Panji Wulung 1

Diposting oleh eysa cerita silat chin yung khu lung on Senin, 05 September 2011

Panji Wulung
Saduran : OPA

JILID 1
Angin meniup,
Panji Wulung berkibar di angkasa.
Megah, angker,
lambang keagungan sepanjang masa.
Berkuasa, berpengaruh,
untuk seluruh jagat raya.
Di dalam rimba persilatan,
akulah Rajanya ....!
Sajak Panji Wulung ini, pada seratus tahun berselang
telah tersiar luas dialam rimba persilatan. Tiada seorangpun
tahu siapa yang menulis dan siapa orang pertama yang
menyiarkan sajak itu. Orang hanya merasa karena sifatnya
yang gagah dalam sajak itu, sehingga banyak orang rimba
persilatan senang menyanyikan sajak itu.
Apakah arti Panji Wulung ? Oleh karena waktunya
sudah lama, tiada seorangpun yang dapat menjelaskan.
Orang hanya tahu sewaktu nyanyian itu tersiar di dalam
rimba persilatan, ada terjadi suatu peristiwa
menggemparkan, dimana duabelas tokoh rimba persilatan
kenamaan untuk masa itu dalam waktu setahun kedapatan
mati terbunuh dalam keadaan sangat mengerikan.
Siapa pembunuhnya ? Juga tak seorangpun yang pernah
melihat. Mungkin hanya sang korban sendiri yang tahu.
Tetapi apalah gunanya, yang mati toch sudah mati,
sekalipun mereka betul-betul ingat wajah pembunuhnya,
apalah gunanya kalau jiwa mereka sendiri tak dapat mereka
selamatkan. Dapatkah mereka hidup kembali untuk
menceritakan halnya kepada orang lain ? Tentu tidak !
Adapun cara kematian dan keadaan sebelum maut
merenggut nyawa keduabelas tokoh tersebut adalah serupa
belaka. Pertama-tama mereka terlebih dahulu telah
menerima bingkisan berupa panji kecil berukuran lima dim
warna hitam, dan pada hari ketiganya sesudah menerima
panji itu batok kepala si korban pisah dari tubuhnya ! Cuma
dalam jangka waktu beberapa hari batok kepala yang lenyap
itu kalau tidak muncul dirumah kerabat terdekat sang
korban, tentulah akan “berkunjung” kesuatu tempat
pertemuan orang-orang rimba persilatan, sekalipun jauhnya
ribuan pal dari tempat kejadian.
Kejadian aneh ini benar-benar merupakan peristiwa luar
biasa, tidaklah heran kalau menggemparkan rimba
persilatan.
Tetapi keanehan bukan cuma sampai disitu saja, batok
kepala yang diantar ke tempat sejauh ribuan pal itu,
meskipun sudah lewat beberapa puluh hari, sedikitpun tidak
rusak atau membusuk, keadaannya masih tetap seperti di
waktu hidup, tiada seorangpun tahu apa sebabnya.
Peristiwa itu, pada masa itu benar-benar sangat
menggelisahkan orang-orang rimba persilatan daerah Tiong
goan, hampir semua orang anggap panji kecil tidak berarti
itu sebagai benda maut, maka semua menyebut pembunuh
yang ganas itu sebagai PANJI WULUNG.
Panji Wulung penyabut nyawa itu, dimana ia muncul,
selalu membawa kematian jiwa manusia, maka sejak
terjadinya peristiwa itu, siapapun tidak berani lagi
menyanyikan sajak Panji Wulung itu, oleh karena semua
orang menganggapnya bahwa sajak itu sebagai lagu
kematian.
Sejak Panji Wulung meminta korban orang yang
pertama, mulai saat itulah dimana panji itu muncul, atau
orang yang membicarakannya, semua pada ketakutan
setengah mati.
Kejadian yang menggemparkan, yang ditimbulkan oleh
Panji Wulung itu, setelah minta korban jiwa duabelas tokoh
rimba persilatan, kemudian telah menghilang secara
mendadak.
Sepuluh tahun ! Duapuluh tahun ! Limapuluh tahun
.......... telah berlalu, selama itu tiada terdengar lagi
ancaman dengan munculnya Panji Wulung.
Masih hidup atau sudah mati ? Mengapa Panji Wulung
mendadak menghilang ? Ini menjadi pertanyaan dalam hati
setiap orang. Selama hampir seratus tahun menjadi suatu
teka-teki yang tidak terpecahkan.
Selama seratus tahun ini, orang-orang kuat rimba
persilatan yang sudah mendapat nama, setiap kali menyebut
kejadian yang ditimbulkan oleh Panji Wulung, masih
merasa jeri dan bergidik.
Tak disangka pada suatu hari setelah seratus tahun
kemudian, Panji kecil hitam penyabut nyawa itu, dengan
tiba-tiba muncul di kalangan kang-ouw lagi.
Munculnya panji kecil itu bagaikan halilintar di siang
hari bolong, semua orang khawatir, karena dengan
munculnya panji itu, dalam rimba persilatan akan gempar
lagi.
Orang yang pertama-tama menerima panji maut itu,
adalah seorang jago muda yang baru timbul dan mulai
nanjak namanya, jago muda itu dikenal sebagai pendekar
yang kenamaan Touw Liong.
Usia Touw Liong, baru kira-kira duapuluh tahun, dua
tahun yang lalu ceburkan diri dalam dunia kang-ouw, lantas
menggabungkan diri dengan golongan kebenaran dan turut
ambil bagian dalam pertempuran membasmi orang jahat
nomor satu dari golongan hitam, si burung hantu Koo
Hong.
Dalam pertempuran hebat antara golongan putih dan
golongan hitam ini, Koo Hong terluka di ujung pedang
Touw Liong, dan terjatuh dalam gua berapi.
Selanjutnya tidak terdengar lagi kabar beritanya tentang
penjahat itu, entah masih hidup atau sudah mati, tetapi
orang-orang rimba persilatan semua menganggap bahwa
Koo Hong sudah mati.
Sejak hilangnya Koo Hong, kejahatan yang ditimbulkan
oleh orang-orang golongan hitam mulai sirep, dan nama
Touw Liong mulai menanjak, sehingga mendapat gelar
sebagai pendekar nomor satu dan selanjutnya, kemana saja
dia sampai, orang-orang rimba persilatan, baik dari daerah
Selatan maupun dari daerah Utara, semua
memperlakukannya sebagai tamu terhormat.
Dalam rimba persilatan, orang hanya tahu ia memiliki
kepandaian ilmu silat yang tidak dapat ditaksir betapa
tingginya, orang tidak tahu ia dari golongan mana.
Selama itu masih merupakan tanda tanya bagi setiap
orang, sudah tentu jikalau ia sendiri tidak mau
menerangkan, siapapun tidak berani menanya.
Selama dua tahun itu, ia sudah menjelajah hampir
seluruh daerah Selatan dan Utara, dimana Touw Liong
berada, segala peristiwa kecil atau besar dalam rimba
persilatan, asal ia campur tangan semua beres.
Touw Tayhiap ! Touw Tayhiap ! Sebutan itu hampir
menjadi buah bibir setiap orang rimba persilatan, semua
orang rimba persilatan memandangnya sebagai bintang
muda yang cemerlang.
Waktu dua tahun, dengan cepat telah berlalu, musim
semi tiba lagi. Hari itu, di atas loteng rumah makan Gakyang-
lauw, orang sedang ramai untuk bersantap tengah
hari, di mulut tangga mendadak muncul seorang muda
berpakaian ringkas dan menjoren pedang di punggungnya,
pemuda itu usianya tidak lebih dari duapuluh tahun.
Pemuda itu bukan saja tampak seperti seorang gagah
perkasa, tetapi juga tampan wajahnya, maka begitu muncul
lalu menarik banyak perhatian orang.
Pemuda itu celingukkan matanya, agaknya sedang
mencari seseorang, setelah itu mengerutkan alisnya,
menghela napas pelahan dan menggeleng-gelengkan kepala,
agaknya merasa kecewa.
Selagi hendak memutar tubuh dan turun tangga, tiba-tiba
ada seseorang yang turun dari atas loteng, menyentuh
bahunya dan berkata dengan suara perlahan :
“Nona ! Orang yang kau cari, lolap tahu, mengapa kau
tidak menanyakan kepadaku ?”
Pemuda itu mukanya marah seketika, berpaling
mengawasi orang yang berkata kepadanya. Orang itu
ternyata seorang imam berpakaian rombeng dan mesum,
rambutnya awut-awutan, pinggangnya tergantung sebuah
buli-buli merah, dengan jalannya sempoyongan turun ke
bawah.
Pemuda itu nampak ragu-ragu, sebentar kemudian
menyusulnya.
Dengan jalan berputar-putaran menyusuri tepi telaga
Tong-ting-ouw, tibalah di sebuah kupel yang dibangun di
permukaan air di tepi telaga.
Imam miskin itu melangkah masuk ke dalam kupel,
dengan kedua tangannya ia mengangkat buli-bulinya dan
minum isi araknya, minum setengah, sisanya yang masih di
dalam mulut disemburkan sehingga seperti hujan gerimis,
semburan arak itu sudah tentu membasahi juga pemuda
tadi yang mengikutinya.
Pemuda itu mengerutkan alisnya, tetapi ia tetap
menahan sabar.
Imam miskin itu seolah-olah tidak menghiraukan
keadaan orang lain, ia pentang lebar mulutnya dan menarik
napas panjang, kemudian memesut bibirnya yang basah
karena arak lalu menggumam sendiri : “Arak bagus ! Arak
bagus ! Arak Tong-ting-jun sungguh tidak kecewa, namanya
terkenal sebagai arak yang baik !”
Pemuda itu tadi berhenti diluar kupel, setelah bersangsi
sejenak, akhirnya ia maju menghampiri dan memberi
hormat seraya berkata : “
“Mengapa taysu tahu aku sedang mencari ……….”
“Hmm …..! Hmm !” Demikian suara itu keluar dari
mulut Imam tadi, yang lalu angkat muka dan menggoyanggoyangkan
kepalanya, kemudian mendelikkan matanya dan
berkata :
“Aku bukan cacing dalam perutmu, bagaimana aku tahu
kau mau cari siapa?”
Pemuda itu melengek, sedangkan imam tua itu sudah
menggantungkan lagi buli-bulinya dipinggangnya.
Kemudian berlalu meninggalkan pemuda itu begitu saja,
ketika ia berlalu kembali menyentuh tubuh pemuda itu dan
sebentar kemudian sudah menghilang.
Sebelum menghilang dari depan pemuda itu, imam itu
tiba-tiba mengacungkan jari tangannya menunjuk sebuah
sampan yang sedang didayung diatas telaga seraya berkata :
“Mencari lelaki tidak susah, diatas sampan itu toch
banyak laki-laki muda yang semuanya bagus-bagus !”
Pemuda itu selagi hendak marah, tetapi ketika
menundukkan kepala, lama tidak dapat mengangkatnya
lagi.
Ketika ia angkat mukanya lagi, imam tua itu sudah tidak
tampak batang hidungnya. Sementara itu di dekat kupel itu
tampak sebuah sampan sedang menepi, di atas sampan itu
berdiri seorang pemuda tampan berpakaian sastrawan.
Pemuda itu berseru kaget, dan mulutnya tercetus
perkataan : “Suheng.” Kemudian melompat melesat ke
dalam sampan.
Pemuda di atas sampan itu agaknya terkejut mendengar
suara tadi, tetapi setelah mengetahui siapa orangnya yang
menghampirinya, bukan kepalang girangnya, maka segera
menyongsongnya sambil berseru perlahan. “Sumoy!”
Pemuda tadi segera memeluk pemuda baju sastrawan,
matanya mendadak merah dan berkata dengan suara
hampir seperti menangis.
“Suheng ! Dengan susah payah aku mencarimu !”
“Sumoy ..........” berkata pemuda pakaian sastrawan itu
kaget, seolah-olah dikejutkan oleh perbuatan pemuda itu
tadi yang memeluk dirinya.
Pemuda tadi juga seolah-olah baru sadar, ia melepaskan
pelukannya dan mundur tiga langkah, dengan muka merah
menundukkan kepalanya dan berkata dengan suara sangat
perlahan, “Suheng.”
Ucapan suheng itu sudah cukup untuk mengutarakan
cinta kasihnya yang selama itu terbenam dalam kalbunya.
Hening sekian lama, kedua-duanya tenggelam dalam
pikiran masing-masing, lama sekali pemuda berpakaian
sastrawan tadi baru bertanya.
“Apakah suhu baik-baik saja ?”
“Suhu baik-baik saja !” jawab pemuda tadi.
“Sumoy, kali ini kau turun gunung dengan membawa
tugas suhu untuk mencari pengalaman, atau sengaja
mencari aku ?”
“Suhu perintahkan aku turun gunung untuk mencari
Suheng ..........!”
“Ada urusan apa ?”
Sang sumoy itu memandang keadaan sekitarnya sejenak,
kemudian berkata dengan suara perlahan.
“Suhu perintahkan suheng supaya lekas pergi ke kota
Keng-siang, sebab ..... batu giok merah khun-ngo berada
disana, jikalau suheng sudah dapat menemukan batu giok
itu, lekas suheng bawa pulang kegunung Kiu-hoa-san, suhu
sudah menantikan barang itu untuk membuat pedangnya.”
Pemuda berpakaian sastrawan itu tertawa terbahakbahak,
kemudian dengan suara perlahan ia menyanyikan
syair Suma Siang Su yang memuji keindahan batu giok itu.
Hampir semua orang rimba persilatan tahu bahwa batu
giok merah yang bernama Khun-ngo-giok itu dapat
digunakan sebagai pembuat pedang Khun-ngo-kiam.
Pedang Khun-ngo-kiam adalah pedang dari segala
rajanya pedang, dengan pedang Khun-ngo-kiam ditangan,
semua pedang yang ada didalam dunia sudah tidak ada
artinya lagi, maka dengan suara berulang-ulang pemuda itu
menyebut nama pedang Khun-ngo-kiam.
“Kapan suheng berangkat ?” Tanya sang Sumoy.
“Sekarang juga !” Jawabnya tanpa berpikir.
“Baik ! Mari kita berangkat.” Kata sumoy perlahan.
Keduanya lalu melanjutkan perjalanan dengan
sampannya.
Pemuda berpakaian sastrawan itu tadi bukan lain dari
pada pendekar kita yang kenamaan Touw Liong, sedang
gadis yang menyaru laki-laki tadi adalah Sumoynya yang
bernama Kim Yan.
Kedua suheng dan sumoy itu sejak masih kanak-kanak
hidup bersama-sama dibawah asuhan seorang guru silat.
Maka hubungan mereka seperti saudara kandung.
Perjalanan itu dilakukan dengan perahu sampan, dalam
waktu lima hari sudah tiba ke kota King-siang.
Begitu tiba di dalam kota mereka mencari tempat
penginapan lebih dahulu, kemudian pergi menyerepi benda
yang dicari.
Hari pertama berada di kota itu, mereka berputar-putaran
di dalam dan diluar kota, juga pergi makan minum di
rumah makan, tetapi tidak mendapat dengar kabar apa-apa,
sebaliknya di dalam kota itu ia menemukan orang-orang
rimba persilatan dari berbagai tempat yang jumlahnya tidak
sedikit. Touw Liong tahu bahwa berita tentang munculnya
batu giok berwarna merah itu benar-benar sudah
mengejutkan rimba persilatan, maka munculnya banyak
orang rimba persilatan kenamaan di kota itu, sudah tentu
karena tertarik oleh berita itu.
Hari pertama itu dilewatkan dengan selamat tak ada
kejadian apa-apa. Hari kedua masih pagi-pagi sekali, ketika
Touw Liong membuka mata, telah melihat daun jendela
ada tanda-tanda, seolah-olah di waktu malam pernah
dibuka dan kemudian ditutupnya lagi, maka diam-diam
terkejut dan buru-buru buka matanya, memeriksa keadaan
dalam kamar, dan apa yang dilihatnya, saat itu
membuatnya melengek.
Diatas meja, tertancap sebuah panji kecil berwarna hitam
dengan gagang batu giok berwarna ungu, berukuran kirakira
lima dim.
“Panji Wulung ..........!” Touw Liong berseru kaget.
Seruan itu segera terdengar oleh Kim Yan yang berada di
kamar sebelah. Dengan terbirit-birit Kim Yan lari masuk ke
kamar suhengnya. Begitu melihat panji yang tertancap di
atas meja, ia juga terkejut hingga lama tidak bersuara …..
Ini bukan berarti bahwa mereka takut, sesungguhnya
karena nama Panji Wulung itu ternyata besar pengaruhnya,
peristiwa yang ditimbulkan olehnya juga pernah
menakutkan orang-orang rimba persilatan, dengan lain
perkataan, barang siapa yang menerima Panji Wulung
hanya tinggal hidup tiga hari lagi, ini juga berarti Touw
Liong dalam waktu tiga hari harus mati, tidak ada waktu
lagi untuk mengadakan kompromi. Maka siapa orang yang
menerimanya tidak terkejut ???
Suheng dan sumoy itu setelah saling berpandangan
sejenak, Touw Liong mendadak tertawa terbahak-bahak.
Hal ini sesungguhnya mengejutkan Kim Yan, maka buruburu
menanyanya :
“Mengapa suheng ketawa ?”
“Harimau, meskipun sudah mati ! Tetapi kulitnya dan
sisa wibawanya masih cukup mengejutkan orang !” Jawab
Touw Liong sambil menunjuk panji di atas meja.
Kim Yan mengerti maksud suhengnya, namun ia
menggelengkan kepalanya tidak setuju pendapat
suhengnya, katanya dengan suara duka :
“Panji Wulung adalah seorang tokoh tingkatan tua pada
seratus tahun berselang, tetapi kini telah muncul secara
mendadak, sudah tentu bukan tidak ada sebabnya.
Mungkinkah orang ini adalah Panji Wulung yang pada
seratus tahun berselang membunuh duabelas tokoh terkuat
rimba persilatan ? Ataukah murid keturunan Panji Wulung
? Lagi pula dengan secara sangat misterius tadi malam ia
dapat menancapkan panji ini diatas meja, tanpa diketahui
atau didengar oleh suheng, suatu bukti bahwa orang ini
memang memiliki kepandaian yang tidak boleh kita
pandang ringan.”
“Perkataanmu ini memang banyak benarnya, orang ini
bukan seorang dari golongan sembarangan. Manusia yang
bisa hidup sampai seratus dua atau tigapuluh tahun,
bukanlah tidak mungkin. Tetapi suhu kita adalah seorang
sempurna dalam segala-galanya, aku dan denganmu yang
menjadi muridnya bagaimana boleh merendahkan
derajatnya ? Tentang panji ini, menurut pikiran suhengku
..........!”
Berkata sampai di situ ia menunjuk sebuah lubang
sebesar uang yang terdapat di daun jendela, kemudian
melanjutkan kata-katanya :
“Aku mengakui bahwa kepandaian orang itu memang
cukup tinggi, ia pasti menggunakan kesempatan selagi aku
tidur pulas, dari lobang itu ia meluncurkan sebuah benda
kecil, untuk menyerang jalan darahku lebih dulu.
Kemudian dengan tenang mendorong daun jendela dan
menancapkan panji ini di atas meja !”
“Suheng benar, aku juga merasa agak malu, mengapa
tadi malam tidurku demikian pulas, sehingga tidak dengar
suara sedikitpun juga ?”
Touw Liong memeriksa keadaan tempat tidurnya, dari
lantai menemukan sebutir beras.
Kim Yan lalu berkata sambil menganggukkan kepala :
“Dugaan suheng ternyata jitu sekali, apa yang terjadi
persis seperti apa yang suheng katakan. Dan sekarang
suheng hendak berbuat apa ?”
Dengan alis berdiri Touw Liong mencabut panji hitam
yang menancap diatas meja, lalu dipegangnya dan
dipandangnya sambil berpikir lama, kemudian angkat
kepala dan berkata dengan gagah :
“Kalau ini memang merupakan sesuatu bencana,
bagaimanapun juga kita tidak dapat menyingkir. Ia sudah
datang mencari aku, sudah tentu harus kita hadapi. Untuk
menjaga dan mempertahankan nama baik suhu, aku
terpaksa hendak menempur Panji Wulung !”
“Terjadinya kejadian ini mengapa demikian kebetulan ?
Kita harus menghadapi Panji Wulung, juga perlu mencari
batu giok merah yang dibutuhkan oleh suhu !”
“Sumoy ! Segala perkara dalam dunia ini tidak ada yang
didapatkan dengan secara mudah, segala sesuatunya harus
melalui proses perjuangan dan keuletan. Bagaimanapun
sulitnya hal yang kita hadapi sekarang ini, asal kita
menghadapi dengan hati-hati, tidak usah khawatir urusan
ini tidak dapat kita selesaikan. Dan tentang batu giok merah
itu, kita doakan saja, dengan usaha kita, kita akan
mencarinya sungguh-sungguh. Aku percaya Tuhan tidak
akan mengecewakan orang yang bertekad sungguhsungguh.”
Kim Yan menganggukkan kepala dan kemudian ke
kamarnya.
Pagi itu dilewatkan oleh dua saudara seperguruan itu
tanpa kegembiraan. Setelah santapan pagi, dan selagi
hendak keluar untuk mencari batu giok merah, mendadak
mendengar suara pelayan penginapan.
“Tuan Touw, ada tamu mencari Tuan !”
Belum lagi sirep suara pelayan tadi, dari luar terdengar
suara batuk-batuk, kemudian disusul oleh suara katakatanya
yang diiringi oleh suara tertawanya. “Satu tahun
lebih kita berpisah, selama itu aku selalu memikirkan
dirimu !”
Mendengar suara orang itu, Touw Liong buru-buru
keluar menyambut.
Orang baru datang itu ternyata adalah seorang tua.
Rambut dan janggutnya putih, memakai pakaian warna
biru, mukanya berwarna sawo mateng, tubuhnya kurus
kering, tetapi matanya bersinar tajam.
Gerakan orang tua itu ternyata masih gesit, dengan cepat
ia menghampiri Touw Liong dan memberi hormat, setelah
berkata-kata sejenak, Touw Liong mempersilahkan masuk
kedalam kamar.
Orang tua itu dengan sangat hati-hati meletakkan
bungkusannya di atas meja.
Touw Liong setelah mempersilahkan tamunya duduk,
lalu bertanya. “Demikian pagi bapak Hui Pek berkunjung,
entah ada keperluan apa ?”
Orang tua itu membalas hormat seraya berkata.
“Touw tayhiap terlalu merendah ! Kedatanganku ini
sebetulnya hendak menghaturkan terimakasih atas bantuan
tayhiap, yang pada tahun lalu telah menyingkirkan musuh
besarku si Burung hantu Koo Hong, waktu itu jikalau
tayhiap tidak turun tangan, bagaimana penjahat itu bisa
dibasmi dengan mudah ? Tadi malam aku dengar dari
sahabatku bahwa tayhiap berada di kota ini, maka
kuperlukan datang untuk menghaturkan terima kasihku.”
“Bapak terlalu baik terhadap diriku ! Atas kedatangan
bapak sesungguhnya aku merasa tidak enak sekali ! Aku
sebetulnya tidak memiliki kepandaian apa-apa,
pengetahuanku juga sangat sedikit, dalam hal ini masih
perlu minta bimbingan bapak.”
Orang tua itu setelah ngobrol sejenak lalu minta diri,
ketika ia hendak berlalu, sekali lagi ia memberi hormat dan
berkata dengan sungguh-sungguh.
“Touw tayhiap masih sangat muda, tapi sudah memiliki
kepandaian sangat tinggi. Dengan perbuatanmu yang
banyak membantu orang yang lemah dan menyingkirkan
orang-orang jahat, maka selama dua tahun ini, sahabatsahabat
rimba persilatan yang pernah menerima budimu,
semua pada memujinya. Dewasa ini aku sedang
menghadapi kesulitan, mengingat tayhiap, maka aku minta
pertolonganmu.”
Touw Liong yang memang berjiwa ksatria dan suka
menolong orang dalam kesusahan maka setelah mendengar
perkataan itu lalu menjawab.
“Kalau ada keperluan bapak ceritakan saja, asal aku
dapat lakukan aku pasti sediakan tenaga untuk
membantumu !”
“Kalau begitu, aku Lie Hui Pek lebih dulu mengucapkan
terima kasih padamu.”
Orang tua itu adalah orang yang bersama-sama Touw
Liong membasmi si burung hantu Koo Hong pada beberapa
tahun berselang. Ia adalah Dji-tjhung-tju dari
perkampungan Hui-liongtjhung yang namanya sangat
terkenal di daerah utara.
“Aku telah mengadakan perjanjian untuk melakukan
pertempuran mati-matian dengan seseorang, waktunya
ialah nanti lohor. Kotak ini kurang baik kubawa-bawa,
maka aku hendak minta tolong tayhiap sampaikan kepada
saudaraku Lie Hui Hong di kampung Hui-liong-tjhung di
kota Dji-wie.” Berkata Lie Hui Pek.
“Oo, ini urusan kecil. Bapak jangan khawatir, aku pasti
akan lakukan. Yang penting justru pertempuran yang akan
bapak lakukan nanti lohor. Perlukah kiranya dengan
bantuan tenagaku ?”
“Budimu, kuhaturkan terima kasih. Pertempuran ini
meskipun merupakan pertempuran mati-hidup, tapi aku
yakin masih sanggup menghadapi, maka tidak berani
mengganggu tayhiap, hanya tentang kotak ini kuminta
tayhiap suka menyelamatkan.”
Touw Liong mendadak mengerutkan keningnya, dalam
otaknya teringat sesuatu, ia hendak menyatakan, tapi
perkataannya sudah hampir keluar dari bibirnya, mendadak
ditelannya kembali.
Lie Hui Pek agaknya mengetahui perubahan itu,
perlahan-lahan ia bangkit dan minta diri.
Touw Liong akhirnya tidak jadi tanya, diantarkan Lie
Hui Pek keluar pekarangan, tiba-tiba ia ingat sesuatu, lalu
menanya kepada Lie Hui Pek sambil menunjuk kotak yang
di atas meja :
“Bapak ! dalam kotak ini terisi ..........”
Lie Hui Pek ketika melihat dalam pekarangan itu tidak
ada orang lalu menjawab dengan suara perlahan :
“Kotak itu berisi benda pusaka yang kudapatkan.”
Touw Liong terkejut, dengan perasaan terheran-heran ia
memandang Lie Hui Pek.
Sekilas lintas, dalam otaknya teringat sebuah benda
pusaka .......... batu giok merah Khunngo-giok !
“Benda pusaka apa ?” Tanya Touw Liong lirih.
“Batu Giok Khun-ngo-giok !” Jawab Lie Hui Pek sambil
mendekati Touw Liong.
“Khun-ngo-giok ?” Tanya Touw Liong kaget. Apa yang
diduga ternyata benar, maka sesaat itu Touw Liong berdiri
termangu-mangu bagaikan patung. Kemudian ia teringat
kepada tugasnya sendiri yang datang ke kota itu. Ia masih
dalam keadaan tertegun, Lie Hui Pek sudah berlalu
meninggalkannya.
Touw Liong sebetulnya ingin menceritakan urusan
sendiri yang telah menerima panji hitam. Tetapi karena
mengingat Lie Hui Pek hendak melakukan pertempuran
mati-matian, maka akhirnya ia batalkan maksudnya. Benarbenar
tidak diduganya bahwa barang besar itu telah
diantarkan kedalam kamarnya melalui tangan Lie Hui Pek.
BAB 2
Lie Hui Pek sudah pergi !!
Sejak kapan ia meninggalkan rumah penginapan itu,
Touw Liong sendiri juga tidak tahu. Saat-saat itu pikirannya
kusut.
“Suheng !” Demikian dia dengar suara Kim Yan.
Touw Liong seolah-olah baru sadar dari mimpinya, ia
berpaling dan tampak Kim Yan baru melangkah keluar dari
kamarnya, maka buru-buru menghampiri dan berkata
dengan suara perlahan.
“Sumoy, kau kemari !”
Tampak sikap suhengnya menunjukkan perubahan aneh,
Kim Yan tidak berkata apa-apa, diam-diam mengikuti
Touw Liong ke kamar.
Touw Liong menunjuk bungkusan di atas meja, Kim
Yan mengangguk pelahan dan berkata :
“Pembicaraan kalian sudah kudengar semuanya !”
Selanjutnya dengan nada penyesalan ia berkata pula.
“Suheng, urusan kita sendiri sudah cukup memusingkan
kepala, mengapa kau masih terima baik permintaan orang
mengantarkan kotak ini kekota Dji-swie ?”
“Aku ada mempunyai perhitungan sendiri, maksudku
menerima baik permintaannya hanya ingin menyingkir dari
kau ……….”
“Suheng hendak menyingkir dari sampingku ?” Tanya
Kim Yan heran.
“Suhu suruh kau datang menyampaikan perintah
kepadaku, bukan suruh kau membantu aku bersama-sama
mencari barang-barang pusaka itu, maka dengan sendirinya
kau boleh berlalu dari sini. Lagi pula Panji Wulung tadi
malam sudah muncul di sini, aku tidak ingin kau terlibat
dalam urusan ini, maka aku pikir hendak menggunakan
kesempatan ini. Kotak ini biarlah kau yang
mengantarkannya ke kota Dji-swie, supaya kau tidak ikut
terlibat dalam pertikaian ini !”
“Oooh …..! jadi inilah alasanmu untuk menyingkirkan
aku ?” Tanya Kim Yan dengan nada tidak senang.
Touw Liong mengangguk.
Kim Yan mendadak membanting-banting kakinya dan
berkata dengan nada suara marah.
“Aku tidak mau pergi !”
Touw Liong menarik napas panjang, ia duduk diatas
kursi dan berkata sambil menggelengkan kepala.
“Sekarang ini, kemanapun aku sudah tidak perlu pergi
lagi !”
Kim Yan terkejut, mendelikkan matanya dan balas
menanya.
“Kenapa ?”
“Tahukah kau apa isinya kotak itu ?” Berkata Touw
Liong sambil menunjuk pada bungkusan di atas meja.
Kim Yan memalingkan kepalanya kelobang jendela dan
berkata dengan nada suara dingin.
“Peduli apa dengan kotak itu !”
Touw Liong bangkit dan menghampirinya lalu bisik-bisik
didekat telinganya. Kim Yan mendadak tampak girang, ia
alihkan pandangan matanya keatas meja dan bertanya.
“Apakah itu benar ?”
Touw Liong menganggukkan kepala.
“Aaah ..........! Bagus sekali.” Berkata Kim Yan
kegirangan. “Inilah yang dinamakan dengan susah payah
dicari-cari, diketemukannya dengan mudah sekali ! Suheng
! Jalan !”
Ia benar-benar sudah menarik tangan Touw Liong
hendak keluar kamar.
“K e m a n a ?” tanya Touw Liong sambil mengerutkan
alisnya.
“Pulang ke gunung Kiu-hoa-san menyerahkan mandat,
lalu minta persen kepada suhu !” Jawab Kim Yan sambil
mengerlingkan matanya.
“Sabar …..! Sumoy ! Jangan terburu nafsu, urusan tidak
semudah itu.” Berkata Touw Liong sambil menghela napas.
Kim Yan terkejut dan bertanya :
“Masih ada kesulitan apa lagi ?”
“Kepingin harta benda orang lain, inilah bukan
perbuatan orang baik. Apa lagi suheng mu sekarang ini
sudah mendapat sedikit nama di kalangan kang-ouw,
diminta pertolongan orang, itu berarti orang percaya kepada
diriku, maka aku juga harus melakukan dengan sungguhsungguh.”
“Suheng sesungguhnya juga terlalu jujur ! Apakah
makanan yang sudah berada di mulutmu benar-benar kau
hendak serahkan pada orang lain ?”
“Ini bukan berarti hendak menyerahkan kepada orang
lain begitu saja, melainkan memenuhi kewajiban terhadap
sahabat. Menurut aturan kotak ini kita harus antarkan ke
kota Dji-swie.”
Kim Yan tidak dapat merobah pendirian suhengnya,
terpaksa menganggukkan kepala, tetapi ia masih majukan
pertanyaan :
“Bagaimana kita harus mempertanggungjawabkankepada
suhu ?”
Touw Liong berpikir sejenak, baru berkata :
“Suhu seorang bijaksana, pasti dapat memahami
kedudukan suhengmu, aku jakin suhu pasti juga akan
membenarkan tindakanku ini. Tidak mungkin akan
menyalahkan kau dan aku.”
“Namun demikian, tetapi kita sebagai murid, seharusnya
turut pikul kesusahan suhu, sekarang ini dalam menghadapi
usahanya membuat pedang, suhu hanya membutuhkan
batu giok ini, dengan cara bagaimana kita tega hati
mengecewakan pengharapannya ?”
Touw Liong nampak berpikir, lama baru menjawab :
“Sejak dahulu kala barang pusaka hanya dimiliki oleh
orang-orang yang bijaksana, menurut peraturan, batu giok
ini kecuali suhu, dalam rimba persilatan dewasa ini,
siapapun tiada orang yang tepat memiliki barang ini. Akan
tetapi, apa mau dikata, barang pusaka ini sekarang sudah
ada pemiliknya, kau denganku meskipun berusaha hendak
mendapatkannya, juga tidak baik kalau merampas milik
orang. Sejak dahulu kala barang-barang pusaka atau senjata
tajam sudah ditakdirkan oleh Yang Maha Kuasa, siapa
yang harus memilikinya. Batu giok ini kalau benar adalah
suhu yang harus memilikinya, aku yakin tidak lama
kemudian barang ini pasti akan terjatuh di tangan suhu.”
“Hal-hal didalam dunia banyak sekali terjadi perubahan,
sekarang ini batu giok ini menjadi milik Lie Hui Pek, tetapi
di kemudian hari ada terjadi perubahan apa, kita jangan
pikirkan, hanya lihat saja apa yang akan terjadi.”
Kim Yan dapat menerima pendapat suhengnya, maka
pelan-pelan menganggukkan kepala.
“Urusan jangan ditunda lagi, mari kita segera berangkat
!” Berkata Touw Liong.
“Kemana ?”
“Ke kampung Hui-liong-chung di kota Ji-swie !”
“Bagaimana dengan batas waktu tiga hari yang biasa
ditetapkan oleh Panji Wulung ?”
“Dia tidak menantang kita secara terang-terangan. Peduli
apa dengannya dua hari atau tiga hari ? Kita masih dapat
menggunakan waktu untuk pergi ke kota Ji-swie, sekalipun
Panji Wulung dapat mengejar, apakah Lie Hui Hong akan
berpeluk tangan, tidak membantu kita ?” Berkata Touw
Liong tanpa pikir.
Kim Yan menganggukkan kepala memuji keberanian
suhengnya, keduanya lalu menghampiri meja. Kim Yan
membuka bungkusan, kotak dalam bungkusan itu ternyata
terbuat dari kayu pilihan yang terukir rapi dan dilak rapat.
Kim Yan agaknya tidak mau melepaskan kotak indah
dalam tangannya, memandangnya sekian lama.
Barang itu hanya dapat dipandang, tetapi tidak dapat
dimiliki, hal ini dia mengerti. Meskipun barang dalam
kotak itu adalah barang yang sedang dicari, tetapi sayang
barang itu bukan milik mereka.
Dua saudara itu memandang kotak itu sambil menarik
nafas, kemudian dibawa menuju ke kota Ji-swie.
Dengan perasaan berat dua saudara seperguruan itu
melakukan perjalanan dengan melalui jalan air, setelah
menyeberang sungai Han-swie tiba di kota Hoan-shia.
Kemudian dengan melalui jalan raya kota Lam yang, terus
menuju ke kota Ji-swie.
Di waktu lohor, sebelum matahari terbenam, sebuah
kota sudah berada di hadapan mata mereka.
“Suheng, kota apa itu ?” tanya Kim Yan sambil
menunjuk kota itu.
“Kota Lam yang,” jawab yang ditanya.
“Melakukan perjalanan satu hari baru sampai di kota
Lam yang, kapan kita baru bisa tiba di kota Ji-swie ?
Barangkali sebelum tiba di kota yang kita tuju, batas waktu
tiga hari yang ditetapkan oleh Panji Wulung sudah lewat.
Apabila kotak ini belum sampai di Ji-swie, Lie Hui Hong
juga tidak dapat membantu kita.”
“Kita berusaha sedapat mungkin, berhasil atau tidak
terserah kepada kemauan Yang Maha Kuasa. Biar
bagaimana masih ada waktu dua setengah hari, ancaman
Panji Wulung sudah tentu kita tak boleh pandang remeh,
tetapi kotak ini, bagaimanapun juga kita harus sampaikan
ke kota Ji-swie sebelum batas waktunya habis.”
Dua orang itu bicara sembari berjalan, sedikitpun tak
mau membuang waktu. Tanpa dirasa, mereka telah tiba
didepan satu perkampungan kecil yang terdapat banyak
bukit-bukit kecil dan tanaman pohon.
Touw Liong mengangkat kepala, memandang
perkampungan yang indah itu, lalu berkata sambil
menunjuk ke kampung itu.
“Sumoy ! Tahukah kau ini perkampungan apa ?”
Kim Yan menggelengkan kepala.
“Aku ingat sesuatu.” Berkata Touw Liong pelahan, lalu
mendongakkan kepala sambil mengawasi burung-burung
yang berterbangan di angkasa. Pikirannya tenggelam dalam
lamunan.
Tanpa disadari tangannya meraba-raba gagang
pedangnya dan berkata pada sumoynya :
“Di dalam daerah sepuluh pal persegi perkampungan ini
tidak boleh menggunakan pedang.”
“Apakah perkampungan ini bekas kediaman Tju Kat
Liang siangsing di jaman Sam Kok dahulu ?” Tanya Kim
Yan terkejut.
“Benar.”
“Sudah beberapa ratus tahun kebiasaan itu menjadi
semacam tradisi orang-orang rimba persilatan yang
menjunjung tinggi kepribadian Khong Bing, tokoh
kenamaan pada jaman Sam Kok. Oleh ketua gereja Siauw
Liem Sie, Ci-sian Siansu, yang pada seratus tahun berselang
berhasil merebut lambang kebesaran tujuh naga dan
berhasil menjadi pemimpin rimba persilatan, telah
mengeluarkan pengumuman kepada rimba persilatan.
Orang-orang rimba persilatan yang melalui tempat ini yang
hingga sekarang masih tetap dikenal sebagai tempat yang
bernama Ngo-liong-kang, di dekat kota Lam-yang ini,
dilarang keras menggunakan senjata tajam, sebagai tanda
penghormatan. Maka sejak itu selama seratus tahun ini
setiap orang rimba persilatan yang melalui perkampungan
ini selalu tetap mentaati peraturan ini. Tidak seorangpun
yang melanggar.”
“Kita tidak perlu menggunakan senjata,” berkata Kim
Yan sambil tertawa.
“Hati manusia siapa yang tahu, urusan did alam dunia
sukar dikata, sekarang ini kita tengah membawa barang
pusaka yang sangat berharga, siapa tahu kalau barang itu
menarik perhatian orang. Seandainya ada orang yang
hendak menggunakan tempat ini sebagai tempat
perlindungan lalu merampas barang itu, saat itu sekalipun
kita membawa dua bilah pedang, tetapi juga tak dapat
menggunakannya.”
“Lalu bagaimana ?”
“Dalam segala hal kita harus hati-hati, ingat baik-baik,
dan dalam keadaan bagaimanapun juga kita tak boleh
menggunakan pedang, sebab hal ini akan mempengaruhi
nama baik suhu kita.”
“Kapan kita baru boleh menggunakan pedang ?”
“Setelah melalui kupel Cap-lie Tiang-ting,”
Kim Yan menganggukkan kepala, matanya memandang
tumbuhan pohon-pohon di kedua sisinya. Kemudian
berkata dengan suara jeri :
“Aku sebetulnya sangat girang dapat menemukan
suheng, semula aku pikir, setelah kita menyelesaikan tugas
kita, suheng akan bawa aku pesiar ketelaga Tong-ting-ouw,
siapa tahu di tengah jalan mendadak muncul setan bedebah
Panji Wulung, sehingga membuat hati kita merasa risau.”
Mendengar sumoynya menyebut-nyebut Panji Wulung,
Touw Liong teringat lagi batas waktu yang tinggal dua hari.
Rupa-rupa pikiran timbul dalam hati, ia tak tahu apa yang
akan terjadi dengan dirinya tiga hari kemudian. Ia buruburu
menghiburi sumoynya.
“Jangan kau sebut-sebut urusan Panji Wulung itu lagi !
Toch masih ada waktu dua setengah hari, aku tak percaya
dengan mengandel kepandaian dan kekuatan kita berdua,
tak sanggup melawan iblis itu. Kau jangan khawatir, nanti
setelah kita menyelesaikan tugas kita ini, kita berdua
melakukan perjalanan seluruh negeri.”
Mendengar janji suhengnya, Kim Yan nampak girang.
“Benarkah ?” demikian ia menegaskan.
Touw Liong menganggukkan kepala, suatu senyuman
tersungging di bibirnya.
Dua orang itu setelah melalui Ngo-liong-kang, dengan
menyusuri jalan yang penuh pohon merah, terus berjalan
menuju ke kota Lam-yang. Dalam perjalanan itu, mereka
sangat hati-hati dan selalu siap siaga. Keduanya tidak
berbicara sepatah katapun juga.
Di luar dugaan Touw Liong ketika sudah hampir tiba ke
kupel Cap-lie Tiang-ting, ternyata tidak tampak bayangan
seorangpun jua.
Kim Yan memperlambat langkahnya, mengeluarkan
sapu tangan untuk menghapus keringatnya. Dengan nada
penyesalan dan sambil tertawa kering berkata kepada
suhengnya :
“Suheng, banyak orang kata bahwa kaum pria itu
mempunyai perasaan tajam! menghadapi urusan kecil saja
....., perasaannya lantas tegang !”
Mendengar perkataan itu, wajah Touw Liong tampak
merah. Ia tidak menjawab, sebaliknya juga memperlambat
langkahnya. Matanya ditujukan kearah kupel yang terletak
sejarak kira-kira tujuhbelas atau delapanbelas tombak
dihadapan matanya, sikapnya ini menunjukkan bahwa ia
seolah-olah melihat apa-apa.
Kim Yan terkejut juga, maka matanya ditujukan ke arah
pandangan mata suhengnya.
Sesaat kemudian, mendadak ia berseru kaget. Dalam
kupel itu ternyata sudah terdapat banyak orang, oleh karena
terpisah agak jauh, bagaimana dandanan orang itu masih
sulit dikenali. Tetapi apa yang tampak tegas dan
dimengerti, jalah dalam tangan orang itu semua memegang
senjata.
Touw Liong dengan tangan menggenggam gagang
pedangnya dan sambil menarik tangan Kim Yan, berjalan
menuju ke kupel itu dengan langkah lebar.
Kupel yang dibangun di tengah jalan itu cukup luas,
setiap orang atau kuda atau kendaraan kereta yang berjalan
melalui jalan itu, semua harus melewati kupel itu.
Ketika Touw Liong dan Kim Yan tiba di depan kupel,
tampak olehnya seorang lelaki berusia lanjut yang bentuk
wajahnya tidak sedap dipandang dan rambut serta
jenggotnya sudah putih semua berdiri di tengah-tengah
kupel. Dua tangan orang tua itu nampak kosong, wajahnya
yang tidak sedap dipandang kelihatan seram. Sepasang
matanya seperti burung hantu, dengan tajam memandang
dua anak muda yang sedang berjalan menuju ke kupel itu.
Di kedua sisi orang tua itu berdiri enam orang dari
golongan pengemis yang masing-masing membawa senjata
bambu, usia mereka semua sudah empatpuluhan keatas.
Karena tujuh orang itu berdiri berbaris di tengah-tengah
kupel, ini juga berarti merintangi perjalanan Touw Liong.
Terpisah kira-kira setengah tombak di depan kupel,
Touw Liong menghentikan langkahnya. Ia menjura
memberi hormat kepada orang tua itu seraya berkata.
“Tolong bapak memberi sedikit jalan, supaya aku dapat
melanjutkan perjalananku !”
Sikap menghormat Touw Liong dibalas oleh orang tua
itu dengan sikap dingin dan tertawa ejekan. Dengan acuh
tak acuh ia menjawab.
“Kukira orang she Touw itu ada seorang berkepala tiga
dan berlengan enam, tetapi ternyata hanya begitu saja !”
Kim Yan segera naik pitam, dengan tangan
menggenggam gagang pedang ia menanya dengan nada
marah.
“Hanya begitu bagaimana ?”
“Hanya satu bocah yang masih berbau air tetek !”
Jawaban itu bukan saja membangkitkan kemarahan Kim
Yan, sedangkan Touw Liong yang cukup sabar juga lantas
marah. Ia lalu membentak dengan suara keras.
“Tutup mulut ! Sahabat ….., siapakah namamu ? Kau
denganku tidak ada permusuhan apa-apa ….., mengapa kau
merintangi perjalananku dan memaki orang seenak udelmu
?”
Sepasang mata orang tua itu melirik kepada enam orang
golongan pengemis yang berdiri dikedua sisinya dan berkata
dengan nada suara dingin.
“Nama tayhiap telah menggemparkan orang-orang
golongan putih dan golongan hitam, masa tidak kenal siapa
aku si orang tua ini ?”
Touw Liong memandang enam orang dari golongan
pengemis yang masing-masing memegang senjata bambu
itu, mendadak angkat kepala dan tertawa terbahak-bahak,
kemudian berkata :
“Oooh …..! Kiranya Lie Pang-tju dari golongan
pengemis dari daerah Utara!”
Selanjutnya ia menjura lagi dan bertanya, “Lie Pang-tju
ada keperluan apa?”
Dengan sikap sangat jumawa orang tua itu menguruturut
jenggotnya yang panjang dan menjawab dengan
tenang.
“Tidak apa-apa, hanya satu soal kecil! Aku si orang tua
hanya minta tayhiap suka pandang mukaku, harap …..,
bungkusan yang kau bawa itu …..”
Sebelum Touw Liong menjawab, telah didahului oleh
suara bentakan Kim Yan.
“Tutup mulut ….., anjing !”
Suara itu dibarengi oleh berkelebatnya sinar pedang.
Dalam tangan Kim Yan sudah terhunus pedang panjang
dengan sikap menantang.
Orang tua itu tegas nampak terkejut, setelah mundur
selangkah mulutnya berseru :
“Kiu-hua-sin …..!”
Setelah itu jubahnya dikibaskan, enam orang golongan
pengemis segera bergerak mengepung Touw Liong dan Kim
Yan.
Touw Liong memberi isyarat kepada sumoynya, Kim
Yan lalu masukkan kembali pedangnya ke dalam sarungnya
dan berkata dengan suara mendongkol :
“Mengapa aku tak boleh menggunakan pedang ? Tempat
ini bukankah Tjap-lie Tiang-ting ?”
Kemudian ia menunjuk enam orang golongan pengemis
dan berkata pula :
“Mereka .....!”
Mendadak ia ingat bahwa senjata dalam orang-orang
golongan pengemis itu hanya merupakan bambu yang
mereka namakan pentungan untuk menguji anjing. Di
dalam kolong langit ini, di manapun mereka berada,
sekalipun didalam istana menghadap raja, bambu itu selalu
tidak ketinggalan di tangannya.
Orang tua berjubah itu lalu berkata sambil tertawa dingin
: “Kau tidak terkecuali ! Sesudah melewati kupel ini kau
baru boleh menggunakan pedang. Tapi dalam kupel ini,
sebaliknya kau patuhi aturan ini ! Tetapi jikalau kau tak
mengindahkan peraturan dan menjaga nama baik pedang
Kiu-hwa Sin-kianmu, silahkan !”
Kemudian ia bertanya kepada Touw Liong sambil
menunjuk Kim Yan.
“Saudara ini …..!”
“Ia adalah suteku Kim Yan.”
Dengan nada menggoda orang tua itu berkata :
“Kok namanya mirip nama seorang gadis !”
Wajah Kim Yan menjadi merah dan berkata dengan
nada suara geram : “Bangsat tua, kau juga beritahukan
namamu.”
“Lie Hu San.”
“Lie Hu San, bagus sekali perbuatanmu. Kau sudah
melakukan pekerjaan sebagai pembegal. Melakukan
perbuatan yang sangat memalukan golonganmu ! Tahukah
kau bahwa nama baik tiga dewa dari golongan pengemis
telah kau cemoohkan dengan perbuatanmu ini?”
“Batu Khin-ngo-giok merupakan benda pusaka tidak
ternilai didalam dunia. Barang itu harus dimiliki oleh
seorang yang bijaksana. Aku yang melanjutkan usaha tiga
orang kakek moyang kita dari golongan pengemis. Sudah
sepantasnya mendapatkan barang itu untuk dibuat pedang
dan memperluas pengaruh kita. Aku yakin bahwa kakek
kita, Tiga dewa, tentu akan memuji tindakanku. Bagaimana
mencemoohkan muka mereka ?”
Touw Liong yang sementara itu mendapat pikiran lain
lalu berkata sambil tertawa :
“Memang benar ! dalam bungkusan ini adalah batu Khingo-
giok. Tapi barang ini bukan milikmu. Jika Pangcu
menghendaki tidaklah susah, tunggu saja aku nanti
serahkan kepada pemiliknya. Pangcu boleh minta sendiri
padanya !”
“Siapa yang punya ?” Tanya Lie Hu San.
“Lie Hui Hong.”
“Apa Lie Hui Hong pantas memiliki benda ini ?”
“Pantas atau tidak, itu bukan urusanku. Tapi memang
benar bahwa benda ini adalah miliknya.”
Lie Hu San nampak berpikir, kemudian berkata : “Baik
.....! Aku nanti minta kepada Lie Hui Hong !”
“Pangcu adalah seorang yang mengerti, tidak kecewa
menjadi pemimpin golongan pengemis.” Demikian Touw
Liong berkata dengan pujiannya.
Dalam hati Lie Hu San merasa senang, maka sikapnya
juga tidak begitu galak lagi. Perlahan-lahan ia angkat muka
memandang awan diatas angkasa, lama ia berpikir,
kemudian dengan tiba-tiba tertawa dingin dan berkata
sambil menggelengkan kepala :
“Aku tak mau tertipu, di dalam dunia ini mana ada
manusia demikian bodoh, yang tak tertarik oleh benda
berharga ? Kau jangan coba main gila di hadapanku !
Jangan banyak bicara ! Kalian berdua jika bisa lolos dari
tangan golongan kita ini, aku si orang she Lie akan jamin
kalian keluar dari sini dan selanjutnya aku akan cari Lie
Hui Hong sendiri. Tapi jika kalian tidak bisa lolos,
sebaiknya lekas kau serahkan barang itu supaya kita samasama
baik !”
Untuk kedua kalinya ia mengebutkan jubahnya sebagai
tanda perintah kepada anak buahnya. Dengan serta merta
enam anak buahnya bergerak lagi mengepung dua pemuda
itu.
Bab 3
Touw Liong memberi isyarat dengan mata kepada Kim
Yan, keduanya lalu bergerak memukul mundur enam orang
golongan pengemis kemudian berkata sambil tertawa dingin
:
“Mencari kemenangan dengan mengandalkan jumlah
orang banyak, dan menggunakan tempat terlarang sebagai
pelindung, orang she Lie apakah kau masih mengaku
sebagai seorang gagah ? Jika kau masih terhitung salah
seorang gagah rimba persilatan, keluarlah dari sini mari kita
bertempur secara jantan, baik dibagian sini atau bagian sana
kupel ini. Kalau aku menggunakan pedang untuk
menghadapimu, aku bukan seorang laki-laki !”
Ilmu pedang Kiu-hwa Sin-kiam dari golongan Kiu-hwasan,
memang merupakan salah satu ilmu pedang yang
sudah terkenal di dalam rimba persilatan. Selama seratus
tahun ini, ilmu pedang itu dipandang sebagai ilmu pedang
yang sudah tak ada tandingannya. Guru Touw Liong, Kuihwa
Lodjin, tigapuluh tahun berselang dengan sebilah
pedang berhasil mengalahkan sepuluh jago pedang yang
mengepung dirinya, sehingga mendapat gelar sebagai jago
pedang tanpa lawan. Orang-orang yang tingkatannyalebih
tua darinya pada waktu itu seperti tiga dewa dari golongan
pengemis sampai berkunjung kegunung Kiu-hwa-san untuk
mengadakan pertandingan persahabatan dalam ilmu
pedang.
Tetapi sejak hari itu, empat orang itu semua
mengasingkan diri, tidak muncul lagi di dalam kalangan
Kang-ouw, hingga dalam rimba persilatan lantas timbul
desas-desus bahwa mereka semua sudah binasa dalam
pertandingan itu.
Touw Liong yang turun gunung baru dua tahun, tapi
kepandaian dan sepak terjangnya sudah menggemparkan
rimba persilatan. Ia bukan hanya mengandalkan ilmu
pedangnya yang luar biasa mengalahkan musuh-musuhnya,
tetapi juga dengan perbuatannya yang bijaksana untuk
menundukkan lawan-lawannya. Walaupun namanya sudah
terkenal, tapi ia belum pernah memberitahukan kepada
siapapun juga tentang asal-usul dirinya, maka orang-orang
rimba persilatan tiada seorangpun tahu bahwa ia dari
golongan Kiu-hwa-san. Malam itu jika bukan Kim Yan
yang menghunus pedangnya tanpa disadari, sekalipun Lie
Hui San yang terkenal licin cerdik dan banyak pengetahuan
juga tidak mengetahui asal-usul jago muda itu.
Maka setelah mendengar perkataan Touw Liong yang
tak akan menggunakan pedang, dalam hati Lie Hui San lalu
timbul suatu akal lain. Dengan cepat memerintahkan enam
orang anak buahnya undurkan diri, kemudian ia sendiri
melompat turun dalam medan pertempuran. Enam anak
buahnya undurkan diri, tapi mereka tetap mengambil sikap
mengurung melindungi pemimpinnya.
Kim Yan juga undurkan diri dan siap untuk membantu
suhengnya.
Sambil tertawa dingin Lie Hui San berkata : “Orang she
Touw marilah mulai!”
sehabis berkata pemimpin golongan pengemis itu lalu
melontarkan serangan lebih dulu.
Touw Liong tak berkata apa-apa, ia rangkapkan kedua
tangannya, kemudian dipentang, tangan kanan
menggunakan gerak tipu serangan menggeput rembulan
dari dasar laut, dan tangan kiri menggunakan gerak tipu
serangan kuda terbang diangkasa menyambut serangan Lie
Hui San.
Ilmu silat dengan tangan kosong Lie Hui San yang
dinamakan gerak tipu serangan naga dan harimau, dalam
rimba persilatan juga sangat terkenal, serangan
pembukaannya yang nampak biasa saja, tapi sesungguhnya
mengandung banyak perubahan gerak tipu serangan.
Maka ketika serangannya tiba ditengah jalan, dengan
tiba-tiba dirubah menjadi setengah memutar, sedang tangan
yang lain meluncur keluar, lima jari tangannya dipentang
bagaikan kuku naga terus mengancam jalan darah Touw
Liong, dan tangan yang melakukan serangan duluan kini
mengancam batok kepala Touw Liong. Ancaman itu
demikian hebat karena tangannya itu bergerak demikian
cepat seolah-olah hendak menerkam bagian mata, hidung,
tenggorokkan dan kemudian menurun kebagian dada.
Kim Yan yang menyaksikan serangan itu diam-diam
juga terkejut. Jikalau bukan Touw Liong yang
menghadapinya, barangkali sudah roboh atau setidaktidaknya
sudah berhasil kena serangan aneh itu.
Touw Liong yang menyambut serangan musuhnya
dengan gerak tipu serangan ilmu pedang Kiu-hwa Sin-kiam
yang sudah dirubah menjadi gerakan tangan kosong sudah
tentu tidak mudah diperdayai oleh serangan Lie Hui San.
Tangan dua pihak lalu saling beradu dan masing-masing
mundur tiga langkah.
“Bocah …..! kau benar-benar memiliki kepandaian yang
berarti, ilmu silat Kiu-hwasan memang bukan nama kosong
belaka. Sekarang coba kau sambuti seranganku lagi !”
Berkata Lie Hui San sambil tertawa dingin.
Dua tangan Lie Hui San lalu disilangkan satu sama lain,
kemudian mengerahkan kekuatan tenaga dalamnya, dan
setelah itu dua tangan itu pelahan-lahan mendorong kuat.
Touw Liong dengan tajam memperhatikan setiap
perubahan dari gerakkan lawannya, ketika lawannya
mendorongkan tangannya, ia juga mengikuti dengan
gerakan serupa.
Seperti juga serangan yang pertama, kali ini ketika
serangan Lie Hui San sampai di tengah-tengah juga diputar
kembali, kedua tangan melakukan serangan dengan dua
macam gerak tipu, sedang dua kakinya juga bergerak
dengan serentak melakukan serangan dengan tendangan
kaki kanan.
Touw Liong sebagai murid golongan seorang ternama,
sudah tentu tidak mudah dikibuli oleh segala tipu dayanya
orang tua itu. Ketika menyaksikan perubahan gerakkan Lie
Hui San, ia sudah mengerti apa yang akan dilakukan
selanjutnya. Gerak tipunya sendiri juga lantas dirubah, ia
berdiri teguh dengan kaki kiri, kaki kanannya diangkat
mengelakkan tendangan Lie Hui San, sedang dua
tangannya digunakan untuk menyambut serangan dari dua
tangan lawannya.
Dengan demikian untuk kedua kalinya kekuatan tangan
dua lawan itu kembali saling beradu dan untuk kedua
kalinya masing-masing terdorong mundur tiga langkah lagi.
Lie Hui San pentang lebar matanya, agaknya dikejutkan
oleh kepandaian dan kekuatan anak muda itu, maka
matanya terus menatap wajah Touw Liong. Ia tak tahu
bahwa tigapuluh tahun berselang, guru Lie Hui San, ialah
salah satu dari tiga dewa golongan pengemis yang bergelar
Kim Tho Siseng berjari sembilan, pernah menggunakan
ilmu silat tangan kosong itu bertanding tiga hari tiga malam
lamanya dengan Kiu-hwa Lo-jin yang kemudian berakhir
seri.
Sejak terjadinya pertandingan itu, Kiu-hwa Lo-jin sangat
mengagumi ilmu silat serangan naga dan harimau itu.
Maka diam-diam ia mempelajarinya dengan baik tipu
serangan itu, dan merubah ilmu pedangnya sendiri menjadi
gerak tipu serangan tangan kosong. Setelah dipelajarinya
selama sepuluh tahun lebih, ia telah berhasil menemukan
beberapa gerak tipu yang dapat mengalahkan serangan naga
dan harimau.
Kiu-hwa Lo-jin takut Touw Liong yang berkelana di
dunia Kang-ouw nanti dirugikan oleh serangan ilmu silat
itu, maka beberapa macam gerak tipu yang ditemukan
olehnya, semua sudah diturunkan kepada muridnya.
Benar-benar tak disangka bahwa Lie Hui San yang
mempelajari gerak tipu ilmu silat itu selama beberapa puluh
tahun, bahkan sudah dapat warisan gurunya, malam itu
telah ketemu batunya.
Jika ia tak menyerang, ia benar-benar tak tahu bahwa
pemuda itu seolah-olah dapat memahami setiap gerak
tipunya, karena setiap kali ia menyerang, lawannya yang
masih muda dengan tenang menyambutnya dan dengan
mudah sekali berhasil memunahkan serangan sendiri yang
demikian hebat.
Maka kini ia tak berani berlaku sombong lagi. Dengan
sangat hati-hati sekali mengeluarkan seluruh kepandaiannya
yang didapatkan dari suhunya. Ia menyerang Touw Liong
demikian hebat dan ganas.
Tetapi setiap serangan itu disambut atau dielakkan oleh
Touw Liong dengan mudah, sedikitpun tak memberikan
kesempatan bagi lawannya untuk menghasilkan
serangannya.
Pertempuran itu telah berlangsung demikian seru dan
hebat, tujuh orang yang berada diluar garis, mata masingmasing
ditujukan pada jalannya pertempuran, seolah-olah
sudah lupa pada dirinya sendiri.
Sejak pertempuran dimulai, mata Kin Yan terus
ditujukan pada suhengnya. Semula ia sangat kuwatir
keselamatan suhengnya yang belum biasa menghadapi
lawannya dengan tangan kosong, tapi kemudian hatinya
mulai tenang dan akhirnya yakin benar bahwa suhengnya
itu meskipun tak dapat menangkan Lie Hui San, setidaktidaknya
tak akan kalah. Setelah menyaksikan pertempuran
seru itu berlangsung demikian lama, dalam hatinya berpikir
:
“Jika pertempuran ini berlangsung terus dengan cara
begini, entah kapan baru bisa berakhir ? Suheng yang sudah
melakukan perjalanan seharian, bagaimana sanggup
bertahan lama ?”
Ia diam-diam juga terkejut ketika menampak jidat Touw
Liong sudah mulai keluar keringat, maka diam-diam juga
mencari jalan keluar.
Kini matanya ditujukan kepada enam orang golongan
pengemis yang berdiri bagaikan patung, seolah-olah kesima
menyaksikan jalannya pertempuran. Ia lalu tundukkan
kepala dan berpikir, sesaat kemudian mendadak ia lompat
melesat melalui medan pertempuran, cepat bagaikan kilat ia
lompat ke atas kupel. Disana ia berdiri tegak dan berkata
dengan suara keras :
“Hai …..! kepala golongan pengemis ! Kau sudah tertipu
! Tuan mudamu setelah berada di luar kupel ini, pedang
akan bergerak leluasa menabas kutung kepala kalian !”
Enam orang dari golongan pengemis, setelah mendengar
suara itu seolah-olah baru sadar dari mimpinya. Mereka
buru-buru mengejar sambil menggerakkan senjata masingmasing.
Tapi enam orang itu baru saja tiba di atas kupel, Kim
Yan sudah melayang turun melalui kupel dan berdiri di
tengah jalan dengan pedang terhunus menanti kedatangan
enam lawannya.
Enam orang golongan pengemis nampaknya sangat
penasaran, dengan berbareng mereka melompat turun dan
mengepung Kim Yan di tengah-tengah.
Kim Yan tertawa nyaring, pedangnya mulai bergerak
melancarkan serangan. Enam orang yang diserang
demikian hebat terpaksa mundur. Tetapi mereka juga bukan
orang-orang sembarangan, begitu mundur sudah maju lagi
dan melakukan serangan dengan senjata masing-masing.
Pertempuran satu lawan enam itu terjadi ditengah jalan di
luar kupel, merupakan suatu pertempuran sengit dan hebat.
Touw Liong yang sangat cerdik ketika melihat sumoynya
sudah keluar dari kupel, tergeraklah hatinya. Dengan suatu
gerak tipu yang terampuh ia berhasil mendesak mundur Lie
Hui San, kemudian juga hendak keluar dari kupel.
Lie Hui San menduga pasti tindakan Touw Liong itu,
dengan cepat memusatkan kekuatan tenaga dalamnya,
melancarkan serangan dua kali ke tempat bagian pintu
masuk kupel itu, sambil mulutnya berseru : “K e n a !!!”
Serangannya yang dilancarkan dengan tenaga penuh,
apabila benar-benar mengenakan diri Touw Liong,
sekalipun tidak mati ....., setidak-tidaknya juga akan terluka
parah.
Tetapi serangan itu mengenakan bagian bawah kaki
Touw Liong yang baru saja menginjak di atas kupel.
Touw Liong yang kakinya belum berdiri tegak, sudah
tentu tak dapat merubah posisinya. Ia terpaksa gertak gigi
dan pasang kuda-kuda sambil balikkan dua tangannya
hendak menyambut serangan musuhnya.
Namun sebelum kekuatan dua pihak beradu, Lie Hui
San melompat mundur dua tombak jauhnya, baru berhasil
pertahankan kedudukannya.
Touw Liong heran. Dengan cepat menarik tangannya,
kemudian dengan cekatan lompat melalui kupel dan setelah
berada di tanah ia segera mendongakkan kepala dan berkata
sambil menjura keatas kupel :
“Orang pandai dari mana yang memberi bantuan ! Disini
Touw Liong mengucapkan banyak-banyak terima kasih !”
Setelah itu ia benar-benar membongkokkan badan
memberi hormat ke arah kupel.
Suara orang tertawa terbahak-bahak terdengar nyaring.
Di atas kupel tampak berdiri seorang tua berjenggot
panjang, berpakaian jubah warna ungu, orang tua itu
kemudian melayang turun dan membalas hormat pada
Touw Liong seraya berkata :
“Touw tayhiap jangan berlaku merendah, Lie Hui Hong
datang menyambut padamu agak terlambat. Harap tayhiap
maafkan !”
Orang tua itu ternyata adalah Lie Hui Hong, chungcu
dari Hui-liong-chung.
Bukan kepalang terkejutnya Touw Liong menampak
kedatangan chungcu itu. Buru-buru berkata :
“Gerakkan tangan chungcu yang sangat ampuh sudah
lama kukagumi !”
Dua orang itu selagi melakukan pembicaraan, Lie Hui
San sudah maju menghampiri dan berkata dengan nada
suara dingin : “Lie Hui Hong ! Aku justru hendak
mencarimu !”
Ketua golongan pengemis itu sesungguhnya tak kenal
aturan, karena begitu membuka mulut, tangannya sudah
bergerak melancarkan dua kali serangan.
Namun Lie Hui Hong yang juga merupakan salah
seorang jago dari utara, tak mudah dijatuhkan begitu saja.
Ia juga mengeluarkan serangannya dengan dua tangan
menyambut serangan Lie Hu San.
Touw Liong lantas teringat pada bungkusan kotaknya, ia
buru-buru turunkan dari punggungnya dan dilemparkan
kepada Lie Hui Hong seraya berkata : “Chungcu terimalah
ini ! Bungkusan ini adalah adikmu yang minta aku bawa ke
kota Dji-swie untuk diserahkan padamu.”
Setelah melemparkan kotaknya Touw Liong mengangkat
tangannya menyambut serangan Lie Hu San.
Lie Hui Hong yang meyambuti kotak itu, sesaat nampak
terkejut.
Di lain pihak, Lie Hu San berkata padanya :
“Itu adalah batu giok Khun-ngu-giok.”
Lie Hui Hong segera melompat menyingkir menaruh
bungkusannya di atas punggungnya. Kemudian berkata
sambil tertawa terbahak-bahak :
“Terima kasih atas bantuan Touw tayhiap, aku hendak
berjalan lebih dahulu!”
Setelah berkata demikian, dengan beberapa kali gerakkan
Lie Hui Hong sudah menghilang di tempat gelap. Hanya
suara tertawanya yang masih terdengar, ia lalu berjalan
menuju ke kota Khai Hong.
Perbuatan Lie Hui Hong itu sesungguhnya di luar
dugaan Touw Liong. Sesaat itu ia segera mengerutkan
alisnya dan menyambuti serangan Lie Hu San. Otaknya
berpikir keras. Ia sungguh tak menyangka bahwa Lie Hui
Hong itu adalah manusia rendah yang tak kenal budi, kalau
begitu nama yang didapatkan itu hanya nama kosong
belaka, tidak sesuai dengan perbuatannya.
Oleh karena pikirannya bekerja, maka gerakkan
tangannya juga agak lambat. Kesempatan ini digunakan
sebaik-baiknya oleh Lie Hu San, dengan satu gerakkan dia
berhasil memukul mundur Touw Liong, kemudian lompat
melesat pergi mengejar Lie Hui Hong.
Hati Touw Liong tergeruk, setelah berpikir sejenak
mulutnya berkata : “Lie Hui Hong demikian tak berbudi
..... benda pusaka itu mau tak mau pasti akan terjatuh di
tangan orang lain !”
Ia lalu berpaling pada sumoynya, telah dapat kenyataan
bahwa Kim Yan sudah cukup untuk menghadapi enam
lawannya, maka lalu berkata kepadanya : “Sumoy, hati-hati
menghadapi musuhmu, aku hendak pergi dulu dan
menunggu kau di kota Lam Yang !”
Setelah itu kakinya lalu bergerak mengejar Lie Hui
Hong. Lari kira-kira lima puluh pal, samar-samar baru
melihat bayangan Lie Hu San yang berjalan menuju ke kiri,
ke suatu tempat yang terdapat rimba lebat.
Touw Liong tahu, ia sedang mengejar Lie Hui Hong,
maka Lie Hui Hong pasti lari menuju ke dalam rimba itu. Ia
juga buru-buru mengejarnya.
Rimba itu gelap dan tampaknya seram. Lie Hu San lari
di atas jalan kecil yang terdapat di dalam rimba itu, sedang
di belakang diikuti oleh Touw Liong.
Tidak lama setelah memasuki rimba itu, tampak sebuah
lapangan kosong yang luas. Di tengah belakang lapangan
kosong itu terdapat sebuah kuil besar yang dikurung oleh
dinding tembok warna merah. Di bawah sinar bintang
dilangit, di atas pintu gerbang tampak terpancang sebuah
papan berwarna hitam yang tertulis dengan huruf warna
emas. Huruf itu berbunyi : LING IN SIAN SU.
Sementara itu bayangan Lie Hu San sudah menghilang.
Pada saat itu malam sudah larut, rembulan nampak
terang, sedang dalam kuil itu keadaannya gelap gulita.
Dengan melompat dinding tembok Touw Liong dapat
memasuki kepekarangan kuil tua. Kemudian melompat
keatas genting untuk mengadakan pemeriksaan ke dalam
ruangan kuil.
Dari jauh tampak olehnya sesosok bayangan manusia,
juga sedang berjalan indap-indap di atas genting kuil.
Bayangan orang itu dikenali olehnya sebagai bayangan
Lie Hu San.
Dari sikapnya Touw Liong dapat menduga bahwa ketua
golongan pengemis itu telah menemukan apa-apa, maka
lalu diikutinya secara diam-diam memasuki kedalam
pendapa.
Di belakang pendapa terdapat sebuah ruangan indah, di
situ terdapat banyak pohon-pohon bunga. Kamar-kamar
sekitar ruangan itu masih tampak sinar terang, sedangkan
Lie Hu San saat itu sudah melompat melesat ke atas pohon.
Touw Liong bersangsi sejenak, kemudian melayang turun
kedalam ruangan di tempat yang agak gelap, lalu dengan
sangat hati-hati sekali masuk ke belakang ruangan. Ia
berusaha sembunyikan diri di belakang jendela, setelah
memandang pada sekitarnya dan ternyata tidak ada tandatanda
mencurigakan, barulah menonjolkan kepala kedaun
jendela. Melirik ke dalam lubang daun jendela, menengok
keadaan dalamnya. Dari situ ia nampak dalam kamar yang
penuh asap dupa, ada sebuah ranjang kayu, di tengah
ranjang itu duduk bersila seorang paderi tua yang wajahnya
aneh, sedang di hadapannya tampak berlutut seorang tua
bermuka sawo matang. Di tangan orang tua itu memegangi
sebuah kotak terukir indah, ternyata adalah kotak yang ia
pernah bawa-bawa dengan melalui perjalanan jauh untuk
disampaikan kepada Lie Hui Hong.
Di dalam kamar itu tak ada orang ketiga dan paderi tua
itu agaknya sedang bersemedi.
Orang tua bermuka sawo mateng itu, bukan lain
daripada Lie Hui Hong.
Ia berlutut di depan ranjang dengan tak bersuara.
Lama sekali, Paderi tua itu baru membuka matanya.
Dengan sinar mata yang tajam menatap wajah Lie Hui
Hong dan bertanya padanya dengan nada suara heran.
“Ada urusan apa tengah malam buta kau datang kemari
?”
“Teecu mohon belas kasihan susiok, supaya sudi
menolong teecu membuatkan sebilah pedang !” Menjawab
Lie Hui Hong sambil memberi hormat.
“Membuat pedang semacam apa ?”
“Khun-ngo-kiam.”
“Khun-ngo-kiam ?” tanya paderi tua itu kaget,
Kemudian berkata pula sambil tersenyum. “Kau ini sedang
mimpi atau melamun ? Sejak dahulu kala hanya ada sebilah
golok Khun-ngo-to ! Kabarnya golok itu dibuat dari bahan
batu giok Khun-ngo-giok yang terdapat di lautan barat.”
“Susiok …..! berkata Lie Hui Hong sambil menunjuk
kotak indah. “Di dalam kotak ini berisi batu Khun-ngo-giok
!”
“Ahhh ..........!” Demikian suara seruan keluar dari
mulut paderi tua, dengan kedua tangan gemetar matanya
mengawasi kotak di tangan Lie Hui Hong dan bertanya
pula.
“Batu Khun-ngo-giok ?”
“Benar.”
Dengan kedua tangannya ia menyerahkan kotak itu
kepada paderi tua dan paderi tua itu setelah menerima
kotak dari tangan Lie Hui Hong, dengan jari tangannya ia
membuka lak yang menutup rapat kotak itu.
Setelah kotak itu terbuka dari mulutnya mengeluarkan
suara seruan kaget dan tangannya gemetar wajahnya pucat.
Lie Hui Hong tidak berani berdiri untuk menyaksikan, ia
tidak tahu bagaimana macamnya batu Khun-ngo-giok itu.
Selagi hatinya dalam keadaan gelisah, paderi tua itu
mendadak membentak marah padanya dengan suara keras.
“Terkutuk kau .....!”
Dengan wajah marah paderi tua itu melemparkan kotak
itu dari tangannya sehingga hancur berantakan di tanah.
Sebuah batok kepala manusia menggelinding keluar dari
dalam kotak. Ketika Lie Hui Hong menyaksikan batok
kepala itu, bukan kepalang terkejutnya. Sesaat kemudian ia
berseru dengan suara sedih.
“Jite ! Kau .....!”
Ia lalu maju dan menubruk batok kepala yang
menggelinding agak jauh kemudian berkata pula dengan
suara sedih.
“Hui Pek .....! kematianmu sangat menggenaskan .....!
Aaahhh ..........!”
Batok kepala itu memang benar batok kepala Lie Hui
Pek yang masih seperti dalam keadaan hidup karena sudah
dibalsem.
Touw Liong yang mengintai dari luar jendela telah
menyaksikan semua kejadian aneh itu, maka tak lama
kemudian ia lantas memutar tubuhnnya dan berlari ke arah
barat.
Bukankah ini suatu kejadian aneh yang luar biasa ?
Batok kepala itu masih tampak nyata sebagai batok kepala
Lie Hui Pek yang pada dua tahun berselang pernah
bertempur bahu membahu melawan penjahat dari gunung
Tiam Hok San. Burung hantu Ko Hong, pada sehari
berselang pernah menjumpai dirinya di kota Sam Lang
menyerahkan kotak itu kepadanya ?
Dalam waktu setengah hari! Hanya setengah hari saja
sehingga kotak itu diberikan kepada Lie Hui Hong, dan
selama itu belum pernah terpisah dari tangannya,
bagaimana mungkin kotak yang dikatakan oleh Lie Hui Pek
berisi batu giok Khun-ngo-giok, bisa berubah berisi batok
kepala manusia yang ternyata batok kepala Lie Hui Pek
sendiri?
Bagaimanakah itu mungkin dan secara bagaimana hal itu
bisa terjadi ?
Pertanyaan serupa itu terus berputaran dalam otak Touw
Liong.
Dengan pikiran bimbang dan perasaan bingung, Touw
Liong meninggalkan kuil tua. Sepanjang jalan ia seperti
seorang bingung tak habis memikirkan bagaimana hal itu
bisa terjadi.
Terjadinya kejadian yang sangat aneh itu, tak perlu
dikata lagi. Yang dikhawatirkan Touw Liong pada saat itu
ialah Lie Hui Hong pasti akan menduga dirinya yang telah
membunuh saudaranya itu. Dan selanjutnya ia pasti anggap
dirinya sebagai musuh nomor satu. Dengan demikian
berarti tanpa sebab dan tanpa salah ia akan dimusuhi orang.
Siapakah pembunuhnya Lie Hui Pek? Mengapa
melakukan pembunuhan secara demikian?
Mungkinkah Panji Wulung ? Tapi dengan nama besar
Panji Wulung, tak perlu melakukan pembunuhan secara
demikian pengecut.
Mungkinkah si burung hantu Ko Hong? Tapi Ko Hong
sudah terjerumus ke dalam gua api yang mungkin sudah
terbakar mati.
Kalau begitu, siapa? Apakah motifnya?
Sepanjang jalan Touw Liong terus berpikir keras, ia
melupakan bahwa Lie Hu San tadi masih tertinggal di kuil
tua, ia juga tak perdulikan bagaimana sikap paderi tua dan
Lie Hui Hong selanjutnya.
Dengan mengerahkan ilmunya lari pesat ia terus menuju
ke kupel Cap-lie Tiang-ting di Ngo-liong-kang.
Selayaknya Touw Liong harus tetap berada di dalam kuil
untuk memberi penjelasan, tapi ia pikir dalam keadaan
seperti itu sekalipun dengan alasan apapun juga, tak
mungkin dapat diterima oleh Lie Hui Hong dan paman
gurunya. Bahkan apabila Touw Liong unjuk diri, sudah
pasti akan ditanya oleh Lie Hui Hong dan paman gurunya,
hal mana pasti akan menimbulkan pertikaian hebat.
Sedangkan batas waktu Panji Wulung hanya tinggal dua
hari, dan selama dua hari itu ia harus menyelesaikan dua
tugas. Tugas pertama ialah mencari batu giok Khun-ngogiok,
dan tugas kedua ialah menyelidiki peristiwa kepala
Lie Hui Pek ini. Maka ia tidak unjuk diri. Karena hal itu
terjadinya dikota Siang-yang, maka ia terpaksa kembali ke
kupel untuk mencari Kim Yan dan kemudian bersamasama
dengannya kembali ke kota Siang-yang untuk
mengadakan penyelidikan.
Mendadak ia teringat kembali kepada batu giok pusaka
berwarna merah itu. Suatu pikiran timbul dalam otaknya :
“Apakah tak mungkin batu itu masih berada dikota Siangyang
? Sedangkan ia sendiri telah tertipu oleh tipu daya
orang lain, supaya ia dan adik seperguruannya berlalu dari
kota itu, dengan demikian bagi orang-orang yang berusaha
mencari batu giok itu kurang dua orang lawan tangguh.
Bagaimanapun juga, ini merupakan suatu peristiwa misteri
dan persoalan rumit baginya.”
Ketika ia tiba di kupel, keadaan di situ ternyata sudah
sepi-sunyi, Kim Yan dan enam orang dari golongan
pengemis yang tadi sedang bertempur sengit ternyata sudah
tak tampak bayangannya lagi.
Touw Liong terkejut, ia bertanya-tanya pada diri sendiri :
“Kemana ia pergi?”
Mendadak ia ingat bahwa sebelum meninggalkan adik
seperguruannya itu, ia pernah memberitahukan kepadanya
bahwa ia hendak menunggu kedatangannya di kota Lamyang.
Tapi kini ia baru sadar bahwa kota Lam-yang yang
demikian luas, sedang ia sendiri tak menjelaskan alamat
yang terang. Bagaimana adik itu dapat mencarinya ? Ia
telah sesalkan dirinya sendiri, dengan perasaan apa boleh
buat ia terpaksa lari kembali ke kota Lam-yang.
PANJI WULUNG
JILID 2
Kota Lam-yang menjadi terkenal bukan saja karena
dikota itu pernah muncul seorang ahli peperangan terbesar
Cu Kat Liang di jaman Sam Kok, tetapi juga karena
keistimewaan arak dan hidangan rumah makan Cu Kat
Ting di dalam kota itu sehingga namanya hampir dikenal
oleh semua orang di dalam negeri.
Rumah makan Cu Kat Ting itu dibangun dengan
bangunannya yang luas dan megah bagaikan istana. Setiap
malam, alat-alat musik dan suara nyanyian mengalun untuk
bantu memeriahkan rumah makan itu.
Hari itu, seperti biasa, ketika hari baru mulai gelap,
keadaan dalam rumah makan itu sudah tampak ramai.
Di salah sebuah bangunan indah yang dibangun di
tengah danau buatan, tampak duduk seorang pemuda
tampan berwajah murung dan minum seorang diri.
Matanya pemuda itu menyapu keadaan sekelilingnya dan
memperhatikan setiap tamu yang keluar masuk di rumah
makan itu. Tampaknya ia sedang mencari seseorang.
Dengan tiba-tiba dari luar terdengar suara orang
mementil alat musik yang dinamakan pipe, seorang lelaki
pertengahan umur bertubuh tinggi besar telah muncul
dengan alat pipe di depan dadanya, kemudian berjalan
menghampiri kearah pemuda tampan itu.
Lelaki itu nampaknya bertenaga besar dan memiliki
kepandaian cukup berarti. Jalanan yang ia injak, entah
disengaja atau tidak, terdapat tanda bekas sepatunya yang
melesak di atas batu yang sedang diinjak.
Pemuda tadi agak terkejut ketika menyaksikan sikap
aneh laki-laki itu, sebelum mengerti benar apa maksud
dengan kelakuan laki-laki itu, tampak laki-laki itu memberi
hormat padanya dan bertanya dengan sikap hormat pula :
“Apakah tuan ini Touw tayhiap yang bergelar Kiu-hwa
Sinkiam ?”
Pemuda itu bangkit dari tempat duduknya dan balas
menanya dengan terheran-heran :
“Siapa yang memberikan gelar ini kepadaku ?”
“Sancu kami.”
“Siapakah sancumu itu ?”
“Aku yang rendah tak berani menyebut nama majikan,
nanti kalau tayhiap sudah melihatnya tentu tahu sendiri.”
Pemuda itu sejenak nampak ragu-ragu, tapi kemudian ia
berkata sambil memberi hormat. “Benar ....., aku memang
Touw Liong, ada urusan apa Tuan mencariku ?”
Kemudian ia mempersilahkan tamunya itu masuk ke
kupel. Laki-laki itu menjura dan berkata. “Aku tak pantas
mengganggu kesenangan Tuan, aku diutuskan oleh sancu
muda, minta Touw tayhiap malam ini jam tiga menjelang
pagi supaya datang ke kelenteng Bu-louw untuk berunding
sesuatu, aku pikir Touw tayhiap tentunya tak akan
menolak.”
Touw Liong semakin heran mendengar perkataan itu
maka buru-buru bertanya. “Ada keperluan apa sancumu
hendak menemui aku?”
“Hanya kagum atas nama besar tayhiap dan ingin
bertemu muka saja.”
Touw Liong berpikir sejenak dan akhirnya menerima
baik undangan itu.
Laki-laki tinggi besar itu memberi hormat kemudian
minta diri.
Touw Liong yang telah menyaksikan kekuatan tenaga
orang itu, diam-diam berpikir. “Anak buahnya saja sudah
bertenaga demikian kuat maka majikannya pasti seorang
hebat. Siapakah sancu mudanya yang dimaksudkan itu ?”
Tertarik oleh perasaan ingin tahu, Touw Liong buruburu
membayar uang makannya dan lantas meninggalkan
rumah makan itu.
Keluar dari rumah makan, ia masih sempat menyaksikan
bayangan laki-laki tinggi besar tadi yang jalan di jalan raya.
Touw Liong tidak berani berlaku ayal lagi, ia segera
mengerahkan ilmunya meringankan tubuh mengejar lakilaki
itu.
Tiga pal keluar dari kota, laki-laki tinggi besar tadi
dengan mengambil jalan kecil berjalan menuju kesebuah
rimba buah Co.
Melalui rimba buah Co yang luasnya kira-kira lima ha,
tampak sebuah perkampungan luas dan megah.
Laki-laki tadi berjalan menuju ke pintu gerbang
perkampungan itu dan mengetuknya, tak lama kemudian
pintu itu terbuka, dan laki-laki itu dengan cepat sudah
menghilang ke dalam.
Touw Liong diam-diam memperhatikan keadaan tempat
itu, kemudian dengan menggunakan ilmu meringankan
tubuh sudah berada di bawah tembok dan selanjutnya
melesat keatasnya, dengan hanya dua kali gerakkan saja ia
juga melesat ke suatu bangunan rumah yang berada di
paling belakang, yang masih tampak menyala sinar lampu.
Tiba di pekarangan rumah itu ia segera lompat melesat
ke atas sebuah pohon. Dengan sembunyikan diri di atas
pohon rindang ia dapat tujukan matanya ke dalam ruangan.
Dan apakah yang dilihatnya ?
Ternyata di dalam ruangan yang luas itu penerangan
tampak terang benderang. Di tengah ruangan terdapat lima
buah kursi yang dilapis emas, sebuah kursi yang berada di
tengah tampak lebih tinggi daripada empat yang lainnya.
Dan di atas kursi itulah tampak olehnya duduk seorang
gadis cantik jelita berusia kurang lebih duapuluh tahun yang
menjoren pedang di punggungnya. Dua buah kursi sebelah
kanannya duduk dua wanita berusia tigapuluh tahunan,
meskipun usia mereka sudah mendekati pertengahan umur,
akan tetapi kecantikan mereka masih nampak nyata. Dua
wanita ini berpakaian seragam warna perak dan membawa
pedang.
Dua buah kursi di sebelah kirinya duduk dekat gadis itu
ternyata adalah laki-laki besar yang datang mengundangnya
tadi, sedang yang duduk di paling ujung kiri sesungguhnya
di luar dugaan Touw Liong, karena orang itu bukan lain
daripada ketua golongan pengemis Lie Hu San.
Dengan kedudukan Lie Hu San di dalam rimba
persilatan, di samping gadis itu hanya merupakan orang
yang tingkatannya paling rendah di antara lainnya, kalau
begitu entah bagaimana kedudukan laki-laki tinggi besar itu
? Sementara mengenai diri gadis cantik berpakaian warna
ungu yang duduk di kursi kebesaran itu, lebih sukar diduga
apa kedudukannya dan berapa tinggi kepandaiannya ?
Di dalam suasana demikian, satu hal yang
menggirangkan baginya, ialah tentang kehilangan jejak adik
seperguruannya di Kupel Ca-li Tiang-ting, dengan
diketemukannya Lie Hu San di tempat itu, mungkin ia
dapat dimintakan keterangannya. Maka dengan adanya Lie
Hu San di tempat itu, bagi Touw Liong merupakan suatu
titik tolak dalam usahanya mencari adik seperguruannya.
Namun demikian, di dalam keadaan seperti itu perasaan
terkejutnya Touw Liong jauh lebih banyak daripada
perasaan girangnya, sehingga ia bersembunyi di atas pohon
mengintai ke dalam ruangan itu sedikitpun tak berani
bergerak, bahkan bernapaspun juga tidak berani.
Suasana dalam ruangan itu sangat sunyi, gadis itu
dengan sikapnya yang agung tetapi dengan suaranya yang
merdu dan bibir tersungging senyuman, tanya kepada lakilaki
tinggi besar di sampingnya :
“Soa kokcu, coba kau ceritakan padaku apa yang kau
lihat dan dengar malam ini !”
Laki-laki tinggi besar itu, bangkit dari tempat duduknya
dan menjawab sambil memberi hormat :
“Siao Sancu, hamba membawa tugas masuk ke dalam
kota untuk mencari jejak Touw Liong, telah berhasil
menemukannya di Kupel Cu Kat Ting.”
“Kau sudah bicara dengannya ?” Tanya gadis itu.
“Sudah.”
“Kalau begitu kau sudah mengenali dengan pasti bahwa
orang itu adalah Touw Liong ?”
Laki-laki tinggi besar itu nampak berpikir sejenak
kemudian berkata dengan tegas :
“Benar, Touw Liong.” Kemudian ia memberi tambahan
keterangan : Dandanan dan sikap bahasanya orang itu,
persis seperti yang digambarkan oleh Lie Pangcu.”
“Hemm .....! Hemm .....!”
Gadis itu mendadak mendongakkan kepala dan
memandang ke atas pohon, di mana Touw Liong
sembunyikan diri, hingga membuat Touw Liong terkejut.
Kemudian gadis itu bertanya pula kepada laki-laki tinggi
besar itu. “Dan tindakan terakhir yang Soa Kokcu ambil
……….?”
Laki-laki tinggi besar itu buru-buru menyambungnya :
“Hamba telah minta kepadanya supaya malam ini jam
tiga datang ke kelenteng untuk bertemu muka, dan
memberitahukan padanya serta menyampaikan undangan
Siao Sancu.”
Wajah gadis itu menunjukkan tanda girang, dengan nada
memuji ia berkata : “Apa yang kau lakukan itu, benar !
Silahkan duduk !”
Laki-laki tinggi besar itu duduk lagi di tempatnya, dan
gadis cantik itu dengan wajah berseri-seri bertanya kepada
Lie Hu San : “Apakah Lie Pangcu tahu benar bahwa batu
Khun-ngo-giok terjatuh di tangan Touw Liong ?”
Lie Hu San dengan cepat bangkit dari tempat duduknya
dan menjawab sambil memberi hormat :
“Aku si orang tua yang rendah telah menyaksikan
dengan mata kepala sendiri, Lie Hui Hong memberikan
kotak indah kepada paman gurunya, kotak itu kemudian
dibuka dan sang paman menunjukkan sikap terkejut, lalu
melemparkannya ke tanah. Dari dalam kotak itu
menggelinding keluar batok kepala manusia. Bagi orang
yang mengerti tidak sulit untuk dapat menebaknya bahwa
batu giok pusaka di dalam kotak, kalau tidak ditukar oleh
Touw Liong dengan kepala Lie Hui Pek, bagaimana bisa
berubah menjadi kepalanya Lie Hui Pek ?”
Gadis itu agaknya terbenam dalam alam pikirannya
sendiri, lama sekali ia baru berkata dengan nada suara
setengah percaya setengah tidak :
“Menurut pikiran sehat, orang she Touw itu di dalam
rimba persilatan sudah mempunyai nama, seharusnya ia
pupuk dengan baik, tidak nanti melakukan perbuatan yang
hina seperti itu ……….”
Lie Hui San membongkokkan badan memberi hormat
dan memotong ucapan gadis itu.
“Sudah terang bahwa orang she Touw itu merasa takut
karena perbuatannya. Ia pernah menyaksikan dengan mata
kepala sendiri semua kejadian itu, jikalau bukan
perbuatannya, mengapa waktu itu ia tak segera unjukkan
diri ! Memberi penjelasan kepada Lie Hui Hong ?”
“Apakah Touw Liong sewaktu itu juga ada ?” Tanya
gadis itu dengan sikap serius.
“Aku si orang tua telah menyaksikan sendiri bagaimana
ia mengikuti jejakku lompat masuk ke dalam kelenteng tua
itu.”
“Kalau begitu, Touw Liong hanya nama kosong belaka
!” Berkata gadis itu sambil menghela napas panjang.
“Sebetulnya, ayah sedang merencanakan dalam waktu
setengah tahun ini hendak pentang pengaruhnya di daerah
Tiong-goan, maka telah perintahkan aku memasuki daerah
Tiong-goan lebuh dulu. Untuk mengadakan kontak dengan
orang-orang ternama di daerah ini. Di antara barisan namanama
orang terkemuka, ternyata adalah orang she Touw ini
yang berada di paling depan, maka orang pertama yang aku
hubungi seharusnya adalah dia.”
Dari nada suara gadis itu menunjukkan betapa kecewa
perasaannya terhadap Touw Liong. Dan Touw Liong
sendiri yang mendengarkan di atas pohon, juga menarik
napas. Ia menarik napas bukan karena anggapan gadis itu
yang telah goyah terhadap dirinya, melainkan menyesalkan
dirinya sendiri mengapa tidak unjukkan diri untuk
membersihkan dosanya kepada Lie Hui Hong !
Lima orang di dalam ruangan itu, hampir semuanya
orang-orang berkepandaian sangat tinggi. Dengan
sendirinya helaan napas Touw Liong tadi sudah didengar
oleh mereka.
Gadis cantik itu yang lebih dulu bangkit dari tempat
duduknya, ia memberi isyarat dengan mata kepada dua
wanita cantik di sisinya dan sebentar kemudian dua wanita
itu dengan kecepatan bagaikan kilat sudah lompat melesat
ke atas pohon. Tepat pada saat dua wanita bergerak melesat
ke atas pohon, sesosok benda hitam melesat dari atas pohon
menuju ke tempat gadis cantik itu.
Bersamaan dengan itu sesosok bayangan manusia
melesat keluar ke atas pohon dan lari ke atas genteng rumah
depan.
Dengan sangat cekatan gadis itu menyambar benda
hitam yang menyambar kearahnya, ketika dilihatnya, sesaat
itu menjadi terkejut dan berseru : “Panji Wulung !”
Sesaat suasana dalam ruangan itu menjadi panik, mata
semua orang terbuka lebar ditujukan kepada Panji kecil di
tangan gadis cantik itu.
Sementara itu dua wanita yang bergerak ke atas pohon,
ketika mendengar jeritan gadis itu tadi, terpaksa melesat
turun ke dalam ruangan lagi dan ketika mata mereka tertuju
kepada panji di tangan gadis itu, kedua-duanya
mengeluarkan suara jeritan tertahan.
Sedang gerakkan bayangan manusia yang meluncur dari
atas pohon tadi demikian cepat bergeraknya, hingga
sebentar saja sudah menghilang.
Siapakah orangnya yang menyambitkan panji wulung?
Dan siapakah bayangan manusia itu tadi? Siapapun akan
menduga, bahwa bayangan manusia yang melesat dan
menghilang tadi adalah Touw Liong, sedangkan panji
wulung yang disambitkan ke dalam tangan gadis itu pasti
adalah Panji Wulung yang berada dalam saku Touw Liong,
semua orang pasti mengira Touw Liong dalam keadaan
terdesak telah menyambitkan Panji Wulungnya ke gadis itu,
untuk mencegah lima orang itu bergerak dan supaya ia
sendiri dapat loloskan diri.
Tapi jikalau pembaca juga menduga demikian, itu tidak
benar !
Apa yang terjadi sebetulnya bukanlah demikian. Panji
Wulung yang disambitkan ke arah gadis itu memang benar
Panji Wulung yang berada di dalam saku Touw Liong,
akan tetapi yang menyambitkan bukanlah ia sendiri,
melainkan orang lain yang diam-diam menyambitkannya,
dan bayangan manusia yang bergerak menghilang tadi
memang Touw Liong adanya. Bedanya adalah Touw Liong
saat itu berada dalam keadaan tak sadarkan diri dan dibawa
kabur keluar dari halaman gedung itu oleh orang lain.
Jadi diatas pohon besar itu ada dua orang, kecuali Touw
Liong masih ada orang lain yang kepandaiannya jauh lebih
tinggi dari pada Touw Liong sendiri. Siapakah orang itu
…..?
***
Malam itu cuaca terang benderang, rembulan menyinari
alam jagat. Di depan sebuah kuburan itu diluar kota Lamyang,
Touw Liong duduk menyender di atas batu nisan
dalam keadaan seperti orang tidur tetapi bukan tidur.
Ketika dari dalam kota terdengar dua kali suara bunyi
kentongan, Touw Liong mendusin, ia buru-buru kucek
matanya, dengan perasaan terheran-heran memandang
keadaan sekitarnya, ketika mengetahui bahwa dirinya
sendiri pada saat itu berada di tengah kuburan, bukan
kepalang terkejutnya. Ia segera lompat bangun dan buruburu
berjalan keluar dengan pikiran bingung.
Ia berjalan sambil berpikir, samar-samar ia masih ingat
apa yang disaksikannya di dalam rumah misteri itu.
Ketika ia baru menarik napas perlahan, jalan darah
belakang kepalanya merasa dingin. Kemudian hilang
ingatannya, dalam keadaan setengah sadar setengah tidak
telinganya mendengar suara desiran angin, agaknya dibawa
kabur oleh orang ..........
Tak lama kemudian, suara angin tidak terdengar lagi. Ia
merasa seperti dirinya diletakkan di tanah, dan kemudian
tak tahu lagi apa yang terjadi. Sehingga mendusin, ia masih
belum tahu apa sebetulnya terjadi atas dirinya.
Keadaan itu jelas menggambarkan bahwa dirinya yang
mengintai di perkampungan misteri itu sedang dalam
keadaan bahaya, lalu ditolong oleh orang berkepandaian
tinggi secara diam-diam.
Ia memikirkan kembali semua pengalamannya. Pagi-pagi
sekali ketika baru bangun tidur telah menemukan panji
wulung diatas meja kamar tidurnya, kemudian Lie Hui Pek
muncul dan menyerahkan bungkusan berisi kotak
kepadanya. Selanjutnya bertempur dengan Lie Hu San di
kupel Tja-li Tiang-ting. Setelah itu menyaksikan kejadian
yang mengejutkan di dalam kelenteng tua, lalu Kim Yan
hilang jejaknya dan kedatangan lelaki tinggi besar secara
mendadak yang menyampaikan undangan kepadanya
……….
Pengalamannya yang hanya satu hari itu, ternyata
merupakan pengalaman yang sangat aneh.
Tanpa disadari olehnya, sudah tiba di bawah kaki
benteng kota. Ia lalu mendongakkan kepala mengawasi
rembulan di langit, kemudian lompat melesat ke atas
tembok kota.
Di atas tembok kota ia memandang ke bawah, gentenggenteng
rumah di dalam kota terbentang di depan matanya.
Ia menghela napas panjang dan berkata kepada dirinya
sendiri : “Di dalam kota yang demikian luas, kemana aku
harus mencarinya ?”
“Cari siapa ?” Demikianlah suara teguran terdengar dari
sebelah kanannya sejauh kira-kira lima tombak.
Touw Liong bukanlah seorang berkepandaian biasa,
tetapi bagaimana di dalam malam yang sepi sunyi, tak
mengetahui atau mendengar suaranya. Di dekat dirinya ada
orang .....?
Tidaklah heran kalau saat itu ia menjadi sangat terkejut,
maka buru-buru palingkan kepalanya ke kanan, namun di
atas tembok benteng itu ternyata tak tampak bayangan
seorangpun juga. Touw Liong diam-diam merasa bergidik.
“Ha ..... ha ......” Demikian suara itu terdengar pula di
belakangnya.
Suara itu masih tetap suara yang semula, setelah suara
tertawanya itu lalu disusul oleh suara kata-kata yang
mengandung ejekan : “Aku si orang tua berada disini !
Kemana kau cari ?”
Touw Liong segera lompat ke tempat itu, namun tempat
itu kosong melompong, tak terdapat bayangan seorangpun
juga.
“Kau ini manusia ataukah setan ?” Demikian tanya
Touw Liong dengan nada marah.
“Puiii …..!” Demikian suara itu terdengar dari luar
tembok kota, kemudian disusul oleh kata-katanya.
“Kau sendiri yang melihat setan, aku si orang tua dengan
enak duduk di sini. Mengapa kau tanya manusia atau setan
?”
Walaupun orang itu berkata demikian, tapi Touw Liong
hanya dengar suaranya, tak kelihatan orangnya. Hanya bau
arak yang menyerang hidungnya dengan dibarengi oleh bau
daging.
Kini Touw Liong telah mendapat kepastian bahwa suara
itu adalah suara manusia. Ia lalu tongolkan kepalanya
keluar tembok. Apa yang dilihatnya, hampir saja
semangatnya terbang. Pantas ia tak dapat menemukan
orang yang dicari, ternyata di luar tembok di tempat yang
kosong terpancang seutas tambang dan diujung bawah dari
tambang itu tampak bergelantungan seorang paderi tua
yang kulitnya sudah banyak keriputan dan berpakaian yang
sudah banyak tambalan. Tangan kiri paderi itu memegangi
buli-buli arak, sedang tangan kanan memegangi sepotong
paha daging anjing. Paderi itu makan daging sambil minum
arak, nampaknya asyik sekali.
Sambil mendongakkan kepala, paderi tua itu berkata
kepada Touw Liong :
“Bocah, mari kemari .....! Kau juga minum arakku ini !”
Dan benar saja paderi tua itu mengacungkan buli-bulinya
kepada Touw Liong.
“Losuhu .....! ini bukan urusan main-main, tambang itu
..........!” Berkata Touw Liong sambil menggelengkan
kepala dan ketawa getir. Belum habis ucapannya, tambang
itu mendadak putus, hingga paderi tua yang bergantungan
itu jatuh ke bawah.
“Tolong …..! tolong …..! Jiwaku akan melayang …..!”
Demikian paderi itu berteriak-teriak.
Reaksi Touw Liong sangat cepat, dengan satu gerakkan
ia lompat turun, kemudian tangannya menyambar tambang
yang mengikat pinggang paderi tua itu.
Celaka ! Usaha Touw Liong itu tak berhasil, hingga
paderi tua itu jatuh ke tanah dalam keadaan duduk.
Tapi sungguh aneh, meskipun ia terjatuh dari atas
tembok, namun kedua tangannya yang masing-masing
memegangi buli-buli arak dan paha anjing, masih tetap
dalam keadaan serupa, tak ada satu yang terlepas dari
tangannya. Bahkan begitu jatuh duduk, ia masih
melanjutkan makan minumnya, seolah-olah tak terjadi apaapa.
Touw Liong yang sudah ketakutan setengah mati, begitu
kakinya menginjak tanah buru-buru bertanya :
“Apakah Losuhu tak apa-apa ?”
Sebelum ditanya paderi tua itu tidak menunjukkan sikap
apa-apa, tapi setelah ditanya, mendadak menjerit kesakitan.
Touw Liong terkejut, ia buru-buru bimbing padanya,
mengharap supaya dapat memberi pertolongan, tapi
meskipun ia sudah mengerahkan seluruh tenaganya, paderi
tua itu sedikitpun tak tergeser dari tempat duduknya.
Hati Touw Liong segera tergerak, ia buru-buru mundur
tiga langkah dan berkata sambil memberi hormat :
“Boanpwee mempunyai mata tapi tak kenal orang, entah
siapakah Locianpwee ini ?”
“Kau jangan terburu-buru menanyakan padaku, aku
hendak menanya dulu padamu. Benarkah kau ini muridnya
Kiu-hwa Lojin ?” Berkata paderi tua itu sambil makan dan
minum.
Touw Liong bersangsi sejenak, akhirnya menjawab.
“Benar.”
“Kau bocah ini masih tak tahu siapa adanya aku si
paderi tua ini, itu masih tidak apa. Yang benar kau lebih
baik tanya padaku, pernah melihat orang yang kau cari ada
atau tidak ?” Berkata paderi itu dengan menyipitkan
matanya.
Touw Liong terkejut dan paderi tua itu meneruskan katakatanya
:
“Kau bocah, sekarang ini bukan saja sedang mencari
orang, bahkan hendak mencari sebuah barang.”
Touw Liong kembali terkejut. Paderi tua itu bertanya
pula :
“Hari ini hari baik, dan kau telah mengadakan perjanjian
mati-hidup dengan orang …..! Betul tidak ?”
Tiga pertanyaan itu semua merupakan persoalan yang
menjadi pertanyaan dalam hati Touw Liong, maka tidaklah
heran kalau Touw Liong saat itu merasa sangat girang,
buru-buru ia maju dan berlutut dihadapannya seraya
berkata :
“Boanpwee seorang bodoh, harap Locianpwee berikan
petunjuknya!”
Anda sedang membaca artikel tentang Panji Wulung 1 dan anda bisa menemukan artikel Panji Wulung 1 ini dengan url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/09/panji-wulung-1.html,anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel Panji Wulung 1 ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,namun jangan lupa untuk meletakkan link Panji Wulung 1 sumbernya.

Unknown ~ Cerita Silat Abg Dewasa

Cersil Or Post Panji Wulung 1 with url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/09/panji-wulung-1.html. Thanks For All.
Cerita Silat Terbaik...

{ 1 komentar... read them below or add one }

Baca Selengkapnya mengatakan...

seru juga ya ceritanya :)

Posting Komentar