Cersil Baru : Golok Halilintar 1

Diposting oleh eysa cerita silat chin yung khu lung on Rabu, 07 September 2011

Cersil Baru : Golok Halilintar 1

Golok Halilintar
Karya : Khu Lung
(Tapi banyak pengemar cersil meragukan ini karya Khulung)

Mula cerita :
TAHUN ITU adalah tahun kedua dari Kerajaan Goan,
sementara runtuhnya kerajaan Song sudah genap mencapai
enam-puluh tahun.
Di suatu musim semi pada bulan ke tujuh, penduduk kota
KangIam waktu.itu sedang menikmati keindahan pohon-pohon
bunga yang sedang bersemi.
"Cuaca sudah mulai gelap ketika seorang laki-laki muda
perkasa, berusia kira tiga puluh tahun, memakai baju biru dan
sepatu rumput, nampak sedang berjalan di jalannya dengan
tindakan kaki lebar, di sepanjang kedua tepi jalan raya itu,
buah tho yang merah merekah serta bunga-bunga liu yang
hijau nampak indah semarak namun laki-laki muda perkasa itu
sama sekali tidak memberikan perhatiannya.
Laki-laki muda perkasa itu adalah Lim Tiauw Kie, yang
rnemiliki kepandaian ilmu silat sudah mencapai batas
kemampuannya, ia sedang melakukan perjalananan
mengamalkan ilmu kepandaiannya dan baru saja
membinasakan seorang penjahat besar di propinsi Hok-kian,
yang mengganas di kalangan rakyat jelata, penjahat itu tidak
hanya memiliki kepandaian ilmu silat tinggi, tetapi juga sangat
licin luar biasa sehingga setelah melakukan penyelidikan
selama kira-kira dua bulan lamanya, barulah Lim Tiauw Kie
berhasil mencari tempat permukiman penjahat itu, Dalam

2
suatu pertempuran yang sangat hebat, ia telah berhasil
mengalahkan dan membinasakan penjahat itu, kemudian ia
bermaksud kembali ke tempat kediamannya di kota Leng-lam.
Sementara itu jalan yang sedang ditempuhnya ternyata
kian lama menjadi semakin berkurang lebarnya, sedangkan di
sisi sebelah kanan jalan raya itu kini berdampingan dengan
pantai laut. Tiba-tiba ia melihat tanah datar nampak licin
mengkilat bagaikan kaca, dan dibagi menjadi petak-petak
yang luasnya kira-kira tujuh-delapan tombak persegi.
Sebagai seorang yang telah seringkali melakukan
perjalanan di sebelah utara dan selatan Sungai Besar, Lim
Tiauw Kie mempunyai banyak pengalaman, namun ia belum
pernah melihat tanah yang licin mengkilat dan yang
dianggapnya sangat luar biasa. Setelah ia menanya kepada
seorang penduduk setempat yang kebenaran berpapasan,
maka tahulah dia bahwa petak-petak itu merupakan ladang
garam.
Untuk membuat garam, penduduk setempat memasukkan
air laut ke dalam petak-petak ladang itu, Setelah dijemur
kerinq, mereka mengumpulkan pasir yang mengandung garam
dan dijemur lagi sampai menjadi garam yang putih bersih
sekali.
Perhatian Lim Tiauw Kie menjadi amat tertarik, karena
sesungguhnya selama hidupnya ia belum pernah melihat dan
mengetahui tentang cara-cara membuat garam.
Konon selagi ia tertegun menyaksikan petak-petak ladang
garam itu, mendadak ia melihat ada serombongan orang
sebanyak kira-kira dua puluh lebih, sedang memikul barang
bawaan dengan menggunakan pikulan. Mereka sedang
mendatangi dengan cepat dari jalan kecil sebelah barat,
semuanya memakai pakaian yang seragam bentuknya, baju
dengan celana pendek warna hijau dan kepala ditutup dengan
tudung lebar, sepintas lalu, dapat Lim Tiauw Kte menduga

3
bahwa yang mereka sedang bawa adalah garam hasil buatan
mereka.
Lim Tiauw Kie memang mengetahui bahwa pada waktu itu
pemerintah penjajah memungut cukai garam terlalu tinggi.
Mereka biasanya bertindak kejam terhadap rakyat jelata dan
menentukan hukuman yang berat bagi para pedagang garam
yang coba-coba tidak memenuhi peraturan membayar pajak,
itu sebabnya walaupun rakyat setempat merupakan penghuni
dekat pantai laut, namun mereka tak sanggup membeli garam
yang harganya menjadi terlalu mahal.
Selama memperhatikan para pemikul garam itu, Lim Tiauw
Kie yakin bahwa yang mereka angkut itu merupakan garam
gelap dalam artikata tidak membayar pajak, Dan yang lebih
menarik perhatiannya adalah pikulan yang digunakan oleh
para pemikul garam Itu. Nampaknya pikulan itu bukan dibuat
dari bahan kayu ataupun bambu, tetapi dari benda logam yang
berat dan berwarna hitam. Beban yang mereka pikul masingmasing
tidak kurang dari tiga ratus kati beratnya, namun
mereka dapat berjalan dengan cepat bagaikan sedang
mengangkut beban ringan, dan dalam waktu yang singkat
mereka telah melewati tempat Lim Tiaw Ki berdiri mengawasi.
Jelas mereka semuanya memiliki tenaga besar, bahkan
rata-rata mempunyai kepandaian ilmu silat dan ringan tubuh
yang mahir. Terbukti dengan cara mereka ber jalan yang cepat
luar biasa, tampak ringan meskipun mereka membawa beban
pikulan yang berat.
Pada waktu itu di daerah Kanglam memang telah didengar
oleh Lim Tiauw Kie, tentang adanya perkumpulan Hay-see pay
(Persekutuan Pasir Laut) yang biasa melakukan perdagangan
garam gelap. Mereka mempunyai pengaruh yang cukup besar
di kalangan masyarakat setempat, sedangkan para
anggotanya memiliki ilmu kepandaian silat yang tinggi.
Namun demikian merupakan kejadian yang luar biasa,

4
apabila rombongan lebih dari dua puluh orang anggauta itu
beramai-ramai melakukan perjalanan sambil memikul garam
gelap. Jelas merupakan suatu tantangan terhadap para
petugas atau tentara penjajah, karena mereka tidak takut akan
diperiksa dan di tangkap.
Selama melakukan petualangannya di kalangan rimba
persilatan, Lim Tiauw Kie memang terkenal gemar melakukan
penyelidikan terhadap kawanan penjahat yang kemudian
dibasminya, Akan tetapi oleh karena waktu itu ia sedang
tergesa-gesa melakukan perjalanan pulang, maka ia bergegas
meneruskan perjalanan dan sengaja dengan cepat ia
melombai rombongan pemikul garam itu yang berbalik menjadi
heran menyaksikan gerak tubuh Lim Tiauw Kie yang sangat
ringan dan pesat sehingga mereka mau tak mau menjadi
curiga.
Mendekati waktu magrib Lim Tiauw Kie tiba di sebuah kota
kecil yang cukup- ramai, yakni kota Am-tong tin di wilayah Gieyauw
koan. Oari kota kecil itu, setelah menyeberang sungai
Cian-tong kwan ia akan tiba di kota Lim-an dengan mengambil
arah sebelah barat laut, Sesudah melewati propinsi Kany-say
dan Ouw-lam, barulah ia tiba di kota Leng-lam,
Di kota kecil Am-tong tin itu Lim Tiauw Kie memilih tempat
bermalam di sebuah rumah penginapan yang cukup ramai .
Sesudah makan malam dan selagi Lim Tiauw Kie hendak
beristirahat dan tidur, ttba-tiba ia mendengar suara dari
beberapa orang yang ingin menyewa kamar, Mendengar lidah
Ciat-kang Timur dan suara orang-orang itu yang nyaring luar
biasa, maka Lim Tiauw Kie membuka pintu kamarnya dan
melihat ke luar. Ternyata orang-orang itu bukan lain dari para
pemikul garam siang tadi.
Lim Tiauw Kie menutup lagi pintu kamarnya, dan
beristirahat tanpa menghiraukan para tamu tadi yang
melakukan pembicaraan dengan suara bising. Tetapi ditengah
malam dan selagi suasana sunyi senyap, mendadak ia

5
mendengar suara yang tidak wajar di luar kamar-nya.
Menyusul kemudian terdengar suara dari beberapa orang
yang melakukan pembicaraan dengan suara perlahan:
"Awas, kita jangan membuat kaget tamu yang di kamar
sebelah, sehingga mengakibatkan terjadi banyak urusan."
Pintu kamar di sebelah kemudian terdengar ditutup orang,
dan sejumlah orang-orang itu terdengar keluar menuju
pekarangan rumah penginapan, Lim Tiauw Kie merasa
penasaran dan curiga, lalu mengintai lewat jendela kamarnya,
Sempat dilihatnya rombongan pemikul garam itu sedang
keluar dengan melompati tembok pekarangan. Anehnya, di
tengah malam buta mereka pergi dengan melewati tembok
namun tetap membawa-bawa beban yang mereka pikul .
Untuk sesaat Lim Tiauw Kie terdiam mengawasi dengan
hati kian bertambah curiga, "Entah perbuatan apa yang
hendak mereka lakukan, dan apakah beban yang mereka pikul
memang berupa garam?" pikirnya didalam hati.
Karena merasa curiga, maka Lim Tiauw Kie segera
membekal senjatanya yang berupa sebuah golok dan tak lupa
membawa bekal kantong senjata rahasia, Setelah itu ia keluar
lewat jendela kamar, untuk kemudian melompati tembok
pekarangan seperti yang di lakukan oleh rombongan penjual
garam gelap tadi.
Setelah berada di luar rumah penginapan, Lim Tiauw Kie
mendengar suara langkah kaki yang menuju kearah Timur
laut. Tanpa ragu-ragu Lim Tiauw Kie lalu bergegas menyusul,
dengan mengerahkan ilmu ringan tubuhnya yang telah
mencapai batas kemampuannya.
Suasana malam nampak hitam kelam, karena tiada
bintang bahkan tertutup awan tebal. Lim Tiauw Kie
meneruskan pengejarannya sampai kemudian ia melihat
rombongan orang-orang itu yang bergerak cepat dan ringan,

6
meskipun mereka tetap memikul beban yang nampak berat.
Mungkinkah mereka benar-benar penjual garam gelap,
ataukah mereka merupakan rombongan kawanan penjahat
yang bermaksud merampok? Karena rasa curiganya itu, maka
Lim Tiauw Kie semakin bertekad hendak mengetahui entah
apa yang hendak dilakukan oleh rombongan orang-orang itu.
Hampir setengah jam lamanya mereka melakukan
perjalanan tanpa Lim Tiauw Kie mengetahui entah kemana
tujuan mereka, sementara orang-orang yang berlari-lari di
sebelah depannya, tidak menyadari adanya seseorang yang
sedang membayangi perjalanan mereka.
Pada kesempatan berikutnya mereka tiba di sebuah jalan
yang berdampingan dengan pantai laut, di mana gelombang
terdengar menderu-deru mendampar pantai. Kemudian secara
mendadak pemimpin rombongan orang-orang yang bergerak
di sebelah depan Lim Tiauw Kie nampak menghentikan
langkah kakinya, lalu secara tiba-tiba pula ia bersuara
membentak:
"Siapakah itu yang sedang bersembunyi ?"
"Apakah kalian dari Hay-see pay?" balas tanya suara
seseorang yang berlindung ditempat gelap.
"Benar! siapakah anda?" sahut pemimpin rombongan yang
mengaku dari Hay see pay itu.
"Sebaiknya kalian jangan mencampuri urusan golok Soenlui
to!" kata orang yang berlindung di tempat geIap. Suaranya
mengandung nada memperingatkan secara menghina.
(Soen-lui to - Golok haliIintar).
Pemimpin rombongan Hay-see pay itu nampak terkejut,
tetapi ia berusaha tenangkan diri dan bertanya lagi:

7
"Apakah anda juga datang untuk urusan golok itu?"
Orang itu tertawa mengejek, ia tidak memberikan jawaban.
Mendengar suara tawa itu, diam-diam Lim Ttauw Kie
menjadi sangat terkejut, Suara itu sukar dilukiskan, namun
yang jelas sangat menusuk telinga. Tanpa terasa Lim Tiauw
Kie semakin maju mendekati, ingin melihat lebih tegas
meskipun secara bersembunyi.
Dengan matanya yang terlatih di tempat gelap, maka
disaat berikutnya ia melihat bahwa laki-laki yang menghadang
itu memiliki potongan tubuh kecil dan kurus. Muka orang itu tak
dapat ia lihat karena sedang menghadap ke arah lain, dan laki-
Iaki itu dilihatnya memegang sebatang tongkat. pakaiannya
terdapat bintik-bintik terang karena agaknya pakaian itu
sengaja di hias dengan sulaman dan kancing kancing yang
mengkilat.
"Golok Soen-lui to adalah milik partai kami, yang telah
hilang dicuri orang," kata lagi si pemimpin Hay-see pay. "OIeh
karena itu, adalah wajar kalau kami berusaha untuk
mendapatkannya kembali."
Laki-laki kurus itu kembali tertawa secara menghina, dan
tetap memegat di tengah jalan.
Salah seorang anggauta rombongan yang berada di
sebelah belakang si pemimpin, habis sabar dan membentak
dengan suara keras:
"Minggir! Dengan memegat rombongan kami, kau sengaja
mencari ..."
Akan tetapi belum lagi orang itu sempat menyelesaikan
perkataannya mendadak ia berteriak secara menyayat dan
jatuh terjengkang ke sebelah belakang, Semua kawanKANG
ZUSI WEBSITE http://cerita-silat.co.cc/
8
kawannya terkejut, namun sebelum mereka sempat berbuat
sesuatu maka laki-laki yang memegat itu dengan pesat telah
menghilang dari tempat itu yang gelap.
Para anggauta Hay-see pay menjadi terkejut dan gusar,
karena seorang kawannya yang jatuh tadi telah binasa dengan
tubuh meringkuk, Beberapa di antaranya segera melepaskan
pikuIan mereka untuk mengejar si penyerang tadi, tetapi orang
itu dengan gerakannya yang pesat telah menghilang di
kegelapan malam.
Lim Tiauw Kie ikut merasa terkejut dan heran, entah
senjata rahasia jenis apa yang digunakan oleh si penyerang
tadi yang dapat membunuh seseorang dengan tangan maupun
tubuh tidak bergerak.
"Aku berada cukup dekat tetapi tak melihat orang itu
bergerak, namun mangsanya roboh terjengkang dan binasa!"
kata Lim Tiauw Kie didalam hati, ia terus bersembunyi di
tempatnya, di balik sebuah batu besar, selagi orang orang
Hay-see pay itu sedang marah-marah.
"Untuk sementara waktu biarlah kita tinggalkan saja
jenazah Han Sin di sini, sebaiknya kita selesaikan dulu urusan
kita yang lebih penting," akhirnya kata si pemimpin
rombongan. "Kelak kita kembali ke sini untuk mengurus
jenasahnya, dan menyelidiki entah siapa gerangan musuh itu."
Semua kawan-kawannya dengan terpaksa menyetujui usul
itu, mereka memindahkan jenasah Han Sin ke tepi jalan lalu
mereka meneruskan perjalanan sambil memikul barang
bawaan mereka.
Setelah rombongan itu pergi cukup jauh, Lim Tiauw Kie
mendekati jenasah Han Sin, Dari tanda-tanda pada tubuhnya,
ia memperoleh kesimpulan bahwa Han Sin binasa terkena
sejenis racun yang dahsyat. Oleh karena itu selama meneliti,
Lim Tiauw Kie tidak berani menyentuh tubuh Han Sin supaya

9
tidak terkena racun.
Untuk sesaat ia terdiam berpikir, setelah itu kembali ia
mengejar rombongan orang-orang Hay-see pay,Setelah lewat
beberapa li jauhnya, Lim Tiauw Kie berhasil mendekati lagi
rombongan itu, namun secara mendadak dilihatnya mereka
berpencar selagi mendekati sebuah bangunan yang cukup
besar dan yang letaknya di sebelah timur Iaut.
"Apakah golok halilintar yang mereka cari berada di dalam
rumah itu?" pikir Lim Tiauw Kie didalam hati.
Diatas wuwungan bangunan rumah itu kelihatan ada
cerobong asap, dimana asap hitam nampak mengepul keluar
menandakan bahwa di rumah itu pasti ada penghuninya.
Rombnngan orang-orang Hay-see pay itu meletakkan
pikulan mereka di tanah, lalu masing-masing mengeluarkan
sendok kayu besar yang mereka gunakan untuk menyendok
garam dari dalam keranjang bawaan mereka, Garam itu
kemudian mereka taburkan di sekeliling bangunan rumah itu,
yang dari jauh nampak bagaikan tumpukan salju yang putih
warnanya, jelas perbuatan mereka tidak dimengerti oleh Lim
Tiauw Kie. Entah apa maksud mereka melaburkan garam
seperti itu, bukankah harga garam yang mahal menjadi
dibuang sia-sia belaka?
Pada waktu menyebarkan garam, orang-orang Hay-see
pay itu nampak sangat berhati-hati. Mereka agaknya seperti
khawatir garam itu menyentuh tangan dan tubuh mereka,
sehingga sekilas terpikir oleh Lim Tiauw Kie kalau kalau garam
itu mengancung racun.
"Kalau benar garam itu mengandung racun, jelas akan
membahayakan penghuni rumah itu," pikir Lim Tiauw Kie di
dalam hati. Dan naluri hatinya tidak membenarkan perbuatan
seseorang yang menggunakan racun, yang dianggapnya

10
sebagai perbuatan kaum pengecut!
Oleh karena berpikir demikian, maka Lim Tiauw Kie
merasa perlu untuk memberitahukan penghuni rumah itu,
supaya mereka entah siapapun adanya, tidak terperangkap
oleh perbuatan orang-orang Hay-see pay yang dianggapnya
telah melakukan perbuatan pengecut.
Dengan jalan memutar Lim Tiauw Kie menuju ke belakang
bagian rumah, lalu dengan melompati tembok halaman ia
memasuki pekarangan yang besar dan iuas, dimana terdapat
lima bangunan lain karena ternyata rumah itu memiliki sangat
banyak kamar-kamar, namun semuanya nampak gelap dan
sunyi, meskipun Lim Tiauw Kie merasa yakin ada
penghuninya, mengingat cerobong asap yang tetap kelihatan
mengepul mengeluarkan asap hitam.
Secara berhati-hati dan tanpa mengeluarkan suara, Lim
Tiauw Kie mendekati bangunan rumah yang terdapat
cerobong asap, tetapi ketika ia tiba dibagian belakang
pekarangan maka ia menjadi sangat terkejut karena
menemukan dua mayat manusia yang menggeletak di tanah.
Dua mayat itu merupakan laki-laki, yang seorang
mengenakan pakaian imam, sedangkan yang satunya seperti
seorang petani. Usia mereka sudah cukup lanjut, sudah lebih
dari setengah abad. Wajah muka mereka kelihatan
menyeramkan, seperti mengalami derita sakit yang hebat
sebelum mereka menemui ajal, Namun demikian pada tubuh
mereka tiada nampak bekas bekas luka.
Tanpa menyentuh kedua mayat itu, Lim Tiauw Kie
memasang obor dan mulai memasuki bagian dalam yang
gelap gulita, juga kamar-kamar tidak terdapat penerang sama
sekali. Di dalam ruangan ini kembali ia menemukan tidak
kurang dari dua puluh orang yang telah menjadi mayat.
Dilihat dari pakaian dan senjata-senjata yang berserakan di

11
lantai, jelas bahwa mereka semua terdiri dari orang-orang
yang pandai ilmu silat, tetapi pada semua mayat itu tak satu
pun yang nampak cedera luka atau terkena sesuatu pukulan
tenaga dalam. Besar kemungkinan mereka semua adalah
korban keracunan yang ganas. perbuatan siapakah gerangan?
Dengan langkah kaki yang semakin berhati-hati, Lim Tiauw
Kie meneruskan lagi penyelidikannya memasuki ruangan lain,
sampai tiba-tiba ia merasakan menyambarnya hawa yang
sangat panas.
Di bagian tengah dari ruangan itu ternyata terdapat sebuah
tungku atau tempat perapian yang besar, dengan api yang
berkobar-kobar menjilat-jilat ke sebelah atas dan menerbitkan
suara yang cukup bising. Dekat tungku yang besar itu nampak
tiga orang Iaki-laki yang sedang meniup api dengan
mengerahkan tenaga dalam (lweekang) sedang diatas tunggu
menggeletak sebatang golok yang sedang di panggang.
Karena amat panasnya tekanan suhu api, sinarnya
nampak berubah-rubah antara merah dan hijau, sedangkan
sinar dari golok itu tetap nampak putih berkilat menyatakan
tidak menjadi lumer terkena suhu api yang sedemikian
besarnya, dan entah sudah berapa lama di panggang. Asap
hitam yang nampak keluar dari cerobong rumah, jelas berasal
dari tungku itu!
Ketiga orang yang sedang meniup api yang berkobar-kobar
itu, rata-rata berusia kurang lebih enampuluh tahun dan
mereka semuanya memakai jubah warna hijau, Muka mereka
penuh peluh bercampur debu, dan jubah mereka banyak yang
berlubang akibat terkena percikan api, Diatas kepala mereka
mengepul uap putih - selagi mereka meniup api sambil
mengerahkan tenaga dalam. Api itu menjilat keatas kira-kira
lima kaki tingginya dan menggulung golok yang berkilauan itu .
Lim Tiauw Kie menyadari bahwa ke tiga orang itu memiliki
tenaga dalam yang sangat tinggi. Dengan berdiri di tempat

12
yang cukup jauh terpisah dari tungku itu, ia sudah merasakan
hebatnya hawa panas, sehingga dapatlah di bayangkan
panasnya hawa yang menyambar ketiga laki-Iaki tua itu yang
berdiri di dekat tungku. Tetapi anehnya biarpun digulung api
yang bersinar hijau, golok itu masih tetap utuh dan warnanya
tidak berubah sama sekaIi.
Mendadak diatas genteng terdengar suara membentak:
"Berhenti! Merusak golok mustika itu adalah merupakan
dosa besar!"
Lim Tiauw Kie menjadi sangat terkejut, karena ia
mengenali suara itu adalah suara orang yang tadi memegat
rombongan orang-orang Hay-see pay dan yang telah
membinasakan salah seorang diantaranya.
Akan tetapi ketiga laki-laki yang sedang meniup api itu
tidak menghiraukan, mereka berlaku seperti tidak mendengar
apa-apa bahkan mereka meniup api semakin cepat.
Kemudian, hampir berbareng dengan terdengarnya suara
tertawa, suatu bayangan yang bersinar emas berkelebat dan
dilain detik bagaikan jatuhnya sehelai daun kering, laki-laki
kurus yang pakaiannya penuh dengan kancing mengkilat telah
berdiri ditengah ruangan itu.
Dengan bantuan sinar api, Lim Tiauw Kie dapat melihat
dengan nyata wajah muka orang itu, Ternyata ia adalah
seorang pemuda berusia kurang lebih duapuluh tahun,
bermuka tampan tapi agak pucat, sulaman benang emas di
jubahnya yang sangat indah merupakan gambar-gambar
singa, harimau dan bunga bunga. Dengan sikapnya yang
tenang dan tanpa bersenjata, ia berkata dengan suara dingin:
"Hing-san Sam-kiam, mengapa kalian hendak merusak
senjata mustika itu? Apa maksud perbuatan kalian?"

13
Salah seorang dari ketiga Hing-san Sam-kiam atau tiga
jago pedang dari gunung Hing-san, mementang lima jari
tangannya menyerang muka pemuda pendatang baru itu,
Tetapi pemuda itu berkelit menghindar, dan kian maju untuk
mendekati Si kakek yang berada di sebelah timur dengan
cepat meraih sebuah palu yang terletak ditepi tungku, yang
digunakan untuk menghantam kepala si pemuda.
Tetapi gerakan pemuda itu amat gesit luar biasa, Dengan
sekali miringkan badan, kembali ia berhasil menghindar dari
serangan kedua. Palu itu menghantam tempat kosong dan
jatuh di lantai dengan menghamburkan lelatu anak api.
Ternyata batu lantai merupakan batu gunung yang sangat
keras.
Orang ketiga dari Hing-san Sam-kiam segera ikut
menyerang dengan kedua tangan yang jari-jarinya dipentang
seperti cakar ayam, ia menyerang secara nekat dengan
pukulan yang membinasakan, membuat Lim Tiauw Kie
menjadi heran, menganggap Hing-san Sam Kiam pasti
menyimpan dendam membara terhadap pemuda pendatang
baru itu, yang mengakibatkan tiga jago pedang dari gunung
Hing-san itu bertindak kejam!
Tetapi kepandaian pemuda itu ternyata sangat luar biasa,
walaupun di serang hebat, ia masih dapat bersenyum dan
melayani dengan sikap acuh. setelah bertempur beberapa
jurus, si kakek yang bersenjata palu membentak:
"Siapa tuan? Mengapa anda menghendaki golok mustika?
Harap beritahukan nama anda!"
Pemuda itu tidak memberikan jawaban, sebaliknya ia
tertawa secara menghina, Tubuhnya tiba-tiba berputar dan
segera terdengar suara "krak-krek" dan si kakek yang
disebelah timur terbang ke atas, menghantam dan
menjebolkan atap rumah sedangkan si kakek jatuh di
pekarangan luar!

14
Kakek yang bersenjata palu menyadari lawan mereka
sangat tangguh, ia meraih sebuah jepitan api yang tadi
digunakan untuk menjepit golok Soen-lui to yang sedang
dipanggang, ia menunggu kesempatan untuk menimpuk
pemuda itu, yang sedang diserang oleh rekannya.
Akan tetapi gerak pemuda itu sangat gesit, Ketika melihat
si kakek mengangkat jepitan api yang ingin di lontarkan, maka
dengan suatu lompatan ia berhasil menendang lengan si
kakek dan merebut jepitan yang terlepas dari tangan si kakek,
Dengan jepitan itu kemudian ia menjepit golok Soen-lui to
yang sedang di panggang.
Si kakek menjadi sangat terkejut, secara nekat ia merebut
dengan meraih gagang golok yang sangat panas itu.
Begitu tangan si kakek mencekal, uap putih mengepul
keatas dan semua orang menciup bau daging terbakar. Tapi
kakek itu bagaikan tidak merasakan sakit maupun pedih,
dengan sepasang mata membelalak ia tetap memegang
gagang golok Soen-lui to yang sangat panas bekas di
panggang.
Kemudian dengan suatu gerak yang ringan ia lompat ke
sebelah belakang, berusaha kabur meninggalkan ruangan itu
dengan membawa golok Soen-lui to!
Pemuda yang menjadi lawannya kembali perdengarkan
suara tawa menghina, sambil ikut bergerak dengan suatu
lompatan hendak meraih punggung si kakek.
Orang tua itu membalik tubuh dan mengangkat golok
Soen-lui to, membuat hawa yang sangat panas mendahului
menyambar si pemuda yang menjadi sangat terkejut, Tetapi
kedua tangannya kemudian mendorong si kakek, membuat
tubuh si kakek bagaikan terbang kearah mulut tungku yang
apinya masih menyala!

15
Lim Tiauw Kie yang sejak tadi mengawasi perkelahian
mereka, sebenarnya tak ingin mencampuri. Tetapi akhirnya ia
tak sampai hati membiarkan si kakek terbakar hidup-hidup
didalam tungku, Oleh karena itu dengan suatu lompatan yang
indah, yakni dengan menggunakan ilmu "Tee-in ciong" atau
lompatan awan tangga, maka ia berhasil meraih rambut si
kakek yang kemudian diangkatnya dan hinggap di lantai.
Akan tetapi si kakek yang tetap memegang golok yang
panas, mendadak memutar tubuh lalu menyerang Lim Tiauw
Kie yang sama sekali tidak menduga. Untuk menolong diri,
cepat-cepat Lim Tiauw Kie lompat ke atas, sedangkan si kakek
menggunakan kesempatan itu untuk lari ke sebelah belakang,
sambil memutar-mutarkan golok Soen-lui to dan berteriak
seperti orang gila!
Dua kakek yang lainnya, demikian pula pemuda yang
menjadi lawan mereka, tak berani merintangi dengan
kekerasan- menyisi membiarkan si kakek yang membawa
golok melarikan diri, akan tetapi kemudian mereka mengejar
sambil berteriak.
Lim Tiauw Kie ikut mengejar dan ia bahkan berhasil
mendahului ketiga orang itu, akan tetapi si kakek yang
mengetahui dirinya dikejar, mendadak berteriak secara histeris
lalu mengerahkan seluruh sisa tenaganya untuk lompat ke luar
dari pintu depan.
Akan tetapi ketika sepasang kakinya menyentuh tanah di
halaman luar, maka secara mendadak ia roboh terguling
sambil berteriak kesakitan bagaikan menderita luka parah.
Dua kakek yang ikut mengejar bersama si pemuda tadi,
ikut lompat ke luar halaman dan mereka pun segera roboh
terguling-guling sambil perdengarkan teriak suara kesakitan,
Si pemuda yang nampaknya memiliki ilmu lebih tinggi, masih
mampu lompat dan lari secepatnya meninggalkan tempat itu,

16
membiarkan ketiga kakek itu masih bergulingan tak mampu
bangun lagi.
Menyaksikan kejadian yang sangat luar biasa itu, Lim
Tiauw Kie bermaksud memberikan pertolongan Akan tetapi
mendadak ia teringat dengan garam mengandung racun yang
di sebarkan oleh orang-orang Hay-see pay, dan menyadari
racun itu pasti hebat luar biasa. Ia tahu bahwa disekitar
gedung itu telah dikurung dengan garam yang mengandungracun,
sehingga ia sendiripun tak tahu bagaimana harus
meIoloskan diri.
Untuk sesaat ia berdiri diam dan berpikir, kemudian ia
meIihat adanya dua kursi tinggi di samping pintu. ia
memperoleh pikiran untuk menggunakan kedua kursi itu
sebagai landasan. Dengan cara itu ia berhasil menjambret
punggung si kakek yang memegang golok Soen-lui to, untuk
kemudian ia lompat sambil menjinjing si kakek dan melarikan
diri secepatnya ke jurusan timur.
EPISODE I
SENJA HARI itu nampak guram dan lembab. Hujan rintikrintik
turun sejak pagi, sementara angin meniup cukup keras
kemudian naik turun bagaikan gelombang pasang. Tanah
lembab yang tergeliat di depan gunung Boe-tong san sunyi
senyap. perkampungan mati tiada bernapas. Penduduk tiada
seorang pun yang nampak keluar dari rumah mereka.
Dalam keadaan demikian, nampaklah lima penunggang
kuda berlari-Iari menyeberangi sungai berlumpur. Mereka tidak
menghiraukan licinnya jalan, dinginnya cuaca maupun hujan
yang turun rintik-rintik. Kuda yang berada paling depan
membawa seorang kanak-kanak berusia kira-kira sepuIuh
tahun. Ia berpakaian serba ringkas, pada pelana kudanya
tampak tergantung sebatang pedang pendek.
Yang berada di belakangnya adalah seoranq gadis remaja

17
berusia kira-kira Iimabelas tahun. Mukanya cantik, tubuhnya
nampak Iangsing walaupun ia sedang menunggang kuda.
Namun demikian wajah yang cantik itu bermuram duka dan
kuyu. Jelas sekaIi ia menderita suatu keletihan luar biasa.
Rambutnya kusut setengah terurai, pakaiannya yang dikenakannya
basah kuyup dan bercampur lumpur. Lengan
kirinya terbaIut dengan sehelai kain sutera yang ditembusi
darah kentaI.
Penunggang kuda yang ke tiga tidak jelas jenis
pakaiannya, karena penuh Iumpur melebihi keadaan gadis
remaja yang berada di sebelah depannya. Ia merupakan
seorang pemuda yang gagah dan tampan, usianya kira-kira
sudah mencapai dua puluh tahun. Pandangan sepasang
matanya, memancarkan suatu keberanian tersembunyi.
Terpisah agak jauh di sebelah belakang mereka, berderap
dua ekor kuda yang saling susul . Yang pertama ditunggangi
oleh seorang wanita setengah baya. Alis matanya melengkung
melindungi sepasang matanya yang tajam. Pandang wajahnya
muram luar biasa penuh duka yang berlarat. Lehernya
terbungkus sehelai kain sutera berwarna kelabu, sementara
darah nampak menembusi lipatan pembalutnya yang tebal,
jelas bahwa ia baru saja menderita lupa yang agak parah.
Kudanya dijajari oleh seorang laki laki berusia limapuluh
tahun lebih. Laki-Iaki ini bertubuh singsat dan cekatan, ia
membekal sebilah pedang terhunus dan kerapkali menoleh ke
sebelah belakang, seperti khawatir dengan adanya seseorang
yang mengejar atau mengikuti perjalanan mereka.
Kadangkala ia melambatkan kudanya sambil menebarkan
pengIihatannya. Ia memiliki sedikit jenggot pendek, dan
rambutnya yang tidak teratur nampak sudah beruban,
walaupun demikian, jika dibanding dengan keempat
penunggang kuda yang lainnya, dialah yang nampak gesit dan
segar bugar.

18
Pandang matanya tajam luar biasa, tetapi mengandung air
mata yang membasahi kelopak, Kedua belah pipinya tergores
empat luka memanjang, dua diantaranya adalah goresan luka
baru.
Dari cara mereka berlima melarikan kuda mereka, mudah
ditebak bahwa mereka sedang melarikan diri dari suatu
peristiwa. Kuda tunggang merekapun nampak letih sekali.
Sementara itu cuaca senjahari itu makin mendekati petang
yang muram dan hujan rintik-rintik kian menjadi deras, mereka
cepat-cepat menikungi jalan pegunungan, seberangmenyerang
jalan itu nampak menghadang jurang yang daIam
dan banyak tanaman Iiar.
Laki-laki beruban yang berada di sebelah belakang tibatiba
menghentak tali kendali sehingga kudanya terkejut
berjingkrak, Lallu menyusul kuda wanita setengah baya yang
sedikit berada di sebelah depannya ikut menghentikan
kudanya.
"Lan-moay. Kalau terus-terusan kita melakukan perjalanan
seperti ini, maka kita akan mati kecapaian. Memang tak apa
kalau kita mati di tengah perjalanan, tetapi bagaimana dengan
ketiga anak-anak kita? Marilah kita beristirahat sebentar!" kata
laki-laki itu kepada yang wanita.
"Nanti malam kita melanjutkan perjalanan, dan selanjutnya
kita serahkan nasib kita kepada Tuhan. Bagaimana lukamu?"
(Lan-moay = adik Lan).
Sehabis berkata demikian, kedua kelopak mata laki-laki itu
basah dengan air mata. ia sangat berduka, hatinya bagaikan
tersayat-sayat. Lalu ia menangis terisak, Untung angin meniup
kencang, sehingga suara tangisnya terendap dari pengamatan
pendengaran.

19
Lie Lan Hwa, wanita setengah umur yang bermuka muram
itu atau istri dari laki-laki yang beruban, berusaha untuk
bersenyum, sahutnya lembut:
"Tidak apa-apa, kau tak perlu resah hati, inilah luka ringan
yang tiada artinya sama sekali. Kulitku hanya lecet sedikit,
Hanya ... yang kucemaskan adalah luka... eh, lengah Siu Lan.
Nampaknya ia menderita luka berat. Lengannya seperti
terkulai ..."
Tetapi luka yang diderita oleh Lie Lan Hwa sebenarnya
parah. Senjata yang melukai lehernya tidak hanya melecet
kulit belaka, tetapi menembus hampir satu senti. Urat nadinya
nyaris terancam, seseorang yang menderita luka seperti itu,
sebetulnya tidak boleh bergerak terlalu banyak, sebaliknya
senjahari itu ia berada di atas kudanya mengarungi badai
hujan tiada hentinya.
Thio Siu Lan, anak gadis mereka yang berada di sebelah
depan, agaknya mendengar keluh kesah ibunya, ia berpaling,
Katanya dengan nada riang:
"Ayah, jangan dengarkan ibu. Lenganku tak kurang suatu
apa." ia tersenyum, namun dua tetes air mata jatuh ke pelana
kudanya, Jelas, ia bersama ibunya sedang berusaha
menghibur dan membesarkan hati laki-laki beruban itu.
"Siu Lan, janganlah kau membohongi ayahmu! Lukamu itu
..." laki-laki beruban itu tak dapat menyelesaikan kata-katanya,
karena Siu kan telah berkata lagi:
"Ayah! Benar-benar aku tak kurang suatu apa, Lihatlah ! "
ia menunda bicara dan mengertak gigi, kemudian mengangkat
lengannya yang tadi nampak terkulai, Katanya nyaring:
"Sekarang sama sekali tak terasa sakit."
Akan tetapi begitu tangannya terangkat, suatu rasa nyeri

20
luar biasa menggigit jantungnya. Peluh dingin membasahi jidat
dan tengkuk Siu Lan. Cepat-cepat ia membuang mukanya, lalu
memacu kudanya sambil menurunkan lengannya dengan hatihati.
Kedua orang tuanya bermata tajam dan berperasaan
halus, dengan sekilas pandang tahulah mereka, bahwa
putrinya sedang menanggung suatu derita yang mengancam.
Apabila lengan yang terluka itu tidak segera memperoleh
perawatan yang baik, Siu Lan bisa cacat seumur hidupnya.
Karena sangat berduka, laki-laki beruban itu mendongak ke
udara suram, lalu berkata seorang diri:
"Hm. Kata orang, aku Thio Kim San adalah seorang ahli
pedang murid ke-tiga Tie Kong Tianglo dari Boe tong pay,
selamanya tak pernah aku merasa malu terhadap bumi dan
Iangit yang melindungi diriku. Melihat ke kiri aku berbesar hati,
melihat ke kanan aku berbangga hati. Memandang ke depan
tiada rasa segan, menoleh ke belakang tiada rasa kecewa.
Kenapa kini ... Ya, Tuhan mengapa kini kami sampai
menjadi begini ? Kenapa aku harus membuat anak-istriku
tersangkut dalam urusan hidupku sehingga mereka harus pula
mengikuti kesengsaraanku yang terpaksa merantau dari
tempat ke tempat sekian bulan lamanya? Ya, Tuhan. Berilah
kami cerahMu..."
Lan Hwa menahan kendali kudanya, mendekati suaminya,
Setelah lari berjajar, ia menekap lengan kirinya. Katanya
secara lembut:
"Suamiku, janganlah kau terlalu berduka memikirkan kami.
Manusia yang suci bersih pasti akan memperoleh berkah
Tuhan Yang Maha Kuasa, Memang keluargamu lagi menjadi
korban suatu fitnah, kabut gelap menutupi penglihatannya
Akan tetapi sebentar atau lambat laun latar belakang peristiwa
ini pasti akan tersingkap, Sabarlah untuk beberapa hari lagi,
apabila kita telah bertemu dengan Tay-soehoe, semuanya

21
pasti akan menjadi beres seperti sediakala."
Thio Kim San menggeleng-gelengkan kepalanya, Dengan
sedih ia berkata:
"Hari ini genap sudah seratus enampuluh hari kita melintasi
air, menerobos rimba dan ladang belukar serta mendaki
gunung. Tetapi tetap saja kita dikejar-kejar . Selama seratus
enam puluh hari, belum pernah kita beristirahat barang
sekejab, Alangkah sakit dan pedihnya hatiku, Lan-moay. Tak
usahlah engkau menutupi kenyataan! Segenap lapisan orangorang
gagah di kalangan rimba persilatan ingin membekuk
aku, berikut kau dan ketiga anak kita, Hidup ataupun mati.
Kalau hal itu sudah terlaksana, barulah mereka mau
menyudahi segalanya, walaupun aku memiliki lidah, namun
sulit bagiku untuk memberikan penjelasan kepada mereka."
"San-ko, janganlah kau terlalu bersedih hati. Salah paham
ini pasti ada akhirnya, Tuhan Maha Adil, dan masih cukup
panjang waktunya, Tak perlu kita tergesa-gesa."
(San-ko = kakak San).
Thio Kim San menatap muka istri-nya, ia melihat kain
sutera yang melihat di leher istrinya itu, yang sekarang semua
lipatannya telah menjadi merah. Suatu bukti bahwa darah
masih saja mengalir keluar, sehingga Thio Kim San menjadi
malu kepada dirinya sendiri. Dia yang terkenal sebagai
seorang pendekar pedang, ternyata kini tak mampu
melindungi istrinya sendiri!
"Kita telah berlari-lari sepanjang malam sampai sekarang,"
katanya sambil menarik napas, "Sebaiknya kita beristirahat
sebentar, Aku mengharap kita dapat mencapai tujuan besok
pagi."
Dengan lemah Lan Hwa manggut dan berkata:

22
"Benar, Kita perlu memulihkan tenaga. Kurasa nanti malam
kita tidak mempunyai kesempatan untuk beristirahat selain itu
kita perlu merawat lukanya Siu Lan. Akh, kasihan anak-anak
kita yang tidak berdosa dan yang tidak tahu-menahu tentang
peristiwa ini. Mereka ikut menanggung derita."
Bukan main sedihnya Thio Kim San yang diingatkan
perkara itu, dengan hati bergetar ia berkata:
"Lan-moay. Kini aku menyadari bahwa aku tak pantas
menjadi suami dan ayah dari ketiga anak-anak kita, Aku tak
sanggup memberikan perlindungan kepada kalian."
"Jangan kau menyesali diri sendiri, San-ko." bujuk Lan
Hwa. "Siapa saja pasti tak akan sanggup menghadapi lawan
yang jumlahnya sekian banyaknya. Mereka dapat bertempur
secara bergantian, sebaliknya engkau? sebenarnya, akulah
yang mengakibatkan terjadinya peristiwa ini. Aku istrimu yang
telah membuka suatu rahasia, karena kebodohan dan
kecerobohan, sebetulnya akulah yang harus mati!"
Sekali lagi Thio Kim San mendongak ke udara, dan sekali
lagi ia menarik napas panjang, Lalu melepaskan pandang jauh
ke sebelah sana, dan tiba-tiba berkata setengah berseru:
"Hey! Bukankah itu sebuah rumah? Mari kita ke sana untuk
beristirahat sebentar, Kita perlu berteduh, agar tidak
kemasukan angin jahat dan terhindar dari dingin hujan!"
Setelah berkata demikian, Thio Kim San memacu kudanya.
ia mendahului dan memimpin rombongannya menuju ke
rumah itu. istrinya segera mengikuti dengan memacu kudanya
pula, disusul oleh ke tiga anak-anak mereka yang berada di
sebelah belakang.
Rumah yang berada di sebelah depan mereka sebenarnya
bukan rumah tinggal seseorang, melainkan tempat
penyimpanan padi yang kebenaran kosong tiada isinya, Pasti

23
milik seorang berada, biasanya seorang kepala desa atau
mungkin pula milik seorang Tuan tanah (okpa).
Ketika telah mendekati rumah itu, hujan terasa kian
bertambah deras, Mereka tak menghiraukan derasnya hujan,
sebaliknya yang mereka takuti justru adalah angin jahat yang
menyusup ke dalam tubuh mereka.
Rumah yang ternyata merupakan tempat penyimpanan
padi itu itu, berukuran kecil namun cukup bersih, Dindingnya
yang dibuat dari bahan bambu cukup rapat, suatu tanda
bahwa pemiliknya masih menggunakan tempat itu.
Thio Kim San segera lompat turun dari kudanya, lalu
mendekati istrinya hendak membantu turun, Akan tetapi
istrinya malahan melompat turun dari sisi lainnya, sambiI
bersenyum dan berkata:
"San-ko, tak usah kau terlalu memperhatikan aku,
sebaiknya kau bantu anak kita, Siu Lan."
Akan tetapi pada waktu itu Siu Lan telah melompat turun
tanpa bantuan siapapun juga. ia bahkan lari menghampiri
ibunya, ketika melihat ayahnya sedang mendekati si bungsu
Sin Houw.
Thio Sin Houw belum genap sepuluh tahun umurnya,
masih merupakan seorang bocah namun ikut menderita
bersama ayah dan ibunya merantau dari satu tempat ke
tempat lainnya, Kehidupan demikian membuat dirinya lekas
masak dan berkepribadian, penuh, wajahnya tidak nampak
sinar berseri, karena kegembiraan masa kanak-kanaknya
lenyap sehingga ia lebih mirip dengan seorang pemuda
tanggung yang hendak menanjak dewasa.
Sementara itu Siu Lan telah ikut mendekati adiknya,
Dengan sabar dan lembut ia berkata:

24
"Sin Houw, kau sedang memikirkan apa? Lihatlah, hujan
kian deras."
Seperti orang yang tersentak, Sin Houw mengawasi kakak
perempuannya, lalu ia menerima uluran tangan sang kakak
sambil perlihatkan sedikit senyumnya, sahutnya ringan:
"Apa yang kupikirkan? Bukankah ayah hendak
beristirahat?"
Siu Lan tertawa sedih. Katanya sekedar penghibur diri:
"Benar, Kuda kita sudah lelah, Sehari semalam kita berlarilari
terus tiada hentinya. Kitapun agaknya perlu beristirahat
juga."
Sambil berkata demikian, Siu Lan mengamat-amati
adiknya. Adik ini sudah setinggi pundaknya, Dahulu, dia masih
perlu didukung secara bergantian Kini sudah mirip seorang
pemuda tanggung.
Sementara itu Sin Houw juga sedang menatap wajah
kakaknya. Seperti berjanji, iapun sedang menaksir-naksir
tinggi badannya, Lalu berkata:
"Cici, Satu atau dua tahun lagi, tinggi tubuhku akan
melampaui tinggimu."
Siu Lan tertawa tawar. Sahutnya:
"Benar, adikku. Kau akan lebih tinggi dari aku. Setiap
matahari terbit di langit, tinggi tubuhmu selalu bertambah dan
bertambah, jangan jangan tinggi tubuhmu kelak akan sama
seperti Kwan Kong!"
Sin Houw ikut tertawa, sementara kakaknya yang lelaki,
Sin Han, ikut mendekati Dia seorang pemuda berusia
mendekati duapuluh tahun. Dengan tiba-tiba ia menyambar tali

25
kendali kuda Sin Houw, sambil menyertai tawa ramah ia
berkata:
"Hey! Apakah kalian hendak mandi hujan? Beristirahatlah
bersama ayah dan ibu, mereka telah berada di dalam sedang
menyalakan api."
Siu Lan bersenyum seperti lupa derita, dengan lembut dan
penuh perasaan ia berkata:
"Justru kau yang paling lelah kali ini. Kita berdua dapat
beristirahat dengan perlahan-lahan."
Sekali lagi Sin Han tertawa perlahan. Memang benar
perkataan adiknya yang perempuan itu, diantara anggauta
keluarga dialah satu-satunya yang pakaiannya penuh lumpur
sehingga warna pakaiannya tak dikenal lagi warnanya. ia tidak
dapat membantah perkataan adiknya, dari itu tanpa mengucap
apa-apa ia membawa kelima ekor kuda ke ladang rumput yang
berada di sebelah selatan.
Dan kuda-kuda itu nampak dengan lahap melalap rumputrumput
itu, sedangkan Sin Han menemani tanpa
menghiraukan derasnya curahan air hujan.
Kim San muncul di ambang pintu sambil menggeribiki
pakaiannya. Melihat putra sulungnya menunggu kuda-kuda
mereka yang sedang makan rumput, ia lantas saja berseru:
"Sin Han! Tinggalkan saja kuda-kuda itu, kau perlu
beristirahat!"
"Sebentar, ayah. Lebih baik ayah memeriksa luka Siu Lan
dan ibu, aku dapat mengurus diriku sendiri," sahut Sin Han.
Kim San terdiam sejenak dan berpikir, kemudian memutar
tubuh sambil menarik napas, Perlahan-lahan ia memasuki
tempat penyimpanan padi untuk mendekati istri dan kedua

26
anaknya.
Memang sudah terbiasa, bahwa setiap kali mempunyai
kesempatan untuk beristirahat selalu Sin Han yang mengurus
kuda-kuda mereka, Karena kuda-kuda itu merupakan kaki dan
tuIang-punggung keluarga, untuk dapat meneruskan
perjalanan mereka.
Kalau sampai terjadi sesuatu, semuanya akan lumpuh.
Dan kelumpuhan berarti suatu ancaman bahaya sendiri. itulah
sebabnya, selama menempuh perjalanan tak pernah Sin Han
melupakan kewajibannya yang satu itu. Malahan kuda-kuda itu
baginya jauh lebih berharga dari pada jiwanya sendiri.
Sementara itu Kim San duduk di sisi istrinya, di atas lantai
papan tempat penampung padi. perlahan-lahan ia melepaskan
bungkusan yang selalu menggemblok di punggungnya, dan
dari dalam bungkusan itu ia mengeluarkan makanan kering
berikut bakpao dan lain sebagainya.
"Anak-anak, mari kita makan," katanya. "Kali ini mungkin
merupakan perjalanan kita yang terakhir, Karena setelah kita
bertemu dengan paman-gurumu Cia Sun Bie, kemudian
kakek-gurumu, Tie Kong Tianglo, selanjutnya tiada lagi yang
akan mengganggu kita."
Setelah berkata demikian, Kim San membuka juga dua
tempat air minum, ia mengangsurkan kepada istrinya, sambil
berkata lagi:
"lni merupakan suguhan terakhir bagimu, minumlah!"
Perlahan suaranya seperti orang membisik, kemudian
dengan pandang lembut ia menatap muka Siu Lan. Katanya:
"Coba. Kuingin melihat lukamu."
"Akh, lukaku tidak parah," sahut Siu Lan cepat. "Lukanya

27
ibu yang perlu ayah periksa."
Lan Hwa tertawa perlahan, dengan penuh kasih sayang ia
berkata:
"Lukaku? Apakah arti lukaku ini? Aku sudah berusia tua,
umpama kata luka ini tidak memperoleh pengobatan dan akan
meninggalkan cacat seumur hidup, tidak akan banyak artinya,
sebaliknya kau! Kau masih muda, baru belasan tahun
umurmu, kalau lenganmu sampai cacat, kau akan menyesal
seumur hidupmu, Akupun ikut menderita pula, kalau sampai
terjadi demikian."
"Sudahlah! Kalian jangan saling bertengkar Obat lukaku
cukup untuk menyembuhkan dua orang lagi." tukas Kim San.
Setelah berkata demikian ia membuka pembalut luka
istrinya di bagian leher, Luka itu masih mengeluarkan darah,
hal itu membuat hatinya tercekat, Katanya di dalam hati:
"Hebat sabatan golok Cie-san Liong-ong Kwee Sun.
Benar-benar ia merupakan musuh tangguh, sampai ia dapat
melukai istriku, untunglah tidak sampai mengenai urat nadi ..."
dan cepat-cepat ia menaburkan bubuk obat luka yang berwar
kelabu.
"Sekarang giliranmu, anakku." katanya kemudian.
Siu Lan membuka pembalut lukanya sendiri. Kemudian
mengangsurkan lengannya kepada ayahnya. Luka itu
dideritanya tiga hari yang lalu, karena kurang rawatan dan
kena air hujan bercampur debu, kini nampak diselipi nanah.
Melihat nanah itu, Kim San mengerutkan alis. Katanya sambil
menghela napas:
"Siu Lan, kalau terlambat dua hari lagi, pastilah lenganmu
akan cacat. Kau... kau ..."

28
Kim San tidak meneruskan perkataannya, sebenarnya ia
ingin mengatakan supaya Siu Lan merawat lukanya dengan
cermat, akan tetapi akhirnya ia menyadari bahwa selama
beberapa hari ini, hampir-hampir mereka tidak memperoleh
kesempatan untuk beristirahat, apalagi untuk memeriksa dan
mengobati luka, Musuh yang datang dari berbagai penjuru,
menyerang secara bergelombang dan bergiliran. itulah
sebabnya dengan membungkam Kim San menuangkan sisa
obat bubuknya lalu membuang pembungkusnya di atas tanah.
Kemudian ia berkata setengah berdoa:
"Semoqa inilah perjalanan kita yang terakhir."
Selagi Kim San merenungi ucapannya sendiri dengan
wajah muram, tiba-tiba Sin Houw menyelak bicara tanpa
diduga-duga. Katanya:
"Ayah, dapatkah aku minta suatu keterangan? Ada sesuatu
yang tidak kumengerti."
Kim San merasa terpukau. Segera ia berpaling dan
menatap muka anaknya yang bungsu itu, Wajah Sin Houw
nampak muram dan setengah bergusar. Melihat kesan itu, ia
menarik napas lagi dengan tak dikehendakinya, sahutnya
dengan suara perlahan :
"Keterangan apa yang ingin kau tanyakan, anakku?
Katakanlah, Sebenarnya, andaikata kau tidak mengerti,
akhirnya kau akan mengerti sendiri . Aku sendiri telah
memutuskan hendak memberikan penjelasan kepadamu,
kukira umurmu kini sudah dapat menangkap suatu
keterangan."
Sin Houw juga mengerti, seIama ia belum cukup umur,
tidak sewajarnya ia diajak membicarakan masalah orangorang
tua. Akan tetapi ia adalah seorang anak yang dibentuk
oleh keadaan, pertumbuhan akalnya lebih cepat dari pada
nnak-anak lainnya, Dan setelah mendengar perkataaan

29
ayahnya, maka ia berkata:
"Ayah, seingat aku, eh ... teringat lah aku pada waktu itu.
Kita semua berlari-larian sepanjang malam, melewati gunung
dan melintasi hutan. Aku ..."
"Eh, anakku ...!" potong ibunya dengan suara mengeIuh, ia
Iantas memeluk lehernya dengan air mata mengalir deras. ia
tidak meneruskan bicara sehingga ganti Kim San yang
berkata:
"Biarkanlah ia bicara, Lan-moay..." Dan Sin Houw
kemudian berkata lagi:
"Waktu itu aku telah melihat banyak gunung, hutan, jurang
dan berbagai tempat belukar. Ayah mengajak aku merantaui
padang luas, dan teringatlah aku, sering turun hujan deras dan
angin meniup sangat gemuruh dan kadang-kadang kita berada
ditengah terik matahari, kita lalu mencari mata air untuk
meneguk airnya yang bening, tetapi yang mengherankan aku,
apa sebab ayah, ibu dan kedua kakak harus bertempur setiap
kali bertemu dengan orang-orang yang berjumpa dengan kita?
Apakah kita pernah menyalahi mereka? Ataukah mereka
memang orang-orang jahat yang memusuhi kita? Buktinya,
suatu kali kita pernah melintasi kota dan pendesaan, dan ayah
tak perlu menghunus pedang untuk menikam mereka..."
Usia Sin Houw masih sangat muda, akan tetapi
pengalamannya ternyata sangat dahsyat. Nalurinya membuat
akalnya mulai ingin mengerti semuanya, Ketika mula-mula
melihat keluarganya bertarung dengan orang-orang tertentu, ia
bersikap acuh tak acuh. Kemudian rasa takut mulai
menggerayangi, lalu rasa gusar dan girang apabila
keluarganya memperoleh kemenangan.
Setelah itu ia mulai menebak-nebak apa sebab terjadi
suatu pertarungan adu jiwa, Dan pada tiga hari yang lalu,
untuk yang pertama kalinya salah seorang anggauta

30
keluarganya terluka, Dialah Siu Lan, kakak perempuannya.
Dan hal itu membuat akalnya mulai bingung.
SETELAH ITU ibunya kena babatan golok seorang musuh
yang menamakan diri Cie-san Liong-ong Kwee Sun, si raja
naga dari gunung Cie-san, Kalau begitu terjadi suatu suatu
pertarungan itu, tidak dikehendaki oleh keluarganya sendiri.
Terasa sekali, betapa ayah dan ibunya terpaksa melayani
lawan untuk suatu pembelaan diri, tetapi mengapa ayah dan
ibunya dimusuhi oleh orang begitu banyak? Benar-benar ia
tidak mengerti.
Dan dalam tiga hari itu, ingin ia minta penjelasan, Namun
rasa lelahnya lebih menguasai dari pada perhatiannya itu, ia
tertidur begitu menggeletakkan badan. Kini ia kehujanan.
Pakaiannya basah kuyup, inilah yang membuat dirinya tak
dapat tertidur dengan cepat, maka itu pulalah kesempatan
baginya untuk minta keterangan kepada ayahnya.
"Sin Houw! jangan membuat ayahmu berduka." ibunya
yang mendahului bicara.
Mendengar perkataan ibunya, wajah Sin Houw nampak
muram luar biasa, ia menjadi bingung, cemas dan sesal,
Akhirnya ia ingin menangis dengan perasaan tak menentu.
Sejenak kemudian ia mencari kesan wajah ayahnya. Berkata:
"Benarkah ayah jadi berduka karena pertanyaanku tadi?
Kalau begitu, patutlah aku ayah hukum."
Kim San menoleh kepada istrinya, dan berkata:
"Lan-moay, mengapa ia kau tegur demikian? Dalam hal ini
bukan dia yang bersalah, Sebaliknya, akulah manusia yang
tiada gunanya hidup sebagai ayah dan suamimu..." ia berhenti
menelan ludah, Kemudian meraih leher Sin Houw dan
membelai kepalanya dengan perasaan kasih sayang, Katanya
lagi dengan suara agak parau:

31
"Sin Houw, kau tidak bersalah, Sama sekali tak salah,
Mengapa aku harus menghukummu? Selama ini ayahmu telah
berusaha mengatasi kesulitan ini, untuk mengkikis suatu salah
paham, Akan tetapir ayahmu tidak berdaya sama sekali
menghadapi lawan-lawan yang bersikap sangat ganas."
Thio Sin Houw mengangkat kepalanya, mengawasi
ayahnya dan berkata seperti merajuk:
"Ayah, dapatkah ayah menjelaskan tentang salah paham
itu?"
Kim San manggut seraya tertawa sedih, jawabnya dengan
suara tegas:
"Tentu, Tentu saja. Saat ini justru saat kita yang terakhir.
Sejak tadi ayah telah berkeputusan untuk menjeIaskan
kepadamu, walaupun otakmu mungkin belum dapat mengerti
persoalan latar beIakangnya, Kalau ayah tidak menjelaskan
sekarang, kapan lagi ayahmu memperoleh kesempatan lagi?
Kau duduklah baik-baik. Kemudian dengarkan setiap patah
kata ayahmu, Sebab setelah ini, ayahmu tidak akan berkata
kata lagi."
Thio Siu Lan yang sejak tadi berdiam diri sambil membalut
lukanya, menyambung:
"Ayah, selama banyak tahun kita merantau, baru kaIi ini
kau membawa kami melarikan diri, Aku tahu sebenarnya,
itulah lantaran aku dan ibu terluka, ibu mahir sekali
menggunakan pedang, kakak Sin Han semakin tangguh,
akupun merasa memperoleh kemajuan pula, setelah lukaku
sembuh, tak perlu lagi ayah membawa kami lari-lari begini.
Hanya saja, ada satu hal yang tidak kumengerti. Ayah dilukai
musuh, mengapa ayah tak mau membalas sedangkan
sebenarnya ayah mampu berbuat begitu?"

32
Sambil mengajukan pertanyaan itu, Siu Lan mengawasi
luka ayahnya yang menggaris kedua belah pipinya. Sin Houw
pun demikian pula, Lalu si bungsu berkata untuk menguatkan
pertanyaan kakaknya:
"Benar, ayah. Apa sebab ayah membiarkan musuh melukai
pipi ayah?"
"Sin Houw, jangan kurang ajar!" bentak ibunya.
"Lan-moay, biarkanlah," kata Kim San setengah
membujuk. Akan tetapi wajahnya nampak kian muram,
walaupun demikian, pandang matanya tiba-tiba bersinar tajam,
Dengan suara bernada menghibur ia berkada kepada kedua
anaknya:
"Tak dapat ayahmu melakukan kesalahan lagi, setelah
pernah berbuat suatu kekeliruan sekarang ini ayahmu sudah
berusia cukup tua. Kalau hari ini harus mati, hati ayah benarbenar
rela, akan tetapi, bagaimana dengan kalian...?
Andaikata ayah menggali tanah lebih dalam lagi, kalianlah
yang akan memikul akibatnya, Dapatkah dibenarkan apabila
seorang ayah meninggalkan suatu warisan penderitaan
kepada anak keturunannya? Tidak! Tak dapat aku
menanamkan bibit permusuhan yang berlarut tiada akhirnya
untuk kalian."
"Akh! Ayah terlalu bermurah hati kepada mereka," ujar Siu
Lan. "Sebaliknya mereka tak mau tahu. Mereka mengejar kita
terus-menerus tak hentinya, setiap gerakan senjata mereka
mengancam maut tak terampunkan. Selama ini entah sudah
berapa kali ayah dan ibu menderita luka ringan dan berat.
Tetapi kerelaan ayah dan ibu menanggung derita itu, tidak
dapat merubah hati mereka. Bahkan mereka bertambah ganas
dan kejam, sebaliknya mengapa semangat ayah tiba-tiba
menurun?"
Thio Kim San menggelengkan kepalanya sambil menarik

33
napas, katanya perlahan:
"Tidak, anakku, Tidak! Sama sekali tidak! semangatku
bukan runtuh, tetapi karena mempertimbangkan keadaan.
Tegasnya, ayahmu ini dipaksa oleh keadaan. Memang,
merubah sikap mereka kini sudah tiada harapan, Satu-satunya
jalan hanyalah membela diri mati-matian. Kita membunuh atau
di bunuh. Akan tetapi, anakku, Musuh-musuh kita ini luar biasa
banyaknya. Barangkali kau ingat, tatkala mula-mula kita
meninggalkan rumah dan melarikan diri ke barat, sampai
akhirnya kita tiba disini, di lembah pegunungan Boe-tong.
Akan tetapi musuh-musuh kita tetap mengejar Setiap kali
memasuki suatu wilayah, musuh-musuh berganti orang.
Apakah kau mengetahui, siapakah musuh kita sebenarnya?"
"Justru itu yang hendak kutanya-kan," ujar Thio Siu Lan
penuh perhatian.
"Benar, ayah. Agar jelas bagi kita, siapa musuh-musuh kita
itu," Sin Houw ikut bicara.
Thio Kim San menundukkan kepalanya . Setelah sejenak
berpikir, dengan muka berkerut-kerut ia berkata:
"Musuh kita adalah seluruh orang-orang gagah dari segala
lapisan, baik golongan hitam maupun putih."
Baik Sin Houw maupun Siu Lan jadi bergidik ketika
mendengar keterangan ayah mereka. Siu Lan yang lebih tua
umurnya dari adiknya, dapat berpikir dan menimbangnimbang,
Katanya lagi minta penjelasan:
"Seluruh orang-orang gagah di dunia ini? Benarkah begitu,
ayah? Apa sebabnya mereka memusuhi ayah? Apakah ayah
pernah berbuat kesalahan terhadap mereka? Apakah ayah
kenal mereka?"
Kim San menggelengkan kepatanya, jawabnya:

34
"Aku bahkan tidak mengenal mereka semuanya, hanya
sebagian kecil yang kukenal."
"Apa sebab mereka bersatu-padu memusuhi ayah?" tanya
Siu Lan heran.
"ltulah karena... karena..." sukar rasanya untuk Kim San
memberikan penjelasan ia menimbang-nimbang sebentar, lalu
mengalihkan pembicaraan:
"Mereka menuduhku sebagai seorang pencuri besar yang
harus dibekuk hidup atau mati. Barangsiapa dapat menangkap
ayahmu ini hidup-hidup, akan memperoleh tiga bagian mustika
dunia sebaliknya apabila menangkapku mati, hanya
memperoleh sebagian, Tetapi sebagian itu saja sudah cukup
untuk membuat manusia menjadi kaya raya dan terkenal
namanya di seluruh dunia. Karena benda yang mereka cari
adalah sebatang golok Halilintar, yang menyimpan rahasia
ilmu sakti tertinggi di dunia, Dengan memiliki golok itu, siapa
saja pasti akan menjadi sakti ilmunya, dihormati dan dipuja
sebagai malaikat!"
"Apakah itu bukan kabar berlebih-lebihan saja?" gerutu Siu
Lan, sedikitpun tak terpikir olehnya bahwa ayahnya pernah
mencuri benda itu.
"Benar. itulah suatu dusta. Namun ayahmu tidak berdaya
melawan anggapan demikian," kata ayahnya.
"Jadi, mereka mengejar-ngejar sampai di sini, sematamata
lantaran menginginkan benda itu dari ayah?"
"Walaupun baik ayah maupun mereka tidak pernah saling
mengenal?" Siu Lan meneruskan pertanyaannya.
"Benar." jawab ayahnya singkat.

35
"lnilah suatu kegilaan." Siu Lan menggerutu, "Ya , benarbenar
gila."
"Kau boleh berkata demikian, anakku, Tetapi buktinya,
keluarga ayahmu menjadi buruan mereka. Cobalah
pertimbangkan masak-masak, dapatkah ayahmu melawan
demikian banyaknya musuh?" kata Kim San sambil menarik
napas lagi. "ltulah sebabnya, tiada jalan lain kecuali melarikan
diri, mencari kakek-gurumu dan... kalau Tuhan melindungi, kita
akan berlindung kepada kakek gurumu, Tie Kong Tianglo. Ia
adalah seorang guru besar yang dihormati dan disegani orang,
setidak-tidaknya banyak para pendekar mengenal namanya
karena itu, meskipun penderitaan kita berlarut-larut, namun
aku yakin bahwa suatu penderitaan akan ada akhirnya. Belum
pernah manusia menyaksikan awan hitam menutupi langit
cerah sepanjang masa, dan sebaliknya pula matahari yang
perkasa terbatas pula kekuasaannya."
Sementara itu Sin Houw berkomat-kamit seorang diri, lalu
ia berkata kepada ayahnya:
"Seluruh pendekar memusuhi ayah, semata-mata karena
ingin memiliki golok Halilintar. Tetapi apa sebab mereka
menganggap golok itu ada pada ayah atau menuduh ayah
yang mencurinya?"
Thio Kim Sart tercengang mendengar pertanyaan putranya
yang bungsu itu. Terus saja ia membelai kepaIa Sin Houw
sambiI berkata perlahan:
"Kau begitu cerdas. Kau tumbuh terlalu cepat..." dan
hatinya lantas saja terasa pedih, Lalu ia berpaling kepada
istrinya, dan berkata:
"Lan-moay. Meskipun kita kini hampir memasuki wilayah
perguruan, namun hidup atau mati belum dapat kita pastikan,
Oleh karena itu, kalau kini aku tidak segera memberikan
penjelasan kepada anak-anak kita, jangan-jangan aku tidak

36
mempunyai kesempatan Iagi. Bagaimana menurut
pendapatmu?"
Lie Lan Hwa menatap wajah suaminya, menjawab dengan
sabar:
"Kalau demikian pertimbanganmu, terserahlah."
Segera Thio Kim San menghirup napas segar, ia
melepaskan raihannya pada kepala putranya dan mengawasi
wajah Sin Houw silih berganti dengan Siu Lan, lalu berkata
hati-hati:
"Anakku, inilah soal yang sukar untuk dimengerti dan
dipahami."
Pertama sekali karena umurmu belum cukup kuat untuk
menanggapi, Terus terang saja, sampai kini ayahmupun tetap
berada dalam suatu teka-teki pelik, sebenarnya bagaimana
asal mulanya terjadinya suatu fitnah ini, masih kurang jelas
bagiku.
Hanya anehnya, mengapa mereka semua tahu tentang diri
ayahmu yang difitnah sebagai si pencuri ataupun sebagai
orang yang menyimpan golok Halilintar itu. Pastilah ada
seseorang yang meniup-niupkan suatu kabar tentang diri ku.
Benar dan tidak, bercampur aduk tidak keruan.
Aku hanya mempunyai dugaan, tetapi tak dapat aku
membuka mulutku, Akh, seumpama ayahmu tidak terlalu sibuk
menghadapi orang-orang yang datang memusuhi tanpa
alasan permusuhan, siang-siang ayahmu pasti telah dapat
membekuk biang keladi yang menyebar fitnah itu."
Sampai di sini Thio Kim San berhenti bicara, mulutnya
membungkam secara mendadak. Giginya terdengar berbunyi
berceratukan seakan-akan sedang menggigit sesuatu yang
alot luar biasa .

37
Siu Lan seorang gadis perasa, Terus saja ia berkata:
"Ayah sangat bersakit hati. Biar-lah ayah tak meneruskan
saja keterangan tentang peristiwa yang memedihkan ini."
"Tidak, anakku, Ayahmu harus berbicara terus, Hanya saja
..." ia berhenti lagi, sekonyong-konyong berdiri dan berjalan ke
luar, ke ambang pintu, Memanggil putera sulungnya:
"Sin Han, kemarilah! Ayahmu hendak berbicara dengan
kalian semua!"
Thio Sin Han masih mengawasi kelima ekor kuda mereka,
Mendengar seruan ayahnya, segera ia menambatkan tali-tali
kendali menjadi seonggok, Kemudian bergegas memasuki
tempat penyimpanan padi dan berkata :
"Ayah hendak bicara mengenap apa?"
"Kau duduklah dahulu diantara kedua adikmu!" perintah
ayahnya.
Sin Han menggeribiki pakaiannya, kemudian menghampiri
kedua adiknya, ia tidak segera duduk, karena pakaiannya
yang basah kuyup dengan air hujan.
"Baiklah, kau berdiri saja. Kau panaskan tangan dan
badanmu, sambil mendengarkan." kata Kim San. "Cobalah
kau terka, apa sebab seluruh orang-orang gagah memusuhi
ayahmu sekeluarga ?"
Sin Han menatap muka ayahnya dengan hati tercekat, lalu
menjawab perlahan:
"Yang kuketahui, sepak terjang mereka telah membuat
ayah sangat mendendam dan penasaran."

38
"Yang kumaksud, sebab sebabnya!" tukas Kim San.
Sin Han menimbang-nimbang, secara hati-hati kemudian ia
menyebut:
"Menurut yang kudengar, ayah di tuduh menyimpan
sebatang golok mustika dunia, Atau setidak-tidaknya, ayah
tahu rahasianya dan tahu pula di mana goIok mustika itu
tersimpan."
"Benar, sebatang golok Halilintar itulah gara-garanya.
Tahukah engkau tentang golok yang dianggap benda mustika
itu?" sang ayah balik menanya.
Sebelum Thio Sin Han menjawab pertanyaan ayahnya,
tiba-tiba Sin Houw memotong dengan pertanyaan pula:
"Koko, kenapa mereka mengira ayah yang menyimpan
golok itu?"
(Koko = kakak).
Mendengar pertanyaan itu, Sin Han tercengang, justru hal
itu pulalah yang membuat dirinya terus berteka-teki.
"Entahlah ..." jawabnya. "Aku sendiri kurang jelas."
Setelah memberikan jawaban demikian, Sin Han berpaling
kepada ayahnya dan meneruskan bicara:
"Orang-orang yang datang mengejar kita ini, pada suatu
hari dipanggil oleh seseorang yang membawa warta tentang
golok mustika itu. Mereka di kisiki di manakah golok mustika
itu berada. Mereka diberikan penjelasan pula, bahwa golok
mustika itu tidaklah hanya menggenggam suatu rahasia ilmu
sakti yang sangat tinggi, tetapipun menyimpan sebuah gunung
emas dan berlian yang tak ternilai harganya.

39
Pendek kata, barang siapa dapat memperoleh golok
mustika itu, akan dapat memerintah dunia menjadi raja dari
segala raja! Benar tidaknya, aku tak tahu. Ayah, benarkah
demikian?"
Pandang mata Sin Houw berdua Siu Lan tertuju kepada
ayahnya, Tetapi tiba-tiba mereka melihat kedua mata ibunya
meneteskan air mata. Mereka jadi terkejut, dan Sin Houw
segera meloncat dari duduknya, ia memeluk ibunya dan
berkata:
"lbu, kalau keterangan ayah akan menyusahkan ibu,
biarlah ayah tidak usah menjawab pertanyaan koko."
Mendengar perkataan si bungsu, air mata Lan Hwa kian
deras mengalir ke-Iuar. ia berpaling kepada suaminya
kemudian ganti mengawasi kepala anaknya yang bungsu.
Katanya perlahan:
"Sesungguhnya, semuanya ini ibu ikut bersalah. Bahkan
ibumu lah yang menjadi bibit permusuhan ini ..."
"Lan-moay, pengakuanmu tidak benar!" potong suaminya
setengah membujuk "Aku sendiri belum memperoleh
pegangan yang kuat."
"Tidak! Selama ini engkau membungkam demi untukku,"
ujar Lan Hwa dengan suara pahit. "Sekaranq tak boleh Iagi
engkau memendam prasangkamu. Serapat-rapat seseorang
membungkus ikan busuk, akhirnya akan tercium juga. Selama
ini, jangan lagi engkau. Aku sendiri telah memperoleh tandatandanya,
dialah ..."
"Lan-moay!" potong suaminya dengan suara cukup keras,
Tetapi berbareng dengan itu ia menghela napas. Dengan
menundukkan kepala, ia berkata:
"Baiklah, aku akan berbicara, Tetapi sama sekali bukan

40
menjadi maksudku untuk mencelamu, Bahkan selama ini, aku
sangat berbahagia, Aku berhutang budi padamu, Lan-moay.
Engkaulah pelita hidupku, mercu hidup anak-anakku yang lahir
lewat rahimmu. Kalau malapetaka ini terjadi juga, bukankah
sudah seharusnya aku menyadari jauh sebelumnya."
Lie Lan Hwa mengusap air matanya, ia menatap wajah
suaminya dengan pandang lembut. Kemudian selembut itu
juga ia berkata:
"Katakan saja. Aku adalah bagian dari hidupmu, tiada
sesuatu kekuatan yang dapat memisahkan kita. KecuaIi...
maut. Kau katakan saja, suamiku."
Untuk sesaat Thio Kim San menunda bicara, ia
menambahkan kayu-kayu pada api yang menyala kemudian
mengawasi ke arah pintu. Udara lembab gunung Boe-tong
telah menjadi guram. Dingin hawa-nya kian merayapi tubuh.
Perlahan-lahan ia mengembarakan pandangannya, lalu
berhenti pada wajah ketiga anaknya. Dan diantara gemericik
hujan, mulailah ia berkata:
*****
"SEMASA kanak-kanak, aku hidup di wilayah ini, di wilayah
Gunung Boe-tong san yang dianggap keramat oleh penduduk
di sekitar tempat ini, Aku hidup di pinggang gunung sebelah
timur laut, di atas gunung Boe-tong, di puncak Thian-coe hong
yang tinggi menjulang ke angkasa, atau tepatnya di kuil Giokhie
kiong, adalah merupakan tempat bersemayannya Tie-kong
Tianglo dan merupakan tempat aku belajar ilmu silat bersama
empat saudara seperguruanku.
Masing-masing adalah Cia Sun Bie sebagai murid
pertama, Lim Tiauw Kie murid kedua, Hoan Siok Hu murid
ketiga Tan Bun Kiat murid keempat dan aku sendiri sebagai

41
murid kelima.
Kami lima saudara seperguruan hidup sebagai keluarga
sendiri. Saling menolong dan saling membantu, pendek kata
saling bahu membahu.
Setelah masing-masing mempunyai keluarga, lantas
berpisah, Diantara kami ada dua orang yang belum menikah,
mereka adalah pamanmu Cia Sun Bie dan Tan Bun Kiat.
Sebagai Boe-tong Ngo-hiap atau lima pendekar dari Boetong
san, kami berlima seringkali merantau dan menjelajah di
kalangan rimba persilatan, Kadang-kadang secara berbareng
kami melakukan perjalanan untuk menumpas berbagai macam
kejahatan ataupun kelaliman, dan kadang-kadang pula kami
melakukan perjalanan secara terpisah, artinya sendiri-sendiri.
Demikianlah, pada suatu hari pamanmu yang kedua, Lim
Tiauw Kie, melakukan perjalanan ke propinsi Hok-kian, karena
di tempat itu sedang mengganas seorang penjahat yang tidak
hanya memiliki kepandaian ilmu silat tinggi, tetapi juga
terkenal sangat licin luar biasa. Sampai berbuIan-bulan
lamanya Lim Tiauw Kie pergi tanpa memberikan berita, ia
bahkan sampai lupa mengunjungi suhu pada hari ulang tahun
beliau.
Lim Tiauw Kie pergi dan terus menghilang tanpa
meninggalkan jejak, sedangkam kami empat bersaudara
seperguruan pernah berkali-kali mencari dan melakukan
penyelidikan. Sampai kemudian kami memperoleh kabar angin
yang mengatakan bahwa Lim Tiauw Kie telah memperoleh
golok Sun Lui To yang direbutnya dari tangan Hing-san samkiam
atau tiga jago pedang dari gunung Hing-san, setelah itu
Lim Tiauw Kie menghilang tak berani pulang ke gunung Boetong
san karena bermaksud memiliki golok mustika itu untuk
dirinya sendiri..."
"Jadi, apakah sampai saat ini Lim susiok tak diketahui

42
jejaknya?" tanya Thio Sin Han selagi ayahnya menunda
bicara.
Thio Kim San manggut dan berkata:
"Orang-orang yang paling gigih mencari dan menyimpan
dendam, sudah tentu adalah pihak murid-muridnya Hing san
Sam-kiam, Tetapi yang lain-lainnya ikut mencari dan sudah
tentu ingin merebut golok mustika itu, di antaranya adalah
orang-orang Hay-see pay, Kun-lun pay dan lain sebagainya,
secara berombongan maupun perorangan."
"Kini dan setelah mereka tidak berhasil menemukan Lim
susiok dan golok mustika itu, mengapa justru mereka
memfitnah dengan mengatakan golok mustika itu ada pada
ayah?" ganti Siu Lan mengajukan pertanyaan.
Sejenak Thio Kim San terdiam menundukkan kepala, lalu
dengan suara perlahan ia memberikan jawaban:
"Mungkin mereka mengetahui bahwa aku adalah yang
paling akrab berhubungan dengan Lim susiokmu, sehingga
mereka menyangka golok mustika itu dititipkan kepadaku ..."
Tiba-tiba Lie Lan Hwa memutus perkataan suaminya:
"Tidak! Sampai di sini sebaiknya aku yang memberikan
keterangan kepada anak-anak kita, Aku tahu engkau seorang
pendekar yang mengutamakan budi luhur, Demi kebajikan itu,
engkau rela hancur lebur tanpa kubur, Akan tetapi, aku tidak!
Sebab di sini kupertaruhkan kesucian hati ku, dan karena aku
tak rela engkau mengalami malapetaka sebesar ini. itulah
karena gara-gara masa mudaku, Engkau khawatir
menyinggung perasaanku , karena itu kau coba menutupi
tetapi justru demikian, aku jadi tersinggung, Sebab artinya kau
mencurigai kesetiaan dan kesucianku."
"Lan-moay, mengapa kau berkata begitu? Demi Tuhan,

43
aku tak pernah berkata yang bukan-bukan terhadapmu,"
potong Kim San, melarang istrinya terus bicara.
Sin Han bertiga merasa prihatin menyaksikan orang tua
mereka bertengkar kata. inilah kejadian yang mereka saksikan
untuk pertama kalinya, dan mereka menjadi terpaku membisu.
Sementara itu Lan Hwa meneruskan bicara kepada anakanaknya:
"Baiklah, anak-anakku. Biarlah aku yang memberikan
keterangan kepada kalian, Pada masa mudaku, aku seperti
engkau, Siu Lan. Cukup menarik dan cukup menawan
perhatian orang, Ayah bundaku mempertunangkan aku
dengan seorang pemuda yang belum pernah kukenal, pemuda
itu bernama Tan Kok Seng.
Dia seorang yang berpengaruh, dan iimu kepandaiannya
sangat tinggi. Menurut kata orang, tiada celanya, Akan tetapi
setelah bertemu dengan ayahmu, aku jadi berkeputusan untuk
membantah kehendak orang-tuaku, inilah jadinya, walaupun
ayahmu tadi menyatakan masih bimbang, namun aku mengira
bahwa semuanya ini adalah perbuatannya.
Kalian ingatlah baik-baik, namanya Tan Kok Seng. Aku
mengharapkan agar dikemudian hari kalian bisa menyelidiki
benar tidaknya."
Sederhana keterangan Lan Hwa, akan tetapi cukup
merangkum keseluruhannya. Dan mendengar cara sang ibu
menekan setiap patah katanya, membuat hati mereka bertiga
bercekat.
Mendadak pada saat itu, terdengarlah suara derap kuda di
antara gemericik hujan, Wajah Thio Kim San berubah hebat.
Serunya setengah mengeluh.
"Akh! Benar-benar mereka tidak membiarkan kita untuk

44
beristirahat sebentar Kalau begitu anak-anakku, tiada jalan
lain kecuali kita harus meneruskan perjalanan kita."
Mendengar perkataan suaminya, Lan Hwa mencelat ke
ambang pintu dengan pedang siap di tangannya.
"Aku akan mengambil kuda kita!" katanya.
Sin Han mundur selangkah, ia berdiri tegak di depan kedua
adiknya dengan memancarkan pandang berapi.
"Sin Han, Siu Lan dan Sin Houw! Dengarkan! Siapa saja di
antara kamu bertiga, harus dapat mencapai puncak Thian-coe
hong untuk menemui kakek-gurumu, Tie-kong Tianglo, Jika
harapan ayahmu ini terkabulkan, itulah sudah cukup, Dialah
yang kelak wajib menyambung asal keturunan keluarga kita.
Kau dengar?" kata Thio Kim San dengan suara gemetar.
"Ya, ayah!" mereka bertiga memberikan jawaban serentak,
walaupun dengan suara tertahan.
"Akan tetapi apabila kita semua gugur sebelum mencapai
tempat tujuan, ya sudahlah, itulah di luar kekuatan dan
kekuasaan kita, Artinya, Tuhan memang menghendaki
demikian, walaupun demikian, sampai detik ini aku masih
berdoa, semoga Tuhan memberkahi ayah-ibumu, dan semoga
salah seorang diantara kalian bertiga dapat selamat sampai ke
tempat tujuan.
Kemudian, apabila Tuhan mengabulkan sehingga salah
seorang di antara kalian berhasil bertemu dengan kakek-guru
kalian, atau setidaknya paman-guru kalian Cia Sun Bie, maka
kalian minta perlindungan...
Thio Kim San menjadi gugup karena ia mendengar suara
beradunya senjata, Alangkah cepatnya gerakan musuh itu,
pastilah dia bukan sembarangan orang.

45
"Sin Han! Kau lepaskan panah berapi biru itu! Di sini dekat
rumah perguruanku, mungkin salah seorang paman-gurumu
melihat api tanda bahaya," kata Thio Kim San tergesa-gesa.
Setelah itu ia lompat melesat keluar pintu.
Setelah Thio Kim San hilang di kegelapan malam, Thio Sin
Han menyambar lengan Sin Houw dan berkata dengan suara
dalam:
"Adikku, kau adalah satu-satunya harapan kita. Aku akan
membawamu lari dan melindungimu sampai mencapai
jembatan penyeberangan jurang di sana yang curam dan
panjang, Aku tahu di mana letak jembatan itu, karena ayah
pernah menceritakan, Aku dan kakakmu Siu Lan, ayah dan ibu
akan mempertaruhkan harapan kepadamu seorang.
Engkaulah yang kelak harus dapat menyambung asal usul
keluarga kita, dan kami mendoakan agar Tuhan mengabulkan
permohonan keluargamu serta di kemudian hari engkau bisa
mencuci bersih rasa penasaran keluargamu.
Terutama rasa sakit hati ayah-bundamu yang pernah
mendukungmu kesana kemari menempuh bahaya dan
melindungi dirimu, Adikku, cepatlah kau melompat di atas
kudamu dan kaburlah dengan segera. Ke sana!"
Setelah berkata demikian, dengan menghunus pedang Sin
Han berjalan ke ambang pintu melindungi kedua adiknya.
Ketika tiba di luar, Siu Lan segera memberi contoh
melompat ke atas kudanya dengan gesit sekali. Dan setelah
Sin Houw berada pula di atas pelana kudanya, Sin Han
menjajari dan menghentak kendalinya.
"Mari!" ajaknya.
Kira-kira lima puluh meter di depannya, ibunya sedang
bertempur melawan seorang yang mengenakan pakaian

46
seperti pendeta, Dialah Cie-san Liong-ong Kwee Sun, si biang
naga dari gunung Cie-san, ia bersenjata sepasang golok,
gerakannya gesit dan membawa angin bergulungan. Dengan
cepat Lan Hwa dapat di kurungnya rapat-rapat.
Melihat ibunya terdesak, Sin Han membatalkan
maksudnya mengaburkan kudanya. Teringatlah dia dengan
pesan ayahnya, maka cepat-cepat ia menarik anak panah dan
dinyalakan lalu dilepaskan ke udara, seketika itu juga
terdengarlah suara bersuing di udara tinggi. Kemudian dengan
suara ledakan kecil, apinya yang biru pecah berantakan
merayapi ke seluruh penjuru, indah sekali pemandangan itu di
malam gelap gulita, akan tetapi mereka semua tiada
kesempatan untuk menikmati keindahan itu.
Setelah melepaskan anak panah, Sin Han melompat
dengan menyambarkan pedangnya. Tangan kirinya
menggenggam pula sebilah belati tajam. Begitu memasuki
gelanggang, dengan mengerahkan tenaga ia menangkis golok
Ciesan liong ong Kwee Sun, berbareng menikamkan
belatinya.
Cie-san Liong-ong Kwee Sun kaget sampai mundur dua
langkah ke belakang, Dan pada saat itu, mendadak Sin Houw
melompat pula dari kudanya sambil menarik keluar pedang
pendeknya yang selalu tergantung di pelana kudanya,
"Hey! Kau hendak ke mana?" cegah Siu Lan.
"Cici, jangan rintangi aku!" teriaknya seperti kalap, "Mereka
sangat kejam dan sama sekali tak sudi memberi ampun,
Mereka selalu mengejar kita seperti barisan iblis, Kalau aku
tidak ikut membasmi mereka, sampai kapan kita bisa hidup
tenang? Aku harus membasmi mereka! Aku harus membantu
ibu!"
"Sin Houw, jangan menuruti perasaanmu sendiri! Kau
harus ingat dengan pesan koko. Cepat, pergilah! Lihat musuh

47
semakin banyak! Aku yang akan membantu ayah dan ibu
menahan mereka, sementara kau pergi menjauhi!"
Memang benar, pada waktu itu berdatangan belasan orang
berkuda yang langsung mengepung Kim San dan Lan Hwa -
tetapi nampaknya Kim San sama sekali tidak menjadi gentar.
Seperti Sin Han, kedua tangannya menggenggam pedang dan
pisau belati yang berkilat-kilat karena tajamnya. Dengan cepat
ia mendampingi istrinya yang tak sudi mundur walaupun
selangkah, Untuk sejenak mereka tak berdaya menghadapi
perlawanan yang rapi itu.
Thio Kim San dan istrinya merupakan sepasang pendekar
semenjak memasuki jenjang pernikahan. Di kalangan rimbapersilatan
nama mereka terkenal sebagai "Kim-siang yan"
atau sepasang burung walet emas yang gagah perkasa,
karena mereka bisa bekerja sama dengan sangat baik.
sekarang mereka berdua ditambah dengan pengalamannya
yang pahit dan berbahaya selama bertahun-tahun - tak
mengherankan, pembelaan diri mereka rapi dan rapat.
walaupun kena dikepung belasan orang, namun gerak-gerik
mereka tidak kacau.
Di lain pihak, Siu Lan menjadi sibuk sendiri. Tak dapat ia
membiarkan kedua orang tuanya dikepung oleh sedemikian
banyaknya musuh, perlahan lahan ia mengeluarkan pedang
lemas yang membelit pinggangnya.
Pedang itu terbuat dari emas murni, sifatnya lemas dan
ulat, Begitu ditarik, pedang itu lencang seperti mengandung
per. Tepat pada saat itu kilat menyambar, dan sinar kilat itu
memantul pada pedang emas itu sehingga menimbulkan sinar
berkilau.
Thio Sin Han yang sedang bertempur dengan musuh,
menjadi terkejut melihat kilauan sinar itu. Dengan menjejak
tanah ia mundur jumpalitan sambil berteriak:

48
"Moay-moay, kau tak perlu maju! Bawalah Sin Houw
menjauh cepat-cepat, kalau tidak kita bakal menggagalkan
pesan ayah!"
Thio Siu Lan tertegun, ia menjadi bingung, Dengan muka
penuh pertanyaan ia mengawasi kakaknya.
"Kau mau pergi atau tidak?" bentak Sin Han.
Selama hidupnya, belum pernah kakaknya membentak
dengan suara demikian. Hatinya yang lembut terhentak kaget,
Dengan suara gugup ia minta penjelasan:
"Sebenarnya ... koko mau apa?"
"Aku mau apa?" bentak Sin Han, lalu memberikan
penjelasan, "Belum pernah aku berbicara dengan cara begini
kepadamu, bukan? Tapi sekarang sekarang lain! Siapa di
antara kalian berdua tidak mau mendengarkan perkataanku,
tak kuakui sebagai saudaraku lagi, Kalian dengar? Nah,
sekarang kalian pergilah, ingatlah pesanku tadi...!"
Dengan air mata mengalir deras keluar, Siu Lan berusaha
meyakinkan:
"Koko, kau keliru, Pesan ayah sebenarnya ditujukan
kepadamu dan adik Sin Houw, karena kalian berdua adalah
anak laki-laki. Ayah mengharapkan keturunamnu untuk
menyambung asal-usul keluarga, bukan aku! Aku seorang
perempuan. Biarkanlah aku yang maju membantu ayah dan
ibu. Ingatlah, koko... aku seorang perempuan, tanggung jawab
untuk melaksanakan pesan ayah tidak mungkin dapat ku
Iaksanakan.
Andaikata aku selamat, apakah yang dapat kulakukan ?
Dari itu maafkan adikmu ini, biarlah aku yang membantu ayah
dan ibu, sebaliknya kau dan adik Sin Houw yang harus
memikul tugas berat untuk mencuci bersih nama keluarga kita

49
di kemudian hari."
"Tutup mulutmu!" bentak Sin Han.
"Kau hendak membantu ayah dan ibu apakah
kepandaianmu meIebihi aku?"
"Tentu saja kepandaian koko berada di atasku." sahut Siu
Lan.
"Jika begitu, kau mengerti maksudku," kata Sin Han.
"Belasan musuh yang mengejar kita kali ini, nampaknya bukan
sembarang musuh, Mereka tahu, jika terlambat sedikit, ayah
dan ibu serta kita semua akan selamat, Karena sudah hampir
mencapai tempat perguruan ayah, maka itulah sebabnya
mereka mengerahkan jago-jago kelas satu. Walaupun
tubuhmu bakal hancur luluh, tiada gunanya sama sekali. Kau
tak bisa menolong ayah dan ibu, maka itu cepatlah kau pergi
membawa adik Sin Houw mendahului kami. Percayalah, kami
akan segera menyusul!"
Keras kata-kata Sin Han sehingga suaranya agak
menggeletar, tetapi kedua matanya penuh genangan air mata,
jelas bahwa ia berbicara demikian, untuk membesarkan hati
kedua adiknya.
Siu Lan adalah seorang gadis yang lembut perasaan dan
cerdas, ia dapat menebak maksud kakaknya itu. lantas saja ia
menangis sedih. Katanya mencoba:
"Koko, tak dapatkah engkau berangkat bersama kami?"
"Tidak!" bentak Sin Han. "Kau mau mendengarkan
perkataanku atau tidak?"
Siu Lan mendengar suara bengis kakaknya, tapipun
berbareng melihat kedua mata kakaknya mengalirkan airmata,
Hatinya segera menjadi lemah dan perlahan-lahan ia

50
melibatkan lagi pedangnya pada pinggangnya yang ramping.
"Baiklah, koko ... baiklah..." katanya perlahan di antara
suara isak tangisnya.
Thio Sin Han tersenyum lebar, tetapi mengandung rasa
sedih yang tidak terhingga, sahutnya senang:
"Nah, begitulah baru seorang adik yang baik, Akh, adikku
yang manis, kau lindungilah adikmu itu. Tak usah kau
menunggu ayah, ibu dan aku. Kau dengar perkataanku ini?
Nah, cepatlah kau larikan kudamu. Tuhan akan melindungi
kalian berdua dan akan memberkahi kita semua. Selamat
jalan, adikku, Semoga kalian berdua dapat mencapai
tempatnya Tay-suhu.."
Bertepatan pada saat itu terdengarlah pekik suara Thio
Kim San mengandung kemarahan:
"Akh! Kalian keterlaluan, Mengapa kalian begini ganas?
Baiklah, aku Thio Kim San malam ini kau paksa melakukan
pembunuhan besar-besaran! Lihat saja!"
Dapat dikatakan belum selesai ia bicara, atau di sana
terdengar pekik teriak menyayatkan hati.
Memang, Thio Kim San terkenal sebagai salah seorang
dari Boe-tong Ngo-hiap atau lima pendekar dari Boe-tong pay.
Dia sangat mahir dalam ilmu silat pedang yang khas dari
golongan Boe-tong pay, tetapi selama memupuk keluarga
demi tercapainya hidup tenteram hampir dapat dikatakan
jarang sekali ia menggunakan ilmu pedang simpanannya.
Tapi malam itu merupakan malam pertaruhan antara hidup
dan mati, Apalagi ia merasa dipaksakan oleh keganasan pihak
lawan, Maka tanpa segan-segan ia menerjang dengan ilmu
pedang simpanannya itu.

51
Sebagai akibat, seorang musuh roboh binasa, dan rekanrekannya
yang lain menjadi gusar, Lantas saja kelihatan
berbagai senjata berkeredepan dan sambil berteriak-teriak
mereka meluruk untuk mengepung Thio Kim San dan istrinya.
"Berangkatlah, moay-moay!" kata Thio Sin Han yang
sekilas sempat melihat keadaan ayah dan ibunya.
Thio Siu Lan mengertak gigi menguatkan hati, Rasa
penasarannya jatuh kepada kudanya Thio Sin Houw,
Mengapa semua ini harus terjadi? Dan dengan sekuat tenaga
ia menghantam kuda Thio Sin Houw.
Kuda yang tak mengerti keadaan dan kesalahannya itu,
kaget berjingkrak, lantas saja melesat maju dengan berderap,
Untung Thio Sin Houw sudah terbiasa naik kuda. Meskipun
tubuhnya bergoyang ketika kudanya melompat maju, tetapi
beberapa detik kemudian ia sudah dapat menguasai. Tatkala
ia menoleh ke sebelah belakang, dilihatnya kakak
perempuannya telah berada di dekatnya dengan menghunus
pedang emasnya.
Thio Sin Han mengikuti kepergian kedua adiknya dengan
pandang matanya. Setelah mereka lenyap dibalik tikungan
bukit, ia berputar tubuh lalu berteriak keras:
"lbu! silahkan istirahat sebentar, biarlah aku yang maju!"
--------------------
Hal 50/51 Hilang
--------------------
dapat mengusir musuh dengan mudah, sebentar lagi
mereka akan menyusul kita
Tetapi kata-kata itu hanya di mulutnya saja, sedangkan

52
hatinya khawatir bukan main. ia menyadari, ayah-ibunya telah
terluka, juga kakaknya, sedangkan musuh-musuh yang
mengepung sangat banyak dan semuanya tangguh.
Thio Sin Han menengadah, mengawasi udara guram
gelap, Seorang diri ia berkata:
"Ayah nampaknya mempunyai kesulitannya sendiri, yang
tak dapat dikatakan di hadapan kita semua. Tadi ia mau
membuka mulut, setelah mendapat idzin dari ibu. Benarkah
begitu, cici?"
Setelah berkata demikian, ia mengawasi Siu Lan. ia
percaya, kakak perempuannya itu pasti mengetahui persoalan
yang sebenarnya.
Siu Lan dapat menebak apa yang tersimpan di hati
adiknya, Tetapi cepat-cepat ia mengalihkan perhatian:
"Lihatlah ke depan! Menurut keterangan ayah, dibalik bukit
itulah terbentang jembatan penyeberangan yang amat
berbahaya karena dibuat dari bahan rotan semacam tali, dan
yang sangat panjang namun kecil ukurannya, sedangkan jauh
di sebelah bawahnya, terbentang jurang yang amat dalam dan
curam serta penuh batu-batu cadas.
Dapat dibayangkan apabila seseorang terjatuh ke dalam
jurang itu, pasti tidak ada kesempatan untuk selamat, Tetapi
dengan kehendak Tuhan, mudah-mudahan engkau akan
selamat tiba di seberangnya. Mari! Mari kita ke sana!"
Selama ia bicara, pandang mata Siu Lan mengawasi ke
arah lain supaya tidak bertemu pandang dengan mata
adiknya. Karena di dalam hati kecilnya, ia meragukan
perkataannya tadi. Benarkah Tuhan akan melindungi, akan
memberikan
--------------------

53
Hal 54/55 Hilang
--------------------
Thio Siu Lan mengawasi wajah adiknya, kemudian
menjawab dengan suara tegas:
"Ayah adalah seorang yang jujur, ia seorang ksatria sejati.
Maka aku percaya dengan segala perkataannya ... Ya, hanya
karena golok Halilintar! Hanya saja, disamping itu masih ada
suatu hal yang menyulitkan ayah, Beliau tadi mencoba
membicarakan, akan tetapi tidak jelas..."
Thio Sin Han termenung. Kemudian menengadah ke
udara, Teringatlah ia tadi, ibunya selalu mengucurkan airmata
apabila ayahnya nampak sulit berbicara, Maka bertanyalah dia
dengan suara tegas:
"Cici, bagaimana dengan ibu...? Maksudku, apakah ibu
yang salah?"
Sejenak Siu Lan nampak bimbang, lalu menjawab:
"Samar-samar pernah kudengar hal itu - tetapi aku tak
yakin, Ayah sendiri tadi, juga tidak merasa yakin dalam hal ibu
yang membuat bibit permusuhan."
Sin Houw menarik napas, lalu berkata lagi:
"Kalau ibu atau ayah yang salah, wajib kita memohon maaf
kepada mereka, sebaliknya kalau ayah dan ibu tidak bersalah,
kita harus mencuci noda itu. Bukankah begitu pesan koko?"
Bukan kepalang terharunya hati Siu Lan. Adiknya belum
genap berumur sepuluh tahun, tetapi perkataannya seperti
seorang yang sudah menanjak dewasa, inilah akibat
penggodokan yang seolah-olah dipaksakan oleh keadaan.

54
Pertumbuhan jiwanya menjadi sangat cepat, mungkin terlalu
cepat.
"Benar, adikku," akhirnya Siu Lan memberikan jawaban
dengan hati terharu - "Perkataanmu adalah ucapan seorang
ksatria sejati. Maka benarlah kata kata ayah tentang dirimu.
walaupun ilmu kepandaianmu paling lemah diantara kami,
akan tetapi bakatmu berada di atas kita semua, Karena itu
engkaulah yang kelak wajib membersihkan nama orang tua
kita dan menuntut balas dendam!"
Thio Sin Houw diam tak mengucap apa-apa. ia nampak
bersusah hati. Lama sekali ia berdiam diri, lalu berkata dengan
suara perlahan seperti pada dirinya sendiri:
"Jadi, merekalah yang bersalah... Tetapi, apakah maksud
ibu memerintahkan kita mengingat-ingat nama Tan Kok Seng?
ibu mengatakan, bahwa tanda-tandanya telah diketemukan."
"Urusan itu masih gelap, ayah sendiri masih bimbang dan
ragu, Biarlah kita menyelidiki saja di kemudian hari dengan
perlahan-lahan, sekarang kita berdua terlalu sulit untun
memahami. Yang paling penting kita berdua harus dapat
menyeberangi jembatan itu dengan selamat. Terutama
engkau, adikku . Baik ayah, ibu maupun koko dan aku sendiri
mengharapkan dirimu. Engkaulah adikku yang dapat
membersihkan noda keluargamu di kemudian hari."
Thio Sin Houw tertawa. Katanya:
"Ribuan orang menjadi musuh kita - sanggupkah aku
melawan mereka?"
"Kau berada di jalan yang benar, Tuhan akan memberkati
dan meIindungimu..." Siu Lan menegaskan.
Pada waktu itu mendadak terdengarlah suara Iapat-lapat
dari jauh:

55
"Siu Lan, kenapa kau masih berhenti disitu? Cepat!
Bawalah adikmu lari !"
Siu Lan segera mengenali suara kakaknya, gugup ia
mengajak Sin Houw meninggalkan tempat itu:
"Cepat!"
Dengan tangan lembut sedingin es, ia menuntun Sin Houw
dan dibawanya berjalan mendaki bukit, Setelah berjalan
selintasan, tiba-tiba Sin Houw me-rand^k lagi dan berkata:
"Aku letih, kita berhenti dahulu di sini..."
Siu Lan dapat menebak hati Sin Houw sebenarnya. Bocah
itu pasti teringat keadaan ayah dan ibunya, juga terhadap
keselamatan kakaknya, Thio Sin Han. ia sendiri sebenarnya
demikian juga, tetapi mengingat tugas yang harus
dilaksanakan, tak dapat ia mengidzinkan adiknya berlalai-Ialai,
segera ia mengkuatkan hati dan mengendalikan perasaannya
sendiri. walaupun de mikian, tak urung ia gagal juga, ia
menoleh dan memusatkan pandangnya ke arah pertempuran.
Heran, Apa sebab pertempuran itu tiba-tiba telah
mendekati tanjakan di bawahnya, Pada saat itu kilat
menyambar beberapa kaIi, puluhan senjata nampak
berkelebatan meluruk ayah dan ibunya serta kakaknya, Maka
tahulah ia kini, karena terlalu banyak lawan ayah, ibu dan
kakaknya membela diri sambil berlari mundur, Setelah
berkelahi beberapa waktu lamanya, mereka telah tiba di
bawah tanjakan bukit.
Secara samar dilihatnya ayahnya mendampingi ibunya,
sedangkan kakaknya melesat kian kemari dengan maksud
melindungi kedua orang tuanya, Mereka bertiga bekerja sama
sangat rapi, berpengalaman menjadi kejaran musuh.

56
Biasanya musuh berjumlah paling banyak sepuluh orang,
akan tetapi malam itu musuh yang datang mengeroyok
mencapai jumlah empat puluh orang, Tak mengherankan,
mereka bertiga kena di desak mundur dari tempat ke tempat.
Musuh yang berada di sebelah kiri memakai pakaian serba
hitam dengan jubah putih, dialah yang menyebut diri sebagai
Cie-san Li ong-ong Kwee Sun -senjatanya sepasang golok,
gerakannya gesit dan ganas, sedangkan yanq berada di
sebelah kanan, seorang jago lain bertubuh pendek kecil,
dengan ditangan kirinya memegang perisai besi, sedang di
tangan kanannya menggenggam sepotong gada bergigi tajam,
Dialah lawan yang paling lincah cara perlawanannya.
Beberapa kali ia meloncat kian kemari untuk menyerang atau
mengelak. Berlawanan denqan Cie-san Liong-ong Kwee Sun
yang ternyata sangat Iicik, serangannya selalu dilancarkan,
apabiIa suami-istri Thio Kim San sedang repot menghadapi
kepungan musuh lainnya.
Yang berada di bagian tengah, seorang pendekar
berpakaian serba ringkas, umurnya belum mencapai lima
puluh tahun tampangnya bengis, senjatanya merupakan
pedang panjang.
Mereka bertiga ini merupakan pemimpin dari puluhan para
pengeroyok. Sambil bertempur seringkali mereka menyerukan
aba-aba pengepungan atau cara penyerangan.
"Cici, ketiga orang itu berasal dari mana?" Thto Sin Houw
minta keterangan.
"Aku sendiri kurang tahu," jawab Siu Lan. "Hanya nama
mereka pernah kudengar. Yang mengenakan jubah seperti
pendeta itu bernama Cie-san Liong-ong Kwee Sun, si kate
bernama Su Tay Kim, dan yang bersenjata pedang panjang
seorang ahli pedang Bu Seng Kok."
Thio Sin Houw menarik napas, lalu berkata seorang diri:

57
"Mereka sangat gesit dan ganas, apakah ayah dapat
melawan mereka bertiga dengan sekaligus?"
"Ayah dikepung tidak kurang oleh duapuluh orang.
walaupun demikian ayah pasti sanggup merobohkan mereka
bertiga, Kau lihat saja nanti," sahut Siu Lan meyakinkan
adiknya. Akan tetapi sesungguhnya ia sendiri tidak yakin,
maka cepat-cepat ia mengalihkan pembicaraan:
"Mari, kita daki bukit ini secepat-cepatnya. Di seberang
bukit inilah letak jembatan penyeberangan itu, semoga Taysuhu
berada di situ ..."
Siu Lan segera menarik lengan adiknya, dan dibawanya
lari secepat-cepatnya. Tatkala itu, ia mendengar suara parau,
suara yang dikenalnya dan yang membuat hatinya tergetar:
"Kami suami isteri, Thio Kim San dengan ketiga anak
keturunan kami, selamanya belum pernah berkenalan atau
bermusuhan dengan kalian, Apa sebab kini kalian mengejar
kami siang dan malam tanpa alasan? Apakah kalian benar
benar menghendaki nyawa kami berlima ?"
Itulah suara sang ayah, kemudian Siu Lan sempat
mendengar Cie-san Liong ong Kwee Sun menggerendang:
"Kamu membunuh guruku, karena itu wajib aku menuntut
balas!"
"Membunuh gurumu? Gurumu yang mana?" tanya Thio
Kim San heran.
Ketlka Cie-san Liong-ong Kwee Sun hendak membuka
mulutnya, tiba-tiba Su Thay Kim mendahuIui:
"Untuk apa kau mengadu mulut dengan bangsat itu?
Renggut jiwanya habis perkara ..."

58
Thio Kim San menjadi bimbang mendengar perkataan Su
Thay Kim tadi, selama sekian tahun menjadi orang buruan, ia
memang mengalami suatu pertempuran sengit beberapa kali.
Tetapi ia hanya melukai, tak pernah membunuh lawannya.
Apakah kesalahan tangan?
Pada waktu waktu itu Bu Seng Kok ikut bicara:
"Jangan bunuh mereka! Kita harus menangkap mereka
hidup-hidup, Kalau mereka mati, sia-sia saja usaha kita ini
untuk memperoleh golok itu."
"Huh!" dengus Su Thay Kim. "Mereka hidup atau mati,
golok itu akhirnya akan dapat kita rebut, Mengapa kau ribut tak
karuan? Kalau mereka dibiarkan hidup, huh ... sungguh enak!"
Tetapi seorang lain yang berada di belakang mereka ikut
bicara:
"Jangan! jangan dibunuh! Biarkan mereka hidup. Kalau
mereka mati, benar benar kita jadi gelap, Teka-teki itu tak
dapat kita pecahkan."
Hebat suara itu. Kecuali nyaring, kerasnya seperti genta
dipukul oleh besi panjang. itulah sebabnya, Thio Sin Houw ikut
terkesiap. ia berduka dan bergusar, sehingga tangannya yang
kecil bergemetar.
Thio Siu Lan bercekat hatinya ketika merasakan getaran
tangan adiknya. Cepat-cepat ia kuatkan diri, lalu menekap
tangan adiknya kencang kencang dan dibawanya lari makin
cepat. Mula-mula ia lari asal lari saja. Lambat-laun merasa
seperti diburu, Dan larilah kedua anak itu seperti kalap,
sebentar saja dua gundukan tanah tinggi yang merupakan
bukit telah terlampaui.
Kini mereka berdua merasa diri agak aman, Mereka

59
memperlambat langkahnya. Peluh mereka membasahi badan
dan bercampur aduk dengan air hujan. sambil mengatur
pernapasan, Thio Siu Lan memasang telinga. Tiada lagi
terdengar beradunya pedang golok, Suara hiruk-piruk
pertempuran lenyap teraling bukit.
Sejenak ia menatap wajah adiknya - Thio Sin Houw
nampak muram, sepasang alisnya berdiri tegak dengan bibir
mengatup rapat. itulah suatu tanda, hatinya bergolak hebat,
Dia membungkam karena berusaha menguasai diri.
"Kau kenapa, Sin Houw?" Siu Lan menegas dengan hatihati,
Gadis ini terkejut dan cemas.
"Aku ... aku ... sanggupkah aku membalaskan dendam
ayah dan ibu yang kena dikeroyok musuh begini banyaknya?
Mungkinkah ..."
Itulah suatu ucapan yang tepat sekali mengenai sasaran,
Siu Lan sendiri sebenarnya lagi memikirkan soal itu pula,
Tanpa terasa air matanya mengalir keluar, Katanya:
"Menurut kata ayah dahulu, seorang lelaki tidak boleh
merendahkan kemampuannya sendiri. Kau pasti bisa, lihatlah
keatas! Mungkinkah Tuhan akan menutup mataNya?"
Siu Lan menuding keudara, seakan-akan Tuhan berada
dibalik langit yang gelap-kelam, Namun hal itu besar
pengaruhnya didalam hati adiknya, Mendadak saja bocah itu
dapat mengucapkan kata-kata galak:
"Ya, benar, Aku seorang laki-Iaki - tak boleh aku menangis,
Mari kita terus!"
Selagi ia hendak melangkahkan kaki, tiba-tiba suatu
bayangan menyambar lengannya, ia kaget setengah mati.
"Siapa?" bentaknya.

60
Kilat berkilau dan ia melihat seorang pria bertubuh kekar
berdiri di hadapannya. Kedua pipinya bermandikan darah
segar, Dialah ayahnya sendiri. Disampingnya berdiri kakaknya
puIa, Lengan dan kedua kakinya terluka, Dan luka itu
mengalirkan carah segar.
Melihat keadaan mereka berdua, bocah itu menjadi kalap,
ia memekik hebat:
"Kalau aku selamat, aku akan menuntut dendam, Ayah!
Kakak! jangan takut! Aku akan membalaskan dendammu!"
Dengan wajah terharu Thio Kim Sin meraih kepala putera
bungsunya itu, lalu berkata sambil membelai rambutnya:
"Anakku, Ayahmu bersyukur didalam hati mendengar dan
melihat semangatmu Akan tetapi ayahmu mengharapkan kau
menjadi seorang ksatria sejati di kemudian hari, Seorang
ksatria sejati tidak boleh hanya menuruti kata hatinya belaka,
kau harus pandai mempertimbangkan yang cermat, Harus
dapat membedakan antara budi dan penasaran.
Kalau dikemudian hari kau menjadi seorang pendekar
yang tinggi ilmumu, akan tetapi melakukan sembarang
pembunuhan lantaran menuruti rasa penasaranmu belaka
akan membuat sengsara manusia yang tidak berdosa,
Lihatlah, ayah dan ibumu adalah korban suatu dendam yang
masih sangat gelap. Betapa sengsaranya, kaupun ikut
mengalami sendiri.
Karena itu, hendaknya di kemudian hari kau hanya
menuntut dendam kepada musuh kita yang benar, Bagaimana
caramu bisa mengetahui musuh keluargamu yang
bersembunyi ini, hendaknya kau bersabar hati dan tabah,
selidiki dahulu sampai jelas!"

61
Thio Sin Houw tertegun karena rasa kagum. pikirnya
didalam hati:
"Akh, benarlah keterangan cici. Ayah tidak hanya gagah,
akan tetapi jujur pula, Dia sedang luka parah, Hatinya pasti
panas bagaikan api, walaupun demikian masih bisa bersabar
hati untuk membedakan musuh yang hanya ikut-ikutan
belaka."
Pertumbuhan jiwa Thio Sin Houw memang tak dapat
disamakan dengan anak-anak sebayanya, Dia mempunyai
cara berpikir sendiri, karena pengalaman hidupnya. Dia
mempunyai kata hati sendiri, karena penggodogan nasibnya,
ini semua merupakan sendi kekuatan baginya di kemudian
hari, Pada waktu itu, yang terasa didalam hatinya, adalah
suatu keyakinan bahwa ayahnya sama sekali bersih dari suatu
noda dan tidak berdosa. Dan mengalami nasib menjadi buruan
karena suatu fitnah yang masih sangat gelap.
Dalam pada itu Thio Kim San menghela napas dalamdalam,
begitu melihat putera bungsunya terbungkam
mulutnya. Lalu ia berkata lagi:
"Anakku, malam ini ayahmu baru sadar, Kalian telah
kubawa merantau dari satu tempat ke tempat lainnya, Ku kira
didalam dunia yang luas ini masih ada tempat untuk kita
meneduh, tak tahunya kita terus dikejar musuh tersembunyi.
Kalau tahu begini, semenjak dahulu lebih baik kalian kubawa
kemari saja, Hm... kukira aku bisa dan sanggup melindungi
rumah perguruan leluhurmu, tak tahunya... akhirnya aku harus
membawamu kemari juga, Alangkah bodohnya aku!"
Mendengar suara ayahnya, hati Sin Houw rusak bukan
main, Tak tahu dia, harus berbuat bagaimana, Tiba tiba ia
teringat sesuatu, lalu ia berteriak kalap:
"Mana ibu...?"

62
"Aku disini, anakku ..." terdengar jawaban lembut.
Kilat mengejab lagi, dan Sin Houw melihat ibunya datang
menghampiri dengan langkah tertatih-tatih. Terang sekali, dia
terluka pula, Kali ini sangat parah.
"lbu! ibu terluka?" jerit Sin Houw.
"Akh, hanya luka dikulit saja," sahut ibunya dengan suara
menghibur.
Kim San kemudian menimpali:
"lbumu hanya menderita luka ringan. Kau tak perlu
merisaukan, anakku, mari kita meneruskan perjalanan, Rumah
perguruan sucouwmu sudah berada didepan mata ..." ia
berhenti sebentar, kemudian berpaling kepada Sin Han:
"Apakah kau masih bisa berjalan?"
"Mengapa tidak?" sahut Sin Han dengan suara gagah.
Kim San tertawa perlahan, Katanya lagi:
"Kita berhasil mengundurkan musuh - akan tetapi aku
yakin, sebentar lagi mereka akan datang lagi dengan jumlah
yang berlipat, itulah sebabnya kita perlu cepat-cepat
berangkat, Lan-moay, bukankah kau hanya menderita luka
ringan?"
Lie Lan Hwa menyahut dengan suara sedih:
"Lukaku ini tak berarti. Mari kita berjalan terus!"
Mereka semua merupakan satu keluarga yang saling
menghibur dan membesarkan hati. Baik Lie Lan Hwa maupun
Thio Sin Han sebenarnya menderita luka parah, akan tetapi
dengan menguatkan diri mereka berusaha membesarkan hati

63
seluruh anggauta keluarganya. Dan malam gelap menolong
menyembunyikan ke adaan mereka masing-masing.
Jelas bahwa perjalanan mereka merupakan perjalanan
yang penuh penderitaan dan siksa. walaupun demikian,
mereka semua tiada yang mengeluh, setapak demi setapak,
mereka maju terus, dan awan pegunungan mulai menyelimuti
mereka, Setelah lewat larut malam, dua tikungan bukit telah
dilintasi, Hanya sekarang, sesuatu yang menakutkan hati
menghadang didepan mereka.
Tepat dipinggang bukit menghadanglah suatu lembah yang
gelap sekali. sebuah jurang bertebing curam nampak muncul
diantara kejapan kilat, penuh uap dan kabut hitam- Begitu
mereka mendekati tempat itu, lenyaplah anggauta tubuh
mereka sendiri dari pengIihatan.
Thio Kim San berhenti melepaskan pandang, dan Sin
Houw yang berdiri di sampingnya mengarahkan pandangnya
kepada jurang, Lapat-lapat ia mendengar suara gemuruh
seakan-akan suara napas raksasa sedang tidur mendengkur.
Tak dikehendaki sendiri, tengkuknya meremang.
Selagi mereka tertegun dengan pikiran masing-masing,
tiba-tiba hujan berhenti. Angin keras menyapu kabut itu, dan
lambat-laun ketebalan kabut kian menipis dan menipis, samarsamar
bukan sisir menjenguk di belakang tabir awan yang
guram.
"Mari kita beristirahat." ajak Kim San dengan suara dalam.
Mereka sudah berpengalaman tidur ditengah alam terbuka
dalam keadaan basah maupun kering. Maka begitu
mendengar ucapan sang ayah, masing-masing mencari
tempatnya sendiri, Dan mereka terus berdiam diri sampai
matahari menerangi udara.

64
Tak perlu diceritakan lagi, satu malam penuh mereka
diserang rasa dingin luar biasa, Masih untung, hujan berhenti
dengan mendadak, Sekiranya tidak demikian, pastilah
penderitaan mereka akan berlipat.
Oleh sinar matahari itu, penglihatan yang terbentang
didepan mereka bertambah jelas. Kabut yang menyelimuti
tebing jurang itu kini nampak bedanya dengan udara bersih,
dan dengan membungkam mulut mereka merenungi jurang
itu.
"Mari kita berangkat!" Kim San memutuskan setelah
sejenak tadi terdiam seperti berpikir.
"Ayah!" tiba-tiba Sin Han membuka mulut, "Semalam aku
telah melepaskan panah berapi, apa sebab salah seorang
paman guru kita belum muncul?"
Kim San menundukkan kepala. Menjawab:
"Semalam hujan badai. Siapa yang sudi membiarkan
dirinya berada di luar dalam keadaan hujan demikian? Mogamoga
salah seorang melihat cahaya panah itu, Dalam hal ini,
kita hanya bisa berdoa. Akh, marilah kita atasi semua
kesulitan ini dengan tenaga dan kemampuan kita sendiri.
Tuhan pasti memberkati.
Mereka menghampiri pinggiran dinding gunung yang tegak
tinggi. Dan yang dikatakan jalan menuju ke jembatan
penyeberangan itu sebenarnya lebih mirip suatu
pengempangan sawah, Tegasnya lebarnya selebar sebuah
pengempangan sawah, licin dan berlumut. sedangkan
diseberangnya, jurang curam yang dalamnya entah berapa
ribu kaki.
Panjang jalan sampai mencapai jembatan batu kurang
lebih duapuluh meter saja, akan tetapi menilik batu-batu dasar
yang berlumut, teranglah sudah bahwa sudah puluhan tahun

65
lamanya tak pernah terinjak kaki manusia.
Thio Sin Houw yang berjalan disebelah belakang,
melepaskan pandang kepada batu putih yang merupakan
jembatan penghubung itu. Tak dapat ia meyakinkan dirinya,
entah siapa yang membuat jembatan seperti itu. Entah
manusia, entah alam, Tetapi pada waktu itu khayalnya
dipenuhi oleh berbagai tokoh dewata, yang mungkin telah
membuat jembatan itu.
Panjang jembatan penghubung itu tak dapat tertembus
ketajaman mata, Yang jelas nampak hanya sepanjang sepuluh
meter, sisanya diselimuti kabut tebal, hitam pekat. Bagaimana
bentuk ujungnya atau berapa puluh meter jauh-nya, tiada
seorangpun yang bisa memberi keterangan selamanya belum
pernah seorangpun yang berhasil mencapai seberang.
"Anak-anak, mari! inilah satu-satunya jalan hidup kita,"
Thio Kim San berkata perlahan, ia segera mendahului jalan
berdinding yang hendak membawanya ke jembatan
penyeberang, Tatkala tangannya meraba dinding batu
mendadak ia terkejut.
"Apa artinya ini?" serunya kaget.
Dengan pandang tegang ia mengawasi dinding batu, Lan
Hwa dan ketiga anaknya ikut mendekati, dan mereka
menemukan dua baris huruf kecil-kecil, Setelah membaca,
mereka terkejut.
"Kim San. Golok itu tidak mudah kuperoleh, karena itu
pertahankan dengan jiwamu!"
"Apa artinya ini?" Thio Kim San mengulangi seruannya
dengan suara setengah membisik, sedangkan jari tangannya
masih meraba-raba huruf-huruf itu.

66
Lalu ia berkata seakan-akan kepada dirinya sendiri:
"Bukan! Bukan! Bukan suhu. Siapa yang menulis ini? Apa
maksudnya?"
"San-ko," tiba-tiba terdengar suara Lan Hwa membisik.
"ltulah karena aku ... apakah kau masih ragu?"
Baru saja Lie Lan Hwa menutup mulutnya, terdengarlah
suara nyaring beberapa orang. Mereka menoleh dan di atas
gundukan berdiri lah dua puluh orang lebih memegang senjata
masing-masing.
"Akh! Mereka bertiga lagi!" thio Kim San mengeluh, Mereka
membawa tenaga baru, Sampai kapankah kita bisa hidup
aman tenteram?"
Jawabannya kini makin terang.
San-ko," sahut Lan Hwa."Kita akan bisa hidup damai
kembali, manakala penulis tulisan itu sudah lenyap dari dunia.
Bukankah itu suatu fitnah?"
"Benar! Memang suatu fitnah!" kata Thio Kim San dengan
napas memburu - "Kini tahulah aku ... apa sebab mereka
menuduh aku menyimpan golok itu. Akh, benar-benar gila!"
Tak sempat lagi Thio Kim San berbicara berkepanjangan.
Beberapa orang datang meluruk ke bawah, Gerak-gerik
musuh baru ini, lebih mantap dan perkasa, Namun hati Thio
Kim San sama sekali tak gentar. Dengan pandang tajam ia
mengawasi mereka, mendadak di atas ketinggian ia melihat
seorang mengenakan jubah abu-abu. siapakah dia? tak dapat
ia mengenali.
Selagi ia berusaha untuk memperoleh penglihatan terang,
Sin Han telah melompat menerjang sambil berteriak:
"Manusia-manusia serigala, kalian ganas melebihi

67
binatang, Hayo maju!"
Thio Sin Houw yang masih merupakan seorang bocah, ikut
tergetar hatinya oleh rasa kesal dan marah. Dengan
menghunus pedang pendeknya, ia melompat maju, Kim San
terkejut.
"Sin Han, Sin Houw! Kembali!" ia berteriak.
Mendengar seruan ayahnya, Sin Han merandek, ia terkejut
tatkala ayahnya menyebut nama Sin Houw, Cepat ia berputar
kebelakang dan melihat Sin Houw berada di belakangnya
dengan langkah kalap, seperti burung alap-alap, ia
menyambar lengan adiknya, Katanya nyaring:
"Sin Houw, tahan!" dan terus di bawanya kembali kepada
ayahnya.
Tatkala itu beberapa orang sudah berada sepuluh meter
didepannya, Dengan senjata andalannya masing-masing,
mereka mengurung. Sedang yang lain, datang berturut-turut
bagaikan gugurnya bukit batu.
Thio Kim San menggeser tubuhnya, mendampingi
isterinya, ia menghunus pedangnya. wajahnya nampak tak
tenang. Setelah menoleh kepada Sin Han, ia berkata:
"Sin Han! Dan semua saja, dengarlah! Dengan susahpayah
ayah bundamu melindungi kalian sampai disini. Tadinya
aku berharap akan dapat bertemu dengan kakek-guru kalian,
sebaliknya aku justru menemukan suatu deret tulisan yang
membuat hatiku tak tenteram, Anak-anakku, kalian tidak boleh
mengadu jiwa, kalian harus tetap hidup untuk bisa
memecahkan teka-teki itu agar kelak kalian dapat
menyambung anak-keturunan keluarga kita. Bersama ibumu,
aku akan mempertahankan serbuan mereka, Kalian pergilah
cepat cepat menyeberangi jembatan itu!"

68
"Ayah! Mengapa ayah tidak mencoba mengajak mereka
bicara?" teriak Thio Sin Lan.
"Tak ada gunanya, Siu Lan. "Mereka semua ganas. Tujuan
mereka hanya ingin membunuh ayahmu sekeluarga, Nah,
pergilah, cepat!" sahut Thio Kim San.
Sebelum Thio Sin Han bertiga dapat melangkah,
terdengarlah seorang musuh berkata nyaring:
"Hai! jangan biarkan mereka membunuh diri, maju!"
Perkataan i tu ternyata merupakan suatu aba-aba. Belasan
orang segera bergerak mengepung, akan tetapi sudah tentu
Thio Kim San tidak tinggal diam, Keputusannya sudah kokoh,
ia bersedia mengorbankan nyawa dalam pertarungan ini.
Segera ia maju dan menghantamkan pedangnya.
Seperti semalam, Cie-san Liong-ong Kwee Sun, su Tay
Kim dan Bu Seng Kok bertiga segera mengepung, mereka
bertiga merupakan lawan yang tangguh dan gesit, walaupun
demikian, tak berani mereka semberono.
Sekali Cie-san Liong-ong Kwee Sun mendekat, senjatanya
segera terbang keudara, senjatanya Cie-san Liong-ong Kwee
Sun merupakan sebuah pian atau gada bergigi terbuat dari
besi utuh, Tetapi dengan sekali babat, Thio Kim San dapat
mementalkan. Maka dapat dibayangkan betapa dahsyat
tenaga Thio Kim San, tak memalukan ia menjadi murid Tiekong
tiangloo dari Go-bi pay!
*****
THIO SIN HAN mengeluh, sebenarnya enggan ia
meninggalkan ayah dan ibunya menghadapi ancaman bahaya
yang menentukan. Akan tetapi pesan ayahnya sangat penting
artinya, terus saja ia menarik lengan Sin Houw sambil berkata

69
kepada Siu Lan:
"Siu Lan, adikku, Tak dapat kita sia-siakan harapan ayah
dan ibu. Mari kita maju membuka jalan untuk Sin Houw...!"
"Baiklah, koko, Biarlah aku yang membuka jalan,
Mereka bertiga memasuki jalan batu yang berlumut dan
licin, Karena sangat sempitnya, tak dapat mereka berjalan
berendeng, Thio Sin Han segera menolak Sin Houw agar
berjalan di sebelah depan.
"Jangan! Biar aku yang di depan," kata Siu Lan. "Kalau aku
menemukan kesulitan , aku bisa segera mengisiki Sin Houw."
"Benar," sahut Sin Han dengan terharu, Kemudian kepada
Sin Houw ia berkata: "Kau sendiri, Sin Houw. Kau harus
memenuhi harapan kita semua, sejak detik ini, kau harus
menyayangi tubuh dan jiwamu. Kalau kau gagal, hancurlah
nama keluarga kita!"
Thio Sin Houw sendiri pada waktu itu merasa telah
kehilangan diri, Dengan hati dan kepala kosong, ia melangkah
maju, Setapak demi setapak, jari-jari kakinya dicengkeramkan
kepada dasar jalan itu, Kalau tidak demikian, ia akan
tergelincir ke dalam jurang yang curam.
Thio Sin Han yang jalan di sebelah belakang, rusak
hatinya, Dengan muka berkeringat ia menoleh. Bukan main
kagetnya, karena dilihatnya ayahnya ternyata telah rebah
melintang di atas tanah pegunungan yang lembab, sedang
ibunya berkelahi dengan pedang di tangan kanan dan belati
ditangan kirinya.
Thio Kim San sebenarnya sudah menderita luka parah,
Hanya saja ia pandai menyembunyikan di hadapan
keluarganya, untuk menanamkan rasa kepercayaan
terhadapnya. Tetapi begitu kena dikepung Cie-san Liong-ong

70
Kwee Sun bertiga, mendadak saja ia merasa kehilangan
sebagian tenaganya. ia berhasil melontarkan senjatanya Kwee
Sun dari genggaman, tetapi gerakannya sendiri sudah kurang
gesit.
Tatkala Bu Seng Kok menusukkan pedangnya, tak dapat ia
mengelak, Masih bisa ia menangkis, di luar dugaan Su Tay
Kim melayangkan kaki nya. Dak! Dan ia mundur terhuyung.
Tepat pada saat itu si kate Su Tay Kim membarengi, sepasang
goloknya menyambar dan Kim San roboh terkulai
menungkerup di tanah.
Su Tay Kim lompat dan mengulangi serangannya, Thio
Kim San yang masih memegang sebilah pisau belati, dengan
sisa tenaganya menikam, inilah suatu serangan balasan yang
sangat mengejutkan. Hati Su Tay Kim tercekat, cepat-cepat ia
mundur jumpalitan Dan selamatlah ta dari tikaman belati itu!
Melihat ayahnya roboh terguling, Thio Sin Han nyaris tak
dapat menguasai diri. Kakinya sudah bergerak, tatkala ia
melihat suatu pemandangan ngeri lagi, ibunya yang sedang
sibuk melayani kepungan musuh, kena tikam pedang Bu Seng
Kok dari belakang, Berba-reng dengan itu pula, Cie-san Liongong
Kwee Sun yang curang, sudah berhasil memungut
senjatanya kembali.
Dengan panas hati ia melesat dan menghantarkan
gadanya, Lie Lan Hwa sudah tak dapat bergerak banyak,
Meskipun ia melihat datangnya bahaya, namun ia tak sudi
berteriak, Dengan memejamkan kedua matanya, ia
menunggu, Bress! Dan ia roboh tersungkur.
Betapa keadaan hati Thio Sin Han pada saat itu, tak dapat
dilukiskan lagi, itulah suatu kejadian yang hebat sekali, ia
dipaksa menyaksikan gugur-nya kedua orang tuanya didepan
matanya, serentak ia mengertak gigi dan menggerakkan
kakinya, tetapi tiba-tiba ia menoleh kebelakang seperti ada
yang mengingatkan.

71
Thio Sin Houw ternyata sudah berada dibelakangnya
dengan pedang pendek ditangan kanan. Melihat adiknya
hendak menuruti kata hati untuk membuat suatu pembalasan,
tersadarlah Sin Han. ia kini merasa bertanggung jawab penuh
untuk mempertahankan jiwa adiknya, demi pesan ayahnya,
Segera ia menghadang dengan merentangkan tangannya .
"Sin Houw, kau mau kemana?" bentaknya.
Pada waktu itu terdengar Cie-san Liong-ong berteriak
nyaring:
"Hai, anak-anak! Kalian mau kemana? Hayo ...menyerah
atau tidak?"
Panas hati Thio Sin Han mendengar Cie-san Liong-ong
Kwee Sun yang bicara temberang, serentak ia menjawab
dengan sinar mata menyala:
"Kami anak-anak keturunan Thio Kim San tak dapat kalian
hina, Kalian boleh menguntungi kepala "kami atau menyiksa
kami, tetapi jangan harap kami akan menyerah begitu saja
tanpa perlawanan!"
Mendengar jawaban itu, banyak di antara para
pengepungnya menyatakan rasa kagum dan hormat.
Berkatalah salah seorang diantara mereka:
"Memang tepat kata orang, harimau tidak akan melahirkan
anak anjing .,."
Sebaliknya Cie-san Liong-ong Kwee Sun tak mau sudah,
Dengan perisai dan penggada ditangan kiri-kanannya, ia maju
mendekati sambil berkata:
"Benar-benarkah kalian tak sudi menyerah? Apakah kalian

72
memang segagah ayah kalian? Baiklah, aku akan mengujimu!"
Cie-san Liong-ong Kwee Sun tidak hanya licik dan ganas,
tapipun berangasan pula, setelah berkata demikian, gadanya
menyambar.
Thio Sin Han pandai membawa diri, Kalau melompat, ia
akan kena dikepung, Maka perlahan-lahan ia mundur lalu
balas dengan menabaskan pedangnya.
"Tranggg!" tubuh mereka berdua segera nampak
bergoyang-goyang.
Cie-san Liong-ong Kwee Sun sudah terlanjur mengumbar
mulut besar, Tak dapat ia menarik diri, Melihat lawannya
mundur, ia maju setapak demi setapak dengan melindungi diri
dengan perisai bajanya, Dasar lebih berpengalaman, setelah
terseret maju ia dapat memindahkan gelanggang. Setiap kali
pedang Thio Sin Han menghantam perisainya, ia memutar
sambil mundur sedikit, Gerakan mundur dan membawa musuh
ini ke tepi, benar-benar berhasil. Tahu-tahu Sin Han telah
berada di luar ujung jalan.
"Hm, bagus! sekarang mampus kau!" bentak Kwee Sun,
yang terus mencecar dengan perisai dan godanya.
Mendadak pada saat Itu, sebatang pedang berkelebat
disampingnya. Kwee Sun tahu maksud rekannya, dan ia
berteriak nyaring:
"Bagus, Bu-heng! Lebih baik anak itu kau ringkus saja."
Hati Sin Han tercekat, ia berteriak gugup:
"Sin Houw, awas!"
Siu Lan yang berada dibelakangnya Sin Houw, tak
memikirkan keselamatan jiwanya lagi, terus saja ia melompat

73
sambil menangkis, Tentu saja tak dapat ia mengadu tenaga
dengan Bu Seng Kok. Tubuh dan pedangnya terpental tinggi di
udara, dan Sin Houw tak terlindungi lagi.
Menyaksikan hal itu, Sin Han mengerahkan segenap
kepandaiannya. ia mendesak Kwee Sun hendak mendekati
Sin Houw, akan tetapi pada saat itu belasan orang datang
mengepungnya. Sin Han tak gentar sedikitpun, Masih ia
berkesempatan berpaling mencari Siu Lan. Di lihatnya adiknya
itu tengah bertempur melawan seorang yang mengenakan
jubah abu-abu. Orang itulah yang tadi membuat teka-teki ayah
dan ibunya.
Thio Siu Lan walaupun belum sempurna, namun ilmu
pedangnya tidak tercela. itulah disebabkan pengalamannya
selama menjadi kejaran musuh. Gerakan pedangnya gesit dan
berbahaya, setiap kali ada kesempatan ia menikam atau
menabas, Akan tetapi musuhnya si jubah abu-abu terlalu kuat
baginya, Dengan memperdengarkan suara tertawa serangan
Siu Lan kena dipunahkan dengan sangat mudah.
Dalam pada itu Thio Sin Han tak berkesempatan lagi
memainkan pedangnya, yang di ingatnya hanyalah Sin Houw
yang masih bercokol di atas jalan maut, Cepat ia berteriak:
"Sin Houw, jangan perdulikan kami berdua! Sebaliknya,
ingatlah keluarga ayah dan ibumu. Engkaulah satu-satunya
yang kami harapkan, Lekas lari, jangan kau sia-siakan
harapan ayah dan ibu!"
Siu Lan mendengar suara kakaknya, ia menoleh sambil
melayani orang yang berjubah abu-abu. Tatkala itu Sin Han
mencurahkan perhatiannya kembali kepada tiga orang
lawannya, Perlahan-lahan ia mundur kembali, maksudnya
hendak menutup jalan agar Sin Houw dapat meneruskan
perjalanannya tanpa terganggu musuh.
Sin Houw sendiri sangat sedih hatinya, ia melihat ayah dan

74
ibunya tak berkutik lagi dan berlumuran darah. Kemudian
kakak perempuannya yang kerepotan menghadapi musuh,
sedangkan Sin Han terus dikepung oleh musuh yang sangat
banyak jumlahnya, Meskipun belum cukup umur, akan tetapi
dalam hidupnya sudah seringkali ia melihat suatu pertempuran
Secara naluriah, segera ia mengetahui bahwa kedua
kakaknya tiada harapan bisa menang.
"Kalau begitu benar kata koko, tak boleh aku mati. Kalau
aku membuat ayah dan ibu kecewa, matipun rasanya belum
bisa menebus kesalahan ini. Baiklah, koko, Kau tutuplah
jalannya, aku akan berusaha lari dari sini," katanya di dalam
hati.
Tepat setelah mengambil keputusan demikian, mendadak
ia mendengar pekik teriakan kakaknya, Dengan hati sangat
terkejut ia menoleh, dan masih sempat ia menyaksikan
kakaknya Sin Han kena tikam dan roboh terjungkal ke dalam
jurang.
"Sin Houw, terusss!" teriak Sin Han, Dan itulah teriak suara
kakaknya yang terakhir, yang selalu akan dikenang dan
membangkitkan bulu romanya di kemudian hari, Suara
teriakan itu mengaung panjang dan makin tipis, kemudian
lenyap.
Hebat pemandangan itu. Dalam menghadapi maut, Thio
Sin Han masih ingat dengan kewajibannya untuk
memperingatkan adiknya agar menyelamatkan diri, Dan teriak
peringatan penghabisan itu sangat berpengaruh, sehingga Sin
Houw bagaikan lupa akan segalanya.
Tanpa merasa ia melompat pula sambil berteriak
memanggil:
"Koko Sin Hannn!"

75
Tepat pada saat itu, tiba-tiba suatu tenaga maha besar
menyambar dirinya. Dan tubuhnya terangkat naik lalu jatuh
bergulingan di tepi jurang, Tetapi begitu mukanya mencium
tanah, tiba tiba saja ia dapat berdiri tegak. Rasa kaget yang
berkecamuk di dalam diri Sin Houw bukan main hebatnya.
Beberapa saat lamanya belum dapat ia menemukan dirinya
kembali, namun secara naluriah ia menoleh mencari sesuatu.
Dan diantara kedua pipinya yang melepuh bengkak, ia
melihat seorang berbaju panjang memancarkan pandang
berapi kepada belasan lawan ayah bundanya - orang itu kirakira
berumur sebaya dengan ayahnya, kesannya agung dan
kelihatan berwibawa, Baju panjang yang dikenakannya
berwarna putih dan terbuat dari kain kasar.
Yang terkejut ternyata tidak hanya Sin Houw saja, Baik
Cie-san Liong-ong Kwee Sun bertiga maupun yang lain saling
pandang dengan wajah berobah.
Mereka tadi menumpahkan seluruh perhatian kepada Sin
Han yang roboh terjungkal ke dalam jurang dengan teriak
suara yang menyayat hati, Tahu-tahu orang itu muncul dengan
tiba-tiba. Kapan ia berada di dekat arena pertempuran, tiada
yang tahu.
Suatu hal yang membuat hati mereka bercekat adalah,
walaupun Sin Houw masih kanak-kanak, namun tubuhnya
cukup berat. Dengan melompat ke dalam jurang, pelontaran
tubuhnya mempunyai daya tekanan sendiri. Namun dengan
hanya mengebaskan tangannya, tubuh Sin Houw terangkat
naik dan dibawa ke tepi jurang, Jelaslah, bahwa orang itu
mempunyai ilmu sakti yang sukar diukur!
Secara serentak, Cie-san Liong-ong Kwee Sun bertiga
menatap wajah orang itu. Ternyata orang itu memiliki wajah
cemerlang, sepasang alisnya tebal. Tepi mulutnya nampak
beberapa jalur kerutan kulit, itulah suatu bentuk wajah yang
yang sudah melampaui masa remaja serta kenyang akan

76
berbagai penderitaan hidup.
Orang itu membungkam, sikapnya acuh tak acuh, Sama
sekali tak bergerak dan pikirannya seperti melayang pada
masa-masa lampau.
Cie-san Liong-ong Kwee Sun men-deham, ia bersikap hatihati.
Sebaliknya Bu Seng Kok yang berwatak berangasan,
lantas saja menyapa dengan suara kasar:
"Siapa kau? Kenapa begitu datang, lalu ikut campur urusan
kami?"
Ditegur demikian, orang itu tidak merasa tersinggung, ia
membungkuk hormat dan menjawab:
"Tempat ini termasuk wilayah kami, kalau tidak boleh
dikatakan demikian setidaknya berdekatan dengan rumah
perguruan kami. Karena itu, sudah selayaknya kami harus
menghaturkan selamat datang dan menyambut kedatangan
kalian, siapakah sebenarnya tuan-tuan ini? Kenapa tuan-tuan
melakukan suatu pembunuhan disini?"
"Siapa kau?" ulang Bu Seng Kok.
"Aku adalah Cia Sun Bie!" jawab orang itu.
Mendengar nama itu, baik Cie-san Liong-ong Kwee Sun
bertiga maupun Sin Houw berseru berbareng. Hanya saja
seruan Sin Houw bernada kaget bercampur girang, sebaliknya
Kwee Sun bertiga kaget berbareng gusar. serentak mereka
mundur selangkah dan memberi isyarat agar bersiaga.
Dengan pedang gemerlipan Bu Seng Kok melintangkan
senjatanya di depan perut, sebaliknya Su Tay Kim memasang
sepasang goloknya miring ketanah. Ke dua gerakan itu
merupakan inti ilmu saktinya masing-masing, nampaknya
seperti saling bertentangan - tetapi apa bila mulai digerakkan

77
tikamannya sangat ganas.
Dengan jurus itulah mereka bekerja sama mengepung Thio
Kim San dan Kwee Sun yang curang diam-diam sudah
memilih kedudukannya sendiri, ia melindungi dirinya dengan
perisai baja dan gada bergiginya disembunyikan di baliknya.
Tetapi, meskipun diancam demikian, sama sekali Cia Sun
Bie tidak gentar. Sikapnya masih saja acuh tak acuh,
perhatiannya malah kepada Sin Houw yang tadi berseru kaget
bercampur girang, ia nampak heran dan menoleh dengan
pandang penuh pertanyaan.
Waktu itu seluruh muka Sin Houw penuh lumpur, Meskipun
demikian rasa girangnya tak lenyap dari kesan wajahnya yang
tak keruan macamnya.
"Benarkah supeh adalah Cia Sun Bie?" tanya Sin Houw.
"Benar!" sahutnya tegas walaupun didalam hati masih
penuh pertanyaan.
"Bukankah supeh adalah kakak seperguruan ayahku?" Sin
Houw menegas, Sejak diberitahukan oleh ayahnya, ia
menghafal nama-nama semua paman gurunya, itulah
sebabnya begitu mendengar nama Cia Sun Bie, serentak ia
berseru girang.
"Eh, anak, Kau siapa?"
"Aku bernama Thio Sin Houw, Bukankah supeh datang
karena melihat sinar api semalam?"
"Benar, Coba, kau bicara yang jelas! siapakah ayahmu?"
kata Cia Sun Bie dengan suara gemetar.
"Ayah ... ayah ... bernama Thio Kim San," sahut Sin Houw

78
tersendat sendat.
"Thio Kim San? Kim San adik seperguruanku?" Sun Bie
menegas,
"Ayah ... ayah dikepung dan akhirnya dibunuh manusiamanusia
ganas itu!" teriak Sin Houw, "ibu juga dibunuh oleh
mereka!"
Cia Sun Bie mengalihkan pandangnya kearah dua mayat
yang bergelimpang tak jauh dari tempatnya, Dan melihat
mayat itu, wajahnya berobah pucat.
"Jadi ... jadi ... ayahmu semalam yang melepas panah
berapi?"
"Bukan ayah, tapi kakak, Diapunmati terjungkal ke dalam
jurang." sahut Sin Houw dengan suara parau.
"Ya, Tuhan ..." seru Cia Sun Bie, "Akulah yang semberono.
Panah api itu tidak pernah kulihat, aku hanya menerima
laporan, Akh, sutee!"
Setelah berseru demikian, dengan sekali melompat ia
melesat melewati mereka yang mengepung. Kemudian
menghampiri adik seperguruannya, Thio Kim San. Dan begitu
melihat mayat adik-seperguruannya yang rusak seperti di
cincang, Cia Sun Bie jatuh terkapar, tak sadarkan diri.
Panah api tanda bahaya itu, memang tak pernah
dilihatnya, Pada waktu itu ia berada didalam rumah, tiba-tiba
seorang datang berlari-lari menyerbu rumahnya dan
mengabarkan tentang panah api. Mula-mula dikiranya kelapan
kilat, akan tetapi warnanya biru - Cia Sun Bie merasa bimbang
ketika menerima laporan itu.
"Panah api bersinar biru memang merupakan isyarat tanda
bahaya," katanya, "Masing-masing anak murid membekal

79
beberapa batang, Akan tetapi selama belasan tahun belum
pernah salah seorang diantara kami melepaskan panah itu,
apakah kau tak salah lihat?"
Orang yang memberikan laporan itu adalah salah seorang
murid Bu-tong yang dapat dipercaya, maka setelah sesaat
merasa bimbang, akhirnya ia memutuskan hendak
menyelidiki. Dan bertemulah ia dengan rombongan Cie san
Liong-ong Kwee Sun, sayang sudah terlambat - Thio Kim San
dan isterinya telah binasa dikepung, Maka betapa hebat rasa
sesalnya kepada diri sendiri tak dapat dilukiskan lagi.
Meskipun dia seorang pendekar yang sudah banyak makan
garam, tak urung pingsan juga.
Tepat pada saat itu, sesosok bayangan melesat
menghantam Thio Sin Houw, dan bocah itu lantas saja roboh
tak berkutik, Tatkala menjenakkan mata ia melihat Cie-san
Liong-ong Kwee Sun bertiga datang merubung Cia Sun Bie
kata Su Tay Kim:
"Memberantas rumput harus sampai ke akarnya, Selagi ia
tidak berdaya, kita kutungi saja lengan dan kakinya, Akulah
yang akan bertanggung-jawab di kemudian hari."
"Benar." Bu Seng Kok menguatkan.
Pada waktu itu Thio Sin Houw seperti kehilangan tenaga.
Kepalanya pening, dan seluruh tubuhnya terasa nyeri . Entah
siapa tadi yang memukulnya ia tak tahu, ia pingsan dan
kemudian tersadar seorang diri saja, tiada yang
memperhatikan keadaannya. Mungkin sekali mereka mengira
bocah itu telah binasa.
Demikianlah, untuk yang kesekian kalinya ia menyaksikan
ancaman terhadap pihaknya. Karena terkejut, kecewa dan
marah, ia lupa kepada segala penderitaannya, Memang ia
sama sekali tidak berkutik, tetapi pikirannya masih jernih dan
sadar sepenuhnya, Tanpa berpikir panjang lagi, ia lalu

80
berteriak sekuat-kuatnya.
Apabila manusia belum sampai pada ajalnya, maka
terjadilah tiba-tiba suatu peristiwa diluar dugaan. Oleh jeritan
itu, Cia Sun Bie tersadar, Tapi tepat pada saat itu ujung
sebatang pedang terasa menempel dijidatnya, Kemudian
berkelebatlah sebatang golok menabas lengan kirinya.
Dalam keadaan demikian, meskipun bermaksud
menangkis sudah tidak sempat lagi. Apalagi ujung pedang Bu
Seng Kok telah mengancam jidatnya, Sedikit gerakan saja, ia
akan tewas tertembus. Dalam keadaan tak berdaya sama
sekali, jalan satu-satunya hanya menghimpun tenaga saktinya
yang segera disalurkan ke lengan kiri untuk melindungi.
"Brtt!" golok Su Tay Kim menabas lengan kiri Cia Sun Bie.
Tapi begitu mengenai sasaran, golok melejit ke samping
seperti membentur suatu benda keras. Ternyata ilmu Yangkong
(tenaga keras) dari Su Tay Kim telah dipunahkan oleh
Im-jiu (tenaga lembek) dari Cia Sun Bie. Namun demikian,
darah segar tetap merembes keluar dari lengan baju Cia Sun
Bie yang panjang,
Dan pada saat itulah, sekonyong-konyong tubuh Cia Sun
Bie yang rebah celentang diatas tanah, meluncur sejauh
beberapa tombak, Gerakan itu sangat aneh, tubuhnya seakanakan
seboah botol yang menggelinding karena kena sentuhan
seseorang dari luar arena pertempuran, Kecepatannya dapat
mengelakkan tikaman pedang Bu Seng Kok.
Sesungguhnya ujung pedang Bu Seng Kok berada satu
senti diatas jidat Cia Sun Bie, Dengan sedikit gerakan saja
akan dapat menggores hidung, mulut dan dada. Tindakan Cia
Sun Bie untuk membebaskan diri memerlukan suatu
keberanian yang sangat berbahaya, Sebab apabila ujung
pedang Bu Seng Kok tertekan lagi satu senti saja, maka dada,
perut dan muka Cia Sun Bie akan seperti dibedah!

81
Dalam gerakan membebaskan diri, Cia Sun Bie menekuk
lutut dengan pinggang tetap tegak lurus. Dan setelah lolos dari
ujung pedang, mendadak ia berdiri tegak bagaikan berpegas,
Kemudian dengan suatu gerakan senapas , terdengarlah
suara patahnya pedang Bu Seng Kok dan golok Su Tay Kim!
Sebenarnya kedua senjata musuh itu tak mungkin dapat
dipatahkan oleh Cia Sun Bie dalam satu gebrakan saja, Soal
nya tatkala tangan Cia Sun Bie bergerak, Bu Seng Kok dan Su
Tay Kim tidak berkesempatan lagi menarik senjatanya masingmasing.
Begitu sadar akan akibatnya, pedang dan golok
mereka kena dipatahkan dengan serentak.
Cia Sun Bie memang lebih tangguh daripada Thio Kim San
yang menjadi sutee-nya, Begttu berhasil mematahkan senjata
lawan, dengan gerakan melintang ia melontarkan patahan
senjata itu kepada majikannya masing-masing, Tentu saja Bu
Seng Kok dan Su Tay Kim kaget setengah mati, cepat-cepat
mereka lompat mundur kesamping mengibaskan lengan untuk
mengurangi daya lontaran.
Hebat pengaruh serangan balasan itu, belasan orang yang
berada di belakang Su Tay Kim dan Bu Seng Kok ikut
bergerak pula untuk menjaga diri, Dan kesempatan itu
dipergunakan Cia Sun Bie untuk memikirkan kekuatan musuh.
Pikirnya didalam hati:
"Thio siauwtee binasa di tangan mereka, padahal ia
dibantu oleh isteri dan anaknya, Aku sendiri mungkin pula
dapat merobohkan beberapa orang diantara mereka, tetapi
untuk merebut kemenangan rasanya tidak mudah. Baiklah aku
mengambil jalan lain untuk menolong bocah itu ..."
Setelah berpikir begitu, ia berkata nyaring kepada mereka:
"Kami murid-murid Bu-tong pay selamanya mengambil
jalan terang benderang. Kalian telah membunuh salah

82
seorang saudara seperguruan kami, kenapa lancang tangan,
Apakah kalian mengira kami akan berpeluk tangan saja?
Sayang sekali sampai pada detik ini, aku belum mengetahui
perkaranya dengan jelas - kalau kalian mempunyai keberanian
mari ikuti aku!"
Dengan langkah perlahan ia mendekati mayat Thio Kim
San dan isteri-nya, lalu memanggulnya diatas kedua belah
pundaknya. setelah itu ia berkata kepada Sin Houw:
"Anak, kau naiklah ke punggungku.
Tetapi Thio Sin Houw tak dapat bergerak sama sekali, ia
hanya bisa membuka mulutnya, Sebagai seorang pendekar
yang kenyang makan cparam, dengan sekali pandang -
tahulah Cia Sun Bie apa yang sedang diderita anak itu.
pikirnya didalam hati: Aku harus berusaha mengambil tindakan
cepat, sebelum keadaan mereka berubah.
Dengan sekali menggerakkan kakinya, tubuh Thio Sin
Houw dilontarkan ke udara sambil ia berseru:
"Pegang leherku!"
Pukulan yang diderita Sin Houw tidak melumpuhkan
seluruh anggauta badannya, ia masih bisa menggerakkan ke
dua tangannya, Mendengar seruan Cia Sun Bie dan
menyadari akan bahaya yang mengancam, kedua tangannya
lantas saja merangkul leher paman gurunya.
"Bagus, anak!" Cia Sun Bie berlega hati, Kemudian
berputar kepada rombongan musuh dan berkata garang:
"Tuan-tuan, aku akan pergi. Siapa yang bosan hidup, ikuti
aku. sebaliknya yang tak sudi mengikuti aku, akan kucari
sampai dapat ..."
Berbareng dengan ucapannya ia ia melesat bagaikan

83
bayangan, Tiba-tiba Thio Sin Houw setengah memekik: "Eh,
mana cici Siu Lan?" "Siapa dia?" tanya Cia Sun Bie. "Kakak
perempuanku," sahut Thio Sin Houw, ia memutar pandangnya,
akan tetapi pada waktu itu ia telah terbawa melintasi dua
dinding bukit.
*****
KETIKA MENGALAMI berbagai tumpuan peristiwa yang
mengejutkan, memedihkan dan menyakitkan hati, Thio Sin
Houw lupa segalanya, Akan tetapi setelah ia terlepas dari
marah bahaya, mendadak saja ingatannya sadar kembali.
Yang teringat untuk pertama kalinya adalah Thio Siu Lan,
karena dialah yang masih bergerak.
Dan mendengar perkataan Thio Sin Houw, maka Cia Sun
Bie berhenti dengan mendadak.
"Selain kau, tak ada lain orang yang kulihat." katanya
dengan suara cemas.
Tadi, ketika melihat jenazah adik seperguruannya - ia jatuh
pingsan karena merasa kecewa kepada keteledorannya
sendiri. Thio Sin Houw demikian pula, Karena itu keduaduanya
tidak dapat mengikuti lagi apa yang telah terjadi selagi
mereka dalam keadaan tidak sadar.
"Sebenarnya, bagaimana semuanya ini bisa terjadi?" Cia
Sun Bie menanya lagi.
Thio Sin Houw tak dapat menjawab dengan segera,
Perutnya mendadak terasa melilit dan pandang matanya
berkunang-kunang. Setelah berdiri tegak, ia segera memberi
keterangan apa yang telah dialami, kemudian latar belakang
sebab-sebab yang didengarnya dari mulut ayahnya. Katanya
dengan menahan air mata:

84
"Ayah berkata ... ayah berkata .. itulah mengenai golok
Sun-lui to ..."
Setelah berkata demikian, iapun jatuh pingsan untuk yang
kedua kalinya.
Cia Sun Bie menyangka bocah itu pingsan karena rasa
letih dan rasa sedih, maka ia segera melepaskan ikat
pinggangnya dan mengikat bocah itu di dadanya. Kembali ia
siaga hendak lari secepat-cepatnya.
"Akh! Bagaimana mungkin malapetaka ini bisa menimpa
Thio Kim San?" katanya didalam hati.
Mendadak saja ia mendongak dan berteriak panjang.
Begitu keras dan hebat tenaganya, sehingga bumi seakanakan
tergetar dan daun-daun kering rontok berguguran, Lama
dan lama sekali , baru ia berhenti berteriak, lalu berkata.
"Baiklah, aku akan membawanya kepada suhu, Entah
bagaimana keputusan suhu, Tapi aku sendiri akan turun
gunung . Ngo-tee, kau tenangkan arwahmu, dendammu pasti
terbalas!."
Setelah berkata demikian, segera ia lari sekencangkencangnya
bagaikan anak panah lepas dari busurnya.
Dalam pada itu Thio Sin Houw belum sadar juga dari
pingsannya, tatkala menjenakkan mata, ia sudah berada di
sebuah ruangan sebuah rumah besar. ia mendengar suatu
kesibukan tak keruan, bentakan-bentakan yang diseling
dengan suara membujuk.
Oleh suara itu, Thio Sin Houw jadi tersadar benar-benar
dari pingsannya. ia tersentak bangun, apa yang di lihat oleh
matanya untuk yang pertama kalinya adalah jenazah ayah dan
ibunya, tak mengherankan, hati bocah itu tergetar lagi. Terus
saja ia berteriak menyayatkan hati:

85
"lbu! Ibu! Ayah! Ayah ...!" terus ia menubruk dan merangkul
jenazah ayah dan ibunya.
Waktu tiba di rumah perguruan, Cia Sun Bie segera
membunyikan lonceng tanda bahaya, Kebetulan sekali hari itu
menjelang ulang tahun Tie kong tiangloo yang ke sembilan
puluh, Semua murid-murid hadir dalam rumah perguruan
Giok-hie kiong. Ketika mendengar bunyi suara lonceng tanda
bahaya, mereka segera menemui Cia Sun Bie.
Betapa terkejut dan gusar hati mereka, tak dapat dikatakan
lagi begitu mereka melihat jenazah saudara seperguruan
mereka, Thio Kim San dan isterinya. Selagi mereka sibuk
memperoleh keterangan dari mulut Cia Sun Bie, maka tibatiba
datang guru mereka - Tie-kong tiangloo yang sebenarnya
sudah jarang sekali mau mencampuri segala urusan duniawi.
Pada waktu itu nama Tie-kong tiangloo disegani orang
seumpama menggetarkan bumi. Perawakannya sedang, agak
tipis dan lembut, wajahnya bercahaya terang, bersemu merah.
Suatu tanda bahwa keadaan tubuhnya sehat dan kuat,
Rambut, kumis dan jenggotnya memutih perak. Pandangnya
lemah lembut, penuh kemanusiaan.
Seperti keterangan Thio Kim San kepada isteri dan anakanaknya,
Tie-kong tiangloo jarang sekali muncul di rumah
perguruan, ia hadir satu tahun satu kali, yakni tepat pada hari
ulang tahunnya. Pada hari itu ia sengaja hadir untuk
menyambut ucapan selamat dari murid-muridnya. Sama sekali
tak diketahui bahwa muridnya yang kelima Thio Kim San
mengalami peristiwa kebinasaan yang sangat menyedihkan.
Dengan langkah penuh pertanyaan ia menghampiri. Begitu
melihat wajah muridnya yang kelima itu, tergetarlah hatinya, ia
adalah seorang pertapa yang telah berusaha melepaskan diri
dari ikatan keduniawian walaupun demikian, hubungan antara
murid dan guru sudah meresap dalam bagian kehidupannya

86
sendiri. Tak dikehendaki sendiri, gemetarlah seluruh tubuhnya,
Namun ia bisa membawa diri, dengan tenang ia membungkuk
kemudian meraih, Setelah mengetahui bahwa muridnya yang
kelima itu sudah tak bernapas lagi, mulailah ia memeriksa
lukanya.
"Apakah ini isterinya?" tanyanya perlahan.
"Benar." sahut Cia Sun Bie, murid yang pertama.
Tie-kong tiangloo lalu berpaling kepada Thio Sin Houw,
dan bertanya:
"Dan bocah itu?"
"Dialah putera satu-satunya yang masih hidup."
Tie-kong tiangloo berhenti sejenak, berkata dengan suara
kian perlahan.
"Bun Kiat, kau tolong lah anak itu, ia pasti ingin menangis."
Semua orang mengira, bocah itu yang kembali pingsan
adalah karena pengaruh luapan tangis dan rasa dukanya.
Maka cepat-cepat Tan Bun Kian, murid Tie-kong tiangloo
yang ke-empat meraihnya dan memijit-mijitnya, Urat dadanya
diurut perlahan-lahan, lalu ia berkata:
"Anak, kau menangislah sekarang, Menangislah ..."
Akan tetapi Thio Sin Houw tetap tak bergerak,
Menyaksikan hal itu, Cia Sun Bie dan sekalian saudara
saudara seperguruannya terkejut. seperti berjanji mereka
berpaling kepada gurunya minta pertimbangan.
Semua murid Tie-kong tiangloo berjumlah lima orang,
Murid tertua Cia Sun Bie, didalam rumah perguruan ia

87
bertindak mewakili gurunya, sifatnya tenang dan berwibawa,
jarang ia berbicara berkepanjangan, Akan tetapi tiap
perkataannya, merupakan sikapnya yang bulat.
MURID kedua Lim Tiauw Kie, hari itu ia tidak hadir karena
sudah beberapa tahun lamanya menghilang tanpa
meninggalkan jejak dan tak pernah memberikan berita kepada
rumah perguruannya maupun kepada sanak keluarganya, ia
menghilang secara misterius, tanpa diketahui apakah masih
hidup atau entah telah binasa.
Murid ketiga Koan Siok Hu, sudah berkeluarga sehingga
tidak lagi berdiam di rumah perguruan. Akan tetapi setiap
tahun menjelang hari jadi gurunya, ia pasti datang
menyambangi dan menyampaikan ucapan selamat panjang
umur kepada gurunya, sekalian berkumpul untuk beberapa
hari bersama saudara saudara seperguruannya.
Murid ke-empat Tan Bun Kian, perawakannya langsing dan
gesit. Matanya tajam bulat, karena itu kesan wajahnya kasar,
ia pandai berdebat pula, itulah sebabnya seringkali ia mewakili
gurunya dalam pertemuan perdebatan atau diwaktu
menghadapi para tamu bermulut jahil.
Murid kelima adalah Thio Kim San - yang hari itu tiba
dalam keadaan telah menjadi mayat.
Sementara itu, sambil menghela napas Tie-kong tiangloo
berkata:
"Anak itu keras wataknya, coba bawalah kemari."
Dimulutnya Tie-kong tiangloo memberi perintah agar Thio
Sin Houw dibawanya mendekat, akan tetapi ia sendiri lantas
berdiri untuk menghampiri sebelum bocah itu diangkat oleh
Cia Sun Bie.
Tie-kong Tiangloo segera mengulurkan tangannya ke

88
punggung Sin Houw - pusat urat syarafnya, Segera ia
mengerahkan tenaga dalamnya untuk menyadarkan.
Lweekang atau ilmu tenaga dalam Tie-kong Tiangloo tak
dapat diukur betapa tingginya, murid-muridnya saja sudah bisa
mengagumkan para pendekar kelas utama, seperti Thio Kim
San misalnya, untuk banyak tahun lamanya ia menjelajahi
dikalangan Rim-ba persilatan sehingga memperoleh nama
cemerlang.
Begitu juga Cia Sun Bie yang berhasil menolong Thio Sin
Houw dari ancaman maut, itulah suatu bukti betapa tinggi ilmu
kepandaian mereka berkat dasar tenaga dalam yang diberikan
gurunya, Maka luka tak perduli betapa beratpun, asal kena
tersalur tenaga dalam Tie-kong Tiangloo, pasti akan sembuh
sebagian, dan yang pingsan akan segera siuman kembali.
Akan tetapi sama sekali tak terduga, setelah lweekang Tiekong
Tiangloo menyusup ke dalam urat syaraf, wajah Thio Sin
Houw mendadak berubah warna, Kini tidak hanya pucat saja,
tapipun menjadi kebiru-biruan atau ungu gelap, Bocah itu terus
menggigil - seluruh tubuhnya terasa dingin luar biasa.
Tie-kong Tiangloo mengerutkan dahinya. ia meraba jidat
Thio Sin Houw.
Mendadak tangannya terasa dingin seperti kena sentuh
sebongkah batu es.
Dalam terkejutnya Tie-kong Tianglo dengan cepat merabaraba
punggung sibocah, tetapi ditengah-tengah punggung
terdapat sebagian daging yang panas seakan-akan terbakar.
Anehnya disekitar rasa panas itu, diselimuti hawa dingin luar
biasa sampai meresapi tulang. Kalau bukan Tie-kong Tiangloo
yang telah memiliki ilmu sakti tak dapat diukur lagi betapa
tingginya, pastilah akan ikut menggigil kedinginan begitu kena
sentuh hawa yang bertentangan itu,
"Sun Bie, Waktu kau bertemu dengan bocah ini, dia dalam

89
keadaan ba-gaimana?" tanya Tie-kong Tiangloo.
Cia Sun Bie sejenak terdiam dan merasa bingung, sulit
rasanya untuk ia memberikan jawaban.
"Ketika mula-mula murid memasuki arena pertempuran,
bocah itu dalam keadaan sehat, walaupun nampak ia seperti
kehabisan tenaga, Kemudian murid menjadi pingsan, setelah
melihat jenazah sutee Thio Kim San. Begitu siuman lagi, murid
itu nampak sedang berteriak ketakutan." akhirnya Sun Bie
memberikan jawaban.
"Apakah kau yakin, bocah itu bebas dari suatu siksa ketika
kau dalam keadaan tak sadar?" Tie-kong tiangloo minta
keterangan dengan sabar.
Cia Sun Bie nampak ragu-ragu.
Kemudian teringatlah dia bahwa muka Thio Sin Houw
matang-biru, seperti bekas kena tamparan. seketika itu juga ia
mengerahkan ingatannya kembali kepada daerah
pertempuran - lantas ia berkata setengah berseru:
"Benar, suhu! Muka bocah itu matang-biru, walaupun
demikian, mungkinkah ia kena aniaya orang-orang yang
menamakan dirinya pendekar? Murid rasa ... akh ... Suhu,
waktu murid memasuki arena pertempuran, memang murid
melihat seorang yang mengenakan pakaian jubah abu-abu
sedang bertempur melawan seorang gadis. Menurut bocah itu,
dialah kakaknya, Tapi benarkah dia sempat menganiaya
bocah ini?"
Hening, Tie-kong tiangloo diam termenung, semua muridmuridnya
ikut terdiam tak bersuara, Tie-kong tiangloo
kemudian merobek baju Sin Houw untuk memeriksa tubuhnya
yang berkulit halus dan putih. Dipunggung terdapat tapak dari
lima jari tangan yang nampak mengeluarkan hawa panas

90
sekali. Dilain pihak, disekitarnya semuanya berhawa dingin.
Pantaslah Sin Houw pingsan seperti mayat.
Wajah muka Tie-kong tianglo segera berubah muram,
selagi diam-diam ia merasa sangat terkejut. Kemudian ia
bicara seperti pada dirinya sendiri.
"Aku tidak menyangka setelah tigapuluh tahun lamanya,
dengan matinya Pek Kwie Tauwto - maka lenyaplah sudah
ilmu Hian-beng Sin-ciang yang lihay luar biasa, Siapa sangka
sebenarnya masih ada orang yang memiliki ilmu kepandaian
itu ..."
Cia Sun Bie yang ikut mendengar perkataan gurunya,
menjadi ikut terkejut sekali.
"Jadi bocah ini terluka karena terkena pukulan Hian-beng
Sin-ciang?" tanyanya, ia berusia paling tinggi diantara muridmuridnya
Tie-kong tiangloo, dan mengetahui perihal ilmu
pukulan tangan kosong itu - Tangan Malaikat Air!
"Benar," sahut sang guru, "Warna ungu dengan disertai
tapak jari merupakan tanda khas dari ilmu pukulan Hian-beng
Sin-ciang yang mudah dikenali."
"Bagaimana cara mengobatinya, suhu? Kami bersedia
melakukan," Tan Bun Kian ikut bicara dan ikut merasa cemas
hatinya.
Tetapi Tie-kong tiangloo tidak memberikan jawaban, ia
menghela napas sedih, dan secara tiba-tiba saja air matanya
mengalir keluar. sambil mendukung tubuh Sin Houw, ia
menghampiri jenazah Thio Kim San.
"Kim San, muridku. Belum lagi jelas sebab-sebab
kematianmu kini gurumu menghadapi masalah baru lagi. Kau
telah mengangkat aku sebagai guru tetapi ternyata aku tak
pandai menjaga keselamatan jiwa anakmu. Bukankah bocah

91
ini anakmu satu-satunya yang masih hidup? Oh , Kim San!
Tiada gunanya aku hidup sampai setua ini, nama
perguruanmu termashur diseluruh persada bumi, Akan tetapi,
ternyata orang-orang tak menghargai rumdi perguruanmu
dengan sepenuh hati. Ternyata kau binasa berselimut nama
rumah perguruanmu. Bukankah mereka yang membunuhmu
tahu juga, bahwa kau adalah salah seorang muridku? Akh,
Kim San, perlu apa aku hidup lebih lama lagi...?"
Segenap murid-muridnya menjadi sangat terkejut ketika
mendengar ucapan guru mereka, Selama berguru padanya,
belum pernah mereka mendengar kata-kata Tie-kong tiangloo
yang menyatakan suatu rasa kecewa, marah, dendam, benci,
penasaran dan berduka.
Tapi kali ini dengan satu napas, Tie-kong tiangloo
merangkum seluruh perasaan demikian. inilah suatu tanda
bahwa guru mereka dalam keadaan putus asa dan sedih tak
terhingga.
"Suhu, benarkah anak ini tidak dapat ditolong lagi?" tanya
Koan Siok Hu penasaran.
Tie-kong tiangloo merangkul terus tubuh Sin Houw, ia
berjalan tak menentu di dalam ruangan itu.
"Kecuali... kecuali guruku le Giam taysu hidup lagi dan
mengajarkan aku seluruh isi kitab Kiu-yang cinkeng..."
Semua muridnya kian menjadi terkejut, semuanya berdiam
sehingga kembali suasana di dalam ruangan itu menjadi
hening.
Tiba-tiba terdengar teriak suara Sin Houw:
"Ayah! Ayah! Kau tidak boleh mati ! Kau tidak boleh mati!
Kasihanilah ibu ... kasihanilah ibu! Addduuuuuuh, sakit ...!"

92
Begitu mengerang, Thio Sin Houw segera merangkul Tiekong
Tiangloo sekencang-kencang, kemudian menyusupkan
kepalanya ke dalam rangkulan guru besar itu.
Tergoncang hati Tie-kong tiang-loo yang dirangkul dan
mendengar teriakan Sin Houw, ia jadi merasa iba sekali.
Dengan memusatkan seluruh semangatnya ia berkata:
"Marilah kita sama-sama berusaha dengan sepenuh
tenaga untuk merebut hidup bocah ini. Berapa lama dia bisa
hidup, terserahlah kepada Yang Maha Kuasa." Lalu ia
menoleh kepada jenazah Kim San. Dengan air mata mengalir
ia berkata setengah isak: "Oh, muridku Kim San. Malang
benar nasibmu."
Dengan langkah kaki lunglai Tie-kong tiangloo kemudian
membawa Sin Houw ke dalam kamarnya sendiri, dimana
segera ia memijat berulang-ulang delapan belas macam urat
nadi untuk mengurangi kepekaan.
Setelah kena pijatan itu, Sin Houw tidak menggigil lagi,
Tetapi, warna ungu yang nampak tersembul pada wajahnya
kian menjadi gelap. Tie-kong tiangloo tahu, apabila warna
ungu gelap itu berubah menjadi hitam maka bocah itu tak
dapat ditolong lagi.
Kesadaran itu membuat ia segera bertindak. Baju Sin
Houw ditanggalkan, kemudian iapun menanggalkan jubahnya
sendiri. Dan dengan mengadu dada, ia mendekap punggung
sibocah.
Dilain pihak, Cia Sun Bie bertiga dengan Koan Siok Hu dan
Tan Bun Kiat dengan dibantu oleh nurid-murid Boe~tong
lainnya sibuk mengurus penguburan jenazah Thio Kim San
dan isterinya, setelah selesai ketiga murid utama itu ikut serta
memasuki kamar Tie-kong tiangloo, dan meneka segera
mengetahui apa yang sedang dilakukan guru mereka untuk

93
menolong Sin Houv, Guru mereka tengah mengerahkan
tenaga dalamnya untuk menyedot keluar hawa dingin dari
tubuh Sin Houw, Seumur hidupnya Tie-kong tiang-loo tidak
menikah sehingga ia tetap merupakan seorang perjaka asli,
dan berhasil meyakinkan ilmu tenaga dalam "Soen-yang Boekek
kang" yang istimewa. Hanya ilmu itu luar biasa sekali,
kalau salah penggunaannya dapat membahayakan diri sendiri.
Cia Sun Bie bertiga berdiri tegak disamping gurunya. Hati
mereka tegang luar biasa, karena mereka menyadari
pengobatan dengan cara demikian besar sekali bahayanya.
Kalau kurang tepat, tidak hanya Sin Houw gagal
memperoleh kesehatannya kembali, tetapi yang berusaha
menyembuhkan juga akan tertimpa malapetaka.
Didalam hati terpikir oleh mereka tenaga sakti gurunya
yang murni, memang tiada tandingannya. Akan tetapi guru itu
telah berusia lanjut betapapun juga tenaga jasmaninya sudah
mundur. Jangan-jangan malah terjadi hal-hal yang mengerikan
...
Tak mengherankan bahwa hati mereka kian menjadi
cemas. setengah jam mereka berdiri tegak bagaikan patung,
akhirnya Tie-kong tiangloo nampak bergerak, wajahnya
samar-samar bersemu hijau dan sepuluh jari-jarinya
bergemetar, Setelah membuka mata, ia berkata dengan suara
perlahan:
"Siok Hu, kau majulah menggantikan aku, Apabila merasa
tak tahan, Cepat-cepat kau mundur dan biar Bun Kiat
menggantikan. jangan sekali-kali kau memaksa diri."
Koan Siok Hu segera membuka baju dan memeluk Sin
Houw ke dalam pang-kuannya, Begitu tubuhnya bersentuhan
ia menjadi terkejut, bukan main dinginnya. ia merasa diri
seakan akan sedang memeluk balokan es, maka cepat cepat
ia berseru :

94
"Tan sutee, perintahkan beberapa orang membuat unggun
api! Makin garang, makin baik!"
Sebagai murid Tie-kong tiangloo yang bermukim diatas
gunung Boe- tong san yang berhawa dingin, sudah tentu Koan
Siok Hu seringkali mendaki gunung untuk melatih diri dalam
hawa yang sangat dingin, Akan tetapi, begitu memeluk tubuh
Sin Houw, Koan Siok Hu menjadi sangat terkejut sampai ia
berteriak. Dengan demikian dapat dibayangkan, betapa dingin
hawa yang menguap dari dalam tubuh bocah itu.
Tidak lama kemudian api unggun segera dinyalakan di
dalam kamar itu, sekalipun demikian, Koan Siok Hu masih
merasa kedinginan. Kadangkala ia menggigil dengan gigi
berceratukan - sehingga ia menyadari akan ancaman
malapetaka, dan cepat-cepat ia menghimpun tenaga
murninya. Namun setiap kali akan terhimpun, mendadak
menjadi buyar lagi.
Kini barulah ia mengenal betapa hebat ilmu sakti Hianbeng
Sin-ciang yang ditakuti orang sejak puluhan tahun yang
lalu.
"Suhu sudah berusia lanjut, tetapi masih sanggup bertahan
setengah jam. sebaliknya aku baru saja memeluk tubuh bocah
ini, sudah menggigil tak keruan. Akh, tenaga murni suhu
benar-benar sudah mencapai puncak kesempurnaan ..,"
katanya di dalam hati - sehingga ia menjadi malu sendirinya
karena tadi ia menyangsikan tenaga gurunya yang sudah
berusia lanjut.
Dalam pada itu Tie-kong tianglo sudah terbenam dalam
semadinya, ia tidak menghiraukan segalanya, seumpama
tiada melihat dan tiada mendengar sesuatu. perhatiannya
dipusatkan untuk menghapus hawa berbisa yang tersedot oleh
tenaga murninya ke dalam jasmaninya. Apabila hawa berbisa

95
terkuras habis dari jasmaninya.
Sementara itu Tan Bun Kiat sudah menggantikan
kedudukan Koan Siok Hu, lalu tempatnya digantikan lagi oleh
Cia Sun Bie, Koan Siok Hu berdua Tan Bun Kiat duduk
bersemadi di dekat tempat api unggun.
Cia Sun Bie yang mencontoh cara penyembuhan terhadap
Thio Sin Houw, telah memeluk dan menempatkan bocah itu di
atas pangkuannya, Kemudian tubuhnya yang bidang
ditempelkan dan segera terjadilah suatu perjuangan mengadu
ketahanan tenaga sakti.
Memang! Secara tidak langsung mereka semua seperti
sedang diuji himpunan tenaga saktinya, Siapa yang dangkal
segera tak tahan kena serangan hawa berbisa Hian-beng Sinkang,
yang dingin luar biasa, Ternyata ilmu tenaga dalam Cia
Sun Bie berada sedikit disebelah atas dari Koan Siok Hu dan
Tan Bun Kiat.
"Serahkan kepada!" tiba-tiba perintah Tie-kong tiangloo
yang terkejut ketika menyaksikan keadaan Cia Sun Bie yang
sedang menggigil , berusaha mempertahankan diri, "Duduklah
kau dan pusatkan pernapasanmu, jangan sekali-kali pikiranmu
terpecah!"
Demikian dengan cara bergiliran mereka berempat
berjuang mengusir hawa beracun yang mengeram di dalam
tubuh Thio Sin Houv, selama tiga hari dan tiga malam. Cara
mereka melakukannya seperti sedang berjuang menghadapi
ancaman maut yang menyerang rumah perguruan mereka.
Sama sekali mereka tak kenal lelah. Dan oleh ketekunan
mereka, hawa beracun yang mengeram dalam tubuh Thio Sin
Houw lambat laun makin tipis dan tipis. Oleh karena itu daya
tahan mereka kini bisa mencapai waktu dua jam, itulah
sebabnya pada hari ke empat mereka bisa tidur secara
bergilir.

96
Dan seminggu kemudian, mereka sudah bisa membagi
waktu, masing-masing sudah bisa menanggulangi sisa hawa
dingin dengan sendirian saja. Dengan demikian, yang lain
dapat beristirahat untuk mengembalikan tenaga sakti mereka
yang telah terhambur keluar.
Pada hari kedua puluh, secara berangsur-angsur
kesehatan Thio Sin Houw memperoleh kemajuan, Suhu dingin
yang menyerang badannya makin berkurang. Pikiran bocah itu
nampak menjadi jernih pula, ia milai makan sedikit demi
sedikit, sehingga hal itu menggembirakan semua penghuni
rumah perguruan Go-bie pay, Mereka mengira bahwa
beberapa hari lagi kesehatan Sin Houw akan pulih kembali
seperti sediakala.
Mendadak pada hari ke empat puluh ketika tiba pada
giliran Cia Sun Bie, terjadilah suatu hal yang mengejutkan Cia
Sun Bie menemukan suatu bintik dingin yang membeku di
dalam pusar Thio Sin Houw, ia berusaha mendorong keluar
dan membuyarkan, akan tetapi betapapun ia mengerahkan
tenaganya hawa dingin yang membeku itu tidak dapat
didesaknya, Bahkan bocah itu kembali menjadi pucat gelap,
Cia Sun Bie mengira, bahwa kegagalan itu disebabkan
lantaran tenaga saktinya kurang kuat. Maka ia melaporkan
kepada gurunya.
Ketika Tie-kong tiangloo mencoba mendorong hawa dingin
yang beku itu, iapun gagal juga, Lalu dicobanya untuk
menghancurkan, tetapi usaha itupun gagal. Koan Siok Hu lalu
menggantikan, tetapi murid inipun tak berdaya. Dan selama
lima malam, mereka semua gagal melenyapkan hawa dingin
yang mengeram itu.
Segera mereka berunding dan bertukar pikiran. Akhirnya
diputuskan untuk mengambil jalan lain dengan memberikan
ramuan obat penghancur serta pelawan hawa dingin, namun
percobaan itupun tak berhasil.

97
"Anakku, bagaimana perasaanmu ?" pada suatu hari Cia
Sun Bie menegas.
Pada waktu itu Thio Sin Houw sudah bisa berbicara.
Selama itu, sedikit demi sedikit ia bisa menceritakan kembali
pengalaman orang tuanya semenjak dikejar-kejar musuh yang
pada mulanya tidak dikenal dan tidak diketahui entah apa
sebabnya mereka memusuhi dan bermaksud membunuh Thio
Kim San sekeluarga, Akhirnya secara samar-samar ia sudah
bisa menebak-nebak latar belakang peristiwa yang
menghantui keluarganya.
Demikian ketika mendengar pertanyaan Cia Sun Bie yang
dikeluarkannya dari lubuk hati yang tulus ihlas, ia memberikan
keterangan:
"Kaki dan tanganku hangat tetapi pada ubun-ubunan, dada
dan perut rasanya makin lama makin menjadi dingin
Tie-kong tiangloo yang ikut hadir pada waktu itu, diamdiam
tercekat hatinya, Cepat-cepat ia menghibur:
"Cucuku, lukamu kini sudah sembuh. Aku tak perlu lagi
mendukungmu setiap hari , kau boleh rebahan diatas tempat
tidurku."
Thio Sin Houw manggut. Perlahan lahan ia turun dari
tempat tidur dan merangkak-rangkak mendekati Tie-kong
tiangloo dan sekalian paman gurunya, ia berlutut dan
menyembah sampai mencium lantai, lalu ia berkata dengan
suara halus:
"Sucouw dan sekalian supeh.... Sin Houw tidak akan
melupakan budi sucouw dan sekalian supeh yang telah
menolong jiwaku ini. Kini teecu mohon sucouw dan supeh,
agar sudi mengajarkan ilmu yang tinggi dan sakti, supaya

98
dikemudian hari teecu dapat menuntut balas sakit hati ayahibu
dan kedua saudara..."
Mendengar perkataan Thio Sin Houw, mereka semua
terharu bukan main - Bocah seumur Sin Houw, mengapa
sudah dapat bicara seperti itu? Mereka agaknya lupa bahwa
Thio Sin Houw di godok dan digembleng oleh pengalaman
yang pahit dan dahsyat, sehingga mematangkan cara berpikir
dan pernyataan perasaannya.
Dengan berdiam diri tanpa memberikan jawaban, Tie-kong
tiangloo meninggalkan kamar serta ketiga muridnya mengikuti
dari belakang, Di pen-dopo Tie-kong tiangloo menghela napas
dan berkata:
"Racun Hian-beng sin-ciang sudah meresap kedalam
ubun-ubun, dada dan perutnya, Artinya tiada sesuatu tenaga
lagi yang dapat mengusir dari luar - tampaknya jerih-payah
kita selama empat puluh hari empat puluh malam itu sia-sia
belaka, Hanya saja yang tidak kumengerti, apa sebab terjadi
perubahan ini?"
"Suhu," kata Cia Sun Bie setelah berpikir sejenak, "Kami
mendengar kabar bahwa mertuanya sutee Thio Han Sin
adalah seorang lo-cianpwee kenamaan.
Apakah tidak mungkin Sin Houw menerima warisan
himpunan tenaga sakti kakeknya lewat ibunya? Janganjangan...
dalan usahanya mempertahankan diri dari rasa sakit,
Sin Houw melawan serangan hawa berbisa itu dengan
himpunan tenaga sakti warisan kakeknya. Karena kurang
pengalaman, mungkin ia salah mengetrapannya, Dia bukan
mengusir tetapi malahan menyedot sehingga kini melengket
dengan himpunan tenaga saktinya sampai meresap ke dalam
urat syarafnya."
Tie-kong tiangloo mendengarkan alasan itu, namun ia
menggelengkan kepalanya, sahutnya:

99
"Andaikata empat atau lima tahun lebih tua usianya,
kemungkinan itu memang ada, Tetapi masakan anak sekecil
dia mempunyai tenaga yang berarti untuk mengadakan
perlawanan?"
"Suhu keliru, " bantah Cia Sun Bie. "Tenaga dalam Sin
Houw tidak lemah." ia segera menceritakan bagaimana Sin
Houw ikut bertempur selagi dua saudaranya sibuk melayani
pihak musuh yang mengepung."
"Ayah mertuanya Kim San adalah Lie Sun Pin, dalam
kalangan Rimba persilatan memperoleh gelar sebagai "Singa
kepala sembilan", kata Tie-kong tiangloo setelah
mendengarkan perkataan muridnya. "llmu saktinya tidak
gampang-gampang dapat diwarisi atau dimengerti. Apakah
karena dalam keadaan terdesak , maka ibunya telah
menurunkan ilmu warisan ayahnya secara diam-diam? Akh,
ya, Mungkin begitu itu, Tie-kong tiangloo bagaikan baru
menyadari, lalu ia berkata lagi setengah berseru:
"Benar ... benar, Kiranya ilmu sakti warisan Lie Sun Pin
berada pula di dalam dirinya, Sebab kalau hanya warisan Kim
San 3 himpunan ilmu saktinya adalah sejalan dengan kita,
pastilah bantuan kita dari luar tidak akan mengakibatkan
sesuatu. Tapi bagaimana corak himpunan tenaga sakti aliran
Lie Sun Pin itu, aku tidak mengerti. Biarlah kucobanya ..."
Setelah berkata demikian, Tie-kong tiangloo kembali
memasuki kamarnya. Lalu ia berkata kepada Sin Houw:
"Cucuku, coba kau pukul aku tiga kali 3 berturut-turut
dengan sungguh-sungguh."
"Bagaimana teecu berani memukul sucouw?" tanya Sin
Houw heran.

100
Tie-kong tiangloo tertawa, lalu berkata lagi:
"Jika kau tidak memukul aku, bagaimana aku bisa
mengetahui sampai di mana dangkal dan dalamnya himpunan
tenagamu, bagaimana aku bisa mengajarmu ?"
Thio Sin Houw berpikir sejenak, Alasan sang kakek guru
memang berasalan, dari itu ia berkata:
"Kalau begitu , baiklah. Hanya saja, sucouw jangan
memukul aku keras-keras ..."
"Tentu saja!" Masakan aku akan memukul kau kembali?
Aku hanya ingin menguji himpunan tenagamu."
Memang, secara tergesa-gesa Lie Lan Hwa pernah
menurunkan ilmu warisan ayahnya kepada Sin Houw, ilmu itu
sebenarnya banyak dikenal orang sebagai ilmu dari aliran
"hitam" atau golongan sesat. Lie Lan Hwa sendiri sebenarnya
belum memahami seluruhnya, dia hanya menguasai tiga jurus
saja, Hal itu dikatakan dengan terus terang kepada anaknya
yang bungsu itu.
Gerakan Thio Sin Houw yang kini diperlihatkan kepada
Tie-kong tiang-loo adalah jurus kesatu, yang seluruhnya terdiri
dari tujuhpuluh dua jurus!
Ketika pukulan itu tiba, Tie kong tiangloo menyambut, dan
tenaga pukulan yang dahsyat kena dihisapnya hilang, Thio Sin
Houw merasa diri seakan-akan sedang memukul udara
kosong yang lunak, sehingga diam-diam ia menjadi terkejut.
"Bagus juga!" puji Tie-kong tiangloo sambil manggutkan
kepalanya.
"Menurut kata ibu, pukulan ini dapat merobohkan gunung,
Akan tetapi dihadapan sucouw, mengapa habis daya-nya?
Sucouw hebat sekali. Maukah sucouw ajarkan aku ilmu sakti

101
itu, agar aku bisa membalas sakit hati terhadap musuh-musuh
orang tuaku?"
"Kau pusatkan dulu perhatianmu pada pukulanmu yang
kedua dan yang ketiga," sahut Tie-kong tiangloo yang tidak
menjawab langsung.
Thio Sin Houw tiba-tiba berputar, lalu membalikkan tubuh
dan menyusul gerakannya ia memukul. ia menggunakan tipu
"Sin-liong pa-bvee", salah satu tipu-pukulan yang dimalui di
kalangan rimba persilatan.
Melihat berkelebatnya tangan, Tie-kong tiangloo
menyambut dengan tangan kanannya, Dan daya pukulan itu
amblas sirna, Yang mengheran, Sin Houw sama sekali tidak
merasa kena pukulan pantulan tenaga sakti kakek-guru itu
yang membalik.
Selagi heran dan kagum, kakek guru itu memuji lagi:
"Sin Houv, bagus sekali! Anak seusiamu sudah bisa
mencapai himpunan tenaga sebesar ini, benar-benar patut
mendapat pujian."
"Sucouv, sudahlah, Tidak guna lagi aku melancarkan
pukulanku yang ketiga, kurasa tiada berarti apa-apa bagi
sucouw." kata Sin Houw,
"Kedua pukulanmu tadi sangat hebat, kau pukullah aku
dengan pukulanmu yang ketiga!" sahut Tie-kong tiangloo.
Dengan memaksa diri , Thio Sin Houw menghimpun
tenaga dalamnya pada telapak tangannya, ia perlu melingkar
dahulu sebelum tangannya bergerak.
Dan apabila tenaga dalamnya sudah merasa terhimpun ,
tiba-tiba ia menyodok - inilah tipu muslihat jurus ke sembilan,
yang disebut Kang-liong Yoe-wie (penyesalan sang naga).

102
Barang siapa terkena pukulan ini, meskipun kebal dari
sekalian senjata tajam, akan roboh terjengkang dengan luka di
dalam!
Diam-diam Tie-kong tiangloo terperanjat, pikirnya di dalam
hati:
"Benar-benar dia bisa melakukan pukulan hebat ini?"
Terus saja ia bersiaga, akan tetapi pukulan itu ternyata
tiada bertenaga, Perbawanya memang hebat, angin seakanakan
kena gulung dan dilontarkan dengan suara menderu.
Akan tetapi begitu tiba pada sasaran, hebatnya pukulan tidak
seperti yang pertama dan kedua, Tie-kong tiangloo jadi
kecewa, sebab seharusnya pukulan ini dahsyat tak terkira,
Maka dengan menggelengkan kepala ia berkata menasehati:
"Sin Houw, seranganmu kali ini kurang kuat, Mungkin
sekali engkau belum memahaminya."
"Bukan begitu," jawab Sin Houw cepat. "Soalnya, ibu
sendiri belum mahir, ibu berkata, bahwa ilmu itu merupakan
salah satu cabang ilmu sakti yang hebat, merupakan salah
satu ilmu sakti tertinggi di kalangan rimba persilatan. Betulkah
begitu?"
"Benar," jawab Tie-kong tiang-loo sambil manggut.
"Menurut kata ibu , beliau hanya mewarisi tiga jurus saja,
karena menurut kata kakek - ibu kekurangan tenaga dalam
yang dibutuhkan. itulah sebabnya, ibu belum bisa menyelami
inti sarinya, Gerak tipu pukulan ketiga itu bernama "Kang-liong
Yo-wie". Menurut ibu hebatnya luarbiasa, ibu tahu bahwa
teecu belum bertenaga sama sekali. Akan tetapi teecu boleh
menghafal dan mempelajari kulitnya saja.
Dikemudian hari teecu masih mempunyai kesempatan

103
untuk menyelami. Dengan cara itu, mungkin sekali teecu akan
dapat mencapai intisarinya,"
"Oh, begitukah Maksud ibumu..,?" kata Tie-kong tiangloo
dengan suara terharu, "Tapi mulai saat ini, dalam suatu
pertempuran sungguh-sungguh jangan sekali-kali kau
gunakan tipu jurus itu. Sebab selain kau belum bertenaga
seperti yang diperlukan, kaupun akan kena akibatnya sendiri."
"Kalau begitu, tolonglah sucouw ajari aku," Sin Houw
memohon.
"Tidak, Bukan aku tidak mau, tapi lantaran aku sendiri tidak
dapat menggunakan tipu jurus itu yang hebat luar biasa,"
jawab Tie-kong tiangloo sambil mengurut-urut jenggotnya,
Lalu ia berkata lagi : "Kakekmu , Lie Sun Pin benar-benar
hebat luar biasa, Di dunia ini, kukira hanya dia seorang yang
mewarisi ilmu sakti itu dan para leluhur di jaman purba.
Sayang, dia belum menemukan seorang ahliwarisnya, Apakah
kau pernah bertemu dengan kakekmu itu?"
"Belum. Menurut kata ibu, kakek sudah wafat sebelum
teecu dilahirkan..." sahut Thio Sin Houw.
Tie-kong tiangloo menarik napas dalam-dalam. Kemudian
ia minta keterangan tentang berbagai macam ilmu sakti yang
pernah dipelajari oleh Sin Houw, dan Sin Houw dengan lancar
memberitahukan. Ternyata ia hanya menerima ajaran patahpatah
dari ibunya.
Walaupun demikian mendengar berbagai kalimat hafalan
yang diucapkan oleh Sin Houw, Tie-kong tiangloo kagum luar
biasa. ia seorang guru besar yang sudah banyak makan asam
garam, berbagai cabang ilmu sakti hampir semua telah
diketahuinya, Akan tetapi dengan terus-terang ia mengakui,
bahwa ada beberapa hafalan yang sama sekali asing baginya,
pikirnya di dalam hati.

104
"Benar-benar.. luas ilmu pengetahuan Lie Sun Pin, sedang
ibu anak ini tak dapat mewarisi. Rupanya hanya bisa
menghafal kalimat-kalimat rahasianya, akan tetapi belum
memperoleh kunci intipatinya ..."
*****
SESUDAH menyambuti tiga pukulan Thio Sin Houw, maka
Tie-kong tian gloo mengetahui bahwa tenaga dalam si bocah
tidak "murni". sebagai akibatnya lweekang dingin dari Hianbeng
Sin-ciang tidak dapat disedot keluar lagi.
Dengin hati sedih kakek guru itu duduk terpekur sambil
mengasah otak, Selang sekian lamanya, ia berkata didalam
hati:
"Kalau hendak memusnakan hawa berbisa Hian-beng Sinciang
yang sudah melekat rapat dalam sumsumnya Sin Houw
harus berusaha sendiri. Dia harus memiliki tenaga dalam yang
bisa mengatasi tenaga hawa berbisa, dengan mendorong dari
dalam barulah hawa berbisa itu bisa dilenyapkan. soalnya kini,
dapatkah dia memiliki tenaga sedahsyat yang diperlukan?
jalan satu-satunya ia harus melatih diri dengan lweekang
tertinggi dari Kiu-yang Cin-keng, tapi sayang sungguh pada
waktu guruku-menghafal kitab itu, aku masih terlalu muda dan
beliau keburu wafat.
Biarpun sudah berulangkali aku menutup diri dan
merenungkannya sekian lama, belum juga aku dapat
menyelami seluruhnya. sekarang karena tiada jalan lain,
biarlah ia berlatih sendiri dengan apa yang aku mampu. Jika ia
bisa hidup lebih lama satu hari, biarlah ia hidup lebih lama satu
hari setelah memperoleh keputusan demikian, keesokan
harinya ia mulai menurunkan ilmu tenaga dalam berdasarkan
kitab Kiu-yang Cin-keng yang dikuasainya, ia berharap dengan
tenaga murni itu, menjalarnya hawa berbisa Hian-beng sinciang
dapat dibendungnya, Syukur, apabila terjadi suatu
peristiwa gaib diluar nalar manusia, sehingga tiba-tiba hawa

105
berbisa itu dapat terusir sirna.
Ilmu sakti himpunan tenaga dalam berdasarkan kitab Kiuyang
Cin-keng tampaknya sederhana saja, akan tetapi
sesungguhnya didalamnya banyak keruwetan-keruwetan yang
gawat. Dasarnya harus bersih dan murni, itulah sebabnya
maka mula-mula Sin Houw diberi pelajaran berlatih
menghimpun tenaga murni yang kemudian disalurkan ke
perut, pusat dan terus menanjak ke ubun-ubun. Dari sana
hawa yang hangat dan bersih itu menyusuri urat syaraf seluruh
tubuh.
Dalam diri Sin Houw lantas saja terjadi suatu ketegaran,
Rongga perutnya seperti terisi suatu gumpalan awan yang
selalu bergerak dan terapung-apung, Setiap kali berputar
semua urat yang dirambahnya terasa menjadi segar sekali.
Tie-kong tiangloo mencapai tingkat ke tujuh, hawa dingin
yang berkumpul di dalam perut akan bisa terusir bagaikan
embun kena sinar matahari.
Dengan tekun Thio Sin Houw melatih diri, kurang lebih dua
tahun lamanya. Lambat laut dalam perutnya mulai berkumpul
suatu gumpalan awan yang hangat nikmat. walaupun
demikian - bisa Hian-beng sin-ciang yang bersarang
didalamnya, masih saja melekat kuat-kuat, Malahan hawa
berbisa itu seperti mengejek himpunan tenaga murni.
Beberapa bulan kemudian, wajah Thio Sin Houw nampak
makin pucat dan gelap. Pada saat-saat tertentu penyakitnya
kumat, dan derita yang berkecamuk didalam dirinya serasa tak
tertanggungkan lagi.
Selama dua tahun itu, Tie-kong tiangloo benar-benar
mencurahkan tenaga dan pikirannya untuk menurunkan ilmu
warisan gurunya kepada Thio Sin Houw, Dia selalu berada di
rumah pertapaan dan tidak lagi bepergian seperti yang

106
dilakukan belasan tahun yang lalu, Dan Cia Sun Bie berdua
Tan But Kiat sibuk mencarikan obat pemunah racun yang
mengeram dalam badan Thio Sin Houw, sementara Koan Siok
Hu telah pulang ke rumah isteri serta ayah mertuanya.
Berbagai macam ramuan obat telah diminumkan kepada
Sin Houw, akan tetapi hasilnya nihil belaka. Tetap saja bisa
Hian-beng sin-ciang tak tergoyahkan.
Tidaklah mengherankan, bahwa mereka semua menjadi
prihatin melihat keadaan tubuh Thio Sin Houw yang makin
lama makin kurus kering, Akan tetapi dihadapan bocah itu,
tentu saja mereka bersikap...lain. Selalu mereka menyatakan
syukur, bahwa bisa racun yang mengeram di dalam tubuh si
bocah makin lama menjadi tipis dan tipis.
Dan setelah mereka berada sendirian diluar kamar, hati
mereka.sangat berduka. Benar-benarkah anak keturunan Thio
Kim San yang sisa satu-satunya itu tak dapat di pertahankan
lagi?
Karena terlalu berduka dan sibuk memikirkan obat apa
yang mungkin bisa menanggulangi, tak sempat lagi mereka
mengusut siapakah musuh ayah Thio Sin Houw
sesungguhnya.
Dan selama dua tahun itu, rumah perguruan Tie-kong
tiangloo tidak lagi menerima kunjungan para tarau, Mereka
seakan-akan telah menutup pintu, karena sedang
menanggung kepedihan hati.
Tanpa terasa, hari perayaan Tiong ciu tiba kembali.
Menurut kebiasaan, Tie-kong tiangloo dan murid muridnya
merayakan hari itu, Tetapi sebelum perayaan dimulai ,
mendadak saja Thio Sin Houw kumat lagi. Tetapi anak itu
mengerti diri, dengan menggigit bibirnya ia berusaha bertahan
serta menyembunyikan rasa sakitnya, Sudah barang tentu
sekalian paman gurunya tak dapat dikelabui, sebab wajah

107
anak itu nampak pucat sekali dan tubuhnya menggigil sampai
giginya beradu perdengarkan suara.
Cepat-cepat Cia Sun Bie membawa Thio Sin Houw masuk
ke dalam kamar, dan hati-hati ia merebahkannya diatas
tempat tidur, kemudian menyelimuti dengan selimut tebal.
setelah itu ia membuat unggun api sebesar-besarnya -diatas
tungku dan didorongnya kebawah ranjang agar badan Thio Sin
Houw menjadi hangat.
Tie-kong tiangloo menatap wajah Thio Sin Houw dengan
berduka. Akhirnya setelah menghela napas, ia berkata
memutuskan:
"Biarlah esok pagi aku membawanya ke kuil Siauw-lim sie
di Siong-san."
Semua muridnya tertegun, Mereka mengerti, bahwa dalam
keadaan terdesak dan karena rasa cintanya terhadap sang
cucu murid, guru itu rela menundukkan kepala dihadapan
Siauw-lim sie untuk meminta pertolongan.
Sementara itu terdengar Tie-kong tiangloo berkata lagi:
"Murid-muridku, kalian semua tahu bahwa gurumu ini
hanya memiliki sepertiga ilmu sakti berdasarkan kitab Kuiyang
Cin-keng. sekalipun sepertiga, akan tetapi cukuplah
sudah untuk bisa menancapkan kedua kaki kita di atas bumi
dengan kokoh. Akan tetapi apabila pada suatu kali ada
seseorang yang bisa mewarisi ilmu itu dengan menyeluruh,
maka ilmu warisanku ini tidak berarti sama sekali . Sun Bie,
ajaklah Siok Hu dan Bun Kiat ke depan!"
Sebagai murid - mereka semua tahu sejarah pecahnya
ilmu sakti Kiu-yang cin-keng menjadi tiga bagian akan tetapi
mereka belum mengetahui perinciannya. itulah sebabnya,
mereka segera keluar paseban, untuk dapat mendengarkan

108
keterangan gurunya lebih lengkap lagi.
Ilmu sakti yang ditulis diatas kitab Kiu-yang Cin-keng,
konon di-kabarkan adalah ciptaan Tat-mo couw-su yang
dikenal sebagai pendiri kuil Siauw-lim sie, Dahulu kala karena
suatu peristiwa, terjadi perpecahan sehingga gurunya Tiekong
tiangloo memisahkan diri dan mendirikan partai Boetong,
sementara pihak ketiga telah mendirikan partai Go-bie
pay.
Masing-masing pihak hanya memiliki sepertiga ilmu
kesaktian berdasarkan kitab Kui-yang cin-keng, namun
masing-masing pihak mempunyai keistimewaannya sendiri.
Kini ketiga sisa muridnya Tie-kong tiangloo mengerti,
bahwa sang guru mengharap dengan ilmu Kui- yang cin-kang
yang lengkap, nyawa Sin Houw akan dapat ditolong, Akan
tetapi selama dua tahun akhir-akhir ini, mungkin karena
terjadinya peristiwa binasanya Thio Kim San - perhubungan
antara Siauw-lim dan Boe-tong telah menjadi retak. sebagai
seorang guru besar dari sebuah partai ternama, perginya Tiekong
tiangloo ke kuil Siauw-lim sie untuk meminta
pertolongan, menurunkan derajat Boe-tong pay - akan tetapi,
demi cinta yang tidak mengenal batas terhadap diri Thio Sin
Houw, guru besar itu telah menyampingkan segala nama
kosong.
Sesudah tertegun, semua muridnya menghela
napas,karena rasa kagum akan kebesaran jiwa sang guru.
pihak Go-bie pay yang memiliki sepertiga bagian ilmu Kiuyang
Cin-kang, ternyata Ceng-in suthay yang menjadi
ciangbunjin sungkan menemui orang luar, Beberapa kali
sudah Tie-kong tiangloo pernah memerintahkan Koan Siok Hu
membawa suratnya ke gunung Go-bie san, tapi pendeta
wanita itu tidak menggubris dan mengembalikan surat-surat itu
tanpa dibuka, Maka itulah, jalan satu-satunya yang masih
terbuka adalah minta pertolongan Siauw-lim sie.

109
Tie-kong tiangloo menyadari bahwa apabila ia mengutus
saja murid-muridnya ke Siauw-lim sie, Cie-beng taysu pasti
tidak akan melayani. Oleh karena itu ia mengambil keputusan
untuk pergi sendiri.
Sekalian muridnya Tie-kong Tiangloo mengerti, bahwa
dalam keadaan terpaksa dan demi mempertahankan anak
keturunan Thio Kim San, gurunya rela turun gunung, Orang
tua itu berharap pihak Siauw-lim sie mau menambahi
kelengkapan ilmu sakti Kiu-yang Cin-kang.
Kalau hal itu terjadi, gurunya akan memiliki dua-pertiga
bagian, dan dengan modal itu ia berharap akan dapat
menolong jiwa Thio Sin Houw, Jadi alangkah besar
pengorbanan orang tua itu, untuk menyelamatkan anak
keturunan Thio Kim San satu-satunya.
Semenjak terjadi perpecahan antara ketiga pihak itu,
masing-masing tidak pernah berhubungan demi
mempertahankan kehormatan diri. Malahan masing-masing
saling bersaing, Kini terjadilah suatu peristiwa pengeroyokan
terhadap Thio Kim San , dan dalam hal ini pihak murid-murid
Go-bie pay dan Siauw-lim pay ikut campur pula.
Walaupun mereka tidak melakukan pembunuhan secara
langsung, Hubungan ketiga aliran itu sudah tentu kian menjadi
retak, tidak lagi hanya bersaing tetapi benar-benar saling
mendendam suatu permusuhan.
Tie-kong tiangloo menyadari akan hal itu, inilah pokok
sengketa apa sebabnya Thio Kim San dituduh yang bukanbukan,
seakan-akan ia menyembunyikan golok Sun-lui to.
Namun suatu hal yang tidak diketahui oleh orang tua itu,
adalah ulah Lim Tiauw Kie yang sampai saat itu tiada
beritanya.

110
Walaupun demikian, Tie-kong tiangloo kini mau juga
merendahkan diri dan bersikap mengalah dengan memohon
bantuan kepada pihak Boe-tong pay dan Siauw-lim pay,
Tegasnya ia rela mengorbankan kedudukannya yang tinggi ,
demi anak keturunan Thio Kim San.
*****
PADA ESOK PAGINYA Tie-kong tiangloo berangkat
dengan mengajak Thio Sin Houw, diantar oleh murid-muridnya
sampai di kaki gunung. Cia Sun Bie dan dua adik
seperguruannya sebenarnya ingin mengikut, tetapi dilarang
karena Tie-kong tiangloo khawatir kedatangannya banyak
orang akan menimbulkan kecurigaan pihak Siauw-lim sie.
Dengan masing-masing menunggang keledai, si kakek dan
si bocah menuju ke arah utara, jarak antara Siauw-lim dan
Boe-tong tidak terlalu jauh, Dari Boe-tong san yang letaknya di
Ouw-pak utara, ke Siong-san di Holam barat hanya
memerlukan perjalanan beberapa hari, setelah menyeberangi
Sungai Han Sui di Loo-ho kouw, mereka tiba di Lam-yang,
terus menuju ke utara sampai di Nie-coe dan mulailah mereka
memasuki daerah pegunungan yang berhutan lebat.
Menghirup udara segar, tergetarlah hati Thio Sin Houw,
Teringatlah dia, tatkala ayah dan ibunya membawa lari dari
satu tempat ke tempat lainnya sambil menggebu musuh,
seringkali dibawa mendaki gunung dan menuruni jurang,
kadang-kadang menyeberangi sungai-sungai yang berarus
besar dan memasuki hutan lebat yang penuh binatang buas
maupun binatang berbisa.
Sepuluh hari kemudian, gunung Siong-san nampak tegak
di depan. Tie-kong tiangloo menambatkan keledainya pada
sebatang pohon, kemudian dengan menggandeng tangan Sin
Houw, mulailah dia mendaki gunung itu, Dibalik bukit yang
berada didepan, tergelarlah suatu lembah yang sangat indah,
hijau daun bersemarak memenuhi persada bumi - angin

111
meniup lembut dan segar,
"Dibalik bukit itulah, kita nanti melihat kuil Siauw-lim sie..."
kata Tie-kong tiangloo. "Kau harus belajar sungguh-sungguh,
agar bisa menolong dirimu sendiri."
Thio Sin Houw mengangguk.
"Kau berjanji , bukan?" Tie-kong tiangloo menegas.
Kembali Sin Houw manggut.
"Bagus, Dengan begitu , kau tidak akan sia-siakan harapan
orang tuamu."
"Benar, Tetapi diantara musuh-musuh yang mengepung
ayah, katanya ada juga dari murid-murid Siauw Lim-pay." kata
Sin Houw tiba-tiba.
"Akh, cucuku, Untuk tujuan besar, kau harus belajar
kesampingkan hal-hal kecil, Ingatlah, seringkali tujuan besar
bisa tergelincir oleh sebuah kerikil belaka, Aku mengharapkan
kau kelak menjadi manusia yang berlapang hati."
Thio Sin Houv mengangguk lagi untuk yang ketiga kalinya,
sementara itu, bukit yang berada di sebelah depan tadi sudah
terlampaui, Dan didepannya tergelar suatu pemandangan
yang menggairahkan.
Tetapi di depan penglihatan, berjajarlah tiga bukit yang
sedang tingginya, samar-samar nampak sebuah bangunan
tinggi yang berpagar dinding batu pegunungan.
Bentuk bangunan itu adalah sebuah kuil yang besar, luas
dan bertingkat.
"ltulah kuil Siauw-lim sie yang kenamaan diseluruh jagat,"
kata Tie-kong tiangloo memberitahukan, selagi Thio Sin Houw

112
mengawasi bangunan itu dengan perasaan takjub.
Tie-kong tiangloo adalah ciangbunjin Boe-tong pay,
Kedudukannya sama tingginya dengan Cie Beng taysu yang
menjadi ketua partai Siauw-lim pay. walaupun demikian, ia
mau bersikap merendahkan diri, Dengan membimbing Thio
Sin Houw, perlahan-lahan ia menuju ke gardu penjagaan
untuk minta dilaporkan tentang kunjungannya.
Gardu penjagaan itu mirip sebuah biara kecil, di atas atap
terpancang suatu papan dengan tulisan kuil Siauw lim sie, Di
dalam gardu itu Tie-kong tiangloo bertemu dengan sebelas
orang penjaga yang muda-muda, mengenakan pakaian
seragam seperti seorang calon pendeta.
Dilain pihak, melihat pakaian yang dikenakan Tie-kong
tiangloo dan Thio Sin Hoirw yang sangat kasar, dan nampak
kotor penuh debu bercampur keringat - para penjaga itu lantas
bersikap tawar. Mereka tidak mempersilahkan masuk selagi
menyambut kedatangan Tie-kong tiangloo berdua Sin Houw
Tie-kong tiangloo adalah seorang pendeta golongan Boetong
yang sudah bisa melonggarkan diri dari semua bentuk
ikatan dunia, ia tidak memperdulikan sikap dan pandang
mereka. Dengan tetap berdiri ia minta disampaikan kepada
Hong-thio taysoe (kepala kuil) , tentang kedatangannya.
Mendengar perkataan Tie-kong tiangloo, kembali para
penjaga itu nampak terkejut. Benarkah orang tua itu Ciangbunjin
dari Boe-tong pay? Mengapa orang dan pakaiannya
nampak demikian kotor dan datang tanpa pengawal ?
Pribadi Tie-kong tiangloo memang sangat sederhana,
Kecuali itu, ia seorang pendeta, ia tak menyukai pada segala
tata-cara yang berlebihan. ia memandangnya tak lebih seperti
para pelawak. itulah sebabnya, pakaian yang berupa jubah
yang dikenakannya, terlalu sederhana bagi seorang dengan
kedudukan seperti dia.

113
"Tie-kong tiangloo adalah seorang Ciang-bunjin Boe-tong
pay, apakah betul-betul Totiang adalah Tie-kong Tiang loo?"
tanya salah seorang dari para penjaga itu.
Mendengar pertanyaan orang itu, Tie-kong tiangloo
menjadi tertawa.
"Apakah ada Tie-kong tiangloo yang palsu?" ia balik
menanya.
Mendengar jawaban itu , penjaga yang lain ikut bicara:
"Apakah Tiangloo tidak sedang bergurau?"
Tie-kong tiangloo kembali tertawa.
"Apakah Tie-kong tiangloo memang sedemikian
agungnya,sehingga ada orang yang sudi memalsukan?"
Dengan penuh keraguan, dua orang pendeta muda itu
berlari-lari ke arah kuil untuk memberikan laporan, sesudah
lewat sekian lamanya, pintu di tengah kuil terbuka dan Hongthio
Cie Beng taysu nampak bersama-sama Cie Keng dan Cie
Goan taysu, Di belakang mereka mengikuti lima orang
pendeta tua yang mengenakan jubah pertapaan warna kuning.
Tie-kong tiangloo mengetahui bahwa mereka adalah para
anggauta dari Tat-mo-ih, dan tingkatan mereka mungkin lebih
tinggi dari Cie Beng taysu yang menjabat sebagai ketua
pengurus kuil, Mereka itu biasanya menyendiri di dalam kuil
untuk mempelajari dan merenungkan ilmu silat Siauw-lim pay.
Setiap anggauta Tat-mo ih tidak pernah mencampuri
segala urusan lain tetapi sekarang, agaknya karena
mendengar tentang kedatangan orang-orang Boe-tong pay,
Cie Beng merasa perlu mengajak mereka.

114
Tie-kong tiangloo memberi hormat sambil berkata:
"Siauwtoo merasa berat untuk menerima sambutan dari
para taysu,"
(Siauwtoo = Aku si imam kecil).
Cie Beng Taysu dan yang lainnya segera merangkap
tangan mereka.
"Kedatangan Tie-kong tiangloo di luar dugaan siauw-ceng,
apakah maksud kedatangan Tiangloo?"
Tie-kong tiangloo tertawa.
"Ke datangan siauwtoo adalah untuk minta pertolongan
Taysu," jawabnya..
"Silahkan duduk." mengundang Cie Beng Taysu.
Setelah duduk di ruangan pendopo dan di suguhkan air
teh, di dalam hati Tie-kong tianglo merasa mendongkol.
Setidaknya ia adalah seorang guru besar dari sebuah
partai persilatan, tingkatannya bahkan lebih tinggi daripada,
Cie Beng taysu. Adalah selayaknya ia diundang masuk ke
dalam kuil, bukan hanya di terima di ruangan pendopo seperti
para tamu biasa umumnya.
Akan tetapi sebagai seorang insan yang sederhana dan
berjiwa luhur, Tie-kong tianglo dapat menguasai diri,
pikirannya dan hatinya sekaligus menjadi jernih kembali
seperti permukaan sebuah telaga di atas gunung yang sunyi
itu.
Dilain pihak Cie Beng taysu dan yang lainnya seringkali
merasa mendongkol, karena di kalangan rimba persilatan
nama Boe-tong pay sudah sejajar dengan Siauw-lim pay.

115
Padahal menurut anggapan Cie Beng taysu dan yang lain,
ilmu silat Boe-tong pay dahulunya bersumber dari hasil curian
milik Siauw-lim pay.
Kunjungan Tie-kong tianglo hari itu dianggapnya bertujuan
untuk membalas sakit hati Thio Kim San, disamping masih ada
hal-hal lainnya yang sedang dirisaukan oleh pihak Siauw-lim
pay.
Selama dua tahun, akibat gara-gara "urusan" Thio Kim
San, pihak Siauw-lim pay seringkali menerima kedatangan
para tamu yang menanyakan perihal Golok Halilintar dan
perihal hilangnya Lim Tiauw Kie. Ada sementara pihak yang
menganggap pihak Siauw-lim telah "menyingkirkan" Lim Tiauw
Kie dan merebut Golok Halilintar dari tangan murid Go-bie itu,
sehingga mereka menuduh pihak Siauw-lim ingin menguasai
sendiri golok mustika itu yang mengakibatkan mereka menjadi
marah-marah dan sering terjadi pertempuran. Pihak para tamu
memang banyak yang binasa atau terluka, tetapi pihak Siauwlim
pay juga tidak bebas dari kerusakan. Dalam anggapan Cie
Beng taysu dan rekan-rekan separtainya, jelas yang menanam
bibit penyakit adalah pihak Boe-tong pay!
Kini secara diluar dugaan Tie-kong tianglo datang
mengunjungi kuil Siauw-lim, jelas pihak Cie Beng taysu tak
ingin sia-siakan kesempatan itu untuk melampiaskan rasa
mendongkolnya.
Dengan geram maka Cie Beng taysu lalu berkata:
"Silahkan tianglo jelaskan maksud kedatangan tianglo hari
ini."
Tie-kong tianglo tertawa perlahan, tetapi secara berhatihati
dia menceritakan maksud kedatangannya, dimulai dengan
peristiwa terbunuhnya Thio Kim San suami-isteri, sampai
kemudian Thio Sin Houw menderita luka berat didalam

116
tubuhnya. Dengan rendah hati dan kesabaran yang luar biasa
Tie-kong tianglo menguraikan semua kisah itu, dan akhirnya
dengan suara memohon ia menambahkan perkataannya:
"Samwie adalah para pendeta suci yang selalu mempunyai
rasa belas kasihan terhadap sesama umat manusia, dan
nyawa anak ini sangat bergantung akan belas kasihan dari
samwie. Maka itu dengan tidak melupakan welas-asih Sang
Budha, siauwto memohon pertolongan, dan untuk itu siauwto
sangat berterima kasih sekali."
Cie-keng taysu yang berada di samping kiri Cie-beng
taysu, tertawa dingin dan berkata:
"Benar, seseorang yang beribadat memang harus memiliki
rasa belas kasihan terhadap sesama umat manusia, Tetapi
tahukah tianglo, sudah berapa banyak murid-murid Siauw-lim
yang binasa ditangan Thio Kim San dan isterinya? Bahkan
setelah mereka binasa, terjadilah fitnah terhadap pihak kami
mengenai urusan Golok Halilintar -orang-orang gagah dari
berbagai partai dan golongan menuduh pihak kami yang telah
menyerakahi benda keparat itu sehingga tak sudahnya
mereka mengganggu kami dan terjadi peristiwa saling bunuh.
Namun demikian pihak kami tidak mau menarik panjang
urusan itu karena ingin menghindarkan terjadinya bentrokkan
antara pihak kami dengan pihak tianglo. Kalau kami
berpendirian hutang nyawa harus dibayar dengan nyawa,
sudah pasti kami akan meminta pertanggungan jawab kepada
tianglo karena pihak murid-murid Boe-tong justeru yang telah
membuat ulah sehingga terjadinya peristiwa berdarah ini!"
Thio Sin Houw yang sejak tadi mendampingi kakek
gurunya dan ikut mendengarkan percakapan itu, bukan main
mendongkolnya dan tak dapat menguasai diri lagi. Apalagi
ketika ia mendengar nama ayah dan ibunya juga telah
diungkat-ungkat bahkan dianggap sebagai salah seorang
pembawa bencana, maka tak sanggup lagi ia membungkam

117
terus. Lalu ia berkata dengan suara keras:
"Sucouw! Para pendeta ini justeru telah membuat ayah-ibu
mati dengan penasaran, Tetapi mereka seakan-akan
memikulkan seluruh tanggung jawabnya kepada ayah dan ibu.
Aku tahu sendiri, baik ayah maupun ibu tak habis mengerti apa
sebab menjadi kejaran terus-menerus. Karena itu lebih baik
aku mati daripada memohon-mohon pertolongan mereka.
Marilah kita pulang saja, sucouw!"
"Akh, Sin Houw," Tie-kong tianglo mengeluh."Kematian
ayah dan ibumu, sebenarnya tiada sangkut-pautnya dengan
para taysu ini."
Mendengar ucapan kakek gurunya,
Thio Sin Houw tercengang karena bingung, berbareng
mendongkol dan marah.
Karena gejolak perasaannya yang tak menentu itu,
mulutnya jadi tergugu,
Akan tetapi didalam hatinya telah timbul keputusannya, tak
sudi ia menerima belas kasihan dari para pendeta itu. Katanya
didalam hati:
"Meskipun sucouw berhasil membujuk mereka untuk
menurunkan ilmu sakti yang berada diperguruan Siauw-lim ini,
aku tak sudi mempelajarinya. Aku memilih mati kering
daripada menerima budi-baik dari musuh ayah-bundaku .."
Sementara itu Tie-kong tianglo tak bosan-bosan berusaha
membujuk dan membuat para pendeta Siauw-lim mengerti
tanpa menyinggung persoalan Thio Sin Houw, Berjam-jam ia
berbicara sampai mulutnya terasa kering dan para pendeta
itupun tak bosan-bosan menolak segala bentuk
permohonannya.

118
Selagi mereka masih meneruskan pembicaraan,
sekonyong-konyong terdengarlah derap kuda mendatangi
gardu penjagaan. Kemudian tampaklah lima penunggang kuda
muncul diantara debu jalan yang berada di sebelah depan
seorang laki-laki berperawakan kekar, gagah perkasa, Ketika
tiba didepan gardu penjagaan ia menahan kudanya sambil
berseru bagaikan guntur:
"Nah, kita sudah tiba, Kebetulan - inilah orangnya!"
Mendengar suaranya yang keras bagaikan guntur, semua
orang terkejut dan berlari keluar dari ruangan pendopo,
sementara itu, laki-laki berperawakan gagah tersebut sudah
turun dari atas kuda sambil menebarkan penglihatannya,
kemudian berkata kepada Cie-beng taysu:
"Aku adalah Fhang Kui Ceng, utusan dari persekutuan
Heng-san pang. Datang dengan maksud menghadap Ciebeng
taysu dari kuil Siauw-lim sie, harap anda sudi
mengantarkan kami."
Agaknya laki-laki itu belum pernah bertemu muka dengan
Cie-beng taysu, sehingga mengira dirinya sedang berhadapan
dengan salah seorang pendeta pengurus kuil.
Dalam pada itu, mereka yang mendengar suara Phang Kui
Ceng menjadi pengang telinganya. Orang itu wajar saja ketika
berbicara, akan tetapi suaranya bukan main kerasnya. itulah
suatu tanda, bahwa dia memiliki himpunan tenaga sakti yang
dahsyat sekali . Merekapun terperanjat pula dengan --
disebutnya nama persekutuan Heng-san-pang yang bermukim
diatas- gunung Heng san, dibelahan sebelah barat negeri
Cina. Tak jelas bagaimana sepak terjang perkumpulan itu,
akan tetapi menurut khabar mereka jarang sekali berhubungan
dengan orang luar apabila tidak sangat penting. Gerak-gerik
mereka sangat sukar diamat-amati, namun mereka merajai
wilayah mereka yang mempunyai sumber hidup makmur,

119
Mereka yang memasuki daerahnya atau melintasi, harus
membayar upeti, Dengan demikian, cara hidup mereka tak
beda dengan tata-tertib seorang raja memerintah daerah
kerajaannya.
Thio Sin Houw lantas saja teringat kepada peristiwa dua
tahun yang lampau, Ayah dan ibunya sangat segan
menghadapi menghadapi dua tokoh dari sekian banyak
pengejarnya, Mereka bernama Bu Seng Kok dan Su Tay Kim -
dua orang itu menyebut diri mereka sebagai orang-orang dari
kelompok Heng-san pang, Tatkala kedua orang itu mendadak
memasuki gelanggang pertempuran , ayah dan ibunya kena
dilukai, akan tetapi merekapun menderita luka yang tak ringan
pula. Tak mengherankan bahwa mereka berdua berden-dam
terhadap keluarganya.
Thio Sin Houw telah mengukir wajah dua orang musuh itu
yang tak mungkin terlupakan selama hidupnya, dan kini ia
melihat seorang tokoh lain yang gagah perkasa dan garang.
Diam-diam hatinya meringkas, terus saja ia bersembunyi
dibelakang punggung kakek gurunya.
Dalam pada itu Cie-beng taysu berkerut keningnya, dan
berpikir di dalam hati:
"Akh, kembali lagi ada orang yang ingin mengusut perkara
Golok Halilintar, Benar-benar anak murid Tie-kong tianglo ini
membuat susah saja ..."
"Kau mencari ketua kami, apakah sangat penting?" Ciekeng
taysu menyelak bicara.
Dengan membungkuk hormat, Phang Kui Ceng menjawab:
"Sebenarnya kami tak berani mengganggu ketua anda,
cukuplah asal kami diberitahukan. Di manakah sebenarnya
Golok Halilintar itu berada?"

120
"Kami disini adalah sekumpulan tulang-belulang yang
hanya pandai bersemedhi atau berdoa, karena itu sama sekali
kami tidak mengerti tentang peristiwa yang terjadi diluar
pertapaan, silahkan anda pergi saja!" kata Cie-keng taysu
mengekang marah.
Mendongkol hati Phang Kui Ceng diusir dengan cara
demikian, ia menyahut agak keras:
"Sebenarnya siapakah anda sampai berani mewakili suara
golongan Siauw-lim?"
Cie-keng taysu pun sudah tak kuasa lagi mengekang
marah, sahutnya pedas:
"Akh, nama hanya semacam sebutan bentuk luar. Apa
perlu kami perkenalkan?"
Keruan saja hati Phang Kui Ceng kian mendongkol, kini
kedua alisnya berkerut-kerut. Lalu membentak:
"Hm! Selagi mohon mendengar nama anda yang agung
saja tidak berhasil, apalagi mengharapkan yang bukan-bukan.
Apakah kedatanganku kemari sia-sia belaka?"
"ltupun belun tentu!" tiba-tiba muncul suatu pikiran lain di
dalam hati Cie-keng taysu, "Bukankah anda datang kemari
untuk mengusut rahasia Golok Halilintar?"
"Akh, benar!" seru Phang Kui Ceng, "Jika anda sudi
memberitahukan, alangkah besar rasa terima kasih kami -
golongan kami akan bersedia bersahabat sepanjang masa
dengan golongan anda."
"Benarkah begitu?" Cie-keng taysu tertawa terbahakbahak.
Kunjungan anda hari ini benar-benar merupakan suatu
karunia Tuhan. Coba, seumpama lambat sehari saja atau

121
mendahului satu hari, maka akan sia-sia."
"Mengapa demikian?" tanya Phang Kui Ceng heran. Tapi
pada wajahnya terbentang rasa syukur yang meluap, Keempat
temannya segera menghaturkan rasa terima kasih
berulangkali, sebagai penyambut kesediaan pihak Siauw lim
pay.
"Mengapa demikian? Karena satu-satunya orang yang
mengetahui dimanakah beradanya Golok mustika itu,
sekarang ada disini, itulah dia, putera Thio Kim San!" kata Ciekeng
taysu.
Sambil menuding kearah Thio Sin Houw yang bersembunyi
dibelakang Tie-kong tianglo.
Keruan saja hati Thio Sin Houw tercekat. Akan tetapi
begitu mendengar nama ayahnya disinggung, serentak timbul
rasa jantannya. Teringat betapa ayah-bundanya mati dengan
penasaran, terus saja ia maju sambil membentak:
"Kedua rekanmu Bu Seng Kok dan Su Tay Kim dengan
tidak menghiraukan harga diri, ikut mengeroyok ayah dan
ibuku, Hari ini aku akan membuat perhitungan...!"
Perkataan anak sekecil Thio Sin Houw itu mengejutkan
dan menggelikan hati, Mereka semua berpaling kepadanya
seakan-akan berjanji, Melihat wajahnya yang pucat lesi,
sepantasnya ia harus dikasihani. Akan tetapi ternyata anak itu
mempunyai kegarangan hati yang berlebih-lebihan. Mana
mungkin ia bisa membuat perhitungan terhadap Phang Kui
Ceng, seorang laki-laki berkesan begitu perkasa?
"Akh, anak kecil! Mulutmu kenapa gampang bocor?
Apakah kau bosan hidup ?" bentak Phang Kui Ceng dengan
suara menggeledek

122
Dibentak dengan suara yang keras bagaikan suara
halilintar itu, betapapun juga hati Thio Sin Houw menjadi
meringkas, Tetapi dia seorang anak yang keras hati, maka
dengan mati-matian ia mencoba menghimpun semua
keberaniannya, Lalu membalas bentak dengan suara sekeraskerasnya:
"Dua tahun yang lalu, golonganmu pernah ikut mengeroyok
ayah bundaku, Yang menjadi pemimpin dua orang, mereka
bernama Bu Seng Kok dan Su Tay Kim. Kedua-duanya
bagaikan hantu haus darah, tetapi beraninya hanya main
keroyok, Apakah kau tak malu?"
Kembali mereka semua terkejut mendengar ucapan Thio
Sin Houw, Benar-benar mereka tidak menyangka, bahwa anak
kecil itu mempunyai keberanian yang luar biasa, sebaliknya
Phang Kui Ceng dan keempat kawannya gusar bukan main,
karena kena ditelanjangi oleh seorang anak kemarin sore
dihadapan sekian banyaknya orang gagah. Lantaran sangat
malu, tanpa berpikir panjang lagi Phang Kui Ceng melompat
maju menggampar kearah muka Thio Sin Houw, Namun
demikian, ia menyadari dirinya bertenaga kuat, Khawatir kalau
tenaganya dapat memecah kepala si bocah, Phang Kui Ceng
hanya menggunakan tenaga satu bagian saja. walaupun
demikian apabila mendarat pada sasarannya, Thio Sin Houw
akan bisa dibuatnya jungkir-balik dengan muka bengap.
Melihat berkelebatnya tangan, Thio Sih Houw hendak
melompat mundur dengan segera. Akan tetapi tangan Phang
Kui Ceng terlalu cepat baginya, ia merasa diri seakan-akan
kena kurung sangat rapat. Tiada jalan lain kecuali menangkis.
Maka secara nekad, ia mengangkat kedua tangannya untuk
melindungi mukanya, Dan pada saat itu mendadak suatu
tenaga yang halus dan hangat terasa memasuki
punggungnya, dan terus berkumpul pada telapak tangannya.
"Blesss!"

123
Gamparan Phang Kui Ceng kena di-tangkis kedua tangan
Thio Sin Houw, Hanya saja bukan Thio Sin Houw yang
terpental, melainkan Phang Kui Ceng yang gagah perkasa
terhuyung mundur beberapa langkah.
Tatkala terasa kakinya hendak tergeser lagi, cepat-cepat ia
mempertahankan diri. Sebab tumitnya sudah meraba tangga
gardu penjagaan, kalau mundur setengah langkah saja ia
akan rebah terjengkang.
Akan tetapi maksud itu tidaklah mudah, ia menjadi
kelabakan ketika tubuhnya terdoyong kebelakang, setelah
dengan mati-matian menghimpun tenaga saktinya, barulah ia
dapat berdiri tegak. Akan tetapi wajahnya merah padam oleh
rasa malu, sedangkan rasa hatinya runyam tak keruan.
Dengan mata melotot ia mengawasi Thio Sin Houw,
sementara didalam hati ia heran bukan kepalang. pikirnya:
"Bu Seng Kok dan Su Tay Kim memuji ilmu kepandaian
Thio Kim San setinggi langit, agaknya bukan bualan kosong,
Anaknya saja sudah memiliki tenaga lumayan sampai bisa
mengundurkan tenaga pukulanku ..."
Phang Kui Ceng tidak menyadari apa sebab ia sampai
kena terpukul mundur. ia menyangka bocah itu tidak
bertenaga, mengingat wajahnya pucat dan tubuhnya kurus
kering. Maka ia hanya menggunakan tenaga sebagian kecil
saja, Diluar dugaan, bocah itu ternyata memiliki tenaga dalam
yang tak boleh dipandang ringan.
Sebaliknya Cie-beng taysu dan rekan-rekannya
mempunyai penglihatan lain. Dengan matanya yang tajam,
mereka tahu apa sebab Phang Kui Ceng kena terpukul
mundur oleh tangan Thio Sin Houw. itulah disebabkan Tiekong
tianglo berada dibelakang punggung sibocah. Dengan
menyalurkan tenaga dalamnya, Tie-kong tianglo menggempur
tenaga pukulan Phang Kui Ceng lewat punggung Thio Sin

124
Houw, Dengan demikian, kedua tangan Thio Sin Houw
sebenarnya hanya merupakan sepasang "alat" belaka.
Sebaliknya Phang Kui Ceng yang kurang waspada, hanya
menuruti gejolak hatinya yang mendongkol. pikirnya didalam
hati, ia terpukul mundur karena kebodohannya sendiri. Coba
tadi ia menggunakan tenaga penuh, tak usah ia menanggung
rasa malu dihadapan para pendeta Siauw-lim sie. Kini ia
bermaksud memperlihatkan gigi agar pamor Heng-san pang
tidak menjadi suram.
Ia bermaksud pula dapat mengetahui dimana beradanya
Golok Halilintar lewat mulut Thio Sin Houw. Kalau perlu ia
akan menggempur si bocah itu sampai mampus. Apa boleh
buat!
Setelah memperoleh keputusan demikian, Phang Kui Ceng
tertawa penuh ancaman sambil mendekati Thio Sin Houw dan
membentak:
"Monyet cacingan! Kau terimalah lagi pukulanku!"
ia melompat dan terus menghantam dada Thio Sin Houw,
dan kali ini ia tak segan-segan lagi. Tenaga dalamnya yang
digunakan, penuh-penuh. Tak mengherankan, belum lagi
pukulannya mendarat pada sasarannya, angin dahsyat sudah
tiba bergulungan, Lengan baju para pendeta Siauw-lim
berkibaran, dan gardu penjagaan nampak bergetar.
Hati Tie-kong tianglo jadi tergoncang, ketika menyaksikan
hebatnya tenaga pukulan yang digunakan oleh Phang Kui
Ceng. Pada detik itu, orang tua ini berpikir sengit didalam hati:
"Akh, kenapa untuk melampiaskan rasa mendongkol saja
kau menggunakan tenaga begini dahsyat terhadap seorang
anak kecil?"

125
Karena sengit, Tie-kong tianglo tidak lagi menyalurkan
tenaga sakti kedalam urat nadi Thio Sin Houw, tetapi langsung
ia menggunakan intisari ilmu sakti "Kiu-im Cin-kang" yang
pernah dipergunakan untuk merebut nyawa Thio Sin Houw
dahulu, ilmu itu merupakan titik tolak ilmu sakti Kiu-im Cinkeng,
yang bersandar pada tenaga murni.
Tie-kong tianglo selama hidupnya belum pernah
melakukan hubungan badaniah dengan wanita, karena itu
tenaganya murninya masih penuh dan suci bersih. Dan tenaga
murni ini dituangkan habis-habis kedalam urat nadi Thio Sin
Houw untuk melindungi, dan akibatnya hebat sekali.
Begitu dua tenaga raksasa berbenturan, genting gardu
penjagaan rontok berhamburan, dan suatu debu tebal
meledak dan melambung keudara lalu terdengarlah suara
gemeretakan.
Ternyata gardu penjagaan yang berada didepan pagar
biara, ambruk kena tubuh Phang Kui Ceng yang terpental
akibat gempuran tenaga sakti "Kiu-im Cin-kang". Karena
Phang Kui Ceng memiliki tubuh yang kebal dari senjata, ia
bisa merobohkan gardu penjagaan yang terbuat dari bahan
batu pegunungan.
Begitu ambruk, tubuhnya terus melayang terbang bagaikan
bola kena pukulan keras. Tahu-tahu tubuhnya terkait pada
sebatang dahan pohon cemara yang berada ditepi jurang.
Phang Kui Ceng kaget bukan kepalang. Karena terdorong
rasa kaget, ia sampai berteriak-teriak, sedangkan kedua
kakinya bergelantungan di udara dalam usahanya melepaskan
diri dari dahan pohon yang menggaetnya.
Untunglah, tenaga sakti yang di pergunakan Tie-kong
tianglo memunahkan tenaga sakti Phang Kui Ceng yang
kejam, adalah himpunan tenaga sakti yang murni, walaupun
dahsyat luar biasa, namun sifatnya lurus dan halus.

126
Tenaga itu tidak untuk merusak, akan tetapi hanya
menolak. itulah sebabnya tubuh Phang Kui Ceng sama sekali
tidak terluka, seumpama Phang Kui Ceng sempurna ilmu
saktinya, tak sampai ia terkait pada dahan pohon, sebaliknya
kini, apabila sampai terlepas dari kaitan itu malah besar
bahayanya, Dia bisa terjatuh ke dalam jurang yang penuh
dengan batu-batu tajam, Sadar akan hal itu, dengan menahan
napas ia memutar tubuhnya menghadap pangkal pohon, lalu
memeluknya erat-erat.
Benar-benar suatu kejadian lucu mengharukan .
Menyaksikan kejadian itu, semua orang terkejut, heran dan
geli. sedangkan dua orang bawahan Phang Kui Ceng segera
menghunus golok mereka, lalu mereka melompat dan
berusaha mematahkan dahan pohon dengan golok mereka,
Tetapi dahan pohon itu terlalu tinggi , golok mereka tak
sampai.
Maka dengan berjumpalitan mereka turun ketanah, Setelah
menyimpan golok mereka, keduanya lalu memanjat pohon
tanpa memperdulikan senyum simpul para pendeta Siauw-lim
yang menyaksikan kelakuan mereka.
sementara itu Tie-kong tianglo lalu membisiki Thio Sin
Houw,Bocah itu nampak memanggut, lalu ia membungkuk
memungut sebutir batu kecil.
Setelah diincar baik-baik, segera jari-jarinya menyentil.
Dengan suara bersuling, batu itu menyambar dahan pohon.
"Krakkk!" dahan itu patah dan runtuh ketanah berikut tubuh
Phang Kui Ceng yang memeluk erat-erat. Kedua pembantunya
kaget. Seperti berjanji, mereka berdua melompat dengan
berbareng. Tangan mereka menyambar dalam usahanya
menghindarkan Phang Kui Ceng jatuh kedalam jurang, Tapi
celakalah mereka, Kena daya tekan tubuh Phang Kui Ceng

127
yang terbanting dengan tiba-tiba dari atas udara.
Mereka berdua malahan kena tindih. Dan dengan suara
berkedubrakan, ketiga-tiganya terbanting diatas tanah saling
tindih!
Kejadian inipun mengherankan semua orang yang
menyaksikan. Mereka tak pernah menduga, bahwa sebutir
batu kecil dapat mematahkan dahan pohon cemara yang
cukup besar dengan suatu sentilan dari jauh, Selagi mereka
termangu keheranan, kembali lagi Tiekong tianglo
menunjukkan kepandaiannya. Tiba-tiba tangan Thio Sin Houw
terangkat, dan suatu kesiur angin dahsyat bergelungan
menyendok tanah tempat Phang Kui Ceng bertiga jatuh saling
tindih, Tahu-tahu tubuh mereka terangkat naik keudara dan
terlempar balik. Dengan demikian, mereka bebas dari
ancaman tebing jurang yang meluruk berguguran kena
benturan berat badan mereka.
Walaupun demikian Phang Kui Ceng bertiga tidak kurang
kagetnya, tatkala tubuh mereka kena terangkat naik.
Mereka bertiga mengira, bahwa Thio Sin Houw hendak
menceburkannya ke dalam jurang, mengingat kedua orang tua
anak itu mati kena keroyok, walaupun yang membunuh Thio
Kim San tidak hanya golongan mereka sendiri, namun oleh
rasa dendam anak itu bisa kalap.
Diluar dugaan, mereka justeru berada dalam sebaliknya,
Setelah dapat menancapkan kaki, ternyata mereka berada
agak jauh dari tebing jurang yang sedang berguguran.
Kemudian suatu hawa hangat yang nikmat luar biasa
merayapi seluruh tubuh mereka, "Akh, anak itu bermaksud
mulia sekali," pikir mereka, Mungkinkah anak itu menghendaki
kepergian mereka? Tiba- tiba mereka pun teringat, bahwa
para pendeta Siauw-lim sie ikut pula memikul tanggung jawab
atas binasanya Thio Kim San, Memperoleh pikiran demikian.

128
"Anak muda, kami benar-benar kagum, sungguh kagum!"
kata mereka dengan membungkuk hormat. Setelah itu dengan
isyarat mata, Phang Kui Ceng menghampiri kudanya dan
mendahului turun gunung. Dan keempat pembantunya segera
menyusul cepat-cepat,
Mereka belum juga menyadari, bahwa semuanya itu tadi
adalah berkat ilmu sakti Tie-kong tianglu yang tersalur pada
tubuh Thio Sin Houw, Anak itu hanya merupakan sebuah
boneka belaka, sebaliknya para pendeta Siauw lim sie yang
bermata lebih tajam, kagum luar biasa terhadap Tie-kong
tianglo. Pikir mereka:
"Pada jaman ini, orang memashurkan nama Tie-kong
tianglo, sebagai seorang mahaguru nomor satu tiada
bandingnya. Setelah menyaksikan sekelumit kepandaiannya,
ternyata kepandaian orang tua itu melebihi kabar berita orang,
Akh, kalau begitu - ilmu saktinya cukup berharga untuk
dipelajari."
Sebenarnya pihak Cie-beng taysu sudah mengambil
keputusan tidak sudi saling menukar ilmu sakti dengan Tiekong
tianglo untuk kepentingan menolong nyawa Thio Sin
Houv, akan tetapi setelah menyaksikan kepandaian Tie-kong
tianglo, mereka jadi sibuk menimbang-nimbang, pikir mereka
lagi:
Sekalipun aku berlatih lima- puluh tahun lagi, takkan
mampu aku mencapai tingkatan kepandaian setinggi dia. ini
suatu bukti, bahwa himpunan tenaga sakti kaum Boe-tong pay
memiliki keistimewaannya sendiri. Karena itu, apabila aku
bersedia menukar rahasia ilmu sakti Boe-tong, rasanya tidak
akan rugi."
Memperoleh pertimbangan demikian, Cie-beng taysu
lantas berkata dengan suara agak sabar:

129
"Apakah ilmu sakti tadi anda peroleh dari rahasia ilmu Kiuim
Cinkeng?"
"Bukan." sahut Tie-kong tianglo.
"kepandaian itu siauwto ciptakan sendiri, namanya Thaykek
Koen Hoat, Namun demikian siauwto akui, ilmu itu
bersumber kepada rahasia titik tolak ilmu Kiu-in Cin-keng.
Apabila para taysu disini bersedia menolong nyawa cucuku ini,
tak berani siauwto menyimpan semua kepandaian yang
siauwto miliki. semuanya akan siauwto papar-kan kepada para
taysu yang sudi mempelajari "
Sungguh menarik tawaran Tie-kong tianglo, Meskipun
demikian, Cie-beng taysu belum berani mengambil keputusan.
Sebab ia mengira, bahwa yang tertarik hanya dia seorang diri.
Maka ia melemparkan pandang kepada Cie-keng taysu dan
Cie-goan taysu. Setelah kedua saudara seperguruannya itu
memanggut pendek, segera ia berkata:
"Baiklah. Kami akan mengajarkan rahasia ilmu sakti yang
diperlukan untuk menolong nyawa bocah itu, tetapi Tianglo
harus berjanji bahwa yang berhak mempelajari seorang saja,
Dialah sibocah itu, Selain dia, tidak kami perkenankan. Sebab
ilmu ini kami relakan kepadanya, semata-mata untuk
menyembuhkan penyakitnya.
Dengan begitu, diapun tidak kami perkenankan
mengajarkan kepada orang lain. Juga tidak kami perkenankan
menggunakan ilmu sakti ajaran kami untuk bermusuhan
dengan murid-murid Siauw-lim pay. Syarat ini berlaku di
bawah sumpah nah, bagaimana?"
Bukan main girang hati Tie-kong tianglo. Sahutnya cepat:
"Samwie taysu, Akulah yang menjadi saksinya, bahwa dia
menerima dua syarat tersebut. Yang pertama tidak boleh

130
mengajarkan kepada orang lain, yang kedua tidak boleh
menggunakan ilmu sakti tersebut untuk bermusuhan dengan
pihak Siauw-lim pay. Nah, Sin Houw! cepatlah kau bersumpah
."
Diluar dugaan, Thio Cin Houw menggelengkan kepalanya.
Katanya dengan suara tegas:
"Tidak! Tak sudi aku bersumpah, karena akupun tak sudi
mempelajari ilmu kepandaian mereka."
Tie-kong tianglo tercengang, Tak segera ia memaklumi
keadaan Thio Sin Houw yang terlalu sedih memikirkan
kematian ayah dan ibunya, Di sepanjang jalan, tidak hentihentinya
ia memberikan pengertian yang mendalam dan
mencoba membimbingnya kearah penglihatan yang lebih luas.
Akan tetapi watak Thio Sin Houw terlalu keras tidak mudah dia
menyerah, Malahan lebih baik mati tak berkalang tanah
daripada menerima belas kasih lawan!
Teringat hal itu, cepat cepat Tie kong tianglo keluar dari
ruang pendopo, Kemudian berkata dengan suara perlahan:
"Sin Houw, Ketika kubawa kau kemari, bukankah kau telah
setuju untuk mohon belajar ilmu sakti kepada para pendeta
Siauw-lim sie?, Kenapa kau kini mengingkari kesanggupanmu
sendiri?"
"Aku harus bersumpah tidak boleh menggunakan ilmu
ajaran mereka untuk bermusuhan dengan pihak mereka,"
jawab Thio Sin Houw dengan suara menggeletak "bagaimana
mungkin, sucouw? Bagaimana Mungkin? Bukankah mereka
ikut serta membunuh ayah-bunda dan sekalian saudaraku?"
"Benar." sahut Tie-kong tianglo dengan menghela napas.
"Tetapi kalau kau kini menolak ajaran mereka, dalam waktu
satu tahun jiwamu akan melayang. Lantas bagaimana caramu
untuk membalaskan dendam orang tua dan saudaramu yang

131
mati penasaran? Karena itu yang paling penting sekarang,
adalah menyelamatkan jiwamu dahulu.
Kemudian engkau berlatih ilmu sakti yang banyak
ragamnya di dunia ini.
Masakan kau tak sanggup mengalahkan musuh-musuhmu
dengan ilmu sakti yang lain? Kenapa kau hanya menganggap
hanya ilmu sakti Siauw-lim pay saja yang bisa mengalahkan
mereka?"
Suatu cahaya berkelebat di dalam benak Thio Sin Houw,
samar-samar ia seperti mengerti, apa sebab kakek-gurunya
bersikap mengalah dan sama sekali tak mau menyinggung
kematian muridnya, Mungkin sekali, inilah perhitungannya,
Yang penting: menyelamatkan jiwanya dahulu, setelah itu
perkara penuntutan dendam dapat dilaksanakan dengan
perlahan-lahan. sepuluh tahun lagi, rasanya belum kasep. Dan
memperoleh pengertian demikian, lantas saja ia menjawab:
"Baiklah, sucouw, Cucu muridmu ini patuh kepada
kebijaksanaanmu,"
"Bagus!" kata Tie-kong tianglo setengah berseru, "Kau
mengerti maksud kakekmu ini, bukan? sekarang cepatcepatlah
kau berlutut dihadapan mereka, sebelum mereka
berubah pendirian. Kau bersumpahlah akan menepati Janji."
Tie-kong tianglo kemudian membawa Thio Sin Houw
memasuki ruang pendopo kembali. Waktu itu Cie-beng Taysu
dan yang lainnya sudah berdiri tegak menunggu
keputusannya, Dengan pandang berkilat-kilat mereka menatap
wajah Thio Sin Houw yang pucat dan perawakannya yang
kurus kering.
"Bagaimana?" tanya Cie-beng Taysu dengan suara tak
sabar.

132
Thio Sin Houw kemudian membungkuk hormat.
***
DENGAN BERDIRI berjajar, Cie-beng Taysu dan rekanrekan
seperguruannya menatap Thio Sin Houw seakan-akan
dewa sakti turun dari langit hendak menebarkan maut.
Kemudian berkata memutuskan:
"Kalau begitu, mari kita masuk."
setelah berkata demikian, ia mendahului berjalan
memasuki ruang kuil Siauw-lim sie, tanpa memperdulikan
tetamunya. Dan Tie-kong tianglo yang sudah bebas dari
semua bentuk ikatan tata-tertib keduniawian dengan tak
merasa tersinggung membimbing tangan Thio Sin Houw
mengikuti mereka.
sebaliknya hati Thio Sin Houw semakin menjadi
mendongkol, namun melihat kakek gurunya bersikap sabar
dan tenang, lambat-laun ia menjadi tenang pula.
Diserambi depan Thio Sin Houw diharuskan bersumpah. ia
berlutut di hadapan Cie-beng Taysu, kemudian bersumpah:
"Aku, Thio Sin Houw, berkat kemurahan dan keluhuran
budi para pendeta kuil Siauw-liin sie menerima petunjukpetunjuk
ilmu sakti pada hari ini. ilmu sakti ini bertujuan untuk
menyembuhkan tubuhku yang menderita sakit. Karena itu, aku
tidak akan mengajarkan ilmu sakti ini kepada siapapun juga,
dan tidak akan menggunakan untuk memusuhi murid-murid
pihak Siauw-lim pay. Jika sampai aku melanggar sumpah ini,
biarlah aku terajang seperti ayah-ibuku."
Tatkala mengucapkan perkataan ayah dan ibunya, hatinya
tergetar.

133
Hampir saja ia mengucurkan air mata.
Dengan sekuat tenaga ia menahan perasaannya yang
bergolak itu, akan tetapi mendadak ia jadi sakit hati,
Dan tercetuslah sumpahnya didalam hatinya: Ayah dan ibu
mati kena keroyok mereka, dikemudian hari masakan aku
takkan mampu membalas dengan menggunakan ilmu sakti
lainnya, Hm .. mudah-mudahan kalian masih hidup, agar kelak
dapat merasakan betapa besar rasa dendamku ini.
Sudah tentu pihak Cie-beng Taysu dan kawan-kawannya
tidak mendengar gelora hati Thio Sin Houw, setelah dapat
menerima bunyi sumpah Thio Sin Houw, ia berpaling kepada
Tie-kong tianglo, Berkata Cie-beng Taysu dengan suara
merasa menang:
"Baiklah, sekarang juga kami akan membawa anak ini
masuk ke dalam pertapaan, Dia akan memperoleh petunjuk
petunjuk rahasia ilmu sakti kita dari seorang yang kami
wajibkan menurunkan ilmu warisan kami. Tetapi ilmu sakti
yang anda janjikan tadi ..."
"Pinjamkan siauwto alat tulis," potong Tie-kong tianglo.
"Sekarang juga siauwto pun hendak menulis seluruh rahasia
ilmu sakti yang dimaksud. Nah, biarlah aku menulis didalam
gardu penjagaan saja."
"Baiklah," sahut Cie-beng Taysu. "Kalau begitu, silahkan
tianglo menunggu digardu penjagaan, sementara kami
menyediakan alat tulis dan beberapa hidangan sederhana."
Thio Sin Houw waktu itu sudah berdiri. Mendengar maksud
kakek gurunya hendak menulis pula ilmu sakti ciptaannya,
menjadi penasaran sekali.
Akan tetapi pada waktu itu ia tidak berdaya menentang,
maka ia hanya patuh saja ketika diperintahkan mengikuti

134
seorang pendeta memasuki ruang pertapaan.
Kuil Siauw-lim sie bersandar pada sebuah pinggang bukit
yang mempunyai penglihatan sangat luas, tempatnya tenang
dan berhawa bersih. Dibandingkan dengan tempat
bersemayam Tie-kong tianglo di atas gunung Boe-tong san,
keindahannya menang beberapa kali lipat.
Halamannya luas dan ditanami dengan berbagai macam
pohon bunga. Maka sambil berjalan, hidung Thio Sin Houw
menghirup udara semerbak wangi. Sesungguhnya hal itu
dapat menyegarkan perasaan, akan tetapi Thio Sin Houw
dalam keadaan murung. ia mengikuti Cie-goan Taysu,
pendeta yang mengantarnya dengan kepala kosong.
Setelah berjalan serintasan mulailah dia dibawa
menyeberangi lapangan rumput. Kemudian memasuki petak
hutan yang tampaknya sengaja ditanam, Apabila semak
belukar yang berada didepannya tersibakkan, maka tampaklah
batu yang berbentuk panjang.
Bangunan itu mempunyai beberapa jalan batu yang bersih,
"sementara di sebelah kiri dan kanannya sunyi lenggang.
Tiada sebatang hidungpun yang nampak, akan tetapi Thio Sin
Houw sudah terbiasa dibawa serta orang tuanya menyingkiri
puluhan bentuk bahaya, ia memiliki pancaindera yang tajam.
ia merasa dirinya selalu diikuti suatu pandang mata yang
bersembunyi entah dimana, sehingga bulu kuduknya
meremang.
Ketika telah berada di dalam kuil, Cie-goan Taysu
mengantarkan Sin Houw ke sebuah kamar kecil.
"Siauw siecu, kau beristirahatlah disini," katanya, "Aku
akan segera mengirim orang untuk mengajarkan ilmu
kepadamu."
Setelah berkata begitu, ia mengebas dengan lengan

135
jubahnya dan jalan darah "Swee-hiat" (jalan darah yang jika
tertotok menyebabkan orang tertidur pulas) Sin Houw,
sehingga Sin Houw segera tertotok.
Cie -goan Taysu adalah termasuk salah seorang pendeta
pimpinan Siauw-lim sie. Tak usah dikatakan lagi, ia memiliki
kesaktian yang sangat tinggi sehingga setelah tertotok jalan
darahnya, Sin Houw segera pulas tertidur dan menurut
perhitungan ia baru akan tersadar empat Jam kemudian.
Tetapi Cie-goan Taysu tidak mengetahui bahwa anak itu
memiliki Lweekang atau tenaga sakti luar biasa, dan karena
adanya tenaga sakti itu maka kedudukan jalan darahnya bisa
berpindah-pindah. Oleh karena itu, baru pulas beberapa saat -
ia sudah tersadar kembali.
setelah ingatannya pulih, Thio Sin Houv mendengar suara
Cie-goan Tay su yang berkata:
"Tie-kong tianglo adalah seorang guru besar dari sebuah
partai,sehingga kalau dia telah menyanggupi, ilmu yang
ditulisnya pasti tidak palsu. Andaikata ia sengaja tidak menulis
terang, sesudah mempelajarinya aku merasa pasti kita akan
mengerti.
Segera Sin Houw menjadi curiga, ia khawatir kalau-kalau
pendeta itu akan berlaku curang. Oleh karenanya sengaja ia
meramkan sepasang matanya berpura-pura berada dalam
pengaruh totokan Cie-goan taysu.
"Thay-kek koen hoat yang ditulis oleh Tie-kong tianglo
dapat dipastikan tidak palsu, tetapi kita sendiri belum pernah
mempelajari Siauw-lim Kiu-yang kang, Apakah untuk
kepentingan orang luar, kita harus memohon-mohon
dihadapan Cie-kong taysu?" terdengar suara seseorang
memberikan jawaban, seseorang yang entah siapa gerangan,
karena baru sekali itu Sin Houw mendengar suaranya.

136
Sementara itu Cie-goan taysu sudah berkata pula:
"Karena perintah datangnya dari Ciang-bun Hong-thio
(pemimpin partai dan pemimpin kuil), maka aku yakin Ciekong
taysu tidak akan membantah."
Seseorang itu terdengar menghela napas, tetapi kemudian
berkata:
"Sam-sute, pergilah kau membawa Sek-thungku (tongkat
timah) dan memberi perintah kepada Cie-kong taysu, supaya
ia menurunkan ilmu Kiu- yang-kang kepada anak she Thio itu."
"Baiklah." jawab Cie-goan taysu.
Terdengar suara langkah kaki Cie goan Taysu yang
meninggalkan ruangan itu, tetapi tidak melewati tempat Sin
Houw rebah pura-pura pulas tertidur. Cukup lama, kemudian
terdengar Cie-goan taysu kembali dan berkata:
"Cie-kong sungguh aneh, Dia mengatakan bahwa setelah
mengabdi kepada Sang Budha, ia tidak mau bertemu dengan
orang luar. Tetapi karena Hongthio telah memerintahkan,
maka dia bersedia untuk mengajarkan ilmu itu dengan cara
Kay-tiang Coan-tang (Me-ngajar ilmu dengan teraling tirai).
"Ikuti lah kehendaknya," sahut seseorang yang tadi,
"Sebaiknya sute bawa anak itu kepada Cie Kong, setelah itu
perintahkan pengurus dapur mengantarkan hidangan ke ruang
Lip-soat teng, Biar bagaimanapun, Tie-kong tianglo adalah
seorang pemimpin dari sebuah partai besar, dan kita tidak
boleh tidak berlaku hormat."
Sementara itu Thio Sin Houw terus berlagak pulas. setelah
lewat sekian lama barulah datang seorang pendeta kecil yang
membawakan makanan dan setelah selesai bersantap,
pendeta kecil itu lalu berkata:

137
"Siauw-sicu, ikutlah aku."
"Ke mana?" tanya Sin Houw.
"Hong-thio memerintahkan aku membawamu kepada
seseorang." jawabnya.
"Kepada siapa?" tanya lagi Sin Houw.
"Hong-thio memesan supaya aku jangan banyak bicara."
Thio Sin Houw mengeluarkan suara dihidung, Diam-diam
dia mentertawai Cie-goan Taysu, karena diluar tahu pendeta
itu ia telah mengetahui bakal dibawa kepada Cie-kong.
Tanpa mengajukan pertanyaan lain Sin Houw lalu
mengikuti pendeta kecil itu. Sesudah melewati belasan
bangunan dan pekarangan, akhirnya mereka tiba disebuah
bangunan kecil yang dikurung dengan pohon-pohon Siong dan
Pek. Sambil berdiri didepan tirai pintu, pendeta kecil itu
berseru:
"Siauw-sicu telah tiba!"
"Masuk!" terdengar suara seseorang memberikan jawaban.
Thio Sin Houw lalu mendorong daun pintu dan bertindak
masuk, sedang si pendeta kecil mengunci pintu itu.
Thio Sin Houw mengawasi kesekitarnya, Kamar itu
ternyata sebuah kamar kosong, kecuali terdapat sehelai tikar
ditengah-tengah, tidak terdapat apapun juga.
Sesudah mendengar bahwa Cie-kong Taysu akan
memberikan pelajaran secara "Kay-tiang Coan-tang," ia
menduga bahwa didalam kamar itu dipasang semacam tirai.
Diluar dugaan, kamar itu bukan hanya kosong tiada isi, tetapi
juga tidak mempunyai lain pintu.

138
Sehingga tak dapat diduga entah dari mana datangnya
suara manusia yang tadi mengundang masuk. Tetapi selagi ia
sedang merasa heran, tiba-tiba terdengar lagi suara itu:
"Duduk! Dengarkan aku menghafal Siauw-lim Kiu-yang
kang, Aku hanya menghafal satu kali, Terserah kepadamu,
berapa banyak yang dapat diingat olehmu. Hong-thio telah
memerintahkan aku memberi pelajaran itu kepadamu dan aku
menurut perintahnya, Tetapi apakah kau mengerti atau tidak
adalah urusanmu sendiri."
Thio Sin Houw memasang telinga, Kini barulah ia
mengetahui, bahwa suara itu datang dari tembok sebelah dan
Cie-kong taysu berdiam di kamar sebelah. Pada hakekatnya,
mengirim suara dari alingan tembok bukan kepandaian luar
biasa, siapapun juga dapat melakukannya, Apa yang luar
biasa adalah suara Cie-kong Taysu terdengar tegas sekali,
seperti juga ia bicara saling berhadapan.
"Tenaga dalam pendeta itu sungguh dahsyat," kata Sin
Houw di dalam hati.
Sesaat kemudian, orang itu berkata dengan suara
perlahan:
"Tubuh berdiri tegak, kedua tangan dirangkapkan dan di
tempatkan di dada, Hawa tenang, semangat dipusatkan. Hati
tenteram, paras muka mengunjuk sikap menghormat. inilah
jurus pertama yang dinamakan Wie-hok Yan-couw, ingatlah
baik-baik!"
(Wie-hok Yan-couw = Wie-hok mempersembahkan gada).
Orang itu berdiam sejenak, kemudian berkata pula:
"Kedua tumit kaki ditancapkan di atas bumi, kedua tangan

139
di rentangkan keluar dengan, rata, Hati tenang, hawa
tenteram, Mata membelalak mengawasi ke depan, mulut
terbuka, ini jurus kedua, Hoen-tan Hang-mo couw, Kau
ingatlah baik-baik!"
(Hoen-tan Hang-mo couw ~ Memikul gada untuk menaluki
siluman).
Seterusnya ia menghafal jurus ke tiga, keempat, kelima ...
sampai pada jurus kedua belas. Mengenai jurus ke dua belas
itu ia berkata:
"Jurus ini dinamakan Tiauw-wie Yauw-tauw(Mengibas
ekor, menggoyang kepala), dengan Kouw-koat seperti berikut:
Iutut lurus, lengan dilonjorkan, Mendorong dengan tangan
sehingga menjadi kena bumi, Mata membelalak,
menggoyangkan kepala, semangat perlu dipusatkan sehingga
menjadi satu. Sesudah itu, luruskan tubuh dan menjejak tanah
dengan kaki, mengendurkan bahu, memanjangkan lengan,
Menyabat tujuh kali kekiri-kanan dan selesai. ilmu Kiu-yang lekin,
di kolong langit tiada tandingannya."
Hampir berbareng dengan perkataan "dikolong langit tiada
tandingannya, ia membentak:
"Siapa mencuri mendengar diluar? Masuk!"
"Brakkk!"
Pintu terpental dan sesosok tubuh terlempar jatuh masuk.
Orang itu ternyata adalah si pendeta kecil yang tadi mengantar
Sin Houw ke kamar itu. Dia terjatuh meringkuk, kedua
matanya meram dan pada mukanya terlihat rasa sakit yang
hebat. Sin Houw terkejut, cepat-cepat ia mendekati untuk
mem-bangunkannya.
"Kau urus saja dirimu sendiri," kata orang dikamar sebelah.
"Sekarang kau memerlukan semua kemampuan otakmu untuk

140
menghafal Kouw-koat yang baru saja kuberitahukan tadi ,
tidak dapat kau memecah perhatianmu."
"Ke-duabelas jurus itu sudah di ingat olehku seluruhnya,"
sahut Sin Houw.
"Benarkah begitu, coba kau sebutkan." kata Cie-kong taysu
disebelah sana, Di dengar dari nada suaranya, ia merasa
heran sekali.
Thio Sin Houw lantas menghafal Kouv-koat yang
dimaksud, dari jurus pertama sampai pada jurus yang kedua
belas, tak satupun yang salah.
Untuk sesaat Cie-kong taysu di tembok sebelah tak dapat
mengeluarkan suara apa-apa, Ketika menerima perintah dari
Cie-goan taysu untuk mengajarkan Kiu-yang kang kepada
orang luar, ia mendongkol dan kalau boleh ia tentu sudah
menolak. Akan tetapi peraturan didalam kuil Siauw-lim sie
selalu dipegang teguh dan perintah seorang Hong-thio
merangkap Ciang- bunjin tak boleh dilanggar, Disamping itu,
perintah Cie-goan Taysu hanya mengatakan "mengajar anak
itu" dan bukan "mengajar anak itu sampai paham". Oleh
karena itu, menurut anggapannya apabila ia menghafal Kouwkoat
cepat-cepat, paling banyak si bocah akan ingat satu-dua
perkataan.
Tetapi diluar perhitungannya, ternyata Thio Sin Houw
berhasil memasukkan Kouw-koat selengkapnya ke dalam
otaknya, ia merasa kagum bukan main, karena kecerdasan
dan bakat yang begitu luar biasa sungguh jarang terdapat
dalam dunia ini.
Sementara itu, melihat si pendeta kecil terus meringkuk di
lantai, Sin Houw merasa tidak tega dan lalu bertanya:
"Siansu, dosa apakah yang telah dilakukan oleh siauwsuhu
ini?"

141
"Dia mencuri dengar pelajaran tadi dari luar pintu,"
jawabnya dengan suara tawar. "Aku telah menggunakan Kimkong
Sian-ciang untuk menghajar adat kepadanya, jangan
kuatir, dalam beberapa saat ia akan sembuh kembali." ia
berdiam sejenak dan kemudian berkata lagi:
"Aku tak tahu, mengapa Hong-thio memerintahkan aku
memberikan pelajaran Kiu-yang Sin-kang kepadamu. Aku
tidak tahu siapa namamu dan kaupun tak usah menanyakan
namaku, Aku tidak tahu, ilmu apa yang telah atau pernah
dipelajari olehmu, akan tetapi aku merasa kagum akan
kecerdasanmu. Dikemudian hari, kau mempunyai harapan
yang tidak terbatas. Maka itu, aku bermaksud membantu kau
untuk membuka Kie-keng Pat-meh (pembuluh darah) di
seluruh tubuhmu, supaya kalau nanti kau berlatih dengan Kiuyang
Sin-kang- kau tidak perlu mengalami banyak kesukaran."
Sebelum Thio Sin Houw memberikan jawaban, mendadak
tembok berlubang dan dua lengan muncul dari lubang itu ...!
Sin Houw kaget bukan kepalang, ia mencelat dari tempat
duduknya dan berseru dengan suara tertahan :
"Kau ... kau ...!" itulah kenyataan yang terlalu mustahil!
Tetapi dengan matanya sendiri ia menyaksikan bahwa tembok
yang "tebal itu sudah berlubang karena sodokan tangan Ciekong
Taysu, seakan-akan tembok itu tidak lebih daripada tahu
yang lunak.
Sementara itu Cie-kong Taysu telah berkata kepada Sin
Houw:
"Tempelkan kedua telapak tanganmu dengan telapak
tanganku, Aku tidak mengetahui she dan namamu, akupun
tidak tahu kau muridnya siapa, Hari ini kita bertemu dan jodoh
kita akan habis sampai disini."
Melihat maksud orang yang sangat baik, pandangan Thio

142
Sin Houw terhadap Cie Kong Taysu segera berubah:
"Terima kasih atas bantuan Sian-su," katanya sambil
meluruskan kedua tangannya dan menempelkan telapakannya
ke tangan pendeta yang di anggap-nya aneh itu.
"Kendurkan tulang-tulang dan otot-otot didalam tubuhmu,
dan bebaskan pikiranmu dari segala ingatan," kata pula Ciekong
Taysu,
"Baiklah," sahut Sin Houw.
Sesaat kemudian dari kedua telapak tangan Cie-kong
Taysu keluar semacam hawa hangat yang terus menembus
kedalam telapak tangan Sin Houw, terus naik ke lengan dan
bahu. Hawa itu halus bagaikan sutera, tetapi terasa nyata
sekali dan perlahan-lahan hawa itu masuk ke dalam pembuluh
darah.
Apabila menemui rintangan dan tidak dapat segera
menembus, hawa itu berubah panas dan menerjang
berulangkali sehingga rintangan dapat ditembus, sesudah
delapan pembuluh darah besar ditembuskan, hawa itu jadi
semakin cepat jalannya sehingga Sin Houw merasakan
matanya berkunang-kunang dan kepalanya pusing sehingga ia
bagaikan mau jatuh terguling.
Akan tetapi dari telapak tangan pendeta aneh itu keluar
semacam tenaga menyedot, sehingga telapak tangan Sin
Houv melekat keras yang membuat Thio Sin Houw tidak
sampai terjatuh, Dilain saat, Sin Houw merasakan seluruh
badannya seperti dibakar. Kalau mungkin, ia tentu sudah lari
keluar dan membuka baju untuk terjun ke dalam telaga,
setelah lewat sekian lamanya, hawa panas itu meninggalkan
tubuhnya dan kembali ke telapak tangan Cie-kong Taysu.
Sesudah menarik pulang kedua lengannya dari lubang itu,
Cie-kong Taysu berkata dengan suara dingin:

143
"Kau pergilah!"
Thio Sin Houw menjenguk ke lubang itu, tetapi yang
dilihatnya hanya kegelapan. Mengingat budi pendeta yang
dianggapnya aneh itu, ia lantas saja berkata:
"Terima kasih banyak atas budi siansu yang sangat besar."
Setelah berkata demikian, ia berlutut. Tetapi mendadak
lengan Cie-kong Taysu muncul lagi di lubang itu dan
mengibasnya, Hampir berbareng, tubuh Sin Houw terpental
dan jatuh di luar pintu. Pendeta yang dianggapnya aneh itu
ternyata tak ingin menerima kehormatan tadi. .
"Pergi kau beritahukan,. kepada Hong-thio, bahwa
pelajaran Kiu-yang Sin-kang telah diturunkan semua kepada
Siauwsiecu, juga bahwa Siauw siecu memiliki daya ingat yang
sangat kuat dan semua pelajaran itu telah di ingat dengan baik
olehnya."
"baiklah," sahut si pendeta kecil yang telah tersadar dari
pingsannya.
Thio Sin Houw kemudian mengikuti, dan pendeta kecil itu
mengantarkan ke ruangan Lip~soat teng, di mana Tie-kong
tianglo telah menulis tiga puluh halaman lebih, tetapi masih
kelihatan terus menulis dengan tekun.
Melihat kerelaan dan pengorbanan kakek guru itu, Thio Sin
Houw merasa sangat terharu, dengan butir-butir air mata
berlinang ia berseru:
"Thay-suhu! Kiu-yang Sin-kang telah seluruhnya
diturunkan kepadaku oleh siansu. "
Sang kakek guru girang.

144
"Bagus!" katanya dengan menyertai tawa.
Tie-kong tiangLo kemudian menulis lagi sampai beberapa
saat kemudian ia telah menyelesaikan pekerjaannya.
Hasil tulisannya itu kemudian diserahkan kepada si
pendeta kecil yang mengantarkan Thio Sin Houw dengan
pesan untuk disampaikan kepada Cie-beng Taysu yang
menunggu di ruangan lain,
Disepanjang perjalanannya pendeta kecil itu memeriksa
dan membaca tulisan Tie-kong tianglo, sementara Tie-kong
tianglo yang mengetahui kejadian itu tidak menghiraukan.
Karena menurut jalan pikirannya, ia telah menyerahkan
rahasia ilmu sakti miliknya kepada pihak Siauw-lim secara
sukarela sebagai "penukar" nyawa Thio Siu Houw. Dari itu
siapa saja yang membacanya, baginya sama saja.
Ketika telah berada dihadapan Cie beng Taysu, pendeta
kecil itu menyerahkan naskah tulisan Tie-kong tianglo sambil
berkata:
"Susiok, ilmu kepandaian sakti yang dikatakan milik Taysuhu
dari Boe-tong pay itu, sebenarnya adalah asli kepunyaan
golongan Siauw-lim. Apa yang ditulis oleh Tay-suhu itu, sudah
pernah siauwtit pelajari."
"Omong kosong!" bentak Cie-beng Taysu, "Thay-kek Koenhoat
adalah ilmu yang digubah oleh Tie-kong tianglo sendiri,
bagaimana mungkin kau mengatakan sudah pernah belajar
ilmu itu?"
Tetapi wajah muka pendeta kecil itu tenang-tenang saja,
sambil menuding kepada tumpukan naskah yang dipegang
oleh Cie-beng Taysu ia berkata lagi:
"Jika susiok tidak percaya kepada siauwtit, silahkan paman

145
memeriksa bunyi naskah itu, dan siauwtit akan
mengucapkannya secara di luar kepala."
Setelah berkata demikian, pendeta kecil yang bernama Ku
Cie Tat itu terus mengucapkan bunyi naskah Tie-kong tianglo
diluar kepala, Mula-mula Cie-beng Taysu yang tetap
didampingi oleh Cie-keng dan Cie-goan Taysu bersikap dingin
terhadap perkataan Ku Cie Tat, tetapi setelah mendengar
pendeta kecil itu dapat mengucapkan kata-kata bunyi naskah
Tie-kong tianglo pada halaman satu dan dua dengan lancar,
tertariklah mereka, Terus saja mereka seakan-akan berebutan
membalik-balik halaman-halaman naskah, untuk kemudian
saling mengangsurkan, memeriksa dan membaca secara
bergantian serta mencocokkan dengan ucapan-ucapan Ku Cie
Tat diluar kepala, sejenak kemudian Cie-keng Taysu berkata
kepada Cie-beng Taysu:
"Benar , benar!" katanya. "Memang apa yang ditulis oleh
Tie-kong tianglo adalah kalimat-kalimat yang terdapat didalam
Kiu-im Cin-keng,"
Tidaklah mudah Cie-beng Taysu mempercayai pernyataan
itu. Akan tetapi Ku Cie Tat dapat membuktikan, dan apa yang
diucapkannya diluar kepala, sepatah kata saja tiada yang
salah atau terlampaui, Mau tak mau ia harus percaya penuh.
setelah menimbang-nimbang sebentar, kemudian ia
mengambil keputusan untuk menemui Tie-kong tianglo.
Setelah berhadapan dengan pemimpin golongan Boe-tong
pay itu, maka Cie-beng Taysu yang membuka bicara:
"Ilmu silat Boe-tong bersumber dari Siauw-lim, benar saja,
apa yang ditulis oleh Tianglo tidak banyak bedanya dari ilmu
silat kami." dan Cie-beng Taysu menyudahi perkataannya
sambil mengembalikan naskah hasil tulisan Tie-kong tianglo.
Tie-kong tianglo tertawa.

146
"Apa yang telah ditulis oleh siauwto, sedikitpun aku tidak
merasa menyesal," katanya, "Aku mengerti bahwa ilmuku itu
sangat cetek dan tidak berharga, Apabila samwie tidak
memer-lukannya, sebaiknya dibuang saja," Ia tidak
menyambuti tumpukan kertas yang diangsurkan kepadanya.
"Dari kata-katamu, Tianglo. Agak-nya kau tidak percaya
akan pengutaraan kami itu," kata Cie-keng ynng ikut bi-cara,
Lalu ia berpaling kepada Cie Tat dan menyambung
perkataannya: "Cie Tat - coba kau hafal isi kitab Kiu-im
cinkeng yang pernah kau pelajari."
"Baiklah," jawab pendeta kecil itu yang lantas saja
membaca di luar kepala, semua hasil tulisan Tie-kong tianglo
yang dilihatnya tadi.
Tiba-tiba Thio Sin Houw menyelak bicara:
"Thay-suhu, orang itu menghafal dengan membaca hasil
tulisan dari Thay suhu, dan sekarang mereka mengatakan ilmu
itu tiada berbeda dengan ilmu mereka, sungguh tak mengenal
malu!"
Tie-kong tianglo juga menyadari hal itu, ia tertawa sambil
mengawasi pendeta kecil itu. Lalu berkata :
"Selagi pinto minta bantuanmu mengantarkan naskah itu
untuk di sampaikan kepada Cie-beng Taysu, siauw suhu pasti
sudah menghafalkan hasil tulisan pinto itu, Kepintaran dan
kecerdasanmu itu tidak dimiliki oleh pinto, bolehkah pinto
mengetahui she dan namamu?"
"Thay-suhu jangan memuji begitu tinggi," jawab pendeta
kecil itu, yang kemudian menambahkan lagi: "Boanpwee she
Ku, bernama Cie Tat."
"Ku siauwtit," kata pula guru besar itu dengan suara
sungguh-sungguh2.

147
"Dengan kecerdasanmu, apapun juga yang dipelajari
olehmu pasti akan berhasil.
Pinto hanya mengharap, kau jangan mengambil jalan yang
salah, Dengan mempergunakan kesempatan ini, pinto ingin
mempersembahkan kata-kata seperti berikut: Dengan
kejujuran memperlakukan orang lain, dengan kerendahan hati
membatasi diri."
Melihat sinar mata guru benar itu yang tajam bagaikan
pisau, Ku Cie Tat bergidik. Tetapi dengan hati mendongkol ia
berkata:
"Terima kasih atas petunjuk Thay suhu, tetapi boanpwee
adalah murid Siauw-lim, dan mempunyai supeh, suhu, dan
susiok untuk mendidik boanpwee."
"Benar," kata Tie-kong tianglo sambil tertawa. "memang
aku si orang tua terlalu rewel."
Waktu itu Cie-keng Taysu telah mengangsurkan lagi
tumpukan kertas yang ditulisnya tadi. Kali ini Tie-kong tianglo
menyambut sambil mengirim tenaga dalam dengan
perantaraan kertas itu, Hampir berbareng sipendeta terhuyung
dan Ku Cie Tat yang berdiri di sampingnya, segera berusaha
memeluknya tetapi tenaga bertahan Cie-keng Tay-su besar
sekali dan pendeta kecil yang kena didorong, lantas saja
terpental keluar ruangan dan jatuh di tanah.
Ketika mengirim tenaga dalamnya itu, Tie-kong tianglo
hanya menggunakan sebagian tenaganya dan ia memang
tidak bermaksud jahat. Maka itu, begitu mengerahkan tenaga
dalam kebagian kakinya, Cie-keng Taysu sudah bisa berdiri
tegak. Sambil bersenyum maka ia berkata:
"Itu tadi adalah salah-satu jurus dari ilmu Thay-kek KoenKANG
ZUSI WEBSITE http://cerita-silat.co.cc/
148
hoat, dan kini terbukti bahwa meskipun kalian berdua paham
akan ilmu itu - tetapi kalian belum mempunyai kesempatan
untuk berlatih. Selamat tinggal!"
Dengan sekali mengibas tangan diudara berterbanganlah
kepingan-kepingan kertas yang halus. Kertas berisi ilmu Thaykek
Koen-hoat yang ditulisnya tadi, Sambil menuntun sebelah
tangan Sin Houw, tanpa menoleh lagi Tie-kong tianglo
meninggalkan gunung Siauw-sit san.
Pihak Cie-beng Taysu saling mengawasi dengan mulut
terbentang. Mereka merasa kagum dan takluk akan
kepandaian orang tua-itu. Disamping itu, merekapun merasa
agak menyesal.
"llmu itu sangat lihay," kata Cie-keng Taysu didalam hati,
"Apakah Cie Tat sudah menghafalkan seluruhnya? Apabila
satu huruf saja yang terlupa, Siauw-lim akan menderita
kerugian besar . .."
*****
DALAM PADA ITU, Tie-kong tianglo berdua Thio Sin Houw
telah meninggalkan gunung Siauw-sit san. Setelah
memperoleh tempat penginapan, Tie-kong tianglo segera
memerintahkan Sin Houw melatih diri menurut ajaran-ajaran
ilmu sakti yang diperolehnya dari Cie-kong Taysu di kuil
Siauw-lim sie.
Karena tak ingin melihat gaya latihan Thio Sin Houw yang
bersumber dari rumah perguruan lain, sengaja Tie-kong
tianglo mengambil dua kamar yang letaknya berpisahan.
Namun demikian, karena ilmu sakti Tie-kong tianglo telah
mencapai puncaknya walaupun tidak mendengar isti.lahistilahnya
akan tetapi dengan melihat cara duduk Thio Sin
Houw dan cara mengatur pernapasannya, dengan sendirinya
ia dapat menangkap inti rahasianya, Apalagi dia melihat pula
caranya menjalankan peredaran darahnya. inilah yang tidak

149
dikehendakinya. sebagai seorang yang memegang tampuk
pimpinan suatu aliran tersendiri, tak boleh ia berbuat demikian.
itulah sebabnya pula, betapa cara Thio Sin Houw memperoleh
kemajuan melalui ajaran Cie-kong Taysu, tak pernah
ditanyakan pula.
Tie-kong tianglo memang seorang petapa yang saleh dan
jujur hati, Karena kejujurannya, ia mengukur keadaan hati
orang lain dengan keadaan hatinya sendiri. Maka ia percaya
benar kepada para pendeta pemimpin kuil Siauw-lim sie, ia
yakin, mereka pasti memegang janji. walaupun mereka agak
sempit pikiran dalam menghadapi persoalan harga diri
mengenai rumah perguruannya - akan tetapi, betapapun juga
mereka adalah tokoh-tokoh tertinggi dari suatu partai yang
tertinggi pula.
Kata-katanya seumpama undang-undang. Karena itu, apa
yang mereka katakan tentulah dapat dipercaya, Kalau sudah
berjanji mengajarkan ilmu kepada Thio Sin Houw, pasti pula
tidak akan melakukan tipu muslihat atau berdusta.
Tie-kong tianglo menjadi girang tatkala disepanjang jalan ia
melihat wajah Thio Sin Houw makin hari semakin cerah dan
bersemu merah. itulah suatu tanda bahwa bocah itu telah
memperoleh kemajuan. Diam-diam ia berpikir , bila Thio Sin
Houw telah mendapat ajaran asli dari ilmu golongan Boe-tong
dan Siauw-lim sehingga bisa saling mengisi kekurangannya
masing-masing, tentu daya gunanya dikemudian hari akan
banyak bertambah.
Dengan berbekal dua bagian ilmu sakti Kiu-im Cin-kang
dan Kiu-yang Cin-kang, pastilah racun Hian-beng Sin-ciang
yang mengeram didalam sungsumnya akan bisa terhapus
sirna.
Di hari keempat mereka telah tiba ditepi sungai Han-sui.
Untuk mengurangi lelah, mereka menumpang sebuah perahu
dagang, sedang kuda mereka dijual sebagai penambah bekal.

150
Disepanjang perjalanan itu Tie-kong tianglo terkenang
pada masa mudanya ketika ia masih merupakan seorang
pendekar, seringkali ia dikejar kejar lawan, dan kebanyakan
tertolong oleh perahu-perahu yang berada ditepi sungai.
Tatkala itu ia masih muda belia, dan sama sekali tidak pernah
di duganya sendiri - bahwa pada hari itu ia menjadi tokoh
utama dari golongan Boe-tong yang derajatnya sama besar
dan sama tinggi dengan golongan Siauw-lim-pay. sedangkan
pada hari ini Thio Sin Houw malah sudah berhasil merangkap
ilmu kepandaian dua golongan itu. Maka sudah dapat
dibayangkan, bahwa masa depan bocah itu pasti akan lebih
gemilang daripada dirinya sendiri. Oleh rasa puas itu, ia
mengelus-elus jenggotnya yang telah putih seluruhnya.
Selagi ia mengelus-elus jenggotnya sambil tersenyum
sendiri,tiba-tiba Thio Sin Houw berteriak dengan suara
gemetar:
"Thay-suhu ... aku ... aku ..."
Dan wajah muka-anak itu berubah hebat. Merah membara
seperti dibakar. Dan diantara warna merah membakar
tersembullah warna hijau semu pula.
Rasa terkejut Tie-kong tianglo tidak terkirakan, setengah
menjerit ia bertanya:
"Kau... kenapa?"
"Aduh ... aduh ... sakit! Tak tahan aku ..." sahut Thio Sin
Houw dengan tubuh menggigil. setelah berkata demikian,
tubuhnya bergeliat dan terlempar lah ia keluar perahu.
Cepat-cepat Tie-kong tianglo mengulurkan tangan kirinya
menyambar pergelangan tangan Sin Houw, sedangkan tangan
kanannya terus menahan punggungnya. segera ia

151
menyalurkan tenaga dalamnya membantu Thio Sin Houw,
melawan hawa berbisa yang mengamuk di dalam tubuh.
Tak disangka tenaga sakti Tiekong tianglo yang disalurkan
lewat punggungnya, ternyata menembus seluruh bagian urat
nadi pada detik itu juga sehingga Thio Sin Houw menjerit
tinggi dan jatuh pingsan.
Tie-kong tianglo menjadi sangat terkejut tidak kepalang,
Dengan cepat kesepuluh jari-jari tangannya bekerja menutup
aliran darah yang penting, Di dalam hati ia menjadi heran,
Pikirnya:
"Mengapa seluruh urat nadinya dapat kutembus dengan
mendadak, padahal seluruh tubuhnya terkena gumpalan
gumpalan hawa berbisa yang luar biasa dahsyatnya, Betapa
mungkin urat nadinya yang penting-penting dapat tertembus
dengan sekaligus! Kalau urat-urat nadinya menjadi begini
lancar, hawa berbisa yang mengeram dalam sumsumnya akan
segera merangsang jantung. Hai,sekarang dan untuk selamalamanya
hawa berbisa yang sudah meruap begini hebat
terang sekali tidak dapat dihilangkan lagi".
Menghadapi keadaan demikian, walaupun Tie-kong tianglo
sudah berusia sembilanpuluh tahun lebih, kesadaran dan
ketenangannya sudah terlatih sampai ke puncaknya, namun
tidak urung ia merasa bingung juga hingga keringat dingin
membasahi jidatnya, Sama sekali tak pernah disangkanya
bahwa ilmu sakti Kiu-yang Cin-kie dari Siauw-lim pay begitu
hebat luar biasa.
Tak pernah pula diduganya bahwa seseorang yang baru
saja terlatih beberapa hari saja sudah dapat terbuka seluruh
urat nadinya, Menurut pendapatnya, hal itu tidak mungkin
terjadi. sedangkan murid-muridnya sendiri yang sudah berlatih
belasan tahun lamanya, belum tentu dapat juga menembus
urat nadinya sampai aliran darahnya menjadi lancar. Masakan
ilmu sakti pihak Siauw lirn lebih mujijat daripada ilmu sakti

152
milik Boe-tong?
Harus diketahui, apabila Tie-kong tianglo mau membantu
dengan tenaga saktinya kepada murid-muridnya, sudah tentu
bukan soal sulit untuk menembus seluruh urat nadi peredaran
darah mereka. Tetapi tenaga bantuan yang datangnya dari
luar, betapa baikpun tidaklah sebaik dan sesempurna tenaga
yang timbul dari badan sendiri yang sesungguhnya jauh lebih
kuat, jauh lebih murni dan dapat diandalkan, itulah sebabnya
Tie-kong tianglo tak mau membantu murid-muridnya
menghimpun tenaga saktinya. ia berharap murid muridnya
akan mencapai kemajuannya sendiri, setindak demi setindak
dengan berbekal kemauannya masing-masing, walaupun hal
itu terjadi sangat lambat.
Tatkala itu perahu mereka telah melaju sampai ditengah
sungai.Baik arus maupun gelombangnya tidak terlalu keras.
Meskipun demikian perahu kecil mereka tetap tergoyanggoyang.
sebaliknya hati Tie-kong tianglo tergon-cang jauh
lebih hebat, daripada ombak-ombak kecil yang
menggoncangkan perahunya.
Setelah lewat beberapa waktu, perlahan-lahan Thio Sin
Houw memperoleh kesadarannya kembali. Kedua belas
tempat peredaran darahnya sudah tertutup. Hawa berbisa
Hian-beng Sin-ciang untuk sementara dapat tertahan,
sehingga tidak sampai menjalar ke jantung, Tetapi tangan dan
kaki Thio Sin Houw tak bisa berkutik lagi,dalam keadaan
demikian Tie-kong tianglo tak perduli lagi akan pandang orang.
ia pun tidak menghiraukan bahwa gerak-gerik maupun
perkataannya dapat menimbulkan kecurigaan orang. Segera
ia bertanya kepada Thio Sin Houw:
"Sin Houw, ilmu yang kau peroleh dari kuil Siauw-lim itu,
sesungguhnya, bagaimana macamnya? Apa sebab seluruh
urat nadimu dan peredaran darahmu menjadi lancar
semuanya, seolah-olah ada tenaga besar yang telah
menembusnya?"

153
"Thay-suhu," sahut Thio Sin Houw, "Yang menembus jalan
darahku itu adalah Cie-kong Taysu, Dia berkata akan dapat
membantu aku mempercepat meyakinkan ilmu Kiu-yang Cinkie
golongan Siauw-lim."
"Bagaimana cara dia menolongmu?" Tie-kong tianglo
minta keterangan.
Maka berceritalah Thio Sin Houw tentang semua
pengalamannya di dalam pertapaan Siauw-lim sie. Bagaimana
mula pertama ia dibawa sampai dia mengetahui nama
seorang sakti yang bersembunyi dibalik dinding. Menurut kata
yang didengarnya, orang sakti itu bernama Cie-kong Taysu,
Diterangkan pula bagaimana cara Cie-kong Taysu
melancarkan seluruh peredaran darahnya.
Mendengar keterangan Thio Sin Houw beberapa saat
lamanya Tie-kong tianglo termangu-mangu. setelah
bermenung dia berkata:
"Jika demikianlah syarat untuk mempercepat peresapan
ilmu Kiu-yang Cin-khie, masakan aku tak bisa? sebenarnya
menurut perasaanmu orang yang menamakan diri Cie-kong
Taysu bermaksud baik atau buruk?"
"Beberapa kali ia berkata kepadaku begini: Aku tak kenal
kau bernama siapa" Thio Sin Houw memberikan keterangan .
"Akupun tidak tahu kau datang dari aliran atau golongan apa.
sebaliknya kaupun tak perlu mengetahui namaku, juga tidak
perlu mengenal wajahku! Akupun tidak perlu mengenal
wajahmu pula."
Tie-kong Tianglo menjadi heran mendengar penjelasan itu,
sejenak kemudian ia bicara bagaikan pada dirinya sendiri :
"Cie-kong Taysu! Cie-kong Taysu! Agaknya aku belum

154
pernah mengenal nama seorang tokoh Siauw-lim seperti itu...
dia mau menolong kau tanpa mengenal namamu, tanpa
mengetahui pula dari golongan atau aliran apa kau datang,
Jika begini, rasanya ia memang tidak mengetahui
hubunganmu dengan aku. untuk menolong dirimu, dia harus
mengorbankan tenaga murni yang di himpunnya paling tidak
sepuluh sampai dua puluh tahun lamanya. Kalau pengorbanan
ini tidak timbul dari hati nuraninya yang bersih, mustahil dia
rela berkorban?"
Setelah itu Tie-kong tianglo minta kepada Thio Sin Houw
agar mengucapkan kembali kalimat-kalimat sakti ilmu yang
diperoleh Thio Sin Houw di dalam kuil Siauw-lim.
Thio Sin Houw segera mengucapkan kalimat-kalimat sakti
yang pertama sampai yang ketiga diluar kepala, sebagai
seorang yang berkepandaian tinggi , dengan sekali
mendengar saja Tie-kong tianglo segera mengetahui betapa
hebat intisari ilmu itu. Cepat-cepat ia memutus:
"Sudahlah, tak usah kau teruskan.
Maksudku tadi hanya ingin menguji palsu atau tidaknya
ilmu sakti yang diajarkan kepadamu, itulah sebabnya aku
minta kau membacakannya, selanjutnya ilmu itu janganlah kau
kabarkan kepada siapapun juga, ingatlah sumpah yang
pernah kau ucapkan. seorang ksatria sejati pantang
melanggar sumpah yang telah diucapkan!"
"Ya, Thay-suhu." sahut Thio Sin Houw.
Ketika dilihatnya suara sang kakek guru agak bergemetar,
apalagi kedua matanya basah berkaca-kaca, tahulah Thio Sin
Houv menebak keadaan hati orang tua itu. ia seorang anak
yang dianugerahi alam suatu kepintaran luar biasa, cerdik dan
cerdas bukan main.
Pada saat itu sadarlah dia, bahwa hidupnya hanya tinggal

155
sisa waktu yang singkat saja, sehingga walaupun tidak
mengucapkan sumpah kepada pihak para pendeta Siauw-lim
sie artinya sama saja. ia tidak mempunyai waktu lagi, untuk
mengajarkan ilmu yang diperolehnya dari kuil Siauw-lim
kepada orang lain, Sejenak kemudian pikirannya bergerak ,
dan ia berkata kepada Tie-kong tianglo:
"Thay-suhu, apakah jiwaku tidak dapat dipertahankan lagi,
sampai aku bisa pulang ke Boe-tong san?"
"Janganlah kau berkata seperti itu, Betapapun hebatnya
lukamu, aku pasti berusaha menolongmu" sahut Tie-kong
tianglo yang berusaha membendung air matanya.
"Sucouw, aku tidak mengharapkan apa-apa lagi, asal saja
aku bisa melihat supeh Cia Sun Bie untuk sekali saja." kata
Thio Sin Houw.
"Apa sebab?" tanya Tie-kong tiang lo heran.
"Sucouw, Cia supeh adalah satu-satunya orang yang
mengetahui bahwa aku masih mempunyai seorang kakak
perempuan. Aku ingin membeberkan rahasia ilmu sakti Kiuyang
Cin-kang golongan Siauw-lim kepadanya lewat Cia
supeh.
Dengan berbekal ilmu kepandaian ayah dan dilengkapi
dengan ilmu sakti Kiu-yang Sin-kang golongan Siauw-lim, dia
akan menjadi seorang pendekar perempuan yang kelak dapat
menuntut balas sakit hati ayah dan ibu. Aku sendiri, setelah
mengabarkan ajaran ilmu sakti itu kepada Cia supeh, segera
akan bunuh diri, Dengan demikian aku bertanggung jawab
atas pelanggaran janjiku ini kepada pihak para pendeta Siauwlim
sie. Maka sedikit banyak aku tidak terlalu mengecewakan
pesan ayah dan ibu."
Mendengar perkataan Thio Sin Houw, Tie-kong tianglo

156
terperanjat bukan kepalang. Kemudian kagum dan terharu.
Sama sekali tak terlintas dalam benaknya, bahwa anak sekecil
itu ternyata sudah pandai menjangkau hari depan begitu jauh,
oleh rasa kagetnya, kagum dan terharu, maka Tie-kong tianglo
menyahut sejadi-jadinya. Katanya:
"Sin Houw, janganlah kau berkata yang bukan-bukan."
"Tay-sucouw, tiap kali aku membuka mata dan setiap kali
aku tertidur lelah, serasa aku mendengar suara ayah dan ibu
yang selalu memperingatkan aku agar aku menuntut balas
kepada lawan sebenarnya, Juga aku selalu mendengar
teriakan koko Sin Han yang begitu menyayatkan hati, ketika ia
mati terjungkal ke dalam jurang entah berapa ribu meter
dalamnya." kata Thio Sin Houw dengan suara gemetar.
Perkataan Thio Sin Houv itu membuat hati Tie-kong tianglo
terasa hancur luluh. Tanpa dikehendakinya sendiri, maka
terbayanglah wajah muka Thio Kim San, almarhum ayahnya
Thio Sin Houw.
Untuk urusannya Lim Tiauw Kie yang menghilang tanpa
jejak,pada suatu hari pernah Tie-kong tianglo memerintahkan
melakukan perjalanan ke Kanglam guna mengadakan
penyelidikan.
Sebelum berangkat, pada malam harinya Thio Kim San
keluar dari kamarnya dengan hati gelisah, Ketika tiba di
ruangan tempat berlatih ilmu silat, dari jauh ia melihat
kehadirannya gurunya, Untuk sesaat Thio Kim San berdiri
dibelakang suatu tiang tanpa bergerak, sampai tiba-tiba ia
melihat gurunya mengangkat tangan kanannya dan menulis
huruf-huruf ditengah udara.
Dengan memperhatikan gerakan tangan gurunya, Thio Kim
mengetahui bahwa yang ditulis gurunya adalah dua huruf
"Songloan" ( = kesedihan , kekalutan) . setelah mengulangnya
beberapa kali, guru itu menulis dua huruf lain, yakni "To tok" (-

157
penganiayaan hebat, melakukan pengrusakan). Segera Thio
Kim San menyadari, bahwa gurunya sedang menulis "Songloan
tiap" dari Ong Hie Cie,
Tetap sambil bersembunyi di belakang tiang, Thio Kim San
terus memperhatikan gerakan tangan gurunya yang menulis
seperti berikut:
"Hie Cie toen-sioe, song-loan oie kek3 sian-bok aay-lie to
tok3 toei-wie kouv seng, "
(= Hie Cie memberi hormat , kesedihan dan kekalutan
melampaui batas. Kuburan leluhur diubrak-abrik, kalau diingat
sungguh hebat perasaan duka.)
Lewat beberapa saat, Thio Kim San merasakan bahwa
setiap coretan yang dibuat oleh gurunya mengandung
kedukaan dan secara mendadak, ia berhasil menyelami
perasaan Ong Cie Hie sendiri pada waktu menulis Song-loan
tiap itu.
Ong Hie Cie adalah seorang sasterawan besar pada
zaman kerajaan Cin Timur, Pada waktu itu, negara Cina kacau
balau dan bangsa asing menentang kekuasaannya, Dalam
kesedihan dan kekalutan hebat (song-loan), murid-murid Ong
Hie Cie telah melarikan diri ke wilayah Cina sebelah selatan.
Bukan saja manusia, tetapi makam-makam pun turut dirusak
sehingga dapatlah dibayangkan, kedukaan dan kegusaran
rakyat yang sangat menghormati makam leluhur mereka,
penderitaan yang hebat itu, semuanya dilukiskan dalam Songioan
tiap itu.
Dalam keadaan biasa selagi diliputi suasana gembira, Thio
Kim San tak bisa memahami maksud yang sebenarnya dari
"tiap" itu. Tetapi kini selagi ia sendiri dalam keadaan duka
berhubung ulah Liam Tiauw Kie yang bahkan telah
menghilang tanpa meninggalkan jejak, maka secara
mendadak ia dapat menyelami arti "Song-loan" dan "To-tok".

158
Sementara itu setelah menulis beberapa kali, Tie-kong
tianglo menarik napas panjang lalu masuk ke ruangan tengah
dimana ia duduk termenung beberapa saat lamanya, Tiba-tiba
ia mengangkat pula tangan kanannya dan menulis huruf-huruf
ditengah udara. Kali ini huruf-huruf itu berbeda dengan hurufhuruf
Song-loan tiap, Huruf-huruf pertama adalah "Boe"
sedangkan yang kedua "Lim" (Boe-lim = Rimba persilatan). ia
menulis terus sampai mencapai duapuluh empat huruf.
Dengan memperhatikan gerakan tangan gurunya, Thio Kim
San mengetahui bahwa yang ditulisnya adalah Boe-lim aieooen,
po-sun...
Tiba-tiba Thio Kim San menyadari bahwa apa yang sedang
ditulis oleh gurunya itu, sebenarnya beliau sedang
memahamkan serupa ilmu silat yang sangat tinggi. Setiap
huruf yang ditulisnya, berarti setiap pukulan yang sangat
dahsyat!
Thio Kim San yang bersembunyi di balik tiang, menjadi
semakin tertarik perhatiannya dan memusatkan segala
kemampuannya untuk diam-diam menghafal semua gerakan
yang dilakukan oleh gurunya. Hampir dua jam lamanya Tiekong
tianglo berlatih terus, sampai kemudian ia bersiul
nyaring. Telapak tangannya menyabat dari atas ke bawah.
Bagaikan menyambarnya sehelai sinar pedang. Sabetan
yang dahsyat itu merupakan coretan terakhir dari huruf yang
ditulisnya.
Sehabis menyabat, guru itu menoleh kearah Kim San dan
berkata:
"Kim San, bagaimana pendapatmu mengenai Soe-hoat
ini?"

159
(Soe-hoat = seni menulis huruf indah).
Thio Kim San terkejut. Tidak disangkanya bahwa
kehadirannya telah diketahui oleh gurunya, Cepat-cepat ia
mendekati sambil menjawab:
"Hari ini teecu bernasib baik karena sempat melihat ilmu
silat suhu yang luar biasa, apakah boleh teecu memanggil
Toa-suko dan yang lainnya supaya merekapun bisa ikut
menyaksikan?"
Tie-kong tianglo menggelengkan kepalanya, Katanya :
"Kegembiraanku telah sirna, sehingga mungkin sekali aku
tak dapat menulis lagi, Disamping itu mereka tidak menyukai
sastra, belum tentu mereka bisa menarik banyak manfaatnya."
Setelah berkata demikian, sambil mengibaskan lengan
bajunya Tie-kong tianglo berjalan masuk ke ruangan dalam.
Thio Kim San tak berani tidur karena khawatir ia akan
melupakan ilmu silat itu, Oleh karenanya segera ia bersilat dan
menjernihkan pikirannya, untuk mengingat-ingat setiap coretan
yang baru saja dilihatnya, Entah berapa lamanya ia berlatih
terus dengan amat tekunnya, sampai akhirnya ia berhasil
menguasai seluruh ilmu silat itu yang digubah berdasarkan
huruf-huruf yang dibuat oleh gurunya tadi.
*****
TERINGAT dengan kenangan lama tanpa terasa air mata
Tie-kong tianglo berlinang keluar dan membasahi mukanya
bahkan terus menetes jatuh ke jubahnya. Cepat-cepat orang
tua itu memutar tubuh supaya jangan terlihat oleh Thio Sin
Houw, dan ia membentak dengan suara parau:
"Sin Houw, Tak boleh lagi kau berpikir yang bukan-bukan!"

160
Orang tua itu kemudian berusaha tenangkan diri, setelah
berhasil memperoleh ketenangannya, kembali ia memutar
tubuh menghadapi Sin Houw dan berkata :
"Seorang ksatria sejati, harus bersih hati dan jujur kepada
diri sendiri, ia harus memperlihatkan dadanya pada saat apa
saja, dimanapun ia berada dan dalam keadaan betapa
sulitpun juga, Kau telah berjanji kepada para pendeta Siau-lim,
bahwa kau tidak bakal mengajarkan ilmu yang diberikannya
kepadamu pada lain orang. Maka sejak saat itu pula, kau
harus dapat memegang teguh janjimu sendiri sampai detik
terakhir. Sebab saksinya adalah hidupmu sendiri!"
Kata-kata Tie-kong tianglo terdengar penuh semangat dan
berwibawa, sehingga Thio Sin Houw menjadi tertegun, Tanpa
merasa ia mengangguk.
Sebenarnya semenjak ia sadar hidup diantara ayah-bunda
dan kedua saudaranya, ia terlatih menjadi seorang ksatria
sejati. Namun didalam pengalaman hidupnya akhir-akhir ini,
iamenghadapi manusia-manusia licik yang demi tujuan
mereka banyak menggunakan berbagai tipu-daya licik yang
bertentangan dengan angan-angan jiwa ksatria, janji belum
tentu harus ditepati, semuanya tergantung pada keadaan.
Baru setelah berada di kuil Boe-tong pay, semua pamanpaman
gurunya memberikan contoh bagaimana sepak-terjang
seorang ksatria sejati. Dan bahwasanya janji bagi seorang
ksatria harus dipegang teguh sampai mati barulah untuk yang
pertama kalinya didengarnya lewat mulut kakek gurunya.
Walaupun demikian, kata-kata Thio Sin Houw itu telah
menusuk kalbu Tie-kong tianglo. Pikir orang tua itu di dalam
hatinya:
"Anak ini tahu bahwa beberapa hari lagi, jiwanya akan
melayang, Akan tetapi sama sekali ia tak gentar atau menjadi
kecil hati, malahan lantas teringat dengan pesan ayahKANG
ZUSI WEBSITE http://cerita-silat.co.cc/
161
bundanya bahwa ia harus bisa membalas dendam terhadap
musuhnya yang benar. Demi baktinya kepada ayah-bundanya,
ia rela membunuh diri setelah mengalihkan rahasia suatu ilmu
sakti yang dianggapnya bisa mencapai angan-angannya itu
kepada Cia Sun Bie, agar Cia Sun Bie diharapkan
meneruskan kepada kakaknya perempuan.
Kalau dipertimbangkan, sesungguhnya hal itu sesuai
dengan panggilan jiwa ksatria, Akh, mengapa Tuhan tidak
melindungi seorang yang memiliki jiwa demikian besar ini?"
Selagi orang tua ini memuji jiwa Thio Sin Houw didalam
hati, tiba-tiba terdengarlah suatu kumandang suara di
kejauhan sana. Nyaring benar suara itu terdengarnya:
"Heeeeyyy! Kau serahkan saja bocah itu! Dan kau akan
kami ampuni... kalau membangkang, janganlah mengutuk
kami dengan mengatakan kami seorang makhluk yang kejam
dan bengis!"
Suara itu terbawa oleh angin, tiap patah kata-katanya
terdengar sangat jelas, itulah suatu tanda, bahwa pemilik
suara itu pastilah memiliki tenaga dalam yang tinggi. Dan
mendengar bunyi kata-kata itu, Tie-kong tianglo tertawa
didalam hati, Katanya kepada dirinya sendiri:
"Entah siapa dia, sampai berani memerintah aku agar
menyerahkan bocah ini kepadanya ..."
Kata-kata itu diucapkan sangat perlahan, sehingga telinga
Thio Sin Houw tidak mendengar. Dengan perlahan-lahan ia
memutar badannya, Dan pada saat itu ia melihat sebuah
perahu kecil tengah meluncur sangat deras. Penumpangnya
seorang laki-laki berberewok lebat, usianya kira-kira baru
mencapai duapuluh tahunan. ia berada diantara dua kanakkanak
yang melindungi diri didepan dadanya, sedang pemuda
berberewok lebat itu, dengan semangat menyala-nyala

162
mendayung perahu kecilnya bagaikan kalap.
Hebat perawakan pemuda berberewok itu. Tubuhnya
tegap, dadanya bidang sehingga dapat melindungi dua bocah
yang bersembunyi di depannya. Tie-kong tianglo segera
memperhatikan dua bocah itu, yang satu laki-laki dan yang
lain seorang perempuan berwajah cantik mungil.
Perahu yang ditumpangi Tie-kong tianglo berada diluar
tikungan,sehingga setiap perahu yang datang harus muncul
terlebih dahulu dari balik tikungan . Demikianlah setelah
perahu pemuda berberewok lebat itu masuk ke dalam
tikungan, muncullah sebuah perahu lagi.
Perahu yang memasuki tikungan ini berukuran besar,
sehingga jalannya agak lambat. Penumpangnya berjumlah
delapan orang, mereka mengenakan pakaian seragam tentara
Mongol, perahu ini agaknya hendak mengejar perahu si
berewok.
Dengan berteriak-teriak nyaring, seorang laki-laki yang
berada di depan mengancam dan memperingatkan. Akan
tetapi pemuda berberewok itu tidak mengindahkan. Dengan
suatu tenaga yang luar biasa kuatnya, ia menggayuh cepat
sekali, sebentar saja, perahunya sudah hampir melewati
perahu Tie-kong tianglo.
Melihat perahu pemuda itu semakin lama makin menjadi
jauh, pengejarnya lantas menghujani anak panah. Diantara
puluhan anak panah yang menyambar pemuda berberewok
itu, terdengarlah sebatang yang mendesing sangat tajam
itulah suatu tanda, bahwa pembidiknya bertenaga kuat.
"Akh!" kata Tie-kong tianglo di dalam hati, "Kiranya mereka
memerintahkan pemuda itu meninggalkan atau menyerahkan
kedua bocah yang dilindungi. Kukira seruan tadi ditujukan
kepadaku . . . "

163
Sebenarnya Tie-kong tianglo hanya sebagai penonton
belaka.Akan tetapi, sejak masa mudanya ia membenci
terhadap gerombolan tentara Mongol.
Apalagi, manakala mereka sedang melakukan perbuatan
sewenang-wenang menindas rakyat jelata yang lemah tidak
berdaya, Maka Tie-kong tianglo bermaksud hendak menolong
pemuda berberewok itu.
Tetapi selagi hatinya gergerak hendak memberikan
pertolongan, tiba-tiba teringatlah dia kepada masalahnya
sendiri. Thio Sin Houw yang tidur di sampingnya, sedang
terancam pula jiwa-nya, Meskipun jiwanya tidak bakal terengut
oleh suatu senjata, tetapi bila tidak memperoleh pertolongan
dengan segera, ia akan mati pula.
Teringat akan hal itu, hati Tie-kong tianglo menjadi terharu
dan berduka, ia jadi merasa bimbang hendak menolong
pemuda berberewok yang terancam keselamatannya.
Dalam pada itu, pemuda berberewok yang melindungi
kedua bocah didepannya, menangkis hujan anak panah yang
menyambar kearahnya, dengan tangan kanannya, Gerakgeriknya
tangkas dan berani, sehingga diam-diam Tie-kong
jadi menaruh perhatian lagi. pikirnya didalam hati:
"llmu kepandaian pemuda itu tidak rendah, ia berani dan
tenang menghadapi ancaman bahaya, Apakah aku akan tetap
berpeluk tangan, menyaksikan dia mati tertembus panah?"
memperoleh pikiran demikian, segera ia memberi perintah
kepada pemilik perahu:
"Siauwko! Potong perjalanan mereka ..."
Pemilik perahu itu sudah tentu menjadi kaget, mendengar
kehendak penyewanya, Memotong jalan kedua perahu itu,
berarti bunuh diri. Sebab perahu besar yang berada
dibelakangnya sedang menghujani anak panah bagaikan

164
hujan turun, mengarah perahu pemuda berberewok yang
berada didepannya, Maka dengan Suara gemetar ia berkata:
"Tianglo, apakah maksudmu hanya bergurau saja?"
Sebenarnya Tie-kong tianglo ingin mengesankan, bahwa ia
bermaksud menolong pemuda berberewok itu. Akan tetapi
sebagai seorang pendekar yang sudah kenyang makan
garam, tahulah dia bahwa pemilik perahu dalam ketakutan,
Tatkala ia menoleh, keadaan pemuda berberewok itu berada
dalam bahaya. Sedikit terlambat, jiwanya takkan tertolong lagi,
Maka tanpa bicara lagi, Tie-kong tianglo merebut penggayuh
dan terus meluncurkan perahunya memotong perjalanan. Lalu
ia berputar menyongsong kedatangan perahu besar.
Tepat pada saat itu, ia mendengar suatu pekik melengking
yang menyayatkan hati. Anak laki-laki yang berlindung
didepan dada pemuda berberewok kena terbidik, sebatang
anak panah yang kuat luar biasa, menembus punggungnya
dengan amat dalamnya, bukan main kagetnya pemuda
berberewok itu, dengan gugup ia menelungkup hendak
melindungi berbareng memeriksa. Akan tetapi pada saat itu
pula, beberapa batang anak panah menancap pada lengan
dan pundaknya, ia tak menghiraukan sama sekali.
Sayang, ketika ia hendak meraih anak laki-laki yang
dilindungi, penggayuhnya jatuh terkulai didalam permukaan
air, seketika itu juga, perahunya yang sudah berada di depan
perahu Tie-kong tianglo berputar-putar bagaikan sebuah
gangsingan Dalam sekejap saja, perahu besar yang
mengejarnya sudah berhasil mendekati.
Empat tentara Mongolia melompat ke dalam perahunya,
akan tetapi pemuda bermuka berewokan itu tak sudi menyerah
mentah-mentah. Walaupun tidak bersenjata, ia melawan
dengan tinju dan kakinya.

165
Tie-kong tianglo terhenyak sebentar ketika mendengar
pekik teriak bocah itu yang mati tertembus anak panah, ia
sampai lupa kepada tujuannya semula, setelah perahu besar
lewat di sampingnya dan kemudian merahu perahu pemuda
berewokan itu, barulah ia tersadar Terus saja ia berseru
nyaring:
"Siauw enghiong, jangan berkecil hati! Aku akan
menolongmu!"
Tanpa berpikir lagi, ia mengangkat dua papan dari dalam
perahunya lalu dilemparkan kedalam air. Begitu dua papan
terapung diatas permukaan air, Tie-kong tianglo melompat
turun.
Jarak antara perahunya dan perahu mereka yang sedang
bertempur tidak begitu jauh, maka setelah Tie-kong Tianglo
melompat-lompat dari papan ke papan bagaikan mengembah
papan jembatan sampailah dia diburitan perahu. Ia lantas
melompat tinggi keudara, jubahnya berkibar-kibar tak ubah
sepasang sayap burung rajawali.
Dua tentara penjajah yang berada didalam perahu, kaget
melihat kedatangannya, mereka lantas melepaskan anak
panah. Akan tetapi dengan sekali mengebaskan lengan
bajunya, Tie-kong tianglo mementalkan dua batang anak
panah itu runtuh ke dalam sungai, dan begitu mendarat di atas
geladak perahu tangannya memukul. seorang tentara yang
berperawakan tinggi besar terpental kena pukulannya dari
jauh, dan dengan berjungkir-balik tentara yang sial itu tercebur
didalam sungai!
Kedatangan Tie-kong tianglo benar-benar tak ubah
malaikat turun dari langit. Dengan sekali bergerak, ia bisa
mementalkan dua batang panah dan melontarkan seorang
tentara penjajah yang berperawakan tinggi besar, inilah suatu
kepandaian yang sukar dibayangkan, maka tak mengherankan
tujuh tentara yang berada didalam perahu itu, tertegun seperti

166
kena pukau.
Sejenak kemudian, seorang tentara yang mengenakan
pakaian perwira, berteriak keras:
"Hei, kakek ! Tiada geledek tiada angin, apa sebab kau
mencampuri urusan ini? Pergi sebelum kasep!"
"Hemm ..." gerendeng Tie-kong tianglo. "Kau anjing
penjajah,berani benar membuka mulut besar didepanku...
entah sudah berapa kali, kalian mencelakai rakyat jelata,
Hayo, perintahkan kawan-kawanmu pergi secepat mungkin!"
"Eh, kakek! Hatimu sebenarnya mulia - akan tetapi kau
salah alamat... Tahukah kau, siapa mereka bertiga itu?
Mereka adalah anak-anaknya si penghianat Ciu Kong Bie!"
Mendengar disebutnya nama Ciu Kong Bie, hati Tie-kong
tianglo tercekat.. Serentak ia berpaling mengamat-amati
pemuda berberewok dengan dua bocah yang dilindunginya,
pikirnya didalam hati: "Benarkah mereka anak-anaknya Ciu
Kong Bie?"
Ciu Kong Bie adalah pembantu Thio Su Seng yang sedang
giat melakukan gerakan menentang kaum penjajah bangsa
Mongolia di daratan Cina. sebelah utara, jasanya sudah
banyak terdengar di kalangan kaum rimba persilatan maupun
rakyat jelata, Oleh karena itu Tie-kong tianglo semakin
bertekad hendak memberikan pertolongan.
"Perlu apa kalian begitu kejam?" tanya Tie-kong tianglo
kepada si perwira tentara Mongolia itu.
"Siapa kau? Mengapa kau berani mencampuri urusan
kami?" balik tanya si perwira dengan aseran.
Tie-kong tianglo tertawa.

167
"Siapa yang bisa menolong sesama manusia, haruslah dia
menolong," jawabnya . "Segala urusan dikolong langit boleh
dicampuri oleh manusia dikolong langit!"
Perwira itu melirik kawan-kawannya, tetapi bertanya lagi
kepada Ti e-kong tianglo:
"Siapakah nama Totiang, dan dimana letak kuilmu?"
Mendadak dua orang perwira lain mengangkat golok
mereka, dan membacok pundak Tie-kong tianglo. Kedua
senjata itu menyambar bagaikan kilat dan di atas perahu yang
sempit. sungguh sukar untuk mengelakannya, tetapi dengan
sekali miringkan badan guru besar itu sudah dapat
menghindar dari sambaran senjata musuh. Hampir berbareng,
Tie-kong tianglo mengeluarkan kedua tangannya yang lalu
ditempelkan di punggung kedua penyerang itu.
"Pergilah!" bentaknya sambil mendorong, dan tubuh kedua
perwira itu lantas saja "terbang" dan jatuh diatas perahu
mereka sendiri.
Sudah puluhan tahun Tie-kong tianglo tidak pernah
bergebrak. Kini dengan menguji kepandaiannya kembali,
ternyata segala-galanya dapat dilakukannya dengan sesuka
hati, Meskipun para perwira tentara penjajah itu merupakan
jago-jago pilihan, akan tetapi menghadapi ilmu sakti Tie-kong
tianglo yang tiada bandingnya itu, boleh dikatakan mereka
mati kutu, Oleh rasa terkejutnya, perwira itu sampai termangu,
Kemudian ia berkata dengan suara tidak lancar:
"Apakah kau ... kau ..."
Tetapi pada saat itu Tie-kong tianglo sudah mengebaskan
lengan bajunya lagi. bentaknya:
"Selama hidupku, aku paling gemar membunuh kaum

168
penjajah!"
Berbareng dengan perkataannya dua orang perwira
merasa sesak dadanya.
Untuk sejenak mereka tak dapat bernapas .
Apabila Tie-kong tianglo menarik kembali pukulannya,
wajah mereka menjadi pucat lesi, Terus saja mereka
berebutan mencari penggayuh. Dan dengan cepat-cepat
menjauhkan perahu mereka, sedangkan kawan-kawan
mereka yang tercebur di sungai segera ditolongnya, sebentar
lagi perahu mereka hilang di kelokan sungai.
Melihat panah-panah yang menembus pemuda berewokan
dan anak perempuan itu, Tie-kong tianglo segera
mengeluarkan obat pemunah racun. Setelah ditelankan
kemulut mereka, ia menolong mencabut panah-panah itu.
Segera ia mendayung perahu kecil itu untuk mendekati perahu
tambangannya, setelah berdempetan, ia lalu membungkuk
hendak memayang pemuda itu pindah ke perahunya.
Tak terduga, pemuda itu ternyata seorang yang luar biasa.
Tiba-tiba ia bangkit, sebelah tangannya memondong mayat
anak laki-laki tadi dan yang satunya lagi mengempit anak
perempuan.
Dengan satu lompatan enteng, ia sudah menyeberang
keperahu Tie-kong tianglo.
Diam-diam Tie-kong tianglo memuji didalam hati, pemuda
itu terluka parah, tetapi masih begitu setia terhadap
majikannya. Benar-benar seorang lelaki sejati. Menimbang
kegagahannya, pantaslah rasanya ia memberikan
pertolongannya.
Tie-kong tianglo kemudian melompat kembali kedalam
perahunya. Setelah memeriksa luka panah pemuda itu dan

169
anak perempuan yang dibawanya, segera ia membubuhi obat
luar, Dalam pada itu perahunya telah menepi diseberang.
Sekilas terpikir oleh Tie-kong tianglo didalam hati:
"Seluruh tubuh Thio Sin Houw sekarang dalam keadaan
lumpuh, ia sama sekali tidak dapat menggerakkan kakinya.
Jika aku meneruskan perjalanan, rasanya kurang
menguntungkan. Pemuda bermuka berewok dan kedua anak
yang dibawanya kini menjadi buronan pihak pemerintah
penjajah , jika aku harus melindungi mereka bertiga rasanya
agak sukar juga."
Ia merenung sejenak, Kemudian ia memberikan uang sewa
kepada pemilik perahu, dan berkata:
"Siecu, apakah kau masih sanggup membawa kami pada
suatu tempat yang kira-kira terdapat sebuah rumah
penginapan?"
Tukang perahu itu tadi menyaksikan betapa tangkasnya
Tie-kong tianglo menghajar dan mengusir tentara penjajah
yang bersenjata, Hatinya kagum luar biasa, dengan sendirinya
ia menaruh hormat sekali. Kini ia mendapat uang sewa,
jumlahnya terlalu banyak pula. Maka tak mengherankan, ia
segera memanggut dan cepat-cepat meneruskan perjalanan.
Dalam pada itu sipemuda bermuka berewok kemudian
berlutut didepan Tie-kong tianglo sebagai pernyataan terima
kasih, katanya dengan suara haru:
"Atas budi pertolongan totiang, dengan ini aku
menghaturkan terima kasih. Totiang, aku bernama Cie siang
Gie. Sejak hari ini, aku bersumpah kepada Tuhan bahwa
selama hidupku takkan kulupakan budi Tianglo."
Cepat-cepat Tie-kong tianglo membangunkannya,
sahutnya:

170
"Akh, kau tak perlu berlutut begini terhadapku ..." tiba-tiba
ia menyentuh telapak tangan pemuda itu, ia menjadi kaget.
Telapak tangan pemuda itu terasa sangat dingin bagaikan es,
maka cepat-cepat ia bertanya: "Apakah kau mendapat luka
juga di dalam tubuhmu?"
"Benar, tianglo. Aku membawa ke dua anak majikanku ini.
Di sepanjang perjalanan aku harus bertempur sampai empat
kali berturut-turut, aku kena terhajar punggung dan dadaku.
Apakah aku terluka berat?"
Dengan berdiam diri Tie-kong tianglo memegang urat nadi
pemuda itu.
Denyutnya terasa sangat lemah. Dengan hati bercekat Tiekong
tianglo membuka baju pemuda itu dan memeriksa
lukanya.
Begitu melihat luka yang di deritanya, orang tua itu makin
bercekat hatinya.
Bekas-bekas pukulan nampak bengkak hebat, itulah suatu
tanda bahwa luka pemuda itu bukan luka enteng. Apabila
orang lain yang kena pukulan demikian, pastilah sudah tidak
tahan lagi. Tetapi nyatanya pemuda ini masih kuat melarikan
diri sejauh itu dengan membawa dua kanak-kanak, dan di
sepanjang jalan ia melakukan perlawanan dengan sekuat
tenaga, Benar-benar harus dipuji ketangkasan dan jiwanya
yang penuh keperwiraan, maka ia tidak mengajak berbicara
lagi kepadanya, ia hanya mempersilahkan agar pemuda itu
merebahkan diri di dalam perahu untuk beristirahat.
Kira-kira menjelang tengah malam, sampailah perahu
tambangan itu di sebuah kota kecil. Tie-kong tianglo mencoba
mencari ramuan obat, setelah itu ia kembali ke perahu.
Anak perempuannya Ciu Kong Bie yang dibawa oleh

171
pemuda bermuka berewokan itu, berumur kurang lebih
sembilan tahun. ia sangat cantik jelita.
Waktu itu ia duduk disamping mayat kakaknya tanpa
bergerak. Menyaksikan hal itu, hati Tie-kong tianglo tersayatsayat.
Lalu ia bertanya dengan suara lembut:
"Siapa namamu, anak manis?"
"Ciu Sin Lan," jawab anak perempuan itu sambil berdiri
dengan sopan.
"Apakah titlie boleh mengetahui nama Tay-suhu?"
Heran dan kagum Tie-kong tianglo mendengar pertanyaan
gadis cilik itu, yang dapat dikatakan belum cukup umur, Akan
tetapi didalam keadaan yang begini kusut, masih dapat ia
berlaku sopan dan beradat. Tiba-tiba saja terbersitlah rasa
sayang dalam dada Tie-kong tianglo, sahutnya sambil
tersenyum:
"Siauw-to bernama Tie-kong."
"Ha?" seru gadis cilik itu dengan terkejut.
"Ha?" seru pemuda bermuka berewokan itu dengan
terkejut. Waktu itu ia masih rebah diatas geladak perahu,
Mendadak saja ia bangkit, meneruskan dengan suara
setengah berseru:
"Jadi tianglo adalah Tie-kong tianglo, guru-besar dari Boetong
pay? Pantaslah thay-suhu sangat sakti tiada tandingnya.
Hari ini siauwtit benar-benar sangat berbahagia, dapat
bertemu dan berhadap-hadapan dengan Thay-suhu."
Tie-kong tianglo tertawa dan berbasa-basi merendahkan
diri. Didalam hati ia merasa senang sekali, melihat Cie Siang
Gie berdua Ciu Sin Lan amat sopan santun.

172
"Kalian terluka berat. Lebih baik jangan berbicara lagi. Nah,
beristirahatlah selagi ada kesempatan yang baik." akhirnya
kata Tie Kong tianglo.
*****
PADA WAKTU makan malam, pemilik perahu sudah
selesai memasak, Tie-kong tianglo mempersilahkan Cie Siang
Gie dan ciu Sin Lan makan dahulu, karena ia hendak
menyuapi Thio Sin Houw yang tak dapat bergerak itu.
"Sebenarnya ia menderita penyakit apa?" Cie Siang Gie
minta keterangan dengan penuh perhatian.
Segera Tie-kong tianglo memberi keterangan, bahwa Thio
Sin Houw kena racun jahat yang kini menyerang bagian perut.
itulah sebabnya, ia terpaksa menghentikan peredaran
darahnya untuk menyelamatkan jiwanya.
Thio Sin Houw ikut mendengarkan keterangan kakek
gurunya itu, ia makin menyadari, bahwa jiwanya takkan
tertolong lagi. Diam-diam ia menjadi terharu dengan jerihpayah
kakek gurunya itu yang berjuang untuk menyelamatkan
jiwanya, Oleh rasa haru, ia tak sanggup makan lagi,
Kerongkongannya terasa tersumbat. Tatkala Tie-kong tianglo
hendak memasukkan suapan yang ketiga kalinya, ia
menggelengkan kepalanya.
Tiba-tiba Ciu Sin Lan yang selama itu menaruh perhatian
kepadanya, datang mendekati. ia mengambil mangkok nasi
yang berada ditangan Tie-kong tianglo, dan berkata dengan
lemah lembut:
"Thay-suhu, biarlah aku yang menyuapinya, Sejak petang
tadi, Thay-suhu telah bekerja keras, silahkan makan dahulu."
Tercengang hati Tie-kong tianglo melihat sikap gadis cilik

173
itu, yang begitu pandai membawa diri, Tatkala itu ia
mendengar Thio Sin Houw menyanggah kepada Ciu Sin Lan:
"Terima kasih. Aku sudah kenyang. Tak bisa aku makan
lagi."
Ciu Sin Lan menoleh kepada Tie-kong tianglo, minta
keterangan:
"Thay-suhu, siapakah namanya?"
Dengan bersenyum Tie-kong tianglo menjawab:
"Thio Sin Houw."
Setelah mendengar nama Thio Sin Houw, maka Ciu Sin
Lan menoleh kepadanya, berkata dengan suara halus.
"Sin Houw koko, jika kau tidak mau makan, pastilah Thaysuhu
akan bersedih hati, dan Thay-suhu pun tidak akan
bernapsu makan pula, Bukankah kau membuat Thay-suhu
lapar?"
Thio Sin Houw diam menimbang-nimbang, Pikirnya, benar
juga alasan anak perempuan itu, Maka, tatkala Ciu Sin Lan
menyuapkan nasi kemulutnya, ia lantas menelannya.
Ciu Sin Lan ternyata sangat telaten menyuapi. sebelum
menyuapkan, ia membuangi tulang-tulang ikannya dahulu dan
setiap suapan ditambaninya dengan sedikit kuah. Oleh
pelayanan yang begitu sempurna, Thio Sin Houw menjadi
makan secara lahap. Tanpa disadarinya sendiri, ia telah
menghabiskan semangkok nasi.
Selama itu Tie-kong tianglo menaruh perhatian kepada
mereka. Melihat Thio Sin Houw dapat menghabiskan
semangkok besar nasi, ia menjadi agak lega, pikirnya didalam

174
hati:
"Sin Houw ini benar-benar anak yang bernasib malang, ia
tidak hanya ditinggalkan kedua orang tuanya, tetapipun oleh
kedua saudaranya pula, sekarang ia menderita sakit begini
berat memang, untuk menghibur dirinya seharusnya ada
seorang perawat yang sebaya dengan umurnya."
Ia menoleh kepada Cie Siang Gie,
Meskipun sedang terluka parah, akan tetapi pemuda itu
makan dengan lahap dan bernapsu, Dalam sekejap saja, ia
telah menghabiskan tiga mangkok nasi penuh-penuh. Kena
pandang Tie-kong tianglo, pemuda itu berhenti mengunyah,
menengadah sambil berkata:
"Akh, hampir saja aku menghabiskan persediaan makan
Thay-suhu. silahkan Thay-suhu makan."
"Tidak, Aku mempunyai persediaan sendiri. Aku senang
melihat kau dapat menghabiskan tiga mangkok nasi dengan
sekaligus, hal itu perlu sekali untuk menjaga kesehatanmu
Kulihat tenagamu hebat sekali, dikemudian hari kau bisa
mengembangkan tenagamu itu."
Cie Siang Gie meletakkan mangkok-nya, menyahuti:
"Akh, Thay-suhu, sekalipun andaikata aku mempunyai
tenaga sebesar gajah, kurasa tiada gunanya, Sebab aku ini
orang yang kasar."
Dengan pandang penuh perhatian, Tie-kong tianglo
menatap wajahnya, Kemudian berkata sambil mengurut
jenggotnya:
"Cie siauwhiap, berapa umurmu?"
Dengan cepat Cie Siang Gie menjawab:

175
"Duapuluh tahun tepat."
Dibandingkan dengan usia Tie-kong tianglo, umur Cie
Siang Gie baru seperlimanya, Akan tetapi karena ia
memelihara berewok, maka nampaknya seram luar biasa,
Apabila dilihatnya sekilas pandang, kesannya seperti sudah
berumur tiga puluh tahun lebih. Dalam pada itu Tie-kong
tianglo mengangguk-angguk dan berkata dengan hati lapang:
"Hm, kau masih sangat muda, siauw hiap, Hari depanmu
masih sangat panjang , semoga kelak kau bisa bergaul lebih
luas lagi untuk mengangkat nama sendiri."
Cie siang Gie mengucapkan terima kasihnya, Dan esok
harinya Tie-kong tianglo bermaksud hendak melanjutkan
perjalanannya, dengan mengambil jalan darat. Maka ia segera
memondong Thio Sin Houw dan berkata kepada Cie Siang
Gie:
"Baiklah kita berpisah sampai di sini saja, mudah-mudahan
kau dapat mencapai tujuan dengan selamat." setelah berkata
demikian, ia melompat ke darat hendak meninggalkan perahu.
Dengan berdiri tegak, berulangkali Cie Siang Gie dan Ciu
Sin Lan mengucapkan terima kasih tak terhingga. Sedang Ciu
Sin Lan sempat berkata dengan lemah lembut kepada Sin
Houw:
"Siri Houw koko, tiap hari kau harus makan yang kenyang.
Dengan demikian kau tidak akan membuat sedih Thay suhu."
Terharu hati Thio Sin Houw mendengar perkataan Sin Lan,
entah apa sebabnya tiba-tiba saja air matanya mengalir di
kedua pipinya. sahutnya dengan suara tak lancar:
"Terima kasih atas perhatianmu, Tetapi ... tetapi beberapa
hari lagi aku akan tidak bisa makan nasi, atau meneguk air ..."

176
Mendengar perkataan itu hati Tie-kong tianglo seperti
tersayat. Dengan terharu ia mengusap air mata bocah itu.
"Apa katamu? Kau . . . kau . . . kenapa?" tanya Sin Lan
kaget.
Thio Sin Houw tak kuasa menjawab pertanyaan Sin Lan,
dan Tie-kong tiang lo ganti menjawab:
"Anak manis, hati nuranimu sangat baik. Mudah-mudahan
Tuhan memilihkan jalan yang benar bagimu. Aku sendiri selalu
berdoa, agar kau jangan terjerumus ke jalan yang sesat."
"Terima kasih, Thay-suhu," sahut Ciu Sin Lan dengan
tulus.
Tiba-tiba Cie siang Gie ikut bicara:
"Thay-suhu, ilmu saktimu sangat tinggi. walaupun ribuan
macam racun berada dalam tubuh adik kecil ini, pastilah Thaysuhu
dapat menyembuhkan."
"Ya, tentu ..." sahut Tie-kong tianglo singkat. Akan tetapi
sebelah tangan yang berada dibawah tubuh Thio Sin Houw
nampak digoyang-goyangkan beberapa kali. Terang sekali
maksudnya bahwa luka yang diderita Thio Sin Houw terlalu
berat, sehingga tiada harapan untuk dapat disembuhkan
kembali. Hanya saja, tak pernah ia memberitahukan hal itu
kepada Thio Sin Houw.
Melihat goyangan tangan Tie-kong tianglo yang dimaksud
sebagai aba-aba itu, maka Cie Siang Gie menjadi kaget.
Katanya lagi:
"Thay-suhu, luka yang kuderita tidak ringan pula, Aku
bermaksud mencari salah-seorang pamanku yang pandai

177
mengobati, ia terkenal sebagai seorang tabib sakti. Tidakkah
lebih baik apabila adik kecil ini pergi bersama sama aku, untuk
menemui pamanku itu?"
Tie-kong tianglo mendengarkan perkataan Cie Siang Gie
dengan penuh perhatian, tetapi sesaat kemudian ia
menggelengkan kepalanya, Sahutnya:
"Urat-urat nadinya sudah tertembus, sehingga bisa racun
yang jahat meresap ke dalam perutnya, Kurasa obat dewa
sekalipun sukar sekali menyembuhkannya, Diseluruh dunia ini
tiada seorangpun yang sanggup menyembuhkannya,
sehingga..."
"Tetapi pamanku mempunyai kepandaian menghidupkan
orang mati!" Cie Siang Gie memutus dengan sungguhsungguh.
Tie-kong tianglo tercengang. Mendadak teringatlah dia
kepada seseorang, lalu katanya mencoba:
"Apakah nama pamanmu itu Tiap-kok le-sian?"
"Benar, memang dia!" seru Cie Siang Gie girang. "Kiranya
Thay-suhu kenal nama pamanku itu."
Tie-kong tianglo diam termenung, ia nampak bimbang.
Memang pernah didengarnya nama Tiap-kok le-sian yang
aneh dan sakti itu, dan yang namanya disegani oleh orangorang
Rimba persilatan. Akan tetapi dia adalah dari golongan
"Beng-kauw" yang menurut anggapan orang banyak
merupakan agama sesat.
Oleh karena itu kalau orang yang sakit atau terluka
merupakan orang dari golongannya, ia segera menolongnya
dengan sepenuh tenaga tanpa mau menerima bayaran
apapun juga, sebaliknya kalau yang memerlukan pertolongan
bukan pengikut golongannya, biarpun dibayar dengan jutaan

178
tail emas ia tidak akan sudi menolongnya.
Melihat Tie-kong tianglo berbimbang-bimbang, segera Cie
Siang Gie dapat menebak. Katanya membujuk:
"Thay-suhu, Pamanku itu meskipun selamanya tidak sudi
mengebati orang-orang diluar golongannya, akan tetapi Thaysuhu
sudah menanam budi demikian luhur menolong jiwa
kami, Kurasa paman ku akan melanggar kebiasaan sendiri.
Aku sendiri sebenarnya bukan merupakan pembantu dari
gerakan Ciu Kong Bie sebaliknya ayahkulah yang merupakan
salah-seorang pembantu setia dari Thio Su Seng dan
diperbantukan kepada Ciu Kong Bie.
Tatkala ayah meninggal, beliau berpesan kepadaku
hendaklah aku membawa dua putera-puteri Ciu Kong Bie
untuk diselamatkan dari kejaran pihak tentara penjajah,
Karena aku sudah menyanggupkan diri, maka aku
membawanya pergi ke tempat pamanku yang sekaligus
merupakan atasanku, Beliau, adalah Han Sam Tong, yang
menentang pemerintah penjajah dibawah Panji Beng-kauw..."
Sejenak Cie Siang Gie menunda bicara sambil menatap
muka Tie-kong tianglo, lalu ia berkata lagi:
"Thay-suhu adalah seorang pemimpin besar dari suatu
perguruan yang juga maha-besar, dan juga merupakan
seorang yang memuliakan agama, sebagai seorang beragama
yang saleh, betapa mungkin Thay-suhu membiarkan diri
memohon bantuan kepada pamanku yang digolongkan dari
aliran sesat. Tabiat pamanku memang aneh pula, belum tentu
ia bisa menerima kedatangan Thay-suhu dengan semestinya,
Apabila terjadi demikian, kedua-duanya akan susah. Maka
biarlah adik kecil ini aku yang membawanya seorang diri saja.
Namun aku tahu, Thay-suhu menyangsikan nilai budi
golongan kami, karena itu aku mohon kepada Thay-suhu,
biarlah Ciu kouwnio.

179
Siauw-kouwnio ini mengantarkan Thay-suhu pulang ke
gunung Boe-tong sebagai jaminan. Kelak apabila adik kecil ini
sudah sembuh, akan aku menjemputnya kembali."
Selama hidupnya Tie-kong tianglo belum pernah
mencurigai seseorang. Tetapi mengingat Thio Sin Houw
adalah keturunan satu-satunya dari murid kesayangannya,
Thio Kim San - maka ia bersikap sangat hati-hati. Sebab jika
keturunan anak muridnya itu di kemudian hari sampai masuk
ke dalam aliran sesat, bagaimana ia mempertanggung
jawabkan kepada arwah ayahnya, itulah sebabnya masih saja
ia ragu-ragu.
Akan tetapi bisa racun yang mengamuk didalam tubuh Thio
Sin Houw sudah terlalu hebat. Betapapun juga akhirnya kalau
tidak hidup ya mati. Bahaya yang bakal mengancam dirinya,
apa perlu diperpanjang dan dipertimbangkan berkepanjangan?
Olah pertimbangan itu, segera Tie-kong tianglo menjawab:
"Cie siauwhiap, baiklah, Kita saling berjanji, aku akan
merawat Ciu siauw kouwnio ini baik-baik. Dan tolong kau
rawat Sin Han baik-baik pula, kelak apabila racun yang
mengamuk di dalam dirinya sudah sirna, hendaklah kau
membawanya sendiri ke Boe-tong san."
"Memperoleh kepercayaan seseorang apalagi mendapat
tugas demikian mulia, aku harus bersedia," sahut Cie Siang
Gie. "Thay-suhu, legakan hatimu, Aku akan menjaganya
dengan mempertaruhkan nyawaku sendiri."
Setelah berkata demikian, ia melompat ke darat. ia
menggali liang kubur dengan sebatang golok, liang itu berada
dibawah pohon besar. setelah selesai ia menghampiri mayat
anak laki-laki yang menjadi kakaknya Sin Lan.
Mayat itu kemudian ditelanjangi bulat-bulat, kemudian
ditaruhnya dengan hati-hati ke dalam liang kubur. Cara

180
meletakkannya ditengkurapkan sehingga hidungnya mencium
bumi, setelah selesai, dengan penuh baru mayat itu mulai
ditimbuni tanah.
Ciu Sin Lan menangisi kuburan kakaknya dengan
sedihnya, Sedang Cie Siang Gie hanya berdiri tegak tanpa
berkata sepatah katapun. ia tidak berdoa atau
bersembahyang. Demikianlah, setelah puas menyatakan rasa
duka-citanya, perlahan-lahan mereka memutar badannya dan
menghampiri Tie-kong tianglo.
Kala itu pagi hari nampak cerah, Tie-kong tianglo hendak
segera meneruskan perjalanannya pulang ke gunung Boetong
san dengan membawa Ciu Sin Lan, arahnya tepat ke
timur. sedangkan Cie Siang Gie membawa Thio Sin Houw ke
selatan.
Setelah tiada berayah-bunda lagi, Thio Sin Houw
menganggap Tie-kong tianglo seperti kakeknya sendiri. itulah
sebabnya perpisahan pada pagi hari itu sangat mengharukan
hatinya, sehingga air matanya-bercucuran. sebelum
berangkat, Tie-kong tianglo mencoba membesarkan hati Sin
Houw. Katanya:
"Sin Houw, aku percaya penyakitmu akan sembuh. Apabila
penyakitmu sudah sembuh kembali, pastilah kakakmu Cie
Siang Gie membawamu pulang kembali ke gunung Boe-tong
san. Kita hanya berpisah hanya beberapa bulan saja, karena
itu tak perlu kau bersedih hati."
Thio Sin Houw belum dapat menggerakkan anggauta
badannya. ia hanya mengangguk, namun air matanya
mengucur semakin deras. Tiba-tiba saja Ciu Sin Lan kembali
ke perahunya, lalu balik kembali dengan membawa
saputangan bersulam sekuntum bunga Mawar, Saputangan itu
dimasukkan kedalam baju Sin Houw, lalu menghampiri Tiekong
tianglo dan siap untuk berangkat.

181
Tergerak hati Tie-kong tianglo menyaksikan perbuatan Ciu
Sin Lan. pikirnya:
"Gadis kecil ini begini cantik, Kelak apabila telah dewasa,
pastilah akan tumbuh menjadi seorang gadis yang elok luar
biasa, Apabila Sin Houw dapat disembuhkan, aku wajib tidak
akan mengijinkan pertemuannya dengan gadis ini. Sebab
apabila kedua-duanya sampai saling jatuh cinta, bukankah Sin
Houw akan dapat terseret memasuki golongan sesat?"
Catatan: Yang dimaksud dengan golongan sesat oleh Tiekong
tianglo pada waktu itu, adalah golongan Beng-kauw yang
bahkan dikemudian hari dapat mengusir tentara penjajah dan
membangun kerajaan "Beng" (Ming) dengan Cu Goan Ciang
yang menjadi kaisar pertama kerajaan Beng).
Demikianlah dengan pandang mata yang berat, Thio Sin
Houw menyaksikan Tie-kong tianglo membawa pergi Sin Lan.
Tiada hentinya dara cilik itu menoleh dan melambaikan
tangan, sampai tubuhnya hilang teraling pohon-pohon yang
lebat.
*****
PADA WAKTU ITU, terasa di dalam hati Thio Sin Houw,
bahwa dirinya hidup sebatang kara, Alangkah sunyi dan
hampa rasanya, oleh karena itu kembali ia menangis sedih,
"Sin Houw. Berapa umurmu sekarang?" tanya Cie Siang
Gie tiba-tiba sambil mengerutkan kening.
"Mungkin duabelas tahun," sahut Thio Sin Houw.
"Bagus, seorang yang sudah berumur dua belas tahun
tidak boleh dibilang anak kecil lagi, Masakan kau menangis
demikian rupa, hanya disebabkan suatu perpisahan saja? Apa
kau tidak malu?" kata Siang Gie sungguh-sungguh.

182
"Dahulu, ketika aku berumur duabelas tahun, entah sudah
berapa ratus kali aku kena dihajar orang, Akan tetapi selama
itu setetespun tak pernah aku mengeluarkan air mata,
Seorang laki-laki sejati, hanya mengalirkan darah tidak air
mata. Jika kau terus menangis lagi begini manja, aku akan
segera menghajarmu!"
Pandang wajah Cie Siang Gie bersungguh-sungguh,
sehingga kelihatan sangat bengis. Hati Sin Houw merasa
gentar juga, pikirnya diam-diam:
"Huh, baru saja Thay-suhu berangkat, kau sudah berlagak
terhadapku. Apalagi di kemudian hari, entah penderitaan
bagaimana lagi yang akan ku-tanggung."
Meskipun hatinya gentar dan takut, akan tetapi tak sudi Sin
Houw mengalah, sahutnya: "Aku menangis sebab berpisah
dengan Thay-suhu. Tetapi kalau dipukul orang, tidak bakal aku
menangis. Kau hendak memukul aku, hayo pukullah aku. Hari
ini boleh kau memukul aku, akan tetapi satu kali kau
memukulku, di kemudian hari aku akan memukulmu kembali
sepuluh kali ..."
Cie Siang Gie tercengang, sejenak kemudian ia tertawa
terbahak-bahak dengan mata berseri-seri, kemudian ia
berkata penuh syukur:
"Adikku yang baik, Beginilah kau baru dapat disebut
seorang laki-laki sejati. Kau begini hebat, terus terang saja aku
tidak berani memukulmu!"
"Kau tahu aku tak dapat bergerak sama sekali, kenapa kau
bilang aku hebat? Hayo, pukullah aku!" seru Sin Houw dengan
kalap.
"Jika sekarang aku memukulmu, aku takut akan

183
pembalasanmu di kemudian hari. Sebab dengan berbekal ilmu
sakti Thay-suhumu tadi, bagaimana aku sanggup
melawanmu?" sahut Cie Siang Gie, dengan tertawa.
Mendengar dan melihat Cie Siang Gie terus tertawa, mau
tak mau Sin Houw terpaksa turut tertawa geli juga.
Sekarang tahulah dia, meskipun kakak ini berwajah bengis,
tetapi sesungguhnya hatinya baik sekali. ia nampak bengis,
karena mukanya penuh berewok tebal.
Karena pertolongan orang-orang kampung, Cie Siang Gie
memperoleh seekor kuda, Dengan menunggang kuda ia
membawa Thio Sin Houw mengarah ke selatan. Siang dan
malam Siang Gie meneruskan perjalanan itu, hampir-hampir
boleh dikatakan tidak mengenal istirahat.
Untuk sekian lamanya, Sin Houw pernah mengikuti orang
tuanya berkuda dari satu tempat ke tempat lainnya.
Walaupun selalu diancam bahaya, hatinya selalu tegar
karena ditengah-tengah keluarga. sekarang, benar ia masih
hidup - tetapi ia tak dapat menggerakkan anggauta tubuhnya.
Lagipula dibawa oleh seseorang yang baru saja dikenalnya.
Tak mengherankan, hatinya terasa menjadi hampa dan sedih
luar biasa.
Sebenarnya ingin ia menangis, akan tetapi takut kena
marah Cie Siang Gie.
Setiap hari , diwaktu matahari berada di titik-tengah, bisa
racun yang berada didalam tubuhnya mengamuk hebat.
Dan diwaktu kumat, rasa deritanya luar biasa, ia harus
mempertahankan diri dan menguatkan hatinya kurang lebih
setengah jam lamanya. Untuk mengenyahkan rasa sakit, ia
selalu menggigit bibir, setelah setengah Jam mati-matian,
sedikit demi sedikit rasa sakit itu berkurang. Kemudian ia

184
melepaskan gigitannya, akan tetapi bibirnya sudah terlanjur
matang biru, Tak setahunya, serangan racun itu makin lama
semakin sering dirasakan. Malahan tidak hanya selama
setengah jam, kadang-kadang sampai hampir mencapai satu
jam.
Sepuluh hari kemudian, sampailah Cie Siang Gie di Kwanpo,
sebelah bawah Cip-keng. Di kota ini ia menjual kudanya
yang sudah kelelahan, kemudian menyewa sebuah kereta
besar yang lebih kokoh dan sentausa, Beberapa hari lagi
sampailah mereka di Beng-kong, sebelah timur Hong-yang.
Cie Siang Gie cukup mengenal tabiat pamannya yang
sangat aneh, pamannya adalah seorang tabib sakti yang tidak
senang apabila diketahui tempat ,tinggalnya, itulah sebabnya,
pada waktu kereta berada dalam jarak kira-kira dua puluh li
dari Lie-san ouw, ia segera turun dari kereta dan sambil
menggendong Sin Houw, ia meneruskan perjalanan dengan
jalan kaki.
Diluar dugaan, baru saja ia berjalan kurang-lebih satu li,
mendadak langkahnya makin lama semakin menjadi perlahan.
seluruh badannya merasa linu dan napasnya tersengalsengal,
"Mengapa jadi begini?" pikirnya.
Thio Sin Houw walaupun masih berumur dua belas tahun,
akan tetapi kaya dalam pengalaman, segera ia mengetahui
apa yang menyebabkan langkah-kaki Cie Siang Gie makin
lama semakin perlahan. Dengan lesu ia berkata:
"Cie toako, tak apa kau berjalan perlahan. Apa perlu kau
berkutat untuk berjalan secepat-cepatnya? Bukankah dengan
demikian dirimu akan cepat lelah pula?"
Cie Siang Gie ternyata seorang pemuda yang mudah
sekali tersinggung kehormatannya. ia menjadi gopoh, katanya
mengandung gusar:

185
"Sehari aku sanggup berjalan sejauh duaratus li, dan
sedikitpun tak pernah aku merasa letih. Masakan karena cuma
kena dua kali pukulan pendeta bangsat itu, bisa membuat
langkahku makin lama semakin pendek?"
Oleh rasa penasarannya ia mencoba mempercepat
langkahnya dengan mengerahkan seluruh tenaga penuhpenuh.
Tetapi sebenarnya hal itu merupakan pantangan besar
bagi seseorang yang mendapat luka dalam, ia tidak boleh
menjadi gopoh atau marah, apalagi sampai mengerahkan
seluruh tenaga secara berlebih-lebihan, Apabila hal itu sampai
terjadi, maka luka dalam yang dideritanya akan menjadi lebih
parah lagi.
Tak mengherankan, baru saja ia alangkah seratus meter,
seluruh sendi-sendi tulangnya terasa seakan-akan mau lepas,
namun masih saja ia tak sudi menyerah. Tak sudi pula ia
beristirahat dahulu, dan selangkah demi selangkah ia
memaksa diri untuk maju terus.
Dengan demikian perjalanannya jadi lambat sekali. Cuaca
sudah mulai gelap akan tetapi belum juga ia mencapai
setengah perjalanan. Sedangkan jalan pegunungan yang
berada di depannya, nampak melingkar-lingkar penuh dengan
batu tajam. Hal itu membuat hati Cie Siang Gie jadi semakin
gugup.
Sekali lagi ia memaksa dan memaksa untuk berjalan
secepat-cepatnya, Apabila malam hari tiba, sampailah ia di
tepi sebuah rimba.
Segera ia memasukinya dengan tak ragu-ragu lagi, lalu
meletakkan Thio Sin Houw ke tanah dengan hati-hati. Dan
barulah ia beristirahat, untuk meluruskan napasnya, sambil
mengunyah bekal makanan, ia segera memberi keterangan
kepada Thio Sin Houw bahwa seorang yang menyandang
sebagai pendeta telah memukulnya dua kali berturut-turut.

186
Yang pertama pada dadanya, yang kedua menghantam
punggungnya. Tatkala bertempur, ia tidak memikirkan akibat
pukulan itu, ia menganggap sebagai suatu pukulan yang
lumrah. Tak tahunya kini benar-benar menyita tenaganya.
Setelah beristirahat kira-kira satu jam lamanya, Cie Siang
Gie bermaksud hendak melanjutkan perjalanan, akan tetapi
Thio Sin Houw segera menyanggahnya. ia menyarankan agar
bermalam saja dalam rimba itu, esok pagi setelah matahari
muncul diudara barulah melanjutkan perjalanan.
Cie Siang Gie mempertimbangkannya saran Thio Sin
Houw, Benar, meskipun malam ini mereka dapat mencapai
tempat tujuan, akan tetapi tabiat pamannya terlalu aneh.
Jangan-jangan karena gusar, ia lalu memutuskan tidak mau
menolong, Apabila dia sudah bilang tidak, bukankah persoalan
akan menjadi runyam? Dari menuruti pikiran demikian, ia
menerima saran Thio Sin-Houw. Demikianlah mereka
menginap pada sebuah pohon dan tidur dengan aman dan
tenteram.
Kira-kira, tengah malam, Jam tiga penyakit Sin Houw
kumat tiada hentinya, Khawatir kalau membuat kaget Cie
Siang Gie, ia " mempertahankan diri dengan membungkam
mulut sambil menggigil bibir agar tidak sampai mengeluarkan
suara. Pada saat-saat itulah dari jauh terdengar beradunya
senjata tajam, kemudian, teriakan beberapa orang...
"Hayo Kalian Iari kemari? "Cegat di sebelah timur". "kurung
dia di dalam rimba itu!"
Jaga dia dan jangan beri kesempatan melarikan diri!"
Hampir berbareng dengan hilangnya kumandang suarasuara
itu, terdengarlah langkah kaki seseorang yang cepat
sekali, Kemudian beberapa orang memasuki rimba. oleh suara
berisik itu Cie siang Gie terbangun. segera ia menghunus

187
goloknya. Dengan sebelah tangan membopong Sin Houw, ia
bersiaga bertempur.
"Cie toako, agaknya bukan kita yang diarah." bisik Sin
Houw.
Cie Siang Gie mengangguk. Akan tetapi didalam hati ia
sudah mengambil keputusan, hendak melindungi jiwa Sin
Houw meskipun dengan mempertaruhkan nyawa sendiri.
Hanya saja, ia dalam keadaan luka parah. Tiba-tiba terasalah
bahwa ilmu kepandaiannya sudah punah semua, maka ia
menjadi gugup dan khawatir.
Dengan cepat ia membawa Sin Hong bersembunyi di
belakang pohon besar. Dengan mata penuh kecemasan, ia
mengintip segala yang bergerak di depannya.
Dan terlihatlah berkelebatnya tujuh atau delapan sosok
bayangan sedang mengepung orang yang mengenakan jubah
abu-abu. Dalam cuaca gelap, wajah mereka semua tidak
nampak dengan jelas, dengan demikian baik Sin Hong
maupun Cie Siang Gie tidak segera dapat mengetahui siapa
mereka sebenarnya.
Yang mereka ketahui dengan jelas adalah orang yang
berada di tengah-tengah mereka. Tanpa bersenjata orang itu
mempertahankan diri dari pengeroyokan terhadap dirinya.
Kedua tangannya bergerak cepat luar biasa, sehingga para
pengepungnya tidak berani bertindak sembarangan.
Tak lama kemudian, pertarungan mereka makin lama
semakin mendekati pohon tempat bersembunyi Cie Siang Gie
dan Sin Houw, Kebetulan sekali pada saat itu cahaya bulan
menembus mega-mega putih. sinarnya yang- cerah memasuki
celah-celah mahkota daun, sehingga Siang Gie berdua Sin
Houw kini dapat melihat dengan jelas seperti penglihatan
mereka yang pertama, orang yang dikepung itu menyandang
sebagai pendeta, berjubah warna abu-abu.

188
Perawakannya tinggi kurus, kira-kira berusia limapuluh
tahunan. Sedangkan para pengepungnya terdiri dari
bermacam-macam golongan. Ada yang seperti pendeta,
adapula yang mengenakan pakaian serba ketat - dan ada pula
dua orang wanita.
Sesudah memperhatikan pertarungan sengit itu, Cie Siang
Gie nampak terkejut. Segera ia mengetahui bahwa para
pengepung itu ternyata memiliki ilmu kepandaian sangat
tinggi, yang berada diatasnya, Dua orang yang menyandang
sebagai pendeta, menggunakan senjata tongkat dan golok.
Dua orang lainnya bersenjata seutas rantai panjang dan
penggada, Dua orang ini bergulingan diatas tanah, mungkin
sekali mereka hendak menyerang kaki orang berjubah abuabu
itu. Hebat gerak gerik mereka, semua pukulan-pukulan
mereka, membawa angin keras yang menggoncangkan daundaun
kering sehingga rontok berguguran.
Salah seorang pengeroyok yang bersenjata pedang, gesit
luar biasa. Kecuali cepat, gerakannya aneh pula.
Kadang-kadang ia melesat ke kanan, kadang kekiri.
pedangnya berkeredep diantara cahaya bulan. Sedang kedua
wanita yang bersenjata pedang pula berperawakan langsing.
ilmu pedangnya ternyata sangat ringat dan gesit. Dalam
pertarungan semakin sengit, tiba-tiba salah seorang wanita itu
memalingkan kepalanya. wajahnya kena sinar cahaya bulan
yang terang benderang.
Dan melihat wajah wanita itu, hampir saja Sin Houw
memanggil.
"Hoa kouwnio!"
Memang wanita muda itu adalah Hoa Kie Lian. Dia
merupakan salah seorang murid partai Go-bie yang pernah

189
berkunjung ke Boe tong-san, karena dia adalah tunangannya
Tan Boen Kiat, murid keempat dari Tie-kong Tianglo.
Mula-mula tatkala melihat tujuh delapan orang mengeroyok
seorang yang menyandang jubah abu-abu, Sin Houw diamdiam
mengutuk di dalam hati. Inilah suatu pertempuran yang
tidak adil.
Maka ia berdoa, mudah-mudahan orang berjubah abu-abu
itu dapat membobolkan kepungan mereka, dan segera
melarikan diri. Akan tetapi setelah melihat bahwa salah
seorang pengepungnya adalah Hoa Kie Lian, ia jadi berpikir
lain.
Dua tahun yang lalu, ketika tersiar berita bahwa Thio Kim
San dan keluarganya berhasil mendaki gunung Boe-tong san
walaupun dalam keadaan sudah menjadi mayat, Hoa Kie Lian
ikut pula mendaki gunung Boe-tong san bersama guru dan
sekalian saudara seperguruannya.
Mereka ternyata juga bermaksud memperoleh keterangan
dimana Golok Halilintar berada! walaupun demikian Hoa Kie
Lian yang diketahuinya menjadi tunangannya Tan Bun Kiat,
maka Sin Houw berkesan baik terhadap nona yang gagah
perkasa itu, inilah sebabnya, kini ia berada dipihaknya.
Dalam pada itu, Cie Siang Gie juga penasaran melihat
suatu pertempuran yang tidak adil itu. Perlahan-lahan ia
menggerendeng:
"Heran, delapan orang mengeroyok seorang, benar-benar
memalukan. Entah siapa mereka ini,"
Thio Sin Houw mendengar gerendeng Siang Gie, segera ia
membisiki:
"Dua wanita itu adalah dari golongan Go-bie pay, dan dua
pendeta itu pastilah orang-orang Siauw-lim pay."

190
Setelah mengamat-amati sebentar, ia berkata lagi: "Dan
orang yang bersenjata pedang itu mungkin sekali dari
golongan Kun-lun pay, lihatlah betapa keji tipu-tipu
serangannya, Akan tetapi tiga orang lainnya entahlah, mereka
entah dari golongan mana ..."
"Apakah mereka bukan dari Khong-tong pay?" tanya Siang
Gie.
"Bukan," jawab Sin Houw, Mereka menggunakan ilmu silat
Tee-tong To-hoat, Didalam Tee-tong To-hoat Khong- tong pay,
orang harus menggunakan sebatang golok yang dipegang di
tangan kanan, dan sebatang toya di tangan kiri. Orang itu
menggunakan sepasang golok."
Mendengar keterangan dari Sin Houw yang sangat nalar
itu, diam-diam Cie Siang Gie kagum bukan main, pikirnya
didalam hati: "Anak macan, pasti melahirkan macan pula, Dia
cucu murid Tie-kong tianglo, tidak mengherankan bahwa
pengetahuannya tidak mengecewakan ."
Akan tetapi sebenarnya pengetahuan Thio Sin Houw
bukan diperoleh dari rumah perguruan Tie-kong tianglo.
Itulah berkat pengalamannya selama dibawa merantau
ayah-bundanya, dari tempat ke tempat. Dan selama itu, entah
sudah beberapa puluh kali ia dibawa bertempur sehingga
secara wajar ia paham serta mengenal baik segala tipu
serangan musuh-musuh ayah-bundanya.
Itulah sebabnya pula, dengan yakin ia memberi kisikan
kepada Siang Gie bahwa tiga orang yang bersenjata rantai
serta penggada bukanlah orang-orang Khong-tong pay.
Mereka bertempur belasan jurus lagi, dan tiba-tiba
kawannya Hoa Kie Lian menjadi gelisah. Maklumlah, sekian
lamanya mereka berdelapan mengepung seorang lawan, akan

191
tetapi belum juga berhasil. Bahkan tenaga pukulan orang
berjubah abu-abu itu makin lama menjadi semakin dahsyat,
perubahannya sukar sekali diduga, Kadang-kadang cepat,
kadang-kadang pula lambat.
Sewaktu cepat, telapak tangannya seakan akan tidak
kelihatan. sebaliknya apabila bergerak lambat, mereka semua
merasakan seperti tertindih sebuah batu sebesar gunung.
Sejenak kemudian terdengarlah salah seorang berseru:
"Serang saja dengan senjata rahasia!"
Dua orang laki-laki lantas keluar gelanggang. Pada saat
itu, nampak berkeredepnya berpuluh-puluh golok terbang
(hoei-to) menghantam orang berjubah abu-abu itu,
Menghadapi serangan ini, orang berjubah abu-abu itu nampak
repot juga, sedangkan orang yang bersenjata pedang lantas
membentak:
"Siangkoan Hong! Kami bukan bermaksud hendak
mengambil jiwamu. Mengapa kau berkelahi mati-matian? Asal
saja kau sudi menyerahkan anak perempuan yang kau bawa
dua tahun lalu, bernama Thio Sin Lan - segera kami akan
pergi. Bukankah urusan lantas saja menjadi beres?"
Mendengar orang itu menyebut nama Siangkoan Hong,
Cie Siang Gie kaget. Bisiknya perlahan:
"Oh, jadi dialah supeh Siangkoan Hong?"
Thio Sin Houw mendengar bisik Cie Siang Gie, tetapi ia
sibuk dengan pikirannya sendiri, itulah disebabkan orang
menyerukan nama Thio Siu Lan.
Kalau begitu, Thio Siu Lan masih hidup. Thio Siu Lan
adalah kakak perempuannya, yang dahulu masih nampak

192
berkelahi mati-matian mempertahan diri.
"Jadi dia masih hidup!" seru Sin Houw dalam hati,
Pada saat itu berbagai pikiran menusuk benaknya. pikirnya
lagi di dalam hati: "Benar, Waktu itu aku melihat seseorang
mengenakan jubah abu-abu, apakah dia? Cie toako menyebut
dia sebagai "soepeh", jelas dia kenal. Apakah Siangkoan
Hong itu orang Beng-kauw?"
Segera terdengar Siangkoan Hong menjawab dengan
suara lantang:
"Keluarga Thio Kim San yang kalian kejar-kejar, telah mati
semua. Mengapa kau menyebut-nyebut seorang yang
bernama Thio Siu Lan? Siapa dia?"
"Akh, jangan kau berlagak pilon!" bentak orang itu.
"Bukankah perempuan yang kau bawa bernama Thio Siu Lan?
Dialah anak satu-satunya dari Thio Kim San yang masih
hidup!"
Siangkoan Hong tertawa terbahak-bahak, serunya dengan
suara tetap lantang:
"Benar-benar kalian ini sudah kalap. Aku tahu, aku tahu,
Kalian menghendaki jiwa anak perempuan Thio Kim San,
bukankah kalian berharap dapat mengompes mulutnya
tentang dimana adanya golok mustika itu? Bah! Kalian yang
menamakan diri orang-orang dari golongan lurus, sebenarnya
berhati iblis!"
Mendengar orang-orang itu mengungkat-ungkat nama
ayahnya, dan menyebut juga nama saudara perempuannya,
hati Sin Houw jadi berduka. ia belum tahu pasti bagaimana
kedudukan orang berjubah abu-abu itu yang menyebut dirinya
Siangkoan Hong, Akan tetapi, hatinya tiba-tiba berpihak
kepadanya, Katanya didalam hati:

193
"Dahulu aku melihat dia muncul didekat jembatan
penyeberangan. Menilik pembicaraan para pengepungnya ini,
agaknya dia membawa Siu Lan cici. Kalau cici berada
ditangannya, agaknya lebih terjamin keselamatan Jiwanya."
Tanya-jawab itu tidak membuat mereka berhenti
bertempur. Tetap dengan gesit, Siangkoan Hong melayani
mereka, Gerakan tangannya tidak pernah ayal, Lawannya
yang bersenjata pedang itu, sengaja mengajak berbicara
dengan maksud memecahkan perhatiannya. Tak terduga, ilmu
kepandaian Siangkoan Hong memang sangat tinggi.
Kecerdasannya juga melebihi orang lain, Kalau hanya karena
tipu-tipu semacam itu, betapa bisa menjebaknya, Hanya saja
para pengepungnya itu adalah jago-jago terkemuka dari
berbagai golongan. Beberapa kali ia berusaha menerjang
keluar, akan tetapi masih saja gagal.
Tiba-tiba dua orang yang berada diluar gelanggang
berteriak kaget dengan berbareng:
"Aduh, celaka! senjata rahasia habis !"
Mendengar seruan mereka, ke enam rekan lainnya lantas
menelungkupkan badan serata tanah, Dan pada detik itu, lima
sinar berkeredepan menyambar di udara. itulah lima pisauterbang
yang dengan kecepatan luar biasa membidik
Siangkoan Hong, Kiranya seruan senjata rahasia habis
merupakan kata-kata sandi mereka, itulah sebabnya mereka
lantas saja mendekam serata tanah begitu kedua temannya
menyerukan tanda tanda sandi.
Kelima pisau terbang menyambar dengan cepatnya,
sasarannya membidik dada Siangkoan Hong. Dalam keadaan
biasa, asal Siangkoan Hong membungkukkan badannya,
mendoyongkan badan ke belakang, pisau-pisau itu akan dapat
dihindarinya, Akan tetapi dia harus memperhitungkan keenam
lawannya yang berada diatas tanah. Mereka semua

194
menyerang berbareng mengarah kaki. Maka tak dapat ia
bergerak dengan leluasa.
Hati Thio Sin Houw cemas bukan kepalang. Tiba-tiba ia
melihat Siangkoan Hong melompat tinggi diudara, dan lima
pisau terbang yang menyambar padanya lewat dibavah kaki.
Akan tetapi, pada saat itu tongkat dan golok kedua pendeta
Siauw-lim menyerang dengan berbareng. Juga pedang orang
dari Kun-lun pay sudah menikam kedua kakinya.
Dalam keadaan terapung di udara, terpaksalah Siangkoan
Hong mengeluarkan gerak tipu untung-untungan. Telapak
tangannya lantas menghantam kepala seorang pendeta
Siauw-lim dengan tepat sekali, kemudian tangan kanannya
menyambar golok. Setelah dapat merampas senjata itu ia
menangkis tongkat. Dan dengan meminjam tenaga pentalan ia
melesat menjauhi.
Pendeta Siauw-lim sie yang kena terhantam kepalanya,
mati seketika itu juga, Tentu saja kawan-kawannya yang lain
berteriak-teriak penuh kegusaran, terus saja mereka melesat
merubung dengan berbareng.
Mendadak pada saat itu nampak langkah Siangkoan Hong
tidak wajar lagi, ia seperti kena terkait sesuatu, Hampir-hampir
ia terpeleset jatuh, karena itu ketujuh lawannya kembali dapat
mengepungnya rapat-rapat.
Yang paling kalap adalah sisa pendeta Siauw-lim sie yang
seorang, ia bertempur bagaikan kerbau edan.
Tongkatnya menyambar-nyambar tak hentinya sambil
berteriak-teriak.
"Siangkoan Hong! Kau berani membunuh adikku, karena
itu malam ini aku hendak mengadu jiwa denganmu!"

195
Dalam pada itu berkali-kali orang dari Kun-lun pay juga
berteriak:
"Kakinya kena tikaman pedangku! Kawan-kawan,
pedangku ini beracun, sekejap lagi racunnya tentu menjalar ke
seluruh tubuhnya, Dan dia akan mampus terjengkang."
Benar saja, Tidak lama kemudian langkah Siangkoan Hok
nampak sempoyongan. Pukulan-pukulannya lantas menjadi
kacau. Terdengar Cie Siang Gie berteriak tertahan:
"Celaka! Supeh Siangkoan adalah tokoh penting dalam
Beng-kauw, bagaimana aku dapat menolongnya?"
Thio Sin Houw tahu, bahwa Siang Gie berhati mulia,
Meskipun dirinya sendiri terluka parah, namun nampaknya ia
hendak menerjang keluar untuk menolong paman gurunya,
Apabila hal ini sampai terjadi, kecuali jiwanya sendiri bakal
melayang, guna faedahnya pun tak ada, Tiba-tiba pikiran
bocah ini tergerak. Katanya cepat:
"Cie toako! Kau hendak menolong paman gurumu?"
"Benar, dia harus ditolong, Lihatlah, dia kena pedang
beracun. sebentar lagi dia bakal... akh... aku sendiri... rasanya
tidak mampu menggerakkan tanganku..."
"Legakan hatimu, aku mempunyai akal," ujar Sin Houw,
"Begini, maukah kau kuajarkan salah satu ilmu ajaran Thaysuhu?
ilmu itu gunanya untuk memulihkan tenaga yang hilang
karena luka. Tenagamu akan menjadi berlipat ganda, akan
tetapi setelah itu keadaan tubuhmu akan menjadi rusak. itulah
sebabnya Thay-suhu melarang jangan sekali-kali
menggunakan ilmu tersebut. Bagaimana? Kau mau
menggunakan ilmu itu atau tidak?"
Tadi Cie Siang Gie mengagumi kepandaian Sin Houw,
karena dapat mengenal berbagai tipu muslihat dalam suatu

196
pertempuran cepat. ia percaya, bahwa semuanya itu berkat
ilmu warisan Tie-kong tianglo. sekarang iapun yakin, bahwa
ilmu kepandaian yang dikatakan itu pastilah bukan ilmu isapan
jempol belaka, Thio Sin Houw menerangkan, bahwa setelah
menggunakan ilmu tersebut badannya akan menjadi rusak.
pikirnya - tak apalah demi menolong jiwa paman gurunya,
Bukankah paman gurunya jauh lebih berharga dari pada
dirinya sendiri? Memperoleh pikiran demikian, dengan girang
ia menyahut:
"Akh, adikku yang baik, Katakanlah dengan cepat.
Menolong orang paling perlu, sekalipun badan sendiri bakal
rusak."
"Kalau begitu, carilah sepotong batu yang berujung tajam!"
kata Thio Sin Houw.
Segera Siang Gie meraba-raba bentuk batu itu, kemudian
menyahut:
"Coba pegang, apakah batu ini cukup?" tanyanya.
Thio Sin Houw meraba-raba bentuk batu itu, kemudian
menyahut:
"Dapat! Nah, sekarang kau totoklah kedua pinggangmu
sendiri dengan ujung batu itu, Letaknya diatas kedua paha."
"Apakah disini?" tanpa berpikir Siang Gie minta keterangan
sambil menunjuk paha bagian atas.
"Turun lagi sedikit!" ujar Sin Houw, "Nah, disitulah! Ke kiri
sedikit! Bagus! Nah, sekarang totoklah. Satu -dua - tiga, Yang
keras!"
Cie Siang Gie bukanlah seorang bodoh, dia sudah berumur
dua puluh tahun. Selama itu entah sudah berapa kali ia
memperoleh pengalaman dalam suatu pertempuran. Sedikit

197
banyak ia tahu juga ilmu menotok. Didalam hati ia
menyangsikan perkataan Sin Houw.
Seseorang yang kena tertotok urat nadi di atas pahanya,
akan bisa melumpuhkan kedua kakinya, Akan tetapi, ia terlalu
percaya kepada Sin Houw, pikirnya waktu itu:
"llmu sakti Tie-kong tianglo tidak dapat dipersamakan
dengan ilmu ilmu sakti lainnya, pastilah ilmu menotok urat di
atas paha ini merupakan salah satu ilmu simpanan aliran Boetong
yang hebat. "Dan tanpa menimbang nim-bang lagi, ia
lantas menghantam urat di atas pahanya sendiri dengan
sekuat tenaga.
"Dukkkk!"
Tetapi ia kaget bukan kepalang, Begitu pahanya terhantam
batu, seketika itu juga kedua kakinya lantas lumpuh. Tepat
pada saat itu ia melihat Siangkoan Hong melompat sepuluh
langkah jauhnya, akan tetapi segera terbanting roboh keatas
tanah. Keruan saja hati Siang Gie gugup bukan kepalang.
Segera ia bermaksud hendak menerjang memberi
pertolongan, akan tetapi kedua kakinya tak dapat berkutik.
Bertanya dengan cemas kepada Sin Houw :
"Hai, kenapa jadi begini?"
Diam-diam Thio Sin Houw tertawa geli didalam hati.
Pikirnya:
"Aku telah menipumu, toako. Tentu saja kau tak dapat
bergerak karena urat nadimu kini tergeser dari tempatnya."
Akan tetapi ia berpura-pura kaget dan heran. sahutnya tak
jelas:
"Hai, mungkin sekali kau salah menotoknya, Tenaga yang
kau gunakan kurang tepat, baiklah jangan kuatir. Tunggu saja

198
barang setengah jam, pastilah kau bisa berjalan kembali."
Tentu saja Cie Siang Gie mendongkol bukan main, ia kena
ditipu bocah cilik dengan mata membelalak. Tetapi ia
menyadari akan maksud baik Sin Houw - dalam khawatir dan
gugup, terbintik rasa geli juga.
Dalam pada itu Siangkoan Hong menggeletak di atas
tanah, racun yang berada dalam tubuhnya mulai bekerja.
Kemudian ia tak bergerak, tetapi ketujuh lawannya belum
juga berani mendekat.
"Saudara Lok, jangan maju dulu! Biar rekan Kang
menikamnya dari jauh." kata orang dari Kun-lun pay yang
menggenggam pedang panjang.
Orang yang disebut "rekan Kang" lantas mengayunkan
tangannya, dan pundak kiri serta paha kanan Siangkoan Hong
tertancap dua pisau tajam. Kena tikaman pisau itu tubuh
Siangkoan Hong tidak bergerak, itulah suatu tanda bahwa ia
sudah mati karena racun.
"Sayang, sayang ... dia terlanjur mati," kata orang dari Kunlun
pay mengeluh, "Sekarang kita tidak tahu dimana ia
menyembunyikan Thio Sin Lan.
Eh , nanti dulu. Biasanya ia selalu disertai kacungnya yang
bernama Sie Ah Piang, Hayolah kita cari orang itu, pasti dia
berada tak jauh dari sini.."
Akan tetapi kawan-kawannya menghampiri mayat
Siangkoan Hong, maka terpaksa orang Kun-lun pay itu ikut
pula menghampiri.
Baik Sin Houw maupun Cie Siang Gie merasa sedih
menyaksikan kematian dari Siangkoan Hong.

199
Mendadak saja, terdengarlah suara benda jatuh lima kali,
Dan pada saat itu lima orang yang merubung mayat
Siangkoan Hong, terpental dan terbanting keatas tanah.
setelah itu dengan gagah perkasa Siangkoan Hong bangkit
berdiri dengan pundak dan pahanya masih menancap dua
pisau tajam.
Kiranya, kakinya tadi memang kena tikaman pedang
beracun. ia sadar bahwa tenaganya tidak akan dapat
mempertahankan diri, maka ia berpura-pura mati untuk
memancing ketujuh lawannya, Begitu mereka mendekat, ia
lantas melontarkan pukulan Ngo-heng ciang.
Ngo-heng elang adalah semacam ilmu pukulan sakti yang
dipergunakan apabila menghadapi lawan banyak. Dahsyatnya
tak dapat diperkirakan, maka tak mengherankan lawanlawannya
lantas saja roboh dengan memuntahkan darah.
Hanya dua orang saja yang ketinggalan. itulah dua wanita
murid Go-bie pay, Hoa Kie Lian dan sucinya yang bernama
Kwee Lian Cie.
Dalam kagetnya, kedua murid Go-bie itu melompat
mundur, Tatkala menoleh, mereka melihat kelima kawannya
menyemburkan darah segar. Malahan dua diantara mereka
yang berkepandaian lebih rendah, roboh menggeletak ditanah,
sebaliknya, karena mengeluarkan tenaga yang berlebihlebihan,
Siangkoan Hong nampak terhuyung-huyung,
Berdirinya tidak tegak lagi.
"Kwee kouwnio dan Hoa kouwnio ... tikam saja dengan
pedang kalian...!" seru orang dari Kun-lun pay yang menderita
luka parah.
Sembilan orang yang bergebrak itu, yang satu mati, Dialah
sipendeta dari Siauw-lim sie. Kini Siangkoan Hong dan kelima
musuhnya juga terluka parah dengan berbareng, Hanya
tinggal Kwee Lian Cie dan Hoa Kie Lian yang masih segarKANG
ZUSI WEBSITE http://cerita-silat.co.cc/
200
bugar.
Tatkala mendengar seruan rekan dari Kun-lun pay itu,
maka di dalam hati Kwee Lian Cie berkata:
"Apakah kau anggap aku sendiri tak bisa membunuhnya?
Mengapa aku harus menunggu perintahmu?"
Pedangnya lantas bergerak hendak memotong betis
Siangkoan Hong. Pada saat itu Siangkoan Hong tidak dapat
berkutik lagi. Melihat berkelebatnya pedang, ia hanya dapat
menghela napas panjang, Katanya didalam hati:
"Karena kalian berdua adalah wanita, maka aku tidak
sampai hati memukul dada kalian, itulah sebabnya kalian
berdua selamat tak kurang suatu apa, Eh, sama sekali tak
kuduga bahwa kebajikan ini justru mengakibatkan malapetaka
sendiri."
Dengan kata hati itu, ia memejamkan mata menunggu
nasibnya,
Mendadak saja ia terkejut berbareng heran, tatkala
mendengar suara nyaring beradunya dua senjata. Segera ia
menjenakkan matanya, masih sempat ia menyaksikan pedang
Kwee Lian Cie di tangkis oleh pedang Hoa Kie Lian.
Kwee Lian Cie tercengang melihat kelakuan adik
seperguruannya. Bertanya dengan heran:
"Sumoay, kau kenapa?"
"Sucie! Siangkoan Hong tidak menghendaki kita berdua
mati, bahkan ia tak mau melukai kita, Karena itu kitapun
jangan keterlauan." sahut Hoa Kie Lian.
"Aku tidak akan membunuhnya, aku hanya ingin
menahannya disini agar ia menerangkan dimana Thio Sin Lan

201
berada ..." kata Kwee Lian Cie dengan suara tajam.
"la terkena tikaman senjata berbisa, lukanya sudah cukup
berat. Lebih baik kita mengobati dahulu, dengan demikian kita
bisa mendapat keterangan lebih leluasa lagi." Hoa Kie Lian
memberi saran, setelah berkata demikian, ia mendekati
rekannya dari Khong-tong pay, berkata kepadanya:
"See tayhiap, dia kena pedang beracunmu, Berilah dia
obat pemunahnya dengan demikian siauwmoay bisa
mengharapkan keterangannya lebih leluasa."
Orang dari Khong-tong pay itu bernama See Cu Leng, ia
memberikan jawaban:
"Ringkus dia dahulu, agar tidak bisa melarikan diri. orangorang
dari Beng-kauw banyak tipu muslihatnya. Kita harus
berjaga-jaga terhadap manusia iblis itu!"
See Cu Leng berkata dengan napas tersengal-sengal,
setelah berkata demikian, ia menyemburkan darah segar lagi
dari rongga dadanya, Pukulan Ngo-heng ciang Siangkoan
Hong benar-benar melukai dadanya cukup berat.
Hoa Kie Lian merenung sejenak, menimbang-nimbang
perkataan See Cu Leng, Kemudian menunduk, setelah
melepaskan ikat pinggangnya, ia mendekati Siangkoan Hong
dan berkata dengan suara lemah lembut:
"Siangkoan Hosiang, maaf, Terpak-sa aku mengikatmu
sebentar."
Kedua kaki Siangkoan Hong terasa pegal luar biasa, ia
menyadari, apabila tidak segera mendapat obat pemunahnya,
sebentar lagi tentulah jiwanya melayang, Pada saat itu ia
berpikir: "Daripada kena tabasan pedang Kwee Lian Cie, lebih
baik kena ringkus Hoa Kie Lian, Kalau mau, ia bisa membunuh
Hoa Kie Lian dengan sekali pukul, akan tetapi disana masih

202
berdiri seorang yang segar bugar. Dialah Kwee Lian Cie yang
tadi hendak menabas kedua kakinya - maka apabila ia
membunuh Hoa Kie Lian, sudah tentu Kwee Lian Cie itupun
bakal menabas kakinya juga, Terpaksa sekarang ia
membiarkan dirinya kena diringkus Hoa Kie Lian dengan
tersenyum getir.
Melihat Siangkoan Hong sudah kena diringkus, barulah
See Cu Leng mengeluarkan obat pemunahnya. Dengan napas
tersengal-sengal ia memberi tahu Hoa Kie Lian, bagaimana
menggunakan obat tersebut. Mula-mula Hoa Kie Lian harus
mencabut kedua pisau yang menancap pada punggung dan
paha Siangkoan Hong, setelah kedua pisau itu kena dicabutnya
barulah ia membubuhi obat pemunah.
Kwee Lian Cie yang selama itu mengawasi perbuatan adik
seperguruannya, segera berseru kepada Siangkoan Hong:
"Siangkoan Hong, lihatlah! Hati adik seperguruanku penuh
cinta kasih, itulah sebabnya kini jiwamu tertolong.
Maka bukankah sudah pada tempatnya apabila engkau
membalas budi dengan menerangkan dimana kau
sembunyikan Sin Lan?"
Sebagai jawaban, Siangkoan Hong tertawa terbahakbahak.
sahutnya:
"Kwee kouwnio. Kau benar-benar terlalu memandang
rendah padaku, Aku Siangkoan Hong meskipun terkenal
sebagai anggauta aliran iblis, akan tetapi aku tidaklah
serendah sangkamu, lihatlah, Thio Kim San tayhiap, murid
Tie-kong tianglo. Dengan rela ia mengorbankan anak-isterinya
karena ia tidak mau dipaksa orang-orang seperti dirimu untuk
memberikan keterangan dimana Golok Halilintar berada,
walaupun aku tidak bisa menyamai sifat ksatria Thio tayhiap,
akan tetapi ingin aku mencontohnya."

203
Kata-kata Siangkoan Hong membuat darah Thio Sin Houw
bergolak hebat.
Seketika itu juga, rasa simpati kepada Siangkoan Hong
menjadi bertambah, selama bertahun-tahun ia menyaksikan
dengan mata kepala sendiri, betapa ayahnya dikejar-kejar
orang dari berbagai aliran dan golongan. Dan setiap
pengejarnya selalu memaki-maki dan mengumpat-caci,
sekarang ia mendengar seorang bernama Siangkoan Hong
memuji dan mengagumi ayahnya, keruan saja ia menjadi
terharu.
Pada saat itu terdengarlah Kwee Lian Cie berkata dengan
nada mengejek:
"Hm ... Thio Kim San! Apakah ada harganya untuk
dibicarakan? Apalagi untuk ditiru! Cih! ia mampus akibat
kebodohannya!"
"Sucie!" potong Hoa Kie Lian.
"Jangan khawatir, sumoay," kata Kwee Lian Cie dengan
mengulum senyum, "Aku tidak akan merembet kepada Tan
Bun Kiat dan sekalian saudara seperguruannya."
Setelah berkata demikian, Dengan pedangnya Kwee Lian
Cie menuding mata kanan Siangkoan Hong. Lalu mengancam:
"Hei, iblis! Jika kau tidak sudi mengaku, pada saat ini juga
kedua matamu akan kubutakan, Mula-mula akan kutembus
mata kananmu, kemudian mata kirimu, setelah itu telingamu
akan ku-pangkas. Mula-mula telinga kanan, kemudian telinga
kiri, Lalu aku akan memotong hidungmu, pendek kata aku
akan membuat dirimu seperti iblis benar-benar."
Ujung pedang Kwee Lian Cie kini sudah berada satu senti
didepan mata kanan Siangkoan Hong, akan tetapi Siangkoan

204
Hong sama sekali tidak nampak gentar. Kedua matanya
bahkan dipentangnya lebar-lebar tanpa berkedip sekejappun.
sahutnya dengan suara tawar:
"Sudah lama aku mendengar sepak terjang Go-bie pay
yang berhati keji dan bertangan gapah, Kau adalah salah
seorang muridnya, tentu saja kau serupa benar dengan
gurumu. Pada malam ini aku Siangkoan Hong, jatuh
ditanganmu, Nah, coba tunjukkanlah kebesaranmu, Hayo,
butakan mataku, tidak akan aku berkedip sedikitpun!"
"Bangsat gundul!" maki Kvee Lian Cie dengan suara
bengis. "Kau berani mengolok-olok guruku?" setelah berkata
demikian, pedangnya didorong dan seketika itu juga mata
kanan Siangkoan Hong menjadi buta!
Setelah mata kanannya tertikam pedang, mata kirinya
segera terancam pula.
Akan tetapi lagi-lagi Siangkoan Hong tertawa bergelakgelak,
Mata kirinya dibelalakkannya leba-lebar, memelototi
Kwee Lian Cie sehingga gadis itu bergidik bulu kuduknya,
Untuk mengatasi rasa ngeri, Kwee Lian Cie berkata
membentak:
"Kau bukan pengikut Thio Su Seng, bukan pula budak Cu
Goan Ciang atau menantunya Tie-kong tianglo. Apa sebab
kau melindungi Thio Sin Lan sampai kau rela mengorbankan
Jiwamu?"
"Aku adalah seorang laki-laki..!" sahut Siangkoan Hong,
"Perbuatan seorang laki-laki sejati, sekalipun aku terangkan
kepadamu, kaupun tidak bisa memahami karena kau seorang
perempuan."
Bukan main gagahnya perkataan Siangkoan Hong,
sehingga membuat gadis itu mendongkol. Betapa tidak,
Siangkoan Hong sudah tidak berdaya lagi, mata kirinya sudah

205
buta pula, sekalipun demikian, mulutnya masih tajam,
sehingga masih mampu menghina dan merendahkan dirinya.
Maka dengan kalap ia menusukkan ujung pedangnya
mengarah mata kiri Siangkoan Hong.
Syukurlah pada saat itu Hoa Kie Lian menangkis ujung
pedangnya, sambil berkata:
"Sucie, Siangkoan Hosiang ini memang berkepala batu,
Andaikata kau bunuhpun, tidak ada gunanya."
"la memaki guru kita, berhati keji dan bertangan gapah.
Karena itu, biarlah aku tunjukkan kekejian dan kegapahan
tanganku!" sahut Kwee Lian Cie dengan suara berkobarkobar,
"Manusia siluman aliran iblis ini, kalau dibiarkan hidup
akan merusak peradaban manusia saja, Kalau aku bisa
membunuhnya, artinya aku bisa sekedar memberi sedekah
kepada angkatan mendatang."
"Tetapi, sucie, Meskipun ia anggauta aliran sesat, akan
tetapi nyatanya dia seorang pendekar sejati. Menurut
pendapatku, ampunilah jiwanya!" bujuk Hoa Kie Lian.
"Tetapi rekan kita dari Siauw-lim yang berada disini mati
seorang, dan yang lainnya menderita luka parah. lihatlah, Sie
Cu Leng dan Tee Kun Eng, dan juga yang lainnya, Mereka
semuanya menderita luka berat. Masakan dengan
membutakan kedua matanya, aku berlaku keji terhadapnya?"
teriak Kwee Lian Cie, Setelah berkata demikian, secepat kilat
pedangnya kembali menusuk mengarah mata kiri Siangkoan
Hong.
Namun dengan cepat pula, Hoa Kie Lian menangkis
tikaman pedangnya. Katanya membujuk:
"Sucie, orang ini sudah tidak lagi berdaya, Menganiaya
secara demikian kalau tersiar didalam masyarakat, nama Gobie
pay akan tercemar."

206
Kwee Lian Cie gusar bukan kepalang karena kehendaknya
selalu dirintangi adik seperguruannya, Dengan sepasang alis
berdiri tegak, ia membentak:
"Minggir! Kau minggir atau Tidak? jangan perdulikan
diriku!"
"Sucie, kau..."
"Apa?" potong Kwee Lian Cie dengan cepat. "Kau
memanggilku sebagai "sucie"? Bagus, kalau kau memanggilku
dengan sebutan sucie, maka kau harus patuh kepada
perkataanku. Hah, minggirlah !"
"Baiklah, sucie," sahut Hoa Kie Lian dengan suara
merendah.
Pedang Kwee Lian Cie bergerak lagi mengarah ke mata
kiri Siangkoan Hong, akan tetapi lagi-lagi Hoa Kie Lian
menangkisnya.
Karena melihat tikaman Kwee Lian Cie kali ini sangat
ganas dan berbahaya, maka Hoa Kie Lian menangkisnya
dengan sungguh-sungguh pula, ia menggunakan tenaga tujuh
bagian. pada saat itu terdengarlah suara gemerincing dan
lelatu meletik dari perbenturan itu, Dan kedua-duanya tergetar
mundur dua langkah.
Keruan saja Kwee Lian Cie gusar bukan kepalang.
Bentaknya dengan sengit:
"Sumoay! Kenapa berulangkali kau melindungi jiwa
pendekar iblis ini? Apakah maksudmu sesungguhnya?"
"Aku tidak mempunyai maksud apa-apa. Aku hanya
berharap agar kau tidak menyiksanya dengan cara demikian."

207
sahut Hoa Kie Lian, "Bukankah kita mengejarnya semata-mata
hendak memperoleh keterangan dimana beradanya Siu Lan?
Nah, kita tanyakan kepadanya dengan perlahan-lahan dan
sabar."
"Hemm... apa kau kira aku tidak tahu, apa yang berkutik
didalam pikiranmu?" tiba-tiba Kwee Lian Cie mengalihkan
pembicaraan secara tidak langsung. "Beberapa kali Tan Bun
Kiat dari Boe-tong pay mendesak kau menikah dengannya,
mengapa kau selalu menolak dengan memberikan berbagai
alasan?
Waktu ayahmu turut mendesak, mengapa kau kabur dari
rumahmu?"
"Sucie, itulah urusan siauwmoay pribadi." kata Hoa Kie
Lian, "Mengapa, sucie menyebut-nyebut hal itu?"
Sang kakak seperguruan mengeluarkan suara dihidung,
"Kita sama-sama mengetahui," katanya, "Dihadapan orang
luar, memang kurang baik jika aku membuka topengmu, Huh!
Badanmu berada di Go-bie pay, tetapi hatimu dipihak Beng
kauw!"
Mendengar perkataan itu, Hoa Kie Lian gusar bukan main,
sehingga paras mukanya berubah pucat.
"Aku selalu menghormati kau sebagai seorang kakak, dan
belum pernah aku melakukan kesalahan terhadapmu,"
katanya dengan suara gemetar. "Tetapi mengapa hari ini kau
menghina aku?"
"Kalau benar hatimu tidak berpihak kepada Beng-kauw,
sekarang buktikanlah, Kau wakili diriku, menusuk mata kiri
pendekar iblis itu!"
"Sumoay!" kata Hoa Kie Lian dengan suara tegas. "Aku
belajar ilmu pedang bukan untuk membunuh orang yang tidak

208
berdaya, atau menyiksa orang yang lemah. Karena itu aku
menolak permintaanmu !"
Mendengar jawaban Kie Lian, maka Kwee Lian Cie tertawa
tinggi. Katanya dengan mencemoh:
"Bagus, Didengar sepintas lalu kata-katamu bernilai besar,
yang pantas diucapkan seorang pendekar yang bernama
kosong melompong. Maka dengan sangat menyesal aku
membeberkan rahasia hatimu sepatah kata demi sepatah
kata, didepan para orang-orang gagah yang berada disini."
Mendengar ancaman itu, Kie Lian kelihatan tidak berani
berkeras lagi.
"Sucie," katanya dengan suara perlahan. "aku mohon,
dengan mengingat kecintaan antara sesama saudara
seperguruan jangan kau mendesak aku terlalu hebat."
"Sebenarnya bukan aku yang mendesakmu, akan tetapi
kau sendiri yang minta kudesak," ujar Kwee Lian Cie dengan
tertawa menang, suhu memberi perintah kepada kita berdua,
agar mencari jejak dimana beradanya Siu Lan, anaknya Thio
Kim San yang dibawa lari oleh iblis itu, sekarang iblis yang
berada didepan matamu itu sudah tidak berdaya lagi, tinggal
kita mendengar pengakuannya.
Akan tetapi mengapa kau melindungi? Lihatlah dengan
matamu yang terang! Lima orang rekan kita kena dilukai berat,
entah jiwanya tertolong atau tidak. Kalau aku hanya
membutakan kedua matanya, bukankah aku sudah berlaku
murah terhadapnya?"
"Tetapi ingat, sucie, Bukankah dia tadi menyelamatkan jiwa
kita berdua? Andaikata dia tadi melepaskan pukulannya
terhadap kita berdua, pastilah jiwa kita sudah melayang sejak
tadi." Kie Lian memperingatkan.

209
"Hmm..." dengus Kwee Lian Cie, "Sering sekali suhu
memuji ilmu pedangmu yang hebat. watakmu dipujinya jujur
pula, karena berani terus terang menghadapi segala hal.
Karena itu suhu hendak mengangkat kau sebagai
ahliwarisnya. Kenapa sekarang kau berhati selemah cacing
begini?"
Sejak tadi semua orang yang berada disitu termangu
menyaksikan pertengkaran mereka yang tak keruan
juntrungannya, Mereka mencoba menebak-nebak, apakah
latar belakang sesungguhnya? setelah Kwee Lian Cie
menyinggung sikap guru mereka terhadap Hoa Kie Lian,
barulah mereka dapat menduga-duga sebagian, Agaknya
Kwee Lian Cie dengki dan iri hati terhadap Kie Lian karena
oleh guru mereka dicalonkan sebagai ahliwaris.
Sebagai seorang ahliwaris Go-hie pay dikemudian hari,
Hoa Kie Lian tidak hanya akan memiliki ilmu kepandaian yang
tinggi, tetapi juga kedudukannya sebagai Ciang-bunjin Go-bie
Pay.
Oleh perhitungan itu, sekarang Kwee Lian Cie bermaksud
menggeser kedudukan Hoa Kie Lian dengan membuka
boroknya didepan para pendekar yang menjadi rekan
seperjalanan mereka.
Dengan demikian, kecuali mencoreng muka Hoa Kie Lian
didepan rekan-rekannya itu, juga untuk mengangkat diri
sebagai orang yang gigih menunaikan tugas dari gurunya.
Pembawaan jiwa Thio Sin Houw meletakkan nilai budi
diatas segala-galanya, ia mempunyai kesan baik terhadap
Hoa Kie Lian, tatkala Hoa Kie Lian berkunjung ke Boe-tong
san. itulah sebabnya menyaksikan betapa gadis itu kena
didesak oleh Kwee Lian Cie,hatinya ikut menjadi panas. ingin
sekali ia melompat dan menghantam kepala Kwee Lian Cie
sepuas-puas hati.

210
"Sumoay, tiga tahun yang lalu tatkala suhu mengumpulkan
semua murid-muridnya dipuncak Kim-teng, dengan maksud
mengajarkan ilmu pedang Tiat-kiam dan Kie-kiam, kenapa kau
tidak hadir dalam pertemuan itu? Mengapa suhu jadi sangat
marah, sehingga suhu mematahkan pedangnya sendiri dan
mengatakan bahwa dunia tak akan mengenal kedua ilmu
pedang itu?" kata Kwee Lian-Cie dengan suara ditekan-tekan.
"Waktu itu aku sedang sakit di suatu tempat, sehingga
tidak dapat hadir." jawab Kie Lian dengan suara agak merasa
takut.
"Hmm," dengus Kwee Lian Cie dengan mulut mengulum
ejekan. "Suhu memang sangat sayang kepadamu, sehingga
alasanmu tidak direntangnya panjang. Akan tetapi aku,
mempunyai pendapat lain, Baiklah aku akan membatasi diri
tidak mengajukan sebuah pertanyaan lagi kepadamu, tetapi
asal saja kau sekarang membutakan mata kiri pendeta iblis
itu!"
Hoa Kie Lian menundukkan kepalanya, tampaklah ia
berada dalam keadaan serba susah. Akhirnya dengan suara
perlahan ia berkata:
"Sucie, benar-benarkah kau memaksa diriku untuk
melakukan pekerjaan hina itu?"
"Kau mau menusuk atau tidak?" dengan suara kaku Kwee
Lian Cie membentak.
"Sudahlah, begini saja." ujar Hoa Kie Lian dengan suara
mengalah. "Aku berjanji dan bersumpah kepadamu, meski pun
suhu hendak mengangkatku sebagai ahliwarisnya, aku tidak
akan menerimanya."
"Apa kau bilang? Bagus sekali!" berteriak Kwee Lian Cie
dengan muka merah padam. ia nampak makin mendongkol

211
dan gusar bukan main, Meneruskan dengan kata-kata sengit:
"Jadi kau mengira aku beririhati kepadamu? Heh! Apanya
yang kuirikan? Apakah karena kau diangkat menjadi ahliwaris
suhu? sekalipun aku ini bukan murid kesayangan suhu, akan
tetapi bila aku mau dengan sepatah kakaku, akan bisa
menggiurkan kedudukanmu. Hayo, kau mau mencukil mata
kiri iblis ini atau tidak?"
Hoa Kie Lian agaknya tidak sudi melayani lagi. ia memutar
tubuhnya dengan sekonyong-konyong, terus melarikan diri,
Akan tetapi Kwee Lian Cie sudah menduga demikian. Cepat ia
mencegat dengan pedang dilintangkan di depan dadanya.
Katanya pula:
"Aku tadi sudah bilang, Lebih baik kau tusuk mata kiri iblis
itu! Kalau tidak, pastilah rahasiamu akan kubeber dengan
terang-terangan didepan para pendekar gagah yang hadir
disini, Baiklah, karena kau terus-menerus membangkang,
maka terpaksalah aku bertanya kepadamu, Pada tiga tahun
yang lalu, apakah benar-benar kau menderita sakit di Kamciu?
padahal aku tahu benar, kau bukan menderita sakit
sebaliknya kau melahirkan anak!"
Mendengar perkataan Kwee Lian Cie, tak dapat lagi Kie
Lian menyabarkan diri terus saja ia mengibaskan pedangnya
sambil membentak:
"Minggir!" Akan tetapi Kwee Lian Cie tidak mengacuhkan.
Dengan ujung pedang menuding ke dadanya, ia membentak
pula:
"Hoa Kie Lian, akh sayang. Semua orang mengira bahwa
kau seorang gadis yang suci bersih, tak tahunya setelah
bertunangan dengan Tan Bun Kiat, kau mengandung dan
melahirkan anak dari benih laki-laki lain, Sayang, seribu
sayang ..."
*****

212
UCAPAN Kwee Lian Cie itu bagaikan bumi tergoncang
oleh suatu gempa bumi, Tidak hanya Hoa Kie Lian saja yang
terkejut, tetapi semua orang yang mendengar tercekat hatinya,
Benarkah tuduhan Kwee Lian Cie yang keji itu?
Usia Thio Sin Houw belum duabelas tahun penuh, sudah
barang tentu seorang bocah seperti dia belum mengenal
masalah penghidupan laki-laki dan perempuan. ia hanya bisa
merasakan secara naluriah belaka, bahwa kejadian demikian
itu sangat tercela, Akan, tetapi mengingat kesan baiknya
terhadap Hoa Kie Lian, ia membantah segala tuduhan Kwee
Lian Cie didalam hati, Karena tak dapat mengambil suatu
sikap, ia jadi bingung sendiri.
Akan tetapi sesungguhnya yang menjadi bingung dan
heran tidak hanya Thio Sin Houw seorang, bahkan Siangkoan
Hong dan Cie Siang Gie dan lain-lainnya demikian pula.
Tatkala itu wajah Hoa Kie Lian nampak pucat. Dengan
membungkam mulut ia menerjang kedepan dengan maksud
hendak meninggalkan persoalan. Sama sekali tak terduga,
bahwa ancaman Kwee Lian Cie bukan merupakan gertakan
belaka, Dengan sungguh-sungguh ia menggerakkan
pedangnya, menikam lengan kanan Kie Lian, "Crett!" Hebat
tikaman itu, sampai menembus ketulang.
Kena tikaman tak terduga itu, Hoa Kie Lian kehilangan
kesabarannya, Tangan kirinya segera menghunus pedangnya,
katanya mengancam:
"Sucie! Jika kau terlalu mendesak - jangan persalahkan
aku sampai berani melawanmu!"
Semenjak tadi Kwee Lian Cie sadar akan perbuatannya, ia
sudah terlanjur membuka rahasia adik seperguruannya di
hadapan umum. Dan seseorang yang telah kena bongkar

213
rahasianya didepan umum, pastilah akan membunuh
sipenuduh untuk menghilangkan saksi. Tentu saja pekerti
demikian itu diukur dengan cara berpikirnya sendiri. ia tahu,
ilmu kepandaian Kie Lian berada diatasnya, itulah sebabnya
selagi Kie Lian tidak bersiaga, ia menikam lengan kanannya.
Setelah berhasil melukai lengan Kie Lian, ia menikam lagi
empat kali berturut-turut dengan tertawa menang.
Memang, ilmu kepandaian Kie Lian menang setingkat
dengan Kwee Lian Cie, Akan tetapi lengan kanannya telah
tertikam, maka terpaksa ia membela diri dengan tangan
kirinya.
Menghadapi serangan Kwee Lian Cie yang kejam itu, hati
Kie Lian tercekat. Dengan memusatkan seluruh
kepandaiannya segera ia mempertahankan diri dan
menyerang. Begitu menggerakkan pedangnya, serangmenyerang
lantas terjadi dengan cepat sekali. Dalam sekejap
mata saja telah berlangsung dua-puluh jurus lebih.
Mereka yang menonton, kecuali Thio Sin Houw - adalah
jago-jago terkemuka, Diam-diam mereka kagum menyaksikan
ilmu pedang Hoa Kie Lian dan Kwee Lian Cie, Pikir mereka
dengan berbareng:
"Akh, benar-benar golongan Go-bie pay bukan nama
kosong belaka, pantaslah ilmu pedangnya merajai kalangan
rimba persilatan!"
Sebagai jago-jago terkemuka, sudah barang tentu mereka
tahu belaka bahaya yang saling mengancam mereka berdua,
Akan tetapi mereka semua terluka parah, sehingga tak dapat
berdaya untuk melerai. Juga merekapun tak dapat membantu
salah seorangnya, Dan terpaksalah mereka hanya
menyaksikan belaka dengan mata terbelalak.
Kedua saudara seperguruan itu mengenal akan

214
kepandaian masing-masing, pada saat menyerang dan
bertahan mereka bergerak sangat cepat dan gesit. Maka tak
mengherankan, pertarungan mereka makin lama makin
menjadi seru. Sayang, lengan kanan Hoa Kie Lian terluka dan
mengalirkan darah terus menerus. Makin ia menggerakkan
pedangnya, darahnya makin mengucur deras.
Sadar akan kelemahan itu, ia segera melontarkan tipu-tipu
serangan yang mematikan dengan maksud mendesak Kwee
Lian Cie kepinggir, setelah itu ia bermaksud meninggalkan
gelanggang secepat mungkin. Akan tetapi karena ia terpaksa
menggunakan tangan kirinya, apalagi sudah terluka parah,
kemampuannya menggerakkan pedangnya tinggal sebagian
saja.
Bahwasanya sudah sekian jurus lamanya, masih belum
tertikam lagi adalah karena Lian Cie masih segan
terhadapnya, Tak berani ia terlalu mendesak, karena takut
adik seperguruannya itu masih mempunyai simpanan tipu
muslihat yang belum diketahuinya, Dalam usahanya untuk
memenangkan pertempuran itu, ia melihat Kie Lian terus
menerus, agar menjadi letih karena darahnya terus mengucur
dengan sangat derasnya, Apabila Kie Lian kehilangan darah
terlalu banyak, pasti ia akan roboh dengan sendirinya.
Perhitungan itu memang benar belaka, Beberapa saat
kemudian langkah kaki Hoa Kie Lian nampak tak tetap lagi,
gerakan-gerakan pedangnya mulai kacau, Teranglah sudah,
bahwa ia tak tahan lagi.
Menyaksikan itu Kwee Lian Cie girang bukan kepalang,
dengan penuh semangat ia melancarkan serangan-serangan
berantai. Yang dibidik adalah lengan kanan Kie Lian yang
berlumuran darah. Keruan saja Kie Lian sangat sukar
mempertahankan diri.
"Hoa kouvnio!" tiba-tiba Siang-koan Hong berteriak,

215
"Silahkan butakan saja mataku! Terima kasihku tak terhingga
kepadamu!"
Betapa sulit kedudukan Kie Lian, dapat disadari Siangkoan
Hong. Karena membela dirinyalah Kie Lian terpaksa menerima
fitnah-fitnah yang menodai namanya sebagai seorang gadis
yang suci bersih. Akan tetapi meskipun Hoa Kie Lian
meluluskan permintaan Siangkoan Hong untuk membutakan
mata-nya, pastilah Kwee Lian Cie tidak akan mengampuni
juga.
Dan menyaksikan gerakan gerakan pedang Lian Cie yang
makin lama makin keji dan tak kenal ampun itu, Siangkoan
Hong menjadi gusar. Dengan suara menggeledek ia memaki
kalang kabut:
"Hei, Kwee Lian Cie! Kau perempuan tak tahu malu!
Pantas saja orang-orang gagah menyebutmu sebagai sundal!
sekarang dengan mata kepalaku sendiri aku menyaksikan
betapa keji dan kejam hatimu, melebihi ular berbisa, sudah
mukamu Jelek, persegi dan kasar, untunglah wanita di seluruh
dunia ini tiada yang mirip dengan mukamu yang persegi itu.
seumpama demikian, pastilah laki-laki di seluruh muka bumi
rela menjadi pendeta terkebiri, Hihihi ..!"
Padahal wajah Kwee Lian Cie meskipun belum terhitung
cantik, akan tetapi lumayan juga, Namun Siangkoan Hong
yang sudah kenyang makan garam, mengetahui kelemahan
jiwa kaum wanita umumnya. Tak peduli dia cantik atau
memang jelek wajahnya, apabila kena maki demikian -
pastilah akan timbul dengkinya, ia berharap, terdorong oleh
rasa gusar dan dengki itu, Kwee Lian Cie akan mengalihkan
perhatian kepadanya, Dalam keadaan kalap gadis kejam itu
pasti akan membunuhnya. Dengan demikian Kie Lian
memperoleh kesempatan untuk melarikan diri, atau setidaktidaknya
bisa membalut lukanya lebih dahulu.
Sama sekali tak terduga, bahwa Kwee Lian Cie bukan

216
gadis bodoh. Pada saat itu ia berpikir, bahwa yang terpenting
ialah membunuh Hoa Kie Lian terlebih dahulu. Bukankah
pendeta yang jahil mulut itu sudah terluka berat?
Hendak lari kemana lagi dia? itulah sebabnya, ia berlagak
tuli dan tidak menggubris makian Siangkoan Hong.
Akan tetapi Siangkoan Hong bukan sembarang pendeta,
Selain gagah, ia licin pula, Merasa pancingannya yang
pertama gagal, ia segera berseru lantang:
"Hoa kouvnio terkenal sebagai seorang gadis suci bersih,
Sebaliknya, tidak demikian dengan kau yang bermuka persegi
dan berbulu itu, Kau adalah seorang sundal benar-benar,
Umurmu sudah duapuluh delapan tahun, hatimu menjadi kecut
dan takut pada masa depanmu, Maka setiap kali bertemu
dengan laki-laki, kau segera berusaha memancing dan
menjilatnya.
Demikian pula terhadap pendekar muda Tan Bun Kiat,
murid Tie-kong tianglo yang termashur itu, Biasanya dengan
menawarkan tubuhmu yang berbulu itu, tiap laki-laki iseng
akan menerima tawaranmu, Tetapi kali ini kau menumbuk
batu, pendekar muda Tan Bun Kiat tidak menggubris bahkan
menolak dengan kasar. Oleh karena itu kau lantas menjadi
irihati terhadap Hoa kouwnio yang berhati suci bersih, dan kau
hendak membunuhnya,..! Eh, Kwee Lian cie yang bermuka
persegi dan berbulu. cobalah! Sekali-kali kau bercermin yang
terang! Lihat yang terlihat dengan kedua ,matamu! Bukankah
selain wajahmu persegi, juga berbulu dan hitam seperti serabi
hangus....? Ha-ha-ha ...!"
Mendengar ejekan dan olok-olok Siangkoan Hong, benarbenar
dada Kwee Lian Cie hampir-hampir meledak. Oleh rasa
gusar, tubuhnya sampai bergetaran, tetapi masih saja ia
berusaha menguasai diri, sebaliknya mata Siangkoan Hong
yang berpengalaman, segera mengetahui hal itu. Terus saja ia
mementang mulutnya lagi dan berpidato kepada orang-orang

217
gagah yang berada dikiri-kanannya, serunya lantang:
"Saudara-saudara! saudara tadi menyebut aku sebagai
iblis. Memang aku ini iblis, bahkan raja iblis! Kegemaranku
berpesta diantara perempuan perempuan cantik. Pada suatu
hari, aku melihat Kwee kouwnio yang bermuka persegi dan
berbulu itu, lagi memancing pendekar muda Tan Bun Kiat.
Dengan mata-kepalaku sendiri, aku melihat betapa ia sakit hati
tatkala ditolak pendekar muda itu.
Dengan uring-uringan ia menghunus pedangnya dan
memasangkan langkah hendak mencari Kie kouwnio untuk
melampiaskan rasa sesalnya, Karena uring-uringan ia kurang
waspada, Didekat tikungan jalan, ia kusergap dari belakang.
Kemudian kuperkosa sampai empat kali berturut-turut.
Hahaha..."
Tentu saja olok-olok Siangkoan Hong itu bualan kosong
belaka, akan tetapi keterlaluan. Betapa cerdik dan sabar
seseorang, pasti akan meledak dadanya begitu mendengar
olok olok yang beracun itu, Demikian pula Kwee Lian Cie.
Dengan menjerit tinggi ia meninggalkan Hoa Kie Lian, dan
melompat menikamkan pedangnya kemulut Siangkoan Hong
yang jahil itu!
Melihat Kwee Lian Cie keluar gelanggang, masih sempat
Siangkoan Hong tertawa syukur. Memang itulah harapannya,
Dengan demikian ia memberi kesempatan kepada Hoa Kie
Lian untuk melarikan diri, atau membalut terlebih dahulu untuk
mengadakan balasan, itulah sebabnya ia menunggu ujung
pedang Kwee Lian Cie dengan dada terbuka dan hati ikhlas.
Hanya saja, pada saat itu peristiwa diluar dugaan siapapun
segera terjadi.
Dari rumpun belukar melompatlah seseorang, secepat kilat
sambil membentak nyaring. perawakan tubuhnya pendek
bulat, ia menghadang di depan tubuh Siangkoan Hong

218
menunggu datangnya tikaman. Oleh gerakannya yang cepat
dan datangnya tidak terduga duga, Kwee Lian Cie tak dapat
membatalkan tikamannya.
Dengan ,cepat sekali pedangnya menikam dan menancap
dijidat orang itu. pada detik yang bersamaan, orang
berperawakan pendek bulat itupun, melontarkan pukulan yang
tepat mengenai dada Kwee Lian Cie.
"Blukkk!"
Tanpa ampun lagi , Kwee Lian Cie terpental dan terbanting
ditanah dan memuntahkan darah segar. Dari dengan
berbareng pula, orang itu roboh ke tanah berkelojotan,
pedangnya Kwee Lian Cie masih membenam dijidatnya!
"Sie Ah Piang! Hei, bukankah dia Sie Ah Piang!" teriak See
Cu Leng dan yang lain dengan berbareng.
Memang benar. Orang berperawakan pendek bulat itu
adalah Sie Ah Piang, kacungnya Siangkoan Hong yang setia.
Semenjak tadi ia bersembunyi di belakang belukar,
menyaksikan majikannya dikeroyok delapan orang. Ia
percaya, majikannya yang sekaligus juga merupakan gurunya,
pasti bisa memenangkan pertempuran itu. Tatkala gurunya
terluka parah, hampir saja ia keluar dari persembunyiannya.
Tetapi ia melihat perkembangan baru tatkala Kwee Lian Cie
bertempur melawan adik seperguruannya, ia menunggu.
Dan begitu gurunya menghadapi bahaya, dengan cepat ia
keluar dan mewakili menerima tikaman pedang Kwee Lian
Cie, walaupun ilmu kepandaiannya terpaut jauh dengan
gurunya, akan tetapi ia memiliki pukulan dahsyat. Begitu
mengenai dada Kwee Lian Cie, beberapa tulang iga gadis itu
patah.
Setelah menenangkan diri, Hoa Kie Lian menyobek kain

219
bajunya dan membalut luka di lengannya. Kemudian
menolong melepaskan tali pengikat Siangkoan Hong pada
kaki-tangannya, dan tanpa berkata sepatah katapun ia
memutar tubuh hendak pergi.
"Tunggu, Hoa kouwnio! Terimalah hormatku!" seru
Siangkoan Hong sambil merangkapkan sepasang telapak
tangannya.
Dengan cepat Hoa Kie Lian mengelakkan pemberian
hormat pendeta itu, sedangkan Siangkoan Hong lalu
memungut pedang See Cu Leng yang tadi jatuh ketanah,
Katanya:
"Hoa kouwnio, Kwee kouwnio tadi memfitnah namamu
yang suci bersih. Karena itu sebaiknya ia tidak dibiarkan hidup
terus!" setelah berkata demikian pedangnya lantas menikam
leher Kwee Lian Cie, tetapi dengan cepat Hoa Kie Lian
menangkisnya, Katanya:
"Dia kakak seperguruanku. Meskipun budinya tercela,
tetapi aku tak sampai hati menghianatinya."
"Urusan sudah begitu jauh. Kalau dia tak dibunuh,
dikemudian hari pasti akan merugikan nama pribadimu." ujar
Siangkoan Hong.
Hoa Kie Lian mengucurkan air mata dan berkata:
"Aku memang gadis ma1ang. Mungkin pula akan
membawa alamat jelek, tetapi biarlah aku menerima nasibku.
Siang-koan Hosiang, jangan kau mencelakainya."
Siangkoan Hong menghela napas. Berkata:
"Baiklah, jika demikian keinginanmu , aku akan mematuhi."
"Sucie." kata Hoa Kie Lian dengan suara haru kepada

220
kakak seperguruannya, "Harap kau menjaga dirimu baik-baik."
Setelah berkata demikian ia memasukkan pedangnya
kedalam sarungnya, kemudian meninggalkan gelanggang
pertempuran dengan seorang diri.
Setelah Hoa Kie Lian hilang dari penglihatan, Siangkoan
Hong berkata kepada sekalian jago-jago yang
mengeroyoknya, Katanya dengan suara tegas:
"Aku, Siangkoan Hong - sebenarnya tidak mempunyai
dendam sakit hati kepada kalian. Andaikata tayhiap Thio Kim
San hidup kembali, beliaupun tidak akan menaruh dendam
pula kepada kalian, sebab ia tahu bahwa kalian hanya
begundal begundal belaka, Akan tetapi pada malam ini kalian
mendengar perempuan she Kwee itu memfitnah Hoa kownio
begitu keji, kalau hal itu kalian siarkan - nasib Hoa kouwnio
yang berhati suci bersih akan menjadi gelap dikemudian hari.
itulah sebabnya, terpaksa aku meniadakan saksi-saksi hidup,
aku mohon maaf kepada kalian. Kelak apabila kalian
menghadapi malaikat-malaikat yang akan mengantar kalian ke
sorga, tolong katakan kepadanya bahwa aku membunuh
kalian karena terpaksa saja."
Setelah selesai berkata demikian, ia tidak menunggu
reaksi mereka. seorang demi seorang dibunuhnya dengan
tangannya sendiri. Setelah itu ia mendekati Kwee Lian Cie,
dan wajah muka Kwee Lian cie digarisnya dengan ujung
pedang lima sampai tujuh kali. Dengan demikian wajah Kwee
Lian Cie yang tadinya agak lumayan, kini menjadi cacad
seumur hidupnya, Hati gadis itu hampir hampir pecah, akan
tetapi dalam keadaan luka parah tak dapat ia mengadakan
perlawanan, ia hanya bisa memaki kalang-kabut, serunya
lantang:
"Bangsat gundul! janganlah kau menyiksaku dengan cara
begini. Kalau mau bunuh, bunuhlah dengan segera!"

221
Siangkoan Hong tertawa lebar. sahutnya:
"He-he-he! perempuan jelek semacammu ini, setanpun
enggan mendekati. sebaliknya kalau kini kau kubunuh hmm,
mungkin setan-setan jahat dan roh roh yang tidak karuan
dosanya akan lari kalang kabut karena ketakutan melihat
tampangmu. Boleh jadi malaikat Jibril akan lari ketakutan
pula!"
(Malaikat Jibril ~ Giam Lo Ong).
Berkata demikian, ia tertawa gelak beberapa kali.
Kemudian melemparkan pedangnya dan mendukung jenazah
Sie Ah Piang, setelah menangis menggerung-gerung
beberapa saat lamanya, dengan mendukung jenazah itu ia
berjalan perlahan-lahan meninggalkan gelanggang
pertarungan tadi.
Kwee Lian Cie berusaha menolong diri, dengan napas
tersengal-sengal ia mencoba merayap bangun. Dan dengan
bertongkat pedangnya, ia berjalan perlahan-lahan keluar
hutan.
Pertempuran yang menggoncangkan hati itu,
mendebarkan jantung Thio sin Houw berdua Cie Siang Gie,
setelah Kwee Lian Cie tiada nampak bayangannya lagi,
barulah mereka menghela napas merasa lega.
"Cie toako," kata Sin Houw kemudian, "Belum pernah aku
berbicara dengan bibi Hoa Kie Lian, aku hanya melihatnya
ketika ia mendaki gunung Boe-tong, Nampaknya ia menaruh
perhatian besar kepada susiok-ku, Tan Bun Kian karena
katanya mereka telah bertunangan. Tetapi ... tetapi ... apa...
apakah menurut pendapatmu, benar-benar bibi Hoa Kie Lian
pernah melahirkan seorang anak diluar perkawinan?"
"Hmmml perempuan she Kwee itu mengacau-balau tak

222
keruan, janganlah kau percaya!" sahut Cie Siang Gie.
Mendengar jawaban Cie Siang Gie, hati Sin Houw
bergembira, Katanya:
"Benar! Benar! Biar kelak kuadukan fitnahan ini kepada
susiok Tan Bun Kiat, agar dihajarnya dia. Aku benci pada
mulutnya yang kotor!"
"Jangan! Jangan!" cegah Cie Siang Gie cepat, "Sekali-kali
jangan kau ceritakan peristiwa yang kau lihat pada malam ini,
Wah, kelak bisa jadi runyam malah !"
"Apa sebab begitu?" tanya Sin Houw heran.
"Kata-kata kotor yang tak sedap didengar ini, janganlah
kau ceritakan kepada siapapun juga!" ujar Cie Siang Gie.
"Oh!" sahut Sin Houw. Meskipun dia baru berumur belasan
tahu, tetapi otaknya sangat cerdas. setelah berenung sejenak,
segera ia berkata:
"Cie toako, apakah... apakah kau merasa bahwa fitnahan
perempuan busuk itu benar-benar terjadi? Tidak, bukan?"
"Entahlah, aku sendiri tidak tahu ..." sahut Cie Siang Gie.
*****
SETELAH terang tanah, jalan darah Cie Siang Gie menjadi
lancar kembali. ia segera menggendong Thio Sin Houw
meneruskan perjalanan. Dengan perlahan lahan ia melintasi
mayat-mayat yang bergelimpangan. Timbullah suatu
pertanyaan besar dalam hatinya:
"Mereka bertempur mati-matian, hanya karena persoalan
seorang gadis yang bernama Thio Siu Lan. sesungguhnya apa

223
latar belakang gadis itu?"
Sebaliknya Thio Sin Houw yang berada digendongannya,
berpikir pula:
"Ayah dan ibu sendiri belum tahu pasti tentang golok
mustika itu, akan tetapi mereka bersedia mengorbankan
nyawa demi memperoleh keterangan tentang golok itu,
Nampaknya golok itu merupakan sumber bencana, entah
berapa orang lagi yang akan mati bergelimpangan..."
Setelah beristirahat satu malam tanpa bergerak didalam
rimba itu, tenaga Cie Siang Gie menjadi pulih kembali.
Langkahnya cekatan, akan tetapi karena perjalanannya
terpotong oleh kejadian semalam, ia menjadi tersesat. tiba-tiba
saja, dibawah bukit nampak tergelar lembah ngarai yang
berpenduduk, Pikir Siang Gie didalam hati:
"Supeh Ouw Gie Coen bertempat tinggal disebuah
perkampungan Ouw-tiap kok, tempatnya sangat terpencil.
Mengapa justru disini nampak tergelar beberapa dusun? Apa
aku tersesat?"
Cie Siang Gie lalu memasuki perkampungan itu,
maksudnya hendak mencari penduduk untuk minta
keterangan, Tiba-tiba ia mendengar derap suara kuda riuh
dibelakangnya. Empat tentara Mongolia datang mengaburkan
kudanya, mereka nampak bersenjata lengkap, Terdengar
mereka membentak-bentak:
"Hayoo, pergi dari sini! Cepat!"
Sewaktu berada duapuluh langkah dibelakang Cie Siang
Gie, mereka mencabut pedangnya dan mengancam punggung
pemuda itu
Diam-diam Cie Siang Gie mengeluh dalam hati:

224
"Celaka! Baru saja lolos dari bahaya, kini bertemu dengan
bencana lain lagi, Yang terancam bukan hanya aku seorang,
tetapi Sin Houw pula."
Ia merasa ilmu kepandaiannya telah punah, jangan lagi
bertempur melawan empat orang, meskipun menghadapi
seorang rasanya tidak mampu lagi, Maka melihat ancaman
bahaya itu, terpaksa ia menyerahkan dirinya kepada nasib.
Selagi meneruskan perjalanan dengan menyerahkan diri
kepada nasib, tiba-tiba ia melihat beberapa tentara Mongolia
mengganas terhadap penduduk kampung. Melihat hal itu, Cie
Siang Gie mempunyai setitik harapan, Pikirnya:
"Rupanya tentara penjajah itu sedang mengumpulkan
penduduk desa, dan tidak bermaksud menangkap aku."
Tahulah Cie Siang Gie apa sebab tentara Mongolia itu
mengumpulkan penduduk, mereka hendak merampok barang
milik penduduk, Karena merasa diri tak mampu melawan,
segera Cie Siang Gie menggabungkan diri dengan penduduk
yang dikumpulkan itu.
Ketika tiba disimpang tiga, ia melihat seorang perwira
Mongolia memimpin tentaranya. jumlah mereka kira-kira enam
puluh orang. Mereka semua menghunus pedang dan golok.
Perwira itu lantas berseru kepada semua penduduk, dengan
suaranya yang lantang:
"Hey! Kalian manusia atau binatang? Kalian kalau
manusia, lekas berlutut dihadapan kami!"
Penduduk desa yang ketakutan itu segera mematuhi
perintah tersebut. Mereka menjatuhkan diri berlutut. Melihat
hal itu, Thio Sin Houw yang berpengalaman segera membisiki
telinga Cie Siang Gie:
"Toako, lekas lemparkan pedangmu! pastilah tentara itu

225
akan menggeledah mereka, dan biasanya siapa yang
bersenjata akan dibunuhnya!"
Sian Gie seperti diingatkan, segera ia berpura-pura
tergelincir sambil melemparkan senjatanya ke dalam semak
belukar. setelah itu dengan merintih-rintih ia berjalan tertatihtatih.
"Hey, kau yang berberewok!" teriak perwira itu kepada Cie
Siang Gie, "Mengapa kau tidak berlutut?"
Cie Siang Gie seorang pemuda angkuh hati, Meskipun
ayahnya menjadi abdi Ciu Kong Bie, akan tetapi dia sendiri
tidak. ia seorang pemuda yang hidup dengan bebas. ia ikut
kelompok Beng-kauw, itulah sebabnya terhadap penjajah
Mongolia ia benci bukan main. sekarang ia mendengar
perintah agar berlutut, keruan saja ia berontak. Da-lam hati ia
sudah mengambil keputusan, lebih baik mati dari pada berlutut
di hadapan kaum penjajah!
Melihat Cie Siang Gie membangkang, seorang tentara
menghampiri dan mendupak lututnya, Karena ilmu kepandaian
Cie Siang Gie telah punah, ia roboh begitu kena dupak
serdadu itu. Dengan sendirinya pula ia jadi berlutut.
"Kau siapa?" bentak tentara itu.
"Kami berdua hidup mengemis, ini abangku, ia tuli. itu
sebabnya ia tidak mendengar perintah toaya," sahut Thio Sin
Houw cepat.
"Bangsat!" bentaknya lagi, Kaki tentara itu dilayangkan dan
Cie Siang Gie kena dupak untuk yang kedua kalinya. ia roboh
terjungkal, dengan sendirinya Sin Houw ikut terbanting pula.
Keruan saja Cie Siang Gie gusar bukan main, tetapi sadar
bahwa dirinya tak sanggup melawan. ia hanya dapat

226
memakinya didalam hati, pada detik itu pula bersumpahlah ia
didalam hati:
"Aku bersumpah, demi bumi dan langit akan
menghabiskan setiap tentara penjajah beserta begundalnya,
seorang demi seorang sampai mereka lenyap dari buka bumi,
Kalau aku tak sanggup menghabiskan mereka, aku bukan
seorang laki-laki sejati!"
Karena mereka dianggap pengemis, maka Cie siang Gie
dan Thio Sin Houw dapat melanjutkan perjalanannya, selagi
mendekati bukit yang berada di depan mereka, tiba-tiba
mereka mendengar pekik teriak yang menyayatkan hati,
Ternyata penduduk kampung itu di sembelih tentara Mongolia
seorang demi seorang.
Pada waktu itu perjuangan Thio Su Seng sangat
termashur, ia dibantu oleh sekalian penduduk. Tak
mengherankan, seringkali dalam peperangan tentara penjajah
Mongolia menderita kekalahan total, Karena sudah tiga tahun
lamanya tidak dapat menangkap Thio Su Seng yang dianggap
menjadi biang keladi kerusuhan, maka pihak penjajah
menjadikan penduduk sebagai sasaran kini.
Setiap kali mereka melakukan perondaan, segera
mengumpulkan penduduk kampung dengan dalih mencari
para pemberontak. Apabila maksud mereka tidak tercapai,
maka mereka mengadakan pembunuhan masal.
Menyaksikan hal itu, dendan dan rasa gusar Cie Siang Gie
kian membara. ia mengeluh mengapa menyaksikan peristiwa
demikian, justru ilmu kepandaiannya dalam keadaan punah,
seumpama ilmu kepandaiannya belum punah, sudah sejak
tadi ia melabrak tentara penjajah itu meskipun jumlahnya
cukup besar .
Cie Siang Gie memangnya seorang pemuda yang gagah
perkasa, akan tetapi pada saat itu ia merasa diri tidak berdaya.

227
itulah sebabnya setelah mengeluh sambil membanting-banting
kakinya, ia lalu melanjutkan perjalanan.
Menjelang tengah hari ia bertemu dengan seorang
penebang kayu. ia segera menghampiri dan minta keterangan
dimanakah letak dusun Ouw-tiap kok tempat tinggal
pamannya, Ouw Gie Coen, Tetapi penebang kayu itu
menggeleng-gelengkan kepalanya. Katanya:
"Selama hidupku belum pernah mendengar nama dusun
tersebut."
Dan mendengar keterangan penebang kayu itu, sejenak
Cie Siang Gie tergugu. Tetapi ia yakin, bahwa dusun
pamannya tentu tidak jauh lagi, Dengan sabar ia melanjutkan
perjalanan kembali .
Pemandangan seberang-menyeberang, jalan sangat indah
kini, Bunga- bungasedang bermekaran dan mahkota
dedaunan hijau meresapkan penglihatan. Tetapi Cie Siang Gie
maupun Thio Sin Houw masih belum bisa melepaskan diri dari
penglihatan yang disaksikan tadi, itulah penglihatan tentara
penjajah menyembelih penduduk kampung. Karena itu, betapa
mereka berdua dapat menikmati pemandangan yang
bagaimanapun indahnya. Kata Sin Houw kemudian:
"Cie toako, tempat kediaman pamanmu bernama Ouw-tiap
kok. Kalau tak salah, Ouw-tiap kok adalah selat kupu-kupu.
Menurut cerita ibuku, tempat itu sangatlah indahnya, sekarang
kita melihat seberang-menyeberang jalan ini sangat indah
pula, apakah tidak mungkin pamanmu itu bertempat tinggal di
sekitar sini?"
Mendengar perkataan Thio Sin Houw benar-benar Cie
Siang Gie sangat kagum, pikirnya didalam hati:
"Sungguh! Anak ini cerdas luar biasa! Mengapa aku tidak
dapat berpikir demikian sejak tadi?"

228
Ia segera menyeberang ke dalam gerombolan bunga,
setelah berjalan selintasan timbullah setitik harapan, serunya
kepada Sin Houw:
"Dugaanmu agaknya benar. Bunga-bunga ini seperti ada
yang mengatur."
Dengan menuruti jalan pegunungan yang berliku-liku,
mereka menuju ke utara. Selagi melayangkan pandangnya,
mereka melihat suatu tebing di sebelah barat. Disitu nampak
seorang tua sedang mencangkul. Mereka segera mendekati
Dengan sekali pandang, tahulah mereka bahwa orang itu
berusia hampir mencapai limapuluh tahun. perawakan
tubuhnya jangkung kurus.
Entah apa sebabnya, melihat orang itu hati Thio Sin Houw
berdebar debar Katanya didalam hati:
"Apakah dia yang bernama Ouw Gie Coen?"
Selagi ia hendak minta keterangan kepada Cie Siang Gie,
pemuda itu telah menghampiri dan berkata dengan
membungkuk hormat:
"Aku bernama Cie Siang Gie, dapatkah aku mohon
petunjuk dari lopeh, jalan manakah yang harus kami tempuh
agar dapat bertemu dengan tabib sakti Ouw Lo-cianpwee?
Kami berdua ingin sekali bertemu, untuk mohon pertolongan.
Mendengar pertanyaan Cie Siang Gie, tahulah Sin Houw
bahwa orang itu bukan Ouw Gie Coen. Maka dengan penuh
perhatian ingin ia mendengar jawaban orang itu, Sama sekali
tak terduga orang tua itu tetap menundukkan kepalanya dan
terus memacul, Beberapa kali Cie Siang Gie membuka
mulutnya untuk mohon keterangan, akan tetapi agaknya orang
tua itu tuli.

229
SELAGI Thio Sin Houw hendak membantu bertanya pula,
tiba-tiba Cie Siang Gie mencubit pahanya. Maka ia segera
mengurungkan niatnya, Dan Cie Siang Gie yang biasanya
mudah tersinggung serta mudah bergusar, kali ini tidaklah
demikian, ia melanjutkan berjalan dengan langkah sabar, kirakira
beberapa lie jauhnya barulah ia berkata:
"Sute, pamanku mempunyai tabiat yang aneh sekali, ia
mempunyai murid dan pengikut yang setia, dan tabiat
pengikut-pengikutnya mirip majikannya pula. Kita telah
memasuki wilayahnya, karena itu tidak boleh gegabah. sekali
kita melanggar pantangannya tiada lagi harapan. sekarang
tiada jalan lagi selain mencari tempat kediaman pamanku,
dengan menyerahkan nasib kepada Tuhan."
Sesudah menikung beberapa kali, tiba-tiba mereka melihat
sebidang taman bunga yang terpisah beberapa puluh meter
dari pinggir jalan. Di tengah ladang itu tampak seorang gadis
dusun mengenakan pakaian hijau, sedang merawat
tetanaman bunga sambil membungkuk. Thio Sin Houw berada
diatas punggung Cie Siang Gie, karena itu ia memperoleh
penglihatan lebih luas dari pada Siang Gie. Nampak gadis itu
membelakangi tiga rumah atap berdiri berjajar, dan disekitar
rumah itu sunyi sepi.
Dengan masih menggendong Thio Sin Houw, Cie Siang
Gie menghampiri gadis dusun itu, sambil membungkuk hormat
ia berkata:
"Adik ... eh, kakak. Bolehkah kami bertanya kepadamu?
jalan manakah yang harus kami tempuh agar dapat bertemu
dengan paman Ouw Ceng Goe?"
Gadis itu mengangkat kepalanya, memandang Cie siang
Gie dan Thio Sin Houw dengan kedua matanya yang jernih.
Melihat pandang matanya yang bersinar tajam luar biasa itu,
baik Cie siang Gie maupun Thio Sin Houw terkejut.

230
"Akh!" kata Thio Sin Houw dan Cie Siang Gie didalam hati,
"Mengapa sinar matanya begitu luar biasa?"
Thio Sin Houw menatap paras muka gadis dusun itu,
Dibandingkan dengan Kwee Lian Cie dan Hoa Kie Lian , gadis
dusun ini kalah cantik.
Kulitnya kering, kuning. Mukanya pucat, seperti
kekurangan makan. Rambutnya jarang dan berwarna
kekuningan, sedangkan pundaknya tinggi dan tubuhnya kurus.
Hal itu menunjukkan bahwa dia seorang gadis dusun yang
miskin.
Dilihat dari paras muka gadis itu, kira-kira berumur enam
belas atau tujuh belas tahun. Tetapi karena tubuhnya kuruskering
dan kecil, nampaknya seperti kanak-kanak berumur tiga
belas atau empat belas tahun, Meskipun demikian, oleh rasa
hati-hati Cie siang Gie tidak berani berlaku semberono, ia
memanggil adik dan kakak dengan berbareng, karena takut
menyinggung kehormatannya.
"Adik, eh, kakak," ulang Cie siang Gie lagi. "Numpang
tanya, di manakah letak lembah Ouw-tiap kok? Apa kami
harus ke timur atau ke barat, ataukah ke utara?"
Dengan suara dingin gadis dusun itu menjawab:
"Tidak tahu!"
Setelah menjawab demikian, ia menundukkan kepalanya
lagi.
Melihat sikap yang agak sombong dan kasar itu, hati Cie
siang Gie mendongkol, Tetapi mengingat tempat itu sangat
berdekatan dengan Ouw-tiap kok, sedapat-dapatnya ia
menahan rasa mendongkolnya . Katanya kepada Thio Sin
Houw:

231
"Sute, hayolah kita berangkat. Ouw-tiap kok adalah sebuah
lembah yang sangat terkenal, biar bagaimana juga kita pasti
akan dapat mencari sendiri."
Tetapi Thio Sin Houw tidak sependapat dengan Cie siang
Gie. Menimbang bahwa matahari sudah condong ke barat, ia
harus menemukan petunjuk yang pasti. Rasanya akan
mengalami kejadian yang tidak enak apabila sampai tersesat
diwaktu malam hari. Maka dengan sabar ia bertanya:
"Suci, apa ayah dan ibumu ada di rumah ? Mereka tentu
tahu jalan yang menuju ke lembah Quw-tiap kok."
Akan tetapi gadis itu tetap saja tidak melayani, ia terus
mencabuti rumput sambil menundukkan kepalanya.
Hati Cie siang Gie yang gampang tersinggung, jadi
semakin panas. Dengan membuang muka ia melanjutkan
perjalanan Hati Cie siang Gie tidak jahat, tetapi ia kasar. oleh
rasa mendongkolnya ia berjalan menyeberang taman bunga
itu dan menginjak-injak beberapa rumpun tanaman.
Menyaksikan hal itu, buru-buru Thio Sin Houw berseru:
"Cie toako, hati-hati!"
Oleh peringatan Thio sin Houw, Cie siang Gie tersadar
akan kesembronoannya, Cepat-cepat ia menghindarkan
kakinya agar jangan sampai menginjak rumpun tanaman
bunga di depannya.
"Sute, gadis itu rupanya tuli, Buat apa kita bicara
berkepanjangan dengan dia? Hayolah berangkat." kata Cie
siang Gie sambil ia melompat ke pengempangan dan
meneruskan perjalanan dengan langkah panjang.
Semenjak kanak-kanak Thio Sin Houw hidup dalam

232
kemiskinan dan penuh bahaya, itulah sebabnya hatinya cepat
menaruh iba terhadap orang-orang miskin seperti dirinya,
Diperlakukan gadis itu dengan sikap dingin, ia tidak menjadi
gusar. ia malah merasa iba kepadanya, ia menduga bungabunga
itu merupakan mata pencarian keluarga gadis itu, Maka
tak henti-hentinya ia memberi peringatan kepada Cie siang
Gie, apabila kaki pemuda itu hendak menginjak tanaman.
Tiba-tiba diluar dugaan, gadis itu mengangkat kepalanya
dan berseru:
"Hai! untuk apa kalian pergi ke Ouw-tiap kok?"
Cie siang Gie menahan langkah kakinya, dan menjawab:
"Adikku ini lumpuh terkena racun, karena itu kami hendak
menghadap 0uw-sinshe untuk mohon pertolongan"
"Aku hanya pernah mendengar namanya saja, tetapi belum
pernah bertemu dengan orangnya," kata gadis itu, "Apa kau
kenal dengannya?"
"Belum!" jawab Thio Sin Houw di atas punggung Cie siang
Gie, sambil ia memijit pundak pemuda itu, perlahan gadis itu
menegakkan badannya, dan menatap wajah Thio Sin Houw
dengan sinar mata yang sangat tajam.
"Bagaimana kau yakin, bahwa dia sudi mengobati dirimu?"
tanyanya.
wajah Thio Sin Houw lantas saja menjadi suram, jawabnya
dengan berduka:
"Ya, sebenarnya akupun hanya berdoa saja," setelah
menjawab demikian, dengan tidak disadarinya Thio Sin Houw
menghela napas. Tiba-tiba suatu ingatan menusuk benaknya,
pikirnya didalam hati:

233
"Gadis ini nampaknya kenal tabiat dan perangai sinshe
Ouw Ceng Goe, Kalau begitu, tempatnya di Ouw-tiap kok tidak
jauh lagi dari sini."
Memperoleh pikiran demikian, segera ia membisiki Cie
siang Gie agar menghampiri gadis itu lagi, Kemudian berkata
dengan hormat.
"Itulah sebabnya, aku mohon petunjuk-petunjukmu!"
Thio Sin Houw adalah seorang bocah yang memiliki otak
cerdas luar biasa. Dengan istilah petunjuk itu, ia mempunyai
dua maksud. Yang pertama mohon keterangan kepada gadis
itu di mana letak Ouw-tiap kok, sedang yang kedua mohon
petunjuk tentang cara-cara mengobati lukanya. Akan tetapi
gadis itu tidak menyahut. Dengan pandang tajam, ia
mengamat-amati Cie siang Gie dan Thio Sin Houw dari kaki
sampai ke kepalanya. seberapa saat kemudian tiba tiba ia
menuding dua buah pasu berisi kotoran binatang, katanya
memerintah.
"Disebelah sana, ada kolam berisi kotoran binatang. Ada
beberapa pasu pula ditepinya, penuhilah dua pasu dengan
kotoran binatang itu, lalu siram-lah tanaman ini dengan
kotoran binatang itu!"
Setelah memberi perintah demikian, gadis itu membungkuk
lagi dan ia meneruskan pekerjaannya mencabuti rumput.
Baik Cie siang Gie maupun Thio Sin Houw, terkesiap
hatinya. Mereka berdua meskipun selisih umur, tetapi memiliki
pengalaman-pengalaman hidup yang hebat. seringkali mereka
menjumpai manusia-mamisia yang aneh lagak-lagunya, akan
tetapi kata-katanya tidak ada yang melebihi anehnya dengan
kata-kata gadis itu, Betapa tidak? Gadis itu terang seorang
dusun yang miskin, akan tetapi kata-katanya seolah-olah
perintah majikan terhadap kulinya.

234
Meskipun melarat, sejak kanak-kanak baik Thio Sin Houw
maupun Cie siang Gie belum pernah mengerjakan pekerjaan
menyiram tanaman dengan kotoran binatang.
Syukurlah Thio Sin Houw seorang anak yang kenyang
digembleng pengalaman hidup pahit. setelah hilang kagetnya,
dalam hati lantas saja timbul rasa kasihan. Katanya didalam
hati:
"Dia begitu kurus-kering, meskipun berkemauan besar -
betapa sanggup menyirami tanaman bunga diseluruh ladang
ini dengan seorang diri." Tepat pada saat itu, ia melihat wajah
Cie siang Gie merah padam, Buru-buru ia berkata:
"Toako, seorang laki-laki yang kuat memang harus
menolong yang lemah. Biarlah kita membantunya."
"Kau berkata apa?" seru Cie siang Gie dengan
mendongkol.
"Kita bantu dia!" sahut Thio Sin Houw dengan tenang.
Tentu saja Cie siang Gie tahu maksud Thio Sin Houw,
Dialah sesungguhnya yang disuruh membantu pekerjaan
gadis itu. selama dalam perjalanan dia merasakan kecerdikan
adikkecilnya ini, Maka sekali ini, ia percaya Sin Houw
mempunyai rencana tertentu, Maka dengan menggelengkan
kepalanya , ia menurunkan Sin Houw ke atas tanah, kemudian
dengan berdiam diri ia mencari kolam kotoran binatang.
Setelah mengisi dua pasu penuh air kotoran binatang," Cie
siang Gie segera kembali dan menyirami tanaman dengan
menggunakan gayung. Tetapi baru saja ia menyiram satu-dua
kali, tiba-tiba gadis itu berseru:
"Salah! Terlalu kental! Pohon bunga itu bisa mati nanti ...!"

235
Menuruti tabiatnya, Cie siang Gie pasti akan mendamprat
gadis itu, yang berani menegurnya demikian. Akan tetapi
mengingat bahwa Thio Sin Houw mempunyai rencana
tertentu, ia menguasai gejolak hatinya sedapat mungkin. justru
demikian, ia menjadi tertegun. sejenak kemudian ia
mengerling kepada Thio Sin Houw, bocah itu memberi isyarat
agar ia patuh, oleh isyarat itu segera ia balik lagi ke kolam dan
melakukan perintah si gadis dusun. selagi hendak menyiram
tanaman, lagi-lagi gadis itu menegur.
"Awas! jangan sampai daun dan bunganya kena tersiram."
Dengan sikap mengalah, Cie siang Gie menyahut.
"Baik!"
Setelah berkata demikian, ia menyiram tanaman itu
dengan hati-hati.
Justru demikian, ia dapat memperhatikan warna bunga itu,
Bentuknya sedang, warnanya biru tua dan harus luar biasa -
bunga apa ini? selama hidupnya belum pernah ia melihat.
Tidak lama kemudian kedua pasunya telah kosong kembali.
"Bagus!" kata gadis dusun itu,
"Coba tolong satu pikul lagi!"
Mendengar perintah itu, Thio Sin Houw yang duduk di
pengempangan berseru dengan suara halus:
"Kakakku ini harus segera berangkat, malam ini juga kita
harus menghadap sinshe 0uw. Baiklah begini saja, sepulang
kami dari Ouw-tiap kok kami akan singgah kembali untuk
membantumu !"
"Lebih baik kalian tinggal saja disini menyiram bunga!" kata
gadis itu, "Karena kulihat kalian berdua baik-baik, maka aku

236
minta agar kalian menyiram tanamanku."
Mendengar alasan gadis itu, baik Cie siang Gie maupun
Thio Sin Houw makin menjadi heran, Mereka berdua saling
memandang, Thio Sin Houw kembali memberi isyarat. Dan
pada saat itu, Cie siang Gie berpikir di dalam hati:
"Apa boleh buat, sudah terlanjur membantu, maka harus
membantu sampai selesai ..."
Demikianlah ia memikul dua pasu berisi air kotoran
binatang, dan dengan teliti ia menyiram tanaman bunga
diseluruh ladang.
Dalam pada itu matahari telah turun dibalik gunung.
sinarnya yang kuning keemas-emasan masih menyoroti
bunga-bunga biru itu, sehingga memberikan penglihatan yang
indah sekali.
Cie siang Gie seorang pemuda kasar, tetapi melihat
keindahan itu di dalam hati ia berkata: Benar-benar indah
bunga-bunga ini ...
Dalam pada itu Thio Sin Houw yang duduk
dipengempangan berseru lagi kepada gadis dusun itu:
"Cici, sekarang perkenankan kami meneruskan
perjalanan."
Sambil berkata demikian, ia menatap wajah gadis itu
dengan pandang mohon belas kasihan.
Mendadak saja wajah gadis dusun itu berubah angker,
katanya:
"Kalian telah membantuku. Kalian-pun minta petunjukku,
bukan?"

237
Mendengar perkataan gadis dusun itu, Cie siang Gie
berdua Thio Sin Houw berkata didalam hati:
"Memang, memang aku membutuhkan petunjukmu, Akan
tetapi bantuan menyirami tanamanmu terbersit dari hati
menaruh belas kasihan kepadamu, sudahlah, rasanya jika kini
mohon bantuannya agar menunjukkan tempat paman Ouw,
agaknya seperti orang menagih budi."
Pada saat itu Cie siang Gie tertawa lebar. Katanya:
"Akh, indah benar bungamu ini."
Setelah berkata demikian, pemuda berewok itu
menghampiri Thio Sin Houw, selagi hendak meneruskan
perjalanan dengan menggendong Thio Sin Houw, tiba tiba
gadis itu berseru memanggil:
"Tahan!"
Cie siang Gie mulai tak sabar, Dengan pandang gelisah ia
menatap gadis itu, ia melihat gadis tersebut membungkuk
memetik dua kuntum bunga.
Katanya:
"Kau tadi berkata, bunga ini indah sekali. Nah, kuberi
kalian dua tangkai bunga!" setelah berkata demikian, ia
memberikan dua tangkai bunga itu.
"Terima kasih!" kata Thio Sin Houw dan Cie siang Gie, Cie
siang Gie membungkuk dan dimasukkan kedalam sakunya.
"Sebetulnya siapa nama kalian...?" tanya gadis dusun itu.
"Aku Thio Sin Houw, dan kakakku ini Cie siang Gie." jawab
Sin Houw.

238
Gadis dusun itu mengangguk dan berkata lagi:
"Jika kalian hendak ke Ouw-tiap kok, lebih baik ambil jalan
mengarah ke timur laut!"
Sebenarnya dalam hati Cie siang Gie mendongkol
terhadap gadis dusun itu, tetapi begitu mendengar
petunjuknya lantas saja hilang, Bisiknya kepada Sin Houw
sambil tertawa:
"Sute, benar-benar kau bisa memandang jauh, Coba, kalau
aku tadi menuruti kekasaranku, pastilah aku akan tersesat
dipinggang gunung ini."
Tetapi sebaliknya, hati Sin Houw bercuriga, pikirnya
didalam hati:
"Jika tempat kediaman Ouw sinshe berada di sebelah timur
laut, sebenarnya ia dapat menerangkan dengan tegas.
Kenapa ia menggunakan kata-kata: lebih baik mengambil jalan
ke timur laut?"
Thio Sin Houw meskipun baru berumur belasan tahun,
akan tetapi pengalamannya terhadap manusia lebih banyak
dari pada Cie siang Gie. Maklumlah selama beberapa tahun ia
dikejar musuh-musuh ayahnya terus-menerus, dan semua
musuh-musuh ayahnya seringkali kalau bicara menggunakan
tipu muslihat jebakan-jebakan tertentu, Karena itu setiap kali
hendak mengambil keputusan, keluarganya dipaksa untuk
memecahkan teka-teki atau menduga-duga tata muslihat
lawan terlebih dahulu.
Tetapi kali ini meskipun ia menaruh curiga, namun segan
mendesak lebih jauh lagi, segera ia memberi isyarat kepada
Cie siang Gie agar meneruskan perjalanan.
Baru saja mereka melintasi gundukan tanah tinggi,

239
dihadapannya menghadang sebuah telaga yang sangat luas,
jalan satu-satunya yang nampak di depan matanya, mengarah
ke jurusan barat dengan demikian, petunjuk gadis dusun tadi
sangat bertentangan.
"Kurang ajar perempuan itu!" maki Cie siang Gie, "Kalau
tak sudi memberi petunjuk, sebenarnya kita juga tidak akan
memaksa, Biarlah, kalau kelak kita lewat di dusunnya lagi aku
akan menghajarnya!"
Thio Sin Houw merasa heran. Baik Cie siang Gie maupun
dirinya, tadi telah berbuat baik terhadap gadis itu, Apa sebab
balasannya demikian buruk?
"Toako!" kata Sin Houw, "Kurasa perempuan itu
mempunyai hubungan dengan Ouw sinshe."
"Apa kau melihat tanda-tanda yang mencurigakan?" sahut
Cie siang Gie.
"Kedua matanya bersinar luar biasa," kata Thio Sin Houw,
"Aku merasa bahwa ia bukan seorang perempuan dusun yang
belum pernah melihat dunia."
"Benar!" kata Cie Siang Gie. "Kalau begitu, ku buangnya
saja dua tangkai bunga pemberiannya ini."
Cie siang Gie segera mengeluarkan dua tangkai bunga
dari sakunya, Melihat bunga itu berwarna sangat indah, hingga
Thio Sin Houw merasa sayang. Katanya:
"Perempuan itu memang patut kita sesali, akan tetapi
bunga pemberiannya ini sangat indah. Belum tentu bunga ini
akan mencelakakan kita."
Setelah berkata demikian, ia segera mengambil dua
tangkai bunga itu dari tangan Cie siang Gie dan
dimasukkannya ke dalam kantongnya sendiri. Kemudian

240
memberi isyarat kepada Cie Siang Gie, agar meneruskan
perjalanannya menuju ke barat.
"Hai! Hati-hati sedikit. Jalan ini nampaknya licin sekali!" ia
memberi ingat dari punggung Cie siang Gie, tetapi Cie siang
Gie nampaknya sudah uring-uringan karena mendongkol
terhadap gadis dusun tadi, ia berjalan dengan langkah
panjang, makin lama makin cepat.
Waktu itu magrib telah tiba, sejak tadi hati mereka sudah
khawatir, pada siang hari, meskipun andaikata perjalanan
sangat berbahaya, semuanya dapat dilihat dengan terang
benderang, sebaliknya apabila malam hari tiba, suasana alam
menjadi gelap pekat.
Teringat pengalamannya kemarin malam hati mereka
berdebaran, setelah berjalan setengah jam lagi, suasana alam
berubah dengan mendadak. Pohon-pohon dan rumput-rumput
yang tumbuh dikiri-kanan jalan makin berkurang, Akhirnya
mereka tiba pada suatu tempat yang gundul sama sekali. Dan
melihat pemandangan demikian, jantung Thio Sin Houw
maupun Cie siang Gie memukul keras.
Kata Sin Houw dengan suara cemas:
"Toako, coba lihat! selembar rumputpun tiada tampak
tumbuh di sini, sungguh mengherankan I"
"Benar." jawab Cie siang Gie. "Andaikata semua tumbuhtumbuhan
yang berada di sini dibabat manusia, setidaktidaknya
masih nampak bekas-bekasnya, Jangan-jangan inilah
akibat tanah gamping atau lahar gunung ..." ia tidak
menyelesaikan kata-katanya, sebaliknya setelah berdiam
sejenak, ia berbisik kepada Thio Sin Houw:
"Sesungguhnya, sute, Belum pernah aku singgah
ditempatnya paman Ouw, Tetapi aku yakin, bahwa tempat

241
paman Ouw sudah berada dekat sekali, Mungkin dialah yang
menebari racun, hingga tanah disini tidak dapat ditumbuhi seonggok
rumputpun."
Thio Sin Houw mengangguk. Teringat kelumpuhan
jasmaninya disebabkan karena racun pula, ia jadi ketakutan
begitu mendengar kata-kata racun. Tiba tiba saja ia
mengeluarkan dua potong saputangan, setelah menutupi
pernapasannya dengan saputangan itu, ia memberikan
saputangan lainnya kepada Cie siang Gie, Katanya:
"Kau tutuplah hidungmu dengan saputangan, mungkin
sekali disini kita akan menghisap asap beracun, Kalau toako
mempunyai sehelai kain yang agak panjang, bebatlah kedua
kakimu agar tidak menginjak tempat-tempat yang beracun!"
Cie siang Gie mendengarkan peringatan Thio Sin Houw
dengan perasaan kagum, ia memuji sikap hati-hati sang adik
itu, Segera ia menutupi pernapasannya dengan sehelai
saputangan pemberian Thio Sin Houw, kemudian mengambil
sehelai kain dan dibebatkan pada kedua kakinya.
Dengan waspada mereka melanjutkan perjalanan Tak
lama kemudian kembali mereka melihat sebuah bangunan
atau sebuah rumah yang bentuknya aneh sekali. Rumah itu
bentuknya seperti sebuah kuburan besar tanpa pintu dan
tanpa jendela, sedangkan warnanya hitam mulus sehingga
kelihatannya menyeramkan sekali. sepuluh meter disekitar
rumah itu berdiri pohon-pohon pendek yang daunnya
berwarna merah darah.
Cie Siang Gie seorang pemuda yang tidak pernah
mengenal takut menghadapi segala kejadian-kejadian yang
menyeramkan, pengalamannya pun banyak sekali. seringkali
ia menghadapi lawan yang bersenjata racun jahat, dan kerap
kali pula ia melintasi wilayah-wilayah yang berbahaya, Akan
tetapi pada saat itu, dia yang mempunyai keberanian besar,
tak urung mengeluarkan keringat dingin juga, begitu

242
menyaksikan penglihatan yang aneh dan menyeramkan itu.
Bisiknya kepada Thio Sin Houw:
"Sute, bagaimana pikiranmu?"
"Apakah rumah itu kira-kira tempat bersemayannya Ouw
sinshe?" Thio Sin Houw menduga, "Jika rumah tersebut
memang tempatnya Ouw sinshe, kita mohon dengan sopansantun.
Lalu kita mempertimbangkan perkembangan
selanjutnya."
Cie siang Gie sudah percaya akan kecerdasan Sin Houw,
maka dengan hati-hati ia maju terus. Kemudian dengan sikap
sangat hormat ia berseru:
"Tecu, Cie siang Gie, Keponakan paman, hari ini datang
bersama seorang sahabat bernama Thio Sin Houw, Kami
berdua menghaturkan selamat kepada Ouw pekhu ..."
Meskipun ilmu kepandaian Cie siang Gie punah, akan
tetapi tidak berarti tenaganya benar-benar hilang. Masih
sanggup ia berseru dengan nyaring sekali, suaranya tajam
dan jelas. Apa-lagi ia berteriak ditengah alam yang sunyi-sepi,
Suara demikian dapat di tangkap limapuluh atau seratus meter
dengan jelas. Akan tetapi rumah itu tetap sunyi-sepi, Tak
terdengar suara apapun juga.
Sekali lagi Ouw siang Gie berteriak, tetapi tetap saja tidak
memperoleh jawaban, pemuda itu jadi agak mendongkol,
segera ia berteriak untuk yang ketiga kalinya dengan sekuat
tenaga. Katanya:
"Aku kena pukulan hebat, dan adikku ini terkena racun
jahat. Entah siapa yang melakukan penganiayaan terhadap
kami berdua, kami sendiri tidak jelas, itulah sebabnya, kami
datang kemari mohon pertolongan supek!"

243
Akan tetapi, tetap saja ia tidak memperoleh jawaban.
Dalam pada itu, cuaca semakin gelap, Thio Sin Houw
menjadi gelisah, tanyanya minta pertimbangan kepada Cie
siang Gie:
"Toako, apak kau pernah bertemu dengan Ouw supekmu?"
Cie siang Gie mengangguk, sahutnya:
"Tiga kali aku pernah bertemu dengannya."
"Kalau begitu, apa yang harus kita lakukan?"
Cie Siang Cie tertegun-tegun, Tak berani ia mengambil
keputusan. Rupanya ia terlalu mengenal tabiat pamannya,
sehingga apabila kurang hati-hati jerih payahnya itu akan
menjadi sia-sia belaka.
"Apa kita pulang saja, dan menyerahkan nasib kepada
Tuhan?" ujar Thio Sin Houw lagi, "Kalau demikianlah
keputusanmu, biar aku menunggu nasibku saja, percayalah,
aku tidak akan menyesali siapapun juga."
Mendengar perkataan Thio Sin Houw itu, hati Cie Siang
Gie menjadi terharu. Dengan penuh semangat ia menyahut:
"Aku sudah berjanji kepada kakek-gurumu, Tie-kong
tianglo.Meskipun tiba-tiba pamanku menjadi raja iblis yang
paling kejam dijagad ini, aku tidak akan mundur, Coba kau
tunggu disini, biarlah aku sendiri memasuki halamannya.
Mungkin pula dia enggan memberi jawaban kepadaku karena
melihat kehadiranmu "
Sehabis berkata demikian, tanpa menunggu jawaban ia
menurunkan Thio Sin Houw dari punggungnya. Kemudian
seorang diri ia memasuki halaman rumah yang aneh itu,
Dalam hatinya ia sudah mengambil keputusan tetap, hendak

244
menggunakan kekerasan apabila perlu.
Meskipun pernah menyaksikan kemampuan Ouw Ceng
Gie, namun ia percaya bahwa pamannya itu hanya pandai
mengobati orang sakit saja, Dia yakin, dalam hal berkelahi
kepandaiannya tidak begitu tinggi.
Pohon-pohon berdaun merah itu ternyata mempunyai
cabang yang lebat sekali, demikian pula daunnya, sehingga
merupakan sebuah mahkota yang rimbun. Begitu lebat
cabang, ranting-ranting dan daunnya, sehingga mencapai
tanah. Maka tidaklah mudah untuk melintasi dengan begitu
saja.
Tanpa berpikir panjang lagi, Cie siang Gie segera
mengambil keputusan hendak melompati pagar pohon itu saja,
selagi badannya masih berada ditengah udara, tiba-tiba ia
mencium bau wangi. pada saat itu juga kedua matanya
menjadi gelap, kepalanya pusing. Dan ia roboh terbanting
diantara rimbun pohon.
Peristiwa itu sudah tentu mengejutkan hati Thio Sin Houw,
segera ia hendak menyusul, akan tetapi kaki dan tangannya
tidak dapat digerakkan. setiap kali berusaha akan berdiri,
tubuhnya bergemetaran dan terasa lemah lunglai, Akan tetapi
Ihio Sin Houw adalah anak yang keras hati, segera timbullah
keputusannya hendak mencoba menghampiri. Hati-hati, ia
bertiarap kemudian merangkak-rangkak maju dengan
mengisutkan tubuhnya, ia dapat melakukan gerakan tersebut,
akan tetapi tentu saja sangat lambat.
Baru saja ia me rangkak beberapa meter jauhnya, tenaga
jasmaninya terasa habis. Keringat membasahi seluruh
tubuhnya, namun dengan menguatkan diri ia terus maju sedikit
demi sedikit.
Sekarang ia telah memasuki halaman rumah berbentuk
aneh itu, seperti Cie siang Gie, segera ia mencium bau wangi

245
dan dadanya lantas saja menjadi sesak. Karena tadi
menyaksikan robohnya Cie siang Gie, dapatlah ia berlaku
lebih hati-hati. Dengan menguatkan diri, kerapkali ia menahan
napas. Ke-mudian dengan menundukkan kepalanya ia maju
terus mendekati tubuh Cie siang Gie yang tergolek diatas
tanah dalam keadaan tidak berkutik lagi, segera ia memeriksa
kedua mata Cie siang Gie ternyata tertutup rapat. Tangan dan
mukanya dingin, akan tetapi napasnya masih berjalan dengan
baik.
Thio Sin Houw menjadi bingung berbareng juga khawatir.
Katanya di dalam hati:
"Akh! Dia datang kemari dengan maksud mulia sekali
untuk menolong diriku. Akan tetapi belum lagi ia bertemu
dengan pamannya, sudah terbanting roboh terkena racun. Aku
sendiripun sudah menghisap hawa beracun dan tinggal
menunggu waktu saja, Tak apalah bila aku yang mati, tetapi
dia? Dia harus hidup! Ouw sinshe adalah pamannya.
seumpama dia datang seorang diri, pastilah tidak akan
mengalami bencana demikian ini."
Oleh pikiran itu, ia menjadi nekad, Lalu mendekati rumah
aneh itu,
"Ouw sinshe!" ia berteriak. "Dengan tangan kosong kami
datang ke mari untuk memohon pertolongan, sama sekali kami
tidak mengandung maksud kurang baik, Jika Ouw sinshe tetap
tak sudi menemui kami, maka kami terpaksa tak dapat
menghargai anda lagi!"
Sambil berteriak, ia mengamati-amati bangunan rumah itu,
Tatawarna rumah itu hitam seluruhnya, sehingga seolah-olah
bukan terbuat dari kayu.
Kesannya tak ubah sekapan gerombolan liar yang berada
di atas gunung, walaupun demikian, sekitar rumah tersebut

246
bersih luar biasa, Tak ada sepotong kayupun atau selembar
daun di kiri kanannya, bahkan sebutir batu juga tidak nampak.
Beberapa saat lamanya ia berdiri tertegun sambil mengasah
otak.
Setelah menghampiri rumah itu - tak berani ia menyentuh
karena takut terkena racun.
Tiba-tiba teringatlah dia, di dalam sakunya terdapat
beberapa potong uang perak. segera ia mengeluarkan se
potong uang perak dan dipergunakan untuk mengetuk dinding
rumah tersebut.
Ia heran, tatkala terdengar suara "tring", Maka jelaslah
sudah, bahwa bangunan tersebut dibuat dari logam, setelah
memasukkan uang peraknya ke dalam saku kembali, ia
menundukkan kepala hendak menyelidiki. Tiba-tiba bau wangi
menyambar hidungnya, dan begitu mencium bau wangi itu
dadanya terasa lega dan otaknya menjadi lebih terang. Heran
dan terkejut ia menundukkan kepalanya lagi, Dan sekali lagi ia
mencium bau wangi yang menyegarkan dadanya.
Ternyata bau wangi itu, meruap dari kuntum bunga biru
pemberian gadis dusun tadi, Katanya didalam hati:
"Akh! Kalau begitu, bunga ini mempunyai khasiat penolak
racun, sekarang terbuktilah bahwa gadis itu tidak bermaksud
buruk, bahkan dengan diam-diam ia memberi pertolongan."
Memperoleh keyakinan demikian, timbullah keberanian
Thio Sin Houw, Dengan merangkak-rangkak ia maju
mendekati rumah aneh itu, Benar-benar ajaib! Rumah tersebut
tidak mempunyai jendela maupun pintu, bahkan lubang
kecilpun tidak terdapat di sana, pikirnya:
"Apakah rumah ini tidak ada penghuninya? Kalaupun ada
penghuninya, bagaimana bisa hidup didalam bangunan yang
tidak berhawa sama sekali?"

247
Sebenarnya besar keinginannya ia hendak mengadakan
penyelidikan lebih lanjut, akan tetapi ia sudah tidak bertenaga
lagi, setelah menimbang-nimbang sejenak, ia menghampiri
Cie siang Gie dan menempelkan bunga birunya pada lubang
hidungnya. Begitu Cie siang Gie mencium harum bunga biru
itu, ia bersin dan tersadarlah.
Thio Sin Houw girang bukan kepalang, Dan lantas saja
mengambil keputusan untuk kembali kepada gadis dusun
yang dijumpainya petang tadi, dengan maksud memohon
nasehat dan petunjuk-petunjuknya.
Setangkai bunga biru lalu ditancapkan pada dada Cie
siang Gie sedang yang lainnya digenggamnya erat-erat,
seolah-olah jimat dari sorga, Kemudian ia menunggu sampai
tenaga Cie Siang Gie pulih kembali.
Tak usah menunggu terlalu lama, Cie siang Gie telah dapat
berdiri tegak. Karena pemuda ini semakin percaya kepada
Thio Sin Houw, ia tidak membantak tatkala di ajaknya kembali
kedusun untuk mencari sigadis pemilik bunga biru.
Demikianlah sambil mendukung Thio Sin Houw, segera ia
melompati pohon-pohon merah yang ternyata sangat beracun
itu, Tetapi baru saja kedua kakinya hinggap diatas tanah,
mendadak terdengarlah bentakan datang dari dalam rumah
aneh itu:
"Hai!"
Suara itu terdengar menyeramkan dan mengandung rasa
gusar yang bergolak hebat. Dan mendengar bentakan itu, Thio
Sin Houw menolehkan kepalanya, serunya:
"Ouw sinshe! Apa kau sekarang sudi menerima kami?"
Pertanyaan itu tidak memperoleh jawaban, dan tetap tak

248
terjawab meskipun ia mengulangi seruannya beberapa kali
lagi.
Tiba-tiba kesunyiam malam itu di pecahkan oleh suara
gedubrakan seolah-olah benda berat jatuh keatas tanah.
Dengan berbareng, Cie siang Gie dan Thio Sin Houw
memalingkan kepalanya, Hati mereka terkesiap, tatkala kesiur
angin tajam menyambar dirinya, sebelum dapat berbuat
sesuatu, mereka telah terbanting roboh ketanah...
Entah berapa lamanya mereka terkapar diatas tanah.
setelah menyenakkan mata, mereka ternyata berada di tengah
tegalan bunga tanaman si gadis dusun. Malam hari pada
waktu itu sunyi senyap, Diantara kesunyian malam.
Bunga-bunga biru yang sedang berkembangan
menyiarkan bau yang sangat kuat.
Dan mencium harum bunga itu, dada Cie Siang Gie dan
Thio Sin Houw menjadi lega dan semangatnya menjadi pulih
kembali.
Mereka berdua masing-masing menderita luka, Thio Sin
Houw sejak turun Siauw-sit san boleh dikatakan lumpuh tidak
bertenaga, sedangkan Cie siang Gie kecuali menderita luka
parah akibat pukulan-pukulan beracun, kakinya menginjak
racun di halaman rumah aneh itu pula.
Maka dapatlah dibayangkan, bahwa penderitaan mereka
kian menjadi hebat. Akan tetapi aneh! Benar-benar aneh!
setelah sadar penuh-penuh, baik Cie Siang Gie maupun Thio
Sin Houw, dapat menggerakkan kaki dan tangannya dengan
leluasa, walaupun terasa agak lemas.
Thio Sin Houw nyaris tak percaya kepada perubahannya
sendiri. Berkali-kali ia mencoba mencoba berjalan pula,

249
semuanya berjalan lancar.
"Hai! Bukankah aku sedang bermimpi?" serunya.
Dan berbareng dengan seruannya, Cie siang Gie pun
berteriak kagum penuh sukacita:
"Sute! Kau bisa berjalan?"
"Benar! Aku bisa berjalan. Benar-kah ini? ini bukan mimpi,
bukan?"
Cie siang Gie tertawa sambil menggeleng-gelengkan
kepalanya. serunya cepat.
"Bukan! Bukan mimpi! Benar-benar terjadi! Kau bisa
berjalan, sute!"
Mereka berdua lantas berpelukan hangat, setelah puas,
mereka memutuskan untuk bermalam dirumah si gadis dusun,
agar memperoleh pertolongan dan petunjuknya. sekonyongkonyong
rumah gubuk yang berada didepannya terbuka
jendelanya, dan muncullan sinar pelita.
"Brak!" pintu terbuka dan gadis dusun itu kelihatan berdiri
diambang pintu.
"Silahkan kalian masuk! gadis itu mengundang, "Dusunku
sangat melarat, dan aku sendiri sangat miskin pula, Tak dapat
aku menyuguhkan santapan yang pantas kepada kalian,
silahkan kalian minum teh hangat dan nasi kasar."
Dengan bergandengan tangan, Thio Sin Houw dan Cie
siang Gie memasuki rumah. setelah itu cepat-cepat Thio Sin
Houw membungkuk hormat, dan berkata dengan suara
merendah:
"Kami berdua sungguh merasa malu, karena ditengah

250
malam buta begini telah mengganggu ketenteraman cici."
Gadis itu tersenyum dan berdiri disamping pintu,
mempersilahkan kedua tamunya masuk. Begitu masuk, baik
Thio Sin Houw maupun Cie siang Gie melihat bahwa perabot
gubuk itu sangat sederhana. Tiada bedanya dengan rumahrumah
gubuk orang miskin. Tetapi suatu hal yang aneh,
seluruh ruangan luar biasa bersihnya seolah-olah tidak
melekat debu. Menyaksikan hal itu, jantung Sin Houw
memukul keras. Kebersihan gubuk ini, mirip benar dengan
kebersihan rumah aneh yang berpagar pohon pohon beracun!
"Kalian duduklah!" kata gadis itu lagi, mempersilahkan
kedua tamunya, ia masuk ke dalam dan beberapa saat
kemudian ia keluar dengan membawa dua mangkok kosong,
sepanci nasi, sepiring sayur dengan kuah berikut air teh yang
masih hangat. Hidangan yang disajikan sangat sederhana,
akan tetapi masih mengepulkan asap panas. Begitu uap asap
hidangan tercium hidung, Sin Houw dan siang Gie lantas
tergugah rasa laparnya.
Tak usah dikatakan lagi, setelah mengarungi perjalanan
yang begitu jauh mereka berdua sangat lapar.
"Terima kasih!" kata Thio Sin Houw sambil tertawa. segera
ia mengisi mangkok kosongnya dengan nasi putih yang masih
mengepul-ngepulkan asap hangat. setelah menaruhkan sayur
serta kuahnya - segera ia makan dengan bernapsu sekali.
Sebaliknya tidaklah demikian dengan Cie siang Gie,
Pemuda bermuka berewokan ini tidak berani bergerak karena
hatinya menaruh curiga, Katanya didalam hati:
"Semua makanan ini tentunya sudah disiapkan terlebih
dahulu. Kalau tidak masakan masih begini hangat. Aku tadi
jatuh pingsan tidak sadarkan diri, mengapa dia bisa menduga
dengan tepat bahwasanya aku tersadar pada jam begini? Akh,
aku harus hati-hati dan waspada terhadap penduduk sekitar

251
tempat ini. Biarlah aku menderita lapar daripada mampus kena
racun."
Memperoleh pikiran demikian, tatkala si gadis masuk ke
dalam ia segera berbisik kepada Thio Sin Houw :
"Sst! Lebih baik kau jangan makan apa-apa disini, Dusun
ini sangat berdekatan dengan lembah Ouw-tiap kok, dan
paman Ouw bertabiat aneh sekali. Apa kau lupa? Janganjangan
semuanya ini beracun ..."
Akan tetapi Thio Sin Houw berpendapat lain, ia mengira
gadis dusun ini tidak mengandung maksud kurang baik,
Apabila bermaksud jahat, apa sebab tadi menghadiahkan dua
kuntum bunga kepada mereka berdua? Dan ternyata sangat
besar faedahnya, Disamping itu, jikalau hidangan yang
disajikan ini tidak dimakan, gadis itu tentu merasa tersinggung,
selagi ia hendak menyatakan pendapatnya itu, sigadis sudah
keburu keluar dari dapur, Kali ini ia membawa sebuah nampan
kayu, dan di atas nampan itu terdapat sepanci nasi yang
masih mengepulkan asap hangat. Thio Sin Houw bangkit dari
duduknya, berkata:
"Terima kasih atas budi baik cici, dapatkah kami berdua
menyampaikan hormat kepada ayah dan ibumu?"
"Kedua orang tuaku sudah meninggal dunia," jawabnya.
"Aku hidup sebatang kara disini."
"Akh!" Thio Sin Houw berseru tertahan. Terus saja ia jadi
teringat kepada nasibnya sendiri, pada hari ini dia pun hidup
sebatang kara pula. Tetapi dia tidak berkata sesuatu apa,
setelah kembali duduk ia meneruskan makannya.
Hidangan yang disajikan berupa sayur-mayur segar yang
rasanya lezat sekali. Dengan tidak sangsi lagi, Sin Houw
menyapu semua hidangan yang di suguhkan kepadanya.

252
Untuk menyenangkan hati gadis itu, sambil makan tidak
hentinya ia memuji lezatnya santapan. Keruan saja Cie siang
Gie tambah prihatin. Dengan menghela napas perlahan ia
mengawasi Sin Houw, yang terus menjejali mulutnya dengan
tidak mengenal bahaya. Katanya didalam hati:
"Baiklah, jika kau tidak mendengarkan nasihatku, Akupun
tidak dapat berbuat apa-apa. Bagaimanapun juga kita berdua
tidak boleh mati berbareng karena racun.
Walaupun kasar, Cie siang Gie mempunyai pengalaman
pergaulan yang luas dalam masyarakat. Maka agar tidak
menyinggung hati gadis itu, ia berkata:
"Kouwnio, harap kau memaafkan aku, tatkala aku
mendekati rumah aneh itu aku kena racun sehingga perutku
terasa tidak enak sekali. Napsu makanku lenyap sama sekali
..."
Mendengar perkataannya, si gadis lantas menuangkan teh
pada mangkok kosong dan diangsurkan kepada Cie siang Gie,
Katanya:
"Kalau begitu, minumlah air teh ini saja."
Cie siang Gie menerima pemberian air teh yang dituang ke
dalam mangkok tadi, Dengan sudut matanya, ia menjenguk ke
dalam mangkok. Warna air teh ternyata kehijau-hijauan,
sebenarnya ia haus sekali, akan tetapi begitu melihat
warnanya - napsunya lantas hilang, seperti orang yang punah
tenaganya, ia menaruh mangkok teh ke atas meja dengan
lemah lunglai, Si gadis tidak merasa tersinggung, sikapnya
tenang-tenang saja.
Sama sekali ia tidak menunjukkan rasa kesal atau jengkel.
Melihat Sin Houw menyapu habis semua hidangan yang
disajikan seperti macan kelaparan, ia menjadi girang, sinar
matanya lantas berseri-seri.

253
Thio Sin Houw meskipun bocah yang baru berumur
belasan tahun, sesungguhnya memiliki otak cerdas luar biasa,
sekali melirik, pandang mata gadis itu tak luput dari
perhatiannya, ia makan sekenyang-kenyangnya, karena sudah
diperhitungkan untung ruginya.
Sejak meninggalkan kuil Siauw-lim sie, hatinya sudah
menjadi putus asa terhadap hidup dan kehidupan. seluruh
tubuhnya sudah berlumuran racun berbahaya, itulah sebabnya
ia tak takut lagi menghadapi segala macam racun di dalam
dunia ini, Dan apabila hidangan yang disajikan kepadanya itu
mengandung racun, makan sedikit ataupun banyak akibatnya
sama saja.
Maka ia malah membuka perutnya sebesar-besarnya dan
menghabiskan empat mangkok nasi, serta menyikat semua
santapan yang berada diatas meja.
Setelah selesai, gadis itu lalu bergerak hendak
mengundurkan bekas-bekas hidangan. Akan tetapi Sin Houw
telah mendahuluinya, Dengan rapi ia menyusun perabot
makan minum di atas nampan, dan dibawanya ke dapur.
Kemudian dicucinya sekali, setelah bersih, perabotan itu
lalu dimasukkan ke dalam lemari, Melihat persediaan air
dalam tempayan yang tinggal sedikit, segera ia mengambil
tahang dan mengambil air diselokan yang berada disamping
rumah. Dalam pada Itu, gadis pemilik rumah menyapu sisasisa
makanan yang tercecer di tanah.
Sebenarnya Thio Sin Houw tidak boleh bergerak terlalu
banyak. Betapapun juga tenaganya yang datang tiba-tiba
sehingga bisa menggerakkan kaki-tangannya itu, adalah untuk
sementara saja, ia sadar akan hal itu, justru demikian, ia mau
menggunakan kesempatan sebaik-baiknya untuk membuat
jasa.

254
Demikianlah, setelah mengisi tempayan itu penuh-penuh,
ia kembali ke ruangan depan. Cie siang Gie ternyata sudah
tidur sangat nyenyak, mendekam di tepi meja.
"Maaf, adik." kata gadis itu. "Aku tidak mempunyai kamar
tamu, untuk pelepas lelah, adik hanya bisa merebahkan diri
diatas bangku panjang itu.
"Terima kasih atas segala budimu ini," jawab Thio Sin
Houw sambil tertawa, "janganlah cici bersegan-segan lagi
terhadapku."
Gadis dusun itu tidak berkata apa-apa lagi, setelah
menutup pintu depan, ia segera masuk ke dalam. Ternyata
pintu itu tidak dikuncinya,
Diam-diam Thio Sin Houw kagum terhadap sikap gadis
itu,Meskipun hidup seorang diri ditempat yang begini sepi,
namun masih berani ia menerima dua tetamu laki-laki semua,
per-lahan-lahan ia mendorong pundak Cie siang Gie, dan
membisik:
"Toako, pindahlah ke bangku panjang itu."
Diluar dugaan, begitu kena dorong Thio Sin Houw - badan
Cie siang Gie miring dan terguling diatas tanah.
Kaget Sin Houw meraih dan mencoba membangunkannya.
Begitu tangannya menyentuh paras siang Gie, hatinya
tercekat. Ternyata paras muka Cie siang Gie sangat panas
seperti api, Dengan suara tertahan ia mencoba menyadarkan:
"Toako, kau kenapa?"
Ia menjadi bingung. Buru-buru ia mengambil pelita dan
menyelidiki keadaan siang Gie. Muka siang Gie nampak
merah membara, ia mirip seseorang yang tertidur karena

255
mabuk. Anehnya, mulutnya menebarkan uap arak pula,
pikirnya didalam hati:
"Anehl Kapan ia minum arak? jangan lagi arak, air tehpun
yang disuguhkan ia tidak berani menyentuhnya. Tetapi,
apabila ia tidak minum arak kenapa mulutnya bau arak begini
keras? iapun mabuk pula..."
Dalam keadaan tak sadar, Cie siang Gie mengigau:
"Tidak! Aku tidak mabuk! Mari, mari! Mari kita minum tiga
mangkok lagi!"
Thio Sin Houw jadi prihatin, Besar dugaannya bahwa
mabuknya pemuda itu disebabkan perbuatan si gadis yang
mungkin tersinggung hatinya, Bukankah Cie siang Gie
menolak makanan dan minuman yang dihidangkan tadi? ia
berkhawatir dan heran, tidak tahu ia apa yang harus dilakukan.
Harus membangunkan si gadis untuk memohon
pertolongan...? Atau membiarkan saja Cie siang Gie sampai
tersadar sendiri? sekonyong-konyong ia mempunyai pikiran:
"Akh, apakah benar begitu? Cie toako takut kena racun,
justru demikian, gadis itu malah meracunnya, karena hatinya
tersinggung, Ya, benar begitu. Nampaknya Cie toako bukan
mabuk sewajarnya, pastilah ia telah terkena racun..."
Selagi hatinya berbincang bimbang, dikejauhan tiba-tiba
terdengar salak binatang liar yang sangat menyeramkan.
Ditengah kesunyian malam suara itu membangunkan bulu
roma. Salak itu memekik tinggi, seolah-olah jeritan seseorang
yang kena aniaya, Teringatlah dia akan tutur kata ayah ibunya,
bahwa jeritan demikian adalah salak srigala kelaparan. Tetapi
masakan di pinggang gunung Ouw-tiap san ini ada kawanan
srigala? Andaikata memang ada, mestinya hanya satu-dua
ekor saja, Dan tidak merupakan rombongan besar.
Dengan hati berdebaran, Sin Houw memasang telinganya.

256
semakin lama salak itu semakin dekat, Kadang kadang
diselingi dengan jeritan kambing hutan yang kesakitan. Selagi
hendak menengok keadaan Cie siang Gie, tiba-tiba pintu
ruang dalam terbuka dan nampak sigadis membawa lentera,
wajahnya nampak ketakutan, katanya:
"ltulah kawanan srigala ..."
Thio Sin Houw mengangguk. ia mengawasi gadis itu, dan
berkata sambil menunjuk Cie siang Gie:
"Cici ..."
Sebenarnya ia hendak minta pertolongan, akan tetapi pada
saat itu salak kawanan srigala terdengar makin dekat.
Mendengar hiruk-piruk salak srigala, hati Thio Sin Houw
tergoncang.
Tak dikehendaki sendiri, wajahnya menjadi pucat.
Cie siang Gie sedang dalam keadaan tak sadarkan diri,
sedang sikap gadis itu masih meragukan, Apakah dia kawan
atau lawan? Thio Sin Houw belum dapat menentukan. Apa
yang harus di lakukannya?
Selagi dalam keadaan kebingungan, ia mendengar bunyi
derap kaki kuda di antara salak anjing yang kacau balau,
Derap kaki kuda itu terdengar cepat luar biasa.
*****
BURU-BURU Thio Sin Houw membungkuk dan menyeret
Cie siang Gie kebawah bangku panjang, ia sendiri lantas
melompat ke dapur mencari golok. Tetapi karena gelap gulita,
golok itu tidak mudah dicarinya. Bahkan untuk memperoleh
sebilah pisau dapurpun tidak dapat.

257
"Apakah kau orang suruhan dari keluarga Tan Liang
Peng?" terdengar suara gadis dusun itu membentak. "Apa
perlunya kau datang ditengah malam buta ?"
Mendengar bentakan gadis itu yang sangat angker, hati
Thio Sin Houw menjadi lega. sekarang, sedikitnya ia
mengetahui bahwa penunggang kuda itu bukan kawan si
gadis. Dengan cepat ia menerobos keluar, dan masuk
kedalam pekarangan belakang, setelah mencari batu-batu
kecil, ia segera melompat ke atas pohon dan memanjatnya
tinggi-tinggi.
Seperti kemarin malam, malam itu bulan muncul di langit,
Hanya kali ini sinarnya nampak guram. Di bawah sinar bulan
remang-remang itu, ia mengamat-amati penunggang kuda
yang tiba-tiba berada di depan pintu.
Dia seorang laki-laki, pakaiannya abu-abu, Mungkin warna
abu-abu itu disebabkan oleh sinar bulan yang remang-remang.
Ia diikuti belasan srigala yang selalu menyalak dan menjerit
menyeramkan. Terang sekali binatang-binatang itu sedang
kelaparan. Sepintas lalu, orang itu seperti lagi diuber binatang
buas itu, Tetapi setelah diamat-amati, ternyata si penunggang
kuda menyeret seekor kambing putih yang diikatkan pada
tunggangannya, Karena terseret kuda yang berlari-lari sangat
cepat, kambing putih itu mengembik-embik kesakitan.
Menyaksikan kejadian itu, Thio Sin Houw heran bukan
main. Apakah dia seorang pemburu yang lagi memberi umpan
pada belasan srigala yang memburu dibelakangnya?
Mendadak ia memutar kudanya dan mengaburkan
memasuki kebun bunga, Dengan diubar kawanan srigala, ia
melarikan kudanya dari timur ke barat dan dari barat ke timur,
dalam sekejab mata saja seluruh tanaman bunga itu rusak
terinjak-injak, orang itu benar-benar pandai menunggang
kuda, sekian kali ia membawa kudanya lari berputaran, tetap
saja kawanan srigala itu tidak dapat menerkam kambing putih

258
yang terseret dibelakangnya.
"Akh!" Thio Sin Houw tersadar. "Nampaknya orang itu
sengaja hendak merusak kebun bunga ini. Kalau begitu tak
dapat aku berpeluk tangan saja."
Segera ia mempersiapkan batu-batu yang digenggamnya,
akan tetapi sebelum ia dapat berbuat sesuatu, terdengar suara
erangan.
"Aduhhh!"
Berbareng dengan suara mengaduh itu, sipenunggang
kuda mengaburkan kudanya kearah utara dan kambing yang
tadi diseretnya itu ditinggalkan di tengah-tengah kebun.
Keruan saja kambing putih itu lantas menjadi mangsa
belasan srigala yang kelaparan, Dengan menggeram,
menyalak dan menggerung, belasan srigala lapar itu
menerkam dan merobek-robek perut kambing putih itu.
"Jahat benar orang itu" pikir Thio Sin Houw sambil
menimpukkan dua butir batu. Oleh timpukan itu dua ekor
anjing serigala roboh terguling. Sekali lagi Thio Sin Houw
menyambitkan dua butir batunya, kali ini batu yang
disambitkan agak kecil.
Yang satu mengenai perut seekor serigala dan yang lain
menghajar kaki depan serigala yang sedang merobek-robek
perut kambing putih.
Meskipun tak sampai mati, kedua serigala itu lantas
memekik-mekik kesakitan.
Kawanan binatang buas itu agaknya mengerti, bahwa
musuh mereka berada di atas pohon. Mereka mendongak dan
menggeram sambil memperlihatkan taringnya. Pandang
matanya berapi-api seperti bara yang menyala dan

259
menyaksikan keganasan binatang buas itu, tak terasa Thio Sin
Houw jadi bergidik.
Tanpa memegang senjata, ia merasa tak ungkulan
melawan kawanan serigala ganas itu. Apa lagi sesungguhnya
tenaga yang diperoleh hanya untuk sementara saja.
Sekali lagi ia mengayunkan tangannya untuk menimpuk
serigala jantan yang paling besar.
Bagaikan kilat batunya menyambar tenggorokan serigala
jantan itu. Terkena sambitannya, binatang itu terguling-guling
dengan mengiang-ngiang kemudian kabur sekencangkencangnya.
Sedang serigala lain yang perutnya sudah kenyang, lantas
turut kabur.
Lantas yang ketiga menyusul, kemudian yang berikutnya
dan begitu seterusnya.
Dalam sekejap mata saja, mereka semua lenyap dari
penglihatan. Akan tetapi kebun bunga itu sudah gugur hancur.
Thio Sin Houw segera turun dari pohonnya. Ia
mendongkol, dengki dan mengutuk. Katanya berulangkali:
"Sayang, sayang! sungguh sayang!"
Betapa tidak?" Jerih payah gadis dusun itu, hilang musnah
dalam beberapa saat saja, pastilah gadis itu gusar bukan
kepalang, menyaksikan kebun bunganya hancur terinjak-injak
kawanan serigala, Syukurlah, kalau hanya ber-gusar saja,
Kalau sampai turun semangat, pastilah ia tidak sudi lagi
menanam bunga-bunga yang sangat berkhasiat itu.
Tetapi diluar dugaan, gadis itu sama sekali tidak

260
menyebut-nyebut tentang kerusakan kebunnya, Malahan ia
tertawa sambil berkata:
"Adik! Terima kasih atas bantuanmu tadi."
"Aku sungguh sangat malu," jawab Thio Sin Houw, "Aku
sangat menyesal. Beradanya aku disini ternyata tiada
gunanya, seumpama aku ini seorang perkasa, sejak tadi tentu
telah kurobohkan penunggang kuda yang biadab itu. Jika dia
dapat kurobohkan,tanaman bunga ini tentu dapat
diselamatkan."
Gadis itu tersenyum manis. Berkata dengan suara tenang:
"Andaikata tidak dirusak oleh kawanan anjing liar itu,
beberapa hari lagi bunga-bunga itupun akan layu sendiri..."
Mendengar kata-kata gadis itu, Thio Sin Houw heran
berbareng bercekat hatinya, Gadis dusun yang sederhana ini
seolah-olah mengerti segalanya. Keakhliannya terdengar
melebihi gadis-gadis yang hidup dikota. Karena itu, ia jadi
tertarik hatinya, Dengan membungkuk hormat, Thio Sin Houw
minta keterangan:
"Cici, budimu sangat besar terhadapku, Bolehkah aku
mengetahui namamu ?"
Wajah gadis itu lantas berubah menjadi angker, jawabnya:
"Orang memanggilku "si Jelek" ... tetapi dihadapan orang
lain, janganlah kau sekali-kali memanggil "si jelek kepadaku!"
Karena dia berbicara seperti kepada anggauta keluarganya
sendiri.
- hati Thio Sin Houw menjadi girang dan bersyukur bukan
main, ia maju selangkah lagi, bertanya:
"Kalau aku tidak boleh memanggil cici "si Jelek", lantas aku

261
harus memanggil bagaimana? Tak sudikah cici
memperkenalkan namamu sebenarnya?"
"Kau sangat baik, adik." ujar gadis itu dengan tersenyum
manis.
"Maka baiklah, karena sudah terlanjur biarlah aku
memperkenalkan namaku kepadamu, Nama lengkapku Lie
Hong Kiauw."
"Kalau begitu, aku akan memanggil cici sebagai cici Hong
saja." kata Thio Sin Houw dengan tertawa.
Lie Hong Kiauw tertawa pula, Menyahut :
"Kau sungguh ramah ..." dan oleh kata-kata itu, entah apa
sebabnya jantung Thio Sin Houw berdebar. Lie Hong Kiauw
bukan seorang gadis cantik, juga bukan gadis kota yang
mengerti tentang kemajuan jaman. Namun demikian, lagu
kata-kata dan suara tertawanya sangat manis dan
meresapkan hati, Kedua modal ini merupakan daya tarik luar
biasa baginya.
Selagi Thio Sin Houw hendak membicarakan keadaan Cie
siang Gie, Lie Hong Hong Kiauw sudah mendahului. Katanya
dengan acuh tak acuh:
"Sebenarnya, siapakah kalian berdua ini?"
"Aku sendiri bernama Thio Sin Houw, dan teman
seperjalananku itu bernama Cie Siang Gie." jawab Thio Sin
Houw dengan cepat.
"Oh, begitu? Keadaan Cie siang Gie sama sekali tidak
berbahaya. sekarang aku ingin menemui beberapa orang,
apakah kau mau ikut?"
Sekali lagi Thio Sin Houw heran. siapakah yang hendak

262
dijumpainya pada larut malam begini? Meskipun ia ingin
memperoleh keterangan, namun tak berani ia membuka mulut.
Satu hal ia merasa pasti, bahwa tindakan Lie Hong Kiao tentu
mempunyai maksud yang penting sekali. Maka tanpa berpikir
panjang lagi ia menyahut:
"Baik, aku ikut!"
"Tetapi sebelum berangkat, kau harus berjanji tiga hal,
Yang pertama, kau tidak boleh berbicara kepada lain orang."
"Setuju!" sahut Thio Sin Houw cepat, "Aku akan berlagak
bisu."
"ltupun tak usah," ujar Lie Hong Kiauw dengan tertawa
lebar. "Apakah kau akan berlagak bisu pula terhadapku? Kau
boleh berbicara secara wajar kepadaku, hanya terhadap orang
lain kau kularang membuka mulut. Dan yang kedua, kau tak
boleh bertempur serta tak boleh melepaskan senjata macam
apa pun juga, Juga kau tidak boleh memukul orang. pokoknya,
semuanya tak boleh! Ketiga, kau tak boleh berpisah lebih dari
tiga langkah dari sampingku!"
***
THIO SIN HOUW merasa mendapat kepercayaan. Dengan
sangat girang ia mengiyakan, ia yakin bahwa gadis itu akan
membawanya kepada sinshe Ouw Gie Coen, Terus saja ia
bertanya:
"Apakah kita berangkat sekarang juga?"
"Sebentar! Kita harus membawa barang sedikit." ujar Lie
Hong Kiauw.
Dan gadis itu lantas masuk ke dalam,

263
Kira-kira setengah jam kemudian, ia keluar dengan
membawa dua keranjang bambu yang tertutup rapat, sehingga
tak dapat diketahui apa isinya.
"Biarlah aku yang memikulnya..." kata Thio Sin Houw
menyambut.
Gadis itu tersenyum, tetapi tidak menolak kehendak Sin
Houw, ia meletakkan kedua keranjang beserta pikulannya ke
atas tanah.
Thio Sin Houw sebenarnya masih termasuk kanak-kanak,
meskipun bertahun-tahun ikut ayah-bundanya hidup merantau
dari satu tempat ke tempat yang lainnya, akan tetapi selama
itu belum pernah ia memikul sesuatu, Hanya terdorong oleh
rasa sopan-santun belaka, ia menawarkan diri. padahal
tenaganya belum pulih seluruhnya, ia tahu bahwa keadaan
dirinya yang kini bisa menggerakkan tangan dan kaki, semata
mata suatu keajaiban belaka, Bukankah Tie-kong tianglo yang
terkenal maha sakti menyatakan putus asa tentang
keadaannya?
Begitulah, ia mencoba mengangkat kedua keranjang
bambu tersebut, ia jadi sempoyongan tatkala mencoba
memikulnya, karena berat sebelah, Yang sebelah seberat
tujuhpuluh kilo sedang yang lainnya ringan sekali. ia heran,
akan tetapi tidak berkata sepatah katapun.
Melihat Thio Sin Houw sempoyongan - Lie Hong Kiauw
lantas meraihnya, Katanya dengan tersenyum mengerti:
"Biarlah aku yang memikulnya, Kesehatanmu belum pulih
seperti sedia-kala, bukan?"
Menghadapi kenyataan demikian, meskipun Thio Sin Houw
ingin menyenangkan hati gadis itu, tak berani ia menolak. ia
menyerahkan keranjang dan pikulan itu kembali kepada
pemiliknya.

264
Lie Hong Kiauw mengunci pintu dari luar, Thio Sin Houw
masih sempat menengok kearah Cie siang Gie yang terus
menggeros, sedang mulutnya masih menebarkan ruap arak,
Kemudian ia berjalan mengikuti Lie Hong Kiauw.
"Hong cici," kata Thio Sin Houw setelah mendampingi Lie
Hong Kiauw, "Bolehkah aku menanyakan sesuatu hal
kepadamu?"
Tanpa menoleh, gadis itu menjawab:
"Boleh saja, asal aku dapat menjawabnya."
"Jikalau cici tak dapat menjawab, didalam dunia ini tiada
seorang pun yang dapat memberikan jawaban." kata Thio Sin
Houw lagi, "Kau sendiri tahu bahwa Cie toako tidak minum air
setetespun, dan juga tidak makan sebutir nasipun, Tetapi
mengapa ia sampai mabok begitu rupa?"
Lie Hong Kiauw tertawa geli, jawabnya :
"Dia mabuk, justru karena tak makan dan tak minum!"
Jawaban ini sangat diluar dugaan Thio Sin Houw, sehingga
bocah itu jadi sangat heran, Katanya tak mengerti:
"Akh! inilah benar-benar suatu kejadian yang sama sekali
tak ku mengerti, Cie toako seorang pejoang yang banyak
pengalamannya, ia berkepandaian tinggi pula. Bertahun-tahun
lamanya ia berada didalam laskar perjuangan yang dipimpin
oleh Cu Goan Ciang, Di dalam segala hal, ia cukup
berwaspada dan berhati-hati. sebaliknya aku, anak kemarin
sore yang belum pandai beringus, Kepandaianku sangat
dangkal.
Apa sebab Cie toako yang selalu berwaspada dan bersikap
hati-hati, justru ia .... " Thio Sin Houw tak meneruskan

265
perkataannya.
"Bicaralah terus terang!" kata Lie Hong Kiauw, "Kau tentu
ingin mengatakan bahwa ia roboh ditanganku, meskipun telah
bersikap waspada dan hati-hati , bukan? Apakah kau mengira
bahwa yang berhati-hati selalu selamat? justru orang seperti
dirimulah, yang jarang sekali mendapat celaka."
"Kenapa begitu?" tanya Thio Sin Houw, semakin heran.
"Karena kau penurut. Disuruh memikul kotoran binatang,
kau tak menolak . Disuruh makan, kau makan dengan lahap,
selesai makan, kau bersihkan pula, Kau isi jambangan kosong
meskipun tidak ada yang memerintah, kau ingin bantu pula
memikul keranjang, meskipun tenagamu tidak mengijinkan."
jawab Lie Hong Kiauw dengan tertawa lebar.
"Terhadap bocah yang begitu penurut , masakan ada
orang yang tega menurunkan tangan jahat kepadamu?"
"Oh! Kalau begitu, manusia hidup di dunia ini sebaiknya
menjadi seorang penurut," ujar Thio Sin Houw sambil tertawa,
"Tetapi, bagaimana cara cici mencelakakan dia? Benar-benar
luar biasa! sampai sekarang aku belum bisa menduga."
Gadis itu tidak segera menjawab. sejenak kemudian
barulah ia berkata:
"Baiklah, biarlah rahasia ini kukatakan kepadamu, Apa kau
melihat kembang putih kecil yang berada di ruang tengah?"
Thio Sin Houw mengernyitkan dahinya, ia mengingat-ingat
kembali keadaan ruang tengah di rumah Lie Hong Kiauw,
Memang, disamping meja makan, terdapat sebuah meja kecil.
Dan diatas meja kecil itulah, terdapat jambangan kembang
dengan sekuntum kembang putih. Karena kembang itu tidak
menyolok mata - ia menganggap hanya sebagai perhiasan

266
belaka.
"Orang menamakan kembang itu, kembang Layar Mega."
kata Lie Hong-Kiauw, "Kembang itu dapat membikin mabuk
orang, karena baunya yang sangat harum, Barang siapa
mengisap harum bau nya, pasti akan roboh dengan tandatanda
seperti orang mabuk minuman keras. Aku telah
mencampurkan obat pemunahnya didalam air teh dan nasi
putih yang aku hidangkan untuk kalian."
Mendengar keterangan Lie Hong Kiauw, Thio Sin Houw
menjadi kagum berbareng takut. Biasanya, seseorang yang
hendak meracuni seseorang lainnya akan menaruh racunnya
didalam minuman atau mengaduknya dalam makanan yang
disajikan, Akan tetapi cara gadis itu diluar dugaan siapapun
juga, sehingga Cie siang Gie yang senantiasa bersikap
waspada masih kena dirobohkan oleh gadis dusun itu!
"Tetapi kau tak usah cemas, adik, Begitu pulang, aku akan
memberi obat pemunahnya," ujar Lie Hong Kiauw dengan
suara menghibur.
Mendengar ujar Lie Hong Kiauw tiba-tiba timbullah suatu
pikiran di dalam hati Thio Sin Houw:
"Kalau begitu, kecuali pandai menggunakan racun - ia
pandai pula mengobati orang yang keracunan. Apakah
kesembuhanku dengan mendadak ini oleh pertolongannya
pula? jika benar demikian, maka tak usah lagi aku bersusah
payah menemui sinshe Ouw Gie Coen."
Memperoleh pikiran demikian, lantas saja ia bertanya
mencoba:
"Hong cici, dapatkah kau menyembuhkan orang yang kena
racun dingin Hian-beng sin-ciang?"
"Hmm," dengus gadis itu. "Hal itu rasanya sulit kukatakan."

267
Mendengar jawaban Lie Hong Kiauw, maka Thio Sin Houw
tak berani mendesak lagi. jelas sangat besar kepercayaannya,
bahwa kesembuhannya ini hanya untuk sementara saja,
sambil berjalan mengikuti, ia kini memperhatikan hal-hal yang
luar biasa baginya, Tubuh Lie Hong Kiauw kurus kering,
meskipun demikian dengan langkah kaki yang ringan sekali ia
berjalan sambil memikul keranjangnya, sedangkan gerakan
gerakan tubuhnya bukan berdasarkan ilmu sakti.
Dengan sekejap mata saja, mereka berdua telah
melampaui tujuh kilometer lebih. Arah perjalanan mereka
mengarah ke timur dan bukan ke jurusan lembah Ouw-tiap
kok, Mendadak saja, suatu ingatan menusuk ke dalam benak
Thio Sin Houw, Lantas saja ia menanya:
"Hong cici, bolehkah aku menanyakan satu pertanyaan
lagi? Petang tadi tatkala aku dan Cie toako hendak ke Ouwtiap
kok, kau berkata bahwa lebih baik kami berdua mengarah
ke timur laut, Ternyata kau menyesatkan perjalanan kami,
sehingga kami harus berjalan memutar. Artinya kami terpaksa
melampaui jarak perjalanan dua puluh kilometer lebih jauh,
Kenapa kau berbuat begitu? Aku masih belum mengerti
maksudmu."
Mendengar pertanyaan Thio Sin Houw itu, Lie Hong Kiauw
tertawa geli, jawabnya:
"Sudahlah! janganlah kau bertanya melit-melit, Kau ingin
berkata bahwa rumah Ouw sinshe terletak di barat daya,
sedang kita berdua kini mengarah-ke timur. Bukankah
perjalanan ini yang membuatmu bertanya demikian?"
Keadaan hati Thio Sin Houw kena tebak gadis itu, dan
mukanya lantas saja bersemu merah. untunglah pada saat itu
malam hari, sehingga perubahan air muka itu tak nampak si
gadis - sahutnya dengan suara perlahan:

268
"Benar! Kau menebak tepat sekali."
"Jalan yang kita lalui ini, bukan mengarah ke tempatnya
Ouw sinshe. Karena kitapun tidak bermaksud menemui Ouw
sinshe." kata Lie Hong Kiauw.
Thio Sin Houw terkejut, karena jawaban gadis itu diluar
dugaan. Tak terasa ia berseru tertahan:
"Akh!"
"Apakah kau tahu apa sebab siang tadi aku minta
kepadamu, untuk menyiram tanaman bungaku?" tiba-tiba Lie
Hong Kiauw berkata, "Sesungguhnya aku lagi menguji
kepadamu, Pertama, ingin aku mengetahui nilai hati kalian
berdua, Kedua, aku sengaja memperlambat perjalanan kalian
dan sengaja pula aku menyesatkan kalian. Dengan mengarah
ke timur-laut, jarak perjalanan kalian menjadi bertambah.
Dengan sengaja aku hendak memperlambat perjalanan kalian
agar kalian tiba di Ouw-tiap kok pada waktu malam hari."
"Kenapa begitu?" Thio Sin Houw minta keterangan.
"Karena pohon-pohon merah itulah! Pohon-pohon merah
itu yang memagari rumahnya Ouw sinshe, kurang daya
racunnya pada waktu malam hari, Dengan demikian, bunga
biru yang kuberikan ke pada kalian masih sanggup melawan."
Mendengar keterangan Lie Hong Kiauw, bukan main
kagumnya Thio Sin Houw, sekarang ia merasa takluk
berbareng terima kasih kepada gadis dusun itu, Ternyata Lie
Hong Kiauw bermaksud menolong dirinya dengan sesungguh
hati - kini hatinya yakin sepenuhnya, maka tanpa berkata lagi
ia mengikuti terus perjalanan Lie Hong Kiauw dengan hati
mantap.
Setelah berjalan lebih lama lagi, mereka masuk ke dalam

269
hutan yang lebat, tiba-tiba Lie Hong Kiauw berkata:
"Nah, sekarang kita sudah sampai. Tetapi ternyata mereka
belum datang, Biarlah kita menunggu disini, Maukah kau
menolong meletakkan keranjang ini dibawah pohon itu?"
sambil berkata demikian, ia menuding sebuah pohon besar,
Thio Sin Houw lantas saja mengerjakan apa yang dipinta
gadis itu.
Setelah Thio Sin Houw meletakkan keranjang dibawah
pohon, Lie Hong Kiao menghampiri semak belukar yang
berumput tinggi, terpisah kira-kira lima belas langkah jauhnya,
Kemudian berkata sambil memasuki belukar itu:
"Tolong, bawakan keranjang yang satu kemari!"
Tanpa berkata sepatah katapun, Thio Sin Houw membawa
keranjang lainnya ke dalam belukar menyusul Lie Hong Kiauw.
Ia mendongak menatap udara, dan mengamat-amati bulan
yang kini sudah doyong ke barat. Teranglah sudah, bahwa hari
telah larut malam. Keadaan hutan itu sunyi senyap, yang
terdengar hanyalah suara margasatwa dengan bunyi burung
hantu sebagai selingan.
Kemudian Lie Hong Kiauw memberi sebutir obat pulung
sebesar telur burung, sambil berbisik:
"Kulum ini, tapi jangan kau telan !"
Tanpa ragu-ragu Thio Sin Houw memasukkan obat itu ke
dalam mulutnya, Rasanya sangat pahit.
Dengan menahan napas mereka menunggu. Hanya entah
apa yang sedang di tunggu, Thio Sin Houw sama sekali tidak
mengetahui dan tidak dapat menduga-duga. Alangkah ajaib
pengalamannya, se lama berada dipinggang gunung Ouw-tiap
san.

270
Hanya dalam waktu satu hari satu malam saja, ia
memperoleh pengalaman-pengalaman luar biasa. Dalam
kesunyian itu, teringatlah ia kepada Ciu Sin Lan yang
mengikuti kakek gurunya, Tanpa terasa ia menghela napas.
Katanya di dalam hati:
"Aku mendaki gunung Ouw-tiap san, karena mengikuti Cie
toako. Dan sementara itu ia ikut Thay-suhu kembali ke Boetong
san, Akh! pada saat inir entah apa kira-kira yang sedang
dilakukan ?"
Memperoleh pikiran demikian, tanpa disadari ia
memasukkan tangannya, kedalam saku meraba-raba
saputangan yang bersulamkan bunga melati sebagai
pemberian dari Ciu Sin Lan.
Kurang lebih setengah jam kemudian, tiba-tiba Lie Hong
Kiauw menarik ujung baju Thio Sin Houw, ia menuding kearah
barat laut, serentak Thio Sin Houw berpaling kearah itu, dan di
kejauhan ia melihat sinar lentera. Aneh warna sinar lentera itu,
Biasanya sinar lentera berwarna kuning kemerah-merahan,
tetapi kali ini tidak. sinarnya hijau.
Lentera itu bergerak cepat sekali, dalam sekejap saja telah
berada belasan langkah didepannya, oleh pantulan cahaya
rembulan dan sinar lentera itu, Thio Sin Houw dapat melihat
dengan jelas bahwa pembawanya seorang wanita bongkok,
jalannya terpincang-pincang dan diikuti seorang laki-laki
dibelakangnya. Dan melihat mereka, hati Thio Sin Houw
memukul keras. Teringatlah dia, Ouw-tiap kok terletak di baratdaya,
Dan mereka berdua datang dari barat-daya pula, Maka
kuat dugaannya, mereka ini adalah suami-isteri Ouw Gie
Coen!
Oleh dugaan itu, Thio Sin Houw berpaling kepada Lie Hong
Kiauw untuk memperoleh keyakinan. Akan tetapi di malam
hari, tak dapat ia melihat kesan wajah Lie Hong Kiauw dengan

271
jelas. Apa yang dilihat hanyalah sepasang mata Lie Hong
Kiauw tiba-tiba nampak berkilat-kilat. Dengan penuh perhatian
ia mengawasi kedatangan kedua orang itu.
Terasa sekali hatinya menjadi tegang.
Menyaksikan hal itu, timbullah rasa ksatria dihati Thio Sin
Houw, Meskipun hanya memiliki kepandaian yang dangkal
namun hatinya berkata:
"Jika Ouw sinshe sampai mengganggu Hong cici,
meskipun harus mati aku akan menolong sedapat-dapatnya!"
Kedua orang itu berjalan semakin dekat. sekarang jelaslah,
walaupun wanita itu bercacad, namun parasnya cantik. Tetapi
laki-laki yang berada dibelakangnya, beroman buruk dan
agaknya bersifat ganas. Usia mereka sebaya kira-kira empat
puluh tahun.
Oleh pengalaman hidupnya belum pernah Thio Sin Houw
berdebar hatinya menghadapi segala hal yang mengancam
dirinya. Akan tetapi menghadapi mereka berdua, entah apa
sebabnya tiba-tiba hatinya menjadi ciut, jantungnya
berdebaran dan hatinya ikut terasa berguncang, Nalurinya
berkata bahwa dia lagi menghadapi sepasang suami isteri
yang aneh dan gerak-gerik mereka sukar diduga-duga, Kurang
lebih delapan langkah didepan persembunyian Lie Hong
Kiauw, tiba-tiba mereka berdua membelok kekiri dan berjalan
lagi belasan langkah jauhnya. Kemudian berulah mereka
menghentikan langkah kakinya.
Laki-laki yang berada di belakang wanita bongkok itu,
lantas berseru dengan suara nyaring:
"Bu toako! Menurut suratmu, kami suami-isteri pada malam
ini harus datang ke sini untuk berjumpa denganmu. Hayolah
keluar!"

272
Seruan itu tak memperoleh jawaban - karena itu beberapa
saat kemudian wanita bongkok itu berseru nyaring pula:
"Bu toako! Jika kau tak sudi ke luar, terpaksa kami berlaku
kurang ajar terhadapmu!" juga kali ini tak mendapat jawaban.
Mendengar seruan yang tak berjawab itu, hati Thio Sin
Houw menjadi geli sendirinya, Katanya didalam hati:
"Nah, rasakan sekarang! inilah yang dinamakan balas
membalas. Tadi kau tidak melayani aku, sekarang kau tak
digubris oleh orang yang kau panggil !"
Mereka berdua menunggu kira-kira seperempat jam lagi.
wanita bongkok itu meraba sakunya, kemudian mengeluarkan
seikat rumput yang segera di nyalakan dengan api lentera.
Dalam sekejap mata saja, sekeliling tempat itu penuh dengan
asap putih yang menebarkan bau wangi.
Teringat akan kata-kata: "terpaksalah kami berkurang ajar",
maka Thio Sin Houw segera menyadari bahwa asap itu
tentulah asap beracun. iapun mengerti pula, apabila tidak
memperoleh obat pemunah racun dari Lie Hong Kiauw,
tentulah ia kena akibatnya, ia mengerling kepada Lie Hong
Kiauw yang kebetulan sedang mengerling pula kepadanya,
Sin Houw sangat berterima kasih kepadanya, ia bersenyum
dan memanggut beberapa kali. sebaliknya pandang mata
gadis itu berkesan mengandung rasa cemas.
Semakin lama asap itu semakin tebal, sekonyong-konyong
terdengarlah seseorang bersin dari arah bawah pohon besar,
atau tepatnya dari dalam keranjang. Mendengar suara bersin
itu, hati Thio Sin Houw terkesiap, Barulah ia tahu, bahwa isi
keranjang tersebut adalah orang hidup. Bahwasanya ia tidak
mengerti soal racun adalah wajar, akan tetapi ia tetap tak
mengerti bahwa di dalam keranjang itu tersekap seseorang -
benar-benar mengherankan dirinya sendiri. sekian lamanya ia

273
berjalan mengikuti gadis itu, mengapa ia tak mendengar
pernapasannya sama sekali.
Sementara itu orang yang berada di dalam keranjang
bersin beberapa kali lagi, kemudian tutup keranjang itu terbuka
dan keluarlah orang itu. Ternyata dia seorang laki-laki
mengenakan jubah panjang serta berikat kepala, umurnya
kurang-lebih limapuluh tahun. Dan dialah orang tua yang
terlihat oleh Cie siang Gie berdua Thio Sin Houw sedang
memacul ditengah tegalan.
Begitu kakinya menginjak bumi, dengan pandang melotot,
ia menatap suami-isteri itu, Bentaknya mengguruh:
"Bagus! Kiranya kau, Kim Sun Bo dan Kim Popo, Telah
lama kita tak bertemu, kiranya tanganmu makin lama makin
kejam ...!"
Suami-isteri itu mengawasi si orang tua yang berpakaian
tak rapih dan berikat kepala miring.
"Bu toako! Kau menuduh kami sangat kejam," kata Kim
Sun Bo dengan suara dingin. "Siapa tahu, kau justru
bersembunyi di dalam keranjang, Bu toako."
Baru saja ia berkata demikian, laki-laki yang disebut "Bu
toako" mengendus-endus udara beberapa kali.
Kemudian dengan wajah berubah buru-buru ia
mengeluarkan sebutir obat ramuan yang lalu dikulumnya. Kim
Popo, wanita bongkok itu, lalu memadamkan rumput
beracunnya, yang lantas dimasukkan kedalam sakunya
kembali. Katanya:
"Sayang tak ... tak keburu lagi, Sudah terlambat ..."
Wajah "Bu toako" atau yang sebenarnya bernama Bu Teng
Kun, lantas nampak pucat bagaikan mayat. Tiba-tiba ia lalu

274
duduk di tanah dan beberapa saat berselang, barulah ia
berkata:
"Baiklah, aku kalah. Mulai sekarang tak lagi aku
membuntuti kalian berdua."
Kim Sun Bo, laki-laki yang beroman sangat jelek itu segera
mengeluarkan sebuah botol kecil berwarna merah. ia
mengangsurkan botol kecil itu seraya katanya:
"lnilah obat pemunah racun rumput Cin-su cay, Anakku
telah kau celakakan dengan racunmu, maka dari itu kalau kau
menghendaki bebas dari akibat racunku, berilah obat
pemunah racunmu pula, Tegasnya, marilah kita saling
menukar obat pemunah!"
"Fitnah!" bentak Bu Teng Kun.
"Kau maksudkan aku meracuni anakmu Kim Cin Nio?
Sudah lima-enam belas tahun aku tak bertemu dengan dia,
jangan memfitnah sembarangan!"
Wanita bongkok itu terbatuk-batuk - berkata dengan suara
gusar:
"Jadi kau meminta kami menemui..."
hanya untuk mendengarkan ocehanmu itu saja?" setelah
berkata demikian, ia berpaling kepada suaminya, Berkata lagi:
"Sun Bo! Hayolah kita pulang saja!" berbareng dengan
perkataannya ia memutar badan dan segera hendak berlalu
dari tempat itu.
Akan tetapi Kim Sun Bo tidak bergerak dari tempatnya, ia
masih nampak bersangi-sangsi. Katanya tak jelas:

275
"Tetapi ... Cin Nio ... Cin Nio bagaimana?"
Wanita bongkok itu menghentikan langkahnya, menengok
sambil menyahut:
"Bu toako sangat membenci kita berdua, dia agaknya lebih
suka mati daripada mengampuni Cin Nio, Apakah kau belum
sadar juga akan hal itu?"
Masih juga Kim Sun Bo belum bergerak dari tempatnya, ia
menatap BuTeng Kun beberapa saat lamanya, Kemudian
berkata setengah membujuk:
"Bu toako! Duapuluh tahun lamanya, kita saling
mendendam. Apakah sekarang belum tiba waktunya untuk
melenyapkan permusuhan ini? Aku ingin mengajukan sebuah
usul kepadamu, marilah kita saling menukar obat pemunah
dan menyudahi permusuhan ini."
Kata-katanya itu diucapkan dengan penuh perasaan,
sehingga rasa hati Bu Teng Kun terpengaruh juga, Katanya
dengan suara sabar:
"Kim sute, sebenarnya Cin Nio kena racun apakah?"
Mendengar ucapannya, Kim Popo jadi tertawa dingin.
sahutnya mendongkol:
"Bu toako! sampai pada saat ini kau masih berpura-pura
saja, Baiklah dengan ini kami berdua menghaturkan selamat
atas berhasilnya toako menanam bunga Pek-hu cu-hwa ..."
"Siapa yang menanam Pek hu cu-hwa? teriak Bu Teng Kun
tersinggung. Tiba-tiba meledak: "Apakah Cin Nio kena racun
Pek-hu cu-hwa? Kalau begitu bukan aku! Tentu saja bukan
aku! Benar sungguh mati bukan aku!" ia berteriak dengan
suara tinggi. Dan wajahnya mendadak bertambah pucat.
jelaslah sudah, ia terserang rasa takut. Akan tetapi, Kim Popo

276
seolah-olah tidak menghiraukan keadaan dirinya, Katanya,
dengan suara mengejek:
"Sudahlah, Bu toako! Tak usahlah kita membicarakan hal
itu lagi! Hanya satu hal yang ingin kutanyakan padamu: untuk
apa kau minta kami datang ke mari?".
"Aku meminta kalian datang kemari,.?" teriak Bu Teng Kun
keheran-heranan, "Tidak! Sama sekali aku tak pernah
meminta kalian datang kemari. Tuduhanmu ini benar-benar tak
ku mengerti! Bahkan kalian berdualah yang membawaku
kemari. Apa sebab kau malah memutar balikkan kenyataan
ini?"
Tadi-nya ia menggeleng-gelengkan kepalanya untuk
mengesankan bahwa dalam hal ini, bukan dia yang meminta
mereka berdua datang ke tempat itu, setelah selesai
berbicara, tiba-tiba ia menjadi gusar dan menendang
keranjang bamtu itu yang lantas saja terpental beberapa
langkah jauhnya.
"Huuh" dengus Kim Popo dengan suara menyimpan
dendam, "Apakah surat ini bukan kau tulis dengan tanganmu
sendiri? Akh, Bu toako. Mataku belum lamur! Aku masih cukup
awas untuk mengenal kembali gaya tulisanmu!" setelah
berkata demikian, ia meraba sakunya dan mengeluarkan
sehelai kertas yang diangsurkan kepada Bu Teng Kun.
Bu Teng Kun segera mengulurkan ia punya tangan,
hendak menyambuti kertas itu, Tiba-tiba suatu ingatan
menyadarkannya. segera ia mengebas dengan telapakan
tangannya, dan kertas itu terpental tinggi melayang-layang di
udara, Hampir berbareng dengan itu pun jari-jarinya menyentil
sebatang paku, Dan Paku itu menyambar serta memakunya
kertas itu pada sebatang pohon.
Menyaksikan adegan itu, hati Thio Sin Houw tergoncang.
Katanya di dalam hati:

277
"Sungguh berbahaya! Berlawan-lawanan dengan orangorang
semacam mereka ini, setiap detik kita harus berhati-hati
dan berwaspada, orang tua itu tidak berani menyambuti kertas
pemberian Kim Popo, ia khawatir kalau ada ramuan racunnya.
Kim Popo kemudian mengangkat lenteranya tinggi-tinggi,
dan diatas kertas terlihat beberapa deret huruf-huruf besar
yang berbunyi:
"Dua saudara seperguruanku, Kim Sun Bo dan isteri.
Haraplah kalian datang di hutan Ouw-tiap kok setelah jam tiga
menjelang subuh, aku ingin mendamaikan suatu perkara yang
maha penting."
Huruf-huruf itu berbentuk panjang kurus sedikit,
melengkung, sehingga mirip perawakan tubuh Bu Teng Kun,
Dan melihat huruf-huruf itu, Bu Teng Kun berteriak heran:
"He-he-he! Kau kenapa?" ejek Kim Sun Bo dengan suara
mendongkol.
"ltu bukan tulisanku!" seru Bu Teng Kun,
Kedua suami-isteri itu saling memandang dan mencibirkan
bibirnya, Berkata dengan berbareng:
"Apa kau bilang?"
"Heran, sungguh-sungguh heran!" kata Bu Teng Kun
dengan suara sungguh-sungguh, "Bentuk buruf-hurufnya
memang mirip dengan tulisanku, Akan tetapi... ..." Bu Teng
Kun mengusap-usap jenggotnya dan tiba-tiba saja ia berteriak
dengan suara kalap: "Binatang! Sama sekali tak kuduga
bahwa sampai pada saat ini, kalian masih main fitnah saja
kepadaku. Dengan maksud apa kalian memasukkan aku ke
dalam keranjang, dan membawa kemari? Aku sudah

278
bersumpah, bahwa selama hidupku tak sudi aku melihat kalian
lagi!"
"Sudahlah, jangan berpura-pura!" bentak Kim Popo si
wanita bongkok itu, "Cin Nio kena racun Pek-hu cu-hwa.
Katakan saja, kau mau memberi obat pemunahnya atau
tidak?"
"Apakah kau tahu dengan pasti bahwa... anakmu, Cin
Nio... kena... racun Pek-hu cu-hwa?" tanya Bu Teng Kun
dengan suara terputus-putus. Tatkala mengucapkan kalimat
Pek-hu cu-hwa suaranya bergemetaran seperti ketakutan.
Lambat laun Thio Sin Houw mengerti duduk persoalannya,
ia menduga bahwa seorang berkepandaian tinggi memegang
peranan dalam peristiwa ini, Tetapi siapakah orang itu? Tanpa
dikehendaki sendiri, ia mengerling kepada Lie Hong Kiauw,
Mungkinkah gadis kurus kering ini yang mengatur peristiwa
itu?
Selagi Thio Sin Houw berbimbang-bimbang, sekonyongkonyong
terdengar suara bentakan:
"Uuh ...!"
Suara itu terdengar aneh dan menyeramkan hati. Dengan
meremang Thio Sin Houw menoleh. Ternyata suara tersebut
keluar dari mulut Kim Sun Bo dan Kim Popo, serta Bu Teng
Kun.
Ketiga-tiganya mendorongkan kedua belah tangannya
masing-masing kedepan, Dalam sekejab saja, malam yang
sunyi senyap menjadi semakin hening. Tiada sesuatu yang
terdengar, kecuali suara "uuhh... uuhh ... uuhh..." yang tiada
henti-hentinya.
Mendadak saja suara "uh-uh" itu berhenti, kemudian
berkejaplah secercah sinar dingin dan lentera hijau itu padam

279
seketika.
Thio Sin Houw tahu, bahwa padamnya lentera itu adalah
akibat paku Bu Teng Kun yang dilepaskan dengan mendadak,
beberapa saat kemudian, terdengar suara meremang, itulah
suara erangan Kim Sun Bo, karena rupanya ia kena serangan
paku dari Bu Teng Kun, Alangkah menyeramkan suasana
pada malam hari itu, udara dan bumi seolah-olah terancam
suatu bahaya maut.
Dan menyaksikan hal itu, darah ksatria Thio Sin Houw
meluap dengan tak dikehendaki sendiri. ia memegang tangan
Lie Hong Kiauw dan ditariknya ke belakang, ia sendiri lantas
bersedia berkorban untuk melindungi jiwa gadis kurus-kering
itu.
Begitu suara rintih dan erangan lenyap, keadaan sekitar
hutan itu lantas menjadi sunyi senyap kembali. Yang terdengar
hanyalah bunyi margasatwa dan burung-burung hantu
dikejauhan.
Tiba-tiba terasa ada tangan kecil halus memegang tangan
Thio Sin Houw dan bocah itu terkejut sekali, tangan kecil yang
minta perlindungan. Tadi ia menduga bahwa yang mendalangi
peristiwa mereka bertiga adalah ide Hong Kiauw - akan tetapi
setelah Lie Hong Kiauw memegang tangannya, tahulah dia
bahwa gadis itupun berada dalam ketakutan.
Ditengah kesunyian itu, sekonyong-konyong muncul dua
gulung asap, Yang satu berasap putih, dan yang lain berasap
abu-abu, seperti dua ekor ular, kedua gumpalan asap itu
saling menyambar. Munculnya kedua gumpalan asap itu
tersusul suara orang seperti meniup api.
Thio Sin Houw membuka matanya lebar-lebar untuk
memperoleh penglihatan yang lebih jelas lagi, samar-samar ia
melihat dua sinar api berada di sebelah kiri dan kanan.
Dibelakang sinar api duduk Bu Teng Kun, sedangkan di

280
belakang sinar api yang lain, Kim Popo bersila dan
membungkukkan badannya ke tanah.
Ternyata mereka berdua sedang berusaha meniup titik-api
yang segera meruapkan asap, Tahulah Thio Sin Houw kini,
bahwa mereka berdua tengah menggunakan senjata asap
beracun untuk merobohkan.
Kira-kira seperempat jam kemudian sekitar hutan itu sudah
penuh dengan asap beracun. Thio Sin Houw menekapkan
pergelangan tangan Lie Hong Kiauw erat-erat, dan tangan Lie
Hong Kiauw terasa bergemetaran, Mendadak dari sebuah
pohon terdengar suara aneh. Cepat Thio Sin Houw berpaling,
dan mengawasi pohon itu, itulah pohon tempat menancap
kertas Kim Popo yang terpantek paku beracun Bu Teng Kun.
ia terkesiap karena kertas itu mendadak saja menyinarkan
cahaya terang.
Dan dengan pertolongan sinar tersebut, kelihatanlah
beberapa deretan huruf. Melihat hal itu, Bu Teng Kun dan Kim
Popo berpaling berbareng. Dengan sendirinya mereka
berhenti meniup api beracun, dan dengan terlongong-longong
mengamati huruf-huruf yang mendadak muncul dengan tegar.
Hampir berbareng mereka berdua membaca:
"Surat ini kualamatkan kepada ke tiga muridku: Bu Teng
Kun, Kim Sun Bo dan isterinya ...
Dengan melupakan ikatan rasa cinta kasih antara sesama
saudara seperguruan, kalian bertiga saling mencelakakan,
peristiwa ini benar-benar sangat menyedihkan hatiku, itulah
sebabnya mulai saat ini aku mengharap dengan sangat agar
kalian bertiga cepat-cepat memperbaiki pekerti yang sesat,
Dan hendaklah kalian bertiga menuntut penghidupan yang
sesuai dengan cita-citaku. Segala sesuatu mengenai
kepulanganku ke alam baka, kalian bertiga bisa mengetahui
dari muridku yang bungsu, Lie Hong Kiauw, inilah pesanku

281
yang terakhir gurumu:
Ting-kek le-sian Ouw Gie Coen.
Setelah membaca bunyi surat itu, Bu Teng Kun dan Kim
Popo berseru kaget, dengan serentak mereka berseru
berbareng:
"Apakah guru sudah wafat? Lie Hong Kiauw sumoay!
Dimana kau?"
Perlahan-lahan Lie Hong Kiauw menarik tangannya dari
genggaman Thio Sin Houw, lalu ia menyalakan sebatang lilin.
Kemudian berjalan dengan tenang menghampiri mereka
bertiga.
Melihat Lie Hong Kiauw muncul, Bu Teng Kun dan Kim
Popo berubah wajahnya. Dengan serentak mereka
membentak:
"Sumoay! Apakah kau menyimpan kitab peninggalan
suhu? Ya, pastilah himpunan ilmu ketabiban guru diwariskan
kepadamu. sekarang dimana kau simpan?"
"Suheng dan suci!" kata Lie Hong Kiauw dengan sabar.
"Kalian berdua benar-benar tidak mempunyai perasaan.
Nilai budi kalian berdua sungguh mengecewakan suhu,
Dengan susah payah almarhum mengasuh, merawat dan
mendidik kita. Budi sedemikian besarnya, bagaimana kalian
hendak membalasnya?
Sebaliknya, kalian tidak pernah memperhatikan
kesejahteraan suhu, Bahkan hidup-matinya suhupun luput dari
perhatian kalian, yang kalian ingat hanya buku warisannya
belaka, Benar-benar sangat mengecewakan Jie-suheng,
bagaimana menurut pendapatmu?" kalimat yang terakhir itu,
Lie Hong Kiauw tujukan kepada Kim Sun Bo sebagak kakak

282
seperguruannya yang kedua.
Kim Sun Bo yang rebah ditanah karena terkena paku
beracun dari Bu Teng Kun, menegakkan kepalanya dan
berteriak dengan suara gusar:
"Janganlah kau mengoceh dan berkothbah sepergi
pendeta. Hayo, kau perlihatkan kitab warisan itu secepat
mungkin kepada kami! Bukankah Cin Nio kau yang lukai? Ya
,., ya ... tak bisa salah lagi ... semua perisitiwa yang terjadi
pada malam ini, tentu hasil pekerjaanmu pula!"
Dengan menutup mulut, Lie Hong Kiauw menyiratkan
pandang kepada ketiga kakak seperguruannya.
"Benar-benar suhu pilih kasih!" teriak Bu Teng Kun dengan
hati dengki. "Sudah pasti bahwa suhu menyerahkan kitab sakti
itu kepadanya ..."
"Sumoay! Coba kau perlihatkan kitab itu kepada kami,"
bujuk Kim popo dengan suara halus. "Marilah kita beramairamai
mempelajarinya!"
Dengan pandang mata tajam, Lie Hong Kiauw menatap
mereka bertiga. Kemudian berkata:
"Benar! Memang benar suhu mewariskan kitab saktinya
kepadaku." setelah berkata demikian, ia menggerayangi
sakunya dan berkata lagi: "Lihatlah! inilah wasiat suhu,
bacalah!"
Setelah berkata demikian, ia segera mengangsurkan
selembar kertas kepada Kim Popo.
Mereka bertiga jadi kecewa, Tadinya mereka mengira Lie
Hong Kiauw hendak memperlihatkan buku warisan dari guru
mereka. Tak tahunya, yang diperlihatkan hanya sehelai kertas

283
dan di angsurkan kepada Kim Popo, Tatkala Kim Popo hendak
menerimanya, tiba-tiba Kim Sun Bo berteriak
memperingatkan:
"Awassss!"
Dan oleh peringatan itu, sadarlah Kim Popo akan
kesemberonoannya, Dengan cepat ia melompat mundur
sambil menunjuk ke arah pohon.
Menyaksikan pekerti ketiga kakak seperguruannya, Lie
Hong Kiauw menghela napas. Dengan berdiam diri ia
mencabut tusuk kondenya yang terbuat dari bahan perak, ia
menusuk kertas itu dan dengan sekali mengayun tangannya,
tertancap pada pohon.
Thio Sin Houw kagum menyaksikan timpukan itu, Katanya
didalam hati:
"Benar-benar tak terduga, bahwa gadis dusun yang kurus
kering ini mempunyai kepandaian tinggi."
Ia ikut memperhatikan kertas yang tertancap pada pohon
itu. Dan dengan bantuan sinar lilin Lie Hong Kiauw mereka
semua dapat membaca tulisannya dengan jelas. Bunyinya:
"Surat pusaka ini kutulis untuk muridku: Lie Hong Kiauw,
Anakku,
setelah aku meninggal dunia kau boleh menceritakan
semua peristiwa yang terjadi kepada ketiga kakak
seperguruanmu. Kau kuijinkan memperlihatkan kitab
himpunanku kepada salah seorangnya, yang benar-benar
memperlihatkan rasa cinta kasihnya kepadaku,
Siapa saja diantara mereka bertiga yang tidak
memperlihatkan rasa duka-cita dan rasa kasih sayang

284
kepadaku sebagai murid maka perhubungan di antara guru
dan murid, terputuslah.
inilah pesanku kepadamu.
Surat terakhir dari gurumu:
Tiap-kok Ie-sian Ouw Gie Coen.
setelah membaca surat itu, Kim Sun Bo dan isterinya serta
Bu Teng Kun saling memandang dengan mulut terbuka. Tak
dapat mereka mengingkari bahwa sepak terjang mereka tadi
benar-benar keterlaluan, dan tidak pantas sebagai murid
terhadap gurunya. Betapa tidak? setelah mengetahui gurunya
wafat, sedikitpun mereka tidak mengatakan kata-kata duka
cita, Bahkan yang mereka tanyakan adalah kitab warisannya.
Untuk beberapa saat lamanya mereka terbengong seperti
kehilangan diri.
Tiba-tiba seperti saling berjanji mereka berteriak dan
menerjang dengan serentak.
"Hong cici, awas!" seru Thio Sin Houw sambil melompat
dari persembunyiannya.
*****
PADA SAAT ITU kedua tangan Kim Popo menyambar Lie
Hong Kiauw, Menyaksikan ancaman bahaya itu, kembali lagi
Thio Sin Houw berteriak memperingatkan gadis dusun itu:
"Hong cici, awas!"
Dan dengan cepat bagaikan kilat ia menangkis dengan
sebelah tangannya:
"Paakkk!"

285
seperti diketahui, Thio Sin Houw mewarisi ilmu sakti Si
Tangan Geledek Lie Sun Pin, kakeknya sendiri. ilmu sakti
Tangan Geledek itu diwariskan kepada anak perempuannya,
Lie Lan Hwa, isterinya Thio Kim San - dan kemudian diajarkan
sejurus dua jurus kepada Thio Sin Houw, ilmu itu pernah
mengejutkan Tie-kong tianglo, sebab cara mengatur tata
pernapasan dan tata peredaran darah sangat bertentangan
dengan ajaran Boe-tong pay.
Apa yang diwarisi Thio Sin Houw itu sebenarnya termasuk
golongan ilmu sakti yang luar biasa dahsyatnya, akan tetapi
sangat memakan tenaga sehingga aliran itu termasuk aliran
sesat. seseorang yang dapat mewarisi ilmu sakti Tangan
Geledek , akan menjadi orang yang mempunyai tenaga
sehebat raksasa, Karena itu Thio Sin Houw, meskipun
umurnya baru belasan tahun sudah memiliki pukulan sakti
yang hebat pula dayanya.
Maka begitu kena tangkisan tangan Thio Sin Houw, Kim
Popo terpental dengan menjerit keras!
Begitu berhasil. Thio Sin Houw membalikkan tangannya
dan mencengkeram pergelangan tangan Kim Sun Po.
Kemudian dengan menggunakan pukulan ilmu sakti warisan
kakeknya, ia mendorong dengan meminjam tenaga lawan.
Tubuh Kim Sun Bo yang tinggi besar - Akan tetapi kenapukulan
sakti warisan Si Tangan Geledek Lie Sun Pin, lantas
saja terpental tujuh langkah dan roboh terguling diatas tanah.
Maka tahulah Thio Sin Houw kini, bahwa kedua suami-isteri itu
memang ahli dalam menggunakan racun akan tetapi dalam
hal tata berkelahi, mereka tidak mempunyai kepandaian yang
berarti.
Dengan hati mantap, ia kemudian memutar badannya
menghadapi Bu Teng Kun, Akan tetapi belum lagi ia bergerak,
mendadak saja orang itu bergoyang goyang tubuhnya,
kemudian roboh sendirinya. Aneh sekali, begitu roboh

286
badannya lantas saja tak bergerak sama sekali.
"Sumoay," kata Kim Popo dengan meringis menahan rasa
nyeri. "Benar-benar hebat kawanmu ini! Dia masih kanakkanak
yang belum pandai bertarung, akan tetapi pukulannya
bukan main hebatnya. siapa dia?"
"Namaku Thio Sin Houw!" sahut Sin Houw cepat dengan
suara nyaring, mendahului Lie Hong Kiauw, "Jika kalian suami
isteri merasa penasaran, carilah aku saja."
sebenarnya Thio Sin Houw hanya menirukan cara para
pendekar menantang lawannya, sama sekali ia tidak
memikirkan akibatnya di kemudian hari. sebaliknya Lie Hong
Kiauw lantas saja membentak dengan suara penuh sesal:
"Sudah! Mengapa kau usilan?" sambil berkata demikian,
gadis itu membanting-banting kakinya.
HERAN DAN TERKEJUT Thio Sin Houw menyaksikan
pekerti Lie Hong Kiauw sehingga ia merasa tergugu. Meskipun
cerdas, pada saat itu tak dapat ia menebak pekerti Lie Hong
Kiauw yang membanting-banting kakinya.
Dalam pada itu Kim Sun Bo dan kiri Popo sudah dapat
bangkit kembali. dengan pandang berkilat-kilat, mereka
menatap wajah Thio Sin Houw. Kemudian mereka memutar
tubuh dan berjalan meninggalkan tempat itu dengan langkah
panjang.
Dengan membungkam mulut, Lie Hong Kiauw meniup
lilinnya, Lalu dimasukkan kembali ke dalam sakunya. Pada
saat itu, Thio Sin Houw minta keterangan kepadanya.
Katanya:
"Hong cici, kenapa Bu Teng Kun roboh sendiri?"
Lie Hong Kiauw menggerendang, ia tak segera menjawab,

287
hanya berkali-kali ia mendengus. Thio Sin Houw hatinya
menjadi tak enak sendiri. Beberapa waktu kemudian, ia
berkata dengan perlahan:
"Hong cici, kau tak menjawab pertanyaanku . Mengapa?
Apakah cici tidak senang lagi kepadaku?"
Mendengar perkataan Thio Sin Houw - Lie Hong Kiauw
mengangkat kepalanya, Dengan suara menyesal ia menyahut:
"Mengapa kau tidak menepati janji...? Bukankah kau telah
berjanji tiga hal kepadaku, sebelum ikut kemari? Kenapa kau
langgar semuanya?"
Diingatkan tentang janjinya, Thio Sin Houw menjadi
terkejut, Benar! ia telah melanggar semua janjinya. pertama ia
tidak boleh bicara, akan tetapi nyatanya ia telah bicara juga,
Kedua, ia tak boleh bertempur atau melepaskan senjata
rahasia apapun juga atau melukai siapa saja, juga janji yang
kedua ini dilanggarnya, Dan ketiga, ia tidak boleh berpisah
lebih dari tiga langkah dari Lie Hong Kiauw, nyatanya karena
bertempur - ia tidak hanya berpisah tiga langkah jauhnya,
tetapi malam lebih dari sepuluh langkah! itulah sebabnya Thio
Sin Houw menjadi tertegun. Dengan perasaan malu, ia
berkata memohon belas kasihan:
"Hong cici, kau benar. Aku telah melanggar semua janjiku,
maukah engkau memaafkan kesalahanku ini? Karena melihat
kau dalam bahaya semata-mata hatiku tak tahan lagi. Aku
takut, kau akan kena dilukai mereka, Karena di dalam diriku ini
telah penuh racun mati dan hidup belum memperoleh kepastian,
maka lebih baik aku yang menerima pukulan mereka dari
pada kau, Dengan begitu, kau memperoleh kesempatan untuk
melarikan diri, Tetapi agaknya aku telah salah terhadapmu,
karena itu maafkanlah semua kecerobohanku ini."
"Hmmm!" dengus Lie Hong Kiauw. Tetapi kali ini ia tertawa.
"Kalau begitu , semua yang kau lakukan tadi semata-mata

288
karena kau mencemaskan diriku. pandai benar kau mencaricari
alasan,
Kau yang salah, akan tetapi akibatnya nanti kau bebankan
diatas pundakku, Kau tak percaya? Coba jawab pertanyaan
ku: Apa sebab kau menyebutkan namamu kepada mereka?
Tentu saja mereka sangat dendam kepadamu, tak mungkin
mereka melupakan dendam ini. Pada suatu hari, mereka pasti
akan mencarimu Dalam hal ilmu silat, mereka mungkin tidak
akan menang. Tetapi dalam menggunakan racun, apa kau
bisa menjaga diri ...? Karena itu, mulai sekarang hendaklah
kau selalu waspada dan berhati-hati!"
Setelah berkata demikian, tiba-tiba sikap Lie Hong Kiauw
menjadi lemah lembut. Dan suaranya yang paling akhir
diucapkan dengan penuh kecemasan atas keselamatan Thio
Sin Houw.
Mendengar keterangannya Lie Hong Kiauw, entah apa
sebabnya bulu roma Thio Sin Houw terbangun serentak. Akan
tetapi dia anak seorang pendekar berjiwa ksatrya, oleh karena
itu ia segera dapat menetapkan hatinya, Dan pada saat itu, Lie
Hong Kiauw berkata lagi:
"Kenapa tadi kau menyebutkan namamu kepada mereka?"
Thio Sin Houw menjawab pertanyaan Lie Hong Kiauw
hanya dengan tertawa, sehingga Lie Kong Kiauw yang
kemudian berkata lagi:
"Akh, adik yang baik! Rupanya kau tidak juga menyadari,
adanya ancaman bahaya dikemudian hari, sebaliknya kau
bersikap seperti seorang pahlawan hendak melindungi diriku,
kenapa kau begitu baik kepadaku?"
Ucapan Lie Hong Kiauw yang terakhir itu dinyatakan
dengan penuh perasaan, sehingga hati Thio Sin Houw
terpengaruh karenanya. Halus budi pekerti gadis dusun ini,

289
pikirnya, oleh pikiran itu, ia menyahut dengan penuh rasa
terima kasih:
"Hong cici. Bukan aku yang memperhatikan
keselamatanmu tetapi sebaliknya justru adalah kau yang
sangat memperhatikan keselamatanku, sehingga kau siap
melindungiku sejak tadi." ia berhenti sebentar untuk
mengesankan kata-katanya itu, Kemudian melanjutkan lagi:
"Berkat perlindunganmu, aku lepas dari bahaya. Ayahbundaku
selalu berkata kepadaku bahwa kebajikan kita
sebagai anak manusia, harus baik kepada orang yang berbuat
kebaikan kepada kita, Karena itu sudah sewajarnya, kalau aku
memandangmu sebagai sehabat sejati."
Mendengar perkataan Thio Sin Houw itu, Lie Hong Kiauw
nampak girang bukan main, Katanya menegas:
"Benarkah kau sudi menganggapku sebagai sahabatmu?"
lalu ia tertawa manis. Manis sekali. Meneruskan: "Kalau
begitu, biarlah aku menolong selembar jiwamu terlebih dahulu
..."
"Apa?" Thio Sin Houw heran menebak-nebak .
"Coba kau nyalakan dulu lentera itu," perintah Lie Hong
Kiauw. Kemudian ia mengawasi kesekelilingnya dan bertanya:
"Hai mana lentera yang tadi...?" ia membungkuk mencari-cari
lentera Kim Popo yang ketinggalan, tetapi karena gelap tak
dapat ia menemukannya.
"Bukankah dalam sakumu masih ada lilin?" Thio Sin Houw
mengingatkan.
"Apakah kau mau mati?" kata Lie Hong Kiauw sambil
tertawa, serta masih tetap membungkuk-bungkuk mencari
lentera Kim Popo, Lalu berkata meneruskan: "Lilin itu kubuat
dari bahan kembang Pek-hu cu-hwa... Haa! Eh, inilah dia!"

290
oleh ketekunannya, akhirnya ia dapat menemukan juga lentera
itu yang segera dinyalakan.
Setelah mendengar pembicaraan antara suami isteri Kim
Sun Bo dan Kim Popo dengan Bu Teng Kun, maka Thio Sin
Houw mengetahui bahwa kembang Pek-hu cu-hwa pastilah
merupakan kembang beracun yang sangat dahsyat. Pada saat
itu oleh cahaya lentera, Thio Sin Houw melihat Bu Teng Kun
masih menggeletak diatas tanah seperti mayat. Dan melihat
keadaan Bu Teng Kun, tiba-tiba Thio Sin Houw menjadi
mengerti sebab sebabnya, Terus saja ia berseru tertahan:
"Akh, sekarang barulah aku mengerti. Jika aku tadi tidak
semberono menerjang keluar, pastilah suami isteri Kim Sun
Bo dan Kim Popo akan dapat kau taklukkan pula ..."
Lie Hong Kiauw tersenyum, Agaknya ia puas mendengar
perkataan Thio Sin Houw, katanya:
"Tetapi kelakuanmu tadi karena terdorong oleh maksud
yang sangat baik ... biar bagaimanapun juga, aku merasa
berhutang budi kepadamu!"
Thio Sin Houw menatap gadis dusun yang bertubuh kurus
kering itu dengan perasaan kagum berbareng malu, pikirnya
didalam hati:
"Umurnya, paling banyak terpaut lima tahun denganku,
akan tetapi otaknya yang penuh tipu-tipu daya, seratus kali
lipat dari pada aku, Kukira aku sudah berotak lumayan, tak
tahunya dia jauh melebihi aku..."
Walaupun merasa tidak berarti apabila dibandingkan
dengan kecerdasan gadis itu, tetapi sesungguhnya Thio Sin
Houw sendiri memiliki otak yang cemerlang pula. Dengan
sekali melihat ia dapat menebak sebab-sebabnya Bu Teng
Kun jatuh tak berkutik diatas tanah . Hal itu disebabkan karena
sesungguhnya lilin yang dinyalakan Lie Hong Kiauw tadi

291
mengandung racun yang hebat - asapnya tidak berbau dan
tidak berwarna, hal itu membuktikan betapa pandai Lie Hong
Kiauw mengelabui orang, jangan lagi manusia biasa,
sedangkan suami-isteri Kim Sun Bo dan Kim popo serta Bu
Teng Kun yang terkenal sebagai biang racun, masih dapat
diingusi terang-terangan,
Dengan demikian, apabila Thio Sin Houw berlaku tidak
semberono, dalam waktu yang cepat kedua suami-isteri itu
beserta Bu Teng Kun akan roboh tak berkutik dengan
sendirinya . Akan tetapi sebelum suami isteri Kim Sun Bo dan
Kim Popo dirobohkan dengan hawa beracun itu, mereka tadi
sudah menyerang dengan pukulan-pukulan kilat yang sangat
hebat.
Maka kemungkinan besar sebelum mereka roboh, Lie
Hong Kiauw akan kena malapetaka terlebih dahulu. oleh
pertimbangan itu, Thio Sin Houw tidak mau terlalu
menyalahkan dirinya sendiri.
Akan tetapi Lie Hong Kiauw rupanya dapat menebak
pikiran Thio Sin Houw, katanya sabar:
"Adik yang baik, coba kau pukul pundakku dengan
tanganmu!"
Thio Sin Houw tak mengerti maksud gadis dusun itu, akan
tetapi karena percaya bahwa gadis itu mempunyai rencana
tertentu yang berada diluar dugaannya sendiri, segera ia
memukul pundak Lie Hong Kiauw dengan jari tangannya. Dan
begitu jari tangannya menyentuh pundak gadis itu, maka jarijari
tangan Thio Sin Houw mendadak terasa panas seperti
terkena bara. Diluar kehendaknya sendiri, Thio Sin Houw
melompat mundur menjauhi beberapa langkah .
Lie Hong Kiauw tertawa geli, katanya:

292
"Nah, kau rasakan sekarang, Begitulah, apabila mereka
menghantam diriku dengan sekuat tenaga, mereka akan roboh
begitu menyentuh pakaianku!"
"Benar-benar hebat dan berbahaya!" kata Thio Sin Houw
kagum sambil memijit-mijit jari tangannya, "Racun apakah
yang kau gunakan?"
"Sebenarnya bukan racun luar biasa, hanya campuran
bubuk ular hijau dan ular belang yang kucampur dengan
bubuk kadal biru." jawab Lie Hong Kiauw dengan sederhana.
Dengan pertolongan sinar lentera, Thio Sin Houw melihat
betapa jari-jari tangannya melepuh dengan mendadak.
Katanya:
"Akh, masih untung aku tadi tidak menyentuh pakaianmu!"
"Adik yang baik," kata Lie Hong Kiauw dengan suara
mohon maaf. "Aku bukan bermaksud hendak menyakiti dirimu,
maksudku hanyalah agar kau selalu berhati-hati dan waspada
menghadapi saudara-saudara seperguruanku di kemudian
hari, Dalam ilmu silat,mereka dapat ketinggalan darimu, akan
tetapi lihatlah telapak tanganmu yang tadi kau gunakan untuk
menangkis pukulan mereka!"
Thio Sin Houw lalu memperhatikan tangan kirinya, akan
tetapi ia tidak melihat sesuatu yang luar biasa.
"Coba, dekatkan kemari!" kata Lie Hong Kiauw sambil
mengangsurkan lenteranya.
Begitu mendekatkan tangannya pada lentera, Thio Sin
Houw terkejut, Pada saat itu ia melihat telapakan tangannya
bergaris-garis hitam, serunya tak mengerti:
"Apa ini? Apakah aku terkena racun ?"

293
"Hmm!" dengus Lie Hong Kiauw.
"Apakah kau anggap murid-muridnya Tiap kok ie-sian tidak
mempunyai ilmu pukulan beracun?"
"Akh!" Thio Sin Houw terkejut berbareng heran. "Kalau
begitu kalian adalah murid-muridnya si Tabib Sakti Ouw Gie
Coen, Ouw Sinshe, Tetapi mengapa kalian saudara-saudara
seperguruan saling bertengkar?"
Lie Hong Kiauw tidak menjawab. ia hanya menghela
napas, kemudian mencabut tusuk sanggulnya yang tadi
digunakan untuk memantek kertas tulisan Ouw Sinshe yang
mengandung bisa racun Pek-hu cu-hwa dipohon, Kemudian ia
memasukkan kedua benda itu kedalam sakunya dan waktu itu
huruf-huruf yang bercahaya pada surat pertama sudah lenyap
seketika.
"Apakah cici yang menulis semua surat-surat itu?" tanya
Thio Sin Houw.
"Benar!" sahut Lie Hong Kiauw. "Suhu nampaknya sayang
benar kepada toa-suheng Bu Teng Kun pada masa mudanya,
hal itu terbukti dengan banyaknya tulisan-tulisan toa-suheng
yang terdapat dalam kumpulan naskah dalam peti peninggalan
suhu. Umpamanya catatan-catatan mengenai nama-nama
bunga, tetumbuhan dan ramuannya, Dengan demikian aku
paham benar akan bentuk tulisannya, itulah sebabnya dapat
aku meniru bentuk-bentuk hurufnya. Akan tetapi aku belum
berhasil dengan sempurna , karena melupakan pengucapan
hatinya."
"Tentu saja cici tidak dapat menirukan dengan sempurna,
karena beda watak cici dengan wataknya." potong Thio Sin
Houw cepat. "Cici adalah seorang yang jujur dan bersih hati,
sebaliknya toa-suhengmu penuh dengan fitnah, kekejian dan
kelicikan kelicikan."

294
Lie Hong Lian tidak membenarkan ataupun membantah, ia
berdiam sejenak. setelah itu meneruskan lagi:
"Surat wasiat suhu ditulis dengan larutan tawas. orang
harus memanggang terlebih dahulu di atas api, apabila
hendak membacanya. Kemudian setelah aku melakukan
percobaan-percobaan, aku mengaduknya dengan sumsum
harimau dan berbagai campuran lainnya. Karena itu apabila
surat itu berada ditempat gelap akan menyala sendirinya. Kau
lihatlah!"
Setelah berkata demikian ia memadamkan lenteranya, dan
benar saja tulisan yang berada di atas kertas lantas bercahaya
mengkilat, Dan begitu lentera dinyalakan kembali sehingga
kegelapan malam dikalahkan oleh cahaya lentera, maka nyala
huruf-huruf itu lantas lenyap tak kelihatan lagi.
Dengan demikian, pada kertas itu terdapat dua bentuk
tulisan. Yang pertama tulisan Lie Hong Kiauw yang terbaca
apabila keadaan terang, dan yang kedua tulisan Sinshe Ouw
Gie Goen yang terbaca apabila keadaan gelap pekat.
Setelah mengetahui latar belakangnya, Thio Sin Houw ikut
bergembira dan bersyukur, seakan-akan iapun ikut senang
dalam persoalan ini, sebaliknya Lie Hong Kiauw heran
menyaksikan kegirangan Thio Sin Houw, tanyanya menegas:
"Kenapa kau begitu girang? Bukankah tanganmu terkena
racun jahat kakak seperguruanku?"
"Cici tadi berjanji hendak menyembuhkan aku!" sahut Thio
Sin Houw cerdik. "Dan aku tahu, cici adalah seorang bidadari
yang jujur, Kukira duduk dekat murid terkasih Ouw sinshe,
seorang tabib maha sakti tak ubah malaikat. Karena itu
meskipun andaikata aku kena pukulan dewa maut, muridnya
Ouw Sinshe pasti sanggup menolong jiwaku, Jadi, aku tidak
perlu takut!"

295
Mendengar perkataan Thio Sin Houw yang kekanakkanakan,
Lie Hong Kiauw tertawa geli, Tiba-tiba ia
memadamkan lenteranya, kemudian terdengar suara
gemeresek dari tempat keranjang ditempatkan, Tak lama lagi
lentera dinyalakan lagi, dan ternyata Lie Hong Kiauw telah
berganti pakaian.
"Lihatlah! sekarang aku berganti pakaian baru, kau tak
perlu takut lagi akan racun yang kulumurkan di pakaianku
tadi." kata Lie Hong Kiauw sambil tertawa lebar.
"Hong cici! Kau dapat memikirkan segala sesuatunya
dengan cermat terlebih dahulu sebelum bertindak. Apabila aku
dapat mewarisi sepersepuluh bagian saja dari kepandaianmu
ini, aku sudah bersyukur..." kata Thio Sin Houw bersungguh
sungguh .
Mendengar perkataan Thio Sin Houw, mendadak Lie Hong
Kiauw berkilat-kilat kedua matanya, dengan suara
mengandung penuh penyesalan ia berkata:
"Apa katamu tadi? Apakah kau bisa menjadi manusia
bahagia apabila mengenal racun? Huh! Orang yang mengenal
racun, akan selalu tergoda oleh pikirannya sendiri terus
menerus untuk mengadakan percobaan-percobaan penebaran
racun-racunnya. setiap detik yang di pikirkan hanyalah
bagaimana dapat membuat racun sehebat-hebatnya melebihi
yang sudah-sudah, lihatlah aku ini setiap saat mana-kala aku
bangun tidur sampai nanti menjelang tidur kembali, dalam
hatiku terus menerus bergumul satu perjoangan hebat antara
hawa-napsuku sendiri.
Karena itu apabila dapat, aku memohon kepada Tuhan
agar di lahirkan kembali sebagai manusia biasa seperti dirimu,
Alangkah bahagianya!"
Setelah berkata demikian, ia lalu menghela napas

296
berulangkali. Kemudian menarik lengan Thio Sin Houw, dan
segera menusuk jari-jari Thio Sin Houw dengan tusuk
sanggulnya, Kemudian mengurut sehingga tak lama
kemudian, darah ungu meleleh keluar.
Thio Sin Houw yang sejak tadi membiarkan tangannya
ditarik dan di tusuk dengan tusuk sanggul perak Lie Hong
Kiauw, menjadi heran karena tusukan itu sama sekali tidak
terasa sakit, bahkan tatkala darah ungu meleleh keluar, ia
merasakan suatu hawa yang nyaman sekali meresap kedalam
peredaran darahnya. ia jadi kagum luar biasa pada saat itu
mendadak saja ia mendengar suara Bu Teng Kun menggeliat,
ia terperanjat dan lantas berseru:
"Heil Dia tersadar!"
"Tak mungkin!" sahut Lie Hong Kiauw yakin. "Paling cepat,
tiga jam lagi !"
Memperhatikan keadaan Bu Teng Kun, Thio Sin Houw
menjadi teringat kepada pengalamannya tadi, Terus saja ia
minta keterangan:
"Tadi ketika aku mengangkat keranjang, sama sekali dia
tidak bergerak sehingga aku tidak tahu bahwa dalam
keranjang itu ada manusianya ...
Akh! benar-benar aku tolol sekali."
Lie Hong Kiauw tersenyum lebar, Menjawab:
"Hemm! orang yang menyatakan dirinya tolol, biasanya
justru orang pintar luar biasa!"
Thio Sin Houw tidak menjawab, ia hanya tertawa. Akan
tetapi dalam hatinya ia merasa puas, dan sesaat kemudian ia
berkata lagi:

297
"Eh, mereka tadi memperebutkan kitab sakti warisan
gurumu, apakah mengenai ilmu pengetahuan ketabiban atau
sarwa racun?"
"Dugaanmu tepat sekali," jawab Lie Hong Kiauw senang,
"ltulah jerih payah almarhum suhu, semuanya ada dua buku,
Yang satu tentang ilmu ketabiban, dan yang lain tentang
rahasia ramuan sarwa racun. Apa engkau ingin melihatnya?"
Heran Thio Sin Houw mendengar tawaran itu. Bukankah
dia tadi menolak keinginan ketiga kakak seperguruannya
untuk membaca kitab warisan gurunya barang sebentar saja?
Melihat Lie Hong Kiauw mengeluarkan sebuah bungkusan
kain putih yang disimpan dalam sakunya - Thio Sin Houw jadi
terharu. Dalam bungkusan kain putih itu terdapat lain
bungkusan kertas minyak. setelah kertas minyak itu dibuka,
terlihatlah dua jilid kitab kuning dan hitam yang panjangnya
enam senti dan lebar empat senti.
Dengan menggunakan tusuk sanggulnya, Lie Hong Kiauw
membalik balik halaman kitab yang penuh tulisan huruf huruf
indah. Tak usah dikatakan lagi, bahwa setiap halaman kertas
itu pastilah sangat beracun. orang akan celaka apabila berani
dengan sembarangan menyentuh atau membalik-balik dengan
tangannya.
Memperoleh kepercayaan dari Lie Hong Kiauw yang begitu
besar terhadap dirinya, Thio Sin Houw merasa bersyukur dan
girang bukan kepalang. Dengan mengangguk, ia memberi
isyarat bahwa sudahlah cukup ia melihat buku warisan Tiapkok
ie-sian Ouw Goe Coen itu. Maka Lie Hong Kiauw kembali
membungkusnya rapih-rapih, dan dimasukkannya ke dalam
saku.
Kemudian ia mengeluarkan sebotol bubuk berwarna ungu,
ia menuangkan diatas telapak tangan dan memborehkan pada
telapak tangan Thio Sin Houw yang tadi ditusuknya dengan
tusuk sanggul perak, sebentar ia mengurut-urut jari-jari itu, dan

298
tak lama kemudian bubuk berwarna ungu tadi lantas saja
terhisap masuk melalui lubang-lubang bekas tusukan Lie Hong
Kiauw.
"Benar-benar hebat kau, cici!"
Thio Sin Houw memuji dengan setulus hati, "Seumur
hidupku, belum pernah aku menyaksikan seorang tabib seperti
dirimu!"
"Kepandaianku ini tidak ada artinya, apabila dibandingkan
dengan kepandaian guruku," sahut Lie Hong Kiauw merendah.
"Suhu pandai membedah perut dan dada, serta ahli
menyambung tulang, apabila kau telah menyaksikan
kepandaiannya, barulah kau pantas kagum benar-benar."
"Benar!"" kata Thio Sin Houw memuji. "Gurumu mahir
menggunakan racun, pasti ahli pula dalam menyembuhkan
penyakit, Pantaslah, kakek-guruku pernah memuji gurumu
setinggi langit."
"Siapakah kakek gurumu itu?" tanya Lie Hong Kiauw
penuh perhatian.
"Thay-suhu bermukim diatas gunung Boe-tong, namanya
Tie-kong tianglo.,." jawab Thio Sin Houw,
Mendengar jawaban Thio Sin Houw, Lie Hong Kiauw
nampak terperanjat. jelas ia sering mendengar nama Tie-kong
tianglo yang termashur itu, terus saja ia berseru girang:
"Akh! Jika suhu masih hidup dan mendengar pujianmu ini,
pastilah beliau akan girang bukan kepalang, Hanya sayang,
beliau sekarang sudah tiada didunia ini ..." perkataannya yang
terakhir itu diucapkan dengan nada penuh duka.
"Kakak seperguruanmu tadi, Kim-Popo berkata, bahwa

299
gurumu pilih kasih, beliau agaknya hanya sayang kepada cici
belaka," kata Thio Sin Houw. "Kurasa kata-katanya benar
belaka, Tetapi hal itu terjadi karena kaupun mencintai gurumu
dengan sepenuh hati, Dengan demikian terjadi timbal-balik
yang sewajarnya."
Lie Hong Kiauw tertawa melalui dadanya, ia menundukkan
kepala, Dan beberapa saat kemudian baru ia berkata:
"Suhu mempunyai empat orang murid, semuanya sudah
kau ketahui. Yang tertua adalah Bu Teng Kun, kemudian Kim
Sun Bu dan isterinya, Kim popo sedangkan aku adalah yang
termuda, sebenarnya setelah mempunyai tiga orang murid,
suhu tidak ingin menerima murid lagi, akan tetapi melihat
ketiga kakak seperguruanku itu saling bermusuhan dan saling
dendam, suhu menjadi cemas juga.
Kalau nanti suhu telah meninggal dunia, siapa yang dapat
menguasai mereka bertiga? Maka dalam usianya yang lanjut,
beliau menerima aku sebagai muridnya yang termuda."
Lie Hong Kiauw berdiam sejenak -kemudian meneruskan
sambil menatap wajah Thio Sin Houw:
"Mereka bertiga sebenarnya bukanlah orang-orang yang
jahat. permusuhan itu terjadi semata-mata karena Kim popo
menikah dengan Kim Sun Bo, dan Bu Teng Teng Kun menjadi
sakit hati, Dan sejak itu mereka saling bermusuhan sehingga
tak dapat didamaikan lagi."
Thio Sin Houw memanggut manggutkan kepalanya,
tanyanya:
"Toa-suhengmu, Bu Teng Kun pasti mencintai Kim Popo,
Kukira demikian bukan ?"
"Bagaimana kisah asmara itu terjadih, sesungguhnya aku
tidak mengetahui. sebab pada saat itu mungkin sekali aku

300
belum lagi dilahirkan di dunia ini." sahut Lie Hong Kiauw
dengan tertawa manis. "Aku hanya mengetahui dari suhu,
bahwa toa-suheng Bu Teng Kun dahulu sudah beristeri,
padahal rupanya Kim Popo diam-diam mencintai toa-suheng,
Pada suatu hari, Kim popo meracuni isterinya toa-suheng
sehingga mati."
Mendengar sepak terjang Kim Popo yang sampai hati
meracuni isterinya Bu Teng Kun, bulu roma Thio Sin Houw
terbangun. Terasa dalam hatinya, bahwa orang yang pandai
menggunakan racun, pasti kejam pula hatinya, sehingga
apabila ada persoalan kecil saja, mereka lantas main bunuh
dengan racunnya itu.
Sementara itu Lie Hong Kiauw meneruskan perkataannya :
"Karena gusar, toa-suheng Bu Teng Kun lantas membalas
meracuni Kim Popo sehingga ia menjadi cacad seumur hidup,
ia menjadi wanita bongkok dan kakinya pincang pula.
"Akan tetapi, Kim Sun Bo yang menyintai Kim Popo
dengan segenap hati, tidak berobah cinta kasihnya meskipun
Kim Popo telah cacad tubuhnya, Maka mereka berdua lantas
kawin. Entah bagaimana alasannya, setelah Kim Popo
menikah dengan Kim Sun Bo, mendadak Bu Teng Kun teringat
akan hubungannya pada masa lampau. ia kembali berbaik hati
kepada Kim Popo dan mulai mengganggu cinta-kasih mereka
berdua.
Dengan demikian, kalau tadinya Kim Popo yang salah, kini
toa-suheng Bu Teng Kun yang tercela. Sebab yang
membuktikan cinta-kasih sejati adalah Jie suheng Kim Sun Bo.
"Menyaksikan peristiwa itu, suhu menjadi jengkel.
Berulangkali suhu itu mencoba menasehati mereka bertiga
agar teringat akan nilai-nilai budi pekerti - akan tetapi
nasehatnya sama sekali tiada guna. Mereka menganggap
seperti segumpal awan berserakan ditengah udara, makin

301
lama permusuhan mereka makin hebat, Masing-masing
mempersiapkan kubu-kubu pertahanan.
Jie-suheng Kim Sun Bo yang sangat mencintai Kim Popo
membangun sebuah rumah dari besi, bentuknya setengah
bulat seperti bola, Rumah itu dilumuri racun penyepuh, ia
menanam pula pohon-pohon mengandung racun disekitar
rumahnya. semula rumah itu dimaksudkan sebagai kubu
pertahanan menghadapi Toa-suheng Bu Teng Kun, tetapi
karena merasa diri terancam bahaya terus-menerus akhirnya
mereka bertempat tinggal dalam rumah tersebut.
Hanya sekali-kali mereka mengadakan perjalanan untuk
mengintai dimana Toa-suheng Bu Teng Kun berada. Demikian
pula yang dilakukan Toa-suheng Bu Teng Kun terhadap
mereka berdua. Dengan demikian, karena mereka bertiga
menggunakan nama suhu, masyarakat dibuat bingung oleh
munculnya tiga tokoh yang berbeda perawakan tubuhnya
tetapi nama yang dikenakan sama, Maka banyaklah cerita dan
kisah mengenai diri pribadi guruku, Ouw Sinshe.
Penduduk disebelah selatan yakin, bahwa Ouw Shinshe
adalah seorang laki-laki berjubah seperti pendeta. sedangkan
sebenarnya dialah Toa-suheng Bu Teng Kun, sebaliknya
penduduk yang bermukim disebelah barat berkata, bahwa
Ouw Sinshe sebenarnya seorang perempuan, sementara
penduduk sebelah timur mengabarkan bahwa Ouw Sinshe
adalah seorang laki-laki berperawakan kasar dan nampak
dungu. itulah kedua kakak seperguruanku Kim Sun Bo dan
Kim Popo."
"Oh, begitu?" kata Thio Sin Houw sambil manggutkan
kepalanya. "Tetapi sebenarnya diantara mereka bertiga,
siapakah yang berhak memakai nama Ouw Sinshe?"
"Aku sendiri tidak tahu," jawab Lie Hong Kiauw, "Tetapi
satu hal yang pasti, betapapun alasan mereka bertiga - suhu

302
tidak merestui, Hal itu disebahkan karena permintaan racun
mereka. Apa yang mereka lakukan benar-benar bertentangan
dengan panggilan hidup suhu, Berulangkali suhu berkata
kepadaku , begini:
"Aku mempelajari sarwa racun demi untuk menolong
sesama hidup, sekarang kakakmu bertiga menyematkan
namaku untuk melampiaskan dendamnya masing-masing,
Tidak segan-segan mereka membunuh sesama umat dengan
menggunakan bisa racun. walaupun aku sama sekali tidak
melakukan hal itu, akan tetapi karena mereka murid-muridku,
maka kesalahan itu akan ditimpakan di atas pundakku juga,
Apakah kau mengira bahwa pendiri aliran kita ini tadinya
seorang biadab yang senang membunuh sesama hidup?
Tidak, anakku! ilmu pengetahuanku ini kuperoleh untuk tujuan
maha mulia dan bijaksana, setiap saat yang perlu dipikirkan
ialah bagaimana menolong orang dari lembah kesengsaraan
hidup ...
"Akan tetapi racun kami memang sangat dahsyat,
sehingga tiada seorang saktipun didunia ini yang sanggup
menghadapinya, sayang sekali, ketiga kakak seperguruanku
itu meracuni orang dengan sembarangan saja, Tidak jarang
mereka meracuni orang baik-baik, Karena mereka murid-murid
suhu, maka nama Ouw Gie Coen menjadi bulan-bulanan dan
setiap orang mengutuki serta menyumpahi sampai langit
ketujuh, Akh!" Benar-benar menyedihkan sekali. Adik yang
baik, bagaimana menurut pendapatmu?"
Thio sin Houw menghela napas. sebagai anak yang baru
berumur belasan tahun, belum dapat ia membuat
pertimbangan Tetapi secara naluriah ia tahu pekerti baik dan
buruk, maka ia menjawab:
"Sepak terjang kakakmu bertiga memang keterlaluan,
pastilah orang akan segera teringat pada gurumu manakala
mereka meracuni orang. Apalagi tadi kau berkata bahwa

303
orang-orang di sekitar sini salaf tafsir dan salah terka
mengenai pribadi gurumu, Mereka menyangka bahwa ketiga
kakak seperguruanku itu adalah Ouw Sinshe. Herannya, apa
sebab gurumu tidak turun gunung untuk membereskan dan
membersihkan namanya?"
"Hal itu mudah dikatakan, tetapi sukar dilakukan." sahut Lie
HongKiauw, "Apabila suhu sampai turun gunung maka salah
pengertian akan jadi semakin parah sekali ..."
Gadis itu lantas menghela napas dalam, ia memeriksa
luka-luka Thio Sin Houw sekali lagi, Kemudian menyatakan
bahwa racun telah larut sirna, lalu ia bangkit berdiri dan
berkata lagi:
"Malam ini aku masih harus menyelesaikan dua tugas lagi,
Yang pertama, kita harus mengambil obat pemunah racun
rumput Cin-su cay. Dan yang kedua mengobati Kim Cin Nio,
puteri Jie-su-heng Kim Suii Bo, Apabila tidak..."
Ia tersenyum dan tidak menyelesaikan perkataannya.
"Semua ini terjadi karena kesemberonoanku semata," Thio
Sin Houw menghela napas pula, "Jika aku tadi tidak
mencampuri urusanmu, pastilah kau telah dapat
membereskan mereka... Bukankah kau ingin berkata
demikian?"
"Ya," jawab Lie Hong Kiauw dengan tegas, "Bagusilah, jika
kau tahu, "Marilah kita berangkat sekarang!"
"Apalkah dia dimasukkan ke dalam keranjang lagi?" tanya
Thio Sin Houw sambil menunjuk Bu Teng Kun yang masih
menggeletak di atas tanah.
"Benar! Kau tolonglah." ujar Lie Hong Kiauw.

304
Thio Sin Hauw menghampiri Bu Teng Kun dan mencoba
mengangkatnya, Tentu saja tak dapat ia mengangkat tubuh Bu
Teng Kun dengan seorang diri, maka Lie Hong Kiauw
membantunya. Dengan tenaga mereka berdua, tubuh Bu Teng
Kun terangkat dengan mudah dan dimasukkannya ke dalam
keranjang kembali. Lie Hong Kiauw kemudian mencari
pikulannya, setelah diketemukan, seperti tadi ia memikul
kedua keranjangnya dan berjalan mengarah ke jurusan baratdaya.
Berjalan kira-kira beberapa lie, tibalah mereka di sebuah
rumah gubuk. Lie Hong Kiauw lalu berteriak:
"Kiang susiok, hayolah!" pintu terbuka, dan muncullah
seorang laki-laki hitam legam memikul beban pula. Pandang
matanya berkilat-kilat, Dengan tak mengeluarkan sepatah
katapun, ia segera mengikuti Lie Hong Kiauw.
*****
MELIHAT munculnya orang hitam legam itu, meremanglah
bulu-roma Thio Sin Houw. pikirnya didalam hati:
"Lagi-lagi orang aneh ...!"
Akan tetapi melihat kesungguh-sungguhannya dan Lie
Hong Kiauw menanggapi dengan sikap wajar pula, tak berani
Thio Sin Houw minta keterangan kepadanya. iapun segera
mengikuti Lie Hong Kiauw dalam jarak tiga langkah. Empatlima
kali Lie Hong Kiauw menengok dan menghadiahkan
suara tertawa manis, itulah suatu tanda bahwa kini ia merasa
puas terhadap sang adik yang patuh.
Dari rumah gubuk orang hitam itu, Lie Hong Kiauw terus
berjalan mengarah ke utara. Dan selama berjalan mereka
bertiga membisu, Kira-kira jam empat pagi, tibalah mereka di
depan rumah aneh yang bentuknya seperti topi di
tengkurupkan, itulah rumah suami isteri Kim Sun Bo dan Kim

305
Popo.
Lie Hong Kiauw kemudian mengeluarkan tiga ikat bunga
biru dari dalam keranjang. yang seikat diberikannya kepada
Thio Sin Houw, yang lain di berikan kepada orang hitam
tersebut dan sisanya dipegangnya sendiri. setelah melompati
pagar pohon rumput Cin-su cay, ia berteriak nyaring:
"Jie-ko dan sam-sucie! Apakah kalian berdua sudi
membukakan pintu bagiku?"
Tiga kali ia berseru, akan tetapi sama sekali tak
memperoleh jawaban.
Setelah menunggu beberapa saat lamanya, Lie Hong
Kiauw memberi isyarat anggukan kepada orang yang
disebutnya.
Kiang susiok. Orang hitam itu segera meletakkan
bebannya kaatas tanah, dan mengeluarkan alat-alat besi - dari
sebuah alat penyemprot api tungku dapur, bubuk besi, timah
dan perabot pengebur. ia membuat api dan mulai melumerkan
bubuk besinya. setelah bubuk besi lumer, ia lalu memateri
bagian bagian yang renggang dari rumah aneh itu.
Thio Sin Houw yang selama ini mengikuti gerak-gerik
orang hitam itu segera mengetahui, bahwa dia sedang
menutup pintu-pintu dan jendela-jendela rumah besi Kim Sun
Bo suami-isteri, Rupanya karena merasa diri tidak dapat
mengatasi kepandaian adik seperguruannya, mereka berdua
tak berani perlihatkan diri.
Tak ubah seperti kura-kura sembunyikan kepala, mereka
lantas saja menutup semua pintu dan jendelanya, Dengan
demikian, seperti halnya yang dilihat oleh Thio Sin Houw,
rumahnya yang aneh itu nampak seperti tidak berpintu
maupun jendela.

306
Setelah semua lubang ditutup rapat, Lie Hong Kiauw
menggapai Thio Sin Houw, Dengan isyarat mata, gadis itu
memberi perintah agar Sin Houw mengikutinya, Dia berjalan
mendahului dan melompati barisan pagar pohon-pohon
rumput Cin-su cay.
Arahnya ke jurusan barat-laut dan setiap kali mengalahkan
kakinya, ia selalu menghitung dengan cermat. setelah berjalan
beberapa puluh langkah, ia membelok ke timur lima langkah
lagi dan kekiri empat langkah. Kemudian berkata
memutuskan:
"Disinilah!"
Lalu ia menyalakan lilinnya, Dengan matanya yang tajam
Thio Sin Houw mengamat-amati dua batu besar yang berada
didepannya, ternyata diantara dua batu besar tersebut
terdapat sebuah lubang kira-kira sebesar piring dan teraling
sebuah batu.
"lnilah lubang tempat mereka bernapas." kata Lie Hong
Kiauw sambil terus berjongkok. "Mereka tak dapat ke luar lagi
dari rumah itu, karena semua lubang angin maupun pintu dan
jendelanya sudah tertutup rapat, Maka sebentar lagi pastilah
mereka akan menghampiri lubang ini."
Lilin yang telah dinyalakan tadi diletakkan ke mulut lubang
dan dengan bantuan angin perlahan-lahan asapnya masuk ke
dalam.
Menyaksikan tindakan Lie Hong Kiauw yang dianggapnya
sangat kejam Thio Sin Houw jadi bergidik. Tiba-tiba saja ia jadi
merasa iba terhadap orang orang yang terkurung didalam
rumah besi tersebut. Apakah perbuatan begini dapat
dibenarkan?
Beberapa saat kemudian, Lie Hong Kiauw bahkan

307
mengeluarkan kipas bambunya. Dan dengan kipas itu ia mulai
me-ngipasi asap lilin ke dalam lubang pernapasan, dan Thio
Sin Houw tak dapat bersabar lagi, Dengan berdiri tegak ia
berkata menegur:
"Hong cici! Apakah kau sangat berdendam terhadap kedua
kakak seperguruannya itu? Tak dapatkah kau mencari jalan
damai lain lagi?"
"Tidakl" jawab Lie Hong Kiauw dengan suara tawar.
"Apakah gurumu memberi perintah kepadamu, agar kau
membersihkan rumah perguruanmu?" Thio Sin Houw
menegas.
"Belum sampai begitu jauh, hanya mirip saja." sahut Lie
Hong Kiauw acuh tak acuh.
"Tapi ... tapi ..." kata Thio Sin Houw terputus-putus. Tak
tahulah ia bagaimana hendak menyatakan perasaan hatinya,
sedangkan Lie Hong Kiauw mendongak mengawasi lalu
berkata dengan suara tawar dingin:
"Kenapa kau jadi begitu bingung?"
"Jika kedua kakak seperguruanmu itu mempunyai
kedosaan yang sangat besar, biarlah kali ini diberi
kesempatan agar mereka dapat merobah sepak-terjang
mereka yang telah lampau untuk menebus dosa-dosanya."
ujar Thio Sin Houw dengan suara setengah memohon.
"Ya!" sahut Lie Hong Kiauw. "Guruku pun pernah berkata
begitu," ia berdiam sejenak, lalu berkata lagi: "Sayang sekali,
guruku kini sudah berada di alam baka, Jika beliau masih
hidup, pasti beliau merasa cocok dengan cara berpikirmu."
sedang mulutnya berkata demikian, tangannya tetap
mengipasi asap lilin yang makin lama makin banyak masuk ke
dalam lobang, Thio Sin Houw menggaruk-garuk kepalanya

308
dengan menuding lilin berasap itu ia berkata:
"Bukankah asap beracun itu dapat membunuh manusia?"
"Oh! Kalau begitu, hatimu yang mulia ini menyangka aku
hendak mengambil jiwa mereka?" seru ide Hong Kiauw
dengan tersenyum.
Wajah muka Thio Sin Houw lantas saja menjadi merah,
sebab oleh jawaban itu Lie Hong Kiauw hendak meyakinkan
kepada Thio Sin Houw, bahwa ia tidak bermaksud hendak
membunuh kakak seperguruannya. Maka Sin Houw jadi
merasa malu sendiri.
Lie Hong Kiauw sendiri tidak menghiraukan keadaan hati
Thio Sin Houw - dengan kukunya ia menggores lilinnya sambil
berkata:
"Adikku Sin Houw! Tolonglah kau menggantikan aku, tetapi
hati-hati jangan sampai lilin ini padam. Kau boleh
memadamkan lilin ini, apabila apinya sudah membakar sampai
digoresan ini!"
Segera ia menyerahkan kipas bambunya kepada Thio Sin
Houw, dan kemudian bangkit berdiri sambil menebarkan
penglihatannya ke sekitar rumah aneh itu serta memasang
telinga. Tanpa berkata sepatah katapun lagi, Thio Sin Houw
lantas saja melakukan perintahnya tadi.
Apabila keadaan disekitar rumah aneh itu tetap sunyi
senyap dan tiada terjadi sesuatu diluar perhitungannya, Lie
Hong Kiauw lantas duduk di atas sebuah batu besar dekat
Thio Sin Houw.
"Orang berkuda yang menghancurkan kebun bungaku,
adalahKim Cin Nio, puterinya Kim Sun Bo." kata ide Hong
Kiauw tiba-tiba.

309
"Aneh!" Thio Sin Houw berseru heran. "Bukankah yang
melakukannya bukan seorang laki-laki?"
"Apakah seorang perempuan tidak bisa menyamar sebagai
laki-laki?" sahut Lie Hong Kiauw membalas pertanyaan Thio
Sin Houw dengan pertanyaan pula.
Thio Sin Houw tergugu sejenak lalu minta keterangan:
"Apakah diapun berada dalam rumah ini?"
"Benar," jawab Lie Hong Kiauw dengan tertawa lebar. "Apa
yang kita lakukan sekarang ini, justru untuk menolong dia. Kita
harus merobohkan kedua kakak seperguruanku terlebih
dahulu, agar mereka berdua tidak menghalangi pekerjaanku
ini."
Sekali lagi Thio Sin Houw berseru tertahan. Didalam hati ia
berkata:
"Benar-benar diluar dugaanku semua perbuatannya, ia
membakar lilin yang samar akan tetapi ia tidak bermaksud
membunuh orang, sebaliknya malah menolong. Sepakterjangnya
ini yang sukar diduga. Hanya setan dan iblis yang
bisa menebaknya!"
"Sebenarnya jie-suheng dan sam-sucie mempunyai
seorang musuh bernama Ang Sin Kong." ujar Lie Hong Kiauw.
"Ang Sin Kong sudah berada di tempat ini kira-kira
setengah tahun yang lalu, akan tetapi masih belum mampu ia
menerjang rumahnya jie-suheng yang istimewa ini. itulah
disebabkan karena pohon rumput Cin-siu cay yang sangat
mengandung racun. Di dunia ini tak ada orang yang mampu
melawan racun dahsyatnya, hanya bunga biru itulah satusatunya
pemunah racun rumput Cin-siu cay.

310
Mula-mula jie-suheng dan sam-suci tidak mengetahui
khasiat bunga biruku, akan tetapi begitu kuberikan kepadamu
berdua, mereka lantas tersadar. Dapat dibayangkan betapa
terkejutnya mereka berdua, begitu menyaksikan kalian dapat
melawan pohon-pohon beracunnya,"
"Benar!" Thio Sin Houw memotong. "Tatkala aku dan Cie
toako datang ke mari, lapat-lapat aku mendengar suara
mereka, kaget berbareng gusar dari dalam rumah ini."
Lie Hong Kiauw mengangguk dan ber kata meneruskan:
"Seperti kataku tadi, racun Cin-siu cay sebenarnya tak
dapat dipunahkan oleh ramuan pemunah yang terdapat di
dunia ini, sebaliknya orang bisa kebal terhadap racunnya,
apabila sering makan buahnya. Untunglah, meskipun besar
bahayanya, tanda-tanda Cin-siu cay sebenarnya mudah sekali
dikenali. Jika pohon itu tumbuh di suatu tempat, disekitarnya
dalam jarak sepuluh atau duapuluh meter tiada terdapat
seekor semut atau sebatang rumputpun."
"Benar katamu!" kata Thio Sin Houw, "Tadinya aku heran
sekali melihat disekitar rumah ini, sama sekali tiada terdapat
tetumbuhan apapun juga. Akh, jika aku tidak kau berikan
bunga birumu itu ..." berkata sampai disitu, Thio Sin Houw
bergidik dengan sendiri-nya, karena teringat pengalamannya
yang seram bersama Cie Siang Gie.
"Bunga biru itu baru saja berhasil aku tanam." Lie Hong
Kiauw memberi keterangan. "Aku merasa syukur terhadap
kalian berdua, yang bisa menghargai jerih payahku, Mengapa
tidak kau lemparkan saja ditengah jalan?"
"Bunga itu sangat indah!" sahut Thio Sin Houw.
"Hemm ... karena indah, maka kau tidak membuangnya,
bukan?" Lie Hong Kiauw menegas.

311
Thio Sin Houw tergugu, ia mendeham beberapa kali,
karena tak tahu bagaimana harus menjawabnya, Berkata
didalam hati:
"Benar, Jika bunga itu tidak indah, barangkali tak sudi aku
menyimpan nya didalam saku. Dengan begitu yang menolong
aku berdua Cie toako sesungguhnya adalah keindahannya."
Selagi ia mendengarkan kata hatinya sendiri, angin
mendadak meniup keras, sehingga memadamkan nyala lilin.
Thio Sin Houw terperanjat bukan main sampai setengah
berteriak:
"Hai! Bagaimana ini?"
"Sudahlah! Kira-kira sudah cukup! ..." kata Lie Hong Kiauw
menghibur.
Hati Thio Sin Houw tercekat mendengar suara Lie Hong
Kiauw agak kurang senang, ia jadi malu sendiri karena segala
yang diminta Lie Hong Kiauw berakhir dengan kejadiankejadian
yang tidak memuaskan hati. Maka segera ia berdiri
dengan membungkuk penuh sesal. Katanya.
"Maaf, Hong cici. Entah sudah berapa kali aku meminta
maaf kepadamu. Entah kenapa, malam ini pikiranku menjadi
kalut begini ..."
Lie Hong Kiauw tidak menyahut. Karena itu Thio Sin Houw
meneruskan:
"Aku tadi sedang berpikir, tiba-tiba angin kencang meniup.
Tatkala kau menghadiahi aku bunga biru itu, sama sekali tak
kuketahui bahwa bunga itu menolong jiwaku. Meskipun
demikian aku tetap menyimpannya, karena aku pikir segala
hadiah dari seseorang itu harus dan wajib disimpan dengan
sebaik-baiknya."

312
sekali lagi Lie Hong Kiauw membungkam mulut, ia hanya
mendengus beberapa kali, Dan hati Thio Sin Houw jadi pedih.
Beberapa saat kemudian, ia mencoba berkata lagi:
"Belum lagi umurku mencapai sepuluh tahun, aku sudah
tiada berayah bunda lagi, jarang sekali orang menghadiahkan
sesuatu kepadaku ..."
"Akupun begitu," tiba-tiba Lie Hong Kiauw memotong.
"Akan tetapi semua orang dewasa di dunia ini berasal dari
bocah yang belum pandai beringus. Lambat-laun, seseorang
akan bisa menjadi dewasa..." sambil berkata demikian ia turun
dari batu. ia menyerahkan lilinnya kembali dan mencari
sebuah batu, Kemudian ditutupkan ke lubang pernapasan
rumah aneh itu, dan dengan menghela napas ia berkata
memerintah:
"Hayooolah!"
ia mendahului berjalan dan Thio Sin Houw mengikukt
dengan membungkam mulut. Anak itu tak berani lagi
mengumbar pikirannya yang ternyata selalu salah. Sebab
ternyata tatkala mereka tiba-di rumah Kim Sun Bo suami isteri,
si tukang besi "Kiang susiok" itu sedang duduk diatas tanah.
"Kiang susiok! Tolong sekarang buka kembali semua!"
perintah Lie Hong Kiauw sambil menunjuk bagian rumah yang
tadi dipateri.
Tanpa berkata sepatah katapun juga, tukang besi itu
segera mengambil alat-alatnya. Lalu melakukan perintah Lie
Hong Kiauw dengan sungguh-sungguh. Kira-kira seperempat
jam kemudian, semua pateri tadi selesai dibuka kembali.
"Sekarang bongkarlah pintunya susiok!" perintah Lie Hong
Kiauw.

313
Kiang susiok itu segera bekerja, setelah mengetuk-ngetuk
beberapa kali, ia kemudian menyentak dengan palunya Dan
dengan suara berkerontangan, sepotong papan besi jatuh
kebawah dan berbukalah sebuah pintu yang tingginya enam
kaki dan lebarnya tiga kaki.
Thio Sin Houw heran menyaksikan cara kerja tukang besi
itu, ia benar-benar paham akan pekerjaannya, perlengkapan
rumah dikenalnya dengan baik - dengan cekatan ia menarik
sebuah tombol yang ada dibalik pintu, lalu muncullah
sepasang tangga kecil.
"Sekarang buang lah semua bunga biru"" perintah Lie
Hong Kiauw, ia mendahului melaksanakan perintahnya -
mendadak menoleh yang segera diikuti oleh "Kiang susiok dan
Thio Sin Houw, Tatkala hendak mendaki tangga penghubung,
ia menebarkan penciumannya. Mendadak menoleh kepada
Thio Sin Houw dan berkata.
"Adik, didalam sakumu masih tersimpan bunga biru
pemberianku jangan kau bawa masuk."
"Akh!" seru Ohio Sin Houw heran sambil menggerayangi
sakunya, lalu mengeluarkan sebuah bungkusan kain dan
dibukanya. Katanya lagi:
"Penciumanmu benar-benar tajaml Meskipun didalam
bungkusan, masih saja tercium olehmu ..."
Thio Sin Houw membungkus bunga biru tersebut dalam
saputangan pemberian Ciu Sin Lan.. Bunga itu ternyata telah
layu. Dengan hati-hati ia menaruhnya di luar pintu.
Melihat cara menaruh dan menyimpan, terharu hati Lie
Hong Kiauw, Benar benar Thio Sin Houw menghargai bunga
pemberiannya. Tadi ia tidak yakin akan kejujuran bocah ini,
akan tetapi kini hatinya menjadi girang dan bersyukur, ia

314
berpaling menatap wajah Thio Sin Houw dan memberi hadiah
senyum, Kemudian katanya:
"Adik yang baik, kau benar tidak berdusta."
Thio Sin Houw tak mengerti, apa sebab Lie Hong Kiauw
berkata demikian. serunya tersinggung:
"Dusta? Kenapa aku berdusta kepadamu ?"
Lie Hong Kiauw tidak menjawab. ia melangkahkan kakinya
ke ambang pintu sambil berkata:
"Mereka yang berada didalam tak tahan terhadap bunga
biruku, karena mereka biasa makan buah pohon Cin-siu cay."
setelah berkata demikian ia meneruskan perjalanan memasuki
rumah aneh itu, dengan merribawa lenteranya.
Thio Sin Houw dan Kiang susiok segera mengikuti
dibelakang.
Tiba dikaki tangga terakhir mereka berada di sebuah
terowongan yang sangat sempit. setelah membiluk dua kali,
lalu masuk ke dalam sebuah ruangan kecil berdinding penuh
lukisan dan perabut rumah tangga dari bambu, Menyaksikan
hal itu diam-diam Thio Sin Houw heran didalam hatinya.
Sama sekali diluar dugaan, bahwa Kim Sun Bo dan
isterinya yang nampaknya begitu kasar mempunyai perasaan
halus sampai dapat menghiasi rumahnya dengan lukisan
lukisan serta perabot meja kursi yang sedap dipandang mata.
Lie Hong Kiauw berjalan tanpa membuka mulut, beberapa
saat kemudian mereka bertiga tiba dibagian dapur, Dan apa
yang terjadi didapur itu sangat mengejutkan Thio Sin Houw.
Kim yun Bo dan Kim Popo nampak menggeletak di atas
lantai. Mereka berdua tidak berkutik, entah mati entah masih

315
hidup. Akan tetapi, bukan keadaan mereka itulah yang
mengherankan Thio Sin Houw, ia tahu, mereka roboh akibat
racun bunga Pek-hu cuhwa, Apa yang mengherankan hatinya
adalah, ia melihat seorang dewasa berada didalam sebuah
kuali besar, sedang air di dalam kuali itu nampak
mengepulkan uap walaupun belum mendidih, akan tetapi
sudah pasti panas sekali.
Melihat hal itu secara naluriah Thio Sin Houw
mempercepat langkahnya, ia bergegas mendahulup Lie Hong
Kiauw yang berjalan didepannya, Maksudnya sudah terang
hendak menolong orang itu, yang tersiksa digodbk dalam
kuali. Dia menduga bahwa orang itu terjatuh dalam kuali
tatkala pingsan, akibat asap beracun kembang Pek-hu cu-hwa
memasuki lubang pernapasan.
"Hei, kau mau kemana?" tegur Lie Hong Kiauw sambil
menarik lengan baju Thio Sin Houw, "Cobalah lihat, dia lelaki
atau perempuan?"
"Dia laki-laki atau perempuan ... bukan soal!" sahut Ihio Sin
Houw dengan suara bergemetaran.
"Oh, begitu? coba lihat yang jelas, dia memakai celana
atau tidak.,?" kata Lie Hong Kiauw dengan wajah merah.
"ldiiih! Masa orang itu tidak memakai pakaian ?"
"Bungkukkan saja badanmu dan mendekatlah ! Tolong
tambah kayunya, agar airnya cepat mendidih!"
Thio Sin Houw percaya akan kecerdasan otak gadis itu,
tetapi ia perlu meyakinkan diri, Tanyanya menegas:
"Apakah dia Kim Cin Nio?"
"Ya!" jawab Lie Hong Kiauw. Jie-suheng dan Sam-sucie
ingin melarutkan racun yang berada dalam diri Cin Nio dengan

316
jalan menggosoknya dalam kuali. Akan tetapi tanpa bantuan
bubuk racun Pek-hu cu-hwa, jerih payahnya, tidak akan
berhasil."
Mendengar keterangan Lie Hong Kiauw, Thio Sin Houw
menjadi berlega hati, Tanpa ragu-ragu lagi ia menambah
beberapa potong kayu bakar ke dalam tungku api, Akan tetapi
ia tidak berani menambah terlalu banyak, karena khawatir Kim
Cin Nio tidak akan tahan. Terdengar Lie Hong Kiauw berkata
memerintah lagi:
"Tambah lagi! Kenapa kau begini pelit?"
THIO SlN HOUW merasa bimbang lalu mendongak
menatap wajah Lie Hong Kiauw dengan pandang menyelidik.
Lie Hong Kiauw berkata meyakinkan:
"Percayalah! Dia tidak akan mati."
Dengan kepala penuh teka-teki ia menambah empat
potong kayu bakar lagi ke dalam tungku itu, kemudian mundur
dengan tetap membungkuk. setelah mundur lima langkah, ia
memutar badan menjauhi. Melihat pekerti Thio Sin Houw,
maka Lie Hong Kiauw tersenyum dengan muka bersemu
dadu.
Tak lama kemudian, Lie Hong Kiauw menghampiri kuali
besar itu, ia mencelupkan jari telunjuknya untuk mengukur
suhu air yang nampak mulai mendidih.
Ia menunggu kira-kira sepuluh menit lagi, lalu
mengeluarkan sebuah botol kecil yang berisi bubuk berwarna
ungu.
Itulah bubuk bunga biru, Pek-hu cu-hwa. ia menaburkan ke
dalam air mendidih dan kemudian mengaduknya, setelah itu
menghampiri Kim Sun Bo dan Kim Po-po. Dengan jari telunjuk

317
ia mengambil bubuk pemunah racun, kemudian diselomoti ke
hidung mereka berdua.
Dan begitu menyedot obat pemunah racun yang
ditempelkan Lie Hong Kiauw, lantas saja mereka bersin, pada
saat itu juga mereka menyenakkan mata.
Dalam pada itu, Lie Hong Kiauw mulai bekerja, ia
menyenduk air mendidih dalam kuali besar tersebut dengan
sebuah gayung. Air mendidih itu dibuangnya dan diganti
dengan air dingin, sambil menuang air dingin, tak lupa ia
menaburkan bubuk bunga birunya.
Menyaksikan hal itu, paras muka Kim Sun Bo dan isterinya
yang tadinya guram lantas saja berugah girang, Mereka tahu,
bahwa Lie Hong Kiauw sedang menolong puterinya, serentak
mereka bangun berdiri mengawasi gerak-gerik adik
seperguruan mereka itu dengan membungkam mulut.
Thio Sin Houw menoleh dan mengamat-amati wajah
mereka, nampaknya masih berbimbang hati, Hal itu bisa
dimengerti, puteri mereka kena racun adik seperguruannya
dan kini gadis yang meracuni datang menolongnya. inilah
pekerti yang tak pernah terlintas dalam benak mereka.
Kim Sun Bo dan Kim Popo tadi sudah berusaha matimatian,
untuk menolong jiwa puteri mereka itu dengan hati
kurang yakin. Dan kini gadis yang meracuni dapat
memunahkan racun dengan cekatan dan pasti. Tentulah gadis
itu sudah mewarisi seluruh kepandaian guru mereka.
Menyadari hal itu, mereka berdua nampak jelus, Akan
tetapi mereka mati kutu, bukankah dalam waktu singkat saja
mereka berdua dan kakak seperguruan mereka yang tertua
roboh ditangan adik seperguruan yang termuda itu?
Lie Hong Kiauw tidak menghiraukan kesan mereka berdua,
dia tetap bekerja dengan tekun dan sungguh-sungguh, seperti

318
tadi, setiap kali air mendidih ia menyendok dengan gayung
dan membuangnya. Kemudian diganti dengan segayung air
dingin. Direbus secara begitu, racun yang mengeram di dalam
tubuh Cin Nio terhisap perlahan lahan oleh bubuk pemunah.
setelah beberapa lama, Lie Hong Kiauw kemudian berpaling
kepada si tukang besi dan berkata memerintah:
"Kiang susiok! Hayolah turun tangan. Tunggu sampai
kapan lagi? Bukan-kah sekarang saat yang sebaik-baiknya.
"Baiklah!" sahut si tukang besi sambil mengambil sepotong
kayu bakar. Dan selagi Thio Sin Houw sedang heran
mengawasi, tiba-tiba tangan Kiang susiok yang menggenggam
kayu bakar itu terayun memukul kepala Kim Sun Bo.
"Hei, gila kau!" bentak Kim Sun Bo dengan suara gusar.
segera ia hendak menggerakkan tangannya, tetapi isterinya
mencegah:
"Suko! Saat ini adik kita sedang menolong jiwa anak kita
satu-satunya, Budi ini bukan main besarnya. Menerima
pukulan beberapa kali tanpa membalas, rasanya bukan apaapa.
Kau terimalah, dengan hati ikhlas, orang itu hanya
melaksanakan perintah adik kita."
Mendengar kata-kata isterinya, Kim Sun Bo tercengang,
akan tetapi kemudian ia menundukkan kepala. Lalu ia berkata
dengan suara menahan gusar:
"Baiklah!"
Dan ia menyerahkan dirinya kepada si tukang besi, untuk
membiarkan digebuk pulang-balik sampai babak belur!
"Anjing!" teriak si tukang besi.
"Kau sudah merampas sawah-ladangku... rumahku .. kau

319
paksa pula aku membangun rumah besi ini, jangan lagi kau
merasa hutang budi atau memberikan sekedar upah
kepadamu, sebaliknya kau bekuk aku sampai nyaris mampus.
lihatlah, tulang igaku patah tiga!Dan hampir setahun penuh
aku terpaksa rebah tidak berdaya. Karena sawah dan
ladangku kau injak-injak, rumahku kau rampas, aku terpaksa
mengobati lukaku dengan sisa-sisa barangku yang masih ada,
Anjing! Aku ini orang miskin... kenapa kau begitu kejam dan
biadab?
Apa aku pernah mengganggu selembar rambutmu? Oh,
Tuhan! Akhirnya pada hari ini aku bisa bertemu dengan kalian
berdua ..,"
Sambil terus memaki-maki, tukang besi itu memukul,
menghantam dan menendang kalang-kabut tubuh Kim Sun
Bo. Meskipun tidak memiliki himpunan tenaga sakti, akan
tetapi pukulannya cukup keras karena tangannya terlatih
sebagai tukang besi, Kayu pembakar yang digunakan sebagai
alat penggebuk, patah tujuh-delapan kali sabetan saja.
Dapat dibayangkan, bahwa Kim Sun Bo sangat menderita
karenanya, Namun dengan mengertak gigi, ia menerima
pukulan-pukulan tukang besi itu tanpa membalas atau
mengelak. sekarang tubuh serta mukanya tidak hanya babakbelur,
tetapi mulai mengeluarkan darah.
Dalam pada itu Thio Sin Houw yang berotak cerdas, lantas
saja dapat menebak latar belakang peristiwa itu.
Tukang besi itu rupanya menyimpan dendam begitu rupa
kepada suami isteri Kim Sun Bo. oleh pertolongan Lie Hong
Kiauw, dapatlah ia melampiaskan dendamnya. Dia sendiri
adalah seorang anak yang mendendam pula terhadap lawanlawan
ayah-bunda dan saudaranya yang mati penasaran.
Karena itu menyaksikan betapa si tukang besi dapat
melampiaskan dendamnya, hatinya mendadak ikut bersyukur
pula, Tak sekehendaknya sendiri, ia memanjatkan doa syukur

320
ke hadirat Tuhan yang Maha Adil.
Dalam waktu yang pendek saja, tiga potongan kayu bakar
sudah patah untuk alat penggebuk. Muka dan seluruh tubuh
Kim Sun Bo berlumuran darah.
Dan melihat seluruh tubuh Kim Sun Bo sudah berlumuran
darah, tukang besi itu menghentikan gebukannya, Betapapun
juga, dia bukan manusia kejam. segera ia melemparkan kayu
bakar keempat ke tanah, lalu menghadap Lie Hong Kiauw,
sambil membungkuk hormat, ia berkata:
"Lie kouwnio, pada hari ini kau telah menolong aku
melampiaskan dendamku. Budimu ini takkan kulupakan
selama-lamanya. Entah dengan cara bagaimana, aku dapat
membalas budimu!"
"Kiang susiok! Tak usah kau berkata demikian." sahut Lie
Hong Kiauw, Kemudian menoleh kepada Kim Popo, katanya:
Sam-sucie, kembalikanlah sawah ladang dan rumahnya.
Aku mohon kepadamu, agar mulai saat ini kalian jangan
membalas sakit hati kepadanya lagi.Maukah sam-sucie
berdua jie-suheng berjanji?"
"Selama hidupku, tak akan lagi menginjak daerahnya,"
jawab Kim popo dengan angkuh, "Akan tetapi, jangan harap
aku akan melupakan peristiwa hari ini..."
"Baiklah!," sahut Lie Hong Kiauw memaklumi. "Kiang
susiok, kau pulanglah dahulu, Disini tiada lagi sangkut-pautnya
dengan urusanmu. semuanya sudah beres, bukan?"
Dengan muka berseri-seri, tukang besi itu memungut
beberapa potongan kayu bakar yang berlumuran darah, lalu
berkata:
"Orang itu sangat jahat, tetapi aku telah dapat

321
melampiaskan dendamku, Perkenankan aku menyimpan alat
pemukul pembalas dendam ini, sebagai kenang-kenangan, "
Setelah berkata demikian, kembali ia membungkuk hormat
kepada Lie Hong Kiauw, kemudian memutar badannya
meninggalkan ruangan itu dengan langkah panjang.
Melihat pandang mata tukang besi yang berseri-seri itu,
jantung Thio Sin Houw tergoncang, itulah suatu keserian yang
membersit dari rasa syukur luar biasa, ia jadi ingat dirinya
sendiri. Apabila dikemudian hari ia juga berhasil
melampiaskan dendamnya, pastilah akan segirang dia pula.
Teringat pula ia kepada musuh-musuhnya yang kejam, dan
kekejaman mereka tiada beda dengan kebengisan Kim Sun
Bo maupun Kim Popo. Mengingat pekertinya yang busuk,
bukanlah suatu hal yang mustahil akan mengejar si tukang
besi untuk menganiaya sekali lagi, begitu Lie Hong Kiauw
meninggalkan rumahnya, Memperoleh pikiran demikian,
segera Thio Sin Houw lari mengejar si tukang besi sambil
berseru.
"Kiang susiok, menurut pendapatku Kim Sun Bo dan
isterinya bukanlah manusia-manusia baik. Karena itu, lebih
baik susiok mengungsi jauh-jauh.
Sawah-ladang dan rumah susiok, segera dijual saja!
Dengan bekal uang hasil penjualan itu, hendaklah susiok
mencari daerah yang jauh dan aman dari perbuatan mereka."
Si tukang besi itu tercengang, sejenak kemudian ia
terperanjat. Benar pikirnya, Mereka berdua, suami isteri Kim
Sun Bo adalah manusia-manusia beracun. Kemungkinan
besar mereka akan datang kembali untuk menyakiti dirinya,
akan tetapi menjual sawah-ladang dan rumahnya yang telah
didiami belasan tahun, alangkah sayang, Rasa cinta kepada
kampung-halaman sudah demikian meresap didalam dirinya,
maka berkatalah dia mencoba minta pertimbangan:

322
"Tetapi, bukankah mereka berdua sudah berjanji kepada
Lie Kouwnio? masakan mereka akan melanggar janjinya
sendiri?"
Lie Hong Kiauw tadi menyesali Thio Sin Houw yang telah
memperkenalkan namanya terhadap suami-isteri Kim Sun Bo.
pastilah hal itu ada alasannya yang kuat, itulah sebabnya,
begitu mendengar perkataan si tukang besi maka Thio Sin
Houw lalu berkata meyakinkan:
"Mereka berdua manusia-manusia beracun, apakah susiok
percaya kepada orang semacam mereka berdua?"
Si tukang besi seperti tersadar dari tidurnya, dengan suara
mengeluh ia berkata:
"Benar ... benar, Baiklah, kalau begitu aku harus
menyingkir jauh-jauh" sehabis berkata demikian, dengan
bergegas ia menuju ke ambang pintu.
Sekonyong-konyong pada waktu menginjak tangga kedua,
ia berhenti lalu menoleh dan berkata kepada Thio Sin Houw:
"Terima kasih, siauw siangkong siapakah namamu?"
"Thio Sin Houw." jawab Sin Houw singkat.
"Sin Houw! Alangkah hebat nama itu!" seru si tukang besi.
Tiba-tiba ia tersenyum, kemudian berkata setengah berbisik:
"Aku berharap dengan sangat hendaklah kau
memperhatikan Lie kouw-nio selama hidupmul"
Mendengar perkataan si tukang besi itu, Thio Sin Houw
tercekat hatinya berbareng heran. Bertanya menegas:
"Apa maksudmu, susiok?"

323
"Siauw siangkong," kata si tukang besi sungguh-sungguh,
"Selama hidup aku ini adalah seorang pandai besi. Akan tetapi
meskipun tolol, tidaklah sebodoh kerbau. Umurmu empat atau
lima tahun lebih muda dari dia. Meskipun demikian, ia sangat
memperhatikan dirimu, Dia seorang gadis yang suci bersih,
berhati mulia dan berkepandaian tinggi. Tahukah kau siapa dia
sebenarnya, selain kau kenal sebagai murid Ouw Sinshe?
sebenarnya dia anak seorang maha sakti, Karena itu baikbaiklah
kau bergaul dengan dia."
Setelah berkata demikian, si tukang besi memutar tubuh
dan keluar ambang pintu dengan tertawa lebar.
Keruan saja Thio Sin Houw tidak dapat menyelami arti
kata-katanya. secara naluriah, tiba-tiba ia merasa malu seperti
melihat seorang perempuan bertelanjang bulat dihadapannya,
Untuk mengatasi perasaan naluriahnya itu, ia berseru
membalas:
"Susiok! sampai bertemu lagi...!"
"Siauw siangkong, sampai bertemu kembalil" jawab si
tukang besi, ia lalu mengumpulkan alat-alat besinya kedalam
keranjang, setelah lengkap semua, segera ia memikulnya
berjalan pulang ke kampungnya dengan hati lega.
Kira-kira sepuluh langkah berjalan, ia bersenandung. itulah
suatu bukti kesederhanaan hatinya. ia menangis waktu sedih,
ia membungkam mulut sewaktu prihatin, dan tertawa serta
bersenandung tatkala hatinya tegar.
Seperti seorang hukuman melihat salah seorang
sahabatnya memperoleh kebebasannya kembali, Thio Sin
Houw menghela napas karena senang, Dan dengan langkah
perlahan ia berjalan kembali ke dapur.
Tatkala itu Kim Cin Nio telah sadar dari pingsannya, ia

324
sudah berdiri di atas lantai dengan berkerebong selimut kain
panjang.
Terhadap Lie Hong Kiauw, keluarga Kim suami-isteri jelus,
dengki dan juga membenci. Akan tetapi menyaksikan
kepandaian gadis itu dalam hal menggunakan obat dan racun,
mau tak mau mereka merasa sangat kagum, Dengan berdiri
tegak mereka menatap pandang Lie Hong Kiauw, seakanakan
persakitan menunggu keputusan hakim dengan
membungkam mulut. sama sekali mereka bertiga tidak
menghaturkan rasa terima kasih.
Lie Hong Kiauw sendiri tak menghiraukan sikap mereka
yang dingin itu, ia merogoh sakunya dan mengeluarkan tiga
ikat rumput obat kering berwarna putih, Diletakkannya ketiga
ikat rumput obat kering itu di atas meja, kemudian berkata:
"Rumah kalian tidak lagi merupakan rumah tertutup, semua
pohon-pohon racunmu sudah kupunahkan, Karena itu pada
suatu kali musuh kalian, Ang Sin Kong - sewaktu-waktu dapat
memasuki rumah ini. Karena itu kalian bisa memilih, keluar
atau tetap berada di rumah ini, Kedua-duanya sama saja
bahayanya bagi kalian bertiga, inilah rumput Sian-ie su-cay,
yang dahulu kutanam diantara pohon bunga Pek-hu cu-hwa,
Dengan membakar rumput ini, kukira kalian sanggup
mengundurkan gangguan Ang Sin Kong, Akan tetapi sejak ini,
janganlah kalian mengambil jiwa orang dengan sesuka hati
sendiri. Kuharapkan pula agar permusuhan kalian dengan
keluarga Ang Sin Kong dapat di selesaikan dengan damai."
Pada muka Kim Sun Bo berdua isterinya nampak berubahrubah,
Kadang merah-padam, kadang pula nampak berseriseri.
Mereka merasa girang dan bersyukur karena
memperoleh pertolongan, sebaliknya mereka mendongkol
karena harus mendengarkan segala petuah dan ceramah adik
seperguruannya yang masih belum dewasa, itulah suatu
penghinaan luar biasa bagi mereka berdua, Meskipun

325
demikian, mereka tak dapat memungkiri kenyataan, Kim Sun
Bo segera mengatasi perasaannya dan berkata:
"Lie sumoay, terima kasih atas segala perhatianmu ini."
"Hmm ..." dengus Thio Sin Houw di dalam hati, "Kau
berterima kasih terhadap alat pemunah lawan, dan bukan
karena tertolongnya nyawa anakmu..."
Setelah suaminya menghaturkan terima kasih, Kim Popo
mengeluarkan sebotol kecil yang kemudian diserahkan
kepada Lie Hong Kiauw, Katanya:
"Sumoay, inilah obat pemunah bisa racun Hian-beng Sinkang,
Aku percaya, kau bisa membuatnya sendiri. Akan tetapi
kukira tak keburu lagi untuk menolong temanmu itu..."
Mendengar disebutnya racun Hian-beng Sin-kang, hati
Thio Sin Houw tercekat, ia girang bercampur heran,
bagaimana Kim Popo dapat melihat racun Hian-beng Sin-kang
yang mengeram didalam dirinya dengan sekali melihat saja?
sedang hatinya penuh pertanyaan demikian, ia melihat Lie
Hong Kiauw menerima botol pemberian Kim Popo.
Gadis itu segera, memeriksanya, dan kemudian menoleh
kepada Thio Sin Houw, Katanya lembut:
"Adik yang baik, orang yang berhati mulia dimana saja
gampang memperoleh pertolongan Tuhan, Terimalah!"
Setelah berkata demikian kepada Thio Sin Houw, gadis itu
berputar arah kepada Kim Cin Nio. Katanya dengan suara
angker.
"Cici, kenapa kau memberikan racun Hian-beng Sin-kang
kepada orang luar?"
Kim Cin Nio terkesiap, ia heran bukan main, bagaimana Lie

326
Hong Kiauw bisa mengetahui rahasia itu yang di tutupnya
rapat-rapat? Karena ditanya secara mendadak, ia menjawab
dengan gugup:
"Aku ... aku..."
"Lie sumoay!" kata Kim Sun Bo dan meneruskan lagi: "Cin
Nio memang keterlaluan, dan aku sudah menghajarnya"
Setelah berkata demikian, ia berjalan mendekati puterinya.
Kemudian memutar tubuh Cin Nio sehingga memunggungi Lie
Hong Kiauw berdua Thio Sin Houw, Dibukanya selimut kain
panjang yang menutupi punggung puterinya. Dan begitu
selimut kain tersibak, nampak punggung Kim Cin Nio penuh
jalur bekas sabetan cambuk yang bersemu darah.
Sebenarnya, tatkala menolong melarutkan racun yang
mengeram di dalam tubuh Cin Nio, Lie Hong Kiauw melihat
bekas sabetan cambuk tersebut. Akan tetapi mengingat bahwa
perbuatan Cin Nio melanggar undang-undang gurunya,
merupakan kesalahan sangat besar, ia wajib menegur.
Bahwasanya Cin Nio telah memberikan racun Hian-beng sin
kang kepada orang luar, diketahui Lie Hong Kiauw tatkala Kim
popo menyerahkan obat pemunahnya. ia teringat pula akan
racun Hian-beng Sin-kang yang mengeram didalam tubuh
Thio Sin Houw. Pada saat itu serasa ia mendengar suara
gurunya mengiang-ngiang dalam telinganya:
"Jika kau sendiri yang meracuni orang, andaikata
kesalahan tangan, segera kau dapat memberi pertolongan.
Sebaliknya apabila racun, itu jatuh ke tangan orang lain
yang kemudian menggunakannya untuk mencelakakan orang
baik-baik, maka korban itu takkan tertolong lagi, Dosa ini
sepuluh kali lipat besarnya dari pada meracuni orang dengan
tangan sendiri."
Lie Hong Kiauw percaya, bahwa larangan itu pastilah

327
sudah sering di katakan kepada Kim Cin Nio, oleh kedua
orang tuanya, Kenapa dia masih melanggar juga? pastilah ada
latar belakangnya yang beralasan kuat. Sebenarnya Lie Hong
Kiauw ingin minta keterangan lebih jelas lagi, akan tetapi
karena Kim Cin Nio sudah dihajar keras oleh kedua orang
tuanya, ia merasa tak sampai hati, segera ia mengambil
keputusan untuk berangkat saja. Katanya sambil membungkuk
hormat kepada kedua kakak seperguruannya:
"Jie suheng dan Sam sucie, Maaf-kan aku, pada akhirakhir
ini aku banyak melakukan kesalahan kepada kalian
berdua, sampai bertemu lagi..."
Kim Sun Bo segera membalas hormat, akan tetapi tidak
demikian halnya Kim Popo, perempuan bongkok itu hanya
mendengus, sudah barang tentu Lie Hong Kiauw tahu akan
arti dengusan itu, namun ia tidak menghiraukan. Dengan
memberikan isyarat mata kepada Thio Sin Houw, ia
mendahulukan bertindak keluar ruangan. Baru saja ia hendak
melangkahi ambang pintu, Kim Sun Bo mengejar sambil
berseru:
"sumoay!"
Lie Hong Kiauw memutar tubuhnya, Dan begitu melihat
paras muka kakak seperguruannya penuh rasa bimbang dan
guram, segera ia mengetahui apa yang berkutik didalam
hatinya. Dengan tertawa manis Lie Hong Kiauw berkata:
"Suheng, apakah yang menyulitkan hatimu?"
"Keluarga Ang Sin Kong berjumlah tiga orang, himpunan
ilmu saktinya sangat tinggi. Untuk mengundurkan mereka
bertiga, kami berdua membutuhkan bantuan seorang lagi"
sahut Kim Sun Bo
"llmu kepandaian Cin Nio masih terlalu dangkal, karena itu

328
ingin aku memohon kepadamu ..." ia, tak dapat menyelesaikan
perkataannya karena tiba-tiba hatinya menjadi segan.
Lie Hong Kiauw tersenyum, dan segera menunjuk ke
keranjang bambu yang menggeletak diluar pintu:
"Toa-suheng berada di dalam keranjang itu, Bubuk bunga
biru Pek hu-cu-hwa yang berada ditangan Sam sucie cukup
untuk memunahkan racun yang mengeram didalam tubuh
Toa-suheng. Jie- suheng, kenapa kau tak mau menggunakan
kesempatan sebagus ini untuk memperbaiki hubunganmu
dengan Toa-suheng? Jika kau memberikan pertolongan
kepadanya, niscaya dia akan membantu kesulitanmu juga."
Mendengar keterangan Lie Hong Kiauw, bukan main
girang hati Kim Sun Bo, Belasan tahun lamanya ia berlawanlawanan
dengan kakak seperguruannya, sebenarnya ingin ia
memperoleh titik-titik perdamaian, akan tetapi selalu gagal.
Bahkan makin lama makin mendalam sama sekali tak pernah
diduganya, bahwa adik seperguruannya yang masih belum
pandai beringus itu dengan mudah saja dapat mengatur siasat
yang mengagumkan.
Kecuali mengundurkan lawan berbareng memperbaiki
perhitungan antara sesama saudara seperguruan. Keruan saja
hati Kim Sun Bo jadi terharu, setelah menghaturkan terima
kasihnya berulangkali, segera ia mengambil keranjang bambu
itu.
Dalam pada itu Thio Sin Houw sudah memungut bunga
birunya lagi, yang tadi diletakkan diluar pintu, Lie Hong Kiauw
mengalihkan perhatiannya kepadanya, kemudian ia berpaling
lagi kepada Kim Sun Bo dan berkata:
"Jie-suheng. Kepala dan hampir seluruh tubuhmu
mengalirkan darah. Tetapi begitu hawa racun yang mengeram
di dalam tubuhmu ikut merembes keluar pula, kuharap
janganlah kau menyimpan dendam terhadap perbuatanku

329
yang kurang ajar tadi."
Lagi-lagi Kim Sun Bo terkejut, seperti seseorang yang
tersadar dari tidur nyenyak. pikirnya di dalam hati:
"Akh! Baru sekarang aku tahu, bahwa perintahnya agar
tukang besi tadi memukuli aku sebenarnya kecuali
menghukum kesalahanku, juga mengandung maksud baik,
Racun yang mengeram dalam tubuh Kim popo masih utuh,
kalau begitu aku harus mengeluarkan darahnya pula, agar ia
terhindar dari keracunan."
Memperoleh pengertian itu, ia merasa benar-benar takluk
terhadap adik seperguruannya yang jauh lebih muda dari
dirinya, Benar-benar si bungsu itu banyak akal dan lebih
unggul dari pada dirinya sendiri, segera lenyaplah napsunya
untuk merebut atau merampas buku warisan gurunya, yang
kini berada ditangan Lie Hong Kiauw.
Dengan berdiam diri, Lie Hong Kiauw dan Thio Sin Houw
meninggalkan rumah aneh itu. Didalam benak Sin Houw
berkecamuk banyak persoalan yang berkelebatan tiada
hentinya. ia menggeridik tatkala mereka bertiga tstdi
membicarakan urusan racun Hiang-beng sinkang . Berbagai
pertanyaan timbul dalam hatinya:
"Aku terkena racun Hian-beng bin-kang, siapa yang
melukai aku agaknya hanya setan dan iblis yang mengetahui.
Kini setitik sinar menyingkap kabut tebal itu, Kim Cin Nio
memberikan racun itu kepada seseorang, sayang Hong cici
tidak minta keterangan kepadanya, siapa orang yang
dimaksud itu,"
Ia merasa kecewa dan menyesali Lie Hong Kiauw, akan
tetapi tiba-tiba suatu pertimbangan lain menusuk benaknya.
Katanya didalam hati:
"Dalam semua sepak terjangnya, gadis ini selalu

330
mengandung dua maksud yang saling bertentangan. Dia
menggebuk sambil menolong, dia tidak mau minta keterangan
yang lebih jelas lagi tentang orang yang membawa racun
Hian-beng sin-kang dari tangan Kim Cin Nio. Apakah dia
bermaksud melindungi aku?
Memang, hatiku penuh dendam terhadap orang itu dan
semua yang membunuh ayah bunda dan saudaraku, Akan
tetapi aku belum mempunyai kepandaian yang berarti. Kalau
mendadak hatiku panas dan ingin melampiaskan dendamku,
bukankah sama saja artinya aku mengantarkan jiwaku
sendiri?" Dan memperoleh pertimbangan demikian, hatinya
menjadi lega.
Tatkala itu fajar hari telah menyingsing, mereka berdua
sudah bekerja berat dan semalam suntuk tidak memejamkan
mata, Meskipun demikian karena terselimut kesejukan hawa
pegunungan yang segar, sama sekali mereka tidak merasa
letih.
"Hong cici, bagaimana kau mengetahui bahwa Kim Cin Nio
kena racun Pek hu cu-hwa?" tanya Thio Sin Houw, "Dalam
kegelapan, mataku tak dapat melihat tegas."
"Mula-mula sewaktu melihat kawanan anjing hutan itu,
kukira yang datang adalah salah seorang keluarga Ang Sin
Kong," sahut Lie Hong Kiauw.
"Akan tetapi begitu melihat pada leher orang itu terikat
seikat rumput obat, segera aku mengetahui bahwa dia itulah
Kim cici."
"Apakah sebelumnya kau pernah melihat anaknya saudara
seperguruanmu itu?" tanya Thio Sin Houw.
"Belum pernah aku melihat orangnya tetapi kenal
namanya," jawab Lie Hong Kiauw secara sederhana,

331
kemudian meneruskan "Kemudian kuserang dia dengan paku
beracun milik Toa-suheng, dan pada paku itu kuikatkan
sepucuk surat palsu Toa-suheng. Paku beracun Toa-suheng
sangat terkenal diantara kita sesama rumah perguruan, itulah
salah satu senjata rahasia guruku yang di ajarkan kepadanya.
Namanya paku Tok-liong teng, sudah barang tentu Jie-suheng
berdua segera mengetahui dan mengenal pemiliknya. Apalagi
Jie suheng berdua menemukan surat tulisan Toa suheng yang
sebenarnya tulisanku sendiri. itulah sebabnya pula, mereka
berdua menuduh Toa suheng meracuni anak mereka, Cin
Nio."
"Dari mana kau peroleh senjata rahasia toa suhengmu?"
tanya Thio Sin Houw.
"Adik yang baik, kau tentu bukan anak tolol. pastilah kau
bisa menebak-nya." jawab Lie Hong Kiauw dengan tertawa
lebar.
Thio Sin Houw berdiam sejenak, kemudian berkata nyaring
seperti baru tersadar:
"Akh! sekarang tahulah aku. Pada saat itu Toa suhengmu
telah kau bekuk, dan kau masukkan ke dalam keranjangmu.
Bukankah begitu? Dan kau mengambil sebuah paku Tok-liong
teng!"
"Benar!" sahut Lie Hong Kiauw. "Melihat bunga biru itu Toa
suheng sudah menaruh curiga, ia mengikutimu ketika kau
berdua minta keterangan jalan yang menuju ke rumah suhu,
Dan akhirnya ia masuk ke dalam keranjangku..."
Mereka berdua lantas tertawa gembira, Tiba-tiba wajah Lie
Hong Kiauw berubah menjadi sungguh-sungguh, katanya:
"Adik Sin Houw! Racun Hian-beng Sin-kang yang
mengeram didalam dirimu itu belum larut seluruhnya,
Sewaktu-waktu kau masih akan terserang hawa yang dingin

332
luar biasa, karena itu obat pemunah hadiah Sam sucie harus
kau telan secepat mungkin!"
Diingatkan tentang racun Hian-beng Sin-kang yang
mengeram di dalam dirinya, Thio Sin Houw segera
menceritakan bagaimana terjadinya, Maksudnya ia hendak
memperoleh keterangan pula siapakah orang yang telah
memukul dirinya dengan racun itu, Akan tetapi Lie Hong Kiauw
hanya bersikap diam saja.
"Hong cici, kemarin aku menerangkan kepadamu bahwa
orang tua dan sekalian saudaraku tiada lagi. Mereka
sesungguhnya mati terbunuh oleh lawan-lawan yang belum
kuketahui dengan jelas," kata Thio Sin Houw menambahkan
keterangan mengenai riwayat hidupnya.
Dan mendengar riwayat hidup Thio Sin Houw, Lie Hong
Kiauw nampak menundukkan kepalanya, tetapi gadis itu tetap
membungkam mulut.
Tak terasa mereka berdua sudah tiba kembali ke gubuk Lie
Hong Kiauw.
Cie Siang Gie masih nampak tidur nyenyak, Lie Hong
Kiauw segera mengeluarkan obat pemunah dan diberikannya
kepada Thio Sin Houw, Kemudian ia mencari cangkulnya, dan
berangkat ke ladang untuk mengatur kembali bunga-bunga
birunya yang semalam terinjak-injak kudanya Kim Cin Nio dan
kawanan anjing liar. Menyaksikan hal itu, segera Thio Sin
Houw menjejalkan obat pemunah ke dalam mulut Cie siang
Gie.
Kemudian ia mencari cangkul pula dan menyusul ke
ladang untuk membantu Lie Hong Kiauw.
Semalaman penuh ia bekerja berat, dan sama sekali tidak
memicingkan mata. Namun demikian, ia berangkat ke ladang
juga untuk merawat kembali pohon bunga-bunga birunya.

333
Kalau aku tidak membantu apa yang menjadi perhatiannya,
maka aku adalah manusia yang tidak mengenal budi," pikir
Thio Sin Houw sambil bekerja dengan sungguh-sungguh,
Akan tetapi sebenarnya dia tak boleh bekerja menggunakan
tenaga yang berlebihan, karena racun Hian-beng Sin-kang
yang masih mengeram di dalam tubuhnya.
Meskipun Lie Hong Kiauw seorang gadis yang kurus
kering, akan tetapi kesehatannya memang seratus kali lipat
apabila dibandingkan dengan Thio Sin Houw, inilah
perhitungan yang tidak pernah terpikirkan oleh Thio Sin Houw,
ia hanya menuruti luapan perasaannya belaka, yang penuh
dengan tata susila dan kemanusiaan.
Matahari sudah sepenggalah tingginya, tatkala tiba-tiba
ada seseorang menegur dirinya:
"Hei, Sin Houw! Kau sudah bisa bergerak, bahkan
mencangkul pula, Apakah aku sedang mimpi?"
Serentak Thio Sin Houw menoleh dan melihat Cie siang
Gie berdiri di pengempangan ladang, dalam keadaan segar
bugar! wajahnya nampak bersemu merah, menandakan
bahwa kesehatannya telah pulih kembali. Tetapi justeru pada
saat itu, suatu gumpalan hawa dingin bergolak hebat didalam
perut Thio Sin Houw, ia terkejut, buru-buru diletakkannya
cangkulnya dan membungkukkan tubuhnya.
Dengan mengertak gigi ia menahan rasa sakit luar biasa,
tubuhnya lantas saja menggigil dan kemudian ia roboh
terguling keatas tanah.
Keruan saja hal itu membuat Cie Siang Gie kaget setengah
mati, dengan sekali menjejak tanah ia melesat menghampiri
dan memeluk Thio Sin Houw dan berteriak:
"Sin Houw! Kenapa kau? Apakah kau kumat lagi?"

334
"Cie toako ... aku bersyukur karena kau telah sehat kembali
..." sahut Thio Sin Houw dengan suara lemah.
Cie siang Gie jadi kebingungan, karena tubuh Thio Sin
Houw terasa dingin sekali. Dengan tak sekehendaknya sendiri
ia menoleh kepada Lie Hong Kiauw, disaat gadis itu berhenti
mencangkul dan berkata:
"Bawa masuk saja ke dalam rumah."
"Sebenarnya bagaimana? sejak kapan ia bisa
menggerakkan kaki dan tangannya? Dan kenapa tiba-tiba ia
roboh kembali?" Cie siang Gie menegas dengan suara
menggeletar.
"Aku bilang, bawa dia masuk ke dalam rumah!" sahut Lie
Hong Kiauw dengan suara dingin. Kemudian ia berjalan
mendahului mengarah ke rumahnya.
Meskipun dalam hati Cie Siang Gie masih penuh
pertanyaan, tetapi pemuda itu tak berani membuka mulut lagi.
Segera ia memondong tubuh Thio Sin Houw dan dibawanya
berjalan mengikuti Lie Hong Kiauw.
"Kau berkata, kau adalah keponakannya Ouw sinshe,
Bagaimana kau memanggil padanya?" tanya Lie Hong Kiauw
setelah Cie siang Gie meletakkan Thio Sin Houw diatas dipan.
Cie Siang Gie terkesiap, Menyahut, sambil mengawasi:
"Susiok."
"Apakah dia kakak dari ibumu?"
"Bukan, Aku memanggil paman padanya, karena aku
termasuk sealiran dengan dia."

335
"Hem!" dengus gadis dusun itu, "Apakah kau seorang
anggota Beng-kauw?"
"Benar."
"Kau sudah tahu, tatkala dia kau bawa menginap kemari,
sudah dapat ia menggerakkan kaki dan tangannya, Mengapa
hal itu kau tanyakan kepadaku?" tanya Lie Hong Kiauw
dengan wajah bersungguh-sungguh.
Cie siang Gie tercekat hatinya.
Mendadak pikirannya yang seperti di liputi kabut menjadi
terang kembali, terus saja katanya sambil menepuk
kepalanya:
"Akh, benar! Kenapa pikiranku menjadi linglung begini?
Tatkala dia kembali dari rumah aneh itu, kaki dan tangannya
sudah dapat digerakkan. Bahkan dia berseru menegas
kepadaku, apakah hal itu hanya suatu mimpi belaka, Aku
menegaskan bahwa dia bisa bergerak benar-benar, Hanya
saja aku tak tahu, bagaimana dia bisa menggerakkan kaki dan
tangannya dengan tiba-tiba saja."
Lie Hong Kiauw tidak segera menjawab, ia memeriksa
denyut nadi dipergelangan tangan Thio Sin Houw, sejenak
kemudian berkata:
"Tahukah kau, racun apakah yang mengeram didalam
tubuhnya?"
"Aku hanya mendengar keterangan dari kakek gurunya,
Tie-kong tianglo, dia terkena pukulan tangan jahat yang
beracun. Racun itu racun Hiang-beng Sin-kang." jawab Cie
siang Gie.
Lie Hong Kiauw tersenyum, agaknya ia merasa puas,
Kemudian memanggut kecil dan berkata:

336
"Apakah dia ini anggauta Beng-kauw juga?"
"Bukan," sahut Cie siang Gie dengan suara tegas. "Tatkala
kubawa dia mendaki gunung Ouw-tiap san, aku berjanji
kepada kakek gurunya bahwasanya tujuanku hendak
membalas budi dengan mengandalkan kesaktian Ouw susiok.
Dan apabila dia dapat disembuhkan kembali, tak perlu merasa
berhutang budi, Aku berkata kepada Tie-kong tianglo, bahwa
untuk kesemuanya itu tak perlu dia masuk menjadi anggauta
Beng-kauw."
Lie Hong Kiauw menatap wajah Cie siang Gie dengan
pandang heran, tanyanya tak mengerti:
"Mengapa kakek gurunya begitu picik pandangannya
terhadap golongan kita?"
"Entahlah." sahut Cie siang Gie dengan tertawa melalui
dadanya, "Sebenarnya setelah aku bertemu dengan Ouw
susiok, segera aku akan membicarakan hal ini. sayang sekali
sampai pada hari ini, aku belum berhasil menghadap beliau.
Apakah kau masih tidak sudi menunjukkan dimanakah tempat
tinggalnya?"
"Heng!" dengus Lie Hong Kiauw, ia diam beberapa saat
lamanya, kemudian berkata:
"Kau menyebut beliau paman, bukan?"
"Benar."
"Beliau adalah guruku,"
Cie siang Gie kaget sampai terpukau, tetapi dia seorang
pemuda berpengalaman dan cerdas. Kemarin, meskipun
dapat berjalan seperti sediakala, namun tenaga saktinya

337
belum pulih kembali. Tetapi pada pagi hari ini, ia merasa diri
sehat benar. Bankan di dalam tubuhnya terasa segumpal
hawa hangat yang nyaman luar biasa," berputar-putar
menembus peredaran darahnya, itu merupakan suatu tanda
bahwa dirinya sudah pulih, padahal dia belum bertemu dengan
Ouw sinshe.
Kalau begitu, siapa lagi yang telah menolongnya, selain
gadis didepannya ini? Maka segera ia menjatuhkan diri,
berlutut di hadapan gadis itu, Katanya dengan suara
memohon:
"Dengan sekali melihat, tahulah sudah kau bahwa Sin
Houw terkena pukulan jahat Hian-beng Sin-ciang. Maka aku
yakin, pastilah kau sudah mempunyai pegangan untuk
menyembuhkannya.
Aku sendiri yang menderita pukulan jahat, dapat kau
sembuhkan hanya dalam waktu satu malam saja, ini semua
membuktikan, bahwa kau sudah mewarisi kepandaian Ouw
susiok. Teringatlah aku akan suatu pepatah: menolong jiwa
orang, lebih penting dari pada menolong rumah tingkat tujuh
yang terbakar api, Memang sekali menolong orang,
seyogianya jangan setengah-setengah."
"Hemm! Rupanya kau pandai berkotbah pula!" potong Lie
Hong Kiauw dengan memberengut.
"Bukan begitu! Aku telah berhutang budi terhadap kakek
gurunya. Maka dengan ini aku mohon kepadamu, agar kau
sudi menolong cucunya."
"Tak kukira kau ternyata seorang bijak, kau tahu membalas
budi!" kata Lie Hong Kiauw dengan suara dingin, "Yang
berhutang budi adalah kau, bukan aku."
Cepat-cepat Cie siang Gie membungkukkan badan, dan
menundukkan kepala sampai mencium bumi. Katanya:

338
"Lie kouwnio, Sin Houw ini adalah anak seorang pendekar
sejati. Aku percaya bahwa darah ayahnya mengalir dalam
dirinya. Kita boleh kehilangan ribuan orang yang tiada
gunanya, akan tetapi apabila sampai kehilangan seorang
berjiwa ksatria, sesungguhnya sangat disayangkan."
"Apakah seorang pendekar sejati mesti baik hatinya? Hem
... di dalam jagad ini, berapa jumlahnya orang yang berhati
baik? Kalau aku harus menyembuhkan orang-orang berhati
baik di seluruh dunia ini, mestinya aku harus mempunyai
tangan seribu dan kaki seribu pula." kata Lie Hong Kiauw lagi.
Kemudian ia menghela napas panjang. Berkata
meneruskan: "Sekiranya dia salah seorang anggauta golongan
kita, masih mau aku berusaha menolong jiwanya, Sebaliknya,
dia adalah cucu seorang tokoh persilatan yang mengaku
dirinya seorang ksatria sejati yang tidak memandang sebelah
mata golongan kita, Kenapa dia tidak mencari seorang tabib
pandai lain saja?"
"Sebenarnya akulah yang membawa Sin Houw kemari."
sahut Cie siang Gie.
"Oh, begitu?" Lie Hong Kiauw mengerutkan keningnya.
*****
PADA WAKTU ITU Thio Sin Houw kehilangan
kesadarannya. Satu kekuatan yang berada diluar
kemampuannya merenggut dirinya, dan ia merasakan dibawa
terbang tinggi ke udara menyusupi gumpalan-gumpalan awan
- kemudian di banting keatas tanah. Debu lantas saja
membubung tinggi, dan matanya menjadi gelap, selagi
demikian, sekonyong-konyong ia mendengar deru angin
melanda bumi".
Dan debu yang menutupi penglihatannya dibawa buyar

339
berderai, segera ia mengucak-ngucak matanya, dan tiba-tiba
saja ia sudah berada didalam sebuah ruangan besar.
Cie siang Gie berada disampingnya dan di depannya
berdiri seorang laki-laki berusia kurang lebih tujuh puluh tahun.
perawakan orang itu tinggi kurus, kepalanya setengah botak
dan tertutup topi merah kecil. Dahinya menonjol ke depan,
sehingga matanya kelihatan sangat sipit, Hidungnya kecil,
akan tetapi lubangnya terlalu besar, Melihat dirinya, orang tua
itu tertawa terkekeh-kekeh, Katanya dengan suara yang parau:
"Hei! Tahukah kau siapa aku? Aku adalah Ouw Gie Coen,
si tabib sakti yang tak ubah malaikat, sanggup menghidupkan
manusia yang sudah terkubur di dalam bumi seribu tahun. Kau
percaya atau tidak?"
Cie siang Gie segera menjatuhkan diri, ia berlutut dengan
muka sampai mencium bumi, Kemudian berkata dengan suara
memohon belas kasihan:
"Hemm ... orang yang bernama Tie-kong tianglo itu
manusia macam apa?" tanya Ou Gie Coen jadi gusar sekali.
"Ouw susiok. Meskipun ayahnya menjadi murid Tie-kong
tianglo yang mengaku diri dari aliran suci, dan tidak
memandang sebelah mata kepada aliran kita, akan tetapi
ibunya adalah puteri tunggal si Tangan Geledek Lie Sun Pin
yang sealiran dengan kita,"
Mendengar perkataan Cie siang Gie, maka Ouw Gie Coen
yang bersikap kaku lantas saja nampak berubah. Katanya
menyahut:
"Kalau begitu, bangunlah kau! jadi dia adalah puteranya
Lie Lan Hwa...? itulah lain perkara."
Setelah berkata demikian, ia mendekati Thio Sin Houw,

340
Dengan suara lemah lembut dia berkata:
"Anakku, di dalam dunia ini tidak terhitung jumlahnya
orang-orang yang mengaku dirinya suci akan tetapi
sesungguhnya jahat sekali. Mereka yang mengaku dirinya
suci, kebanyakan hanya mementingkan diri sendiri. lihatlah
selagi kancah peperangan di tanah air begini bergolak,
mereka berebut nama kosong agar diakui masyarakat sebagai
aliran atau golongan suci bersih yang mengerti perkara Tuhan,
Kami yang berada dipihak Cu Goan Ciang, tidak
memperdulikan suci atau kotor dan baik atau buruk. perkara ini
kami serahkan kepada Tuhan.
Hanya karena kami didahului mereka, maka kami terpaksa
juga membuat peraturan. Bahwasanya kami tidak akan
menolong orang-orang yang tidak sealiran dengan kami. Kau
adalah cucunya si Tangan Geledek Lie Sun Pin yang sealiran
dengan kami. Baiklah, aku akan menyembuhkan penyakitmu,
Asal saja kau berjanji kepadaku, setelah sembuh kau akan
menanggalkan rumah perguruan Tie-kong tianglo yang
menganggap dirinya golongan suci dan baik. Bagaimana?"
"ltu tidak boleh, paman!" tiba-tiba Cie siang Gie menjawab,
mewakili Thio Sin Houw, "Sudah kukatakan tadi, bahwa
sebelum berangkat kemari aku telah berjanji kepada Tie-kong
tianglo, sekali-kali susiok tidak boleh memaksa Sin Houw ini
memasuki aliran kita sebagai suatu jual beli, Bahkan Tie-kong
tianglo tidak sudi pula mengakui menerima budi dari aliran
kita.
Tiap-kok ie-sian Ouw Gie Coen jadi gusar sekali, sepasang
alisnya tegak berdiri dan ia menggebrak meja yang berada di
depannya, Katanya dengan suara nyaring:
"Hengg ... orang yang bernama Tie kong tianglo itu
manusia macam apa?
Begitu berani ia menghina golongan kita? Kalau begitu,

341
apa perlunya aku menolong menyembuhkan penyakit cucumuridnya?
Tetapi mengingat anak ini adalah cucunya Lie Sun
Pin, biarlah aku ingin mendengar ucapannya sendiri. Nah,
bagaimana?"
Thio Sin Houw menyadari, bahwa racun Hian-beng Sinkang
sudah mengamuk keseluruh jalan darahnya, Demikian
hebat penderitaannya sampai kakek-gurunya, Tie-kong tianglo
yang berkepandaian tinggi merasa tidak berdaya, jiwanya kini
hanya tergantung kepada tabib sakti Ouw Gie Coen belaka,
Kalau tabib itu mau mengulurkan tangannya, dia bakal
hidup. sebaliknya apabila tidak sudi menolong, dia akan
segera mati.
Tetapi tatkala berpisah dengan kakek gurunya, ia telah
dipesan berulangkali jangan sampai memasuki aliran sesat,
Orang boleh mati tak berkubur didalam dunia ini, akan tetapi
dalam menghadap Tuhan, jangan sampai tersesat,
Demikianlah pesan Tie-kong tianglo.
Sebaliknya, bagaimana sesungguhnya aliran Beng-kauw
itu? Belum ia ketahui dengan jelas. Apakah benar-benar aliran
sesat atau tidak? Namun terhadap Tie-kong tianglo ia
menaruh hormat karena orang tua itu sangat kasih kepadanya,
tak ubah cucu kandung sendiri, ia berpesan demikianpun
karena terdorong oleh rasa kasih sayangnya dan bukan
bermaksud jahat atau hendak menjerumuskan dirinya ke
dalam jurang kehinaan. oleh pertimbangan demikian, ia
berpikir didalam hati:
"Baiklah, meskipun dia akhirnya tidak sudi menolong
jiwaku, tetapi rasanya adalah suatu dosar besar, apabila
melanggar pesan kakek guru."
Dengan keputusan itu, Thio Sin Houw menjawab dengan
lantang:

342
"Ouw sinshe, ibuku adalah puteri tunggal Lie Sun Pin yang
sealiran dengan sinshe, pastilah ibuku seorang yang baik hati
pula. Hanya saja, kakek guruku berpesan kepadaku, agar aku
tidak memasuki aliran Beng-kauw, Aku sudah sanggupi. Dan
kalau sekali sudah menyanggupi, bagaimana mungkin aku
melanggar perkataanku sendiri? Kalau sampai terjadi
demikian, aku bukan laki-laki lagi, Bukankah perkataan
seorang laki-rlaki berharga seribu gunung?
Dengan pendirian ini, apabila sinshe tidak sudi mengobati
aku, tidak apalah. seumpama aku berhasil kau sembuhkan,
tetapi kemudian memasuki aliran Beng-kauw, maka di dunia
ini hanya ketambahan seorang laki-laki yang mulutnya tidak
dapat dipercaya lagi, Apakah gunanya hidup demikian, dan
apakah keuntungannya dunia menghidupi aku?"
Mendengar perkataan Thio Sin Houw, diam-diam Ouw Gie
Coen terkejut, pikirnya:
"Setan cilik ini besar mulutnya, dia berlagak seperti
seorang ksatria-sejati yang tidak butuh nasi dan pakaian.
Hmm, kalau aku tidak mau mengobati, masakan dia tidak
berlutut memohon-mohon belas kasihanku?"
Memperoleh pikiran demikian, ia berkata lantang kepada
Cie siang Gie:
"Aku sudah mendengar pendirian anak ini, dia tidak sudi
memasuki aliran kita, Karena itu, bawalah dia keluar! Tak sudi
aku menyaksikan orang mati didalam rumahku!"
Cie siang Gie kenal tabiat pamannya itu, sekali berkata
tidak, dia tetap akan mempertahankan pendiriannya itu,
sebaliknya kalau sudah sanggup, meskipun yang
berkepentingan akan lari, akan dikejarnya sampai dapat
ditangkapnya kembali. Maka segera ia berkata kepada Thio
Sin Houw:

343
"Sin Houw, Meskipun aliran Beng-kauw tidak mempunyai
nabi, akan tetapi tujuannya sama dengan golongan lainnya,
anggautanya kebanyakan adalah ksatria sejati, yang tak usah
kalah dengan golongan kakek gurumu. Kakekmu, Lie Sun Pin,
membuktikan hal itu. Bukankah ibumu seorang wanita sejati
pula? Karena itu, apakah jeleknya kau masuk aliran Bengkauw?
Kelak di hadapan kakek gurumu, aku yang
bertanggung jawab. "
"Baik." jawab Thio Sin Houw diluar dugaan. "Nah, pukullah
punggungku beberapa kali, Disini, tulang punggung yang ke
delapan dan ke sebelas!"
"Baiklah!" sahut Cie siang Gie girang, Dengan cepat ia
melakukan apa yang diminta Thio Sin Houw, dan seketika itu
juga kedua kaki Thio Sin Houw bisa bergerak.
"Toako!" kata Thio Sin Houw sambil menggerak-gerakkan
kakinya, "Benar, aku percaya kepada perkataanmu. Apabila
kau berani bertanggung jawab, pastilah kakek guruku tidak
akan marah, tak kukira, bahwa kaupun berpendirian seperti
Ouw sinshe."
Setelah berkata demikian, dengan angkuh Thio Sin Houw
keluar ruangan.
Tentu saja Cie siang Gie sangat terkejut. Teriaknya:
"Hei, Sin Houw! Kau mau kemana?"
"Jika aku mati didepan rumah Ouw sinshe, seorang tabib
sakti yang tak ubah malaikat, bukankah akan mengotori
namanya yang menjulang tinggi di atas gumpalan awan?"
jawab Thio Sin Houw dengan suara mengejek. "Karena itu
biarlah aku mati dijalan saja." Dan setelah demikian, entah dari
mana datangnya kekuatan, ia lari kencang bagaikan
melesatnya anak panah.

344
"Bagus! orang boleh mati di luar kandangku, apa
peduliku?" kata Ouw Gie Coen dengan tak kurang angkuhnya.
Cie Siang Gie tidak menggubris perkataan pamannya,
dengan mati-matian ia mengejar Thio Sin Houw, Meskipun dia
terluka pula, akan tetapi lukanya lebih ringan dari pada luka
yang diderita Thio Sin Houw. Dalam hal ilmu kepandaian, Cie
siang Gie pun menang seratus kali lipat daripada Thio Sin
Houw, Kecuali gerak-geriknya lebih gesit, langkahnya panjang
pula, Maka tak mengherankan, lengan Thio Sin Houw kena
disambarnya dan dibawanya kembali ke pondok Ouw sinshe,
Kedua tangan Sin Houw bergerak ingin merenggutkan diri,
akan tetapi tenaganya terlalu lemah sehingga ia mati kutu.
"Oh, susiok!" seru Cie siang Gie dengan napas tersengalsengal,
"Apakah susiok benar-benar tak sudi menolong anak
ini?"
"Sekali aku menolak, tiada lagi yang bisa merobah
pendirianku, Kalau kau tidak percaya, boleh kau minta
bantuan seribu dewa untuk menggugurkan pendirianku ini dan
aku tidak akan bergerak meskipun serambutpun." sahut Ouw
Gie Coen.
"Tetapi susiok akan menolong menyembuhkan lukaku,
bukan?" Cie siang Gie menegas.
"Ya." jawab Ouw Gie Coen singkat.
"Baik." kata Cie siang Gie setelah menghela napas.
Meneruskan: "Karena aku pernah berhutang budi kepada
kakek guru anak ini, maka idzinkanlah aku menolong cucunya.
Hal ini demi menjaga nama Beng-kauw. Kalau salah seorang
anggauta Beng-kauw tak dapat dipercaya lagi mulutnya,
dimanakah pamor Beng-kauw hendak susiok sembunyikan?
Karena itu, biarlah susiok tak usah menyembuhkan aku lagi,
Sebaliknya tolonglah anak ini! Dengan begitu idzinkanlah aku

345
menukar jiwa. Satu jiwa ditukar dengan satu jiwa, Paman tidak
rugi, bukan?"
Ouw Gie Coen mengerutkan dahinya. Menyahut:
"Jantungmu kena pukulan Tiat-see ciang, itulah pukulan
beracun yang sangat berbahaya, Dalam satu minggu apabila
kau bisa mencari tabib pandai, jiwamu masih dapat tertolong,
sebaliknya apabila sampai lewat satu minggu, hanya jiwamu
saja yang dapat diselamatkan, akan tetapi himpunan ilmu
saktimu akan musnah. Kalau sampai dua minggu, sedang kau
kumat dan belum menemukan tabib pandai, jiwamu akan
melayang."
"Hal itu janganlah susiok hiraukan, inilah urusanku sendiri!
Mati sekarang atau besok, bukankah sama saja? Tetapi mati
untuk satu kebajikan, sama sekali aku tidak akan menyesal ..."
ujar Cie siang Gie dengan suara tegas.
Mendengar perkataan Cie siang Gie - Thio Sin Houw
lantas berseru nyaring:
"Aku tidak mau! Aku tidak mau kau tolong!" setelah itu ia
berpaling kepada Cie siang Gie, serunya nyaring:
"Toako! Apakah kau kira Thio Sin Houw ini manusia hina
dina? Kenapa kau menukar jiwamu sendiri dengan jiwaku?
sekalipun aku hidup, rasanya dunia tiada untungnya. Dua
puluh-tiga puluh tahun yang lalu, bukankah di dunia ini tiada
seorang manusia kecil bernama Sin Houw? Dan dunia tidak
pernah merasa rugi! Karena itu, tak perlu toako menukar jiwa
dengan jiwaku!"
Akan tetapi Cie siang Gie adalah seorang laki-laki sejati.
sekali dia berkata, tidak sudi dia menarik kembali. Dengan
kedua tangannya yang kuat, ia menyambar Thio Sin Houw dan
di dudukkannya di kursi. Kemudian ia mencari tali dan Thio Sin
Houw kemudian di ikatnya erat-erat pada sandaran kursi itu.

346
Keruan saja Thio Sin Houw gugup setengah mati,
teriaknya:
"Lepaskan aku! Lepaskan aku! Kalau tidak, engkau akan
kumaki habis-habisan!" dan tatkala melihat Cie Sian- Gie tidak
menggubris teriakannya, benar benar ia terus mencaci-maki
kalang kabut. Mula-mula ia mengutuki Ouw Gie Coen,
kemudian Cie siang Gie.. Teriak-nya kalap:
"Kau sinshe busuk! Kepalamu kecil seperti kelapa! perutmu
gendut seperti lembu! Benar-benar kau seperti kutu busuk.
Katanya kau seorang tabib pandai, akan tetapi gigimu kuning
semua!
Kau begitu bangga kepada aliranmu Bengkauw, nyatanya
kau seorang manusia tak punya perikemanusiaan. Kau iblis!
Kau siluman! Kau setan! Dan kau, Cie siang Gie, kau kerbau
berewok! Kau ikut-ikutan jadi kerbau dungu!"
Makian Thio Sin Houw makin lama makin tajam. sekarang
dia tidak memaki asal memaki saja, akan tetapi bersajak pula,
Dan mendengar Thio Sin Houw bisa memaki sambil bersajak,
Ouw Gie Coen dan Cie siang Gie merasa aneh luar biasa.
Akhirnya Cie siang Gie membuka mulutnya:
"Susiok! sekarang idzinkanlah aku mencari seorang tabib
pandai."
Disekitar gunung ini tiada seorang tabib pandai," sahut
Ouw Gie Coen dengan suara dingin. "Dan kau tak dapat
mencapai kaki gunung dalam waktu tujuh hari, Karena itu
sebelum kau kembali kemari, mayatmu sudah dimakan burung
gagak!"
Cie siang Gie tertawa terbahak-bahak, sahutnya:
"Kalau didunia ini hidup seorang tabib sakti yang tidak mau

347
menolong apabila sekali berkata tidak sudi menolong, maka di
dunia inipun terdapat seorang laki-laki yang tidak takut mati
ditengah jalan."
Setelah berkata demikian, pemuda itu melangkahkan
kakinya keluar ruangan.
"Oh, Ouw Gie Coen!" teriak Thio Sin Houw yang sudah
terikat erat di atas kursi. "Jika kau tidak mau mengobati Cie
toako, pada suatu hari aku akan datang kemari untuk
membunuhmu.
Aku ... aku..." karena diamuk gejolak hatinya, ia terkulai tak
sadarkan diri.
"Hemm, Ouw-tiap kiok adalah satu tempat yang suci
bersih, tak bisa ada orang mati diatas tanahnya ..." kata Ouw
Gie Coen seperti kepada dirinya sendiri. Kemudian ia
mengambil sepotong tanduk menjangan muda yang terletak
diatas meja, terus ditimpukkan ke arah Cie siang Gie yang
sedang berjalan membelakanginya, Tepat timpukan itu, tanduk
menjangan tersebut mengenai belakang lutut Cie siang Gie
yang lantas saja roboh ketanah tak berkutik lagi.
Watak Ouw Gie Coen memang benar-benar aneh. Kalau
dia sudah menolak,tak perduli siapa yang memohon
kepadanya, ia takkan merubah keputusannya tadi. sebaliknya
apabila dia mau menolong seseorang, meskipun orang yang
berkepentingan tidak sudi ditolongnya, pasti ia akan memaksa
menyembuhkannya juga, Kecuali itu, ia bisa berpikir panjang
pula, Tadi ia mendengar ancaman Thio Sin Houw, dan ucapan
anak itu benar-benar berkesan didalam lubuk hatinya, ia
melihat, Thio Sin Houw seorang anak yanq masih berumur
belasan tahun, Meskipun demikian, anak itu berjiwa ksatria
sejati. sesungguhnya bukan anak sembarangan, dialah cucu
murid Tie-kong tianglo. Dikemudian hari apabila anak itu
sampai mati di dalam rumahnya, pasti akan menerbitkan ekor
panjang.

348
Setelah menimbang-nimbang beberapa saat lamanya,
akhirnya ia mengambil keputusan, Katanya didalam hati:
"Akh, buat apa aku bersusah payah menolong mereka
berdua? Biarlah kedua-duanya mati diluar rumahku, Ada
baiknya, Ouw-tiap kiok ini bertambah dua setan penasaran..."
Setelah mengambil keputusan demikian, ia menghampiri
Thio Sin Houw dan melepaskan tali pengikatnya, Maksudnya
setelah anak itu dilepaskan tali pengikatnya, akan dilemparkan
ke luar pintu, Mati atau hidup, apa perduliku, pikirnya. Akan
tetapi tatkala tangannya menyentuh pergelangan Thio Sin
Houw, ia tertegun. Dirasakannya urat nadi Thio Sin Houw
berdenyut dengan sangat aneh.
Hatinya tercekat, ia mengulangi lagi dengan cermat, Kini ia
jadi heran, pikirnya:
"Masakan anak seumur dia sudah bisa menembusi seluruh
peredaran darah dan urat nadinya? sedang aku sendiri yang
dengan susah payah melatih diri berpuluh-puluh tahun
lamanya, belum mampu berbuat demikian. Mengapa anak
umur belasan tahun ini sudah dapat menembusi seluruh
peredaran darah dan urat nadinya? Oh, ya! Mengerti aku kini!
pastilah ini perbuatan kakek gurunya, Tie-kong tianglo yang
terlalu sayang kepadanya, Begitu sayang dia kepada cucu
muridnya ini, sampai dia rela membuang tenaga himpunan
saktinya untuk membantu menembusi seluruh jalan darahnya,"
Sekali lagi Ouw Gie Coen memeqang urat pergelangan
tangan Thio Sin Houw, kemudian memeriksa seluruh urat-urat
anak itu dengan terlebih cermat. Benar benar urat nadi dan
jalan darah sianak berjalan sangat lancar tanpa rintangan,
segera ia membuka pakaian Thio Sin Houw, dan memeriksa
seluruh tubuhnya.

349
Bagian perut, dada, ubun-ubun, setelah memijit-mijit pada
tempat-tempat tertentu, maka tahulah dia untung rugi si anak,
Katanya dengan tertawa dingin:
Tie-kong tianglo berlagak pandai, dia terlalu sayang
kepada cucu muridnya. Akan tetapi malah membuat anak ini
celaka, Kalau peredaran darahnya belum tertembus semua,
masih ada harapan untuk memperoleh pertolongan. Kini racun
Hian-beng sin-kang telah merayap ke seluruh isi perutnya,
Kecuali oleh malaikat, jiwanya tak dapat ditolong lagi, He-hehe...
Orang memashurkan ilmu kepandaian Tie-kong tianglo
setinggi langit, akan tetapi menurut pendapatku, dialah
seorang tua yang paling bodoh di dunia ini!"
Kira-kira seperempat jam kemudian, perlahan-lahan Thio
Sin Houw menyenakkan matanya. ia telah siuman kembali,
dan melihat Ouw Gie Coeh duduk terpekur diatas kursinya
yang berada dipojok ruangan. Dan Cie siang Gie masih tetap
menggeletak dirumputan diluar rumah. Ketiga orang itu
membungkam mulut dengan pikiran masing-masing sehingga
Ouw Gie Coen tidak mengetahui bahwa Sin Houw telah
siuman.
Ouw Gie Coen memang seorang tabib sakti, seluruh
hidupnya dipersembahkan untuk ilmu ketabiban, segala
macam penyakit aneh-aneh, dapat diatasinya sehingga itulah
sebabnya namanya termashur keseluruh penjuru Tionggoan.
Racun jahat yang berada di dalam tubuh Thio Sin Houw,
adalah semacam racun yang paling berbahaya, Apalagi,
sekarang urat nadi bocah itu sudah tertembus. Dengan
demikian, menjadi arus yang sangat baik bagi menjalarnya
racun Hian-beng sin-kang, inilah suatu persoalan yang pelik
dalam ilmu ketabiban.
Seorang ahli catur, merasakan sulit sekali mencari
tandingan yang setimpal, seorang ahli ilmu pasti akan
melupakan makan dan minumnya, sebelum soal-soal yang

350
berada didepan matanya dapat dijawab. Begitu pula dengan
Ouw Gie Coen pada saat itu, ia menemukan suatu masalah
pelik dalam diri Thio Sin Houw, tentu saja ia ingin dapat
mengatasi, setelah menimbang-nimbang setengah harian,
akhirnya ia memperoleh suatu akal, katanya kepada dirinya
sendiri:
"Baiklah, aku akan menyembuhkannya dahulu, kemudian
baru kubunuh!"
Akan tetapi menolak racun yang berada didalam isi perut
anak itu bukanlah suatu pekerjaan yang mudah, Ouw Gie
Coen dipaksa untuk memeras otak dan pengalamannya. Lama
sekali ia berdiam diri, akhirnya ia mengeluarkan alat-alatnya,
Lantas ia bekerja membendung aliran-aliran racun menjadi
bagian-bagian kecil, ia hendak merebut jiwa Thio Sin Houw,
sedikit demi sedikit dengan melalui bagian-bagian racun yang
disekatnya.
Mula-mula ia mengikat pergelangan tangan Thio Sin Houw,
tiap-tiap ruas tulang diikatnya erat-erat, Dengan demikian,
darah jadi terbendung.
Setelah itu ia mulai menggunakan pisaunya. Pisau itu
terbuat dari bahan tanduk gajah, Kemudian ia melepaskan
pakaian anak itu, dan menyelomoti dengan bara yang telah
ditaburi ramuan obat pemunah tertentu, Karena terdesak oleh
obat pemunah itu, racun Hian-beng Sin-kang yang mengeram
didalam urat-nadi Thio Sin Houw lantas saja meruap keluar
dan merembet melalui pisau-pisau tanduk yang tertancap di
antara daging dan urat-urat, Ouw Gie Coen tidak perduli
apakah Thio Sin Houw kesakitan atau tidak.
Untungnya Thio Sin Houw seorang anak yang tidak mudah
menyerah. Kalau ia merasa disakiti, ia makin menjadi gigih
mempertahankan diri, itulah berkat pengalamannya selama
hidup dikejar kejar musuh. pikirnya didalam hati:

351
"Hemm, kau hendak membuat aku mengeluh atau
merintih, bukan? Kau memang iblis...!"
Dan untuk membuat jengkel Ouw Gie Coen, ia malah
mengajaknya berbicara dan bergurau dengan bebas. ia malah
mengajak bertengkar dengan persoalanmu hayat dan anatomi.
Meskipun Thio Sin Houw tidak paham azas-azas
ketabiban, tetapi ayah-ibunya didalam perantauannya
berusaha mengobati luka-luka yang diderita keluarganya
dengan kemampuannya sendiri.
Sedikit banyak mereka semua memperoleh pengalaman,
tak terkecuali Thio Sin Houw, Tentu saja pengetahuan Thio
Sin Houw apabila dibandingkan dengan tabib sakti Ouw Gie
Coen, bedanya seperti langit dan bumi. Akan tetapi karena
kegemaran Ouw Gie Coen, maka orang tua itupun mau juga
mendengarkan dan membicarakan.
Sudah berpuluh tahun Ouw Gie Coen hidup mengasingkan
diri dilembah Ouw-tiap kiok. Dia tiada teman bergaul kecuali
pelayan-pelayan belaka, sedangkan dalam banyak hal
pelayan pelayan itu hanya bersikap menghamba. jangan lagi
bertengkar, membantah perintah-perintahnya saja merupakan
pantangan besar baginya, Kini anak itu berani bertengkar
dengan dirinya, Meskipun pengetahuannya ngawur belaka,
akan tetapi menarik juga karena sekian tahun lamanya tidak
pernah berbicara secara bebas dari hati ke hati. Maka
kehadiran Thio Sin Houw itu, sedikit banyak menggembirakan
hatinya juga.
Demikianlah, berbareng dengan tibanya petang hari,
selesailah sudah babak pertama Ouw Gie Coen merebut jiwa
Thio Sin Houw, Dalam pada itu dua orang pelayan telah
mempersiapkan makan malam diatas meja dan membawa
sepiring nasi dengan lauk-pauknya keluar rumah, untuk Cie
siang Gie yang masih menggeletak diatas rumput, Pada

352
malam itu juga Cie siang Gie tetap berada diluar rumah
berselimut hawa gunung yang dingin luar biasa.
Sementara itu anggauta badan Thio Sin Houw sudah dapat
digerakkan lagi. Melihat Cie Siang Gie menggeletak tak
bergerak diluar rumah, anak itu datang mendekati. ia lantas
tidur disampingnya sebagai kawan sependeritaan.
Ouw Gie Coen sama sekali tidak menggubris sepak terjang
Sin Houw, Hanya diam-diam saja ia kagum di dalam hati,
Betapapun juga bocah itu memang lain dari pada anak-anak
umumnya.
*****
PADA KEESOKAN harinya, Ouw Gie Coen melanjutkan
pengobatannya terhadap Thio Sin Houw, Akan tetapi racun
Hian-beng Sin-kang yang merayap di dalam tubuh anak itu
sudah terlalu luas, Untuk menolaknya keluar, sesungguhnya
sudah sangat sulit, setelah berpikir berjam-jam lamanya,
akhirnya Ouw Gie Coen membuat ramuan obat pemunah. Ia
hendak menggunakan dingin untuk menghilangkan dingin,
karena racun Hian-beng Sin-kang bersifat dingin. Begitu obat
pemunah masuk kedalam tubuh, Thio
-------------------------
Halaman 18/19 Hilang
-------------------------
tentang ilmu urat yang kutulis dengan tanganku sendiri.
Kalau kau sudah membacanya, barulah kau akan paham
tentang liku-liku urat ditubuh manusia." kata Ouw Gie Coen,
Lalu ia masuk ke kamarnya, dan kembali membawa sejilid
buku tipis berwarna hitam, Dan buku ini kemudian diserahkan
kepada Thio Sin Houw.

353
Thio Sin Houw segera membalik-balik halaman buku itu,
ternyata isinya sangat luas. Masalah urat urat nadi yang
berada dalam tubuh manusia, dibahasnya dengan cermat dan
tertib sekali. Ouw Gie Coen membandingkan penemuan
orang-orang kuno sampai pada zamannya sendiri. Dengan
tekun Thio Sin Houw membacanya, setiap halaman ia
mengingat-ingatnya dengan baik. Tiba-tiba saja teringatlah dia
kepada Ku Cie Tat, si pendeta kecil didalam kuil Siauw-lim sie
yang berotak cemerlang dengan hanya sekali membaca, Ku
Cie Tat dapat menghafalkan seluruh tulisan himpunan sakti
kakek gurunya, Tie-kong tianglo. Dibandingkan dengan likuliku
ilmu sakti, tulisan sinshe Ouw Gie Coen ini jauh lebih
mudah. sebab setiap soal dibahas secara jelas sekali.
Maka setelah membaca isi kitab tersebut sampai tamat,
Thio Sin Houw mengembalikannya kepada Ouw Gie Coen
sambil ia menggelengkan kepalanya, Katanya:
"Kitab ini telah pernah kubaca, sewaktu kakek guru
berumur tiga puluhan tahun, beliau telah mengarang sebuah
kitab Pengantar dan Tuntunan Ikhtisar Urat-urat Nadi Manusia
- kitab karangan kakek guruku itu isinya serupa benar dengan
karanganmu ini. Dengan demikian, sejak tadi aku heran entah
siapa yang membajak, susiok atau kakek guruku."
"He-he-he ...!" Ouw Gie Coen ter-
-------------------------
Halaman 22/23 Hilang
-------------------------
Houw dapat dikatakan sudah terlatih dan menjadi
keistimewaannya, walaupun demikian, ancaman Ouw Gie
Coen benar-benar menggidikkan bulu romanya.

354
Maklumlah, apabila sampai salah satu huruf saja, jiwanya
akan dicabut, Dia percaya, bahwa Ouw Ceng Goe benarbenar
akan melakukan apa, yang telah di katakan, mengingat
tabiatnya yang sangat luar biasa.
Memperoleh pikiran demikian, anak itu menyesal didalam
hati, apa sebab tadi ia membuat sinshe Ouw Goe Coen
menjadi jengkel dan penasaran, inilah suatu senda-gurau yang
keliwat batas. Tetapi apa boleh buat, nasi sudah menjadi
bubur. Maka terpaksalah ia mengumpulkan semua
ingatannya, lalu mengucapkan isi buku yang telah dibaca-nya
tadi dengan suara lantang, untunglah sepatah katapun tiada
yang salah.
Ouw Gie Coen heran bukan kepalang, hampir-hampir ia
percaya bahwa anak ini memang pernah membaca buku
ciptaan Tie-kong tianglo yang sama sekali tiada bedanya
dengan buku ciptaannya sendiri. Akan tetapi karena buku itu
memang ciptaannya sendiri, akhirnya ia menjadi kagum akan
kecerdasan Thio Sin Houw, pikirnya di dalam hati:
"Setan kecil ini benar-benar hebat. Dengan hanya
membaca sekali saja, dia sudah sanggup menghafalkan
semua isi bukuku diluar kepala, inilah bakat yang tiada
bandingnya dijagad ini."
Sinshe Ouw Gie Coen tidak mengetahui, bahwa didalam
kuil Siauw-lim masih terdapat seorang bernama Ku Cie Tat
yang daya ingatannya tidak berada dibawah Thio Sin Houw!
"Pintar! Benar-benar pintar!" Ouw Gie Coen memuji. Lalu ia
melanjutkan usahanya mengenyahkan racun yang mengeram
didalam tubuh anak itu. setelah beristirahat sebentar, sengaja
ia hendak menguji sekali lagi kepintaran Thio Sin Houw,
Katanya:
"Aku masih mempunyai duabelas jilid kitab ketabiban,
Entah siapa yang membajak, Tie-kong tianglo atau aku!"

355
Setelah berkata demikian, ia mengambil kitab-kitab
ciptaannya sendiri yang terdiri dari duabelas jilid.
Thio Sin Houw kagum, tatkala membalik-balik halaman
buku-buku itu, itulah kitab ilmu ketabiban yang luas sekali
isinya, sudah barang tentu tak mudah untuk dihafalkan dalam
sekali baca saja.
Mendadak saja suatu ingatan menusuk benaknya, pikirnya:
"Meskipun isi buku ini sangat luas, akan tetapi masih
sanggup aku menghafalnya. Hanya saja aku membutuhkan
waktu sepuluh hari. Biarlah, aku mencari saja bagian-bagian
yang ada sangkut-pautnya dengan urusan penyembuhan luka
Cie toako."
Karena berpikir begitu, dengan cepat ia membalik-balik
kitab, dan ia membuka uraian-uraian penyembuhan luka-luka
akibat pukulan sakti dalam jilid ke sembilan. Uraiannya sangat
jelas sekali. Disitu terdapat uraian tentang menangkis pukulanpukulan
beracun.
Keruan saja Thio Sin Houw girang bukan kepalang, segera
ia membacanya dengan cermat. Tanda-tanda kena pukulan
sakti diuraikan dengan jelas sekali, akan tetapi cara
menyembuhkannya hanya disebutkan sangat ringkas, dengan
petunjuk singkat saja, Pada halaman terakhir, terdapat pula
uraian tentang akibat pukulan beracun Hian-beng Sin-kang,
Akan tetapi cara pengobatannya hanya ditulis pendek saja.
Sejak meninggalkan kuil Siauw-lim sie, sadari h dia untuk
mengobati racun yang mengeram didalam tubuhnya memang
sangat pelik. Bahkan tiada harapan lagi, Sekiranya tidak
demikian kakek gurunya yang mempunyai kesaktian luar biasa
pasti dapat menolongnya karena itu, ia menjadi acuh tak acuh.
Perhatiannya kini tertuju kepada bagaimana caranya dapat

356
menolong Cie siang Gie, Maka kembali lagi ia membuka
lembaran yang memuat uraian tentang pukulan yang diderita
Cie siang Gie, pikirnya:
"Sebaiknya pikiranku kini kupusatkan untuk
menyembuhkan Cie toako saja, dan jangan sampai aku
membuatOuw sinshe mendongkol lagi,"
Setelah itu ia meletakkan kitab-kitab itu diatas meja,
kemudian dengan hormat ia berkata kepada Ouw Gie Coen.
"llmu sakti susiok memang kalah jauh bila dibandingkan
dengan ilmu sakti kakek guruku, akan tetapi didalam hal
pengobatan susiok menang jauh.
Keduabelas buku ini sangat dalam isinya. Betapa tinggi
ilmu kepandaian kakek guruku, pastilah beliau tak sanggup
mengarangnya, Akan tetapi berbicara tentang cara mengobati
luka akibat pukulan beracun," kukira kemahiran susiok belum
bisa menyamai kakek guruku, "
"Hemm!" dengus Ouw Gie Coen, "Jangan coba membakar
hatiku,"
"Susiok tidak percaya? Dengar! Aku akan menghafalkan
kitab karangan kakek guruku," sahut Thio Sin Houw dengan
suara tegas. Lalu ia mulai menghafalkan bunyi ajaran-ajaran
eyang gurunya tentang cara penyembuhan luka-luka akibat
pukulan beracun. Akan tetapi semuanya itu sebenarnya
adalah hasil hafalannya setelah membaca uraian isi buku Ouw
Gie Coen yang berada ditangannya, setelah menghafal di luar
kepala tanpa salah sedikitpun juga,berkatalah dia:
"Tentang menyembuhkan luka akibat pukulan beracun
Hian-beng Sin-kang kakek guruku menyerah kalah, akaa
tetapi Ouw susiok ternyata demikian pula."

357
"Hmm! Tak perlu kau memancing hatiku." sahut Ouw Gie
Coen dengan suara dingin. "Kau sendiri akan menjadi saksi,
apa aku benar-benar tidak mampu melawan racun Hian-beng
Bin-kang yang kau derita. Hanya saja apabila aku sudah
berhasil menyembuhkan lukamu, jiwamupun tak akan berumur
panjang."
Meskipun Thio Sin Houw cerdik dan pandai luar biasa,
akan tetapi tak dapat ia menangkap maksud perkataan Ouw
Gie Coen. Sama sekali tak pernah terlintas dalam pikirannya,
bahwa maksud Ouw Gie Coen untuk menyembuhkan dirinya
adalah semata-mata untuk membuktikan bahwa dia sanggup
menaklukkan racun Hian-beng Sin-kang.
Setelah mengesankan bahwa dirinya benar-benar seorang
tabib sakti dan pandai, segera ia hendak membunuh Thio Sin
Houw, itulah sesuai dengan peraturan yang dibuatnya sendirif
bahwasanya aliran dari Beng-kauw, tak diperkenankan
menolong seseorang yang tidak sealiran.
Thio Sin Houw sendiri sebenarnya tidak memikirkan dirinya
sendiri, sejak turun dari gunung Siauw-sit san.
Pada saat itu perhatiannya penuh ditujukan kepada usaha
menyembuhkan Cie siang Gie, maka berkatalah dia:
"Sekiranya umurku tak dapat dipertahankan lebih lama
lagi, perkenankanlah aku memohon kepada susiok untuk
membaca-baca kitab buah pena susiok sendiri. Tentu saja
boleh, bukan?"
Ouw Gie Coen yakin, bahwa anak itu tak akan hidup lebih
lama lagi, walaupun sanggup menghafalkan seluruh rahasia
ilmu ketabibannya, apakah gunanya? Paling-paling hanya
akan dibawanya pulang ke neraka. Maka tanpa berpikir
panjang lagi, segera ia mengangguk memperkenankan.
Katanya:

358
"Kau boleh membaca semua kitab-kitab karanganku!"
Pengetahuan Ouw Gie Coen sebenarnya sangat luas,
iapun seorang berhati lapang pula, pastilah tidak akan
sanggup mengarang ilmu ketabiban yang demikian besar.
Akan tetapi setelah memasuki aliran Beng-kauw, ia menjadi
seorang pejuang yang membantu gerakan Cu Goan Ciang,
Karena itu dia sangat membenci sekalian tentara penjajah
bangsa Mongolia, juga kaum hartawan rakus dan orang-orang
yang menganggap dirinya sok suci.
Terhadap golongan yang paling belakang ini, dia sangat
membenci. Apalagi terhadap para pendekar yang memusuhi
haluan perjuangannya, itulah sebabnya, ia tak sudi menolong
orang-orang yang tidak sealiran dengan kepercayaan yang
diamatinya .
Akan tetapi ilmu pengetahuan yang dimilikinya memang
terasa sia-sia saja, sebab selama hidupnya bakal tiada
seorangpun yang dapat diajaknya saling bertukar pikiran,
karena hidupnya di atas gunung seorang diri.
Dalam pada itu Thio Sin Houw dengan tekun mempelajari
kitab-kitab ketabiban siang-malam tiada mengenal lelah,
Tadinya dia hanya bermaksud mempelajari bagian-bagian
yang bersangkutan dengan luka Cie siang Gie akan tetapi
setelah membaca kitab-kitab tulisan Ouw Gie Coen, hatinya
lambat laun kian tertarik. sekarang tidak hanya beberapa
bagian saja yang dibacanya, akan tetapi ratusan macam buah
karya Ouw Gie Coen.
Melihat anak itu begitu tekun mempelajari kitab kitab
ketabiban buah karyanya, diam-diam Ouw Gie Coen girang
bukan main, Hatinya menjadi puas, karena kini bisa
menaklukkan anak setan itu. pikirnya didalam hati:
"Kau bilang bahwa kitab-kitab hasil karyaku ini hasil

359
bajakan kakek-gurumu, Huh! Kau berlagak pandai dan yakin
bisa mengingusi aku, sekarang rasakan betapa luas ilmu
pengetahuan ku mengenai ketabiban."
Pada waktu itu Ouw Gie Coen melihat Thio Sin Houw
bersungut, dan ia mengira anak itu tentu tak dapat memahami
inti sari uraian-uraian tertentu yang terdapat didalam kitab
karangannya, sebenarnya Ouw Gie Coen seorang
cendekiawan yang cerdik dan cerdas.
Apabila dia mau berpikir agak mendalam lagi, pastilah
dapat menebak maksud Thio Sin Houw sesungguhnya. Hanya
saja karena terpengaruh oleh rasa girang yang meluap-luap,
prasangkanya tak begitu peka lagi, Puaslah sudah, melihat
anak setan itu dengan mati matian menekuni hasil karyanya.
Beberapa hari lewatlah sudah. Karena kesungguhsungguhannya,
Thio Sin Houw berhasil menghafalkan semua
rese-presep pengobatan tertentu yang ribuan macamnya.
walaupun kadarnya mungkin sekali asal-jadi saja, akan tetapi
kesanggupannya itu benar-benar mengagumkan.
Seorang tabib yang sudah berpengalamanpun mungkin
sekali tak dapat meniru kemampuan Thio Sin Houw yang
dapat menghafalkan dua belas jilid kitab ketabiban dalam
waktu enam hari saja di luar kepala, Diwaktu siang pada hari
ke enam, kembali Thio Sin Houw membalik-balik halaman
kitab yang memuat tentang luka yang diderita Cie siang Gie.
Ouw Gie Coen pernah menyatakan, apabila dalam waktu
tujuh hari dapat menemukan seorang tabib pandai, lukanya
mungkin sekali masih dapat disembuhkan sebaliknya apabila
sampai melampaui batas waktu, meskipun sembuh, akan
tetapi himpunan tenaga saktinya tak akan bisa pulih seperti
sediakala.
Itulah disebabkan karena derita pukulan yang sangat
beracun, dan mulai menembus keseluruh tulang dan urat-nadi.

360
Selama enam hari, Cie siang Gie terus rebah tak berkutik
diatas rumput diluar rumah, Pada hari keenam, tiba-tiba hujan
turun pula, setelah matahari bersinar sangat teriknya di siang
hari, sudah barang tentu Ouw Gie Coen mengetahui bahwa
Cie siang Gie terpaksa tidur di lumpur. Tetapi nampaknya ia
tak perduli.
Menyaksikan hal itu, Thio Sin Houw gusar tak kepalang,
Kutuknya di dalam hati:
"Manusia itu benar-benar keterluan! Ayah pernah berkata
bahwa seorang tabib harus mengamalkan pengetahuannya
yang luas dan mulia, untuk mengabdi kepada manusia
diseluruh dunia. Tak perduli apakah manusia itu sepaham
dengan dia atau justeru bermusuhan. sebaliknya orang ini
tidak demikian. Dia benar-benar cendiakawan, akan tetapi
semua ilmu kepandaiannya hanya diamalkan dalam kitao
kitabnya melulu, sedang amal perbuatannya justeru
bertentangan dengan apa yang di tulisnya. Kalau bukan
keturunan iblis, mustahil rasanya Tuhan melahirkan manusia
seperti dia!"
Pada malam hari ketujuh, hujan turun semakin lebat, Kilat
mengejap-ngejap dengan diselingi dentuman guntur
menggelegar Dengan mengertak gigi - Thio Sin Houw berkata
di dalam hati:
"Biarlah aku akan mencoba menolong Cie toako sedapatdapatnya,
barangkali caraku mengobatinya akan salah. Akan
tetapi dari pada mati ditengah hujan badai, lebih baik aku
berusaha atas nama Tuhan,"
Dengan pikiran demikian, segera ia mencari alat
perlengkapan tertentu dari dalam peti penyimpan alat-alat
ketabiban Ouw Gie Coen, Kemudian ke luar menghampiri Cie
siang Gie.

361
"Cie toako!" kata Thio Sin Houw terharu, "Selama
beberapa hari ini adikmu berusaha mati-matian untuk
mempelajari rahasia kitab ketabiban Ouw sinshe, Hanya saja,
aku masih belum dapat memahami seluruhnya, Karena
terdesak oleh keadaan, aku memberanikan diri untuk main
coba-coba. sebab racun yang mengeram didalam tubuhmu,
tak dapat ditunda-tunda lagi pengobatannya.
Esok pagi, sudah kasep, Maka apabila cara
penyembuhanku ini akan mencelakanmu, akupun tak akan
hidup seorang diri lagi dalam dunia ini, segera aku akan bunuh
diri dihadapan jenazahmu."
Mendengar ucapan Thio Sin Houw, Cie Siang tertawa
gelak. Sahutnya:
"Adik Sin Houw! Kenapa kau berkata begitu? Nah,
cepatlah kau berusaha menancapkan semua alat-alat
penyembuhanmu kedalam tubuhku. Moga-moga kau berhasil
sehingga Ouw susiok akan merasa malu sendiri. Tetapi
apabila usahamu itu justeru akan merenggut jiwaku, lebih baik
begitu dari pada mati didalam lumpur begini seperti seekor
babi ..."
Dengan tangan bergemetaran Thio Sin Houw meraba-raba
urat-urat nadi Cie siang Gie dengan cermat, kemudian
mengambil pisau tajam untuk membedah. Sudah barang
tentu, selama hidupnya belum pernah Thio Sin Houw
membedah seseorang, bahkan menyembelih seekor ayampun
belum pernah. Kalau kini ia berbuat demikian, adalah sematamata
dipaksa oleh keadaan. sebab menurut catatan ilmu
ketabiban Ouw Gie Coen, cara melawan pukulan beracun
yang diderita oleh Cie siang Gie, hanya dengan jalan
membedah urat-urat nadi tertentu untuk mencegah meluasnya
racun yang kini sudah bercampur-baur dalam darah.
Tetapi karena selama hidupnya belum pernah

362
menancapkan pisau pada tubuh seseorang, tangannya
mendadak menggigil. Bidikannya jadi meleset, sehingga ia
harus mengulangi beberapa kali.
Keruan saja Cie siang Gie lantas saja mandi darah.
Membedah ditempat-tempat dekat urat nadi, sangatlah
berbahaya. Hal itu disadari oleh Sin Houw, setelah ia hafal
dengan bunyi kitab ilmu ketabiban Ouw sinshe. itulah
sebabnya ia menjadi gugup, Terlebih ketika melihat darah Cie
siang Gie yang membanjir keluar, kini tidak hanya gugup akan
tetapi bingung pula.
Tiba-tiba pada saat itu terdengarlah suara seseorang
tertawa gelak dibelakang punggungnya, Thio Sin Houw
menoleh, dan melihat Ouw sinshe berjalan mondar-mandir
sambil menggendong tangan. Dengan berpayung, ia bebas
dari air hujan. ia nampak puas menyaksikan Thio Sin Houw
mencoba menolong Cie siang Gie, dengan cara yang acakacakan
itu.
"Ouw sinshe!" kata Thio Sin Houw dengan suara mohon
belas kasihan. "Darah terus mengalir, bagaimana caranya aku
menghentikan?"
"Tentu saja aku tahu, Tetapi apa perlu kuberitahukan
kepadamu?" sahut Ouw sinshe dengan suara dingin. setelah
itu ia tertawa perlahan melalui hidungnya.
Mendengar suara tertawa Ouw Gie Coen, seluruh tubuh
Thio Sin Houw menjadi dingin, Apalagi tatkala itu ia berada
ditengah hujan badai. Lantas saja ia menggigil, Dengan
menguatkan imannya, ia berkata lagi:
"Baiklah, begini saja. Kita mengadakan penukaran secara
adil, satu jiwa ditukar dengan satu jiwa. Kau menolong Cie
toako, setelah sembuh aku segera akan bunuh diri di
hadapanmu,"

363
Kembali Ouw Gie Coen tertawa melalui hidungnya,
sahutnya:
"Sekali aku telah berkata tidak sudi mengobati, selama
hidup tak akan sudi mengobati. Dia hidup atau mati tiada
sangkut-pautnya dengan aku. Kalau dia hidup oleh
pertolonganku apakah malaikat akan menggendongku masuk
ke sorga? sebaliknya kalau dia mati, apakah aku lantas
menjadi setan kelaparan ? Juga aku tidak perduli dengan
dirimu. Meskipun sepuluh Thio Sin Houw mati dihadapanku,
tidak bakal aku sudi menolong Cie siang Gie!"
Mendengar jawaban Ouw Gie Coen, hati Thio Sin Houw
menjadi berputus asa. Tahulah dia bahwa tiada gunanya lagi
untuk berbicara berkepanjangan dengan sinshe itu,
Keberaniannya mendadak saja terhimpun dengan tak
setahunya sendiri, itulah disebabkan oleh rasa benci dan
dendam terhadap Ouw Gie Goen.
Lantas saja ia bekerja sedapat-dapatnya, berdasarkan
ingatannya belaka. ia seperti lagi membalik-balik halaman
buku ilmu ketabiban Ouw Gie Coen didepan matanya, dan
sesuai dengan petunjuk-petunjuk didalamnya, tangannya
bergerak membedah kesana kemari dan menyekat meluasnya
racun yang mengeram didalam tubuh Cie siang Gie, Diluar
dugaan, tiba-tiba saja aliran darah Cie siang Gie terhenti,
pemuda berewokan itu tidak lagi mengeluarkan darahnya. Hal
itu melegakan hati Thio Sin Houw, beberapa saat ia
menunggu.
Tiba-tiba saja, Cie siang Gie melontakkan darah kental
beberapa kali.
Melihat Cie siang Gie melontakkan darah hitam kental, tak
tahulah Thio Sin Houw apakah ia berhasil atau justru
sebaliknya. Tak heran, hatinya menjadi berdebar-debar. ia
sudah mengambil ketetapan, apabila Cie siang Gie mati,

364
diapun akan segera menyusul mati bunuh diri, Tiba-tiba
teringatlah dia bahwa Ouw sinshe berada di belakang
punggungnya, Terus saja ia menoleh.
Masih saja Ouw Gie Coen nampak bersenyum mengejek,
akan tetapi samar-samar wajahnya memperlihatkan rasa
kagum dan heran, Maka tahulah ia, bahwa usahanya tidak
gagal seluruhnya, Artinya juga belum tepat sekali. walaupun
demikian, hatinya agak terhibur.
Cepat-cepat ia lari masuk kedalam rumah, dan membalikbalik
halaman buku untuk memperhatikan kadar ramuan obat,
setelah bertekun beberapa saat lamanya, dapatlah ia
membuat kadar ramuan obat Akan tetapi sesungguhnya jenis
ramuan obat yang ditulisnya itu, selama hidupnya belum
pernah dilihatnya, ia hanya percaya kepada bunyi kitab bahwa
ramuan-ramuan obat yang ditulisnya itu, merupakan obat
penyembuh racun yang mengeram didalam tubuh Cie siang
Gie, setelah memikir sebentar, ia memberanikan diri untuk
menyerahkan kepada seorang pelayan agar membuat ramuan
obat berdasarkan yang ditulisnya.
Pelayan itu segera membawa resep buatan Thio Sin Houw
kepada Ouw Gie Coen, dia mohon idzin kepada majikannya
apakah diperkenankan melayani anak itu, setelah bunyi resep
itu dibaca oleh Ouw sinshe, ia mendengus beberapa kali,
Kemudian berkata:
"Kau buatkan saja menurut bunyi resep ini, biarlah
diminumkan! Kalau tidak mati seketika, anggap saja memang
berumur panjang ..."
Mendengar kata-kata Ouw Gie Coen, dengan cepat Thio
Sin Houw meminta kembali surat resepnya, kadarnya lalu
dikurangi. setelah itu diserahkan kepada si pelayan yang
segera membuat ramuan obat menurut resepnya, sehingga
menjadi semacam obat kental.

365
Dengan mata berkaca-kaca, Thio Sin Houw membawa
obat ramuannya kepada Cie Siang Gie. Katanya dengan
bingung:
"Inilah obat ramuan hasil jerih payahku mencuri bunyi kitab
Ouw susiok, setelah kau minum obat ini entah sembuh entah...
malah celaka, aku tidak tahu ..."
"Bagus!" seru Cie siang Gie. "lnilah namanya orang buta
menuntun kuda buta, apabila sampai tergelincir ke dalam
jurang, kedua-duanya akan jatuh saling tindih." setelah berkata
demikian Cie siang Gie tertawa terbahak-bahak, Kemudian
dengan memejamkan matanya, ia meneguk ramuan obat Thio
Sin Houw.
Semalam suntuk perut Cie siang Gie sakit bukan kepalang,
ususnya melilit-lilit seperti tersayat, Dan tak hentinya
melontakkan darah. Thio Sin Houw menunggunya semalam
suntuk pula dibawah hujan lebat. Menjelang esok hari barulah
terang, matahari muncul diudara dengan cahayanya yang
lembut.
"Adik, aku belum mati!" seru Cie Siang Gie tiba-tiba
dengan girang.
"Ramuan obatmu benar-benar manjur, penyakitku jadi
berkurang."
Keruan saja Thio Sin Houw girang bukan kepalang,
sahutnya:
"Kalau begitu, resepku semalam boleh juga, Bukan?"
"Benar! Tak pernah kuduga bahwa pada hari ini dunia
melahirkan seorang tabib sakti, yang belum pandai beringus.
Biarlah aku menamakan kau, sin-she malaikat - sebab
resepmu ternyata bisa menyembuhkan babi. Hanya saja

366
agaknya ramuan obatmu terlalu keras, ususku seperti
tersayat-sayat oleh ratusan pisau kecil."
"Ya, kadar ramuan obatku memang agak berat." Thio Sin
Houw menyesal.
Ramuan obat yang dibikin oleh Thio Sin Houw sebenarnya
memang sesuai dengan ilmu Ouw Gie Coeni dapat dikatakan
tepat sekali. Akan tetapi kadarnya terlalu berat, sehingga
merupakan obat pemunah racun yang kuat luar biasa. Apabila
Cie siang Gie tidak mempunyai tenaga jasmani melebihi
manusia biasa, pastilah dia akan mati!
Pada pagi hari itu, Ouw Gie Coen datang memeriksa,
melihat wajah Cie siang Gie bersemuh merah dan
bersemangat, ia terkejut, Diam-diam ia berpikir didalam hati:
"Yang satu pandai, dan yang lain berani. Berkat kerja sama
mereka ber-dua, ternyata Cie siang Gie dapat di sembuhkan!"
Pada keesokan harinya, "Thio Sin Houw membuat racikan
obat-kuat Ouw Gie Coen, dan tanpa menghiraukan apakah si
pemilik menggerutu atau tidak, lantas saja ia berikan kepada
Cie siang Gie, pikirnya didalam hati:
"Kalau dia marah, paling paling aku hanya dibunuhnya.
Akan tetapi tenaga Cie toako harus pulih seperti sediakala."
Dengan pertolongan obat-obat simpanan Ouw Gie Coen,
tenaga Cie siang Gie tidak hanya pulih seperti sediakala, akan
tetapi himpunan tenaga saktinya malah menjadi bertambah,
Maka dengan rasa penuh terima kasih, ia berkata kepada Thio
Sin Houw:
"Adikku, lukaku kini sudah sembuh - tenaga saktiku pulih
pula, Setiap hari kau menemaniku tidur diatas tanah terbuka
ini, tanpa menghiraukan kesehatanmu sendiri. inilah cara yang
kurang baik, biarlah sekarang kita berpisah dulu."

367
Satu bulan lamanya mereka bergaul. Dalam hati masingmasing
sudah terikat rasa persahabatan, seia sekata dan
sehidup semati, Kini mereka terpaksa berpisah, dengan
sendirinya hati Thio Sin Houw menjadi terharu. Tak ingin
rasanya ia memperkenankan Cie siang Gie meninggalkan
dirinya, akan tetapi ia ingat pula bahwa Cie siang Gie tak
mungkin mengawaninya terus menerus dilembah Ouw-tiap
kok, Maka dengan sedih dan pilu, terpaksalah ia
mengucapkan selamat jalan kepada sang toako itu.
"Kaupun tak perlu bersedih hati, adik, setiap tiga bulan
sekali, aku pasti akan datang menjengukmu. Mungkin sekali
racun yang mengeram di dalam tubuhmu sudah dapat
dibuyarkan, apabila kau sudah sembuh seperti sediakala, aku
segera mengantarkanmu kembali kepada kakek gurumu di
gunung Boe-tong san." Cie siang Gie menghibur.
Setelah berkata demikian, pemuda itu menghadap Ouw
Gie Coen untuk memohon diri, KatanyaJ .
"Berkat kitab ilmu ketabiban susiok, akhirnya aku tertolong.
Tak sedikit aku mengabiskan obat simpanan susiok, yang
sangat berharga."
"Akh, hal itu tiada artinya." sahut Ouw Gie Coen dengan
memanggutkan kepala, "Lukamu kini memang sudah sembuh
benar, hanya usiamu menjadi kurang enampuluh tahun,"
"Apa? Usiaku?" Cie siang Gie tak mengerti.
"Ya, menilik kesehatan tubuhmu yang tegap kuat itu,
sedikitnya kau bisa hidup seratus duapuluh tahun lagi ..." kata
Ouw Gie Coen, "Akan tetapi anak itu keliru membuat kadar
ramuan obatnya, Kadarnya sangat kuat, karena itu obat
pemunah racun itu justeru berbalik meracuni umurmu.
akibatnya apabila kau berada ditengah hujan dalam cuaca

368
yang lembab pula, seluruh tubuhmu akan menjadi nyeri. Dan
kira-kira pada umur tujuhpuluh tahunan, riwayatmu akan
tamat."
*****
MENDENGAR keterangan Ouw Gie Coen itu, Cie siang
Gie tertawa terbahak-bahak, sahutnya dengan hati ikhlas:
"Seorang laki-laki memperoleh kesempatan untuk beramal,
dan berbuat kebajikan kepada negara dan bangsa serta umat
manusia diseluruh dunia sudahlah cukup apabila dapat
berumur limapuluh tahun saja, sekarang aku mendengar
bahwa aku bisa berumur tujuh puluh tahun, itulah lebih dari
cukup.
Sebaliknya apa perlu seseorang hidup sampai seratus
tahun lebih, apabila ia tidak mempunyai kebajikan sesuatu?
Hidup demikian, hanyalah menghabiskan beras dan sayurmayur
saja."
Ouw Gie Coen manggut, akan tetapi ia tidak berkata-kata
lagi.
Melihat hal itu, Cie siang Gie lantas mengundurkan diri,
dan Thio Sin Houw mengantarkannya sampai di mulut lembah
Ouw-tiap kok. Disini mereka berdua berpisah dengan
mengucurkan air mata. Tadi Thio Sin Houw mendengar
perkataan Ouw Gie Coen, bahwa umur Cie siang Gie kurang
enampuluh tahun, ia sangat berprihatin, Katanya di dalam hati:
"Dengan asal jadi saja aku mengaduk ramuan obat, kini
usianya rusak karena tanganku. Biarlah sisa hidupku
kupergunakan untuk menekuni segala rahasia ilmu sakti Ouw
sinshe, siapa tahu, aku akan memperoleh suatu uraian tentang
memperpanjang umur."
Bagaikan patung tak bernyawa, Thio Shin Houw

369
mengawasi kepergian Cie siang Gie, sampai bayangan
pemuda itu hilang dari penglihatan Kemudian perlahan-lahan
ia memutar tubuhnya, dan balik pulang ke pondok, sepanjang
jalan ia menghela napas dengan hati berduka, Alangkah pedih
perpisahan itu.
Perpisahan yang tak dikehendaki sendiri .
Selagi bermenung-menung, tiba-tiba ia mendengar suara
menggelegar, ia mendongak mengawasi udara, awan hitam
mendadak saja menutupi seluruh penglihatan. Guruh
berdentuman seperti sedang berlomda, dan kilat mengejapngejap
menusuk cakrawala. Kemudian hujan turun sangat
derasnya.
Hujan deras yang turun di tengah lembah Ouw-tiap kok,
bukan kejadian yang perlu diherankan. selama berada di
pondok Ouw Gie Coen, hampir sepuluh kali ia melihat hujan
turun amat deras - akan tetapi, hujan kali ini lain sifatnya.
Hujan itu mengandung lumpur. Tak mengherankan, sebentar
saja hujan lumpur itu telah membenam bukit-bukit yang
berada disekitar lembah Ouw-tiap kok. Dan tanah-tanah yang
dibenamnya ikut longsor pula.
Menyaksikan kejadian itu, Thio Sin Houw terkejut bukan
kepalang, segera ia memanjangkan langkah lari menyingkir
Akan tetapi baru saja melangkah beberapa tapak, guntur
meledak diatas kepalanya, Kilat mengejap dan menembus
dadanya, dan ia jatuh diatas tanah.
Dalam keadaan lupa-lupa ingat, tiba-tiba ia melihat
berkelebatan sebongkah batu turun dengan sangat deras dari
angkasa, Tak mengherankan, hatinya jadi tergetar karena rasa
takutnya.Pada detik itu tubuhnya merasa panas dingin tak
menentu. Dalam keadaan putus asa, ia memejamkan kedua
belah matanya menunggu maut.

370
"Bress!"
Bongkahan batu itu menimpa dadanya, dan ia tersentak
bangun dari mimpinya.
Iapun siuman kembali
Mimpi tak ubah wanita yang terus menerus membuat tekateki
dunia. setiap orang yang pernah hidup dapat
menceritakan pengalamannya tentang keajaibannya mimpi,
dan setiap bangsa mempunyai perbendaharaan cerita khayal
tentang keragaman mimpi pula, lantaran ajaibnya serta sulit
diterima akal.
Keajaiban dan tiadanya masuk akal itu, lantaran mimpi
persoalan bawah sadar. Dia mempunyai persoalannya sendiri,
mempunyai dunianya sendiri, mempunyai kehidupannya
sendiri dan mempunyai persoalannya sendiri. Tetapi anehnya
mempunyai hubungan erat sekali dengan dunia kenyataan.
Seorang laki-laki pernah bermimpi menjadikan dirinya
seorang gadis, tatkala tercebur di dalam telaga iblis.
Kemudian datanglah seorang sakti yang bisa menolong
mengembalikan jenis semula, asal saja mau dikawinkan,
Kelak apabila sudah beranak lima orang, ia akan kembali pulih
seperti sedia kala.
Lantaran terpaksa, ia menerima syarat itu, Demikianlah, ia
mengandung sampai lima kali berturut-turut. Anak-anaknya
terdiri dari dua laki-laki dan tiga perempuan. Dan tatkala
tersadar dari mimpinya oleh rasa girang, masih sempat ia
melihat asap penghabisan lilinnya yang tadi dihembusnya
padam sebelum tertidur. Dengan demikian, mimpinya hanya
berlangsung beberapa menit saja, padahal dalam mimpinya ia
tercebur didalam telaga sakti, berunding dengan laki-laki sakti,
mengandung dan berturut-turut melahirkan lima orang anak,
Paling tidak, kisahnya berjalan selama lima tahun!

371
Sebaliknya, seseorang pernah bermimpi tercebur dalam
sumur, ia terbangun lantara rasa kagetnya. inilah mimpi terlalu
pendek, dan untuk mimpi sependek itu ia membutuhkan waktu
hampir satu malam suntuk.
Demikian pulalah pengalaman Thio Sin Houw.
Dalam mimpinya ia bertemu dengan sinshe Ouw Gie Coen,
guru Lie Hong Kiauw yang telah meninggal Kemudian berada
di dalam pondokannya hampir satu bulan penuh, selama itu, ia
bertekun mempelajari semua himpunan rahasia ilmu sakti
ketabiban yang tiada keduanya didunia, Mimpi dalam keadaan
pingsan ini, hanya berlangsung selama tiga hari saja, Ajaib!
Tetapi yang lebih ajaib adalah pengalamannya dalam mimpi
itu.
Siapapun tidak akan percaya, bahwa Thio Sin Houw
dikemudian hari akan mengenal segala rahasia ilmu sakti
ketabiban, lantaran mimpinya itu. Lie Hong Kiauw yang
mendengarkan tutur katanya, berkali-kali menghela napas
lantaran herannya.
Gadis dusun ini lantas mengujinya dengan pertanyaanpertanyaan
sulit, dan Thio Sin Houw dapat menjawab dengan
tepat sekali. Malahan anak itu pandai mengemukakan soalsoal
sulit, yang Lie Hong Kiauw terpaksa harus berpikir keras
sebelum memperoleh jawabannya.
Demikianlah, selama dua tahun Sin Houw dirawat Lie
Hong Kiauw, selama itu Cie siang Gie sudah dapat
disembuhkan Tatkala berpamit, kejadiannya mirip seperti
dalam mimpinya, Anak itu mengantarkan jauh-jauh, lalu balik
pulang ke pondokan Lie Hong Kiauw seorang diri, Hanya saja
waktu itu tiada hujan lumpur atau kilat mengejap, yang
membuat ia tersadar dari mimpiriya, sebaliknya alam bahkan
nampak cemerlang sekali.

372
Langit terang-benderang, angin meniup sejuk dan bungabunga
Pek-cu hwa Lie Hong Kiauw sedang merekahkan
bunga-bunga birunya yang indah.
Tatkala Thio Sin Houw memasuki usia lima belas tahun,
pada suatu hari Lie Hong Kiauw menemukan sesuatu yang
aneh sekali, yang terjadi didalam tubuh anak itu, Beberapa kali
ia mencoba kepekaan urat-urat Thio Sin Houw, akan tetapi
ternyata urat-urat Thio Sin Houw seperti tiada berperasaan
lagi.
Gadis itu mencoba menyelami dan menggunakan caracara
lain yang lebih cermat, akan tetapi betapapun dia
berusaha - racun Hian-beng Sin-kang yang mengeram
didalam sumsum Thio Sin Houw sama sekali tak dapat
dikeluarkan. Belasan hari lamanya, Lie Hong Kiauw men cari
sebab-sebabnya, namun masih saja gelap baginya.
Lie Hong Kiauw seorang gadis dusun pendiam, Hampir tiga
tahun Thio Sin Houw bergaul dengan gadis itu akan tetapi
boleh dikatakan tak pernah berbicara berkepanjangan. Dia
bekerja sendiri, dan memecahkan persoalan-persoalannya
sendiri pula, Pada hari itu, karena tak tahan lagi menghadapi
teka-teki yang masih gelap baginya, terpaksalah ia minta
keterangan kepada Thio Sin Houw. Katanya sambil menghela
napas:
"llmu sakti kakek gurumu memang sakti sekali, akan tetapi
rupanya dalam hal ilmu ketabiban beliau masih sangat kurang.
Boleh dikatakan tiada berpengetahuan sama sekali. itulah
sebabnya ia malahan membuat celaka dirimu. Jelas sekali,
kau terkena racun jahat Hian-beng Sin-kang, namun dia
bahkan membantu menembusi jalan darah mu sehingga
seluruh urat-nadi di dalam tubuhmu menjadi terbuka semua.
Benar-benar hal itu membuat dirimu celaka."
Thio Sin Houw kenal watak Lie Hong Kiauw, Biasanya
gadis itu diam dan tenang serta tak mengacuhkan segala

373
kejadian diluar dirinya, sekarang ternyata dia menggunakan
kata-kata yang agak keras. jelaslah bahwa gadis itu
menyembunyikan rasa marahnya. Maka buru-buru ia
menyahut:
"Itulah perbuatan Cie-kong Taysu, bukan kakek guruku."
Meskipun Lie Hong Kiauw gadis dusun yanq pendiam, dan
ketiga saudara seperguruannya berhati busuk, namun Thio
Sin Houw berkenan padanya, ia menganggap Lie Hong Kiauw
tak ubah seperti saudara perempuannya sendiri maka dengan
tulus ikhlas ia menceritakan pengalamannya sejak kanak
kanak sehingga datang ke rumah perguruan kakek gurunya, ia
mengenal berbagai cabang ilmu silat berkat warisan orang
tuanya.
Ayahnya mewarisi ilmu silat aliran Boe-tong pay,
sedangkan ibunya mewarisi ilmu silat dari Si Tangan Geledek
Lie Sun Pin yang menjadi kakek luarnya, dengan jelas pula ia
menceriterakan bagaimana tatkala ia bertemu dengan seorang
yang menamakan dirinya Cie-kong Taysu di kuil Siauw-lim sie.
Dahulu, tatkala Thio Sin Houw di bawa masuk ke dalam
kuil Siauw lim sie, ia kena kebasan tangan salah seorang
pendeta sehingga pulas tertidur, Akan tetapi berkat ilmu
warisan ibunya, yang justeru bertentangan dan berlawanan
dengan ilmu sakti aliran Siauw-lim pay, begitu kena kebut
lantas saja terjadilah suatu perlawanan yang wajar dan Thio
Sin Houw tersadar dari tidurnya ! Dasar ia seorang anak
cerdas, berpura-puralah ia masih tertidur pulas.
Namun dengan diam-diam ia mendengarkan percakapan
antara beberapa orang pendeta.
Karena pembicaraan itu, tahulah Thio Sin Houw bahwa
kemudian ia dibawa menghadap Cie-kong Taysu. Masih
teringat olehnya akan kata-kata Cie-kong Taysu yang galak:

374
"Kau siapa dan dari mana datangmu tak perlu aku
menanyakan..."
Suara itu datang dari balik dinding, suaranya sama sekali
tak mirip suara seorang pendeta yang saleh, Kesannya
seolah-olah ia sedang berhadapan dengan seorang algojo
yang hendak menjatuhkan golok besarnya, namun dia
bersikap mendengarkan saja. Kata orang itu lagi:
"Duduklah dan dengarkan baik-baik, Aku akan
menguraikan inti sari ilmu sakti berdasarkan Kiu-im Cin-keng
warisan Tat-mo Couwsu, pendiri aliran Siau-lim, Kau sanggup
mengingatnya atau tidak tergantung kepada nasibmu belaka,
karena aku hanya menguraikan sekali saja, Bagaimana? Apa
kau sudah siap? Nah, aku akan mulai ..."
Sejak semula Thio Sin Houw tertarik perhatiannya kepada
suara orang yang katanya bernama Cie-kong Taysu, suara itu
datang dari balik dinding, sebenarnya hal itu tak perlu
diherankan, setiap tokoh-tokoh sakti dapat melakukannya.
Hanya yang membuat Thio Sin Houw tercengang adalah,
bahwasanya orang itu dapat berbicara dengan wajar saja,
seolah-olah sedang berhadap-hadapan muka.
Thio Sin Houw yang sudah berpengalaman banyak,
bertemu dan berbicara dengan tokoh-tokoh sakti yang
mengejar-ngejar ayah-bundanya, diam-diam tercekat hatinya.
Benar-benar dia merupakan tokoh sakti yang tiada taranya !
Sementara itu setelah selesai melakukan tugasnya, Ciekong
Taysu menanyakan apakah Sin Houw sanggup
mengingatnya atau tidak. Untuk membesarkan hati Cie-kong
Taysu, maka Thio Sin Houw lantas saja menyahut:
"Semua uraian Taysu, sudah dapat kuingat dengan baik."
Mendengar ucapan itu, orang yang menamakan diri Ciekong
Taysu terkejut - segera berkata menguji:

375
"Coba! Aku ingin mendengar!"
Tanpa mempunyai prasangka buruk sedikitpun, Thio Sin
Houw mengucapkan kembali ajaran-ajaran Cie-kong Taysu
dengan lancar diluar kepala, Dari awal sampai akhir ternyata
sama sekali tiada salahnya, meski sekalimatpun.
Tentu saja hal itu membuat Cie-kong Taysu tercengang
bukan main, benar-benarkah didunia ini ada seorang bocah
yang memiliki daya ingatan begitu hebat? ia terpaku beberapa
saat lamanya, setelah beberapa saat lamanya, berkatalah dia:
"Coba, biarlah kulihat urat-urat nadimu. Kudengar suaramu
tidak lancar, pastilah kau menderita sesuatu ..."
Dan apabila kedua tangan Thio Sin Houw diserahkan
kepadanya lewat lubang didinding, mulailah dia menembusi
jalan darah bocah itu, Dia seorang tokoh sakti maha hebat
himpunan tenaga saktinya luar biasa tingginya.
Dan dengan himpunan tenaga sakti itulah, dia menembusi
seluruh jalan darah Thio Sin Houw.
Lie Hong Kiauw termenung sejenak setelah mendengar
cerita Thio Sin Houw - tiba-tiba ia berkata setengah berseru:
"Adik Sin Houw! pendeta itu sangat jahat kepadamu!"
Keruan saja Thio Sin Houw terkejut mendengar seruan
itu,sahutnya gagap:
"Baik aku maupun dia, tak pernah saling mengenal. Apa
gunanya ia mencelakakan diriku?"
"Coba, apa yang telah dikatakan kepadamu, setelah ia
selesai menembusi jalan darahmu?" Lie Hong Kiauw

376
menegas.
"Dia mengulangi kata-katanya yang tadi, bahwasanya dia
tak perlu mengenal namaku, tak perlu tahu pula dari mana
asalku dan aliranku." jawab Thio Sin Houw sungguh-sungguh,
Dan mendengar jawaban Thio Sin Houw, maka Lie Hong
Kiauw tersenyum, lalu berkata:
"Hmm! seumpama aku Cie-kong Taysu, akupun tak perlu
menanyakan namamu dan dari mana kau datang serta apa
golonganmu, Sebab dengan sekali menyentuh tanganmu saja,
tahulah aku bahwa dirimu adalah cucu murid Tie-kong tianglo.
Bukankah kau pernah menerima pelajaran tata ilmu sakti
aliran Boe-tong melalui ayahmu? Akupun akan segera tahu
pula, bahwa didalam dirimu mengeram racun yang sangat
berbahaya, kenapa dia justeru menembusi jalan darahmu?
Bukankah dengan demikian, dia memang sengaja hendak
mencelakai dirimu ?"
Thio Sin Houw terpukau, selagi ia hendak membuka
mulutnya, Lie Hong Kiauw telah mendahului:
"Kakek gurumu seorang yang sangat jujur. Diapun
agaknya tidak begitu paham akan azas-azas pengobatan. Ia
menganggap tabiat semua orang seperti dirinya, sehingga
sama sekali tidak mencurigai seseorang."
"Seumpama Cie-kong Taysu memang benar berbuat
demikian, apakah tujuannya? Dan apa pula maksudnya?" Thio
Sin Houw berusaha membantah.
"Apa alasan sesungguhnya, akupun tak tahu, Barangkali
karena kau terlalu jujur terhadapnya. Kau bisa menghafal
semua ajarannya di luar kepala tanpa salah sedikitpun, untuk
alasan ini saja cukuplah sudah seseorang membunuhmu."
"Kenapa begitu?" Thio Sin Houw heran.

377
"Apakah kau masih ingat, tabiat dan sepak terjak ketiga
kakak seperguruanku? seumpama mereka mendengar dirimu
dengan tiba-tiba saja dapat menguasai rahasia ilmu ketabiban
almarhum guru, pastilah kau bakal dituduhnya telah mencuri
buku warisan guru, Merekapun akan segera membunuhmu!"
"Kata kakek guruku, pendiri aliran Siauw-lim pay adalah
Tau-mo Couw-su. Kuil Siauw-lim sie merupakan tempat para
pendeta suci, dan aliran itu pulalah pembimbing para
pendekar penegak keadilan. Kupikir, meskipun benar didalam
kuil Siauw-lim sie mungkin terdapat beberapa orang yang
berpikiran sempit dan berjiwa rendah, namun rasanya tak
mungkin berbuat serendah itu.
Apalagi, kakek guruku mengadakan pertukaran ilmu
semacam jual beli. Tukar menukar ini jauh lebih
menguntungkan pihak Siauw-lim daripada pihak Boe-tong ..."
"Hmm ... aliran pendekar penegak keadilan!" potong Lie
Hong Kiauw dengan suara dengki. "Ayah-bundamu dan
saudaramu, bukankah mati lantaran keganasan tangan orangorang
yang menamakan diri golongan para pendekar penegak
keadilan? Karena menamakan diri golongan ksatria, lantas
saja mereka berbuat semena-mena terhadap para pendekar
lainnya yang mereka golongkan sebagai aliran sesat dan liar,
Alangkah kejinya cara mereka mengadili! Mereka yang
merasa diri manusia baik-baik, belum tentu semuanya benarbenar
manusia yang baik, sebaliknya, mereka yang
digolongkan sebagai manusia jahat, belum tentu semuanya
jahat!"
Perkataan Lie Hong Kiauw ini benar-benar mengenai lubuk
hati Sin Houw.
Anak itu lantas saja teringat pada peristiwa pembunuhan
kedua orang tuanya dan saudaranya diatas gunung Boe-tong
san, Memang, ayah-bunda dan saudaranya mati ditangan

378
mereka yang menamakan diri pendekar-pendekar aliran lurus.
Tatkala melihat mayat ayah bundanya, mereka nampak
berduka cita, Tetapi dalam hati mereka masing-masing justeru
berkata bahwa kematian ayah-bundanya sudah pada
tempatnya.
Kesan demikianlah yang selalu teringat dalam lubuk hati
anak itu. Tentu saja terhadap kakek guru dan paman-paman
gurunya, belum pernah ia menyatakan kesan hatinya itu, Kini
Lie Hong Kiauw dengan sengaja atau tidak, tiba-tiba
membongkar rahasia yang tersimpan dalam lubuk hidupnya.
Hatinya lantas saja tergoncang, seperti tersentak ia menangis
menggerung-gerung.
"Sejak zaman dahulu, manusia hidup dan mati sebenarnya
tanpa teman dan tanpa kawan. Hanya,anehnya, setelah
berada bersama-sama didalam dunia yang sama ini pula,
mereka lantas bersaing dan bermusuhan" kata Lie Hong
Kiauw menghibur. "Karena teringat pada peristiwa ayahbundamu,
kau menangis. Akan tetapi bila kau tidakmati,
dikemudian hari pasti banyak manusia yang akan membuatmu
menangis dan menggerung lagi."
Mendengar perkataan Lie Hong Kiauw - maka Thio Sin
Houw lantas berhenti menangis. sambil mengusap air
matanya, ia menatap wajah gadis dusun itu, Katanya sulit:
"Jadi ... orang yang menamakan dirinya Cie-kong Taysu
itulah ... sesungguhnya musuh besar ayah-bundaku?"
Lie Hong Kiauw tidak segera menjawab, ia tersenyum
rahasia seperti biasanya, iapun tidak meladeni lagi.
Setelah memutar tubuh, ia mengambil cangkulnya dan
berangkat ke ladang merawat pohon-pohon bunga Pek-hu cuhwa,
seperti yang dilakukan pada setiap harinya.

379
Sampai petang hari, dia baru kembali, wajahnya yang tadi
siang nampak suram, kini menjadi cerah, Katanya dengan
suara gembira:
"Baiklah, Sin Houw. sebenarnya hatimu bergolak hebat,
lantaran ingin membalaskan dendam ayah-bunda dan
saudaramu Sayang, penyakitmu terlalu berat. Meskipun aku
masih sanggup mempertahankan jiwamu dengan ramuan
obat-ku, akan tetapi untuk memusnahkan racun yang sudah
mengeram didalam sum-summu, benar-benar aku merasa tak
sanggup.
Akan tetapi membiarkan dirimu menjadi manusia tak
berguna lantaran racun Hian-beng Sin-kang, rasanya kurang
tepat pula, Meskipun penyakit itu yang berada didalam
tubuhmu tak dapat disembuhkan, namun setidak tidaknya kau
harus dapat membalas dendam kepada musuh-musuh ayahbundamu.
Dengan demikian, kau akan membuat arwah ayahbundamu
dan saudaramu tenteram di alam baka.
Besok pagi, biarlah kau kuantarkan kau kepada seseorang.
Dia seorang sakti yang berilmu kepandaian tinggi, aku akan
memohon kepadanya agar dia sudi mewariskan ilmu saktinya
kepadamu dan selama itu, aku akan menjaga kesehatanmu
supaya tidak lumpuh karena racun Hian-beng Sin-kang,
Bagaimana ? Apakah kau setuju?"
Sudah tentu hati Thio Sin Houw girang bukan kepalang.
Begitu girang dia sampai menari-nari. Lantas berseru :
"Terima kasih, kakakku yang manis... terima kasih. Berapa
lama aku hidup, memang sejak aku turun dari gunung Boetong
san, tidak kupikirkan lagi, Akan tetapi hatiku selalu
gelisah, manakala teringat arwah-arwah ayah bunda dan
saudaraku yang masih menanggung penasaran. Aku berjanji
kepadamu dan juga kepada diriku sendiri serta berjanji kepada
hidupku, bahwasanya apabila aku sudah mewarisi sekalian
ilmu sakti pamanmu, akan cepat-cepat melaksanakan balas

380
dendam ayah-bunda dan saudaraku, "
Thio Sin Houw tak berani minta keterangan, tentang
siapakah orang yang dijanjikan itu, selamanya Lie Hong Kiauw
bersikap rahasia, akan tetapi dia percaya bahwa gadis itu
bermaksud baik terhadapnya, Hanya saja gerak-geriknya
sangat sukar ditebak.
Malam itu Thio Sin Houw tak dapat tidur dengan nyenyak,
hatinya sangat girang karena janji Lie Hong Kiauw.
Memang ia sudah mengantongi beberapa ragam ilmu sakti
yang diwarisi ayah-bundanya, akan tetapi keragamannya
masih seperti cakar ayam, sekarang apabila ada seseorang
yang sudi memberi petunjuk-petunjuk, bukankah dia akan
menjadi orang yang berarti di kemudian hari?
Meskipun, mungkin sekali belum boleh diandalkan untuk
menghadapi musuh besar ayah-bundanya, namun setidak
tidaknya sudah merupakan tataran persiapan balas dendam.
Dan dengan bekal tata ilmu sakti yang teratur itu, dia akan bisa
menanjak ke tataran kesempurnaan dikemudian hari.
Orang yang dijanjikan itu bernama Ouw Sam Ciu, ia
bermukim di pinggang gunung Ouw-tiap san bagian timur,
orangnya berperawakan pendek ketat. Seperti Lie Hong
Kiauw, ia seorang pendiam pula, saudara seperguruannya
berjumlah tiga, Coa Kim Siong, Go Kim Sun dan Ho Thong
Cun.
Satu tahun lamanya Thio Sin Houw menerima dasar-dasar
pelajaran mereka berempat, dan selama itu pula Lie Hong
Kiauw tak pernah meninggalkan setiap kali habis berlatih,
selalu gadis itu memeriksa keadaan tubuh Thio Sin Houw,
setiap malam ia menggodok ramuan obat-obatan tertentu,
untuk mengikis habis racun Hian-beng Sin-kang.

381
Pada suatu hari datanglah Lie Hong Kiauw menghampiri,
kata gadis itu dengan berbisik:
"Sin Houw, gurumu menghendaki kau berkemas-kemas
sebentar malam. sekarang ini keempat gurumu telah
mendahului berangkat, dan esok pagi kau bersama aku
diperintahkan mengikuti jejak mereka."
"Ke mana?" tanya Thio Sin Houw heran.
"Gurumu akan selalu meninggalkan tanda-tanda
disepanjang jalan, lihatlah , kita berdua masing-masing
diberinya sebatang panah hijau, Panah hijau ini semacam
tanda pengenal di jalan." sahut Lie Hong Kiauw cepat. Dan
setelah menyerahkan sebatang anak panah kepada Sin Houw,
ia berkata meneruskan:
"Pada saat ini negara sedang kacau-balau, Cu Goan Ciang
telah bertekad hendak mengusir kaum penjajah dari daratan
Cina, dan kita ini tergabung dalam laskar perjuangannya untuk
menegakkan keadilan. Kau memang bukan anggota Bengkauw,
akan tetapi keempat gurumu semua termasuk tokohtokoh
pembantu Cu Goan Ciang, Terserah padamu, apakah
kau sudi membantu atau tidak."
Mendengar kata-kata Lie Hong Kiauw, Thio Sin Houw
termenung, Sejak dirumah perguruan Boe-tong pay, dia telah
mengetahui bahwa kakek gurunya dan semua paman-paman
gurunya bukan merupakan anggota Beng-kauw. Mereka
bahkan mencela segala tindakan orang-orang Beng-kauw, dari
itu pernah Tie-kong tianglo mengeluarkan perkataan melarang
Thio Sin Houw memasuki atau menjadi anggota Beng-kauw,
Akan tetapi rasanya tidaklah tercela, apabila kini dia hanya
sekedar membantu ke empat gurunya guna menentang kaum
penjajah.
Memperoleh pertimbangan demikian, segera Thio Sin
Houw memberikan jawaban:

382
"Ayahku memang murid aliran Boe-tong pay, akan tetapi
kalau sekedar membantu gerakan Cu Goan Ciang mengusir
kaum penjajah bangsa asing. Kurasa, akupun tidak akan kena
damprat kakek guru dan sekalian paman-paman guru.
Tegasnya, seumpama aku ini seorang penumpang perahu,
akan tunduk patuh kepada pemegang kemudinya. Hanya saja
tentang panah hijau ini. Benar-benar aku tak mengerti
maksudnya."
Lie Hong Kiauw tersenyum, jawabnya:
"Meskipun kau kini telah menjadi manusia lain, akan tetapi
kau masih tergolong seorang pelajar lemah, Tidak selayaknya
kau berkelana turun gunung seorang diri, Karena itu aku
diperintahkan untuk selalu menyertaimu, Akan tetapi karena
akupun hanya pandai ilmu ketabiban saja, keempat gurumu
memandang perlu untuk memberikan tanda pengenal
pencegah bencana diperjalanan demi keselamatan kita
berdua."
Thio Sin Houw memeriksa panah hijau yang berada
ditangannya. Dia boleh cerdas, akan tetapi tak dapat
menemukan keajaibannya atau kemujija-tannya, Akhirnya ia
mengira bahwa panah hijau itu hanyalah semacam benda
yang membawa alamat baik saja.
"Baiklah, Hong cici. Aku sangat berterima kasih atas
perhatian guru." berkata demikian, ia segera menyimpan
panah hijau itu kedalam bungkusannya.
*****
KEESOKAN harinya berbareng dengan munculnya
matahari ditimur, mereka berdua berangkat dengan naik kuda.
Mereka menempuh perjalanan perlahan-lahan, dan menjelang
petang hari tibalah mereka disebuah kampung.

383
"Kita singgah disini," kata Lie Hong Kiauw.
Mereka lantas mencari tempat pemondokan untuk dapat
beristirahat satu malam penuh. Dan pada esok harinya mereka
meneruskan perjalanan kembali.
Mereka melewati dusun-dusun yang pernah dirampoki
tentara penjajah, Banyak penduduknya yang mati terbunuh.
Menyaksikan bekas-bekas kekejaman tentara penjajah
bangsa Mongolia, Thio Sin Houw jadi teringat akan nasibnya
sendiri. Lantas saja ia mengaburkan kudanya, untuk
melupakan kesan-kesan nya itu.
Waktu itu tengah hari tepat, Dari arah depan kelihatan
seorang penunggang kuda mendatangi dengan mengaburkan
kudanya secepat angin, debu tebal membubung keudara,
Tatkala berpapasan, orang itu berpaling, Akan tetapi baik Thio
Sin Houw maupun Lie Hong Kiauw bersikap acuh tak acuh.
Baru mencapai perjalanan lima atau enam li, mereka
mendengar derap kaki kuda datang dari arah belakang,
Makin lama derap itu terdengar makin nyata. Tatkala Thio
Sin Houw berpaling ia melihat seorang penunggang kuda
beroman gagah. Nampak memakai ikat kepala hijau.
"Aneh sekali gerak-gerik orang itu!" kata Thio Sin Houw
setelah penunggang kuda itu melintasi. "Bukankah yang
berpapasan dengan kita tadi dia juga?"
Memang, orang itu juga yang tadi datang dari sebelah
depan, dan berpaling sewaktu berpapasan. Lie Hong Kiauw
sebenarnya memperhatikan pula dengan diam-diam, ia tidak
menjawab pertanyaan Thio Sin Houw, sebaliknya dia berkata:
"Sebentar lagi kalau dia balik kembali, kau larikan kudamu

384
secepat-cepatnya."
Thio Sin Houw terperanjat. Heran ia minta keterangan:
"Apa? Apakah dia penyamun?"
"Kau lihat sajalah! Lima li lagi didepan kita, pasti akan
terjadi suatu perkara." kata Lie Hong Kiauw. "Dan kita tidak
akan dapat mundur lagi, Rasanya, satu-satunya jalan
hanyalah ... mencoba menerjang untuk meloloskan diri."
Mendengar perkataan Lie Hong Kiauw, hati Thio Sin Houw
menjadi gelisah, ia menatap wajah Lie Hong Kiauw - gadis
itupun nampaknya tegang sendiri . sebenarnya ingin Sin Houw
minta penjelasan lagi, akan tetapi melihat wajah Lie Hong
Kiauw begitu tegang, ia membatalkan niatnya. Dan dengan
berdiam diri, ia mengikuti kuda Lie Hong Kiauw.
Kira-kira empat li lagi, tiba-tiba terdengarlah mengaungnya
anak panah ditengah udara, Kemudian nampak tiga
penunggang kuda melintang di tengah jalan. Melihat mereka,
Thio Sin Houw segera maju kedepan, ia mengangguk hormat,
lalu berkata.
"Aku bernama Thio Sin Houw, dan kakakku ini bernama Lie
Hong Kiauw.
Kami berdua sedang melakukan perjalanan jauh, sama
sekali kami tidak membawa harta benda yang berharga,
Apakah kami berdua diperkenankan lewat?"
Walaupun masih merupakan pemuda tanggung, akan
tetapi Thio Sin Houw mempunyai pengalaman banyak dalam
riwayat hidupnya, itulah pengalamannya -tatkala selama terusmenerus
dikejar-kejar lawan. Dia pandai membawa diri.
Karena itu berhadapan dengan mereka bertiga yang
merintang ditengah jalan, segera ia berkata merendah.

385
Seorang diantara mereka tertawa melalui dadanya,
sahutnya:
"Kami kekurangan uang, karena itu tolong pinjamkan kami
uang seratus tail saja."
Thio Sin Houw tercengang, ia berpaling kepada Lie Hong
Kiauw, minta pertimbangan.
Dalam pada itu, sipenunggang kuda yang berikat kepala
hijau, yang tadi pertama kali mereka berpapasan, membentak:
"Kami hendak pinjam uang seratus tail, kamu mengerti
atau tidak?"
Mendengar bentakan itu, Thio Sin Houw menjadi gusar,
Tak sudi ia kalah gertak, sahutnya membentak pula:
"Sudah belasan tahun aku berkelana, belum pernah aku
bertemu dengan orang yang sekurang ajar kalian!"
Mendengar bentakan Thio Sin Houw, mereka bertiga
tertawa terbahak bahak. Alangkah lucu ucapan anak itu, sudah
belasan tahun berkelana?
Memang, meskipun apa yang dikatakan Thio Sin Houw
sedikit banyak mengandung kebenaran, akan tetapi mengingat
usianya siapapun tentu tidak akan percaya. Orang berikat
kepala hijau itu lantas berkata lagi:
"Baiklah, taruh kata kau sudah belasan tahun berkelana
seorang diri, Apakah kau pernah melihat seorang yang bisa
memanah seperti aku?"
Setelah berkata demikian, ia mengambil gendewa dan
peluru. Dengan beruntun ia melepaskan tiga butir peluru ke
atas udara, setelah itu ia melepaskan anak panahnya. Dan

386
ketiga peluru itulah sasarannya.
Jitu sekali bidikannya, Ketiga peluru itu pecah menjadi
enam bagian dan runtuh berbareng meluruk ke bawah.
Thio Sin Houw ternganga-nganga menyaksikan
kepandaian orang itu, justru demikian, tiba-tiba lengan kirinya
terasa sakit, Ternyata ia terkena panah dengan tak setahunya.
Pada saat itu orang ketiga yang berperawakan pendek dan
berewok, tiba-tiba menyandarkan cemitinya. Dengan sebat
Thio Sin Houw menggerakkan kudanya untuk mengelakkan
diri, ia berhasil menggagalkan serangan orang itu.
Akan tetapi selagi demikian, mendadak cemeti itu berbalik
arah, Kini melilit golok yang diselipkan diping
gangnya. Dan berbareng dengan gerakan itu, tiba-tiba Thio
Sin Houw melihat berkelebatnya sebatang pedang memapas
tali bungkusannya yang berada di punggungnya. Kena
babatan pedang, bungkusannya jatuh diatas tanah, Dan
setelah mengambil bungkusan itu dengan cemiti-nya, orang itu
lantas mengaburkan kudanya.
"Terima kasih!" kata penunggang kuda yang berikat kepala
hijau sambil tertawa senang, Dan setelah berkata demikian,
dia lantas menyusul temannya, sedang orang yang berada di
sampingnya, mengeprak kudanya pula, sebentar saja ketiga
penyamun itu hilang dari penglihatan.
Thio Sin Houw menjadi sangat lesu, ia sangat berduka dan
mendongkol. ia merasa diri tiada guna, padahal ia telah belajar
tata berkelahi satu tahun lamanya. Namun menghadapi tiga
penyamun itu saja, tak dapat ia berbuat sesuatu apa.
"Mari kita jalan terus!" ajak Lie Hong Kiauw dengan suara
tenang. "Masih untung, jiwa kita tidak diarahnya."

387
Thio Sin Houw menundukkan kepalanya, dengan tetap
berdiam diri ia mengikuti Lie Hong Kiauw meneruskan
perjalanan.
Kira-kira setengah jam mereka berjalan, tiba-tiba terdengar
derap kaki kuda sangat berisik, Thio Sin Houw menoleh.
Hatinya tercekat, karena yang datang adalah mereka bertiga
tadi. Apalagi yang mereka kehendaki? Apakah belum merasa
puas telah memperoleh uang? Dan Kini hendak merenggut
jiwa? Memperoleh dugaan demikian, bulu kuduk Thio Sin
Houw bergidik dengan sendirinya.
Ketiga penyamun itu dapat mengejar Thio Sin Houw dan
Lie Hong Kiauw dengan cepat sekali, selagi mereka itu saling
memandang dengan wajah penuh pertanyaan, sekonyongkonyong
ketiga penyamun itu melompat dari kudanya masingmasing,
lalu membungkuk hormat. Kata orang berikat kepala
hijau itu:
"Akh, ternyata kalian berdua orang sendiri. Maaf, maafkan!
Kami tak kenal kalian, sehingga telah berbuat keliru, Harap
kalian berdua memaafkan perbuatan kami tadi."
Si pendek berewok lantas saja menyerahkan kembali
bungkusan Thio Sin Houw yang tadi dirampasnya, ia
menyerahkan dengan kedua tangannya. Dan Thio Sin Houw
jadi terheran-heran, Hatinya penuh pertanyaan, itulah
sebabnya tak berani ia menyambuti bungkusannya sendiri. ia
berpaling kepada Lie Hong Kiauw minta pendapatnya.
Ternyata gadis itu memanggutkan kepalanya, dengan
wajah tenang sekali.
Maka Thio Sin Houw segera menerima kembali
bungkusannya.
"Perkenankan kami bertiga mengenal nama kalian berdua,

388
agar di kemudian hari kami tidak berbuat keliru lagi."
"Bukankah tadi kami sudah memperkenalkan diri? Aku
Thio Sin Houw, dan kawanku cici Lie Hong Kiauw." sahut Thio
Sin Houw,
Orang berikat kepala hijau itu tertawa senang, sambil
menegakkan badannya ia menyahut:
"Nama bagus! Aku sendiri bernama Gouw Cin Kie, dan
kedua temanku ini bernama Gui Cu Liang dan Tan Kim Sun.
Kalau tadi siauwtee segera memperlihatkan tanda panah hijau
kepada kami, pastilah kami segera mengerti. Untungnya kami
bertiga tidak sampai melukai dirimu."
Mendengar perkataan Gouw Cin Kie, barulan Thio Sin
Houw mengerti khasiat panah hijau yang dibawanya, sewaktu
berkemas-kemas dirumah perguruan, ia menyimpannya
didalam bungkusannya, coba, seumpama disimpan dibalik
bajunya, bukankah dia bakal kehilangan bungkusannya yang
berisi uang pula?
"Pastilah kalian berdua hendak mendaki gunung Beng-san,
bukan?" menegas Gouw Cin Kie. "Kalau begitu mari kita
berjalan bersama-sama. saudara kita berdua, Gui Cu Liang
dan Tan Kim Sun berasal dari Su-cwan utara, Meskipun
demikian, mereka bisa menyesuaikan diri."
Gouw Cin Kie berbicara dengan nada ramah, akan tetapi
hati Thio Sin Houw tetap berbimbang hati. Betapapun juga
melihat mereka adalah sebangsa penyamun, sedangkan katakata
penyamun tak dapat dipercayai penuh. Maka jawabnya
mengelak:
"Kami berdua tak mempunyai tujuan tertentu."
Mendengar jawaban Thio Sin Houw, Gouw Cin Kie nampak

389
tersinggung. wajahnya berubah merah, katanya menegur:
"Kami bertiga datang dari jauh, menempuh perjalanan
ribuan li. Kami telah berjalan siang dan malam, lantaran tiga
hari lagi himpunan laskar perjuangan Cu Goan Ciang akan
mengadakan pertemuan besar diatas gunung Beng-san.
Kenapa kalian berdua yang sudah berada dekat dipinggang
gunung Beng-san, tidak sudi sekalian mendaki?"
Pilu juga hati Thio Sin Houw mendengar teguran itu.
Dengan sesungguhnya, ia tak mengerti tujuan perjalanannya,
Disepanjang jalan, Lie Hong Kiauw selalu membungkam mulut
dan tak pernah memberi keterangan. Akan tetapi dia memang
seorang pemuda yang berpembawaan dapat menangkap
suatu keadaan dengan cepat sekali. Maka dengan suara wajar
ia berkata:
"Apakah pertemuan itu sangat penting artinya?"
"Tentu saja!" sahut Gouw Cin Kie dengan suara tetap
mengandung kegusaran. "Bukankah kita diharuskan datang
menghadiri pertemuan itu, untuk menghormati panji-panji
Beng-kauw?"
Kembali Thio Sin Houw bingung. Meskipun dia seorang
pemuda yang cerdas sekali, akan tetapi pergaulannya dalam
percaturan hidup masih sempit.
Namun dasar seorang pemuda cerdas, lantas saja ia
memutuskan:
"Kita baru saja bertemu dan berkenalan, karena itu wajib
aku merahasiakan tujuan perjalanan. Bukankah begitu? Mari,
mari kita berjalan bersama sama."
Mendengar perkataan Thio Sin Houw maka Gouw Cin Kie
lantas memanggut-manggut penuh pengertian, wajahnya
berobah menjadi girang, Dia tertawa lebar sambil menyahut:

390
"Memang telah kuduga, bahwa siauw tee hendak
menyembunyikan maksud sebenarnya ... Bagus. Akupun akan
bersikap demikian, terhadap seseorang yang belum pernah
kukenal."
Sampai disitu, berlima mereka berjalan bersama-sama
untuk mendaki gunung Beng-kauw, Gouw Cin Kie memimpin
perjalanan, setiap kali berjumpa dengan rombonganrombongan
atau gardu-gardu penjagaan, ia hanya
menggerak-gerakkan tangannya saja. Gerakan gerakan
tangannya ternyata besar khasiatnya, rumah-rumah
disepanjang jalan bersiaga penuh untuk menerima
kedatangan mereka berlima, Juga rumah-rumah makan yang
disinggahi tak sudi menerima pembayaran, perlayanan
terhadap mereka berlima sangat manis sekali.
Selang dua hari, tibalah mereka diatas pinggang gunung
Beng-kauw sebelah utara, Diatas gunung ini, barulah Thio Sin
Houw mengembarakan penglihatannya dengan bebas
merdeka. Di segala penjuru ia melihat ratusan orang berlerot
tiada putusnya mendaki gunung.
Pakaian mereka warna-wami, cara dandanannya berbedabeda
pula, perawakan mereka pun bermacam-macam. Ada
yang gemuk, ada yang kurus, ada yang jangkung dan ada
yang pendek. sebaliknya yang boleh dikatakan sama adalah
mereka semua memiliki gerakan gerakan yang gesit, Diantara
mereka banyak yang sudah kenal dengan Gouw Cin Kie, Gui
Cu Liang dan Tan Kim Sun.
Thio Sin Houw dan Lie Hong Kiauw bersikap tidak ingin
tahu dengan rahasia mereka, itulah sebabnya, selagi mereka
berbicara, mereka berdua sengaja berdiri jauh-jauh, walaupun
demikian pendengaran mereka yang tajam dapat menangkap
logat bahasa orang-orang yang mendaki gunung Beng-san itu.
Ternyata mereka datang dari berbagai pelosok negeri

391
Cina, dari bagian barat, selatan, utara dan timur. Mengapa
mereka mendaki gunung Beng-san beramai-ramai?
sebenarnya Thio Sin Houw sangat ingin memperoleh
keterangan dari Lie Hong Kiauw, akan tetapi tatkala itu Lie
Hong Kiauw tiba-tiba bersembunyi dibalik sebuah batu besar,
sewaktu muncul kembali, ia sudah mengenakan pakaian lakilaki.
Malam itu Gouw Cin Kie membawa rombongannya
bermalam di kaki gunung, Dan keesokan harinya, ia
memimpin rombongannya mendaki gunung Beng-san sebelah
utara, selagi bersantap, tiba-tiba terdengarlah seruan orang
sambung menyambung:
"Cu kauwcu datang!"
Mendengar seruan sambung menyambung itu, delapan
orang berdiri serentak. Kemudian berlari-lari menyambut
kedatangan orang yang diserukan.
"Mari kita lihat!" ajak Thio Sin Houw.
Lie Hong Kiauw tidak membantah. segera diikutinya
pemuda itu dengan langkah panjang.
Seperti berbaris, mereka yang mendaki gunung Beng-san
berdiri dengan rapih dan tenang, Tak lama kemudian
terdengar derap kaki kuda, dan muncullah seorang pemuda
berumur kira kira tiga puluh tahunan. Kudanya berjalan
perlahan-lahan, Manakala melihat jumlah penyambutnya
terlalu banyak, segera ia melompat turun dari kudanya.
Seorang berperawakan tinggi besar, muncul diantara
gerombol orang.
Orang itu segera menyambut kuda Cu Goan Ciang, sang
Kauwcu, segera Cu Goan Ciang menyerahkan kendalinya, dia

392
sendiri lantas berjalan dan memanggut hormat kepada para
penyambut penyambutnya. Melihat Thio Sin Houw yang masih
berkesan kanak-kanak, ia tertegun sejenak. Kemudian
bertanya dengan manis:
"Siapakah saudara ini?"
"Aku bernama Thio Sin Houw," sahut Thio Sin Houw
pendek. "Apakah ciangkun, yang disebut Kauwcu Cu Goan
Ciang?"
"Akh, jangan memanggil aku ciangkun," potong Cu Kauwcu
dengan tertawa ramah. "panggil saja namaku, Cu Goan
Ciang."
Thio Sin Houw tertarik akan sikap kauwcu itu yang sopan,
segera ia membungkuk hormat. Dan dengan tersenyum, Cu
kauwcu berjalan mengarah penginapan yang telah disediakan.
Thio Sin Hoiiw benar-benar tertarik hatinya, selagi
tertegun-tegun, tiba-tiba Lie Hong Kiauw meniup telinganya,
Kata gadis itu:
"Dia seorang kauwcu, kita berdua bukan apa-apa.
Rupanya dia sangat berpengaruh, inilah kesempatan baik
apabila kau hendak bersahabat dengan dia. Kalau kau bisa
berbicara dari hati ke hati dengan Cu kauwcu, setidak tidaknya
martabatmu akan naik ..."
Geli hati Thio Sin Houw mendengar perkataan Lie Hong
Kiauw. Akan tetapi pikirnya gadis itu menarik hati pula, Lantas
saja ia menyusul ke rumah penginapan, mencari Cu kauwcu.
Didepan kamar Cu kauwcu, ia sengaja berbatuk-batuk
kecil. Kemudian mengetuk daun pintunya perlahan lahan.
Ia mendengar suara seseorang sedang membaca buku di
dalam kamar itu, Begitu pintu diketuk, suara orang itu berhenti.

393
Kemudian pintu terbuka, dan muncullah Cu kauwcu dengan
wajah berseri-seri.
"Dalam rumah penginapan sesunyi ini, Thio hiantee datang
kemari. inilah bagus!" kata Cu kauwcu dengan suara ramah.
Thio Sin Houw masuk. Dan nampak didepan matanya
sejilid buku dan sehelai peta diatas meja, itulah sehelai peta
sebuah kerajaan baru, Khawatir ia bakal dicurigai Cu kauwcu,
cepat cepat ia mengalihkan pandangnya, Dan pada saat itu,
Cu kauwcu minta keterangan kepadanya asal-usul dirinya.
Thio Sin Houw tidak menyembunyikan riwayat hidupnya.
Dengan terus terang ia berkata, bahwa dirinya adalah putera
Thio Kim San yang menemui ajalnya diatas gunung Boe-tong.
Kemudian dia kini berada dipinggang gunung Beng-san, untuk
menyembuhkan penyakitnya.
"Oh...!" Cu Goan Ciang berseru tertahan. "Ayahmu
seorang pendekar golongan putih bersih. Kami juga
menghargainya ..."
Mendengar Cu kauwcu menghargai ayahnya, hati Thio Sin
Houw tergerak.
Lantas saja ia merasa dekat sekali dengan kauwcu itu,
dengan kata-kata merendah ia menyahut:
"Penghargaan kauwcu terhadap almarhum ayah kami,
sangat mengharukan hatiku. Akan tetapi tak berani aku
menerima penghargaan kauwcu yang terlalu tinggi."
Cu Goan Ciang tertawa lebar. Katanya:
"Thio hiantee, inilah yang dinamakan jodoh. Kita bisa
bertemu disini dan berbicara dari hati ke hati, Besok hiantee
akan mendaki gunung pula, bukan? Biarlah besok
kuperkenalkan kepada segenap para hadirin disini. . Kau

394
dapat membuktikan sendiri, bahwa mereka semua mengenal
nama ayahmu dan menghargai kegagahannya.Kutanggung
hiantee akan merasa gembira sekali."
Bangga hati Thio Sin Houw mendengar perkataan Cu
kauwcu, segera ia berbicara panjang lebar tanpa segan-segan
lagi, ia membicarakan tentang kancah perjuangan, ilmu tatasakti
dan ilmu ketabiban yang dikenalnya dengan baik, Dan
mendengar perkataan Thio Sin Houw, diam-diam Cu kauwcu
tercengang, pikir Cu kauwcu didalam hati:
"Anak ini nampaknya luas sekali pengetahuannya, jarang
sekali aku menjumpai seorang anak seperti dia. Anak seperti
dia sangat dibutuhkan dalam perjuanganku, biarlah
kubawanya serta didalam pertemuan-pertemuan resmi. Siapa
tahu, dikemudian hari ada gunanya,"
Mereka berdua berbicara sampai larut malam. Apabila
suasana di situ bertambah sunyi-senyap, barulah Thio Sin
Houw kembali ke kamarnya, Lie Hong Kiauw ternyata belum
memejamkan matanya.
Seperti biasanya, ia menunggu kedatangan Thio Sin Houw
dengan setia.
Dan dengan semangat menyala-nyala, maka Sin Houw
segera menceritakan pengalamannya berada bersama Cu
kauwcu, Dan seperti biasanya juga, Lie Hong Kiauw bersikap
mendengarkan saja, wajahnya sangat tenang, dan tiada
nampak perubahan atau kesan sesuatu, Entah dia ikut
bersyukur lantaran perkenalan itu atau tidak, hanya malaikat
dan Tuhan sendiri yang tahu...
*****
PADA HARI keempat adalah hari yang dijanjikan Cu Goan
Ciang hendak membawa Thio Sin Houw untuk diperkenalkan

395
dengan para pendekar pendukung gerakannya, atau para
anggauta Beng-kauw yang datang dari segala penjuru.
Sebelum bertemu dengan Cu Goan Ciang, Thio Sin Houw
dan Lie Hong Kiauw dibawa Gouw Cin Kie mendaki dan
menuruni bukit-bukit tak keruan juntrungnya, Kadang-kadang
setelah sampai di pinggang gunung, dibawanya turun kekaki
gunung kembali. Kadangkala melintasi pedusunan dan
lamping bukit. Dan seperti kanak-kanak belajar berjalan, ia
dibawa pula beringsut-ingsut dari keblat ke keblat, walaupun
hati Thio Sin Houw kerapkali merasa kesal, namun tahulah dia
bahwa maksud Gouw Cin Kie untuk menyesatkan penglihatan
orang-orang tertentu yang tidak dikehendaki.
Tatkala Thio Sin Houw hendak berangkat meneruskan
perjalanan mendaki puncak gunung, Lie Hong Kiauw datang
menghampiri dan menyerahkan sebuah kantung berisi ramuan
obat, Kata gadis itu:
"Didalam pertemuan besar ini, mungkin kita berdua akan
duduk berpisahan, Maka kau bawalah kantong obat pemunah
racunmu ini. setiap kali dirimu merasa akan kambuh kembali,
cepat-cepatlah menelan tiga butir."
"Cici akan ke mana?" Thio Sin Houw bercekat.
"Aku? Akupun berada diantara para hadirin. Hanya saja,
rasanya akan mengganggu dirimu, sebab pastilah Cu Kauwcu
akan membawamu duduk berdampingan. Kalau akupun duduk
mendampingimu - akan menimbulkan berbagai pertanyaan.
"Kenapa begitu?" Thio Sin Houw tidak mengerti.
Lie Hong Kiauw tidak menjawab. ia hanya tersenyum.
Kemudian berangkat meninggalkan kamarnya.
Menjelang tengah hari, sampailah mereka dipinggang
gunung, Belasan orang berdiri menyambut dengan nampan

396
penuh hidangan. setelah berhenti sebentar untuk bersantap
dan minum serta beristirahat pula, mereka yang mendaki
gunung meneruskan perjalanannya kembali.
Sejak itu terus-menerus terdapat gardu-gardu penjagaan
yang ketat, Mereka bertanya dan memeriksa sangat sopan.
Tatkala giliran memeriksa tiba pada Thio Sin Houw dan Lie
Hong Kiauw, Cu Goan Ciang hanya memanggutkan
kepalanya.
Lantas saja mereka diidzinkan melintasi penjagaan tanpa
pertanyaan lagi, malahan barisan penjaga bersikap hormat
terhadap rombongannya.
"Sungguh berbahaya ..." kata Thio Sin Houw didalam hati.
Makin sadarlah dia, betapa besar pengaruh Cu Goan
Ciang, ia bergirang dan bersyukur didalam hati, karena
semalam dapat berbicara secara akrab sekali . Hanya saja
belum dapat menduga-duga apa yang bakal terjadi nanti.
Tatkala tiba waktu magrib, sampailah mereka diatas
gunung, Ratusan orang berdiri dan berbaris dengan rapih,
mereka menyambut kedatangan para tetamu. sikap mereka
angker, tetapi begitu melihat kedatangan Cu Goan Ciang,
ketua perkumpulan Beng-kauw, lantas maju menyambut.
Kemudian dengan bergandengan tangan, mereka berdua
masuk ke dalam sebuah rumah pesanggrahan yang besar.
Dikiri-kanan pesanggrahan itu terdapat berpuluh-puluh
bangunan yang berpencaran letaknya, Yang paling besar
adalah rumah tadi, yang dimasuki oleh Cu Goan Ciang, Sama
sekali tidak ada panggung atau pagar-pagar ketat dan kokoh,
sehingga keadaannya tiada mirip dengan sarang penyamun.
Diatas bangunan bangunan itu terpancang sehelai bendera
berwarna hijau dan kuning, itulah bendera yang disebut orang
sebagai bendera Beng-kauw.

397
Bagi Thio Sin Houw, semua penglihatan itu merupakan
pengalaman baru.
Belasan tahun ia berkelana, akan tetapi baru kali inilah ia
merasa berkumpul dengan ratusan manusia yang nampaknya
bersatu padu. Dengan penuh selidik ia mengamat-amati wajah
setiap orang yang dilihatnya, mereka semua bergaul rapat
sebagai sahabat.
Akan tetapi, wajah mereka nampak berduka. inilah aneh!
Lie Hong Kiauw yang berpakaian sebagai seorang
pemuda, mendapat sebuah kamar bersama Thio Sin Houw,
Karena mereka berdua termasuk dalam rombongan Cu Goan
Ciang, pelayanannya lebih sempurna, Akan tetapi hidangan
yang disediakan berupa nasi putih dan sayur mayur belaka,
sama sekali tiada daging atau ikan.
"Cici," kata Thio Sin Houw, "Guru katanya berada disini,
dan kita kinipun berada disini pula, Mengapa guru tidak Cepatcepat
menemui kita? Apakah mereka justeru tidak
menghendaki pertemuan dengan kita?"
Lie Hong Kiauw hanya mendengus, sama sekali ia tidak
menjawab atau memberi keterangan. Thio Sin Houw yang
kenal tabiat Lie Hong Kiauw, tak mau mendesak pula, Akan
tetapi dengan demikian ia jadi bermenung-menung seorang
diri, Kepalanya penuh teka-teki yang tak dapat segera
menemukan jawabannya.
Pada keesokan harinya, Lie Hong Kiauw dan Thio Sin
Houw dibangunkan sebelum pagi hari tiba, setelah mandi dan
makan pagi, mereka berdua berjalan jalan menyusuri tepi
kepundan gunung, Kali ini mereka melihat orang-orang yang
cacad tubuhnya, ada yang hanya memiliki sebelah tangan
atau sebelah kaki dan wajah-wajah mereka bekas kena
sabetan senjata tajam, itulah suatu bukti, mereka baru saja

398
datang dari medan pertempuran. Sebenarnya ingin Thio Sin
Houw memperoleh keterangan tentang diri mereka, akan
tetapi Lie Hong Kiauw segera membawanya pergi.
Pada siang sampai petang hari, barang hidangan yang
dibawa masuk kedalam kamar melulu sayur-mayur belaka,
Semua ini kian menimbulkan berbagai pertanyaan didalam
hati Thio Sin Houw, katanya didalam hati ?
Siapakah mereka yang cacad tubuhnya itu? Kenapa
sekalian hadirin berwajah muram? Mereka nampaknya
bergaul sangat rapat, akan tetapi selalu membungkam mulut,
Dan apa maksudnya hidangan yang disajikan hanya sayurmayur
belaka? Memang diatas gunung sukar mendapat
daging. Tetapi pertemuan " secara besar~besaran ini, tidak
terjadi secara kebetulan belaka, Mestinya jauh sebelumnya,
mereka sudah bersiap-siap. Masakan tiada terdapat seiris
daging saja?"
Dan malam seperti kemarin, tiba lagi. seseorang mengetuk
pintu kamar Thio Sin Houw, berkata dari luar ambang pintu:
"Cu Kauwcu mengundang siauwhiap Thio Sin Houw, untuk
menyaksikan upacara pertemuan ini."
Thio Sin Houw berpaling kepada Lie Hong Kiauw, gadis itu
menundukkan kepalanya dengan sikap acuh tak acuh,
Agaknya jauh-jauh sudah dapat menebak akan adanya
undangan ini, katanya:
"Berangkatlah! jangan lupa, kau bawa pula obat pemunah
racun Hian-beng Sin-kang,"
"Dan cici?" Thio Sin Houw menegas.
"Aku dapat mengurusi diriku sendiri." jawab Lie Hong

399
Kiauw dengan suara dingin. "Kau tak usah memikirkan aku,
Percayalah, selama kau berada disini, aku tetap
mendampingimu!"
Oleh jawaban itu, hati Thio Sin Houw menjadi tenteram.
segera ia mengikuti pesuruh tadi, memasuki sebuah bangunan
besar yang berada di tengah-tengah pesanggrahan.
Cu kauwcu ternyata menunggu dirinya didepan pintu
pesanggrahan. setelah menggabungkan diri dengan
rombongannya, segera Cu kauwcu itu masuk ke
pesanggrahan. Begitu masuk ke dalam pesanggrahan,
perhatian Thio Sin Houw terbangun, ia melihat bermacam
macam senjata tertancap diatas tanah semacam pagar,
semuanya delapan belas macam.
Dan masing-masing senjata menyinarkan sinar
gemerlapan oleh pantulan cahaya lilin yang dinyalakan terang
benderang, jumlah orang-orang yang berada didalam
pesanggrahan itu kurang lebih tiga ribu orang. inilah suatu
jumlah yang luar biasa, mau tak mau Thio Sin Houw menjadi
heran. Kenapa orang sebanyak itu, bisa berkumpul diatas
gunung yang sunyi sepi ini?
Ditengah ruangan, Thio Sin Houw melihat rangkaian
gambar sebagai hiasan dinding, setelah diamat-amati sekalian
gambar itu memperlihatkan lukisan tentara penjajah Mongolia
bertindak sewenang-wenang terhadap orang-orang yang
ditangkapnya. Dibawah lukisan itu terdapat sederet tulisan
yang berbunyi: Semoga Tuhan menerima arwah pendekarpendekar
peminta bangsa dan negara..."
Membaca bunyi tulisan itu, hati Thio Sin Houw terkesiap.
siapakah mereka yang disebut sebagai pendekar pencinta
bangsa dan negara? pemuda ini belum pernah mendengar
peristiwa berdarah yang terjadi di kota raja, Mereka
sesungguhnya merupakan para pendekar pecinta negara dan
bangsa, yang diculik dan diangkut tentara penjajah ke kota

400
raja. Bagaimana nasib mereka hanya Tuhan sendiri yang
mengetahui.
Thio Sin Houw kemudian menebarkan penglihatannya ke
semua penjuru, bendera berkibar-kibar menghiasi dinding
pertemuan. Terdapat pula berbagai macam alat senjata dan
pakaian kuda serta topi perang, Dari ruang ke ruang terdapat
semboyan-semboyan yang berupa tulisan. Karena kurang
jelas, tak dapat Thio Sin Houw membacanya. Akan tetapi yang
lebih menarik perhatian adalah wajah para pengunjung, yang
semuanya nampak guram dan berduka, Pemuda itu menjadi
bingung, apakah semua yang memasuki pesanggrahan wajib
berduka cita? Kalau memang diwajibkan demikian, dia harus
berduka cita terhadap siapa?
Seorang laki-laki berperawakan tinggi-kurus, tiba-tiba
berdiri dari kursi.nya. setelah membuat tanda hormat terhadap
hadirin, berkatalah dia dengan suara nyaring:
"Saudara-saudara hadirin semuanya ...! Marilah kita mulai
bersembahyang!"
Semua orang lantas melakukan sembahyang, Cu Kauwcu
yang bertindak menjadi imamnya, Thio Sin Houw yang sedikit
banyak pernah mendapat bimbingan bersembahyang dari
kedua orang tuanya, juga ikut bersembahyang. Hanya saja ia
tidak mengetahui tujuan upacara sembahyang itu. Tetapi
setelah orang tinggi kurus itu berkhotbah tentang gugurnya
para pendekar yang diangkut tentara penjajah Mongolia, hati
pemuda itu terkesiap, Entah apa sebabnya, tiba-tiba hatinya
bergelora, Darahnya meluap, dan semangatnya berkobar
kobar.
Teringat akan nasib ayah-bunda dan saudaranya yang
mati tiada berkubur justeru lantaran dikenal sebagai sepasang
pendekar yang tinggi ilmu kepandaiannya, tak dapat lagi ia
menahan air matanya, Meskipun ayahnya bukan menjadi
orang tangkapan pihak tentara penjajah, akan tetapi nasibnya

401
mirip sekali dengan para pendekar yang di angkut ke kota raja,
justeru lantaran mereka dianggap berbahaya bagi yang
sedang berkuasa.
Selagi bersedu-sedan, sekali lagi ia terperanjat tatkala
hadirin tiba-tiba berteriak seperti kalap:
"Kalau didunia ada dua matahari, bagaimana kita bisa
hidup aman dan damai? Hancurkan tentara penjajah atau kita
akan hancur sendiri!"
"Benar! Kembalikan gunung gunung dan pohon-pohonku!"
"Hidup! Basmi semua malapetaka dunia!"
"Hidup Kauwcu Cu Goan Ciang!"
"Hidup! Hidup ...!"
Dan makin lama teriakan-teriakan itu makin kalap, masingmasing
meledakkan isi hatinya. Dan teringat akan lawanlawan
ayah-bundanya yang bersembunyi dibelakang tabir,
tanpa merasa Thio Sin Houw ikut-ikutan berteriak seperti
kalap.
Orang jangkung kurus yang memimpin upacara
sembahyang itu, mengangkat kedua tangannya. Hadirin yang
berteriak kalap menjadi tenang kembali, apabila suara kalap
tadi sudah padam, berkatalah dia dengan nyaring:
"Para utusan daerah diberi kesempatan untuk melaporkan
keadaan daerahnya masing-masing, kepada Cu kauwcu!"
Seorang laki-laki yang duduk di sebelah barat, segera
bangkit dari kursinya, Berkata:
"Musuh kita sesungguhnya adalah tentara penjajah bangsa
Mongolia, karena itu sedapat mungkin kita harus mencegah

402
terjadinya segala macam pertikaian diantara bangsa kita
sendiri. Hendaklah kita sama-sama menyadari hal ini!"
Suara itu nyaring luar biasa sehingga Thio Sin Houw jadi
terkejut,
Sama sekali tak diduganya bahwa seseorang bisa
mempunyai suara demikian nyaring. Berkata orang itu lagi:
"Saudara-saudara seperjuangan..." selagi orang itu hendak
meneruskan perkataannya, tiba-tiba terdengarlah suara
nyaring sambung menyambung diluar perkemahan:
"Panglima Lie Hui Houw, utusan dari Ciangkun Thio Su
Seng datang untuk memeriahkan pertemuan ini!"
Mendengar seruan itu, Cu Goan Ciang bangkit dari
kursinya, berkata menyambut:
"Saudara-saudara sekalian! Marilah kita sambut utusan
Thio Ciangkun!"
Semua hadirin kenal siapa Thio Su Seng, dialah yang
menyulutkan api pemberontakan diwilayah sebelah selatan.
Pintu pesanggrahan lantas terbuka lebar. Dua orang
masuk membawa dua obor besar, kemudian berjalan
mendahului menyusur garis kiri dan garis kanan seolah-olah
merupakan batas jalan.
Tak lama kemudian masuklah tiga orang yang
mengenakan pakaian sederhana.
Yang berjalan didepan, seorang laki-laki berusia kurang
lebih, empat puluh lima tahun. Romannya bengis, pakaian
yang dikenakan sangat sederhana terbuat dari kain kasar, Dia
mengenakan sepatu rumput tanpa kaus kaki rambutnya kusut

403
masai dan lengan bajunya nampak usang, Kesan pribadinya
seperti petani yang gagal dalam masa panen, akan tetapi dia
sebenarnya seorang pembantu setia dari Thio Su Seng, dialah
Ang Sin Tiu.
Orang kedua yang berjalan di sebelah tengah, seorang
berkulit putih tampan dan bersih. Dia seorang sasterawan
berusia kurang lebih tigapuluh tahun, namanya Lie Hui Houw,
si Macan Terbang, Dialah panglima kesayangan Thio Su
Seng, yang asalnya keturunan seorang nelayan di pantai Tiociu,
tetapi karena jasa-jasa serta kesetiaannya ia dilantik jadi
panglima.
Dan orang ketiga adalah seorang laki-laki yang
perawakannya agak tinggi, berkulit putih dan mengenakan
pakaian seorang pelajar, usianya belum melebihi tiga puluh
tahun, meskipun demikian pandang matanya berwibawa
penuh, gerak-geriknya gesit. Dialah Thio Lian Cong, salah
seorang keponakan Thio Su Seng.
Sampai didepan gambar-gambar lambang perjuangan,
mereka bertiga berdiri tegak, kemudian membungkuk hormat.
Itulah suatu pernyataan duka cita dan penasaran atas
hilangnya beberapa orang pahlawan penjuang bangsa yang
tiada beritanya, setelah itu - panglima Lie Hui Houw berkata
kepada Cu Goan Ciang:
"Junjungan kami, Thio Pekhu Thio Su Seng, dengan ini
menyampaikan salam perjuangan kepada Cu Ciangkun,
Junjungan kami ikut berduka cita atas hilangnya beberapa
orang pahlawan pencinta bangsa dan negara yang diculik
pihak bangsa Mongolia. Rasa duka cita junjungan kami
dinyatakan dengan memaklumkan perang kepada pihak
penjajah beserta para pengikutnya."
Kata-kata Lie Hui Houw sebenarnya sederhana, tetapi
kesannya menarik hati lantaran kesederhanaannya itu dia

404
justru memperlihatkan wataknya yang tulus ikhlas dan jujur.
Maka para hadirin riuh rendah bertepuk tangan.
Cu Goan Ciang bangkit dari kursinya, membalas hormat
dan berkata:
"Terima kasih! Saudara-saudara kita yang hilang diculik
pihak pemerintah Mongolia, sebenarnya bukan hanya dari
orang-orang Beng-kauw saja. Karena itu sudah sepatutnyalah
kita bekerja sama dengan pihak laskar Thio Ciangkun, Tetapi
sebelum kami membicarakan hal ini, perkenankan kami
mengenal nama saudara."
"Namaku Lie Hui Houw, bertugas sebagai panglima pada
pasukan Thio Pekhu Thio Ciangkun, Tetapi sebenarnya aku
adalah seorang desa yang tidak mempunyai pengetahuan
dalam ilmu perang."
Kembali lagi para hadirin mendengar betapa jujur dan tulus
hati utusan dari Thio Su Seng itu, sekali lagi mereka bertepuk
tangan riuh.
"Jadi saudaralah yang terkenal dengan julukan Si Macan
Terbang?" kata Cu Goan Ciang, "Nama hengte sangat kami
kagumi. Dengan ini perkenankan kami atas nama saudarasaudara
yang hadir dalam pertemuan ini, untuk ..."
Belum lagi Cu Goan Ciang menyelesaikan perkataannya,
tiba-tiba Thio Kian Cong yang berdiri disebelah kiri Lie Hui
Houw, melesat ke pintu, Dengan melebarkan pandangnya
kearah hadirin dengan mata penuh selidik, ia bersikap
menghadang.
Keruan saja semua hadirin heran menyaksikan perbuatan
itu, setelah kena pandang mereka berbalik mengawasi utusan
yang menjadi keponakan Thio Su Seng itu.
Pada waktu itu, mendadak Hila Hian Cong menuding dua

405
orang berusia pertengahan yang duduk diantara para hadirin.
Terus membentak:
"Bukankah kalian berdua adalah orang-orangnya Tiam-tay
Hiat Ciu, mengapa berada di sini?"
Kata-kata itu membuat kaget sekalian hadirin. semua yang
hadir mengetahui bahwa Tiam-tay Hiat Ciu adalah seorang
pangeran pada Kerajaan Mongolia yang telah membinasakan
Gui Tiong Cian dan keluarga Koh, serta sekaligus
menyingkirkan orang-orang yang menjadi pengikutnya Gui
Tiong Cian, karena Gui Tiong Cian yang bergerak disebelah
Timur untuk menentang pemerintah penjajah, dianggap kian
hari kian membahayakan, sekarang para hadirin mendengar
tuduhan Thio Hian Cong bahwa ke dua tetamu yang berada
diantara mereka adalah begundalnya Tiam-tay Hiat Ciu, jelas
mereka merupakan mata-mata dari pihak pemerintah
penjajah- Benarkah tuduhan itu?
Dua orang yang kena tuding itu tetap saja duduk di
kursinya, Yang pertama seorang laki-laki kira-kira berusia
ampatpuluh tahun, Mukanya licin dan sikapnya sopan sekali,
perawakan tubuhnya tinggi semampai, sedang yang kedua
berkulit agak hitam sehingga mengingatkan orang kepada
suku-bangsa Biauw.
Si hitam ini nampak terkejut ketika kena tuding, akan tetapi
pada detik itu pula ia dapat bersikap tenang kembali. ia
menegas sambil tertawa lebar:
"Mungkin anda salah lihat."
"Salah lihat?" bentak Thio Hian Cong, "Bukankah kau Sie
Liong Tauwsu dan kawanmu itu bernama Kim Sie Pa? Hem!
Dengan kedua telingaku sendiri aku mendengar kalian kasakkusuk
di rumah penginapan.

406
Lantas kalian berdua menelusup kemari. siapapun akan
tahu apa maksud kalian menyelundup ke mari, Dengan tandatanda
sandi, kalian akan memberi kabar kepada tentara
Mongolia untuk segera menyerbu kemari. Bukankah
demikian? Ya, begitulah kasak-kusukmu di dalam
penginapan."
Mendengar perkataan Thio Hian Cong, orang yang disebut
sie Liong Tauwsu itu segera menghunus goloknya.
Lalu melompat menerjang dan segera hendak menyerang.
Akan tetapi kawannya - Kim Sie Pa segera mencegahnya.
Dengan sikap tenang, Kim Sie Pa berkata.
"Gui Tiong Cian bergerak di wilayah sebelah Timur, dia
membanggakan diri sebagai seorang pejuang bangsa,
padahal dia bercita-cita menjadi seorang raja dengan
melupakan rekan-rekan yang lain, Bukankah memang pantas
kalau dia dibasmi ?"
Suara Kim Sie Pa halus tetapi tajam. Kata-katanya
mempunyai pengaruh besar sehingga para hadirin yang
mendengar jelas menjadi berbimbang hati.
Si Macan Terbang Lie Hui Houw yang menyaksikan
keadaan itu, segera ikut berkata:
"Siapakah kau sebenamya? Bukankah kau telah mengabdi
kepada pihak pemerintah penjajah Mongolia dan mendapat
pangkat Letnan? sebagai seorang penghianat bangsa, jelas
perkataanmu merupakan hasutan belaka!"
Mendengar perkataan Lie Hui Houw.
Letnan Kim Sie Pa tergugu, Mulutnya nampak bergerakgerak
hendak mengucapkan kata-kata, akan tetapi berhenti di
kerongkongannya. Menyaksikan hal ini Cu Goan Ciang segera
mendekati. Tanyanya menegas:

407
"Apakah benar, kau adalah seorang Letnan dari tentara
penjajah? Coba jawab pertanyaanku ini!"
Tak dapat Letnan Kim Sie Pa berpura-pura dungu lebih
lama lagi, segera ia mengerling kepada Sie Liong Tauwsu dan
memberi isyarat mata, Sie Liong Tauwsu lantas saja meloncat
ke pintu. setelah itu, Kini Sie Pa segera menyusul. Malahan
dia lantas saja membabat wajah Thio Hian Cong dengan
pedangnya.
Gerak-gerik Kim Sie Pa gesit sekali, dalam sekejap mata ia
menghujani dada Thio Hian Cong dengan tikaman-tikaman
berbahaya.
Utusan Thio Su Seng datang ke pesanggrahan, sematamata
untuk menyatakan rasa setia kawan. Sama sekali
mereka tidak mempersiapkan senjata, itu lah sebabnya
serangkaian serangan Kim Sie Pa dan Sie Liong Tauwsu yang
bekerja sama rapi dan cepat, membuat sekalian hadirin
terperanjat dan cemas.
Diantara mereka lapat-lapat seperti telah pernah
mendengar nama Kim Sie Pa - seorang penghianat bangsa
yang dahulu pernah tertangkap oleh pasukan Thio Su Seng,
tetapi kemudian dibebaskan kembali karena bukti-bukti yang
diperoleh waktu itu belum lengkap.
Dengan gesit dan gerak tubuh yang lincah, Thio Hian Cong
melakukan perlawanan dengan tangan kosong.
Sementara itu Thio Hian Cong ternyata seorang
berkepandaian tinggi.
Dengan gerakan sebat luar biasa tangan kirinya tiba-tiba
mendahului gerakan pedang Kim Sie Pa, ia mengendapkan
tubuhnya sedikit, lalu tangan kanannya menyambar
menghantam Sie Liong Tauwsu, Karena tubuhnya sudah

408
merendah maka ia tak khawatir kena tikaman pedang Kim Sie
Pa.
Menyaksikan kegesitan tubuh Thio Hian Cong, tanpa
merasa para hadirin bersorak sorai memuji. Dengan seorang
diri saja kedua tangannya dapat melabrak kedua
penyerangnya dengan sekaligus. Dan kedua penyerangnya itu
ternyata dapat diundurkan. Sebab apabila kasep sedikit saja,
mereka pasti akan kena tercengkeram tangan perkasa Thio
Hian Cong.
Kini para hadirin berubah menjadi girang dan berada
dipihak Thio Hian Cong. Tadinya, banyak diantara mereka
yang hendak membantu, Menyaksikan kegesitan dan
kegagahan Thio Hian Cong, mereka lantas saja menonton.
Hebat cara perlawanan Thio Hian Cong, kedua tangannya
menyambar-nyambar tiada hentinya dengan cepat dan sebat,
Kim Sie Pa berdua Sie Liong Tauw su dibuat sibuk tak keruan.
Mereka berdua kini sadar pula bahwa mereka yang tadinya
hendak, mengepung Thio Hian Cong, kini malahan kena
kepung rapat-rapat, Mereka berdua tak ubah tercebur kedalam
sarang harimau yang setiap saat mengancam jiwanya.
Itulah sebabnya mereka berkelahi sambil mundur
perlahan-lahan. Kemudian dengan tiba-tiba merangsak maju
mendesak. Maksudnya jelas, apabila Thio Hian Cong kena
didesak mundur, dengan sekali menjejakkan kaki mereka
hendak meloloskan diri lewat pintu depan.
Akan tetapi Thio Hian Cong bukan pendekar yang muda
kena diingusi, ia berkelahi sangat hati-hati. Mula-mula
membela diri, kini berbalik menyerang. Tak perduli ia
bertangan kosong, nyatanya berkali-kali ia dapat merintangi
maksud kedua penyerangnya dengan rapat sekali.

409
Kedua kakinya yang teguh tetap menjaga ambang pintu,
sehingga Kim Sie Pa maupun Sie Liong Tauwsu tiada
memperoleh kesempatan untuk bisa lolos dari penjagaannya.
Dalam seribu kesibukan Kim Sie Pa menjadi nekat, Tangan
kirinya menghunus pedang pendek, dengan demikian ia
menggunakan sepasang pedang, panjang dan pendek.
Kemudian merabu dan merangsak Thio Hian Cong dengan
mati-matian, ia harus bisa merobohkan lawannya itu sebelum
tercapai maksudnya mendekati pintu.
Sie Liong Tauwsu yang berada di sampingnya, rupanya
mengerti pula maksud kawannya. segera ia bergulingan diatas
tanah dan membabat kedua kaki Thio Hian Cong, itulah cara
berkelahi yang sangat berbahaya, setiap saat Thio Hian Cong
bakal kena dikutungi.
Tetapi Thio Hian Cong nampang tenang-tenang saja, ia
dapat diundurkan beberapa langkah, walaupun demikian
langkahnya tidak menjadi kacau, Bahkan sebentar kemudian
ia berbalik dapat mendesak lagi, sehingga kedudukannya
kembali seperti semula.
Pertempuran mereka makin lama jadi semakin seru,
Bayangan mereka berkelebatan menyambar-nyambar
sehingga mengaburkan penglihatan para hadirin, Kim Sie Pa
nampak menjadi gemas sekali, ingin ia bisa mengutungi tubuh
lawan dengan cepat, oleh hasrat itu lantas saja ia merangsak
maju. Tepat pada saat itu ia mendengar Sie Liong Tauwsu
memekik kesakitan, Pedangnya terpentalkeudara dan
tangannya terkulai ke bawah.
Dan pada saat itu, muncullah seorang laki-laki kedalam
gelanggang menyambar pedang yang terpental keudara.
Ternyata dia adalah Ouw Sam Ciu, gurunya Thio Sin Houw.
Berbareng dengan terlemparnya pedang ke udara, Thio
Hian Cong menendangkan kakinya. Tak ampun lagi, Sie Liong

410
Tauwsu terjungkal roboh. Tepat pada saat itu, kaki kirinya
melayang menendang Kim Sie Pa pula!
Kim Sie Pa ternyata lebih gesit dari Sie Liong Tauwsu.
Masih dapat ia meloloskan diri dari samberan kaki. pedangnya
berkelebat membalas menyerang, lagi-lagi yang diarahnya
kedua kaki dan tangan Thio Hian Cong.
Thio Hian Cong ternyata tidak hanya perkasa dan gagah
saja, akan tetapi gesit pula, ia membiarkan ujung pedang Kim
Sie Pa nyaris menyentuh dadanya, Dan tiba-tiba ia
memiringkan tubuhnya, tangannya berkelebat menyambar
hulu pedang dan ditariknya dengan suatu hentakan.
Keruan saja Kim Sie Pa kaget setengah mati, Tak dapat ia
mempertahankan pedangnya, terpaksa ia melepaskannya.
Dan pada saat itu tangan kirinya yang membawa pedang
pendek menikam!
Thio Hian Cong melihat berke1e-batnya pedang pendek,
cepat sekali ia memutar pedang rampasannya dan menangkis.
"Trang!"
Api meletik berbareng dengan suara nyaring yang
mengaung-ngaung memenuhi ruangan pesanggrahan. Dan
celakalah Kim Sie Pa!
Selagi tangannya tergetar karena adu tenaga itu, tiba-tiba
saja Thio Hian Cong mengulangi serangannya lagi, Dan
pedang pendeknya terpental runtuh diatas tanah. Karena ia
tidak bersenjata lagi, terpaksalah ia mundur dan mundur.
Thio Hian Cong tertawa panjang, sambil tertawa tangan
kanannya menyambar dada, Letnan Kim Sie Pa mati kutu.
Tubuhnya kena diangkat tinggi diudara.

411
Di luar dugaan tangan kiri Thio Hian Cong merenggut
tengkuk Kim Sie Pa yang menjadi mati daya. seperti
menenteng suatu benda, Thio Hian Cong lantas
menghadapkan orang tawanannya kepada Cu Goan Ciang.
Semua hadirin kagum dan memuji-muji kegagahannya
Thio Hian Cong, sementara Cu kauwcu memerintahkan empat
orang untuk membawa Kim Sie Pa berdua Sie Liong Tauwsu
keluar pesanggrahan, nasib kedua mata-mata itu tidak lagi
perlu diketahui.
"Jika tiada pertolongan hengtee bertiga, tentu sekali kami
bakal mengalami bencana." kata Cu Kauwcu kepada panglima
Lie Hui Houw, setelah itu ia memberi hormat menyatakan rasa
terima kasihnya.
Buru-buru panglima Lie Hui Houw membalas hormatnya.
"Akh, itupun hanya secara kebetulan saja, selama ditengah
jalan kami melihat dua orang tadi yang gerak-geriknya sangat
mencurigakan selagi mereka menginap, kami bertiga telah
mengintainya, Kesudahannya kami segera mengetahui dan
mengenal siapa mereka sebenarnya. Rupanya mereka berdua
belum insyaf kalau kami intai, sehingga berbicara kasak-kusuk
dengan leluasa.
Sementara Cu Kauwcu berbicara dengan panglima Lie Hui
Houw, Ouw Sam ciu mendekati Thio Hian Cong, Mereka
berdua saling berangkulan, dan tatkala Lie Hui Houw dibawa
oleh Cu Kauwcu untuk membicarakan masalah-masalah yang
resmi, maka Ouw Sam ciu mengajak Thio Hian Cong keluar
pesanggrahan, Katanya sambil berjalan mencari tempat yang
sepi:
"Thio kongcu, walaupun kita baru bertemu lagi, tetapi
rasanya seperti baru saja kemarin kita berpisah."

412
"Akh, Ouw ciangkun, Aku justeru merasa kangen sekali.
setelah sekarang kita bertemu lagi, rasa hatiku girang bukan
main!" sahut Thio Hian Cong.
Ouw Sam Ciu tertawa lebar. Katanya:
"Sesungguhnya, aku juga girang sekali. Tetapi apa
kabarnya dengan Ciu Siu Tojin?"
Cit Siu Tojin adalah gurunya Thio Hian Cong, sekaligus
merupakan pembantu utama gerakan Thio Su Seng yang
bertindak sebagai penasehat.
Memperoleh pertanyaan itu, wajah Thio Hian Cong
berubah. sahutnya :
"Guruku telah gugur dimedang perang, beberapa bulan
yang lalu."
Tatkala itu Coa Kim siong menyusul, setelah saling
memberi hormat, baik Coa Kim siong maupun kakak
seperguruannya, ouw Sam Ciu, segera menuturkan dan
menerangkan maksudnya.
Sudah satu tahun Thio Sin Houw belajar kepada mereka
berempat, tetapi karena mereka merasa tidak memadai untuk
menjadi guru dari anak itu, maka mereka bermaksud hendak
meminta bantuan Cit Siu Tojin untuk mendidiknya, tetapi
karena sekarang mereka mengetahui bahwa Cit-siu Tojin telah
binasa, maka mereka bermaksud menyerahkan Thio Sin Houw
kepada Thio Hian Cong.
"Anak itu mempunyai masa depan gemilang, kami
berempat telah mencoba mendidik dalam hal ilmu
pengetahuan dan ilmu kepandaian. Otaknya sangat terang
dan bakatnya sangat baik sekali, daya ingatannya jauh
melebihi kami berempat.

413
Baru satu tahun dia belajar kepada kami, kepandaian kami
sudah di hirupnya habis. Dia masih sangat muda, sedangkan
banyak hal-hal yang terjadi didunia ini belum diketahuinya dan
di insafinya, Kami berempat berpendapat bahwa apabila anak
itu berada dibawah asuhan Thio ciangkun, akan memperoleh
kemajuan pesat, sebaliknya apabila tetap ditangan kami, sukar
sekali ia memperoleh kemajuan ..." demikian Ouw Sam Ciu
menambahkan perkataannya.
Mendengar alasan Ouw Sam Ciu, maka Thio Hian Cong
diam menimbang-nimbang, sejenak kemudian berkata:
"Jadi jiewie mengharap aku mendidiknya?"
Ouw Sam Ciu berdua Coa Kim siong manggut berbareng.
Sahut Ouw Sam Ciu:
"Kami tadi memperoleh kesempatan menyaksikan ilmu
kepandaian hiantee, ternyata ilmu kepandaian hiantee sepuluh
kali lipat tingginya dari pada ilmu kepandaian kami berempat,
itulah sebabnya apabila hiantee tidak keberatan untuk
menerima dia sebagai murid, pasti kami merasa sangat
gembira dan berterima kasih sekali."
Setelah berkata demikian, Ouw Sam Ciu berdua Coa Kim
siong lalu membungkuk hormat. Keruan saja Thio Hian Cong
menjadi tersipu, Cepat-cepat ia membalas hormat, ujarnya:
"Jiwie sangat menghargai aku, sudah sepantasnya bila aku
menerimanya, hanya sayang, sekarang ini aku berada dalam
laskar perjuangan Thio pekhu, siang dan malam tiada waktu
tertentu.
Setiap kali aku dikirimkan ke medan perang melakukan
tugas, seringkali pula aku bertempur melawan tentara
penjajah, Entah berapa lama lagi umurku, itulah sebabnya,
meskipun aku membawa murid jiwie, akan banyak gagalnya
dari pada hasilnya. Sebab, sama sekali aku tidak mempunyai

414
waktu luang untuk men-didiknya, selain itu, keselamatannya
selalu terancam."
Alasan itu masuk akal, sehingga Ouw Sam Ciu maupun
Coa Kim siong menjadi putus asa. Dan melihat mereka
berputus asa, Thio Hian Cong menjadi gelisah, Katanya tak
jelas seolah-olah kepada dirinya sendiri:
"Ada seorang sakti yang memiliki ilmu kepandaian seratus
kali lipat dari pada aku. Jika dia sudi menerima murid jiwie,
benar-benar merupakan karunia Tuhan ..." sampai disitu
mendadak saja ia menggoyangkan kepalanya.
Lalu berkata lagi: "Tidak! Tidak mungkin! ini tak mungkin
bisa terjadi..."
Ouw Sam Ciu berdua heran. Coa Kim siong lantas saja
minta keterangan:
"Siapakah orang itu?"
"ltulah orang aneh yang kusebutkan tadi," jawab Thio Hian
Cong, "Kepandaianriya tiada batasnya, dia hanya mengajarku
selama enam bulan saja, Tapi meskipun demikian, aku sudah
dapat memiliki kepandaian seperti sekarang. padahal apa
yang kuwarisi itu, barulah kulitnya saja ..."
"Siapakah orang aneh itu?" Coba Kim Liong menegas,
suaranya bernada girang bukan kepalang.
"Dia aneh tabiatnya," Thio Hian Cong memberikan
keterangan. "Dia mengajarku ilmu kepandaian, tetapi dia
melarangku menyebutnya sebagai guru, Diapun melarangku
memberitahukan kepada siapa saja tentang nama dan
tempatnya, itulah sebabnya hatiku berbimbang-bimbang,
apakah dia sudi menerima murid jiwie sebagai muridnya."

415
"Di manakah tempat tinggal orang aneh itu?" Ouw Sam Ciu
ikut mengajukan pertanyaan.
"Tadi sudah kukatakan, aku dilarang menyebutkannya.
Dan sebenarnya aku sendiri tidak tahu, Agaknya dia tidak
mempunyai tempat tinggal yang tetap, Mungkin sekali dia
seorang perantau yang berjalan dari tempat ke tempat. Datang
dan pergi seenaknya saja. Ke mana perginya dan kapan
datangnya tidak pernah memberi kabar kepadaku."
Ouw Sam ciu berdua merasa kewalahan memperoleh
keterangan dari Thio Hian Cong. sekarang tinggal satu usaha
lagi, yakni dengan memanggil Thio Sin Houw menghadap.
Anak itu lantas di perkenalkan kepada Thio Hian Cong.
Senang Thio Hian Cong melihat pemuda itu, yang beroman
cakap, bertubuh sehat dan memiliki marga sama seperti
dirinya. Tatkala ia minta keterangan sampai dimana Thio Sin
Houw belajar ke pada Ouw Sam ciu berempat, anak itu segera
dapat menjawab dengan rapi sekali. Tiba-tiba bertanyalah
Thio Sin Houw dengan tak segan-segan lagi kepada Thio Hian
Cong.
"Thio susiok, tatkala susiok merobohkan dua mata-mata
tadi, pukulan apakah yang susiok gunakan?"
Thio Hian Cong tertawa lebar. Tak pernah disangkanya,
anak itu memperhatikan, jawabnya:
"ltu adalah pukulan "Hok-houw ciang" (Harimau
mendekam) , salati satu pecahan dari Sha-cap lak-lou Kim- na
hoat."
"Mengapa begitu cepat dan dahsyat ... ? kedua mataku
sampai tak sanggup mengikuti gerakannya." ujar Thio Sin
Houw.
"Apakah kau ingin mempelajari ilmu pukulan itu?"

416
Tentu saja tawaran itu menggirangkan benar, Thio Sin
Houw seorang anak yang cerdas pula, lantas saja ia
menyahut:
"Jika Thio susiok sudi mengajari-ku, aku girang sekali!"
Thio Hian Cong menoleh kepada Ouw Sam Ciu, Katanya
kemudian:
"Setelah pertemuan ini, aku ditugaskan Thio Pekhu untuk
tetap hadir diantara saudara-saudara seperjuangan seminggu
atau dua minggu, biarlah kesempatan ini kupergunakan untuk
menurunkan beberapa jurus ilmu kepada murid jiwie toako."
Tentu saja Ouw Sam ciu berdua girang bukan kepalang,
cepat-cepat mereka menghaturkan terima kasih. sedang Thio
Sin Houw lantas pula membungkuk hormat.
Pada hari ketiga pertemuan resmi, boleh dikatakan sudah
selesai. Antara Lie Hui Houw dan Cu Kauwcu telah terjadi
kata-sepakat, untuk mengadakan perserikatan, Masingmasing
pihak bertekad hendak menggempur pihak pemerintah
penjajah, sampai bangsa Mongolia dapat diusir seluruhnya
dari daratan Cina, maka dengan tercapainya kata sepakat itu,
pada hari keempat pertemuan antar angkatan dibubarkan.
Cu Kauwcu segera mengantarkan para tetamu untuk
berpisahan, Mereka pulang dengan puas dan menyanyikan
lagu-lagu perjuangan, membuat sekitar tempat yang sunyi sepi
itu lantas saja tergetar kena perbawanya.
Lie Hui Houw pulang ke daerahnya beserta Ang Sin Tiu,
sedangkan Thio Hian Cong tetap berada diatas gunung
menemani Cu Kauwcu, Dan Ouw Sam ciu berampat selalu
menemani. sebaliknya selama hari-hari itu Thio Sin Houw
mencari dimana beradanya Lie Hong Kiauw.

417
Thio Sin Houw menyadari apa sebab ke empat gurunya
tiba-tiba menyerahkan dirinya kepada Thio Hian Cong, itu
semua berkat pengaruh Lie Hong Kiauw.
Gadis yang selalu bersikap rahasia itu, kian menjadi tekateki
besar baginya, siapakah sesungguhnya Lie Hong Kiauw?
pastilah dia bukan seorang gadis sembarangan!
Diatas meja, ia menemukan sepucuk surat. sederhana saja
bunyinya, Begini bunyi surat itu:
"Adikku Sin Houw!
Aku telah mendengar kabar dari ke empat gurumu, hatiku
girang bukan kepalang.
Belajarlah dengan sungguh-sungguh, tetapi jangan lupa
obat pemunah racun Hian-beng Sin ciang! setiap kali kau
harus menelannya, dan jangan sampai kau buang!"
*****
TERHARU DAN GELI, Thio Sin Houw yang membaca
surat Lie Hong Kiauw, Di buang? Dan teringat akan jasa-jasa
Lie Hong Kiauw yang merawat dirinya begitu cermat dan
sabar, membuat hatinya sangat pilu, seumpama tidak teringat
bahwa apa yang dilakukan itu semata-mata sebagai persiapan
balas dendam demi ketenteraman arwah ayah-ibunya, pastilah
dia sudah turun gunung untun mencari gadis itu, Apabila gadis
itu kembali ke lembah Ouw-tiap san.
Pada malam itu ia tidur sekamar dengan ke empat
gurunya, waktu itu panitya pertemuan masih sibuk
membereskan perkemahan, Karena itu masing masing sibuk
dalam urusannya sendiri.
Thio Hian Cong yang memperoleh kamar didepan kamar

418
Thio Sin Houw dan guru-gurunya, datang menyambangi. Kata
pemuda gagah itu:
"Suwie toako sekalian, Begitu aku melihat muka murid
kalian, hatiku sangat tertarik. Aku mempunyai kesan bahwa ..."
"Teruskan, hiantee." kata Ouw Sam ciu karena melihat
Thio Hian Cong ragu ragu.
"Rupanya dia telah memperoleh dasar-dasar ilmu sakti
Boe-tong pay, ini sangat memudahkan untuk ia menerima
ajaran jurus-jurus sakti yang kuperoleh dari orang aneh itu,
Sebab orang aneh itu sesungguhnya mewariskan rahasia inti
ilmu saktinya kepadaku, Sebab itu aku akan meniru dan
mencontoh cara menurunkan ajarannya kepadaku dahulu,
Akan tetapi tentu saja aku tak dapat membuat anak itu bisa
mewarisi dengan sempurna, lantaran waktunya sangat sempit.
Namun diatas segalanya ini masih ada Tuhan yang Maha
pengasih - selain itu masih ada harapan lagi yang boleh kita
andalkan, yakni bakat dan pembawaan, kerajinan serta
keuletan calon pewarisnya, Menimbang semuanya itu,
perkenankan aku mengundang namanya saja dari pada
sebagai guru dan murid. Sebab nyatanya, tak dapat aku
berjanji akan terus menerus meniliknya."
"Alasan hiantee kurang tepat." ujar Ouw sam Ciu, "Apabila
Sin Houw sudah menerima ajaran dari hiantee, satu atau dua
jurus saja artinya dia sudah menjadi muridmu, dan hiante
berhak menyebut diri sebagai gurunya."
Thio Hian Cong dapat menerima alasan Ouw Sam Ciu,
akan tetapi pendiriannya tak dapat diubahnya lagi, Tetap saja
ia hanya mengakui dirinya sebagai paman angkat saja,
sedangkan Sin Houw sebagai anak angkatnya. Karena itu
Ouw Sam Ciu berempat terpaksa menerima keputusan itu.
Mereka berempat tahu bahwa Thio Hian Cong akan

419
menurunkan warisan-warisan ilmu sakti tinggi, yang tentu saja
tak boleh dilihat seseorang, itulah sebabnya, Ouw Sam Ciu
berempat segera berpindah kamar, dan Sin Houw tidur
sekamar dengan Thio Hian Cong.
Thio Hian Cong menunggu sampai mereka berampat
masuk ke dalam kamarnya. Kemudian ia membawa Thio Sin
Houw berjalan keluar, Malam hari waktu itu sangat pekat
sehingga baik Thio Hian Cong maupun Sin Houw tak dapat
melihat tubuhnya masing-masing. Kata Thio Hian Cong:
"llmu kepandaianku ini kuperoleh dari seorang sakti yang
telah berusia lanjut, Aku sendiri belum berhasil menyelami
sampai ketataran kesempurnaan Meskipun demikian, apabila
hanya untuk melayani jago-jago kelas dua atau kelas tiga,
rasanya sudah cukup, Tatkala aku mewarisi ilmu pukulan ini,
orang aneh itu memaksa aku untuk bersumpah kepadanya,
bahwasanya sejak itu tak boleh aku menghina orang-orang
yang berkelakuan baik atau mencelakai seseorang tanpa
alasan..."
Thio Sin Houw seorang anak yang cerdik, segera ia
mengerti maksud Thio Hian Cong, Katanya didalam hati:
"Sebelum menerima ajarannya, aku diwajibkan bersumpah
dengan berlutut. Aku dibawanya berjalan ditengah malam
yang gelap pekat, Maksudnya bukan aku berlutut kepadanya,
akan tetapi kepada diriku sendiri dan bersembah kepada
orang aneh yang memiliki ilmu sakti yang akan diajarkan.
Memperoleh pikiran demikian, segera ia berlutut benarbenar,
serunya:
"Aku Thio Sin Houw, dengan ini bersumpah kepada diriku
sendiri, kepada pemilik ilmu sakti yang akan diajarkan
kepadaku, kepada bumi dan langit serta Tuhan, bahwasanya
setelah aku mewarisi ilmu sakti ini tidak akan kupergunakan
untuk menghina orang orang yang bertabiat baik dan

420
mencelakai seorang tanpa alasan apabila ternyata -
dikemudian hari aku melanggar " sumpah ini, paman Thio Hian
Cong boleh datang kepadaku, untuk membunuh diriku."
Mendengar sumpah Sin Houw, Thio Hian Cong tertawa.
ujarnya:
"Bagus! Berdirilah tegak kembali dan dengarkanlah!
Tahukah kau, ilmu sakti apakah yang hendak kuajarkan
kepadamu ?"
"Pastilah ilmu sakti yang terelok didunia ini!" jawab Sin
Houw dengan suara penuh semangat.
Sekali lagi Thio Hian Cong tertawa. Berkata:
"lnilah ilmu sakti Hok-houw ciang - esok pagi bisa kita
mulai ..."
Thio Hian Cong berkata "esok pagi ", akan tetapi tiba-tiba
tubuhnya melesat. Gerakan itu mengherankan dan
mengagumkan Thio Sin Houw. Gurunya yang baru itu lenyap
dari pengamatannya, Tatkala menoleh, gurunya sudah berada
dibelakang punggungnya dan menepuk pundaknya.
"Kau tangkaplah aku!" seru gurunya.
Thio Sin Houw telah memperoleh dasar-dasar ajaran ilmu
sakti dari ke empat gurunya. Kecuali dasar pembawaannya
baik, diapun seorang anak yang cerdik dan cerdas luar biasa.
Begitu mendengar seruan Thio Hian Cong, ia tidak segera
memutar tubuhnya untuk menangkap.
Akan tetapi ia mengendapkan pundaknya dahulu,
kemudian baru tangan kirinya digerakkan. Dan tangan
kanannya tiba-tiba menyusul menyambar sambil
mendengarkan kesiur angin gerakan tubuh gurunya. Dan pada

421
saat itulah, kedua tangannya tiba-tiba menyambar ke arah
kaki.
"Bagus! inilah cara menangkap yang tiada celanya sama
sekali!" seru gurunya, Namun sambaran yang bagus itu tiada
hasilnya. Sebaliknya, sekali lagi pundaknya kena tepuk. Sin
Houw kaget, secepat kilat ia memutar tubuh, tetapi tubuh
gurunya, lagi-lagi luput dari pengamatan.
Menghadapi kecepatan gerak gurunya itu, otak Thio Sin
Houw yang cerdik lantas saja bekerja. Teringatlah dia ajaranajaran
Ouw Sam Ciu berempat yang pernah memberinya
dasar-dasar ilmu sakti. sekarang, tidak lagi ia memutar tubuh
atau menyambar sasaran.
Sebaliknya, selangkah demi selangkah ia berjalan
mengarah ke sebuah batu besar, Begitu menghampiri, segera
ia memutar tubuhnya dengan dinding batu di belakang
punggungnya. Kemudian berseru girang:
"Suhu, sekarang tak dapat lagi suhu menyelinap
dibelakang punggungku, Aku dapat melihat gerakan suhu!"
Inilah suatu kecerdikan yang mengagumkan Thio Hian
Cong. Dengan berdiri didepan sebuah batu besar, tak dapat
lagi ia menyelinap dibelakangnya anak itu, Maka sambil
tertawa ia menyahut:
"Bagus! Bagus sekali ! Kau cerdik dan mempunyai bakat
besar! Di kemudian hari pastilah kau dapat mewarisi ilmu sakti
Hok-houw ciang dengan sempurna."
Keesokan harinya, Thio Hian Cong mulai memberikan
pelajaran jurus jurus ilmu saktinya. Dalam beberapa hari saja
selesailah sudah seratus delapan jurus yang mempunyai tiga
perubahan pada setiap gerakannya. Mengelak dan menyerang
silih berganti, sehingga semua jurusnya berjumlah tigaratus
dua puluh empat.

422
Seperti diketahui, Thio Sin Houw memiliki otak yang cerdas
luar biasa, yang jarang terdapat di dunia. Baru saja diajari tiga
kali, sudah dapat ia menghafal dan memahami semuanya.
Bahkan dengan perlahan-lahan ia dapat pula melakukan
gerakan-gerakan jurus ilmu sakti Hok-houw elang dengan
tepat sekali.
Menyaksikan hal itu, diam-diam Thio Hian Cong
bergembira bukankepalang. Terus saja ia mulai memecahkan
intisari jurus-jurus yang telah dipahaminya itu, Pandai sekali
Thio Hian Cong meresapkan ajarannya kedalam
perbendaharaan muridnya, Sebaliknya, Thio Sin Houw yang
mempunyai bekal sangat luar biasa dan bersungguh-sungguh,
dengan mudah saja dapat menangkapsemua keterangan dan
penjelasan gurunya. inilah yang dinamakan suatu perjodohan.
Gurunya rajin, ulat dan cermat, sedangkan muridnya
bersemangat penuh dan bersungguh-sungguh, dengan mudah
dapat menangkap semua keterangan dan penjelasan gurunya,
Pada setiap malam, tigapuluh jurus dengan pecahpecahannya
dan perubahannya, dapat di lampaui dengan
cepat serta sempurna. Apabila sedang berlatih, anak itu tidak
mengingat waktu lagi, Tahu-tahu fajar hari telah tiba.
Pada pagi hari ke empat, tatkala Thio Hian Cong berjalanjalan
menghirup udara segar, tiba-tiba ia melihat Thio Sin
Houw masih saja asyik berlatih. ia jadi kagum akan
kemauannya yang keras, setelah memperhatikan selintasan,
ia menjadi heran lantaran muridnya dapat melakukan inti
rahasia ilmu Hok-hok ciang dengan sempurna.
Padahal ia baru saja mengajarkannya.
Keruan saja ia bersyukur dalam hati.
Dengan berindap-indap ia menghampiri muridnya,

423
kemudian melompat dengan mendadak serta menghantam
punggung.
Thio Sin Houw kala itu sedang bertekun menyelidiki jurus
ke sembilan puluh delapan, Tiba-tiba ia mendengar kesiuran
angin tajam mengancam punggungnya. Cepat luar biasa ia
berputar tubuh sambil meloncat ke samping, Tangan
kanannya ditabaskan untuk menangkis berkelebatnya kaki
yang menendang dirinya, Akan tetapi begitu mengenal
siapakah penyerangnya, segera ia menarik tangkisannya,
"Thio susiok!" serunya girang.
"Jangan berhenti ! Hayo, serang terus !" sahut Thio Hian
Cong dengan tertawa. ia mendahului menyerang kepala.
Dengan cepat Sin Houw mengelakkan diri, Kakinya
dimajukan selangkah agak kesamping, dan dari situ ia mulai
mengirimkan serangannya mengarah pinggang, inilah jurus ke
sembilan puluh delapan.
"Bagus! Begitulah seharusnya!" puji Thio Hian Cong, Guru
ini segera menangkis dan kembali menyerang.
Thio Sin Houw melayani serangan gurunya beberapa jam
lamanya. seringkali ia salah langkah dan gurunya segera
membetulkan, sehingga ia jadi sangat bersyukur. semangat
tempurnya makin lama makin menghebat. Terus , menerus ia
melayani gurunya, sehingga habis lah semua tiga ratus dua
puluh empat jurus. Namun gurunya enggan berhenti.
Bahkan dia menyerang lagi dan mengulang semua jurusjurus
pukulan sampai beberapa kali, Dan Thio Sin Houw
sendiri seakan-akan memperoleh suatu mustika yang tak
ternilai harganya. Dengan tak disadari sendiri ia telah
menggenggam beberapa macam rahasia pukulan Hok-hok
ciang, yang belum pernah diperolehnya dari keempat gurunya

424
dahulu.
"Sekarang marilah kita beristirahat !" ajak Thio Hian Cong
telah melihat muridnya itu mandi keringat. Akan tetapi selagi
duduk beristirahat, ia mulai memberikan berbagai penjelasan
penting. Dan apabila melihat muridnya sudah cukup
beristirahat, kembali lagi ia melatihnya dengan sungguhsungguh.
Mereka berdua, guru dan murid terus menerus berlatih
sampai tiba saat bersantap pagi hari, Kemudian kembali
mereka berlatih lagi sampai matahari condong ke barat,
setelah makan siang, lagi-lagi mereka berdua berlatih sampai
jauh malam.
Tegasnya, mereka berhenti beristirahat apabila waktu
makan tiba, Tak terasa, tujuh hari lewatlah sudah, Pada
malam hari ke delapan Thio Hian Cong berkata kepada Sin
Houw:
"Sin Houw, apa yang kumiliki kini telah kuberikan
kepadamu, sekarang tinggal caramu meyakinkannya, Apabila
menghadapi musuh, seseorang akan mengandal pada tujuh
bagian latihannya dan tiga bagian pada kecerdasannya,
apabila kau hanya mengandal kepada latihanmu saja, akan
sukarlah memperoleh kemenangan. sebaliknya apabila
engkau hanya mengandal kepada kecerdasanmu belaka,
hasilnya sama pula, Kau tidak akan berdaya, karena kau
melupakan latihanmu, Kedua unsur itu harus saling mengisi."
Dengan bersungguh-sungguh Thio Sin Houw merasukkan
nasehat gurunya itu kedalam perbendaharaan hatinya. Di
kemudian hari ia dapat membuktikan kebenaran pesan itu.
Karena rajin berlatih dan dibantu oleh kecerdasan otaknya, ia
berhasil melampiaskan dendam orang tuanya yang mati tak
berliang kubur.
"Esok pagi aku harus bergabung kepada Lie Ciangkun

425
kembali," kata Thio Hian Cong lagi. Maka semenjak malam ini,
kau harus sanggup berlatih seorang diri.
Merah kedua mata Thio Sin Houw mendengar ucapan
gurunya itu. Hampir-hampir saja tak sanggup menahan
linangan air matanya, benar dia baru berkumpul beberapa hari
saja, akan tetapi sepak terjang gurunya itu sangat menawan
hatinya. Dia seorang yang manis budi, mengajarnya dengan
sungguh-sungguh.
Thio Hian Cong sebenarnya seorang peperangan yang
ulung. seringkali ia melihat berbagai peristiwa yang
menggoncangkan hatinya. walaupun demikian, melihat
muridnya itu mendadak menundukkan kepalanya, hatinya tak
urung menjadi terharu pula.
Terus saja ia mengusap-usap rambut anak itu. Katanya
dengan suara membujuk:
"Sin Houw! jarang sekali aku bertemu dengan seorang
yang berbakat dan cerdik sebagai kau. Hanya sayang sekali,
kita berdua tidak diperkenankan berkumpul lebih lama lagi."
"Bagaimana kalau aku ikut susiok saja, bergabung dengan
Lie Ciangkun?" Thio Sin Houw mencoba.
"Kau masih terlalu muda, Sin Houw - belum bisa kau hidup
didalam kancah peperangan." sahut Thio Hian Cong.
Thio Sin Houw hendak menjawab ucapan gurunya itu,
mendadak terdengar suara teriakan kaget yang sangat riuh.
Bulu kuduknya lantas saja meremang dengan tak
dikehendakinya sendiri. Dan bersama gurunya, ia lari mendaki
tanjakan. Begitu melihat apa yang terjadi dibawah gunung,
mereka berdua bukan kepalang kagetnya.

426
Seluruh gunung menjadi terang benderang oleh nyala api
yang datangnya dari bawah. Lalu, nampaklah berbagai senjata
berkilauan. itulah tentara Mongolia yang dengan tiba-tiba saja
telah mengurung puncak gunung Beng-san.
Para orang gagah yang bergabung dalam laskar
perjuangan Cu Goan Ciang, baru saja bubar. Yang masih
berada diatas gunung tidak begitu besar jumlahnya, inilah
suatu masalah yang menyulitkan ! Merekapun tidak berjagajaga
atau memperoleh berita terlebih dahulu tentang sergapan
tentara Mondolia, hal itu disebabkan lantaran penjaga yang
berada digardu-gardu penjagaan, telah terbunuh semuanya.
Dengan demikian, tiada seorangpun diantara mereka yang
dapat memberikan tanda bahaya.
Cu Kauwcu adalah seorang peperangan ulung, Meskipun
terkejut, namun hatinya tidak gentar sama sekali. Dia-lah salah
seorang jago kenamaan dikalangan Rimba persilatan yang
berkepandaian tinggi, dengan suara tenang mereka
menghampiri Ouw Sam Ciu dan berkata:
""Ouw hiantee! Kau pimpinlah para tukang masak dan
penjaga-penjaga perkemahan, untuk menyulutkan api sebelah
timur, jangan lupa, kalian harus berteriak-teriak agar lawan
tersesat!"
Dengan gembira Ouw Sam Ciu melakukan tugas itu
dengan cepat, ia berlari-lari sambil memanggil tukang masak
dan sebagainya, setelah terkumpul, mereka dikerahkan
mengarah ke sebelah timur gunung.
"Coa Hiantee dan Go Hiantee .., "
Cu Kauwcu kemudian memanggil Coa Kim siong berdua
Go Kim Sun, "Jiwie berdua hendaknya bertugas menahan
lajunya tentara musuh. Bawa beberapa orang yang pandai
memanah, hujani mereka dengan anak panah beberapa kali!

427
setelah itu, cepat kembali mencari diriku!"
Kedua guru Thio Sin Houw itu segera berlalu dan
membawa tugas Cu Goan Ciang, setelah mereka pergi, Cu
kauwcu kemudian menghadapi Thio Hiang Cong. Katanya
dengan suara hati-hati:
"Thio hiantee, perkenalkan aku memohon kepadamu,
sudikah kau memegang satu tugas yang amat penting?"
"Apakah Kauwcu menghendaki agar aku melindungi Sin
Houw?"
Cu Goan Ciang tertawa, kemudian menyahut:
"Benar! Dan setelah berkata demikian, dengan hormat ia
menjura kepada Thio Hian Cong.
Keruan saja Thio Hian Cong kaget bukan kepalang,
tersipu-sipu ia membalas hormat. Katanya mencegah:
"Kauwcu! janganlah Kauwcu berbuat demikian kepadaku,
perintahkan saja apa yang harus kulakukan, dan aku akan
melakukan tugas Kauwcu dengan segenap hatiku."
Pada saat itu suara hiruk piruk terdengar semakin hebat.
sekarang tentara Mongolia mulai melepaskan anak panah,
dan suara mereka itu datang dari atas gunung. Tahulah Cu
Kauwcu bahwa itu semua hasil kerja Ouw San Ciu yang
berusaha menyesatkan lawan.
"Thio hiantee," katanya perlahan, "Tie-kong tianglo adalah
seorang sesepuh, dia mempunyai murid bernama Thio Kim
San. Dan adik ini, adalah puteranya satu-satunya, Karena itu,
tolonglah dia agar terluput dari bahaya ini ! Bawa dia turun
gunung dengan selamat!"
"Aku akan melakukan perintahmu, Cu kauwcu." sahut Thio

428
Hian Cong.
Pada waktu itu Coa Kim siong dan Go Kim Sun telah
kembali menghadap Cu Kauwcu, setelah melepaskan hujan
anak panah. Cu Goan Ciang menyatakan rasa puasnya,
kemudian berkata lagi:
"Aku akan berjalan bersama saudara Go Kim Sun,
kemudian kami berdua akan bergabung dengan saudara Ouw
Sih Ciu. Kami bertiga akan menerjang musuh dengan
menuruni gunung sebelah timur. saudara Coa Kim siong
bersama saudara Ho Thong Cun akan menerjang lawan dari
barat. Agar penglihatan musuh tersesat, kami bertiga akan
mendahului menerjang. Dengan disusul terjangan saudara
Coa Kim siong dan soudara Ho Thong Cun.
Saudara Thio Hian Cong cepat-cepatlah membawa Sin
Houw turun gunung dari sebelah utara, Dikemudian hari, kita
semua akan kembali berkumpul menjadi satu lagi!"
Semua orang yang mendengar perintah Cu Kauwcu
menjadi kagum, Pada saat segenting itu, Cu Kauwcu masih
sanggup mengatur cara mengelakkan lawan demikian rapi.
Coba andaikata dia mempunyai pasukan tentara, pastilah
keadaan medan laga akan menjadi lain sifatnya.
Thio Sin Houw waktu itu sedih bukan main, lantaran harus
berpisah dengan keampat gurunya yang pernah mendidiknya
dengan sungguh-sungguh, inilah perpisahan yang amat
menyakitkan hatinya, perpisahan yang tiada kata-kata selamat
jalan atau selamat berpisah, lantaran dipaksa oleh keadaan.
Apa yang dapat dilakukannya, hanyalah membungkuk hormat
beberapa kali terhadap mereka. Katanya terisak.
"Ouw susiok, Coa susiok, Ho susiok... sampaikan
hormatku kepada Go susiok yang aku... tak dapat..."
Thio Sin Houw menyelesaikan perkataannya, karena

429
tenggorokannya seakan-akan tersumbat. maka ia mencoba
menguasai diri, Cu kauwcu telah mendahului. Kata pemimpin
itu:
"Adikku! jangan kau berpisah dari gurumu, Thio Hian Cong!
Kau harus dengarkan setiap perkataannya!"
Thio Sin Houw masih berkutat dengan perasaan sendiri.
Untuk menjawab perkataan Cu Kauwcu, ia hanya dapat
memanggut, Dalam pada itu, suara berisik ditengah gunung,
terdengar semakin hebat. itulah suatu tanda bahwa tentara
Mongolia sudah mulai mendaki bukit yang berada didepan.
"Mari!" ajak Go Kim Sun.
"Thio hiantee, kau berangkatlah sebentar lagi... setelah kita
berhasil menyesatkan musuh."
Mereka semua lantas mulai bekerja - Go Kim Sun melihat
Thio Hian Cong tidak bersenjata, maka cepat-cepat ia
melemparkan goloknya kepadanya sambil berkata setengah
berseru:
"Thio hiantee, sambutlah ini!"
"Aku tidak membutuhkan senjata apapun!" sahut Thio Hian
Cong, ia menyambar golok itu yang sedang melayang di
udara, Tatkala hendak di kembalikan kepada pemiliknya, Go
Kim Sun sudah lari jauh sehingga ia membatalkan
maksudnya.
"Mari!" katanya kepada Sin Houw. Dengan membawa
golok ditangan kanannya, ia menarik lengan Thio Sin Houw
dengan tangan kirinya, Kemudian dibawanya lari mengarah
utara.
Dengan berlari-larian, mereka berdua mengitari belakang
pesanggrahan, dari sana cahaya api nampak terang

430
benderang, Diantara nyala api itu, kelihatan tentara Mongolia
mendaki puncak gunung berlapis-lapis, Entah berapa
jumlahnya. Merekapun mulai melepaskan anak panah api.
Menyaksikan hal itu Thio Hian Cong merandek, kemudian
ia balik memasuki dapur dan muncul kembali dengan
membawa kuali penggorengan.
"lni tamengmu!" katanya kepada Sin Houw sambil
menyerahkan sebuah kuali.
Dengan berlompatan, mereka berdua memasuki kabut
gelap. Dan pada saat itu terdengarlah teriakan-teriakan tentara
Mongolia sambung menyambung:
"Kejar! Kejar!"
Dan tentara Mongolia itu berserabutan mengejar mereka
berdua sambil memanah.
Thio Hian Cong berjalan di belakang, dengan perisainya
yang istimewa ia menangkis setiap anak panah yang
menghujani, Ditengah kesibukan itu tameng istimewanya
menerbitkan suara berisik membisingkan telinga.
Thio Sin Houw sendiri seperti mengerti akan tugasnya
sebagai pembuka jalan, ia maju dengan bersenjata sebatang
tombak pendek. Tatkala kena pegat tentara yang sedang
merangkaki tebing, terus saja ia menyerang, Dan belasan
tentara kena dirobohkan dengan mudah.
Akan tetapi tombak pendek itu merupakan senjata yang
tidak tepat baginya.
Gerakannya tidak begitu leluasa, itulah sebabnya, setelah
kena keroyok tentara lainnya, ia hanya dapat melindungi
dirinya.

431
Tak lama kemudian tibalah mereka dipinggang gunung,
Baru saja mereka melepaskan napas lega, terdengar suara
ribut lagi, pasukan tentara Mongolia yang dipimpin oleh
seorang perwira tiba-tiba saja menerjang dari samping,
Perwira itu rupanya bermaksud hendak menangkap Thio Hian
Cong dan Sin Houw hidup-hidup, itulah sebabnya ia melarang
tentaranya melepaskan anak panah, sebaliknya dengan
pedang panjang di tangan ia memimpin pasukannya
mengepung rapat-rapat.
Thio Hian Cong menangkis sebatang pedang perwira itu.
Dalam bentrokan ia mengetahui bahwa perwira itu bertenaga
besar, maka dengan sebat ia membalas menyerang.
"Maju!" perwira itu memberi aba-aba kepada tentaranya.
Tak sudi Thio Hian Cong melayani perwira itu lama-lama.
Dengan lindungan tameng istimewanya, ia mengancam
perwira itu dengan golok pemberian Go Kim Sun. ia menikam
sambil membentak, dan celakalah perwira itu. Tulang iganya
kena tikaman golok.
Ketika Thio Hian Cong mencabut senjatanya, ia menoleh.
Ternyata Sin Houw tak terlihat lagi, Bukan main ia menjadi
terkejut, Dengan pandang beringas ia mengembarakan
goloknya, Di sebelah kirinya ia melihat kerumun tentara sambil
berteriak-teriak kalap.
Segera ia melompat dan menerjang.
Dan kena terjangannya, beberapa tentara mundur dan
menyibakkan diri dengan menderita luka-luka parah. Ternyata
Sin Houw terkepung oleh tiga orang tentara yang bersenjata
pedang panjang, Tombak pendeknya sudah terlepas dari
tangan. ia melawan dengan jurus-jurus, ilmu sakti Hok-houw
ciang dengan tangan kosong. Meskipun terdesak, namun
masih bisa ia mempertahankan kedudukannya.

432
Menyaksikan hal itu, tanpa bersuara lagi Thio Hian Cong
melompat menerjang, seorang tentara roboh terjungkal dan
menyusul yang kedua, dengan demikian, tertolonglah Thio Sin
Houw.
"Mari!" ajak Thio Hian Cong, Dan sambil menarik tangan
Sin Houw, ia menyibakkan beberapa serdadu yang masih
menghadang didepannya.
"Kejar!" seru beberapa tentara. Dan mereka lantas saja
mengejar beramai-ramai sambil berteriak sambungmenyambung,
Mendengar teriakan sambung menyambung itu,
sepasukan tentara yang berada di sebelah kiri turun menerjang,
Thio Hian Cong membalikkan tubuh dan menikam, Dua
orang tentara roboh tertikam dengan sekaligus. Kemudian ia
menerjang yang ketiga, yang mencoba merangsak dari depan.
Serdadu itu kena dilemparkan sehingga roboh terjungkal dan
menjerit tinggi.
Menyaksikan hal itu, tentara yang lainnya, yang sedianya
hendak menerjang beramai-ramai, tak berani mendesak lebih
jauh, Mereka merandek seperti patung-patung tak bernyawa.
Tentu saja hal itu merupakan kesempatan yang bagus sekali
bagi Thio Hian Cong, De-ngan cepat ia menyambar Sin Houw
dan kemudian didukungnya, Dengan menggunakan ilmu
ringan tubuh, ia kabur sepesat angin. setelah cukup jauh
meninggalkan lawan, barulah ia menurunkan Sin Houw diatas
tanah.
"Apakah kau terluka?" Thio Hian Cong minta keterangan.
Thio Sin Houw mengusap mukanya. Tangannya
menyentuh cairan lendir yang telah melekat dimukanya.
Cepat-cepat ia memeriksa tangannya dalam cahaya bulan
remang-remang, dan ia melihat cairan merah, itulah darah

433
segar, Keruan saja ia terkejut, Hatinya tercekat pula tatkala
melihat wajah gurunya berlepotan darah, gugup ia berseru:
"Susiok! Darah ... darah!"
"Tidak apa. inilah darah tentara Mongolia yang kena
tikamanku." sahut Thio Hian Cong, "Apakah kau terluka?"
"Tidak." jawab Sin Houw,
"Bagus!" Thio Hian Cong merasa bersyukur. Terus saja
menggandeng Sin Houw seraya berkata:
"Mari, Kita harus cepat-cepat pergi dari sini!"
Mereka lantas menyelusup diantara pohon-pohon,
menghindari bahaya, setelah berjalan kira-kira setengah jam
lamanya, sampailah mereka di suatu lembah yang sama sekali
tiada pohonnya, tatkala Thio Hian Cong melongok ke bawah,
nampak cahaya terang dibeberapa tempat, puluhan tentara
berjalan mondar mandir dengan menyandang senjata. Keruan
saja hatinya terkejut bukan main, Tak terasa ia berseru
tertahan:
"Akh! Tak dapat kita lewat disitu, kita harus mengambil
jalan lain, Di sinipun tiada semak belukar, untuk kita
berlindung,"
Dengan tetap membimbing tangan Sin Houw, maka Thio
Hian Cong memilih jalan kesebelah kanan. Berjalan kira-kira
cukup jauh, sampailah dia didepah sebuah goa buntu yang
panjangnya hanya dua meter, Goa itu tertutup oleh semak
belukar. Karena tiada pilihan lain, Thio Hian Cong membawa
masuk Sin Houw kedalam goa itu untuk bersembunyi.
Thio Sin Houw merasa sangat lelah, meskipun sejak
kanak-kanak hidupnya selalu dikejar-kejar oleh musuh-musuh
ayah-bundanya, akan tetapi baru pada malam itulah dia

434
bertempur secara berhadap-hadapan, Maka begitu
merebahkan diri, ia lantas tertidur nyenyak.
Thio Hian Cong segera mengangkat tubuhnya dan
dipeluknya serta dipangkunya. setelah itu ia menajamkan
pendengarannya, agar dapat mengikuti perkembangan
keadaan medan perang, Di luar goa, suara riuh rendah belum
juga berhenti. Kemudian ia mendengar suara gemerotok
keras, dan udara tiba-tiba terang benderang oleh nyala api.
Tahulah dia, bahwa perkemahan yang didirikan oleh laskar
perjuangan di atas gunung Beng-san, dibakar musnah oleh
tentara Mongolia. Hatinya panas bukan main.
Satu atau dua jam kemudian, terdengarlah suara terompet
mengalun di udara, itulah suatu tanda bahwa komandan
tentara Mongolia memanggil pasukannya agar berkumpul dan
turun gunung. Hati Thio Hian Cong lantas saja berdebar.
pendengarannya yang tajam segera menangkap langkahlangkah
kaki mereka berderapan, Hatinya mengeluh dengan
sendirinya. Betapa tidak?
Ia mendengar langkah kaki tentara penyerbu semakin
mendekati goa persembunyiannya, Hatinya cemas bukan
kepalang, kalau sampai tentara itu menemukan goa
persembunyiannya... entah apa jadinya.
*****
TIBA-TIBA terdengarlah seseorang duduk diluar goa,
untunglah goa persembunyiannya teraling gerombol semak
belukar, sehingga orang itu tidak melihat dirinya. Dengan
menggenggam senjata pemberian Go Kim Sun erat-erat dan
tangan kirinya menekap mulut Sin Houw, ia bersiap
menghadapi setiap kemungkinan. Ia terpaksa menekap mulut
Sin Houw, lantaran khawatir anak itu terkejut dan berteriak.
Beberapa saat lamanya tiada terdengar sesuatu, kecuali

435
langkah kaki sibuk. Lalu tiba-tiba terdengar seseorang
membentak.
"Bawa kemari anjing itu!"
Kemudian terdengar beberapa orang menyeret seseorang
berjalan ayal-ayalan, pastilah itu seorang tawanan yang
diseret beberapa serdadu secara paksa.
"Menurut penglihatan salah seorang pembantu kita, kau
menyerahkan senjatamu kepada seseorang. siapakah dia?
Dan siapa pula anak tanggung itu, itulah bentakan seseorang
yang memberi perintah kepada beberapa tentara membawa
tawanannya, suaranya nyaring bagaikan genta pecah.
Dan oleh suara nyaring itu, Sin Houw benar-benar tersadar
dari tidurnya. Syukur, jauh-jauh sebelumnya Hian Cong telah
menekap mulutnya. Maka begitu melihat Sin Houw tersadar
dari tidurnya, segera ia membisik:
"Diam ...!"
Dalam pada itu orang yang memiliki suara nyaring luar
biasa tadi, terdengar membentak lagi:
"Kau mau bilang apa tidak? Kalau kau tetap membandel,
kukutungi sebelah kakimu terlebih dahulu!"
"Jika kau hendak mengutungi kakiku, kutungilah!" tantang
seseorang itu, dengan suara tajam, "Aku, Go Kim Sun, tidak
takut. Meskipun kau kutungi kedua kaki dan tanganku, aku
tidak akan merintih atau menyesal. Kau boleh mengutungi
kepalaku sekali! Huh!"
Mendengar suara Go Kim Sun, Thio Sin Houw terkejut,
serunya tertahan:
"Go susiok!"

436
"Sstt! jangan bergerak!" bisik Thio Hian Cong.
"Jadi benar-benar kau tak sudi memberi keterangan?
Baiklah!" lagi-lagi orang yang bersuara nyaring tadi
membentak.
"Tidak!" terdengar jawaban Go Kim Sun tegas. Dari dalam
goa, Sin Houw dapat membayangkan bahwa gurunya tentulah
meludahi orang itu. Tiba-tiba ia terkejut tatkala mendengar
erang gurunya:
"Aduh!"
Suara orang itu disusul dengan suara terbantingnya benda
berat, Rupanya sebelah kakinya dikutungi benar-benar.
Karuan saja Sin Houw tak dapat menguasai diri lagi, ia
merengut dari tekapan tangan Thio Hian Cong.
"Go susiok!" Sin Houw memekik sambil terus menerjang
keluar goa.
Begitu keluar dari mulut goa, ia melihat seseorang
mengayunkan goloknya kearah tanah. Diantara cahaya api, ia
melihat seseorang menggeletak berlumuran darah. itulah
gurunya, Go Kim Sun! Dengan rasa gusar bukan kepalang ia
menerjang dengan salah satu jurus ilmu sakti Hok-houw ciang
yang mengandung ancaman maut.
Orang yang sedang mengayunkan goloknya itu memekik
tinggi begitu kena pukulan Sin Houw, Matanya berkunang
kunang, dan mundur sempoyongan dengan tak dikehendaki
sendiri. selagi demi-kian, lengannyapun terasa sakit, sedang
goloknya kena terampas.
Thio Sin Houw bergerak tidak kepalang tanggung, setelah
berhasil menghantam orang itu dan merampas senjatanya, ia

437
membacok pula, Meskipun belum memiliki himpunan tenaga
sakti, akan tetapi tenaga jasmaninya sudah cukup membuat
somplak pundak tentara itu.
Saking sakitnya, orang itu menjerit tinggi, dan jatuh
terkapar diatas tanah tak sadarkan diri.
Sebenarnya didepan goa, terdapat beberapa tentara yang
bersikap mengurung tawanannya, Namun peristiwa itu terjadi
dengan sangat tiba-tiba. Lantaran kaget mereka jadi tertegun
saja,
Dan setelah melihat kawannya jatuh terkapar, barulah
mereka tersadar. serentak mereka menerjang, sambil
berteriak teriak.
Thio Sin Houw tidak gentar. Dengan golok rampasannya,
ia menyerang dan membela diri, sewaktu berada dalam
bahaya, tiba-tiba meloncatlah seseorang dari dalam goa,
dengan membawa senjata rantai berkilauan. Ternyata rantai
itu terbuat dari perak murni.
Begitu digerakkan diudara remang-remang, lantas saja
berkeredepan menyilaukan mata, Dialah Thio Hian Cong.
Yang meloncat keluar goa untuk melindungi Sin Houw,
sekali menggerakkan senjata rantainya, beberapa tentara
menjerit kesakitan, senjata mereka terpental ke udara!
Keruan saja para tentara itu kaget bukan kepalang,
Beberapa orang diantaranya yang masih berada di luar
gelanggang, lantas saja berseru seru mengabarkan tanda
bahaya, sigap luar biasa, Thio Hian Cong menyambar Sin
Houw dan dibawanya lari turun gunung. Dan pada saat itu
mereka berdua dihujani anak panah.
Tiba-tiba diantara tentara yang kalang kabut itu, muncullah
empat orang yang gerakannya gesit, Dengan sekali melihat,

438
tahulah Thio Hian Cong bahwa mereka berempat memiliki ilmu
kepandaian tinggi pula, seorang diantara mereka memasang
gendewanya dan melepaskan anak panah.
Thio Hian Cong kala itu lari sambil mengempit Sin Houw, ia
berlompatan kesana-kemari untuk menghindari sambaran
anak panah. Tatkala mendengar ke-siur angin tajam
mengancam tengkuknya, cepat-cepat ia mengendapkan diri,
Dan tiga anak panah lewat diatas kepalanya dengan bersuling
nyaring.
Tetapt justeru karena mengendapkan diri, langkah Thio
Hian Cong jadi terhenti. Pada saat itu, seorang di antara ketiga
musuh yang mempunyai ilmu kepandaian tinggi melepaskan
tiga anak panah lagi. Ketiga anak panah itu mempunyai arah
bidikan yang berbeda-beda, Yang pertama mengarah kepada
Sin Houw, yang kedua mengarah Thio Hian Cong dan yang
ketiga menjaga gerak larinya, Melihat ancaman bahaya itu.
Thio Hian cong memutar senjata rantainya dan ketiga anak
panah itu runtuh ditanah dengan sekali kebasan.
"Susiok! Biar aku turun saja!" se ru Sin Houw dengan
semangat tempur yang menyala-nyala.
Thio Hian Cong menurunkan Sin Houw sambil berkata :
"Kau lari dulu!"
Mereka berdua telah terpisah jauh dari tentara Mongolia,
akan tetapi keempat orang yang masih mengejarnya seolaholah
bayangannya sendiri. Dengan cepat mereka telah tiba
dihadapan mereka.
"Sahabat, letakkan senjatamu ..!" salah seorang diantara
mereka berseru.
"Kau serahkan dirimu! Kami berjanji akan memperlakukan

439
dirimu baik-baik!"
Hati Thio Hian Cong mendadak menjadi sebal mendengar
suara orang itu. ia menjadi dengki dan mendongkol, sambil lari
ia memindahkan senjata rantainya ditangan kiri, kemudian ia
mempersiapkan senjata sumpitannya yang terbuat dari pakupaku
berujung tajam, ia menunggu sampai orang itu datang
dekat, dan dengan tiba-tiba ia melepaskan senjata bidiknya
tiga batang sekaligus.
Orang yang mengunbar suaranya tadi sama sekali tidak
menduga bahwa musuh memiliki senjata bidik istimewa.
Tatkala melihat berkelebatnya tiga batang paku, ia kaget
setengah mati, Tanpa ampun lagi ia roboh terjengkang. Kedua
pahanya tertancap sebatang paku, sedang tangan kanannya
dapat hadiah sebatang paku pula. Sebaliknya, ketiga
kawannya tidak memperdulikan ancaman bahaya, mereka
mengejar terus. seperti saling berlomba.
Melihat datangnya ketiga orang itu yang makin lama makin
dekat, Thio Hian Cong berkata kepada Sin Houw seperti
sedang bergurau:
"Adikku, sepasang golok orang itu tepat sekali untuk
dirimu, Biarlah kurampasnya sekali untukmu!"
Setelah berkata demikian, Thio Hian Cong memindahkan
senjata rantainya ketangan kanannya kembali. Kemudian
melompat maju menghampiri salah seorang musuhnya, yang
bersenjata sepasang- golok. Terang sekali maksudnya, ia
hendak membuktikan ucapannya, Akan tetapi orang itu
ternyata bukan lawan lemah, ia mendahului menyerang .
berulang kali, Untuk beberapa waktu lamanya, Thio Hian Cong
belum berhasil men capai maksudnya.
Selagi Thio Hian Cong berkutat dengan orang itu, kedua

440
musuhnya menghampiri Sin Houw, Masing-masing bersenjata
sebatang pedang panjang dan ruyung besi. inilah berbahaya
bagi Sin Houw, karena dia tidak bersenjata sama sekali. Golok
rampasannya tadi tertancap pada pundak orang yang hendak
membunuh gurunya, Go Kim-Sun, maka dengan tangan
kosong ia mencoba membela diri,
Thio Hian Cong jadi mendongkol dan kebat-kebit, sadarlah
dia, bahwa dirinya tidak boleh terlibat terus menerus oleh
napsunya hendak merampas sepasang golok lawan, cepat ia
melesat mundur sambil memutar tubuhnya, senjata rantainya
diayunkan dan menghantam orang yang bersenjata ruyung.
"Prak!!"
Kena pukulan senjata rantai Thio Hian Cong, orang itu
terhuyung mundur. Justeru pada saat itu Sin Houw sedang
mengayunkan kakinya. Tepat sekali tendangannya. Meskipun
tidak sampai melontakkan darah, orang itu terguling diatas
tanah dengan memaki kalang kabut.
Kejadian itu membangkitkan rasa marah orang ketiga.
Dengan sebatang pedang ditangan ia menerjang dan
menabas, secepat kilat Thio Hian Cong me-lompat dan
menangkap pergelangan tangannya. Kedua orang itu lantas
berku-tat mengadu tenaga.
Pada saat Thio Hian Cong berkutat mengadu tenaga
dengan orang yang bersenjata pedang itu, yang bersenjata
sepasang golok dan ruyung datang mengepung. Mereka
menyerang dari belakang. Juga orang yang tadi roboh kena
paku Thio Hian Cong, kini juga dapat bangun pula. Dengan
masih menggenggam tombak panjang ia maju tertatih-tatih,
kemudian menikam. Akan tetapi sasarannya adalah Sin Houw.
inilah saat-saat berbahaya bagi Thio Hian Cong dan Thio
Sin Houw, Meskipun demikian Thio Hian Cong tidak menjadi
bingung atau berputus asa, sambil berseru nyaring, ia

441
menghajar orang yang bersenjata ruyung. Kena pukulannya,
orang itu roboh terjengkang. Begitu hebat cara robohnya,
sehingga ia menubruk kawan sendiri yang sedang berjalan
tertatih-tatih sambil, menggenggam tombak panjang hendak
menikam Sin Houw.
Karena tadi sudah menderita luka, tak dapat ia
mempertahankan diri tatkala kena tubruk kawannya Dengan
demikian ia ikut terguling pula diatas tanah. Masih syukur,
mereka tidak sampai saling manikam.
Dengan cepat Thio Hian Cong melompat merampas
ruyung. Kemudian dengan ruyung ini ia menangkis sepasang
golok yang menyambar dirinya. Setelah itu ia menarik tangart
Thio Sin Houw dan diajaknya lari secepat mungkin. ia tak sudi
terlibat terus menerus lantaran tentara Mongolia sudah mulai
bergerak mendekati.
Sekarang keempat lawannya tidak berani melawan lagi.
Mereka mulai sadar, bahwa lawannya itu bukan lawan
sembarangan, Namun membiarkan buruannya lolos dengan
begitu saja, sudah barang tentu mereka tak rela, seperti
berjanji, mereka lantas saja melepaskan senjata jarak jauh,
itulah senjata Sumpitan yang bentuknya seperti panah-panah
kecil.
Sambil melindungi Sin Houw, Thio Hian Cong menangkis
sambaran senjata bidik mereka dengan ruyung dan rantainya.
Kadangkala ia melompat atau mengelak sambil menyingkirkan
Sin Houw dari berbagai serangan yang saling menyusul.
Namun karena harus melindungi Sin Houw, gerakannya tidak
segesit seperti biasanya.
Satu kali ia harus menarik Sin Houw ke dadanya terlebih
dahulu, untuk menangkis sambaran senjata bidik. Kali ini ia
terlambat, tiga batang anak panah meraung membuntutinya.
Dua anak panah bisa dielakkan, akan tetapi yang ketiga
mengenai jitu paha kirinya, Dia terkejut, sebab mula-mula

442
tiada rasa sakit sama sekali. Mendadak lama-lama menjadi
gatal, Tahulah dia, bahwa anak panah itu mengandung racun
jahat, segera ia mengerahkan tenaganya untuk berlari lebih
kencang lagi.
Tetapi justeru demikian, racun yang merayap didalam
dirinya bekerja kian merunyam, Kakinya lantas saja terasa
kaku, sehingga tak dapat lagi dilangkahkan dan disaat
berikutnya ia roboh terguling.
"Susiok!" Sin Houw berteriak lantaran kaget bukan main,
Hampir saja ia terguling pula.
Ditengah keremangan malam, ke empat penyerangnya
samar-samar melihat robohnya Thio Hian Cong, Begitu
mendengar teriakan Sin Houw, mereka bertambah yakin.
lantas saja mereka berlomba untuk mengejar.
"Sin Houw!" seru Thio Hian Cong, lari cepat ! Aku akan
menahan mereka."
Thio Sin Houw kenyang pengalaman pahit. Melihat
gurunya roboh, ia seperti teringat akan nasib ayah bunda-nya.
Maka tanpa memperdulikan bahaya, segera ia melompat
kesamping gurunya dan bersikap hendak melindungi.
"Sin Houw! Dengan kepandaianmu ini, sanggupkah kau
melindungi diriku?" kata Thio Hian Cong terharu, ia tahu
muridnya itu sangat cerdas. Akan tetapi sama sekali tak
mengira bahwa ia berbakti pula, meskipun baru bargaul
selama delapan hari saja.
Dalam pada itu keampat penyerangnya sudah datang
semakin dekat, Mereka semua bersenjata dan bermaksud
hendak menawan buruannya hidup-hidup, Yang membawa
sepasang golok dan sebatang pedang panjang, memutar
kebelakang Sin Houw dan menerjang berbareng. Yang di arah

443
betis kanan.
Kaget Sin Houw melihat serangan itu. ia mengelak dengan
melompat, sudah barang tentu Thio Hian Cong tak sudi tinggal
diam Meskipun kaki kirinya tidak dapat digerakkan, akan tetapi
ia memaksa diri berbangkit.
*****
TApI, ia berhasil merampas ruyung besi, Tanpa berpikir
panjang lagi ia segera menimpukkannya kepada orang yang
bersenjata sepasang golok, orang itu kaget bukan kepalang,
sampai tak dapat mengelakkan diri. Kepalanya pecah
terhantam ruyung itu. Dan pada saat itu pula Thio Hian Cong
melesat menubruk lehernya. ,Krak! Dan orang itu terguling
roboh, tak bernapas lagi...
Inilah peristiwa hebat bagi ke tiga kawannya, orang-orang
bersenjata pedang panjang lantas saja memutar tubuhnya dan
lari terbirit-birit, Sedang kedua kawannya segera menyusul
pula.
Apalagi yang seorang telah terluka pundaknya sejak tadi.
Thio Hian Cong sendiri nyaris kehilangan tenaga, darahnya
mengucur tidak hentinya. Kaki kanannya beku tak dapat
digerakkan lagi. Namun tak sudi ia menyerah dengan keadaan
itu, Dengan menguatkan hati ia mengumpulkan sisa-sisa
tenaganya, kemudian dengan bantuan ruyung rampasannya ia
mencoba untuk bangun berdiri. ia sadar, bahwa ketiga
musuhnya tadi lari untuk kembali lagi dengan membawa bala
bantuan.
Kesempatan untuk melarikan diri hanya sedikit saja.
"Maril" ia berkata mengajak.
Dengan menyeret kakinya ia berjalan selangkah demi

444
selangkah, dengan bantuan ruyung rampasannya, Sin Houw
berjalan disebelah kanannya, ia memasang pundaknya untuk
memeluk lengan gurunya dan membiarkan dirinya digelendoti,
Dengan demikian perjalanan agak lancar juga.
Akan tetapi setelah berjalan beberapa ratus meter,
keadaan Thio Hian Cong bertambah hebat. Rasa beku yang
memendam sebelah kakinya tadi perlahan-lahan naik
ketangan, Dan tiba-tiba saja tangan itu kehilangan tenaga, ia
tahu, itulah racun jahat yang sedang bekerja, segera ia
memindahkan ruyung rampasan ketangan kiri dan
melanjutkan berjalan sedapat-dapatnya. Sin Houw tak
mengerti tentang bekerjanya racun jahat itu, yang dirasakan
Thio Hian Cong menggelendot makin berat. Meskipun ia
mandi keringat, namun tetap membungkam mulut, Tetapi
setelah berjalan dua tiga li lagi, rasa lelahnya tak tertahankan
lagi.
"Susiok! Di depan nampak sebuah rumah. Mari kita
beristirahat dlsana." katanya sambil menuding kedepan.
"Bukankah kita bisa bersembunyi di rumah itu?"
Thio Hian Cong memanggut sambil mengumpulkan sisa
tenaganya. Begitu tiba didepan pintu, habislah tenaganya - ia
roboh terkulai. Sin Houw mencoba menahannya, akan tetapi
gagal. Keruan saja bocah itu terkejut.
"Susiok!" ia memekik. Gugup ia membungkuk hendak
membangkitkan. "Susiok, bagaimana?"
Hampir bersamaan dengan waktu itu - terbukalah pintu
rumah. Dan seorang wanita berusia pertengahan muncul di
ambang pintu. Melihat munculnya wanita itu, Sin Houw lantas
saja berkata mengadu:
"Subo, kami dikejar-kejar tentara Mongolia. Pamanku ini
terluka, bolehkah kami menumpang satu malam saja di-sini?"

445
(Subo - bibi).
Wanita itu seorang petani, ternyata ia murah hati, segera ia
manggut dan memanggil seorang anak tanggung kira-kira
berusia delapan atau sembilan belas tahun untuk membantu
menggotong Thio Hian Cong masuk. Kemudian ia direbahkan
diatas dipan panjang yang berbuat dari bambu.
Thio Hian Cong sebenarnya luka parah, akan tetapi karena
tangguh dan memiliki himpunan tenaga sakti ia tidak pingsan
atau kalut pikirannya -meskipun kaki dan tangannya beku
sebelah, dengan tenang-tenang saja ia minta kepada Sin
Houw agar mengambil pelita yang menyala didinding, Dan
dengan penerangan pelita itu ia memeriksa lukanya.
Mereka yang melihat luka itu terkejut, sebab kaki kirinya
tidak hanya bengkak saja tetapipun nampak matang biru dan
bergenik, Kesannya mengerikan ( - tiba-tiba saja tatkala Sin
Houw melihat luka itu, terbanglah ingatannya kepada
mimpinya yang ajaib. ia seperti pernah melihat luka demikian
dan pernah pula mempelajari cara pengobatannya. Dan oleh
ingatan itu terus saja ia menerkam pundak Thio Hian Cong.
"Susiok! Luka dipundakmu harus kubalut dahulu!" katanya.
Segera ia merobek lengan bajunya dan menggunakannya
sebagai pembalut.
Mula-mula ia membalut pundak Thio Hian Cong keras
kencang, setelah itu ia membalut paha untuk mencegah
menjalarnya racun jahat ke jantung. Apabila telah dikerjakan
dengan rapi, secara hati-hati ia mencabut senjata sumpitan
beracun yang masih menancap pada paha, Begitu tercabut,
darah hitam meleleh keluar.
Melihat darah hitam itu, Thio

446
Hian Cong menundukkan kepala, ia bermaksud hendak
menghisap darah hitam itu dari lukanya. Akan tetapi mulutnya
tak sampai. Sin Houw lantas saja menggantikan, ia menghisap
berulang ulang dan memuntahkannya diatas tanah. Setelah
menyedot dan menghisap kira-kira empat puluh kali, barulah
luka itu mengalirkan darah merah.
Thio Hian Cong menghela napas lega, katanya dengan
suara bersyukur:
"Ternyata bukan racun yang sangat berbahaya, Sin Houw,
kau kumurlah cepat cepat!"
Wanita petani milik rumah itu sejak tadi berdoa dengan
maksud menolong meringankan penderitaan Thio Hian Cong,
Mendengar perkataan Thio Hian Cong, ia girang bukan
kepalang, dan untuk menyatakan rasa syukurnya, ia berdoa
panjang pendek dengan giat sekali.
Pada esok harinya pemuda tanggung itu keluar rumah,
untuk melihat keadaan gunung, Lewat tengah hari ia datang
dan melaporkan bahwa tentara penjajah tiada nampak
seorangpun lagi, Berita itu melegakan hati Sin Houw akan
tetapi melihat keadaan Thio Hian Cong yang
mengkhawatirkan, ia menjadi gelisah.
Benar bengkaknya mulai kempes tetapi suhu badannya
naik tinggi sehingga seringkali mengigau.
Dua tahun lebih Sin Houw berada disamping ide Hong
Kiauw, Banyak pula pengetahuannya tentang obat obatan.
---------------------------
Halaman 42/43 Hilang
---------------------------

447
pan. setelah semuanya beres, segera ia kembali pulang.
Nampaknya berjalan dengan sangat lancar dan sederhana
saja.
Akan tetapi gerobak itu sesungguhnya sejak lama dikuntit
beberapa orang mata-mata pihak pemerintah Mongolia, Begitu
melihat Sin Houw membawa Thio Hian Cong memasuki rumah
penginapan, mata-mata itu segera lari kencang melaporkan
kepada atasan mereka.
Thio Sin Houw masih mempunyai beberapa tail sisa uang
bekalnya, Dan dengan uang itu ia mencari beberapa ramuan
obat yang diperlukan. Karena selama itu ia belum pernah
memasuki kota, ia mengajak seorang pelayan sebagai
penunjuk jalan. setelah memperoleh ramuan obat-obat yang di
carinya, segera ia pulang ke rumah penginapan.
Sama sekali ia tak menyadari bahwa dua orang tentara
telah menguntitnya diam-diam.
Tiba di rumah penginapan, segera ia memasak ramuan
obat-obatnya. Dalam pada itu Ihio Hian Cong masih tetap
rebah di tempat tidur dengan kepala panas bagaikan api.
Belum lagi air di-masak mendidih, delapan orang tentara tibatiba
memasuki rumah penginapan dan membawa rantai
pembelenggu, seseorang yang mengenakan pakaian sebagai
rakyat biasa, menuding kepada Sib Houw seraya berkata:
"Dialah orangnya!"
Seorang tentara lantas membentak:
"Hai! Kau pelarian dari atas gunung, bukan?"
Thio Sin Houw kaget tak terkira, Tak tahulah ia apa yang
harus diperbuat. Akhirnya dalam bingungnya, menjawab
sekenanya saja:

448
"Bukan ..."
Pemuda tanggung itu perlu dikepung sekawanan tentara
yang berjumlah delapan orang?
Dalam pada itu seorang tentara melancarkan rantai
belenggunya keleher Sin Houw, Anak itu mundur
mengelakkan diri, sama sekali ia tidak berkisar dari ambang
pintu. Niatnya sudah teguh untuk mencegah kawanan tentara
memasuki kamar.
Bagaimana akibatnya nanti , tak masuk dalam pikirannya.
Tentara itu malu karena tak mampu membekuk seorang
anak tanggung, sedang dia merasa diri sudah berpengalaman
belasan tahun lamanya, Lantaran malu, ia menjadi gusar.
Tangan kirinya bergerak dan menyambar tengkuk.
"Thio Sin Houw tak gentar melihat datangnya serangan, ia
menangkis sambaran tangan yang hendak mencengkeram
tengkuknya, ia menggunakan salah satu jurus ilmu Hok-houw
ciang, Dan begitu tangannya membentur sasaran, tentara itu
mundur sempoyongan. Dia menjadi gusar setengah mati,
sambil memutar tubuh, kakinya menendang dan mulutnya
memaki:
"Anak anjing!"
Thio Sin Houw menang gesit, Melihat berkelebatnya kaki,
ia mengelak kesamping, Dengan kedua tangannya ia
menangkap kaki itu, terus diangkat dan didorong dengan
keras. seketika itu juga tentara tadi terlempar dan jatuh
terbanting diatas tanah.
Para tamu yang berkumpul di pekarangan kagum dan
bersorak tak terasa. Terhadap rombongan tentara penjajah
mereka nampaknya tak senang, Meskipun bukan termasuk

449
para pejuang, mereka berpihak kepada Sin Houw, Mungkin
sekali lantaran melihat Sin Houw seorang pemuda tanggung,
yang sama sekali tiada bersenjata atau berteman.
Namun kedelapan tentara itu nampak beringas dan bengis.
Mereka jadi tak puas dan bersyukur tatkala melihat sin Houw
berhasil melemparkan seorang polisi sampai terbanting diatas
tanah.
Ketujuh tentara lainnya heran menyaksikan ketangguhan
Sin Houw. Mereka mengira anak itu mempunyai ilmu gaib,
Segera mereka saling memberi isyarat kemudian menerjang
berbareng. Diantara mereka ada yang bersenjata pedang,
golok dan panggada kayu. Dan menyaksikan gerakan mereka,
para tamu kaget, takut dan bingung. Mereka mundur dengan
sendirinya .
Meskipun Thio Sin Houw kini sudah mewarisi ilmu sakti
Hok-houw ciang dari Thio Hian Cong, akan tetapi tenaganya
masih lemah. Lagi pula ia belum berpengalaman. itulah
sebabnya, menghadapi keroyokan demikian ia menjadi
bingung, Dalam saat-saat yang berbahaya itu, sekonyongkonyong
melompatlah seorang dari kamar sebelah. orang itu
bertubuh besar dan berkulit hitam.
Dengan sekali lompat, ia telah berada di depan Sin Houw
dan terus menggerakkan kaki dan tangannya. Entah
bagaimana caranya ia bergerak. Tiba-tiba saja para tentara
yang bersenjata tajam itu kena terampas senjatanya dan
dilemparkan berjungkir balik.
Kemudian ia mendesak, menyerang dan menerjang ke kiri
kanan sampai ketujuh tentara itu babak belur, setelah itu ia
berteriak nyaring seperti kerbau menguak, Aneh suaranya!
"Siapa kau?" seorang tentara menegur. "Kami hendak
menangkap pemberontak , jangan ikut campur!"

450
Orang itu seperti tuli. sekali menggerakkan tangan, ia
menjambret dada tentara itu dan mengangkatnya tinggi tinggi.
Kemudian dilemparkan hingga tentara itu melayang-layang
bagaikan layangan putus, dan roboh diatas tanah tak sadarkan
diri. Menyaksikan hal itu kawan-kawannya bubar berderai dan
lari berserabutan keluar rumah penginapan.
Orang itu kemudian berpaling kepada Sin Houw, ia
membuka mulutnya dan tangannya bergerak-gerak. Tetapi
mulutnya tiada mengeluarkan suara apapun kecuali "ah-ah-uhuh".
Maka tahulah Sin Houw, bahwa orang itu bisu. Dan apa
yang dikehendaki sangat mudah di tebak.
Beberapa saat lamanya Sin Houw bingung menebaknebak.
Akan tetapi dia memang anak cerdas luar biasa,
Segera ia mengamat-amati gerakan tangan dan gerakan mulut
orang itu. selagi mengamat-amati mendadak orang itu
mengangkat tangannya keatas, lalu ditabaskan kebawah,
Kedua kakinya digerakkan dan tahu-tahu ia sudah melakukan
jurus-jurus ilmu sakti Hok-houw ciang, dari jurus pertama
sampai jurus kelima belas dan melihat Sin Houw jurus
pertama sampai jurus ke sepuluh, setelah itu ia berhenti,
sikapnya menunggu.
Otak Sin Houw yang cerdas luar biasa segera dapat
mengerti kehendaknya, buru-buru ia menjawab dengan
melanjutkan jurus ke sebelas sampai jurus kelimabelas. Dan
melihat Sin Houw dapat melanjutkan jurus-jurus ilmu sakti
Hok-houw ciang, si bisu tertawa lebar sambil memanggutmanggutkan
kepalanya, sekonyong-konyong ia melompat
sambil mengulurkan tangannya, tahu-tahu Sin Houw
dipondongnya dan hendak dibawanya pergi.
Thio Sin Houw teringat gurunya yang masih rebah didalam
kamar, dengan girang ia menuding kamarnya, Si bisu rupanya
mengerti gerakan tangannya, segera ia masuk kedalam kamar
sambil menggendong Sin Houw. Terhadap Sin Houw, seolahKANG
ZUSI WEBSITE http://cerita-silat.co.cc/
451
olah ia menemukan mustika yang tak ternilai harganya.
Tetapi begitu melihat wajah Thio Hian Cong yang pucat
lesi bagaikan mayat , orang itu nampak kaget sekali.
Cepat-cepat ia menurunkan Sin Houw dan menghampiri
Thio Hian Cong, ia memijit-mijit menyadarkannya, kemudian
kedua tangannya digerakkan.
Oleh pijitannya itu, Thio Hian Cong tersadar, Begitu melihat
siapa yang memijitnya, wajahnya bersinar terang, iapun
segera menggerakkan kedua tangannya sambil menunjuk
pahanya.
Orang itu mengerti arti gerakan tangan Thio Hian Cong,
seketika itu juga ia bekerja, Dengan tangan kiri ia membimbing
Sin Houw dan dengan tangan kanannya ia memondong Thio
Hian Cong, Kemudian dengan langkah lebar ia keluar kamar
dan meninggalkan rumah penginapan, ia lari sangat pesat
begitu tiba dijalan, tak perduli berat tubuh Thio Hian Cong
yang dipondongnya.
Baik pemilik rumah penginapan maupun para pelayan, tak
ada yang berani merintang, semuanya menyaksikan
kegagahannya, seorang diri saja ia sanggup mengundurkan
delapan orang tentara, malah yang seorang dibanting roboh
sampai pingsan tak sadarkan diri, Terhadap orang segagah
itu, siapakah yang berani mencoba-coba merintangi
kehendaknya ?
Namun pihak tentara tidak mau sudah, dua orang matamatanya
segera menguntitnya, Tentu saja mereka tak berani
berada terlalu dekat, mereka menguntit dalam jarak duapuluh
langkah, tujuan mereka hanya ingin mengetahui dimana
tempat tinggal sigagu itu. setelah mereka ketahui, mereka
akan menyulutkan tanda-tanda tertentu untuk mencari bala
bantuan.

452
Thio Hian Cong masih tak sadarkan diri, ia tak tahu bahwa
dirinya dibawa kabur oleh si bisu dari rumah penginapan. Si
bisu sebaliknya tidak mengetahui bahwa dirinya selalu di
bayangi dua orang mata-mata, tapi tidak demikian halnya Sin
Houw yang cerdik. ia melihat dua orang yang selalu
mengikutinya, diam-diam ia menarik tangan si bisu,
Dan dengan memonyongkan mulutnya ia memberi abaaba,
Si bisu lantas berpaling, dan ia melihat pula dua orang itu
yang selalu mengikutinya.
Namun ia bersikap acuh tak acuh, Dengan berlagak pilon
ia lari terus dengan cepat, Sin Houw dibawanya lari kencang
melintasi tegalan-tegalan sepi - kira tiga atau ampat li lagi,
tiba-tiba si bisu meletakkan Thio Hian Cong keatas tanah.
Agaknya dia hendak beristirahat untuk menghilangkan rasa
lelahnya, Tahu-tahu dengan sekonyong-konyong ia
membalikkan tubuhnya, dan melesat kebelakang, Dalam dua
tiga gebrakan saja, ia sudah sampai ke depan mata-mata itu
yang kaget setengah mati.
Itulah serangan diluar dugaan.
Dalam kaget dan takutnya, kedua mata-mata itu segera
memutar tubuh, Maksudnya hendak mengangkat kaki, namun
sudah terlambat. Si bisu sangat cepat gerakannya. sebelum
mereka berdua dapat menggerakkan kaki, tangan si bisu
sudah menghempaskannya, Tak ampun lagi mereka roboh
terjengkang diatas tanah.
Orang bisu itu bekerja tidak kepalang tanggung. Melihat
kedua lawannya roboh, tangannya mencengkeram ke rambut
mereka. Kemudian diangkat tinggi tinggi dan dibenturkan
kesebuah batu yang berada dipinggir tegalan,
"Prak!"

453
Tak sempat lagi kedua mata-mata itu berteriak, mereka
mati dengan kepala pecah.
Setelah menamatkan riwayat hidup kedua mata-mata itu, si
bisu kembali menghampiri Thio Hian Cong. Dengan ringan
sekali ia mengangkat tubuh Thio Hian Cong, dan dibawanya
berlari lagi, Larinya cepat bagaikan terbang.
Celakalah Thio Sin Houw! pemuda tanggung ini mencoba
lari sekencang-kencangnya, agar dapat menjajarinya,
usahanya sia-sia belaka, meskipun ia telah mengerahkan
seluruh kemampuannya. Makin lama ia makin tertinggal.
Akhirnya ia merasa tak sanggup lagi, dan dengan napas
tersengal-sengal ia menghentikan langkahnya.
Si bisu menoleh, ia berhenti pula sambil tersenyum.
Melihat Sin Houw kehabisan tenaga, ia menghampiri dengan
wajah ramah. Lalu menyambar tubuhnya dan digendongnya,
Dengan menggendong dua orang, ia lari kencang
lagi.Malahan kini larinya lebih kencang, dibandingkan dengan
semula, Lantara ia tidak usah menunggu-nunggu Sin Houw.
Setelah berlari-lari sekian lamanya, ia membelok ke kiri
dan lari mengarah ke sebuah gunung, ia mendaki dengan
cekatan, dan sama sekali tak mengenal lelah, Dalam sekejap
mata saja dua bukit telah dilaluinya. Tiba-tiba nampak sebuah
rumah gubuk di depan lamping gunung, Dengan langkah tetap
ia menghampiri gubuk itu.
Seseorang yang berada di ambang pintu lari menyambut.
Dia seorang wanita berumur tigapuluh tahun lebih. ia
memanggut kepada si bisu, dan si bisu pun membalas
anggukannya, Nampaknya ia heran melihat si bisu membawa
bawa dua orang dalam gendongannya, segera ia mengajak
masuk.
"Cie Lan! Kau sediakan tiga mangkok air teh!" seru wanita

454
itu.
Dari ruangan dalam terdengar jawaban dan muncullah
seorang gadis kecil membawa nampan berisi tiga mangkok air
teh, ia nampak heran begitu melihat si bisu, kemudian ia
memandang kepada Thio Hian Cong dan mengamat-amati Sin
Houw. Kedua matanya jernih bening dan meresapkan
penglihatan. Gadis kecil inilah yang bernama Cie Lan,
umurnya kurang lebih duabelas tahun.
Setelah melirik Cie Lan, pandang mata Sin Houw beralih
kepada wanita muda itu, Dia seorang wanita yang cantik,
mukanya putih bersih dan halus.
Bibirnya manis dan suaranya meresapkan pendengaran.
Meskipun pakaiannya sederhana, pribadinya berkesan agung,
Dengan ramah ia bertanya kepadanya:
"Umurmu sebaya dengan anakku, siapakah namamu?
Bagaimana kau bisa bertemu dengan dia?"
Waktu itu Sin Houw sudah diturunkan ke tanah.
Mendengar lagak lagunya, tahulah ia bahwa si bisu adalah
sahabat nyonya rumah itu, Maka dengan tulus ia menceritakan
pengalamannya.
Ibunya Cie Lan kemudian memperkenalkan namanya, Cin
Bun Nio, Dan setelah memperkenalkan namanya, ia masuk ke
dalam dan keluar lagi dengan membawa dua botol ramuan
obat, Sin Houw melihat bubuk putih dan merah terbawa oleh
rasa girangnya, segera ia menyendoknva sedikit dan
diadukkan ke dalam air teh, setelah itu ia menegukkan ke
dalam mulut Thio Hian Cong.
Bun Nio heran menyaksikan Sin Houw mengerti tentang
obat-obat, Katanya : "Heee, kau semuda ini sudah mengerti
tentang ilmu ketabiban?"

455
Oleh kata-kata itu, Sin Houw tersadar . wajahnya menjadi
merah, cepat-cepat ia membungkuk hormat dan meminta maaf
atas kelancangannya. sahutnya.
"Maaf, bibii Maaf ... aku..."
Tetapi Bun Nio tidak merasa tersinggung, ia bahkan
tertawa manis sekali , lalu katanya:
"Bagus! Tak usah kau bersegan-segan terhadapku,
rupanya kau murid seorang tabib pandai. Kalau aku boleh
bertanya, siapakah gurumu?"
"Sebenarnya aku tidak mempunyai guru, hanya secara
kebetulan saja aku mendapat kesempatan belajar mengenal
obat-obatan dipinggang gunung Ouw-tiap san."
Bun Nio mengira, Sin Houw tidak mau memperkenalkan
nama gurunya. oleh pertimbangan sopan-santun, ia tak mau
mendesak. Berkata mengalihkan pembicaraan:
"Apakah kau membutuhkan alat tertentu ?"
"Benar, Apakah bibi mempunyai pisau kecil? Aku harus
mengiris lukanya."
Bun Nio segera menyediakan pisau kecil yang dimintanya.
Dengan cekatan Sin Houw mengiris luka Thio Hian Cong.
setelah itu ia memborehi dengan obat-bubuk kuning, ia
menunggu sebentar. Kemudian luka itu dicucinya kembali dan
diborehi bubuk kuning lagi. Tiga kali ia mencuci dan
memborehi luka Tliio Hian Cong. Dan menyaksikan hal itu Bun
Nio bertambah heran, makin percayalah dia bahwa Sin Houw
pastilah murid seorang tabib pandai.
Selang beberapa waktu, Thio Hian Cong membuka
mulutnya. ia memperdengarkan suara tak jelas.

456
"Anakku! Kau benar-benar seorang tabib pandai! Dia
ketolongan!" seru Bun Nio dengan suara girang.
Dengan isyarat tangan, ia memanggil si bisu, ia minta
tolong kepadanya agar membawa masuk Thio Hian Cong
masuk kedalam kamarnya. Dan tatkala si bisu membawa Thio
Hian Cong masuk ke dalam kamar, Bun Nio menutup botol
obatnya sambil berkata kepada Sin Houw:
"Mari, kuperkenalkan dengan anakku, Dia bernama Cie
Lan, mulai sekarang tinggallah kau bersama kami di sini."
Thio Sin Houw memanggut.
"Meskipun kau tidak memperkenalkan nama gurumu, aku
bisa menebak delapan bagian - lantaran kau menyebutkan
bukit ouw-tiap san." kata Bun Nio. "Apakah kau kenal tabib
sakti Ouw Gie Coen?"
Bun Nio tidak menunggu Sih Houw membenarkan
dugaannya, dengan tersenyum manis ia masuk kebelakang,
Dan dengan dibantu Cie Lan, ia menanak nasi dan
menyembelih ayam, sebaliknya Sin Houw lelah luar biasa.
Oleh rasa kantuknya, dengan tak dikehendaki sendiri ia
tertidur di tepi meja, kepalanya terletak diatas tangannya, yang
bersilang diatas meja. Apakah dunia hancur pada saat itu,
berada di luar ingatannya.
Keesokan harinya baru saja matahari muncul diudara, Cie
Lan sudah menarik tangan Sin Houw, Kata gadis cilik itu:
"Mari, cuci muka!"
Sin Houw tersentak dari tidurnya, ia mengucak-ucak
matanya. Tiba-tiba teringatlah dia kepada Thio Hian Cong,
serentak ia menyahut:

457
"Aku hendak melihat paman dahulu. Bagaimana lukanya
..!"
"Nie susiok telah membawanya pergi sejak fajar hari tadi."
kata Cie Lan.
Thio Sin Houw terkejut mendengar perkataan Cie Lan,
tukasnya:
"Nie susiok? siapakah Nie susiok itu?"
"Nie susiok ... si bisu." jawab Cie Lan dengan tertawa.
Hati Sin Houw tercekat. menegas dengan wajah berubah:
"Dibawa ke manakah Thio susiok?" Cie Lan hendak
menjawab, Tetapi pada saat itu, Sin Houw tiba-tiba melompat
dari kursi dan lari memasuki kamar, Benar-benar kosong.
Tiada Thio Hian Cong maupun si bisu. Hati Sin Houw terpukul,
terus saja ia roboh terkulai tak berdaya.
"lbu! Ibu!" teriak Cie Lan memanggil ibunya.
Cin Bun Nio datang dengan cepat. Melihat sin Houw roboh
terkulai, ia berkata membesarkan hati Cie Lan:
"Tak apa. Kecuali terkejut, semalam perutnya belum
kemasukan sebutir nasipun, sebentar lagi ia akan siuman
kembali."
Setelah berkata demikian, ia mendekati Sin Houw dan
memijit-mijit pundaknya. Bisiknya:
"Anakku, pamanmu terluka parah, ia perlu mendapat
pertolongan seorang tabib pandai. Kau mengenal obat-obatan,
pasti kau juga mengerti bahwa obat bubuk kuning semalam
hanya merupakan obat darurat saja. Bukankah begitu?"

458
Thio sin Houw manggut lalu berkata :
"Benar, dan aku hanya memberikan pertolongan pertama.
ia terkena racun senjata rahasia yang sangat dahsyat, kalau
tidak cepat-cepat ditolong secara sempurna, sebelah kakinya
bisa lumpuh selama-lamanya."
"Sin Houw dari mana kau memperoleh pengetahuan
tentang ilmu tabib begini sempurna?" tanya Bun Nio kagum.
Thio Sin Houw terhibur hatinya -karena mendengar
perkataan Bun Nio dan ia segera memberikan jawaban:
"Secara kebenaran saja aku berada dirumah salah
seorang murid terpandai dari tabib sakti Ouw Gie Coen."
"Ohl" seru Bun Nio kagum, "Pantas saja kau mahir sekali
dalam ilmu ketabiban, Kalau tahu begini, aku tidak akan
mengijinkan Nie Un siang membawanya pergi."
Thio Sin Houw menarik napas.
"Sebenarnya Thio susiok dibawah kemana?" tanyanya.
"Nie siang membawanya menghadap seseorang yang
berilmu sakti. pada jaman ini kukira hanya dia seorang yang
dapat menyembuhkan Thio susiokmu, tapi tunggu saja disini,
apabila sudah sembuh Thio susiokmu itu pasti akan datang
kemari menjengukmu."
Sin Houw menyadari apabila Thio susioknya memperoleh
pertolongan seorang tabib pandai, pastilah lukanya akan dapat
disembuhkan. Hanya saja lantaran kata-kata Cin Bun Nio
bersikap menghibur, hatinya menjadi sedih. Beberapa saat
lamanya ia termenung dan Bun Nio membujuknya lagi:
"Sin Houw, Thio susiokmu pasti akan sembuh. sekarang

459
pergilah kau mencuci muka, setelah itu kita makan bersama.
meskipun aku tidak pandai memasak, tetapi daging ayam itu
sendiri pasti akan menawan seleramu!"
Sin Houw sadar akan maksud baik wanita setengah baya
itu, walaupun ia masih merasa letih, namun ia mencoba
menguasai diri, Kemudian mencuci mukanya disebuah
pancuran yang berada di belakang rumah, setelah itu ia duduk
bersama ibu dan anak yang ditumpanginya itu.
Ternyata Cin Bun Nio pandai mengambil hati, suaranya
sendiri sudah meresapkan pendengaran. Apalagi dia
bermaksud membujuk dan membesarkan hati. Thio Sin Houw
lantas saja menyerah kalah. Dengan kemauannya sendiri ia
menceritakan tentang riwayat hidupnya, dan mendengar kisah
anak itu, Bun Nio menghela napas berulangkali. Katanya
dengan hati pilu:
"Kalau begitu, tinggallah engkau bersama kami, disini,
jangan kau mencemaskan apa-apa lagi, kau tunggu saja Thio
susiokmu di sini. Apabila sudah sembuh, pasti ia akan
menjengukmu"
Sin Houw manggut. sejak bayi ia hidup menderita sekali,
dibawa orang tuanya merantau dari satu tempat ke tempat
lainnya untuk menghindar dari pihak lawan yang datang tak
hentinya, setelah berumur delapan tahun, dengan cara yang
menyedihkan sekali kedua orang tuanya meninggal didepan
matanya. Sekarang, ia bertemu dengan Bun Nio yang halus
budi dan manis sekali perlakuannya. sudah tentu ia seperti
memperoleh seorang ibu sejati, Disamping itu, Bun Nio masih
mempunyai seorang puteri yang manis pula, Cie Lan, Gadis itu
cantik dan selalu bersedia menjadi kawannya. Maka tak
mengherankan, baru beberapa hari saja Thio Sin Houw
merasa betah tinggal dirumahnya Bun Nio.
Pada suatu hari Cin Bun Nio minta kepada Sin Houw untuk
memperlihatkan ilmu silatnya ajaran Thio Sin Houw di

460
hadapannya. Dengan cerman Sin Houw melakukan jurus-jurus
ilmu Hok-houw ciang hoat, menyaksikan cara Sin Houw
mengalah jurus-jurus Hok-houw ciang, Bun Nio memuji tiada
hentinya.
Maka ia menjadi insyaf, bahwa hal itu telah terjadi berkat
kecermatan dan ketelitian Thio Hian Cong tatkala memberi
pelajaran.
Setelah sepuluh hari berada di rumah itu, Bun Nio
menganjurkan kepada Sin Houw agar berlatih dengan
sungguh-sungguh pada setiap hari. Namun ia tak pernah
membenarkan atau menyalahkan. Dengan seksama ia menilik
dan mengikuti gerak-gerik sin Houw dalam mengolah liku-iiku
intisari ilmu Hok-houw ciang, tetapi sepatah katapun tak
pernah terbersit dari mulutnya yang menyinggung tentang
latihan itu, Malahan beberapa hari kemudian, jarang sekali ia
hadir. sebaliknya Cie Lan mengganti kedudukannya
menemani Sin Houw, tetapi tiba-tiba pada hari kedua belas,
Cie Lan dipanggil ibunya, selagi seperti biasanya menemani
Sin Houw berlatih sampai rampung.
Thio sin Houw tak pernah menduga jelek. pastilah ada
alasannya mengapa Cie Lan dipanggil ibunya, dan tidak di
perkenalkan lagi hadir tatkala dia sedang berlatih. Mungkin
sekali hal itu merupakan pantangan besar bagi seseorang
yang melihat orang lain berlatih diri, pada suatu hari Bun Nio
datang kepadanya dan berkata:
"Sin Houw, aku hendak pergi sebentar, kau temanilah
adikmu Cie Lan. Tetapi jangan kau ajak dia keluar rumah,
karena disekitar rumah ini banyak binatang buas."
Bun Nio tidak memberi keterangan kemana dia hendak
pergi. Tetapi sebenarnya dia hendak ke kota untuk membeli
dua perangkat pakaian untuk Sin Houw, lantaran pakaian yang
dikenakan sudah usang.

461
Thio Sin Houw patuh kepada pesan Bun Nio, ia menjaga
Cie Lan seperti seseorang menjaga adik kandungnya sendiri.
Cie Lan sendiri bersikap manja terhadap sin Houw, ia berlarilarian
kesana dan kemari mengajak bermain. "Tiba-tiba gadis
itu berkata:
"Sin Houw koko, marilah kita bermain masak-masakan.
Biarlah aku , membeli seekor ayam, kau yang menyembelih
nanti!"
Tanpa menunggu persetujuan Sin Houw gadis itu lari
keluar rumah.
"Kau hendak mencari ayam dimana?" tanya sin Houw.
"Di pekarangan depan. Disana banyak ubi hutan!" sahut
Cie Lan.
Maka tahulah Sin Houw, bahwa ubi hutan itu diumpamakan
sebagai ayam lantas pergi kedapur mencari sebilah pisau.
Bukankah ia telah dianggap jadi tukang sembelih ayam. Tetapi
setelah menunggu sekian lamanya, Cie Lan tidak muncul
kembali. ia jadi tidak sabaran memanggil:
"Cie Lan! Cie Lan!"
Tetapi panggilannya tiada jawaban - jantungnya jadi
bertebaran. Teringat dia akan pesan Bun Nio, bahwa di sekitar
rumah itu banyak berkeliaran binatang buas, dengan pisau
ditangan ia lari keluar rumah. Begitu berada di pekarangan, ia
menjadi kaget bukan main.
Seorang laki-laki bertubuh tinggi-besar nampak sedang
mengempit Cie Lan dan sedang memutar tubuh hendak pergi.
Keruan saja ia berteriak kalap.
"Heii Kau hendak membawanya ke mana?"

462
Orang itu tidak menghiraukan. Dia melompat keluar
halaman. Pada saat itu Thio Sin Houw ikut melesat pula, Anak
itu tidak hanya mengejar, tetapi menyerang pula dengan
pisaunya. Keruan saja penculik itu menjadi kaget. sama sekali
ia tak mengira bahwa anak itu bisa menikam, untung Sin Houw
tidak bermaksud mengarah jiwanya, ia hanya menikam bagian
kaki, justru demikian penculik itu mendongkol dan gusar
karena kesakitan!
"Kurang ajar!" dia memaki dan menurunkan Cie Lan, Lalu
berbalik sambil menghunus goloknya, dan terus menyerang.
Thio Sin Houw tidak takut, dia menangkis dengan tangan
kosong. Tentu saja yang dipukul balik adalah lengan si
penculik, itulah salah satu jurus ilmu sakti Hok-houw ciang
warisan gurunya, sekali ia menangkis, tangan kanannya ikut
segera menyerang.
Heran orang itu, Terpaksa ia harus melayani dan terjadilah
suatu perkelahian yang ganjil, seorang terasa bertubuh besar
bersenjata golok, bertempur melawan seorang anak belasan
tahun bersenjata pisau dapur.
Dalam hal tenaga, tentu saja orang itu menang dua kali
lipat, goloknya menerbitkan kesiur angin menderu-deru.
Namun dalam hal kegesitan, Thio Sin Houw jauh lebih
menang. ia menghindarkan bentrokan senjata dengan
mengelakkan diri dan disaat-saat tertentu menikam atau
menusuk secara tiba-tiba.
Setelah belasan jurus, orang itu jadi sibuk sendiri. ia heran
dan penasaran, mengapa ia tak sanggup mengalahkan
seorang pemuda tanggung yang hanya bersenjata pisau dapur
saja? Karena itu ia berkelahi semakin sengit tak ubah sedang
berhadapan dengan seorang musuh tangguh. Goloknya kini
terus membabat mengarah kaki.

463
Bagus sasarannya, tetapi sulit untuk dilakukan - hal itu
disebabkan lantaran lawannya lebih pendek dari dirinya
sendiri. untuk dapat menyerang kaki, terpaksalah ia
bergulingan ditanah. Kemudian berjongkok atau membungkuk.
Cara berkelahi demikian sebenarnya menghabiskan
tenaga, tetapi Sin Houw belum berpengalaman. ia menjadi
sibuk juga, terpaksa main mundur untuk menghindari
ancaman golok lawan.
Cie Lan yang telah bebas, tidak hanya menonton saja, Dia
lari ke dalam rumah dan kembali dengan membawa pedang
panjang, Dengan senjata itu ia menyerang si penculik dari
belakang. Ternyata ia pandai bersilat dengan pe-dang,
walaupun belum mahir.
"Hai, setan! Kau perempuan cilik ikut-ikut campur juga?
Apakah kau mau mampus?" bentak penculik itu. Cepat-cepat
ia membalikkan tubuh dan mengayunkan goloknya, namun ia
tidak menggunakan tenaga sepenuhnya lantaran tidak
menghendaki jiwa Cie Lan, ia hanya menangkis agar
pedangnya Cie Lan terlepas dari tangannya.
Akan tetapi Cie Lan seorang gadis cerdik, Gerakannya
gesit pula, Dia mengelak tangkisan itu sambil melompat
kebelakang, lalu maju kesamping dan dengan cepat balas
menikam!
Lega hati Thio Sin Houw yang menyaksikan Cie Lan bisa
menikamkan pedangnya. Tadinya ia khawatir melihat majunya
gadis cilik itu, setelah melihat serangannya beberapa kali, ia
menjadi girang, Terus saja ia membarengi dengan tikaman
berantai jurus delapan belas dari ilmu sakti Hok-houw ciang.
Diserang secara berbareng, si penculik menjadi kalangkabut,
untuk membela diri terpaksa ia bergerak dengan gesit
sekali.

464
Sin Houw berbesar hati, oleh karenanya serangannya
semakin gencar dan hal ini membuat hati si penculik bersyukur
Karena meskipun mereka berdua pandai berkelahi, namun
baik tenaga maupun keuletannya masih kurang jauh.
Maka dengan sabar ia hanya membela diri saja, dengan
mengelakkan berbagai serangan. Dan dugaannya ternyata
benar, beberapa waktu kemudian kegarangan Sin Houw
berdua Cie Lan menjadi semakin surut. Kini mereka berdualah
yang bergilir menghadapi serangan balasan.
Tatkala Cie Lan menikam, penculik itu menangkis dengan
tenaga penuh. Demikian hebat tenaganya, sehingga Cie Lan
tak dapat mempertahankan diri, pedangnya lantas terpental
diudara dan jatuh berkelontangan ditanah.
Melihat Cie Lan terancam bahaya, Sin Houw menerjang
dan menikam, buru-buru penculik itu menangkis dan
menendang Cie Lan dengan sebelah kakinya. Kena
tendangan itu, Cie Lan menjadi terguling-guling.
Sin Houw kaget dan cemas. . Lupa akan penjagaan diri, ia
melompat menikam dengan sembarangan saja, Tentu saja hal
itu membuat girang si penculik, ia mengelak lalu merangsak
dengan goloknya. Dan menghadapi rangsakan, Sin Houw
cepat-cepat mengangkat pisau dapurnya untuk menangkis,
inilah bentrokkan yang tak dapat dihindarkan lagi, pisau
dapurnya lantas saja terlepas dari tangan dan menancap di
tanah selagi terkejut, pergelangan tangannya kena cengkeram
pula dan diputar?
Sin Houw kesakitan, Namun dalam kesakitan ia tidak
menjadi gugup. tangan kirinya segera menyelonong masuk
menghantam tulang rusuk, Penculik itu kaget bukan kepalang.
Dalam kagetnya ia melepaskan cengkeramannya dan
melompat mundur. Begitu berdiri tegak kembali ditanah,
segera ia melesat menyambar Cie Lan dan dikempitnya.

465
Kemudian ia memanjangkan langkah.
Walaupun sedang kesakitan, begitu melihat Cie Lan kena
dibawa lari, Sin Houw menjadi kalap. Segera ia memungut
pisau dapurnya lagi yang tertancap di tanah, kemudian lari
mengejar sambil berteriak:
"Hai, jangan lari!"
"Akh, setan cilik! Apakah kau tak sayang jiwamu?" si
penculik memaki.
Dengan tangan kiri mengempit Cie Lan, tangan kanannya
menggerakkan goloknya sambil membalikkan tubuhnya, ia
harus melayani Sin Houw yang sudah dapat mengejarnya,
setelah bertempur lima enam jurus, Sin Houw kena dibacok
bagian pundaknya.
"Bagaimana? Apakah kau masih membandel?" bentak
penculik itu.
Thio Sin Houw benar-benar tak mengenal takut. Bajunya
robek dan pundaknya mengalirkan darah. Namun ia menjawab
dengan garang:
"Lepaskan Cie Lan! Dan aku tidak akan mengejarmu lagi!"
Tentu saja penculik itu tidak menghiraukan ocehannya, ia
memutar tubuh dan memanjangkan langkahnya. Dan Sin
Houw tetap mengejarnya sambil terus berteriak-teriak,
Akhirnya penculik itu menjadi habis sabar, dan timbullah
pikirannya:
"Jika aku tidak membunuhnya, aku akan diganggunya
terus-menerus," Memperoleh pikiran demikian, ia berhenti dan
memutar tubuhnya, dengan goloknya ia menyongsong
serangan Sin Houw, ia kini tidak mau berkelahi setengah hati -
baru beberapa gebrakan saja lagi lagi pisaunya Sin Houw

466
kena dipentalkan jatuh ditanah.
Terus saja ia menendang -sehingga Sin Houw menjadi
terguling. Setelah itu ia mengayunkan goloknya hendak
menghabiskan jiwanya,
Cie Lan yang berada dalam kempitannya, melihat
ancaman bahaya itu. Dengan mati-matian ia menggelendoti
lengan penculik itu dan menggigitnya. Karena gigitannya,
penculik itu kesakitan sehingga berteriak. Dan bacokkannya
menjadi gagal pula.
Dan inilah kesempatan yang bagus bagi Sin Houw. Anak
itu segera membuang diri dengan bergulingan di tanah, lalu
kembali merangkak-rangkak memungut pisaunya. Tentu saja
penculik itu mendongkol bukan main, Dengan penuh dengki ia
menjewer telinga Cie Lan, lalu kehilangan serangannya yang
tadi kena digagalkan. Karena sudah berpengalaman, dengan
mudah saja ia dapat melukai Sin Houw.
Kali ini jidat anak itu yang termakan golok, sehingga
mengalirkan darah. Menimbang bahwa karena luka itu Sin
Houw tidak akan dapat berdaya banyak lagi, penculik itu
segera memutar tubuh hendak kabur secepat-cepatnya.
Akan tetapi Sin Houw benar-benar berani dan bandel, ia
melompat dan menubruk kaki si penculik yang terus
dipeluknya erat-erat. Karena kehilangan pisau dapurnya, ia
kini menggunakan ketajaman giginya. Meniru Cie Lan, ia
menggigit kaki penculik itu sekuat tenaganya.
Penculik itu berkaing-kaing kesakitan sambil memaki-maki
kalang kabut.
Dengan geram ia mengangkat sebelah ka kinya dan
diinjakkan ke kepala Sin Houw, Kemudian menendangnya
dengan sekuat tenaga, Dan kena tendangan itu Sin Houw

467
terpental menggabruk tanah.
Penculik itu sudah terlanjur membencinya, terus saja ia
mengejar. Dengan golok ditangan ia bermaksud
membunuhnya.
Untunglah pada detik-detik yang sangat berbahaya bagi
Thio Sin Houw terdengarlah suara kesiur angin. Dan tahu-tahu
kepala penculik itu terbentur sebuah benda yang membeletuk.
Penculik itu terkejut, ia menoleh dan melihat Cin Bun Nio
sedang mengayunkan senjata bidiknya yang kedua. Ternyata,
senjata bidik itu adalah sebutir telur. Pantaslah begitu
membentur kepalanya menerbitkan suara membeletuk -ia
menjadi kuncup hatinya, terus saja meninggalkan Sin Houw
dan kabur secepatnya dengan masih mengempit Cie Lan.
Tentu saja Bun Nio tidak membiarkan penculik itu kabur
dengan membawa puterinya. ia melepaskan sambaran
telurnya yang ketiga. Kali ini tepat mengenai mata kiri.
Penculik itu menjadi gelagapan, Meskipun hanya sebutir telur,
akan tetapi timpukan itu cukup keras, sehingga matanya
berkunang-kunang, ia jadi gusar, terus saja ia melepaskan Cie
Lan, Tangan kirinya mengucak matanya yang terkena
pecahan telur, ia maju menyerang dengan golok ditangan
kanan.
Cin Bun Nio tak bersenjata, ia melayani serangan si
penculik dengan kelincahan tubuhnya. Dalam pada itu Sin
Houw sudah merayap bangun. segera ia memungut pisau
dapurnya kembali. Tanpa memperdulikan luka-lukanya, ia
maju menyerang membantu Bun Nio. Semangat tempurnya
makin lama makin menyala, dan tidak takut segala akibatnya.
Cie Lan juga tidak tinggal diam.
Teringat akan pedangnya yang tertinggal dipekarangan
rumah tatkala kena gempur penculik itu, segera ia lari
mencarinya dan datang kembali dengan membawa pedang

468
itu.
Karena didesak Sin Houw, penculik itu tak dapat lagi
memusatkan serangannya kepada Bun Nio seperti semula,
Bun Nio jadi memperoleh kesempatan untuk menerima
pedang Cie Lan. Dengan pedang ditangan, ia tak ubah seekor
harimau tumbuh sayap. Namun ia seorang wanita penyabar,
tak mau segera turun ke gelanggang menggunakan
pedangnya, ia menjumput tiga buah batu dan ditimpukkan,
membuat si penculik jadi kerepotan setengah mati, Hampir
saja ia ke na tikam pisau dapur Sin Houw.
Selagi penculik itu terpaksa mundur, Bun Nio berkata
dengan suara sabar:
"Ouw Lo Sam! selagi aku tiada di rumah, mengapa kau
hendak menculik anakku? Apakah itu perbuatan seorang lakilaki?"
Bun Nio tidak memberi kesempatan Ouw Lo Sam
menjawab tegurannya, dengan pedang ditangan ia
menyerang, Dan Ouw Lo Sam menjadi sibuk tak keruan. cepat
cepat ia menendang Sin Houw, Bocah itu roboh terguling,
kemudian ia melayani serangan Bun Nio dengan sungguhsungguh.
Bun Nio nampaknya sedang gusar, ia berkelahi dengan
hebat. setelah melakukan serangan beberapa kali, berhasil dia
melukai pundak Ouw Lo Sam. Ouw Lo Sam jadi berteriak
kesakitan, dan karena kesakitannya itu maka gerakannya jadi
lambat.
Bun Nio tidak sia-siakan kesempatan sebagus itu, terus
saja ia mendesak dan menghantam golok Ouw Lo Sam. Kena
hantamannya, golok itu terlepas dari tangannya, dan buruburu
ia melompat sambil berseru:
"Aku berbuat demikian, semata mata melakukan perintah

469
suamimu. Kau hendak membunuhku, nah bunuhlah! Tetapi
aku akan mati penasaran. Apabila aku menjadi setan, akan
tetap mencarimu dimana saja kau berada!"
Sepasang alis Bun Nio berdiri tegak. Dengan wajah merah
karena marah, pedangnya menikam. Ouw Lo Sam agaknya
sudah menduga demikian. Cepat-cepat ia menjejakkan
kakinya dan melesat mundur, kemudian lari tungganglanggang
menuruni gunung.
Bun Nio tidak mengejarnya. Dengan menyarungkan
pedangnya ia berbalik dan mendekati Cie Lan berdua Sin
Houw. ia bersyukur karena Cie Lan sama sekali tidak terluka,
tetapi Sin Houw mandi darah, cepat-cepat ia membimbingnya
pulang.
Dengan tangannya sendiri ia membersihkan luka-lukanya,
dan mengobati dengan bubuk kuning semalam. Anak itu
ternyata mendapat dua luka, syukur lukanya tidak berbahaya.
Benar ia mengeluarkan banyak darah, tetapi tidak sampai
membahayakan jiwanya.
"Kau rebah saja di pembaringan" kata Bun Nio dengan
suara terharu.
Cie Lan segera menceritakan pengalamannya. Dan
mendengar tutur kata puterinya, hati Bun Nio kian terharu.
pikirnya didalam hati:
"Sama sekali tak kusangka bahwa dia berhati mulia. Dia
masih begini muda, akan tetapi gagah sekali. Kalau begitu aku
harus menolongnya, agar mendapat seorang guru yang tepat
untuk menjangkau masa depannya."
Oleh pikirannya itu, ia berkata kepada Sin Houw:
"Sin Houw, kau tidur saja baik-baik, sebentar malam kita

470
berangkat."
Baik Cie Lan maupun Sin Houw heran mendengar
perkataan Bun Nio. sebenarnya mereka hendak minta
keterangan, akan tetapi Bun Nio telah masuk kembali
berkemas-kemas. ia mempersiapkan dua bungkusan, dan
menunggu datangnya petang hari. setelah makan petang,
bertiga mereka duduk menghadapi lilin, pintu tidak dikuncinya.
Bun Nio nampaknya seorang wanita gagah yang tidak gentar
menghadapi ancaman bahaya apapun.
Kira-kira menjelang malam hari tiba-tiba terdengarlah
langkah kaki memasuki pekarangan rumah. Temyata dia
adalah Nie Un siang, si bisu yang baik hati, ia nampak angker
berwibawa dan langkah kakinya ringan sekali. jelaslah bahwa
ia memiliki ilmu kepandaian tinggi.
Bun Nio menyambut kedatangannya dengan berdiri dari
tempat duduknya, ia bicara dengan Un siang dengan
menggerakkan kedua tangannya. Un siang rupanya mengerti
akan isyarat tangan Bun Nio, dia manggutkan kepalanya.
"Ke mana kau bawa Thio susiok?" tanya Sin Houw minta
keterangan. "Apakah dia tertolong?"
Bun Nio segera menterjemahkan pertanyaan Sin How.
setelah memperoleh jawaban Bun Nio ewakili Un siang -
katanya.
"Dia dalam keadaan baik. jangan kau mengkhawatirkan.
sekarang perkenalkan aku bicara denganmu."
Bun Nio mengajak Sin Houw masuk ke dalam kamar. Dia
duduk diatas ranjang, sedangkan Sin Houw berdiri
didepannya.
"Sin Houw, duduklah disampingku." kata Bun Nio sambil
menarik tangan Sin Houw. "Begitu aku melihat dirimu, entah

471
apa sebabnya hatiku berkenan sekali. itulah sebabnya kau
kupandang tak ubah anak kandungku sendiri. Tadi kau telah
berkorban demi Cie Lan, itulah budimu yang pertama kali yang
tak akan kulupakan selama hidup. Malam ini kami hendak
pergi ke suatu tempat yang jauh sekali, karena itu pergilah kau
bersama Nie susiokmu."
"Oh, jadi subo tidak mengajak aku bersama?" Sin Houw
heran. "Kukira subo tadi bermaksud mengajak aku pergi."
Bun Nio menarik napas panjang.
"Sebenarnya tak sampai hatiku untuk berpisah denganmu,"
sahutnya. "Tetapi aku ingin Un siang membawamu kepada
seseorang. Dialah guru dari Thio susiokmu. Baru beberapa
bulan saja ia belajar ilmu kepadanya, ternyata dia sudah
memiliki ilmu kepandaian sangat tinggi, orang itu mempunyai
ilmu kepandaian yang tiada bandingnya didunia ini, dan aku
menghendaki kau berguru kepadanya."
Mendengar perkataan Bun Nio, Sin Houw terdiam. Hanya
hatinya tergerak.
Tatkala hendak membuka mulutnya, Bun Nio meneruskan:
"Seumur hidupnya orang itu hanya mempunyai dua orang
murid saja, Hal itu terjadi pada belasan tahun yang lampau.
walaupun demikian, sampai kini dia belum mau menerima
seorang murid lagi, Kau seorang yang berbakat, hatimu mulia
pula, Aku percaya, dia pasti akan menerimamu sebagai
muridnya. Un siang itu hanya pelayannya. itulah sebabnya,
dengan perantaraannya aku me-ngirimkan kau kepadanya.
Kau pergilah dengannya. seumpama orang itu tidak sudi
menerimamu sebagai muridnya, Un siang akan membawamu
kembali kepadaku.
Sampai disitu Sin Houw telah mengambil keputusan, dia

472
memanggut.
"Bagus!" seru Bun Nio gembira. "sebelum bertemu dengan
orang itu, baiklah kuberitahukan tentang tabiatnya, ia seorang
aneh, seumpama engkau tidak patuh kepadanya, segera ia
membencimu sampai tujuh turunan, sebaliknya andaikata kau
terlalu menurut, diapun mencelamu habis-habisan. Dan
pastilah kau akan dikatakan sebagai seorang anak yang sama
sekali tak mempunyai semangat hidup. Maka segala-galanya
kini tinggal terserah kepada nasibmu belaka."
Bun Nio kemudian melepaskan sebuah gelangnya, dan
dikenakan pada pergelangan tangan Sin Houw, ia memijitnya
sedikit, sehingga gelang itu tidak akan lepas lagi dari
pergelangan tangan anak itu.
"Dikemudian hari apabila kau sudah selesai belajar, kau
akan menjadi seorang pemuda yang tinggi besar." kata Bun
Nio dengan tersenyum "janganlah kau melupakan aku dan
adikmu, Cie Lan."
"Akh, subo." sahut Sin Houw sungguh-sungguh.
"Andaikata aku diterima sebagai muridnya, aku mohon dengan
sangat, pada waktu senggang hendak lah subo mengajak Lannoay
datang menjengukku.
Sepasang mata Bun Nio mengalirkan air mata, hatinya
terharu. jawabnya:
"Baik, aku akan selalu teringat kepadamu."
Bun Nio kemudian menulis sepucuk surat yang kemudian
diserahkan kepada Un Siauw, setelah perbekalan selesai
disiapkan, segera ia berkata memutuskan.
"Marilah kita sekarang berangkat."

473
Berempat mereka keluar rumah, sesampainya diluar
halaman mereka berpisah dalam dua jurusan, masing-masing
dengan tujuannya sendiri. Cie Lan bersama ibunya mengarah
ke timur, sedangkan Un siauw mengajak Sin Houw mengarah
ke barat.
Berat rasa hati Sin Houw berpisah dengan Cie Lan. inilah
perpisahan yang memilukan untuk yang keenam kalinya. Yang
pertama tatkala ia berpisah dengan kakek gurunya, yang ke
dua dengan siang Gie Coen, yang ketiga dengan ke-empat
gurunya.
Yang ke empat dengan Hong Kiauw, Yang kelima dengan
Thio Hian Cong dan yang ke-enam dengan Bun Nio berdua
Cie Lan.
Un siang tahu bahwa Sin Houw mengeluarkan darah
banyak ketika menderita luka, karena itu ia memondongnya
dan dibawanya lari cepat tanpa perduli jalan pegunungan
sempit dan licin. Kakinya melesat dengan gesit sekali dan ia
melakukan perjalanan pada waktu siang maupun malam. Ia
baru berhenti beristirahat pada larut malam -tetapi bukannya
berhenti ditempat penginapan atau dirumah seseorang,
melainkan ditengah-tengah tegalan atau dalam goa.
Kalau ia memasuki pedusunan atau kota semata-mata
hanya untuk membelikan barang makanan bagi Sin Houw, Dia
sendiri hanya mengisi perutnya sekenanya saja.
Seringkali Thio Sin Houw minta keterangan tentang dusundusun
yang di laluinya atau ke mana arah tujuannya, tetapi Un
siang hanya menjawab dengan menudingkan tangannya
kearah depan.
Setelah tiga hari melakukan perjalanan maka jalan yang di
tempuhnya makih lama makin menjadi sulit. Pada waktu itu
sampailah dia disebuah pinggang gunung terjal. jalanan
hampir boleh dikatakan tiada. untuk maju terus, Un siang

474
menggunakan kedua tangannya merayap atau merangkaki
tebing.
Kadang-kadang ia merambat lewat akar-akar pepohonan.
pada waktu itu Sin Houw dapat menggunakan kesempatan
untuk melongok kebawah, Hatinya ngeri luar biasa, karena
dibawah kakinya adalah jurang yang dalamnya entah berapa
ratus meter, Tak terasa ia memeluk leher Un siauw erat-erat
karena takut terlepas.
Dalam hatinya ia berdoa panjang dan pendek. Betapa
Tidak? sekali terperosok mereka berdua bakal jatuh di dalam
jurang yang sangat dalam, dan tamatlah riwayat hidupnya!
*****
HAMPIR seharian lamanya Un siang memanjat dan
merangkaki tebing tebing terjal, dan menjelang petang hari
sampailah mereka disebuah puncak gunung yang tinggi. Sin
Houw diturunkan di atas batu, waktu itu luka-lukanya sudah
menjadi kering, hanya diatas alisnya masih tertinggal luka
kecil. Karena itu gerakan kaki dan lengannya tak terhalang
lagi, Begitu berdiri di atas batu, segera ia melayangkan
penglihatannya.
Didepannya tergelar sebidang tanah lebar dengan dipagari
hutan hutan cemara yang tinggi-tinggi, Kesannya sangat indah
dan menyenangkan.
Setelah beristirahat sejenak, Un siang memondongnya
lagi, Kemudian melanjutkan perjalanan. Hanya sekali ini ia
tidak berlari-lari lagi seperti semula. setelah melewati enam
rumah batu, ia tersenyum gembira. Kesannya seperti seorang
perantau yang melihat kampung halamannya kembali.
Di depan sebuah rumah batu, Un siang membimbing Sin
Houw masuk ke dalam pekarangannya. Lantai rumah batu itu
kotor dan banyak kayu-kayu yang malang melintang, itulah

475
suatu tanda bahwa rumah itu lama tiada penghuninya.
Segera Un siang menyapunya, sekarang rumah batu itu
nampak rapi dan menyenangkan. Terus saja sia menyalakan
api dan memasak air serta nasi.
Puncak gunung itu tinggi. perjalanannya sangat sukar pula.
Entah bagaimana caranya Un Siang dapat menyediakan beras
dan lauk-pauk yang dibutuhkan, Sin Houw cerdas, tetapi tak
mampu menjawab pertanyaan itu.
Tiga hari tiga malam lamanya Sin Houw berada dalam
rumah batu itu dengan Un siang. Bagi Sin Houw hal itu
merupakan suatu siksaan sendiri karena Un siang tak dapat
diajak berbicara, Setelah menjelang hari keempat ia jadi
gelisah.
Dengan gerakan tangannya, ia mencoba berbicara dengan
Un siang. ia mencoba minta keterangan kepadanya kapan
kiranya datang sang guru yang di janjikan.
Un siang agaknya mengerti pertanyaan Sin Houw, Dia
menunjuk ke bawah gunung. Mengira bahwa guru yang
dijanjikan itu berada dibawah gunung, Sin Houw segera
mengajak:
"Mari kita turun saja!"
Akan tetapi Un siang menggelengkan kepalanya, maka
terpaksalah Sin Houw berdiam saja, Hatinya sangat masgul,
hal itu disebabkan karena ia merasa kesepian. Kalau saja dia
bisa mengajak Un siang bicara, hatinya agak terhibur
meskipun berada ditempat yang sunyi.
Pada suatu malam ia menjadi terkejut ketika tersadar dari
tidurnya.

476
Didepan matanya berkelebat cahaya terang, segera ia
menggeliat dan duduk di tepi pembaringan. Di depannya
berdiri seorang tua membawa lilin menyala, orang tua itu
berseri-seri wajahnya, tanda hatinya girang.
Dasar otaknya cerdas, Sin Houw cepat-cepat turun dari
pembaringan. lantas saja bersimpuh dihadapannya sambil
berkata:
"Suhu! Akhirnya suhu datang juga."
Orang tua itu tertawa terbahak-bahak, sahutnya:
"Eh, siapa yang mengijinkan kau memanggilku sebagai
suhu? Bagaimana kau bisa yakin bahwa aku akan
menerimamu sebagai murid?"
Sin Houw girang bukan kepalang. oleh perkataan orang tua
itu, jelaslah sudah bahwa dia bakal diterima sebagai murid,
segera ia menjawab:
"Subo yang mengajari aku."
"Hm!" orang tua itu mengeluh. "Artinya dia menambahi
kesulitan lagi kepadaku." setelah menggerutu demikian, tibatiba
ia tersenyum. Katanya:
"Baiklah, mengingat mendiang ayahmu, aku bersedia
menerimamu sebagai murid."
Bukan kepalang girang Sin Houw, Terus saja ia bersembah
beberapa kali, tetapi orang tua itu mencegahnya. Katanya:
"Cukupl cukup! sampai besok saja."
Pada keesokan harinya, sebelum terang tanah Sin Houw
sudah bangun dari tidurnya. segera ia mencari Un siang. Dan
melihat kedatangannya, Un siang girang bukan kepalang.

477
untuk menyatakan kegirangannya yang meluap-luap, ia
mengangkat tubuh Sin Houw dan dilemparkan tinggi-tinggi di
udara dan menanggapi dengan tangannya.
Empat lima kali ia berbuat demikian, sehingga Sin Houw
terapung-apung di udara. Sin Houw tahu bahwa Un siang ikut
bergirang hati, karena dirinya diterima menjadi murid. Lantas
saja ia tertawa.
Guru besar itu segera keluar dari kamarnya, begitu
mendengar suara tertawa riuh. menyaksikan perbuatan si
bisu, ia menghampiri. Berkata kepada Sin Houw:
"Bagus! Kau masih begini muda, tetapi kau mengarti
berbagai perbuatan mulia dan gagah. Kau telah menolong
seorang perempuan. sebelum kau mengenal namaku, coba
perlihatkan kepadaku, kepandaian apa yang telah kau miliki."
Thio Sin Houw menundukkan kepalanya, wajahnya merah
karena malu, ia segan memperlihatkan ilmu kepandaiannya
dihadapan orang tua itu.
"Jika kau tidak sudi memperlihatkan ilmu kepandaianmu,
bagaimana aku bisa mengajari dirimu?" kata orang tua itu
sambil tertawa.
Sekarang barulah Sin Houw mengarti maksud orang tua
itu, terus saja menyahut:
"Baiklah, suhu."
Setelah berkata demikian, ia mulai memperlihatkan ilmu
sakti Hok-houw ciang yang diperolehnya dari ke gurunya dan
dari Thio Hian Cong, Orang tua itu mengawasi dengan
pandang berseri-seri, dia menunggu sampai Sin Houw selesai
dengan jurus yang terakhir, kemudian barulah dia tertawa.
Katanya:

478
"Pantas saja Hian Cong selalu memuji kecerdasanmu.
Mulanya aku tidak percaya." katanya, "Dia baru mengajarkan
jurus-jurus Hok-houw ciang baru beberapa hari saja
kepadamu, nyatanya kau bisa melakukan begini rupa. Bagus!"
Mendengar disebutnya nama gurunya - Thio Hian Cong,
maka Sin Houw tergerak hatinya, sebenarnya ingin segera ia
memperoleh keterangan tentang gurunya, tetapi karena orang
tua itu masih berbicara tak berani ia memutus.
"Sekarang, bolehlah kau mengenal namaku." kata orang
tua itu.
Sin Houw masih diam mendengarkan tanpa berani
mengucap apa-apa, meskipun gurunya menunda bicara, ia
membiarkan sampai gurunya yang menyambung bicara:
"Aku adalah she Bok, Dikalangan Rimba persilatan, orangorang
menyebut aku sebagai Pat-jin Sin-wan, Kau harus
camkan baik-baik, Lain kali apabila ada orang menanyakan
nama gurumu kau harus menjawab tidak tahu!"
Sin Houw membungkuk hormat, kemudian dia minta
keterangan:
"Suhu tadi menyebut nama Thio susiok, dimanakah dia
sekarang? Apakah dia baik-baik saja?"
Orang tua itu mengerinyitkan dahinya, Biasanya hatinya
tidak senang apabila seseorang mengalihkan pembicaraan
dengan tidak mendapat persetujuannya, Akan tetapi
mengingat anak itu sangat memikirkan keselamatan gurunya,
diam-diam ia menaruh perhatian. pikirnya didalam hati:
"Benar, dia seorang anak yang mulia hatinya. Sama sekali
ia tidak memikirkan kepentingan dirinya sendiri. Yang
ditanyakan adalah keadaan gurunya dahulu,". Kemudian ia

479
menjawab:
"la tak kurang suatu apa. ia sudah kembali kepada
pasukannya, kini berada bersama-sama dengan Thio Su
Seng."
Thio Sin Houw girang bukan main, Hanya saja hatinya
menyesal karena tak dapat bertemu lagi dengan gurunya itu,
yang telah mewariskan ilmu sakti Hok-houw ciang kepadanya.
"Baiklah," kata orang tua itu, "Karena kau sudah mengenal
namaku, dan akupun telah menerimamu sebagai murid,
marilah kita melakukan upacara di dalam."
Apa yang dinamakan upacara, bukanlah semacam
upacara sembahyang. Tetapi orang tua itu hanya
mengeluarkan selembar kertas lukisan seorang ksatria
beroman alim dan agung. sambil menyulut lilin ia berkata:
"Inilah gambar Cie Couw Suya, ia pendiri dari golongan
Hoa-san pay. Hayolah, kau sekarang berlutut dan
menjalankan penghormatan!"
Thio Sin Houw segera bersimpuh di hadapan gambar itu. ia
bersembah berulangkali tiada hentinya, sehingga membuat
orang tua itu tertawa terbahak-bahak. Katanya:
"Sudahlah, cukup!"
Masih saja ia tertawa atau tiba-tiba Sin Houw berlutut
kepadanya sambil berkata:
"Suhu!"
Mau tak mau orang tua itu atau Pat-jiu Sin-wan Bok Jin
Ceng menerima sembah calon muridnya itu. Katanya:
"Mulai saat ini kau adalah muridku yang syah, sebelum kau

480
tiba di sini, aku mempunyai dua orang murid. Dengan
demikian kau adalah muridku yang ke tiga. Terpautmu sangat
jauh dengan ke dua kakak seperguruanmu itu. Hal itu
disebabkan karena belasan tahun lamanya aku belum
menemukan calon murid yang berbakat seperti kau,
Kini sudah kuputuskan bahwa kau menjadi murid penutup,
karena itu kau harus belajar sungguh-sungguh agar di
kemudian hari kau bisa menjaga martabat perguruanmu.
Thio Sin Houw manggut berulangkali, janjinya:
"Mudah-mudahan Tuhan mengabulkan kehendak suhu,
dan mudah-mudahan Tuhan mengabulkan pula kepadaku
untuk bisa menjunjung tinggi martabat perguruan suhu."
Pat-jiu Sin-wan Bok Jin Ceng adalah rekan sejaman
dengan Tie-kong Tianglo, ia malang-melintang dua puluh
tahun lamanya tanpa tandingan. Karena tak senang menjual
lagak, namanya tak begitu tersohor, ia tidak memperdulikan
hal itu, dia malahan menjadi seorang pendekap yang senang
hidup menyendiri. Tetapi terhadap Sin Houw tiba-tiba timbullah
rasa ibanya.
Anak itu yatim piatu, pantaslah dia harus dikasihani.
Demikianlah pikirnya didalam hati, sebagai seorang pendekar
besar, sudah tentu ia mendengar berita tentang kegagahan
Thio Kim San. ia kagum dan menghargai ayahnya Sin Houw
itu. Anak itupun berbakat bagus dan berotak cerdas, serta
tabiatnya mulia pula, oleh pertimbangan-pertimbangan itulah,
mendadak saja lenyaplah tabiat anehnya. ia tidak hanya
menerima Sin Houw sebagai muridnya saja, akan tetapi
bersedia bersenda gurau pula.
"Kedua kakak seperguruanmu berusia jauh lebih tua dari
padamu. umurnya kini barangkali tigapuluh lima tahun lebih."
kata Bok Jin Ceng, "Malahan murid mereka ada diantaranya
yang telah berusia lebih tua dari padamu, maka bisa kejadian

481
mereka akan menyesali aku lantaran aku menerima seorang
murid begini muda.
Celakanya lagi, apa bila kau tidak berhasil. Umpama kata
kau kalah ketika diadu dengan murid-murid mereka, kedua
kakak seperguruanmu pasti akan mencela aku!"
"Suhu, aku akan belajar dengan sungguh-sungguh." kata
Sin Houw dengan semangat menyala. Kemudian mengalihkan
pembicaraan: "Apakah Thio susiok murid suhu juga?"
"Dia hendak ikut Thio Su Seng berperang," jawab Bok Jin
Ceng. "Tiada waktunya untuk belajar lama-lama kepadaku,
sehingga aku hanya mengajari ilmu pukulan Hok-houw ciang
saja, Karena itu tak dapat dia disebut sebagai muridku." ia
berhenti sebentar memalingkan pandangnya, sambil
menuding ke pada Un siang, ia meneruskan: "Lihat pulalah
dia. setiap kali kita berlatih, dia ikut menyaksikan.
Diam-diam ia menyimpannya didalam ingatannya. Apa
yang di ingatnya bukan sedikit, walaupun demikian apabila
dibanding dengan kedua muridnya, bedanya seperti bumi dan
langit!"
Mendengar perkataan Bok Jin Ceng, maka Thio Sin Houw
tercengang oleh rasa kagum, Dengan mata kepala sendiri ia
menyaksikan betapa perkasa si bisu itu. Kepandaiannya
tinggi, meskipun demikian dia hanya seorang pelayan yang
dapat memiliki ilmu kepandaiannya itu dengan cara mencuri
pandang saja.
Gurunya sendiri, Thio Hian Cong, hanya memperoleh ilmu
pukulan Hok-houw ciang - meskipun demikian gurunya itu
seorang pendekar tangguh dan gagah sekali. Jika ilmu
kepandaian mereka berdua hanya dikatakan sebagai satu
kepandaian sambil lalu saja, maka betapa tinggi ilmu sakti Bok
Jin Ceng, sudah dapat dibayangkan. Diam-diam ia berpikir

482
didalam hati:
"Jika aku belajar dengan sungguh-sungguh, meskipun
tidak dapat menjajari kedua kakak seperguruanku, setidaktidaknya
aku akan bisa memiliki kepandaian setaraf dengan
Nie susiok. Kurasa itupun sudah cukup untuk kubuat bekal
membalas dendam kematian ayah dan ibuku,"
Oleh pikiran itu, ia menjadi girang sekali.
"Rumah perguruan kita ini adalah dari golongan Hoa-san
pay," kata Bok Jin Ceng meneruskan keterangannya. "Kami
kaum Hoa-san pay mempunyai peraturan yang keras, serta
ada pula pantangannya. Yakni pantang berbuat cabul,
pantang melakukan kejahatan, pantang menjadi kaki-tangan
bangsa asing atau musuh negaxa. pantang melakukan
pekerjaan sebagai seorang piauwsu atau pengantar barang
kiriman dan lain-lainnya, Dikemudian hari akan kujelaskan
lebih lanjut lagi. sekarang, camkan segala pesanku ke dalam
perbendaharaan hatimu.
Yang pertama, kau harus patuh kepada perkataan gurumu!
Dan yang kedua, jangan melakukan hal-hal yang tercela."
"Pasti aku akan patuh kepada setiap perkataan suhu, dan
aku berjanji tidak akan melakukan perbuatan yang buruk." kata
Sin Houw dengan suara berkobar-kobar.
Bok Jin Ceng girang mendengar Sin Houw memberikan
janjinya, serunya:
"Bagus, anakku! sekarang, marilah kita mulai berlatih! Thio
Hian Cong mengajari ilmu pukulan Hok-houw ciang dengan
selintasan saja. sebenarnya ilmu pukulan yang diajarkan
kepadamu itu serupa dengan seseorang yang menyekat jalan
panjang. Apabila kau tidak mulai dari ujungnya atau tidak kau
selami dari titik pangkalnya, dikemudian hari kau tidak akan
memperoleh kesempurnaan. Karena itu, kini aku akan

483
mengajakmu dengan ilmu Tiang-kun sip- toan kim."
"Dulu pernah aku memperoleh pelajaran ilmu itu dari suhu
Ouw Sam Ciu!" seru Sin Houw heran.
"Ch, begitu? Umpama kata benar demikian, kukira belum
berarti." kata Bok Jin Ceng, "Apakah kau sudah merasa dapat
mempergunakan ilmu Tiang-kun Sip toan kim? jika merasa
begitu, kau keliru sekali. Sebab, jika kau sudah mahir
memainkan ilmu Tiang-kun Sip- toan kim, hanya beberapa
orang saja yang dapat mengalahkanmu ..."
Thio Sin Houw tercengang, ia percaya keterangan gurunya
itu, sehingga ia tak berani lagi membuka mulut.
"Apakah kau kurang yakin?" tanya Bok Jin Ceng, "Coba,
kau lihatlah. setelah itu kau tirukan!" setelah berkata demikian,
Bok Jin Ceng lantas memberi contoh jurus-jurus ilmu Tiangkun
sip-toan kim. Dan Sin Houw dengan penuh perhatian
mengikuti setiap gerakan Bok Jin Ceng, semuanya mirip.
Sama sekali tiada bedanya dengan ajaran dari Ouw Sam Ciu.
ia jadi heran dan tidak mengerti, apakah kehebatannya ilmu
itu? sedang Sin Houw sibuk berpikir pulang balik, Bok Jin
Ceng menegur:
"Apakah kau mengira aku membohongimu? Mari, kau
coba. Kau seranglah aku! Apabila kau bisa menyentuh ujung
bajuku saja, anggaplah kau sudah mahir."
Tentu saja Thio Sin Houw tak berani menyerang gurunya,
ia hanya ber-senyum saja, Dan sama sekali tak bergerak dari
tempatnya.
"Hayo, maju! Aku sudah mengajakmu salah satu jurus ilmu
Tiang-kun Sip toan kim."
Mendengar bahwa gurunya mulai hendak memberikan
pelajaran, Thio Sin Houw lantas saja melompat masuk ke

484
dalam gelanggang. Dengan serta merta ia menyambar baju
gurunya yang berpakaian seperti pendeta.
Menurut perasaannya, ia bakal berhasil menyentuhnya.
Alangkah herannya, setiap kali tangannya nyaris menyentuh
ujung baju, mendadak saja ujung baju itu mundur sendiri. ia
lantas melompat menerkam, tetapi justru demikian, ia
kehilangan pengamatan - tiba-tiba saja gurunya lenyap dari
depannya.
"Aku disini!" seru gurunya sambil tertawa, tangannya
menerkam pundaknya. Ternyata ia berada dibelakang
punggungnya.
Sin Houw mengasah otaknya, dan cepat-cepat ia memutar
tubuhnya. Kemudian dengan berjumpalitan ia menghampiri.
Gerakannya gesit sekali, kedua tangannya dipentang untuk
memeluk. Tetapi ia hanya memeluk udara kosong
melompong, sama sekali tubuh gurunya tak dapat
disentuhnya. Dan apabila ia berpaling, gurunya telah berada
kira-kira sepuluh langkah dibelakang punggungnya.
Thio Sin Houw jadi penasaran. ia melompat sekali lagi
dengan gesit. Tapi langsung kedepan, Dan pada saat itu, tibatiba
mengebaskan lengan bajunya, dan tubuhnya ikut melesat.
Dengan begitu ia menghindarkan terkaman Sin Houw,
sehingga anak itu hanya menangkap angin.
Sekalipun begitu Thio Sin Houw tidak menjadi putus asa.
Lantaran mendongkol, ia malahan jadi bersemangat.
Kini ia tertawa gembira. ia mengejar, membiluk dan
mengikuti gerakan gurunya, tiba-tiba ia melihat si bisu
menggerakkan tangannya diluar gelanggang.
Diam-diam ia memperhatikan, dan mendadak saja hatinya
tergerak. Katanya didalam hati:

485
"Nie susiok memerintahkan aku meniru gerakan guru,
melakukan ilmu sakti Tiang-kun Sip-toan kim, Mengapa bisa
begitu gesit?"
Ia masih mengubar selintasan, kemudian dengan
perlahan-lahan ia mulai memperhatikan gerak-gerik gurunya.
Karena otaknya cerdas luar biasa, sebentar saja ia telah dapat
memahami semua gerakannya. setelah merasa diri dapat
menirukan, segera ia mencontoh gerakan gurunya. Lantas
saja kegesitannya bertambah beberapa kali lipat.
Bok Jin ceng yang sejak tadi mengawasi gerak-gerik
muridnya, diam-diam manggut-manggut, pikirnya didalam hati:
"Anak ini benar-benar cerdas, ia mengerti apa yang
kukehendaki."
Thio Sin Houw memperhebat pengejarannya, karena kini
bisa bergerak lebih lincah dan gesit. Akan tetapi gerakan
gurunya pun bertambah gesit lagi, sehingga usahanya untuk
menangkap atau menyentuh ujung baju gurunya menjadi siasia
belaka. Tetapi si bisu yang berada diluar gelanggang
bergembira karena mereka berdua bergerak bagaikan
bayangan saja.
Beberapa saat kemudian, mendadak saja Bok Jin Ceng
melompat keluar gelanggang, kemudian berbalik menerkam
muridnya dan diangkatnya tinggi tinggi diudara. serunya
sambil tertawa:
"Murid yang baik! Murid yang baik ...! Kau seorang anak
manis sekali !"
"Suhu!" seru muridnya pula yang menjadi girang luar biasa-
"Barulah sekarang aku menyadari bahwa ilmu itu tidak boleh
dibuat gegabah."
"Bagus, anakku. cukup sudah untuk hari ini." tegas

486
gurunya. ia menurunkan tubuh Sin Houw sambil berkata lagi.
"Sekarang, kau ulangi lagi."
Thio Sin Houw segera mengulangi jurus-jurus ilmu sakti
tiang-kun sip toan kinu setelah memperhatikan gerak-gerik
Thio Sin Houw beberapa kali, Bok, Jin Ceng kemudian masuk
ke dalam kamarnya.
Tetapi Thio Sin Houw tak sudi beristirahat ia berlatih terus
sampai belasan kali, sehingga makin lama makin mengerti
faedahnya ilmu sakti Tiang kun Sip-toan kim. Ternyata ilmu itu:
berpokok pada kegesitan dan kecepatan.
Kesadaran ini membuat hatinya bertambah girang, ia
begitu girang sampai tak dapat tidur nyenyak pada malam
harinya. Jurus-jurusnya berkelebatan di dalam benaknya,
sehingga dalam mimpinya ia sedang berlatih dengan giat.
Pada esok harinya, tatkala fajar hari baru saja menjenguk
dilangit timur, Thio Sin Houw sudah bangun dari tidurnya,
Terus saja ia melompat dari pembaringannya, dan berlatih
mengulangi jurus-jurusnya semalam, ia takut lupa, maka
dengan sungguh-sungguh dan penuh perhatian ia berlatih
seorang diri, selagi tenggelam dalam latihannya, tiba-tiba ia
mendengar batuk gurunya dibelakang punggungnya. segera ia
berputar dan berseru girang:
"Suhu!"
Bok Jin Ceng tertawa lebar. sahutnya:
"Kau telah paham dan mengarti dengan cepat sekali.
Bagus, anakku. Tetapi sebenarnya, kau baru mengarti bagian
atas, Bagian bawahnya belum. Karena bagian bawahmu
masih kosong, maka apabila kau menghadapi seorang lawan
tangguh, kau bakal celaka. Beginilah seharusnya..."

487
Setelah berkata demikian, Bok Jin Ceng lalu menurunkan
ilmu sakti Tiang-kun Sip-toan kim bagian bawah. Serunya:
"Sekarang, hayo. Kau tirukan!"
Thio Sin Houw segera menirukan gerakan gurunya. Berkat
kecerdasan otaknya, ia dapat mengarti dengan cepat sekali.
Dengan penuh tekun ia menyelami dan mendalami sehingga
dalam waktu satu hari saja, pengertiannya bertambah pesat.
Selanjutnya sejak hari itu tak pernah Thio Sin Houw
mengabaikan ajaran gurunya, walaupun sesaat saja. Tak
terasa tiga tahun telah lewat dan usia Sin Houw kini telah
mencapai tujuh belas tahun. Bisa racun yang mengeram
didalam tubuhnya sekali-kali terasa lagi, akan tetapi berkat
obat pemunah buatan Lie Hong Kiauw, dapatlah ia mengatasi.
Malahan tubuhnya kini menjadi kuat sekali. ia tumbuh menjadi
seorang yang tegap dan gesit gerak geriknya.
Seperti biasanya, Bok Jin Ceng pada waktu-waktu tertentu
turun gunung selama dua atau tiga bulan. setiap kali
bepergian, selalu ia mengajari berbagai ilmu sakti. Apabila
pulang ia lantas meniliknya, setelah merasa puas, ia
memberikan tambahan lagi. Demikianlah, hatinya puas karena
memperoleh seorang murid yang rajin sekali dan berotak
cerdas luar biasa.
Pada suatu hari Bok Jin Ceng mengeluarkan sebuah
lukisan. ia memberi hormat kepada lukisan itu, lalu
memerintahkan pula kepada Thio Sin Houw agar berbuat yang
sama. Kemudian berkatalah dia dengan suara terang:
"Sin Houw, masih ingatkah siapa gambar ini? Beliau
adalah mendiang kakek guruku, namanya Cie Couw Suya,
pendiri rumah perguruan Hoa-san pay ini, Dan tahulah kau
apa sebab pada hari ini kau kuperintahkan memberi hormat
kepada cikai bakal Hoa-san pay?"

488
Thio Sin Houw menggelengkan kepala .
Bok Jin Ceng kemudian masuk ke dalam kamarnya, ia
keluar lagi membawa sebuah peti kayu berukuran panjang,
Peti itu diletakkan diatas meja. Apabila tutupnya terbuka,
berkeredeplah suatu sinar gemerlapan, sinar itu begitu
menyilaukan mata, Thio Sin Houw menjenguknya, dan ia
kaget tatkala melihat sebatang pedang yang panjangnya
hampir satu meter.
"Apakah suhu bermaksud hendak mengajariku ilmu
pedang?" ia menegas dengan suara gemetar.
Bok Jin Ceng manggut, ia mengeluarkan pedang tajam itu,
dan memberi perintah dengan suara angker:
"Kau berlututlah! Dan dengarlah perkataanku!"
Hati Thio Sin Houw tergetar, Selama tiga tahun menjadi
murid, baru pada hari itu ia mendengar gurunya bersikap
angker dengan mendadak. Keruan saja ia lantas berlutut
dihadapannya.
"Pedang, adalah raja dari berbagai ratusan macam
senjata." Bok Jih Ceng mulai. "Tetapi pedang merupakan
senjata yang paling sukar diajarkan dan dipelajari. Tetapi kau
berotak sangat cerdas, dan hatimu keras pula. Aku yakin,
bahwa kau sanggup mempelajarinya. ilmu pedang Hoa-san
pay, sudah beralih tiga kali ditangan ahli warisnya, syukur
makin lama ilmu pedang Hoa-san pay makin memperoleh
kemajuan. Pada umumnya, seorang guru biasanya
merahasiakan satu ilmu pukulan yang menentukan terhadap
ahli warisnya, untuk berjaga-jaga diri.
Dengan demikian ahli waris yang di kemudian hari
melahirkan angkatan-angkatan barunya, makin lama makin
bertambah kurang kepandaiannya. Syukurlah kita tidak

489
memilih jalan demikian. Kita tidak perlu berjaga-jaga
menghadapi murid murtad, asal saja sebelum kita menerima
murid, harus mengkajinya benar-benar, setelah memperoleh
seorang murid yang tiada celanya, semua rahasia ilmu
warisan Hoa-san pay harus diwariskan dengan sepenuhnya.
Bahkan dianjurkan agar setiap ahliwaris pedang ini, di
kemudian hari harus dapat menambahkan dan melengkapkan
ilmu-ilmu sakti yang sudah diwarisinya, Dengan demikian,
pada tiga ratus atau empat ratus tahun kemudian, apabila ahli
waris Hoa-san pay melahirkan zaman baru, jadi bertambah
maju, ilmu pedang kita memang sulit untuk di pelajari, tetapi
apabila kau sudah memahami, di dunia ini tiada tandingnya.
Mulai pada hari ini, aku hendak mengajarimu ilmu pedang,
Akan tetapi kau harus bersumpah terlebih dahulu, bahwa kau
tidak akan membunuh seseorang yang tidak berdosa atau
bersalah!"
Sambil berlutut Sin Houw menyahut:
"Pada hari ini, suhu hendak mewariskan ilmu pedang
kepadaku, Apabila dibelakang hari aku membunuh seseorang
yang sama sekali tidak bersalah atau berdosa, biarlah aku
terbunuh pula oleh seseorang."
"Bagus!" seru gurunya, "Nah, bangunlah !"
Thio Sin Houw bangun dan berdiri dengan tegak. Kata
gurunya lagi:
"Aku tahu kau berhati mulia, tidak bakal kau membunuh
seseorang tanpa alasan tertentu, Hanya saja masalah dunia
ini sangat rumit, Benar dan salah sukar dibuktikan, hanya tulen
dan palsu lambat-laun akan kau ketahui juga. Karena itu mulai
saat ini kau harus belajar bisa membedakan antara yang
benar dan yang palsu. Asal hatimu jujur, bersih dan penuh
cinta kasih pada setiap insan, aku percaya di kemudian hari

490
kau tidak akan main bunuh terhadap seseorang yang sama
sekali tidak bersalah atau berdosa. Karenanya kau ingatingatlah
pesanku tadi, jujur - bersih dan cinta kasih!
Thio Sin Houw memanggut.
"Sekarang, kau lihatlah!" akhirnya Bok Jin Ceng
mengakhiri perkataannya.
Dengan sebat ia memegang hulu pedang dengan tangan
kanannya. Kemudian tangan kirinya diletakkan diatas bagan
pedang itu, dan mulailah ia melakukan jurus-jurus ilmu pedang
Hoa-san pay. pedang yang bergemerlapan itu lantas saja
mengeluarkan sinar berkilauan.
*****
SUDAH tiga tahun Thio Sin Houw berguru kepada Bok Jin
Ceng, Baik pendengaran maupun penglihatannya jauh
melebihi Thio Hian Cong dan guru-gurunya yang lampau.
walaupun demikian, ia tak dapat mengikuti gerakan pedang
Bok Jin Ceng yang cepat luar biasa dan yang tertangkap oleh
penglihatannya hanya berkelebatnya sinar berkilauan di depan
hidungnya. Dan pedang itu terasa menyilaukan kedua
matanya.
Tahu-tahu kesiur angin tajam lewat didepan hidungnya,
dan pedang itu tertancap bergetaran pada batang pohon yang
berada didepan pertapaan, itulah tenaga lemparan yang luar
biasa dahsyatnya. Sin Houw kagum sampai terpukau
mengawasi.
"Bagus!" seru seseorang yang berada dibelakang
punggung Sin Houw.
Thio Sin Houw kaget sampai berjingkrak. selama tiga tahun
berada di atas gunung, tiada suara lain yang di dengarnya

491
kecuali suara gurunya dan si gagu, sekarang dengan
mendadak saja ia mendengar suara asing bagi
pendengarannya.
Dan suara itu tiba-tiba saja muncul dibelakang
punggungnya, Keruan saja ia kaget dan heran. cepat ia
berpaling, dan didepan matanya berdiri seorang laki-laki
mengenakan pakaian pendeta. Laki-laki itu berkumis jembros
dan berjenggot sejadi-jadinya, seperti rambutnya, kumis dan
jenggotnya sudah putih semua. Dengan kedua matanya yang
bulat bundar, ia tersenyum berseri-seri. Kedua tangannya di
gendongnya dibelakang punggung, sehingga sikapnya mirip
seorang majikan besar.
Pendeta itu berjubah putih. setelah memuji Bok Jin Ceng,
ia berkata:
"Barangkali, sepuluh tahun lebih aku tidak melihat kau
menggunakan pedangmu, sama sekali tak kusangka kau telah
memperoleh kemajuan demikian rupa !"
Bok Jin Ceng tertawa lebar. sahutnya:
"To-heng! Malaikat mana yang telah membawamu sampai
kemari ? Eh, Sin Houw! cepat kau berlutut kepada beliau ini."
Thio Sin Houw segera menghampiri pendeta itu, Bok siang
Tojin, Dan kemudian berlutut dihadapannya. Tetapi cepatcepat
Bok siang Tojin mencegah, ia membangunkan Sin Houw
seraya menolak :
"Jangan, jangan! jangan begitu. Aku bukan raja atau
keturunan malaikat ..." ia berkata dengan tertawa lebar sambil
membungkuk hendak membangunkan Sin Houw.
Akan tetapi Sin Houw tidak membiarkan dirinya kena
diangkat. sebagai biasanya, seseorang yang mengetahui
tentang ilmu sakti, secara wajar ia lantas mengerahkan tenaga

492
dalamnya itu sebabnya, tidak mudah Bok siang Tojin
mencegah pemberian hormatnya. Dan orang tua itupun hanya
hendak mencobanya.
"Lauw-bok!" kata Bok siang tojin kemudian. "Telah sepuluh
tahun lamanya tak pernah aku bertemu denganmu. Tak
tahunya, kau mengeram disini untuk mendidik muridmu, inilah
suatu karunia besar bagimu. pada saat kau menjangkau hari
akhirmu, masih bisa kau memperoleh seorang murid berbadan
bagus sekali."
Bok Jin Ceng girang atas pujian Bok-siang Tojin. Dengan
sahabatnya itu seringkali ia bersenda gurau. serunya senang:
"To-heng! Kau seorang pendekar berkepandaian tinggi.
Kalau aku memperoleh karunia Tuhan, pastilah kau akan
memperolehnya pula, soalnya kini, tinggal menunggu waktu
saja!"
"Nah, nahl Kau pandai pula berkhotbah!" kata Bok-siang
Tojin sambil tertawa. "Sayang, pada hari ini sama sekali aku
tak beruang, Dengan cuma-cuma sajar kuterima sembah
muridmu ini, Apa yang harus kubayarkan?"
Mendengar perkataan Bok-siang Tojin, hati Bok Jin Ceng
tergerak. Teringatlah dia bahwa Bok-siang Tojin memiliki ilmu
kepandaian luar biasa tingginya. Alangkah baiknya,
seumpama dia sudi mewariskan salah satu dari ilmu
kepandaiannya itu kepada Sin Houw, hanya saja, selama
hidupnya tak sudi ia menerima murid ...
Dengan ingatan demikian, Bok Jin Ceng berkata kepada
Sin Houw.
"Sin Houw! Totiang telah berjanji kepadamu hendak
memberikan hadiah. Hayo, cepat-cepat lah kau berlutut
menghaturkan terima kasih!"

493
Thio Sin Houw benar-benar pemuda cerdik, segera ia
mengerti maksud gurunya. Maka cepat-cepat ia berlutut
sambil mengucapkan terima kasih.
Bok-siang Tojin tertawa terbahak-bahak. Katanya:
"Bagus! Tetapi, untuk dapat menjadi manusia kau harus
berhati jujur dan polos! jangan kau mencontoh pekerti gurumu
yang tebal kulit mukanya.
Betapa tidak? Begitu mendengar aku hendak memberikan
sesuatu, belum-belum ia sudah memaksamu menghaturkan
terima kasih. Tetapi, tak apalah! Pada hari ini hatiku sangat
gembira. Biarlah aku memberimu sebuah kenang-kenangan."
Setelah berkata demikian, ia meraba jubahnya lalu
mengeluarkan sebungkus kain, apabila Thio Sin Houw
membukanya, ternyata gumpalan kain itu merupakan baju
berwarna hitam mirip seperti kaos, Bahannya seperti dari kulit,
akan tetapi mengkilat seperti sutera .
Selama hidupnya, baru pada hari itulah Sin Houw melihat
baju berbahan demikian. Tentu saja ia menjadi terharu
hatinya, tatkala ia menerima hadiah yang tak pernah
dimimpikannya.
"To-heng, jangan kau bergurau..." kata Bok Jin Ceng,
"Bagaimana kau menyerahkan baju mustika itu kepada anak
ini?
Bok-siang Tojin yang di kalangan Rimba persilatan
terkenal dengan gelar Kwi-eng cu (Bayangan Iblis) tidak
menggubris. sebaliknya, mendengar ucapan gurunya, Sin
Houw menjadi terkesiap. Jadi, pikirnya didalam hati. Ba ju
mirip kaos itu sebuah baju mustika?
Cepat-cepat ia mengangsurkannya kembali kepada BokKANG
ZUSI WEBSITE http://cerita-silat.co.cc/
494
siang Tojin, tetapi orang tua itu menolak, Katanya:
"Aku tidak sekikir gurumu. Kalau aku sudah memberikan
sesuatu kepada seseorang, tidak akan kutarik kembali. Nah,
ambillah!"
Masih saja Thio Sin Houw tak berani menerima pemberian
hadiah itu, ia berpaling kepada gurunya.
"Jikalau begitu kehendakmu, baiklah ! Nah, Sin Houw! Kau
terimalah hadiah itu, Dan berlututlah menghaturkan terima
kasihmu."
Thio Sin Houw menurut. ia berlutut sekali lagi sambil
menghaturkan terima kasih. Lalu dengan wajah sungguh
sungguh, Bok Jin Ceng berkata kepadanya.
"Sin Houw! Sesungguhnya, inilah sebuah baju mustika
yang tiada taranya, konon kabarnya, baju ini dahulu To-tiang
mendapatkannya dengan mengeluarkan keringat dan darah.
sekarang kau pakailah!"
Kali inipun Sin Houw menurut.
Segera ia mengenakan baju mustika itu. Dan sambil
berjalan, Bok Jin Ceng menghampiri pohon untuk mencabut
pedangnya, katanya:
"Baju mustika itu sejak dahulu kebal terhadap semua
senjata tajam."
Diluar dugaan, setelah berkata demikian dan secara tibatiba
ia menyabetkan pedangnya ke pundak Sin Houw. Keruan
saja pemuda itu kaget bukan kepalang, ingin ia mengelakkan
diri, tetapi sudah terlambat, Dalam hal kegesitan tubuh, Sin
Houw masih kalah terlampau jauh dari pada gurunya.
Satu-satunya jalan yang dapat di lakukan, hanyalah

495
melompat. Namun pada saat itu pundaknya telah kena
sabatan pedang, ia kaget, heran dan girang ketika
dirasakannya sabatan itu sangat ringan, dan pedang itupun
terpental balik. sedangkan Sin Houw sendiri sama sekali tak
terluka. Maka dengan serta merta untuk kesekian kalinya ia
berlutut lagi kepada Bok-siang Tojin.
Bok-siang Tojin tertawa lebar, Katanya:
"Baju mustikaku sangat buruk. Tatkala kau berlutut
kepadaku, pastilah kau berlutut hanya menuruti perintah
gurumu, Tetapi kali ini, aku tahu hatimu benar-benar puas,
Bukankah begitu ?"
Merah muka Sin Houw kena sindir, meskipun demikian
hatinya penuh haru, girang dan hormat, Kembali lagi ia
berlutut.
Bok-siang Tojin tidak memperdulikan pekerti Thio Sin
Houw, ia berkata lagi:
"Beberapa kali baju mustika itu telah menolong jiwaku.
sekarang, kuberikan kepadamu. Asal saja gurumu tidak
menganggu diriku, di dunia ini, tidak ada seorangpun yang
dapat melukai diriku meskipun aku tidak mengenakan baju
mustikaku lagi."
Setelah berkata demikian, Bok-siang Tojin tertawa
berkakakan, Rupanya ia sangat riang, Bok Jin Ceng pun
tertawa, ia berkata pula:
"Hai, pendeta bangkotan! Kau menjual cerita besar
didepan muridku, Dalam hal ilmu kepandaian, tak dapat aku
melawanmu. Akan tetapi dikolong langit ini memang banyak
sekali orang-orang yang berkepandaian sangat tinggi."
Bok-siang Tojin tersenyum, sahutnya:

496
"Akh! Kita berdua tak boleh menggunakan pedang atau
senjata tajam lainnya. Mari, kau ambillah alat Kim dan aku
akan membawa serulingku ...!"
(Alat "Kim" s semacam Kecapi).
"Apakah kita akan mengadu kepandaian dengan alat
musik?" Bok Jin Ceng tertawa.
"Benar!" sahut Bok-siang To-jin tertawa gelak. "Caramu
memetik Kim, benar-benar membuat hatiku ketagihan
mendengarkannya."
"Baiklah!" sahut Bok Jin Ceng, "Telingaku ketagihan pula
mendengarkan tiupan serulingmu, Kau datang dari jauh dan
sudi mendaki gunungku, tak bakal aku mengecewakan hatimu.
Hai, apakah kau membawa juga tempat nasi dan tempat
minum?"
Keduanya lantas sibuk dengan ke-ahliannya masingmasing.
Bok-siang To-jin meniup seruling, dan Bok Jin Ceng
memetik Kim. perpaduan keahlian masing masing serasi dan
selaras, sehingga memberikan suatu pendengaran yang
indah. Mereka bermain terus menerus tiada henti-hentinya
sampai jauh malam hari, sementara si bisu yang
menyelenggarakan makan-minumnya.
Selama itu Thio Sin Houw menunggu disamping mereka,
sama sekali ia tak mengarti permainan mereka. walaupun
demikian, lantaran bisa menangkap keindahan dan
kemerduannya, ia mencoba mengerti dengan mengamatamati
gerak jari-jari gurunya menyentuh tali-tali kim. Gurunya
lantas mengajari cara memetik kim itu.
Ilmu memetik Kim terbagi dalam kelompok-kelompbk
perpaduan nada, Tegasnya selain memperindah gaya lagu,
ikut serta menentukan iramanya. Karena tidak mengutamakan

497
lagu, tata lagunya berbeda dengan ilmu meniup seruling,
nampaknya mudah dipelajari, tetapi sesungguhnya untuk
menjadi seorang ahli, sulit liku-likunya.
Sebab apabila belum mengenal lagunya terlebih dahulu
akan sukar menentukan keserasiannya, Namun Thio Sin
Houw mempunyai pembawaan alamiah yang luar biasa, sekali
mendengar dan sekali melihat ia sudah paham liku-likunya, ia
tertarik karena liku-likunya berkesan seolah-olah kelompok
tata-muslihatnya yang diatur dalam jurus-jurus pula.
Tatkala Bok siang Tojin dan gurunya beristirahat, ia
menekuni dan mencoba menyelami. Menjelang fajar hari, jarijarinya
mulai bisa bergerak dengan lancar.
Bok-siang Tojin benar-benar seorang yang keranjingan
dalam hal seni lagu, Mendengar irama Kim yang dimainkan
Sin Houw yang mulai bisa dinikmati terus saja ia terbangun.
Tanpa segan-segan lagi ia membangunkan Bok Jin Ceng dan
berkata mengajak:
"Mari, kita main lagi!"
Bok Jin Ceng tertawa geli menyaksikan tamunya yang tak
kenal lelah itu, sahutnya:
"Aku tak bersemangat lagi untuk mengiringi lagumu, kau
beristirahatlah dahulu!"
Terpaksalah Bok-siang-Tojin beristirahat, Akan tetapi di
dalam kamarnya, pendengarannya selalu terganggu oleh
petikan Kim dari Thio Sin Houw, sehingga tertatih-tatih ia
bangun lagi dan menghampiri pemuda itu. Kemudian ia
mencoba menerangkan bagaimana caranya memetik Kim. ia
membagi tangga nada menjadi tiga bagian. Dan masingmasing
pembagian tangga nadanya mempunyai beberapa
kelompok kelompok iringan lagu, semuanya itu diajarkan
dengan setulus hati kepada Sin Houw.

498
Sejak itu Thio Sin Houw mulai belajar memetik Kim dengan
sungguh-sungguh, Tiga hari tiga malam ia bertekun, Dan
selama itu gurunya dan Bok-siang Tojin berbicara terus
menerus, mengenai seni sambil sekali-kali meniup seruling
dan memetik Kim. pada hari ke empat, Bok Jin Ceng berkata
kepada Bok-siang Tojin:
"Pada hari ini biarlah kau beristirahat dahulu, aku harus
mengajarkan ilmu pedang kepadanya terlebih dahulu."
Alasan itu kuat, sehingga Bok-siang Tojin tak dapat
menawar lagi. Tetapi menunggu Bok Jin Ceng memberi
pelajaran ilmu pedang kepada Sin Houw, dirasakan sangat
membosankan. Tak mengherankan begitu Bok Jin Ceng
selesai memberi pelajaran, segera ia menarik tangan
sahabatnya itu dan diajaknya bertempur melalui seruling dan
Kim.
"Mari, kita bermain lagi!" ajaknya dengan penuh semangat.
Bok Jin Ceng sebenarnya sudah lelah, akan tetapi karena
tak sampai hati mengecewakan hati sahabatnya itu,
terpaksalah ia melayani. Begitulah terjadi satu bulan lebih,
setiap kali selesai melatih muridnya, harus ia menyediakan
waktu untuk melayani tamunya apabila Bok Jin Ceng nampak
kurang semangat sedikit saja, tamunya itu menjadi seperti
tersiksa. Dan semuanya itu tak pernah lepas dari perhatian
Thio Sin Houw.
Oleh rasa iba terhadap gurunya, setiap kali memperoleh
kesempatan terus saja ia berlatih, Dalam sebulan itu, ternyata
ia sudah mahir.
Pada suatu hari menjelang fajar hari, ia memetik kim-nya.
Tahu-tahu Bok-siang Tojin sudah berada di belakangnya
meniup serulingnya, inilah kejadian yang sangat

499
menggembirakan. Maka dengan hati-hati dan seksama, Sin
Houw lalu mengiringkan tiupan lagu Bok-siang Tojin. Ternyata
sama sekali ia tidak salah. Keruan saja Bok-siang Tojin
menjadi bertambah semangat, pujinya:
"Eh, anak! Kau benar-benar cerdik - kalau kau berlatih
terus-menerus kau tentu dapat mengalahkan gurumu!"
Dua tiga kali Bok-siang Tojin menguji, ia meniup berbagai
macam lagu yang sebelumnya tak pernah di dengar oleh Sin
Houw, semuanya dapat diiring-kan oleh Sin Houw dengan
sempurna.
Karena memperoleh kenyataan itu dan rasa girang yang
meluap, Bok-siang Tojin berkata:
"Baiklah kita atur saja begini sekarang, setiap kali kau
dapat mengiringkan tiga laguku, aku akan mempelajari kau
semacam ilmu kepandaian bagaimana? setuju atau tidak?"
"Biarlah aku minta pendapat guruku terlebih dahulu." sahut
Sin Houw.
Bok-siang Tojin pun tahu, seorang murid tak boleh
melancangi gurunya.Maka itu ia menyetujui. Katanya:
"Baik, Kau tanyalah kepada gurumu!"
Thio Sin Houw lari mencari gurunya. ia mengabarkan
kehendak Bok-siang Tojin, Tentu saja Bok Jin Ceng girang
bukan kepalang. itulah yang diharap-harapkannya sejak
sebulan yang lalu, ia tahu Bok-siang Tojin seorang pendekar
yang berilmu kepandaian tinggi, hanya saja tabiatnya aneh.
Tak senang ia menerima murid. sebaliknya apabila sekali
sudah berjanji, tentu akan di tepatinya, Dan hal itu terjadi,
karena orang tua itu begitu ketagihan mendengarkan
permainan perpaduan suara antara kim dan seruling.

500
Lantas saja Bok Jin Ceng menarik tangan Thio Sin Houw
dan diajaknya menghadap Bok-siang Tojin, ia menyuruh
muridnya bersembah untuk menghaturkan rasa terima kasih,
kemudian ia sendiri berkata kepada Bok-siang Tojin.
"To-heng! Kau hendak menyempurnakan ilmu kepandaian
muridku, akupun menghaturkan rasa terima kasih yang tak
terhingga kepadamu."
Dalam pada itu Thio Sin Houw sudah berlutut, tetapi cepatcepat
Bok siang Tojin menolaknya, Katanya.
"Jangan! jangan! Aku tidak menerimamu sebagai murid.
Apabila kau menghendaki pelajaranku, kau harus
mengiringkan tiga laguku terlebih dahulu."
"Bukankah ini suatu jual-beli? Dimana ada pembicaraan
antara guru dan murid..."
Bok Jin Ceng tertawa. Dengan cepat ia menyahut:
"Apakah maksudmu dengan berkata demikian ?"
"Dalam hal ilmu pedang dan ilmu pukulan, dikolong langit
ini kau tiada lawannya, Aku takluk kepadamu. sebaliknya
dalam hal ilmu berlari dan menimpuk senjata bidik, kukira ilmu
kepandaianku tidak mengecewakan."
"Memang! siapapun tahu, bahwa kau anak siluman! Hanya
saja, ilmu kepandaianmu yang istimewa itu jangan kau
bualkan disini." kata Bok Jin Ceng yang kembali tertawa.
"Apakah kau mencela kepandaianku...?" ujar Bok-siang
Tojin agak kurang senang.
Bok Jin Ceng bersenyum. sambil menggelengkan kepala,
ia menyahut:

501
"Didalam dunia ini, siapakah yang dapat menandingi ilmu
berlarimu? Kau pun seorang ahli senjata bidik yang tiada
tandingan. Karena itu, kami berdua mengucapkan rasa terima
kasih kepadamu "
Bok-siang Tojin dapat dibuat mengerti, iapun lantas
tertawa. Katanya:
"Bukankah adil pertimbanganku? Setiap kali muridmu
mengiringkan tiga laguku, aku lantas memberi pelajaran
sejurus dua jurus kepadanya."
"Kau tidak hanya adil, malahan bermurah budi pula." sahut
Bok Jin Ceng cepat, Dan setelah berpikir demikian, ia berpikir
didalam hati:
"Pendekar bangkotan ini benar-benar licik dan lucu. Akan
tetapi dia seorang laki-laki sejati. Sekali menyanggupkan diri,
ia tak akan menarik janjinya kembali. inilah suatu rezeki besar
bagi Sin Houw.
Lalu ia berkata memutuskan:
"Baiklah kita atur begini saja, Yang kukhawatirkan adalah
justru Sin Houw, Jangan-jangan ia sia-siakan waktunya yang
sangat berharga. Karena itu setiap mengajarkan sesuatu
kepadanya, kau harus lakukan setelah ia sudah mengiringkan
tiga lagumu, Dengan demikian, ia tidak akan sia-siakan
kesempatan yang bagus ini, Sekarang, kau boleh meniup
seruling sesuka hatimu. Delapan atau sepuluh kali, masa
bodoh !"
Bok-siang Tojin girang bukan kepalang. Demikian pula Sin
Houw, Tak sia-siakan waktu lagi, mereka berdua lantas
mengambil tempatnya masing-masing, Bok-siang Tojin
meniup serulingnya, dan Sin Houw memetik Kim mengiringi.

502
Mereka duduk berhadap hadapan seakan-akan dua orang
pendekar besar lagi mengadu ilmu kepandaian.
Enam kali mereka mengumandangkan lagu panjang dan
pendek. Dan Bok-siang Tojin pun menepati janjinya. Katanya:
"Kali ini aku hanya mengajarimu sejurus ilmu petak,
Meskipun hanya sejurus, tetapi faedahnya sangat besar.
Tubuhmu akan terasa menjadi ringan. Kalau sudah mahir,
bayangannya sendiri sulit terlihat, Nah, kau lihatlah gerakanku
dengan sungguh-sungguh!"
Setelah berkata demikian, Bok-Siang Tojin bergerak. Tahutahu
tubuhnya sudah berada diatas pohon. Tatkala turun
dengan berjungkir-balik, sudah berada kembali didepan Thio
Sin Houw.
Keruan saja Sin Houw kagum bukan main, ia merasa diri
seakan-akan terpukau. Apabila tersadar, ia bersorak dan
bertepuk tangan dengan setulus hati.
"Sekarang, mulailah berlatih!" seru Bok-siang Tojin, Dan
pendeta aneh itu segera mengajarkan jurus tersebut, yang
disebut Poan-in seng-liong (Naga naik merayap di awan). Dan
untuk menangkap intisarinya, Sin Houw berlompatan kiankemari
melemaskan urat-uratnya, Mula-mula ia merasa
kebingungan, tetapi lambat-laun ia merasa diri memperoleh
kemajuan. untunglah Bok- siang Tojin ternyata teliti dalam
menurunkan pelajarannya. Dengan cermat dan tak bosanbosan
ia memberi contoh serta memberi petunjuk inti-inti
rahasianya.
Pada hari kedua, Sin Houw tak memperoleh tambahan,
meskipun sudah mengiringi enam lagu lagi, Tetapi pada hari
ketiga dan keempat, ia mendapat tambahan dua jurus
sekaligus. Setelah memasuki hari ke empat belas, mulailah dia
memperoleh tambahan sejurus, dua jurus secara teratur.
Bahkan pada bulan berikutnya Bok-siang Tojin mulai

503
mewariskan rahasia ilmu bidiknya.
Empat bulan lamanya ia belajar ilmu bidik. Tatkala
pelajaran mulai menginjak pada bagian membidik sasaran
dengan tiga puluh lima senjata bidik sekaligus, ia
membutuhkan waktu tujuh bulan. Dengan demikian, tanpa
terasa satu tahun lewatlah sudah. sekalipun demikian, Boksiang
Tojin tak bosan-bosan meniup serulingnya dengan
iringan kim Thio Sin Houw.
Melihat mereka begitu akrab, Bok Jin Ceng bersyukur
didalam hati, ia tahu, apa sebab Bok-siang Tojin betah
bertempat tinggal pada suatu tempat sampai satu tahun lebih,
itulah disebabkan orang tua itu berkenan hatinya terhadap
muridnya. Maka ia berpesan kepada si bisu, agar melayani
Bok-siang Tojin dengan sebaik -baiknya.
Pada suatu hari selagi Sin Houw berlatih disamping kedua
gurunya, tiba-tiba terdengarlah suatu auman hebat. serentak
ia menoleh dan melihat sibisu sedang berhadapan dengan
seekor harimau tutul.
Menyaksikan si bisu dalam bahaya, tanpa berpikir panjang
lagi, Thio Sin Houw segera melompat dan lari menghampiri.
pada saat itu, macan tutul telah melompat serta menerkam si
bisu, si bisu nampak marah. ia melejit ke samping, dan
mendaratkan pukulannya.
Tetapi bertepatan pada saat itu, sesosok bayangan
berkelebat, itulah Bok Jin Ceng yang menyambar lengan si
bisu dan dibawanya menjauhi. Kemudian Bok Jin Ceng
berseru kepada Sin Houw:
"Sin Houw! Biarlah kau yang melayani harimau itu!"
Thio Sin Houw tahu, gurunya sedang mengujinya, Terus
saja ia melompat menghadang titik balik harimau itu, akan
tetapi entah apa sebabnya, tiba tiba macan tutul itu memutar
Anda sedang membaca artikel tentang Cersil Baru : Golok Halilintar 1 dan anda bisa menemukan artikel Cersil Baru : Golok Halilintar 1 ini dengan url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/09/cersil-baru-golok-halilintar-1.html,anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel Cersil Baru : Golok Halilintar 1 ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,namun jangan lupa untuk meletakkan link Cersil Baru : Golok Halilintar 1 sumbernya.

Unknown ~ Cerita Silat Abg Dewasa

Cersil Or Post Cersil Baru : Golok Halilintar 1 with url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/09/cersil-baru-golok-halilintar-1.html. Thanks For All.
Cerita Silat Terbaik...

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar