KEDELE MAUT 1

Diposting oleh eysa cerita silat chin yung khu lung on Jumat, 09 September 2011

Kedele Maut
Karya : Khu Lung
Diceritakan oleh Can
Jilid 01
Perkembangan zaman berputar tiada hentinya, corak ragam
pembunuhan didalam dunia persilatan pun ikut berkembang makin
banyak macamnya, namun dari sekian banyak corak pembunuhan,
tak satupun peristiwa yang tampak lebih aneh, lebih keji dan lebih
misterius daripada peristiwa berdarah ini.
Disebuah tempat yang berpemandangan sangat indah dibukit
Eng tong coa, berdiri belasan orang kakek bertubuh kekar. Mereka
semua adalah ketua dari perguruan kenamaan serta mempunyai
nama besar dalam dunia persilatan, tapi saat itu semuanya berdiri
tenang disitu sambil melelehkan air mata bercampur darah.
Apakah kawanan jago lihai ini telah mengalami suatu tragedy
yang memedihkan hati? Mengapa mereka mengucurkan air mata
bercampur darah…..?
Tidak! Mereka bukan sedang menangis, tapi nyawa mereka telah
melayang meninggalkan raganya. Tempat yang mematikan persis
diatas mata, diantara cucuran darah tampak dua butir kedele
menancap dalam dalam disana.
Hanya saja mayat-mayat itu tidak roboh ketanah seolah-olah
mereka tak rela untuk mati, sukma mereka seolah-olah tak mau
buyar.
Sekalipun pemandangan yang aneh, keji dan misterios ini Belum
bisa dibilang sebagai suatu pemandangan luar biasa, paling tidak
belum pernah terjadi sebelum ini….
Peristiwa aneh ini baru diketahui orang sebulan kemudian, dunia
persilatan segera dibuat gempar.

Tak seorangpun tahu mengapa tokoh-tokoh silat yang berdiam
tersebar disegala penjuru dunia persilatan ini bisa berkumpul semua
disitu? Tentu saja tiada yang mengetahui siapa pembunuhnya.
Yang membuat orang lebih keheranan adalah tidak ditemukannya
tanda-tanda perlawanan dari kawanan tokoh sakti yang berilmu silat
tinggi ini, ataukah mereka rela dirinya dibantai orang? Berita
pembunuhan ini tersebar diseluruh negeri dalam waktu singkat,
menyusul kemudian peristiwa pembunuhan dengan senjata
kedelepun berlangsung disetiap wilayah. Nyawa demi nyawa
melayang meninggalkan raga. Perasaan ngeri dan ciut makin pula
mencekam perasaan tiap umat persilatan. Maka para jago dari
golongan putih dan hitam pun bersama-sama menyebar kartu
undangan Bu lim tiap untuk mengundang segenap umat persilatan
agar merundingkan persoalan ini, serta menyelidiki siapakah
pembunuh keji itu.
Oleh karena tak ada yang tahu identitas pembunuhnya sedang
pembunuh tersebut gemar membunuh orang dengan memakai
kacang kedele, maka orangpun menyebutnya dengan “Kedele Maut”.
Kedele maut… kedele maut……
Dedaunan dibukit Cuh wi san sudah mulai rontok dan berguguran
keatas tanah, angin augur berhembus kencang menerbangkan
dedaunan dan ranting semuanya, ini memberi perasaan murung bagi
setiap orang yang berada disana. Memandang dari kaki bukit,
tampaklah diantara hutan yang mulai gandul, dipunggung bukit
berdirilah sebuah perkampungan yang tidak terlalu besar juga tidak
terlalu kecil, didepan pintu perkampungan tergantung sebuah papan
nama yang bertuliskan “Sam Goan Bun”.
Warna emas diatas papan nama itu sudah mulai luntur, hal ini
membuktikan kalau partai Sam Goan Pay telah berdiri banyak tahun.
Menyinggung soal nama Sam goan pay dalam dunia persilatan,
meski banyak orang yang mengetahuinya, Namun segan orang
membicarakan, sudah tentu kekuasaan dan kemampuannya belum
bisa dibandingkan partai-partai besar seperti Bu tong pay atau Siauw
lim pay….
Meski begitu Sam goan bun pernah mempunyai sejarah yang
cemerlang, seratus tahun berselang bukan saja nama Sam goan bun
jauh lebih kesohor daripada partai besar, malah partai tersebut
menduduki cursi Bu lim bengcu yang terhormat.

Tapi mengikuti perputaran zaman, kekuatan perguruan itu lambat
laun makin melemah, nama besarnya ikut memudar. Apalagi saat ini,
sedemikian lamanya kekuatan Sam goan bun sehingga nyaris tak
mampu menancapkan kakinya lagi dalam percaturan dunia
persilatan.
Justru karena memudarnya kemampuan partai itu, Sam goan bun
juga Amat jarana embuta perselisihan didalam persilatan, sebab
peraturan yang berlaku dalam Sam goan bun sekarang amat keras
ingá membuat setiap orang harus berpikir tiga kali sebelum
melakukan sesuatu perbuatan.
Bagi anggota perguruan yang melakukan kesalahan ringan, dia
akan dijatuhi hukuman cacat dan bagi yang melakukan kesalahan
besar dihukum mati.
Tentu saja peraturan tersebut dapat diperlakukan seketat ini
karena partai Sam goan bun memang memiliki kesulitan yang tak
mungkin bisa diutarakan lepada orang lain.
Sesungguhnya jumlah semua penghuni dalam perguruan ini
hanya tiga empat pululan orang, itupun sudah termasuk para kaki
dan para pembantu, dengan kekuatan selemah ini, sedikit saja
melakukan kesalahan dalam dunia persilatan, bisa jadi akan
mengundang musibah besar bagi seluruh partai.
Apalagi Sejas Sam goan pay kehilangan ketiga jurus ilmu
pedangnya yang paling tangguh pada seratus tahun berselang,
delatan belas jurus Sam goan kiam hoat nya menjadi tak lengkap
dan akibatnya kemampuan itu tak bisa digunakan lagi untuk
melawan kekuatan partai lain, tak heran kalau para ciangbunjinnya
turun temurun selalu berusaha mengekang diri dalam percaturan
dunia persilatan.
Tapi belakangan ini, semenjak meletusnya geger “Kedele Maut”,
partai Sam goan pay telah menerima undangan dari tujuh partai
besar agar mengutus orang-orangnya turut serta didalam
penyelidikan tersebut.
Tentu saja mereka tak dapat menolak undangan ini kecuali
mereka berani memusuhi tujh partai besar, tapi beranikah Sam goan
pay berbuat begini?
Tentu saja tidak! Seandainya ada orang menuduh mereka
sebagai komplotan dari si “Kedele Maut”, bukankah urusannya akan
semakin berabe?

Perkampungan Sam goan bun terdiri dari lima bagian, walaupun
lingkungannya tidak terhitung besar, Namur selain memberi kesan
lenggang disitu, apalagi setelah anggota perguruan dikirim Turín
gunung secara beruntun, suasana lenggang makin mencekam
seluruh perkampungan.
Waktu itu malam telah tiba mendekati kentong pertama, tiba-tiba
tampak sesosok bayang manusia munculkan diri dari balik ruang
gedung melompati pagar pekarangan dan menyusup kedalam
halaman keempat, dimana bayangan tadi menyembunyikan diri
dibalik kegelapan.
Dilihat dari gerakan tubuh bayangan manusia tersebut, gerak
geriknya sangat lamban, lagipula ilmu meringankan tubuhnya jauh
lebih buruk daripada ilmu ringan tubuh pada umumnya, cuma ia bisa
bergerak dengan hati-hati sekali sehingga tidak sampai menimbulkan
suara sedikitpun.
Halaman keempat dari perkampungan ini merupakan tempat
kediaman ketua perguruan. Waktu itu tampak seorang murid Sam
goan bun sedang berlatih pedang ditengah halaman, diantara
cahaya pedang yang berkilauan, orang itu sedang melatih lima belas
jurus ilmu pedang Sam goan kiam hoat yang sudah tak lengkap lagi
itu.
Dihadapannya berdiri seorang kekek kurus berjubah putih, dia
ádalah ketua Sam goan bun saat ini, Sun Thian hong.
Sementara itu, bayangan manusia yang sedang bersembunyi
dibalik kegelapan itu membelalakkan matanya lebar-lebar sambil
mengawasi anggota Sam goan bun yang sedang berlatih pedang
ditengah halaman, tampaknya ia dibuat terpesona.
Tak sampai setengah jam kemudian, murid Sam goan bun itu
telah selesai memainkan ilmu pedang Sam goan kiam hoat tersebut.
Kemudian sambil memberi hormat lepada Sun Thian hong, ujarnya :
“Tecu mohon kritik serta petunjuk dari ciangbun suhu!”
Sambil mengelus jenggotnya Sun Thian hong manggut-manggut,
katanya :
“Ehmmm! Kemajuan yang berhasil kau capai sungguh hebat dan
diluar dugaan, ilmu pedang Sam goan kiam hoat pun telah mencapai
delapan bagian kesempurnaan, asalkan kau bersedia melatih diri
dengan lebih tekun lagi, tidak sulit bagimu untuk mencapai
kemajuan seperti apa yang kumiliki sekarang.”
Kejut dan bercampur gembira lelaki itu bertanya :

“Maksud ciangbun suhu, teca telah lupus ujian?”
“Benar!” Sun Thian hong manggut-manggut, “Besok kau boleh
turun gunung, kebetulan ketua Siauw lim pay sedang tak puas
karena jumlah anggota perguruan kita yang menggabungkan diri
kelewat sedikit, setelah turun gunung nanti kau boleh langsung
menggabungkan diri dengan suheng serta susiokmu sekalian.”
“Tecu terima perintah.”
“Ingat baik-baik, tugasmu kali ini meski mengikuti usaha
penyelidikan atas jejak si Kedele Maut, yang betul adalah menyelidiki
kitab pusaka ilmu pedang perguruan kita yang hilang. Kita tahu,
dalam tiga generasi ini, yang menjadi tujuan utama bagi perguruan
kita adalah menemukan kembali ketiga jurus ilmu pedang kita yang
hilang, karena itu kuharap kau dapat menyelesaikan tugas
perguruan kita dengan sebaik-baiknya.”
Sekali lagi lelaki itu memberi hormat sambil mengiakan,
kemudian setelah memberi hormat dia mengundurkan diri.
Dalam pada itu bayangan manusia yang mengintip dari balik
kegelapan tampaknya merasa bahwa tiada sesuatu lagi yang bisa
dilihat, sambil menghimpun tenaganya dia segera meloncat keatas
dahan pohon, bermaksud melompat pagar pekarangan.
Tapi saat itulah, terdengar Sun Thian hong menghela napas
sambil bergumam :
“Aaai, diantara puluhan muridku, tak seorangpun yang memiliki
kemampuan hebat, hanya bocah itu berotak cerdas dan berbakat
bagus…. Tapi aku membiarkannya hidup sebagai pembantu yang
menebang kayu dan memikul air dan tak berani menerimanya
sebagai murid. Ataukah kesemuanya ini sudah merupakan suratan
takdir?”
Bergetar keras seluruh badan bayangan hitam tersebut sehabis
mendengar ucapan itu, sehingga pikirannya bercabang, hawa
murninya menjadi buyar, ranting yang diinjak pun tak mampu
menahan berat badannya lagi hingga patah menjadi dua bagian.
Suara itu lirih, tapi ditengah kegelapan malam yang hening, suara
tersebut menimbulkan gema yang cukup keras.
Agaknya orang itu tahu kalau gelagat tidak menguntungkan,
cepat-cepat dia melompat turun dari atas pohon, menyambar sebutir
batu kemudian dilemparkan kebelakang tubuhnya.
Batu tadi segera terjatuh disudut halaman sambil menimbulkan
suara lagi, dan saat itupula Sun Thian hong telah membentak keras :

“Siapa yang berani mengintip kemari?”
Menyusul bentakan tersebut, ia menerjang kesudut halaman,
sepasang matanya mengawasi sekeliling tempat itu dengan
seksama, kemudian dengan gerakan cepat dia menerjang kehalaman
kelima.
Melihat Sun Thian hong tertipu oleh lemparan batunya, bayangan
hitam yang mendekam diatas tanah dengan hati berdebar keras itu
cepat-cepat melompat bangun dan ngeloyor pergi dari situ.
Ia langsung menuju kesebuah bilik dekat dapur, begitu masuk
ruangan, lampu dipasang dan pintu dikunci rapat-rapat.
Ternyata orang itu adalah seorang pemuda berusia belasan
tahun, meskipun pakaian yang dikenakan amat sederhana, namun
tidak menutupi ketampanan wajahnya.
Dengan muka merah padam, peluh dingin bercucuran membasahi
tubuhnya, ia menutup pintu rapat-rapat kemudian menghembuskan
napas panjang.
Sudah setahun ini dia berharap belajar silat, karena itu setiap
tengah malam ia selalu menyusup kedalam halaman belakang untuk
mencuri lihat orang belajar silat. Selama ini perbuatannya belum
pernah diketahui orang! Tapi peristiwa yang baru saja dialaminya
tadi membuat dia mandi keringat dingin dan hatinya berdebar keras.
Ia cukup mengetahui sampai dimanakah kerasnya peraturan
dalam perguruan Sam goan bun. Sekalipun dia tidak terhitung murid
Sam goan bun, tapi bila perbuatannya sampai ketahuan, sudah pasti
hukuman berat akan dijatuhkan kepadanya.
Tapi keluhan dari ketua Sam goan bun yang terdengar olehnya
tadi, membuat pemuda tersebut bimbang bercampur tak mengerti.
Sudah jelas bocah pemikul air, penebang kayu yang dimaksudkan
ciangbunjin adalah dia, sebab selain dia tak ada orang kedua yang
melakukan pekerjaan semacam itu disitu.
Kalau memang ketua Sam goan bun menganggapnya berbakat
untuk belajar silat, mengapa ia tidak menerimanya sebagai murid?
Ataukah ketua Sam goan bun itu takut akan sesuatu? Atau
mungkin dia mempunyai suatu rahasia yang membuat orang lain
takut padanya?
Lama sekali pemuda itu duduk termenung, tapi akhirnya setelah
menghela napas ia bergumam :
“Setelah bersusah payah setahun penuh, baru hari ini aku
berhasil mencuri lihat Sam goan kiam hoat secara lengkap, biar

kulatih dulu ilmu tersebut sebaik-baiknya, siapa tahu kalau suatu
ketika aku Kho Beng bisa menjadi hebat?”
Dengan membuang semua pikirannya yang masgul, pemuda itu
bangkit berdiri mengambil sebatang kayu kemudian mulai berlatih
diri dengan penuh semangat.
Biarpun tanpa bimbingan dan petunjuk seorang, berdasarkan
kecerdasan dan disertai bakat yang baik, pemuda itu danggup
memainkan ilmu pedang Sam goan kiam hoat secara sempurna.
Baik dalam gerakan langkah maupun dalam gerakan pedang,
semuanya menurut aturan, ringan berat cepat atau lambat,
semuanya dilakukan secara sempurna, malahan jah lebih sempurna
dan hebat daripada apa yang dilakukan murid Sam goan bun tadi.
Jurus demi jurus, gerakan demi gerakan semuanya dilakukan
sepenuh tenaga, dimana kayunya menyambar, anginnya menderuderu,
kehebatannya tak kalah dengan keampuan seorang jago
pedang.
Disaat Kho Beng sedang melatih diri dengan asyik sampai ia lupa
keadaannya, tiba-tiba dari balik jendela muncul sepasang mata yang
diam-diam mengintip keadaan dalam ruangan.
Tatkala sepasang mata itu mengikuti jalannya latihan dari Khong
Beng, sorot matanya yang selalu memancarkan sinar kaget segera
menjadi terkesiap.
Ternyata orang yang berada diluar itu tak lain adalah ketua
perguruan Sam goan bun, Sun Thian hong.
Rupanya disaat dia merasa ada orang sedang mengintip gerak
geriknya tadi, dengan kecepatan yang paling tinggi ia menerjang
kehalaman kelima kemudian melesat keluar dari perkampungan,
tentu daja dia tak menemukan apa-apa.
Namun dalam perjalanannya kembali keperkampungan, ia segera
dibuat tertarik oleh kilatan cahaya lentera yang sebenarnya lagi
terang dari dalam kamar Kho Beng.
Begitu ia mengetahui bahwa ilmu pedang Kho Beng tidak lain
adalah ilmu pedang Sam goan kiam hoat, dengan cepat ciangbunjin
itu sadar siapa gerangan yang telah bersembunyi dibalik kegelapan
tadi, kontan saja paras mukanya berubah menjadi terkesiap
bercampur kaget.
Pada saat itupun dari kamar sebelah dimana Kho Beng berada,
kedengaran suara orang berbatuk dan menegur :
“Kho Beng, malam sudah larut, apakah kau belum tidur?”

Kho Beng takut perbuatannya ini diketahui atasannya, Thio
Bungkuk yang tidur disebelah. Cepat-cepat ia memadamkan lentera
menyembunyikan tongkat lalu naik keatas pembaringan!
Suara batuk itu mengejutkan pula ketua Sam goan bun yang
sedang mengintip didepan jendela, biji matanya segera berputar dan
memeriksa sekejap sekeliling tempat itu, lalu secara kilat dia melesat
ketengah udara dan mundur kehalaman lapisan kelima, dimana
bayangan tubuhnya lenyap dibalik kegelapan.
Malam berlalu tanpa kejadian apa-apa.
Keesokan harinya, baru saja sang surya menyingsing diufuk timur
dan memancarkan cahayanya keseluruh penjuru dunia, dari balik
halaman lapisan kelima sudah kedengaran suara orang sedang
membelah kayu.
Tampak Kho Beng dengan mengenakan celana pendek sedang
mengayun kampaknya membelah setumpuk kayu bakar.
Memang inilah pekerjaannya sehari-hari, sejak fajar memikul air,
lalu membelah kayu bakar, baru setelah lewat tengah hari dia
mempunyai waktu senggang.
Kira-kira pukul tujuh pagi, tiba-tiba dari halaman gedung paling
depan berkumandang suara genta yang dibunyikan bertalu-talu.
Tanpa terasa Kho Beng yang bermandi peluh menghentikan
ayunan kampaknya dan mengangkat kepala sambil memperhatikan
dengan seksama.
Bunyi lonceng yang bertalu-talu tadi menandakan bahwa ketua
Sam goan bun sedang mengumpulkan segenap anggota
perguruannya untuk menghantar kepergian seorang muridnya turun
gunung.
Dengan beberapa bulan terakhir ini, setiap kali bunyi genta
menggema membelah angkasa, dari hati kecil Kho Beng segera
muncul perasaan kagum yang amat tebal.
Setiap kali dia selalu berpikir begini :
“Andaikata akupun bisa menyoren pedang dan berkelana didalam
dunia persilatan dengan menunggang kuda, betapa gagahnya aku
waktu itu, tapi kenyataannya aku tetap seorang kacung yang
kerjanya setiap hari Cuma memikul air dan membelah kayu bakar,
haruskah aku hidup terus dalam keadaan begini?”
Berpikir sampai disitu, semangatnya yang semula berkobar kobar
menjadi luluh dan pudar, helaan napas sedih bergema lirih.

Mendadak terdengar suara orang mendehem berkumandang
datang dari belakang tubuhnya, dengan perasaan kaget Kho Beng
segera berpaling dan melihat Thio bungkuk muncul disana, cepatcepat
ia membuang semua pikirannya dan meneruskan
pekerjaannya lagi.
Thio bungkuk adalah seorang kakek yang tinggi badannya
mencapai lima depa, tubuhnya kurus kering. Ia mempunyai jenggot
yang pendek seperti jenggot kambing dengan mata yang kecil
seperti mata tikus, baju hijaunya kasar lagi sederhana, tampangnya
tak berbeda seperti tampang orang-orang desa lainnya.
Tapi anehnya semua orang yang berada dalam perguruan Sam
goan bun sama-sama takut kepadanya, bahkan ketua mereka Sun
Thian hong sendiripun berlaku sungkan pula bila bertemu
dengannya.
Terutama sekali bagi Kho Beng, bagaikan tikus melihat kucing
saja....
Hal ini bukan saja dikarenakan Kho Beng merasa berterima kasih
padanya, dulu ketika Kho Beng baru mendapat pekerjaan, saban hari
dia pasti kecapaian hingga pinggangnya sakit dan tak mampu
merangkak bangun dari atas pembaringannya, tapi semenjak Thio
bungkuk mengajarkan bagaimana caranya bersemedi dan mengatur
pernapasan, dengan mengandalkan cara tersebut, Kho Beng bisa
mengatasi rasa lelah yang datang mengganggu setiap kali setelah
habis bekerja berat.
Malahan lambat laun dia tak pernah merasa lelah lagi meski
pekerjaannya makin banyak dan berat.
Akhirnya dia baru tahu kalau ilmu mengatur pernapasan yang
diajarkan kepadanya adalah dasar tenaga dalam, namun berhubung
Thio bungkuk tetap membungkam, diapun selalu berlagak pilon.
Tapi setiap malam tiba, ia selalu berlatih diri dengan tekun dan
rajin sehingga berhasil memupuk dasar tenaga dalam yang kuat, tapi
justru karena itu juga, terdorong olehnya ingatan untuk mencuri
belajar ilmu pedang Sam goan kiam hoat...
Disamping itu Kho Beng juga menyadari bahwa Thio bungkuk
yang bertampang sederhana itu sesungguhnya mempunyai asal usul
yang luar biasa, jelas dia bukan manusia tanpa memiliki reputasi
apa-apa.

Itulah sebabnya setiap kali dia melihat Thio bungkuk memaki dan
mendampratnya, Kho Beng selalu mengingat-ingat kebaikannya
untuk menekan rasa marah dan jengkelnya.
Namun hari ini dia melihat Thio bungkuk seakan-akan telah
berubah menjadi seperti orang lain, sambil memegang huncwee nya
dan menghisap beberapa kali, ditatapnya Kho Beng lekat-lekat,
kemudian baru katanya :
“Kho Beng, hari ini kau tak perlu bekerja lagi!”
Kho Beng tertegun dan membelalakkan matanya lebar-lebar, ia
hampir saja tak percaya dengan apa yang didengarnya, kalau
dimasa lalu, sikap yang diperlihatkan tadi tentu akan mengundang
dampratan serta makian tapi hari ini, mungkinkah Thio bungkuk
tiba-tiba jadi orang baik yang penuh welas asih?
Kho Beng meletakkan kampaknya keatas tanah serta
memandang kearah Thio bungkuk dengan pandangan curiga, lalu
katanya agak tergagap:
“Thio suhu, apakah ada pekerjaan lain yang harus kukerjakan?”
“Hmm! Kalau aku si Thio bungkuk mah tak ada urusan, tapi bagi
kau sikunyuk kecil, hati-hatilah dalam menghadapi urusan nanti!”
Sekali lagi Kho Beng tertegun, hati-hati menghadapi urusan
nanti? Siapakah yang akan dihadapi?
Belum lenyap ingatan tersebut dari benaknya, tiba-tiba muncul
seorang murid Sam goan bun dengan langkah tergesa-gesa, sejak
dari kejauhan orang itu telah berseru :
“Saudara Kho, cingbunjin sedang menanti kedatanganmu diruang
depan, hayo cepat ikut aku!”
Persoalan apakah yang hendak disampaikan ciangbunjin
kepadanya? Mengapa ia dipanggil secara tiba-tiba?
Kho Beng sedang termangu-mangu jadi curiga, seingatnya
semenjak ia tahu urusan, kecuali setiap tahun baru belum pernah
ciangbunjin mengundangnya untuk menghadap! Lalu apa sebabnya
dia dipanggil hari ini?
Tapi dia tak punya banyak waktu untuk berpikir lebih jauh,
setelah meletakkan kampak dan membereskan pakaiannya,
tergopoh-gopoh dia mengikuti petugas tersebut menuju kehalaman
muka.
Setelah terlepas dari pengawasan Thio bungkuk, Kho Beng baru
bertanya dengan cepat :

“Nyoo toako, tahukah kau ada urusan penting apakah sehingga
ciangbunjin mengundangku agar menghadap?”
Anggota perguruan she Nyoo itu segera menggelengkan
kepalanya berulang kali, sahutnya :
“Aku sendiripun tak tahu, tapi bisa kulihat bahwa paras muka
ciangbun suhu pada hari ini kurang baik, karenanya kau berhatihatilah
kalau sedang bicara nanti.”
Kho Beng segera merasakan hatinya tercekat, tanpa terasa
pikirnya dihati :
“Waaah....jangan-jangan suhu sudah tahu kalau selama ini aku
mencuri belajar ilmu pedangnya? Kecuali itu rasanya aku tak
melakukan kesalahan apapun.... tapi dalam setahun ini aku sudah
bertindak cukup hati-hati, tindak tandukku pun tak pernah ketahuan
orang, bagaimana mungkin ciangbunjin bisa mengetahui akan
perbuatan ini? Aaaaa...jangan-jangan karena urusan lain....”
Dengan pikirannya yang kalut serta membayangkan hal yang
bukan-bukan, pemuda itu menuju kehalaman depan. Tiba didepan
pintu ruang tengah, ia saksikan seluruh ruangan tersebut telah
penuh dengan manusia dua puluh empat orang anggota murid Sam
goan bun berdiri dikiri kanan ruangan, sementara bagian tengah
terdapat dua buah bangku yang diduduki dua orang kakek bermata
tajam.
Orang yang berada disebelah kiri adalah ketua Sam goan bun,
Sun Thian hong. Sedangkan kakek baju biru disebelah kanan adalah
adik seperguruan dari ciangbunjinnya, Lu Heng sia.
Walaupun ruangan tengah dipenuhi sekian banyak manusia,
ternyata tak kedengaran suara sedikitpun, suasana yang begitu
serius dan hening membuat Kho Beng yang berada didepan pintu
kembali merasakan hatinya tercekat.
Lelaki she Nyoo itu segera melangkah masuk kedalam ruangan
sambil melapor :
“Lapor ciangbun suhu, Kho Beng telah tiba....”
Kemudian ia segera mengundurkan diri kebarisan sebelah kiri.
Kho Beng tak berani ayal lagi, dia ikut melangkah masuk kedalam
ruangan, setelah memberi hormat, ujarnya :
“Ciangbunjin, persoalan apakah yang hendak kau sampaikan
kepadaku....?”
Sun Thian hong menatap wajah Kho Beng lekat-lekat, lalu
dengan suara dalam tanyanya:

“Kho Beng, sudah berapa lama kau mencuri belajar ilmu pedang
perguruan kami?”
Biarpun hanya serentetan pertanyaan yang singkat, namun ibarat
guntur yang membelah bumi disiang hari bolong, Kho Beng
merasakan hatinya tercekat dan wajahnya berubah hebat.
“Aduh celaka!....” pekiknya dihati.
Tapi kenyataan sudah berada didepan mata, mau tak mau dia
harus mengakuinya secara terus terang.
“Lapor ciangbunjin, sudah setahun lamanya aku mencuri belajar
ilmu pedang itu....”
“Dari kelima belas jurus ilmu pedang Sam goan kiam hoat,
berapa gerakan yang berhasil kau kuasai?” tanya Sun Thian hong
lebih jauh dengan nada suara dalam.
“Boanpwee telah berhasil menguasai seluruhnya....” Kho Beng
menundukkan kepalanya rendah-rendah.
Paras muka Sun Thian hong segera berubah menjadi hijau
membesi, sambil menggebrak meja keras-keras, bentaknya :
“Kho Beng, besar amat nyalimu…..!”
“Ciangbunjin…..” dengan tubuh gemetar keras Kho Beng segera
menjatuhkan diri berlutut katas tanah, “Boanpwee sama sekali tidak
bertujuan apa-apa….boanpwee hanya berniat untuk menyalurkan
hobby saja….”
Sebelum perkataan itu selesai diucapkan, Sun Thian hong telah
menukas dengan dingin, serunya penuh marah :
“Kalau toh kau gemar mempelajari ilmu silat, sudah sepantasnya
bila kau ajukan permohonan secara resmi, masuk dulu jadi anggota
peguruan lalu mengajukan permohonan tersebut kepadaku. Hmmm,
tapi sekarang…..kau telah melanggar peraturan serta mencuri
belajar secara diam-diam. Hmmm, Kho Beng delapan belas tahun
berselang aku hanya menampungmu, serta memeliharamu hingga
dewasa hanya berdasarkan belas kasihan saja, sungguh tak nyana
perbuatanmu begitu brutal dan kurang ajar.”
Makin berkata ciangbunjin itu semakin mendongkol, ketika selesai
mengucapkan perkataannya itu napasnya sudah terengah-engah
seperti napas kerbau.
Kho Beng membungkam dalam seribu bahasa, hatinya kebatkebit
tak karuan, sementara peluh dingin membasahi seluruh
tubuhnya.

“Kho Beng!” mendadak terdengar Sun Thian hong membentak
lagi dengan suara dalam, “Tahukah kau akan peraturan perguruan
kami?”
“Boanpwee tahu!” jawab Kho Beng dengan suara gemetar.
“Bagus sekali aku ingin bertanya kepadamu, apa hukumannya
bagi mereka yang berani mencuri belajar ilmu silat perguruan kami?”
“Ilmu silatnya dirampas kembali!”
“Bagus, bagaimana caranya merampas kembali ilmu silat yang
telah dipelajari?”
“Semua urat nadi penting diputuskan kemudian memotong
sepasang tangannya” sahut Kho Beng dengan peluh dingin
bercucuran keluar. “Tapi…ciangbunjin, mengingat usia boanpwee
masih muda…”
Sun Thian hong mendengus dingin, tukasnya :
“Darimana kau pelajari sim hoat tenaga dalam?”
“Sejak tahun lalu Thio suhu mewariskan ilmu tersebut kepadaku.”
Sun Thian hong nampak agak terkejut, lalu bentaknya lagi :
“Hmmm, sudah tahu akan peraturannya, masih mencoba untuk
melangar. Kesalahanmu ini tak dapat diampuni lagi, tapi mengingat
tenaga dalammu bukan berasal dari perguruan kami, maka
hukumannya hanya memutuskan semua urat nadi serta memotong
sepasang pergelangan tanganmu. Sute laksanakan hukuman!”
Lu Heng sia, adik seperguruan ciangbunjin yang duduk
disampingnya, nampak seperti menaruh simpati kepada Kho Beng, ia
segera bangkit berdiri setelah mendengar perkataan itu, sesudah
menghela napas panjang, katanya pada Sun Thian hong :
“Suheng, bagaimana kalau kesalahan bocah ini diampuni
saja….?”
“Sute, sudahkah kau dengar perintah yang kuberikan?” tukas Sun
Thian hong semakin gusar.
Menyaksikan kakak seperguruannya sudah naik darah, Lu jiya tak
berani banyak bicara lagi, dipandangnya Kho Beng sekejap dengan
perasaan sayang, lalu sambil mengulapkan tangannya dia berseru :
“Mana petugas pelaksana hukuman? Cepat siapkan alat
hukuman!”
Empat orang anggota perguruan yang berdiri dikiri kanan
ruangan serentak mengiakan dan lari menuju keruang belakang, tak
lama kemudian mereka telah muncul dihadapan Kho Beng dengan
alat hukuman yang telah siap digunakan.

Dua orang diantara mereka membawa dua buah alat pemotong
yang berkaki, benda tersebut diletakkan dikiri kanan Kho Beng.
Sementara dua orang lainnya membawa sebuah baki obat, diatas
baki itu sudah siap berbagai macam obat-obatan luka serta alat
pembungkus. Mereka berdiri dibelakang bocah tersebut dan siap
mengobati lukanya, bila pelaksanaan hukuman selesai dilaksanakan
nanti.
Dalam waktu singkat suasana dalam ruangan itu dicekam
keheningan yang amat sangat, sehingga napas setiap orang hampir
saja kedengaran nyata.
Berhubung sikap dan tindak tanduk Kho Beng dihari hari biasa
amat simpatik, selain ciangbunjin seorang, hampir semua pandangan
yang tertuju kearah bocah itu mengandung perasaan iba dan
kasihan yang amat tebal.
Kho Beng sendiri sudah dibuat ketakutan setengah mati, sukma
serasa melayang meninggalkan raganya, hampir saja ia roboh tak
sadarkan diri.
Dua bilah golok yang berkilauan tajam dihadapannya membuat
pemuda itu merasa amat sedih dan putus asa.
Bila sepasang pergelangan tangannya telah kutung, bukan saja
jerih payahnya selama setahun hanya sia-sia belaka, masa depannya
pun akan turut terkubur untuk selamanya disana, bila seseorang tak
mempunyai tangan, apalagi yang bisa diperbuat olehnya?
Ia berlutut diatas tanah, sementara sepasang matanya menengok
kekiri dan kanan mengharapkan ada orang yang memohonkan belas
kasihan baginya disaat kritis tersebut, namun sayangnya walaupum
semua orang menaruh simpati dan belas kasihan kepadanya,
ternyata tak seorangpun diantara mereka yang memohonkan
ampun.
Dalam sedih dan putus asanya, ia memejamkan matanya rapatrapat,
titik air mata jatuh berlinang membasahi pipinya.
Pada saat itulah terdengar Lu Heng sia berseru keras :
“Laksanakan hukuman!”
“Kraakk….!”
Dua bilah golok tajam itu segera ditarik keatas, sementara kedua
orang petugas segera mencengkeram kedua belah tangan Kho Beng
dan diletakkan dibawah mata pisau tersebut. Hibur mereka dengan
suara lembut :

“Saudara Kho, tak usah takut, biarpun akan sakit sebentar, kau
tak akan lama menderita.”
Airmata bercucuran dengan derasnya membasahi wajah Kho
Beng, ditatapnya sekejap kedua orang petugas itu dengan putus
asa, lalu menggut manggut.
Kedua orang petugas tadi segera menggengam pisau dan
mengawasi Lu susioknya dengan pandangan tertegun, asalkan ia
mengulapkan tangannya mereka akan menekan gagang golok
tersebut kebawah….
Suasana murung dan seram menyelimuti seluruh ruangan
tersebut. Setiap anggota Sam goan bun sama-sama mengalihkan
pandangan mata kewajah Kho Beng yang pucat pias bagaikan mayat
itu. Rasa sedih mencekam perasaan setiap orang, banyak diantara
mereka yang segera menengok kearah lain dan tak tega untuk
menyaksikan pelaksanaan hukuman tersebut.
Sementara itu Lu Heng sia telah mengangkat tangan kanannya
keatas, asal dia mengulapkan tangannya kewabah, niscaya hukuman
akan segera terlaksana.
Disaat yang kritis inilah, tiba-tiba tampak seorang centeng
berbaju hijau berlarian masuk kedalam ruangan, kepada
ciangbunjinnya dia berseru :
“Toaya, Thio bungkuk menyuruh hamba mengantar surat
pesananya….!”
Seraya berkata ia persembahkan selembar kertas kehadapan Sun
Thian hong.
Diatas lembaran kertas itu hanya tertera beberapa huruf saja
yang antara lain berbunyi begini :
“Belasan tahun aku berbakti, tiada permintaanku yang lain
kecuali pembebasan hukuman bagi bocah she Kho itu.
Tertanda sibungkuk.”
Sun Thian hong nampak tertegun sehabis membaca tulisan itu,
akhirnya dia menghela napas panjang.
Semetara itu para jago lainnya yang berada didalam ruang
tengah tak ada yang mengetahui apa isi surat dari Thio bungkuk,
namun menyaksikan ketua mereka menghela napas panjang, rasa
kaget dan keheranan segera menyelimuti wajah semua orang.
Pelan-pelan Sun Thian hong menyimpan surat tersebut kedalam
saku bajunya, lalu ujarnya kepada sicenteng itu sambil mengulapkan
tangannya :

“Cepat undang Thio suhu datang kemari!”
Sambil menundukkan kepalanya, centeng itu segera menjawab :
“Thio suhu sedang berjalan-jalan diluar perkampungan, tapi ia
telah berpesan, bila ciangbunjin mengundangnya, hamba disuruh
menyampaikan jawaban, katanya maksud hati ciangbunjin telah
dipahaminya, bila ada persoalan lain, isi surat tersebut telah
menjelaskan semuanya….
Dengan perasaan berat, Sun Thian hong menggelengkan
kepalanya berulang kali. Setelah mengundurkan diri centeng
tersebut, ditatapnya Kho Beng sekejap dengan pandangan dalam,
lalu berkata :
“Batalkan hukuman!”
Begitu perintah diturunkan segenap hadirin bersama-sama
menghembuskan napas lega bagi keselamatan Kho Beng.
Sebaliknya Kho Beng sendiri pun bagai berada dalam mimpi,
sampai para petugas menyingkirkan alat pelaksana hukuman dari
hadapannya, ia baru tersadar kembali dari lamunan.
Tanpa terasa dia turut menghembuskan napas lega. Ia sadar
Thio bungkuklah yang telah menyelamatkan dirinya dari hukuman,
bisa dibayangkan betapa besar rasa terima kasihnya kepada Thio
bungkuk, pada hakekatnya tak terlukiskan lagi dengan kata-kata.
Mendadak terdengar Sun Thian hong berkata dengan suara
dalam,
“Kho Beng, walaupun ada orang yang mintakan ampunan
bagimu, namun aku mempunyai beberapa syarat yang harus kau
taati!”
Kho Beng segera memberi hormat seraya menjawab :
“Bila ciangbunjin ada pesan, silahkan saja diutarakan, boanpwee
pasti akan mentaatinya.”
“Bagus sekali, dengarkan baik-baik Kho Beng, sejak hari ini kau
dilarang menggunakan ilmu pedang perguruan kami lagi!”
“Boanpwee turut perintah!”
“Terhadap siapa saja kau dilarang menceritakan bahwa
perguruan kami pernah menerima dan memeliharamu....”
Kho Beng jadi tertegun, lalu serunya agak tergagap :
“Ciangbunjin, apakah kau bermaksud mengusir boanpwee dari
tempat ini?”
“Benar!” jawab Sun Thian hong, “Perguruan Sam goan bun sudah
tak sanggup menampungmu lagi, sekarang juga harus pergi

meninggalkan tempat ini, moga-moga saja kau bisa menjaga diri
baik-baik dikemudian hari!”
Kho Beng menjadi kelabakan setengah mati setelah perkataan
itu.
Walaupun dihari-hari biasa dia sangat berharap bisa terun
kedunia persilatan dan mengembara sampai keujung langit, tapi
setelah diusir dari perguruan hari ini ibarat sebatang pohon yang
dipotong akarnya, dia bakal menjadi seorang gelandangan yang
mengembara tanpa tujuan, siapakah yang takkan iba menghadapi
keadaan seperti ini?
Dengan wajah tertegun dipandangnya wajah Sun Thian hong
lekat-lekat, namun setelah menyaksikan paras muka ketua yang
hijau membesi dan sama sekali tidak memancarkan sedikit perasaan
pun, sadarkan bocah itu bahwa permohonannya pasti sia-sia belaka.
Oleh sebab itu ujarnya kemudian :
“Kho Beng akan melaksanakan perintah ciangbunjin dengan
sebaik-baiknya, tapi Kho Beng merasa tak tenang karena tak dapat
membalas budi kebaikan ciangbunjin yang telah menampung serta
memelihara ku selama hampir delapan belas tahun lamanya...”
Kata yang jujur dan nada yang sedih membuat Sun Thian hong
ikut merasa kecut hatinya, namun ia menguasai gejolak perasaan
tersebut dengan keras, setelah mendengus dingin, tukasnya :
“Asal kau dapat melaksanakan kedua syarat tadi, tidak
menggunakan ilmu pedang Sam goan kiam hoat lagi dan tidak
mengatakan kepada orang lain bahwa Sam goan bun pernah
menampung dan memelihara dirimu, ini sudah merupakan balas
budi bagi pemeliharaanku slama ini, Ingat! Bila kau berani bertindak
ceroboh dengan tidak mentaati kedua hal tersebut, hmmmm!
Biarpun kau lari keujung langit sekalipun aku tetap akan
mengejarmu untuk mencabut nyawamu. Nah, perkataanku hanya
sampai disini saja, sekarang kau boleh pergi dari sini!”
Dengan pandangan kaku, Kho Beng manggut-manggut, sekali
lagi dia menjura kepada Lu Heng sia serta para anggota sam goan
bun lainnya, kemudian berkata dengan sedih ;
“Delapan belas tahun sudah kita berkumpul, terima kasih banyak
atas perhatian para empek, paman dan toako sekalian terhadapku
dihari-hari yang lalu, setelah berpisah hari ini, entah sampai kapan
kita baru akan bersua kembali, tiada pemberian lain dari Kho Beng

kepada kalian kecuali sambutlah penghormatanku ini. Semoga para
empek, paman dan toako sekalian dapat menjaga diri baik-baik.”
Air mata serasa membasahi sepasang mata para anggota Sam
Goan bun tersebut, cepat-cepat mereka balas memberi hormat.
Walaupun tak seorangpun yang berkata-kata, naun dari mimik waah
mereka dapat terlihat betapa sedihnya perasaan mereka.
Manusia memang mahluk yang berperasaan, setelah berkumpul
selama delapan belas tahun, perpisahan memang dirasakan suatu
kejadian yang amat berat, meski perpisahan itu bersifat sementara.
Disamping itu mereka pun merasa heran dan tak habis mengerti,
mengapa sikap ciangbunjin mereka begitu keras? Mengapa ia
bersikeras hendak mengusir Kho Beng dari perkampungan Cui wi
san ceng?
Sekali lagi Kho Beng memberi hormat kepada semua orang,
kemudian sambil menggertak giginya kencang kencang dan
membawa rasa sedih yang mencekam, ia membalikkan badan dan
beranjak meninggalkan ruangan itu menuju kepintu gerbang, saat
itulah air matanya tak terbendung lagi, tanpa terasa jatuh
berceceran membasahi seluruh wajahnya.
Ia tak habis mengerti apa sebabnya ciangbunjin bersikap sejelek
ini kepadanya? Mengapa ia melarang dia menceritakan kepada orang
lain bahwa ia pernah ditampung oleh pihak Sam goan bun?
Mungkinkah mereka takut dketahui orang bahwa Sam Goan bun
telah menampung seorang anak yatim piatu?
Kho Beng merasa tak habis mengerti, ia benar-benar tidak
mengerti....
Angin gunung berhembus lewat menerpa wajahnya dan
mendatangkan rasa dingin, cepat-cepat dia membesut air matanya,
lalu berpaling dan memandang sekejap bayangan perkampungan Cui
wi san ceng nun jauh didepan sana.
Delapan belas tahun sudah ia berdiam disana, perpisahan
dirasakannya amat berat, ia tak akan bisa merasakan kehangatan
saudara-saudara perguruan lainnya, iapun tak dapat menikmati
kembali hangatnya kamarnya yang pengap....
Kini dihadapannya terbentang masa depan yang penuh tanda
tanya, kemanakah dia akan pergi?
Tiba-tiba rasa sedih menyelimuti seluruh perasaannya.
Terlepas dari baik atau buruk, manusia memang senang
mengenang kembali masa silamnya, terutama sekali bagi Kho Beng

yang kaya akan perasaan. Pikirannya saat ini terombang ambing
dalam kenangan lama yang penuh kegembiraan dimasa silam.
Pada saat itulah mendadak terdengar seseorang menegur dengan
suara dingin :
“Hmmm! Benar-benar tak becus, sudah diusir orang lain, apalagi
akan kau kenang? Dunia begini luas, apakah kau tak mampu berdiri
sendiri ditempat lain ? Apa kau lebih suka hidup bersembunyi macam
kura-kura didalam dapur yang apek baunya ? »
Dengan perasaan tertegun Kho Beng seera berpaling, entah sejak
kapan ternyata Thio bungkuk yangtelah menyelamatkan dirinya telah
berdiri disisi jalan gunung sambil memandang dengan pandangan
dingin.
Ia berdiri disitu dambil membawa sebuah bungkusan kecil
dibahunya dan menggenggam sebuah huncwee panjang.
Bertemu dengan Thio bungkuk, Kho Beng merasa seperti
bertemu dengan sanak keluarga sendiri, cepat-cepat dia lari kedepan
dan berlutut dihadapannya sambil memeluk sepasang lututnya eraterat.
Dengan airmata bercucuran, ia berpekik keras :
“ Thio suhu! “
Thio bungkuk menggelengkan kepalanya berulang kali,
diawasinya Kho Beng sekejap dengan penuh rasa kesedihan,
kemudian ia menghela napas panjang.
Sesaat kemudian dia baru berkata dengan suara dingin :
“ Hayo bangun! Cepat bangun, macam apakah kau berlutut
ditengah alan semacam ini? Seorang laki-laki sejati tak boleh meniru
lagak seorang wanita, bila aku menangis melulu hatiku menjadi
murung rasanya. “
Sekarang Kho Beng sudah tahu bahwa Thio bungkuk meski
dingin sikapnya namun sangat baik perasannya, segera ia membesut
air matanya dan bangkit berdiri sambil berkata :
“Budi pertolongan kau orang tua tak akan kulupakan untuk
selamanya.....aaaai, hanya saja setelah meninggalkan kau orang tua
hari ini, entah sampai kapan kita baru akan bersua kembali? “
Thio bungkuk segera tertawa.
“Tiada perjamuan yang tak bubar didunia ini, perpisahan atau
kematian memang sudah diatur oleh takdir, apalagi yang mesti kau
tangisi? Angkat kepalamu baik-baik dan adilah manusia yang
berguna bagi masyarakat, cerminkan jiwa kesatriamu!”

Kho Beng merasakan semangatnya bangkit kembali setelah
mendengar perkataan tersebut, dengan wajah serius dia berkata :
“Terima kasih banyak atas nasehat kau orang tua!”
Ketika melihat Thio bungkuk menggembol sebuah buntalan
dibahunya, dengan perasaan terkejut bercampur gembira ia berseru
lagi :
“apakah kau orang tua ikut turun gunung?”
Thio bungkuk menggelengkan kepalanya berulang kali,
diambilnya bungkusan itu lalu diserahkannya ketangan Kho Beng
sambil berkata :
“Bungkusan ini sengaja kusiapkan bagimu, hanya pakaian dan
beberapa tahil perak, pergunakanlah bila diperlukan diperjalanan
nanti.”
Kho Beng semakin terharu melihat kebaikan hati Thio bungkuk
terhadapnya, kembali sepasang matanya jadi basah, katanya segera
:
“Kau orang tua terlalu baik kepadaku, setelah berpisah hari ini
entah sampai kapan aku baru dapat membalas budi kebaikanmu
ini….!”
“Kau tak usah mengucapkan kata-kata yang tak berguna lagi,
sesungguhnya didalam peristiwa yang menimpamu hari ini, aku Thio
bungkuk turut memikul tanggung jawab. Terus terang saja aku
katakan, sejak kau mencuri belajar ilmu pedang tersebut pada
setahun berselang, ak telah mengetahui perbuatanmu itu secara
jelas…”
“Ooooh, rupanya Thio suhu sudah tahu,” bisik Kho Beng dengan
perasaan tertegun bercampur keheranan.
“Hmmm! Kalau hanya gerakanmu saja tidak kuketahui, percuma
aku berkelana selama puluhan tahun didalam dunia persilatan,
hanya saja setelah melihat kebulatan tekadmu yang besar, aku
menjadi tak tega untuk menghalangi niatm itu, setelah Sun Thian
hong mengintip dari luar kamarmu semalam, aku baru sadar bahwa
jejakmu telah ketahuan….”
Kho Beng menjadi tertegun, sekarang ia baru mengerti darimana
ciangbunjinnya mengetahui akan perbuatannya itu, diapun semakin
tertarik oleh asal usul Thio bungkuk yang dirasakan penuh dengan
misteri ini.
Terdengar Thio bungkuk mendehem beberapa kali, kemudian
berkata lebih jauh :

“Tapi beginipun ada baiknya juga, memang tiada rahasia yang
tak akan terbongkar didunia ini, dengan terjadinya peristiwa ini
berarti kaupun dapat membebaskan diri lebih cepat, bukankah hal ini
merupakan suatu keberuntungan bagimu?”
“Aku yang muda dapat memahami semua perkataanmu itu, tapi
ada satu hal yang tidak kumengerti, ditinjau dari kemampuan kau
orang tua, mengapa tidak hidup bebas merdeka, sebaliknya justru
rela mentaati perintah orang lain? Mengapa pula kau merahasiakan
identitasmu yang sebenarnya….?”
Thio bungkuk menghela napas panjang.
“Aku naik gunung setahun lebih awal darimu, sedangkan akupun
telah berhutang budi kepada Sun Thian hong, oleh sebab itulah
untuk membayar budi kebaikannya aku rela berbakti kepadanya
selama tiga tahun, tapi setelah berjumpa denganmu, akupun
mengambil keputusan untuk tinggal lebih lanjut disana!”
Berbicara sampai disitu, ditatapnya wajah Kho Beng lekat-lekat,
kemudian sambungnya lebih jauh :
“Kini aku telah melihat kau tumbuh dewasa, paling tidak
setengah dari harapanku pun sudah tercapai.”
“Tapi kau orang tua belum menyebut namamu,” ucap Kho Beng
dengan perasaan amat berterima kasih.
“Soal ini tak perlu diketahui, toh dikemudian hari kau akan
mengetahuinya sendiri, sudahlah sekarang boleh pergi dari sini,
baik-baiklah menjaga dirimu.”
Selesai berkata, Thio bungkuk segera mengulapkan tangannya
berulang kali memerintahkan Kho Beng untuk meneruskan
perjalanan turun gunung.
Tadi Kho Beng masih ingin menanyakan sesuatu, dengan
pancaran sinar memohon ia berkata lagi :
“Thio suhu, aku yang masih muda ada beberapa hal yang tidak
kupahami, harap kau orang tua sudi memberikan penjelasannya.”
“Persoalan apakah itu? Coba kau katakan!”
“Mengapa ketua Sam goan bun melarang aku untuk
menggunakan ilmu pedang Sam goan kiamhoatnya….”
Sambil tertawa dingin Thio bungkuk menukas :
“He..he…heeehh…ilmu pedang Sam goan kiam hoat telah
menjadi serangkaian ilmu pedang yang tak utuh. Kepandaian
tersebut bukan terhitung suatu kepandaian yang maha dahsyat, tak
boleh digunakan ya sudah.”

Kho Beng jadi tertegun, tapi ujarnya lagi :
“Setelah itu ciangbunjin melarangku untuk mengatakan kepada
orang lain bahwa selama ini aku ditampung diperguruan sam goan
bun, mengapa dia takut orang lain mengetahui akan persoalan ini?”
“Hmmm! Selama delapan belas tahun terakhir ini, dia selalu
menyembunyikan diri secara ketat dalam masalah yang menyangkut
soal dirimu, persoalan ini lebih tak berharga lagi untuk dibicarakan!”
“Kau orang tua maksudkan, ciangbunjin takut....takut
kepadaku...?” tanya Kho Beng keheranan.
“Bukan takut padamu, tapi takut orang tahu, dia kuatir Sam goan
bun dimusnahkan orang gara-gara kau!”
Kho Beng merasakan hatinya bergetar keras, kejut dan
keheranan, dia bertanya :
“Siapakah orang itu? Mengapa gara-gara urusanku, Sam goan
bun terancam dibasmi orang?”
Dengan cepat Thio bungkuk mengulapkan tangannya, seraya
menukas :
“Soal ini akan kau ketahui sendiri dikemudian hari, sekarang
masih belum waktunya untuk kau ketahui, tapi mengingat dia telah
memeliharamu selama delapan belas tahun, dikemudian kuharap
kau jangan mengingat dendam sakit hati yang kau alami hari ini....”
“Boanpwee tidak berani!” cepat-cepat Kho Beng berseru.
Thio bungkuk manggut-manggut :
“Bagus sekali begitu, aaaaai….! Terus terang saja kukatakan,
berbicara dari asal usulnya perguruan Sam goan bun yang kecil,
memang tak akan mampu menampungmu, seharusnya kau
mempunyai suatu lingkungan hidup lain yang berbeda sekali dengan
lingkungan hidupmu sekrang ini….”
Sekali lagi Kho Beng dibuat tertegun, baru saja dia akan
menanyakan soal asal usulnya, Thio bungkuk telah mengulapkan
tangannya sambil menukas :
“Aku hanya bisa berkata sampai disini, nah cepatlah turun
gunung aku tak bisa mengantarmu lebih jauh.”
Selesai berkata, ia segera membalikkan badan dan melayang
pergi kearah perkampungan.
Dibawah sorot cahaya matahari, bayangan tubuhnya yang kurus
kecil dan bungkuk itu makin lama semakin mengecil sebelum
akhirnya lenyap dikejauhan sana.

Biar begitu, dalam hati kecil Kho Beng telah tertera bayangan
tubuh Thio bungkuk yang anggun dan besar, dia tidak merasakan
keburukan wajah orang itu, sebaliknya justru merasa begitu hangat
dan akrab….
Tapi beberapa patah kata yang didengarnya tadi kembali
mendatangkan pelbagai persoalan didalam hati kecilnya, asal usul
apakah yang menyelimuti identitas dirinya?
Sun Thian hong bilang Sam goan bun tak mampu
menampungnya lagi, Thio bungkuk pun barusan berkata : Sam goan
bun yang kecil tak akan mampu menampungnya. Perkataan mereka
berdua diutarakan pada saat yang berbeda, meski nada
pembicaraannya berbeda, namun maknanya tak ada perbedaan
sama sekali.
Mungkinkah dia mempunyai asal usul dan riwayat hidup yang luar
biasa sehingga perguruan Sam goan bun tak mampu
menampungnya.
Dengan rasa curiga memenuhi seluruh benaknya, Kho Beng
berdiri termangu disitu sambil mengawasi bayangan tubuh Thio
bungkuk yang telah lama menghilang. Akhirnya dengan wajah
masgul dia membetulkan letak bungkusan pemberiab Thio bungkuk
tadi dan meneruskan perjalanannya menuruni bukit.
Sepanjang perjalanan dia mencoba untuk menyelami kembali
makna pembicaraan dari Thio bungkuk serta Sun Thian hong. Ia
merasa ucapan kedua orang itu seakan-akan saling berkaitan satu
dengan lainnya dan kuncinya terletak pada asal usul serta riwayat
hidupnya itu.
Tapi….kemanakah dia harus menyelidiki asal usul serta riwayat
hidupnya dulu? Diam-diam Kho Beng merasa kesal sekali.
Tanpa terasa ia telah menuruni bukit Cui wi san, sementara
perjalanan masih dilanutkan mendadak dari arah belakang terdengar
seseorang memanggilnya :
“Saudara Kho…..saudara Kho!”
Dengan perasaan tertegun Kho Beng segera berhenti seraya
berpaling, tampak seorang pemuda berbaju putih yang menggembol
pedang dipungungnya sedang berlarian mendekat.
Ternyata pemuda itu tak lain adalah murid sam goan bun yang
semalam diuji ilmu pedangnya serta diluluskan untuk turun gunung
itu, bernama Cho Liu San.
Dengan perasaan tertegun, Kho Beng segera menegur :

“Cho toako, ada urusan apa?”
Dengan wajah berseri dan senyuman dikulum, Cho Liu san
berkata :
“Oooh, tidak apa-apa, sejak belajar ilmu silat delapan tahun
berselang, baru hari ini aku turun gunung, karena kuatir tiada teman
seperjalanan maka aku buru-buru datang menyusulmu, dengan
menempuh perjalanan bersama, kita tentu tak usah takut kesepian
lagi!”
Jilid 02
Melihat rekannya mempunyai usia yang sebaya namun
mempunyai keadaan yang berbeda, rasa sedih Kho Beng makin
menjadi, tapi ia paksakan diri untuk unjukkan sekulum senyuman,
katanya kemudian seraya memberi hormat :
“Hari ini adalah hari bahagia Cho toako karena telah lulus ujian
dan turun gunung, aku harus menyampaikan ucapan selamat
kepadamu.”
Cho Liu san tertawa riang, ditepuknya bahu Kho Beng sambil
berkata :
“Kho Beng, sungguh beruntung kau dapat lolos dari musibah hari
ini, untuk itu aku patut menyampaikan selamat juga kepadamu,
selanjutnya kau bermaksud hendak kemana?”
Kho Beng menghela napas sedih, dipandangnya jalan raya yang
membentang jah kedepan sana, kemudian berkata :
“Dunia amat luas, empat samudera adalah rumah, aku sendiri
juga tak tahu kemana harus pergi.”
Mendengar ucapan tersebut, Cho Liu san segera turut menghela
napas, dengan rasa simpati hiburnya :
“Saudara Kho, yang sudah lewat biarkan saja lewat tak usah kau
pikirkan terus didalam hati, perahu yang tiba diujung jembatan akan
melurus dengan sendirinya. Kau toh bisa mencari tempat kediaman
yang lebih nyaman ditempat ini!”
Dengan mulut membungkam, Kho Beng manggut-manggut, tapi
hiburan yang kosong tak akan melenyapkan kemasgulan dalam hati
kecilnya, ia berjalan dengan harapan hampa, sementara pelbagai
masalah menyelimuti benaknya.
Mendadak terdengar Cho Liu san berseru tertahan, lalu ujarnya :
“Yaa! Aku teringat sekarang, saudara Kho ada dua persoalan, tak
ada salahnya kusampaikan kepadamu, siapa tahu dari kedua hal

tersebut kau dapat melampiaskan rasa kesalmu sekarang dan
berhasil menduduki kursi ciangbunjin dikemudian hari!”
“Soal apa itu?” tanya Kho Beng tertegun.
“Soal pertama menyangkut “Kedele Maut” yang telah
menghebohkan dunia persilatan belakangan ini, aku yakin kau
pernah mendengarnya bukan.....”
Kho Beng mengangguk.
Cho Liu san segera berkata lebih jauh :
“Menurut keterangan yang kudapat dari ciangbun suhu, konon
tujuh partai besar telah mengumumkan baru-baru ini, barang siapa
dapat membekuk si kedele maut yang gemar membantai orang
secara semena-mena itu, maka dia akan diangkat sebagai Bu lim
Beng cu, sebaliknya bagi mereka yang berhasil menyelidiki siapakah
kedele maut itu dan melaporkan dimanakah dia berada, maka orang
itu berhak mengajukan permintaan apa saja kepada tujuh pertai
besar. Saudara Kho, bagaimanapun juga kau toh tiada tujuan
tertentu, apa salahnya kalau ikut aku ke Kim leng dan bergabung
dengan para susiok dan suheng sekalian untuk bersama-sama
menyelidiki jejak si kedele maut itu?”
Kho Beng segera menganggap perkataan dari Cho Liu san itu
kelewat polos, kelewat lucu dan tak masuk akal.
Ketua Sang goan bun telah melarangnya menggunakan ilmu
pedang Sam goan kiam hoat dan melarang mengatakan kepada
orang lain kalau selama ini ditampung dalam perguruan itu,
bagaimana mungkin ia bisa berkumpul bersama-sama para jago Sam
goan bun?
Biarpun para jago dari sam goan bun menaruh kesan baik
kepadanya, tapi setelah mereka tahu kalau ia telah diusir pergi dari
perguruan, apakah mereka berani menampungnya lagi....?
Sementara itu Cho Liu san telah berkata lebih jauh :
“Persoalan kedua mungkin telah kau ketahui, yakni masalah yang
menyangkut lenyapnya ketiga jurus ilmu pedang perguruan kita, tadi
ciangbunjin telah mengumumkan barang siapa dapat menemukan
kembali jurus pedang yang hilang itu, maka dialah ahli waris
perguruan Sam goan bun, calon ciangbunjin kita semua. Saudara
Kho tak ada salahnya kau mencoba beradu untung, asal kau berhasil
melaksanakan salah satu diantara kedua hal ini, niscaya
keinginanmu untuk belajar silat akan terpenuhi dengan cepat.”

Semangat Kho Beng yang sudah lama terpendam dalam hati
kecilnya segera terpancing kembali oleh perkataan tersebut, ia
merasa dirinya tak harus menjadi murid sam goan bun, tidak mesti
jadi ketua Sam goan bun, tapi bila mampu menyelesaikan salah satu
diantara kedua tersebut, paling tidak rasa kesalnya selama ini dapat
terlampiaskan....
Maka ujarnya kemudian, sambil manggut-manggut :
“Betul juga perkataan Cho toako, bagaimanapun juga aku toh
tidak mempunyai tujuan tertentu, tapi kau jangan lupa dengan dua
larangan yang disampaikan ciangbunjin kepadaku....”
Sementara Cho Liu san termangu-mangu, Kho Beng telah berkata
lebih jauh dengan suara rendah :
“...oleh sebab itu aku hanya bisa membantu toako sekalian
melakukan penyelidikan secara diam-diam, tapi tak bisa berkumpul
bersama toako sekalian!”
“Betul!” seru Cho Liu san sambil bertepuk tangan, setibanya
dikota Kim leng nanti, kita menempuh perjalanan sendiri-sendiri tapi
secara diam-diam masih melakukan kontak satu dengan lainnya, ya
memang cara ini lebih tepat!” Maka berangkatlah kedua orang itu
melanjutkan perjalanan, ketika malam tiba mereka beristirahat
disebuah penginapan dikota Ci hui sia.
Malam sudah amat larut. Setitik cahaya lentera menerangi
sebuah kamar dirumah penginapan dalam kota Ci hui sia. Cho Liu
san yang berada dipembaringan sebelah kiri sudah lama
mendengkur, sebaliknya Kho Beng yang berada dipembaringan
sebelah kanan masih melotot besar, pikiran yang kalut embuatnya
tak mampu tidur dengan tenang. Pelan-pelan ia bangkit dari tempat
tidurnya sambil memandang keluar jendela dengan pikiran kosong,
suasana diluar kamar telah hening dan tak kedengaran sedikitpun
suara.
Mendadak sorot matanya terbentur dengan bungkusan
pemberian Thio bungkuk yang diletakkan dimeja. Sepanjang
perjalanan tadi Kho Beng tak sempat memeriksa isi buntalan
tersebut, maka dihampirinya bungkusan itu serta dibuka, ternyata
pakaian yang disiapkan Thio bungkuk baginya masih baru semua,
selain itu tedapat pula lima puluh tahil perak. Ia terkejut bercampur
rasa terima kasih yang tak terhingga, ketika ia memeriksa pakaian
tersebut, tiba-tiba ditemukan juga sejilid kitab tipis.

Dengan cepat kitab itu diambil serta diperiksa dengan seksama,
pada sampul depannya terbacalah beberapa huruf yang berbunyi :
Intisari ilmu pukulan telapak dan pedang dari pelbagai aliran.
Dibawahnya tertulis pula :
Dibuat dan dikumpulkan oleh Thi hong sia tou.
Dalam tertegunnya Kho Beng merasa sangat gembira, cepatcepat
ia membuka halaman berikutnya, ternyata ditengah halaman
terselip selembar surat yang isinya antara lain berbunyi demikian :
“Kho Beng :
Berat rasanya untuk berpisah denganmu, setelah delapan belas
tahun kita hidup bersama. Terimalah sedikit pemberian dari aku
sibungkuk sebagai rasa kasihku kepadamu….”
“Aaaai…suhu bungkuk benar-benar amat baik…” pikir Kho Beng
dengan penuh rasa terima kasih.
Kemudian dibacanya isi surat itu lebih jauh :
“….untuk berkelana didalam dunia persilatan paling tidak kau
harus memiliki sedikit ilmu untuk membela diri, aku tahu ilmu
pedang Sam goan kiam hoat tak mungkin bisa kau pergunakan lagi,
karena itu tak ada salahnya kau latihlah beberapa jurus silat yang
tercantum dalam kitab tersebut, sehingga dalam pengembaraanmu
nanti tak usah dianiaya orang lain.
Dalam kitab itu terdapat enam jurus ilmu pedang, enam jurus
ilmu pukulan tangan kosong serta ilmu meringankan tubuh dari
pelbagai aliran. Aku sengaja pilihkan beberapa diantaranya yang
hebat untuk kau pelajari, karena hal ini paling sesuai dengan
keadaan mu sekarang, disamping itu bila digunakanpun tak sampai
membocorkan identitasmu yang sebenarnya…. “
Membaca sampai disini, kembali Kho Beng jadi kebingungan,
rahasia apakah yang terkandung dibalik asal usulnya? Mengapa
identitasnya harus dirahasiakan seketat itu. “
Cepat-cepat ia membaca lebih jauh :
“….aku duga kau pasti ingin mengetahui asal usulmu bukan?
Tentang masalah ini, kau tak usah gelisah, karena gelisahpun tak
ada gunanya.
Aku sibungkuk akan menungumu selama tiga tahun
diperkampungan Cui wi san ceng, dalam tiga tahun ini tak ada
salahnya kau mencari guru kenamaan serta belajar silat dengan
tekun, bila telah berhasil datanglah menjumpaiku di Sam goan bun,

sampai waktunya aku akan menceritakan segala sesuatunya
kepadamu.
Tapi jika kau gagal dalam tiga tahun ini, lebih baik padamkan
saja keinginan menjadi seorang ahli silat, lupakan segala kenangan
lama dan hiduplah sebagai manusia biasa.
Tapi kau harus ingat, tidak ada orang didunia ini yang pantas
menjadi gurumu, kalau dihitung hanya tiga orang saja yang pantas
yakni sikakek sakti, sisesepuh sakti dan sidewa sakti.
Dewi payung perak tak mungkin menerima murid lelaki,
sedangkan kakek tongkat sakti dan Bu wi lojin adalah tokoh luar
biasa yang tak menentu jejaknya, mereka hanya bisa dijumpai tanpa
sengaja dan tak mungkin dicari, karenanya semuanya ini tergantung
pada nasibmu sendiri.
Tapi akupun mendoakan kepadamu, semoga kau bisa
menemukan penemuan lainnya yang lebih hebat. Nah, hanya sampai
disini saja pesanku ini, jangan lupa dengan janji tiga tahun
mendatang. “
“Tiga tahun…tiga tahun, aaai, betapa lamanya tiga tahun
ini….mengapa harus menunggu selama ini? “
…………….
…………….
Angin berhembus kencang, kuda meringkik nyaring.
Jalan raya yang membentang sepanjang jalan menuju Kim leng
penuh dengan para busu yang bermata tajam dan bersenjatakan
lengkap. Senjata itu, dari sebuah kota Kwan tong yang berada
delapan puluh li dari kota Kim leng muncul dua orang pemuda
berwajah tampan. Pemuda yang berada disebelah kiri memakai baju
biru dan menyoren pedang, sebaliknya pemuda yang berada
disebelah kanan membawa sebuah bungkusan kecil dan memakai
baju putih, meski tidak membawa senjata namun wajahnya jauh
lebih tampan daripada pemuda berbaju biru yang berada disisinya.
Pada saat itulah pemuda berbaju biru itu menunding kearah
sebuah rumah makan diseberang jalan sana sambil berkata kepada
pemuda disebelahnya :
“Saudara Kho, bagaimana dengan rumah makan ini?”
“Terserah kepada Cho toako,” sahut pemuda berbaju putih itu
cepat.
Pemuda berbaju biru itu segera tersenyum dan manggutmanggut.

“Baiklah, bagaimanapun juga kita sudah menempuh perjalanan
bersama selama beberapa hari, setibanya dikota Kim leng kita harus
minum dulu bersama sampai mabuk sebagai tanda perpisahan
sementara, mulai besok pagi, aku akan berangkat dulu disusul kau
beberapa saat kemudian, sampai waktunya kita akan berhubungan
kembali.”
Pemuda berbaju putih itu segera manggut-manggut tanda setuju.
Sementara pembicaraan berlangsung, kedua orang itu telah tiba
dimuka rumah makan tadi, pada papan nama besar yang terpancang
didepan pintu, terbacalah tiga huruf besar yang berbunyi :
“Cui sian kit”
Seorang pelayan segera munculkan diri menyambut kedatangan
mereka, kemudian sambil berpaling, teriaknya keras keras :
“Tamu...datang!”
Beberapa orang pelayan segera munculkan diri untuk menyambut
kedatangan kedua orang pemuda tersebut serta mempersilahkan
naik keatas loteng.
Tak salah lagi, mereka berdua tak lain adalah Kho Beng dan Cho
Liu san.
Tiba diatas loteng, Kho Beng emandang sekejap sekeliling
ruangan, ternyata delapan puluh persen meja kursi disitu telah diisi
tamu, bahkan sebagian besar menggembol senjata. Ini menandakan
bahwa kebanyakan mereka adalah anggota persilatan.
Pelayan mengajak mereka menuju kesebuah meja dibagian
tengah, lalu kedua orang itu memesan hidangan pelayan itupun
mengundurkan diri untuk mempersiapkan.
Sepeninggal sang pelayan, Kho Beng baru berbisik dengan lirih :
“Cho toako, mengapa begitu banyak jago silat yang berkumpul
disini…?”
“Kemungkinan besar telah terjadi sesuatu peristiwa ditempat
ini…” jawab Cho Liu san lirih.
Sementara pembicaraan berlangsung, hidangan telah datang,
maka sambil memenuhi cawan dengan arak, Cho Liu san segera
berkata kepada rekannya :
“Mulai besok kita akan berpisah dan lagi sepanjang jalan kaulah
yang menyukongi aku terus, maka sepantasnya bila aku yang
gantian menjamumu pada malam ini, nah saudara Kho, terimalah
penghormatan secawan arakku ini.”

Kho Beng segera menanggapi dengan meneguk habis cawan
araknya, maka mereka berdua pun segera bersantap dan minum
arak dengan riang gembira.
Pada saat itulah dari bawah loteng terdengar kembali suara
teriakan yang mewartakan ada tamu datang, disusul kemudian
muncul seorang tamu dari bawah loteng.
Tamu itu berwajah bulat dan berusia empat lima puluh tahunan,
dia membawa sebuah bungkusan karung dipunggungnya dan
mengenakan jubah berwarna abu-abu, kecuali sepasang matanya
yang bersinar tajam, dandanannya tak berbeda dengan saudagar
biasa.
Dengan pandangan yang tajam dia memandang sekejap
sekeliling ruangan lalu gumamnya :
“Waah…sudah penuh!”
“Maaf tuan” cepat-cepat sang pelayan berseru sambil tertawa
paksa, “Sejak tadi kan sudah hamba katakan bahwa loteng sudah
penuh, lebih baik tuan duduk dibawah saja….”
Saudagar it tak menggubris ocehan pelayan tersebut, pelan-pelan
dia mengalihkan pandangan matanya kesekeliling ruangan, ketika
memandang sampai dimeja Kho Beng, tiba-tiba ia tertegun, lalu
serunya sambil tertawa :
“Ha…ha…ha…. tak ada tempatpun tak apalah, biar aku
bergabung dengan orang lain saja…”
Dengan langkah cepat ia segera menghampiri meja dimana Kho
Beng berada.
Dengan perasaan apa bpleh buat, terpaksa pelayan itu
mendahuluinya dan berkata sambil tertawa paksa :
“Harap tuan berdua sudi memaafkan, maklumlah rumah makan
kami kelewat kecil sedang dagangan kami hari ini kelewat baik,
sudikah toaya memberi tempat untuk toaya ini.”
Belum lagi perkataan tersebut selesai diucapkan, saudagar itu
sudah menarik bangku dan duduk lebih dulu, sementara pandangan
matanya yang tajam mengawasi terus wajah Kho Beng dengan
pandangan tajam, sebentar ia nampak berkerut kening sebentar
kemudian manggut-manggut, seakan-akan diatas wajah Kho Beng
telah tumbuh sesuatu yang aneh.
Sementara Cho Liu san telah berkerut kening, wajahnya diliputi
hawa amarah dan ia sudah siap menegur orang tersebut yang
dianggapnya tak tahu sopan santun.

Tapi sebelum ia sempat berbicara, Kho Beng telah berkata lebih
dulu:
“Silahkan, silahkan, kami tidak keberatan, apa salahnya kalau
duduk semeja?”
Ia berpendapat bahwa keadaan semacam ini tak akan terhindar
dalam perjalanan diluar, sehingga persoalan kecil tak perlu
menimbulkan perasaan tak senang dihati, itulah sebabnya ia
menjawab dengan cepat.
Namun ketika merasa wajahnya diawasi terus oleh saudagar itu
dengan pandangan tajam, ia menjadi tertegun, pikirnya :
“Aneh betul orang ini, kenapa sih dia mengawasi aku terus?
Jangan jangan ada sesuatu yang aneh denganku?”
Ia mencoba untuk memeriksa tubuhnya, namun tak ada yang
aneh, pemuda itu menjadi semakin keheranan.
Baru saja dia akan bertanya, kedengaran Cho Liu san telah
menegur dengan suara dingin:
“Sobat, caramu memandang orang dengan sikap begini sungguh
tak tahu sopan….!”
Bagaikan baru mendusin dari lamunan, laki-laki bermuka bulat itu
mengiakan berulang kali, kemudian serunya sambil tertawa :
“Ha…ha…ha… maaf, maaf aku jadi kesengsem dengan wajah
tuan ini karena merasa seperti mengenalnya disuatu tempat…”
Ia segera menurunkan karungnya kelantai, kemudian sambil
menjura kepada Cho liu san kembali katanya :
“Beruntung sekali aku bisa duduk semeja dengan anda, bolehkah
aku tahu siapa nama lote?”
“aku dari marga Cho,” jawab Cho Liu san ketus.
“Oooh…ha…ha…ha…rupanya Cho lote, aku yang rendah bernama
Sie Put ku!”
Lalu sambil menjura kearah Kho Beng, ia bertanya lagi :
“Dan bolehkah aku tahu nama lote?”
“Aku bernama Kho Beng” sahut pemuda itu sambil tersenyum,
“Aku rasa kita belum pernah bersua!”
Berkilat sepasang mata Sie Put ku ketika mendengar nama Kho
Beng tadi, ia segera berseru sambil tertawa :
“Aku hanya merasa bahwa wajah Kho lote persis sekali dengan
wajah seorang sahabatku almarhum, itulah sebabnya aku sampai
memandangmu dengan kesengsem, untuk itu harap kau sudi

memaafkan, mari,mari biar kuhormati kalian berdua dengan
secawan arak!”
‘Tuan, kau belum memesan hidangan,” pelayan yang sudah
menanti tak sabar segera memanfaatkan kesempatan itu untuk
mengingatkan.
Cho Liu san yang pada dasarnya sudah mendongkol, kontan saja
menyindir sambil tertawa dingin :
‘Hmmm, kalau toh pingin numpang makan dan minum secara
gratis, kenapa mesti berlagak sok ramah?”
Sie Put ku segera berseru tertahan, buru-buru serunya kepada
sang pelayan :
“Hidangkan semua yang baik, hari ini aku she Sie yang akan
menjamu mereka berdua.”
Kemudian katanya lagi kepada Cho Liu san sambil tertawa lebar :
“Maaf, maaf…aku memang rada pusing kepala hari ini!”
Setelah itu dia baru bertanya lagi kepada Kho Beng :
“Saudara Kho, kau berasal dari mana?”
“Dari wan tiong.”
“Dari wan tiong?” Sie Put ku nampak rada kecewa, tapi kembali
desaknya, ‘bukan berasal dari Hang shin?”
Diam-diam Kho Beng merasa keheranan, dia menganggap Sie Put
ku kurang waras otaknya, sebab tingkah lakunya persis seperti
orang gila.
Tanpa terasa serunya kemudian sambil tertawa tergelak:
“Kitakan baru berjumpa untuk pertama kalinya, buat apa aku
mesti membohongimu?”
Seperti teringat akan sesuatu, kembali Sie Put ku
menganggukkan kepalanya berulang kali, tanyanya lebih jauh:
“Apakah orang tua lote masih sehat walafiat?”
Pertanyaan tersebut segera menyentuh perasaan sedih Kho
Beng, dia menghela napas panjang.
“Aaaai…sejak kecil aku hidup sebatang kara, hingga kini aku
belum tahu siapakah orangtua ku…”
Sepasang mata Sie Put ku sekali lagi bersinar terang.
“Ooooh….lantas lote berada dimana selama ini?”
“Empat samudra adalah rumahku, aku mengembara kemanapun
kakiku membawa....”
“Kalau dilihat dari gerak gerikmu, nampaknya lote pernah belajar
silat, entah kau menjadi anggota perguruan mana?”

Sekali lagi Kho Beng menggelengkan kepalanya dengan sedih.
“Aku Cuma mengerti ilmu silat secara kasar, belum pernah
menjadi anggota perguruan manapun.”
Hidangan telah disiapkan dari tadi, namun Sie Put ku seperti telah
melupakannya, ia sama sekali tak menyentuhnya, hampir seluruh
perhatiannya telah dicurahkan kepada Kho Beng seorang.
Keadaan tersebut tentu saja menjengkelkan Cho Liu san yang
berada disampingnya, selain menimbulkan pula perasaan curiga
dalam hati kecilnya.
Mendadak ia menegur sambil mendengus dingin :
“Hey sobat Sie, aku lihat kau seperti menaruh minat yang besar
sekali terhadap saudara Kho ini, sudah selesai belum dengan
pertanyaanmu itu? Sekarang giliran aku yang bertanya kepadamu!”
Sie Put ku nampak tertegun, tapi segera sahutnya sambil tertawa
bergelak :
“Ha...ha....ha....baru bertemu sudah merasa seperti kenal,
mungkin inilah yang dinamakan berjodoh...ha....ha....ha....mari,mari
kita bersantap dan minum arak lebih dulu sebelum berbincangbincang
kembali!”
Dengan cepat Cho Liu san menyilangkan tangannya menghalangi
orang itu bersantap, ucapnya ketus :
“Tak usah terburu-buru, darimana sobat?”
“Ha...ha....ha...dari Kim leng.”
“Selama ini apa pekerjaanmu?”
“Pedagang keliling!”
Cho Liu san tertegun, dia tak tahu apakah pekerjaan seorang
pedagang keliling, maklumlah sebagai anak muda yang baru turun
gunung, pengetahuannya memang amat cetek.
Tapi ia segera bertanya lagi dengan suara dingin:
“Apa isi kantung yang kau bawa itu?”
“Kedele!” jawab Sie Put ku sambil tertawa misterius. Untuk
kesekian kalinya Cho liu san dibuat tertegun.
Tapi jawaban tersebut segera memancing pula perhatian dari
kawanan jago silat yang berada disekeliling tempat itu, serentak
semua mengalihkan pandangan matanya kearah orang tersebut.
Kho Beng masih belum merasakan hal itu, ia segera berkata
sambil tertawa sesudah mendengar perkataan itu.
“Oooh, rupanya saudara Sie adalah seorang pedagang kedele!”

“Hmmm!” Cho Liu san segera mendengus, “kalau seorang
pedagang kedele hanya membawa sekarung kedele saja untuk
dijual, sejak dulu ia sudah mati kelaparan!”
Kho Beng segera merasa perkataan itu ada benarnya juga, maka
ia bertanya lagi kepada Sie Put ku :
“Jangan-jangan saudara Sie membuka usaha penggilingan tahu?”
“Ooooh tidak!” Sie Put ku segera menggeleng.
“Untuk dimakan sendiri?”
“Juga bukan!”
“Lalu buat apa kau membawa sekarung kedele? Ayo cepat
jawab!”
Bentakan tersebut berasal dari meja seberang, suaranya yang
keras dan penuh tenaga membuat semua pendengar merasakan
telinganya mendengung amat nyaring.
Dengan perasaan terkejut, Kho Beng berpaling, rupanya si
pembicara adalah seorang busu berbaju kuning.
Waktu itu sibusu berbaju kuning itu sudah berdiri sambil bertolak
pinggang, alis matanya yang hitam tebal berkenyit, wajahnya penuh
dihiasi napsu membunuh yang tebal. Dia sedang mengawasi Sie Put
ku dengan mata melotot.
Sie Put ku berpaling dan mengawasi busu itu sekejap, lalu
katanya sambil tertawa.
“Eeei, lucu amat saudara in, apa sebabnya kau marah-marah
seperti itu? Dan atas dasar apa aku mesti memberitahukan soal ini
kepadamu?”
Dengan mata mendelik besar, busu berbaju kuning itu tertawa
dingin tiada hentinya.
“Hey orang she Sie! Perhatikan baik-baik jika matamu buta,
seharusnya kau dapat menduga kedudukanku dari pakaian yang
toaya kenakan. Belakangan ini secara beruntun telah terjadi
pembunuhan berantai disekitar Kim leng, semalam tiga nyawa
melayang pula di Kwan tong tin oleh enam butir kedele, kini semua
jago persilatan sedang menelusuri jejak ari si kedele maut tersebut.
Karenanya kau harus menjelaskan identitasmu dengan seterangterangnya,
kalau tidak….hmmm…hmmm…jangan salahkan kalau
toaya tak akan berlaku sungkan-sungkan lagi kepadamu!”
Sie Put ku segera tergelak, “Apa sih yang sedang kau bicarakan?
aku Sie Put ku sama sekali tidak mengerti, tapi ada satu hal yang
kuketahui dengan jelas, dilihat dari pakaian berwarna kuning yang

kau kenakan serta tiga kuntum bunga bwee yang tersulam
didadamu, bisa jadi kau adalah orang ketiga dari Jit bwee jit kiam
atau ketujuh bwee tujuh pedang dari Hoa San pay yang disebut
orang Ki Hong bukan begitu?”
Mendengar pembicaraan yang sedang berlangsung, diam-diam
Kho Beng merasa terkejut.
Didengar dari pembicaraan busu berbaju kuning dari Hoa San pay
itu, ia baru tahu kalau disekitar tempat tersebut benar-benar sudah
terjadi peristiwa berdarah, mungkinkah si kedele maut telah beraksi
kembali disitu?
Tapi setelah mendengar dari Sie Put ku, hatinya semakin terkejut.
Tadinya ia mengira orang itu seorang saudagar keliling, tapi
kenyataannya orang itu dapat menyebutkan identitas busu berbaju
kuning dalam sekilas pandang, ini berarti orang tersebut merupakan
seorang jago silat berilmu tinggi yang sengaja merahasiakan
identitasnya.
Tanpa terasa ia berdiri tertegun untuk beberapa saat lamanya.
Sementara itu Khi Hong, sijago pedang berbaju kuning dari Hoa
San pay itu sudah berkata lagi sambil tertawa dingin :
“Hey orang she Sie, ternyata kau benar-benar anggota persilatan,
nyatanya kau mampu menyebutkan namaku secara jelas,
hmmm...rasanya kau tentu punya nama juga didunia persilatan. Nah
sekarang tolong jelaskan kepadaku, apa gunanya kedele sekarang
yang kau bawa ini?”
“Tak ada salahnya untuk memberitahukan kepadamu! Kedele ini
kugunakan untuk makan ternak.”
“Untuk makan ternak!”
Bukan Cuma Kho Beng yang tertegun, bahkan segenap umat
persilatan yang berada didalam rumah makan serta Khi Hong turut
tertegun dibuatnya.
Mendadak Khi hong meninggalkan tempat duduknya, kemudian
sambil berjalan mendekat, katanya lagi sambil tertawa dingin :
“Waaah….ternakmu itu tentu mahal sekali harganya, terbukti
untuk ternakmu itu anda bersedia menggotong sekarung kedele
menempuh perjalanan sejauh delapan puluh li lebih…aku Khi Hong
jadi kepingin tahu kedele macam apa yang berada dalam karung
itu.”
Tiba-tiba paras muka Sie Put ku berubah hebat, cepat ia
menghalangi perbuatan lawan sambil membentak :

“Jangan kau sentuh!”
“Mengapa tak boleh disentuh?”
Kali ini orang yang menegur adalah seorang kakek berbaju ungu
yang duduk dibelakang meja Sie Put ku, sambil menegur matanya
yang tajam mengawasi wajah orang she Sie itu tajam-tajam.
Sie Put ku segera menggenggam karungnya erat-erat, lalu
menjengek sambil tertawa dingin :
“Atas dasar apa kalian hendak memeriksa isi karungku ini?”
Kakek berbaju ungu itu mendengus dingin, tiba-tiba dia
melakukan sebuah sodokan kilat dengan menggunakan kedua buah
jari tangannya yang digunakan seperti tombak.
Serangan itu bukan ditujukan ketubuh Sie Put ku, melainkan
mengarah karung tersebut.
“Duuukkk…!”
Karung itu seketika berlubang dan kedele yang berada didalam
karungpun berceceran diatas tanah.
Semua pandangan mata kawanan jago yang berada dalam ruang
makan pun bersama-sama ditujukan kearah kedele yang berceceran
itu, namun dengan cepat mereka dibuat tertegun.
Isi karung tersebut memang berupa kedele yang cukup besar,
hanya warna kedele itu bukan kuning melainkan hitam berkilat.
Mana ada kedele berwarna hitam berkilat didunia ini?
Baru saja jago pedang dari Hoa San pay, Khi Hong
membungkukkan badan untuk mengambil kedele itu, tiba-tiba
terdengar seseorang membentak keras :
“Jangan disentuh, ada racun!”
Dengan perasaan terkesiap. Khi hong segera menarik kembali
tangannya cepat-cepat.
Sementara semua orang masih diliputi perasan tertegun, tahutahu
Sie Put ku telah menyambar karung kedelenya, sambil melejit
ketengah udara.
Kho Beng hanya merasakan pandangan matanya menjadi kabur,
tahu-tahu bayangan manusia itu sudah lenyap dari hadapannya,
cepat dia berpaling, tampak Sie Put ku sudah melompat keluar
jendela dan lenyap dari pandangan mata.
Disusul kemudian dari kejauhan dana berkumandang datang
suara nyanyian yang amat nyaring :
“Seluruh dunia takut dengan kedele
Hanya aku tersenyum seorang diri

Siapa bilang kedele adalah penyamun?
Kubilang kedele adalah jago yang gagah!”
“Aaah! Bajingan itu adalah kedele maut!”
Tiba-tiba suara nyanyian itu diputuskan dengan suara bentakan
keras yang berasal dari seorang laki-laki berbaju merah.
Tampak orang itu segera meloloskan senjata tajamnya sambil
membentak lagi:
“Hayo kejar!”
Secepat sambaran kilat dia meluncur keluar jendela dan
melakukan pengejaran dengan cepat.
Segenap jago persilatan yang berada dalam ruang loteng itu
segera tersadar kembali dari lamunan masing-masing, sambil
meloloskan senjata tajam, mereka segera melakukan pengejaran
ketat.
Tampak puluhan sosok bayangan manusia berkelebat keluar
jendela, dalam waktu singkat hampir semuanya telah berlalu dari
situ.
Kho Beng yang menyaksikan peristiwa ini Cuma bisa
membelalakkan matanya dan berdiri melongo, ia melihat Cho Liu san
telah meloloskan pedangnya sambil berkata:
“Saudara Kho! Tunggulah aku disini, aku akan pergi melihat
keramaian sebentar!”
Tidak menunggu jawaban dari Kho Beng lagi, dia turut melompat
keluar jendela dan menyusul kawanan jago persilatan lainnya.
Dalam waktu singkat, rumah makan yang semula amat ramai kini
jadi kosong melompong, yang masih tertinggal disana tinggal enam
tujuh orang saja.
Dengan cepat Kho Beng tersadar kembali dari lamunannya, ia
segera berpikir:
“Daripada duduk menunggu, kenapa kau tidak turut pergi melihat
keramaian? Orang bilang kedele maut adalah iblis jahat yang suka
membantai umat persilatan, andaikata aku bisa menyumbangkan
sedikit tenaga, bukankah hal ini bermanfaat bagi dunia persilatan
pada umumnya?”
Ia mengerti, Cho Liu san sengaja menyuruhnya menunggu disitu,
karena kuatir dia menjumpai bahaya mengingat ilmu silatnya yang
terlalu cetek, padahal selama berapa waktu terakhir ini, saban
malam dia selalu berlatih, kemampuan yang dimilikinya sekarang
tidak berada dibawah kemampuan Cho toakonya.

Berpikir demikian, diapun cepat-cepat bangkit, baru saja akan
melompat keluar lewat jendela, mendadak tampak tiga orang
pelayan berlari mendekat, sambil menghadang mereka berseru
bersama dengan muka merengek.
“Tuan, kalau kau pun pergi tanpa membayar, bagaimana
mungkin kami bisa bertanggung jawab kepada majikan kami nanti?”
Kho Beng tertegun lalu sadar kembali, cepat-cepat serunya
sambil tertawa:
“Berapa sih rekening kami?”
“Semuanya tiga tahil enam rence!”
Tapi setelah merogoh kedalam sakunya, merah jengah selembar
wajah Kho Beng, diam-diam ia mengeluh.
Ternyata uang sakunya sudah hampir habis terpakai untuk biaya
penginapan dan bersantapnya bersama Cho Liu san selama ini, yang
tersisa sekarang Cuma beberapa keping hancuran perak.
Paras muka ketiga orang pelayan itupun turut berubah setelah
menyaksikan kejadian ini.
Dalam cemasnya Kho Beng segera berpikir:
“Sekarang aku sudah kehabisan sangu, yang tertinggal pun
hanya sekeping kemala yang kukenang sejak kecil, biarlah
kugadaikan dulu untuk sementara waktu, bila Cho Liu san telah
datang nanti, biar kutebus kembali.”
Berpikir sampai disitu, dia segera mengeluarkan sisa uang yang
masih ada keatas meja, lalu sambil melepaskan untaian kemala yang
dikenakan itu ujarnya kepada si pelayan:
“Maaf kalau aku kehabisan uang tapi biarlah kugadaikan dulu
batu kumala ini, sebentar akan kutebus kembali.”
Selesai berkata dia segera melompat keluar jendela dan
menyusul Cho Liu san dengan cepat.
Ketiga orang pelayan itu menjadi tertegun untuk beberapa saat
lamanya, kemudian seorang diantara mereka memeriksa batu
kumala itu dengan seksama.
Belum selesai dia melihat, mendadak dari samping mereka
muncul sebuah tangan yang segera menyambar batu kumala itu
dengan kecepatan luar biasa.
Dengan perasaan terkejut para pelayan berpaling, ternyata
disamping mereka telah muncul seorang sastrawan setengah umur
berbaju hitam yang waktu itu sedang mengamati batu kumala
tersebut dengan penuh perhatian.

Batu kumala itu besarnya setengah telapak tangan, dibagian
tengah terukir dua huruf yang berbunyi “Kit siong” sedangkan
disekelilingnya berukiran naga sakti dengan delapan cakarnya, bila
digenggam batu kumala itu terasa hangat sekali.
Pelayan itu menjadi tertegun setelah menyaksikan kejadian ini,
segera teriaknya:
“Tuan, mau apa kau?”
Sastrawan setengah umur berbaju hitam itu sama sekali tidak
menggubris, ia termenung beberapa saat lamanya, kemudian baru
bergumam sambil mengangguk berulang kali:
“Ehmmm.....dinding naga kumala hijau (Cing giok liong pit)....tak
salah lagi.....pasti dia...”
Mendadak dia mengambil sekeping uang perak dan diserahkan
kepada pelayan itu sambil berkata:
“Sungguh tak kusangka pemuda tadi adalah putra sahabat
karibku, biar rekeningnya aku bayar sedang batu kemala ini akan
kusimpan untuk sementara waktu.”
“Tapi.....tapi....kalau orang itu minta kembali kepada kami,
bagaimana mungkin hamba bisa mempertanggung jawabkan diri?”
seru pelayan itu panik.
Sastrawan berbaju hitam itu segera melotot besar, tukasnya
dengan ketus:
“Kenapa tidak? Aku tinggal dirumah penginapan Put ji kui
diseberang jalan, apa bila pemuda tersebut telah kembali nanti,
suruh saja datang mencariku disana.”
Sepasang matanya yang bersinar tajam bagaikan sembilu
membuat ketiga orang pelayan tersebut menjadi ketakutan setengah
mati dan tak berani bicara lagi, mereka hanya bisa melihat bayangan
si sastrawan tersebut berjalan menuruni anak tangga.
Dalam pada waktu itu, ketika Kho Beng melayang turun dari
rumah makan, ia sudah tak melihat lagi bayangan tubuh dari
kawanan jago persilatan tersebut, yang ada hanya rakyat yang
sedang menonton keramaian disekelilingnya.
Setelah menentukan arah, ia segera berlarian menuju keluar
kota, dalam waktu singkat setengah li sudah dilalui, namun tak
sesosok bayangan manusia pun yang nampak.
Tanpa terasa dia menghentikan perjalanannya sambil berpikir
dengan keheranan:
“Sungguh aneh, kemana perginya orang-orang itu?”

Sementara dia masih termenung, mendadak terendus bau darah
yg amis sekali berhembus lewat terbawa angin.
Dengan hati terkesiap Kho Beng segera memperhatikan sekeliling
tempat itu, sejauh mata memandang hanya pepohonan bambu yang
lebat terbentang didepan mata, bau amis tadi tak lain berasal dari
balik hutan yang berjarak lima kaki dari posisinya.
Dengan perasaan hati yang kebat kebit, dia memburu masuk
kedalam hutan itu, benar juga, bau amisnya darah makin lama
semakin bertambah terasa, kemudian setelah berbelok tiga tikungan,
tampaklah dua sosok mayat membujur diatas tanah.
Dengan perasaan tercekat, Kho Beng segera menghentikan
langkahnya, kemudian perlahan-lahan ia berjalan mendekat.
Ketika diperiksa, ternyata kedua sosok mayat tersebut adalah Khi
hong sijago pedang dari Hoa san pay serta seorang kakek berbaju
hitam.
Namun luka yang menyebabkan kematian mereka terletak
didepan dada semua, mulut luka panjangnya mencapai setengah
depa dan kelihatannya terluka oleh bacokan senjata tajam, darah
kental masih mengucur keluar tiada hentinya, hal ini membuktikan
bahwa mereka belum lama menemui ajalnya.
Bergidik perasaan Kho Beng sesudah melihat peristiwa ini, segera
pikirnya:
“Benar-benar keji sekali cara membunuh orang ini, jangan-jangan
Sie Put ku adalah si kedele maut yang sedang dicari-cari oleh
segenap umat persilatan?”
Ia mulai mengkhawatirkan keselamatan jiwa Cho liu san, betapa
tidak! Dibawah kerubutan berpuluh orang jago lihay pun Sie Put ku
masih mampu membinasakan dua orang musuhnya, bagaimana
mungkin Cho toako dengan kepandaian silatnya yang begitu rendah,
akan mampu mempertahankan diri?
Angin malam terasa berhembus kencang,
-------missing page 48 – 57---------
....keperkampungan Hui im ceng di Hang ciu untuk melakukan
penyelidikan?
Maka tanpa menginap lagi, berangkatlah Kho Beng pada malam
itu juga menuju kekota Hang Ciu.

Pemandangan alam disekitar kota Hang ciu memang termasyur
diseantero jagat, sebuah telaga yang permai terbentang dikelilingi
tiga bukit, sementara sisi yang lain menempel dengan kota tersebut,
entah berapa banyak orang yang terpikat oleh keindahan alam
disitu.
Setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh, akhirnya
sampailah Kho Beng diota Hang ciu.
Saat itu dia tak berminat untuk menikmati keindahan alam
disekitar sana, dia hanya ingin secepatnya tiba diperkampungan Hui
im ceng serta menyelidiki persoalan sekita asal usulnya.
Waktu menunjukkan menjelang tengah hari, Kho Beng pun
menuju kesebuah rumah makan untuk mengisi perut, kemudian
tanyanya pada si pelayan :
“Hey pelayan, aku ingin menanyakan sebuah alamat kepadamu,
apakah kau tahu?”
Sambil tertawa pelayan itu menyahut:
“Silahkan toaya bertanya, hamba memang penduduk asli kota ini,
asal tempat tersebut berada disekitar Hang ciu, hamba pasti akan
mengetahuinya.”
“Dimanakah letak perkampungan Hui im ceng?” tanya Kho Beng
sambil tersenyum.
Begitu mendengar nama “Hui im ceng” mendadak paras muka
pelayan itu berubah hebat, cepat-cepat ia berbisik dengan wajah
tercengang :
“Toaya, mau apa kau pergi ke Hui im ceng?”
Kho Beng yang belum pengalaman dan baru terjun kedunia
persilatan jadi tertegun, setelah melihat perubahan wajah pelayan
itu, segera pikirnya:
“Waaah....nampaknya Hui im ceng punya nama cukup besar
dikota ini, tapi mengapa pelayan ini berubah muka?”
Berpikir sampai disitu, diapun segera menjawab :
“Aku hendak mencari orang di Hui im ceng, hey pelayan apakah
ada sesuatu yang tak beres?”
Pelayan itu mula-mula tertegun, kemudian katanya sambil
tertawa geli :
“Mau mencari orang di Hui im ceng? Toaya, kau jangan
menggoda hamba. “
Kho Beng menjadi mendongkol sekali, segera menegur agak
marah :

“Hey pelayan, jauh-jauh datang ke Hang ciu, aku khusus hendak
mencari oran di hui im ceng, siapa bilang aku sedang
menggodamu…. ?”
Pelayan itu menjadi tertegun beberapa saat lamanya, setelah itu
ia baru berbisik.
“Toaya, terus terang saja kukatakan, Hui im ceng telah menjadi
rumah tanpa penghuni semenjak dua puluh tahun berselang, disitu
tak ada orang, tapi setan sih banyak sekali.”
Kho Beng terkesiap dan memandang pelayan itu dengan
termangu, kemudian serunya gelisah:
“Pelayan! Sebenarnya dimana sih letak Hui im ceng? Apa yang
telah terjadi dengan perkampungan tersebut?”
“Panjang sekali untuk diceritakan, Hui im ceng terletak dikaki
bukit Mao san, kurang lebih lima li ditimur kota, dulu penghuninya
adalah seorang yang ternama, kemudian entah bencana apa yang
telah menimpa keluarganya, pada delapan belas tahun berselang
semua penghuninya tewas tanpa sisa, dan perkampungan itupun
berubah menjadi gedung hantu....?”
“Apakah tak pernah ada orang yang berani masuk kesitu?” sela
Kho Beng.
“Hmm.... bukan saja tak ada yang berani masuk, beberapa tahun
belakangan ini malah muncul hantunya, setiap malam selalu
kedengaran ada orang menangis didalam gedung itu, lagi pula sering
ditemukan orang mati, entah dari mana datangnya orang-orang itu,
mereka pada tewas didepan gedung itu. Konon orang-orang itu mati
ketakutan ketika terdorong oleh rasa ingin tahunya melakukan
penyelidikan disitu, selama beberapa tahun terakhir, suasana
disekitar gedung tersebut tak pernah tenang sehingga rakyat
disekelilingnya banyak yang pindah, kini seputar tiga li dari gedung
tersebut menjadi sepi tanpa penghuni, suasananya menjadi lebih
mengerikan lagi.”
Kho Beng mendengarkan semua pembicaraan tersebut dengan
perasaan termangu, jauh-jauh dia datang kemari ternyata alamat
yang dituju adalah sebuah gedung hantu, lantas apa maksud orang
she Li itu menyuruhnya datang kemari?
Sementara itu terdengar si pelayan telah berkata lagi:
“Toaya, jika kedatanganmu pun disebabkan oleh rasa ingin tahu,
hamba anjurkan lebih baik jangan kesana, sebab kalau sampai
kehilangan nyawa dengan percuma kau rugi besar.....”

Selesai berkata ia segera mengundurkan diri dari sana.
Kho Beng termangu beberapa saat lamanya, ia tahu sekalipun
ditanya lagipun tak akan banyak keterangan yang bisa dikorek, tapi
benarkah didunia ini ada hantunya?
Setelah berpikir lebih jauh, dia merasa tak baik kalau
mengundurkan diri dengan begitu saja setelah tiba di Hang ciu
sekarang, selain itu heboh hantu pun memancing rasa ingin tahu
dalam hatinya.
Jilid 03
Maka selesai mengisi perut, cepat-cepat dia membayar
rekeningnya dan meninggalkan rumah makan tersebut.
Sesudah keluar dari pintu timur, ia berjalan menelusuri sebuah
jalan besar, tanpa terasa dua tiga li telah dilalui.
Benar juga, suasana disekitar sana makin lama semakin sepi dan
menyeramkan, ini menunjukkan kalau perkataan si pelayan tadi
tidak bohong.
Sepanjang jalan dia menjumpai banyak rumah yang tanpa
penghuni, malah banyak pula yang sudah roboh, mungkin rumah
rumah itu adalah bekas rumah penduduk yang ditinggalkan
penghuninya.
Akhirnya dari kejauhan dana ia saksikan sebuah gedung
perkampungan yang megah, bangunan itu berdiri dikaki bukit,
semuanya terbuat dari batu yang kokoh dan megah, bisa diduga
pemiliknya dulu tentu merupakan seorang yang ternama dan kaya
raya.
Kho Beng tahu, gedung tersebut tentulah Hui im ceng yang
dimaksud, ia mencoba memperhatikan sekeliling situ, ternyata tak
sesosok bayangan manusia pun yang nampak. Suasana dimusim
gugur yang gersang menambah suasana ngeri dan menyeramkan
disekeliling gedung tersebut.
Ia mendekati pintu gedung, sarang laba-laba kelihatan menghiasi
setiap sudut bangunan, pintu gerbang setengah terbuka tapi terasa
mengerikan.
Lama sekali pemuda itu berdiri ragu didepan pintu, pikirnya
kemudian:
“Aaah…masa disiang aripun ada setan yang bakal muncul?”
Setelah menenangkan hatinya, diapun mendorong pintu gerbang
ang lapuk itu,

“Kraaak…”
Pintu segera terbuka lebar, pemandangan pertama yang
kemudian terpampang didepan mata adalah tumbuhan ilalang
setinggi lutut yang menyelimuti seluruh permukaan tanah, ketika
angin berhembus lewat menggoyangkan ilalang, lamat-lamat
terlihatlah tengkorak manusia berserakan dimana-mana.
Diam-diam Kho Beng merasa merinding, setelah melihat kejadia
itu, tanpa terasa bulu kuduknya pada bangun berdiri.
Sekalipun disiang hari bolong dia toh dapat merasakan betapa
seramnya dan ngerinya suasana dalam gedung tersebut.
Beberapa saat kemudian, dengan memberanikan diri ia
melangkah masuk kedalam gedung tersebut dengan langkah pelan.
Tiba-tiba terdengar suara mencicit muncul dari balik ilalang,
disusul bergelombangnya tumbuhan disekitar sana, Kho Beng
terkejut dan cepat-cepat melompat mundur.
Tapi ia menjadi geli sendiri setelah melihat apa yang terjadi,
rupanya ada bberapa ekor tikus yang lari ketakutan.
Sambil menghembuskan napas panjang, Kho Beng berpikir dihati
kecilnya:
“Kho Beng, wahai Kho Beng…kalau keadan seperti inipun sudah
membuat kau ketakutan, bagaimana mungkin kau bisa menjadi
seorang pendekar dan orang gagah didalam dunia persilatan?”
Berpikir sampai disitu, semangatnya segera berkobar kembali,
dengan langkah lebar dia meneruskan perjalanannya kedalam
gedung tersebut.
Setelah melewati pelataran, didepan sana merupakan sebuah
gedung besar yang berbentuk ruang tamu, kursi meja masih
tersusun rapi disekitarnya, namun debu setebal berapa inci
menyelimuti seluruh permukaan lantai, hal ini menunjukkan kalau
gedung tersebut sudah lama tak pernah dijamah manusia.
Dengan langkah yang santai dia berjalan memasuki ruang tamu,
sambil mengamati sekeliling dengan seksama akhirnya pemuda itu
masuk kedalam gedung kedua.
Tempat itu merupakan sebuah bangunan berloteng, sederet
jendela yang menghadap keluar meski sudah dilapisi debu tebal,
namun masih kelihatan sisa-sisa kemegahan dimasa lalu.
Pemuda itu mencoba untuk membuka pintu ruangan dan
melangkah masuk, tapi apa yang kemudian terlihat segera membuat
perasaannya menjadi tercekat.

Ternyata semua perabot disitu teratur rapi sekali, lantaipun amat
bersih, tak setitik nodapun yang nampak.
Benar-benar satu kejadian aneh, kalau dibilang disitu tak ada
penghuninya, mengapa ruangan tersebut begitu bersih dan terawat
baik? Kalau dibilang ada penghuninya, sudah sekian lama dia
memasuki gedung tersebut, namun tak setitik suarapun
kedengaran…
Semakin dipikir Kho Beng merasa semakin ngeri sehingga tanpa
terasa bulu kuduknya pada bangun berdiri, cepat-cepat dia kabur
keluar dari pintu ruangan.
Tapi setelah termenung sejenak pemuda itu meneruskan kembali
perjalanannya menuju keruang belakang.
Semakin kedalam ia berjalan, Hui im ceng begitu luas dan besar,
sepanjang jalan banyak pepohonan yang tumbuh rindang, jalannya
pun berliku-liku, kesemuanya ini membuat suasana disana terasa
makin menyeramkan dan menggidikkan hati…!
Selesai melakukan pemeriksaan disekeliling gedung, pemuda itu
balik kembali kegedung kedua.
Hingga kini dia masih bimbang dan tak habis mengerti, dia tak
berhasil menemukan titik terang yang menunjukkan bahwa antara
dia dengan hui im ceng tersebut mempunyai sangkut paut yang luas.
Selain itu, kecuali gedung bertingkat tersebut yang nampaknya
rada mencurigakan, ditempat lain ia tak berhasil menemukan
sesuatu yang menyolok.
Lalu apa yang harus diperbuatnya sekarang? Pergi meninggalkan
tempat tersebut atau tetap tinggal disitu? Apakah maksud orang
yang menyuruhnya datang kesitu hanya untuk menonton gedung
hantu ini?
Diliputi perasan ragu dan bimbang, Kho Beng masuk kembali
kedalam ruang gedung yg bersih tadi.
Namun secara tiba-tiba, ia berseru kaget dan mundur sejauh tiga
langkah lebih setelah pandangan matanya dialihkan kearah meja
besar.
Ternyata diatas meja tersebut telah bertambah dengan sederet
tulisan yg berbunyi begini:
“Jika masih sayang nyawa, pergilah meninggalkan tempat ini
sebelum matahari terbenam.”
Kho Beng benar-benar amat terperanjat, seingatnya sewaktu
masuk untuk pertama kalinya tadi diatas meja sama sekali tak

terdapat tulisan apa-apa. Ini berarti surat peringatan itu dibuat pada
saat dia sedang memeriksa bagian gedung yang lain.
Pemuda itu segera mengangkat kepalanya sambil mencoba untuk
memperhatikan keadaan disekitar situ, suasana terasa hening & sepi
sedang disekitar situpun kosong melompong, mustahil ada orang
kedua yg telah memasuki tempat itu, tapi…..siapakah yg telah
meninggalkan surat peringatan tersebut? Mungkinkah setan…..?
Dalam waktu singkat, Kho Beng kembali merasakan suasana
misterius menyelimuti seluruh perkampungan Hui im ceng tersebut.
Sesungguhnya pemuda itu telah bersiap-siap akan meninggalkan
tempat tersebut, tapi surat peringatan itu segera membangkitkan
kembali sifat ingin tahunya.
Sambil tertawa nyaring segera serunya dengan lantang:
“Selama hidup aku Kho Beng belum perna melihat setan, malam
ini ingin kusaksikan sampai dimanakah kehebatan setan dedemit
dalam menggoda manusia….”
Suasana disekeliling tempat itu tetap terasa hening, sepi dan tak
kedengaran sedikit suara pun.
Melihat tiada suara tanggapan, Kho Beng pun segera balik
kembali keruang semula, menurunkan buntalannya dan duduk
bersemedi diatas sebuah kursi.
Matahari senja telah condong dilangit barat, tak lama kemudian
cahaya kemerahan itupun lenyap dari pandangan mata, suasana
gelap segera menyelimuti seluruh angkasa.
Tatkala Kho Beng selesai dengan semedinya dan membuka mata,
ruang tersebut telah dicekam kegelapan malam.
Dia masih ingat ketika dalam perjalanan, maka diambilnya
ransum tersebut dan dimakan secara pelan-pelan sambil
memperhatikan suasana diluar gedung.
Biarpun ruangan itu tanpa cahaya lentera, sinar rembulan
diangkasa mendatangkan suasana cerah diseputar gedung tersebut.
Selesai bersantap, Kho Beng merasakan semangatnya berkobar
kembali, dia tak tahu apa yg mesti diperbuatnya dalam kegelapan
malam begini, maka dengan langkah pelan dia keluar dari ruangan
dan mengawasi keadaan di sekitar sana.
Tampak kegelapan malam telah menyelimuti setiap sudut gedung
itu, pemandangannya sepuluh kali lipat lebih menyeramkan dari
pada disiang hari tadi.

Dibawah timpaan sinar rembulan, bayangan pohon yang terbias
menciptakan bayangan aneh yang menyerupai setan, angin malam
yg berhembus kencang menimbulkan udara dingin yang
membekukan, ditambah pula dg suara jeritan tikus yg lebih mirip
jeritan setan. Kesemuanya ini membuat perkampungan Hui im ceng
seolah-olah berubah menjadi sebuah dunia setan.
Biarpun sewaktu siang tadi Kho Beng telah mengadakan kontrol
yg cermat disekitar sana, tapi dalam suasana begini, tak urung
bergidik juga hatinya.
Cepat-cepat dia kembali keruang tengah, menutup pintu depan
lalu bersemedi dikursi, walaupun perasaannya mulai gugup, namun
wataknya yg keras kepala membuatnya bertekad untuk bermalam
disitu. Dia ingin mengetahui sampai dimanakah kehebatan dan
keseraman gedung tersebut.
Malam pun makn lama semakin larut, suasana tenang dan sepi
makin mencekam seluru jagat, tunggu punya tunggu Kho Beng
belum juga menangkap sesuatu suara yang aneh, tanpa terasa
diapun berpikir:
“Konon hawa panas manusia membuat setan dedemit pada kabur
ketakutan, jangan-jangan setannya tak akan muncul pada malam
ini…”
Makin dipikir dia makin bernyali, akhirnya diapun terlelap dalam
ngantuknya.
Baru saja dia akan tertidur, mendadak segulung angin dingin
berhembus lewat menerpa tubuhnya, pemuda itu bergidik dan
segera mendusin ari tidurnya.
Dengan pandanga tajam diawasinya sekejap sekitar situ. Tampak
pintu ruangan yg semula tertutup rapat kini telah terbuka lebar,
hembusan angin diluar pintu mendatangkan suara yg mengerikan
hati.
Kho Beng sangat terkejut, belum sempat dia berbuat sesuatu,
mendadak terdengar olehnya suara langkah kaki manusia yg cukup
keras bergema memecahkan keheningan, suara itu seperti datang
dari atas loteng.
Deruan angin dan suara langkah kaki tersebut muncul sejenak
lalu lenyap, bila tidak diperhatikan dg seksama, sulit rasanya untuk
ditangkap secara nyata.
Tapi langkah kaki siapakah itu? Apalagi ditengah malam buta
begini, ditengah gedung yg disebut gedung hantu?

Dg bulu kuduk pada bangun berdiri, Kho Beng segera
membentak keras:
“Siapa disitu?”
Begitu suara bentakan berkumandang, suara langkah tersebut
segera lenyap tak berbekas.
Kho Beng mencoba untuk memperhatikan lagi beberapa saat,
namun tak kedengaran lagi suara apapun, dg perasaan ragu diapun
berpikir:
“Jangan-jangan aku salah mendengar?”
Siapa tahu belum habis ingatan itu melintas lewat, suara langkah
kaki itu kembali bergema, kali ini suara tersebut kedengaran nyata
sekali dan berasal dari lantai atas.
Kali ini, Kho Beng telah yakin kalau suara langkah tersebut
berasal dari atas loteng, ia tahu suara itu bukan khayalan belaka,
maka dg suatu gerakan cepat dia melompat keluar dari ruangan
tersebut.
Tampak dari balik jendela diatas loteng terlihat sebuah lentera
menyinari suasana disekelilingnya.
Lagi-lagi suatu kejadian yg sangat aneh, pemuda itu masih ingat,
loteng itu berada dalam kegelapan tadi, lalu siapa yg telah bermain
gila dgnya.
Dg suatu gerakan cepat, dia melompat naik keatas loteng,
kemudian menerobos masuk kebalik jendela dg suatu gerakan tipu
yg manis.
Dilihat dari bawah tadi, cahaya lentera tersebut kelihatan terang
benderang, tapi setelah berada dalam ruangan atas, ternyata
suasananya cukup remang-remang.
Dg cepat Kho Beng memeriksa sekejap disekitar sana, tapi
kembali ia dibuat terpeanjat sampai menjerit keras.
Dalam ruangan tersebut tidak ditemukan sesosok bayangan
manusiapun, tapi diatas ranjang duduklah seperangkat tulang
tengkorak manusia dalam posisi bersila, sisa daging yg membusuk
masih menempel diseputar tulang belulangnya, sehingga hal ini
membuat bentuknya lebih menyeramkan.
Benarkah duara langkah kaki manusia yg terdengar tadi adalah
langkah tengkorak tersebut? Benarkah dalam gedung ini betul-betul
terdapat setannya?
Begitu ingatan tersebut melintas didalam benaknya, Kho Beng
segera membentak nyaring:

“Lihat serangan!”
Sepasang tangannya diayunkan kedepan sekuat tenaga dan
menghajar tengkorak yg sedang duduk bersila diatas ranjang itu…….
Dimana angin pukulannya menyambar lewat, tengkorak tersebut
segera roboh berantakan diatas ranjang.
Dengan gerakan cepat Kho Beng memburu ketepi ranjang, dia
baru dapat menghembuskan napas lega setelah menyaksikan tulang
belulang itu berantakan tak karuan.
“Hmmm, akan kulihat apakah kau bisa bermain gila lagi!”
demikian pikirnya dihati.
Siapa tahu belum habis ingatan tersebut melintas lewat,
mendadak dari belakang tubuhnya berkumandang lagi suara tertawa
seram yg menggidikkan hati, menyusul kemudian cahaya lentera
bergoyang tiada hentiny seakan akan hendak padam.
Dengan perasaan terkejut Kho Beng segera berpaling….apa yang
terlihat?
Ternyata sesosok tengkorak telah berdiri tegak didepan pintu
kamar sambil menyeringai seram.
Sekujur badan tengkorak itu berlumuran cahaya pospor, sehingga
walaupun berada dalam kegelapan, namun bentuknya dapat terlihat
jelas.
Hampir terbang semangat Kho Beng setelah menyaksikan
kejadian ini, sambil memutar badannya cepat-cepat, ia segera
membentak nyaring, sepasang tangannya kembali diayunkan
kedepan melancarkan serangan dahsyat.
Dengan hasil latihannya selama dua tahun ditambah pula berada
dalam keadaan terkejut bercampur ngeri, tak heran kalau tenaga
serangan yang digunakan olehnya saat itu lebih hebat daripada
serangan jago-jago setarafnya.
Tapi apa yg dirasakan Kho Beng kali ini berbeda jauh dengan
keadaan semula, kali ini dia merasa tenaga pukulannya seperti tak
berhasil menyentuh sesuatu, sementara tengkorak bercahaya itu
malah melayang kesana kemari mengikuti hembusan angin
pukulannya.
“Aaaaah……”
Tak kuasa lagi Kho Beng menjerit kaget, peluh dingin bercucuran
membasahi tubuhnya, hampir saja ia jatuh pingsan.

Sekalipun dia tak percaya dg setan, namun berada dalam
keadaan seperti ini,mau tak mau dia membayangkan juga ceritacerita
seram tentang setan yg pernah didengarnya selama ini.
Dalam waktu singkat, dia merasa suasana disekeliling sana
menjadi gelap gulita, hawa setan menyelimuti sekitar situ,
sementara bayangan iblis seakan-akan siap menerkam serta
melahapnya.
Tengkorak bersinar itu lagi-lagi meluncur datang dg seramnya,
Kho Beng ingin lari tapi kakinya seperti berakar, sama sekali tak
mampu berkutik lagi, sehingga tanpa sadar dg tubuh gemetar keras
pemuda itu mundur kebelakang selangkah demi selangkah.
Pada saat itulah cakar tengkorak yg kurus kering itu menyambar
kewajahnya dg kecepatan bagaikan kilat, kemudian mencekik
tenggorokan Kho Beng dari arah belakang.
Dg perasaan seram Kho Beng segera menjerit:
“Aku toh tak pernah terikat dendam sakit hati dgmu, jangan kau
bunuh diriku!”
“Heeehh…..heeehh…..heeehh….” suara tertawa yg begitu
menyeramkan berkumandang dari belakang tubuhnya, “Siang tadi
aku toh sudah memperingatkan jangan tinggal disini sampai
matahari terbenam, tapi nyatanya kau tetap tinggal disini, jangan
salahkan kalau kucekik mampus dirimu sekarang!”
Napasnya menjadi sesak sekali dan kesadaran Kho Beng pun
lamat-lamat mulai menghilang, pada hakekatnya dia tak sempat lagi
untuk memperhatikan secara jelas apakah setan atau manusia yg
mencekiknya dari belakang.
Apa yang terpikirkan olehnya sekarang adalah bagaimana
caranya untuk melepaskan diri dari jepitan jari tangan lawan yg kuat
dan keras bagaikan jepitan besi tersebut serta mencari keselamatan
hidup bagi dirinya.
Mendadak……
Satu ingatan melintas didalam benaknya dengan sekuat tenaga ia
segera berteriak :
“Ampuni aku, bukan maksudku sendiri kemari........”
“Hmmm…hmmm…cepat katakan siapa yg menyuruh kau datang
melakukan penyelidikan disini ? “
Pertanyaan itu diucapkan dg suara yg menyeramkan, namun
cekikan tersebut mulai mengendur, seakan-akan dia kuatir kalau Kho
Beng benar-benar akan mati tercekik.

Menggunakan kesempatan itulah Kho Beng menarik napas
panjang, lalu dg sekuat tenaga kakinya menjejak tanah, dg
kepalanya dia menerjang kebelakang.
Oleh karena setan itu berada dibelakangny maka percuma dia
berilmu silat, karena mustahil dapat digunakan, maka diapun
mengambil keputusan untuk beradu nasib dg melakukan
terjangan…..
Buktinya terjangan tersebut segera memberikan hasil diluar
dugaan.
“Bruuukkk… ! “
Dibali suara benturan keras kedengaran pula jeritan kaget,
tangan yg mencekik Kho Beng tadi terlepas dari atas tengkuknya, dg
memanfaatkan kesempatan inilah dia membalikkan badan sambil
berkelit kesamping.
Akan tetapi disebabkan terjangan tersebut dilakukan dh sepenuh
tenaga, hal mana membuat pandangan matanya menjadi
berkunang-kunang, kepalanya pusing tujuh keliling, ditambah lagi
suasana dalam ruangan redup, hakekatnya dia belum sempat untuk
memperhatikan dg lebih jelas lagi siapakah lawannya itu….. ?
Menanti Kho Beng dapat menguasai diri kembali, tahu-tahu
desingan angin tajam telah melintas didepan tubuhnya, menyususl
kemudian urat nadai pada tangan kanannya telah dicengkeram dg
kuat sekali.
Kontan saja pemuda itu kehilangan seluruh kekuatan tubuhnya
dan duduk lemas.
Ternyata dihadapannya telah muncul seorang kakek berbaju
putih yg rambutnya telah beruban dan membawa sebuah tongkat
ditangan kanannya, hanya saja rambutnya menutupi seluruh
wajahnya hingga tak nampak jelas raut mukanya itu.
Biar begitu, sinar mata yg terpancar keluar dari balik matanya
justru mendatangkan perasaan bergidik bagi siapapun yg
melihatnya, hal mana membuat bulu kuduk Kho Beng segera pada
berdiri semua.
Sekalipun demikian, Kho Beng pun dapat menghembuskan napas
lega, karena biarpun orang ini lebih mirip setan, namun
bagaimanapun juga toh tetap sebagai manusia biasa, karenanya dia
segera berseru lagi:
“Empek, aku toh tak ada hubungan sakit hati atau permusuhan
dgmu, kenapa kau mesti berlagak menjadi setan untuk menakutTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
nakuti diriku? Hampir saja aku mati ketakutan….cepat lepaskan aku,
bila ada urusan, mari kita bicarakan secara baik-baik!”
Kakek itu segera tertawa dingin.
“Hmmm, meskipun nyalimu besar dan tak sampai mati ketakutan,
namun aku mampu membunuhmu dalam sekali ayunan tangan saja,
cepat katakan siapa yg menyuruhmu datang kemari?”
Kho Beng segera menghela napas panjang.
“Aaaai.....orang yg menyuruhku kemari mengaku she Lie!”
“Hmmm, jangan berusaha membohongi aku, dia bernama Lie
apa...?” dengus kakek berambut putih itu.
Kembali Kho Beng tertawa getir.
“Aku juga tak tahu siapakah orang itu, bahkan wajahnyapun
belum sempat kujumpai.”
Kakek berambut putih itu segera menghentakkan toyanya keraskeras
keatas tanah, lalu bentaknya:
“Bajingan keparat, kau berani….”
Berbicara sampai ditengah jalan, toya ditangan kanannya segera
direntangkan kedepan.
Seketika itu juga Kho Beng merasa amat terperanjat, dia mengira
orang itu tak percaya dg kata-katanya dan sekarang bersiap siap
untuk melancarkan serangan mematikan.
Baru saja dia hendak membuka suara untuk membantah,
tampaklah si kakek itu sudah melemparkan toyanya lewat jendela.
Jendela yg setengah terbuka itu hancur seketika tersambar oleh
toya baja itu, ditengah ledakan keras yg memekakkan telinga
terdengar suara jeritan yg bergema membelah angkasa, disusul
kemudian tampak ada benda berat yg roboh terbanting diatas tanah.
Kho Beng menjadi terbelalak dan melongo oleh peristiwa
tersebut. Dia tak menyangka kalau dialam gedung tersebut kecuali
dia seorang, ternyata masih ada pihak lain yg melakukan
penyelidikan dari luar jendela.
Dia pun tak pernah menyangka kalau kakek berambut putih yg
manusia tak mirip manusia, setan tak mirip setan ini ternyata
memiliki tenaga dalam yg begitu sempurna, dimana dalam ayunan
toyanya dia sangup membunuh seseorang dalam waktu singkat.
Sementara dia masih tertegun karena kaget, mendadak cekalan
pada pergelangan tangan kanannya menjadi kendor, menyusul
kemudian tampak kakek berambut putih itu roboh terjungkal keatas
tanah.

Dg napas terengah-engah, kakek itu segera berseru :
“Aku sudah dicelakai orang, cepat….cepat katakanlah, dia
sia….siapakah kau?”
Sekali lagi Kho Beng dibuat tertegun, sebetulnya saat itu
merupakan kesempatan yg terbaik aginya untuk melarikan diri,
namun perasaan heran dan ingin tahunya membuat pemuda itu
melupakan ancaman bahaya atas keselamatannya.
Dg perasaan keheranan, ia segera bertanya:
“Lotiang, bukankah kau berada dalam keadaan sehat wal afiat?
Siapa yg telah mencelakaimu?”
“Aku sudah terkena jarum penembus tulang pembeku darah….”
Kata kakek berambut putih itu dg napas terengah-engah.
“Kau…kemarilah….mengingat aku sudah hampir mati, beritahulah
padaku, siapakah kau? Dan siapa yg menyuruhmu datang kemari?”
Diam-diam Kho Beng merasa terkejut sekali, pikirnya:
“Padahal kepandaian silatnya sangat hebat, tapi kenyataannya
dia telah dicelakai orang tanpa menimbulkan sedikit suarapun,
aaah…! Jarum penembus tulang pembeku darah yg dimaksudkan
pastilah sejenis senjata yg amat jahat.”
Ia merasa tak pernah mempunyai dendam sakit hati dg siapapun,
sekarang ia Cuma terlibat dalam peristiwa tersebut secara kebetulan
saja, apalagi setelah melihat kakek itu berusaha untuk mengetahui
identitasnya menjelang saat kematiannya, tanpa terasa timbul rasa
kasihan dalam hati kecilnya.
Setelah tertawa getir, diapun menjawab:
“Sesungguhnya aku sendiripun tak tahu mengapa aku Kho Beng
disuruh datang kemari, seseorang yg tidak kukenal telah
meninggalkan sepucuk surat kepadaku untuk datang kemari dan aku
pun segera berangkat kesini. Nah, silahkan lotiang memeriksa surat
ini seusai membaca isinya kau pasti akan mengerti dg sendirinya.”
Sambil berkata, dia mengeluarkan selembar surat dan mendekati
kakek tersebut.
“Aku sudah tak dapat melihat lagi, tolong bacakan isi surat
tersebut….” Kata kakek berambut putih itu dg nada lemah.
Dg cepat Kho Beng membaca isi surat tersebut.
“Aku tak dapat menunggu karena ada urusan penting, datanglah
keperkampungan Hui im ceng dikota Hang ciu seusai membaca
tulisan ini, sepuluh tahil perak kuhadiahkan sebagai ongkos jalan,

dinding naga merupakan warisan leluhur, jangan diperlihatkan
kepada siapapun. Nah, surat tersebut tanpa tanda tangan….”
Sekujur badan sikakek nampak bergetar keras selesai mendengar
isi surat itu, dg nafas tersengal dia berusaha meronta bangun, lalu
serunya sambil mengawasi wajah Kho Beng lekat-lekat:
“Dinding naga? Apakah dinding naga itu?”
Dg perasaan terkejut Kho Beng mundur selangkah, dia kuatir
kakek itu akan menyerangnya secara tiba-tiba kemudian baru
sahutnya:
“Benda itu tak lain adalah sebuah lencana batu kumala hijau yg
kukenakan sedari kecil dulu….”
Belum selesai perkataan tersebut, dua rentetan sinar aneh telah
memancar keluar dari balik mata kakek tersebut, serunya lagi dg
gelisah:
“Cepat…..cepat keluarkan dan tunjukkan kepadaku….aku…..aku
sudah hampir tak sanggup bertahan lebih lama lagi….”
Kalau dilihat dari sikapnya yg begitu gelisah, seakan-akan dia
merasa bakal mati tak tentram apabila tak sempat melihat lencana
naga itu menjelang ajalnya.
Satu ingatan segera melintas dalam benak Kho Beng, pikirnya:
“Jangan-jangan kakek ini mengetahui lencana kumala yg
kukenakan ini...?”
Berpikir begitu, cepat-cepat dia mengeluarkan lencana naga
tersebut dan ditunjukkan kepada kakek tersebut sambil katanya :
“Lotiang, silahkan kau periksa dg seksama!”
Waktu itu rembulan sudah condong kelangit arat, sinar yg
berwarna keperak perakan menyoroti lencana kumala tersebut dan
memantulkan selapis cahaya hijau yg berkilauan.
Biarpun Kho Beng tidak melepaskan lencana tersebut dari
gantungannya, akan tetapi kakek itu dapat menyaksikan dengan
sangat jelas.
Dg tubuh gemetar keras karena pergolakan emosi, ia segera
berseru:
“Aaah...ternyata benar-benar lencana naga kumala hijau..!
Ternyata benar-benar lencana naga kumala hijau…Oooh Thian! Kau
telah melindungi kami sehingga memberi petunjuk kepada Lie sam
untuk menemukan kau kembali….rasanya tak sia-sia aku menunggu
hampir belasan tahun lamanya dg penuh penderitaan!”

Mungkin saking emosinya, belum lagi perkataan tersebut selesai
diutarakan, tubuhnya sudah roboh terjengkang keatas tanah.
Timbul kecurigaan dalam hati Kho Beng setelah mendengar
ucapan tersebut, cepat-cepat dia memburu maju kedepan dan
berseru:
“Lotiang, siapa sih Lie Sam yg kau maksudkan? Siapa pula kau?
Kenapa kau bisa mengenali lencana naga kumala hijau milikku ini…?”
Secara beruntun dia telah mengajukan beberapa pertanyaan
sekaligus.
Namun keadaan kakek tersebut amat lemah, napasnya amat lirih
dan bibirnya yg mengering nampak bergetar lemah, mengucapkan
serentetan perkataan yg hampir saja susah terdengar.
“Hamba….hamba tak tahan untuk ba…banyak berbicara
lagi…ce…cepat kau ambil sesuatu dalam sakuku dan pergi ketebing
Siong hun gan dibukit Hong san…tee…temuilah Bu Wi
lojin…ingat…kau adalah maa…majikan muda..da….dari Hui im
…ceng…cepat tinggalkan tempat yg berbahaya ini…”
Ketika berbicara sampai disitu, ia sudah tak sanggup lagi untuk
menahan diri, kepalanya segera terkulai kesamping dan
menghembuskan napas yg penghabisan.
Kho Beng enjadi amat tertegun, cepat-cepat dia menggoyangkan
tubuh kakek tersebut sambil serunya:
“Lotiang, mana mungkin ak adalah majikan muda dari
perkampungan Hui im ceng? Katakanlah lebih jelas!”
Tapi sayang kakek yg tergeletak diatas tanah itu sudah tak
mampu menjawab lagi. Sinar rembulan yg menyoroti mayatnya
memantulkan cahaya pucat yg mengenaskan hati.
Dg perasaan hati yg berdebar, Kho Beng segera mendekati kakek
itu serta menyingkap rambut yg menutupi wajahnya.
Sekarang ia baru dapat melihat wajah kakek tersebut secara
jelas, kerutan yg dalam menghiasi hampir seluruh wajahnya, tapi
dibalik mukanya yg kurus kering justru memancarkan sifat
keteguhan yg kuat, wajah semacam ini sedikitpun tidak mirip dg
wajah seorang manusia licik yg berhati keji.
“Benarkah aku adalah majikan muda Hui im ceng?” dengan wajah
termangu-mangu Kho Beng berpiki, “Tapi bukankah pelayan rumah
makan dikota Hang ciu telah menerangkan tadi bahwa semua
penghuni perkampungan Hui im ceng telah ditumpas orang
semenjak delapan belas tahun berselang? Jika aku adalah keturunan

dari Hui im ceng, bagaimana mungkin bisa hisup sampai sekarang
dan dipelihara oleh perguruan Sam goan bun?”
Sementara pelbagai pikiran masih berkecamuk dalam benaknya,
tiba-tiba terdengar seseorang menjerit kaget dari luar loteng.
“Aaah! Khu losam telah mampus!”
“Benar-benar amat keji,” sambung yang lain, “Coba lihat,
mukanya hancur tak karuan, hantaman toya tersebut paling tidak
mencapai lima ratusan kati.”
Orang yg berbicara pertama kali tadi segera tertawa dingin:
“Nyatanya dugaanku tidak keliru, heboh setan yg telah
berlangsung empat lima tahun di Hui im ceng ternyata Cuma ulah
dari si toya baja pedang sakti Kho Po koan seorang budak yg
berhasil lolos dari musibah lalu.”
“Yaa benar! Toya besi itu memang merupakan senjata andalan
Kho Po koan dimaa lalu, saudara Lu! Mari kita selidiki keatas , baik
buruk persoalan ini harus kita selidiki sampai tuntas hari ini.”
Sekali lagi Kho Beng merasa tertegun setelah mendengar
perkataan itu, pikirnya:
“Aaah...rupanya kakek yg tewas ini dari marga Kho, kalau begitu
pemilik perkampungan Hui im ceng dimasa lalu pun berasal dari
marga Kho?”
Teringat dg pesan kakek tersebut menjelang ajalnya, cepat-cepat
ia merogoh kedalam saku kakek tersebut, berusaha untuk
memeriksa benda apakah yg diserahkan sikakek menjelang ajalnya
tadi?
Sayang sekali hal ini sudah terlambat selangkah, tampaklah dua
sosok bayangan manusia menerobos masuk kedalam ruangan dg
kecepatan tinggi.
Dg perasaan terkejut Kho Beng segera menarik kembali
tangannya sambil mundur kebelakang, ternyata pendatang tersebut
terdiri dari dua orang.
Yang satu adalah seorang kakek berbaju abu-abu yg membawa
pedang berjenggot hitam, bermata tajam dan bersikap keren serta
penuh wibawa.
Sedangkan orang kedua adalah seorang sastrawan berbaju putih
yg membawa kipas kumala. Walaupun gerak geriknya sangat lemah
lembut dan penuh sopan santun, namun tidak menutupi hawa sesat
dan kelicikan yg memancar keluar dari wajanya.

Kedua orang itu nampak tertegun setibanya diatas loteng,
kemudian kakek berpedang itu mmeriksa sekejap jenazah kakek
berambut putih, lalu katanya pada sastrawan berbaju putih:
“Ternyata orang ini benar-benar adalah Kho Po koan!”
Lalu sambil mengalihkan pandangan matanya ke wajah Kho
Beng, kembali bentaknya:
“Siapa kau?”
Belum selesai bentakan itu berkumandang, mendadak terdengar
sastrawan berbaju putih itu menjerit kaget:
“Liu toako, coba lihat tempat ini benar-benar ada setannya!”
Sambil berkata ia lantas menunding kedepan.
Mngikuti arah yg ditunuk, kakek berambut hitam itu segera
berpaling, tapi apa yg kemudian terlihat membuat paras mukanya
segera berubah hebat.
Sambil membentak keras pedangnya langsung disambit kedepan.
Kho Beng pun turut terperanjat dan segera berpaling kearah
mana semua orang tertuju.
Ternyata yg dimaksudkan sastrawan berbaju putih itu adalah
tengkorak putih yg dijumpainya tadi.
Sementara itu cahaya pedang telah berkelebat lewat dan…”Criit”
langsung menembusi tengkorak tersebut dn menancap diatas pintu,
gagang pedang bergetar tak hentinya, tapi tenggorokan itu Cuma
bergerak terombang ambing kesamping lain, berdiri kembali
ditempat semula.
Saat itupun mereka bertiga baru dapat melihat dg jelas, ternyata
tengkorak tersebut tak lain hanya selembar tirai pintu yang
diatasnya dilukis sebuah gambaran tengkorak dg kapur putih, oleh
sebab dilihat dari kegelapan maka seolah olah gambaran tersebut
merupakan tengkorak sungguhan.
Begitu rahasianya terbongkar, maka permainan yg terasa ngeri
dan menyeramkan tadipun sekarang menjadi sama sekali tak
berharga.
Kho Beng segera menghembuskan napas panjang, kemudian
serunya sambil menjura.
“Tak nyana kalau Cuma selembar kain hitam, hampir saja aku
dibuat mati saking kaget dan takutnya, tapi aku percaya selanjutnya
dalam perkampungan ini tak bakal ada setan yg menggoda orang
lagi.”

Sesudah menyaksikan semua yg terjadi dan mendengar
perkataan tersebut, sikap sikakek berjenggot hitam dan sastrawan
berbaju putih pun turut berubah menjadi lebih lembut.
Kakek itu segera menjura seraya menyapa:
“Siapakah nama siauhiap?Ada urusan apa datang kemari?”
“Aku yg muda Kho Beng, kebetulan saja lewat dikota Hang ciu,
berhubung kudengar digedung ini ada hantunya, maka dg perasaan
ingin tahu aku datang kemari untuk melakukan penyelidikan.”
Sastrawan berbaju putih itu segera tertawa terbahak-bahak,
katanya pula:
“Ha…ha….ha….ternyata Kho siauhiap! Maaf…maaf…siauhiap
memang sangat hebat, bukan saja berani melakukan penyelidikan
seorang diri digedung hantu ini, bahkan mampu membinasakan
sitoya besi pedang baja Kho Po koan yg sudah termashur namanya
dalam dunia persilatan. Bila berita ini sampai tersiar keluar, bukan
saja keberanianmu akan dikagumi orang banyak, kehebatan ilmu
silatmu tentu akan menggemparkan seluruh sungai telaga. Aku
sastrawan berkipas kemala Beng Yu percaya, tak sampai tiga hari,
nama besar siauhiap tentu sudah termashur diseluruh dunia
persilatan!”
Merasa tidak memiliki kemampuan tersebut, pujian itu justru
membuat Kho Beng tersipu-sipu, dg cepat dia menggoyangkan
tangannya berulang kali seraya berseru:
“Harap kalian berdua jangan salah paham, aku yg muda Cuma
seorang manusia yg baru terjun kedunia persilatan, kepandaianku
tak seberapa, sesungguhnya…”
Kakek berjenggot hitam itu tertawa terbahak-bahak, tukasnya:
“Buat apa saudara cilik merendahkan diri? Kau tahu betapa
hebatnya rekanku si jarum emas pencabut nyawa yg datang
bersamaku tadi? Tapi kenyataannya dia toh mempus juga oleh toya
besi budak tua ini, bila kau masih mencoba bersungkan terus, ini
namanya menganggap asing kami berdua.”
Sastrawan berbaju putih itu segera menyambung pula sambil
tertawa:
“Saudara memang mengagumkan sekali, biar berilmu tinggi tapi
tak sombong, sikap semacam inilah merupakan watak sejati seorang
pendekar, bisa kuduga gurumu pasti seorang tokoh yg luar biasa
sekali?”

Dari nada pembicaraa mereka, Kho Beng dapat menyimpulkan
kalau sang korban adalah musuh besar kedua orang ini, sebagai
orang luar yg belum mengetahui duduknya persoalan secara jelas,
dia tak ingin melibatkan diri dalam pertikaian itu.
Karena diapun tidak mencoba untuk memberi penjelasan lagi,
cepat-cepat katanya:
“Aku belum pernah mengangkat guru tapi pernah belajar berapa
jurus silat dari seorang Bu lim cianpwee!”
“Ooooh…” kakek berjenggot itu manggut-manggut, “Boleh kah
kami tahu nama besar dari locianpwee yg telah mengajarkan silat
kepadamu itu?”
“Cianpwee itu adalah siunta sakti berpungung baja!”
Paras muka kakek berjangggut hitam itu segera berubah hebat,
setelah berseru tertahan, katanya:
“Ooooh….rupanya Thio Kok tayhiap salah seorang diantara
sepasang unta utara selatan yg termashur namanya pada dua puluh
tahun berselang, tapi aku pernah dengar Thio kok telah tewas
dicelakai orang pada dua puluh tahun berselang?”
Sesungguhnya Kho Beng sama sekali tidak mengetahui soal masa
lalu Thio bungkuk, bahkan nama dan kedudukannya dalam dunia
persilatan pun tidak diketahuinya, karena nya dia berusaha
menghindari hal-hal yg tak jelas baginya setelah mendengar
perkataan tersebut.
“Aku yg muda baru beberapa bulan berpisah dg Thio
locianpwee.” Katanya, “Menurut apa yg kuketahui, dia orang tua
masih tetap berada dalam keadaan sehat walafiat.”
Kakek berjenggot hitam itu tertawa tergelak.
“ha….ha…..ha…..semasa masih muda dulu, aku pernah berjumpa
sekali dg Thio tayhiap, bila lain waktu kau bertemu lagi dengannya,
katakan saja sipedang tanpa bayangan Lu seng sin dan adik
angkatnya sastrawan berkipas kemala, Beng Yu titip salam untukdia
orang tua.”
Mengetahui kalau kedua orang ini pernah bersua dg Thio
bungkuk, sikap Kho Beng pun turut berbah menghormat, segera
sahutnya:
“Aku pasti akan menyampaikan salam anda berdua kepada
beliau.”
Kemudian dg memanfatkan kesempatan tersebut, ia bertanya
kembali:

“Lotiang, tolong tanya siapakah sipedang baja toya besi Kho Po
koan ini?”
“Budak tua ini adalah seorang budak dari perkampungan Hui im
ceng dimasa lalu,” Sastrawan berkipas kumala Beng Yu
menerangkan, “Tatkala tujuh partai besar menyerbu kemari,
rupanya dia berhasil lolos, bisa jadi si kedele maut yg misterius dan
belakangan ini banyak melakukan huru hara merupakan hasil
perbuatannya.”
“Aku baru pertama kali ini terjun ke dunia persilatan, banyak
persoalan yg tak kupahami, bolehkah aku tahu siapa pula pemilik
perkampungan Hui im ceng ini?”
Dg wajah serius sipedang tanpa bayangan Lu Seng im berkata:
“Pemilik Hui im ceng, dimasa lampau berasal satu marga dg lote,
ia bernama Kho Bun sin dan merupakan seorang jagoan persilatan
yg berilmu tinggi, sayang aku sendiripun kurang begitu mengerti
tentang peristiwa yg terjadi delapan belas tahun berselang, tapi
kuanjurkan kepada lote sebagai orang luar lebi baik jangan banyak
pencarian urusan ini.”
Berbagai kecurigaan segera melintas benak Kho Beng, ia tak
mengira kalau Hui im ceng berasal dari marga Kho, benarkah ia
mempunyai hubungan dg dirinya?”
Tapi kalau dilihat dari cara sipedang tanpa bayangan Lu Seng im
sewaktu bicara , sudah jelas masih ada banyak masalah yg enggan
dibicarakan olehnya, karena itu diapun tidak bertanya lebih jauh.”
Setelah menjura, diapun mohon diri.
Kini duduk persoalannya sekitar gedung hantu telah jelas, sedang
akupun masih ada urusan lain dan tak bisa berdiam lebih lama lagi
disini, biarlah aku mohon diri lebih dulu!”
Sesungguhnya si pedang tanpa bayangan dan sastrawan kipas
kumala memang sedang menunggu-nunggu perkataan Kho Beng itu
dg cepat, merekapun menjura seraya berkata:
“Kalau memang lote masih ada urusan, kamipun tak akan
menahanmu lebih lama lagi, sampai jumpa lain kesempatan.”
Mereka menunggu sampai bayangan Kho Beng lenyap dibalik
kegelapan, kemudian si pedang tanpa bayangan baru bergumam:
“Andaikata aku tidak menyaksikan dg mata kepala sendiri
bagaimana putra Hui im cengcu tewas diujung panah pengejar
sukma, aku pasti akan mencurigai orang itu sebagai keturunan Kho
Bun sin!”

Sastrawan kipas kemala Beng yu, tertawa tergelak:
“Kalau toh toako telah menyaksikan dg mata kepala sendiri, buat
apa mesti menaruh curiga lagi? Aku dengar, biarpun sancu(dewi)
berhasil memusnahkan Hui im ceng dg susah payah, namun tak
berhasil mendapatkan kitab pusaka Khian hoan bu boh, sekarang
Koh Po koan telah tewas, mengapa kita tidak memanfaatkan
kesempatan ini untuk melakukan pemeriksaan, sehingga kita dapat
memberi laporan sekembalinya dari sini nanti?”
Si pedang tanpa bayangan segera manggut-manggut, maka
kedua orang itupun menyulut lentera dan mulai menggeledah
seluruh bagian ruangan tersebut.
Setengah kentongan telah lewat, hampir setiap bagian ruangan
itu sudah mereka geledah, namun tiada sesuatu yg diperoleh tanpa
terasa mereka menjadi kecewa.
Tiba-tiba Sastrawan berkipas kemala berkata kepada si pedang
tanpa bayangan:
“Lotoa, mungkinkah sibocah muda itu datang dg suatu tujuan
serta betndak mendahului kita?”
Berubah hebat paras muka si pedang tanpa bayangan.
“Yaa, hal ini memang bisa jadi, aduh celaka….mengapa tidak
terpikirkan sejak tadi?”
“Siapa yg menyangka kalau bocah itu mampu bersikap acuh tak
acuh meski memiliki kepandaian silat yg hebat?” seru Sastawan
berkipas kemala sambil menghentak hentakkan kakinya dg
mendongkol.
“Aaai…kta benar-benar telah dipecundangi olehnya, toako,
rasanya belum terlambat bila kita kejar sekarang juga.”
Sipedang tanpa bayangan manggut-manggut, baru saja dia akan
melompat pergi, mendadak pandangan matanya tertumpuk dg
jenazah Kho Po koan, dg cepat ia berseru kepada rekannya:
“Tunggu sebentar loji!”
“Ada apa?” tanya sastrawan berkipas kemala tertegun.
Sambil menunding jenazah diatas tanah, pedang tanpa bayangan
segera berkata:
“Seluruh ruang telah kita periksa, tapi mayat budak tua ini belum
kita sentuh, apa salahnya kalau kta periksa dulu sebelum pergi dari
sini?”
Cepat-cepat sastrawan berkipas kemala mendekati jenazah
tersebut dan merobek pakaian yg dikenakan, pada pinggang mayat

itu mereka temukan sebuah bungkusan kecil, ketika bungkusan itu
dibuka maka isinya adalah sebuah lencana kemala sebesar lima inci.
Pada lencana tersebut terlihat gambar sederet pohon siong,
diatas pohon siong terdapat dua tiga buah gumpalan awan.
Melihat bentuk lencana tersebut, sastrawan berkipas kemala
segera berseru keheranan:
“Toako, cepat lihat!”
Pedang tanpa bayangan segera mendekati dan memeriksa
lencana tersebut, apa yg kemudian terlihat membuat keningnya
berkerut kencang, katanya kemudian:
“Sungguh aneh, mengapa lencana kemala Siong hun giok leng yg
menjadi benda pengenal dari Bu wi lojin yg sudah dua puluh tahun
lenyap dari dunia persilatan, bisa berada dalam saku budak tua
ini…?”
Sastrawan berkipas kemala termenung sejenak, lalu katanya:
“Mula-mula muncul seorang Kho Beng yg tak dikenal, lalu muncul
lagi lencana kemala Siong hun giok leng, hey lotoa, aku lihat apa yg
kita jumpai hari ini bukan suatu kejadian yg kebetulan.”
Pedang tanpa bayangan manggut-manggut.
“Yaa, persoalan ini menyangkut suatu masalah besar, kita tak
boleh menyimpulkan sendiri secara gegabah, hayo berangkat, kita
berbicara ditengah jalan nanti!”
Dg cepat kedua orang itu melompat keluar lewat jendela, lalu
membopong sesosok mayat yg berlepotan darah dari pelataran
kemudian beranjak pergi meninggalkan tempat itu.
Tak lama mereka pergi, tampak sesosok bayangan manusia
melayang masuk lewat jendela, ternyata orang itu adalah Kho Beng
yg telah pergi dan kini balik kembali.
Rupanya setelah meninggalkan perkampungan hui im ceng tadi,
sepanjang jalan dia memutar otak terus membayangkan kembali
serangkaian kejadian yg dialaminya selama ini.
Menjelang memasuki kota Hang ciu, tiba-tiba ia teringat kembali
dg pesan terakhir Kho Po koan menjelang ajalnya, maka tergesagesa
dia balik kembali kesitu.
Ia tidak mengetahui benda apakah yg akan diserahkan kakek itu
padanya, tapi bila ditinjau dari sikap dan nada pembicaraannya,
sudah jelas benda itu mempunyai hubungan yg erat sekali dg Bu wi
lojin.

Ia baru tertegun setelah menyaksikan pakaian yg dikenakan
jenazah tersebut telah hancur tak keruan lagi bentuknya. Dari
kejadian tersebut jelaslah sudah bahwa benda tersebut telah diambil
oleh sipedang tanpa bayangan serta sastrawan berkipas kemala.
Sekalipun Kho Beng amat kecewa bercampur menyesal, tapi
karena nasi sudah menjadi bubur, menyesalpun tak ada gunanya
lagi.
Ia teringat kembali janji tiga tahunnya dg Thio bungkuk,
sekalipun ia tak dapat melaksanakan harapan kakek yang tewas ini,
namun ia bertekad akan mendatangi tebing Siong hun gay dibukit
hong san untuk menyelidiki persoalan ini.
Sebab masalah tersebut bukan saja menyangkut sikakek yang
telah tewas, siapa tahu dari situ dia akan berhasil mengetahui asal
usul yg menyelimuti dirinya selama ini.
Maka menempuh kegelapan malam yg mencekam seluruh jagat,
dg langkah tergesa-gesa, Kho Beng berlalu dari situ, setelah
menguburkan jenazah Kho Po koan, lalu tanpa berhenti langsung
berangkat ketebing Siong hun gay di Hong san.
Dalam waktu singkat, bulan dua belas telah menjelang tiba.
Angin dan salju telah berhenti, puncak bukit Hong san dilapisi
warna putih sampai diuung langit, pemandangan alam ketika itu
benar-benar indah dan menawan hati.
Ketika Kho Beng tiba dibukit Hong san, waktu sudah
menunjukkan tengah hari lewat, karena ia tak tahu dimanakah letak
tebing Siong hun gay, terpaksa sambil berjalan ia mencoba untuk
melakukan pemeriksaan.
Tiba-tiba ia menyaksikan sebuah bukit yg menonjol tinggi
menjulang ke angkasa, aneka pohon siong tumbuh disekitarnya,
awan putih menyelimuti sampai punggung bukit, bentuk maupun
panoramanya jauh berbeda dg keadaan disekitarnya, tanpa terasa
diapun berpikir :
“Konon tempat yg berpanorama indah sering digunakan para
tokoh dan pertapa untuk mengasingkan diri, jangan-jangan tempat
itu adalah tebing Siong hun gay yg sedang kucari ? “
Berpikir begitu, dia segera menghimpun tenaga dalamnya dan
meluncur naik keatas puncak itu.
Tebing itu curam dan amat berbahaya, apalagi dilapisi salju yg
tebal membuat keadaan menjadi lebih licin dan susah dilalui.

Kho Beng dg tenaga dalam yg tidak begitu sempurna harus
mengerahkan seluruh kekuatan yg dimiliki untuk mencapai puncak
tebing itu, tak heran kalau keringat berkucuran dg derasnya dan
napasnya tersengal sengal seperti napas kerbau.
Akan tetapi setibanya dipuncak bukit itu dan menyaksikan apa yg
terbentang didepan mata, seketika itu juga semangatnya menjadi
berkobar kembali, ia saksikan sebuah tempat yg berpanorama begitu
indah tak ubahnya seperti surga loka.
Ditengah rimbunnya pohon siong terlihat sebuah bangunan
rumah yg mungil tapi indah, seorang kakek berbaju putih sedang
berdiri memandang angkasa sambil menggendong tangannya.
Sikap maupun perawakan tubuhnya tak jauh berbeda dg bentuk
dewa yg sering didengar Kho Beng dalam dongeng.
Sementara Kho Beng masih terengah-engah dan tak mampu
berbicara, tiba-tiba terdengar kakek itu menegur dg suara nyaring:
“Hey bocah, ada urusan apa kau bersusah payah mendaki bukit
berkunjung kemari?”
Kakek itu tetap berdiri sambil menggendong tangan, meski tidak
membalikkan badan dan berjarak dua puluhan kaki, namun suara
pembicaraannya amat jelas dan terang, malah dari dengusan napas
Kho Beng, ia dapat menduga usia bocah tersebut bagaikan melihat
dg mata kepala sendiri, tak heran kalau kejadian ini amat
mengejutkan anak muda tersebut.
Dg perasaan gugup, ia segera berseru:
“Lotiang, bolehkah aku tahu, apakah tempat ini bernama bukit
Siong hun gay?”
Sementara berbicara, dg beberapa kali lompatan dia mendekati
sikakek berbaju putih itu.
“Benar!” sahut si kakek tanpa bergerak, “Kau datang dari mana
nak...?”
Dg wajah berseri cepat-cepat Kho Beng memberi hormat seraya
berseru:
“Kalau begitu cianpwee adalah Bu wi lojin, boanpwee Kho Beng
datang dari Hui im ceng…?”
Belum selesai perkataan itu diucapkan, Bu wi lojin telah berseru
kaget sambil membalikkan badan, lalu dg pandangan mata yg tajam
diawasinya seluruh wajah Kho Beng lekat-lekat, wajahnya
menunjukkan perasaan tercengang dan keheranan.

Baru sekarang Kho Beng sempat melihat jelas paras muka kakek
itu, jenggotnya yg putih, wajahnya yg anggun membuat kakek itu
nampak sangat agung dan berwibawa.
Cepat-cepat dia memberi hormat seraya berkata:
“Boanpwee menjumpai locianpwee!”
Jilid 04
Bu wi lojin tertawa bergelak, sambil mengebaskan tangannya dia
berkata:
“Silahkan bangun nak, kehadiranmu yg tiba-tiba sungguh
membuat aku merasa keheranan!”
Dari nada pembicaraannya, seolah-olah mereka telah berkenalan
cukup lama.
Kho Beng menjadi tertegun, serunya kemudian dg wajah
tercengang:
“Boanpwee berkunjung kemari karena mengagumi nama besar
cianpwee, apa yg cianpwee herankan?”
“Mengagumi nama? Ha....ha.....ha.....perkataanmu kelewat
sungkan,” kata Bu wi lojin sambil tertawa, “Sudah sembilan belas
tahun lamanya aku hidup mengasingkan diri ditebing Siong hun gay
dan belum pernah ada teman yg berkunjung kemari, tapi hari ini
telah datang tamu agung secara beruntun, lagipula semuanya
mengaku datang dari Hui im ceng, apakah kejadian tersebut tidak
mengherankan...?”
Kho Beng semakin keheranan lagi sehabis mendengar perkataan
ini, tapi sebelum ia sempat berbicara, Bu wi lojin telah berkata lebih
lanjut:
“Yang kuherankan lagi adalah penguasa perkampungan kalian
baru saja berlalu dari sini, tapi keponakan telah datang berkunjung,
apakah telah terjadi suatu peristiwa di perkampungan Hui im ceng?”
Kho Beng semakin termangu, tanyanya keheranan:
“Locianpwee maksudkan Hui im ceng?”
“Hey keponakan Kho, bukankah aku telah menerangkan
sejelasnya, aku sedang bertanya tentang keadaan Hui im ceng
kalian?” seru Bu wi lojin dg kening berkerut.
Kho Beng semakin tidak mengerti, katanya kemudian:
“Maafkan aku cianpwee, boanpwee benar-benar dibuat
kebingungan setengah mati.”

“Kebingungan?Ha…ha…ha…setiap orang tentu akan
kebingungan.” Bu wi lojin tertawa bergelak,”Keponakanku, mungkin
tenaga dalammu yg kurang sempurna membuat kau letih karena
mendaki tebing tadi, mengapa tidak beristirahat dulu didalam
ruangan, kemudian baru pelan-pelan berbicara?”
Sambil berkata, dia segera menyingkir kesamping
mempersilahkan pemuda itu masuk kedalam.
Buru-buru Kho Beng berseru:
“Boanpwee bukan maksudkan begitu, tapi hendak menjelaskan
bahwa Hui im ceng sudah hampir dua puluh tahun lamanya
terbengkalai, malah belakangan ini telah berubah menjadi gedung
hantu, lalu darimana munculnya seorang pengurus gedung?”
Bu wi lojin menjadi tertegun.
“Jadi ayahmu telah meninggalkan Hui im ceng kemana dia telah
pergi…?”
Kho Beng semakin melongo, sahutnya tergagap:
“Cianpwee bertanya soal ayahku? Apakah kau mengetahui
siapakah ayahku?”
Sekali lagi Bu wi lojin terperangah, lalu gelengkan kepalanya
berulang kali:
“Aaaai…aku menjadi tak habis mengerti, sebetulnya kau yg pikun
ataukah aku yg sudah pikun, masa kau tidak kenal dg ayahmu
sendiri, kepala perkampungan Hui im ceng Kho Bun sin?”
Dg hati berdebar Kho Beng berseru keheranan:
“Boanpwee belum pernah menyebutkan asal usulku, darimana
cianpwee bisa tahu kalau boanpwee adalah putra Hui im cengcu?”
Bu wi lojin tertawa terbahak-bahak:
“Ha….ha….ha….biarpun sewaktu kujumpai dirimu dulu kau masih
berusia satu bulan, namun hingga kini wajahmu tak jauh berubah,
lagipula tampangmu kini tidak jauh berbeda dengan Hui im cengcu
Kho Bun sin pada sembilas tahun berselang, kalau bukan putranya
mengapa kalian begitu mirip?”
Kho Beng betul-betul tertegun saking tercengangnya oleh ucapan
tersebut, orang ini adalah orang keempat yg menganggap dia
sebagai keturunan Hui im cengcu.
Biarpun banyak kejadian yg kebetulan didunia ini, tak mungkin
begitu banyak orang menaruh salah paham kepadanya, lamat-lamat
pemuda itu mulai merasa bahwa identitasnya sebagai putra cengcu
dari Hui im ceng tak mungkin diragukan lagi.

Tapi kalau hanya dianggap orang saja belum menjadi bukti yg
bisa dipertanggungjawabkan, apalagi masih banyak pertentangan yg
terdapat didalamnya, karena itulah beberapa saat pemuda itu
menjadi tertegun dan sangat kebingungan.
Sementara itu Bu wi lojin telah berkata lagi:
“Sudah sekian lama kita berbincang, namun kau belum menjawab
pertanyaanku tadi, sebetulnya kemana ayahmu telah pergi. Mengapa
dia harus membengkalaikan hasil karyanya yg dibangun dg susah
payah itu?”
Kho Beng menghela napas panjang.
“Locianpwee, terus terang saja asal usulku hingga kini masih
merupakan sebuah teka teki besar, aku tidak tahu siapakah orang
tuaku, bahkan akupun tidak tahu siapakah manusia yg disebut Hui
im cengcu dan bernama Kho Bun sin itu...”
Bu wi lojin menjadi tertegun dan mengawasi Kho Beng dg
termangu-mangu, untuk beberapa saat lamanya dia sampai tak
mampu mengucapkan sepatah katapun.
Kho Beng berkata lebih jauh.
“Tapi sedikit banyak boanpwee pernah mendengar persoalan yg
menyangkut Hui im ceng, konon semua penghuni Hui im ceng telah
dibantai orang sampai ludes pada delapan belas tahun berselang.”
“Sungguhkah perkataan itu?” berubah hebat paras muka Bu wi
lojin.
“Benar atau tidak boanpwee tak berani memastikan, namun bila
ditinjau dari pengalaman yg boanpwee alami, rasanya berita itu tak
meleset dari kebenaran!”
Berbicara sampai disini, secara ringkas diapun mengisahkan
kembali semua pengalamannya selama berada didalam
perkampungan Hui im ceng, akhirnya dia menambahkan:
“Oleh sebab itulah boanpwee menjadi bingung dan curiga setelah
cianpwee mengatakan bahwa Hui im ceng mempunyai saorang
pengurus rumah tangga, tapi aku yakin orang yg menyaru sebagai
pengurus tersebut kalau bukan sipedang tanpa bayangan tentu si
sastrawan berkipas kemala!”
Dg wajah serius dan berat Bu wi lojin termenung, lalu katanya
sambil menggeleng:
“Orang itu bukan seorang pria.”
“Maksud cianpwee, orang yg menjadi pengurus gadungan dari
Hui im ceng adalah seorang wanita?” seru Kho Beng tercengang.

Bu wi lojin manggut-manggut, katanya sambil menghela napas
panjang:
“Lai-laki atau perempuan sudah tak penting lagi artinya, tapi aku
benar-benar penasaran karena setelah hidup mengasingkan diri
hampir dua puluh tahun dari keramaian dunia, hari ini mesti ditipu
orang mentah-mentah, selain itu akupun menyesal dan malu karena
tak dapat menjaga titipan Hui im cengcu dimasa lalu secara baikbaik.”
“Sebenarnya benda apasih yg telah ditipu perempuan itu?”
“Kitab pusaka Thian goan bu boh!”
“Sejilid kitab pusaka?”
“Ehmm, bukan saja sejilid kitab pusaka, bahkan merupakan
pusaka yg diimpi impikan dan diharapkan setiap umat persilatan
didunia ini, sebab barang siapa berhasil menguasai serta melatih
isinya dia akan menjadi perkasa dan tiada tandingannya dikolong
langit1”
Kho Beng menjadi terperanjat sekali, buru-buru serunya:
“Cianpwee, bagaimana ceritanya sampai kitab pusaka itu tertipu
olehnya?”
“Sebab dia mempunyai tanda pengenal milikku, aaai...mungkin
benda yg dipesan oleh orang tua menjelang ajalnya untuk kau ambil
adalah lencana kemala Siong giok leng tersebut?”
Sekarang Kho Beng baru mengerti, tak heran kalau Kho Po koan
meninggalkan pesan tersebut kepadanya, ternyata benda yg berada
dalam sakunya dapat ditukar dg sejilid kitab pusaka.
Berpikir sampai disitu, ia segera berkata dg serius:
“Bolehkah boanpwee mengajukan pertanyaan, bagaimanakah
tabiat Hui im cengcu dimasa lampau?”
Bu wi lojin menghela napas panjang.
“Dia adalah seorang pendekar sejati, bertenaga dalam sempurna
dan betul-betul merupakan seorang gagah yg hebat.”
“Andaikata kitab pusaka Thian goan bu boh sampai terjatuh
ketangan manusia bangsa kurcaci, bukankah hal ini dapat
menimbulkan bencana besar?”
“Bukan hanya bencana, pada hakekatnya seluruh dunia akan
kalut dan kehidupan manusia dilanda penderitaan besar.”
“Sesungguhnya maksud kedatanganku kemari adalah untuk
mencari guru pandai serta mempelajari ilmu silat, sungguh tak
disangka aku telah mendapatkan titik sedikit terang mengenai asal

usulku, biarpun hingga kini belum ada kepastian, namun bila
cianpwee mengijinkan, boanpwee ingin mengetahui lebih banyak
lagi!”
Bu wi lojin termenung beberapa saat, lalu mengangguk.
“Mari kita bebicara didalam rumah saja.”
Sambil membalikkan badan, ia masuk lebih dulu kedalam rumah.
Dg wajah serius Kho Beng mengikuti dibelakangnya, ia saksikan
ruangan tersebut teratur sangat rapi dan bersih, kursi meja dan rak
buku semuanya terbuat dari bambu.
Bu wi lojin menuang dua cawan teh, lalu duduh dihadapan
tamunya, setelah mempersilahkan pemuda itu meneguk air teh, ia
baru berkata:
“Kalau dilihat dari sikap pelayan tua keluarga Kho yg
mengenalimu sebagai sau cengcu Hui im ceng dari lencana yg kau
kenakan, ditambah pula pengamatanku lewat paras mukamu yg
mirip dg Hui im cengcu, aku rasa identitasmu sebagai keturunan Kho
tak jauh dari kebenaran. Tapi sudah hampir dua puluh tahun aku
hidup mengasingkan diri dari keramaian dunia, oleh sebab itu
akupun tidak tahu menahu tentang semua peristiwa yg terjadi di Hui
im ceng selama ini, jadi apa yg bisa kuungkap tak lebih hanya
hubunganku dg Kho cengcu.”
“Akan boanpwee dengarkan dg seksama.”
Bu wi lojin termenung sebentar, seakan-akan sedang
mengumpulkan kembali kenangan lamanya, lalu setelah menghela
napas ringan, dia berkata:
“Bila diceritakan rasanya memang susah diperaya, sesungguhnya
hubunganku dg Kho cengcu hanya didaari perjumpaan satu kali dan
berkumpul setengah hari lamanya. Biar begitu, dalam perjumpaan
yg hanya sekali, aku telah menjadi sahabat karib Kho tayhiap, lalu
dalam masa berkumpul selama setengah hari, kami menjadi sahabat
sehidup semati….aaai…sungguh tak nyana saat perpisahan waktu itu
ternyata merupakan perpisahan untuk selamanya….bila diingat
kembali sekarang, sungguh membuat hatiku pedih.
“Aaaai, sembilan belas tahun sudah lewat, kejadian ini harus
dikisahkan kembali sejak sembilan belas tahun berselang.
Waktu itu untuk membasmi manusia sesat dari golongan hitam,
aku telah mengembara sampai diwilayah Lam huang, meski
musuhku berhasil kutumpas, namun aku sendiri terkena serangan

beracun yg amat hebat sehingga jika tidak diobati dg segera, niscaya
jiwaku akan melayang.
Dg mengandalkan tenaga dalamku yg sempurna untuk
mengekang daya kerja racun tersebut, aku berusaha lari pulang dan
dalam tiga hari saja aku telah menempuh perjalanan sejauh ribuan
li.
Tapi akhirnya sewaktu lewat di Hang ciu meski racun belum
bekerja, aku justru sudah roboh tak sadarkan diri ditepi jalan.
Waktu itu secara kebetulan Kho tayhiap lewat disitu serta
menolongku, untung dia mempunyai obat mujarab yg habis
memunahkan racun, cukup menelan obatnya satu , tengah hari
kemudian lukaku telah sembuh sama sekali.
Setelah peristiwa itu, tiba-tiba dia mengeluarkan kitab pusaka
Thian goan bu boh dan mohon kepadaku untuk menyimpannya. Dia
bilang rahasia kitab tersebut sudah bocor sehingga banyak jago silat
yg sedang mengincarnya.
Aku yg selama hidup baru pertama kali ini memperoleh budi
orang tentu saja tidak mnyia-nyiakan kesempatan tersebut. Aku
segera menawarkan diri untuk membantunya menghadapi serbuan
jago-jago silat tersebut, namun tawaranku ini segera ditolaknya.
Padahal dg julukan Kiu hui sin kiam atau pedang sakti sembilan
terbang yg dimiliki Kho tayhiap waktu itu cukup disegani banyak
orang dan banyak jago lihay yg keok ditangannya.
Karenanya sewaktu melihat kekerasan kepalanya, akupun sadar
bahwa tindakannya itu pasti ada sebab musababnya, maka akupun
menerima permohonannya dg meninggalkan tanda pengenalku serta
memberikan alamat dimana aku berdiam, kami berjanji bila kitab
tersebut hendak diambil maka orang tersebut harus membawa tanda
pengenal itu.
Aaaai…sungguh tak disangka sejak berpisah, aku telah
menunggu sampai belasan tahun lamanya.
Pagi tadi tiba-tiba muncul seorang perempuan cantik yg mengaku
sebagai pengurus rumah tangga Hui im ceng, dia mohon bertemu
aku dan memperlihatkan lencana tersebut.
Karena tanda pengenal yg dibawa memang tak salah, maka
tanpa sangsi akupun menyerahkan kitab pusaka Thian goan bu boh
tersebut kepadanya,aaai…tak nyana rupanya aku sudah tertipu,
kejadian ini benar-benar membuat aku malu dg Kho cengcu
almarhum…”

Sekarang Kho Beng baru mengerti bahwa pesan yg ditinggalkan
pelayan tua itu menjelang ajalnya ternyata mempunyai pengaruh yg
besar terhadap masalah tersebut, dia menjadi amat menyesal karena
tidak melaksanakan pesa pelayan tua itu seketika itu juga.
“Apakah cianpwee kena dg perempuan itu?” tanyanya kemudian.
“Tidak! Aku tidak kenal.” Bu wi lojin menggelengkan kepalanya
berulang kali.
“Kalau begitu locianpwee telah bertindak kelewat gegabah,”
keluh Kho Beng sambil menghela napas.
Tapi setelah perkataan itu diutarakan, dia baru sadar kalau sudah
salah bicara, bagaimanapun tidak pantas dia menegur seorang
cianpwee dg ucapan sekasar itu.
Baru saja hendak memberi penjelasan sambil meminta maaf,
ternyata Bu wi lojin sama sekali tidak menjadi marah karena teguran
tersebut, malah ujarnya kemudian sambil menghela napas panjang:
“Padahal selamanya aku bekerja sangat teliti, karenanya
tertipuku pagi tadi, pertama dikarenakan sudah lama putus
hubungan dg dunia luar sehingga tidak mengetahui duduk persoalan
yg sebenarnya, kedua saat itu aku telah memutuskan akan hidup
mengasingkan diri untuk selamanya ditebing Siong hun gay ini dan
Cuma Kho tayhiap seorang yg tahu akan alamat ku ini. Itulah
sebabnya aku sama sekali tidak curiga kepadanya ketika perempuan
itu muncul dg membawa tanda pengenalku.”
Cepat-cepat Kho Beng mengangguk, dia menduga benda yg
disimpan disaku pelayan tua keluarga Kho itu pastilah tanda
pengenal Siong hun giok leng dan orang yg mengambil lencana
tersebut tak lain adalah si pedang tanpa bayangan serta sastrawan
berkipas kemala, tapi mengapa akhirnya bisa muncul seorang
perempuan? Persoalan inilah yg membuatnya tak habis mengerti.
Sementara itu Bu wi lojin telah berkata lagi setelah menghela
napas sedih:
“Lenyapnya kitab pusaka itu membuat aku malu dg Kho Tayhiap
almarhum, apalagi kalau kejadian tersebut mengakibatkan dunia
persilatan dilanda bencana, aku benar-benar akan menyesal
sepanjang masa.”
“Kejadian ini toh berlangsung diluar dugaan, locianpwee tak perlu
kelewat menyalahkan diri sendiri.” Cepat-cepat Kho Beng
menghibur, ”Berbicara sesungguhnya, akulah yg sudah teledor
waktu itu sehingga mengakibatkan terjadinya semua peristiwa ini.”

Bu wi lojin menggelengkan kepalanya, dg suara dalam dia
berkata:
“Satu-satunya jalan yg bisa kita lakukan sekarang adalah mencari
upaya untuk menanggulangi persoalan tersebut!”
Setelah mengangkat kepalanya dan menatap Kho Beng lekatlekat,
dia berkata lebih jauh:
“Aku pernah mempelajati isi kitab pusaka Thian goan bu boh
tersebut dan memberikan hasil yg lumayan, tapi bagaimanapun juga
usiaku sudah delapan puluh tahun lebih sehingga usiaku yg lanjut
membuat tenagaku bertambah lemah hingga tak mungkin bisa
memberikan hasil yg nyata, aku pikir satu-satunya jalan untuk
mengatasi masalah tersebut adalah mewariskan kepandaian itu
kepadamu!”
“Sungguh?” seru Kho Beng dg perasaan terkejut dan girang,
“Terima kasih banyak atas kesediaan cianpwee!”
Belum selesai perkataan itu diutarakan, Bu wi lojin telah
mengulapkan tangannya seraya berkata lagi:
“Kau jangan keburu bergirang hati dulu, ada sepatah kata hendak
kutanyakan lebih dulu, kalau toh kau tidak mengetahui siapa orang
tuamu, siapa yg telah memeliharamu sejak kecil hingga dewasa?”
Kho Beng menjadi termangu seketika itu juga, teringat olehnya
dg sumpah yg pernah diucapkan di Sam goan bun tempo hari.
Maka dg suara tergagap katanya:
“Harap cianpwee sudi memaafkan, boanpwee telah diusir dari
suatu perguruan karena mencuri belajar ilmu silat, waktu itu aku
telah bersumpah tak akan mengatakan kepada siapa saja orang yg
telah memelihara boanpwee selama ini.”
Dg perasaan tercengang Bu wi lojin berseru perlahan, kemudian
sesudah dipikirkan sejenak:
“Kalau memang kau punya janji demikian dimasa lalu, memang
paling baik kalau ditaati hingga kini, aku memang menduga kau
sebagai keturunan Hui im cengcu, namun sebelum memperoleh
bukti yg jelas, aku tak bisa tidak harus merubah niatku semula,
baiklah soal ilmu silat yg tercantum dalam kitab pusaka Thian goan
bu boh kuurungkan dulu sementara waktu.”
Sementara Kho Beng masih tertegun, Bu wi lojin telah berkata
lebih jauh:
“Kau tak usah kecewa, biarpun aku menunda saat mewariskan
ilmu silat Thian goan bu boh kepadamu, namun dg segenap

kemampuan yg kumiliki aku hendak menjadikan dirimu sebagai
seorang jago yg tangguh hanya dalam tujuh hari saja, aku berharap
dg modal kepandaian itu maka kau bisa turut terjun kedunia
persilatan serta menyelidiki teka teki sekitar asal usulmu.
Marilah…..!”
Selesai berkata diapun beranjak masuk kedalam rumah.
Cepat-cepat Kho Beng mengikuti dari belakang.
Ruangan belakang ruang utama ternyata merupakan dapur.
Waktu itu Bu wi lojin sedang mendekati sebuah gentong air dan
memandang sebuah batu tonjolan disisi gentong air tersebut...
“Bluummmm......!”
Diiringi suara gemuruh yg keras, tiba-tiba gentong air itu
bergeser kesamping dan muncullah sebuah lorong bawah tanah
undak-undakan batu yg membentang kebawah menghubungkan
tempat tersebut dg sebuah ruang batu.
Setelah kedua orang itu berjalan turun kebawah, gentong air
diatas permukaan tanahpun bergeser kembali keposisi semula, dg
demikian rumah diatas sana pun menjadi kosong tanpa penghuni.
Begitulah, waktu pelan-pelan berlalu, sehari.....dua hari....tiga
hari....
Menjelang tengah hari ketiga, Bu wi lojin muncul secara tiba-tiba
dirumahnya dg wajah penuh keringat dan cahaya muka yg lebih
redup, sikapnya berbeda sekali dg tiga hari berselang.
Menyusul kemudian hari keempat.....kelima.....keenam pun lewat
begitu saja.
Menjelang hari ketujuh siang, pintu ruang bawah tanah terbuka
dan muncullah Kho Beng.
Pakaian yg dikenakan meski tak berbeda dg tujuh hari berselang,
namun semangat maupun kekuatannya sudah berbeda jauh
bagaikan langit dan bumi.
Sewaktu tiba diruang utama, ia tidak menemukan Bu wi lojin, tapi
diatas meja ditemukan secarik kertas yg isinya berbunyi begini:
“Aku telah turun gunung sehari lebih cepat, aku belum tahu
sampai kapan baru kembali kesini, bila kau sudah melewati tujuh
hari latihan, tentukan sendiri langkah berikutnya dan tak usah
menunggu kehadiranku lagi.
Betul, diantara kita tak mempunyai ikatan hubungan sebagai guru
dan murid, namun dalam kenyataan aku pernah mewariskan ilmu

silat kepadamu, karenanya kuharap kaupun tidak melanggar tata
krama kehidupan manusia pada umumnya.
“Ingat !Apa yg diperbuat orang lain belum tentu harus dituruti diri
sendiri dan apa yg harus dilakukan mesti dipilih dulu persoalan
apakah itu, dg begitu kau tak akan sampai terjerumus kedalam
pergaulan yg keliru.
Diatas dinding ada pedang, dalam almari ada uang, ambillah
menurut kebutuhan dan tak usah berdiam lebih lama lagi disini.”
Ketika selesai membaca tulisan tersebut, Kho Beng merasa air
matanya jatuh berlinang karena terharu, dg sangat hormat dia
menyembah tiga kali kearah pintu ruangan, kemudian mengambil
pedang dan uang dan menuruni tebing Siong hun gay tersebut.
Setelah menuruni bukit Hong San, suatu hari tibalah Kho Beng
dikota Tong sia.
Waktu itu adalah hari tahun baru, salju yg tebal menyelimuti
seluruh permukaan tanah, namun anehnya justru pada masa
gembira seperti ini, ia lihat banyak jago persilatan yg bersenjata
lengkap berlalu lalang disekitar sana.
Kho Beng menjadi amat tercengang setelah menyaksikan
kesemuanya ini segera berpikir:
“Jangan-jangan sudah terjadi suatu peristiwa dikota Tong sia
ini...?”
Sementara dia masih menempuh perjalanan sambil melamun,
tiba-tiba seekor kuda berjalan melintas disisinya, penunggangnya
asalah seorang lelaki berpakaian sastrawan yg memakai baju putih
dan membawa kipas kemala.
Dilihat dari bayangan punggungnya, orang itu mirip sekali dg
sastrawan berkipas kemala yg pernah dijumpainya tempo hari.
Teringat dg peristiwa yg menimpa Bu wi lojin, cepat-cepat
pemuda itu berteriak keras:
“Beng jihiap....Beng jihiap....”
Waktu itu tenaga dalam yg dimilikinya sudah amat sempurna,
teriakan tersebut segera bergema sampai puluhan li jauhnya.
Betul juga, penunggang kuda itu segera menghentikan lari
kudanya setelah mendengar teriakan tersebut kemudian berpaling,
dia tak lain adalah Sastrawan berkipas kemala, Beng yu.
Agaknya ditengah debu yg beterbangan menyelimuti angkasa, ia
tak sempat melihat wajah Kho Beng secara jelas, dg secara lantang
dia berseru pula:

“Siapa yg sedang memanggil aku Beng Yu?”
Baru saja dia berkata, sesosok bayangan hijau telah berkelebat
lewat dan tahu-tahu Kho Beng sudah berdiri dihadapannya dan
menegur seraya menjura:
“Beng jihiap, baru berpisah beberapa bulan, masa sudah tak
kenal lagi dg Kho Beng?”
“Ooohh....rupanya Kho siauhiap!”
Gerakan tubuh Kho Beng yg cepat dan gesit membuat sastrawan
berkipas kemala ini merasa terkejut bercampur keheranan sehingga
setelah tertegun sejenak, cepat-cepat dia menjura seraya bertanya
lagi:
“Siauhiap hendak kemana?”
“Aku sedang menempuh perjalanan jauh sambil melewati hari
tahun baru ini, tapi....mengapa jihiap pun tidak melewati tahun baru
dirumah, sebaliknya melarikan kuda begitu tergesa-gesa ditempat
ini? Apakah sudah terjadi suatu peristiwa dikota Tong sia ini?”
Sastrawan berkipas kemala segera menghela napas panjang,
katanya dg suara berat:
“Siauhiap terus terang kukatakan, jejak iblis telah muncul dikota
tong sia, dan sekarang aku sedang mewakili kakak angkatku untuk
mengumpulkan para jago yg berada disekitar sini untuk bersamasama
menghadapi gembong iblis tersebut..”
“Siapa sih gembong iblis yg jihiap maksudkan?” tanya Kho Beng
keheranan.
“Dia tak lain adalah Kedele Maut yg membunuh orang tak
berkedip dan jejaknya amat rahasia itu...”
“Ooohh....jadi kedele maut telah mencari gara-gara pula dg kakak
angkatmu Lu tayhiap?”
“Begitulah kejadiannya.” Sastrawan berkipas kemala
mengangguk, “Jika siauhiap tak keberatan, Beng yu mewakili kakak
angkatku mohon bantuan anda, setelah berhasil memukul mundur
iblis tersebut, nanti kami baru berterima kasih kepadamu.”
Dari nada pembicaraan tersebut, jelas sudah bahwa dia
mengharapkan bantuan dari pemuda tersebut.
Kho Beng segera teringat kembali dg peristiwa dirumah makan
kota Kwan tong tin tempo hari, lelaki berdandan saudagar yg
membawa sekarung kedele itu pernah menanyakan nama serta asal
usulnya, bukankah orang itu justru merupakan orang pertama yg
menganggap dia sebagai sau cengcu dari Hui im ceng?

Seandainya orang itu benar-benar adalah penyaruan dari kedele
maut, bukankah saat ini merupakan kesempatan yg terbaik baginya
untuk menanyakan hubungannya dg Hui im ceng?
Lagipula kesempatan tersebut merupakan peluang yg sangat baik
baginya untuk menyelidiki jejak kitab pusaka yg hilang itu,
disamping menambah pengetahuan serta pengalamannya.
Mengenai asal usulnya dia tak merasa ragu, bagaimanapun juga
thio bungkuk telah berjanji akan membeberkan soal itu tiga tahun
mendatang, sementara Bu wi lojin telah mewariskan sebagian besar
dari tenaga dalam kepadanya, yg membuat kepandaian yg
dimilikinya sekarang bertambah tangguh, mengapa ia tidak
membuat kejutan sekarang dg mengandalkan kemampuan tersebut?
Pelbagai persoalan berkelebat lewat dalam waktu singkat
dibenaknya, Kho Beng segera memutuskan untuk menerima
undangan tersebut.
Maka sambil tertawa nyaring, diapun menjawab:
“Membasmi kaum iblis sudah menjadi kewajiban setiap umat
persilatan, biar kemampuanku masih rendah, namun aku tak ingin
ketinggalan dari yg lain. Beng jihiap! Silahkan kau berangkat duluan,
tinggalkan saja alamatnya, sampai waktunya aku pasti akan
menyusul kesana.”
Dg perasaan gembira sastrawan berwajah kemala segera
menjura berulang kali, katanya:
“Terima kasih banyak atas kesedian siauhiap, sekarang aku
belum bisa kembali kekota Tong sia, karenanya harap siauhiap
masuk kota sendiri, setelah melewati pintu gerbang, tanyakan
kepada orang gedung keluarga Lu, setiap penduduk kota
mengetahui letaknya dan pasti menunjukkan kepadamu. Setelah
senja nanti aku pasti akan bertemu lagi dg siauhiap. Nah, maaf kalau
aku tak bisa menemani lebih lama lagi.”
Selesai menjura ia segera melarikan kuda kembali meninggalkan
tempat itu, sekejap kemudian bayangan tubuhnya sudah lenyap dari
pandangan mata.
Sepeninggal Beng Yu dg langkah santai Kho Beng meneruskan
perjalanannya lagi memasuki kota.
Tak usah bersusah payah mencari, dg cepat ia telah tiba didepan
pintu gerbang gedung keluarga Lu.
Gedung tersebut sangat megah, pintu gerbang terbuka lebar dan
sepasang patung singa yg besar berdiri dikedua sisi pintu. Dua deret

centeng berbaju hijau dg mata yg tajam dan kesiap siagaan penuh
menjaga sekeliling gedung, semuanya ini memberi kesan bahwa si
pedang tanpa bayangan Lu seng sim pasti mempunyai kedudukan
dan nama yg tinggi dimata masyarakat.
Setelah membereskan pakaiannya dan membersihkan debu dari
pakaian, pemuda itu melangkah kedepan pintu dan menegur sambil
menjura:
“Aku Kho Beng atas undangan dari Beng jihiap sengaja datang
kemari, harap kalian suka memberi kabar kepada Lu tayhiap.”
Seorang centeng segera tampil kemuka dan menyahut sambil
menjura pula:
--------missing page 36-41 ----------
….acuh tak acuh, malah ujarnya sambil tertawa nyaring:
“Kuakui perkataan lote memang merupakan nasehat yg sangat
berharga semua, seandainya aku tak punya keyakinan tak nanti
sikapku begini santai dan percaya dg kemampuan
sendiri…..ha….ha….ha….nantikanlah hingga Beng loji pulang senja
nanti, lote pasti tahu apa sebabny sikapku begini santai dan percaya
dg kemampuan sendiri!”
Selesai berkata, kembali ia tertawa terbahak-bahak.
Kho Beng menjadi geli sendiri setelah mendengar perkataan itu,
pikirnya:
“Kalau toh sudah mempunyai keyakinan untuk menghadapi
serbuan iblis tersebut, buat apa kau menyuruh adik angkatmu
mencari bantuan dimana-mana? Ehmm....sikapnya benar-benar
bertentangan sekali dg kenyataan.....”
Tapi Kho Beng pun mengerti, si pedang tanpa bayangan bisa
bersikap begini bisa jadi karena dia menganggap kepandaian silat yg
dimilikinya cukup tangguh untuk menghadapi serangan lawan, atau
mungkin juga ia telah mendapat janji bantuan dari seseorang yg
tangguh dan mampu menghadapi ancaman si kedele maut.
Tapi kalau dilihat dari sikapnya yg menyuruh semua orang
menunggu sampai kembalinya Beng loji, besar kemungkinan dia
memang mengandalkan bala bantuan dari luar.
Tapi siapakah tokoh persilatan yg bersedia melindungi di pedang
tanpa bayangan? Kalau memang orang itu memiliki kepandaian yg
sanggup menandingi di kedele maut, mengapa umat persilatan tidak
meminta bantuannya untuk menumpas iblis tersebut, sebaliknya
membiarkan si kedele maut malang melintang hingga sekarang.

Kecurigaan tersebut melintas lewat didalam benak Kho Beng, tapi
berhubung senja sudah menjelang dan jawabanpun akan diperoleh
maka pemuda itu tidak berpikir lebih jauh.
Apalagi maksud kedatangannya yg terutama adalah mencari
kesempatan untuk menyelidiki soal kitab pusaka yg ditipu orang, ia
merasa tak berkepentingan untuk merisaukan kesulitan orang lain.
Oleh sebab itu, diapun tidak banyak berbicara lagi.
Agaknya sipedang tanpa bayangan sadar kalau ucapannya
kelewat memandang enteng bantuan orang lain sehingga
menyebabkan jago-jago yg telah hadir merasa sungkan untuk
berbicara. Melihat suasana dalam ruangan berubah menjadi
mengesalkan, cepat-cepat ia perintahkan orang untuk
mempersiapkan meja perjamuan.
Akhirnya senja pun menjelang tiba, sinar sang surya yg lemah
menyinari pelataran luar ruangan sementara angin malam yg dingin
terasa berhembus makin kencang dan tebal.
Perjamuan didalam ruangan telah selesai disiapkan, baru saja
tuan rumah dan tamu mengambil tempat duduk masing-masing,
tiba-tiba dari luar ruangan berkumandang datang suara langkah kaki
manusia yg terburu-buru menyusul kemudian terlihat seseorang
centeng berlari masuk kedalam ruangan sambil memberi laporan:
“Beng jiya telah kembali!”
Dg tak sabar lagi se pedang tanpa bayangan segera melompat
bangun dari tempat duduknya.
Ia saksikan sastrawan berkipas kemala dg wajah mandi keringat
berlari masuk kedalam ruangan, wajahnya merah padam tetapi
kelihatan amat serius.
“Loji bagaimana dg persoalan kita?” cepat-cepat si pedang tanpa
bayangan bertanya.
Sastrawan berkipas kemala menggelengkan kepalanya berulang
kali dan menghembuskan napas panjang yg amat berat.
Sikap yg diperlihatkan sastrawan berkipas kemala ini bukan saja
membuat paras muka sipedang tanpa bayangan berubah hebat,
bahkan eempat jago lainpun turut berubah muka.
Kho Beng menyaksikan kejadian tersebut segera berpikir dalam
hatinya:
“Ternyata apa yg kuduga semula memang tidak meleset!”
Tampak sipedang tanpa bayangan dg wajah hijau membesi
bertanya lagi:

“Apakah dia akan berpeluk tangan embiarkan aku orang she Ku
menjadi korban iblis tersebut?”
“Itupun tidak!” kembali Sastrawan berkipas kemala
menggelengkan kepalanya berulang kali.
Pedang tanpa bayangan menjadi tertegun.
“Ini bukan, itupun bukan, lalu apa yg sebenarnya terjadi?”
“Sebetulnya dia akan datang atau tidak?”
Sastrawan berkipas kemala menghela napas panjang.
“Tidak! Kedatanganku sungguh tidak kebetulan, baru saja
siancu(dewi) menutup diri untuk bersemedi, jelas keadaa begitu ia
tak bisa meninggalkan tempat karenanya berpesan agar kau
mengurungkan niatmu untuk melakukan perlawanan dan sementara
waktu pergi menyingkir dari sini?”
Hijau membesi selembar wajah si pedang tanpa bayangan
setelah mendengar ucapan tersebut, jenggotnya yg hitam kelihatan
bergetar keras, sesudah termangu-mangu berapa saat, ia segera
menggebrak meja dan berseru dg marah:
“Hmmm, perkataan macam apa itu? Aku manusia she Lu bukan
manusia yg tak bernama, kalau mesti kabur sebelum melangsungkan
pertempuran, bagaimana pertanggungjawabku nanti kepada
sahabat-sahabat dan sanak keluarga yg telah membantuku
sekarang? Beng loji, selain pesan itu apakah dia tidak
menyampaikan pesan yg lain lagi?”
Sastrawan berkipas kemala menghela napas panjang:
“Ada, siancu berpesan bila toako tetap berkeras akan memberi
perlawanan demi nama kosong, maka beliau pun tak bisa berbuat yg
lain kecuali mengijinkan toako bertindak sekehendak hati.”
“Hmmm, benar-benar ngaco belo belaka.” Teriak si pedang tanpa
bayangan penuh amarah, “Selama dua puluh tahunan hidup
bergelimpangan diujung senjata, beratus-ratus kali pertarungan
besar kecil telah kualami sebelumnya, akhirnya berhasil meraih
sedikit nama, kau anggap aku mesti melepas jerih payahku itu dg
begitu saja?”
“Toako, siapa tahu siancu mempunyai perhitungan lain.” Buruburu
sastrawan berkipas kemala menyela, “Kalau tidak diapun tak
akan mengutus keenam belas jago pedang berbaju kuning untuk
diserahkan penggunaannya kepadamu.”
“Hmmm, perhitungan kentut anjing!” Pedang tanpa bayangan
berteriak penuh kegusaran, “Setiap korban yg tewas ditangan kedele

maut rata-rata adalah jago yg bernama besar dan memiliki
kepandaian silat yg hebat, apa artinya keenam belas jago pedang
berbaju kuning itu? Hmmm....sungguh tak disangka meski aku telah
berjuang mempertaruhkan jiwa raga demi kepentingannya dimasa
lalu, kini habis manis sepah dibuang, ia sama sekali tidak
memperdulikan keselamatan jiwaku lagi....”
Tampaknya sastrawan berkipas kemala sudah tak mampu
mendengarkan perkataan itu lebih jauh, dg suara berat ia segera
menyela:
“Toako, kau kelewat emosi, jangan lupa dg peraturan yg telah
ditetapkan siancu dimasa lampau!”
Walaupu perkataan tersebut diucapkan dg nada yg lembut da
mendatar, namun bagi pendengaran si pedang tanpa bayangan, tak
ubanya seperti guntur yg membelah bumi disiang hari bolong.
Paras mukanya segera berubah menjadi pucat ke abu-abuan, ia
duduk kembali keatas kursi dan menghembuskan napas panjang.
Sikap santai dan acuh tak acuh yg diperlihatkan siang tadi, kini
sudah lenyap tak berbekas, sebagai gantinya dia nampak begitu
lemah dan ketakutan menghadapi kematian.
Dari pembicaraan yg barusan berlangsung serta perubahan mimik
muka si pedang tanpa bayangan, tanpa dijelaskan pun para jago
lainnya sudah mengerti apa gerangan yg telah terjadi. Jelaslah
sudah si pedang tanpa bayangan telah kehilangan pendukungnya yg
paling diharapkan sehingga keselamatan jiwanya kini sudah erada
diujung tanduk...
Si ruyung dan toya sakti Siau bin yg duduk disisi arena pertamatama
yg tak sanggup menahan diri lebih dulu, mendadak ia berkata:
“Saudara Lu, Beng jihiap, sebetulnya siapa sih siancu yg kalian
sebut-sebut tadi?”
Sastrawan berkipas kemala Cuma tertawa getir, gelengkan kepala
dan tidak menjawab.
Pedang tanpa bayangan yg duduk lemas dikursinya mendadak
melompat bangun, lalu sambil menjura kepada semua orang ia
berseru:
“Lu Seng sim mengucapkan banyak terima kasih kepada kalian
atas kesediannya datang membantuku, tapi sekarang ancaman
bahaya besar telah berada didepan mata, aku tak ingin melibatkan
kalian semua sehingga menjadi korban yg tak ada artinya. Oleh
sebab itu mumpung waktunya masih pagi, silahkan kalian beranjak

pergi lebih dulu dari tempat berbahaya ini. Tolong sekalian beritakan
kepada rekan-rekan diluar agar mereka yg ingin pergi silahkan pergi,
yg ingin tinggal silahkan tinggal. Pokokny aku tak akan mendendam
kepada siapa pun yg meninggalkan tempat ini, jika nyawaku berhasil
lolos malam ini, dikemudian hari aku tentu akan berkunjung lagi
kerumah kalian sambil menyampaikan terima kasihku.”
Si kakek sakti berambut putih, Ciu Cu in memandang sekejap
sekeliling tempat itu, kemudian menghela napas:
“Aaai...kalau toh Lu tayhiap berkata begitu, biar aku she Ciu
mohon diri lebih dulu.”
Disusul kemudian toya dan ruyung sakti Siau Bin, Piau sakti tujuh
bintang Kuang beng, Su beng kongcu Yu Bu secara beruntun mohon
diri pula dari situ.
Jelas mereka merasa tak puas karena si pedang tanpa bayangan
enggan menerangkan siapa gerangan “siancu” yg gagal diundang
itu, disamping mereka pun mengerti kalau kepandaian yg dimilikinya
belum mampu untuk menghadapi si kedele maut.
Tentu saja mereka tak ingin mengorbankan jiwa sendiri demi
keselamatan orang lain.
Kho Beng yg menyaksikan kejadian tersebut tanpa terasa timbul
perasaan simpatiknya kepada si pedang tanpa bayangan, sebab dia
menganggap orang ini masih belum kehilangan semangat jantannya
sebagai seorang laki-laki sejati.
“Biar kulepaskan budi lebih dulu kepadanya, bukankah diapun
akan menerangkan pula soal kitab pusaka tersebut kepadaku?”
demikian pikirnya dalam hati.
Sementara itu si pedang tanpa bayangan telah mengalihkan
pandangannya kewajah Kho Beng, setelah menyaksikan kepergian
rekan-rekan lainnya, kemudian menegur:
“Lote, mengapa kau belum pergi?”
Tatapan matanya penuh mengandung keresahan dan putus asa.
Rasa ingin tahu, iba ditambah semangat mudanya sebagai
seorang jago yg baru selesai belajar silat, apalagi diapun mempunyai
tujuan lain membuat Kho Beng segera tertawa nyaring:
“Lu tua, kau anggap aku yg muda adalah manusia kurcaci yg
mundur bila menemui kesulitan?”
Pedang tanpa bayangan segera menghela napas panjang,
katanya dg wajah bersungguh-sungguh:

“Lote masih muda, kesepatan hidup dikemudian hari [un masih
panjang, apa gunanya kau mesti menyerempet bahaya demi
kepentinganku?”
“Setelah mendengar ucapanmu itu, aku makin berkeras akan
tetap tinggal disini, kau tak usah kuatir, Kho Beng adalah seorang
manusia sebatang kara yg tanpa sanak saudara tanpa rumah
tinggal. Selama ini dunia persilatan sudah cukup dihebohkan oleh
ulah sikedele maut, namun hingga kini belum ada yg tahu siapakah
orang tersebut. Oleh sebab itu selain hendak berusaha melenyapkan
iblis tersebut dari muka bumi, akupun hendak menyingkap tabir
kerahasiaan dari iblis tersebut, agar umat persilatan bisa mempunyai
patokan yg tertentu didalam usaha pemburuannya tidak lagi asal
tubruk secara membabi buta seperti sekrang ini.”
Perkataan yg diucapkan dg bersungguh-sungguh dan penuh
semangat ini segera membuat perasaan si pedang tanpa bayangan
serta sastrawan berkipas kemala agak tergerak.
Cepat-cepat si pedang tanpa bayangan menjura dalam-dalam
seraya berkata:
“Siauhiap benar-benar perkasa dan berhati mulia, bila aku
beruntung dapat lolos dari musibah ini, biar jadi kuda atau anjing
pun aku rela!”
Cepat-cepat Kho Beng menukas:
“Kau jangan berbicara seperti itu dan lagi masih terlalu awal
untuk menjanjikan sesuatu, oh ya….jihiap apakah kau tahu si kedele
maut telah berjanji akan muncul pada pukul berapa?”
“Tengah malam nanti,” sahut si pedang tanpa bayangan.
“Darimana Lu tayhiap bisa tahu kalau dia bakal datang tengah
malam nanti?”
Pedang tanpa bayangan menghela napas panjang, dari sakunya
dia mengeluarkan selembar kertas surat berwarna merah dan
diserahkan kepada Kho Beng sambil katanya:
“Silahkan lote memeriksa isi surat ini, kau akan mengerti sendiri !
»
Kho Beng menerima surat tersebut dan diperiksa isinya, pada
sampul muka tertera nama si pedang tanpa bayangan, sedangkan
ditengah sampul tertera dua butir kedele berwarna hitam.
Disamping itu dalam sampul terdapat selembar kertas yg
bertuliskan begini :

“Nantikanlah kedatanganku pada tengah malam nanti, siapkan
batok kepalamu, bila mencoba kabur atau melawan seluruh
keluargamu akan kutumpas semua.”
Dibawahnya tertera tanda tangannya : Si Kedele Maut.
Dg kening berkerut, Kho Beng segera merobek-robek surat ini
menjadi beberapa bagian, lalu serunya sambil tertawa dingin:
“Hmm, ingin kulihat bagaimanakan tampang muka sigembong
iblis tersebut….enak benar kalau bicara, seluruh keluarga akan
ditumpas habis….emangnya dia anggap perintahnya adalah firman
dari sribaginda?”
Kemudian setelah memeriksa keadaan cuaca, ia berkata lebih
jauh:
“Malam baru menjelang, berarti kita masih mempunyai waktu yg
cukup lama, kurasa lebih baik kalian berdua kembali dulu kekamar
untuk beristirahat sambil menghimpun kekuatan, disamping itu
kumohon saudara Lu menyiapkan pula sebuah kamar untuk diriku,
akupun ingin beristirahat sebentar.”
Tuk, tuk, tuk, traaang, traang, traaang…..
Dari arah jalan raya sana berkumandang tiga kali kentongan yag
amat nyaring, mendadak kentongan ketiga telah menjelang tiba.
Cahaya lentera yg menerangi gedung keluarga Lu waktu itu
sudah amat redup, suasana amat hening tak ubahnya seperti sebuah
kota mati.
Kho Beng dg semangat menyala-nyala memakai jubah panjang
dg pedang tersoren dipunggung beranjak keluar dari kamarnya
menuju keruang tengah.
Disitu ia saksikan hanya si pedang tanpa bayangan seorang
duduk termenung ditengah ruangan dg pedang tergenggam
ditangan, wajahnya termangu-mangu dan pandangan kaku.
Suasana yg suram ini membuat Kho Beng menjadi tertegun,
segera tegurnya keheranan:
“Mana Beng jihiap?”
Dg sedih si pedang tanpa bayangan menggelengkan kepalanya
menghela napas tetap membungkam, mukanya kusut sementara
dua titik airmata jatuh berlinang membasahi pipinya.
Dari sikap sedih yg terpancar keluar ari wajah si pedang tanpa
bayangan ini, Kho Beng segera dapat menduga, Sastrawan berkipas

kemala tentu sudah kabur menyelamatkan diri tanpa mempedulikan
keselamatan kakak angkatnya lagi.
Keadaan tersebut segera membuat Kho Beng semakin simpatik,
buru-buru ia menghibur:
“Ketika membuyarkan rekan-rekan lain disenja tadi, sikapmu
begitu terbuka dan gagah, mengapa pula kau risau karena seorang
Beng Yu? Ha….ha….ha….biarpun kepandaianku amat rendah, jelekjelek
begini aku akan tetap mendampingimu untuk menghadapi
segala kemungkinan yg terjadi.”
Dg perasaan amat terharu dan berterima kasih, si pedang tanpa
bayangan segera berseru:
“Aku tak menyangka meski kita hanya berpisah satu kali, namun
kesetiaan kawanmu sangat mengagumkan, aaai…tapi berapa
banyakkah manusia dalam dunia saat ini yg memiliki sifat mulia
seperti lote….?”
Cepat-cepat Kho Beng menukas:
“Kalau toh kta sudah berniat sehidup semati, apa gunanya kau
mesti mengutarakan kata-kata sungkan seperti itu? Cuma ada satu
hal yg masih menjadi beban pikiranku selama ini, apakah kau
bersedia untuk memberitahu?”
“Katakan saja lote, asal aku tahu pasti akan kujawab.”
“Siapa sih siancu yg telah disinggung Beng jihiap senja tadi? Dan
apa pula hubungan dg dirimu?”
Pedang tanpa bayangan termenung beberapa saat lamanya
setelah mendengar perkataan tersebut, sesaat kemudian dia baru
menghela napas panjang dan berkata:
“Dia adalah seorang perempuan berusia tiga puluhan yg
berwajah cantik jelita bak bidadari dari kahyangan, orang itu
bernama In in dan tidak diketahui asal usulnya, namun memiliki
kecerdasan yg hebat dan tenaga dalam yg mengerikan. Oleh karena
dia jarang berkelana didalam dunia persilatan maka sedikit sekali
umat persilatan yg mengetahui kalau didunia ini terdapat perempuan
semacam itu…..aaai….dulu aku pernah menjual nyawa baginya….”
Baru berbicara sampai disitu, tiba-tiba perkataan tersebut terhenti
oleh jeritan ngeri yg menyayat hati.
Jerit kesakitan tersebut berkumandang datang dari luar ruangan
dan bergema amat panjang, kalau didengar ditengah kegelapan dan
keheningan seperti ini suaranya terasa sangat mengerikan dan
mendirikan bulu kuduk siapapun.

Berubah hebat paras muka si pedang tanpa bayangan saking
terperanjatnya, pembicaraanpun segera terputus ditengah jalan, dg
pedang terhunus dia melompat bangun namun tubuhnya kelihatan
genetar sangat keras.
“Bisa jadi sikedele maut telah tiba!” bisiknya dg perasan ngeri.
“Siapa saja yg berada digedung ini?” tanya Kho Beng sambil
melompat bangun pula.
“Kecuali enam belas jago pedang, tiada orang lain yg berada
digedung ini.”
“Hayo berangkat! Mri kita pergi memeriksa keadaan yg
sebenarnya...” seru Kho Beng kemudian .
Dg suatu gerakan yg cepat dia segera melesat keluar dari
ruangan langsung menerjang kepintu gerbang.
Dg ketat si pedang tanpa bayangan mengintil dibelakangnya, tapi
karena dia bergerak sedikit lamban maka tubuhnya tertinggal sejauh
tiga kaki lebih dibelakang.
Tiba didepan pintu gerbang, mereka saksikan diantara dua deret
pohon siong telah tergeletak sesosok mayat berbaju kining, ubunubunnya
telah hancur berantakan, isi benaknya berserakan dimanamana
dan mendatangkan suasana yg mengerikan sekali bagi yg
melihat.
Namun kelima belas jago pedang yg lainnya sama sekali tak
nampak batang hidungnya. Dengan kening berkerut Kho Beng
memperhatikan sekeliling tempat itu, lalu tanyanya dg kening
berkerut:
Jilid 05
“Lu tua! Kemana perginya jago-jago pedang lainnya”
Dg perasaan tegang si pedang tanpa bayangan menjawab:
“Aku telah menempatkan mereka didepan dan dibelakang gedung
ini, maksudku dg menyebarkan mereka disetiap sudut gedung yg
strategis, maka kedatangan si kedele maut akan segera ketahuan.”
Kho Beng segera menghela napas panjang:
“aaai...tindakan saudara Lu dg menyebarkan mereka disetiap
sudut gedung merupakan suatu tindakan yg keliru besar, untuk
menghadapi ancaman musuh yg sangat tangguh, kita wajib
menghimpun segenap kekuatan yg ada untuk menghadapi secara
bersama-sama”

Tampaknya waktu itu si pedang tanpa bayangan sudah
kehilangan pendirian saking gugup dan paniknya, mendengar
perkataan tersebut buru-buru katanya:
“Bagaimana kalau kukumpulkan mereka sekarang juga?”
Dg cepat Kho Beng menggeleng.
“Sekarang sudah terlambat, daripada bergerak lebih baik kita pilih
gerakan menanti saja, coba kita saksikan dulu tindakan apa yg
hendak dilakukan lawan.”
Kedua orang itupun segera berdiri penuh kewaspadaan sambil
mengawasi sekeliling arena dg pandangan tajam, mereka ingin tahu
dari arah manakah si kedele maut akan munculkan diri.
Namun suasana betul-betul mencekam hati, keheningan terasa
mencekam sekeliling tempat itu, bukan saja tidak dijumpai jejak
musuh, setitik gerakan pun tak nampak.
Dg sikap yg tegang Kho Beng bersiap sedia menghadapi segala
kemungkinan yg tak diinginkan, sementara benaknya terlintas
kembali dg peristiwa yg dialami dirumah makan Kwan tong tin
tempo hari.
Ia masih ingat, kedele maut yg dikirimkan kepada si pedang
tanpa bayangan sebagai ancaman, betul-betul tak berbeda dg keele
maut yg berada dalam karung yg dibawa saudagar tersebut,
mungkinkah iblis misterius yg disebut kedele maut adalah orang itu?
Sementara dia masih termenung dg penuh perasaan keheranan,
pedang tanpa bayangan yg berada disisinya juga mulai tak tenang,
wajahnya makin lama semakin tegang.
Menanti saat kematian memang merupakan saat penantian yg
paling menyiksa batin, sekalipun suasana disekeliling tempat itu
sangat hening sehingga tak kedengaran sedikitpun suara, namun
keheningan tersebut justru menambah suasana menyeramkan yg
mencekam tempat tersebut.
Terutama sekali bagi pedang tanpa bayangan, dia merasa
seakan-akan dari empat penjuru telah muncul cengkeraman iblis yg
siap menerkam serta merenggut nyawanya.
Ditengah keheningan yg mencekam seluruh jagad inilah,
mendadak dari arah ruang tengah berkumandang datang suara
langkah kaki manusia yg sangat lirih.
Kho Beng dan pedang tanpa bayangan dapat mendengar suara
tersebut dg jelas sekali, serentak mereka berpaling dg hati berdebar
dan perasaan terperanjat.

Dari kejauhan sana terlihatlah sesosok bayangan putih
munculkan diri dg langkah yg lembut, ternyata dia adalah seorang
nona berusia tujuh delapan belas tahun, wajahnya halus dan bersih,
rambutnya dikepang menjadi dua.
Betul-betul suatu peristiwa yg mencengangkan hati! Bukankah
dalam gedung tersebut selain lima belas jago pedang sama sekali
tiada orang lain? Mengapa dalam keadaan begini bisa muncul
seorang nona yg berdandan sebagai dayang?
Kho Beng segera membentak nyaring:
“Siapa kau?”
Dg suatu gerakan yg sangat ringan, nona berbaju putih itu
mendekati mereka berdua, kemudian setelah memandang sekejap
kearah Kho Beng, ujarnya kepada si pedang tanpa bayangan:
“Budah Bwee hiang mendapat perintah dari nona untuk
mengundang kehadiran Lu tayhiap kehalaman belakang.”
Sementara Kho Beng masih tertegun, pedang tanpa bayangan
telah membentak keras:
“Siapakah nona yg kau maksudkan? Darimana bisa muncul
disini….?”
Dg cepat paras muka nona berbaju putih itu berubah menjadi
dingin bagaikan es, kembali ujarnya:
“Seharusnya Lu tayhiap memahami persoalan ini dg sejelasjelasnya,
buat apa mesti banyak bicara lagi? Nona kami paling segan
untuk membuang waktu, katakan saja Lu tayhiap, kau bersedia
kebelakang atau tidak?”
Satu ingatan cepat melintas dalam benak Kho Beng, kepada si
pedang tanpa bayangan segera serunya:
“Jangan-jangan dia adalah…..”
Sebelum perkataan itu selesai diutarakan, si pedang tanpa
bayangan sudah menyadari pula akan sesuatu, dia berseru tertahan
dan segera tanyakan kepada nona berbaju putih itu sambil menjura:
“Jangan-jangan siancu telah tiba?”
“Lu tayhiap kalau toh sudah tahu, mengapa tidak segera
mengikuti budak untuk masuk kedalam?”
Selesai berkata dia lantas membalikkan badan dan beranjak pergi
dari situ.
Pedan tanpa bayangan cukup tahu bahwa gerak gerik siancu
memang selalu diliputi rahasia, lagipula bila bukan dia yg datang,

apa sebab jago pedang berbaju kuning yg ditempatkannya digedung
belakang sama sekali tidak menyiarkan tanda bahaya?
Merasa si dewi itu ternyata belum melupakan dirinya bahkan
telah hadir sendiri saat terakhir, semua perasaa kesal dan dendam
disenja tadi kini tersapu lenyap semua, dg semangat berkobar dan
sedikitpun tak sangsi, ia segera mengikuti dibelakangnya.
Otomatis Kho Beng mengikuti pula dibelakangnya, dia memang
ingin melihat manusia macam apakah siancu tersebut?
Siapa tahu baru saja kakinya maju selangkah, Bwee hiang telah
menghentikan langkahnya sambil membalikkan badan, kepada
pemuda tersebut tegurnya:
“Harap anda menghentikan langkah disitu!”
“Kenapa?” tanya Kho Beng tertegun.
“Nona kami tidak memberi perintah untuk mengajak serta dirimu,
karenanya budakpun tak ingin mengajak serta dirimu!”
Kho Beng segera berkerut kening, hatinya sangat gusar sehingga
tanpa terasa mendengus dingin.
Baru saja dia hendak mengucapkan sesuatu, si pedang tanpa
bayangan yg cukup mengetahui tabiat In in siancu, segera berpaling
dan katanya pula seraya menjura:
“Perkataan nona ini memang benar, harap siauhiap sudi memberi
muka kepadaku dg menanti sejenak diruang depan, sebentar saja
aku tentu akan balik lagi.”
Oleh karena tuan rumah telah berkata begitu, yg menjadi tamu
pun tak dapat berkata apa-apa lagi, betul Kho Beng merasa tidak
puas, tapi diapun Cuma bisa kembali keruang tengah dan
menyaksikan si pedang tanpa bayangan berangkat kehalaman
belakang mengikuti dibelakang Bwee hiang.
Kini Kho Beng berada dalam ruang tengah seorang diri, terasa
olehnya bukan saja si iblis kedele maut saja yg amat misterius gerak
geriknya, bahkan pedang tanpa bayangan dan In in siancu pun
dirasakan sangat misterius dan sukar diraba jalan pikirannya.
Mengapa si pedang tanpa bayangan menaruh rasa takut, ngeri
dan menurut perintah perempuan tersebut? Sudah pasti hubungan
mereka tidak sesederhana apa yg pernah diterangkan kepadanya.
Dg pikiran segala pertanyaan yg penuh tanda tanya, Kho Beng
berdiri termangu-mangu dg mulut membungkam, tapi pedang tanpa
bayangan yg sudah sekian lama masuk kehalaman belakang belum
juga ada kabar beritanya.

Menanti adalah pekerjaan yg paling membosankan, apalagi dalam
situasi yg amat kritis seperti saat ini, rasa gelisah dan cemas timbul
dalam hatinya betul-betul tak terlukiskan dg kata-kata….
Lama kelamaan Kho beng mulai tak sabar, apalagi
ketidakmunculan si kedele maut hingga kini membuatnya makin
keheranan, akhirnya tak bisa ditahan lagi, ia mulai beranjak
meninggalkan ruangan dan lari kehalaman belakang.
Pada saat itulah, ditengah kegelapan malam, terdengar jeritan
ngeri yg memilukan hati berkumandang datang dari gedung sebelah
belakang.
Bukan begitu saja, dari suara jeritan tersebut Kho Beng segera
mengenali sebagai jeritan si pedang tanpa bayangan.
Kho beng jadi tertegun, ia sadar keadaan tidak beres, dalam
terkejutnya dg cepat hawa murninya dihimpun, lalu seperti seekor
burung rajawali, tubuhnya melambung ditengah udara dan melesat
kedepan dg kecepatan tinggi.
Siapa tahu baru saja ia tiba diatas atap rumah, tiga titik cahaya
putih telah melintas datang dari hadapannya dg kecepatan bagaikan
sambaran petir.
Berhubung kedua belah pihak sama bergerak dg kecepatan
tinggi, sehingga nyaris mereka saling bertumbukan.
Jeritan kaget segera bergema memecahkan keheningan,
bagaikan hembusan angin lembut, ketiga sosok bayangan manusia
itu segera melayang turun keatas tanah…
Ternyata mereka adalah tiga orang nona cantik.
Sementara itu Kho Beng telah berjumpalitan pula ditengah udara
serta melompat mundur sejauh tiga depa lebih, begitu berdiri tegak
segera ia meloloskan pedangnya dan berdiri dg mata bersinar tajam.
Dg cepat ia melihat bahwa lebih kurang enam depa
dihadapannya telah berdiri tiga orang nona muda.
Kedua orang nona yg berada dikiri kanan berusia tujuh belas
tahunan serta memakai baju putih, seorang diantaranya tak lain
adalah Bwee hiang yg telah munculkan diri dan mengajak pedang
tanpa bayangan masuk kehalaman belakang.
Sedangkan nona yg berada ditengah berusia lebih tua dua tiga
tahun, ia mengenakan baju yg berwarna keperak-perakan, sekuntum
bunga putih menghias sanggulnya yg tinggi, sementara ditangannya
memegang payung bulat berwarna perak, bentuk maupun potongan
badannya mirip dg bidadari yg baru turun dari kahyangan.

Setelah melihat jelas keadaan tersebut, Kho Beng semakin
terkejut bercampur keheranan, pertama ia segera yakin kalau pihak
lawan bukan In in siancu yg dimaksud pedang tanpa bayangan,
sebab pedang tanpa bayangan pernah berkata, “In in siancu telah
berusia tiga puluhan tahun.”
Sebaliknya nona berpayung bulat warna keperak-perakan ini baru
berusia dua puluh tahunan, berwajah cantik namun sinar matanya
tajam menggidikkan hati.
Kedua secara lamat-lamat diapun telah merasa bahwa si pedang
tanpa bayangan bisa jadi telah dibunuh oleh dayang yg bernama
Bwee hiang tersebut.
Karenanya begitu ingatan tersebut melintas dibenaknya, dg suara
menggeledek ia segera membentak keras:
“Siapa kau?”
Dg wajah sedingin salju nona berpakaian perak itu berpaling
kearah Bwee hiang, kemudian tanyanya:
“Apakah Kho Beng yg dikatakan tua bangka she Lu tadi adalah
orang ini?”
Bwee hiang segera manggut-manggut.
Nona berpayung perak itu segera berpaling kearah Kho Beng, lalu
ucapnya dg suara dingin:
“Lebih baik kau jangan bertanya macam-macam, memandang
kau sebagai orang diluar garis, lagipula nona telah menyanggupi
permintaan tua bangka Lu untuk mengampuni selembar jiwamu,
lebih baik manfaatkanlah kesempatan ini untuk pergi dari sini,
mumpung aku belum berubah pikran….”
Dg kening berkerut Kho Beng segera tertawa nyaring:
“Selamanya aku percaya bahwa perkembangan suatu masalah
merupakan akibat dari perbuatan manusia, sedang nasib seseorang
ditentukan takdir, oleh sebab itu mati hidupku bukan kau yg
menentukan, tapi jika kalian bertiga ingin berlalu dari sini, beberapa
buah pertanyaanku harus kalian jawab dulu!”
“Kalau aku bersikeras menolak untuk menyebutkan identitasku?”
jengek nona berpakaian perak itu ketus.
“Kalau begitu bertanyalah dulu kepada pedangku ini, apakah dia
bersedia memberi jalan lewat untuk kalian bertiga.”
Tiba-tiba Bwee hiang menyela sambil mengumpat dg penuh
marah:

“Bocah muda! Kau benar-benar tekebur, memangnya kau sudah
bosan hidup didunia ini? Nona, budak rasa kalau kita tidak memberi
sedikit kelihaian kepadanya, dia masih belum mau tahu tingginya
langit dan tebalnya bumi.”
Nona berpayung perak itu segera mengulapkan tangannya,
kemudian tanya lagi dingin:
“Tunggu sebentar, Kho Beng kau berasal dari perguruan mana?”
“Aku tak punya perguruan…..”
“Kho Beng, aku dengar kau bermaksud akan menggabungkan diri
dg komplotannya tua bangka she Lu ini?”
“Siapa bilang berkomplot? Aku hanya merasa tak puas dg cara
kerja kaum iblis sehingga berniat membantunya.”
“Hmmm….” Nona berpayung perak itu tertawa dingin “Indah
betul perkataanmu itu, tapi apa pula yg dapat kau lakukan?”
Dg perasaan tergetar keras Kho Beng segera membentak:
“Aku memang ingin bertanya kepadamu, dimanakah Lu tayhiap
sekarang….?”
“Bila ingin mencari si pedang tanpa bayangan, terpaksa kau
harus pergi ke akhirat untuk menemaninya.”
Kho Beng tertegun, tapi dg cepat hatinya tergetar keras, serunya
kemudian tertahan:
“Oooh….rupanya kau adalah si kedele maut!”
Perasaan hatinya sekarang disamping keheranan, diapun merasa
peristiwa ini sama sekali diluar dugaannya.
Selama in dia selalu mengira manusia yg bernama “Kedele Maut”
adalah lelaki berpotongan saudagar yg membawa kantung berisi
kedele dan biasanya pembunuh semacam ini pasti seorang lelaki.
Siapa tahu apa yg dijumpai sekarang ternyata sama sekali
bertolak belakang, ternyata kedele maut yg ditakuti sekian banyak
jago tak lain adalah seorang perempuan, lagipula seorang nona
berusia dua puluh tahunan yg berparas cantik.
Dg usia semuda itu, ternyata dia mampu membunuh ratusan
orang jago lihay, apabila kabar ini sampai tersiar keluar, bukan saja
seluruh dunia persilatan akan jadi gempar, bahkan orang lainpun
belum tentu mau percaya.
Sementara Kho Beng masih mengawasi nona itu dg wajah
tertegun, paras muka nona berpayung perak itu telah berubah makin
dingin dan menyeramkan.
Tiba-tiba ia berkata:

“Tak aneh bila kau tercengang dan keheranan, dalam kenyataan
memang tak seorang manusia pun didunia ini yg bisa hidup terus
setelah bertemu dgku, kau adalah satu-satunya pengecualian, tapi
kalau melihat keadaanmu sekarang tampaknya akupun tak bisa
melepaskan dirimu dg begitu saja….”
Kho Beng segea tersadar kembali dari lamunannya, dia menjadi
sangat gusar dan geram setelah mendengar penjelasan tersebut.
Ia sedih karena gagal melindungi keselamatan jiwa si pedang
tanpa bayangan, dia membenci lawannya karena telah membunuh
pedang tanpa bayangan sehingga ia kehilangan sasaran yg utama
dalam usahanya menyelidiki soal kitab pusaka milik Bu wi lojin yg
tertipu.
Kerenanya setelah tertawa panjang dg penuh kegusaran, ia
segera membentak nyaring:
“Baik! Bagaimanapun juga kalau bukan aku yg berhasil
melenyapkan iblis dari muka bumi malam ini, akulah yg akan tewas
diujung tanganmu. Rasanya tiada masalah serius lain yg bisa
dibicarakan lagi, mari kalian ingin maju satu persatu ataukah akan
maju segera bersama-sama?”
Nona berpayung perak itu segera tertawa dingin:
“He….he…he….kau masih belum berhak untuk bertarung
melawanku. Sin Hong, Bwee hiang kalian segera bekuk bajingan cilik
ini!”
Kedua orang dayang baju putih itu segera mengiakan dan
serentak maju kedepan.
Kho Beng tak dapat menahan diri lagi, dia segera membentak
marah, tubuhnya menerjang kemuka dg kecepatan tinggi.
Pedangnya dg memancarkan cahaya bianglala berwarna merah
yg kemudian membentuk berpuluh-puluh bintang perak, segera
menyerang tubuh gadis berpayung perak itu dg jurus “Bunga
terbang memenuhi jambangan.”
Jurus pedang yg dipergunakan ini tidak lain merupakan salah
satu jurus pedang Lui sui jit kiam hoat yg telah diwariskan Bu wi
lojin kepadanya dalam tujuh hari berselang.
Selain itu, tokoh sakti tersebut telah menghadiahkan pula sepuluh
dari tenaga dalamnya kepada pemuda itu dg ilmu Kun goan kuan
teng, hal ini menyebabkan dia memiliki tenaga serangan yg benarbenar
amat tangguh.

Bagi seorang ahli silat, dalam sekilas pandang saja dapat
mengetahui apakah musuhnya berilmu atau tidak.
Begitu Kho Beng melancarkan serangannya, berkilat sinar aneh
dari balik mata nona berpayung perak tersebut, tanpa sengaja ia
berseru tertahan.
Hampir pada saat yg bersamaan, kedua orang dayang itu telah
mendesak kedepan.
Terlihatlah dua buah cahaya putih yg….
-------missing page 24 – 31 ----------
Sia Hong dan Bwee hiang melanjutkan serangannya, kemudian
sambil mengawasi Kho Beng lekat-lekat, serunya dg suara dingin:
“Tampaknya kau seperti tak takut menghadapi kematian?”
Kho Beng tertawa terbahak-bahak :
“Ha…..ha……ha…..manusia manakah yg tak takut mati, tapi Kho
Beng adalah seorang lelaki yg tak sudi tunduk kepada siapapun juga,
kalau toh sudah kuketahui takut mati tak ada gunanya, toh lebih
baik mencaci maki dirimu sepuasnya lebih dulu sebelum mampus,
paling tidak semua rasa mangkel dan mendongkolku dapat
terlampiaskan….”
Nona berpayung perak itu segera melotot besar penuh amarah,
serunya dingin:
“Terhadap orang yg tidak takut mati, aku mempunyai cara yg
paling bagus, apakah kau ingin merasakannya?”
“Tidak menjadi masalah, aku memang ingin tahu sampai
dimanakah kehebatan dari cara yg kau miliki itu, saksikan saja
apakah aku sanggup untuk menahan diri atau tidak. Terus terang
saja kukatakan, bila aku sampai mengerang kesakitan mulai hari ini
namaku akan kubuat secara terbalik.”
“Bersemangat1” jengek nona berpayung perak itu sambil tertawa
dingin.
Sementara berbicara, mendadak jari tangannya berkelebat dan
segulung desingan angin tajam pun meluncur kedepan dg kecepatan
tinggi…..
Dalam hati kecilnya diam-diam Kho Beng menghela napas, dia
sadar sejarah hidupnya sudah hampir berakhir, bahkan dia harus
mati secara tak jelas dan menahan rasa penasaran.

Siapa tahu begitu desingan angin tajam itu menyentuh tubuhnya,
ia segera merasakan peredaran darahnya menjadi lancar kembali,
dalam tertegunnya dg cepat dia melompat bangun dan mundur
sejauh satu kaki lebih dari posisinya.
Terdengar nona berpayung perak itu berkata lagi dg suara
sedingin salju:
“Memandang kau sebagai lelaki sejati, nona tak ingin
menyusahkan dirimu, ketahuilah meski korban yg tewas oleh kedele
pencabut nyawaku berjumlah sangat banyak, namun mereka semua
adalah manusia-manusia yg pantas untuk dibunuh…”
“Mengapa kau tidak membunuhku sekarang?” tanya Kho Beng dg
wajah tertegun.
Nona berpayung perak itu mendengus dingin:
“Karena kau belum berhak untuk dibunuh, tapi nona peringatkan
kepadamu, jika kau berani mencampuri urusanku lagi serta
membocorkan rahasia identitasku kepada orang lain,
hmmm…hmmmm…..bila kita bersua lagi untuk kedua kalinya, saat
itulah merupakan saat ajalmu!”
Seusai berkata dia segera mengulapkan tangannya kepada kedua
orang dayangnya seraya berseru:
“Mari kita pergi!”
Dg suatu gerakan yg amat cepat dia melesat ketengah udara dan
meluncur pergi dari situ, dalam waktu singkat ketiga sosok bayangan
manusia itu telah berada sejauh sepuluh kaki lebih dan lenyap
dibalik kegelapan malam.
Dalam malu dan mendendamnya, Kho Beng menggertak giginya
kencang-kencang menahan emosi, teriaknya lantang:
“Hey iblis perempuan! Kho Beng tak takut dg ancamanmu, cepat
atau lambat aku pasti akan menuntut balas sakit hati yg kuterima
hari ini.”
“Hmmm....hmmmm...kalau kau sanggup berusia panjang,
silahkan saja untuk mencariku.”
Jawaban yg dingin kaku dan bernada lembut ini bergema
ditengah kegelapan malam, tapi bayangan manusianya sudah lenyap
tak berbekas.
Dg termangu-mangu, Kho Beng berdiri membungkam ditempat.
Ia sadar dalam keadaan bertangan kosong, sekalipun dilakukan
pengejaran pun tak ada gunanya, apalagi dia baru terjun kedalam

dunia persilatan untuk pertama kalinya setelah belajar silat,
kekalahan yg diderita membuatnya masgul dan amat sedih.
Dg perasaan gemas dia melompat naik keatap rumah, memungut
kembali pedangnya yg terlepas dari genggamannya, kemudian
melakukan penggeledahan kedalam halaman belakang.
Gedung tempat kediaman si pedang tanpa bayangan memang
sangat luas, Kho Beng hanya memeriksa sampai kehalaman lapis
keempat setelah berhasil menemukan jenasah dari sipedang tanpa
bayangan yg roboh terkapar diberanda sebelah kanan.
Darah segar nampak bercucuran keluar dari matanya, seakanakan
sedang melelehkan air mata darah, sementara dua biji kedele
berwarna hitam telah menebusi kelopak matanya, persis seperti biji
mata yg telah memudar cahayanya.
Sampai disini, dia belum juga menemukan kelima belas orang
jago pedang berbaju kuning lainnya.
Kali ini merupakan saat pertama kali dia melihat jago persilatan
tewas secara mengerikan oleh kedele maut, hawa amarah yg
membara dalam dadanya segera meledak dan tak dapat terbendung
lagi.
Dalam sekejap itulah rasa bencinya terhadap kekejian si kedele
maut telah merasuk ketulang sum sum.
Terutama sekali kematian dair si pedang tanpa bayangan berarti
memutuskan titik terang menuju ditemukannya kembali kitab
pusaka, rasa jengkel Kho Beng semakin menjadi-jadi.
Dg penuh rasa iba Kho Beng mengubur jenasah si pedang tanpa
bayangan, dia telah memutuskan untuk secepatnya berangkat ke cui
wi san, dia berharap bisa mengetahui asal usulnya secepat mungkin,
ia ingin tahu apakah dia benar-benar adalah keturunan dari Kho
Beng sia, ketua perkampungan Hui im ceng?
Disamping itu, dia pun telah memutuskan untuk mengungkapkan
wajah asli dari si kedele maut kepada umat persilatan melalui mulut
orang-orang Sam goan bun, agar seluruh umat persilatan tahu dan
mereka mempunyai sasaran yg jelas tentang iblis yg harus diburu.
Ia sadar hal tersebut bukan saja akan memberikan manfaat yg
besar bagi usaha menangkap iblis, juga hal inipun merupakan suatu
tantangan yg jelas terhadap si kedele maut.
Ditengah keheningan malam yg mencekam, buru-buru Kho Beng
berangkat meninggalkan kota Tong sia menuju keperguruan Sam
goan bun.

Sepanjang perjalanan dia membayangkan terus, betapa
gembiranya ketua Sam goan bun setelah memperoleh kabar
tersebut.
Sudah hampir setahun lamanya tujuh partai besar dan para
gembong iblis dari kaum sesat berusaha menyelidiki jejak si kedele
maut, namun usaha mereka selama ini tak pernah mendatangkan
hasil, bahkan tak ada yg tahu siapa gerangan orang itu.
Andaikata pihak Sam goan bun mengumumkan soal bentuk asli
dari si kedele maut itu, niscaya seluruh dunia persilatan akan merasa
kagum dan terkejut pada mereka.
Pemuda itu beranggapan bahwa inilah kesempatan baik baginya
untuk membalas budi kebaikan dari Sam goan bun yg telah
memelihara selama delapan belas tahun dan merupakan semacam
pembalasan pula kepada ketua Sam goan bun yg telah mengusirnya.
Dalam situasi dan perasaan inilah Kho Beng mencapai bukit Cui
wi san dalam sepuluh hari.
Waktu itu musim gugur telah lewat, pepohonan yg semula gugur
kini sudah mulai tumbuh pucuk baru, melihat kesegaran alam yg
mulai nampak, tanpa terasa pemuda itu pun merasakan
semangatnya berkobar kembali.
Tiba dipunggung bukit gedung perguruan Sam goan bun telah
muncul didepan mata, perpisahan selama setengah tahun, ternyata
perkampungan Cui wi san ceng masih utuh seperti sedia kala.
Waktu itu sudah menjelang senja, pintu perkampungan tertutup
rapat, Kho Beng segera mendekati pintu gerbang, membenahi
pakaiannya yg kusut kemudian mengetuk pintu.
“Toook...toook...!”
Baru dua kali ketukan, pintu gerbang telah terbuka lebar, yg
membukakan pintu adalah seorang pemuda berusia dua puluh
tahunan.
Dalam sekilas pandangan saja Kho Beng telah mengenali orang
ini sebagai murid keempat belas dari ketua Sam goan bun yg
bernama Lu Bun hoan.
Cepat-cepat dia menjura seraya menegur:
“Saudara Lu, selamat bersua kembali!”
Mengetahui yg datang adalah Kho Beng, dg wajah tercengang Lu
Bun hoan segera menegur:
“Saudara Kho! Kenapa kau balik kembali?”
Kho Beng tersenyum.

“Aku ingin bertemu dg suhu bungkuk disamping itu......”
Belum selesai perkataan itu diutarakan, paras muka Lu Bun hoan
telah berubah hebat, bisiknya pelan:
“Saudara Kho, mengingat hubungan kita dulu, kuanjurkan
kepadamu tinggalkan saja tempat ini secepatnya, tak usah pulang
lagi untuk mencari penyakit.”
Selesai berkata, cepat-cepat dia menutup pintu gerbang kembali
tanpa menggubris kehadiran Kho Beng lagi.
Kho Beng menjadi tertegun, dia tak mengira akan memperoleh
perlakuan demikian, padahal dia cuma ingin ketemu dg ciangbunkin
saja.
Dalam marahnya tanpa berpikir panjang lagi, ia segera
menggedor lagi keras-keras.
Kali ini dia menggedor dg sekuat tenaga sehingga suaranya
menggetar sampai kedalam.
Tak selang berapa saat kemudian pintu gerbang dibuka kembali,
yg muncul kali ini ternyata adalah ketua Sam goan bun, Sun Thian
hong sendiri.
Hawa amarah tanpak menyelimuti seluruh wajahnya, sambil
menatap wajah Kho Beng lekat-lekat, dia membentak:
“Hey! Mau apa kau datang kemari?”
Sambil menahan hawa amarahnya, Kho Beng menjura dalamdalam,
setelah itu ujarnya :
“ Boanpwee khusus datang untuk menemui caingbunjin sekalian
menyampaikan salam. “
Pepatah kuno bilang : Jangan memukul orang berwajah senyum.
Meskipun ketua dari sam goan bun ini memperlihatkan sikap yg
gusar dan keras, namun setelah melihat sikap menghormat Kho
Beng, tak urung dia menjadi rikuh sendiri.
Karenanya sambil mengulapkan tangan dia berkata :
“Tak usah banyak adat, ada urusan apa kau datang kemari ? “
Sambil manggut-manggut pemuda itu berkata :
“Boanpwee khusus datang kemari untuk memberi kabar kepada
cianpwee tentang masalah kedele maut. “
Paras muka ketua Sam goan bun ini kelihatan berubah hebat,
serunya cepat :
“Lanjutkan perkataanmu ! “
“Jangan disini ! “ tukas Kho Beng sambil menggeleng,
“Berhubung masalah ini menyangkut keadaan yg luar biasa,

dapatkah cianpwee mengajak boanpwee untuk bicara didalam saja?

Ketua Sam goan bun kelihatan termenung sebentar, nampaknya
dia tertarik dg persoalan ini, akhirnya sambil miringkan badannya,
dia berkata :
“Silahkan masuk ! “
Sambil tersenyum Kho Beng segera melangkah masuk kedalam,
sementara dalam hati kecilnya berpikir :
“Ternyata perhitunganku tidak meleset, coba kalau tidak
memakai alasan tersebut belum tentu aku bisa memasuki pintu
gerbang ini serta bertemu dg Thio bungkuk. “
Setibanya diruang tengah, ketua Sam goan bun baru menegur :
“Kho Beng, sebenarnya kabar apa yg hendak kau sampaikan ? “
Dg wajah serius Kho Begn segera berkata :
“Boanpwee telah bertemu dg kedele maut ketika berada dikota
tong sia, ternyata gembong iblis tersebut adalah seorang nona
berusia dua puluh tahunan yg didampingi dua orang dayangnya,
seorang bernama Sin hong yg lain bernama Bwee hiang. “
Ketua Sam goan bun ini nampak semakin kaget bercampur
tercengang, serunya :
“Kedele maut adalah seorang nona muda ? Tahukah kau identitas
serta asal usulnya ? “
Kho Beng menggeleng, secara ringkas dia menceritakan apa yg
dialaminya, kemudian menambahkan :
“jurus serangan yg dipergunakan gombong iblis wanita itu dangat
aneh, senjata yg digunakan juga luar biasa, bentuknya tak berbeda
dg sebuah payung yg bulat berwarna perak, sedang senjata yg
dugunakan dayangnya berbentuk dua buah ikat pinggang, mungkin
cianpwee bisa menemukan sedikit titik terang dari benda –benda yg
mereka andalkan itu. “
Dg kening berkerut, ketua sam goan bun termenung sambil
berpikir seenak, mendadak dg wajah berubah hebat ia menjerit
kaget :
“Sungguh aneh, rasanya payung perak itu mirip sekali dg payung
Thian li san milik Gin San siancu (Dewi payung perak), sedang ikat
pinggang yg kau maksud adalah tali pengikat dewa, jangan-jangan
kedele maut adalah murid Dewi payung perak ? “
Dg perasaan terkejut Kho Beng turut berpikir :

“Thio bungkuk pernah menerangkan, Dewi payung perak
menempati kedudukan satu diantara tiga manusia aneh, tapi masa
dia mempunyai murid seperti ini.”
Sementara dia masih tercengang, ketua Sam goan bun telah
berkata lebih jauh dg suara dingin:
“Penemuan yg berhasil kau peroleh ini benar-benar luar biasa,
baiklah partai kami akan mewakilimu untuk menyampaikan berita
tersebut kepada seluruh partai lain agar kau memperoleh
penghargaan pula dari semua orang.”
Buru-buru Kho Beng menyela:
“Boanpwee sama sekali tidak berniat mencari nama dg berita
tersebut, disamping itu boanpwee pun tidak mempunyai ambisi apaapa,
oleh sebab itu bila cianpwee menyampaikan kabar tadi kepada
umat persilatan, jangan sekali-kali singgung nama boanpwee.”
“Lalu mengapa kau beritahukan soal ini kepadaku?” tanya ketua
sam goan bun dg wajah tertegun.
“Boanpwee tak lain hanya bermaksud membalas budi kebaikan
cianpwee yg telah memeliharaku selama delapan belas tahun.”
Untuk beberapa saat lamanya ketua Sam goan bun tertegun, tapi
segera ujarnya dg suara dingin:
“Apa yg kau sampaikan kepadaku pasti akan kukabarkan kepada
segenap umat persilatan, tapi iktikad baikmu itu biar kuterima dalam
hati saja, aku tak ingin merebut jasamu, nah sekarang kau boleh
turun gunung, biar kuhantar kau sampai dikaki bukit sana.”
“Tidak, boanpwee masih ada satu persoalan lagi.” Buru-buru Kho
Beng berseru.
“Persoalan apa?”
“Boanpwee ingin bersua dg Thio suhu yg bertugas didapur.”
“Sayang kedatanganmu terlambat selangkah....” ujar ketua Sam
goa bun dingin.
“Apakah Thio suhu telah pergi?” tanya Kho Beng tertegun.
“Tidak, Thio bungkuk telah berpulang kealam baka bulan
berselang.”
Jawaban itu seperti guntur yg membelah bumi disiang hari
bolong, hampir saja membuat pemuda itu jatuh pingsan....
Thio bungkuk telah mati? Baru berpisah setengah tahun ternyata
telah terjadi perubahan yg begitu besar dan hebat, hampir saja Kho
Beng tak sanggup menahan pukulan batin itu, dia terkejut
bercampur sedih.

Dg termangu-mangu diawasinya ketua sam goan bun itu tanpa
berkedip, dia tak tahu apaka ucapan tersebut benar-benar telah
terjadi? Ataukah ketua Sam goan bun itu mempunyai maksud serta
tujuan lain.
Namun paras muka ketua sam goan bun ini dingin kaku sama
sekali tak berperasaan.
Dari sikap tersebut Kho Beng segera mengerti, walaupun dia
datang dg maksud membalas budi serta mengutarakan seluruh isi
hatinya secara tulus, namun sikap mana bukan saja tidak membuat
ketua tersebut terharu bahkan kehadirannya jelas tidak pernah
disambut.
Dalam sekejap mata itu pula pelbagai peristiwa lama melintas
kembali dalam benaknya, pelbagai kecurigaan pun satu demi satu
muncul kembali. Kho Beng mulai membayangkan kembali kehidupan
Thio bungkuk selama belasan tahun terakhir ini yg selalu sehat dan
tak pernah sakit, mengapa dia bisa mati secara tiba-tiba ?
Apakah dia telah menemui suatu musibah yg tak terduga? Kalau
kematiannya benar-benar tertimpa musibah, apakah hal ini ada
sangkut pautnya dg teka teki sekitar asal usulnya ?
Makin berpikir Kho Beng merasa makin curiga, sehingga tak
tahan lagi ia bertanya :
“Dapatkah cianpwee jelaskan sebab-sebab kematian dari suhu
bungkuk…?”
“Dia mati karena terserang penyakit gawat.” Jawab ketua Sam
goan bun dg suara dingin dan hambar.
“Aku tidak percaya1” seru Kho Beng tanpa sadar.
Ciangbunjin dari Sam goan bun itu segera mendengus, katanya
lagi dg suara dalam:
“Mau percaya atau tidak terserah kepadamu, yg jelas antara
diriku dg sibungkuk mempunyai tali persahabatan selama dua puluh
tahun lebih, masa aku bakal membunuhnya secara licik?”
Pertanyaan yg diungkapkan ini segera membuat Kho Beng
menjadi tertegun dan seketika membungkam ribuan bahasa, oleh
karena apa yg ingin diutarakan sudah didahului lawan. Maka
walaupun dihati kecilnya dia menaruh curiga namun tak berani
diungkapkan sebab tanpa bukti yg jelas tak mungkin baginya untuk
menuduh orang secara sembarangan.
Dalam keadaan begini diapun sadar, bila ketua sam goan bun ini
ditegur secara langsung, maka bukan saja tak akan mendatangkan

hasil apa-apa malah sebaliknya justru akan menimbulkan bentrokan
secara langsung.
Oleh sebab itu berganti nada pembicaraan, dia berkata:
“Maafkan kehilapan boanpwee yg telah berbicara tanpa sadar,
maklumlah pikiran dan perasaan boanpwee saat ini amat kalut,
tapi......bolehkah cianpwee menunjukkan dimanakah jenasah Thio
suhu dimakamkan, agar boanpwee pun dapat berziarah didepan
pusaranya sebagai rasa duka citaku kepadanya?”
Dg suara hambar, ketua Sam goan bun berkata:
“Hmmm...coba kalau aku tidak memahami perasaan hatimu
sekarang, masa akan kubiarkan kau bertindak seenaknya seperti ini?
Pusara si bungkuk berada dibalik huta siong ditebing bukit sana,
pergilah seorang diri, tapi aku perlu memperingatkan kepadamu,
selanjutnya lebi baik tak usah berkunjung lagi kebukit Cui wi san ini
ketimbang mendatangkan rasa muak dan sebal bagiku!”
Sambil berusaha keras mengendalikan kobaran hawa amarah
didalam dadanya, cepat-cepat Kho Beng membalikkan badan dan
mengundurkan diri dari pintu gerbang, pikirnya dalam hati:
“Hmmmm, coba kalau aku tidak teringat dg budi pemeliharaan
selama delapan belas tahun...hari ini juga aku Kho Beng akan
membuat kau benar-benar muak dan sebal...”
“Blaaaammm...!”
Terdengar pntu gerbang dibanting keras-keras sehingga tertutup
kembali rapat-rapat.
Untuk beberapa waktu lamanya Kho Beng Cuma bisa berdiri
termangu-mangu didepan pintu sambil mengawasi papan nama
“Sam goan bun” yg terpancang didepan pintu itu tanpa berkedip,
rasa jengkel, marah, sedih dan benci terus bercampur aduk menjadi
satu, sampai-sampai dia sendiripun tak bisa membedakan
bagaimanakah perasaan hatinya waktu itu.
Dalam perasaan yg serba kalut dan kacau tak keruan itulah, dia
mengitari dinding pekarangan menuju kebelakang perkampungan.
Dibalik perkampungan, terdapat sebuah hutan siong yg rindang
serta sinar senja yg semakin redup menciptakan suasana suram
disekitar situ.
Sepanjang perjalanan menelusuri hutan, Kho Beng menyaksikan
pemandangan alam disana masih seperti semula, padahal apa yg
telah dialaminya kini telah berbeda seratus delapan puluh derajat.

Setelah menembusi hutan, terlihatlah sebuah kuburan batu
berdiri tegak didepan mata, batu nisan yg berdiri didepan pusara
tersebut terteralah beberapa huruf besar yg berbunyi demikian:
“Disinilah diunta sakti berpunggung baja Thio Cio lan
beremayam.”
Teringat kembali pergaulannya selama delapan belas tahun
terakhir serta budi kebaikan yg telah mewariskan ilmu silat
kepadanya, Kho Beng tak dapat menahan asa sedihnya lagi, ia
segera berlutut didepan pusara dan menangis tersedu-sedu.
Isak tangis yg memedihkan hati bergema diseluruh angkasa,
menambah seramnya suasana disitu, sampai lama sekali Kho Beng
menangis,, setelah semua rasa kesal dan sedihny terlampiaskan
keluar, pelan-pelan kesaarannya baru pulih kembali seperti sedia
kala, sekarang dia mulai berpikir bagaimana caranya untuk bertindak
menyelidiki sebab-sebab kematian dari thio bungkuk...
Dalam keadaan inilah, mendadak telinganya menangkap suatu
suara yg aneh sekali....
Kho Beng sekarang sudah bukan Kho Beng yg dulu, begitu suara
aneh tersebut terdengar olenya, dia segera mengerti kalau ada
orang sedang mengintip dan mengawasi gerak geriknya.
Waktu itu langit sudah gelap, namun sinar rembulan belum
muncul, dalam keadaa terkejut bercampur curiga, Kho Beng segera
meningkatkankewaspadaannya untuk menghadapi segala
kemungkinan yg tidak diinginkan....
Setelah menyeka air mata yg bercucuran dipipinya, dia
membalikkan badan lalu mengangkat kepala seraya membentak:
“Hey, sobat darimana yg sedang mengawasi diriku? Jika kau tidak
segera munculkan diri, jangan salahkan Kho Beng menaruh kesalah
pahaman kepadamu!”
Benar juga, begitu perkataan tersebut selesai diutarakan, sesosok
bayangan manusia segera melayang turun dari atas pohon dg
kecepatan tinggi, setelah tiba didepan mata pemuda itu segera
mengenalinya sebagai anggota sam goan bun, Nyoo To li
Dg perasaan tertegun Kho Beng segera menegur:
“Oooooh..rupanya Nyoo toako….”
Sambil tersenyun Nyoo To li segera menjura, serunya berkata:
“Saudara Kho, baru setengah tahun tak bersua, sungguh tak
disangka ketajaman pendengaranmu sudah begitu luar biasa,

nampaknya tenaga dalam yg kau miliki telah memperoleh kemajuan
yg amat pesat.”
“Nyoo toako terlalu memuji,” cepat-cepat Kho Beng balas
memberi hormat, kini hari sudah gelap, ada urusan apa Nyoo toako
bersembunyi diatas pohon?”
Merah jengah selembar wajah Nyoo to li, dia menghela napas
panjang:
“Aaaaai...sesungguhnya aku hanya melaksanakan perintah
ciangbun suhu untuk melihat, apakah kau sudah pergi atau
belum....”
Mendengar keterangan tersebut, Kho Beng segera mengerutkan
dahinya rapat-rapat, kemudian tertawa dingin:
“Ooooh...rupanya saudara Nyooo sedang melaksanakan perintah
untuk mengawasiku secara diam-diam..”
“Saudara Kho, kau jangan kelewat menaruh salah paham
terhadap ciangbun suhu,” buru-buru Nyoo To li berseru, “Sejak
kepergianmu suhu tak pernah teringat akan dirimu.....”
Sambil tertawa dingin kembali Kho Beng menukas:
“Saudara Nyoo, apa gunanya kau membelai suhu? Dari dulu
hingga sekarang bukti dan kenyataan telah terpapar didepan mata,
apa gunanya kau berusaha membelai serta menutupinya?”
“Aku berani bersumpah dihadapan Thian, semua perkataanku
kuucapkan dg kata yg sejujur-jujurnya.” Seru Nyoo To li dg wajah
amat serius.
“Kalau toh saudara Nyoo bersikap begitu jujur kepada siaute,
bersediakah kau untuk menjelaskan juga sebab kematian dari suhu
bungkuk...!” jengek Kho Beng dingin.
Sekali lagi Nyoo To li menghela napas panjang:
“Kisah kematian Thio bungkuk karena sakit tidak begitu kupahami
secara jelas, tapi aku dapat memberitahukan kepadamu, lebih
setengah bulan berselang, Bok sian tianglo ketua Tat mo wan dari
Siau lim si telah datang menyambangi suhu, bahkan telah terjadi
keributan dantara dia dg Thio bungkuk...”
Tergerak hati Kho Beng setelah mendengar keterangan itu, buruburu
ia bertanya:
“Karena persoalan apakah sehingga terjadi keributan diantara
mereka...?”
“Waktu itu, kecuali suhu, Bok sian tanglo dan sibungkuk sendiri,
dalam kamar Thio bungkuk tiada orang keempat, lagi pula pintu

jendela tertutup rapat, maka dari itu selain kadangkala terdengar
suara bentakan marah dari sibungkuk, persoalan lain tak pernah
diketahui orang luar….”
“Berapa lamakah selisih waktu antara kejadian tersebut dg saat
kematian Thio bungkuk?” tanya Kho Beng sesudah berpikir sejenak.
“Sejak sore itu Thio bungkuk pantang makan minum, setiap
orang dilarang memasuki kamarnya, kemudian setelah suhu
melakukan pemeriksaan sendiri, barulah diumumkan bahwa Thio
bungkuk telah sakit keras dan melarang siapapun datang
mengganggunya. Pada keesokan harinya tahu-tahu suhu
memerintahkan orang untuk menyiapkan petimati.
Aaaaai…..sungguh tak disangka Thio bungkuk telah dikebumukan
pagi hari ketika itu juga, menurut suhu Thio bungkuk
menghembuskan napas terakhir ditengah malam dan suhu sendiri yg
memasukkan jenasahnya kedalam peti mati.”
“Tatkala jenasah Thio suhu dimasukkan kedalam peti mati, selain
ciangbunjin, adakah orang kedua yg turut menyaksikan?”
“Menurut apa yg kuketahui, disaat Thio bungkuk
menghembuskan napas terakhir, tiada rang kedua yg tahu.”
“Kapan pula Bok sian tianglo dari Siau lim si meninggalkan
tempat ini?” tanya Kho Beng lagi.
“Dipagi hari saat suhu mengumumkan kematian dari Thio
bungkuk.”
Ketika berbicara sampai disitu, tiba-tiba dia berseru lagi dg
perasaan terkejut bercampur keheranan:
“Saudara Kho, apakah kau menaruh curiga kalau sebab kematian
Thio bungkuk mencurigakan dan suhu kau curigai terlibat dalam
peristiwa ini….”
Kontan saja Kho Beng tertawa dingin:
“He….he….he….menurut pendapatmu benarkah suhu bungkuk
meninggal karena terserang penyakit?”
Nyoo To li menghela napas panjang:
“Aaaai....cuaca dilangitpun susah diduga, apalagi nasib manusia,
siapakah yg bisa menjamin seorang manusia tetap sehat walafiat
sepanjang masa?”
Kho Beng mendengus dingin:
“Hmmm....suatu jawaban yg sangat bagus tapi sayang belum
bisa melepaskan kecurigaanku terhadap gurumu sebagai pembunuh
dari Thio suhu.”

“Saudara Kho!” Nyoo To li berseru dg nada tercengang, “Kenapa
kau berpendapat demikian? Dihari-hari biasa suhu selalu menaruh
sikap hormat kepadanya, mana mungkin beliau berniat
membunuhnya?”
“Murid membelai gurunya, hal ini memang lumrah dan tak aneh.”
Kata Kho Beng sambil tertawa dingin, “Tapi hati manusia sukar
diduga, tiada anginpun bisa timbul masalah, siapa yg bisa menjamin
kelak hubungan antara gurumu dg Thio suhu disamping rasa setia
kawan, masih terselip pula hubungan lain?”
Sementara Nyoo To li masih dibuat termangu-mangu, Kho Beng
telah berkata lebih jauh:
“Terima kasih banyak atas pemberitahuan saudara Nyoo pada
malam ini, kini ari sudah larut malam, biar siaute mohon diri lebih
dulu!”
Selesai berkata dia segera menjura dan berjalan keluar dari balik
hutan.
Jilid 06
Buru-buru Nyoo To li membalikkan badan seraya berseru:
“Saudara Kho, selanjutnya kau hendak kemana?”
Tanpa berpaling sahut Kho Beng:
“Langit sangat luas, dimanapun aku pergi disitulah aku menuju,
tolong sampaikan kepada gurumu, Kho Beng akan berkunjung dulu
ke Siau lim si, tiga bulan kemudian aku pasti akan berkunjung lagi
kemari, pokoknya sebelum persoalan ini berhasil kuselidiki hingga
tuntas, aku tak akan berdiam diri saja!”
Selesai berkata dia segera mempercepat langkah mengitari pagar
pekarangan dan segera melesat turun kebawah bukit.
Apakah Kho Beng benar-benar hendak berangkat ke Siau lim si?
Benar, tapi bukan sekarang.
Saat ini dia sedang melaksanakan siasatnya dg sengaja
melepaskan tabir untuk menyembunyikan jejak sendiri.
Begitu sampai dibawah bukit, dia segera mencari rumah makan
untuk mengisi perut, kemudian dg memanfaatkan kegelapan malam
dia balik kembali keatas bukit.
Kali ini dia meninggalkan jalan gunung yg lebar dan
menggunakan ilmu meringankan tubuhnya yg sempurna, ia bergerak
diantara semak belukar yg rimbun, dg gerakan yg sagat berhati-hati
dia bergerak menuju ke perkampungan Cui wi san.

Cerita tentang kematian si Unta sakti berpunggung baja
menimbulkan pelbagai kecurigaan dalam hati Kho Beng, dia sadar
dibalik peristiwa tersebut tentu terdapat hal-hal yg tidak beres.
Ia belum dapat menduga tenaga dalam siapakah diantara ketua
Sam goan bun dg Thio bungkuk yg lebih tinggi, karenanya semula
dia cuma menaruh kecurigaan saja terhadap ciangbunjin dari Sam
goan bun tersebut.
Sebab dia berpendapat bahwa dg kemampuan seorang ketua
sam goan bun, rasanya tidak besar kesempatan baginya untuk
berhasil membinasakan si Unta sakti berpungung baja yg
mempunyai nama amat termasyur didalam dunia persilatan.
Tapi setelah mendengar keterangan dari Nyoo To li, anggota
perguruan Sam goan bun itu, Kho Beng merasa bahwa apa yg
dicurigai sudah hampir mendekati kenyataan.
Sebab bila ia ditambah dg kemampuan Bok sian tianglo seorang
jago lihay dari Siau lim si, maka kemungkinan berhasil didalam
usaha pembunuhan itu menjadi bertambah besar.
Yg menjadi persoalan sekarang tinggal siapakah pembunuh
utama dan siapakah pembantunya diantara Bok sian tianglo dg
ketua Sam goan bun itu.
Bintang dan rembulan bersinar cerah, meskipn sudah malam
namun waktunya masih dini.
Dg hapal sekali Kho Beng menelusuri jalan setapak menuju
kebelakang perkampungan, kemudian melompat keatas dan
menyembunyikan diri diatas sebatang pohon besar, dari situlah dia
mengintip keadaan dalam gedung.
Tampak olehnya dapur dalam gedung dimana selama banyak
tahun ia pernah berdiam, kini bermandikan cahaya lentera, banyak
orang nampak berlalu lalang disitu. Jelas, saat ini masih belum
saatnya untuk melakukan penyelidikan.
Diam-diam Kho Beng duduk diatas dahan pohon sambil menanti,
mendadak teringat olehnya akan seseorang yg dirasakan penting
dalam usahanya melakukan penyelidikan kali ini, agaknya ia teringat
dg selembar wajah gemuk yg merah segar.
Sambil bertepuk tangan pelan, diam-diam serunya:
“Ya betul! Aku harus mencari sigemuk Oh, meskipun suhu
bungkuk jarang berbicara dan bergurau dg orang lain, tapi dia cocok
sekali dg sikoki ini, seringkali mereka duduk menum arak sambil
berbincang bincang. Disamping itu, kamar tidur sigemuk Oh persis

terletak disebelah kamar tidur suhu bungkuk, siapa tahu dia
mengetahui sedikit banyak tentang latar belakang peristiwa
tersebut....”
Ketika keputusan diambil, waktu sudah menunjukkan kentongan
pertama, lambat laun sinar lentera dalam gedung itupun mulai
redup.
Kho Beng segera menghimpun tenaga dalamnya sambil melejit
naik keatas wuwungan rumah, dari situ dia menyusup masuk
kedalam gedung dekat dapur.
Saat itu sinar lentera didalam dapur telah padam, suasana
disekeliling sana amat hening dan tak nampak sesosok bayangan
manusiapun, tapi dibalik jendela kamar sigemuk Oh terlihatlah sinar
lentera masih menerangi ruangan, jelas dia belum tidur.
Dg suatu gerakan ringan Kho Beng mendekati pintu,
mendorongnya, menyelinap masuk kemudian merapatkan kembali
pintu kamarnya.
Tampak sigemuk Oh sedang duduk seorang diri sambil minum
arak, diatas meja telah dihidangkan dua tiga macam sayur.
Ketika melihat Kho Beng menyerbu masuk kedalam ruangan
secara tiba-tiba, ia sama sekali tidak nampak terkejut atau
keheranan malah sambil tertawa serunya:
“Baru setengah tahun tak bersua, nampaknya kau sudah berubah
seperti orang lain, ehm..tampaknya memang memperoleh kemajuan
amat pesat....”
Penampilan seperti ini sudah barang tentu sangat
mencengangkan Kho beng, dia jadi tertegun dan serunya
keheranan:
“Oh suhu, nampaknya kau seperti telah menduga kalau aku bakal
datang kemari?”
Sigemuk Oh segera manggut-manggut, sahutnya sambil tertawa:
“Cuma aku tak menyangka kedatanganmu begitu awal, nah
silahkan duduk, sayur dan arak telah kupersiapkan, mari kita
bersantap sambil berbincang-bincang.”
“Tidak!” tampik Kho Beng dg perasaan sangat tegang, “Oh suhu,
walaupun aku pernah menjadi seorang pembantu dari Sam goan
bun, tapi sekarang telah berubah menjadi duri dalam daging bagi
ciangbunjin, karenanya aku tak berani berdiam terlalu lama, aku
hanya ingin bertanya tentang sesuatu.”
Sigemuk Oh meneguk araknya secawan kemudian balik bertanya:

“Apakah dikarenakan persoalan sibungkuk?”
Air mata segera jatuh berlinang membasahi wajah Kho Beng,
ujarnya dg sedih:
“Oh suhu, kalau toh kau telah memahami maksud kedatanganku,
tolong beritahukanlah kepadaku keadaan yg sebenarnya,
sesungguhnya apa yg menyebabkan kematian suhu bungkuk?”
Oh gemuk segera menggelengkan kepalanya berulang kali:
“Dalam soal ini aku sigemuk pun kurang jelas, tapi sibungkuk
memang meninggalkan pesan agar kusampaikan kepadamu.”
“Apa pesannya?” buru-buru Kho Beng bertanya dg semangat
berkobar kembali.
Oh gemuk menyumpit sebuah daging dan dikunyahnya lebih
dulu, setelah ditelan ia baru berkata:
“Dia menyuruh aku bertanya dulu kepadamu, dalam bidang ilmu
silat, apakah kau telah berhasil mencapai apa yg diharapkan?”
Kho Beng manggut-manggut:
“Beruntung sekali aku dapat memenuhi pengharapan suhu
bungkuk, itulah sebabnya aku baru berani pulang untuk menjenguk
dia orang tua, sungguh tak disangka dia telah berpulang kealam
baka....”
Ia tak dapat menahan rasa sedihnya lagi sehingga air matanya
jatuh bercucuran membasahi pipinya.
Dg nada serius Oh gemuk segera berseru:
“Lote, sekarang bukan saat bagimu untuk menangis, kalau toh
kau mengatakan tidak menyia-nyiakan harapan sibungkuk, coba
tunjukkan dulu kemampuanmu itu dihadapan aku sigemuk.”
Berbicara sampai disitu, dia segera mengeluarkan sebuah batu
sebesar telur ayam yg diletakkan diatas meja sambil katanya:
“Inilah cara mencoba kepandaianmu yg dipesankan sibungkuk,
sekarang remas dulu batu itu sampai hancur!”
Dg termangu-mangu Kho Beng menerima batu tadi kemudian
mengerahkan tenaga dalamnya ketelapak tangannya, sekali pencet
batu tersebut segera hancur menjadi bubuk dan berserakan lewat
celah-celah jari tangannya.
Melihat keberhasilan pemuda tersebut, Oh gemuk segera
manggut-manggut, kemudian sambil menunding kearah lilin yg
berada dimeja, ia berkata lagi:
“Sekarang coba kau papas kutung separuh batang lilin ini
menjadi enam potong, tapi hal ini harus kau lakukan dalam sekali

gerakan, lagipula setiap potong harus mempunyai panjang yg sama.
Bila kutungan lilin tersebut tak sampai ambruk dari tumpukannya,
hal tersebut baru dianggap berhasil!”
Kho Beng menjadi tertegun.
“Memotong lilin tanpa roboh serta mempunyai kepandaian yg
sama tidak terlalu sulit untuk kukerjakan, tapi mana mungkin dalam
sekali tebasan pedang lilin tersebut dapat dipapas menjadi enam
potongan?”
“Sibungkuk telah berpesan, cara ini bukan saja menguji
kepandaian silatmu, juga menguji kecerdasan otakmu, bila kau tidak
lulus maka pesannya tak boleh disampaikan kepadamu, pesan
tersebut baru dapat kusampaikan apabila hal mana sudah kau
pahami.”
Kho Beng menjadi terbungkam dalam seribu bahasa, dia tahu
kata-kata yg dirahasiakan sigemuk pasti mempunyai arti penting dg
dirinya, tapi bagaimana mungkin dia dapat memapas kutung
separuh batang lilin menjadi enam bagian dalam sekali tebasan saja?
Dalam lamunannya mendadak dia teringat kembali dg catatan
ilmu silat pemberian Thio bungkuk tempo hari, diantaranya
tercantum sebuah jurus pedang dari Hoa san pay yg disebut “Angin
puyuh menggulung debu”, gerakan pedang itu didasari pada
gerakan berputar, apabila pedangnya tidak ditarik, tubuhnya
memang akan berputar sebanyak enam kali, bukankah gerakan
tersebut cocok sekali dg sekali tebasan enam kali memapas?
Berpikir sampai disitu, dia tak berani membuang waktu lagi,
pedangnya segera diloloskan dari sarungnya, kemudian setelah
memusatkan seluruh perhatiannya, dia himpun hawa murninya
kedalam pedang dan pedangnya langsung dibabat kearah separuh
batang lilin itu diiringi perputaran badan.
Tampak cahaya tajam berkilauan, dalam waktu singkat Kho Beng
telah menarik pedangnya, lalu sambil menyarungkan kembali
pedangnya, ia berkata:
“Silahkan Oh suhu memeriksanya.”
Lilin itu nampak masih tetap utuh seperti sedia kala dan sama
sekali tidak kelihatan cacad.
Sambil melototkan matanya lebar-lebar, sigemuk Oh mengangkat
lilin tersebut pada bagian paling ujung, ternyata bagian tersebut
sudah terpapas kutung.

Demikian seterusnya, ternyata lilin tadi memang terbagi menjadi
enam potong dg panjang yg sama, hal ini menandakan kalau
permainan pedang pemuda tersebut memang sudah amat mantap.
Si gemuk Oh segera bersorak memuji:
“Suatu kepandaian yg sangat hebat lote, meskipun aku sigemuk
belum pernah belajar silat, namun jarang sekali kujumpai kehebatan
seperti ini, kau memang sangat hebat….”
Padahal Kho Beng sendiripun tidak terlalu yakin dg kemampuan
sendiri, kini dia baru dapat menghembuskan napas lega, buru-buru
katanya:
“Oh suhu, semua syarat telah berhasil kulaksanakan, sekarang
tolong sampaikan pesan terakhir dari dia orang tua.”
Sigemuk Oh segera manggut-manggut:
“Sibungkuk berpesan : Jika kedua ujian tersebut berhasil kau
atasi, silahkan datang kekuburannya untuk bersembahyang.”
Kho Beng menjadi tertegun.
“Siang tadi aku telah berjiarah kesitu!” serunya.
“Tak ada salahnya kau berjiarah sekali lagi, jika menemukan
sesuatu pergilah ke pohon siong ketiga disisi kiri kuburan, disana
akan kau temukan barang yg dibutuhkan.”
“Hanya perkataan ini saja?” tanya Kho Beng tercengang.
Sekali lagi sigemuk Oh manggut-manggut:
“Yaa, hanya kata-kata itu, sekarang semua pesan sibungkuk telah
kusampaikan kepadamu, mumpung waktu sudah larut dan orang lain
belum menyadari akan kehadiranmu pergilah kesana dg cepat.”
Kho Beng memang ingin secepatnya mengetahui benda apakah
yg berada dibawah pohon ketiga disisi kiri kuburan, tentu saja
diapun tak ingin berdiam terlalu lama disitu sambil menjura segera
ujarnya:
“Terima kasih banyak atas bantuanmu, budi kebaikan ini pasti
akan kubalas dikemudian hari.”
Selesai berkata, dia segera membalikkan badan dan membuka
pintu, kemudian setelah celingukan sekejap kesekeliling sana, dg
suatu gerakan cepat tubuhnya melesat pergi meninggalkan tempat
itu.
Suasana tengah halaman gedung amat sepi, Kho beng berhasil
keluar dari dinding pekarangan tanpa menjumpai kesulitan apa-apa.
Setelah masuk kedalam hutan, sesuai dg petunjuk dia menuju

kepohon siong ketiga disisi kiri kuburan dan melompat naik keatas,
tapi setelah diperiksa sekejap dia menjadi tertegun.
Apakah diatas pohon tak ada barangnya? Bukan, barang tersebut
memang berada disana, tapi jenisnya sama sekali diluar dugaan Kho
Beng, sebab benda itu ternyata tak lain adalah sebuah sekop bulat.
Selain sekop bulat, disana tidak ditemukan benda lain.
Kho Beng menjadi kecewa sekali, pada mulanya dia mengira
benda yg disembunyikan si Unta sakti berpunggung baja diatas
pohon itu meski tiada hubungan dg asal usulnya paling tidak
menyangkut sebab-sebab kematiannya. Sungguh tak disangka
ternyata benda itu adalah sebuah benda yg sama sekali tak ada
sangkut pautnya dg masalah tersebut.
Lalu sekop bulat yg karat ini melambangkan apa?
Mungkinkah sigemuk Oh sedang bergurau dgnya?
Kho Beng merasa sangat curiga, tapi setelah dipikirkan lebih
jauh, dia merasa tak mungkin sigemuk Oh sengaja bergurau dgnya,
mengingat persoalan ini menyangkut suatu masalah yg besar.
Lagipula ditinjau dari wataknya sehari-hari biasa yg terbuka dan
polos, tak mungkin dia sengaja menyiapkan rencana busuk untuk
menjebaknya.
Kho Beng segera mencabut keluar sekop bulat itu, lalu dalam
keadaan bimbang dia melayang turun kembali kebawah pohon.
Dalam keadaan begini tanpa terasa dia teringat kembali dg pesan
kedua si gemuk Oh:
“....tak ada salah kau berjiarah kepusara tersebut, bila
menemukan sesuatu...”
Berpikir sampai disitu, dia segera menggelengkan kepalanya
sambil menghela napas panjang, pikirnya:
“Bila menemukan sesuatu, apakah benda yg kubutuhkan adalah
sekop bulat ini? Apakah Thio bungkuk menyuruh aku menggali
kuburan da merampok isi peti mati? Benar-benar suatu kejadian yg
membingungkan hati!”
Sambil berpikir Kho Beng mundur terus hingga didepan kuburan,
dia mencoba untuk memperhatikan keadaan disekeliling tempat itu,
namun kuburan itu masih utuh seperti sedia kala, bentuknya tak
berbeda seperti apa yg dilihatnya siang tadi.
Memandang pusara yg sendu tanpa terasa pemuda itu teringat
kembali dg pengalaman hidupnya selama ini, bagaimanapun juga
mereka telah hidup bersama hampir delapan belas tahun lamanya.

Kini memandang gundukan tanah yg sepi, rasa sedih tiba-tiba
menyelimuti perasaannya, dia segera berlutut dan diam-diam
berkata:
“Cianpwee, bila kau benar-benar mati dibunuh, mati lantaran
urusanku, beristirahatlah dg tenang, aku bersumpah akan
membalaskan dendam bagi kematianmu, akan kugusur pembunuh
tersebut dan membunuhnya dihadapan pusaramu....”
Baru selesai dia berdoa, mendadak berkilat sepasang mata Kho
Beng, dia seperti telah menemukan sesuatu.
Apa yg dijumpanya ternyata tulisan Unta sakti berpunggung baja
diatas batu nisan itu mirip sekali dg gaya tulisan sibungkuk sendiri.
Penemuan yg sama sekali tak terduga ini bukan saja membuat
Kho Beng terperanjat, bahkan semakin menambah perasaan
bingungnya.
Mana mungkin ada orang mati yg bisa mengukir batu nisan
sendiri, jelas hal ini tak mungkin terjadi.
Menurut pengakuan Nyoo To li, jenasah Thio bungkuk dikubur
sendiri oleh ketua Sam goan bun, ini berarti tulisan diatas batu nisan
tersebut seharusnya merupakan tulisan dari ketua Sam goan bun,
tapi mungkinkah gaya tulisan dari ketua Sam goan bun mirip sekali
dg gaya tulisan Thio bungkuk?
Atau mungkinkah dia telah salah melihat?
Cepat-cepat Kho Beng memburu kedepan dan mengamati gaya
tulisan diatas batu nisan itu lebih seksama, makin dipandang dia
merasa tulisan itu makin mirip dg gaya tulisan Thio bungkuk.
Dalam sekejap mata Kho Beng segera teringat kemabli dg sekop
bulat yg berada disisinya, dg cepat hatinya bergetar keras, segera
pikirnya:
“Dia bilang kalau ditemukan sesuatu, benda yg kau butuhkan
berada diatas pohon siong ketiga disisi kiri kuburan....yaa benar,
kalau begitu dia orang tua telah memutuskan agar aku menggali
kuburan ini untuk melakukan pemeriksaan terhadap jenasahnya!”
Sekarang dia baru merasa mustahil ada orang mati yg
menyiapkan batu nisannya sendiri, satu-satunya dugaan yg masuk
diakal adalah si Unta sakti berpunggung baja telah menduga akan
kematiannya, maka menyiapkan batu nisan lebih dulu dan secara
diam-diam berpesan kepada Oh gemuk untuk menyiapkan sekop
bulat ditempat yg telah ditunjuk....

Jelas sudah semua persiapan yg dilakukan secara cermat dan
rahasia ini disamping untuk menyelamatkan jiwa Oh gemuk, selain
itu juga merupakan petunjuk yg kuat bahwa asal kuburan itu
dibongkar maka siapa pembunuh dia orang tua yg sebenarnya akan
segera terbongkar.
Bahkan bisa jadi teka teki sekitar asal usulnya juga akan
diperoleh jawaban dari dalam peti mati itu....
Makin berpikir Kho Beng merasa hatinya semakin tegang, dia
segera bangkit berdiri, menyambar sekop dan m ulai mencangkuli
kuburan tersebut.
Pada saat itulah, tiba-tiba terdengar seseorang membentak keras
dari dalam hutan.
“ Manusia keparat! Besar amat nyalimu, malam-malam begini
berani datang bongkar kuburan, Hmmm! Cepat hentikan
perbuatanmu itu!”
Menyusul suara bentakan itu, tampak belasan sosok manusia
bermunculan dari balik hutan, semuanya bersenjata pedang dan
secepatnya menerjang kedepan kuburan melakukan pengepungan.
Dg perasaan terkesiap, Kho Beng membuang sekopnya sambil
meloloskan pedang, tapi apa yg kemudian terlihat membuat paras
mukanya berubah hebat.
Ternyata kawanan manusia tersebut bukan lain adalah anggota
perguruan Sam goan bun sedang sebagai pemimpinnya tak lain
adalah ketuanya sendiri, Sun Thian hong.
Begitu bersua dg Sun Thia hong, hawa amarah Kho Beng segera
berkobar kembali, serunya sambil tertawa dingin:
“Ciangbunjin, tajam benar kabar beritamu.”
Dg wajah dingin kaku bagaikan salju, Sun Thian hong
membentak keras:
“Bocah keparat, sudah berulang kali kuperingatkan kepadamu,
jangan mencoba-coba datang lagi keperkampungan Cui wi san ceng,
tak nyana kau begitu berani datang menyatroni kami, bahkan
berniat untuk menggali kuburan....hmmm!”
“He....he....he.....boleh aku bertanya kepada ciangbunjin, apakah
bukit ini milik pribadimu?” jengek Kho Beng sambil tertawa dingin.
Kemudian setelah berhenti sejenak, dia berkata lebih jauh dg
suara ketus:

“Pokoknya, asal Kho Beng tidak melangkah masuk kedalam
perkampungan Cui wi san ceng, rasanya aku toh belum sampai
melanggar janjiku terhadap ciangbunjin?”
Dg penuh kegusaran, ketua Sam goan bun berseru:
“Tajam betul selembar mulutmu! Aku tak mengira kau adalah
seorang manusia yg tak kenal budi, air susu dibalas dg air tuba.....”
“Tutup mulut!” dg kening berkerut Kho Beng membentak nyaring,
“Aku Kho Beng adalah seorang lelaki sejati, siapa menanam pohon
kebaikan akan ku balas dg kebajikan, siapa menanam pohon
kejahatan akan kubayar pula dg uah kejahatan. Tapi kau mesti tahu,
usahaku membongkar kuburan malam ini tak ada sangkut pautnya
dg budi dan dendam, harap ciangbunjin jangan mencampur
baurkannya menjadi satu masalah yg sama....”
Dg suara menyeramkan ketus, Sun Thian hong tertawa keras:
“Bagus…bagus sekali, kalau toh kau sudah tahu budi harus
dibalas dg budi, mengapa kau berniat membongkar kuburan? Kau
toh tahu, siapa yg telah mati dia yg harus dihormati, apalagi setelah
masuk ketanah, sudah sepantasnya diberi kedamaian dan
ketentraman, apalagi Thio bungkuk mempunyai budi kepadamu….”
Kho beng segera tertawa bergelak:
“Ha…ha….ha….perkataan ciangbunjin kali ini memang sangat
tepat, justru karena aku tak rela si bungkuk cianpwee mati
penasaran diakhirat sehingga tak bisa beristirahat dg mata meram,
maka aku telah bersiap-siap akan membongkar kuburan serta
memeriksa jenasahnya.”
Mendadak nada pembicaraan ketua Sam goan bun itu berubah
menjadi dingin menyeramkan, serunya :
“Bukankah sudah kukatakan kepadamu, bungkuk mati karena
terserang penyakit gawat, apalagi yg hendak kau periksa?”
“Hmmm, siapa yg berani menjamin akan kebenaran hal ini?”
jengek pemuda itu dingin.
“Toh aku yg mengetakan si bungkuk mati karena sakit, tentu saja
aku berani menjamin,” jawab Sun Thian hong marah.
“Tapi siapa pula yg berani menjamin kebenaran dari perkataan
ciangbunjin?” jengek Kho Beng lagi sambil tertawa dingin.
Sun Thian hong segera berkerut kening, dg mata melotot besar
karena marah ia membentak:
“Oooh, jadi kau anggap sibungkuk mati dibunuh dan akulah
sipembunuhnya?”

“Tidak berani, sebelum melakukan pemeriksaan, Kho Beng tak
berani mencurigai siapa saja, tapi tak bisa pula menghilangkan rasa
curigaku terhadap setiap orang.”
Mendadak Sun Thian hong mendongakkan kepalanya lalu tertawa
tergelak, ditundingnya Kho Beng dg ujung pedang, lalu serunya:
“Bagus sekali Kho Beng, beranikah kau bertaruh dgku?”
“Bagaimana bertaruhnya?” sahut Kho Beng, meski agak tertegun
didalam hatinya.
“Mari kita bongkar kuburan it, jika keadaannya sesuai dg apa yg
kau curigai, saat itu juga aku akan menggorok leher untuk bunuh
diri, tapi kalau tak sesuai dg apa yg kau duga, maka kau harus
mendirikan gubuk disini dan hidup mengasingkan diri selama tiga
puluh tahun tanpa boleh meninggalkan tempat ini selangkah pun.
Beranikah kau menerima tantanganku ini?”
Orang bilang: Jika seseorang telah melakukan kejahatan, maka
dia pasti ragu da cemas dalam setiap perkataan maupun tindakan,
tapi perkataan Sun Thian hong sekarang diucapkan secara gagah
dan tegas, tentu saja hal ini membuat Kho Beng menjadi tertegun.
Tanpa terasa pandangannya semula mulai goyah, dia mulai ragu
dg penilaian sendiri, tapi sebagai pemuda cerdik, setelah termenung
sebentar ia segera menggeleng:
“Maaf jika Kho Beng tiada kegembiraan untuk melayani
taruhanmu itu…”
Sun Thian hong segera tertawa mengejek, tukasnya :
“Aku tahu kau tak berani menerima taruhanku ini karena kau
belum mempunyai keyakinan, nah sekarang kuperingatkan
kepadamu untuk terakhir kalinya, segera tinggalkan tempat ini
daripada mendatangkan maut bagi diri sendiri!”
Dg dingin Kho Beng menggelengkan kepalanya berulang kali:
“Maaf kalau aku tak bisa menuruti keinginanmu, aku telah
bertekad akan membongkar kuburan tersebut, sekalipun ada
ancaman seperti apapun, tekadku ini tak akan berubah.”
“Kho Beng!” bentak Sun Thian hong sambil melotot, “ Kau harus
tahu, kesabaran orang ada batasnya…”
Setelah ciangbunjin dari Sam goan bun ini berulang kali berusaha
menghalangi niatnya, kepercayaan Kho Beng yg semula mulai goyah
kini menjadi mantap kembali.
Mendengar perkataan tersebut, ia segera menjawab dg suara
dingin:

“Kho Beng pun hendak memperingatkan kepada ciangbunjin, bila
ciangbunjin merasa tak pernah melakukan kesalahan, seharusnya
kau tidak menghalangi niatku untuk membongkar kuburan.”
“Aku tak bisa membiarkan kau berbuat semena-mena.” Kembali
Sun Thian hong membentak keras, “ Aku tak tega menyaksikan
sahabatku selama puluhan tahun yg telah mati ternyata tak bisa
peroleh ketenangan diakhir hayatnya, bahkan setelah dikuburpun,
kuburannya masih dibongkar orang....”
Dg angkuh Kho beng segera bangkit berdiri, kemudian serunya:
“Ciangbunjin tak usah banyak bicara lagi, pokoknya segala
sesuatunya biar aku seorang yg menanggung.”
Agaknya kesabaran Sun Thian hong pun telah mencapai
puncaknya, dg mata mendelik karena marah, dia berseru penuh
nada menyeramkan.
“Jadi kau memaksa akan bertarung melawanku?”
Kho Beng tertawa seram.
“Bila keadaan memang menghendaki demikian dan bagi Kho
Beng tiada pilihan lain, terpaksa aku akan pertaruhkan selembar
jiwaku untuk menghadapi ancaman macam apapun.”
Dg pedang terhunus Sun Thian hong maju dua langkah kedepan,
kemudian serunya:
“Bagus, bagus sekali, wahai Kho Beng asal kau sanggup
melampaui diriku, segala sesuatunya terserah kehendakmu sendiri!”
Selesai berkata ia segera melintangkan pedangnya sambil bersiap
sedia menghadapi segala kemungkinan yg tidak diinginkan.
Menyaksikan hal tersebut, Kho Beng segera menjura seraya
berkata:
“Sudah lama Kho Beng mengagumi kelihayan ilmu pedang Sam
goan kiam hoat, beruntung sekali aku bisa peroleh petunjuk
langsung pada hari ini sehingga tidak menyia-nyiakan serih payahku
selama setengah tahun. Ciangbunjin sebagai angkatan lebih tua
silahkan turun tangan lebih dulu!”
Sun Thian hong tidak malu menjadi seorang ketua dari suatu
perguruan, menghadapi pertarungan yg segera berkobar ternyata ia
tak nampak gusar atau mendongkol, tidak panik ataupun gelisah,
sikapnya kelihatan sangat tenang dan penuh kemantapan, tak malu
menjadi seorang tokoh ilmu pedang yg berpengalaman.
Dg sikap yg dingin dan hambar dia berseru:

“Kau tak perlu sungkan-sungkan, dg usiaku diatas enam puluh
tahun bila sampai melancarkan serangan terlebih dahulu kepada
seorang pemuda ingusan macam kau, berita yg tersiar dalam dunia
persilatan dikemudian hari bisa mambuat aku malu menjadi seorang
ciangbunjin lagi!”
Kho Beng segera mendengus dingin:
“Hmmm, kalau begitu maafkan aku!”
Pedangnya segera diangkat keatas kemudian dg langkah Bwee
hong poh dia mendesak maju kemuka secepat hembusan angin dan
sebuah bacokan kilat dilancarkan.
Deru angin tajam menyambar ditengah udara, sinar tajam
berkilauan menusuk pandangan mata, menyusul perbuatan tersebut,
pedangnya membentuk satu gerakan lingkaran huruf besar. Inilah
jurus angin berhembus debu menggulung dari aliran Hoa san pay.
Menyaksikan gerak serangan Kho Beng tersebut, Sun Thian hong
menjadi sempat terperanjat, dia bukannya takut dg gaya pengaruh
jurus ilmu pedang tersebut, tapi kaget dan bingung setelah melihat
hembusan hawa pedang yg begitu kuat dari ujung senjata lawan.
Biarpun ketua yg berusia lanjut ini memiliki pengalaman yg cukup
luas dalam dunia persilatan, bagaimanapun juga dia tak menyangka
kalau seorang pemuda ingusan seperti ini ternyata memiliki tenaga
dalam yg jah lebih sempurna daripada tenaga dalam yg dimilikinya.
Apalagi menurut apa yg diketahuinya, pada setengah tahun
berselang Kho Beng baru sempat mempelajari dasar-dasar tenaga
dalam saja, mana mungkin dalam waktu singkat ini kemampuan
tenaga dalamnya dapat meningkat sehebat ini?
Sementara itu serangan pedang dari Kho Beng sudah keburu
datang sehingga tidak memberi kesempatan lagi bagi ciangbunjin
tersebut untuk berpikir lebih jauh.
Namun bagaimanapun juga , jahe yg tua memang lebih pedas,
dalam waktu yg amat singkat inilah ketua Sam goan bun telah
mengambil keputusan bagaimana cara untuk mengatasi keadaan
tersebut.
Tampak dia menghindar kesamping, kemudian diantara
hembusan angin serangan lawan, pedangnya melakukan tangkisan
berulang kali dan secara beruntun melancarkan tiga buah serangan
berantai untuk memunahkan semua ancaman yg datang dari Kho
Beng.

Setelah itu diiringi suara bentakan keras, tak menanti sampai Kho
Beng berubah gerak serangan, tubuhnya telah mendesak maju dg
melancarkan serangan menggunakan jurus sam goan ci ti.
Secara beruntun dia melepaskan tiga buah serangan berantai
hingga dalam waktu singkat cahaya berkilauan telah menciptakan
selapis kabut pedang yg mengurung tubuh Kho Beng rapat-rapat.
Ilmu pedang sam goan kiam hoat terdiri dari tiga kali tiga jurus
berantai dg enam jurus terbalik, sedangkan keistimewaannya adalah
menyerang dalam bertahan dan sekali menyerang tiga jurus
serangan akan meluncur secara berantai sehingga tidak memberi
kesempatan kepada musuhnya untuk melancarkan serangan
balasan.
Setelah menderita kekalahan ditangan kedele maut dalam
pertarungan yg pertama, sedikit banyak Kho Beng merasa tegang
juga menghadapi pertarungan kali ini tapi dia tak pernah menyangka
kalau begitu bertarung segera akan terlibat dalam suatu pertarungan
yg sengit.
Berulang kali dia mencoba untuk menembusi pertahanan lawan
dg menerjang kekiri dan kekanan, namun selalu tak berhasil. Dalam
keadaan begini terpaksa dia harus mengandalkan kesempurnaan
tenaga dalam untuk mempertahankan diri sehingga tak sampai
menderita kekalahan total….
Benarkah Kho Beng bukan tandingan dari ketua Sam goan bun?
Tidak! Kecuali merasa agak tegang diapun merasa agak sangsi.
Kesangsian ini membuat hatinya jadi ragu-ragu untuk mengeluarkan
ilmu pedang Lui siu jit si yg maha dahsyat itu.
Sekalipun ketua Sam goan bun ini dicurigainya sebagai
pembunuh Unta sakti berpunggung baja, namun diapun telah
melepaskan budi pemeliharaan dan pendidikan selama delapan belas
tahun, oleh karena itu sebelum duduk persoalannya menjadi jelas,
dia tak tega untuk melancarkan serangan secara keji, kuatirnya bila
salah bertindak maka akibatnya dia akan menanggung penyesalan
sepanjang masa.
Tapi Sun Thian hong, ketua dari Sam goan bun itu justru tidak
memahami bagaimana perasaan lawannya, pedang digetarkan dg
enteng dan cekatan, begitu sepuluh jurus lewat sedangkan serangan
yg digunakan Kho Beng pulang pergi hanya tiga jurus tersebut
sehingga sama sekali tidak memiliki kekuatan untuk melancarkan

serangan balasan, tanpa terasa semangatnya menjadi berkobar
kembali.
Sambil tertawa seram dia segera berseru:
“Tadinya kukira kau sudah memiliki kepandaian yg luar biasa
sehingga berani melakukan perlawanan, tak tahunya hanya sedikit
kepandaian tersebut saja yg kau miliki, hmmm....mengingat aku
telah memeliharamu selama delapan belas tahun asal kau bersedia
meyesali perbuatan ini, akupun bersedia pula memberi sebuah jalan
kepadamu.”
Kho Beng yg sebetulnya sedang bimbang karena pertentangan
batinnya, kini menjadi naik darah setelah mendengar perkataan itu,
dia merasa tak bersalah lalau apa yg mesti ditakuti?
Tiba-tiba saja dia menyadari bahwa pertarungan ini bukan
perebutan menang kalah, juga bukan pertarungan antara hidup mati
tapi memperebutkan kebenaran.
Apabila dia tetap ragu untuk mengambil keputusan sehingga
menyebabkan menderita kekalahan, soal mati hidup jangan
dibicarakan dulu, tapi yg pasti soal misteri kematian si Unta sakti
berpunggung baja akan tetap tenggelam didasar liang untuk
selamanya, sedangkan niatnya yg luhur bukan saja tak bakal
dipahami orang lain, malah sebaliknya akan dituduh orang sebagai
manusia berdosa.
Dalam waktu singkat pertentangan batin dalam hatinya lenyap
tak berbekas, sambil tertawa nyaring segera serunya:
“Ilmu pedang Sam goan kiam hoat memang nyata sekali
kehebatannya tapi menang kalah belum diketahui, kalau ingin
membicarakan masalah tersebut rasanya terlalu dini, harap
ciangbunjin merasakan pula serangan balasan yg akan kulancarkan
segera.”
Belum selesai perkataa tersebut diucapkan, gerak serangan
pedangnya telah berubah, dg jurus “Seratus aliran kembali ke
samudra” dia lancarkan serangan balasan terhadap ketua dari Sam
goan bun tersebut.
Begitu serangan tersebut dilancarkan, nyata sekali perbedaannya,
dalam waktu singkat seluruh angkasa telah dipenuhi dg kilauan
cahaya pedang yg menyusup seperti ular perak, begitu dahsyat dan
banyak kilauan cahaya tadi sehingga sudah untuk diikuti secara
pasti.

Kejadian tersebut bukan saja mengejutkan ketua sam goan bun
tersebut, bahkan dari posisi menyerang dia harus merubah taktik
menjadi posisi bertahan, selapis kabut pedang yg kuat melindungi
seluruh tubuhnya secara ketat dan kuat.
Sementara itu belasan anggota Sam goan bun yg menonton
jalannya pertarungan dari sisi arena pun sama-sama berseru kaget ,
perasaan tegang pun segera mencekam wajah mereka semua.
Kho Beng semakin bersemangat lagi setelah jurus serangannya
yg pertama membawa hasil, keberaniannya juga semakin
meningkat.
Secara beruntun dia segera mengeluarkan jurus-jurus serangan
“Ombak dahsyat menghantam karang” dan “Air terjun bunga
terbang” untuk mencecar lawannya, serangan demi serangan seperti
gulungan air sungai Tiang kang, membanjir tiba tiada habisnya.
Perubahan jurus yg dahsyat dan hebat ditambah pula dg
desingan angin tajam yg memekakkan telinga, segera membuat
ketua Sam goan bun in harus mempertahankan diri secara cermat
dan berhati-hati sekali.
Ketujuh jurus serangan dahsyat yg diciptakan oleh Bu wi lojin ini
sengaja diberi nama tujuh jurus air mengalir karena begitu serangan
pedang dilancarkan, maka seperti gulungan bah yg mengalir, semua
lobang dan celah akan dimasuki dan sebuah benda akan terhanyut
olehnya.
Kendatipun pertahanan yg dilakukan Sun Thian hong boleh
dibilang cukup tangguh, nyatanya dia toh tak sanggup
mempertahankan diri terhadap desakan lawannya, setelah
mempertahankan dri sebanyak tiga jurus secara payah, dia mulai
merasakan matanya berkunang-kunang dan hatinya berdebar-debar
keras.
Pada saat jurus keempat dilancarkan itulah, medadak.....
“Traang! Traang! Traang!”
Secara beruntun terjadi tiga kali bentrokan nyaring, tahu-tahu
pedang Sun Thian hong sudah terpental ketengah udara dan
berubah menjadi serentetan cahaya perak yg terjatuh sejauh tiga
kaki dari posisinya.
Peristiwa ini tentu saja menggemparkan segenap anggota Sam
goan bun yg hadir disana.

Ditengah suara jeritan kaget, tahu-tahu pedang Kho Beng telah
digetarkan kemuka dan ujung pedang tersebut telah menempel
diatas dada Sun Thian hong.
Pantulan cahaya perak yg memancar dari balik pedang, menyinari
paras muka Sun Thian hong yg pucat pias seperti mayat, membuat
segenap anggota Sam goan bun terbungkam dalam seribu bahasa
dan detak jantungnya serasa hampir berhenti.
Kini menang kalah sudah terlihat dg jelas.
Kalau tadi yg tua bersikap angker dan menegur secara kasar!
Sedang yg muda berusaha melawan dg posisi dibawah angin. Maka
sekarang justru kebalikannya, yg tua nampak loyo dan masgul
seperti orang yg kehilangan semangat, sebaliknya yg muda justru
sampak gagah perkasa.
Perubahan yg sangat mendadak ini segera membuat ketua Sam
goan bun menjadi lemas dan tiba-tiba menghela napas panjang,
katanya kemudian dg suara gemetar:
“Yaa sudahlah...selama hidupku aku berusaha bertindak secara
hati-hati, sungguh tak disangka karena kurang berhati-hati, nama
baik yg sudah kupupuk selama puluhan tahun akhirnya harus hancur
dalam semalam!”
“Apakah ciangbunjin tidak puas?” seru Kho Beng sambil tertawa
dingin.
Sun Thian hong tertawa getir.
“Ilmu pedang Lui sui Jit si memang suatu ilmu pedang yg
menggetarkan seluruh jagat, menang kalah kini sudah ditentukan,
terbukti akulah yg berada dipihak yg kalah,kenapa mesti tak puas?
Kho Beng kau boleh turun tangan dg segera.”
Dg suara dingin yg menyeramkan, Kho Beng berkata:
“Mengingat ciangbunjin telah memeliharaku selama delapan belas
tahun, akupun menyudahi persoalan ini sampai disini saja, kuharap
ciangbunjin dapat melaksanakan janji semula dg tidak menghalangi
pekerjaanku lagi.”
Selesai berkata dia segera menarik kembali pedangnya dan
segera membalikkan badan berjalan menuju ketepi kuburan.
Sementara itu belasan anggota Sam goan bun yg berada didepan
kuburan telah memisahkan diri menjadi dua rombongan, mereka
berdiri dg wajah serius dan pedang terhunus.
Melihat hal ini, Kho Beng segera berhenti lalu menegur dg kening
berkerut:

“Toako sekalian harap segera kembali keperkampungan, seusai
bekerja nanti, siaute pasti akan mohon maaf kepada kalian.”
Kawanan anggota Sam goan bun itu tetap membungkam diri
dalam seribu bahasa dan berdiri serius ditempat tanpa berkutik
terhadap teguran Kho Beng tersebut, mereka bersikap seolah-olah
tidak mendengar.
Seketika itu juga Kho Beng mengerutkan dahinya rapat-rapat,
kemudian bentaknya:
“Suhu kalian telah memberikan janjinya dan kurasa toako
sekalian telah mendengar secara jelas, bila kalian tidak menyingkir
lagi, jangan salahkan kalau Kho Beng akan menggempur kalian dg
kekerasan……”
Sekalipun ancaman telah diberikan, namun reaksi tak jauh beda
seperti permulaan tadi, kawanan anggota Sam goan bun itu tetap
tak bergerak dari posisi semula.
Kho Beng semakin gusar, namun dalam amarahnya diapun
merasa serba salah.
Semua anggota Sam goan bun yg berdiri dihadapannya sekarang
boleh dibilang merupakan sahabat-sahabatnya yg sudah banyak
tahun hidup bersama serta memiliki hubungan persahabatan yg erat,
apabila mereka bersikeras akan menghalanginya, apakah dia benarbenar
akan menggempur mereka dg kekerasan?
Dia mengerti, dg tenaga dalam yg dimilikinya sekarang, untuk
menghadapi kawanan jago dari Sam goan bun tersebut bukanlah
suatu pekerjaan yg sulit. Yg menjadi masalah sekarang adalah dia
tega tidak untuk menggempur sahabat-sahabatnya itu?
Dalam waktu singkat pelbagai ingatan telah melintas didalam
benaknya, mendadak dia teringat, bisa jadi sikap dari anggota Sam
goan bun ini terpaksa dilakukan karena telah mendapat perintah dari
ketuanya untuk bersikap begitu.
Bedebah ciangbunjin itu!
Dg penuh amarah, Kho Beng membalikkan tubuhnya, dia
saksikan Sun thian hong masih berdiri kaku ditempat tanpa terasa
hardiknya:
“Ciangbunjin! Apakah semua perkataan yg telah kau ucapkan
masih bisa dipercaya?”
Bagaikan baru mendusin dari impian, Sun Thian hong segera
menghela napas panjang, tiba-tiba serunya kepada segenap anggota
Sam goan bun yg berdiri dimuka kuburan itu:

“Masih ingatkah kalian dg pesanku tadi?”
“Tecu masih teringat” sahut segenap anggota Sam goan bun
bersama-sama.
“Kalau memang masih ingat, kenapa tidak segera turun tangan?”
Perkataan yg terakhir ini sekali lagi mengobarkan hawa amarah
Kho Beng, dia tak sanggup menahan diri lagi.
Dia menganggap sikapnya sudah cukup bijaksana mengingat
kesetiaan kawan, tapi kenyataannya musuh begitu munafik dan tak
tahu malu.
Sekarang jelas sudah duduknya persoalan, Sun thian hong pasti
kuatir dia membongkar kuburan tersebut sehingga perbuatan kejinya
ketahuan.
Dalam keadaan begini, otomatis dia harus menghadapi setiap
perubahan sesuai dg keadaan, disamping itu diapun ingin tahu
permainan busuk apakah yg sedang dilakukan lawan?
Berpikir sampai disini, Kho Beng segera tertawa seram penuh
kegusaran, matanya berapi-api da mukanya meringis, dia bertekad
akan membekuk Sun Thian hong lebih dulu untuk memaksa anak
buahnya menyingkir semua dari sana.
Dg pedang terhunus diapun bersiap-siap untuk mendesak maju
kemuka, tapi sebelum perbuatan tersebut sempat dilakukan, tibatiba
dari belakang tubuhnya terdengar suara jeritan kesakitan
berkumandang silih berganti.
Dg perasaan tertegun ia segera berpaling, tapi apa yg kemudian
terlihat segera membuatnya menjadi tertegun.
Ternyata belasan anggota Sam goan bun itu telah berdiri saling
berhadapan dan tusuk menusuk sendiri, tentu saja tusukan itu
bukan bermain sandiwara, tapi benar-benar dilaksanakan, dari bekas
tusukan setiap orang nampak darah segar memancur keluar dg
derasnya.
“Hey, apa-apaan kalian semua?” pemuda itu segera menegur dg
kening berkerut.
Tiada jawaban yg terdengar selain teriakan dari Sun Thian hong:
“Kalian cepat kembali keperkampungan dan balut luka
tersebut….”
Serentak belasan jago dari Sam goan bun itu membalikkan badan
dan mengundurkan diri dari situ sambil memegangi bekas luka
dilengannya.

Kho Beng benar-benar dibikin kebingungan dan tak habis
mengerti terhadap peristiwa tersebut, ketika melihat Nyoo To li yg
semalam pernah dijumpainya lewat disisi tubuhnya, cepat-cepat dia
menarik tangan pemuda tersebut sambil bertanya:
“Saudara Nyoo, sebenarnya permainan apa sih yg sedang kalian
perbuat?”
Luka yg diderita Nyoo To li waktu itu terletak diatas bahunya,
karena ditarik Kho Beng dia segera mengeluh kesakitan, kemudian
sambil tertawa getir sahutnya:
“Inilah siasat menyiksa diri dari suhu ! “
Habis berkata cepat-cepat dia memburu rekan lainnya
meninggalkan tempat tersebut.
“Siasat menyiksa diri ? “ sekali lagi Kho Beng berpikir dg wajah
termangu, “Apaka dia menggunakan siasat menyiksa diri ini untuk
menghadapi diriku ? “
Berpikir sampai disini, pemuda tersebut segera berteriak keras :
“Ciangbunjin, harap tunggu sebentar ! “
Sun Thian hong yg berjalan paling belakang segera
menghentikan langkanya, setelah mendengar seruan tersebut,
tanyanya sambil berpaling :
“Siauhiap masih ada pesan apa ? “
“Huuuh, cepat benar dia merubah panggilannya terhadapku ? “
pikir Kho Beng diam-diam sambil tertawa dingin.
Kemudian dg suara dalam ia berkata:
“Aku harap ciangbunjin tetap tinggal disini. “
“Apakah kau kuatir aku kabur ? “ seru Sun Thian hong sambil
tertawa pedih.
“Hmmm, susah untuk dikata ! Jika duduknya persoalan telah
menjadi jelas, sedang ciangbunjin sudah keburu melarikan diri,
bukankah aku mesti meluangkan waktu lagi untuk melakukan
pengejaran terhadapmu….”
Seketika itu juga Sun Thian hong tertawa seram:
“Ha…ha…ha…kau tak usah kuatir, sekalipun si hwesio sudah
kabur, dia tak akan kabur dari kuil. Asal kau berhasil menemukan
sesuatu, akan kutunggu kedatanganmu dalam perkampungan.”
Selesai berkata dia meneruskan perjalanannya kembali, dalam
waktu singkat bayangan tubuhnya telah lenyap dibalik kegelapan.
Kho Beng menjadi tertegun setelah menyaksikan kejadian ini,
pikirnya kemudian:

“Persoalan yg paling mendesak saat ini adalah membuka peti
mati tersebut secepatnya, setelah duduk persoalannya menjadi jelas,
rasanya tidak sulit untuk bertindak selanjutnya….”
Terpengaruh oleh tindak tanduk orang-orang Sam goan bun yg
dinilai sangat aneh ini, dg membawa perasaan tak tenang, Kho Beng
memungut kembali sekopnya dan menggunakan kecepatan paling
tinggi untuk membongkar kembali kuburan tersebut.
Waktu berlalu dg cepatnya.
Kuburan yg semula merupakan gundukan tanah tinggi, kini telah
berubah menjadi sebuah liang yg sangat dalam.
Akhirnya sudut peti mati pun mulai kelihatan.
Dg terlihatnya peti mati tersebut, Kho Beng merasa hatinya
semakin tegang, dia tak tahu jenasah didalam peti mati tersebut
telah berubah menjadi seperti apa? Adakah luka bekas bacokan ?
Atau sama sekali tak ada luka ? Bagaimana seandainya jenasah itu
telah membusuk sehingga sukar dilakuka pemeriksaan ?
Dg hati-hati sekali dia membersihkan penutup peti mati itu dari
tanah liat, lalu setelah berdoa sebentar dg perasaan tegang, dia
memegang penutup peti mati itu, mengerahkan tenaga dalamnya
dan mengangkatnya kuat-kuat keatas.
“Kraaaakk….. ! “
Penutup peti mati itu segera terbuka lebar.
Meminjam cahaya rembulan yg memancar masuk dia mencoba
mengintip kedalam peti mati itu tapi ia segera tertegun dan cepatcepat
membuang penutup peti mati tadi kesamping.
Dibawah sinar rembulan yg redup, dapat terlihat bahwa dibalik
peti mati tersebut sama sekali tidak ada mayatnya, tapi terdapat
sepucuk surat dan sebuah bungkusan.
Dalam bungkusan tersebut entah berisi apa, tapi pada sampul
surat tersebut tertera dg jelas beberapa huruf yg berbunyi demikian:
“Ditujukan kepada Kho Beng:
Dari Thio bungkuk”
Apa yg terjadi dg cepat membuat Kho Beng semakin termangumangu
lagi, dia benar-benar tak habis mengerti terhadap peristiwa
yg berlangsung didepan matanya sekarang.
“Mungkinkah sibungkuk belum mati? Tapi apa sebab ketua Sam
goan bun mengumumkan kematiannya dan mendirikan batu nisan
baginya?”

Satu hal yg membuatnya tak mengerti adalah mengapa
sibungkuk meninggalkan surat baginya itu didalam peti mati?
Siapakah yg telah mengatur segala sesuatunya ini?
Dg perasaan bimbang, cepat-cepat dia merobek sampul surat
tersebut dan mengeluarkan isinya.
Terbacalah surat itu, berbunyi demikian:
“Kho Beng jika kau dapat membaca surat ini berarti kau dapat
melenyapkan semua rintangan yg ada, ini menunjukkan kalau
tenaga dalammu secara paksa masih dapat menghadapi segala
sesuatu.
Saat ini perasaanmu tentu diliputi rasa cemas, bingung dan tidak
habis mengerti bukan ? Tapi aku dapat memberitahukan kepadamu
sesungguhnya aku sibungkuk belum mati…. “
Ketika membaca sampai disini, meskipun Kho Beng semakin tak
habis mengerti, namun rasa sedih yg semula mencekam
perasaannya seketika tersapu lenyap tak berbekas.
Cepat-cepat dia membaca lebih jauh :
“....selama puluhan tahun terakhir ini sudah banyak kesulitan yg
kualami dan banyak masalah pelik yg pernah kuhadapi, namun
belum pernah mengalami situasi pelik seperti apa yg kualami pada
beberapa hari belakangan ini, kesulitan dan kepelikan tersebut
terjadi karena aku harus memenuhi janjiku kepadamu, yakni
menanti selama tiga tahun.
Namun oleh karena situasi yg begitu mendesak sehingga
memaksa aku mau tak mau harus meninggalkan Sam goan bun,
padahal aku harus bertemu lagi dgmu, maka aku semakin bertekad
untuk memenuhi janjiku dulu kepadamu.
Setelah berpikir keras dua malam, akhirnya akupun membuat
batu nisan dan liang kubur untuk melaksanakan siasat ini.
Andaikata apa yg terjadi kemudian diluar dugaanku sehingga kau
tak dapat membaca surat ini, yaa...kita hanya bisa dikatakan takdir
menghendaki demikian.
Sekarang, semua rahasia asal usulmu berada dalam bungkusan
itu, bila benda itu dapat kau terima, anggaplah aku sibungkuk dapat
memberikan pertanggungan jawabnya.
Selesai membaca tulisan ini, kau jangan emosi dan tak usah
melakukan perbuatan ceroboh yg bisa menimbulkan amarah umat
persilatan, cukup selidikilah otak dibelakang layar yg mendalangi

semua peristiwa tersebut, dg begitu kau akan menghibur arwah
kedua orang tuamu dialam baka.
Nah, aku tak ingin membuang waktumu lagi, akhirnya aku dapat
memberitahukan kepadamu, asal usulmu sudah menjadi jelas dalam
dunia persilatan, saat itulah merupakan waktu kita untuk bersua
kembali.
Tertanda : Thio Bungkuk “
Selesai membaca tulisan tersebut, Kho Beng menjadi terkejut
bercampur gembira, cepat-cepat dia mengambil bungkusan tersebut
dan membukanya.
Ternyata isi bungkusan itu adalah sebuah kain putih dan sebuah
baju penuh noda darah.
Kain putih itu sudah menguning, jelas benda tersebut sudah lama
tersimpan, sedang diatasnya terlihat beberapa tulisan yg dibuat dg
darah, isinya adalah sebagai berikut:
“Tahun Ka sang, anak Beng persis berusia satu tahun ketika
serombongan jago menyerbu perkampungan gara-gara kitab Thian
goan bu boh, segenap jago perkampungan yg memberikan
perlawanan tewas tertumpas musuh. Daam gawatnya kuserahan
putra putriku kepada mak inang nyonya Hee dan pelayan Kho Po
koan untuk melindungi nyawanya serta melarikan diri.
Moga-moga Thian maha pengasih dan melindungi anak
keturunanku ini, jika mereka dapat lolos dari maut, masing-masing
telah diberi sebuah tanda sebagai tanda pengenal mereka setelah
dewasa nanti. Dikemudian hari yg perempuan harus selalu emakai
bunga seruni putih diatas sanggulnya, empat musim bunga tersebut
tak boleh dirubah, sedang yg lelaki mempunyai lencana Liong pit dan
panji kebesaran.
Bagaimana nasib putra putriku dimasa mendatang, biarlah Thian
yg menentukan, anggap suratku ini sebagai pesan yg terakhir,
Tertanda : Kho Bun sin
Pemilik Hui im ceng “
Setelah membaca tulisan ini, pucat pias wajah Kho Beng, hampir
saja ia menangis tersedu, sekarang dia baru tahu ternyata dia
memang putra Kho Bun sin, majikan dari perkampungan Hui im
ceng.
Jilid 07

Dalam sedihnya dia mengeluarkan pula baju darah yg penuh dg
noda darah hitam itu, diatas baju itupun tertera beberapa huruf yg
berbunyi demikian:
“Aku adalah Hee si, mak inangmu, sebelum menemui ajal
kuberitahukan kepadamu, sekalipun kau hidup dalam
kesederhanaan, tapi jangan lupa bahwa dirimu adalah sau cengcu
dari perkampungan Hui im ceng, putra kesayangan dari Kho Bu sin,
pendekar besar yg namanya menggetarkan seluruh dunia persilatan.
Biarpun dendam kesumat sedalam lautan tak bisa dituntut balas,
kau harus beristri dan punya anak keturunan sebagai kelanjutan dari
keturunan keluargamu…
Ketika membaca sampai disini, Kho Beng merasakan darah yg
mengalir didalam tubuhnya mendidih, bibirnya digigit kencang,
setitik darahpun bercucuran membasahi ujung bibirnya.
Sekalipun Ko Po koan adalah pelayan keluargamu namun dalam
kenyataan dia mempunyai hubungan yg lebih akrab daripada
sesama saudara dg ayahmu, untuk menyelamatkan jiwa kalian
berdua, dia telah mengorbankan putra putrinya demi keselamatan
kalian, dia memerintahkan putrinya membopong puta putri sendiri
untuk memancing perhatian jago sementara kalian telah dibawa
kabur dg selamat….
Mambaca sampai disini, tanpa terasa pemuda itu teringat kembali
dg kematian yg menimpa Kho Po koan dalam perkampungan Hui im
ceng tempo hari.
Ia menjadi sedih sekali, sehingga hampir saja menangis tersedusedu,
namun dg sekuat tenaga pemuda itu menahan diri, dg mata
yg berkaca-kaca dia membaca surat wasiat tersebut lebih jauh…
…Oleh sebab itu kau sama artinya dg memikul dendam kesumat
dua keluarga, baik-baiklah menjaga diri setelah dewasa nanti.
Untuk menempuh perjalanan jauh tanpa berhenti, ditambah pula
setiap hari dicekam rasa takut dan ngeri, jiwa dan semangat
akhirnya runtuh dan hancur, sekalipun kami berhasil lolos dalam
keadaan selamat…..
Tulisan tersebut terhenti ditengah jalan, jelas mak inang yg setia
ini baru menemui ajalnya sebelum sempat menyelesaikan tulisannya
itu.
Kini segala sesuatunya telah menjadi jelas, bila teringat kembali
dg pemberian uang dan surat dari Li sam yg belum pernah
ditemuinya itu, serta ulah Kho Po koan yg menyaru jadi setan

diperkampungan Hui im ceng, nyata sekali kalau kesemuanya ini
mempunyai hubungan yg erat sekali dg dirinya.
Rasa sedih dan terkejut membuat Kho Beng termangu-mangu
entah berapa lamanya.
Ia merasa dirinya begitu mengenaskan dimasa lalu, betapa tidak,
selama delapan belas tahun hidup tanpa mengetahui asal usul
sendiri, baru sekarang segala sesuatunya menjadi jelas kembali.
Teringat akan kehidupannya selama delapan belas tahun, tanpa
terasa dia teringat dg ketua Sam goan bun, Sun Thian hong yg telah
memeliharanya selama ini, tanpa terasa dia berpikir kembali:
“Mengapa dia tidak memberitahukan kesemuanya ini kepadaku?
Atau mungkinkah diapun turut ambil bagian dalam pembunuhan
berdarah itu?”
Dalam waktu singkat dia terbayang pula dg peristiwa yg dialami
setengah tahun berselang, andaikata Thio bungkuk tidak
memintakan ampun, niscaya tangan kanannya sudah kutung.
Tanap sadar pemuda itu berpikir lebih jauh:
“Hmmmm, dia tahu secara pasti bahwa aku gemar belajar silat,
namun engga mewariskan kepadaku, diapun berusaha keras
menghalangi niatku untuk membongkar kuburan, kalau begitu dia
juga yg memaksa Thio bungkuk cianpwee untuk meninggalkan
perkampungan Cui wi san ceng serta berusaha memutuskan
pengharapanku untuk mengetahui asal usulku yg
sebenarnya....bukankah kesemuanya membuktikan kalau dia
mempunyai dendam dgku atau paling tidak terlibat peristiwa ini?”
Berpikir sampai disitu, Kho Beng tak sanggup mengendalikan diri
lagi, dg cepat dia masukkan baju berdarah, kain putih serta surat
peninggalan Thio bungkuk kedalam sakunya, setelah itu memapas
kutung baru nisan didepan kuburan dan meninggalkan tempat
tersebut dg cepat, langsung menuju keperkampungan Cui wi san
ceng.
Siapa sangka baru saja dia siap melompat naik keatas wuwungan
rumah, mendadak tampak sesosok bayangan manusia meluncur
datang dan berdiri dihadapannya.
Waktu itu Kho Beng telah diliputi perasaan gusar yg membara,
dalam kagetnya dg cepat dia melintangkan pedangnya didepan dada
lalu mengawasi lawannya dg seksama.
Ternyata orang itu tak lain adalah Nyoo to li yg bahunya kini
dibalut kain putih.

Sambil tertawa dingin ia segera menegur dg suara dalam:
“Ooooh, rupanya saudara Nyoo yg menunggu kedatanganku dg
membawa luka, apakah kau berniat menghalangi usahaku memasuki
perkampungan ini?”
Nyoo to li tertawa getir dan menggelengkan kepalanya berulang
kali, sahutnya:
“Harap saudara Kho jangan salah paham, suhu sudah tahu kalau
kau pasti datang kembali oleh sebab itu sengaja menitahkan
kepadaku untuk menanti.”
“He...he.....he...” Kho Beng segera tertawa dingin, “Kalau tadi
gurumu sudah melaksanakan siasat menyiksa diri sekarang siasat
apa pula yg hendak dilakukan?”
Padahal pemuda inipun tidak habis mengerti mengapa ketua Sam
goan bun memerintahkan anak buahnya saling melukai.
Terdengar Nyoo to li menghela napas panjang:
“Aaaai...tampaknya kesalah pahamanmu sudah terlalu
mendalam, sebetulnya perbuatan suhu bukan ditujukan kepadamu,
dikemudian hati kau bakal mengetahui dg sendirinya.”
Selesai berkata dia lantas membalikkan badan dan melayang
turun dari wuwungan rumah, kemudian tanpa berhenti dia
melangkah masuk kedalam perkampungan.
Kho Beng sendiripun telah mengambil keputusan untuk
menjadikan Sun Thian hong, ketua dari Sam goan bun ini sebagai
sasaran pertama dalam usaha penyelidikannya, oleh sebab itu
diapun tidak banyak berbicara dan mengikuti dari belakang dg mulut
membungkam.
Sepanjang jalan, dg sinar mata yg tajam dia memperhatikan
terus keadaan disekelilingnya, kewaspadaan ditingkatkan, dia tak
ingin sampai dipecundangi musuh.
Setibanya dihalaman keempat, dimuka rumah kediaman
ciangbunjinnya, Nyoo to li berhenti dan mengetuk pintu.
Tapi sebelum pintu sempat dibuka, Kho Beng dg sekali
tendangan telah mendobrak pintu serta menyerbu masuk kedalam
ruangan.
Tampak olehnya ketua sam goan bun itu duduk bersila diatas
sebuah pembaringan dg wajah serius tapi tenang, saat itu dia
sedang mengawasi anak muda tersebut tanpa menunjukkan sesuatu
reaksi.

Dg langkah cepat Kho Beng memburu kehadapannya dan
menempelkan ujung pedang diatas tenggorokan Sun Thian hong,
setelah itu bentaknya:
“Sun Thian hong! Aku tak ingin banyak berbicara, aku harap kau
sendiri yg mengungkapkan semua peristiwa tersebut dg sejujurjujurnya....”
Tampaknya Sun Thian hong sudah tidak memikirkan mati hidup
sendiri sama sekali tidak terpengaruh oleh gertakan tersebut, malah
ujarnya dg tenang:
“Kau telah berhasil membongkar kuburan, asal usulmu juga telah
menjadi jelas, apalagi yg mesti kukatakan?”
Dg suara yg menyeramkan Kho Beng segera tertawa dingin:
“Terlalu banyak persoalan yg tidak kupahami, jika aku bermaksud
tak mengetahui sampai jelas, mungkin batok kepalamu sekaran telah
berpisah dg badan.”
“Ooooh, tampaknya kau telah menganggap diriku sebagai musuh
besarmu....?” tegur Sun Thian hong dg tenang.
Kho Beng tertawa seram:
“Kalau tidak menganggap bajingan tua macam kau sebagai
musuh besarku, memangnya aku mesti menganggapmu sebagai
teman atau angkatan yg lebih tua?”
“Kho Beng” Sun Thian hong segera menegur dg wajah serius,
“Bagaimanapun juga aku telah memeliharamu selama delapan belas
tahun….”
“Tapi kaupun telah membohongi aku selama delapan belas
tahun” tukas Kho Beng cepat, “Aku ingin tahu apa sebabnya kau
merahasiakan asal usulku hingga sekarang?”
Sekujur badan Sun Thian hong gemetar keras, tapi setelah
menghela napas panjang, katanya:
“Aku berniat untuk melenyapkan sebuah badai pembunuhan yg
mengerikan dari dunia persilatan, ketahuilah bila balas membalas
berlangsung terus, maka dunia persilatan tak akan pernah
mengalami kedamaian…”
Kho Beng tertawa seram:
“He….he….he….perkataanmu itu kedengarannya menarik hati,
siapa tahu kau masih mempunyai tujuan lain? Kau kuatir Kho Beng
melakukan pembalasan dendam bukan?”
Sun thian hong tersenyum, tiba-tiba ia balik bertanya:

“Coba pikirkan persoalan ini dg kepala dingin, bila berniat
membunuhmu, bukankah hal ini lebih baik kulakukan disaat kau
masih orok dulu?”
Kho Beng tertegun sejenak, kemudian serunya:
“Siapa tahu kau tak berani melakukannya waktu itu?”
“Mengapa aku tak berani?”
“He….he….he….bukankah waktu itu si Unta sakti locianpwee juga
hadir disana?” jengek Kho Beng sambil tertawa dingin.
“Betul disaat mak inang pengasuhmu sampai diperkampungan,
dia memang hadir pula disini.”
Sebetulnya Kho Beng hanya bermaksud melakukan penyelidikan,
siapa tahu apa yg diduga ternyata benar, sambil tertawa dingin ia
berkata:
“Kau anggap si Unta sakti locianpwee akan membiarkan dirimu
berbuat kejahatan dg seenaknya?”
“Aku dapat memberitahukan kepadamu waktu itu si Unta sakti
baru sembuh dari luka dalam akibat keracunan, seandainya aku
berniat membunuhmu hal tersebut dapat kulakukan tanpa
membuang banyak tenaga.”
Karena merasa tak mampu mengunggulinya, hawa amarah Kho
Beng segera memuncak, bentaknya:
“Sekalipun kau pandai bersilat lidah, jangan harap bisa
melenyapkan kecurigaan didalam hatiku, andaikata kau tidak pernah
berbuat kejahatan, mengapa pula kau paksa si Unta sakti locianpwee
sehingga pergi meninggalkan tempat ini?”
“Kau salah menduga, kepergian si bungkuk sama sekali tiada
sangkut pautnya dgku.”
“Lalu ada sangkut pautnya dg siapa?”
Sun Thian hong menghela napas panjang:
“Aku rasa kaupun sudah tahu, dia adalah Bok sian tianglo dari
Siau lim pay.”
Kontan saja Kho Beng tertawa seram.
“Hmmm…kau anggap aku adalah seorang bocah berusia tiga
tahun yg gampang dibohongi?”
“Aku hanya mengucapkan keadaan yg sesungguhnya.”
“Sesungguhnya?” kembali Kho Beng membentak keras,
“hmmm…walaupun tianglo dari Siau lim si mempunyai nama dan
kedudukan terhormat, namun dia bukan ketua dari Sam goan bun,
andaikata dia tidak bersekongkol dg tuan rumah sebagai tamu,

apakah dia berani berbuat semena-mena? Apakah dia tak kuatir
diusir?”
Sun Thian hong menghela napas panjang:
“Kau belum lama terjun kedalam dunia persilatan, tentu saja
tidak memahami situasi dunia persilatan yg sebenarnya, ketahuilah
semenjak perguruan kami kehilangan tiga jurus ilmu pedang yg
paling diandalkan, selama tiga generasi ini nama kami sudah dicoret
dari urutan tujuh partai besar, daya pengaruh kamipun bertambah
lemah, seandainya aku tidak menjaga diri baik-baik dan mengurangi
ruang gerak kami, mungkin perkampungan Cui wi san ceng sudah
sejak lama tidak bisa dipertahankan lagi.”
“Kau memang tak malu menjadi seorang ciangbunjin, tak nyana
kau bisa membantah dg mempergunakan kata-kata yg begitu tak
bersemangat.”
Dg wajah serius Sun Thian hong berseru:
“Biarpun aku hidup dalam kesempitan, tapi bukan berarti mau
diperintah orang lain.”
“hmmm..bukannya jawabanmu ini menjadi mencle-mencle tak
karuan….?”
“Sesungguhnya kepergian sibungkuk secara tiba-tiba dikarenakan
alasan lain.”
“Apa alasannya?”
“Bok sian tianglo mendesaknya agar mengungkapkan identitasmu
yg sebenarnya, tapi sibungkuk selalu menolak untuk menjawab,
akhirnya peristiwa tersebut menyebabkan terjadinya pertarungan
diantara mereka berdua.”
“Kau sebagai tuan rumah, mengapa tak berusaha melerai?” tanya
Kho Beng sambil tertawa dingin.
Sun Thian hong menghela napas panjang:
“Waktu itu tiada tempat untuk turut berbicara.”
“hmmm, jelek-jelek Sam goan bun termasuk sebuah perguruan,
kalau kau membiarkan orang lain bertempur dirumahmu, apakah
tidak takut hal ini akan menimbulkan tertawaan dari umat
persilatan?”
Sun Thian hong tertawa getir:
“Siau lim pay adalah pimpinan dari tujuh partai, tulang punggung
dari dunia persilatan, aku tak sanggup untuk menghadapi mereka,
sedang sibungkuk orangnya tinggi hati dan keras, apalagi dalam

marahnya, mana mau dia turuti nasehatku? Kecuali berpeluk tangan
belaka, apapula yg bisa kuperbuat.”
“Akhirnya siapa pula yg unggul dan kalah?”
“Sibungkuk kelewat memandang enteng musuhnya, sehingga
menderita kekalahan total.”
“Menang kalah adalah satu persoalan, pergi atau tidak
semestinya adalah persoalan lain.”
“aaai…panjang sekali untuk menceritakan keadaan yg
sebenarnya….”
“Aku tak ingin mendengarkan cerita yg bertele-tele, harap kau
membicarakan yg penting-penting saja.”
“Aku tak terbiasa berbicara seperti itu, lebih baik kau saja yg
mengajukan pertanyaan dan aku menjawabnya.”
Kho Beng berpikir sebentar, kemudian katanya:
“Kalau toh sibungkuk cianpwee hanya terlibat dalam pertarungan
melawan Bok sian tianglo, apa sebabnya dia harus angkat kaki dari
sini?”
Sun Thian hong menghela napas panjang.
“Sibungkuk tidak seharusnya terlalu yakin dg kemampuan sendiri
sehingga termakan oleh siasat memanaskan hati dari Bok sian
tianglo…”
“Bagaimana cara Bok Sian tianglo menggunakan siasatnya?”
“Bok sian tianglo mengusulkan agar mereka saling beradu tenaga
satu kali, dia bertanya kepada sibungkuk apakah berani bertaruh
sebelum bertarung, sibungkuk yg tinggi hati tentu saja menerima
tantangan tersebut.”
“Apa yg mereka pertaruhkan.”
Setelah menghela napas panjang dg suara dalam Sun Thian hong
berkata:
“Pihak yg kalah harus melaksanakan dua permintaan dari pihak
yg unggul, aaai…sungguh tak disangka sembilan bagian tenaga
pukulan Kim khong khi dari sibungkuk ternyata kalah ditangan
sepuluh bagian Bu sian singkanng dari Bok sian taysu.”
“Setelah kemenangan diraih oleh Bok sian taysu, apa yg mesti
dilaksanakan oleh sibungkuk?” tanya Kho Beng tegang.
“Pertama sibungkuk harus mengatakan asal usulmu.”
“Apakah sibungkuk cianpwee telah mengatakannya?” tanya
pemuda itu tegang.
Sun Thian hong manggut-manggut:

“Selama hidup sibungkuk enggan mengingkari janji, setelah dia
berada dipihak yg kalah, tentu saja apa yg dijanjikan harus dipenuhi
olehnya.”
Kho Beng menekan perasaan hatinya, segera sambungnya:
“apa yg harus dilakukan kemudian?”
“Bok sian taysu bertanya kepada sibungkuk, apakah kau sudah
memahami asal usulnya, sibungkuk menjawab hal tersebut belum
sempat dijelaskan kepadamu, maka Bok sian taysu pun minta
kepada sibungkuk untuk meninggalkan dirimu serta tidak bertemu
lagi dgmu untuk selamanya, bahkan pula minta jaminannya.”
“Menurut pendapatmu, sibungkuk terpojok sehingga dia penuhi
semua permintaannya?”
“Itupun tidak .”
“Apakah sibungkuk telah merahasiakan sebagian dari asal
usulku…?” tanya Kho Beng tertegun.
“Sibungkuk tidak merahasiakan apa-apa, tapi ada hal telah
dilakukan secara jitu.”
“Bagaimana jitunya?”
Kedua hal tersebut tidak dijawab oleh sibungkuk dg perkataan
melainkan dg tindakan, terhadap pertanyaan Bok sian taysu yg
pertama sibungkuk hanya menyerahkan sebuah panji Hui im ki leng
kepadanya sambil berkata kepada pendeta tersebut:
“Apa yg ditanyakan taysu semuanya berada disini.” Selesai
berkata diapun tidak memberi penjelasan lagi.”
“Apa itu panji hui im ki leng?” tanya Kho Beng dg wajah tertegun.
“Panji Hui im ki leng adalah salah satu benda yg ditinggalkan mak
inang untuk mu, yakni tanda pengenal ayahmu dimasa jaya dulu.
Tapi berhubung sibungkuk yakin Bok Sian tianglo belum tahu
tentang siasat yg telah dilakukan pelayan keluargamu dg menukar
kalian putra putrinya, maka meskipun dia hanya mengeluarkan panji
tersebut sebagai jawaban, Bok sian taysu sama sekali tidak menaruh
curiga.”
“Jadi menurut pendapatmu, Bok sian taysu sama sekali tidak
mencurigai diriku sebagai putra dari Hui im cengcu?”
“Tentu saja, orang yg mengetahui isi surat wasiat peninggalan
pengasuhmu selain aku dan sibungkuk tiada orang ketiga yg
mengetahuinya. Padahal menurut apa yg diketahui khalayak ramai,
hanya empat orang yg berhasil lolos dari perkampungan Hui im ceng
ketika itu, yakni mak inangmu, Kho Po koan serta putra putrinya.

Waktu itu Bok sian taysu hanya mencurigai dirimu sabagai putra dari
pelayan setia perkampungan Hui im ceng, tentu saja dia tidak
menyangka kalian telah ditukar dan orang lain telah menggantikan
dirimu untuk menerima maut.”
Setelah berhenti sejenak, dia berkata lagi lebih jauh:
“Untuk memenuhi perintah kedua dari Bok Sian taysu, sibungkuk
telah putar otak selama dua hari semalam, sebelum berhasil
menemukan suatu siasat yg sempurna untuk mengatasinya.”
“Maksudmu siasat sibungkuk cianpwee yg menyiapkan kuburan
untuk dirinya sendiri?”
“Benar, membuat kuburan untuk diri sendiri adalah sebagai
jaminan kepada Bok sian taysu bahwa dia akan mentaati janjinya,
tapi dia justru memasukkan semua benda yg kau butuhkan kedalam
peti mati tersebut dg harapan kau bisa menemukannya sendiri, dg
begitu diapun tidak sampai mengingkari janjinya dg dirimu.”
“Kalau toh kau telah mengetahui semua periapannya ini,
mengapa hal tersebut tidak kau jelaskan padaku sejak pertemuan
kita yg pertama..?” tanya Kho Beng sambil berkerut kening.
Sun Thian hong kembali menghela napas panjang
“Disinilah letak kemulyaa hati sibungkuk, dia sadar kekuatan Sam
goan bun sangat minim, dia tak ingin menyeret diriku terlibat pula
dalam pertikaian tersebut, karenanya dia tidak menyuruh aku yg
menyampaikan pesannya kepadamu, tapi menyuruh sikoki Oh
gemuk. Padahal sewaktu kau pergi mencari si Oh gemuk, aku telah
mengetahui semua gerak gerikmu secara jelas, Cuma saja aku tetap
berlagak pilon.”
Kho Beng tertawa dingin:
“Hmmm..tampaknya selain memikirkan keselamatan dari
perguruan Sam goan bun, kau sama sekali tidak menaruh niat jahat
terhadapku?”
“Kalau toh kau sudah memahami perasaanku, tariklah kembali
pedangmu itu?”
Kho Beng mendengus dingin:
“Seandainya kau benar-benar tidak berniat jahat, mengapa pula
kau menghalangi niatku untuk membongkar kuburan?”
“aku sengaja menghalangi niatmu karena aku sedang berusaha
melindungi keselamatan jiwamu, kalau diriku saja tak mampu kau
hadapi, setelah mengetahui asal usulmu sendiri, bukankah hal
tersebut bukannya menguntungkan malah merugikan?”

Sekali lagi Kho beng mendengus:
“Tapi dilihat dari sikapmu memaksa aku turun tangan, rasanya
bukan Cuma bermaksud mencoba saja.”
Sun Thian hong menghela napas panjang:
“Benar, sebelum pergi dari sini Bok sian taysu telah berpesan
kepadaku agar mengawasi gerak gerikmu, diapun memperingatkan
kepadaku, bila aku berani membongkar rahasia kuburan kosong itu,
berarti aku hendak memusuhinya. Sebagai orang yg tetap berada
diluar garis tentu saja aku mesti berusaha untuk memberikan
pertanggung jawaban kepada Bok sian taysu agar dia tidak
menaruh curiga.”
“Waah, kalau begitu kau adalah seorang manusia plin plan yg
berpihak sana sini?” jengek Kho Beng sambil tertawa dingin.
“Aku bukan manusia tak tahu malu, bukankah sudah kau
saksikan sendiri persiapan yg kulakukan? Siasat menyiksa diri yg
kulakukan dg menyuruh anak muridku saling menusuk tak lain
merupakan sebagai usahaku memberikan pertanggungan jawab
kepada Siau lim pay.
“Kau mesti memaklumi keadaanku sekarang, aku hanya bisa
menandingimu secara sungguh-sungguh, jika tidak bagaimana
mungkin orang lain mau percaya? Apalagi dg sikapku ini justru
mendatangkan manfaat dan keuntungan bagimu.”
Sampai disini, Kho Beng baru memahami secara jelas semua
kejadian yg sesungguhnya.
Pelan-pelan dia menarik kembali pedangnya, tapi rasa curiganya
terhadap Sun Thian hong belum hilang sama sekali, katanya lagi
dingin:
“Moga-moga saja sehala sesuatunya hanya merupakan
kecurigaanku sendiri. Kalau toh hanya ciangbunjin dan sibungkuk
cianpwee yg mengetahui asal usulku, darimana tianglo dari Siau lim
si itu bisa memperoleh kabar tentang diriku? Dan lagi mengetahui
juga hubungan sibungkuk dgku?”
Sampai saat inilah ketua Sam goan bun baru dapat
menghembuskan napas panjang, mendengar pertanyaan itu dia
segera menjawab:
“Dalam soal ini aku sendiripun merasa heran, yg lebih aneh lagi
darimana Bok sian taysu bisa menduga kalau kau adalah anak murid
sibungkuk...?”

“Ketika mendengar perkataan tersebut, Kho Beng jadi sangat
terperanjat, segera pikirnya:
“Sewaktu berada diperkampungan Hui im san ceng, pernah
kuungkapkan kalau guruku adalah Unta sakti berpunggung baja,
jangan-jangan mereka berdua yg menyampaikan kabar ini kepada
Siau lim si?”
Ia lantas teringat kembali dg peristiwa lama, dimana sipedang
tanpa bayangan serta sastrawan berkipas kemala telah melakukan
penyelidikan keperkampungan Hui im san ceng ditengah malam.
Lalu teringat pula lenyapnya lencana Siong im giok leng milik Kho
Po koan dan hilangnya kitab pusaka yg disimpan Bu wi lojin,
bukankah kesemuanya ini menunjukkan kalau sipedang tanpa
bayangan serta sastrawan berkipas kemala amat mencurigakan?
Diam-diam ia menghentakkan kakinya sambil tertawa getir,
mimpipun tak pernah disangka bahwa akhirnya dia bahkan siap
menjual nyawa untuk mereka.
Berpikir sampai disitu, dia baru sadar bahwa kecurigaannya
terhadap Sun Thian hong sebenarnya tidak beralasan, maka dg
wajah bersungguh-sungguh katanya:
“Terima kasih banyak atas penjelasan ciangbunjin pada malam
ini, budi kebaikanmu pasti akan kubalas dikemudian hari, aku hanya
berharap, disaat Kho Beng melakukan pembalasan dendam nanti,
harap ciangbunjin tidak melibatkan diri dalam pertikaian itu.
Sun Thian hong menghela napas panjang.
“membangun suatu perguruan adalah sulit, aku sadar kalau tak
punya harapan lagi untuk membangun perguruanku lebih besar, oleh
sebab itu harapanku sekarang tinggal mencari pewaris buat
jabatanku ini, buat apa aku melibatkan diri dalam pertikaian seperti
ini?”
“Ciangbunjin, dapatkah kau jelaskan siapa-siapa saja yg terlibat
dalam penyerbuan dan penumpasan terhadap Hui im ceng pada
masa itu…?”
Sun Thian hong menggelengkan kepalanya:
“Sejak aku menjabat sebagai ketua sam goan bun hingga kini
kami tak pernah tinggalkan pintu perguruan baran selangkah pun,
terhadap musibah yg menimpa gedung kalianpun hanya kudengar
beritanya saja.
Tapi yg pasti musuhmu sangat banyak dan mencakup banyak
dan mencakup banyak perguruan kenamaan, kalau menurut

nasehatku bertindaklah dg hati-hati dan tak usah gegabah, apalagi
kau sudah tahu kalau Siau lim si terlibat didalamnya, tak salah jika
kau lakukan penyelidikan lewat situ, aku yakin tak sulit bagimu untuk
mengetahui duduk persoalan yg sebenarnya.”
Dg jawaban tersebut, sama artinya dia menolak untuk memberi
jawaban.
Dari perkataan tersebut, Kho Beng segera memahami
maksudnya, dia mengerti bahwa Siau lim si mempunyai daya
pengaruh yg besar dan kuat, rasanya sulit untuk mencari urusan dg
mereka, ini berarti lebih baik mencari sasaran lain yg lebih lemah
untuk melakukan penyelidikan tersebut.
Tiba-tiba ia teringat kembali dg sastrawan berkipas kemala,
bukankah orang ini merupakan satu-satunya titik terang yg bisa
digunakan sebagai langkah pertama penyelidikannya?
Berpikir sampai disitu, cepat-cepat dia menjura seraya berkata:
“Kalau memang ciangbunjin merasa keberatan, akupun tak akan
memaksa lebih jauh tapi dapatkah kau memberi petunjuk dimanakah
alamat seseorang?”
“Coba kau sebutkan namanya?”
“Apakah ciangbunjin mengetahui seseorang yg bernama
Sastrawan berkipas kemala?”
Sun Thian hong segera manggut-manggut:
“Sastrawan berkipas kemala Beng Yu berdiam di Hway sang, tak
ada salahnya kau mencari tahu disekitar kota Yang ciu, mungkin
alamatnya segera akan kau temukan.”
“Terima kasih atas pemberitahuanmu dan akupun hendak mohon
diri lebih dulu.” Kata Kho Beng seraya menjura.
Dg cepat dia membalikkan badan dan siap beranjak pergi dari
situ.
Tiba-tiba terdengar Sun Thian hong berkata:
“Aku tak bisa memberi apa-apa kepadamu, hanya kudoakan
semoga kalian kakak beradik dapat segera berkumpul kembali dan
membangun perkampungan Hui im san ceng seperti dahulu.”
Kho Beng sudah hampir melangkah kelar dari pintu ketika
mendengar perkataan tersebut, dg cepat dia menghentikan
langkahnya, sementara perasaan hatinya bergetar keras.
Apakah ada sesuatu yg tak beres dg perkataan dari Sun Thian
hong itu?

Tidak! Tapi kata “Semoga kalian kakak beradik dapat segera
berkumpul kembali” membuat Kho Beng teringat kembali dg kedele
maut, terutama sekuntum bunga putih yg menghiasi sanggulnya.
Bukankah bunga putih tersebut mirip sekali dg bunga putih yg
dipesankan ayahnya dulu?
“Bunga serunai putih menghiasi sanggul, siang malam empat
musim tak pernah berubah…”
Benarkah kedele maut yg menggemparkan dunia persilatan
selama ini sesungguhnya adalah kakak perepuannya?
Penemuan yg mendadak dan sama sekali tak terduga ini segera
membuat Kho beng terperanjat dan gemetar keras saking emosinya.
Dg suatu gerakan cepat pemuda itu berpaling kearah Sun Thian
hong, kemudian serunya:
“Ciangbunjin, apakah kabar tentang kedele maut yg kusampaikan
kepadamu pagi telah kau sebarkan luaskan?”
Ketika melihat perubahan diatas wajah Kho Beng, diam-diam Sun
Thian hong ikut terkejut, berbicara sesungguhnya ia merasa tak
sanggup menghadapi pemuda ini.
Karenanya cepat-cepat dia menjawab:
“Sesudah kau meninggalkan diriku tadi, berita tersebut segera
kusebar luaskan dg mengutus beberapa orang muridku.”
Dg wajah berubah hebat Kho Beng segera membentak:
“Harap ciangbunjin segera menarik kembali berita tersebut.”
Sun Thian hong menjadi tertegun, dg keheranan ia segera
bertanya:
“Apakah ada sesuatu yg tak beres?”
Tentu saja Kho Beng tak ingin menjelaskan kalau kedele maut
sebetulnya adalah enci kandungnya dg keras dia membentak lagi:
“Tidak ada yg tak beres! Aku hanya menyuruh kau menarik
kembali berita tersebut secepatnya.”
Sun thian hong mulai tak tahan dg sikap kasar itu, dg suara
dalam dia berkata pula:
“Kho Beng, berita tersebut telah kusebarkan kemana-mana,
bahkan kujelaskan pula kalau orang yg berhasil menemukan raut
wajah kedele maut adalah kau. Begitu hal tersebut merupakan suatu
pahala besar. Dg begitu bukan saja pihak Siau limsi akan
mengurangi sikap tegangnya dg dirimu, seluruh umat persilatan pun
akan mengetahui jasa mu terhadap dunia persilatan. Ini berarti akan

mempersulit juga niat Siau lim pay untuk menyusahkan dirimu, masa
dalam hal inipun kau menaruh curiga kepadaku?”
Dg perasaan tak sabar Kho Beng berkata:
“Aku tidak butuh segala macam jasa atau pahala, kau tak usah
ribut lagi, cepat kirim orang untuk menghentikan penyebaran berita
tersebut, selain itu akupun minta kepadamu untuk menarik kembali
segenap anggota Sam goan bun yg ditugaskan mengawasi kedele
maut, apakah kau sanggup melaksanakan hal tersebut?”
Mendengar perkataan ini, Sun Thian hong menjadi tertegun.
Tapi bagaimanapun juga jahe makin tua makin pedas, setelah
embayangkan kembali gambaran tentang kedele maut yg
didengarnya dari Kho Beng pagi tadi, kemudian menyaksikan sikap
tegang dari pemuda tersebut, jago tua tersebut segera dapat
menduga apa yg teradi.
Tapi berhubung Kho Beng enggan menjelaskan, Sun Thian hong
pun tak ingin membongkarnya pula, dg nada yg sangat tenang dia
berkata:
“Kalau toh kau tak ingin kulakukan hal tersebut, tentu saja akan
kuturuti kehendakmu itu, Cuma aku kuatir sudah tak sempat lagi.”
“Kenapa tak sempat?” seru Kho Beng sambil melotot.
“Aku telah mengutus tiga orang yg terbagi dalam tiga jurusan
untuk menyampaikan berita tersebut, dua jurusan menuju ke bu
Tong pay dan Siau lim pay, tapi karena perjalanan yg jauh mungkin
juga mereka masih bisa dicegah kembali, tapi yg menuju kearah
Tong ting oh justru paling sukar dikejar sebab jaraknya dekat sekali,
hanya dua ratus li. Sekalipun dikejar belum tentu dapat disusul.’
Kho Beng menjadi sangat gelisah, setelah berpikir sejenak buruburu
katanya:
“Kalau begitu harap ciangbunjin segera mengirim orang untuk
memanggil pulang utusanmu yg pergi ke Bu Tong pay dan Siau lim
pay, sedang aku akan mengejar kearah Tong ting oh.”
Tanpa membuang waktu lagi dia segera melompat keluar dari
pintu dan secepat kilat menuruni bukit.
Fajar telah menyingsing.
Sudah semalam suntuk Kho Beng menempuh perjalanan cepat
tanpa beristirahat, dia tak ingin kakak kandungnya terancam bahaya
gara-gara perbuatannya.

Maka tanpa mengenal lelah, dia menempuh perjalanan terus
tanpa berhenti, begitu tiba dikota dia membeli ransum dan dua ekor
kuda, kemudian meneruskan pengejaran kearah telaga Tong ting.
Tapi setelah melakukan pengejaran seharian, tiba-tiba pemuda
itu jadi tertegun, rupanya karena begitu tergesa-gesa menempuh
perjalanan dia telah lupa untuk menanyakan siapa yg membawa
berita untuk wilayah Tong ting oh dan kemanakah dia mesti
menemukan orang tersebut?
Namun nasi sudah jadi bubur, sekalipun kesal dan murung Kho
Beng tak bisa berbuat apa-apa.
Untung saja dia cukup kenal dg setiap anggota Sam goan bun,
asalkan sebelum orang itu tiba ditelaga Tong ting, dia yakin orang
tersebut pasti dikenalinya.
Namun pemuda tersebut lupa akan satu hal, jika dia mampu
melakukan perjalanan cepat, apakah orang lain pun tak mampu
melakukan hal yg sama?
Apalagi sebelum dia mulai melakukan pengejaran, orang itu
sudah menempuh perjalanan sejauh seratus li lebih, betapapun
cepatnya pengejaran yg dilakukan mana mungkin bisa menyusul
orang tersebut?
Sambil mengayunkan cambuknya, Kho Beng melarikan kudanya
cepat-cepat, satiap kali satu jam lewat, dia segera menukar kudanya
dg kuda yg lebih segar.
Begitu seterusnya sehingga menjelang senja, telaha Tong ting
sudah nampah dikejauhan sana.
Dalam waktu sehari dia telah menempuh perjalanan sejauh dua
ratus li, jarak tersebut boleh dibilang cukup cepat, tapi Kho Beng
tetap merasa kesal dan kecewa.
Sebab sepanjang jalan dia sudah memasang mata baik-baik,
namun tak seorangpun anggota sam goan bun yg ditemukan.
Keadaan sudah semakin jelas, biarpun dia telah berusaha
melakukan pengejaran, namn hasilnya dia masih tetap ketinggalan
satu langkah.
Tiba ditepi telaga Tong ting, kedua ekor kudanya sudah mandi
peluh dan berbuih dari mulutnya, begitu lemas kedua ekor binatang
tersebut sehingga boleh dibilang tak berkekuatan lagi untuk
meneruskan perjalanan.

Demikian pula dg Kho Beng sendiri, seluruh tubuhnya sudah
basah kuyup oleh keringat, napasnya tersengal sengal dan matanya
terasa berat sekali.
Biarpun pemandangan alam disekelilingnya tampak indah dibulan
ketiga ini, Kho Beng sama sekali tak berminat untuk menikmatinya,
sambil mementangkan matanya yg berat dan penat, ia
memperhatikan sekeliling tempat itu penuh rasa tegang dan panik.
“Apa yg harus kulakukan sekarang?” sambil termangu mangu dia
mengawasi kedua ekor kudanya yg tergeletak ditepi jalan itu tanpa
berkedip.
Pertama-tama dia harus dapat menduga lebih dulu kemanakah
tujuan berita yg dikirim ketua Sam goan bun untuk wilayah telaga
Tong ting itu?
Bila hal ini tak dapat terpecahkan, maka sekalipun dia panik dan
bingung pun tak ada gunanya.
Dalam keadaan begini, terpaksa Kho Beng harus beristirahat
sejenak, dia ingin menggunakan kesempatan tersebut untuk
menenangkan kembali pikirannya serta berusaha untuk mencari
jalan guna mengatasi persoalan ini….
Pada saat itulah, tiba-tiba ia mendengar ada suara langkah
manusia berhenti disisi tubuhnya, menyusul kemudian terdengar
seseorang menyapa:
“Hey sobat, kalau kulihat tubuhmu basah oleh keringat dan
kudamu tergeletak kepayahan ditepi jalan, apakah ada suatu berita
penting yg hendak kau sampaikan kemari?”
Dg perasaan tertegun, cepat-cepat Kho Beng membuka matanya
kembali, terlihatlah tiga otang telah berdiri dihadapannya.
Ketiga orang itu rata-rata berusia tiga puluh tahunan, bertubuh
kekar berwajah keren dan berbaju ringkas berwarna kuning, sebuah
ruyung emas bersinar kekuningan memancar ari pinggangnya.
Saat itu mereka dg keenam sorot matanya sedang mengawasi
Kho Beng tanpa berkedip, bila dilihat dari wajahnya yg gelisah
seakan-akan mereka ingin mengetahui sesuatu dg cepat.
Dalam lelahnya Kho Beng merasa pikirannya agak bebal melihat
keadaan tersebut, dia segera berseru:
“Apakah kalian bertiga sedang bertanya kepadaku?”
Melihat hal ini lelaki yg berada ditengah itu segera tertawa
terbahak bahak”

“Ha…ha….ha….walaupun kita tak pernah bersua, umat persilatan
kan bersumber satu, apalagi setelah kami saksikan wajahmu gelisah
bercampur panik, itulah sebabnya secara gegabah kami telah
menegur anda untuk itu harap anda jangan marah atas kecerobohan
kami bertiga ini.”
Setelah mendengar perkataan tersebut, pikiran Kho Beng jga
menjadi sadar, setelah berpikir sejenak ia segera menjadi paham
kembali.
Karenanya dg sikap tegang Kho Beng segera menjawab:
“Benar aku memang membawa berita penting, tapi bolehkan aku
tahu siapa nama anda bertiga?”
Lelaki ditengah itu segera tertawa terbahak-bahak:
“Ha….ha….ha….siaute adalah Kim Han bersama Liat dan Kim Yog
disebut orang sebagai Kim kong sam pian(tiga ruyung raksaa), tapi
orang diwilayah Sam siang memanggil kami Kim toa, Kim ji dan Kim
sam, boleh aku tahu siapa nama anda?”
Kim lotoa mempunyai suara yg lantang sedang ketiga bersaudara
itu sama-sama mempunyai perawakan tubuh yg tingi besar seperti
raksasa, memang sesuai sekali dg nama julukannya.
Sebelum tersenyum, Kho Beng segera menjura, katanya:
“Oooh, rupanya tiga pendekar dari keluarga Kim, selamat bersua,
selamat bersua, siaute Kho Beng.’
Begitu namanya disebutkan, paras muka tiga bersaudara dari
keluarga Kim ini segera berubah hebat, tubuh mereka bergetar keras
dan keenam buah mata mereka bersama mengawasi wajah Kho
Beng tanpa berkedip.
Selang beberapa saat kemudian Kim lotoa baru menjura lagi
seraya berkata dg sikap sangat menghormat:
“Oooh, rupanya anda adalah Kho sauhiap, sejak masih berada
dikota Gak yang tadi, siaute sudah mendengar tentang nama besar
anda yg dikirim dari bukit Kun san, sungguh tak disangka baru saja
namanya terdengar, orangnya sudah tiba, beruntung sekali kami tiga
bersaudara dapat bertemu dgmu secepat ini.”
Berbicara sampai disini, dia segera berpaling kekiri kanan sambil
membentak:
“Loji, losam mengapa kalian tidak segera maju untuk memberi
hormat kepada Kho siauhiap? Mari kita pergunakan kesempatan ini
untuk bersahabat lebih akrab dgnya.”

Kho Beng sangat terkejut setelah mendengar perkataan yg penuh
sanjungan itu, buru-buru dia membalas hormat Kim lotoa sambil
cegahnya:
“Kalian tiga bersaudara tak usah banyak adat...”
Tapi kim loji dan Kim losam telah keburu maju kemuka dan
menjura seraya berkata:
“Kho siauhiap tak usah merendah, kami bertiga bisa berkenalan
dulu dg siauhiap jauh sebelum umat persilatan lain mengenalimu,
boleh dibilang hal ini merupakan suatu keberuntungan dan
kehormatan bagi kami.”
Terpaksa Kho Beng membalas hormat sekali lagi, kemudian dg
berlagak keheranan dia berseru:
“Kita belum pernah bersua, lagipula aku tak pernah berjasa apaapa,
mengapa kalian bertiga menaruh sikap begitu hormat
kepadaku?”
Kim loji segera tertawa terbahak-bahak:
“Ha...ha...ha...sekalipun orang pandai segan menunjukkan
kepandaiannya, namun sikap saudara Kho kelewat merendah, dalam
setengah tahun terakhir ini, ulah si kedele maut sudah cukup
menggetarkan seluruh dunia persilatan dan membuat hati orang tak
pernah tenang, tapi hanya saudara seorang yg berhasil menyelidiki
iblis tersebut serta menyingkap wajah aslinya. Jasamu besar sekali
dan namamu telah menggetarkan selurh dunia persilatan, bukan
hanya kami tiga bersaudara yg menaruh perasaan kagum
kepadamu, aku percaya setiap umat persilatan akan menyanjung
serta menghormatimu...”
Sesungguhnya perkataan ini sangat memabukkan dan bisa
membuat seseorang dalam alam nirwana, tapi bagi Kho Beng,
ucapan tersebut seperti guntur membelah bumi disiang hari bolong,
seketika membuat hatinya tercekat dan senyumannya menjadi getir.
Kenyataan membuktikan bahwa apa yg dikuatirkan selama ini
memang nyata terbukti, anggota Sam goan bun yg ditugaskan
menyampaikan berita tersebut telah tiba lebih dulu guna menyebar
luaskan berita itu kemana-mana.
Ini berarti gerak gerik encinya dikemudian hari akan memperoleh
hambatan yg sangat besar, malah bisa jadi jiwanya akan terancam
bahaya maut.

Sekalipun perasaan Kho Beng saat ini sangat gelisah, namun
perasaan tersebut tidak sampai diperlihatkan diwajahnya, sambil
tertawa paksa segera ujarnya:
“Jihiap terlalu memuji diriku, padahal kejadian tersebut hanya
kuketahui secara kebetulan, jadi bukan atas dasar kemampuan
sendiri, urusan sekecil ini tidak sepantasnya disanjung sanjung.”
Kim Lotoa dan Kim loji telah angkat bicara, maka Kim losam pun
tak tahan ikut menyanjung pula.
“Ha...ha....ha...saudara benar-benar kelewat merendah, padahal
pihak Siau lim si telah menyiapkan Budha emas, pihak Bu Tong pay
menyiapkan panji kebesaran, semuanya itu dihadiahkan bagi para
pendekar yg berjasa. Siapa sih yg tak ingin memperoleh
penghormatan seperti ini? Dan sekarang anda telah mendapat
penghormatan itu, apakah hal ini tak pantas disanjung?
Ha...ha....ha....”
“Tapi siaute sama sekali tidak berharap mendapatkan panji emas
atau perak, aku tidak mengharapkan apa-apa.”
Kim Lotoa jadi termangu, kemudian serunya keheranan:
“Harap anda jangan salah mengerti, Budha emas dan panji perak
bukan saja menjadi lambang penghormatan umat persilatan
kepadanya, juga menjadi lambang rasa hormat dan kagum tujuh
partai besar kepadanya. Dg membawa Buddha emas panji perak
tersebut, kemanapun anda hendak pergi disitulah segala sesuatu
akan tersedia bagimu, bila menghadapi kesulitan macam apapun dg
memperlihatkan kedua macam benda itu, maka semua kesulitan
akan hilang dg sendirinya, kami tiga bersaudara berharap bisa
mendapatkannya pun tak punya kesempatan, masa kau malah
menolak pemberian itu.”
Sekarang Kho Beng baru tahu, rupanya hal tersebut bisa
mendatangkan penghormatan sedemikian tinginya, tak heran kalau
ketua Sam goan bun menyebutnya sebagai suatu pahala besar dan
umat persilatan banyak yg rela mempertaruhkan jiwa raga untuk
mendapatkannya.
Tapi apa yg bisa diperolehnya sekarang? Sekalipun ingin
mendapatkannya pun belum tentu mampu diterimanya.
Rasa masgul dan kesal yg menyelimuti perasaan hatinya
sekarang sungguh tak terlukiskan dg kata-kata, cepat-cepat dia
mengalihkan pembicaraan tersebut kesoal lain, katanya:

“Sudah setengah harian lamanya kita berbicara, tapi hampir saja
melupakan suatu persoalan penting, boleh aku tahu saat ini anggota
Sam goan bun yg bertugas menyampaikan berita itu berada
dimana?”
“Sebenarnya siauhiap telah membawa berita apa lagi?” Kim lotoa
segera bertanya dg perasaan tegang.
Kho Beng segera menggeleng.
“Dijalanan banyak telinga dan mata, tak baik kita bicara ditempat
semacam ini.”
Kim loji segera manggut-manggut.
“Ya betul! Bagaimana kalau kita pergi kerumah makan Ui hok lu
didepan sana...”
Kho Beng jadi tertegun.
“apakah Ui hok lo bukan tempat umum yg lebih terbuka dg aneka
macam manusia? Mau apa kita kesana?”
Kim Losam tersenyum.
“Tampaknya Kho Siauhiap masih belum tahu tentang duduk
persoalan yg sebenarnya, kini segenap umat persilatan yg sedang
mencari jejak iblis tersebut telah berkumpul semua ditelaga Tong
ting ini dg mengangkat Liong kiong siancu Kiong Ceng san loya cu
dari Kan san sebagai pimpinan sambil melanjutkan usahanya
mencari jejak iblis tersebut. Hari ini sudah mencapai hari ketiga,
kiong tayhiap sengaja menjadi tuan rumah borong rumah makan Ui
hok lo tersebut, selain untuk menjadi tuan rumah yg baik hingga
bisa menjamu sesama rekan persilatan dg sebaik-baiknya, disamping
itu juga bisa digunakan sebagai tempat bertukar pendapat, kami
justru sedang mendapat tugas untuk menerima tamu sebelum
bertemu dg siauhiap secara kebetulan tadi.”
Dg perasaan terperanjat buru-buru Kho Beng berseru:
“Jadi semua rekan persilatan telah berkumpul diwilayah ini,
apakah kalian telah menemukan sesuatu.”
Kim Lotoa menghela napas panjang, katanya:
“Lima hari berselang, Tui hun jit kiau(tujuh keahlian pengejar
nyawa) Cia tayhiap telah menemui ajalnya dikota Gak yang, oleh
sebab itu Siau lim tianglo yg bertanggung jawab dalam soal ini
segera menurunkan perintah agar segenap umat persilatan
berkumpul disekitar telaga Tong ting dan kota Gak yang sembari
melakukan pengepungan, dg cara demikian diharapkan si kedele

maut segera akan unjukkan diri, sehingga berita yg anda kirim boleh
dibilang tiba tepat pada saatnya, nah silahkan.”
Kho Beng semakin gelisah lagi setelah mendengar perkataan itu,
dia tak mengira kalau peristiwa tersebut akan berkembang sampai
begini, tak heran kalau ketua Sam goan bun mengirim utusan
khusus ke telaga Tong ting.
Namun segala urusan menjadi gawat dan amat mendesak untuk
beberapa saat pun dia tak berhasil menemukan cara terbaik untuk
menanggulangi kejadian tersebut, sampai-sampai berita penting yg
semula telah dipersiapkan secara matangpun sekarang jadi bubar
tak karuan.
Ya, hal ini memang bisa dimaklumi, persoalannya sudah
menyangkut keselamatan jiwa kakak kandungnya tapi semakin dia
panik, pikirannya semakink alut dan tak mampu dikonsentrasikan
kembali, otomatis diapn tak berhasil menemukan suatu jalan
keluarnya.
Sementara itu tiga ruyung raksasa telah mempersilahkan Kho
Beng untuk berjalan didepan sedang mereka bertiga mengiring
disampingnya, melihat rumah makan Ui hok lo kian lama bertambah
dekat, hampir saja Kho Beng kabur dari situ agar bisa berpikir secara
tenang.
Tapi dia mengerti, keadaan dan kondisi tidak mengijinkan dia
berbuat begini, terpaksa dia melompat langkahnya dg sengaja, agar
waktu yg tersisa itu dapat dimanfaatkan untuk mencari jalan keluar.
Betapapun panjangnya jalan yg harus dilalui, akhirnya bakal
habis juga, apalagi jarak sejauh seratus kaki sebetulnya dekat sekali.
Akhirnya Kho Beng melangkah masuk kedalam pintu gerbang
rumah makan Ui hok lo, pakaiannya yg kering terhembus angin kini
basah lagi oleh keringat.
Tapi yg mengalir sekarang bukan keringat panas melainkan
keringat dingin karena dia kelewat tegang dan gelisah.
Meski begitu diapun berhasil juga menemukan dua cara terbaik
untuk menangulangi dua kemungkinan yg terjadi.
Setelah masuk kepintu gerbang Ui hok lo, Lo sam dari tiga
ruyung raksasa dg memburu masuk lebih dulu kedalam ruangan.
Menanti Kho Beng sudah naik ketangga, terdengar suara Kim
losam berseru lantang:
“Cianpwee dan rekan-rekan sekalian, Kho siauhiap yg berhasil
menemukan jejak iblis itu sudah tiba dibawah loteng ini, kini ia

ditemani toako dan jiko ku, siaute sengaja mengabarkan dulu
sehingga kita dapat memberikan sambutan yg meriah.”
Perkataan itu diucapkan dg penuh rasa bangga dan gembira
seakan-akan bisa berjalan bersama Kho Beng sudah merupakan
suatu kebanggaan baginya.
Menanti Kho Beng mencapai ujung loteng, tampaklah lima
puluhan jago yg berada dalam ruangan tersebut seretak telah
bangkit berdiri untuk memberikan sambutannya.
Sambutan yg begitu meriah dan diluar dugaan ini benar-benar
mengejutkan Kho Beng, sekalipun dia sudah mempunyai gambaran
sebelumnya dari pembicaraannya dg ketiga ruyung raksasa tersebut.
Dibawah sinar lentera yg terang benderang menerangi seluruh
ruangan, ditengah ruangan sudah disediakan enam buah meja
perjamuan. Laki perempuan, tua muda meski tidak menunjukkan
sikap yg sama ada yg menatap ada juga yg berdiam, ada yg gagah
tapi ada juga yg tenang, naun sorot mata mereka rata-rata tajam
seperti sembilu.
Dari sini dapat diketahui bahwa sebagian besar yg hadir adalah
jago-jago persilatan kelas satu yg memiliki kepandaian silat amat
tinggi didalam dunia persilatan.
Tampak seorang kakek bermuka merah berjenggot panjang yg
duduk dimeja tengah segera menjura kepada Kho beng sambil
tertawa terbahak-bahak, kemudian serunya:
“Baru siang hari tadi beritanya tiba, kini orangnya sudah mncul,
siauhiap benar-benar naga diantara manusia, mewakili segenap
umat persilatan yg hadir kuucapkan salut dan kegembiraan kami
untuk menyambut kedatangan anda.”
Kim Lotoa yg berada disisinya segera menyela:
“Siauhiap, cianpwee ini adalah Liong kiong sincu, Kiong tayhiap
dari Kun san yg termasyur diseantero jagat.”
Kho Beng segera menjura pula kepada kakek itu sambil sahutnya:
“Kiong locianpwee terlalu memuji, padahal menyelidiki jejak iblis
sudah menjadi kewajiban dari kita umat persilatan, janganlah
bersikap begitu menghormat, aku yg muda menjadi rikuh
rasanya....”
Kemudian sambil menjura kepada kawanan jago lainnya, ia
berkata pula:
“Silahkan cianpwee sekalian melanjutkan daharnya, maaf bila
kehadiran aku yg muda telah mengganggu kegembiraan kalian.”

Lima puluhan jago persilatan itu segera membalas hormat,
suasana menjad gaduh.
Sambil tertawa tergelak kembali Kiong Ceng san berkata:
“Bagus, bagus sekali, meski membuat pahala namun tidak
sombong, memang begitulah ciri sejati dari seorang pendekar muda,
mari kita siapkan tempat duduk buat Kho siauhiap, aku mesti
menghormatinya dg tiga cawan arak.”
Seruan tersebut segera disambut dg kerepotan sangat, para
pelayan segera menyiapkan kursi sumpit dan cawan, sementara para
jago yg duduk dimeja utama sama-sama bergeser untuk
meluangkan sebuah tempat kosong.
Tiga ruyung raksasa segera mempersilahkan Kho Beng enempati
meja perjamuan utama, persis duduk bersebelahan dg Liong kiong
sincu, sementara mereka sendiri duduk diluar lingkaran meja
perjamuan yg tersedia.
Situasi seperti ini tentu saja amat mengejutkan Kho Beng, sampai
dia menjadi tegang sekali.
Sejak kecil dia sudah hidup terlantar dan menyendiri, setelah
terjun kedalam dunia persilatan, diapun belum pernah menjumpai
keadaan seperti ini, terutama sanjungan serta penghormatan seperti
yg begini tinggi.
Apalagi setelah dia saksikan pembagian tenpat duduk berbentuk
bunga bwee itu, sekalipun sepintas lalu tak nampak perbedaannya,
namun dalam kenyataan pembagian dalam tingkatan kedudukan
dilakukan sangat telit.
Seperti halnya dg tiga ruyung raksasa, mereka hanya kebagian
tempat duduk diurutan paling bawah dekat mulut tangga, jelas
menunjukkan kalau kedudukan mereka adalah tingkat paling rendah
diantara para jago yg hadir.
Padahal saat ini dia duduk dikursi utama, hal ini menunjukkan
kalau dia sangat dihormati,
Jilid 08
Apa sebabnya dia bisa peroleh penghormatan setinggi ini? Tak
perlu ditebak pun sudah jelas. Hal ini disebabkan Kho Beng berhasil
membongkar kedok rahasia daei si Kedele Maut hingga membuat
sebuah pahala besar.

Atau dg kata lain dialah yg kemungkinan besar akan
mendapatkan Buddha Emas dari Siau lim pay dan panji perak dari Bu
tong pay, jelas masa depannya amat cemerlang.
Tapi siapa pula yg menduga bahwa sesungguhnya Kedele Maut
adalah kakak kandung Kho Beng sendiri?
Kho Beng yang berada dibawah perhatian beratus mata benarbenar
merasa sangat tidak tenang, bagaikan duduk dikursi berjarum,
dia tidak bisa melukiskan bagaimanakah perasaannya waktu itu.
Ketika melihat Kiong ceng san menghormatinya dg arak, meski
Kho Beng tak pandai minum, dalam keadaan demikian dia memang
perlu meminjam pengaruh alkohol untuk membangkitkan
semangatnya, maka tanpa berpikir panjang dia meneguk tiga cawan
arak dan membalas dg tiga cawan pula.
Setelah enam cawan masuk keperut, mukanya mulai merasa
panas dan semangatnya berkobar pula, tapi ketika jago lain ikut
menghormatinya dg arak, pemuda itu mulai mengeluh.
Bila ditolak hal ini berarti tidak menghormati orang lain, jika tidak
ditampik, ia pasti akan mabuk padahal keselamatan jiwa encinya
sedang terancam…
Untunglah disaat inilah tiga ruyung raksasa dapat menyelamatkan
Kho Beng dari kesulitan.
Buru-buru Kim lotoa berdiri seraya berkata:
“Para cianpwee dan saudara sekalian, baru saja Kho siauhiap tiba
disini, sewaktu ditemukan kedua ekor kudanya sudah roboh dan
siauhiap sendiri mandi peluh, konon ada berita yang lebih penting
lagi hendak disampaikan, aku rasa kita tidak boleh menunda-nunda
kesempatan siauhiap untuk berbicara.
Ternyata perkataan tersebut segera mendatangkan hasil yg luar
biasa, diiringi seruan kaget para jago bersama-sama menghentikan
perbuatannya dan duduk kembali dg wajah tegang.
Dibawah perhatian begitu banyak orang, seketika itu juga Kho
Beng merasakan tekanan yg sangat berat, buru-buru dia berkata:
“Yaa, hampir saja aku melupakan suatu persoalan besar padahal
sejak pagi tadi aku menyusul kemari dg menggunakan dua ekor
kuda secara bergantian dg menempuh perjalanan sejauh dua ratus li
lebih, sebetulnya ada berita tentang Kedele Maut yg hendak
kusampaikan...”
Begitu perkataan tersebut diucapkan, seruan kaget kembali
bergema memenuhi seluruh ruangan.

Sekali lagi paras muka Liong kiong sincu Kiong ceng san berubah
hebat, segera tanyanya:
“Apakah kau berhasil mendapatkan penemuan baru?”
Dg berlagak serius Kho Beng berkata:
“Pagi tadi aku telah mendapat serangan gencar, pihak lawan dg
segenggam kedele yg dusebarkan seperti bunga hujan mengancam
tubuhku dg hebat, andaikata aku tidak tahu diri dan pandai
menunggang kuda, mungkin jiwaku telah melayang sejak pagi tadi.”
Dg wajah berubah hebat Liong kiong sincu berseru tertahan:
“Kau mengatakan si Kedele Maut telah menyergapmu?”
Kho Beng manggut-manggut.
“Yaa, yg kumaksudkan memang Kedele Maut, disamping itu
akupun perlu menerangkan kepada cianpwee sekalian bahwa Kedele
Maut telah muncul dg wajah aslinya, ternyata dia adalah seorang
peempuan berambut hitam yg berusia tiga puluhan dan bermuka
jelek seperti kuntil anak, sebaliknya dua perempuan yg meski
berparas agak lumayan namun dandananya justru kebanci-bancian,
mirip sekali dg bocah bodoh…”
Keterangan bohong yg diutarakan olehnya ini segera
menimbulkan seruan kaget daris seluruh jago yg ada.
Tak tahan lagi Liong kiong sincu berseru:
“Menurut utusan yg dikirim dari Sam goan bun dijelaskan bahwa
Kedele Maut adalah seorang nona berusia dua puluhan berwajah
cantik jelita dan menggunakan payung sebagai senjata, sedang dua
orang dayangnya menggunakan ikat pinggang perak, apakah utusan
dari Sam goan bun telah salah menyampaikan…?
“Tidak, berita dari utusan Sam goan Bun memang begitulah
keterangannya.”
“Lalu apa sebabnya wajah kedele maut bisa berubah lagi?” tanya
Liong kiong sincu tak habis mengerti.
“Menurut dugaanku, bisa jadi Kedele maut yg kujumpai untuk yg
pertama kalinya dikota Tong sia tempo hari adalah wajah
penyamaran mereka.”
Mendengar keterangan tersebut, Liong kiong sincu segera
menghela napas panjang:
“Aaaai, kalau begitu pengepungan kita yg ketat disekitar Gak
yang dan telaga Tong ting kembali akan sia-sia belaka?”
“Kiong tayhiap jangan keburu putus asa!” mendadak dari sisi Kho
Beng berkumandang seruan yg berat tapi penuh bertenaga.

Cepat-cepat Kho Beng berpaling, ternyata sipembicara adalah
seorang pendeta tua beralis mata putih yg waktu itu sedang
mengawasi kearahnya dg pandangan tajam.
Kho Beng sangat terkejut setelah menghadapi kejadian ini, dia
tak tahu siapakah pendeta tua ini sebab Kiong ceng san belum
sempat memperkenalkan kawanan jago itu satu persatu kepadanya.
Yg membuat dia tak tenteram adalah ketajaman mata sang
pendeta yg ibarat pisau tajam siap menyayat hatinya itu, pandangan
semacam itu terasa tajam dan menggidikkan hati.
Dia seakan-akan mencurigai Kho Beng tapi seperti juga sedang
mencari sesuatu dari tubuh pemuda tersebut, pokoknya pandangan
tersebut mengartikan banyak sekali tapi justru karena banyak
mengandung maksud hingga pada hakekatnya susah dicernakan dg
begitu saja.
Satu ingatan dg cepat melintas dalam benak Kho Beng, pikirnya:
“Mungkinkah dibalik keteranganku tadi terdapat titik
kelemahannya? Ataukah mungkin dia sudah mengetahui
rencanaku?”
Sementara dia termenung, pendeta tua itu sudah berkata dg
suara dalam:
“Siau sicu banyak hal yg tidak kupahami, bersediakah sicu
memberi keterangan?”
“Tentu saja, silahkan taysu bertanya?”
“Darimana siau sicu bisa mengatakan bahwa orang yg
menyerangmu pagi tadi adalah si kedele maut?”
Terhadap pertanyaan semacam ini Kho Beng memang telah
menyiapkan jawabannya, maka sambil tersenyum segera jawabnya:
“Dalam dunia persilatan dewasa ini, selain Kedele Maut, siapa
pula yg menggunakan biji kedele sebagai senjata rahasianya?
Apalagi sekalipun wajahnya telah berubah namun senjata yg
digunakan tetap berupa payung bulat, kalau tidak mana berani
kukatakan seyakin ini?”
Pendeta itu segera manggut-manggut, dia kembali berkata:
“Perkataan itu benar juga, apalagi jika dilihat dari tindakan Kedele
Maut yg melanggar kebiasaannya dg menyerangmu disiang hari,
jelas kalau dia telah berniat membunuhmu, hanya saja masalah yg
ingin kuketahui adalah atas dasar apa sicu dapat mengatakan secara
yakin bahwa kedele maut yg kaujumpai hari ini adalah wajah aslinya

sedang wajah yg kau jumpai dikota Tong sia adalah wajah palsu
hasil penyaruannya?”
Dg cepat Kho Beng telah menyadari akan kelihaian si pendeta tua
ini, sebab setiap pertanyaannya boleh dibilang seperti pisau tajam yg
langsung menusuk ulu hati, andaikata ia tidak melakukan persiapan
secara matang sudah pasti semua kebohongannya akan terbongkar.
Maka dg wajah yg kalem dia menjawab:
“Memang sangat beralasan bila taysu mengemukakan
kecurigaannya, tapi aku bisa berkata demikian karena berdasarkan
dua buah kesimpulan yg kubuat.
Pertama, kejadian yg berlangsung pada hari ini terjadi dipagi
hari, aku dapat melihat wajahnya dg lebih jelas, terbukti pihak lawan
memang tidak mengadakan penyamaran karena kulit wajahnya
sewarna dg kulit tangannya, jadi dia tidak mungkin memakaii kedok,
sebaliknya dikota Tong sia, hal itu terjadi tengah malam, segala
sesuatu yg terlihat sukar dipastikan kebenarannya.
Dg dua kali perjumpaan dalam saay yg berbeda serta bentuk yg
berbeda pula, maka setelah kupikirkan kembali secara masak-masak,
akhirnya kusimpulkan penampilannya pagi tadi barulah merupakan
wajah aslinya.
Kedua, biarpun dalam dua kali perjumpaan ia muncul dg dua
wajah yg berbeda, semua senjata yg digunakan tak berubah, sedang
jumlah mereka yg bertiga satu majikan dua dayang pun tak berbeda
pula, ditambah lagi nada perkataannya sewaktu hendak
membunuhku, sudah pasti dia adalah Kedele Maut. Nah, atas dasar
dua hal inilah kusampaikan beritaku tadi. Apakah taysu masih ada yg
tidak jelas?”
Pendeta tua itu terbungkam dalam seribu bahasa, tapi wajahnya
masih susah diduga bagaimanakah perasaannya sekarang, mukanya
tetap tawar dan tatapan matanya tetap tajam, kesemuanya ini
membuat Kho Beng tak bisa menduga apa gerangan yg sedang
dipikirkan hwesio tersebut.
Liong kiong Kiong ceng san segera menghela napas panjang,
katanya:
“Sekalipun penjagaan dan pengepungan yg kita lakukan sangat
rapat, mata-mata tersebar dimana-mana dan pos penjagaan
berlapis-lapis, namun setelah dilihat dari kenyataannya sekarang,
sekalipun Kedele maut belum sampai lolos dari wilayah disekitar sini,

rasanya untuk berhasil menangkap mereka pun belum tentu menjadi
kenyataan.”
Para jago lainnya sama-sama terbungkam dg wajah lesu, jelas
keputus asaan Kiong ceng san telah mencerminkan pula perasaan
dari kawanan jago lainnya.
Kho Beng segera merasa inilah saat baik untuknya
mengundurkan diri, mencari tempat dan berdiam sendirian untuk
berpikir lebih jauh, dia ingin memeriksa apakah semua rencananya
telah sempurna atau belum, bila terjadi perubahan berarti dia masih
sempat menghadapinya dg cara kedua yg telah dipersiapkan.
Tapi ia percaya, dg perbuatannya itu maka tujuannya
mengacaukan berita yg sesungguhnya telah tercapai, paling tidak,
hal tersebut akan menambah kesulitan dan kebingungan kawanan
jago tersebut.
Dg demikian iapun berhasil pula merebut sedikit waktu, agar
kakak kandungnya berupaya untuk meloloskan diri dari kepungan
pengawasan kawanan jago yg berada seratus li disekeliling telaga
Tong ting dan kota Gak yang.
Maka dg berlagak sangat lelah karena menempuh perjalanan
jauh, ia menjura kepada para jago disekeliling tempat itu sambil
katanya lagi:
“Sejak mengalami penyergapan sampai melakukan perjalanan
jauh ketempat ini, aku yg muda belum sempat beristirahat barang
sekejappun, aku merasa amat lelah dan mohon maaf jika aku yg
muda harus undur diri lebih dulu untuk beristirahat.”
“Aaaai benar! Aku tidak berpikir sampai kesitu.” Liong kiong sincu
Kiong ceng san segera berkata, “Kalau begitu biar kumohon tiga
bersaudara Kim untuk menemani siauhiap beristirahat ditepi telaga,
besok pagi aku akan mengirim orang lagi untuk mengundang
sauhiap.”
Kho Beng mengucapkan terima kasih dan segera meninggalkan
tempat duduknya.
Saat itulah pemuda itu merasa ada sepasang mata yg amat tajam
sedang mengawasinya tanpa berkedip. Pandangan semacam itu
delapan puluh persen persis seperti pandangan si pendeta tua tadi.
Pandanga itu beraal dari meja kedua dekat dinding, maka buruburu
ia melirik sekejap kesana, ternyata dia adalah seorang
sastrawan setengah umur yg memakai baju hitam, wajah orang itu
terasa asing baginya.

Sekali lagi Kho Beng merasakan hatinya bergetar keras, tanpa
terasa kewaspadaannya ditingkatkan…
Ia sadar, berhasil atau tidaknya tipu daya yg sedang dilaksanakan
untuk melindungi keselamatan jiwa encinya, bisa jadi akan
tergantung pada tindakan yg akan dilakukan sastrawan berbaju
hitam serta pendeta tua itu.
Biarpun hati kecilnya merasa terkejut, namun paras mukanya
sama sekali tidak berubah, dg langkah yg amat santai ia menuruni
rumah makan Ui hok lo.
Dibawa bimbingan tiga cambuk Kim kong sam pian, berangkatlah
pemuda itu menuju kewisma yg berada ditepi telaga.
Jarak antara wisma dg rumah makan Ui hok lo hanya beberapa
kaki, bangunan itu menghadap kearah telaga dg sisi kanannya
menghadap pintu gerbang kota Gak yang, sebelah kiri menghadap
rumah makan Ui hok lo dan belakangnya menempel bukit Kun san.
Sesungguhnya tempat itu merupakan tempat yg amat strategis.
Akhirnya Kho Beng diajak masuk keruang sebelah kiri dideretan
kedua wisma itu.
Sebelum berpamitan, Kim lotoa sempat berpesan:
“Sauhiap, bila kau membutuhkan sesuatu, silahkan saja minta
kepada petugas wisma, besok pagi kami akan datang menjenguk
sauhiap lagi.”
Buru-buru Kho Beng mengucapkan terima kasih.
Sepeninggalnya Kim kong sam pian, iapun menutup pintu dan
naik kepembaringan untuk mengendorkan urat-urat badan.
Walaupun rasa lelah dan mengantuk datang menyerang secara
bertubi-tubi, Kho Beng tak berani memejamkan mata barang
sekejappun, sorot mata sastrawan berbaju hitam dan pendeta tua yg
tajam mengiriskan itu selalu berkecamuk didalam benaknya.
Kesemuanya itu membuat anak muda ini mau tidak mau mesti
meningkatkan kewaspadaannya agar dapat menghadapi setiap
perubahan setiap saat.
Maka dia memaksakan diri menahan rasa kantuk dan lelah yg
luar biasa dan duduk bersila diatas pembaringan, lalu mengatur
napas menurut ajaran si Unta sakti berpunggung baja.
Setelah mengatur pernapasannya tiga kali, pelan-pelan Kho Beng
mulai merasakan hatinya tenang, pikirannya kosong dan memasuki
tahap lupa akan sekelilingnya.

Siapa tahu pada saat itulah tiba-tiba pintu kamar dibuka orang,
kemudian tampaklah sesosok bayangan manusia menyusup kedalam
kamar...
Mendengar desingan suara itu segera Kho Beng membuka
matanya kembali, ternyata orang yg menyusup kedalam ruangannya
tak lain adalah sastrawan berbaju hitam.
Dg perasaan terkesiap cepat-cepat ia melompat bangun lalu dg
lagak keheranan ia menegur:
“Ooooh rupanya saudara, ada urusan apa sih?”
Setelah merapatkan kembali pintu kamar, Sastrawan berbaju
hitam itu mengawasi wajah Kho Beng dg pandangan yg amat tajam,
kemudian pelan-pelan ia baru bertanya dg suara berat dan dalam:
“Aku hanya ingin bertanya kepada sauhiap, apakah dalam
sakumu terdapat suatu benda?”
“Benda apa yg saudara maksudkan?” tanya Kho Beng setelah
diam-diam tertegun sejenak.
“Sebuah lencana kemala hijau bergambar naga.”
Sekali lagi Kho beng merasakan hatinya bergetar keras, segera
tegurnya dg suara dalam:
“apa maksudmu menanyakan persoalan ini?”
Dg sikap yg tetap dingin dan kaku, sastrawan berbaju hitam itu
berkata:
“Sauhiap masih ingat dg orang yg meninggalkan uang di Kwan
tong dan tak pernah muncul kembali?”
Kho Beng menjadi tertegun, setelah agak ragu sejenak, bisiknya:
“Jadi kau....kau adalah...”
“Aku Li sam” tukas sastrawan berbaju hitam itu, “Nah sekarang
sauhiap dapat memberi penjelasan.”
“Li sam..? Li sam..?” Kho Beng mengulangi nama tersebut sampai
beberapa kali. Mendadak ia merasakan semangatnya berkobar, kejut
dan gembira segera serunya:
“Jadi kau adalah Li sam yg dimaksudkan Kho lo tia.”
Sikap sastrawan berbaju hitam yg semula dingin dan kaku, tibatiba
saja berubah menjadi amat sedih, bisiknya lirih:
“Kalau begitu, sauhiap adalah majikan kecil dari Li sam, sungguh
amat sengsara hamba mencari jejakmu...”
Sembari berkata, ia segera menjatuhkan diri berlutut diatas
lantai...
Buru-buru Kho Beng membangunkannya, seraya berbisik:

“Kakak Li sam, harap kau jangan memanggil aku dg sebutan
tersebut, bolehkah aku tahu apa hubunganmu dg Kho lo tia?”
“Kami adalah guru dan murid” sahut Li sam dg sikap
menghormat, “Hamba sudah lima belas tahun lamanya belajar silat
dari dia orang tua...”
“Kho lo tia sangat berhati baik dan setia kepada ayahku, diapun
banyak melepaskan budi kebaikan kepada aku Kho beng, dan
selanjutnya kita saling menyebut saudara saja, biar kusebut kau Sam
toako.” Beberapa patah kata itu diucapkannya dg nada tulus dan
jujur.
Dg perasaan gugup Li sam segera berseru:
“Aaaah, hal ini mana boleh jadi? Selama lima belas tahun terakhir
hamba selain mendengar suhu membicarakan soal majikan muda, ia
minta kepadaku untuk berbakti dan setia kepadamu, hubungan kami
tak boleh lebih dari hubugnan antara majikan dan hamba, biar
hamba bernyali setinggi langit pn tak berani membangkang pesan
guruku ini.”
Dalam keadaan seperti ini Kho Beng enggan ribut dgnya, maka
kembali ujarnya dg sedih.
“Apakah kau sudah tahu bahwa Kho lo tia tewas dibokong
orang?”
Dg air mata bercucuran Li sam mengangguk:
“Gara-gara ada urusan, hamba datang terlambat, waktu majikan
telah pergi meninggalkan tempat tersebut. Tapi dari penyelidikan
hamba sudah terbukti bahwa suhu tewas dikarenakan jarum
pembeku darah penghancur tulang Kiang Thian kut, kini jenasah
suhu sudah kukebumikan!”
“Sam ko, segala sesuatunya tak usah terburu-buru diselesaikan,”
hibur Kho Beng dg suara dalam, “Semua dendam sakit hati mari kita
catat dulu menjadi satu, kemdian baru kita tuntut balas satu persatu,
mari kita duduk dulu sambil berbincang bincang.
“Tidak” tukas Li sam cepat, “Kedatangan hamba kemari karena
ingin memberitahukan suatu urusan penting kepadamu, Majikan kau
segera meninggalkan tempat ini!”
“Sebenarnya apa sih yg terjadi?”
“Tahukah majikan muda bahwa Kedele Maut yg digembar
gemborkan orang selama ini sesungguhnya enci kandungmu
sendiri?”
Kho Beng segera menghela napas panjang.

“Aaaai...justru lantaran aku terlambat mengetahui asal usulku yg
sebenarnya sehingga kesalahan yg amat besar ini telah kuperbuat.
Justru karena persoalan inilah tergesa-gesa aku datang kemari dg
maksud hendak menanggulanginya secepat mungkin...”
“Majikan muda” kata Li sam sambil menghela napas pula,
“Walaupun tindakanmu ini sangat pintar, namun dapatkah kau
kelabui kawanan rase-rase tua itu? Mumpung sekarang masih ada
kesempatan, cepatlah pergi meninggalkan tempat ini, aku kuatir bila
sedikit terlambat lagi, kau tak akan punya waktu untuk meloloskan
diri.”
Biarpun dalam hati kecilnya Kho Beng merasa amat tegang,
namun setelah dipikir sebentar, segera jawabnya lekas:
“Tidak! Aku mesti menyelesaikan dulu persoalan ini sampai
sejelas-jelasnya, aku rasa bohongku barusan sangat rapi dan tiada
hal-hal yg mencurigakan, bagaimana mungkin mereka bisa
mengetahui kebohonganku itu?”
“Majikan muda, walaupun alasan yg kau kemukakan memang
sangat jitu dan hebat, namun gerak gerikmu justru sangat
mencurigakan.”
“Apakah maksudmu si pendeta tua yang menaruh curiga
kepadaku?” tanya Kho Beng kemudian sambil berkerut kening.
Li sam manggut-manggut:
“Majikan muda, tahukah kau siapakah si keledai gundul itu?”
“Siapakah dia?”
“Dia adalah Bok sian tianglo, salah satu diantara Ngo heng ngo
cun lima sesepuh lima unsur dari ruang Tat mo wan kuil Siau lim si”
Kho Beng merasa terperanjat sekali, serunya tertahan:
“Aaai, rupanya dialah Bok isan tianglo dari Siau lim pay,
waaah....celaka!”
“Persoalannya mah belum sampai serunyam itu, meski si keledai
gundul itu sudah menaruh kecurigaan terhadap majikan muda,
namun ia belum berani memastikan secara seratus persen bahwa
apa yg dikatakan majikan hanya bohong belaka.”
“Sebetulnya dari persoalan manakah, si keledai gundul itu bisa
menemukan penyakitku?”
“Keledai gundul itu beranggapanmeski apa yg dikatakan majikan
masih sukar dibedakan antara sungguh dan tidaknya, namun
tindakanmu datang ketelaga Tong ting ini justru menimbulkan
masalah besar. Sebab kalau dibilang kau sedang kabur

menyelamatkan diri, jalan raya yg menebus keseluruh negeri toh
luas dan banyak, mengapa kau justru begitu kebetulan memilih jalan
yang yang menuju ketelaga Tong ting? Sebaliknya kalau dibilang kau
khusus datang kemari untuk menyampaikan kabar, mengapa berita
tersebut tidak kau sampaikan dulu kepada rekan-rekan persilatan yg
lain tapi justru jauh-jauh datang ketelaga Tong ting ini? Bukankah
tindakan semacam ini jauh dari kebiasaan?”
Kho Beng segera merasakan hatinya menjadi lega setelah
mendengar perkataan itu, katanya sambil tertawa ringan:
“Siapa bilang didunia ini tiada kejadian yg kebetulan? Kalau
hanya masalah ini yg menjadi titik pangkal kecurigaan keledai
gundul itu, aku percaya masih mampu merebut kepercayaan orang
lain terhadap diriku!”
“Majikan” kembali Li sam memperingatkan dg suara
dalam,”konco sikeledai gundul itu sudah mengetahui asal-usulmu yg
sebenarnya, malah sejak mula pertama ia sudah menaruh curiga
kalau sikedelai maut sebenarnya adalah enci kandungmu. Atas dasar
inilah ia lantas menduga kalau kedatanganmu kemari bisa jadi ada
sangkut pautnya dg Keledai Maut itu!”
Sekali lagi Kho Beng merasakan hatinya tercekat, agak
terperanjat ia berseru:
“Lihay benar bajingan gundul itu, jadi persoalan inilah yg kau
kuatirkan? Tahukah kau tindakan apakah yg hendak mereka perbuat
terhadap diriku?”
“Tadi Bok sian sipendeta bajingan itu telah menyelenggarakan
rapat rahasia dg ketua istana naga sekalian beberapa orang
penanggung jawab dalam operasi ini, hasil rapat tersebut ditetapkan
bahwa penjagaan yg dilakukan sekarang tetap dilangsungkan seperti
semula, bahkan mereka pun akan mengutus orang untuk mengawasi
majikan secara diam-diam, setelah itulah mereka akan mengirim
utusan menuju ke Pek eng tong.”
“Mengapa mengirim utusan ke Pek eng tong?”
“Dewasa ini, hanya anak murid yg berasal dari Gin san siancu
(Dewi payung perak) yg mempergunakan senjata payung dan angkin
sebagai senjata andalannya untuk mengarungi dunia persilatan. Oleh
sebab itulah keledai gundul itu memutuskan akan mengirim utusan
kesana untuk mencari bukti atas hal tersebut.”
“Apakah enciku memang anak murid Dewi payung perak?”
Li sam manggut-manggut.

“Yaa benar, dugaan mereka kali ini memang tepat sekali.”
Kho Beng segera menghela napas panjang:
“Aaaai....kalau begitu, asal usul cici bakal terbongkar sama
sekali...?”
“Dalam soal ini majikan tidak perlu kuatir” kata Li sam sambil
tersenyum. “Keberangkatan mereka ke Pek eng tong kali ini pasti
tidak menghasilkan apa-apa!”
“Mengapa demikian?”
“Sebab Dewi payung perak telah menghadiahkan segenap tenaga
dalam yg dimiliki kepada cicimi dg ilmu Kay goan koan tong, atas
perbuatannya ini beliau telah menghembuskan napasnya yang
terakhir, itulah sebabnya utusan mereka bakal Cuma menemukan
sebuah kuburan dg batu nisan belaka.”
“Darimana sam toako bisa memperoleh begitu banyak kabar
berita?” tanya Kho Beng sesudah termangu sejenak.
Sekulum senyum bangga segera menghiasi wajah Li sam.
“Saat ini hamba sudah menjadi salah satu orang kepercayaan
dari Bok sian sibajingan gundul itu, jadi semua rahasia mereka tak
akan lolos dari pendengaranku, he...he....he...., tentu saja mereka
tidak pernah akan menduga kalau aku Li sam adalah mata-mata dari
Kedele Maut!”
“Bagus sekali perbuatanmu ini” puji Kho Beng sambil menepuk –
nepuk bahunya, “Perbuatan sam toako memang tak bakal diduga
sama sekali olehnya, mereka pasti akan kebobolan kali ini..”
“Ketika hamba kemari mereka sedang melakukan perundingan
rahasia” tukas Li Sam tiba-tiba ,”Aku rasa perundingan itu sudah
pasti sudah usai sekarang, nah majikan muda kau harus segera
mengambil keputusan!”
Setelah termenung sejenak, Kho Beng bertanya lagi:
“Sam toako, dimanakah ciciku sekarang?”
“Nona masih berada didalam kota Gak yang. Aaai….sebenarnya ia
telah memutuskan akan berangkat malam ini, tapi sejak berita yg
dibawa pihak Sam goan bun tiba disini, ketua istana naga Kiong
Ceng san telah menyebar luaskan identitas Kedele Maut kepada
segenap umat persilatan yg berada diseputar kawasan ini, aku rasa
penjagaan yg mereka lakukan telah diperketat sehingga sulit rasanya
bagi nona untuk meloloskan diri.”
Baru selesai itu diutarakan, tiba-tiba terdengar suara langkah kaki
manusia bergema dari luar pintu kamar.

Li sam kelihatan amat terkejut, buru-buru bisiknya lagi:
“Ada orang datang, hamba tak bisa berdiam lagi disini. Majikan,
lebih baik kau segera tinggalkan tempat ini, soal keselamatan nona
serahkan saja kepada hamba, nah aku pergi dulu.”
Habis berkata ia segera membuka jendela belakang, lalu tanpa
menimbulkan sedikit suarapun ia menyelinap dan lenyap dibalik
kegelapan sana.
Sementara itu suara langkah menusia telah tiba dimuka pintu,
Kho Beng berpikir sejenak lalu cepat-cepat naik keatas pembaringan,
melepaskan pakaian dan sepatunya lalu menyelimuti badannya dg
selimut dan pura-pura tidur.
Hampir pada saat yg bersamaan tiba-tiba pintu kamar dibuka
orang dan masuklah seorang pendeta gundul beralis putih yg
membawa sebuah tongkat.
Ternyata orang ini tak lain adalah Bok sian tianglo dari Siau lim
pay, orang yg mendatangkan was-was bagi Kho Beng.
Disatu pihak Kho beng baru saja berpura-pura tidur, dipihak lain
pintu dibuka orang secara tiba-tiba, kedua kejadian tersebut boleh
dibilang berlangsung pada saat yg hampir bersamaan.
Diam-diam Kho Beng merasakan hatinya berdebar keras, ia tak
tahu siapakah yg munculkan diri waktu itu, sedang dalam hati
kecilnya diam-diam mengkuatirkan identitas sendiri yg terbongkar.
Sementara itu Bok sian tianglo nampak agak tertegun ketika
melihat Kho Beng sedang tidur nyenyak diatas pembaringan, alis
matanya segera berkerenyit, selintas perasaan bimbang menguasai
hatinya.
Tapi sesaat kemudian ia telah menegur dg lirih:
“Sau sicu, apakah kau belum mendusin?”
Dari suara teguran itu, Kho Beng segera mengenali suara Bok
sian tianglo, jantungnya berdetak makin keras.
Dalam detik itu, ia tak bisa menduga apa maksud dan tujuan
kedatangan hwesio itu kedalam kamarnya, iapun tak tahu jawaban
apa yg mesti diberikan atas pertanyaan itu, menyahut? Ataukah
membungkam saja?
Dalam waktu singkat ia dapat menarik kesimpulan, andaikata ia
bangun untuk memberikan jawaban, perbuatannya ini bakal
mendatangkan banyak titik kelemahan, tapi andaikata berlagak pulas
dg nyenyak, hal inipun dangat mencurigakan, sebab mana ada orang
persilatan yg tidak menaruh kewaspadaan meski selagi pulas?

Dari dua pertimbangan ini, Kho Beng merasa lebih baik memilih
sikap yg lebih gampang dihadapi, ia merasa ada baiknya segera
bangun dari tidurnya dan menghadapi hwesio tersebut.
Sebab ia berpendapat, bila ia tetap berlagak tidur terus, tindakan
ini dimata seorang jago kawakan yg berpengalaman luas justru akan
menimbulkan kecurigaan yg jauh lebih besar lagi.
Begitu keputusan diambil, dia pura-pura menguap keras dan
menjawab sekenanya:
“Siapa disitu?”
Pelan-pelan ia bangkit dari tidurnya dan menatap wajah Bok sian
tianglo sambil mengucek-ngucek matanya.
Bok sian taysu tersenyum, sambil merangkap tangannya didepan
dada ia memberi hormat, sapanya:
“Sau sicu, nyenyak benar tidurmu, maafkan kedatangan lolap yg
kelewat ceroboh…”
Kho Beng tidak membiarkan hwesio itu menyelesaikan katakatanya,
dg berlagak terkejut buru-buru ia mengenakan sepatunya
lalu turun dari pembaringan dan memberi hormat sambil berkata:
“Ooooh, rupanya taysu. Maaf kalau aku yg muda kurang hormat
karena terlelap tidur.”
“Sau sicu kelewat merendah” Bok sian taysu tersenyum ,”Apakah
sau sicu sudah merasa segar kembali?”
Sambil berkata ia duduk ditepi meja.
“sEtelah beristirahat sebentar, rasa penat memang rada hilang,
tapi....ada urusan penting apakah taysu datang kemari?”
Walaupun diluar ia bersikap sopan dan merendah, padahal diamdiam
hawa murninya telah disiap-siagakan, dg tenang ia siap
menghadapi segala kemungkinan yg tak diinginkan.
Tampaknya Bok sian taysu tidak menaruh niat jahat, sikapnya
tetap ramah dan serius ketika mendengar pertanyaan itu, ia segera
menyahut sambil tersenyum:
“Oooh, ketika pertemuan baru bubar tadi, lolap hanya sekalian
datang menjengukmu, aku kuatir sau sicu kelewat penat sehingga
aku sengaja datang untuk menghadiahkan sebutir pil Gi goan kim
wan untukmu.”
Sambil berkata ia segera merogoh kedalam sakunya dan
mengeluarkan sebutir pil emas sebesar kacang kedele yg segera
diangsurkan kehadapan Kho Beng.

Penghormatannya ini bukan saja membuat Kho Beng menjadi
tertegun, bahkan satu ingatan segera melintas didalam benaknya:
“Bukankah dia berniat hendak menghabisi nyawaku? Mengapa
malah menghadiahkan sebutir pil mestika dari Siau lim pay? Janganjangan
isi pil tersebut adalah obat beracun?”
Tapi diluarnya ia bersikap ramah, malah tanpa ragu diterimanya
pil itu sambil mengucapkan terima kasih tiada habisnya:
“Maksud baik taysu tak berani kutampik, pemberian ini cukup
membuat aku yg muda merasa bahagia sekali!”
Habis berkata ia segera memasukkan pil itu kedalam mulut dan
menelannya dg cepat.
Diam-diam ia telah memutuskan, demi keselamatan encinya,
sebelum rencana keduanya berjalan menjadi kenyataan, dia tak
ingin memperlihatkan sesuatu perbuatan yg mencurigakan.
Ini berarti, sekalipun pil itu benar-benar racun, dg pertaruhkan
selembar jiwanya, ia tetap akan menelannya, paling banter disaat
racun itu mulai bekerja, dia akan melancarkan serangan terakhir dg
sepenuh tenaga.
Ketika pil itu menggelinding masuk kedalam perutnya, bau harum
segera menyebar kemana-mana, semangatnya menjadi segar
kembali, terbukti betapa mujarabnya pil mestika dari Siau limpay.
Kho Beng yg dicekam rasa tegang, pelan-pelan menjadi lega
kembali. Ia tahu pil tersebut bukan racun, tapi apa maksud Bok sian
taysu yg sebenarnya? Persoalan ini menimbulkan tanda tanya besar
dalam benaknya....
Sementara itu Bok sian taysu berkata sambil tersenyum ramah:
“Sau sicu, kau jangan kelewat merendah kepada lolap. Oya...mari
duduk, kita berbincang-bincang sebentar.”
“Terima kasih taysu” sahut Kho Beng dg sikap menghormat.
Diluar ia bersikap sungkan-sungkan dan menaruh hormat,
sebaliknya secara diam-diam tenaga dalamnya telah dihimpun
menjadi satu siap menghadapi segala kemungkinan yg tak
diinginkan.
“Bagaimana perasaan sau sicu sekarang?” tanya Bok sian taysu
lagi.
“Tubuhku menjadi segar, kepenatan hilang tak berbekas, nyata
sekali obat mestika dari Siau lim pay memang sangat hebat.”
Kembali Bok sian taysu tersenyum:

“Barusan lolap telah cekcok dg Kiong tayhiap gara-gara satu
masalah, sau sicu kau sebagai anak muda tentu berpandangan lebih
terbuka, lolap harap sau sicu dapat memberikan pula pendapatnya
tentang persoalan tersebut.”
“Taysu terlalu memandang tinggi kemampuan aku yg muda,
padahal aku masih muda, kurang pengalaman dan berpengetahuan
sangat rendah, bagaimana mungkin bisa dibandingkan dg Kiong
locianpwee? Aku kuatir harapan taysu akan menjadi sia-sia belaka!”
Walaupun dia ingin mengetahui persoalan apakah yg dimaksud
Bok sian taysu, akan tetapi diapun sadar bahwa lawannya licik dan
lihay, dalam menghadapi setiap masalah dia harus hati-hati,
karenanya daripada mencari permusuhan atau menyakiti hati lawan,
lebih baik ia berusaha mengumpak dan memakaikan topi kebesaran
diatas kepalanya.
Benar juga umpakan tersebut segera termakan, sambil tertawa
terbahak-bahak Bok sian taysu segera berkata:
“Sau sicu sendiri pun kelewat merendah, pernah kau dengar
pepatah yg mengatakan Sepandai-pandainya tupai melompat
akhirnya toh akan terjatuh juga? Siapa bilang orang pintar tak bisa
menjadi bodoh disuatu ketika….?”
“Kalau toh taysu ingin bertanya, tentu saja aku yg muda akan
berusaha memberi jawaban sedapatnya, tapi bolehkah aku tahu
persoalan apakah yg menjadi pangkal keributan antara taysu dg
Kiong locianpwee.”
Bok sian taysu menghela napas panjang:
“Keributan itu terjadi berpangkal pada berita yg dibawa sau sicu
barusan, setelah menerima berita itu, Kiong lo sicu segera mengajak
lolap dan sekalian jago persilatan mengadakan perundingan rahasia
membahas kedudukan kami saat ini, ia berpendapat kalau toh sau
sicu telah menemukan jejak Kedele Maut yg telah muncul dua ratus
li dari kawasan ini, berarti musuh telah lolos dari jaring atau dg
perkataan lain semua persiapan dan penjagaan yg dilakukan dalam
kawasan seratus li diseputar telaga tong ting dan kota Gak yang
menjadi tak ada artinya, karenanya dia memutuskan untuk
membubarkan saja penjagaan disini dan mengalihkan perhatian
ketempat lain, tapi lolap segera menentang usulan tersebut,
akibatnya muncullah dua golongan manusia yg bertentangan
pendapat serta ngotot dg prinsip masing-masing, hingga rapat bubar
tadi kami belum dapat mengambil suatu keputusan. Nah sau sicu,

bagaimana menurut pendapat pribadimu? Tindakan mana yg
rasanya paling sesuai untuk kita ambil…”
Diam-diam Kho Beng merasa amat terkejut, pikirnya:
“Hwesio gundul ini benar-benar racun tua yg licik dan lihay,
tampaknya dia bermaksud menjebakku dg kata-kata, ini berarti tidak
gampang untuk menghadapi keledai gundul yg licik ini...”
Berpikir sampai disitu, ia segera tersenyum jawabnya:
“Semestinya usul Kiong locianpwee untuk membubarkan
penjagaan disekitar kawasan ini adalah berdasarkan laporan yg
kuberikan tadi, jadi seharusnya usul ini kudukung, tapi aku rasa
pandangan taysu atas usul inipun didasarkan oleh sesuatu alasan,
jadi bukan sengaja hendak mencari keributan. Oleh karena itu
bolehkah aku mengetahui lebih dulu apa yg menjadi alasan
penentangan taysu itu sebelum aku memberikan pandangan?”
Bok sian taysu manggut-manggut:
“Lolap menentang hal ini karena atas dasar pemeriksaan dari
utusanku atas semua penjagaan dan pos yg berada disekitar sini,
menurut laporan hingga sekarang mereka belum pernah
menemukan seorang perempuan yg mencurigakan melewati pos
penjagaan mereka, bukan saja tak pernah menjumpai perempuan
bermuka seram seperti apa yg sau sicu lukiskan tadi, mereka pun
tidak menjumpai gadis-gadis muda berparas cantik, oleh sebab itu
lolap tak percaya kalau Kedele Maut benar-benar sangat ampuh
sehingga dapat lolos dari penjagaan yg demikian ketat ini tanpa
ketahuan jejaknya. Maka dari itu aku berpendapat lebih baik semua
penjaga yg berada diseputar kawasan ini jangan dibubarkan lebih
dulu sambil kita nantikan perkembangan lebih lanjut!”
“Kalau begitu taysu menaruh curiga atas berita yg kusampaikan
tadi..?” tanya Kho Beng pura-pura sangsi.
Sambil tersenyum Bok sian taysu menggelengkan kepalanya
berulang kali:
“Bukan demikian, ketika berada dikota Kwan tong tempo hari,
ada orang yg memberitahukan kepada lolap bahwa jejak Kedele
Maut telah muncul disitu, waktu itu adalah seorang lelaki yg
berdandan sebagi saudagar. Tapi berdasarkan pemeriksaan atas
korban yg berjatuhan ketika itu, kebanyakan mereka tewas oleh
tusukan pedang dan tak seorangpun memperlihatkan tanda kalau
tewas ditangan iblis tersebut. Karenanya lolap tak percaya kalau
saudagar itu adalah Kedele Maut. Kini sau sicu telah memberikan

dua berita yg saling bertentangan pula satu dg yg lainnya, karena itu
lolap berkesimpulan bahwa pihak musuh tentu mempunyai
komplotan. Atas dasar pandangan itulah lolap bersikeras tetap
mempertahankan penjagaan diseputar telaga Tong ting dan kota
Gak yang, asal kita berhasil membekuk komplotan itu tentu tak sulit
pula untuk mencari tahu dalangnya, entah bagaimana menurut
pendapat sau sicu?”
Kho Beng segera memuji:
“Kecerdikan taysu memang sangat mengagumkan, belum tentu
orang lain bisa mengunggulinya, Kiong locianpwee serta taysu sama
pintar, sama-sama lihay. Tapi aku rasa aku yg muda lebih setuju dg
usul dari taysu tadi...”
Bok sian taysu tertawa terbahak-bahak:
Ha…ha….ha…..sau sicu, kau jangan rikuh menentang usulku itu
karena sudah mendengar pendapat lolap barusan. Ketahuilah lolap
selalu mengutamakan kenyataan daripada orangnya. Asal alasan yg
dikemukakan bisa diterima dg akal sehat, lolappun bersedia
melepaskan pendapat sendiri dg mendukung usul orang lain.”
“Kebesaran jiwa taysu benar-benar mengagumkan, selain cerdas
kaupun bijaksana…aaai terus terang saja kukatakan taysu, aku bisa
setuju dg usul taysu bukanlah berdasarkan atas alasan yg taysu
kemukakan tadi.”
“Oya?” Bok sian taysu kelihatan agak terkejut, “Sau sicu bila kau
ingin mengemukakan sesuatu, katakan saja secara blak-blakan, tak
perlu merasa rikuh dan sangsi.”
Kho Beng manggut-manggut.
“Semenjak Kedele Maut mulai membunuh orang, apakah taysu
berhasil menemukan sesuatu gejala tertentu?”
“Gejala apa maksudmu?”
“Walaupun Kedele Maut gemar membunuh tapi ia tak pernah
turun tangan terhadap jago kelas dua atau kelas tiga, setiap kali
melakukan pembunuhan, korbannya selain tokoh dunia persilatan
atau pemimpin dari suatu perkumpulan.”
“Benar!”
“Kini seluruh jago-jago pilihan dari lima propinsi telah berkumpul
disini, kecuali Kedele Maut harus mengubah arah tujuannya untuk
melakukan pembunuhan di utara, aku rasa diwilayah timur maupun
selatan sudah tiada sasaran lagi yg bisa dibunuh, oleh sebab itu aku
berpendapat, asal kegemarannya membunuh masih belum berubah,

akhirnya ia tentu akan muncul dikawasan telaga Tong ting untuk
melakukan pembunuhan. Daripada kita mesti menyebar kekuatan
untuk melakukan pelacakan tak menentu, toh lebih baik memasang
perangkap disini sambil menunggu kedatangannya? Itulah sebabnya
aku rasa usul dari taysu memang tak malu kalau dikatakan suatu
usul yg hebat dan jitu!”
Bok sian taysu menghela napas berulang kali:
“Pandangan sau sicu betul-betul mengagumkan, aaai…sudah
enam puluh tahun lolap berkelana didunia persilatan, namun belum
pernah kujumpai orang yg pintar dan luar biasa macam sau sicu, bila
saja kau tidak memandang rendah perguruan Siau lim pay, apa
salahnya bila kau mengangkat ketua partai kami sebagai gurumu?
Lolap jamin tak sampai tiga tahun Siau sicu pasti sudah menjadi
tokoh wahid dikolong langit!”
Kho Beng berdiri tertegun, ia tak mengira kalau hwesio tersebut
akan mengucapkan perkataan seperti ini.
Andaikata pesan dari ketua Sam goan bun tidakmendengung
disisi telinganya juga Li sam yg baru saja menyampaikan kabar
kepadanya, ia benar-benar akan mencurigai apakah yg didengar ini
benar atau tidak.
Namun tawaran yg disampaikan tersebut justru menyulitkan Kho
Beng untuk menjawab, ia enggan menampik tawaran tersebut
secara terang-terangan, karena kuatir menambah kecurigaan dihati
kecil Bok sian taysu. Namun iapun tak bisa tidak untuk menampik
dendam kesumat sedalam lautan yg terpampang didepan mata,
sedang hwesio itu merupakan salah seorang yg dicurigai, bagaimana
mungkin ia bisa bergabung kedalam perguruannya?
Untuk sesaat lamanya Kho Beng menjadi bimbang, risau dan tak
tahu apa yg mesti dikatakan.
Melihat sikap pemuda tersebut, Bok sian taysu kembali bertanya:
“Apakah sicu menjumpai suatu kesulitan?”
Kho Beng terkejut, buru-buru ie memperlihatkan sikap tulus dan
kesungguhan hatinya seraya berkata:
“Aku yg muda dungu dan tak becus, tak nyana bisa memperoleh
rejeki sebesar ini, tujuh puluh dua macam ilmu silat aliran Siau lim
pay sudah lama termashur didunia, akupun sudah lama
mengaguminya...”
“Kalau begitu sau sicu bersedia?” tukas Bok sian taysu girang.
Sekali lagi Kho Beng menghela napas panjang:

“Sayang sekali aku sudah mempunyai guru, meski aku tak berani
menampik tawaran taysu itu, semua persoalan ini harus kulaporkan
dulu kepada guruku sebelum diputuskan sendiri oleh suhu.”
“Ooooh...rupanya sau sicu sudah mempunyai guru, tapi siapakah
gurumu itu?”
Kho Beng termenung sejenak sambil berpikir sebentar, lalu
menjawab:
“Guruku adalah Unta sakti berpunggung baja...”
“Aaaah…rupanya gurumu adalah Thio lo sicu, salah satu diantara
sepasang unta dari selatan” tukas Bok sian taysu cepat, “Tapi lolap
dengar, Thio lo sicu telah meninggal dunia baru-baru ini…”
Dalam hati kecilnya Kho beng tertawa dingin, tapi diluar buruburu
sahutnya:
“Menurut apa yg kuketahui suhu belum meninggal dunia,
beberapa hari berselang aku sempat cekcok dg perguruan Sam goan
bun gara-gara persoalan ini, akhirnya atas desakanku kuburan itu
dibongkar, saat itulah kami temukan peti mati kosong. Karena itulah
aku menaruh curiga atas mati hidupnya guruku ini. Aaaai…ketua
Sam goan bun licik dan sukar diraba jalan pikirannya sekarang ia
pasti sedang risau karena masalah tersebut.”
Bok sian taysu agak terperanjat, tapi segera katanya:
“Dalam soal ini lolap dapat membantu sicu untuk melakukan
penyelidikan, lolap jamin pihak Sam goan bun tak berani akan
mengeluarkan permainan dihadapanmu…”
“Aaah..atas bantuan taysu sebelumnya kuucapkan banyak terima
kasih” sambung Kho Beng cepat-cepat.
Bok sian taysu segera bangkit berdiri, katanya kemudian:
“Waktu sudah semakin larut, lolap tak akan mengganggu
kesempatan sau sicu untuk beristirahat lagi, sampai besok pagi!”
Habis berkata ia lantas mohon diri, buru-buru Kho beng
menghantarnya sampai diluar pintu.
Bok sian taysu telah pergi, namun Kho Beng yg berada dalam
kamar seorang diri merasakan pikirannya sangat kalut.
Tadi Li sam membujuknya agar pergi, pihak lawan jelas hendak
melakukan suatu tindakan berikut yg tidak menguntungkan bagi
dirinya, sambil menunggu kabar dari utusan yg dikirim ke Pek eng
tong.
Sayang ia tak sempat menanyakan persoalan itu lebih jelas lagi
tadi, sedang hwesio tua itu justru menampilkan sikap yg begini

ramah dan baik budi, rencana keji apakah yg sebetulnya terselip
dibalik kesemuanya ini?
Ia tak dapat menduga teka teki dibalik kesemuanya itu, malah
sebaliknya ia makin risau memikirkan keselamatan encinya.
Akhirnya setelah mempertimbangkan berulang kali, ia
memutuskan akan melaksanakan rencana berikutnya, ia
berpendapat dalam tiga hari mendatang pasti tak akan terjadi
sesuatu perubahan, berarti ia dapat melaksanakan rencana tersebut
dg tenang sebelum akhirnya pergi meninggalkan tempat itu.
Tapi untuk melaksanakan rencananya itu, ia harus
mempersiapkan beberapa macam peralatan, padahal menurut Li
sam, ia sudah berada dibawah pengawasan musuh, lalu bagaimana
caranya untuk mempersiapkan barang-barang yg dibutuhkannya itu/
Setelah putar otak sekian lama, tiba-tiba terlintas satu ingatan
dalam benaknya, pemuda itu segera berpikir:
“Yaa..mengapa aku tidak minta bantuan Li sam untuk
mempersiapkan barang-barang kebutuhanku? Kenapa tidak
kupergunakan pembantu yg amat baik ini?
Berpendapat begitu, ia segera memutuskan untuk tidak
menunda-nunda lagi, segera bangkit dari pembaringan, ia menuju
kejendela belakang dan diam-diam mengintip keluar.
Sejak kepergian Li sam tadi, jendela tersebut belum ditutup, dg
cepat Kho Beng menyelinap ketepi jendela dan mengintip keluar.
Ternyata tempat itu merupakan halaman belakang, tampak
pepohonan tumbuh sangat rindang, gunung-gunung gardu istirahat
tersebar dimana-mana, suatu tempat dg panorama yg indah.
Dibawah cahaya bintang dan rembulan yg redup, suasana dalam
kebun hening, sepi tak nampak seorang manusia pun. Dari letak
bintang diketahui waktu menunjukkan kentongan pertama, ia
menunggu semua orang sudah mulai berangkat istirahat.
Kho Beng tidak tahu siapa yg ditugaskan mengawasi dirinya,
iapun tak tahu dimanakah orang tersebut ditempatkan, tapi ia sadar
alangkah baiknya bila Li sam dapat ditemukan malam ini juga, ia
percaya asal tindak tanduknya cukup berhati-hati, tak bakal sampai
terjadi hal-hal yg tidak diinginkan.
Maka hawa murninya segera dihimpun, bagaikan seekor burung
nuri ia menyelinap keluar jendela dan melayang turun ditengah
halaman, kemudian sesudah memeriksa sekejap seputar situ, ia

menyusup kebelakang sebuah gunung-gunungan, lebih kurang tiga
kaki didepan situ.
Baru saja ia mendekam dibelakang gunungan dan belum sempat
memeriksa diseputar sana, mendadak terdengar ada suara orang yg
sedang berbisik-bisik.
Dalam kagetnya Kho Beng segera menahan perasaannya, sambil
memasang telinga untuk menyadap pembicaraan tersebut.
Dari hasil penyelidikannya, dapat diketahui arah suara tersebut,
yaitu berasal dari balik gunung-gunungan yg lain, malah salah
seorang diantaranya adalah wanita.
“Kebetulan amat” pekik Kho Beng dg perasaan terkejut
bercampur heran,” Malam sudah begini larut, siapakah yg masih
berpacaran disitu....?”
Sementara ia masih termenung, suara pembicaraan telah
bergema kembali, kali ini yg berbicara seorang lelaki, suaranya
rendah lagi amat berat.
Namun setelah Kho Beng mendengar secara jelas nada
pembicaraan orang itu serta apa yg sedang dibicarakan, hatinya
langsung saja bergetar keras sekali.
Ternyata orang yg sedang berbicara dibalik gunungan itu, salah
seorang diantaranya tak lain adalah Bok sian taysu dari Siau lim si,
pendeta yg belum lama berselang meninggalkan ruangannya.
Terdengar Bok sian taysu sedang berkata:
“.....yakinkah li sicu akan hal ini?”
Suara perempuan itu segera menjawab:
“Taysu dapat kukatakan secara pasti bahwa hal itu sama sekali
tak pernah terjadi, sebab semejak mendapat tugas untuk datang
kemari, barang seketika pun Chin siau kun belum pernah tertidur.”
Suasana hening yg kemudian mencekam membuat Kho Beng
merasa hatinya amat tegang, tapi berhubung ia tidak sempat
mengikuti awal pembicaraan mereka, ia belum dapat memastikan
persoalan apakah yg sedang dipermasalahkan kedua orang itu.
Selang beberapa saat kemudian, terdengar Bok sian taysu
berkata lagi:
“Aneh betul, sewaktu lolap mendekati kamar tidurnya tadi, sudah
jelas kudengar ada orang yg sedang berbicara didalam kamarnya,
tapi begitu masuk kedalam kamar ternyata ia masih tertidur sangat –
sangat nyenyak…”

“Bisa jadi Kho sauhiap lagi mengigau lantaran kelewat penat!”
sela Chin siau kun cepat.
Kho Beng yg menyadap pembicaraan tersebut semakin
terperanjat, sekarang ia baru paham, rupanya pembicaraan dg Li
sam tadi telah diketahui pihak lawan.
Untung saja Li sam cukup sigap dan cekatan, coba kalau tidak
niscaya rahasia mereka sudah terbongkar.
Perempuan yg bernama Chin siau kun itu adalah orang yg
ditugaskan untuk mengawasi gerak geriknya selama ini.
Dalam waktu singkat, Kho Beng mulai sadar bahwa keadaannya
dewasa ini meski sepintas lalu nampak aman tanpa ancaman
bahaya, padahal dalam kenyataan posisinya amat kritis dan
berbahaya sekali. Aaai..jika salah melangkah setengah tindak pun,
sudah pasti dirinya akan terjerumus dalam keadaan yg tak tertolong
lagi.
Dalam pada itu terdengar Bok sian taysu telah berkata lagi:
“Lolap yakin ia bukan lagi mengigau sebab suara pembicaraannya
waktu itu sangat lirih dan lembut, sama sekali tidak mengandung
nada yg tinggi rendahnya tidak terkontrol, andaikata ia betul-betul
lagi mengigau, tak mungkin akan memperlihatkan gejala semacam
itu.”
“apakah taysu berhasil mendengar sesuatu?”
“Tidak!”
“Kalau begitu bisa jadi taysu yg salah mendengar….”
“Hmmm! Biarpun usia lolap sudah tua, aku yakin belum sampai di
idapi penyakit semacam itu.”
“Oooh..kalau begitu taysu mencurigai aku telah melalaikan
tugas?”
Dibalik perkataan tersebut, jelas mengandung nada tak senang
hati.
Buru-buru Bok sian taysu menyambung:
“Harap li sicu jangan salah paham, mungkin saja memang lolap
salah mendengar…”
Kho Beng hanya mengikuti pembicaraan tersebut sampai
setengah jalan, dg sangat hati-hati ia segera mengundurkan diri dari
situ.
Ia tahu sudah tiada masalah penting yg bisa diperoleh lagi,
andaikata ia tidak mengundurkan diri lebih dulu, bisa jadi diapun tak
akan bisa kembali kekamarnya lagi.

Tapi dg penemuannya yg tak sengaja ini, setelah berpikir keras
beberapa waktu akhirnya Kho Beng memutuskan tak akan pergi
mencari Li sam lebih dulu sebelum rencana yg telah ditetapkan
terlaksana, meski ia tahu Li sam pasti berdiam diwisma yg sama.
Dg membatalkan niat semula, dg cepat Kho Beng kembali
kedalam kamarnya.
Dari buntalannya ia mengeluarkan kertas dan menulis sesuatu yg
kemudian disimpan dibawah ranjang.
Malam itupun ia tidur nyenyak hingga matahari mulai muncul
diufuk timur.
Kho Beng terbangun ketika ia mendengar ketukan pintu, cepatcepat
ia bangun sambil menengok sekitarnya, ternyata sinar
matahari sudah memancar kemana-mana.
Ia tahu orang yg mengetuk pintu kamarnya tentu salah seorang
dari Kim bersaudara. Cepat-cepat ia bangun dan sapanya:
“Saudara kim kenapa masih berada diluar kamar? Silahkan masuk
…”
Belum lagi pakaiannya rapi dikenakan, pintu kamar telah dibuka
dan ternyata yg muncul bukanlah seperti dugaannya, yg muncul
adalah seorang perempuan.
Jilid 09
Sementara Kho Beng masih termangu-mangu, nona berbaju
kuning itu telah berkata sambil tersenyum:
“Oleh karena hari sudah siang, sedang sauhiap belum juga
bangun dari tidurnya, maka untuk menghindari hal-hal yg tidak
diinginkan, sengaja aku mengganggu tidurmu, tak nyana
perbuatanku ini justru mengejutkan sauhiap dari tidurnya.”
Kho Beng merasa rikuh sekali berbicara dg lawan jenis,
mendengar perkataan barusan, buru-buru ia memberi hormat seraya
berkata:
“Padahal aku yg muda pun harus bangun segera, justru akulah
yg merepotkan nona. Tadi, aku masih menyangka tiga bersaudara
Kim yg telah datang!”
Nona berbaju kuning itu menitahkan pelayan untuk meletakkan
dulu air cuci muka serta sarapan diatas meja, menanti kedua orang
pelayan tadi telah mengundurkan diri, ia baru berkata sambil
tersenyum:

“Fajar tadi telah terjadi suatu peristiwa, kini Kim kong sam pian
sedang mendapat tugas untuk meninggalkan Gak yang, itulah
sebabnya mereka tak hadir kemari. Untuk itu Kiong sincu telah
mengutus diriku untuk menemani sauhiap, harap sauhiap tidak
menganggap asing diriku ini…”
“Peristiwa apa sih yg telah terjadi?”
“Kalau dibilang sesungguhnya persoalan itu ada sangkut pautnya
dg sauhiap.”
Diam-diam Kho Beng merasa terkejut, tapi diluarannya ia
bertanya keheranan:
“Persoalan apa sih yg ada sangkut pautnya dg diriku?”
“Fajar tadi secara tiba-tiba muncul utusan dari Sam goan bun yg
memberitahukan perintah dari ciangbunjin mereka, konon segenap
anggota Sam goan bun yg sedang bertugas diperintahkan untuk
segera pulang keperguruan, bahkan mulai hari ini perguruan Sam
goan bun menutup diri selama tiga tahun dan tak akan mencampuri
urusan dunia persilatan lagi.”
Kho Beng merasakan hatinya bergetar keras, segera tanyanya:
“Apakah utusan dari Sam goan bun itu mengemukakan juga
sebab atau alasannya?”
Nona berbaju kuning itu tersenyum, sahutnya sambil manggutmanggut:
“Konon gara-gara kematian Unta sakti berpunggung baja,
sauhiap telah menunjuk perasaan dg menyerbu kedalam markas
mereka, akibat peristiwa tersebut pihak Sam goan bun memutuskan
untuk mengundurkan diri secara total.”
Kho Beng merasakan hatinya terkesiap tapi diluar ia mendengus
dan pura-pura menjengek dg sinis:
“Hmmm, sekalipun kita tidak didukung belasan jago dari Sam
goan bun, belum tentu hal ini akan mempengaruhi situasi pada
umumnya.”
“Biarpun ucapan itu ada benarnya juga, namun orang-orang
mereka mengundurkan diri kelewat cepat, disaat berita ini tersiar
dibukit Kun san, orang-orang mereka sudah tak nampak batang
hidungnya lagi, akibat dari perbuatan mereka ini Siau lim tianglo
serta Kiong cioanpwee sempat dibikin sewot…”
Diam-diam Kho Beng merasakan hatinya tak tenang, ia tak
menyangka dalam keadaan dan situasi macam ini akan timbul
persoalan lagi yg sama sekali diluar perhitungan.

Walaupun demikian, diluarnya ia mesti bersikap acuh tak acuh,
malah ujarnya kemudian sambil tertawa dingin:
“Segenap jago persilatan telah berkumpul disekitar kawasan
telaga Tiong ting dan Gak yang, yg hadir pun rata-rata merupakan
jago pilihan yg berkepandaian tangguh, buat apa sih kedua orang
cianpwee itu menilai begitu tinggi akan kemampuan Sam goan bun?”
Nona berbaju kuning itu segera tersenyum:
“Justru sauhiap bisa berpendapat demikian karena kau belum
mengetahui keadaan yg sebenarnya, meski para petugas yg berjagajaga
dikawasan sekitar tempat ini hanya dari kaum keroco yg tak
seberapa kemampuannya, asal mereka mendapat tugas dan
tanggung jawab berarti orang itu sudah menjadi rangkaian gelang
yg tak boleh putus, bila diantara rangkaian gelang-gelang tersebut
ada yg pergi meninggalkan tugas tanpa pemberitahuan, sama
artinya dg terbukanya titik kelemahan yg semula rapat, akibatnya
semua penjagaan yg dilakukan seketat dan sekuat itupun menjadi
tak ada artinya lagi.”
Dg perasaan tidak mengerti Kho Beng menggelengkan kepalanya
berulang kali.
Kembali nona berbaju kuning itu tersenyum, jari tangannya yg
lentik segera dicelupkan kedalam air the, lalu dibuatnya sebuah
gambar kipas diatas meja, ujarnya sambil tertawa:
“Tahukah sauhiap benda apakah ini?”
“Kipas”
“Benar” kata nona berbaju kuning itu sambil manggut-manggut,
“posisi penjagaan kita saat ini berupa sebuah kipas dg bukit Kun san
sebagai pangkalnya, para jago yg turut serta dalam pengepungan ini
masing-masing membentuk grup sendiri yg membentang dari dalam
keluar hingga mnyerupai batang-batang tangkai kipas, pihak Sam
goan bun bertugas disekitar wilayah Gak yang, kini mereka
meninggalkan tugas secara mendadak, hal ini sama seperti seluas
permukaan kipas yg utuh tahu-tahu kehilangan setangkai tulang
kipas, andaikata iblis dan komplotannya memanfaatkan kelemahan
yg ada ini untuk melarikan diri, bukankah semua usaha kita selama
ini jadi tak ada artinya? Tak heran kalau Siau lim tianglo serta Kiong
cianpwee menjadi sewot!”
Sehabis mendengar penjelasan ini, diam-diam Kho Beng merasa
terperanjat sekali, ia tak mengira kalau penjagaan yg dipersiapkan
ditempat ini demikian kuat dan rapatnya.

Teringat akan keselamatan enci kandungnya yg makin
berbahaya, pemuda ini menjadi makin risau dan masgul sekali.
Namun diluarnya ia harus menunjukkan sikap menyesal, katanya
dg cepat:
“Aaah, tak kuduga sama sekali gara-gara urusan pribadiku
ternyata berpengaruh besar terhadap situasi ditempat ini…”
“Sauhiap pun tak usah merasa sedih hati karena persoalan ini”
kata nona berbaju kuning itu sambil tersenyum, “untung persoalan
dapat diatasi dg cepat, pihak bukit Kun san telah mengutus Ki, kong
sam pian untuk menutup titik kelemahan dikawasan Gak yang
tersebut pada setengah jam berselang. Aaah betul…buburmu sudah
dingin, silahkan sauhiap segera cuci muka dan sarapan.”
Kho Beng manggut-manggut buru-buru dia cuci muka lalu
sarapan, selesai bersantap ia baru teringat bahwa nona yg
dihadapannya sekarang tidak mirip dg pengurus wisma.
Maka segera tegurnya sambil tersenyum:
“Sudah setengah harian kita berbincang, tapi hingga kini belum
kuketahui nama nona…maaf akan keteledoranku ini!”
Nona berbaju kuning itu segera tersenyum:
“Sauhiap terlalu merendah, aku adalah Chin Sian kun.”
Kontan saja Kho Beng merasakan hatinya bergetar keras, Chin
sian kun? Bukankah dia adalah perempuan yg berbicara dg Bok sian
taysu dibelakang gunung-gunungan semalam?
Sekarang ia baru sadar, rupanya gadis ini mendapat tugas untuk
mengatasi setap gerak geriknya, ini berarti sulit baginya untuk
bergerak secara leluasa selanjutnya.
Berpikir demikian, diam-diam ia berkerut kening dan memutar
otak untuk mencari jalan keluar.
Saat itulah tiba-tiba terdengar seseorang menyapa dari luar
pintu:
“Apakah Kho sauhiap ada?”
“Siapa yg berada didepan pintu? Silahkan masuk!” jawab Chin
sian kun cepat.
Pintu kamar dibuka orang dan muncullah seseorang yg ternyata
tak lain adalah Li Sam.
Berkilat sepasang mata Kho Beng melihat kedatangan rekannya
ini, seakan-akan bertemu dg malaikat penolong, rasa gembiranya tak
terhingga.
Sementara itu Li sam telah berkata sambil tertawa:

“Ooooh, rupanya nona Chin juga berada disini, sauhiap
nyenyakkah tidurmu semalam?”
Sambil balas memberi hormat, sahut Kho Beng seraya tertawa:
“Fajar baru menyingsing, pelayanan dari Kiong tayhiap telah
datang secara lengkap…”
Jelas dibalik perkataan itu masih mengandung maksud lain.
Sementara itu Li sam telah berkata kepada Chin Sian kun:
“Berhubung Kim bersaudara masih punya tugas lain sehingga tak
bisa hadir disini, maka tianglo serta Sincu menitahkan aku orang she
Li untuk mewakili mereka melakukan penyambutan.”
Sambil tersenyum Chin Sian kun manggut-manggut:
“Kho sauhiap baru pertama kali ini datang ketelaga Tong ting, Li
tayhiap mesti menemaninya secara baik-baik, jangan membuat
orang menjadi kecewa.”
Li sam tertawa terbahak-bahak:
“Ha…ha…ha…tak perlu nona pesankan lagi…”
“Yaaa, nona Chin memang kelewat sungkan” sambung Kho Beng
pula, “bukankah hal ini malah membuat aku yg muda semakin
rikuh.”
“Perahu telah disiapkan, silahkan sauhiap,” kata Li sam
kemudian.
“Silahkan saudara!” sahut Kho Beng pula sambil mempersilahkan.
Begitu meninggalkan wisma dan sudah jauh meninggalkan
pengawasan Chin sian kun, Kho Beng baru menghembuskan napas
panjang, seraya berkata:
“Sam ko, semalam aku berniat mencarimu.”
“Hamba mengerti” sahut Li Sam tertawa, karena pembicaraan
kita semalam belum selesai, maka pagi tadi sengaja aku minta ijin
untuk mendapat tugas menemuimu.”
“Apakah Sam ko tidak berdiam didalam wisma?” tanya Kho Beng
agak tertegun.
“Untuk menghadapi perundingan rahasia yg setiap saat bisa
diselenggarakan, tianglo menyuruh hamba berdiam di istana naga
bukit Kun san…”
“Untung aku mengurungkan niatku semalam, kalau tidak
perjalananku tentu akan sia-sia belaka!”
Dg suara berat dan dalam Li Sam berkata:
“Dalam situasi seperti ini, lebih baik kurangilah pergerakan yg
tidak ada artinya, tahukah cukong siapa perempuan cantik tadi?”

Kho Beng manggut-manggut, katanya sambil tertawa dingin:
“Bukankah dia adalah mawar beracun yg bertugas mengawasi
aku?”
Li Sam segera manggut-manggut:
“Kalau toh majikan sudah tahu, hamba pun tak akan banyak
berbicara lagi, tapi ketahuilah Walet terbang berwajah ganda
mempunyai pamor yg cukup baik disekitar kawasan Sam siang,
harap majikan tidak memandang dirinya kelewat enteng.”
Kho Beng mendengus dingin:
“hmmm aku tahu. Dari pembaringan tadi, konon pihak Sam goan
bun telah menarik kekuatannya secara tiba-tiba dan mengumumkan
menutup diri dari kegiatan didunia persilatan, bagaimana reaksi Bok
sian taysu serta Kiong sincu atas peristiwa tersebut?”
“Waktu itu mereka menjadi sewot setengah mati, malah mereka
sempat mencaci maki ketua Sam goan bun habis-habisan dihadapan
anggota Sam goan bun yg membawa berita itu.”
“Maksudku, bagaimana reaksi mereka terhadapku?” buru-buru
Kho Beng meralat.
Li sam menggelengkan kepalanya berulang kali:
“Mereka sama sekali tidak memberikan pernyataan apapun
terhadap diri majikan, dalam hal ini hamba sendiripun merasa
keheranan.”
Kho Beng termenung sebentar, lalu tanyanya lagi:
“apakah Sam ko mempunyai hubungan kontak dg ciciku?”
Kembali Li sam mengangguk.
“Ya ada! Tapi bila tiada urusan yg amat gawat, hamba tak akan
melakukannya, daripada jejak mereka ketahuan orang.”
“Beritahukan alamatnya kepadaku!” desak Kho Beng agak
gelisah.
“Majikan, kau ada urusan apa?” tanya Li Sam agak terkejut.
Kho Beng menggelengkan kepala, katanya setelah menghela
napas sedih.
“Kami telah berpisah sejak kecil, walaupun akhirnya pernah
bertemu namun kedua belah pihak sama-sama tidak mengenal,
itulah sebabnya aku ingin sekali bersua lagi dengannya!”
“Majikan, kau tidak boleh melakukan suatu tindakan hanya atas
dasar emosi” kata Li Sam dg suara berat,” saat dan situasi seperti ini
bukan saat yg tepat bagimu untuk berkumpul kembali, dalam

masalah ini maaf kalau hamba harus merahasiakannya untuk
sementara waktu.”
Kho Beng sendiripun cukup mengetahui akan bahayanya
persoalan tersebut andaikata sampai bocor, maka ia menghela napas
lagi setelah mendengar perkataan tersebut:
“Aaai, dalam selisih jarak sedekat ini kami hanya bisa saling tahu
namun tak dapat saling bersua, takdir memang kelewat kejam
mempermainkan manusia Sam ko, aku telah mempunyai suatu
rencana baik yg bisa mengatur pelolosan ciciku dari kepungan!”
“Apa siasatmu itu?” tanya Li Sam lirih setelah memeriksa sekejap
keadaan disekelilingnya.
Kho Beng segera mengeluarkan kertas yg telah ditulisnya
semalam dan diangsurkan ketangan Li Sam, lalu katanya:
“Rencanaku telah kutulis dikertas itu, harap kau jangan
membengkalaikannya dan persiapkan segala sesuatu secepatnya, dg
begitu rencana tersebut bisa kulaksanakan secepatnya.”
Dg wajah tertegun Li Sam membaca sebentar isi surat itu, tibatiba
paras mukanya berubah hebat, serunya tertahan:
“Majikan muda, buat…buat apa kau…kau membutuhkan
kesemuanya itu?”
Saking terperanjatnya, ia sampai tergagap dan tidak lancar
bicara.
Kho Beng tersenyum:
“Kau harus memahami perasaanku, kali ini kuharap Sam ko tidak
berusaha menghalangi keinginanku lagi!”
“Majikan, jangan sekali-kali kau lakukan perbuatan bodoh” bujuk
Li Sam dg suara berat, “sekalipun rencanamu dapat terlaksana
secara sukses, andaikata kau sendiri sampai melakukan kesalahan,
bukankah hasilnya tetap bakal berabe…”
“Tidak!” tegas Kho Beng, “kesalahan faham ini timbul dariku, jadi
sudah sewajarnya kalau akulah yg bertanggung jawab, apalagi
keputusanku ini sudah bulat, kuharap Sam ko tak usah berniat
membujuk diriku lagi.”
“Bila cicimu mengetahui hal ini, ia pasti tak akan mengijinkan kau
untuk melaksanakannya…”
Tiba-tiba Kho Beng mendelik dg marah, serunya:
“Jelek-jelek begini aku adalah seorang lelaki juga, kalau untuk
melindungi cici saja tak mampu, apa gunanya membicarakan soal
dendam sakit hati…”

Kemudian setelah berhenti sejenak, ia sengaja menarik muka
sambil katanya lagi:
“Sam ko, sebenarnya kau mampu tidak untuk melaksanakannya?
Bila menjumpai kesulitan, biar aku sendiri yg pergi berusaha.”
Li Sam menjadi terpojok, akhirnya ia menghela napas seraya
berkata:
“Aaaai, kalau toh keputusan majikan sudah bulat, tentu saja
hamba tak berani membantah!”
Walaupun begitu namun langkahnya tanpa terasa terhenti juga,
sementara sinar matanya tertuju kearah secarik kertas yg berada
ditangannya, gerak gerik serta sikapnya persis seperti orang yg
kehilangan semangat…
Sebenarnya tulisan apa yg tercantum dikertas Kho Beng?
Ternyata isinya hanya sebuah daftar barang:
“Sebuah payung perak, sebotol bahan pewarna, satu stel pakaian
perempuan berwarna putih, empat tahil lilin putih, satu kantong
kacang kedele hitam, tiga macam perhiasan dan tusuk konde,
sebuah topeng kulit kambing” semua benda itu harus sudah siap
esok malam.
Tak heran Li Sam menjadi gelisah sekali membaca tulisan itu,
karena dari daftar kebutuhan yg tercantum, sudah dapat diduga
rencana apakah yg hendak dilaksanakan pemuda tersebut. Melihat
sikap Li Sam, buru-buru Kho Beng menegur:
“Sam ko, kenapa kau? Apakah ingin memancing kecurigaan
orang terhadap kita.”
Li Sam baru mendusin dari lamunannya sesudah mendengar
perkataan itu, cepat-cepat ia masukan catatan itu kedalam sakunya
lalu berjalan menuju ketepi telaga.
Jarak dari wisma sampai didermaga ditepi telaga paling banter
Cuma enam tujuh puluh kaki, tapi dalam waktu yg amat pendek itu
mereka berdua telah menyelesaikan urusannya.
Diujung dermaga berkibar sebuah panji besar yg bersulamkan
seekor naga emas, sementara ditepi telaga bersandar kurang lebih
lima enam puluh sampan yg berjajar sangat rapi. Kesemuanya
membuat Kho Beng berpendapat bahwa pihak istana naga dibukit
Kun San ini benar-benar memiliki kekuatan yg luar biasa.
Ketika melihat kehadiran mereka berdua, dua orang kelasi
berbaju ungu yg semula berdiri dibawah panji besar itu serentak

memberi hormat dan menyingkir kesamping menunggu mereka
berdua naik keatas sampan.
Kemudian seorang meloncat keujung perahu dan lainnya
melompat keburitan, dg cepat mereka mendayung sampan itu
menuu kearah bukit Kun san…
Dibawah petunjuk Li Sam secara diam-diam, Kho Beng baru
mengerti bahwa penjagaan yg dilakukan pada daerah sekitar Kun
san benar-benar amat ketat.
Sampan yg hilir mudik diatas permukaan telaga kebanyakan
adalah perahu-perahu pengontrol dari pihak Kun san. Kode rahasia
mereka siang malam selalu berubah, jangan hatap orang lain dapat
menyusup masuk kedalam wilayah sana tanpa diketahui.
Tiba dipantai bukit Kun san dan sepanjang jalan menuju kepintu
gerbang istana naga, pos penjagaan semakin sering, begitu ketatnya
penjagaan seolah-olah sedang menghadapi musuh tangguh saja.
Menyaksikan kesemuanya ini, diam-diam Kho Beng menjulurkan
lidahnya karena ngeri.
Terasa olehnya situasi semacam ini betul-betul sulit untuk
ditembusi dan tanpa terasa ia makin pesimis terhadap kemampuan
yg dimilikinya bersama encinya.
Benarkah gara-gara sejilid kitab pusaka Thian goan bu boh dunia
persilatan telah berubah menjadi demikian repot sampai saling
bermusuhan satu sama lainnya.
Kho Beng yakin dibalik kesemuanya ini pasti masih terselip halhal
yg tak beres.
Dlm perasaan yg serba kalut dan tegang, ia melangkah masuk
keruang tengah istana naga yg kokoh dan megah dan untuk
kesekian kalinya bertemu lagi dg Bok sian taysu serta ketua istana
naga Kiong Ceng san…
Dibawah tatapan mata orang banyak, kedua orang tokoh silat ini
menunjukkan sikap yg amat hangat terhadap Kho Beng, malah
mereka sama sekali tidak menyinggung soal pengunduran diri
anggota Sam goan bun secara tiba-tiba pagi tadi.
Tapi situasi demikian bukan berarti melegakan Kho Beng,
sebaliknya ia justru semakin tak tenang, ibarat duduk diatas jarum,
ia tak pernah bisa tenangkan hatinya.
Tapi Kho Beng cukup pengertian, sikap ramah dan bersahabat
dari pihak lawan terhadap dirinya sekarang hanya disebabkan
identitas serta asal usulnya belum mereka ketahui.

Kalau bukan demikian, mungkin saja mereka telah turun tangan
keji sedari tadi.
Dg susah payahperjamuan baru bisa diselesaikan tengah malam,
dg perasaan yg tak karuan Kho Beng kembali kewisma dg
menumpang perahu.
Malam itu boleh dikata Kho Beng tak dapat memejamkan mata,
ia pergunakan sisa waktu yg ada untuk merencanakan tindakan yg
harus dilakukannya esok malam….
Malam ini adalah hari ketiga setelah kedatangan Kho Beng
ditelaga Tong ting.
Kentongan pertama belum lagi lewat, sesosok bayangan hitam
telah menyelinap dari luar halaman wisma dan menyusup kedalam.
Baru saja bayangan itu berkelebat lewat dari tengah kebun sudah
terdengar seseorang membentak dg suara nyaring:
“Siapa disitu?”
Chin sian kun sampak munculkan diri dari balik gunungan dan
maju menghadang jalan pergi bayangan hitam tersebut dg gerakan
tubuhnya yg enteng seperti burung walet.
Namun setelah berhasil melihat jelas wajah tamu yg tak diundang
itu, seketika itu juga ia dibuat tertegun.
Ternyata pihak lawan adalah seorang perempuan berkerudung
putih yg menggembol sebuah buntalan.
Nampaknya tamu yg tak diundang tersebut sudah menguasai
penuh situasi disekitar tempat itu. Dg santai dia m emberi hormat
kepada si burung walet berwajah ganda Chin sian kun, lalu serunya
melengking:
“Chin lihiap tak usah menghalangi diriku, coba lihat bukankah
Siau lim tianglo sedang memanggilmu dari balik jendela sana?”
Sembari berkata, ia menunjuk kearah belakang tubuh Chin sian
kun….
Untuk kedua kalinya Chin sian kun tertegun, kemudian berpaling
kebelakang dg cepat.
Tapi pada saat itulah, jari tangan kiri perempuan berbaju hitam
itu telah menyodok kemuka dg cepat dan langsung mengancam
jalan darah kaku tubuh Chin sian kun.
Serangannya sangat cepat bagaikan sambaran kilat,
ketepatannya pun sangat mengagumkan.

Dalam keadaan yg sama sekali tak siaga, tentu saja Chin sian kun
tak mampu menghindarkan diri, tak ampun jalan darah tidurnya
segera tertotok oleh perempuan berkerudung putih itu.
Mungkin sikapnya waktu itu kelewat teledor atau mungkin juga
sikap perempuan berkerudung putih itu kelewat santai, ternyata si
walet terbang berwajah ganda yg termasyur disekitar wilayah Sam
siang dapat dirobohkan ditengah kebun dlm keadaan tak jelas.
Begitu berhasil dg serangannya, perempuan berkerudung putih
itu segera melayang kebelakang jendela kamar tidur Kho Beng dan
mengetuk tiga kali.
Waktu itu Kho Beng sedang menanti didalam kamar dg gelisah,
mendengar suara ketukan tersebut cepat-cepat ia membuka jendela
seraya menegur:
“Apakah Li Sam ko yg datang?”
Sesosok bayangan hitam menyelinap masuk kedalam kamar dg
gerakan yg amat cepat, kemudian menutup jendela rapat-rapat.
Namun Kho Beng segera dibikin tertegun setelah menyaksikan
siapa yg muncul dihadapannya, sebelum ia sempat
mengucapkansesuatu, perempuan berkerudung putih itu telah
meloloskan kain kerudung muka serta rambut palsunya, ternyata dia
tak lain adalah penyaruan dari Li Sam yg ditunggu-tunggunya.
“Sam ko mengapa kau menyaru macam begini?” Kho Beng
segera menegur dg keheranan.
Sambil tertawa Li Sam menurunkan buntalan panjang dari
bahunya, lalu menjawab:
“Sejak memasuki halaman ini, hamba telah merobohkan si budak
Chin sian kun, dg demikian bila kau pulang seusai pekerjaanmu
nanti, siapapun tak akan mencurigai dirimu!”
Kho Beng manggut-manggut, dg cepat ia membuka buntalan
tersebut., ternyata semua barang kebutuhannya sudah siap sedia.
Maka dia pun segera turun tangan menjahit kulit kambing yg
dibentuknya menjadi selembar topeng, tak sampai setengah jam
kemudian selembar wajah yg menyeramkan seperti muka kuntilanak
telah terbentuk.
Dibawah bantuan Li Sam, ia segera menggerakkan rambut palsu,
memakai baju, menggembol kantung kedele dan mempersiapkan
diri.

Tak selang beberapa saat kemudian, Kho Beng telah berubah
menjadi seorang perempuan berwajah jelek yg mengenakan baju
warna putih.
Sambil menggenggam payung putih, Kho Beng mulai berjalan
dalam ruangan mempelajari cara berjalan yg tepat, lalu tanyana
kepada Li Sam sambil tertawa:
“Miripkah diriku dg sikedele maut?”
Li Sam segera tersenyum.
“Bagaimanapun juga selain kau seorang, belum pernah ada
manusia lain yg pernah bersua dg cicimu, asal tidak terkurung, aku
pikir orang lain tentu dapat dikelabui.”
Kho Beng manggut-manggut, tanyanya lagi:
“Kau sudah memberi kabar kepada ciciku?”
Li Sam menghela napas panjang.
“Hamba telah berkunjung ketempat persembunyian cicimu, yakni
kuil Hian tin li tokoan yg berada ditengah kota Gak yang, disitu
kutemukan cicimu sudah meninggalkan tempat tersebut, sambil
meninggalkan tanda “aman”. Oleh sebab itu boleh dibilang saat ini
hamba sendiripun telah kehilangan kontak dgnya1”
Kho Beng tertegun.
“Apakah tanda tersebut bisa diartikan ciciku telah meninggalkan
kota Gak yang dalam keadaan aman?”
“Bebicara menurut tanda itu, apakah cicimu sudah pergi
meninggalkan kota ataukah hanya berpindah tempat
persembunyian, hal ini baru bisa diketahui besok pagi.”
Kho Beng termenung beberapa saat lamanya, kemudian
manggut-manggut.
“Untuk menghindari hal-hal yg tak diinginkan, aku akan tetap
melaksanakan rencanaku semula, Sam ko, menurut penilaianmu
penjagaan dibagian manakah dari pihak istana naga yg kau anggap
paling lemah?”
Li Sam berpikir sejenak, kemudian menjawab:
“Jalan yg menuju kearah timur laut kota Gak yang merupakan
bagian yg paling banyak penjagaannya tapi justru bagian tersebut yg
paling lemah, daerah sana dijaga Kim kong sam pian, setelah keluar
kota maka sepanjang perjalanan dijaga oleh orang-orang Hoa san
pay, kecuali Hek pek ji lo dua sesepuh hitam putih dari Hoa san pay,
lainnya tak perku dirisaukan.

“Bagus sekali!” kata Kho Beng kemudian sambil manggutmanggut,
“Kau harus segera pergi mencari ciciku, suruh dia
berusaha meloloskan diri disaat aku memancing kawanan jago
lainnya menuju kearah timur laut kota Gak yang.”
“Ada tiga persoalan yg perlu hamba laporkan kepada majikan!”
kata Li Sam setelah manggut-manggut.
“Soal apa?”
“Tanda bahaya yg dipergunakan pihak mereka dimalam hari
adalah asap api, apabila asap kuning yg dilepaskan berarti
menjumpai bahaya, bila asap putih berarti kesalah pahaman
sebaliknya bila muncul asap merah berarti jejak kedele maut telah
ditemukan. Ini berarti segenap jago dari pelbagai kawasan akan
segera berkumpul dari segala penjuru untuk melakukan
pengepungan. Oleh sebab itu apabila cukong menjumpai tanda asap
merah janganlah sekali-kali melibatkan diri dalam pertempuran
sengit!”
Kho Beng segera manggut-manggut.
Li Sam berkata lebih jauh:
“Soal kedua adalah soal telaga Tong ting sebagai pusat kekuatan
mereka yg menembus sampai kota Gak yang. Bila menuju kearah
timur laut maka penghadangan hanya terdapat pada sepanjang
sungai tiang kang hingga telaga Sam hong oh, asal majikan dapat
menghindari penjagaan dan mampu melewati telaga Sam hong oh
berarti kau telah tiba tempat yg aman, tapi andaikata situasi amat
darurat sehingga tak mampu meloloskan diri, silahkan majikan
menelusuri sungai kira-kira sejauh lima puluh li, disitu terdapat hutan
gelugu yg amat rimbun, asal majikan bersembunyi dibalik gelugu
tadi, tentu ada orang yg akan munculkan diri untuk menolong
dirimu.”
“Siapakah dia?” tanya Kho Beng agak tertegun.
Li Sam segera tersenyum:
“Sampai waktunya majikan akan mengetahui sendiri.”
Selesai berkata ia segera menyembah kepada Kho Beng seraya
berpesan lagi dg suara dalam:
“Harap majikan menjaga diri baik-baik, bagaimanapun juga harap
kau lebih mementingkan jiwa sendiri daripada persoalan yg lain...”
Kho Beng cepat-cepat balas memberi hormat sambil menjawab:
“Terima kasih banyak untuk nasehat Sam ko, seperti diketahui
maksud tuuanku hanya memancing musuh untuk meninggalkan pos

penjagaan, bila keadaan tidak terlalu mendesak tak nanti kulibatkan
diri dalam suatu pertarungan yg tidak menguntungkan, biarpun
dendam kesumat sedalam lautan namun sebelum duduk persoalan
menjadi jelas, Kho Beng tak akan melakukan pembunuhan secara
besar-besaran, kuharap Sam ko pun bisa membujuk cici ku agar
mengurangi sifat suka membunuhnya, apalagi musuh berjumlah
sangat banyak, biar dibunuh lebih banyak pun bukan berarti bisa
menyelesaikan persoalan!”
Li Sam pun manggut-manggut, maka mereka berdua pun saling
bertatapan beberapa saat, seakan-akan setelah perpisahan kali ini
entah mereka dapat bersua kembali atau tidak.
Ungkapan perasaan yg amat tulus dan tebalpun terpancar jelas
dalam detik-detik seperti ini.
Jendela belakang masih terbuka lebar, akhirnya setelah
mengucapkan “jaga diri baik-baik”, Li Sam menyelinap keluar dari
ruangan tersebut dan lenyap dibalik kegelapan sana.
Waktu itu kentongan pertama sudah menjelang tiba, Kho Beng
menunggu sampai sepeminum the lamanya semenjak kepergian Li
Sam, setelah membereskan buntalan lalu ia menyusup keluar pula
lewat jendela belakang.
Suasana dalam kebun amat sepi, nampaknya belum ada yg tahu
kalau si walet terbang berwajah ganda telah dirobohkan orang.
Kho Beng mencoba memperhatikan sejenak suasana sekitar situ,
kemudian ia bergerak menuju kearah kiri kemudian menyulut api yg
telah dipersiapkan untuk membakar gedung.
Memang inilah rencananya untuk memancing perhatian musuh,
menanti api sudah berkobar hingga membumbung keangkasa dan
suasana gaduh memecahkan keheningan dalam wisma, ia baru
tertawa seram sambil bergerak menuju kearah kota Gak yang.
Dalam gerakan mana, ia sempat melihat asap kuning telah
ditembakkan ketengah udara, lalu dibawah cahaya api yg membara,
ia melihat dg jelas ada lima enam sosok bayangan manusia sedang
mengejar dibelakangnya…..
Diam-diam Kho Beng merasa bangga dg hasil pekerjaannya,
sambil mempercepat larinya ia melompat tembok kota dan bergerak
cepat menuju kearah timur laut.
--------missing page 38 – 41 -----------

…dan merupakan suatu kerjasama yg sangat rapat.
Mau tak mau Kho Beng terkejut juga menghadapi ancaman
tersebut, pikirnya:
“Tak aneh kalau pihak lawan begitu tinggi hati ketika bertemu
pertama kali dulu, nyatanya ilmu ruyung penakluk iblisnya betulbetul
sangat hebat dan tangguh!”
Dg payung menggantikan pedang, pemuda kita tak berani
bertarung lebih jauh, serangannya segera diurungkan ditengah jalan
dan buru-buru melompat kesamping untuk menghindari serangan
musuh.
Baru saja ia bermaksud untuk melepaskan diri dari kepungan,
mendadak tampak olehnya Kim losam menyerbu datang, ruyung
panjangnya disertai desingan tajam langsung mengancam batok
kepalanya.
Bersamaan waktunya, terdengar dua kali bentakan nyaring
bergema dari belakang tubuhnya, ia mendengar desingan suara
senjata tajam menyambar tiba dan mengancam punggungnya.
Diserang dari muka dan belakang, terpaksa Kho Beng harus
membuang badannya kesamping untuk menghindarkan diri.
Sebagaimana diketahui payung Thian lo san yg berada
ditangannya adalah benda palsu, meski permukaan payungnya
berwarna perak, namun sesungguhnya hanya tempelan kertas.
Itulah sebabnya Kho Beng harus mempergunakannya dg hati-hati
sekali, ia tak berani melancarkan serangan balasan, karena takut
hasil penyamarannya ketahuan orang sehingga semua rencana gagal
total.
Siapa tahu, pada waktu ia sedang berkelit kekiri menghindar
kekanan inilah, tiba-tiba terdengar Kim li jin membentak keras, lalu
terasa tangannya mengencang…
Ternyata payung bulatnya telah terlilit oleh senjata ruyung lawan
Sementara itu kedua senjata ruyung lainnya telah berkelebat pula
ditengah udara, diantara kilauan cahaya, senjata-senjata itu
menyambar pula kepinggangnya.
Dalam dua gebrakan sudah terjerumus dalam posisi terdesak, hal
ini membuat Kho Beng yg sudah gugup dan kalut pikirannya
semakin terperanjat lagi.
Ia tak berani membuang payung itu, namun bila tidak dilepaskan
payung tersebut berarti gerakan tubuhnya akan terperangkap
kepungan lawan, bukan hanya ancaman ruyung itu saja yg mesti

diperhitungkan, terutama sergapan jago tangguh dari belakang
tubuhnya.
Berada dalam keadaan seperti ini, mau tak mau Kho Beng harus
mempertaruhkan selembar jiwanya.
Hawa murninya segera dihimpun kedalam payung itu kemudian
sambil membentak, payung itu digetarkannya keras-keras untuk
melepaskan diri dari belenggu ruyung tersebut.
Dalam getaran ini telah disertakan juga tenaga dalam hasil
latihan empat puluh tahun dari Bu wi lojin, bisa dibayangkan sendiri
bagaimana akibatnya…
Waktu itu sebenarnya Kim lo ji bermaksud hendak mengunci
senjata Kho Beng hingga tak mampu dipergunakan lagi, siapa tahu
getaran lawan membuat telapak tangannyanya menjadi belah dan
berdarah.
Saking kaget dan ngerinya, ia segera menjerit keras dan
melepaskan ruyungnya sambil buru-buru mundur.
Sementara itu Kho Beng telah mengayunkan payungnya
mengikuti gerakannya tadi, lagi-lagi ia menggetarkan ruyung kedua
sampai mencelat kebelakang.
Walaupun jurus ruyung dari Kim hong sam pian termasyur karena
kehebatannya, ternyata sama sekali tidak mampu menahan getaran
tenaga dalam lawan.
Dalam terkesiapnya tubuh Kim lotoa dipentalkan sampai
terhuyung maju dua langkah, akibatnya ia jadi menghalangi gerak
kelima orang lainnya.
Biarpun serangan yg digunakan Kho Beng sekarang belum
terhitung merupakan suatu jurus serangan, namun kehebatannya
sudah etrbukti dg jelas.
Maka begitu melihat situasi sudah semakin rawan, ia merasa
inilah kesempatan terbaik untuk meninggalkan tempat tersebut,
karenanya setelah menggetar lepas tiga buah ruyung lawan, ia
menerjang maju kemuka dan berseru sambil tertawa dingin:
“He…he….he…kuampuni kedelapan lembar jiwa anjing kalian
pada malam ini, sampaikan kepada keledai gundul dari Siau lim
bahwa penjagaan yg dilakukan disekitar tempat ini belum cukup
mampu untuk menyulitkan Kedele Maut!”
Waktu itu rasa terkejut dan ngeri yg mencekam Kim kong sam
pian sekalian belum lenyap, meski Kho Beng sudah bergerak

meninggalkan tempat tersebut namun untuk beberapa saat lamanya
mereka masih berdiri mematung ditempat semula.
Saat ini, dalam hati kecil mereka sama mempunyai satu
pandangan yg sama, yakni Kedele Maut memang nyata bukan
musuh sembarangan.
Salam pada itu, dari ujung atap rumah dikejauhan sana telah
muncul belasan sosok bayangan manusia, terdengar seorang
diantaranya berteriak keras.
“Tanda bahaya asap merah telah dilepaskan, apakah disini telah
terjadi sesuatu peristiwa?”
Buru-buru Kim lotoa menyahut:
“Kedele Maut telah melarikan diri kearah timur laut!”
Kemudian sambil memandang sekejap kearah rekan-rekannya,
dia mengulapkan tangan sambil berseru lagi.
“Hayo kita kejar!”
Sekali lagi kedelapan orang jago tersebut berkelebat kemuka
melakukan pengejaran.
Sesungguhnya kedelapan orang jago ini sudah dibikin keder oleh
kelihaian dan kemapuhan tenaga sakti Kho Beng, tapi terdesak oleh
situasi dan keadaan terpaksa mereka harus melakukan pengejaran
kembali.
Maka suasana didalam kota Gak yang pun menjadi sangat kalut,
sekalipun tengah malam sudah menjelang, namun diatas-atas setiap
bangunan rumah telah dipenuhi oleh jago-jago lihay dari dunia
persilatan, bayangan manusia berkelebat kian kemari dg cepatnya.
Memanfaatkan situasi yg sangat kalut ini, Kho Beng segera
menghimpun tenaga dalamnya dan melompati pintu utara kota Gak
yang untuk kabur menuju kearah timur laut.
Walaupun ia berhasil lolos dari kepungan, tapi sesungguhnya
pemuda ini merasa terkejut juga sampai mandi keringat dingin.
Padahal menurut Li Sam, penjagaan daerah sini terhitung
penjagaan terlemah, tapi kenyataannya dg kemampuan yg dimiliki
Kim kong sam pian pun nyaris penyamarannya terbongkar, bisa
dibayangkan betapa ketat dan kokohnya penjagaan diposisi lain.
Sekarang ia berpendapat untuk sedapat mungkin berlomba dg
waktu, atau dg perkataan lain ia harus dapat meninggalkan tempat
tersebut setelah lawan melepaskan bom asap merah dan sebelum
bala bantuan dari pelbagai penjuru memburu kesitu dan
mengepungnya.

Sebab kalau tidak begitu sama artinya rencana yg dilaksanakan
menemui kegagalan total, apalagi bila ia sampai terkurung hingga
tertangkap, akibatnya tentu susah diramalkan.
Berpikir sampai disitu tanpa terasa ia menambah tenaganya dg
dua bagian untuk kabur sekuat tenaga.
Dalam waktu singkat tiga li sudah dilalui, disisi kirinya telah
membentang sungai Tiang kang yg luas sementara disisi kanannya
adalah lapang datar, dimana jauh beberapa li dari sisi jalan baru
kelihatan beberapa rumah penduduk.
Sementara ia masih berlarian kencang, tiba-tiba dari rumah
penduduk disisi kanan jalan menyembur keluar bom asap merah yg
meledak ditengah udara menyusul kemudian tampak tiga sosok
bayangan hitam munculkan diri dari balik rumah dan meluncur
sejauh lima kaki di depan.
Dalam waktu singkat mereka telah menghadang ditengah jalan
dg pedang terhunus.
Sekarang Kho Beng baru mengerti bahwa pihak jago persilatan
telah memanfaatkan pula rumah penduduk sebagai pos penjagaan,
tak heran kalau meeka bisa melaksanakan penjagaan siang malam
tanpa henti.
Karena para penjaga telah tampilkan diri, mau tak mau kho Beng
harus bersikap tenang, sambil mempersiapkan payung bulatnya,
pelan-pelan ia mendesak maju kemuka dan berseru sambil
melengking:
“apakah murid hoa san pay yg menghadangku? Hmmm,
nampaknya kalian sudah bosan hidup!”
Seperti diketahui, umat persilatan sudah mempunyai kesan jelek
terhadap Kedele Maut, yakni seorang pembunuh yg buas dan berhati
keji, karena itulah dia sengaja menggertak dg maksud merontokkan
dulu moril lawan.
Betul juga paras muka ketiga jago Hoa san pay yg berusia antara
tiga puluh tahunan dan memakai pakaian ringkas hitam segera
berubah hebat, seakan-akan mereka merasakan datangnya ancaman
maut yg setiap saat dapat menimpa dirinya atau secara lamat-lamat
mereka berpendapat bahwa mereka bertiga pasti akan tewas apabila
Kedele Maut sampai turun tangan.
Salah seorang diantaranya segera memandang sekejap kearah
rekannya, sambil menempelkan pedang didepan dadanya ia
memberi hormat kepada Kho Beng dan berkata dg suara gemetar:

“Berhubung tanda bahaya asap merah telah dilepaskan, Hoa san
sam kiam menanti dg hormat kedatangan cianpwee!”
Kho Beng tertegun, reaksi dari lawannya sama sekali diluar
dugaan, terutama sekali sebutan “cianpwee” tersebut, hampir saja
membuatnya tertawa geli.
Tapi diluaran dia sengaja mendengus dingin, kemudian dg suara
yg tinggi melengking katanya:
“Hmmm, tiga pedang dari Hoa san yg cerdik, rupanya kalian
hendak merayuku dg sikap tak hormat?”
Buru-buru pemimpin dari tiga pedang tersebut berkata lagi dg
hormat:
“Aku yg muda tak berani bersikap kurang ajar pada Cianpwee,
kami hanya berharap cianpwee suka menunggu sebentar saja
disini!”
Kho Beng tertawa terkekeh-kekeh, sambil memutar payungnya ia
menjengek lagi dingin:
“Ooooh, kau suruh aku menunggu disini agar orang-orangmu
datang kemari dan mengeroyokku seorang diri?”
Tiga pedang dari Hoa san pay nampak terkejut, sebelum mereka
sempat berkata sesuatu, Kho Beng telah membentak lagi dg suara
lengking:
“Hmm, tak nyana kalian menyembunyikan golok dibalik
senyuman, bagus sekali jangan kabur dulu rasakan payung saktiku
ini!”
Sambil membentak keras gerakan payungnya digetarkan
sedemikian rupa hingga tercipta sebuah lingkaran cahaya putih yg
amat menyilaukan mata kemudian menerobos kemuka dan menusuk
tubuh pemimpin dari ketiga jago pedang tersebut.
Berubah hebat paras muka tiga pedang sakti dari Hoa san karena
mereka tidak mengira perbuatan sakti apakah yg tersembunyi dibalik
jurus serangannya, ternyata tak seorang berani menangkis atau pun
menghadapinya.
Tanpa membuang waktu, serentak mereka bergerak mundur
sejauh tiga depa lebih dari posisi semula.
Padahal memang inilah keinginan Kho Beng, memanfaatkan
kesempatan tersebut ia menerjang kedepan tiga pedang dari Hoa
san seraya membentak lagi:
“Mengingat kalian bersikap sopan kepadaku, untuk sementara
waktu kuampuni jiwa kalian pada malam ini, sampaikan kepada

ketua partai kalian agar segera menarik kembali anak buahnya dan
jangan mencampuri urusan orang lain!”
Berbicara sampai disitu, tubuhnya sudah melompat sejauh dua
puluh kaki dari posisi semula.
Mnanti musuhnya sudah pergi jauh, paras muka tiga pedang dari
Hoa san lambat laun baru pulih kembali ari ketegangan.
Ketika dilihatnya, dari kota Gak yang telah berdatangan
serombongan jago persilatan, buru-buru pemimpin dari Hoa san sam
kiam membentak keras:
“Bala bantuan telah datang, mari kita kejar!”
Kho Beng terkejut sekali, rasa tegang kembali menyelimuti
seluruh perasaannya.
Ia sadar, tak boleh berdiam lebih lama disitu, bila murid-murid
Hoa san pay sampai berhasil mengejar dan mencegatnya sedang
jago-jago lihay dari kota Gak yang segera akan berhamburan
datang, niscaya ia akan terjepit dan terkepung sama sekali.
Bila hal seperti ini terjadi, tak pelak lagi jiwanya tentu akan
terancam bahaya maut.
Setelah berpikir berapa saat akhirnya ia menjadi nekad untuk
kabur kedepan lebih jauh.
Lebih kurang satu kentongan kemudian ia berlarian tanpa arah
tujuan, akhirnya dari antara pepohonan yg lebat ia berhasil
menemukan sebuah jalan setapak yg entah berhubungan sampai
dimana.
Dalam keadaan seperti ini, tiada kesempatan lagi buat Kho Beng
untuk berpikir panjang, begitu menjumpai jalan setapak ia segera
menelusurinya dg cepat.
Siapa tahu belum sampai satu li, tiba-tiba dari balik sebatang
pohon terdengar seseorang membentak keras:
“Berhenti! Sobat darimana yg datang kemari tengah malam
begini? Ada urusan apa kau kemari?”
Ditengah bentakan, tampak sesosok bayangan manusia meluncur
kedepan dg kecepatan tinggi dan menghadang jalan perginya
ternyata dia adalah seorang tosu setengah umur yg memakai baju
warna kuning.
Kho Beng sama sekali tidak menyangka kalau dijalan sesepi
inipun terdapat musuh, dalam kagetnya cepat-cepat dia
menghentikan langkahnya sambil memutar senjata payung dan
berlagak seolah-olah hendak menyebarkan kedele mautnya.

Lalu dg suara tinggi melengking ia membentak keras:
“Tosu setan! Buat apa kau banyak bertanya, memangnya
matamu sudah buta sehingga tak bisa mengenali siapakah diriku?”
Walaupun tosu itu baru berusia tiga puluh tahunan, namun
sepasang matanya memancarkan cahaya tajam, jelas kalau dia
adalah seorang jago persilatan yg berilmu tinggi.
Tatkala mendengar teguran tersebut, serta merta ia
memperhatikan lawannya dg lebih seksama, air mukanya segera
berubah hebat, tanpa sadar tubuhnya mundur dua langkah
kebelakang, serunya tertahan:
“Jadi andakah si Kedele Maut?”
Kho Beng tertawa dingin.
“He…he…he….setelah tahu siapakah aku, buat apa kalian berdiri
mematung terus disitu?”
Ternyata reaksi dari tosu itu cukup cekatan, tiba-tiba dia
mengayun kan tangan kirinya dan….
“Sreeeettt…….”
Sebuah bom udara berasap merah sudah dilepaskan dan meledak
ditengah udara.
Melihat perbuatan lawannya ini diam-diam Kho Beng tertawa geli,
pikirnya:
“Tak nyana perbuatan mereka sama satu dg yg lainnya….Cuma
tosu ini dari partai mana? Seingatku, hanya Kio kiong dan Bu tong
saja yg beranggota tosu?”
Meskipun ingatan tersebut melintas dalam benaknya, namun ia
tak berani berayal lagi, secepat anak panah yg terlepas dari
busurnya, dia segera melintas lewat dari samping tosu itu meluncur
kedepan dg kecepatan tinggi.
Tosu itu nampak agak tertegun, mungkin lantaran ucapan Kho
Beng maka dia masih mengira akan terjadi pertempuran yg amat
seru.
Siapa tahu, si Kedele Maut yg sudah termasyur karena
keganasannya ternyata meninggalkan korbannya dg begitu saja
tanpa terjadi pertarungan barang satu dua juruspun.
Dg cepat ia segera menggerakkan tubuhnya melakukan
pengejaran, bentaknya keras:
“Hei, tunggu sebentar!”

“Kho Beng menegur, dia tak menyangka musuhnya masih
menghalangi kepergiannya padahal ia sedang berperan sebagai
Kedele Maut yg disegani sekarang.”
Mau tak mau pemuda tersebut harus menghentikan langkahnya,
lalu sambil menatap tosu tersebut dg pandangan dingin, tegurnya
keras-keras:
“Apakah kau sudah bosan hidup?”
Tosu setengah umur itu tertawa nyaring.
“Pinto Leng hun menjabat sebagai pemimpin pelindung hukum
dari Bu tong pay, meski takut mati namun tak akan kulepaskan iblis
keji macam anda dg begitu saja, pinto merasa berkewajiban
menegakkan kebenaran dan keadilan didunia ini. Apa artinya mati
hidup buat diriku ketimbang memberantas kejahatan dari muka
bumi? Karenanya sebelum anda dapat membinasakan diriku, jangan
harap bisa pergi meninggalkan tempat ini dg leluasa…!”
Begitu selesai berkata, pedangnya langsung digetarkan dan
menusuk ke uluhati Kho Beng.
Mengingat musuhnya sudah termasyur karena ketangguhan dan
keganasannya, maka tosu dari Bu tong pay ini tak berani bertindak
gegabah, untuk menghindari segala kemungkinan yg tak diinginkan,
begitu turun tangan ia segera mengeluarkan jurus “cahaya hitam
bayangan memecah” yg merupakan jurus serangan paling tangguh
dari ilmu pedang Thian hiam kiam hoat, ilmu andalan Bu tong pay.
Tidak terlukiskan rasa terkejutnya Kho Beng, dg cepat ia eyusut
mundur kebelakang kemudian menyilangkan payungnya didepan
dada sambil bersiap sedia menghadapi segala kemungkinan yg tak
diinginkan.
Ia sadar kalau dirinya sudah terjerumus kedalam kawasan yg
dijaga oleh pihak Bu tong pay, dan lebih-lebih tak diduga olehnya
adalah sikap jantan dan berani mati yg diperlihatkan musuhnya
kendatipun hanya dia seorang.
Padahal Leng hun totiang termasuk pimpinan dari kedelapan
pelindung hukum partai Bu tong pay, bukan saja termasuk jago
paling muda yg sangat menonjol dalam tubuh Bu tong pay sendiri,
sekalipun dalam dunia persilatan pun termasuk jago pilihan.
Serangkaian ilmu pedang Thian hian kiam hoatnya telah
mencapai tingkat sempurna yg hampir seimbang dg kemampuan
ketua Bu tong pay dewasa ini.

Lebih-lebih lagi, biarpun dia termasuk seorang pendeta, namun
keangkuhannya melebihi orang biasa, itu sebabnya sikap, jalan
pemikiran maupun tindakannya berbeda sekali dg orang-orang Hoa
san pay.
Sudah lama sekali ia berhasrat untuk bertarung melawa Kedele
Maut dg harapan bisa menaikkan pamor partai Bu tong pay dimata
masyarakat, bayangkan saja bagaimana mungkin dia mau
melepaskan kesempatan yg sangat baik setelah bersua dg Kedele
Maut gadungan saat ini?
Gagal dg serangan yg pertama, ia segera tertawa seram sambil
berseru:
“Telah lama kudengar akan kegemaran anda membunuh orang,
aku pun dengar tenaga dalammu amat sempurna dan kepandaian
silatmu sangat hebat. Sekarang, mengapa kau tak berani turun
tangan? Ataukah kau sudah pecah nyali setelah berhadapan dg
orang-orang golongan lurus? Nih rasakan dulu kehebatan ilmu
pedang Bu tong pay ku ini?”
Ditengah pembicaraan, jurus serangannya “cahaya hitam
bayangan berpisah” segera diubah menjadi gerakan “langit dan bumi
menyatu”, pedangnya dg dilapisi cahaya terang segera menyelimuti
seluruh badan Kho Beng.
Dua jurus serangan yg dilancarkan berantai, sesungguhnya
sararan yg berlawanan, namun kenyataannya bisa dipergunakan
sembung menyambung, hal ini membuktikan bahwa ilmu pedang Bu
tong pay memang benar-benar luar biasa, kehebatannya tiada
bandingannya didunia ini.
Kho Beng merasa terkejut bercampur mendongkol, ia tak berani
melayani musuhnya terlalu lama, apalagi tanda bahaya sudah
dilepaskan, berarti sebentar lagi kawanan jago akan segera
berdatangan, apa jadinya bila ia sampai terkepung?
Jilid 10
Tapi diapun tak bisa melarikan diri dg begitu saja. Setelah
berani berperan sebagai Kedele Maut, otomatis dia tak mau
menunjukkan titik kelemahannya ditengah jalan hingga sampai
dicurigai lawan.
Disaat kedua persoalan tersebut meragukan pikirannya dan
membuat pemuda kita tak berani mengambil keputusan itulah, jurus
serangan dari Leng hun totiang telah tiba dihadapannya, diantara

percikan cahaya bintang yg amat menyilaukan mata, semua jala
darah kematiannya telah berada dibawah ancamannya.
Waktu tidak mengijinkan Kho Beng untuk berpikir lebih jauh,
sedang payung Thian lo san palsunya juga tak mungkin bisa dipakai
untuk membendung serangan pedang lawan, didalam keadaan apa
boleh buat, terpaksa ia mesti meloncat mundur lagi untuk kedua
kalinya.
“Tahan!” bentaknya melengking.
Sekalipun Kho Beng harus melompat mundur untuk kedua
kalinya, namun gerakan badannya sangat ringan dan cepat.
Menghadapi keadaan demikian, biarpun Leng hun totiang merasa
curiga, tapi berhubung nama besar Kedele Maut sudah terlanjur
termasyur dimana-mana, terang saja ia tak berani memandang
enteng lawannya.
Ketika mendengar bentakan tersebut, ia segera menarik
pedangnya seraya menegur dingin:
“Anda telah menunjukkan sikap yg berbeda dg kebiasaanmu
dimasa silam ataukah ada rencana busuk yg sedang kau
persiapkan?”
Kho Beng tertawa melengking:
“Leng hun, ketahuilah bahwa dibawah payung dewimu, belum
pernah ada seorang manusia pun yg bisa lolos dalam keadaan hidup,
tahukah kau mengapa aku mengalah terus kepadamu?”
Leng hun totiang agak tertegun, lalu jawabnya dingin:
“Maaf, pinto kelewat bodoh dan mohon tahu apa sebabnya?”
Satu ingatan cerdik segera melintas dalam benak Kho Beng, dg
dingin katanya kemudian:
“Sederhana sekali, berhubung antara aku dg ketua partai kalian
sudah terjalin perjanjian secara pribadi untuk tidak saling
mengganggu, maka akupn enggan berselisih paham dg mu, lagi
kalau toh kau tetap tak tahu diri sehingga mengobarkan watakku,
hmmm lihat saja akibatnya nanti!”
Seusai berkata ia segera membalikkan badan dan berabjak pergi
meninggalkan tempat tersebut.
Pada mulanya Leng hun totiang merasa agak tertegun, kemudian
dg penuh amarah ia membentak:
“Berhenti!”

Secepat anak panah yg terlepas dari busurnya dia melesat maju
kedepan, begitu melampaui Kho Beng, ia segera menghadang jalan
perginya dg pedang disilangkan didepan dada.
Kho Beng sendiripun agak mendongkol, setelah mundur berapa
langkah, serunya dg suara melengking:
“Tosu setan, aku toh sedang memberi keterangan sejelasnya,
apakah kau betul-betul sudah bosan hidup?”
“Iblis keji!” hardik Leng hun totiang, “Kau jangan memfitnah
ketua kami sebagai temanmu, kapan sih ciangbunjin kami mengikat
perjanjian gelap dgmu?”
Sebagaimana diketahui, Kho Beng memang Cuma berbicara
semaunya senciri, maka sambil tertawa terkekeh-kekeh serunya lagi:
“Mengapa tidak kau tanyakan sendiri kepada ketuamu?”
Leng hun totiang segera tertawa dingin:
“He…he…he…sudah tiga orang rekan kami yg tewas oleh Kedele
Maut mu, aku yakin bohongmu kali ini kalau bukan bermaksud
mengadu domba, pasti mempunyai maksud busuk lainnya. Bila kau
tak dapat memberikan bantahan yg jelas hari ini, rasanya tak
mungkin bisa membersihkan tuduhanmu tersebut.”
Leng hun totiang termasuk seorang pendeta yg sangat
mengutamakan nama baik perguruannya, ia kuatir tuduhan Kho
Beng tersebut sampai tersebar luas diluaran hingga menimbulkan
kecurigaan pihak lain.
Karenanya begitu selesai berkata, pedangnya sekali lagi
melancarkan tusukan kilat ketubuh Kho Beng, hanya kali ini dia telah
melipat gandakan kekuatannya.
Kho Beng sendiripun tidak begitu jelas mengetahui seberapa
banyak korban yg sudah tewas ditangan cicinya, tentu saja dia pun
tidak tahu siapa saja yg telah menjadi korban.
Karenanya ia menjadi tertegun sehabis mendengar perkataan
tadi, ia tahu perkataannya bukan saja gagal melunakkan sikap lawan
malah sebaliknya mengobarkan kembali perasaan dendam sakit
hatinya.
Dalam keadaan demikian, ia mengerti kalau suatu pertarungan
tak bisa dihindari lagi.
Cepat-cepat senjata payungnya dipersiapkan, kemudian secara
beruntun balas menotok ketujuh jalan darah penting ditubuh Leng
hun totiang, jengeknya sambil tertawa dingin:

“Yang telah mampus toh sudah mampus, justru karena katua
kalian menyayangi kalian anggotanya yg masih hidup, maka
perjanjian tersebut dibuatnya dg ku, tapi sekarang kau bakal
menjadi sukma keempat yg bakal melayang ditanganku.”
Untuk tetap mempertahankan pemornya Kedele Maut, terpaksa ia
mesti mengucapkan kata-kata yg pedas.
Hawa amarah Leng hun totiang semakin memuncak, ia
membentak nyaring:
“Ngaco belo!”
Serangan pedangnya semakin diperketat, diantara ayunan
pedangnya sedapat mungkin ia mengancam bagian-bagian
mematikan ditubuh Kho Beng.
Dalam waktu singkat, cahaya pelangi yg menyilaukan mata telah
mengurung Kho Beng dibawah lapisan bayangan pedang.
Kho Beng dipaksa untuk menghindar kesana kemari untuk
menyelamatkan diri, ditambah pula senjatanya tak sesuai dg
kebiasaannya, maka sulit baginya untuk melancarkan serangan
balasan, hal ini masih ditambah pula dg kekuatirannya bila sampai
melukai lawan, karenanya ilmu pedang Lingsui jit si pun tak berani
digunakan.
Akibatnya secara lambat laun ia makin terjerumus kedalam
kepungan musuh dan kerepotan untuk menghadapinya.
Perasaan gelisah membuatnya makin tegang, apalagi permainan
pedang Leng hun totiang yg makin lama makin gencar, dimana
pancaran hawa serangannya begitu hebat dan jauh diluar
perhitungannya, semua itu membuatnya makin terpojok.
Kho Beng mulai sadar, bila ia tidak segera melancarkan serangan
balasan, akhirnya dia sendiri yg akan terluka diujung senjata lawan.
Sementara itu Leng hun totiang sedang mengeluarkan jurus “Im
yang ji hun” atau “Im yang dipisahkan dua” dimana cahaya pedang
yg terwujud dalam dua bias sinar mengancam kedua iga Kho Beng,
lapisan cahaya serangan tersebut membuatnya susah untuk
membedakan manakah yg kenyataan dan mana yg tipuan.
Sambil menggertak gigi keras-keras Kho Beng segera membentak
nyaring, telapak tangan kirinya diputar kemudian didorongnya
kemuka dg pancaran tenaga serangan yg sangat hebat.Berbicara
soal tenaga dalam, Kho Beng menggembol tenaga murni Bu wi lojin
sebesar empat puluh tahun hasil latihan, tentu saja serangannya itu
benar-benar mengerikan hati.

Leng hun totiang kelihatan agak terkejut, pergelangan tangannya
segera diayunkan kebawah dan merubah jurus serangannya menjadi
gerakan “bayangan hitam pelangi terbang” untuk menyambar
pinggang Kho Beng.
Kecepatannya didalam merubah jurus selincah ular berbisa,
keganasannya serupa angin puyuh yg menyapu dedaunan, tapi
sayang Kho Beng sudah mempersiapkan diri dg sebaik-baiknya.
Sekali lagi ia membentak nyaring, dg ujung payungnya ia totok
ketubuh pedang lawan, inilah jurus “ombak ganas menerjang
batuan” dari ilmu pedang Liu sui jit si yg amat menggetarkan dunia
persilatan.
Walaupun payungnya itu tak bisa dipakai untuk tangkisan
melintang dan tusukan langsung, namun oleh karena ujung payung
terbuat dari tembaga putih, maka begitu menutul ditubuh pedang
Leng hun totiang, ternyata secara tiba-tiba dan sangat aneh
menyambar kedada tosu tersebut.
Serentetan cahaya bintang yg terwujud dari rentetan bahan
perak seketika itu juga mengurung dada Leng hun totiang dan
menyerupai air terjun yg menumbuk diatas batu karang kemudian
memercikan butiran air keempat penjuru, kekuatan serangan
tersebut dg cepatnya memancar keempat penjuru dan mengancam
keseluruh tubuh lawan. Memang disinilah kehebatan dari jurus
serangan ilmu pedang air mengalir yg amat hebat itu.
Menanti Leng hun totiang mengenali jurus pedang tersebut,
sayang sekali keadaan sudah terlambat. Diantara percikan cahaya
bintang yg menyilaukan mata, jerit kesakitan bergema memecah
keheningan lalu tampaklah jagom uda dari Bu tong pay yg kosen ini
mundur beberapa langkah dg sempoyongan, pedangnya terkulai
lemas kebawah.
Ternyata diatas dadanya sudah muncul lima buah lubang
berdarah dimana darah segar masih menyembur keluar dg derasnya,
air mukanya pucat pias seperti mayat, jelas luka yg dideritanya
parah sekali.
Semenjak terjun kedunia persilatan, baru pertama kali ini Kho
Beng melukai lawannya, sebagai pemuda yg berhati mulia ia menjadi
tertegun untuk beberapa saat lamanya. Sementara itu Leng hun
totiang telah menunding Kho Beng dg susah payah sambil berbisik
lirih.

“Jurus…jurus ombak ganas menerjang batu yg sangat hebat,
kau…kau…kau pasti bukan Kedele Maut….”
Diam-diam Kho Beng merasa terkejut tapi sesudah menghela
napas panjang sahutnya:
“Ketajaman mata totiang memang amat mengagumkan,
sebetulnya aku kho Beng enggan membunuhmu, tapi nampaknya
mau tak mau aku harus menghabisi nyawamu sekarang!”
Leng hun totiang membelalakkan matanya dg keheranan,
serunya amat tercengang:
“Kho Beng? Kau adalah Kho Beng sau sicu yg telah melaporkan
identitas Kedele Maut?”
Sambil tertawa getir Kho Beng manggut-manggut:
“Yaa, betul! Sayang sekali totiang mengetahui segalanya terlalu
terlambat…”
Seusai berkata, telapak tangan kirinya segera diayunkan kedepan
melepaskan sebuah pukulan dahsyat.
Leng hun totiang yg sudah terluka parah tak ampun terhajar
telak hingga terbanting keatas tanah, seketika itu juga selembar
jiwanya melayang meninggalkan raganya.
Agar mendekati kenyataan sesuai dg yg sebenarnya, Kho Beng
mengeluarkan dua butir kedele dan segera disambitkan kesepasang
mata korban, kemudian ia lalu menjura kepada jenasah tadi seraya
berdoa:
“Totiang, beristirahatlah dg tenang, ucapanmu yg telah
mengundang bencana sendiri, hal mana membuat ku terpaksa harus
membunuhmu, maafkanlah aku, semoga kau dapat menjelma
menjadi manusia kembali dalam penitisan mendatang!”
Selesai berdoa buru-buru ia meninggalkan tempat tersebut dg
cepat.
Sekarang ia tak berani meneruskan perjalanan kedepan, seorang
Leng hun totiang sudah cukup membuat berpikir dua kali, ia sadar
orang-orang Bu tong pay tak boleh dipandang enteng.
Ini berarti apa yg dikatakan Li sam memang benar, bila
dibandingkan maka hanya pihak Hoa san pay yg mudah dihadapi.
Maka sekali lagi dia bergerak kembali menuju ketempat dimana
pihak Hoa san pay mempersiapkan penjagaannya.
Tapi pelbagai pikiranpun bermunculan didalam benaknya saat itu.

Bila dilihat dari perbuatan encinya yg membunuh tak habisnya,
maka muncullah pertanyaan berapa banyakkah musuh besar
keluarganya?
Didalam surat wasiat ayahnya hanay dikatakan kalau kehancuran
perkampungan Hui im ceng hanya disebabkan sejilid kitab pusaka
Thian goan bu boh, mungkinkah orang yg mengincar kitab pusaka
tersebut tempo hari mencakup seluruh umat persilatan didunia ini?
Dibebani oleh berbagai persoalan yg mencurigakan inilah, tanpa
disadari ia telah kembali dikawasan dimana jago-jago Hoa san pay
melakukan penjagaan.
Suasana disekeliling tempat itu sangat hening, kecuali ombak
sungai yg menggulung-gulung, segala sesuatunya kelihatan tenang
sekali.
Seharusnya dg kembalinya ia ketempat tersebut, maka kawanan
jago lihay yg mengejar dari kota Gak yang harus sudah berkumpul
semua disitu, tapi apa sebab suasana diseputar sana justru kelihatan
begitu hening dan tenang....
Dg perasaan tak habis mengerti Kho Beng memperhatikan
sekejap sekeliling tempat itu, belum lagi ingatan kedua melintas
lewat, tiba-tiba dari sisi kirinya, dari balik sebuah batuan karang
menyembur keluar bom udara berwarna merah, disusul kemudian
terdengar seseorang menjengek sambil tertawa dingin.
“Iblis jahat! Sudah lama kunantikan kedatanganmu, tak kusangka
kau masih tetap berada disini!”
Ditengah pembicaraan, tampak dua sosok bayangan manusia
meluncur turun dg cepatnya dan menghadang ditengah jalan,
ternyata mereka adalah dua orang kakek putih dan hitam.
Kedua orang kakek itu mempunyai dandanan yg sangat aneh, yg
hitam mempunyai rambut berwarna hitam pekat, jenggot hitam,
muka hitam dan berbaju hitam, sekilas pandang mirip sekali dg
sebuah gumpalan daging berwarna hitam.
Sebaliknya yg putih, mengenakan baju putih, muka putih bahkan
rambut dan jenggot pun berwarna putih salju.
Diam-diam Kho Beng merasa sangat terkejut, dari dandanan
maupun ciri khas kedua orang lawannya itu, ia segera mengenali
mereka sebagai Hoa san Hek pek jilo atau dua sesepuh hitam putih
Hoa san pay.
Karenanya dg berlagak acuh tak acuh dan santai, ia memutar
payung bulatnya seraya berseru lengking:

“Ada apa? Apakah kunjunganku untuk menikmati keindahan
panorama malam ditempat ini telah mengganggu kalian berdua, dua
sesepuh dari Hoa san pay?”
Sikakek muka hitam mendengus dingin:
“Hmmm...ternyata anda betul-betul sangat licik dan berakal
bulus, sudah ratusan orang rekan-rekan persilatan mengejarmu
sampai dimuka sana, tak nyana kau masih berkeliaran disekitar sini,
tapi dg berdua kami bersaudara ditempat ini berarti jangan harap
kau bisa lolos dari sini dg selamat. Bila tahu diri mari kita selesaikan
persoalan ini secepatnya...”
Sembari berkata, mereka berdua masing-masing meloloskan
senjata andalannya.
Ketika mendengar perkataan tersebut, dalam hati kecilnya Kho
Beng amat terkejut sekali, dari perkataan lawan yg mengatakan
bahwa para jago telah mengejar kedepan situ, berarti selisih jarak
mereka tak bakal terlalu jauh, atau dg perkataan lain siasatnya
memancing para jago telah mencapai tujuan.
Dalam keadaan begini, dia tak ingin membuang waktu lebih lama
lagi disana, setelah berpikir sejenak, katanya kemudian sambil
tertawa lengking:
“Apakah kalian berdua sudah merasa bosan hidup didunia ini?”
Sikakek bermuka putih segera mendongakkan kepalanya dan
tertawa terbahak-bahak:
“Ha...ha...ha...terus terang saja, aku masih belum bosan hidup
didunia ini, tapi dalam kenyataan aku memang menaruh curiga
kepadamu!”
“Mencurigai dalam soal apa?”
Sambil tertawa terkekeh-kekeh, kakek bermuka putih itu
menjawab:
“Aku curiga kalau engkau bukan Kedele Maut yg tulen!”
KHo Beng tertegun, lalu tegurnya sambil tertawa dingin”
“Atas dasar apa kau berkata begitu?”
Sambil tertawa dingin, sikakek bermuka hitam turut menimbrung:
“Sejak kemunculannya dalam dunia persilatan, kapan sih Kedele
Maut pernah membiarkan korban yg telah melihat wajahnya hidup
terus didunia ini?”
“Yaa, memang belum ada” sahut Kho Beng sambil tertawa
lengking.

“Padahal menurut laporan anak muridku, sepanjang perjalanan
anda tidak melukai siapa saja, hal ini bertentangan sekali dg si
Kedelai Maut, oleh sebab itulah bukan saja aku menaruh curiga
kalau engkau bukan Kedele Maut, bahkan akupun mencurigai
maksud serta tujuanmu berbuat begini!”
Sekali lagi Kho Beng merasakan hatinya bergetar keras, pikirnya
tanpa terasa:
“Tampaknya ucapan jahe makin tua makin pedas memang benar,
tak heran kalau Li Sam berpesan kepadaku agar bersikap lebih hatihati
bila bertemu dua sesepuh hitam putih dari Hoa san…”
Dalam waktu singkat ia telah memperoleh jawabannya, maka
sambil tertawa dingin katanya:
“Ehmm, kecurigaanmu memang cukup beralasan, tapi akupun
hendak bertanya kepadamu, sudah tidak sedikit korban yg tewas
diuung Kedele Maut ku selama ini, tapi apakah tak pernah kau
pikirkan, diantara jago-jago yg tewas adakah diantaranya yg berasal
dari jagoan kelas dua atau kelas tiga?”
Kakek bermuka putih itu berpikir sebentar, lalu manggutmanggut:
“Yaa benar, diantara korban yg tewas dlm cengkeraman Kedele
Maut mu kalau bukan seorang pemimpin suatu perkumpulan atau
perguruan, memang biasanya termasuk jagoan kelas satu yg berilmu
silat tinggi…”
Sambil tertawa dingin, Kho Beng segera menyela:
“Nah, tentunya kau sudah mengerti bukan apa sebabnya
sepanjang jalan aku tidak melakukan pembunuhan? Bukan aku tak
ingin membunuh, he…he…he…Cuma sayang mereka belum pantas
untuk menemui ajalnya ditanganku.’
“Hmmm..sombong benar lagakmu” dengus kakek bermuka hitam
dg rasa mendongkol, “dari kota Gak yang hingga ketempat ini, meski
diantara rekan-rekan persilatan terdapat juga kawanan manusia yg
tidak sesuai dg nama besarnya, namun sebagian besar memiliki ilmu
silat yg luar biasa hebatnya, bila anda benar-benar adalah Kedele
Maut, aku rasa bangkai sudah bergeletakan dimana-mana, darah yg
mengalir telah menganak sungai….”
Kho Beng sengaja tertawa melengking.
“Hey tua bangka! Kau tak usah menempeli emas diwajah sendiri,
ketahuilah orang-orang yg kujumpai sepanjang jalan tak lebih hanya
sekawanan setan bernyali kecil yg menggelikan hatiku saja tapi

berbicara sesungguhnya, memang ada juga diantara mereka yg
memiliki kemampuan yg cukup berhak untuk kuhadapi seperti
misalnya tosu kecil yg bernama Leng hun, aku rasa tosu yg telah
kujegal itu masih lebih hebatan ketimbang jago-jago dari hoa san
kalian.”
Sindiran yg tak langsung ini seketika membuat wajah dua
sesepuh hitam putih menjadi merah padam, sikakek muka hitam
segera membentak penuh amarah.
“Jadi kau anggap kekuatan Hoa san pay kami tak ada harganya
sama sekali?’
“Hmmm..itupun belum cukup, ambil contoh kalian berdua saja,
berapa sih tinggi ilmu silat kalian berdua? Tapi aku telah menyiapkan
empat butir Kedele untuk menghantar kalian bermain-main dialam
baka!”
Dua sesepu hitam putih dari Hoa san nampak terkesiap, perasaan
curiga yg semula muncul dalam benak mereka pun mulai goyah.
Mereka mengetahui cukup jelas taraf kepandaian silat yg dimiliki
Leng hun totiang dari Bu tong pay, tapi kenyataannya ia telah tewas
ditangan musuh, hal ini menandakan bahwa Kedele Maut yg berada
dihadapannya sekarang bisa jadi adalah iblis yg tulen.
Serentak kedua orang sesepuh dari Hoa san pay ini
mempersiapkan pedangnya dan disilangkan didepan dada sambil
berjaga jaga terhadap segala kemungkinan yg bakal terjadi, namun
mereka tidak bermaksud untuk menyerang lebih dulu.
Padahal Kho Beng sendiripun tidak berniat turun tangan, melihat
keadaan tersebut, segera ujarnya sambil tertawa lengking:
“Hey tua bangka! Apa lagi yg kalian nantikan? Andaikata benarbenar
tak pingin mampus, menyingkirlah kesamping dg segera, hari
ini aku akan bersikap lebih terbuka terhadap pihak Hoa san pay
kalian!”
Berubah hebat paras muka sikakek bermuka hitam, dg wataknya
yg keras dan berangasan akhirnya ia tak kuasa untuk menahan diri,
segera dipandangnya sikakek bermuka putih sekejap, lalu berkata:
“Lotoa, perguruan kita telah dihina malam ini, bila kita berpeluk
tangan belaka, apakah orang persilatan tak akan mentertawakan
kita?”
Watak sikakek bermuka putih justru merupakan kebalikan dari
kakek bermuka hitam, mendengar kata-kata tersebut segera ia
tertawa:

“Loji kita tak boleh mengucapkan masalah besar hanya
disebabkan persoalan kecil, buat apasih kita terburu nafsu?”
Kho Beng jadi tertegun, ia coba memperhatikan sekejap suasana
diseputar sana, tiba-tiba ia menjumpai munculnya beberapa titik
hitam dari arah timur sana, titik-titik hitam tersebut sedang bergerak
mendekat dg kecepatan luar biasa.
Tiba-tiba saja ia menjadi paham agaknya kedua sesepuh hitam
putih dari Hoa san pay ini sedang mengulur waktu sambil menunggu
bala bantuan.
Kho Beng menjadi tercekat, ia tak berani berayal lagi, sambil
mengambil segenggam kedele ari sakunya, ia berseru lengking:
“Tua bangka celaka! Kalau toh kalian tak berani turun tangan,
rasakan dulu kehebatan kedele pengejar sukma ku ini , lihat
serangan…”
Segenggam kedele segera memancar keempat penjuru bagaikan
hujan gerimis yg menyelimuti angkasa. Sebagaimana diketahui
korban yg tewas diujung kedele tersebut sudah kelewat banyak, lag
pula diantara para korban tersebut terdapat jago-jago yg
berkepandaian jauh melebihi dua sesepuh hitam putih, itulah
sebabnya bagitu kedele tersebut diluncurkan, dg perasaan terkesiap
buru-buru dua orang kakek itu menyurut mundur untuk
menghindarkan diri.
Kho Beng memang bermaksud menggertak musuhnya dg
kebesaran nama kedele maut, karenanya sesudah melepaskan
serangan, tanpa diperdulikan lagi apakah serangannya mengenai
sasaran atau tidak, secepat anak panah dia melesat pergi.
Sementara itu kedua kakek hitam putih dari Hoa san pay masih
berdiri tertegun ditempat semula, terutama setelah gumpalan kedele
tersebut berguguran diatas tanah tanpa menimbulkan reaksi apapun
yg mengerikan hati.
Tapi setelah tertegun sesaat, dg cepat mereka lakukan
pengejaran kembali.
Dalam pada itu kawanan jago yg melakukan pengejaran telah
berdatangan semua, dibawah bimbingan dua sesepuh hitam putih
dari hoa san pay, serentak mereka lancarkan pengejaran dg ketat.
Bom-bom udara berasap merah dilepaskan berulang kali, suara
dentuman dan percikan cahaya membelah kegelapan dan
keheningan malam.

Kho Beng kabur dg sekuat tenaga, beberapa kali ia berpaling
sambil memperhatikan keadaan diseputar sana, tatkala menjumpai
keadaan tersebut, hatinya merasa makin tegang dan panik. Ia tahu
bila dirinya sampai terkepung oleh kawanan jago sebanyak itu, jelas
sudah keselamatan jiwanya akan terancam.
Berada dalam keadaan begini, mau tak mau ia mesti menambah
dua bagian tenaganya untuk kabur semakin cepat lagi.
Dalam waktu singkat ia sudah kabur sejauh lima li lebih, tiba-tiba
sungai yg membentang dihadapannya berbelok kekiri lalu pada jarak
seratus kaki didepan situ ia menemukan htan gelagah dg bunganya
yang putih. Hutan gelaga tersebut luas sekali hingga mencapai
ratusan bau…
Menjumpai hutan gelaga itu membuat Kho Beng segera teringat
kembali dg pesan Li sam, hatinya menjadi amat girang. Ia tahu, asal
dirinya berhasil memasuki hutan gelaga tersebut berarti keselamatan
jiwanya sudah terjamin.
Siapa tahu belum habis ingatan tersebut melintas lewat, tiba-tiba
dari balik hutan disisi kanan telah muncul serombongan jago
persilatan yg dipinpin sendiri oleh Bok sian taysu dari Siau lim si
serta Kiong Ceng san pemilik istana naga dari bukit Kun san.
Bok sian taysu dg toya bajanya berdiri mencegat ditengah jalan
sambil membentak keras:
“Iblis jahat, hendak kabur kemana kau?”
Kho Beng amat terkesiap, ia sadar sedang menghadapi musuh yg
benar-benar tangguh, maka begitu melihat bayangan manusia
melintas lewat dihadapan mukanya, dg cepat dia merogoh kembali
segenggam kedele sambil membentak nyaring:
“Keledai gundul! Rasakan dulu beberapa biji kedele ku ini!”
Segenggam kedele segera diayunkan kedepan mengancam tubuh
Bok sian taysu serta puluhan jago lihay lainnya.
Agaknya kawanan jago tersebut agak jeri terhadap kedele maut,
buktinya orang-orang tersebut serentak mengundurkan diri dg panik
ketika melihat datangnya ancaman tersebut, bahkan Bok sian taysu
sendiripun segera memutar toyanya sedemikian rupa sambil melejit
kebelakang untuk menghindarkan diri.
Anda sedang membaca artikel tentang KEDELE MAUT 1 dan anda bisa menemukan artikel KEDELE MAUT 1 ini dengan url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/09/kedele-maut-1.html,anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel KEDELE MAUT 1 ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,namun jangan lupa untuk meletakkan link KEDELE MAUT 1 sumbernya.

Unknown ~ Cerita Silat Abg Dewasa

Cersil Or Post KEDELE MAUT 1 with url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/09/kedele-maut-1.html. Thanks For All.
Cerita Silat Terbaik...

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar