ISTANA KUMALA PUTIH 2

Diposting oleh eysa cerita silat chin yung khu lung on Senin, 05 September 2011

Ketika berada di puncak gunung Khu Leng Lie dapat melihat ditengah-tengah bukit itu ada kuil
tua dan bayangan orang. Ketika masih jauh ia sudah mendengar si botak menyebut dirinya
bidadari, ia merasa girang dan sangat bangga.
Tapi ketika ia tiba di depan pintu kuil, orang yang berdiri di depan pintu ternyata seorang nenek
rambut putih. Khu Leng Lie tak kenal Kim Coa Nio-nio, tapi Kim Coa Nio-nio kenal padanya.
Empat puluh tahun berselang, Khu Leng Lie sebenarnya sudah beberapa kali pernah bertemu
dengan Kim Coa Nio-nio, satu sama lain sudah saling mengenal. Tapi kini empat puluh tahun
kemudian, Kim Coa Nio-nio sudah menjadi seorang nenek, sedang Khu Leng Lie masih tetap
seperti Khu Leng Lie pada empat puluh tahun yang lampau, sedikitpun tidak berubah, wajahnya
tetap cantik, kelakuannya tetap genit.
Kim Coa Nio-nio begitu melihat Khu Leng Lie, lalu berkata dengan suara gemas: "Perempuan
cabul apa perlumu datang kemari? Lekas pergi !"
Begitu bertemu muka lantas didamprat, sudah tentu Khu Leng Lie gusar. Maka lantas
menyahut sambil ketawa dingin: "Perempuan cabul? Siapa yang kau maksudkan dengan
perempuan cabul? Kau tidak kacai dirimu sendiri, seharusnya kaulah yang pantas mendapat
gelaran itu!"
"Aku tidak perlu adu mulut dengan kau, itu cuma membikin kotor mulutku dan menodakan
nama baikku. Aku hanya menanya kau, apa perlumu datang kemari? Kalau tidak ada urusan,
lekas pergi saja paling baik. Di sini semuanya orang-orang yang kau tidak boleh anggap
sembarangan !"
"Apa artinya nama baik? Berapa harganya nama baik per tail? Kedatangan nyonyamu kemari,
boleh dikata ada urusan tapi juga boleh dikatakan tidak. Bagi kau seorang nenek yang wajahnya
jelek seperti setan, kau masih tidak ada hak untuk mengetahuinya!"
Sehabis berkata, Khu Leng Lie dengan lenggang-lenggok masuk ke dalam kuil.
"Aku nasehati kau, lebih baik kau jangan masuk !" kata Kim Coa Nio-nio sambil ketrukkan
tongkatnya ke tanah.
Khu Leng Lie ketika mendengar suara tongkat yang diketrukkan di tanah, ternyata bukan suara
dari besi atau baja, juga bukan suara kayu. Ia lalu mengawasi sejenak bentuk tongkat itu.
Warnanya kuning bersinar, kiranya terbikin dari emas murni.
Melihat tongkat emas itu, Khu Leng Lie terperanjat dan lantas berseru: "Aaaa! kiranya kau
adalah Kim Coa cici, sudah banyak tahun kita tidak bertemu, kau ternyata masih belum mati!"
Ucapan Khu Leng Lie ini mula-mula kedengarannya mesra, tapi pada akhirnya sangat tidak
sedap didengarnya.
Karuan saja, ketika mendengar perkataan itu Kim Coa Nio-nio lantas naik darah.
"Siapa sudi mempunyai kenalan perempuan cabul? Siapa sudi kau panggil cici segala? Aku si
nenek belum mau mati, kau tak usah kuatir. Kalau kau memaksa hendak masuk dengan
menggunakan kekerasan, hari ini adalah kau yang akan mati, bukan aku!"

Khu Leng Lie tertawa dingin: "Astaga Enci Kim Coa, perlu apa kau berlaku begitu galak?
Sudah banyak tahun tidak saling bertemu, kita bercanda dan berlaku sedikit mesra tokh juga
sudah seharusnya. Kau tidak ijinkan aku masuk, masa iya seorang nenek seperti kau masih mau
keram laki-laki ?"
Perkataannya itu kembali pertamanya manis dan kemudian pahit, mula-mula mesra kemudian
beracun, sehingga membuat Kim Coa Nio-nio bertambah gusar, Ia juga tidak mau menjawab lagi,
sembari ketrukkan tongkatnya, lantas lompat menerjang !
Tiba-tiba terdengar suara ketawa merdu, kedengarannya seperti di tengah udara. Itu adalah
tawanya Khu Leng Lie, dengan kegesitannya yang luar biasa sudah mengegoskan serangan Kim
Coa Nio-nio, kemudian terus, melayang masuk ke dalam kuil.
Kim Coa Nio-nio sangat murka, dengan perdengarkan siulan nyaring, ia mengejar masuk.
Di luar dugaan, ketika Kim Coa Nio-nio berada dalam kuil Khu Leng Lie sudah melesat keluar
lagi.
Kim Coa Nio-nio sangat heran. Ia sengaja nontonkan kepandaiannya atau hendak memainkan
diriku? Tapi ketika ia mengawasi Khu Leng Lie, ia lihat wanita genit itu tengah berdiri kesima di
depan pintu sambil memandang gambar tengkorak. Maka dalam hatinya lantas berpikir "kiranya
kau juga satu gambar tengkorak itu?"
"Perempuan cabul? Sudah tahu? Sebaiknya lekas pergi jauh-jauh dari sini!" demikian kata Kim
Coa Nio-nio.
(Bersambung ke Jilid 17)
Jilid 17
Khu Leng Lie sebetulnya sudah dibikin kesima oleh gambar tengkorak itu, kini setelah dimaki
oleh Kim Coa Nio-nio, malah seperti dibikin sadar! Ia lalu tertawa terkekeh dan berkata: "Aku? Aku
justru tidak takut dia! Kau lihat siapa pengawalku!"
Sehabis berkata Khu Leng Lie bersiul nyaring, sehingga terdengar sampai sejauh beberapa li.
Sehabis bersiul, ia berkata pula kepada Kim Coa Nio-nio: "Kalau dilihat tanda gambar yang
ditinggalkan oleh si setan tua, siang atau malam pasti dia akan datang. Ada seorang yang mampu
menghadapi dia dengan aku berdua, kalau hendak menyingkirkan si setan tua, sungguh mudah
sekali. Bukankah kau hendak mengusir aku? Tapi sekarang mungkin kau memerlukan bantuanku!"
Mendengar itu, Kim Coa Nio-nio lalu berpikir: itu memang ada benarnya. Kalau betul ada orang
yang mampu menghadapi si setan tua itu, membiarkan perempuan cabul ini di sini juga tidak
mengapa. biar bagaimana, kalau dibandingkan dengan setan tua, kejahatan perempuan cabul ini
masih tidak seberapa. Perkataannya harus kita timbang berat entengnya, baiklah ia berdiam di
sini.
Tapi, sebelum ia membuka mulut, dari puncak gunung tiba-tiba terdengar suara siulan panjang
yang nyaring sekali, agaknya sebagai sambutan siulan Khu Leng Lie tadi. Cuma suaranya lebih
kuat dan nyaring dari pada Khu Leng Lie, terus terang kekuatan lwekang orang itu masih di atas
Leng Lie.
Kim Coa Nio-nio mendengar suara itu bukan main kagetnya sebab suara itu dikenalnya betul
sebagai suara Siao Pek Sin. Ketika menoleh kearah datangnya suara itu, apa yang dilihat
memang benar saja dia!

Leng Lie yang memperhatikan perubahan sikap Kim Coa Nio-nio tahu kelihaiannya Siao Pek
Sin, maka lalu berkata: "Kau tak usah kuatir, dia dan aku sudah cukup untuk menundukkan si
setan tua!"
Kepandaian Siao Pek Sin, Kim Coa Nio-nio tahu benar. Meski ia sudah mendapat warisan
pelajaran banyak orang, tapi karena terbatas dengan kekuatan tenaganya dan waktu yang terlalu
singkat, kalau dikatakan ia mampu menandingi Kouw Low Sin Ciam, biar bagaimana Kim Coa Nionio
tidak percaya. Maka lantas menyahut sambil tertawa dingin: "Heh! Heh! Aku kira orang lihai
bagaimana? Kiranya adalah dia! Kalau hanya kepandaian dia yang cuma begitu saja, juga mampu
menandingi setan tua itu, orang begituan di sini masih banyak sekali jumlahnya!"
Leng Lie tidak tahu kalau Kim Coa Nio-nio sudah kenal Siao Pek Sin, lebih tidak tahu kalau
Siao Pek Sin adalah tiruan dari Kim Houw, mendengar Kim Coa Nio-nio mengejek, dia masih
mengira kalau Kim Coa Nio-nio tidak pandang padanya.
"Hemm! Kau jangan pandang rendah dia," katanya, "Aku sudah melihat dengan mata kepala
sendiri, di Pek Liong Po ia pernah bertempur dengan Kouw Low Sin Ciam si setan tua....."
Belum habis ucapan Leng Lie, Siao Pek Sin sudah berada disampingnya. Kim Coa Nio-nio
ketika bertemu dengan Siao Pek Sin dalam hati merasa agak tidak enak, karena biar
bagaimanapun ia seorang yang mempunyai nama dan kedudukan yang baik, ternyata akhirnya
mengingkari sumpahnya sendiri, meninggalkan Siao Pek Sin. Kalau Siao Pek Sin menegur dirinya
dengan perkataan pedas, mungkin ia merasa sangat malu!
Siapa kira, Siao Pek Sin begitu tiba, pertama-tama yang ia lihat adalah gambar kepala
tengkorak yang menggigit anak panah. Melihat tanda yang menakutkan itu, seketika lantas
terbang semangatnya. Buru-buru ia menarik tangan Leng Lie seraya berkata: "Pergi! Mari kita
lekas pergi! Kita tidak bisa berdiam di sini lebih lama lagi!"
Siao Pek Sin bukan cuma takut dengan gambar tengkorak itu saja, juga adanya Kim Coa Nionio
di situ membuatnya kaget. Sebab Kim Coa Nio-nio dengan Kim Lo Han dan kawan-kawannya
merupakan orang-orang satu rombongan, maka dengan beradanya Kim Coa Nio-nio di situ, sudah
tentu yang lainnya juga berada di itu. Sedang orang-orang itu semua adalah musuhnya,
bagaimana ia tidak kaget?
Leng Lie yang tidak mengetahui hal ihwalnya sudah tentu merasa heran, maka ia lalu
bertanya: "He! Bagaimana kau mendadak takut padanya?"
Memang benar Siao Pek Sin takut pada gambar tengkorak itu, tapi pada saat itu tidak boleh
tidak ia harus berlagak sebagai jagoan.
"Aku? Yang kutakut? Cuma karena aku masih ada urusan penting, jadi tidak bisa berhenti
lama-lama di sini!" demikian jawabnya.
"Kalau benar kau tidak takut, perlu apa harus pergi? aku justru hendak menempur dia, sebab
satu hari saja dia belum dapat disingkirkan dari dunia ini, hatiku masih merasa belum aman!"
Pada saat itu, Peng Peng muncul dari dalam!
Siao Pek Sin yang melihat Peng Peng dalam keadaan rambut terurai panjang, mengenakan
pakaian putih dan berjalan seperti tidak menginjak tanah, seolah-olah siluman, bukan kepalang
kagetnya!
Dalam otak Siao Pek Sin, Peng Peng sudah lama binasa, dan apa yang dilihat di depan
matanya, ia anggap sebagai setan penjelmaannya yang datang hendak minta ganti jiwa. Berpikir
demikian, Siao Pek Sin ketakutan sendiri, keringat dingin mengucur dengan deras!

"Kau....kau.....kau....setan atau manusia?" seru Siao Pek Sin.
Peng Peng tidak menyahut, ia tetap seperti jalan melayang, menghampiri Siao Pek Sin! Khu
Leng Lie yang menyaksikan keadaan demikian, dalam hati merasa makin heran.
"Apa kau kenal dia? Dia istrimu atau bekas gendakmu?" tanyanya kepada Siao Pek Sin
dengan penuh rasa cemburu.
Siao Pek Sin sudah terbang semangatnya, bagaimana bisa dengar? melihat Peng Peng
memandang kepadanya dengan sorot mata benci, benar-benar dianggapnya hendak minta ganti
jiwa padanya, maka setelah menjerit keras, ia lantas balikkan tubuhnya dan lari terbirit-birit.
Mendadak beberapa bayangan orang melayang turun dari atas, merintangi perjalanannya.
Ketika Siao Pek Sin pentang matanya, mereka itu adalah Tiong Ciu Khek dan ketua serta wakil
ketua Partai Sepatu Rumput bersama kedua muridnya.
Siao Pek Sin mengenali orang-orang yang berada dihadapannya itu, kalau satu lawan satu,
siapa saja diantara mereka, ia tidak takut, bahkan merasa lebih unggul. Kalau satu lawan dua,
meski belum tentu bisa menang juga belum tentu kalah. Karena ia sudah mempelajari bermacam
ilmu silat yang merupakan ilmu silat pilihan dalam rimba persilatan, begitu pula yang memberikan
pelajaran kepadanya, juga merupakan tokoh-tokoh terkenal dalam dunia kangouw.
Sekarang bukan saja satu lawan tiga, bahkan masih ada dua anak muda lagi, dan apa yang
lebih menakutkan, ialah Peng Peng yang belum diketahui benar setan atau manusia.
Mendadak ia ingat Kim Houw. Maka lantas berlagak dengan tenang dan berkata: "Hm, apa
kalian kira dengan kekuatan kalian semua dapat menggertak aku Pek Leng Ji? Kalian mempunyai
kepandaian apa? boleh coba keluarkan semua!"
Tiong Ciu Khek segera maju setindak, sambil tertawa dingin ia menyahut: "Siao Pek Sin, kau
jangan menipu pakai nama orang. Kau sekarang sudah masuk perangkap, tidak ada jalan keluar
bagimu lagi. Maka hari ini pada tahun depan adalah hari ulang tahun kematianmu!"
Siao Pek Sin yang mendengar Tiong Ciu Khek sudah mengenali dirinya, mau tidak mau kaget
juga.
Pada saat itu, Peng Peng mendadak buka mulut dan berkata: "Siao Pek Sin! Aku Touw Peng
Peng dengan kau tidak mempunyai ganjalan permusuhan, mengapa kau menggunakan api
hendak membakar aku. Hari ini kau sudah berada di sini, suatu bukti bahwa dosamu sudah
melewati batas, kenapa kau tidak lekas serahkan jiwamu!"
Baru saja Peng Peng tutup mulut, kembali terdengar suara pekikan yang seram dan pilu!
Suara itu adalah suara Sun Cu Hoa yang kala itu tengah mendongak ke langit dan berkata:
"Yaya, ayah, ibu dan saudara-saudaraku, roh kalian dialam baka, harap saksikan hari ini Sun Cu
Hoa hendak menuntut balas untuk kalian!"
Sehabis mengucapkan perkataannya, ia lantas menyerang dengan segumpal jarum peraknya,
bagaikan turun hujan melesat ke arah Siao Pek Sin.
Tiba-tiba, sesosok bayangan putih dengan kecepatan bagaikan kilat memapaki jarum-jarum
itu, setelah bayangan itu lewat, jarum-jarum itu mendadak lenyap juga, dan tidak ada sebatang
pun yang mengenai diri Siao Pek Sin.

Sun Cu Hoa terperanjat, ketika ia membuka matanya untuk melihat siapa adanya bayangan
putih itu, ternyata bukan lain adalah Khu Leng Lie yang dengan kain putihnya menyambuti
serangan jarum itu.
"Kalian juga terhitung tokoh-tokoh terkemuka di kalangan kangouw, tapi mengapa mengerubuti
seorang bocah? Apa kalian tidak merasa malu pada diri sendiri? Sedang aku sendiri yang
menyaksikan merasa tidak ada muka untuk menemui orang!" demikian kata Leng Lie sambil
tertawa dingin.
"Manusia yang tidak lebih berharga daripada binatang seperti dia ini, siapa saja boleh
mengambil jiwanya. Terhadap orang yang menodai nama kangouw, perlu apa memakai peraturan
kangouw? Sekalipun dikerubuti oleh sepuluh kali lipat jumlah dari kami juga tidak apa!" jawab Cu
Su.
"Bagus benar! Kalian hendak merebut kemenangan dengan mengandalkan jumlah banyak dan
toh masih ajukan alasan yang gilang gemilang! Jangan kira bahwa kalian orang-orang gagah yang
sudah menganggap diri jago, siapa yang takut pada kalian?" kata Leng Lie dingin.
Kim Coa Nio-nio yang tadinya berada bersama-sama Leng Lie, saat itu juga sudah mengejar
wanita genit itu.
"Perempuan cabul! Kau juga jangan sombong. Aku akan menghadapi kau lebih dulu!"
demikian katanya.
Begitu berada di depan Leng Lie, Kim Coa Nio-nio lantas membabat dengan tongkatnya.
Serangan itu menggunakan delapan puluh persen tenaganya, sebab posisi Leng Lie
berdampingan dengan Siao Pek Sin, ia ingin sekaligus mengenai dua sasaran itu.
Siapa kira, begitu tongkat sampai, manusia yang dijadikan sasarannya itu lenyap, keduaduanya
bergerak secara luar biasa gesitnya.
Kim Coa Nio-nio dalam hati merasa kaget, selagi ia hendak memutar badannya, dari belakang
tiba-tiba dirasakan angin dingin menyerang dirinya. Kim Coa Nio-nio tanpa menoleh, segera
menyapu dengan tongkatnya untuk menyambut serangan lawan.
Suara nyaring beradunya senjata lantas terdengar, dibarengi muncratnya bunga api.
Kiranya Siao Pek Sin telah lompat melesat menghindarkan serangan Kim Coa Nio-nio, lalu
menghunus pedangnya dan menyerang dari belakang.
Sebentar saja, Siao Pek Sin dan Kim Coa Nio-nio sudah bertempur sepuluh jurus lebih.
Leng Lie yang menyaksikan Siao Pek Sin sedang bertempur dengan serunya melawan Kim
Coa Nio-nio, dengan matanya yang genit mengamati orang-orang yang berada dalam kalangan.
Kecuali beberapa laki-laki yang sudah pada lanjut usia, cuma ada satu pemuda yaitu Sun Cu Hoa
yang gagah dan tampan wajahnya, lalu timbullah rasa sukanya.
Dengan gerakan yang enteng sekali ia sudah berada di depan Sun Cu Hoa.
Ia memandang Sun Cu Hoa sejenak, melihat sepasang matanya yang melotot dan wajahnya
yang gusar, tapi si genit tidak perdulikan itu, malah unjukkan senyumannya yang menggiurkan
serta berkata dengan suara yang sangat merdu :" Mengapa begitu gusar? Apa kau masih merasa
sayang dengan senjatamu yang tidak berguna itu? Nah aku kembalikan padamu!"

Ia lalu kebutkan kain putihnya, hingga senjata jarum perak itu tersebar di tanah!
Sun Cu Hoa yang sudah panas hatinya, melihat Leng lie menyambuti serangan jarumnya,
dalam hati semakin gusar, dan kini berdiri didepan matanya, bagaimana ia dapat mengendalikan
amarahnya? Maka tanpa menjawab ia lantas hunus pedangnya dan menikam dada Leng Lie.
Dengan tenang Leng Lie menyambut serangan Sun Cu Hoa, ia tidak mau berkelit barang
setindak pun bahkan ia membuka kain yang menutupi tubuhnya, sehingga buah dadanya yang
indah terpampang dengan jelas. Dengan sikap menantang ia pentang dadanya, seolah-olah
bersedia ditikam oleh ujung pedang Sun Cu Hoa.
Sun Cu Hoa adalah seorang pemuda yang masih belum kenal kemaksiatan dunia, melihat
pemandangan demikian, hatinya mendadak menjadi lemas, sehingga tidak mampu meneruskan
tikamannya, sedang wajahnya merah seketika.
Si botak yang berdiri disamping Sun Cu Hoa, tidak mengerti kalau Sun Cu Hoa tidak tega hati
menikam Leng Lie, melihat Sun Cu Hoa hentikan serangannya, buru-buru ia berseru :" Saudara
Sun Cu Hoa, mari kubantu kau!"
Kekuatan tenaganya luar biasa dan memang pembawaan dari alam, ia berlatih ilmu silat cuma
dengan menggunakan sepasang tangan kosong. Dengan tangan kosong ini, ia menyerang dengan
hebat kepada Leng lie.
Ibarat tikus yang tidak takut macan, begitulah keadaan si botak waktu itu. Ia andalkan
kekuatannya yang luar biasa, tidak perdulikan lawannya seorang wanita cantik molek bagaikan
bidadari, ia telah turun tangan dengan tidak kenal kasihan!
Namun, baru saja melancarkan serangannya, tiba-tiba terdengar suara Tok Kai berteriak
padanya: "Botak hati-hati!"
Si botak masih belum mengerti apa maksud suhunya, tiba-tiba ia merasa tangannya sudah
terlibat oleh kain kerudung Leng Lie, sekali sentak badannya sudah terbang melayang setinggi tiga
tombak.
Untung kepandaian ilmu silatnya sudah maju pesat, merasa dirinya dalam bahaya, ia lantas
jumpalitan ditengah udara sehingga tidak sampai terbanting ke tanah.
Sun Cu Hoa yang sudah jadi teman akrab dengan si botak sangat marah menyaksikan
kawannya itu dilontarkan keudara oleh Leng Lie, gara-gara hendak membelanya. Tanpa
perdulikan ia berhadapan dengan wanita cantik, pedangnya kembali diangkat untuk menikam!
Leng Lie rupanya sudah dapat menebak pikiran Sun Cu Hoa, dengan manis sekali ia dapat
mengelit serangan itu, "Astaga, mengapa kau begitu kejam?" katanya, air mukanya tersenyum
menggiurkan.
Sun Cu Hoa tidak menghiraukan aksinya si genit, ia melancarkan serangan bertubi-tubi. Ia
sudah nekat, segala kepandaiannya yang didapatkan dari suhunya telah ia keluarkan.
Tapi, betapapun hebat serangannya, Leng Lie tidak pernah balas menyerang.
Dengan gerak badannya yang lincah, ia berkelebatan diantara sinar pedang Sun Cu Hoa,
kadang-kadang menowel pipi dan mulut Sun Cu Hoa dan mengeluarkan kata-kata nakal, sehingga
Sun Cu Hoa cuma bisa kertak gigi saja saking sengitnya.

Dilain pihak, pertempuran antara Siao Pek Sin dengan Kim Coa Nio-nio, baru sepuluh jurus
lebih Siao Pek Sin sudah berada di atas angin. Tapi ia tetap tidak berani mendekati Kim Coa Nionio,
karena ia tahu benar bahwa nenek itu masih mempunyai senjata yang lihai, yaitu ular
emasnya yang kini masih belum dikeluarkan!
Oleh karenanya, setelah lewat sepuluh jurus, pertempuran masih kelihatan seimbang.
Selagi pertempuran berjalan dengan serunya, diudara tiba-tiba terdengar suara pekikan aneh,
sungguh tidak enak didengar.
Suara itu lalu disusul oleh munculnya sinar api berwarna biru, yang melesat ke udara. Diantara
gumpalan api warna biru itu, muncul panah tengkorak yang sangat menakutkan.
Cu Su yang melihat hal itu, lantas berseru: "Lekas! Lekas bereskan bocah itu dulu!"
Tepat pada saat itu, Tiong Ciu Khek dan Tok Kai telah menyerbu dengan berbareng. Sedang
Kim Coa Nio-nio lantas mundur untuk menghadapi Leng Lie. Itu adalah siasat yang sudah
direncanakan sejak semula oleh mereka.
Tapi aneh, ketika Cu Su bertiga menyerbu Siao Pek Sin, Leng Lie nampaknya anggap sepi
saja, ia masih tetap menggoda Sun Cu Hoa.
Dengan demikian, sudah tentu Siao Pek Sin yang sendirian menghadapi tiga tokoh ternama
itu, baru lima jurus saja ia sudah kecapaian, maka ia lalu berseru pada Leng Lie: "Enci! Enci!
Lekas bantu aku!"
Begitu lengah, lengan bajunya sudah dibuat berlubang oleh ujung pedang Cu Su, untunglah
tidak mengenai kulitnya.
Menoleh sajapun tidak, Leng Lie hanya menjawab: "Adik! Dimana senjata pecutmu yang sakti!
Kenapa sayang kau keluarkan?"
Sayang? Apa yang disayang? Darimana Siao Pek Sin bisa keluarkan senjata pecut?
Dalam keadaan gelisah, gerakan Siao Pek Sin semakin ngawur. Tidak lama kemudian
tubuhnya sudah terluka ditiga tempat oleh senjata-senjata musuhnya, lengan dan pahanya telah
tertikam oleh pedang, sedang bahunya kena dihajar oleh sepatu rumput Tok Kai!
Serangan Tok Kai itu justru yang paling berat, badannya sempoyongan, gerak kakinya sudah
kalut, nampaknya sudah akan binasa di bawah pedang-pedang musuhnya!
Khu Leng Lie baru sadar kesalahannya, ia lalu putar tubuhnya hendak memberi pertolongan.
Mendadak ia lihat tongkat emas Kim Coa Nio-nio sudah terbuka kepalanya, dari situ muncullah
kepala seekor ular emas, siap sedia hendak menerkam mangsanya.
Melihat ular kecil itu, Leng Lie diam-diam mengeluh, karena ia juga tahu kelihaian ular emas
itu.
Dengan susah payah Siao Pek Sin mempertahankan diri, kembali dua tikaman pedang
bersarang ditubuhnya, sehingga tubuhnya sudah berlumuran darah. Dalam keadaan putus asa, ia
sudah hendak mengambil keputusan nekad, ia hendak menggorok lehernya sendiri!

Tiba-tiba terdengar suara ketawa dingin yang disusul dengan perkataan yang seram:
"Sungguh besar nyalinya kawanan anjing ini, semua berhenti!"
Suara itu datangnya seperti dari udara, tapi siapapun yang mendengarnya, telinga lantas
merasa berdengung, bahkan agaknya mengandung wibawa yang begitu besar, sehingga tanpa
diminta untuk kedua kalinya, orang-orang yang sedang bertempur itu lantas hentikan pertempuran.
Siao Pek Sin yang sedang angkat pedang untuk menggorok lehernya sendiri, segera urungkan
maksudnya. Dengan demikian, suara itu berarti telah menolong jiwa Siao Pek Sin.
Ia lalu menengok ke arah datangnya suara tadi, di suatu tempat kira-kira tujuh sampai delapan
tombak jauhnya, berdiri seorang tua tinggi kurus dengan jenggotnya yang putih bermain ditiup
angin, tangannya memegang gendewa panjang, pada punggungnya tergantung sekantong anak
panah, sedang di pinggangnnya tergantung serenceng kepala tengkorak manusia!
Ketika masih di Pek Liong Po, Siao Pek Sin sudah bertemu dengan orang tua aneh ini, ia
adalah Kouw Low Sin Ciam. Menyaksikan kedatangan orang tua itu, dalam hatinya semakin kaget,
ia lalu dapat firasat bahwa jiwanya hari ini tidak akan tertolong lagi.
Bukan cuma Siao Pek Sin saja yang terkejut, pihak Cu Su dan yang lainnya juga pada
mengeluarkan keringat dingin, karena setan tua ini benar-benar merupakan Kun Si Mo Ong atau
Malaikat Maut yang bisa membunuh korbannya tanpa berkedip.
Di luar dugaan, di wajah Kouw Low Sin Ciam yang pucat, saat itu tiba-tiba kelihatan
senyumannya, sambil tudingkan jarinya kepada Siao Pek Sin, ia berkata: "Tak disangka kau juga
di sini. Mari, mari!"
Mendengar itu, Siao Pek Sin lantas terbang semangatnya. Ia mengawasi dengan mata
terbelalak lebar, tapi kakinya seperti diikat dengan rantai besi, tidak bisa digerakkan.
Melihat Siao Pek Sin tidak bisa bergerak, Kouw Low Sin Ciam lantas berkata pula:
"Kau terluka? Tidak masalah. Aku di sini ada obatnya, tanggung bisa sembuh dengan cepat.
Beberapa hari berselang kau telah memberikan jalan hidup padaku, maka hari ini bukan saja aku
akan ampuni jiwamu, bahkan hendak memberi bantuan padamu?"
Ini benar-benar merupakan suatu kejutan! Kouw Low Sin Ciam yang biasanya tukang
membunuh manusia, kini ternyata timbul sifat welas asihnya dan mengeluarkan perkataan
membantu.
Siao Pek Sin benar-benar tidak menyangka akan terjadi keanehan ini, jiwanya yang tadinya
sudah dibayangkan akan pindah ke akhirat, siapa sangka akan ditolong oleh setan tua itu, karena
dikiranya ia adalah Kim Houw yang pernah melepas budi.
Siao Pek Sin sebetulnya masih belum percaya kebenarannya, tapi dalam keadaan dirinya
seperti sekarang, ia sudah tidak perdulikan lagi benar tidaknya, coba saja dulu. Maka dengan
menyeret kakinya yang luka, ia menghampiri Kouw Low Sin Ciam.
Benar saja, Kouw Low Sin Ciam lantas mengeluarkan sebuah botol yang didalamnya berisi
obat bubuk, lalu ditaburkan pada luka Siao Pek Sin. Darahnya lantas berhenti, rasa nyerinya pun
lenyap seketika.
Pada saat itu, Leng Lie tiba-tiba berseru: "Adik! Mengapa kau berubah begitu tidak berguna?
Kau...."

Kala itu bagi Siao Pek Sin yang penting adalah menyelamatkan jiwanya, buat apa meladeni
segala Khu Leng Lie?
Menyaksikan keadaan demikian, Khu Leng Lie sangat gelisah. Karena ia kuatir akan terjatuh
lagi ke tangan Kouw Low Sin Ciam yang sangat ia benci, maka lantas menggunakan kesempatan
selagi Kouw Low Sin Ciam lengah, ia lalu kerahkan kepandaian mengentengkan tubuhnya, kabur
dengan segera!
Kouw Low Sin Ciam mana mau melepaskannya begitu saja, ia juga lantas tinggalkan Siao Pek
Sin dan mengejar Leng Lie.
Siao Pek Sin kaget, ia lantas berseru: "Locianpwe tunggu aku!"
Tanpa perduli akan ditertawakan oleh musuh-musuhnya, ia juga lantas kabur!
Peng Peng dan Sun Cu Hoa coba merintangi, tapi mereka bukan tandingan Siao Pek Sin,
dengan sekali hentak, tubuh Peng Peng sudah terbang setombak lebih jauhnya, sedang pedang
ditangan Sun Cu Hoa, juga hampir saja terlepas dari tangannya.
Apa sebab Cu Su bertiga tidak turun tangan merintangi kaburnya Siao Pek Sin? Sebab Kouw
Low Sin Ciam baru saja kabur mengejar Leng Lie, sedang berlalunya setan tua itu justru yang
diharapkan oleh mereka, jika Siao Pek Sin tertahan, mungkin ia akan balik kembali. Maka lebih
baik membiarkan mereka berlalu.
Dan merekapun tidak tahu urusan Kouw Low Sin Ciam dengan Khu Leng Lie.
Mendadak si Imam palsu lari keluar dari dalam seraya berseru: "Sekarang bagaimana
baiknya? melihat gelagat, seharusnya kita menyingkir. Si tua bangkotan Kouw Low Sin Ciam
sebaiknya kita jauhi. Kalau saja Kim Houw bisa mendusin pada saatnya, kita tak perlu takut lagi,
tapi kini...."
Si pengemis tua Tok Kai tiba-tiba tertawa terbahak-bahak.
"Sungguh tidak disangka sebagai ketua gereja Han Pek Cin Koan nyalimu begitu kecil. Kalau
kau hendak pergi, pergilah saja! Biarlah aku yang berdiam di sini menunggu kuil dan melindungi
Kim siauhiap sehingga sembuh!"
Si Imam palsu melihat Tok Kai mentertawakannya sebagai pengecut, ia lantas gusar:
"Pengemis busuk kau tahu apa? Kalau bukan karena keselamatan Kim Houw, aku malah tak
kepikiran untuk berlalu! Ini cuma siasat, kalau kita pergi, mereka tentu tidak tahu kalau didalam kuil
ini masih ada orangnya!" katanya sengit.
"Perbuatanmu ini bukankah sama saja artinya dengan takut mati? Kim siauhiap tersembunyi di
kamar rahasia, adanya kita atau tidak, mereka tidak ada hubungannya. Kalau memang harus mati
biarlah mati secara gagah, apa yang harus ditakuti? Bukankah itu nanti menjadi bahan tertawaan
orang? Sebagai tokoh-tokoh terkemuka dari kalangan kangouw, masa kabur terhadap satu orang
saja?" Tok Kai mengejek.
Imam palsu makin gusar, tapi kemudian berpikir lagi bahwa perkataan Tok Kai itu memang ada
benarnya. Yang lainnya toh pada diam, buat apa ia ngotot sendiri? maka ia lalu berkata kepada
Tok Kai, sambil tertawa: "Bukannya aku si Imam palsu sayang jiwa, sebab jiwaku merupakan jiwa
yang sudah mati namun hidup kembali. Jika tidak ada Kim Houw yang menyingkirkan kalajengking
beracun dan menemukan gambar patkwa, jiwaku ini barangkali saat ini masih ketinggalan di Istana
Kumala Putih di gunung Tiang Pek San! Dan sekarang untuk Kim Houw, mengapa aku takut

urusan? Kau tidak tahu bahwa kamar rahasia ini, bukan saja sangat rahasia, tapi juga mempunyai
jalan tembus ke berbagai jurusan. Apa kau tidak merasakan hawa kering dalam kamar ini? Segala
rupa suara yang timbul di luar atau didalam kuil, dapat didengar dengan jelas dari dalam kamar.
Jika sampai terjadi apa-apa, buat kita yang sudah lanjut usia tidak menjadi soal dan kematian tidak
perlu dibuat sibuk. Tapi jika sampai mengganggu Kim Lo Han dan Kim Houw yang berada didalam
kamar, kau pikir apa akibatnya?"
Tok Kai yang ngotot tadi, karena ia tidak tahu keadaan kamar tersebut.
"Untuk pergi dari sini rasanya tidak mungkin." Cu Su turut bicara. "Sebab begitu kita berlalu,
jika setan tua itu mengetahui di sini ada orang, dengan sebatang anak panah yang berapi, kuil ini
sebentar saja akan jadi abu. Soal jadi abunya kuil ini, mungkin perkara kecil, tapi bagaimana bagi
Kim siauhiap dan Kim Lo Han? Cuma tiga anak muda ini, benar-benar segera disembunyikan,
supaya mereka tidak sampai menjadi korban."
Dengan keterangannya Cu Su itu, agaknya sudah merupakan suatu keputusan.
Si Imam palsu sudah tentu mengetahui dengan baik keadaan tempat itu, maka ia yang
mendapat tugas untuk mengantar ketiga anak muda itu ke suatu lembah yang sangat tersembunyi.
Pada saat si Imam palsu baru berangkat dari atas puncak, tiba-tiba terdengar suara jeritan
ngeri. Orang-orang yang di luar kuil masih belum sempat bergerak, dari dalam kuil mendadak
melesat keluar sesosok bayangan merah, dengan kecepatan yang sangat luar biasa, lari ke
puncak bagaikan terbang.
Bayangan merah itu sudah tentu si Kacung baju merah. Sebentar saja ia sudah berada di
puncak.
"Aiya! Lekas kemari! Lihat ini, Thian Mo Siok Hun Leng!" seru si Kacung baju merah.
Thian Mo Siok Hun Leng? Semua orang pada terkejut, dengan serentak mereka pada lompat
melesat ke puncak gunung!
Di tanah yang agak datar di puncak itu, tampak rebah lima mayat orang laki-laki. Dari
dandanannya, mereka adalah orang-orang Pek Liong Po.
Si Kacung baju merah kenal baik kelima mayat itu, karena mereka adalah tokoh-tokoh terkuat
Pek Liong Po dan masih terhitung paman Siao Pek Sin. Mereka rebah tanpa bergerak, mereka
rupanya sudah putus jiwanya.
Apa yang mengherankan adalah pada tubuh kelima orang itu tidak terdapat tanda-tanda luka,
hanya pada pelipis setiap orang, menancap semacam plat warna merah yang berukuran kira-kira
satu cun panjangnya dan satu jari lebarnya.
Dari salah satu badan mayat itu, si Kacung baju merah mencabut sebuah dan diletakkan di
atas telapak tangannya sendiri, plat yang berwarna merah darah itu bentuknya tipis seperti kertas,
entah terbuat dari bahan apa. Dibagian muka terukir lima kata THIAN MO SIOK HUN LENG,
dibaliknya terukir seekor binatang yang aneh bentuknya seperti lutung tapi bukan lutung, seperti
macan tapi juga bukan macan.
Orang-orang yang menyaksikan senjata aneh itu, benar-benar merasa kaget. Adalah Cu Su
yang pertama buka suara: "Apakah akan timbul malapetaka di rimba persilatan? Iblis-iblis yang
sudah beberapa puluh tahun tidak kedengaran namanya, kini muncul lagi kedunia satu persatu!
Sungguh sukar dimengerti!"
Semua orang mengawasinya. Cu Su lalu menuturkan suatu riwayat yang menarik.

"Tiga puluh tahun yang lalu," ia mulai bercerita, "Ketika Lo Pangcu partai kami masih hidup
pernah membicarakan sekawanan iblis itu. Beliau pernah mengatakan, berhubung tidak ada kabar
tentang kematian iblis-iblis itu, ia kuatir setelah ia binasa, tidak ada orang yang mampu
mengendalikan mereka! Entah bagaimana, perkataan ini telah tersiar keluar dan dalam waktu
hanya setengah tahun saja, orang-orang diluaran sudah tahu semua!
Pada perayaan hari ulang tahun ke75 dari Lo Pangcu, diantara barang antaran terdapat
sebuah kotak yang aneh bentuknya. Kotak itu tidak besar, tapi bagus bentuknya. Apa isinya, tidak
ada seorangpun yang tahu. Sedang di atas buku barang antaran juga tidak terdapat catatannya.
Orang yang ditugaskan mengurus penerimaan barang hadiah tidak berani berlaku gegabah, buruburu
telah disampaikan kotak aneh tersebut kepada Lo Pangcu!
Pada saat itu Lo Pangcu sedang bicara dengan sahabat karibnya, entah karena asyiknya
beliau tidak perhatikan laporan orang yang menyampaikan kado aneh tersebut, dan sembarangan
dibuka saja di hadapan banyak orang.
"Begitu kotak terbuka, Lo Pangcu kagetnya bukan main. Apa isinya? Coba kalian tebak?
Ternyata itu adalah potongan telapak tangan yang sudah kering. Telapak tangan itu bentuknya
besar sekali bahkan jarinya ada enam. Kami ketahui ini dari orang-orang yang saat itu turut
menyaksikan dibukanya kotak tersebut.
Lo Pangcu begitu membuka lantas buru-buru menutup lagi, matanya lalu melirik sebentar
kepada orang yang mengurus penerimaan barang antaran. Untung orang itu sudah mengikutinya
lebih dari empat puluh tahun lamanya, sehingga tidak menimbulkan kecurigaan.
Tapi orang itu begitu dipandang oleh Lo Pangcu, badannya lantas menggigil seperti orang
sakit demam. Sebabnya ialah, dari sorot mata Lo Pangcu dia sudah mengetahui urusan itu sangat
runyam, maka lantas ia buru-buru berlutut.
Lo Pangcu menekan kotak itu dengan kedua tangannya, lantas berkata soal ini aku tidak
menyalahkan kau, karena tidak ada hubungannya dengan mu! Aku tidak salahkan kau. Lo Pangcu
lantas tertawa terbahak-bahak dan berkata sendirian: Liok Cie Thian Mo (Malaikat Jari Enam) buat
apa kau harus membuang banyak waktu dan pikiran, menghadiahkan potongan tangan....
Lo Pangcu justru dalam ketawanya yang tergelak-gelak itu telah putus jiwanya!
Kalau kedatangan tangan itu aneh, kematian Lo Pangcu lebih aneh lagi. Ketika kotak itu
ditekan dengan perlahan oleh Lo pangcu, bukan saja sudah tidak bisa dibuka, bahkan sepasang
tangan Lo Pangcu juga melesak ke dalam kotak tersebut dan tidak bisa ditarik keluar. Maka, kotak
aneh itu lantas dikubur bersama-sama dengan jenazah Lo Pangcu. Rahasia itu juga ikut terkubur
untuk selama-lamanya!
Tidak sangka hari ini, tiga puluh tahun kemudian, si Malaikat jari enam itu telah muncul kembali
lagi ke dunia persilatan. Dulu oleh karena keganasannya, kejahatan dan kekejamannya si Malaikat
jari enam itu tidak disukai oleh orang-orang dari golongan baik-baik. Tidak nyana dia muncul lagi
untuk kedua kalinya, dan masih tetap kejam dan ganas, benar-benar sukar dipercaya. Kala itu dia
menghadiahkan potongan tangan kepada Lo Pangcu, entah apa maksudnya? Apakah dia minta
Lo Pangcu supaya lekas binasa?
Tapi mengapa setelah Lo Pangcu binasa dia harus menunggu sampai dua puluh tahun, baru
muncul lagi?" demikian Cu Su menutup penuturannya.

Dengan penuturannya ini, maksud Cu Su hendak memberitahukan kepada kawan-kawannya,
bahwa senjata Thian Mo Siok Hun Leng itu adalah kepunyaan si Malaikat jari enam, dan termasuk
golongan yang lebih tua setingkat dari mereka!
Semua orang yang berada di situ, sedikit banyak sudah pernah mendengar tentang malaikat
jari enam itu. Kalau tidak, tidak nanti si Kacung baju merah sampai begitu kagetnya, begitu pula
dengan yang lainnya.
Sehabis mendengarkan cerita Cu Su, semua orang masih berdiri terkesima, entah kuatir , takut
atau apa lagi! Pendeknya semua orang tidak ada yang menunjukkan reaksi lainnya.
Lewat sejenak, tiba-tiba terdengar suara tertawa ringan, semua orang terperanjat. Karena
dalam keadaan demikian, sedikit suara saja sudah cukup mengejutkan hati mereka! Ketika mereka
berpaling, lantas terdengar suara si Kacung baju merah: "Kiesu busuk, kau lagi bikin apa?
Mengapa selama lima hari tidak kelihatan batang hidungmu?"
Menyusul ucapan si Kacung baju merah, dari belakang sebuah pohon besar lantas muncul
seorang yang pendek kecil dengan wajah yang berseri-seri, ia adalah Lato Kiesu.
"Bocah baju merah, bikin bersih mulutmu itu? Di hadapan begini banyak sahabat, kau harus
berikan sedikit muka pada aku orang tua!" jawabnya.
Kecuali Kim Coa Nio-nio dan si Kacung baju merah yang sudah dikenal baik oleh Lato Kiesu,
yang lainnya ia belum pernah bertemu muka! Maka si Kacung baju merah lantas sibuk
memperkenalkan mereka satu persatu.
Cu Su sekalian tercengang, ketika diberitahu bahwa orang tua itu adalah Lato Kiesu yang
namanya terkenal di Kwan Gwa dan Tionggoan. Tercengang, karena orang yang sudah terkenal
namanya itu, ternyata hanya seorang tua yang bentuknya pendek.
Melihat kedatangan Lato Kiesu, Kim Coa Nio-nio lantas berkata dengan girang :" Hai!
Mengapa tadi kita lupakan dia? Ada dia, ditambah lagi dengan kekuatan kita semua, kita tidak
perlu takuti lagi Kouw Low Sin Ciam. Hai! Lato...."
Sambil tersenyum Lato Kiesu memotong pembicaraan Kim Coa Nio-nio: "Nio-nio! Kau jangan
terlalu menjunjung tinggi orang saja, apa kau sudah lupa? Didalam Istana Kumala Putih, di rimba
keramat kita sudah terkurung empat puluh tahun lamanya, tulang-tulang tuaku rasanya sudah
lama remuk, bagaimana berani mengadu tenaga lagi?"
"Diam!" Kim Coa Nio-nio membentak, "Jangan kau main enak-enakan saja. didalam Istana
Kumala Putih siapa yang tidak tahu kepandaian silatmu termasuk yang nomor satu? Meskipun
dikala itu kau sudah tawar hatimu, sehingga agak melalaikan pelajaranmu, namun apakah
mungkin sudah terlupakan semuanya?"
Kembali Lato Kiesu memotong: "Nio-nio, kau jangan cemas dulu. Selama lima hari ini, aku
bukan bersembunyi karena takut, lihat ini apa?" sembari dari sakunya ia mengeluarkan sebuah
benda, lalu diletakkan di telapak tangannya.
Ketika semua orang pada maju melihat ternyata itu adalah sebuah senjata Thian Mo Siok Hun
Leng.
Si Kacung baju merah mengira ia tidak tahu, juga membuka tangannya, menunjukkan benda
yang serupa, bahkan dilemparkannya ke udara untuk dibuat mainan baru berkata :

"Apa yang dibuat heran? Di sini aku juga punya!"
"Bocah baju merah, kau jangan terburu nafsu. Tunggu aku nanti ceritakan perlahan-lahan. lima
hari berselang, ketika aku meninggalkan kalian, begitu keluar dari gunung, lantas berpapasan
dengan si tua bangkotan itu. Semula aku tidak kenal padanya, tapi dari ilmu lari pesatnya yang
luar biasa, aku bisa menduga ia bukan orang sembarangan, maka aku lantas tidak berani
unjukkan diri! Siapa kira didalam gunung yang sepi ini, ia telah berputaran tiga hari tiga malam
lamanya, agaknya sedang mencari sesuatu.
Dengan demikian aku lantas berada dalam kesulitan yang sangat hebat. Disatu pihak aku
harus mengamati orang, dilain pihak harus berjaga jangan sampai jejakku diketahui olehnya.
Ketika menyaksikan dia sedang makan, perutku lantas keruyukan. Penderitaan semacam ini
sungguh tidak enak sekali....."
Kim Coa Nio-nio agaknya sudah tidak sabaran, ia berkata berulang-ulang :" Bohong, bohong"
"Nio-nio, kau jangan mengganggu dulu, sekarang dengarlah aku akan mulai menceritakan halhal
yang mendebarkan hati. Tadi malam, selagi aku mengawasi gerak gerik malaikat jari enam itu,
di belakangku ada orang yang mengintai. Sungguh celaka, mungkin karena lalai, sedikit suara saja
sudah diketahui oleh si Malaikat jari enam, maka dia lantas lompat menerjang. Bagiku sungguh
mengenaskan, karena di depan dan di belakang semuanya terdapat musuh yang menunggu.
Siapa di depan aku sudah tahu, tapi siapa yang di belakang aku tidak tahu.
Namun si Malaikat jari enam ini saja, aku sudah merasa jeri menghadapinya! Untung Tuhan
masih melindungi jiwaku, pohon besar di sampingku ternyata terdapat sebuah lubang besar, maka
aku bisa masuk yang mungkin bagi orang lain tidak ada gunanya!
Ketika si Malaikat jari enam tidak melihat bayangan orang yang ditubruk, ia sendiri juga
terkesima dan tiba-tiba diangkasa yang gelap itu tampak sinar biru, aku baru tahu kiranya dia
Kouw Low Sin Ciam, si setan tua itu juga rupanya muncul di situ.
Si Malaikat jari enam begitu melihat tanda api Kouw Low Sin Ciam, rupa-rupanya juga kaget,
lalu ia lontarkan senjatanya yang bersinar merah, senjata itu adalah benda ini.
Selanjutnya kedua orang itu tanpa bertemu muka, mungkin satu sama lain merasa jeri, mereka
hanya berbicara dari jarak jauh.
Dari pembicaraan mereka, aku dapat tahu bahwa mereka berjanji hendak bertempur.
Pertempuran itu dilakukan tiga kali, untuk memutuskan siapa yang kalah dan siapa yang menang.
Yang menang boleh menjagoi daerah Kanglam dan Kangpak, sedang yang kalah harus keluar
daerah.
Siapa kira bahwa tempat untuk pertempuran yang dipilih adalah kuil Han Pek Cin Koan ini. aku
benar-benar hampir lompat, dan setelah mereka berlalu, aku segera lari pulang untuk melaporkan
hal ini. Namun beberapa malam aku lari, masih tetap di belakang malaikat jari enam itu. Hingga
aku dapat menyaksikan bagaimana dia membinasakan lima orang golongan tua dari Pek Liong
Po, yang dilakukan dengan demikian mudahnya.
Sekarang, sebaiknya kita menyingkir dulu tengah hari nanti, kedua iblis itu segera datang. Saat
itu, bila mereka tidak senang, mungkin kita akan dibuat sasaran dulu. Pihak kita sekalipun
ditambah lagi dua atau tiga Lato, juga tidak ada gunanya!"
Tiong Ciu Khek yang paling memperhatikan nasib Kim Houw, lantas bertanya: "Kalau begitu,
bagaimana dengan Kim Houw dan Kim Lo Han yang berada di kamar rahasia? Bagaimana
dengan makan dan minum mereka?"

"Touw lauko, masalah ini tak perlu bingung, berikan saja persediaan yang lebih banyak pada
mereka, sudah cukup! Biarlah aku yang urus!" kata si Kacung baju merah.
Belum sampai ia angkat kaki, dari jauh kelihatan si Imam palsu dengan badan berlumuran
darah berjalan sempoyongan!
Semua orang yang melihat keadaan si Imam palsu itu terkejut semuanya dan lari menyambut.
Diantara mereka adalah Tiong Ciu Khek, Cu Su dan Tok Kai yang paling cemas, sebab si
Imam palsu tadi bertugas mengantarkan Peng Peng, Sun Cu Hoa dan si botak bertiga ke lembah
untuk bersembunyi.
Sun Cu Hoa satu-satunya keturunan keluarga Sun yang masih hidup. Cu Su yang
berkewajiban melindunginya, bagaimana ia tidak cemas?
Si botak meski wajahnya jelek, tapi hatinya jujur, Tok Kai selama ini berada bersama-sama
dengannya cukup lama dan sangat sayang padanya. Terutama bagi Tan Eng, si gemuk, yang
sudah anggap si botak sebagai anak sendiri, jika terjadi apa-apa pada diri anak itu, bagaimana
Tok Kai harus menemui Tan Eng nanti?
Tiong Ciu Khek tidak usah dikatakan lagi. Peng Peng adalah cucu satu-satunya yang baru saja
lolos dari bahaya maut, ia berharap setelah Kim Houw sembuh dari penyakitnya, ada yang
melindungi dirinya, sehingga pasti dapat menjalani kehidupan yang penuh bahagia.
Siapa kira, hari-hari tenang itu ternyata cuma lewat beberapa hari saja, dan sekarang entah
bahaya apa yang harus dihadapinya lagi! Jika itu benar-benar merupakan bahaya, ah! Tiong Ciu
Khek tidak berani membayangkan apa akibatnya.
Tidak lama kemudian, semua orang sudah tiba di depan si Imam palsu, si Kacung baju merah
dan Lato Kiesu, dengan menggunakan kekuatan lweekangnya, telah membantu menyadarkan si
Imam palsu, sehingga tak lama kemudian dia mulai siuman. Ia melihat banyak mata yang sedang
mengawasinya, sebetulnya ia sudah tidak ingat apa yang telah terjadi, ketika matanya melihat
Tiong Ciu Khek, ia lantas berseru :" Touw Lauko! dia.......dia......"
Dia! Kenapa? Si Imam palsu belum sempat menjelaskan, sudah menjerit pingsan lagi.
Pada saat itu, awan gelap mulai menutupi langit, suara guntur sebentar-sebentar terdengar,
menjadi tanda bahwa hujan lebat akan segera turun.
Si Imam palsu yang terus diobati oleh Lato Kiesu tiga kali telah mendusin, dengan suara lemah
ia berkata pada Tiong Ciu Khek: "Touw lauko, maafkan....aku, Kee Tojin karena kelalaiannya,
telah terjatuh ke tangan musuh, sehingga nona Peng Peng, Sun Cu Hoa dan si botak...."
Semua orang tahan napas, mendengarkan. Mereka menantikan penuturan selanjutnya,
bagaimana sebetulnya nasib ketiga bocah itu.
Namun, si Imam palsu itu agaknya sengaja membingungkan duduk perkaranya, selagi bicara
dengan Tiong Ciu Khek, mendadak ia berpaling pada Cu Su dan Tok Kai: "Jiwi, aku minta supaya
jiwi juga maafkan aku. Ini adalah salahku, semua salahku, karena kelalaianku, telah terjatuh ke
tangan musuh. Aku......aku......" mendadak ia berhenti lagi.
Tiong Ciu Khek sudah tidak sabar lagi.

"Imam busuk!" serunya, "Kenapa kau tidak lantas bicara yang jelas? Bagaimana sebetulnya
nasib ke tiganya?"
Tiong Ciu Khek yang sudah risau hatinya, tidak bisa mengendalikan perkataannya lagi, orang
yang sudah hampir mati, masih dimaki-maki, sungguh keterlaluan!
Lato Kiesu matanya melotot, dalam hati menegur: apa kau tidak lihat keadaannya yang sudah
begitu rupa?
Mendadak geledek menyambar, dibarengi dengan angin yang meniup santer, lalu disusul oleh
turunnya hujan yang amat lebat.
Si Imam palsu yang terluka parah dan banyak mengucurkan darah, mulutnya dirasakan kering.
Begitu tersiram air hujan, ia lalu buka mulutnya lebar-lebar, agaknya merasa girang dapat minum
air hujan yang sejuk.
Si Kacung baju merah yang menyaksikan itu, buru-buru pondong diri si Imam palsu, hendak
dibawa lari ke dalam kuil Han Pek Cin Koan.
Kelakuan si Kacung baju merah karena mengingat sebuah pantangan, bahwa seseorang yang
terluka parah dan habis mengucurkan banyak darah, tidak boleh terkena air hujan, terlebih-lebih
minum air hujan. Karena begitu minum darah segar akan mengalir kebagian jantung, hingga
membahayakan jiwanya.
Tapi, sebelum si Kacung baju merah bertindak, sudah dicegah oleh Lato Kiesu.
"Jangan! Sekarang sudah tengah hari, kedua iblis tua itu sebentar lagi datang, sebaiknya kita
mencari tempat yang lain untuk berteduh.
Si Imam palsu yang nampaknya agak sadar, mengacungkan tangannya menuding ke belakang
gunung. Tidak perlu penjelasan lagi, semua orang sudah tahu apa yang dimaksudkannya. Maka
mereka lantas pada lari ke jurusan yang ditunjuk.
Hujan ternyata sangat lebat, geledek dan kilat menyambar-nyambar tidak henti-hentinya.
Setelah mereka tiba di belakang gunung, benar saja mereka menemukan sebuah gua yang
cukup untuk mereka berteduh.
Cuma, setiba mereka didalam gua, pakaiannya sudah pada basah kuyup, seperti ayam
kecemplung dalam sumur.
Sudah tentu, si Imam palsu juga tidak terkecuali. Dengan demikian, si Imam palsu habis
tertimpa hujan, keadaannya makin berat, ia terus tidak sadarkan diri.
Semua usaha Lato Kiesu sia-sia, hingga semua orang pada kebingungan, dan semakin
cemas.
Tiong Ciu Khek orang yang pertama lompat keluar gua, tanpa menghiraukan hujan yang lebat,
ia hendak mencari dimana letak lembah tersembunyi itu, untuk mencari cucunya Touw peng Peng.
Cu Su dan Tok kai ketka melihat Tiong Ciu khek berlalu, mereka saling pandang. Cu Su lalu
berkata kepada mereka yang ada di situ: "Cuwi, Tiong Ciu Khek kali ini pergi, apa maksudnya,
tidak perlu aku jelaskan. Sekarang, kami berdua juga hendak mencari berpencar. Secepatcepatnya
hanya satu hari, selambat-lambatnya tiga hari, pasti kami akan balik berkumpul di Han
Pek Cin Koan."

Sehabis berkata, tanpa menanti jawaban mereka, bersama Tok Kai ia lantas keluar gua.
Pada saat itu , didalam gua itu hanya tinggal Lato Kiesu, si Kacung baju merah, Kim Coa Nionio
dan si Imam palsu yang terluka. Empat orang itu pernah bersama terkurung didalam Istana
Kumala putih dan bersama-sama pula keluarnya. Diantara mereka, sudah tentu mempunyai tali
persahabatan yang lebih erat.
Selagi Lato Kiesu membalut luka-luka si Imam palsu, si Kacung baju merah tiba-tiba bangkit
dan berkata :" Yah, aku harus segera ke Han Pek Cin Koan, untuk mengantar makanan kepada
Kim Lo Han, lewat sebentar lagi mungkin sudah terlambat. Jika kedua iblis tua itu adu jiwa sampai
tiga empat hari, bagaimana nanti dengan Kim Lo Han?"
Lato Kiesu mendongak dan mengawasi si Kacung baju merah sejenak.
"Mungkin sudah terlambat." katanya.
"Terlambat juga harus pergi, kita toh tidak bisa membiarkan mereka menderita kelaparan,
kalau sebab itu saja Kim siauhiap tambah hebat penyakitnya, bukankah lebih celaka lagi?"
nyeletuk Kim Coa Nio-nio.
"Sudah tentu pergi, apa kau kira aku si Kacung baju merah seorang yang takut mati?"
sahutnya, yang lantas meninggalkan gua itu. Sudah jauh si Kacung baju merah berlalu masih
terdengar suara Kim Coa Nio-nio yang memesan padanya supaya berlaku hati-hati.
Kala itu meski masih tengah hari, oleh karena awan gelap dan hujan lebat, keadaannya sangat
gelap. Si Kacung baju merah yang menempuh hujan mendaki puncak gunung dalam keadaan
demikian, ia tak dapat melihat dengan tegas keadaan Han Pek Cin Koan.
Mendadak ia dengar suara pekikan aneh yang dibarengi dengan munculnya api warna biru
melesat ke tengah udara. Dalam keadaan hujan lebat seperti itu, ia heran, api warna biru itu tidak
terpengaruh oleh hujan, bahkan makin terang nyalanya.
Selanjutnya, tidak jauh dari munculnya api warna biru tadi, kembali terlihat warna merah
melesat ke udara. Sinar merah itu lebih cepat melesatnya daripada api biru tadi.
Si Kacung baju merah yang menyaksikan keadaan demikian diam-diam mengeluh, sebab
benar-benar sudah terlambat sedetik saja, namun ia masih mendaki puncak gunung, sedikitpun
tidak merasa takut, baiknya bajunya yang berwarna merah menyolok itu juga tidak dilepas.
Selagi ia bergerak maju, tiba-tiba terdengar suara ledakan hebat, seperti ada apa-apa yang
rubuh. Si Kacung baju merah terkejut, lantas percepat tindakannya.
Suara ledakan tadi disusul oleh suara ledakan yang lain, begitu pula suara rubuhnya dinding,
telah kedengaran sangat nyata. Si Kacung baju merah makin terkejut, sebab suara itu datangnya
dari arah Han Pek Cin Koan.
Pada saat itu, mendadak ia melihat berkelebatnya bayangan orang, sebentar kemudian si
orang sudah berada di depannya. Si Kacung baju merah terperanjat, ia mengira bahwa orang
yang menghadangnya itu adalah salah satu dari iblis tua itu.
Ternyata, setelah ia tegasi, hatinya lantas merasa lega. Orang itu ternyata Siao Pek Sin.

"Cek-ie ya, kau hendak terjun ke bawah. Apakah hendak cari mampus? Apa kau tidak tahu
lihainya dua iblis tua itu, apa kau kira mampu campur tangan?" berkata Siao Pek Sin sambil
tertawa menyindir.
Si Kacung baju merah setelah agak tenang, tiba-tiba mendapat satu akal, maka lalu
menjawab: "Siao Pek Sin, perbuatanmu ini bukan untuk keperluanku sendiri, tahukah kau, bahwa
adikmu Pek Leng ji terkurung dalam kuil Han Pek Cin Koan? Kalau kita tidak berusaha menolong
jiwanya...."
"Percuma saja kau berusaha!" memotong Siao Pek Sin, "Dalam kuil Han Pek Cin Koan sudah
tidak kelihatan satu setanpun juga. Tapi aku juga tidak tahu apa yang terkandung dalam hatimu,
belum tentu aku akan mencegah perbuatanmu ini, kalau kau berani, pergilah sendiri!"
"Tidak, sedikitpun aku tidak berbohong! Peng Leng ji benar telah terkurung dalam salah satu
kamar rahasia dalam kuil Han Pek Cin Koan, jika kuil itu rubuh, tidak nanti ia bisa hidup. Kalau kau
masih mau mengakui dia saudaramu, seharusnya kau pergi untuk menolongnya!"
"Menolongnya? Kau mimpi! Aku sekarang sudah tidak memerlukan dia lagi, jika ia mati itu
lebih baik, supaya aku tidak usah memikirkannya tiap hari!"
Mendengar jawaban itu, si Kacung baju merah gusar dan dengan gemas memaki: "Kiranya
kau seorang manusia berhati binatang. Orang semacam kau masih berani mengangkat diri
menjadi Tiancu dari Istana Kumala Putih? Sekalipun ada malaikat yang membantu, kau juga tidak
akan berumur panjang!"
Siao Pek Sin hanya ganda tertawa, agaknya ia tidak kenal apa artinya malu.
"Kau ternyata seorang yang tidak berbudi. Dengan maksud baik aku mencegah kau, kau
masih tidak mau terima, bahkan balas dengan makian. Kalau kau mau antar jiwa, pergilah! Aku
tidak punya tempo untuk mengobrol dengan kau!"
Si Kacung baju merah gusar dan memaki Siao Pek Sin, sebetulnya sudah siap sedia untuk
menghadapi segala kemungkinan, sebab dia tahu benar adat Siao Pek Sin sangat kejam dan
ganas. Siapa kira, hari itu Siao Pek Sin ternyata tidak seperti biasanya. Ia tidak mau meladeni si
Kacung baju merah, malah berlalu meninggalkannya.
Si Kacung baju merah dalam hati diam-diam merasa heran, ia masih belum tahu bahwa Siao
Pek Sin pagi tadi terluka parah, tenaganya banyak kehilangan hingga tidak berani sembarangan
mencari setori.
Si Kacung baju merah masih menganggap anak muda itu sangat licik, karena tahu benar di
sana ada dua iblis tua, kalau kesana pasti banyak bahayanya, maka ia sengaja memberi
kesempatan padanya pergi sendiri.
Memikir demikian, keberaniannya telah lenyap separuh, ia berdiri kesima sekian lama tidak
mengambil keputusan.
Hujan angin yang datangnya secara mendadak tadi, berhentinya juga cepat.
Sebentar saja, matahari sudah kelihatan pula dari balik awan.
Si Kacung baju merah pentang lebar matanya bahkan pandangannya ke arah Han Pek cinkoan.
Tapi apa yang terlihat olehnya? Seketika itu lantas terbang semangatnya.

Ternyata kuil Han-pek cin-koan yang sebelum hujan masih berdiri dengan megahnya, kini
sesudah berhenti hujan, kuil itu sudah roboh dan rata dengan tanah!
Kuil sudah hancur, bagaimana dengan nasibnya Kim Lo Han dan Kim Houw? Sudah mati
tertindih puing atau dapat menyelamatkan diri? Dan kemana perginya kedua iblis yang sedang
mengadu kesaktian?
Tanpa banyak pikir lagi, si Kacung Baju merah lantas lari menghampiri reruntuhan Han-pek
Cin-koan.
Di antara tumpukan puing, dengan hati khawatir si Kacung baju merah membongkar sana
membongkar sini, ternyata tidak menemukan mayat Kim Lo Han dan Kim Houw. Ia mulai merasa
lega, sebab mayat tidak diketemukan, orangnya sudah tentu masih hidup!
Tiba-tiba telinganya telah menangkap suara rintihan, suara itu sangat lemah, suatu bukti
bahwa orangnya ada terluka parah. Dalam kagetnya, si Kacung baju merah itu lantas lompat ke
arah datangnya suara rintihan itu!
Kira-kira sepuluh tumbak lebih jauhnya di belakang kuil, di bawah sebatang pohon besar, si
kacung baju merah telah menemukan Kim Lo Han dalam keadaan sangat payah. Bukan main
kagetnya.
Sebab Kim Lo Han dalam keadaan terluka keselamatannya Kim Houw merupakan suatu
pertanyaan. Tapi, si kacung baju merah sudah tidak punya kesempatan untuk memikirkan soal itu
lagi, paling penting ialah menolong dirinya Kim Lo Han lebih dulu.
Ia lantas berjongkok, memeriksa badannya Kim Lo Han. Ternyata pada badan hwesio itu tidak
terdapat luka-luka, lalu ia memeriksa urat nadinya, juga tidak ada tanda-tanda yang menunjukkan
terluka didalamnya. Urat nadi itu hanya menunjukkan denyutan lemah, terang kekuatan tenaga
lwekang si hwesio sudah habis digunakan. Si kacung baju merah makin cemas, karena itu ada
suatu alamat jelek bagi diri Kim Lo Han yang sudah tidak bisa ditolong lagi.
"Lo Han-ya ! Lo Han-ya !" si kacung baju merah coba memanggil.
Kim Lo Han perlahan-lahan membuka matanya, ternyata sudah tidak bersinar lagi, bahkan
membuka saja rasanya susah sekali.
"Lo Han-ya, kau kenapa ? Dan bagaimana dengan Kim siauhiap?"
Dengan susah payah Kim Lo Han angkat sebelah tangannya. Ia menunjuk ke bawah puncak
gunung nampaknya hendak mengatakan sesuatu, tapi perkataannya kandas di dalam
tenggorokannya.
"Dia kenapa ? Apa tidak halangan ?" tanya si kacung baju merah cemas.
Kim Lo Han agaknya ingin memberi keterangan, tapi perkataannya sukar keluar, hanya jari
tangannya yang masih tetap menuding.
Si kacung baju merah tidak mengerti maksudnya ia buru-buru menggunakan cara menguruturut
supaya kawannya itu bisa bicara, tapi baru saja tangannya menyentuh badan Kim Lo Han,
hwesio itu keluarkan jeritan yang mengerikan!

Si kacung baju merah dengan cepat menarik kembali tangannya dan bertanya: "Lo Han-ya!
kau kenapa ? Aku lihat dibadanmu tidak terdapat luka apa-apa..."
Siapa nyana, belum selesai perkataannya tiba-tiba ada sesuatu kekuatan tenaga yang sangat
hebat menyerang ke arah dadanya. Si kacung baju merah terperanjat ia tidak berani menyambuti,
buru-buru melompat ke samping.
Sebab serangan yang datangnya secara mendadak dan begitu hebat kekuatannya, ia tahu
bahwa orang yang menyerang itu bukan orang sembarangan. Ia kuatir orang itu nanti akan
mengulang serangannya, maka sebelum kakinya menginjak tanah, kembali ia lompat melesat,
untuk menghindarkan serangan selanjutnya.
Siapa nyana, tidak ada serangan susulan, seolah-olah serangan susulan itu telah ditarik
kembali. Si kacung baju merah masih tercengang, ketika ia mengawasi si penyerang, ternyata itu
adalah Kim Houw. Dalam girangnya, ia lantas berseru: "Kim siauhiap, apa kau sudah sembuh ?"
Orang yang menyerang si kacung baju merah tadi memang betul Kim Houw. Hanya pada saat
itu wajahnya pucat pasi, air mata turun deras bagaikan hujan gerimis, terhadap pertanyaan si
kacung baju merah seolah-olah ia tidak dengar sama sekali. Sepasang matanya memandang Kim
Lo Han dengan tidak berkedip.
Apa sebetulnya yang telah terjadi ?
Ketika Kim Houw dan Kim Lo Han ada dalam kamar rahasia empat hari lamanya, penyakitnya
Kim Houw sudah sembuh separuh lebih, waktu Kim Houw sadar juga makin banyak.
Tapi, Kim Lo Han yang selama hari terus menerus menggunakan kekuatan ilmunya Kim-liong
Cao-kang untuk menyembuhkan penyakitnya Kim Houw, banyak mengeluarkan kekuatan tenaga
lwekangnya, sudah tidak perlu dikatakan lagi. Tapi untuk kepentingan Kim Houw, Kim Lo Han tidak
perdulikan keadaannya sendiri, ia berdaya terus untuk menolong Kim Houw!
Hari kelima pagi-pagi, Kim Lo Han yang sedang mengobati Kim Houw, tiba-tiba dengar suara
orang-orang yang berada diluar kuil pada berteriak "Thian-mo Siok-kun-leng" yang merupakan
tanda khusus akan munculnya si malaikat jari enam atau Liok-ce Thian-mo.
Mendengar akan munculnya lagi itu iblis yang sudah terkenal ganas, Kim Lo Han terperanjat,
karena ia sudah pernah mendengar penuturan dari gurunya, tentang kejahatan, kekejaman,
kelihaian dan keganasannya Liok-ce Thian-mo dan selagi suhunya masih hidup, pernah ada
sedikit ganjalan dengan malaikat jari enam itu. Kini malaikat itu telah muncul lagi di dunia
kangouw, entah bahaya apa nanti yang akan menimpa gereja Hoat-kok-sie di gunung Kie-lie-san ?
Karena memikirkan demikian, perasaannya telah terganggu, hingga kedua tangannya meski
masih diletakkan di atas pelipis Kim Houw namun sudah lupa menggerakkan !
Entah berapa lama telah lewat, Kim Houw mendadak tersadar dari tidurnya. Ini, sebab suara
ketawa si wanita genit, masuk ke dalam telinganya. Suara itu begitu enak kedengarannya, seolaholah
mengandung rayuan asmara, lagi pula seperti dari mulutnya seorang yang sudah dikenal
betul, sehingga membangkitkan kesadarannya, maka ia lantas tersadar dari tidurnya.
Hal itu telah mengejutkan Kim Lo Han tapi ia cuma anggap karena kelalaiannya sendiri,
sehingga membawa akibat yang kurang baik, maka ia lantas buru-buru mengamat-amati wajahnya
Kim Houw.
Ia lihat sepasang mata Kim Houw memandang lurus dengan sinarnya yang tajam, tidak seperti
ada tanda-tanda yang kurang baik, maka lalu menanyakan padanya: "Kim Houw kau kenapa ?
Apa ada apa-apa yang kurang beres ? Kau......"

Belum habis pertanyaannya kembali terdengar ketawa wanita genit itu. Kim Houw lantas
menyahut: "Kau dengar.... kau dengar.... "
Kim Lo Han juga dengar suara ketawa begitu, cuma ia tidak tahu ada hubungannya antara
suara ketawa itu dengan Kim Houw hingga mengejutkan anak muda itu begitu rupa.
Belum habis Kim Lo Han berpikir, Kim Houw sudah lompat bangun dan hendak menerjang
keluar pintu. Kim Lo Han yang menyaksikan itu bukan main kagetnya. Sebab jika keluar demikian
saja, bisa terganggu, soal-soal lainnya atau terlambat waktunya, maka semua usahanya akan
tersia-sia saja. Maka ia buru-buru melompat bangun, menjambret lengan Kim Houw!
(Bersambung ke Jilid 18)
Jilid 18
Kim Houw egoskan dirinya, lantas menoleh memandang melotot pada Kim Lo Han,
maksudnya hendak mengatakan, suaranya tertawa itu justru menyadarkan dirinya mengapa dia
dirintangi?
Menampak Kim Houw berkelit, dalam hati bukan hanya terperanjat, tapi juga ketakutan. Sebab
ia mengerti, kalau Kim Houw benar-benar hendak menggunakan kepandaian Kao-jin Keisu, mesti
dalam kamar sesempit itu, sungguh tidak gampang bagi dirinya hendak menangkap Kim Houw,
dan jika ada kesalahan apa-apa bukan lebih celaka lagi akibatnya?
Untung pada saat itu mendadak terdengar bentakan Kim Coa Nio-nio, yang telah
mengagetkan Kim Houw. Kesempatan itu telah digunakan oleh Kim Lo Han untuk memegang lagi
tangan Kim Houw.
Dengan cepat ia mengerahkan seluruh kekuatan Kim-kong Cao-kangnya, supaya Kim Houw
tertidur lagi, jangan sampai terganggu oleh soal-soal tadi, sehingga akan sia-sia semua usahanya.
Sudah tentu, dengan keadaan demikian, Kim Lo Han sendiri juga harus menindih semua
perasaannya sendiri yang tadi sedang bergolak. Setelah Kim Houw nampak tenang lagi, ia sendiri
juga perlahan-lahan mulai tenang pikirannya.
Namun, gangguan telah datang dan saling menyusul, saat itu dari luar kembali terdengar suara
pertempuran hebat, cuma Kim Lo Han dan Kim Houw tadi setelah berlaku gegabah dan hampir
saja mencelakakan dirinya, kini telah tertidur lagi.
Entah berapa lama telah berlalu, terdengar suara geledek, hingga Kim Lo Han dan Kim Houw
kaget, selanjutnya disusul oleh jatuhnya hujan lebat.
Kemudian suara gunung berbunyi tak putus-putusnya.
Hujan dan bunyi geledek itu bagi dirinya yang mengobati dan yang diobati, merupakan suatu
rintangan besar.
Kim Lo Han buru-buru tarik kembali kekuatannya, ia duduk tenang disamping, sebab saat itu
juga merupakan saat-saat yang terpenting, kalau bisa menahan diri sampai hari itu, boleh dikata
Kim Houw sudah sembuh sembilan puluh yakin tidak merupakan suatu halangan atau bahaya lagi.
Siapa nyana tepat pada saat itu telinganya dengar suara ketawa seram yang datangnya dari
arah jauh, tapi kemudian mendekat dan kemudian berada di depan kuil. Suara itu jauh dari jauh
kedengarannya sangat halus, dari jarak dekat juga tidak begitu nyaring. Tapi sudah jelas bahwa
orang yang tertawa itu sudah berada dekat di depan mata !

Kim Lo Han mengetahui bahwa saat itu di depan matanya sudah muncul dua orang yang
berkepandaian sangat tinggi, mereka tentu adalah Kouw-low-sin-ciam dan Liok-ci-Thian-mo.
Kim Lo Han buru-buru mengamati diri Kim Houw, masih untung, Kim Houw matanya
memandang lurus, kedua tangannya meraba-raba badannya seolah-olah tidak memperdulikan
kedatangan kedua iblis itu.
Kim Lo Han mulai tenang, sebab dari keadaannya itu, Kim Houw terang sedang menggunakan
pikirannya untuk mengenangkan apa-apa.
Mendadak suara di luar telah masuk ke telinganya Kim Lo Han.....
"Kita menggunakan kuil ini saja, untuk menguji kekuatan tangan kita ..."
Nyata kedua iblis tua itu sudah siap akan menguji kekuatan dan kuil itu yang akan menguji
kekuatan, dan kuil itu yang akan dijadikan batu ujian. Sekarang apa daya ?......
"Beleduk! Beleduk!" terdengar suara nyaring dua kali, pintu kuil ternyata sudah dibikin rubuh !
Kim Lo Han terperanjat, tapi apa daya ?
Ia masih belum menemukan daya apa untuk menghadapi kedua iblis itu, kembali terdengar
suara dinding rubuh, bahkan tanah juga bergetar, sedang dinding kamar rahasia itu juga goncang
keras.
Kim Lo Han memandang Kim Houw, anak muda itu ternyata masih tetap dalam keadaannya
seperti tadi, seolah-olah tidak dikejutkan oleh suara robohnya dinding tadi.
Setelah suara gemuruh terdengar beberapa kali langit-langit kamar rahasia itu akhirnya rubuh
juga. Kim Lo Han gerakan badannya menyelamatkan diri. Ia mengira Kim Houw sudah sadar,
tentu bisa menyingkir sendiri.
Siapa nyana, Kim Houw bukan saja tidak menyingkir, bahkan bergerak sajapun tidak, ia
membiarkan, bahkan bergerak sajapun tidak, ia membiarkan dirinya ditimpa genteng, tiang, serta
air hujan !
Ketika genteng dan tiang menimpa badannya, Kim Houw masih tidak anggap apa-apa. Tapi
ketika air hujan mengguyur dirinya. Kim HOUW merasakan badannya amat sejuk segar, ia lalu
dongakkan kepala dan mengeluarkan suara helaan napas.
Kim Lo Han lantas menegur dirinya "Houw-ji ! Houw-ji! Kau kenapa ?"
Mendengar suara panggilan, Kim Houw terkejut, lantas lompat bangun,
Kim Lo Han masih mengira penyakitnya kambuh lagi, maka lantas lintangkan dirinya hendak
menyambar tangannya, tapi Kim Houw mendadak seperti macan mengamuk.
Dengan mendadak ulur tangannya, sehingga badan Kim Lo Han terdorong membentur tepat
pada dinding tembok kamar, justru saat itu, tembok itu mendadak rubuh!
Dalam pada saat yang kritis itu, Kim Houw mendadak sadar apa yang telah terjadi. Sambil
mengeluarkan pekikan nyaring, lantas gerakkan kedua tangannya. Satu tangannya. Satu tangan
mendorong tembok yang hendak menindih badan Kim Lo Han, lain tangan menyambar badannya.

Tapi bukan main kagetnya Kim Houw karena badan Kim Lo Han yang disambar dan diangkat
tinggi-tinggi ternyata sangat enteng seperti sudah hilang beratnya, bahkan terdengar suara
merintih, meski tidak keras tapi sangat menyedihkan !
Kim Houw yang kini sakit ingatannya sudah pulih kembali, ketika menyaksikan keadaannya
Kim Lo Han, hampir saja terbang semangatnya.
"Lo Han-ya ! Lo Han-ya ! Kau....kau...kau..." demikian ia berseru.
Kim Houw bisa sembuh pada saat yang sangat gawat itu, mungkin sudah takdir namun
jasanya Kim Lo Han juga tidak sedikit. Kalau tidak ada Kim Lo Han yang menggunakan ilmunya
Kim Kong Cao-kang dan menyalurkan seluruh kekuatan tenaganya untuk mengobati dirinya terus
menerus selama beberapa hari, walaupun bagaimana juga ingatan Kim Houw tidak bisa sadar
pada saatnya. Dan apabila tidak bisa sadar pada saat itu, bagaimana akibatnya, benar-benar
susah dibayangkan !
Kesembuhan Kim Houw, kecuali jasa Kim Lo Han, suara tertawa Khu Leng Lie, suara
robohnya tembok, suara halilintar dan angin ribut serta turunnya hujan lebat juga merupakan faktor
penting.
Cuma, Kim Houw yang baru tersadar tidak seharusnya Kim Lo Han melarang ia bergerak,
sehingga akhirnya terkena serangan-serangan Kim Houw. Selama sebulan lebih Kim Houw hilang
ingatannya, tapi kekuatan tenaganya ternyata bertambah tidak sedikit. Sebab dalam pikirannya
selain memikirkan bagaimana ingatannya bisa hilang, hal lainnya boleh dikatakan tidak ada sama
sekali dalam keadaan alam pikirannya. Maka, jika ada waktu terluang lantas digunakan untuk
melatih ilmu silatnya.
Dalam keadaan antara sadar dan tidak ia keluarkan ilmunya Han-bun Cao-kie untuk
menyerang Kim Lo Han yang sudah tidak mampu menandingi Kim Houw, apalagi setelah
kehilangan kekuatannya begitu banyak, bagaimana ia sanggup menerima serangan itu ?
Dalam keadaan terpaksa ia menyambut serangan Kim Houw, sisa kekuatan tenaganya lantas
musnah. Setelah sekujur badannya dingin menggigil, tulang-tulangnya pada sakit linu otot-ototnya
pada mengkerut, tahulah dia bahwa sudah batas waktu hidupnya sudah sampai.
Tapi ia merasa sangat girang, ketika tahu bahwa Kim Houw sudah sembuh.
Ketika Kim Houw mengetahui bahwa orang yang diserang bukannya musuh, ia berdaya
hendak menarik kembali serangannya, tapi sudah terlambat. Pada saat itu, tiba-tiba terdengar
orang bicara : "Hmmm ! Tidak dinyana di dalam kuil ini masih ada kamar rahasianya dan dalam
kamar masih ada orang yang sembunyi, Liong Ci Thian mo muncul kembali di dunia tidak nanti
membiarkan orang melihat wajahnya, siapa yang melihat harus kubinasakan!"
Kim Houw mendengar perkataan itu, hatinya yang sedang bersedih karena memikirkan luka
Kim Lo Han, seketika lantas naik darah. Ia tidak mau membiarkan orang itu omong besar dan
berlaku congkak di depan matanya. Sambil memandang tubuh Kim Lo Han, ia lantas melesat
keluar dari runtuhan puing.
Baru saja meletakkan tubuh Kim Lo Han di bawah satu pohon besar, tiba-tiba di belakangnya
terdengar orang ketawa dingin.
"Ingin lolos dari bawah hidungku dalam keadaan hidup," katanya. "Sama sukarnya dengan
naik ke sorga. Anak busuk, orang semacam kau juga memikirkan lari dari bawah tanganku. Hai!
Belum pernah Liok-ci Thian-mo mengampuni orang yang melihat wajahnya!"

Mendengar perkataan yang sangat tekebur itu, Kim Houw makin gusar. Tapi ia tidak mau
meladeni, berpaling sajapun tidak seolah-olah di matanya tidak ada orang yang omong besar itu.
Sikap Kim Houw itu telah membuat seorang yang anggap dirinya ada orang terkuat di dunia
seperti Liok-ci Thian-mo itu, merasa lebih terhina daripada dimaki atau digebuk.
Munculnya Liok-ci Thian-mo di dunia kangouw untuk kedua kalinya ini, pertama telah bertemu
dengan Kouw-low Sian Ciam dengan kesudahan mengadu kesaktian. Karena kedua iblis itu
sebaya usianya, maka boleh dikata sama tingkatannya.
Tapi Kim Houw yang usianya masih muda belia, juga berani berlaku begitu sombong terhadap
dirinya, bagaimana dia tidak murka ?
Kini Liok ci Thian mo sikapnya tidak begitu ingin sombong lagi. Sambil keluarkan bentakan
hebat, tangannya mengeluarkan sebuah benda semacam plat yang warnanya merah membara.
"Bocah, kau terlalu kurang ajar, lihat aku dengan "Thian-mo Siok-hun-leng" akan ambil jiwa
anjingmu!" katanya gusar sekali.
Kim Houw meski sikapnya acuh tak acuh tapi sebenarnya sangat waspada, sebab dari
perkataan dan kelakuannya Liok-ci Thian-mo ia sudah dapat menduga bahwa iblis tua itu bukan
orang sembarangan.
Saat itu berbareng dengan ucapannya Liok-ci Thian-mo, ia dapat menangkap suara memecah
diangkasa yang sangat halus. Kim Houw yang mempunyai kepandaian tinggi dan bernyali besar,
sedikitpun tidak merasa jeri. Ia menantikan setelah suara halus itu dekat, baru memutar-mutar
badannya, sedang jari telunjuk dan jari tengah tangan kanannya ia ulur menurut kehendak sang
hati....
Ia kira, sebelum matanya dapat lihat senjata apa sebetulnya yang dilancarkan itu, kedua jari
tangannya sudah cukup menjepit senjata tersebut tanpa meleset.
siapa nyana, senjata rahasia fihak lawan itu ternyata sangat aneh meluncurnya, tidak secara
lurus, melainkan berputaran, maka jari tangan Kim Houw tidak berhasil menjepit senjata tersebut
malah senjata itu sudah meleset ke arah pelipisnya.
Bukan kepalang kagetnya Kim Houw, masih untung kepandaiannya sangat tinggi dalam
keadaan sangat gawat, ia cepat miringkan badannya sambil pentang mulutnya meniup untuk
menahan majunya senjata gaib itu. Lalu untuk kedua kalinya ia ulur jari tangan kanannya untuk
menjepit dan kali ini ia berhasil.
Berbareng pada saat itu, telinganya kembali menangkap suara aneh yang memecah angkasa,
yang datangnya dari arah lain. Karena pengalaman barusan Kim Houw tidak berani gegabah lagi.
Dengan cepatnya ia melesat tinggi ke angkasa, kemudian menjungkir balik dengan kepala di
bawah dan kaki di atas, ia menggunakan tangannya yang menjepit senjata "Thian mo Siok hun
leng" untuk menyambut serangan musuh. Setelah terdengar suara "trang" yang amat nyaring,
sebatang anak panah panjang jatuh ke tanah.
Kim Houw melayang turun sambil ketawa, matanya lantas dapat melihat dua orang kakek, satu
berada di timur, satunya lagi berada di barat. Dengan demikian, hingga Kim Houw berada di
tengah-tengah antara kedua iblis tua itu.

Kedua iblis tua itu satu berbadan kurus jangkung, sedang yang lain gemuk pendek.
Yang jangkung kurus tangannya memegang gendewa, pinggangnya dilibat serenceng kepala
tengkorak manusia, keadaannya sungguh menakutkan.
Sedang si gemuk pendek tangan kirinya sudah putus sebatas pergelangan, dibungkus dengan
kain merah, seolah-oleh sebilah belati.
Tangan kanan telapakan luar biasa besarnya, bagian jempolnya lebih satu jari.
Kedua orang tua itu sudah tentu adalah Kouw Low Sin Ciam dan si Malaikat jari enam.
Kouw-louw Sin-ciam melihat Kim Houw, telah keluarkan seruan kaget. Sebab tadi pagi ia baru
saja menolong jiwa Siao Pek Sin, mana ia tahu bahwa kedua pemuda itu wajahnya mirip satu
sama lain.
Tapi tidak demikian dengan Liok-ci Thian Mo, ia bukan cuma kaget saja, bahkan merasa
terheran-heran. Senjata Thian-mo Siok hun-leng adalah senjata yang paling ampuh yang
membuat namanya sangat terkenal. Berapa puluh tahun lamanya ia malang melintang di dunia
Kangouw tidak ada seorangpun yang mampu menyambuti senjatanya yang sangat aneh
bentuknya itu.
Sebab cara menyerangnya dan cara meluncurnya ada sangat aneh, melukai korbannya tanpa
terduga serta tetap mengarah sasarannya, merupakan suatu keistimewaan dalam dunia Kangouw.
Dimasa yang telah lampau, lawannya yang mampu melayani senjatanya itu, kebanyakan dengan
pertolongan senjata tajam atau dengan cara berkelit, dan paling akhir baru mendesak padanya
supaya tidak melepaskan senjatanya itu lagi. Tapi tidak ada seorangpun yang berani menyambuti
senjata Thian mo Siok-hun-leng itu, apalagi dengan jepitan dua jari.
Dan kini, baru segebrakan saja Kim Houw sudah berhasil menyambuti senjatanya, bahkan
dengan senjatanya itu pula digunakan untuk menyampok jatuh senjata anak panah Kow-low Sinciam.
Sungguh hebat kepandaian anak muda itu.
Caranya Kim Houw bertindak begitu gesit dan kekuatan jari tangannya serta ilmu mengentengi
tubuh yang sangat luar biasa, semuanya telah mengherankan iblis yang anggap dirinya seorang
jagoan paling kuat itu. Terutama perbuatan Kim Houw tadi, yang berarti seorang diri telah
menghadapi kedua iblis kenamaan, bagaimana Liok-ci Thian-mo tidak kaget?
Liok-ci Thian-mo mengamat-amati Kim Houw, sebaliknya Kim Houw juga memandang
padanya.
Kim Houw pada saat itu sudah murka betul-betul, wajahnya pucat, matanya mendelik
mengawasi kedua musuh-musuhnya. Sebentar menyapu ke timur, sebentar ke barat, sikapnya
keren sekali, sedikitpun tidak merasa jeri!
Liok-ci Thian-mo adalah seorang yang licik, dalam segala hal, kalau ia anggap tidak safe
benar-benar, ia tidak berani berbuat. Dalam pertempuran demikian pula, kalau ia anggap tidak
unggul sedikitnya sembilan puluh persen, ia juga tidak berani turun tangan. Kalau ia berani
bertempur dengan Kow-louw Sin-ciam, karena ia yakin benar bahwa kepandaiannya lebih tinggi
setingkat dari lawannya.
Tapi sekarang melihat kekuatan dan kepandaian Kim Houw yang seolah-olah dewa dari langit,
bagaimana kalau ia tidak lantas ragu-ragu?

"Anak busuk! Tahukah kau siapa aku ini?" demikian akhirnya ia menanya.
Kim Houw matanya melotot. Dengan tajam ia memandang Liok-ci Thian-mo, lalu perlihatkan
sikap yang menghina !
Selanjutnya ia lantas ulapkan senjata Thian-mo Siok-hun-leng yang berada dalam tangannya,
secara diam-diam ia kerahkan kekuatan tenaga lwekangnya dengan kedua jari tangannya ia
menekan, senjata itu lantas patah menjadi dua potong, terus dilemparkan ditanah !
Menyaksikan kejadian itu, Liok-ci Thian-mo kaget bercampur gusar. Kaget karena senjatanya
itu terbikin dari besi keluaran Burma yang dicampuri dengan emas, lebih ulet dan keras sepuluh
kali dari pada baja. Meskipun ia sendiri, dengan hanya kekuatan dua jari tangan belum tentu bisa
membikin patah senjata itu. Gusar, karena Kim Houw berani merusak senjatanya yang dipandang
sebagai tanda dirinya, di hadapan mata hidungnya sendiri !
Maka Liok-ci Thian-mo lantas keluarkan bentakannya yang hebat: "Binatang cilik, kau berani
merusak benda tandaku yang sudah sangat terkenal. Aku Liok-ci Thian-mo bagaimana mau
mengerti ? Sekarang aku akan kasih kau rasa kelihaian Liok-ci Thian-mo !"
Dengan beruntun Liok-ci Thian-mo menyebut namanya sendiri, ia anggap bahwa nama
julukannya itu sudah begitu terkenal dan bisa digunakan untuk menggertak orang.
Ia tidak tahu bahwa Kim Houw sama sekali tidak tahu nama-nama jago-jago dunia Kangouw,
maka ia hanya ganda dengan tertawa dingin.
"Liok-ci Thian-mo, Cit-ci Thian-mo atau Pat-ci Thian-mo dan segala Thian-mo apa lagi, apa
kau kira bisa berbuat apa terhadap aku?" Kim Houw mengejek.
Jawaban itu merupakan suatu hinaan luar biasa. Liok-ci Thian-mo yang namanya sudah
terkenal sejak empat puluh tahun berselang, sekalipun dalam hati agak jeri, juga tidak sanggup
menelan hinaan begitu rupa. Bisa dibayangkan bagaimana kalapnya waktu itu.
Selagi hendak angkat tangannya untuk menyerang Kim Houw, tiba-tiba di bawah gunung di
suatu lembah yang sangat dalam, muncul segumpal awan berwarna hijau, yang perlahan-lahan
kain ke atas. Awan itu cuma seperti tempayan besarnya, bentuknya ada begitu aneh, sehabisnya
hujan lebat, awan itu memancarkan sinar hijau yang berkilauan.
Ketika Liok-ci Thian-mo yang tengah hendak menyerang Kim Houw melihat pemandangan itu,
bukan kepalang girangnya. Sambil perdengarkan siulan nyaring, ia lantas tinggalkan Kim Houw
dan lompat melesat ke lembah itu!
Kim Houw tadi karena terluka Kim Lo Han, telah tumpahkan amarahnya keatas diri Liok-ci
Thian-mo, sebab dinding tembok itu adalah Liok-ci Thian-mo yang membikin rubuh. Kalau bukan
gara-gara Liok-ci Thian-mo, yang mengadu kekuatan dengan Kouw-low Sin Ciam bagaimanapun
kuil itu tidak sampai hancur dan Kim Lo Han juga tidak sampai terluka. Oleh karena itu maka ia
tidak membiarkan Liok-ci Thian-mo kabur seenaknya saja.
"Kau ingin kabur? Tinggalkan kepalamu dulu!" bentaknya.
Baru saja Kim Houw gerakkan badannya, Kouw-low Sin Ciam juga bergerak. Kim Houw
mengira iblis tua itu hendak merintangi dirinya, maka ia tahu badannya yang masih berada
ditengah udara, sambil mengirim serangan ia berkata : "Bagus? Aku nanti hajar mampus kau
dulu!"

Tidak nyana, Kouw-low Sin ciam mendadak berseru kaget, setelah melompat ke samping ia
lalu menegur: "Aku justru hendak membantu kau, apa kau sudah lupa dengan perkataanku tadi
pagi?"
"Siapa sudi kau bantu? Siapa tahu yang terkandung dalam hatimu? Aku tidak kenal kau?"
jawab Kim Houw.
Kouw-low Sin ciam juga ada satu iblis yang ganas yang sudah kenamaan, bagaimana sudi
dihina begitu rupa? Tapi, ia juga tahu bahwa Kim Houw lihay. Dengan melihat semua sepak
terjangnya tadi, kepandaiannya kelihatan jauh lebih tinggi daripada beberapa hari berselang.
Kalau mau menuruti hawa napsunya dan paksa merintangi gerakan Kim Houw juga, meski
belum tentu ia akan kalah, tapi dalam waktu setengah hari, mungkin masih belum ketahuan siapa
yang akan menang dan siapa yang akan kalah. Oleh karena dengannya tidak mempunyai
permusuhan apa-apa, ia merasa tidak ada perlunya untuk adu jiwa, maka ia lantas tidak bergerak
lebih jauh.
Saat itu di bawah lembah kembali muncul awan hijau, berbareng dengan itu, Kim Houw juga
dengar ketawa riang Liok-ci Thian-mo!
Oleh karena Kim Houw menampak Kouw-low Sin ciam tidak mengandung maksud
permusuhan, maka ia juga tidak mau bikin perhitungan dengannya, dengan cepat ia melesat turun.
Maksudnya, sekalipun tidak dapat merenggut jiwa Liok-ci Thian-mo, setidak-tidaknya juga harus
dapat menghajar padanya setengah mampus !
Kim Houw berlalu, Kouw-low Sin-ciam juga pergi !
Setibanya di lembah, Kim Houw sudah tidak dapat menemukan Liok-ci Thian-mo. Ia heran
kenapa Liok-ci Thian-mo bisa lari ketakutan ?
Benarkah Liok-ci Thian-mo ketakutan dan kabur ? Tidak ! Iblis itu pernah dengar pembicaraan
seorang tukang jual obat-obatan, bahwa di daerah pegunungan itu, telah muncul seekor "kerbau
hijau" kecil. Kerbau hijau adalah penjelmaan dari siluman pohon yang usianya sudah ribuan tahun,
kalau bisa mendapatkannya dan dimakan sebagai obat, sama khasiatnya dengan rumput "lengci"
yang ribuan tahun usianya, bukan saja kekuatan tenaganya bertambah hebat, bahkan bisa bikin
tambah umur dan awet muda, maka jauh-jauh ia perlukan datang kemari.
Siapa nyana, berhari-hari lamanya ia mencari, ternyata tidak dapat ditemukan.
Hari itu, sehabis hujan lebat, tiba-tiba timbul awan hijau dari bawah lembah. Itu sebetulnya
bukan awan, melainkan hawa yang dipancarkan oleh kerbau hijau itu. Oleh karena penemuannya
itu, bagaimana ia tidak girang. Segera rasa malu, nama baik yang telah dipupuk selama beberapa
puluh tahun, semuanya sudah tidak diperdulikannya lagi. Asal ia bisa dapatkan kerbau hijau, apa
yang ditakuti lagi?
Tapi, binatang mukjijat penjelmaan siluman kayu itu, bagaimana begitu mudah diketemukan?
Ia begitu mendengar suara aneh, segera menghilang ke dalam tanah. Ketika Liok-ci Thian-mo tiba
ditempat tersebut, kerbau itu sudah tidak terlihat bayangannya.
Baru saja Liok-ci Thian-mo tiba di bawah lembah, ia sudah tahu kalau Kim Houw mengejar
dirinya. Oleh karena kuatir Kim Houw akan menghalangi maksudnya, maka dengan menahan
gusarnya, ia mencari tempat untuk menyembunyikan diri.

Liok-ci Thian-mo adalah seorang yang banyak akal, tempat yang dipakai untuk
menyembunyikan diri, sudah tentu tidak mudah ditemukan, apalagi Kim Houw memang tidak
menduga kalau ia bisa menyembunyikan diri.
Maka, setelah mencari di sana-sini tidak bisa menemukan, terpaksa naik lagi ke atas gunung.
D iatas gunung, selagi Kim Houw berjalan, tiba-tiba melihat berkelebatnya bayangan merah. Ia
mengira itu adalah si kacung baju merah yang datang, maka lantas hentikan tindakannya untuk
menunggu.
Tidak nyana, bayangan merah itu tidak menghentikan tindakannya, bahkan seperti sedang
mengejek, tapi juga seperti menantang!
Kim Houw gusar, tapi ia sudah tidak mempunyai tempo terluang untuk mengurusi segala
begituan, sebab Kim Lo Han masih menggeletak di sana dalam keadaan terluka parah.
Maka ia lantas tinggalkan bayangan merah itu dan melesat naik keatas gunung.
Di puncak gunung, kembali ia melihat berkelebatnya bayangan merah yang sedang memburu
ke arah Kim Lo Han. Menyaksikan keadaan itu bagaimana Kim Houw tidak cemas? Maka, dengan
tanpa pikir lagi, ia lantas ayun tangannya mengirim satu serangan.
Dengan demikian, maka terjadilah penyerangan atas dirinya si kacung baju merah seperti telah
dituturkan dibagian atas. Untung Kim Houw bermata jeli, sekelebatan ia sudah lantas mengenali
dirinya si kacung baju merah, maka dengan cepat tarik kembali serangannya.
Pada saat itu, hati Kim Houw benar-benar sedih, sebab luka Kim Lo Han, sudah tidak mungkin
dapat disembuhkan. Bukan saja sudah musnah seluruh kekuatannya, bahkan daging di badannya
juga sudah mulai mengkeret.
Badannya yang tadinya begitu besar seperti gajah, kini telah berubah demikian rupa, wajahnya
sudah banyak keriputnya, nampaknya sudah loyo benar-benar.
Kim Houw yang menyaksikan keadaan demikian air matanya lantas bercucuran.
Tiba-tiba terdengar suara Kim Lo Han yang berkata kepadanya : "Houw-ji, apa kau sudah
sembuh betul-betul ?"
"Penyakit lamaku telah kambuh, ini sungguh menjengkelkan! Selama ini, entah berapa banyak
kesalahan yang telah aku lakukan ? Cuma, aku sekarang sudah sadar betulnya, hanya kau Lo
Han-ya, kau......" demikian jawabnya, dengan air mata sukar dibendung.
Di wajahnya Kim Lo Han tiba-tiba terkilas satu senyuman katanya : "Houw-ji, asal kau sudah
sembuh. Lo Han-ya mati juga tidak menyesal. Cuma sebelumnya aku melepaskan napasku yang
penghabisan, masih ada sedikit perkataan akan kutinggalkan untuk kau, itu adalah tentang dua
iblis tua itu, kau harus bertanggung jawab untuk menyingkirkan mereka, kalau mereka tidak
disingkirkan dari dunia, orang-orang di dunia Kangouw mungkin tidak akan bisa hidup aman......"
Bicara sampai di situ, napas Kim Lo Han sudah memburu. Kim Houw terperanjat, sekarang
baru tahu bahwa selama bicara tadi itu, hanya merupakan pergulatannya yang terakhir untuk
meninggalkan pesannya penghabisan !
Selanjutnya, Kim Lo Han masih bisa bicara lagi dengan suara terputus-putus: "Dua iblis tua itu,
kepandaian ilmu silatnya merupakan tersendiri. Kalau kau bertempur dengan mereka kau tidak
boleh gegabah, dan lagi......"

Dan lagi apa? Kim Lo Han belum sempat menyampaikan maksudnya, matanya sudah meram,
napasnya sudah berhenti, dia sudah pulang......
Kim Houw menjerit, lalu menangis seperti anak kecil dan berlutut di depannya.
Si kacung baju merah juga tidak menduga Kim Lo Han akan meninggalkan dunia begitu cepat.
Mengingat persahabatannya begitu lama, air matanya lantas meleleh tanpa merasa dan menjura
dua kali di depan jenasah kawan senasib dalam Istana Kumala Putih di rimba keramat.
Kim Houw masih terus menangis, seolah-olah tidak perdulikan dirinya sendiri. Si kacung baju
merah tidak berdaya, maka membiarkan dirinya melampiaskan menangisnya.
Tiba-tiba terdengar suara ketawa dingin yang mengecam suasana duka itu.
Bukan kepalang kagetnya si kacung baju merah, ia mengira kedua iblis tua itu datang lagi. Ia
tidak tahu apa yang telah terjadi barusan di tempat itu, juga tidak tahu bahwa Kim Houw pernah
bertemu muka bahkan sudah mengadu tenaga dengan dua iblis. Maka seketika itu lantas berseru :
"Kim-siauhiap!"
Tapi Kim Houw seolah-olah tidak mendengar seruan itu, ia masih tetap mendekam dan
menangis, sama sekali tidak meladeni seruannya.
Tepat pada saat itu, suara ser, ser, ser, kedengaran ramai, berapa puluh batang anak panah
menyambar beterbangan bagaikan binatang balang.
Si kacung baju merah dalam kagetnya segera melesat, ia berdaya hendak melindungi diri Kim
Houw. Karena ia mengira Kim Houw yang hatinya sedang berduka, mungkin tidak tahu kalau
dirinya di bokong!
Di luar dugaan, Kim Houw sudah melesat tinggi sembari keluarkan bentakan keras, dan
tangannya diputar laksana titiran, untuk menyampok jatuh serangan anak panah, sehingga
sebatangpun tidak ada yang mengenakan dirinya.
Kim Houw nampaknya sudah murka, sembari membentak, badannya meluncur ke arah
datangnya anak panah. Gerakannya gesit dan hebat sekali. Si kacung baju merah masih belum
lihat tegas apa yang dilakukan oleh Kim Houw, anak muda itu sudah melesat dan menghilang dari
depan matanya.
Tidak antara lama lalu disusul dengan suara jeritan ngeri berulang-ulang. Si kacung baju
merah tercekat, dalam hatinya menduga orang-orang yang melakukan pembokongan dengan
anak panah tadi, tentunya tidak terluput dari pembalasan Kim Houw. Tapi entah Kim Houw
menggunakan cara apa untuk menghajar orang-orang itu, dan siapa sebetulnya orang yang
melakukan pembokongan itu.
Sebentar kemudian Kim Houw sudah balik kembali. Ia tetap berdiri tenang di depan jenasah
Kim Lo Han! Kelihatannya begitu menghormat, tidak berani bergerak atau bersuara.
Si kacung baju merah kuatirkan Kim Houw karena terlalu duka sehingga mengakibatkan luka
didalam jika demikian halnya, maka kalau kedua iblis tua itu nanti muncul lagi, tidak ada yang
mampu menundukkan.
"Kim-siauhiap, siapakah orangnya yang tengah malam buta datang ditempat belukar ini ?"
tanyanya perlahan.

Kim Houw dengan suara yang cuma bisa didengar oleh si kacung baju merah sendiri
menyahut : "Rasanya seperti orang-orang dari Ceng-hong-kauw !"
"Ceng-hong-kauw ? Apa kau ada permusuhan dengan orang-orang Ceng-hong-kauw ?" tanya
si kacung baju merah kaget.
Kim Houw mengangguk, tidak menjawab. Tapi ia jelalatan, agaknya sedang mencari tempat
yang pantas untuk mengubur jenazah Kim Lo Han.
Melihat Kim Houw tidak menjawab, si kacung baju merah juga tidak menanya lagi. Ia pergi ke
bekas kuil Han-pek Cin-koan, ketika kembali tangannya memondong sebuah guci besar. Kim
Houw mengerti maksudnya, keduanya dengan tanpa banyak bicara, memasukkan jenazah Kim Lo
Han ke dalam guci, kemudian dikubur di belakang bekas kuil. Setelah selesai, Kim Houw berhenti
berlutut di depan gundukan tanah, lama tidak mau berdiri !
Si kacung baju merah yang menyaksikan keadaan demikian, dalam hati merasa cemas. Untuk
menasehati atau mencegah ia sudah tak mampu, tiba-tiba dalam pikirannya ingat sesuatu yang
dapat menggerakkan hati pemuda itu.
"Kim-siauhiap ! Tahukah kau dimana adanya nona Peng Peng sekarang ?" demikian ia
menanya dengan tiba-tiba.
Pertanyaan itu berhasil menarik perhatian Kim Houw, karena setelah mendengar pertanyaan
itu, dengan serentak Kim Houw berdiri dan menjawab : "Cek-ie-ya, bukankah ia ditawan oleh Siao
Pek Sin ?"
Si kacung baju merah melihat Kim Houw meski sangat berduka, tapi pikirannya ternyata sudah
terang hingga dalam hati merasa girang.
"Tidak, ia sudah lolos dari tawanan Siao Pek Sin. Cuma, sekarang barangkali untuk kedua
kalinya ia berada dalam bahaya, bahkan mungkin lebih berbahaya daripada ketika dalam tangan
Siao Pek Sin !"
Mendengar itu Kim Houw terperanjat. "Apa artinya perkataanmu ini ? Ah, sudah lama aku
kehilangan ingatan, sebetulnya apa yang telah kulakukan selama itu ? Cek-ie-ya di sini tempat
siapa ? Apa sebetulnya yang telah terjadi ? Bolehkah kau beritahukan padaku ?"
"Rasanya tidak perlu begitu tergesa-gesa" jawabnya.
"Tidak, harap kau beritahukan aku dulu, aku sudah tidak sabar."
"Kim-siauhiap, tenanglah sedikit. Di belakang puncak gunung ini, masih ada orang yang
menunggu kita !"
Kim Houw mendengar masih ada orang yang menunggu, juga tidak mendesak pula. Selagi
hendak pergi bersama si kacung baju merah, tiba-tiba terdengar suara tertawa dingin, dibarengi
oleh suara aneh.
Kim Houw dan si kacung baju merah mendengar suara itu, terpaksa lantas hentikan kakinya.
Sebab sudah mendengar suara, kalau pergi begitu saja, kuatir dianggapnya tentu ketakutan oleh
suara tadi.

Sebentar kemudian, dari puncak gunung telah muncul tiga bayangan orang, masing-masing
mengenakan pakaian warna hijau, merah dan putih, kiranya mereka adalah tiga orang wanita !
Ketiga wanita, yang berbaju putih bentuknya paling tinggi dan paling besar, yang pakai baju
hijau bentuknya sedang, dan yang memakai baju merah bentuknya paling pendek kecil.
Dengan munculnya ketiga wanita itu Kim Houw lantas tahu bahwa mereka sebetulnya sudah
lama datang, sebab tadi ia masih di bawah gunung, pernah melihat berkelebatnya wanita baju
merah itu !
Tapi, oleh ketiga wanita itu wajahnya tertutup oleh kain sutera berwarna yang sama dengan
warna bajunya masing-masing, sehingga tidak dapat dilihat wajah aslinya. Hanya dari potongan
tubuhnya dapat diduga bahwa mereka ini tentunya berwajah cantik, terutama itu yang memakai
baju merah dan baju hijau yang bentuk badannya kecil langsing, sungguh menggiurkan. Cuma
yang memakai baju putih yang badannya sangat kasar, mungkin ada wanita sebangsa macan
betina!
Namun ia ada berdandan dengan bajunya yang putih meletak, kalau tidak karena lengan
kulitnya yang putih halus, dandanannya itu tentu tidak cocok dengan bentuk badannya.
Kim Houw sejak sembuh dari penyakitnya, sifatnya seolah-olah berubah menjadi pemarah, ia
sudah tidak mempunyai kesempatan untuk memikirkan itu.
Melihat munculnya ketiga wanita itu, ia lantas menanya dengan gemas : "Kalian hendak
berbuat apa ? Apa yang kalian tertawakan?"
Yang memakai baju putih mendadak tertawa suaranya seperti gembreng.
"Enak saja kau buka mulut! Pertanyaanmu memang tidak salah, apa perlunya kamu datang
kemari. Tapi seorang laki-laki, berani berbuat harus berani tanggung jawab, apa harus berlagak
pilon? Apakah kau masih berani tidak mengakui perbuatanmu?" demikian katanya.
Ini benar-benar aneh dan brutal. Kim Houw tidak pernah berlagak pilon, maka sebetulnya dia
tidak perlu meladeni. Hanya ia tidak mengerti apa maksud mereka ?
Maka Kim Houw lantas menyahut dengan gusar :" Aku tidak mempunyai tempo untuk
mengadu lidah dengan kalian. Ada urusan apa lekas terangkan, kalau tidak, maafkan aku tidak
dapat menemani lama-lama!"
"Bagus! Kau benar-benar hendak mungkir, kalau begitu biarlah kita berikan sedikit rasa
padamu...." kata wanita baju putih gusar. Lalu bersama kedua kawannya mengeluarkan
senjatanya yang berupa tiga utas tambang, kira-kira lima tombak panjangnya. Tambang itu
warnanya juga berlainan, masing-masing terdiri dari warna putih, hijau dan merah!
Samar-samar tambang itu memancarkan sinar aneh, seperti sutera tapi bukan sutera, seperti
urat binatang tapi juga bukan urat, entah terbuat dari bahan apa, tapi tampaknya sangat ulat.
Menampak senjata mereka yang aneh itu, Kim Houw tahu tentunya mereka lihay, maka buruburu
ia mendorong minggir si kacung baju merah. Ia siap melayani tiga wanita itu dengan seorang
diri.
Menampak sikap Kim Houw tenang sekali, sedikitpun tidak mengunjukkan kegugupan, dalam
hati mereka merasa heran.
"Eh! Kenapa kau tidak keluarkan senjata?" tanya tiga nona itu hampir berbareng.

"Menghadapi tiga bocah seperti kalian perlu apa harus menggunakan senjata?"
Mendengar jawaban itu, si wanita baju putih sangat gusar. Namun, ia juga lantas menduga,
bahwa anak muda itu tentunya bukan sembarangan.
Kiranya ketiga wanita itu juga orang-orangnya Ceng-hong-kauw, tapi tidak ada orang yang
mengetahui asal-usulnya, cuma tahu mereka ada saudara seperguruan. Wanita yang memakai
baju putih itu bernama Pek Hong Eng, orang-orang pada memanggilnya nona Pek. Yang memakai
baju hijau itu bernama Na Cai Hong, orang-orang memanggil nona Na. Yang memakai baju merah
bernama Ang Loan Ie, orang-orang memanggil nona Ang. Meski usia mereka masih sangat muda,
tapi dalam partai Ceng-hong-kauw kedudukannya sangat tinggi. Mereka merupakan orang-orang
terkuat dalam partainya.
Kali ini oleh karena orang-orang Ceng-hong-kauw yang mengejar nona Kie Yong-yong berkalikali
mengalami kegagalan, telah membuat murka ketiga nona itu, maka lantas pada mengejar
sampai di situ.
Sebelum turun hujan lebat, mereka sudah berpapasan dengan Siao Pek Sin. Saat itu Siao Pek
Sin baru sembuh dari luka-lukanya, kekuatannya banyak berkurang, sudah tentu bukan
tandingannya ketiga wanita itu, dan akhirnya tertangkap hidup-hidup oleh mereka serta dikompres
dimana adanya Kie Yong-yong.
Siao Pek Sin adalah seorang licin, ia sebetulnya tidak tahu siapa adanya Kie Yong-yong, tapi
ia berlagak mengaku terus terang, bahkan menceritakan kepada mereka bahwa Kie Yong-yong
berada di kuil Han-pek-cin-koan, dan ia bersedia mengantarkan mereka kesana.
Tiga wanita itu nampaknya bicara Siao Pek Sin seperti sungguh-sungguh lantas percaya
sepenuhnya. Maka lantas berangkat bersama-sama ke kuil Han-pek-cin-koan. Ditengah jalan tibatiba
hujan turun sangat lebat, angin meniup kencang. Ketiga wanita itu takut kebasahan, lantas
mencari tempat untuk meneduh.
Siao Pek Sin menggunakan kesempatan baik itu lantas kabur. Karena maksudnya
memberitahukan kepada ketiga wanita tadi, sebetulnya ia hendak minta bantuan Kouw-louw Sin
Ciam atau Khu Leng Lie, asal salah satu dari mereka mau membantu, ia tidak usah takuti ketiga
wanita itu lagi !
Melihat Siao Pek Sin kabur, ketiga wanita itu tidak mau mengerti, tidak perduli hujan masih
belum berhenti, mereka lantas lompat melesat untuk mengejar. Ketika tiba di Han-pek-cin-koan,
kebetulan Kouw-louw Sin Ciam sedang mengadu kesaktian dengan Liok-ci Thian-mo, masingmasing
pada meluncurkan senjata rahasianya yang paling ampuh.
Menyaksikan keadaan demikian, betapapun tinggi kepandaian ketiga wanita itu, juga tidak
berani maju secara gegabah.
Setelah kedua iblis tua itu berlalu, ketiga wanita itu baru berani munculkan diri.
Nona Pek heran menyaksikan sikap Kim Houw bicara, berlainan sekali dengan yang
diketemukan duluan, tampaknya sama sekali tidak pandang mata pada mereka bertiga. Apakah
mungkin ada dua orang yang wajahnya begitu mirip ? Tapi, kalau belum mengadu kekuatan, biar
bagaimana ia tentu masih belum mau percaya !
Maka ia lantas keluarkan suaranya yang seperti gembreng pecah, ketiga senjata tambang
segera terpecah tiga jurusan melibat lawannya.

Kim Houw yang berdiri tegak laksana gunung, sedikitpun tidak bergerak, ia menantikan ketiga
utas tambang itu mendekati dirinya baru keluarkan siulan nyaring, kedua tangannya melancarkan
serangan dengan berbareng.
Karena cepatnya bergerak, belum mereka tahu apa yang telah terjadi, tambang ditangan nona
Na dan nona Ang kena terpegang !
Nona Pek yang menyaksikan itu, bukan main terkejutnya. Senjata tambangnya yang lemas,
mendadak berubah keras seperti baja. Dengan itu ia menotok dada Kim Houw, untuk menolong
kedua saudaranya.
Kim Houw dengan secara enteng sekali melesat, kemudian kedua kakinya menjepit senjatanya
nona Pek. Ketika ia turun di tanah, ketiga senjata yang berupa tambang itu sudah dikuasai semua
olehnya.
Ketiga wanita itu bukan kepalang kagetnya, mereka semula memang memandang enteng
kepada lawannya, sebab belum lama pemuda itu dengan mudah dapat ditawan, mereka masih
mengira bahwa Kim Houw itu adalah Siao Pek Sin, siapa nyana orang muda yang mudah ditawan
itu kini ada begitu lihay!
Melihat senjatanya kena terpegang, masing-masing menarik dengan kekerasan, tapi Kim
Houw tidak bergeming, percuma saja mereka berdaya hendak menarik kembali senjatanya.
Sampai di situ Kim Houw baru membuka mulut menanya: "Mau tarik kembali senjata kalian
tidak susah, tapi harus terangkan dulu ada urusan apa kalian datang kemari?"
Nona Pek belum menjawab, sudah didahului oleh nona Na dengan suaranya yang ketus:
"Sungguh tidak disangka kau masih ada muka untuk menanya. Yang kau culik dengan kekerasan,
sekarang kau sembunyikan dimana, lekas jawab...."
Dengan tidak menantikan penjelasannya, Kim Houw mendadak menggentak tangannya, nona
Na berikut senjata tambangnya lantas terbang melayang. Untung ilmu mengentengi tubuhnya
cukup sempurna, dengan jumpalitan di tengah udara, ia telah berhasil menolong dirinya.
"Aku Kim Houw adalah seorang laki-laki sejati," kata Kim Houw mendongkol. "Bagaimana bisa
menculik dirinya seorang perempuan? Kalian jangan coba menimpahkan segala perbuatan orang
lain di atas diriku, jelaskan persoalannya, kalau masih terus kalian menggerecok, aku nanti
terpaksa tidak menaruh kasihan lagi!"
Kim Houw tahu, itu tentu gara-garanya Siao Pek Sin lagi, yang menimpahkan kedosaannya, ke
atas kepalanya, maka ia hendak mendesak lawannya supaya menjelaskan duduk perkaranya.
Nona Ang segera menjawab sambil ketawa dingin: "Kie Yong-yong sekarang dimana? Apa kau si
orang she Kim berani mengatakan tidak tahu?"
Diantara ketiga nona itu, Ang Loan Ie yang paling tahu, sebab tadi ketika berada di atas
gunung, ia pernah melihat ilmu mengentengi tubuh Kim Houw yang sangat luar biasa, ia curiga
bahwa hal ini ada menyelip apa-apa.
Itulah sebabnya maka ia menyebutkan nama Kie Yong-yong, ia ingin tahu reaksi apa yang
ditunjukkan oleh Kim Houw, atau ada orang lain yang main gila di belakang layar?
Kim Houw mendengar disebutnya nama Kie Yong-yong, hatinya lantas bercekat, kedua
tambang yang dipegangnya juga lantas dikendorkan. Memang Kie Yong-yong adalah ia sendiri
yang menolong, tapi dimana sekarang adanya Kie Yong-yong, ia sendiri juga tidak tahu.
Mengingat betapa sedihnya Kie Yong-yong ketika berpisah dari dirinya, dalam hati Kim Houw
lantas merasa pilu.

"Bagaimana ? Tidak salah toh itu adalah perbuatanmu?" nona Ang mendesak. "Kau telah
sembunyikan isteri orang, dan toh berani mengaku sebagai laki-laki sejati, orang gagah, padahal
lebih biadab daripada binatang liar!"
Mendengar ucapan nona Ang bahwa Kie Yong-yong adalah isteri orang, Kim Houw bertambah
kaget.
"Kalian bicara harus mempunyai kira-kira." jawab Kim Houw. "Jangan seenaknya saja, apalagi
menuduh orang yang bukan-bukan. Aku Kim Houw meski tidak berani mengaku budi, tapi dalam
hal membela pihak yang lemah dan menentang segala kejahatan, tidak mau kalah dengan orang
lain, belum pernah mengandung maksud jahat, juga bukan semacam orang rendah seperti apa
yang kalian bayangkan, cuma......"
"Cuma...... cuma apa? Boleh jadi mulanya memang bermaksud baik, tapi kemudian melihat
kecantikan wajah Yong-yong, lantas timbul hati jahat.... betul tidak ?" kata nona Ang sambil ketawa
mengejek.
"Ngaco belo !" bentak Kim Houw.
Tapi nona baju merah itu sedikitpun tidak menjadi kesal ia masih membalas dengan lidahnya
yang tajam.
"Hm, masih berani mengatakan aku ngaco belo ? Saling berpelukan di atas gunung, menginap
bersama-sama di rumah penginapan......"
Kim Houw mendadak tundukkan kepalanya, dalam hati berpikir: Apakah perbuatan demikian
juga merupakan dosa ? Apakah perbuatan itu bisa dianggap suatu bukti bahwa aku dengan dia
telah melakukan perbuatan yang tak senonoh ? Apakah perbuatan itu patut dicela dan dimaki ?
Belum habis Kim Houw merenungkan, nona Ang sudah berkata pula dengan tertawa dingin:
"He, he ! Orang she Kim ! Kau ternyata masih mengerti apa artinya malu ! Kau juga tahu apa
artinya salah ! Lekaslah kini serahkan dia pada kami !"
Kim Houw lantas dongakkan kepala, jawabnya dengan suara keras : "Aku salah ? Dalam hal
apa aku harus merasa malu ? Baik terhadap langit, maupun terhadap bumi terutama terhadap
liangsimku, aku merasa bahwa aku tidak pernah berbuat dosa. Sekarang, aku beritahukan terus
terang pada kalian, ketika ada di Sucoan utara nona Kie sudah berpisah dengan aku. Sekarang
dia berada dimana, aku sendiri juga tidak tahu. Aku dengan dia cuma merupakan sahabat biasa,
tidak ada apa-apanya yang tidak boleh diketahui orang. Sekarang, aku sudah menjelaskan secara
terus terang, harap kalian bisa mengerti dan lekas pergi. Kalau tidak jangan sesalkan kalau aku
berlaku kurang sopan!"
Nona baju merah masih penasaran, sambil lintangkan senjata tambangnya ia membentak :
"Tunggu dulu, jangan angkat pundak seenaknya saja kalau tidak ada pemberesan yang
memuaskan, Ceng hong kauw tidak akan mau mengerti begitu saja terhadap kau, terutama bertiga
saudara, masih tetap hendak minta pelajaran darimu."
Ditantang secara demikian, Kim Houw lantas naik darah.
"Kau kira Ceng hong kauw bisa berbuat apa terhadap aku? Apa kau kira dapat menggertak
aku? Sembarangan waktu dan sembarangan tempat, aku bersedia menyambut kedatangannya.
Kalian bertiga kalau tidak tahu diri, masih tetap ingin mengadu tenaga, aku bersedia melayani,
tidak nanti akan membuat kalian kecewa!"

Saat itu, nona Pek lantas keluarkan komandonya dengan suaranya seperti gembreng:
"Jimoay, maju, serang bagian kakinya dari tiga jurusan!"
Nona baju biru itu menurut, segera ayun senjata tambangnya yang biru, menyerang bagian
kaki Kim Houw!
Nona Pek badannya paling besar kekar, tenaganya juga paling kuat, senjatanya juga paling
besar dan panjang. Melihat nona Na sudah turun tangan, ia lantas gerakkan senjatanya, turut
menyerang!
Nona Ang ternyata lebih gesit, tanpa diperintah lagi, ia melesat tinggi kemudian dengan
menukik ia melakukan serangannya. Ia yang bentuk badannya pendek kecil, sebaliknya telah
melakukan serangan dari atas, mungkin karena ilmu mengentengi tubuhnya adalah yang paling
baik diantara mereka bertiga.
Serangan yang dilakukan dari tiga jurusan ini, sesungguhnya sangat hebat, sedikit meleng
saja, lantas bisa terlibat oleh senjata mereka yang berupa tambang lemas itu. Cuma sayang,
mereka telah salah alamat, apa yang mereka hadapi justeru Kim Houw yang kepandaiannya
dalam ilmu silat sudah tidak ada taranya.
Tadi mereka sudah diberi kelonggaran oleh Kim Houw, tapi mereka masih tidak tahu diri,
bagaimana Kim Houw tidak gusar? Kim Houw tahu, kalau tiga wanita ini tidak diberi hajaran
sampai merasa takluk benar-benar, mereka akan terus menggerecok tidak berhentinya.
Maka, ketika diserang berbareng oleh ketiga wanita itu, Kim Houw lantas gerakkan badannya
dengan ilmu mengentengi tubuhnya yang luar biasa, ia berputaran dan berloncat-loncatan sambil
menggendong kedua tangannya, sedikitpun tidak melakukan serangan pembalasan.
Sebentar kelihatan ia ada di kiri, sebentar lagi sudah berada di kanan. Sebentar ia melesat ke
atas, sebentar lagi mendekam di bawah, tapi tetap berada didepan dan dibelakang diri ketiga nona
itu.
Pada saat itu, Kim Houw sebetulnya cuma bermaksud hendak memberi peringatan kepada
mereka, supaya mau mundur teratur. Kalu ia benar-benar turun tangan, jangan kata cuma tiga
orang, sekalipun tiga puluh orang juga ia dapat rubuhkan dengan mudah!
Pertempuran secara kucing mempermainkan tikus itu telah berlalu setengah jam lamanya, tiga
senjatanya ketiga nona itu jangan kata bisa melukai Kim Houw, sedangkan ujung bajunya saja
tidak dapat menyenggol.
Dalam Ceng-hong kauw, ketiga nona itu mempunyai kedudukan tinggi, kaucu sendiri juga
pandang tinggi kepada mereka. Oleh karenanya, maka setelah begitu lama tidak mampu berbuat
apa-apa terhadap diri Kim Houw, mereka menjadi serba salah, ibarat orang sudah naik di atas
punggung macan, sudah turun lagi. Sebab, selain daripada itu, di belakang mereka juga ada
banyak orang yang mengawasi, kalau mereka mundur sebelum dikalahkan, bagaimana kalau hal
itu nanti tersiar dalam kalangan Ceng-hong-kauw? Bagaimana mereka nanti mempertanggung
jawabkan kepada partainya?
Buat Kim Houw adalah lain, setelah bertempur begitu lama, melihat lawannya terus
membandel, tidak mau sudah kalau belum dikalahkan, hatinya mulai tidak sabar lagi! Maka, ia
lantas mencari kesempatan. Satu kali, mendadak ia keluarkan bentakan keras, lalu ulur tangannya
yang panjang merampas ketiga senjata lawannya. Ia kerahkan tenaga dalamnya untuk membetot
dan mendesak. Pikirnya, setelah berhasil merampas ketiga senjata lawannya, akan lemparkan ke
dalam lembah, tidak akan mencelakakan jiwa mereka.

Siapa nyana, rencananya itu gagal, karena ketiga nona itu pertahankan senjatanya mereka
dengan mati-matian.
Dalam gusarnya, Kim Houw sudah tidak perdulikan bahwa tindakannya nanti akan berakibat
melukai lawannya atau tidak, lantas kerahkan ilmunya Han-bun-cao-khin. Dengan ilmu yang
ampuh ini, bagaimana ketiga nona itu mampu bertahan ?
Ketika mereka mengetahui bahaya mengancam telah berdaya menarik kembali tangannya,
apa mau sudah terlambat ! Kesudahannya, ketiga nona berbareng melepaskan senjatanya dan
tubuhnya jatuh rubuh di tanah, tidak bisa bangun lagi.
Kim Houw tahu bahwa mereka sudah terluka parah, lalu lemparkan senjata mereka di tanah,
kemudian berkata kepada si kacung baju merah: "Cek-ie ya mari kita pergi !"
Kim Houw dan si kacung baju merah setelah melalui puncak gunung tiba di belakang gunung.
Saat itu, si kacung baju merah dengan secara singkat memberitahukan kepada Kim Houw halhal
yang telah terjadi selama Kim Houw hilang ingatannya.
Ketika Kim Houw mendengar bahwa dirinya pernah membantu Siao Pek Sin melakukan
kejahatan dan bermusuhan dengan Kim Lo Han serta kawan-kawannya, tidak kepalang rasa
menyesalnya.
Mendengar pula bahwa Peng Peng oleh karena dia, hampir binasa dibakar hidup-hidup oleh
Siao Pek Sin, hingga rasa bencinya terhadap Siao Pek Sin semakin mendalam. Akhirnya ketika
mendengar bahwa Pek Peng dan Sun Cu Hoa serta si botak bertiga telah lenyap dan belum
diketahui bagaimana nasibnya, bukan main kagetnya.
Maka, ia lantas percepat larinya, ia ingin dari mulutnya si Imam palsu dapat tahu dimana
adanya ketiga orang itu !
Tapi, ketika mereka tiba dibelakang gunung, di depan matanya telah terbentang suatu
pemandangan yang sangat mengerikan ! Apa yang telah terjadi ?
Kiranya, selama setengah hari itu, Lato Kiesu dan Kim Coa Nio-nio yang bertugas menjaga si
imam palsu, kini telah menggeletak di tanah dan sudah putus jiwanya !
Sedangkan si Imam palsu yang semula memang sudah terluka parah, keadaannya semakin
mengenaskan, kepalanya hancur seperti buah semangka tergilas roda. Sebab ia sedang terluka,
sudah tentu tidak bisa bergerak, siapapun tidak nyana bahwa orang yang sudah terluka parah
harus mendapat perlakuan demikian kejam.
Si kacung baju merah melihat keadaan demikian lantas berseru kaget, mulutnya telah
menyemburkan darah segar.
"Kim-siauhiap, Kim Houw ! Kau harus menuntut balas untuk mereka ! Ini semua adalah
perbuatan Kouw-low Sin Ciam!" serunya dengan penuh kegusaran.
Kim Houw dengan mata melotot mengawasi ketiga mayat itu, dalam hatinya berpikir "Mana
cukup menuntut balas saja, aku beset kulitnya, cabut tulang-tulangnya, hirup darahnya dan makan
dagingnya....."
Kim Houw kertak giginya, ia masih termenung memikirkan nasib kawan-kawannya itu ketika
tiba-tiba terdengar suara tubuh orang jatuh, ia terkejut, ketika ia berpaling ternyata si kacung baju
merah juga sudah menghabiskan nyawanya sendiri !

Tindakan nekad Cek-ie-ya ini mengingatkan akan kematian yang saling susul dari kawan
senasibnya.
Orang-orang yang keluar dari Istana Kumala Putih, kecuali kedua manusia kukoay dari Haylam
yang sudah kabur pulang ke Hay-lam dan Lui Kong yang belum ketahuan nasibnya, yang
lainnya sudah binasa semua.
Meski selama mereka berkumpul di satu tempat tidak pernah melakukan upacara sumpah
angkat saudara, namun tali persahabatan mereka, terutama setelah berada di luar dan mengalami
perlakuan tidak patut dari Siao Pek Sin, sedikit banyak ada beda dengan persahabatan biasa. Dan
sekarang semua sudah binasa, bagaimana ia bisa enak tinggal hidup sendirian ?
Apalagi terhadap Kouw-low Sin Ciam yang membinasakan Lato Kiesu dan lain-lain, Ia jua tidak
mampu menuntut balas untuk kawan-kawannya itu. Untuk membela kawan-kawannya yang sudah
mati, untuk menguatkan hati Kim Houw menuntut balas, ia telah memilih jalan kematian.
Maka selagi Kim Houw dalam keadaan termenung, tangannya telah menepok kepalanya
sendiri sehingga pecah, Kim Houw tidak menduga akan perbuatan nekadnya itu, maka ia tidak
keburu menolongnya.
Bintang-bintang bertaburan di langit, tapi tidak kelihatan rembulan.
Di belakang bekas kuil Han-pek Cin-koan yang sudah jadi reruntuhan puing, kelihatan lima
buah gundukan tanah kuburan, pada setiap kuburan dibangun sebuah batu nisan, diatasnya ditulis
nama masing-masing yang telah bersemayam didalamnya.
Pada saat itu, Kim Houw telah berlutut di hadapan lima kuburan itu, agaknya sedang bersujut
atau meminta doa restu. Suaranya halus sekali, tidak dapat didengar oleh siapapun jua.
Malam keadaan amat sunyi itu, telinga Kim Houw tiba-tiba dapat menangkap suara orang
berjalan pelan, suara itu halus dan lunak, kalau bukan Kim Houw pasti tidak dapat mendengar.
Dari suara itu Kim Houw dapat menduga orang itu berkepandaian tinggi sekali, oleh karena
belum diketahui apa ia kawan atau lawan, maka dengan cepat meloncat ke arah pohon untuk
mengintai.
Bersambung ke jilid 19
Jilid 19
Sekejap saja, sesosok bayangan hitam telah melayang turun dari puncak gunung, dari jauh,
dari rambutnya yang sudah putih dan awut-awutan, Kim Houw sudah kenali bahwa orang itu
adalah si pengemis sakti Sin-hoa To-kai.
Karena sudah mengenali siapa orangnya, Kim Houw merasa tidak perlu sembunyikan diri lagi.
Tapi, belum lagi ia bergerak, kembali terdengar suara orang lewat, yang ternyata mengikuti di
belakangnya Tok-kai.
Kim Houw terkejut, kembali sembunyikan dirinya. Ia kira ada musuh yang menguntit dirinya
Tok-kai!
Siapa nyana Tok-kai setelah melihat kuil Han-pek Cin-koan sudah menjadi rata dengan bumi,
jauh-jauh sudah berdiri termenung seperti tonggak. Sebentar kemudian, orang yang mengikuti di
belakangnya juga sudah sampai.

Kim Houw pasang mata, ternyata ia ada Sian-lie Cu Su.
Kim Houw perdengarkan suara pekikannya yang nyaring, lantas lompat turun dari atas pohon.
Suara pekikan Kim Houw itu kedengarannya lebih memilukan hati daripada suara tangisan,
sampai Tok-kai dan Cu Su pada tercengang.
Tapi, ketika mereka dapat lihat Kim Houw muncul dihadapannya, masih dianggapnya ia adalah
Siao Pek Sin, maka seketika itu kedua orang itu lantas gusar.
Tok-kai yang lebih dulu membentak!
"Siao Pek Sin, kau hend
ak main gila apa lagi?"
Kim Houw setelah sembuh penyakitnya, sudah tentu mengetahui semuanya maka lantas maju
memberi hormat kepada mereka seraya berkata :
"Aku Kim Houw, bukan Siao Pek Sin."
Tapi Tok-kai mana mau percaya begitu saja.
"Kau hendak menipu siapa?" katanya.
Tanpa banyak rewel, Tok-kai lantas ayun tangannya menyerang dirinya Kim Houw.
Untuk membuktikan siapa dirinya, Kim Houw sengaja tidak bergerak atau berkelit, ia mandah
dirinya diserang oleh Tok-kai!
Melihat keadaan demikian, bagaimana Tok-kai mau turun tangan? Katanya kepada diri sendiri:
"Siao Pek Sin! meski kepandaianmu lebih tinggi setingkat dari aku, rasanya kau juga tidak mampu
menyambuti serangan tanganku yang sudah kulatih selama beberapa puluh tahun."
Meski dalam hati mengatakan demikian, tidak urung masih menambah kekuatan tenaga di
tangannya. Dalam pikirannya menganggap kau tidak tahu diri, biarlah aku hajar kau sampai
binasa.
Siapa nyana serangan yang hebat itu ketika sudah hampir sampai didada Kim Houw, anak
muda itu masih tetap berdiri tidak bergerak, seolah-olah sudah ada yang diandalkan.
Tok-kai semakin gusar, sambil membentak hebat ia kerahkan seluruh kekuatannya menyerang
dada Kim Houw. Di luar dugaan, serangannya yang terang sudah mengenakan sasarannya,
mendadak dirasakan bahwa dada yang diserang itu ada begitu lunak seperti kapas.
Serangan Tok-kai yang dilancarkan dengan sepenuh tenaga, ketika mengetahui gelagat tidak
baik, sudah tidak keburu ditarik kembali, hingga kagetnya bukan main, keringat dingin sampai
mengucur deras membasahi badannya.
Kekuatan lwekang apa yang dipunyai oleh pemuda itu? Tok-kai sendiri merasa bingung.
Kini, kalau benar pemuda itu ada Siao Pek Sin, asal mau, seketika itu Tok-kai sudah binasa di
tangannya. Tapi, nyatanya anak muda itu masih tetap berdiri tidak bergerak.

Tok-kai meski tahu dirinya dalam bahaya, tahu sekalipun jiwanya tidak melayang, sedikitnya
tentu akan terluka parah atau cacat untuk seumur hidup, tapi ia toh tidak bisa menantikan
kematiannya sambil peluk tangan maka dalam saat yang sangat kritis itu, ia masih berdaya tarik
kembali tangannya dan mundur teratur.
Di luar dugaan, gerakannya itu tidak menemukan rintangan apa-apa, agaknya anak muda itu
tidak mengerti caranya menyerang atau melakukan pembalasan terhadap lawannya.
Dengan demikian, Tok-kai lantas garuk-garuk sendiri kepalanya yang tidak gatal, ia
memandang Cu Su dengan sorot keheran-heranan.
"Pangcu, bagaimana kita harus mempercayai omongan dia ?" demikian akhirnya ia menanya.
Cu Su agaknya juga tidak berdaya, ia tarik mukanya yang panjang, sehingga kelihatan
semakin panjang, kedua matanya terus memandang Kim Houw, terhadap pertanyaan Tok-kai ia
tidak bisa lantas menjawab, karena ia sendiri juga tidak tahu harus berbuat bagaimana.
Mendadak Kim Houw ingat lima buah kuburan yang berada dibelakangnya, maka lantas
berkata :
"Tidak susah kalau mau aku membuktikan dengan barang, yang susah ialah persahabatan kita
belum lama, entah barang apa yang kalian anggap dapat dibuat bukti? Sekarang baiklah aku
tunjukkan apa-apa, silahkan jiwie lihat sendiri......" ia lantas menunjuk kepada lima buah kuburan,
"Dengan meminjam sinarnya bintang, kalian boleh lihat dari dekat! Ini semua adalah aku yang
mengubur sendiri. Di dalam tanah ini, ada keringatku, juga ada air mataku serta doaku yang
kuucapkan dengan setulus hati."
Cu Su dan Tok-kai sebetulnya sedang mencari murid-murid mereka yang telah hilang dengan
menempuh hujan lebat, berputar-putaran setengah harian, masih belum berhasil menemukan
jejaknya, malah dengan Tiong-ciu-khek lantas berpencaran.
Ketika balik ke lembah, mereka telah menemukan tanda-tanda darah, yang membikin mereka
sangat terkejut. Tok-kai lalu lebih dulu memburu ke Han-pek Cin-koan.
Apa mau kuil itu sudah menjadi rata dengan bumi, tidak ada sejengkal dinding yang masih
utuh, hal mana lebih-lebih membuat mereka terheran-heran.
Sebelum kuil itu hancur, mereka sudah pernah berdiam beberapa hari disitu, maka tentang
keadaannya sekitar kuil itu, mereka kebanyakan tahu benar, lima buah makam itu sudah tentu
lantas dapat lihat.
Tapi, mereka sungguh tidak menduga, bahwa lima jenazah yang rebah dalam makam itu
adalah sahabat-sahabat mereka, tokoh-tokoh terkemuka dari kalangan rimba persilatan yang
keluar dari Istana Panjang Umur di gunung Tiang-pek-san.
Kini, setelah mendengar perkataan Kim Houw, hati mereka lantas berdebaran, kakinya hampir
saja tidak dapat bergerak!
Dengan susah payah akhirnya mereka tiba juga di depan kuburan dan bisa melihat dengan
tegas nama-nama yang tertulis dengan jari tangan Kim Houw di atas batu nisan masing-masing.

Setelah mereka kenali siapa-siapa orangnya yang rebah didalam tanah kuburan itu, Tok-kai
lantas menubruk kuburannya Kim Coa Nio-nio, air matanya mengalir keluar, ia menangis seperti
anak kecil.
"Kim Coa ! Mengapa kau benar-benar jalan lebih dulu ?" demikian ia meratap.
Ternyata antara Kim Coa Nio-nio dan Sin-hoa Tok-kai, dimasa mudanya pernah terjalin suatu
roman, sebab tabiat mereka sama-sama kerasnya, sering timbul percekcokan dan akhirnya
mengambil jalan sendiri-sendiri.
Beberapa tahun kemudian, ketika Tok-kai hendak mencari Kim Coa Nio-nio lagi, ternyata Kim
Coa Nio-nio sudah masuk ke Istana rimba keramat.
Ketika mereka saling bertemu lagi diperjalanan gunung Teng-lay-san, masing masing sudah
pada ubanan, mereka baru pada menyesal atas perbuatan mereka yang sudah lampau tapi sudah
terlambat.
Kim Houw ketika menyaksikan kesedihan Tok-Kai yang agak luar biasa terhadap kematian
Kim Coa Nio-nio, lantas menduga diantara mereka dulunya tentu ada mempunyai hubungan yang
sangat erat. Ia segera ingat tongkatnya Kim Coa Nio-nio yang ia lupa turut sekalian di kubur.
Ia cari tongkat itu yang ternyata masih menggeletak di atas rumput, lalu ia ambil dan serahkan
kepada Tok-kai seraya berkata : "Lo Cianpwee, ini adalah barang peninggalan Kim Coa Nionio......"
Tok-kai yang sedang berduka, ketika mendengar ada barang peninggalannya Kim Coa Nionio,
lantas mendongak dan segera ambil tongkat itu dari Kim Houw.
Tapi, bagian kepala tongkat ternyata sudah terbuka, ular emas kecil yang tersimpan dalam
tongkat itu sudah tidak ketahuan kemana perginya. Maka ia lantas menanya:
"Kemana larinya ular kecil itu ?"
"Hal ini...... aku juga tidak tahu. Ketika aku ketemukan keadaannya sudah demikian, bahkan
cara bagaimana mereka menemukan ajalnya, aku juga tidak tahu. Cuma ketika aku dengar suara
jeritan Cek-ie-ya aku lantas menyamperi padanya, dan menurut keterangannya, katanya semua itu
adalah perbuatannya Kouw-low Sin-ciam. Dia telah meninggalkan pesan supaya aku menuntut
balas dendam untuk mereka." jawab Kim Houw sambil gelengkan kepala.
"Kouw-low Sin-ciam! Kouw-low Sin-ciam...." Tok-kai berulang-ulang menyebut namanya,
menandakan betapa gemas ia dalam hatinya. Ketika itu Kim Houw baru ingat bahwa kedua orang
itu sedang mencari murid-muridnya, ia juga lantas ingat tentang dirinya Peng Peng. Nampaknya
mereka belum berhasil menemukan orang yang dicari.
Maka ia lantas bertanya kepada Cu Su :
"Cu Cianpwe, bagaimana dengan murid cucumu ?"
"Belum dapat kabar apa-apa, meski dalam lembah aku sudah menemukan tanda-tanda darah
dan tanda-tanda perkelahian, tapi tidak menemukan bayangan mereka."
"Soalnya kita sekarang, lebih dulu harus berdaya untuk menolong yang masih hidup, baru
nanti menuntut balas untuk yang sudah mati!" kata Kim Houw.

"Sudah tentu, tapi kali ini aku terpaksa menggunakan pengaruh sepatu rumputku, untuk
menyampaikan perintah kepada semua orang-orang dari partai kami, supaya bantu mencari iblis
yang ganas itu sampai dapat." jawab Cu Su sambil anggukkan kepala.
Saat itu, Tok-kai juga sudah mulai tenang, barangkali mendadak ingat apa-apa, lantas ia turut
kata :
"Menurut dugaanku, tiga orang itu belum sampai menemukan bahaya, jika mendapatkan
kecelakaan, tidak nanti sampai mayatnya saja tidak bisa diketemukan. Cuma, mereka entah
ketemu lagi dengan siapa, atau dibawa kabur oleh siapa?"
Mendengar perkataan Tok-kai itu, mereka pada putar otak untuk memikirkan soal itu.
Tiba-tiba didalam lembah ada terdengar suara orang ketawa nyaring. Kim Houw mendengar
suara itu segera tahu bahwa Liok-cie Thian-mo masih belum berlalu dari situ.
Mengingat kematiannya Kim Lo Han, Kim Houw merasa gemas, maka lantas berkata kepada
mereka.
"Suara ketawa itu ada suaranya Liok-cie Thian-mo, Lo Han-ya pernah meninggalkan pesan,
iblis itu harus disingkirkan. Ji-wie tunggu sebentar di sini, aku akan pergi sebentar kesana!"
Cu Su dan Tok-kai mendengar disebutnya nama Liok-cie Thian-mo, tahu bahwa itu iblis ada
sangat lihay. Supaya tidak menghalangi Kim Houw, maka lantas anggukkan kepala dan menjawab
: "Siauhiap harap supaya berhati-hati!"
Kim Houw kuatir iblis itu akan sembunyi lagi, belum dapat menjawab, lantas gerakkan
badannya, sebentar sudah hilang dari depan Cu Su dan Tok-kai!
Ketika tiba di lembah, dari jauh ia sudah dapat lihat Liok-cie Thian-mo sedang mencari
sebatang pohon yang usianya sudah ribuan tahun sambil menenteng pedangnya, agaknya sedang
menantikan sasarannya yang hendak diserang dengan senjatanya.
Menyaksikan keadaan demikian, dalam hati Kim Houw juga merasa heran. Untuk mengetahui
apa yang akan dilakukan, Kim Houw sengaja tidak mau unjukkan diri, ia mengintip dari samping.
Liok-cie Thian-mo setelah mengitari pohon itu kira-kira seratus putaran, masih belum mau
berhenti, bahkan sebentar ke kanan, sebentar ke kiri, kemudian ke atas dan lantas ke bawah.
Gerakannya itu sungguh aneh.
Kim Houw yang menyaksikan juga diam-diam merasa heran.
Akhirnya Liok-cie Thian-mo agaknya sudah tidak sabar lagi, pedangnya ditujukan ke arah
pohon, lalu menabas, sebentar nampak pedang itu sudah mengenakan sasarannya, tapi pohon itu
ternyata tidak mau rubuh!
Apa yang lebih mengherankan, batang pohon sedikitpun tidak terdapat tandanya pernah
diserang dengan pedang !
Iblis tua itu sudah dibikin gusar, pedangnya membabat ke kanan ke kiri, tapi betapa hebatnya
ia membabat, pohon itu tetap tidak bergeming.
Sampai di sini, Kim Houw sendiri juga dibikin kesima.

Pada saat itu, tiba-tiba terdengar suara tertawa cekikikan.
Kim Houw terkejut, ia kenal bahwa suara tertawa itu ada suaranya Khu Leng Lie !
Liok-cie Thian-mo juga terkejut, ia anggap di lembah itu setelah Kim Houw berlalu, sudah tidak
ada lain orang lagi. Siapa sangka pada tengah malam buta itu masih muncul manusia ? Untuk
mengetahui siapa orangnya, ia lantas membentak dengan keras :
"Siapa pada tengah malam seperti ini berani datang kemari, apa sudah bosan hidup?"
Menyusul suaranya itu, dari belakang sebuah batu besar telah muncul Khu Leng Lie yang
hanya berkerudung dengan sehelai kain tipis.
"Aku lihat kau sangat kasihan karena kau buang tenaga dengan percuma, aku sebetulnya
tidak tega, maka aku ingin......" demikian Khu Leng Lie berkata dengan suaranya yang amat
merdu.
Liok-cie Thian-mo tidak mau mengerti, tidak menunggu Khu Leng Lie berkata lagi, senjatanya
Thian-mo Siok-hun-leng sudah dilancarkan ke arah Khu Leng Lie. Sebab dari pembicaraannya, ia
dapat tahu bahwa Khu Leng Lie sudah mengintai perbuatannya sekian lama.
Sebagai seorang bertabiat ganas dan sombong, bagaimana mau dihina secara demikian?
Maka ia hendak menggunakan gerakannya secepat kilat, hendak menyingkirkan dirinya Khu Leng
Lie.
Khu Leng Lie melihat berkelebatnya sinar merah, dalam hati juga kaget. Dengan kerudungnya
ia putar beberapa kali, baru berhasil menyambar senjata aneh itu namun kain kerudungnya sendiri
juga sudah pada robek beberapa bagian.
Ketika ia mengetahui bahwa senjata itu ternyata ada Thian-mo Siok-hun-lengnya Liok-cie
Thian-mo, ia semakin kaget. Tapi, sekejap saja ia sudah tenang kembali, seolah-olah ada yang
diandalkan.
Dengan gerakan badannya yang lemah gemulai, ia menghampiri Liok-cie Thian-mo sambil
berkata dengan suaranya yang merdu :
"Ow! aku kira siapa, ternyata ada Thian-mo Cianpwe yang namanya sangat tersohor di kolong
langit. Siaolie benar-benar berlaku kurang hormat. Tapi orang yang tidak tahu katanya tidak
berdosa, Siaolie di sini memberi hormat!"
Sehabis berkata, Khu Leng Lie benar-benar lantas memberi hormat.
Karena sikapnya itu, sekalipun Liok-cie Thian-mo ada seorang ganas, juga tidak bisa berbuat
apa-apa, apalagi gusar.
Hanya kerbau hijau itu ada merupakan binatang wasiat yang luar biasa yang tidak bisa
dibandingkan dengan benda apa saja di dalam dunia. Maka ia lantas berkata :
"Kalau benar tidak tahu, aku juga tidak salahkan kau. Sudahlah kau boleh pergi, aku tidak
akan menyusahkan kau!"
Tapi, Khu Leng Lie bukan saja tidak menyingkir, bahkan maju lebih dekat, setelah unjukkan
ketawanya yang menggiurkan, ia berkata pula :
"Siaolie bernama Khu Leng Lie, masih ada beberapa soal yang hendak kuberi tahukan."

Mendengar nama Khu Leng Lie, Liok-cie Thian-mo juga terperanjat. Pantas ia mampu
memunahkan serangannya dengan Thian-mo Siok-hun-leng.
"Kiranya nona, selamat bertemu. Tidak sangka dalam perjalananku pulang ke daerah
Tionggoan kali ini, telah banyak menemukan beberapa sahabat, benar-benar tidak percuma
perjalananku ini, cuma tidak tahu kedatangan nona ini ada maksud apa?"
Khu Leng Lie maju lagi dua langkah, tapi lantas dicegah oleh Liok-cie Thian-mo.
"Harap nona jangan maju lagi, jangan sesalkan kalau aku tidak memberi tahukan padamu
lebih dulu!"
Melihat tangannya bergerak, Khu Leng Lie lantas berkata sambil tertawa cekikikan :
"Lo-cianpwe, perlu apa begitu takut. Kedatanganku ini ada faedahnya bagi kau, sebab aku
mengerti cara menangkapnya, tapi kau tidak. Apa kau tidak memerlukan pertolonganku ?"
Mendengar ucapan Khu Leng Lie, Liok-cie Thian-mo merasa girang, tapi berbareng juga
merasa kuatir. Girang karena ada orang yang mengerti caranya menangkap kerbau hijau itu.
Kuatir, kalau ia majukan syarat berat....
Selagi Liok-cie Thian-mo masih terbenam dalam lamunannya, Khu Leng Lie sudah berkata
pula: "Hanya Siaolie ingin majukan satu syarat!"
Benar seperti apa yang diduga oleh Liok-cie Thian-mo, tapi entah syarat apa yang akan
diajukan oleh Khu Leng Lie.
Liok-cie Thian-mo kertek gigi, dalam hati berpikir : Syarat apa saja aku akan terima baik
semuanya. Kalau sudah selesai, masa aku takut kau bisa lolos dari tanganku?
"Syarat apa kau ingin ajukan, sebutkanlah saja!" berkata Liok-cie Thian-mo
"Sebetulnya tidak ada artinya apa-apa sebab aku tahu, bahwa aku tidak mempunyai itu rejeki
khasiatnya kerbau hijau yang sangat mujijat itu. Aku hanya ingin mengikuti kau untuk sementara,
harap kau suka menurunkan kepandaianmu kepadaku. Selama hidup aku sudah merasa tidak
kekurangan, apa yang aku masih ingini lagi?"
Ini benar-benar di luar dugaan Liok-cie Thian-mo. Syarat yang diajukan ternyata begitu enteng
saja. Maka lantas menjawab :
"Baiklah, jangan kata cuma beberapa jurus saja, sekalipun seluruh kepandaianku, kuturunkan
padamu juga tidak menjadi soal, cuma aku harus......"
Bicara sampai disitu ia agaknya ingat kurang sopan, maka lantas ketawa bergelak-gelak. Khu
Leng Lie tahu bahwa ketawanya iblis tua itu ada mengandung maksud tidak beres, dalam hati
lantas memikirkan siasat, maka juga lantas turut ketawa.
Kim Houw yang mendengar suara ketawa Khu Leng Lie, bulu romanya mendadak pada berdiri,
seolah-olah takut akan terulang pengalamannya yang getir!
Tapi, ia sebetulnya tidak jeri terhadap perempuan genit itu, juga tidak takut akan dibikin mabuk
oleh suara ketawanya yang mengandung pengaruh gaib itu ia hanya merasakan tidak enak saja.

Kim Houw sebetulnya sudah ingin unjukkan diri, tapi karena dengar pembicaraan mereka
tentang binatang mukjijat kerbau hijau itu, hatinya merasa tertarik. Sebab kerbau hijau itu adalah
jelmaan pohon yang sudah ribuan tahun usianya, hal ini dalam kitabnya Kaojin Kiesu juga ada
dimuat dengan jelas. Cuma saja dalam kitab itu tidak dijelaskan caranya menangkap. Kalau benar
Khu Leng Lie mengerti caranya menangkap biarlah ia lakukan, setelah berhasil mendapatkan
binatang mukjijat itu, dua iblis itu nanti baru ia singkirkan berbareng.
Sebab khasiatnya yang luar biasa dari binatang yang mukjijat itu, bagaimana Kim Houw dapat
membiarkan diambil oleh kawanan manusia yang sebagai iblis itu ?
Mendadak ia dengar suaranya Liok-cie Thian-mo :
"Sudah ! Sudah ! Aku terima baik permintaanmu, kau harus beritahukan cara-caranya untuk
menangkap binatang itu ! Aku tidak nyana pohon yang sudah jadi siluman ini ternyata tidak
mempan pedang tajam...."
"Aku akan lihat dulu pohon itu sudah berapa tuanya ?" jawab Khu Leng Lie.
Sehabis berkata, ia lantas unjuk ketawanya yang manis kepada Liok-cie Thian-mo, lalu
mendekati pohon yang cukup besar.
Pada saat itu, mendadak Liok-cie Thian-mo menyambar dirinya Khu Leng Lie, lalu dipeluk eraterat.
Ternyata ketawanya tadi sudah membikin goncang hatinya Liok-cie Thian-mo, sehingga
akhirnya tidak dapat mengendalikan lagi hawa napsunya.
Khu Leng Lie setelah dipeluk, dalam hatinya merasa girang. Ia tahu bahwa siasatnya sudah
berhasil sebagian. Sebagai seorang perempuan yang moralnya sudah bejad, apa saja ia bisa
lakukan, asal bisa mencapai maksudnya.
Suara ketawanya cekikikan terdengar semakin nyaring.
Kim Houw sudah tidak bisa sabar lagi, ia tidak sudi melihat manusia cabul itu berbuat tidak
senonoh di depan matanya. Ia lantas mau bergerak, selagi hendak unjukkan dirinya, tiba-tiba
terdengar suara jeritan yang mengejutkan.
Apa yang telah terjadi ? Kim Houw lihat Liok-cie Thian-mo sedang menekan ketiaknya bagian
kiri, dari sela-sela jarinya telah mengucurkan darah, seolah-olah terluka hebat.
Kim Houw terperanjat, karena Khu Leng Lie tidak membawa senjata tajam sepotongpun juga,
entah dengan senjata apa ia dapat melukai dirinya iblis tua itu ?
Tiba-tiba ia dengar Khu Leng Lie ketawa badannya lantas lompat mundur kira-kira satu tombak
lebih, sambil berkata :
"Tua bangka, kau sebagai bandot tua juga masih mengingini daun muda, jangan mimpi! Aku
hanya kembalikan senjatamu sendiri, dan itu adalah kau sendiri yang mencari mampus. Sekarang
terserah kepada kau hendak kata apa. Apa kau kira aku Khu Leng Lie boleh kau permainkan?"
Liok-cie Thian-mo perdengarkan suaranya yang aneh, kemudian maju menerjang, dengan
kedua kakinya ia melancarkan tendangannya Wan-yo-tui.
Khu Leng Lie masih ketawa mengejek, ia bahkan tidak berkelit, sebaliknya menggunakan tipu
silatnya Tai-eng Jiauw-lek memapaki serangan Liok-cie Thian-mo.

Khu Leng Lie yang dibesarkan dari air susu binatang orang hutan, kekuatan tenaganya sangat
luar biasa, Tendangan Liok-cie Thian-mo meski hebat, tapi kalau kena disambar oleh tangan Khu
Leng Lie, ia juga tidak berdaya !
Dalam keadaan bahaya, Liok-cie Thian-mo tarik mundur serangannya, lalu ulur tangan kanan
dan menepok batok kepala Khu Leng Lie. Ini adalah merupakan gerak tipu untuk menolong dirinya
yang terancam bahaya, namun tidak kalah hebatnya serangannya tersebut.
Khu Leng Lie yang tidak berhasil menyambar kakinya Liok-cie Thian-mo, mendadak melihat
datangnya serangan tangan yang dilancarkan dengan kecepatan luar biasa, ia juga tidak berani
menyambuti, dengan gerakan badannya, ia sudah memutar ke belakang pohon !
Ia masih ketawa cekikikan dan mulutnya masih bisa menggoda :
"Tua bangka, kalau kau berani, mari main kucing-kucingan dengan aku. Tidak apa, kita orang
yang sudah tua main kucing-kucingan seperti anak-anak, tua bangka, bagaimana ?"
Liok-cie Thian-mo yang sebentar-sebentar disebut tua bangka, bukan main mendongkolnya,
tapi ia tidak berani bergerak sama sekali.
Sebabnya ialah : Khu Leng Lie tadi dengan menggunakan Thian-mo Siok-hun-leng telah
melukai ketiaknya, dan yang diserang itu justeru merupakan bagian yang penting. Ia tahu kalau
tidak diobati dengan segera, jiwanya sangat berbahaya, tapi dihadapannya Khu Leng Lie ia juga
tidak sudi mengunjukkan kelemahan, ia tidak sudi memberi obat atau membungkus!
Sekarang, meski hatinya sangat mendongkol, tapi sedikitpun tidak berdaya. Dilain pihak, ia
juga merasa berat meninggalkan pohon mukjijat itu.
Dari jauh-jauh ia datang untuk mencari barang mukjijat itu, bukan saja tidak berhasil
mendapatkan, bahkan jiwanya hampir melayang, hanya disebabkan karena ia tergoda oleh paras
cantik saja!
Memikir sampai di situ, ia semakin gemas terhadap Khu Leng Lie.
Mendadak Khu Leng Lie unjukkan dirinya lagi.
"Aha! Lo Cianpwe, kau masih belum mau obati lukamu? Itu ada sangat berbahaya mari, mari
aku periksa, kau belum tahu bahwa aku juga ada satu tabib yang sangat pandai!" katanya genit.
Liok-cie Thian-mo semakin gemas, ia tidak nyana bahwa dalam usianya yang begitu tua telah
dipermainkan oleh satu perempuan genit.
Liok-cie Thian-mo tidak mau lepaskan tangannya dari ketiaknya yang telah terluka, ia hanya
menjawab dengan gusar :
"Perempuan hina, seorang kuncu masih bisa menunggu waktu untuk menuntut balas, kau
tunggu saja! Kalau Liok-cie Thian-mo tidak mampu cincang badanmu, aku bersumpah tidak mau
jadi orang. Hari ini biarlah aku ampuni kau...."
"Jangan omong sekenanya saja," memotong si genit. "Kalau kau pergi, dan setelah aku
dapatkan kerbau hijau, kau pikir sendiri saja apa di kemudian hari kau masih mampu menjatuhkan
aku? Sebaiknya sebelum aku mendapatkan binatang mukjijat itu, kau bunuh saja aku sekarang !"
Liok-cie Thian-mo tercengang. Memang benar asal Khu Leng Lie berhasil mendapatkan
binatang mukjijat itu, apa ia masih mampu menuntut balas dengannya?

Pada saat itu, di atas gunung tiba-tiba terdengar suara siulan nyaring, kemudian disusul oleh
munculnya sesosok bayangan manusia.
Baik Liok-cie Thian-mo dan Khu Leng Lie, maupun Kim Houw, telah dikejutkan oleh suara
siulan itu karena mereka tahu bahwa siulan itu adalah tanda datangnya Kouw-low Sin Ciam. Si
setan tua yang sangat ganas itu, begitu tiba di lembah, dengan tidak banyak bicara lantas
menerjang pada Khu Leng Lie.
Kali ini Khu Leng Lie tidak menyingkir ia agaknya sudah siap sedia, begitu lihat Kouw-low Sin
Ciam menerjang padanya segera ia menangis dengan sedihnya sembari berkata :
"Oh, tua bangka, kau tega benar menyaksikan istrimu dihina orang ! Apa kau sudah tidak
bersedia untuk membelanya ?"
Kouw-low Sin Ciam tidak menduga bahwa kedatangannya telah disambut oleh tangisan Khu
Leng Lie yang begitu memilukan. Sebab ia sejak berkumpul dengan si genit, belum pernah melihat
Khu Leng Lie keluarkan air mata.
Oleh karenanya, selain terkejut, ia juga merasa heran. Ia urungkan maksudnya hendak
menangkap Khu Leng Lie, lalu berpaling mengawasi Liok-cie Thian-mo.
Tepat pada saat itu, menggunakan kesempatan selagi mereka bicara, Liok-cie Thian-mo telah
mengeluarkan obat hendak diborehkan kepada lukanya.
Kouw-low Sin-ciam meski ada satu setan yang sangat ganas, juga masih merasa segan turun
tangan terhadap orang yang sedang terluka. Ia menyaksikan Liok-cie Thian-mo mengobati
lukanya, setelah dibungkus rapi dengan robekan bajunya, baru berkata padanya sambil ketawa
dingin:
"Kau tokh juga terhitung seorang gagah yang kenamaan, mengapa menghina seorang
perempuan, apa kau tidak takut ditertawakan oleh dunia Kangouw?"
Nyalinya Liok-cie Thian-mo besar kembali, setelah membungkus rapi lukanya, sembari
perdengarkan ketawanya mengejek ia menyahuti :
"Kouw-low Sin Ciam, tadi kita mengadu bekas kesaktian dan kekuatan di atas gunung, masih
belum mendapat keputusan siapa yang lemah. Sekarang mari kita lanjutkan lagi. Soal lainnya kita
tunda dulu, setelah pertandingan selesai kita baru bicara lagi!"
"Aku senang sekali mengiringi kehendakmu, cuma......"
Kouw-low Sin Ciam lalu menoleh ke arah Khu Leng Lie, ia kuatirkan isterinya yang genit itu
nanti kabur lagi, maka ia kelihatan bersangsi.
Di luar dugaan Khu Leng Lie sudah hentikan menangisnya, sebaliknya malah ketawa.
"Tua bangka, kau boleh tetapkan hatimu kali ini aku tidak akan kabur. Aku bersedia samasama
menikmati kebahagiaan hidup dengan kau, setelah kita berhasil mendapatkan itu barang
mujijat yang sangat langka di dunia. Tapi kau harus bisa menyingkirkan bangsat tua itu lebih
dahulu." Demikian ia berkata.

Kouw-low Sin-ciam hatinya agak lega mendengar kata-kata Khu Leng Lie. Apalagi ketika
mendengar ada benda mukjijat, hatinya lantas merasa girang. Sekarang ia mengerti apa sebabnya
Khu Leng Lie tidak menyingkir dari padanya, rupanya karena itu benda mukjijat.
Maka, tanpa banyak rewel, Kouw-low Sin-ciam lantas putar gendewanya, menyerang Liok-cie
Thian-mo.
Liok-cie Thian-mo meski masih belum sembuh lukanya, tapi ketika mendengar perkataan Khu
Leng Lie, dengan terang-terangan hendak menikmati kesenangan itu dari kerbau hijau bersama
Kouw-low Sin-ciam, matanya lantas merah, hatinya panas.
Maka dengan tidak pikirkan lukanya, ia lantas bertempur dengan Kouw-low Sin-ciam.
Pertempuran antara kedua iblis itu dilakukan dengan sengit dan seru.
Kim Houw yang mengintai sejak tadi, masih tidak bergerak. Semua perbuatan mereka di
dengar dan disaksikan dengan mata kepala sendiri. Pertempuran antara kedua iblis itu sudah
tentu menguntungkan baginya. Ibarat dua macan yang sedang bergulat, pasti ada salah satu yang
terluka, dengan demikian, berarti Kim Houw kekurangan satu musuh tangguh. Tidak perduli siapa
yang binasa, baginya sama saja. Dalam hati ia sudah ambil keputusan, bahwa setelah
pertempuran antara kedua iblis itu selesai, ia tidak akan membiarkan sisanya bisa keluar dari
lembah itu dalam keadaan hidup.
Angin menderu akibat pertempuran kedua iblis tadi mendadak berhenti suasana di lembah
kembali menjadi sunyi. Keadaan itu meski mengherankan tapi tidak terlepas dari matanya Kim
Houw.
Ternyata kedua iblis itu entah apa sebabnya, mendadak merubah pertandingan adu senjata
menjadi adu kekuatan tenaga lwekang.
Khu Leng Lie yang menyaksikan keadaan itu, dalam hati merasa girang. Dengan perlahan ia
menghampiri mereka, hingga Liok-cie Thian-mo diam-diam merasa kuatir.
Ia sebetulnya tidak menginginkan pertandingan secara demikian, karena badannya masih
terluka, darahnya banyak keluar. Dalam keadaan terpaksa saja ia baru berbuat demikian.
Kalau dengan Kouw-low Sin-ciam seorang diri mungkin ia masih bisa bertahan. Tapi jika Khu
Leng Lie turut campur tangan, sudah dapat dipastikan ia yang akan menjadi pecundang.
Apalagi, mengadu kekuatan lwekang secara demikian, sedikitpun tidak boleh main-main.
Begitu kedua tangan sudah saling menempel, sekalipun belum ketahuan siapa yang lebih kuat,
juga tidak boleh ditarik kembali secara sembarangan, sebab jika dikendorkan, pihak lawannya
pasti akan mendesak terus, akibatnya sekalipun tidak binasa, sedikitnya juga terluka parah.
Dalam keadaan demikian bagaimana Liok-cie Thian-mo tidak cemas ? Ia buru-buru ingin
menyelesaikan pertempuran itu, ia coba kerahkan seluruh kekuatannya itu, apa mau di bawah
ketiaknya dirasakan sakit sekali, sehingga tidak mampu berbuat menuruti sesuka hatinya, dengan
demikian sudah tentu ia terdesak oleh Kouw-low Sin-ciam.
Masih untung kekuatan tenaga lwekang Kouw-low Sin-ciam masih setaraf dengan
kekuatannya Liok-cie Thian-mo. Sebelum adu tenaga, hal itu belum bisa diketahui. Tapi kini
setelah mengadu tenaga, siapa yang lebih kuat dan siapa yang lemah segera ketahuan.
Oleh karenanya, meski Liok-cie Thian-mo dalam keadaan terluka. Kouw-low Sin-ciam juga
tidak mampu merobohkan padanya.

Khu Leng Lie yang menyaksikan Liok-cie Thian-mo menunjukkan paras berkuatir, lantas buruburu
berkata :
"Bangsat tua, kau tidak usah kuatir. Aku bukan sebangsa manusia yang begitu rendah. dan
tidak mengerti peraturan dunia kang-ouw, tidak nanti aku akan melakukan serangan terhadap
dirimu!"
Liok-cie Thian-mo tadinya masih belum percaya, kemudian setelah melihat Khu Leng Lie
berdiri disamping sebagai penonton dan benar-benar seperti tidak akan turun tangan baru merasa
lega hatinya.
"Tua bangka, kau jangan harap aku akan membantu kepadamu. Paling baik kamu berdua
rubuh berbareng, supaya aku bisa memungut keuntungannya," kata pula Khu Leng Lie kepada
Kouw-low Sin-ciam.
Dengan keterangannya itu, Khu Leng Lie secara terang-terangan sudah buka kartu. Begitu
jahat adanya wanita genit itu sekalipun Kim Houw yang tidak ada sangkut pautnya juga turut
merasa gemas.
Tidak usah di kata lagi bagaimana gemasnya Kouw-low Sin-ciam. Seketika itu hatinya
dirasakan panas, cuma dalam keadaan demikian, ia juga tidak bisa berbuat apa-apa.
Sebaliknya bagi Liok-cie Thian-mo, keterangan Khu Leng Lie ini telah membesarkan hatinya,
ia sekarang sudah tidak usah kuatir dibokong. Maka ia lantas pejamkan matanya dengan seluruh
kekuatannya ia mendesak lawannya.
Pertempuran berlangsung terus, tidak lama kemudian, tibalah saatnya untuk menentukan.
Khu Leng Lie agaknya mendapat pikiran apa-apa secara mendadak. Ia lihat sudah sekian
lama pertempuran itu berlangsung, tapi masih belum ada penentuannya. Meski tanda-tanda dari
mereka yang sudah nampak sangat lelah serta bercucuran keringat, hingga sebentar lagi keduanya
akan rubuh terluka, namun Khu Leng Lie agaknya sudah tidak sabar menantikan saat
yang terakhir itu, tiba-tiba ia membentak dengan suara keras :
"Tua bangka, mari aku bantu kau!"
Khu Leng Lie anggap seruannya itu pasti akan membuat reaksi yang berlainan kepada kedua
pihak, tapi sebelum ketahuan reaksi mereka tangan Khu Leng Lie sudah menempel di belakang
gegernya Kouw low Sin ciam, dengan kekuatan tenaga lweekang, ia mendesak Liok cie Thian mo
melalaui badannya Kouw low Sin ciam.
Liok cie Thian mo yang sudah hampir kehabisan tenaganya, biar bagaimana tidak mampu
menahan serangan dua orang. Maka sebentar kemudian lantas terdengar suara jeritan ngeri,
badannya Liok-cie-Thian-mo terpental sejauh empat sampai lima tumbak, mulutnya
menyemburkan darah hidup dan lantas tidak ingat orang lagi.
Belum lenyap suara jeritan Liok-coe Thian-mo, kembali terdengar suara jeritan lain, kali ini
giliran Kouw-low Sin-ciam yang mengeluarkan jeritan tadi.
Perobahan yang datangnya secara mendadak itu, benar-benar telah menjatuhkan Kim Houw.

Pandangannya yang masih di arahkan kepada dirinya Liok-cie Thian-mo yang terbang
melayang seperti layang-layang putus talinya, kini setelah mendengar jeritan lain lagi, dengan
cepat ia berpaling ke arah Kouw-low Sin-ciam.
Dan apa yang telah disaksikannya ?
Ternyata Khu Leng Lie telah membantu Kouw-low Sin-siam dan berhasil merobohkan Liok-cie
Thian-mo, mendadak mengeluarkan ilmunya Tai-eng Jiauw-lek mencengkeram gegernya Kouwlow
Sin-ciam!
Khu Leng Lie melakukan itu dengan sekuat tenaga, sehingga belakang gegernya Kouw low
Sin Ciam menjadi gerowak dan kelihatan tulangnya.
Kalau diwaktu biasa, Khu Leng Lie menyentuh saja kulitnya Kouw-low Sin-ciam sudah tidak
mampu, apalagi melukai. Tapi hari itu keadaan ada berlainan, dalam keadaan sudah hampir
kehabisan tenaga dan tidak berjaga-jaga, sudah tentu Kouw-low Sin-ciam mudah diperdayai.
Dalam keadaan kesakitan setengah mati, Kouw-low Sin-ciam kerahkan sisa kekuatannya,
dengan cepat kabur ke atas gunung.
Kim Houw yang menyaksikan Kouw-low Sin-ciam kabur, lantas turun dari tempat sembunyinya
hendak mengejar si kakek, untuk menuntut balas atas kematiannya Lato Kiesu dan si Imam palsu.
Tapi baru saja kakinya menginjak tanah, tiba-tiba ia mendengar suara ketawanya Khu Leng Lie
yang menunjukkan kepuasannya.
Mendengar itu Kim Houw lantas ingat Khu Leng Lie dengan sang kerbau hijau. Jika mujijat itu
terjatuh di dalam tangannya Khu Leng Lie, dalam dunia kangouw mungkin akan timbul kegegeran
yang tidak ada batasnya. Dan kalau hal demikian telah terjadi siapa yang harus bertanggung
jawab ?
Apalagi Kouw-low Sin-ciam sudah terluka parah, sekalipun berhasil di tangkap, apa yang dapat
dilakukan terhadap dirinya seorang yang sudah terluka parah ?
Setelah di timbang bolak-balik, akhirnya ia mengambil keputusan membiarkan Kouw-low Sinciam
kabur, sebaliknya mencurahkan seluruh perhatiannya kepada gerak geriknya Khu Leng Lie,
bagaimana caranya ia menangkap binatang mukjijat itu.
Khu Leng Lie setelah berhasil menyingkirkan kedua iblis tua itu dengan akalnya yang keji,
hatinyapun merasa sangat girang. Dengan gerak badannya yang menggairahkan dan suara
nyanyiannya yang amat merdu, ia perlahan - lahan berputaran mengitari pohon besar yang
usianya sudah ribuan tahun itu.
Kim Houw bingung akan tingkah lakunya Khu Leng Lie, entah itu lantaran terdorong oleh
kegirangan hatinya atau itu ada cara-caranya untuk menangkap binatang kerbau hijau yang
sangat mukjijat itu!
Hanya dalam hati berpikir : perbuatan semacam itu kecuali dia, orang lain pasti tidak bisa
melakukannya.
Tiba-tiba Khu Leng Lie hentikan gerakannya lalu memungut pedang panjang yang di
tinggalkan Liok-cie Thian-mo.

Tapi ia tidak menggunakan pedang panjang itu untuk menebang pohon, sebaliknya membuka
gulungan rambutnya yang panjang dan bagus, dengan sangat perlahan dan sangat teratur,
segumpal demi segumpal, ia potong rambutnya sendiri sampai habis.
Perbuatan itu bikin Kim Houw tertegun dan menganga wanita itu sudah jadi gila. Dengan
caranya yang rapi dan teratur, tampak rambut panjang itu di ikatkan kepada batang pohon besar
tersebut.
Setelah di ikat beres, dengan mengikuti tempat-tempat yang di ikat oleh rambutnya, Khu Leng
Lie lantas memotong batang pohon besar itu.
Sekali saja ia bergerak, pohon besar yang usianya sudah ribuan tahun itu lantas rubuh. Dari
bawah akar pohon lantas muncul kerbau kecil berwarna hijau yang besarnya cuma segede kucing.
Dengan munculnya binatang mukjijat yang jalannya seperti tidak bertenaga, telah membuat
Khu Leng Lie sangat kegirangan.
Selagi hendak menyambar badan kerbau itu, mendadak ia rasakan ada sambaran angin hebat
yang menggempur dadanya.
Angin hebat itu datangnya tidak bersuara, namun sambarannya ada sangat dahsyat, hingga
Khu Leng Lie tidak dapat kesempatan untuk menyambuti. Dengan cepat ia memutar tubuhnya
kemudian menghadang di depannya kerbau hijau. Pada saat itu, ia benar-benar sudah tidak
mempunyai waktu untuk melihat siapa adanya orang yang menyerang padanya itu, ia lebih
mementingkan binatang mukjijat itu.
Di luar dugaan, sebelum ia tancap kakinya, serangan itu telah datang lagi, bahkan semakin
hebat dari pada yang duluan.
Sudah tentu Khu Leng Lie tidak berani menyambuti, kemudian ia egoskan dirinya, mundur
setombak lebih jauhnya. Sampai di sini, dengan rasa terheran-heran ia terpaksa dongakkan
kepalanya untuk melihat siapa orang yang menyerang padanya itu.
Ketika ia mengetahui siapa adanya si penyerang, bukan main rasa girangnya. Ia ternyata ada
itu pemuda yang pernah menjadi suami istri untuk sementara dengannya. Maka ia lalu berseru:
"Hai, jantung hatiku, mengapa kau main-main demikian rupa ? Ini ada binatang mukjijat yang
sukar didapatkan, kalau ia nanti bertemu dengan air, habislah semuanya!"
Tapi ia tidak tahu bahwa pemuda yang menyerang padanya itu adalah Kim Houw, bukan Siao
Pek Sin.
Ketika mendengar perkataan Khu Leng Lie ia tidak mau ambil pusing, matanya terus
mengawasi binatang mukjijat itu. Menampak gerak- geriknya tidak berbeda dengan binatang
kerbau biasa, hanya bentuknya saja yang lebih kecil, tidak ada apa-apanya lagi yang
mengherankan, sungguh sukar dipercaya kalau ia mempunyai khasiat yang luar biasa.
Khu Leng Lie ketika menyaksikan pemuda itu diam saja, tidak menjawab pertanyaannya,
masih anggap bahwa pemuda itu tentu tergerak hatinya, maka lantas berkata pula :
"Kau tentunya masih belum tahu, binatang aneh ini ada titisan dari hawa gaib antara langit dan
bumi, bagi kita orang-orang yang melatih ilmu silat, apabila kita makan dagingnya, kekuatan

tenaga kita akan bertambah berlipat ganda. Kau jangan mengawasi saja, mari datang dekat, kita
makan bersama-sama!"
Sehabis berkata, Khu Leng Lie menghampiri binatang itu yang segera hendak menangkapnya.
Tidak nyana, baru saja tangannya bergerak, serangan Kim Houw sudah mencegah padanya.
Khu Leng Lie seketika itu lantas gusar. "Bagus! Kau manusia yang tidak ingat budi, ternyata
ingin mengangkangi sendiri barang orang. Apa kau kira aku Khu Leng Lie ada orang begitu baik
hati, mau membiarkan kau serakahi sendiri barang yang kudapatkan dengan dengan susah payah
ini ?" katanya dengan bernapsu.
"Kepandaianku dan kekuatanku sudah tidak ada orang yang mampu menandingi, perlu apa
menggunakan bantuan pengaruhnya barang mukjijat ? Tapi aku tidak akan membiarkan orangorang
sebangsa kalian merusak benda mukjijat yang merupakan pusakanya alam." jawabnya Kim
Houw dengan suara dingin.
"Hmm! sungguh mentereng perkataanmu, tapi entah apa isi perutnya ? Apa kau kira aku tidak
tahu ? Kau jangan mimpi, kalau tidak ada Khu Leng Lie yang membantu, sekalipun kau makan
dagingnya juga tiada berguna. Di dalam dunia ini, kecuali aku, barangkali tidak ada orang
keduanya yang mengetahui cara-caranya menggunakan khasiatnya bintang mukjijat ini."
Kim Houw tahu bahwa Khu Leng Lie sedang mencari akal keji lagi, meski demikian, ia mau
percaya keterangan itu. Sebab ia sudah menyaksikan sendiri bagaimana caranya Khu Leng Lie
menangkap binatang mukjijat itu.
Tapi bagaimana Kim Houw bisa membiarkan Khu Leng Lie mendapatkan binatang itu.
Bukankah itu berarti menambah bahaya ? Ia lebih suka binatang mukjijat itu berlalu sendiri biar
bagaimana tidak mau ia memberikan kepada Khu Leng Lie.
Pada saat itu, binatang kerbau itu sudah berjalan semakin jauh, menuju keluar lembah.
Khu Leng Lie sangat gelisah, tapi Kim Houw dengan wajahnya yang menakutkan menghalangi
setiap gerakannya Khu Leng Lie. Wanita genit itu juga tahu bahwa ia tidak mampu menandingi
Kim Houw, tapi benda yang baru didapatkannya dengan susah payah, bagaimana ia mau
lepaskan begitu saja ?
Mendadak ia ingat akan senjatanya yang paling ampuh, maka lantas ketawa cekikikan
sebentar tinggi sebentar rendah, sungguh merdu kedengarannya.
Berbareng dengan itu, kain kerudung badannya juga mulai terbuka berterbangan. Kembali ia
hendak menggunakan ilmunya memikat hati lelaki, supaya Kim Houw tunduk kepadanya.
Tapi Kim Houw sejak sembuh dari penyakit hilang ingatannya, kekuatannya semakin
bertambah, menyaksikan aksinya perempuan genit itu, sedikitpun tidak bergerak hatinya bahkan
tidak mau membiarkan Khu Leng Lie beraksi terus, lantas keluarkan siulan nyaring kemudian
membentak:
"Perempuan cabul, tak usah banyak bergaya. Dengan kecabulan dan kejahatanmu, sudah
sepantasnya kau mendapat ganjaran mati. Hari ini aku Kim Houw akan berbuat kebaikan bagi
banyak orang dengan menyingkirkan jiwanya seorang jahat semacam kau ini!"

Khu Leng Lie tahu bahwa akalnya sudah tidak mampu lagi, mendengar pula perkataannya Kim
Houw, kagetnya bukan main. Ia tahu kalau tidak lekas-lekas ia angkat kaki, jiwanya pasti akan
melayang di tangannya anak muda itu.
Dengan hati berdebaran dan alisnya dikernyitkan, Khu Leng Lie memutar otaknya, mencari
akal untuk melarikan diri. Mendadak ia lihat tempat bekas dimana tadi Liok-cie Thian-mo rebah
terluka, sekarang ternyata sudah kosong, entah kemana perginya iblis itu. Maka ia lantas berseru:
"Am ! Iblis tua itu bagaimana sudah mampus bisa hidup kembali ? Dan sekarang kabur
kemana ?" Mendengar seruan itu, Kim Houw juga terkejut. Ketika ia menengok, benar saja, Liokcie
Thian-mo yang tadi terluka parah, sekarang ternyata sudah tidak ada. Kaburkah ? Atau
ditolong orang ? Mau dikatakan di tolong orang, lebih tidak mungkin lagi!
Siapa adanya orang yang mempunyai kepandaian begitu tinggi, sehingga datang dan perginya
tidak diketahui oleh orang-orang yang ada disitu ? Kecuali jika orang yang datang menolong itu
ada mempunyai ilmu gaib, yang bisa menghilang!
Kim Houw benar-benar merasa heran, ia juga tidak percaya kalau Liok-cie Thian-mo di tolong
kawannya.
Demikian dengan Khu Leng Lie, wanita genit itu ketika menampak Kim Houw dalam keheranheranan,
segera memungut dua butir batu dan dilemparkan ke arah kanan dan kiri, sedangkan ia
sendiri melesat lurus ke atas gunung.
Kim Houe yang sedang kesima memikirkan menghilangnya Liok-cie Thian-mo, mendadak
dengar suara melesatnya batu. Ia segera menduga Khu Leng Lie hendak kabur, maka dengan
kecepatan bagaikan kilat mengejar ke arah melesatnya suara batu tadi.
Setelah Kim Houw berada di tengah udara baru tahu kalau diperdayakan oleh Khu Leng Lie.
Ia membalikkan dirinya, tapi Khu Leng Lie sudah jauh, hingga sudah sukar dikejar lagi.
"Manisku aku berada di sini, marilah biar kerbau itu dibawa lari oleh Liok-ci Thian-mo!"
demikian Khu Leng Lie berkata dari atas puncak gunung.
Kim Houe anggap ucapan Khu Leng Lie itu mungkin sebab Liok-ci Thian-mo yang sedang
terluka, memang membutuhkan khasiatnya binatang itu untuk menyembuhkan penyakitnya.
Karena berpikir demikian, ia urungkan maksudnya hendak mengejar Khu Leng Lie dan hendak
mencari dimana adanya binatang mukjijat itu.
Ia coba mengikuti jejaknya kerbau hijau tadi, hanya dengan beberapa kali loncatan, ia sudah
dapat lihat binatang itu yang tengah berjalan dengan gerakannya yang lesu.
Sebentar kemudian, Kim Houw sudah berada di depannya binatang itu. Ia lalu berjongkok
hendak memondong sang binatang mukjijat itu.
Dengan mendadak, kerbau itu merandek dan angkat kepalanya memandang Kim Houw
dengan matanya yang redup dan dari sela-sela matanya tiba-tiba mengalir air bening, setetes
demi setetes mengucur keluar.
Kim Houw yang menyaksikan itu, hatinya merasa tidak enak, tangannya yang sudah di ulur
lantas di tarik kembali.

"Ceng-gu, aku tidak akan tangkap kau lagi, kau hendak kemana ? Apa yang hendak kau
mencari air?" demikian ia menanya kepada kerbau hijau itu.
Kerbau hijau itu seperti mengerti pertanyaannya Kim Houw, kepalanya lantas dianggukkan.
Melihat binatang itu anggukan kepala, Kim Houw sangat girang, "Setelah kau dapatkan air,
apakah dirimu bisa menghilang, sehingga orang tidak bisa menangkap kau!" tanya pula Kin Houw.
Kerbau mukjijat itu kembali anggukan kepalanya.
"Kalau begitu, aku nanti bantu kau. Sebab di sini jauh terpisahnya dengan tempat yang ada
airnya, sekarang, aku mau kau buktikan bahwa kau dapat mengerti maksudku, maka
anggukkanlah kepalamu tiga kali!"
Kerbau mukjijat itu benar-benar anggukkan kepalanya sampai tiga kali. Kim Houw girang, lalu
di pondongnya padanya dan lari keluar lembah.
Berjalan kira-kira sepuluh li lebih, ia tiba di sebuah sungai kecil. KErbau hijau yang berada di
dalam pelukannnya tiba-tiba bergerak- gerak.
"Ceng-gu, air sungai ini apa sudah cukup untuk kau ?" tanya Kim Houw.
Kerbau hijau itu kembali anggukan kepalanya.
Kim Houw lalu letakan kerbau hijau itu di pinggir sungai. Tapi kerbau itu tidak lantas masuk
kedalam air, sebaliknya balikkan badannya dan berlutut di hadapannya KIm Houw!
Perbuatan kerbau hijau itu sungguh mengharukan hati Kim HOuw. Seekor binatang ternyata
masih ingat budi orang, tapi ada banayk manusia yang tidak kenal apa artinya budi!
Kerbau hijau itu setelah anggukan kepalanya tiga kali, baru bangun dan lantas mencebur ke
dalam sungai.
Sungai itu tidak dalam, tapi airnya bening hingga kelihatan dasarnya. Aneh, kerbau itu setelah
terjun ke dalam sungai, seketika lantas lenyap tidak kelihatan bayangannya. Hal ini benar-benar
membuat heran Kim Houw.
Saat itum hari sudah terang benar-benar, Kim Houw yang masih terheran-heran atas
perbuatannya kerbau hijau tadi, berdiri terlongong-longong sekian lamanya. Mendadak ia lihat dua
bayangan orang lari mendatangi. Kini Kim Houw baru ingat akan dirinya Cu Su dan Tok Kai yang
ditinggalkannya di Han-pek Cin-koan, maka ia lantas lari menyambut.
Dua bayangan orang itu benar saja adalah Cu Su dan Tok Kai, mereka ketika melihat Kim
Houw tidak mendapat halangan apa-apa, hatinya merasa lega. Sebaliknya adalah Kim Houw yang
merasa sangat berduka.
Ketika ditanya apa sebabnya, Kim Houw lalu memberi tahukan semua kejadian yang telah
dialaminya. Mendengar kemujijatannya binatang kerbau hijau itu, Cu Su dan Tok-kai juga merasa
terheran-heran.
Akhirnya Kim Houw berkata : "Sebetulnya ingin aku membasmi habis kawanan iblis itu, apa
mau gara-gara seekor kerbau hijau, akhirnya iblis itu satupun tidak ada yang dapat kubinasakan.
Aku sungguh menyesal bahwa saat itu aku tidak lantas unjukkan diri untuk menghadapi mereka,

apakah aku jeri pada mereka? Demikian aku sesalkan diriku sendiri. Sebab kalau ketiga orang itu
berhasil aku bunuh mati, kerbau hijau itu tokh masih tetap bisa dipertahankan jiwanya. Maka aku
merasa tidak enak terhadap Lo Han-ya dan lain-lainnya yang ada di alam baka. aku benci
terhadap diriku sendiri yang tidak bisa mengambil keputusan secara tepat."
Kim Houw nampaknya sangat menyesal dan sedih, hingga air matanya mengalir keluar.
Cu Su dan Tok-kai segera menghibur: "Siaohiap harus jaga baik-baik kesehatan diri sendiri,
mungkin itu sudah takdir bahwa mereka belum waktunya dipanggil menghadap Giam-lo-ong.
Cuma saja, manusia seperti mereka itu yang sudah banyak melakukan kejahatan pasti tidak dapat
lolos dari dosanya."
Kim Houw berhenti menangis, mendadak dongakkan kepalanya dan pasang telinganya
sebentar kemudian, seolah-olah tingkah lakunya orang gila, ia lantas melesat terbang tinggi
sembari berseru :
"Bagus, masih ada satu yang masih belum berlalu, aku harus bunuh mampus padanya untuk
melampiaskan kemendongkolanku !"
Sebentar saja orangnya sudah berada sejauh kira-kira sepuluh tumbak lebih.
Dibelakang sebatang pohon besar, memang benar ada sembunyi bayangan seseorang, ketika
Kim Houw menghampiri, bukan main kagetnya ia urungkan maksudnya hendak membunuh
mampus, dengan mata membelalak ia menanya.
"Botak, mengapa kau sendirian berada disini?"
Si botak menoleh, wajahnya matang biru, lengan kanannya melongsor ke bawah tidak bisa
digerakkan, kakinya juga agak pincang, terang ia telah terluka parah.
Tapi ketika ia dapat lihat Kim Houw, lantas berseru dengan suara girang.
"Kim Siaohiap! Kim Siaohiap! dimana suhu?"
Berbareng dengan itu, Cu Su dan Tok-kai juga sudah muncul di depannya.
Begitu melihat suhunya, si botak hatinya merasa lega, tapi segera ia jatuh tidak ingat dirinya
lagi!
Ketika Tok-kai menyaksikan keadaannya si botak, hatinya merasa pilu, ia lalu menghampiri
dan menepuk jalan darahnya, sebentar kemudian si botak sudah mendusin.
Ketika membuka matanya, si botak lantas hendak paksakan dirinya untuk berdiri.
Tok-kai buru-buru mencegah seraya berkata. "Jangan bergerak, kau rebah dulu sebentar!"
"Tidak suhu! Lekas naik ke atas gunung. Touw cian-pwee dan nona Peng Peng serta Cu
Hoako semua masih ada diatas...." jawab si botak
Tanpa menunggu keterangan lebih jauh, Kim Houw sudah melesat keatas gunung yang
ditunjuk oleh si botak. Dari keterangan si botak Kim Houw sudah dapat menduga kalau mereka
berada dalam bahaya, maka ia tidak mau membuang tempo lagi.
Tiba di tengah gunung, pertama-tama ia berpapasan dengan Sun Cu Hoa.

Sun Cu Hoa rebah menggeletak di belakang sebuah batu besar, terang lukanya pasti ada lebih
berat dari pada si botak, Kim Houw menoleh, ia lihat Cu Su sudah lari menghampiri padanya.
Kim Houw menunjuk tempat dimana Sun Cu Hoa mendapat kecelakaan, ia sendiri melanjutkan
perjalanannya mencari Peng Peng.
Diatas sebuah bukit ada sebidang tanah datar, dikitari tanaman pohon, tapi bagian yang
kosong cuma kelihatan tumpukan batu-batu besar kecil yang sangat aneh bentuknya!
Diatas bukit itu Kim Houw berputaran lama, ia menemukan jejak orang pernah bertempur. Tapi
Tiong-ciu-khek dan Touw Peng Peng tidak kelihatan bayangannya.
Pada saat itu, kecemasan hati Kim Houw sungguh sukar dilukiskan. Melihat luka lukanya Sun
Cu Hoa dan si botak yang begitu hebat ia telah menduga Peng Peng dan Tiong-ciu-khek juga tidak
terluput dari bahaya, atau mungkin..... mungkin lebih hebat keadaannya daripada Sun Cu Hoa dan
si botak, tapi semua ini Kim Houw tidak berani membayangkan!
Mendadak ia dengar sayup-sayup suara rintihan yang terbawa oleh siliran angin gunung.
Kim Houw yang dapat menangkap suara itu, dalam hati merasa kaget tapi juga girang. Dengan
cepat ia lari menuju ketempat datangnya suara rintihan tadi.
Suara itu datangnya ternyata dari belakang gunung, baru kira-kira sepuluh tombak Kim Houw
berlari, kembali terdengar suara rintihan, kali ini lebih nyata. Dengan tidak banyak pikir lagi Kim
Houw lantas lari kearah suara itu.
Mendadak ia merasa ada sambaran angin kuat, menyambar dari arah samping, Kim Houw
terkejut, dengan cepat memutar tubuhnya menghindarkan serangan angin itu. Tapi ketika ia
menoleh untuk melihat siapa si penyerang, ia kaget dan girang, sebab orang itu ternyata adalah
Peng Peng sendiri yang ia anggap sudah terluka parah sehingga membuat cemas hatinya.
"Oh, Peng Peng! Kau.... kau tidak kenapa-napa?" seru Kim Houw kegirangan melihat Peng
Peng segar bugar.
Memang betul Peng Peng tidak kenapa-napa, ia selamat tidak kurang suatu apapun.
Suara Kim Houw membuat ia terkejut girang.
"Houw-ji, kaukah yang datang, aku...."
Peng Peng sebetulnya hendak mengatakan "aku sekarang boleh tidak perlu takut-takut lagi."
Tapi baru saja mengeluarkan perkataan "aku", kakinya mendadak lemas dan jatuh numprah di
tanah.
(Bersambung ke Jilid 20)
Jilid 20
Kim Houw terperanjat, lalu menghampiri dengan membimbing bangun: "Peng Peng! Kau
kenapa?" tanyanya kuatir.
Peng Peng cuma gelengkan kepala, sembari mengolah napas panjang ia menyahuti.
"Aku, aku tidak kenapa-napa, hanya engkongku......dia barangkali......."

Kim Houw lantas ingat suara rintihan tadi tentunya ada suara rintihan Tiong-ciu-khek, maka
lantas menanya:
"Touw Locianpwe sekarang ada dimana?"
"Kau buka itu tumpukan rumput, kau nanti bisa lihat sendiri!" jawab Peng Peng, sambil
menunjuk suatu tempat yang ada tumpukan rumput, tidak jauh dari situ.
Kim Houw menghampiri, dengan hati-hati ia membuka tumpukan rumput itu, ternyata di
bawahnya ada terdapat satu lobang yang tidak dalam, disitulah rebah dirinya Tiong-ciu-khek.
Tapi pada saat itu Tiong-ciu-khek matanya rapat, mulutnya mengeluarkan darah, napasnya
memburu, keadaannya sangat menyedihkan.
Kim Houw merasa pilu, dengan cepat menotok jalan darah dibagian dadanya, untuk mencegah
mengalirnya darah lebih banyak.
"Peng Peng, kita bawa dulu engkongmu ke bawah gunung, di sana ada menunggu ketua dan
wakil ketua partai sepatu rumput, mungkin mereka bisa mengobati luka engkongmu!" Kim Houw
kata kepada Peng Peng..
Peng Peng nampaknya tidak mempunyai tenaga untuk berbicara, ia hanya anggukkan kepala.
Perlahan-lahan ia berdiri, dengan pedang sebagai tunjangan, setindak demi setindak ia mengikuti
Kim Houw turun gunung.
Jalan tidak seberapa jauh, sudah disambut oleh Sin-hoa Tok-kai yang justru mencari mereka.
Tok-Kai melihat keadaannya Peng Peng begitu rupa, ia kira si nona telah terluka, buru-buru
dari tangan Kim Houw ia menyambuti tubuh Tiong-ciu-khek.
Ketika menampak keadaannya Tiong-ciu-khek yang demikian payah, tanpa terasa airmatanya
mengalir turun, membasahi kedua pipinya yang sudah kempot. Dengan suara pilu ia berkata:
"Tiong Laoko! Tiong laoko! bagaimana kau dapat meninggalkan kami begitu saja?"
Setelah Tok-kai berlalu sambil memondong Tiong-ciu-khek, Kim Houw buru-buru membimbing
Peng Peng dan menanya:
"Peng Peng, apa kau benar-benar tidak kenapa-napa?"
Ada baju wasiat bulu binatang lutung emas itu yang telah menolong jiwaku. Tapi sudah dua
hari satu malam aku tidak makan dan tidak tidur, bahkan bertempur terus menerus sambil berlari,
setetes airpun tidak masuk ditenggorokanku, bagaimana aku tidak lelah?"
Mendengar keterangan Peng Peng. Hati Kim Houw merasa sangat lega.
"Oh, hanya itu saja, kalau begitu aku bisa bantu kau supaya lekas pulih kekuatanmu" kata si
pemuda.
Saat itu Kim Houw memang sedang membimbing Peng Peng berjalan, namun masih
mengatakan hendak membantu. Maka Peng Peng anggap Kim Houw akan menggendong
padanya supaya ia tidak terlalu lemah. Meski dalam hati merasa girang, tapi tidak urung di
wajahnya lantas merah jengah, matanya lantas dipejamkam !
Tapi, mendadak ia dengar suara Kim Houw pula:

"Peng Peng, kau duduklah bersila, dengan kekuatan tenaga dalam yang kau punyai, kau coba
atur pernapasanmu!"
Peng Peng agak heran, ia lalu membuka matanya kembali, menatap wajahnya Kim Houw. Ia
lihat Kim Houw mengawasi padanya dengan sikap menyayang, maka lantas turut omongan si
pemuda duduk bersila dan mulai mengatur pernapasannya.
Oleh karena sudah terlalu letih, hampir saja Peng Peng tidak mampu mengatur pernapasan,
mendadak tangan kanannya di rasakan terpegang erat oleh Kim Houw.
Genggaman yang mendadak itu besar sekali pengaruhnya. Sekujur badan Peng Peng
dirasakan seperti kena strom listrik, napas dan kekuatan dalam dirasakan amat sukar
dipersatukan. Peng Peng semula menganggap Kim Houw menggoda dirinya, tapi selagi hendak
menegur, mendadak satu hawa hangat masuk ke dalam badannya melalui telapak tangan Kim
Houw. Dengan cepat hawa hangat itu sudah membikin segar badannya.
Tapi, sebentar kemudian, badannya mendadak dirasakan lemas dan ngantuk, biar bagaimana
ia merasa berat untuk mempersatukan pernapasannya dan tenaga dalamnya. Disaat itu,
mendadak telinganya dengar suaranya Kim Houw
"Peng Peng, pertahankan dirimu, jangan sampai terpengaruh oleh rasa lelah dan ngantuk,
supaya kekuatanmu lekas pulih kembali, jangan terlambat!"
Peng Peng berbuat menurut petunjuknya Kim Houw. Tapi mendadak ia rasakan hawa dingin
menerobos masuk ke dalam dirinya, melalui telapak tangan Kim Houw.
Kali ini Peng Peng nampaknya sangat menderita, karena hawa dingin itu begitu masuk
kelenga, lengannya lantas dirasakan beku hingga si nona terperanjat.
Untuk melawan hawa dingin itu dengan sendirinya kekuatan tenaga dalam Peng Peng
mencoba hendak mengadakan perlawanan. Tapi kekuatan tenaga dalamnya Peng Peng
bagaimana mampu melawan kekuatan ilmunya Han-bun-coa Kie Kim Houw?
Maka begitu kedua kekuatan tenaga itu saling bertemu, kekuatan tenaga Peng Peng lantas
lenyap seketika. Oleh karena sudah patah perlawanannya, maka kekuatan Han-bun-coa-kie lantas
masuk, menyusup ke sekujur badan Peng Peng.
Peng Peng badannya lantas beku, dengan demikian ia tidak sadarkan dirinya lagi.
Setelah siuman kembali, ia merasa seperti masih duduk bersila. Ketika membuka matanya, ia
dapatkan Kim Houw juga masih duduk bersila seperti dirinya sendiri.
Dengan wajah girang dan berseri-seri Kim Houw berkata padanya:
"Peng Peng, apa kau masih letih?"
Pertanyaan itu sebetulnya tidak perlu, karena dari gerak tangan Peng Peng, yang nampaknya
penuh tenaga, sudah merupakan suatu jawaban dari pertanyaan itu.
Peng Peng juga merasa girang, dengan gelengkan kepala ia menjawab pertanyaan Kim Houw.
"Coba-coba sekali dengan kekuatan tenaga dalammu." pinta Kim Houw.

Peng Peng mengerti bahwa permintaannya Kim Houw itu tentu ada maksudnya, maka ia
lantas mencoba kerahkan kekuatan lweekangnya, ia telah dapat kenyataan bahwa kekuatannya
sekarang jauh lebih kuat entah berapa lipat ganda dari pada sebelumnya.
Perubahan ini telah membuat Peng Peng hampir lompat karena girangnya. Sambil ketawa
riang ia menjatuhkan dirinya dalam pelukan Kim Houw.
Kim Houw usap-usap kepalanya, rambutnya, pipinya dengan sikapnya yang amat mesra.
"Peng Peng, aku telah salurkan kekuatan ke dalam dirimu. Dengan demikian kekuatan tenaga
dalammu telah bertambah sepuluh kali lipat. Sekarang kita harus berangkat, luka engkongmu
entah bagaimana keadaannya? Barangkali mereka sudah menunggu kita dengan perasaan
cemas. Mari kita lekas tengok mereka!"
Mengingat luka engkongnya, Peng Peng lantas kucurkan air mata. Setelah pesut kering air
matanya, tanpa ingat akan pedangnya lagi, ia lantas lompat melesat. Tapi ia telah lupa bahwa
kekuatannya sekarang sudah jauh lebih tinggi dari pada sebelumnya. Dengan sekali lompat saja,
ternyata sudah mencapai tinggi kira-kira lima tombak. Hal demikian sudah tentu mengejutkan
padanya.
Ketika ia melayang turun, matanya mengerling pada Kim Houw. Tapi kerlingan itu entah
mengandung perasaan aleman atau sesalkan Kim Houw, mengapa tidak mau memberitahukan
perobahan itu kepada dirinya.
Kim Houw cuma ganda dengan senyuman sambil leletkan lidahnya.
Keduanya saling susul menuju ke pinggir sungai. Dari jauh, Kim Houw telah dibikin tercengang
oleh pemandangan yang ia saksikan!
Peng Peng yang tiba belakangan demikian pula keadaannya.
Apa sebetulnya yang terjadi? Kiranya di pinggir sungai kecil itu tidak tertampak pemandangan
menyedihkan seperti apa yang sudah dibayangkan oleh Kim Houw. Sebaliknya, ia telah
menyaksikan Cu Su bersama muridnya serta Tiong-ciu-khek berlima, sedang berkumpul
memanggang daging rusa, yang rupa-rupanya hendak dibuat santapan mereka.
Keadaan demikian bagaimana tidak mengejutkan Kim Houw dan Peng Peng?
Tiong-ciu-khek yang keadaannya mirip dengan orang yang hendak mangkat ke alam baka,
Sun Cu Hoa yang badannya sudah terluka parah dan si botak yang kaki dan tangannya sudah
patah, kini ternyata sudah sembuh semuanya, seperti tidak pernah terluka!
Si botak yang dari jauh sudah melihat kedatangan mereka, lantas menggapai-gapai sambil
berkaok-kaok. Kim Houw dan Peng Peng lantas dibikin sadar dari lamunannya, keduanya lantas
lompat melesat menghampiri mereka.
Dapat berkumpul kembali dalam keadaan sehat, semua pada merasa girang, meski diantara
tokoh-tokoh terkemuka yang keluar dari Istana panjang umur ada yang sudah berangkat duluan ke
alam baka. Tapi yang mati tinggal mati, apa yang dapat dilakukan oleh yang hidup adalah
menuntut balas kawan-kawannya itu.
Kim Houw lalu menanyakan sebab-sebabnya mereka sembuh secara aneh itu. Ternyata ketika
Tok-kai kembali ke tempat tersebut sambil menggendong dirinya Tiong ciu-khek, Cu Su sedang
mengambil air dari sungai untuk Sun Cu Hoa minum.

Sungguh ajaib, air sungai begitu masuk ke dalam tenggorokan, dalam sekejap saja Sun Cu
Hoa sudah siuman. Ia membuka kedua matanya dan melompat bangun, dengan suara terheranheran
ia menanya kepada suhunya:
"Suhu, teecu seperti baru habis mengimpi, cuma teecu tahu bahwa impian itu bukan
sesungguhnya. Tapi, entah suhu tadi memberikan teecu minum obat mujijat apa, mengapa begitu
lekas sembuh luka-luka teecu?"
"Obat mujijat apa? Aku hanya memberikan kau secegluk air dari sungai" jawab sang suhu
kaget.
Sun CU Hoa coba gerakkan badannya, sekali lagi coba melompat, memang benar pulih semua
kekuatan tenaganya seperti sedia kala.
"Suhu, kau jangan bohong Hoa-jie, barusan teecu memang mendapat luka parah, setelah
tergelincir dari atas gunung, teecu lantas jatuh pingsan. Kalau tidak ada obat yang mujijat,
bagaimana bisa sembuh begitu cepat?"
"Buat apa suhumu harus berbohong? Saat ini tokh bukan waktunya untuk bersenda gurau!"
jawab sang suhu dengan sungguh-sungguh.
Pada waktu biasanya, kalau menyaksikan suhunya bersikap sungguh-sungguh, Su Cu Hoa
tidak berani banyak bicara, tapi saat itu keadaannya ada yang berlainan ia agaknya masih belum
mau mengerti keterangan suhunya.
"Kalau memang benar hanya minum air sungai itu, dalam air itu pasti ada pengaruh gaib. Mari
suhu bersama Hoa-jie pergi tengok" mengajak sang murid.
Tapi air sungai itu kecuali beningnya yang agak lain dari air sungai biasa, tidak ada apaapanya
yang aneh. Tapi, meskipun mulutnya Cu Su tidak mau membenarkan pendapat sang
murid diam-diam dalam hatinya juga mengakui, bahwa kemujijatan itu pasti terdapat dalam air
sungai ini.
Apa mau, Tok-kai kebetulan pada saat itu telah menghampiri menggendong dirinya Tioang ciukhek.
Keadaannya Tiong-ciu-khek yang sudah demikian payah sudah tentu Tok-kai tahu kalau
kawannya itu sudah tidak ada harapan dapat disembuhkan. Maka setelah tiba di pinggir sungai ia
lantas letakkan tubuh sahabatnya itu di tanah. Rasa sedih menggejolak di dadanya, air mata
lantas mengalir deras membasahi kedua pipinya yang kempot.
Pengemis tua itu sebetulnya tidak sedikit sahabatnya, hampir di seluruh pelosok ada
kenalannya. Tapi, beberapa jumlahnya yang bisa dihitung sebagai sahabat karibnya?
Sesungguhnya sedikit sekali.
Dengan Tiong-ciu-khek boleh dikata akrab sekali hubungannya, mereka berdua berkawan
sudah beberapa puluh tahun lamanya. Bukan saja erat hubungannya, bahkan masing-masing
saling membela apabila diwaktu perlu. Sekalipun harus mempertaruhkan jiwanya, juga masingmasing
tidak akan mundur. Karena hubungan yang sangat luar biasa itu, kini yang satu hendak
berangkat ke lain dunia, bagaimana yang lain tidak berduka?
Cu Su menyaksikan keadaan demikian, buru-buru mengambil air dari sungai, diminumkan
kepada Tiong-ciu-khek. Sungguh mengenaskan, setetespun tidak bisa masuk ke dalam
tenggorokannya.

Pada saat itu, si botak mendadak berseru.
"Supek! Suhu! Lekas tengok! lekas tengok!"
Tok-kai tidak tahu apa sebabnya si botak begitu ribut-ribut sendirian, ia tidak ambil pusing. Tapi
tidak demikian dengan Cu Su, yang saat itu hatinya sedang diliputi oleh berbagai keanehan, ketika
mendengar seruan itu lantas menghampiri.
Si botak sembari menunjuk kesalah satu sudut tidak jauh dari situ, matanya mengawasi tidak
berkedip. Ternyata di permukaan air sungai itu ada timbul busanya yang berwarna biru. Busa
warna biru bening itu begitu timbul di permukaan air lantas buyar. Tapi busa itu keluar dari dasar
sungai saling susul menyusul tiada ada putusnya.
Cu Su yang menyaksikan busa air itu, meski warnanya indah, juga pikirannya tidak perlu ributribut
tidak karuan, maka ia lantas pelototi si botak.
Mendadak ia lihat si botak goyang-goyangkan lengannya yang baru saja disambung tulangnya
dan uncang-uncangkan pahanya yang telah patah, akhirnya ia teplok-teplok kepalanya yang botak
seraya berkata: "Supek, kau lihat!"
Ketika Cu Su menengok padanya, heran bukan main, tangan dan pahanya sibotak sudah
sembuh seperti biasa, sedang kepalanya yang botak serta penuh kudis kini sudah berubah ada
rambutnya.
Pemandangan ini sudah tentu menggirangkan Cu Su, ia buru-buru lepaskan kopiahnya, untuk
menyendok air yang ada busa birunya, kemudian balik lagi kepada Tiong-ciu-khek.
Kali ini benar-benar berbeda dari pada yang duluan, air sungai itu ternyata mudah sekali
masuk tenggorokannya, setelah minum sampai habis, Tiong-ciu-khek kedengaran merintih.
Ini benar-benar merupakan suatu keajaiban. Air sungai yang ada busanya warna biru itu
ternyata mempunyai khasiat begitu mujijat dan kemanjurannya lebih dahsyat dari pada obat yang
paling manjur didalam dunia. Sampai Tok-kai sendiri yang sudah banyak pengalaman dan
pengetahuan juga merasa terheran-heran.
Tidak antara lama, Tiong-ciu-khek mendadak membuka matanya, ternyata ia sudah mendusin.
Justru dengan mendusinnya Tiong-ciu-khek, makin besarlah keheranan Tok-kai dan Cu Su.
Busa air itu masih tetap timbul saling susul, dan apa yang mengherankan ialah bentuknya
busa itu sama besarnya dan sama indahnya, bahkan terus tidak ada putusnya.
Semua ini merupakan suatu pemandangan dan kejadian yang sangat ajaib, mereka tidak
mengerti sebab musababnya.
Tiong-ciu-khek hanya beristirahat sebentar, kemudian sudah sembuh seperti biasa. Maka
mereka lantas pada mencari binatang yang terdapat dalam gunung itu untuk menangsal perut.
Mereka juga tidak menguatirkan tentang dirinya Kim Houw dan Peng Peng, karena bersamasama
Kim Houw keadaannya Peng Peng lebih aman sentosa.
Ketika Kim Houw memeriksa tempat dimana timbul air busa itu ternyata ada tempatnya dimana
ia pernah melepaskan kerbau hijau binatang mujijat yang pernah dibuat oleh Liok cie Thian-mo
dan Khu leng Lie. Warnanya busa itu sama besar dengan warnanya sepasang mata kerbau hijau
mujijat itu.

Rupa-rupanya perasaan timbul dalam otaknya Kim Houw, apakah itu yang dinamakan
kegaiban alam?
Kim Houw setelah mengetahui duduknya perkara sembari bersantap. Kim Houw lalu
menanyakan Peng Peng, bagaimana rombongannya setelah diantar oleh si imam palsu ke dalam
lembah lantas diketahui oleh musuh-musuhnya? Dan siapakah mereka itu?
Peng Peng belum menjawab, sudah didahului si botak yang memangnya doyan ngobrol.
"Ketika telah berpapasan dengan perempuan cabul itu!" demikian ia berkata.
Lagi-lagi Khu Leng Li, demikian Kim Houw kata dalam hatinya.
Kiranya ketika si imam palsu mengantar Peng Peng bertiga meninggalkan kuil Han-pek. Cin
Koan, setibanya di lembah yang letaknya sangat tersembunyi itu, tidak nyana didalamnya sudah
ada orang yang bersembunyi. Tiga anak muda itu setelah masuk dalam goa, ia sendiri berdiri
sejenak dimulut goa.
Di luar dugaannya si imam palsu, bahwa orang yang sembunyi didalam goa itu ternyata adalah
Khu Leng Lie yang menyingkirkan diri dari kejaran Kouw-low Sin ciam.
Ketika Khu Leng Lie mengetahui kedatangan si imam palsu berempat, segera mengetahui
bahwa Kouw-low Sin ciam pasti masih berada di tempat itu. Karena kuatir orang-orang itu nanti
buka suara, sehingga mengagetkan Kim Houw Sin ciam, dengan kecepatan kilat ia totok rubuh
tiga anak muda itu.
Lihainya Khu Leng Lie, maka ia pura-pura rubuh, apa celaka tanpa sadar ia rubuh menjerit.
Suara jeritannya itu telah mengejutkan si imam palsu, hingga ia buru-buru masuk ke dalam
goa.
Begitu menampak Khu Leng Lie, si imam palsu lantas mengerti keadaan akan menjadi
runyam. Meski tahu ia tidak tahu mampu menandingi Khu Leng Lie, namun melihat ketiga anak
muda yang sudah pada rubuh dengan tidak berdaya, terpaksa ia berlaku nekad untuk memberi
pertolongan.
Dalam pertempuran yang sengit, si imam palsu kena dihajar oleh Khu Leng Kie sampai babak
belur.
Akhirnya, dalam keadaan terpaksa, si imam palsu lantas kabur pulang.
Setelah si imam palsu berlalu, Khu Leng Lie juga tidak berani berdiam di situ terlalu lama lagi,
dengan lari terbirit-birit ia meninggalkan lembah tersebut.
Setelah kedua orang itu berlalu, Peng Peng baru merayap bangun, ia membebaskan totokan
Sun Cu Hoa dan si botak. Tapi mereka bertiga tidak berani keluar dari lembah itu, sebaliknya juga
tidak berani berdiam terlalu lama, maka lantas pada merambat naik ke atas gunung.
Ketika Tiong ciu khek datang, segera diketahui oleh mereka, seketika itu juga lantas mereka
diajak berlalu dari situ.
Tapi ketika Cu Su dan Tok-kai tiba, mereka sudah berada di atas gunung dan turun dari lain
sudut.

Oleh karena hujan masih lebat dan angin meniup kencang, Tiong-ciu-khek ajak mereka
bersembunyi dulu.
Sampai jauh malam, Tiong-ciu-khek baru pimpin mereka keluar dari tempat
persembunyiannya. Di luar dugaan, begitu keluar dari tempat sembunyinya lantas berpapasan
dengan Siao Pek Sin.
Siao Pek Sin yang sedang mendongkol, begitu melihat mereka hatinya semakin panas.
Terutama terhadap Peng Peng, yang ia pandang sebagai duri dalam matanya. Tapi, Siao Pek
Sin ada seorang yang licik dan banyak akal jahatnya, meski dalam hati merasa panas, tapi ia
masih bisa kendalikan perasaan hatinya. Ia sengaja tidak perkenalkan dirinya, tapi berlagak
sebagai Kim Houw. ia coba membaiki Peng Peng.
Diantara empat orang itu, siapapun tidak dapat membedakan siapa Kim Houw dan siapa Siao
Pek Sin!
Lebih dulu Siao Pek Sin mendekati Tiong cui khek yang dalam ragu-ragu untuk memastikan
bahwa pemuda itu adalah Kim Houw. Peng Peng yang merupakan orang paling dekat dengan Kim
Houw, melihat sorot matanya sudah dapat membedakan siapa adanya anak muda itu, maka ia
lantas berseru dengan nyaring:
"Ya-ya hati-hati! Dia adalah Siao Pek Sin!"
Siao Pek Sin tidak nyana Peng Peng dapat mengenali dirinya, maka ia lantas bertindak
dengan cepat.
Tiong-ciu-khek yang dalam ragu-ragu ketika mendengar seruan Peng Peng, sudah tidak
keburu menyingkir. Dadanya kena dihajar oleh Siao Pek Sin dan rubuh tidak ingat dirinya lagi.
Peng Peng menjerit sekuat-kuatnya, dengan tidak memperdulikan apa akibatnya, lantas
merebut dirinya Tiong-ciu-khek.
Sun Cu Hoa dilain pihak, ketika mengetahui bahwa anak muda itu adalah musuh besarnya,
dengan tidak memperdulikan maupun menandingi padanya atau tidak, begitu keluarkan
bentakannya, lantas menyerang dengan pedangnya.
Meski kepandaian Siao Pek Sin di bawahnya Kim Houw, tapi kalau di bandingkan dengan Sun
Cu Hoa, sudah tentu masih jauh lebih kuat.
Maka baru tiga gebrakan saja, keadaannya Su Cu Hoa sudah nampak sangat berbahaya.
Si botak yang menyaksikan kawan karibnya dalam bahaya, lantas turut menyerbu. Dengan
demikian, mereka berdua lantas mengerubuti Siao Pek Sin.
Untuk menghadapi dua anak muda itu, Siao Pek Sin nampaknya masih enak-enak saja. Ia
hanya menjaga-jaga senjata rahasianya Sun Cu Hoa yang berupa jarum halus yang merupakan
senjata paling ampuh dari pelajaran gurunya.
Tapi biar bagaimana, perbedaan kekuatan mereka ada sangat jauh, selewatnya sepuluh jurus,
si botak dan Sun Cu Hoa sudah pada terluka. Peng Peng terpaksa turut campur tangan.
Mereka bertiga masih tidak dapat berbuat banyak, sehingga Tiong-ciu-khek yang terluka
terpaksa turut membantu. Tapi, apa gunanya ia turut bertempur, kesudahannya malah menambah
berat lukanya.

Sun Cu Hoa dihajar sampai terjatuh ke bawah gunung, si botak patah tulang tangan dan
pahanya, Tiong-ciu-khek tidak usah dikata lagi, keadaannya semakin parah.
Hanya Peng Peng seorang saja, yang nampaknya tidak terluka. Ini disebabkan Siao Pek Sin
sengaja tidak mau melukai padanya, ia ingin menangkap hidup-hidup dirinya nona itu lagi, untuk
mencapai lain maksud.
Di luar dugaan, pada saat itu dari jauh mendadak kelihatan satu bayangan orang yang tengah
naik ke atas gunung. Sekelebat saja Siao Pek Sin sudah mengetahui bahwa orang ini adalah si
iblis tua yang sangat ganas, Kouw-low Sin-ciam.
Begitu melihat kedatangannya Kouw-low Sin-ciam, Siao Pek Sin entah girang entah takut, tapi
ia sungguh tidak suka menemui padanya. Sebaliknya, di bawah perlawanan yang sengit dari Peng
Peng, Siao Pek Sin hendak menangkap hidup-hidup padanya juga tidak mudah.
Akhirnya, Siao Pek Sin yang sudah kehabisan akal dan untuk melampiaskan
kemendongkolannya, lantas menantikan lowongan, lalu mengirim serangan yang amat dahsyat,
mengarah belakang geger Peng Peng, sehingga badan Peng Peng terbang melesat ke tengah
gunung.
Siao Pek Sin mengira bahwa serangannya itu meski tidak bisa membikin mampus Peng Peng,
setidaknya si nona akan terluka parah. Ketika menampak Kouw-louw Sin-ciam sudah akan tiba
ditempat tersebut ia lantas angkat kaki.
Namun ia tidak tahu bahwa Peng Peng ada menggunakan baju wasiat pemberian Kim Houw,
baju wasiat yang berupa bulu binatang lutung bulu emas, yang juga merupakan salah satu benda
mujijat di kalangan kangouw, bagaimana Siao Pek sin mampu melukai padanya?
Begitulah apa yang telah terjadi atas diri mereka, setelah berlalu dari kuil Han-pek Cin koan.
Semua orang setelah kenyang menangsal perut masing-masing, lantas merundingkan rencana
mereka selanjutnya. Cu Su setelah mengambil keputusan melakukan tugas masing-masing
dengan jalan berpencar. Ia sendiri akan menggerakkan pengaruhnya seluruh orang-orang dari
partai Sepatu Rumput yang tersebar luas di kalangan Kangouw, untuk menyelidiki jejaknya Kouw
Low Sin-ciam dan Liok-cie Thian-mo serta Khu Leng Lie.
Dan begitu mendapat kabar segera akan diberitahukan kepada Kim Houw agar mereka
dibasmi untuk membalas sakit hati kawan-kawannya yang binasa ditangan iblis-iblis yang sangat
ganas itu.
Tiong-ciu-khek sebaliknya mempunyai rencananya sendiri, karena tugasnya di sini sudah
selesai, ia ingin mencari salah satu sahabat karibnya untuk minta obat-obatan yang diperlukan
untuk menjaga diri. Sebelum berangkat, ia panggil Peng Peng dan bicara padanya, yang
nampaknya sangat serius.
Apa yang dibicarakan oleh mereka, semua orang tidak dengar, tidak terkecuali dengan Kim
Houw. Hanya Peng Peng yang sebentar-sebentar melirik padanya sambil tertawa membuat si
anak muda merasa heran.
Karena kelakuannya Peng Peng yang mencurigakan itu, Kim Houw coba mencuri dengar, dan
apa yang ia tangkap dengan telinganya, membuat hatinya berdebar.

Yang dibicarakan oleh Tiong-ciu-khek kepada cucunya, ternyata adalah soal perkawinannya
Peng Peng, sedang sebagai calon suaminya telah disebut-sebut nama Kim Houw. Sudah tentu
Peng Peng seratus persen akur.
Tapi bagi Kim Houw, setelah mengetahui persoalan itu, hatinya lantas terkenang kepada Bwee
Peng yang binasa secara penasaran. Sehingga saat itu Kim Houw masih belum berhasil menuntut
balas sakit hati atas kematiannya nona itu, ada merupakan suatu ganjalan dalam hati sanubarinya.
Tiba-tiba Cu Su menghampiri Kim Houw, ia memberi hormat sembari berkata:
"Kim Siaohiap, aku si orang tua mengaturkan selamat padamu telah mendapat jodoh seorang
dara begini cantik manis dan gagah pula....."
Kim Houw terkejut, ia buru-buru membalas hormat, sahutnya:
"Kim Houw telah dilahirkan dengan nasib yang jelek sehingga saat itu masih belum
mengetahui asal usulnya, ditambah lagi dengan permusuhannya yang bersusun tindih, entah
kapan baru bisa dibereskan? Bagaimana berani sembarangan membicarakan soal
perjodohan......?"
Keterangan Kim Houw itu telah membuat tercengang semua orang, terutama Peng Peng,
hatinya seperti diiris-iris, airmatanya lantas meleleh keluar, lalu disusul dengan tangisnya yang
mengharukan.
"Kim Siaohiap, aku si orang tua sekarang telah menjodohkan cucuku satu-satunya kepadamu
di hadapan para tokoh persilatan terkemuka. Kau tinggal pilih saja, mau terima apa tidak?" kata
Tiong-ciu-khek mendesak.
"Hal ini....." Kim Houw belum dapat menjawab dengan tegas.
"Tidak perlu pakai segala ini itu, mau yah mau, tidak yah tidak, habis perkara!" desaknya pula
Tiong-ciu-khek.
Perkataan dan perbuatan Tiong-ciu-khek itu seolah-olah merupakan suatu ancaman, kalau
Kim Houw tidak memandang karena pernah sama-sama menentang musuh dan karena ia ada
engkongnya Peng Peng, mungkin siang-siang sudah berontak!
Saat itu, Kim Houw hanya tundukkan kepala sambil berpikir. Tadinya ia pikir tidak mau
menjawab pertanyaan Tiong-ciu-khek itu, tapi mendadak mendengar suara Peng Peng:
"Engko Houw, aku tahu wanita yang kau cintai adalah adik Bwee Peng. Tapi adik Bwee Peng
kini sudah meninggal, meskipun kematiannya itu telah membuat ganjelan pada hatimu, tapi toh
tidak lantaran dia lantas menjadi bujang seumur hidup. Urusan perkawinan kita, juga tidak
memerlukan tempo tergesa-gesa. Nanti setelah kau membereskan pembalasan sakit hati adik
Bwee Peng, setelah kau berhasil membasmi semua musuh-musuhmu, baru kita bicarakan lagi,
sekarang aku hanya menghendaki jawabanmu, supaya yaya bisa meninggalkan kita dengan hati
lega..."
Mendengar perkataannya Peng Peng yang diucapkannya sembari menangis, Kim Houw
hatinya merasa sangat tidak tega. Karena menganggap perkataan Peng Peng itu memang
beralasan, maka ia lantas berlutut di depannya Tiong-ciu-khek sambil berkata:
"Aku terima baik usulmu, harap yaya sudi menerima hormat bakal mantu cucumu."

Tiong-ciu-khek tertawa bergelak-gelak, ia terima hormatnya Kim Houw dengan hati gembira.
Setelah semua urusan selesai, Tiong-ciu-khek berangkat lebih dulu, kemudian disusul oleh
yang lainnya. Sekarang di tepi sungai kecil itu hanya tinggal Kim Houw dan Peng Peng berdua.
"Engko Kim Houw, aku tidak berani mengharap bahwa aku bisa dapat tempat didalam hatimu
untuk menggantikan adik Bwee Peng, aku hanya mengharap sedikit perhatianmu atas diriku, juga
supaya aku bantu menanggung sedikit beban kesulitan dalam hatimu. Kalau hal ini kau tidak
sanggup, harap kau jelaskan mulai sekarang, sebab sifatku suka berterus terang, sekalipun hatiku
berduka, tapi aku masih sanggup menanggung penderitaan itu," demikian Peng Peng berkata.
Kim Houw hatinya seperti tertusuk senjata tajam. Memang dimasa Bwee Peng masih hidup,
Kim Houw agak jeri terhadap Peng Peng, tapi sekarang anggapannya terhadap dirinya nona itu
telah banyak berubah.
"Peng Peng, diwaktu yang lalu sifatmu yang sangat berandalan, membuat aku sangat takut.
Sungguh tidak nyana sekarang kau bisa berubah demikian lemah lembut dan agaknya mengerti
banyak soal. Untuk selanjutnya aku akan curahkan segenap perhatianku kepada dirimu aku bisa
mencintai kau seperti aku mencintai diriku sendiri. Peng Peng, percayalah ucapanku ini. Cuma
terhadap adik Bwee Peng biar bagaimana aku masih selalu merasa tidak enak, aku cuma
mengharap setelah permusuhan dibikin beres, kita dapat mendirikan gubuk didekat makamnya
adik Bwee Peng, sekedar untuk menghibur arwahnya adik Bwee Peng dialam baka. Apakah kau
setuju pikiranku ini?" demikian jawabnya Kim Houw.
Mendengar jawaban Kim Houw, hati Peng Peng merasa lega. Dengan batinnya lalu berpikir
apa yang aku buat keberatan, lagi pula adik Bwee Peng tokh sudah meninggal dunia masak aku
harus cemburuan padanya.
"Engko Houw, aku terima baik usulmu itu, baiklah aku nanti menuruti kehendakmu."
Kim Houw merasa girang, kalau tadi ia selalu muram karena ganjalan dalam di hatinya itu, kini
setelah ganjalan itu lenyap, maka lantas bisa unjukkan ketawanya.
Menyaksikan bakal suaminya sangat gembira, Peng Peng segera jatuhkan dirinya ke dalam
pelukannya.
Entah berapa lama telah berlalu, tahu-tahu matahari sudah naik tinggi. Kim Houw dongakkan
kepala, ternyata sudah lewat tengah hari. Sambil membimbing dirinya si nona, Kim Houw berkata:
"Peng Peng, sudah waktunya kita harus berangkat!"
Mendadak matanya Kim Houw tertarik oleh busa warna biru yang timbul dari dasarnya sungai
kecil itu, lalu ingat ucapannya Tiong-ciu-khek ketika hendak berpisahan. Seketika itu lantas tepuk
kepalanya sembari berkata:
"Astaga, mengapa kita begitu bodoh, bukankah busa biru adalah obat paling manjur untuk
menyembuhkan segala penyakit atau luka-luka? Jika busa dalam air itu terus keluar, kita bisa
gunakan tidak habis-habisnya, perlu apa yaya harus jauh-jauh mencari kawannya?"
Mendengar ucapan Kim Houw itu, Peng Peng ketawa geli.
"Bukankah kau ada seorang pintar? Mengapa mendadak menjadi bodoh? Mengenai busa dari
dalam sungai itu mereka sudah pikirkan siang-siang, cuma saja kita pada tidak mempunyai barang
yang bisa digunakan untuk mengisi air busa itu, maka yaya perlu pergi dulu untuk mencari alat
untuk menyimpan air busa tersebut. Sebab air tidak gampang dibawa-bawa, sedangkan yaya ada
seorang yang mengerti membuat obat-obatan, ia akan menggunakan air mujijat itu untuk dibuat

obat pil, supaya gampang dibawa dibadan. Ia juga hendak menggunakan kesempatan ini untuk
membicarakan soal perjodohan kita."
Ketika ia mengucapkan perkataannya yang terakhir wajahnya merah seketika.
"Cara yang ditempuh oleh yaya itu memang tepat. Mudah-mudahan air busa itu terus keluar
tidak putusnya, supaya bisa dibuat obat pil lebih banyak. Sekalipun tidak cuma untuk mengobati
dirinya sendiri, buat menolong dirinya orang lain juga baik." kata Kim Houw.
Mendadak mereka dikejutkan oleh suara orang ketawa panjang yang memecahkan suasana
sunyi dalam gunung itu.
Kim Houw mendengar suara itu lantas berkata dengan suara heran:
"Oh, dia, mengapa dia belum binasa?"
Peng Peng meski tahu bahwa orang yang tadi ketawa panjang itu ada seorang yang
berkepandaian tinggi, tapi ketika mendengar perkataan Kim Houw juga merasa heran, agaknya
Kim Houw kenal baik dengan orang itu. Maka ia lantas menanya:
"Engko Houw, siapa dia?"
Kim Houw tidak menjawab pertanyaannya, sebaliknya menggandeng tangannya. "Mari kita
kejar, nanti kita bicarakan lagi."
Seketika itu juga Kim Houw bersama Peng Peng sudah melesat ke udara, mengejar ke arah
suara ketawa tadi.
Telinganya Kim Houw sangat tajam, tapi ketika ia dan Peng Peng tiba di tempat tersebut, telah
dapat tahu bahwa tempat itu ternyata juga merupakan tepinya aliran sungai kecil itu, di suatu
tempat yang terdapat tetumbuhan rumput tinggi, di situ terdapat bekasnya seperti ditiduri orang.
Tapi, orang itu sekarang sudah tidak ada, bayangannya juga tidak kelihatan.
"Engko Houw, siapa sih sebetulnya?" tanya pula Peng Peng.
"Dari suaranya seperti Liok-cie Thian mo. Tapi dia sudah dibikin terluka oleh Kouw-low Sinciam
dan Khu Leng Lie berdua. Hari itu dia sudah tidak bisa bergerak, mengapa sekarang bisa
sembuh dengan mendadak, seolah-olah tidak pernah terluka?"
"Siapa Liok cie Thian-mo?"
"Ya, tapi sekarang dia sudah berlalu jauh dari sini!"
Memang betul seperti apa yang Kim Houw duga. Orang yang keluarkan suara ketawa panjang
tadi memang ada Liok cie Thian mo. Ketika ia tersadar dari pingsannya karena luka-lukanya yang
amat parah, ia telah menyaksikan itu kerbau kecil mujijat baru keluar dari pohon. Pada saat itu,
tidak seorangpun yang perhatikan padanya.
Semula ia masih memikirkan hendak menggunakan sisa tenaganya yang masih ada,
menyerang Khu Leng Lie dengan senjata Thian-mo Siok hun leng. Pertama hendak menuntut
balas sakit hatinya, kedua hendak merampas itu kerbau hijau yang sangat mujijat. Sebab kalau ia
tidak berhasil mendapatkan kerbau hijau itu jiwanya mungkin sukar dipertahankan lebih lama lagi.

Tapi, dengan munculnya Kim Houw secara mendadak, semua cita-citanya telah dibikin buyar.
Terhadap kerbau hijau itu yang ia sangat butuhkan, juga tidak berani memikirkan lagi!
Maka, selagi orang tidak ambil perhatian padanya, dengan menggunakan sisa kekuatannya
yang masih ada, ia diam-diam merangkak dan sembunyi ke gerombolan rumput.
Ketika Khu Leng Lie lihat ia menghilang, Liok-cie Thian-mo justru sedang rebah menggeletak
tak ingat orang. Tidak heran kalau Kim Houw pasang telinganya untuk mengetahui jejaknya tidak
kedengaran napasnya.
Waktu tersadar kedua kalinya, ia dapatkan disekitar situ keadaannya sudah sunyi senyap. Ia
lalu makan semua obatnya yang masih ada, meski ia tahu itu percuma saja tidak dapat
menyembuhkan luka-lukanya dan menolong jiwanya. Ia masih mengharapkan pulihnya kembali
sedikit tenaganya, agar bisa merayap keluar dari lembah gunung itu.
Dengan susah payah ia merangkak, akhirnya bisa juga ia keluar dari lembah, segera
telinganya dapat menangkap pembicaraan Kim Houw bersama kawan-kawannya.
Bukan kepalang kagetnya, hampir saja ia jatuh pingsan lagi.
Dengan sangat hati-hati ia segera mencari jalan memutar untuk menghindarkan perhatian
mereka.
Mungkin belum waktunya ia dipanggil menghadap Giam Lo Ong ke akherat, apa mau
perbuatannya itu tidak diketahui, oleh seorangpun dari rombongan Kim Houw, hingga akhirnya ia
bisa merangkak sampai ke tepi sungai.
Liok cie Thian mo yang menemukan air, mungkin karena girangnya telah membuat ia pingsan
lagi!
Saat itu, luka-lukanya terlalu parah, dalam keadaan setengah sadar setengah tidak sadar, ia
celupkan kepalanya ke dalam air sungai. Begitu kena air pikirannya yang barusan lupa-lupa ingat,
telah kumpul kembali. Ia heran lantas menduga bahwa dalam air itu tentu ada apa-apanya yang
sangat mujijat.
Ada harapan hidup, pikir Liok-cie Thian-mo, ia tidak mau sia-siakan kesempatan itu dan lantas
minum air sungai itu sebanyak-banyaknya, tapi ternyata tidak ada faedahnya, bahkan perutnya
dirasakan menjadi kembung. Dalam keadaan cemas ia rebah terlentang di tepi sungai.
Lewat sejenak, mendadak ia dengar pembicaraan Kim Houw dan Peng Peng tentang air bua
yang mengandung khasiatnya sangat mujijat itu. Meski suara itu datangnya dari jauh, tapi dalam
suasana alam yang amat sunyi itu, suara tadi dapat didengar dengan jelas.
Ini seolah-olah ada kabar selamat dari sorga, yang dikirim oleh Tuhan dengan perantaraan
mulutnya Kim Houw.
Liok-cie Thian-mo kegirangan, ia buru-buru mencari-cari air sungai yang mengandung busa
warna biru.
Sebentar saja, ia sudah berhasil menemukannya. Dengan tidak ajal lagi, Liok-cie Thian-mo
lantas menyendok dengan tangannya.
Air yang diminum kali ini ternyata ada beda dengan yang diminum duluan. Begitu air masuk ke
dalam mulutnya, rasa segar lantas mengalir ke sekujur badannya. Semua luka lukanya lantas

lenyap entah kemana perginya. Betapa girangnya Liok cie Thian mo pada saat itu, sungguh sulit
untuk dilukiskan.
Setelah sembuh dari luka lukanya, Liok cie THian mo mulai besar lagi nyalinya, maka ia lantas
perdengarkan suara ketawanya yang panjang, kemudian berlalu meninggalkan tempat tersebut. Ia
sebetulnya tidak sengaja hendak menyingkir dari Kim Houw, maksudnya adalah berburu-buru
hendak mencari Khu Leng Lie untuk menuntut balas.
Demikianlah kisahnya Liok cie Thian mo yang mendapat kesembuhan dari luka-lukanya yang
parah sehingga bisa kabur dari lembah gunung itu.
Mari kita balik kepada Peng Peng, siapa ketika menampak Kim Houw agak murung, lalu
berkata:
"Kalau dia sudah pergi ya sudah, perlu apa lagi kau pusingi padanya?"
"Kau tidak tahu, dia telah membinasakan Lo Han-ya. Sebelum melepaskan napasnya yang
penghabisan, Lo Han-ya pernah meninggalkan pesan, supaya aku membinasakan dia beserta
setan tua Kouw-louw Sin ciam."
"Kalau begitu gampang sekali, kita kejar saja, lagi. Kau jangan terlalu pikirkan diriku, aku bisa
urus diri sendiri!"
"Baiklah, di sepanjang jalan ini aku nanti ajari kau beberapa ilmu silat untuk menjaga diri dan
ilmu mengentengi tubuh yang sangat istimewa. Bila sewaktu aku ada keperluan harus berlalu dari
dampingmu, kan nanti bisa menggunakan kepandaian ilmu silatmu untuk menghadapi musuh yang
akan mengganggu dirimu. Kalau kau masih ungkulan kau boleh lawan terus, sebaliknya kalau
rasanya tidak ungkulan, kau boleh lantas kabur. Mari sekarang kita kejar padanya?"
Berbareng dengan menggandeng tangan Peng Peng ia lantas mengeluarkan ilmu lari pesat
yang luar biasa, hingga sekejap saja sudah menghilang dari pemandangan.
Malam itu tibalah mereka di sebuah dusun kecil. Kim Houw yang hanya bermaksud mengejar
Liok-cie Thian mo, tidak ada lain tujuan, maka tidak terlalu tergesa-gesa, hingga malam itu mereka
bisa bermalam di dusun tersebut.
Di luar dugaannya, dusun itu ternyata jarang sekali didatangi tetamu luar, maka rumah makan
atau rumah penginapan juga tidak ada. Rumah-rumah penduduk yang ada juga kebanyakan
sudah pada reyot, suatu tanda bahwa dusun itu ada sangat miskin.
Tiba-tiba Peng Peng menuding ke sebuah rimba yang terdapat di belakang dusun itu sembari
berkata :
"Engko Houw, kau lihat di dalam rimba itu seperti ada sebuah gedung bertingkat!"
Kim Houw menengok, benar saja, dalam rimba itu lapat-lapat kelihatan bentuknya gedung
bertingkat, hingga dalam hati diam-diam juga merasa heran.
"Eh, aneh, dalam dusun yang sangat melarat ini, bagaimana ada bangunan yang begitu
megah? Mungkinkah ada tempat kediamannya orang gagah dari dunia Kang-ouw yang telah
mengasingkan diri di sini?"

"Tidak perduli siapa adanya dia," kata si nona "Kita pergi saja kesana untuk menyaksikan
sendiri!"
Saat itu mereka lihat di depan pintu sebuah rumah penduduk, ada seorang tua sedang duduk
sembari menganyam sepatu rumput.
"Lopek, numpang tanya tempat ini disebut dusun apa?" tanya Kim Houw dengan laku sangat
sopan.
Orang itu dongakkan kepalanya, ia tidak menjawab ketika menampak Kim Houw dan Peng
Peng.
Mereka masih mengenakan pakaian dari Pek Liong po yang sangat mewah, ditambah lagi
dengan roman kedua muda-mudi itu yang tampan gagah dan cantik molek, membuat orang tua itu,
yang mungkin seumur hidupnya belum pernah menyaksikan laki-laki cakap dan perempuan cantik
demikian, telah dibikin kesima. Apalagi dengan munculnya mereka yang begitu mendadak,
dianggapnya sebagai dewa dan dewi yang turun dari kahyangan saja.
Kim Houw lihat orang tua terus memandang dengan mulut ternganga dan mata terbuka lebar,
lantas mengulangi pertanyaannya tadi.
Orang tua itu seolah-olah baru sadar dari mimpinya, buru-buru letakkan sepatu rumputnya dan
menjawab dengan gugup:
"Oh, di sini adalah Gu-kee-chun!"
Kim Houw mengerti bahwa penduduk dari dusun yang sepi seperti ini, kebanyakan tidak
bersekolah, maka lalu menanya pula:
"Tempat ini dengan kota mana yang letaknya paling dekat?"
Orang tua itu ketika berdiri, badannya ternyata masih kokoh kekar, kuat dan sehat. Tapi ketika
mendengar perkataan Kim Houw, agaknya merasa heran, jawabnya:
"Kota? Aku si orang tua belum pernah dengar nama itu, mungkin kau maksudkan adalah hari
pasaran! Di sini setiap tiga hari ada hari pasaran, keadaannya ramai sekali, barang apa saja bisa
kau beli. Ow, coba aku pikir-pikir dulu sebentar, hari ini tanggal sembilan, ya benar, besok giliran
hari pasarannya oey-pa, kalau begitu, aku besok saja pergi kesana. Aku si orang tua selama
beberapa puluh tahun cuma pergi ke hari pasaran itu dua kali saja, kini sudah lama belum pernah
pergi lagi, barang kali seumur hidupku ini sudah tidak mendapat kesempatan untuk pergi lagi!"
Orang tua itu nyerocos terus tidak berhentinya, tapi Kim Houw dan Peng Peng tidak mengerti
apa yang dimaksudkan olehnya. Nyata orang tua itu belum pernah pergi ke kota, maka namanya
saja belum pernah dengar.
Akhirnya Kim Houw menanya pula sambil menuding pada itu gedung dalam rimba.
"Lopek, gedung itu kediaman siapa? Bolehkah kami numpang menginap untuk satu malam
saja?"
Orang tua itu menampak Kim Houw menunjuk rumah gedung itu, wajahnya menunjukkan rasa
ketakutan. Kebetulan pada saat itu seorang pemuda tanggung telah pulang sembari membawa
sepikul kayu kering.

"Kalian pergi saja tanya sendiri, aku si orang tua masih hendak membikin kueh untuk dijual
oleh cucuku pada esok hari." jawabnya
Kim Houw mendengar jawaban itu, lantas pamitan kepada si orang tua dan berlalu menuju ke
gedung rimba itu bersama Peng Peng.
Hari sudah menjelang senja, matahari sore telah memancarkan sinarnya yang kuning keemasemasan,
menambah keindahan pemandangan alam disekitar rimba itu.
Kim Houw dan Peng Peng setelah memasuki rimba, berjalan belum beberapa lama, sudah
dapat dilihat sebuah gedung bertingkat dua, dikurung oleh dinding bambu yang tinggi. Karena
tingginya dinding bambu itu, tidak tampak bagaimana keadaan sebelah dalamnya.
Gedung bertingkat dua itu, dipandang dari jauh nampaknya sangat megah, tapi kalau dari
dekat keadaannya biasa saja. Hanya bagi matanya penduduk dusun itu, merupakan sebuah istana
mentereng.
Ketika mereka tiba di depan pintu dinding bambu, di atas pintu ada tergantung sebuah papan
yang bertuliskan empat huruf besar warna hitam : "HOAN IE KIE HEE"
Melihat empat huruf itu, Kim Houw terperanjat. Tapi Peng Peng sebaliknya telah tertawa
terpingkal-pingkal.
"Peng Peng mengapa kau tertawa?" tanya Kim Houw.
"Aku sedang merasa geli. Coba kau tengok hurufnya yang ditulis menggak-menggok tidak
karuan itu, serta maksudnya perkataan yang tidak kenal tingginya langit dan tebalnya bumi,
bukankah sudah cukup menandakan bahwa penghuninya rumah ini ada seorang yang pernah
menyelami keadaan dunia?"
Sekali lagi Kim Houw menegasi huruf-huruf yang tertulis di atas papan itu memang benar
seperti yang diucapkan oleh Peng Peng. Tapi Kim Houw berpikiran lain, ia menilai huruf-huruf
tulisan itu dari kacamatanya seorang dunia rimba persilatan!
"Peng Peng, mungkin tidak demikian." jawab Kim Houw.
"Kau tidak percaya? Coba kau diam saja, lihat bagaimana aku nanti bertindak, aku tanggung
kau akan dapat hidangan lezat dan tidur dengan senang, besok setelah kita bersantap pagi yang
lebih baik, baru kita melanjutkan perjalanan!"
Kim Houw merasa sangsi "Aku cuma mengharap kau setidaknya berlaku hati-hati saja."
"Ada kau, aku takut apa lagi?" si gadis tersenyum manja.
Kim Houw turut tersenyum. Memang bagaimana ia dapat membiarkan Peng Peng mengalami
kesulitan di hadapan matanya? Kalau Peng Peng berlaku berandalan, seharusnya ia yang harus
menjaganya dengan hati-hati
Suara orang berjalan telah terdengar dari dalam dinding bambu, Peng Peng melirik pada Kim
Houw.
"Kau hadapi dia dulu!" si nona berkata perlahan.

Pintu yang terbuat dari batang bambu besar telah terbuka, dari dalam muncul seorang anak
laki-laki tanggung kira-kira berusia lima belas tahun.
Anak itu pakaiannya sangat sederhana, badannya kurus kering, wajahnya pucat kuning, Kim
Houw mengira bahwa anak itu ada kacungnya penghuni rumah gedung tersebut, maka lantas
menanya:
"Numpang tanya apakah tuan majikanmu ada dirumah?"
Anak laki tadi sebetulnya karena mendengar suara ketawanya Peng Peng, baru keluar
membuka pintu, maka ketika pintu terbuka, apa yang dilihat hanya diri Peng Peng.
Baru saja ia unjuk senyumnya seperti monyet kena terasi, telah dikejutkan oleh pertanyaan
Kim Houw.
Ketika berpaling dan menampak Kim Houw, wajahnya lantas berubah menjadi kaku angkuh,
dengan suara ketus ia menjawab:
"Kita di sini tidak ada majikan, cuma ada Gwan-swee. Tay-ciangkun, kau hendak cari siapa?"
Kim Houw terperanjat. Kiranya itu adalah gedungnya gwanswee (jendral), kalau begitu tidak
boleh dibuat main-main, apalagi buat orang-orang kang ouw, ada merupakan pantangan bergaul
dengan orang orang berpangkat.
Tanpa banyak rewel lantas menarik tangannya Peng Peng buat diajak berlalu.
Anak itu menyaksikan keadaan demikian, nampaknya merasa puas. Kemudian gapaikan
tangannya seraya berseru: "Hai, balik!"
Kim Houw berhenti "Kita ada orang-orang yang kebetulan lewat di sini, kesalahan mencari
alamat orang, harap dimaafkan !" katanya.
Habis perkara, Kim Houw kembali tarik tangannya Peng Peng hendak berlalu lagi.
Mendadak mendengar suaranya laki-laki itu pula:
"Kalian tidak tergesa-gesa pergi, aku hendak beritahukan kepada kalian, bahwa aku juga
termasuk salah satu Tay-ciangkung (panglima perang) dari gedung gwanswee ini!"
Habis berkata, anak itu nampaknya sangat bangga. Sambil menolak pinggang, ia berjalan
keluar menghampiri tetamunya. Dianggapnya sikap itu ada sangat gagah perkasa, tapi sebetulnya
sangat menjemukan.
Kim Houw tercengang mendengar keterangan anak itu, ia lalu berpaling, ketika melihat aksinya
bocah itu hatinya merasa mendongkol berbareng merasa geli sendiri!
Kim Houw masih bisa tahan tidak sampai keluarkan ketawanya, tapi tidak demikian dengan
Peng Peng, ia lantas ketawa terpingkal pingkal!
Semula, ketika si nona dengar keterangan anak itu bahwa tempat itu ada gedungnya
gwanswee, ia juga terkejut, maka ketika Kim Houw ajak berlalu, ia terpaksa menurut.
Tapi kini, setelah menyaksikan kelakuannya anak laki-laki itu bukan main gelinya, maka lantas
tertawa sampai terpingkal-pingkal.

"Numpang tanya Ciangkun mendapat jabatan apa?" tanya Peng Peng sambil ketawa.
Anak laki itu menampak Peng Peng menanya padanya sembari ketawa manis, ia anggap
bahwa Peng Peng kagum padanya, maka dalam hati merasa lebih bangga. Setelah unjukkan
aksinya yang dibikin bikin, ia baru menjawab:
"Aku adalah Tin-koan Tay-ciangkun Hoan Tie!"
Peng Peng menyaksikan tingkah lakunya si bocah yang menggelikan, terus ketawa tak hentihentinya,
hingga hampir saja ia tidak dapat berdiri tegak. Sebab ia tahu bahwa perkataan "Tinkoan"
itu maksudnya jalan mengamankan kota, tapi untuk didalam gedung itu juga bisa diartikan
sebagai "Tukang jaga pintu".
"Ow, kiranya adalah Tin-koan Tay-ciangkun, aku numpang tanya, dimanakah golok besarmu?"
tanya Peng Peng menggoda.
Mendengar pertanyaan Peng Peng, anak itu mendadak ketawa besar.
"Haha! kau benar-benar pintar, tahu kalau aku ciangkun ada mempunyai golok segala. Harap
kau tunggu sebentar, aku ciangkun nanti ambilkan untuk kalian lihat!"
Anak itu yang menyebut dirinya Hoan Tie, tingkah lakunya memang sungguh menggelikan.
Ketika hendak berlalu, gerakannya juga dibikin-bikin seperti tingkah lakunya dalam ketentaraan.
Ia masuk belum lama, sudah balik lagi sembari membawa sebuah golok bergemerlapan.
Mungkin golok itu ia letakkan tidak jauh di belakang pintu.
Golok itu nampaknya besar dan berat, kalau mau diputar, orang setidaknya harus mempunyai
kekuatan tenaga yang cukup besar, baru golok itu bisa bergerak!
Tapi, anak itu hanya tenteng dengan sebelah tangannya, nampaknya tidak merasa keberatan
sama sekali, bahkan ia dapat putar dengan seenaknya saja.
Peng Peng tadi ketika menanyakan golok padanya, tidak menduga kalau anak she Hoan itu
benar-benar ada mempunyai golok. Ia sebetulnya menanya secara iseng-iseng saja, yang
maksudnya hendak menggoda.
Di luar dugaannya, Hoan Tie benar-benar ada mempunyai golok besar, bahkan nampaknya
begitu berat dan tajam, sehingga Peng Peng hampir lompat karena kagetnya. Ini benar-benar
sangat mengherankan, karena bocah kurus kering demikian rupa ternyata mempunyai kekuatan
begitu besar.
Hoan Tie menyaksikan Peng Peng terheran-heran dalam hati merasa lebih bangga lagi.
"Golok besar ini ada peninggalan seorang jendral besar dari jaman dulu, beratnya 55 kati. Aku
setelah mendapatkan golok pusaka ini, benar-benar sangat memalukan, karena belum pernah aku
gunakan!"
Peng Peng kini tidak berani menggoda lagi. Pikirnya keluarga dalam rumah gedung ini
agaknya sangat misterius.
Peng Peng melirik dan lihat Kim Houw unjuk senyumnya yang mengandung arti, hingga diamdiam
ia merasa heran.

Hoan Tie tiba-tiba mainkan goloknya yang mengeluarkan sinar gemerlapan. Nampaknya ia
enak saja memainkan goloknya, seolah-olah tidak mengeluarkan tenaga.
Peng Peng bertambah heran, selagi hendak bicara mendadak mendengar Kim Houw berkata:
"Jangan kena dibodohi lagi adikku yang manis, kau ambillah dan coba sendiri, segera kamu
akan mengerti duduknya perkara!"
Suara Kim Houw itu seperti di pinggir telinganya, Peng Peng mengira Kim Houw berada di
belakang dirinya, tapi ketika ia berpaling, ternyata anak muda itu tidak ada sampingnya, tampak
masih berdiri di tempatnya semula, sedikitpun tidak bergerak.
Pada saat itu, Hoan Tie sudah hentikan permainan goloknya, wajahnya kelihatan pucat, dan
napasnya memburu.
Untuk kepentingan meminta menginap, Peng Peng tidak mau banyak bicara, ia lantas maju
dan berkata pula kepada Hoan Tie:
"Hoan Tay ciangkun, kita kakak beradik malam ini ingin numpang menginap di gedung
gwanswee ini, entah boleh atau tidak? Karena hari sudah hampir malam, masih jauh terpisahnya
dari kota...."
Hoan Tie nampaknya sangat girang, jawabnya berulang-ulang sambil ketawa:
"Ow, boleh saja, boleh..."
"Tapi, apakah gwanswee juga tidak keberatan?" tanya Peng Peng.
"Mengapa keberatan? Gwanswee adalah ayah ciangkun sendiri"
"Kiranya ciangkun ada keturunan jendral besar, di kemudian hari Hoan Ciangkun tentunya bisa
melanjutkan kewajiban gwanswee!" kata Peng Peng dengan maksud menggoda.
Hoan Tie ketawa bergelak-gelak tidak berkata apa-apa lagi. Kemudian ajak kedua tetamunya
yang masuk ke dalam gedungnya.
Baru saja hendak melangkah pintu, lantas terdengar suara trang seperti benda besi kosong
yang jatuh di tanah. Ketika Peng Peng menengok, benda jatuh itu bukan apa-apa, melainkan
goloknya Hoan Tie yang baru saja diletakkan di belakang pintu.
Saat itu Peng Peng baru mengerti bahwa goloknya Hoan Tie itu ternyata dalamnya kosong
sudah tentu beratnya tidak ada lima puluh lima kati
Peng Peng juga tidak menduga, bahwa pada saat itu Kim Houw sudah berlaku jail baru saja
Hoan Tie letakkan goloknya, Kim Houw lantas meniup dengan keras ke arah golok.
Suatu hal aneh telah terjadi, golok itu lantas telah melesak, ternyata ia cuma terbikin dari besi
yang sangat tipis.
Melihat itu, Peng Peng lantas ketawa geli lagi tidak henti-hentinya.
Hoan Tie mengira Peng Peng sangat kagumi gedungnya, mulutnya nyerocos sambil menunjuk
kesana kemari:

"Ini adalah ruangan berlatih silatnya gwanswee, di belakang sana ada ruangan Ceng-see Tayciangkun,
di atas loteng adalah kamar tidurnya Ceng-tang Tay-ciangkun, di loteng belakang
adalah tempat tidur Ciangkun sendiri masih ada dua baris rumah adalah untuk tempat tentara
gedung gwanswee........"
Bicara sampai di sini, Hoan Tie sudah ajak Kim Houw dan Peng Peng memasuki ruangan
latihan silat. Saat itu, keadaan sudah mulai gelap oleh karena ruangan itu tidak ada
penerangannya maka keadaannya juga gelap gulita.
Tiba-tiba Hpan Tie berkata dengan suara nyaring:
"Memberi tahu kepada gwanswee, di sini ada tetamu yang ingin mengunjungi gwanswee!"
Dari dalam ruangan terdengar suara barang bergerak, mendadak ada benda gemerlapan.
Peng Peng tidak dapat lihat itu semua kejadian, tapi Kim Houw dapat menyaksikan dengan tegas.
Benda-benda yang gemerlapan ternyata ada sinar yang dipancarkan oleh senjata-senjata yang
diletakkan di tempatnya.
Agaknya semua telah selesai, dua batang obor mendadak dinyalakan, kemudian disusul dua
batang lagi, empat batang obor itu ditancapkan di dinding empat penjuru, hingga ruangan itu
keadaannya terang benderang!
Ditengah-tengah ruangan ada sebuah kursi kebesaran, diatasnya ada duduk seorang tua yang
sama kurusnya dengan Hoan Ciangkun.
Cuma, pakaian yang dipakai di badannya memang mirip dengan pakaian goanswe, sayang
sudah begitu dekil mesum karena sudah terlalu tua usianya.
Dikedua sampingnya goanswe, ada berdiri dua laki-laki setengah tua, mereka berdandan
seperti pelajar, pakaiannya nampak sudah banyak tambalan atau lobangnya.
Yang lebih aneh ialah wajah setiap orang hampir semuanya pucat kuning, tidak ada darahnya.
(Bersambung ke Jilid 21)
Jilid 21
HOAN CIANGKUN yang masuk ke dalam ruangan lebih dulu, begitu memasuki ruangan, ia
lantas melakukan upacara pemberian hormat menurut jaman dulu kalau menghadap Jendralnya,
kemudian berkata :
"Tin-koan Tay-ciangkun menghadap kepada Tay-gwanswee!"
Orang tua itu sedikitpun tidak mengunjukkan perubahan apa-apa pada wajahnya, sambil
lambaikan tangannya ia menyahut :
"Tidak perlu menggunakan upacara, duduk saja di sebelah!"
Hoan ciangkun itu kembali memberi hormat, baru berdiri.
Kim Houw dan Peng Peng pada merasa geli. Tempat itu tokh bukan panggung komedi, dan
apa yang mereka mainkan itu ? Apakah yang ditunjukkan kepada mereka ? Sungguh lucu.
Mendadak dengar Hoan Ciangkun berkata :

"Silahkan jiwie menjumpai gwanswee!"
"Gwanswee, selamat berjumpa!" berkata Kim Houw sambil menyoja.
Sebaliknya bagi Peng Peng, ia tidak mau menjumpai atau memberi hormat, hanya langaklongok
kesana kemari, sejenak ia melihat-lihat senjata-senjata yang di letakkan di atas rak,
pikirnya : mungkinkah semua senjata ini sama dengan goloknya Hoan ciangkun ?
Orang tua itu menampak Peng Peng tidak memberi hormat padanya, matanya mengawasi si
nona.
Kim Houw rupanya mengerti, maka buru-buru ia mintakan maaf sambil berkata.
"Ganswee, dia adalah adikku, karena usianya masih terlalu muda, muka tidak mengerti
urusan, harap supaya gwanswee memberi maaf banyak-banyak."
Orang tua itu sebenarnya sangat mendongkol, tapi karena Kim Houw berlaku hormat padanya,
dalam hati merasa girang, lantas berkata kepada Hoan Ciangkun.
"Kita telah kedatangan tetamu agung, segera titahkan kepada tukang masak, supaya
menyediakan hidangan yang baik."
Mendengar perintah itu, Hoan-ciangkun sangat girang, "Baik!" begitu jawabnya dan lantas lari
tersipu-sipu masuk ke dapur.
Kim Houw mendengar hendak disediakan hidangan yang baik, dalam hati merasa tidak enak.
Tapi Peng Peng saat itu masih menggoda padanya sambil unjukkan tingkah lakunya yang sangat
jenaka.
Tiba-tiba, sang gwanswee berdiri dan berkata kepada kedua tetamunya:
"Jiwie silahkan duduk di sini!"
Kim Houw mengikuti tangannya gwanswee, apa yang ditunjuknya ternyata ada beberapa buah
kursi yang terbikin dari tanah liat, hingga dalam hati merasa heran.
Dibagian lain masih ada sebaris kursi dan meja yang terbikin dari kayu, mengapa tidak suruh
orang duduk disana, sebaliknya disuruh duduk di atas kursi tanah liat?
Tiba-tiba ia dengar suaranya gwanswee berkata pula: "Kursi meja di sana itu adalah
peninggalan ayah almarhum. Sejak dibikin, karena takut nanti rusak, maka belum pernah diduduki
oleh manusia. Oleh karena goanswee hendak mentaati pesan ayah, maka tidak berani ajak tetamu
duduk di sana, harap minta dimaafkan!"
"Gwanswee terlalu merendah, orang yang keluar pintu tidak memperdulikan segala begituan,
semua sama saja!" jawab Kim Houw.
Tidak demikian dengan Peng Peng, ia suka kebersihan, bagaimana mau duduk diatas bangku
tanah liat ?
Setindak demi setindak ia menggeser ke sebelah kanan.
Gwanswee dan Kim Houw sudah pada duduk di atas bangku tanah, ketika melihat Peng Peng
geser badannya ke kanan, gwanswee itu mendadak berbangkit, sepasang matanya melotot dan
wajahnya pucat pasi, agaknya sedang gusar.

Kim Houw yang menyaksikan perubahan itu, baru saja hendak memanggil Peng Peng, tibatiba
sudah dengar suara jeritan si nona.
"Aiya engko Houw! ada setan! ada setan!"
Berbareng dengan itu lalu disusul oleh suara pecah dan rubuhnya kursi yang tadinya masih
utuh, tapi kini sudah hancur berarakan.
Semua terkejut ketika dengar suara seruan Peng Peng, Kim Houw juga tidak terkecuali, tapi ia
ini kemudian menampak Peng Peng berseru sembari menuding kesana kemari, segera
mengetahui kalau Peng Peng sedang main gila, maka Kim Houw tidak mau meladeni!
Tapi, gwanswee dan kedua orangnya, ketika mendengar suara ada setan, bukan kepalang
kaget dan takutnya!
Dengan wajah pucat sang jenderal menanya kepada Peng Peng dimana adanya setan.
Kembali Peng Peng menunjuk kesana kemari sambil berseru tidak hentinya. Apa yang
mengherankan, setiap kali Peng Peng menunjuk kursi atau meja yang ditunjuk lantas hancur
berarakan, hingga sebentar saja semua kursi berikut mejanya sudah hancur semuanya, dan
akhirnya kursi kebesarannya gwanswee juga turut dibikin hancur!
Memang betul itu ada perbuatannya Peng Peng. Karena sejak ia dapat pelajaran dari Kim
Houw, diam-diam suka menguji kekuatan tenaga lwekangnya kepada pohon-pohon di sepanjang
jalan, dan kali ini dilakukan terhadap meja kursinya si gwanswee, sehingga membuat gwanswee
itu percaya benar-benar ada perbuatannya setan.
Akhirnya setelah semua kursi sudah hancur Peng Peng lalu berlagak berseru:
"Aaaa! setannya sekarang lari ke ruangan belakang. Engko Houw, bukankah kau pandai
menangkap setan? Lekas, bantu gwanswee pasti akan memberi pangkat padamu !"
Gwanswee itu mendengar perkataan Peng Peng, buru-buru minta kepada Kim Houw supaya
segera mengusir itu setan-setan.
Menyaksikan keadaannya sang gwanswee, Kim Houw juga merasa geli hatinya.
"Gwanswee, setan beginian tidak akan mengganggu orang. Tidak usah kita usir, dia bisa pergi
sendiri !" demikian ia menghibur.
Tapi gwanswee itu tetap meminta supaya Kim Houw mengusir setan-setan itu, sebab semua
kursi dan meja yang disediakan itu katanya akan dibawa ke akherat kalau ia nanti pulang ke alam
baka.
Menyaksikan keadaannya yang menyedihkan maka Kim Houw lantas terima baik
permintaannya.
Oleh karena ia sudah menyanggupi hendak menangkap setan-setan itu, terpaksa ia harus
berlagak seperti caranya dukun-dukun yang mengusir atau menangkap setan. Ia pejamkan
matanya, mulutnya kemak-kemik, dan akhirnya membentak dengan suara keras.

Apa yang mengherankan, pada saat itu tiba-tiba terbit angin besar, sampai obor-obor di empat
penjuru pada bergoyang-goyang. Perubahan yang mendadak datangnya itu benar-benar membuat
Kim Houw yang sedang berlagak menjadi orang sakti juga merasa heran.
Bagi Kim Houw, sudah tentu tidak percaya adanya setan, ia lebih percaya ada perbuatan
orang yang berkepandaian tinggi. Maka, buru-buru ia menarik kembali kelakuannya secara purapura
tadi, untuk menjaga segala kemungkinan.
Diluar dugaan, setelah angin ribut itu buyar, Kim Houw tidak melihat adanya perobahan, sedikit
suarapun tidak kedengaran lagi. Diam-diam ia merasa heran.
Mendadak ia ingat Peng Peng, yang pada saat itu tidak kedengaran suara. Ia menengok ke
arahnya, ternyata nona itu masih berada di tempatnya semula, bahkan wajahnya mengunjukkan
ketawa yang mengandung teka-teki.
Melihat ketawanya Peng Peng, Kim Houw lalu mengerti, semuanya itu tentu ada perbuatannya
Peng Peng pula.
Kim Houw melototi Peng Peng, maksudnya supaya si nona jangan berbuat keterlaluan.
Di luar dugaan, Peng Peng bahkan mengawasi secara nakal sekali.
Kim Houw tidak berdaya, terpaksa berkata kepada si gwanswee, yang saat itu sudah
ketakutan setengah mati.
"Gwanswee, setan sudah pergi, gwanswee boleh tenangkan diri."
Karena bantuannya angin tadi, orang-orang yang semula tidak percaya adanya setan,
terpaksa harus percaya juga, apalagi si jendral sendiri menjadi kegirangan mendengar keterangan
Kim Houw bahwa sang setan sudah di usir pergi.
"Apa hidangan sudah siap semuanya ? Buka arak Hoa-tiaw yang kusimpan lama itu !" serunya
pada orang-orangnya.
Arak Hoa-tiaw ada semacam arak yang namanya sangat terkenal di daerah Ciat-kang.
Menurut kebiasaan di daerah tersebut, penduduk yang melahirkan anak perempuan, harus
membuat beberapa guci arak yang disimpan dalam tanah. Kalau anak perempuan itu nanti sudah
dewasa dan menikah, arak yang disimpan dalam tanah itu baru digali keluar untuk menyuguhi
para tetamunya. Maka arak itu juga ada yang menamakan arak anak perempuan. Warnanya
merah, kalau lebih merah rasanya lebih enak.
Kim Houw yang seumur hidupnya belum minum arak, betapapun enaknya arak itu, baginya
tidak berarti.
Tapi, tidak demikian dengan Peng Peng. Ia yang dilahirkan dari penduduk daerah sungai
Tiang-kang dan dari keturunan keluarga yang doyan minum, maka sejak kanak-kanak sudah biasa
ia minum arak. Bahkan ia dapat membedakan mana arak yang jelek dan arak yang baik.
Sejak keluar mengembara, jarang sekali ia minum arak. Hari ini mendengar ada arak Hoa-tiaw
yang terkenal, sudah tentu hatinya merasa girang. Ia jadi menyesal bahwa perbuatannya tadi agak
keterlaluan terhadap tuan rumah.
"Gwanswee tidak perlu banyak berabe, aku dan adikku selamanya belum pernah minum
arak......" mendadak Kim Houw berkata.

"Benar-benar ada arak Hoa-tiaw yang telah kusimpan sudah beberapa puluh tahun lamanya,
sungguh sayang sekali kalau tidak kita minum. Arak itu tawar tapi wangi, tuan nanti kalau sudah
coba tentu tahu sendiri." Tuan rumah berkata dan tertawa tergelak-gelak.
Kim Houw menolak, sebab memang ia tidak biasa minum arak.
"Siapa kata aku tidak bisa minum arak?" Peng Peng nyeletuk. "Aku paling gemar minuman
arak!"
Kim Houw tercengang, tapi tidak bisa berbuat apa-apa.
Hoan ciangkun mendadak keluar dari dalam, ia memberi hormat kepada gwanswee seraya
berkata :
"Gwanswee, Ceng-tang dan Ceng-see Jiwie Ciangkun, mendengar kabar gwanswee hendak
mengadakan perjamuan, mereka sekarang berada di luar ingin menjumpai gwanswee. Apakah
gwanswee bersedia menemui mereka?"
Gwanswee itu kerutkan keningnya, ia memandang Kim houw sejenak.
"Baik, suruh mereka masuk ! Cuma, kau harus kasih tahu kepada mereka, bahwa mereka
hanya diperbolehkan mengawani, tapi tidak boleh banyak bicara !"
"Baiklah!" Hoan ciangkun lantas berlalu.
Tidak antara lama, dari luar telah masuk dua laki-laki yang wajah dan potongan badannya
mirip sekali dengan gwanswee dan Hoan ciangkun, hingga tidak perlu disangsikan lagi kedua
ciangkun itu tentunya juga anaknya gwanswee, atau saudaranya Hoan ciangkun.
Dandanan mereka juga sama dengan Hoan ciangkun, meski tidak begitu mentereng seperti
gwanswee, tapi yang satu membawa gendewa komplit dengan anak panahnya, sedang yang lain
ada membawa pedang panjang.
Peng Peng yang menyaksikan keadaan mereka, diam-diam berpikir, kalian tokh hendak
makan, bukannya pergi ke medan perang, mengapa membawa gendewa dan pedang ?
Kedua ciangkun itu tiba dalam ruangan lantas melakukan upacara penghormatan kepada
gwansweenya. Betul seperti apa yang dipesan oleh gwanswee tadi, mereka tidak berani membuka
mulut sama sekali, sampai bernapas saja rasanya juga merasa kuatir.
Kedua ciangkun itu setelah memberi hormat, lantas berdiri dengan tegak di sisi gwanswee.
Pada saat itu, Hoan ciangkun telah memberi tahukan bahwa hidangan telah siap.
Gwanswee lantas mempersilahkan Kim Houw dan Peng Peng masuk, tapi belum mereka
gerakkan kakinya, si gwanswee sudah mendahului jalan memasuki keruangan makan.
Kim Houw merasa geli, tapi mulutnya tidak berkata apa-apa.
Sebaliknya bagi Peng Peng, ia sangat mendongkol melihat sikap gwanswee itu. Kembali
timbul jailnya, dengan satu gerakan kaki, ia telah bikin gwanswee itu terjatuh.

Karena Peng Peng lakukan itu sangat gesit. Kecuali Kim Houw yang dapat tahu, yang lainnya
termasuk gwanswee sendiri tidak tahu kalau itu ada perbuatannya Peng Peng.
Ketika gwanswee terjatuh, Peng Peng lalu tarik tangannya Kim Houw, lebih dulu masuk
keruangan belakang.
Tapi baru saja tiba di depan pintu, Peng Peng dan Kim Houw telah dibikin silau oleh
pemandangan di depan matanya.
Apa yang mereka saksikan ternyata ada di luar dugaannya.
Dalam ruang belakang itu ada terdapat dua buah lemari besar, yang sekitarnya diperlengkapi
dengan kaca, hingga semua isinya dalam lemari bisa dilihat dengan nyata. Barang-barang yang
ada didalam lemari itu ternyata merupakan seperangkat perabot makan komplit, semua terbikin
dari barang-barang yang mahal.
Sumpit yang terbikin dari emas, perak atau gading gajah. Mangkok, piring dan cawan yang
terbikin dari batu kumala, dengan ukiran-ukirannya yang sangat menarik. Pendek kata, semua
barang dalam lemari itu terdiri dari barang-barang yang sangat berharga, kecuali didalam istana,
buat rumah tangga biasa barangkali sukar didapatkan.
Apa yang paling menarik ialah sebuah lampu istana yang terbikin dari batu karang berwarna
warni, lampu itu tingginya ada tiga kaki.
Meski Kim Houw sudah banyak lihat barang-barang pusaka berharga, tapi barang-barang
berharga dengan buatan tangan yang begitu halus bentuknya, baru kali ini ia lihat.
Selagi mereka masih terheran-heran mengawasi barang-barang dalam lemari, sang gwanswee
tahu-tahu sudah berada di belakang mereka. Lalu menyilahkan kedua tetamunya itu masuk.
Kali ini ia tidak jalan lebih dulu, setelah Peng Peng dan Kim Houw berjalan, baru ia mengikuti
di belakangnya.
Didalam ruangan belakang, ternyata tidak kelihatan ada persediaan barang hidangan apa-apa.
Kecuali itu dua lemari besar, sepotong meja atau kursipun tidak kelihatan. Hanya ditengah-tengah
ruangan, ada sebuah meja batu hijau, di atas mana ada beberapa cawan dan sumpit, yang
semuanya terbikin dari bahan bambu kasar.
Menyaksikan keadaan demikian, Kim Houw benar-benar dibikin tidak mengerti.
Tapi, tidak demikian dengan Peng Peng, tanpa banyak rewel, ia lantas duduk numprah di
pinggir meja.
Kim Houw menduga Peng Peng hendak main gila lagi, buru-buru duduk didekatnya, dengan
perlahan ia menyenggol dengan sikutnya, tapi nona itu tidak perdulikan sikapnya Kim Houw itu.
Sebentar kemudian, hidangan sudah dikeluarkan. Mangkok piringnya ternyata terdiri dari
bahan tanah yang amat kasar. Tapi Kim Houw dan Peng Peng tidak perdulikan itu semua, karena
perutnya sudah lama keroncongan.
Peng Peng yang gemar makan ikan laut, ketika melihat seekor ikan besar di atas piring,
rasanya mengiler dan sudah kepingin menyambar saja.
Sayang tuan rumah masih belum bergerak, sebagai tetamu, biar bagaimana laparnya, juga
tidak pantas memulai lebih dulu.

Akhirnya setelah semua hidangan dikeluarkan, sang gwanswee baru perintahkan orangnya
supaya membuka guci arak.
Mendengar akan disediakan arak, Peng Peng sangat girang, sayang cawannya sangat kasar,
mungkin sukar untuk dipakai minum dengan gembira.
Sumbat guci dibuka sendiri oleh gwanswee, lalu mengendus-endus sekian lamanya sambil
pejamkan matanya, mulutnya terus mengoceh : "Aduh wangi betul!"
Tiga ciangkun yang pada berdiri disampingnya, rupanya juga mencium bau wangi, semua
pada mengunjukkan sikap seperti orang yang sudah ketagihan.
Tapi Peng Peng sedikitpun tidak dapat merasakan baunya arak wangi itu. Dengan alis
mengkerut, pikirannya mulai diliputi perasaan berbagai kecurigaan.
Akhirnya, arak mulai dituangkan kepada tiap cawan di hadapan para tetamunya. Arak itu
warnanya merah seperti darah, Peng Peng yang kenal banyak arak, dalam hati diam-diam juga
merasa girang.
Sang gwanswee lalu ajak semua orang minum, ketiga ciangkun itu nampaknya yang paling
tidak sabaran, sebentar saja arak dicawan mereka sudah ditenggak habis.
Kim Houw tidak minum arak, ia hanya angkat cawannya saja, tapi tidak diminum.
Peng Peng ada sebaliknya, melihat warnanya yang bagus, dan menyaksikan ketiga ciangkun
sudah pada tenggak habis, ia juga tanpa ragu-ragu lagi lantas tenggak araknya.
Di luar dugaan, arak itu begitu turun di tenggorokan, Peng Peng lantas berobah wajahnya !
Kim Houw kaget melihat keadaan demikian. Tapi, ia masih belum menduga jelek, sebab arak
itu diambil dari guci, jika ada apa-apanya, masa yang lainnya tidak memperlihatkan perobahannya
?
Mendadak Peng Peng balikkan badannya, arak yang barusan diminum dimuntahkan
semuanya !
"Peng Peng, kau kenapa ?" tanya Kim Houw kuatir.
"Tidak apa-apa." jawabnya sambil tersenyum.
"Sayang !" terdengar suaranya gwanswee.
Peng Peng matanya melotot, alisnya berdiri, hingga si gwanswee ketakutan setengah mati,
mengapa Peng Peng keluarkan lagi araknya yang diminum ? Mengapa nona itu begitu gusar ?
Apa arak itu ada racunnya ?
Bukan !
Ternyata arak itu bukannya arak. Bukan saja tidak ada bau dan rasanya arak, tapi bau dan
rasanya sangat amis. Untung Peng Peng perutnya sedang kosong, kalau tidak, mungkin semua isi
dalam perutnya ikut keluar semua.

Menampak Peng Peng gusar, gwanswee dengan ketakutan minta maaf atas kesalahannya.
Kemudian ajak mereka makan.
Tiga ciangkun dengar sudah mulai makan segera menyerbu paling dulu, sebentar saja semua
hidangan yang dekat di depan matanya bahkan yang agak jauhan telah disikat habis.
Gwanswee yang tampaknya paling sopan ia dahar dengan tenang, tidak begitu rakus seperti
ciangkunnya.
Kim Houw menampak semua orang sudah mulai, terpaksa angkat sumpitnya, ambil serupa
sayur dimasukkan kedalam mulutnya.
Ia sendiri juga tidak tahu itu ada sayur apa, tapi begitu masuk mulut, rasanya sangat tawar,
tidak manis dan tidak asin!
Untuk mengindahi tuan rumahnya, Kim Houw merasa kurang sopan kalau makanan itu
dikeluarkan lagi dari mulutnya. Ia coba kunyah, tapi sayur itu ternyata alot sekali, tidak dapat
dikunyah hancur.
Selagi Kim Houw masih merasa serba salah, Peng Peng angkat sumpitnya, Kim Houw
mengira ia juga hendak ambil sayur itu, buru-buru ia tarik bajunya.
Peng Peng merasakan itu, tapi ia pura-pura tidak berasa, hingga Kim Houw diam-diam
mengeluh sendiri.
Tapi Peng Peng ternyata menyumpit ikan, hingga Kim Houw merasa lega, buru-buru balikkan
dirinya dan keluarkan sayur yang berada didalam mulutnya.
Mendadak ia dengar piring pecah, ternyata itu ada piring tempat ikan yang sudah pecah
berarakan, sedang ikannya sudah ditusuk oleh sumpit Peng Peng.
Peng Peng nampaknya sangat geli, ia terus ketawa tidak hentinya, hingga Kim Houw merasa
heran.
"Engko Houw, kau lihat ini yang sering dipakai oleh hwesio!"
Kim Houw tercengang. Apa yang sering dipakai oleh Hwesio? Ketika ia menegasi, ikan yang
ditusuk oleh sumpitnya itu ternyata bukan ikan benar, tapi ada ikan kayu.
Kim Houw turut ketawa terpingkal pingkal.
Pada saat itu, mendadak terdengar suara kuda berbenger nyaring sekali. Kim Houw agaknya
sudah kenal betul suara kuda itu, lantas hentikan ketawanya dan pasang telinganya dengan
seksama.
Kuda itu rupanya tahu kalau ada orang memperhatikan padanya, kembali perdengarkan
suaranya yang amat nyaring!
Kali ini suara itu dapat didengar lebih nyata, Kim Houw tidak bersangsi lagi ia lalu lompat
bangun dan berkata kepada Peng Peng.
"Itu suaranya Tie-kie......"

"Engko siapa dia....?" tanya Peng Peng sambil tarik tangannya Kim Houw.
Kim Houw ingat majikannya kuda itu, ia kuatirkan Peng Peng tidak memahami dirinya, maka
lantas menjawab: "Itu adalah kuda tunggangannya salah satu sahabatku, entah apa sebabnya
bisa datang kemari? Kau di sini tunggu sebentar aku akan pergi lihat."
Peng Peng tahu bahwa Kim Houw tidak akan tinggalkan padanya, apalagi di sini juga tidak ada
ancaman bahaya apa-apa, maka lalu menyahut: "Pergilah, tapi lekas kembali! Aku tunggu kau
makan bersama-sama."
Kim Houw tersenyum, lalu gerakan badannya, sekejap saja sudah menghilang dari depan
Peng Peng.
Gwanswee tua dan ketiga ciangkun yang menyaksikan gerakan Kim Houw sudah menghilang
begitu cepat, semua pada kaget dan terheran-heran.
Peng Peng nampaknya sangat puas sambil ketawa dingin ia berkata kepada mereka:
"Kalian tahu siapa dia? Dia adalah satu pendekar jelmaan binatang macan putih dari
kahyangan. Kalau begitu menghina kita apakah kalian masih pikir bisa pertahankan jiwamu lebih
lama lagi?"
"Aaaa! nona tentunya juga dewi dari kahyangan yang menjelma jadi manusia. Ini.... bagaimana
baiknya? Dalam gedung kita ini kecuali itu rebung-rebung kering, yang dapat digunakan untuk
menjamu para tetamu kita, sudah tidak ada lain barang yang bisa disuguhkan." jawab sang
gwanswee sambil menggigil.
"Hm, kalian mempermainkan kita setengah harian, sudah tentu kita tidak bisa memberi ampun
secara mudah! Malam ini kalau kau dapat sediakan hidangan untuk kita, yah sudah, tapi kalau
tidak, hati-hati dengan batok kepalamu !"
Ucapan Peng Peng itu hanya sebagai gertakan saja, sudah tentu ia tidak akan buktikan.
Tidak nyana Gwanswee tua itu telah anggap benar-benar dengan suara setengah meratap ia
menjawab:
"Nona, sekalipun kau binasakan jiwa kita serumah tangga, juga tidak bisa dapatkan sedikitpun
barang makanan."
Peng Peng yang mendapat jawaban begitu sungguh-sungguh hampir saja percaya
omongannya. Selagi hendak berlalu untuk mencari Kim Houw, hidungnya tiba-tiba mencium bau
binatang piaraan.
Ia masih belum tahu binatang piaraan apa yang dipiara oleh gwanswee tua itu, tapi dalam
hatinya berpikir: biarlah aku cari tahu dulu.
Tanpa banyak bicara, dengan meniru caranya Kim Houw, sebentar kemudian ia sudah lompat
keluar.
Tiba di pekarangan belakang ia mencari ubek-ubekan, tapi tidak menemukan piaraan apa-apa.
Ia masih anggap karena perutnya lapar, maka hidungnya juga kesalahan mencium bau.
Mendadak sebuah batu kecil melayang turun dari atas rumah.

Peng Peng mengira Kim Houw yang sudah balik pulang, maka lantas lompat melesat ke atas,
tapi baru saja tancap kakinya segera mendapat cium bau piaraan ayam. Ia menjadi girang, dengan
cepat mendorong pintu kamarnya.
Ketika pintu terbuka, hampir saja Peng Peng lompat karena kagetnya. Ruangan kamar yang
sangat luas itu, ternyata penuh dengan isinya ayam hidup, besar kecil entah berapa ratus ekor
banyaknya.
Peng Peng tidak perdulikan lagi, dengan cepat ia lompat masuk dan menangkap dua ekor.
Sungguh aneh, ayam-ayam itu semuanya seperti gagu tidak bersuara atau terbang lari.
Setelah menangkap ayam, Peng Peng balik lagi ke dapur, tapi di dapur ternyata kosong tidak
ada barang seorangpun. Selagi dalam keadaan tidak berdaya, mendadak lihat Hoan ciangkun
muncul di depan pintu.
"Nona aku datang hendak membantu kau tapi kau harus bagi aku sedikit, sepotong cakar saja
sudah cukup. Tadi kalau aku tidak melemparkan batu, kau juga tidak bisa menemukan dimana
adanya ayam ini, tambah lagi sepotong sayapnya barangkali nona juga tidak keberatan! Andaikata
aku bantu kau memotong dan memasak ayam ini, bolehlah bagi lagi kepalanya. Lagi pula, jika aku
Hoan ciangkun tidak antarkan masuk kemari, kau tentunya tidak dapat makan daging ayam, untuk
jasa-jasa itu, rasanya nona perlu membagi sedikit lagi......" katanya Hoan ciangkun dengan wajah
cengar cengir.
"Baik, baiklah! Tak usah kau banyak bicara aku nanti tangkapkan seekor lagi untuk kau. Tapi
kau harus masakkan untuk aku, kalau salah hati-hati dengan kepalamu!"
Hoan ciangkun bukan main girangnya, ia lantas turun tangan memotong ayam.
Peng Peng benar saja menangkapkan satu ekor lagi untuk Hoan ciangkun, tapi ia paksa
padanya supaya masakkan dulu untuk dirinya, seekor dipanggang, seekor lagi direbus, Belum ada
setengah jam, dua ekor ayam sudah matang semua.
Mendadak di luar dapur terdengar suara orang memanggil "Peng Peng! Peng Peng!" tidak
henti-hentinya.
Peng Peng tahu bahwa Kim Houw sudah balik kembali, maka lalu berkata kepada Hoan
ciangkun: "Hoan ciangkun, kau keluar sebentar!"
Hoan ciangkun dapat cium baunya ayam matang yang wangi sekali, sudah kepingin makan
saja. Ketika mendengar perintah Peng Peng terpaksa ia menurut. Peng Peng juga menyusul
keluar.
Hoan ciangkun menyaksikan Peng Peng keluar dengan tangan kosong, diam-diam merasa
girang dan segera balik kembali ke dapur.
Ia bongkar-bongkar seluruh dapur, tapi ia tidak dapat menemukan dua ekor ayam yang
barusan sudah matang.
Peng Peng keluar dari dapur, dari jauh sudah dapat lihat Kim Houw berdiri di dalam ruangan,
tengah memondong seorang wanita berbaju hijau. Mulutnya tidak henti-hentinya memanggil Peng
Peng, tapi Peng Peng merasa cemburu, hatinya merasa tidak enak.

Peng Peng sengaja berjalan seenaknya. Ketika Kim Houw menampak padanya, lantas lompat
menghampiri dan menegur :
"Peng Peng, kau mengapa? Aku panggil kau sekian lama, mengapa tidak menyahut ? Kau
tidak tahu betapa cemas perasaanku ?"
"Perlu apa tergesa-gesa, sabar sedikit apa tidak boleh ?" jawab Peng Peng tenang.
Kim Houw rupanya dapat mengendus bau asam, tapi untuk kepentingan menolong jiwa orang,
ia sudah tidak mempunyai waktu untuk menjelaskan duduknya perkara kepada Peng Peng, maka
lantas berkata pula :
"Peng Peng, menolong jiwa orang ada sangat penting, mengapa sampai saat ini kau masih
memain ?"
Tapi Peng Peng sedikitpun tidak berobah sikapnya, ia masih menjawab dengan dingin:
"Menolong jiwa orang ? Siapakah yang harus ditolong ? Jiwa sahabatmukah ? Nampaknya
kau begitu cemas. Pantas begitu masuk rumah, kau masih pondong padanya begitu erat, agaknya
berat melepaskan !"
Kim Houw mengerti bahwa Peng Peng benar-benar sudah cemburuan.
"Peng Peng, kau jangan main-main lagi! Kau coba lihat, di sini mana ada tempat yang cukup
untuk memeriksa orang sakit ? Dia kini sedang sakit keras !"
Tapi Peng Peng rupa-rupanya masih belum mau mengerti.
"Peng Peng aku terpaksa harus minta bantuanmu, karena kalian sama-sama wanita, tidak
perlu malu-malu. Aku dengan dia, biar bagaimana tokh merasa kikuk, apakah kau benar-benar
tidak mau membantu ?" tanya pula Kim Houw.
Mendengar keterangan Kim Houw, Peng Peng hatinya merasa lega. Diantara mereka masih
ada mempunyai perasaan kikuk, kalau begitu hubungan mereka masih belum terlalu akrab.
"Baiklah, mari kita cari tempat untuk memeriksa dia !" jawabnya.
Tanpa banyak bicara, Kim Houw lantas lari menuju ke ruangan belakang. Disitu gwanswee tua
dan lain-lainnya ternyata sudah tidak kelihatan bayangannya.
Kim Houw membuka pintu sebuah kamar, di situ ternyata cuma kedapatan sebuah
pembaringan yang terbikin dari kayu yang sudah tua, ia lalu letakkan dirinya wanita itu diatas
pembaringan kemudian berkata kepada Peng Peng :
"Peng Peng, dia sakit keras, sudah lama berada dalam keadaan pingsan, coba kau periksa
dulu...."
"Aku mengerti, pergilah !" jawabnya Peng Peng agak ketus.
"Peng Peng, kau tidak usah kuatir, aku tidak akan tinggalkan kau. Kalau kau sudah tolong
padanya sehingga mendusin, aku nanti jelaskan hubunganku dengan dia." kata Kim Houw yang
lantas keluar dari kamar.
Ucapan Kim Houw ini merupakan obat tenang bagi Peng Peng. Tapi, ia masih tidak mau
unjukkan girangnya, bahkan masih berkata dengan suaranya yang agak ketus :

"Siapa ingin penjelasanmu. Lekas pergi, di dapur sudah kusediakan ayam, lekas makan, kalau
sudah kenyang lekas kembali."
Kim Houw sebetulnya sudah lupa rasa laparnya, mendengar ucapan Peng Peng bahwa di
dapur ada ayam, rasa laparnya segera bangkit kembali.
Tiba di dapur, Kim Houw lihat pintu dapur tertutup rapat. Ia coba dorong, ternyata tidak
terbuka. Mendadak dari dalam terdengar suara keresekan. Ia lalu mengintip, lantas dapat lihat
Hoan ciangkun dengan kedua tangan memegang seekor ayam panggang sedang hendak
digerogoti.
Kim Houw mengira bahwa ayam panggang itu adalah yang dikatakan oleh Peng Peng tadi,
telah dicuri oleh Hoan ciangkun, maka ia tidak mau mengerti, dengan sekali dorong pintu lantas
terbuka.
Hoan ciangkun terperanjat, tidak perduli siapa yang datang, ia lantas padamkan lampu
penerangan. Tidak nyana begitu keadaan gelap, ayam ditangannya lantas terbang entah diambil
siapa.
Saat itu, Kim Houw sedang duduk diatas penglari rumah sambil makan daging ayamnya.
Baru saja ia makan sebagian, mendadak melihat berkelebatnya bayangan orang, sebentar
kemudian ia lihat dirinya Peng Peng, ia lalu bersuit perlahan, hingga Peng Peng segera
mengetahui dimana Kim Houw berada.
Dengan cepat ia lompat naik, setelah berada disampingnya, lalu berkata dengan suara agak
cemas:
"Engko Houw, siapa sebetulnya nona itu?"
"Bagaimana? Apa sudah sadar?"
"Belum, aku hanya dapat mengetahui dia bukan saja berat penyakitnya, bahkan sedang
hamil!"
Mendengar keterangan Peng Peng tentang hamil, Kim Houw terperanjat. Sudah tentu ia tidak
mempunyai hubungan tidak sopan dengan nona itu, maka tidak ada perlunya merasa takut. Cuma
ia merasa heran, nona itu yang bukan lain adalah Kie Yong Yong sendiri, hamil oleh siapa? Apa
benar dimana partai Ceng-hong-kauw ia sudah menjadi bakal isteri orang ? Tapi mengapa ia
kabur? Apakah bakal suaminya ada seorang jelek yang tidak pantas menjadi suaminya?....
Serentetan pertanyaan mendadak timbul dalam otaknya Kim Houw, hingga Kim Houw lupa
menjawab pertanyaan Peng Peng. Untung saat itu Peng Peng tidak ambil perhatian terhadap
perobahan sikapnya, karena perhatiannya ditujukan kepada panggang ayam yang berada di
tangannya Kim Houw, dan ia sudah lantas merampasnya serta dijejalkan ke mulutnya sendiri.
"Engko Houw, masih ada seekor ayam rebus!" Peng Peng mendadak ingat ayamnya, maka
lantas beritahukan kepada Kim Houw.
Tapi Kim Houw memandang padanya dengan heran, ia anggap Peng Peng sedang mimpi.
Peng Peng sebaliknya mengira Kim Houw tidak mau mengambilkan untuk ia, maka lantas
berkata sambil ketawa:

"Biarlah aku ambil sendiri!"
Peng Peng lalu lompat turun. Di dapur ia telah menemukan Hoan ciangkun sedang duduk di
tanah sembari menangis. Dalam hati merasa heran sendiri, tapi ia tidak mau ambil pusing terus
mencari ayam rebusnya. Ketika ia melihat miliknya masih lengkap, ia lantas tahu apa sebabnya
Hoan ciangkun menangis, hingga dalam hati merasa geli.
Ia lalu ambilkan kaki dan sayapnya serta kepalanya, semua diberikan kepada Hoan ciangkun
sembari berkata:
"Nah, ini untuk jasa-jasamu, ambillah!"
Mendapat hadiah tiga rupa makanan itu Hoan ciangkun girangnya bukan kepalang, dengan
cepat lantas digerogoti. Meski semua itu merupakan tulang-tulang, tapi Hoan ciangkun makan
dengan lahapnya.
Peng Peng tidak perdulikan sikapnya Hoan ciangkun, dengan cepat balik lagi keatas penglari,
tapi disitu ternyata sudah tidak kelihatan bayangannya Kim Houw.
Ia mengira Kim Houw pergi tengoki si nona baju hijau, kembali timbul pikiran cemburuannya,
maka ia lantas pergi kekamar dimana rebah dirinya si nona baju hijau.
Siapa nyana nona baju hijau itu ternyata masih tetap dalam keadaan pingsan, di situ juga tidak
ada bayangannya Kim Houw.
Kemana sebetulnya Kim Houw telah pergi? Mengapa ia pergi secara diam-diam?
Mendadak suara kuda berbenger telah memecahkan suasana malam yang sunyi itu!
Nona baju hijau itu agaknya dibikin terkejut oleh suara kuda itu, tiba-tiba membalikkan
badannya. Begitu sadar ia lantas menjerit.
Jeritannya sangat lemah, tapi sudah cukup menandakan kekagetan dan ketakutannya. Sebab
saat itu ia telah mendapat kenyataan, meski baju luarnya tidak terbuka, tapi baju dalamnya seperti
pernah dibuka orang.
Peng-peng buru-buru menghampiri serta menghiburnya: "Enci, apa kau sudah merasa baikan?
Penyakitmu nampaknya agak berat."
Si nona baju hijau itu memang benar Kie Yong Yong. Ketika berpisahan dengan Kim Houw
tanpa pamit, lantas membedal kudanya dengan tanpa tujuan.
Entah berapa jauh ia sudah larikan kudanya, sampai kudanya sudah letih benar, ia baru
hentikan larinya.
Tapi selanjutnya akan kemana? Ia sendiri juga tidak tahu.
Hati Kie Yong Yong amat risau, ia sebetulnya mengharap supaya Kim Houw bisa mengajaknya
merantau di dunia Kang-ouw, siapa nyana kalau Kim Houw ternyata ada seorang berhati binatang.
Dalam hatinya Kie Yong Yong, Kim Houw telah mempermainkan dirinya, menodakan
kehormatannya dan kemudian mensia-siakan padanya dengan begitu saja. Ia mulai membenci
penghidupan, membenci Kim Houw, membenci nasibnya sendiri yang malang....
Hidup diliputi oleh segala macam kebencian, apa artinya hidup?

Karena putus harapan, satu ketika ia sudah ingin ambil keputusan nekad, ia ingin buang diri
dari sebuah bukit yang tinggi, tapi bagaimana kalau tidak mati?
Akhirnya, ia ambil keputusan hendak menggantung diri. Ia buka ikat pinggangnya, diikatkan di
atas sebatang pohon besar. Tapi dikala menghadapi saat terakhir bagi hidupnya itu, perasaan
sedih timbul secara tiba-tiba, air matanya lantas mengalir turun dari kelopak matanya.
Tepat pada saat itu, kuda tunggangannya agaknya dapat menebak maksud majikannya, ia
lantas berbenger dan melompat-lompat tidak henti-hentinya.
Tidak antara lama, selagi Kie Yong Yong hendak ikat pinggangnya, disekitarnya mendadak
berkumpul puluhan laki-laki, yang dipimpin oleh seorang pemuda berwajah cakap.
Dalam keadaan demikian, siapapun bisa menduga apa maksudnya Kie Yong Yong. Anak
muda itu lantas berkata: "nona manis, perlu apa harus membunuh diri? Apa tidak sayang dengan
jiwamu yang masih begitu muda? Kau ada kesulitan apa? Aku Ko Thian Seng dapat membantu
kau untuk membereskan. Dalam gunungku kebetulan membutuhkan Apee-hujin (istri penyamun).
Nona manis, mari ikut aku saja."
Kie Yong Yong menatap wajah Ko Thian Seng, siapa memang cukup tampan tidak kalah
dengan Kim Houw. Cuma sayang, hatinya sudah hancur luluh, sekalipun yang lebih cakap dari
pada Kim Houw juga tidak mampu menyembuhkan luka dalam hatinya.
Ko Thian Seng menampak si nona terus membungkam, lalu menghampiri, kemudian ulur
tangannya hendak menowel pipinya.
Terhadap kelakuan yang sangat ceriwis itu bagaimana Kie Yong Yong mau tinggal diam?
Belum sampai tangan Ko Thian Seng dapat meraba pipinya, Kie Yong Yong mendadak sambuti
dengan satu serangan yang amat telak hingga badan Ko Thian Seng terpental melayang sampai
tiga tombak jauhnya. Tangannya patah, orangnya lantas pingsan.
Beberapa puluh anak buahnya ketika menampak keadaan demikian, lantas pada menghunus
senjata masing-masing, menyerang Kie Yong Yong.
Si nona gusar, lalu menghunus pedangnya untuk menyambuti anak buahnya Ko Thian Seng.
Kepalanya sendiri begitu tidak berguna, apalagi anak buahnya? Sebentar saja, banyak yang
telah rubuh terluka parah atau binasa. Kie Yong Yong agaknya sangat benci terhadap orang laki,
maka ia turun tangan tidak tanggung-tanggung, hingga begitu banyak anak buahna Ko Thian
Seng, sebagian besar pada terluka atau binasa.
Mendadak diantara suara jeritan manusia itu terdengar suara orang menyebut Budha. Kie
Yong Yong terperanjat, ketika ia hentikan gerakannya untuk melihat siapa yang datang, entah
sejak kapan dalam medan pertempuran itu sudah berdiri seorang nikow tua.
Kie Yong Yong mengira bahwa nikow tua itu datang hendak membantu kawanan penyamun,
hingga tidak mau ambil pusing, kembali menghajar kawanan berandal yang hendak kabur.
Selagi hendak membinasakan salah satu kawanan berandal itu, mendadak ia rasakan ada
sambaran angin, pedang di tangannya terdengar bersuara "trang" kena disambit dengan batu
kecil, sehingga miring dan hampir saja terlepas dari tangannya.

Kie Yong Yong terkejut, kekuatannya sebuah batu kecil saja begitu besar, dapat dibayangkan
betapa hebat kekuatan tenaga lwekangnya orang yang menyambit tadi. Tapi Kie Yong Yong
sedikit pun tidak takut, ia sudah anggap kematian itu tidak ada artinya apa-apa, kalau tokh ia
sendiri tidak berhasil menghabisi jiwanya sendiri, apa salahnya pinjam tangan orang lain?
Maka Kie Yong Yong tanpa banyak bicara, lalu tinggalkan kawanan berandal yang hendak
dibunuh tadi, berbalik menyerang si nikow tua.
Entah bagaimana caranya bergerak, tahu-tahu nikow tua itu sudah melesat setombak lebih
jauhnya dan lantas berkata kepada Kie Yong Yong:
"Li-sicu, mengapa begitu ganas? Berbuatlah sedikit kebajikan terhadap sesama manusia, sicu
pandang jiwa manusia seperti barang permainan, bukankah itu ada melanggar kemauan Tuhan?"
Kie Yong Yong yang sedang gelap pikirannya, bagaimana bisa dengar perkataan nikow tua
itu? Dengan tidak banyak rewel, kembali ia putar pedangnya menyerang padanya.
Tapi kali ini nikow tua itu tidak mengelakkan lagi serangannya Kie Yong Yong. Ia kebutkan
lengan jubahnya untuk menahan pedangnya Kie Yong Yong.
Namun Kie Yong Yong juga bukan orang sembarangan, ketika ia merasakan sambaran angin
kuat, ia lantas buru-buru putar tubuhnya dan melakukan serangannya pula secara membalikkan
badannya.
Nikow tua itu menampak Kie Yong Yong berulang kali melakukan serangannya begitu ganas,
dalam hati agak mendongkol, maka lantas putar lengan jubahnya, hendak memberi sedikit hajaran
terhadap nona yang bandel itu.
Nikow tua itu meski turun tangan melayani Kie Yong Yong, tapi sebenarnya tidak banyak
melakukan serangan, seolah-olah sengaja hendak menguji kekuatannya si nona, kemudian baru
turun tangan memberi hajaran.
Kie Yong Yong melancarkan serangannya bertubi-tubi, tapi semua telah dielakkan dengan
mudah oleh nikow tua itu. Ia tahu ada sukar untuk menandingi kekuatannya nikow tua itu, tapi ia
masih tetap tidak mau mundur, ia bermaksud handak mengeluarkan ilmu pedangnya yang paling
lihay: "How-ie-kiam" untuk merebut kemenangan.
Mendadak terdengar suara riuh:" Lo-cecu datang! Lo-cecu datang!"
Kie Yong Yong mendengar pihak berandal telah datang kepalanya sendiri, dengan cepat
undurkan diri, baru saja tancapkan kaki, dihadapannya sudah berdiri seorang tua yang
potongannya seperti kerbau. Orang itu memandang Kie Yong Yong sejenak, segera mengawasi si
nikow tua. Agaknya ia tidak memandang Kie Yong Yong sama sekali.
Tapi ketika matanya kebentrok dengan pandangan mata si nikow tua, ia lantas berkata sambil
tertawa dingin: "Hm! Kiranya adalah kau lagi!"
Nikow tua itu merangkap kedua tangannya memberi hormat, menjawab: "Cin cecu, sudah
banyak tahun kita tidak bertemu, mengapa mengatakan loni lagi?"
"Tahun lalu kau telah menghajarku dan melukai isteriku, hal ini aku masih belum lupa, kini
kembali kau telah melukai anakku, bagaimana aku tidak mengatakan kau lagi?"

Kie Yong Yong mendadak nyeletuk dari samping: "Orang yang melukai anakmu itu adalah aku,
ada urusan apa-apa kau cari saja padaku. Segala bocah ceriwis dan tidak tahu malu, jangan kata
baru dilukai, dimampusi juga tidak ada salahnya."
Saat itu Ko Thian Seng meski sudah terluka, tapi masih bisa berdiri dengan dibimbing oleh
seorang anak buahnya. Mendengar ucapan Kie Yong Yong, ia juga lantas turut campur mulut :
"Bagus sekali kelakuanmu ya, perempuan hina, kau sendiri yang mau mencari mampus dengan
jalan menggantung diri, adalah aku yang karena merasa kasihan telah menolongi jiwamu.
Sekarang sebaliknya kau mengatakan aku ceriwis. Ayah, dia telah membikin patah tangan
anakmu."
Sang ayah sangat gusar, tapi Kie Yong Yong juga tidak kalahy gusarnya. Kedua pihak sudah
siap hendak melakukan pertempuran.
Mendadak nikow tua itu lompat ke sampingnya Kie Yong Yong: "Li-sicu, kau bukan
tandingannya, biarlah loni nanti yang menalangi." katanya.
Dari pembicaraan antara si orang tua dengan nikow tua, Kie Yong Yong tahu bahwa nikow tua
itu bukan konconya berandal itu. Namun ia masih belum mau menerima kebaikan sang nikow,
sebabnya ia sudah kepingin mencari jalan mati.
Sebelum nikow tua itu bertindak Kie Yong Yong sudah mendahului bergerak, dengan ujung
pedangnya ia menikam si orang tua. Kali ini ia tahu berhadapan dengan kepala berandal, maka
begitu turun tangan lantas menggunakan ilmu pedangnya yang paling lihay: Hoa-It-kiam. Ilmu
pedang ini cepat seperti kembang yang beterbangan dan rapat seperti jatuhnya air hujan.
Demikian, seperti air hujan yang terdiri dari beberapa butir air, ia menikam, sasarannya dada si
orang tua.
Sang lawan menampak ilmu pedang Kie Yong Yong begitu rapat, segera mengetahui gayanya
ilmu pedang itu. Tapi ia masih bisa tertawa bergelak-gelak, tidak berkelit atau mengegos, juga
tidak balas menyerang.
Kie Yong Yong semakin gusar, pikirnya: "sekalipun kau mempunyai ilmu kebal, juga tidak nanti
mampu menyambuti serangan yang kulancarkan dengan kekuatan penuh tenaga lwekang."
begitu ia berpikir, ujung pedangnya segera meluncur mengarah dada lawan.
Orang tua itu kakinya masih tetap tidak bergerak, tapi ketika ujung pedang tiba di depan dada,
badannya bagian atas mendadak mengelak ke bekakang dengan demikian maka ujung pedang
Kie Yong Yong tidak mengenai sasarannya. Sebaliknya Kie Yong Yong yang menyerang terlalu
bernapsu, sukar untuk dapat menarik kembali serangannya.
Tiba-tiba ia dengar suaranya nikow tua: "Lie sicu hati-hati!"
Melihat sukar untuk menarik kembali serangannya, Kie Yong Yong sudah bermaksud hendak
melompat mundur, tapi mendadak dengan seruan nikow tua itu lantas berlaku nekad. Ia urungkan
maksudnya mundur, sebaliknya malah maju, pedangnya menyerang seperti jatuhnya hujan.
Apa mau sambaran angin yang sangat kuat telah menyerang padanya dari kanan dan kiri. Kie
Yong Yong hendak berkelit sudah tidak keburu, hingga oleh angin kuat tadi ia terpukul sampai
mental tiga tumbak lebih jauhnya.
Nikow tua yang menyaksikan kejadian itu terperanjat, lalu gerakan tangannya menyambuti
badannya Kie Yong Yong, kemudian di bawa kabur.

Si Kepala berandal berteriak-teriak sambil mengejar :
"Yaoni! Apa kau hendak kabur ? Tinggalkan jiwamu dulu!"
Sang nikow melihat Kie Yong Yong pingsan, tidak berani menunda perjalanannya. Ia kerahkan
ilmu lari pesat dan lompat jauh, tapi, karena sembari memondong dirinya Kie Yong Yong, sudah
tentu agak lambat, sedangkan si orang itu sudah mengejar semakin dekat.
Nikow tua itu sebetulnya tidak takut si orang tua seperti kerbau, ia percaya masih mampu
menandingi, bahkan masih ada kemungkinan dapat merubuhkan padanya, cuma, pertarungan itu
sedikitnya tentu akan makan waktu dua ratus sampai empat ratus jurus.
Apa yang ia kuatirkan ialah dirinya Kie Yong Yong yang sudah pingsan. Kalau ia harus
bercampur melawan si kepala berandal itu, anak buahnya pasti turut campur tangan merebut
dirinya Kie Yong Yong. Dengan demikian maka keadaan Kie Yong YOng akan berbahaya sekali.
Selagi nikow tua itu merasa serba sulit, mendadak ia dengar suara kaki kuda, seekor kuda
hitam sudah lari menghampiri padanya.
Nikow tua itu sangat girang, dengan cepat lantas ia loncat di gegernya. Ia tadinya berpikir
hendak letakkan Kie Yong Yong di gegernya kuda itu, dan ia sendiri hendak menempur kepala
berandal. Tapi heran kuda hitam itu lantas unjuk ketangkasnnya, meski di atas gegernya ada
duduk dua orang, ia masih berlari seperti terbang.
Sebentar saja, si kepala berandal sudah ketinggalan jauh.
Nikow tua merasa sangat heran atas kegesitan dan kecerdikannnya kuda hitam itu.
Ketika Kie Yong Yong sadar dari pingsannya ternyata sudah satu hari satu malam.
Kie Yong Yong baru hendak bergerak ia merasakan badannya seperti terikat kencang,
bergerak sedikit saja sekujur badannya dirasakan sakit sekali.
Dalam kagetnya ia coba membuka matanya, tapi rasanya berat sekali.
Tiba-tiba ia dengar suara orang berkata : "Nona, kau telah terluka parah, harap jangan
bergerak sembarangan..... "
Kie Yong Yong sudah membuka matanya, dihadapannya ada seorang pemuda seperti anak
sekolah, sedang memandang padanya dengan sorot matanya yang tajam dan bening.
Ketika melihat anak muda itu, Kie Yong Yong bertambah heran.
"Siaoseng Kee Yong Seng," anak muda itu perkenalkan diri. "Nona telah di tolong oleh sukow
dan di antar kemari. Menurut keterangan sukow, luka nona sangat parah, meski sudah makan
obat mungkin dalam satu atau dua bulanan, barangkali masih belum bisa bergerak ....."
Mendengar keterangan itu, Kie Yong Yong dirasakan hancur, ia lantas menjerit dan pingsan
lagi!
Ketika tersadar untuk kedua kalinya, ternyata hari itu sudah tengah malam. Sinar rembulan
menembus masuk ke dalam kamarnya, hingga keadaan dalam kamar nampak terang.

Kie Yong Yong buka matanya mengawasi isi kamar itu, ternyata ada satu kamar tidur yang
sangat rapi bersih. Ketika ia menengok ke bawah, ia lihat dekat tempat tidurnya ada rebah
seseorang.
Bukan kepalang kagetnya Kie Yong Yong tapi ia tidak lihat tegas siapa sebetulnya orang yang
tidur di bawah dekat tempat tidur itu ? Ia ingin bangun, tapi badannya dirasakan sakit sekali.
Ia pura-pura batuk, kepingin tahu reaksinya orang yang sedang tidur itu.
Reaksi itu ternyata ada di luar dugaannya. Ketika ia batuk-batuk, orang itu sudah lompat
bangun. Di lihat dari gerakannya, agaknya ia mengerti ilmu silat, bahkan mempunyai dasar cukup
baik.
Kie Yong Yong mengira itu ada pemuda berdandan anak sekolah yang ia lihat tadi siang, siapa
nyana, setelah orang itu berdiri, ternyata ia ada seorang gadis tanggung berusia kira-kira tiga
belas atau empat belas tahun.
Gadis tanggung itu parasnya tidak begitu cantik, tapi cukup menarik.
"Nona, kau sudah mendusin, apa ingin minum ?"
Kie Yong Yong melihat gadis tanggung, bukannya si anak muda yang dijumpai tadi siang,
hatinya merasa lega.
"Terima kasih, adik kecil, aku telah mengagetkan kau dari tidurmu, harap kau suka maafkan!"
jawab si nona.
"Nona namaku Cian-cian, aku cuma satu pelayan, nona jangan terlalu merendahkan diri."
Kie Yong Yong merasa heran, karena meski gadis itu dandanannya sangat sederhana, tapi
tidak merupakan dandanannya pelayan umumnya. Maka dengan perasaan agak tidak percaya, ia
menanya :
"Apa ? Kau ada pelayan ? Aku tidak percaya!"
Tuan besar dan tuan muda meski tidak memandang aku sebagai pelayan, tapi bagi aku sendiri
merasa tidak pantas kalau mengangkat diriku dari orang bawah menjadi orang atas.
Kie Yong Yong lalu menanyakan keadaannya rumah tangga keluarga Kee.
Ternyata Kee-loya dulu pernah beberapa kali menjabat pangkat Tihu, karena usianya sudah
lanjut, lalu mengundurkan diri. Setelah isterinya meninggal dunia, ia ajak anaknya berdiam di sini.
Selagi masih menjabat pangkatnya, ia terkenal dengan seorang pembesar negeri yang bersih.
Si nona heran, mendengar keterangan bahwa keluarga itu bukan orang rimba persilatan.
"Adik, darimana kau dapatkan pelajaran ilmu silat?" ia menanya.
"Ah, mana boleh disebut ilmu silat. Hanya tuan muda saja di waktu terluang suka mengajari
aku beberapa jurus ilmu pukulan, katanya ada baik untuk kesehatan badan!"
Kie Yong Yong melongo. Dalam hatinya berpikir, biar bagaimana orang-orang terpelajar
perkataannya memang berlainan dengan orang biasa. Belajar ilmu silat saja dikatakan untuk
kebaikan kesehatan badan.

Saat itu ia mendadak mendapat suatu perasaan, bahwa orang-orang demikian memang
biasanya. Sudah belajar ilmu silat, tidak mau menggunakan itu untuk melakukan perbuatan mulia,
umpama membela pihak yang lemah dan menentang kejahatan. Apakah orang seperti keluarga
Kee ini tidak terlalu egoistis dan penakut ?
Esok harinya, ketika Kie Yong Yong mendusin, Cian-Cian sudah tidak kelihatan batang
hidungnya.
Kembali Kee Yong Seng yang datang menjumpai padanya. Begitu masuk pintu kamar, anak
muda itu lantas berkata sambil tersenyum :
"Hari ini nona agaknya sudah baikkan. Aku sudah pesan Cian-cian supaya masalah dua
jinsom untuk nona, supaya dapat menambah kekuatan badan nona. Kalau ada keperluan apa-apa
suruh saja Cian-cian mengerjakan, bocah itu sangat cerdik."
Di dalam kamar, Kee Yong San duduk jauh-jauh, nampaknya sangat sopan santun. Sorotan
sepasang matanya yang memandang si nona dengan penuh kasih sayang, tidak dapat menutupi
perasaan hatinya yang meluap-luap.
Kie Yong Yong meski sifatnya ganas, tapi menghadapi sikap demikian, ia juga merasa sulit
menghadapinya, entah bagaimana baiknya.
Maka, seketika itu pipinya lantas berobah merah, ia cuma bisa anggukan kepala, sebagai
tanda terima kasihnya, mulutnya tidak dapat mengatakan apa-apa.
Melihat si nona membisu, Kee Yong Seng berkata pula:
"Kuda tunggangan nona, benar-benar adalah seekor kuda jempolan. Aku sudah suruh orang
merawat baik-baik, harap nona tidak usah kuatirkan!"
Kie Yong Yong mendengar bahwa kudanya masih ada, hatinya tambah tenang. Tapi, berbicara
tentang kuda tunggangannya, ia segera ingat pada partai Ceng-hong-kauw. Jika orang-orang dari
Ceng-hong-lauw mengejar sampai di situ, bukankah urusan nanti akan merembet-rembet keluarga
Kee ini ?
Karena mengingat itu, maka ia lantas berkata :
"Kuda itu sifatnya masih liar, harap Kong-cu pesan orangmu supaya dipelihara di dalam
rumah, agar tidak kabur!"
"Nona tidak usah kuatir, ditanggung tidak ada urusan apa-apa! Mohon tanya nona-nona yang
terhormat ?" kata Kie Yong Seng sambil tersenyum.
"Siaumoay she Kie, namaku Yong Yong."
(Bersambung ke Jilid 22)
Jilid 22
"Tempo hari ketika bawa nona datang kemari, pernah mengatakan bahwa nona turun tangan
agak berat. Namun, di dunia Kang-ouw terlalu banyak jumlahnya orang jahat, kalau tidak kita
bunuh bagaimana? Aku karena harus menunggui ayah yang usianya sudah lanjut, tidak bisa
keluar pintu, apalagi berkelana di dunia Kang-ouw. Jika ayah sudah tidak ada, aku juga ingin
merantau lihat-lihat keadaannya dunia Kang-ouw, untuk melakukan sedikit pekerjaan yang berarti.
Di kemudian hari aku masih mengharapkan petunjuk dari nona."

Mendengar itu, hati Kie Yong Yong bergoncang hebat. "Suthay itu sekarang kemana?"
"Oleh karena ada urusan, sukouw hari itu begitu tiba lantas pergi lagi. Ia kata sebulan
kemudian baru balik, atau paling lambat dua bulan. Ia sudah perhitungkan dengan baik, pada saat
nona sudah sembuh benar-benar sukouw akan datang lagi."
Mulai saat itu Kie Yong Yong belum pernah turun dari pembaringannya, sebabnya ialah luka di
badannya meski sudah sembuh tapi mendadak dapat lagi semacam penyakit aneh. Setiap hari
kepalanya pening, hatinya pepat, badannya lemas dan tidak doyan makan minum.
Makanan atau minuman begitu masuk mulut, lantas tumpah lagi, hingga boleh dikata setetes
air atau sebutir nasi sukar masuk di mulutnya. Apa yang diingini hanya makanan yang asamasam.
Mengingat ini, Kie Yong Yong kagetnya bukan main.
Sebab ia lantas mendadak ingat ini ada tanda-tandanya orang perempuan yang mulai hamil !
Kee Yong Seng setiap hari pasti datang menengoki satu kali, ia juga pernah panggil tabib
untuk memeriksa, tapi Kie Yong Yong yang sudah tahu penyakitnya, sudah tentu tidak mau
diperiksa oleh tabib, karena itu berarti membuka rahasianya sendiri.
Tapi, sekalipun Kie Yong Yong berada dalam kesulitan, namun ia masih belum mau
meninggalkan rumah keluarga Kee. Sebab ia masih hendak menunggui nikow tua, supaya bisa
ajak dirinya masuk menjadi nikow.
Tidak tahunya, yang ditunggu begitu lama tetap masih belum muncul.
Akhirnya, pada suatu malam terang bulan dengan diam-diam Kie Yong Yong meninggalkan
rumah keluarga Kee.
Sembari menuntun kudanya ia keluar dari pintu belakang, ia kira perbuatannya itu tidak ada
yang mengetahui. Apa mau, baru saja ia cemplak kudanya, mendadak ada berkelebat bayangan
hitam, Kee Yong Seng segera sudah berdiri dihadapannya.
"Nona, apa kau tidak bisa menunggu beberapa hari lagi? Sukow tidak lama segera datang
apalagi kau sekarang masih belum sembuh betul dari penyakitmu...." kata Kee Yong Seng.
Selama dua bulan berkumpul dengan Kee Yong Seng, kalau mau dikata Kie Yong Yong sama
sekali tidak mempunyai perasaan, itu tidak benar. Tapi ia terpaksa menindas perasaannya sendiri,
sebab dengan badannya yang sudah ternoda, apalagi itu darah daging dalam kandungannya,
bagaimana harus dikatakan?
Oleh karena sudah ada kandungan, pengharapannya yang semula sudah buyar, kini telah
bersemi kembali, maka ia berkeputusan hendak mencari Kim Houw.
Tapi, sekarang Kee Yong Seng menghalangi di depannya, bagaimana ?
Dengan menekan perasaan dukanya, ia berkata setengah meratap :
"Kee siangkong, maafkanlah aku. Dua bulan lamanya aku telah menggerecok di rumahmu,
budi sebesar gunung ini selama-lamanya tak akan kulupakan. Sekarang tidak ada jodoh, semoga
dilain penitisan aku dapat membalas budimu. Di dalam kamar aku ada tinggalkan sepucuk surat,
yang menjelaskan kepergianku yang mendadak ini. Kee siangkong, aku mohon kau supaya suka
melepaskan aku, meski badanku masih belum sembuh betul, aku percaya tidak begitu
mengkhawatirkan."

Menampak Kie Yong Yong bertekad bulat hendak pergi, Kee Yong Seng terpaksa menyahut :
"Baiklah, kalau nona memaksa mau pergi juga, aku nanti temani kau jalan bersama-sama."
Habis berkata, Kee Yong Seng lalu gerakkan badannya melesat masuk ke dalam. Ia agaknya
sudah siap dengan kuda dan barang-barangnya, sebab sebentar saja sudah keluar lagi sambil
menuntun kudanya.
Tapi, baru saja melangkah pintu, di luar sudah terdengar suara kaki kuda Kie Yong Yong dan
kudanya sudah berada sejauh kira-kira sepuluh tombak.
Mana mau Kie Yong Yong ditemani Kee Yong Seng, karena kepergiannya itu justru hendak
mencari Kim Houw. Bagaimana kalau diketahui oleh Kim Houw, bukankah akan runyam? Maka,
selagi Kee Yong Seng berada di dalam, ia sudah keprak kudanya dan larikan terbang!
Sekalipun sudah ditinggal jauh, Kee Yong Seng tetap mengejar. Cuma sayang kudanya tidak
berdaya mengejar kudanya Kie Yong Yong, yang merupakan kuda jempolan.
Tapi, ia tidak putus asa, ia tetap larikan kudanya untuk mengejar.
Sudah tentu Kie Yong Yong tidak membiarkan dirinya kecandak. Selewatnya tiga hari jarak
antara mereka sudah lebih dari ratusan lie jauhnya. Hanya Kie Yong Yong yang berlari-lari
melakukan perjalanan, agaknya sudah mulai kepayahan.
Hari itu, ia tiba di suatu kota kecil, begitu masuk ke dalam rumah penginapan, lantas rebah di
pembaringan.
Apa mau, malam itu selagi Kie Yong Yong masih rebah diatas pembaringan, mendadak dapat
didengar suara mengaungnya anak panah yang khusus untuk menyampaikan berita dari golongan
Ceng-hong-kauw. Kie Yong Yong ada orang Ceng-hong-kauw, sudah tentu mengetahui itu.
Mengetahui bahwa di kota itu ada orang-orangnya Ceng-hong-kauw, dalam hati juga merasa
kaget, sehingga mengucurkan banyak keringat, tapi justeru oleh karena ini, badannya dirasakan
agak banyak baikan.
Ia lalu coba gerakkan badannya, setelah minum air lalu melesat naik ke atap rumah, ia hendak
menyelidiki siapa-siapa orang-orangnya.
Ceng-Hong-kauw yang berada di kota.
Baru saja ia tancap kaki, kembali terdengar suara mengaungnya anak panah, lalu ia berlarian
mengikuti suaranya anak panah itu.
Dalam penyelidikannya, Kie Yong Yong telah dapat tahu bahwa orang-orang Ceng-hong-kuaw
yang datang cuma terdiri dari tingkatan biasa, bukan orang-orang penting. Tapi, disamping itu ia
telah dapat tahu pula bahwa Na Ang dan PeK ketiga anggauta wanita terpenting dari golongan
Ceng-hong kauw sudah pergi mengejar Kim Houw. Dengan demikian maka ia dapat mengetahui
dimana adanya Kim Houw.
Malam itu juga, Kie Yong Yong lantas bedal kudanya untuk melanjutkan perjalanannya
mencari Kim Houw.

Kalau tidak karena mengandung. Kie Yong Yong pasti dapat mendahului tiga nona jagoan dari
Ceng-hong kauw itu. Badannya dirasakan tidak enak meski mempunyai kuda tunggangan luar
biasa, akhirnya ia sudah merasa puas dapat mengintil di belakang.
Kei Yong Yong yang setiap hari larikan kudanya di bawah teriknya matahari, akhirnya telah
jatuh sakit pula. Tapi kalau ia ingat segera dapat menemui kekasihnya, ia paksa dirinya
melanjutkan perjalanannya.
Hari itu karena kesalahan jalan akhirnya tiba di desa Gu-Kee-cun.
Apa mau, di luar desa penyakitnya tambah berat dan akhirnya jatuh dari atas tunggangannya.
Kudanya yang sangat cerdik, ketika menampak majikannya jatuh pingsan lantas berbenger.
Ketika Kim Houw datang, ia tidak melihat Kie Yong Yong, setelah mencari kesana kemari, baru
diketemukan menggeletak dalam keadaan lupa orang.
Melihat Kei Yong Yong sangat payah tanpa pikir akibatnya lantas ia pondong si nona dibawa
ke gedungnya gwanswee.
Demikian asal mulanya Kei Yong Yong tiba di Gu-kee-chun.
Ketika Kei Yong Yong dengar suaranya seorang wanita, hatinya agak lega, ai lalu menatap
wajahnya Peng Peng, mendadak matanya dibuka lebar, dalam hatinya berseru : Aaa sungguh
cantik!
Dalam hati Kei Yong Yong merasa heran dalam dusun sepi seperti ini, bagaimana ada nona
begini cantik dengan dandanannya begitu mewah ? Karena terheran heran, ia sampai lupa
menjawab pertanyaan Peng Peng.
Peng Peng yang dipandang begitu rupa masih mengira bahwa nona itu ada kenal padanya,
maka ia juga coba mengamat-amati parasnya si nona sakit.
Kei Yong Yong sedang hamil, ditambah lagi sudah melakukan perjalanan jauh berhari-hari
serta penyakitnya yang kambuh kembali, maka kecuali kedua pipinya yang sudah legok parasnya
kelihatan tidak begitu cantik.
Peng Peng lega hatinya nampak Kei Yong Yong tidak menarik, ia tidak percaya kalau Kim
Houw bisa suka kepadanya.
"Enci, apanya yang kau rasakan kurang enak?" ia menanya, ketawa manis.
Kei Yong Yong gelengkan kepala, lalu menghela napas panjang.
"Aku menumpang tanya, di sini tempat apa?" tanya nona Kie.
"Ini adalah gedungnya gwanswee dari Gu-kee-chun." Peng Peng menjawab setangah mainmain,
maka lantas ketawa sendiri, "enci apa kau ada urusan penting?"
"Nampak keadaanku kini, aku sudah tidak bisa naik kuda lagi. Aku ingin minta pertolongan
kepada seseorang yang kiranya sudi memberi bantuan, untuk pergi ke gunung depan sana
mencari seseorang!"
"Mencari seorang? Orang itu pernah apa dengan kau?"

Dalam herannya, Peng Peng telah majukan pertanyaan itu. Ia sudah menduga, orang yang
hendak dicari oleh nona ini mungkin adalah Kim Houw. Maka ia kepingin tahu sedikit, sampai
dimana hubungannya antara kedua orang ini?
Kei Yong Yong yang ditanya demikian lantas menghela napas duka.
"Kejadian sudah begini rupa, serta ingin meminta bantuanmu, terpaksa aku tebalkan mukaku
untuk berbicara dengan terus terang. Dia adalah kekasihku, juga suamiku, hanya kita belum
melakukan upacara perkawinan secara sah. Namun didalam perutku sudah ada keturunannya
yang ditinggalkan begitu saja, hanya disebabkan dia hendak menolong dirinya satu nona lain.
Sekarang dengan susah payah aku mencari padanya sampai di sini, hanya kepingin lihat
wajahnya sebentar saja. Tapi, dia ada didalam gunung, entah masih ada kesempatan mendapat
lihat dia lagi atau tidak?"
Peng Peng berdebar hatinya mendengar keterangan nona Kie, hampir saja ia lompat keluar.
"Siapa yang kau ingin cari itu?" tanyanya dengan cemas.
Kie Yong Yong nampaknya sudah kelewat letih, sesudah bicara begitu banyak, napasnya
memburu, maka atas pertanyaannya Peng Peng ia tidak bisa menjawab.
Sebaliknya, Peng Peng yang tidak dijawab pertanyaannya, hatinya semakin cemas. "Orang
yang kau ingin cari itu siapa namanya? Katakanlah!" ia mendesak.
"Dia bernama... " Kei Yong Yong cuma mampu menjawab demikian, napasnya sudah
memburu lagi.
Pada saat itu, tiba-tiba terasa angin meniup jendela ternyata sudah terbuka.
Peng Peng yang sedang mendongkol hatinya, lalu perdengarkan suara ketawa dingin.
"Enci jangan cemas, suamimu yang baik telah datang!"
Di luar jendela ada suara orang yang menyambuti sambil ketawa:
"Haha, ini benar-benar ada peruntunganku, sekali tepuk mendapat dua lalat !"
Peng Peng yang mendengar suara itu, bukan main kagetnya. Tadinya ia mengira Kim Houw
yang datang, siapa nyana ada lain orang. Orang itu ilmunya mengentengi tubuh sangat bagus,
dalam keluarga Hoan tidak ada orang yang mempunyai kepandaian begitu tinggi.
Secepat kilat Peng Peng lantas keluar dari kamar.
Gerakan Peng Peng lantas menampak dirinya seorang muda berusia kira-kira dua puluh
tahun, memandang padanya dengan kelakuan ceriwis.
Si nona mendongkol, dengan gusar membentak:
"Bangsat dari mana tengah malam buta berani datang kemari ? Apa kau mau mencari
mampus ?"

"Bukankah kau sendiri yang mengatakan, bahwa aku ada satu suami yang baik, yang sedang
mencari istriku yang manis ? Adikku yang baik, mengapa begitu galak ! Mari, mari belajar kenal
dengan cihumu... "
Apa lacur, belum tamat ucapannya, tangan Peng Peng sudah mampir di pipinya, plak-plak,
dua kali tamparan itu bukan saja keras tapi juga nyaring.
Sungguh tidak enak bagi pemuda itu. untung giginya tidak sampai rontok, tapi banyak darah
sudah mengalir keluar dari mulutnya!
"Perempuan hina tidak tahu diri, kau berani memukul tuan mudamu? Kau tahu siapa tuan
mudamu ini? Aku adalah Cheng-Hong-Kauw Kauwcu ...." Peng Peng yang sudah menampar
pipinya anak muda itu, kemendongkolannya sebetulnya sudah lenyap sebagian.
Tapi kini dengar pengakuan anak muda itu sebagai kauw-cu dari Ceng-hong-kauw, dalam hati
merasa geli berbareng mendongkolnya timbul lagi. "Cis! Betul-betul tidak tahu malu! Macam
cecongor dan tingkah lakumu itu, ingin menjadi kauwcu dari Ceng-hong-kauw?" ia mengejek.
Pemuda itu mendengar perkataan Peng Peng yang seolah-olah pandang tinggi Ceng-hongkauw,
dalam hati merasa girang, maka lantas berkata: "Perlu apa kau tergesa-gesa, perkataanku
tokh masih belum habis. Kauwcu dari Ceng-hong-kauw adalah yayaku, aku adalah kauwcu kecil
Ho Leng Thian, senangkah kau? Kalau kau suka, juga boleh menjadi isterinya kauwcu kecil! hihi
....."
Selagi masih ketawa cengar-cengir, kembali terdengar suara plak plak yang amat nyaring, kali
ini ia harus menerima tamparan sampai empat kali, bahkan lebih keras dari pada yang duluan. Ho
Leng Than menjerit-jerit karena kesakitan, dua giginya telah copot jatuh, hingga wajahnya merah
padam.
Sambil menghunus pedangnya ia berkata dengan suara keras: "Perempuan hina, perempuan
busuk, kau benar-benar bernyali besar! Sudah tidak tahu diri, berani sembarangan memukul
orang. Apa kau kira aku Ho Leng Than ada seorang yang boleh kau perhina sembarangan? Lihat
pedang!"
Kepandaian silat Ho Leng Than sebetulnya tidak lemah, cuma karena dibikin silau oleh
kecantikan Peng Peng, hatinya lantas lemas, semangatnya sudah lebih dulu terbang!
Sungguh tidak nyana Peng Peng meski cantik seperti bunga mawar, tapi banyak durinya.
Sebelum kena dipetik, tangannya sudah berlumuran darah karena tertusuk durinya.
Saat itu, Ho Leng Than mengerti bahwa kalau tidak unjukkan sedikit kepandaiannya sukar
untuk menundukkan Peng Peng. Hendak menawan hatinya wanita cantik, memang harus kerja
keras.
Karena berpikir demikian, maka begitu turun tangan lantas keluarkan ilmu silatnya yang paling
dibuat bangga.
Kauwcu Ceng-hong-kauw Ho Hoan Hay dengan ilmu pedangnya Ceng-hong-kiam-hoat
namanya sangat terkenal di dunia Kang-ouw. Ho Leng Than adalah cucunya, sudah tentu ia
dapatkan warisan ilmu pedangnya, bedanya hanya kekuatan tenaga dalamnya saja.
Kini, begitu turun tangan Ho Leng Than lantas menggunakan ilmu pedangnya Ceng-hongkiam-
hoat, rupanya ia bermaksud merebut kedudukan baik lebih dulu, supaya bisa dapat
menguasai Peng Peng, serta tidak memberikan kesempatan bagi Peng Peng untuk melakukan
serangan pembalasan.

Pedangnya Peng Peng sudah hilang sejak bertemu kembali dengan Kim Houw, maka
sekarang di tangannya tidak mempunyai senjata apa-apa. Tapi, sejak mendapat saluran kekuatan
tenaga lwekang dari Kim Houw, kekuatan tenaganya jauh lebih besar daripada duluan.
Ketika melihat Ho Leng Than menghunus pedangnya, lalu mengerti bahwa anak muda itu
tentunya mahir ilmu pedang, namun ia tidak takut, dengan mengandalkan kegesitannya sudah
cukup menyingkirkan setiap serangan pedang Ho Leng Than.
Kalau ilmu pedang Ceng-hong-kiam-hoat dapat mempertahankan namanya di rimba
persilatan, sudah tentu mempunyai keistimewaan sendiri. Diantara keistimewaan itu adalah
serangan pembukaannya yang mempunyai perubahan gerak begitu banyak. Kalau lawannya
bukan seorang yang juga mahir ilmu pedang, sedikit lengah saja, bisa lantas dibikin tidak berdaya
sama sekali. Keistimewaan lainnya pula ialah : Begitu turun tangan, sekalipun kepandaian
lawannya lebih tinggi setingkat, juga sukar untuk merebut kedudukan atau mengimbangi
gerakannya.
Tapi Peng Peng seolah-olah sudah mempunyai perhitungan yang tepat, secara mudah dapat
mengelakkan serangannya Ho Leng Than. Maka Ho Leng Than mau tidak mau merasa terkejut
juga, apakah nona ini mempunyai kepandaian bisa meramalkan semua hal yang belum kejadian ?
Selagi masih dalam keadaan bingung mendadak angin kuat menyambar dari belakang dirinya !
Dalam kagetnya, Ho Leng Than segera putar balik pedangnya, menyerang dengan hebatnya.
Ini juga merupakan salah satu tipu serangan yang sangat lihay dalam ilmu pedang Ceng-hongkiam-
hoat. Serangannya bukan saja hebat, tapi juga cepatnya luar biasa. Siapa nyana, pedangnya
ternyata cuma menyambar tempat kosong, orang yang diserang sudah tidak kelihatan
bayangannya.
Bukan kepalang kagetnya Ho Leng Than kali ini, meski serangannya itu ia masih tidak berani
memastikan dapat melukai lawannya, namun ia juga tidak menyangka bahwa lawannya itu benarbenar
bisa berlaku seperti setan.
Satu anak dara yang nampaknya jauh lebih muda dari usianya sendiri, biar bagaimana ia juga
tidak percaya kalau Peng Peng mempunyai kekuatan dan kepandaian lebih tinggi daripadanya.
Belum lenyap rasa kagetnya Ho Leng Than kembali angin kuat sudah menyambar dari
samping. Tapi kali ini ia berlaku cerdik! Ia pura-pura tidak berasa, tidak menyingkir. Tapi setelah
angin kuat itu dekat, baru keluarkan bentakan hebat dan badannya lantas mumbul ke atas seolaholah
seekor burung elang, ia berputaran di tengah udara hendak menyambar mangsanya.
Kali ini Peng Peng hendak tarik mundur dirinya sudah tidak begitu gampang lagi, terpaksa
berdiri tegak di tengah-tengah kalangan.
Ia lantas perdengarkan ketawa dingin dan berkata :
"Orang yang begini tidak berguna, juga masih ingin kawin, benar-benar tidak tahu diri !"
Dengan berani Peng Peng berdiri ditengah kalangan, sebab tadi ketika Ho Leng Than
menerjang padanya sampai dua kali, ia dapat egoskan dengan mudah, dan anak muda itu tidak
berdaya mencari jejaknya, maka sekarang ia bertambah besar nyalinya, ia anggap Ho Leng Than
ada seorang yang hanya gede omongnya saja.

Diluar dugaannya, baru saja menutup mulutnya, mendadak merasakan sambaran angin kuat
yang mengitari dirinya, sinar pedang berkelebatan, seolah-olah ada beberapa puluh batang yang
mengancam dirinya.
Dengan demikian, Peng Peng lantas kelabakan, karena di tangannya tidak ada senjata barang
sepotong, tidak berdaya menangkis serangan pedang itu, sekalipun ilmunya mengentengi tubuh
yang boleh diandalkan, ia juga tidak bisa keluarkan!
Tapi orang yang kepepet kadang-kadang suka timbul kecerdikannya, demikianlah keadaannya
Peng Peng. Setelah mengetahui keadaannya sendiri berada dalam bahaya, lalu kerahkan seluruh
kekuatan tenaga dalamnya, disalurkan kepada lengan bajunya. Kemudian diputar dijadikan
senjata untuk menangkis pedangnya Ho Leng Than.
Tapi serangannya Ho Leng Than kali ini benar benar hebat, serangan yang dilakukan saling
menyusul dan begitu rapat, membuat Peng Peng sangat ripuh.
Itulah keistimewaannya ilmu pedang Ceng-hong-kiam-hoat yang sangat tersohor di kalangan
Kang-ouw. Karena gencar dan rapatnya putaran pedang, membuat lawannya tidak dapat lihat
tegas orang yang menyerang.
Pertempuran berlangsung terus, Peng Peng masih kewalahan menembusi tirai sinar
pedangnya Ho Leng Than. Meski kekuatan tenaga dalamnya Peng Peng sudah tambah banyak,
namun pertempuran dengan cara demikian, ia juga harus memerlukan banyak tenaga. Maka
sebentar saja Peng Peng sudah mandi keringat.
Dalam keadaan demikian Peng Peng lantas sesalkan Kim Houw, mengapa berlalu tanpa
memberitahukan lebih dulu, entah kemana perginya dia sekarang ?
Ia pikir, kalau Kim Houw berada didekat dekat situ, tidak nanti ia tidak dengar suara
perempuan itu. Dan kalau ia dengar, juga tidak nanti ia tinggal peluk tangan saja.
Karena pikirannya itu Peng Peng lantas buka suaranya yang nyaring, pikirnya, sekalipun Kim
Houw berada beberapa puluh lie jauhnya dalam waktu malam yang begitu sunyi ia juga bisa
dengar suaranya.
Ho Leng Than yang menyaksikan perbuatan Peng Peng, lantas ketawa cengar-cengir.
"Nona manis, kau ternyata juga bisa gelisah! Kau panggil bantuan juga tidak ada gunanya. Aku
kauwcu muda dari Ceng-hong-kauw, kalau keluar tentu ada banyak pengiringnya, apalagi kali ini
kepergianku justeru hendak mencari bakal isteriku, andai kata ada orang rimba persilatan yang
liwat dan dengar suaramu, tapi kalau melihat orang-orangnya Ceng-hong-kauw, mereka juga tidak
berani turut campur tangan!"
Peng Peng tidak tahu bahwa ucapan Ho Leng Than itu memang sesungguhnya, dianggapnya
si orang she Ho menyombongkan dirinya saja, maka ia tidak ambil pusing, tetap masih keluarkan
suaranya yang memanggil-manggil nama Kim Houw!
Suara Peng Peng masih mendengung, pintu kamar mendadak terbuka, Kie Yong Yong
melesat keluar dari kamarnya!
Bukankah Kie Yong Yong sedang sakit mengapa bisa sembuh secara mendadak ?

Sebetulnya ia belum sembuh, tapi karena dengar Peng Peng memanggil Kim Houw, ia kira
Kim Houw berada di situ, karena kegirangan , ia lantas lompat keluar tanpa menghiraukan
penyakitnya sendiri.
Kedatangannya Ho Leng Than, Kie Yong Yong bukannya tidak tahu, tapi ia tidak kuatir atau
takut. Sebab selama menderita sakit setengah bulan lamanya, parasnya sudah banyak berubah,
kecantikannya dimasa yang lampau sudah lenyap semua. Ditambah lagi badannya yang sudah
mengandung, ia percaya Ho Leng Than tentu tidak maui dirinya lagi!
Namun ketika mendengar disebutnya nama Kim Houw, semangatnya lantas bangun. Tapi
ketika tiba di situ, dimana ada bayangannya Kim Houw?
"Hai, nyonya mantu, kau kenapa? Mengapa kau berubah demikian rupa ? Oh ! Manisku !
Pedih rasa hatiku ! Mari, mari ! Biarlah nanti bakal suamimu memberi hiburan padamu."
Kie Yong Yong mendelikkan matanya, seketika itu lantas jatuh pingsan.
Ho Leng Than ketawa terbahak-bahak.
"Kie Yong Yong," katanya. "Kau sekarang sudah tidak secantik dulu lagi. Aku Ho Leng Than
sebagai kauwcu muda, masa mau mempunyai isteri begitu jelek? Rupanya penyakitmu sudah
terlalu mendalam, sebaiknya lekas-lekas pergi menemui Giam Lo Ong saja!"
Habis keluarkan ucapannya, Ho Leng Than lalu angkat pedangnya, hendak menikam dada Kie
Yong Yong yang sudah tidak berdaya.
Dalam saat yang sangat kritis, tiba-tiba sesosok bayangan hitam melayang secepat kilat,
menyambar dirinya Kie Yong Yong, hingga ujung pedang Ho Leng Than mengenakan tempat
kosong.
Bukan kepalang kagetnya Ho Leng Than sehingga saat itu ternyata ia masih belum tahu siapa
yang menyambar mangsanya tadi, entah manusia atau setan ?
Tapi kini, setelah Kie Yong Yong sudah tidak ada di depan matanya, ia pikir bayangan hitam
tadi tentu ada manusia, tidak perlu disangsikan lagi. Hanya kepandaiannya orang itu benar-benar
sangat tinggi.
Belum hilang rasa kagetnya Ho Leng Than mendadak terdengar suara bentakan Peng Peng
siapa melakukan serangan terhadap Ho Leng Than dengan sepotong kayu.
Kauwcu muda itu sebetulnya tidak pandang kepandaian Peng peng, ketika melihat Peng Peng
menggunakan sebatang kayu sebagai senjata, lebih-lebih tidak memandang mata sama sekali.
Dengan cepat ia putar pedangnya, untuk menangkis serangan Peng Peng.
Tiba-tiba terdengar suara orang berkata :
"Nona silahkan mundur sebentar, biarlah aku yang melayani kauwcu muda dari Ceng-hongkauw
ini!"
Suara itu masih sangat asing bagi Peng Peng, hingga dalam hati merasa heran. Bayangan
orang yang barusan menolong dirinya Kie Yong Yong, Peng Peng masih mengira ada
perbuatannya Kim Houw, maka dengan berani ia melawan Ho Leng Than.
Siapa nyana bahwa orang itu bukannya Kim Houw, ketika mendengar ucapan orang itu, Peng
Peng lantas loncat ke samping.

Saat itu ditengah kalangan tampak berdiri seorang muda seperti anak sekolah dengan tindak
tanduknya yang halus sopan dan sikapnya yang tenang luar biasa.
Peng Peng tercengang, ditengah malam buta dan didalam desa terpencil seperti Gu-kee-cun
ini, darimana datangnya anak sekolah begitu cakap ?
Selagi Peng Peng masih menduga-duga telah terdengar suaranya Ho Leng Than :
"Siapa yang mempunyai nyali begitu besar berani mencampuri urusan pribadi kauwcu muda.
Apakah sudah bosan hidup ?"
Pemuda seperti anak sekolah itu dengan sikap tenang memberi hormat seraya berkata :
"Aku adalah Kee Yong Seng, calon siucai yang tidak lulus ujian, tidak mempunyai kepandaian
apa-apa, hanya ingin minta belajar satu dua jurus ilmu silatnya siao kauwcu yang khabarnya tinggi
sekali. Terutama ilmu pedang Ceng-hong-kiam-hoat, yang namanya begitu tersohor di dunia
Kang-ouw. Tuan sebagai kauwcu muda dari Ceng-hong-kauw, sudah tentu mahir sekali dengan
ilmu pedang Ceng-hong-kiam-hoat, tapi entah tuan sudi atau tidak memperlihatkan kepada aku
seorang yang baru muncul didunia Kang-ouw ini? Andaikata karena ini aku harus korbankan jiwa,
aku tidak akan menyesalkan kepada siapapun juga!"
Perkataan pemuda itu kedengarannya tidak begitu tajam, lagi pula diucapkan dengan sikap
merendah serta tenang, namun sudah cukup membikin mendidih darahnya Ho Leng Than.
"Kau ternyata juga tahu lihaynya ilmu pedang Ceng-hong-kiam-hoat. Kalau sudah tahu
mengapa masih berani coba-coba main gila? Apa kau benar-benar sudah bosan hidup? Kalau
memang kau sengaja hendak mencari jalan kematian, aku juga tidak perlu sayangi ilmu pedangku.
Lihat pedang!"
Ho Leng Than meski dimulutnya bisa keluarkan perkataan begitu enak, namun dalam hatinya
merasa kebat-kebit. Sebab apa yang diunjukkan oleh Kee Yong Seng tadi dalam usahanya
merebut dirinya Kie Yong Yong, sudah cukup untuk membuktikan betapa tingginya kepandaian
pemuda she Kee itu.
Apalagi, begitu buka mulut Kee Yong Seng lantas berani menantang ilmu pedang ciptaan
yayanya yang sangat terkenal di kalangan Kang-ouw, kalau ia tidak mempunyai kepandaian cukup
tinggi, sudah tentu tidak berani berbuat demikian.
Diukur dari situ saja, betapapun besar nyalinya Ho leng Than, juga tidak berani berlaku
gegabah. Maka ketika ia melancarkan serangan pedangnya, ia sudah menggunakan kekuatan
tenaganya delapan puluh persen lebih serta bersikapnya sangat hati-hati.
Siapa nyana, ketika pedang meluncur meski gerak pedangnya tidak berubah, tapi tidak tahu
dengan cara bagaimana Kee Yong Seng bergerak, ia berkelebat menghilang dari depan matanya.
Kee Yong Seng entah disengaja atau tidak dan nampaknya mungkin kebetulan saja, ia
menggunakan siasat yang sama dengan Peng Peng, ialah terus berkelit, tidak mau berhadapan
langsung dengan lawannya.
Tapi, Ho Leng Than yang sudah mendapat pengalaman dari Peng Peng, tidak sudi ia
diperdayai oleh lawannya lagi. Maka lantas tegakkan dirinya, lalu berkata:

"Kau tadi berkata ingin belajar kenal dengan ilmu pedang Ceng-hong Kiam-hoat, tapi mengapa
sekarang terus-terusan berkelit? Kalau kau sengaja hendak permainkan siaoyamu, terpaksa
siaoyamu akan memaki-maki kau!"
"Kalau kau benar begitu hargakan diriku jika aku tidak sambuti seranganmu barang satu dua
jurus, tentunya kau akan anggap aku takut mati atau pengecut! Apa boleh buat, terpaksa aku
sediakan jiwaku untuk melayani kau!"
Habis ucapkan kata-katanya, Kee Yong Seng kembali sudah berada di depannya Ho Leng
Than.
"Keluarkan senjatamu! Aku selamanya tidak bertempur dengan musuh yang bertangan
kosong!" kata Ho Leng Than sambil ketawa dingin.
Ia tidak tahu bahwa perkataannya itu sebenarnya seperti suatu tamparan bagi mukanya
sendiri, sebab barusan ia mendesak Peng Peng sampai si nona kewalahan, apakah Peng Peng
tangannya ada memegang senjata tajam?
Padahal perkataannya itu bukan tidak ada sebabnya. Karena ilmu pedang Ceng-hong kiamhoat,
buat seorang lawan yang menggunakan senjata, ada lebih mudah masuk dibawah pengaruh,
dan begitu musuh dapat dipengaruhi betapapun tingginya kepandaian musuh juga tidak berdaya.
Ho Leng Than tahu bahwa kekuatan lawannya masih tinggi satu tingkat daripada kekuatannya
sendiri, maka ia mau paksa lawannya menggunakan senjata. Meski tahu kalau ucapannya itu ada
bertentangan dengan perbuatannya tapi untuk kepentingan keselamatan dirinya sendiri, ia tidak
perdulikan rasa malunya lagi.
"Aku ada satu calon siucay, biasanya cuma membaca buku. Meskipun sudah belajar sedikit
ilmu silat, tapi kedua tanganku masih tidak mempunyai tenaga cukup kuat, bagaimana bisa
menggunakan senjata? Kalau kau benar ada punya peraturan demikian, di sini aku mempunyai
serupa benda yang dapat digunakan sebagai senjata, silahkan kau mulai!" jawab Kee Yong Seng
lantas buka ikat pinggangnya, yang agak luar biasa bentuknya, panjangnya kira-kira dua tombak
lebih, di satu ujungnya digantungi sebutir mutiara, lain ujung adalah sebuah gaetan yang terbikin
dari emas.
Terang itu ada senjata lemas, tapi di mulutnya Kee Yong Seng hanya anggap itu satu benda
mainan.
Ketika Ho Leng Than menyaksikan senjata Kee Yong Seng, tiba-tiba berseru:
"Giok-cu-tiauw-kim-kao!"
"Ow, kau terlalu memuji tinggi pada senjata tidak berarti ini," sahut Kee Yong Seng.
Setelah keluarkan seruan kaget, Ho Leng Than baru sadar kalau ia sudah membuka rahasia
hatinya yang sangat tegang. Ia coba perbaiki dengan keluarkan kata-kata jumawa:
"Giok-cu-tiauw-kim-kao, memang tidak berarti apa-apa kalau bertemu dengan ilmu pedang
siaoyamu!"
Setelah itu, ia putar pedangnya laksana titiran, kemudian menikam dengan hebatnya ke arah
dada Kee Yong Seng.

Sudah menyanggupi hendak menyambut serangannya, maka Kee Yong Seng tentu saja tidak
mau berkelit. Ia hanya miringkan sedikit badannya, senjatanya, gaetan dibalik kebawah, untuk
balik menyerang perut Ho Leng Than.
Gerakannya itu dinamakan "Kim-kao-tau-kua", satu tipu pukulan untuk menghentikan serangan
lawannya.
Tapi ilmu pedang Ceng-hong-kiam-hoat memang ada lain daripada yang lain, Ho Leng Than
putar tiga kali pedangnya dengan kecepatan sangat luar biasa, sehingga menimbulkan sambaran
angin yang amat dahsyat.
Putaran pertama, gaetan lawannya dibikin miring, putaran kedua sinar pedang memutar makin
kencang dan putaran ketiga bayangan pedang dan sambaran amgi-nya timbul dari berbagai
penjuru.
Sebentar saja, Kee Yong Seng sudah terkurung rapat oleh sinar pedang dan angin kuat.
Melihat keadaan Kee Yong Seng, siapapun akan anggap kalau Kee Yong Seng sudah berada
di bawah kekuasaannya Ho Leng Than.
Tapi, setelah pertempuran berlangsung sekian lamanya, keadaan masih tetap begitu saja,
sinar pedang dan sambaran angin masih mengurung dirinya Kee Yong Seng, sedikitpun tidak
perlihatkan adanya perubahan.
Saat itu, bagaimana keadaannya - Kee Yong Seng, yang terkurung rapat, tidak kelihatan.
Namun Ho Leng Than sebagai orang yang mengurung, sebaliknya kelihatan telah keluarkan
banyak tenaga, otot-ototnya pada menonjol keluar dan keringatnya membasahi dahinya, wajahnya
nampak sangat tegang.
Tiba-tiba suara siulan yang amat nyaring dan panjang telah menggema dimalam yang sunyi
itu, sampai lama belum buyar.
Ho Leng Than yang mendengar siulan itu, merasa sangat girang, ia lantas timpah dengan
siulan pula.
Baru saja berhenti bersiul, tiba-tiba terdengar suara trang, pedang panjang ditangan Ho Leng
Than sudah patah menjadi dua potong, ujungnya jatuh di tanah!
Karena pedangnya Ho Leng Than patah sinar pedang dan sambaran angin buyar dengan
sendirinya. Tapi Kee Yong Seng masih tetap berdiri ditengah kalangan, sikapnya masih kelihatan
tenang, sedikitpun tidak kelihatan letihnya.
Siapakah pemuda Kee Yong Seng itu?
Kiranya ia adalah murid satu-satunya Cu-kao Lojin yang namanya sangat terkenal pada
tujuhpuluh tahun berselang.
Cu-kao Lojin meski kepandaian ilmu silatnya menjagoi rimba persilatan, tapi ia adalah seorang
yang tidak suka nama dan kekayaan dunia. Ia tidak suka setori dengan orang lain. Setiap hari
pesiar saja ke pegunungan mencari kesenangan dengan pemandangan alam.
Kee Yong Seng ada keturunan seorang berpangkat, bagaimana bisa menjadi muridnya Cu-kao
Lojin, itu semua memang jodoh.

Pada waktu Kee Yong Seng masih berusia tiga tahun, mendadak dihinggapi penyakit aneh.
Ayah bundanya hanya mempunyai ia anak satu-satunya, bagaimana tidak jadi kuatir dan
ketakutan. Banyak tabib pandai telah diundang, namun tampaknya pada tidak berdaya
menyembuhkannya.
Kebetulan kala itu Cu-kao Lojin sedang mengejar satu penjahat dan tiba di tempat itu. Setelah
si penjahat ditangkap dan dimusnahkan kepandaiannya, lalu diserahkan kepada pembesar negeri,
siapa justeru ada ayahnya Kee Yong Seng. Ia pembesar yang bijaksana, meski keadaan penyakit
anaknya sendiri ada sangat berbahaya, ia masih tidak lalaikan kewajibannya. Ketika dengar kabar
telah ditangkap seorang penjahat ulung, ia segera mengadakan pemeriksaan sendiri.
Peristiwa ini telah menjadi buah tutur penduduk kota, hingga dalam tempo tidak cukup satu
hari sudah tersiar luas.
Cu-kao Lojin ada seorang penggemar arak, setelah menyerahkan si penjahat kepada
pembesar negeri, ia sendiri lantas minum arak sampai mabuk. Ketika sadar dari mabuknya
mendengar dalam kota ramai orang bicarakan perkara itu.
Bukan cuma itu saja, banyak diantara penduduk kota yang mintakan doa kepada Tuhan
supaya anaknya pembesar negeri yang arif bijaksana itu disembuhkan dari penyakitnya.
Cu-kao Lojin yang mendapat tahu hal tersebut, lantas pergi menemui pembesar negeri dan
nyatakan hendak mengobati penyakitnya Kee Yong Seng.
Cu-kao Lojin bukan saja pandai ilmu silat, tapi juga faham ilmu obat-obatan, pengetahuannya
tentang berbagai penyakit ada sangat luas.
Kee Yong Seng yang diperiksa dan diobati sendiri oleh Cu-kao Lojin, tidak lama lantas
sembuh.
Tapi setelah Kee ong Seng sembuh dari sakitnya, Cu-kao Lojin juga tidak bisa meninggalkan
padanya lagi. Sebabnya ialah: ia telah menemukan bakat yang luar biasa pada dirinya Kee Yong
Seng untuk menjadi seorang kuat, apabila mendapat didikan ilmu silat yang sempurna.
Dalam kegirangannya, Cu-kao Lojin lantas turunkan seluruh kepandaiannya kepada Kie Yong
Seng, bahkan senjatanya Giok-cu-tiauw-kim-kau yang membuat ia menjadi seorang terkenal juga
diberikan padanya.
Senjata Giok-cu-tiauw-kim-kau itu ada terbikin dari rumput aneh dari dasarnya laut, uletnya
luar biasa, segala rupa senjata tajam jangan harap bisa menyentuh.
Terutama gaetannya yang terbikin dari emas, tajamnya luar biasa, pedang atau golok biasa,
begitu beradu, lantas terpapas kutung.
Kee Yong Seng mengikuti Cu-kao Lojin belajar silat sudah lima belas tahun lanya serta sudah
mendapat warisan seluruhnya kepandaian orang tua aneh itu. Cuma karena ayah bundanya sudah
tua dan ia merupakan anak satu-satunya, ia tidak bisa meninggalkan jauh-jauh, maka belum
pernah muncul di dunia Kang ouw.
Sedang Cu-kao Lojin sendiri sejak beberapa puluh tahun ini, sudah tidak pernah menyebutkan
namanya kepada siapapun juga, kalau ia bekerja selalu dengan diam-diam maka di kalangan
Kang-ouw sudah lama tidak terdengar namanya orang tua itu lagi.
Ho Leng Than menyebut namanya "Giok-cu-tiauw-kim-kao" sebab pernah dengar dari
yayanya, tapi ia tidak percaya Kee Yong Seng ada muridnya Cu-kao Lojin, ia cuma anggap Kee
Yong Seng mau meniru Cu-kao lojin dan membuat senjata yang serupa.

Sebab justeru ia sendiri juga pernah mempunyai pikiran yang sangat rendah itu, ia hendak
membuat senjata "Giok-cu-tiauw-kim-kao" untuk menggertak orang dunia Kang-ouw cuma sayang
ia tidak becus dengan ilmu gaetan itu maka terpaksa ia urungkan niatnya.
Kee Yong Seng meski belum pernah tancap kaki di dunia Kang-ouw, tapi terhadap ilmu silat
yang luar biasa dari berbagai golongan, ia ketahui dengan baik. Ho Leng Than telah sebut dirinya
sebagai kauwcu muda dari Ceng-hong-kauw, sudah tentu Kee Yong Seng juga tahu kalau ia
pandai ilmu pedang Ceng-hong kiam-hoat.
Ia ada seorang yang berkepandaian tinggi dan bernyali besar, sesudah mengetahui ilmu
pedang yang menggetarkan dunia Kang-ouw itu, tidak boleh tidak ia harus uji dulu sampai dimana
lihaynya ilmu pedang itu.
Maka ia sengaja menantang Ho Leng Than.
Memang benar, ilmu pedang yang namanya begitu terkenal, sudah tentu agak lain daripada
yang lain. Tapi ia dari Cu-kao Lojin sudah terlalu banyak dapatkan pelajaran, mengetahui
bagaimana caranya untuk menghadapi, maka bisa melayani dengan mudah!
Akhirnya, pedang Ho Leng Than telah dibikin kuntung oleh senjatanya yang luar biasa itu.
Ho Leng Than melihat senjatanya terbuntung, semangatnya terbang seketika, nyalinya juga
lantas runtuh.
Tepat pada saat itu, dua bayangan orang tiba di depan Ho Leng Than dan menanya dengan
berbareng:
"Apa siao-kauwcu tidak dapat halangan?"
Dua orang itu ada orang-orang tua yang usianya sudah lebih dari enam puluh tahun, maka
rambut dan jenggotnya sudah putih semua. Dari gerakannya kedua orang itu, dapat diduga bahwa
mereka ada orang-orang yang mempunyai kepandaian ilmu silat tinggi sekali.
Baru saja dua orang itu tiba, lain bayangan lalu menyusul.
Tiba-tiba terdengar Kie yong Yong berseru "Kim Houw! Engko Houw! aku sangat menderita
mencari kau ...."
Kiranya orang yang baru tiba itu memang benar Kim Houw.
Peng Peng mendengar Kie Yong yong memanggil Kim Houw, dalam hati dirasakan seperti
tertusuk senjata tajam, matanya lantas berkunang-kunang, hampir saja ia jatuh pingsan.
Him Houw yang melihat itu, segera mau menghampiri dan menanya:
"Peng Peng! Peng peng ! Kau Kenapa? Apa kau terluka?"
Meski perhatian Kim Houw yang begitu besar ditujukan kepada dirinya dan bukan kepada Kie
Yong Yong, tapi biar bagaimana sudah tidak mampu mengobati rasa cemas luar biasa yang timbul
dalam hatinya.
Mendadak Peng Peng berontak, melepaskan diri dari bimbingan Kim Houw.

"Jangan sentuh aku, siapa kesudian dengan ucapanmu yang berpura-pura saja. Lebih baik
tengok sahabat baikmu! Hm, sahabat baik juga kekasih yang baik dan isteri yang bijaksana. Dia
sudah menyediakan turunan untuk kau!"
Sehabis mengucapkan perkataannya, Peng Peng lantas putar tubuhnya dan melesat pergi.
Perkataannya Peng Peng itu telah membikin bingung Kim Houw, sehingga saat itu cuma bisa
berdiri kesima. tapi kemudian setelah memikirkan, ia lantas menjadi kaget dan seketika itu lantas
seperti seorang linglung. Ketika ia sadar, Peng Peng sudah tidak kelihatan bayangannya.
Pada saat itu, kembali terdengar suaranya Kie Yong Yong yang memanggil padanya.
Kim Houw menghela napas dan geleng-gelengkan kepalanya.
"Nona Kie, " katanya. " Aku Kim Houw meski manusia biasa, tapi moralku masih belum begitu
bejad, sehingga melakukan perbuatan durhaka terhadap dirimu. Mengapa kau mendesak aku
terus menerus, tindakanmu ini benar-benar menyulitkan diriku ........!"
Mendadak Kim Houw ingat Peng Peng sudah pergi lama, maka ia tidak mau membuang tempo
lagi, ia harus menyusul nona Touw.
Baru saja ia lompat melesat, mendadak ada angin kuat menyambar ke arah dadanya, rupanya
orang hendak merintangi perjalanannya.
Kim Houw tercengang, tapi sebentar ia sudah tenang lagi dan siap menghadapi segala
kemungkinan.
Ia membiarkan dirinya dirintangi oleh kekuatan serangan angin itu, terus meluncur turun lagi.
Tapi, kira-kira dua kaki Kim Houw mau menginjak tanah, mendadak ia gerakkan kedua
lengannya, tubuhnya kembali melesat tinggi kira-kira lima tombak, baru kemudian melayang turun.
Baru saja hendak menginjak tanah, dari kanan dan kirinya tiba-tiba muncul dua orang tua yang
merintangi perjalanannya sambil berteriak-teriak.
"Haha! Kiranya kau adalah binatang cilik Kim Houw, yang membuat kita berdua repot
melakukan perjalanan beberapa puluh lie untuk mencarinya. Binatang, sekalipun kau mampus
juga masih belum cukup untuk menebus dosamu...."
Menampak dua orang tua itu merintangi perjalanannya, Kim Houw diam-diam memang sudah
jengkel, sekarang mendengar perkataan yang kasar, hatinya jadi panas, ia lantas membentak
dengan suara keras: "Barusan sudah kuampuni jiwa anjingmu berdua, tapi sekarang kembali
hendak menggerecok. Kalau tidak mengingat usia kalian yang sudah lanjut, aku bikin kalian tidak
bisa hidup sampai terang tanah."
Mengapa Kim Houw mengatakan barusan sudah mengampuni jiwa mereka? Tadi dia masih
duduk di atas atap rumah, kemudian menghilang dengan mendadak, kemana sebetulnya ia telah
pergi?
Kiranya tadi ketika Peng Peng pergi ke dapur hendak mengambil ayam panggangnya, dari
jauh Kim Houw dapat melihat berkelebatnya bayangan orang yang muncul saling menyusul.
Bergeraknya bayangan orang ini gesit sekali, Kim Houw heran dan ingin mencari keterangan.

Dua bayangan itu bukan lain ada dua orang tua itu yang sedang lari dengan pesat agaknya
mencari apa-apa. Kim Houw lalu hendak balik kembali, tapi mendadak ia mendengar dari
pembicaraan mereka ada menyebut-nyebut nama Kim Houw. Ia heran, karena ia tidak pernah
kenal dengan kedua orang tua itu. Dalam hati menanya, mungkin ini kembali perbuatannya Siao
Pek Sin yang menggunakan namanya, sehingga membuat orang tua itu mencarinya.
Mengingat ini, Kim Houw lantas mengambil keputusan mengejar mereka.
Karena Kim Houw sedang pusatkan perhatiannya kepada dua orang tua itu, ia tidak tahu jika di
depannya kembali ada orang lain.
Baru saja ia membelok ke satu tikungan sebuah bukit, kembali ia melihat berkelebatnya
bayangan orang, Kim Houw lalu urungkan niatnya mengejar dua orang tua tadi, sebaliknya lompat
mengejar bayangan orang itu.
Ketika ia sudah berada dekat, ia baru kenali bahwa orang itu ternyata adalah Souw Coan Hui,
murid kesayangan Ciok Goan Hong.
Hati Kim Houw berdebaran, melihat si orang she Souw, pikirnya kematian Bwee Peng kecuali
Ciok Liang yang berdosa, Souw Coan Hui mungkin juga merupakan salah satu pembantunya yang
melakukan kejahatan tersebut.
Apalagi mengingat dari mulutnya Ciok Liang seolah-oleh menyebut bahwa perbuatannya itu
ada atas anjuran orang lain, karena kala itu ia masih terlalu muda dan tidak mengerti urusan. Di
Bwee Kee Chung, Ciok Liang bergaul erat sekali dengan Souw Coan Hui, kedua orang itu boleh
dibilang belum pernah terpisah satu sama lain. Maka Kim Houw menganggap kecuali Souw Coan
Hui siapa lagi yang mau menganjuri Ciok Liang berbuat kejahatan?
Karena memikir demikian, Kim Houw lantas melesat merintangi perjalanannya siorang she
Souw.
Souw Coan Hui menampak Kim Houw turun dari udara mencegat dirinya, bukan kepalang
kagetnya. Tapi ia masih mengira Kim Houw masih linglung seperti dulu, maka tidak begitu kuatir,
bahkan masih menegur padanya:" Kim Houw, Kau ..."
"Souw Coan Hui, kau ternyata masih mengenali aku Kim Houw, masih bagus..." jawab Kim
Houw dingin.
Mendengar jawaban Kim Houw, Souw Coan Hui lantas tahu bahwa Kim Houw sekarang sudah
pulih kembali ingatannya, hingga ia ketakutan setengah mati.
"Kau ...... kau..... kau mencari aku?", ia menanya dengan suara gemetar.
"Kau tahu sendiri, apa masih perlu aku menjelaskan lagi?"
Sampai di situ, Souw Coan Hui segera mengerti bahwa dirinya dalam bahaya, maka
semangatnya lantas terbang seketika, badannya menggigil, tapi ia masih coba membela diri: "Itu
tidak ada hubungannya dengan aku, semua ada perbuatannya Ciok Liang, sedikit juga aku tidak
turut campur tangan."
"Enak saja kau menyangkal. Kalau benar seperti apa yang kau katakan, semua tentu ada
perbuatannya Ciok Liang seorang, sekarang aku tidak tanya kau, apa yang kau maksudkan
dengan urusan yang kau tidak turut campur dengan itu?"

Ditanya demikian, Souw Coan Hui kelabakan tidak mampu menjawab. Memang, perbuatan itu
sebetulnya dilakukan oleh Ciok Liang tidak ada hubungannya dengan dia?
Tadi Kim Houw belum membuka mulut menanya, sebaliknya ia sendiri yang mengatakan,
terang ia memang tahu urusan itu, karena ketakutan kerembet-rembet urusan kejahatan Ciok
Liang, maka tergesa-gesa ia membersihkan diri.
Kalau memang ia tahu, sudah tentu tak akan terlepas dari tanggung jawabnya.
Setelah sadar kalau ia sudah keterlepasan omong, dalam hati semakin takut, hingga keringat
dingin mengucur deras.
Pada saat itu orang tua tadi telah muncul berbareng.
Kim Houw lantas ulur tangannya, seolah-olah burung elang menerkam ayam, menyambar diri
Souw Coan Hui, dibawa sembunyi di belakangnya sebuah pohon besar.
Diluar dugaan, sebelum Kim Houw berdiri tegak Souw Coan Hui mendadak menggerakkan
kedua tangganya, kiranya dalam tangannya siang-siang ia sudah menyediakan dua buah senjata
rahasia keluarga Ciok yang sangat terkenal, yang bentuknya seperti lidah burung dali.
Dua batang senjata rahasia itu sebetulnya disediakan bukan untuk menyerang Kim Houw,
sebab ia bukan dewa, sudah tentu tidak mengira dia bakal ketemu dengan Kim Houw.
Ia sediakan itu khusus untuk menyerang kedua orang tua tadi, tapi sekarang digunakan untuk
menyerang Kim Houw.
Saat mana antara dua orang itu berdiri sangat rapat, Souw Coan Hui ulur tangannya, tapi
dalam jarak yang begitu dekat, sudah tentu tidak mudah ia melepaskan senjata rahasianya. Di
dalam keadaan demikian, Souw Coan Hui terpaksa tarik mundur tangannya, kemudian
melancarkan serangannya.
Senjata rahasianya itu adalah senjata rahasia tunggal dari keluarga Ciok, sudah tentu bukan
senjata rahasia sembarangan, terutama bagiannya yang berbentuk mirip dengan paruh burung, di
dalamnya ada tersimpan sebatang jarum perak yang mengandung racun sangat berbisa, bila
mengenakan orang, sukar si korban ditolong jiwanya.
SOuw Coan Hui dengan senjatanya yang sangat berbisa itu, telah menyerang Kim Houw
secara mendadak, ia tidak mengharap senjatanya itu bisa melukai dirinya Kim Houw, hanya
mengandalkan racunnya yang disembunyikan di dalamnya.
Ketika Souw Coan Hui tarik mundur tangannya, Kim Houw sudah curiga, tapi ia tidak menduga
kalau di tangannya Souw Coan Hui sudah sedia senjata rahasia yang amat berbisa.
Kim Houw mengetahui adanya senjata hanya beberapa dim saja!
Ia memang sangat membenci Souw Coan Hui, sebetulnya sudah ingin membinasakannya tapi
ia juga tahu lihaynya senjata rahasia keluarga.
Mengeluarkan ilmunya mengentengi tubuh, cepat melesat ke atas, untuk menghindarkan
serangan tersebut.

Tapi, gerakannya ternyata sudah agak lambat, senjata rahasia itu sudah mengenakan
badannya, namun tidak begitu kuat tenaganya baru menyentuh dirinya senjata itu lantas jatuh ke
tanah.
Kim Houw kaget terkena serangan senjata beracun itu. Dalam sengitnya, ia hendak binasakan
Souw Coan Hui lebih dulu, sekalipun ia sendiri akan menyusul binasa, ia akan merasa puas.
Maka begitu Kim Houw tancap kaki, segera melesat lagi menubruk Souw Coan Hui.
Pada saat itu mendadak ada beberapa buah senjata rahasia lagi yang menyerang dari
samping.
Kim Houw tahu bahwa senjata-senjata rahasia itu dilancarkan oleh kedua orang tua tadi,
hatinya gemas sekali terhadap dirinya Souw Coan Hui, ia sudah ambil putusan tidak akan
membiarkan orang she Souw itu berlalu dalam keadaan bernyawa.
Ia lalu kerjakan kaki dan tangannya untuk menyampok jatuh senjata-senjata rahasia yang
menyerang dari samping.
Souw Coan Hui yang mengetahui bahwa senjata rahasianya sudah mengenakan sasarannya,
dalam hati sudah merasa girang, sekarang dengan adanya kedua orang itu yang memberi bantuan
padanya, ia semakin girang.
Tapi ia tidak nyana bahwa Him Houw yang telah kena senjata rahasianya masih mempunyai
kekuatan tenaga begitu hebat. Ketika menampak Kim Houw menyerang padanya dengan tangan
kosong, segera ia kerahkan seluruh kekuatannya, hendak menyambuti serangan lawan dengan
kedua tangannya.
Dalam perhitungannya, karena Kim Houw badannya sudah kena serangan senjata beracunnya
pasti kekuatannya banyak berkurang.
Apalagi buat orang yang sudah terserang racun tentunya tidak boleh memaksa mengerahkan
kekuatan tenaganya, seharusnya duduk diam sambil menahan napas, supaya racunnya tidak
menjalar dengan cepat.
Tapi kini. Kim houw setelah kena serangan senjata beracun, masih bisa menyerang dengan
kekuatan yang masih ada, ia tidak percaya kalau serangannya Kim Houw masih cukup hebat.
Tapi. bagaimana ia dapat mengukur tenaganya Kim Houw ? Baru saja menyambuti
serangannya yang pertama, kedua tangannya sudah patah dan tidak mampu digerakkan lagi.
Sampai disini Souw Coan Hui baru tahu kalau ia salah memperhitungkannya, tapi tangannya
sudah terlanjur patah. Buru-buru ia gerakkan kakinya, ia masih hendak berusaha untuk melarikan
diri namun dirasakan sakit, seolah-olah dijepit dengan tang besar.
Itu adalah tangannya Kim Houw yang sangat kuat, yang sudah menyekal lehernya. Karena ia
benci sekali kepada anak muda ini, maka Kim Houw mencengkeram semakin kuat sehingga Souw
Coan Hui kesakitan setengah mati, mulutnya menjerit-jerit tidak berhenti-hentinya.
Selanjutnya, Kim Houw menotok jalan darah Souw Coan Hui dikedua pahanya, totokan itu
sangat hebat kedua kakinya Souw Coan Hui lantas menjadi bercacat untuk selama-lamanya.
Pada saat itu, mendadak beberapa buah senjata rahasia menyerang lagi pada dirinya.

Sambil mengangkat tubuhnya Souw Coan Hui, Kim Houw menyambuti serangan tersebut.
Dengan demikian, kembali Souw Coan Hui menjerit-jerit seperti babi dipotong.
Tiba-tiba Kim Houw merasakan dadanya sedikit nyeri. Ia terkejut, sebetulnya ia hendak
memberi hajaran kepada kedua orang tua yang menyerang dirinya tanpa sebab, baru
memeriksakannya.
Tapi karena rasa nyerinya itu, ia tidak berani memaksakan diri. Ia lantas angkat tubuhnya
Souw Coan Hui, dilemparkan pada batu padas, hingga Souw Coan Hui binasa seketika itu juga
dalam keadaan remuk. Kim Houw kemudian berkelebat dan menghilang.
DUa orang tua itu mencari ubek-ubekan, tapi tidak dapat menemukan, terpaksa berlalu dengan
perasaan mendongkol.
Kim Houw karena mendapat gangguan di dadanya, untuk sementara tidak mau melayani dua
orang tua itu. Ia sembunyikan diri didalam sebuah lembah, untuk memeriksa lukanya.
Ketika membuka bajunya, di kanan dan kiri dadanya apa terdapat dua batang jarum perak, ia
coba gerakkan tenaganya, dua batang jarum itu lantas jatuh di tanah. Dari bekas jarum menancap
tadi lantas mengalir darah segar. Kim Houw agak kaget, melihat darah mengalir.
Bahwa jarum itu ada mengandung racun yang sangat berbisa, Kim Houw ketahui dengan baik.
Tapi ia heran. kenapa ia tidak apa-apa apakah jarum itu tidak ada racunnya.
Ia coba mencari kedua batang jarum yang jatuh di tanah tadi.
Dan apa yang ia saksikan? Tempat dimana dua batang jarum itu terjatuh, rumputnya nampak
kering, dari sini ada membuktikan bahwa jarum tadi memang ada racunnya.
(Bersambung ke Jilid 23)
Jilid 23
Meski Kim Houw sudah melihat rumput kering karena pengaruhnya racun, tapi ia masih kurang
percaya. Ia ambil dua batang jarum itu, di ujungnya tampak hitam mengkilat, kalau jarum itu
digerakkan, rumput yang tersentuh ujung jarum itu lantas menjadi kering layu. Dengan demikian ia
baru percaya kalau jarum itu ada mengandung racun yang sangat berbisa.
Tapi ia masih tidak habis mengerti, bagaimana badannya tidak dapat dicelakakan oleh racun
itu ? Ia tidak percaya dirinya kebal terhadap segala racun seperti Tok-kai.
Namun kenyataan memang demikian, mau tidak mau ia harus percaya juga. Ia coba kerahkan
kekuatannya, dirinya ternyata tidak terganggu apa-apa, ia baru merasa lega.
Karena orang tua itu sudah berlalu, ia lalu balik kembali ke gedungnya gwanswee tua.
Begitulah pengalamannya Kim Houw ketika ia berlalu dengan diam-diam meninggalkan Peng
Peng.
Dan kini ketika mengetahui bahwa dua orang tua itu coba merintangi dirinya, bagaimana ia
tidak jadi gusar ?
Satu diantara kedua orang tua itu mendadak berkata sambil tertawa dingin :

"Binatang cilik, kau benar-benar terlalu jumawa, meskipun kau pernah mengalahkan beberapa
orang kuat golongan Ceng-hong-kauw, tapi kalau kau ingin menjagoi di rimba persilatan, masih
belum waktunya, kau mengerti?"
Kim Houw yang bingung ditinggalkan Peng Peng, kini kedua orang tua itu menggerecok tidak
berhentinya, dalam hati jadi sengit maka ia lantas membentak dengan suara keras :
"Jangan rewel, kalau kalian punya kemampuan, boleh maju berbareng menyambuti
seranganku hanya tiga jurus saja. Jika dalam tiga jurus salah satu dari kalian bisa lolos dengan
selamat, kau jangan panggil aku si orang she Kim lagi !"
Kedua orang tua itu tertawa bergelak-gelak, nampak sangat jumawa.
Orang tua yang berbicara duluan tadi berkata kepada kawannya :
"Lo-jie, kau sambuti dulu tiga jurus, toako nanti akan membantumu. Aku kepingin lihat
bagaimana dia dapat melukai kita dalam tiga jurus ?"
Ternyata kedua orang tua itu adalah kakak beradik, yang tua bernama Kai Tong, sang adik
bernama Kai Eng. Keduanya belajar silat di gunung Kow-san, maka dalam kalangan Kang-ouw
mereka terkenal dengan julukan Kow-san Jie-lo.
Kim Houw yang mendengar mereka tidak mau maju bersama, lantas berkata pula:
"Kalau kau mau maju satu persatu, biarlah aku jelaskan padamu, supaya kau bisa siap sedia.
Gerakkan pertama dinamakan Pho-lek-hui-thian, selanjutnya disusul dengan tipu serangan Lohay-
hok-ciu dan akhirnya Yan-tee-hui-thian. Nah sambutlah !"
Sehabis memberi keterangan, Kim Houw lantas putar tangan kirinya, membuat lingkaran
bundar, kemudian disusul dengan serangannya yang menggunakan ilmunya Han-bun-cao-kie.
Serangan pertama itu benar-benar sangat hebat, sambaran angin yang amat dahsyat saling
menyusul, seperti gelombang air bah menyambar Kai Eng.
Kai Eng yang menampak serangan Kim Houw ada begitu hebat, dalam hati diam-diam ia
merasa kaget, tapi ia masih berlagak tenang. Sambil ketawa bergelak-gelak ia angkat kedua
tangannya, seperti hendak menyambuti serangan Kim Houw itu.
Apakah Kai Eng benar-benar berani menyambuti serangan Kim Houw? Tidak. Kecuali kalau ia
sudah tidak kepingin hidup lagi!
Ia hanya melakukan gerakan pura-pura itu, setelah serangannya Kim Houw sudah hendak
mengenakan dirinya, ia baru tarik mundur dirinya.
Ancaman dari sambaran angin telah mendesak dengan hebat, Kai Eng segera melesat tinggi,
kemudian meluncur turun dengan miringkan dirinya. Siapa nyana baru saja badannya melesat ke
atas, angin yang sama kuat kembali mengancam di depannya, tapi sebentar kemudian mendadak
lenyap sendiri tanpa bekas.
Selagi ia melayang turun dengan badan miring angin yang amat dahsyat kembali menyerang
di belakang badannya secara mendadak. Kai Eng kali ini tidak bisa ketawa lagi !
Karena kakinya belum menginjak tanah, ia pikir hendak berkelit juga amat sukar.

Kai Tong yang menyaksikan keadaan adiknya, kagetnya bukan kepalang. Ia segera kerahkan
kekuatan tenaganya, dari samping ia lancarkan satu serangan tangan, untuk mendorong tubuhnya
Kai Eng sehingga satu tombak jauhnya, baru terhindar dari ancaman bahaya.
Kim Houw dengan meniru gayanya kedua orang tua itu ketawa bergelak-gelak sembari berkata
:
"Serangan pertama Pho-lek-hui-thian, boleh dikata sudah kalian elakkan dengan baik, tapi ini
bukan berarti kalian mampu menyambuti seranganku tadi. Sekarang serangan kedua ada lebih
lihay dan lebih hebat dari serangan pertama, kalian harus hati-hati!"
Kow-san Jielo belum menjawab, kedua tangannya Kim Houw sudah diajur ke tanah berulangulang.
Sebentar saja, tempat dimana dua orang tua itu berdiri sekitar satu tumbak, mengepulkan
debu tinggi, batu dan pasir pada berterbangan menyambar dirinya kedua orang tua itu. Dalam
keadaan demikian, kedua orang tua itu baru gelagapan, sampai tempat untuk tancap kakinya saja
dirasakan sudah tidak ada.
Betapakah hebatnya kekuatan tenaga yang diunjukkan oleh Kim Houw? Benar-benar susah
dibayangkan !
Kow-san Jielo selagi hendak lompat mundur, merasakan angin hebat mendadak menyambar
dari segala penjuru, sehingga membuat kedua orang tua itu tidak mengenal arah lagi.
Biar bagaimana, Kow-san Jielo masih terhitung orang kuat dalam kalangan Kang-ouw, di
dalam Ceng-hong-kauw, mereka juga mempunyai kedudukan cukup tinggi.
Kai Tong mendadak pegang erat tangannya Kai Eng, sembari keluarkan bentakan "Naik!"
keduanya lantas lompat melesat ke atas kira-kira tiga tombak tingginya.
Selanjutnya ditengah udara mereka saling mendorong, hingga satu melesat ke timur dan yang
lain melesat ke barat. Dengan demikian mereka telah terlepas dari kepungan angin.
Tapi, baru saja keluar dari kepungan angin, mendadak ada kekuatan yang tidak kelihatan
mendesak hebat kepada mereka. Dua orang tua itu segera kerahkan seluruh tenaganya untuk
menahan gencetan tenaga yang tidak kelihatan itu. Apa mau, karena perbedaan kekuatan ada
sangat jauh, ketika kekuatan tenaga kedua fihak saling bentur, segera terdengar suara jeritan
ngeri, kemudian disusul dengan jatuhnya dua tubuh. Mereka ada kedua orang tua yang jumawa
telah rubuh berbareng di atas tanah.
Kim Houw tertawa bergelak-gelak.
"Hari ini siaoyamu ada urusan, tidak mau berbuat keterlaluan. Lain waktu apabila ketemu lagi,
tidak nanti akan kuberi ampun begitu saja." kata si anak muda.
Habis berkata, kembali ia dengar suaranya Kie Yong Yong:
"Engko Houw, benarkah kau ada begitu kejam? Benarkah kau tega menyaksikan diriku
bergulat dengan maut? Kau tahu, aku Kie Yong Yong sudah...... untuk keluarga Kim."

Kim Houw yang mendapat keterangan dari Peng Peng, tadinya mengira Peng Peng ada mainmain
atau karena cemburu, tapi kini setelah mendengar ucapan Kie Yong Yong, baru tahu kalau
Kie Yong Yong benar-benar sudah mengandung.
Tapi, dalam hati Kim Houw lantas mengerti bahwa semua itu ada perbuatannya Siao Pek Sin,
walaupun demikian, ia tokh tidak dapat mengatakan, sebab sekalipun ia menjelaskan mungkin
juga tidak ada orang yang mau percaya.
Sekarang, Peng Peng sudah berlalu, hal ini merupakan soal yang benar benar bisa membikin
pusing kepala.
"Nona Kie, aku bukan orang semacam itu. Mengenai urusanmu, kalau bisa dapatkan Tiancu
dari istana Panjang Umur Siao Pek Sin, kau nanti akan tahu sendiri. Siao Pek Sin sekarang ini
berada di Pek-liong-po di kota Ceng Shia. Pergilah cari dia, semuanya akan menjadi jelas."
Ia anggap bahwa keterangannya itu sudah cukup jelas, padahal bagi orang lain yang tidak
mengerti duduknya perkara, tentu tidak mengerti.
Demikianlah bagi Kie Yong Yong, keterangan Kim Houw itu tambah membingungkan padanya,
maka ia lantas berkata :
"Engko Houw, kecuali kau, orang lain tidak bisa menolong diriku, siapapun tidak mampu
menolong aku!"
Kim Houw merasa kurang pantas untuk menjelaskan duduknya perkara yang sebenarnya,
maka terpaksa ia tidak menjawab. Sambil kertak gigi ia lantas putar tubuhnya hendak pergi
menyusul Peng Peng !
Baru saja Kim Houw bergerak, mendadak berkelebat bayangan putih memegat di depannya.
Kim Houw merandek, ketika ia menegasi, baru tahu bahwa orang yang memegat padanya itu
adalah pemuda yang tadi berdiri di samping dengan sikapnya yang tenang.
Kim Houw terperanjat. Dari gerak-geriknya dan sepasang matanya, Kim Houw tahu bahwa
pemuda itu adalah orang yang mempunyai kepandaian tinggi, mungkin juga salah satu orang kuat
dari rimba persilatan.
Ketika ia menampak senjata Giok-cu-tiauw-kim-kao di tangannya anak muda itu, dalam hati
semakin kaget. Sebab dalam kitab pelajaran ilmu silatnya Kauw-jin Kiesu juga ada disebutkan
tentang senjata ini, hingga Kim Houw mau menduga bahwa anak muda itu tentunya bukan orang
sembarangan.
Selanjutnya pemuda itu lantas berkata kepada Kim Houw :
"Heng-tay, harap suka tunggu sebentar, siaoseng ingin bicara sedikit. Nona Kie begitu besar
cintanya padamu, bagaimana heng-tay nampaknya begitu dingin seperti tidak mempunyai
perasaan sama sekali terhadap dirinya? Juga nampaknya karena sudah dapatkan yang baru maka
membuang yang lama. Meskipun paras nona Kie sekarang kelihatannya begitu perok, tapi ia
demikian sebetulnya karena heng-tay. Kecantikannya dimasa yang lampau, rasanya tidak kalah
dengan nona barusan tadi...."
Kim Houw meski kagum terhadap senjatanya yang aneh dari anak muda itu, tapi ia tidak takuti
padanya. Sebab sejak muncul di dunia Kang-ouw, ia belum pernah menemukan tandingan yang
setimpal.

Kini mendengar ucapan anak muda itu, ia merasa bingung. Darimana ia tahu Kie Yong Yong
menyintakan dirinya begitu besar? Apa artinya tidak mempunyai perasaan sama sekali? Dan apa
artinya dapatkan yang baru membuang yang lama?
Maka tidak menantikan anak muda itu bicara habis, ia lantas memotong :
"Apa yang kau maksudkan, sama sekali aku tidak mengerti. Tentang jelek atau cantik, itu ada
urusan mereka sendiri, asal aku suka, sekalipun jelek, aku juga bisa menyinta selama-lamanya,
tidak usah kau repot-repot turut memikirkan."
Anak muda itu adalah Kee Yong Seng. Ketika mendengar jawaban Kim Houw, ia lantas
ketawa dingin dan berkata :
"Aku bahasakan heng-tay kepadamu, itu adalah karena aku pandang dirimu. Tapi menampak
sikapmu yang pura gagu dan tuli, itu seolah-olah seperti perbuatan binatang, sungguh tidak pantas
aku bahasakan heng-tay lagi. Meskipun kepandaian ilmu silatmu sudah terlalu tinggi, tapi aku
tetap ingin meminta pengajaran darimu, dengan sepotong kain rombeng ditanganku ini, aku ingin
menyambuti seranganmu sampai tiga ratus jurus!"
Kim Houw merasa sangat tersinggung, maka seketika itu lantas naik darah. Taruh kata anak
muda itu bermaksud dengan membela Kie Yong Yong, juga tidak sepatutnya mengucapkan
perkataan demikian.
"Aha!" jawabnya dingin. "Kau anggap karena di tanganmu ada memegang senjata ampuh
yang tidak ada tandingannya lantas mau menggertak orang ? Haha ! kau dapat menggertak orang
lain, tapi tidak buat aku, "Giok-cu-tiauw-kim-kao" meski lihay, tapi kalau hendak mematahkan
senjataku, kau jangan harap, biarlah aku juga unjukkan senjataku yang tidak berharga untuk kau
saksikan......"
Sehabis berkata, Kim Houw lalu mengeluarkan senjatanya "Bak-tha-liong-kin".
"Senjataku ini meski bukan benda pusaka yang sudah tidak ada tandingannya, tapi kalau kau
ingin melayani aku sampai tiga ratus jurus, aku tidak mempunyai begitu banyak waktu terluang.
Kau lihat saja ! dan sekarang silahkan kau bergerak !"
Kee Yong Seng tadi meski agak mendongkol, tapi sikapnya masih tetap tenang. Sebab ia tahu
bahwa kekuatan Kim Houw ada sangat luar biasa, namun ia tidak merasa keder. Karena ia masih
boleh mengandalkan senjata dan ilmu silatnya yang aneh dan luar biasa.
Ia pikir, meski dalam hal kekuatan tenaga lwekang mungkin ia masih kalah, tapi senjatanya
"Giok-cu-tiauw-kim-kao" dan tipu-tipu serangannya yang aneh dan luar biasa, bukan setiap orang
gagah didunia Kang-ouw yang mampu menyambuti. Andaikata benar-benar tidak mampu
menandingi, rasanya juga tidak kalah terlalu jauh, sedikitnya masih mengharap berkesudahan seri.
Tapi, ketika Kim Houw mengeluarkan senjatanya "Bak-tha-liong-kin", Kee Yong Seng lantas
terkejut, wajahnya berubah seketika.
"Bak-tha-liong-kin !" demikian ia berseru.
Memang, "Bak-tha-liong-kin" ada senjata pusaka yang luar biasa, bagaimana Cu-kao Lojin
tidak tahu? Kalau Cu-kao Lojin tahu, Kee Yong Seng juga tahu.

Orang she Kee itu merasa heran, oleh karena senjata "Bak-tha-liong-kin" itu ada senjatanya
Kauw-jin Kiesu, satu jago kenamaan dari beberapa ratus tahun berselang.
Kim Houw lihat Kee Yong Seng mengenal senjatanya, lantas ketawa dan berkata:
"Benar ! Ini adalah "Bak-tha-liong-kin" tapi kalau mau dibanding dengan senjatamu "Giok-cutiauw-
kim-kao", rasanya masih kalah jauh. Kau tak usah kuatir, silahkan maju !"
Ucapan Kim Houw yang bersifat mengejek ini bagaimana Kee Yong Seng mau mengerti ?
Pada umumnya, setiap orang tidak mau mengalah mentah-mentah begitu saja, apa lagi darah
muda? Sekalipun tahu benar bahayanya juga akan ditempuh.
Apalagi Cu-kao Lojin dulu pernah memuji ia, bahwa kepandaiannya ternyata tidak dibawah
suhunya sendiri, asal bisa berlaku hati-hati, betapapun kuatnya sang musuh, juga tidak perlu
ditakuti.
Demikianlah, Kee Yong Seng karena mengandalkan kepandaiannya sendiri, nyalinya lantas
besar, sambil pegang erat senjatanya dan mengeluarkan siulan panjang, ia lantas berkata :
"Jangan kau kira karena mempunyai senjata istimewa "Bak-tha-liong-kin", kau lantas bersikap
sombong, sekalipun Kauw-jin Kiesu si iblis tua menjelma kembali, aku Kee Yong Seng juga tidak
takut."
Mendengar perkataan Kee Yong Seng yang menghina nama gurunya yang ia sendiri belum
pernah mengenalnya, Kim Houw sangat gusar.
Saat itu Kee Yong Seng sudah mulai serangannya dengan senjatanya yang istimewa.
Kim Houw tidak berkelit atau mengegos, senjata Liong-kinnya diputar, Bak-thanya dengan
cepat menotol senjata Kim-kaonya Kee Yong Seng, berbareng dengan itu, badannya juga digeser
maju untuk mendesak.
Senjatanya Kee Yong Seng selamanya belum pernah menyingkiri senjata musuhnya yang
bagaimanapun juga, kali ini juga tidak kecualian. Gaetannya tetap masih digunakan untuk
menyambuti serangan senjata lawannya, maka kesudahannya lantas terdengar suara "trang",
beradunya kedua senjata yang sama-sama istimewanya itu.
Tapi baru saja senjatanya beradu, badan Kim Houw sudah mendesak maju. "Liong-kin" diputar
untuk menotok beberapa bagian jalan darah di dada lawannya.
Kee Yong Seng tidak menduga Kim Houw bisa berlaku demikian gesit, buru-buru ia berkelit,
badannya melesat ke samping kira-kira satu tombak, kemudian ayun tangannya, gaetannya balik
menyambar batok kepala Kim Houw.
Tapi, Kim Houw yang sudah mendesak maju bagaimana mau membiarkan Kee Yong Seng
meloloskan diri?
Sebab, senjatanya "Bak-tha-liong-kin" Kim Houw, adalah senjata pendek yang menguntungkan
untuk penyerangan jarak pendek. Sebaliknya senjata Kee Yong Seng ada senjata panjang yang
sangat menguntungkan untuk penyerangan jarak jauh. Satu pendek dan satu panjang masingmasing
berlainan kepentingannya. Maka Kim Houw yang sudah mendesak maju, bagaimana mau
lepaskan kesempatannya begitu saja dan membiarkan senjata lawannya mendapat keuntungan?

Kee Yong Seng berkali-kali menyingkir, selalu tidak berhasil menjauhkan diri dari desakan Kim
Houw. Anak muda itu seolah-olah bayangan yang terus membayangi dirinya.
Tapi Kee Yong Seng setelah mengetahui semua usahanya tersia-sia, segera bikin pendek
senjata gaetannya, sedangkan mutiaranya juga di lepaskan dari tangannya, dengan demikian
maka senjatanya lantas berubah menjadi senjata pendek.
Kedua fihak lalu melakukan pertempuran yang cepat dan hebat.
Sebentar saja batu dan pasir pada berterbangan, senjata kedua pihak saling berkelahi, kedua
pihak sama-sama kuatnya, benar-benar merupakan suatu pertempuran yang amat seru.
Suara beradunya kedua senjata itu terdengar berulang-ulang sampai sembilan kali setiap kali
sehabis beradu, keduanya dengan cepat lantas memisahkan diri, untuk memeriksa senjata
masing-masing.
Pertempuran sengit secara demikian, berlangsung terus sampai lebih dari delapan puluh jurus.
Untungnya senjata-senjata Bak-sha dan Kim kao itu sama-sama merupakan senjata pusaka,
yang tiada taranya, maka setiap kali diperiksa tidak kedapatan tanda kerusakan apa-apa,
keduanya lantas bertempur lagi.
Kim Houw dengan beruntun melancarkan tiga macam ilmu serangan pecutnya, tapi semuanya
tidak dapat melukai lawannya, dalam hati mulai mendongkol. Mendadak ia keluarkan siulan
nyaring, sambil ayun pecutnya ia melesat tinggi kemudian menukik turun.
Tertanya kali ini Kim Houw sudah melancarkan tipuan serangannya Kauw jin Kiesu yang
membuat ia terkenal : "Thian-liong pat sik"
Tubuhnya Kim Houw seolah-olah seekor burung elang raksasa, menukik sambil berputar,
orang yang berada dalam lingkaran kira-kira beberapa tombak, barangkali tidak gampang lolos
dari serangannya yang hebat ini.
Kee Yong Seng lihat Kim Houw melancarkan serangan dengan ilmu Thian-liong pat sik dalam
hati agak keder. Buru-buru ia menggunakan tipu serangan Giok-cu Kim kaonya yang paling
istimewa, untuk mengimbangi tipu serangan Thian-liong pat sik, Kim Houw.
Tapi Thian-liong pat sik ada merupakan serangan warisannya Kauw jin Kiesu yang paling
hebat, biar bagaimana ada lain dengan yang lain. Apa lagi dilancarkan secara menukik bukan
main hebatnya, bagaimana Kee Yong Seng dapat menangkis serangan tersebut ? Kim-kao dan
Giok cunya sudah kena di tendang oleh kaki Kim Houw.
Dengan demikian, maka bagian kepala dan dada Kee Yong Seng lantas terbuka lebar. Ia
hendak menarik kembali serangannya ternyata sudah tidak keburu, sekalipun hendak berkelit, juga
masih kelambatan satu tindak. Batok kepala dan dada Kee Yong Seng sudah terancam
senjatanya Kim Houw.
Kee Yong Seng mengerti kalau dirinya sudah terlolos dari tangannya Kim Houw, maka ia
serahkan nasibnya dalam tangannya anak muda itu. Ia lantas pejamkan matanya, untuk
menantikan saat kematiannya.
Mendadak ia dengar suara "plak" kepalanya seperti di tepok orang, tapi dengan tepokan
enteng, Kee Yong Seng hanya merasa sedikit kelengar saja, selekasnya sudah sembuh dengan
sendirinya.

Sedang dadanya yang terbuka, yang merupakan makanan enak untuk musuh, ternyata tidak
ada yang sentuh.
Dalam keadaan heran sambil memejamkan mata, tiba-tiba ia dengar suaranya Kim Houw:
"Aku dengan kau belum saling mengenal, sudah tentu tidak mempunyai ganjalan sakit hati dan
permusuhan. Hari ini karena mengingat kau membela nona Kie, maksud dan tujuanmu tidak jahat,
maka kuberikan keampunan.
Dan, jika kau benar-benar bermaksud menolong dia, silahkan pergi ke Peng-liong-po. Dengan
kepandaianmu seperti ini, boleh saja kau kesana. Kalau kau nanti sudah menjumpai Siao Pek Sin,
tidak usah banyak rewel, kau nanti akan mengerti sendiri duduknya perkara. Sampai bertemu
kembali sahabat she Kee, semoga kau berhasil dengan usahamu!"
Kee Yong Seng tidak nyana, dalam saat ia tinggal ditamatkan jiwanya, Kim Houw telah
memberi ampun padanya. Ucapannya pemuda itu juga sangat merendah maka diam-diam ia
mengagumi Kim Houw yang mempunyai sifat pendekar bijaksana.
Ketika ia membuka matanya dan mencari Kim Houw, ternyata anak muda itu sudah berlalu
jauh!
Kee Yong Seng cuma bisa menghela nafas, dan berpaling mencari Kie Yong Yong.
Siapa nyana Kie Yong Yong juga sudah tidak kelihatan batang hidungnya, begitu pula itu
pemuda ceriwis Ho Leng Than dan Kow-san Jielo yang terluka, juga sudah tidak ada.
Bukan kepalang kagetnya Kee Yong Seng sebab pertama kali bertemu dengan Kie Yong
Yong, ia telah mengakui bahwa ia sudah jatuh cinta pada nona Kie.
Dan sekarang, setelah menempuh perjalanan ribuan lie baru dapat menyadari nona yang
dicintainya, usianya masih nihil.
Pada saat itu mendadak terdengar suara kuda berbenger, kedengarannya jauh sekali.
Suara kuda itu Kee Yong Seng sudah kenal betul, itu adalah kudanya Kie YOng Yong.
Kee Yong Seng tahu benar kecerdikan kuda itu, kalau ia berbenger pasti ada sebabnya, maka
ia lantas gerakan tubuhnya melesat ke jurusan kuda tadi perdengarkan suaranya.
Baru saja Kee Yong Seng berlalu dari pekarangan, di situ kembali melayang turun satu
bayangan orang.
Bayangan itu ternyata seorang wanita. Dilihat dari gerakannya yang sangat lesu, sikapnya
yang murung, bisa diduga bahwa wanita itu sedang risau hatinya.
Tindakan kakinya nampak begitu berat seolah-olah diganduli oleh barang berat.
Tiba-tiba dari dalam dapur ada merayap keluar seorang hitam, siapa mungkin karena
ketakutan maka sembunyi di dalam dapur. Tapi ketika mau melangkah masuk pintu dapur, tibatiba
merasa penasaran, lalu ia berpaling, untuk melihat dulu siapa orangnya yang berada di dalam
pekarangan.

Ketika melihat bahwa orang dalam pekarangan itu ternyata hanya seorang wanita, nyalinya
besar seketika. Maka bisa berdiri tegak sambil pelembungkan dadanya.
Tepat pada saat itu, wanita dalam pekarangan itu juga berpaling melihat kepadanya.
Dari sinar rembulan, si hitam kenali wajahnya wanita itu, dalam hati merasa girang, Lalu
dengan tersipu-sipu ia menghampiri wanita itu seraya berkata :
"Nona, aku tahu kau tentunya masih ingat aku Hoan tayciangkun, maka kau tidak mau
pergi...."
Kiranya orang hitam itu adalah Hoan tayciangkun!
Tapi belum habis ucapannya tangannya wanita itu sudah mampir di kedua pipinya, hingga
Hoan tayciangkun sempoyongan mundur empat sampai lima tindak.
Siapa wanita itu ?
Ia adalah Peng Peng!
Tapi mengapa Peng Peng yang sudah pergi balik kembali ?
Semua itu karena gara-garanya asmara.
Peng Peng menyinta Kim Houw sejak masih kanak-kanak. Sejak Kim Houw kesasar dalam
Istana Panjang umur di rimba kera dan kemudian bisa keluar dengan selamat bahkan mendapat
kepandaian ilmu silat yang luar biasa tingginya, baru bertemu kembali dengan anak muda itu di
gunung Kou-cho-san.
Setelah mengalami berbagai kesulitan, Kim Houw akhirnya mengutarakan isi hatinya.
Tentu saja siapapun bisa pikir sendiri betapa besar girangnya. Peng Peng yang begitu sabar
menantikan Kim Houw, kini dapat mendengar kekasihnya mengutarakan isi batinnya sebetulnya
ada sukar dilukiskan.
Siapa nyana, pada malam yang banyak penggoda itu telah muncul dirinya Kie Yong Yong,
yang tanpa sengaja telah membuka rahasia hubungannya dengan Kim Houw.
Dalam gusarnya Peng Peng telah kembali lagi setelah berjalan kira-kira sepuluh tombak lebih.
Dua kali hampir ia jatuh tergelincir di jalanan, ia merasa gelap di seputarnya, matanya tidak bisa
melihat apa-apa.
Otaknya ruwet, pikirannya kusut, sikap dan di wajahnya tidak mengunjukkan tanda gembira,
juga tidak bersedih. Nampaknya hanya baru pucat.
Ia merasa sudah berlalu jauh dari dunia yang di depannya nampak kosong melompong, tidak
tahu kemana yang harus di tuju. Seolah-olah seorang yang sudah kehilangan ingatannya, mirip
orang yang kesasar dalam rimba raya.
Suara bentakan dan suara pertempuran mendadak terdengar di telinganya Peng Peng, hatinya
yang tengah risau seketika lantas menjadi cemas.
Dikejutkan oleh itu Peng Peng lantas berhentikan tindakan kakinya. Tatkala ia membuka
matanya, baru tahu kalau dirinya sudah berada di tepi kolam tempat memelihara ikan, kalau tidak
karena dikejutkan oleh suara itu, mungkin dirinya sudah tercebur di dalam kolam tanpa sadar.

Peng Peng adalah seorang perempuan yang berhati keras, walaupun bagaimana sedihnya
atau tertindih oleh kedukaan yang hebat, ia tidak memikirkan untuk mengambil keputusan pendek.
Ia cuma merasa benci, mengapa Kim Houw tidak menyusul?
Suara bentakan dan pertempuran kembali terdengar sangat nyata.
Ia coba pasang telinga, diantara suara bentakan itu ada terdengar suaranya Kim Houw.
Sekarang ia mulai mengerti, pantas Kim Houw tidak mengejar rupa-rupanya karena bertempur.
Siapa musuhnya itu ? Siapa yang mampu merintangi Kim Houw ?
Peng Peng itu ingat akan nasibnya Kim Houw, Mungkinkah Kim Houw dengan secara sendiri
harus menghadapi banyak musuh ? Pedang di tangannya Ho Leng Than sudah cukup membikin
pusing kepala, apa lagi ditambah itu dua orang tua yang datang belakangan, yang kepandaian
ilmu silatnya dan lweekangnya agaknya lebih tinggi setingkat dari pada Ho Leng Than.
Disamping itu masih ada si anak muda sekolahan yang tidak dikenal, sampai dimana tingginya
kepandaian ilmu silatnya, masih merupakan suatu pertanyaan. Mungkinkah mereka mendadak
bersatu mengerubuti Kim Houw ?
Baru berpikir sampai di situ saja, Peng Peng sudah sangat kebingungan dan kuatirkan dirinya
Kim Houw. Semua kedukaan dan kebencian seketika itu lantas lenyap tanpa batas.
Dengan segera ia putar tubuhnya, balik ke arah suara pertempuran tadi.
Ketika ia tiba di luar dinding bambu, kebetulan anak muda sekolahan itu dengan tangan
memegang senjatanya Ciok-cu-tiauw-kiam-kao, tengah menghalang di depan Kim Houw,
sementara dua orang tua tadi sudah pada rebah menggeletak dalam keadaan terluka.
Karena hanya pemuda itu seorang saja yang menghadapi Kim Houw, hati Peng Peng merasa
agak lega, maka ia sembunyi disamping untuk sementara tidak mau unjuk diri. Sebab betapapun
tingginya kepandaian anak muda itu, ia yakin benar tidak nanti dapat menandingi Kim Houw.
Tetapi, ketika Kim Houw dan anak muda itu sedang bertempur dengan sengitnya, Peng Peng
telah melihat dua orang tua itu sudah siuman, sedangkan Ho Leng Than sudah menggunakan
kesempatan tersebut menotok dirinya Kie Yong Yong yang asyik memperhatikan jalannya
pertempuran.
Dalam keadaan tidak berdaya Kie Yong Yong sudah dibawa kabur oleh Ho Leng Than.
Peng Peng yang masih dirongrong oleh perasaan cemburu, menyaksikan itu semua tidak
memberikan pertolongan, bahkan menjerit sajapun tidak.
Ketika Kim Houw berlalu ia sebetulnya ingin memanggil, tetapi suara yang masih ada dalam
tenggorokan akhirnya ditelan kembali. Pikirnya: "Biarlah dia pergi! Aku tidak akan temui engkau
lagi."
Ketika Kee Yong Seng terkejut karena lenyapnya Kie Yong Yong, Peng Peng sebetulnya ingin
memberitahukan padanya supaya ia mengejar Ho Leng Than, niatan itu ia urungkan. Pikirnya,
biarlah wanita yang tidak punya malu itu merasakan sedikit kesulitan. Ia mengira Kie Yong Yong
yang dibawa pergi oleh Ho Leng Than, sedikit banyak tentu akan disiksa oleh anak muda itu.

Akhirnya suara berbengernya kuda telah membawa pergi anak muda sekolahan itu. Sampai
disini keadaan sunyi kembali, di kalangan pertempuran tidak terlihat seorangpun juga. Tetapi Peng
Peng tetap masuk ke dalam pekarangan karena ia ingin memberi sedikit harapan kepada
Gwanswe yang kikir itu, sekalian untuk mengambil dua ekor ayamnya yang masih berada di dalam
dapur, tetapi baru saja ia masuk, telah muncul pikiran sehat, buat apa meladeni segala begituan.
Tidak nyana, Huan Ciangkun tidak tahu diri, masih berani menggoda si nona.
Setalah memberi hajaran kepada Hoan Ciangkun, Peng Peng masih merasa kurang puas,
dengan kakinya ia menendang, sehingga Hoan ciangkun jatuh bangun dan menjerit-jerit seperti
babi mau disembelih. Si nona yang menyaksikan keadaan Hoan Ciangkun, hatinya merasa
mendongkol tetapi juga merasa geli, ia tidak mau memperdulikan Hoan ciangkun lagi, terus masuk
ke dapur untuk mencuri ayamnya.
Ayam panggang itu sebetulnya lezat rasanya, tetapi karena saat itu hati Peng Peng sedang
risau, maka dirasakannya sangat tawar.
Walaupun demikian ayam itu dimakannya juga sampai habis.
Mendadak ada angin meniup disampingnya.
Angin itu datangnya sangat aneh, berbareng dengan itu ia juga seperti melihat berkelebatnya
bayangan orang. Dalam kagetnya, ia lantas memeriksa keadaan sekitarnya.
Tetapi dalam kamar itu kosong melompong, kecuali ia, tidak ada orang lain. Oleh karena itu
Peng Peng juga tidak mau memikirkan bayangan itu lagi. Tetapi ketika ia balik hendak mengambil
ayamnya lagi, ternyata ayam itu sudah tidak ada di tempatnya.
Peng Peng coba mencari sampai di bawah meja, tetapi tetap tidak menemukan apa-apa.
Sekarang Peng Peng baru merasa kaget benar-benar.
Ia tahu bahwa ada orang yang lebih pandai telah mempermainkannya.
Karena sejak anak-anak ia tak takut akan setan, maka ia juga tidak percaya adanya setan. Ia
tahu bahwa itu adalah perbuatan manusia, tetapi siapa gerangan dia?
Siapa orangnya yang mempunyai kepandaian yang begitu tinggi, sehingga datang dan
perginya tidak meninggalkan bekas?
Meskipun Peng Peng merasa kaget, tapi sedikitpun tidak merasa takut. Ia percaya bahwa
orang itu tidak bermaksud jahat, mungkin maksudnya hanya main-main atau ditujukan khusus
kepada daging ayam itu saja.
Di atas meja masih ada ayam rebus, dengan tidak berayal lagi Peng Peng lantas
menghabiskan makanan itu.
Pikirnya, kalau tidak dimasukkan ke perut mungkin nanti disambar orang lagi.
Tetapi selagi enaknya makan, dengan tidak disengaja ia telah ingat akan dirinya Kim Houw.
Jika pada saat itu tidak muncul si perempuan she Kie, bukankah ia bersama Kim Houw akan
menikmati lezatnya ayam ini?
Pada saat itu cuaca sudah mulai terang. Peng Peng sejak kekuatan tenaganya bertambah,
sekalipun satu malam suntuk tidak tidur, buatnya tidak berarti apa-apa. Hatinya yang masih terus
mendongkol membuat ia uring-uringan.

Ia belum tahu dimana Kim Houw kini berada dan kapan dapat bertemu kembali dengan si dia.
Pikiran ini Peng Peng ingin usir jauh-jauh. Namun pikir atau tidak, hal itu tetap berputaran di
otaknya, sehingga membuat hatinya bertambah risau.
Mendadak Peng Peng ingat si gwanswe yang berbadan kurus kering itu, sebab terkecuali
Hoan ciangkun yang tadi sudah mengundurkan diri, mengapa yang lainnya tidak kelihatan?
Lantas dia berteriak-teriak memanggil, tetapi tiada seorangpun yang menyahut.
Dalam hati Peng Peng pikir, mungkinkah mereka sudah menduga bahwa ia akan mencari
setori pada mereka? Kalau tidak, mengapa seorangpun tidak perlihatkan cecongornya?
Peng Peng lantas keluar dari dapur dan masuk ke ruangan besar. Selagi hendak berteriak
memanggil lagi, mendadak ia terkejut melihat dua lemari besar yang berada dalam ruangan
tersebut sudah tidak ada di tempatnya lagi. Semua barang berharga itu, entah sejak kapan dibawa
pergi.
Peng Peng tidak habis pikir, benarkah mereka sudah berlalu semuanya? Tapi ia tidak percaya
bahwa dalam tempo satu malam saja mereka sudah menghilang semuanya.
Si nona mencoba untuk mencapai ke seluruh pelosok gedung itu, tetapi satu bayangan
manusiapun tidak terlihat. Akhirnya ia tiba di depan kamar tempat menyimpan ayam.
Dalam pikiran Peng Peng, sekalipun orangnya berlalu semuanya, masa ayam juga
dibawanya?
Tetapi ketika ia membuka kamar tersebut, ternyata memang tidak seekor ayampun yang
tinggal kecuali bulunya yang berhamburan di tanah.
Betul-betul Peng Peng merasa heran, dengan cara bagaimana ayam-ayam itu dapat dibawa
kabur? Apakah Gwanswe kurus itu pandai bermain sulap?
Meskipun dalam hati Peng Peng berpikir demikian, namun ia tetap tidak percaya kalau
kejadian itu merupakan suatu kenyataan. Ia sebenarnya hendak masuk ke dalam kamar ayam itu
untuk mengadakan pemeriksaan, tetapi karena di situ penuh dengan tai ayam, maka terpaksa ia
mengurungkan niatnya.
Mendadak ia mendengar suara panggilan orang: "Peng Peng, Peng Peng mengapa kau
berada disini? Aku mencari kau setengah mati."
Peng Peng mendengar suara itu bukan main terkejutnya, sebab suara itu untuknya tidak asing
lagi, lagi pula kedengarannya sangat menyayang, tetapi suara itu bukan suara pemuda pujaannya.
Mendadak Peng Peng membalikkan badan. Sesosok bayangan manusia lompat turun dari
dinding bambu, ketika Peng Peng menegasi, ia baru mengenali orang itu ternyata adalah Ciok
Liang, puteranya Ciok Goan Hong.
Begitu melihat Ciok Liang, bukan kepalang kagetnya Peng Peng.
"Apa perlunya kau mencari aku ?" ia menanya dengan suara kaku.
"Apa perlunya ?" balas menanya, Ciok Liang sambil tertawa cengar-cengir. "Kau tokh
tunanganku ? Apa aku tidak boleh mencari kau ?"

"Aku harap kau bicara sedikit sopan, sekarang aku tidak takuti kau lagi!" kata si nona dingin.
"Kau telah mencelakai dirinya nona Bwee Peng, sekarang Kim Houw sedang mencari kau untuk
membuat perhitungan, jiwamu berada dalam bahaya..... "
Belum habis ucapan Peng Peng. Ciok Liang mendadak memotong sambil tertawa tergelakgelak:
"Kau jangan bawa-bawa Kim Houw untuk menggertak aku, Kim Houw she apa, ia sendiri juga
tidak tahu, apa ia masih dapat mengenali aku siapa ? Ha.. ha.. ha... "
"Kalau begitu kau sudah mengaku sendiri bahwa nona Bwee Peng kau yang membinasakan."
Ciok Liang dengan bangga berjalan menghampiri Peng Peng.
"Peng Peng di hadapanmu aku mengakui segala perbuatanku, apa yang aku takuti?" katanya.
Peng Peng belum menjawab, ia sudah meneruskan.
"Tokh tidak nanti kau akan membantu orang luar, untuk mencelakakan bakal suamimu sendiri,
betul atau tidak ?"
"Diam!" bentak si nona. "Harap kau berlaku sedikit sopan, jangan mengaco belo tidak keruan.
Kau mau tahu ? Aku bukan saja hendak membantu Kim Houw, tetapi juga kalau kau masih tetap
tidak mengerti kesopanan, aku tidak akan memperdulikan hubungan keluarga kita lagi, aku akan
turun tangan menuntut balas untuk nona Bwee Peng."
Tetapi Ciok Liang yang mendengar itu bukannya jerih sebaliknya telah tertawa terbahakbahak.
"Peng Peng, dua tahun sudah kita tidak saling bertemu, apakah kau sudah mendapatkan ilmu
silat yang hebat? Mari, mari kita tidak usah mengatakan hubungan suami istri, marilah kita
mengadu tenaga sebagai tanda persaudaraan saja."
"Aku tidak mempunyai waktu untuk melayani kau, pergilah dari sini!" jawab Peng Peng.
Ciok Liang yang sebenarnya sudah terdiam, saat itu kembali maju lagi dua tindak sambil
berkata:
"Peng Peng, sudah dua tahun kita tidak saling bertemu, mengapa kau begini galak
terhadapku? Coba beritahukan kepadaku, dimana adanya Kim Houw sekarang?"
Peng Peng yang sedang jengkel terhadap Kim Houw, segera menjawab dengan suara ketus,
"Aku tidak tahu!"
"Aaa! Bagaimana kau bilang tidak tahu ? Aku tadi masih mengira kau bersama-sama dia.
Souw Suheng telah memberitahukan padaku, aku masih belum percaya. Ow, ya! Apa kau telah
bertemu dengan Souw Suheng ? Dia sebenarnya berjalan-jalan bersama-sama dengan aku, tetapi
kemudian di kaca-kaca oleh dua orang tua keparat, aku lalu berteriak-teriak memanggil nama Kim
Houw baru aku terlolos dari bahaya, sebab nama Kim Houw sekarang ini sudah menggetarkan
dunia Kang Ouw...."

"Cis, tidak tahu malu!" mengejek si nona. "Meminjam nama orang lain untuk menggertak orang
benar-benar kau memalukan Kow-thio sebagai jago kenamaan di daerah Sanshe selatan, dan
tokh kau masih ada muka untuk menceritakan kepada orang lain."
"Kau jangan terburu napsu dulu, dengarkan dulu penuturanku!" kata Ciok Liang. "Aku baru
menyebut nama Kim Houw sekali saja, tidak nyana kedua tua bangka itu segera kelihatannya
sangat gusar dan menanyakan dimana adanya Kim Houw, malahan ia memaki-maki Kim Houw
sebagai penjahat, perusak kehormatan kaum wanita dan sebagainya. Ternyata Kim Houw ada
satu Don Yuan, banyak gadis-gadis di daerah Su-coan Timur yang di rusak kehormatannya,
sehingga pembesar negeri harus campur tangan dan sekarang sudah mengutus orang-orangnya
untuk menangkap padanya."
Mendengar keterangan itu, Peng Peng merasa kaget sekali. Ia sebenarnya tidak percaya Kim
Houw ada orang semacam itu, sebab ia sendiri kenal padanya sejak masik kanak-kanak sehingga
mengenal betul sifat-sifatnya.
Tapi kalau ingat dirinya Kie Yong Yong, Peng Peng lantas mulai bimbang lagi pikirannya.
Bagaimana Kim Houw bisa berbuat tidak patut terhadap Kie Yong Yong ? Apakah diantara mereka
berdua ada tumbuh perasaan cinta ? Ataukah hanya main-main saja?
Namun biar bagaimana Kie Yong Yong sudah mengandung untuk dia!
Peng Peng terus memikirkan soal ini dengan hati bimbang, ia makin memikir makin cemas,
makin perih hatinya, sampai Ciok Liang datang dekat sekali di depan dirinya, ia juga tidak sadar.
Apa yang diucapkan oleh Ciok Liang memang benar seperti apa yang tersiar diluaran, cuma
Peng Peng tidak tahu kalau ia ada perbuatannya Siao Pek Sin.
Ciok Liang tahu bahwa sejak masih kanak-kanak Peng Peng ada menyintakan Kim Houw,
maka ia tahu bagaimana mengatur supaya Peng Peng berbalik membenci Kim Houw.
Ia yakin jika Peng Peng mendengar keterangannya itu tidak perduli si nona mau percaya atau
tidak, kalau terluka hatinya itu sudah tentu. Bahkan ada kemungkinan si nona akan membenci Kim
Houw.
Sebab umumnya kaum wanita hampir semua membenci laki-laki yang suka berbuat cabul.
Ciok Liang ketika menampak Peng Peng sudah masuk perangkapnya, dalam hati merasa
girang. Ia hendak menggunakan kesempatan selagi Peng Peng masih bimbang, segera turun
tangan. Kalau sebentar nasi sudah menjadi bubur biar bagaimana Peng Peng tentu tidak bisa
menolak lagi untuk menjadi isterinya.
Ciok Liang berada semakin dekat pikiran begitu ia ulur tangannya bisa menotok jalan darah
Peng Peng, akan kemudian di perlakukan tidak senonoh. Siapa nyana baru ia ulur tangannya,
tiba-tiba merasa kesemutan dan tangannya kemudian menjadi teklok.
Bukan main kagetnya Ciok Liang, hingga seketika itu lantas menjerit.
Karena suara jeritan itu, Peng Peng jadi tersadar dari lamunannya.
Baru saja membuka matanya, Peng Peng juga mengeluarkan jeritan keras, bahkan lebih keras
dari suara jeritan Ciok Liang.
Apakah sebabnya ? Kiranya Peng Peng telah melihat di belakang Ciok Liang telah berdiri
seseorang dan orang itu bukan lain dari pada Kim Houw sendiri.

Kim Houw saat itu nampaknya sangat gusar sekali, matanya merah beringas, bibirnya ditutup
rapat, hingga bagi siapa saja yang melihatnya tentunya dapat segera mengetahui bahwa
kegusarannya sudah sangat memuncak.
Oleh karenanya, maka Peng Peng lantas menjerit ketakutan.
Walaupun dosa Ciok Liang sangat besar, yang membinasakan dirinya nona Bwee Peng, tetapi
biar bagaimanapun keluarga Ciok hanya mempunyai keturunan Ciok Liang seorang saja. Apakah
benar-benar keluarga Ciok harus diputuskan keturunannya? Demikian pikir Peng Peng.
Lagi pula antara Peng Peng dengan Ciok Liang masih tersangkut sanak saudara hal ini juga
Peng Peng tidak boleh mengabaikan begitu saja.
Ciok Liang ketika sikutnya terkena totokan, dalam herannya ia celingukan mencari penotoknya,
ia tidak mengetahui kalau Kim Houw berada di belakangnya. Maka ketika Peng Peng menjerit ia
sendiri juga merasa kaget.
Ia lihat Peng Peng tunjukkan perhatiannya ke belakang dirinya dengan wajah ketakutan, ia
segera mengetahui di belakangnya tentu ada seseorang. Tetapi sungguh tidak dinyana bahwa
orang yang berdiri di belakangnya itu justru ada Kim Houw sendiri.
Dengan cepat ia memutar tubuhnya, seketika itu ia melihat wajah Kim Houw yang merah
padam.
Tetapi dalam kagetnya Ciok Liang masih mengandung sedikit pengharapan, sebab apa yang
diketahuinya ialah bahwa Kim Houw sudah kehilangan ingatannya, tentunya tidak mengenali
dirinya siapa.
Peng Peng yang tahu Kim Houw sudah sembuh dari penyakit kehilangan ingatannya segera
berkata :
"Ciok Liang, kau cari mampus"
Selanjutnya Peng Peng lantas bergerak dan menjatuhkan dirinya dalam pelukannya Kim Houw
seraya berkata :
"Engko Houw, engko Houw jangan begitu beringas, Peng Peng takut benar! Keturunan
keluarga Ciok hanya tinggal dia seorang saja, bolehkah kau melepas padanya ? Oh engko
Houw..."
Kim Houw yang mendengar itu, segera ingat akan dirinya Bwee Peng, air matanya seketika itu
mengalir bercucuran.
"Adik Bwee Peng juga hanya seorang tanpa kakak dan adik!..." jawabnya dengan suara sedih.
Ciok Liang yang mendengarkan pembicaraan mereka berdua segera mengetahui bahwa Kim
Houw sudah sembuh dari penyakitnya, maka segera ia merasa ketakutan sekali. Dulu ia pernah
terlolos dari bahaya, tetapi kali ini seolah-olah ia mengantarkan diri sendiri ke tangan seorang
algojo, maka kalau mau berlalu dalam keadaan hidup mungkin masih lebih sukar dari pada naik ke
langit.
Tetapi walaupun bagaimana juga ia tidak ingin menantikan kematian begitu saja.

Ketika melihat Peng Peng berada dalam pelukan Kim Houw untuk memintakan keampunan
dirinya, dalam anggapannya itu merupakan suatu kesempatan yang paling baik untuk ia
meloloskan diri.
Ciok Liang tidak sia-siakan kesempatan segera ia mengerahkan seluruh kepandaiannya dan
dengan gesit lompat melesat ke arah dinding bambu.
Tetapi sebelum orangnya sampai ke tempat tujuannya di depannya sudah berkelebat
bayangan seseorang yang merintangi perjalanannya. Itulah Kim Houw sendiri yang berdiri sambil
memondong Peng Peng.
Hal ini telah membuat Ciok Liang terbang semangatnya!
Peng Peng masih meratap -ratap meminta keampunan untuk dirinya.
"Engko Houw, kau harus ingat budinya Ciok Ya-ya terhadap dirimu, apakah jiwanya Ciok Liang
tak dapat kau ampuni?"
Kim Houw mendengar disebut Ciok Ya-ya lantas menggetar seluruh badannya. Bukankah Ciok
Ya-ya sebelum menutup mata telah meninggalkan pesan padanya supaya ia jangan membenci
orang-orang dari keluarga Ciok?
Mengingat dirinya Ciok Ya-ya, air mata Kim Houw kembali mengalir. Ia menyesal tidak dapat
menuntut balas untuk kematiannya Bwe Peng, karena mengingat budinya Ciok Ya-ya yang begitu
besar atas dirinya.
Dapatkah ia melupakan budi Ciok Ya-ya terhadap dirinya ? Dan tega untuk turun tangan
membinasakan Ciok Liang sebagai cucu tunggalnya? Saat itu hatinya dirasakan tidak menjadi
karuan, malu, benci, dendam tercampur aduk menjadi satu sampai otaknya dirasakan mau pecah.
Ciok Liang yang melihat keadaan demikian, tidak berani berdiam lama-lama lagi maka dengan
cepat ia segera angkat kaki untuk melarikan diri.
Ketika ia berada kira-kira tiga tombak jauhnya, dengan tidak disengaja ia telah menoleh ke
belakang, dilihatnya Kim Houw dan Peng Peng sedang berpelukan sambil menangis nampaknya
sangat mesra sekali, tetapi berbareng jug seperti mengharukan sangat.
Ciok Liang sejak masih kanak-kanak sudah menyintai Peng Peng kalau bukan karena Kim
Houw, mungkin siang-siang Peng Peng sudah menjadi istrinya. Dan Sekarang, menyaksikan
keadaan demikian mesra, sudah tentu hatinya merasa sedih, iri hati dan benci.
Saat itu mendadak timbul pikiran jahatnya diam-diam ia telah mengambil dua buah senjata
rahasianya, selagi kedua orang itu sedang berpelukan, segera diserangnya dengan dua senjata
rahasia itu.
Senjata rahasia Ciok Liang merupakan satu senjata rahasia tunggal dari keturunan keluarga
Ciok dan sudah dilatih sampai mahir betul oleh Ciok Liang, maka ketika senjata itu meluncur dari
tangannya sedikitpun tidak mengeluarkan suara.
Kedua senjata rahasianya itu semuanya tujukan pada dirinya Kim Houw seorang.
Begitu senjata meluncur dari tangannya, Ciok Liang segera lompat melesat untuk menjauhkan
diri. Karena ia mengetahui betul kepandaian Kim Houw sukar diukur, maka serangan
bokongannya itu berhasil atau tidak masih merupakan suatu pertanyaan, maka pikirnya lebih baik
ia melarikan diri lebih dahulu.

Ketika ia berada di luar pagar bambu itu ia mendengar jeritan Kim Houw.
Diam-diam Ciok Liang merasa girang sekali. Senjata rahasianya yang berbentuk sangat mirip
dengan lidah burung dari itu mengandung racun yang sangat berbisa, kalau mengenai sasarannya
dan sasaran itu justeru orang, maka jiwa si korban susah sekali ditolongnya.
Maka untuk kedua kalinya Ciok Liang lompat memasuki pagar bambu.
Tetapi baru saja ia berada di atas pagar dan masih belum dapat melihat apa yang telah terjadi,
mendadak ia melihat suatu benda hitam mendatangi laksana terbang.
Ciok Liang tidak tahu benda apa itu, maka ia tidak berani menyambuti, hanya cepat melompat
ke samping kira-kira setombak jauhnya. Tapi mendadak lengan tangan kanannya dirasakan sakit.
Ciok Liang benar-benar menduga bahwa gerakannya yang begitu gesit masih juga kelanggar
benda hitam itu. Ketika ia memeriksa lengannya, kagetnya bukan main.
Ternyata Kim Houw sudah menggunakan senjata rahasia Ciok Liang sendiri untuk menyerang
balik. Bagaimana Ciok Liang tidak terkejut? Melihat lengan kanannya itu sebentar saja sudah
bengkak dan matang biru sukar ditolong.
Tanpa ragu-ragu lagi Ciok Liang lantas menghunus pedangnya dan menabas kutung lengan
kanannya sendiri, inilah satu-satunya jalan untuk menolong jiwanya.
Waktu lengan itu baru saja terlepas dari anggota badannya, mendadak ia mendengar orang
berkata dengan suara tajam :
"Hukuman mati meskipun dapat diampuni tetapi tidak dapat lolos dari hukuman hidup. Jika kau
masih tidak dapat merubah kelakuanmu yang sudah-sudah dan masih berani berbuat jahat, di
kemudian hari jika kita bertemu lagi, pasti tidak ada keampunan untukmu."
Suara itu agaknya dari tempat yang jauh sekali, ketika Ciok Liang menengok ke dalam pagar,
memang betul di sana tidak ada orang lagi, entah kemana perginya Kim Houw dan Peng Peng.
Sungguh pilu dan menyesal hatinya Ciok Liang, jikalau tadi ia tidak balik lagi mungkin lengan
kanannya itu masih utuh.
Dan sekarang ia telah menjadi seorang yang cacad.
Kim Houw dan Peng Peng setelah meninggalkan desa Gu kee chun, terus lari menuju ke
gunung Ceng Shia-san. Di sepanjang jalan, Kim Houw terus menjelaskan duduknya perkara
mengenai urusan dirinya Kie Yong Tong.
Walaupun apa yang dijelaskannya oleh Kim Houw itu belum tentu dapat dipercaya
keseluruhannya oleh Peng Peng, tetapi si nona telah berkeputusan lebih baik menerima nasibnya.
Sebab jika ia berpisahan dengan Kim Houw, ia merasakan sangat kesepian, maka sebaiknya tidak
mengurusi itu lagi supaya hari itu dapat di lewatkan dengan kegembiraan.
Oleh karena pikiran Peng Peng yang optimis itu, maka keterangan Kim Houw telah dipercaya
sepenuhnya. Di sepanjang perjalanan dapat melewatkan waktu dengan penuh kegembiraan.
Disamping itu sudah tentu Kim Houw juga tidak mau melupakan kewajibannya untuk
memberikan pelajaran ilmu silat pada Peng Peng, dan pedang Ngo heng-kiam juga dikembalikan
kepada Peng Peng untuk keperluan menjaga diri.

Pada suatu hari, ketika Peng Peng sedang berlatih ilmu silat, tiba-tiba teringat akan soal yang
terjadi di depan pintu Gwanswee kurus itu, maka ia lantas menanyakan pada Kim Houw.
"Engko Houw, apa benar kau sudah pandai ilmu menyampaikan suara dengan kekuatan nafas
sampai ribuan lie jauhnya ?"
"Masih terlalu pagi! Jangan kata seribu lie, satu lie saja aku tidak mampu. Ilmu ini siapa saja
yang mau belajar semua bisa, tetapi kalau kekuatan tenaga lweekangnya kurang, belajar juga
tidak ada gunanya. Selama berada di istana panjang umur kekuatan tenaga sebenarnya belum
seperti sekarang ini, setelah keluar dari istana panjang umur, juga tidak pernah mendapat
kesempatan untuk berlatih dengan baik."
Peng Peng mendengar keterangan itu lantas tidak memikirkan lagi.
Kemudian ia ingat dirinya Kim Houw sudah pergi mengapa dapat dengan cepat balik kembali,
maka ia segera menanyakan hal itu kepada Kim Houw.
Kim Houw lalu memberikan keterangan sambil tertawa :
"Aku sebenarnya ketika melihat kau pergi dalam keadaan gusar, segera mengejar dan siapa
nyana telah dirintangi oleh kedua orang tua keparat itu. Dalam gusarku terpaksa aku turun tangan
melukai mereka, tetapi setelah kedua orang tua itu terluka, kembali aku dirintangi oleh seorang
anak muda seperti anak sekolahan itu. Anak muda itu ternyata lebih lihay dari pada kedua orang
tua tadi. Ia juga bermaksud untuk membela Kie Yong Yong. Aku sebetulnya tidak ingin turun
tangan terhadapnya, maksudku hanya ingin melayani dia sebentar untuk kemudian mengejar kau,
tetapi ketika dengan tidak disengaja aku memeriksa keadaan di sekitar kalangan pertempuran itu
untuk melihat masih ada siapa lagi orang yang lebih lihay, di luar dugaan aku telah dapat melihat
kau yang sedang bersembunyi di luar pagar bambu itu. Begitu aku melihat bayanganmu, hatiku
lantas tenteram dan aku tahu untuk sementara kau tidak akan pergi jauh, maka aku lantas
melayani anak muda itu dengan leluasa sampai dia merasa takluk benar-benar. Akhirnya aku
sebenarnya ingin memanggil kau, tetapi kemudian berpikir pula sebaiknya menyingkir lebih dahulu
untuk menunggumu reda dari rasa gusarmu, baru menjelaskan persoalannya padamu."
Setelah mendengarkan keterangan yang panjang lebar itu, Peng Peng tertawa puas.
"Kiranya kau belum berlaku ?" kata si nona seraya mengerlingkan matanya yang bagus.
"Kalau begitu daging ayamku tentunya kau yang mencuri makan."
"Apa kau enak makan sendirian ?" tanya Kim Houw tertawa.
"Memang, saat itu aku telah menduga tentunya kau yang menggoda aku."
Kim Houw hanya menjawab dengan tersenyum.
Begitulah kedua kekasih itu sepanjang hari mengobrol sambil berjalan.
Pada suatu malam, kedua kekasih itu telah semalaman di dalam hutan belukar, terpaksa
mereka mengaso di tepi sungai di bawah sebuah pohon besar.
Malam itu rembulan memancarkan sinarnya yang terang benderang dan bintang bintangpun
banyak bertebaran di langit yang bersih.
Kim Houw dan Peng Peng berpelukan sambil memandang rembulan yang bundar dan bintangbintang
yang bergemerlapan di langit.

Mendadak Peng Peng berkata sambil menuding ke langit.
Engko Houw, kau, lihat sungai perak itu!"
KIm Houw yang selamanya belum pernah memperhatikan itu, ketika mendengar disebutsebutnya
nama sungai perak oleh Peng Peng, lalu menengok ke arah yang ditunjuk. Tapi dimana
adanya sungai itu ? Maka lantas ia menyahut sambil menggelengkan kepala : "Dimana adanya
sungai perak itu dan mengapa aku tidak dapat melihatnya ?"
"Kau benar-benar bodoh, apa kau tidak dapat melihat bintang-bintang Gu-long (Penggembala
kerbau) dan Cit-lie (wanita pemintal) ? Jarak yang memisahkan antara kedua bintang itulah yang
disebut sungai perak! Sebetulnya Tuhan juga terlalu kejam..... "
(Bersambung ke jilid 24)
JILID 24
Kontributor: Agusis, Martinus, Axd002, Koedanil
"Apa sebabnya Tuhan kau katakan kejam ?"
"Apa tidak kau lihat bahwa dikedua tepi sungai perak itu berdiri Gu-long dan Cit-lie yang
sebenarnya saling menyinta, tetapi telah dipisahkan oleh Tuhan, sehingga mereka tidak dapat
bersatu ?"
Mendengar perkataan sang kekasih, Kim houw tidak tahu bagaimana harus menjawab, maka
ia menjawab sekenanya saja :
"Sebetulnya di dunia atau akherat, bukankah sama saja? Dimana ada suatu perjamuan yang
tidak berakhir...?"
Tidak nyana belum habis ucapan Kim Houw wajah Peng Peng mendadak berubah dan
seketika itu air matanya lantas mengalir dengan deras.
Menyaksikan keadaan demikian hati Kim Houw merasa heran, ia tidak tahu apakah
perkataannya tadi salah atau telah menyinggung hatinya, maka lantas buru-buru merangkul
seraya berkata: "Peng Peng. Oh Peng Peng kau kenapa?"
Ditanya demikian, nampaknya Peng Peng semakin sedih dan air matanya mengalir deras, lalu
menjatuhkan dirinya dalam pelukan Kim Houw.
"Dimana ada suatu perjamuan yang tidak berakhir?" katanya perlahan, suaranya sedih.
"Oh, perkataan yang kuucapkan barusan hanya sekenanya saja, mengapa kau anggap benarbenar?
Aku ucapkan itu tanpa disadari bukankah aku sudah berjanji padamu bahwa aku tidak
akan berpisah dengan kau lagi. apakah kau tidak percaya terhadapku?"
Peng Peng menjawab dengan suara sesenggukan :
"Kepercayaanku terhadap dirimu sebetulnya sangat teguh, tetapi itu serentetan peristiwa yang
terjadi pada beberapa hari yang lalu telah menggoyahkan kepercayaanku. Pepatah mengatakan
bahwa kalau tidak ada angin sudah tentu tidak akan timbul ombak, apakah mereka itu semuanya
sedang bermain sandiwara saja? Hal ini tidak perlu ku usut lebih jauh lagi, tetapi perkataanmu tadi,
telah menunjukkan betapa tipisnya perasaanmu, bagaimana aku tiada bersedih dan bagaimana

pula aku dapat mempercayai dirimu? Apa sebetulnya yang kau maksudkan dengan perkataanmu
tadi mengatakan dimana ada perjamuan yang tiada berakhir itu?"
Kim Houw yang menyaksikan Peng Peng makin sedih, lalu memeluk si nona erat-erat.
"Diwaktu malam terang bulan begini rupa perlu apa kau keluarkan perkataan yang begitu
sedih? Peng Peng, kau hanya ucapkan ucapanku yang satu, mengapa tidak menyebut-nyebut
janjiku yang aku tidak akan tinggalkan kau"
Akhirnya Peng Peng mengalah juga, ia berhenti menangis, tetapi ia masih mau membantah
dan mengatakan bahwa Kim Houw pandai memutar lidah. Perselisihan paham antara kedua
kekasih itu telah berakhir sampai di situ.
Kim Houw lantas memeluk dan mencium pipinya Peng Peng si nona mandah saja ketika Kim
Houw angkat mukanya ia melihat di kelopak mata si nona telah mengembeng air mata pula, Kim
Houw heran, lalu bertanya:
"Peng Peng, mengapa kau menangis lagi? apa kelakuanku terlalu kasar terhadapmu?
Sungguh mati, aku tidak dapat membendung rasa cintaku yang besar, maka mungkin aku berlaku
agak kasar terhadapmu, harap kau suka memaafkan. Peng Peng kau jangan bersusah hati..."
Peng Peng ulur tangannya, menekap mulut Kim Houw katanya:
"Engko Houw, aku tidak menangis, juga tidak merasa susah. Air mataku ini merupakan air
mata kegirangan. Sejak aku dijelmakan oleh ibu aku baru pertama kali ini aku bersentuhan begitu
erat dengan kaum lelaki, untuk pertama kali ini aku serahkan pipiku dicium oleh orang lelaki, aku
merasa terlalu girang, sebab orang yang memeluk dam mencium diriku itu ialah orang satusatunya
yang aku cintai sejak aku masih anak-anak, sehingga membuat aku teringat semua
kejadian dimasa lampau. Bagaimana aku dapat bersusah hati?"
Kim Houw mengelus-elus rambutnya, kepalanya dan tangannya Peng Peng, lalu menciumnya
lama sekali baru ia dapat berkata lagi:
"Peng Peng asal kau tidak berduka, aku juga merasa girang. Walaupun sebelum itu hatiku
pernah mencintai seorang wanita lain, tetapi kala itu kita masih sangat muda dan aku mengaku
bahwa seumurku ini juga baru pertama kali ini aku mencium orang perempuan. Pada sebelumnya,
belum pernah aku mencium orang perempuan, dan untuk selanjutnya juga tidak nanti aku
mencium lain orang perempuan. Dengan demikian bolehlah kau berlega hati?"
Peng Peng yang mendengar keterangan itu bukan kepalang girang hatinya, sehingga ia balas
memeluk Kim Houw dengan erat. Selagi mereka berdua berada dalam keadaan seolah-olah lupa
daratan itu, mendadak Kim Houw dengan satu tangan memeluk Peng Peng, badannya
bergulingan ke belakang pohon, pada saat itu tiba-tiba terdengar suara barang jatuh ditempat
mereka rebahan tadi, kemudian disusul oleh suara orang yang ketawa menyeramkan:
"Hmm, sekarang akhirnya aku dapat menangkap bukti! kau bangsat cabul, bukan lekas keluar
untuk menerima hukuman. Meskipun kau dapat menghindarkan kedua senjata rahasia, apakah
kau kira dapat lolos dari tanganku?"
Kim Houw mula-mula tidak mengetahui orang yang menyerangnya tadi, tetapi ketika
didengarnya perkataan tersebut, mau tidak mau juga ia merasa terkejut. Mungkinkah benar
perkataan Ciok Liang yang mengatakan bahwa pembesar negeri telah mengirim orang-orangnya
untuk menangkap dirinya.

Oleh karena pada anggapan Kim Houw bahwa orang itu dari kalangan pembesar negeri, maka
ia tidak mau mengajukan diri, sebab ia paling benci orang-orang yang menjabat pangkat dan untuk
menghindarkan supaya salah pengertian tentang dirinya itu, yang dianggapnya sebagai Siao Pek
Sin, biarlah dicari sendiri oleh pembesar-pembesar negeri.
Saat itu setelah merapikan pakaian masing-masing, Kim Houw lalu memandang Peng Peng
sejenak, kemudian menunjuk ke atas pohon terus menunjuk pula ke arah bukit Ceng-shia-san.
Peng Peng yang cerdik segera mengetahui apa yang dimaksudkan Kim Houw. Cuma dalam
anggapannya, didalam soal-soal itu seharusnya dihadapi dengan terus terang dan tidak perlu main
sembunyi-sembunyi.
Tetapi ia tidak mau menentang maksud Kim Houw, maka ia lantas enjot tubuhnya melompat
ke atas pohon. Baru saja Peng Peng berlalu, Kim Houw segera ayun lengannya dan sebuah batu
meluncur dari tangannya dengan sangat cepat.
Kim Houw bergerak seperti kucing. Ia enjot tubuhnya melesat ke arah kebalikannya.
Gerakannya bukan saja gesit luar biasa, tetapi juga tidak menimbulkan suara.
Apa mau, belum sampai kakinya menginjak tanah, kembali terdengar suaranya Peng Peng
membentak: "Anjing buduk, kau berani menghalangi nonamu, kau mau mencari mampus?"
selanjutnya lantas terdengar suara jatuhnya senjata rahasia yang makin lama nampaknya
makin gencar. Dari suaranya, Kim Houw duga itu ada suara senjata rahasia yang sangat ganas.
Oleh karena Peng Peng terhalang, otomatis Kim Houw tidak membiarkan bakal istrinya itu
terancam bahaya, maka segera ia lompat balik.
Di bawah sebuah pohon besar ia lihat Peng Peng sedang bertempur sengit dengan seorang
laki-laki yang berusia kira-kira lima puluh tahun lebih. Melihat gerakan orang tua itu Kim Houw bisa
kenali orang itu bukan dari golongan sembarangan. Ia heran, bagaimana di dalam pegawai negeri
ada orang yang berkepandaian begitu tinggi?
Walaupun pihak lawan merupakan orang yang berkepandaian tinggi, tetapi Kim Houw masih
belum mau lekas-lekas menggantikan Peng Peng untuk bertempur dengan orang tua itu. Ia hanya
memungut beberapa buah batu dari tanah, dengan tangannya ia membuat batu-batu itu menjadi
beberapa puluh batu-batu kecil-kecil.
Apa sebabnya ia tidak lekas-lekas menggantikan Peng Peng? Tidak lain karena ia hendak
menguji kepandaian ilmu silat si nona yang selama beberapa hari ini telah digembleng dalam ilmu
pedang dan ilmu serangan menggunakan tangan kosong.
Batu-batu kecil di tangannya hanya untuk menjaga-jaga saja dari segala kemungkinan, bukan
untuk melukai orang. Ia tahu bahwa lawannya juga mahir menggunakan senjata rahasia, maka
sedikit saja salah perhitungan mungkin dapat membahayakan jiwa Peng Peng.
Baru saja Kim Houw membikin hancur batu di tangannya, senjata rahasia lawan kembali
meluncur dan mengarah Peng Peng.
Sekarang Kim Houw tahu bahwa senjata lawan itu ada sebuah peluru. Ia tidak mau
membiarkan lawannya berbuat sesukanya, maka ia mengayunkan tangannya, segera tiga butir
batu kecil melesat dan memukul jatuh senjata peluru yang mengancam Peng Peng.
Diluar dugaannya, setelah senjata peluru itu dipukul jatuh, telah menyusul beberapa puluh butir
peluru yang bergemerlapan menyambar ke arah dirinya sendiri.

Kim Houw tertegun. Diam-diam ia memuji kepandaian lawan dalam menggunakan senjata
rahasia.
Oleh karena sudah tidak keburu untuk menggunakan batunya lagi menghajar peluru-peluru itu,
terpaksa semua batu di tangannya disebar dan dilemparkan ke arah pohon, dari mana senjata
peluru tadi meluncur keluar. Ia sendiri sama sekali tidak berkelit dan dengan tangan kirinya ia
menyambuti beberapa butir senjata peluru itu, satupun tidak ada yang lolos.
Orang yang melancarkan senjata rahasia tadi, meskipun dapat menghindarkan serangan batu
Kim Houw, tetapi ia telah dikejutkan oleh kepandaian Kim Houw yang sekaligus dapat menyambuti
beberapa butir pelurunya.
Sementara orang tua yang bertempur dengan Peng Peng, mendadak lompat keluar dari
kalangan pertempuran. Mundur beberapa tindak dikala ia menggerakkan kedua tangannya lantas
meluncur keluar dua buah benda hitam menyerang ke arah Kim Houw.
Dua buah benda hitam itu kira-kira sebesar kepalan tangan, tetapi meluncurnya lebih cepat
dari pada peluru tadi dan suara anginnya juga menderu lebih keras, dari sini dapat diketahui
bahwa kekuatan orang tua itu sangat hebat.
Kim Houw masih tetap tenang dan hanya mengayun tangan kirinya, agaknya seperti acuh tak
acuh, tetapi dari tangannya justru sudah meluncur dua butir peluru yang tepat mengenai kedua
benda hitam yang mendatangi tadi.
Tiba-tiba terdengar suara ledakan dua kali, lantas terlihat lelatu api berhamburan, sedangkan
kedua buah benda hitam tadi telah menyebarkan banyak benda hitam kecil-kecil yang mengurung
Kim Houw.
Kim Houw terkejut dan segera ia putar kedua tangannya untuk menjatuhkan semua benda
hitam kecil-kecil itu kemudian berseru: "Sahabat, kau dengan Cu-bo sin-tan To Pa Thian masih
pernah apa?"
Dua butir peluru yang dilepas oleh Kim Houw tadi sudah dapat memecahkan kedua senjata
rahasianya, itu saja sudah cukup mengherankan hati orang tua itu. Kemudian dengan satu tangan
telah menjatuhkan semua benda hitam kecil-kecil yang keluar dari induknya, ini menunjukkan
betapa tinggi kepandaiannya Kim Houw.
Dan kini Kim Houw membuka mulut menyebut nama To Pa Thian, orang tua itu semakin heran
dan bertanya: "Apakah saudara kenal dengan pamanku?"
Kiranya orang itu adalah keponakan To Pa Thian yang bernama To Siao Peng. Oleh karena
hendak mencari sang paman, maka ia datang ke Su Coan. Tentang usahanya hendak menangkap
Kim Houw itu disebabkan anjurannya Chi Kiong yang tadi menyerang Kim Houw dengan peluru
peraknya. Oleh karena Chi Kiong dengan To Siao Peng merupakan dua sahabat karib, maka ia
telah meminta To Siao Peng untuk membantunya.
Tidak nyana begitu melihat peluru hitam Cu-bo-sin-tan, Kim Houw lantas menanyakan dirinya
To Pa Thian.
Mengetahui bahwa orang tua itu adalah keponakan To Pa Thian, Kim Houw lantas berkata:
"Aku bukan saja kenal padanya, bahkan sudah lama makan dan tidur bersama-sama di dalam
istana panjang umur......"

Ketika mendengar keterangan itu To Siao Peng tergesa-gesa memotong: "Benar, benar,
pamanku memang sudah masuk ke dalam istana panjang umur, hanya begitu pergi lantas tidak
ada kabar ceritanya lagi. Khabarnya Tiancu dari Istana Panjang Umur di Koa Cong San, Siao Pek
Sin, pernah memimpin serombongan orang keluar dari Istana Panjang Umur di rimba keramat,
apakah paman juga termasuk diantara mereka? Maka aku sengaja datang ke daerah Su-coan,
dengan maksud hendak ke Pek liong po untuk mencari Siao Pek Sin guna meminta penjelasan
mengenai soal ini."
Kim Houw ingat bagaimana To Pa Thian dan Lie Cit Nio telah binasa di tangannya sendiri
secara tidak disengaja, kini setelah menghadapi keponakannya, dalam hati merasa sangat
berduka. Sebab ia memang tidak ada maksud hendak membinasakan jiwanya kedua orang tua itu.
Sekarang, harus bagaimana ia menerangkan duduknya perkara kepada To Siao Peng?
To Siao Peng ketika menampak Kim Houw bersangsi, lalu menanya pula : "Kalau saudara
mengetahui persoalannya paman, harap supaya suka menjelaskan secara sejujurnya. Aku hanya
kepingin tahu saja, sudah merasa puas. Apalagi paman usianya kalau dihitung-hitung kini dia
sudah ada delapan puluh tahun lebih."
"Sungguh tidak beruntuk, paman saudara meski sudah berhasil keluar dari Istana Panjang
Umur di rimba keramat, apa mau kemudian sudah meninggal dunia bersama-sama dengan Lie Cit
Nio."
"Ow! Bibi Lie Cit .." To Siao Peng berseru, ia menangis mendengar berita jelek itu.
"Bukan Lie Cit, tapi Lie Cit Nio yang aku maksudkan." Kata Kim Houw.
"Lie Cit Nio juga adalah bibi Lie Cit, kita sudah biasa membahasakan demikian padanya. Dia
sebetulnya bakal istrinya paman, tapi entah apa sebabnya, mereka berdua telah bertengkar dan
kemudian masing-masing pergi mengembara mencari jalannya sendiri-sendiri. Meskipun demikian,
mereka berdua tidak lupa setiap dua-tiga tahun masih pulang untuk menengok rumah tangganya.
Paling akhir, keduanya lantas menghilang, sudah hampir dua puluh tahun tidak ada kabar
ceritanya, tidak nyana mereka masuk ke dalam Istana Panjang Umur di rimba keramat. Mungkin
dimasa tuanya mereka sudah akur kembali. Semoga di alam baka arwah mereka bisa saling
menyinta." Demikian To Siao Peng menutur.
Kim Houw mendengar keterangan To Siao Peng, teringat akan keadaan mereka berdua ketika
masih bersama-sama berada di dalam Istana Panjang Umur di rimba keramat, memang luar biasa
juga keadaan mereka.
Saat itu, To Siao Peng mendadak ingat dirinya Cie Kiong, maka ia lantas berkaok-kaolk
memanggil padanya, tapi entah kemana perginya Cie Kiong?
Kim Houw lalu memperkenalkan To Siao Peng kepada Peng Peng yang diakui sebagai
istrinya.
To Siao Peng dapat tahu bahwa Peng Peng adalah cucu perempuannya Tiong Ciu Khek, buruburu
memberi hormat serta meminta maaf atas perbuatannya yang ceroboh tadi. Peng Peng juga
membalas hormat sebagaimana mestinya. Cuma, ketika ingat bagaimana perbuatannya dengan
Kim Houw sudah diketahui oleh orang tua itu, diam-diam ia merasa jengah.
Kim Houw ajak To Siao Peng duduk di atas rumput. Dalam bercakap-cakap, Kim Houw
menjelaskan bagaimana dirinya telah difitnah oleh Siao Pek Sin, sehingga di luaran ia mendapat
nama jelek.

To Siao Peng yang mendengar keterangan itu lalu berjanji akan berusaha membikin bersih
nama baik Kim Houw.
Sudah tentu janji ini membuat Kim Houw merasa sangat girang.
Akhirnya, To Siao Peng lantas pamitan kepada Kim Houw dan Peng Peng, untuk melanjutkan
perjalanannya.
Tidak antara lama lagi cuaca sudah mulai terang.
Kim Houw dan Peng Peng masing-masing lantas duduk bersemedi untuk memulihkan
kekuatan tenaganya.
Tapi baru saja mulai bersemedi, dari jauh tiba-tiba terdengar suara orang menyanyi dengan
lagu yang biasa dinyanyikan oleh si imam palsu, hingga membuat kaget Kim Houw dan Peng
Peng.
"Hei, itu apa bukan Kee Toya...?" Menanya Peng Peng heran.
"Kee Toya tokh sudah dipanggil pulang oleh Tuhan, bagaimana bisa dia? Juga tidak mungkin
orang yang sudah mati bisa hidup kembali." Sahut Kim Houw sambil gelengkan kepalanya.
Tapi bila ingat akan dirinya si imam palsu yang tingkah lakunya gila-gilaan itu, hati Kim Houw
lantas merasa sedih.
"Kalau bukan Kee Toya, mengapa suaranya ada begitu mirip benar? Coba aku pergi tengok."
Kata pula Peng Peng, romannya penasaran.
Kim Houw belum menjawab, Peng Peng sudah enjot tubuhnya dan lompat melesat ke arah
datangnya suara orang bernyanyi tadi.
Melihat perbuatan Peng Peng terpaksa Kim Houw mengikuti jejaknya.
Setelah lari melalui satu bukit kecil, di depan terbentang sebidang tanah sawah yang penuh
tanaman padinya.
Tapi di sawah itu tidak kedapatan satu petanipun juga, sebaliknya ada satu imam yang sedang
berjalan di tengah galangan sawah. Sayang Kim Houw dan Peng Peng cuma melihat
belakangnya, tidak dapat lihat dengan tegas bagaimana wajah aslinya.
Oleh karena ia adalah satu imam, maka Peng Peng lantas berseru memanggil:
"Kee Toya ..."
Perbuatan Peng Peng itu sebetulnya sangat gegabah. Semula karena terdorong oleh
napsunya kepingin tahu, maka ia memanggil secara tidak sadar, tapi setelah suara panggilan itu
keluar dari mulutnya, ia baru mendusin kalau perbuatannya itu sangat gegabah. Sebab topi dan
pakaian imam itu sangat bersih, beda jauh dengan dandanannya si imam palsu yang mesum dan
tidak karuan. Apalagi mengingat si imam palsu belum pernah membawa-bawa senjata tajam,
sedang imam ini di gegernya menggemblok sebilah pedang panjang.
Kim Houw yang tidak keburu mencegah sudah lantas menduga bahwa kali ini kembali Peng
Peng akan menerbitkan onar. Sebab bagi seorang imam umumnya tidak suka disebut imam palsu,
kecuali si imam palsu Kee Toya sendiri.

Imam itu ketika mendengar panggilan Peng Peng, dengan perlahan membalikkan badannya
dan saling memandang. Kim Houw dan Peng Peng pada berseru kaget, melihat sepasang
matanya imam itu bukan saja begitu dingin, wajahnya juga keren, nampaknya sangat berwibawa.
Kim Houw ketika menyaksikan wajahnya imam itu, hatinya tercekat. Pikirannya siapakah imam
ini? Mengapa mempunyai kekuatan tenaga lwekang begitu dalam? Nampaknya bukan orang dari
golongan sembarangan.
Imam itu memandang Kim Houw dan Peng Peng berdua agak lama, masih tetap tidak
bergerak, begitu pula wajahnya, juga tidak mengunjukkan reaksi apa-apa.
Kim Houw yang menyaksikan keadaan demikian, telah menganggap imam itu sudah gusar,
tapi karena tidak ada sebab dan lantarannya, ia pikir tidak ada perlunya membuat onar. Maka ia
lantas menjura memberi hormat.
"Istriku ini karena kesalahan lihat, tadi telah kesalahan memanggil Toya, harap supaya Toya
suka memberi maaf." Katanya merendah.
Kim Houw sehabis mengucapkan perkataannya itu kembali menyoya dalam-dalam.
Tapi imam itu nampaknya masih tidak tergerak hatinya, ia masih tetap memandang Kim Houw
dengan sorot mata yang dingin, agaknya hendak menegasi siapa sebetulnya sepasang anak
muda ini?
Kim Houw melihat imam itu tidak menggubris padanya, dalam hati agak mendongkol. Pikirnya,
begitu jumawa kelakuanmu. Walaupun kau mempunyai kepandaian sangat tinggi, apa kau kira aku
Kim Houw takuti padamu?
Hening lagi sejenak, imam itu masih tidak bergerak atau menjawab perkataan Kim Houw.
Menganggap sifatnya imam ini ada serupa dengan sifatnya si imam palsu yag gial-gilaan,
maka Kim Houw lantas berkata pula:
"aku yag rendah karena tahu sudah berbuat kesalah, maka tadi meminta maaf kepada Toya
untuk istriku. Kalau toya rasanya sudah memberi maaf, sekarang kami mohon diri untuk
melanjutkan perjalanan"
Kali ini, Kim Houw tanpa menunggu jawaban si imam, lantas tarik tangannya Peng Peng diajak
berlalu. Karena tidak mau membanggakan kepandaiannya, maka ia tidak mengeluarkan ilmunya
mengentengi tubuh!
Tapi, baru saja berjalan kira-kira delapan tindak, di belakangnya seperti ada suara orang yang
membuntuti. Kim Houw lantas menduga bahwa imam itu menyusul padanya.
Kim Houw diam-diam memberi isyarat kepada Peng Peng, supaya ia berlaku waspada. Tapi
diluarnya masih pura-pura tidak tahu, ia jalan seperti biasa.
Tapi sebentar kemudian, suara itu sudah tidak kedengaran. Kim Houw diam-diam merasa
heran, apakah imam itu tidak membuntuti lagi?
Karena hatinya bercuriga, ia lantas berpura-pura membungkukkan badannya untuk memungut
sebuah batu, tapi matanya melirik ke belakangnya.

Begitu melihat, Kim Houw semakin heran sebab imam itu ternyata sudah tidak kelihatan mata
hidungnya !
Tapi, selagi masih dalam keragu-raguan mendadak dengar suaranya imam itu yang dibarengi
dengan suara ketawanya yang dingin :
"Apa kau ada itu pemuda bernama Kim Houw dan namanya begitu menggetarkan jagat ?"
Dalam kagetnya, Kim Houw lantas lompat berdiri, namun imam itu tidak kelihatan di
belakangnya. Entah sejak kapan, tahu-tahu ia sudah berada di depan matanya. Kegesitannya
imam bergerak sungguh menakjubkan.
Begitu buka mulut lantas si imam menyebut namanya, maka Kim Houw menjawab dengan
merendah :
"aku yang rendah memang benar Kim Houw siapakah nama Toya yang mulia ? Bolehkah
kiranya memberi tahukan kepadaku seorang yang tidak berharga ini ?"
Meski Kim Houw terlalu menghormat dan merendah begitu rupa, tapi imam itu masih tetap
dingin kaku sikapnya.
"San-hua Sian-lie bukankah telah binasa di tanganmu ?" demikian ia menanyakan soalnya
San-hua Sian-lie, dengan tiba-tiba.
Kim Houw ketika mendengar disebutnya nama San-hua Sian-lie, seketika itu wajahnya lantas
pucat pasi. Mengingat San-hua Sian-lie ada ibunya Bwee Peng, dan ibu yang bernasib malang itu
memang benar binasa didalam tangannya, bagaimana ia bisa mungkir?
Cuma, kematian San-hua Sian-lie itu ada serupa dengan kematian To Pa Thian dan Lie Cit
Nio, yang memang sengaja mencari jalan mati, tapi hanya meminjam tangannya yang
melaksanakan kematian itu, dan akibatnya justru adalah Kim Houw yang dianggap sebagai
algojonya. Dan apa yang mendukakan, hal itu ia tidak mengetahui pada sebelumnya, andai kata ia
tahu maksudnya itu, sekalipun harus korbankan sebelah tangannya, ia juga tidak mau melakukan
pembunuhan itu.
Belum sempat Kim Houw memikirkan jawabannya, imam itu sudah ketawa dingin pula, sambil
menghunus pedang di belakang gegernya ia berkata :
"Rasa kau tidak berani tidak mengakui. Sekarang tidak perlu banyak rewel, lekas keluarkan
senjatamu !"
Mendengar perkataan itu, hati Kim Houw sangat cemas. Kematian San-hoa Sian Lie
sebenarnya merupakan suatu kesalah pahaman, maka kejadian itu membuatnya menyesal dan
sekarang bagaimana harus ia menjawab ?
Terutama imam tua itu dari golongan mana, belum diketahui dengan jelas. Jika terjadi
kesalahan tangan lagi, bukankah berarti menambah dosa? Andaikata arwah Bwee Peng di alam
baka mengetahui hal ini, sudah tentu tidak akan memaafkan padanya.
Si Imam tua itu, ketika melihat Kim Houw lama tidak menjawab, lalu berkata pula :
"Hm! Apa kau takut ? Sebaiknya kau bunuh diri saja, habis perkara !"
Diejek secara demikian hati Kim Houw mulai gusar, tetapi ia masih mencoba untuk
mengendalikan diri sambil berkata:

"Numpang tanya apa sebutan totiang yang mulia dan ada hubungan apa dengan San-hou
Sian-lie Lo Cian-pwee? Kalau totiang mau menjelaskan, mungkin aku juga bisa berbuat menurut
kehendak totiang"
Imam itu kembali perdengarkan tertawanya yang mengejek.
"Bohong!" bentaknya, "Dasar ceriwis, sekalipun kau tidak mau turun tangan apa kau kira
toyamu bisa mengijinkan kau berlalu dalam keadaan hidup? Kau jangan mengimpi !"
Ucapan itu sungguh jumawa, seolah-olah ia sendiri seorang yang paling kuat didalam dunia
persilatan, siapapun tidak dipandang mata.
Kim Houw panas hati, tetapi ia masih bicara dengan sikap yang sangat merendah:
"Kim Houw, meskipun munculnya di dunia Kang-ouw belum lama, tetapi sedikit banyak sudah
pernah menghadapi banyak bahaya. Kalau totiang tidak mau memberikan kelonggaran, terserah
apa yang totiang hendak perbuat"
"Bohong! bohong! bohong! dan sekarang kau mau apa ?"
Beruntun sampai tiga kali si imam mengatakan kau bohong, benar-benar Kim Houw sudah
tidak dapat mengendalikan dirinya lagi. Kelakuan imam itu, sekalipun terhadap orang yang
bagaimana sabarnya, rasanya tidak dapat membiarkan.
Maka Kim Houw sambil tertawa dingin berkata:
"Aku seorang hse Kim meminta dengan hormat, supaya totiang menjelaskan duduknya
perkara, tetapi totiang tetap berkeras dengan kemauan sendiri. Jika totiang masih tetap tidak mau
memberi penjelasan, jangan sesalkan aku si orang she Kim nanti turun tangan dengan tidak
mengenal kasihan!"
Imam itu tertawa, lalu mengacungkan pedangnya. "Memang itu yang aku harapkan, marilah!"
ia menantang.
Pedang panjangnya imam itu, ketika diayun di udara, entah dengan cara bagaimana, tersorot
oleh sinar matahari lantas mengeluarkan sinar yang berkilauan, sehingga membuat silau mata Kim
Houw dan Peng peng.
Kim HoUw terkejut. PikirNya hari ini benar-benar ia telah menemukan musuh yang tangguh
sebab dalam kitab pelajaran silat Kao jin Kiesu juga ada dimuat tentang ilmu pedang yang di
namakan "Tiauw-yang ye-hui" ialah ilmu pedang menggunakan sinarnya matahari membuat silau
mata lawannya, supaya ia sendiri berada di tempat yang menguntungkan. Ilmu pedang itu banyak
sekali perubahan gerak tipunya, sehingga boleh dikatakan ada semacam ilmu pedang yang sangat
luar biasa.
Kao-jin Kiesu hanya mengenai ilmu pedang itu, tetapi sebelum berhasil mempelajari
bagaimana memecahkan ilmu pedang tersebut, ia sudah keburu menutup mata.
Maka ketika mata Kim Houw dibikin silau oleh sinar matahari yang menyorot melalui pedang si
imam, segera mengenali ilmu pedang itu. Siapakah adanya imam ini yang sudah mampu
menggunakan ilmu pedang yang luar biasa hebatnya?

Si imam ketika melihat Kim Houw terkejut dan kemudian berdiam, lantas berkata sambil
tertawa bergelak-gelak :
"Menurut apa yang tersiar di dunia Kang-ouw, khabarnya kau mempunyai kepandaian luar
biasa, tetapi hari ini aku lihat ternyata kau hanya begitu saja, sehingga percuma saja aku berharihari
menantikan kedatanganmu."
Sebelum si imam selesai ocehannya dan selagi hendak menarik pedangnya, mendadak ia
melihat sebutir mutiara yang berkelebat di depan matanya.
Ketika ia menegasi, ternyata senjata Bak-tha Liong-kin sudah tergenggam di tangannya Kim
Houw.
"Banar, itulah baru namanya laki-laki sejati, "kata si imam mengejek." Berani berbuat juga
harus berani bertanggung jawab. Mari, mari, kita jangan membuang tempo lagi." Kim Houw yang
merasa didesak terus menerus, sudah tidak ada lain jalan kecuali turun tangan, meskipun hal itu
tidak dikehendaki oleh hati kecilnya.
la lalu mendongakkan kepalanya dan bersiul panjang, lama sekali siulannya itu masih
menggema di udara.
Sehabis bersiul, ia lantas berkata: "Totiang benar-benar mendesak keterlaluan, sekalipun Kim
Houw tidak mampu menandingi kau, tetapi juga ingin belajar kenal dengan ilmu pedang totiang
"Tiaw-yang-fe-hui" yang luar biasa hebatnya itu."
Mendengar ucapan Kim Houw itu, si imam segera mengetahui bahwa Kim Houw sudah
menanti ilmu pedangnya yang di latih dengan susah payah selama beberapa puluh tahun
lamanya.
Karena ilmu pedang itu baru saja berhasil disempurnakannya, bagaimana Kim Houw dapat
dengan segera mengenalinya.
Lewat sejenak, imam itu baru berkata dengan mendongkol! "Baiklah, kau ternyata sudah
mengenali ilmu pedang toyamu, sehingga perjalananku ini tidak tersia-sia hanya aku ingin melihat
dengan cara bagaimana kau hendak melayani ilmu pedangku yang istimewa ini."
Kim Houw tidak memperdulikan ocehan imam itu lagi, hakekatnya ia sendiri juga tidak
mengerti dengan cara bagaimana dapat mengalahkan ilmu pedang yang luar biasa itu. Dalam
pikirannya ialah ingin menggunakan kepandaian diri sendiri yang luar biasa untuk melayani imam
yang sangat jumawa itu.
Si imam ketika melihat Kim Houw masih belum mau bergerak, jengkel kelihatannya.
"Kalau kau tidak mau turun tangan terlebih dahulu, hati-hatilah sedikit."
Tetapi Kim Houw tetap tidak menggubrisnya.
"Siapakah sebetulnya nama totiang yang mulia?"
Sebagai jawaban adalah pedang si imam yang sudah datang membabat dirinya.
Melihat si imam itu tetap tidak mau memberitahukan namanya, dalam hati makin mendongkol.
Dengan tidak mau memperdulikan siapa adanya si imam itu lagi, ia lalu mengayun senjatanya
Bak-tha Liong-kin untuk menyambuti senjata pedang musuhnya.

Siapa nyana, sebelum ia menegakkan dirinya, kembali pedang imam itu sudah mengancam,
sedangkan sinarnya yang berkilauan kembali membuat silau pada kedua matanya.
Dalam keadaan demikian, Kim Houw terpaksa mendongakkan kepala untuk melihat keadaan
udara. Ia ingin menyelidiki matahari sedapat mungkin ia akan berdaya untuk mencoba berdiri di
bawah kaki matahari, supaya matanya tidak dibikin silau, pikirnya jika dapat merebut kedudukan
yang menguntungkan itu, tentu matanya tidak akan dibikin silau lagi oleh sinarnya matahari.
Diluar dugaan, pikiran Kim Houw itu seolah-olah sudah diketahui dengan jelas oleh lawannya,
sehingga penjagaannya makin rapat dan serangannya makin gencar. Asal Kim Houw baru
bergerak sedikit saja, imam itu sudah merebut tempat yang menguntungkan untuknya.
Beberapa puluh kali Kim Houw mencoba tetapi biar bagaimana juga ia tidak berhasil lolos dari
kurungan si imam. Satu kali pernah kejadian, terang ia sudah merebut tempat yang menghadapi
matahari, di belakang dirinya mendadak ada angin menyambar. Ketika ia berpaling, kembali
matanya dibikin silau oleh sinarnya matahari.
Sinar matahari yang menyorot ke matanya melalui pedang imam itu, benar-benar membuat
kepalanya terasa pusing. Karena disamping menjaga matanya ia juga harus menjaga ujung
pedang si imam yang setiap saat dapat membahayakan jiwanya. "
Pada saat itu Peng Peng yang menonton disamping, hatinya sudah kebat-kebit, hampir saja ia
melompat untuk membantu Kim Houw.
Bermula ia masih belum tahu benar sebab-sebabnya, ia merasa heran, mengapa kepandaian
Kim Houw mendadak menurun begitu rupa.
Tetapi akhirnya dapat juga diketahuinya bahwa yang membikin repot Kim Houw ternyata
adalah itu sinar matahari yang berkelebatan melalui pedangnya si imam.
la lalu mulai memutar otaknya, dengan cara bagaimana supaya ia dapat menolong Kim Houw.
Tetapi untuk nama baiknya Kim Houw dalam dunia Kang-ouw di kemudian hari, sekali-kali ia
tidak boleh turun tangan memberi bantuan, karena sekalipun dengan kekuatan dua orang dapat
mengusir pergi imam itu, tetapi jika hal itu tersiar di kalangan Kang-ouw, benar-benar tidak
menguntungkan Kim Houw.
Lagi pula apakah Kim Houw mengijinkan ia berbuat demikian, juga masih merupakan suatu
pertanyaan. Apabila perbuatannya itu menimbulkan salah paham Kim Houw, bukankah akibatnya
akan lebih runyam lagi?
Maka ia cuma merasa cemas didalam hati, dan ia hanya ingin menggunakan otaknya untuk
memikirkan dengan cara bagaimana ia dapat membantu Kim Houw tanpa turut turun tangan.
Segera Peng Peng memikirkan tentang cara supaya Kim Houw tidak membelakangi sinar
matahari, tetapi sebelum membuka mulutnya ternyata Kim Houw sudah dapat pikiran itu lebih
dahulu, tetapi tidak dinyana bahwa usaha Kim Houw itu masih sia-sia saja.
Sebentar saja pertempuran itu sudah melalui beberapa puluh jurus, tetapi Kim Houw masih
tetap belum berhasil menghindarkan dirinya dari ancaman bahaya.
Peng Peng semakin cemas, apalagi menyaksikan pedang si imam itu terus mendesak Kim
Houw, sampai rasanya pemuda pujaannya seperti itu tidak dapat berkutik.

Tiba-tiba Peng Peng ingat bagaimana kalau melayani musuh dalam gelap gulita selalu
mengandalkan ketajaman pendengaran telinganya. Ia ingat pula dimasa kanak-kanak ketika masih
melatih ilmu silat ditempat gelap, apakah sekarang Kim Houw tidak dapat melayani musuhnya
dengan menutup mata supaya terhindar dari ancaman sinar matahari?
Begitu Peng Peng mendapatkan pikiran tersebut, ia lantas berseru dengan suara nyaring;
"Engko Houw, pejamkan mata, pejamkan mata!"
Setelah itu kembali terdengar suara beradunya dua senjata, tetapi sudah tidak segencar tadi
lagi.
Selewatnya itu, keadaan telah berubah dengan mendadak, Bak tha Liong-kin-nya Kim Houw
telah meluncur keluar dari kurungan sinar pedang sehingga tirai sinar pedang yang diciptakan oleh
si imam, telah terbelah menjadi dua.
Bak tha yang ada di atas Liong-kin, diputar sedemikian rupa, seolah-olah seekor naga hitam
yang perlahan-lahan menelan sinar pedang. Ketika Peng Peng mengamat-amati keadaan Kim
Houw, benar saja Kim Houw telah menutup rapat kedua matanya, di bibirnya tersungging satu
senyuman gembira suatu tanda bahwa dirinya merasa puas dengan teriakannya tadi. Perubahan
itu menggembirakan Kim Houw, pula halnya dengan Peng Peng sebab tidak dapat disangkal lagi,
itu merupakan jasa Peng Peng yang telah mendapatkan cara memecahkan ilmu pedang lihay itu.
Hanya Peng Peng juga tidak habis mengerti, cara menghadapi ilmu pedang yang begitu
mudah, mengapa Kim Houw yang terkenal juga tidak mampu memikirkan?
Ini ada juga sebabnya. Karena mula-mula Kim Houw belajar ilmu silat, sudah kesalahan
makan buah batu yang dikerami oleh binatang kalajengking besar yang sangat berbisa, sehingga
matanya menjadi terang. Mata terang itu bagi orang rimba persilatan merupakan suatu pusaka
yang sangat berharga.
Dan Kim Houw yang telah mendapatkan mata terang itu, meskipun dapat membedakan siang
dan malam hari, tetapi hampir-hampir ia tidak ia tidak mengerti apa artinya malam, sebab matanya
memang boleh dikatakan tidak mengenal gelap, terang atau gelap baginya serupa saja, oleh
karena itu, bagaimana dapat memikirkan cara menghadapi musuh di tempat gelap ?
Sekarang kita balik lagi pada si imam yang melihat ilmu pedangnya yang sudah di latih
beberapa puluh tahun ternyata sudah dipecahkan oleh Kim Houw, karena peringatannya Peng
Peng, sudah tentu merasa gusar sekali.
Apalagi setelah Kim Houw melakukan serangan pembalasan dan telah mendesaknya
sedemikian rupa sehingga ilmu pedangnya tidak berdaya lagi.
Mendadak ia membentak dengan keras, kemudian meninggalkan Kim Houw dan mencoba
untuk menyerang Peng Peng, sehingga sekarang Peng Peng yang terkurung oleh sinar pedang si
imam.
Bukan main kagetnya Peng Peng, meskipun ia telah mengetahui bahwa di belakangnya masih
ada jalan buat mundur, tetapi ia juga mengetahui bahwa kalau dirinya di tarik mundur, pedang si
imam segera dapat menembusi ulu hatinya.
Keadaan Kim Houw saat itu sungguh serba salah, sebab imam tadi setelah mengeluarkan
seruannya, ia mengira masih hendak mengeluarkan ilmu pedang simpanannya untuk
menyerangnya lagi, siapa nyana si imam itu telah merubah siasatnya, ujung pedangnya berbalik
ditujukan pada Peng Peng.

Dalam keadaan demikian, Kim Houw tidak dapat berpikir panjang lagi, ia membenci perbuatan
imam itu yang telah menghina kekasihnya yang tidak bersenjata.
Maka ia juga lantas berseru keras, mengayun senjata dan dengan secepat kilat menyerang ke
arah si imam.
Siapa nyana, baru saja Bak-tha Liong-kin meluncur dari tangan KIm Houw mendadak telah
berkelebat sinar pedangnya yang kemudian di susul oleh suara jeritan dan tubuhnya badan
manusia.
Dalam keadaan bingung, Kim Houw tidak dapat melihat dengan tegas siapa orangnya yang
roboh itu dan ia masih mengira bahwa yang tubuh itu ialah Peng Peng, karenanya itu dia tidak
berani melihat.
Tetapi sebentar kemudian, telinganya mendadak dapat mendengar suara yang halus dan
merdu :
"Engko Houw, kau tidak kenapa-napa ?"
Kim Houw terkejut dan dengan cepat ia membuka matanya dan terlihat di depannya Peng
Peng dengan senjata pendeknya Ngo-heng-kiam, sedang di tangan kirinya memegang senjata
Bak-tha Liong-kin, ia memandang Kim Houw sambil tersenyum, agaknya tidak menderita luka apaapa.
Bukan main girangnya Kim Houw, lalu mengukur tangannya dan memeluk Peng Peng sambil
berbisik :
"Peng Peng, kau tidak apa-apa ? Aku tadi lupa bahwa kau ada menyimpan pedang Ngo-hengkian
dari yayamu."
Peng Peng hanya tertawa saja dan dalam kegirangannya ia balas memeluk Kim Houw.
Sunyi keadaan sekian lamanya, baru kedua kekasih itu melepaskan pelukannya.
"Luka si imam tidak sampai membahayakan jiwanya," kata Kim Houw. "Marilah kita lihat dia
sebenarnya dari golongan mana. Kalau masih ada hubungan dekat dengan kita, sebaiknya lekaslekas
kita obati lukanya supaya dia tidak menderita lama-lama."
Kim Houw lantas memutar tubuhnya untuk memberikan pertolongan, tetapi ternyata si imam itu
sudah tidak kelihatan cecongornya.
Terang tadi ia terluka, tetapi dalam waktu sekejap saja sudah dapat menghilang tanpa bekas.
Kim Houw menyesal telah berkelahi tanpa faedah, sebab siapa musuhnya dan kemana
perginya tidak diketahuinya.
Ketika ia melihat keadaan di sekitarnya, ternyata hanya sawah saja yang terhilat, tidak ada
suatu bayangan orang.
Mendadak Peng Peng menunjuk ke sebuah atap rumah yang berada agak jauh.
"Engko Houw, mari kita kesana sebentar," ia mengajak kekasihnya.
Pada saat itu, si depan rumah atap itu tiba-tiba terlihat sesosok bayangan manusia yang
menghilang dengan cepat.

"Itu tentunya si imam tadi, mari kita lihat!" Kim Houw kata.
"Sudahlah, Orang sudah lari perlu apa di kejar lagi," jawab Peng Peng sambil menggandeng
tangan Kim Houw.
"Tidak, aku bukannya mengejar dia, aku hanya ingin tahu sebenarnya dia siapa dan lagi pula
untuk melihat lukanya membahayakan jiwanya atau tidak."
Peng Peng anggap perkataan Kim Houw beralasan, maka keduanya lantas lari ke rumah
tersebut.
Gubuk atap itu rupanya telah didirikan oleh pak tani untuk menjaga sawahnya panjangnya
hanya kira-kira enam kaki dan lebarnya empat kaki, yang hanya cukup untuk rebah satu orang
saja. Sungguhpun nampaknya seperti gubuk, tetapi sebenarnya bukan gubuk.
Ketika Kim Houw dan Peng Peng tiba di depan gubuk itu, benar saja telah terlihat si imam itu
sedang duduk bersemedi, sepasang matanya dipejamkan dan napasnya agak memburu, ruparupanya
sedang menggunakan kekuatan tenaga lweekangnya untuk mengobati lukanya. Atas
kedatangan Kim Houw dan Peng Peng sedikitpun ia tidak menggubris.
Kim Houw lalu menarik tangan Peng Peng, "peng Peng, jangan ganggu dia." katanya dengan
suara perlahan.
Lewat sejenak, napas si Imam sudah teratur kembali dan lukanya agaknya sudah banyak
sembuh.
Dengan tiba-tiba ia membuka matanya, bibirnya mengunjukkan satu senyuman yang penuh
rasa welas asih.
Matanya memandang Kim houw dan Peng Peng sambil mengangguk anggukan kepalanya,
agaknya sedang memberikan pujiannya.
Menyaksikan itu semua, Kim houw bukannya girang, sebaliknya malah berkuatir. Ia pikir imam
itu pasti ada sedikit hubungan dengan mereka berdua, terang bukan orang dari golongan jahat.
Hati Peng Peng pun merasa curiga, tetapi ia juga masih belum dapat menduga siapa
sebenarnya imam itu.
Tiba-tiba terdengar si imam menghela napas panjang, kemudian berkata:
"Kalian berdua apa tahu siapa sebenarnya aku ini ? Sejak aku menjadi imam, aku telah
menamakan diriku Bwee-hoa Keisu!"
"Bwee-hoa-Keisu? Bwee-hoa-Keisu?... "
Nama itu selalu berputaran diotaknya Kim Houw dan Peng Peng, sebab mereka belum pernah
mendengar nama itu, dengan sendirinya mereka tidak mengetahui imam itu. Bwee-hoa_kiesu
lantas berkata lagi :
"Bwee-hoa-Keisu ialah nama julukanku, setelah aku menjadi imam, sebelum itu aku adalah
Chung-cu dari Bwee-kee-cung, yang bernama Bwee Seng dengan gelar Kiam-seng. Bwee Peng
adalah putraku sedangkan San-hoa Sian-lie ialah istriku..."

Mendengar keterangan itu Kim Houw bukan main kagetnya dan segera ia menekuk kedua
lututnya berlutut di hadapan si imam dan berkata :
"Boanpwee Kim houw, sungguh tidak mengetahui kalau kau adalah Empe Bwee, aku benarbenar
sangat berdosa. Tidak tahu bagaimana luka Empe Bwee ? Apakah membahayakan ?"
"Sekalipun kepandaianmu sudah sangat tingi, tetapi kalau hendak melukai diriku, rasanya juga
tidak begitu mudah. apa yang barusan terjadi, sebenarnya aku hanya pura-pura saja, kau tidak
usah kuatir, hanya aku ingin memberitahukan sesuatu hal padamu, suatu kisah yang sudah
tersimpan dalam hatiku, hampir dua puluh tahun lamanya, sekarang ini rasanya sudah tiba
saatnya untuk aku memberitahukan kisah tersebut, marilah kalian berdua mengikuti aku"
Bwee-hoa Kiesu lantas berbangkit dan mengajak kedua anak muda itu berjalan melalui sawah
dan tegalan.
Kim Houw menyaksikan gerak gerik si imam yang benar seperti orang yang tidak terluka, maka
hatinya merasa lega.
Bwee Peng telah binasa untuk dirinya, sedang San-hoa Siau-lie telah terbinasa di tangannya
meskipun perbuatannya itu bukan disengaja. Jika Bwee-hoa Kiesu juga terluka di tangannya,
benar-benar Kim Houw tidak dapat membayangkan apa akibatnya.
Setelah melalui galangan sawah dan bukit-bukit, di depan matanya terbentang satu dusun
kecil yang mempunyai penduduk beberapa puluh rumah tangga saja. Di luar dusun itu ada
beberapa puluh anak gembala yang sedang bermain-main dan membiarkan kerbaunya makan
rumput.
Kim Houw mengira bahwa Bwee-hoa Kiesu dalam dusun itu mempunyai beberapa kenalan,
tetapi nyatanya tidak demikian.
Bwee-hoa Kiesu setelah turun dari bukit, sebaliknya malah menuju ke lain bukit yang terletak di
sebelah dalam.
Kim Houw dan Peng Peng tidak berani menanya banyak-banyak dan hanya mengikuti saja di
belakangnya.
Selanjutnya terlihat bahwa Bwee-hoa Kiesu telah mempercepat gerak kakinya naik turun bukitbukit,
ia seperti berkuatir kedua anak muda tidak dapat mengejar jejaknya, maka kadang-kadang
ia berpaling ke belakang.
Siapa nyana Kim Houw dan Peng Peng bukan saja tetap mengikuti di belakangnya, bahkan
sikapnya sangat tenang dan mukanya tidak merah, juga napasnya tidak memburu.
Akhirnya ketiga orang itu mendaki puncak bukit laksana terbang.
Tetapi berjam-jam meraka berjalan dan matahari juga sudah mendoyong ke barat, tetapi
tampaknya Bwee-hoa Kiesu belum bermaksud untuk menghentikan tindakan kakinya. Walaupun
kaki Kim Houw dan Peng Peng dapat mengikuti, tetapi perut mereka sudah keroncongan.
Kim Houw masih dapat tahan lapar. Untuk Kim Houw, tiga sampai lima hari tidak makan pun
tidka menjadi soal, tidak demikian halnya dengan Peng Peng, tidak saja perutnya sudah
keroncongan tetapi juga dirasakannya sudah agak nyeri.
Tetapi, untuk mengetahui kisah yang sudah disimpan selama dua puluh tahun oleh Bwee hoa
Kiesu, terpaksa ia kertak gigi menahan sakit dan laparnya, sebab kisah itu mungkin ada

hubungannya dengan dirinya Kim houw yang belum jelas asal usulnya. Cuma ia merasa heran,
apa sebabnya untuk menceritakan suatu kisah saja harus melakukan perjalanan begitu jauh.
Matahari sudah mendoyong ke barat, Bwee-hoa Kiesu yang sudah mengajak kedua anak
muda itu melalui beberapa buah bukit, tibalah mereka di sebuah tanah datar dan memasuki suatu
kota yang sangat ramai.
Tetapi Bwee-hoa Kiesu masih juga lebum mau berhenti di kota, setelah mengajak Kim Houw
dan Peng Peng menangsal perut dalam salah satu rumah makan diluar kota, kembali ia
melanjutkan perjalanannya.
Tadinya Peng Peng mengira bahwa Bwee-hoa Kiesu akan menceritakan kisahnya dirumah
makan, siapa nyana imam itu masih mau melanjutkan perjalanannya, maka sepasang alisnya
yang lentik, terlihat dikerutkan dan dalam hati merasa tidak senang, entah, permainan apa yang
akan dipertunjukkan oleh imam itu.
Perubahan sikap Peng Peng itu, rupanya dapat dilihat oleh Kim Houw tetapi ia tidak dapat
mengatakan apa-apa, sebaliknya telah mengulurkan satu tangannya untuk menggandeng dirinya
Peng Peng.
Peng Peng tahu bahwa dengan bantuan tangan Kim Houw itu, telah membuatnya ia berlari
lebih cepat bahkan laksana tebang, tanpa menggunakan banyak tenaga.
Maka ia lantas mengawasi Kim Houw sambil tersenyum, tetapi mendadak dilihatnya ada
perubahan pada wajah Kim Houw, sehingga hatinya tercekat.
"Engko Houw, engkau kenapa?" demikian tanyanya.
Kim Houw hanya menggelengkan kepala dan tidak menjawabnya, sambil menggandeng
tangan Peng Peng, ia mengikuti di belakangnya Bwee hoa Kiesu.
Akhirnya di bawah sebuah puncak gunung yang menjulang tinggi, Bwee-hoa Kiesu lantas
berhenti berlari dan setelah mencari tempat yang agak datar untuk mereka duduk, ia lalu menanya
:
"Tahukan kalian ini tempat apa ?"
Kedua orang muda itu yang hanya mengikuti jejak Bwee-hoa Kiesu saja, sudah tentu tidak
mengetahui hal itu tempat apa, maka mereka hanya dapat menggelengkan kepala sebagai
jawaban.
Bwee-hoa Kiesu lantas berkata pula :
"Ini ialah gunung Ceng-shia-san tempat asalnya partai Ceng-shia-pay yang namanya sangat
tersohor dalam rimba persilatan. Meski pun gunung ini tidak tinggi, tetapi di atas gunung itu
terdapat banyak sekali orang-orang yang berkepandaian tinggi dan aku juga menjadi imam dalam
daerah gunung ini!"
Kim Houw dan Peng Peng pada melengak. Nama Ceng-shia-pay memang benar telah
menggetarkan dunia Kang-ouw, tetapi selama beberapa puluh tahun ini, sudah tidak terdengar lagi
namanya, agaknya partai itu sudah lama tertelan oleh masa. Kalau kini Bwee-hoa Kiesu
mengatakan bahwa di atas gunung terdapat banyak orang yang berkepandaian tinggi, ini benarbenar
susah dimengerti.

Bwee-hoa Kiesu melihat kedua anak muda itu menunjukkan sikap yang agak tidak percaya,
juga tidak mengunjukkan sikap apa-apa, hanya ia berkata :
"Aku mengajak kalian berdua datang ke mari, sudah tentu ada sebabnya. Sekarang aku akan
menceritakan pada kalian suatu kisah yang sudah terjadi pada dua puluh tahun berselang, ialah di
bawah bukit Ceng-shia-san ini, juga di atas tempat yang sekarang kita duduki ini, kala itu aku telah
melakukan pertandingan silat dengan seorang muda yang umurnya sebaya dengan diriku. Asal
mulanya pertandingan itu hanya disebabkan karena saling mengagumi kepandaian masingmasing,
tetapi boleh juga dikatakan karena perasaan saling mengiri. Dan karena kebetulan aku
dengan dia bertemu di tempat ini, maka akhirnya kita lantas mengadu tenaga. Pertandingan itu
seru sekali, sebab kita keduanya merupakan orang-orang yang namanya baru menonjol di dunia
Kang-ouw, siapa yang akan menjadi pecundang, pihak yang menang dengan sendirinya namanya
segera akan menggetarjan jagat...."
Tiba - tiba Peng Peng memotong perkataan imam itu :
"Barangkali Empe Bwee yang menang, maka mendapat julukan Kiam-seng atau dewa pedang
itu ?"
"Kau salah menebak.... " Bwee-hoa Kiesu menjawab sambil tersenyum.
"Empe Bwee, siapakah lawanmu itu ?" Kim Houw memotong.
Bwee-hia Kiesu sambil tetap bersenyum mengatakan :
"Ya, itulah yang penting, lawanku itu ialah Siao-hui-liong Pek Leng dari Pek-liong-po yang
letaknya tidak jauh dari sini, ilmu silat warisan dari keturunan keluarganya saja sudah cukup untuk
mengagetkan orang, bagaimana aku dapat memenangkan dengan mudah ?"
Mendengar disebut nama Pek Leng, Kim Houw mendadak bercekat hatinya. Ia ingat Ceng
Niocu ketika di istana panjang umur di gunung Kao-chong-san juga pernah menyebutkan nama
Pek Leng itu bahkan menyebutkan namanya Ceng Kim-jie yang agaknya nama seorang wanita,
sebab di mulutnya Ceng Niocu kalau menyebut nama Ceng Kim-jie, selalu mengatakan
perempuan hina. Kim Houw tahu bahwa Bwee-hoa Kiesu akan menceritakan kisahnya yang
sebenarnya, maka ia tidak berani memotong lagi dan ia juga menarik-narik ujung baju Peng Peng,
agaknya hendak memperingatkan supaya nona itu jangan banyak menanya tetapi di dalam hati
Kim Houw sendiri, saat itu sungguh tidak enak, selanjutnya Bwee-hoa Kiesu lalu berkata pula :
"Nona ini barangkali ada orang she Touw, Tiong-ciu-khek Touw Cianpwe pernah apa dengan
nona ?"
Dalam hati Peng Peng merasa heran, sebab pada waktu sebelumnya ia belum pernah
bertemu dengan imam yang menyebut dirinya Bwee-hoa Kiesu ini. Di sepanjang jalan ia dengan
Kim Houw juga tidak pernah menyebut-nyebut nama Yayanya, mengapa ia dapat mengenali.
Seketika itu ia lantas menjawab :
"Ia adalah Yayaku."
Bwee-hoa Kiesu kembali anggukan kepala dan bersenyum ia bertanya :
"Dugaanku ternyata tidak salah, sebab pedang pendek Ngo-heng-kiam itu pernah kulihat dari
tangan Yayamu, sebabnya kala itu ketika kita sedang bertanding, kebetulan Tiong-ciu-khek Touw
Cian-pwee lewat sini. Ketika ia melihat kita bertanding ilmu silat, ia kelihatannya sangat girang,
bahkan sudah menjadi saksi kita dan pedang Ngo Heng-kiam itu disediakannya bagi siapa yang
dapat merebut kemenangan."

Peng Peng merasa heran dan dengan tidak sengaja memotong :
"Ini rasanya tidak benar, mengapa pedang ini masih berada di rumahku?"
"Sedikitpun tidak salah," Bwee-hoa Kiesu menjawab sambil tertawa. "Kau dengar dulu kisahku!
Kala itu pertandingan di lakukan sejak tengah hari sampai tengah malam masih belum ada yang
kalah dan menang, tetapi dalam hati, kita sama-sama mengerti bahwa kekuatan kita memang
berimbang. Siapa yang hendak mengalahkan siapa, sebetulnya bukan soal mudah, juga tidak
dapat dilakukan dalam waktu satu dua hari saja. Dan kesudahannya kedua pihak lantas
mengakhiri pertandingan itu sambil tertawa bergelak-gelak.
"Sehabisnya pertandingan sengit itu, aku lantas mengangkat saudara dengan Pek Leng.
Karena usia Pek Leng lebih muda dari padaku, maka ia menjadi adik angkatku, tetapi berbeda
dengan Tiong-ciu-khek Touw Cianpwee, sebaliknya merasa kurang gembira dan pedang Ngoheng-
kiam urung diberikan kepada salah satu antara kita, maka masih tetapi berada di dalam
rumahmu. Tadi ketika kau keluarkan pedang Ngo-heng-kiam, lantas kuketahui siapa adanya kau."
Bicara sampai di situ, Bwee hoa Kiesu berhenti sejenak kemudian meneruskan pula :
Bersambung jilid ke 25
Jilid 25
"Sejak hari itu aku lantas menjadi tetamu terhormat dari Pek-liong-po. Tetapi siapa nyana oleh
karenanya, akhirnya telah menimbulkan keruwetan. Sebabnya ialah, didalam Pek-liong-po kecuali
aku, masih ada sepasang tetamu perempuan yang juga boleh dikatakan sepasang kembang.
Mereka berdua merupakan kakak beradik dari satu ayah lain ibu, tetapi keduanya sama-sama
cantik.
Sang kakak bernama Ceng Nio cu dan sang adik bernama Ceng Kim-cu, tetapi sifat dan tabiat
mereka ada berlainan. Sang kakak tabiatnya keras dan berangasan, sedikit tidak senang saja
dapat mengumbar amarahnya, sedangkan sang adik ada sebaliknya, dia seorang perempuan
yang sangat lemah lembut dan suka bergaul dengan siapa saja. Kala itu adik dari Pek Leng
bermaksud menjodohkan aku dengan Ceng Nio-cu, menurut katanya yang tuaan harus mengawini
yang tuaan pula, sedang dia sendiri mengingini Ceng Kim-cu.
"Semula aku tidak mengetahui adat Ceng Nio-cu, karena parasnya cantik, aku suka juga
bergaul dengan dia." berbicara sampai di sini, wajah Bwee-hoa Kiesu agah kemerah-merahan,
mungkin terkenang akan keberadaannya dimasa mudanya, dan sekarang waktu membicarakan
hal itu di hadapan kedua anak muda, agaknya merasa tidak enak sendiri.
Tetapi keadaan itu hanya berlangsung sepintas lalu saja, lantas Bwee-hoa Kiesu menuturkan
kembali:
"Siapa nyana dalam hati Ceng Nio-cu siang-siang sudah mencintai adik Peng Leng, maka ia
selalu berusaha supaya aku banyak bergaul dengan adiknya. Tetapi adik Peng Leng di
hadapanku, selalu mengutarakan isi hatinya dengan terus terang. Begitu juga dalam cintanya
terhadap Ceng Kim-cu, tidak mudah untuk dirubahnya, dalam keadaan demikian, belum sampai
setengah bulan aku sudah merasa sulit untuk tinggal lebih lama lagi di Pek-liong-po. Aku paham,
jika keadaan itu dibiarkan begitu saja, pada akhirnya pasti akan timbul kejadian yang tidak enak
bagi semua pihak. Maka pada suatu malam terang bulan, setelah aku meninggalkan surat untuk
adik Pek Leng, dengan cara diam-diam aku berlalu dari Pek-liong-po, lantas aku bertemu dengan
San hoa Sian lie. Meski setelah kita menikah baru kuketahui bahwa dia putrinya Lui Kong, tetapi
karena dia sendiri merupakan seorang perempuan yang bijaksana, maka aku tidak memperdulikan
hal itu dan lantas aku mengajaknya pulang ke Bwee khe chung.

"Sejak aku berlalu dari Pek liong po, dengan tidak dirasakan empat tahun telah berlalu. Pada
suatu malam, adik Pek Leng mendadak berkunjung ke rumahku sambil mendukung satu bayi lakilaki
yang baru lahir kira-kira beberapa bulan. Aku heran mengapa dia jauh-jauh telah mengunjungi
aku dengan membawa bayi, ternyata, didalamnya ada terselip suatu tragedi yang mengharukan.
"Menurut keterangan adik Peng Leng tidak lama setelah aku meninggalkan Pek liong po, dia
lantas menikah, istrinya adalah Ceng Kim cu yang sudah lama dicintainya. Karena perkawinan
Ceng Kim cu, dari pihak Ceng kee-ce telah datang banyak orang, tetapi diantaranya tidak terdapat
ibunya Ceng Kim cu. Menurut keterangan Ceng Kim cu sendiri, katanya sang ibu itu sudah lama
meninggal dunia. Upacara dan pesta perkawinan itu sangat ramai.
"Di Pek liong po hampir satu minggu lamanya kebanjiran tetamu, dan setelah semua tetamu
berlalu, keadaan tenang kembali. Tetapi dalam suasana tenang itu, adik Pek Leng baru
mengetahui bahwa istrinya ternyata bukan Ceng Kim cu yang dia cintai, sebaliknya ialah Ceng Nio
cu yang sangat dibencinya. Adik Pek Leng lantas menjadi gusar, dia mencari Ceng Kim Cu hampir
ke seluruh pelosok Pek Liong po.
"Semula dia masih mengira bahwa Ceng Kim cu benci padanya dan sengaja tidak mau
menemuinya, tetapi kemudian diketahuinya bahwa Ceng Kim cu telah disembunyikan oleh mereka
dan menggunakan Ceng Nio cu untuk menggantikan kedudukan Ceng Kim cu. Tetapi di Pek liong
po dia tidak dapat menemukan Ceng Kim cu akhirnya salah satu adik dari Pek Leng, karena tidak
tega melihat keadaan saudaranya yang sudah seperti orang gila, baru diberitahukan bahwa Ceng
Kim cu siang-siang sudah dibawa pulang oleh ayannya ke Ceng kee-ce.
Ketika adik Pek Leng mendengar berita itu malam-malam lantas dia pergi ke Ceng-kee-cee di
gunung Ceng lay san. Di sana akhirnya dapat diketemukan Ceng Kim cu yang telah dikeram
didalam suatu goa.
"Dengan tidak banyak rewel lagi adik Peng Leng lantas menolong diri Ceng Kim cu dan
mereka berdua lantas menjadi suami istri tanpa mempunyai kediaman yang tetap. Baik dipihaknya
Ceng Kee-ce maupun dari pihaknya Pek liong po semuanya tidak menyetujui perbuatan mereka
itu, maka kedua pihak lantas mengutus banyak orang untuk mencari jejak mereka. Selama tiga
tahun lamanya adik Peng Leng dengan mengajak Ceng Kim cu, telah menjelajahi seluruh daerah
Kang-lam dan Kang-pak.
"Mereka juga pernah ke Kwan-gwa dan Sinkiang, tetapi selalu tidak dapat hidup dengan
tenang, bahkan Ceng Kim cu yang berbadan lemah dan berpenyakitan setelah melakukan
perjalanan jauh, badannya makin lama makin payah. Tahun itu Ceng Kim cu mulai mengandung,
justru karena kandungannya, makin sukar untuk mereka melakukan perjalanan jauh. Adik Peng
Leng merasa sangat gelisah, tetapi apa gunanya gelisah itu? Akhirnya entah dengan cara
bagaimana adik Peng Leng telah mengajak Ceng Kim cu kembali ke Su-coan. Dia menetap di
desa Ka-leng, di tepi sebuah sungai dan hidup di sana sebagai nelayan.
"Sungguh aneh sekali, penghidupan demikian sebaliknya malah membuat mereka lebih tenang
dan tentram. Dan setelah jabang bayi terlahir, keadaan badan Ceng Kim cu semakin lemah,
sehingga tidak dapat menyusui bayinya lagi. Maka mau tidak mau adik Peng Leng mencari
penduduk yang mempunyai anak kecil untuk diminta bagi air susunya untuk bayinya.
"Pada suatu hari ketika adik Peng Leng habis menjala ikan, telah melihat di tepi sungai ada
tiga orang laki-laki yang sedang menggoda seorang perempuan. Apa mau, perempuan itu justru
ialah si nyonya yang sering diminta air susunya oleh Pek Leng. menyaksikan keadaan demikian
adik Peng Leng lantas ikut campur tangan. Siapa nyana, ketika mereka melihat keadaan adik Pek
Leng, dianggap oleh mereka bahwa adik Pek Leng seorang lemah, maka mereka telah perlakukan
adik Pek Leng secara kasar. Adik Pek Leng yang sedang risau hatinya, karena memikirkan diri

istrinya, maka perbuatan ketiga orang laki-laki itu telah membuat panas hatinya. Percekcokan
segera terjadi dan mereka itu masih belum mengetahui bagaimana cara Pek Leng bergerak, tahutahu
pipi masing-masing sudah ditampar sedemikian kerasnya sehingga mereka merasa
kesakitan.
"Di Su-coan sebenarnya ada beberapa golongan atau disebut juga dengan nama Pang-hwee
dan orang-orang dari golongan ini kebanyakan merupakan bangsa berandalan yang juga mengerti
sedikit ilmu silat. Karena mengandalkan nama seseorang, maka mereka sering berlaku sewenangwenang.
"Setelah ketiga orang itu ditampar, mereka lantas menjadi kalap dan dengan berbareng
mereka menerjang adik Peng Leng. tetapi begitu cepat mereka menerjang, begitu cepat pula
mereka rubuh dan anehnya mereka masih belum mengetahui caranya turun tangan adik Peng
Leng, sehingga mereka segera berteriak-riak untuk meminta bantuan, sebentar saja beberapa
puluh orang sudah datang mengurung adik Peng Leng dan diantaranya terdapat juga orang-orang
yang membawa golok, ruyung, dan sebagainya.
Tetapi bangsa kurcaci demikian, mana dapat menandingi adik Pek Leng, maka sebentar saja
beberapa puluh orang itu sudah dibikin rubuh kucar kacir. Tiba-tiba terdengar suara orang berkata
sambil tertawa dingin:" Tidak nyana didalam got ada sembunyi seekor naga."
Adik Pek Leng yang mendengar ucapan itu, merasa kaget juga dan mengetahui bahwa hari itu
dengan tidak sengaja dia telah menunjukkan kepandaiannya dan dalam waktu beberapa hari
orang-orang pasti akan datang mencari padanya, maka dengan tidak berkata apa-apa dia lantas
pulang ke rumahnya.
Oleh karena kesehatan Ceng Kim-cu selama dua hari itu agaknya terganggu, tentang kejadian
itu, tidak berani adik Peng Leng memberitahukan padanya. Ceng Kim-cu memang sudah berkalikali
menyatakan kepada adik Peng Leng bahwa nasibnya sangat buruk dan dia telah meminta
supaya adik Peng Leng jangan terlalu memikirkan dirinya, dia hanya mengharap supaya anak
satu-satunya itu dijaga keselamatannya. Tidak lama setelah meninggalkan pesannya itu Ceng
Kim-cu meninggal dunia. Dapat dibayangkan betapa sedih hati Pek Leng dikala itu. Baru saja ia
selesai mengubur jenazah Ceng Kim-cu, orang-orang dari Pek-liong-po semuanya datang, bahkan
ayahnya sendiri juga terdapat diantara mereka. Adik Pek Leng tidak mau menemui siapapun juga,
sambil mendukung anaknya dia melakukan perjalanan siang malam dan akhirnya telah tiba di
rumahku. Akhirnya dia berkata bahwa dia akan menyerahkan anaknya itu di bawah perawatanku,
ialah anak satu-satunya dan turunan satu-satunya yang ditinggalkan oleh Ceng Kim-cu. Mengingat
tali persaudaraan kita, aku tidak dapat menolak, apalagi istriku tahun itu juga baru melahirkan satu
anak perempuan, maka tentang air susu tidak menjadi soal lagi, maka aku lantas menerima baik
permintaannya dan adik Pek Leng lantas berlalu."
Bwee-hoa kiesu lantas berhenti menutur dan Kim Houw yang sedari tadi mendengarkan
dengan hati berdebar-debar, tiba-tiba bertanya:
"Dan kemudian dimana adanya anak itu?"
Bwee-hoa Kiesu mendongakkan kepalanya dan menjawab sambil menghela napas:
"Dia berada tidak jauh dari sini"
Kim Houw menggigil dan seketika itu ia berdiri terpaku.
"Apa kau merasa heran?" tanya bwee-hoa Kiesu.

Jago pedang itu mengawasi Kim Houw dengan perasaan terharu. Lalu menuturkan pula:
"Bayi laki-laki itu adalah kau sendiri. Kim Houw! sudah tentu dalam hal ini ada sebabsebabnya.
Tempo hari adik Pek Leng pernah memesan supaya aku tidak memberikan pelajaran
ilmu silat padamu, sebaliknya dia telah menyuruh aku mengajarkan ilmu surat. Meskipun aku
mengetahui bahwa tulang tulangmu sangat baik sekali untuk belajar ilmu silat, tetapi aku tidak
berani melanggar pesan adik Peng Leng. Ketika kau baru berumur tiga tahun, tiba-tiba ada orang
datang dari Pek-liong-po yang menanyakan tentang dirimu, sedang ayahmu sendiri sekian
lamanya tidak ada kabar beritanya.
"Untuk menjaga keselamatanmu, malam itu juga aku lantas mengajak kau meninggalkan
rumah. Baru tiga hari berjalan sejak meninggalkan rumah, aku telah bertemu dengan Ciok Siucay,
empek Ciok, yang baru pulang dari luar kota. Untuk menepati janji pada ayahmu dan juga untuk
menjaga kebaikanmu sendiri maka dengan diam-diam aku menyerahkan pada orang tua yang
lemah. Dengan demikian maka kau lantas dibawa kembali lagi ke Bwee-kee-chung.
"Untuk menghindarkan perasaan curiga dari orang-orang Pek-liong-po dan sekalian untuk
menyerapi jejak ayahmu, aku telah pergi merantau. Setahun kemudian baru aku kembali ke Bweekee-
chung, begitu sampai di rumahku, pertama-tama aku pergi melihatmu, sudah tentu kau tidak
mengenali aku. Di bawah pimpinan Ciok Yaya, ternyata kau sudah mengenali huruf dan tulisan
dan kelihatannya kau hidup lebih tentram, sehingga membuat hatiku merasa lega, tetapi
disamping itu istriku sendiri sudah tidak ada, entah kemana perginya. Menurut keterangan orangorang
di rumah belum lama setelah aku pergi, dia juga lantas berlalu. Waktu perginya dia telah
meninggalkan sepucuk surat, oleh karena sudah terlalu lama entah kemana sekarang adanya
surat itu. Mendengar itu hatiku merasa sedih, perlu apa dengan surat, satu orang perempuan telah
meninggalkan rumah tangganya dan anak-anaknya begitu saja, untuk apa harus aku cari lagi?
Maka dalam rumahku aku hanya berdiam tiga hari lamanya dan aku segera merantau lagi di dunia
Kang-ouw."
Pada saat itu Kim Houw yang mendengarkan, menggigil badannya, air matanya turun
membasahi dikedua pipinya, begitu pula Peng Peng tidak terkecuali.
Bwee-hoa Kiesu sendiri mungkin juga terkenang oleh kejadian dimasa lampau, matanya juga
mengembang air mata.
"Aku telah mengajak kalian kemari, apakan kalian ketahui apa maksudku?" si imam menanya.
Kim Houw menggelengkan kepalanya.
"Maksudku ialah supaya kau ayah dan anak bertemu muka!"
"Apa, ayahku?" tanya Kim Houw dengan heran. "Empek Bwee, dimana adanya ayahku
sekarang, tolong bawa aku padanya, tolong!"
"Kau tokh sudah sampai di sini, tidak perlu kau meminta pertolonganku lagi. Semua itu
tergantung atas usahamu sendiri, sebab ayahmu justru berada di atas gunung Ceng-shia-san ini.
Malam ini kalian berdua mengasolah dulu, setelah terang tanah kau boleh pergi naik gunung untuk
menemui ketua Ceng-shia-pay dan padanya kau boleh meminta ijin untuk bertemu dengan
ayahmu, sebabnya ialah ayahmu di sini hanya merupakan satu tawanan.
"Bagiku sendiri, juga setelah mengetahui hal ini dengan tidak disengaja, baru masuk dalam
Ceng-shia-pay menjadi imam, disamping mencari keterangan aku juga ingin melindungi ayahmu."
Karena kagetnya Kim Houw sampai lompat.

"Apa, ayahku sebagai tawanan? Apa dosanya dan dengan hak apa Ceng-shia-pay berani
menawan ayahku? Aku tidak dapat menunggu lagi, sekarang juga, aku hendak berangkat!"
Meski dimulut Kim Houw berkata dengan demikian, tetapi nyatanya ia tidak bergerak, sebab ia
ingin mengetahui dahulu apa sebabnya maka ayahnya ditahan oleh Ceng-shia-pay.
Bwee-ho Kiesu menggelengkan kepala dan menjawab sambil menghela napas:
"Sudah sepuluh tahun aku beribadat, meskipun sudah beberapa kali aku bertemu dengan adik
Pek Leng, tetapi dia belum pernah mengatakan apa-apa, maka bagiku sendiri juga tidak
mengetahui apa sebabnya ayahmu ditawan. Hanya kau jangan terlalu terburu napsu, mengasolah
dulu sebentar."
Ketika mengucapkan perkataan itu Bwee-hoa Kiesu sambil mengulur tangannya hendak
menarik tangan Kim Houw. Diluar dugaan, dengan kecepatan kilat, Bwee-hoa Kiesu menotok jalan
darah Kim Houw, sehingga Kim Houw rubuh seketika itu juga.
Hal ini telah terjadi di luar dugaan semua orang, Kim Houw tidak berjaga-jaga, begitu pula
halnya dengan Peng Peng, bagaimana mereka dapat menduga, kalau Bwee-hoa Kiesu dapat
mendadak turun tangan.
Bwee-hoa Kiesu yang berada dekat sekali dengan Kim Houw, lantas lompat menyingkir sambil
menyambar tubuhnya anak muda itu dibawa ke suatu tempat aman tidak jauh dari situ.
Peng Peng kesima. Tiba-tiba mendengar suara Bwee-hoa Kiesu yang berkata sambil tertawa.
"Nona Touw, kemarilah! Kau jangan camas, juga tidak perlu takut, aku hanya ingin supaya dia
mengaso sebentar, setelah terang tanah baru boleh pergi naik gunung. Harap kau beritahukan
padanya, kalau dia naik ke gunung untuk minta bertemu dengan ayahnya, jangan terlalu sombong
dan jangan terlalu penakut, ambil saja sikap sewajarnya. Dengan kepandaian yang dipunyainya
sekarang ini, dia tidak perlu takut apa juga sebaiknya kalian jangan pergi bersama-sama supaya
dia tidak memikirkan dirimu. Sekarang aku hendak pergi dahulu, walaupun aku sendiri berada di
atas puncak gunung itu, tetapi aku tidak dapat memberi bantuan pada kalian, harap kalian suka
memaafkan, sebab dengan penuturanku tadi aku sebenarnya sudah melanggar peraturan partai,
maka hatiku merasa tidak enak."
Sehabis berkata, Bwee-hoa Kiesu lantas berlalu dan sebentar saja sudah menghilang ditempat
gelap.
Setelah berlalunya Bwee-hoa Kiesu, Peng Peng menghampiri kekasihnya dan memeriksa
pernapasan Kim Houw. Ternyata jalan napasnya normal dan memang benar ia sedang tidur
dengan nyenyaknya, maka ia lantas meletakkan kepalanya anak muda itu di pangkuannya,
sedang ia sendiri duduk bersila untuk bersemadi.
Entah berapa lama telah berlalu, ketika Peng Peng sedang tidur, Kim Houw merayap bangun
dari pangkuan Peng Peng. Ternyata tadi sebenarnya ia telah main gila dan berpura-pura rubuh,
sehingga Bwee-hoa Kiesu sendiri juga dapat dikibuli.
Tetapi setelah Kim Houw bangun berdiri ia merasa bingung, bagaimana ia hendak perlakukan
dirinya Peng Peng? Apa si nona harus didiamkan begitu saja, sudah tentu itu sangat berbahaya.
Mengingat tentang bahaya, memang dimana saja tidak ada yang aman, maka seketika itu Kim
Houw lantas menjadi kebingungan sendiri.

Selagi berada dalam keadaan demikian, tiba-tiba muncul sesosok bayangan manusia yang
melayang turun dari atas pohon dan lantas berkata padanya:
"Serahkan Peng Peng padaku!"
Ketika Kim Houw mengamati orang yang baru datang itu, hatinya sangat girang, sebab orang
itu Tiong-cu-khek Touw Hoa adanya.
Buru-buru Kim Houw maju memberi hormat:
"Maafkan aku yang sedang berada dalam kesulitan" katanya.
"Kedatanganku sudah lama," kata Tiong-cu khek. "Soal urusanmu juga sudah kudengar
sebagian. Aku dapat mengerti perasaanmu, nah, ini ada sebuli air dan kau boleh
menggunakannya untuk menambahkan tenaga, juga untuk membangkitkan semangat. Kau
pergilah cepat-cepat biarlah Peng Peng aku yang menjaganya."
Mendengar itu bukan main rasa girangnya Kim Houw, ia tahu bahwa air dalam buli-buli itu
ialah air yang berbusa hijau dari kerbau hijau yang mujijat.
Mulanya ia tidak ingin menerima, sebab ia tahu bahwa sebuli air sekecil itu dapat dipakai untuk
menolong banyak jiwa manusia, tetapi ketika ia melihat bahwa di belakang badan Tiong-ciu-khek
masih membawa banyak buli-buli serupa itu, maka ia menerimanya juga. Ia berlutut mengunjuk
hormat pada Tiong-ciu-khek kemudian permisi berlalu.
Malam itu karena bulan tiada bersinar, meskipun banyak bintang-bintang yang bertaburan di
langit, agaknya tidak cukup menerangi lebarnya jagat.
Saat itu baru saja kira-kira jam satu malam, keadaan disekitar gunung sunyi senyap. Ketika
Kim Houw berada di bawah kaki gunung Ceng-shia-san, dari jauh ia sudah dapat melihat sesosok
bayangan manusia yang naik ke atas gunung.
Siapa bayangan orang itu? Tanpa dipikir juga sudah dapat diduga bahwa bayangan itu tentu
Bwee-hoa Kiesu.
Tetapi ia juga mengetahui, bahwa Bwee-hoa Kiesu tentu pulang ke gunung dengan melalui
jalanan yang sewajarnya, sedangkan ia sendiri yang sudah tidak mempunyai banyak waktu lagi
dan tidak mengetahui jalanan yang menuju ke gunung itu, maka ia sebaliknya melalui jalan yang
terdekat dan dapat mendahului Bwee-hoa Kiesu.
Kim Houw yang bersama Bwee-hoa Kiesu sudah berlari-larian sehari penuh, telah mengetahui
benar kepandaian imam itu.
Maka Kim Houw segera mengeluarkan ilmu mengentengi tubuhnya yang luar biasa dan terus
melesat ke atas gunung.
Sebentar kemudian ketika ia sudah berada ditengah gunung, ternyata bayangan Bwee-hoa
Kiesupun tidak kelihatan lagi.
Ditengah gunung itu Kim Houw telah menemukan sebidang tanah datar yang agak luas,
dimana ada berdiri sebuah gereja yang cukup besar. Setelah memeriksa keadaan tempat itu, Kim
Houw tidak melihat bayangan satu manusiapun, dengan beberapa kali gerak saja ia telah dapat
melalui tanah datar itu.

Waktu tengah malam yang sunyi itu, sudah tentu semua orang sudah pada tidur dan pintu
gereja juga sudah tertutup rapat. Kim Houw yang saat itu berada di luar pintu gereja, tanpa banyak
pikir, lantas melompat ke atas tembok.
Tepat pada saat itu mendadak terdengar bunyi sesuatu yang memecahkan suasana sunyi
dimalam itu. Ia mulanya mengira bahwa dirinya telah dipergoki orang maka ia buru-buru
mendekam dan lompat turun lagi.
Tetapi selewatnya beberapa lama ia masih juga belum melihat sesuatu gerakan, Kim Houw
lalu sesalkan dirinya sendiri yang demikian Pengecut.
Andaikata perbuatannya itu diketahui orang, seharusnya ia berlaku secara terus terang. Maka
untuk kedua kalinya, Kim Houw lompat naik ke atas tembok.
Tetapi baru saja ia tancap kaki, ia telah mendengar tindakan kaki orang yang sedang berjalan.
diduga tentunya yang datang itu ada Bwee-hoa Kiesu, maka ia segera mencari pikiran, bagaimana
nanti harus menjawab kalau berpapasan dengan dia.
Selagi bingung, dari dalam gereja tiba-tiba terdengar suara orang tertawa dingin yang
kemudian disusul dengan kata-katanya:
"Bangsat dari mana yang tidak mempunyai mata, begitu berani mati naik ke bukit Ceng-shia?
Lekas enyah dari sini, kalau kau masih ayal-ayalan, hati-hati dengan sepasang kakimu."
Mendengar itu Kim Houw tahu bahwa dalam Ceng-shia-pay benar-benar banyak orang
pandainya. sebab begitu ia tiba sudah diketahui perbuatannya.
Karena sudah kepergok, Kim Houw lantas bertindak secara terang-terangan. Setelah melalui
beberapa tembok pagar ia segera masuk ke dalam pekarangan gereja.
Dari dalam gereja segera terdengar orang yang berseru kaget, disusul dengan munculnya
bayangan orang yang mencoba menghalangi tindakan Kim Houw sambil membentak:
"Binatang kau benar-benar bernyali besar!"
Siapa nyana, belum selesai perkataan tadi, ia sudah dipukul rubuh oleh Kim Houw.
Tetapi justru karena perbuatannya itu, dalam gereja itu segera terdengar suara yang riuh,
kemudian disusul oleh penerangan lampu dan munculnya beberapa orang yang semuanya
menghampiri Kim Houw.
Kim Houw mengetahui, jika ia tidak menunjukkan kepandaiannya, tentunya sukar untuknya
dapat berlalu. Maka ia sengaja berdiri diam dan dengan tenang ia menantikan kedatangan
mereka.
Di sekitarnya telah berdiri lebih dari tiga puluh orang, tetapi tidak seorangpun yang berani turun
tangan terlebih dahulu, hanya mengawasi segala gerak gerik Kim Houw dengan mata terbuka
lebar.
Tidak antara lama, seorang diantara imam-imam itu berkata:
"Orang gagah dari mana yang datang berkunjung ke sini, silahkan maju berbicara."
Ketika Kim Houw menengok, melihat ia ada seorang imam tua yang rambut dan jenggotnya
sudah putih semua sedang berdiri ditengah-tengah orang banyak.

Melihat keadaan si imam, Kim Houw dengan tidak sadar telah timbul rasa hormatnya dan
dalam hati diam-diam berpikir bahwa imam itu nampaknya sangat berwibawa, mungkin ia
merupakan salah satu orang yang berkepandaian sangat tinggi dari golongan Ceng-shia-pay.
Ia buru-buru bertindak maju, sambil memberi hormat ia berkata:
"Aku yang rendah bernama Kim Houw, datang ke gunung ini hendak mencari seorang, harap
toting memberi sedikit kelonggaran!"
Imam tua itu tertawa tergelak-gelak, sambil membalas hormat ia menjawab:
"Kim Siaohiap, kau terlalu merendah, aku si orang tua adalah Pek Ho Tojin yang mendapat
tugas untuk mengepalai gereja Pek-ho-koan ini, entah siapa orangnya yang Siaohiap cari,
sehingga diwaktu tengah malam buta seperti ini telah memasuki Ceng-shia."
"Orang yang ingin kucari ialah ayahku sendiri yang bernama Pek Leng!" jawab Kim Houw.
"Pek Leng?" Pek Hoa Tojin berseru kaget dan wajahnya berubah. "Apakah Pek Leng itu
ayahmu, mengapa namamu sendiri Kim Houw dan kedatanganmu hanyalah untuk mencari dia
semata-mata?"
Kim Houw angguk-anggukkan kepalanya.
Pek Ho Tojin perlahan-lahan gelengkan kepalanya, matanya yang sangat tajam mengawasi
Kim Houw.
"Soal Pek Leng berada dibukit Ceng-shia-san, siapa yang memberitahukan padamu?"
tanyanya.
Mendengar pertanyaan itu Kim Houw terkejut pikirnya:
"Hal ini tak boleh kuberitahukan dengan terus terang, kalau Bwee-hoa Kiesu yang
memberitahukan, sebab itu berarti ia mencelakakan dirinya Bwee-hoa Kiesu, juga berarti
membalas budi dengan kejahatan.
"Dalam hal ini, harap Koancu jangan tanyakan, hanya apa yang dapat kuberitahukan pada
Koancu ialah jika di Ceng-shia-san aku tidak dapat melihat ayahku, aku tidak mau turun dari
gunung ini."
Pek Ho Tojin mengerutkan alisnya.
"Kalau Kim Siaohiap benar-benar mau berbuat demikian," katanya "Itu hanya akan membuat
Siaohiap sangat kecewa, sebab Pek Leng adalah penghianat dari kaum kami, meskipun beberapa
tahun yang lalu pernah disekap didalam gunung, tetapi tahun yang lalu ia sudah dilepas turun
gunung dan sekarang entah kemana perginya."
"Koancu, juga terhitung golongan tua dari rimba persilatan yang mempunyai nama dan
kedudukan yang sangat baik, tentunya tidak akan bicara secara main-main dengan seorang dari
tingkatan muda dan juga tentu tidak boleh berdusta, betul atau tidak?" Kim Houw kata sambil
tertawa dingin.
Pek Ho Tojin sungguh tidak menyangka bahwa lidah Kim Houw itu sangat tajam.

"Orang yang beribadat perlu apa berdusta?" jawabnya.
"kalau bukan berdusta, mengapa kau mengatakan bahwa ayahku sudah dilepas turun
gunung? Sebab menurut apa yang aku ketahui, sampai sekarang ayahku masih disekap didalam
gunung." Kim Houw penasaran.
Pek Ho Tojin kembali dibuat terkejut, sesaat itu wajahnya lantas berubah dan berkata sambil
menunjukkan sikapnya yang bengis:
"Aku tadi telah menasehati kau dengan baik, aku ingin supaya kau jangan mencari kesulitan
sendiri dan lekas-lekas turun gunung. Kalau kau masih tetap membandel, jangan sesalkan aku,
kau boleh coba saja sendiri, Ceng-shia-san ini lain dari pada yang lain!"
Melihat Pek Ho Tojin, meskipun ia seorang beribadat, tetapi sikapnya mudah berubah,
sehingga segera Kim Houw tahu bahwa imam itu seorang yang licin dan tentunya juga seorang
yang kejam pula. Maka dengan tidak sungkan-sungkan lagi lantas ia menjawab dengan suara
tegas:
"Nasehat baik dari Koancu, Kim Houw terima dengan perasaan banyak terima kasih, tetapi
seperti apa yang sudah kukatakan tadi, setelah aku berada di sini jika aku belum dapat melihat
ayahku, aku juga tidak mau turun dari gunung ini. walaupun ayah, Koancu katakan sebagai
seorang penghianat dari partaimu seharusnya juga memberikan ijin supaya ayah anak bertemu
muka barang sejenak. Nama Ceng-shia-pay dari Ceng-shia-san yang sudah menggetarkan jagat,
semua orang sudah mengetahuinya. Aku si orang she Kim karena ingin menemui ayahku, aku
tidak sayangi jiwa sendiri untuk menempuh bahaya. Sekalipun Koancu menyediakan minyak
dalam kuali yang mendidih, kalau sampai Kim Houw kerutkan alisnya, dia bukannya anak Pek
Leng lagi."
"Sungguh gagah ucapanmu, ilmu mengentengi tubuh juga tidak tercela, siapa suhumu?
Supaya setelah hari ini kami mengusir kau turun gunung, kemudian hari membuat perhitungan
dengan suhumu!"
"Kau ingin tahu siapa guruku? Kalau kau mampu mengusir aku turun dari gunung, ini aku nanti
segera memberi tahukan padamu. Tetapi kalau kau tidak mampu mengusir aku, kau juga tidak
pula menanya, sekarang jangan banyak rewel, aku akan segera turun tangan!" Kim Houw sudah
tidak sabaran.
Pek Ho Tojin mendadak mengebutkan lengan jubahnya, dua imam yang lompat turun dari atas
genteng dan sedang hendak membokong Kim Houw mendadak urungkan maksudnya.
"Kalian menjaga ditempat sendiri-sendiri, tidak boleh bergerak sesukanya, aku akan
menyambuti serangan Kim Siaohiap lebih dulu, kecuali jalanan yang menuju ke atas gunung, jalan
untuk turun gunung tidak perlu diadakan penjagaan terlalu keras." Setelah memberikan pesannya
itu, Pek Ho Tojin lalu memutar lagi lengan jubahnya dan sebentar saja ia sudah berdiri kira-kira
satu tumbak di depan Kim Houw.
"Siaohiap silahkan, Koancu sudah lama tidak pernah berlalu dari gunung ini sehingga tidak
mengetahui keadaan di dunia Kang-ouw, telah tumbuh berapa banyak tenaga muda yang usianya
begitu muda seperti kau juga tidak mau memandang muka pada Ceng-shia-pay. Kalau aku tidak
memberikan sedikit hajaran padamu, kau tentunya akan mengira bahwa di Ceng-shia-san sudah
tidak ada orang lagi."
Berkata sampai di sini, keadaan juga sudah menjadi jelas, kalau Kim Houw tidak dapat
menemui ayahnya dengan jalan damai.

Empek Bwee-nya mengatakan bahwa ayahnya masih berada di atas gunung, toh tidak
mungkin kalau empek Bwee-nya menipu padanya. Kalau begitu sudah tentu Pek Ho Tojin yang
berdusta.
Tetapi Kim Houw juga merasa heran, mengapa sampai saat itu, ia tidak melihat Bwee-hoa
Kiesu menunjukkan diri. Apa ia menyesalkan perbuatannya yang telah bertindak terlebih dahulu?
Sebab menurut perhitungannya, seharusnya Bwee-hoa Kiesu sudah sampai terlebih dahulu, tetapi
pada saat itu ia tidak sempat memikirkan lainya, sebab Pek Ho Tojin sudah berada di depan
mukanya, maka ia lantas maju dua tindak dan berkata sambil mengangkat tangannya memberi
hormat.
Pek Ho Tojin yang menyaksikan Kim Houw yang sangat tenang, yang seolah-olah
menganggap pertandingan itu bukan suatu soal penting, atau dengan lain perkataan juga berarti
sudah tidak memandang mata kepadanya, maka seketika itu Pek Ho Tojin lantas menjadi gusar.
Kumisnya berdiri, kemudian ia mengebutkan lengan jubahnya sebagai tanda membalas hormat.
Sebetulnya ketika Pek Ho Tojin menggerakkan jubahnya, ia telah menggunakan tipu
serangannya Ceng-shia-pay yang terkenal dengan tenaga lweekangnya yang demikian tinggi,
ialah yang disebut "Cie-khie-sin-kang" maksudnya hanya hendak menundukkan Kim Houw yang
sangat jumawa itu.
Ilmu Cie-khie-sin-kang merupakan satu-satunya serangan yang menggunakan tenaga
lweekang yang paling lihay dari golongan Ceng-shia-pay, kalau sudah berhasil melatih sampai di
puncaknya, begitu dikerahkan lantas keluarkan asap ungu yang mengepul mengurung lawannya.
Pek Ho Tojin yang sejak masih kanak-kanak sudah mempunyai bakat yang luar biasa, ilmu
Cie-khie-sin-kang yang sudah dilatihnya beberapa puluh tahun lamanya, sudah tentu tidak boleh
pandang ringan.
Kali ini ia hanya menggunakan enam puluh persen tenaganya saja, tetapi asap yang berwarna
ungu sudah kelihatan begitu nyata mengurung dirinya Kim Houw, tetapi sayang sekali ini ia telah
salah perhitungan, tadinya ia telah mengira bahwa dengan mengerahkan ilmunya itu secara diamdiam,
tentu ia akan dapat menjatuhkan lawannya yang masih sangat muda itu, sekalipun tidak
dapat lantas rubuh, setidak-tidaknya juga akan mundur sempoyongan.
Siapa nyana ia telah menemukan seorang yang mempunyai kepandaian luar biasa tingginya.
Ilmu Han-bun-coa-kie Kim Houw merupakan suatu ilmu tanpa tandingan, bagaimana ia takut
segala ilmu Cie-khie-sin-kang.
Kelihatannya Kim Houw sedikitpun tidak bergerak, agaknya juga tidak memberi perlawanan
apa-apa.
Pek Ho Tojin melihat itu, diam-diam merasa girang. Pikirnya, benar-benar dia seorang bocah
yang baru saja keluar pintu, maka sedikitpun tidak mempunyai kewaspadaan, aku bikin dia tahu
sedikit rasa.
Tetapi sungguh diluar dugaannya, belum lenyap pikiran girangnya mendadak ia rasakan hawa
dingin menyerang dirinya, sampai sekujur badannya menggigil. Dengan sendirinya ilmunya Ciekhie-
sin-kang yang dibuat andalan seketika juga tidak berguna lagi.
Bukan main kagetnya Pek Ho Tojin, biar bagaimanapun ia masih belum mau percaya bahwa
hawa dingin itu dikirim oleh Kim Houw. Tetapi saat itu, didalam pekarangan kecuali anak-anak
muridnya dan para imam dari gereja Pek-ho-koan, hanya Kim Houw seorang yang terhitung orang
luar, siapakah yang membantu Kim Houw? Terutama hawa dingin tadi yang menyerang dengan
tiba-tiba, lihaynya luar biasa, pasti bukan orang-orangnya sendiri yang mampu menggunakan
serangan demikian.

Melihat Pek Ho Tojin celingukan kesana sini, seperti yang sedang mencari apa-apa, diam diam
Kim Houw merasa geli sendiri.
"Koancu, silahkan mulai!" katanya, sikapnya tenang.
Pek Ho Tojin gusar sekali, dengan tidak banyak rewel lagi ia lalu mengebutkan lengan
jubahnya dan tubuhnya yang jangkung maju menyerang Kim Houw.
Pek Ho Tojin juga mengeluarkan sepasang tangannya yang hitam dan kurus kering,
melancarkan serangan saling susul tiga kali pada Kim Houw.
Serangan-serangan itu berat dan cepat, boleh dikatakan hanya dalam waktu sekejap saja.
Ketika Kim Houw naik gunung, sudah mengambil keputusan ia tidak akan melukai orang.
Tetapi apa mau, melihat Pek Ho Tojin melancarkan serangannya yang demikian ganas pikirannya
berubah. Sebab jika ia tidak mau melukai orang, ia tidak akan mencapai maksudnya, terutama
terhadap Pek Ho Tojin yang kelihatannya welas asih, tetapi sebetulnya sangat kejam. Justru Kim
Houw paling membenci orang yang bersifat demikian, maka ia lantas ketawa bergelak-gelak.
"Koancu, hati-hati sedikit!" ia mengejek.
Kim Houw tidak berkelit dari serangan imam itu, ia hanya mengangkat satu tangannya,
menepok tiga kali sebagai sambutan atas serangan Pek Ho Tojin yang ganas itu.
Suara keras dari beradunya kekuatan tenaga kedua orang itu dahsyat sekali, angin keras
menyambar dengan hebat sampai genteng-genteng pada berterbangan jatuh.
Kim Houw setelah melancarkan serangan itu, tampak masih berdiri di tempatnya, sedikitpun ia
tidak bergoyang karena serangan lawannya.
Sebaliknya tidak demikian halnya dengan Pek Ho Tojin, badannya sudah dibikin tergetar oleh
serangan Kim Houw, sehingga ia tidak mampu berdiri tegak lagi, terpaksa ia mundur setengah
tindak.
Sampai di sini, Pek Ho Tojin bukan saja kaget dan gusar, tetapi ia juga merasa heran dari
mana Kim Houw mempunyai kekuatan yang demikian hebatnya. Apalagi kalau dilihat dari
sikapnya anak muda itu yang kelihatannya tenang-tenang saja, benar-benar ada merupakan suatu
kejadian yang amat ganjil.
Pek Ho Tojin sebagai kepala gereja Pek-ho-koan, merasa malu kalau harus jadi pecundang
dengan disaksikan oleh hampir semua imam dari gerejanya, seketika itu wajahnya berubah pucat
pasi.
"Ambilkan pedangku!" ia perintah orangnya
Dengan cepat salah seorang muridnya muncul menyerahkan sebilah pedang panjang
padanya. Pek Ho Tojin menghunus senjatanya itu, ketika dikibaskan terdengar suara mengaung
yang sangat nyaring sekali.
Dari suara mengaungnya pedang itu, bisa diukur pedang itu bukan suatu pedang
sembarangan, dan memang betul pedang itu merupakan suatu pedang pusaka dari Pek-ho-koan.
"Siaohiap, silahkan hunus senjatamu, untuk menyambut pedangku ini!" si imam berseru.

Kim Houw yang melihat Pek Ho tojin sangat bandel, tanpa banyak bicara pula telah gerakkan
tubuhnya menerjang akan merebut pedang Pek Ho Tojin.
Melihat Kim Houw hendak merebut pedangnya, Pek Ho Tojin merasa gusar. Dengan tidak
mengenal kasih, cepat ia memutar pedang pusakanya dan menikam Kim Houw dari samping,
sedang tangan kirinya diayun mengirim serangan Cie-khie-sin-kang.
Pedang dan ilmunya Cie-khie-sin-kang yang dilancarkan dengan berbarengan itu sudah tentu
bukan main hebatnya. Siapa nyana, orang yang diserangnya kelihatannya hanya berkelebat
bayangannya, tahu-tahu sudah menghilang dari depan matanya.
Sebaliknya di belakangnya telah terdengar suara gedebukan, Pek Ho Tojin segera menoleh,
ternyata dua orang tojin yang semula bermaksud hendak membokong Kim Houw dari kiri dan
kanan, telah jatuh bergelimpangan dan kelihatannya sudah terluka parah.
Sedang Kim Houw sendiri saat itu sudah dikepung oleh empat orang imam lain yang lompat
turun dari atas genteng.
Pek Ho Tojin bergidik dan berkata terhadap diri sendiri:
"Ah, benar-benar dia adalah seorang iblis yang baru turun dari langit. Kelihatannya Ceng-shiasan
tahun ini tidak dapat melewatkan hari-hari dengan tentram."
Pada saat itu mendadak telah terdengar suara jeritan saling susul yang mengerikan, ternyata
ke empat imam-imam tadi, satu demi satu telah menggeletak rubuh di tanah, sedangkan Kim
Houw sendiri saat itu sudah lompat ke atas genteng.
Pek Ho Tojin lantas berseru: "Binatang, apa kau kira kau dapat lolos dari sini dengan begitu
saja?"
Kim Houw telah dihujani oleh banyak sekali anak panah sehingga ia terpaksa lompat ke atas
genteng dan kini Kim Houw mendengar perkataan Pek Ho Tojin segera turun lagi dan menjawab:
"Aku bukannya ingin lolos, sebaliknya kau sendiri yang terlalu cerewet. Kau hendak
memajukan syarat apa, katakan lekas!"
"Asal kau mampu menyambuti seranganku tiga jurus saja, nanti aku mempersilahkan kau naik
gunung, bagaimana?"
"Jangan kata hanya tiga jurus, sekalipun tiga puluh jurus juga aku tidak akan mengeluarkan
tanganku untuk menyambut seranganmu. Kau boleh menyerang sepuasnya, cuma saat itu kau
jangan main gila dan aku memungkiri janjimu sendiri, supaya orang-orangmu jangan banyak yang
menderita."
Mendengar itu, Pek Ho Tojin panas sekali hatinya, dengan tidak banyak bicara, lantas ia
angkat pedangnya melancarkan serangan yang pertama.
Kim Houw tidak bergerak, hanya mulutnya saja yang berkoak-koak.
"Jurus pertama!"
Kim Houw belum menutup mulutnya, Pek Ho Tojin badannya sudah bergerak lagi. Kedua
lengan jubahnya dikebutkan berbarengan, seolah-olah burung elang raksasa yang terbang

diangkasa, kemudian turun menerkam mangsanya, sedang pedang ditangannya telah diputar
laksana titiran, seolah-olah ada beberapa puluh bilah pedang yang menyerang.
Kim Houw yang diserang secara demikian, diam-diam juga terperanjat. Ia memang sudah
menduga bahwa tiga jurus serangannya Pek Ho Tojin itu tentu bukan serangan sembarangan, tapi
ia ada seorang yang berkepandaian tinggi dan bernyali besar, ia yakin masih mampu
mengelakkan.
Namun serangan Pek Ho Tojin kali ini perubahannya sangat luas, dari mana saja rasanya
sukar untuk dihindarkan.
Kim Houw harus berlaku sangat hati-hati. Ujung pedang ketika sudah dekat pada dirinya,
mendadak ia memutar tubuhnya, kedua tangannya mendorong ke udara, kemudian badannya
lantas melesat tinggi ke angkasa.
Ketika ia turun kembali, dua lawan terpisah kira-kira lima enam tumbak jauhnya.
Badan Kim Houw meski tidak terluka, tapi bajunya sudah terdapat tujuh atau delapan lobang
bekas tusukan pedang.
Sekalipun demikian, Kim Houw sudah dapat mengelakkan serangan jurus pertama dari Pek Ho
Tojin, bahkan ia dapat mengelakkan secara begitu bagus, tidak lari juga tidak mundur.
Pek Ho Tojin lihat Kim Houw tidak mundur atau berkelit, ia sengaja memberikan kesempatan
Kim Houw balas menyerang. Siapa nyana Kim Houw benar-benar tidak keluarkan tenaga untuk
balas menyerang. Hanya dalam keadaan bahaya ia melesat tinggi memutar tubuhnya, untuk
menyingkirkan serangannya.
Kedua tangannya mendorong ke udara, adalah untuk memunahkan serangannya Pek Ho Tojin
yang amat dahsyat, tapi itu dilakukan terhadap udara, bukan terhadap orangnya. Sekalipun Pek
Ho Tojin ada seorang yang sangat licin, juga tidak bisa berbuat apa-apa.
Kalau Pek Ho Tojin tadi berani memberikan janjinya kepada Kim Houw hanya menyambuti
serangan pedangnya tiga jurus, segera diijinkan naik gunung, serangan pedangnya itu sudah tentu
bukan serangan sembarangan. Didalam hatinya, mungkin si imam anggap Kim Houw tidak akan
mampu menyambuti serangannya itu.
Sebab tiga jurus serang pedangnya itu sudah sangat terkenal, namanya saja ada cukup hebat,
jurus pertama dinamakan "Ciu-ie-hong-hong" atau hujan lebat angin kencang, jurus kedua
dinamakan "bit-lo-kin-kow" atau bunyi tambur dan genderang yang amat seru dan rapat. Dan jurus
ketiga dinamakan "Hok-tee-hoa-thian" atau bumi dan langit terbalik. Ilmu pedangnya ini
merupakan ilmu pedang dari golongan Ceng-shia-pay yang paling lihay, umumnya disebut "Samput-
kee" atau tidak bisa melewati sampai tiga jurus.
Ceng-shia-pay namanya sudah terkenal sejak beberapa puluh tahun berselang, terutama ilmu
pedangnya di kalangan Kang-ouw sangat menjagoi. Dan tiga jurus serangan yang mendapat
nama "Sam-put-kee" itu, jurus ada merupakan ilmu pedangnya Ceng-shia-pay yang paling lihay
dan ganas.
Pek Ho Tojin bukan saja ada merupakan salah satu orang kuat yang mempunyai kepandaian
sangat tinggi dalam golongan Ceng-shia-pay, juga ada sutenya Ciang-bun-jin sendiri. Ilmu "Ciekhie-
sin-kang" meski tidak sehebat suhengnya, tapi ilmu pedangnya "sam-put-kwee" ini sudah
sangat mahir sekali.
Kali ini, Pek Ho Tojin berani keluarkan omongan besar, suruh Kim Houw menyambuti tiga jurus
serangan pedangnya itu, ia tadinya menganggap Kim Houw tentunya tidak berani menerima syarat

itu, dengan demikian, ia bisa mencari lain akal untuk mencegah Kim Houw jangan sampai bisa
naik ke atas gunung.
Siapa nyana, Kim Houw telah menerima baik syarat yang diajukan itu dengan tidak ragu-ragu,
ini benar-benar di luar perhitungannya.
Tapi, berbarengan dengan itu, dalam hatinya diam-diam juga merasa girang, karena ia anggap
Kim Houw tentunya tidak bisa terlolos dari serangannya itu.
Sebabnya, serangan "Sam-put-kwee" yang lihay dan ganas ini sudah membuat banyak jagojago
kelas satu di dunia Kang-ouw yang tidak mampu menyambuti, bagaimana Kim Houw berani
menyambuti tanpa turun tangan? Bukankah berarti ia mencari mampus sendiri?
Walaupun kepandaian dan kekuatan Kim Houw yang barusan sudah ditunjukkan di depan
matanya, "Sam-put-kwee" juga belum tentu dapat membinasakan jiwanya, tetapi setidak-tidaknya
anak muda itu akan merasa keder dan menyingkir dari serangannya, dengan demikian juga sudah
dihitung kalah.
Di luar dugaan, jurus pertama sudah dapat dielakkan dengan baik, meskipun bajunya Kim
Houw sudah dibikin berlobang oleh ujung pedang, tapi badannya tidak mendapat luka apa-apa.
Serangannya yang kedua ia harus menggunakan seluruh kepandaiannya, sebab ia toh tidak
perlu berjaga-jaga serangan pembalasan dari lawannya, maka ia dapat melancarkan serangannya
menurut sesuka hatinya.
Ketika Pek Ho Tojin melakukan serangannya dengan pedang dan tangan secara berbarengan,
suara pedang dan suara tangan meski sangat berlainan, tapi justru karena itu, sudah cukup untuk
membikin bingung perasaan lawannya.
Tapi, Kim Houw yang kepandaiannya sangat luar biasa, suara apa saja jangan harap bisa
menggerakkan hatinya, meskipun menghadapi serangan Pek Ho Tojin yang begitu hebat, ia
nampak masih tidak bergerak barang setindak.
Ketika ia menampak tingkah lakunya yang aneh dari imam tua itu, Kim Houw lantas keluarkan
suara ketawanya yang nyaring untuk memusnahkan suara pedang dan suara tangan dari Pek Ho
Tojin.
Pek Ho Tojin terperanjat, ia tidak mau membuang tempo lagi, dengan cepat sudah
melancarkan serangannya yang kedua.
Pedang dan tangan Pek Ho Tojin telah mengurung rapat dirinya Kim Houw.
Dalam keadaan demikian, jika Kim Houw diperbolehkan menggunakan tangannya untuk balas
menyerang, dengan mudah ia dapat lolos dari serangannya Pek Ho Tojin. Tapi, karena menurut
perjanjian ia tidak boleh balas menyerang dengan tangan, bahkan juga tidak diperbolehkan
mundur, jika mundur juga dihitung kalah.
Maka tidak boleh tidak Kim Houw harus mengeluarkan kepandaiannya yang luar biasa untuk
merebut kemenangan.
Mendadak ia melesat tinggi, untuk menghindarkan pedangnya Pek Ho Tojin, berbareng
memapaki serangan dengan lengan baju lawan.

Pek Ho Tojin menyaksikan kelakuan Kim Houw, diam-diam merasa geli, karena itu berarti
mencari mati sendiri.
Kiranya serangan yang kedua itu, meski didahului oleh suara, untuk memberi tanda, tapi
disamping itu masih ada lain maksud yang lebih dalam.
Jika fihak lawan tidak berhati-hati, terkena serangannya tangan atau pedang jangan harap bisa
hidup lagi!
Sebabnya, jika terkena serangan tangan sebentar saja lantas menyusul serangan lain yang
meluncur secara beruntun serta ditujukan pada satu tempat saja.
Dan bagaimana dengan pedang? Tak usah ditanya lagi, begitu terkena serangan si korban
nampak dirinya sudah mendapat lubang yang tidak kurang dari tujuh atau delapan tempat.
Karena gaibnya ilmu serangan tersebut, maka Pek Ho Tojin diam-diam merasa girang, ia ingin
kali ini benar-benar dapat membinasakan dirinya Kim Houw.
Di luar dugaannya, Kim Houw ternyata bisa menghindarkan serangannya yang hebat itu.
Belum hilang rasa kaget dan herannya Pek Ho Tojin, Kim Houw sudah berkata sambil tertawa
bergelak-gelak:
"Jurus kedua sudah habis, silahkan mulai dengan jurus yang ketiga!"
Pek Ho Tojin benar-benar sudah meluap kegusarannya, sambil putar badannya ia melakukan
serangan terakhir yang sangat hebat.
Jurus terakhir ini ada lebih hebat dari jurus-jurus yang terdahulu, berkali-kali Kim Houw coba
menghindarkan dirinya dari ancaman pedang, ternyata masih tidak berhasil, hingga dalam hati
diam-diam merasa cemas, juga menyesalkan dirinya sendiri yang tadi sudah terlalu tekebur tidak
perlu turun tangan untuk menghindarkan serangan. Nampaknya sekarang terpaksa harus turun
tangan juga untuk menolong jiwanya.
Terhina dihadapannya orang banyak, ia masih anggap suatu perkara sepi. Tetapi jika tidak
berhasil naik gunung menemui ayahnya, biar bagaimana Kim Houw tidak mau mengerti.
Menurut keterangannya Bwee-hoa Kiesu, keadaan ayahnya sudah sangat berbahaya sekali
jika kehilangan kesempatan untuk menemui ayahnya, itu berarti suatu penyesalan untuk seumur
hidupnya.
Nampaknya, sang waktu sekejap sajapun tidak dapat diulur lagi, jari tangan kedua tangan Kim
Houw sudah ditekuk, asal ia ulur keluar, ia sudah bisa terlepas dari ancaman bahaya, tapi dengan
demikian ia sudah mengingkari janjinya sendiri!
Dalam keadaan yang sangat kritis itu, mendadak dengar suara orang membentak-bentakan:
"Siapa?"
Pek Ho Tojin terkejut.
Ia menduga Kim Houw membawa teman, lalu dengan bengis ia berkata pada anak muda:
"Binatang, kau sebetulnya datang dengan berapa banyak orang?"

Tapi, baru saja ia mengucapkan perkataan "orang", mendadak lihat Kim Houw sudah
berjungkir balik, dengan tangan di bawah dan kaki di atas, kemudian kedua kakinya itu diputar
laksana titiran, lalu menendang hebat.
(Bersambung jilid ke 26)
PEK HO TOJIN tidak nyana Kim Houw akan menggunakan siasat demikian, ia lengah,
pedangnya lantas terlepas dari tangannya karena tertendang oleh kakinya Kim Houw. Sudah
tentu, kejadian ini disebabkan kelengahan Pek Ho Tojin sendiri yang tadi telah menegor Kim
Houw, yang dikiranya membawa banyak kawan. Jika tidak, sekalipun Kim Houw mempunyai dua
pasang kaki, juga jangan harap bisa menyentuh pedang lawannya.
Tiga jurus serangannya Pek Ho Tojin sudah habis, Kim houw lantas tertawa bergelak gelak,
sambil lompat bangun ia berkata :
"Kedatanganku ke atas gunung ini, hanya seorang diri saja, tidak mempunyai kawan.
Sekarang, tiga jurus serangan Koancu sudah habis, apa yang Koancu harus katakan lagi? Aku
rasa hal itu juga tidak ada perlunya, jika Koancu masih banyak rewel, mungkin lebih tidak enak
akibatnya bagi Koancu sendiri !"
Setelah berkata, Kim Houw lantas lompat melesat ke atas genteng. Dari jauh ia lihat
berkelebatnya bayangan satu orang, yang lompat melesat ke puncak gunung seperti gerakannya
kucing liar. Kim Houw tahu, bayangan itu tentunya ada Bwee-hoa Kiesu, sudah tidak bisa salah
lagi.
Kim Houw dapat merasa bahwa pada imam di atas genteng benar saja tidak merintangi
perjalanannya, maka ia tidak mau berlaku keterlaluan lagi, dengan cepat lantas meninggalkan
gereja Pek-ho-koan.
Saat itu sudah jam empat menjelang pagi hari, di puncak gunung kabut menampak semakin
tebal. Mendadak di depan jalan ada mencorong sepasang sinar terang yang menembusi kabut
tebal itu.
Kim Houw mengira ada matanya binatang buas, karena apa bila itu ada sorot matanya orang,
orang itu pasti mempunyai kekuatan tenaga lwekang yang sudah tinggi sekali.
Sinar itu makin lama makin mendekat, tapi karena kabut amat tebal, Kim Houw tidak dapat
lihat sinar itu ada matanya binatang atau manusia.
Kim Houw yang bernyali sebar, dengan cepat lompat menghampiri. tepat tiba di depannya
sinar itu. Ketika ia buka lebar mata untuk menegasi, ternyata di depannya ada berdiri satu orang,
bukannya binatang buas, hingga Kim Houw terkejut.
Apa sebabnya, apakah ia takut? Tidak!
Sebab orang yang mempunyai sinar mata begitu hebat itu, ternyata bukan seperti apa yang
Kim Houe duga semula, ada seorang tua yang rambutnya sudah putih atau seorang laki-laki yang
berbadan tegap, sebaliknya ia hanya satu bocah tanggung yang berusia kira-kira dua belas atau
empat belas tahun.
Cuma, bocah ini ada beda dengan bocah biasanya, ia berpakaian kopiah imam, di belakang
gegernya menggendong sebilah pedang, tangannya membawa kebutan, persis seorang imam
cilik.

Untuk sesaat lamanya Kim Houw telah dibikin tercengang, sebab bocah yang usianya masih
begitu muda, ternyata sudah mempunyai kekuatan lwekang begitu tinggi, apakah mungkin seperti
dirinya sendiri yang menemukan pengalaman gaib?
Selagi Kim Houw masih merasa bingung, imam cilik itu sudah menegor padanya:
"Adakah tuan seorang she Kim?" "Aku yang rendah benar adalah Kim Houw, entah apa
sebutannya toheng yang mulia?" jawab Kim Houw, ia heran mengapa imam cilik itu mengetahui
shenya.
"Benar! benar! harap toheng sudi memberi sedikit petunjuk!" "Aku ini adalah Pek Leng Tojin,
entah ada urusan apa tuan mencari aku?"
Kimm Houw mendengar pertanyaan itu, hatinya terkejut. Ia mundur selangkah, lama matanya
memandang imam cilik, mulutnya ternganga, tidak bisa menjawab.
Kim houw sejak masih baya belum pernah melihat ayahnya, sudah tentu tidak tahu bagaimana
roman ayahnya itu. Sekarang, bocah cilik yang berada di depan matanya itu, ternyata sudah
mengaku sebagai Pek Leng Tojin. Meski ia tahu benar bahwa bocah itu bukan ayahnya sendiri,
tapi, untuk sesaat itu ia juga tidak mampu menjawab.
Bocah yang mengaku Pek Leng Tojin itu berkata pula:
"Aku si tojin tahun ini sudah berusia enam puluh tiga tahun, orang menyebut aku sebagai
imam yang tidak bisa tua. Tapi, seumur hidupku aku belum pernah kawin, sebaliknya aku
menyebut aku sebagai ayahmu. Aku belum kawin dari mana bisa mempunyai anak? Terang kau
datang untuk mencari setori. Lebih baik kau lekas pulang, kalau tidak, hati-hati kau nanti tidak bisa
turun gunung lagi..."
Kim Houw memang sudah tahu kalau imam itu bukan ayahnya, sebab dimasa mudanya
ayahnya pernah menjadi rebutan kaka beradik dari keluarga Ceng-kee-cee, kalau roman ayahnya
seperti imam cilik, bagaimana bisa dibuat rebutan oleh dua wanita?
Siapa nyana, belum sampai Kim Houw memberi jawabannya, si imam cilik itu sudah mengejek
Kim Houw begitu rupa, sehingga Kim Houw seketika itu lantas naik darah!
Tidak menunggu si imam cilik bicara habis, Kim Houw sudah membentak dengan suara keras :
"Imam busuk yang tidak punya mata, dengan cecongormu seperti ini juga berani keluarkan
perkataan yang tidak sopan. Rupanya kau sudah bosan hidup, hari ini aku Kim Houw hendak
memberi pelajaran sedikit padamu, supaya lain kali kau tidak berani sembarangan buka mulut lagi
!"
Kim Houw merasa benci sekali kepada imam cilik itu, karena romannya yang masih seperti
bocah, ternyata sudah berani mengaku ayahnya.
Tiba-tiba ia sudah keluarkan dua tangannya, satu menyerang ke barat dan lainnya menyerang
ke arah timur, serangannya itu semua ditujukan ke tempat kosong dikanan kirinya badan si imam
cilik.
Si imam cilik kelabakan, ia tidak tahu serangan apa yang digunakan oleh Kim Houw. Tapi, ia
juga bukan seorang lemah, dalam keadaan bingun, ia masih bisa lekas menghunus pedangnya. Ia
tingginya tidak lebih dari tiga kaku, dengan pedangnya itu hampir sama panjangnya, maka ketika

pedang panjang itu berada didalam tangannya, ia seperti juga seorang anak kecil yang
memainkan golok besar.
Kim Houw yang menyaksikan keadaannya si imam cilik itu, dalam hati merasa geli, tapi rasa
bencinya lebih besar daripada perasaan gelinya.
Ia menunggu sampai imam itu sudah pegang betul pedangnya, kedua tangannya mendadak
menarik dam melepas dengan berbareng. nampaknya Kim Houw seperti main-main saja, tapi
sebetulnya imam cilik itu sudah terkurung oleh kekuatan tenaga Kim Houw.
Tapi, imam cilik itu yang sudah mempunyai kepandaian sampai sepasang matanya
memancarkan sinar begitu terang, sudah tentu bukan termasuk orang sembarangan Gesit sekali
tubuhnya yang pendek kecil lantas melesat tinggi ke angkasa, segera menukik balik dan pedang
panjangnya digunakan untuk menikam. Ia ingin mengetahui sampai dimana Kim Houw masih
dapat menyambuti pedangnya itu dengan tangan kosong.
Tidak nyana baru saja ia melesat ke atas dan pedangnya juga baru hendak menikam, suatu
tenaga dahsyat telah membentur pedangnya dan menerbitkan suara nyaring sekali.
Si imam cilik gemetar badannya, ia tidak dapat pertahankan dirinya lebih lama lagi ditengah
udara, lantas meluncur jatuh dan sebelah tangannya hampir saja patah.
Mendadak ia merasakan tangannya sangat enteng, ketika ia memeriksa pedang di tangannya
ternyata hanya tinggal gagangnya saja, Sedangkan pedangnya sudah hancur berkeping-keping.
Melihat itu si imam cilik bergidik, pikirnya andaikata tadi ia tidak keburu jatuh, tentu tubuhnya
yang kecil sudah hancur lebur.
Imam cilik itu setelah menenangkan pikirannya, baru melemparkan gagang pedangnya seraya
berkata:
"Sungguh hebat sekali kekuatan tenaga dalammu, sekarang marilah kita, mengadu kekuatan
tenaga!"
Mendengar itu dalam hati Kim Houw diam-diam menyumpahi si imam cilik itu yang bandal.
Andaikata benar-benar kekuatan tenaga dalamnya hebat sekali, apa kiranya Kim Houw takut
padanya?
Ketika itu si imam cilik sudah menyodorkan kedua tangannya, tetapi Kim Houw hanya
menyambuti dengan sebelah tangannya saja.
Siapa nyana sebelum tangan kedua pihak saling menempel, badan si imam cilik lantas
menggigil, sehingga dengan diam-diam ia merasakan kaget. Ia tidak berani melanjutkan mengadu
tenaga lagi, sambil melesat mundur ia berseru:
"Apa Siaohiap melatih ilmu Han-bun-cao-khie?"
Semula Kim Houw hendak memberi sedikit hajaran pada imam cilik itu, sekalipun tidak dihajar
sampai mampus, setidak-tidaknya juga harus dibikin babak belur. Diluar dugaan, sekarang si
imam cilik telah memajukan pertanyaan ilmunya Han-bun cao-khie, Kim Houw menjadi terheranheran.
Sebab sejak ia muncul di dunia Kaog ouw jarang menggerakan ilmunya Han-bun-cao khie,
sampai seorang tingkatan tua dan mempunyai kepandaian sangat tinggi seperti Kow-low Sin-ni
dan Liok-cio Thian-mo juga tidak mengenali nama dari ilmunya yang sangat hebat siapa nyana

imam tua yang bentuknya seperti bocah ini belum sampai mengadu kekuatan sudah segera dapat
menyebut nama ilmunya.
"Karena kau telah mengenali ilmu apa yang kupelajari, maka hari ini aku akan mengampuni
jiwamu!" kata Kim Houw.
Imam tua yang seperti bocah itu rupanya bukan dari partai Ceng-shia, sebab ilmu yang ia
pelajari bukan ilmu dari Cie-khie-sin-kang, tapi suatu ilmu yang justru paling takuti Han-bun caokhie.
Karena sedikit sekali orang yang mempelajari ilmu Han-bun-cao-khie, maka boleh digunakan
sepanjang perjalanan hidupnya ia belum pernah menemukannya. Tidak nyana dimasa tuanya ia
telah menemukan ilmu itu pada diri Kim Houw yang masih muda belia.
Maka lantas ia tidak berani bertingkah lagi, ia persilahkan Kim Houw naik gunung Seraya
berkata:
"Siaohiap, silahkan naik ke atas, Ceng-bun-jin Ceng-shia-pay sudah menantikan
kedatanganmu!"
Kim Houw tidak mengira imam cilik itu dapat berubah sikap demikian ccpat, maka ia juga tidak
sungkan-sungkan lagi terus naik ke atas gunung.
Saat itu kabut semakin tebal, sehingga jalanan kelihatannya gelap. Meskipun Kim Houw
mempunyai mata yang sangat tajam dan dapat menembusi hawa gelap, tetapi dalam kabut yang
demikian tebalnya itu daya penglihatannya juga hanya mencapai sejauh kira-kira lima kaki saja.
Maka terpaksa Kim Houw berjalan dengan pelahan.
Mendadak telinganya mendengar suara genta ditabuh dua kali.
Kim Houw menghentikan kakinya, ia memasang mata dengan seksama dan merasa agaknya
sudah menginjak puncaknya gunung, hanya sayang karena tebalnya kabut, matanya tidak dapat
memandang jauh. Dalam keadaan demikian Kim Houw tidak berani gegabah, sebab biarpun
bagaimana gunung Ceng-shia san itu tidak boteh dipandang remeh.
Meskipun ia sudah menundukkan Pek Ho Tojin dam si imam tua yang seperti bocah tadi,
selain dari mereka berdua tidak kelihatan datangnya orang yang lebih kuat, tetapi menurut
keterangan Bwee hoa Kiesu bahwa di atas gunung itu terdapat banyak sekali imam yang
berkepandaian tinggi, maka tidak boleh tidak, ia harus berlaku hati hati.
Setelah memeriksa keadaan di sekitarnya, Kim Houw lalu duduk di atas sebuah batu besar
dan membuka buli-buli kecil dari Tiong ciu-khek dan meminum air untuk menghilangkan rasa
dahaganya. Air itu begitu masuk ke dalam perutnya, sekujur badannya kontan dirasakan sangat
segar dan rasa letihnya lantas lenyap seketika.
Pada saat itu langit di sebelah timur kelihatan berwarna merah, dan menembusi kabut tebal.
Meskipun diketahui oleh Kim Houw bahwa sinar itu ialah sinar matahari pagi, tetapi karena dirinya
berada di atas puncak Ceng-shia-san, dan pusatnya Ceng-shia-pay, maka hatinya merasa kurang
tenteram.

Ia lalu berbangkit dan kembali celingukan mengamati keadaan sekitarnya, benar saja ia sudah
berada di atas puncaknya gunung Ceng-shia. Hanya di situ bukan saja tidak terlihat ada
manusianya, bahkan sebuah gerejapun tidak kelihatan.
Yang terlihat hanya batu-batu aneh yang berserakan di sana sini. Keadaan di situ sangat
berlainan dengan keadaan di Pek ho koan, ini benar sangat mengherankan hati Kim Houw, ia tidak
mengerti apa sebab-sebabnya.
Mendadak terdengar satu suara yang seperti gembreng pecah dari samping kirinya, "Bocah,
kemari, Yayamu ingin menanya kau!"
Mendengar suara itu, Kim Houw segera mengerti bahwa orang itu mempunyai kekuatan
tenaga dalam yang sangat tinggi. Ia heran, sejak kapankah orang itu datang ke situ dan mengapa
sedikitpun tidak diketahuinya, apakah ia sudah datang terlebih dahulu dari pada dirinya sendiri?
Meskipun orang itu mempunyai kekuatan lwekang sangat tinggi, tetapi sebagai seorang imam
yang bicara secara kasar demikian, baru sekali ini Kim Houw mendengarnya.
Kembali ia mendengar suara orang tadi.
"Bocah, kau kenapa, apa kau tidak mau mendengar perkataan Yayamu? Mengingat ayahmu
dulu ...."
Mendengar orang yang tidak mau memperlihatkan dirinya itu selalu menyebut dirinya sendiri
Yaya dan anggap Kim Houw sebagai bocah, sebenarnya Kim HOuw sudah hendak mencarinya
dan memberikan hajaran padanya, tapi tiba-tiba ia mendengar orang itu mengatakan soal
ayahnya.
Hati Kim Houw berdebaran, apa mau orang itu tidak melanjutkan perkataannya, hal mana
membuat hati Kim Houw sangat cemas. Saat itu mendadak terdengar lagi suaranya.
"Bocah, Yaya mau bicara padamu, mau dengar atau tidak ? Kalau tidak mau dengar, lekas
pergi saja kalau mau dengar harap segera kemari Yayamu tidak mempunyai tempo banyak lagi ..."
Kim Houw yang berulang-ulang mendengar ucapan "bocah" dan Yaya dari suara orang itu
masih belum mengetahui perkataan itu ditujukan pada siapa, tetapi di puncak gunung itu kecuali ia
sendiri sudah tidak ada orang lain lagi. Apakah orang itu benar-benar Yayanya yang datang untuk
mengunjukkan jalan supaya ia dapat bertemu dengan ayahnya, oleh karena pikirannya itu, maka
lantas ia menggerakan kakinya menuju ke arah datangnya suara tadi.
Diatas sebuah batu besar, dilihatnya ada seorang berkepala gundul. Kim Houw merasa heran
mengapa di dalam partai Ceng-shia-pay ada terdapat juga hwesio?
Yang lebih mengherankan hatinya, imam tua yang berperawakan seperti bocah telah mengaku
dirinya sebagai ayahnya dan sekarang hwesio ini mengaku sebagai Yayanya.
Benar-benar merupakan teka teki bagi KIm Houw.
Tetapi karena ia ingin mengetahui urusan ayahnya, terpaksa ia menahan sabar dan maju
menghampiri.
Tetapi baru saja kakinya bergerak, ia mendengar hwesio itu membentak.

"Bocah, kau si binatang cilik ini, apa benar-benar tidak mau mendengar kata-kata Yayamu.... ?
Belum selesai ucapan hwesio itu, sesosok tubuh manusia telah melesat turun di hadapan si
hwesio. Kim Houw menegasi bayangan yang barusan turun, ternyata ia ada seorang bocah lakilaki
berusia kira-kira tujuh tahun. Kini Kim Houw baru mengerti akan duduknya perkara, ternyata
kedua orang itu adalah kakek dan cucu, sedangkan ia sendiri bukannya orang yang dimaksudkan.
Tetapi pada saat itu, hwesio itu mendadak berbangkit dan berpaling kepada Kim Houw.
"Apakah kau naik ke gunung ini hendak mencari ayahmu ? Cucuku ini juga hendak mencari
ayahnya." kata si hwesio.
Hwesio itu bertubuh tinggi besar lebih tinggi dari pada Kim Houw. Wajahnya menakutkan
seolah-olah pernah terbakar sebab di sana sini kelihatan warna merah melepuh tanda bekas
terbakar.
Melihat wajahnya orang sudah seram, apalagi melihat ia ketawa lebih-lebih menakutkan.
Dalam hati diam-diam Kim Houw berpikir, entah darimana datangnya si Hwesio dan mengapa
bentuknya begitu menyeramkan ?
Atas pertanyaan hwesio tadi, Kim Houw segera menduga bahwa hwesio ini juga bukan berasal
dari golongan Ceng-shia-pay.
Seketika itu ia lantas menjura.
"Kapan Taysu datang ke gunung ini dan ayah adik kecil ini sekarang berada dimana ?"
tanyanya dengan laku hormat.
Si Hwesio ketawa bergelak-gelak.
"Ayahnya bocah ini sudah lama tidak ada dalam dunia," jawabnya. "Ayahmu yang tidak
berguna itu rasanya juga sudah tidak ada lagi, perlu apa kau mencari dia, mari kita bersama-sama
turun gunung saja."
Kim Houw gusar, dengan tanpa sebab si hwesio menyumpahi ayahnya. Darah panas
mendorong ia kasih hajaran pada hwesio berengsek itu, ia mengeluarkan tangannya hendak
menyerang. Dalam keadaan gusar, sudah tentu serangan Kim Houw ini akan sangat hebat
akibatnya.
Tetapi Hwesio itu agaknya sudah mengetahui akan kelihaian si anak muda, ia segera
melompat melesat sejauh dua tombak, hanya batu besar yang bekas didudukinya tadi telah
terpental sampai beberapa kaki jauhnya dan tepat pada saat itu juga, mendadak terlihat satu
bayangan hitam secepat kilat menerjang Kim Houw.
Bayangan hitam itu demikian gesitnya, belum dapat di lihat tegas orangnya, tahu-tahu
bayangan itu sudah berada di depan mata Kim Houw. Terpaksa ia mengayun tangannya
menyerang, satu sinar emas yang menyusul berkelebat telah menjadi sasarannya. Ia terkejut
karena tangannya dirasakan sakit.
Buru-buru ia memeriksa tangannya, terlihat ada dua titik hitam dan di tanah menggeletak
seekor ular emas kecil.

Ular emas itu sudah pernah di lihat oleh Kim Houw, ia yang berada di dalam tongkat Kim Coa
Nio-nio. Sejak Kim Coa Nio-nio meninggal dunia, ular emas itu juga lantas lenyap, tidak dinyana
sekarang telah muncul di sini dan menggigit padanya.
Ketika ia mendongakkan kepalanya untuk menegasi siapa tadi yang menerjang padanya dan
melemparkan ular emas itu ternyata ia adalah si bocah, yang saat itu tengah mengawasi padanya
sambil ketawa cengar cengir.
Benar-benar ini merupakan suatu kesulitan. Bocah itu masih terlalu muda usianya, belum
mengerti urusan, membuat Kim Houw sungkan turun tangan kepadanya, untuk melampiaskan
kedongkolannya.
Ia heran, dengan cara bagaimana ular emas kecil itu bisa jatuh di tangannya.
Si Hwesio aneh melihat Kim Houw berdiri terlongong-longong, lantas ketawa bergelak-gelak,
dan dengan suaranya yang seperti gembreng pecah berkata :
"Bocah, apakah kau kenali ulat emas kecil itu ? Biasanya asal mengenai orang sedikit saja
cukup membikin orang itu binasa. Kau tadi sudah di gigit olehnya, dalam tempo satu jam saja
jangan harap kau masih bernyawa. Kalau kau mau turun gunung, Yaya nanti akan memberikan
obatnya untuk menolong jiwamu, bagaimana ? Lekas jawab, sebab kalau terlambat obat itu pun
sudah tidak ada gunanya lagi. Bocah, aku beri nasehat jangan kau coba main-main dengan
jiwamu!"
Ketika tadi Kim HOuw digigit oleh ular emas kecil itu, sebetulnya sangat kuatir, tetapi
mendengar disebut "bocah" berkali-kali oleh si hwesio, ia jadi mendongkol sekali. Tidak perduli
betapa jahatnya bisa ulat emas itu, segera ia mengeluarkan Bhak-tha Liong-kin nya yang lantas
diletakkan di tempat bekas luka gigitan tadi, sebentar saja titik hitam itu lantas lenyap dan rasa
sakitnya hilang sama sekali.
Kim Houw menyimpan kembali Bhak-tha Liong-kin nya, kemudian dengan bangga ia ketawa
bergelak-gelak.
"Kau jangan kegirangan tidak keruan," katanya, "Kau tahu tubuhku kebal terhadap racun yang
bagaimana jahatnyapun dalam dunia ini. Sekarang kau harus membuat perhitungan dengan aku."
Sehabis berkata, Kim Houw lantas menyerang kepada si hwesio.
Hwesio aneh itu hanya ketawa, kemudian angkat kaki dan kabur ke bawah gunung, mulutnya
berkaok-kaok :
"Bocah, kalau berani, mari kita adu kekuatan di bawah gunung ... "
Kim Houw sangat gusar, segera ia mau mengejar, tetapi mendadak KIm HOuw ingat maksud
kedatangannya hendak menemui ayahnya. Jika karena tindakannya itu lantas hilang kesempatan
nya untuk menemui ayahnya, hal itu akan merupakan sesalan seumur hidupnya.
Karena pikirannya itu, maka makian hwesio aneh tadi dianggap sepi.
Ia mau lanjutkan perjalanannya memanjat ke puncak gunung, tiba-tiba melihat si bocah masih
berdiri mengawasi ular emas kecil yang tidak berkutik.
Kim Houw lalu menghampiri si bocah, ia menanya :

"Adik kecil, hwesio tadi pernah apa dengan kau dan ular emas ini kau dapatkan dari mana ?
Kau jangan takut, kau beritahukan padaku, tidak nanti aku mengganggu dirimu."
Siapa kira berulang-ulang Kim Houw menanya, bocah itu tetap tidak mau menyahut.
Kim Houw merasa heran, karena di lihat dari romannya, bocah itu bukan anak tolol, juga bukan
seperti orang yang tidak mengerti bahasa orang. Si bocah hanya memandang terus pada Kim
Houw, seperti yang mengandung rasa kebencian yang hebat.
Semula Kim Houw tidak memperhatikan hal itu, tetapi ketika matanya beradu dengan mata
bocah itu, hatinya lantas bercekat.
Lewat sejenak, bocah itu memungut ular emasnya dimasukkan ke dalam bumbungnya.
Dengan tidak memperdulikan Kim Houw lagi, ia lantas lari turun gunung.
Kim Houw kagum, melihat bocah yang usianya masih sekecil itu, kepandaian mengentengkan
tubuhnya ternyata sudah begitu mahir. Ia sendiri, jika tidak menemukan kejadian yang sangat
ajaib, walaupun berlatih sepuluh tahun barangkali belum tentu mempunyai kepandaian seperti
bocah ini.
Munculnya bocah dan hwesio aneh itu seolah-olah merupakan suatu teka teki baginya.
Siapakah adanya mereka ? Di bagian belakang nanti kita bicarakan lagi.
Ketika melihat bocah tadi turun ke belakang gunung, sedangkan di puncak gunung tidak
kelihatan gereja atau bayangan orang, Kim Houw segera menuju ke arah jejak bocah tadi.
Baru saja berjalan kira kira sepuluh tombak jaraknya, di samping kiri lantas terbentang
sebidang tanah kosong yang luas. Ketika ia mendekati, disamping gunung itu ternyata ada
dibangun beberapa bangunan gereja yang sangat megah.
Selagi Kim Houw mengawasi pemandangan itu dengan perasaan heran, dari kedua sisinya
mendadak muncul sepasang imam kecil yang sama dandanannya dan sama perawakannya.
Dengan laku yang sangat menghormati, mereka berkata kepada Kim Houw :
"Ciang bun Sucow dari Ceng-shia-pay sudah lama menantikan kedatangan tuan."
Kim Houw terkejut, buru-buru ia membalas hormat.
"Terima kasih atas penyambutan Toheng berdua." jawabnya.
Kedua imam kecil itu lantas mengajak Kim Houw ke pinggir tanah lapang tadi.
Begitu menginjak tanah lapang, jauh-jauh sudah dapat dilihatnya dalam sebuah gereja besar
ada duduk berbaris kira-kira sepuluh orang imam. Para imam itu kesemuanya telah lanjut usianya,
sedangkan Bwee-hoa Kiesu juga terdapat diantaranya.
Dalam barisan imam itu, di tengah tengahnya berduduk seorang imam tua yang usianya kirakira
sudah lebih dari delapan puluh tahun. Tidak perlu disangsikan lagi, Kim Houw lantas
mengetahui bahwa imam tua itu ialah ketua Ceng-shia-pay yang sekarang, Giok Yang Cinjin.
Kim Houw maju beberapa tindak dan memberi hormat kepada imam tua itu sembari berkata:

"Boanpwe Kim Houw menghaturkan selamat kepada Cinjin"
Imam tua itu dengan sikap yang agung hanya mengawasi Kim Houw dari bawah sampai ke
atas. Lama sekali baru ia berkata dengan suara dingin :
"Kau inilah orangnya yang dengan seorang diri sudah berhasil menerjang tiga rintangan dari
Ceng-shia-pay ?"
Kim Houw merasa heran, apa yang dimaksud dengan ketiga rintangan dari Ceng-shia-pay,
maka ia lantas menjawab :
"Boanpwee malam-malam mengunjungi gunung ini hanya bermaksud untuk menemui
seseorang, harap Cinjin suka memberi maaf sebanyak-banyaknya dan suka memberi
kelonggaran."
"Maksud kedatanganmu sudah kuketahui semua kau ingin menemui orang di gunung ini harus
melalui tiga rintangan lagi" kata si imam itu masih tetap dengan suara dingin dan sehabis berkata
ia lantas berbangkit hendak masuk ke dalam lapangan.
Mendadak seorang imam tua di sisinya sudah bangkit dan berkata padanya:
"Toa-suheng, sabar dahulu, biarlah aku yang akan coba-coba dulu padanya !"
Ketika si imam tua berpaling, imam yang bicara tadi ternyata adalah sutenya sendiri yang
bernama Chiang Liong Cu. Ia tahu bahwa sutenya ini sejak kecil sudah mempunyai kepandaian
yang sangat luar biasa, ilmunya Ciekie-sin-kang, termasuk yang paling kuat diantara para imam
dari golongan Ceng-shia-pay, maka ia lantas berkata :
"Sute, kau boleh coba dahulu kekuatan tenaga dalamnya !"
Chiang Liong Cu memberi hormat, lali berjalan menuju kelapangan. Ketika sudah berada
dekat, mendadak ia batuk-batuk, riak kental lantas keluar dari mulutnya dan tepat jatuh di atas
sebuah batu besar.
Sungguh heran riak kental itu ketika jatuh dibatu segera mengeluarkan suara dan ketika
semua orang melihatnya, ternyata riak kental itu sudah melesak kedalam batu kira-kira satu dim,
sehingga merupakan satu lobang kecil. lobang kecil itu demikian rata bentuknya, seolah-olah
terbuat dari ujung pedang yang tajam.
Kekuatan tenaga dalam yang begitu hebat, benar-benar jarang terlihat.
Menyaksikan itu, meskipun dalam hati Kim Houw merasa kagum, tetapi wajahnya sedikitpun
tidak menunjukkan perubahan. Kepandaian tadi ternyata untuk ditunjukkan hendak menguji
dirinya, jika ia sendiri tidak menunjukkan sedikit kepandaian yang melebihi itu, jangan harap dapat
menemui ayahnya.
Kelihatannya ia masih tenang tenang saja, dengan tidak banyak lagak, ia buka mulutnya
meludah, karena ia tidak mempunyai reak.
Ludah itu juga jatuh tepat di atas batu besar tadi, tepat pula ditempat bekas jatuhnya reak
Chiang Liong Cu, hanya ludah itu jatuhnya mengitari sekitar lubang kecil tadi, membuat lingkaran,
seolah-olah telah diatur oleh tangan manusia dan lubang kecil yang duluan tepat berada ditengahtengahnya.

bahkan ludah itu, ketika jatuh di atas batu, hampir sedalam lubang bekas reak Chiang Liong
Cu tadi.
Chiang Liong Cu dan semua imam yang menyaksikan kejadian itu, berubah semua wajahnya,
sebab ludah yang diludahkan dengan kekuatan tenaga lweekang itu, ternyata juga mempunyai
kekuatan seperti reak kental yang dikeluarkan dari m ulut Chiang Liong Cu, ternyata kekuatan
anak muda ini masih berada diatasnya Chiang Liong Cu.
Dengan tidak banyak bicara, Chiang Liong Cu manggutkan kepala kepada Kim Houw, lantas
mundur ke tempat duduknya, kemudian berkata kepada Giok Yang Cinjin :
"Bocah ini benar-benar tidak boleh dipandang ringan, dia mirip Pek Sin, tetapi bukan Pek Sin,
harap Toa suheng suka hati-hati sedikit"
Giok Yang Cinjin anggukkan kepala dan ia hendak berbangkit, kembali ada seorang imam
berbadan pendek maju dan berkata padanya: "Toa- suheng, aku ingin mencoba melayaninya !"
Ketika Giok Cinjin menoleh, ternyata itu sutenya yang paling kecil, Hian Bu Cu. Ia lantas
mengerutkan alisnya, sebab Hian Bu Cu kekuatannya masih terbatas, baik ilmu pedangnya
maupun kekuatan tenga dalamnya, semuanya masih berasa di bawah Chiang Liong Cu dan Pek
Ho tojin. Kedua orang itu sudah maju, bukankah itu berarti tidak mengukur dirinya sendiri ?
Tetapi Giok Yang Cinjin segaera mengingar bahwa Hian Bu Cu ini ada seorang licik dan
kejam, lagi pula banyak akalnya, mungkin ia hendak menggunakan akal busuknya untuk
menjatuhkan lawannya.
Sebetulnya, Kim Houw yang dengan seorang diri sudah berhasil naik ke atas gunung sehingga
membuat rusak nama Cheng-shia-pay maka Ceng-shia-pay sebetulnya boleh tidak mentaati
peraturan dunia Kang-ouw yang harus menghadapi Kim houw dengan satu lawan satu, tetapi
dengan cara mengerubuti beramai-ramai untuk menyingkirkan Kim houw sehingga dapat
melampiaskan sakit hatinya.
Tetapi mengingat sejak naik sampai ke puncak gunung, Kim Houw belum pernah melukai jiwa
manusia, apalagi ia menemui orang-orang dengan laku sangat hormat, membuat Ceng-shia-pay
sungkan untuk berbuat demikian.
Sekarang, andaikata Hian Bu Cu dapat memenangkan dengan akal busuknya, jika hal tersebut
sampai tersiar keluar, juga masih dikatakan bahwa pertandingan itu dilakukan dengan satu lawan
satu. Kalau Hian Bu Cu benar-benar bisa berhasil menjatuhkan Kim Houw, itu merupakan soal
yang paling baik, setidak-tidaknya dapat memperbaiki kembali nama ceng-shia-pay.
Oleh karena berpikir demikian, maka Giok Yang Cinjin lantas menyambut sambil
menganggukan kepala :
"Baiklah harap sute melayani dengan hati-hati dan dengan sepenuh tenaga"
Hian Bu Cu ketawa, agaknya mengerti maksud suhengnya. Ia berjalan memasuki kalangan,
terlebih dahulu ia menganggukkan kepala kepada Kim Houw lalu berkata :
"Kepandaian dan kekuatan Siaohiap yang luar biasa, benar-benar sangat mengagumkan,
sekarang aku si tojin yang tidak berguna ini, mempunyai suatu usul yang bodoh, ingin minta
pertimbangan Siaohiap, sukalah Siaohiap memberi sedikit muka kepadaku!"

Kim Houw segera menjawab sambil membalas hormat : "Silahkan."
"Usulku yang bodoh ini, kalau mau dikatakan sungguh menggelikan. Caranya ialah begini: Kau
serang aku tiga kali dan aku juga akan menyerang kau tiga kali, siapapun juga tidak boleh
menangkis dan balas menyerang, yang melanggar dibilang kalah. Kau pikir bagaimana?"
Kim Houw melihat imam ini, meskipun usianya sudah enam puluh tahun lebih, tapi
pembicaraannya tidak mempunyai dasar yang adil, bukan seperti orang yang beribadat. Tetapi
Karena ia sudah memajukan syarat-syarat itu justru membikin pusing kepalanya.
Sebab kalau ia berani majukan syarat demikian, kalau tidak yakin benar mempunyai kekuatan
yang tinggi dan ada yang diandalkan, bagaimana ia berani mengajukan syarat demikian? Tetapi
Kim Houw yang datang hendak menemui ayahnya, bahaya macam apapun juga tidak
diperdulikannya. Kepandaian dan ilmunya Han-bun-cao-kie yang sudah tidak ada taranya itu,
kekuatan tenaga yang bagaimanapun juga, tidak dapat berbuat apa-apa terhadapnya.
Maka ia lantas anggukkan kepalanya sebagai suatu tanda telah menerima baik perjanjian
tersebut.
Hian Bu Cu yang menyaksikan Kim Houw menerima baik usulnya tanpa berpikir, lantas
tertawa menyeringai. Kemudian ia membuat suatu lingkaran, kira-kira lima kaki bundarnya. Kim
Houw tidak mengerti apa maksudnya, maka ia lantas menanya pada bakal lawannya.
"Kau dan aku berdua sama-sama berada dalam lingkaran ini, siapa yang terpukul sekali keluar
dari lingkaran, dihitung kalah". jawab Han Bu Cu.
Kim Houw dalam hati merasa tidak tenang. Pikirnya: Aku tidak main-main dengan kau,
bagaimana ada cara bertanding demikian. Kalau aku turun tangan terlalu keras, kalau tidak mati,
tentu kau terluka parah.
Tetapi Kim Houw bukan seorang bodoh ia merasa curiga. Ketika ia melirik kepada Bwee-hoa
Kiesu, ia melihat Bwee-hoa Kiesu menunjukkan paras sedih, sehingga hatinya ada rasa tidak
tentram.
Tetapi, syarat telah diterima baik olehnya ia tidak boleh tidak harus memenuhinya Pikirnya:
Betapapun tingginya kekuatan tenaga tanganmu, aku sudah mempunyai ilmu Han-bu cao ki, asal
aku berlaku hati-hati, perlu apa harus takut?
Kemudian ia melihat Hian Bu Cu sudah lompat masuk ke dalam lingkaran, maka tanpa ayal
lagi ia lantas lompat masuk juga.
"Siaohiap, silahkan mulai dahulu." kata Hian Bu Cu.
"Silakan totiang menyerang lebih dahulu" jawabnya.
"Kalau begitu, biarlah aku yang mulai terlebih dahulu."
Berbareng dengan itu, lengan kanannya memutar keluar, tangan kirinyapun demikian pula,
dengan berbareng ia mendorong dada Kim Houw. Gerakannya itu kelihatannya lambat, tetapi
sebetulnya luar biasa cepatnya. Sebentar saja sepasang tangannya sudah sampai di dada Kim
Houw.

Apalagi kedua perang ini terpisah tidak lebih dari tiga kaki, dengan mengulur tangan saja
sudah mencapai sasarannya. Maka Kim Houw diam-diam juga merasa terkejut, ia buru-buru
kerahkan ilmunya Han-bun-cao-kie untuk melindungi dirinya.
Siapa nyana gerakan Hian Bu Cu itu, hanya gerak tipu pura-pura. Meskipun datangnya
gesitnya, tetapi kekuatannya tidak ada, ketika menempel di dada, kekuatan itu lantas musnah
dengan sendirinya.
Kim Houw merasa lega. Kiranya gerakan itu adalah percobaan belaka, pikirnya.
Di luar dugaan, dalam waktu sekejap saja suatu kekuatan tenaga dalam yang sangat hebat
dirasakan telah menindih dadanya, sehingga untuk bernapas saja ia merasa susah.
Bukan main kagetnya Kim Houw, sungguh tidak dinyana bahwa imam tua itu begitu licik.
Belum hilang rasa kagetnya, kekuatan itu mendadak mendesak dengan hebat. Ini mana dapat
disebut serangan tangan yang betul adalah mendorong dengan hebat. Sampai di sini Kim Houw
baru tahu kalau ia sudah ditipu oleh lawannya.
Sebetulnya ia ingin menggunakan ilmu memberatkan badannya untuk mengadu tenaga
dengan imam yang licik itu, tetapi tadi. ketika ia sedikit lengah, bagian yang sangat berbahaya
dibagian dadanya sudah berada di bawah cengkeraman tangan lawannya. Kalau ia memaksa,
belum diketahui bagaimana akibatnya nanti, terpaksa ia mengimbangi gerakan lawannya dan
lantas melesat ke udara.
Tetapi gerakan melesatnya Kim Houw itu agak miring terbang ke atas, ditengah udara ia
membungkukkan badannya dan dengan cepat ia meluncur kembali ke dalam lingkaran.
Tetapi belum sampai kaki Kim Houw menginjak tanah, kembali Hian Bu Cu melancarkan
serangannya.
Karena menurut perjanjian tidak boleh menangkis dan balas menyerang, maka serangan itu
kelihatannya akan mengenai kedua paha Kim Houw. la ini merasa gemas sekali, terpaksa dengan
menggertak gigi ia menyalurkan kekuatan tenaga dalamnya pada kedua pahanya untuk
menyambuti serangan lawanya.
"Plak, plak!" terdengar suara nyaring, sepasang pahanya masing- masing terkena satu
serangan, tetapi serangan itu, kembali membuat Kim Houw merasa heran. Sebab dari suara
sambaran anginnya, Kim Houw menduga, serangan itu tentunya hebat sekali, siapa nyana,
setelah serangan itu mengenakan pahanya, ternyata tidak begitu hebat seperti yang diduganya
semula.
Meskipun pahanya dirasakan sedikit nyeri, tetapi bagi Kim Houw tidak berarti apa-apa.
Namun kedua serangan itu sudah membuat Kim Houw, hampir keluar dari lingkaran.
Masih untung dalam keadaan demikian, Kim Houw masih bisa berlaku tenang, ia tekuk
sepasang lututnya dan kembali melesat tinggi setengah tombak, ketika ia melayang turun, ia
masih tetap berada didalam lingkaran.
Hian Bun Cu tetap berbuat seperti tadi tidak menantikan sampai Kim Houw menginjak tanah,
kembali kedua tangannya datang menerjang, bahkan kali ini lebih hebat lagi dan sasaran yang
diarah juga bagian perut yang lebih berbahaya.

Tetapi, diukur dari kekuatan yang barusan digunakan untuk menyerang pahanya Kim Houw
yakin, bahwa serangan itu meskipun mengenai sasarannya juga tidak akan dapat melukakan
dirinya.
"Beleduk", perut Kim Houw benar-benar harus menyambuti serangan si imam, betul saja ia
hanya merasakan sedikit sakit, tetapi tidak ada tanda apa-apa.
Apa mau, kemudian disusul oleh suara keras, badan Kim Houw jumpalitan sampai tiga kali dan
jatuh sejauh setombak lebih, matanya berkunang-kunang, perutnya dirasakan mulas.
Bukan main kagetnya Kim Houw, ia tahu bahwa isi perutnya sudah terluka, tanpa ayal lagi,
dengan cepat ia mengambil buli-bulinya dan minum airnya yang mujijat. Ia lantas menyedot napas
dalam-dalam, ia merasa bahwa di dalamnya benar-benar sudah tidak ada halangan apa-apa. Ia
baru membuka matanya dan merayap bangun dengan perlahan-lahan.
Ini benar-benar satu kealpaan yang hampir saja mengantarkan jiwanya, hal ini sungguh diluar
dugaannya.
Setelah berdiri tegak, Kim Houw lalu melihat ke dalam kalangan, ternyata Hian Bu Cu masih
berdiri didalam lingkaran, tetapi wajahnya menunjukkan perasaan terheran-heran.
Ketika ia melirik kepada para imam yang duduk berbaris, mereka juga pada menunjukkan
perasaan heran, barangkali mereka pada tidak habis mengerti, bagaimana Kim Houw yang
terkena serangan yang begitu hebat, dapat sembuh dalam waktu sekejap mata saja.
Kim Houw ketawa, dalam hati kecilnya berkata; Aku Kim Houw tidak bisa mati, kalian tidak
usah kuatir!
Ketika ia melihat Hian Bu Cu yang masih berdiri di dalam lingkaran, matanya lantas beringas.
Katanya kepada diri sendiri: Aku dengan kau tidak mempunyai ganjalan dan permusuhan,
mengapa kau turunkan tangan begitu keji, hendak mengambil jiwaku? Orang yang begitu kejam
seperti kau, apa artinya menjadi imam?
Tidak nyana, wajah Hian Bu Cu yang semula kelihatan terheran-heran, begitu berhadapan
muka dengan Kim Houw lantas ketawa menyengir.
"Sekarang adalah giliranmu." katanya menantang.
Kim Kauw balas dengan ketawa dingin dan dengan tindakan perlahan ia melangkah masuk ke
dalam lingkaran.
Hian Bu Cu mengerti, bahwa serangannya tadi tidak jujur. Bahkan ia sudah berpikir akan
menggunakan seluruh kekuatannya untuk membinasakan lawannya. Meskipun ilmu pedang dan
kekuatan tenaga dalamnya masih kalah dengan lain-lain suhengnya, tetapi kekuatannya yang
sudah mempunyai latihan beberapa puluh tahun dan digunakan dengan sepenuh tenaga, juga
tidak boleh dianggap ringan.
Ketika melihat serangannya mengenai telak sasarannya, hingga dalam keadaan mengenaskan
Kim Houw jatuh bergulingan, bukan main hatinya kegirangan. Kalau ia berhasil membikin Kim
Houw terluka parah, memang ada merupakan suatu hal yang aneh dimata para suhengnya.

Tidak nyana, sebentar saja Kim Houw ternyata sudah bisa bangun berdiri lagi, tetapi ia masih
mengira bahwa itu adalah perbuatan Kim Houw yang hendak menjaga mukanya, maka barusan ia
berani keluarkan ucapan yang bersifat menantang.
Siapa kira Kim Houw dengan setindak demi setindak memasuki lingkaran, sedikitpun tidak
menunjukkan bekas-bekas terluka, ini membikin Hian Bu Cu terkejut dan hatinya mulai tidak
tentram.
Tetapi ia masih berlagak jumawa, ketawa bergelak-gelak dan berkata:
"Siaohiap sungguh hebat, sekarang adalah giliranmu, silahkan!"
Ia lantas pasang kuda-kuda, sengaja ia membuka bagian yang berbahaya di depan dada dan
perutnya. seolah-olah tidak memandang mata kepada Kim Houw.
Kim Houw muak melihat laganya Hian Bu Cu, pikirnya: "Kau si imam licik ini berani bertingkah
di depanku, jangan kata aku mempunyai Han-bun-coa-khie, hanya dengan kekuatan satu
tanganku saja rasanya sudah cukup bikin kau mampus!"
Kim Houw lantas melakukan apa yang dipikir, dengan tidak bicara apa-apa ia lantas
mengerahkan tenaganya dan dengan kekuatan kira-kira delapan puluh persen ia turun tangan.
Meskipun Kim Houw sangat membenci imam yang kejam itu, tetapi ia adalah seorang yang
berhati welas asih maka serangan yang dilancarkan itu ditujukan pada tempat yang berisi.
Dengan kekuatan tenaga dalam yang dipunyai oleh Kim Houw, serangannya itu bagi orang
yang mengerti, siapa juga tahu itu bukan main hebatnya, tetapi Hian Bu Cu sebaliknya kelihatan
tidak takut, ia masih berdiri tegak, sedikitpun tidak bergerak.
Ketika serangan Kim Houw meluncur dan melihat lawannya masih berdiri dengan sikap acuh
tak acuh, semula ia masih menganggap bahwa musuhnya itu tidak memandang dirinya. Dalam
gusarnya kekuatannya ditambah lagi beberapa bagian.
Jika serangannya itu mengenakan sasarannya dan sang lawan itu tidak menangkis atau
menyingkir, maka jiwanya pasti melayang.
Ketika tangannya sudah hampir mengenakan dada lawannya, suatu pikiran sehat mendadak
terlintas dalam otak Kim Houw, ia ingat kedatangannya ini hanya bermaksud untuk menemui
bapaknya, meskipun lawannya itu sangat kejam, tetapi ia sendiripun tidak terluka.
Lagi pula ketika tangannya sudah hanya mengenakan dadanya, Hian Bun Cu tinggal tenangtenang
saja. tidak berusaha untuk menyingkirkan, maka diam-diam Kim Houw juga mengagumi
ketabahan imam tua itu.
Dengan demikian, tanpa dirasa kekuatan ditangan Kim Houw telah hilang dengan sendirinya
kira-kira separuh lebih.
Siapa nyana telapak tangan Kim Houw baru saja menyentuh dada lawannya, tiba-tiba
merasakan sakit sampai menusuk ke hulu hatinya.
Kim Houw terkejut! Dengan tidak memperdulikan lagi apa akibatnya, tangan kirinya ayun
melancarkan serangan Han-bun-cao-kienya. Kekuatan serangan itu baru saja sampai tengah
jalan, cukup membuat Hian Bu Cu terpental sejauh tiga tombak lebib dan jatuh di tanah dalam
keadaan pingsan.

Tetapi tangan kanan Kim Houw dirasakan amat sakit, terluka dan darah mengalir bercucuran.
Kiranya Ceng-shia-pay ada mempunyai baju rompi besi yang berduri yang merupakan pusaka
turun-temurun dari golongan Ceng-shia pay, duri rompi itu tajamnya bukan main.
Ketika suhu Hian Bu Cu hendak menutup mata, karena ia kasihan kepada Hian Bu Cu, belum
lama ia masuk perguruan dan ilmu silatnya masih cetek, maka ia telah menghadiahkan baju
wasiatnya kepada murid bontot itu.
Hian Bu Cu orangnya sangat licik dan banyak akalnya. Setelah mendapat hadiah warisan itu,
ia tidak memberitahukannya kepada siapapun juga, kecuali Toa-suhengnya yang merangkap
menjadi ketua Ceng-shia-pay, yang lainnya jadi tidak ada yang mengetahui hal ini.
Soal ini terjadi pada kira-kira dua puluh tahun berselang, siapapun tidak mengingat lagi adanya
rompi besi yang dapat melindungi badan itu, apalagi orang-orang yang datang belakangan ke
gunung, seperti Bwee-hoa Kiesu dan lain-lain, sudah tentu tidak mengetahui adanya baju rompi
itu.
Siapa nyana baju rompi itu, hari ini telah membuat Kim Houw mengalami tidak sedikit kerugian,
rasa sakit di telapak tangannya benar-benar hampir membuatnya tidak tahan.
Apalagi setelah ia merubuhkan Hian Bu Cu yang masih belum diketahui nasibnya, segera
sudah ada dua imam tinggi kurus, yang telah mengurung dirinya dengan pedang terhunus. Terang
mereka bermaksud membunuh Kim Houw, untuk menuntut balas Hian Bu cu.
Pada saat itu, Kim Houw yang berulang-ulang sudah mengalami hinaan, terutama oleh akal
kejinya Hian Bu Cu, sehingga tangannya menderita kesakitan yang sangat hebat, maka hawa
amarahnya lantas meluap! Ia tidak memperdulikan apa akibatnya lagi, lalu mengulur tangan kirinya
laksana kilat, sebentar saja dua bilah pedang kedua imam tua tadi, telah dapat dirampasnya
secara mudah.
Kim Houw yang sudah kalap, tidak ingat lagi pesan Bwee-hoa Kiesu dan tidak perduli lagi apa
yang dinamakan pantangan, pedang panjang itu kemudian di patah-patahkan menjadi beberapa
potong, kemudian dilemparkan berantakan di tanah.
Justru dengan demikian, benar-benar telah melanggar pantangan besar bagi partai Ceng-shiapay
yang telah menjadi terkenal di rimba persilatan terutama karena ilmu pedangnya, maka setiap
anak murid dari Ceng-shia pay, tidak perduli imam atau orang bisa hampir semuanya membawabawa
pedang di badannya.
Sejak Ceng-shia-pay jika belum lulus dari perguruannya, tidak boleh membawa pedang. Bagi
yang sudah lulus dari pelajarannya, baik murid itu merantau dikalangan Kang-ouw atau yang
menjadi imam di gereja, pedang itu sudah merupakan jiwa bagi mereka, Jika mereka pedang
masih ada, orangnya juga tentu ada, tetapi jika pedangnya musnah, orangnya juga harus binasa,
kecuali jika pedang itu dibikin rusak oleh lawannya, tidak perduli dengan cara bagaimana, sang
murid itu harus berhasil membinasakan lawannya, baru jiwanya terhindar dari kematian.
Oleh karena adanya peraturan itu, maka semua anak murid dari golongan Ceng-shia-pay,
hampir setiap saat tidak boleh berpisah dengan pedangnya, yang dipandang sebagai jiwanya
sendiri. Dan kini, dalam waktu sekejap saja pedang dua imam itu sudah dirusak oleh Kim Kouw,
bagaimana itu tidak membangkitkan kegusaran semua anak murid Cheng-shia-Pay?

Maka sebentar kemudian, Kim Houw sudah dikurung oleh anak murid Ceng shia-pay, tujuh
atau delapan bilah pedang sudah menyambar ke arah dirinya. Serangan itu kelihatannya sangat
ganas, sebab kesemuanya ditujukan kebagian-bagian yang sangat penting dari anggota badan.
Kim Houw berkelit kesana dan kemari, mula-mula ia masih dapat melayani serangan-serangan
itu dengan leluasa, tetapi selewatnya sepuluh jurus, karena darah di telapak tangannya mengalir
terus-menerus dan rasa sakit terus mengganggu, maka perlahan-lahan ia sudah mulai kewalahan.
Apalagi sedikitpun ia tidak mendapat kesempatan untuk beristirahat, sebab ujung-ujung
pedang yang datang mendatangi itu setiap saat dapat membinasakannya.
Ia tidak diberi kesempatan mencabut senjata Bak-tha Liong-kinnya, yang selalu ditaruh di
sebelah kanan. Karena tangan kanannya terluka, tangan kirinya tidak leluasa digunakan untuk
mengambilnya.
Iman-imam yang mengerubutinya agaknya juga jeri terhadap senjata Kim Houw yang hebat itu.
Apa mau Han-bun-cao-kie Kim Houw juga rupanya tidak dapat digunakan secara leluasa, karena
satu tangannya terganggu oleh rasa sakitnya.
Disamping itu, imam-imam itu juga mengetahui kelihaian ilmu Han-bun-cao-kie Kim Houw,
maka setiap kali mereka melihat Kim Houw hendak mengeluarkan serangannya, segera
dilawannya dengan kekuatan tiga atau empat orang dengan berbareng. Maka meskipun Han-buncao-
kie itu lihai, juga tidak dapat dengan mudah menembusi kekuatan tenaga gabungan yang
terdiri dari kekuatan tiga atau empat orang.
Lewat lagi sepuluh jurus, kelihatannya Kim Houw sudah mulai tidak tahan, keadaannya
sungguh sangat berbahaya.
Kim Houw merasa sedih hatinya, ia sesalkan dirinya sendiri, karena kelalaiannya ia telah
tertipu oleh akal muslihat musuh yang licik.
Dalam keadaan yang sangat berbahaya itu sebilah pedang meluncur hendak menikam
dadanya, Kim Houw melengakkan badannya ke belakang menghindari serangan.
Bersambung ke jilid 27
Siapa sangka serangan itu agaknya dilakukan dengan sangat bernapsu, sehingga dalam
keadaan demikian tidak keburu ditarik kembali, ini merupakan suatu kesempatan yang paling baik
bagi Kim Houw.
Meskipun dilain pihak, satu pedang lagi sudah mengancam lengan kanannya, tapi Kim Houw
agaknya tidak mau ambil pusing dengan serangan itu, sebab lengan kanannya pada saat itu tidak
dapat digunakan, sekalipun ditambah lagi dengan beberapa luka atau dibikin kutung, baginya juga
tidak jadi masalah.
Tangan kirinya yang mendapat kesempatan, lantas digunakan untuk menjepit pedang
lawannya. Setelah terdengar suara jeritan, ia telah berhasil merebut sebilah pedang dari lawannya,
tetapi ia dikejutkan oleh suara jeritan tadi. Ketika ia menoleh, pedang itu ternyata pedangnya Bwee
Hoa Kiesu. Kim Houw mengetahui bahwa itu adalah perbuatan Bwee Hoa Kiesu yang dengan
sengaja hendak menolong dirinya, maka dalam hati ia merasa sangat bersukur.
Untuk mengelabui mata orang banyak, begitu pedang sudah berada di tangannya, Kim Houw
lantas pura-pura menyerang Bwee Hoa Kiesu. Bwee Hoa Kiesu juga berlagak gugup dan
membiarkan lengan kanannya tergores ujung pedang Kim Houw dan ia lalu mundur teratur.

Kim Houw tahu benar akan kemampuan Bwee Hoa Kiesu. Ia tahu juga bahwa goresan pedang
itu tidak berarti apa-apa baginya, tapi siapa sangka, serangan itu tidak ringan, kelihatannya Bwee
Hoa Kiesu terluka benar-benar, sehingga diam-diam ia merasa berduka.
Kim Houw mendadak merasakan sakit pada telapak tangannya. Dalam keadaan gusar,
dengan cepat ia memutar tubuhnya, sebentar saja pedangnya sudah bersarang pada dada imam
yang menikamnya tadi.
Setelah ada pedang ditangan, Kim Houw lalu mengeluarkan pekikan nyaring! Seolah-olah
banteng terluka, ia memutar pedangnya seperti kitiran, meskipun ada tujuh atau delapan bilah
pedang yang mengurung dirinya, tetapi dengan sekejap saja semua pedang-pedang itu dapat
didesak mundur, sehingga tekanannya semakin lama semakin berkurang.
Tepat pada saat itu mendadak terdengar suara bentakan keras.
"Semua mundur!"
Suara itu demikian nyaring, meskipun dalam kalangan pertempuran saat itu ramai dengan
suara beradunya senjata, tetapi suara bentakan itu dapat menembusi telinga setiap orang. Segera
semua imam-imam itu mundur secara teratur.
Ketika melihat semua orang mundur, Kim Houw tidak mau menyia-nyiakan kesempatan itu.
Segera ia melempar pedangnya untuk mengambil buli-bulinya dan air mujizat dari dalam buli-buli
itu lantas dituang ke tangannya yang terluka.
Betapa air itu sangat mukjizat, begitu dituang darah lantas berhenti mengalir dan lukanyapun
sembuh seperti keadaan semula, sisa air yang masih ada ditenggaknya semua sehingga rasa
sakit dan letih lenyap semuanya. Tetapi berbareng dengan itu ia merasa ada angin kuat yang
menindih kepalanya, Kim Houw segera mengelak dan lompat melesat satu tombak lebih. Ketika ia
sudah berdiri lagi dengan cepat ia mencabut senjata Bak Tha Liong Kin nya.
Ia celingukan mencari orang yang menyerangnya, dan ternyata orang itu adalah Giok Yang
Cin Jin sendiri.
Dengan Bak Tha Liong Kin ditangan kiri, Kim Houw tertawa tergelak-gelak. Sehabis tertawa, ia
lalu menyodorkan tangan kanannya dan berkata dengan suara gemas :
"Nama Ceng Shia Pay didalam rimba persilatan sangat terkenal, tidak disangka beraninya
hanya menggunakan akal busuk dan keji untuk menghadapi seorang dari tingkatan muda. Ha, ha,
ha. Urusan kini menjadi hutang darah, maka aku hendak menagih dengan darah pula!"
Perkataan Kim Houw yang diucapkan dalam keadaan gusar nyaring sekali.
Mendadak tampak berkelebat sinar perak yang menyambar kearah mukanya. Tanpa banyak
pikir, Kim Houw mengayunkan senjatanya, hingga senjata rahasia yang menyambar tadi lantas
tersampok di udara.
Tetapi Kim Houw tiba-tiba merasakan serangan senjata rahasia itu berat sekali, sehingga ia
melirik ke arah dari mana datangnya senjata rahasia tadi, dan kembali ia menjadi terkejut.
Kiranya imam yang melepaskan senjata rahasia itu adalah Bwee Hoa Kiesu sendiri. Karena
Kim Houw mengetahui bahwa setiap gerakan Bwee Hoa Kiesu sudah tentu ada maksudnya, maka
ia buru-buru merubah sikapnya yang jumawa tadi, matanya menyapu keadaan sekitarnya.

Di bawah sinar matahari pagi, Kim Houw melihat bahwa disekitar tanah lapang itu telah
berbaris ratusan imam, setiap orang membawa pedang terhunus, sehingga sinarnya berkilauan.
Barisan imam itu kelihatannya sangat rapi dan teratur. Dengan dipimpin oleh beberapa puluh
imam tua, setindak demi setindak mereka maju ke dalam kalangan.
Melihat keadaan demikian, diam-diam Kim Houw terkejut. Barisan Kian Pek Bie Hun Tin dari
Ceng Shia Pay telah menjagoi dunia kangouw, hampir setiap orang dalam dunia kangouw
mengetahui tentang itu dan pada umumnya dianggap sangat menakutkan.
Di dalam buku pelajaran ilmu silat Kauw jin Kiesu juga ada dimuat dengan jelas tentang
barisan "Kian-pek Bue-hun tin" itu terbagi dalam sembilan rombongan, tiga rombongan merupakan
satu kelompok tiga kelompok merupakan satu barisan, jumlah orangnya tidak terbatas. Satu
rombongan boleh terdiri dari dua orang, tetapi juga boleh dua puluh orang, orangnya lebih banyak,
kekuatannya juga besar.
Orang yang diserang, tidak perduli berapa saja jumlahnya, begitu terkurung dalam barisan asal
barisan tersebut dan berputar sampai sembilan kali, tentu sang lawan dibikin bingung dan tidak
dapat mengenal arah lagi. Betapapun juga tinggi kekuatan sang lawan, sukar sekali untuk
meloloskan diri dari barisan itu.
Dari Kitab Kauw-jin Keisu itu Kim Houw mengenal baik tentang barisan tersebut, kini ia
menyaksikan sendiri kenyataannya bagaimana lihay barisan itu, diam-diam ia mengeluh melihat
barisan imam itu mulai bergerak maju.
Sesaat itu Kim houw melihat Giok Yang Cinjin yang berdiri tidak jauh di depannya ternyata
sudah menghunus pedangnya, sedang digoyang-goyangkan yang makin lama makin cepat
agaknya ia memberi komando supaya barisannya itu lekas bergerak.
Kim Houw yang melihat keadaan demikian suatu pikiran mendadak berkelebat dalam otaknya.
Melihat sikap Giok Yang Cin-jin yang begitu cemas, rupanya tentu ada apa-apa yang kurang
sempurna.
Segera Kim Houw memutar tubuhnya, ia menyapu sejenak keadaan di seputarnya, tetapi
ternyata ia tidak mendapatkan tanda apa-apa.
Ketika untuk kedua kalinya ia menghadapi Giok Yang Cin-jin ,ia mendapat kenyataan bahwa
pedang imam tua itu sedang digoyangkan semakin gencar, Kim Houw lalu berpikir. Kau cemas?
Baiklah, aku bergerak dulu aku ingin mengetahui apa yang dapat kau perbuat dengan "Kian-pek
Bei-hun-tin-mu" ini terhadap diriku.
Begitu mengambil keputusan, Kim Houw segera lompat melesat untuk menyerang lawannya.
Saat itu tangan kanannya sudah sembuh dan dapat digunakan seperti sediakala, maka senjatanya
lantas dipindahkan ke tangan kanannya dan berkata dengan suara nyaring.
"Bagus! Kau hendak menggunakan barisan Bei-hun-tin untuk mengeurung kau, sekarang aku
akan membunuh kau lebih dulu!"
Giok Yang Cin-jin ketawa dingin, kemudian kelihatan pundaknya bergerak, seolah-olah anak
panah yang melesat dari busurnya ia meluncur ke samping satu tombak lebih jauhnya, tetapi
pedang panjang di tangannya masih tetap bergoyang-goyang tidak berhenti-henti.
Kim houw yang menyaksikan lawannya dan tidak maju menyambuti, sebaliknya malah
mundur, dan menyaksikan pula kepandaian mengentengi tubuhnya yang tidak berada di bawah
kepandaiannya sendiri, diam-diam hatinya mengeluh. Tetapi oleh karena terdesak oleh keadaan,
terpaksa ia harus bertempur secara mati-matian.

Maka dengan tidak banyak bicara lagi, ia lantas memutar senjatanya, lagi sekali ia menerjang
musuhnya.
Giok Yang Cin-jin, ketika melihat dirinya dikejar lawan, hanya ganda dengan terus ketawa dan
kemudian lompat lagi setombak lebih jauhnya.
Berulang-ulang Kim Houw menerjang, tetapi selalu ia tidak berhasil mendekati dirinya Giok
Yang Cin-jin.
Hanya dengan perbuatan itu Kim Houw segera mengerti kalau Giok Yang Cin-jin selalu tidak
meninggalkan tempat ditengah tengah yang hanya dua tombak persegi lebarnya.
Sampai di sini Kim Houw agaknya melihat sedikit titik terang. ia segera meninggalkan Giok
Yang Cin-jin, sebaliknya menerjang dengan cepat ke arah rombongan barisan imam.
Tetapi baru saja Kim Houw melesat, di belakangnya segera terdengar suara bentakan Giok
Yang Cin-jin, dan pedangnya menunjuk ke arah gerak larinya Kim Houw dan kemudian disusul
dengan suara gemuruh yang lama menggema di gunung yang sunyi itu.
Kim Houw menoleh, tetapi kecuali suara gemuruh itu, ia tidak dapat melihat apa-apa lagi yang
agak aneh, tetapi ia tidak mengetahui bahwa ini adalah siasatnya barisan Kiam-pek Bie-hun tin
untuk membikin kabur semangat lawannya.
Oleh karena tidak melihat apa-apa yang mengherankan, Kim houw tidak mau mengambil
pusing lagi, dengan beruntun dua kali lompatan ia sudah berada di depan barisan imam, sampai di
sini ia baru dapat melihat dengan tegas bahwa barisan imam itu, kalau tadi dapat bergerak maju
dan mundur secara teratur, bukan saja karena sudah terlatih baik, bahkan di setiap pinggang
imam-imam itu ada terikat satu dengan lainnya, sehingga tidak dapat terpisah dengan mudah.
Selain dari pada itu, tangan kiri mereka kecuali memegang pedang menghadap ke depan
tangan kanan tiap orang diletakkan di atas pundak kanan imam yang berada di depannya,
sehingga barisan itu kelihatannya bukan saja rapih, tetapi juga menarik.
Ketika Kim Houw menegasi lagi sekali di depannya terdapat tiga baris rombongan imam,
setiap barisnya hanya terdiri lima belas orang, masing-masing terpisah kira-kira tujuh atau delapan
kaki lebarnya. Ketika menyaksikan barisan yang terdiri dari empat puluh lima orang itu hati Kim
Houw mulai agak lega, pikirnya "barisan yang hanya terdiri dari empat puluh lima orang ini,
masakan tidak mampu aku memecahkannya?"
Berpikir sampai di situ, barisan imam dibagian depan, setindak demi setindak maju mendekati,
setindak lagi pedang panjang sudah mencapai di depan dada Kim Houw.
Kim Houw, karena hatinya mulai merasa lega, kembali timbul pikirannya hendak
mempermainkan imam itu. Ia melihat dirinya sendiri berdiri ditengah-tengah barisan itu, segera ia
perdengarkan suara ketawanya, senjatanya diangkat dengan perlahan untuk menotok dada salah
seorang imam.
Tetapi baru saja senjata Kim Houw meluncur keluar, segera disambut oleh tiga bilah pedang
lawannya, dengan cepat sudah melihat senjata Liong-kinnya Kim Houw. Kalau senjata Kim Houw
bukan senjata pusaka yang tidak takuti segala benda tajam, libatan tiga pedang libatan tiga
pedang itu, niscaya siang-siang sudah membikin putus senjata Kim Houw!
Gerakkan para imam itu bukan saja sederhana, tetapi juga tepat. Kim Houw yang menyaksikan
itu diam-diam juga merasa terkejut, maka dengan cepat ia segera menarik kembali serangannya.

Tetapi Bak Tha Liong Kin-nya baru saja ditarik kembali, di belakangnya tiba-tiba dirasakan ada
hawa dingin seperti menempel di badannya.
Kim Houw terperanjat, ia tidak keburu memutar tubuhnya maka ia lantas berjungkir balik
ditengah udara dan turun mundur ke belakang. Ketika ia berjungkir balik tadi, ia melihat bahwa
hawa dingin tadi adalah hawanya enam bilah pedang yang dilancarkan dari kanan dan kiri,
masing-masing tiga bilah dan yang melancarkan ke enam bilah pedang itu ialah enam orang imam
dari barisan tadi, tiga orang dari bagian kepala dan tiga orang dari bagian ekor.
Dengan demikian, maka kini Kim Houw sudah mengerti bahwa barisan yang terdiri dari lima
belas orang tadi, kalau diserang bagian kepalanya, bagian ekornya lantas bergerak untuk
membalas menyerang, sebaliknya kalau diserang bagian ekornya, bagian kepala turut membantu
membalas menyerang dan kalau diserang bagian tengah, bagian kepala dan bagian ekor lantas
maju menyerang berbarengan.
Setelah Kim Houw turun ke tanah, ia mendapatkan kenyataan bahwa mereka juga berdiri
ditempat semula, tidak mengejar menyerang.
Ketika ia berpaling, ternyata Giok Yang Cin Jin yang tadi berdiri ditengah-tengah kalangan,
entah sejak kapan sudah keluar dari dalam barisan, sedangkan rombongan lain dari kedua pihak
juga sudah mendesak semakin dekat.
Kim Houw terkejut, dalam hatinya segera berpikir : Hari ini kalau tidak melakukan pembunuhan
besar-besaran, rasanya sukar keluar dari dalam barisan ini........
Tepi belum habis ia berpikir itu, mendadak terdengar suara mengaung kembali, disusul oleh
suara yang bergemuruh, yang memekakkan telinga.
Selagi Kim Houw hendak menerjang barisan dengan senjatanya, mendadak dilihatnya barisan
telah bergerak lagi, rombongan imam itu mulai mengepungnya sambil bergerak memutar, ada
yang ke kiri, ada juga yang ke kanan, nampaknya sangat kalut, tetapi sebenarnya tidak demikian.
Sebentar saja, mata Kim Houw sudah dirasakan kabur, hatinya mulai merasa tidak tenang.
Musuh masih belum mulai menyerang, tetapi ia kelihatannya sudah dibikin goyah pikirannya,
bagaimana nanti seandainya barisan itu sudah bergerak?
Kim Houw lalu mengambil keputusan, ia hendak melawannya dengan kekerasan lebih dulu.
Tetapi masih baik kalau Kim Houw tidak bergerak, sebab baru saja ia sedikit bergerak, di
depan dan di belakang dirinya segera kelihatan bayangan orang, begitulah, seandainya ia turun
tangan, segera ada sembilan bilah pedang yang menyerang berbareng dari tiga jurusan.
Dengan beruntun Kim Houw maju menerjang sampai tiga kali, selalu tidak berhasil menerjang
keluar sampai lima tindak, sebaliknya malah ia sendiri yang terdesak mundur ke tengah-tengah
kalangan.
Tepat pada saat itu, suara mengaung terdengar pula dan gerak lari para imam didalam
kalangan, kelihatannya semakin pesat. Bahkan di sekitarnya perlahan-lahan mulai mengepulkan
asap.
Ketika asap itu mulai mengepul, bayangan orang itu sebentar kelihatan dan sebentar
kemudian menghilang ke dalam gumpalan asap, tampaknya sangat menyeramkan. Sampai di sini
Kim Houw baru mengetahui lihainya barisan Kian Pek Bie Hun Tin yang sangat kesohor itu.

Luas tengah kalangan itu sebenarnya ada kira-kira tiga tombak lebih, meskipun asap
mengepul dan memutari dirinya, biar bagaimana masih bisa kelihatan, maka Kim Houw lalu
berpikir : Kalau kalian tidak turun tangan, kalian dapat berlarian sampai berapa lama?
Siapa kira pikiran itu baru saja timbul dalam otaknya, suara mengaung timbul pula untuk ketiga
kalinya, kali ini rada pendek, tetapi gencar serta mengaung tidak tidak henti-hentinya, sehingga
perasaan Kim Houw mulai tidak enak.
Tiba-tiba terdengar suara bentakan keras, dari gumpalan asap lalu muncul sebaris imamimam,
dengan setiap orang membawa sebilah pedang, menerjang tepat ke arah dada Kim Houw.
Kalau mau dikata, Kim Houw di tangannya ada senjata, mustahil ia menakuti barisan yang
terdiri dari lima belas orang itu, asal ia mengerahkan ilmu Han Bun Cao Khie dan menggerakkan
senjatanya, sudah cukup untuk membuat kutung lima bilah pedang lawan tersebut.
Tetapi, imam-imam mengapit kanan dan kirinya, sudah tentu Kim Houw tidak bisa menghadapi
dengan berbarengan. Dalam keadaan demikian, Kim Houw lalu mengambil keputusan, menyingkir
lebih dulu untuk melihat perkembangan lebih lanjut, maka ia berkelit memutar ke kiri.
Dengan tiba-tiba saja, dari sebelah timur dan barat, kembali ada sebarisan imam yang datang
menerjang.
Kim Houw yang menyaksikan bahwa gerakan dua rombongan imam itu sangat cepat bahkan
bersifat mengurung dan Kim Houw menantikan sampai kedua rombongan imam datang lebih
dekat, baru lompat tinggi ke atas dan melesat melewati kepala imam-imam itu.
Menurut perhitungan, dua rombongan orang yang datang dari arah yang berlawanan itu, jika
menubruk tempat kosong, tentunya akan berbenturan sendiri. Tidak nyana, setelah ia berada di
atas, tidak terdengar suara pedang beradu.
Sebaliknya ia sendiri masih belum turun ke tanah, ketika menyaksikan keadaan di bawahnya,
diam-diam lantas mengeluh.
Ternyata dari bagian depan juga datang menerjang serombongan imam-imam lagi, ia kembali
mengerahkan kekuatannya, melesat lagi melewati atas kepala barisan barusan. Namun tidak
disangka, ternyata barisan imam itu, sekelompok demi sekelompok maju menyerang dengan tidak
putus-putusnya. Dalam gumpalan asap yang tidak dapat melihat jauh itu, ia tidak dapat
mengetahui barisan imam itu hanya terdiri dan sembilan rombongan, atau datang lagi bala
bantuan.
Hanya sekelompok-sekelompok imam yang menyerang itu terus maju mendesak seperti
berputarnya roda besar yang tidak berhenti-henti. Betapapun tingginya kepandaian Kim How saat
itupun ia tidak berdaya.
Keadaan demikian berlangsung terus. Rombongan imam yang bergerak itu, agaknya makin
lama makin banyak. Kim How yang harus lompat-lompatan untuk menyingkir dari serangan
mereka, perlahan-lahan napasnya mulai memburu.
Pada saat itu, telinganya tiba-tiba dapat menangkap suara seorang yang bicara sambil ketawa
dingin:
"Orang she Kim, lepaskan senjatamu dan menyerah! Mungkin kita masih dapat mengampuni
jiwamu."

Perkataan mengampuni jiwamu itu berarti bahwa meskipun terhindar dari hukuman mati, tetapi
tidak dapat terhindar dari hukuman hidup.
Satu laki-laki lebih baik binasa daripada terhina. Kim Houw yang bersifat jantan, bagaimana
mau diperhina oleh kawanan imam itu?
Maka setelah berpikir sejenak, Kim Houw lantas menjawab dengan suara keras:
"Ampuni jiwaku? Sungguh enak didengarnya. Kalau kalian tidak mau menghentikan
gerakanmu, jangan sesalkan kalau aku nanti melakukan pembunuhan besar besaran."
Sehabis berkata, Kim Houw tidak mendapatkan jawaban sekian lamanya, sedang barisan
imam itu masih tetap menerjang dengan tidak berhenti-hentinya. Bukan kepalang gusarnya Kim
Houw, sambil memutar senjatanya, ia sekarang tidak menyingkir lagi, tetapi ia juga tidak
mengeluarkan serangan, ia hanya mengharapkan dapat menyelamatkan dirinya sendiri dulu.
Senjata Bak-tha Liong-kin lalu diputar dengan rapat untuk melindungi dirinya, siapa saja yang
berani menerjang dirinya, dalam batas satu tombak saja, meskipun tidak mati orang yang
menerjang itu pasti akan terluka parah. Sukar untuk terhindar dari serangannya.
Sebentar kemudian, lalu terdengar nyaring benturan senjata dari kedua belah pihak kemudian
disusul oleh suara jeritan yang saling berganti, Kim Houw tutup rapat mata dan telinganya,
meskipun boleh dikata tidak lihat dan tidak dengar, tapi dari gerakan tangannya juga dapat ditaksir,
dalam rombongan itu sedikitnya ada tujuh atau delapan imam yang roboh di tangannya.
Selanjutnya kembali terdengar serentetan suara beradunya senjata dan suara jeritan.
Kim Houw dalam hatinya diam-diam merasa pilu, air matanya mengalir keluar. Biar bagaimana
ia bukan orang yang berhati kejam dan ganas.
Sejak ia keluar dari istana Panjang Umur belum pernah ia melakukan pembunuhan terhadap
orang yang tidak berdosa, tapi sekarang, oleh karena hendak menemui ayahnya, terpaksa
melakukan pembunuhan terhadap orang-orangnya party Ceng-shia-pay, hal ini sungguh di luar
dugaan semula.
Setelah dengan beruntun dari empat rombongan barisan imam sudah banyak jatuh korban.
Kim Houw mulai lemas hati dan tangannya, sudah tidak bersemangat lagi! Selagi hendak
berseru untuk menghentikan pertempuran itu mendadak dirasakan suasananya amat sunyi.
Ia mengira fihak lawannya akan mengeluarkan siasatnya yang lebih lihay lagi, maka buru-buru
membuka matanya ternyata barisan imam itu masih tetap ada, begitu pula asap yang mengurung
di sekitarnya masih ada juga, tetap imam-imam itu tidak ada satu juga yang berani maju bergerak
lagi.
Hati Kim Houw agak terhibur, ia lantas dapat bernapas lega. Tapi baru saja ia dapat bernapas
lega, dadanya mendadak dirasakan sesak, kepalanya pusing. Kiranya dalam asap itu ada
racunnya, ia buru-buru masukkan Bak tha ke dalam mulutnya, sebentar saja badannya sudah
mulai segar kembali.
Kim Houw lalu berpikir: Pantas barisan ini kelihatannya hanya seperti dinding asap, tidak ada
tanda-tandanya yang membuat bingung semangatnya, kiranya asap itu ada racunnya, untung
senjataku merupakan senjata pusaka, kalau tidak, niscaya siang-siang aku sudah roboh terkurung
oleh asap ini.

Mendadak ia mendengar suara orang bicara:
"Orang she Kim, sebetulnya apa maksudnya kau menerjang ke gunung Ceng-shia ini?"
"Aku hendak mencari ayahku Pek Leng." jawab Kim HouW.
"Baiklah, ayahmu sekarang sudah di sini. Kau lekas lemparkan senjatamu dan menyerah,
kalau tidak ayahmu akan binasa di bawah golok. Lihatlah supaya kau ditertawakan oleh orangorang
dari dunia persilatan sebagai anak yang tidak berbakti."
Mendengar itu, bukan main kagetnya Kim Houw. Sekarang bagaimana ia harus berbuat?
Jika benar demikian halnya, ia sendiri belum sampai menemukan ayahnya, sang ayah
sebaliknya jadi sudah dicelakai olehnya.
Jika disuruh melemparkan senjatanya untuk menyerah, ia tidak nanti berbuat. Ia rela dirinya
dicincang dari pada terhina.
Selagi merasa serba salah, kembali terdengar suara orang itu pula:
"Lekas jawab! Kalau kau ingin mengundur tempo jangan menyesal belakangan!"
Dengan ini membuat Kim Houw tampak bingung. Akhirnya, Kim Houw menggertak gigi dalam
hati berpikir: "Kejadian sudah menjadi begini rupa, terpaksa aku harus bertindak dengan melihat
gelagat, paling penting aku harus dapat melihat wajah ayahku dulu."
Maka ia lalu menjawab: "Kau mau aku meletakkan senjata boleh saja, tetapi bagaimana aku
tahu, kalau ayahku benar-benar ada ditangan kalian? Boleh jadi kalian akan menggunakan tipu
daya lagi."
"Menurut pikiranmu bagaimana?" tanya suara tadi.
"Menurut aku, kalian antarkan dulu ayahku kemari untuk bertemu dengan aku. Setelah aku
mengenali benar bahwa itu adalah ayahku, aku pasti akan meletakkan senjataku, terserah kalian
akan berbuat apapun terhadap diriku."
Sehabis berkata Kim Houw menantikan dengan tenang.
Tidak lama kemudian, ia mendengar lagi jawaban orang tadi:
"Tetapi kau jangan coba main gila, hendak menolong dia keluar dari sini!"
"Baik, aku turut!" jawab Kim Houw.
Sebentar kemudian, segera terdengar suara menggelindingnya roda. Kim Houw kembali
tercengang, di puncak gunung setinggi ini, dari mana datangnya kereta ? Tidak antara lama, dari
gumpalan asap, muncul sebuah gerobak dorong, di atas kereta ada duduk seorang berpakaian
kelabu yang sudah mesum, orang itu matanya mendelong, mukanya kurus dan rambutnya awutawutan.
Kim Houw yang melihat munculnya orang berpakaian kelabu itu, hanya timbul rasa curiga
apakah orang itu benar ayahnya Pek Leng sendiri atau bukan.

Ketika ia memasang mata untuk melihat orang yang mendorong kereta, ia lihat di belakang
orang yang mendorong kereta itu, masih terdapat seorang lain, dan orang itu adalah Bwee-hoa
Kiesu sendiri. Kim Houw tidak mengerti apa maksud Bwee-hoa Kiesu mengikuti di belakang
gerobak dorong itu.
Tapi orang yang berada di atas gerobak dorong dan Bwee-hoa Kiesu yang mengikuti di
belakangnya, kelihatan matanya mereka agak dipejamkan, seolah-olah tidak melihat dirinya Kim
Houw. Hal ini membuat Kim Houw semakin ragu-ragu.
Akhirnya gerobak dorong itu sampai di depannya Kim Houw dan segera di hentikan.
Kim Houw mengerti bahwa dalam keadaan demikian, tidak enak baginya untuk menanyakan
hal sebenarnya kepada Bwee-hoa Kiesu.
Tetapi dengan tidak adanya Bwee-hoa Kiesu sebagai petunjuk, mana berani ia mengakui
bahwa orang yang berada di atas gerobak itu adalah ayahnya!
Tiba-tiba orang di atas gerobak itu membuka lebar matanya, memancarkan sinarnya yang
tajam. Lama sekali ia mengawasi Kim Houw, kemudian baru berkata dengan suara perlahan-lahan
:
"Apakah kau yang bernama Kim Houw?"
Kim Houw tercengang, ia tidak tahu bagaimana harus menjawab.
Tiba-tiba terdengar suara Bwee-hoa Kiesu berkata:
"Ini adalah ayahmu sendiri, mengapa tidak lekas maju memberi hormat?"
Perkataan Bwee-hoa Kiesu itu seolah-olah geledek menyambar di tengah hari, kepalanya
dirasakan pening, matanya berkunang-kunang dan sepasang kakinya juga mendadak lemas
hingga seketika itu lantas ia berlutut.
Perasaan pedih, duka memenuhi hatinya, air matanya mengalir dengan deras seperti air hujan.
"Ayah, kau... kau ..." hanya itu saja yang mampu diucapkannya dan selanjutnya tidak dapat
berkata apa-apa lagi.
Sungguh tak di nyana bahwa keadaan ayahnya ada begitu rupa, seolah-olah seorang tawanan
yang baru keluar dari kamar tutupannya.
Selama tujuh belas tahun, belum pernah ia mengetahui siapa sebetulnya ayahnya sendiri.
Sudah tentu juga ia tidak mengetahui bagaimana potongan tubuh ayahnya itu? Sejak anak-anak
dalam alam pikirannya hanya menganggap bahwa ayah bundanya sudah lama meninggalkan
dunia.
Siapa kira bahwa ayahnya ternyata sekarang masih hidup, bahkan telah menderita siksaan
yang begitu hebat, sehingga keadaannya sangat menyedihkan. Bagaimana kalau Kim Houw tidak
berduka karenanya ?
Dalam keadaan demikian, di belakang gegernya mendadak dirasakan adanya sambaran
angin. Kim Houw yang baru saja merasakan, sambaran angin itu mendadak berhenti dan
kemudian di susul oleh suara jeritan ngeri.

Kim Houw terkejut! Ketika ia mengangkat kepalanya, sebilah pedang panjang yang sudah
berlumuran darah tampak di depannya di ujungnya darah segar masih kelihatan mengetel-ngetel.
Orang yang menggunakan pedang itu adalah ayahnya sendiri. Disamping gerobak kelihatan
rubuh dua imam yang mendorong gerobak tadi. Tetapi imam-imam itu di tangannya ada membawa
senjatanya, kiranya mereka hendak mencelakakan diri Kim Houw selagi dalam keadaan sedih.
Mereka tidak menduga, bahwa ayahnya Kim Houw, Pek Leng yang duduk di atas gerobak
telah mengulur tangannya, dengan mudah dapat merintangi maksud jahat si imam. Bahkan
berhasil merebut pedangnya yang kemudian digunakan untuk membinasakan mereka. Senjata
makan tuan!
Kim Houw yang menyaksikan keadaan demikian, dalam hati segera percaya bahwa orangnya
sebagai tawanan itu betul-betul adalah ayahnya. Ia buru-buru merangkak maju, tetapi baru saja
berkata : "Ayah ... ."
Mendadak di depannya ada berkelebat warna merah, pedang yang berlumuran darah itu lewat
di depan dadanya.
Kim Houw terperanjat, kemudian terdengar suara ayahnya yang membentak keras :
"Siapa ada ayahmu, siapa ada ayahmu ? Aku tidak mempunyai anak seperti kau ini. Kau juga
tidak mempunyai ayah seperti aku. Lekas enyah dari sini .... lekaslah!"
Selama berbicara itu, pedangnya yang berdarah itu di obat-abitkan, agaknya hendak
mengumbar kegusarannya yang sudah memuncak yang selama itu belum pernah dapat
kesempatan untuk dikeluarkan.
Kim Houw bingung. Tidak tahu apa yang harus diperbuat! Seudah tentu dengan adanya
keterangan dari Bwee-hoa Kiesu tadi, orang ini tentunya Pek Leng, ayahnya sendiri. Sudah tidak
perlu disangsikan lagi, tetapi sekarang orang itu tidak mau mengaku sebagai ayahnya, entah apa
maksudnya ?
Kim Houw menantikan sampai pedang di tangan ayahnya dengan tidak begitu keras
digerakkannya, baru ia berkata :
"Ayah, kau .... kau tenanglah sedikit, sekarang aku hendak melindungi kau turun gunung."
Tetapi orang tua itu lantas perdengarkan suara ketawanya yang aneh, seolah-olah suara
burung kokok beluk di waktu malam, sehingga membuat orang yang mendengarnya pada berdiri
bulu romanya.
Tiba-tiba angin gunung telah meniup menyingkap ujung baju Pek Leng, sehingga kelihatan
kedua mulutnya yang duduk numprah di atas kereta. Kim Houw yang menyaksikan itu dengan
tidak sengaja, bukan main kagetnya, sebab kedua kakinya sehingga lutut sudah tidak ada!
Selanjutnya terdengar suara Pek Leng yang mengandung kegemasan:
"Tahukah kau? Ayahmu Pek Leng, lima belas tahun berselang sudah binasa! Binasa di Ceng
shia-san, di tangannya itu imam-imam kurcaci. Mereka mengatakan bahwa ayahmu adalah
seorang penghianat, padahal ayahmu dengan mereka tidak mempunyai hubungan apa-apa.
Hanya ibumu, Ceng Kim jie..."

Orang tua itu ketika menyebutkan namanya Ceng Kim jie, badannya kelihatan gemetar begitu
jaga suaranya terdengar sangat menyedihkan. Tetapi ia hanya kertak gigi sebentar lantas
melanjutkan berkata:
"Ya Ceng Kim-jie, dengan mereka Ceng-shi-pay entah ada mempunyai hubungan apa, mereka
telah memancing ayahmu naik gunung dan kemudian membikin celaka dirinya dengan akal busuk.
Dengan alasan menghukum ayahmu sebagai penghianat, mereka telah menjebloskan ayahmu ke
dalam kamar tutupan di bawah tanah."
Berbicara sampai di sini, orang itu kembali gemetar badannya, lama sekali baru membentak
dengan tiba-tiba:
"Akhirnya, dia.... .....ayahmu itu telah binasa..........binasa........."
Orang tua itu bicara sampai di sini, agaknya tidak dapat menahan rasa sedih dalam hatinya,
maka ia lantas menangis tersedu-sedu....
Agak lama ia menangis, mendadak ia menghentikan tangisnya dan berkata pula sambil
menuding Kim Houw:
"Kau adalah anaknya Pek Long ....."
Belum sampai Kim Houw menjawab, ia sudah berkata pula:
"Ketika ayahmu hendak meninggal dunia ia pernah meninggalkan pesan padaku, bahwa ia
ada mempunyai satu anak. Di kemudian hari apabila mendapat kesempatan bertemu padanya
suruh dia menuntut balas untuk ayahnya, menuntut balas pada musuh-musuh ayahnya, ialah "Itu
imam-imam .... yang dipanggil Chiang Liong Cu.....Hian Bu Cu....."
Dengan mendadak pedang orang tua itu menuding ke belakang Kim Houw sambil membentak
dengan suara keras:
"Jangan bergerak!"
Kim Houw buru-buru berpaling, tetapi di belakangnya ternyata tidak ada orang, belum sampai
ia mengalihkan pandangannya, terdengar suara tangisan Bwee-hoa Kiesu.
"Adik Leng, adik Leng, mengapa kau berbuat seperti ini.....?"
Kim Houw yang mendengar itu, kontan badannya menggigil! Ketika ia melihat ayahnya, orang
lua itu ternyata sudah rubuh dalam pelukan Bwee hoa Kiesu, pedang panjang yang berlumuran
darah kelihatan sudah menancap di dadanya.
Kim Houw menjerit, lantas roboh pingsan.
Tetapi baru saja badannya roboh. Bwee hoa Kiesu sudah melompat dan menotok di beberapa
bagian jalan darahnya, Kim Houw segera tersadar kembali, lantas terdengar perkataan Bwee-hoa
Kiesu:
"Hiantit! Kau harus tahu ini waktu apa dan ditempat mana? Paling penting kau menjaga dirimu
lebih dulu, apalagi ayahmu sudah mengharapkan supaya kau menuntut balas untuknya!"

Kim Houw lantas menepok kepalanya sendiri, ia lompat bangun, tetapi matanya masih
mengetelkan air mata. Sebentar kemudian terdengar pekikannya yang panjang dan nyaring yang
penuh dengan perasaan gusar dan duka, kemudian terdengar ia berkata:
"Baik! Menuntut balas, menuntut balas. Aku harus menuntut balas....."
Baru Kim Houw bicara sampai di situ, dari dalam gumpalan asap lantas muncul beberapa
puluh orang imam. Kim Houw tidak menantikan mereka itu menerjang, sudah maju menyambut
sambil memutar senjatanya Bak tha Liong-tin, kali ini ia menggunakan tipu serangannya Hiang-mo
sin-pian yang paling ampuh, dengan hebat ia menyerang imam-imam itu.
Diantara suara jeritan yang mengerikan, tujuh atau delapan imam telah rubuh binasa, tapi ia
sendiri juga hampir-hampir terluka bagian pahanya. Dengan cepat ia lompat melesat tinggi ke
atas, balik kembali ke tempatnya.
Hanya dalam waktu sekejapan saja, Bwee hoa Kiesu yang mendorong ayahnya, sudah tidak
kelihatan kemana perginya. Kim Houw merasa cemas, ia lantas memanggil-manggil dengan suara
keras, badannya juga melompat- lompat kesana kemari untuk mencarinya.
Siapa nyana, dengan perbuatannya itu akhirnya ia terlepas dari kurungan asap itu dan berdiri
disamping gunung yang sangat curam, asal ia terpeleset jatuh, sudah pasti tidak dapat hidup lagi.
Tepat pada saat itu, barisan manusia yang merupakan dinding, telah maju mendesak setindak
demi setindak.
Kim Houw yang menyaksikan itu, kagetnya bukan main sebab dinding manusia yang begitu
tebal, rasanya tidak dapat ditembusi atau dilompati dengan mudah. Sekalipun ia menggunakan
ilmunya Han bun- cao-khi barangkali juga masih sukar menerjang keluar. Apalagi kelihatannya,
saat itu, sekalipun bersedia untuk menyerah, mungkin tidak dapat diterima oleh musuhnya, maka
satu-satunya jalan yang masih terbuka baginya, ialah melompat dari atas tebing yang curam itu,
tetapi itu berarti suatu kematian.
Sedangkan dinding manusia itu perlahan-lahan sudah mulai mendesak maju....
Mendadak Kim Houw mendengar suara gerujukan air, ketika ia mengawasi dengan seksama,
ternyata di suatu tempat kira-kira delapan kaki jauhnya ada terdapat air terjun. Begitu ia melihat air
terjun itu, hatinya merasa sangat girang. Ia sengaja mengeluarkan jeritan kaget, lalu pura-pura
terpeleset jatuh dan terjun ke dalam jurang.
Begitu dirinya melayang, lalu ia berjungkir balik dan melesat laksana anak panah ke dalam air
terjun.
Di istana dalam rimba keramat, air terjun demikian yang membuat Kim Houw kehilangan
ingatan. Entah sudah berapa kali Kim Houw lompat ke bawah mengikuti terjunnya air, maka dalam
hal terjun ke dalam air terjun baginya sudah merupakan hal biasa saja. Dan ketika imam-imam itu
melongok dari puncak gunung Kim Houw sudah menghilang ke dalam air terjun.
Bulan sabit di langit nampak muncul pada waktu malam yang gelap, seolah-olah anak perawan
yang malu-malu ketemu tunangan!
Sinar rembulan yang tidak begitu terang sudah memancar ke seluruh jagat. Suasana malam
yang sunyi membuat gunung Ceng-shia-san itu kelihatannya semakin sunyi.
Tetapi di puncaknya gunung Ceng shia san, didalam gereja yang megah, lampu-lampu
memancarkan sinarnya seolah-olah siang hari saja.

Diruangan tengah yang luas, yang merupakan singgasana dalam gereja, di situ ada duduk
ketua Ceng-shia-pay yaitu Giok Yang Cin-jin, dikedua sisinya terdapat imam-imam yang
kesemuanya sudah lanjut usianya, tetapi jumlahnya tidak lebih dari tujuh orang, sedangkan
sebagian besar tempat duduk kelihatan kosong.
Bahkan, di wajah setiap orang itu kelihatannya diliputi oleh suatu perasaan duka. Tiba-tiba
Giok Yang Cin-jin berbicara:
"Hian Bu Sutee, kau kenapa ?... "
Belum habis perkataannya, dari ruangan dalam muncul keluar seorang imam, ia adalah Hian
Bu Cu. Setelah memberi hormat kepada Giok Yang Cin-jin, baru ia menjawab:
"Terimaksih atas perhatian Toa-suheng. Selama istirahat dalam waktu tiga hari itu luka-lukaku
sudah sembuh semua."
Giok Yang Cin-jin tidak menjawab apa-apa dan Hian Bu Cu juga tidak berani membuka suara
lagi, ia memutar tubuhnya duduk ditempat sendiri.
Tepat pada saat itu, dari luar telah masuk empat imam yang masih muda usianya. Mereka itu
begitu tiba didalam ruangan, lantas berlutut satu diantaranya berkata :
"Hunjuk beritahu kepada Sucow, selama tiga hari ini seluruh gunung Ceng-shian-san sudah
dicari semua, bukan saja tidak dapat menemukan dirinya Bwee-hoa Keisu dan Pek Leng, bahkan
bangkai bocah she Kim itu juga tidak dapat ditemukan..."
Giok Yang Cin-jin hanya perdengarkan suara dihidung, kemudian berkata kepada dirinya
sendiri :
"Apa benar dia tidak mati? ini benar-benar sukar untuk membuat orang dapat dipercaya!"
Selagi ia bicara, badannya Giok Yang Cin-jin mendadak melesat tinggi. Terus melayang
menuju ke pintu gereja, satu tangannya mengeluarkan serangan yang ditujukan ke arah pintu.
Kekuatan dari serangan tangannya itu demikian hebatnya sehingga tiang pintu berguncang dan
dinding tembok pada rontok, tetapi ternyata tidak ada apa-apa, hingga Giok Yang Cin-jin berseru
kaget: "Eh!"
Ketika ia menengok ke arah para imam, mereka sedang mengawasi padanya dengan sorot
mata heran.
Giok Yang Cin-jin merasa tidak enak. Terang tadi ia melihat ada berkelebat bayangan orang,
tetapi sekejap saja mengapa lantas tidak kelihatan lagi? Di hadapan para sutenya itu ia merasa
tidak enak sendiri.
Pada saat itu dari luar tiba-tiba terdengar suara orang yang seperti gembreng pecah:
"Bocah, kau sungguh bernyali besar!"
Giok Yang Cin-jin mendengar suara itu wajahnya berubah seketika. ketika ia menengok padri
aneh itu sudah berdiri di depan pintu memberi hormat kepadanya seraya berkata.
"Giok Yang Toheng, harap jangan gusar bocah itu memang sangat nakal, sebentar aku pasti
akan menghukumnya."

Giok Yang Cin-jin sekarang baru mengetahui, bayangan orang tadi kiranya ada si bocah nakal
yang selamanya belum pernah bicara.
Tetapi apa yang membuat ia heran, bocah ini meskipun sangat luar biasa ilmu mengentengi
tubuhnya, tetapi bagaimana ia sanggup menerima serangannya tadi? dan sekarang kemana
larinya ?
Ketika ia mendongak ke atas, di atas penglari ternyata ada terlihat dua kaki anak yang
telanjang, kiranya ia sedang duduk nongkrong di situ.
Kerena memandang persahabatannya dengan padri aneh itu, Giok Yang Cin-jin terpaksa
menahan rasa mendongkolnya, sambil membalas hormat ia menjawab.
"Taysu, silahkan masuk. Tiga hari tidak kelihatan, entah kemana Taysu berjalan-jalan?"
Padri aneh itu ketawa bergelak-gelak, lalu menyahut :
"Aku sipadri edan yang terpaksa menyingkir kemari untuk menyembunyikan diri dari musuh,
kini sudah beberapa tahun lamanya tidak nyana iblis tua itu ternyata sudah mencari sampai di sini.
Sebetulnya aku ingin pergi tanpa pamit, tetapi tidak tega meninggalkan bocah cilik itu, sekarang
aku tidak tahu bagaimana harus bertindak ?"
"Bocah she Kim itu telah didesak sehingga jatuh ke dalam jurang oleh barisan "Kian-pek Bie
Hun-tin" sekarang masih belum diketahui entah dia binasa atau masih hidup. Tetapi walaupun dia
bisa lolos, dalam waktu beberapa bulan mungkin tidak berani datang lagi. Hanya tentang orang
yang kau anggap musuh itu sebetulnya siapa? Sampai seorang yang mempunyai kepandaian
tinggi seperti kau ini juga masih ketakutan setengah mati, sehingga harus lari sembunyi ?"
Si padri aneh tidak menjawab.
"Bukannya kau sengaja hendak omong besar" kata Giok Yang Cin-jin. "Kalau dia masuk dalam
barisan "Kian-pek Bei-hun-tin" pasti suruh dia masuk, tetapi tidak bisa keluar, kau jangan harap dia
bisa turun gunung lagi dalam keadaan hidup."
"Tentang musuhku itu." jawab si padri aneh.
"Tinggi kepandaiannya dan kelihaiannya aku sungguh tidak dapat melukiskan. Tetapi aku tidak
menginginkan dia datang kemari sehingga menimbulkan mala petaka terhadap orang-orang yang
tidak berdosa, dan itu akan membuat tambahnya dosaku saja.
Giok Yang Cin-jin mengetahui, meskipun kepandaian padri aneh itu masih jauh di bawah
dirinya, tapi ia tidak percaya bahwa musuhnya ada begitu lihay, maka ia menganggap bahwa
perkataannya itu sangat di lebih-lebihkan.
Pada saat itu dari bawah puncak gunung ia mendengar suaranya genta yang gencar dan
mengaung tidak berhenti hentinya.
Giok Yang Cinjin mendengar suara gentar itu, mengerti ada tanda bahaya kedatangan
musuhnya padri aneh itu.
Tetapi mendadak dalam ruangan gereja itu terdengar suara riuh, ketika Giok Yang Cinjin
menoleh ternyata di dalam ruangan gereja itu sudah terjadi pertempuran, dimana enam orang
imam sedang mengerubuti seseorang.

Di bawah kepungan para imam itu, Giok Yang Cinjin tidak dapat melihat tegas wajah orang
yang terkurung itu, tetapi diantara berkelebatnya sambaran banyak pedang, terlihat olehnya ada
senjata Bak-tha Liong-kin-nya Kim Houw.
Dengan terlihatnya senjata itu, terang orang yang sedang dikepung itu tentu Kim Houw
adanya. Dengan cara bagaimana Kim Houw datang sekonyong-konyong, sehingga tidak
seorangpun yang mengetahuinya, benar-benar merupakan suatu kejadian yang langka. Benarkah
jurang yang curam itu tidak dapat membinasakan padanya ? ...
Sementara itu, suara genta di bawah gunung terdengar semakin gencar. Giok Yang Cinjin
wajahnya berubah seketika, sebab suara genta yang begitu gencar ada merupakan suatu tanda
bahwa musuh yang mendatangi itu bukan hanya tinggi kepandaiannya saja, tetapi juga sangat
ganas dan telengas!
Munculnya Kim Houw saja sudah cukup untuk membikin orang sakit kepala dan sekarang
harus ditambah lagi dengan seorang lihay yang belum diketahui namanya, maka hari ini Cengshia-
pay benar-benar akan mengalami bahaya kebangkrutan.
Mendadak suara jeritan ngeri terdengar nyaring, ketika Giok Yang Cinjin menoleh, sesosok
bayangan orang melesat terbang keluar dari dalam kepungan orang-orangnya dan jatuh terbanting
di tanah.
Dari suara jatuhnya itu sudah dapat diduga bahwa orang itu pasti tidak ada harapan hidup.
Siapa orang apes itu ? Giok Yang Cinjin meneliti orang itu ternyata adalah Chiang Liong Cu yang
diantara imam-imam dalam Ceng-shia-pay mempunyai kepandaian paling tinggi.
Melihat Chiang Liong Cu jatuh dalam keadaan terluka, semangatnya Giok Yang Cinjin terbang
seketika, segera ia melesat dan tiba di dekat Chiang Liong Cu, cepat-cepat ia memasukkan
tangannya ke dalam sakunya untuk mengambil obat.
Tetapi obat belum dikeluarkan, ia melihat sepasang mata Chiang Liong Cu sudah mendelik,
napasnya berhenti, ternyata ia sudah binasa sejak tadi. Melihat sutenya binasa, Giok Yang Cinjin
bukan hanya terkejut saja, tetapi juga lantas murka seketika.
Ia lalu menghunus pedangnya dan mengeluarkan perintah dengan suara sedih:
"Semua maju! Gunakan senjata "Am-ceng-cu" untuk menangkapnya!" sambil berkata, ia
sendiri juga maju menerjang!
Seorang yang mempunyai kedudukan sebagai ketua sampai mengeluarkan perkataan
demikian, dapat diduga sampai dimana cemasnya pikirannya.
Sebetulnya, saat itu Hian Bu Cu sedang berdiri jauh-jauh, ia tidak berani turut ikut menyerang
Kim HOuw, agaknya ia sudah mendapat firasat bahwa Kim HOuw hanya datang untuk mencari
dia.
Dengan adanya perintah Giok Yang Cinjin tadi, Hian Bu Cu mau tidak mau terpaksa harus
turut campur tangan. Ketika mendengar perintah menggunakan "Am-ceng-cu", Hian Bu Cu lalu
mundur lagi, kedua tangannya dimasukan ke dalam saku untuk mengambil senjata rahasianya. Ia
telah menantikan kesempatan yang paling baik, lalu menyerang dengan senjata rahasia yang
sudah digenggamnya. Sebentar saja Kim Houw sudah di kurung rapat dengan senjata rahasia Am
Ceng-cu yang dilancarkan dari berbagai penjuru.
Kalau mau dikata bahwa dengan senjata rahasia dapat mencelakakan diri Kim Houw jangan di
harap. Tetapi Kim Houw sengaja berkelit kesana kemari atau menyampok dengan senjatanya dan
tangannya.

Sebentar kemudian mendadak terdengar suara jeritan ngeri. Ketika orang mencari tahu dari
mana datangnya suara tadi, ternyata suara jeritan itu keluar dari mulutnya Hian Bu Cu.
Keadaannya sangat mengenaskan. Kepalanya sudah di bilang sudah hancur, wajahnya sudah
tidak karuan macam. Apa yang di lihat hanya berbagai macam senjata rahasia yang menancap di
muka dan kepalanya.
Disamping itu kedua telapak tangannya juga dibikin berlubang oleh dua buah paku senjata
rahasia yang di namakan "Pek-how-teng"
Ini benar-benar merupakan suatu kejadian yang sangat ganjil dan sulit dibayangkan karena
Hian Bu Cu berdirinya paling jauh dan tokh masih tidak terlolos dari tangan puteranya Pek Leng.
Bersambung jilid ke : 28
Kim Houw sejak tiga hari berselang terjun mengikuti air terjun, malam itu ia naik lagi ke atas
gunung untuk mencari keterangan. Oleh karena Hian Bu Cu terluka dan Chiang Liong Cu juga
tidak kelihatan, maka ia belum mau turun tangan. Kematian Pek Leng, ayahnya membuat ia
sangat berduka. Jangan kata Pek Leng pernah memesan kepadanya untuk ia menuntut balas,
sekalipun tidak di pesan juga ia akan menuntut balas. Hanya dengan adanya keterangan Pek
Leng, ia baru tahu siapa-siapa musuhnya, sehingga ia tidak ragu-ragu lagi san meminta korban
jiwa orang-orang yang tidak berdosa.
Karena Hian Bu Cu terluka, maka ia mau turun tangan, apalagi perbuatannya itu nanti akan
mengakibatkan terkejutnya orang-orang Ceng-shia-pay. Disamping itu, ia juga harus mencari
Bwee-hoa-Kiesu, entah dimana sekarang orang tua itu berada di mana jenasah ayahnya dikubur?
Malam ini ia mencari ubek-ubekan hampir semalam suntuk masih juga ia tidak menemukan
bayangan Bwee-hoa Kiesu. Akhirnya dari mulutnya para imam baru diketahui bahwa Bwee-hoa
Kiesu juga sudah menghilang.
Maka ia kembali turun gunung untuk pergi mencari. Tiga hari beruntun ia berputar-putar, tetapi
juga tidak berhasil mencari jejak Bwee-hoa Kiesu. Selama tiga hari itu, ia juga berpapasan dengan
beberapa imam yang naik dan turun gunung, tetapi ia dapat menyingkir dengan baik.
Malam itu kembali ia naik ke gunung, sebelum hari gelap ia sudah berhasil bersembunyi dalam
ruangan gereja. Selama mengadakan penyelidikan di Ceng-shia-san Kim Houw sudah mengetahui
bahwa setiap tengah malam dalam gereja itu pasti diadakan pertemuan.
Ketika ia melihat Hian Bu Cu dalam ruangan, tiba-tiba dikejutkan oleh sambaran angin yang
dilancarkan di belakang dirinya. Dalam kagetnya Kim Houw segera mengetahui bahwa serangan
angin tadi adalah dilancarkan oleh bocah cilik yang tidak bisa bicara itu.
Untuk menjaga supaya para imam dalam ruangan itu tidak melihat dirinya, Kim Houw lalu
bertindak cepat. Ia berhasil menangkap dan menotok jalan darah bocah yang nakal itu, sehingga
ia tertidur pulas.
Tapi perbuatannya itu diketahui juga oleh Giok Yang Cin Jin yang telah menampak
berkelebatnya bayangan Kim Houw. Namun ketika Giok Yang Cin-jin datang memburu, ia sudah
bawa kabur dirinya bocah tadi ke lain sudut.
Akhirnya ia letakkan si bocah di atas tiang penglari dan ia sendiri melayang turun ke bawah
untuk membereskan Chiang Liong Cu dan Hian Bu Cu.

Hian Bu Cu ternyata sangat licik, begitu melihat Kim Houw, ia lantas lari bersembunyi ke lain
sudut. Para imam yang lainnya masih mengira ia belum sembuh benar dari luka-luka nya, maka
tidak ambil perhatian.
Sebaliknya Kim Houw ada sangat gusar, pikirnya dengan akal busuk apa kau telah
mencelakakan diri ayah ? Aku tidak tahu! Tapi ayah pesan aku supaya membunuh kau untuk
membalas dendam sakit hatinya, kecuali kau kabur ke langit atau menghilang, jangan harap kau
bisa lolos dari tanganku! Walaupun tidak ada pesan ayah, karena kau pernah menggunakan akal
keji untuk melukai diriku, aku juga tidak gampang-gampang melepaskan kau begitu saja, sekarang
Chiang Liong Cu berada dekat di depan mataku, baiklah aku bunuh dia dulu.
Tapi setelah Chiang Liong Cu binasa, Hian Bu Cu ternyata masih berdiri jauh-jauh di sana.
Meski Kim Houw mampu menahan serangan pedang delapan imam yang dilancarkan dari depan
dan belakang dirinya, tetapi jika mau menerjang sampai di depannya Hian Bu Cu juga tidak
mudah.
Setelah mendengar Giok Yang Cin-jin memerintahkan para imam supaya menyerang dengan
senjata rahasia, dalam hati Kim Houw merasa sangat girang, karena ia dapat menggunakan
senjata musuh untuk membereskan jiwa musuhnya. Demikianlah, ketika senjata rahasia
menyambar dirinya dari berbagai penjuru, ia sudah berhasil menyambuti beberapa buah
diantaranya.
Dan ketika ia mendapat kesempatan, ia menggunakan berbagai senjata rahasia itu, Ia
menyerang muka dan kepalanya Hian Bu Cu, sebab ia tahu bahwa dirinya Hian Bu Cu ada rompi
besi yang melindungi, tidak ada gunanya menyerang bagian badannya.
Selagi para imam, tidak terkecuali Giok Yang Cinjin sendiri dikejutkan oleh binasanya Hian Bu
Cu, di depan pintu tiba-tiba terdengar suara ketawa aneh, kemudian disusul oleh munculnya sinar
merah. Dalam suasana malam yang gelap, sinar merah itu nampak makin menyolok.
Begitu sinar merah itu muncul, dalam ruangan gereja itu ada orang yang merasa paling kaget.
Mereka itu adalah si paderi aneh dan ketua Ceng-shia-pay, Giok Yang Cin-jin sendiri.
Kalau paderi aneh itu kaget dan ketakutan, hal ini tidak mengherankan, sebab ia sendiri sudah
tahu siapa orangnya yang telah datang. Ia cuma kuatir kalau iblis yang tidak kenal kasihan itu nanti
melakukan pembunuhan besar-besaran terhadap para imam yang tidak berdosa dan merusak
gereja Cheng Shia san.
Kagetnya Giok Yang Cin jin benar-benar merupakan suatu hal di luar dugaan orang, sebabnya
ialah ia sungguh tidak nyana yang muncul di depan matanya itu adalah si iblis yang terkenal paling
ganas dalam golongan hitam itu.
Seketika itu, pertempuran juga mendadak berhenti.
Dan, di depan pintu itu kini tambah seorang aneh, ia bukan lain adalah Liok-cie Thian-mo.
Dengan tindakan lebar Liok-cie Thian-mo berjalan masuk ke dalam gereja. Semua imam yang
berada didalam gereja itu agaknya dianggap sepi, ia terus menghampiri si paderi aneh dengan
sikapnya yang jumawa.
Dua imam yang tidak tahu lihaynya Liok-cie Thian-mo, coba maju merintangi sambil lintangkan
pedang mereka, membentak :
"Iblis dari mana berani berlaku kurang ajar di atas gunung Ceng shia san ?"

Siapa nyana, baru saja ucapannya itu dikeluarkan, Liok-cie Thian-mo cuma tampak
menggerakkan lengan kanannya, lantas terdengar suara jeritan ngeri, kedua imam yang
merintangi padanya tadi sudah terlempar jatuh disudut dinding serta binasa seketika itu juga.
Dengan kematiannya dua imam itu, dalam ruangan itu sebentar saja lantas menjadi geger.
Tapi Liok-cie Tahin-mo tidak hiraukan itu semua imam, ia tetap berjalan menghampiri di paderi
aneh.
Kira-kira setengah tombak terpisah di depannya paderi aneh tadi, asal Liok-cie Thian-mo mau
ulurkan tangannya, sudah lantas dapat menangkap si paderi. Tapi Liok-cie Thian-mo sengaja tidak
maju lagi. Anehnya, paderi itu sudah ketakutan setengah mati, seolah-olah sudah terbang
semangatnya, hingga tidak memikirkan untuk menyingkirkan diri.
Liok-cie Thian-mo sungguh kejam! sudah tahu kalau si paderi aneh sudah ketakutan setengah
mati, ia malah perlakukan padanya seperti kucing mempermainkan tikus. Ia tahu paderi itu sudah
tidak bisa lari lagi, tapi ia sengaja tidak mau turun tangan dengan segera, sebaliknya masih
berkata padanya sambil ketawa bergelak-gelak :
"Paderi edan, kali ini kau tentunya mengerti kalau kau sudah tidak bisa mabur lagi! Sekalipun
kau sembunyi didalam kuburan, aku juga bisa berdaya untuk menggali keluar tulang-tulangmu... !"
Sehabis keluarkan perkataannya yang bermaksud mengejek itu, Liok-cie Thian-mo kembali
perdengarkan suara ketawanya yang aneh, sampai ruangan itu rasanya menggetar.
Tapi, belum bahis suara ketawanya, mendadak terdengar suara dingin dari belakang dirinya.
Suara itu meski halus, tapi sangat menusuk telinga. Ketika Liok-cie Thian-mo berpaling, Kim Houw
telah berdiri di belakangnya sambil lintangkan senjatanya di depan dada, untuk merintangi jalan
mundurnya iblis tua itu.
Begitu melihat Kim Houw, Liok-cie Thian-mo kaget bukan main, tapi ita masih tetap
perdengarkan suara ketawanya yang aneh, kemudian baru berkata :
"Aku kira siapa, ternyata kau binatang cilik ini. Apa kau kira aku benar-benar takuti kau ? Hari
ini aku akan suruh kau membuka mata, betapa lihaynya Liok-cie Thian-mo!"
Mendengar namanya Liok-cie Thian-mo semua imam pada ketakutan, buru-buru pada mundur
beberapa langkah. Dengan sendirinya lantas terbuka suatu lapangan luas.
Si Paderi aneh dalam waktu sekejapan itu agaknya sudah sadar dari rasa takutnya, ia lantas
dongakkan kepalanya untuk mencari bocah kecil nakal tadi. Ia melihat si bocah rupanya sedang
tidur nyenyak di atas tiang penglari, buru-buru lompat ke atas. Ketika ia pondong turun, baru tahu
kalau bocah itu ternyata sudah tertotok jalan darahnya.
Ketika itu, Liok-cie Thian-mo sudah mulai turun tangan. Dengan kecepatan yang sangat luar
biasa, ia menyerang dirinya Kim Houw.
Tapi Kim Houw yang mempunyai kepandaian sukar diukur, mana gampang-gampang kena
diserang, dengan sedikit egosan dirinya saja, ia sudah berhasil mengelakkan serangan iblis tua itu.
Kemudian, dengan gerakan yang tidak kalah cepatnya dari pada si iblis, ia juga sudah balas
menyerang.
Liok-cie Thian-mo melihat Kim Houw dengan mudah sudah dapat menyingkir dari serangannya
yang sangat hebat, ia juga ingin turut teladannya. Ia coba mengelakkan serangan Kim Houw
sambil miringkan kepalanya.

Nampaknya, usaha itu sudah akan berhasil, apa celakanya serangannya Kim Houw itu
dilakukan secara beruntun oleh kedua tangannya, dilancarkan saling menyusul.
Liok-cie Thian-mo yang diserang secara demikian, sungguh terperanjat! Selagi hendak ulur
tangannya untuk menyembuti, mendadak pipi kirinya dirasakan panas, ternyata sudah dipersen
tempilingan oleh Kim Houw.
Ia kelabakan. Lalu tarik mundur dirinya dengan tersipu-sipu.
Untung gaplokan Kim Houw tadi tidak menggunakan kekuatan tenaga penuh, ia hanya
bermaksud supaya si iblis tahu diri. Tapi dengan demikian justru membuat si iblis tua itu
bertambah waspada.
Malam itu Liok-cie Tahin-mo rupanya sudah mengambil keputusan nekat hendak menempur
Kim Houw mati-matian.
Karena malu dan gusar, begitu mundur, ia lantas maju lagi dan menyerang dengan mendadak.
Kali ini ia menggunakan tangannya yang besar hendak mencengkeram batok kepalanya Kim
Houw.
Kim Houw tidak berani menyambuti dengan kekerasan. Ia tahu bahwa Liok-cie Thian-mo yang
cuma mempunyai satu tangan itu, kekuatan di tangannya itu pasti ada luar biasa hebatnya. Maka
dengan gesit sekali ia sudah memutar ke belakang dirinya Liok-cie Thian-mo kemudian ulur
tangannya hendak menghajar belakang geger si iblis tua.
Tapi Liok-cie Thian-mo ada jago kawakan, tahu dirinya berada di bawah ancaman
serangannya Kim Houw. segera memutar tubuh nya untuk memunahkan serangan lawan.
Pertempuran yang dilakukan secara cepat dan sengit itu, sebentar saja sudah berlangsung tujuh
delapan jurus. Kedua pihak sama-sama gesitnya. Setiap serangan dilakukan secara kilat, kalau
serangannya tidak berhasil mengenakan sasarannya, masing-masing lantas mundur dengan gesit
sekali. Selagi pertempuran berlangsung dengan sengit, Kim Houw berkata dengan gemas:
"Iblis tua, malam ini aku Kim How kalau tidak bisa menghajar mampus kau, selanjutnya tidak
akan bicara soal ilmu silat lagi."
"Lihat saja! Hm kau jangan temberang kalau kau berani, kau jangan menggunakan senjata,
siapa yang menggunakan senjata ia bukan turunan manusia. Bagaimana?"
"Baik! Aku tidak akan menggunakan senjata. Biar bagaimana malam ini aku akan suruh kau
mati meram, supaya kalau kau sampai di akherat, dapat memasuki pintu neraka dengan hati
tenang!"
Saat itu, Giok Yang Cin-jin sedang memimpin beberapa imam tua membentuk barisan "Kian
pek Bie-hun-tin", kedua orang itu dikurung ditengah tengahnya.
Kim Houw agak heran, ia lalu berkata, dengan suara gusar:
"Giok Yang, imam brengsek kau jangan salah hitung. Kalau aku mau turun tangan
menghadapi iblis ini, itu semata-mata hanya hendak menyingkirkan satu bahaya bagi rakyat.
Dengan dia aku sebenarnya tidak mempunyai permusuhan apa-apa, tetapi kalau kalian main
gila, aku nanti tinggalkan tempat ini dan tidak mau pusing lagi. Apakah kalian mempunyai nyali
begitu besar untuk menghadapi iblis ini?"

Kim Houw sejak mendaki gunung Ceng Shia-san, oleh karena ayahnya dan Bwee-hoa Kiesu,
belum berani membuka mulut kasar memaki satu imampun, apalagi terhadap Giok Yang Cinjin
yang merupakan ketua dari Ceng Shia-pay. Kini karena melihat mereka telah membentuk barisan
untuk mengepung dirinya maka dalam gusarnya lantas mengeluarkan perkataan yang agak kasar
terhadap Giok Yang Cinjin.
Giok Yang Cinjin adalah ketua dari Ceng shia-pay, siapa yang berani memaki brengsek
padanya? Kini bukan saja Kim Houw memakinya, bahkan menyemprot habis-habisan. Tapi ia
seolah-olah tidak mendengar kalau dirinya dicaci-maki, sebaliknya dengan lakunya yang seperti
seorang yang ketakutan ia menjawab:
"Kim Siaohiap, harap kau jangan salah mengerti. Aku juga mengandung maksud sama dengan
kau, hendak membasmi kejahatan, maka aku membentuk barisan ini supaya dia tidak dapat
meloloskan diri, lain dari itu, aku tidak mengandung maksud apa-apa lagi, kau tidak usah kuatir."
"Kalau begitu, lebih baik." kata Kim Houw. "Tapi kalian juga harus hati-hati, senjatanya iblis itu
yang dinamakan "Thian-mo-liok-hun-leng" ada sangat lihay, maka kalian harus jaga-jaga jangan
sampai ada yang menjadi korban. Dia hendak meloloskan diri, bukan soal mudah dia bisa lakukan.
Giok Yang Cinjin, kini agaknya sudah memandang Kim Houw sebagai malaikat, maka ia lantas
berkata dengan sangat menghormat:
"Terima kasih atas pengunjukkan Siaohiap semua nanti akan kulakukan menurut permintaan
Siaohiap."
Liok-cie Thian-mo yang mendengar mereka, agaknya ada ganjalan apa-apa, tiba-tiba
mendapat suatu akal, maka ia lantas tertawa terbahak-bahak sambil berkata:
"Bagus, kiranya kalian bermaksud hendak mengurung diriku Liok-cie Thian-mo- Walaupun
kalian maju semua juga dan hendak menggunakan jumlah yang banyak untuk merebut
kemenangan, aku Liok-cie Thian-mo tidak takut.
Kalau dengan tangan kosong aku tidak bisa merobek-robek perut dan dada kalian, jangan
anggap aku iblis lagi......"
Kim Houw tahu bahwa iblis tua ini banyak akalnya, ia tidak membiarkan si iblis mengoceh terus
sudah lantas menyerang lagi sambil mengejek:
"Iblis galak, biarlah aku robek perutmu dulu!"
Liok-cie Thian-mo ketawa, segera menyambuti serangan Kim Houw.
Mereka bertempur hebat sekali! Bermula kelihatan dua orang saling serang, kemudian
berkelebatan dua bayangan lalu berubah menjadi cuma satu bayangan yang berkelebatan pergi
datang. Angin pukulan yang dahsyat membuat api lilin dalam ruangan bergoyang-goyang. Semua
orang terpesona! Matanya dibuka lebar-lebar, dengan penuh rasa kagum, mereka mengikuti
jalannya pertempuran.
Tetapi biarpun angin pukulan ada begitu keras, ternyata tidak terdengar suara tangan beradu,
entah mereka satu sama lain merasa jeri, ataukah ada lain maksud.....?

Sebentar saja, pertandingan sudah berlangsung seratus jurus lebih, tetapi kelihatannya kedua
pihak masih sama kuatnya. Hanya Kim Houw yang kelihatannya makin gagah dan makin
bersemangat.
Sebaliknya dengan Liok-cie Thian-mo. Ia kelihatannya makin lama makin jeri, sebabnya adalah
ia hanya mempunyai satu tangan, sudah tentu kekuatannya tidak mampu menandingi kekuatan
Kim Houw yang tangannya masih utuh.
Akhirnya Liok-cie Thin-mo terpaksa menggunakan kekuatan lweekangnya yang sudah dilatih
sejak beberapa puluh tahun dan dianggapnya sudah tinggi sekali, untuk bertempur mati-matian
dengan Kim Houw.
Setelah mengadu kekuatan lwekang dengan beruntun sampai tiga kali, kelihatannya Kim Houw
masih tenang tenang saja. Sebaliknya Liok-cie Thian-mo sudah merasakan sakit dan linu dikedua
tangannya. Dalam kagetnya, ia tidak berani mengadu kekuatan lagi dengan Kim Houw.
Justru setelah mengadu kekuatan lwekang tadi, serangan Kim Houw kelihatannya makin lama
makin kuat, sehingga Liok-cie Thian-mo terpaksa mundur terus.
Tetapi di sekitarnya sudah dikepung rapat oleh para imam yang membawa pedang dengan
mata beringas. Kalau pada waktu biasa, Liok-cie Thian-mo mana takuti para imam itu, sekalipun
ditambah lagi satu lipat jumlahnya, iapun tidak memandang mata.
Sekarang, karena Kim Houw terus mendesak, keadaan ada berlainan. Sebabnya, jika ia
mundur sedikit meleng, ada kemungkinan terkena serangan tangan Kim Houw.
Ia tahu kekuatan Kim Houw sangat luar biasa, jangan kata terkena dengan telak, sekalipun
keserempet saja ia sudah tidak sanggup menerima.
Akhirnya Liok-cie Thian-mo terdesak dan terkurung oleh serangan Kim Houw sehingga
berputar-putaran seperti gasing di tengah-tengah ruangan gereja itu. Kalau mau dikatakan kalah,
memang sejak tadi Liok-cie Thian-mo sudah pecundang.
Tetapi bagi Kim Houw, kali ini bukan hanya soal menang kalah saja. Karena ia sudah bertekad
bulat hendak membinasakan si iblis, biar bagimana ia tidak mau melepaskannya dalam keadaan
hidup.
Maka, paling akhir Kim Houw turun tangan berat. Tidak mau berhenti sebelum membinasakan
jiwanya Liok-cie Thian-mo, ia tidak memberi kesempatan pada siiblis untuk bernapas.
Saat itu, pukulannya Liok-cie Yhain-mo kelihatan sudah ngawur, Kim How tanpa beranyal lagi
lantas melancarkan serangannya yang paling hebat.
Liok-cie Thian-mo melihat perubahan itu, bukan main kagetnya, sebab setiap serangan Kim
Houw yang aneh itu dirasakan sangat berat, sehingga ia merasa sulit untuk menyambuti, ia insyaf
bahwa malam itu sudah tiba saatnya yang paling berbahaya dalam seumur hidupnya.
Dalam keadaan demikian, dengan sendirinya ia lantas mengingat senjatanya yang paling lihay,
Thian-mo-siok-hun-leng! Meskipun sudah ada perjanjian dimuka bahwa masing-masing tidak akan
menggunakan senjata tajam, tetapi dalam keadaan yang sangat berbahaya bagi dirinya,
bagaimana ia dapat memegang teguh janjinya? Untuk menolong jiwanya sendiri apa saja dapat
dilakukannya, apa artinya mengingkari janji?

Tetapi dalam keadaan tergesa-gesa, selagi hendak mengeluarkan senjatanya, mendadak
sesosok bayangan orang melayang turun melalui kepalanya para imam, terus menerjang pada
Liok-cie Thian-mo. Karena cepatnya gerakan bayangan itu, siapapun tidak ada yang berhasil
untuk menahannya.
Liok-cie Thian-mo yang biasanya malang melintang seorang diri tanpa pembantu dan tanpa
sahabat, dalam saat yang sangat berbahaya itu, muncul bayangan orang secara tiba-tiba itu
merupakan suatu kesempatan baik untuk dirinya.
Kalai diwaktu biasanya Liok-cie Thian-mo dapat menyerang dengan tangannya kepada
bayangan itu tanpa banyak pikir.
Tetapi malam itu keadaannya ada berlainan, ia agaknya masih kuatirkan melukai dirinya
bayangan yang menerjang tadi, tangannya digerakkan dengan perlahan untuk menangkap orang
yang coba menyerang padanya, tadi, bahkan sudah menguasai bagian jalan darah yang penting
supaya orang itu tidak melakukan perlawanan.
Tetapi ketika sudah ditegasi siapa orangnya itu ternyata ia hanya satu bocah cilik yang
berumur kira-kira tujuh tahun. Ini benar-benar ada suatu hal yang diluar dugaannya.
Tetapi justru itu Liok-cie Thian-mo sudah mendapat akal lagi. Kim Houw yang menganggap
dirinya ada seorang budiman, tidak nanti mau turun tangan untuk mencelakakan dirinya satu
bocah, maka jika bocah itu digunakan sebagai senjata, bukankah ia dapat menolong dirinya
sendiri ?
Karena pikiran itu, maka Liok-cie Thian-mo lantas ketawa bergelak-gelak.
"Tuhan tidak memutuskan jalan hidupku?" serunya kegirangan.
Tetapi baru saja perkataan itu keluar dari mulutnya, mendadak tangannya dirasakan sakit dan
linu. Ia terkejut dan buru-buru memeriksa tangannya, ternyata seekor ular emas kecil sudah
menggigit tangannya.
Begitu melihat ular emas kecil itu, Liok-cie Thian-mo segera mengenali, maka saat itu
terbanglah semangatnya. Dalam kagetnya, di depannya sudah berkelebat bayangan orang,
segera bocah yang berada dalam tangannya sudah direbut oleh Kim Houw.
Sampai di sini, Liok-cie Thian-mo tidak jumawa lagi, tidak ketawa lagi, wajahnya sebentar
pucat, sebentar biru dan kemudian berubah menjadi kelabu.
Akhirnya Liok-cie Thian-mo perlahan-lahan angkat tangannya, dengan giginya ia menggigit
badannya ular, sehingga ular emas itu terpaksa melepaskan gigitannya pada tangan Liok-cie
Thian-mo.
Orang-orang semua menduga bahwa Liok-cie Thian-mo pasti akan melemparkan ular itu dari
mulutnya dan kemudian berusaha untuk mengobati lukanya atau ia menggunakan kesempatan itu
lantas berlaku nekad, membinasakan beberapa orang untuk mengawani dirinya berangkat ke
akhirat. Maka dengan tidak dirasa semuanya lantas melakukan penjagaan rapat.
Siapa nyana, sebentar kemudian, Liok-cie Thian-mo lantas mengunyah hancur ular kecil itu,
rupanya ia tidak dapat binasa dengan mati meram jika tidak makan ular kecil itu.

Kejadian itu telah mengejutkan semua orang, pemandangan yang mengerikan itu telah
membuat berdiri bulu semua orang.
Dasar iblis, maka sifatnya juga kejam seperti iblis! Karena tadi ia digigit oleh ular, maka ia juga
harus balas menggigit ular itu baru merasa puas.
Sebentar kemudian, darah tampak beketel-ketel dimulutnya Liok-cie Thian-mo dan ular kecil itu
akhirnya menjadi penghuni tanpa ?????. dalam perut si iblis. Liok-cie Thian-mo kemudian dengan
ketawa bergelak-gelak, berkata menyeramkan :
"Puas, puas... bagaimana? apa kalian masih ingin hidup? mari kawani aku saja..."
Belum habis ucapannya, ia sudah keluarkan dari dalam sakunya sejumlah senjata rahasianya
Thian-mo-siok-hun-leng.
Kim Houw tahu lihaynya Thian-mo-siok-hun-leng, jika dilancarkan semuanya akan membuat
para imam yang berada dalam ruangan itu sedikitnya ada separuh lebih yang akan menjadi
korban.
Selagi Kim Houw hendak berusaha mencegah, ternyata sudah sedikit terlambat. Kim Houw
terkejut, ia berseru:
"Lekas menyingkir!"
Di luar dugaan, sinar merah itu yang berkelebatan, mendadak jatuh ditengah jalan.
Kim Houw merasa heran. Ketika ia melihat keadaan Liok cie Thian mo, ternyata matanya
sudah meram, wajahnya berubah hitam, kemudian sepasang kakinya teklok dan rubuh di tanah
untuk tidak dapat bangun lagi selamanya.
Kim Houw keluarkan keringat dingin. Diam-diam ia merasa bersyukur, karena gagalnya
rencana Liok-cie Thian mo tadi.
Tetapi baru saja hatinya merasa lega, mendadak tangannya dirasakan sakit.
Ia melihat, kiranya bocah yang barusan di tolongnya, karena hendak melepaskan diri dari
dalam pelukannya, telah menggigit tangan Kim Houw.
Kim Houw cuma bisa ketawa getir, terhadap bocah yang masih belum dewasa itu, apa yang
dapat diperbuatnya?
Tiba-tiba padri aneh tadi, sambil menggandeng bocah nakal tadi, keduanya berlutut di
hadapan Kim Houw.
Kim Houw tercengang! Buru-buru ia memimpin bangun si padri, sehingga padri tadi terpaksa
mengucapkan terima kasih berulang-ulang sambil menangis.
"Atas budimu yang telah menolong jiwa kami berdua, seharusnya kami mengucapkan terima
kasih padamu. Untuk perbuatan kami yang tidak pantas pada beberapa hari berselang semoga
Siaohiap suka memaafkan banyak-banyak ... "
Sehabis berkata, ia hendak berlutut lagi, tapi Kim Houw dengan keras mencegah. Ia bingung
bagaimana harus menjawab kata-kata si paderi itu.

Sementara itu, Giok Yang Cinjin sudah memimpin para imam dari Ceng-shia-pay untuk minta
maaf kepada Kim Houw.
Jago muda itu, tidak mengetahui harus bagaimana, sebab orang-orang yang tadinya
memusuhinya sekarang berbalik menganggap dirinya ada tuan penolong mereka.
Tetapi kalau Kim Houw tidak berkata apa-apa, mereka tentunya akan menganggap bahwa ia
itu sombong dan tidak mau memberi maaf kepada mereka.
Maka akhirnya Kim Houw terpaksa menjawab :
"Giok Yang Totiang, keliru, kau tahu bahwa kematian Liok-cie Thian-mo tadi ada jasanya adik
kecil ini. Kalau bukan karena ular emasnya adik kecil ini, aku percaya tidak mudah aku
membinasakan kepadanya. tentang urusan kita, sebaiknya kita bikin habis saja, sebab musuh
ayahkupun sudah aku binasakan. Kalau kalian tidak sesalkan perbuatanku, biarlah sekarang aku
permisi berlalu."
Mendengar Kim Houw hendak pergi, sudah tentu Giok Yang Cin-jin tidak mau membiarkan ia
berlalu begitu saja, maka lantas memerintahkan orang-orangnya untuk menyiapkan perjamuan
untuk menjamu Kim Houw.
Sebentar kemudian setelah jenazahnya Liok-cie Thian-mo dibakar, dan ruangan gereja itu
dibersihkan, lalu diadakan sedikit perjamuan untuk menghormat Kim Houw.
Dalam perjamuan itu, Giok Yang Cin jin lantas menuturkan hal ikhwalnya Pek Leng sehingga
ditawan digunung Ceng-shia san.
Peristiwa yang menyedihkan itu telah terjadi karena salah satu kakak piauwnya Hian Bu Cu,
kebetulan adalah ibunya Ceng Nio cu. Pek Leng yang pergi bersama Ceng Kim cu beberapa lama
tak kedengaran kabar beritanya.
Ibunya Ceng Nio cu lalu naik gunung mencari adik piauwnya diminta mencarikan Pek Leng.
Hian Bu Cu ketika mengetahui duduknya persoalan lantas menjadi gusar. Karena ia pernah
engku (paman) Ceng Nio cu, maka ia menyanggupi untuk mengurus soal tersebut.
Kebetulan waktu itu Giok Yang Cin-jin tidak berada di atas gunung, maka Hian Bu Cu lantas
berunding dengan Chiang Liong Cu.
Chiang Liong Cu juga menganggap bahwa perbuatan Pek Leng itu keterlaluan, maka ia
mengijinkan Hian Bu Cu turun gunung untuk mencari Pek Leng yang kemudian akan dibawa naik
ke gunung Ceng shia san.
Kala itu, kebetulan Pek Leng hendak pulang ke rumahnya bersedia menerima hukuman
ayahnya, setelah ia mengantarkan anaknya di rumahnya Bee Seng.
Ditengah jalan telah berpapasan dengan Hian Bu Cu. Hian Bu Cu segera unjukkan diri sebagai
orang tingkatan tua, ia mencela perbuatan Pek Leng.
Pek Leng sebetulnya tidak kenal Hian Bu Cu, ditambah lagi karena hatinya sedang risau, maka
seketika itu lantas menjadi gusar. Kemudian keduanya lantas berhantam.

Semula, Hian Bu Cu tidak pandang mata Pek Leng, ia anggap beberapa gebrak saja pasti bisa
menggulingkan dirinja Pek Leng dan bawa dirinya ke atas gunung.
Siapa tahu, kenyataannya akan kebalikannya. Baru saja bergebrak, Hian Bu Cu lantas
mengetahui gelagat tidak baik, dalam kagetnya tahu-tahu pundaknya sudah kena diserang oleh
Pek Leng dengan telak. Untung Pek Leng tidak menggunakan tenaga penuh, kalau tidak
pundaknya Hian Bu Cu pasti sudah hancur.
Hian Bu Cu yang biasanya sangat jumawa, sudah tentu tidak mau mengerti dihina begitu rupa,
dalam gusarnya ia lantas menghunus pedangnya dan menyerang hebat dengan ilmu pedangnya
Ceng-shia Kiam-hoat.
Pek Leng tahu sang engku itu melancarkan ilmu pedangnya Ceng-shia Kiam-hoat, lantas
merubah sikapnya. Ia minta maaf kepada Hian-Bu Cu, sebab Pek-Liong-po dengan Ceng-shia-pay
ada mempunyai hubungan baik, maka ia tidak mau membuat renggang tali persahabatan itu.
Siapa nyana, Hian Bu Cu tidak mau dengar, ia masih anggap Pek Leng takuti ilmu pedangnya,
ia terus mendesak Pek Leng dengan pedangnya. Pek Leng melihat Hian Bu Cu tidak mengenal
aturan, seketika itu juga naik darah. Ia mengambil sepotong ranting kayu sebagai senjata, untuk
melayani serangannya Hian Bu Cu yang hebat.
Ilmu pedang Ceng shia pay sebetulnya sudah menggemparkan dunia rimba persilatan cuma
oleh karena kekuatan Hian Bu Cu masih sangat terbatas, maka akhirnya terjatuh di tangannya Pek
Leng yang hanya menggunakan sepotong ranting kayu sebagai pedang, Hian Bu Cu ternyata tidak
tahu malu, yang sudah dibikin terjungkal masih bisa ketawa, bahkan mengatakan bahwa
tindakannya tadi hanya untuk menguji ilmu pedangnya Pek Leng saja.
Ia yang terkenal sebagai seorang licik dan banyak akalnya, telah berhasil membujuk Pek Leng
naik ke gunung Ceng shia san.
Setibanya di atas gunung, didalam suatu perjamuan yang diadakan di gereja Pek Ho koan,
Hian Bu Cu telah menggunakan obat pulas untuk membikin mabuk Pek Leng, dan malam itu juga
Pek Leng telah dibikin kutung kedua kakinya untuk membalas sakit hatinya.
Selanjutnya, di hadapan Chiang Liong Cu ia telah mengarang cerita sendiri mengatakan
bahwa Pek Leng menghina party Ceng shia pay.
Apa mau Chiang Liong Cu yang mendengar keterangan itu tanpa mengadakan penyelidikan
lagi sudah percaya begitu saja keterangannya Hian Bu Cu, lalu perintahkan orang masukan Pek
Leng ke dalam tahanan di bawah tanah.
Ketika Giok Yang Cin jin pulang ke gunung kejadian tersebut sudah lewat satu tahun lamanya
dan Pek Leng juga sudah menjadi seorang bercacad.
Giok Yang Cin jin telah sesalkan perbuatan kedua imam itu, tapi apa gunanya. Sebab Pek
Leng sudah jadi seorang cacad, kalau dibawa turun gunung, Pek-liong-po pasti akan menanyakan
soalnya, bagaimana Ceng-shia-pay sanggup pikul resikonya?
Maka kesalahan itu telah dibiarkan begitu saja.
Tidak nyana pada lima belas tahun kemudian Pek Leng dikeluarkan juga dari kamar tahanan,
Chiang Liong Cu dan Hian Bu Cu masih tidak terluput menerima hukumannya.

Dengan keterangannya Giok Yang Cin-jin itu, Kim Houw lantas mengetahui duduknya perkara
pantas ayahnya cuma menyebutkan namanya kedua imam itu, tidak sebut-sebut yang lainnya.
Pada saat itu, di bawah gunung kembali terdengar suara genta berbunyi. Bahkan makin lama
makin gencar dan makin nyaring, hingga membuat semua orang pada terkejut.
Ada musuh siapa lagi yang berani naik gunung? Demikian mereka menduga-duga.
Selagi semua imam masih dalam kebingungan, kembali genta berbunyi semakin nyaring. Tibatiba
suara keras terdengar nyata. Dalam suasana malam sunyi, suara itu kedengarannya seperti
guntur, seolah-olah seluruh gunung itu sedang tergoncaog hebat.
Giok Yang Cin-jin yang mendengar suara itu agak lain dari biasanya, juga merasa kaget dan
heran. Mungkin karena barusan pernah mengalami banyak kejadian yang sangat langka, sedikit
banyak mempengaruhi pikirannya, hingga seketika itu wajahnya lantas berubah.
Dan setelah suara keras tadi, dari bawah gunung lantas kelihatan sinar api!
Mungkin itu ada tanda mala petaka gunung Ceng Shia san atau party Ceng shia pay.
Giok Yang Cinjin geleng-gelengkan kepalanya dan menghela napas.
"Apa Ceng shia san benar akan mengalami bencana?" katanya berduka.
"Tidak mungkin!" Kim Houw menghibur. "Biarlah aku turun gunung untuk mengadakan
penyelidikan, barangkali saja dapat mengusir orang yang hendak mengacau!"
Giok Yang Cinjin segera berbangkit dari duduknya lalu menjura pada Kim Houw.
"Kalau Siaohiap mau turun tangan," katanya. "Aku percaya betapapun besarnya urusan tidak
akan menjadi soal lagi, aku ingin ikut mengawani Siaohiap." Kemudian ia berpaling dan berkata
kepada orang-orangnya:
"Kalian harus hati-hati melakukan penjagaan, jangan sampai gereja ini orang bikin hancur!"
suaranya agak gemetar karena duka.
Kim Houw dan Giok Yang Cinjin berjalan belum berapa lama, mendadak ia melihat dua imam
lari terbirit-birit, di belakangnya ada seseorang yang sedang mengejar. Dari jauh sudah mengenali
bahwa orang yang mengejar itu adalah Peng Peng, calon isterinya.
Kim Houw heran menyaksikan keadaan demikian, terutama melihat pakaian Peng Peng sudah
berlepotan darah, terang bahwa apa yang dikatakan "orang lihai" yang menyatroni Pek-ho-koan
tadi adalah si nona.
Sebentar saja kedua pihak sudah saling mendekati Peng Peng juga sudah dapat melihat Kim
Houw, dalam kagetnya ia lantas menghentikan gerakan kakinya dengan tiba-tiba. Pedang Ngoheng-
kiam di tangannya lantas jatuh, seakan-akan si nona hilang tangannya dengan tiba-tiba.
Lebih dulu Kim Houw minta Giok Yang Cinjin jangan bergerak dulu, kemudian menyilakan
kedua imam tadi lewat, baru dengan perlahan ia mendekati Peng Peng. Ia melihat wajah si nona
menunjukkan rasa kaget dan bersangsi, lantas menanya dengan heran"
"Peng Peng, kau kenapa?"

Jawaban Peng Peng adalah menjatuhkan diri dalam pelukannya Kim Houw dan menangis
terisak-isak.
"Jangan tinggalkan aku!" si nona sesambat mengharukan.
Apa sebabnya Peng Peng bisa mendadak menerjang ke atas gunung? Kiranya pada beberapa
hari berselang, Peng Peng yang dibikin pulas oleh totokan Kim Houw dan kemudian diserahkan
kepada Tiong-ciu-khek yang muncul dalam waktu yang tepat, oleh si kakek ia diajak menumpang
pada salah satu rumah petani dibawah gunung.
Waktu ia mendusin, ternyata sudah tengah hari.
Ia heran tidak melihat Kim Houw, sebaliknya ia melihat ada Yayanya. "Yaya, kemana dia ?"
tanya si nona cemas.
Tiong-ciu-khek sengaja, hendak menggoda cucunya, maka ia berlagak pilon.
"Dia? Dia siapa ?" ia lantas balas menanya. "Ah, sudahlah," kata Peng Peng manja. "Yaya
selalu permainkan aku, Yaya sekarang sudah tidak sayang Peng Peng lagi... " "bagaimana kau
tahu Yaya tidak sayang padamu? Yaya paling sayang kau. Tetapi Yayamu tokh bukan dewa,
bagaimana dapat mengetahui siapa yang kau maksudkan dengan dia itu? Betul tidak ? ha, ha,
ha... "
"Aku maksudkan Kim Houw, kemana dia perginya ?"
"Oh, jadi yang kau maksudkan dengan dia itu, ci bocah yang tidak mempunyai liangsim?... "
"Dia kenapa? Yaya, dia...? tanya Peng Peng gugup.
"Hmm!" Tiong ciu-khek pura-pura gusar. "Dia berani turun tangan kejam selagi tidak ada
orang, kalau bukan Yayamu keburu datang dan mengusir dia pergi, apa kau kira sekarang kau
masih hidup ?"
Bukan main kagetnya Peng Peng wajahnya pucat seketika, sambil menangis tersedu-sedu ia
menanya : "Yaya, apakah... itu benar ?"
Tiong-ciu-khek yang menyaksikan keadaan Peng Peng, dalam hati mengeluh sendiri, karena
ucapannya itu agak keterlaluan. Ia tidak berani bergurau lagi. Kemudian ia mendapatkan suatu
pikiran, lalu ketawa gelak-gelak dan berkata:
"Anak bodoh, bagaimana belum-belum kau sudah menangis. Kau jangan keburu napsu dulu,
perkataan Yaya tohk masih belum habis? Mula-mula aku kira juga ada sungguhan.
Kulihat terang kalian berdua rukun sekali, mendadak kulihat kau tidak ingat orang. Ketika itu
aku kaget, tapi kemudian mendengar penjelasan Kim Houw. Katanya sebab selama beberapa hari
kau melakukan perjalanan siang hari malam, kelihatannya sangat letih, dia kuatir kau tidak mau
tidur, maka ia lantas menotok jalan darahmu supaya kau tidur mengaso. Aku girang, karena
perbuatannya itu memang bermaksud baik, ha ha ha, anak cengeng !"
Mendengar perjelasan itu hati Peng Peng barulah menjadi girang. Ia tahu kiranya Yayanya
telah menggoda dirinya, maka dengan sikapnya yang sangat manja sesalkan Yayanya.

"Yaya sungguh jahil." Tiong-ciu-Khek, meskipun usianya sudah lanjut, tapi kelihatannya masih
suka bercanda.
Mendengar sesalan cucunya, ia lantas pura-pura tidak senang.
"Bagus, sekarang kau sudah punya senderan, lantas tidak ingat Yayanya, biar aku nanti tidak
beritahukan halnya padamu." demikian katanya.
"Hm tidak mau ya sudah. Sekalipun Yaya tidak memberitahukan, aku juga sudah tahu." "Kalau
aku tidak beritahu, bagaimana kau dapat tahu ?"
"Apa Yaya kira aku tidak tahu ? Yaya salah hitung, aku sudah tahu dia sedang naik ke gunung
Ceng-shia-san untuk mencari ayahnya. Hanya berapa lama dia sudah pergi, mengapa sampai
sekarang dia masih belum kembali?"
"Ya, hal ini tentunya kau tidak tahu akupun tidak mau memberi tahukan padamu" "aku bisa
mencari sendiri"
Tiong-ciu-Khek kewalahan. Diam-diam hatinya merasa gelisah, sebab bukannya si nona mau
dengar kata, sebaliknya hendak pergi mencari sendiri.
Ia lalu putar otaknya lagi untuk mencari akal. Tiba-tiba ia berubah seperti seorang yang sedang
sedih.
"Yah, anak perempuan yang sudah dewasa memang biasa tidak ingat orang tuanya lagi, yang
diingat hanya pujaannya saja, bagaimana orang tuanya tidak berduka hatinya ?"
Sehabis berkata demikian Tiong-ciu-khek pura-pura menangis sedih.
Peng Peng merasa cemas, buru-buru ia memeluk Yayanya dan berkata dengan suara pilu.
"Yaya, yaya, siapa kata aku tidak perdulikan kau lagi? Hanya kepergiannya dia kali ini,
bukankah sangat berbahaya? Mengapa kau sedikitpun kelihatannya tidak mau mengambil
perhatian terhadap dirinya?"
Tiong-ciu-khek pura-pura gembira lagi. "Siapa kata dia naik ke gunung Ceng-shia-san? Dia
baru saja berlalu, katanya hendak mencari seorang sahabat. Satu dua hari katanya hendak
kembali dan kemudian bersama-sama naik gunung untuk mencari ayahnya. Dia minta aku
menjaga kau di sini, supaya kau dapat beristirahat dan harus menunggu dia pulang, baru
berangkat lagi bersama-sama."
Karena perkataan Tiong-ciu-khek itu kelihatannya diucapkan dengan sungguh-sungguh maka
Peng Peng juga percaya. Dengan demikian ia menurut saja apa kata Yayanya, berdiam dirumah
petani itu untuk menantikan kedatangan Kim Houw.
Satu hari telah berlalu, kemudian disusul dengan hari selanjutnya!
Hari Pertama, Peng Peng masih dapat menantikan dengan sabar. Tetapi hari kedua,
perasaannya mulai gelisah, ia tidak dapat duduk dengan tenang dalam gubuk yang sempit dan
pendek itu. Ia berjalan mundar-mandir, jika ia mendengar tindakan kaki orang saja ia lantas lari
keluar, tetapi selalu dibikin kecewa, sebab masih belum kelihatan bayangan Kim Houw.

Malam itu, Peng Peng tidak dapat tidur nyenyak. Sebab baru saja ia pulas ia dapat impian
buruk. Dalam mimpinya itu, ia dengan bergandengan bersama Kim Houw, seolah-olah bisa
terbang, ia terbang di atas awan dan melayang turun di atas yang luas.
Dengan mendadak Kim Houw berjumpalitan, dari atas awan ia terjatuh di atas sebuah batu
aneh. Meskipun Kim Houw tidak terluka parah, tetapi penyakit lamanya kambuh lagi dan sudah
tidak mengenal dirinya sendiri lagi.
Peng Peng ketakutan setengah mati. Sebab Kim Lo Han sudah binasa, siapa lagi yang mampu
menyembuhkan penyakit? Dalam sedihnya Peng Peng hanya dapat menangis saja. Ketika ia
mendusin, baru diketahuinya bahwa itu hanya suatu impian belaka. Tetapi meskipun hanya impian
belaka, karena orang tidak ada didampinginya, hati Peng Peng tetap sedih bahkan ia tidak berani
memikirkan lebih jauh.
Malam itu rembulan terang, sampai dikamarnya juga terang karena cahayanya si dewi malam.
Dengan tidak sengaja, Peng Peng menoleh ke tempat tidur Yayanya. Ia melihat Yayanya
sudah tidak ada, sedang selimutnya belum si sentuh, kemana perginya sang kakek ?
Peng Peng terkejut! Lalu ia lompat turun mencari Yayanya di belakang dan di depan rumah,
tetapi tidak dapat menemukannya hingga hatinya mulai curiga.
Kemana sebetulnya Yayanya pergi ? ........ Ah, celaka Kim Houw pasti seorang diri naik ke atas
gunung Ceng-shia-san untuk mencari ayahnya. Oleh karena tidak ada kabar apa-apa maka
Yayanya lantas pergi menyusul untuk mencari keterangan.
Memikir sampai disitu, Peng Peng tidak berani berlaku ayal lagi. Maka malam itu juga ia lantas
berangkat menuju ke atas gunung Ceng-shia-san. Oleh karena memikirkan keselamatan jiwa sang
kekasih, maka perjalanan itu dilakukan dengan cepat.
Di bawah gunung Ceng-shia-san dari jauh Peng Peng sudah melihat satu bayangan orang
yang sedang berjalan dengan perlahan. Ia tidak tahu siapa orang itu maka ia lantas sembunyikan
dirinya di tempat gelap.
Ketika orang itu sudah dekat, dari sinarnya ia mengenali bahwa orang itu adalah yayanya
sendiri.
Keadaan yayanya seperti seorang yang sedang terluka. Selagi ia hendak unjukkan dirinya,
tiba-tiba ia mendengar suara yayanya yang berkata sendirian:
"Ini harus bagaimana baiknya ? Dia masih tidak berdaya, bagaimana orang lain, bukankah
akan mengorbankan jiwa dengan cuma-cuma .... ?
Tiong-ciu-khek yang sedang berbicara sendirian, telah mengejutkan Peng Peng yang tengah
menghampiri padanya, sehingga si nona lantas mengurungkan maksudnya. Dalam hatinya
berpikir, "Siapa yang dimaksudkan dengan dia yang sudah tidak berdaya itu ... ? Ahh celaka ...
Yang dimaksudkkan dengan dia tentunya Kim Houw. Apakah benar Kim Houw mendapat celaka
...?
Peng Peng mengingat itu, hatinya dirasakan seperti hancur luluh. Tetapi mengingat kembali
tentang keselamatannya Kim Houw, dapatkan ia peluk tangan begitu saja ? Kalau terjadi apa-apa
atas dirinya Kim Houw, apa ia dapat hidup sendiri ?
Saat itu Tiong-ciu-khek sudah berjalan semakin jauh meninggalkan dirinya. Peng Peng segera
percepat gerakan kakinya, ia lari menuju ke atas gunung Ceng-shia-san.

Sebentar saja ia sudah sampai di Pek-ho-koan. Karena hendak mencari keterangan tentang
dirinya Kim Houw, ia tidak berani sembarangan bergerak, hanya menyembunyikan diri di tempat
gelap sambil mengintai keadaannya dalam gereja itu.
Tetapi Peh-ho-koan baru saja habis diaduk oleh Liok-cie Thian-mo, bukan saja gerejanya
hancur berantakan, mayat-mayat manusiapun banyak yang bergelimpangan di tanah, Pek Ho
Tojinpun binasa.
Beberapa imam kecil yang keburu menyingkir, terluput dari bahaya kematian. Setelah Liok-cie
Thian-mo berlalu, imam-imam kecil satu demi satu telah muncul keluar lagi.
Peng Peng yang sedang mengintai dan menyaksikan keadaan tersebut, diam-diam merasa
heran, mendadak di dengarnya salah satu imam cilik itu berkata kepada kawannya.
"Ceng-shia-san benar-benar akan mengalami kehancuran! Tiga hari yang lalu, kedatangan
bocah she Kim itu sudah cukup membikin pusing kepala dan hari ini telah disantroni oleh raja iblis
yang tidak mengenal kasihan! Dengan tanpa sebab dan alasan lagi dia telah membunuh siapa
saja yang di ketemuinya. Kalau bukan karena kaki kita keburu lari, pasti kita juga sudah binasa...."
Karena yang dicari oleh Peng Peng ialah Kim Houw, maka ia tidak mau ambil pusing dengan
orang yang dimaksudkan raja iblis yang tidak mengenal kasihan itu. Tiba-tiba ia mendengar
seorang lagi berkata.
"Masih untung tiga hari berselang bocah she Kim itu sudah terdesak dan kecebur ke jurang,
kalau tidak dalam dua hari ini barangkali ...."
Peng Peng dengar itu merasa seolah-olah disambar geledek, matanya berkunang-kuang, tapi
cepat ia bisa tenang lagi. Sekarang sudah jelas, yang dimaksudkan dengan di oleh yayanya pasti
adalah Kim Houw. Tidak nyana, Kim Houw yang mempunyai kepandaian begitu tinggi juga masih
dapat didesak sampai masuk ke dalam jurang. Mengingat akan nasibnya Kim Houw, hatinya si
nona sangat pilu, sehingga air matanya bercucuran.
Bersambung jilid ke : 29
Dalam kesedihannya itu, ia lantas berlaku seperti orang kalap ! Sambil menghunus pedang
Ngo-heng-kiamnya, ia lantas menerjang imam tadi, sebentar saja tiga imam sudah binasa di
tangannya.
Beberapa imam lain yang menyaksikan keadaan demikian, lantas membunyikan tanda
bahaya.
Justru karena ini, kegusaran Peng Peng memuncak. Ia jadi telengas, kembali pedang Ngoheng-
kiamnya mengambil korban para imam yang mencoba hendak membunyikan tanda bahaya.
Peng Peng sudah seperti orang kalap, ia sudah tidak tahu lagi apa artinya kasihan, ia ingin
menyikat habis semua imam-imam itu.
Pada saat itu masih ada imam yang tidak takut mati, kembali berdaya hendak membunyikan
genta. Dalam gusarnya, Peng Peng setelah membinasakan imam itu, lantas pedangnya menyabet
putus tali besar yang digunakan untuk menggantung genta itu. Maka ketika genta besar itu jatuh,
telah menimbulkan suara seperti gunung meletus. Sebetulnya beberapa imam yang masih hidup
itu, apa semuanya tidak berguna sehingga begitu mudah dibinasakan oleh Peng Peng?
sesungguhnya tidak demikian halnya, sebab yang berkepandaian agak tinggi sudah binasa
ditangan Liok-cie Thian-mo, yang masih ketinggalan hanya beberapa orang yang kepandaiannya
tidak berarti, sudah tentu mereka itu bukan tandingan Peng Peng.

Setelah Peng Peng membunuh beberapa orang dan melihat sisanya pada kabut, dalam
gusarnya ia lantas melepas api untuk membakar Pek-ho-koan yang sudah rumtuh itu.
Begitu api berkobar, beberapa imam yang masih bersembunyi didalamnya lantas mencoba
pada melarikan diri. Apa mau telah berpapasan dengan Peng Peng, sehingga dua imam lagi
kembali binasa di tangannya. Dua imam lain yang dapat meloloskan diri, segera lari menuju ke
puncak gunung dikejar oleh si nona.
Dasar kedua imam yang belakangan itu masih baik nasibnya, secara kebetulan ditengah jalan
mereka berpapasan dengan Kim Houw dan Hiok Yang Cinjin yang turun dari puncak gunung.
Begitu melihat Kim Houw, mula-mula Peng Peng masih mengira bahwa ia telah bertemu
dengan rohnya, kemudian mengira ia sedang bermimpi, tetapi setelah ditegur oleh Kim Houw,
baru diketahuinya bahwa dugaannya itu salah semuanya.
Kalau di pihaknya Peng Peng sedang memeluk dirinya Kim Houw sambil menangis terisakisak,
dilain pihak, kedua imam yang baru terlepas dari bencana kematian, telah menceritakan
kepada ketuanya apa yang telah terjadi digereja Pek-ho-koan.
Giok Yang Cinjin meskipun berduka karena kematian muridnya, tetapi mengingat peristiwa itu
adalah pihaknya Ceng-shia-san sendiri yang bersalah, tidak dapat berbuat apa-apa. Sebab
seandainya Peng Peng tidak mendengar kabar tentang kecelakaan Kim houw, sudah tentu tidak
akan terjadi peristiwa berdarah yang mendukakan itu.
Giok Yang Cinjin hanya bisa menghela napas panjang kemudian mengajak kedua imam itu
turun gunung terlebih dulu. Baru saja mereka berjalan belum jauh, mereka telah melihat sesosok
bayangan manusia yang sedang berlari-lari menuju ke puncak gunung seolah-olah terbang.
Giok Yang Cinjin yang melihat ilmu mengentengkan tubuh orang itu sangat luar biasa, dengan
hati berdebaran ia menduga-duga siapa gerangan orang itu. Ilmu mengentengi tubuh orang itu
benar-benar sangat luar biasa, sekejap saja sudah berada di depan matanya Giok Yang Cinjin.
Ketika melihat Giok Yang Cinjin menghadang di depannya, ia masih belum berhenti dan hendak
melanjutkan gerakannya dengan jalan memutar. Sudah tentu Giok Yang Cinjin tidak mau
mengerti, dengan cepat ia melompat dan menghadang di depan orang tadi, dengan pedang
terhunus ia berkata :
"Sicu menerjang keatas gunung Ceng-shia san ini hendak bermaksud apa ? Apa sicu anggap
diatas gunung ini sudah tidak ada orangnya?"
Orang itu ternyata Tiong-cu-khek. Ketika ia balik ke pondok tempat menginapnya tidak melihat
Peng Peng, dalam kagetnya ia lantas mengejar ke Ceng-shia-san.
Maksud kedatangannya memang bukan ingin mencari setori, maka ia selalu menghindarkan
dirinya supaya jangan kebentrok dengan orang-orang dari Ceng-shia-pay. Tetapi karena ia dengan
orang-orang dari Ceng-shia-pay tidak pernah mengadakan hubungan, maka tidak seorangpun
yang dikenalnya. Melihat sikap Giok Yang Cinjin yang begitu galak, Tiong-ciu-khek sebagai
seorang yang namanya sudah tersohor di kalangan Kang-ouw, sudah tahu hatinya merasa
mendongkol, maka ia menjawab dengan suara dingin:
"Aku yang rendah ingin bertemu dengan ketua partiamu." "Apa sicu kenal dengan ketua
kami?" "Tidak hanya ingin mengunjungi karena pernah mendengar namanya yang besar."
"Kalau belum kenal, lain hari saja Sicu datang kemari lagi, karena sekarang ini ketua kami
sedang repot."

Tiong-cui-khek masih belum mengetahui bahwa orang yang berada di hadapannya itu justru
ada ketua dari Ceng-shia-pay, Giok Yang Cinjin. Karena melihat sikapnya dan mendengar
perkataan yang terlalu jumawa, ia lantas menjadi gusar.
"Totiang berani lancang - lancang menolak orang yang hendak menemui ketua partaimu, tentu
bukan orang sembarangan. Karena sikapmu ini, sekalipun aku bikin kau terluka juga tidak akan
ada yang mengatakan aku sebagai orang tua menghina orang dari tingkatan muda."
Giok Yang Cinjin ada seorang yang telah lanjut usianya, rambut dan jenggotnya sudah putih
semuanya. Meskipun usia Tiong-ciu-khek sebaya dengan ia tetapi karena kelihatannya masih
sangat muda, seperti seorang yang baru berusia empat puluh tahunan, tidak nyana berani
mengaku sebagai seorang dari tingkatan tua, bagaimana Giok Yang Cinjin yang mendengar itu
kalau tidak gusar.
"Sicu yang memang sengaja mencari setori pinto bisa berbuat apa ? Jika Sicu sanggup
menyambuti pedang pinto ini, pinto tentu akan membiarkan kau naik gunung. Tetapi jika tidak
dapat, jangan mengimpi!" jawabnya dingin.
Tiong-ciu-khek mendengar itu, kegusarannya meluap. Ia adalah seorang ahli pedang yang
kenamaan, bagaimana ia takut pedang ? Apalagi kabarnya Kim Houw sudah jatuh ke dalam jurang
dan Peng Peng sudah tidak ketahuan dimana adanya, untuk mereka ia rela berkorban untuk
menuntut balas. Melihat sikap imam itu yang tergesa gesa hendak turun gunung, agaknya ada
terjadi apa apa, Tiong-ciu-khek menaruh curiga.
maka dengan cepat ia sudah menghunus pedangnya.
"Begitu paling baik, silahkan mulai katanya.
Giok Yang Cinjin, karena kejadian selama beberapa hari ini yang hampir saja mengakibatkan
keruntuhan total bagi partainya, kemendongkolannya juga lantas meluap. Meskipun dari ilmu
mengentengi tubuh Tiong-ciu-khek yang sudah dilihatnya tadi, ia telah mengetahui bahwa orang
itu bukan orang sembarangan, tetapi karena ia belum mengetahui maksud kedatangannya, ia
sebagai ketua dari partainya, bagaimana boleh takut ?
Maka ia lantas perdengarkan suara ketawanya, dengan tidak banyak bicara lagi pedangnya
lantas menyerang Tiong-ciu-khek dengan tipu silatnya yang lihai.
Tiong-ciu-khek sebagai seorang yang sudah banyak pengalamannya, sudah tentu mengetahui
bahwa serangan Giok Yang Cinjin itu adalah sangat lihay, Ia menggeser tubuhnya dan melesat ke
pinggir sejauh lima kaki untuk menghindari serangan tersebut. Kemudian badannya memutar
dengan cepat, pedang di tangannya sebentar saja sudah melancarkan tiga serangan berantai
laksana kilat mengarah ketiga bagian jalan darah lawannya.
Giok Yang Cinjin sungguh tidak menyangka bahwa lawannya itu dapat turun tangan dengan
cepat dan serangannya juga begitu hebat, diam-diam ia merasa terkejut. Dengan cepat ia mundur
tiga tindak, badannya melesat tinggi ke atas, kemudian ia melakukan serangan sambil menukik,
sebentar saja ujung pedangnya sudah mengurung kepala Tiong-ciu-khek.
Gerakannya itu ada merupakan gerak tipu ilmu pedang Ceng-shia-pay yang paling lihay.
Sekalipun Tiong-ciu-khek adalah seorang yang sudah mempunyai banyak pengetahuan dan
banyak pengalaman serta sudah banyak menghadapi musuh tangguh, tidak urung juga masih
dibikin kelabakan.

Akhirnya dalam keadaan tergesa gesa Tiong-ciu-khek hanya dapat mengeluarkan ilmu
pedangnya untuk melindungi dirinya. Ia mengetahui bahwa gerak tipunya itu akan mengakibatkan
lukanya ke dua pihak, tetapi dalam keadaan demikian, ia tidak dapat berbuat lain, yang penting
ialah asal dapat melindungi jiwanya.
Sesaat sebelum kedua pedang itu beradu, tiba-tiba terdengar suara orang berseru :
"Ciangbun Cinjin, tahan ! Semua ada orang sendiri !"
Giok Yang Cinjin yang mendengar suara itu, yang ia kenali ada suaranya Kim Houw, hatinya
bercekat, dengan cepat ia menarik kembali serangannya dan badannya seolah-olah burung
kepinis melayang turun melalui atas kepalanya Tiong-ciu-khek.
Tiong-ciu-khek juga tercengang, Ia terkejut karena Kim Houw dan Peng Peng telah muncul
berbareng di hadapannya. Kalau bukan karena Peng Peng ada disitu, ia juga tentu mengira bahwa
yang datang itu ada setannya Kim Houw.
Setelah diperkenalkan oleh Kim Houw, Giok Yang Cinjin dan Tiong-ciu-khek keduanya pada
tercengang, siapapun tidak mengira, bahwa lawannya ada orang yang sangat lihay.
Kim Houw kemudian ajar kenal Peng Peng kepada Giok Yang Cinjin dan mintakan maaf atas
perbuatan si nona yang dilakukan dalam setelah kalap mendengar dirinya didesak masuk ke
jurang, ialah perbuatan diluar pikiran sadar.
Giok Yang Cinjin lantas berkata sambil tertawa :
"Siaohiap, tidak perlu kita persoalkan itu lagi. Perkara mati dan hidupnya manusia, masingmasing
sudah ada garisnya sendiri, siapapun tidak berhak untuk memperkosa. Kalau tidak karena
Siaohiap yang menahan Liok-cie-Thian-mo, mungkin malam itu Ceng-shia-pay sudah hancur
lebur."
Pada saat itu, hari sudah menjelang pagi, Kim Houw segera minta diri dari tuan rumah. Giok
yang Cinjin juga tidak ingin menahannya lebih lama lagi. Tengah Kim Houw berpamitan itu, tibatiba
dipuncak gunung ada berkelebat bayangan putih yang melesat demikian gesitnya.
Peng Peng yang menyaksikan sampai mengeluarkan seruan kagum:
"Siapa itu? Sungguh hebat sekali kegesitan gerakannya."
"Itu, adalah si bocah yang baru berusia kira-kira tujuh tahun," kata Kim Houw. "Kecuali ilmu
mengentengi tubuhnya yang sangat luar biasa, rupanya dia tidak mengerti apa-apa lagi. Hanya
dalam tangannya ada seekor ular emas yang sudah dimakan oleh Liok-cie Thian-mo. Entah dari
mana dia dapatkan ular emas itu, apakah mungkin ada ularnya Kim Coa Nio-nio yang ada di
dalam tongkatnya?"
Baru saja habis ucapan Kim Houw, bayangan putih tadi sudah berada di depannya, betul saja
si bocah nakal. Bocah itu agaknya tidak mengerti adat istiadat, ia mengawasi orang di seputarnya
dengan mata berputaran, akhirnya ia memandang Kim Houw dengan perasaan yang penuh terima
kasih, tetapi mulutnya seperti terkancing, tidak dapat mengutarakan apa-apa.
Giok Yang Cinjin yang berdiri disampingnya lalu berkata:
"Sungguh kasihan nasibnya bocah ini. Baru lahir beberapa bulan, rumah tangganya sudah
ketimpa bencana, ayah bunda dan saudara-saudaranya semua telah dibinasakan oleh Liok-cie
Thian-mo, hanya dia seorang yang masih hidup, Oleh karena tempat tinggalnya ada didalam

gunung, bocah ini akhirnya dipelihara oleh dua Ekor Orang hutan dan sampai-Sampai beberapa
bulan berselang, dia telah diambil dari tangannya orang hutan tadi oleh yayanya sendiri, ialah si
padri aneh"
Kim Houw angguk-anggukkan kepalanya, Giok Yang Cin-jin meneruskan ceritanya:
"Liok-cie Thian-mo ada satu iblis yang sangat ganas, menyingkir saja rasanya sulit, siapa yang
berani menuntut balas padanya? Padri aneh itu dulu adalah sahabat karib dari pinto, maka dia
sembunyikan diri di gunung Ceng-sia-san.
Siapa nyana belum lama berselang, mereka kakek dan cucu turun gunung entah dimana
mereka dapatkan seekor ular emas, tetapi berbareng dengan itu justru mereka dapat dilihat
jejaknya oleh Liok-cie Thian-mo, sehingga akhirnya terjadi peristiwa seperti tadi malam itu.
Menurut sikapnya bocah ini, dia rupanya merasa bersyukur terhadapmu, dan agaknya ingin
mengikuti kau, hanya sayang dia tidak dapat berbicara, dia hanya dapat mengerti sedikit
pembicaraan orang. Padri tua itu ada seorang malas, terhadap hari kemudian bocah ini
merupakan suatu rintangan besar. Kalau siaohiap ada perhatian, baik sekali mengambil dia,
hitung-hitung untuk kacung suruhan."
Giok Yang Cin-jin baru bicara sampai di situ, mendadak terdengar suara orang ketawa
bergelak-gelak. Dari belakang sebuah batu besar yang tidak jauh dari situ, telah muncul dirinya si
padri aneh. Begitu unjukkan diri lantas terdengar suaranya yang seperti gembreng pecah:
"Hei, Tojin brengsek, kau benar-benar mengetahui adatku!"
Baru habis ucapannya itu, ia sudah lompat di depannya Kim Houw, lanlas berlutut Kim Houw
terperanjat, buru-buru pimpin bangun padanya sembari berkata:
"Taysu, kau ingin apa? Jelaskan saja tidak perlu melakukan adat peradatan demikian rupa."
Padri aneh itu, menyahut sambil tertawa bergelak-gelak:
"Aku si hwesio gila, sejak berguru sehingga sekarang ini belum pernah berlutut dihadapan
siapapun juga hanya terhadap kau seorang saja Siaohiap yang kukecualikan. Itu disebabkan
karena pertama-tama aku merasa berhutang budi dan kedua karena kau telah menolong bocah
ini. Dia bernama Co Seng, harap Siao-hiap sudi mengambil dia sebagai kacungmu, ku percaya dia
dapat memuaskan hatimu Aku si hweshio gila, meskipun sudah memasrahkan nasibku kepada
Tuhan, tetapi aku juga tahu, bahwa dalam usiaku yang sudah lanjut ini sewaktu-waktu aku dapat
meninggalkan dia."
Padri aneh itu meskipun berbicara sambil tertawa, tetapi di wajahnya yang jelek nyata ada
mengandung perasaan duka. Pada saat itu si bocah itu juga mendadak berlutut, air matanya
mengalir turun dikedua pipinya.
Si padri aneh itu perdengarkan suaranya pula:
"Auww, ini benar-benar aneh! Terhadap yayanya sendiri aku ini, belum pernah dia berlutut,
apalagi mengeluarkan air mata..."
Menyaksikan keadaan demikian, meskipun Kim Houw masih muda usianya, tetapi juga merasa
terharu, ia buru pimpin bangun bocah itu:

"Baiklah, kau ikut aku saja! Hanya aku masih mempunyai banyak musuh yang harus aku
bereskan dulu, entah kapan baru dapat melewati hari-hari dengan tenang," kata Kim Hoow
berduka, tapi wajahnya yang tampan mengunjuk senyuman menghibur.
Bocah itu mendengar Kim Houw mau menerima dirinya lantas jumpalitan tanda kegirangan
yang tak terhingga.
"Ini sungguh gaib," kata padri aneh. "Adakah itu yang dinamakan jodoh? Selama beberapa
bulan ini aku hendak mengajar dia bicara dia tidak mau membuka mulutnya, tetapi hari ini......"
Bocah cilik yang bernama Co Seng itu lantas lompat ke dalam pelukan si padri aneh. Sambil
memeluk kepala si padri, dia mengeluarkan suara yang tidak dimengerti oleh semua orang. Ia
mencium berulang-ulang jidatnya si padri aneh, siapa agaknya mengerti bahwa saat itu sudah tiba
waktunya untuk mereka berpisahan.
Padri yang aneh sifatnya itu dan yang biasanya suka berlaku seperti orang edan, dalam
keadaan demikian ternyata juga dapat mengeluarkan air mata.
"Akhirnya keluarga Co masih meninggalkan satu keturunannya juga, bila aku sekarang binasa
aku juga mati dengan mata meram..." Demikian si padri aneh itu mendumel.
Selanjutnya Kim Houw lantas berpamitan kepada Giok Yang Cinjin dan padri aneh itu. Sambil
mengajak Peng Peng dan Co Seng, bersama Tiong-ciu-khek pergi meninggalkan gunung Ceng
shia-san itu.
Di sepanjang jalan, meskipun Co Seng dapat berlompat-lompatan, tetapi masih sering-sering
menoleh ke belakang untuk melihat kakeknya. Sampai jauh dan tidak dapat melihat lagi baru ia
tidak berpaling lagi.
Dalam perjalanan itu, Kim Houw menceritakan semua pengalamannya selama beberapa hari
berselang kepada Tiong-ciu-khek dan Peng Peng, ia berkata pula bahwa Liok-cie Thian-mo yang
sangat ganas sepak terjangnya akhirnya binasa oleh seekor ular saja.
Tiong-ciu-khek dan Peng Peng merasa girang ketika mendengar Liok cie Thian mo sudah
binasa tetapi mereka sungguh tidak habis mengerti bahwa bocah yang baru berusia tujuh tahun
ternyata mempunyai nyali begitu besar.
Co Seng agaknya mengerti bahwa orang-orang pada memuji dirinya, bukan main rasa
bangganya, ia berlompat lompatan dan berjungkir balik seperti layaknya seekor monyet.
Kim Houw berempat setibanya di bawah gunung terus menuju ke rumah petani yang di
tumpangi Tiong-ciu khek. Oleh karena selama beberapa hari itu, tidak dapat mengaso, maka
setelah menangsal perut mereka lantas beristirahat dirumah petani tersebut.
Selama itu Kim Houw terus membungkam. Tidak ada suaranya sebab banyak persoalan yang
mengganggu pikirannya.
Pertama-tama soal Siao Pek Sin yang ternyata masih pernah kakaknya dari lain ibu. Kalau
begitu, Ceng Nio ciu juga terhitung ibu tirinya sendiri. Oleh karena adanya hubungan
persaudaraan itu, telah menimbulkan satu pertanyaan dalam hatinya: "Apakah ia harus
meneruskan usahanya untuk menuntut balas? Apakah ia tega untuk turun tangan?"

Kedua ialah soal ayahnya sendiri yang sudah binasa, tetapi entah dimana dikuburnya. Ia
sebagai anaknya sampai untuk bersujud saja juga tidak bisa dan ketiga, ia sendiri ada seorang
she Pek, tetapi sekarang memakai she Kim dan namanya Houw. Apakah namanya itu perlu diganti
atau tidak?
Sehabis makan, ketika Peng Peng melihat sikap Kim Houw tidak seperti biasanya lalu
menanya:
"Engko Houw, kau kenapa? Ada urusan apa sebetulnya? Mengapa tidak mau memberitahukan
kepada kami? Yaya adalah seorang yang banyak pengetahuan dan pengalaman, jika kau
mempunyai persoalan apa apa yang sulit, mintalah saja pendapatnya."
Kim Houw pikir ucapan Peng Peng itu ada benarnya, maka lantas menceritakan semua
kesulitan itu.
Tiong-ciu-khek sehabis mendengar penuturan Kim Houw, lantas berpikir sambil kerutkan
alisnya, lama sekali baru menjawab:
"Menurut pendapatku, soal pertama itu kau bikin habis saja. Sebab berbuat kebajikan atau
kejahatan pada akhirnya ada pembalasan sendiri-sendiri, hanya ditentukan oleh sang waktu.
Ayahmu sudah berbuat kesalahan, kau sebagai anaknya boleh mencoba berusaha untuk
menebus dosa ayahmu itu. Yang kedua tentang jenazah ayahmu dikubur dimana, tidak perlu kau
tergesa-gesa mengetahuinya. Jenazah ibumu dikubur ditepi sungai Ka-leng, rasanya jenazah
ayahmu juga tidak akan berjauhan dari situ, coba suruh orang menyelidiki saja, tentu dapat
diketahui. Dan yang ketiga, boleh saja kau mengubah she-mu menjadi she Pek, sehingga
selanjutnya kau disebut Pek Kim Houw. Orang tidak boleh melupakan asalnya, tentang ini aku
percaya kau tentunya tidak merasa keberatan. Sementara itu..."
Baru mendengar sampai di situ, hati Kim Houw merasa lega, dalam girangnya ia lantas
berlutut mengucapkan terima kasih kepada Tiong-ciu-khek.
Tiong-ciu-khek buru-buru memimpin bangun pada bakal cucu mantunya, kemudian berkata
pula:
"Soal yang paling penting untuk sekarang ini rasanya hanya tinggal usahamu untuk mencari
Kow-low Sin-ciam dan Khu Leng Lie. Kedua iblis itu sudah lama merupakan bencana dalam dunia
persilatan, sudah seharusnya kalau lekas-lekas kita singkirkan.
"Kim Houw mendengar sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. Pada saat itu dari luar tibatiba
terdengar suara aneh...
"Anak busuk, kau berani permainkan siao-yamu, hari ini walaupun kau lari ke langit, siao-yamu
juga akan mengejar ke langit."
Kim Houw berempat yang mendengar suara itu lalu melongok keluar untuk melihat apa yang
terjadi. Kiranya itu ada gara-garanya Co Seng yang kini sedang dikejar-kejar oleh seseorang, di
luar dugaan, orang yang mengejar itu ialah si botak.
Si botak yang mengikuti pengemis sakti Sin-hoa Tok-kai selama setengah tahun ini,
kepandaian ilmu silatnya telah maju pesat sekali, tetapi ilmu mengentengi tubuhnya belum sampai
ke puncak kesempurnaan. Sebaliknya, Co Seng yang masih bocah, sekalipun tidak mengerti ilmu
silat, tetapi ilmu lari pesat dan mengentengi tubuh seolah-olah pemberian dari kodrat alam,
sehingga banyak orang terpandai di kalangan Kang-ouw yang tidak menempel padanya.

Dengan adanya keganjilan itu, maka saat itu kalau si botak hendak menangkap ia,
sesungguhnya tidak mudah. sebaliknya malah dipermainkan oleh Co Seng yang menggoda sambil
mengeluarkan suaranya yang aneh.
Kim Houw yang menyaksikan keadaan sibotak, juga merasa geli dan keiawa terpingkalpingkal.
Sebentar kemudian, mendadak Co Seng menghilang entah kemana larinya, hanya
kedengaran suara jeritannya yang aneh. Kim Houw yang melihat keadaan demikian lalu berkata:
"Aku kira siapa yang datang, kiranya adalah Sin hoa Tok-kai Locianpwee!"
Kim Houw bertiga lalu lari keluar, Di belakang rumah di bawah sebuah pohon besar, si
pengemis sakti itu sedang memegang kedua tangan Co Seng, mengawasi padanya dari atas
sampai ke bawah, agaknya ia merasa heran terhadap ilmu mengentengi tubuh bocah yang luar
biasa itu. Kim Houw lalu ketawa bergelak-gelak.
"Hu pangcu, kau suka padanya? Kuberikan padamu untuk menjadi muridmu, bagaimana?"
Sin hoa Tok kai dongakkan kepala. Mula-mula ia terkejut tetapi kemudian setelah melihat
ketiga orang itu lantas ketawa.
"Apakah ini ada murid baru Siaohiap?" tanyanya. "Benar-benar ada lain dari pada yang lain,
sampai aku si tua bangka juga hampir dipermainkan olehnya..."
"Jangan terlalu memuji dulu, bocah ini belum belajar apa-apa, bagaimana ia berani berlaku
gagah-gagahan di hadapanmu?" Tiong-ciu khek nyeletuk.
Sin hoa Tok kai geleng gelengkan kepalanya, lalu melepaskan kedua tangan bocah itu. Siapa
nyana, baru saja ia kendorkan cekalannya, mendadak terdengar suara "plak" "plak" dua kali,
tangan Co Seng sudah mampir di kedua pipinya Tok kai. Meski tidak sakit, tetapi pipi Tok kai
merah juga.
Kim Houw yang menyaksikan itu lalu membentak:
"Co Seng jangan berlaku kurang ajar!" Dengan gerakan seenaknya saja, Co Seng sudah
lompat lari sembunyi di belakang dirinya Peng Peng. Kim Houw masih hendak suruh ia meminta
maaf, tetapi Sin-hoa Tok-kai lantas berkata sambil ketawa:
"Sudah, sudah, hitung-hitung sebagai hadiah pertemuan ini."
Semua orang pada ketawa. Kim Houw lantas ajak Tok-kai masuk ke dalam rumah, Setelah
semua berkumpul, pengemis sakti itu lantas menyampaikan kabar tidak enak.
"Kouw-low Sin-ciam, si iblis ganas itu kabarnya telah mengundang beberapa iblis dari
golongan hitam hendak menghadapi Siaohiap, bahkan Liok cie Thian-mo, kabarnya juga turut
diundang..."
Peng Peng lantas memotong sambil ketawa: "Liok-cie Thian mo sudah tidak bisa berbuat
kejahatan lagi, kemarin sudah binasa di tangannya dia di atas gunung Ceng shia san." sambil
menunjuk Co Seng.
Sin hoa Tok kai terkejut! Ia tidak percaya kebenarannya ucapan Peng Peng itu, tetapi setelah
diberitahu oleh Kim Houw, sipengemis sakti itu baru percaya dan mengangguk-anggukkan
kepalanya, lalu ia melanjutkan keterangannya.

"Sekarang, mereka sudah menuju ke Ciat kang. Diantara mereka, kecuali Kouw low Sin ciam,
masih ada Khu Leng Lie, Siao Pek Sin dan lain-lainnya. Tempat mereka berkumpul barangkali
didalam Istana Panjang Umur dibukit Koa chong san. Untuk mencegah usahanya itu maka aku
perlukan mencari kau, harap Siaohiap lekas berangkat untuk membinasakan Kho-low Sin ciam
lebih dahulu, supaya orang-orang yang kehilangan pemimpinnya itu tidak berdaya, dan hal ini
mungkin akan dapat hindarkan timbulnya huru-hara.
"Baiklah, kalau begitu kita harus lekas berangkat! Sebaiknya kita lekas tiba di sana sebelum
kawanan iblis itu berkumpul." kata Kim Houw.
"Tunggu dulu! Aku si pengemis tua masih mempunyai urusan, sehingga tidak dapat berjalan
bersama-sama, bagaimana kalau kita berjanji untuk bertemu di suatu tempat saja berkata si
pengemis sakti.
Setelah memikir sejenak, Kim Houw lalu menjawab:
"Waktunya sudah sangat mendesak, baiklah kita bertemu di Istana Panjang Umur di gua hongsan
sana! Sudah tentu, kalau ada kesempatan, aku tidak akan melepaskan iblis itu begitu saja."
Pada Saat itu, mendadak Co Seng memutar tubuhnya dan kembali lompat melesat keluar
rumah. Kim Houw kuatir ia akan menerbitkan onar lagi, maka ia buru-buru membentak dan
mencegah.
Siapa nyana, Co Seng jejeritan, tangannya menuding-nuding, Kim Houw lalu menduga
barangkali ada orang berlalu di depan rumah itu, sebab Co Seng meskipun tidak dapat bicara,
tetapi daya pendengarannya sangat tajam.
Kim Houw lalu berlongok keluar, benar saja di depan rumah ada berjalan seorang laki-laki
muda dan seorang perempuan. Sang perempuan duduk di atas kuda yang dituntun berjalan
perlahan-lahan oleh lelaki tadi. Setelah Kim Houw mengenali siapa adanya kedua muda mudi itu,
dalam hatinya diam-diam merasa sangat bersyukur.
Siapa kedua orang itu? Mereka itu adalah Kie Yong Yong dan Kee Yong Seng.
Pada saat itu keadaan mereka merupakan seperti sepasang pengantin baru. Mereka berjalan
sambil ketawa-ketawa, Kie Yong Yong agaknya sudah sembuh dari penyakitnya, wajahnya ramai
dengan senyuman, menandakan ia merasa sangat gembira.
Kim Houw percaya, dengan Kee Yong Seng yang melindungi, meskipun Ceng-hong kauw
orangnya cukup banyak, juga tidak dapat berbuat apa-apa. Diam-diam ia berdoa, semoga kedua
orang itu benar-benar akan menjadi suami istri yang bahagia.
Selagi Kim Houw terbenam dalam lamunannya, mendadak dapat lihat Kie Yong Yong
mengeluarkan sebilah pisau belati. Diantara suara jeritan kagetnya Kee Yong Seng, pisau belati itu
sudah bersarang didadanya Kie Yong Yong, sehingga darah segar menyembur keluar.
Kim Houw bukan main kagetnya. Lalu lompat keluar melalui jendela, dengan hanya dua kali
lompatan ia sudah berada didepan kuda, lalu ulur tangannya, tepat menyambuti badannya Kie
Yong Yong yang hendak rubuh dari atas kuda.
Kie Yong Yong wajahnya sudah pucat pasi, napasnya lemah. Begitu melihat Kim Hauw, yang
dianggapnya seolah-olah turun dari langit, ia lalu menunjukkan senyum getirnya, kemudian
berkata dengan suara terputus:

"Terima kasih..... Oh Tuhan.... akhirnya telah memberi kesempatan padaku......, binasa...
didalam.... pelukanmu... Dialam baka... aku..."
Bicara sampai di sini, Kie Yong Yong batuk dua kali, matanya sudah layu. Ia melanjutkan
dengan suaranya yang sudah sangat lemah.
"Tidak..... aku.... aku... minta kau... supaya.... menuntut balas.... sakit hatiku..."
Perkataan itu, agaknya di ucapkan dengan tenaga terakhir.
Suaranya kedengaran tegas dan nyaring, tetapi berbareng dengan ucapan terakhirnya,
jiwanya juga lantas melayang.
Kim Houw sangat berduka, airmatanya mengalir bercucuran, sebab Kie Yong Yong meskipun
bukan binasa di tangannya, tetapi ia merasa turut memikul tanggung jawab juga.
Saat itu Tiong-ciu-khek juga sudah memburu datang. Kim Houw meskipun hatinya berduka
karena kematian Kie Yong Yong yang mengenaskan, tetapi di depan banyak orang ia juga merasa
tidak enak lama-lama memondong jenazahnya Kie Yong Yong, maka ia lalu letakkan di tanah.
Mendadak sambaran angin pukulan yang sangat hebat datang menerjang dirinya. Kim Houw
tidak mengetahui siapa orangnya yang menyerang, maka dengan sendirinya ia mengegos
menghindarkan serangan itu terlebih dahulu.
Ketika ia melihat tegas baru diketahuinya bahwa ditempat bekas ia berdiri, ada berdiri Kee
Yong Seng, Dengan air mata berlinang-linang tetapi dengan sikap sangat gusar, Kee Yong Seng
berkata kepada Kim Houw:
"Masih berlagak sedih? Seperti kucing yang coba menangisi tikus, kematiannya dia bukankah
karena kau? Kau berbuat demikian, hendak diperlihatkan kepada siapa? Aku gemas melihat
tingkah lakumu, menyesal aku tidak dapat makan dagingmu dan menghirup darahmu.
Kegusaran Kee Yong Seng meluap-luap, Sehingga ia sudah mirip dengan orang gila, maka
Kim Houw buru-buru memotong:
"Hengtay jangan berbuat begitu, kalau kau ingin menuntut balas untuk nona Kie pada nanti
tanggal tujuh bulan tujuh, dalam pertemuan di Istana Panjang Umur, kau nanti pasti mengerti
sendiri."
Kee Yong Seng sebetulnya ingin mengadu jiwa dengan Kim Houw, tetapi kepandaian Kim
Houw ada lebih tinggi setingkat dari padanya. Apalagi pihak Kim Houw jumlahnya ada lebih
banyak, kalau betul-betul hendak mengadu jiwa, tentu ia sendiri yang akan menderita kerugian.
Terpaksa ia menahan luka hatinya, setelah memondong jenazahnya Kie Yong Yong, lantas ia
lompat ke atas kudanya.
Kuda hitam itu agaknya mengerti bahwa majikannya sudah binasa. Sambil berbenger, telah
kaburkan dirinya, sebentar saja ia sudah lenyap dari pemandangan.
Kim Houw menghela napas berkali-kali.
Mendadak ia mendengar suaranya Peng Peng yang berkata dengan ketawa dingin:

"Apa perlunya menghela napas? Dia sudah mati, salahmu sendiri tidak siang-siang
mengawani padanya"
Kim Houw menoleh, melihat wajah Peng Peng yang penuh rasa cemburu.
"Apa perlunya? Orang tokh sudah mati buat apa kau cemburu padanya?" sambil gelenggeleng
kepala.
"Aku cemburu? Hm.. apa dia..."
Tiong ciu-khek melihat gelagat tidak baik lantas buru-buru mencegah.
"Peng Peng, kau kenapa? Sungguh lucu perbuatanmu ini."
Dalam hati Peng Peng sebetulnya sudah merasa kurang senang, sebab ucapan Kie Yong
Yong ketika ada di gedungnya Gwanswee aneh itu, terus berputaran dalam otaknya, tidak dapat
dilupakan dan sekarang kembali ditegur oleh yayanya, ia merasa makin berduka, maka air
matanya lantas mengalir turun tanpa dapat dibendung lagi.
"Ah, Peng Peng, adatmu masih seperti anak-anak saja" Tiong-ciu-khek menghela napas. Si
pengemis sakti turut berkata sambil tertawa bergelak-gelak:
"Benar, tidak salah, memang masih seperti anak-anak. Semua masih berbau anak-anak,
sekarang aku hendak pergi dulu, sampai bertemu didalam Istana Panjang Umur. Hei botak, apa
kau masih belum mau pergi?"
Baru saja si pengemis sakti itu hendak berlalu sambil mengajak muridnya si botak, mendadak
didengarnya suara Peng Peng yang ketawa:
"Siapa seperti anak-anak? Aku tokh sudah dewasa?"
"Sebentar nangis, sebentar ketawa, bukankah seperti anak kecil?" nyeletuk Tiong-ciu-khek.
Peng Peng lantas menubruk dan memeluk engkongnya yang jail itu.
"Tidak, tidak, Peng Peng sudah dewasa, Peng Peng sudah dewasa!" serunya manja.
Tiong-ciu-khek ketawa terbahak-bahak.
"Melihat kelakuanmu ini, mana seperti orang dewasa? Kalau orang dewasa harus tidak boleh
berlaku seperti anak kecil." sang engkong berkata lagi.
Peng Peng mendadak ingat apa yang telah diperbuat dengan Kim Houw pada berapa hari
berselang. Benar-benar ia seharusnya sudah menjadi seorang dewasa, tidak boleh berkelakuan
seperti anak-anak lagi, maka buru-buru lepaskan pelukan pada yayanya dan membereskan
pakaiannya.......
Tiong ciu khek yang melihat itu, lantas berkata sambil angguk anggukkan kepala.
".... harus mengerti caranya menjadi orang, polos jangan keterlaluan . . . . : harus welas asih
kepada sesamanya . . . . harus dapat mengimbangi perasaan orang . . . . harus . . . . . ."
Peng Peng mendengar yayanya ngoceh telah angguk anggukan kepalanya, tetapi pada
akhirnya agaknya sudah jemu, maka ia lantas memotong:

"Sudah, sudah aku mengerti semua, aku akan menjadi orang yang sempurna!"
Itu yang paling baik, kita sekarang juga harus pergi!" sahut Tiong-ciu-khek sambil tertawa
bergelak-gelak.
Kim Houw menyaksikan kelakuan engkong dan cucu itu mesem-mesem urung.
Ketiga orang itu dengan membawa Co Seng berjalan sambil ketawa-ketawa. Baru saja
berjalan beberapa puluh lie, di sebuah kaki gunung mendadak terlihat beberapa orang yang
sedang naik gunung dengan perlahan lahan.
Kim Houw yang mempunyai daya penglihatan sangat tajam, begitu melihat sudah dapat
mengenali bahwa orang-orang itu adalah Kow-san Jie-lo dari Ceng hong kauw dan Ho Leng Tan
serta empat orang lain lagi yang belum pernah melihatnya.
Orang-orang itu semuanya seperti sedang menderita luka parah, mungkin itu adalah karena
perbuatan Kee Yong Seng.
Kim Houw diam diam menghela nafas. Disebabkan dirinya seorang perempuan, Yong Seng
telah membuat begitu banyak orang yang terluka dan entah berapa orang yang sudah binasa, dan
tokh akhirnya jiwa perempuan itu tidak dapat ditolong, ini benar-benar suatu dosa.
Belum sampai satu hari, empat orang itu sudah meninggalkan propinsi Su cwan dan mulai
memasuki propinsi Hun lam. Oleh karena hawanya semakin panas, maka mereka lantas
mengambil jalan air. Dengan menyewa sebuah perahu besar, mereka melakukan perjalanan itu
melalui sungai Tiang kang.
Co Seng yang biasanya suka berjalan berlompat lompatan laksana terbang, belum pernah
dapat diam barang sejenak. Ia agaknya tidak mengenal artinya cape atau letih, ia hanya
mengetahui lapar dan haus saja dan kalau merasa lapar, mulutnya lantas jejeritan, bahkan
makannya adalah sangat kuat.
Tetapi sekarang harus duduk berdiam di atas perahu, maka keadaan Co Seng seperti juga
seekor burung yang dikutungi sepasang sayapnya. sampai bergerak sajapun ia tidak berani.
sedang kalau melihat air lantas menjerit-jerit sambil menekap mukanya.
Selama dalam perjalanan di sungai itu, Kim Houw dan Peng Peng baru mulai mengajar Co
Seng berbicara, menulis dan membaca, ilmu silat juga sudah tentu tidak ketinggalan. Sebab
kepandaian mengentengi tubuhnya sudah mempunyai dasar yang sempurna, maka pelajaran ilmu
silatnya mendapat kemajuan sangat pesat.
Hari itu, ketika perahu mereka melewati selat Bu hiap, air deras dan ombak besar. Di samping
gunung yang terdapat dikedua sisi sungai, kadang-kadang terdengar suara binatang buas atau
kera-kera dan orang hutan yang kedengarannya menyeramkan.
Co Seng yang sudah mulai biasa dengan penghidupan di atas perahu, begitu diambangambing
oleh ombak keras, ia mulai takut lagi, dan bersembunyi dalam geladak.
Tetapi suara orang hutan yang didengar secara mendadak telah menarik perhatiannya. Ia
keluar dari dalam perahu, ia tidak melihat airnya, matanya berputaran mencari ke arah kedua sisi
selat dari sungai itu.

Tiba-tiba terdengar suara orang hutan tadi pula dan kali ini kedengarannya seolah olah sedang
berduka, sehingga saat itu Co Seng menangis. Kemudian ia juga mengeluarkan suara seperti
orang hutan tadi, agaknya saling menumpahkan perasaan duka masing-masing.
Kim Houw yang menyaksikan kelakuannya, mengerti bahwa bocah itu telah teringat akan
dirinya orang hutan yang telah memelihara padanya. Karena takut ia nanti akan kecebur ke dalam
sungai karena kedukaannya, didalam ombak yang begitu besar ada sangat berbahaya untuk
menolong orang, maka ia buru-buru keluar.
Selagi hendak menghibur Co Seng dan mengajaknya kembali ke dalam, mendadak ia merasa
ada angin kuat menyambar. Ketika ia mendongak, sebuah batu aneh sebesar meja telah
melayang dari atas dan hendak menimpa kepalanya. Bukan main kagetnya Kim Houw, sebab batu
itu kalau mengenakan kepalanya, terang kepalanya akan hancur. Andaikata ia terpental dan
kecebur dalam sungai juga ada sukar untuk menolong dirinya.
Terutama bagi Tiong-ciu-khek dan Peng Peng serta Co seng yang melihat air saja sudah takut,
barangkali sudah hanyut atau tenggelam entah kemana bangkainya. Dalam keadaan yang sangat
berbahaya itu, untung Kim Houw dapat berlaku gesit, dengan cepat ia menyambar dirinya Co
Seng dan melemparkan ke dalam geladak. Diantara suara jeritan kaget dari si tukang perahu, Kim
Houw sudah lompat melesat. Dengan menggunakan ilmu Han-bun-cao-khie ia menyambuti dan
mendorong batu yang datang melayang dari atas tadi, sehingga batu itu kecebur ke dalam sungai.
Gelombangnya air justru hampir-hampir membuat terbalik badannya perahu yang ditumpangi oleh
mereka, untung ketika Kim Houw melayang turun lantas menggunakan ilmu memberatkan badan
untuk mencegah tergoncangnya badan perahu.
Tetapi batu besar itu telah datang saling menyusul, yang dilemparkan dari atas tebing yang
tinggi. Kim Houw merasa gusar tetapi apa gunanya ? Sebab ia sendiri tokh tidak dapat terbang
melayang begitu tinggi untuk menghampiri binatang yang jahil itu, terpaksa ia terus menjaga
jangan sampai perahu itu kena kejatuhan batu atau terbalik oleh ombaknya.
Akhirnya perahu itu telah melewati selat itu dengan selamat dan melanjutkan pelajarannya,
hanya, Kim Houw yang telah menggunakan tenaga terlalu banyak, telah menderita luka
didalamnya, sehingga dari dalam mulutnya keluar darah segar.
Tiong-ciu-khek bertiga yang menyaksikan keadaan demikian, semuanya merasa kaget.
Mereka dalam bingung, mendadak dengar suara tambur yang sangat riuh, dibagian depan
terdapat sebagian perahu layar yang sudah menutupi jalannya perahu yang ditumpangi oleh Kim
Houw dan kawan-kawannya. Karena banyaknya perahu layar itu, permukaan sungai yang begitu
luas telah tertutup semuanya, sehingga sangat sukar untuk lain-lain perahu yang hendak belajar.
Tiong-ciu-khek yang menyaksikan keadaan demikian, meskipun dalam hati juga merasa keder,
tetapi agaknya sudah mendapatkan suatu pikiran untuk menghadapi kesukaran tersebut. Ia
Ketawa dingin, lebih dulu ia berikan buli-bulinya kepada Kim Houw, kemudian ia memerintahkan
tukang perahu supaya menghentikan jalannya perahu, lalu memesan dan berkata kepada Peng
Peng dan Co Seng.
"Sekarang kalian harus memperhatikan, apa yang kita kuatirkan ialah kalau kawanan bandit itu
melepaskan anak panah..."
Belum habis bicaranya, suara tambur kembali terdengar pula. Kemudian disusul oleh
munculnya kira-kira tiga puluh lebih laki-laki dari tiga buah perahu besar, diantara mereka
sebagian besar usianya sudah lebih dari setengah abad.

Orang-orang itu ternyata ada mengiringi seorang tua bertubuh pendek kecil. Orang tua itu
meskipun mengenakan pakaian yang sangat perlente, tetapi bentuknya tidak mirip dengan
manusia. Kepalanya lonjong, matanya seperti tikus, hidungnya mancung, mulutnya monyong, di
bawah janggutnya ada tumbuh beberapa lembar jenggot.
Ketika rombongan orang-orang itu muncul, dari lain-lain perahu lantas kedengaran suaranya
sambutan yang sangat riuh.
Mendadak terdengar suara tajam halus yang berkata: "Kawanan pengkhiatan di perahu depan
dengarlah! Kini Kauwcu dari Ceng-hong-kauw telah datang sendiri. Harap kalian dapat mengenal
gelagat dan lekas menyerah! Kalau kalian tidak mau mendengar nasehatku ini kalian pasti akan
menjadi umpan-umpannya ikan-ikan yang ada didalam sungai."
Peng Peng yang mendengar perkataan itu ketawa geli. Ketika ia melihat wajahnya si orang
tua, segera ia menduga bahwa orang tua itu tentunya ada ayahnya Ho Leng Than, sebab wajah
mereka ada sangat mirip satu dengan yang lainya.
Tiong-ciu-khek meraba-raba pedang di pundaknya, lalu berkata kepada Peng Peng, supaya
Kim Houw jangan perdulikan mereka dulu !
Orang-orang Ceng-ho-kauw ketika menampak pihaknya Kim Houw tidak ada reaksi apa-apa,
lantas menjadi gusar. Sebentar kemudian anak panah telah melayang seperti hujan, tapi jatuhnya
tepat di depan perahunya Kim Houw. Ini ada suatu bukti bahwa orang orang Ceng-hong-kauw itu
agaknya sengaja memperlihatkan kepandaian mereka menggunakan anak panah, maka cuma
ditujukan ke permukaan air yang tepat di depannya perahunya Kim Houw.
Tidak lama, kembali terdengar suaranya orang berkata :
"Kita kini telah mendapat perintah dari Tiancu Istana Panjang Umur, untuk menangkap
pemberontak. Menyerah hidup, tapi kalau melawan berarti mati. Jika bunyi tambur setengah tiga
kali tidak mendapat jawaban kita nanti akan hujani kalian dengan anak panah sehingga semua
binasa."
Tiong-ciu-khek gusar, ia berkata dengan suara perlahan :
"Sungguh brutal kawanan bandit itu, mereka berani menggunakan namanya Istana Panjang
Umur. Peng Peng, kau jaga Kim Houw, aku nanti melindungi Co Seng, suruh tukang perahu pergi
sembunyi dulu agar tidak mengganggu jiwa mereka."
Tiong-ciu-khek baru saja habis memberi pesannya lantas terdengar suara tambur sangat tiuh,
yang kemudia disusul oleh suara makian.
Tiong-ciu-khek dan Peng Peng sudah siap sedia, tidak perdulikan tingkah polah mereka.
Suara tambur telah terdengar untuk kedua kalinya, kali ini tidak disusul oleh suara makian tapi
perahu besar yang berada ditengah tengah banyak perahu itu nampak mengibarkan sebuah
bendera merah segi tiga.
Sebentar kemudian suara tambur telah berbunyi lagi untuk ketiga kalinya. Lalu disusul oleh
hujan anak panah yang dilepaskan dari berbagai perahu.
Bersambung jilid ke : 30
TIONG CIU KHEK dan Peng Peng dengan tidak berkata apa apa, telah putar pedang masingmasing,
sebatang panahpun tidak ada yang bisa menembusi sinar pedang mereka ! Tapi anak

panah terus menyerang tidak berhentinya, sehingga Peng Peng sudah mulai kewalahan. Disaat itu
mendadak ia tidak dapat lihat Kim Houw yang tadinya berada di belakang dirinya, begitu pula Co
seng juga sudah menghilang dari belakangnya Tiong ciu khek.
Yaya ! Yaya ! di mana mereka berdua ?" Tiong ciu khek menoleh ke belakangnya, bukan main
kagetnya, karena Co Seng sudah tidak ada di belakangnya. Tepat pada saat itu, dipihak lawan
mendadak terjadi kekalutan besar, hujannya anak panah juga nampak berkurang. Tiong Ciu Khek
dan Peng Peng melongok, keduanya pada berseru kaget :
"Hai ! bagaimana mereka bisa lari ke sana ?"
"Eh ! dengan cara bagaimana mereka bisa menyerang kesana ?"
Apa sebetulnya yang dilihat oleh Peng Peng dan Yaya nya ? Kawanan bandit yang berada di
ujung sebelah kanan dan ujung sebelah kiri, satu persatu nampak dilempar-lemparkan ke dalam
sungai, dan orang yang melempar-lemparkan mereka itu adalah Kim Houw dan Co Seng.
Buat Kim Houw, hal itu tidak mengherankan. Tapi buat Co Seng, sebetulnya belum
mempunyai itu kemampuan untuk melemparkan orang-orang tersebut. Tapi, ilmunya mengentengi
tubuh sangat luar biasa, ditambah lagi di tangannya ada memegang senjatanya Kim Houw, Baktha
Liong kini ia gunakan senjata itu untuk menghajar setiap orang yang diketemukan, hingga
kawanan bandit itu pada tidak berdaya.
Bagaimana Kim Houw dapat menyeberangi sungai itu ? Ternyata, Kim Houw meski terluka
dalam, tapi setelah minum air mujijat, sebentar sudah sembuh. ia sengaja tidak mau bertindak dan
membiarkan Tiong ciu khek dan Peng Peng yang melayani semua serangan anak panah dari
pihak bandit itu.
setelah menyaksikan kawanan bandit itu begitu brutal, ia tidak sabar lagi. Diam-diam ia gapai
Co Seng, dengan isyarat tangannya ia suruh Co Seng menutup pernapasannya.
Kim Houw lalu gendong padanya dan terjun ke dalam sungai untuk kemudian selulup
menyeberang ke perahu musuhnya.
Semula Co Seng ketakutan, tapi perintah Kim Houw ia tidak berani bantah. terpaksa ia tutup
pernapasannya sambil gertak gigi, setelah keluar dari dalam air dan berada di atas perahu musuh,
Kim Houw memberikan senjatanya Bak-tha Liong Kin untuk ia menghajar setiap orang yang
diketemukannya. Karena setiap serangannya berhasil dan orang-orang itu pada kecebur ke dalam
sungai, Co Seng kegirangan dan gembira sekali menjalankan tugasnya.
Sedang Kim Houw sendiri, setelah perintah Co Seng untuk menghajar setiap musuhnya, lantas
menyeberang ke lain tepi. Karena dengan ilmunya mengentengi tubuh Co Seng yang istimewa,
apa lagi ada senjata di tangannya, pihak musuh yang terdiri dari orang-orang biasa tidak mudah
untuk menangkap dia. Maka Kim Houw percaya Co Seng pasti bisa menghadapi mereka tanpa
kesulitan. Dan ia sendiri lalu menyerang dari pihak lain, supaya musuh dapat kesempatan untuk
mengurung Co Seng.
Sebentar saja, beberapa puluh perahu sudah dibikin terbalik oleh Kim Houw, dan akhirnya ia
tiba ke sebuah perahu besar. Tapi di sini ia telah mendapat perlawanan hebat dari sepuluh
kawanan bandit.
Sepuluh orang itu termasuk orang-orang yang mempunyai latihan ilmu silat cukup baik, tapi
Kim Houw yang kepandaiannya luar biasa, sekalipun di tangannya tidak ada senjata, ia juga tidak
jeri.

Sebentar ia kelihatan berkelebat di sana, sebentar di sini, dengan tangan kosong, ia telah
berhasil merampas senjata musuh musuhnya yang jumlahnya lebih banyak.
Sepuluh orang yang mengepung padanya, sebentar saja sudah dirubuhkan separuhnya. satu
diantara mereka yang agak lanjut usianya, yang dalam rombongan itu agaknya bertindak sebagai
pemimpin mereka, mendadak berseru nyaring dan menerjang dengan senjata goloknya.
Kim Houw anggap karena orang-orang itu bukan termasuk orang terpenting, ia tidak mau
membinasakan lebih banyak jiwa mereka. Selagi hendak mengundurkan dirinya, siapa nyana
seruan orang tua tadi agaknya membawa pengaruh besar bagi mereka, serangannya nampak
semakin hebat.
Menampak mereka tidak kena dikasih hati, Kim Houw menjadi gusar. Setelah perdengarkan
suara pekikannya yang nyaring, lantas ia keluarkan ilmu silatnya yang luar biasa, hingga sebentar
saja kawanan bandit itu sudah tercebur ke dalam sungai semuanya.
Kim Houw merasa lega, tapi baru saja hendak berlalu, mendadak sambaran angin yang amat
hebat seperti hendak menindih kepalanya, Kim Houw cepat egoskan dirinya dan bergerak kira-kira
setengah tombak ketika ia pasang matanya, ditempat ia berdiri tadi telah muncul seorang tua
kurus kering dengan sorot mata gusar terheran heran.
Kim Houw juga pernah lihat Ho Leng Tan, maka begitu melihat orang tua di depan matanya itu
segera mengenali kalau ia adalah kauw-cu dari Ceng hong kauw. Maka lantas berkata sambil
ketawa dingin :
"Siaoyoa sejak menginjak daerah Su coan," kata Kim Houw sambil ketawa dingin. "Sungguh
merasa bersyukur atas perhatian dan perlakuan orang-orang Ceng hong kauw, dan sekarang
dimana Kie Yong Yong sudah tidak ada lagi dalam dunia ini, sungguh tidak dinyana Kau cu masih
belum mau sudah . . . "
Orang tua kurus kering itu, memang benar kau cu dari Ceng hong kauw bernama Ho Su Yam,
ketika mendengar perkataan Kim Houw wajahnya mendadak pucat seketika. Entah kaget atau
gusar, tetapi tangannya yang digunakan untuk mengurut urut kumisnya, agaknya nampak
gemetar.
Tidak menunggu sampai habis bicaranya Kim Houw, lantas ia memotong :
"Pantas kau binatang cilik ini ada mempunyai kepandaian yang begitu tinggi, kiranya adalah
musuh besar kami yang sudah melukai beberapa orang kuat dari golongan kami. Hari ini, aku
yang mendapat perintah untuk menangkap kau, tidak nyana bisa sekalian menuntut balas dendam
sakit hati saudara-saudara kami."
Meski Ho Su Yam orangnya kurus kecil dan pendek, tetapi suaranya sangat nyaring, suatu
bukti bahwa kekuatan tenaga dalamnya sudah terlatih cukup sempurna, begitu pula ilmu silatnya.
"Aku justru hendak pergi ke Istana Panjang Umur untuk membikin perhitungan dengan Tiancumu.
Harap kau dapat melihat gelagat, supaya lekas tarik kembali pasukanmu dan selanjutnya kau
harus merubah kelakuanmu yang sudah-sudah, mungkin Sioyamu masih dapat memberikan jalan
hidup untuk kau ...." jawab Kim Houw.
Ho Su Yam menggeram, suaranya seperti geledek.
"Kentut ! Kau sendiri yang sudah mendekati ajalmu, dan tokh masih berani omong besar.
Anakku pergi dan sampai sekarang belum kembali, barangkali juga sudah celaka dalam
tanganmu, sekarang kau harus membikin perhitungan dengan aku."

"Anakmu yang jagoan itu masih belum mati, tetapi lukanya tidak ringan. Dia suatu anak yang
bisanya hanya mencuri ayam atau memukul anjing saja, kalau dia jadi anakku, siang siang sudah
kubunuh mati, buat apa kau masih mengharap harap pulangnya ?"
Ho Su Yam yang mendengar ucapan Kim Houw yang sangat menghina anaknya, perutnya
hampir meledak menahan amarahnya. Dengan tiba-tiba ia ayun tangannya menyerang Kim Houw
sambil memaki maki :
"Kau kata anakku belum mati, hm apa kau kira aku dapat mengampuni jiwamu ? Jangan
ngimpi sahabat !"
Kim Houw sudah mengetahui bahwa kepandaian orang tua ini tidak dapat dipandang ringan,
maka siang siang ia sudah siap sedia. Ketika melihat orang tua itu menyerang dan sambaran
anginnya begitu dingin serta telapak tangannya yang berubah hitam, lantas ia mengerti bahwa
orang tua ini ada melatih ilmu Tok-see-ciang atau serangan tangan pasir beracun. Dalam
kagetnya, ia lantas mengegoskan dirinya untuk menyingkir dari serangan, sembari berkata :
"Aku kira kau mempunyai apa apa yang dapat dibanggakan, kiranya hanya ilmu Tok see ciang
biasa saja !"
Ho Sun Yam ketika melihat Kim Houw menyingkir dan tidak berani menyambuti serangannya,
dianggapnya Kim Houw takut padanya.
"Kau juga kenal takut, he ! Sekarang aku suruh kau mengenal lihaynya seranganku, ilmu
serangan yang dilatih oleh kauwcumu ini dinamakan Pek-tok Im-hong-ciang, agar kauwcu mu tidak
usah berabe !" katanya dengan sikap sangat jumawa.
Kim Houw sebal melihat lagaknya, Ia ketawa bergelak gelak, kemudian berkata :
"Im hong ciang yang biasa saja kau begitu berani menamakan Pek-tok ! Siaoyamu ganda tidak
balas menyerang, akan menyambuti tiga kali seranganmu, aku ingin tahu sampai di mana
kekuatan seranganmu yang sangat kau banggakan itu. "
Ho Su Yam gemas lihat Kim Houw begitu sombong. Pikirnya, ini adalah kau sendiri yang
mencari mampus !
Ho Su Yam segera mengerahkan seluruh kekuatannya kepada kedua telapak tangannya dan
mulai menyerang.
Karena Ho Su Yam orangnya pendek maka serangannya itu hanya mengenakan perutnya Kim
Houw, tapi bahaya karena perut merupakan salah satu bagian terpenting dari anggauta tubuh
manusia.
Serangan yang pertama ini hanya dipakai tenaga enam puluh persen saja, sebab Kim Houw
kata tidak akan membalas menyerang, maka ia ingin mengetahui dengan cara bagaimana Kim
Houw akan menyambuti serangannya itu.
Tidak nyana, angin dari sambaran serangan tangannya tadi sampai diperut Kim Houw, lantas
buyar.
"Aha, bagaimana ? Apa kau tidak pandang Siaoyamu, atau takut Siaoyamu binasa dibawah
seranganmu ?" Kim Houw bersenyum mengejek.

Ho Su Yam sudah murka benar-benar, ia berseru dengan suara keras :
"Bocah kurang ajar, lihat kau cuma akan mengambil jiwa anjingmu !"
Sehabis berkata, ia lantas menyedot napasnya dalam-dalam, kemudian mengirim
serangannya lebih hebat, yang menjadi sasarannya masih tetap dibagian perut.
Serangan tangan kali ini, si orang tua menggunakan kekuatan sepenuhnya, sehingga
sambaran anginnya dingin dan tajam, bahkan mengandung bau busuk.
Tetapi Kim Houw yang melatih ilmu silat di tempat dingin, sudah tentu tidak takut akan hawa
dingin. Sekujur badannya seperti ditutupi oleh kabut tebal sehingga Pek-tok Im-hong-ciang orang
tua itu punah daya gunanya.
Ho Su Yam bukan kepalang kagetnya, Ia sadar kali ini ia menemukan batunya, maka buruburu
tarik kembali serangannya, tetapi ternyata sudah terlambat, sebab hawa dingin yang dikirim
Kim Houw sudah menerobos masuk ke dalam badannya melalui telapakan tangannya sendiri.
Saat itu, sesosok bayangan hitam telah meluncur ke arahnya.
Orang tua itu hendak menyingkir, celaka kehilangan kegesitannya karena hawa dingin tadi
yang masuk ke dalam tubuhnya.
Kedua pipinya kena digampar sehingga mengeluarkan suara nyaring dan giginya dirasakan
ada yang otek.
Ketika ia membuka matanya, ternyata yang menampar pipinya tadi hanya satu bocah cilik
yang baru berumur kira kira tujuh tahun saja. Bocah itu mengawasi padanya sambil ketawa cengar
cengir. Ho Su Yam hanya bisa mendelik matanya saja, tidak berani jual lagak lagi.
"Sekarang bagaimana, apa kita masih bertempur lagi ?" Kim Houw menanya.
Ho Su Yam copot nyalinya, seketika itu lantas menekuk lututnya dan berkata seolah-olah
meratap.
"Ho Su Yam benar-benar ada punya mata tapi tidak mengenal gunung Tay san, harap
siaohiap suka mengampuni kesalahanku"
Kim Houw kerutkan alisnya. Pikirnya : Ho Su Yam ini orang apa, tanpa memikirkan
kedudukannya sendiri sebagai Kauwcu, begitu mudah tekuk lutut dan meratap minta-minta ampun.
Kim Houw sebetulnya tidak menghargakan manusia rendah semacam itu. Tetapi karena
mengingat Ceng-hong-kauw adalah suatu partai terbesar di daerah Kang-lam, murid-muridnya
juga banyak beredar di seluruh daerah Kang-lam dan Kang-pak, jika Ho Su Yam mati, mungkin
akan menimbulkan kekalutan dan berbahaya sekali.
Maka ia terpaksa mengampuni. Ia menyuruh Ho Su Yam merubah peraturan agamanya
supaya benar-benar menjalankan kebajikan dan membawa faedah bagi masyarakat.
Di kemudian hari jika terdengar masih berani melakukan kejahatan, tentu tidak ada
keampunan lagi.
Untuk menolong jiwanya, sudah tentu Ho Su Yam menerima baik semua syaratnya Kim Houw.

Pada saat itu, Tiong-ciu-khek dan Peng-Peng sedang berada di dalam keadaan bahaya.
Perahu mereka sudah dibikin berlubang oleh orang-orang Ceng-hong-kauw dari dalam air
sehingga sudah hampir tenggelam.
Ho Su Yam lalu mengeluarkan perintah untuk menghentikan pertempuran dan perahu itu
mendadak mengapung lagi, bahkan meluncur laksana kilat ke arah perahu besar. Ternyata
beberapa puluh orang Ceng-hong-kauw yang menyelam di dalam air sudah mendorong perahu
tersebut.
Sebentar saja kedua perahu hanya terpisah kira-kira tiga tombak jauhnya, Peng Peng dan
Tiong-ciu-khek lantas melesat lompat perahu besar.
Peng Peng begitu melihat Kim Houw lantas menyesali padanya :
"Orang sedang melindungi jiwamu, sebaliknya kau lantas tidak perdulikan mati hidupnya orang
lain, kau sungguh tidak mempunyai liangsim," air matanya sudah hampir mengalir keluar.
"Ya, itu adalah salahku, karena aku hendak menggunakan akal untuk menundukkan mereka."
Kim Houw buru-buru minta maaf.
"Siapa suruh kau minta maaf segala," Peng Peng berkata sambil tertawa.
Tiong-ciu-khek tersenyum melihat kelakuannya sang cucu yang cengeng tapi cepat ketawa.
Sebagai orang yang sudah kenyang makan asam garam, begitu melihat kelakuan Peng Peng
dan Kim Houw, Ho Su Yam segera mengetahui bahwa mereka adalah sepasang muda-mudi yang
dalam ayunan asmara. Untuk menggirangkan mereka, ia lantas mengeluarkan perintah kepada
anak buahnya supaya menyediakan perjamuan di atas perahunya untuk menjamu tamu-tamu
agungnya ini.
Sebentar saja dari jauh sudah mendatangi sebuah perahu yang terhias indah.
Peng Peng yang menyaksikan kemewahan perahu tersebut, hatinya merasa girang. Belum
sampai di undang, ia sudah lompat lebih dulu ke atas perahu indah itu. Kim Houw dan Tiong-ciu-
Khek terpaksa menyusul.
Co Seng sejak membantu Kim Houw melakukan pertempuran di atas perahu tadi, agaknya
sudah tidak takut akan air lagi. Dari jauh ia sudah lompat melesat mengikuti Kim Houw turun ke
perahu mewah tadi.
Cuma saja, begitu berada di dalam perahu, ia lantas menyembunyikan dirinya, tidak mau
memperdulikan hal-hal yang lainnya lagi. Dengan kedua tangannya ia memainkan senjata Bak-tha
Liong-kin, begitu kegirangan, agaknya ia merasa sayang untuk melepaskan.
Ho Su Yam yang menyaksikan Co Seng dalam usianya masih begitu muda, tetapi sudah
mempunyai ilmu kepandaian mengentengi tubuh demikian hebatnya, merasa sangat kagum. Sejak
saat itu ia tidak berani bertingkah lagi dan benar-benar saja telah mentaati pesanannya Kim Houw.
Ia mengadakan pembersihan di dalam agama atau partainya itu untuk melakukan perbuatan baik
bagi masyarakat. Di kemudian hari karena pembersihan dan perubahan besar besaran itu, Cenghong-
kauw telah menjadi salah satu partai terbesar dari golongan orang baik-baik di daerah Kanglam
dan Kang-pak.

Ho Su Yam setelah mengetahui Kim Houw benar-benar hendak ke istana Panjang Umur di
gunung Kua-cong-san, lantas perintahkan orang-orangnya untuk menyediakan perahu yang besar
guna keperluan perjalanan tersebut.
Ketika diadakan perjamuan, Kim Houw telah dapat melihat bahwa kelakuan Ho Su Yam sudah
banyak berubah. Ia mengetahui bahwa orang tua itu selanjutnya pasti benar-benar dapat merubah
kelakuannya, maka ia lalu menyodorkan tangannya untuk menyekal tangannya Ho Su Yam sambil
berkata :
"Kauwcu, coba kau atur pernapasanmu, sebentar lagi lukamu tentu akan sembuh dengan
sendirinya."
Ho Su Yam segera mengerti maksud Kim Houw, maka ia lantas duduk bersila. Tadi ketika ia
terluka seluruh badannya menggigil, hawa dingin telah menyusup ke seluruh jalan darah. Dan kini
setelah tangannya digenggam oleh Kim Houw, lantas merasakan hawa hangat yang masuk ke
dalam dirinya melalui tangan yang di pegang oleh Kim Houw ddan terus menyelusup ke semuanya
jalan darah.
Tidak lama kemudian seluruh hawa dingin dalam badan Ho Su Yam telah hilang semuanya
dan badannya dirasakan segar, Kim Houw lalu berkata padanya sambil menarik kembali
tangannya :
"Setiap pelajaran ilmu silat, baik dari golongan baik-baik maupun golongan tersesat, semua
tergantung daripada cara penggunaannya tepat atau tidak. Untuk selanjutnya, semoga kau dapat
menggunakan ilmu kepandaianmu dengan sebaik-baiknya dan pasti kau akan mendapat nama
baik dalam kalangan rimba persilatan!"
Ho Su Yam ketawa getir. Baru saja ia hendak menyatakan terima kasihnya, pundaknya sudah
di pegang oleh Kim Houw.
"Kauw-cu tidak perlu merendah sikap yang terlalu merendahkan diri sebaliknya akan
merenggangkan persahabatan." kata jago muda itu.
Ho Su Yam angguk-anggukan kepala, kemudian mohon diri pergi keluar.
Meskipun hanya beberapa hari saja Kim Houw berada dalam perahu, tetapi selama beberapa
hari itu, kelakuan Ho Su Yam sudah seperti seperti budak saja, ia memperlakukan Kim Houw luar
biasa hormatnya.
Sejak muncul di dunia Kang-ouw, Kim Houw belum pernah mendapat kesempatan makan
sepuas-puasnya seperti kali ini, terutama buat Co Seng, maka setiap kali diadakan perjamuan
makan, adalah mereka berdua yang makannya paling banyak.
Pada suatu hari, Kim Houw mendadak ingat akan senjata Bak-tha Liong-kin nya. Ia menyuruh
Co Seng membawanya ke atas geladak perahu dan suruh Co Seng mencoba memainkan
beberapa jurus, meskipun tidak teratur, tetapi gerakan Co Seng itu ternyata gesit sekali.
Kim Houw diam-diam menganggukkan kepalanya dan jalan menghampiri Co Seng.
Co Seng yang belum mengerti baik akan bahasa manusia, tetapi pendengarannya sangat
tajam. Ketika Kim Houw berada di belakangnya, Co Seng sudah merasa. Ketika ia menghentikan
gerakannya dan melihat Kim Houw sedang mengawasi senjatanya, rasa sedihnya seketika lantas
timbul, lalu ia berlutut di hadapan KIm Houw sambil memegang erat-erat senjata mujijat itu,
agaknya ia sangat kuatir kalau senjata itu nanti diambil kembali oleh pemiliknya. Kim Houw
mengerti akan maksud Co Seng, maka menggeleng-gelengkan kepalanya, kemudian mengeluselus
kepalanya Co Seng.

"Anak goblok, aku tokh tidak kata akan mengambil senjatamu, aku justru hendak mengajar
padamu kepandaian ilmu silat," katanya.
Bukan main girangnya hati Co Seng mendengar Kim Houw berkata demikian. Ia berjingkrakjingkrak
dan berjungkir balik karena kegirangannya.
Kim Houw ketawa lihat kelakuan anak kecil itu. Ketika Co Seng sudah berdiri lagi, Kim Houw
lalu menjambret Co Seng seraya berkata:
"Duduklah dan dengarkan keteranganku. Ini adalah senjata pecut pusaka yang tidak ada
tandingannya di dalam dunia ini, namanya Bak-tha Liong-kin.
"Segala rupa racun, bagaimanapun jahatnya racun itu, dapat disembuhkan dengan segera
oleh Bak-tha Liong-kin ini. Dan Liong-kin lebih sangat berharga, bukan saja golok atau pedang
biasa, sekalipun pedang pusaka juga tidak mampu membikin rusak padanya.
"Hanya saja, benda pusaka semacam ini hampir semua orang yang melihatnya tentu
menyukainya. Maka kalau orang yang memegangnya tidak mempunyai kepandaian ilmu silat yang
tinggi sekali, sukar untuk melindunginya. Kali ini dalam pertempuran di Istana Panjang Umur,
belum tentu aku menggunakannya, tetapi aku kuatir kalau tidak hati-hati senjata ini dapat lenyap
dirampas orang lain, hilangnya senjata adalah merupakan perkara kecil, tetapi jiwamu mungkin
juga akan turut melayang.
"Sekarang aku hendak memberi pelajaran padamu suatu ilmu serangan yang paling hebat.
Tipu serangan ini keseluruhannya hanya ada delapan jurus yang masing-masing dinamakan "Kinna-
chiu". "Bun-kin Cho-kut-chiu", "Kang chiu Jit-pek-jin", "In-liong Tam-jiau". Siang-liong Chio cu.
"Tam-long Khie-but". dan "Bun hoa Hut-liu" dan satu lagi dinamakan Kang-kang chiu.
"Jangan kau pandang hanya delapan jurus itu saja, tetapi tiap jurus tidak mempunyai
hubungan satu dengan lainnya, sedangkan tiap jurus merupakan suatu tipu serangan yang paling
istimewa. Betapapun tingginya kepandaian musuh yang berhasil merebut Bak-tha Liong-kio, asal
kau menggunakan salah satu gerak tipu dari delapan jurus tipu serangan tadi, sebentar saja kau
akan dapat merebutnya kembali tanpa menggunakan tenaga. Dan selanjutnya aku akan mendidik
kau dengan suatu ilmu silat yang dinamakan "Thia liong Pat sek" yang luar biasa hebatnya.
Dengan mengandalkan kepandaianmu mengentengi tubuh yang luar biasa, tidak sulit bagimu
untuk mempelajari ilmu silat ini, asal kau sudah dapat memahami, aku akan merasa lega."
Sehabis berkata panjang lebar demikian, Kim Honw memulai dengan pelajarannya. Ia kuatir
karena Co Seng masih terlalu muda, maka ia mengajari dengan sungguh-sungguh sampai Co
Seng paham benar-benar.
Hari itu, perahu tersebut melalui kota Ie-ciang malamnya harus singgah di kaki bukit yang
dinamakan Gigi macan.
Rembulan di langit memancarkan sinarnya yang terang benderang menyinari air sungai Ciangkang
sehingga kelihatannya laksana perak.
Selewatnya tengah malam, semua orang didalam perahu sudah tidur menggeros. Tiba-tiba
dibagian kepala perahu terdengar suara apa-apa.
Peng Peng yang malam itu entah bagaimana, tidak dapat tidur pulas mendengar suara itu
tambah membikin ia sukar meramkan matanya.

Untuk mengetahui suara itu suara apa, Peng Peng lantas keluar dari dalam kamarnya dan
menuju kebagian kepala.
Apa yang disaksikan? Ternyata adalah si Co Seng itu bocah nakal yang sedang berlatih silat
dengan senjatanya Kim Houw.
Peng Peng kenali gerak tipu yang digunakan si bocah itu adalah gerak tipu serangan yang
dinamakan "Thian-liong Pat sek" sebab selama dalam perjalanannya dengan Kim Houw, ia juga
pernah diberikan pelajaran demikian, cuma saja ia belum apal benar.
Pada saat itu ia melihat apa yang dimainkan oleh Co Seng agaknya tidak berbeda dengan apa
yang telah dipelajarinya. Sudah tentu ia juga sudah mengetahui tentang Kim Houw yang
memberikan pelajaran ilmu tersebut kepada Co Seng. Tetapi dalam tempo tiga hari saja, sungguh
tidak dinyana bahwa bocah itu sudah dapat memainkan tipu "Thian-liong Pat-sek" dengan cukup
baik. Seketika itu dalam hati Peng Peng lantas timbul satu pikiran yang hendak menguji sampai
dimana kemampuan bocah cilik itu.
Ketika Co Seng baru saja melayang turun dari tengah udara, tidak menantikan sampai baik
lagi, Peng Peng lantas lompat melesat. Ia menggunakan kedua tangannya, yang satu dipakai
untuk merebut senjata Bak-tha Liong-kin sedang yang lainnya digunakan untuk menepok pundak
Co Seng.
Karena Co Seng mempunyai daya pendengaran yang sangat tajam, begitu pula cita rasanya,
maka ketika Peng Peng berada di atas kepala perahu, dia juga sudah mengetahuinya, hanya ia
tidak menduga kalau Peng Peng akan turun tangan menyerang padanya.
Ketika senjatanya kena dirampas, selagi ia hendak menarik kembali, tangan Peng Peng sudah
mengancam pundaknya.
Dalam keadaan demikian Co Seng terpaksa melepaskan senjatanya untuk lolos dari serangan
Peng Peng.
Peng Peng setelah berhasil merebut senjata itu, lalu berkata kepada dirinya sendiri: Aku ingin
tahu bagaimana kau dapat melindungi senjata ini, kalau kau tidak berhasil merebut kembali, besok
aku akan memberitahukan kepada engko Houw, supaya kau diomeli.
Tetapi belum lenyap pikiran itu dari otaknya, mendadak matanya dibikin kabur, tangannya
dirasakan kesemutan dan senjata itu sudah terlepas dari tangannya.
Ketika ia membuka matanya, senjata itu ternyata sudah berada dalam gengggaman Co Seng
lagi yang saat itu tengah berdiri di atas kepala perahu mengawasi padanya sambil ketawa.
Co Seng tidak kenal apa artinya takut. Terhadap Kim Houw, mungkin karena merasa berterima
kasih sehingga timbul rasa kagumnya, maka kecuali Kim Houw seorang yang ditakutinya,
terhadap siapapun ia tidak pernah merasa takut.
Meskipun kelakuannya itu bukan sengaja untuk mengejek Peng Peng, tetapi hampir saja Peng
Peng menjadi gusar. Untung kemudian Peng Peng dapat balik berpikir bahwa sifatnya Co Seng
yang masih kanak-kanak, maka lantas lenyaplah rasa gusarnya dan menanyakan kepadanya:
"Co Seng, gerak tipu itu apa namanya?"
"Kin-na-chiu!" jawabnya.

Peng Peng tercengang, memang itu ada salah satu gerak tipu dalam tipu silat Kin-na-chiu.
"Coba kau perlihatkan sekali lagi," ia berkata pula.
Co Seng agaknya sudah yakin benar terhadap kepandaiannya sendiri, tanpa ragu-ragu ia
melemparkan senjatanya kepada Peng Peng, Setelah menyambuti senjata tersebut, Peng Pang
sudah lantas siap sedia, matanya terus mengawasi Co Seng dengan tidak berkedip. Ia ingin tahu
dengan cara bagaimana Co Seng dapat mengambil senjatanya.
Setelah senjata itu berada dalam tangan Peng Peng, Co Seng lantas mengitari dirinya Peng
Peng dengan perlahan.
Peng Peng memasang mata dan telinganya betul-betul mengikuti setiap gerakan Co Seng.
Baru saja "memutar" beberapa putaran, mendadak Co Seng lompat melesat ke depan,
kemudian balik mundur secara jungkir balik.
Baru saja Peng Peng hendak menepok dengan tangannya. Co Seng sudah mundur lagi,
tetapi, ketika tangan Peng Peng belum ditarik kembali, dua jari tangan kanan Co Seng sudah
mengancam di depan mukanya Peng Peng.
Peng Peng sudah tidak keburu menangkis, terpaksa ia mengayunkan senjatanya untuk
menyerang mundur dirinya Co Seng. Siapa nyana, senjatanya itu baru saja diangkat, pergelangan
tangannya mendadak dirasakan kesemutan dan senjata itu sudah terlepas dari tangannya.
Peng Peng tercengang, ia seperti telah kena dikibuli oleh anak kecil yang baru belajar dalam
waktu hanya tiga hari saja. Hal ini sebenarnya sulit untuk dipercaya kebenarannya.
Mendadak ia mendengar suaranya Co Seng yang tidak tegas:
"Siang-liong... Chio-cu."
Sehabis berkata, kembali ia melemparkan senjatanya. Peng Peng sebenarnya tidak ingin
menyambuti lagi, sebab dalam percobaan tadi, ia telah mengetahui bahwa Co Seng bukan saja
sudah matang benar, tetapi juga gerakannya sudah sempurna.
Tetapi kemudian ia berpikir: Bocah ini adalah muridnya Kim Houw dan ia sendiri adalah
istrinya, kalau ia sendiri coba-coba memberi petunjuk-petunjuk beberapa jurus toh tidak ada
halangannya.
Maka ia lalu menyambuti lagi senjata itu dan selanjutnya sampai empat lima kali. Peng Peng
masih belum berhasil melindungi senjatanya, maka ia lantas berkata kepada Co Seng:
"Sudah! Sudah! Aku ingin tidur."
Setelah Peng Peng berlalu, mendadak terdengar suara halus. Co Seng agaknya sudah kenali
suara itu, dengan tidak melihat terlebih dahulu, ia sudah menjatuhkan dirinya dan berlutut di atas
kepala perahu.
Selanjutnya, di atas perahu itu lantas muncul Kim Houw, ia berkata dengan sikap keren:

"Jangan kau suka mengagulkan diri, kau harus mengetahui bahwa gunung tinggi masih ada
yang lebih tinggi lagi dan orang kuat masih ada yang lebih kuat lagi. Pepatah ini kau harus dapat
menyimpan baik-baik dalam hatimu, tidak boleh kau lupakan, mengerti?"
"Meng .... nger .... ti," jawab Co eng dengan tidak begitu jelas.
"Sekarang sudah, lekas tidur! Besok akan kuajari ilmu lwee-kang."
Esok harinya, perahu itu tiba di Bu Ciang. Oleh karena pusat Ceng-hong-kauw ada dalam kota
ini, maka Ho Su Yam minta Kim Houw dan kawan-kawannya untuk mendarat dan mengaso
beberapa hari. Oleh karena permintaan itu diucapkan dengan hati tulus dan mengingat bahwa
waktu yang dijanjikan masih terlalu jauh, maka Kim Houw bersama Peng Peng, Tiong chiu-khek
dan Co Seng, ikut Ho Su Yam mendarat di Bu-ciang.
Ceng hong kauw siang-siang sudah menyambut ketuanya dipelabuhan, menyediakan kuda
dua tandu. Tetapi Kim Houw dan Peng Peng tidak mau naik kuda atau duduk di atas tandu, maka
terpaksa Ho Su Yam berjalan mengikuti ke empat orang itu.
Ho Su Yam, sebagai kauwcu dari Ceng hong kauw dikota Bu ciang banyak orang yang kenal
padanya. Melihat sikapnya Ho Su Yam yang begitu menghormat terhadap empat orang itu,
semuanya merasa heran, mereka tidak mengetahui Kim Houw dan kawan-kawannya itu
sebenarnya dari golongan mana.
Setelah melewati dua jalan tikungan. Ho Su Yam lantas berkata kepada Kim Houw:
"Pusat Ceng hong kauw masih jauh dari kota. Harap Siaohiap bermalam dalam kota dulu."
Lalu ia ajak tetamunya memasuki sebuah rumah yang besar.
Kim Houw dapat lihat dikedua sisinya rumah itu sudah berdiri beberapa puluh orang laki laki
berpakaian hitam, agaknya sedang menantikan kedatangan mereka dengan sikap yang
menghormat sekali.
Ruang gedung itu ada sangat luas, diperlengkapi dengan perabotan amat mewah-mewah.
Sebentar kemudian hidangan untuk perjamuan sudah disediakan. Ho Su Yam minta Kim Houw
duduk dibagian atas, tetapi Kim Houw menolak. Akhirnya Tiong-ciu-khek yang duduk dibagian
atas. Kim Houw dan Peng Peng duduk dikedua sisinya, Co Seng dan Ho Su Yam duduk dibagian
bawah.
Baru saja Kim Houw duduk, di luar jendela mendadak terlihat berkelebatnya bayangan orang.
Dari gerak-geriknya, orang itu agaknya tidak mengandung maksud baik. Kim Houw diam-diam
merasa geli, ia menganggap itu adalah perbuatan Ho Su Yam yang hendak coba-coba main gila
terhadap dirinya, maka diam-diam sudah waspada dan siap sedia.
Belum lama perjamuan berlangsung, tiba-tiba Tiong-ciu-khek kerutkan alisnya. Celaka baru
saja ia hendak membuka mulutnya, tiba-tiba sudah rubuh dari atas kursinya.
Kemudian disusul oleh Co Seng yang juga rubuh di bawah kursinya.
Peng Peng yang barusan minum satu cawan arak pemberian Ho SU Yam, lantas melihat
Tiong-ciu-khek dan Co Seng pada rubuh. Dalam kagetnya, baru saja hendak berseru: "Bangsat"
lantas rubuh tidak ingat orang.

Bagaimana dengan Kim Houw? Ia juga turut minum arak maka juga rubuh hampir berbareng
dengan rubuhnya Peng Peng.
Pada saat itu, mungkin Ho Su Yam tidak akan mengalami apa-apa, tetapi tidak demikian
halnya. Ketika melihat ke empat orang itu pada rubuh, baru saja tangannya menepok meja ia juga
rubuh di tanah.
Tiba-tiba terdengar orang ketawa. Dari ruangan dalam telah muncul Ho Leng Than, dengan
wajah puas ia berkata kepada dirinya sendiri: "Aku kira kau ada mempunyai tiga kepala dan enam
tangan tidak nyana terhadap sedikit obat pulas saja kau sudah tidak tahan dan tokh masih ingin ke
Istana Panjang Umur, untuk mencari setori dengan Tiancu."
"Hai, orang-orang! Ikat mereka dengan rantai besi. Putuskan urat-urat di kakinya dan
hancurkan tulang-tulang pipenya begitu pula sepuluh jari tangannya juga harus di potong
semuanya. Dengan demikian, walaupun mereka mempunyai kepandaian dapat terbang ke langit
juga tidak mampu lolos dari tanganku Ho Leng Than. Ha, ha,ha..."
Sebentar kemudian dari luar lantas lari mendatangi empat puluh orang laki-laki yang masingmasing
membawa rantai besi, golok dan palu yang kelihatannya sudah disediakan sedari siangsiang.
Mendadak Ho Leng Than ulapkan tangannya seraya berkata: "Tunggu dulu! Perempuan ini
cantik sekali. Agaknya lebih cantik dari pada Kie Yong Yong. Aku suka padanya. Bawa dia ke
kamar belakang dan ikat padanya di atas kursi kemudian beritahu aku lagi."
Belum sampai mulutnya tertutup, tiba-tiba ada sebutir pasir halus yang terbang memasuki
mulutnya. Meskipun pasir itu halus tetapi ketika mengenai lidahnya, dirasakan sakit sekali. Ho
Leng Than kaget, ia mencari celingukan, tetapi kecuali lima orang yang rubuh dan beberapa
orangnya sendiri, tidak terlihat bayangan orang lain.
Ho Leng Than yang telah berbuat kesalahan, telah merasa takut sendirinya.
Karena tidak dapat menemukan apa yang dicari, lantas ia tumpahkan kesalahannya kepada
orangnya sendiri." "Bocah, bocah, bocah! Kalian masih menunggu apa lagi? Kenapa tidak lekas
turun tangan?"
Orang-orang itu mendengar bentakan, lantas pada bergerak untuk turun tangan.
Mendadak terdengar suara bentakan keras: "Siapa berani sembarangan turun tangan?"
Laki-laki berbaju hitam itu mengetahui bahwa suara itu adalah suaranya Kauwcunya sendiri
yang sudah siuman, bukan main rasa kagetnya, maka semuanya lantas pada berlutut.
Ho Leng Than mula-mula juga merasa kaget, tetapi kemudian berkata sambil ketawa:
"Ayah, ini apa salahnya? Ikat mereka dan serahkan kepada Tiancu. Bukankah kedudukan Hutiancu
nanti akan jatuhnya pada dirimu?... "
"Kau masih mengenali ayahmu!" bentak Ho Su Yam. "Ahh... ini benar-benar penasaran,
bagaimana aku tidak mengenali ayahku sendiri? Aku tohk bukannya binatang?"
"Hmm... Potong urat kaki, hancurkan tulang pipe dan potong jari tangan, apa itu tidak ada
bagianku?"
"Ini aku tujukan kepada mereka, tidak termasuk ayah."

"Apa bedanya dengan aku? Kalau aku mati, bukankah kedudukan Hu-taincu dari Istana
Panjang Umur dan Kauwcu dari Ceng-hong-kauw akan jatuh pada dirimu?"
"Ayah, ayah, kau jangan salahkan aku dulu. Bagaimanapun tidak berbaktinya, aku juga tidak
akan mencelakakan dirinya ayahku sendiri."
Sehabis berkata ia lalu jatuhkan diri untuk berlutut di hadapan ayahnya.
Ho Su Yam agaknya sudah sangat jengkel: "Bangun! Kalau memang tidak ada itu hati ya
sudah. Dan sekarang maksudmu... ?"
Ho Leng Than seperti baru lolos dari tali penggantungan, dengan badan penuh keringat dingin
ia berdiri pula.
"Maksud anak, serahkan mereka pada Tiancu si Istana Panjang Umur untuk menerima
hadiah."
"Kau tahu, betapa tingginya kepandaian mereka?"
"Anak sudah tahu, maka hendak memotong urat kaki mereka supaya mereka tidak dapat
lompat tinggi. Kutungi jari tangan mereka supaya mereka tidak dapat memukul orang dan
hancurkan lagi tulang pipe mereka sehingga musnahlah seluruh kepandaiannya."
"Sungguh bagus pikiranmu!"
Ho Leng Than yang mendengar pujian ayahnya, kelihatannya sangat bangga.
"Anak memikirkan siasat ini sudah tiga hari lamanya. Kalau tidak sempurna, percuma saja."
"Rencanamu itu meskipun cukup sempurna tetapi aku masih belum merasa lega. Kau panggil
empat anggota pelindung tata hukum gereja. ketua gereja dan orang-orang yang berkepandaian
tinggi. Aku hendak memberi pesanan kepada mereka!"
Ho Leng Than yang mendengar perintah itu, mengira bahwa ayahnya akan bergerak secara
besar-besaran, maka dalam hatinya merasa sangat girang.
Tetapi mendadak dari ruangan belakang dan depan kedengaran suara riuh:
"Picit sudah lama menunggu perintah!"
Berbareng dengan itu, dari depan dan belakang telah muncul dua puluh orang lebih yang
usianya lima puluh atau enam puluh tahunan. Setiap orang, menunjukkan sikapnya yang gagah,
matanya bersinar tajam, dapat diduga bahwa mereka adalah orang-orang kuat yang mempunyai
kepandaian cukup tinggi.
Ho Su Yam lantas ketawa bergelak-gelak seraya berkata:
"Bagus, bagus! Aku Ho Su Yam meskipun seorang berhati jahat dan kejam, ternyata masih
ada orang yang setia padaku."
Berbicara sampai di sini, orang tua itu lantas mengurut jenggotnya dan dengan tiba-tiba ia
berseru dengan suara keras.

"Algojo Lao Thie Pan ada dimana?"
Dari rombongan orang itu lantas muncul seorang tua yang wajahnya hitam berbentuk persegi,
tetapi sikapnya dingin kaku, maka ia mendapat julukan Lao Thie Pan.
"Picit ada disini."
Ketika Ho Su Yam melihat orang tua itu, ia lantas membentak dengan suara keras.
"Bukan lekas bawa anak durhaka ini, tunggu kapan lagi?"
Ho Leng Than yang mendengar perkataan ayahnya itu, ketakutan setengah mati,
semangatnya sudah terbang. Tidak dinyana bahwa keterangannya itu masih tidak dipercaya, oleh
ayahnya.
"Ayah, kau kenapa? Kalau tidak setuju, ya sudah saja. perlu apa......" Belum habis
perkataannya, lehernya sudah merasa dicengkeram oleh satu tangan yang kuat.
Kemudian badannya diangkat tinggi-tinggi.
Dalam kagetnya ia lantas berseru : "Hei, kau siapa ? Sungguh besar nyalimu !" "Algojo Lao
Thien Pan yang telah mendapat perintah untuk menangkap kau." demikian ia mendengar suatu
suara yang menyahut.
Ho Leng Than yang mendengar suaranya Lao Thie Pan telah mengerti bahwa
pengharapannya sudah tidak ada lagi, terpaksa ia minta ampun lagi pada ayahnya.
"Ayah, ayah, apa kau tega ? Kau tokh hanya mempunyai aku seorang anak. Apa pesan ibu
ketika hendak meninggal dunia, bukankah minta kau supaya baik baik menjaga diriku ? Tidak
nyana anak yang setiap hari mainkan golok dan pedang tetapi tidak binasa ditangan orang lain,
sebaliknya binasa ditanganmu sendiri. ibu, oh, ibu, mengapa kau tidak menunjukkan dirimu ? Ayah
hendak membunuh aku . . . . . . . . "
Ho Su Yan sejak istrinya meninggal dunia, hidup dengan anaknya yang hanya satu satunya
itu, maka agak dimanja, tidak nyana anak durhaka hendak membinasakan ayahnya dan hendak
merebut kedudukannya. Anak demikian buat apa dipertahankan jiwanya ?
"Bawa keluar dan penggal kepalanya."
Demikian Ho Su Yam mengeluarkan perintah sambil kertak gigi
Tetapi baru saja perintah dikeluarkan, mendadak terdengar satu suara : "Tahan dulu."
Suara itu seperti dari bawah tanah datangnya, sehingga membuat heran semua orang yang
ada di situ. Ketika semua mata ditujukan ke arah dari mana datangnya suara tadi, baru diketahui
bahwa suara itu adalah suaranya Kim Houw yang barusan sudah dibikin mabuk oleh Ho Leng
Than.
Bersambung ke Jilid 31
Apa yang membuat heran, adalah pemuda itu belum diberikan pertolongan oleh siapapun
juga.mengapa bisa siuman sendiri ? Bahkan sudah lama siuman, tapi tidak ada seorangpun yang
mengetahui.
Ho Su Yam pertama-tama yang menghampiri padanya untuk meminta maaf, sembari berkata :

"Anakku yang durhaka ini telah berani berbuat yang tidak patut terhadap siauhiap, aku sudah
perintahkan orang untuk menghukum mati dengan segera ... !"
"Sabar dulu ! sabar dulu !" demikian Kim Houw mencegah orang tua itu, yang seketika itu
lantas berbangkit, "Ho Kauwcu, bukankah kau cuma mempunyai seorang anak itu saja ?"
Ho Su Yam tercengang, ia menghela napas.
"Dengan sebenarnya ia berkata. "Isteriku sudah lama meninggal dunia, dia cuma
meninggalkan seorang anak ini saja. Tapi, anak yang tidak baik kelakuannya, tidak berbakti, apa
gunanya ? Adalah lebih baik kau hidup sendiri dengan tenang."
Kim Houw tertawa bergelak-gelak. "Biarlah aku yang mintakan ampun untuknya, harap supaya
kauwcu suka berikan keampunan dosanya kali ini"
Ho Su Yam juga tertawa bergelak-gelak.
"Siaohiap sungguh seorang sangat budiman! Dia hendak menangkap kau untuk
dipersembahkan kepada Istana Panjang Umur supaya mendapat pahala dan hadiah, sebaliknya
sekarang kau mintakan ampun untuk jiwanya, bukankah itu hanya suatu lelucon besar ?" Ia
mendadak berubah bengis.
"Hukuman mati aku dapat ampuni, tapi hukuman hidup tidak bisa. Lao Thie Pan dengar,
potong urat-urat kakinya, kutungi jari tangannya, hancurkan tulang pipeya, semuanya ini adalah
usulnya dia sendiri sedangkan konco-konconya semua juga dihukum demikian... "
"Kauwcu," menyelak Kim Houw, "Aku memintakan satu ampunan lagi padamu. Urat kakinya
boleh dipotong, tulang pipenya juga boleh dihancurkan, tapi jari tangannya harap jangan dikutungi.
Diganti dengan hukuman kurungan lama tahun. Dalam tempo mana, aku akan menghadiahkan
padanya serupa kepandaian ilmu kekuatan tenaga dalam. Lima tahun kemudian setelah dia
menjalani habis hukumannya, ilmu kekuatan tenaga dalam juga sudah dapat digunakan.
Bukankah ada baiknya bagi dirinya ?"
Ho Leng Than yang semula sudah terbang semangatnya, ketika Kim Houw memintakan
ampun untuk dirinya, hatinya lantas tergerak. Dengan tiba-tiba ia berotak dan melepaskan dirinya
dari cekalan Lo Thie Pan, kemudian ia berlutut di depannya Kim Houw sembari berkata :
"Budi Siaohiap yang sebesar gunung ini, aku tidak cukup hanya dengan mengucapkan terima
kasih saja. Asal aku masih hidup apa saja yang Hiaohiap perintahkan, sekalipun harus terjun ke
lautan api, tidak nanti aku menolak. Selanjutnya jika aku berani berbuat yang tidak patut lagi,
biarlah Tuhan yang akan mengutuk padaku !"
Lo Thie Pan tidak menduga akan tindakan Ho Leng Than itu, sehingga membuat ia terlepas
dari cekalannya. Semula ia hendak turun tangan menghajar, tapi setelah mendengar perkataan
tersebut, ia lantas urungkan maksudnya.
Ho Leng Than setelah berkata, tiba-tiba menghunus sebilah pisau belati. Semua orang
terkejut, mereka tidak tahu apa yang akan dilakukan anak muda itu.
Lo Thie Pan sudah siap menantikan perbuatan apa yang akan dilakukan oleh Ho Leng Than,
Jika anak muda itu hendak membunuh diri, ia segera akan turun tangan untuk mencegahnya.
Tidak nyana Ho Leng Than setelah menghunus belatinya tanpa ragu-ragu lagi lantas
dikerjakan pada kakinya sendiri, sehingga sebentar saja urat-urat dikedua kakinya sudah dipotong
sendiri olehnya.

Setelah urat-urat kakinya pada putus, Ho Leng Than juga lantas jatuh roboh tidak ingat dirinya
lagi.
"Bagus ! itu namanya baru satu laki-laki. Kalau begitu Ceng-how-kauw di kemudian hari akan
merupakan salah satu perkumpulan agama besar yang sangat bermanfaat bagi umat manusia"
demikian Kim Houw memberikan pujiannya, sambil acungkan jari jempolnya.
Ho Su Yam juga merasa bangga, lantas perintahkan orang-orangnya supaya puteranya lekas
diobati sebagaimana mestinya.
Satu pertanyaan apa sebabnya Kim Houw yang sudah makan obat mabuknya Ho Leng Than
bisa siuman sendiri? Apa ia mempunyai obat pemunah racunnya? Tidak! sebabnya ialah karena ia
telah dapat lihat berkelebatnya bayangan orang di luar jendela, dalam kecurigaannya, ia siangsiang
sudah waspada.
Lain halnya dengan Ho Su Yan, ia mengetahui orang main gila dari lain sudut, Lihay obat
mabuk itu, buktinya Tiong-ciu-khek sendiri yang sudah kenyang makan asam garamnya dunia juga
tidak mendusin akan obat mabuknya itu.
Itulah karena obat mabuk yang digunakan oleh Ho Leng Than, ada merupakan obat mabuk
spesial dari Ceng-hong-kauw, yang diturunkan dari suhunya Ho Su Yam. Tidak berwarna, tidak
ada baunya dan juga tidak ada rasanya, tapi bukan main lihaynya. Kalau si korban bisa berlaku
tenang masih tidak apa, tapi apabila terjejut atau ketakutan, bekerjanya obat itu semakin keras !
Ho Su Yam tahu benar-benar ciri cirinya obat mabuk itu. Ketika menyaksikan Tiong-ciu-khek
roboh, segera mengetahuinya kalau ada orang main gila, maka dengan cepat ia sudah menelan
obat pemunahnya. Cuma oleh karena ia belum tahu siapa orangnya yang main gila itu, untuk
dapat menangkap basah orang tersangkut, ia juga berlagak jatuh pingsan. Ho Leng Than yang
melihat rencananya berjalan dengan licin dalam kegirangannya ia tidak menjaga reaksi dari
ayahnya.
Kim Houw sebetulnya sudah ingin bertindak, tapi kemudian berpikir lain, ia kepingin tahu apa
yang akan dilakukan selanjutnya oleh Ho Leng Than terhadap diri para korbannya ? Oleh karena
adanya pikiran itu, maka ia juga berlagak mabuk.
Perbuatan Ho Su Yam yang menelan obat pemunah, juga sudah diketahui oleh Kim Houw. Ia
mengira bahwa orang tua itu berlagak berbuat demikian untuk mengelabui matanya orang banyak,
maka diam-diam ia merasa geli sendiri.
Kejadian selanjutnya benar-benar di luar dugaan Kim Houw, ia merasa kaget bercampur
heran. Ketika Ho Su Yam mengumpulkan orang orangnya yang berkepandaian tinggi. Kim Houw
sudah siap sedia untuk turun tangan. Tapi perubahan yang telah terjadi selanjutnya, ia baru
mengetahui bahwa pemimpin Ceng hong kauw itu benar-benar sudah berubah menjadi orang
baik, maka ia tidak segan-segan mintakan ampun bagi anaknya.
Ketika Tiong-ciu-khek dan Peng Peng mendusin, kembali diadakan perjamuan untuk kedua
kalinya dan pada saat itulah Kim Houw baru berani makan dan minum sepuas-puasnya.
Di kota Bu-ciang Kim Houw dan kawan kawannya cuma berdiam dua hari, Kim Houw ingin
melanjutkan perjalanannya. Ho Su Yam coba menahan seberapa bisa, tapi tidak berhasil, maka
akhirnya ia peringatkan orang orangnya menyediakan perahu besar untuk mengantar, tapi juga
ditolak oleh Kim Houw.

Beberapa hari kemudian, Kim Houw sudah meninggalkan Ouw pak, dengan melalui jalan air,
ia memasuki pedusunan yang banyak menghasilkan beras dan ikan, ialah Sin yang ouw di
propinsi Kang see.
Di sepanjang jalan meski orang-orang yang dapat perintah dari Kauwcunya pada menyambut
dengan meriah kedatangan rombongan Kim Houw, tapi semuanya itu dicegah oleh Kim Houw.
Maksudnya ialah supaya perjalanan mereka jangan sampai menimbulkan perhatian banyak orang
datang ke tepi telaga. Setelah mencari tempat yang agak sepi, ia mulai melatih ilmu silatnya Thianliong
Pat-sek.
Itu memang merupakan kebiasaannya yang suka melatih ilmu silat dengan seorang diri
diwaktu tengah malam.
Sekalipun diwaktu siang hari habis melakukan perjalanan jauh, kebiasaannya melatih ilmu silat
itu tidak pernah dilupakan, Oleh karena ia belum bisa bicara dengan lancar maka setiap kali ada
waktu terluang, ia lantas tidur, supaya diwaktu malam bisa melakukan latihannya dengan baik.
Malam itu, ia juga tidak kecualikan. Baru saja ia mencabut senjata Bak-tha Liong-kin nya ia
telah mengetahui bahwa di dekat situ ada orang. Ia memang ada satu bocah yang tidak kenal apa
artinya takut, cuma sayang ia tidak bisa bicara dengan lancar seperti manusia biasa.
Ia berdiri dengan otak penuh keheranan, matanya terus ditujukan ke tempat sembunyinya
orang tersebut. Ia sebetulnya ingin mengatakan siang-siang aku sudah mengetahui tempat
sembunyimu, mengapa kau masih belum mau keluar.!
Betulkah itu ada orang ? Memang benar. Ia ada seorang muda belia, ketika pemuda itu melihat
Co Seng mengawasi padanya dengan mata tidak berkesip, lantas mengetahui bahwa dirinya
sudah kepergok oleh bocah cilik itu. Dengan perasaan tidak enak ia berjalan keluar dari tempat
persembunyiannya, kemudian berkata kepada Co seng.
"Bocah cilik, pecutmu ini kau dapat curi dari mana ?"
Co seng meski masih kanak-kanak, tapi paling sebal kalau orang memanggil padanya bocah
cilik. Apalagi pemuda itu begitu membuka mulut lantas mengatakan padanya pencuri meski ia
tidak mengerti betul apa artinya mencuri, tapi nada suaranya kedengarannya kurang sedap dalam
telinganya. Cuma sayang ia kurang pandai bicara, maka tidak dapat berbantahan !
Mendadak ia sodorkan pecutnya, dengan gerakannya yang seenaknya, Agaknya ia tidak mau
mengatakan. Ambillah jangan malu-malu deh .!
Jawabnya yang merupakan gerakan tanpa bicara itu sebaliknya telah membuat tercengang
anak muda tadi.
Siapakah anak muda itu ? Ia adalah Sun Cu Hoa, cucu murid dari ketua partai sepatu rumput,
Cu Su. Sudah tentu ia mengenali senjata Bak-tha Liong-kin nya Kim Houw.
Sebab senjata Bak-tha Liong-kin itu merupakan senjata pusaka yang jarang ada dalam dunia
dan belum pernah terpisah dari dirinya Kim Houw. Tetapi kenapa sekarang berada dalam
tangannya bocah cilik ini ? Maka ia lantas menanyakan kepada Co seng, dari mana ia mencuri
senjata tersebut.
Dan ketika melihat Co Seng menyodorkan pecutnya tanpa bicara, dalam hatinya bertambah
heran. jikalau orang itu adalah satu manusia yang lihai, mungkin ia dapat menganggap bahwa Kim

Houw sudah dapat dicelakakannya. Tetapi bocah yang usianya belum cukup sepuluh tahun, biar
bagaimana orang tidak akan percaya, kalau Kim Houw dapat celaka di tangannya.
Ketika menyaksikan bocah itu meluruskan tangannya tanpa menunjukkan gerakan apa-apa,
betapapun kecilnya nyali Sun Cu Hoa, juga ia tentu ingin mencoba dan juga ingin mengetahui apa
yang akan dilakukan oleh bocah itu.
Maka Sun Cu Hoa diam-diam telah waspada, dengan gerakan kaki sewajarnya ia maju ke
muka beberapa tindak, kemudian mengulurkan tangannya untuk menyambuti senjata Bak-tha
Liong-kin. Ketika tangannya sudah dapat menyentuh pecut dan baru kelima jarinya hendak
menjambret, tiba-tiba matanya dirasakan kabur, tangannya ternyata telah menyambar tempat
kosong, kemudian disusul oleh bunyi suara "Plak" yang amat nyaring, pipinya mendadak sudah
ditampar mentah-mentah, Untung Co seng yang usianya masih terlalu muda, masih belum berapa
kuat tenaganya. Kalau tidak, tamparannya itu sudah pasti akan membikin rontok giginya.
Perbuatan Co Seng telah membuat Sun Cu Hoa murka benar-benar. Ia lalu mencabut
pedangnya, tetapi baru saja pedang keluar dari sarungnya, di bawah sinar bintang yang
berkeredepan, ia telah dapat melihat bahwa pecut ditangan bocah cilik itu sudah berkelebatan di
depan matanya.
Sun Cu Hoa terperanjat ! Ia terpaksa menggunakan pedangnya untuk menahan dan
menangkis, tetapi pecut itu masih terus saja berkisar di depan dan belakang dirinya, sehingga
terpaksa ia harus mundur sampai tujuh atau delapan tindak jauhnya, barulah ia berhasil
menyingkirkan dirinya dari ancaman pecut. Tetapi berbareng dengan itu hati Sun Cu Hoa sudah
merasa jerih.
Terpaksa ia mundur berulang-ulang, barulah dapat terlepas dari ancaman pecut.
Tetapi ketika ia mengawasi Co Seng, bocah itu ternyata sudah berdiri jauh-jauh sambil
memegangi senjatanya. Sikapnya tenang sekali, seolah-olah tidak pernah ada kejadian apa-apa.
Kejadian tersebut benar-benar diluar dugaan Sun Cu Hoa, ia sungguh-sungguh tidak
menyangka bahwa bocah yang usianya masih begitu muda sudah mempunyai kepandaian begitu
tinggi. Diam-diam ia telah kuatirkan dirinya Kim Houw, ia sangsikan kalau-kalau Kim Houw sudah
dibikin celaka oleh bocah ini.
Ia mana tahu, bahwa ilmu silat yang dipelajari oleh Co Seng itu sebetulnya hanya ilmu silat
"Hiang mo Pian hoat" dan "Thian liong Pat sek" Ilmu silat "Hiang mo Pian hoat" ini, seorang ahli
pedang yang sudah terkenal ulungnya seperti Tiong ciu khek, ketika menghadapi Kim Houw
dengan ilmu silatnya itu, juga tidak sanggup melawan sampai tiga puluh jurus, Maka dapat diduga
sendiri sampai dimana kelihayan ilmu silat tersebut.
Dalam kaget dan gusarnya Sun Cu Hoa lantas mengeluarkan bentakan keras :
"Bocah cilik, siapa sebetulnya kau ini ? Jika kau tidak mau bicara terus terang, kau jangan
sesalkan pedangku ini tidak mengenal kasihan"
Co Seng belum dapat mempelajari bahasa dengan baik, tetapi ia dapat meniru suara
ketawanya Kim Houw dengan baik sekali. Saat itu ia meniru lagaknya Kim Houw waktu sedang
ketawa dingin, Bak-tha Liong-kin nya kembali disodorkan.
Kali ini maksudnya hendak mengatakan, Apa kau masih berani ?

Sun Cu Hoa benar-benar sudah tidak dapat mengendalikan marahnya lagi. Sikap bocah cilik
itu sungguh keterlaluan. Sebagai seorang laki-laki dia lebih suka binasa daripada dihina. Maka
setelah membentak keras ia lantas mulai dengan serangannya. Serangannya itu hebat sekali,
sebentar saja ia sudah melancarkan serangan berantai sampai tujuh kali, setiap kalinya ada begitu
ganas dan hebat.
Sun Cu Hoa yang berasal dari keturunan keluarga ahli silat, ditambah lagi dengan didikan Cu
Su, sudah tentu bukannya orang sembarangan. Hanya saja sekali ini ia telah bertemu dengan
seorang bocah yang mempunyai kepandaian ilmu mengentengi tubuh yang luar biasa.
Apalagi Co Seng baru saja mempelajari ilmu silatnya "Thian liong Pat sek" yang luar biasa
lihaynya dan justru tidak menemukan lawan untuk mencoba coba, maka ketika melihat Sun Cu
Hoa menyerang dengan pedangnya, ia lantas melesat tinggi. Di tengah udara ia berputar putaran
sambil memutar senjatanya, bukan saja sudah berhasil menghindarkan serangannya Sun Cu Hoa
yang sangat hebat itu, sebaliknya malah membuat Sun Cu Hoa terkurung di bawah ancaman
pecutnya.
Gerakan Co Seng itu ada cepat dan hebat sekali. Sun Cu Hoa sampai kelabakan. Sehingga ia
mundur secara teratur, tiba-tiba ia melihat sesosok bayangan hijau yang melesat menerjang ke
arah Co Seng.
Begitu melihat bayangan hijau itu Sun Cu Hoa lantas mengetahui bahwa kawannya telah tiba.
Kawannya itu adalah seorang tinggi kurus yang bernama Kam Tiauw, tetapi orang orang suka
memanggil padanya Hie Kong kong. Usianya kira-kira enam puluh tahun. Ia merupakan salah satu
orang kuat dalam kawanan partai Sepatu rumput yang menyembunyikan diri di suatu desa di tepi
telaga Sin yang ouw. Sekali ini Sun Cu Hoa telah mendapat perintah dari Cu Su untuk mendatangi
tempat itu dan mencari Kauw cu dan malam itu mereka sedang merundingkan persoalan Istana
Panjang Umur di gunung Kuo cong san.
Mendadak terlihat gerakannya Co Seng, Sun Cu Hoa tidak mengetahui apa yang akan
diperbuat bocah itu, maka sengaja ia mengintai sambil menyembunyikan diri.
Siapa nyana, Co Seng begitu tiba ditempat tersebut langsung mengeluarkan senjatanya Baktha
Liong-kin yang benar benar telah mengejutkan Sun Cu Hoa, maka ia mencoba untuk
mendekati sehingga akhirnya ia telah kepergok oleh Co Seng.
Ketika Sun Cu Hoa sudah mundur dan terhindar dari serangan Co Seng, Hie kong kong juga
sudah melayang turun sambil membawa Bak-tha Liong-kin di tangannya.
Sun Cu Hoa ketika melihat senjata tersebut dapat dirampas, bukan main girangnya :
"Hie kong kong, jangan sampai bocah itu kabur begitu saja."
"Jangan kuatir. ia tidak dapat kabur. hanya aku merasa heran, mengapa ia mempunyai senjata
pusaka ini ? Apa kau kenal ?
Sun Cu Hoa pernah membicarakan halnya Kim Houw dengan orang tua itu, selagi ia hendak
memberitahukan bahwa itu ada senjatanya Kim Houw yang dibawanya dari Istana Panjang Umur,
tetapi entah bagaimana telah berada di tangannya bocah tersebut, belum sampai ia membuka
mulutnya, mendadak ia melihat berkelebatnya satu bayangan orang, kemudian disusul oleh jeritan
kagetnya Hie kong kong.
Ternyata tangannya Hie kong kong pada saat itu sudah kosong. Ia berdiri seperti terpaku,
wajahnya sebentar merah dan sebentar pucat, agaknya ia merasa sangat malu.

Ketika Sun Cu Hoa berpaling ke arah Co Seng, bocah itu tengah berdiri dengan bangga sambil
memegangi senjatanya yang baru saja direbutnya kembali dari tangannya Hie kong kong.
Wajahnya menunjukkan ketawanya yang mengandung arti. Orang tidak mengetahui apa yang
sedang dipikirkan oleh bocah nakal itu.
Sun Cu Hoa kali ini bukan hanya kaget saja, perasaan takut dalam hatinya sungguh tak dapat
dilukiskan. Kalau senjata itu dapat direbut dari tangannya, masih tidak begitu mengherankan.
Tetapi Hie kong kong yang merupakan salah satu orang kuat dari partai Sepatu Rumput,
bagaimana senjata yang sudah berhasil direbut dari tangan lawannya, dalam waktu sekejap saja
telah dapat dirampas kembali, apalagi lawannya itu hanya merupakan seorang bocah saja.
Bukankah kejadian itu merupakan kejadian yang sangat langka ?
Bocah itu kelihatannya masih belum mau kabur, agaknya ada orang yang dibuat andalan,
maka sedikitpun ia tidak merasa kuatir.
Sun Cu Hoa lantas berseru:
"Jangan biarkan ia kabur ! itu adalah senjata Bak-tha Liong-kin, senjatanya Kim Siaohiap yang
didapatkan dari Istana Panjang Umur.
Hie kong kong pada saat itu sudah mulai tenang pikirannya, ia mengangguk anggukkan
kepalanya, kemudian berpaling dan memandang Co Seng agak lama, baru ia berkata :
"Adik kecil, kau bernama apa ? Siapakah suhumu ?"
Co Seng mengerti maksud pertanyaan orang tua itu, namanya sendiri dan nama Kim Houw
juga dapat disebutnya. Seandainya pertanyaan itu diajukan oleh Sun Cu Hoa sejak tadi mereka
saling bertemu, mungkin ia sudah menjawab dan tidak menimbulkan urusan.
Tetapi sekarang Co Seng sengaja tidak mau menjawab, sebab bocah itu adatnya keras dan
aneh. Dalam alam pikirannya sudah menganggap bahwa mereka itu adalah kawanan orang-orang
jahat yang hendak merampas senjatanya. maka perlu apa diberitahukan namanya ?
Ia sengaja menutup rapat mulutnya, tetap berdiri seperti orang linglung, wajahnya
menunjukkan ketawa aneh.
Kelakuan Co Seng itu benar-benar membuat gusar Hie kong kong. Biar bagaimana mereka
tidak mau percaya bahwa anak yang sudah demikian besarnya tidak mengerti perkataan orang.
Hie kong kong menganggap bocah itu terlalu sombong, hingga tidak ada gunanya bicara
banyak-banyak dengannya. Masih bocah sudah begitu jumawa dan kurang ajar, bagaimana nanti
kalau sudah dewasa.
Maka, seketika itu wajah Hie kong kong lantas berubah, mendadak timbul pikirannya untuk
menyingkirkan jiwa bocah itu. Dengan mata bengis dan tangan diluruskan setindak demi setindak
ia menghampiri Co Seng.
Co Seng yang tidak kenal takut, sudah tentu tidak mengerti apa artinya lihay. Menampak Hie
kong kong menghampiri dengan sikapnya yang demikian, ia juga tidak bersedia untuk lari, bahkan
semakin brutal ia menunjukkan ketawanya cengar cengir. Ia tidak tahu bahwa bahaya sedang
mengancam dirinya.

Hie kong kong berada kira-kira lima kaki jauhnya dari diri Co Seng, jarak itu sudah cukup
dengan seuluran tangan saja. Tapi Co Seng masih belum memikirkan untuk kabur. Andaikata ia
hendak kabur juga sudah tidak keburu !
Hie kong kong sambil melonjorkan tangannya, ia menanya pula kepada Co Seng :
"Siapa sebetulnya suhumu ? Kalau tidak mau memberitahukan, jangan sesalkan aku orang tua
berlaku telengas terhadap dirimu !"
Tapi Co Seng yang melihat sikapnya Hie kong kong dengan kedua tangan menggeleser ke
bawah serta bajunya warna hijau yang kedombrongan, mirip seorang malaikat di akherat, dalam
hati merasa geli, dan kemudian benar-benar ia sudah tertawa terpingkal pingkal. Terhadap
perkataan Hie kong kong sepatahpun tidak ada yang masuk dalam telinganya.
Hie kong kong semakin gusar, dengan mendadak ia mengangkat kedua tangannya, lalu
digunakan untuk menyerang dengan berbareng.
Serangannya itu ia lakukan dengan tenaga sepenuhnya, sebentar saja suatu kekuatan yang
sangat hebat telah menyambar ke arah badan Co Seng.
Co Seng sejak kanak-kanak sudah melatih ilmu mengentengi tubuh yang luar biasa, ditambah
lagi dengan pelajaran dua rupa ilmu silat luar biasa pula dari Kim Houw, tapi kekuatan tenaga
dalamnya dan kekuatan luarnya masih belum mempunyai dasar yang sempurna.
Begitu melihat sambaran angin yang begitu dasyat, ia sudah tidak keburu untuk menyingkirkan
diri. Pada saat itu mendadak ada semacam tenaga lunak, telah menjambret dirinya Co Seng,
sehingga terhindar dari bahaya.
Co Seng tercengang, ketika ia menengok ke belakang, ternyata . . .
Dari pihaknya Hie kong kong sudah bertekad hendak menyingkirkan dirinya Co seng, maka
kalau serangannya mengenai dirinya si bocah binal, tidak ampun lagi jiwanya Co Seng pasti
melayang. Siapa nyana dengan mendadak . . .
Semacam kekuatan tenaga yang tidak kelihatan, seolah olah tembok dinding yang kokoh kuat
telah membendung tenaga serangan Hie kong kong hingga bocah binal itu bisa lolos dari
kurungan kekuatan sambaran anginnya.
Kepandaian tersebut telah membuat Hie Kong-kong terkejut dan terheran-heran. ketika ia
menegasi, di bawahnya sinar bintang, entah sejak kapan telah berdiri seorang pemuda cakap
yang sedang mengawasi padanya sambil bersenyum.
Hie Kong Kong masih belum hilang rasa kagetnya, mendadak terdengar seruannya Cu Hoa
yang berada di belakang dirinya.
"Haa, Kim Siaohiap, kiranya adalah kau!"
Memang benar pemuda cakap yang baru datang itu adalah Kim Houw.
Apa ia datang tepat pada waktunya ? Tidak! Ia sebetulnya siang-siang sudah tiba di tempat itu.
Sebab setiap malam jika Co Seng pergi melatih ilmu silatnya secara diam-diam, ia selalu
mengikutinya secara diam-diam juga.

Sudah tentu ia tidak dapat melepaskan dirinya bocah nakal itu begitu saja. Anak yang masih
baru berusia tujuh tahunan dan membawa senjata pusakanya yang sangat berharga itu.
Tetapi mengapa ia tidak mau menunjukkan dirinya siang-siang ? Itu disebabkan karena ia ingin
menguji kekuatan dan ketabahan Co Seng.
Dan apa yang disaksikannya malam itu telah membuat Kim Houw merasa cukup puas, kalau
tidak karena Co Seng terancam bahaya, ia masih belum mau menunjukkan dirinya.
Sampai di sini Sun Cu Hoa lalu memperkenalkan Kim Houw dengan Hie Kong-kong.
Kim Houw segera minta maaf kepada Hie Kong-kong serta menerangkan bahwa Co Seng
adalah muridnya yang baru saja di pungutnya meskipun usianya sudah tujuh tahun, tetapi masih
belum pandai bicara.
Murid baru serta masih berbau pupuk bawang sudah mempunyai kepandaian begitu hebat,
apalagi suhunya. Terutama kepandaian Kim Houw yang baru saja diunjukkan tadi yang dipakai
membendung serangannya, betul-betul merupakan suatu kepandaian yang istimewa, sehingga
Hie Kong-kong merasa sangat kagum sekali.
Kepada Sun Cu Hoa, Kim Houw lalu menanyakan tentang dirinya Cu Su.
"Suhu sedang melakukan perjalanan ke Bin-kang untuk menemui sahabatnya, nanti pada
permulaan bukan tujuh pasti ia datang. Siaote sendiri juga ingin pulang ke Shoe-tang Selatan lebih
dahulu, juga akan balik pada permulaan bulan tujuh itu. Entah Kim-Siaohiap ada mempunyai
pesanan apa ?" demikian jawabnya Sun Cu Hoa.
"Tidak, tidak ada apa-apa, aku hanya ingin menanyakan saja. Sebab aku sudah berjanji
dengan Sin-hoa Locianpwe bahwa pada tanggal tujuh bulan tujuh kita nanti akan berkumpul di
Istana Panjang Umur. Mudah-mudahan kita nanti berhasil membasmi Kow-low Sin-ciam dan
kambrat-kambratnya untuk menjamin keamanan di dunia rimba persilatan."
Pada saat itu Hie Kong-kong juga lantas menyeletuk :
"Kim Siaohiap, bagaimana kalau kita beromong-omong di dalam perahumu?"
"Ahh, tidak usah. Kalau Hie Kong-kong berperahu, aku mohon supaya besok pagi membawa
aku dan kawan-kawanku untuk menyeberangi telaga ini." jawab Kim Houw merendah.
"Itu mudah sekali, besok aku pasti akan menunggu di tempat ini." sahut Hie kong kong sambil
tertawa bergelak-gelak.
Setelah berpamitan dengan Hie kong kong dan Sun Cu Hoa, Kim houw lalu mengajak Co
Seng pulang.
Keesokan harinya, Kim Houw lantas memberitahukan kejadian yang dialaminya tadi malam
kepada Tiong-ciu-khek dan Peng Peng. Tentang dirinya Hie kong kong ternyata Tiong ciu khek
sudah lama pernah mendengar namanya. Ketika mendengar keterangan Kim Houw bahwa Co
Seng dapat merebut kembali senjatanya dari tangan Hie kong kong, ia agaknya tak mau percaya.
Apalagi tentang Sun Cu Hoa yang katanya juga tidak dapat menandingi Co Seng ia lebih-lebih
tidak mau percaya. Meskipun Sun Cu Hoa juga berusia tujuh belas tahunan, tetapi tentang
kepandaian anak muda itu Tiong ciu khek juga sudah pernah melihatnya. Kalau tidak karena

kekuatan tenaganya yang masih agak kurang sempurna, ia sudah termasuk salah satu orang kuat
dalam rimba persilatan. Cara bagaimana ia tidak mampu menandingi seorang bocah cilik seperti
Co Seng ?
Tetapi kalau tidak percaya, mau apalagi ?
Kim Houw tokh tidak ada untungnya mengagulkan dirinya Co Seng. Apalagi sebentar tokh
akan bertemu dengan Hie kong kong sendiri, dari mulutnya orang tua nanti tentu akan mendapat
keterangan yang lebih jelas tentang kejadian malam itu.
Setelah semuanya siap sedia, rombongan Kim Houw lalu berjalan menuju ketepi telaga, di
sana sudah menunggu Hie kong kong dengan perahunya. Dengan lakunya yang hormat sekali Hie
kong kong mengajak Kim Houw dan kawan kawannya naik ke ats perahunya. Terhadap Co Seng,
kelihatannya ia suka sekali ia mengelus elus kepalanya sambil tertawa tawa, mulutnya memuji
muji tiada henti hentinya.
Kim Houw lalu memperkenalkan Tiong ciu khek dan Peng Peng pada Hie kong kong, masingmasing
pada menyatakan kekagumannya.
Tetapi ketika Hie kong kong mendengar pujiannya Tiong ciu khek, ia lantas bertanya sambil
menggeleng gelengkan kepalanya :
"Ah, aku sudah tua, sudah tidak ada gunanya lagi. Sekarang kita harus mengandalkan tenaga
orang-orang dari angkatan muda umpama Kim Siaohiap yang mendapat pelajaran ilmu silat dari
istana panjang umur di gunung Tiang pek san, sampai dimana tingginya kepandaian itu, tidak
perlu dibicarakan lagi. Hanya melihat dari kepandaian si bocah cilik itu saja, sudah cukup
membuat aku si tua bangka merasa kagum dan takluk benar-benar . . . "
Karena perahu itu tidak besar, maka setelah semua orang duduk, sisa tempat yanng terluang
tidak seberapa lagi.
Selagi Hie kong kong hendak mendayung perahunya, tiba-tiba ia mendengar suara tindakan
kaki yang sangat tergopoh-gopoh. Sebentar kemudian, ditepi telaga itu telah muncul seorang
hwesio tinggi besar, tangannya membawa tongkat, dibelakang gegernya menggemblok sebuah
Bok-hie besar, begitu tiba, ia lantas berteriak dengan suaranya yang seperti geledek: "Tunggu
dulu! Hudyamu juga ingin menyeberang kesana!"
Semua orang terkejut melihat kedatangan hwesio yang romannya bengis itu, kepalanya besar,
badannya tinggi besar, dengan sikapnya yang sangat jumawa.
Hie Kong-kong tetap memegang galahnya dan hendak melanjutkan usahanya untuk
mendayung perahunya, tetapi mulutnya lantas menyahut: "Tay-suhu, harap kau suka memaafkan
banyak-banyak. Karena perahuku ini kecil dan orangnya banyak, ditambah lagi di telaga ini angin
dan ombaknya besar. Jika terjadi sesuatu hal yang tidak diingini, bukan saja berarti mencelakakan
diri orang lain, tetapi diri kita sendiripun akan mendapat susah. Tay-suhu adalah seorang
beribadat, harap..."
Hwesio itu menyaksikan Hie Kong kong hendak meninggalkan padanya, hatinya semakin
mendongkol. Ia tidak menantikan habisnya keterangan Hie Kong kong, tongkatnya sudah
digerakkan untuk menahan perahu yang hendak berangkat itu.
Tenaga hwesio itu ternyata kuat sekali, karena perahu yang ditahan oleh tongkatnya tadi
lantas tidak dapat bergerak lagi.

"Orang banyak tohk bisa disuruh turun semua, karena hudya-mu ada urusan penting maka
mau tidak mau kau harus seberangkan aku dulu." demikian kata hweeshio itu sambil ketawa
besar.
Orang-orang yang berada di atas perahu itu semuanya merupakan orang-orang yang tidak
suka menerima hinaan begitu saja. Melihat sikapnya yang jumawa serta romannya yang jahat dari
hwesio itu, dapat diketahui bahwa hwesio itu bukan dari golongan orang baik-baik. Tetapi dari
gerakannya yang diunjukkan tadi, telah terlihat bahwa si hwesio mempunyai kekuatan tenaga
dalam yang tinggi dan mungkin masih ada diatasnya Hie Kong kong.
Meskipun Hie Kong-kong mengetahui bahwa dirinya sendiri bukan tandingan hweeshio itu,
tetapi karena didalam perahu itu masih ada Tiong-chiu-khek dan Kim Houw, maka dengan tidak
perdulikan apa akibatnya lagi ia hendak terus mendayung perahunya ke tengah telaga.
Menurut perhitungannya , asalkan perahu itu sudah bergerak meninggalkan tepian, jika hwesio
itu berani menggunakan kekerasan, masa ia berani terbang kedalam perahu, apalagi disitu masih
ada Kim Houw dan lain-lainnya.
Siapa nyana, galah bambu yang dipakai untuk mendorong perahunya itu mendadak patah
menjadi dua dan perahu itu sedikitpun tidak bergerak.
Hie Kong-kong mati kutunya, dalam keadaan demikian, amarahnya lantas meluap.
Tiba-tiba terdengar suaranya hwesio itu yang berkata sambil ketawa dingin : "jikalau kau tidak
mau menyeberangkan Hudya-mu kesana, hari ini jangan harap perahumu dapat bergerak, Hai,
bagaimana? apa kalian semuanya bangkai hidup, mengapa tidak lekas-lekas turun, ke darat?
Kalau Hudya-mu nanti sudah gusar, jangan harap nanti bisa hidup."
Pada saat itu, tiba-tiba Kim Houw berbisik-bisik di telinganya Co Seng, entah apa yang
dibicarakan.
Si Hwesio yang menyaksikan keadaan demikian, lantas berteriak-teriak saking gusarnya :
"Bagus sekali. Kiranya kalian hendak main gila! Nanti Hudya-mu suruh kalian menerima
siksaan dulu sebelum mati..."
Siapa nyana, belum habis ucapannya itu, mendadak dirasakan matanya kabur, sesosok
bayangan orang sudah menyerang di depan matanya.
Si hwesio semakin gusar. Ia lalu mementang lengan bajunya, di depan dadanya lalu terkurung
oleh kekuatan tenaganya. Tetapi ketika ia baru saja mengangkat jubahnya, orang di depannya tadi
sudah menghilang.
Kemudian disusul oleh perasaan dingin yang di belakang punggungnya yang terus meresep ke
belakang pinggangnya, sehingga pinggangnya, sehingga pinggang itu dirasakan sakit meskipun
rasa sakitnya itu tidak hebat, tetapi masih dibarengi oleh rasa ngilu dan gatal.
Bukan kepalang kagetnya hwesio itu, ia tidak mengetahui senjata rahasia apa itu yang dapat
merayap dan dapat juga menggigit ?
Maka cepat-cepat ia menurunkan Bok-hie-nya dan mengendorkan jubahnya untuk memeriksa.

Tetapi ketika ia sudah menyaksikan sepasang matanya lantas mendelik, mulutnya berteriakteriak.
Apa sebetulnya yang telah terjadi? Kiranya itu hanya dua ekor udang hidup yang benar-benar
yang tadi malam didapat oleh Hie Kong-kong dari dalam telaga itu dan akan digunakan untuk
santapan tengah hari untuk para tamunya. Tidak nyana udang itu telah digunakan oleh Kim Houw
untuk mempermainkan dirinya si hweeshio.
Hwesio yang dipermainkan demikian rupa itu sudah tentu tidak mau mengerti. Tetapi ketika ia
membuka matanya lebar-lebar untuk mencari orangnya yang berani berbuat begitu jahil terhadap
dirinya, ternyata perahunya Hie Kong-kong sudah berada jauh ditengah telaga, meninggalkan
hwesio itu dalam keadaan kalap sendiri.
Perahu itu, di bawah kekuasaannya Hie kong-kong, dapat berjalan sangat laju dan sebentar
saja mereka sudah menghilang dari pemandangan si kepala gundul.
Pada waktu senja hari itu perahu yang ditumpangi Kim Houw dan kawan-kawannya sudah tiba
di kota Jiauw ciu. Karena Hie Kong-kong masih sedang menantikan kedatangan salah seorang
kawannya, maka Kim houw setelah berpisah dengan Hie Kong-kong bersama kawan-kawannya
melanjutkan perjalanannya melalui darat.
Malam itu mereka menginap disalah satu penginapan dalam kota tersebut.
Tengah malamnya, kembali Co Seng hendak keluar dari rumah itu untuk melatih ilmu silatnya.
Tetapi baru saja ia bergerak, tiba-tiba ia mendengar suara Kim Houw yang berkata:
"Co Seng, kita telah kedatangan tetamu malam yang tidak seberapa. Kau pergi gusur
kepalanya kemari, nanti aku yang periksa padanya.
Co Seng girang sekali mendapatkan tugas itu dengan cepat ia sudah melompat melesat
melalui lubang jendela.
Baru saja Co Seng berada di atas genteng, benar saja dari jauh ia sudah melihat sesosok
bayangan hitam yang lari mendatangi laksana terbang.
Co Seng maju menghampiri dan menghadang perjalanan orang tersebut.
Tetamu malam itu ternyata adalah satu pemuda yang berusia kira-kira dua puluh tahun.
Karena Co Seng tidak pandai bicara, maka ia mengenakan tangannya menunjuk ke dalam
ruangan, seolah-olah hendak berkata: Silahkan turun, kita sudah menantikan kedatanganmu.
Tetapi pemuda tersebut, ketika dengan secara mendadak dirinya dipegat oleb satu satu bocah
cilik, agaknya memandang enteng sekali. Sambil miringkan badannya, ia hendak meneruskan
perjalanannya sambil memutar di sampig Co Seng.
Tidak dinyana, baru saja badannya bergerak, kembali jalannya sudah dirintangi oleh Co Seng
dengan satu tangannya yang lain tetap digunakan untuk menunjuk ke ruang bawah. Bagi Co
Seng, perbuatan demikian itu dianggapnya sudah sangat hormat terhadap tetamunya.
Tetapi pemuda itu agaknya mempunyai urusan yang sangat penting, maka ia tidak mau
meladeni Co Seng. Beberapa kalipun ia sudah berusaha untuk menyingkirkan diri dari bocah itu,
selalu tidak berhasil menyingkir dari depannya Co Seng, maka ia lantas menjadi gusar.

"Anak busuk, kau mau apa?" demikian tegurnya. Co Seng hanya mengganda ketawa,
tangannya kembali menunjuk ke arah ruangan, mulutnya hanya mengeluarkan perkataan:
"Silahkan... silahkan....."
Pemuda itu dibikin bingung oleh lakunya, tetapi kegusarannya tetap memuncak. Dengan tibatiba
ia mengayun tangannya untuk menyerang Co Seng. Meskipun serangannya itu tidak dibarengi
oleh kekuatan sambaran angin, tetapi juga tidak lemah.
Tetapi yang diserang ternyata sudah tidak kelihatan lagi bayangannya sekalipun. Selagi
berada dalam keadaan kaget dan terheran-heran, mendadak kedua pergelangan tangannya
dirasakan kesemutan semuanya kemudian pundak kanannya dirasakan seperti terdorong oleh
tangan orang, sehingga badannya jatuh meluncur kebawah.
Co Seng setelah berhasil mendorong turun pemuda tersebut, di belakang dirinya kembali telah
muncul satu bayangan orang, dengan gerakannya yang gesit sekali.
Co Seng lalu menghunus senjata Bak-tha Liong kin-nya, dengan gerak tipu "Thian-liong Patsek"
badannya melompat tinggi keatas.
Kemudian memutar ditengah udara dan menyerang sambil menukik. Pikirnya ia hendak
menggusur orang itu seperti caranya menghadapi pemuda tadi.
Tiba-tiba ia mendengar suaranya Tiong ciu-khek yang berkata:
"Co Seng! Aku..."
Dalam kagetnya Co Seng buru-buru tarik kembali serangannya, ditengah udara ia
berjumpalitan sampai tiga kali baru menjelang turun. Ia buru-buru memberi hormat sambil minta
maaf kepada Tiong ciu khek.
"Apa hanya satu orang saja?" tanya Tiong ciu khek.
Co Seng mengangguk anggukkan kepalanya, lantas lompat turun ke bawah.
Tiong ciu khek merasa kagum sekali atas kecerdasan Co Seng, dalam usia yang demikian
mudanya ia sudah mempunyai daya perasaan yang begitu tajam. Ia sendiri yang baru
menginjakkan kakinya di atas genteng, lantas mau diserang dengan senjatanya Bak-tha Liong kin.
Kegesitan untuk bergerak, mungkin tidak kalah dengan orang-orang yang tergolong kuat dalam
kalangan persilatan. Hanya sayang tenaganya masih kurang. Seandainya ia mendapatkan secara
mujijat seperti halnya dengan Kim Houw yang mendapatkan kekuatan tenaga di luar batas
kekuatan manusia biasa, maka kedatangannya ke Istana Panjang Umur kali ini, pasti ia akan
merupakan seorang pembantu yang sangat berharga.
Tiong chiu khek begitu turun dari atas genteng, segera dapat melihat Kim Houw di dalam
kamarnya lampunya sudah dinyalakan dan Peng Peng juga turut serta dalam kamar tersebut,
maka ia lantas menghampiri mereka.
Di dalam kamar itu, Kim Houw sedang memeriksa apa-apa dibawahnya penerangan lampu.
Ketika Tiong ciu khek sudah berada di dekat sisinya, barulah ia mengetahui bahwa apa yang
diperiksa oleh Kim Houw tadi ternyata adalah suratnya Siao Pek Sin yang dikirim untuk kauwcu
Ceng hong kauw.

Dalam surat itu diterangkan bahwa Hay lam Siang koay tiba tiba telah pulang dan bersedia
membantu padanya memulihkan kembali kewibawaan Istana Panjang Umur. Disamping itu, masih
ada lagi Kow low Sin ciam, Thie Bok Taysu, Ho pak am Sian dan lain lainnya yaitu orang orang
kelas satu dari golongan hitam yang bersedia untuk menghadapi Kim Houw, maka diminta supaya
kauwcu itu supaya dengan segera datang ke Kua-chong-san untuk mengadakan perundingan
bersama sama.
Sehabis membaca surat itu, bukan main kagetnya Tiong ciu khek. Sebab seorang seperti Kow
low Sin ciam saja sudah cukup menakutkan, apalagi sekarang dibantu oleh Hay lam Siang koay
yang mempunyai kepandaian istimewa. Karena Tiong ciu khek belum pernah bertemu dengan
mereka maka ia belum mengetahui sampai dimana tingginya kepandaian mereka. Tetapi Thie Bok
Taysu dan Hoa pak Sam sian merupakan kawanan manusia iblis yang namanya sama terkenal
dengan Kow low Sin ciam dan Liok cie Tianmo. Meskipun belum pernah bertemu, tetapi
keganasan mereka hampir diketahui oleh setiap orang dalam kalangan persilatan. Anehnya orang
orang ini semuanya yang tadinya sudah lama tidak muncul-muncul didepan umum, mengapa tibatiba
sekarang muncul lagi dan membuat keonaran dalam kalangan Kang-ouw lagi dengan
berbareng.
Kekuatiran Tiong-cui-khek ini sudah tentu tidak diketahui oleh Kim Houw dna Peng Peng,
sebab kecuali Kow-low Sin-ciam dan Liok-cie Thian-mo, mereka belum pernah mengetahui nama
yang lain-lainnya itu.
Hay Lam Siang koay,meskipun sudah lama berkumpul dengan Kim Houw didalam Istana
Panjang Umur, tidak diketahui kepandaiannya berapa tingi? Sebab ketika itu semua orang yang
berada dalam istana tersebut, siapapun tidak pernah membicarakan soal kepandaian ilmu silat.
Keadaan Kim Houw pada saat itu, sekalipun orang-orang pada membicarakan soal yang
berhubungan dengan ilmu silat, ia sendiripun tidak akan mengerti.
Akhirnya Kim Houw seperti mengingat pada sesuatu hal, maka ia lantas menanya kepada
Tiong-ciu-khek : "Ya, orang-orang ini terdiri dari golongan apa saja? Apakah mereka semuanya
lihay?" "Mungkin dunia akan kiamat, maka pengaruhnya iblis merajalela. Kawanan manusia iblis
ini sudah lama namanya tidak terdengar lagi, bagaimana secara mendadak dapat muncul lagi?
Dalam kalangan persilatan semua pada menduga bahwa mereka semuanya sudah pada
mampus. Tetapi siapa nyana..." bicara sampai di sini, Tiong-ciu-khek tiba-tiba berseru kaget,
kemudian berkata pula : "jikalau begitu ia, bangsat kepala gundul yang kemarin kita ketemukan di
tepi telaga kiranya adalah dia."
"Dia siapa?... " tanya Kim Houw dan Peng Peng berbareng.
"Kemungkinan besar adalah dia, kalau bukan dia, bagaimana bisa mempunyai kekuatan begitu
hebat?"
"Maksud yaya apakah bukan mau mengatakan bahwa sikepala gundul itu adalah Thian Bok
Taysu? Dengan sejujurnya, kalau dilihat dari keadaan kemarin itu, tidak ada apa-apanya yang
hebat pada dirinya. Co Seng saja sudah membuat ia berteriak-teriak kelabakan." nyeletuk Kim
Houw.
"Itu hanya kebetulan saja, bagaimana dapat dibuat ukuran? Bok-hie dan tongkatnya Thie Bok
Taysu sudah lama merupakan senjata yang terkenal hebatnya.
Disamping itu masih ada lagi sebuah golok Kayto yang direndam dalam racun, merupakan
senjata yang sangat jahat, senjata itu dapat digunakan secara leluasa dan dapat pula digunakan
untuk menyerang sasarannya yang berada sejauh tiga tombak. Tentang Co Seng memang ada
satu tenaga bantuan yang sangat baik, hanya sayang. lihaynya masih kurang, apa lagi tenaga
dalamnya, ia tidak nanti dapat menghadapi kawanan iblis itu.

Kim Houw yang mendengar keterangan itu, agak lama ia berpikir, kemudian berkata:
"Begini saja, waktunya tokh masih ada setengah bulan lebih. Selama beberapa hari ini aku
ingin mengorbankan sedikit kekuatan untuk disalurkan ke dalam tubuhnya Co Seng supaya
bertambah. Taruh kata tidak digunakan untuk menyerang orang, untuk melindungi dirinya sendiri
rasanya sudah lebih dari cukup"
Sehabis berkata demikian Kim Houw lantas buktikan apa yang dipikir. Sementara itu pemuda
yang tergeletak di tanah itu oleh Tiong-ciu-khek dibawa keluar dan diletakkan di luar kota.
Suratnya dikembalikan ke dalam sakunya.
Pemuda itu, ketika terjatuh dari atas genteng, ingatannya sudah kabur, sehingga ia tidak lagi
mengetahui apa yang telah terjadi pada dirinya. Tatkala ia siuman kembali dari pingsannya, ia
telah mendapatkan kenyataan bahwa dirinya sekarang sudah ada di luar kota. Ia memikir bulak
balikpun tidak mengerti, bagaimana caranya ia bisa berada di situ. Tetapi karena barangbarangnya
tidak ada yang hilang, maka dengan terbirit-birit ia melanjutkan perjalanannya.
Sudah tentu, karena perhubungannya dengan Kim Houw, Ceng-hong-kauw tidak mau masuk
dalam persekutuan Siao Pek Sin lagi, maka Kim Houw tidak perlu menahan surat undangan
tersebut supaya pemuda itu tidak terlalu bercuriga.
Sekarang kita balik lagi kepada Kim Houw yang sedang menyalurkan kekuatan tenaga ke
dalam tubuh Co Seng.
Semula Co Seng masih sangat gembira. Ia menurut perintahnya Kim Houw disuruh duduk,
disuruh tidur, ia juga disuruh memejamkan mata ia juga memejamkan matanya. Pendek kata
disuruh apa saja ia terus menurut.
Tetapi ketika Kim Houw Han-bun-cao-khie masuk ke dalam badan Co Seng, hawa dingin itu
telah membuat Co Seng menggigil tidak berhenti-hentinya. Perasaan gembiranya lenyap seketika
itu juga dan diganti dengan penderitaan, badannya seluruhnya dirasakan dingin.
Bersambung Jilid ke 32
Oleh karena ingin mendapatkan kekuatan dalam waktu singkat, Co Seng terus menahan rasa
sakitnya sambil kertek gigi, sedikitpun tidak mengeluh.
Tapi hawa dingin itu makin lama makin hebat, sehingga semua anggauta badannya seperti
sudah beku seluruhnya. Akhirnya, matanya dirasakan gelap dan sebentar kemudian sudah tidak
ingat apa-apa lagi.
Ketika ia siuman kembali, keadaan di sekitarnya sudah gelap, ia sendiri tidak mengetahui hari
sudah jam berapa.
Sebetulnya ia sudah pingsan satu hari satu malam lamanya dan saat itu adalah jam satu
tengah malam Co Seng membuka matanya dan memandang keadaan sekitarnya, akhirnya dalam
keadaan yang gelap gulita itu, samar-samar matanya dapat melihat hanya Tiong-ciu-khek seorang
yang tidur di atas pembaringannya, Kim Houw dan Peng Peng tidak kelihatan.
Pada saat itu, Co Seng merasa sangat dahaga sekali. Perut lapar masih tidak menjadi soal
baginya, tetapi mulut kering merupakan suatu siksaan yang sangat hebat.
Maka ia ingin mencari air minum. Siapa tahu baru saja badannya bergerak, tulang-tulangnya
mendadak dirasakan sakit sekali, hampir saja ia jatuh pingsan lagi.

Terpaksa ia membuka mulut, maksudnya hendak minta pertolongan Tiong-ciu-khek untuk
mendapatkan sedikit air.
Tetapi perkataan belum sampai keluar dari mulutnya, matanya mendadak dapat melihat, di
pembaringan Tiong-ciu-khek terdapat beberapa buah buli-buli besar dan kecil berderet-deret. Bulibuli
itu setiap hati dibawa-bawa oleh Tiong-ciu-khek. Sebenarnnya Co Seng menganggap bahwa
buli-buli itu ada araknya. Sudah beberapa kali ia ingin mencoba mencurinya untuk meminum
isinya. Tetapi tidak berani karena melihat Tiong-ciu-khek sendiri menyayangi barang itu seperti
mustika dan setiap hari tidak pernah terpisah dari badannya.
Andaikata benar ada araknya, tentunya merupakan arak mahal. Sayang Co Seng selalu tidak
pernah mendapat kesempatan untuk mengambilnya.
Malam itu, sungguh kebetulan sekali. Dalam keadaan sangat dahaga, ia telah lama
menemukan buli-buli yang sudah lama diincarnya itu. maka Co Seng lantas menahan sakitnya
seberapa dapat, ia menggerakkan badan dan kakinya perlahan lahan untuk mengambil buli-buli
tersebut.
Meskipun Co Seng belum banyak mengerti urusan tetapi kegemarannya terhadap arak
merupakan pembawaan dari kodrat. Mengingat bahwa dalam buli-buli itu ada arak wanginya
segala penderitaannya lantas lenyap seketika itu juga.
Akhirnya tanganya dapat menjambret buli-buli itu. Apa mau yang diambil itu justru buli-buli
yang paling besar.
Dengan susah payah ia baru berhasil membuka tutupnya dan segera diminum isinya.
Siapa nyana, begitu diminum, baru diketahuinya bahwa isinya itu hanya air tawar biasa saja,
sehingga hati Co Seng merasa sangat kecewa.
Tetapi dalam keadaan sangat dahaga pada saat itu, air tawar serupa itu merupakan barang
yang sangat berharga baginya.
Co Seng terus menenggak isinya, rasa sakit di sekujur badannya tadi mendadak lenyap. Hawa
dingin yang semula dirasakan mengeram didalam pusarnya, saat itu juga lenyap.
Dalam hati Co Seng merasa heran. Sambil menuangkan buli-buli itu, ia terus menenggak
isinya.
Air sebuli besar itu sekejap saja telah habis diminumnya.
Perut Co Seng yang begitu kecil ternyata dapat mengisi air sebuli besar. Ia masih belum
mengetahui bahwa air itu adalah airnya kerbau hijau yang sangat mujijat. Karena sehabis minum
airnya, sekujur badannya dirasakan segar maka terus saja ia minum lagi dan buli-buli yang lainlainnya.
Sebentar saja ia sudah menghabiskan isinya tujuh atau delapan buli-buli. Ada ketinggalan
dua buli-buli berisi yang belum diminumnya.
Sampai di sini, kekuatan tenaga Co Seng telah bertambah dengan tiba-tiba. Sedangkan
didalam perutnya ia merasakan hawa panas yang menyusuri seluruh badannya.
Co Seng terperanjat, ia tidak minum sisanya lagi. Buru-buru ia duduk bersila untuk melatih ilmu
tenaga dalam seperti apa yang diajarkan oleh Kim Houw.
Tetapi latihannya itu telah membuat dia merasakan dirinya ringan sekali, seolah-olah akan
melayang diudara, sedangkan hawa panas ditengah perutnya dirasakan seperti bergolak.

Co Seng yang belum pernah melatih ilmu lweekang, ia tidak mengetahui bahwa keadaan yang
beritu itu baik atau jelek. Dalam kagetnya, kembali ia jatuh pingsan.
Ketika ia siuman untuk kedua kalinya, cuaca sudah terang, Kim Houw, Peng Peng dan Tiongciu-
khek bertiga berdiri di hadapannya.
Kim Houw memandang padanya dengan perasan terheran heran kemudian bertanya
kepadanya : "Co Seng, kau kenapa ? kalau kedatanganku terlambat sedikit saja, apa kau kira
jiwamu masih ada ? Apa yang telah kau lakukan dan kau mendapat mestika apa ?"
Dengan perasaan bingung, Co Seng hanya menggeleng-gelengkan kepalanya, mulutnya
hanya dapat mengatakan : "Aku... air..."
Kim Houw yang mendengar itu, agaknya tidak percaya.
"Aku tahu kalau kau ingin minum air, aku sudah memesan pada yaya supaya kau tak diberikan
air. Darimana kau mendapatkan air ? Apalagi keadaanmu ini tidak mirim dengan seorang yang
habis minum air saja, pasti masih ada lain sebab . . . "
Kim Houw masih ingin mengatakan apa-apa lagi, mendadak didengarnya Tiong Ciu Khek
berseru :
"Aya . . . ada maling !" Kim Houw dan Peng Peng terperanjat, lalu menanya berbareng:
"Yaya, kau kehilangan apa ?" "Tadi malam ketika kalian berdua keluar berlatih, aku telah
kepulasan dan tertidur, sampai-sampai aku tidak mengetahui kalau ada maling masuk ke kamarku
dan mencuri habis air mujizatku yang kubawa bawa dengan susah payah . . . "
Mendengar perkataan Tiong ciu khek itu, wajah Co Seng pucat seketika, badannya menggigil.
Dengan suara gemetar ia berkata :
"Aku . . . aku . . . "
Ia sebetulnya ingin mengatakan bahwa dialah yang minum air dalam buli-buli itu, karena ia
tidak mengetahui bahwa dalam buli-buli itu terdapat air mujizat, maka minta agar supaya Tiong ciu
khek memberi maaf. Tetapi dalam keadaan gugup, ditambah lagi karena ia tidak pandai bicara,
maka ia hanya dapat mengatakan "aku, aku" saja.
Tetapi Kim Houw yang menyaksikan keadaan Co Seng itu, lantas mengerti apa yang telah
terjadi.
"Yaya tidak usah cemas. Aku sudah menemukan itu orang yang mencuri air mujizatmu itu,
cuma saja yaya tidak dapat membunuhnya, sebab dia adalah orang kita sendiri." kata Kim Houw
sambil ketawa.
Kemudian ia berpaling dan berkata kepada Co Seng :
"Co Seng, kau juga tidak perlu ketakutan sedemikian rupa. Sebagai seorang laki-laki, berani
berbuat harus pula berani tanggung jawab. Kau berani mencuri minum barangnya orang lain,
seharusnya kau berani pula mengakui terus terang. Apa kau kira dengan ketakutan saja, perkara
dapat habis begitu saja ?

Aku tadinya sedang merasa heran, mengapa kekuatanmu mendadak sontak bertambah,
kiranya adalah karena kau mencuri minum air mujizat itu."
Tiong ciu khek lalu mengerti akan duduk perkara, tetapi dia masih belum mau percaya, dengan
cara bagaimana Co Seng dapat menghabiskan air yang begitu banyak ? Ia lantas berkata :
"Hal ini aku sungguh-sungguh tidak habis mengerti. Air sampai tujuh atau delapan buli-buli,
bagaimana dapat masuk semuanya dalam perutnya yang begitu kecil ? Sedangkan air itu kalau
diminum sewajarnya, mungkin tidak akan habis setengah bulan. Bagaimana ia dapat meminum
habis dalam waktu semalaman saja ?"
Kim Houw yang mendapat keterangan juga merasa terkejut, memang itu merupakan suatu
soal yang aneh . . . ?
Co Seng yang sudah mendengar perkataan Kim Houw, nyalinya mendadak menjadi besar. Ia
mengeluarkan dua buli-buli yang belum diminum isinya, lalu diberikan kepada Tiong ciu khek
sembari berkata :
"Masih ada, masih ada ! Aku . . . aku . . . "
Tiong-chiu-khek menyambuti buli-bulinya itu, memang benar masih ada isinya, sedangkan
yang lain-lainnya sudah kosong.
Karena Co Seng mengakui dia yang meminumnya, maka Tiong-chiu-khek yang semula tidak
percaya, harus percaya juga.
Kim Houw lantas menyuruh Co Seng duduk di atas pembaringan, ia sendiri lantas berduduk di
atas pembaringan, ia sendiri lantas berduduk di depannya sambil menyodorkan kedua tangannya.
Ia juga menyuruh Co Seng menyodorkan kedua tangannya, dengan demikian empat tangan lalu
saling menempel satu sama lain untuk melatih ilmunya.
Sekali ini, Co Seng bukan saja sedikitpun tidak merasakan gangguan dari ilmu Han bun cao
kie Kim Houw, malah sebaliknya, daya kekuatan perlawanannya sangat kuat.
Lewat kira-kira satu jam lamanya, Kim Houw melompat turun dari atas pembaringan dan
berseru dengan suara girang:
"Sudah, sekarang kekuatanmu sudah melampaui batas kekuatan manusia biasa. Dua atau tiga
tahun lagi kau sudah dapat menandingi kekuatanku. Sungguh tidak nyana, air kerbau hijau yang
sangat mujizat itu, khasiatnya terhadap kekuatan tenaga manusia ada demikian gaib, Hanya
sayang sekali..."
Mendengar Kim Houw mengatakan sayang Tiong chiu khek dan Peng Peng telah menyerah.
Kalau dulu mereka telah mengetahui bahwa air busa itu ada mempunyai khasiat yang begitu
mujizat, sudah tentu merekapun akan minum lebih banyak lagi.
Kemudian sisa air dalam dua buli-buli itu diletakkan dihadapan Tiong chiu khek dan Peng Peng
seraya berkata: "Yaya dan Peng Peng masing-masing boleh minum satu buli-buli. Aku percaya,
sedikit banyak pasti akan ada faedahnya. Tentang obat luka, lain hari kita bicarakan lagi. Apakah
orang-orang dari golongan Sepatu Rumput tidak ada satu juga yang membawa obat-obatan?"
Peng Peng yang mendengar itu lantas hendak membuka tutupnya dan hendak menengguk
isinya...

Tiba-tiba TIong Chiu Khek berseru :
"Aku sendiri tahu, bahwa latihan ilmu silat setiap orang ada batasnya, betapapun tingginya
kekuatan tenaga manusia aku percaya tidak ada yang dapat melampaui batas ukuran. Bakat
seseorang adalah karena pembawaan alam. Tidak dapat diperoleh secara paksa. Houw-jie. kau
tadi bukan mengatakan bahwa kekuatannya Co Seng itu masih memerlukan dua tiga tahun lagi
baru sempurna betul. Sekarang biarlah sisanya dua buah buli-buli ini kuberikan padanya, sebab
menolong orang tidak boleh tanggung-tanggung."
Peng Peng yang mendengar keterangan itu juga sadar. Mengapa ia yang mengikuti Kim Houw
dan belajar ilmu silat Thian Liong Pat sek sebegitu jauh masih tidak dapatkan hasil yang
sempurna, sebaliknya Co Seng yang belum lama belajarnya, hasilnya hampir menyerupai dengna
Kim Houw? Ini benar-benar karena bakat seseorang yang berlain-lainan, maka ia juga rela
menyerahkan buli-bulinya kepada Co Seng sambil berkata:
"Co Seng, nah ambillah. Semua untukmu Tetapi kau harus mengeluarkan tenaga lebih banyak
untuk membantu kami nanti."
Mulanya Co seng tidak berani menerima, tetapi setelah disuruh oleh Kim Houw, ia tak berani
menampik lagi. Ia lantas turun dari pembaringan dan berlutut sambil mengangguk-anggukkan
kepalanya di hadapan Tiong chiu-khek dan Peng Peng. Meskipun itu ada merupakan untuk kedua
kalinya Co Seng menjalankan peradatan menghormat sejak ia dilahirkan, tetapi ia melakukan
perbuatan itu secara sujud dan jujur, bukannya berpura-pura saja.
Kim Houw lantas menyuruh Co Seng supaya minum airnya dan lantas diajak berlatih lagi
supaya kekuatannya menjadi sempurna betul-betul dan nanti dalam pertempuran menghadapi
kawanan manusia iblis supaya dapat dilepaskan untuk menghadapi lawan yang tangguh-tangguh.
Tiong-chiu-khek dan Peng Peng yang berdiri menyaksikan disamping, mendadak merasakan
hawa dingin yang mulai meluas dari badannya Kim Houw dan Co Seng.
Tiong chiu khek dan Peng Peng meskipun terhitung orang-orang kuat, tetapi kalau
dibandingkan dengan Kim Houw dan Co Seng yang sekarang, sudah jauh sekali bedanya, maka
mereka tidak tahan terhadap serangan hawa dingin tersebut.
Akhirnya seluruh kamar itu terkurung oleh hawa dingin, sehingga Tiong-chiu-khek dan Peng
Peng terpaksa menyingkir keluar.
Lewat kira-kita satu jam, Kim Houw memanggil Tiong-chiu-khek dan Peng Peng supaya masuk
kembali. Ketika Kim Houw yang sedikitpun tidak menunjukkan tanda-tanda keletihan, dalam hati
mereka merasa heran.
Kim Houw melihat air muka mereka yang keheranan, sambil tersenyum ia berkata:
"Tadi ketika aku membantu padanya membuka urat-urat nadi bagian "Jin" dan "Tok"
sebetulnya sudah merasa sangat letih, siapa nyana dia dapat menggunakan kekuatan dari dalam
untuk membantu aku. Maka sekejap saja keletihanku sudah pulih kembali seperti sedia kala. Ini
benar-benar ada di luar dugaanku."
Sehabis bicara. Kim Houw lalu mengeluarkan tangannya untuk menotok jalan darah "Kian kin
hiat" Co Seng.
"Kian kin hiat" ini merupakan salah satu jalan darah penting anggota badan manusia jika
terkena totokan, orang tersangkut akan jatuh pingsan.

Sebab Co Seng sendiri masih belum mengerti dimana adanya jalan darah penting, maka Kim
Houw kuatirkan jika dalam pertempuran nanti ia terpedaya oleh musuhnya. Sengaja ia mencoba
ada reaksi apa dari bocah itu, serta daya perlawanannya bagaimana, baru nanti Co Seng
diberikan petunjuk sebagaimana mestinya.
Daya perasaan Co Seng memang luar biasa, ditambah lagi dengan kekuatannya yang
sekarang sudah bertambah secara mendadak sudah tentu ia mengerti bagaimana caranya
menghindarkan suatu serangan. Hanya saja karena Kim Houw adalah suhunya sendiri, juga ia
tidak mengetahui kalau sang guru sedang mencoba dirinya, maka ia tidak berani menyingkirkan
diri.
Dengan demikian, maka jari Kim Houw tadi telah dapat mengenakan jalan darah "Kian kin hiat"
nya Co Seng.
Cuma jari itu seperti mengenakan barang yang licin, telah meleset.
Pertama kali Kim houw mencoba menotok, sudah tentu ia tidak menggunakan kekuatan
banyak-banyak dan setelah kini mengetahui demikian, ketika untuk kedua kalinya ia menotok lagi,
ia telah menggunakan kekuatan secukupnya. Ia ingin mengetahui sampai dimana kekuatan daya
perlawanan Co Seng.
Sebentar saja, jari tangan Kim Houw sudah menotok bagian jalan darah di badannya Co Seng.
Tetapi kesudahannya sama seperti yang pertama. Kim Houw disini baru merasa heran, dalam hati
bertanya-tanya kepada diri sendiri: Muhngkinkah Co Seng mempunyai kekuatan Khun goan
pembawaan dari alam? Mengapa sampai hari ini baru diketahuinya?
Memang benar dalam diri Co Seng terdapat kekuatan Khun goan Khie kang pemberian alam,
hanya saja kekuatan itu tersimpan didalam dirinya dan kini setelah urat nadi Jin dan Tok terbuka,
maka kekuatan Khun goan Khie kang-nya itu lantas tersebar di seluruh badannya kekuatan itu
lebih jauh lebih hebat dari pada segala ilmu kebal, Kim ciong cao umpamanya yang di dapat dari
tenaga latihan.
Tiong Ciu khek dan Peng Peng yang menyaksikan kelakuan Kim Houw, mereka menganggap
mungkin masih ada apa-apa yang masih belum selesai dari latihan tadi.
Siapa nyana, Kim Houw sehabisnya menotok diri Co Seng, mendadak lantas berdiri bingung,
matanya memandang ke atas, agaknya ada suatu soal sulit yang susah ditutup.
Peng Peng yang selalu memperhatikan Kim Houw melihat keadaan demikian buru-buru maju
menanya.
Engko Houw, engkau kenapa?"
Tindakan Peng Peng tadi berbareng juga mengejutkan Co Seng. Dengan wajah ketakutan Co
seng kembali berlutut di hadapan Kim Houw ia mengira bahwa dirinya telah berbuat kesalahan.
Kim Houw yang ditegur oleh Peng Peng seketika itu menjadi kaget, kemudian menjawab
sambil tersenyum:
"Tidak apa-apa, aku cuma menguatirkan di kemudian hari murid ini kepandaiannya nanti akan
melebihi dari suhunya sendiri sebab dalam badannya terdapat kekuatan Khun goan Khie kang.
Dengan demikian kalau murid ini nanti menjadi seorang berandalan sang suhu pasti akan merasa
kewalahan."

Co Seng yang masih berlutut, ketika mendengar perkataan Kim Houw tadi, hatinya merasa
kebat-kebit. Sayang karena ia masih belum pandai bicara, terpaksa ia hanya dapat
menganggukkan kepalanya sambil menangis.
"Bangunlah! Asal kau nanti tidak berani melawan suhumu saja sudah cukup," kata Kim Houw
bersenyum. Co Seng masih belum berani berdiri, dengan susah payah ia baru dapat
mengeluarkan perkataan:
"Ak...aku...tidak berani!"
Di kota Jiauw ciu itu mereka berdiam tiga hari lamanya. Pada hari ke empat pagi-pagi Kim
Houw berempat melanjutkan perjalanannya menuju ke gunung Kua chong san. Dalam beberapa
hari saja mereka sudah tiba di daerah pegunungan tersebut.
Malam itu, ketika ke empat orang itu baru saja masuk di kota Cho ciu di kaki gunung Kua
chong san, Kim Houw sudah mengetahui bahwa ada seseorang yang sedang mengintai gerakgerik
mereka.
Pada saat itu, Co Seng dengan disengaja atau tidak telah bertubrukan dengan seorang lakilaki
yang sedang berjalan mendatangi. Orang itu mungkin karena kesakitan, mulutnya lantas
memaki-maki, tangannya bergerak memukul Co Seng. Co Seng berlagak ketakutan, ia lantas
membalikkan badannya untuk kabur. Orang itu rupanya tidak mau mengerti, ia terus mengejar.
Mereka kejar mengejar sampai didepan pintu sebuah toko obat.
Di situ ada berdiri berendeng dua orang laki-laki yang berpakaian ringkas.
Co Seng yang lari-larian kesana kemari, lantas menubruk tengah-tengah diantara kedua orang
laki-laki tadi.
Karena cepatnya Co Seng bergerak. kedua orang laki-laki tadi meskipun sudah mengetahui
bahwa diri mereka akan bertabrakan, tetapi mereka tetap tidak mau menyingkir, sehingga akhirnya
ketabrak jatuh oleh Co Seng.
Sekali ini, mungkin tabrakannya terlalu keras, sehingga kedua orang laki-laki itu tidak dapat
segera berbangkit. Tetapi orang yang sedang mengejar Co Seng tadi sudah keburu sampai.
Ketika melihat kedua orang ketabrak jatuh, diam-diam ia memaki bahwa kedua orang laki-laki
itu tidak ada gunanya, atau sengaja berpura-pura. Sebab terhadap satu bocah yang usianya baru
kira-kira tujuh tahun saja, ada mempunyai berapa kekuatannya sampai dapat menubruk jatuh dua
orang tua. Justru ketika ia berpaling mencari Co Seng lagi, bocah binal itu ternyata sudah tidak
kelihatan lagi bayangan.
Kiranya Co Seng yang masih kecil itu tidak pandai bicara, ternyata banyak sekali akal
muslihatnya.
Ia lebih dahulu sudah mengetahui bahwa kedua orang itu sedang mengintai rombongannya
sendiri. Meskipun orangnya kecil, tetapi kecerdasan luar biasa. Selama mengikuti Yayanya, si
padri aneh itu, meskipun waktunya sangat pendek, tetapi segala tingkah laku dan akal muslihatnya
padri yang gila-gilan itu Sudah dapat ditirunya semuanva, maka terjadilah peristiwa yang agak lucu
tadi.
Mereka berempat, setelah berdiam dirumah penginapan, dari sakunya Co Seng mengeluarkan
dua buah "plat papan" sambil mengoceh dengan caranya sendiri.

Kim Houw baru mengetahui bahwa dua buah plat papan itu telah didapati oleh Co Seng dari
kedua orang laki-laki yang ditabrak jatuh tadi.
Plat papan itu berukirkan sebuah lukisan istana yang mentereng. Dilain mukanya terdapat
tanda capnya "Istana Panjang Umur", ternyata plat papan itu adalah tanda dari Istana Panjang
Umur yang dikuasai oleh Siao Pek Sin.
"Mereka rupa-rupanya ingin bergerak secara besar-besaran, maka sengaja menggunakan
segala macam pertandaan. Apakah di gunung Kua-chong-san itu terdapat banyak rintangannya?"
kata Tiong chiu-khek sambil ketawa.
"Hal ini juga sudah dikatakan, nanti kita tangkap mereka dan coba menanyakan keadaannya."
jawab Kim Houw.
Tetapi di dalam kota, Kim Houw telah mencari ubek-ubekan, ternyata kedua orang itu sudah
tidak kelihatan lagi bayangannya.
Oleh karena dari situ terus sampai ke gunung Kua chong-san semuanya merupakan daerah
pegunungan yang panjang, sekalipun ada uang, orang juga tidak dapat membeli makanan, maka
di kota Chio-chiu itu Kim Houw sengaja memborong banyak rangsum kering untuk persediaannya
di sepanjang jalan.
Hawa udara pada bulan enam, sebetulnya amat panas, tetapi begitu memasuki daerah
pegunungan Kua chong san, hawanya dirasakan segar nyaman, terutama di daerah hutannya.
Kim Houw berempat sudah empat hari masuk di daerah pegunungan itu. Disepanjang jalan
mereka tidak menemukan kejadian apa-apa. Hari itu mereka berjalan sampai tengah hari dan
sudah waktunya untuk bersantap siang.
Mendadak Co Seng dengan gerakannya yang gesit telah melesat balik dari perjalanannya, Kim
Houw mengira ia telah dapat melihat apa-apa, maka ketika Co Seng berdiri, ia menanyakan apa
yang telah dilihatnya.
Siapa nyana, Co Seng dengan wajah cengar cengir dan tangan menunjuk-nunjuk, mulutnya
hanya dapat mengatakan:
"Di sana.... di sana...."
Oleh karena mereka tidak mengerti apa yang dimaksudkan dengan kata "di sana" itu, terpaksa
Kim Houw menengok kearah yang ditunjuk oleh Co Seng.
Di sana, di bawah salah sebuah bukit, ternyata terdapat satu lembah yang sangat indah
pemandangannya, terang di situ terdapat banyak tanaman bunga-bunga beraneka warna. Selain
dari pada itu, juga terdapat saluran air kecil dan airnya bening sekali, sehingga tempat itu
merupakan suatu tempat yang cocok sekali untuk melepaskan lelah.
Tetapi heran sungguh, lembah itu ternyata merupakan sebuah lembah mati, sebab tidak ada
jalan yang dapat digunakan untuk mencapai lembah tersebut. Meskipun tidak terlalu dalam, tetapi
untuk dapat mencapai tempat itu, satu-satunya jalan ialah dengan jalan merangkak perlahanlahan.
Selagi Tiong-chiu-khek dan Kim Houw masih merasa ragu-ragu, Co Seng rupa-rupanya sudah
tidak sabaran lagi, sehingga ia berjalan terlebih dahulu dengan menggunakan kaki dan tangannya,
ia merambat turun.

Peng Peng mengikuti jejaknya Co Seng, mulutnya tidak henti-hentinya berseru:
"Engko Houw, engko Houw, lekas turun. Aku mau itu binatang rusa kecil."
Kim Houw memandang Tiong chiu-khek sejenak orang tua itu lalu berkata:
"Kesunyian selama beberapa hari ini sedikit mencurigakan aku. Seharusnya kita berlaku
sedikit waspada, apa lagi ditempat yang semacam ini, kita harus lebih berhati-hati. Cuma saja,
disekitar tempat ini kelihatannya tidak ada apa apanya yang mencurigakan, bisa dilihat untuk
sampai ke lembah itu tidak terdapat jalanan hidup. Andaikata lembah itu merupakan suatu jebakan
tentu ada jalanannya supaya kita dapat berjalan kesana, maka menurut pikiranku, boleh juga kita
mengaso di situ sebentar."
Karena ucapannya itu keluar dari mulutnya Tiong chiu khek, seorang tua yang sudah
mempunyai banyak pengalaman, maka Kim Houw juga tidak mau membantah.
Dengan enak saja ia melompat, sebentar saja sudah berada di bawah. Co Seng yang
menyaksikan gerakan Kim Houw tadi, rupanya merasa sangat kagum.
Ia sendiri sebetulnya juga mempunyai kepandaian serupa itu, tetapi karena ia belum dapat
menggunakannya, maka ia hanya dapat merasa kagum.
Ketika Tiong-ciu-khek sudah berada di bawah lembah, Co Seng kembali naik ke atas, sebab ia
ingin meniru gerakan Kim Houw tadi ia melompat melesat dari atas. Baru saja Co Seng lompat
turun mendadak matanya dapat melihat berkelebatnya bayangan orang, Co Seng terperanjat,
tetapi badannya sudah melayang turun.
Mungkin ini sudah merupakan suatu takdir. Jikalau Co Seng dapat mendengar perkataannya
Tiong ciu khek tadi, pasti ia dapat memanggil Kim Houw, sehingga mereka terhindar dari ancaman
bahaya.
Apa mau dikata, ia tidak saja tidak segera memberitahukan setelah melihat bayangan orang
tadi, sebaliknya malah menggunakan caranya Kim Houw sehingga ketika berada dalam lembah
baru ia mengingat orang itu.
Tetapi karena hanya melihat bayangannya dan tidak kelihatan orangnya, malah ia kuatirkan
matanya yang salah lihat, maka untuk kedua kalinya ia melesat naik ke mulut lembah dan sekali ini
yang disaksikannya bukan hanya bayangan satu orang saja, tetapi di situ sudah terdapat ratusan
manusia yang datang menyerbu dari beberapa penjuru.
Co Seng terperanjat, sambil berseru kaget ia melayang turun lagi ke bawah lembah. Oleh
karena ia masih belum mempunyai pengalaman menghadapi musuh kuat, sehingga ia tidak
mengerti bagaimana caranya menghadapi keadaan gawat. Sehingga ia berani menghadapi
seorang diri saja lebih dulu, Kim Houw tentu keburu siap sedia. Sehingga ada kemungkinan
mereka akan terhindar dari bencana.
Kim Houw sendiri karena pendengarannya terhalang oleh suaranya dua ekor rusa yang
ditangkap oleh Peng Peng, ia tidak dapat mendengar suara di atas lembah. Ketika belakangan
mendengar seruannya Co Seng. ia masih mengira bahwa Co Seng terpeleset kakinya dan tidak
memikirkan hal gerakannya musuh.
Ketika Co Seng sudah berada di bawah, dengan mulutnya mengatakan:

"Orang...orang...." tidak henti-hentinya Kim Houw baru sadar, tetapi sudah terlambat.
Selagi Kim Houw mengeluarkan perintah "Co Seng. mari kita menerobos keluar..." dari atas
lembah terdengar suara orang tertawa menyeramkan yang dapat membuat bulu roma berdiri.
Sesudah ketawa yang menyeramkan itu lewat, lalu disusul dengan suara orang berkata:
"Bocah she Kim, ini adalah tempat untuk mengubur dirimu... Bagaimana? Apa kau masih ingin
coba melawan? Mundur! Pasang api! Bocah she Kim kalau berani kau boleh naik!"
Selama orang tadi berbicara, Kim Houw dan Co Seng sudah hampir tiba di atas dan tepat
pada saat itu juga mendadak terdengar suara ledakan hebat yang saling susul Sebentar saja debu
pada berhamburan disekitar mulut lembah, tidak hentinya batu-batu kecil meluruk turun ke bawah
lembah.
Kiranya musuh itu siang-siang sudah menanam obat peledak dimulut lembah, maka ketika
obat itu meledak dinding batu disekitar lembah lantas hancur berhamburan ke bawah.
Menyaksikan keadaan demikian, semangatnya Kim Houw terbang seketika. Ia tidak kuatirkan
dirinya sendiri dan dirinya Co Seng, ia hanya memikirkan keselamatannya Peng Peng dan Tiong
ciu khek yang masih berada dibawah lembah. Ia percaya ia sendiri dan Co Seng pasti dapat
melindungi diri, tetapi Tiong ciu khek dan Peng Peng masih merupakan pertanyaan.
Suara ledakan tadi akhirnya berhenti sendiri, berbareng dengan itu, Kim Houw dan Co Seng
juga sudah berada di bawah lembah ketika mereka mencari kesana sini, Peng Peng sudah tidak
kelihatan bayangannya lagi, sedang Tiong ciu khek kelihatan rubuh pingsan, kedua kakinya
tertindih oleh reruntuhan batu.
Dalam keadaan gusar, Kim Houw lalu mengajukan tangannya menyingkirkan batu besar yang
menindih kaki Tiong ciu khek. Benar saja batu besar itu lantas terbang melayang, tetapi lain batu
turun mendatang hendak menimpah kepalanya Tiong ciu khek. Karena batu itu bentuknya
beberapa kali lipat lebih besar dari pada yang duluan, Kim Houw juga mengetahui bahwa dengan
kekuatannya sendiri susah untuk membikin terpental batu sebesar itu. Dalam keadaan yang
sangat berbahaya itu dengan gerakan yang gesit sekali Co Seng sudah berhasil menyambar
dirinya Tiong chiu khek, sehingga orang tua itu terhindar dari bahaya maut. Kim Houw sangat
girang, lalu menarik tangannya Co Seng dan diajak bersembunyi ke tempat yang lebih aman.
Kim Houw ingat dirinya Peng Peng, lalu berseru:
"Peng Peng...Peng Peng....!"
"Engko Houw, lekas kemari! Di sini ada tempat bersembunyi yang sangat baik..." terdengar
jawaban si nona.
Kim Houw mendengar suara Peng Peng hatinya mulai lega, maka ia lantas mengajak Co Seng
menuju ke arah suara Peng Peng tadi.
Di situ telah menemukan suatu tempat yang menonjol dan air mengalir tadi itu justru mengalir
di sebelahnya tempat itu. Pada saat itu, dari atas kembali terdengar suara orang berkata:
"Bocah she Kim, apa kau sudah memilih kuburanmu? Sekalipun kau ada suatu titisan binatang
macan putih dari langit, kini sudah tiba waktunya untuk kembali. Untuk kau aku sudah
mengundang dua padri yang akan mintakan doa untuk arwahmu."

Kim Houw tidak menggubris ocehan orang itu. Melihat Peng Peng tidak kurang suatu apa
hatinya merasa lega. Tetapi kemudian ia lihat wajahnya Peng Peng ketakutan, apa lagi setelah
dapat melihat yayanya terluka, matanya lantas melotot, keadaannya jadi seperti orang gendeng.
Kim Houw terkejut, lalu menjambret tangannya.
"Peng Peng, Peng Peng, kau kenapa?" tanyanya gugup.
Perbuatan Kim Houw itu agaknya telah menyadarkan Peng Peng yang berada dalam keadaan
setengah pingsan. Ia lantas jatuhkan dirinya dalam pelukan Kim Houw dan menangis tersedu-sedu
sambil berkata:
"Yaya, dia...Engko Houw, kau..."
"Yaya tidak apa-apa, cuma terluka pahanya perkara kecil. Sekarang Co Seng sedang
menyadarkan dirinya, sebentar lagi yaya tentu akan sadar. Dan aku sendiri, juga tidak kenapanapa."
si pemuda menghibur.
Dengan erat Kim Houw memeluk Peng Peng supaya nona itu dapat menenangkan pikirannya.
Siapa nyana, belum berhenti suara tangisannya, mendadak Kim Houw dikejutkannya oleh
seruannya:
"Engko Houw, kau lihat dibelakangmu!"
Kim Houw tercengang, dengan cepat ia menengok. Didinding batu dibelakang dirinya ternyata
ada sebuah batu yang diukir dengan tulisan yang berbunyi: "Gunung ini adalah gunung jiwa
Melayang dan lembah ini adalah lembah Putus Asmara.
Kalau Kim Houw datang kemari, itu berarti kalau Kim Houw putus asmaranya dan terbang
melayang jiwanya.
Kim Houw gusar, ia sudah mengulurkan tangannya untuk menghancurkan batu tersebut, tetapi
kemudian ia berpikir lain lagi, sehingga tangannya yang akan digunakan untuk menepok batu
dinding, dengan perlahan diletakkan di belakang gegernya Peng Peng.
Gerakkan yang dilakukan secara tidak terduga itu, hanya untuk membuat pingsan Peng Peng.
Saat itu sinona seperti rohnya melayang jauh, dalam keadaan samar-samar ia mendengar suara
Kim Houw:
"Peng Peng, Peng Peng, sadarlah."
Peng Peng membuka matanya, ia merasa seperti habis menangis dalam kesedihannya, air
matanya kembali mengalir keluar.
Tiba-tiba ia mendengar Kim Houw berbisik ditelinganya:
"Peng Peng, apa yang kau suruh lihat tadi? Bukankah ada sebuah batu yang diukir dengan
tulisan yang sangat indah? Kenapa kau harus bersusah hati!"
Peng Peng melengak. Ia cepat melepaskan diri dari pelukannya Kim Houw dan menengok ke
belakang, ternyata tulisan itu bunyinya sudah berubah menjadi:
"Gunung ini adalah gunung Panjang Umur, lembah ini adalah Lembah Asmara. Kalau Kim
Houw tiba disini, akan mendapat kurnia panjang umur??(tm).

Peng Peng yang menyaksikan itu, merasa heran sekali, sebab apa yang dilihat duluan, bukan
demikian bunyinya. Ia mengucek-ngucek matanya, tetapi tulisan itu bentuknya sama, sedikitpun
tidak berbeda. Andaikata berubah, bagaimana dapat berubah begitu cepat! Maka ia menganggap
bahwa apa yang dilihatnya duluan adalah yang salah, maka hatinya seketika, itu menjadi gembira.
Tetapi ia tidak memperhatikan bahwa di bawah batu itu ada kedapatan hancuran bubuk batu
bekas perbuatannya Kim Houw. Selagi Peng Peng masih pulas, dalam waktu sependek itu Kim
Houw sudah berhasil merubah tulisan tersebut.
Pada saat itu, kembali Peng Peng ingat akan diri Yayanya. Kebetulan Tiong chiu-khek juga
sudah mendusin pada saat yang bersamaan.
Masih untung luka Tiong-chiu-kbek tidak seberapa berat. Setelah dibikin sadar oleh Co Seng
dan diberikan sedikit obat, mungkin dapat lekas sembuh. Tetapi dimana mereka dapat
memperoleh obat?
Sekarang Kim Houw baru agak menyesal, kenapa sisa air mujizat itu dikasih Co Seng minum
semuanya. Kalau masih ada, bukankah dapat digunakan?
Si kakek lihat air muka menyesal cucu mantunya, lalu dari badannya ia mengeluarkan sebuah
buli-buli batu giok sebesar kepalan tangan. Ia menunjukkan itu pada Kim HouW seraya berkata:
"Kau tidak usah menyesal. Disini aku masih menyimpan sedikit. Kau jangan artikan selingkuh,
itu hanya untuk menjaga-jaga dikala perlu. Sedangkan buli-buli batu giok kepunyaanku ini juga
merupakan suatu benda pusaka keturunan dari keluargaku....."
Mendengar keterangan itu, semuanya merasa gembira. sebab dengan adanya air mujizat
lukanya Tiong-ciu-khek sudah tidak menjadi soal lagi.
Selama setengah hari dan satu malam, ke empat orang itu tidak dapat keluar dari dalam
lembah, sedangkan diatas lembah terus terdengar suara gemuruh tidak henti-hentinya, batu-batu
gunung yang besar pada jatuh bergelundungan dari atas, sehingga Kim Houw tidak mendapat
kesempatan untuk naik keatas.
Tiga hari telah berlalu. Batu-batu gunung yang besar-besar kelihatan berserakan, didalam
lembah, sehingga lembah yang tadinya indah itu sekarang sudah berubah merupakan tumpukan
batu-batu.
Hari ke empatnya, suara gemuruh dan ledakan sudah mulai mereda, tetapi kadang-kadang
masih ada menggelinding beberapa buah batu besar turun ke dalam lembah.
Kim Houw mengetahui bahwa dinding batu dimulut lembah, mungkin sudah diledakkan semua
oleh mereka.
Tiong-chiu-khek tiba-tiba berkata:
"Malam ini seharusnya sudah masuk tanggal satu bulan tujuh. Bulan sabit jam dua belas
malam mungkin sudah tidak kelihatan. Kira-kira jam empat pagi, kita boleh siap untuk menerjang.
Kalau kita tidak lekas berdaya naik ke atas, kita nanti bisa keputusan rangsum.
Siapa nyana, hari masih belum terlalu gelap, mendadak ada timbul hujan disertai angin ribut.
Inilah suatu kesempatan yang paling baik untuk Kim Houw dan kawan-kawannya naik ke atas
lembah.

Dalam keadaan hujan dan angin yang demikian lebatnya, keadaan cuaca kelihatannya
bertambah gelap. Kim Houw yang mempunyai mata terang dan dapat melihat benda diwaktu
malam, keadaan demikian sangat menguntungkan baginya, maka ia lantas menggendong Peng
Peng, sambil menggandeng Co Seng dan Liong chiu-khek meninggalkan lembah celaka itu.
Lampu lentera yang dipasang dimulut lembah, ternyata tidak padam meskipun dibawah hujan
lebat dan angin kencang.
Mereka setelah berada di atas, Kim Houw mulai lega hatinya, karena sekalipun dipegat oleh
beberapa ribu orang, ia percaya dengan kekuatan empat orang itu pasti dapat menerjang keluar.
Di luar dugaan, sudah kira-kira tiga lie mereka berjalan, ternyata tidak seorangpun yang
merintangi perjalanan mereka.
Kim Houw bersenyum, ia mencari tempat untuk meneduh, kemudian menyuruh Tiong-chiu
khek dan Peng Peng beristirahat dulu. Ia sendiri bersama Co Seng balik lagi kearah lembah tadi.
Kim Houw dan Co Seng yang mempunyai kepandaian luar biasa, sebentar saja sudab berada
di atas lembah kembali.
Kelihatannya mereka mencari sesuatu. Tiba tiba terdengar suara orang bicara, keluar dari
dalam sebuah goa, tetapi orang-orang itu ternyata hanya merupakan golongan orang biasa, tidak
ada satupun yang mempunyai kepandaian cukup berarti.
Kim Houw pasang kuping. Tiba-tiba terdengar suara orang yang mengatakan:
"Pemimpin pasukan, dengar! Komandan kita telah mengancam, barang siapa yang melalaikan
tugasnya menjaga mulut lembah. sehingga tawanan bisa lolos, batok kepala akan dibikin
terpisah!"
Kim Houw berpikir. menaklukkan rombongan harus menangkap kepalanya, maka ia lalu
mencari komandan yang disebutkan tadi.
Suara tadi datangnya dari sebelah kiri, maka lantas mengajak Co Seng lompat melesat ke
jurusan itu.
Dengan beberapa kali lompatan saja Kim Houw sudah dapat menemukan tempat
kediamannya sang komandan.
Belum sampai memasuki tenda, Kim Houw sudah mendengar suara bentakan dan makian
yang bengis Kim Houw rasa-rasanya sudah pernah mendengar suara itu, diam-diam terperanjat.
Ia lantas lompat naik ke atas tenda. Karena pada saat itu hujan angin masih mengamuk, maka
orang-orang yang berada dalam tenda tidak seorangpun yang mengetahui bahwa ada orang yang
menyatroni.
Kim Houw mengintai dari atas tenda, telah melihat dalam tenda itu ada duduk berkumpul tujuh
orang. Diantaranya ada tiga orang yang dikenalnya. Satu, yang duduk dikursi perlama ialah si
hwesio tinggi besar yang diduganya adalah Thio Bok Taysu, yang lain adalah Ciok Goan Hong
dan Pek Kauwnya dari Pek-liong-po.
Sedangkan empat orang lagi usianya sudah kira-kira empat puluh tahun ke atas. Dua dari
antara mereka terdiri dari kawanan padri.

Apa yang membuat kaget Kim Houw, ialah dilain sudut tenda itu terlihat rebah terikat empat
orang yang dikenal baik semuanya. Ke empat itu adalah si pengemis sakti Sam-hoa Tok-kai
dengan muridnya dan Hui Thian Gouw-kang Teng Kie Liang serta cucunya Peng Sin.
Si pengemis sakti dan si botak masih dapat dimengerti tertangkapnya, tetapi Teng Kie Liang
dan cucunya ada di situ, sungguh di luar dugaan Kim Houw, apa lagi kedatangannya itu berbareng
dengan si pengemis sakti.
Selagi Kim Hauw memikirkan caranya untuk memberikan pertolongan, tiba-tiba didengarnya
suara bentakan keras, kemudian disusul oleh berkelebatnya sinar hijau dan kain tenda itu sudah
berlubang. Ujung golok yang tajam kelihatan dari luar tenda.
Kim Houw tercengang, sungguh hebat sekali kepandaian orang itu. Itu barangkali goloknya
Thie Bok Taysu yang disebut Kayto.
Karena ia mengetahui bahwa dirinya sudah dipergoki orang, Kim Houw pikir tidak perlu
bersembunyi lagi. Tetapi baru saja ia hendak bergerak, didalam tenda tiba-tiba terdengar suara
orang tertawa, ternyata adalah Co Seng yang sudah masuk ke dalam tenda itu.
Sebetulnya Co Seng ada di atas tenda tidak ada yang mengetahui, kalau ia sudah
mengunjukkan diri adalah hendak mengacaukan perhatian mereka karena Thie Bok Taysu sudah
memergoki tempat sembunyinya Kim Houw.
Meskipun Co Seng belum pernah sekolah, tetapi ia sangat setia kepada gurunya. Dalam usia
yang demikian mudanya ia sudah mengerti bagaimana harus membela suhunya.
Oleh karena Co Seng sudah mendahului mengunjukkan diri, Kim Houw lalu berpikir hendak
menolong empat orang kawannya lebih dulu, baru membuat perhitungan dengan Thie Bok Taysu.
Maka Kim Houw menunda gerakannya. Sekali lagi ia melongok ke bawah, ia hendak melihat
bagaimana cara Co Seng menghadapi musuh-musuhnya yang tangguh itu. Dan apa yang
disaksikan, sungguh menggelikan sekali, sebab pada saat itu seKujur badan Co Seng berlepotan
lumpur. Karena badannya penuh lumpur, maka ketika tangannya diobat-abitkan, lumpur itu
berceceran kemana-mana, sehinngga membuat gusar orang-orang yang dibikin kotor pakaiannya.
Seorang hwesio yang berpakaian jubah putih, pertama-tama, yang membentak dengan suara
keras.
"Dari mana datangnya anak haram ini? berani main gila di depan kita? Biarlah aku bikin
mampus kau!"
Co Seng yang melihat datangnya serangan, dari sambaran anginnya ia sudah mengetahui
bahwa kekuatan hwesio itu sangat terbatas, maka sengaja ia tidak menyingkir, juga tidak berkelit.
Ia hendak menyambuti dengan kekerasan. Tatkala serangan itu mengenakan pundaknya. Co
Seng berlagak jumpalitan beberapa kali sambil menjerit lalu menggelinding ke arah empat orang
yang diikat ditanah tadi.
Thie Bok Taysu yang menyaksikan hal itu, tertawa bergelak-gelak ia terus meneguk araknya
kemudian berpaling ke belakang sembari berkata:
"Anak manis, ada pertunjukan sangat menarik. Apa kau tidak ingin menonton?"
Kim Houw semula tidak memperhatikan kalau di belakang hwesio itu masih ada orang lain.
Ketika ia mendengar perkataannya si hwesio, barulah ditujukan matanya ke arah belakang dirinya
Thie Bok Taysu. Memang benar, di belakang hwesio itu ada kedapatan terlentang seorang
perempuan muda yang sudah dibikin telanjang bulat.

Perempuan muda itu badannya kelihatan lemas, agaknya tidak dapat bergerak, kiranya ia
sudah ditotok jalan darahnya.
Ketika Kim Houw menegasi, ia mengenali perempuan muda itu adalah cucu perempuannya
Teng Kie Liang, Teng Ceng Ceng. Kegusarannya Kim Houw seketika lantas meluap! Tetapi baru
saja ia hendak membentak, tiba-tiba di belakangnya terdengar suara orang berlari-lari. Kim Houw
menoleh, ia melihat dua bayangan orang sedang lari mendatangi, maka ia segera urungkan
maksudnya, untuk mengetahui dulu siapa orang-orang yang sedang mendatangi itu.
Orang-orang itu ternyata adalah Cu Su bersama muridnya.
Kim Houw sangat girang, ia buru-buru unjukkan diri menemui mereka.
Semula Cu Su kelihatan kaget, tetapi setelah mengetahui siapa yang berada di depannya, ia
lantas merasa sangat girang.
Mereka bertiga lantas berunding sebentar, lalu menyerbu ke dalam tenda.
Sekarang kita balik lagi kepada Co Seng yang menggelinding ke arah empat orang yang
sedang rebah terikat di tanah tadi. Ia sebetulnya berniat untuk memberi pertolongan kepada empat
orang itu, tetapi karena tali yang dipakai untuk mengikat ke empat orang itu terdiri dari urat macan
yang sudah direndam dengan minyak, maka ia tidak dapat memutuskannya, terpaksa ia
menggelinding keluar lagi.
Hwesio yang menyerang Co Seng, melihat serangannya gagal, hal ini baginya merupakan
suatu penghinaan besar, sebab orang-orang diserang itu justru hanya seorang bocah cilik saja.
Dalam gusarnya, ia lantas lompat melesat dari tempat duduknya untuk menyambar dirinya Co
Seng.
Co Seng sangat jail, karena barusan dibikin jatuh oleh hwesio itu, maka ia juga sekarang ingin
membalas. Ia sengaja tidak berkelit, ketika tangannya hwesio itu menyambar pundaknya, dengan
tiba-tiba ia mengeluarkan ilmunya "Kin-na-shiu-hoat", dengan secara enak saja ia sudah membikin
si hwesio itu jatuh terlentang, sehingga jejeritan seperti babi yang disembelih.
Semua orang yang menyaksikan itu, pada merasa sangat heran, wajah mereka berubah
seketika. Diantara mereka, hanya itu hwesio tinggi besar yang bukan saja tidak bergerak sama
sekali, bahkan keluarkan seruannya yang mengandung pujian:
"Bagusss, suatu gerakan Kin-na-chiu yang bagus sekali..."
Seorang hwesio lainnya dengan hwesio yang dirubuhkan oleh Co Seng itu merupakan saudara
seperguruan. Gelarannya sang suheng ialah Gwat Khong, sedangkan sang sute bernama Gwat
Seng. Mereka berdua ada sepasang padri cabul. Sebetulnya mereka masih terhitung anak murid
dari Siau-lim-pay, gurunya telah membangun gereja di atas gunung Kua-chong-san. Sepuluh
tahun berselang, ketika gurunya meninggal dunia, kelakuan mereka bertambah tidak karuan.
Setelah Siao Pek Sin mendirikan Istana Panjang Umur, Gwat Khong dan Gwat Seng lantas
menggabungkan diri dan inilah untuk pertama kalinya ia diperintahkan untuk memegat musuhnya.
Sungguh tidak dinyana, baru saja turun tangan mereka sudah dibikin tergelincir oleh serangan
anak kecil saja.

Gwat Khong yang melihat sutenya dibikin jatuh, lalu mencabut goloknya dan dengan tidak
memberikan peringatan terlebih dahulu, ia lantas membabat dirinya Co Seng. Thie Bok Taysu
yang menyaksikan kejadian itu, lantas ketawa dingin, karena gerakan Co Seng tadi telah membuat
senang hatinya dan ia tidak suka melihat perbuatan Gwat Khing itu. Terhadap seorang bocah saja
yang tidak membawa senjata apa apa ia sudah menggunakan golok, ini benar-benar suatu
perbuatan yang memalukan bagi golongan hwesio.
Co Seng yang melihat hwesio itu yang agakanya lebih galak dari yang duluan, apalagi dengna
golok telanjang hendak menghadapi dirinya, maka dalam hati merasa gemas. Ia meniru caranya
Kim Houw, menghadapi hwesio itu sambil ketawa dingin, mungkin ia hendak mengatakan: Kau
terlalu galak, aku nanti akan membuat dirimu terluka terlebih hebat!
Melihat golok sudah mendekati batok kepalanya, Co Seng masih tidak berkelit sama sekali.
Gwat Khong diam-diam berpikir: Ini adalah kau sendiri yang mencari mampus, jangan sesalkan
aku terlalu telengas.
Tetapi belum lenyap pikirannya itu, mendadak matanya berkunang-kunang, pergelangan
tangannya yang digunakan untuk memegang golok dirasakan kesemutan sehingga goloknya itu
terlepas dari tangannya. Bukan kepalang kagetnya Gwat Khong saat itu, karena dalam
segebrakan saja, golok ditangannya sudah dapat dirampas oleh musuhnya. Dalam ketakutannya,
ia lantas tidak memperdulikan apa artinya malu lagi, cepat cepat ia menggelindingkan dirinya di
tanah...
Thie Bok Taysu tiba-tiba berseru : "Aaa, celaka! Itu adalah gerakan "Hun-kheng Cho-Kut-chiu",
bagus sekali dia menggunakannya"
Gwat Khong terus menggelinding sampai satu tombak lebih jauhnya baru berhenti. Selagi
hendak lompat mendadak dilihatnya berkelebatan sinar perak, pahanya lantas dirasakan sakit, ia
lalu menjerit dan roboh pingsan.
Semua orang baru mengetahui ada senjata makan tuan, golok yang digunakan oleh Gwat
Khong tadi sudah menancap di paha kirinya sehingga pahanya terpapas sepotong.
Dan dimana Co Seng ? Ia ternyata masih belum berlalu dari dalam tenda, golok itu hanya
disambitkan seenaknya saja, tetapi ternyata berkelebat begitu hebat, sampai Thie Bok Taysu
sendiri juga merasa juga merasa kagum.
Pada saat itu, Ciok Goan Hong lantas turun dari atas kursinya. Ia menghampiri Co Seng,
dengan sorot mata yang tajam ia mengawasi bocah binal itu.
Tiba-tiba ia mendengar suaranya Thie Bok Taysu :
"Ciok-heng, jangan bikin kaget dia. Bocah itu sangat menyenangkan hatiku, aku Thie Bok
Taysu sampai sekarang ini masih belum mempunyai murid yang benar-benar. Tanyakan padanya,
apakah dia suka menjadi muridku ?"
"Taysu sungguh tajam penglihatannya. Bocah ini memang mempunyai bentuk badan yang luar
biasa. Besar sekali rejekinya bocah ini, dapat menjadi muridnya Taysu, masakan dia tidak suka ?"
jawab Ciok Goan Hong sambil ketawa dan kemidian berkata kepada Co Seng :
"Bocah, kau dengarlah Thie Bok Taysu seorang terkuat dari golongan Buddha, ingin
mengambil kau sebagai muridnya. Lekas-lekas mengucapkan terima kasih. Nanti setelah kembali
ke Istana Panjang Umur baru kau melakukan upacara pengangkatan guru lagi. Co Seng
memangnya sudah mengenal Thie Bok Taysu, malah pernah digodanya dengan memasukkan dua
ekor udang besar kedalam badannya, ketika tempo hari ia bertemu padanya ditepi telaga "Sinyang-
ouw". Sungguh tidak nyana hwesio itu masih ada muka untuk pungut ia menjadi muridnya.

(Bersambung jilid ke 33)
Jilid 33
Cuma sayang ia tidak pandai bicara, maka ia tidak dapat menjawab, hanya mengawasi Ciok
Goan Hong dengan badan tidak bergerak, tidak memberikan jawaban menerima juga tidak
mengatakan kalau ia tidak suka.
Ciok Goan Hong yang menyaksikan itu, hatinya sudah panas. Kalau tidak karena Thie Bok
Taysu suka pada bocah itu, barangkali ia sudah mengemplang kepalanya Co Seng sampai binasa.
Tapi tidak mengetahui kalau perkataannya Thie Bok Taysu tadi justru sudah menolong dirinya
tidak sampai dibikin malu di depan orang banyak. Sebab bila diukur kekuatan Co Seng pada waktu
itu, sekalipun Ciok Goan Hong menganggap dirinya ada suatu ahli pedang ternama, masih bukan
tandingannya Co Seng.
Thie Bok Taysu yang melihat Co Seng tidak memberikan jawaban, lalu maju sendiri di
depannya Co Seng seraya berkata :
"Bocah, kau barangkali tidak kenal aku ini siapa ? Biarlah aku perlihatkan padamu...."
Tiba-tiba ia mengambil Bok-hie-nya yang digendong di gegernya dan dilemparkan di tanah.
Gerakannya itu kelihatan seenaknya saja, tetapi ternyata Bok-hie yang terbikin dari bahan besi itu
sudah melesak ke dalam tanah.
Thie Bok Taysu ketawa bergelak-gelak.
"Kalau kau ada mempunyai sedikit kekuatan dan kepandaian, kau boleh coba-coba dengan
Bok-hie-ku." katanya jumawa.
Co Seng pura-pura seperti tidak mengerti, dengan perlahan ia menghampiri Bok-hie. Ketika
sudah berada dekat sekali tiba-tiba kakinya menendang dan Bok-hie itu lantas melesat melayang
ke perut Thie Bok Taysu.
Kejadian yang di luar dugaan itu telah mengejutkan semua orang.
Mereka sungguh tidak mengira, bahwa Co Seng yang masih kanak-kanak, dengan sekali
tendang saja sudah membikin terbang Bok-hie-nya Thie Bok Taysu yang membuat ia mendapat
nama baik. Jika tidak mempunyai kepandaian yang berarti, mana ia berani berbuat demikian ?
Selagi semua orang pada kaget terheran-heran, sebaliknya Thie Bok Taysu malah ketawa
bergelak-gelak. Ia tidak menyingkir ataupun berkelit, bahkan tangannya juga tidak bergerak,
dengan gelembungkan perutnya ia membikin Bok-hie-nya itu menempel di perutnya.
"Bagusss, bagus ! Mari kita main-main lagi." demikian mulutnya mengoceh.
Tetapi belum habis perkataannya, mendadak Co Seng sudah melesat ke belakangnya Bokhie,
tangannya digerakkan menghajar benda itu.
Ia tidak menghajar orangnya sebaliknya memukul Bok-hie nya, Ini memang benar-benar aneh.
Thie Bok Taysu ketawa bergelak-gelak. Ia tidak takut oleh Co Seng, apalagi dipukul Bok-hienya.

Siapa nyana, selagi mulutnya masih ketawa, Hawa dingin tiba-tiba menyusup ke dalam
perutnya sehingga sekujur badannya menggigil. Bok-hie-nya tidak dapat dipertahankan lagi
dan...... jatuh di tanah.
Thie Bok Taysu terperanjat ! Keinginannya hendak memungut murid telah musnah seperti
asap tertiup angin. Sambil berseru aneh tangannya menyambar dirinya Co Seng dan mulutnya
memaki-maki.
"Bocah busuk! Dari mana kau dapatkan pelajaran ilmu setan? Hari ini kalau Hudya-mu tidak
dapat membunuh mati kau, benar-benar tidak akan merasa puas!"
Karena terpisahnya antara Thie Bok dan Co Seng ada demikian dekatnya dan gerakan yagn
dilakukan oleh Thie Bok Taysu secepat kilat itu, maka Co Seng sudah tidak keburu menyingkirkan
diri, badannya sudah kena disambar.
Thie Bok Taysu adalah seorang padri yang sudah terkenal kejahatannya di dunia Kang ouw
dan kepandaiannya sangat tinggi. Beberapa hari berselang, ketika Sin-hoa Tok Kai dan muridnya
bertemu padanya, belum sampai lima puluh jurus si pengemis sakti dan muridnya itu sudah
tertangkap olehnya dan pagi tadi ketika Hui-thian Go-kang bersama dua cucunya hendak
menolong Sin-hoa Tok-kai, ketika berhadapan dengan Thie Bok Taysu, meskipun dikerubuti tiga
akhirnya ketiga-tiganya ditangkap hidup-hidup oleh Thie Bok dalam waktu tiga ratus jurus.
Sekarang menghadapi bocah yang baru berusia tujuh tahunan saja, ia pandang enteng. Siapa
nyana ketika tangannya mengenai tangan Co Seng yang kecil ada sangat licin, seolah-olah ikan
belut sehingga terlepas dari cekalannya secara tiba-tiba, kemudian lengan kirinya dirasakan sakit
bekas serangan tangan Co Seng. Bukan kepalang kagetnya Thie Bok Taysu. Sejak ia berkelana di
dunia Kang-ouw, belum pernah ia menemukan kejadian yang begitu aneh seperti malam ini.
Apakah ia harus menyerah kepada satu bocah yang masih ingusan ?
Kegusarannya memuncak. Sambil menggeram hebat, tangannya yang besar seperti kipas
dengan beruntun telah melancarkan tiga kali serangan.
Meskipun Co Seng mempunyai kekuatan cukup besar, tetapi pelajaran ilmu silatnya masih
sangat terbatas. Di bawah serangan yang gencar dari Thie Bok Taysu sudah tentu ia merasa
kewalahan, sebentar saja ia sudah terdesak keluar tenda.
Pada saat itu hujan dan angin sudah berhenti, rembulan juga sudah menunjukkan dirinya.
Thie Bok Taysu yang sudah merasa gemas sekali terhadap Co Seng, bernapsu sekali untuk
membinasakan seketika itu juga. Apa mau Co Seng sangat kuat dan tangkas, apa lagi ilmu
mengentengi tubuhnya yang sangat luar biasa, sekalipun ia terus terusan mundur, tetapi kadangkadang
masih bisa membalas menyerang.
Mendadak terlihat satu bayangan orang yang datang menghalangi maksud Thie Bok Taysu,
orang itu bukan lain Kim Houw adanya.
"Thie Bok, kepala gundul! Kau ada seorang terkemuka didalam kalangan Kang-ouw, mengapa
terhadap seorang bocah saja harus menggunakan serangan begitu ganas? Kalau hal ini nanti
tersiar diluaran, haaa..." Kim Houw mengejek sambil tertawa dingin.
Begitu melihat Kim Houw, Thie Bok segera dapat mengenali bahwa dialah orangnya yang
tempo hari ditepi telaga Sin-yang-ouw, bersama-sama dengan Co Seng mempermainkan dirinya.
Pada saat itu baru ia ingat bahwa bocah cilik di depan matanya sekarang ini, adalah si bocah yang
pernah mempermainkan dirinya, maka kegusarannya semakin memuncak.

"Oow, bangsat-bangsat cilik! Kiranya adalah kalian, hari ini kalau Hudya-mu tidak dapat
membunuh mati kalian berdua, percuma saja aku menjadi jago dalam dunia Kang ouw!" ia berseru
dan lantas mengirim serangan hebat kepada Kim Houw.
Kim Houw hanya ganda ketawa badannya sedikitpun tidak bergerak, hanya tangannya
diangkat untuk menyambuti serangan Thie Bok Taysu.
Suara beradunya kedua kekuatan tenaga dalam terdengar nyaring, batu dan pasir pada
beterbangan.
Thie Bok Taysu merasa lengan dan tangannya kesemutan, badannya mundur setengah tindak.
Ia terperanjat, sebab serangannya yang dilancarkan tadi dalam keadaan gusar sudah melampaui
batas kekuatannya yang ada, bukan main hebatnya. Siapa nyana Kim Houw dengan seenaknya
saja sudah membuat dirinya terpental mundur dan tangannya kesemutan.
Pada saat itu dalam tenda juga terdengar suara ribut-ribut. Dalam kaget dan herannya, Thie
Bok Taysu lalu melongok ke dalam, ternyata tawanannya yang tadi menggeletak di tanah,
sekarang semuanya sudah dapat ditolong orang.
Kim Houw pada saat itu berdiri tepat di tengah-tengah pintu tenda, sehingga tidak mudah bagi
Thie Bok Taysu untuk menerjang masuk. Dalam gusarnya Thie Bok Taysu lalu menghunus
goloknya yang beracun, terus diputarnya dan menerjang si anak muda.
Kim Houw yang sama sekali tidak membawa senjata apa-apa, sudah tentu tidak berani
menyambuti dengan tangan kosong.
Baru saja ia hendak berkelit, dari dalam tampak melesat keluar beberapa bayangan orang.
Thie Bok Taysu terkejut dan menunda serangannya. Ketika ia menegasi, ternyata itu adalah
orang-orangnya sendiri. Tetapi apa yang mengherankan adalah saat itu Pek-kauwnya tengah
memutar tongkatnya, tetapi tidak mirip dengan orang yang sedang bertempur, sebaliknya seperti
anak kecil yang sedang bermain-main.
Thie Bok Taysu ketawa menghina, ia menyimpan kembali golok beracunnya, lalu melompat
dan merebut senjata tongkatnya Pek-kauwnya seraya berkata :
"Pergilah kalian ! semua ! Biarlah aku sendiri yang menghadapi orang-orang semua ini."
Ia berkata sambil memutar tongkatnya Pak-kauwnya untuk menahan orang-orang yang
hendak kabur.
Kim Houw yang menyaksikan tingkah lakunya Thie Bok Taysu, sudah dapat mengetahui akan
kehebatan kepala gundul itu, maka ia sungkan menyambuti serangan senjata Thie Bok Taysu
dengan tangan kosong.
Hanya Hui-thian Go-kang Teng Kie Liang saja yang lantas menyerang dengan senjata
rahasianya, jarum Hui-ie-ciam. Sayang, karena jarum itu halus lembut, sebelumnya sampai pada
sasarannya sudah tersampok jatuh oleh sambaran angin tongkatnya Thie Bok yang diputar
laksana titiran.
Kim Houw memang sengaja melepas orang orang Thie Bok Taysu, sebab Ciok Yaya-nya
pernah melepas budi kepada dirinya. Sekarang Ciok Yaya-nya sudah meninggal dunia, ingin
membalas sedikit budi kepada anaknya, yaitu Ciok Goan Hong. Sedangkan Pek-kauwnya,

meskipun bukan engkongnya sendiri, tetapi juga masih terhitung salah satu dari adik engkongnya,
biar bagaimana juga masih termasuk anggota keluarganya dari golongan tua.
Sebentar saja Ciok Goan Hong dan Pek-kauwnya sudah kabur tidak kelihatan bayangannya.
Thie Bok Taysu selagi hendak memikirkan untuk kabur, mendadak ada angin kuat yang
menyambar dirinya dan terus menindih di atas kepalanya. Thie Bok Taysu terkejut, telinganya
mendadak mendengar suara bentakan halus :
"Hajar saja !"
Thie Bok Taysu dengan menggunakan suatu gerakan "Oey-liong-hoan-sin" atau "Naga kuning
membalikkan badan", dengan tongkatnya menyambuti serangan yang datang tiba-tiba itu.
Terdengar suara "Trang" dari beradunya kedua senjata yang nyaring sekali.
Thie Bok Taysu merasakan kedua lengannya kesemutan, tongkatnya hampir saja terlepas dari
tangannya, kiranya yang menyerang dirinya tadi adalah Bok-hie-nya sendiri.
Sampai disini Thie Bok benar-benar jeri dan tidak berani berdiam lebih lama lagi. Dengan Bokhie-
nya ditinggalkan begitu saja ia kabur sambil membawa tongkatnya.
Teng Kie Liang dan Sin-hoa Tok-kai sebenarnya hendak mengejar, tetapi sudah dicegah oleh
Kim Houw.
"Jiewie Cianpwe, biar saja dia kabur ! Asal dia berani masuk ke dalam Istana Panjang Umur
nanti, tidak akan kuampuni jiwanya lagi. Untuk menghadapi manusia semacam dia, Bok-hie dari
besi ini benar merupakan senjata yang paling cocok!"
Pada saat itu cuaca sudah mulai terang.
Semua orang setelah saling bertemu, Kim Houw lalu melihat Sun Cu Hoa yang sedang
membimbing Teng Ceng Ceng keluar dari dalam tenda.
Kedatangan Teng Ceng Ceng sebetulnya hendak mencari Kim Houw. Bersama-sama dengan
engkongnya dan adiknya, sepanjang jalan ia mencari keterangan tentang dirinya Kim Houw. Ia
dapat kabar bahwa Kim Houw akan datang ke Istana Panjang Umur, maka segera ia juga datang
menyusul ke tempat itu.
Tidak dinyana ditengah jalan mereka sudah berpapasan dengan Thie Bok Taysu dan akhirnya
telah kena ditangkap olehnya dan hampir saja dirinya dibikin ternoda. Untung saja Kim Houw
bersama Co Seng keburu datang.
Waktu melihat Teng Ceng Ceng hati Kim Houw agak berdebar. Untung disitu ada Sun Cu Hoa,
maka Kim Houw sengaja menghalau Thie Bok Taysu supaya Sun Cu Hoa mendapat kesempatan
menolong dirinya si nona.
Teng Ceng Ceng sudah dihina demikian rupa, meskipun dirinya belum dirusak kehormatannya,
tetapi ia sudah merasa malu untuk menemui orang. Sebetulnya ia ingin membunuh diri, tetapi
karena melihat Sun Cu Hoa telah memperlakukan dirinya begitu baik, maka ia mengurungkan
maksudnya.
Sebetulnya ia lebih penujui Kim Houw, tetapi karena mengingat anggota-anggota yang
berharga pada dirinya seorang gadis sudah dilihat semua oleh Sun Cu Hoa, sudah tentu ia tidak
ada muka untuk kawin dengan orang lain.

Apalagi, Sun Cu Hoa orangnya juga gagah, kecakapannya tidak berada di bawah Kim Houw,
maka sebentar saja kedukaannya sudah lenyap semuanya, ia sudah bisa bicara dan ketawa
seperti biasa.
Teng Kie Liang dengan Cu Su merupakan kenalan lama mereka tidak menduga akan bertemu
pula dalam keadaan seperti sekarang ini, maka hubungan mereka kelihatannya semakin rapat,
sedangkan si bengal Co Seng juga telah dapatkan Teng Peng Sin sebagai kawannya.
Teng Peng Sin yang telah menyaksikan kepandaian Co Seng ada begitu tinggi, dalam hati
merasa agak mengiri. Setelah pertempuran selesai ia lantas menarik tangannya Co Seng untuk
menanyakan segala macam soal. Ia tidak mengetahui bahwa Co Seng tidak pandai bicara maka
ketika ia menanya dan tidak mendapat jawaban, ia lantas pelototi matanya.
Dengan demikian, diantara dua bocah itu telah timbul salah pengertian.
Teng Peng Sin merasa gusar, lalu menyerang dengan senjata serulingnya. Co Seng belum
mengetahui kalau kawannya itu gusar benar-benar, lalu menggunakan tipu silatnya Hun-kin-chekut-
chiu, sehingga sebentar saja seruling Teng Peng Sin sudah berpindah tangan.
Teng Peng Sin tidak menduga dalam tempo sekejap mata saja senjatanya sudah dapat
dirampas oleh lawannya maka ia semakin gusar lalu menyerang dengan senjata jarumnya, Hui-ieciam.
Co Seng tengah ketawa-ketawa, ketika ia melihat berkelebatnya sinar perak, bukan kepalang
kagetnya, ia lantas melesat tinggi dan kabur, sedangkan Teng Peng Sin masih mengejar
dibelakangnya
Pada saat itu pikiran Kim Houw sedang kusut. Ia sedang memikirkan bagaimana nanti ia
menghadapi Siao Pek Sin yang merupakan saudaranya sendiri. Apa ia tega turun tangan untuk
membinasakan dirinya ? Tetapi kecuali ia sendiri, siapapun bukan tandingan Siao Pek Sin.
Dalam keadaan melamun, mendadak dari jauh terdengar suara jeritan kaget yang tidak begitu
jelas. Suara itu kedengarannya hanya Suhu.... suhu....
Kim Houw tersadar dari lamunannya. Segera ia mengenali suara itu adalah suara Co Seng. Ia
sungguh tidak mengerti, mengapa Co Seng nampaknya begitu ketakutan. Andaikata ia
berpapasan dengan seorang yang lihay, orang itu pasti mempunyai kepandaian yang luar biasa
sebab Co Seng tidak mengerti apa arti takut.
Segera Kim Houw lompat melesat menuju ke arah datangnya suara Co Seng.
Kira-kira sepuluh tombak lebih jauhnya, dari depan kelihatan lari satu bayangan putih. Kim
Houw kenali itu adalah Co Seng, maka ia lantas menyambutinya.
Co Seng kelihatan gugup, air matanya mengalir dan mulutnya menganga, lama sekali ia baru
dapat mengeluarkan suara.
"Peng...."
Mendengar Co Seng menyebut namanya Peng Peng, Kim Houw terperanjat, lalu
meninggalkan Co Seng lari mencari Peng Peng.

Setibanya Kim Houw ditempat yang digunakan untuk meneduh semalam, di situ ia dapatkan
Tiong-chiu-khek sudah rebah binasa dalam keadaan mengenaskan, sedangkan Peng Peng sudah
tidak kelihatan bayangannya lagi.
Kim Houw seolah-olah sudah terbang semangatnya, lama ia berdiri menjublek di sisinya Tiongchiu-
khek. Tiba-tiba terdengar suara orang berkata :
"Kim Siaohiap, kejadian sudah demikian rupa. Apa gunanya bersedih ? Lebih baik lekas
berdaya untuk menuntut balas dan menolong orang."
Kim Houw terkejut. Dengan perlahan ia berpaling, ternyata mereka sudah datang semuanya.
Sin-hoa Tok-kai berlutut disampingnya Tiong-chiu-khek dan menangis dengan sedih sekali,
sedangkan yang berbicara tadi adalah Cu Su.
Kim Houw tidak keluarkan air mata, tetapi matanya merah seperti bara.
Kemudian ia mendengar Cu Su berkata pula :
"Menurutku, Touw toako ini rasanya belum lama binasanya. Dia seperti terluka oleh senjata
berat, kelihatannya ini adalah perbuatannya si bangsat gundul tadi. Aku percaya dia pergi belum
jauh. Untuk menolong dirinya nona Touw, sebaiknya Kim Siaohiap segera berangkat lebih dulu,
urusan di sini ada lohu dan lain-lainnya yang nanti akan bantu membereskan, harap tidak usah
kuatir."
Mendengar disebutnya nama bangsat kepala gundul, Kim Houw merasa menyesal dan gemas
! Coba kalau tadi ia menggunakan sedikit tenaga untuk membinasakannya, bukankah tidak ada
kejadian seperti sekarang ini ? Tetapi menyesal selamanya datang belakangan. Sekarang ia
terpaksa harus mencari Hwesio yang ganas itu untuk menolong Peng Peng dan membalas sakit
hati Tiong-chiu-khek.
Kim Houw berlutut di depan jenazah Tiong-chiu-khek, lalu menyatakan terima kasih kepada Cu
Su beramai, kemudian meninggalkan mereka.
Baru saja Kim Houw lompat melesat lantas bertemu dengan Co Seng yang kelihatannya
sangat sedih. Bocah itu, di belakang gegernya menggendong Bok-hie-nya Thie Bok Taysu.
Kim Houw mengagumi kecerdasan sang murid. Dengan tidak berkata apa-apa ia lantas
menggandeng tangannya, keduanya lantas melesat pergi.
Meskipun jalanan gunung itu sangat sukar, tetapi bagi Kim Houw dan Co Seng tidak menjadi
halangan. Sebentar saja mereka sudah melalui beberapa puluh lie jauhnya.
Tetapi dimana sekarang adanya Thie Bok si hwesio cabul itu dan dimana adanya Peng Peng ?
Sekalipun Ciok Goan Hong dan Pek Kauwya dengan rombongannya sudah tidak kelihatan
bayangannya.
Kim Houw menghentikan tindakan kakinya, ia mencari sebuah tempat yang lebih tinggi untuk
mengawasi sekitarnya. Tetapi di gunung yang tinggi itu, kecuali suara binatang-binatang gunung,
tidak ada satu bayangan manusiapun yang terlihat.
Melihat keadaan demikian, Kim Houw menduga bahwa mereka barangkali sedang melalui
jalanan kecil. Dalam hati merasa gelisah. Tiong-chiu-khek sudah binasa, dalam waktu satu hari
satu malam lamanya, sudah cukup untuk membinasakan jiwanya Peng Peng. Mengingat hal itu,
bagaimana Kim Houw tidak cemas ?

Dengan tiba-tiba Co Seng menarik tangannya Kim Houw, lalu menunjuk ke suatu tempat di
bawah puncak gunung.
Lapat-lapat Kim Houw seperti mendengar suara tindakan kaki orang yang masuk ke dalam
telinganya.
Hal ini telah menggirangkan hatinya, maka segera ia lompat melesat ke arah terdengarnya
suara tadi.
Tidak antara lama, Kim Houw sudah mendekati tempat tersebut. Suara itu kedengarannya
makin nyata. Sayang dari gerakan kakinya dapat diketahui bahwa orang-orang itu semuanya tidak
berkepandaian tinggi, sedangkan orang yang dicarinya mungkin tidak ada dalam rombongan
mereka.
Tetapi orang-orang yang bergelandangan dalam gunung ini, kecuali orang-orangnya dari
Istana Panjang Umur, tidak ada orang lain lagi.
Kim Houw mengambil jalan memutar, tiba-tiba ia memperlihatkan diri dari balik sebuah batu
besar. Rombongan itu terdiri dari delapan belas orang, kesemuanya. Kelihatannya sangat keren,
dengan pakaiannya yang seragam. Kim Houw mengetahui bahwa apa yang diduganya semula
tidak salah.
Kim Houw tidak mengenal mereka, begitu pula diantara mereka tidak ada seorangpun yang
mengenali Kim Houw, hanya munculnya Kim Houw secara tiba-tiba itu benar-benar telah
mengejutkan mereka.
Salah seorang dari antara mereka yang agaknya bertindak sebagai kepala rombongan
mungkin karena menganggap Kim Houw terlalu muda, sehingga dapat digertak begitu saja telah
membentak :
"Jahanam cilik ! Apa kau sudah bosan hidup ? Berani kau menggoda kami orang, kami semua
adalah orang-orang dari Istana Panjang Umur yang paling pandai menangkap setan."
Sehabis bicara demikian, ia lantas hendak menjambret dirinya Kim Houw.
Kalau ia tidak menyebutkan namanya Istana Panjang Umur, barangkali Kim Houw masih
belum mengetahui dengan pasti kalau mereka itu adalah anak buahnya Istana Panjang Umur, apa
mau pengakuannya orang-orang tadi itu berarti mencari penyakit sendiri. Tangan yang sedang di
ulur hendak menjambret Kim Houw belum sampai mengenakan sasarannya, sebaliknya sudah
dijepit oleh kedua jarinya Kim Houw.
Dengan memakai dua jari tangan saja, orang itu sudah merasakan tangannya seperti dijepit
oleh tang sehingga ia menjerit-jerit kesakitan, kemudian disusul oleh mengetelnya keringat yang
membasahi tubuhnya.
Melihat kejadian itu, semua kawannya maju menyerang untuk memberikan pertolongan.
Kim Houw yang sudah kalap, sudah tidak memperdulikan apa-apa lagi, ia terus memutar
tangannya, lima orang sudah terpental melayang seperti layangan putus talinya.
Semua orang baru merasa kaget. Tiga diantara lima orang yang jatuh itu telah meninggal
seketika itu juga.

"Siapa berani bergerak ? Ini adalah contohnya !" Kim Houw membentak.
Orang-orang itu seperti mati kutu, semuanya sekarang sudah tidak bergerak lagi.
Kim Houw menduga orang yang dijepit itu, tentunya adalah kepala dari rombongan maka
lantas mengendorkan jepitannya dan berkata:
"Aku mau ajukan pertanyaan, harap kau suka menjawab dengan sejujurnya. Kalau kau berani
main gila di hadapanku, hati-hati dengan batok kepalamu !"
Orang itu lantas berlutut di hadapan Kim Houw dan meratap :
"Mana Siaojin berani membohongi Tayhiap? Harap saja Tayhiap suka menaruh belas kasihan.
Ampunilah para saudara Siaojin ini."
"Baik! Sekarang aku hendak menanyakan padamu. Apakah kau mengetahui kemana perginya
itu hwesio jahanam Thie Bok Taysu?"
Orang itu mengawasi Kim Houw dengan sorot mata ragu-ragu, lama baru ia menjawab :
"Mengenai dirinya Thie Bok Taysu, Siaojin sama sekali tidak mengenalnya. Hanya pada waktu
terang tanah tadi, Siaojin telah menerima titah dari Ciok-ya supaya kita balik ke Istana Panjang
Umur melalui jalanan ini yang lebih dekat. Tetapi sebetulnya jalanan yang diambil oleh Ciok-ya
ada lebih dekat lagi, cuma saja harus melalui tiga puncak gunung dan tiga tebing curam, akhirnya
satu lembah yang lebarnya kira-kira seratus tombak, tetapi di atas lembah itu ada tambangnya.
Jika tidak mempunyai ilmu kepandaian mengentengi tubuh, jangan harap dapat melalui lembah
tersebut. Oleh karena Siaojin sekalian tidak mempunyai itu kepandaian, maka kami tidak berani
mengambil jalan melalui lembah tersebut...."
"Siapa suruh kau memberi keterangan banyak-banyak. Aku hanya ingin mengetahui si padri
jahanam saja." kata Kim Houw jengkel.
"Ya, ya, baik, baik." jawab orang itu gugup. "Diantara orang-orang yang berjalan bersamasama
Tiok-ya, memang benar ada seorang hwesio yang tinggi besar. Tapi hwesio itu apakah
hwesio yang Tayhiap cari atau bukan, Siaojin tidak tahu, sebab Siaojin sebelumnya belum pernah
melihatnya.... Oh, ya! Digegernya Tiok-ya masih ada menggendong satu...."
"Apa?"
"Seorang nona kecil."
Kim Houw mengerti bahwa yang dimaksud dengan nona kecil itu tentunya adalah Peng Peng.
Seketika itu hatinya berdebaran dan gelisah sekali.
Orang itu melihat Kim Houw membisu, lalu berkata pula:
"Nona kecil itu juga belum pernah Siaojin lihat sebelumnya. Ia menggelendot di belakang
gegernya Tiok-ya agaknya sedang tertidur pulas. Nona kecil itu parasnya cantik sekali. Dalam
keadaan tidur kelihatannya lebih menarik...."
Tetapi mendadak dagunya dirasakan sakit, mulutnya penuh dengan darah segar, itu adalah
akibat tamparan Kim Houw yang merasa sebal ia mengoceh yang bukan-bukan. Meskipun ia
merasa sakit, tetapi ia tidak berani bersuara.

Kim Houw menanya lagi pada seorang lainnya :
"Dari sini ke Istana Panjang Umur, harus mengambil jalan mana yang paling dekat?"
"Melalui itu lembah yang sangat dalam yang terdekat."
"Dari sini menuju kemana?" tanya Kim Houw lagi.
"Kalau dari sini harus menuju ke timur. Setelah melalui puncak gunung yang dinamai gunung
Hidung Gajah, lantas tiba di lembah tersebut. Di situ nanti Tayhiap akan dapat melihat seutas
tambang besar. Setelah melewati tambang, kalau dapat berjalan lebih cepat, hanya dalam waktu
satu hari satu malam sudah bisa sampai ke Istana Panjang Umur."
Keterangan orang itu jelas, tidak melantur atau bertele-tele, Kim Houw mengetahui orang ini
cerdik, maka ia lantas menanyakan namanya.
"Siaojin bernama Coa Khun." jawabnya.
Kim Houw tidak mau membikin sulit padanya, maka segera ia mengajak Co Seng melalui
jalanan yang telah ditunjukkan oleh Coa Khun tadi.
Betul saja di lembah ia menemukan seutas tambang panjang yang diikat dari satu tepi ke lain
tepi di seberangnya, untuk menghubungkan kedua tebing dari lembah tersebut.
Kim Houw yang terus memikirkan keselamatan Peng Peng tanpa ayal lagi lantas berlari-larian
di atas tambang tersebut, yang diikuti oleh Co Seng.
Karena ilmu mengentengi tubuh kedua orang itu sudah mencapai puncaknya kesempurnaan,
maka walaupun di atas tambang yang sangat berbahaya itu, mereka sebentar saja lari melalui tiga
puluh tombak lebih.
Mendadak ada suara ketawanya seseorang yang menyeramkan terdengar dari seberang tepi
jurang.
Kim Houw terkejut! Ketika ia mendongakkan kepalanya, ternyata orang yang ketawa tadi
adalah Thie Bok Taysu sendiri.
"Hai, bocah busuk! Benar-benar kalian berani datang kemari. Kalau Hudyamu tidak dapat
membikin mampus ke lain berdua, bagaimana Hudyamu mau mengerti? Hudyamu memang sudah
berpikir, bahwa kalian pasti akan mengambil jalan ini, maka Hudyamu sengaja menunggu kalian di
sini. Benar saja, orang yang mencari kematian itu sekarang sudah datang. Sekarang Hudyamu
menghendaki kalian mati tanpa bekas!"
Hwesio itu lalu mengeluarkan goloknya digosok gosokkan sebentar diatas tambang, lalu
berkata pula sambil ketawa:
"Hudyamu tadi pagi telah dapat menangkap seorang nona cantik, katanya adalah isterimu.
Apa benar? Kalau benar demikian, Hudyamu juga tidak akan sungkan-sungkan lagi, tentu akan
menerima baik dia. Kau tidak usah kuatir. Aku tidak akan perlakukan jahat padanya. Ha, ha, ha,
...."
Sehabisnya ketawa, Thie Bok Taysu lantas memotong tambang itu sehingga putus.
Sejak munculnya Thie Bok Taysu ditepi seberang, Kim Houw mengerti bahwa diri mereka
berada dalam keadaan bahaya, karena maju tidak dapat dan mundurpun demikian pula. Otaknya

diputar dengan cepat, tetapi ia masih belum mendapatkan pikiran untuk menolong dirinya sendiri
dan dirinya Co Seng.
Tiba-tiba ia mendengar Hwesio itu telah menyebut-nyebut dirinya Peng Peng, bukan main Kim
Houw gusar. Justeru dalam keadaan demikian, badannya mendadak dirasakan enteng, terus
melayang kedalam jurang.
Tiba-tiba ia mendengar suara jeritan Co Seng. Kiranya karena Co Seng menggendong Bokhie-
nya Thie Bok Taysu yang berat, maka melayangnya semakin pesat.
Meskipun Kim Houw sudah tahu bahwa ia sendiri sekarang berada dalam keadaan bahaya,
tetapi tokh ia masih memikirkan keadaan Co Seng, maka ia segera ulurkan tangannya untuk
menyambar tubuhnya Co Seng.
Di bawah suara ketawanya Thie Bok Taysu, tubuhnya Kim Houw dan Co Seng menghilang
kedalam jurang yang curam.
Tanggal lima bulan tujuh, sejak pagi-pagi sekali, dalam Istana Panjang Umur di gunung Kuachong-
san, sudah penuh dengan kawanan manusia kurcaci yang sedang mengadakan perjamuan.
Sebagai orang yang duduk di atas adalah Tiancu dari Istana Panjang Umur, Siao Pek Sin.
Disampingnya duduk nona Touw Peng Peng yang diriasi seperti bidadari, tetapi sikapnya tidak
beda seperti patung. Di meja sebelah kiri tampak duduk Kow-low Sin-ciam dengan Khu Leng Lie
yang dandanannya masih tetap seperti biasa.
Tetapi Khu Leng Lie meskipun duduk disampingnya Kow-low Sin-ciam, matanya sebentarsebentar
mengerling ke arah Siao Pek Sin dan kadang-kadang juga mengawasi Peng Peng
dengan sorot mata jelus.
Tiba-tiba Khu Leng Lie merasa ada sepasang sorot mata tajam yang sedang memandang
padanya dengan tidak berkedip.
Khu Leng Lie diam-diam berpikir, Siapakah orang itu yang demikian besar nyalinya ?
Padahal ia sendiri sebetulnya mengharap-harap akan ada orang binal bernyali besar yang
berani memikat dirinya, sebab sejak beberapa bulan ini ia bersatu kembali dengan Kow-low Sinciam,
belum pernah ia menikmati kesenangan dunia. Sejak hari itu, ia membuat perhubungan
gelap dengan Siao Pek Sin, ia tidak mendapat kesempatan untuk berdekatan lagi dengan dia.
Meskipun Kow-low Sin-ciam tidak memperlakukan dingin padanya, tetapi wajahnya yang
menjemukan membuat Khu Leng Lie makin susah tidur.
Merasa dirinya diawasi orang, meskipun dalam hatinya memaki-maki, tetapi di luar
kelihatannya sangat gembira. Seketika itu ia lantas mengobral senyumnya.
Setelah ia memandang dengan seksama, barulah diketahuinya bahwa orang yang
memandang dirinya tadi adalah Thie Bok Taysu yang tadi malam baru tiba di situ yang membawa
kabar jatuhnya Kim Houw ke jurang.
Kabar kematiannya Kim Houw ke dalam jurang sudah cukup mengejutkan hatinya, tetapi juga
cukup menggirangkan. Hampir setiap orang juga girang, terutama Siao Pek Sin.
Ia sekarang tidak usah kuatirkan dirinya lagi. Kedudukannya sebagai Tiancu tidak akan
tergoyah, apalagi ia segera akan didampingi oleh nona Peng Peng yang cantik manis dan yang
setiap hari dan malam dibuat pikiran.

Perjamuan yang diadakan hari itu adalah untuk menjamu Thie Bok Taysu yang telah membuat
jasa besar. Siao Pek Sin dengan perasaan girang dan hati bangga duduk di atas kursi
kebesarannya. Peng Peng pada saat itu seperti orang linglung karena mendengar kabar jelek
yang menimpa dirinya Kim Houw, tetapi Siao Pek Sin percaya perlahan-lahan si nona tentu akan
sembuh kembali.
Thie Bok Taysu yang datang ke Istana Panjang Umur ini bermaksud akan mendapatkan
dirinya Peng Peng, tidak nyana Ciok Coan Hong telah bertindak lebih dahulu menyerahkan Peng
Peng kepada Siao Pek Sin.
Sebab Ciok Coan Hong masih tersangkut keluarga dengan Peng Peng, ia lebih suka Peng
Peng menjadi isterinya Siao Pek Sin daripada menjadi isterinya padri cabul itu.
Ketika pertama kali Thie Bok Taysu melihat Peng Peng berada dengan Siao Pek Sin, hampir
saja mengumbar amarahnya. Tapi setelah diberikan penjelasan oleh Ciok Coan Hong hatinya baru
tenang. Meski demikian, melihat Siao Pek Sin demikian tergila-gila terhadap Peng Peng, hatinya
sangat mendelu.
Pada saat itu, ketika matanya dapat melihat Khu Leng Lie yang centil dan genit, semangatnya
lantas terbang, matanya lantas terus-terusan ditujukan padanya, sedapat-dapatnya ia ingin
menyambar dan memeluknya.
Khu Leng Lie juga tidak menyangka kalau orang yang mengintai padanya tadi adalah si padri
yang namanya sudah sangat terkenal. Ketika sepasang mata saling beradu, ketawanya Khu Leng
Lie kelihatan lebih manis lagi.
Memang Khu Leng Lie juga merasa suka sebab badannya Thie Bok Taysu yang tegap kekar,
wajahnya merah. Meskipun tidak menarik seperti Siao Pek Sin, tetapi jauh lebih gagah dari Kowlow
Sin-ciam.
Meskipun dalam hati Khu Leng Lie ingin mendekati Thie Bok Taysu, tetapi hari itu tak berani
berlaku secara terang-terangan. Ia hanya berani main mata lalu balik seperti biasa lagi.
Siao Pek Sin tiba-tiba bangkit dan memaklumkan bahwa hari itu ia hendak menikah dengan
Peng Peng.
Siao Pek Sin sebetulnya sudah menetapkan pada tanggal tujuh bulan tujuh hendak menikah
dengan Peng Peng, tetapi karena semalam Peng Peng terus menangis dan ribut, semalam suntuk
setelah mendengar kabar tentang kematiannya Kim Houw, telah membuat Siao Pek Sin tidak
menyentuh dirinya. Tetapi hari ini sikapnya berubah dengan mendadak seperti seorang yang
sudah lupa ingatan.
Kesempatan sebaik itu ia tidak mau lewatkan begitu saja, sekalipun hanya tinggal dua hari lagi,
ia sudah tidak sabar menunggu lagi.
Pengumuman itu telah disambut dengan tempik sorak oleh semua orang yang hadir di situ,
kemudian disusul dengan orang-orang yang memberi selamat kepada Siao Pek Sin.
Tiba-tiba seorang pelayan perempuan berlari-lari dari dalam sambil berseru :
"Siaoya ! Siaoya ! Celaka ! Nyonya besar ......"
"Nyonya besar kenapa ?" Siao Pek Sin menanya dengan kaget.

Ibunya Siao Pek Sin, Ceng Nio cu, sebetulnya segar bugar. Tadi malam, ketika mendengar
berita tentang kematiannya Kim Houw, disamping menggirangkan juga merupakan pukulan,
mungkin disebabkan perasaan aneh yang telah lama menindih hatinya.
Sudah tentu penyakit yang datang dari perasaannya itu tidak lama lagi tentu dapat sembuh
kembali.
Bertepatan dengan diadakannya perjamuan oleh Siao Pek Sin, di kamarnya Ceng Nio-cu tibatiba
telah muncul seorang imam tua.
Imam tua itu dengan sorot mata dingin setelah lama mengawasi Ceng Nio-cu, telah
menyodorkan sebuah kantong kecil yang sudah kuning warnanya.
Ceng Nio-cu kaget oleh munculnya imam tua itu secara tiba-tiba, karena diantara orang-orang
yang dikumpulkan oleh Siao Pek Sin, meskipun banyak yang berasal dari kalangan Kangouw,
tidak ada seorangpun yang berani memasuki kamarnya secara sembarangan.
Ketika Ceng Nio-cu dapat melihat tegas imam tua itu, agaknya seperti mengenalnya,
badannya seketika lantas menggigil. Ketika ia melihat kantong kecil yang disodorkan, wajahnya
pucat seketika.
"Kau.... kau...." ia berseru.
"Ini adalah adik Leng yang telah memesan untuk diberikan padamu. Kewajibanku telah
selesai, sekarang aku hendak pergi lagi."
Setelah menyambuti kantong kecil itu, Ceng Nio-cu lantas berkata :
"Engko Bwee Seng, kau tunggulah sebentar...."
Imam tua itu memang benar adalah Bwee hoa Kiesu. Tanpa menghiraukan panggilan Ceng
Nio-cu, ia lantas berjalan keluar dengan tindakan lebar.
Ceng Nio-cu tidak keburu tukar pakaian lagi, ia lantas lompat memburu.
Di halaman pekarangan yang luas, ia tak menemukan bayangannya Bwee-hoa Kiesu lagi,
terpaksa Ceng Nio-cu kembali ke kamarnya dengan perasaan masgul. Di bawah penerangan
lampu pelita, ia terus mengawasi kantong kecil yang warnanya sudah dekil itu, tetapi ia masih
mengenali bahwa kantong itu adalah barang yang sering dibawa-bawa oleh Pek Leng.
Mengingat peristiwa yang telah terjadi pada dua puluh tahun yang lalu, lima atau enam hari
setelah ia menikah dengan Pek Leng.
Ia ingat benar, tepat lima malam enam hari, Pek Leng mendadak menghilang tidak
meninggalkan bekas.
Timbulnya peristiwa ialah karena kantong kecil itu. Ceng Nio-cu ingin melihat, tetapi tidak
diijinkan oleh Pek Leng. Ceng Nio-cu tetap memaksa, ia telah menggantikan kedudukannya Ceng
Kim-cu untuk dapat menikah dengan Pek Leng.
Ceng Kim-cu adalah seorang perempuan lemah-lembut, sedangkan Ceng Nio-cu beradat
keras. Dengan demikian, rahasia telah terbuka lebih cepat.
Selanjutnya ia tidak dapat menemukan Pek Leng lagi, tidak nyana hari itu setelah dua puluh
tahun lamanya, kembali ia dapat melihat kantong kecil itu.

Ceng Nio-cu membuka kantong kecil itu, didalamnya terdapat sehelai kertas yang terlipat-lipat.
Itu adalah sepucuk surat yang sudah luntur warnanya. Mungkin karena sudah terlalu lama
disimpan. Surat itu berbunyi:
"Ketika kau membaca surat ini, belum ada satu bulan aku meninggalkan dunia yang fana ini.
Kantong ini akhirnya dapat kau lihat juga. Apa isi didalamnya ? Didalamnya tidak ada apa-apanya !
Yang ada hanyalah air mata dan darah ! Perbuatanmu yang dulu, apakah kau tetap tidak merasa
menyesal ? Kau telah mencelakakan dirinya orang lain, dirimu sendiri, juga dirinya keturunan kita
di kemudian hari. Kau ! Apakah yang kau dapatkan. Hanya pengharapan yang kosong.
Penyesalan yang tak ada akhirnya yang telah merusak penghidupanmu yang sangat berharga.
Jiwa manusia yang hanya beberapa puluh tahun saja lamanya, dengan cepat akan berlalu.
Siapakah yang dapat mempertahankan usia mudanya terus-menerus ? Maka sadarlah ! Aku dan
Kim-cu telah rebah didalam satu liang kubur. Aku akan tetap berdampingan dengan dia untuk
membuktikan kecintaanku dimasa hidup. Hal ini barangkali bukan seperti apa yang kau pikirkan...."
Hanya sekian bunyinya surat itu, tetapi cukup membuat Ceng Nio-cu menjadi kalap, ia lantas
merobek-robek hancur surat itu, kemudian berkata kepada dirinya sendiri :
"Rencanamu sungguh bagus ! Aku Ceng Nio-cu telah mengetahui benar bahwa kau belum
mati, maka aku pertahankan diriku sampai hari ini. Bagaimana aku dapat mengijinkan kau
berkumpul lagi dengan kecintaanmu? Aku adalah istrimu yang sah, kita nanti akan membuat
perhitungan dialam baka !"
Setelah berkata demikian, Ceng Nio-cu lantas memilih pakaiannya yang paling bagus, ia
berdandan dan bersolek. Kantong kecil itu disimpan dalam sakunya.
Selesai bersolek, Ceng Nio-cu lalu menelan sebutir obat pil, lantas naik ke atas
pembaringannya.
Siao Pek Sin yang diberitahukan tentang keadaan ibunya ketika tiba di kamar ibunya, jiwanya
Ceng Nio-cu sudah melayang ke akherat untuk mencari suaminya.
Dengan demikian upacara pernikahan terpaksa harus ditunda, sebab biar bagaimanapun juga
Siao Pek Sin tidak berani menikah selagi jenazah ibunya masih belum dikubur.
Oleh karena itu pula, maka Peng Peng juga terhindar dari terkamannya Siao Pek Sin. Tetapi
Kim Houw sudah binasa, apa artinya hidup tanpa dia? Siao Pek Sin yang kuatirkan Peng Peng
akan mencari jalan pendek, ia menyerahkan si nona kepada Ciok Goan Hong untuk menjaga
keselamatannya.
Hampir berbareng saatnya, di sebuah lembah yang tidak berjauhan dengan Istana Panjang
Umur, juga ada berkerumun banyak orang. Orang-orang itu kebanyakan adalah orang-orang kuat
dari golongan partai sepatu rumput yang diundang oleh Cu Su dan Sin-hoa Tok-kai, sedangkan
Teng Kie Liang dan kedua orang cucunya juga terdapat diantara mereka.
Tetapi hampir semua orang menunjukkan paras masgul dan kelu, sebabnya karena Kim Houw
dan Co Seng yang berangkat lebih dahulu, ternyata tidak kedengaran kabar ceritanya.
Hilangnya kedua orang itu secara misterius, siapapun tidak dapat menduga-duga kemana
perginya. Mereka baru saja tiba di situ belum lama, mengapa sampai begitu cemas? Itulah karena
hampir di semua pelosok telah mereka cari, tetapi tetap Kim Houw dan Co Seng tidak
diketemukan jejaknya.

Semua orang telah diliputi oleh perasaan kuatir. Mungkin Kim Houw dan Co Seng telah
mengalami bencana ?
Mendadak Sin-hoa Tok-kai memecahkan suasana sunyi itu. Ia berkata :
"Aku si pengemis tua benar-benar tidak akan percaya kalau Kim Siaohiap yang mempunyai
kepandaian yang luar biasa menemukan bahaya, aku lebih percaya kalau mereka sudah
memasuki Istana Panjang Umur. Setelah jam dua malam nanti aku akan pergi kesana untuk
mengadakan penyelidikan. Siapa yang hendak ikut aku pergi ?
Pertanyaan itu segera disambut oleh beberapa orang yang menyatakan ingin ikut.
Tetapi semuanya telah ditolak oleh Cu Su yang dalam rombongan itu bertindak selaku kepala.
Ia berkata :
"Kepergiannya Sute kali ini bukannya untuk melakukan pertempuran. Kalau yang ikut
kebanyakan, bisa menyulitkan urusan. Ilmu mengentengi tubuhnya Sute sangat sempurna maka
boleh saja dia pergi, tetapi sebagai kawannya aku ingin minta saudara Teng yang mengawani.
Bagaimana ? Tentang kepandaian saudara Teng tidak usah kujelaskan lagi...."
Teng Kie Liang memang mendapatkan nama dalam rimba persilatan, karena ilmu
mengentengi tubuhnya yang sangat luar biasa, sehingga ia telah mendapatkan nama julukan Huithian
Go-kang atau kelabang terbang. Apalagi senjata rahasianya yang merupakan jarum halus
yang dinamakan Hui-ie-ciam, dapat digunakan melawan musuh yang jumlahnya lebih banyak. Jika
berada dalam keadaan terdesak seandainya ia ingin kabur, senjata itu merupakan benda yang
paling berharga untuk melindungi dirinya.
Teng Kie Liang lantas menjawab :
"Saudara Cu, mengapa begitu merendah terhadap diriku ? Aku akan menurut perintahmu apa
saja." jawab Teng Kie Liang.
Demikianlah Sin-hoa Tok-kai dan Teng Kie Liang pada jam dua tengah malam telah
meninggalkan lembah dan menuju ke Istana Panjang Umur. Meskipun banyak rintangan, tetapi
mereka dapat tiba ditempat tujuannya dengan selamat.
Ketika mereka tiba, tepat waktu Ceng Nio-cu berangkat ke akhirat, sehingga keadaannya pada
saat itu sangat ribut. Mereka tadinya mengira bahwa Kim Houw benar-benar sudah ada di situ,
siapa nyana peristiwa ribut-ribut itu ternyata adalah karena kematiannya Ceng Nio-cu. Mereka
terus mencari kemana-mana tetapi tetap tidak dapat menemukan dirinya Kim Houw dan Co Seng
sehingga Sin-hoa Tok-kai mulai merasa cemas dan ragu-ragu.
Sin-hoa Tok-kai sudah mengetahui bahwa di dalam Istana Panjang Umur itu banyak
berkumpul orang-orang kuat seperti Kow-low Sin-ciam dan Thie Bok Taysu.
Akhirnya Sin-hoa Tok-kai telah mendapat satu akal. Ia menangkap salah satu anak buahnya
Siao Pek Sin dan dikompas secara diam-diam.
Justru keterangan yang didapat dari mulutnya orang itu telah membikin terbang semangatnya
Sin-hoa Tok-kai.

Bertepatan dengan itu, dalam istana telah ribut dengan suaranya orang-orang mencari
seseorang. Dalam kagetnya, Teng Kie Liang lantas menotok rubuh orang tangkapan tadi,
kemudian menarik Sin-hoa Tok-kai kabur ke bawah gunung.
Tindakannya yang tergesa-gesa itu telah menimbulkan akibat meluncurnya sebatang anak
panah yang dilepaskan dari dalam istana. Anak panah itu seolah-olah mempunyai mata, dengan
apinya yang berwarna merah terus mengikuti kedua orang yang sedang lari itu. Teng Kie Liang
terperanjat, ia buru-buru menepok jalan darahnya Sin-hoa Tok-kai yang berada dalam keadaan
seperti orang linglung, tetapi tepokannya itu ternyata malah telah mendatangkan bencana.
Karena Sin-hoa Tok-kai yang mendapat kabar tentang kematian Kim Houw, pengharapan yang
paling besar dianggapnya sudah musnah, maka ia tidak memikirkan lagi tentang mati hidupnya.
Dengan mendadak ia memekik nyaring, tetapi ia tidak lari ke bawah gunung, sebaliknya telah
lompat melesat ke atas. Teng Kie Liang yang menyaksikan keadaan demikian, bukan main rasa
kagetnya.
Sebentar kemudian, satu bayangan orang telah menghalang di depannya Sin-hoa Tok-kai,
orang itu ternyata adalah Thie Bok Taysu.
"Hudya kira siapa orangnya yang berani mati masuk kedalam Istana Panjang Umur ini. Kiranya
adalah dua orang pecundang yang berhasil meloloskan diri dari bawah tongkatku. Hari itu aku
telah mengampuni jiwa kalian, tetapi malam ini sudah tidak bisa lagi...."
Sin-hoa Tok-kai tidak perdulikan ocehannya Thie Bok Taysu, ia terus menyerang dengan
tangannya.
Thie Bok Taysu kembali tertawa bergelak-gelak, dengan enak saja ia menggoyang-goyangkan
tongkatnya ia sudah berhasil mengelakkan serangan Sin-hoa Tok-kai. Tetapi belum lagi Thie Bok
Taysu bergerak, Sin-hoa Tok-kai sudah menyerang lagi dengan hebat, sebentar saja Sin-hoa Tokkai
sudah melancarkan tujuh kali serangannya. Thie Bok Taysu karena lalai sedikit saja, maka
serangan Sin-hoa Tok-kai tadi telah membuat ia kelabakan dan terpaksa ia harus mundur tiga
tindak.
Thie Bok Taysu menjadi gusar, selagi Sin-hoa Tok-kai sedikit lambat serangannya, ia lantas
membabat dengan tongkatnya.
Sin-hoa Tok-kai yang memang bukan tandingan Thie Bok Taysu, apalagi tangannya tidak
membawa senjata, maka ia terpaksa mundur sampai setombak lebih.
Mendadak berkelebat jatuh sinar hijau yang menyambuti tongkatnya Thie Bok Taysu.
Itulah Teng Kie Liang dengan sebatang seruling batu giok di tangannya. Thie Bok Taysu diamdiam
merasa geli, karena dengan sebatang suling saja, bagaimana mau diadu dengan
tongkatnya?
Maka ia tidak menarik serangannya dan membiarkan serulingnya Teng Kie Liang membentur
tongkatnya. Siapa nyana seruling Teng Kie Liang itu hanya menotol di kepala tongkat, segera
badannya melesat tinggi, kemudian menyerang Thie Bok Taysu secara menukik.
Itulah gerak tipunya Teng Kie Liang yang telah membuat ia terkenal didunia Kangouw. Karena
duluan pernah ditawan oleh Thie Bok Taysu, ia anggap itu ada suatu penghinaan yang paling
besar bagi dirinya. Sudah banyak tahun ia tidak menggunakan senjata dan malam itu karena telah
memasuki goa macan, maka ia sengaja membekal seruling cucunya dan begitu turun tangan ia
lantas menggunakan tipu serangannya yang dinamakan "Hui-thian-sam-yauw".

Tipu serangan Hui-thian-sam-yauw ini sangat aneh, terutama senjata seruling itu, serangannya
seperti kilat cepatnya. Orang hanya dapat melihat berkelebatnya sinar hijau saja, tetapi banyak
bagian jalan darahnya yang terancam oleh totokan seruling itu. Bukan main kagetnya Thie Bok
Taysu, ia buru-buru mundur sejauh tiga tindak, tongkatnya diputar laksana titiran untuk menahan
serangannya Teng Kie Liang.
Si orang she Teng yang sudah melancarkan ilmu silatnya itu, sudah tentu tidak gampanggampang
menarik pulang senjatanya setengah jalan, bahkan ia menyerang semakin hebat dan
satu kali ia mengancam belakang kepala Thie Bok Taysu.
Bagian belakang kepala itu ada merupakan bagian yang terpenting dari anggotanya badan
manusia, siapa yang kena ditotok akan binasa seketika itu juga.
Thie Bok Taysu sungguh tidak menyangka kalau kepandaiannya Teng Kie Liang ada begitu
tinggi, dalam kagetnya ia buru-buru mundur kira-kira satu tombak lebih.
Sekalipun ia sudah bergerak dengan cepat, tetapi serangan Teng Kie Liang ternyata ada lebih
cepat.
Serulingnya sudah berhasil membabat pundak kiri Thie Bok Taysu, sehingga jubahnya
terlepas sebagian.
Bukan main gusarnya Thie Bok Taysu karena beberapa puluh tahun lamanya selama ia
malang melintang di dunia Kangouw, belum pernah ia mengalami penghinaan demikian rupa.
Kali ini ia sudah benar-benar marah, sambil mendelik dan membentak hebat ia mengeluarkan
seluruh kepandaiannya. Dengan ilmu tongkatnya Hok-mo-tung-hoat, ia menyerang dengan hebat.
Sebentar saja Teng Kie Liang sudah terkurung oleh bayangan dan anginnya tongkat Thie Bok
Taysu.
Tiba-tiba terdengar suara bentakan: "Hajar!" lalu disusul oleh suara berkelebatnya dua benda
kuning yang menyelusup diantara sambaran angin tongkatnya dan terus menyerang Thie Bok
Taysu.
(Bersambung ke jilid 34)
Melihat berkelebatnya bayangan kuning itu, Thie Bok Taysu menganggap pada senjata
rahasia yang sangat lihay, ia tidak berani menyambuti dengan kekerasan, lalu mencabut goloknya
dan terus membabatnya.
Ketika benda itu jatuh, ternyata hanya sepasang sepatu rumput.
Thie Bok Taysu jadi kalap, goloknya lalu digunakan sebagai senjata rahasia, secepat kilat
meluncur ke arah Sin-hoa Tok-kai.
Sin-hoa Tok-kai melihat golok itu berwarna biru segera mengetahui bahwa golok itu ada
racunnya. Tetapi Sin-hoa Tok-kai tidak takuti segala macam racun yang bagaimana hebatnya pun
tidak dapat melukai dirinya.
Tetapi golok itu meluncurnya cepat sekali Sin-hoa Tok-kai hanya dapat melihat berkelebatnya
sinar biru, golok itu tahu-tahu sudah berada di depan matanya, maka ia buru-buru memutar
tubuhnya untuk berkelit, tetapi tidak urung rambutnya kena terpapas sebagian.

Sin-hoa Tok-kai memang sudah bertekad bulat, tidak akan meninggalkan Istana Panjang Umur
itu dalam keadaan hidup, melihat rambutnya terkena papasan golok, gusarnya semakin
memuncak, ia lalu memutar tangannya bersama Teng Kie Liang mengerubuti Thie Bok Taysu.
Tiba tiba ia mendengar suara orang yang amat merdu: "Pengemis tua, apa tanganmu gatal?
Mari, nyonyamu melayani kau beberapa jurus"
Sin-hoa Tok-kai melihat kearah suara itu, itulah Khu Leng Lie, si perempuan genit dengan
dandanannya yang istimewa.
"Perempuan cabul ! Apa kau kira aku takut padamu ? Lihat serangan !" bentaknya Sin-hoa
Tok-kai yang lantas melancarkan serangannya.
Siapa nyana, Khu Leng Lie sebaliknya dari berkelit, ia telah pentang dadanya, seolah-olah
hendak menyambuti serangan si pengemis tua dengan buah dadanya.
Sin-hoa Tok-kai terpesona, sebagai seorang laki-laki sejati, bagaimana ia mau berbuat begitu
rendah menghajar buah dadanya, seorang perempuan tentu rusaklah sudah nama baiknya di
dunia kang-ouw yang telah dipupuknya selama beberapa puluh tahun.
Maka ia urungkan serangannya dan buru-buru lompat mundur.
Tetapi Khu Leng Lie yang berbuat demikian, sudah pasti ada mempunyai maksud tertentu.
Bagaimana ia gampang-gampang membiarkan Sin-hoa Tok-kai berlalu? Maka ia segera
mengayunkan kain kerudung kepala untuk menghalangi jalan mundur si pengemis tua.
Sin-hoa Tok-kai ketika mengetahui dirinya terancam bahaya, dalam kagetnya telah timbul
pikiran jahatnya.
Mendadak ia tarik masuk kedua tangannya dan mengebutkan kedua lengan bajunya yang
rombeng.
Baju pengemis tua itu bukan saja rombeng bahkan sudah penuh dengan kotoran minyak,
sehingga menimbulkan bau yang tidak sedap.
Khu Leng Lie tidak menyangka kalau si pengemis tua itu akan berbuat demikian. Seolah-olah
terkena serangan racun, tiba-tiba ia merasakan mual dan lantas saja segala makanan dan
minuman yang ada dalam perutnya telah dimuntahkan semua.
Dengan menggunakan kesempatan itu, Sin-hoa Tok-kai lantas cepat-cepat lompat mundur.
Tetapi dilain pihak, keadaannya Teng Kie Liang sangat menguatirkan. Meskipun ia sudah
menggunakan seluruh kepandaiannya, begitu pula sudah memasuki habis senjata rahasianya,
tetapi tetap tidak berdaya menghadapi Thie Bok Taysu.
Sin-hoa Tak-kai, untuk kedua kalinya telah dihalangi oleh Khu Leng Lie, tetapi mempunyai
senjata po-pwee (jimat) yang sederhana, meskipun Khu Leng Lie dapat merintangi, tetapi tidak
akan dapat melukai dirinya.
Pada saat itu, tiba-tiba terlihat beberapa bayangan orang yang sedang mendaki ke puncak
gunung dari berbagai jurusan.

Begitu melihat beberapa bayangan itu, Teng Kie Liang makin cemas. Tetapi ia ingat mungkin
orang-orang yang datang dari bawah gunung itu tentu adalah Cu Su dan kawan-kawannya. Sebab
sudah hampir menjelang pagi hari, mereka belum melihat Tok-kai dan Teng Kie Liang kembali,
sudah tentu Cu Su merasa cemas, tetapi air jatuh susah menolong api yang berkobar ditempat
dekat. Keadaan Teng Kie Liang pada saat itu sudah dikatakan sudah kehabisan bensin (napas).
Dalam keadaan yang sangat kritis itu, tiba-tiba ada semacam benda yang melayang turun dari
atas dan terus molos diantara sambaran tongkat Thie Bok Taysu. Karena cepatnya benda itu
meluncur, siapapun tidak mengetahui apakah benda itu.
Thie Bok Taysu melihat lawannya sudah kehabisan tenaga, mendadak ada sebuah benda
hitam yang hendak menyambar kepalanya. Dalam gusarnya, ia tidak perdulikan apa adanya
benda itu, ia babat dulu dengan tongkatnya.
Segera terdengar suara "Trang" yang amat nyaring, kedua lengan Thie Bok Taysu dirasakan
kesemutan, orangnya mundur sempoyongan sampai tiga tindak.
Bukan main rasa kagetnya, ketika ia membuka matanya untuk melihat benda apa itu
sebetulnya, di depannya ada berdiri satu bocah yang tangannya masih memegang Bok hie telah
mengawasi padanya dengan cengar cengir.
Thie Bok Taysu ketakutan, semangatnya hampir terbang ! Ia lalu keluarkan suara jeritan aneh
lantas kabur sambil menyeret tongkatnya.
Apakah bocah itu ada Co Seng ? memangnya dia tidak salah. Tetapi ia sudah terjerumus ke
dalam jurang yang curam bersama Kim Houw, cara bagaimana ia tidak binasa dan dimana adanya
Kim Houw sekarang ? Kiranya Kim Houw yang hendak menyambar tangannya Co Seng yang
meluncurnya lebih pesat, mendadak dapat melihat ujung tambang yang dipotong juga melayang
turun.
Kim Houw lantas mengerti kalau ia masih mempunyai harapan untuk menolong dirinya, sebab
tambang itu, meskipun sudah dipotong disatu ujungnya, tetapi dilain ujung asih terikat ditempat
asalnya. Dengan tidak berayal lagi ia segera bergerak cepat mengejar tambang yang
bergelantungan itu dan usahanya itu ternyata telah berhasil.
Kim Houw dan Co Seng, dengan cara bergelantungan terus berusaha naik ke atas lagi.
Setelah bersusah payah, Kim Houw dan Co Seng akhirnya sampai juga di atas puncak gunung
dalam keadaan selamat.
Saat itu matahari telah silam. Oleh karena satu hari satu malam mereka tidak makan dan
minum, maka terpaksa mereka harus mencari binatang hutan dulu untuk menangsal perut.
Setelah bersemedi sejenak, mereka melanjutkan perjalanannya lagi, oleh karena jalanan
pendek tidak mungkin dicapai lagi, maka mereka terpaksa mengambil jalan memutar, maka
mereka datangnya di belakang Cu Su.
Hampir jam empat pagi barulah mereka sampai di Istana Panjang Umur.
Begitu sampai, lantas mereka lihat Sin hoa Tok kai dan Teng Kie Liang sedang bertempur
dengan Tie Bok Taysu. Sebetulnya Kim Houw sudah ingin segera turun tangan membunuh Thie
Bok, untuk melampiaskan hawa amarahnya, tetapi ia takut kalau perbuatannya nanti akan
mengejutkan semua orang dari Istana Panjang Umur, sehingga mengakibatkan kerunyaman,
sebab maksud kedatangannya pertama-tama adalah untuk menolong Peng Peng lebih dulu.

Tetapi karena cuaca sudah hampir terang, jika dalam tiga atau empat jurus belum berhasil
menyingkirkan diri lawannya, akibatnya akan lebih runyam lagi, maka dengan diam-diam ia telah
perintahkan Co Seng dan ia sendiri memasuki Istana Panjang Umur.
Co Seng begitu unjukkan diri, Thie Bok ketakutan dan kabur, sebab ia menganggap itu adalah
setannya Co Seng yang unjukkan diri.
Khu Leng Lie tidak habis mengerti mengapa si hwesio ketakutan terhadap seorang bocah saja.
Dalam keheranannya, ia lantas meninggalkan Sin hoa Tok kai dan menghampiri Co Seng.
"Bocah cilik ! Thie Bok taysu ternyata takut padamu, maka tentunya kau ada sangat lihay.
Hanya saja jika kau mau menunjukkan kepandaianmu, aku benar- benar tidak mau percaya.
Co Seng melihat Khu Leng Lie datang mendekati, ia tidak mau ambil perduli, ia repot dengan
pekerjaannya sendiri menggendong Bok-hie di belakang gegernya.
Tiba-tiba ia menghunus senjata Bak tha Liong kinnya, sebab Bok hie itu bukan senjata yang
cocok untuknya. kalau tidak untuk digunakan menghadapi tongkatnya Thie bok taysu yang lihay,
siang-siang ia sudah lempar jauh-jauh Bok hie nya Thie Bok itu, buat apa dibawa bawa ke Istana
Panjang Umur ?
Khu Leng Lie melihat Co Seng mengeluarkan Bak tha Liong kin, matanya lantas dibuka lebarlebar.
"Bocah, benda itu mengapa ada di tanganmu ?" ia bertanya dengan keheran-heranan,
kemudian dengan cepat sekali tangannya digerakkan untuk merebut senjata tersebut.
Co Seng terkejut, lalu memutar senjatanya menyerang.
Gerakan Co Seng itu gesit luar biasa. Khu Leng Lie yang sudah tidak berhasil merampas
senjata itu, dengan sendirinya merasa terheran heran apalagi setelah dirinya diserang oleh Co
Seng, keheranannya semakin bertambah.
Ini benar-benar susah dimengerti, tetapi percaya atau tidak kenyataannya memang demikian.
Karena hebatnya serangan Co Seng tadi, terpaksa ia harus berkelit.
Baru saja Khu Leng Lie lompat ke samping dalam Istana Panjang Umur tiba-tiba terdengar
suara tanda bahaya, kemudian disusul oleh suara gemuruh yang tiada henti hentinya. Tanda
bahaya mungkin ada sebabnya, tetapi suara gemuruh itu dari mana timbulnya ? Dalam kaget dan
keheran-heranan, Khu Leng Lie lalu tinggalkan Co Seng dan lari ke Istana Panjang Umur.
Setelah Khu Leng Lie pergi, Sin hoa Tok Kai lalu menghampiri Co Seng dan bertanya :
"Co Seng bagaimana dengan Kim Siaohiap ? Apa dia tidak mendapat halangan apa-apa ? Di
mana adanya dia sekarang ?"
Karena Co Seng tidak dapat bicara, ia hanya manggut-manggutkan kepalanya saja tetapi Sin
hoa Tok kai sudah mengerti, bahwa Kim Houw tentunya tidak mendapat halangan apa-apa.
Tiba-tiba Co Seng memutar senjatanya mulutnya berseru :
"Kejar !"

Badannya yang kecil segera melompat sepuluh tombak lebih jauhnya.
Sin hoa Tok kai dan Teng Kie Liang segera menyusul di belakangnya.
Suara gemuruh yang datangnya dari dalam Istana Panjang Umur tadi semakin lama semakin
nyaring, agaknya gunung itu hendak meledak, sehingga semua orang yang sedang bertempur di
bawah gunung semuanya lari ke atas.
Sin hoa Tok kai yang mengejar di belakangnya Co Seng, sekejapan saja sudah tidak dapat
melihat bayangan bocah itu. Tetapi ketika ia sampai di Istana Panjang Umur, dari jauh ia sudah
melihat asap mengepul, batu dan tanah berhamburan.
Sebuah Istana yang begitu megah tadinya, sebentar saja sudah menjadi tumpukan puing dan
hampir rata dengan tanah. Diantara mengepulnya asap dan berhamburannya tanah dan batubatunya,
kelihatan dua bayangan orang yang sedang bertempur mati-matian.
Siapakah gerangan kedua orang yang sedang bertempur itu? Ketika Sin hoa Tok-kai berada
agak dekat, baru diketahuinya bahwa mereka itu adalah Kim Houw dan Kouw-low Sin ciam.
Di tangannya Kouw-low Sin ciam, terdapat senjatanya gendewa panjang, sebaliknya Kim
Houw menempur dengan tangan kosong. Pertempuran berjalan sangat seru, saat itu belum dapat
ditentukan siapa yang akan menang dan siapa pula yang akan kalah.
Bagaimana Kim Houw bisa muncul di sini? Bagaimana Istana Panjang Umur yang tadinya
megah itu bisa hancur lebur ?
Ternyata Kim Houw yang meninggalkan Co Seng dan masuk ke dalam Istana itu, ia segera
bertindak dengan cepat.
Semua keadaan dalam Istana, bagi Kim Houw sudah tidak asing lagi. Waktu pertama kali ia
memasuki istana itu, ia sudah ingat dan catat baik-baik segala alat-alat dan perlengkapan yang
ada dalam istana tersebut.
Begitu tiba di istana, Kim Houw lalu menuju ke ruangan belakang. Tetapi di sini kelihatannya
sangat sunyi, satu manusiapun tidak dapat dilihatnya, begitu pula dalam beberapa puluh kamar
yang terdapat di ruangan itu semuanya sudah kosong. Kim Houw lalu menuju ke ruangan depan,
di sini telah banyak orang yang kelihatannya sedang mengerumuni jenazahnya Ceng Nio-cu. Ia
lantas sembunyikan diri di atas penglari, ketika melihat jenazahnya Ceng Nio-cu hatinya merasa
pedih, sebab biar bagaimana juga Ceng Nio-cu itu adalah bekas istri ayahnya sendiri.
Ia tahu kalau Ceng-Nio-cu sudah mati dan ia juga sudah mengetahui bahwa kematian Ceng
Nio-cu itu karena minum racun, sebab mata, hidung, mulut dan telinganya masih mengalirkan
darah hitam. Ia hanya tidak mengetahui sebab-sebab kematiannya, tetapi ketika Kim houw
meneliti semua orang yang ada dalam istana itu, ternyata ia tidak dapat menemukan Peng Peng,
sehingga hatinya sangat gelisah.
Suatu firasat tidak baik terlintas dalam otaknya. Darahnya dirasakan mendidih dan matanya
merah seperti darah.
Akhirnya Kim Houw tidak dapat menahan lagi rasa gusarnya dengan mendadak ia keluarkan
pekikannya yang panjang dan nyaring sehingga menggema didalam ruangan istana yang luas itu.
Selanjutnya ia lantas loncat turun dan berdiri ditengah-tengah ruangan, sambil menuding Siao Pek
Sin ia menanya:

"Dimana adanya Touw Peng Peng sekarang? Lekas jawab! Jika tidak, kau jangan sesalkan
aku tidak mengikuti tali persaudaraan kita."
Semua orang yang berada dalam ruangan itu pada terkejut mendengar suara pekikan Kim
Houw tadi dan ketika melihat Kim Houw muncul dengan tiba-tiba. Mereka semakin merasa heran
sebab Kim Houw yang dianggap sudah binasa didalam jurang, mengapa mendadak dapat berada
di depan mata mereka sekarang ? Apakah itu bukan setannya?
Tetapi diantara semua orang itu, hanya seorang saja yang tidak terkejut, malah menghampiri
dengan tindakan lebar, sambil ketawa terkekeh-kekeh orang itu berkata: "Aku kata juga apa,
bagaimana dia begitu gampang binasa? Biarlah aku sekarang yang membereskan padanya."
Orang itu adalah Kouw-low Sin-ciam.
Kim Houw melihat Kouw-low Sin-ciam, lantas ingat akan kematiannya beberapa kawankawannya
dari Istana Panjang Umur di gunung Tiang-pek-san. Seketika itu lantas mendidih
darahnya dan juga lantas melupakan rencananya yang hendak mencari Peng Peng lebih dahulu.
Tanpa banyak bicara lagi, ia lantas menyerang Kouw-low Sin-ciam.
Kow-low Sin-ciam masih perdengarkan ketawanya.
Ini adalah untuk ketiga kalinya Kow-low Sin-ciam bertemu dengan Kim Houw. Ia masih tetap
bersenjata gendewa panjang dengan anak panah saktinya, sedangkan Kim Houw tidak membawa
senjata Bhak-tha Liong-kinnya.
Tetapi begitu turun tangan, Kow-low Sin-ciam mulai berdebaran hatinya, sebab Kim Houw
yang sekarang ternyata banyak berlainan dengan Kim Houw yang diketemukan di Pek-liong po
dan di Han-pek cin-koan. Setiap serangannya itu ganas serta telengas. Hal ini sungguh di luar
dugaannya.
Ia tidak mengetahui bahwa selama beberapa bulan itu Kim Houw sudah beberapa kali bertemu
dengan orang-orang kuat, terutama pertempurannya dengan Kee Yong Seng dan kemudian
dengan para imam dari gunung Ceng-shia-san yang telah membuat pengalamannya bertambah
tidak sedikit.
Apa lagi sekarang sedang berkata ditengah tengah orang-orang yang semuanya merupakan
musuh-musuhnya, dengan tangan kosong, jika tidak menurunkan tangan kejam, bukankah itu
berarti mencari jalan kematian sendiri?
Kow-low Sin-ciam hatinya berdebaran hanya sebentar saja, sebab senjatanya yang
merupakan panah sakti itu jarang sekali ada orang yang mampu menyambuti, apa lagi sekarang
Kim Houw tidak membawa senjata apapun juga.
Pertempuran dari kedua jago nomor wahid dari kalangan rimba persilatan, sesungguhnya ada
lain adari pada yang lain. Sambaran anginnya sebentar saja sudah membuat orang-orang di
sekitarnya tidak berani berada dekat-dekat.
Siao Pek Sin yang menyaksikan keadaan demikian telah timbul niat jahatnya. Ia lantas
mengeluarkan perintah menyuruh semua orang meninggalkan ruangan istana, membiarkan Kim
Houw dan Kow-low Sin-ciam bertempur mati-matian.
Kiranya ketika Siao Pek Sin membangun Istana Panjang Umur itu, baik di ruangan depan
maupun di ruangan belakang, semuanya diperlengkapi dengan pesawat rahasia. Meskipun
pesawat rahasia itu tidak dapat berbuat apa-apa terhadap kim Houw, akhirnya ia tokh
mengorbankan juga Istananya yang megah itu bersama-sama dengan Kim Houw dan ia sendiri
akan mengangkat dirinya sebagai Tiancu dari Istana Panjang Umur dan Pemimpin dari rimba

persilatan. Sebab kalau Kow-low Sin-ciam dan Kim Houw sudah binasa, di dalam rimba persilatan,
yang mampu menandingi kepandaiannya Siao Pek Sin hanya dapat di hitung dengan jari. Apalagi
badannya dibantu oleh baju wasiat dari keluarga Ciok.
Siapa tahu, setelah istananya dihancurkan, segala reruntuk dinding tembok ternyata tidak
dapat membikin mampus Kim Houw dan Kow-low Sin-ciam, sebaliknya adalah jenazah ibunya
sendiri yang dipendam oleh tumpukan puing.
Tetapi dengan perbuatannya demikian itu justru membuat gusar Kow-low Sin-ciam, sebab
dengan perbuatannya itu nyata Siao Pek Sin hendak mengorbankan jiwanya, maka hal itu telah
meninggalkan kesan buruk pada dirinya Kow-low Sin-ciam dan merosotkan semangat
bertempurnya.
Tetapi ia sekarang sudah tidak mudah lagi untuk melarikan diri, sebab meskipun Kim Houw
tidak membawa senjata, tetapi serangan kedua tangannya saja sudah cukup hebat membuat ia
keteter, terutama terhadap ilmu Han-bun-cao-khie nya.
Pada saat itu, dari bawah gunung telah datang menyerbu dua puluh orang lebih. Mereka ada
dari golongan partai sepatu dan beberapa orang kuat dari dunia Kang-ouw yag di pimpin oleh Cu
Su.
Sudah tentu si botak, Sun Cu Hoa, Teng Ceng Ceng dan adiknya juga terdapat diantara
mereka. Begitu mereka tiba di atas gunung, segera menyerbu Siao Pek Sin.
Dengan demikian, maka terjadilah suatu pertempuran yang hebat.
Pertama-tama adalah Siao Pek Sin sendiri yang harus menghadapi serangan Cu Su, Sun Cu
Hoa, Teng Ceng Ceng dan Ceng Peng Sin berempat.
Sedangkan Pek Kauwnya yang berada di sampingnya Siao Pek Sin harus melayani Teng Kie
Liang. Khu Leng Lie yang baru balik ke atas gunung, kembali bertempur dengan Sin-hoa Tok kai,
tetapi kali ini si pengemis sakti itu dibantu oleh muridnya sendiri, yaitu si botak.
Beberapa orang-orang dari pasti sepatu rumput dan orang-orang dari dunia Kang-ouw yang di
undang oleh Cu Su sudah berhadapan dengan beberapa jago dari kalangan hitam yang diundang
oleh Siao Pek Sin.
Ada yang satu lawan satu, juga yang satu harus melawan dua orang, pokoknya di situ telah
terjadi pertempuran kalut yang terdiri dari beberapa rombongan.
Sebenarnya kemudian tiba-tiba terdengar suara jeritan ngeri, dua jago dari partai sepatu
rumput sudah roboh binasa. Cu Su dan Sin-hoa Tok-kai merasa heran, sebab kedua orang itu
bukannya orang-orang lemah, mengapa dalam segebrakan saja sudah roboh binasa di tangan
musuhnya ?
Kedua orang itu bukan lain dari Hai-lam Siang-koay yang dulu pernah menjadi penghuni Istana
Panjang Umur dalam rimba keramat dan kemudian kabur meninggalkan Siao Pek Sin.
Selanjutnya Hay-lam Siang-koay kembali menerjang dua orang. Hanya dengan beberapa jurus
saja, kembali terdengar suara jeritan ngeri, dua orang itu dilemparkan ke tengah udara.
Semula di pihaknya Siao Pek Sin kelihatannya agak lemah. Thie Bok Taysu tidak unjukkan diri,
Ciok Goan Hong juga tidak kelihatan mata hidungnya.

Tetapi setelah Hay-lam Siang-koay menunjukkan aksinya, pihak Cu Su mulai terdesak.
Meskipun Kim Houw sedang bertempur sengit dengan Kow-low Sin-ciam, tetapi semua
kejadian di sekitarnya tidak ada yang lolos dari matanya.
Melihat aksinya kedua orang tua itu, Kim Houw juga terperanjat, sebab selamanya dia belum
pernah menyaksikan kedua orang itu unjukkan kepandaiannya, Sampai dimana tingginya dan
sampai dimana keganasannya. Apa mau Co Seng juga tidak kelihatan, ia tadinya ingin
meninggalkan Kow-low Sin-ciam untuk melayani kedua orang tua itu, tetapi ia takut Kow-low Sinciam
terlepas yang akan menjadi bahaya besar umat manusia.
Mendadak ia mendapatkan satu akal. Ia tidak menantikan Hay-lam Siang-koay turun tangan
untuk ketiga kalinya, lantas berkata dengan suara keras :
"Jiewie Cianpwe, kalian telah membantu kejahatan. Mengapa tidak lekas hentikan tanganmu ?
Apa Cianpwe tahu bagaimana nasibnya orang-orang yang keluar dari Istana Panjang Umur di
rimba keramat dan sekarang di mana mereka berada .... ?
Betul saja Hay-lam Siang-koay setelah mendengar perkataan Kim HOuw kelihatannya terkejut
keduanya. Mereka baru pulang dari Hay-lam, kepada Siao Pek Sin juga pernah menjalankan
tentang keadaan kawan-kawannya dulu dari istana panjang umur.
Tetapi Siao Pek Sin dengan rupa-rupa alasan tidak memberikan jawaban yang tepat. Mereka
juga merasa pernah merasa curiga, tetapi mereka sungguh tidak menyangka kalau kawankawannya
itu sudah pada pulang ke rakhmatullah.
Tiba-tiba Siao Pek Sin berseru :
"Jiewie Cianpwe, jangan sekali-kali dengan ocehan dia. Basmi dulu mereka semuanya, nanti
baru kita bicarakan yang lain-lainnya."
Kim Houw ketawa dingin.
"Tahukah Cianpwe, bahwa Lo Han-ya dan kawan-kawannya semuanya sudah masuk ke sorga
?" katanya mendongkol.
Mendengar berita jelek itu, bukan mau kagetnya Hay-lam Siang-koay.
"Dengan cara bagaimana mereka binasa ?" tanya mereka berbareng.
"Kalau mengingat cara kematian dari para cianpwe itu, sungguh sangat menyedihkan. Mereka
semua telah binasa ditangan Siao Pek Sin, Tiancu kalian dan iblis tua Kow-low Sin-ciam ini.
Hay-lam Siang-koay yang mendengar berita itu, hatinya gemetar, Dua puluh tahun selama
berdiam di Istana Panjang Umur di rimba keramat, sedikitnya ada sepuluh tahun mereka tinggal
bersama-sama. Sekalipun mereka sering-sering ribut mulut, tetapi hubungan mereka masih sangat
baik. Terutama Kim Lo Han, tidak ada seorangpun yang tidak menghormatinya, tidak disangka
setelah keluar dari Istana Panjang Umur, hanya dalam waktu dua tahun saja sudah binasa semua.
Selagi kedua orang itu hendak mengumbar amarahnya, tiba-tiba terdengar suara Siao Pek Sin:
"Jiewie Cianpwe, kalian jangan mendengar hasutan orang. Kita belum kalah, tetapi sudah
bertengkar sendiri. Bukankah itu merupakan suatu hal yang dapat ditertawakan orang lain?"

Perkataan Siao Pek Sin itu ada pengaruhnya juga, karena kedua orang tua itu tidak dapat
segera mengambil keputusan.
Selagi mereka dalam keragu-raguan, tiba-tiba terdengar suara orang tertawa aneh yang
kemudian disusul dengan ucapannya :
"Hay-lam Siang-koay, kalian tidak perlu bersangsi! Orang-orang dari Istana Panjang Umur di
rimba keramat, sebagian besar binasa di tanganku. Bagaimana? Apa kalian hendak mencari aku?"
Perkataan itu telah keluar dari mulut Kow-low Sin-ciam sehingga semua orang pada
tercengang. Sebabnya ialah Kow-low Sin-ciam adalah orangnya Siao Pek Sin, tetapi mengapa ia
bicara buat orang lain.
Hay-lam Siang-koay yang mendengar itu, segera menerjang Kow-low Sin-ciam.
Tetapi baru saja mereka berdua bergerak, sudah dibentak oleh Siao Pek Sin.
"Kalian berdua mau apa? Apa sudah melupakan sumpahmu berdua?"
Hay-lam Siang-koay tercengang, ia segera urungkan maksudnya hendak menempur Kow-low
Sin-ciam. Sepantasnya dalam keadaan demikian, untuk membalas sakit hati kawan-kawannya,
seharusnya mereka tidak usah pikirkan tentang sumpahnya.
Apa mau dikata, kedua manusia aneh itu ternyata sangat menghargai janji dan sumpahnya
sendiri. Kalau tidak karena mengingat sumpahnya, masakah sekarang mereka mau balik lagi
untuk mengabdi kepada Siao Pek Sin? Maka setelah mendengar perkataan Siao Pek Sin tadi,
lantas mereka menjawab sambil membungkukkan badan.
"Siang-koay memang pernah bersumpah di hadapan tiancu, maka tidak boleh tidak harus
menurut. Tiancu sekarang sudah mendapat bantuan orang-orang yang lebih tinggi kepandaiannya
dari pada kami, maka sejak hari ini Siang-koay hendak minta diri dan setelah kembali ke Hay-lam,
seumur hidupnya tidak akan kembali kemari."
Sehabis berkata, tanpa menunggu jawaban Siao Pek Sin, mereka lalu memberi hormat dan
menghilang ke bawah gunung, Siao Pek Sin hendak mencegah, tetapi sudah tidak keburu lagi.
Perubahan yang terjadi secara mendadak itu, bagi Siao Pek Sin berarti kehilangan dua orang
yang boleh diandalkan.
Sebaliknya bagi Kim Houw, berarti kurangnya dua musuh tangguh.
Baru saja Hay-lam Siang-koay berlalu, sesosok bayangan hitam tiba-tiba meluncur dari atas
dan jatuh ke tanah tidak berkutik.
Semua orang terkejut, orang yang jatuh dan binasa itu adalah Thie Bok yang sejak tadi tidak
kelihatan mata hidungnya.
Thie Bok Taysu yang mempunyai kepandaian sangat tinggi dan merupakan salah satu orang
kuat dalam barisan Siao Pek Sin, bagaimana bisa mendadak binasa? dan dia binasa ditangan
siapa?
Jago yang pernah malang melintang beberapa puluh tahun di kalangan Kang-ouw itu ternyata
telah binasa ditangan Co Seng, seorang anak yang usianya belum cukup tujuh tahun.

Sejak Co Seng mengetahui bahwa Tiong-chiu-khek dibinasakan oleh Thie Bok Taysu, ia sudah
mengambil keputusan untuk membinasakan Thie Bok Taysu untuk menuntut balas dendam Tiongchiu-
khek. Ia adalah seorang anak yang tidak mengenal takut, apalagi setelah ia mempunyai
kepandaian tinggi, ia lebih-lebih tidak takuti apa-apa lagi. Lagi pula dia sendiri hampir saja binasa
karena perbuatan Thie Bok Taysu di atas jurang yang curam, maka kebenciannya terhadap Thie
Bok Taysu semakin memuncak.
Barusan ketika ia mendengar suara gemuruh Co Seng lebih dulu telah naik keatas gunung.
Dari jauh ia melihat bayangan seseorang yang kelihatannya hendak melarikan diri melalui
belakang gunung. Co Seng yang sejak kecil sudah mempunyai pandangan mata yang sangat
tajam, begitu lihat, ia segera dapat mengenali bahwa bayangan itu adalah Thie Bok Taysu. Sudah
tentu ia tidak mau melepaskan dirinya begitu saja, maka secepat kilat ia lari menyusul.
Apa sebabnya Thie Bok Taysu kabur? Apa ia takut terhadap Co Seng?
Sebetulnya tidak demikian. Ia kabur itu karena ambruknya Istana Panjang Umur itu, dimana
telah datang pula orang-orang yang sangat hebat kepandaiannya, maka ia berkeputusan hendak
mengambil langkah seribu. Oleh karena maksudnya hendak kabur maka ia tidak berani mengambil
jalan depan, tetapi ia mengambil jalan belakang.
Belum sampai ke tengah gunung, tiba-tiba dilihatnya berkelebat bayangan Co Seng dengan
kedua tangannya membawa Bok-hie yang dulu merupakan senjata Thie Bok yang sangat
diandalkan, Co Seng telah menghadang di depannya.
Thie Bok kembali berseru, sebab Co Seng dianggapnya setan gentayangan yang terus
mengejar dirinya. Tetapi dalam keadaan seperti itu, sekalipun benar-benar setan, terpaksa harus
dilawannya juga.
"Bocah, kau sebenarnya orang atau setan?" tanya Thie Bok sambil tertawa.
Co Seng tidak bergerak, juga tidak menjawab.
Thie Bok dibikin gusar oleh sikap Co Seng yang menantang itu, ia lantas membentak dengan
suara keras.
"Bocah busuk, tidak perduli kau setan atau manusia, lekas minggir! Kalau tidak Hudya-mu
nanti akan mengambil tindakan untuk mengantarkan kau ke akhirat!"
Co Seng masih tetap tidak mau meladeninya, dadanya dilintangkan merintangi jalan kaburnya
Thie Bok.
Thie Bok Taysu tidak dapat menahan amarahnya lagi, maka segera ia gerakkan tongkatnya
menyerang dengan hebat.
Biasanya, kalau ia menggunakan senjatanya, belum pernah menggunakan tenaga
sepenuhnya seperti yang dilakukannya saat ini. Ini sebab sebelumnya ia pernah mengadu tenaga
dengan Co Seng, ia tahu bahwa bocah ini bukan bocah biasa.
Ketika kedua senjata beradu, lantas terdengar suara "Trang" yang amat nyaring.
Thie Bok Taysu merasakan tangannya kesemutan lagi. tapi ia sudah nekat. Ia tidak percaya
bahwa lawannya yang masih bocah ini, dalam pertempuran keras lawan keras masa kedua
tangannya tidak merasakan apa-apa. Maka ia ulangi lagi serangannya sampai tiga kali berturutturut.

Serangan yang kali ini, Co Seng tidak berani menyambuti, ia berkelit ke samping. Thie Bok
Taysu lantas berkata sambil tertawa dingin :
"Aku kira kau benar-benar seorang bocah yang berurat kawat dan bertulang besi, kiranya kau
juga tidak berani menyambuti terus seranganku............."
Siapa tahu, belum sampai mulutnya ditutup, sambil memegang Bok-hie dengan kedua
tangannya, Co Seng sudah melesat menerjang dirinya. Karena Thie Bok Taysu berbadan tinggi
besar, Co Seng yang berdiri hanya mencapai lututnya saja, maka kalau ia mau menyerang, mau
tidak mau harus melesat ke atas dulu.
Karena Co Seng mempunyai kepandaian mengentengkan tubuh yang luar biasa, maka soal
menyerang sambil melesat ke atas baginya tidak menjadi soal apa-apa.
Melihat dirinya diserang, Thie Bok Taysu juga hendak menyambuti dengan kekerasan, sebab
sibocah tadi sudah tak berani menyambuti serangan terakhirnya, sudah tentu sekarang juga tidak
akan berani mengadu tenaga dengan kekerasan.
Siapa nyana, Co Seng yang sedang mengapung ditengah udara, terus menyerang dengan
gencar, bukan saja sudah berani mengadu kekuatan secara keras lawan keras, bahkan
serangannya itu dirasakan oleh Thie Bok Taysu makin lama makin hebat.
Setelah menyambuti dua kali serangan Co Seng, lengan Thie Bok Taysu sudah dirasakan
sakit setengah mati. Serangan Co Seng yang ketiga kali ini barangkali sudah tidak mampu
disambutnya. Dalam keadaan terpaksa, Thie Bok Taysu hendak bergulat dengan sisa tenaganya
yang masih ada, ia coba menyambuti lagi serangan yang ketiga itu. Setelah terdengar suara
"Trang" yang amat nyaring, Thie Bok Taysu merasakan telinganya pengang, matanya berkunangkunang,
mulutnya menyemburkan darah segar. Co Seng yang melihat kejadian itu tidak mau
memberikan kesempatan lagi padanya, kembali ia menerjang dengan hebatnya.
Sekejap mata saja Bok-hie kembali sudah berada di atas kepala Thie Bok Taysu, yang
menjadi sangat terperanjat, karena sudah terluka dalam, mungkin sukar baginya untuk
menyambuti serangan tersebut. Tetapi karena ia sudah tidak dapat menyingkir lagi, terpaksa ia
menangkis lagi dengan tongkatnya.
Meskipun tangkisan itu sudah berhasil dan Bok-hie dibikin terbang melesat tetapi tongkatnya
sendiri juga sudah terpental jatuh ke belakang dirinya.
Pada saat itu, senjata Bak-tha Liong-kin nya Co Seng sudah mengancam kepalanya.
Thie Bok Taysu bukan cuma kaget saja, semangatnya juga sudah terbang. Setelah suara
"Plak" terdengar dengan nyaring, batok kepala Thie Bok Taysu sudah hancur dan otaknya
berantakan.
Sehabis membinasakan Thie Bok Taysu, Co Seng lalu menyerbu untuk memberi bantuannya
kepada Kim Houw.
Kim Houw yang melihat kedatangan Co Seng lantas berseru :
"Co Seng, berikan Bak-tha Liong-kin padaku."
Sebentar kemudian Bak-tha Liong-kin itu sudah berada ditangan Kim Houw, maka ia lantas
berkata sambil tertawa:

IKP34P4849
"Iblis Kow-low, kau sekarang harus hati-hati menghadapi senjataku. Thie Bok Taysu itu adalah
contohmu yang paling baik, sebab kau paling suka membikin pecah kepala orang, sekarang aku
hendak menggunakan caramu itu untuk mengambil jiwa anjingmu!"
Sehabis berkata demikian, Kim Houw lalu putar senjatanya dan menyerang dengan hebat. Co
Seng lalu pasang mata, dipihaknya sendiri siapa yang kewalahan. Ia melihat Cu Su dengan
berempat sedang mengerubuti Siao Pek Sin, meskipun tidak berhasil merubuhkan lawannya, tapi
keadaannya belum kalut.
Dilain pihak, Teng Kie Liang yang menghadapi Pek Kauw-ya, kekuatannya sangat berimbang,
sehingga merupakan suatu pertempuran yang paling seru, tapi tidak demikian halnya dengan Sinhoa
Tok-kai dan si botak, mereka terus terdesak mundur oleh Khu Leng Lie. Masih untung Sin-hoa
Tok-kai mesih mempunyai "Po-pwee" yang merupakan lengan bajunya yang tidak sedap,
sehingga jiwanya tidak terlalu terancam.
Co Seng yang melihat keadaan mereka berdua dalam bahaya, dengan tidak berkata apa-apa
lagi lantas menyerbu membantu kedua orang itu melawan Khu Leng Lie.
Sejak kaburnya Hay-lam Siang-koay dan munculnya Co Seng, keadaan segera berubah.
Sekarang sudah kelihatan nyata pihak mana yang kuat dan pihak manan yang lemah. Siao
Pek Sin yang lihat keadaan demikian, bukan main rasa kagetnya.
Karena melihat keadaan tidak menguntungkan pihaknya, Siao Pek Sin lantas memikirkan jalan
untuk kabur. Ia sekarang mempertimbangkan caranya untuk meloloskan diri dari kepungan ke
empat orang itu. Ia mengetahui bahwa diantara empat orang musuhnya itu hanya Teng Ceng
Ceng yang paling lemah, maka ia lantas tujukan serangannya pada Teng Ceng Ceng dan seketika
Sun Cu Hoa dan Teng Peng Sin memberi pertolongan dari kanan dan kiri, Siao Pek Sin melihat
lowongan, tetapi ia tidak lantas kabur, sebaliknya mengirim satu serang an hebat pada Sun Cu
Hoa.
Seranan itu kalau mengenakan sasarannya, Sun Cu Hoa pasti celaka.
Cu Su yang menyaksikan itu segera memburu memberi pertolongan.
Justru itulah yang diharapkan oleh Siao Pek Sin. Ia memang menghendaki supaya Cu Su
memberi pertolongannya, sebab ia hendak kabur menggunakan kesempatan selagi Cu Su repot
menolong Sun Cu Hoa. Ia lalu melompat melesat menyingkir sejauh tujuh delapan tombak,
kemudian dengan dua kali lompatan saja ia sudah menyingkir sejauh tiga puluh tombak.
Pada saat itu Kim Houw sedang mencapai babak yang menentukan. Kow-low Sin-ciam tidak
berkutik menghadapi Bak-Tha Liong-kin-nya Kim Houw, sampai senjatanya yang sakti juga tidak
berdaya.
Lolosnya Siao Pek Sin juga sudah diketahuinya, tetapi untuk menyuruh ia meninggalkan Kowlow
Sin-ciam dan mengejar Siao Pek Sin ia tidak ingin melakukannya. Meskipun Siao Pek Sin
jahat, ia masih merupakan saudaranya snediri. Kalau disuruh membunuh Siao Pek Sin dengan
tangannya sendiri, mungkin ia juga tidak tega turun tanagn, maka ia juga tidak menyuruh Co Seng
untuk menghalangi Siao Pek Sin.
Meskipun Kim Houw tidak mengejar, tetapi Cu Su dan muridnya tidak mau melepaskan
kepadanya begitu saja, maka mereka lantas lari mengejar.

Baru saja Siao Pek Sin meninggalkan medan pertempuran. belum samapai lari tiga puluh
tombak jauhnya, tiba-tiba ada satu bayangan orang yang melayang turun dari atas pohon
merintangi perjalanannya.
Siao Pek Sin Tercengang. Ketika ia mengawasi siapa orangnya ternyata ia adalah seorang
pemuda cakap yang berdandan seperti anak sekolahan. Dari sorot matanya yang tajam, dapat
diduga kalau pemuda itu mempunyai kepandaian tinggi.
Belum sampai Siao Pek Sin menegur, pemuda itu itu sudah berkata padanya dengan sikap
yang sangat menghormat.
"Sudikah saudara memberitahukan nama saudara yang mulia? Aku yang rendah adalah Kee
Yong Seng yang datang dari tempat jauh.
Siao Pek Sin yang melihat tingkah laku pemuda itu yang sopan santun dan agaknya tidak
mengandung maksud jahat, maka ia lantas menjawab:
"Aku yang rendah adalah Pek Sin, tetapi orang-orang menyebut aku Siao Pek Sin. Entah siapa
orangnya yang ingin saudara cari itu?"
Pemuda tadi memang benar Kee Yong Seng yang datang hendak menuntut balas sakit
hatinya Kie Yong Yong. Semula ia memang tidak percaya akan perkataan Kim Houw,
menganggap Kim Houw tidak menanggung dosanya, maka hendak mempitnah orang lain.
Tetapi sekarang setelah melihat Siao Pek Sin yang wajahnya mirip benar dengan Kim Houw,
hanya matanya saja yang berlainan, Kee Yong Seng lantas pura-pura mengajukan pertanyaan di
atas. Begitu mendengar disebutnya nama Siao Pek Sin, alisnya lantas berdiri, wajahnya berubah
merah padam. Sambil ketawa dingin ia lantas berkata:
"Apa kau ingat namanya Kie Yong Yong? Ia menyuruh aku menyuruh aku menyampaikan satu
kabar padamu."
Sehabis berkata demikian, ia lalu mengeluarkan sebilah belati yang mengkilat, tetapi masih
ada tanda darahnya yang rupanya bekas menghirup darah orang.
Kee yong Seng berkata pula sambil goyang-goyangkan belati itu:
"Nona Kie Yong Yong dengan senjata ini telah menghabiskan jiwanya sendiri, ia menyuruh aku
menancapkan belati ini di atas dadamu!"
Sehabis mengeluarkan ucapannya yang rapih itu. Kee Yong Seng mendadak menikam Siao
Pek Sin secepat kilat.
Ketika Kee Yong Seng menyebut namanya Kie Yong Yong, kelihatan Siao Pek Sin terperanjat.
Tapi ketika mendengar ucapannya yang bersifat mengejek dan melihat pisau belati itu, Siao Pek
Sin sudah siap sedia untuk menghadapi segala kemungkinan.
Kee Yong Seng yang berkepandaian sangat tinggi, tidak dapat dibandingkan dengan segala
orang, sebab begitu bergerak, senjata itu sudah menempel didadanya.
Dalam kagetnya buru-buru Siao Pek Sin lompat menyingkir, tetapi tidak urung ujung belati
sudah mengenai sasarannya dan sudah merobek bajunya.

Tetapi heran, dari dadanya tidak kelihatan darah mengucur keluar. Kee Yong Seng terkejut,
dalam hatinya berpikir: Apakah ia mempunyai ilmu kebal?
Kee Yong Seng lantas menyimpan kembali belatinya dan mengeluarkan senjata gaetannya,
Giok-cu-tiaw-kim-kauw.
Tetapi belum sampai senjatanya itu dikeluarkan, Siao Pek Sin sudah membentak dengan
suara keras:
"Dari mana datangnya bocah liar yang berani menyerang Tiancu? Lihat Pedang!" berbareng ia
menyerang dengan pedangnya secara hebat sekali.
Karena Kee Young Seng sedikit lengah, ia terdesak oleh Siao Pek Sin sampai mundur enam
tindak baru lolos dari ancaman pedang Siao Pek Sin. Sekarang barulah diketahuinya bahwa Siao
Pek Sin ini juga bukan seorang lemah, maka dengan tidak banyak bicara lagi ia lantas melayani
dengan senjatanya yang istimewa itu.
Pada saat itu, tiba-tiba terdengar suara jeritan ngeri. Siao Pek Sin yang mendengar itu, hatinya
lantas menjadi hancur-luluh, sebab suara itu adalah suaranya Koe-Low Sin ciam yang tentu sudah
binasa ditangganya Kim Houw. Kalau tidak lekas-lekas lari, pasti ia juga akan mengalami nasib
yang serupa.
Barulah ia hendak bergerak, kembali terdengar suara jeritan orang , dan kali ini adalah suara
jeritannya Khu Leng Lie.
Karena kagetnya itu, didadanya dan belakang gegernya sudah terkena serangannya Kee
Young Seng, tetapi semua itu seolah olah tidak dirasakan sama sekali oleh Siao Pek Sin, Kee
Young Seng terheran-heran, ia tidak mengetahui kalau dibadannya Siao Pek Sin ada baju wasiat
yang melindunginya.
Tiba-tiba terdengar suaranya Sun Cu Hoa dan berseru :
"Dia menggunakan baju wasiat yang menguntungkan dirinya, bagaimana kau dapat melukai
badannya ?"
Siao Pek Sin terkejut. Ia lantas menoleh, disitu sudah ada beberapa puluh orang yang sedang
mengurung dirinya, tetapi diantara orang banyak itu tidak terlihat Kim Houw.
Sioa Pek Sin mengetahui bahwa untuk meloloskan diri sudah tidak ada jalan lain lagi.
Mengingat segala perbuatannya sendiri pada waktu-waktu yang telah lewat, memang agak
keterlaluan.
Daripada hidup menanggung siksaan, lebih baik mati saja. Maka ia lantas melintangkan
pedangnya untuk menggorok lehernya sendiri.
Belum sampai rubuh badannya Siao Pek Sin, tiba-tiba telah disambar oleh sesosok bayangan
orang yang terus dibawa kabur ke Istana Panjang Umur. Orang itu adalah Co Seng. Maka semua
orang lantas menuju ke Istana Panjang Umur.
Pada saat itu, didepan bekas Istana Panjang Umur, Kim Houw sudah membuat dua liang
kubur. Satu besar dan satunya lagi kecil. Yang besar dipakai untuk mengubur beberapa orang
yang berkurban, sedangkan yang kecil masih kosong.

Ketika Co Seng datang sambil memondong jenazahnya Siao Pek Sin, lalu disambuti oleh Kim
Houw dan diletakan ditanah. Setelah membuka baju wasiatnya lalu dikubur dalam liang kubur
yang kecil itu. Ia lantas berdiri dan berkata kepada orang sambil memberi hormat:
"Barusan Kim Houw telah diberitahukan oleh Bwee-hoa-cianpwee bahwa Ciok-nya Ciaok
Goan Hong tadi malam entah apa sebabnya mendadak melawan perintahnya Siao Pek Sin dan
membawa nona Peng Peng turun gunung balik ke San-see, maka Kim Houw sekarang hendak
kesana untuk mengembalikan bajunya, sebab baju wasiat ini adalah kepunyaan keluarga Ciok.
Selama ini, atas bantuan para Cianpwee yang diberikan pada Kim Houw, Kim Houw disini
mengucapkan banyak-banyak terima kasih.
ooo, tidak. Sejak hari ini aku akan mengganti ske ku, sebab aku seorang berasal she Pek,
maka selanjutnya aku akan bernama Pek Kim Houw... "
Istana Panjang Umur digunung Kua-cong-san telah musnah, hanya tinggal reruntuknya saja.
Tetapi Istana Panjang Umur digunung Tiang Pek-san masih berdiri dengan megahnya,
didalam rimba yang dipandang KERAMAT itu.
Kini Istana itu bukan merupakan teka-teki bagi orang orang dalam rimba persilatan dan juga
bukan merupakan suatu tempat yang keramat lagi. Sebab didalam Istana yang terkurung oleh
rimba yang lebat itu, sudah tidak menakutkan lagi. Asal orang dengan sejujurnya hendak masuk
kesana, lantas ada orang yang akan memimpin padanya sampai keistana itu, sebab didalam
istana itu ada berdiam suami istri yang saling mencintai, mereka itu adalah... Pek Kim Houw dan
Touw Peng Peng.
TAMAT
Anda sedang membaca artikel tentang ISTANA KUMALA PUTIH 2 dan anda bisa menemukan artikel ISTANA KUMALA PUTIH 2 ini dengan url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/09/istana-kumala-putih-2.html,anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel ISTANA KUMALA PUTIH 2 ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,namun jangan lupa untuk meletakkan link ISTANA KUMALA PUTIH 2 sumbernya.

Unknown ~ Cerita Silat Abg Dewasa

Cersil Or Post ISTANA KUMALA PUTIH 2 with url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/09/istana-kumala-putih-2.html. Thanks For All.
Cerita Silat Terbaik...

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar