan……..”
“Dalam peristiwa yang terjadi kemarin, sebetulnya kesalahan
bukan terletak pada cicimu.” Tukas Bok cuncu cepat.
“Sungguh aneh” Kho Beng segera menjengek sambil tertawa
dingin, “mengapa lo siansu ustru membelai si Kedele Maut?”
Dengan wajah serius Bok cuncu berkata :
“Bila hatiku condong kesalah satu pihak dan tak mampu berlaku
adil, mungkin Buddha sudah lama meninggalkan aku. Betul cicimu
sudah banyak menyebarkan maut dalam dunia persilatan, banyak
sudah korban jiwa yang tewas oleh kedele maut nya, tapi setelah
ada perjanjian dipihak kita semua untuk menunda semua
perselisihan dan pertumpahan darah sampai duduknya persoalan
menjadi jelas, sudah barang tentu kedua belah pihak harus menepati
janji tersebut dengan sebaik-baiknya.“
Kemudian setelah memperhatikan sekejap sekeliling tempat itu,
katanya lebih jauh:
“Yang menghasut umat persilatan untuk melakukan penyerbuan
berdarah kemarin adalah si pedang emas berlengan baja to tin,
seorang pentolan dunia persilatan dari kawasan Kanglam, ia telah
datang kemari bersama lima puluh orang jago-jago Kanglam, oleh
sebabitulah aku menilai bahwa dalam peristiwa kemarin, cicimu tak
dapat disalahkan........“
Kho Beng berpikir sejenak, kemudian katanya :

“Tadi Lo siansu bilang sudah hampir setengah harian lamanya
kau berada disini, tentunya Lo siansu tahu bukan kemana perginya
orang-orang dari perkampungan Ciu hong san ceng ini.“
Bok Cuncu menggeleng,
“Biarpun aku melihat mereka pergi meninggalkan tempat ini, tapi
tidak kuketahui kemanakah mereka telah pergi?“
„Lo siansu, seharusnya kau buntuti mereka“ seru Kho Beng
dengan kening berkerut.
Merah jengah selembar wajah Bok cuncu, serunya berulang kali :
“Waaah....dosa....dosa...aku adalah seorang pendeta yang jauh
dari keramaian keduniawian, masa seorang hwesio disuruh
menguntil berapa orang gadis muda? Apa jadinya kalau perbuatanku
itu sampai ketahuan mereka? Bisa hilang mukaku ini.......“
“Apakah Lo siansu juga tidak mendengar hendak kemanakah
mereka akan pergi?“ tanya Kho Beng lebih jauh sambil
menghentakkan kakinya keatas tanah.
Kali ini Bok Cuncu manggut-manggut:
“Kalau soal ini mah sudah kudengar, tapi aku kurang pecaya
dengan perkataan mereka, menurut apa yang mereka bicarakan,
konon rombongan tersebut hendak pergi kesebuah
pesanggrahannya dipuncak sana, tapi bisa jadi perbuatan mereka
hanya sebuah tipuan saja untuk mengalutkan perhatian orang.“
“Tapi yang pasti entah kemanapun mereka pergi, akan sulit buat
kita untuk mencarinya kembali!“ seru Kho Beng gelisah.
“Tak usah terburu nafsu“ kata Bok Cuncu sambil menggelengkan
kepalanya, “justru persoalan inilah yang hendak kubicarakan dengan
dirimu......“
Setelah berhenti sejenak, dengan suara dalam ia berkata lebih
jauh:
“Aku merasa gembira dan bersyukur sekali dengan keputusanmu
yang khusus melacaki jejak pembunuh sebenarnya dan tidak
melakukan tindakan yang membabi buta, itulah sebabnya kami
bersedia pula untuk bekerja sama denganmu, entah bagaimanakah
menurut pendapatmu?“
“Bekerja sama?“ agaknya usul ini sama sekali diluar dugaan Kho
Beng, “Aku merasa persoalan ini benar-benar suatu kejadian yang
lucu.“
Peristiwa ini memang benar-benar merupakan suatu kejadian
yang lucu sekali, dimasa lalu mesku hubungannya dengan pihak Siau

lim pay tak seberapa renggang, namun dengan cicinya si Kedele
Maut justru merupakan musuh bebuyutan yang ibarat air dengan
api, tapi sekarang, mereka justru disodori untuk bekerja sama,
bukankah kejadian semacam ini tak pernah terduga sebelumnya?
Dengan nada suara yang amat tenang, Bok Cuncu berkata lagi:
“Justru demi keamanan dan ketentraman bagi seluruh dunia
persilatan, kami khusus mengajukan usul tersebut kepada kalian,
kuharap Kho sicu mau berpikir tiga kali lebih dulu sebelum
mengambil keputusan.“
“Setelah kau berani berbicara tentang kerja sama, aku rasa Lo
siansu pasti sudah mempunyai rencana yang amat masak, bolehkah
aku tahu dalam bentuk seperti apakah kerja sama itu hendak
dilaksanakan?“
“Kita semua sudah tahu kalau dalang yang sebenarnya dari
peristiwa berdarah ini adalah dewi In nu“ kata Bok Cuncu serius,
“dan kami percaya dengan ini tak bakal salah lagi, yang masih
kurang bagi kita sekarang tinggal bukti yang jelas serta siapa
gerangan orang yang telah menyaru sebagai Bu wi lojin pada waktu
itu, begitu teka-teki tersebut terungkap, maka semua duduk
persoalan pun akan menjadi terang. Maka kerja sama diantara kita
pun otomatis tertuju untuk tercapainya sasaran tersebut secara
gemilang.........“
“Yaa betul......tapi bicara sih gampang, kalau dilaksanakan benarbenar
akan muncul banyak kesulitan yang tak terduga, seperti ambil
contoh dengan keadaan didepan mata sekarang........“
Jilid 25
Bok cuncu tersenyum, sebelum pemuda tsb menyelesaikan katakatanya,
dia segera menukas :
“Saat ini rasanya aku sudah mulai menaruh perasaan curiga
terhadap perkampungan Ciu hong san ceng ini”
“Bukan Cuma mencurigakan, bahkan aku yakin bahwa penghuni
perkampungan ini adalah anak buah dari dewi In nu, hanya saying
kita tak berhasil mengumpulkan bukti yg nyata sehingga
mengakibatkan ciciku pun terpengaruh oleh mereka.”
“Kalau begitu tugas kita yg terutama sekarang menemukan
sarang mereka serta mendapatkan bukti yg nyata, bukan?”
“Betul!” Kho Beng manggut-manggut, “tapi aku percaya
pekerjaan inipun bukan suatu pekerjaan yg mudah.”
Bok cuncu segera tertawa :

“Sekembalinya dari sini, aku akan melaporkan peristiwa ini
kepada ketua kami, kemudian akan kuhimpun umat persilatan utk
bersama-sama melacak jejak dari orang-orang perkampungan Ciu
hong san ceng ini serta cicimu, Cuma diantara kita berdua harus
sering mengadakan hubungan kontak…….”
Dg rasa gembira, Kho Beng berseru :
“Kalau memang begitu tujuannya, aku bersedia sekali utk bekerja
sama dg kalian!”
“Omitohud, kalau begitu kita tetapkan dg sepatah kata ini
saja…………” seru Bok cuncu.
“Benar!” Kho Beng mengangguk, “kita tetapkan sepatah kata ini
saja.”
“Omitohud, kalau begitu harap Kho sicu baik-baik menjaga diri,
aku segera akan berangkat ke siau lim si!”
“Lo siansu, bila kau harus kembali ke Siau lim pay lebih dulu utk
meminta persetujuan dari ketua kalian sebelum menghimpun para
jago dunia persilatan, aku rasa dalam soal waktu mungkin akan
sangat terlambat sekali” ucap Kho Beng sambil mengerutkan kening.
Mendengar perkataan tsb, Bok cuncu segera tersenyum,
“Tentang soal ini, harap sicu tak usah kuatirkan, setelah kembali
ke Siau lim si utk melaporkan hal ini, saat itu juga kami akan
menyebarkan surat kilat kepada seluruh jago dari pelbagai
perguruan agar bersiap sedia, aku percaya dalam tujuh hari
mendatang sudah ada sebagian jago persilatan yg turut serta
didalam pergerakan ini”
Anda sedang membaca artikel tentang KEDELE MAUT 2 dan anda bisa menemukan artikel KEDELE MAUT 2 ini dengan url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/09/kedele-maut-2.html,anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel KEDELE MAUT 2 ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,namun jangan lupa untuk meletakkan link KEDELE MAUT 2 sumbernya.

Unknown ~ Cerita Silat Abg Dewasa

Cersil Or Post KEDELE MAUT 2 with url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/09/kedele-maut-2.html. Thanks For All.
Cerita Silat Terbaik...

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar