Bu Lim Su Cun 1

Diposting oleh eysa cerita silat chin yung khu lung on Jumat, 09 September 2011

Bu Lim Su Cun
Karya : Chin Yung

Jilid 01
Malam telah larut, musim rontok menjelang habis, puncak
Tay-soat san nan abadi ditaburi salju yang membeku, Diatas
ngarai bersalju di puncak pegunungan yang jarang diinjak kaki
manusia, terlihat sinar pelita kalap-kelip ditengah kabut tebal
yang mengembang datar diatas permukaan bumi.
Sebuah gubuk reyot dibangun diatas ngarai itu terbungkus
oleh kembang salju, sinar pelita kelap-kelip itu tersorot keluar
dari gubuk reyot melalui celah-celah jendela.
Kesunyian mencekam alam sekelilingnya dibawah cahaya
pelita yang remang-remang menyinari keadaan prabot dan
suasana yang yang sederhana dalam gubuk reyot itu,
menghadapi pelita kecil diatas meja duduklah dua orang
berhadapan keduanya membisu sekian lamanya.
Seorang yang duduk diatas adalah seorang nyonya cantik
yang menyanggul rambat diatas kepalanya, pada wajahnya
yang cantik itu terunjuk rasa masgul dan penuh gelisah,
matanya mendelong memandangi pelita entah apa yang
tengah direnungkan, seorang lain yang duduk di hadapanaya
adalah pemuda yang berusia empat-lima belas tahun berwajah
putih cakap. Dengan mendelong ia awasi wajah si nyonya
yang dirundung kesedihan itu, diapun membisu, tak berani
bersuara.

Suasana yang sunyi ini sangat menekan perasaan. Angin
malam yang dingin diatas puncak pegunungan terdengar
menderu-deru di luar gubuk, sinar pelita bergoyang-goyang
hampir padam, tiada terdengar lagi suara lain.
"Ibu..." Akhirnya pemuda yang mengenakan jubah putih
panjang itu membuka suara: "Beberapa hari ini kau kelihatan
tidak tenang, adakah sesuatu yang mengganjal dalam hatimu
ataukah badanmu kurang sehat?"
Setelah diberondong pertanyaan panjang lebar baru si
nyonya kelihatan terbangun dari lamunan, sahutnya lemah
lembut: "Giok-liong, apa yang kau katakan?"
"Ibu, apakah berapa hari ini badanmu kurang sehat ?"
"Hus, anak bodoh, jangan sembarangan omong. Bukankah
ibumu baik-baik saja."
"Tidak bu, Giok-liong tahu pasti kau terkenang lagi akan
ayah."
Si nyonya tertawa dibuat-buat, lalu menghela napas
dengan masgul tanpa membuka suara lagi.
"Bu, jikalau hatimu kurang enak, besok kita keluar
tinggalkan tempat ini untuk menghibur diri, dari pada kita
selalu berdiam ditempat sunyi yang jarang diinjak manusia."
Sekali lagi si nyonya mengunjuk tawa dipaksa, sahutnya
selengan berbisik: "Ya, memang kita harus meninggalkan..."
sampai disini sengaja ia memutar kepala untuk menitikkan dua
butir air mata diatas lengan bajunya.
"Hm, bu sungguh menyenangkan kita sudah puluhan tahun
tidak pernah keluar..."
Memang sejak kecil ia sudah di sekam diatas ngarai
bersalju ini, kini setelah mendengar ibunya melulusi untuk
meninggalkan tempat yang sunyi dan menyebalkan ini tanpa
terasa ia berjingkrak kegirangan, tapi secepat itu ia lantas

berdiri termangu melihat sikap ibunya yang kurang wajar itu.
kata-katanya selanjutnya lantas ditelan kembali,
pandangannya penuh tanda tanya, katanya bertobat : "Bu,
Giok-liong memang tidak berbakti sampai melukai hatimu, Bu,
jangan kau bersedih hati, untuk selanjutnya Giok-ilong tidak
berani lagi."
Perlahan-lahan si nyonya angkat kepala, diulurkan
tangannya yang putih lembut mengusap-ngusap pundak Giok
liong, dengan sorot mata yang penuh cinta kasih dan sayang
ia awasi wajah anaknya, lalu ia tertawa getir dan berkata
halus: "Nak, seumpama kau seorang diri harus meninggalkan
tempat ini, dapatkah kau menjaga dirimu baik-baik?"
Giok-liong tersendat oleh pertanyaan yang mendadak ini,
sejenak ia tertegun lalu menggeleng kepala, sahutnya: "Bu,
jika kau tidak pergi, Giok-liong juga tidak mau pergi."
Si nyonya menghela napas panjang yang rendah,
pandangannya penuh kasih sayang.
Keadaan dalam gubuk tenggelam lagi dalam kesunyian
yang menekan perasaan, Akhirnya Giok-liong pula yang
memecahkan kesunyian ini: "Bu, sebetulnya dimanakah ayah
berada ? Kenapa dia tidak pernah kembali ?" Tiada jawaban.
"Bu, beritahulah kepadaku, bukankah Giok-liong sudah
besar sampai nama ayahnya sendiri juga tidak mengetahui,
kemana pula dia pergi aku juga tidak tahu . . . "
"Ai, memang sengaja tidak kuberitahu."
"Bu, kenapa kau selalu menyimpan rahasia ini ? Kau larang
aku meninggalkan ngarai ini meskipun hanya satu tindak pun,
sampai turun gunung untuk membeli segala keperluan juga
tidak boleh ikut, Aku sudah belajar silat selama sepuluh tahun,
bekal untuk menjaga diri kukira sudah lebih dari cukup. . ."

Saat itu tampak wajah si nyonya jelita itu mengunjuk mimik
aneh yang sudah diraba, bukan saja masgul gelisah juga rada
lega dan riang. Tapi kedua matanya yang indah itu berlinang
air mata.
Giok-liong tercengang, sambungnya: "Bu besok juga kita
turun gunung untuk mencari ayah . . ."
Mendadak wajah si nyonya berubah membeku dan
mengunjuk sikap tegas, terdengar ia berkata dengan suara
dingin dan tenang:
"Nak, ibu boleh memberi tahu, tapi kau harus dapat
memenuhi permintaan ibu."
"Baik bu, apapun yang kau katakan, pasti akan kulakukan."
"Nak, ayahmu terbokong dan dikepung serta dikeroyok oleh
musuh-musuhnya sampai menderita luka berat, untung dia
masih sempat melarikan diri sampai dirumah, setelah lukanya
sedikit baikan, kita lantas memboyong kau pindah ke tempat
ini, untuk menghindarkan pengejaran musuh-musuhnya
supaya tidak mengancam keselamatan kita ibu beranak, maka
dia segera tinggal pergi lagi seorang diri. . . pergi . . pergi ke
Lembah putus nyawa. . ." berkata sampai disitu terasa hatinya
pilu air matanya tak tertahan lagi mengalir dengan deras!
Kontan Giok-liong merasa pandangannya berkunangkunang,
seperti kepalanya dipukul godam, badan juga
sempoyongan sekuat tenaga ia menghimpun semangat
menguatkan hati, tanyanya: "Bu, maksudmu ayah pergi ke
Lembah putus nyawa yang tidak bakal dapat kembali lagi ?"
"Ya," sahut ibunya sambil merogoh keluar sapu tangan
sutra untuk mjmbasut air matanya, lalu sambungnya lagi:
"IImu silat ayahmu bukannya tidak tinggi, dik alangan
Kangouw dia mempunyai kedudukan tinggi dan sangat
disegani tapi tak urung masih dapat dilukai orang sedemikian
rupa, Tujuannya menuju ke Lembah putus nyawa adalah

untuk mencari pelajaran silat yang maha tinggi, tapi . . . dia . .
takkan kembali lagi . . . " Tak tertahan air mata menderai lagi
membasahi pipinya.
Giok-liong seorang bocah yang sejak kecil telah kehilangan
kasih sayang dari ayahnya sekarang wajahnya mengunjuk
sikap tegas dan penuh ketekadan, tanyanya kalem: "Bu,
siapakah musuh besar ayah itu?"
"Ai, sebelum pergi ayahmu pernah berkata: "jikalau setelah
lima tahun dia tidak kembali, dia minta aku menjaga dan
mengasuh kau baik-baik seumpama dapat mempelajari ilmu
maha sakti, maka kau diharuskan menuju kemata air di rawa
naga berbisa yang terletak di Bu ki-san untuk mengambil
sejilid buku peninggalannya, buku itu berisi keterangannya
yang jelas ! Tapi dia juga berkata, jikalau kau tidak dapat
mempelajari ilmu tinggi maka dia minta aku tidak usah
memberi tahu namanya kepadamu untuk menghindari
bencana yang mungkin bisa mencabut nyawamu."
"Bu..."
"Maka sekarang belum saatnya aku memberi tahu nama
ayahmu. Kecuali kau sudah dapat turun kedalam rawa naga
beracun itu dan mengambil buku peninggalannya itu, Tapi
ketahuilah bahwa air rawa naga beracun itu dingin sekali bisa
menusuk tulang, bulu burung juga akan tenggelam ke dasar
air yang sangat dalam itu, Betapapun sebelum ilmu silatmu
dapat mencapai tingkat tertinggi, kau takkan mampu turun
kesana."
"Bu, dapatkah kau sendiri turun kesana ?"
Giok Liong tahu bahwa ilmu silat ibunya sangat tinggi,
pelajaran silat dan Lwe-kang yang dipelajari itu juga ibunya
sendiri yang langsung menurunkan kepada dirinya.
Menurut tutur ibunya, dengan bekal pelajaran yang telah
dipelajari selama sepuluh tahun ini, tokoh kelas satu di

Kangouw juga belum tentu dapat mengalahkan dirinya, Tapi
kenyataan bahwa dirinya tidak mampu melawan ibunya dalam
sepuluh jurus saja. Maka dalam kesannya, pasti ilmu silat
ibunya itu sangat tinggi dan sudah diukur Iagi.
"Ai, jika ibumu ada kemampuan itu, siang-siang aku sudah
kesana, seumpama sepuluh lipat lagi lebih lihay dari
kepandaian ibumu sekarang, juga belum tentu dapat
menyelam kedasar rawa naga beracun itu."
Keterangan ibunya ini seumpama air dingin yang
diguyurkan keatas kepalanya, hatinya yang telah membara
dan penuh ketekatan tadi mulai tenggelam dan padam, tapi
Giok liong adalah pemuda yang berwatak keras, sebentar dia
merenung, lalu angkat kepala dan bertanya lantang: "Bu, ilmu
silat dari Lembah putus nyawa itu apa tiada bandingannya
diseluruh jagat ini ?"
"lni . . . ibumu juga tidak kurang terang, Dalam jangka
ratusan tahun ini, benggolan pertama dari aliran hitam yaitu
Sim-hiat-ling Toan-bok ki, pendekar aneh dari laut utara Withian-
khek Ma Hua dan ayahmu serta tiga empat puluh orang
lainnya yang pernah masuk kesana tiada seorangpun yang
kelihatan dapat keluar . . ."
Sampai disini mendadak tergetar, lalu sambungnya lagi:
"siapapun tiada yang tahu apakah didalam Lembah putus
nyawa itu benar-benar ada harta karun, bahan obat-obatan
yang mustajab serta pelajaran silat maha tinggi, Mungkin itu
merupakan tipu muslihat atau perangkap, kelak sekali-kali kau
jangan pergi kesana, Kalau tidak, keluarga Ma kita hanya
tinggal kau seorang, janganlah sampai putus turunan."
"Oh, bu, jadi ayah dan aku sama-sama anak tunggal ?"
"Ai, ayahmu memang seorang anak tunggal sedang kau
masih mempunyai seorang adik kandung, dia bernama Ma
Giok-hou, tapi adikmu itu hilang sebelum berusia satu bulan."

"Bu, bolehkah Giok-liong mengetahui namamu ?"
"Memang kau belum tahu nama ibumu tapi ibu juga belum
mau memberitahukan. Nanti setelah kau mampu menyelam ke
dasar rawa naga beracun itu, segala-galanya kau akan paham
!"
Setelah berkata pelan-pelan ia bangkit terus berjalan keluar
pintu, disini ia berdiri dan termangu-mangu memandang
keluar.
Betapa tidak hati Giok-ling takkan mendelu dan murung,
sebagai seorang putra ternyata sampai nama bundanya tidak
diketahui sungguh sangat memalukan. Hatinya terasa pilu
laksana digigit ular berbisa, Tak terasa air mata meleleh
berderai menetes ke tanah.
"Nak, apakah kau mau dengar nasehat ibu ?" terdengar si
nyonya berkata lembut sambil memutar tubuh.
"Aku patuh akan pesan ibu!"
"Baik, bawalah batu kumala ini pergi ke Ih-hun-sam cheng
di daerah Lok tiong menemui Toan-bok Ih-hun, Mintalah
kepadanya untuk mencarikan guru kenamaan untuk belajar
silat maha tinggi, Kalau sepanjang jalan ini kau menemui
rintangan tunjukanlah batu kumala ini, pasti kau dapat leluasa
dan mendapat bantuan diperjalanan."
"Bu, lebih baik besok pagi kita pergi bersama !"
"Tidak, kau pergi seorang diri, sekarang juga harus
berangkat."
"Tidak, kalau ibu tidak berangkat, aku juga tidak pergi, Aku
segan berpisah dengan ibu."
Air muka si nyonya mendadak merengut gusar, desisnya.
"Kau harus segera pergi!"
Saking kaget Giok-liong sampai tertegun.

Sejak ia mempunyai ingatan dan dapat berpikir mereka ibu
beranak hidup tentram dan saling kasih sayang, belum pernah
ibunya selama ini mengeluarkan makian dan berlaku galak
terhadap dirinja, entahlah mengapa malam ini...
"Perbekalan sudah kusiapkan, sebagai seorang putra yang
baik, kau harus ingat dan menurut kata-kata ibu!"
"Ibu. kau ...."
"Masih ada suatu urusan yang harus ku urus, setelah
urusan itu selesai aku juga segera menyusul ke In-hun-samcheng,
atau mungkin juga sementara waktu aku tidak
datang."
Habis berkata ia menghampiri pembaringan mengambil
sebuah buntalan kecil. Dalam sekejap mata itulah dia telah
meneteskan air mata yang mengembeng dikelopak matanya,
Lalu dirogohnya keluar sebuah batu kumala yang bewarna
merah maron, sekali berkelebat kembali kehadapan Giok-liong.
Diikatnya buntalan itu dipunggung Giok liong serta
mengkalungkan batu kumala itu dilehernya, Tak lupa dipakai
juga sebuah jubah panjang warna putih sambil katanya
lembut: "Nak, ibu tak berada disisimu, kau harus jaga dirimu
sendiri" suaranya tersendat dan tak kuat diucapkan lagi.
Betapapun sebetulnya Giok-liong sangat tidak rela disuruh
pergi, Tapi dia adalah seorang anak yang sangat berbakti
terhadap orang tua, selamanya belum pernah dia
membangkang terhadap ucapan ibunya, maka sambil
mengembang air mata, katanya memohon: "Bu, Giok-liong
menunggu kau saja untuk pergi bersama. .."
"Jangan, sekarang juga kau harus berangkat."
Sambil berkata sedikit menggunakan tenaga sekali jinjing
tubuh Giok-liong diseretnya keambang pintu, sedang tangan
yang lain segera membuka pintu, Angin badai disertai bunga

salju segera menghembus keras masuk kedalam rumah.
Keadaan alam diluar adalah sedemikian dingin dan gelap,
Tanpa terasa air mata Giok liong mengalir semakin deras.
Sedetik sebelum berangkat ini mendadak terasa suatu
pirasat jelek dalam hati kecilnya, berpaling ia memandangi
wajah ibunya yang telah membesarkan dirinya selama puluhan
tahun ini, mohonnya sekali lagi: "Bu, harap kau suka . . ."
"Tutup mulutmu! Segera pergi, tak peduli kau melihat dan
mendengar apa, jangan sekali-kali kau berpaling! Kalau kau
tidak dengar pesan ibu, kau anak yang tidak berbakti!"
Terasa suatu tenaga besar mendorongnya, kontan tubuh
Giok liong lantas terbang meninggi sejauh lima tombak,
terdengar suara ibunya tengah beritata: "Nak, jagalah dirimu
baik-baik, ingat . . ,. . pesan . ,., , ibu selamat tinggal" suara
yang terakhir terdengar sayup sayup sampai akhirnya
tersendat hilang saking pedih perasaannya.
Begitu kaki Giok-liong menyentuh tanah, segera ia
berpaling kebelakang, kebetulan "brak" pintu gubuk itu telah
tertutup rapat. Angin malam diatas pegunungan sungguh
sangat dingin, Giok-liong sampai menggigil dihembus badai
yang dingin menusuk tulang ini.
Lekat-lekat ia memandangi gubuk reyot tempat dirinya
menetap selama puluhan tahun yang telah membesarkan
dirinya lalu sigap sekali ia memutar tubuh terus lari
sekencang-kencangnya sambil berteriak lantang: "Bu, Giokliong
pergi!"
Dimana tubuhnya melesat bagaikan meteor cepatnya
tubuhnya meluncur turun kebawah gunung. Ditengah ributnya
hembusan angin malam, sayup-sayup terdengar olehnya isak
tangis ibunya dari dalam gubuk, Hatinya menjadi tidak tega
dan pilu rasanya, serentak ia menghentikan langkah kakinya,
ingin dia kembali, tapi lantas terpikirkan ucapan ibunya tadi:

"Kalau kau tidak dengar kata ibu, maka kau tidak berbakti."
maka sambil mengerahkan seluruh tenaganya segera ia lari
sekencang-kencangnya, dengan lari secepatnya yang banyak
menghabiskan tenaga ini ia hendak melampiaskan perasaan
hatinya yang tertekan.
Belum ada satu jam ia sudah berlari sejauh puluhan li,
diam-diam ia menghentikan langkah dan berpaling kebelakang
memandang keatas ngarai sana. Diatas ngarai ber-salju itu,
samar-samar terlihat sinar pelita kuning yang kelap kelip itu,
Hatinya menjadi pilu dan mengalirkan air mata, tanpa meiasa
mulutnya mengeluh lirih : "Bu, oh ibu . . . "
Mendadak dari kejauhin sebelah timur luar sana terdengar
sebuah suitan panjang yang menusuk tinggi semakin nyaring
dan mendekat, agaknya tengah meluncur menuju kearah
gubuk tempat tinggalnya diatas ngarai itu.
Terkejut hatinya. Terdengar pula sebuah suitan panjang
lain yang lebih keras dan lebih dekat, dari suara suitan yang
keras dan nyaring ini, dapatlah diperkirakan bahwa Lwekang
dan kepandaian silatnya orang ini pasti sangat tinggi
tujuannya terang adalah ngarai yang baru saja ditinggalkan
itu.
Dilain kejap lantas terdengar pula suitan susul menyusul
saling bersahutan dari empat penjuru, semua melesat menuju
kearah ngarai . . . .
Pada saat itulah lantas terlihat sinar pelita kelap kelip diatas
ngarai itu padam.
Bukan kepalang kejut Giok-liong, batinnya: "Apa, mungkin
para musuh ayah dan ibu telah meluruk datang ?"
Dengan seksama ia lantas berpikir: "sejak beberapa hari
yang lalu setelah pulang dari bawah gunung membeli
perbekalan, ibunya selalu murung dan lesu, malah saban
saban mengalirkan tir mata secara sembunyi-sembunyi.

Hari ini tingkah laku ibunya juga luar biasa terbalik dari
kebiasaan, berbeda jauh dari pribadinya semula seakan telah
berganti rupa dan bentuk orang lain, Malam ini memaksa
dirinya untuk pergi, malah dipesan meskipun mendengar dan
melihat apapun juga dilarang berpaling dan kembali.
Berpikir sampai disini, mendadak ia berseru kecut:
"Celaka!" begitu putar tubuh ia terus lari balik dari arah
datang semula.
Tak lama kemudian ia telah tiba dibawah lereng bukit,
dengan ketajaman matanya ia memandang keatas, Angin
badai yang dingin masih tetap ribut, keadaan sekelilingnya
menjadi pekat, sayup-sayup terdengar dua kali gerangan
orang yang kesakitan.
Begitu menjejakkan kakinya bagaikan anak panah yang
terlepas dari bujurnya tubuhnya melenting tinggi meluncur
keatas ngarai.
Dekat dan semakin dekat... Diatas ngarai sana benar juga
terdengar suara pertempuran yang dahsyat, dikegelapan
malam samar-samar terlihat berkelebatnya bayangan orang,
kiranya ada beberapa orang tengah berkutet dan bergebrak
dengan sengitnya secara mati-matian.
Giok Liong semakin gelisah dan gugup, mengerahkan
seluruh tenaganya ia meloncat tiba diatas mengarai, tepat
pada saat itu terdengar pekik kesakitan suara seorang
perempuan disusul sebuah bayangan putih kecil langsing
terbang tinggi dan arah pertempuran terus meluncur kearah
batu es diluar sebelah sana.
Walaupun ia tidak melihat tegas siapa orang itu, tapi suara
yang sangat dikenalnya itu, serta rasa prihatin yang terjalin
antara ibu dan anak adalah sedemikian kuat kontan. Giokliong
lantas dapat meraba bahwa itulah ibunya.

Rasa gusar yang membara dalam rongga dadanya
membuat ia menjadi nekad dan berteriak beringas : "Bu
jangan takut, aku datang !" tubuhnya meluncur secepat kilat
menerjang kearah depan.
Sekonyong-konyong suara tawa dingin yang menjengek
hina terdengar dari sampingnya, disusul angin pukulan yang
panas membara lantas melandai menggulung dirinya.
Perasaan Giok-Iiong sudah begitu murka matanya mendelik
dan wajahnya merah padam, kontan ia juga ulurkan kedua
tangannya terus mendorong kedepan menyambut pukulan
musuh sekuat tenaganya.
"Tahan . . . !" sebuah teriak perempuan yang mengerikan
terdengar dari arah samping sana, Tapi sudah terlambat,
"Blang" begitu terdengar dentuman yang keras ini kontan
Giok-liong merasakan jantungnya seperti dipukul godam,
darah terasa mengalir terbalik, tubuhnya lantas melayang
tinggi ketengah udara, begitu pentang mulut ia
menyemburkan darah segar dengan derasnya.
"Keparat, bangsat kurcaci biarlah aku adu jiwa dengan
kalian, Kembalikan jiwa anakku .."
Terdengar angin semakin ribut, matanya terasa berkunangkunang,
Giok-Iiong merasa sangat tersiksa seperti badannya
dipanggang diatas tungku yang panas membara. "Bluk" terasa
punggungnya sangat kesakitan sampai menusuk jantung,
tubuhnya terus terkapar lemas tak ingat diri lagi.
Lama dan lama sekali, entah sudah berapa lama ia jatuh
pingsan akhirnya perlahan-lahan ia membuka mata dan
siuman, sekarang terasa tubuhnya sangat dingin hampir
membeku.
Matanya terbuka semakin lebar, ia memandang keatas dan
kesekelilingnya. Ternyata tubuhnya semampai dan tercantol di
atas dahan sebuah pohon Siong yang menonjol keluar

ditengah-tengah ngarai, waktu ia memandang kebawah,
hanya terlihat awan yang mengembang tidak terlihat dasar
jurang yang dalam ini.
Dua titik air mata meleleh membasahi pipinya. Oh Tuhan,
dimanakah ibu dan bagaimana keadaannya?
Susah payah ia menggerakkan lengannya, terasa tulangtulang
seluruh tubuh seperti sudah hancur lebur, sakitnya
bukan main, Tapi dia paksakan juga merogoh keluar puntung
obat dari kantong bajunya terus menelan beberapa butir pil.
setelah itu ia pejamkan matanya mulai menghimpun semangat
dan mengalir serta melancarkan hawa murni dalam tubuhnya,
setelah mengalami banyak penderitaan, jerih payahnya
ternyata berhasil menghimpun kembali hawa murni yang telah
buyar tadi, dibantu khasiat obat yang ditelannya tadi mulailah
darahnya lancar mengalir memasuki seluruh uratnadi.
Entah berapa lama berselang, ia merasakan sebagian besar
luka-lukanya sudah dapat disembuhkan maka dia berjalan
merangkak keatas menyelusuri akar-akar pohon terus
merambat keatas ngarai.
Pagi hari itu cuaca terang benderang, namun keadaan
diatas ngarai itu sungguh sangat menyedihkan, gubuk reyot
tempat tinggalnya itu kini tinggal tumpukan puing saja,
dimana-mana terlihat noda-noda darah yang berceceran
diatas tanah, keadaan ini sungguh sangat menyedihkan.
Tiba-tiba terlihat secuil sobekan lengan panjang yang
penuh berlepotan darah, inilah bekas sobekan baju ibunya.
Terasa kepalanya berat dan pusing tubuh juga lantas
sempoyongan tak tertahan lagi mulutnya menyemburkan
darah segar sebanyak-banyaknya. "Blang..." badannya roboh
terkapar dan tak ingat diri lagi.

Waktu hari menjelang magrib baru Giok Liong siuman
kembali dari pingsannya. Alam sekelilingnya diliputi kabut
tebal angin badai juga tengah mengamuk dengan dahsyatnya.
Susah payah ia merangkak bangun berdiri, kedua biji
matanya mengalirkan air darah, bibit dendam kesumat sudah
bersemi dengan cepatnya dalam sanubarinya, sesaat ia
termangu memandang puing-puing bekas gubuknya, terus
perlahan lahan berengsot turun dari atas ngarai itu tanpa
bersuara lagi.
Angin badai terus menghembus dengan kerasnya, badan
sampai terasa dingin hampir membeku, Dengan badan yang
terasa kecapaian serta hati yang remuk redam, dia tinggalkan
ngarai tempat tinggalnya selama sepuluhan tahun dimana ia
dibesarkan !
Akhirnya dicarinya sebuah tempat tersembunyi dimana ia
mengobati luka-lukanya serta mengerahkan tenaga dan hawa
murni memulihkan kesehatannya.
Berselang lama kemudian pikirannya mulai menerawangi
ucapan ibunya tentang letak dan arah dimana Lembah putus
nyawa berada, dia tahu bahwa lembah putus nyawa itu juga
berada didalam lingkungan pegunungan Tay-soat-san ini
diam-diam ia berdoa:
"Bu, ampunilah anakmu yang tidak berbakti ini, aku tidak
akan menuju ke Ih-hun-san-ceng! Tapi aku harus menuju ke
Lembah putus nyawa, satu pihak mencari ayah, lain pihak
untuk belajar ilmu kepandaian untukku dan menuntut balas
untuk ayah! Oh, ibu, lindungilah anakmu yang malang ini!"
Selesai berdoa ia berdiri mulai beranjak menuju kedalam
rimba sebelah dalam yang lebat dan angker, Dalam waktu
satu harian yang pendek ini dia berubah segala galanya,
Pendiam dan dingin mewakili semua sifat-sifatnya. Jubah

panjang pemberian ibunya itu, kini sudah sobek compang
camping tidak karuan iagi, namun ia masih memakainya.
Hari itu dia tiba dibawah sebuah puncak yang mencakar
langit, setelah istirahat sekian lamanya, dengan banyak makan
tenaga ia mulai manjat keatas, waktu ia sampai di-atas
puncak dengan kelelahan hari sudah menjelang malam, baru
sekarang ia berkesempatan duduk istirahat mendadak
pandangannya terasa menjadi terang, terpaut dari tempat
duduknya didepan sana terlihat ada sebuah puncak lainnya
yang menembus awan, puncak gunung itu gundul plontos
tanpa tumbuh tumput atau pepohonan lainnya.
Ditengah keremangan kabut terlihat didinding puncak
gunung didepan sana samar-samar terlihat sebuah celah
celah. Bukankah keadaan ini seperti Lembah putus nyawa
yang dituturkan ibunya itu, Kontan darah bergelora dalam
benaknya.
Melupakan badan yang capai lemas ini segera ia melompat
berlari-lari menuju ke-puncak, didepan sana waktu dekat dan
di-tegasi benar juga dipinggir puncak sebelah kiri berdiri tegak
sebuah papan batu yang tinggi, diatas papan batu ini
tertuliskan tiga hurup warna merah darah sebesar tampan
sangat menyolok: ketiga huruf itu berbunyi "Toan-bing-loh" -
jalan pendek nyawa.
Dibelakang atas papan batu ini menjulur jauh kebelakang
kearah celah - celah sebelum depan sana sebuah batu
jembatan sebesar lengan orang. Dan diatas celah-calah
dinding itu pula terlihat tiga huruf besar lagi yang berbunyi
"Lembah putus nyawa."
Tanpa merasa Giok-liong berjingkrak kegirangan ia masih
ingat ibunya pernah berkata: "Memanjat ngarai sukma
gentayangan melewati jalan pendek yang tibalah di-Lembah
putus nyawa, jurang dibawah jalan pendek nyawa yang tidak
kelihatan dasarnya itu diliputi kabut tebal yang bergulungTIRAIKASIH
WEBSITE http://kangzusi.com/
gulung, itulah dinamakan selokan setan masgul. Ya, terang
bahwa sekarang dirinya sudah berdiri dingarai sukma
gentayangan.
Betapa girang hatinya ini, pelan-pelan ia memutar tubuh
memandang kearah timur, terpesona memandangi sang dewi
malam yang baru saja muncul deri tempat peraduannya,
pelan-pelan mulutnya menggumam: "Rembulan oh bulan,
besar harapanku malam ini kau dapat selamat dan abadi
melampaui angkasa yang terang cerah, janganlah sampai
terganggu dan ditutupi oleh awan. Begitulah mendongak
keatas langit ia berdoa dan bersujud kepada Tuhan.
Darah panas sudah menjalar diseluruh tu-buhnya,
wajahnya terun juk tekad dan kemauan yang teguh, Sigap
sekali mendadak ia membalik tubuh - jalan pendek nyawa
huruf huruf yang menyolok dan menggetarkan sukma itu
terpajang didepan matanya. Jauh memandang kearah Lembah
putus nyawa didepan sana, hatinya timbul suatu keraguan.
Dengan kemauan kepandaiannya sekarang, paling banter
sekuatnya ia dapat melompat sejauh puluhan tombak saja, ini
berarti paling sedikik ia harus berloncatan dua kali diatas
jembatan batu kecil yang penuh ditumbuhi lumut dan licin
sekali itu. Konon bahwa jalan pendek nyawa ini sebegitu licin
sampai tiada tempat cukup menggunakan tenaga. Entah
sudah berapa banyak tokoh-tokoh silat yang sudah terjerumus
masuk kebawah selokan setan yang masgul dalam itu,
Mengandalkan kepandaian sekarang, mungkin dirinya juga
takkan terhindar dari nasib yang lain, terjungkal kebawah
jurang.
Lama sekali ia harus berpikir dan mempertimbangkan,
akhirnya terpikirkan olehnya sebuah cara. Cepat-cepat ia
menanggalkan jubah panjang yang compang-camping itu
terus dipuntir-puntir menjadi tali besar terus melesat kearah
jalan pendek nyawa, kedua tangannya kencang-kencang

memegangi kedua ujung tali besar itu terus disampirkan
keatas batu jembatan jadi tubuhnya bergelantungan waktu ia
memandang kebawah, awan putih bergulung gulung angin
menghembus keras membuat pandangan dimukanya samarsamar.
Hatinya menjadi mengeluh dan berdoa: "Oh Tuhan,
bantulah hambamu ini!"- Saat itu hatinya sudah
bergelantungan ditengah jurang dlbawah jalan pendek nyawa.
Begitu menyedot hawa dalam-dalam kakinya terus menjejak
kearah dinding batu di belakangnya dengan sekuat tenaga,
kontan tubuhnya terus meluncur maju membesut sejauh dua
pukulan tombak baru daya luncurnya agak lambat dan
sebelum berhenti mendadak tubuhnya mengayun kebelakang
terus kedepan lagi sehingga meluncur beberapa tombak pula,
sebelum berhenti karena jarak sudah agak dekat, tiba-tiba
kedua tangannya menarik tubuh ke-atas sekuatnya terus lepas
tangan sehingga tubuhnya melambung naik jumpalitan
ditengah udara lantas dengan tangannya hinggap diatas tanah
diseberang sana.
Waktu ia berpaling dan memandang kebawah, jubah
putihnya yang digulung menjadi tali itu kini sudah melayang
jatuh kebawah selokan setan masgul, semakin kecil dan
akhirnya menghilang dari pandangan mata ditelan kabut tebal.
Seketika timbul perasaan haru dan semangat yang
berkobar dalam benaknya, sebuah kulum senyum tersungging
di ujung bibirnya, pelan-pelan ia memutar tubuh, di
hadapannya terbentang sebuah gua yang hitam gelap, dia
kerahkan seluruh ketajaman pandangannya keadaan didalam
memang sangat gelap tak terlihat apapun jua.
Malah terasa hembusan angin dingin yang dapat
membekukan terus bergulung-gulung dari dalam gua itu,
sampai tubuhnya terasa hampir membeku dan menggigil.

Tapi dia tidak hiraukan keadaan yang menyiksa tubuh ini.
Yang terang gua di depan matanya ini adalah jalan masuk
kedalam Lembah putus nyawa yang serba misterius selama
ratusan tahun ini.
Entah berapa banyak tokoh-tokoh silat yang memasuki gua
ini tak keluar kembali, diantara mereka adalah ayahnya
sendiri. Teringat akan ayahnya seketika timbul rasa bangga
yang jiwa kesatrianya,teriaknya lantang. "Yah, lihatlah anak
mu ini, bukan seorang pengecut yang takut mati! Yah, anak
Liong juga datang!"- sambil berteriak ia kerahkan seluruh
hawa murninya untuk melindungi seluruh badan dengan
langkah lebar terus memasuki gua mulut Lembah putus
nyawa.
Mulut gua lembah putus nyawa adalah sedemikian dingin
dan gelap sekali.
Meskipun Giok-liong sudah digembleng sejak kecil dan
mempunyai dasar Lwekang yang kuat ketajaman matanya
melebihi orang biasa, tapi begitu memasuki gua ini yang
terpandang disekitarnya adalah gelap pekat melulu sampai
kelima jari sendiri juga tidak kelihatan.
Hembusan angin dingin yang menusuk tulang dan ulu hati
membuat seluruh bulu romanya merinding semua, seluruh
badannya menggigil kedinginan dan hampir membeku.
Tapi Giok-liong pusatkan seluruh perhatian dan
semangatnya tanpa mau mundur di tenjah jalan dengan
langkah pelan ia terus maju semakin dalam, hanya satu
ingatan yang berkecamuk dalam pikirannya: "Terus maju!
Untuk mencari jejak ayahnya: Demi sakit hati ibunya demi
keadilan dan kebenaran kaum persilatan, aku harus berhasil,"
sambil menggertak gigi dia terus maju dengan derap langkah
yang tegap !

Sebetulnya gua ini merupakan celah-celah dari himpitan
dua gunung yang berendeng, tinggi gua ini ada beberapa
tombak sedang lehernya hanya tiga empat kaki, semakin
dalam semakin sempit setelah beberapa li kemudian jalanan
hanya tiba cukup untuk berjalan satu orang saja, semakin
dalam daya hembusan angin dingin itu semakin lemah, tapi
hawa disini bertambah dingin.
Sepanjang jalan goa ini adalah lurus tanpa suatu rintangan
apapun juga, maka Giok-liong dapat beranjak maju terus
didalam kegelapan tanpa ragu-ragu dan takut-takut.
Entah sudah berapa lama dan berapa jauh ia berjalan
dalam kegelapan itu, lambat laun terasa keadaan gua yang
gelap pekat ini menjadi agak sedikit terang, dan tak berapa
jauh kemudian, di kedua sisi dinding kedua samping gua itu
tersoren keluar puluhan sinar terang yang menyolok mata
sehingga keadaan dalam gua menjadi terang benderang
seperti disiang hari bolong.
Sekian lama Giok-liong harus memejamkan matanya,
karena pandangannya masih terasa silau, waktu di tegasi
terlihat diatas dinding batu diatas sana ada delapan huruf
besar-besar yang disusun dengan butir-butir mutiara beraneka
warna yang terporotkan diatas dinding batu, tulisan itu
berbunyi: "Dilarang menggunakan ilmu silat."
Sejak kecil Giok-liong dididik ibunya menjadi bocah yang
mengenal sopan santun bakti serta setia dan patuh berhati
bijaksana terhadap sesamanya, setelah melihat kedepan
huruf-huruf yang tertulis dengan porotan butir-butir mutiara
sebesar jeruk itu bukan saja hatinya tidak merasa tersinggung
dan timbul suatu angan-angan yang tidak genah, malah
segera ia buyarkan hawa murni yang terhimpun tadi, diamdiam
hatinya membatin: "Ternyata Lembah putus nyawa ini
masih ada penghuninya, entah siapakah dia, pasti dia seorang
tokoh yang hebat dan lihay sekali."

Karena timbul rasa hormatnya ini segera ia angkat tangan
serta membongkok hormat kearah delapan huruf-buruf besar
itu serta berkata: "Wanpwe sudah tahu!" pelan-pelan ia mulai
beranjak maju lebih jauh, tidak lama kemudian dia sampai
pada satu pengkolan, begitu ia membelok pandangannya
menjadi lebih terang lagi, keadaan dalam gua ini lebih datar
dan rata dinding kedua samping serta atapnya sampai lantai
goa ini semua berbuat dari batu pualam yang sangat indah,
diatas dinding ada lukisan indah yang terporotkan dari butirbutir
mutiara besar kecil, sekilas lihat gambar-gambar ini
adalah sedemikian indah mempesonakan.
Giok-liong menjalani keadaan seluruh gua terlihat dimanamana
sinar segala permata saling berlomba menunjukkan
keindahan masing-masing sampai sedemikian jauh dan
panjang sampai tidak terlihat lagi ujung pangkalnya.
Tanpa merasa hatinya menjadi gelisah "Kalau tidak
mengembangkan Ginkang, entah berapa lama aku harus
menempuh habis jalan panjang ini. Tapi bila teringat
peringatan huruf-huruf besar diatas dinding itu, segera ia
batalkan niatnya hendak menggunakan ilmu ringan tubuhnya.
dengan langkah lebar segera ia maju kedepan.
Saban-saban terlihat ada kotak-kotak yang melekuk
kedalam dinding dimana tertaruh dan terpenuhi dengan
berbagai intan serta permata yang tak ternilai harganya,
semua benda-benda itu memancarkan cahaya terang yang
dapat memincut dan menimbulkan loba dan tamak dihati
orang.
Tapi Giok-liong sendiri sudah tahu bahwa Lembah putus
nyawa ini adalah tempat yang berpenghuni apalagi memang
dia tiada hasrat hendak mengangkangi harta benda yang tidak
halal ini, maka sedikitpun tiada minatnya untuk mengambil
barang sebutirpun.

Kira-kira dua li telah dilampaui lagi, sedikit kurang hati hati
kakinya terpeleset dan hampir saja ia roboh terjengkang,
Waktu ia menunduk ternyata dibawah kakinya penuh
bertaburan intan kecil yang menyilaukan mata, selepas
pandang didepan dan kedua dinding sepanjang jalan ini masih
penuh berserakan berbagai permata serta butiran-butiran
mutiara besar kecil yang tidak terhitung banyaknya membuat
matanya terasa pedas dan berkunang-kunang.
Tanpa ragu-ragu dan sayang lagi kakinya melangkah maju
terus butiran-butiran mutiara dan intan serta lainnya
bertaburan sedemikian tebal ditanah sampai gerak jalan Giokliong
menjadi terganggu karena tidak boleh mengembangkan
ilmu ringan tubuh belum lama dalam perjalanan ini ia sudah
megap-megap dan banyak mengepulkan peluh.
Tapi ia tidak peduli segala-galanya, setindak demi setindak
ia terus maju kedepan secara hati hati supaya tidak sampai
terjerumus jatuh. Berselang tidak lama, tiba-tiba didepannya
mencorong cahaya warna merah yang keras dan terang
benderang. Waktu ia angkat kepala, terlihat didinding sebelah
kanan sana terporotkan mutiara besar-besar merah marong
yang dijajar sedemikian rupa menjadi beberapa huruf tulisan
yang berbunyi: "Gudang harta disini." dibawah huruf-huruf
warna merah itu adalah sebuah pintu bundar kecil yang
terbuat dari batu pualam warna merah pula, agaknya asal
sedikit dorong saja lantas dapat terbuka dan masuk kesana,
dari celah-celah pintu yang tidak tertutup cepat itu terpencar
keluar cahaya beraneka warna dan hawa yang hangat, ini
menandakan bahwa didalam ruang sana pasti tersimpan harta
benda serta barang-barang pusaka yang tak ternilai harganya.
Gioi-liong menghela napas, batinnya:
"Siapakah penghuni lembah ini, tak ayal sedemikian banyak
simpanan harta bendanya, mungkin merupakan koleksi

barang-barang pusaka dan benda benda terbesar diseluruh
dunia ini! "
Dalam hati membatin, namun kakinya terus bergerak maju,
kira-kira puluhan tombak kemudian ia tiba lagi disebuah
pengkoIan, begitu ia tiba dibagian lain tanpa merasa Giokliong
berdiri tertegun ditempatnya.
Terbentang dihadapannya yang melintang adalah sebuah
selokan pendek selebar lima tombak dan sedalam puluhan
tombak, ini masih belum yang membuatnya mengkirik adalah
bahwa didasar selokan ini ternyata hidup penuh ular berbagai
jenis, semua tengah mendongak keatas menjulurkan lidahnya
yang berwarna merah darah, sambil mendesis-desis
mengerikan dan menakutkan sekali, sedang dinding kedua
selokan adalah sedemikian tajam dengan batu-batu runcing
yang dapat mengkoyak badan manusia.
Giok-liong menjadi bimbang dan menghentikan kakinya
pikirnya: "selokan selebar lima tombak ini sebetulnya
gampang saja dapat kulompati, tapi penghuni lembah ini
sudah melarang untuk menggunakan kepandaian . . . ."
karena pikirannya ini maka sambil mengangkat alis segera ia
mulai merambat turun melalui batu-batu runcing yang tajam
mengiris kulit itu, Darah segar mengalir membasahi seluruh
badan, seluruh tangan kaki dan perutnya sudah penuh Iukaluka
teriris koyak darah bercampur keringat terus mengalir
membasahi seluruh tubuh, Dengan sudah payah akhirnya ia
tiba juga didasar selokan, Entah berapa banyak ular yang tak
terhitung banyaknya menjulurkan lidah dan pentang mulutnya
bersiap mematuk dirinya, desis ular-ular itu membawa bau
amis yang memualkan hampir saja ia muntah-muntah sampai
kepala terasa pusing tujuh keliling.
Tapi tanpa gentar sedikitpun ia terus maju tindak demi
tindak, dimana ia lewat ular-ular itu lari menyingkir sendiri,
Sudah tentu hatinya menjadi heran dan tak habis mengecil

menurut apa yang diketahui semua ular-ular itu adalah ular
paling berbisa di seluruh dunia ini sekali gigit saja pasti jiwa
akan melayang, Tapi sekarang begitu bertemu dengan dirinya
mengapa semua malah mundur menyingkir?
Tapi tiada banyak kesempatan bagi Giok liong untuk
banyak berpikir setelah melewati selokan pendek ini mulailah
ia manjat lagi keatas dengan kedua tangan dan kaki yang
sudah penuh luka-luka dan berdarah, Tiba-tiba dari
belakangnya terdengar angin mendesis meluncur kearah
dirinya, seketika tangan serta kaki dan punggungnya kesakitan
luar biasa, entah berapa banyak ular berbisa itu telah
menggigit tubuhnya. Kontan pandanganya menjadi gelap,
tahulah dia bahwa dirinya telah tergigi oleh ular-ular berbisa
itu.
Namun dia tak berani melepaskan pegangan tangannya
dengan sekuatnya terus berusaha merambat naik sampai
diatas tanah datar, Begitu sampai dan dapat berdiri segera ia
meraba kebelakang kakinya terus menarik bergantian satu
persatu ular yang menggigiti paha dan punggungnya
ditariknya sampai daging tubuhnya ikut terbetot dedel duwel.
Pahanya menjadi linu gatal dan kesakitan luar biasa sampai
merangsang seluruh tubuh ditambah luka luka dikedua
tangannya, pandangannya menjadi gelap dan kepala juga
menjadi berat, kerongkongan terasa kering dan dahaga sekali
tak kuat lagi kedua kakinya menunjang badan yang terasa
semakin berat.
Waktu ia angkat kepala terlihat diatas dinding batu ada
beberapa huruf besar yang terukir dari batu putih berbunyi:
"jangan berhenti ditempat ini!" terpaksa sekuat tenaga dengan
susah payah dia harus merangkak maju kedepan setelah jatuh
bangun beberapa kali, mendadak ia merasa rasa linu dan gatal
diatas kedua pahanya itu sudah mulai merambat naik, keatas
tubuhnya saat itu sudah merambat naik sampai pangkal

pahanya, kalau sampai pinggangnya maka susahlah jiwanya
dapat diselamatkan lagi.
Tanpa terasa ia menghela napas serta membatin :
"sebetulnya lembah ini tiada sesuatu yang harus dibuat takut,
apakah tokoh silat yang lihay serta aneh aneh itu semuanya
juga mati dalam keadaan seperti aku ini ?"
Demikian dia bertanya dalam hati, sampai begitu jauh ia
masih belum berani mengerahkan hawa murninya untuk
menutup jalan darah, ia maju terus kedepan.
Tak lama kemudian hawa racun sudah menjalar sampai
dibawah pinggangnya, sampai saat itu kakinya sudah susah
digerakkan lagi untuk berjalan, seluruh tubuh basah kuyup
oleh keringat, syarafnya juga mulai membeku dan
semangatnya juga mulai kabur. Baru sekarang timbul sedikit
penyesalan dalam benaknya : "Ah, Tuhan, aku harus
mengerahkan rawa murni untuk menolak racun mati cara
begini . . . " kesadarannya semakin hilang, sedikit
sempoyongan tubuhnya lantas jatuh terkapar d atas tanah tak
ingat diri.
Seluruh tubuh dari pinggangnya kebawah sekarang sudah
berubah menjadi hitam, air beracun yang berwarna hitam
merembes keluar melalui seluruh luka-lukanya, hawa racun
juga dengan cepatnya menjalar keatas, pernapasannya mulai
berat dan lemah hampir berhenti seorang lagi bakal menjadi
korban didalam lembah putus nyawa ini.
Pada saat itulah mendadak dari gua sebelah sana
terhembus keluar segulung kabut tebal yang berwarna hijau
demikian indah warna kabut itu malah berbau harum lagi.
Lambat laun kabut hijau yang lebat itu mulai memenuhi
seluruh ruangan gua dan terus menjalari seluruh tubuhnya,
sungguh heran bin ajaib, sekarang pernapasannya malah
mulai pulih lagi. Bau harum yang merangsang hidungnya itu
menyadarkan Giok-liong dari pingsannya, Waktu ia membuka

mata, terlihat diatas tanah didepan matanya terukir diatas
batu putih beberapa huruf besar yang berbunyi: "jangan
berhenti disini."
Tanpa banyak berpikir lagi segera ia merangkak bangun
sekuatnya terus merambat jatuh bangun kedepan, Luka luka
dipahanya yang sebetulnya sudah mampet dan darah yang
sudah membeku karena gerakannya itu menjadi pecah dan
mengeluarkan darah lagi, darah hitam yang mengandung
racun berceceran sepanjang jalan, semakin berjalan kedalam,
kabut warna hijau itu semakin tebal menghalangi pandangan
didepan matanya, tapi semangat dan kesadarannya malah
semakin pulih dan badan menjadi segar bugar.
Hawa beracun diseluruh tubuhnya juga mulai punah dan
hilang, kini darah yang mengalir keluar dari luka-lukanya
adalah darah segar yang berwarna merah. Tak larna kemudian
seluruh hawa beracun dalam tubuhnya indah terusir keluar
semua.
Tatkala itu juga sudah melewati gulungan kabut hijau yang
tebal itu, sekarang ia tiba disebuah persimpangan jalan, Diatas
dinding sebelah atas terpancang sebuah papan batu yang
bertuliskan: "Gudang obat obatan !"
Sekarang walaupun hawa beracun didalam tubuhnya sudah
punah semua, namun seluruh tubuh masih terasa sakit dan
pegal sekali, kalau orang lain pasti segera masuk kedalam
gudang obat obatan itu, karena bukan mustahil dalam gudang
obat-obatan itu tersimpan segala macam obat mujarab yang
sukar didapat didunia ini."
Sebentar-ia ragu-ragu lantas hatinya memaki diri sendiri:
"Giok-liong, wahai Giok-liong, semua benda dan barang
barang itu adalah milik orang lain, mana boleh seenaknya saja
kau ambil dan kau gunakan untuk kepentinganmu pribadi ?"

Karena pikirannya ini, maka dengan sekuatnya sambil
menahan sakit ia beringsut maju lagi, keadaan jalan dalam
lorong itu kembali menanjak keatas dan lurus sepanjang
lobang ini adalah terdiri dari batu-batu pualam putih, setiap
jarak sepuluh langkah diatas dinding terporotkan dua butir
mutiara sebagai penerangan. Dia maju dan maju terus dengan
susah payah dan banyak makan tenaga Meskipun pikirannya
sudah sadar, tapi karena luka lukanya serta seluruh tulang
belulangnya terasa linu dan pegal tubuhnya menjadi lemah
sampai tenaga untuk mengangkat kaki berjalan juga tiada
lagi.
Keringat terus membanjir keluar, terasa seluruh tubuh
panas dan gerah sekali, Mendadak entah kakinya menginjak
apa sehingga terpeleset dan tubuhnya kontan tersungkur
jatuh disertai suara gemerayak yang ramai, saking keras
jatuhnya itu sampai matanya serasa berkunang-kunang,
setelah napasnya tenang kembali waktu ia pentang mata
hampir saja ia berteriak saking kaget.
Ternyata tepat didepan matanya tergeletak sebuah kepala
tengkorak manusia, demikian juga di-sekeliling tubuhnya
berserakan tulang tulang putih manusia yang hancur
berantakan, sebetulnya itulah sebuah kerangka manusia yang
masih lengkap bergaya duduk, tapi begitu tertendang dan
berinjak menjadi putus dan berantakan.
Sungguh kejut Giok-liong bukan buatan, tersipu-sipu ia
merangkak bangun, tanpa sengaja tangannya meraba badan
sendiri terasakan sesuatu yang ganjil pada tubuhnya, waktu ia
menunduk lagi-lagi ia hampir berseru kaget, Ternyata seluruh
tubuh sendiri berlepotan darah dan kotor amis ini masih belum
apa-apa, yang paling mengejutkan entah sejak kapan ternyata
seluruh tubuhnya telanjang bulat. Sungguh tanpa disadari
entah kapan baju ditubuhnya itu sudah hancur luluh tanpa
ketinggalan bekas-bekasnya.

Sekian lama ia menunduk dan berpikir, akhirnya ia sadar:
"Ya, tentu kabut hijau itu mengandung racun yang berbisa
sekali, sedemikian lihaynya racun itu sampai baju yang
dipakainya hancur luluh tanpa meninggalkan bekas. Tapi
kenapa aku sendiri tidak kurang suatu apa?" - diperiksanya
kerangka tuIang-tulang yang berserakan ditanah itu, betul
juga tidak dilihatnya kada bekas-bekas barang benda lain.
Siapakah orang ini? Tentunya dia mati keracunan setelah
melewati kabut beracun itu, berpikir sampai diiini, timbul pula
keheranan dalam benaknya: "Tubuhku pasti juga sudah
keracunan, hanya belum saatnya kumat, Hm, entah apa
maksud dari penghuni lembah itu. Sebelum aku ajal ini betapa
juga aku harus menemumya dan minta penjelasan."
Karena tekadnya ini, seketika timbul lagi sedikit tenaganya
terus melangkah maju ke-depan lagi tanpa menghiraukan
tulang-tulang kerangka yang berserakan itu.
Betul juga tepat seperti dugaannya, sepanjang jalan
kedepan ini dimana-mana terlihat sesosok tumpukan tulang
kerangka manusia setiap kerangka itu tanpa meninggalkan
bekas-bekas benda apapun, Tak lama kemudian terlihat
dikedua dinding kanan kiri ada tulisan yang berbunyi: "Gudang
kecerdikan", dan yang lain adalah: "Gudang ilmu silat." Diatas
kedua huruf-huruf besar ini masing-masing ada sebuah lorong
untuk masuk.
Giok-liong sudah tidak hiraukau mati hidupnya lagi, besar
tekadnya hendak menemui penghuni lembah ini, maka dengan
dada terangkat dan langkah tegak ia maju terus. Puluhan
tombak kemudian sebuah dinding batu besar mencegat
ditengah jalan, diatas dinding ini ada tulisan pula yang
berbunyi: "Menghadap dinding ini harus berlutut tiga kali dan
menyembab sembilan kali."
Hati Giok-liong menjadi dongkol dan uring-uringan tapi
sebelum tahu sebab musababnya serta seluk beluknya

betapapun harus menghormati peraturan yang telah di
tegakkan oleh tuan rumah, maka segera ia berlutut tiga kali
dan menyembah sembilan kali. setelah penghormatan besar
ini tiba-tiba pandangannya menjadi terang dan terbelalak,
kiranya dinding baju didepannya itu kini sudah terbuka
sendirinya terus amblas kedalam tanah.
Belakang dinding batu ternyata adalah sebuah ruangan
batu yang kosong melompong, dibelakang ruangan sebelah
samping sana terdapat sebuah pintu bundar berbentuk bulan
sabit, pintunya sudah terpentang lebar, setelah melangkah
masuk kedalam ruangan batu ini serta merta Giok-liong lantas
berpaling memandang kebelakang, dinding batu itu ternyata
telah menutup lagi secara otomatis tanpa mengeluarkan
suara.
Dalam hati Gion-liong menjengek, batinnya:"Penghuni
lembah ini benar-benar seorang tokoh yang lihay, sayang cara
pengaturan jebakan ini terlalu kejam sedikit."
Dalam pada itu dia sudah melangkah sampai diambang
pintu bulan sabit itu, baru saja kakinya melangkah masuk
"Brak"" sebuah suara keras terdengar, cepat-cepat ia menarik
kakinya waktu dipandang, ternyata diambang bulan sabit itu
tuiang-tulang kerangka berserakan, semua sudah hancur tiada
satupun yang utuh. Terang bahwa orang itu sebelum ajal
sudah dihancurkan tubuhnya, sehingga setelah mati
keadaannya menjadi demikian mengenaskan.
Hati Giok-liong menjadi mengkirik, dengan hati-hati kakinya
melangkah maju dari antara sela-sela tulang tulang yang
berserakan itu terus maju puluhan langkah kemudian, disini ia
dihadang sebuah dinding batu lagi, diatas dinding batu ini juga
bertuliskan "Berlutut tiga kali menyembah sembilan kali!"
Giok liong harus menekan rasa gusarnya, terpaksa ia maju
berlutut dan menyembah, dinding batu ini juga bergerak
secara otomatis amblas kedalam tanah, Demikian Giok-liong

harus melewati sembilan dinding batu semacam ini. Dari lapis
kelapis dinding ini tulang-tulang kerangka yang dilihatnya
semakin sedikit dan pada lapis kedelapan sudah tiada sekerat
tulangpun yang dilihatnya, ini menandakan bahwa belum
pernah ada seorang juapun yang bisa sampai mengembalikan
kakinya dilapis kedelapan - kesembilan.
Giok-liong sendiri sudah pasrah nasib dan percaya pasti
mati, sebab ia sendiri sudah terkena racun jahat, maka
sepanjang jalan tiada henti-hentinya ia patuh dan berlutut
tujuannya hanyalah ingin menemui penghuni lembah ini untuk
minta penjelasan.
Begitu dinding batu lapis sembilan terbuka, kontan hidung
Giok-liong dirangsang semacam bebauan yang wangi
semerbak dihadapannya terbentang pula sebuah ruang batu,
Tapi ditengah ruang batu itu terlihat duduk bersila seorang
berpakaian pelajar yang cakap berusia bertengahan.
Pelajar pertengahan umur ini berwajah bersih angker dan
agung, dudut tenang sambil memejamkan kedua matanya,
Tangan kanannya diangkat lurus kedepan dengan sikut sedikit
ditekuk kedalam, diantara kedua jari-jari tengah menjepit
selembar kain sutra warna putih.
Begitu melihat orang ini timbul rasa hormat dalam benak
Giok-liong, batinnya: "pelajar pertengahan umur ini mungkin
adalah penghuni lembah putus nyawa ini, sungguh tak
terduga usianya masih begitu muda..." dalam membatin ini
segera ia sudah berlutut dan menyembah serta serunya:
"Wanpwe Ma Giok-liong, memikul dendam kesumat dan
masuk kemari untuk mencari ayah, untuk kelancangan mana
harap cianpwe suka memaafkan serta harap diberi sedikit
petunjuk." setelah berkata ia bangkit berdiri.
Lama sekali tiada kelihatan suatu reaksi Mendadak badan
pelajar pertengahan umur itu pelan-pelan mundur kebelakang,
kain sutra yang terjepit di jari tangannya itu melayang jatuh

didepan kaki Giok-liong. Tersipu-sipu Giok liong membungkuk
badan menjemput kain sutra itu, dengan seksama ia baca
tulisan yang tertera diatas kain sutra putih itu: "Aku
mengasingkan diri dalam lembah ini sudah selama dua abad,
kau adalah satu-satunya manusia persilatan yang dapat
menghadap kemari selama dua abad ini, sikapmu luhur tahu
tata kehormatan pula, memang harus dipuji, setelah membaca
surat ini, segeralah kau berlutut dan menyembah maju sampai
kehadapanku."
Sutra putih dengan tulisan bak hitam seperti baju saja
ditulis, ini tak mungkin benda peninggalan pada dua abad
yang lalu, apalagi makna dalam tulisan itu sedemikian takabur
dan angkuh sekali.
Giok-liong membatin : "Watak orang yang kelihatan luhur
dan bersih, seperti tiada maksud hendak mencelakai aku. Tapi
menurut katanya aku adalah orang pertama yang mampu
sampai ditempat ini, bukan mustahil ayah . . ."
Tak berani ia banyak berpikir pula, setelah berlutut waktu
ia angkat kepala lagi pelajar pertengahan itu sudah mundur
sampai puluhan tombak jauhnya baru berhenti. Tanpa raguragu
lagi segera Giok-liong berlutut dan menyembah berulang
kali sambil merangkak maju sampai dihadapan tempat duduk
pelajar pertengahan umur itu.
Luka-luka pada pahanya itu sebetulnya sangat parah, kini
harus menjalani sedikit siksaan badaniah lagi, kekuatan
tubuhnya menjadi semakin kendor dan sampai akhirnya sudah
tidak kuat bertahan lagi.
Tiba-tiba secarik kain sutera melayang jatuh lagi
didepannya, dimana tertulis: "Duduklah bersila dihadapanku,
himpunlah semangat dan semadilah, selama satu jam!" tulisan
ini bernada memerintah tak bisa tidak harus dituruti.

Giok-liong menjadi dongkol, tapi ia turuti saja apa yang
diperintahkan mulailah ia duduk bersila menghimpun
semangat mengatur pernapasan sampai akhirnya ia tidak ingat
spa-apa lagi.
Tiba-tiba jalan darah Bing-bun-hiat terasa linu, lantas
sejalur hawa hangat merembes masuk dari kepalanya terus
menerjang masuk kemana-mana, seketika itu dia lantas
kehilangan kesadaran, Lama dan lama kemudiaa baru dia
siuman kembali.
Baru saja ia membuka mata lantas terasa badannya segar
bugar, semangatnya berkobar menyala-nyala, rasa capai dan
lelahnya hilang lenyap seluruhnya, Waktu ia angkat kepala
entah kapan pelajar pertengahan umur itu telah mundur lagi
setombak jauhnya.
Didepan bawah kakinya terbentang secarik kain sutra lagi
yang bertuliskan: "Kau sekarang telah membakal Lwekang
selama ratusan tahun, kau ada jodoh masuk perguruan
menjadi muridku. Aku bernama Pang Giok bergelar To-ji."
Begitu membaca habis tulisan itu kaget Giok liong bukan
kepalang, Kiranya pelajar tengahan umur dihadapannya, ini
adalah To-ji Pang Giok salah satu dari Ih-lwesu-can yang telah
menggetarkan dunia persilatan, pada dua abad yang lalu.
Setelah hilang rasa kagetnya, tersipu-sipu Giok liong
merangkak maju serta berlutut dihadapan To-jin Pang Giok,
dengan rasa haru dan kegirangan, ia menyembah serta
berkata sambil mengalirkan air mata: "Guru diatas terimalah
sembah sujud murid ini."
Sebuah suara yang kalem halus seakan-akan diucapkan
dipinggir telinganya tapi juga seperti terdengar dari kejauhan
berkata: "Anak baik, sepanjang jalan masuk gua ini sungguh
menyusahkan kau saja, lekaslah bangun!"

Tersipu-sipu Giok-liong angkat kepala dilihatnya wajah Tojin
Pang Giok mengulum senyum manis, pelan-pelan kedua
matanya terbuka lalu menatap tajam kearah muka Giok-liong.
Giok-liong jadi membatin, "Ai, orang ini sudah hidup sekian
lamanya. tapi masih kelihatan sedemikian muda, betapa tinggi
ilmu silatnya pastilah sudah mencapai kesempurnaannya."
walaupun tengah berpikir tapi kakinya tak berani gerak
bangun.
Segera To-ji Pang Giok mengulurkan sebelah tangannya
yang putih laksana batu giok mengusap-usap kepala Giok-
Iiong, ujarnya: "Anak baik, bangunlah, jangan kau terpaku
disitu saja, apa tidak lelah dan sakit kakimu!"
Giok-liong menyembah lagi serta berkata "Terima kasih
Suhu, Tecu Ma Giok-liong menyampaikan sembah sujud."
habis memberi hormat baru dia bangkit berdiri, sesaat To-ji
Pang Giok mengawasinya dengan seksama, lalu berkata:
"Giok-liong cara bagaimana kau bisa sampai memasuki
Lembah putus nyawa ini?"
Giok-liong menyahut: "Murid tengah mencari jejak ayah,
juga ingin belajar ilmu silat untuk menuntut balas"
"Siapakah nama ayahmu?"
"Aku..,.....aku tidak tahu."
To-ji Pang Gi,ok tercengang, dengan sorot mata yang aneh
ia pandang Giok-liong lalu katanya: "Semua orang yang
pernah masuk kedalam lembah ini, semua aku mengetahui
namanya, tapi tiada seorangpun yang she Ma."
Tergetar perasaan Giok-liong, tanyanya mendesak:
"Apakah betul?"
To-ji tersenyum, ujamya: "Masakah gurumu ini menipu
kau!"

"Lalu... bukankah Sip-hiat-ling Toan-Bok-ki juga masuk
kedalam lembah ini?"
Giok-liong berseru kaget kepala terasa puyeng matapun
berkunang-kunang. Batinnya: "Apakah selama dua abad ini
tiada seorangpun yang masuk ke dalam Lembah putus nyawa
ini? Lalu kemanakah mereka telah pergi?"
"Giok-liong." tanya To ji dengan sungguh-sungguh, "Kau
ada dendam sakit hati apa, mengapa tanpa hiraukan
keselamatan jiwa sendiri menempuh bahaya hendak mohon
belajar kepandaian dalam lembah putus nyawa ini?"
Jilid 02
Jawab Giok liong sambil menunduk: "Tecu hidup
berdampingan bersama ibu sejak kecil, orang tua tewas
dengan mengenaskan dalam tangan para musuh yang kejam .
. ." tak terasa air mata mengalir deras membasahi pipi.
"Anak baik," ujar To-ji sambil mengusap-usap kepala Giokliong,
janganlah bersedih mari ikut aku." habis berkata ia
berputar tubuh terus berjalan kearah dinding kiri sebelah sana
dengan langkah tegap dan tenang.
Glok-liong mengintil dibelakangnya sambil mengusap air
matanya waktu dekat dengan dinding batu, tampak To-ji
mengulur tangap jarinya menekan sebuah tombol disebelah
kiri, segera terbukalah sebuah pintu. Belakang pintu ini adalah
sebuah ruangan batu juga yang berhawa sejuk dan lebar, di
atas dinding sebelah kanan berlukiskan tiga gambar orang,
sedemikian indah dan menakjubkan gambar itu bagai hidup
saja. Ketiga gambar menunjukkan gaya yang berlainan.
Kata Pang Giok kepada Giok-liong: "inilah tiga jurus
pelajaran dasar dari perguruan kita, bagi yang baru belajar
harus menyelaminya dengan seksama dan tekun, selanjutnya

masih banyak dan rumit pelajaran lain yang harus kau pelajari
!" selanjutnya dengan sabar sejelas-jelasnya ia terangkan
ketiga jurus pelajaran dasar itu.
Setelah diberi penjelasan baru Giok-liong maklum, kiranya
ketiga jurus dasar pelajaran dasar kepandaian yang harus
dipelajari ini ternyata adalah ilmu yang bernama Sam- ji- cuihunchiu
yang telah menghilang selama ratusan tahun
dikalangan Kangouw.
Jangan dikata hanya tiga jurus saja, namun dalam jurus
ada jurus tersembunyi tipu-tipu lihay lagi, ini benar-benar
pelajaran yang rumit dan dalam sekali dasarnya.
Giok-liong memang seorang bocah cerdik sudah
mempunyai bekal Lwekang murni yang lumayan pula,
ditambah penyaluran tenaga dalam ratusan tahun dari Pang
Giok tadi, kondisinya sekarang sudah dapat menyamai tokoh
tokoh silat kelas tinggi di Bulim, sekarang setelah mendengar
penjelasan To-ji yang mendetail, meski belum dapat
memahami seluruhnya sedikitnya separoh dari inti pelajaran
sudah dapat dicukup dalam benaknya.
Jurus pertama bernama : "Cin-chiu," jurus kedua adalah
"Hoat-bwe" dan yang ketiga adalah "Tiam-ceng." Ketiga jurus
ini masing-masing mempunyai keistimewaannya sendirisendiri.
Menurut pesan dan petunjuk To-ji Giok-liong terus
menyelami dengan tekun dan mempelajarinya dengan giat tak
mengenal lelah. Akhirnya gerak tubuh serta langkah kakinya
juga sudah semakin teratur dan akhirnya sudah apal diluar
kepala, tapi badannya juga sudah basah kuyup oleh keringat.
Entah kapan tahu-tahu To-ji sudah tak berada lagi dalam
ruang batu itu, tinggal Giok-liong sendirian yang masih giat
berlatih dengan kepala penuh keringat. Beberapa lama
kemudian tiba-tiba kepalanya terasa berat dan pusing sekali,
hawa murni dalam tubuhnya juga lantas mengalir balik terus
menerjang dengan kerasnya, saking kejut dan takut, segera ia

menghentikan latihannya, batinnya: "Celaka," sungguh tak
nyana bahwa sam-ji cui-hun-chiu ini ternyata terlalu banyak
mengulas tenaga murni orang . . . . " tengah berpikir itu,
badannya sudah tak kuat bertahan Iagi, segera ia duduk
bersila dilantai pejamkan mata menghimpun semangat
mengerahkan hawa murni untuk memulihkan tenaganya.
Mendadak terdengar kata-kata To ji terkiang dipiaggir
telinganya: "Nak, bertahamlah."
Lalu terasa segulung tenaga hawa yang hangat seperti bara
mencurah memasuki badannya melalui ubun-ubun kepalanya.
Dan bersamaan dengan itu segulung arus hawa murni yang
dingin seperti gulungan es menerjang masuk juga melalui
jalan darah Bing-bun-hiat.
Keadaan Giok-liong sudah sangat lemah, seluruh hawa
murninya sudah terkuras habis, begitu dituangi dua jalur hawa
murni yang bertentangan ini, terus menerobos dan menerjang
kesegala urat nadi dan sendi-sendinya secepat air bah, keruan
sakitnya luar biasa seperti disiksa, mata sampai berkunangkunang.
Tapi dasar wataknya keras dan teguh pendirian, sambil
mengertak gigi ia terus bertahan tanpa mengeluh sedikitpun.
Setelah hawa panas dingin bergabung dan dapat lancar
berputar sebanyak tujuh putaran dalam seluruh tubuhnya,
mendadak seperti satnberan geledek kedua jalur hawa yang
berbeda itu berpencar lagi terus mengembang kekiri-kanan
langsung menerobos kejalan darah Ji-ti jalan darah terpenting
bagi mati hidup manusia.
"Bus." terdengar getaran yang agak ringan, seketika Giokliong
rasakan seluruh badan seperti ditusuki beribu jarum,
sakitnya sampai menyusup ketulang-tulangnya, seolah-olah
seluruh badannya telah dirobek-robek sampai dedel dowel.

Tak kuat lagi segera mulutnya terpentang terus memuntahkan
segumpal darah segar.
Pada saat itu juga kedua gulungan hawa panas dingin itu
kontan lantas bergabung menjadi satu terus berubah menjadi
hawa yang hangat halus berputar dan merembes keseluruh
badan dengan pelan-pelan dimana hawa hangat ini lewat, rasa
sakit segera hilang dan badan semakin bertambah segar.
Lambat laun seluruh kesegarannya telah pulih kembali dan
memasuki kealam sejadinya yang tak irfat segalanya lagi.
To-ji Pang Giok sendiri tampak duduk bersila disamping
Giok-Iiong, jidatnya basah oleh keringat, wajahnya juga
sedikit pucat tangannya merogoh kedalam sakunya
mengeluarkan sebuah pulungan kecil dituangnya dua butir pil
warna hijau, sebutir dimasukkan kedalam mulut sendiri
sedang sebutir yang lain dijejalkan ke mulut Giok-liong, Lalu ia
sendiri juga menghimpun semangat mulai latihan dalam
semadinya.
Entah berapa lama berselang Giok-liong baru siunaan,
begitu kedua matanya dibuka, dua sorot tajam bagai kilat
memancar keluar dari kedua biji matanya, tapi juga hanya
sekejap saja terus berganti sinar tajam yang penuh wibawa,
membuat orang tak berani beradu pandang secara
berhadapan. pelan-pelan ia bangkit berdiri, terasa seluruh
tubuhnya segar bugar, hawa hangat yang menyegarkan itu
terus berputar-putar dan mengalir didalam badan
Waktu ia memandang ke sekelilingnya, bayangan To-ji
sudah tak kelihatan lagi, Di-bawah kakinya terletak
seperangkat pakaian yang bersih, sedang baju yang
dipakainya itu sudth basah oleh keringat dan kotor sekali.
Sekonyong-konyong suara To ji terdengar berkata:
"Dibelakang ruang batu ini ada sebuah empang, kau harus
merendam diri dan bersemadi dalam air empang itu selama

dua belas jam, lalu kau nantikan petunjuk gurumu
selanjutnya." Blang " suaranya keadaan menjadi sunyi senyap.
Sebuah suara keresekan terdengar, terbuka pintu di
sebelah samping kanan sana, kontan terasa hawa dingin yang
menusuk tulang menghembus masuk kedalam ruang batu ini,
Memang di belakang ruang batu ini terdapat sebuah empang
seluas satu tombak.
Giok-liong segera menekuk lutut serta berseru lirih: "Budi
Suhu yang besar ini, Tecu menghaturkan banyak terima kasih,
terimalah sembah sujud Tecu!" -habis berkata ia menyembah
sembilan kali, setelah itu baru menanggalkan pakaian dan
turun kedalam air.
Air dalam empang ini ternyata sedemikian dingin seolaholah
dapat membekukan darah. Cepat-cepat Giok-liong
mengerahkan hawa murni untuk bertahan, lambat laun rasa
dingin itu mulai terusir keluar dari tubuhnya. Begitulah dengan
duduk semadi lambat laun Giok-liong sudah mengerahkan
seluruh tenaganya sampai pada puncak tertinggi tapi masih
sulit menahan serangan hawa dingin itu, untung suhu hangat
masih mengembang dalam badannya, sehingga tubuhnya
masih kuat bertahan sekian lama.
Dua belas jam kemudian baru Giok-liong perlahan-lahan
berdiri dan keluar dari empang. Hawa murni dalam tubuhnya
sudah kokoh dan karena pengerahan pada puncak tertinggi
untuk bertahan terhadap serangan dingin itu. Setelah keluar
dari empang, dipakainya pakaian yang telah disediakan oleh
To-ji itu.
Tiba-tiba terlihat dinding batu bergeser, To-ji Pang Giok
lantas melangkah masuk sambil mengulum senyum.
Cepat-cepat Giok-liong-berlutut memberi hormat serta
katanya: "Suhu diatas, terimalah hormat Tecu ini!"

Ujar To-ji tertawa: "Baik, bagus sekali, sudah tak usah
banyak peradatan!" habis berkata ia tertawa riang, lalu
sambungnya: "Anak Liong. apa kau tahu betapa tinggi latihan
Lwekang yang telah mengeram dalam badanmu itu."
Giok-liong menggeleng, sahutnya: "Tecu tidak tahu!"
"Kau sekarang sudah mempunyai dasar latihan Lwekang
selama seabad lebih, dalam kalangan Kangouw sekarahg ini
tokoh yang dapat melawan kau sudah sangat sedikit
jumlahnya."
Karuan girang Giok-liong bukan main, cepat-cepat ia
berlutut dan menghaturkan terima kasih lagi: "Terima kasih
akan budi Suhu yang telah menyempurnakan Tecu! "
To-ji diam-diam saja menerima sembah sujudnya tiga kali,
lalu katanya lagi: "Hawa murni yang mengeram dalam
tubuhnya itu merupakan pelajaran tunggal dari golongan kita
yaitu "Ji-hua" yang dinamakan "Ji-lo" merupakan hawa murni
yang paling lurus dan mandraguna, Kuharap kau dapat
menyesuaikan diri dalam segala tindak-tandukmu kelak,
janganlah kau mengecewakan harapan suhumu yang susah
payah ini !"
Didengar dari nada perkataannya ini, agaknya ada
maksudnya yang hendak segera menyuruh Giok-liong
meninggalkan lembah putus nyawa ini.
Hati Giok liong menjadi terharu, ujarnya perlahan: "tecu
paham !"
To ji tersenyum, tanyanya : "Anak Liong, apakah kau tahu
ada berapa tokoh-tokoh silat yang dulu sejajar dalam
tingkatan dengan Suhumu?"
Sebentar Giok-lioag berpikir, lalu sahutnya: "Ada Kim-lengcu,
Pat-ci-kay-ong dan Hoat-ceng yang termasuk daiam IhTIRAIKASIH
WEBSITE http://kangzusi.com/
lwe-su-cun, Masih ada lagi Thian-lan-sam yau, Mo-pak it-jan
dan majikan pulau tanpa bayangan di Lam-hay."
To jin manggut-manggut, ujarnya: "Benar, tapi masih ada
seorang yang paling lihay belum kau sebutkan."
Giok liong terperanjat tanyanya: "Siapa dia?"
"Hiat-eng-cu, Congcu dari Hiat-eng-bun!" Giok-Iiong belum
pernah dengar akan nama ini, tapi dia juga tidak berani
sembarangan tanya, tanyanya lebih lanjut: "Apakah mereka
masih belum menjadi dewa?"
To ji menghela napas, ujarnya : "Gurumu juga tidak jelas,
setelah turun gunung kau harus hati-hati, pelan-pelan kau
resapilah pelajaran Sam-ji-cui hun chiu itu dalam praktek. Aku
masih ada satu urusan yang harus kuselesaikan, bersama itu
juga perlu menuju keluar lautan untuk mencari bahan-bahan
obat untuk membantu kau melatih badan yang kuat
seumpama badan baja yang tak tembus senjata sebagai murid
ahli waris-ku !"
Bukan kepalang rasa haru dan terima kasih Giok-liong, air
meleleh dengan deras, katanya sesenggukkan sambil
mendekam ditanah : "Budi besar Suhu ini, seumpama
badanku hancur lebur juga sulit membalasnya."
To-ji tertawa lagi, ujarnya: "Anak bodoh, ini semua
tergantung dari kerajinan latihanmu, kalau tidak betapapun
gurumu takkan menerima seorang murid yang jahat dan
buruk, maka dalam berkecimpung didunia persilatan ini kau
harus mengutamakan "Lurus" dan tegak dalam keadilan dan
kebenaran. Kalau sebaliknya janganlah kelak kau mengatakan
bahwa gurumu berlaku kejam terhadapmu, bukan saja harus
kupunahkan kepandaianmu jiwamu juga harus dicabut !"
Mendengar petuah serta ancaman gurunya ini tanpa
merasa Giok liong sampai merinding segera ia menghentikan
tangisnya serta sahutnya: "Tecu pasti tidak berani!"

"Gurumu percaya kau takkan berani berbuat begitu . . ."
lalu dirogohnya keluar sebatang seruling batu giok bewarna
putih mulus yang mengeluarkan cahaya kemilau, seruling itu
diangsurkan kepada Giok liong serta katanya: "seruling ini
bernama Jan-hun ti."
Tergetar hati Giok-Hong mendengar nama seruling itu, Janhun
ti atau seruling samber nyawa adalah merupakan sebuah
benda antik yang sangat tua usianya, Seruling ini selama
ratusan tahun selalu menjadi incaran dan idaman setiap
tokoh-iokoh silat, senjata sakti mandraguna yang telah
menghilang ratusan tahun yang Ialu itu ternyata berada
ditangan To-ji Pang Giok.
Bukan saja seruling samber nyawa ini adalah senjata kuno
yang sakti mandraguna, malah konon kabarnya didalamnya
ada terpendam suatu rahasia besar dunia persilatan.
Pemilik utama dari seruling samber nyawa ini adalah Janhun
cu, Jan-hun cu sudah sempurna pelajaran agama dan
sudah menjadi dewa pada ribuan tahun yang lalu, intisari
pelajaran ilmu silatnya semua terpendam dalam seruling
pusaka ini.
Selama ribuan tahun ini seruling sakti ini hanya pernah
muncul satu kali, biarpun satu kali tapi cukup menimbulkan
buru-hara serta kekacauan yang besar, dimana-mana terjadi
pembunuhan kejam untuk memperebutkannya sehingga kaum
persilatan tidak bisa hidup tentram, akhirnya seruling pusaka
ini menghilang pula tanpa diketahui jejak, dan sejak itu belum
pernah muncul lagi.
Dengan tersenyum lebar To ji menyerahkan seruling itu,
ujarnya: "seruling ini ada serangkaian jurus hawa murni yang
melandasinya, dalam jaman ini tiada seorangpun yang dapat
menggunakan. Pada ratusan tahun yang lalu secara kebetulan
gurumu memperoleh seruling ini, dengan landasan Jilo dari
perguruan kita kuciptakan ilmu Jan hun-su sek, ilmu ini cukup

hebat dan besar perbawanya tapi juga cukup ganas, kau
harus mempelajarinya dengan baik-baik sebelum turun
gunung."
Saat itu juga ia turunkan pelajaran Jan-hun-su sek itu
kepada Giok-liong, Makna dari pada pelajaran keempat jurus
itu terdiri dari masing-masing kejut hati kehilangan sukma,
putus nyawa sukma tersiksa."
Sebetulnya kedelapan kata itu setiap suku katanya
merupakan salah satu jurus yang tergabung menjadi tipu
pukulan, kalau digabung lagi maka perbawanya semakin
hebat, tiada seorangpun yang bakal kuat bertahan dari
serangan rangkaian ini.
Tanpa mengenal lelah dengan giat Giok-liong mempelajari
keempat jurus serangan yang lihay ini, sepuluh hari kemudian
baru dia selesai mencakup seluruh intisari pelajaran empat
jurus tipu-tipu dari Jan-hun-su-sek itu.
Sete!ah Giok-Iiong benar benar sudah lancar dapat
mempergunakan pelajarannya ini baru To-ji memberi pesan
supaya dia memasuki sebuah ruangan batu lain, setelah
mereka duduk berhadapan, barulah To ji membuka kata
dengan nada serius: "Anak Liong, kau sudah tahu peraturan
perguruan kita belum ?"
"Tecu masih belum tahu !"
"Setia serta kebajikanlah yang diutamakan, dengan jiwa
yang lurus dan hati yang murni baru kau dapat menegakkan
peraturan yang keras ini."
Giok-Iiong mengiakan.
"Setelah kau turun gunung, jangan sekali-kali sembarangan
kau tunjukan seruling samber nyawa ini kepada orang lain,
Kalau tidak kau akan menghadapi banyak kesukaran. Setelah
kau berkelana di Kangouw bila ada perlu, carilah majikan

Pulau tanpa bayangan di Lam-hay, dia seorang sahabatku
yang paling kental, dari mulutnya kau akan tahu berita
mengenai gurumu, carilah tahu tentang keadaan Kim leng cu
apakah dia masih hidup, jika masih sehat walafiaf, kau harus
berdaya upaya untuk bertemu dengan dia, beritahulah
kepadanya: "Sampai mati baru asmara terbawa kubur, lilin
luluh baru air mata kering." segera dia akan tahu siapa kau
adanya, pasti dia pesan kepadamu untuk aku. Dan lagi kau
boleh beritahukan alamat ku ini kepadanya."
Setelah itu, tak lupa To ji berikan keterangan tentang asal
usul serta wajah muka serta keistimewaan semua tokoh-tokoh
ternama. Diberikan pula sebuah senjata berupa pena yang
memancarkan sinar kekuningan, panjang senjata berbentuk
potlot setengah meter, katanya: "Walaupun potlot emas ini tak
sebanding dengan seruling menyiksa sukma, senjata ini sudah
bertahun tahun mengikuti gurumu berkelana di Bulim, cara
penggunakannya adalah jurus-jurus tipu dari gerakan dasar
Jan-hun-su-sek itu, semua sekandung dalam delapan gerakan
tangan, cara menggunakannya kau sudah bisa.
Potlot ini mempunyai asal usulnya tersendiri masih adalagi
tiga potlot emas kecil sepanjang tiga inci, potlot-poilot kecil ini
merupakan pertanda chas dari sepak terjangku semasa muda
dulu." lalu diserahkan juga sebuah buntalan sederhana, serta
pesannya: "sekarang pergilah, kelak aku akan mencarimu
sendiri."
Perasaan Giok-liong menjadi haru dan bergelora, namun
sekuatnya ia tekan perasaan ini serta katanya: "Suhu, aku , ,.
." akhir nya tak terelakkan lagi dua titik air mata meleleh
membasahi pipinya.
To-ji tertawa dingin, katanya: "Anak bodoh, lekaslah
berangkat, Kaum persilatan telah menanti kau untuk
menegakkan keadilan dan kebenaran!"

Giok liong memaksa untuk tertawa, setelah menyeka air
mata dipipinya dia berkata: "Suhu harap terimalah hormat
Tecu yang terakhir ini." habis memberi hormat cepat-cepat ia
berdiri terus memutar tubun melangkah lebar keluar ruang
batuc
Wajah To ji yang kelihaian bersih berwibawa itu juga
kelihatan sedikit murung dan berat, berapa tahun sudah baru
sekarang angan-angannya terkabul memperoleh seorang
murid yang mencocoki seleranya, baru berkumpul beberapa
lama saja sekarang sudah harus berpisah lagi tak tertahan ia
berteriak memanggil: "Giok liong!"
Giok-liong segera berpaling, sahutnya: "Suhu, ada apa?"
Dengan tajam Toji memandang, wajahnya sekian saat baru
bicara: "Semua jebakan rahasia dalam lembah gua ini sudah
kututup kau boleh keluar mengembangkan Ginkang!"
Giok liong mengiakan sambil membungkuk. Belum hilang
suaranya berkelebatan sebuah bayangan putih secepat anak
panah dan seringan asap Giok-liong sudah melesat berlari
kencang menuju keluar lembah.
Dengan mengembangkan pelajaran Gin-kang perguruannya
yang dinamakan Leng hun toh ( melampaui awan
mengembang ) tubuhnya seperti angin melayang sekejap saja
sudah melewati jalan-jalan rahasia yang terpenting dilembah
putus nyawa itu, dan dilain saat ia sudah berada diluar
lembah.
Selepas pandang, dilihatnya selokan setan masgul masih
seperti sedia kala, kabut tebal masih meliputi seluruh alam
sekitarnya angin pegunungan yang dingin juga ribut
menghembus keras. Tiba-tiba terkiaug pesan To ji yang wantiwanti:
"Anak Liong, jagalah dirimu baik-baik sepanjang jalan,
segeralah berangkat gurumu hendak menutup seluruh jalan
masuk lembah ini. Kelak kalau kau datang lagi, bilamana

mulut lembah belum terbuka, itu tandanya bahwa Suhu belum
kembali!"
Giok liong maklum bahwa gurunya meng gunakan ilmu
Cian li thoan-im (mengirim suara ribuan li) untuk bicara
dengan dirinya, maka segera menggunakan ilmu yang sama
untuk menjawab "Tecu sudah tahu." selanjutnya ia bertanya
lagi: "Suhu, kapan kau orang tua kembali kedalam lembah?"
"Perjalanan ini sulit ditentukan, kapan aku pulang tidak
pasti, Waktu mulut lembah terbuka, gurumu pasti ada didiami
Sudah lekaslah berangkat, lekas berangkat."
"Tecu terima perintah." sahut Giok-liong sambil
membungkuk lagi.
Begitu menyedot hawa dalam-dalam menghimpun hawa
murni, kakinya terus menjejak tanah melesat kearah sebuah
batu gunung yang menonjol keluar diieberang sebelah sana,
jaraknya tidak kurang dua puing tombak lebih, namun dengan
ringan sekali tubuhnya meluncur seperti snnk i anah, Sungguh
diluar perhitungannya begitu pesat lurcuran tubuhnya ini
seperti kilat saja melambung ditengah kabut, terpaksa ia harus
menekuk tubuh dan meliukkan badan seperti seekor bangau
saja tubuhnya segera meluncur turun tepat diatas ngarai
sukma gentayangan.
"Oh, Tuhan," Hampir saja ia berteriak saking tak tahan
menahan rasa girang yang meluap-Iuap. Hanya sekali jejakan
kakinya saja ternyata sekarang dirinya mampu melompati
jurang yang lebarnya tiga puluhan tombak ini. Benar-benar
suatu hal yang mustahil bila dibayangkan masakah mungkin
tenaga manusia dapat mencapainya ?
Teringat waktu datang, betapa ia harus memeras keringat
mengalirkan darah serta menghabiskan seluruh tenaganya
baru dapat melampaui selokan setan masgul ini dan masuk
kedalam Lembah putus nyawa.

Siapa akan menduga hanya beberapa hari saja sekarang
dirinya sudah dapat melewati jurang yang berbahaya ini hanya
sekali lompat saja.
Anugrah Suhu terhadap dirinya sungguh besar dan tak
tenilai, sekian lama ia berdiri terpesona saking senang,
hampir-hampir ia sendiri tidak percaya akan kenyataan ingin
dia membuktikan apakah dirinya benar-benar sudah
melampaui selokan setan masgul ini !
Tak kira begitu ia memutar tubuh seketika ia berdiri
tertegun, Kabut masih tebal angin masih ribut tapi bekasbekas
atau bayangan jalan pendek nyawa itu kini telah
menghilang ? Demikian batu besar itu juga telah menghilang
tanpa bekas, Ngarai disebrang sana juga sudah tidak kelihatan
iagi, hanya tinggal lereng gunung yang menjulang tinggi
keangkasa, tiada celah-celah yang merekah yang telah
dilewati tempo hari. Hanya dalam sekejap mata itu saja,
seluruh jalan yang menuju ke Lembah putus nyawa sudah
tertutup rapat.
Hati Giok liong serasa mencelos dan gegetun, Dengan bekal
Lwekangnya sekarang, untuk malang melintang di Kangouw
menuntut balas pasti bukan persoalan yang berat. Tapi
sebuah jalanan pendek nyawa yang besar itu, sekejap saja
menghilang tanpa suara tanpa diketahui kapan jalanan itu
lenyap.
Bangunan alat-alat rahasia semacam ini benar-benar
sangat menakjubkan. Tidak usah dibuat heran sedemikian
banyak tokoh-tokoh Bulim yang terjungkal dan menemui
ajalnya dalam lembah putus nyawa ini. Untuk selanjutnya
dirinya harus berlaku waspada dan hati hati berkelana didunia
persilatan supaya tidak sampai kena terbokong.
Baru lenyap pikirannya, mendadak dipinggir telinga seperti
ada orang berkata riang: "Giok-liong, lekaslah turun gunung,
gurumu juga segera akan berangkat !"

Giok liong tergagap, cepat ia berpaling kearah datangnya
suara, terlihat ditengah keremangan kabut tebal samar-samar
berkelebat sebuah bayangan putih terus hilang di telan kabut
tebal, dari kejauhan sayup-sayup terdengar pula suara To-ji
berkata:
"Hati-hatilah menjaga dirimu dalam perantauan !" habis
suaranya orangnya juga sudah jauh beberapa li.
"Tecu tahu !" sahut Giok-liong hormat, dimana tubuhnya
melenting berubah segulung bayangan putih terus meluncur
kebawah dari ngarai sukma gentayangan ini. setelah sampai
dikaki gunung hatinya menjadi hampa dia celingukan kian
kemari, tak tahu dia kemanakah dirinya harus menuju, pelanpelan
kakinya melangkah tak terasa ia beranjak melalui jalan
yang pernah dilalui tempo hari waktu datang.
Ditengah jalan ia berpikir: "Baiklah, terlebih dulu aku harus
kembali keruman gubuk yang telah terbakar menjadi puing
itu," teringat akan rumah, sakit hati yang sekian lama sudah
terpendam dalam hatiaya mulai berkobar lagi.
Tragedi berdarah akan masa yang lalu kembali terbayang
dikelopak matanya, hatinya mengeluh dan berteriak: "Bunuh,
berantas habis semua iblis laknat yang jahat itu . . ."
Wajahnya tidak menunjukkan sesuatu expresi yang luar
biasa, namun gerak tubuhnya melesat semakin pesat susah
diukur kecepatannya menuju kearah ngarai tempat tinggalnya
dulu. Tiba-tiba sebuah persoalan lain timbul dalam benaknya.
Ke-manakah ayah telah pergi?
Bukankah Hwe-thian-khek Ma Hun dari laut utara itu juga
she Ma? Dan lagi iblis nomor wahid paling kejam, membunuh
orang tanpa berkedip Sip-hiat-leng Toan Bok-ki kemana pula
dia pergi? Kesan semua orang dunia persilatan adalah bahwa
mereka berdua sudah mampus didalam lembah putus nyawa.

Tapi suhunya, majikan lembah putus nyawa ini memberi
tahu bahwa ketiga orang itu hakekatnya tidak atau belum
pernah memasuki lembah yang bertuah ini.
Kemanakah mereka telah pergi? Tak tertahan hatinya
berdenyut bertanya-tanya, Apakah mungkin menghilangnya
ketiga tokoh kenamaan itu merupakan suatu muslihat yang
keji dalam kalangan persilatan? jikalau dugaannya ini
kenyataan, itu sungguh berbahaya dan menakutkan. Tapi
kalau diselami lebih lanjut dugaannya ini juga banyak
kelemahannya dan tak mungkin bisa terjadi. Sebab
kepandaian silat dan kecerdikan ketiga tokoh-tokoh lihay itu
sangat tinggi, betapapun juga mereka takkak semudah itu
kena tertipu atau terjebak.
Pikir punya pikir badannya masih berlaju, terus berloncatan
didaratan pegunungan yang tidak rata dengan tanah penuh
ditaburi salju tebal, Tatkala itu tanpa merasa Giok-liong sudah
kembangkan gerak tubuh Leng-hun-toh sampai sepuluh
bagian tenaganya, sebuah bayangan putih laksana asap
berkelebat seperti bayangan tanpa ujud saja melintas secepat
kilat diatas pegunungan yang memutih sampai tak dapat
dilihat tegas dengan pandangan mata biasa.
Tak lama kemudian jauh-jauh ngarai tempat tinggalnya itu
sudah kelihatan. Tanpa merasa darah bergejolak dalam
rongga dadanya, semakin cepat kakinya bergerak luncuran
tubuhnya semakin pesat terus melesat- keatas ngarai itu.
Tiba- tiba di dapatinya bahwa diatas ngarai itu ada
bayangan orang tengah bergerak -gerak terus berkelebat
menghilang. Kontan timbul kewaspadaan dalam benak Giokliong,
Besar kemungkinan pihak Kim i-pang atau Hiat-hongpang
masih meninggalkan anak buahnya untuk menjaga
diatas sana. Dengan beberapa kali loncatan lagi, Giok-liong
sudah sampai dibawah bukit terus sembunyi dibawah tebing
ngarai itu.

Samar-samar terdengar sebuah percakapan tengah
berkata: "Lo-ong, araknya masih ada tidak?"
"Keparat, mana bisa ada arak? Tapi dalam dua hari ini
komandan piket pasti akan lewat disini, mungkin beliau akan
menghadiahi dua guci arak kepada kita."
"Ai, nenekmya kedudukan kita dikalangan Kangouw juga
cukup disegani, tak nyana kita malah mendapat tugas untuk
berjaga ditempat dingin semacam ini untuk menunggu orok
kecil yang tak berguna."
"Hei, menurut pendapatku saudara Tan meskipun tugas ini
agak menyiksa kita, tapi siapa tahu kalau kita bisa ketiban
rejeki, benar-benar orok kecil itu muncul dan dapat kita
ringkus, bukankah merupakan pahala besar, Saat mana
bukankah pangkat kita akan naik beberapa tingkat paling
rendah juga menjadi Tocu, saat itu apa yang kita inginkan
pasti kesampaian bukankah sangat menyenangkan."
"Ai, memang gampang diucapkan, jangan jaga punya jaga
yang datang malah malapetaka yang bakal menghabisi jiwa
kita, jangan kata dapat makan enak, celakalah kalau jiwa
sendiri melayang."
"Sudahlah, mengandal kebesaran Hiat-hong-pang kita,
siapa yang berani mengusik kepada kita? Apalagi setan kecil
itu sudah terjungkal kedalam jurang, meskipun jenazah-nya
tidak ketemu, tapi betapa keras tulang tulangnya, seumpama
dapat ditolong orang saat ini juga tengah menyembuhkan
luka-lukanya itu, mana mungkin ada malapetaka pencabut
jiwa apa segala."
"Itu juga belum tentu, siapa tahu..."
"Siapa tahu dewa elmaut sekarang telah datang!
"demikianlah sebuah suara dingin mendadak menyentak
pembicaraan mereka.

Ketika anak buah Hiat hong pang sebetulnya tengah duduk
mengobrol didepan pintu gubuk yang baru mereka bangun
lagi, begitu mendengar suara ini bukan kepalang kejut
mereka.
Waktu angkat kepala, tampak terpaut lima kaki disamping
mereka berdiri angker seorang pemuda berpakaian jubah
putih panjang seperti seragam pelajar umumnya, matanya
tajam beringas menatap kearah mereka.
Meskipun suara pemuda ini dingin dan mengejutkan tapi
wajahnya sedemikian halus dan ganteng, Demikian juga
ketajaman kedua matanya bersinar terang seperti kilat, tapi
tiada sorot kewibawaan yang menusuk hati sebagai orang
yang pernah belajar silat.
Kedua arak buah Hiat-hong-pang she Tan dan she Ong itu
saling pandang sebentar, lantas tertawa gelak-gelak, sambil
tertawa orang she Ong menunjuk si pemuda pelajar katanya:
"Hahahaha, mengandal kau ini ? Mengandal kau anak masih
berbau bawang?"
Habis berkata mereka berkakakan lagi dengan temberang,
Pemuda pelajar ini bukan lain adalah Ma Giok liong yang baru
saja tiba dari Lembah putus nyawa, sikapnya tetap dingin
memandangi kedua antek Hiat-hong pang tertawa mengejek
sepuasnya.
Tiba-tiba ia membuka suara lagi: "Sudah puas belum
tertawa kalian ?"
Orang she Tan menyeringai ancamnya mendelik: "Keparat,
agaknya kau sudah bosan hidup berani datang kemari untuk
dibelejeti oleh tuan-tuanmu ini. Lekas tinggalkan uang sangu
dan seluruh perbekalan, biar tuan besarmu ini ampuni jiwa
kecilmu."
Giok-liong menjengek dingin: "Ibu keluarga Ma sekarang
berada dimana ?"

Orang she Ong yang berdiri disamping mendadak
menghentikan tawanya, hardiknya beringas: "Bocah keparat,
kaukah ini keturunan haram dari keluarga Ma itu?"
"Tuan mudamu ini berjalan tidak mengganti she, duduk
tidak berganti nama, memang akulah yang bernama Ma Giokliong!"
Orang she 0ng menggeram gemas, ujarnya: "Saudara Tan,
keiajaroan mataku ini agak boleh diandalkan Malam itu
memang aku berjaga dipinggir ngarai sebelah sana, sepintas
saja aku melihat bocah dungu ini. Hm, ternyata dia masih
hidup malah mengantar jiwanya kepada kita. Hahahaha bagus
benar nasib kita!" -Ialu sambil melangkah setindak matanya
mendelik dan berkata kepada Giok liong: "Bocah jangan harap
hari ini kau dapat pergi, menyerah saja biar kuringkus."
Giok liong menjengek dingin: "Tuan kecil mu ini tidak suka
main-main, maka kuanjurkan kalian sukalah tahu diri jawablah
setiap pertanyaan tuan kecilmu ini."
Tanpa merasa orang she Ong dan she Tan saling pandang
dan tertawa gelak-gelak lagi. Dalam pandangan mereka
pemuda seperti pelajar yang lemah ini, seumpama datang lagi
sepuluh orang juga tidak menjadi soal lagi bagi mereka
berdua. Belum lenyap suara gelak tawa mereka, orang she
Ong sudah membentak: "Bocah hayo masuk rumah."
Sambil membentak dimana terlihat tangannya menjambret
dan menarik pergelangan tangan Giok-liong tepat kena
dicengkeramnya, sedikit menggunakan tenaga untuk
menikung, seketika terdengar teriakan panjang yang
kesakitan, Tahu-tahu tubuh orang she-Ong yang tinggi besar
itu terpental tinggi seperti bola terus terbanting keras jatuh di
atas tanah sejauh beberapa tombak, tubuhnya berkelejetan
mulutnya mengerang kesakitan.

Kejadian ini terjadi begitu mendadak sesaat orang she Tan
berdiri tertegun tiba-tiba tangannya membalik: "Siut..." Selar
ik sinar merah melesat membumbung tinggi keangkasa, di lain
saat dengan gerakan yang cekatan sebat sekali ia telah
menghunus golok yang tersoreng dipinggangnya.
Dengan jurus Tok-bi-hoa-san (membelah gunung Hoa )
goloknya terus membacok keatas batok kepala Giok-liong,
sedemikian besar nafsonya untuk membunuh musuh kecil ini
sehingga ia mengerahkan seluruh tenaganya sampai
sambaran goloknya berbunyi menderu. Tidak ketinggalan
mulutnya juga memaki kalang kabut: "Bocah keparat, berani
kau melukai orang . . . . "
Belum lenyap suara makiannya, mendadak terdengar Giokliong
tertawa dlngin, jari tengah tangan kirinya diulurkan
menyelentik ke arah golok musuh, sedang tangan kiri ringan
sekali menampar. Terdengar pekik kesakitan yang tersendat,
hujan darah memenuhi udara dan bercecer kemana-mana.
"Plak"
"Aduh . . , . " dimana terlihat tubuh orang she Tan jungkir
balik, tepat sekali tubuhnya jatuh menindih keatas tubuh
orang she Ong, celakanya ujung goloknya itu justru menusuk
tembus kedada kawan sendiri darah kontan menyemprot
keluar seperti sumber air jiwa keduanya berbareng
menghadap raja akhirat
Giok-liong menyeringai dingin, gumamnya: "Bala bantuan
mereda segera akan datang, besar harapanku, Komandan
piket sek-te utara mereka juga tiba hari ini. Mungkin dari
mulut mereka aku bisa mendapat kabar tentang keadaan ibu
!"
Lalu dengan langkah ringan perlahan lahan ia memasuki
gubuk yang baru dibangun, keadaan didalam gubuk morat
marit, berbau apek dan arak, kotornya luar biasa, Giok-liong
mendengus dongkol, dicarinya bahan api terus disulut lalu

dilemparkan kedalam gubuk, Tidak lama kemudian, asap
membumbung tinggi ketengah angkasa membuat burungburung
kaget ketakutan dan beterbangan kemana-mana,
kembang api juga beterbangan keempat penjuru.
Giok-liong berdiri membelakangi gubuk yang tengah
berkobar sambil menggendong tangan, sekarang baru ia
merasa keriangan hati setelah melaksanakan pembalasan.
Hawa hangat dan panas dari kobaran api bergelombang
menghembus kearah tubuhnya, membuat tekadnya menuntut
balas semakin besar, semakin mendesak. Bibit dendam
kesumat semakin bersemi dan berkobar wajahnya yang putih
halus semakin merah membara, tapi sikapnya dingin membesi
tanpa emosi.
Mendadak dari bawah ngarai sana terdengar suara lirih dari
melambainya pakaian orang yang tengah berlari mendatangi.
Tanpa merasa Giok-liong mendengus ejek: "Yang
mengantar nyawa telah tiba puIa."
Memang tidak salah dugaannya, dari lamping ngarai
sebelah depan sana berbareng muncul tiga orang laki-laki
yang mengenakan seragam ketat warna hitam. Orang yang
berdiri ditengah berjenggot kambing dan bergodek panjang,
kedua matanya berkilat-kilat memandang kedua mayat orang
she Tan dan she Ong bergantian, lalu memandang ke arah
kobaran api yang tengah menelan gubuk baru itu. Perlahan
dengan tindakan mantap ia maju ketengah, setelah batuk
sekali lantas ia buka suara bertanya kepada Giok liong: "Tuan
ini kawan dari aliran mana ?"
Dua Iaki-laki dikanan kirinya terus berendeng
dibelakangnya. Dilihat dari cara dandanan pakaiannya ini,
agaknya dia salah seorang Tocu yang berkedudukan di suatu
tempat.

Giok-liong tetap berdiri dengan tegap, sikapnya angkuh dan
temberang sekali.
Setelah sampai ditengah ngarai baru ketiga orang itu
menghentikan langkahnya, orang ditengah itu bertanya lagi
lebih keras: "Apakah nian ini dari aliran yang sama?"
Suasana yang tetap sunyi ini adalah jawabannya
Orang yang berdiri disebelah kanan, kini sudah tidak
sabaran lagi, jengeknya dingin: "Tocu tak perlu banyak bacot
lagi, biarlah hamba yang maju membekuk bocah kurang ajar
ini !"
Orang yang dipanggil Tocu itu manggut-manggut,
dengusnya: "Kematian sudah di-depan mata masih berani
bertingkah."
Sekali bergerak dengan sekali loncatan gaya harimau
menubruk, laki-laki sebelah kanan itu melesat sampai
dibelakang Giok-liong dimana tangan kanannya bergerak
langsung ia mencengkram kepundak kanan Giok liong.
"Brak." "Jatuh !" terdengar suara keras lalu disusul teriakan
panjang yang kesakitan, tahu-tahu badan laki-laki itu
terjungkal terbang menyemburkan hujan darah.
Dimana sebuah bayangan putih berkelebat, tahu-tahu Giokliong
sudah berdiri di-hadapan sang Tocu terpaut lima kaki,
wajahnya membeku dingin pandangannya mengancam,
tanyanya: "Kalian mengapakan ibu keluarga Ma disini, dan
dimana beliau sekarang !"
Sang Tocu dan seorang bawahannya hanya merasakan
pandangannya kabur, tahu-tahu Giok-liong sudah berdiri
begitu dekat didepannya, karuan kejut hatinya bukan main,
setelah tercengang sebentar, baru mereka dapat bernapas
lega dan menenangkas semangatnya, bentaknya gusar:

"Buyung, benar-benar kau sudah bosan hidup, berani kau
mencari perkara dengan Hiat-hong-pang?"
"Aku bertanya dimana sekarang ibu keluarga Ma berada ?".
"Pergi kerumah gendaknya . . ." Bayangan putih berkelebat
,lantas terdengar pekik yang menyeramkan serta suara plakplok
bergantian yang nyaring, sebuah tubuh manusia lagi-lagi
terbang bergulingan tujuh delapan tombak terus rebah
celentang tidak bergerak lagi.
Sementara itu sang Tocu tengah berlutut diatas tanah,
mulutnya penuh berlepotan darah, sorot matanya
mengandung minta ampun yang sangat memandang wajah si
pemuda yang berdiri gusar mendelik dihadapannya,
mohonnya gemetar: "Ampun Siauhiap, ham . . . hamba . . .
tidak tahu . . ."
"Kalau kau ingin hidup, lekas katakan sebetulnya."
demikian ancam Giok-liong.
Tocu itu benar-benar sudah ketakutan, sahutnya lirih:
"Hamm . . . hamba benar-benar tidak tahu, Hamba hanya
tahu bahwa pangcu sendiri pernah datang kemari, malah telah
dikeluarkar perintahnya untuk mencari jejak seorang pemuda
tanggung, raut muka serta asal usulnya sudah ditulis dan
digambar serta disebarkan ke berbagai cabang dimana-mana .
. ."
Sampai disini mendadak ia berhenti, dengan terbelalak dan
ketakutan ia memandang wajah Giok-liong.
Giok liong menyeringai dingin: "Bagaimana? Apa yang kau
lihat ? persis dengan gambar itu bukan ? Hehehehe, Tuan
muda ini tak lain adalah Ma Giok-liong, akulah yang menjadi
dewa elmaut bagi Hiat-hong-paag kalian. Kalau kau tidak
bicara secara terus terang, kaupun jangan harap bisa kembali
dengan masih hidup!"

Tocu ini terlongong memandangi wajah Giok-liong, sekian
lama kemudian baru ia membuka mulut lirih: "Ma-siau-hiap,
dulu Ma-nio-cu juga bersikap baik sekali terhadap hamba
terutama bodr terhadap beliau. Asal hamba tahu dimana
sekarang beliau berada, masa hamba berani merahasiakan. .
." baru dia bicara sampai disini, dari kejauhan ditengah hutan
sana, tiba-tiba melengking tinggi sebuah suitan panjang yang
memecah angkasa terus meluncur tiba dengan pesatnya.
Wajah yang berlepotan darah dari sang Tocu itu seketika
berubah pucat pasi dan mulutnya terdengar mengguman:
"Komandan Ang telah tiba, Komandan Ang telah tiba . . ."
Mendadak ia menyembah berulang-ulang kepada Giok-liong
serta memohon: "siauhiap ampun !"
Melihat tingkah tengik orang ini, Giok-liong menjadi geli
dalam hati, tanyanya menegas dengan nada berat: "siapakah
komandan Ang itu ?"
Tocu itu menyahut gemetar: "Beliau adalah wakil
komandan piket sekte utara. Thi-bin-to hu Ang k-hwi . . . . . . .
Siau-hiap ampun . . ."
Giok-liong mendengus hina, ujarnya: "Baik, kau pergi lah!"
Bergegas Tocu itu bangkit berdiri sambil membungkukbungkuk
dan berkata: "Terima kasih akan budi pengampunan
Siau-hiap" habis berkata terus berlari terbuit-birit kebawah
ngarai.
Mendadak alis Giok-Iiong tegak berdiri, bentaknya: "tunggu
sebentar!"
Tocu itu mengiakan dan segera menghentikan
langkahnya,siapakah komandan piket sekte utara kalian ?"
"Thian~siu-su-cia le Pong !"
"Baik, kau boleh pergi !"

Sambil menyatakan terima kasih, kedua kaki Tocu menjejak
tanah terus berlari pesat seperti anak panah melesat kebawah
ngarai.
Sekonyong-konyong, "Hehehehe ..,." serangkaian suara
tawa yang panjang terdengar dari pinggir ngarai sana, Sang
Tocu yang baru saja berlari sampai dipinggir ngarai segera
menghentikan langkahnya, teriaknya ketakutan: "Wakil
komandan piket ..."
"Hehene. . . " "Prak" suara tawa dingin itu melayang tiba,
serangan angin lalu disusul jeritan yang mengerikan. Badan
sang Tocu kelihatan melayang tinggi jungkir balik ditengah
udara terus terbanting mampus, dari tujuh lobang indranya
mengalirkan darah segar.
"Hehehe. . . kurcaci macam ini yang berlutut minta ampun.
Heheheh . . ." diiringi suara dingin seperti tawa setan
gentayangan yang menggiriskan ini, seperti bayangan setan
saja dari pinggir ngarai didepan sana muncul sebuah
bayangan besar, "Hehehehe, buyung, perhitungan ini harus
segera dilunasi Hehehehe . . . "
Waktu Giok-liong memandang lebih tegas, tanpa merasa
hatinya terperanjat. Tampak dipinggir bawah ngarai sana
perlahan-lahan muncul sebuah bayangan manusia yang tinggi
besar seiring dengan tawa dinginnya itu, ia melayang seringan
daun seperti setan layaknya,
Selayang pandang dari gerak geriknya saja lantas dapat
dipastikan bahwa ilmu silat serta Lwekang orang ini pasti
sudah mencapai kesempurnaan Iatihannya.
Jarak mereka sekarang semakin dekat, Thi-bin to-hu
(sijahat bermuka besi) Ang It hwi ternyata berwajah warna
kehijau-hijauan, beringas mengandung hawa membunuh yang
tebal, kedua biji matanya melotot besar seperti keliningan
berkilat-kilat memandang wajah Giok-liong dengan tajam,

tanyanya dingin : "Buyung, kau ini yang bernama Ma Giokliong
?" dimulut ia bertanya, namun dalam hati jaga
membatin: "Bocah ini terang adalah bocah yang diperintahkan
harus ditangkap oleh Pangcu, Tapi mengapa Pangcu tidak
mengatakan bahwa ilmu silatnya sangat lihai. Dilibat sikap
pemuda ini, kedua matanya bersinar, bernapas enteng berdiri
tegap tanpa bergerak, terang kalau dia membekal Lwekang
yang tinggi, mungkin sudah mencapai taraf yang paling
sempurna hanya tersembunyi . . . "
Sedikit menggerakkan kepala, Giok-Iiong menyahut dingin:
"Aku yang rendah memang Ma Giok-liong adanya, Tuan ini
tentu Ang It-hwi si jagal bermuka besi bukan ?"
"Hehehehe. . . di surga ada jalan kau tak mau kesana,
sebaliknya di akhirat tertutup jalan kau menerjaug datang,
Buyung serahkan saja jiwamu. Hehehe . . ." sambil tertawa
dingin, kakinya melangkah maju dengan tenang dan mantap.
Giok-liong ganda menyeringai ejek, tanyanya: "Ang It-hwi,
bagaimana keadaan ibu keluarga Ma ?"
Si jagal bermuka besi tertawa iblis, jengeknya: "Buyung
nyawamu sendiri belum tentu selamat, masih banyak tingkah
mengurusi persoalan lain ?"
Berbareng dengan habis ucapannya, tiba-tiba tubuhnya
melejit maju, dimana kedua tangannya bergerak secepat kilat
ia melayang tiba, bayangan kedua gerak tangannya memenuhi
seluruh tubuh Giok-liong, Tahu-tahu lima jalan darah
terpenting didada Giok-liong sudah terancam bahaya.
Giok liong mendengus hina, tiba-tiba tangan kirinya diayun
bergerak setengah lingkaran ditengah udara, terus bergerak
laksana kilat menutuk kejalan darah Thian-king hiat kedua
sikut tangan si jagal manusia bermuka besi. Bersama itu

tangan kanan juga tidak ketinggalan sedikit diangkat lurus
kedepan bergerak pulang pergi menekan kedada lawan.
Baru saja Aag Il-hwi lancarkan pukulannya mendadak ia
rasakan dua jalur angin kencang langsung menerjang kearaft
jalan darah Thian king-hiat dikedua sikutnya, betapa kejut
hatinya, cepat-cepat pinggangnya sedikit ditekuk berbareng
kedua tangannya dipentang berbareng kesamping terik
melompat mundur dengan sigap sekali.
Dalam saat genting secara kilat itulah, sebuah tangan yangputih,
laksana bayangan-setan saja tahu-tahu tanpa bersuara
telah menyelonong kedepan dadanya, bergerak-gerak seperti
melayang menekan dengan sebuah tusukan kearah jalan
darah Thian ti di-dadanya.
Saking kejutnya si jagal bermuka besi cepat-cepat
menyedot hawa menekuk dadanya, berbareng kakinya
bergerak menggeser kedudukan terus melesat kesamping,
dimana kedua kakinya menjejak sekuat tenaga kontan
tubuhnya mumbul menerjang keatas.
Segera terdengar dua kali teriakan keras disusul suara
"blang" yang keras, lantas dua bayangan orang terpental
berpisah.
Wajah si jagal bermuka besi kelihatan hijau membesi
badannya terpental setombak lebih kedua lengannya bergerak
berbareng sebat sekali, ia tanggalkan jubah hitamnya, kini
kelihatan pakaian dalamnya yang ketat juga perlente,
bentaknya geram: "Bocah serahkan nyawamu!"
Membarengi dengan bentakannya, secepat kilat ia
merangsang kearah Giok-liong sambil lancarkan pukulannya
dimana kedua tangan
oleh bayangan tangan pukulannya yang mengandung
tenaga luar biasa sampai angin menderu-deru bagai badai
yang langsung menerpa ketubuh Giok-liong.

Giok-liong tertawa dingin, jengeknya: "Mutiara sebesar
beras juga berani memancarkan sinar."
Sambil menjengek itu tubuhnya sedikit-sedikit berputar,
tubuhnya malah melesat menerjang masuk kedalam
lingkungan angin badai yang membumbung tinggi keangkasa,
Diantara bayangan, kepalan tangan dia bergerak sedemikian
lincah sambil lancarkan juga pukulannya yang tidak kalah
hebatnya, secara dekat ia tandangi adu kepalan dengan si
jagal bermuka besi dengan cepat lawan cepat.
Seketika terlihatlah bayangan berkelebatan angin pukulan
bagai badai dan lebih dahsyat lagi dari tadi, tidak lama
kemudian bayangan mereka sudah terbungkus tak kelihatan.
Kira-kira dua puluh jurus kemudian, tiba-tiba terdengar
Giok-liong menghardik rendah: "Lihat pukulan!" dari kedua biji
matanya tiba-tiba mencorong sinar dingin setajam kilat,
demikian juga tiba-tiba gerak geriknya menjadi lamban, tapi
tangan kiri sebaliknya bergerak secepat kilat membuat
lingkaran ditengah udara terus ditepukkan kedepan.
Ditengah udara seketika mengembang gumpalan awan
putih yang bergulung-gulung dengan mengeluarkan suara
yang menggelegar, langsung menerjang kearah Ang It-hwi.
Bertepatan dengan itu tangan kanan Giok-liong juga ikut
melambat keatas ringan sekali menekan kedada musuh.
Si jagal bermuka besi Ang It-hwi sebenarnya adalah salah
satu iblis besar dikalangan Kangouw, kepandaian serta
pengalamannya sudah tentu sangat tinggi dan luas sekali,
Tapi begitu berhadapan dengan Giok-liong ia lantas
menambah kewaspadaan Setelah saling gebrak lantas ia
merasa gerak gerik Giok-liong sangat ringan dan cekatan
sekali, cara turun tangannya juga sangat ganas dan telengas,
seolah-olah dirinya sulit dapat melawan. Maka setelah sepuluh
jurus kemudian, segera ia kerahkan seluruh hawa murninya
sampai sepuluh bagian, dengan dilandasi kekuatan yang hebat

ini ia lancarkan ilmu pukulan To chiu-cap-sek (sepuluh jurus
Jagal tangan), ilmu yang jarang sekali dikeluarkan.
Siapa nyana baru saja pukulan To-chiu-cap-cek dilancarkan
gerakan lawan tiba tiba menjadi lamban, seakan-akan
kehabisan tenaga, Keruan hatinya girang, dengan gerak-gerik
jurus Hiat-kong-beng-sian (sinar darah mendadak memancar)
buru-buru tangan kirinya bergerak.
Mendadak dilihatnya air muka Giok-iiong diliputi hawa
agung yang murni, belum lagi rasa herannya hilang,
mendadak angin badai disertai gelombang awan putih yang
menggulung.
Begitu melihat macam pukulan yang dahsyat ini seketika
hatinya bercekat sambil berseru ketakutan sampai suaranya
tersendat lirih: "Sam-ji-cui-chiu!"
Ditengah teriakannya itu, kedua kakinya dijejakan
sekuatnya, kontan tubuhnya melesat menghindar kearah
samping kiri, bersama itu ia kerahkan ilmu Sim-hiat-kang yang
dilatihnya selama dua puluh tahun meski belum sempurna
sambil mundur itu kedua tangannya juga bergerak cepat terus
didorong kedepan memapak serangan musuh.
Terdengarlah ledakan dahsyat yang gegap gempita
menggetar langit dan bumi, dua jalur sinar layung warna
merah darah segera memancar dari kedua telapak tangannya
terus melesat keluar seperti kepala ular sanca yang sedang
gusar terus menerjang kearah awan putih yang melayang
datang.
Tepat pada saat itulah sebuah tangan kecil yang putih
halus tanpa- mengeluarkan suara tahu-tahu sudah menepuk
tiba didepan dadanya hanya terpaut dua kaki saja.
Begitu melihat tangan halus yang menyelonong ini nyawa
Ang lt-hwi hampir melayang keluar raganya, hatinya terasa

membeku serta timbul rasa kejut dan takut yang selama ini
belum pernah menghampiri sanubarinya.
Hilanglah sifat-sifat kejam dan keberanian semula, Dari
telapak tangan putih halus ini ia membaui hawa keaslian yang
semakin mendekat.
"Dar. . . . weeest . . ." ditengah ledakan dahsyat yang
menggetarkan seluruh ngarai itu, sinar layang merah darah itu
kontan pecah berhamburan menjadi titik kecil bersinar seperti
kunang-kunang menyemprot ke empat penjuru, gelombang
awan putih segera mengembang pecah berguIung-gulung.
Si jagal bcrmaka besi segera meliukkan pinggang, sayang
gerakannya kurang cepat dan terlambat sedetik, meskipun
tangan halus itu tidak melukai dadanya tak urung pundaknya
yang menjadi sasaran empuk.
Dimana terdengar geraman rendah bayangan kedua orang
segera terpental berpisah. Badan Ang It-hwi yang tinggi besar
itu disertai hujan darah menggelinding sejauh lima tombak
jauhnya seperti bola saja layaknya, sekuat sisa tenaganya ia
berusaha menahan daya luncuran tubuhnya, dengan susah
payah baru ia dapat bangun dengan sempoyongan.
Baru saja dapat berdiri tegak, kontan mulutnya terpentang
terus menghamburkan darah segar, perlahan-lahan ia angkat
kepala sorot matanya yang mengandung kebencian menyalanyala
menatap wajah Giok-liong seakan-akan seperti hendak
dipatuknya.
Pada waktu tenaga pukulan kedua belah pihak saling
kebentur tadi, Giok-liong juga rasakan sebuah tenaga tekanan
yang besar dan aneh menerjang kearah dadanya.
Maka ccpat-cepat menyedot hawa murni, tangan kanan
terus didorong lagi dengan di tambahi tiga bagian tenaga lagi,
sedang gerakan tangan kiri sedikit diperlambat Meskipun
tipunya ini berhasil melukai si iagal bermuka besi, tapi dia

sendiri juga merasa dadanya rada sakit, napasnya sesak,
matapun berkunang-kunang, ternyata dirinya juga menderita
luka dalam yang tidak ringan.
Tanpa ajal perlahan-lahan ia menyedot hawa mengatur
pernapasan sambil mengerahkan Ji-lo untuk menelusuri
seluruh badan untuk menyembuhkan luka-lukanya.
Waktu si jagal bermuka besi dapat berdiri tegak lagi, darah
yang bergolak dirongga dadanya juga sudah dapat diatasi,
sedikit kakinya bergerak enteng sekali tubuhnya lantas
melayang maju kehadapan Ang It-hwi.
Mendadak Ang It-hwi merasa pandangannya kabur, secara
tiba- tiba Giok-liong tahu-tahu sudah berdiri didepan matanya,
tak kuasa geram hatinya, dengan suara serak ia membentak
gusar: "Bocah Lohu adu jiwa . . . " belum habis kata-katanya,
lagi-lagi ia muntah darah.
Sekonyong konyong terdengar sebuah suara dingin dari
samping yang tidak jauh dari sana: "Saudaraku, kau boleh
istirahat dulu!"
Seiring dengan suara ini sebuah bayangan laksana seekor
burung besar mendadak muncul disampingnya, sekali jinjing
sebat sekali kawannya dibawanya menyingkir delapan tombak
jauhnya, suaranya tetap dingin: "Kau istirahatlah disini !"
Setelah merebahkan si jagal berduka besi, gesit sekali
bayangan itu sudah melayang tiba dihadapan Giok-liong lagi.
Bercekat hati Giok-Iiong, batinnya: "Ternyata banyak juga
jago silat kelas tinggi didalam Hiat-hong-pang. Tak heran
mereka berani malang melintang bsrsiinaharaja."
Sambil berpikir matanya memandang menyelidiki kearah
bayangan hitam ini.
Tampak bentuk tubuh orang ini kurus kecil, kedua biji
matanya cekung kedalam, tapi bersinar tajam. Diatas kedua

biji matanya yang memancarkan sinar kehijauan itu adalah
alisnya yang tebal gompyok, hampir menutupi seluruh
dahinya, Hidungnya besar bengkak seperti paruh elang,
bibirnya tipis kering merekah, selayang pandang bentuk
rupanya ini pasti akan menggiriskan orang yang melihatnya.
Giok-liong berdiri diam dan tenang, sikapnya dingin
memandang, baru ini tanpa mengeluarkan suara. Tapi hawa
Ji-lo sudah terkerahkan untuk melindungi badan bersiap
menghadapi setiap pertempuran.
Tatkala itulah dibelakangnya terdengar berkesiurnya angin
dari lambaian baju, dengan seksama ia hitung pendatang baru
dibelakangnya sebanyak lima orang, Dari gerak: langkah serta
lambaian baju mereka dapatlah diukur kepandaian mereka,
paling banyak juga setingkat lebih rendah dibanding si jagal
bermuka besi.
Tiba-tiba si kurus kecil berhidung bengkak itu membuka
suara dingin: "Bukankah tuan ini Ma Giok-liong? Pun-coh (aku)
adalah Thian-siu-su cia Ie Pong"
Giok-liong insaf bahwa Thian-siusu cia Ie Pong didepannya
ini benar-benar berkepandaian aneh dan tinggi, salah seorang
iblis besar yang berwatak aneh pula. Sambil bersiaga ia
menyahut: "Sudah lama kudengar nama tuan, laksana geledek
membisingkan telinga, Aku yang rendah memang Ma Giokliong!"
Sekian lama Thian-siu-su-cia le Pong mengamatinya, lalu
katanya manggut-manggut "Benar-benar seorang gagah,
sayang terlalu angkuh. Hm. tuan berani membakar gubuk dan
melukai orang orangku, mungkin kau tidak akan terhindar dari
kejaran keadilan."
Mendadak Giok-liong mendongak sambil perdengarkan
tawa gelak-gelak, ujarnya: "Tak terduga kata kata keadilan
juga dapat tuan katakan, Hahahaha."

Air muka Thian siu-su-cia tetap membeku tanpa emosi,
setelah suara tawa Giok-liong reda, baru ia berkata dingin:
"Memang tuan harus tertawa puas sebelum ajal"
Sikap Giok-liong tidak kalah dingin: "Hari ini berapa anak
buah yang tuan bawa kemari. Lebih baik suruh mereka maju
berbareng supaya aku tidak membuang tenaga dan waktu."
Thian-siu-su-cia mendengus keras, mendadak ia berteriak
kearah belakang Giok-liong: "Para Hiang-cu diharap mundur
kesamping, biar aku sendiri yang turun tangan, Kalau menang
itulah baik, kalau kalah segera kita mundur. Anggaplah
peristiwa malam ini belum pernah terjadi!"
Sekilas Giok-liong melirik kebelakang, terlihat
dibelakangnya, berdiri jajar lima orang laki-laki yang
mengenakan pakaian sangat perlente, semua bersikap garang,
berbareng mereka melompat mundar kesamping.
Berkata pula Thian-siu-su-cia kepada Giok-liong: "Tuan
boleh kerahkan seluruh kemampuan untuk melawan aku,
Kalau sejurus atau setengah jurus tuan dapat menangkan aku,
urusan malam ini kita sudahi sampai disini. tapi setelah malam
ini bila bertemu lagi itu menjadi persoalan lain."
Giok liong tersenyum: "Tuan tidak usah kuatir tentang hal
ini seandainya tuan tidak datang, aku yang rendah juga akan
meluruk kemarkas besar Hiat-hong-pang kalian."
"Baiklah aku silakan tuan menyerang tiga jurus lebih duIu,
supaya tidak menjadi buah tertawaan orang yang mengatakan
aku le Pong menindas anak kecil"
"Baiklah aku juga tidak main sungkan-sungkan lagi." lenyap
suara kakinya sedikit menggeser kesamping kiri sedang
tangan kanannya bergerak perlahan dengan jurus Beng-houju-
tong (harimau gilik keluar gua), gerakannya sedemikian
lamban dan berat karena tanpa menggunakan tenaga

murninya, Bersama itu mulutnya juga berseru keras: "jurus
pertama !"
Gerak gerik Giok-liong ini merupakan jurus serangan yang
paling umum dilancarkan dengan sengaja tanpa mengerahkan
hawa murninya lagi keruan Thian siu-su-cia menjadi
tercengang, sedikit bergerak ia menyingkir setengah langkah.
Kini Giok- liong merubah gerakannya, tubuh sedikit mendak
kedepan, kepelan tangan kanan tergantung, sedang telapak
tangan kiri menyambar miring dari samping lagi-lagi ia
lancarkan gerak tipu Hu-hou tio-yang (harimau mendekam
menghadap matahari) jurus umum yang paling rendah
tingkatnya.
Sekali ini baru Thian siu su cia paham bahwa Giok-liong
sengaja tidak mau terima kemurahan akan serangan tiga jurus
terdahulu ini, keruan bukan kepalang rasa hatinya, tapi ia
segan pula membuka mulut.
Dalam pada itu, Giok liong sudah selesai melancarkan tiga
jurus serangan pura-pura, lantas katanya: "Tuan marilah
jangan main sungkan-sungkan lagi !" ringan sekali tubuhnya
melayang mundur lima kaki.
Kelima Hiang-cu yang berdiri membelakangi jurang diatas
ngarai itu, melihat betapa congkak sikap Giok liong ini, diamdiam
mereka membatin, bocah ini tidak tahu tingginya langit
dan tebalnya bumi, hari ini terhitung dia pasti mampus.
Jilid 03
Terdengar Thian-siau-su-cia mendengus hina, jengeknya:
"setelah kau tidak mau terima kemurahanku akan ketiga jurus
serangan tadi, nanti jangan kau menyesal bahwa aku telah
berlaku telengas dan keji kepada kau !"

"Hahahahaha, legakan hatimu dan silakan turun tangan
saja, Siapa bakal menang atau kalah masih sukar ditentukan."
dimulut ia bersikap temberang, namun diam-diam ia bersiaga
dengan mengerahkan hawa Ji-lo dalam tubuhnya untuk
bersiap siaga menghadapi setiap perubahan.
Terhadap Hiat-nong-pang dan Kim-i-pang dia merasa
dendam dan membenci sampai ke tulang sumsum. Saat mana
bara dendam kesumat sudah membakar dadanya.
Menghadapi salah satu tokoh dari Hiat-hong-pang yaitu
Thian siu-su-cia le Pang timbul rasa simpatiknya, terasa
olehnya bahwa orang ini tidak sejahat dan seburuk apa yang
pernah dipikirkan, sedikitnya dia masih mempunyai sikap
gagah sebagai kaum persilatan.
Sementara itu sedikit mengangkat tangan Thia l-siau-su-cia
le Pang berkata: "Tuan hati-hatilah !" membarengi
ancamannya selicin belut tiba-tiba tubuhnya melejit kesamping
kiri Giok-liong, kelima jarinya dirangkap terus membacok
miring laksana sebilah pedang yang diarah adalah jalan darah
King-bun hiat dibawah ketiaknya.
Giok-liong tersenyum geli, kaki kanan menggeser setengah
langkah kebelakang, sedang tangan kanannya diulur
mencengkeram pergelangan tangan kanan Thian-siu-su cia.
Thian-siu-sucia juga perdengarkan jengeknya, matanya
memancarkan kilat hijau, dimana tangan kiri terayun seketika
terbitlah angin lesus yang dibayangkan dengan pukulan
tangan yang memenuhi udara sekitarnya.
Hampir dalam waktu yang bersamaan dengan gerakan kilat
dilandasi tenaga ampuh serentak ia lancarkan empat belas kali
pukulan serta delapan kali tendangan.
Baru sekarang benar benar Giok-liong terkejut, sedemikian
cepat tahu-tahu angin pukulan musuh sudah hampir mengenai
tubuhnya, dalam gugupnya tiba-tiba tubuhnya menjengkang

kebelakang, disusul tumitnya sedikit menjangkit, tubuhnya
lantas melenting miring kebelakang secepat anak panah
meluncur.
Baru saja tubuhnya melenting mumbul, pinggangnya lantas
ditekuk dan berjumpalitan ditengah udara serta menyedot
hawa murni dalam-dalam, dengan gaya yang indah sekali
tubuhnya melengkung turun, dimana kedua tangannya
menari-nari dengan bayangan pukulan yang dahsyat ia
meluncur turun mengeprok batok kepala Thian siu-su cia.
Thian-siu cu cia mengekeh panjang, kedua kakinya sedikit
ditekuk dengan gaya berjongkok ini ia kerahkan dua belas
tenaga murninya terus mengayunkan kedua lengannya.
Langsung menyambut kedatangan pukulan Giok-liong, sengaja
ia hendak menjajal dengan latihan Lwekangnya selama
puluhan tahun itu untuk menandingi kekuatan Giok-liong.
"Bum . .. . byeerr . . . ." ledakan yang lebih hebat dan
dahsyat membuat alam sekitarnya gelap gulita angin badai
membumbung tinggi sehingga batu dan pasir beterbangan
seketika itu juga dua bayangan orang terpental berpisah
kedua jurusan, sekarang Giok-liong dan Thian-siu su-cia
berdiri berhadapan terpaut satu tombak. Adu pukulan kali ini
ternyata sama-sama kuat alias seri.
Adalah Thian-siu-su-cia sediri diam-diam bercekat hatinya,
batinnya: "sungguh tak nyana sedemikian kuat tenaga dalam
bocah cilik ini, betapapun aku harus hati-hati"
Karena pikirannya ini ia kerahkan hawa murninya untuk
melindungi badan, sorot matanya memancarkan sinar
kehijauan, mendongak keatas ia bersuit panjang melengking
menembus angkasa, Kedua tangan ditekuk bersilang mulailah
ia kerahkan ilmu pukulannya yang dinamakan Thiau-siu-sacap-
chit-ciang, seluruh tubuhnya bergetar hebat membawa
gulungan hawa hitam seperti gugur gunung terus menerjang
kearah Giok-liong.

Dalam adu kekuatan tadi Giok-liong sudah kerahkan tujuh
bagian tenaga murninya, begitu saling sentuh, darah segar
mengalir balik dalam rongga dadanya, jantungnya lantas
berdetak keras, secara mentah-mentah tubuhnya terpental
balik dan meluncur jatuh lima kaki jauhnya.
Sudah tentu bukan main kejut hatinya, sekarang melihat
musuh menerjang dengan seluruh kekuatan seperti banteng
ketaton, tanpa berani ajal lagi segera ia kerahkan Ji-Io sampai
sepuluh bagian, jurus pertama dari Sam-ji-cui-hun-chit yaitu
Cin-chiu segera dilancarkan, Dimana terlihat
bunujj-imnnrrrniaT-rsgtetiiiifPn?a segera terbit kabut putih
yang bergulung-gulung diselingi angin badai yang menderuderu.
Begitu kabut putih dengan hawa hitam itu saling bentrok
terdengar lagi dentuman hebat yang menggetarkan bumi.
Para Hiangcu yang berdiri jauh menonton serta si jagal
bermuka besi yang duduk bersila berobat diri agak jauh
disebelah sana kontan merasa diri masing-masing diterpa
hawa panas yang membakar kulit.
Begitu bayangan hitam dan putih saling bentrok seketika
tubuh mereka terbungkus oleh bayangan pukulan tangan yang
serabutan sehingga susah dibedakan lagi mana hitam dan
mana putih.
Lambat laun kabut putih dan hawa hitam semakin tebal
bergulung-gulung menjadi satu memenuhi alam sekeliling
ngarai, ditengah gelombang kabut putih dan hawa hitam yang
saling tumbuk dan bentok itu, terdengar juga angin pukulan
yang menderu berat, kedua belah pihak sudah lancarkan ilmu
pukulan masing masing yang paling dahsyat.
Tanpa mengenal kasihan sang waktu terus berjalan tanpa
meninggalkan bekas. Cuaca sudah mulai terang, dua orang
yang bertempur diatas ngarai sekarang sudah kerahkan

seluruh kekuatan hawa murni masing-masing, mereka berebut
waktu untuk melancarkan serangannya lebih duIu, dalam
bertempur gerak cepat macam ini, masing-masing harus
berlaku gesit dan tangkas untuk menangkis atau menjaga diri
serta melancarkan serangan yang paling ganas dan keji untuk
secepatnya merobohkan lawan.
Sekejap saja dua ratus jurus telah berlalu, namun
sedemikian jauh belum tampak tanda-tanda mana lebih kuat
atau asor, sekonyong-konyong Giok-liong berteriak
melengking keras sekali dimana terlihat bayangan putih
berkelebat seringan asap. Tenaga murni sudah terkerahkan
sampai sepuluh bagian dengan jurus Hwat bwe, ia menyerang
dengan sekuat tenaga.
Sungguh menakjubkan begitu jurus kedua dari Sam-ji-cuihun-
chiu ini dilancarkan seketika terjadilah pemandangan
yang sungguh indah, terlihat sinar kelap-kelip berbintang
seumpama gumpalan salju berkembang meluncur turun dari
tengah angkasa, entah lambat atau cepat semua
memberondong kearah Thi-an siu-su cia.
Belum lagi jurus kedua ini memperlihatkan kewibawaannya,
jurus ketiga yaitu Tiam-ceng juga sudah menyusul dilancarkan
sebuah tangan kecil yang putih halus bak setan gentayangan
saja layaknya tahu-tahu sudah melambai tiba didepan dada
Thian-siu su-cia le Pang, tapi sebelum mengenai sasarannya
ditengah jalan mendadak tangan itu membelok arah naik
keatas tentu menepuk keatas batok kepalanya.
Saking kejut Thian siu-su cia menggembor keras, saking
gusarnya kedua tangan ditarik terus didorong kedepan
berbareng, kabut hitam segera bergulung-gulung melambung
keluar. Bersama itu dimana giginya menggigit kencang ujung
lidahnya telah digigit sendiri sampai pecah berdarah, "crat"
segulung sinar merah berdarah langsung disemprotkan
ketangan putih halus yang menyerang tiba.

Dentuman dahsyat menggelegar menggoyangkan gunung
menggetarkan bumi, batu dan pasir beterbangan batu gunung
dimana tempat mengadu pukulan juga sampai retak dan
berbolong sebesar lima kaki bundar.
Berbareng pada saat pasir dan debu beterbangan itu,
mendadak terdengar bentakan gusar. Kelima Hiangcu dari Hiat
hong-pang itu mendadak melejit berbareng berubah lima
bayangan hitam diselingi angin pukulan yang membadai terus
menubruk kearah Giok-liong.
"Blang". - sekali lagi terdengar dentuman yang
bergemuruh, sebuah bayangan putih terjungkal sungsang
sumbal terus terbanting keras diatas tanah bersalju, begitu
pentang mulut kontan ia menyemburkan darah segar, pelanpelan
dengan kedua sikutnya ia menyanggah tubuh terus
bergegas bangun berdiri kedua kakinya terasa gemetar.
Karena pengalamannya yang masih cetek dalam cara
menghadapi musuh, sedikit meleng saja ia kena terbokong
oleh gabungan pukulan yang dilancarkan oleh kelima Hiangcu
itu.
Sambil menyeringai iblis kelima Hiangcu maju lagi setindak
demi setindak ...
Sementara itu Thian siu-su-cia yang telah beradu pukulan
melawan ilmu Sam-ji-cui- feua-chia yang dilancarkan Giokliong
kini juga sudah merangkak bangun, dengan suaranya
yang serak ia membentak gusar: "Para Hiangcu..."
Tanpa berjanji serentak kelima Hiangcu menghentikan
langkahnya berbareng menoleh kemari.
"Kemari!" Sebagai komandan piket sekte utara kedudukan
Thian-stu-su-cia ini sangat tinggi didalam Hiat-hong pang,
kepandaiannya yang lihay merupakan salah satu jago yang
paling dibanggakan dalam perkumpulan itu.

Sekarang mereka diperintahkan mendekat walaupun dalam
hati ingin membangkang tapi mereka tidak berani melanggar
perintah, berbareng mereka berkelebat maju kehadapannya,
tanyanya: "Bagaimana keadaan luka komandan . . . "
Thian-siu-su-cia mengulapkan tangan, setelah
menenangkan semangatnya, sekuatnya ia buka mulut bicara:
"Urusan malam ini, selesai sampai disini saja !"
Saat mana Giok-liong sudah berengsot maju mendekap
jubah luarnya yang putih sudah kotor berlepotan darah,
jengeknya dingin: "Memang tidak memalukan, nama Hiathong-
pang memang serasi benar dengan perbuatan kalian. . ."
Belum habis ucapannya, Thian siu su-cia sudah bangkit
berdiri sambil mengerut alis, serunya membungkuk diri: "Atas
pelanggaran yang telah dilakukan oleh para Hiang-cu kami,
harap suka dimaafkan ! Hari ini jelas sudah kalah. . . urusan
malam ini . . . baiklah setelah sampai disini saja! Selewatnya
hari ini . . . kelak kita tentukan lagi siapa lebih unggul dan
kalah !" habis berkata napasnya juga memburu, agaknya luka
dalamnya juga tidak ringan.
Salah satu diantara para Hiangcu itu seorang diantaranya
seorang berusia pertengahan umur berbadan kurus tinggi
dengan air muka kecut segera angkat tangan kepada Thiansiu-
su cia, katanya: "Komandan, bocah ini sudah loyo
kehabisan tenaga, lebih baik diringkus . ."
"Kentut !" "plak, plok" saking gusar kontan Thian-siu su-cia
persen dua tamparan para Hiangcu yang kurang ajar ini, Dia
sendiri karena menggunakan tenaga sekali lagi memuntahkan
darah segar.
Dua orang Hiangcu yang lain segera maju memapak
badannya, katanya: "Komandan kau harus menjaga kesehatan
badanmu !"

Thiansiu-su-cia mendengus geram, katanya kepada Giokliong:
Ma-siauhiap, ada satu hal yang ingin Losiu tanyakan,
entah dapatkah kau memberi keterangan?"
Sebenarnya keadaan luka Giok-Iiong juga tidak ringan,
namun sekuatnya ia coba bertahan, sahutnya lirih: "Tuan ini
tanya soal apa ?"
"Apa hubungan tuan dengan Toji Pang Giok?"
"Beliau adalah guruku."
"Oh . . . baik sampai jumpa lagi !" berubah sir muka Thiansiu
su-cis, sambil mengulapkan tangannya ia memberi
perintah: "Mari kita pulang !"
Kedua Hiangcu yang lain segera memayang si jagal
bermuka besi Ang It-hwi yang sedang berobat diri itu, terus
pelahan-lahan turun gunung.
Giok-liong terlongong-longong memandangi punggung
mereka menghilang dikejauhan, lalu ia menghela napas
rendah, gumannya: "Oh Tuhan, rata-rata sedemikian tinggi
kepandaian mereka, kapan dendam kesumat ini bisa terbalas .
. ." air mata tak tertahan mengalir deras membasahi tubuhnya
berlepotan darah itu.
"Apapun yang bakal terjadi," demikian ia berpikir sambil
menggertak gigi, "Dendam kesumat ini harus kubalas berlipat
ganda ! Bunuh, akan kutumpas mereka ! Aku harus
memperoleh pelajaran ilmu silat sakti, untuk ibu dan
membalaskan sakit hatinya !"
Sekonyong-konyong terdengar suara tawa cekikikan
dibelakangnya, sebuah suara merdu berkata: "sungguh tidak
malu, hanya terkena sedikit luka saja lantas menangisi." hilang
suaranya lagi-lagi ia tertawa genit berkakakan.
Tergetar hati Giok liong, seorang diri menangis ditempat
sunyi ini, ternyata sekarang konangan oleh seseorang,

bukankah ini sangat memalukan! Dalam gugupnya segera ia
menyeka air matanya terus memutar tubuh.
Suara tawa genit yang terkekeh itu masih terdengar, lalu
terdengar orang mengejek: "Aku sudah melihat kau menangis,
seeepat-cepat kau menyeka air matamu apa lagi gunanya ?"
Waktu Giok-liong memandang tegas, seketika matanya
terbeliak, orang yang tertawa genit serta mengejek dan berdiri
didepannya ini ternyata adalah seorang gadis remaja yang ayu
jelita bsrpakaian serba merah.
Tawa genit yang menggila itu ternyata keluar dari bibir
yang kecil mungil itu. Memang begitu cantik wajahnya dengan
mata yang jeli hidung yang mancung serta dadanya yang
montok benar-benar potongan tubuh yang sangat memikat
hati setiap laki-laki.
Demikianlah juga Giok-liong tanpa merasa ia berdiri
terpesona mematung ditempatnya.
Setelah puas tertawa, tampak alis si gadis diangkat tinggi
serta ujarnya aleman: "Eh, apakah aku elok ?"
Tanpa sadar Giok-liong manggut-manggut.
"Apakah kau suka kepadaku ?"
Sungguh diluar dugaan Giok-liong orang bakal mengajukan
pertanyaan seperti ini, sesaat ia tertegun tak tahu cara
bagaimana ia harus menjawab.
"Hm, agaknya kau tidak tahu, jadi kau hendak ambil
keuntungan dari aku ?"
Perasaan sebal dan benci seketika timbul dalam benak Giok
liong, sambil mendengus ia terus putar tubuh tinggal pergi
turun ngarai.
Belum lagi ia melangkah jauh terdengar pula suara tawa
genit yang mengiblis itu semakin keras dan menggila, disusul

sebuah bayangan merah berkelebat tahu tabu gadis baju
merah yang cantik itu sudah menghadang didepannya, alisnya
dikerutkan dalam mulutnya cemberut, tanyanya: "Masa kati
tidak ingin tahu siapakah aku ini ?"
Alis Giok-Jiong juga berjengkit tinggi, sahutnya dingin:
"selamanya aku belum pernah bertemu muka dengan nona,
harap nona suka mengenal sopan sedikit."
Lagi-lagi si gadis baju merah ini terkekeh genit dan semakin
jalang, serunya: "Aduh, pura-pura malu kucing dengan istilah
belum pernah jumpa apa segala. Justru sekarang aku minta
kau segera menjawab pertanyaanku?"
"Hm, kalau nona tidak mau menyingkir jangan menyesal
kalau aku sampai turun tangan."
"Aah garangnya, aku tidak mau minggir coba kau berani
turun tangan."
Timbul amarah Giok-liong, sambil menahan sakit "Wut"
langsung ia menampar ke depan.
Bayangan merah berkelebat seketika ia rasakan sikut
tangannya kesemutan seluruh lengannya itu lantas lemas
semampai tak mampu bergerak lagi. Suara tawa jalang dari
gadis merah itu terdengar pula: "saudara kecil, tabiatmu itu
sungguh sangat kasar . . ."
"Cis, siapa menjadi saudaramu, hayo minggir . . . " dengan
marahnya ia terus menerjang maju dengan langkah lebar.
"Kembali lah!" kontan ia merasa dirinya menumbuk sebuah
dincing yang tidak kelihaian sampai badannya terpental balik
dan terhuyung tiga langlah, darah dalam dadanya seketika
bergolak, tenggorokan terasa panas darah segar terus
menerjang naik kedalam mulut.
Namun ia mengertak gigi, muntah-muntah ia telan kembali
darah yang sudah menyembur keluar itu. Matanya mendelik

mengawasi wajah gadis baju merah, semprotnya gusar: "Apa
keinginanmu?"
"Jawab pertanyaanku!"
"Kalau aku tidak mau jawab?"
"Hm, Takabur benar, jangan harap kau dapat pergi!"
"Hah, aku Ma Giok-liong seorang laki-laki tak sudi diperas
dan ditekan oleh perempuan yang jalang kotor seperti kau."
Seketika berubah air muka gadis baju merah, meskipun
memperlihatkan sikap tawanya tapi kini wajahnya itu sudah
diliputi nafsu keji yang ingin membunuh, tawa jalangnya
semakin keras, teriaknya: "Apa yang kau katakan tentang aku
ini?"
"Perempuan jalang."
"Plok!" kontan Giok liong merasakan pipi kanannya pedas
dan panas sakit sekali, tahu-tahu dia sudah terkena sebuah
tamparan.
"Hayo coba berani katakan tidak ?"
"Perempuan jalang !"
Bayangan merah berkelebat lagi, sejalur angin keras
langsung menerjang kearah dadanya, Bercekat hati Giok-liong,
dalam gugup tangannya diangkat untuk menangkis. Tapi dia
sendiri sudah terluka dalam yang sangat parah, faktanya tiada
kekuatan untuk membela diri, seketika itu juga ia menjerit
nyaring, mulut Giok-liong menyemburkan darah segar,
badannya terpental terbang delapan kaki jauhnya terus
terbanting keras diatas tanah bersalju.
Gadis baju merah itu berkecek mulut lalu mendekati,
ujarnya: "Ternyata hanya sebegitu saja kemampuanmu . . . "
Memang Giok-liong sudah terluka parah kini terpukul dan
terbanting begitu keras lagu seketika mata berkunang- kunang

kepala terasa pusing tujuh keliling, sungguh pedih rasa
hatinya, namun sambil menggertak gigi ia masih memaki:
"perempuan cabul, perempuan jalang, akan datang satu hari
aku Ma Giok-liong pasti membunuh kau !"
Pada saat itulah tiba tiba terdengar berkesiurnya angin
serta berkelebatnya sinar emas kekuningan, tahu-tahu diatas
ngarai situ telah muncul tiga orang laki-laki pertengahan umur
yang mengenakan pakaian seragam kuning emas.
Salah seorang yang berdiri ditengah berperawakan tinggi
kekar berdada bidang, alisnya tebal bermata sempit sepetti
mata tikus, dipipi sebelah kiri ada bekas luka terbacok
berwarna merah menyolok.
Begitu mereka muncul, enam biji mata yang bersinar tajam
lantas terpusatkan memandangi si gadis baju merah.
Terdengar salah seorang mereka berkata: "He, kurang ajar,
tidak nyana bocab itu mempunyai rejeki demikian besar,
sebelum ajal masih ditemani oleh gadis cantik yang
menggiurkan!"
"Hahahaha, Ong-tong-cu, justru aku berkata bahwa kau
sendirilah yang bakal ketiban rejeki, Gadis cilik ini cukup cantik
benar ?"
Orang yang dipanggil Ong-tong-cu itu segera melangkah
maju berapa langkah, sekilas ia melirik kearari Ma Giok-Iiong
yang rebah ditanah, katanya: "Hm, memang dia adanya,
ringkus dia dan mundur kesamping."
Baru lenyap suaranya, gadis baju merah itu segera tertawa
genit dan maja menghampiri katanya: "Oho, enak benar kau
berkata, mau ringkus tinggal ringkus, kenapa tidak tanya dulu
kepada aku!"
Sejenak Ong-tong-cu tertegun, tapi lantas tertawa
terbahak-bahak, serunya: "Dia ini apamu, sedemikian besar

rasa prihatianmu ? Urusan kita dari kaum Kim-i-pang
selamanya tidak suka diusik oleh orang luar.
"Aku tidak perduli, dihadapan aku Li Hong, tiada
seorangpun yang dapat kubiarkan berlaku congkak dan
bertingkah."
Li Hong! Begitu mendengar kedua nama ini disebut, Ongtong
cu dan kedua temannya itu bercekat hatinya, sebentar
mereka tercekat lalu dengan mata yang penuh kecurigaan
mata mereka menyelidik dan menyelusuri seluruh badan gadis
berbaju merah itu, tanyanya perlahan: "Nona adalah . . .
adalan Ang-i-mo-li Li Hong?"
Li Hong mengekek dulu, sahutnya: "Aku memang Ang-imo-
li Li Hoog, kalian mau apa ?"
Pandangan Ong-tong-cu serasa gelap, otknya juga seperti
dipukul godam, batinnya: "Celaka, habis sudah, bagaimana
bisa hari ini kita bisa berjumpa dengan wanita iblis yang
terkenal sulit dilayani ini . . ."
Dalam hati ia mengeluh namun lahirnya tetap berlaku
hormat dan menyanjung, ujarnya sambil memberi hormat:
"Karni tidak tahu bahwa ternyata nona Li telah berkunjung
kemari, harap nona suka memberi maaf se-besar-besarnya
akan sikap kami yang kasar tadi, baiklah hamba beramai
minta diri." sembari berkata ia mundur berulang-ulang.
Iblis wanita baju merah terloroh-loroh semakin keras sekali
melejit ia mendesak maju dihadapan Ong tong cu, katanya
tertawa:
"Setelah melihat mukaku. mana boleh pulang tanpa
membawa sedikit oleh-oleh dari aku," habis kata-katanya
terendus bau harum semerbak berkembang terus terdengar
teriakan berulang-ulang.

Dalam sekejap itu enam buah kuping dari tiga antek-antek
Kim i-pang telah dibetot putus dan tempatnya terus dibanting
diatas tanah.Darah mengalir deras dikedua pipi mereka.
iblis wanita baju merah tertawa riang serunya: "Sekarang
kalian boleh pergi!"
Tanpa berani bercuit lagi Ong-tong-cu bertiga segera lari
terbirit-birit turun ngarai.
Waktu Li Hong membalik tubuh lagi, saat mana Giok-liong
sudah bangkit berdiri dengan tubuh masih limbung kerlingan
tajam ia tatap iblis wanita baju merah, tanyanya:
"Kau, sebetulnya apa kemauanmu?"
"Orang yang sudah kupenujui, sudah tentu tidak boleh
terjatuh ketangan orang lain."
Mendengar ocehan yang kurang ajar ini seketika naik hawa
amarah Giok liong sampai kepala terasa berdenyut-denyut,
semprotnya murka: "Apa maksud kata katamu itu? Aku tidak
mengerti"
"Nanti sebentar kau akan mengetahui." dengan gaya yang
lemah lembut serta gesit sekali ia menghampiri kearah Giokliong,
kedua matanya yang bersinar bening itu kini memancar
sorot kejalangan yang panas membara menatap wajah Giok
liong.
Tanpa merasa tergetar perasaan Giok-liong, cepat-cepat ia
himpun semangat dirogohnya sebutir obat yang dibekal dari
Lembah putus nyawa terus ditelannya suasana diatas ngarai
menjadi sunyi, tegang.
Meskipun luka parah Giok-liong masih belum sembuh
namun diam-diam ia sudah kerahkan seluruh kekuatan Ji-lo
untuk melindungi tubuh, Kalau gerak gerik iblis wanita baju
merah ada sedikit mencurigakan terhadap dirinya, segera ia

akan turun tangan sekuatnya untuk merobohkan atau bila
perlu membunuhnya.
Sebaliknya Ang i-mo-li masih berdiri di-tempatnya, kedua
pipinya semakin merah, ke-dua bibirnya juga sedikit
terpentang bergerak-gerak laaana delima merekah, dari
badannya mengeluarkan bebauan harum yang memabukkan
setindak demi setindak, sekarang ia maju mendesak kearah
Giok liong.
Pada saat itulah mendadak terdengar sebuah suara tawa
dingin yang rendah dan sember memecah suasana yang
tegang menyekam sanubari ini. Tahu-tahu diatas ngarai kini
muncul sebarisan laki-laki yang semuanya mengenakan
pakaian seragam kuning emas.
Pemimpin yang terdepan adalah seorang tua berambut
uban dan berjenggot putih panjang, wajahnya tepos, kedua
matanya memancarkan sorot berkilat-kilat, jengeknya dingin:
"Ang i-mo-li, selamanya perkumpulan kita tidak pernah saling
melanggar dengan kamu. Hari ini kau berani turun tangan ikut
mencampuri urusan dari kita, malah melukai anak buah kita
lagi. Bagaimana kau hendak membereskan perhitungan ini?"
Sigap sekali mendadak Ang-i-mo-lt memutar tubuh,
serunya terkekeh: "Oho, tidak nyana tuan besar pelaksana
hukum dari Kim-i-pang juga telah datang kemari !"
"Nona Li, bicara terus terang, kalau hari ini kau lepas
tangan tidak turut campur, semua urusan yang telah terjadi
bolehlah di hapus sama sekali."
"Boleh saja, tapi dengan satu syarat, kalian tidak boleh
membawa pergi Ma Giok-liong."
"Apa maksudmu ini ?"
"Siapa berani menyentuh dia, pasti kubunuh !"
"Jadi kau sengaja ingin menjagoinya ?"

"Bukan begitu maksudku, tapi siapapun kularang
menyentuh dia."
"Sudah pasti kau hendak melindungi dia ?"
"Betul !"
"Hehehe . . . nona Li, dengan baik tadi Lohu membujuk kau
tidak mau dengar kata, janganlah nanti kau menyesal bahwa
Lohu berlaku kejam terhadapmu !"
Tatkala itulah, tiba-tiba Giok-liong pelan-pelan maju
ketengah gelanggang.
Tertegun Ang i-mo li dibuatnya, teriaknya gugup: "Ma-siauhiap,
jangan kau sembarangan bergerak."
Giok-liong melotot sekali kearahnya, ejeknya: "urusanku
tidak perlu kau turut campur."
"Ma-siau-hiap, mereka sengaja hendak mencari perkara
kepadamu . . "
"seumpama aku sampai mati juga tidak sudi minta bantuan
kepada perempuan jalang macammu ini !"
Pelaksana hukum Kim-i-pang itu tiba-tiba terkekeh dingin,
ujarnya mengejek: "Bagus, bagus, nona Li si dia, tidak mau
terima kebaikanmu."
Sebaliknya Ang-i-mo-li Li Hong malah melirik penuh
perhatian kearah Giok-liong, lalu serunya tersenyum: "Apa
betul ?"
Belum lenyap suaranya mendadak tubuhnya bergerak cepat
sekali, dimana bayangan merah berkelebat membawa
gulungan angin pukulan dahsyat terus merangsak maju
langsung memukul kedada pelaksana hukum Kim-i-pang itu.
Kecepatan turun tangan serta tipu serangannya yang telengas
ini betul-betul sangat mengejutkan

Tapi pelaksana hukum Kim-i-pang ini agaknya juga bukan
kaum lemah, sedikit tertegun kemudian, segera mendengus
dingin, serunya: "Diberi arak suguhan tidak mau, malah minta
dihukum. . . "
Tanpa ajal ia juga segera menggerakkan kedua tangannya
maju menyambut serangan lawan berbareng berseru memberi
aba-aba: "Ringkus dulu bocah she Ma itu?"
Serentak kelima laki-laki berpakaian kuning emas itu
berbareng mengiakan terus melejit maju mengepung
disekeiiling Giok-liong.
Ang-i mo-li terdengar terloroh loroh lagi, serunya: "Tidak
begitu gampang !" bertepatan dengan pukulan tangannya
hampir saling bentur dengan tangkisan pelaksana hukum Kimi-
pang itu, mendadak pergelangan tangannya dibalikkan,
selicin belut pingangnya meliuk ringan sekali badannya lantas
melayang menerjang kearah lima laki-laki yang mengepung
Giok-liong itu.
Kontan terdengarlah jerit dan pekik saling susul disertai
hujan darah berceceran, dua diantara lima laki-laki baju
kuning emas itu sudah roboh terkapar karena terserang
dadanya, dalam keadaan yang tak terduga dan tanpa siaga
lagi mereka diserang keruan seketika mereka roboh
bergulingan terus tak bergerak lagi, jiwanya melayang.
Sungguh gusar pelaksana hukum Kim i-pang bukan
kepalang, teriaknya dengan murka: "Maju semua !" sambil
berteriak ia mendahului menubruk kearah Giok-liong sambil
melancarkan pukulan dahsyat yang membawa angin menderu
hebat.
Saat mana Giok-liong sudah ada kesempatan menelan obat
serta mengerahkan Ji-lo berputar tiga putaran dalam tubuhnya
luka luka dalam badannya sudah setengah sembuh melihat
dirinya sekarang yang dijadikan sasaran, maka dengan

tertawa dingin ia menjengek: "Tambah selipat lagi juga tuan
mudamu ini takkan gentar."
Pelan-pelan kedua tangannya bergerak mendorong maju,
kekuatan tenaga murninya segera memberondong keluar,
terdengar suara plak plok berulang-ulang disertai jeritan yang
mengerikan, dua orang lagi kena terpukul terjungkir balik dan
akhirnya rebah ditanah.
Bersamaan dengan hasil pukulannya itu, pelaksana hukum
Kim-i-paag juga tengah melancarkan pukulannya yang lihay
bagai gugur gunung menungkrup keatas kepalanya.
Giok-liong masih tertawa ejek saja, kemudian Ji-lo ia
terkerahkan sampai delapan bagian tangannya terus disorong
kedepan untuk menyambut pukulan musuh. "Darrr .. , Byaar"
sedemikian keras ledakan benturan dua tenaga yang saling
beradu ini, pelaksana hukum Kim-i-pang terdengar menguak
keras seperti babi hendak disembelih, badannya terpental
terbang jauh sambil menyemburkan darah menyemprot keras
sekali sampai beberapa meter, terang jiwa pelaksana hukum
Kim-i-pang ini juga sulit diselamatkan kembali.
Sementara itu dalam gelanggang masih saling susul
terdengar jeritan yang mengerikan darah sudah membanjir
dimana-mana, saban-saban terdengar pula suara tawa jalang
yang keras itu. Ang-i-mo-li bergerak begitu lincah, cara turun
tangannya juga cukup kejam, dalam sekejap mata itu dimana
tangannya bergerak gampang sekali ia sudah merobohkan
anak buah Kim-i pang.
Air muka Giok-liong semakin membeku, sebaliknya bara
sakit hati semakin berkobar dalam rongga dadanya seolaholah
gunung berapi yang hendak meletus, Dia sendiri tidak
tahu, apakah pihak Kim-i-pang ini ada bermusuhan dengan
dirinya. tapi gerak gerik serta kata-kata mereka tadi ia
menyimpulkan bahwa pasti mereka adalah musuh-musuhnya

juga. Karena anggapannya ini, gesit sekali bayangannya
bergerak, Sam-ji-cui-hun chiu dilancarkan berulang kali.
Dalam gelanggang pertempuran segera kelihaian
gelombang awan putih yang bertaburan menyelubungi
bayangan putih yang terus mengembang keempat penjuru
mengejar dan merobohkan para anak buah Kim-i-pang yang
sudah ciut nyalinya dan sedang berusaha menyelamatkan diri.
Jeritan ngeri yang mendirikan bulu roma, terdengar saling
bergantian, darah segar yang nangat terbang memenuhi
angkasa dan berceceran ditanah menjali aliran panjang.
Tatkala itu, Ang-i-mo-Ii sudah mundur dan berdiri
menonton diluar gelanggang, melihat cara turun tangan Giok
liong yang tengah melancarkan pembunuhan kejam besar
besaran, tanpa merasa hati kecilnya menjadi li'jt dan jijik
rasanya. Sekejap saja anak buah Kim i-pang yang masih
berada diatas ngarai tinggal tidak seberapa banyak lagi,
mereka yang masih ketinggalan hidup berusaha lari
memencarkan diri, saking takut seiasa arwah sudah melayang
meninggalkan badan.
Meskipun mereka sudah berusaha lari sekencangkencangnya,
tapi toh tak luput dari kejaran hantaman tangan
dari bayangan putih yang diselubungi kabut pula, Akhirnya
setelah jerit dan pekikan seram sebelum ajal itu sirap dan
semua sudah roboh terkapar ke aiaan diatas ngarai itu
menjadi sunyi pula.
Dengan tenang Giok-liong berdiri tegak diantara mayatmayat
yang bergelimpangan serta darah yang mengalir
tergenang disekitar kakinya, jubah panjang yang berwarna
putih itu, sedikitpun tidak terkena noktah-nokcah darah.
Tapi wajah Giok-liong yang membesi, jubahnya yang
melambai tertiup angin serta potongan tubuhnya yang tinggi
lencir berdiri diantara tumpukan mayat dan genangan air

darah, keadaan ini benar-benar sangat menyeramkan
dipandang mata.
Ang-i-mo li sendiri juga seorang iblis wanita yang kejam
membunuh orang tanpa mata berkedip, namanya sangat tenar
dikalangan Ka-ngouw, setiap kali mengerahkan tangan
membunuh musuh musuhnya selalu diiringi dengan tawa
jalangnya yang menusuk kuping, Kini melihat keadaan dan
pandangan didepan matanya ini tak urung merasa mengkilik
dan ciut nyalinya.
Untuk berapa lamanya suasana diatas ngarai tenggelam
dalam kesunyian.
Giok liong terlongong-longong melepaskan pandang kearah
yang jauh dan jauh sekali, sorot matanya memancarkan
perasaan hampa. Mendadak ia berpaling muka, sinar matanya
yang tajam bagai kilat menatap wajah Li Hong yang berseri
bagai kuntum bunga dimusim semi.
Tiba-tiba timbul suatu perasaan aneh yang belum pernah
terjadi dalam sanubari Li Hong, Memang lahirnya sifatnya
kelihatan jalang dan genit sekali, namun dia sendiri sangat
keras menjaga kesuciannya, Berapa banyak para mata
keranjang di Kangouw yang terpincut dan tergila gila oleh
kecantikannya ini, tapi mereka semua menjadi setan
gentayangan korban keganasannya.
Tetapi waktu untuk pertama kali ia bersua dan melihat
Giok-liong, hati kecilnya timblul suatu perasaan manis mesra,
namun ia tidak terlalu besar menaruh perhatian akan hal ini,
karena dia sudah kebiasaan dalam permainannya mengalah
sifat laki-Iaki.
Siapa tahu setelah sebuah tragedi pembunuhan besarbesaran
terjadi, perasaan dalam sanubarinya itu mendadak
mengembang dan memperbesar sampai tiada batasnya dan

susah dibendung lagi sehingga memenuhi rongga dadanya
yang penuh padat itu.
Pandangan kasih mesra segera terlontar dari sorot matanya
yang bening dan terbelalak bundar itu menatap sayu kewajah
Giok-liong yang dingin membesi dan berdiri terpekur itu.
Tali asmara sudah terikat kencang diatas badan Giok-liong.
selintas itu terbayang olehnya gambaran indah dan impian
muluk dalam otaknya. Tanpa terasa mulutnya menyungging
senyum manis mesra bak sekuntum kembang mekar dan
segar di pagi hari.
Sekonyong-konyong dengusan rendah dan berat
menyesakkan dia dari lamunannya. Sorot mata Giok-liong
yang memancarkan kilat dingin tengah berapi-api
mengandung nafsu membunuh beranjak, mendekat ke arahnya
setindak demi setindak.
Walaupun expesi wajahnya sangat menakutkan namun
sepasang pipinya bersemu merah sangat elok dipandang
mata.
Bercekat hatinya, diam diam ia kerahkan tenaga dan hawa
murninya untuk siaga, lalu dengan lantang ia bertanya: "Masiau-
hiap, bukankah mereka adalah musuh-musuh besarmu?"
Giok-liong mandah menyeringai dingin tanpa membuka
suara, kakinya tetap melangkah maju dengan mantap.
Melihat gelagat ini, semakin ciut perasaan Ang-i-mo li,
batinnya: "mungkinkah ia sudah kerasukan setan laknat,
sehingga dianggapnya aku juga kamprat-kamprat dari kaum
Kim i-pang?" karena anggapannya ini segera ia menghardik
keras: "Stop, berdiri disitu! "
Giok-liong juga tercengang dibuatnya, betul juga ia
menghentikan langkahnya.

"Ma-siauhiap, aku adalah Li Hong, bukan antek dari Kim-ipang!"
"Hm, aku tahu kau Li Hong adanya, tapi kau harus
rnampus!" habis berkata dengan langkah tetap ia maju
mendesak lagi.
Mendengar ancaman Giok Lioag itu, seketika dingin
perasaan Li Hong seumpama diguyur air dingin, pemuda
pujaan hatinya ini ternyata bersikap kaku dan berkata
demikian, sekuatnya ia menghimpun semangat dan
menenangkan pikiran, ujarnya dengan lemah lembut: "Masiau-
hiap. apa , . . apakah sikapku tadi terlalu kasar
terhadapmu? "
Aku harus membalas kedua tamparan dan sekali genjotan
didadaku tadi."
Serasa pecah kepala Li Hong, tanpa terasa dua butir air
mata kontan mengalir membasahi pipinya, Berapa tinggi
kepandaian Giok liong tadi ia sudah menyaksikan sendi ri,
bagaimana juga dirinya bukan tandingan orang, seumpama
dirinya mau menggunakan senjata rahasia yang jahat yaitu
Sia-hun-ciam (jarum penyedot sukma), mungkin dengan
gampang dapat menundukkan dan meringkus dia, tapi
bukankah impian muluknya tadi bakal buyar himpas.
Pengalaman yang dulu pernah membuat dia patah hati, dia
tahu dan dapat merasakan betapa sukar membina cinta murni
ini, taji dia juga tahu cara bagaimana untuk menghalang
ikatan perasaan itu, Dalam saat-saat pendek laksana sepercik
kilat itu, diam-diam ia sudah mengambil suatu keputusan yang
penuh mengandung resiko.
Langkah Giok-liong sudah semakin dekat tinggal lima
langkah lagi jaraknyj, tersipu penuh pandangan sayu dan
hampa ia angkat kepala, tersapu bersih sifat-sifat jalangnya
semula, katanya parau dengan pedih "Ma. . . seumpama aku

mandah menerima balasan dua tamparan dan pukulan dada
tadi, maukah kau memaafkan kesalahanku tadi ?"
Melihat macam pandangan orang, tergetar hebat sanubari
Giok-liong, oo Tuban, sikap dengan air muka serta pandangan
semacam ini sungguh sudah sangat dikenalnya.
Malam itu, diwaktu ibunya terpekur merenungkan sesuatu
bukankah pandangan mata serta mimiknya seperti itu.
Tapi suatu kesan lain segera mendorong dan melenyapkan
pikiran serta keraguannya ini, "Cis, perempuan cabul semacam
dia, masa sejajar dibanding ibuku." sambil berpikir tangan
kanannya sudah pelan-pelan terangkat tinggi, dengusnya:
"Kalau kau berkepandaian lancarkanlah seranganmu, supaya
jangan dikatakan aku menindas orang yang tidak mampu
melawan."
Betapa perih hati Li Hong mendengar ejekan Giok-liong ini,
air mata semakin deras mengalir. Tadi waktu dirinya memukul
Giok-Iiong bukankah orang tengah terluka berat? Oleh karena
itu pelan-pelan ia memejamkan kedua mata yang penuh
mengembang air mata, serta mengangsurkan kedua belah
pipinya yang halus dan bersemu merah itu, katanya sayu:
"pukullah . . . "
Giok-liong menjadi serba sulit, hatinya gundah dan
bimbang, tangan kanan yang telah terangkat tinggi menjadi
susah diturunkan. Dia bukan seorang gagah yang mau begitu
saja menurunkan tangannya memukul orang yang tidak mau
melawan ! Akhirnya dia membentak dengan marahnya: "Apa
kau orang mati, apa kau tidak bisa berkelit?"
"Ai, memang aku rela kau pukul sampai mampus."
Semakin melonjak amarah Giok-iiong, tangan kanan yang
sudah terangkat tinggi itu segera diayun dipukulkan kearah
tanah, "Blang," saking keras pukulannya tanah sampai
tergempur dan berlobang besar sambil berjingkrak gusar GiokTIRAIKASIH
WEBSITE http://kangzusi.com/
liong memaki: "perempuan cabul, perempuan bangsat pergi
kau menggelindinglah dari hadapanku . . ."
Dimaki sedemikian rerdah dan kotor keruan terketuk
sanubari Li Hoag seolah-olah ditusuk sembilu, giginya
berkereot dengan gemasnya, teriaknya beringas: "Siapa yang
kau maki ?"
Berbareng bayangan merah berkelebat sebat sekali ia
melejit maju sambil menampar dengan bernafsu kearah muka
Giok-liong,
Giok-liong mandah tertawa ejek, sekali berkelebat mudah
saja ia menyingkir disusul terdengar dua kali srara "plak, plok"
yang nyaring diselingi pekik kesakitan suara perempuan.
Tahu-tahu kedua belah pipi Li Hong sudah bengap
membengkak besar, mulutnya melelehkan darah segar,
dengan terlongong-longong ia memandangi Giok-Iiong.
Giok-liong tersenyum sinis, jengeknya: "perempuan rendah,
segera menggelinding dari ngarai ini, kelak jangan sekali-kali
kebentur ditanganku lagi, kalau tidak jangan kau sesalkan
perbuatan tuan mudamu yang tidak kenal kasihan !"
Sepasang mata Li Hong segera memancarkan sorot
kebencian yang menyala-nyala, Bukan karena pukulan atau
tamparan Giok-liong tadi, adalah karena makian yang kotor
dan hina itu telah melukai harga dirinya.
Sebab, Giok-liong telah menghancurkan impian muluk dari
seorang gadis remaja, sehingga sanubari yang sudah terluka
itu semakin parah lagi.
Sekejap ia menatap kcarah Giok-liong dengan pandangan
bengis dan kebencian yang tak bertara terus membalik tubuh
melesat turun ngarai dengan pesatnya.
Setelah bayangan Li Hong hilang dari penglihatannya baru
Giok-liong dapat menghela napas panjang, selintas

pandangnya merayapi mayat-mayat yang bergelimpangan
disekeIilingnya, tiba-tiba timbul perasaan hampa dan masgul
dalam hati kecilnya.
"Haruskah aku menghantamnya tadi ? Bukankah dia telah
menolong jiwaku tadi ? Apalagi sewaktu aku memakinya
sebagai perempuan cabul, sedemikian galak reaksinya, apakah
aku salah lihat orang ?"
Sekarang setelah rasa gusarnya hilang dan dapat berpikir
secara tenang dan sabar diam-diam baru ia sadar dan
mengeluh dalam hati: "Celaka! " dimana badannya berkelebat
pesat sekali laksana meteor ia terus berlari turun gunung,
sepanjang jalan pengejaran ini ia berpikir "Pandangannya
yang penuh kebencian dan sayu itu mirip benar dengan sorot
mata ibu. Tentu dia seorang yang pernah merasakan pahit
getirnya hidup dan merana. Tidak seharusnya aku melukai
hatinya tidak seharusnya aku begitu kejam memakinya."
Semakin dipikir hatinya semakin gundah dan tidak tentram,
tanpa merasa sekuat tenaga ia kembangkan gerak tubuh
Leng-hun-toh, dengan kecepatan maximum lari mengejar
kedepan.
Dia tengah berpikir: "Bilamana dapat mengejarnya, cara
bagaimana aku harus minta maaf kepadanya..." batu-batu
gunung serta hutan dikedua sampingnya laksana kilat saja
mundur kebelakang, Tapi sedemikian jauh masih belum
terlihat bayangan Ang-i-moli.
Matahari sudah semakin doyong kearah barat, haripun
sudah mulai sore, dengan lari kencangnya dalam pengejaran
ini, mungkin sudah ratusan li lebih ia tempuh. Tengah ia
celingukan kian kemari keadaan bingung kemana pula ia harus
mengejar, tiba-tiba dihutan kejauhan sana terlihat sesosok
bayangan merah yang langsung berkelebat terus menghilang.

Betapa tajam pandangan Giok-liong sekarang, begitu
menjejakkan kaki badannya terus melesat kearah hutan
didepan sana secepat meteor terbang.
Waktu Giak-liong sampai dihutan yang dituju, bayangan
merah itu sudah menghilang tanpa jejak, keadaan hutan ini
sedemikian lebat dan keadaan didalam sana sangat gelap
pekat serta sunyi lagi.
Diam diam Giok-liong bimbang dan berpikir "Apakah dia
sudah memasuki rimba ini."
"Tanpa banyak pikir lagi badannya segera melenting
menerjang masuk kedalam rimba.
Tidak lama setelah Giok-liong masuk, sebuah sososok
bayangan kecil langsung melesat keluar dari dalam rimba
terus berlari kencang menuju kearah timur.
Baru saja Giok liong menginjakkan kakinya didalam rimba
hidungnya lantas dirangsang bau apek yang menyesakkan
dada. Selepas pandang terlibat keadaan dalam rimba ini gelap
gulita, tapi pohon pohon tumbuh begitu subur sekali.
Tanah sekitarnya tebal bertumpuk tumpuk daun-daun
kering yang basah, bau apek yang memualkan itu justru
teruar dari timbunan daun-daun kering yang sudah membusuk
itu. Tatkala itu sudah musim kemarau, tapi tetumbuhan dalam
hutan ini masih sedemikian suburnya berkembang baik,
sampai daunnya tumbuh begitu lebat hingga menutupi sinar
mata hari.
Ketajaman sepasang mata Giok liong bagai kilat menjelajah
keadaan dalam rimba itu, dilihatnya sekiur tubuhnya tiada
jejak atau bayangan manusia, tanpa merasa ia mengguman
sendiri: "Apakah dia sudah memasuki rimba sebelah dalam
sana ?"
Sambil berpikir ia angkat langkah maju semakin dalam.

Kiranya hutan ini adalah sebuah rimba belantara yang
besar sekali, "semakin jauh dan dalam Giok-liong maju,
keadaannya semakin gelap, jikalau Lwekangnya sudah
sempurna serta ketajaman kedua matanya yang luar biasa,
mungkin dia takkan dapat melihat situasi sekelilingnya. Lama
kelamaan hatinya menjadi heran: "Untuk apakah Ang i-mo li
memasuki hutan ini? Atau mungkin juga dia tidak memasuki
hutan ini ?"
Karena pikirannya ini, lantas timbul niatnya hendak
mengundurkan diri. Bertepatan dengan saat ia memutar tubuh
hendak balik, tiba-tiba pandangan matanya meajadi terang
mendadak muncul diatas sebuah dahan besar yang terkuras
licin memutih dimana tertuliskan huruf huruf yang berbunyi:
"daerah kramat hutan mati, siapa masuk dia mati."
Kedelapan huruf huruf besar itu berkilau-kilau terang
dikegelapan yang pekat ini, membuat orang merasa mengkirik
dan takut.
"Hutan... mati." Kedua huruf ini secepat kilat berputar
dalam otak Giok-liong. selamanya belum pernah ia dengar
nama angker ini, Dilihat dari nada kedua buruf huruf yang
bernada angkuh dan congkak ini, dapatlah diperkirakan tokoh
lihay macam apa yang tengah bermukim didalam rimba
belantara ini.
Teringat olehnya betapa sengsara riwayat hidupnya
sebatang kara ini, keselamatan ayah bundanya belum jelas
serta dimanakah jejaknya juga tidak diketahui, dan yang
terpenting nama-nama beliau juga dirinya tidak tahu, Di
tambah pengalaman yang berat serta dikejar-kejar hendak
dibunuh oleh musuh, Untuk apa sekarang dirinya mencari
kesukaran lain menambahkan beban saja.
Tapi setelah dipikir kembali, seumpama Li Hong benarbenar
memasuki hutan ini, sedang dia tidak melihat akan

kedelapan huruf huruf larangan ini, bukankah jiwanya bakal
terancam bahaya kematian ?
Terpikir sampai disint tak tahu dia bagaimana ia harus
bersikap, Akhirnya ia berkata dalam hati: "Baikah, tiada
halangannya aku coba masuk melihat-lihat, betapapun aku
tidak bisa membiarkan Li Hong mati konyol dalam rimba ini,
sebab aku masih berhutang budi kepadanya !"
Keheningan dalam rimba ini demikian aneh tanpa sedikit
suatapun. Keadaaa sekeliling yang gelap ini jaga rada janggal
tanpa sepercik sinar terang, Hanya delapan huruf berkilauan
itulah yang memancarkan cahayanya yang kelap kelip serta
menyeramkan Sekonyong-konyong terasa dingin membeku
perasaan hati Giok-liong badan juga mengkirik dan berdiri bulu
romanya, suatu perasaan takut yang mencekam hati seketika
menyelubungi seluruh badannya, keadaan semacam itu belum
pernah terjadi selama hidup.
Terasa kegelapan dan ketenangan dalam rimba ini
mengandung suatu kejanggalan yang seram dan menakutkan.
Siapa menempatkan diri ditempat semacam ini pasti selalu
dibayangi bahwa kematian selalu menimpa dirinya.
Sedikit ragu-ragu lantas ia unjuk tawa tawar, pikirnya:
"Kenapa hari ini aku menjadi begitu penakut ? jangan kata
dialam semesta ini tiada setan, seandainya memang ada aku
juga tidak perlu takut," Seketika timbul keberaniannya sedikit
menyedot hawa lantas dengan membusungkan dada ia
beranjak terus memasuki rimba kematian ini.
Baru saja ia melintas batas batas rimba kematian tiba-tiba
terdengar suara helaan napas sedih yang memilukan.
Terperanjat hati Giok-liong, kepandaian siapa begitu tinggi
sampai datang dekat dibelakangnya masih belum diketahui
oleh dirinya.

Secepat kilat ia membalik tubuh, hutan sedemikian
lebatnya pohon berdiri dengan tegak dan tenang, keadaan
disekitarnya kosong melompong mana ada bayangan manusia.
Sedikit bimbang lantas ia berlaku nekad, segera badannya
meluncur sebat sekali menuju kehutan yang lebih dalam.
Tidak lama kemudian terasa olehnya keadaan didalam mana
semakin menjadi terang, remang-remang sinar cahaya
menembus masuk diantara celah-celah dedaunan yang lebat.
Sekonyong konyong sebuah dengusan hidung yang keras
terdengar tidak jauh didepannya, seiiring dengan suara
dengusan itu, berkelebat sesosok bayangan besar yang terus
hinggap menghadang didepannya.
Selintas waktu bayangan besar ini muncuI, lantas Giok
liong dapat melihat tegas sipendatang ini adalah seorang yang
tinggi besar berbadan tegap gagah, rambutnya awut-awutan
demikian juga godek dan cambang bauknya, berpakaian kasar
sederhana berusia lanjut.
Sorot pandangan orang tua sedemikian tajam laksana
ujung golok yang dingin menatap tajam kearah Giok liong,
katanya dengan nada dingin: "Buyung, ini bukan tempat
dimana kau harus datang, lekaslah pergi, kalau tidak jiwa
kecilmu itu susah diselamatkan." Dari kilatan tajam sinar mata
si orang tua lantas Giok-Iiong dapat mengukur betapa lihay
kepandaian orang tua ini, sedikitnya tidak dibawah
kemampuannya sendiri.
Munculnya sedemikian mendadak, tapi nada perkataannya
tidak mengandung ancaman yang serius, maka segera Gsok-
Iiong angkat tangan memberi hormat serta katanya: "Wanpwe
Ma Giok-liong, karena mengejar seorang sahabat sehingga
memasoki tempat tuan ini"
"Hutan kematian ini mana boleh kau sembarangan
trobosan? sebelum jejakmu ini konangan oleh mereka, lebih
baik kau lekas meninggalkan tempat ini. Kulihat usiamu masih

sangat muda masa depanmu sangat gemilang, maka sedikit
kulepas bantuanku. Kalau kau tidak mau dengar nasehatku,
kematianmu sudah didepan mata."
"Harap tanya Cianpwe apakah melihat seorang gadis
berbaju merah memasuki rimba ini"
"Sudah tak perlu banyak bacot lagi, lekas tinggal kan
tempat ini, Kalau tidak jangan salahkan Lohu berlaku keras..."
bicara sampai disini mendadak ia merandek, matanya
menunjuk rasa heran dan penuh kecurigaan menatap wajah
Giok liong, tanyanya rada gugup: "Buyung, katamu kau she
Ma ?"
Giok-liong mengiakan. "Siapakah nama ayahmu?"
Sejenak Giok-liong tercengang, tapi lantas tertawa,
sahutnya: "Sebelum ini kita belum pernah bertemu, maaf
wanpwe tidak bisa menjawab pertanyaan ini."
Seketika si orang tua ini lantas mengunjuk rasa gelisah dan
gusar, sikapnya yang garang membuat rambutnya yang
ubanan melambai-lambai tanpa terhembus angin, mungkin
hatinya geram sekali. Tapi akhirnya tenang kembali serta
katanya dengan nada yang ditekan: "Buyung......"
Sekonyong-konyong dari hutan yang lebih dalam sana
terdengar sebuah lengking jeritan setan yang mengerikan
sedemikian panjang dan tinggi jeritan ini membuat merinding
dan berdiri bulu roma pendengarannya.
Air maka si orang tua lantas mengunjuk rasa gugup dan
gelisah, katanya dengan suara lirih: "Mereka sudah datang
Buyung, kulihat wajahmu persis benar dengan salrh seorang
sahabat kentalku, kalau benar-benar adalah keturunannya,
seumpama jiwa tuaku ini harus melayang betapapun aku
harus menolongmu meninggalkan tempat ini."

Melihat orang bicara setulus hati, tergetar hati Giok-liong,
tercetus perkataannya: "wanpwe tidak tahu siapakah nama
ayah"
"Tidak tahu?"
"Benar,"
"Lalu mana ibumu?"
"Juga tidak tahu."
"Sebagai putra manusia tidak mengetahui nama ayah ibu
kandung sendiri, bukankah tidak berbakti?"
Perkataan ini bak sebilah sembilu yang tepat menusuk
dalam keulu hati Giok-liong terasa nyeri dan pedih sekali, Tapl
dia sudah pernah tertimpa penderitaan dan pukulan yang lebih
besar dan sengsara, sehingga lahiriahnya bersikap terlalu
pendiam dan dingin, Oleh karena itu ia kuat bertahan dan
dapat menelaah teguran ini, dengan manggut-manggut kepala
saja,
Sejenak si orang tua tinggi tegap itu berdiri termenung, lalu
tanyanya lagi: "Dimana sekarang ibumu berada ?"
"Entahlah !"
"Tidak tahu lagi ?"
"Ya!" ibu mendapat celaka dikerubut oleh musuh, jejak
serta mati hidupnya tidak diketahui !"
"Siapakah musuh musuh itu ?"
"Mungkin adalah orang-orang dari Hiat-hong pang,
mungkin juga bcgundal dari Kim i pang,"
"Hm, Toan Bok-ki si iblis Jahat itu, akan datang suatu hari
Lohu . . . "
Kiranya dia juga belum tahu bahwa Toan Bok-ki telah
menghilang banyak tahun yang lalu, sesaat mendadak ia

mendelik lalu katanya lagi: "Buyung, jelaslah keluar rimba di
sini bukan tempat untuk kau berdiam lama-lama. Ketahuilah
bahwa majikan dari rimba kematian itu sangat kejam dan
telengas, segala kejahatan dan kekejaman tiada yang tidak
dilakukannya. Dengan bekal ilmu silat Lohu sekarang ini,
sudah berjaga disini selama puluhan tahun namun belum
dapat membongkar rahasianya, apalagi aku tidak berani
bergerak terlalu menonjol dan aktif sekali supaya tidak
konangan asal usulku.
Kepandaian majikan rimba kematian ini sangat tinggi,
konon kabarnya seumpama dikeroyok oleh gabungan
kekuatan Ih-lwe-su-cui dulu juga belum tentu dapat
mengalahkan dia. Maka kunasehati supaya kau jangan terlalu
sombong untuk malu coba-coba ! Lekaslah pergi."
Keterangan panjang lebar yang tiada juntrungannya ini
membuat Giok-liong berdiri melongo keheranan, dasar
otaknya cerdik sedikit berpikir segera ia balas bertanya:
"Agaknya Lo-cianpwe tengah berusaha untuk mencegah
terjadinya suatu bencana besar yang bakal menimpa kaum
persilatan bukan?".
"Betul! Kalau soal itu telah tiba, paling tidak harus
mengumpulkan seluruh kekuatan dari kaum persilatan untuk
menghadapi baru dapat mengatasinya. Tapi saatnya belum
tiba, maka jangan sekali kali kau membocorkan rahasia ini. . ."
sampai disini mendadak alisnya dlkerutkan, katanya lebih lirih:
"Ada orang datang, kau sembunyi dulu dibelakang pohon
besar itu." lalu di tunjuknya sebuah pohon besar yang
letaknya puluhan langkah di sebelah samping sana.
Sedikit menggerakkan badan, enteng sekali Giok-liong
melayang masuk kedalam lobang besar didalam batang pohon
i:u, Diatas lobang mulut lobang pohon besar ini ternyata ada
seutas tangga yang terbuat dari tali temali yang terus

menjulur kebawah dasar lobang, agaknya dibawah sana masih
ada psrabot dan peralatan dan lain lain.
Tatkala mana ditengah rimba mana sudah terdengar suara
orang bercakap-cakap, sedikit merunduk Giok-Iiong mengintip
ke luar, terlihat olehnya si orang tua tengah berdiri
membelakangi lobang besar dimana ia berada, badannya
bongkok bersikap dan bertingkah laku seperti seorang tua
renta yang lemah, sedikitpun tidak terlihat sikap dan semangat
gagahnya seperti tadi yang garang dan perwira.
Dihadapannya berdiri hormat sambil menunduk dua orang
berseragam ungu, air muka mereka kaku membesi berusia
pertengahan salah seorang diantara mereka terdengar
berkata: "Tong-cu mempersilahkan kau orang tua masuk, ada
urusan penting yang hendak dirundingkan."
Si orang tua menyahut dingin: "Kalian boleh pulang dulu,
segera Lohu datang." suaranya rendah dan sember serta
kaku, sedikitpun tidak berperasaan, membuat kedua orang
dihadapannya merasa merinding dan bergidik.
Segera kedua orang itu mengiakan bersama terus melejit
mundur seringan burung terbang mereka menerobos hutan
terus menghilang entah kemana.
Melihat kegesitan gerak gerik orang, diam-diam bercekat
hati Giok liong, batinnya: "Entah tokoh macam apakah
majikan rimba kematian ini, orang orang bawahannya
berkepandaian begitu tinggi, jikalau mereka sengaja mengatur
rencana hendak bersimaha-raja di dunia persilaian, akibatnya
pasti susah dibayangkan."
Saat mana si orang tua sudah memutar tubuo, tampak
tangannya cepat sekali mengusap kearah mukanya, seakan
akan menanggalkan sesuatu kedok dimukanya suaranya
terdengar lirih: "Buyung keluarlah !"

Giok-liong segera menerobos keluar dari lobang pohon
langsung memberi hormat kepada si orang tua, tanyanya:
"Harap bertanya, siapakah nama mulia Lo cianpwe ?"
Si orang tua menghela napas panjang, katanya tanpa
menghiraukan pertanyaan : "Ai, Buyung siapakah gurumu ?
Hebat benar dia dapat mendidik murid sepandai kau ini ?"
"Suhu bernama Pang Giok kaum persilatan memberi
julukan To-ji pada beliau."
Si orang tua berpekik kaget, air mukanya mengunjuk
kegirangan, serunya penuh haru: "Masakah Ih Iwe sun-cun
masih belum berangkat menjadi dewa..."
"Suhu masih sehat walafiat, tentang ketiga tokoh yang lain
belum dapat kepastian."
Agaknya si orang tua tengah menekan perasaan haru dan
girangnya, sekian lama ia mengamat ngamati Giok-liong dari
bawah keatas dan dari atas kebawah, Mendadak wajahnya
merengut bengis, kedua matanya melotot gusar berapi-api,
serta bentaknya keras:
"Bedebah lihat seranganku." di kala mana tubuhnya
bergerak tiba-tiba keiat kepalan-nya bergerak selincah kera
memetakkan bundaran-bundaran besar kecil yang membawa
angin menderu menerjang kearan Giok liong.
Sudah tentu kaget Giok-liong bukan main, cepat-cepat ia
loncat menyingkir sambit berteriak kuatir, "Cianpwe . . . . . "
Si orang tua hanya mendengus rendah kedua kepalanya
bergerak semakin kencang dan menyerang semakin gencar,
besar kecil yang timbul dari bayangan pukulan tangannya
selulup timbul saling tambal laksana bayangan yang mengikuti
bentuknya saja layaknya terus mengejar datang, Batapa besar
kekuatan pukulan ini benar-benar sangat mengejutkan pula

sangat rapat dan kencang lagi sehingga tidak terlihat ada
lobang kelemahannya.
Saking gelisah dicecar sedemikian rupa Giok-liong menjadi
naik pitam bentaknya gusar: "Bila Lo cian-pwe tidak berhenti,
jangan salahkan Wanpwe berlaku kurang ajar!"
SAMBIL MEMBENTAK ITU BADANNYA melayang ringan
sekali sepuluh tombak lebih meluputkan diri dari rangsakan
musuh walaupun gerak mundurnya ini secepat angin tapi cara
turun tangan juga tidak kalah cepatnya seumpama kilat
menyamber karena bundaran yang terpeta dari serangan
pukulan itu menari-nari serta menutuk, hakikatnya tiada
tempat luang lagi unutuk meloloskan diri.
Terdesak oleh keadaan yang mengancam jiwa ini apa boleh
buat terpaksa Giok-liong kerahkan Ji lo sampai delapan
bagian, dengan sejurus Ciu-Chiu dilancarkan seketika
berkuntum-kuntum mega mengembang membungkus seluruh
tubuh terus meluncur menyongsong tamparan musuh, Baru
saja Cin-Chiu di lancarkan, lantas terdengar gelak tawa gelak
gelak dalam hutan, mendadak si orang tua menghentikan
serangannya terus melompat mundur sepuluh tombak,
serunya: "Sungguh tidak memalukan sebagai murid To-ji,
buyung kiranya kau tidak menipuku."
Giok-liong sendiri juga melengak heran, Maklum bahwa
Sam-ji-cui-hun chiu adalah kepandaian tunggal yang tiada
keduanya di dunia persilatan, perbawa dan kekuatan ilmu ini
besar dan sakti luar biasa, sekali dilancarkan lantas
bergelombang saling susul tak mengenal putus, hakikatnya
musuh takkan mampu mengundurkan diri dengan tetap masih
segar bugar. sungguh diluar dugaan kepandaian si orang tua
ini bukan saja tinggi juga sangat aneh, sekejap mata saja
lantas dapat lolos dari kekangan angin pukulannya.

Jilid 04
Dan lagi ilmu pukulan yang dilancarkan tadi juga
merupakan ilmu pukulan tunggal yang sangat disegani didunia
persilatan yaitu Wi-hian-ciang. ilmu pukulan semacam ini dulu
pernah dimiliki dan digunakan oleh seorang tokoh aneh yang
bernama Liong-Bun, tokoh ini terkenal juga akan wataknya
yang keras dan tidak kenal apa artinya ka-)ata, tapi pada
ratusan tahun yang lalu jejak Liong Bun ini sudah menghilang,
konon kabarnya sudah meninggal dikalahkan oleh musuh
besarnya, sejak kematian Liong Bun ini maka ilmu pukulan Wihian-
ciang ini lantas ikut lenyap dan tidak terturunkan lagi.
Justru ditempat ini dan pada saat ini juga seorang tua aneh
ini ternyata bisa melancarkan ilmu pukulan hebat yang sudahputus
turunan itu, bukansaja kaget Giok-liong heran pula
dibuatnya.
Tatkala mana si orang tua tengah mendatangi dengan
tenang, wajahnya tampak serius lantas membungkuk memberi
hormat kepada Giok-liong, ujarnya: "Ma-siau-hiap, harap maaf
akan kelancangan Lohu tadi."
Sebenarnya Giok-liong merasa dongkoI, namun begitu
melihat sikap orang ini lantas ia merasa rikuh sendiri cepatcepat
ia menjawab "Mana berani, harap Cian-pwe jangan
berlaku sungkan."
Si orang tua tertawa lantang, katanya: "Tadi Lohu hanya
ingin coba-coba asal usul kepandaian Ma-siau-hiap saja, untuk
memastikan bahwa Ma-hiau-siap betul-betul adalah murid
tunggal Pang-lo-cian-pwe. Karena aku ada sebuah urusan
penting yang minta di-sampaikan."
Giok liong juga tertawa, sahutnya: "Kalau ada pesan apaapa,
silahkan Cian-pwe katakan saja, asal Wanpwe mampu
melakukan aku berjanji untuk melaksanakannya"
"Dimanakah sekarang gurumu menetap?"

"Sekarang Suhu tengah menuju ke Lam-hay, jejaknya juga
tidak menentu!"
Terdengar si orang tua itu mengeluh seperti kehilangan
sesuatu, katanya sambil menghela napas: "Kuharap Siau-hiap
berusaha dalam tempo setengah tahun harus dapat
menemukan gurumu. Haturkan sembah Sujud-ku kepada
beliau katakan bahwa sahabat kecilnya Liong Bun
menghaturkan selamat kepada beliau!"
Tanpa merasa Giok liong berseru kaget, si orang tua
dihadapannya ini ternyata tidak salah adalah Wi-hian-ciang
Liong Bun yang pernah menggetarkan dunia persilatan pada
ratusan tahun yang lalu, tidak heran ia memiliki Lwekang
sedemikian hebat dapat Iolos dari lingkungan angin
pukulannya tadi.
Tampak Wi-hian-ciang Liong Bun mengunjuk sikap risau
dan gundah, katanya tertekan: "Bencana dunia persilatan
sudah diambang pintu, Harap sampaikan pada guru-mu,
katakan bahwa para iblis pada masa silam kini telah bangkit
kembali dari liang kuburnya, mereka bermaksud menggulung
dan menguasai seluruh jagat raya ini. Harap dia orang tua
segera mengundang Ih-lwe-su cun serta para sahabat tua
yang lain untuk berkumpul merundingkan cara mengatasi
mala petaka yang bakal terjadi ini. Pula aliran Hiat ing bun
juga ada tanda-tanda tengah menghimpun kekuatan untuk
menunjukkan perbawanya, betapapun kita harus berjagajaga."
Tergetar hebat hati Giok-liong, serunya tak tertahan: "Apa
mungkin Hiat-ing cu masih hidup?"
"Tentang hal ini Lohu sendiri juga tidak tahu pasti, Hanya
pada bulan yang lalu waktu Lohu bertemu dengan majikan
hutan kematian ini, dia pernah bilang bahwa Hiat-ing-bun
sudah mulai unjuk gigi ingin merajai dunia persiiatan, ini
merupakan tandingan paling kuat bagi hutan kematian kita!"

"Kepandaian siapakah yang lebih tinggi diantara Hiat-ing-cu
dengan majikan hutan kematian?"
"Kepandaian mereka sama-sama sudah mencapai taraf
yang paling tinggi, siapapun belum ada yang pernah melihat,
juga belum pernah ada seseorang yang betul betul membuat
mereka harus melancarkan ilmu kepandaiannya sampai
puncak tertinggi. Pula belum pernah terdengar mereka berdua
pernah adu kepandaian, maka Lohu sendiri juga tidak berani
memastikan."
"Jadi Lo-cian-pwe memendam diri dalam hutan ini sudah
delapan puluh tahun lama-nya?"
Liong Bun manggut-manggut, sahutnya: "Losiu dengan
Siau-hiap adalah seangkatan selanjutnya harap panggil saja
lazimnya sebagai kaum seangkatan! Baiklah sampai disini saja
perkataanku, harap Siau-hiap secepatnya meninggalkan hutan
ini, supaya tidak mengejutkan mereka sehingga terjadi sesuaiu
hal yang tidak diinginkan"
Giok-Iiong menunduk berpikir sebentar lalu tanyanya:
"Bagaimanakah susunan tingkat perguruan dari hutan
kematian ini?"
"Disini dibagi dua belas seksi i tau tong, setiap seksi
mempunyai Tong-cu dan wakilnya serta Hou-hoat (pelindung)
pelaksana hukum atau komisaris masing-masing satu orang
semua jabatan ini masing-masing dipegang oleh tokok-tokoh
silat yang berkepandaian sangat tinggi, Maka kelak merupakan
ancaman yang serius bagi kita."
"Locian-pwe..."
"Hai jangan mengagulkan Losiu lagi, Jikalau kau tidak
pandang rendah Losin sebagai orang yang lebih tua baiklah
kau panggil aku sebagai Liong-loko saja, aku sangat girang."

"Liong-Ioko, sampai dimana kedudukanmu didalam hutan
kematian ini?"
"Sebagai pelindung dari Liong-tong (seksi jaga)."
"Kalau begitu dengan kepandaian Liong loko, yang hebat
itu masih berada di bawah para Tong-cu serta wakilwakilnya?"
"Ya, masih kalah setingkat."
"Laln siapa pula para Tong cu serta wakil wakilnya itu?"
"Bagi mereka yang menduduki jabatan Tong-cu atau wakil
Tong ca bila bukan para tokoh yang dulu menjagoi dan
malang melintang di Kangouw yang selebihnya adalah para
murid terpercaya dari majikan hutan kematian sendiri. . ."
Mendadak dari dalam hutan yang jauh sana terdengar pula
sebuah jeritan yang panjang melengking bergema sekian
lamanya.
Seketika berubah air muka Liong Bun, katanya dengan
nada berat, "Mereka tengah mendesak aku harus segera
kembali. Kuharap hiante bisa segera meninggalkan tempat ini.
secepat bertemu dengan gurumu laporkan perihal yang
kuceritakan tadi, ini menyangkut untung rugi seluruh kaum
persilatan!"
Cepat-cepat Giok - liong menyahut: "Siaute sudah paham
bemi, oh, ya, apakah Liong-loko ada melihat seorang gadis
baju merah memasuki hutan ini ?"
"Dia sudah kubujuk dan segera pergi, menuju kearah timur
sana!" habis suaranya lantas berkesiar angin dan hilanglah
bayangannya entah kemana.
Giok liong juga tidak berani tinggal terlalu lama, bergegas
ia menggunakan Leng-hun-poh seringan burung ia melesat
keluar dari hutan kematian yang kramat ini.

Setelah sampai di luar hutan sedikit menerawang serta
melihat keadaan sekitarnya ia lari sekencangnya menuju
kearah tirnur, sepanjang jalan ini pikirannya terus bekerja,
semakin dipikir hatinya menjadi gundah dan tidak tentram.
Entah tokoh macam apakah majikan hutan kematian ini,
tak terkira ia mempunyai kekuatan sedemikian besar malah
bertujuan membuat onar dan bersijahaiajaleia didunia
persilatan.
Wi-hian ciang Liong Bun tidak malulah sebagai seorang
gagah yang perwira, demi keselamatan kaum persilatan
diseluruh kolong langit ini, ia rela merendahkan diri
bersembunyi serta menyelundup didalam hutan kematian itu
selamanya delapan puluh tahun, semangat serta tekad yang
besar ini benar-benar harus dipuji dan diagungkan.
Dari pengalaman yang baru dialami lambat laun pikirannya
melayang kearah soal diri pribadi, tentang asal usul serta
riwayat hidup sendiri yang sebatang kara ini. Banyak tahun
yang lalu ayahnya telah menghilang, konon kabarnya adalah
memasuki lembah putus nyawa, tapi tidak bertemu jenazah
atau tulang beIulangnya.
Suhunya sendiri juga berkata belum pernah ada seorang
she Ma memasuki lembah putus nyawa itu, lalu kemana beliau
pergi dan apalah sebabnya ? Apakah mungkin ibundanya juga
masih hidup dalam dunia fana ini ? Menurut tutur ibu aku
masih mempunyai adik kandung yang bernama Giok-hou, ia
telah hilang setelah lahir belum beberapa lama, apakah adikku
itu juga masih hidup ?
Dan lagi nama ayah bunda sendiri aku tidak mengetahui,
sungguh tak berguna aku sebagai manusia sebagai anak
orang, Pikir punya pikir tak terasa ia merogoh dan mengelusngelus
kalang batu giok yang dipasang sendiri oleh ibunya
diatas lehernya.

Perkataan ibu lagi-lagi terngiang dalam telinganya . . .
jikalau di jalanan kau mengalami kesukaran kalung batu giok
ini mungkin dapat membantu kau . . . " ini berani bahwa
kalung batu giok warna merah darah ini pasti dikenal oleh
banyak orang.
Berpikir sampai disini tahu-tahu mulutnya menyungging
senyum manis dan puas.
Dari asal usul batu giok ini rasanya aku dapat menyelidiki
nama serta asal usul riwayat hidup ibu, selanjutnya juga dapat
mencari tahu nama ayah, lalu berusaha lagi menyelidiki siapasiapakah
musuh besar keluarganya. . .
Mendadak ia merandek dan teringat akan perkataan Liong
Bun tadi, bukankah Wi hian-ciang tadi pernah berkata bahwa
dirinya persis besar dengan seorang sahabat kentalnya?
Karena kelalaiannyalah sehingga ia lupa menanyakan siapakah
orang yang dimaksudkan itu, Ai sungguh sangat ceroboh aku
ini.
Begitulah setelah berkeluh kesah seorang diri, akhirnya ia
membatin lagi: "Peduli semua itu, yang penting bahwa
sekarang aku sudah dapat mempelajari kepandaian tingkat
tinggi, lebih baik segera aku langsung menuju ke Bu ki-san
mencari mata air sumber nasa itu untuk mengambil kotak
serta mengeluarkan buku peninggalan rahasia itu, bukankah
dengan demikian segalanya dapat dibikin terang.
Tapi betapa jauh gunung Bu ki-san itu sedikitnya juga ada
ribuan li, seumpama siang malam terus menempuh perjalanan
tanpa mengenal juga beras memakan waktu kira- kira tiga
bulan, apalagi ia sendiri tidak mengetahui letak dari pada
sumber mata air naga beracun itu, untuk mencarinya
memakan waktu lagi, hitung hitung sedikitnya dalam tempo
setengah tahun ini pasti dirinya takkan ada harapan dapat
menemui gurunya.

Menurut pesan ibu bahwa air rawa naga beracun itu dingin
luar biasa, bila kepandaian silat orang belum mencapai tingkat
sempurna pasti sukar dapat terjun kedalam air, sekarang bila
tingkat kepandaiannya belum mencapai syarat dan akhirnya
mampus didalam rawa itu atau terluka, sedikitnya dalam
tempo setengah tahun ini pasti dirinya takkan ada harapan
dapat menemui gurunya.
Oleh karena itu bila majikan hutan kematian benar-benar
mengerahkan seluruh kekuatannya dalam keadaan yang
belum tahu dan tanpa siapa sedikitpun pasti sangat
menakutkanlah akibatnya bagi kaum persilatan didataran
tengah ini. Apalagi musuh bebuyutan terbesar dari
perguruannya yaitu Hiat-ing-bun juga telah bangkit kembali
dan segera muncul dikalangan Kangouw, hal iai juga harus
prihatin benar-benar.
BegituIah sepanjang jalan ini ia terus berpikir dan berpikir
hingga tanpa merasa Leng-hun-toh dikembangkan sampai
puncak tertinggi, badannya melesat secepat anak panah dan
seenteng burang walet mengembang dan laju diatas tanah
didalam atas pegunungan.
Sampai saat itu ia masih belum dapat kepastian bagaimana
ia harus bertindak, Urusan pertama adalah mengenai
pembalasan dendam kesumat keluarganya serta mencari jejak
asal usul riwayat hidupnya. persoalan yang lain adalah
mengenai nasib atau mati hidup bagi kesejahteraan kaum
persilatan umumnya. Ke-dua urusan penting ini, yang
manakah harus ia dahulukan."
Setelah mengalami berbagai pertimbangan akhirnya ia
bertekad untuk mencari suhunya dulu melaporkan berita itu,
tentang pribadinya bolehlah ditunda untuk sementara waktu
ini. terpikir dalam benaknya bahwa kepentingan kaum

persilatan umumnya adalah lebih besar dan lebih mendesak
dari kepentingan pribadinya.
Dengan adanya keputusan ini hatinya menjadi terbuka dan
pikiran menjadi jernih sedikit menyedot hawa, badannya
meluncur semakin pesat lagi.
Mendadak dalam keremangan menjelang malam ini
dilereng gunung dikejauhan sana, tampak dua bayangan
manusia cepat sekali berkelebat menghilang, Ditengah alas
pegunungan yang jarang dijajagi manusia ini kiranya juga ada
kaum persilatan muncul disini, diam-diam ia merasa heran dan
bertanya-tanya, "Mungkinkah ada sesuatu peristiwa apa yang
terjadi ? Atau mungkin, . . tiba tiba teringat olehnya gadis
cantik Ang-i-mo-li Li Hong, Orang pernah menyelamatkan
jiwanya, dirinya masih hutang budi padanya, bukankah dia
juga tengah menuju kearah ini juga, bukan mustahil disini ia
mengalami rintangan dan menghadapi bahaya ?
Munculnya dua bayangan tokoh silat di atas pegunungan
ditengah malam ini dengan perjalanan Li Hong menuju
ketimur sebenarnya adalah dua persoalan, kini bergandeng
menjadi satu dalam pemikirannya, mungkin ia sendiri juga
tidak dapat menerangkan apakah sebabnya.
Karena pikirannya ini, diam-diam ia berkata dalam hati:
"Aku harus kesana untuk mencari tahu!" segera ia putar
badan dan terus berlari sekencang meteor melesat kearah
Iamping gunung dikejauhan sana.
Sekonyong-konyong terdengar pekik nyaring suara
perempuan yang ketakutan dan kaget, tapi teriakan itu
terputus setengah jalan terus lenyap dan kembali menjadi
sunyi. Suara itu kedengarannya laksana sebatang anak panah
menusuk di lubuk hati Giok-liong. Bukankah itu suara Li Hong?
Kepandaiannya sudah sedemikian tinggi, mungkin ia ketemu
tokoh bangkotan yang berkepandaian lebih tinggi.

Begitulah dengan dirundung pertanyaan dan hati gelisah
Giok liong sudah kembangkan Leng-hun toh sampai tertinggi,
tidak lama kemudian ia sudah sampai di lamping gunung itu.
Keadaan disini remang-remang disinari cahaya bulan suasana
sangat sunyi senyap.
Sekilas Giok-liong menyapu pandang keadaan sekelilingnya,
matanya yang tajam melihat kira-kira tiga puluhan tombak
didepan sana ada sebuah hutan rimba yang lebat dan gelap,
tergerak hatinya, secepat kilat badannya segera terbang
menuju kearah rimba gelap itu.
Begitu sampai sepasang matanya yang tajam berkilat itu
segera menjelajah setiap pelosok yang mencurigakan, Betul
juga dilihatnya di sebelah dalam sana, samar-samar terlihat
adanya bayangan manusia yang bergerak gerak, sedikit
menyedot hawa ringan sekali bagai asap melayang tubuhnya
melejit kedepan, dimana mata memandang, seketika mukanya
merah padam dan serasa kepalanya berdenyut saking gusar.
Ternyata diatas rumput dalam hutan sana rebah terlentang
seorang gadis cantik yang seluruh pakaiannya sudah dilucuti
sehingga telanjang bulat, kulitnya yang putih serta sepasang
buah dadanya yang montok menonjol tinggi sangat menusuk
pandangan seluruh badan tengah berkelojotan, kedua pipinya
yang putih halus itu kini sudah berwarna merah matanya
separo dipejamkan, pinggangnya terus bergerak meliuk liuk,
seakan akan tengah dirangsang nafsu birahi yang tengah
membara diseluruh tubuh.
Tapi dilihat keadaannya itu terang bahwa ia dalam
setengah pingsan atau mungkin terkendali oleh obat bius,
Gadis cantik bagai bunga mekar ini bukan lain adalah Ang-imo-
li Li Hong adanya.
Dipinggir kedua sampingnya tengah berjongkok dua lakilaki
pertengahan umur berbadan kurus tengah mengulurkan
kedua cakar iblis, masing-masing mengelus serta meremas

tubuh yang putih bersih itu. Orang yang disebelah kiri
mengenakan pakaian kembang berjenggot pendek bermata
juling. Sedang yang berada disebelah kanan karena
membelakangi Giok-liong jadi tidak terlihat wajahnya, tapi
terlihat dipunggungnya menggemblok sepasang pedang
panjang. . !
Tatkala itu kebetulan orang dlsebelah kiri itu tengah
meremas dan mengelus-ngelus sepasang bukit padat yang
menonjol itu, serta katanya sambil tersenyum girang:
"Hehehehe, siapa akan percaya bahwa Ang-i-mo-li yang
kenamaan itu akhirnya terjatuh ditangan kita bersaudara."
Orang yang disebelah kanan juga tengah meraba-raba
pinggang Li Hong yang meliuk-liuk, sahutnya: "Haha, Toako
ini berkat obat biuskulah sehingga berhasil, betapapun harus
menjadi hakku untuk hjemecabkaa kesuciannya ini."
"Tidak yang lain boleh tapi yang ini jangan, Kau minggir
saja dan menonton permainanku dulu, kalau aku sudah selesai
menjadi giliranmu nanti, apa yang kau gelisahku !, Hehehehe
... " habis berkata langsung ia berdiri terus mulai mencopoti
pakaian sendiri.
Cepat-cepat orang disebelat kanan itu mengulur tangannya
mencubit pinggang Li Hong dengan gemas terus berdiri
dengan uring uringan, mulutnya juga mengomel panjang
pendek: "Setiap kali memperoleh barang baik selalu kau
monopoli dulu . . ."
Mendadak sebuah gelak tawa dingin yang menciutkan nyali
terdengar dari hutan sebelah sana, sungguh kejut kedua
orang ini bukan kepalang, "sret" serempak mereka mencabut
senjata masing-masing.

Orang disebelah kiri itu menyeringai tawa aneh serta
serunya: "Kawan, seorang laki-Iaki harus berani berlaku
terang-terangan. jikalau tiada suatu urusan yang dapat di
rundingkan siiakan keluar berhadapan dengan Bu-san
bersaudara."
Kiranya kedua orang ini bukan lain adalah Bu-san siang im,
dua manusia cabul dari Bu-san yang sangat terkenal sebagai
maling pemetik bunga dikalangan Kangouw."
Belum lagi lenyap suaranya, terdengar suara dingin dari
dalam rimba, "srilitiiitt" terdengar suara ringan disertai kilatan
sinar melesat datang, tahu-tahu ditengah hutan di hadapan
mereka sudah tertancap sebatang potlot emas panjang
beberapa senti.
Itulah pertanda khas dari aliran Ji-bun yang sudah turun
temurun selama ratusan tahun.
Begitu melihat potlot emas ini, berubah pucat dan
ketakutan Bu-san siang-im, setelah saling berpandangan
mendadak mereka menjejak tanah terus melesat tinggi
melarikan diri kedalam hutan dibelakang mereka.
Dalam hutan lagi-lagi terdengar jengekan dingin, terlihat
sebuah bayangan putih berkelebat melayang turun, tahu-tahu
seorang pemuda berpakaian serba putih dengan ikat kepala
yang putih pula telah menghadang dihadapan mereka.
Pemuda ganteng seperti pelajar ini melangkah maju
dengan ringan mendekat dinadapan Busan-siang im.
Bukan saja Bu-sansiang-ini terkenal manusia cabul juga
wataknya sangat kejam dan telengas, licik dan banyak akalnya
lagi ditambah kepandaian silat mereka tinggi, jejaknya tidak
menentu, sehingga kaum aliran lurus menjadi kewalahan
menghadapi mereka.

Sekarang begitu mereka melihat pertanda khas dari To-ji
yang berupa pottot emas yang sudah menghilang ratusan
tahun mendadak muncul disangkanya bahwa satu diantara Ihlwe
su-cua yaitu To-ji Pang giok telah datang sendiri, maka
tidak heran sedemikian rasa takut mereka berdua sampai lupa
membetulkan pakaiannya yang masih kedodoran terus
melarikan diri.
Tapi setelah melihat yang muncul ini kiranya hanya seorang
pemuda cilik yang mirip pelajar lemah, sesaat mereka
tertegun melenggong. Terkilas cepat sekali dalam otaknya:
"Bocah ini paling tidak berusia dua puluh, seandainya ia sudah
belajar silat dalam kandungan ibunya, juga tidak mungkin
begitu menakjupkan kepandaiannya."
Saudara tua dari sepasang manusia cabul itu segera tegak
berdiri, sambil mendongak tertawa terbahak-bahak teriaknya
melengking. "Bocah keparat, berani kau mengandal pamor
perguruan Ji-bun hendak mengganggu usik kesenangan tuan
besarmu." takut kalau dibelakang bocah ini masih ada tokoh
yang menjadi andalannya, maka ia memancing lebih dulu
dengan kata katanya itu.
Pemuda pelajar berpakaian serba putih ini bukan lalu
adalah Giok-liong adanya.
Kedua pipinya itu sekarang sudah bersemu merah
menambah kegantengannya. Tapi expresi wajahnya adalah
sedemikian dingin laksana es, kedua matanya memancarkan
kilat tajam yang dingin pula mengamati Bu-san-siang-im,
katanya menjengek: "Silakan kalian memilih jalan sempurna
sendiri, bunuh diri atau tuan mudamu ini yang harus turun
tangan " jawabannya ini secara lang sung menerangkan
bahwa dia datang seorang diri."
Betapa licik dan licin tokoh-tokoh Bu-san-siang-im ini ?
Begitu mendengar jawaban ini legalah hati mereka tanpa
merasa mereka saling pandang dan tertawa terloroh-loroh.

Belum lenyap suara tawa mereka mendadak mereka
berbareng menghardik: "Bocah goblok, serahkan jiwamu."
dimana sinar kuat berkelebatan dua batang pedang tahu-tahu
sudah menusuk dan membabat tiba mengarah tempat
mematikan.
Bertepatan dengan aksi saudara tuanya ini, demikian juga
adiknya dari Siangliro ini tidak ketinggalan mengajukan tangan
kirinya, seketika kelap kelip sinar hijau kebiruan beterbangan
memenuhi angkasa seperti bintang-bintang layaknya secepat
kilat meluruk semua kearah Giok-liong.
Giok-liong berlaku tenang sekali, malah ujung mulutnya
menyungging senyum ejek, begitu bayangan putih berkelebat
tahu tahu bayangan Giok-liong sudah menghilang, Terdengar
sebuah suara yang mendirikan bulu roma terkiang dipinggir
telinga mereka: "Kalian cari mampus."
Keruan kejut kedua manusia cabul ini bukan kepalang,
siapa akan nyana bahwa pemuda cilik yang kelihatan lemah ini
kiranya adalah tokoh silat yang berkepandaian begitu lihay.
Tidak banyak kesempatan untuk mereka berpikir dan
menduga-duga tanpa berjanji berbareng mereka memutar
tubuh sambil mengayun senjata kebelakang, nyata gerak gerik
mereka juga cukup gesit dan tangkas sekali.
Tapi baru saja badan mereka berputar selengan jalan,
terdengar lagi tawa dingin lantas terlihat bayangan putih
berkelebatan selulup timbul diselingi bayangan tangan pukulan
yang mengaburkan pandangan serta dilandasi angin pukulan
yang kencang seperti gugur gunung terus menungkrup keatas
badan mereka.
Tapi Bu-san siang-im juga bukan kaum kroco yang
berkepandaian rendah. Berbareng mereka membentak keras,
pedang diputar sekencang kitiran sampai mengeluarkan sinar
dingin gemerdep menerbitkan angin mendesis terus
melambung keangkasa, Ternyata mereka bisa mengerahkan

hawa murninya untuk didorong keluar melalui ujung
pedangnya terus membentuk suatu hawa pedang untuk
melindungi badan, dan yang terpenting adalah hawa pedang
ini semakin melebar menyongsong kearah angin pukulan yang
dilancarkan Giok-Iiong.
Giok- liong berseru heran tidak duga mengandal dua
manusia cabul sampah masyarakat persilatan ini kiranya juga
mempunyai kepandaian begitu tinggi, segera ia perdengarkan
ejekannya lagi: "Ternyata ada isinya juga!" diam-diam dalam
hati ia sudah bertekad, "kedua orang ini berkepandaian tinggi,
kalau tidak dibabat lenyap pasti kelak akan menimbulkan
bencana yang lebih besar lagi."
Cepat-cepat kedua tangannya ditekuk serta disilangkan
terus berputar ditengah udara membuat setengah lingkaran
lantas perlahan-lahan didorong keluar, Kontan terbit angin
menderu serta kabut putih mengembang bergulung-gulung
terus menerus kedepan.
Terdengar suara teriakan yang ketakutan: "Sam ji cui-hunchiu,
dia adalah Pang Giok..." belum habis suaranya, lantas
terdengar suara "blang" yang keras dua larik sinar melambung
tinggi ketengah udara berbareng hujan darahpun terjadi!
Setelah angin reda dan debu hilang suasana menjadi sunyi
kembali, tampak Giok-liong berdiri tempatnya dengan tenang,
Delapan tombak disebelah sana meringkuk dua mayat Bu sansiang-
im dan ditempat yang lebih jauh sana adalah kedua
batang pedang mereka yang terbanting ditanah dan sudah
patah patah menjadi empat potong.
Tadi dengan jurus Cin-ciu sekuatnya Giok-liong turun
tangan, hanya segebrak saja cukup membuat jiwa Bu ~ san -
siang im melayang ditangannya, Tapi dia sendiri karena
terbentur oleh hawa pedang musuh, dadanya juga sedikit

dirasakan sesak, maka sementara ia berdiri diam
mengerahkan Ji-lo berputar ke-seluruh badannya.
Tak lama kemudian ia membuka mata, sekilas ia menyapu
pandang kearah kedua mayat itu lalu putar tubah memasuki
hutan.
Teringat olehnya bahwa Ang i-mo li Li Hong masih
telanjang bulat rebah diatas tanah.
Baru saja kakinya melangkah lantas terlihat tubuh Li Hong
yang padat menggiurkan itu masih menggeliat dan meliuk-liuk
tak henti-hentinya. Kontan merah jengah seluruh wajah Giokliong,
jantungnya juga berdebar sangat keras seperti hendak
meloncat keluar.
Cepat-cepat ia berpaling muka tidak berani melihat lagi.
Akan tetapi entah mengapa akhirnya toh dia meliring mencuri
pandang pula. sepasang pipi Li Hong yang merah membara
bak sekuntum bunga mekar itu kini telah diliputi pikatan
menarik bagi seorang laki Iaki. Kedua bibirnya juga tengah
megap-megap memperlihatkan sebarisan giginya yang putih
halus.
Ditambah tubuhnya yang langsing menggiurkan terutama
kedua bukit yang montok itu karena bergoyang dan
menggeliatnya pinggang ikut bergerak-gerak tak hentihentinya.
Apalagi kedua pahanya yang putih besar itu sabansaban
dibuka tutupkan Iebih lebih memikat hati lawan
jenisnya.
Usia Giok-liong sedang menanjak dewasa, darah mudanya
gampang berkobar, melihat pertunjukan gratis yang
menggiurkan ini kontan kepala terasa mendengung pikiran
juga menjadi butek, terasa sekujur hawa hangat segera timbul
dari dalam pusarnya terus meluber ke atas. seketika ia merasa
kepalanya pusing dan pikiran juga menjadi kabur.

Tanpa disadari kakinya segera melangkah maju dengan
sempoyongan terus menghampiri kearah tubuh Li Hong yang
rebah telanjang bulat itu, Waktu disamping tubuhnya tiba-tiba
pandangan matanya bentrok dengan kilauan sinar mas kuning
yang menyolok mata. Seketika tergetar keras hatinya,
pikirannya lantas menjadi jernih dan sadar kembali gumamnya
menyesali diri sendiri: "Giok liong, wahai Giok liong, seorang
laki laki tidak mengambil keuntungan secara pengecut!
sebagai murid aliran Ji-bun aku harus mengutamakan
kelurusan......." jalur sinar kuning yang kemilau itu kiranya
adalah batang potlot mas tua pertanda khas dari
perguruannya.
Segera Giok-liong menjemput potlot kecil itu, waktu
pandangannya melihat kearah Li Hong, sekonyong-konyong
timbul pula hawa amarahnya, "Hm, manusia cabul yang
rendah menggunakan obat bius bagaimana aku harus
menolongnya? Oh ya, diatas badan mereka pasti ada obat
pemunahnya." karena pikirannya ini segera ia berkelebat
keluar rimba langsung mendekati jenazah Bu san-siang-im,
setelah semakin lama ia menggeledah seluruh tubuhnya hanya
diketemukan sebuah bungkusan kecil obat pemunahnya.
Bergegas ia mem bawa obat pemunah itu kembali.
Tapi waktu ia sampai dimana tadi Li-Hong rebah di atas
tanah, seketika ia berdiri tertegun dan terlongong longong
sekian lama. Ternyata keadaan tetap sunyi, bekas bekas
diatas rumput masih ada tapi bayangan Li Hong sudah
menghilang entah kemana, sampai baju yang dipakainya juga
ikut lenyap.
Giok-liong menggeleng, jarak sedemikian dekat dan orang
sedemikian besar hilang begitu saja lenyap tanpa diketahui
olehnya, Apa mungkin Li Hong sendiri yang sudah siuman
terus tinggal pergi? Tidak mungkin! Pasti tidak mungkin !

Mendadak ia membanting kaki sambil berteriak kejut:
"Wah, cialat!" dimana badannya bergerak laksana segulung
asap terus menerobos keluar dari dalam rimba. Baru saja ia
keluar lantas dilihatnya puncak sebelah kanan berkelebat
sesosok bayang kecil langsing terus menghilang. Gerakan
siapakah yang sedemikian cepatnya? Dalam hati ia bertanyatanya,
kakinya segera mengerahkan seluruh tenaga
mengembangkan Leng-hun-toh terus melesat ke-arah purcak
didepan sana.
Laksana meteor terbang sebentar saja ia sudah tiba diatas
puncak namun disini tiada apa-apa yang dapat dilihatnya,
maka tanpa ragu-ragu lagi Leng hun toh dikembangkan
sampai puncak tertinggi untuk mengejar lagi kedepan, Sambil
berlari dan terbang itu, kedua matanya yang celingukan kian
kemari mengamat-ngamati sekelilingnya, adalah sesuatu
tanda-tanda yang mencurigakan. Hatinya menjadi bingung
dan risau selalu.
Betapa tidak Giok-liong menjadi gugup karena dengan
telanjang bulat Ang-i moli Li-Hong telah digondol pergi
seseorang, kepandaian orang yang menculik itu sedemikian
lihay bagai mana hatinya takkan gugup dan kwatir.
Dalam berlari kencang tanpa tujuan ini tanpa disadari ia
terus berlari semakin dalam diatas pegunungan, dikejauhan
kegelapan samar samar terlihat setitik sinar pelita, jelas
kelihatan didepan sana kalau bukan sebuah kampung
kampung pasti sebuah kota kecil. Sinar pelita yang kelap-kelip
itu seketika membangkitkan semangatnya.
Memang kenyataan sudah sekian lama dia belum pernah
berdekatan dengan khalayak ramai. Tapi kebangkitan
semangat itu hanya sebentar saja. Hilangnya Li Hong
merupakan beban pemikiran dalam benaknya.

Akan tetapi dia tiada tempo atau waktu untuk berusaha
mencari jejak Li Hong lagi, Sebab masih banyak tugas yang
lebih penting menunggu penyelesaiannya ini merupakan
pukulan berat bagi penderitaan batinnya, Entah menyapa dia
tidak tahu, kenapa dirinya mengambil perhatian sedemikian
besar terhadapnya!
Mungkin adalah karena aku berhutang budi terhadapnya!
demikian ia mengguman sendiri untuk menjawab pertanyaan
hati sen-diri, Akan tetapi betapapun setelah mendapat
jawaban ini, apalagi yang dapat diperbuatnya.
Dalam jangka setengah tahun dia harus dapat menemukan
gurunya, kalau gurunya tidak meninggalkan lembah putus
nyawa itulah baik. Tapi gurunya sekarang telah menuju ke
Lam-hay ! sekarang bila berusaha hendak mencari gurunya,
satu-satunya jalan hanyalah menuju ke Lam-hay mencari pula
Bu-ing-to. Apakah benar gurunya pernah kesana- Entahlah,
tapi sekaligus dapat menyerapi jejak Kim-leng-cu, untuk
menyampaikan pesan gurunya tempo hari.
"Ai," perlahan lahan ia menghela napas, batinnya "Nona Li
Hong, maaf bahwa aku tiada waktu lagi untuk mencarimu."
pikir punya pikir lantas timbul perasaan menyesal dalam
hatinya.
Sekonyong-konyong bentakan keras terdengar bagai guntur
menggelegar dari sebelah samping kiri sana: "Maknya, kurcaci
dari mana yang sebal sebul napas ditengah malam gelap ini
mengganggu impianku saja."
Seiring dengan bentakan ini, dari belakang sebuah batu
besar menggelinding keluar seorang aneh berkepala besar
bertubuh kecil setinggi empat kaki. Sedemikian besar
kepalanya seperti semangka saja layaknya, hidungnya
mendongak keatas dengan sepasang mata kecil seperti mata
ayam, rambutnya awut-awutan, ditambah alisnya yang tebal
seperti sapu, mengenakan pakaian kucel dan banyak

tambalan, kedua kakinya kecil pendek tapi besar kuat, bentuk
tubuhnya yang lucu ini benar-benar sangat menggelikan.
Sambil menyeret sendal bututnya, tangannya diulur untuk
menyeka umbel dari hidungnya terus disiutkan kontan
memberon-dong keluar liur umbelnya langsung terus
dikebutkan "Siuut" sedemikian keras samberan titik bayangan
putih ini secepat kilat terus melesat kearah muka Giok liong.
Giok -liong mengerutkan alis, sedikit menggeser kaki sebat
sekali ia menghindarkan diri, "Plak" terdengar suara nyaring,
lantas terlihat batu pecah berhamburan bersama percikan api,
gumpalan umbel itu sekarang sudah amblas masuk kedalam
batu besar dibelakang Giok-liong.
Terdengar orang aneh berkepala besar itu heran, sedikit
menggoyangkan pundak, gesit sekali tahu-tahu dia sudah
berada dihadapan Giok-liong, terdengar suaranya keras seperti
gembreng pecah berkata: "Bagus, bocah keparat ternyata
berisi juga, tak heran berani datang kemari menjual lagak
didepan orang tua." sambil bertriak tangannya mendadak
mencengkeram kedada Giok-liong.
Keruan Giok-liong menjadi dongkol, tapi dia tahu bahwa
kesalahan dipihaknya, sedapat mungkin ia berlaku sabar,
serunya sambil melompat mundur menghindar: "Ada omongan
marilah dibicarakan, kenapa harus menggunakan kekerasan . .
."
Orang aneh kepala benar itu tetap membandel teriaknya:
"Bagus. kau sudah membangunkan impianku, masih berani
tidak minta maaf. . ." dimana pundaknya bergerak "wut"
tangan kanan menampar tiba dengan dahsyatnya.
Giok liong menggeser kaki kiri terus menyingkir enam kaki
serunya jengkel: "Diatas pegunungan siapapun boleh gembargembor,
dengan hak apa kau mengatakan aku mengganggu
tidur nyenyakmu?"

Sebentar orang aneh kepala besar itu tertegun lantas
berteriak lucu lagi: "Bagus... bagus sudah salah tidak
mengaku masih berani mengobral mulut, hari ini kalau Lohu
tidak memberi pelajaran pada kau sungguh sia-sia aku hidup
sekian lama berkelana di Kangouw."
Sambil gembar gembor, dengan suaranya yang aneh
melengking itu tubuhnya bergerak cepat berkelebat mendadak
ia berputar seperti gangsingan mengitari tubuh Giok liong.
Dimana kedua kepalannya bergerak bayangannya bagai
gugur gunung menindih tiba.
Sementara itu, rasa gusar Giok-liong sudah semakin
memuncak. sambil berkelit ia berseru keras: "Kalau cian-pwe
tidak segera berhenti terpaksa Cayhe berlaku kurang hormat!
"
"Hm emangnya kau sudah tidak tahu tata kehormatan
setelah tahu aku orang tua sebagai cian-pwe, lekas berlutut
dan menyembah sembilan kali, kalau tidak Lohu nanti
putuskan kedua kaki anjingmu itu."
Semakin memuncak amarah Giok-liong, batinnya: "Orang
ini tidak kenal aturan, kalau aku tidak turun targan, pasti
disangka aku ini gampang dipermainkan. . ."
Dalam hati berpikir, badannya lantas melejit mundur.
teriaknya geram: "Aku menghormat kau baru kupanggil
Cianpwe, Siapa tahu ternyata kau tiada harganya untuk
dihormati Hui, kalau tuan tidak segera berhenti, terpaksa
Cayhe berlaku lancang."
Orang aneh berkepala besar ini bernama Siok-Kui-tiang,
tingkat kedudukannya di kalangan persilatan sangat tinggi,
kepandaian silatnya juga lihay dan tinggi sekali, biasanya
polahnya memang aneh dan suka melucu, wataknya juga

sangat aneh suka bawa adatnya sendiri, Bersikap kejam dan
telengas lagi, serasi dengan bentuknya yang serba
kekurangan itu maka kaum persilatan sama-sama memberikan
julukan iblis rudin.
"Iblis rudin Siok Kui-tiang mendelikkan mata, mulutnya
menggarang keras: "Kurcaci mari tumpahkan seluruh
kepandaianmu Kalau hari ini Lohu tidak menghajar anak kecil
yang kurang ajar dan tidak tahu adat kesopanan ini, sia-sia
aku dipanggil iblis rudin Siok Kui-tiang!"
Seiring dengan habis ucapannya segera ia merubah cara
permainannya, kontan angin lesus yang deras timbul
membumbung tinggi ketengah angkasa sambil mengeluarkan
suara mendesis yang menderu hebat, bayangan pukulan
tangan yang memenuhi angkasa mendadak berubah tutukan
jari yang merata dimana-mana, terus langsung menutuk
keseluruh tempat-tempat penting dibadan Giok-liong.
Baru mendengar nada perkataan orang, lantas Giok-liong
terkejut dan cepat-cepat siaga, batinnya: "Celaka, siapa nyana
kiranya orang aneh kecil ini ada!ah iblis rudin Siok Kiu tiang
yang sudah menjagoi dunia persilatan puluhan tahun yang
lalu. . ." meskipun terkejut tapi rasa mau menang sendiri
lantas bersemi dalam hati kecil. Maka segera ia bergelak
tertawa, serunya: "Bagus biarlah Cayhe menerima pengajaran
dari iblis rudin ytng tenar."
Belum lenyap suara tawanya tenaga ji-lo sudah terkerahkan
berputar keras diseluruh badannya, dimana setiap kali
tangannya terayun tenaganya memberondong keluar secepat
kilat itu ia sudah lancarkan delapan belas kali pukulan serta
dua belas tutukan jari.
Seketika angin menderu pasir beterbangan bayangan
pukulan serta tutukan saling selulup timbul bergantian laksana
angin badai yang mengamuk bertumpuk berlapis-lapis. iblis
rudin tiba-tiba mementang mulut meneriakkan tawa anehnya,

tubuhnya juga ikut berputar keras seperti gangsingan berubah
bayangan menyelusup kedalam bayangan tutukan, Maka
bayangan jari tutukan berlapis meninggi bagai gunung,
sebaliknya bayangan angin pukulan menderu-deru bagai hujan
batu terus memberondong keluar bergantian tidak mengenal
putus. Beruntun terdengar suara plak-plok, berulang kali dari
benturan tangan yang keras sekali.
Dua bayangan manusia yang berwarna ungu dan putih
dengan angin melambai secepat kilat menyerang saling
melancarkan serangan dahsyat yang mematikan diantara
tusukan jari serta pukulan tangan yang rapat dan rumit sekati,
mereka mengerahkan segala kemampuan serta kegesitan
tubuh untuk menyelimatkan diri.
Sekejap mata saja, enam puluh jurus itulah berlalu.
Dua belah pihak sama-sama sudah mengerahkan seluruh
kekuatan. Tiba-tiba terdengar iblis rudin mendamprat gusar,
kekuatan angin tutukannya bertambah semakin besar dan
dahsyat, laksana tajam anak panah yang meluncur menembus
hawa ditengah udara langsung menusuk kesetiap tempat yang
mematikan dibadan Giok-liong.
Giok-liong sendiri juga lantas memperdengarkan suara
tawa panjang yang lantang, Dimana terlihat jubah panjangnya
melambai-lambai, hawa murninya mendadak dikerahkan
sampai sembilan bagian, dimana pukulan tangannya sampai
hawa murninya segera memberondong keluar pula, laksana
gelombang samudra yang mengamuk terus menerjang kearah
musuh.
Angin lesus semakin keras dan menghebat ditengah
gelanggang pertempuran ini, semua benda yang berada dekat
dari gelanggang semua terseret dan tergulung mumbul
ketengah udara dan terus melayang tinggi entah jatuh
dimana, saking cepat berputarnya angin lesus ini sampai

akhirnya bayangan kedua orang yang tengah bercampur
menjadi terbungkus hilang dari pandangan mata.
Kadang kala kalau angin tutukan atau pukulan menerobos
keluar gelanggang dan mengenai bumi lantas terdengarlah
ledakan keras yang menggetarkan alam sekelilingnya, disertai
pasir dan debu beterbangan diselingi percikan api.
Tanpa merasa tahu-tahu mereka sudah bertempur sampai
lima ratus jurus banyaknya setelah bertempur sekian lama ini,
jidat iblis rudin Siok Kiu-tiang sudah mulai mandi keringat,
jelas kelihatan bahwa dia berada diposis terdesak, sebaliknya
badai pukulan yang dilancarkan Giok-liong semakin garang
dan melebar, bukan semakin lemah malah semakin dahsyat
bagai gugur gunung.
Lambat laun ketekatan serta kepercayaan terhadap diri
sendiri telah semakin luntur dalam benak Siok Kui-tiang,
kepandaian silat serta Lwekang pemuda lawannya ini benarbenar
diluar perhitungannya, Kepedihan hati akan keputusan
harapan untuk menang segera bersemi dalam lubuk hatinya,
malah semakin membesar dan luber.
Betapa ia takkan sedih, sudah puluhan tahun lamanya
nama julukannya sangat tenar dan ditakuti, selama hidup ini
belum pernah ia temukan tandingan yang setimpal. Maka
begitu menghadapi seorang pemuda yang masih berbau wangi
malah dapat mendesak dirinya. Lambat laun ia kehilangan
inisiatif untuk balas menyerang dari pada lebih banyak
membela diri, Apalagi jelas dalam waktu singkat ini dirinya
sudah pasti bakal dikalahkan.
ia merasa bahwa dirinya bak umpama selembar sampan
yang diumbang-ambingkan hujan badai yang bergelombang
tinggi ditengah samudra raya dimalam gelap, ini masih belum
terang dirinya masih terserang oleh badai dan bayu seorang
diri tanpa ada seorangpun yang membantu atau berusaha
menyelamatkan jiwanya.

Ia putus harapan serta hampa, sebatang kara tanpa
bantuan setelah diterawangi serta dipikirkan secara
mendalam, akhirnya ia mengerak gigi mengambil keputusan
nekad, "Meskipun ilmu kepandaian tunggal perguruan ini
setiap dilancarkan pasti melukai malah mungkin membunuh
orang, tapi dalam keadaan yang terdesak itii, seumpama
melukai lawan juga bukan menjadi kesalahanku." seperti
diketahui Siok Kiu-tiang adalah tokoh kejam yang suka turun
tangan dengan keji.
Kalau biasanya siapa-siapa yang mengganggu tidurnya
sampai hatinya gusar, tentu ia lampiaskan amarah hatinya itu
bagai orang gila layaknya, sekali turun tangan pasti
membunuh orang, Tapi menghadapi pemuda pelajar yang
ganteng ini, sebaliknya hati kecilnya menjadi tidak tega turun
tangan dengan membawa suara hatinya, sebaliknya timbul
rasa simpatiknya, hasratnya memberi sekedar hukuman ringan
saja.
Diluar tahunya begitu saling gebrak, kepandaian serta
kekuatan lawan mudanya ini ternyata sedemikian hebat dan
lihay, walaupun dirinya sudah kerahkan seluruh
kemampuannya masih kewalahan juga, sekarang demi gengsi
dan jiwa dia sudah bertekad untuk menggunakan kepandaian
simpanan dari perguruannya yaitu Kam-thian-ci ilmu tunggal
perguruan baru dua kali ia pernah gunakan selama malang
melintang puluhan tahun di dunia persilatan.
Harap diketahui bahwa dibawah serangan Kam thian-ci
selamanya belum ada seorangpun yang masih tetap hidup,
inilah sebabnya mengapa sekian lama ini kaum peralatan
belum tahu asal usul perguruan iblis rudin ini.
Setelah mengambil ketetapan, hatinya juga 1amasmenjadi
tenang.

Sementara daya pukulan Giok-liong yang keras dan dahsyat
itu sudah membuatnya tidak kuat berdiri tegak lagi, tubuhnya
terhuyung mundur beberapa langkah.
Sekonyong-konyong terdengar ledakan dahsyat yang
menggetarkan bumi dan langit, kiranya kedua lawan ini lagi
lagi telah mengadu pukulan sekuat tenaga mereka, Kontan
terdengar suara gerangan tertahan, menggunakan daya
pentulan yang keras ini iblis rudin melambung tinggi tiga
tombak, sebaliknya Giok-Iiong juga limbung lima langkah,
seketika gelanggang pertempuran menjadi gelap dan ribut
oleh debu dan angin yang mengembang keempat penjuru.
Tiba-tiba iblis rudin mendongak serta tertawa gelak-gelak
aneh, seluruh rambut diatas kepalanya tegak berdiri, air
mukanya juga berubah membesi, badannya berputar cepat
seperti roda kereta diatas udara terus meluncur turun sampai
mengulur tangan kanannya yang mendadak mulur sekali lipat
kelima jarinya juga membesar dan berwarna merah
menyerupai wortel, dengan kepala dibawah dan kaki diatas
diiringi dengan tawa anehnya langsung ia menerkam turun
seperti elang hendak mencabik mangsanya.
Waktu mengadu pukulan tadi Giok-liong sendiri juga
rasakan darahnya bergolak dan dadanya menjadi sesak,
matanya kunang kunang, tahu dia bahwa dirinya sudah
terluka dalam, Kini waktu ia angkat kepada dilihatnya iblis
rudin tengah menerkam datang dengan daya luncuranyang
pesat serta gaya yang aneh itu, hatinya membatin: "Bukankah
ini Kam-thian-ci dari Pat-ci-kay-ong yang kenamaan itu?"
Tapi sudah tiada waktu lagi untuk memberikan suatu
penjelasan atau memperkenalkan diri siapa dirinya sebetulnya,
Apalagi sejalur angin keras warna merah merong diselingi
sebuah uluran tangan yang menjojohkan sebuah jari
tengahnya yang berwarna merah darah itu sudah terpaut

setombak diatas kepaianya, tengah menusuk tiba dengan
kecepatan yang tak dapat diukur.
Sudah tentu Giok-liong tidsk berani berajal, hawa Ji lo
segera terkerahkan sampai sepuluh bagian, tipu Tian-ceng
jurus ketiga dari Sam-ji ciu-hun-chiu juga lantas dilancarkan.
Berbareng kakinya juga ikut bergerak mengembangkan Lenghun-
toh, tubuhnya melesat mundur menghindarkan diri.
Berkuntum kuntum awan putih bergulung maju didorong
hawa murni yang kokoh dan deras gemuruh melandai
kedepan, sebuah telapak tangan yang putih halus, tanpa
mengeluarkan suara melayang maju memapak kedepan
seperti bayangan setan saja.
"Ha, kau..." terdengar iblis rudin Siok Kui tiang berteriak
keras dan kejut.
"Dar... Byeeeeerrrr," gunung bergerak bumi tergetar, batu
pasir menari-nari ditengah udara. Kabut putih melesat
mengembang keempat penjuru dengan derasnya, demikian
pula hawa merah itu buyar menembus angkasa. Hujan darah
terjadi diselingi pekik kesakitan yang tertahan, dua bayangan
manusia terpental terbang kedua jurusan.
Tubuh kecil pendek dari iblis rudin membawa jalur darah
segar yang menyempit keluar dari mulutnya terpental jauh
puluhan tombak, "bluk" keras sekali terbanting ditanah.
Sinar muka Giok-Iiong juga pucat pasi, dimana mulutnya
terpentang ia juga menyemburkan darah segar badannya
tersentak mundur enam tombak terus jatuh terduduk tak
bergerak lagi, bintang berkunang kunang didepan matanya,
darah dirongga dadanya bagai hendak meledak seakan dipalu
oleh godaan yang beratnya ribuan kati.
Meskipun keadaannya sangat payah, namun ingatannya
masih segar bugar, segera ia himpun semangat menenangkan
hari, pelan-pelan ia kerahkan hawa murninya mengiring

berputar keseluruh tubuhnya, Didapatinya bahwa sebagian
dari isi perutnya ada yang pecah dan hancur kalau tidak
segera diberi pengobatan dan tertolong luka-lukanya itu bakal
membahayakan jiwanya. setelah dapat berganti napas,
dengan susah payah dirogohnya sebuah pulung berwarna
putih dari balik bajunya, dari pulung kecil ini dituangnya dua
butir pil berwarna hijau, bau harum semerbak segera
merangsang hidung, langsung ia telan obat obat mujarab itu.
Obat yang baru ditelah ini merupakan obat yang terpenting
dan termahal dari semua obat obatan yang diberikan oleh To
ji sebagai bekal, Dalam pulung kecil itu hanya berisi sepuluh
butir, khasiatnya dapat mengembalikan jiwa orang dan
ambang kematian.
Begitu butir pil itu tertelan kedalam perut lantas lumer
menjadi cairan wangi terus masuk kedalam perutnya, dengan
dilandasi hawa murninya yang kuat itu, segera khasiat obat
didorong dan dikembangkan ke berbagai urat nadi serta
seluruh isi perut yang luka-luka, Tidak lama kemudian
sebagian besar lukanya sudah dapat disembuhkan.
Bergegas ia bangkit berdiri terus memburu kearah iblis
rudin yang masih rebah tak bergerak ditanah. Keadaaa iblis
rudin Siok Kiu-tiang lebih parah lagi, wajahnya merah hitam,
darah masih mengalir keluar dari telapak tangan kanan, serta
meleleh keluar dari ujung mulutnya, inilah akibat dari tokoh
silat tingkat tinggi yang terluka berat dari benturan tenaga
yang membalik menghantam badan sendiri sehingga seluruh
isi perutnya-pecah dan jungkir balik.
Melihat keadaan orang yang parah ini Giok-liong menjadi
gelisah, cepat cepat dirogohnya keluar pulung kecil tadi serta
dituangkannya dua obat yang mujarab serta mandraguna itu
langsung dijejalkan kedalam mulutnya.

Dia sendiri terus duduk bersila disamping iblis rudin serta
memayang tubuh orang untuk duduk bersila juga, tangan
kanan diulur lurus dijalan darah Bing-bun-hiat mulailah tenaga
Ji-Io, dikerahkan serta disalurkan kedalam badan Siok Kuitiang.
Lambat laun kasiat obat mulai bekerja, Hawa murni
didalam badan Siok Kui-tiang sendiri juga mulai bekerja,
menyambut hawa trobosan yang disalurkan Giok-liong
kedalam badannya terus berputar-putar keseluruh pelosok
tubuhnya.
Baru saja ia sadar dan kembali kesadarannya lantas merasa
bahwa dirinya telah tertolong dari saat-saat yang kritis, ada
seorang tokoh silat maha lihay telah menolong mengobati luka
luka parahnya, Mata masih tak kuasa dibuka namun mulutnya
sudah darat sedikit bergerak serta berkata tergagap: "Orang .
. kosen dari . . . . manakah yang telah . . . . menolong . . . .
Siok kui-tiang, . . . Selama hidup ini pasti takkan kulupakan - ,
. . Tapi . . . , disebelah sana . . . . masih . . . masih , . ,, "
bicara sampai disini tenaga nya sudah habis sekali lagi ia
menghamburkan darahnya.
Cepat-cepat Giok - liong membujuk lirih "jangan banyak
bicara lagi, lebih penting lagi kau mengerahkan tenaga dan
hawa murni berobat diri."
Seolah-olah iblis rudin tidak mengenai jelas orang yang
bicara duduk dibelakang-sya adalah Ma Giok-Iiong atau musuh
berat yang tadi adu kepandaian dengan dirinya, setelab
menelan air liur, ia meneruskan bicara: "Ditanah sebelah sana.
. . masih ada . . . seorang pemuda berpakaian putih . . . yang
terluka berat , . . karena kesalahan tanganku , . . sehingga
terluka parah . . , sila . . , silahkan tuan menolongnya lebih
dulu. . . keadaanku . , , rasanya tidak terlalu parah . . . " habis
berkata lagi-lagi ia menyemburkan darah.

Mendengar perkataan orang yang penuh prihatin ini,
terharu perasaan Giok liong," katanya lembut: "Kau sendiri
perlu tekun berobat diri, dia sudah sembuh !"
"Apa . . . apa betul ?"
"Benar."
Sekarang Siok Kiu tiang baru merasa lega dan tentmm,
pelan pelan ia mulai kerahkan hawa murni serta menuntunnya
mengalir keselumh tubnhnya, bersama dengan aliran panas
dari bantuan tenaga yang dikerahkan Giok-Hong mendorong
serta membantu bekerjanya obat terus bergerak merambati
badannya,
Tatkala mana baru Giok-liong benar-benar merasa
terperanjat betapa panjangnya dan dalam tenaga hawa murni
Siok Kiu-tiang ini benar-benar sangat mengejutkan. Tanpa
memerlukan banyak waktu hawa murni dalam tubuhnya sudah
pulih kembali dan mulai lincah bergerak malah. bergulung
deras bagai gelombang samudra yang berderai maju tiada
putusnya. Lambat laun malah Giok-hong semakin merasa
tertekan dan banyak mengeluarkan tenaga, air mukanya
sampai pucat pias, keringat sebesar kacang membasahi jidat.
Tahu dia bahwa sampai taraf terakhir ini luta-luka Siok Kiutiang
sudah tidak perlu dikwatirkan lagi, perlahan-lahan ia
menarik kembali tenaga murninya, duduk bersila disamping
Siok Kui tiang mengerahkan Ji-lo untuk menormalkan jalan
darah serta kemurnian tenaganya lama kelamaan diatas
kepala kedua orang yang tengah duduk bersila ini mengepul
kabut putih yang semakin tebal dan semakin lama bergulunggulung
semakin keras dan cepat. Akhirnya bagai air mendidih
dalam kuali melonjak-lonjak keatas.
Hanya ada perbedaannya, kalau kabut diatas kepala Giokliong
adalah putih bersih, sebaliknya kabut yang menguap
diatas kepala Siok Kiu tiang adalah bersemu merah marong.

Dari lobang kedua hidungnya juga menjulur keluar dua jalur
kabut yang molor modot panjang pendek bergantian demikian
juga warna kedua jalur pendek ini berbeda, jalur-jalur kabur
diujung kedua hidung Giok-liong ada ada lebih besar satu
perempat dibanding kabut yang menjulur keluar dari hidung
Siok Kiu-tiang.
Dari sini dapat diukur dan diterangkan bahwa khikang yang
dilatih dari masing-masing perguruan ini berbeda. sedang
dalam taraf tingkat kesempurnaannya latihan Siok Kui tiang
boleh dikata lebih rendah setingkat dibanding Giok-liong. ini
tidak perlu dibuat heran, Giok-liong mendapat karunia Tuhan
harus mengalahkan berbagai rintangan dan petaka sehingga
akhirnya mendapat manfaat yang berlimpah dari pelajaran
yang diberikan oleh Pang Giok. kenapa tidak karena sekarang
dalam tubuhnya sudah membekal Lwekang dengan latihan
seabad lebih, ditambah kasiat obat-obat mujarab yang
mandraguna serta bakat Giok-liong sendiri.
Betapapun hebat dan tinggi pembawaan Siok Kui-tiang
yang serba pandai itu juga harus mengakui kekurangan
dibanding orang lain.
Begitulah latihan dalam usaha penyembuhan diri sendiri ini
sudah mencapai pada taraf yang paling genting dan
membahayakan. Kabut tebal diatas kepala mereka sudah
semakin kuncup dan menghilang menjadi gumpalan hawa
kabut yang berhenti bergerak dan bergantung ditengah udara,
sebaliknya dua jalur kabut dikedua lobang hidung mereka
masing-masing bergerak panjang pendak semakin cepat,
seluruh tubuh juga mulai mengeluarkan keringat dan uap yang
hangat, warnanya sama dangan kabut di masing masing
kepala mereka.
Jelas bahwa usaha mereka sudah mendapat sukses lari
berhasil dengan baik sekali. Tatkala mana sangat pantang

sekali bila ada seseorang datang mengganggu kalau tidak
bukan saja berhasil malah sebaliknya jiwa mereka bisa celaka
atau sedikitnya juga menjadi cacat seumur hidup, betapa
berat dan mengerikan akibat ini !
Sekonyong-konyong terdengar angin ber-kesiur disusul
terlihatnya bayangan orang berkelebat, tahu-tahu disekitar
mereka berdua telah bermunculan serombongan orang-orang
mengenakan seragam hitam, ditengah dada mereka
terlukiskan lembayung warna merah, semua laki-laki tinggi
besar dan tegap ini menenteng golok-go!ok dan berbagai
persenjataan lain.
Gemuruh tawa dingin memecah kesunyian alam
sekelilingnya dari rombongan seragam hitam itu . . .
Dari rombongan seragam hitam yang mengepung ini,
beranjak keluar tiga laki-laki yang mengenakan pakaian serba
merah dan mengenakan kedok hitam pula, Diatas pundak
masing-masing semampai jubah panjang yang terbuat dari
kain sutra.
Orang yang berdiri ditengah barperawakan tinggi kurus tapi
gagah garang, sebaliknya dua orang di kanan kirinya bertubuh
lebih gemuk dan kekar, pinggang masing-masing menyoreng
sebilah pedang panjang, sepasang mata yang tersembunyi
dari balik kedoknya memancarkan cahaya dingin yang tajam,
Mereka menanti dibelakang kanan kiri orang yang berdiri
ditengah.
Gelak tawa dingin yang terdengar rendah sember itu justru
keluar dari mulut kedua orang ini, Para laki-laki seragam hitam
yang mengepung gelanggang sejak mendengar suara tawa
scmber ini lantas semua berdiri tegak dengan sikap hormat,
sedemikian patuh sikap mereka sampai menghela napas besar
juga tidak berani.

Sunyi dan tebang melingkupi suasana gelanggang dan
mencekam sanubari seluruh hadirin, Keadaan dalam hutan ini
seolah-olah telah dilingkupi hawa kematian yang tebal, ya,
elmaut tengah mengancam dan mengintai setiap jiwa hadirin.
Mendadak laki-laki kurus tinggi mengenakan kedok hitam
itu menggeledekkan suara tawa dinginnya yang mendirikan
bulu tengkuk ditengah malam gelap ini, suaranya
mendengung bergema sekian lama diudara. Lambat laun
suara tawa itu semakin meninggi keras dan melengking bak
ujung sebatang anak panah yang menusuk lubuk hati
manusia. Semua laki-laki seragam hitam yang berdiri
melingkar diluar gelanggang kontan mengunjuk sikap
menderita yang ditahan-tahan keringat sebesar kacang
membanjir keluar.
Mereka tahu bahwa tawa panjang ini bukan lain semacam
serangan tawa, Karena gema suara ini merupakan hawa
panah yang telah didesak dan didorong keras. kekuatan hawa
murni dari Lwekang tertinggi unuk melukai musuh. Terhadap
siapa suara tawa ini ditujukan, maka isi perut dari orang itu
pasti akan tergetar hancur dengan menyemburkan darah dan
melayanglah jiwanya.
Para laki-laki yang berdiri diluar gelanggang paling-paling
hanya keserempet gelombang dari genta tawa itu saja, tapi
toh mereka sudah menderita dan mengerahkan tenaga untuk
melawan.
Mereka jelas mengetahui siapakah kedua orang yang
tengah mereka hadapi ditengah gelanggang ini. Ma Giok-liong
adalah orang yang harus diringkus hidup-hidup atas perintah
Pangcu mereka. Sedang mereka yang lain adalah tokoh lihay
yang berulang kali dipanggil dan diundang untuk masuk
anggota perkumpulan mereka, tapi selalu membunuh utusan
yang membawa surat undangan, bukan saja menolak malah

menentang, dia ini bukan lain adalah iblis rudin Siok Kui-tiang
yang kenamaan dan disegani.
Mereka tahu pula bahwa kedua orang ini sekarang tengah
mengerahkan hawa murni untuk mengobati luka luka
dalamnya dan sudah sampai pada taraf yang menentukan,
sedikit gangguan saja cukup untuk menamatkan jiwa mereka.
Apalagi menggunakan penyerangan cara tawa bergelombang
yang mengerahkan hawa murni dari aliran lurus sana!
Disaat orang berkedok seragam hitam itu mulai
perdengarkan suara tawanya tadi, Giok-liong dan Siok Kiutiang
yang bersila ditengah gelanggang itu tampak melonjak
tergetar tubuhnya Lebih parah lagi keadaan Siok- Kiu-tiang,
wajahnya menunjuk rasa derita yang tertahan, mengikuti
suara gelombang tawa yang semakin meninggi rasa derita
diwajahnya juga semakin tebal, sehingga kulit wajahnya
mengkerut dan meringis menggigit bibir sampai berdarah,
keringat dingin membanjir membasahi seluruh tubuh.
Lebih mendingan keadaan Giok-liong, setelah seluruh tubuh
tergetar hebat, kabut diatas kepalanya itu segera bergulung
lebih keras seperti air mendidih diatas tungku yang mengepul
tinggi dan melebar sekelilingnya sehingga terlingkup oleh
kabut tipis. Lambat-laun kabut tipis ini mulai membungkus
kedua orang ini yang duduk bersila ini.
Suara gelombang tawa mendadak lenyap dan berhenti.
Orang berkedok yang berdiri ditengah itu dengan sorot
pandangan dingin berpaling kanan kini serta berkata: "Cahyu
Hu-hoat bunuh mereka."
Sedikit mengerahkan badan kedua pelindung itu segera
menghadap didepannya serta katanya sambil memberi
hormat: "Baik Pang-cu!" seiring dengan hilang suara mereka,
dua bayangan hitam serentak melesat mundur, sedemikian
cepat gerak gerik mereka laksana kilat menyambar tahu-tahu
badan mereka sudah melambung tinggi sepuluh tombak,

dimana pinggang ditekuk serta merentang kedua tangan
masing-masing, jalur-jalur kabut warna kehijauan segera
merembes keluar dari seluruh badan mereka.
Begitu kedua dengkul masing-masing ditekuk, dari setinggi
sepuluh tombak itu badan mereka lantas meluncur turun bak
umpama burung garuda yang hendak menerkam dan
mencabik mangsatnya, berbareng dengan itu, empat kepalan
tangan mereka juga ikut bekerja memancarkan sinar merah
yang sangat menyolok
(BERSAMBUNG JILID KE 5)
Jilid 05
Empat jalur sinar merah mengepulkan asap tebal
membawa hawa hangat yang membakar langsung menerjang
kearah putih ditengah gelanggang itu.
Waktu badan mereka tinggal lima tombak lagi dari atas
tanah, hawa panas yang membakar kulit semakin, tebal,
sekejap mata itu, sepuluh tombak sekitar gelanggang sudah
terbakar menjadi hangus, Para seragam hitam yang
mengurung diluar gelanggang siang siang sudah mundur jauh
menyelamatkan diri.
Sorot bara api yang terang menyalanya ia bak umpama
gugur gunung telah menindih tiba, Terus menerjang kearah
kurungan kabut putih yang menelan seluruh bayangan Giokliong
dengan Siok Kiu-tiang. Ditengah udara tiba-tiba
terdengar gelak tawa kepuasan yang berlimpah-limpah.
Sepasang mata Hiat-hong pangcu memancarkan kilat
terang yang aneh, wajahnya mengunjuk rasa girang dan puas
pula. Dia tahu betapa besar perbawa Te-hwe-tok-yam yang
lihay dan ganas sekali itu.
Kiranya pelindung kanan kiri dari Hiat-hong pang ini adalah
saudara kembar, dari kecil memang mereka sudah dibawai

kecerdikan dan bakat yang luar biasa, tabiatnya juga sangat
keras dan berangasan, sejak kecil mereka diangkat menjadi
murid-murid seorang tokoh lihay didaerah barat yang bernama
julukan Le hwe-heng-cia, setelah ber-tahun-tahun belajar
sekarang kepandaian mereka sudah mencapai tingkat yang
cukup dapat dibanggakan.
Untuk memenuhi ambisinya untuk melebarkan sayap
memperbesar perkumpulan serta pcngaruhnya, Hiat hong
Pangcu menyebar pada pembantunya untuk menampung dan
mengundang tokoh-tokoh aneh kaum persilatan yang sudi
diperalat olehnya dengan imbalan harta benda yang tiada
nilainya, dalam suatu kesempatan yang kebetulan dia bertemu
dengan seorang gembong silat kalangan hitam yang sudah
lama mengasingkan diri, dari mulut orang ini ia diperkenalkan
akan adanya tokoh Le-hwe-heng cia yang lantas diundangnya
masuk menjadi anggota memperkuat kedudukan dan tujuan
ambisinya.
Kemaruk oleh harta kedudukan akhirnya Le-hwe-heng-cia
meluluskan dan menerima undangan agung ini, Tapi saat
mana dia tengah mempelajari semacam ilmu yang serba
ganas sebelum berhasil latihannya ini tak mungkin dia dapat
tinggal pergi dari sarang nya.
Terpaksa ia perintahkan kedua murid kembarnya ini datang
lebih dulu ke Tionggoan untuk menambal dulu kekosongan di
Hiat-hong-pang.
Begitu tiba kedua saudara kembar ini lantas diangkat
menjadi Hu-hoat atau pelindung kanan kiri, sudah tentu
mereka sangat berterima kasih dengan kedudukan tinggi ini.
Tak heran tak segan-segab mereka rela turun tangan dan
bekerja mati-matian.
Umpamanya peristiwa yang dihadapi kali ini adalah
sedemikian penting dan serius sampai sang Pang-cu sendiri

harus ikut terjun di medan laga, maka dapatlah diperkirakan
betapa pentingnya urusan ini.
Oleh karena itu begitu kedua saudara kembar ini turun
tangan, tidak kepalang tanggung lagi mereka lancarkan ilmn
perguruannya yang paling lihay dan ganas, dengan dilandasi
hawa murni dalam tubuh mereka lancarkan hawa panas yang
membara dan berbisa. Yaitu ilmu, Te-hwe-tok-yam, tujuannya
hendak membakar hangus dan melebur abukan kedua orang
yang tengah duduk bersila terbungkus kabut ditengah
gelanggang itu.
Baru saja suara gelak tawa mereka terdengar bara api yang
menyala-nyala menyilaukan mata itu sudah menyampuk keras
ke arah gulungan kabut tebal ditengah gelanggang itu.
"Dar.... Dar . . ." ledakan dahsyat aneh yang menggetarkan
langit dan menggoncangkan bumi menggelegar ditengah
gelanggang. Disusul angin lesus membadai menerjang
keempat penjuru menerbitkan suara, menderu hawa panas
yang membakar kulit.
Belum lagi suara ledakan dahsyat ini lenyap mendadak
terdengar gelombang panjang gelak tawa yang lantang dan
bentakan keras menggeledek yang terus meninggi menembus
angkasa, Dua bayangan putih dan ungu laksana bintang
meluncur dimalam hari melesat mumbul ketengah angkasa
terus menerjang kearah dua saudara kembar yang masih
berada ditengah udara itu.
"Blang Bluk !" ledakan hasil dari gempuran hebat ini
membuat empat bayangan manusia terpental jatuh keatas
tanah. Tampak Giok liong dan Siok Kiu-tiang dengan wajah
membesi berdiri ditengah gelanggang, Sebaliknya dua saudara
kembar pelindung Hiat hong pang itu berdiri setombak di
sebelah sana dengan raut muka penuh mengunjuk keheranan
dan kejut.

Mendadak mulut pelindung kiri menggerung keras, rupanya
suatu aba-aba untuk bergerak serentak, karena saat itu juga
tampak bayangan melejit pesat sekali kedua pelindung kanan
kiri ini sudah merangsak hebat kearah Giok-liong dan Siok Kiutiang.
Giok-liong berdua juga tidak mau tinggal diam, berbareng
mereka menggerakkan kedua tangan masing masing terus
melompat maju memapak.
Tadi, waktu Giok-liong tengah kerahkan tenaga murninya
mengobati luka-luka dalam nya mendadak terasakan olehnya,
bahwa sekelilingnya sudah terkepung oleh serombongan
orang yang mengenakan seragam hitam, diam-diam hatinya
bercekat, batinnya, "Kalau mereka secara keji turun tangan
menggunakan kesempatan baik ini, pasti celakalah jiwa kita
berdua." Tengah berpikir ini, semakin cepat ia lancarkan
tenaga murninya disamping itu iapun siaga menghadapi setiap
senangan yang membahayakan jiwa mereka.
Dengan sikap siaganya ini maka keadaan dan situasi
sekelilingnya tidaklah luput dari pengawasannya.
Tidak lama kemudian Hiat-hong Pangcu serta pelindung
dikanan kirinya juga muncul.
Giok-liong tahu dan insaf bahwa pertempuran dahsyat hari
ini sudah tidak mungkin dihindarkan lagi, maka sekuat tenaga
ia kerahkan Ji-lo menghadapi setiap serangan.
Betul juga tidak luput dari dugaannya, dengan Lwe-kang
yang tinggi dari aliran Lwekeh Pang-cu Hiat-hong pang
mengirim gelombang suara gelak tawanya yang menyerupai
ilmu Syai-cu hong dari aliran Budha berusaha hendak
memusnahkan atau melenyapkan kepandaian mereka berdua.

Tanpa ajal segera Giok-liong gerakkan tenaga Ji lo keluar
badan dengan kabut putih itu ia bungkus bentuk tubuh
mereka berdua didalamnya, lalu dengan gelombang suara lirih
ia berkata kepala Siok Kiu-tiang: "Hiat-hong Pang-cu sendiri
datang mungkin susah dihadapi, betapapun kita harus
waspada dan hati-hati."
Bersamaan dengan itu dirogohnya pula pulung kecil yang
berisi pil mustajab tadi dituangnya dua butir pil, ditelannya
sebutir dan diberikan kepada Siok Kiu tiang sebutir lalu
dengan cara yang paling cepat mereka berobat diri
menyembuhkan luka masing-masing.
Gelombang tawa yang menggema tinggi semakin keras,
semangat dan pertahanan Giok-liong sudah hampir tergempur
dan tidak kuat bertahan Iagi. Terpaksa ia tidak hiraukan lagi
luka-luka dalam yang belum sembuh seluruhnya, dengan
tekun desak seluruh kekuatan Ji-lo keluar badan, dengan
mengerahkan dua belas bagian tenaganya baru dia tidak
terkalahkan.
Seumpama tekanan pihak lawan ditambah setingkat saja
pasti hancurlah pertahanannya itu berarti tamatlah jiwanya
atau paling tidak badannya tergetar hancur luka parah. Tapi
ternyata Hiat-hong Pang cu malah menghentikan gelombang
tawanya dan menyuruh kedua pelindungnya turun tangan.
Dengan daya kecepatan luar biasa Giok-liong memutar
tenaga Ji-Io sekali putaran didalam badannya, lalu berkata lagi
kepada Siok Kiu-tiang menggunakan gelombang tekanan lirih:
"Musuh mulai bergerak hati-hatilah!"
Terdengar Siok Kui-tiang menyahut "Aku paham, kau
sendiri juga hati-hatilah!"
Tepat pada saat itulah kedua pelindung Hiat hong-pang
dengan serangan bara apinya telah menerjang tiba dari
tengah udara.

Kebetulan saat itu juga Siok Kiu- tiang sudah kerahkan
bawa murni pelindung badannya keluar digabung dan
dikombinasikan dengan Ji-lo terus disungsungkan keatas,
Setelah terdengar ledakan dahsyat bagai bom meledak, Giok
liong bersama Siok Kiu-tiang berbareng melesat naik keatas
terus meluncur turun lagi berdiri berendeng.
Dalam gebrak pertama saling gempur ditengah udara ini.
diam-diam Giok-liong terperanjat. Karena terasakan olehnya
bahwa kepandaian dua pelindung Hiat-hong-pang ini masih
setingkat lebih tinggi bila dibanding dengan Thian-siu-su-cia Ih
Peng. Tanpa merasa timbullah kewaspadaan yang lebih besar
dalam benaknya.
Kalau diterawangi situasi gelanggang, para jago silat dari
Hiat-hong-pang pasti bukan beberapa gelintir saja, ini berarti
situasi dihadapi sekarang sangat tidak menguntungkan bagi
Giok-liong berdua, sedikit alpa atau ceroboh bertindak
mungkin jiwa sendiri bakal terkubur ditempat alas ini.
Tengah hatinya menimang-nimang, kedua pelindung Hiathong
oang itu sudah menubruk tiba sembari lancankana
pukulan deras yang membawa tekanan panas tinggi.
Giok-liong sudah mengejek dingin, Ji-lo dikerahkan sepuluh
bagian dimana kedua tangannya bersilang terus disurung
kedepan menyambut serangan musuh.
Sekejap saja angin puyuh bergulung bertambah seret tak
ubahnya seperti gulungan banjir yang melandai dengan
dahsyatnya diselingi bayangan angin pukulan yang santer,
sedemikian sengit dan seru pertempuran kali ini, sebaliknya
disebelah sana tampak Iblis rudin berputar dan berkisar
seperti keong berputar sedemikian lincah, dan gesit tubuhnya
berputar, dimana setiap kali tangan kakinya bergerak angin
tutukan jarinya yang mendesis menyambar-nyambar dengan
bentuk bayangan laksana sekokoh gunung bagaikan
gelombang badai pula derasnya.

Tapi kepandaian lawan juga bukan baru saja lulus dari
perguruannya, bukan saja aneh dan hebat, kepandaian
mereka memang lihay dan ajaib lain dari yang lain ditambah
ganas dan berbisa lagi, betapa dalam Lwekang mereka benar
benar sangat mengejutkan.
Pertempuran terjadi semakin dahsyat dan ramai, tubuh
mereka berempat sedemikian lincah dan tangkas sekali, setiap
pukulan atau tendang saja pasti membawa kesiur angin keras
yang membawa maut ini masih belum yang paling
mengejutkan adalah suhu panas yang terbawa oleh hawa
pukulannya yang mematikan itu sedikit ajal saja pasti badan
akan hangus meskipun hanya kena samberannya saja karena
keracunan. . .
Empat orang terbagi dalam dua kelompok pertempuran
semakin lama jalan pertempuran ini semakin memuncak dan
hangat tatkala mana Giok-liong sudah kerahkan Ji-lo sampai
tingkat kesepuluh jurus atau tipu tipu permainan Sam-ji-cuihun
chiu juga mulai dilancarkan.
Kuntum mega putih mulai mengembang bertaburan
mengelilingi sekitar gelanggang, sebuah telapak tangan putih
halus laksana banyangan setan seperti perlahan tapi cepat
sekali melayang datang menutul kearah musuh.
Waktu ia pandang keadaan pihak lawan, kiranya musuh
juga sudah kerahkan seluruh kemampuannya, seluruh tubuh
musuh sudah terbungkus oleh cahaya merah marong dari bara
api yang panas sekali sampai mengepulkan asap hitam,
sedemikian tebal dan kuat hawa panas ini sedang saling
gempur dan bertahan mengadu kekuatan.
Dilain pihak iblis rudin Siok Kiu tiang sendiri juga sudah
mempamerkan segala kepandaian simpanaunya, jari
tangannya me-nari-nari memetakan sorot merah dari

keampuhan jari tutukannya, begitu keras angin tutuIannya itu
mendesis kemana-mana sampai babak terakhir ini mereka
masih saling serang dan gempur dengan sama kuatnya.
Dilihat keadaan pertempuran dahsyat ini kiranya sebelum
ribuan jurus susah ditentukan pihak mana yang bakal menang
atau kalah Bahkan daya kekuatan suhu panas yang membara
itu lama kelamaan terangsang bau hangus terbakar yang
memualkan. Sekitar lima tembak sekeliling gelanggang semua
sudah hangus terbakar. Keruan para seragam hitam yang
menonton diluar gelanggang mundur semakin jauh, mereka
menyingkir sambil waspada mengawasi gelanggang
pertempuran untuk menjaga supaya kelinci yang sudah
mereka kepung tidak lolos Iagi.
Sementara itu Hiat-hong pangcu berdiri sambil bersidakep
dikelilingi lima orang berkedok yang baru saja tiba belum
lama.
Sang waktu terut berlalu tanpa menunggu, Meskipun belum
kelihatan bahwa kedua pelindungnya bakal kalah, namun juga
tidak banyak mengambil keuntungan.
Sekonyong-konyong terdengar Hiat-tong Pangcu tertawa
dingin, ujarnya: "Binatang dalam jaring juga masih berani
berontak." setelah mengekeh sekian lamanya, mendadak ia
berpaling kepada lima pengikutnya, katanya: "Kalian berlima
boleh maju, bantulah kedua pelindung kita, bunuh atau
riugkus ke dua orang ini hidup-hidup."
Walaupun Giok-liong tengah tepat menghadapi musuhnya,
tapi kuping dan matanya tetap dapat mengikuti keadaan di
sekelilingnya. Begitu melihat keadaan yang membahayakan ini
dia merasa terkejut, bentaknya dengan murka: "Bagus benar
Hiat-hong pang kalian, ternyata tidak tahu malu dan hina dina,
main keroyok untuk ambil kemenangan" sembari berkata
beruntun ia kirim dua kali jotosan, dua gumpal kabut putih
teriring dengan angin keras seketika menyentak mundur

pelindung musuh yang dihadapinya sampai tersungkur hampir
jatuh.
Terdengar Giok-liong bergelak tertawa serta serunya:
"Tuan mudamu jikalau tiada berisi masa berani malang
melintang didunia persilatan!"
Terdengar pelindung kiri ini memekik gemetar saking
gusar, suaranya aneh, dimana tangannya meranggeh
kebelakang, tahu-tahu tangannya sudah melolos keluar
senjata tombak pendek bercabang tiga seperti garpu, senjata
ini berbentuk aneh panjang tiga kaki dan berkilat menyilaukan
mata, Sedikit pergelangan tangan menggertak berbareng
badannya melejit maju merangsak dengan serangan yang
mematikan kearah Giok-liong.
Secara kebetulan perkataan Giok-liong baru saja habis
diucapkan, cepat-cepat tangan kiri bergerak melingkar terus
didorong kedepan, re:lang tangan kanan secepat kilat
meluncur keluar dari lingkaran bundar itu langsung menutuk
ke dada lawan, Maka mega putih menerpa kedepan dengan
keras, di tengah kilatan cahaya merah marong juga menerjang
datang dari depan, seketika angin menderu dan mendesis
bersuitan saking hebatnya, "Siiiut . . . . . daaarrr, . . ." begitu
ledakan itu lenyap dua bayangan lantas terpental mundur.
Selarik cahaya kuning emas terus mencorong tinggi
ketengah angkasa, ternyata bahwa senjata potlot emas Giokliong
sudah dilolos keluar, Namun belum sempat senjata Giokliong
ini beraksi, mendadak angin-kencang mendesir disertai
sinar hijau dingin meluncur kearah punggungnya dengan
kecepatan yang susah diukur.
Lima bayangan terbagi dalam dua kelompok bagai angin
badai menerpa kencang menerjang kearah Giok-liong dan Siok
Kiu-tiang Bersama itu dua atas rantai warna merah tahu-tahu
juga sudah menusuk tiba didepati dada Giok-liong.

Angin pukulan bagai gelombang samudra yang mengamuk,
rantai merah berseliweran saling gubat dengan sinar hijau
semua menuju satu sasaran, sekonyong-konyong terdengar
sebuah tawa panjang yang mengalun tinggi dari mulut Giokliong.
Cahaya kuning lantas mencorong tinggi ketengah udara,
selarik sinar kuning yang menyilaukan mata diiringi derai tawa
yang lantang melingkar lingkar menggulung keluar.
Kontan terdengarlah pekik mengaduh yang mengerikan
ditengah udara disertai suara srat sret bergantian, darah
lantas beterbangan berceceran keempat penjuru. Satu
diantara kelima orang seragam hitam itu sudah jatuh mampus
dibawah seragam jurus Kong-sim (Kejut hati).
Pertempuran masih belum berhenti sampai disitu saja, sinar
kuning masing-masing terus berputar kencang diantara
bungkusan kabut putih, bergerak lincah dan tangkas sekali di
bawah kepungan rantai merah dan sinar hijau jelas sekali
bahwa Giok-liong sudah lancarkan tipu-tipu dari pelajaran Janhu
su-sek dengan dilandasi dua belas bagian tenaga Ji-lo,
karena para pengerubutnya adalah dua orang seragam hitam
dan pelindung kiri yang rata-rata berkepandaian cukup tinggi.
Sekonyong-konyong suara jeritan dan gerengan saling
susul terdengar digelanggang sebelah sana. Dalam
kesibukannya melawan musuh Giok-liong berkesempatan
untuk berpaling dan melirik kearah sana, Dilihatnya wajah iblis
rudin Siok Kiu- tiang pucat pasi serta sempoyongan mundur
berulang kali, lengan kiranya sudah terluka panjang
mengalirkan darah, besar dan panjang luka itu kira-kira
setengah kaki kulit serta daging lengannya sudah terkupas
melanda i-lambat sehingga darah susah di bendung lagi.
Sebaliknya ditangan kanannya masih mencengkeram keras
sebuah lengan tangan musuh yang dibetotnya putus. Dengan
susah payah dan banyak makan tenaga ia terus hadapi rantai
merah yang diputar kencang memenuhi angkasa. Keadaan ini

memang sangat genting, keruan Giok-lioog kaget dan kwatir.
Hanya sedikit terpecah perhatiannya saja hampir saja Giok
liong harus membayar mahal kelalaiannya ini. Mendadak
musuh didepannya tertawa terloroh-loroh, dimana terlihat
pundak pelindung kiri Hiat-hong-pang bergoyang-goyang.
puluhan sinar kehijauan yang terang dan lembut sekali segera
melesat kencang meluruk kearah Giok-liong, Bersama itu dua
utas rantai merah yang bergerak lincah laksana ular naga
yang hidup membawa angin menderu serta gelombang panas
yang membakar kulit sekaligus bersamaan menerpa dan
menggulung tiba, Bukan hanya sekian saja Giok-liong
menghadapi ancaman elmaut, karena disebelah samping
kanan kiri kedua orang seragam hitam itu juga memutar
kencang senjatanya menusuk tiba dari kanan kiri terus
menubruk dan membabat kearah Giok-liong.
Giok-liong menggerung keras, kedua kakinya mendadak
dijejakkan diatas tanah, badannya lantas melesat mundur
kesamping, kebelakang, bersama itu sinar kuning dari potlot
masnya diputar kencang, jurus Sip-hun dari salah satu Janhun-
su-sek dikeluarkan.
Sesuai dengan nama jurus serangan ini yaitu kehilangan
sukma, kontan terdengar salah satu dari seragam hitam
pengeroyoknya segera melompat mundur sambil menjerit
ngeri, terang kalau sukmanya melayang menghadapi raja
akhirat.
Tapi tak beruntung bagi Giok-liong tiba-tiba terasakan
bahwa paha kirinya juga sakit dan nyeri menusuk tuIang,
namun sekuat tenaga ia bertahan dan berlaku tenang, kaki
menjejak mendadak ia jumpalitan ditengah udara, badannya
meluncur lagi kesamping setombak lebih berbareng terdengar
bentakannya menggeledek: "iblis rudin jangan gugup, Giok-
Iiong mendatangi l"

Dimana tangan kanan diayun, sebuah potlot masnya
disambitkan dengan kencang berubah selarik sinar kuning
langsung meluncur kearah pelindung kanan dari Hiat hongpang
yang tengah menusukkan senjatanya kearah Siok Kiu
tiang yang mendeprok ditanah kahabisan tenaga dan darah.
Bentakaa Giok liong yang keras dan garang itu cukup
membuat pelindung kanan itu tergelak kaget dan keder,
sedikit merendek saja tahu-tahu sinar kuning yang mendesis
keras laksana anak panah yang sudah menusuk tiba didepan
mata, Meskipun ia sudah berusaha berkelit sambil memutar
tubuh, tak urung mulutnya menggerung keras seperti babi
hendak disembelih. Karena potlot mas Giok liong dengan telak
telah menghunjam amblas kedalam punggungnya sampai
tembus kedepan dada kontan badannya roboh terkapar
ditanah, Darah segar segera memancur keluar dengan deras
dari dadanya, Tapi ia masih membelalakkan kedua matanya
mencorong menyakitkan sebelum ajal ini dia masih sempat
menyambitkan kedua senjata garpunya kearah Siok Kiu-tiang,
Lantas badannya sendiri terbanting sekali lagi dan tak
bergerak untuk selama-lamanya.
Begitu potlot masnya disambitkan, menurut perhitungan
Giok-liong akan segera mengejar datang untuk mengambilnya
kembali untuk menghadapi lagi kejaran dan kepungan
pelindung kiri serta dua seragam hitam lainnya, sungguh
diluar dugaannya bahwa watak pelindung kanan itu ternyata
sedemikian ganas dan kejam, sebelum ajal ini masih
mengerahkan seluruh sisa tenaganya untuk menyerang Siok
Kiu-tiang dengan sambitan kedua senjata garpunya, Saking
kejut segera mulut Giok-liong menghardik keras, tubuhnya
juga melenting tiba dengan kecepatan meteor terbang dimana
kedua tangannya bergerak saling susul, angin badai segera
terbit bergulung-gulung, untung masih sempat menyampok
pergi kedua senjata garpu musuh sehingga menyelonong
kesamping.

Dilain saat begitu kakinya menyentuh tanah, rasa sakit di
paha sebelah kiri segera merangsang hatinya, sampai kakinya
lemas dan tenaga hilang, terpaksa ia melolos jatuh ketanah.
Bertepatan dengan itu, pelindung kiri jadi mengamuk dan
menggembor keras sambil lancarkan pukulan yang membawa
suhu panas membawa terus mengepruk keatas kepalanya.
sementara itu, dua orang seragam hitam lainnya juga sudah
meluruk tiba pula dengan serangan senjata yang cukup ganas
puIa.
Dalam seribu kerepotan ini, tiba-tiba terdengar Siok Kiutiang
membentak keras, badannya tiba-tiba mental naik
ketengah udara setinggi tiga tombak. "Wut" beruntun ia kirim
dua kali pukulan mengarah kedua orang seragam hitam itu.
Dilain pihak Giok-liong sendiri juga sudah menyedot hawa
dan mengerahkan tenaga dari pusarnya, tangan kiri diayun
dengan seluruh kekuatannya sedang tangan kanan merogoh
kedalam saku terus beruntun menyambitkan tiga batang
senjata rahasia yang berbentuk potlot mas kecil.
"Blang !" Bum !" seiring dengan suara gemuruh yang
menggetar ini, terdengar lolong panjmg kesakitan dari mulut
pelindung kiri Bersamaan itu sinar merah marong juga tengah
meluncur menghunjam kearah dada Giok-liong.
Diam-diam Giok-liong bergirang hati, tahu dia bahwa ketiga
batang potlot masnya ternyata telah mengenai sasarannya
dengan telak, Mendadak dengan kaki kanan sebagai poros ia
memutar tubuh sambit mendekam tubuh, tepat sekali ia
menghindarkan diri dari sasaran dua garpu musuh yang
melesat tiba.
"BIum!" disebelah sana Siok Kiu-tiang juga telah saling
gempur pukulan dengan kedua lawannya. Tiba-tiba ia
menggembor keras,"Maknya, bunuh semua!" membawa
seluruh badan yang penuh berlepotan darah ia terus
menubruk maju lagi, seolah-olah kedua tangannya itu secara

mendadak mulur panjang sekali lipat, kiranya jurus Kam-thian
ci yang mematikan itu sudah dilancarkan.
Bukan kepalang kaget dan rasa takut ke dua orang
seragam itu, sambil berseru ketakutan mereka melompat
mundur. Tapi meski pun mereka sudah bergerak cepat, dan
berusaha menyelamatkan diri tak urung juga sudah terlambat,
kedua kepalan tangan yang membesar itu menutuk tiba dari
tengah udara jeritan yang mengerikan berkumandang sampai
sekian lamanya, darah dan daging manusia yang hancur
berkeping-keping berterbangan keempat penjuru, kedua orang
seragam hitam berbareng direnggut jiwanya.
Cepat-cepat Giok-liong berjongkok menjemput senjata
potlot masnya lalu perlahan lahan berdiri tegak. Saat mana
terdengarlah-serentetan getaran tawa dingin yang
menggiriskan bulu roma mengalun tinggi. Tampak Hiat hong
Pang-cu mengulapkan tangan sembari memberi perintah:
"Serbu!"
Maka sorak-soraklah para seragam hitam yang mengepung
diiuar gelanggang sambil angkat senjata terus menerjang
maju sembari kekuatan serbuan yang dibawa oleh pihak Hiat
hong-pang tidak hanya terpaut puluhan saja karena dari
belakang batu batu besar di kejauhan sana juga beruntun
berloncatan ke luar pula berpuluh puluh bayangan hitam yang
membawa senjata berkilauan terbang mendatangai menyerbu
ketengah gelanggang.
Mendadak Giok-liong merasakan dipaha kirinya
merembeskan darah dan terasa hangat, celakanya suhu
hangat ini semakin menjalar keatas, maka cepat-cepat ia
mengerahkan hawa murni untuk menutup jalan-jalan darah.
Tiba-tiba terdengarlah ejekan tawa dingin dari samping
kirinya: "Buyung, menyerah saja" sebuah bayangan hitam

berkelebat tahu-tahu Hiat hong Pang-cu sudah berada didepannya,
berbareng tangannya ikut bergerak lima jalur angin
dingin menyamber kencang melesat kearah lima jalan darah
penting di dadanya.
Giok-liong bergelak tawa keras sekali tangan kanan juga
digerakkan sinar kuning segera berkelebat berbareng ia juga
menggerung keras: "Siok-toako, bunuh semua!"
Terdengarlah rentetan ledakan keras, di mana jalur-jalur
angin saling bentrok dengan potlot mas, konton Giok-liong
rasakan telapak tangannya tergetar linu dan sakit sekali,
hampir saja senjatanya terlepas dari cekalannya. Dalam
kagetnya kedua kakinya secara otomatis segera menjejak
tanah, badannya lantas melenting mundur berbareng kuntum
awan putih bergelombang menuruti gerak pukulan sisanya
teras melebar dan menerjang keempat penjuru.
Jerit dan pekik mengaduh menyayatkan hati sebelum ajal
saling susul, darah berceceran dimana-mana menjadi
genangan jang besar. Dimana-mana bayangan hitam
berkelebat kaki tangan daging-daging manusia yang sudah
menjadi mayat beterbangan kesana sini. Para seragam satu
persatu roboh menggeletak tanpa bangun kembali.
Seluruh tubuh Giok-liong dan Siok Kui tiang sudah penuh
berlepotan darah, tapi mereka masih terus bertempur matimatian.
Matahari sudah mulai mengunjukkan diri dari peraduannya
hari sudah menjelang pagi, Hasil dari pertempuran semalam
suntuk, ini darah mengalir menjadi genangan besar, mayat
bergelimpangan bertumpuk tinggi.
Semakin bertempur jarak Giok-liong dan Siok Kui-tiang
semakin jauh akhirnya mereka semuanya terpisah saat mana
Giok-liong tangan menghadai empat orang seragam hitam
didepan sebuah hutan. Keempat orang seragam hitam ini

biasanya dikalangan Kangouw juga termasuk tokoh kelas satu,
tapi sekali ini mereka harus berhadapan dengan Giok liong,
betapapun tinggi kepandaian mereka masih jauh dibanding
kemampuan Giok liong.
Tapi keadaan Giok-iiong saat mana sangat payah, bukan
saja sudah lelah juga badannya penuh luka-Iuka, Apalagi
setelah bertempur mati-matian dikeroyok sedemikian banyak
musuh-musuh Hiat-hong-pang, tenaga dalamnya sudah
banyak terkuras keluar. Maka dibawah kerubutan keempat
musuh ini dia semakin terdesak dibawah angin, Gerak empat
pedang panjang musuh sangat cepat merupakan satu tekanan
berat bagi dirinya, Kalau desiran angin pedang dapat mengiris
kulit sebaliknya bayangan pukulan gabungan mereka
berempat juga sangat deras bagai gelombang samudra,
sedemikian rapat kerja sama mereka hakikatnya Giok-liong
sudah terkekang dalam kepungan mereka.
Mendadak Giok liong kerahkan seluruh sisa kekuatan
tenaga murninya sambil memutar potlot masnya satu
lingkaran, nyana jurus Toan-bing (putus nyawa) dari Jan-hunsu-
sek telah dilancarkan dengan seluruh kekuatannya.
,,Prak - Blum" beruntun terdengar benturan keras yang
menggetarkan bumi, diselingi lima kali jeritan mengaduh
disusul bayangan orang terbang sungsang sumbel ke-empat
penjuru, darah beterbangan menari-nari ditengah udara,
jenazah mereka terbanting keras diatas tanah.
Giok-liong merasa jantungnya berdebar keras hatinya
merasa mual, segulunng darah segar menerjang keatas
menembus tenggorokkannya. Diam-diam hatinya berteriak:
"Tidak, tidak, aku tidak tidak boleh roboh"
Dia tahu sekali ia jatuh, bukan mustahil jiwanya bakal
melayang ditangan para kamrat-kamrat Hiat-hong-pang ini.
Demikianlah sedikit pandangannya menjadi kabur dan pikiran
tidak tentram, badannya segera melayang tinggi dan jatuh

kena pukulan gabungan para musuhnya yang kejam dan
telengas, badannya terus terbang tinggi menerobos dahandahan
sehingga menerbitkan suara yang berisik, akhirnya
Giok-liong merasa seluruh tubuh tergetar keras, kiranya
dirinya sudah terbanting masuk kedalaman sebuah rimba dan
menindih putus dan merontokkan banyak dahan dan daun
pohon.
Tidak tertahan lagi, mulutnya menguak menyemburkan
darah segar, kepalanya terasa puyeng dan pusing tujuh
keliling, pandangan menjadi gelap lantas dia jatuh celentang
tak ingat apa-apa lagi.
Tidak lama setelah Giok-liong terjatuh masuk kedalam
rimba, dari lereng gunung sana juga terdengar suara jerit dan
lolong kesakitan, beberapa orang saling bersahutan untuk
mengakhiri pertempuran berdarah ini.
Alam sekelilingnya masih diliputi keremangan kabut pagi
yang tebal, suasana sangat sunyi senyap, angin sepoi-sepoi
menghembus lalu membawa pagi yang sejuk dingin.
Diatas lereng gunung sana, didepan hutan ini, darah
berceceran . menggenangi mayat-mayat yang tidak lengkap
anggota tubuhnya, Sayup-sayup terdengar suara keluh dan
gerangan orang yang menderita kesakitan sungguh keadaan
serupa ini sangat mendirikan bulu roma.
Dari kejauhan belakang gunung sana, empat bayangan
orang tengah terbang cepat bagai meteor, Begitu sampai
kiranya tidak lain adalah Hiat-hong Pang cu sendiri yang
seluruh badannya penuh berlepotan darah serta tiga orang
berkedok seragam hitam.
Begitu berhenti berlari, segera Hiat-hong Pang-cu berseru
dengan penuh kejengkelan: "Hm, Siok Kiu tiang dan bocah
berkedok itu tak mungkin dapat lari jauh, segera keluarkan

perintah suruh semua saudara-saudara dari berbagai sekte
bekerja keras mencari jejak mereka."
Habis berkata ia menyapu pandang kesekitarnya lalu
katanya lagi: "Bersihkan seluruh gelanggang pertempuran ini,
Pun-sii (aku) akan memeriksa kebelakang gunung."
Sambil mengulapkan tangan badannya lantas melesat cepat
sekali laksana kilat meluncur kebelakang gunung, Keadaan dibelakang
gunung sangat sunyi senyap, kabut pagi masih
belum buyar, angin sepoi menghembus lalu melambaikan
dahan-dahan pohon.
Diatas sebuah dahan pohon besar yang menjulur keluar
dimana terkulai semampai lemas seseorang terluka parah,
seluruh tubuh orang ini berlepotan darah keadaannya sangat
menguatirkan. Orang ini bukan lain adalah Giok-liong adanya,
darah segar masih meleleh terus dari mulut dan hidungnya,
Setetes demi setetes menitik diatas tanah terus meresap
kedalam tanah.
Kabut putih yang mengembang halus menyelimuti seluruh
badannya terus mengalir lewat tanpa bersuara. Dewa elmaut
seakan sudah mencabut seluruh jiwanya, kesunyian yang
mencekam telah meliputi seluruh semesta alam ini,
sekonyong-konyong dari dalam rimba sebelah dalam sana
terdengar suara halus yang merdu tengah berkata: "Eh,
apakah ada orang sedaag bertempur diluar rimba ?"
Baru saja lenyap suaranya lantas terlihat sebuah bayangan
hijau pupus yang berbentuk semampai melayang enteng
sekali di keremangan kabut.
Tetesan darah dari atas pohon hampir saja menetes diatas
wajahnya yang ayu jelita dan bersemu merah. sedikit terkejut
segera ia mundur beberapa langkah sambil mendongak
keatas, kontan terdengar mulutnya berteriak kaget: "Oh orang
ini . . ."

Dalam keadaan pingsan itu tiba-tiba Giok-liong sedikit
menggeliat mulutnya mengguman lirih menahan sakit.
Bayangan hijau pupus ini adalah seorang gadis remaja
yang mengenakan pakaian hijau mulus, tampan alisnya
dikerutkan setelah mengamati keadaan Goik-liong yang
semampai diatas dahan ia berkata seorang diri: "Ternyata
masih belum mati! Aku harus menolongnya !" habis berkata
sepasang matanya yang jeli dan bening itu menyapu pandang
keluar rimba. Tampak disana malang melintang rebah empat
mayat manusia seragam hitam.
Sekarang baru dia paham duduknya perkara, batinnya: "Ya,
tentu begitu, pasti ke empat orang ini mengeroyok dia
seorang. . ."
Mendadak sebuah bayangan hitam laksana bintang jatuh
tengah meluncur cepat sekali dari lereng bukit sebelah sana.
Gadis baju hijau segera mengangkat alis dan bersiaga,
pikirnya : "Orang yang datang ini mengenakan baju hitam
pula, mungkin adalah kerabat dari keempat orang yang mati
itu."
Sedikit menggerakkan badan dan menjejakkan kaki, ringan
sekali ia melompat keatas dahan, tangannya yang halus dan
lencir segera diulurkan terus menjinjing tubuh Giok-liong,
maka dilain kejap bayangan mereka sudah lenyap dari alingan
pohon pohon yang rimbun didalam hutan.
Baru saja bayangan gadis baju hijau menghilang didalam
rimba, bayangan hitam itupun sudah tiba diluar rimba. Begitu
melihat keempat mayat yang bergelimpangan itu, sepasang
matanya yang tersembunyi dibalik kedok memancarkan sorot
kegusaran yang meluap-luap, dengusnya dongkol: "Bocah
keparat, betapa juga kau takkan dapat lepas dari
cengkeramanku."

Sepasang matanya yang tajam menyapu pandang keempat
penjuru, badannya mendadak melenting tinggi terus
menerjang keda-larn hutan, sekejap mata saja ia sudah
berputar sekali memeriksa situasi terus melayang balik lagi
keatas lereng bukit sana.
Lambat laun matahari sudah naik tinggi ditengah cakrawala
lalu doyong lagi kearah barat, haripun berganti malam.
Dalam keadaan sadar tak sadar tahu-tahu Giok liong sudah
rebah sepuluh hari di atas pembaringan. Hari itu perlahanlahan
ia membuka mata, selarik sinar merah menyilaukan
pandangan matanya. Bersama dengan itu hidungnya juga
mengendus bau wangi semerbak yang menyegarkan badan
terasa badannya rebah diatas kasur yang empuk dan enak
sekali.
Setelah matanya terbuka lebar, terlihat didepan sebelah
sana adalah sebuah jendela besar yang terbentang lebar.
Diluar jendela sinar matahari tampak telah doyong kearah
barat. Tanpa terasa Giok-liong bertanya-tanya dalam hati:
"Tempat apakah ini?"
Pandangan segera menjelajah keadaan sekitarnya,
didapatinya inilah sebuah kamar kecil yang dipajang dan
dilengkapi segala prabot serba antik dan penuh bebauan
harum dilihat keadaan semacam ini, tidak perlu diragukan lagi
pasti adalah kamar tidur seorang gadis remaja.
Segera terbayang pengalaman selama ini dalam benaknya,
Tahu dia bahwa dirinya lelah ditolong orang, tapi siapakah
orang yang telah menolongnya ini! Dilihat dari keadaan kamar
ini bukan mustahil yang menolong dirinya adalah seorang
gadis. Untuk ini lantas teringat olehnya akan Ang-i-mo-li Li
Hong. sebetulnya Li Hong adalah seorang gadis yang baik,
namun mengapa julukannya sedemikian seram dan tak enak
didengar?

Lantas teringat juga akan iblis rudin Siok Kui-tiang, untuk
dirinya sampai dia menderita dan bukan mustahil malah
mengorbankan jiwanya. Ya, iblis rudin pasti sudah mati!
Betapa tidak dengan membekal luka-Iuka dalam yang sangat
parah itu dia masih terus bertahan melawan dan menggempur
mati-matian dengan para durjana dari Hiat-hong-pang,
seumpama tidak terbunuh mati oleh musuh pasti juga mati
lemas kehabisan tenaga.
Oh, Tuhan! Nasibku ini sudah sedemikian jeleknya."
Mengapa setiap orang yang bertemu dengan aku harus pula
mengalami penderitaan yang hebat ini? Apakah aku ini
seorang yang bertuah? Ayah sudah menghilang tanpa jejak
sejak aku masih kecil, lbu juga karena terlalu baik terhadap
aku sampai akhirnya tidak diketahui mati hidupnya, Dalam hati
juga akan Li Hong yang telah melepas budi menolong jiwanya
dari renggutan elmaut. akhirnya toh diculik orang dengan
keadaan telanjang buIat, iblis rudin setelah tahu bahwa
dirinya adalah sahabat yang terdekat, jiwanya melayang di
bawah keroyokan kaum Hiat-hong-pang.
Berpikir sampai disitu, tanpa merasa berkobar amarahnya,
desisnya sambil menggigit bibir: "Hiat-hong-pang. Hiat-hongpang,
Akan datang satu hari aku Ma Giok-liong pasti
menumpas habis menjadi rata dengan tanah seluruh Hiathong-
pang. Aku harus menuntut balas . . ."
Sekonyong-konyong dari luar pintu sana terdengar suara
tawa ringan yang nyaring dan merdu: "Kongcu, kau sudah
sadar!" se-iring dengan suara halus ini melayang masuklah
sebuah bayangan langsing semampai kedalam kamar.
Seketika Giok liong merasa pandangannya menjadi terang,
matanya memandang kesima.
Alis yang melengkung indah bak bulan sabit, menaungi
sepasang mata bundar besar yang bersinar bening, Hidung

mancung tinggi, dengan mulut mungil yang merah seperti
delima merekah. Sambil tersenyum lebar mengunjuk sebarisan
giginya yang putih bersih perlahan-lahan menghampiri kearah
pembaringan.
Cepat-cepat Giok-liong bangun berduduk serta katanya:
"Budi pertolongan nona yang sedemikian besar ini, selama
hidup pasti cayhe takkan melupakannya."
Gadis ayu berpakaian hijau mulus ini begitu Giok liong
membungkukkan badan lantas memutar badan, sahutnya
tertawa: "Kongcu, pakaianmu terlalu kotor, sudah kusuruh
orang mencucikannya ! Lekaslah kau benahi pakaian nanti
sebentar aku datang lagi !" bau wangi merangsang hidung,
tahu tahu dia sudah melesat pula keluar kamar.
Merah jengah selembar raut muka Giok liong, tersipu-sipu
ia menunduk melihat badan sendiri, baru sekarang ia merasa
Iega, Ternyata badannya telah mengenakan pakaian Iain.
Buntalannya juga terletak dipinggir ranjang. Jubah luarnya
yang besar serta putih itu juga tergantung di dinding.
Lekas- lekas dibukanya buntalannya itu, kiranya Jan hun ci
sena barang barang bekal lainnya masih ada, Sedang potlot
juga tertindih dibawah buntalannya itu, Legalah hatinya, maka
cepat-cepat ia berganti pakaian mengenakan jubah putih itu.
Mendadak merasakan suatu keanehan yang mengherankan
hatinya, Bukankah dirinya terluka parah dan tertolong sampai
disini, mengapa badannya sekarang tiada merasakan bekasbekas
luka parah itu? Dicobanya menyedot hawa
mengerahkan hawa murni, terasa hawa murninya penuh
padat dan Aotv gairah, rasanya lebih kuat dan kokoh dari
sebelum itu.
Tengah ia merasa terheran heran, terdengar pula suara
merdu itu berkata diluar pintu: "Kongcu kau sudah berganti
pakaian belum ?"

"Sudahlah !"
Bayangan hijau disertai bebauan harum yang merangsang
hidung, tabu-tahu gadis serba hijau mulus itu telah melayang
masuk lagi, Bergegas Giok-liong nyatakan lagi rasa terima
kasihnya akan pertolongan jiwanya ini.
"Sudah jangan sungkan-sungkan, luka-Iukamu sungguh
sangat parah !"
"Ya, luka-luka cayhe ini bila tidak mendapat pertolongan
nona, pasti jiwaku saat ini sudah lama melayang."
"Bukan aku yang mengobati lukamu, adalah nenekku yang
mengobati !"
"Ah, kalau begitu besar harapanku bisa menghadap kepada
beliau untuk menyatakan banyak terima kasih akan budinya
ini."
"Tidak perlu, setelah mengobati lukamu lantas nenek keluar
pintu menyambangi salah seorang kenalannya."
"Harap tanya tempat apakah ini?"
"Hwi-hun -san-cheng !"
"Hah . . ." Seketika Giok-liong berdiri kesima seperti
kehilangan semangat.
Betapa tenar dan disegani Hwi-hun san-ceng ini dikalangan
Kangouw, bagi setiap kaum persilatan tiada seorangpun yang
tidak mengetahui akan nama yang cemerlang ini, Hanya tiada
seorangpun yang tahu dimanakah sebenarnya letak dari pada
Hwi-hun-san ceng ini.
Yang mengepalai Hwi-hun-san cheng atau perkampungan
awan terbang ini adalah Hwi hun-chiu (tangan awan terbang)
Coh Jian-kun ilmu silatnya tinggi wataknya juga aneh, tokohtokoh
dari aliran putih atau hitam srnna segan mencari

perkara terhadapnya! Apalagi selama hidup ini dia paling
mengutamakan "kependekaran", banyak kebajikan dari pada
kejahatan yang telah dilakukan selama hidupnya ini. Pula dia
tidak suka mencampuri urusan orang lain, maka jarang dia
tersangkut dalam perkara rumit yang mengikat dirinya.
Melihat sikap Giok liong yang lucu ini, gadis pakaian hijau
itu segera berkata halus: "Kau jangan takut, ayah dan ibu
sekarang tidak berada dirumah, Saat ini akulah yang paling
besar berkuasa dirumah ini, seluruh penghuni perkampungan
ini tiada yaag berani lerobosan di kediamanku."
Giok liong menggelengkan kepala, katanya: "Bukan cayhe
takut! Harap tanya nama nona yang harum?"
"Aku Coh Ki-sia, ayah ibuku biasa panggil aku Siau sia!
Nenek paling sayang padaku, sayang dia sekarang tak berada
dirumah
"Kalau dia ada pasti kau juga akan suka padanya, Eh,
siapakah namamu?"
"Ma Giok-liong"!
"Nah, kalau begitu bolehkah aku panggil Liong-koko
terhadap kau?"
Dalam berkata-kata ini Coh Ki-sia berjingkrak dan
melompat.lompat rnengunjukkan jiwanya yang polos dan
lincah, Tapi didalam kelincahannya ini menunjukkan juga
keagungan jiwanya.
Cepat-cepat Giok-liong msnyahut : "Sudah tentu boleh."
"Engkoh Liong, luka-luka badanmu hari itu benar-benar
sangat parah, Kebetulan seorang diri aku mengeloyor keluar
dan menoIongmu pulang kemari! sungguh begitu melihat
keadaan luka-lukamu itu aku kaget setengah mati. Seluruh
badan berlumuran darah pula aku tidak berani mengabarkan

kepada ayah dan ibuku, terpaksa kulaporkan kepada nenekku.
Begitu melihat Potlot emasmu itu tanpa banyak bicara lagi
segera nenek turun tangan mengobati lukamu, setelah
keadaanmu tidak menguatirkan lagi baru dia tinggal pergi
menyambangi kenalannya, sebelum berangkat dikatakannya
bahwa beliau suka kepada kau !"
Tergerak hati Giok-liong, tanyanya: "Apakah peraturai
dalam Hwi-hun san-cbeng ini sangat keras?"
"Sudah tentu sangat keras, terutama bila ayahku berada
dirumah, lebih garang dan galak dari siapa saja, kadangkadang
sikapnya itu sangat menakutkan."
"O, kalau begitu... apakah aku harus menunggu ayah
ibumu kembali baru menghaturkan terima kasih?"
"Jangan. . . Hei, kau hendak pamitan?"
"Ya, sebab ada urusan penting yang mengikat cayhe, tidak
boleh aku tinggal terlalu lama disini, Budi pertolongan yang
besar ini, biarlah lain waktu saja aku berusaha membayarnya."
Mendengar penjelasannya ini, Coh Ki sia lantas mengunjuk
sikap yang kecewa dan tidak senang hati, rada lama dia
termenung lalu katanya: "Engkoh Liong, tunggulah beberapa
hari lagi, tunggulah nenekku kembali, baiklah ?" suaranya
halus penuh nada mengharukan membuat hati Giok liong
terketuk tak sampai hati ia berlaku keras.
Tak enak rasanya kebaikan hati orang, terpaksa Giok-liong
manggut-manggut serta katanya: "Baiklah, paling larna aku
hanya boleh tinggal lima hari lagi."
Bukan kepalang girang Coh Ki-sia sampai berteriak dan
berjingkrak-jingkrak: "Engkoh Liong, sungguh baik benar
hatimu !"
Sebaliknya diam diam Giok-liong menghela napas, Talni dia,
Siau-sia seorang diri dalam Hwi-hun-san-cheng yang sunyi dan

sepi begini, tentu dia merasa kesepian, pikir punya pikir dia
lantas bertanya: "Nona Coh. . ."
Coh Ki-sia lantas menyenggak perkataannya, ujarnya lincah
: "jangan panggil aku Nona Coh lagi, panggil aku Siau-sia
saja!"
"Baik, Siau-sia."
"Hrh." Coh Ki-sia mengiakan
"Didalam perkampungan ini pasti ada banyak kawan yang
menemani kau bermain bukan ?"
Rasa masgul dan rawan segera menyelubungi seluruh raut
muka Coh Ki-sia, tampak alisnya dikerutkan, katanya sedih:
"Tidak, ayah ibuku melarang aku bertemu dengan orang lain !
Tempo hari ada seorang pemuda yang tidak setampan kau,
tapi dia baik hati, pandai bicara lagi, secara, sembunyisembunyi
ia datang kemari bermain dengan aku, akhirnya
diketahui ayah, dikatakan bahwa dia mempunyai maksud jahat
yang lantas di bunuhnya, Karena peristiwa itu aku sampai
menangis beberapa hari lamanya ! walaupun aku tidak suka
pada dia, tapi tidak seharusnya ayah membunuhnya ! Ai,
sungguh kalau dipikirkan sangat menjengkelkan."
"Sudahlah Siau-sia, tujuan ayah ibumu adalah baik untuk
kau."
"Baik juga tidak seharusnya begitu, justru nenek
mengatakan mereka salah."
"Kenapa nenek tidak mau menegor kepada mereka untuk
tidak berbuat demikian ?"
"Nenek tidak cocok dengan ayah ibu sering bertengkar
dikatakan bahwa ayah tidak berbakti, maka beliau tidak suka
bicara dengan ayah ibu. Engkoh Liong, ayah ibumu tentu
sangat baik terhadapmu bukan, mereka mengijinkan kau
dolan kemari . . . "

Hati Giok-liong menjadi terharu tenggorokan juga lantas
sesak, katanya setelah menelan air liur: "Ya, mereda sangat
baik terhadap aku."
"Tapi apakah mereka tidak kwatir kau mengalami bahaya
diluaran ?"
Dua titik air mata kontan meleleh dari ujung mata Giokliong.
seumpama dalam keadaan biasa pasti tak semudah itu
ia mengalirkan air mata soalnya dia sudah biasa ditimpa
segala kemalangan dan penderitaan lahir batin, sehingga
lahiriahnya sangat pendiam dan dingin, menjadi gemblengan
dalam menahan sabar.
Namun menghadapi gadis remaja seayu bidadari yang
lincah gerak geriknya pandai bicara lagi, sulit ia
mengendalikan perasaan hatinya lagi.
Begitu melihat Giok-liong mengalirkan air mata, Siau-sia
menjadi gelisah dan gugup, pelan-pelan dan halus sekali
gerakannya ia mengulurkan sebelah tangannya dengan jarijari
yang runcing halus seperti tidak bertulang mengusap air
mata yang meleleh di kedua pipi Giok-liong, ujarmu lemah
lembut "Engkoh Liong, kenapa kau nangis? Apakah Ayah
ibumu juga tidak baik?"
Pertanyaan lemah lembut yang menusuk sanubari ini lebih
menambah kedukaan hati Giok-liong, air mata meleleh
semakin deras tak terlahanlan lagi.
Keruan Siau sia semakin gugup, katanya bingung: "Engkoh
Liong, Siau sia yang salah membuat kau berduka saja..."
sambil berkata dengan lembut ia mengelus ngelus rambut
Giok-lioag.

Giok-liong menahan rasa duka serta menahan akan
tangisnya, katanya: "Maaf, Siau-sia, aku terpengaruh oleh
perasaan."
"Tidak menjadi soal, aku tahu kau sedang kunang enak
badan," Aku sendiri kalau tidak enak badan juga sering
nangis. Engkoh Liong, urusan apakah yang membuat hatimu
berduka, dapatkah kau ceritakan kepada Siau-sia?"
"Aku . . . . aku , . , . !"
"Engkoh Liong, kita bicara tentang perihal lain saja?"
Sang waktu terus berjalan, hari berganti hari, tahu-tahu
lima hari telah berlalu tanpa terasa, Dalam lima hari ini
hubungan Giok-liong dengan Siau sia ada banyak kemajuan
yang mengejutkan. Maklum yang pria tampan dan ganteng,
berilmu tinggi pandai sastra lagi, sedang yang perempuan
secantik bidadari lincah dan polos pula, Memang agaknya
mereka sangat cacok dan merupakan sepasang jodoh yang
sudah ditakdirkan Tuhan.
Sayang Giok-liong ditakdirkan pengalaman hidup yang pahit
getir serta riwayat hidup yang sengsara! Dia mempunyai tugas
berat menuntut balas dendam kesumat keluarganya serta
kepentingan kaum persilatan yang tengah terancam mara
bahaya kemusnahan.
Sebaliknya Siau-sia dilarang untuk berdekatan dengan
segala orang laki-laki, akibatnya adalah laki-laki itu pasti
dibunuh oleh ayahnya.
Tapi selama lima hari ini, mereka berdua menyingkirkan
segala pikiran buruk, setiap saat selalu berduaan tak pernah
berpisah.
Menjelang magrib pada hari kelima, matahari sudah
terbenam diperaduannya, sang putri malam juga sudah
memancarkan cahayanya yang redup.

Dipinggir sebuah sungai kecil yang mengalirkan air jernih
dalam sebuah hutan kecil, sepasang kekasih tengah duduk
berhimpitan berkasih mesra.
Terdengar Siau sia sedang berkata "Engkoh Liong, benar
benar kau hendak berangkat?"
"Ya, Siau-sia, sukalah kau memaafkan aku."
"Apa kau tega meninggalkan Siau-sia seorang diri
kesunyian disini."
"Siau-sia, keadaan di Kangouw serba unik dan banyak
bahayanya, jiwa siapapun sulit dapat terlindung! Apalagi
dimana mana banyak tersebar musuh besarku, besar niat
mereka hendak membunuh aku!"
"Lalu kenapa kau harus berangkat?"
"Banyak sekali urusan yang harus kuselesaikan."
"Engkoh Liong, jikalau urusanmu sudah selesai, apakah kau
datang kembali membawa aku?"
"Tentu, Siau-sia aku pasti kemari lagi."
"Betapapun kau jangan melupakan aku."
"Tidak aku tidak akan melupakan kau."
"Engkoh Liong. . ."
"Heh, ada apa?"
"Aku. . .aku cinta kau!" habis berkata cepat-cepat ia
menundukkan kepala kemalu-maluan dengan selebar
wajahnya merah jengah, melirikpun tidak berani.
Giok-liong menghela napas, tangannya diulur mengelus
rambut Siau-sia yang panjang halus semampai bak benang
sutra, katanya lirih: "Siau-sia, aku juga mencintai kau tapi. . ."
"Tapi apa , , , . "

"Tapi bila siapa bermain cinta denganku, hari-hari
selanjutnya pasti mengalami penderitaan saja, mungkin aku
ini seorang yang bertuan. . ."
"Engkoh Liong, lekas kau jangan berkata begitu?"
Badan yang padat montok, segera merebahkan diri
kedalam pelukan Giok-liong. Kedua bibirnya yang panas
hangat juga segera melumat dan melekat erat sekali pada
bibir Giok-liong yang menyambutnya dengan penuh nafsu.
Dunia seakan-akan sudah berhenti berputar.
Dibawah cahaya bulan yang remang-remang itu tampak
kedua bayangan manusia itu lama-lama berdekapan dari
bayangan terbaur menjadi satu. Memang lekatan pada sang
bibir yang merangsang ini semakin mengaburkan kesadaran
mereka berdua. seakan-akan dunia ini sudah menjadi milik
mereka sendiri.
Entah sudah berapa lama mereka mengecap rasa nikmat
sebagai manusia hidup dalam alam semesta ini, Tahu-tahu
sang waktu sudah berlalu tanpa mereka sadari. Sekarang sang
putri malam sudah doyong kebarat. Sedang diufuk timur sang
sinar surya sudah mulai mengintip dari peraduannya.
Suara bisik bisik dari percakapan mereka berdua terdengar
lagi: "Engkoh Liong, aku cinta padamu."
"Adik Sia, aku cinta kau!"
"Engkoh Liong, aku sudah menyerahkan segala milikku
kepadamu, kuharap kau tidak melupakan aku!"
"Benar, adik Sia legakan hatimu! Engkoh Liongmu ini bukan
pemuda bangor yang suka ingkar janji! Aku akan berusaha
sekuat tenaga untuk selekasnya menyelesaikan tugasku
kembali kesini menjemput kau!."
"Engkoh Liong sungguh aku sangat bahagia! Aku sangat
girang!"

"Adik Sia!"
"Hmmmm."
"Kini sudah hari keenam, betapapun aku harus segera
berangkat!"
"Baiklah, lekaslah kau berangkat dan cepat kembali supaya
aku tidak kwatir dan terlalu mengenang dan mengharap harap
kau."
"Baik," berdua mereka berjalan berendeng bergandeng
tangan keluar dari rimba.
Kasih mesra yang tidak mengenal batas terpaksa harus
bubar mengiringi rasa duka nestapa sebelum berpisah ini,
mereka sama-sama menghentikan langkah.
Air mata pelan-pelan mengalir keluar dari kedua biji mata
Siau-sia yang bening pudar itu: "Selamat berpisah Engkoh
Liong, jagalah dirimu baik-baik, adik Siamu selama hidup ini
selalu akan menantimu..." tak tertahan lagi air mata mengalir
deras.
Pelan-pelan Giok-liong mengecup air maia yang mengalir
deras itu, serta katanya tersendat "Adik Sia. selamat berpisah,
aku berangkat..." memutar tubuh terus lari kencang!
Diatas tanah tersiram setetes air mata yang tak terbendung
lagi, tak tertahan lagi Siau sia menangis sesenggukan tapi dia
masih kuat melebarkan kedua pandangan matanya serta
melambaikan tangan, sampai bayangan Giok-liong sudah
menghilang dibalik pinggang gunung sebelah depan sana.
Walaupun perpisahan ini bukan untuk selamanya, namun
betapapun rasanya sangat berkesan dan menggetarkan hati,
Hidup manusia memang kadang kadang harus dikasihani, baru
saja mereka terangkap sebagai suami istri, dalam waktu kilat

harus berpisah lagi. Asmara memang suka mempermainkan
orang, betapa kejam dan menyedihkan!
Membawa hati yang penuh duka lara Giok-liong kembangan
Leng-hua-toh sekuatnya, besar hasratnya untuk membuang
jauh-jauh rasa sedih dan pilu hatinya dibelakang. Tapi apakah
itu mungkin? Betapapun cepatnya ia berlari perasaan yang
mengganjal dalam sanubarinya itu selalu mengintil
dibenaknya, membuatnya sedikit tiada kesempatan untuk
bernapas!
0h. Tuhan! semakin lari jarak dengan istri tercinta semakin
jauh! Entah kapan dirinya baru dapat tiba kembali diharibaan
kekasihnya yang tercinta, Tak tertahan lagi ia berpaling
kebelakang, Namun pohon didepan sana sudah teraling oleh
lamping gunung, tak kuasa lagi segera kakinya berlari kencang
balik kearah datangnya semula, Asal dapat selintas pandang
saja melihatnya, meskipun itu dari jarak yang sangat jauh,
hatinya juga akan lega dan terhibur.
Tak lama kemudian ia sudah sampai di-puncak lamping
gunung. jauh didepan hutan yang lebat sana, dibawah cahaya
sinar matahari yang memancar terang, tampak sebuah
bayangan manusia terbayang dalam pandangannya. "Oh,
Siau-sia kekasihku, kenapa kau masih belum kembali?" Baru
saja Giok liong hendak mementang mulut berteriak! Tatkala
itu agaknya bayangan Siau-sia yang langsing semampai itu
juga telah melihat bayangan Giok-liong yang lari balik saking
girangnya tampak ia berjingkrak sambil melambaikan
tangannya.
Ingin rasanya Giok-liong cepat-cepat berlari balik memeluk
Siau-sia. dalam pelukannya, akan dikatakan bahwa untuk
selanjutnya dirinya takkan berpisah lagi!"
Tapi dapatlah kenyataan hidup ini memungkinkan tekadnya
ini!

Sekarang sudah saatnya ia harus pergi meninggalkan
tempat yang penuh kenangan manis ini karena ia telah
melihat bayangannya, Maka sambil menunduk perlahan-lahan
ia memutar badan berjalan melenggang turun dari puncak
gunung, Tak tertahan agi dua butir air mata menetes
membantu jubah panjangnya.
Tiba tiba Giok-liong menghela napas panjang untuk
menghilangkan kekesalan hatinya. Mendongak ketengah udara
ia berpekik panjang terus berlari sekencang-kencangnya,
Tanpa terasa akhirnya ia tiba dijalan raya, terpaksa ia harus
melanjutkan langkah kakinya terus menyusun jalan raya ini
menuju kekota.
Tatkala itu meskipun sudah tiba pertengahan musim rontok
hawa masih dingin sekali, tapi setelah matahari terbit dan
meninggi, terasa hawa mulai panas dan hangat.
Semakin dekat dengan kota terlihat satu dua orang berlalu
lalang, tapi mereka memandang kearah Giok-liong dengan
sorot pandangan yang aneh. Sebab pemuda yang gagah
ganteng ini hanya mengenakan pakaian jubah luar yang tipis,
berjalan seorang diri dengan sikap dingin seolah-olah semua
orang dalam dunia ini, semua kejadian dalam alam semesta ini
sedikitpun tidak menarik perhatian."
Lama kelamaan orang mulai banyak berlalu lalang ditengah
jalan, sudah tentu semakin banyak orang dijalanan yang
memandang heran kearahnya, Malah ada yang bisik-bisik
membicarakan keanehannya. Terang dia sebagai pelajar yang
lemah, dalam musim yang dingin ini hanya mengenakan jubah
pelajar yang tipis serta ikat kepala sutra lagi agaknya sedikit
tidak takut akan dingin. Ditambah expresi wajahnya yang
membeku tanpa emosi menambah semua orang bertanyatanya,
orang macam apakah pemuda gagah ini!

Dari pembicaraan orang-orang dipinggir jalan itu akhirnya
Giok-liong tahu bahwa kota didepan yang terletak dipinggir
bukit Tay-soat-san ini bernama kota An-tin.
Demikianlah ia menyusuri jalan raya ini, tak lama kemudian
didepannya terlihat tembok-tembok ?eadck dibelakang
tembok-tembok ini adalah gubuk-gubuk tembok yang rendah.
Terdengar didalamnya suara manusia yang berbisik. Kiranya
para pedagang yang hilir mudik sangat banyak tiada putusnya.
Waktu Giok-liong memasuki kota An-sum matahari sudah
cukup tinggi diatas cakrawaIa. Mengikuti arus manusia yang
berbondong bondong itu, perlahan-lahan Giok-liong memasuki
kota terbesar disamping pegunungan Tay-soat san ini.
Baru saja ia habis melewati sebuah jalan raya. lantas
terdengarlah suara masakan dio-tth diatas wajan serta hidung
juga dirangsang bau masakan yang sedap, perut Giok-liong
lantas keruyukan minta diisi. Memang sudah beberapa hari ini
Giok-liong belum makan.
Apalagi bau masakan sedap dan berat ini selain masa kecil
dulu, selanjutnya waktu hidup dalam pengasingan diatas
gunung beberapa puluh tahun itu, boleh dikata masakan
kampungan saja yang dimakannya, maklum sudah sekian
lama dia tidak bergaul dengan khalayak ramai.
Seketika timbul selera makannya, mengikuti datangnya
arah bau masakan ia membelok ke jalan tanah sebelah kiri
rumah pertama pada jalan ini terlihat diluar pintunya ada
tergantung papan nama yang bercat merah bertuliskan hurufhuruf
hitam besar bernama "warung daging sapi" diluar
dugaan pintu warung ini tergantung gordyin tebal yang
terbuat dari wool.
(Bersambung Jilid Ke 6)
JIlid 06

Diambang pintu berdiri seorang pelayan yang mengenakan
baju tebal terbuat dari kapuk, setiap kali ada orang berjalan,
ia membungkuk-bungkuk badan sambil menyilakan orang
mampir.
Pelan-pelan Giok-liong maju mendekat. Pelayan itu segera
maju menghampiri sambil berseri tawa, ujarnya: "Kongcu,
hawa sedingin ini bajumu tipis lagi, awas nanti kena pilek!
Kongcu warung kita merupakan yang paling terkenal dikota ini
dengan masakan yang paling lezat, Keadaan didalam hangat
lagi silakan masuk dulu untuk sekedar istirahat ! Nanti setelah
sang surya naik tinggi keadaan hawa jaga sudah panas
setelah perut kenyang tentu semangat bertambah untuk
melakukan perjalanan." sambil berkata ia lantas menyingkap
gordyin tebal itu menyilahkan tamunya masuk.
Begitu gordyin tersingkap bau harum arak serta masakan
segera merangsang hidung hawa hangat juga lantas mengalir
keluar menyampok badannya.
Giok- liong sedikit menganggukkan kepala kearah si
pelayan terus melangkah masuk, Tepat pada waktu Giok-liong
melangkah masuk ini, seseorang bajingan yang berada
dipinggir emperan memutar biji matanya terus bergegas lari
pergi.
Saat itu meskipun hari masih sangat pagi, tapi orang yang
datang kepasaran dikota ini sudah banyak selalu tidak heran
dalam warung daging sapi ini sudah penuh sesak dan hiruk
pikuk oleh pembicaraan para tamu.
Acuh tak acuh Giok liong mencari tempat kosong,
dimintanya seporsi Sop buntut serta arak sepoci kecil, seorang
diri ia makan minum dengan tenangnya.
Para tamu yang hadir dalam warung makan ini boleh dikata
terdiri dari segala lapisan masyarakat dari kaum yang rendah

sampai yang terpelajar juga tidak sedikit para buaya darat
berkumpul disini.
Sebuah meja besar yang terletak ditengah ruangan penuh
dikerumuni banyak laki-laki bermuka garang dengan jambang
lebat tebal serta mata yang mendelik besar, sambil makan
minum tak henti-hentinya mulutnya mengoceh panjang
pendek ngelantur menerbangkan ludahnya.
Terdengar salah seorang laki-laki kasar yang berusia tiga
puluhan duduk di paling tengah membuka mulutnya yang
besar sedang bicara: "Maknya, sungguh ajaib dan
mengherankan akhir-akhir ini banyak kejadian aneh yang telah
timbul dalam kaum persilatan. Dilihat-naga-naganya, bakal
ada lagi adegan seram dan mengejutkan bakal terjadi tak
lama ini."
Orang-orang yang berduduk disekitarnya lantas bertanya
berbareng: "Thio toako, coba kau ceritakan untuk kita dengar
bersama!"
Melihat banyak orang ketarik oleh obrolannya, giranglah
orang itu, telapak tangannya segera menepuk dada, serunya
tertawa "He, siapa tidak tahu aku simulut cepat Thio Sam
paling lincah mendapat kabar, Kalian jangan kesusu,
dengarkan dulu suatu suatu peristiwa yang baru saja terjadi di
tempat yang berdekatan ini."
Suasana seketika menjadi sunyi dan tenang, semua orang
mementang mata lebar-lebar dan memasang kuping untuk
mendengar ceritanya.
Terlebih dulu si mulut cepat Thio Sam menenggak araknya,
lalu menggerung batuk-batuk. ujarnya: "Belakangan ini
dikalangan Kangouw telah muncul seorang pemuda pendekar
yang diberi julukan Kim-pit-jan-hun, apakah kalian sudah
pernah dengar?"
Serentak para hadirin menyatakan tidak tahu.

"Ha, bicara tentang Kim pit-jan-hun ini orang akan
mengkirik ketakutan." sampai disini ia menenggak lagi
araknya, lalu menyumpit sekerat daging sapi terus dijejalkan
kedalam mulutnya, pelan-pelan dikunyahnya.
Para teman-teman yang memenuhi sekeliling meja besar ini
rata-rata adalah orang-orang yang kenyang berkelana di
kalangan Kangouw, melihat tingkah si mulut cepat yang tengik
jual mahal itu, ada diantaranya yang berangasan lantas
tercetus bertanya: "Thio-toako, sudahlah lanjutkan ceritamu,
jangan jual mahal apa segala."
"Thio toako, siapakah sebenarnya Kim-pit-jan hun itu?"
Si mulut cepat Thio Sam menenggak seteguk arak lagi, lalu
berkecek kecek-kecek mulut, katanya: "Buat apa gugup,
bicara tentang Potlot emas samber nyawa ini. Wah
kepandaian silatnya benar-benar bukan olah-olah hebatnya!"
"Bagaimana hebatnya?"
"Coba kalian katakan, selain sembilan perguruan besar
yang kenamaan itu, sekarang ini kekuatan siapakah yang
paling berpengaruh dikalangan Kangouw?"
"Kim i pang."
"Bukan, kukira Siok li-kan lebih kuat,"
"Salah, yang benar adalah Hiat hong-pang"- Begitulah para
hadirin menjadi ribut adu mulut, masing-masing mengukuhi
pendapatnya sendiri.
Si mulut cepat membentang kedua tangannya seraya
mencegah: "Sudah jangan ribut. Memang dalam dunia
persilatan sekarang banyak kumpulan atau organisasi yang
saling bermunculan, sudah tentu diantara sekian banyak itu
ada beberapa yang berkekuatan besar, tapi yang
kumaksudkan dalam ceritaku ini adalah Hiat-hong-pang."
"Hiat-hong-pang kenapa? "

"Sekali ini Hiat-hong-pang dibikin kucar-kacir oleh Potlot
mas samber nyawa!"
"Ha, ada kejadian begitu?" Semua hadirin menjadi tertegun
kaget, ini betul betul suatu berita yang mengejutkan siapakah
orang yang berani memancing kerusuhan dengan pihak Hiat
hong-pang.
Melihat ceritanya ini mengejutkan semua hadirin sampai
melongo dan melompong saking heran si mulut cepat Thio
Sam semakin takabur, sekilas matanya menyapu pandang
keempat penjuru dilihatnya dalam warung-daging sapi ini ada
begitu banyak orang yang tengah pasang kuping
mendengarkan ceritanya maka semakin semangat ia
mengobral ludahnya dengan suaranya yang lebih lantang:
"Bukan saja dibikin kocar kacir, sampai kedua pelindung kanan
kirinya juga terbunuh oleh musuh."
Sebenarnya tokoh macam apakah Potlot emas samber
nyawa itu? Apakah dia seorang diri yang melakukan semua
itu."
"Bukan, dia bergabung dan bekerja sama dengan iblis rudin
Siok Kui-tiang, kira-kira tiga puluhan jago-jago silat pihak Hiathong-
pang yang dikerahkan hampir dibunuhnya semua,
pertempuran yang dahsyat itu, ia, seumpama bumi
berguncang langit menjadi gelap darah mengalir seperti
sungai, mayat bertumpuk seperti bukit."
"Kejadian yang seram ini tidak perlu dibuat heran.
bukankah iblis rudin juga ikut andil dalam pertempuran itu,
maka tidak perlu dibuat heran akan hasil ini."
"Hehehe, kau salah lagi. walaupun iblis rudin sangat lihay,
tapi bila dia tidak dibantu oleh Potlot emas samber nyawa,
mungkin jiwa sendiri sudah melayang ditangan pelindung
pihak Hiat-hong-pang!"

"Wah, masa demikian? Kalau begitu pasti kedua pelindung
kanan kiri itu juga merupakan tokoh silat yang bukan olaholah
kepandaiannya?"
"Sudah tentu, karena mereka adalah murid Lwe-hwe-cun
cia yang bersemayam didaerah barat sana."
"Apa? Murid iblis tua itu! Mati ditangan Potlot emas samber
nyawa?"
"Ya, malah kematiannya sangat mengerikan."
"Thio-toako, dari mana kau ketahui semua kejadian ini?"
"Seorang sahabat kentalku adalah mata hidung dari
perkumpulan itu, dialah yang memberi tahu kepadaku!
Menurut katanya Hiat-hong Pang-cu sangat murka, sudah
dikeluarkan Hiat-hong ling, mereka akan mengerahkan segala
kekuatan dan daya upaya untuk membunuh kedua musuhnya
itu!"
"Thio-toako, kau sudah bercerita setengah harian, siapakah
sebenarnya tokoh macam Kim-pit-jan-hun ini? Bagaimanakah
asal-usulnya?"
"Kalau kukatakan siapa dia pasti kalian tidak mau percaya,
Hanya seorang pemuda remaja yang lemah lembut, berwajah
cakap berdandan sebagai sastrawan, Mengenakan jubah putih
panjang, dengan ikat kepala dari kain sutra, hakikatnya seperti
bukan seorang yang pandai bermain silat!" bicara sampai
disini matanya melihat Giok-liong yang duduk disamping sana,
latuas ia main tunjuk kearah Giok-liong serta tambahnya lagi:
"Nah, seperti inilah!"
Serentak sorot pandangan seluruh hadirin dalam warung
sapi itu lantas tertuju kearah Giok liong dengan pandangan
main selidik, Malah terdengar juga ada orang yang menghela
napas serta berkata gegetun: "Masa betul-betul lemah-lembut
demikian?"

Dalam hati Giok-liong merasa geli, batinnya: "Sudah pasti
mereka tengah memperbincangkan aku! Hehehe, Kim-pit jin
hun atau Potlot emas samber nyawa, julukan ini bagus juga."
Mendadak terasakan olehnya diantara sorot mata yang
memandang kearah dirinya, ada beberapa sorot pandangan
yang berkilat dingin seperti kilat menyapu lintas kearah dirinya
serta-merta dia lantas siaga dan berlaku cermat, sementara
itu, terdengar si mulut cepat Thio Sam tengah menyambung
ceritanya: "Apakah kalian tahu asal-usulnya?"
"Tidak tahu?"
"Coba kalian pikir-pikir dulu, apa yang dinamakan Kim-pitjin-
hun?"
"Apa mungkin senjatanya itu merupakan Kim-pit?"
"Bukan musahil dia ada hubungan atau sangkut pautnya
dengan Jan-hun cu!"
"Hahaha, benar, tapi juga tidak benar! Memang senjata
yang digunakan adalah Kim-Pit (Potlot Emas), Tapi dia tiada
sangkut-pautnya dengan Jan-hun-cu!"
"Maka menurut kataku, jikalau dia ada sangkut-pautnya
dengan Jan hun cu, wah pasti hebat sekali, tokoh silat nomor
satu diseluruh dunia persilatan ini pasti akan diperolehnya."
Seorang jago mendadak menjerit kaget: "Apa Potlot emas ?
Apa bukan Potlot emas milik To-ji Pang Giok itu?"
"Tepat sekali menurut tafsiran analisa yang tepat, pasti dia
adalah murid dari To ji Pang Giok."
"Wah, apa benar ? Tidak heran ia mempunyai kepandaian
sedemikian tinggi. Apakah dia ada permusuhan dengan pihak
Hiat-hong-pang ?"

"Perihal ini aku sendiri tidak begitu jelas, tapi sebelum ini
memang Hiat-hong Pang-cu pernah mengeluarkan perintah
untuk meringkusnya."
"Siapakah namanya ? Coba katakan supaya menambah
pengalaman kita beramai."
"Namanya Ma Giok-liong !"
Bicara sampai disini, tiba-tiba gordyin diluar pintu itu
tersingkap, bajingan yang jelilatan diluar emper rumah tadi
tampak berjalan masuk.
Segera ada salah seorang yang duduk mengelilingi meja itu
berteriak: "Hai, Ong Bi, marilah duduk disini minum seteguk
sambil mengobroI."
Bajingan yang dipanggil Ong Bi itu segera maju mendekat,
lalu berbisih dipinggir telinga temannya: "Awas amat-amatilah
bocah disana itu, keadaannya rada menyolok mata."
Walaupun ia berbisik suaranya rendah dan lirih, tapi tak
luput dari pendengaran kuping Giok-Iioog yang tajam dan jeli.
Sebaliknya, saat mana Giok-liong sendiri juga menemukan tiga
orang yang perlu diambil perhatian ikut bercampur baur
diantara sekian banyak tamu tamu yang tengah makan minum
sambil mendengar obrolan Thio Sam itu.
Dipojok sebelah sana, duduk seorang laki-laki pertengahan
umur berpakain jubah ungu yang agak kumal tengah makan
minum seorang diri, jubah panjangnya itu sebetulnya bewarna
biru, mungkin karena sering dipakai dan sudah lama sehingga
luntur berganti warna, Raut mukanya kelihatan rada kurus
tepos dengan expresi yang membeku tanpa emosi.
Kedua biji matanya rada di pejamkan, seolah-olah sudah
terpengaruh oleh arak sehingga agak mabuk tapi juga seperti
terpulas ditempat duduknya.

Namun dalam pandangan Giok-liong meskipun dia tengah
memejamkan mata tapi masih tak luput memancarkan sorot
pandangan yang tajam dingin.
Selain itu, dipinggir sebelah kiri duduk seorang pemuda
berpakaian serba kuning, sambil angkat poci dan mangkuk
araknya, terlongong-longong memandang keluar jendela. Tapi
lapat-lapat terdengar ia tengah mengejek memperdengarkan
tawa dingin.
Tidak jauh dibelakang laki-laki pertengahan umur
berpakaian kucal itu dipojokan yang agak gelap, duduk tenang
seorang tua aneh yang berambut putih ubanan, bermuka
panjang mengenakan kain kasaran warna merah.
Lain sekali sikap orang tua ini, duduk tanpa bergerak,
kadang kadang saja angkat sumpitnya menyumpit sayur dan
daging dari mangkuk dihadapannya terus dijejalkan kedalam
mulutnya, tapi gerak geriknya ini juga tampak sangat kaku,
setelah lebih diamati baru diketahui bahwa lengan baju
sebelah kanan serta celana panjang sebelah kirinya kosong
melambai. Terang kalau lengan kanan serta kaki kirinya itu
telah kutung nienjadi cacat.
Hakikatnya ia tidak ambil peduli segela sesuatu yang terjadi
dalam warung makan ini, Sejak Giok-Iiong datang tadi siangsiang
ia sudah duduk disitu, malah gaya duduknya juga terus
begitu tanpa berganti atau beringsut.
Melihat keadaan tiga orang yang berlainan ini, Giok-Iiong
menjadi mengerutkan kening, Dilihat keadaan mereka naganaganya
kepandaian ketiga orang ini pasti luar biasa
dibanding tokoh tokoh silat kalangan Kangouw umumnya.
Kalau tafsirannya ini tepat, kepandaian si orang tua cacat
itu adalah yang paling tinggi, bukan mustahil sudah mencapai
kesempurnaannya, sedang pemuda berpakaian kuning itu

mungkin rada rendah sedikit. Sedang pelajar pertengahan
umur itu adalah yang paling rendah.
Tengah Giok-liong berpikir-pikir ini, tiba-tiba terdengar
derap langkah kuda yang ribut dan cepat sekali diselingi suara
keliningan berbunyi tengah mendatangi dari jauh.
Sampai didepan warung makan itu segera kuda
disentakkan berhenti sehingga berjingkrak berdiri dan
bebenger keras sekali, suara keliningan terdengar semakin
keras dan ribut. Maka dilain saat begitu gordyin besar didepan
pintu itu tersingkap, seorang gadis remaja yang mengenakan
pakaian warna un^i dengan rumpi-rumpi panjang berjalan
seperti melayang memasuki ruangan warung seketika hilang
semua orang dirangsang oleh bebauan yang harum semerbak.
Dimana sepasang matanya yang jeli mengerling, dengan
pinggang bergoyang gontai, dia tudah memilih sebuah tempat
kosong terus berjalan kearah pintu.
Salah seorang laki-laki dimeja tengah itu seketika
membelalakkan kedua matanya terus mengikuti pandangan
yang memikat hati ini. Waktu si gadis remaja ini lewat dipingtir
meja ada seorang laki-laki kasar bertubuh tinggi kekar berdiri
seraya bersiul ujarnya: "Wah gadis ayu rupawan, tuan..."
Belum habis perkataannya tiba tiba terdengar suara "Plakplok"
yang nyaring disertai gerungan kesakitan si laki-laki
tinggi besar itu, badannya juga lantas roboh terbanting diatas
meja besar itu sehingga mangkuk piring serta sayur mayurnya
pecah berantakan terlihat dari tujuh lobang indranya
melelehkan darah segar, nyata jiwanya sudah melayang.
Semua hadirin kurang jelas apakah gadis berpakaian ungu
ini ada turun tangan tidak, Sebab tatkala itu juga ia sudah
sampai ditempat kosong terus duduk seenaknya, suaranya
terdengar merdu seperti suara kelintingan memanggil pelayan
memesan masakan,

Sudah tentu para laki-laki yang mengelilingi meja besar itu
menjadi gaduh dan ribut.
Sekonyong-konyong terdengar suara jengek tertawa dingin
seseorang, Waktu semua orang memandang kearah
datangnya suara tawa dingin ini tampak laki-laki pertengahan
umur berpakaian seperti pelajar rudin itu telah mengunyah
daging sapi dimulutnya, sedang tawa dingin tadi justru keluar
dari mulutnya.
Para bajingan-bajingan kasar yang mengelilingi meja itu
terang tidak melihat sigadis turun tangan, sedang kejadian ini
terjadi begitu cepat dan mendadak terdengar pelaiar rudin
pertengahan umur ini memperdengarkan suara jengeknya,
segera seorang mereka tertegun sejenak mendadak tengah
laki-laki tromok yang beralis tebal bermata juling lantas
melolos golok, bajunya dan punggung terus memaki garang:
"Maknya, coba tertawa lagi, biar tuanmu ini . . ."
"Siuuuut" terdengar angin keras menyamber lantas
terdengar lagi Jeblus" disusul suara gaduh lagi akan
terbantingnya sesuatu benda yang berat diatas tanah, Kiranya
laki-laki tromok itu sudah terjungkal roboh dengan badan
meringkik tanpa bergerak lagi, jiwanya melayang, sebatang
sumpit yang berlepotan darah melesat masuk kedalam
dadanya terus tembus sampai dipunggungnya menancap
diatas meja tinggal separo yang muncul di permukaan.
Suara dingin kaku di pelajar rudin itu terdengar berkata
pada pelayan: "Pelayan ambilkan sebatang sumpit kemari!"
Keadaan dalam warung makan kini menjadi gempar
dengan adanya keonaran ini. Bagi yang bernyali kecil segera
angkat langkah seribu.
Sebaliknya rombongan para bajingan yang mengelilingi
meja besar itu menjadi insaf bahwa mereka sekarang tengah

menghadapi musuh kosen, serentak mereka mencabut senjata
masing-masing siap bersiaga, lalu perlahan-lahan menggeser
keluar pintu. Begitu tiba diluar serempak mereka berteriak
terus berlari kencang sipat kuping seperti di kejar setan.
Pemilik warung makan itu juga entah sudah sembunyi
dimana, peristiwa ini terjadi begitu cepat, perubahan yang
mendadak ini menjadikan warung makan yang tadi penuh
sesak dan hiruk pikuk sekarang menjadi sepi lengang, selain
kedua sosok mayat itu tinggal lagi lima orang yang masih
duduk tenang dalam warung itu.
Mereka tengah asyik menikmati hidangan di meja mereka
masing masing.
Tapi walaupun suasana sunyi tapi tertampak suatu
ketegangan yang mencekam hati, Diam-diam Giok liong harus
berpikir: "Lebih baik aku juga segera tinggal pergi. Nagataganya
bakal terjadi perkara lagi di-sini."
Baru saja ia hendak berbangkit dan tinggal pergi, diluar
pintu sana tiba-tiba terdengar suara ribut yang mendatangi
"Nah, lihat Say-bun-siang dan Siau cu-koh telah tiba."
"Heran mengapa mereka juga bisa datang kemari.. .."
"Sungguh kebetulan mereka dapat bersama muncul
ditempat ini."
Hati kecil Giok-liong sendiri juga rada tergetar.
Maklum bahwa Say-bun siang Lip Jin-kiong dan Siau-cu-koh
Pui Gi adalah pendekar kenamaan nomor satu dari dunia
persilatan yang berkedudukan di utara dan selatan sungai
besar, berapa tinggi kepandaian mereka tiada seorangpun
yang mengetahui seluk-beluknya.
Sesuai dengan nama julukannya sebagai pendekar selama
hidup ini perbuatan mereka mengutamakan kebijaksanaan dan

menjunjung tinggi kebenaran, bijak pada sesama umat
manusia, suka melerai dan menyelesaikan setiap perkara
besar atau kecil dengan adil. Setiap kali terjadi pertikaian asal
salah satu diantara mereka turun tangan pasti beres.
Hari ini sungguh mengherankan mereka berdua ternyata
bisa bersama datang ditempat perbatasan yang masih rada
liar ini.
Tatkala itulah, begitu gordyin besar itu tersingkap beriring
berjalan masuk dua orang. Orang yang sebelah kiri berbadan
tinggi besar rada gemuk, mengenakan pakaian sebagai
seorang hartawan yang kaya raya dengan sebuah huruf "Siu"
yang besar tersulam indah dijubah panjang yang mewah itu.
Orang yang disebelah kanan mengenakan jubah panjang
warna hijau, tangannya memegang kipas sambil digoyanggoyangkan,
wajahnya bersih dan ganteng, badannya rada
pendek dibanding temannya yang disebelah kiri, tapi dia
sendiri mempunyai suatu sikap dan pembawaan yang lain dari
yang lain.
Selayang pandang saja lantas dapat dimengerti bahwa
orang tinggi besar disebelah kiri itu pasti Say-bun-siang Lip
Jin-kiong seketika tergetar hati Giok-liong, agaknya pernah
dilihatnya orang ini, tapi entah dimana, Tapi setelah diamatamati
lebih cermat terasa rada asing dan agaknya memang
belum pernah bertemu muka sebelum itu.
Pait-m pada itu, begitu mereka memasuki ruang warung
makan ini, agaknya mereka rada terkejut Sebab kelima orang
yang duduk tenang dimeja masing-masing, tiada seorangpun
yang berdiri menyambut kedatangan mereka atau sekedar
sapa sapa juga tidak.
Akan tetapi, cepat sekali mereka berdua lantas dapat
mengendalikan diri, Terdengar Say-bun siang Lip Jin kiong
tertawa terbahak bahak, langsung menghampiri kearah si

orang tua cacat itu dengan langkah lebar, begitu tiba
dihadapannya lantas membungkuk diri mengangkat tangan
memberi hormat sembari katanya: "Sa-locian-pwe tidak
mengecap kesenangan hidup tua digurun utara, ternyata
berkecimpung lagi di kalangan Kangouw, ini benar benar
merupakan keberuntungan dunia persilatan umumnya."
Begitu mendengar perkataan orang baru Giok-liong terkejut
dan teringat olehnya akan seseorang, Tidak perlu disangkal
lagi bahwa si orang tua bermuka panjang ini pasti adalah Bokpak
it- jan Sa Ko yang dulu sejajar dan setingkat dengan
gurunya dalam Ih-lwe-su cun, sungguh tidak diduga iblis
kawakan pada ratusan tahun yang lalu kiranya sekarang
muncul lagi didunia persilatan ini, benar-benar membuat
orang serba sulit untuk memikirkannya.
Tanpa berkedip mata sedikitpun Bo pak-it-jan Sa Ko
menyahut dingin: "Bocah siapa kau ? Berani kau mengurusi
aku orang tua ini ?"
Kembali Say-bun-siang Lip Jin-kiong tertawa lebar,
sahutnya: "walaupun Lo cianpwe tidak kenal aku yang rendah,
tapi aku yang rendah sudah lama mengagumi kau orang tua,
Sungguh tidak nyana hari ini kita bisa bertemu ditempat ini,
betul betul merupakan keberuntunganku selama hidup ini."
Sementara Say-bun-siang Lip Jin kiong tengah bertanya
jawab dengan Bo-pak-it-jan disebelah sana Siau cu-koh Pui Gi
juga telah menghampiri pelajar rudin pertengahan umur itu,
sedikit angkat tangan memberi hormat ia berkata tersenyum:
"Tidak nyana ternyata saudara Pek juga sudah sampai
ditempat belukar yang liar ini ?"
Pelajar pertengahan umur ini ternyata bukan lain adalah
seorang tokoh aneh di-kalangan Kangouw yang telah
menggetarkan dunia persilatan dengan julukannya Ham-kang
it-ha Pek Su-in.

Tahu dirinya yang dijadikan sasaran pertanyaan itu, ia
menjengek dingin, sahutnya: "Tuan sendiri boleh datang masa
aku yang rendah lantas tidak bisa kemari ?"
Siau-cu koh Pui Gi rada tercengang akan sambutan yang
dingin ini, tapi sebentar saja ia lantas unjuk senyum lebar lagi,
katanya: "Ucapan saudara Pek ini rada keterlaluan sedikit,
siaute hanya sedikit heran, mengapa saudara Pek tidak
mengecap hidup senang di atas pulau Pek hun-to, sebaliknya
datang di-perbatasan yang belukar dan liar ini."
Ham-kang it bo mendengus hina, sahutnya menyeringai:
"Aku maklum akan ucapan tuan yang mengandung arti itu,
sudahlah jangan banyak cerewet lagi." lalu diangkatnya poci
arak terus ditenggaknya sambil ber kecek-kecek mulut,
hakikatnya sedikitpun ia tidak hiraukan lagi akan kehadiran
Siau -cu-koh Pui Gi.
Dari samping dengan teliti Giok-liong awasi terus adegan
yang terjadi ini, hatinya menjadi gundah dan tidak tentram tak
tahu dn apa yang bakal terjadi nanti.
Seketika suasana dalam warung makan ini menjadi serba
runyam dan lucu, Tidak heran karena Say-bun-siang dan Siaucu-
koh berdua biasanya sangat dijunjung tinggi sebagai
pendekar yang kenamaan dikalangan Kangouw.
Tak nyana hari ini mereka bisa berbareng berkunjung
ketempat sepi ini bersamaan menghadapi sikap kaku dan
ketus dari orang yang diajak bicara, setelah saling pandang
memandang, mereka hanya bisa tertawa getir terus angkat
tangan serta sedikit membungkuk badan seraya katanya:
"Baiklah kami yang rendah minta diri saja."
Tiada seorangpun hadirin yang memperdulikan mereka lagi.

Tapi lain halnya penerimaan Giok-liong, diam-diam
bercekat hatinya. Karena sebelum beranjak pergi tadi mereka
berdua menyapu pandang sekilas kearah Giok-liong.
Terasakan oleh Giok liong bahwa sorot pandangan mereka
mengandung arti yang harus dijajaki, seolah-olah mereka
ingin dirinya ikut mereka meninggalkan tempat ini.
Begitulah setelah memberi hormat sekedarnya, mereka
berdua lantas menyengkap gordyin terus mengundurkan diri
keluar pintu.
Sedikit ragu lantas Giok liong ambil ketetapan hati,
bergegas ia berdiri hendak meninggalkan warung makan ini.
Namun sebelum kakinya melangkah keluar pintu
terdengarlah dengusan dingin dibelakangnya disusul suara
merdu nyaring terkiang dipinggir telinganya: "Ma Giok-liong..."
Begitu mendengar ada orang memanggil namanya, kontan
Giok-liong berhenti terus berpaling kebelakang, sahutnya:
"Siapa panggil aku?"
Lantas terlihat gadis rupawan berpakaian ungu itu
tersenyum manis kearahnya serta katanya: "Betulkah kau ini
Ma Giok-liong? Akulah yang panggil kau"
Sementara waktu Giok-liong melongo dan terheran heran
dibuatnya, ujarnya: "Aku dan kau selama ini belum pernah
berkenalan . . ." waktu ia angkat bicara ini terasa olehnya
berbagai sorot pandangan dingin laksana kilat tertuju kearah
dirinya, Serta merta ia merandek bicara, lalu menyapu
pandang keempat penjuru, Terlihat olehnya tiga orang lain
yang hadir dalam warung makan itu tengah memusatkan
perhatiannya kearah dirinya.
Gadis rupawan berpakaian ungu itu menampilkan senyum
manis lagi, ujarnya: "Meskipun kau belum kenal aku, tapi aku
sudah tahu siapa kau."

"Aku ada urusan yang hendak kukatakan kepadanya, tiada
halangannya kau ikut aku kemari . . ." tanpa menanti jawaban
Gick-liong sudi atau tidak ikut dia, dengan langkah lemah
gemulai langsung ia berjalan keluar.
Tadi Giok liong sudah melihat bagaimana telengas cara
nona muda ini turun tangan kepada para bajingan yang usil
mulut itu, tahu dia bahwa nona lembut ini juga pasti bukan
sembarang tokoh silat biasa. Tapi bagaimana juga ia tidak
mengerti cara bagaimana gadis rupawan ini bisa mengenal
akan namanya.
sebetulnya ini soal sepele, betapa cepat kabar yang tersiar
di kalangan Kangouw berpuluh kali lebih cepat dari rambatan
api yang membakar ladang belalang, sebagian besar kaum
persilatan hampir seluruhnya sudah mengetahui akan
munculnya seorang tokoh muda yang berjuluk Poilot emas
sumber nyawa, pendekar gagah murid To-ji Pang Giok yang
sangat kenamaan dan disegani pada masa-masa yang silang
sebagai tokoh nomer satu dari Ih-lwe-su-cun.
Bagi angkatan yang lebih tua banyak orang mengetahui
bahwa benda pusaka seruling samber nyawa peninggalan Janhun
cu dulu sudah terjatuh ditangan To ji Pang Giok.
Betapapun susah payah ke!ayak ramai ingin merebut
seruling ampuh itu, toh mereka tidak dapat menemukan jejak
Pang Giok yang sesungguhnya.
Sekarang bertepatan dengan bakal terjadi keonaran besar
yang membahayakan ketentraman hidup kaum persilatan
bermunculan pulalah para iblis durjana yang jahat serta
telengas itu. Untung pula muncullah Kim-pit-jan-hun (potlot
emas samber nyawa) Ma Giok-liong.
Bukankah gampang saja bagi para takoh-tokoh angkatan
tua yang mengetahui duduk persoalan yang tersembunyi itu

mengutus kaki tangannya untuk menyirapi kebenaran serta
jejak seruling yang ampuh mandraguna itu.
Hanya Ma Giok-liong seorang yang masih diketahui karena
pengalamannya yang kurang luas serta kurang dapat berpikir
panjang secara mendalam.
BegituIah dengan cepat otaknya berputar, akhirnya ia ambil
putusan: "Terlalu lama aku berdiam ditempat ini pasti tidak
menguntungkan jiwaku. Terpaksa aku harus ikut dulu nona ini
meninggalkan tempat ini, untuk menentukan langkah
selanjutnya." karena pikirannya imi, segera ia merogoh
pecahan uang perak terus ditaruh diatas meja, memutar tubuh
lantas hendak tinggal pergi.
Sebuah suara dingin berkata: "Kau tetap tinggal disitu!"
kiranya Han-kang-it-ho Pek Su-in buka suara.
Dingin-dingin saja Giok-liong memandang sekilas, dalam
hati ia mengumpat dengan gusar: "Orang-orang disini
mengapa rata-rata tidak tahu sopan santun dan aturan."
karena berpikir demikian, ia mandah mendengus hidung terus
angkat langkah mengikuti gadis rupawan berpakaian ungu itu
menuju ke luar pintu.
Ham-kang-it-ho menjadi dongkol, dampratnya: "Bocah ini
terlalu takabur, Hm!" seiring dengan gerungannya ini, jari
tengahnya sedikit diselentingkan, kontan selarik angin keras
yang bersuit nyaring melesat mengarah punggung Giok liong,
Giok-liong menjadi pusar, baru saja ia hendak membalik
badan. Tahu-tahu terasa angin berkesiur membawa bau
harum disusul bayangan ungu berkelebat suara gadis
berpakaian ungu itu telah berkata disampingnya: "Pek Su in,
berani kau bertingkah!" jari-jarinya yang halus juga sedikit
diangkat kesiur angin kencang itu lantas lenyap sirna berganti
suara "blang" yang keras, kekuatan selentikan jari kedua belah

pihak beradu ditengah jalan dan sama-sama hilang tanpa
bekas.
Wajah Ham-kang-it-hi Pek Su-in yang pucat dingin itu
sedikit mengunjuk rasa kejut, tapi hanya sebentar saja lantas
kembali seperti semula, tanyanya dingin: "Ci hu-sin-kim itu
apamu ?"
Gadis berpakaian ungu tersenyum simpul, sahutnya: "Kau
belum berharga menanyakan." setiap kali berkata suaranya
terdengar nyaring merdu dan lemah lembut, tapi arti katanya
cukup membuat Ham-kang it-ho menjadi malu dan serba
runyam saking gemesnya air mukanya menjadi kaku,
geramnya: "Budak, yang bermulut tajam . . ."
Merah jengah kedua pipi gadis berpakaian ungu itu,
sahutnya tertawa: "Kalau kau tidak terima, baiklah nanti
tengah malam kita bertemu di Thiang-sun-po, sepuluh li
diselatan kota ini,"
Setelah itu ia berpaling kearah Giok-iiong sambil
tersenyum, katanya: "Mari kita pergi."
Saking gusar wajah Ham-kang-it-ko sampai mengunjuk
nafsu membunuh, sebelah tangannya menekan pinggir meja,
sahutnya menyeringai: "Tepat pada waktunya pasti aku orang
she Pek akan memenuhi harapan nona." "cras" pinggir meja
itu hancur menjadi bubuk tertekan oleh tenaganya yang
dahsyat sampai berhamburan di lantai.
Lalu ia melotot kearah Giok-Iiong serta tantangnya:
"Buyung, nanti malam kau juga harus datang."
Rasa dongkol hati Giok-liong masih belum lenyap, diapun
tidak mau kalah garang sahutnya temberang: "Tuan mudamu
senantiasa akan mengiringi kau" sambil berkata sengaja atau
tidak sekilas ia memandang kearah pemuda berbaju kuning
yang duduk dipinggir jendela itu.

Terlihat olehnya pemuda baju kuning itu sedikit manggut
kepadanya, sebetulnya memang Giok-liong merasa simpatik
terhadap pemuda ini, iapun belas sedikit manggut sambil
tersenyum.
Saat itulah Bo-pak it-jan yang sejak tadi duduk mematung
tanpa bergerak itu mendadak membalikkan sepasang matanya
yang aneh, sorot gusar yang meluncurkan kilat tajam dari
kedua matanya itu, ia meIingking tajam: "Anak jadah she Ma
lekas kemari mengharap Lohu."
Sejenak Giok-liong tercengang, namun dilain saat segera ia
membungkuk memberi hormat, sapanya: "Adakah petunjuk
apa-apa dan Lo-cian-pwe ?"
Mendadak Bo-pak-it-jan Sa Ko terkekeh-kekeh aneh,
serunya: "Kau tidak boleh pergi."
Sekarang Giok-liong sudah paham dan isyaf apa yang bakal
terjadi dalam warung makan ini, maka hatinya menjadi sedikit
tabah, namun tak urung tercetus juga pertanyaannya:
"Kenapa ?"
"Sebab Lohu tidak mengijinkan kau pergi !"
"Jikalau Wanpwe harus segera pergi bagaimana ?"
"Heheheheheeeeeh! Kccuaii kb,u sudah tidak ingin hidup!"
"Kalau begitu Wanpwe harus segera pergi."
Mendadak gadis berbaju ungu itu tertawa nyaring,
telunjuknya yang runcing dan halus putih ifu menunjuk kearah
Bo-pak-it-jan, serunya lantang: "Sa Ko, kalau lain orang takut
kepadamu. Aku Ci-hu giok-li tidak mempan akan gertakanmu
itu."
Bo-pak-it-jan (sicacat dari gurun utara) Sa Ko
membelalakkan kedua biji matanya yang aneh itu, serunya
setelah bergelak tertawa: "Mengandal kau budak kecil yang
masih berbau bawang juga berani mengeluarkan kata

sombong? Hehehe, betapa juga Lohu hari ini harus menahan
buyung she Ma ini!"
Sikap Ci hu-giok-li tetap tenang serta katanya lagi tertawa:
"Sebaliknya aku tidak ijinkan kau menahan dia."
Tatkala itulah pemuda baju kuning yang cakap ganteng itu
perlahan-lahan bangkit berdiri serta ujarnya lemah lembut:
"Lo cian-pwe hendak menahan orang, sedang baju ungu ini
hendak melepas orang! Lantas bagaimana pendapat Ma
kongcu sendiri."
Ham-kang-it-ho (bangau tunggal dari sungai Ham) berdiri
sambil menjengek dingin timbrungnya: "Lebih baik kita
bsramai bertemu di Tiang-sun po pada lengah malam nanti."
Si cacat dari gurun utara segera mendengus, katanya:
"Baiklah, jikalau siapa diantara kalian tidak datang tepat pada
waktunya, cepat atau lambat pasti Lohu akan puntir batang
lehernya sampai mampus.". sorot pandangannya setajam
ujung pedang menatap setiap hadirin dengan ancaman yang
serius, teristimewa ia tatap wajah Giok-liong dengan lekat!
"Marilah kita berangkat." Tambahnya kepada Giok-liong
sambil mengerling penuh arti.
Tanpa bersuara segera Giok-liong mengintil di belakang
terus keluar dari warung makan itu, Diiuar pintu banyak orang
tengah merubung datang mengintip ingin melihat keramaian,
tapi mereka tidak berani maju mendekat. Maka begitu melihat
mereka berdua berjalan keluar segera mereka berlari bubar
keempat penjuru.
Tapi cukup hanya selayang pandang saja lantas dapat
diketahui oleh Giok - liong bahwa diantara sekian banyak
orang menonton itu ada beberapa pasang mata berkilat yang
berkelebat diantara mereka, waktu ditegasi lagi, pandangan

berkilat itu sudah menghilang tercampur baur diantara sekian
banyak orang yang berlari bubar itu.
Selanjutnya pemuda baju kuning, Ham-kang-it-ho dan Bo-
Pak-it-jan juga berkelebat keluar, sekejap mata saja bayangan
mereka sudah menghilang entah kemana.
Hanya pemuda baju kuning itulah sebelum pergi
menampilkan sorot pandangan penuh prihatin kearah Giokliong,
sayang Giok-liong tidak tahu akan hal ini.
Sementara itu Ci-hu-giok-li berpaling ke arah Giok-liong.
Serta katanya: "Marilah kita cari penginapan untuk istirahat
dulu!"
Dengan heran Giok liong tatap wajah orang, balas tanya,
Bukankah nona ada urusan penting yang minta aku ikut untuk
menyelesaikan?"
Ci-hu-giok-li tersenyum memikat, ujarnya "Memang biarlah
nanti seteleh sampai di penginapan baru kita rundingkan lagi."
bergegas ia berlari kesamping rumah untuk menuntun kuda
tunggangannya itu.
Baru sekarang Giok-liong melihat tegas, bukan saja kuda
tunggangannya ini tinggi besar dan gagah sekali, bulunya
memutih bersemu ungu, benar benar merupakan seekor kuda
jempolan yang jarang ada.
Dibawah lehernya tergantung sebuah kelintingan warna
ungu, juga entah terbuat dari benda apa, seiring dengan
goyang gontai kepala kuda berbunyilah keliningan itu nyaring.
Melihat Giok liong terlongong memandangi kuda
tunggangannya, Ci hu-giok-li menjadi geli, katanya Iambat:
"inilah Ci-liong-ki yang khusus dipilihkan oleh ayah untukku.
Namamu yaitu Ci-liong ( naga ungu).

Kekuatannya memang hebat, sehari dapat menempuh
seribu li, kalau malam dapat berlari sejauh delapan ratus li.
Benar-benar seekor kuda yang jempol."
Tahu bahwa dirinya dipuji oleh majikannya, sang kuda
segera angkat kepala manggut-manggut saking girang sorot
matanya mengunjuk rasa gembira.
Begitulah sambil berjalan berendeng mereka menyusuri
jalan raya sehingga menimbulkan perhatian orang disepanjang
jalan.
Sungguh harus dipuji sikap Ci-hu-giok-li yang tetap riang
dan wajar tanpa malu-malu suaranya tetap nyaring tanpa
ragu-ragu atau rikuh. Tidak berapa jauh mereka maju ke
depan tibalah mereka didepan sebuah penginapan yang cukup
besar. Langsung mereka minta disediakan umpan yang terbaik
bagi kudanya, lalu langsung mereka memasuki kamar.
Baru saja duduk, lantas Giok-liong tidak sabaran lagi
bertanya: "Ada urusan apakah yang hendak nona rundingkan
dengan aku yang rendah?"
"Aku bernama Kiong Ling ling, selanjutnya kau panggil aku
Ling-ling saja."
"Oh, ya, Nona Kiong ada urusan apa"
Kiong Ling-ling membanting kaki, katanya cemberut: "Kau
ini bagaimana, apa tadi yang telah kukatakan?"
"Nona mengatakan bahwa aku yang rendah boleh panggil
nona Ling-ling saja."
"Sudahlah, jika kau ingin tahu apa yang hendak kukatakan,
untuk selanjutnya tidak perlu lagi menggunakan istilah nona
atau noni apa segala."
Giok liong menjadi uring-uringan, batinnya: "Waa, lucu bin
ajaib. Terang kau sendiri yang minta aku ikut kemari, katanya
ada urusan yang minta bantuanku untuk menyelesaikannya,

Akibatnya sekarang menggunakan alasan ini untuk
mengancam aku. . ."
Tapi begitu melihat sikap Kiong Ling-ling yang polos serta
lincah jenaka itu, hatinya menjadi lemas, katanya: "Baik, baik,
Ling ling ada urusan apa yang hendak kau katakan
kepadaku?"
Mendengar orang betul-betul patuh akan permintaannya
memanggil singkat namanya betapa girang dan terasa syuur
hatinya, wajahnya nan ayu jelita bak bunga mekar di-musim
semi tersimpuI oleh senyuman manis yang memikat hati,
sahutnya dengan lambat-lambat : "Sebetulnya . . ."
"Sebetulnya ada apa ?"
"Sebetulnya kedatanganku ini berusaha merebut suatu
benda milikmu."
Giok liong berjiigkrak kaget, serunya tak tertahan:
"Barangku apa yang hendak kau rebut ?"
Air muka Kiong Ling-Iing mengunjuk rasa kikuk dan serba
salah, sahutnya tertawa dibuat-buat: "Aku hendak merebut
Jan-hun-ti milikmu itu."
"Apa ? Dari mana kau dapat tahu kalau aku memiliki
Seruling samber nyawa?"
"Aku hanya dengar kabar tersiar dikalangan Kangouw."
"Bagaiamana mereka bisa tahu ?"
"Sudah tentu mereka tidak tahu, yang terang mereka
hanya tahu bahwa kau adalah murid penutup dari Pang-locianpwe,
Maka ayahku berani memastikan bahwa seruling samber
nyawa itu pasti berada diatas badanmu."
"0h, menurut analisa mu ini, terang kalau Bo-pak-it-jan
serta yvitu laii-it-ho itu juga berniat hendak merebut seruling
samber nyawa itu ?"

"Hal ini . . .sudah tentu ada kemungkinan itu ! Tapi
sekarang mereka takkan berhasil."
"Kenapa ?"
"Sebab aku akan membantu kau."
"Lho, kenapa kau hendak bantu aku ?"
"Aku . . . apa jelek kalau orang membantu kau, untuk apa
kau nyerocos bertanya."
"Tidak aku harus mengetahui apa alasannya !"
"Tidak ada alasan dan tidak perlu alasan, aku senang
berbuat begitu."
"Benar-benar kau tidak ingin merebutnya ?"
"Tepat, aku tidak akan rnerebutnya lagi."
Untuk sementara waktu masing-masing tenggelam dalam
renungan masing-masing. Saban-saban Ling-ling melirik mesra
kearah Giok liong.
Akhirnya Giok-liong buka suara lagi: "Ling ling, lebih baik
kau tidak usah membantu aku."
"Sudahlah tidak perlu dipersoalkan lagi, kau harus segera
istirahat, nanti malam mungkin kita harus menghadapi sebuah
pertempuran dahsyat."
"Baiklah, kau juga perlu istirahat," lalu ia pamitan kembali
kekamarnya sendiri.
Tengah malam telah tiba, seluruh alam semesta ini
dilingkupi kegelapan, tiada bintang tiada sinar rembulan udara
mendung dan hawa dingin, Saat begini orang-orang banyak
yang meringkuk diatas ranjang tidur mendengkur dengan
nyenyaknya.

Tian-sun-po yang terletak sepuluh Ii di-sebelah kota An-sun
biasanya merupakan tempat semak belukar yang jarang
diinjak kaki manusia, lebih seram keadaan malam ini yang
sunyi serta dilengkapi hawa membunuh yang menghantui
sanubari sedap manusia yang hadir. Benar benar
menggiriskan.
Didepan sebuah hutan gelap yang terletak di Tiang-sun-po
itu, mendadak muncul seorang berkedok yang mengenakan
pakaian serba hitam, dimana tangannya diangkat bertepuk
empat kali. Suara tepukan tangan yang nyaring ini memecah
kesunyian alam sekelilingnya.
Seketika itu juga dari dalam hutan melesat keluar dua
orang berkedok yang mengenakan seragam hitam pula,
langsung mereka maju menghadap terus membungkuk
memberi hormat serta katanya lirih tertahan: "Bala bantuan
yang diandalkan dari kumpulan kita sudah lengkap scmua,
adakah petunjuk Tong cu, selanjutnya?"
"Bagainjana dengan saudara dari Kim i-pang?"
"Mereka sudah dipencar keempat penjuru."
Sekonyong-konyong sebuah bayangan kuning mas
berkelebat seorang laki-laki perte ngahan umur yang
mengenakan baju serba kuning mas berkilau melompat keluar
dari belakang batu besar disemak belukar sana, laksana anak
panah cepatnya tahu-tahu sudah meluncur datang ditengah
gelanggang, sedikit tersenyum lantas katanya: "Malam ini
sedapat mungkin kita harus mengerahkan segala tenaga dan
daya upaya."
Orang berkedok hitam manggut-manggut sahutnya: "Hiathong
dan Kim-i menjadi satu seumpama saudara kandung,
malam ini untuk pertama kali kita bergabung beroperasi besar
harapan bisa mendapat sukses."

"Para Pang-cu kita segera akan tiba, perintahkan kepada
semua anak buahmu untuk tidak usah keluar menyambut dan
jangan lupa suruh mereka sembunyi yang rapi, jangan terlalu
dekat dengan gelanggang pertempuran. Sebab tokoh-tokoh
yang datang dalam ini berkepandaian cukup tinggi, jikalau
sembunyi kita sudah kenangan sebelum bergerak, pasti gatal
total seluruh rencana kita,"
Kedua orang berkedok itu berbareng mengiakan.
"Awas dan ingat, sebelum Kim ding-ling dan Hiat hong-ling
dilepas bersama, siapapun dilarang mengunjukkan diri! Tahu?
Baik, kembalilan ke tempat masing-masing." Sinar kuning mas
dan bayangan hitam berkelebat, serentak ketiga orang itu
melesat hilang di kegelapan.
Tidak berselang lama, jauh di pinggir hutan di lereng
gunung sana, dua bayangan sinar kuning keemasan dan
sebuah bayangan hitam meluncur datang cepat sekali terus
melambung tinggi menghilang didalam hutan.
Alam sekitarnya kembali menjadi sunyi lengang, siapapun
takkan menduga bahwa dimalam sunyi berhawa dingin
dengan angin badai menghembus kencang ini, diatas lereng
gunung yang liar belukar ini,akan terjadi suatu pertempuran
besar serta menjadi tempat penjagalan manusia yang tidak
mengenal kasihan.
Baru saja terdengar kentongan ketiga berbunyi, sebuah
bayangan keputih-putihan melayang tiba diatas lereng bukit
itu,sejenak ia berhenti mengamat-ngamati keadaan
sekelilingnya, terus berkelebat hilang di kegelapan.
Selanjutnya tampak lagi sebuah bayangan ungu bergerak
gerak, tahu-tahu diatas lereng bukit itu sudah bertambah
seorang gadis berpakaian ungu berbadan langsing semampai
berwajah ayu rupawan. Berputar badan ia menghadap kearah
tempat menghilangnya bayangan keputihan tadi lantas

terdengar suaranya berkata: "Ma Giok-liong, tokoh yang
pegang peranan malam hari ini kemungkinan besar adalah kau
Iho." habis berkata, ia berpaling kearah tempat yang agak
jauh sana, lalu katanya lagi sambil tertawa: itulah pelajar
rudin kecut itu telah datang."
Giok-liong sembunyi diatas sebuah pohon besar yang
rindang, sahutnya tertawa: "Tadi nona berkata lebih baik aku
jangan keluar dulu..."
"Nona yang mana?"
Giok-Iiong tercengang, akhirnya ia paham sendiri, katanya
geli: "Ling-ling, kau bukan yang berkata."
"Apa lagi yang telah kukatakan?"
"Menurut pesanmu. . .jikalau keadaan tidak
menguntungkan, kau menyuruh aku segera angkat kaki, habis
perkara,"
"Tapi aku yang rendah bulan manusia macam begitu,"
"Kau . . . "
Saat itulah sebuah bayangan hijau telah meluncur tiba dari
jarak yang agak jauh sana, langsung hinggap diatas lereng
bukit itu, pendatang ini bukan lain adalah Ham-kang-it-ho Pek
Su -in adanya.
Begitu menginjak tanah, segera celingukan keempat
penjuru, lalu jengeknya dingin: "Kirarya nona juga dapat
dipercaya."
Ci-hu-giok-li Kiong Ling-ling tertawa cekikikan, ujarnya:
"Kaum keluarga Ci-hu selamanya dapat dipercaya."
Ham-kang it-ho menyeringai, katanya mengejek: "Tidak
sedikit jumlah kaum keluarga Ci nu yang ikut datang hari ini."

Sikap Kiong Liag-ling tetap wajar, jengeknya kembali:
"Bantuan yang diundang dari Pek-hun-to, mungkin lebih
banyak dari kedatangan orang-orang Ci-hu bukan."
"Hm, aku yang rendah datang seorang diri."
"Nonamu ini juga bertandang sendirian."
Berubah air, muka Pek Su-in, desisnya dengan nada berat:
"Lalu kemana bocah she Ma?"
Sebuah suara tawa dingin yang serak terkiang ditengah
gelanggang Dimana angin berkesiur keras disusul bayangan
berkelebat tahu-tahu Bo pak-it-jan Sa Ko sudah berdiri tegak
dihadapan mereka, sebagainya dingin: "Kiranya sia-sia saja
Pek-bun Toju memberi makan dan membesarkan kau bocah
ini ! Bukankao bocah she Ma itu tengah ungkang-ungkang
duduk diatas dahan pohon itu?" telunjuknya menuding keatas,
"Siuuur" meluncurlah selarik angin keras langsung menerjang
kearah pohon besar yang diduduki Giok-liong.
Giok-liong terbahak-bahak, serunya lantang: "Ternyata
tidak bernama kosong." di mana terlinat bayangan putih
melejit berkelit enteng sekali Gtok-liong hindarkan diri dari
sambaran angin tusukan jari yang lihay itu, setelah hinggap di
tengah gelanggang, sedikit saja ia berkata tersenyum: "Aku
yang rendah Ma Giok-liong, harap terimalah hormatku ini."
Disindir sedemikian rupa oleh Bo pak-it-jan Ham-kang-it-ho
Pek Su in menjadi malu dan dongkol sampai air mukanya
berubah hijau, jengeknya sinis: "Lohu kira bocah hijau macam
mu ini sudah lari sembunyi tak berani muncul lagi, takut mati!"
Mendadak dari dalam rimba sebelah sana terdengar suara
penyahutan yang lantang: "Ya, yang takut mati memangnya
takkan berani datang!" belum hilang suaranya, tahu-tahu
pemuda berpakaian serba kuning itu sudah melangkah ringan
berlenggang memasuki gelanggang, menghadap kearah para

hadirin ia hunjuk senyum lebar, malah sengaja atau tidak
matanya lekat-lekat menatap ke arah Giok-liong.
Bok-pak-it-jan mengekeh tawa, selanya: "Apa maksud
kedatangan kalian ?"
Pemuda baju kuning mandah tertawa tawa saja melangkah
ke pinggir tanpa membuka mulut. Sebaliknya Ham-kang-it-ho
terdengar mendenguskan hidung.
Terdengar Ci hu giok li menyahut lembut: "Sa-lo-than
pertanyaanmu ini sungguh mengherankan."
"Apa yang perlu diherankan ?"
Ci-hu-giok-Ii tertawa lagi, tanyanya: "Kau sendiri apa
maksud kedatanganku ini?"
Bo-pak- it-jan melengak, air mukanya, yang kaku itu sedikit
bergerak, sahutnya: "Budak, kecil, kau sendiri apa
kehendakmu kemari ?"
"Alah, main pura-pura." sahut Ci-hu-giok-li "Bukankah kau
sudah dengar aku ada janji dengan Pek-tay-hiap untuk
menyeleaikan suatu urusan disini."
"Hm, sudah tentu Lohu sendiri juga ada urusan yang perlu
diselesaikan."
"Sa cianpwe mempunyai urusan apa ?"
Sepasang mata Sa Ko memancarkan cahaya beringas yang
aneh menatap kearah Giok-liong, ujarnya: "Kedatanganku ini
hendak membawa buyung kecil ini pulang."
Giok-liong tetap berlaku tenang, dengan sikap dingin ia
pandang sekilas kearah orang tua cacad ini lalu berpaling
kearah Ci-hu-giok li.
Ci-hu-giok-li tertawa manis, diulurkan telunjuknya yang
runcing putih itu menunduk kearah Bo-pak-it-jan seraya

berkata: "Sa-lo-thau, coba kau tanya pada yang bersangkutan,
apakah dia sudi pergi dengan kau ?"
Bo-pak-it-jan menyeringai lebar katanya kepada Giok-liong:
"Buyung, ikut Lotau saja, Lohu berani tanggung akan
mendidikmu menjadi seorang terlihay nomer satu di jagad ini."
Giok-liong tersenyum ewa, sahutnya sambil sedikit saja:
"Maaf Wanpwe tidak dapat memenuhi harapan cianpwe ini."
Ci-bu-giok-li tertawa cekikikan saking geli sampai dia
menekuk pinggang memegang perut, ujarnya: "Coba lihat, dia
tak sudi ikut kau pergi bukan."
Bo-pak-it jan merengut membesi, serunya geram: "Tidak
mau juga harus mau, bagaimana juga hari ini kau harus ikut
Lohu." seiring dengan lenyap suaranya, badannya mendadak
berkelebat sebat sekali laksana kilat merangsak kearah Giokliong.
Sejak tadi Giok-liong sudah kerahkan ilmunya pelindung
badan, begitu melihat orang melesat datang gesit sekali
kakinya bergerak lincah menggeser kedudukan delapan kaki
kesamping. Baru saja ia berdiri tegak bayangan Bo-pak-It jan
sudah menubruk datang dengan didahului terjangan angin
keras.
Keruan kejut hati Giok-liong, siapa kan nyana meskipun Bopak-
it-jan tinggal sebuah kaki saja, tapi gerak-geriknya
ternyata sedemikian tangkas, Terpaksa ia gerakkan kedua
tangannya melintang bersilang didepan dada berbareng
kakinya menjejak tanah sehingga tubuhnya melayang mundur
kebelakang,
Pada saat itulah lantas terlihat bayangan ungu berkelebat
disertai suara merdu nyaring berkata: "Tua bangka cacat, Kau
tahu malu tidak, pintarmu hanya menghina angkatan muda ,. ,

." lima jalur angin tutukan jari mendesis meluncur datang dari
arah samping sana langsung mengarah lima tempat jalan
darah dibawah lambung kanan Sa Ko.
Betapa lihay kekuatan kelima jalur angin tutukan jari ini,
disertai kabut ungu berputar. Sa Ko tahu akan kehebatan
serangan ini, tak berani menangkis maka kaki tunggalnya itu
berputar lincah sekali muncul beberapa langkah, bentaknya
dewasa murka: "Budak keparat berani kau . . . ?"
Ci hu-giok-li lantas menyambung: "Kalau kau ada
kepandaian silakan keluarkan saja, Aku tidak akan bilang
kepada ayah bahwa kau telah menindas aku."
Sebetulnya Ci-hu-sin-kun sendiri juga sudah keluar dari
tempat kediamannya berkecimpung lagi didunia persilatan.
Tujuan Kiong-ki tak lain adalah hendak mencari jejak Jan-hunti
peninggalan Jan-hun-cu yang akhirnya terjatuh ditangan
Pang Giok.
Ci-hu-giok li tahu duduk persoalan ini secara jelas maka
bagaimana juga dia takkan memberitahukan peristiwa malam
ini kepada ayahnya.
Agaknya Bo pak-it-jan rada keder atau segan menghadapi
Ci-hun sin kun Kiong Ki. Mendengar ocehan Ci-hu-giok-li tadi,
ia lantas terkekeh, katanya: "Budak keparat, kau sendiri yang
bilang."
"Tentu, selamanya kaum Ci-hu tiada yang pernah
berbohong."
"Baiklah..." seiring dengan seruannya ini, tiba-tiba lengan
tunggalnya seolah-olah mulur menjadi lebih panjang secepat
kilat serentak ia kirim delapan belas kali pukulan mengarah
seluruh tempat-tempat penting yang mematikan di seluruh
tubuh Ci-hu-giok-li.

Ci-hu giok li tertawa ringan, kabut ungu lantas
mengembang dimana pinggangnya meliuk gemulai tiba-tiba ia
melejit masuk kedalam bayangan pukulan musuh, beruntun
kedua tangannya yang putih halus itu bergerak-gerak dengan
kecepatan yang susah diukur sekaligus ia lancarkan ajaran
tunggal keluarganya untuk bergebrak secara kilat.
Sementara itu, tadi waktu Giok-liong meluputkan diri dari
angin pukulan Bo pak-it-jan, baru saja ia berhenti bergerak
dan belum sempat berdiri tegak, mendadak terasa sejalur
angin kencang langsung menutuk tiba di jalan darah Bing-bun
niat di punggung.
Bertepatan dengan itu terdengar suara bentakan yang
nyaring pula: "Pek Su in. membokong dari belakang kau tahu
malu tidak?"
Agaknya suara bentakan pemuda baju kuning itu. Tapi
tiada banyak kesempatan bagi GioK liong untuk banyak pikir,
tiba-tiba ia membungkukkan badan berbareng kedua kakinya
menjejak tanah sambil mengerahkan tenaga murninya,
seketika badannya melambung tinggi dua tombak, "Siut" angin
kencang yang mendesis itu persis melesat lewat di bawah
kakinya.
Giok-liong menjadi murka, bentaknya:
"Serangan bagus." air mukanya seketika menjadi merah
membara, dimana kedua kakinya saling tendang, badannya
lantas melambung lebih tinggi lagi dua tombak.
Berbareng dengan berkelebatnya sebuah bayangan diiringi
suara jengekan dingin, tahu-tahu Pek Su-in sudah mengejar
datang, tangan kanannya diayun berulang-ulang langsung
mencengkeram kearah pinggang Giok-liong dimana terletak
kantongan yang menyimpan bekalnya.

Giok-liong tertawa terbahak bahak, se-runya: "Oho, inikah
yang dinamakan tokoh kenamaan dari Pek-hun-to, hitunghitung
hari ini aku yang rendah sudah berkenalan."
"Wut" tiba-tiba menendang kesikut kanan Pek Su-in yang
terjulur maju ini.
Pek Suin terperanjat, sungguh tak duga olehnya bahwa
pemuda ini kiranya berkepandaian tinggi, badan masih
terapung ditengah udara tapi dapat balas melancarkan
serangan kearah musuh.
Tapi dia sendiri juga bukan tokoh silat sembarangan dalam
seribu kerepotannya, tangan kanannya dibalikkan terus
merangsang ketumit Giok-liong di tempat jalan darah Cu-ping
hiat. Tapi baru saja" tangannya membalik belum sempat
mengarah sasarannya, kaki kanan Giok-liong sudah ditarik
balik, "Wut" sekarang ganti kaki kiri yang menendang datang.
Ham-kang-it ho Pek Su in mendengus hidung keras-keras,
tangan kanannya juga cepat ditarik balik, ganti tangan kiri
yang disodorkan kedepan, seketika timbul gelombang angin
membadai menerpa keras sekali kearah Giok-liong mengarah
tulang kering di kaki kiri.
Kalau serangan ini tepat mengenai kaki kiri Giok-liong maka
kakinya itu pasti akan hancur dan menjadi cacat. Mendadak
Giok-liong bersuit panjang, kedua tangannya dipentang lebar
sehingga tubuhnya melejit tinggi lagi bersama itu pinggangnya
sedikit ditekuk untuk jumpalitan ditengah udara.
Kedua tangannya lantas bergetar mempetakan bayangan
pukulan yang memenuhi ditengah udara terus menyerang
kearah Pek-Su-in.
Kejut Pek Su-in bukan alang kepalang, sambil menghardik
keras ia kerahkan seluruh tenaga murninya ketelapak
tangannya terus menyambut keatas, "Blang" kontan terdengar
ledakan dahsyat menggetarkan butni, krikil dan pasir

beterbangan menari-nari dahan-dahan putus merontokan
dedaunan sekeIilingnya.
Jantung Pek Su-in berdebar keras, terasa kepalanya pusing
tujuh keliling segumpal hawa panas lantas menerjang naik
dari pusarnya, badannya juga lantas terbanting turun cepat
sekali. Tapi sekuat tenaga ia berusaha bertahan, setelah
mendehem keras-keras ia menyedot hawa panjang, kakinya
menginjak tanah terus sempoyongan delapan langkah jauhnya
baru bisa berdiri tegak.
Giok-liong sendiri meskipun menubruk musuh dari atas,
tapi juga tidak banyak mengambil keuntungan, karena daya
benturan yang keras ini, badannya terpental balik ketengah
udara lebih tinggi lagi. pandangannya menjadi berkunangkunang
susah payah ia coba kendalikan tubuhnya terus
meluncur turun dua tombak di sebelah sana.
Tatkala itu, Pek Su in sudah dapat mengatur
pernapasannya kembali. Begitu melihat Giok-liong meluncur
turun segera ia mendesis geram: "Hm, akan kulihat sampai
dimana kemampuanmu!"
Jilid 07
Selicin belut tiba-tiba ia menubruk datang sambil
menggetarkan tangan kirinya sehingga menjadi bayangan
yang mengabarkan pandangan diselingi desis angin kencang
terus menusuk ke arah dada Giok-liong. Bersama itu, kelima
jari tangan kanan di pentang terus mencengkeram pinggang
Giok-Iiong.
Baru saja Giok-liong dapat berdiri tegak lantas merasakan
angin kencang telah merangsang tiba, dalam kesibukaanya
kontan ia lancarkan jurus Cin-chiu untuk membeli diri, seketika
angin badai bergelombang membawa kabut putih
berkelompok kelompok terus menggulung kedepan.

Tepat pada saat itu sebetulnya kelima jari Pek Su-in sudah
menyentuh pinggang Giok-Iioig, sayang ia terlambat sedetik,
Karena bila cengkeraman kekantong bekal di pinggang Giokliong
itu terus dilaksanakan pasti jiwa sendiri bisa melayang
kena jurus serangan Cin-chiu ini.
Apalagi iapun sudah kenal asal usul dari jurus serangan
dahsyat Babna kagetnya, tersipu-sipu ia tarik balik tangannya
dengan kaki kiri sebagai poros badannya mendadak berputar
terus rebah celentang serta meluncur kesamping beberapa
kaki, dimana kedua tangannya menyanggah tanah,
selamatkan jiwanya dari mara bahaya, Tapi dia tidak berhenti
bergerak begitu saja begitu luput dari serangan lawan
badannya lantas membalik seraya mendorongkan tangan
kanan menjojoh pusar Giok-liong.
Giok-liong mandah tertawa ejek, saking dongkol tanpa
kepalang tanggung jurus kedua ketiga dari Sam jicui hun chiu
yaitu Hoat-bwe dan Tiam-ceng beruntung dilancarkan seketika
timbul gelombang badai yang dahsyat, kuntum mega putih
mengembang ikut menggulung kedepan, Terpaksa Ham-kangit-
ho Pek Su-in harus kerahkan seluruh tenaga serta
kepandaian tunggal simpanan dari perguruannya yaitu Pek
hun-jicap-pwe-sek. Kontan terjadilah perang tanding
kekerasan yang hebat sekali.
Tidak lama kemudian kedua lawan ini sudah terbungkus
kedalam kabut putih saban-saban terdengar desis keras serta
samberan angin menderu yang membawa kabut putih, terlihat
bayangan pukulan tangan berlapis-lapis, saling tindih dan
serang, sehingga batu pecah berantakan pasirpun
beterbangan. Dahan pohon serta rumput disekitar gelanggang
pertempuran menjadi tumbang dan roboh berserakan.
Begitulah dalam waktu singkat sulit ditentukan siapa yang
bakal menang atau asor dalam pertempuran dahsyat ini.
Maklum kedua lawan ini sama-sama kuat dan lagi kalau yang

satu memang berbakat dan sudah gemblengan dalam
pengalaman hidup pahit getir sebaliknya yang lain juga
seorang tokoh persilatan yang banyak pengalaman dan sudah
tekun berlatih sekian tahun tanpa mengenal lelah, tak heran
masing-masing susah dapat mengalahkan lawannya.
Sementara itu, pemuda baju kuning itu menonton
dipinggiran sambil menggendong tangan serta mengunjuk
senyum-senyum manis, cermat sekali ia mengamati segala
perobahan dalam gelanggang pertempuran.
Juga didalam rimba sana tengah banyak pasang mata
dengan terbelalak, tanpa berkedip menonton serta menanti
perobahan yang bakal terjadi di tengah gelanggang sini,
Mereka sudah siap siaga untuk serentak turun tangan entah
dengan cara yang bagaimana kejam serta telengas tidak
perduli, yang terang mereka harus sukses atau berhasil
mencapai tujuan terakhir.
Sekonyong konyong terdengar suara "Blang" yang keras
disusul pekik nyaring yang merdu, lantas terlihat bayangan,
ungu berkelebat gesit sekali. Tahu-tahu Ci hun-giok-li
meloncat keluar kalangan pertempuran bagai seekor ular yang
kaget kena gebok, sementara itu Bo-pak-jan Sa Ko juga
terdengar menggerung rendah, cepat-cepat iapun mundur
lima kaki terus mendongak tertawa terkekeh-kekeh, serunya:
"Bagus, bagus sekali, sungguh tak nyana, hari ini Lohu seperti
kapal terbalik didalam selokan . . . . " suaranya berganti
terloroh-loroh menyedihkan tiba-tiba badannya melenting
tinggi terus melesat masuk dalam hutan.
Wajah Cihu-giok li tampak pucat pasi, setelah melihat Bopak
it-jan menghilang didalam rimba, wajah nan ayu jelita itu
baru menampilkan senyum manis yang terhibur.
Pelan-pelan ia menghela napas panjang, badannya juga
lantas bergoyang goyang seperti kehabisan tenaga, sedikit

membuka mulut, darah segera kontan meleleh keluar dari
ujung bibirnya.
Sebat sekali tahu-tahu pemuda baju kuning berkelebat tiba
disamping Ci-hu-giok-li sambil tertawa-tawa ia jinjing lengan
kirinya serta tanyanya penuh prihatin: "Nona Kiong,
bagaimana keadaanmu?"
Pelan-pelan Ci-hu giok-li menggelengkan kepala, tiba-tiba ia
menyipatkan tangan serta meloloskan tangan dari cekalan
orang, katanya sambil tertawa ewa: "Tak nyana kepandaian si
cacat tua bangkotan itu lihay benar. . ."
Pemuda baju kuning tertawa, katanya: "Cici terluka parah,
perlukah kubitabaags ketawa untuk istirahat I"
Mendengar tawaran ini Ci-hu-giok-li sedikit terkejut sekilas
ia melerok lalu sahutnya: "Terima kasih akan kebaikanmu
luka-lukaku ini tidak menjadi soal . . . lalu dengan langkah
ringan pelan-pelan ia maju kedepan sana, sepasang matanya
yang indah cerah dan bening itu memandang penuh perhatian
kearah pertempuran Giok-liong.
Tatkala mana Giok liong sudah kerahkan sepuluh bagian
tenaga Ji-lo ilmu Sam-ji cui-hun chiu juga sudah dilancarkan
sampai puncaknya, dorong mendorong sampai berlapis-lapis
bayangan pukulan tangan laksana gelombang samudra
mengamuk terus berbondong-bondong menerjang kearah
Ham-kang-it-ho Pek Su in.
Semakin bertempur hati Ham-kang it -ho Pek Su-in semakin
gentar dan ciut nyalinya, sekuat tenaga ia sudah lancarkan
seluruh kemampuan dalam ilmu Pek-hun- ji cap-pwe-sek
kenyataan toh dirinya masih terdesak dibawah angin tanpa
dapat balas menyerang dari pada banyak membela diri saja.

Lambat laun, kabut semakin tebal bayangan pukulan
tangan semakin banyak berlapis, Lama kelamaan keringat
mulai membasahi seluruh badan dan jidat Ham-kang-it-ho,
terang bahwa dirinya sudah semakin terdesak dibawah angin.
Sebuah telapak tangan putih yang halus tanpa suara tahutahu
sudah menyelonong tiba disamping tubuhnya terus
berputar kencang sekali, setiap kali kesempatan lantas
menepuk datang dengan ringannya. Selain itu, sekeliling
tubuhnya sadah terbungkus oleh angin badai yang menderuderu,
tekanan juga terasa semakin berat, ditambah lapisan
bayangan pukulan tangan yang susah ditembus, semakin
terasakan jiwanya sudah terpencil dipinggir jurang kematian.
Pada detik terakhir ini baru timbul rasa penyesalan dalam
sanubarinya. Dia menyesal bahwa dirinya sudah menjadi
tamak dan loba ingin merebut benda milik orang lain, Selain
itu iapun menyesal terlalu mengandalkan kemampuan
kepandaian sendiri untuk menindas dan menghina seorang
pemuda remaja yang baru pertama kali berkelana di dunia
ramai.
Tapi sayang sekali penyesalan ini mengetuk hati kecilnya
pada saat-saat ia menghadapi bahaya, seumpama dia berhasil
secara gampang merebut benda yang diinginkan itu, pasti
takkan timbul rasa penyesalannya ini, Begitulah karena sedikit
terpecah pikirannya, sehingga gerak-geriknya sedikit lambat,
seketika terasakan tekanan dari luar disekeliling tubuhnya itu
bertambah berat dan kuat.
Bersamaan dengan itu kedengaran Giok-liong tengah
mengejek: "llmu silatmu memang lumayan, sayang
mempunyai hati yang kurang lurus."
Ditengah gelombang angin badai yang menderu-deru serta
ditengah bayangan lapisan pukulan tangan itu, tangan putih
halus yang misterius itu tiba-tiba sudah menyelonong tiba
menekan kedepan dadanya.

Saking kagetnya Pek Su in lantas memutar badan dengan
jurus pertolongan yang dinamakan Pek-hun-yu-yu, kedua
telapak tangannya yang besar itu mendadak didorong maju,
diantara tekanan angin badai yang menerpa dari berbagai
penjuru.
Giok liong tertawa dingin, mulutnya menyungging rasa
menghina, jengeknya: "Binatang berontak dalam kepungan
tak perlu dikwatirkan lagi!" sepasang tangannya disilangkan
lantas menggapai-gapai, berbareng kakinya menggeser gesit
sekali badannya melesat ke samping. ejeknya: "Hentikan
pertempuran ini, nanti kuampuni jiwamu!"
Melihat Giok liong mundur Pek Su-in malah mendapat hati,
dikiranya orang juga sudah kehabisan tenaga dan tiada
kekuatan melancarkan ilmunya lagi, maka sambil mendengus
iapun balas menjengek: "Asal kau mau serahkan seruling
samber nyawa itu, Lohu segera lepas tangan tinggal pergi."
sembari berkata lagi-lagi jurus Pek-hun yu-yu tadi dilancarkan
lagi, kedua telapak tangannya itu dengan ganas
mencengkeram kearah Giok-liong.
Rasa dongkol Giok-lioni semakin membakar kemarahannya,
Tadi ia merasa sedikit kasihan karena tindak tanduk lawannya
ini bukan gembong penjahat yang sudah penuh dosanya,
maka sedikit memberi kelonggaran, serta memberi peringatan
dengan kata-katanya itu, Siapa nyana kebaikannya ini malah
digunakan sebagai kesempatan untuk balas menyerang oleh
lawan malah dengan tujuan jelek lagi, ditambah mulutnya
berkata begitu takabur.
Karuan kemarahan Giok-liong seumpama api disiram
minyak sambil menghardik keras dan menggertak gigi ia
memaki: "Memang kau ini bangsat yang setimpal dibunuh!"
Tapi sedikit kelonggaran yang diberikan sudah menjauhkan
kesempatan bagus bagi musuh untuk melancarkan ilmu
mautnya, Untung ia sudah kerahkan ilmu pelindung badannya

tapi tak urung sepasang telapak tangan besar itu toh sudah
menyengkeram tiba dengan ganasnya. Dalam keadaan gawat
ini. Mendadak Giok-liong mendongak keatas terus kertakakan
keras tangan kiri berputar setengah lingkaran ditengah udara
sedang tangan kanan merogoh kearah pinggang.
Tahu-tahu selarik sinar kuning keemas-emasan memancar
ketengah udara. Kiranya Potlot emas yang telah
menggetarkan dunia persilatan pada masa silam telah
mengunjuk keampuhannya. Memang kesaktian Potlot emasini
tidak perlu diragukan lagi, dimana waktu kepalan tangan
merangsak tiba berbareng sinar mas meluncur tiba seketika
terjadilah hujan darah lalu disusul pekik serta gerengan
kesakitan yang menyayatkan hati.
Begitu usahanya memperoleh hasil yang memuaskan Giokliong
lantas merandek. Kiranya sambil mengerahkan sepuluh
bagian tenaga murninya dengan jurus Keng-sim (kejut hati)
untuk menolong jiwa sendiri dari renggutan elmaut
cengkeraman cakar musuh, begitu berhasil ia merandek tidak
terus mengejar malah segera ia melejet mundur setombak
lebih sambil menjinjing potlot masnya itu.
Dalam pada itu, Pek Su in sendiri juga melompat mundur
dua tombak jauhnya, Air mukanya pucat pias, tangan kirinya
mengalirkan darah deras sekali. Meskipun ia sudah berusaha
menutuk jalan darah, tapi tak urung darah segar masih terus
merembes ke luar.
Mimpi juga dia tak menduga bahwa pot-lot emas Giok-liong
itu masih kuat menembus penjagaan ilmu pelindung badannya
malah melukai pula tangan kirinya.
Setelah menenangkan diri dan mengatur pernapasannya,
dengan penuh kebencian ia tatap wajah Giok-liong, tiba-tiba ia
terloroh-loroh sedih, ujarnya: "Bagus Ma Giok- liong terhitung

Lohu sudah berkenalan dengan kepandaianmu !" lalu ia
menyapu pandang ke empat penjuru, Dilihatnya Ci-hu-giok-li
dan pemuda baju kuning itu tengah memandang kearah Giok
liong dengan penuh rasa simpatik Hatinya menjadi mengkeret,
batinnya: "Dilihat naga-naganya jikalau aku berkeras kepala
situasi yang runyam ini pasti tidak bakal menguntungkan bagi
diriku. Terpaksa aku harus memancing dia dengan janji tiga
hari lagi untuk bertemu Dalam jangka waktu tiga hari ini aku
harus berusaha memberi tahu dan mengundang majikan pulau
awan putih dan bantuan lain . . . "
Tengah ia menimang-nimang ini. Mendadak terdengar
serentetan suara tawa panjang yang dingin seram
berkumandang di tengah udara, Hatinya menjadi tergetar,
batinnya lagi: "Mungkinkah dia sudah datang? Kalau begitu
tak bisa aku tinggal pergi, jikalau seruling samber nyawa itu
sampai terjatuh ditangan orang lain, bukankah sia-sia saja
perjalanan ini." Berpikir demikian sepasang matanya lantas
memancarkan cahaya terang yang menyeramkan, katanya
tertawa besar: "sekarang Pek Su-in minta diri, kelak pasti
takkan kulupakan tanda mata di tanganku ini" habis berkata
kedua kakinya menjejak tanah badannya lantas meluncur
kedalam hutan dan menghilang.
Suara seram bagai pekik kokok beluk itu masih terus
berkumandang semakin keras bergema dialas pegunungan
gelap ini, sehingga menambah keseraman suasana yang sunyi
lengang diliputi ketegangan.
Dalam hutan disemak belukar sana tengah terpancar entah
berapa banyak pasang mata tajam yang diliputi hawa
membunuh tengah mengancam setiap saat.
Tadi sekuat tenaganya Giok-liong melancarkan
serangannya, meskipun memperoleh kemenangan namun
hawa murni dalam tubuhnya juga susut sebagian malah kena
tergetar pula sehingga sedikit cidera.

Ci-hu-giok-li bersama pemuda baju kuning itu bergegas
melejit maju mendekat dengan gelisah, bersama pula mereka
membuka mulut bertanya: "Kau terluka ?"
Pelan-pelan Giok-liong manggut-manggut sahutnya kalem:
"sedikit luka, tapi tidak menjadi soal."
Air muka Ci-hu-giok li yang kelihatan pucat itu seketika
bersemu merah dan unjuk rasa girang, katanya lembut: "Wah,
membuat gugup orang saja !"
Pemuda baju kuning melirik sambil terkikik geli, katanya
menggoda: "Aduh, benar-benar mesra dan penuh kasih
sayang!"
Kedua pipi Ci-hu-giok-li kontan bersemu merah jengah
kemalu-maluan, ujarnya merengut: "Cis, siapa suruh kau
banyak mulut, kalau cerewet lagi kusobek mulutmu yang
langcang."
Pemuda baju kuning meleletkan lidah, segera ia soja minta
minta maaf: "selanjutnya aku yang bodoh ini tidak berani lagi
!"
Melihat sikap orang yang sedemikian prihatin akan dirinya,
Giok-liong menjadi terharu, Tanpa terasa terkenanglah akan
istrinya Coh Ki-sia yang tinggal dalam Hwi-hun san cheng itu,
wajahnya yang gagah ganteng itu lantas tersimpul senyum
manis.
Melihat Giok-liong juga tersenyum, hati Ci-hu-giok-li merasa
syuur seakan arwahnya terbang keawang-awang, katanya
dengan lembut : "Nada tertawa ini rada aneh. Mungkin Ko-bok
imhun tokoh ketiga dari Thian-1ai-sam-yau sudah tiba.
Menurut hematku marilah segera kita tingal pergi saja."
Pemuda baju kuning tertawa penuh arti, ujarnya "Mau
pergi, kukira juga tidak begitu gampang !"

Ci hu-giok-li lantas tertawa lantang, tanpa menoleh lagi ia
menyambut: "Apa kau coba merintangi ?"
Pemuda baju kuning juga tertawa-tawa, katanya "Mana aku
yang bodoh ini berani, apalagi terhadap kau nona masa aku
berani kurang ajar lagi ! Hanya . . . apakah kalian tidak
merasa bahwa sekitar kita ini rada-rada janggal dan
mencurigakan ?"
Tanpa merasa Ci-hu-giok-li tertawa geli, ujarnya: "Masa
mengandal para tokoti bangsa Panca-longok itu juga berani
berusaha merintangi jalan kita ?"
Pemuda baju kuning menekan suaranya. katanya: "Menurut
pendapatku yang b-jdoh, dalam rimba sana mungkin
bersembunyi tokoh-tokoh lihay, sementara waktu mungkin
sukar dapat meloloskan diri."
Jauh sebelum berkecimpung didalam Kang ouw Giok-liong
sudah pernah mendengar akan ketenaran nama Thian lamsam-
yau, sekarang mau tidak mau dirinya harus berhadapan
dengan gembong iblis yang ditakuti itu, sehingga hatinya
kebat-kebit tidak tentram tercetus pertanyaannya: "Bagaimana
kepandaian silat Ko-bok-im-hun itu?"
Pemuda baju kuning menjawab serius: "Dibanding Bo-pakit-
jan kukira, boleh lebih tinggi dari pada dikatakan lebih
rendah. Apalagi tokoh kesatu dan kedua Thian-lam-sam-yau
itu kepandaian silatnya lebih tinggi lagi! jikalau mereka bertiga
bergabung datang, Mungkin .. . . . . malam ini kita bisa celaka
!"
Ci-hu-giok-Ii juga manggut-manggut, katanya: "Hal itu
memang kenyataan, menurut kata ayahku, ketiga tokoh
Thian-lam-sam-yau itu ilmu kepandaiannya masing-masing
berlainan."

Tapi akhirnya mereka menutup pintu dan bergabung
melatih semacam ilmu ganas dari aliran Lwe-keh yang
dinamakan Hian-si-im-cu. Bila mereka benar-benar masih
melatih ilmunya itu, pasti tak mungkin bisa keluar dari
sarangnya, Kalau kenyataan sudah keluar itu berarti bahwa
ilmu gabungan itu sudah selesai dilatih bersama."
Suasana sementara menjadi sunyi senyap tenggelam dalam
masing-masing pikirannya. Gelombang tawa dingin yang
menggiriskan itu masih terus bergema semakin dekat dan
keras, Didengar dari gema suaranya yang semakin keras,
jaraknya mungkin tinggal puluhan li saja.
Tiba-tiba pemuda baju kuning bertanya kcpada Giokliong:"
Ma-siau-hiap, apakah benar kau menyimpan seruling
sambar nyawa itu?"
Penuh tanda tanya dan keheranan Giok-liong mengamati
orang, otaknya berputar cepat, batinnya: "Meskipun dilihat
perangainya ini pemuda baju kuning tidak seperti seorang
jahat, bagaimana juga aku harus berjaga-jaga, Apalagi siapa
namanya serta usul atau dari perguruan mana sedikitpun aku
tidak tahu!"
Dasar pemuda baju kuning ini cukup cerdik sekilas saja ia
lantas dapat menebak isi hati yang terkandung dalam benak
Giok-liong, matanya yang besar berkedip-kedip serta ujarnya
penuh jenaka: "Agaknya Ma~ siau hiap agak ragu-ragu dan
kurang percaya akan pribadiku! Aku yang rendah bernama
Tan Hak-kiau, aku bertempat tinggal di Kau-jiang-san, dari
perguruan Kau-jiang-pula! Baru belum lama ini aku berkelana
di Kangouw, maka belum banyak dikenal oleh kalayak ramai."
"Dari kabar yang tersiar aku dengar katanya bahwa Janhun-
ti (seruling samber nyawa) terjatuh ditangan To-ji Pang-lo
cianpwe. Tapi selama rstusan tahun terakhir ini Pang-lo canpwe
sudah menghilang jejaknya dari dunia persilatan. Maka
begitu Ma-siau-hiap mengunjukkan diri segera

menggemparkan seluruh rimba persilatan Tiada seorangpun
dari kaum persilatan yang tidak mengharapkan sedikit sumber
berita yang paling terpercaya tentang seruling sakti itu."
"Aku yang rendah hanya kebetulan saja kebentur dengan
peristiwa ini, sebagai seorang dari aliran Ciang-pay betapapun
aku tidak bisa berpeluk tangan melihat kesukaran orang lain
tanpa mengulur tangan membantu, jikalau seruling samber
nyawa itu benar-benar berada ditangan Ma-siau-hiap, mau
tidak mau kita harus mundur teratur untuk menentukan
langkah langkah selanjutnya."
"Terima kasih akan uluran tangan saudara yang sudi
membantu kesukaran yang tengah kuhadapi ini. Memang
seruling sakti itu telah diserahkan kepadaku oleh guruku. Tapi
betapapun aku harus dapat menanggulangi sendiri kesukaran
yang timbul karena seruling sakti itu. Kuharap saudara berdua
tidak ikut menjadi korban oleh karena ketamakan pada
durjana yang mengincar seruling pusaka itu,
"Akh Ma-siau-hiap berat kata katamu ini, rasanya malu bagi
kita kaum persilatan yang mengutamakan kebijaksanaan bagi
sesama umat jikalau berpeluk tangan melihat penderitaan
orang lain, Kita harus berani berkorban demi keadilan dan
kebenaran betapa juga aku sudah bertekad untuk membantu
kau untuk menegakkan keadilan demi kesejahteraan kaum
persiiatan!"
"Benar, kita kaum keluarga Ci-hu juga selamanya belum
pernah menarik kembali ucapan yang pernah dikatakan,
Meskipun bakal mendapat marah dari ayah aku tidak peduli
lagi akan segala tetek bengek. Suka rela aku membantu kau,
marilah kita galang persatuan dan kesatuan kita bertiga, air
datang kita bendung musuh datang kita tandangi meskipun
sampai titik darah penghabisan aku rela berkorban demi
kepentingan kaum persilatan."

Sungguh haru Giok-liong tak tak terhingga sampai
tenggorokkan terasa sesak sukar bicara namun belum sempat
ia angkat bicara lagi gema suara panjang itu sudah meluncur
tiba ditengah gelanggang membuat kuping mereka bertiga
terasa hampir pecah.
Kini dalam gelanggang sudah bertambah seorang tua kurus
kering bertubuh tinggi seperti genter bertangan panjang,
Matanya yang berkilat itu langsung menatap kearah Giok-liong
lalu tanyanya dengan suara rendah: "Kau inikah yang
bernama Giok-liong murid To-ji ?"
Sebelum Giok-liong sempat buka suara dari samping Kiong
Ling-ling sudah menyelak, serunya: "Paman Ki, sehat
walafiatkah kau orang tua selama ini, untuk apakah kau
datang kemari ?"
Ko bok-im hun terkekeh-kekeh, lalu ujarnya: "Eeeeeh,
sudah tahu pura-pura tanya lagi, Budak kecil dimanakah
ayahmu, apakah beliau baik-baik saja selama ini."
"Berkat lindungan Tuhan, ayah masih sehat dan baik-baik
saja !"
"Hm, baik sekali, Kau minggir saja ke-samping. Biar Lohu
minta seruling itu dulu."
Berubah air muka Ci-hu-giok-li, katanya penuh aleman:
"Paman, Ma Giok-liong adalah engkoh angkat Wanpwe."
Tubuh Ko bok im-hun rada tergetar, sesaat baru ia berkata
dingin: "Omong kosong!"
Ci-hu-giok-li maklum bahwa orang rada keder dan segan
menghadapi ayahnya, maka dengan wajar segera ia berkata:
"Ya, memang betul."
"Kapan Sin-kun mengangkat dia sebagai anak angkat ?"
"Setengah tahun yang lalu !"

Sekonyong-konyong Ko-bok im hun ter-loroh-loroh keras,
suaranya bergema lantang menggiriskan sukma orang, lama
dan lama kemudian baru ia menghentikan tawa seram ini.
"Paman apa yang perlu ditertawakan ?"
"Setengah bulan yang lalu baru saja Lohu bertemu dengan
Sin-kun. Menurut tutur katanya hakikatnya ia tidak kenal
mengenal tentang bocah she Ma ini, Hahahaha." sembari
terbahak dingin ini mendadak timbul lima jalur angin dingin
membawa warna hijau menyolok secepat kilat melesat
mengarah Giok liong. Bersama itu dia sendiri juga berkelebat
cepat laksana bayangan setan tahu-tahu sudah melejit tiba
dipinggir kanan Giok-liong.
Sungguh tidak terduga oleh Giok-liong bahwa gerak tubuh
Ko-bok-im-hun ternyata bisa begitu cepat, untuk berkelit
sudah tidak sempat lagi, dalam seribu kerepotan terpaksa ia
gerakkan potlot mas ditangan kanannya, dengan jurus Siphum
(menghilang sukma) jurus kedua dari ilmu Jan-hun-sisek
untuk membela diri.
Seketika cahaya kuning memanjang seperti rantai emas
berputar mengelilingi tubuhnya, sehingga menerbitkan angin
menderu untuk melindungi badan.
Bertepatan dengan itu, terdengar juga hentikan nyaring
halus, disusul bayangan ungu melayang tiba terus
memberondong dengan kepalan tangannya yang hebat
laksana gelombang samudra yang tengah mengamuk. Tidak
ketinggalan bayangan kuning juga berkelebat diselingi suara
tawa dingin, seketika angin lesus membumbung tinggi laksana
gunung.
Setelah terdengar ledakan dahsyat yang menggetarkan
bumi, terlihat bayangan orang terpental keempat penjuru.

Ko-bok-im-bun berdiri tegak sambil melotot sepasang
matanya yang besar beringas memancarkan cahaya terang
kehijau-hijauan. Wajah Ci-hu giok-li rada merah jengah
katanya lembut penuh aleman: "Paman, mana boleh kau
gunakan kekerasan hendak merampas barang milik orang
lain."
Pemuda baju kuning Tan Hak-siu ikut menyindir: "Beginilah
tokoh angkatan tua dunia persilatan yang disegani, Membuat
angkatan muda bergidik dan malu saja."
Sebaliknya Giok liong mandah tersenyum ejek sambil
berdiri menjinjing senjata potlotnya.
Tiba-tiba suara tawa Ko bok-im-hun yang parau mendesis
terlontar dari bibirnya yang menyeringai seram mendirikan
buluroma, katanya: "Hari ini Loou harus mencapai tujuan
siapa yang berani merintangi pasti kubunuh!"
Belum selesai ia berkata terdengar angin berkesiur dari
dalam hutan gelap sana berkelebat dua bayangan satu hitam
dan yang lain kuning berkilau menyolok mata, Maka dilain saat
tahu-tahu dalam gelanggang sudah bertambah dua orang
berkedok.
Yang berdiri sebelah kiri berperawakan tinggi, seluruh
tubuhnya terbungkus pakaian hitam, didada sebelah kiri
tersulam gambar pelangi merah darah yang menyolok mata.
Lain yang berdiri sebelah kanan bertubuh perteugahan seluruh
tubuhnya berkilauan terbungkus kain kuning emas hanya
terlihat sepasang matanya yang hitam berkilat dari belakang
kedoknya. Begitu muncul langsung mereka menerjang dengan
membawa kekuatan pukulan dahsyat laksana gugur gunung
menindih kearah Giok-liong.
Ko bok-im-hun menjadi murka, teriaknya beringas:
"Berhenti!" sepasang matanya memancarkan cahaya liar buas
kehijauan, sembari menarikan kedua tangannya, tubuhnya

bergerak lincah laksana bayangan setan gentayangan terus
menubruk maju, badannya terbungkus oleh kabut hijau itu
yang cemerlang, Betapa cepat gerak tubuhnya ini sungguh
sangat menakjubkan.
Tiba-tiba terdengar pemuda baju kuning Tan Hak-siau
mendengus hina, katanya: "Hm, Hiat-hong-hong Pang cu dan
Kiam Pang cu muncul berbareng, kiranya mereka sudah ada
intrik dan bersekongkol dalam satu lobang hidung."
Ci-hu giok li mengunjuk senyum manis kearahnya serta
katanya: "Bagaimana menurut maksudmu?"
Saat itulah terdengar benturan keras ditengah gelanggang.
setelah angin mereda dan kabut menghilang terdengar Hiathong
Pang-cu mengekeh panjang, katanya sinis: "Ki-cian-pwe,
kalau dapat dilerai lebih baik kau lepas tangan saja, sekali
kesalahan tangan nama bisa runtuh, badanpun bakal hancur,
hal ini tidak menguntungkan bagi kau."
Ko-bok-im-hun menyeringai tawa, jengeknya: "Tak nyana
selama puluhan tahun ini Lohu tidak muncul didunia ramai,
kiranya telah bermunculan para bocah keparat yang tidak tahu
tingginya langit tebalnya bumi. . ."
Seiring dengan ucapannya ini kelima jari tangan kanannya
berjentik bcrulang-ulang, lima jalur angin kencang terus
melesat langsung menerjang Giok liong.
Belum lagi serangan tutukan jari ini mengenai sasarannya,
mendadak tubuhnya juga ikut melejit tinggi melambung
ketengah udara, badannya masih tetap terbungkus oleh kabut
hijau, kaki dan tangan serentak bekerja, tangan mencengkram
batok kepala dan sedang leher kakinya menendang perut
Giok-liong.
Disebelah sana Hiat hong Pang cu terloroh-loroh aneh,
berbareng kedua tangannya menepuk kearah pinggang, dilain

saat kedua tangannya itu sudah mencekal dua benda warna
merah darah yang berbentuk sangat aneh.
Kiranya itulah lencana Hiat-hong-ling penanda tertinggi dan
Hiat-hong-pang. Dengan membekal senjata pusaka
perkumpulan ini terbitlah dua jalur sinar merah memapak
maju kearah Ko bo-im-hun.
Sementara itu, Kim-i Pang cu juga tidak mau ketinggalan
meloIos keluar cambuk panjang menyerupai seekor ular yang
bewarna kuning mas. Sekali gentak keudara seketika dipenuhi
bayangan kuning mas beterbangan terus mematuk dan
melihat kearah Giok-liong juga.
Melihat keadaan ini, seketika Ci-hu-giok-Ii berseru kejut:
"Dia . . . mungkin adalah Kim-coa-long-kun adanya ?"
Pemuda baju kuning Tan Hak-siu menjawab : "Tidak
mungkin Kim coa long-kun sudah mengasingkan diri selama
dua ratus tahun lebih !"
Gelombang badai terbit lagi membumbung tinggi ke tengah
angkasa bayangan orang berkelebat gesit sekali, Terjadilah
dua kelompok pertempuran sengit yang mendebarkan dalam
gelanggang, Ko bok-im-bun melawan Hiat hong Pang-cu.
Sedang Giok-Iiong melawan Kim-i Pang-cu, terjadilah perang
tanding yang jarang terjadi dalam dunia persilatan selama ini.
Sekonyong-konyong dua jalur bianglala warna kuning dan
merah darah meluncur tinggi ketengah angkasa dari tengah
hutan, sedemikian terang cahaya api dua jalur bianglala itu
menerangi malam gelap dan sunyi ini menyolok mata.
Tak tertahan pemuda baju kuning berseru kejut: "Celaka,
Hiat-hong-pang dan Kim-i pang mengerahkan seluruh bala
bantuannya . ."

Benar juga belum lenyap suaranya dari dalam hutan yang
gelap itu lantas kelihatan bayangan orang berkelebatan
membawa kesiur angin yang keras. Entah berapa puluh lakilaki
berbadan besar-besar mengenakan seragam hitam dan
kuning mas berloncatan keluar dengan gesit dan tangkasnya
meluruk kearah gelanggang pertempuran ini.
Ditangan para pendatang ini pasti membekal senjata yang
berkilauan entah pedang tombak atau senjata tajam lain,
sekejap saja mereka sudah mengepung rapat gelanggang
pertempuran ini, seolah-olah mereka sudah mengatur suatu
macam barisan.
Ci-hu-giok-li mengerutkan kening, katanya pada pemuda
baju kuning: "Mereka sudah membentuk barisan apa, kenapa
aku tidak mengenalnya ?"
Dengan sikap serius pemuda baju kuning menjawab:
"Barisan apakah ini aku sendiri juga tidak tahu Naga-naganya
malam ini kita harus turun tangan tidak mengenal kasihan,
bunuh dulu sebanyak mungkin supaya barisan mereka kocar
kacir, setelah itu kita berdaya menolong Ma-siau-hiap
meloloskan diri dari kepungan ini p
BcIum habis omongannya tiba-tiba terdengar suara:
"Hyuuuu," . . . , wuuuu , , . . wu !" dari kejauhan terdengar
bunyi sangkalala yang keras sekali berkumandang dimalam
gelap.
Tak terasa pemuda baju kuning membanting kaki seraya
katanya gegetun: "Celaka, bala bantuan orang-orang Pek-hunto
telah tiba . ."
Perlu diketahui meskipun letak Pek-hun to jauh dimuara
sungai Ham-kang, mereka jarang sekali beroperasi atau
berkecimpung didaerah Tiong-goan, Tapi tokoh-tokoh silat
dari pulau Mega putih ini tidak sedikit jumlahnya, apalagi
kepandaian mereka sangat hebat dan banyak ilmu tunggal

serta simpanan yang sakti, hakikatnya kekuatan mereka
sangat besar tidak boleh dipandang ringan.
Maka begitu mendengar bunyi sangkala itu, seketika semua
orang yang hadir dalam arena adu kepandaian itu melengak
kaget.
Saat mana situasi pertempuran sudah mencapai titik
puncak yang paling seru. senjata Hiat-hong ling ditangan Hiathong
pangcu sudah diputar dan dimainkan sedemikian rupa
sampai seluruh badannya bertabirkan cahaya merah darah
yang berhawa dingin, sedemikian hebat dan menakjubkan
sampai mengaburkan pandangan. Betapapun hebat dan lincah
permainannya ini selulup timbul diantara kabut hijau yang
menderu dingin, berloncatan tangkas dan menari-nari. Tapi
diatas kelihatan gerak geriknya sudah semakin terkekang dan
semakin terdesak dibawah angin.
Cambuk sebenarnya berbentuk rantai ular mas ditangan
Kim i Pang cu saat mana juga telah dimainkan begitu rupa
laksana naga hidup, jurus serangannya sangat aneh dan lucu
lagi, seluruh angkasa dilingkupi sinar kuning bayangan ular
mas. Demikian juga sepasang potlot mas ditangan Giok-liong
juga telah mengunjukkan perbawa sebagai senjata pusaka
yang ampuh mandraguna, lambat laun dan pasti akhirnya Giok
liong sudah mendesak lawannya.
Begitu bunyi sangkala terdengar, mendadak Hiat-hong
Pang-cu membenturkan sepasang senjata dikedua tangannya
sendiri berbareng bersuit keras, seketika seluruh tubuhnya
mengepulkan uap merah, pancaran sinar merah darah dari
kedua senjatanya itu juga mendadak melebar besar terus
menggulung deras sekali kearah Ko-bok im-hun.
Disebelah sana dalam waktu yang bersamaan Kim i pangcu
juga mementang mulut memekik panjang dan nyaring
menenbus angkasa, setiap kali tangannya menggentak

cambuk ular mas di tangannya menari dan membelit-belit
dengan kencangnya sampai berbunyi nyaring.
Baru saja para anak buah Kim-i-pang dan Hiat-hong-pang
baru bisa berdiri tegak karena terdesak oleh samberan deru
angin senjata yang tengah bertempur ditengah gelanggang
mendadak melihat pertanda aba-aba serbuan serentak dari
pimpinan masmg-masing. Serempak para komandannya
segera menggerakkan senjata beramai-ramai, berbareng
puluhan senjata tajam meluncur menyerang musuh ditengah
gelanggang itu.
Pada saat yang sama pula, Pemuda baju kuning
mendongak bergelak tawa, suaranya nyaring merdu bagai
pekik burung hong, sekali membalik tangan tahu-tahu ia
sudah melolos keluar sebatang pedang pendek yang
memancarkan sinar dingin.
Tangkas sekali badannya menubruk maju laksana burung
garuda raksasa, diseling dengan bantalan sinar tajam
langsung iapun menerjunkan diri ketengah gelanggang
pertempuran.
Ci-hu-giok-li juga insyaf bahwa situasi sudah di ambang
pintu, paling gawat, sekali berlaku lambat atau ceroboh sulit
dapat mengejar harapan menang.
Terdengarlah suara pemuda baju kuning berkumandang,
katanya: "Nona Kiong, serbulah pintu hidup, biar aku yang
rendah menerjang pintu belakang!"
Belum lenyap suaranya sudah disusul garang dan jerit
kekalutan berulang-ulang, darah menyemprat deras
membasahi rumput nan hijau subur, Ternyata Tan Hak-siau
telah menari-nari kencang dan gesit sekali, badannya
terbungkus oleh cahaya terang dari pedang pendeknya yang
galak dan ganas sekali, sedemikian lincah ia menggerakkan
senjatanya laksana bintang bertaburan ditengah angkasa.

Ci-hu-giok li Kiong Ling-ling juga tidak mau ketinggalan
terdengar teriakannya nyaring: "Awas saudara Tan aku
menurut saja pada petunjukmu!"
Sekali raih gampang sekali ia merogoh keluar sepotong
sapu tangan sutra halus seringan asap seenteng kabut.
Enteng saja digentakkan lantas menerbitkan kabut ungu.
Laksana bidadari menari nari lemah gemulai sebat sekali
badannya melayang masuk melalui pintu hidup yang
ditunjukkan tadi.
Pintu hidup ini sebetulnya dijaga oleh lima laki-laki kekar
berseragam kuning mas, mereka berputar putar cepat dan
rapi serta teratur, sinar golok berkelebat cepat bagaikatt
bunga salju.
Namun karena barisan ini baru bergerak. berputarnya
masih agak lamban, tapi toh sudah menunjukkan perbawanya
yang kompak. Begitu Kiong Ling-ling menerjang masuk
kedalam pintu hidup, kontan ia merasa empat penjuru
badannya berkelebatan bayangan kuning mas yang
menyilaukan pandangannya, Entah berapa banyak sinar golok
berbareng meluruk kearah badannya.
Dasar berkepandaian tinggi hatinya menjadi tabah, tanpa
gemetar sedikitpun ia malah tertawa riang, serunya: "Bagus,
kiranya kalian juga ingin mencabut jiwaku!"
Lemah gemulai Ci-hu-giok-Ii bergerak melambaikan
seputangannya, sedikit tangan kanan bergetar segulung kabut
ungu segera bergulung menerjang kearah seorang laki-laki
baju kuning mas didepannya, selain itu tangan kiri juga tidak
tinggal diam melambai perlahan kelihatannya memang pelan
tapi serentak dengan lambaian tangannya ini ia sudah
lancarkan tiga gelombang angin pukulan tangan yang
berlainan tujuan dan berbeda sasarannya.

Tak terduga saat mana para peserta pembentuk barisan itu
sudah dapat pernahkan diri mereka masing-masing dengan
menduduki tempat tempat yang tepat dan penting, yang
memberi komando cukup berpengalaman lagi. Lima orang jadi
satu kelompok saling bantu membantu dan bahu membahu,
Maka jurus serangan yang rada terlambat menjadi susut bawa
hasil, tidak seperti pemuda baju kuning sekali gebrak
beberapa orang musuh segera terjungkal, Hati Kiong Ling-ling
jadi dongkol, batinnya: "Agaknya sudah tiba saatnya kita
berantas para kurcaci jahat ini."
Seiring dengan tawa merdu yang berkumandang, gerak
badannya mendadak berubah, pelajaran tunggal yang
istimewa dari keluarga Ci-hu segera dilancarkan. Maka
tampaklah bayangan ungu berkelebatan selulup timbul
kadang-kadang jelas dilain saat bergerak menghilang, kabut
ungu juga bergulung-gulung semakin tebal melebar keempat
penjuru.
Seketika kelima orang baju kuning mas yang menjaga
dipintu hidup ini merasa dihadapan mata dan sekitar tubuhnya
bermunculan bayangan gadis rupawan berpakaian ungu yang
tengah tertawa menggiurkan, tapi setiap kali tangannya
bekerja lantas terasa sampokan angin keras yang menyerang
ke arah tempat tempat penting ditubuh mereka.
Demi keselamatan jiwa sendiri, kelima orang baju kuning
mas yang sudah menduduki tempatnya masing-masing
menjadi pontang-panting dan kacau balau, tak bisa bekerja
sama lagi. Masing-masing menggerung dan menjadi nekad
memutar golok sendiri untuk melindungi badan.
Dengan demikian bentuk barisan mereka ini menjadi bubar,
hal ini memang menjadi tujuan Ci hu-giok-li dengan riang ia
berseru. "Nah kan begini !" kelima jari tangannya mendadak
menjentik berulang-ulang kearah lima sasarannya, Kontan
terdengar laki-Iaki baju kuning yang berdiri paling dekat

menggereng tertahan, golok ditangannya tampak dilintangkan
serta gerak cepat sekali menangkis angin kencang yang
menerjang tiba.
Tapi baru saja sinar goloknya bergerak, lantas terdengar
suara tawa ringan yang berkumandang, segulung kabut ungu
mengepul datang membawa bau harum terus menungkrup
keatas kepalanya.
"Aduuuh" jerit yang mengerikan setengah tertahan
darahpun berceceran keras sekali, Nyata separo kepala lakilaki
baju kuning mas ini sudah terbelah sebagian.
Sebelum tubuh musuh ini roboh ditanah bayangan Ci hugiok
li sudah melayang ke arah sasaran Iain.
Di pihak lain kiranya pemuda baju kuning lebih leluasa
bekerja, karena berulang-ulang terdengar pekik dan lolong
kesakitan serta robohnya para musuh yang merintangi, darah
mengalir deras berceceran dimana-mana.
Pada waktu itu terdengar pula suara sangkala yang
panjang tinggi melengking menembus angkasa, setelah itu
lantas berhenti tak terdengarlah suara apa-apa.
Agaknya Ko-bok-im-hun sudah tidak sabaran lagi,
mendadak mulutnya mencebir bersuit keras sekali, badan
yang bergerak selincah kera selicin belut itu mendadak
berhenti berdiri dengan tegak bagai terpaku diatas tanah,
sepasang matanya memancarkan cahaya buas yang berwarna
hijau, seluruh tulang badannya berkeretekan, uap hijau murni
mengepul dari seluruh badannya.
Sungguh kejut Hiat-hong Pang cu bukan main, sedikit
menutulkan kakinya di atas tanah tubuhnya terus melambung
tinggi tiga tombak di tengah udara ia menyedot hawa murni,
berbareng Hiat-hong-ling di kedua tangannya dibenturkan,
seketika terdengar samber angin keras yang membawa suara
gemuruh laksana geledek.

Dari ketinggian ini langsung meluncur turun menubruk
dengan kekuatan yang dahsyat bagai gugur gunung.
Betapapun dengan itu, mendadak seluruh tubuh Ko bok-imhun
mengepulkan hawa merah marong yang menyolok terus
menyelubungi seluruh badannya, malah hawa kabut ini
semakin meninggi sehingga seluruh badannya tertelan tak
kelihatan lagi.
Diam-diam Hiat-hong Pang-cu berteriak dalam hati:
"Celaka, inilah Hian sim-im-ou!" seluruh tenaga murninya
dikerahkan badan yang meluncur turun itu mendadak
jumpalitan terus meluncur minggir kesamping kiri.
Tapi meskipun ia bergerak selincah burung walet, tak urung
sudah terlambat setindak, "Blang", benturan bagai guntur
berbunyi ini menggetarkan seluruh gelanggang, angin badai
melambung keempat penjuru menggulung seluruh benda yang
berada disekitarnya,
Terdengar Hiat-hong Pang-cu menguak keras seperti babi
hendak disembelih, Kontan badannya mencelat jumpalitan
jauh sekali, dari mulutnya segera menyembur darah segar
sampai membasahi seluruh kedok dimukanya.
Ditengah kabut yang masih mengepul terlihat bayangan
merah yang kaku bagai mayat hidup laksana anak panah
melesat menubruk kearah Giok-liong.
Tatkala itu, Giok-liong sudah lancarkan seluruh ilmu Janhun
si sek sampai puncaknya, Sinar kuning mas seperti rantai
kuning menggubat seluruh tubuhnya, ditengah angin yang
menderu kencang, dengan susah payah ia tengah mendesak
Kim-i Pang cu sampai dua tombak, baru saja ia hendak
menerjang lagi dengan serangan terakhir sekonyong-konyong
dari atas kepalanya terasa segulung hawa dingin telah
menungkrup datang.

Bertepatan dengan itu, dari dalam rimba sana beruntun
muncul beberapa bayangan orang laki laki yang bermuka
cakap bertubuh kekar, gerak-geriknya juga cukup gesit dan
tangkas sekali, para pendatang ini sama mengenakan seragam
jubah biru.
Ditengah gelak tawa yang berkumandang nyaring, dua
bayangan biru tua yang menyolok muncul lagi dari balik pohon
besar membawa cahaya biru yang terang terus menubruk
maju memapak kearah Kobok-im hun.
Sedang dua bayangan biru lainnya laksana angin lesus
menerpa kearah Giok-liong.
Melihat situasi yang tidak menguntungkan ini, segera Kim-i
Pang-cu mendongak mengeluarkan pekik panjang sebagai
aba-aba, serentak dari dalam hutan menerjang keluar lagi
puluhan orang seragam hitam dan kuning mas.
Maka terjadilah pertempuran gaduh yang gegap gempita,
suasana menjadi kacau balau.
Ci hu-giok-li dan pemuda baju kuning saat mana sudah
terkepung ditengah tengah gelanggang pertempuran. Badan
mereka bergerak dengan tangkas dan sebat sekali, setiap kali
tangan dan kakinya bergerak, pasti ada beberapa orang yang
jatuh roboh sambil menjerit ngeri.
Diatas tanah yang datar di lamping gunung yang tidak
begitu besar ini, sekarang sudah berkumpul ratusan gembonggembong
silat yang berkepandaian tinggi pertempuran yang
demikian hebat ini tidak lain hanya bertujuan merampas
seruling samber nyawa, jadi hakekatnya sasaran utama bagi
mereka sebenarnya hanya satu yaitu Giok-liong.
Mana mungkin mereka berdua kuat menahan dan
membendung arus serangan musuh yang bertubi-tubi tak
kenal putus, sementara itu, Kim-i Pang-cu sekarang sedang
berdiri dipinggir gelanggang sambil menenteng cambuk ular

masnya, dengan tekun dan cermat matanya tak berkedip
mengamati setiap gerak gerik Giok-liong.
Begitu tiba didalam gelanggang kedua bayangan biru tadi
lantas melancarkan serangan yang berantai tanpa mengenal
kasihan lagi, dua jalur sinar biru yang mencorong terang
laksana biang lala, kontan membelit dan menyabet kearah
pinggang Giok-liong.
Tadi dalam menghadapi Kim-i Pang-cu meskipun sudah
mengeluarkan setaker tenaganya, untung masih belum
mendapat cidera apa-apa, tapi hakikatnya tenaga murninya
sudah banyak susut atau tercurah keluar, Kini dilihatnya dua
bayangan biru tengah menerjang tiba, timbullah hawa
amarahnya, air mukanya yang rada pucat itu seketika menjadi
merah padam terbakar oleh kemarahannya, sepasang
matanya juga lantas memancarkan sorot kebuasan yang
berkilat-kilat.
Tenaga Ji-lo mulai dikerahkan berputar cepat diseluruh
tubuhnya, potlot mas ditangan kanan rada ditekan sedikit
kebawah, lalu bentaknya sinis: "Yang tidak ingin hidup coba
maju kemari!"
Sekarang ia sudah melihat tegas satu diantara kedua
bayangan biru adalah Ham-kang-lt ho Pek Su-in adanya. Luka
luka ditangan kirinya itu kini sudah dibalut rapi, agaknya
sedikit luka ditangan kiri itu tidak mengurangi atau
mengganggu kesehatan dan gerak geriknya.
Salah seorang lain kiranya adalah seorang kakek tua
berambut uban, bermuka tepos bertubuh kurus ceking, Tapi
gerak gerik si orang tua ini nyata lebih gesit dan lihay, Hamkang-
it.ho langsung meluncur datang, belum tiba suara gelak
tawanya sudih terdengar suaranya: "Ma Giok liong, seorang
kesatria harus dapat melihat gelagat, Menyerah saja dan
seishkan seruling samber nyawa itu, seluruh kaum Pek hun-to
tidak akan menyia-nyiakan kebaikanmu ini."

Giok-liong menjadi murka, hardiknya keras: "Kalau kau
mampu marilah ambil sendiri." sedikit potlot masnya bergerak,
seiring dengan hawa Ji-lo yang melindungi tubuh terus
terayun kedepan berubah menjadi seutas bayangan mas
menerjang kedepan, Maka terdengarlah suara "trang, trang ..
. " berulang-ulang dari benturan senjata yang nyaring, tiga
bayangan orang sedikit terpental mundur sebelum mereka
dapat berdiri tegak, ditengah udara masih kelihatan percikan
api.
Mendadak si orang tua renta itu memperdengarkan gelak
tawa menggeledek, jengeknya: "Bocah takabur, biarlah tuan
besarmu menjajal sampai dimana tinggi kepandaianmu"
badannya bergerak goyang gontai, sinar dingin seketika
berkelebatan, berbareng ia merangsak maju lagi bersama
Ham-kang-it-ho.
Sementara itu, di gelanggang lain, baru saja Ko-bok-im-hun
melancarkan ilmunya yang baru berhasil dilatih sempurna
yaitu Hian-si im-ou, memukul mundur Hiat-hong Pang-cu
tengah ia bersiap hendak menubruk kearah Giok-Iiong, Tahutahu
dua jalur sinar biru yang berkilauan telah melesat tiba
mengancam jiwanya.
Tanpa ayal ia menggerung keras, berbareng kedua
tangannya terayun, sekonyong-konyong badannya melejit
tinggi ketengah udara membawa kabut merah gelap terus
memapak maju. Begitu kedua belah pihak saling bentur lantas
bayangan tiga orang kelihatan mundur gentayangan, tapi gesit
sekali mereka sudah menyerang maju lagi bertempur seru
sambil membentak-bentak.
Di lain pihak, Ci-hu-giok-li dan pemuda baju kuning juga
tengah menari nari dengan lincah dan tangkas sekali
membabat dan membacok serta menikam semua orang yang
menghalangi didepan tanpa memandang bulu entah mereka

dari seragam hitam atau kuning mas serta baju biru tua, yang
terang bila berani merintangi pasti dibabat habis-habisan,
sedemikian lincah mereka bergerak laksana sepasang kupukupu
bermain ditengah rumput bunga, setiap kali senjata dan
kaki bergerak saat itu terdengar teriak kesakitan, laksana
membabat rumput alang-alang saja gampangnya para musuh
satu persatu roboh bergelimpangan.
Sekarang Hiat-hong Pang-cu dan Kim-i Pang-cu malah tidak
hiraukan lagi pada Giok-liong. Tubuh mereka bergerak gesit
dan sclicin belut selulup timbul diantara kelompok orang orang
seragam biru dari kaum Pek hun-to, Mereka lancarkan tangan
ganas yang tidak bertara, beruntun terjangan jerit dan pekik
menyayatkan hati menjelang jiwa melayang menghadap Giam
lo-ong, terjadilah penjagalan manusia secara sadis.
Mayat manusia sudah bertumpuk laksana bukit darah
bergenang menjadi aliran sungai yang masih ketinggalan
hidup semakin berkurang, dimana-mana terdengar keluh
kesakitan serta bentakan nyaring menambah semangat
pertempuran saling susul bersahutan.
Dengan dilantai ilmu Hian-si-im-ou perbawa dan kekuatan
Ko-bok-in-hun menjadi lebih besar dan semakin garang.
Betapapun tinggi kepandaian kedua orang berpakaian
seragam biru mengeroyoknya itu lambat laun semakin payah
dan terkepung oleh bayangan pukulannya, terang mereka
lebih banyak membela diri dari pada balas menyerang.
Dalam pada itu, beruntun menghadapi musuh tangguh,
tenaga murni Giok-liong sudah tercurah banyak sekaii,
tenaganya semakin lembek, keruan akhirnya ia terdesak
dibawah angin. Terdengar Ham-kang-it-ho mengejek dingin:
"Ikan sudah masuk jaring masih berusaha lolos, Ma Giok-liong,
kulihat kau ini memang goblok keliwat batas." habis katakatanya
senjata ditangannya di lancarkan semakin kencang
dengan serangan berantai.

Gerak-gerik si orang tua renta kawannya itu juga cukup
lihay, tubuhnya bergerak secara aneh, ilmu goloknya juga
sudah sempurna betul, serentetan serangan berantai yang
dilancarkan secara bernafsu membuat Giok liong terus mundur
lagi.
Namun demikian, dalam keadaan yang gawat begitu, Giokliong
masih berlaku tenang. gerak geriknya masih teratur rapi,
sahutnya dingin: "Cengcoreng, hendak menerkam tonggeret,
tak tahunya burung gereja berada dibelakangnya. Menurut
hemadku justru kalianlah manusia berotak tumpul yang paling
goblok melebihi babi?kiranya maki itu ini membawa hasil,
sekilas lantas Pek-Su-in berpaling muka menyelidiki kesekitar
gelanggang pertempuran. Dilihatnya anak buah dari Pek hunto
tengah mulai dibabat roboh habis-habisan, yang masih
ketinggalan hidup juga tengah lari pontang panting
menyelamatkan diri.
Temyata Kim-i-pang cu dan Hiat-hong pang-cu tengah
pimpin seluruh anak buahnya yang sedang memberantas
seluruh anak buah Pek-hun to ditambah cara turun tangan Cihu-
giok-li dan pemuda baju kuning yang secepat kilat
bergerak selincah kupu-kupu menari, tanpa pandang bulu lagi,
siapa saja yang dekat pasti diserang dan diroboh-kan dengan
serangan ganas yang mematikan.
Bukan kepalang kejut hati Pek Su-in melihat keadaan yang
mengenaskan ini, orang Hiat hong-pang dan Kim-i-pang telah
bergabung melancarkan serangan babat habis terhadap Pekhun-
to sedang empat tokoh paling kuat dan lihay dari Pekhun-
to tengah menghadapi Ko-bok-im-hun dan Giok-liong
yang sukar dikalahkan kalau keadaan begini terus berjalan,
pasti akibatnya susah dibayangkan lagi.
Sesaat tengah mereka sedikit merandek inilah, mendadak
Giok-liong menghardik keras, Ji-lo sudah terkerahkan sampai
tingkat ke sepuluh, sinar kuning menjadi bianglala berputar

deras terus menggulung kedepan menerpa dahsyat kearah
musuh, Hanya sekejap saja situasi pertempuran lantas
berubah seratus delapan puluh derajat.
Kini berbalik Giok-liong mengambil inisiatif pertempuran
Ham-kang it-ho berdua berbalik mulai terdesak dibawah
angin,
Pertempuran dalam gelanggang sudah mulai mereda,
tinggal beberapa kelompok orang saja yang masih berkutet.
Kim i-pang-cu dan Hiat-hong Pang-cu sudah perintahkan anak
buahnya menghentikan pertempuran dan merubung maju
mengelilingi gelanggang pertempuran.
Sekonyong-konyong terdengar jeritan mengerikan, salah
seorang dari dua orang berpakaian biru tua itu terpental
jungkir balik sambil menyemburkan darah segar, badannya
terbanting keras lima tombak jauhnya, sedikit bergerak dan
berkelejetan lantas diam untuk selamanya.
Sesaat setelah merobohkan salah seorang musuh tangguh
ini, Ko-bok im-hun terkekeh-kekeh terus melejit tinggi
ketengah udara dan langsung meluncur kearah Giok-liong
laksana seekor burung garuda yang menerkam mangsanya.
Kebetulan saat itu Giok-liong tengah mengadu pukulan
dengan Ham-kang it-ho.
"Blang" sewaktu badannya terpental sempoyongan mundur
inilah ia menyedot hawa murni bersiap hendak menerjang
maju lagi, tapi mendadak terasa angin dingin kencang sudah
menindih tiba diatas kepalanya, tahu dia bahwa dirinya
terancam bahaya, maka sambil menggerung rendah potlot
mas ditangan kanannya bergerak laksana bianglala
menungging keatas terus menyambut maju. Kontan terdengar
keluh kesakitan yaitu keras disusul hujan darahpun terjadi.
Darah mengucur deras dari paha kiri Ko bok-im-hun!

Namun demikian iapun berhasil menutuk jalan darah Pak
ki-hiat dipunggung Giok-liong seketika Giok-Iiong rasakan
punggungnya linu kesemutan lantas ia jatuh pingsan, hilang
kesadarannya.
Dilain pihak Ci hu giok li juga sudah melihat malapetaka
yang menimpa Giok liong itu sambil menjerit kwatir badannya
secepat angin melesat tiba hendak menolong, namun
tubuhnya sudah terlambat, sebab jaraknya terlalu jauh.
Sambil bersuit melengking tadi sebelum kakinya menyentuh
tanah, Ko-bok-im hun sudah berhasil mencengkeram kuduk
Giok-liong terus dibawa lari kedalam rimba. Seketika terdengar
suara bentakan berantai ramai, baru saja semua hadirin
berniat bergerak mengejar. . . .
Sementara itu, pemuda baju kuning saat mana juga sudah
melihat bahwa Giok-liong sudah terjatuh dibawah
cengkeraman musuh, dalam gugupnya ia membentak nyaring
terus meluncur mengejar dengan kencang.
Sekonyong-konyong samar-samar terlihat sebuah bayangan
merah melambung dari dalam hutan bergerak cepat dan
seenteng setan gentayangan serentak semua hadirin
menghentikan langkah berbareng berteriak kaget puIa? "Hiating-
bun. . . Hiat-ing bun! . . ."
Bayangan merah ini sungguh bergerak sangat cepat
laksana meteor terbang terus memapak kearah Ko-boi-im-hun
"PIak" seiring dengan suara benturan keras ini terdengar Kobok-
im-hun melolong kesakitan, dua bayangan lantas terpecah
mundur dua jurusan, darah berceceran ditengah udara,
Sekejap saja bayangan merah itu lantas Ienyap.
Begitu banyak tokoh tokoh silat dalam arena pertempuran
ini, tapi tiada seorangpun yang dapat melihat tegas,
sebetulnya Giok-liong sudah direbut dan terjatuh di tangan
siapa.

Mendadak Hiat-hong Pangcu berkata kepada Kim-i-pang
cu: "Kita berpencar, kejar !"
"Benar !" serentak mereka keluarkan perintah berbareng
kedua jurusan, sebentar saja bayangan mereka sudah
menghilang.
Ham-kang-it ho memeriksa keadaan gelanggang
pertempuran sebentar lantas iapun berseru keras: "Mari kejar
!" berbareng tangan diulapkan terus berlari kencang ke
jurusan titnur, Tinggal para korban yang sudah mati atau yang
luka berat masih ketinggalan dalam arena pertempuran ini
bersama pemuda baju kuning dan Ci-hu-giok-li berdua.
Pemuda baju kuning tertawa getir, katanya: "Marilah kita
juga mengejar !"
Ci-hu-giok-li manggut-manggut dengan hampa. Kata
pemuda baju kuning pula: "Pergilah kau mengejar orang dari
Hiat-ing-bun itu, biar aku mengejar Ko bok-im hun !"
Ci-hu-giok-it manggut-manggut lagi, terus mereka
mengejar kedua jurusan.
Kini Tiang sun po menjadi sunyi lengang lagi, tinggal
terdengar keluh kesakitan mereka yang tertinggal dengan luka
parah, keadaan yang mengenaskan ini benar-benar bisa
mendirikan bulu roma orang yang menyaksikan.
Seluruh penghuni alam semesta ini seolah-olah sudah mati
seluruhnya, keadaan dalam dunia ini mengapa sedemikian
tenang dan sunyi senyap.
Giot-liong merasa seluruh badan sakit-sakitan dan
sedikitpun tak mampu bergerak, tapi matanya saja yang dapat
terbuka dan bergerak, Begitu ia pentang kedua matanya,
terlihat keadaan sekelilingnya kotor penuh gelagasi laba-laba,
atap rumah penuh dalam hati ia menebak-nebak mungkin
dirinya sekarang berada dalam sebuah kuil bobrok yang Iama

tiada penghuninya. Tak jauh dari tempatnya berbaring ini
dilihatnya dua gadis remaja berwajah putih halus tengah
duduk bersila, mungkin mereka sedang semadi memulihkan
tenaga.
Pengalaman semalam lantas terbayang lagi dalam lautan
pikirannya, hanya teringat olehnya bahwa dirinya sudah
terjatuh ditangan Ko-bok-im-hun Ki Jtiat. Kejadian selanjutnya
lantas tidak diketahui Maka sekarang dia merasa heran dan
gelisah.
Cuma yang mengherankan adalah dari masa Ko-bok-im hun
bisa mempunyai pelayan gadis remaja berwajah ayu
menggiurkan ini?
Hatinya gelisah karena menguatirkan apakah Potlot mas
dan Jan-hun ti peninggalan perguruannya itu masih berada
dalam buntaIannya.
Tapi hakikatnya dia sendiri sekarang tidak dapat bergerak
sampai memutar kepalapun tidak bisa, apapula untungnya hati
kwatir dan gelisah?
Lambat laun pengalaman selama ini laksana gelombang
samudera dipesisir laut bergulung-gulung mendebur hatinya.
Teringat ayah bunda yang hilang entah kemana, saudara
kandung yang berpisah tinggal dia seorang diri hidup sebatang
kara dengan membekal tugas berat.
Betapa juga aku harus mencari jejak ayah bunda serta
adikku, apalagi sebelum dendam sakit hati orang tua belum
terbalas, ini merupakan tanggung jawab yang harus
dilaksanakan sebagai putra berbakti.
Kenangan lama ini menimbulkan rasa dendam dan
kebencian yang semakin berkobar membakar hati terhadap
Kim-i-pang dan Hiat-hong-pang, sungguh dia sangat gegetun
kepada kepandaian sendiri yang kurang sempurna sehingga

dalam pertempuran semalam tidak mampu membongkar
kedok Kim i Pang-cu dan Hiat-hong Pang cu.
Pesan gurunya untuk mencari dan menemukan Kim leng-cu
juga belum dapat terlaksana, Dimanakah Ang-I mo li Li Hong,
seumpama dia mengalami cidera atau terancam jiwa dan
kesuciannya, bukankah ini perbuatan salah dirinya? Teringat
pula akan Wi-thian-ciang Liong Bun yang menyelundup dalam
hutan kematian, dimana ia memberi pesan akan tugas berat
tentang mati hidup kaum persilatan umumnya.
(BERSAMBUNG JILID KE 8)
Jilid 08
Dan lagi murid Pat-ci-kay-ong yaitu iblis rudin Siok Kuitiang,
istri tersayang Coh Ki-sia masih berada di Hwi-hun-sancheng
yang tengah menunggu dirinya puIang.
Kasih sayang dan perhatian Ci-bu-giok-li terhadap dirinya,
Gerak gerik misterius pemuda baju kuning Tan Hak-siau, serta
uluran tangan membantu kesukaran yang tengah di hadapi
itu, semua peristiwa ini laksana gambar bioskop bergantian
terbayang didalam benaknya.
Dalam jangka setengah tahun ini ia harus dapat
menemukan gurunya, untuk berusaha menghadapi gerakan
besar-besaran yang mungkin dikerahkan oleh hutan kematian.
Sungguh besar tanggung jawab yang dipikulnya ini ! Selain
sakit hati keluarga dan tugas berat perguruan, sekarang
secara tidak langsung dirinya sudah menjadi kurir sebagai
penyambung berita akan bahaya kehidupan kaum persilatan
khususnya.
Tapi sekarang dirinya sudah terjatuh di cengkeraman Kobok-
im-hun, jalan darah tertutuk tak mampu bergerak, Sudah
tentu Kim-pit dan Jan-hun-ti peninggalan gurunya itu sudah
terampas oleh musuh, kalau dirinya tidak hati-hati dan sabar

menghadapi situasi mungkin jiwanya sendiri juga bisa
melayang. Karena pikirannya ini, hatinya menjadi rawan dan
masgul, tanpa merasa dua titik air mata mengalir keluar.
Sinar sang putri malam yang cemerlang menyorot masuk
melalui celah-celah genteng yang pecah, menambah keadaan
dan suasana dalam rumah bobrok ini menjadi sunyi seram.
Karena tidak dapat bergerak, pandangan mata Giok-liong
hanya tertuju keatas, kebetulan di ujung atap sana ada lobang
cukup besar untuk dapat memandang keluar, terlihat bintang
kelap kelip diatas cakrawala nan biru kelam. Air mata semakin
membanjir keluar menggenangi kelopak matanya sehingga
pandangan menjadi buram.
Giok-Iiong berusaha mengerahkan hawa murni untuk
menjebol jalan darah yang tertutup, tapi usahanya ternyata
sia-sia ! Baru sekarang didapatinya bahwa jalan darah yang
tertutuk di dalam tubuhnya bukan satu dua tempat saja, Maka
tidak mungkin lagi ia dapat menghimpun hawa murninya yang
terpencar untuk menerjang jalan darah yang buntu. Sungguh
dia tidak tahu cara bagaimana ia harus berbuat.
Tengah pikirannya tenggelam dalam kehampaan, kedua
gadis remaja yang duduk bersila itu sudah siuman. Gadis
disebelah kanan beraut muka rada lonjong pelan-pelan berdiri
lemah gemulai, katanya kepada gadis disebelah kiri: "Chiu-ki
cici, apa Siocia ada memberitahu kapan beliau bakal kembali
?"
Gadis sebelah kiri itu juga bangun berdiri, sahutnya
tersenyum manis: "Ha-lian-cici tidak lama lagi pasti siocia
bakal tiba."
"Siocia ini memang, kemanakah ia pergi, Sudah sekian
lama belum pulang, sekarang sudah menjelang malam."
"Katanya Siocia pergi ke kota yang berdekatan untuk
membeli makan."

"Ya, Allah. Berapa lama dari sini ke kota! Mengapa
mendadak timbul keinginan Siocia hendak membeli makanan
apa segala? Biasanya kalau melakukan perjalanan diatas
belukar, selamanya belum pernah beliau membeli makanan
tetek bengek."
Tanpa tedeng aling-aling mereka memperbincangkan sang
majikan, tak tahunya ini Giok-liong sudah sadar sejak tadi.
Mendengar pembicaraan kedua gadis remaja ini, hati Giokliong
menjadi heran. Terang gamblang bahwa dirinya sudah
terjatuh ditangan Ko bok-im-hun, lalu dari mana pula muncul
seorang "Siocia" pula? Apakah Ci-hu-giok-li telah menolong
dirinya? Tidak mungkin, Kalau benar Ci-hu giok-Ii, mengapa
dia tidak membebaskan tutukan jalan darahnya?
Tengah ia berpikir-pikir ini, tidak jauh dipinggir tubuhnya
sana mendadak terdengar suara cekikikan merdu, serta suara
berkatai "Ha lian, Chiu-ki, jangan sembarang ngomong ya,
awas nanti kupotong kedua kaki kalian."
Ha-lian dan Chiu-ki saling berpandangan dan membuat
muka setan sambil berjingkrak bangun, serunya: "Siocia kau
sudah datang!"
Bau arak dan daging panggang lantas terendus ke dalam
hidung Giok-liong, sayang ia tidak mampu bergerak, kalau
tidak tentu ia sudah berpaling kearata sana untuk melihat
sebentar orang macam apakah siocia yang dibicarakan tadi
sekarang dia hanya dapat memastikan sedikit, yaitu suara
Siocia ini adalah sangat asing bagi pendengarannya.
Meskipun masih asing tapi enak didengar, seolah-olah
bunyi kelintingan perak yang dapat menggetarkan sanubari
pendengarannya.
Bau arak dan daging panggang yang harum semerbak
membuat perutnya terasa keroncongan berbunyi kerutukan.

Suara merdu yang nyaring itu lantas berkata lagi: "Ha-lian,
orang she Ma itu sudah kelaparan, pergilah kau bebaskan
jalan darahnya supaya dia makan sekedarnya."
Ha-lian mengiakan, lalu katanya: "Orang ini memang cukup
kasihan, ya, Siocia!" suaranya yang terakhir diulur panjang
seakan-akan memang sengaja hendak bergurau dan
menggoda.
"Hus, Ha lian, kau ini dengar perkataan ku tidak?"
Saat itulah Chiu-ki lantas menyela: "Sio-cia, badan orang ini
menderita luka-luka yang tidak ringan, apalagi jalan darahnya
sudah tertutuk sehari semalam, mungkin rada... menurut
hemat hamba, terlebih dulu harus dijejali obat kuat dulu."
"Hm . . . terserahlah kepadamu." Baru saja perkataan ini
lenyap, terlihatlah sebuah tangan putih halus pelan-pelan
diulurkan kedepan ointanya, jari-jari runcing bagai duri harus
itu menjepit sebutir pil warna merah yang mengkilap terus
dijejalkan kedalam mulutnya.
Segulung bau wangi yang menyegarkan badan dan
semangat terus menerjang kedalam otaknya, sehingga badan
yang tadi terasa pegal linu serta pikiran pepatnya seketika
segar kembali, Pil itu begitu masuk kedalam mulut lantas
lumer menjadi cairan tertelan masuk kedalam perut terus
menembus ke pusarnya. Dan bertepatan dengan itu tubuhnya
terasa tergetar bergantian, nyata tutukan jalan darahnya telah
dibebaskan.
Cepat-cepat ia kerahkan hawa murni menuntun khasiat
obat berputar diseluruh badannya. Tak lama kemudian terasa
tenaga dalamnya penuh sesak, hawa murni bergulung-gulung
seperti hendak melonjak keluar. Nyata bahwa luka lukanya
sudah sembuh seluruhnya.

Bergegas segera ia melompat bangun sam bil memandang
celingukan Tampak terpaut setombak disebelan sana ada
sebuah meja sembahyang yang sudah dibersihkan kedua sisi
meja diduduki Ha-lian dan Chiu-ki sedang yang duduk
ditengah adalah seorang gadis jelita yang mengenakan
pakaian warna merah muda, Rambutnya panjang semampai
laksana sutra halus berkilau gelap terjulur diatas pundaknya,
alisnya lentik bagai bulan sabit, dengan bibir merah laksana
delirna merekah, kulitnya putih halus laksana batu giok.
Melihat Giok liong sudah berdiri segera ia unjuk senyum
manis, terlihatlah dekik menggiurkan di kedua pipinya,
katanya nyaring: "Ma-siau hiap, kau tidak kurang suatu apa
bukan ?"
Tersipu-sipu Giok liong soja sembari katanya: "Banyak
terima kasih akan budi pertolongan nona ini, aku yang rendah
takkan melupakan selamanya." dalam hati ia beranggapan
bahwa dirinya telah tertolong dari cengkeraman Ko bok-imhun
oleh ketiga majikan dan pelayan.
Gadis jelita itu tersenyum simpul: "Ah mengikat diriku saja,
Ma-siau-hiap pasti sudah lama tidak makan bukan, mari
silakan tangsel sekedarnya."
Giok-liong soji lebih dalam lagi, tanyanya: "Harap tanya
siapakah nama nona yang harum ?"
"Aku bernama Liong Soat-yan .. . . . " lalu ia berdiri
menunjuk kedua pelayannya di kanan kiri lalu sambungnya
lagi ini Ha-lian dan ini Chiu-ki "
Giok-liong maju pelan-pelan menghampiri meja Ling Soatyan
segera mengulurkan tangannya menyilakan Giok-liong
duduk di-hadapannya.
Diatas meja penuh dihidangkan makanan-makanan lezat,
ada sayur mayur dan ayam panggang serta arak dan lain-lain.

Setelah sekedarnya sapa sapi bermain sungkan-sungkan,
mulailah mereka gegares bersama, Tapi terasa suasana rada
janggal dan kikuk. sedang Ha lian dan Chiu-ki saban-saban
tertawa cekikikan sambil pelerak-pelerok.
Setelah menenggak secangkir arak, Ling Soat-yan berkata
kepada Giok-liong sambil unjuk senyum manis. "Konon
kabarnya Ma-siau-hiap adalah murid penutup dari majikan Kim
pit dan Jan-hun-ti !"
Bercekat hati Giok-liong, baru sekarang teringat potlot mas
dan seruling samber nyawa itu olehnya, Entah apa masih
digembol dalam badannya tidak, kalau sudah bilang entahlah
harus bagaimana ! Namun sekarang tengah duduk makan
minum berhadapan dengan nona Ling, kalau merogoh
menggagapi kantong rasanya kurang hormat. Sebaliknya
pertanyaan yang diajukan sekarang ini, haruslah ia menjawab
secara jujur atau perlu mengapusi saja ? Tapi setelah dipikir
dipikir kembali, apa pula halangannya berkata terus terang . .
.
Ling Soat yan tertawa geli, ujarnya: "Apakah Ma-siau-hiap
ada kesukaran untuk menerangkan?"
Cepat Giok-liong unjuk tawa dibuat-buat, katanya: "Ah,
bukan, bukan begitu, potlot mas dan seruling samber nyawa
itu memang pemberian guruku."
Raut muka Ling Soat-yan mengunjuk sedikit perubahan,
tapi hanya sekejap saja lantas terlindung oleh senyum
manisnya yang memikat hati, ujarnya nyaring: "Kudengar
katanya pertempuran semalam yang sengit itu adalah untuk
memperebutkan seruling samber nyawa itu ?"
Giok-liong manggut-manggut: "semalam Kim-i pang, Hiathong
pang, Pek - hun - to dan Ko bok im-hun serentak turun
tangan, situasi waktu itu sungguh sangat berbahaya.

Mendadak Ling Soat-yan berseru heran, raut mukanya yang
jelita itu mengunjuk rasa heran dan aneh, katanya: "Lalu
mengapa Ma-siau hiap semalam bisa berada didalam kuil
bobrok ini, dengan tertutuk jalan darahnya ?"
"Apa?" tercetus pertanyaan Giok-liong keras-keras saking
kaget, Bersama itu tangan kanan lantas menggagap kearah
pinggang, dilain saat lantas terlihat selebar mukanya menjadi
pucat pias. Keringat dingin merembes diatas jidatnya, Kiranya
Potlot mas memang masih ada tapi seruling samber nyawa itu
sudah lenyap.
Terdengar Ling Soat yan berkata lagi: "Waktu kami
semalam lewat ditempat ini kulihat kau tertutuk jalan darahmu
dan di baringkan disebelah sana . ."
"Kalau begitu . . . . . jadi nona Ling belum pernah
bergebrak dengan Ko-bok-im-hun Ki-kiat?" .
"Tidak !"
Tanpa merasa Giok-liong menggigit gigi kencang-kencang
sampai berbunyi berkeriutan, hawa amarah merangsang
dalam benaknya, desisnya berat: "Budi pertolongan nona Ling
kali ini biarlah kelak kubalas, sekarang juga aku harus
mengejar kembali benda pusaka milik perguruan itu, kalau
tidak mana aku ada muka menghadap kcpaia guruku . . . ,
belum habis kata-katanya, kaki kanan sedikit menggentak
tanah, tubuhnya melejit ringan sekali laksana segulung kabut
putih terus menerobos keluar lenyap dibalik hutan.
Tercetus teriakan Ling Soat-yan: "Ma-siau hiap tunggu
sebentar.
Dari jauh terdengar kumandang ucapan Giokliong: "Harap
maaf, lebih penting aku mengejar kembali milikku itu."

Suaranya terdengar semakin jauh dan lirih, akhirnya sirna,
setelah Giok-liong pergi tanpa merasa Ha lian dan Chiu-ki
terlongong longong memandangi Ling Soat-yan.
Mendadak seperti paham sesuatu soal Ha lian berkata
riang: "siocia sungguh pintar! Kalau kita pulang tentu Loya
sangat girang.
Sebaliknya Chiu-ki berkata mendelu penuh sesal: "siocia
tidak seharusnya kau ngapusi dia Dia seorang yang sangat
baik, jikalau dia tahu kau bohong, selamanya dia tak kan
kembali lagi."
Ling Soat-yan menghela napas dengan masgul, ujarnya:
"Ayah menyuruh aku mencabut nyawanya dan merebut benda
pusaka miliknya untuk memutus keturunan Ji-bun, tapi aku . .
. ." butir air mata laksana mutiara lambat laun menggenangi
kelopak matanya terus mengalir membasahi pipinya, Pelanpelan
dirogohnya keluar dari dalam bajunya sebatang seruling
batu giok warna putih mulus bening. Terang itulah Jan-hun-ti
milik Giok-liong itu.
Butiran air mata berderai mengalir deras, kalanya sambil
sesenggukkan dengan rawan: "Oh, Tuhan, Kenapa aku harus
terlahir di Hiat ing-bun. . .aku hendak kembalikan seruling ini
lagi pada dia . ."
Ha-lian maju mendekat, katanya: "Siocia, marilah kita lekas
pulang, Loya pasti sangat senang, buat apa kau harus
bersedih, seumpama seruling ini digembol olehnya, lambat
laun cepat tentu juga direbut orang lain, bukankah sama saja
persoalannya "
Sebaliknya Chiu-ki membujuk dengan kata-kata halus:
"Jikalau siocia tidak mau melukai hatinya segera harus
menyusul ke-sana, Kalau terlambat mungkin dia bisa terjatuh
dibelenggu Thian-lam-say-yau. Sampai saat mana menyesal
juga sudah kasep !"

Ha lian juga tidak mau kalah debat, bentaknya: "Orang she
Ma itu boleh terhitung seorang pemuda gagah ganteng, tapi
belum tentu siocia pasti ketarik akan tampangnya itu,
seumpama lebih cakap lagi juga apa gunanya, sifatnya rada
ketolol-tololan..."
Mendadak Ling Soat-yan mendehem pelan-pelan terus
bergegas berdiri, agaknya ia sudah ambil keteiapan, katanya
pada Ha-lian dan Chiu-ki: "Kalian boleh pulang dulu memberi
lapor kepada ayah, bahwa aku pergi mencarinya, jikalau ayah
mendesak biarlah kelak aku yang memberi keterangan,"
Segera Ha-lian mengajukan usul yang menentang
kehendak siocianya itu: "Tidak bisa, kalau siocia pulang, tentu
Loya akan marah."
Chiu-ki juga membujuk dengan lemah lembut: "Siocia,
biarlah hamba ikut kau saja, paling tidak sepanjang jalan ini
kau punya kawan bicara."
Ling Soat-yan manggut-manggut, katanya: "Baiklah.." lalu
ia berpaling kearah Ha-lian dan berkata pula: "Kau pulang
lebih dulu, mari kita berangkat!"
Ha lian menjadi gugup, serunya: "siocia mana boleh begini
. . ."
Namun Ling Soat-yan sudah berjalan pergi diikuti Chiu-ki,
seruling samber nyawa disimpan lagi kedalam bajunya, tak
lama kemudian bayangan mereka sudah menghilang didalam
hutan.
Ha lian menjadi gemas dan dongkol, gumamnya sambil
membanting kaki: "Tidak hiraukan aku lagi, aku pulang lapor!
" lalu iapun berlari-lari kencang kearah yang berlawanan.
Setelah meninggalkan kuil bobrok itu Giok-Iiong terus
berlari dengan pesatnya menerobos hutan lebat. Timbul

banyak pikiran yang menyangsikan membuat hatinya
bergejolak.
Ling Soat-yan, gadis ayu jelita ini naga-naganya memiliki
ilmu silat yang tinggi, Tapi diteropong dari seluruh dunia
persilatan masa kini, hakikatnya tiada seorang tokoh
kenamaan yang mempunyai nama she Ling, Begitulah sambil
berlari otaknya terus bekerja. Tidak terasa tahu-tahu dia telah
menerobos ke luar dari hutan lebat itu.
Tiang sun po sudah diambang matanya. Mayat
bergelimpangan dimana-mana terlihat kaki tangan yang tidak
lengkap dengan darah berceceran bercampur otak yang
kepalanya pecah, sungguh pemandangan yang mengerikan.
Pertempuran berdarah semalam sudah lalu, keadaan disini
menjadi begitu sunyi leosan, Ci-hu giok-li dan Tak Hak-siau
tidak diketahui ujung parannya. Yang paling celaka adalah
kemana pula juntrungan Ko-bok-im hun. Jikalau tidak dapat
menemukan Ko-bok-im hun berarti seruling sambar nyawanya
juga susah dicari kembali. Tapi kemanakah sebetulnya Ko bokim
hun telah pergi ?"
Mau tak mau Giok-liong harus berpikir secara cermat: "Dia
menaruhku didalam sebuah kuil bobrok, hanya menggondol
seruling samber nyawa itu saja, ini menandakan bahwa dia
sendiri juga menderita luka-luka parah, jikalau benar-benar ia
terluka parah menggondol pergi benda pusaka lagi, pasti
tindakan yang terutama baginya adalah mencari suatu tempat
yang tersembunyi untuk mengobati iuka-lukanya dulu, baru
mencari jalan keluar melalui semak belukar yang jarang
diinjak manusia." analisa ini memang rada masuk diakal.
Semakin dipikir semakin tepat dugaannya, segera ia
menyedot hawa dalam-dalam terus kembangkan Ieng-hun toh
sampai puncak kemampuannya. Maka terlihatlah segulungan

bayangan putih yang samar-samar meIayang pesat sekali dari
puncak kepuncak dengan gerik langkah laksana burung
terbang. Begitulah setelah sudah lama ia berlari lari diatas
pegunungan yang senaak belukar iai tahu-tahu dia sudah
berlari sejauh ratusan li, Keadaan disini rada datar tapi
sekelilingnya penuh ditumbuhi pohon-pohon alas yang besar
tinggi, kiranya dia semakin dalam memasuki hutan lebat yang
belum pernah diinjak manusia.
Sekonyong-konyong Giok-liong merandekan langkahnya,
Gesit sekali badannya mendadak berhenti meluncur terus
berdiri tegak bagai terpaku didepan noktah-noktah darah yang
masih segar.
Dari noktah darah yang masih belum membeku seluruhnya
ini boleh dipastikan tentu ditinggalkan belum lama ini, ini
berarti bahwa orang yang terluka tentu masih berada ditempat
yang berdekatan saja.
Sambil mengerutkan alisnya Giok-liong beranjak memeriksa
keadaan sekelilingnya. Ditemukan disemak-semak rumput
kering di sebelah kiri sana ada tetesan darah yang memanjang
menuju kedalam sebuah hutan gelap.
Pelan-pelan Giok-liong menarik napas lalu mengerahkan
tenaga Ji-lo untuk melindungi badan setindak demi setindak ia
maju kearah hutan gelap itu.
Setelah berada dalam hutan yang sunyi dengan keadaan
yang seram mencekam sanubari, dimana-mana terlihat
rumput dan dedaunan kering berserakan mulai membusuk,
walaupun saat itu tiada angin dingin menghembus, cuaca
menjelang terang tanah ini dalam keadaannya yang sunyi
menakutkan benar-benar membuat siapapun pasti bergidik
merinding.
Sekonyong-konyong secuil kain kuning menarik perhatian
Giok-Iiong. Disemak di antara rumput-rumput kering yang

tertumpuk dedaunan kering pula muncul selarik kain kuning,
Kalau lebih ditegasi lagi lantas terlihat noktah-noktah darah
bertetesan memanjang itu langsung menuju ketumpukan
rumput dan dedaunan kering itu.
Bergetar jantung Giok-liong, Bukankah secarik kain kuning
yang dilihatnya ini persis benar dengan pakaian kuning yang
dikenakan oleh Tan Hak-siau, Tanpa ragu-ragu lagi segera ia
melompat maju terus menyingkap tumpukan rumput kering
itu.
Ya Allah, Pemuda baju kuning Tan Hak-siau rebah dengan
kedua biji mata dipejamkan, air mukanya rada bersemu merah
jingga. Ujung mulutnya masih merembes darah segar
badannya kaku rebah diatas tumpukan rumput kering itu.
Diulurkan tangan meraba pernapasannya terasa jalan
pernapasannya sudah sangat lemah dan kempas kempis,
jiwanya tinggal menunggu waktu saja, yang paling
mengherankan adalah dari badan yang telah membeku kejang
ini menguap hawa dingin.
Tak kuasa Giok-liong sampai berseru kwatir: "Hian si im-cu.
Mungkinkah Ko-bok-im-hun...." Tidak banyak waktu untuk
berpikir lagi, sebab kalau ia tidak segera memberikan
pertolongan kemungkinan besar jiwa pemuda baju kuning ini
takkan tertolong lagi.
Sedikit bimbang lantas Giok-Iiong merogoh keluar sebuah
pulung kecil yang terbuat dari batu giok sedikit pencet pulung
kecil itu pecah menjadi dua potong, Didalam pulung kecil ini
tersimpan tiga butir pil merah, satu diantaranya lantas
dijejalkan kedalam mulut Tan Hak siau, Lalu ia sendiri juga
berjongkok membungkuk badan, setelah menarik napas
panjang terus menempelkan mulut sendiri kemulut pemuda
baju kuning.

Menanti pil merah itu sudah hancur mencair didalam
mulutnya dan tertelan habis baru Giok liong bangkit dan
menjinjing tubuhnya dibawa masuk kearah hutan yang lebih
daIam.
Disebelah muka sana adalah lereng bukit yang rada curam,
dilereng ini ada sebuah batu besar berdiri tegak ditengahtengah.
Waktu Giok-liong mengitari batu besar ini dilihatnya
dibelakang sana ternyata terdapat sebuah gua besar.
Keruan hatinya girang bukan main, sambil menjinjing tubuh
pemuda baju kuning Tan Hak-siau, Giok liong terus
menerobos masuk.
Sampai saat itu Tan Hak-siau yang berada didalam pelukan
dadanya semakin dingin dan kaku, seperti setunggak belok
besar.
Teringat olehnya betapa simpatiknya pemuda baju kuning
ini berulang kali mengulurkan tangan membantu dirinya. Kini
ternyata terluka oleh ilmu Hian-si-im-ou yang jahat dan
berbisa, Betapa juga dirinya harus menolong sekuat tenaga.
Tadi ia sudah memberikan sebutir pil Hwe - yang - tan,
obat paling mujarab dari perguruannya, bukan saja obat
termahal dan paling manjur, obat ini juga tidak sembarangan
boleh digunakan kalau tidak menghadapi jurang kematian.
Giok liong insyaf, jalan satu satunya untuk menolong
jtwanya hanya mengorbankan ketiga butir Hwe-yang-tan ini,
lalu menggerakkan hawa murni dan bara hangat dalam
badannya untuk membamu bekerjanya kasiat obat malah
harus mengerahkan seluruh tenaga lagi.
Dengan tubuh yang telanjang bulat saling dempet dan
merapat mendesak hawa racun keluar badan, Selain cara ini
agaknya tiada cara lain lagi yang lebih sempurna.

Dilihatnya pernapasan Tan Bak-siau semakin lemah, raut
makanya juga sudah mulai berubah menggelap, Giok-liong
tahu kalau tidak segera memberikan pertolongan, mungkin
tiada harapan lagi.
Tapi cara pengobatan yang diketahui ini adalah cara yang
paling menghabiskan semangat dan tenaga, Giok-liong juga
tahu dengan kemampuan atau Latihan Lwekangnya sekarang
jauh dari ukuran yang semestinya melakukan pengobatan cara
berbahaya ini.
Seumpama ia nekad melakukan cara pengobatan ini, bukan
mustahil bukan saja tidak dapat mengobati penyakit orang
malah jiwa sendiri juga bakal dikorbankan seluruh hawa murni
dan semangatnya akan terkuras habis.
Kalau hal ini sampai kejadian bagaimana mungkin dirinya
dapat mengejar balik seruling samber nyawa itu?
Pelan-pelan dengan ringan ia merebahkan badan Tan Hak
siau diatas tanah. Memandangi wajah yang mulai menggelap
hitam itu, hati Giok-liong semakin gundah tak tentram.
Akhirnya ia menggertak gigi, berkata lirih: "Seumpama
harus berkorban lagi lebih parah betapa juga aku harus
menolong jiwanya."
Setelah teguh tekadnya lalu dikeluarkan pula putaran kecil
itu. Dituangnya sisa kedua butir pil Hwe-yang-tan terus
dimasukkan ke-dalam mulut sendiri terus dikunyah sampai
hancur, seperti tadi ia membungkuk badan terus menjejalkan
obat yang dikunyah itu ke dalam mulut Tan Hak-siau, malah
harus mengerahkan hawa murni lagi untuk menyurung obat
masuk ke dalam perutnya.
Pada saat mana diluar gua berkelebat bayangan merah
jingga, bersama itu terdengar pula seru kejut yang tertahan.

Tapi perhatian Giok-liong seluruhnya sedang terpusatkan
menyurung kasiat obat ke-dalam mulut Tan Hak siau, sudah
tentu ia tidak perhatikan akan kejadian diluar.
Setetah seluruh cairan obat masuk kedalam mulut Tan Haksiau,
Giok liong membimbing badan orang duduk lalu ia sendiri
duduk bersila di belakangnya persis, Kedua telapak tangannya
menyungging kepunggungnya, mulai ia mengerahkan tenaga
murni menuntun kasiat obat bekerja diseluruh badannya.
Kira-kira seperminum teh berselang, jidat Giok-liong sudah
basah kuyup oleh keringat sebesar kacang kedele, baru ia
lepas tangan dan berdiri sungguh diluar perhitungannya
bahwa Hian-si-im-ou ini ternyata sangat berbisa. Membuat
kekuatan bekerja tenaga murninya sangat lambat dan sangat
dipaksakan.
Begitu lepas tangan ia baringkan lagi badan Tan Hak-sian.
Badannya kini rada sedikit lemas, Hawa dingin yang
merembes keluar juga rada berkurang. sebetulnya Giok-liong
harus istirahat dulu menghimpun semangat baru bekerja lagi,
namun dalam keadaan gawat dengan kemampuan sendiri
yang terbatas ini ia tidak berani ajal-ajalan, sebab dia tahu
cara pengobatan berat ini tidak boleh berhenti ditengah jalan,
sekali berhenti kemungkinan besar jiwa pemuda baju kuning
Tan Hak-siau ini bisa melayang. Maka begitu ia berdiri
langsung ia bekerja melucuti seluruh pakaian sendiri.
Walaupun ditempat sunyi tiada orang lain yang melihat, tak
urung Giok-liong merasa jengah dan malu juga sampai muka
terasa panas. Tapi demi menolong jiwa orang apa boleh buat!
Setelah seluruh pakaian sendiri dilucuti muIailah ia membuka
pakaian pemuda baju kuning Tan Hak-siau.
Baru saja ia melucuti pakaian bagian atas, lantas Giok-liong
berhenti dan melongo, Kontan merah padam kedua pipinya,
Sebab apa yang terpentang didepan matanya tak lain adalah

bukit tandus yang halus mengganjal padat dengan kulit yang
putih mulus. Tak lain inilah dada milik dara jejaka,
Giok-liong mengeluh dalam hati: "Oh Tuhan, mungkinkah
dia seorang... Tapi bagaimana juga dia tidak boleh berhenti
sebab tertunda sedetik saja jiwa Tan Hak-siau mungkin bisa
tidak tertolong lagi, Maka setelah seluruh pakaiannya dilucuti
pula, sepasang pandangan mata Giok liong menjadi gelap,
otaknya juga butek seperti dipalu.
Perempuan, tak lain memang perempuan adanya, Tubuh
yang ramping menggiurkan dengan dada yang montok padat
berkulit putih halus laksana batu giok yang bening. Giok liong
menjadi ragu-ragu dan bimbang. Oh Tuhan bagaimanakah ini!
Tak mungkin melihat kematian tanpa menolongnya. Tapi
kenyataan dia adalah seorang gadis remaja bagaimana ia
harus berbuat?
Akhirnya ia nekad dan mengertak gigi, sambil pejam mata
hawa murni terus dikerahkan seluruh badan sendiri terus
menindih lempang dibadan Tan Hak-siau, Desis hawa murni
yang panas mengepul keluar dari lobang pori pori seluruh
badannya terus meresap masuk kedalam badan Tan Hak siau.
Tiba-tiba diambang pintu gua muncul sesosok bayangan
merah jingga, nyata Hiat-ing Kiongcu Ling Soat-yan telah tiba
kedua matanya berlinang air mata.
Sebetulnya ia sudah rada lama mengintip diluar gua dan
menonton seluruh adegan yang terjadi didalam sini, pelanpelan
ia angkat jari telunjuknya yang runcing halus tertuju
kejalan darah Bing-bun hiat Giok-liong. Saat mana sedikit ia
kerahkan tenaga saja, pasti Giok-liong dan Tan Hak-siau bakal
melayang jiwanya secara penasaran.
Lama dan lama kemudian, butiran air mata yang berkilau
bening pelan-pelan mengalir turun dari kedua pipinya. Sambil
menghela napas gegetun ia turunkan jari tangan kanannya,

sepasang matanya yang bening indah memancarkan sorot
kehampaan yang merawankan hati, sedikit bergerak laksana
bintang jatuh bayangan merah menghilang sekejap saja ia
sudah melesat keluar gua.
Diluar gua tak jauh dari batu besar itu, Chiuki berdiri
dengan gelisah. Begitu melihat majikannya keluar segera ia
maju menyambut tanyany: "Siocia, orang she Ma . . . eh,
siocia kau. . . "
Kata Hiat ing Kongcu Ling Soat-yan sesenggukkan:
"Terhitung . . . . aku ini yang buta melek . . . manusia rendah
seperti binatang itu . . , . pergi. pergi, pergi, Marikita tinggal
pergi, aku . . . . selamanya tak sudi berjumpa pula dengan
dia..." lemah semampai badannya bergerak, laksana kilat
badannya meluncur keluar dari rimba gelap ini. Meninggalkan
butiran air matanya yang menyiram ditanah pegunungan.
Terpaksa Cniu-ki harus kembangkan juga Ginkangnya untuk
mengejar majikannya.
Dalam pada itu begitu Giok-liong rebah menindih tengkurup
rapat dengan tubuh yang langsing semampai, Meskipun ia
kerahkan seluruh hawa murninya dengan sepenuh perhatian
disalurkan masuk ketubuh orang, lama kelamaan ia merasa
diatas badannya mulai ada sedikit perubahan yang aneh. Dua
benda padat yang tertekan dibawah dadanya mengeluarkan
bau harum semerbak yang memabukkan kesadarannya.
Rangsangan bau perawan mengetuk hati kecilnya membuat
hampir susah bernapas, segulung aliran panas mulai
berjangkit dari bawah pusarnya terus mengalir naik.
Giok-Jiong menjadi kaget, tahu dia sekali pikirannya kabur
dirinya sendiri pasti bakal tersesat dan badan mungkin bisa
cacat untuk selama-lamanya. Tapi dia seorang manusia yang
punya perasaan malah masih muda mangkat kedewasaan

dengan tubuh kekar dan sehat, Dalam keadaan macam itu
untuk membendung dan menindas nafsu birahinya yang sudah
mulai menjalar ke seluruh urat syarafnya boleh dikata seperti
membendung air bah yang melanda datang,
Beginilah aliran darah panss itu terus meluber ke seluruh
sendi dan urat syarafnya malah terus bergelombang dari pusar
tiada hentinya, kesadaran pikiran mulai kabur, seluruh badan
sudah basah kuyup oleh keringat dingin.
Sekonyong-konyong, sebuah dengusan dingin yang keras
menyentak kesadarannya dari jurang kenistaan, sedikit
kesadaran ini cukup menarik kembali semangatnya yang
sudah kabur tadi, dengan tekun dan giat ia kerahkan
tenaganya untuk mengobati. Kini pikiran dan semangatnya
sudah sadar dan bening kembali. Gelombang hangat dari
pengerahan rawa murni dan tenaga panas berdebur semakin
keras berbondong merembes masuk ke badan Tan Hak-siau.
Tatkala itulah sebuah bayangan seiring dengan gelak
tawanya yang terloroh-loroh melesat datang secepat kilat tiba
diambang pintu gua, jelas bahwa Ko bok-im-hun telah
memutar balik lagi.
Begitu berdiri diambang pintu gua, lagi-lagi ia
perdengarkan serentetan gelak tawa panjang, ujarnya:
"Bagus, tontonan gratis, ck, ck, ck . . . Bocah ini, kematian
sudah di ambang pintu masih coba mengecap kenikmatan
Hehehehe . . ."
Pikiran Giok-liong sudah sadar seluruhnya, mendengar
ejekan ini tergetar sanubarinya, sungguh malu bukan buatan,
dalam hati ia membatin: "Tamat sudah. Kalau saat ini juga ia
turun tangan pasti hancurlah seluruhnya." Tapi dia tidak lantas
menghentikan saluran tenaganya dan menghentikan
pengobatannya, Malah ia kerahkan seluruh kemampuannya
supaya lebih cepat selesai.

Maka terlihatlah seluruh badannya mulai mengepulkan asap
putih, semakin lama semakin tebal bergulung-gulung bagai
awan menyelubungi seluruh badan mereka berdua.
Ko bok im-hun mendongak sambil bergelak tertawa:
"Buyung, kau kira dengan berbuat begitu lantas dapat
melindungi nyawamu ? ck ck, ck, Buyung, kalau kau tahu
gelagat, lekaslah serahkan saja . . ."
Pada saat-saat genting inilah sebuah bayangan merah
jingga berkelebat tiba diiringi suara ejekan yang nyaring
merdu berkata diluar sana: "Manusia macam setan seperti kau
ini, juga berani buka mulut besar, menyalak seperti anjing
galak yang minta gebuk !"
Ini adalah suara Hiat-ing Kongcu Ling Soat-yan.
Kiranya waktu Ling Soat-yan melihat adegan yang
dilakukan Giok liong atas tubuh Tan Hak-siu, disangkanya
Giok-liong sebagai pemuda mata keranjang yang
menggunakan kesempatan baik ini hendak memperkosa gadis
suci.
Sudah tentu ini merupakan pukulan lahir batin bagi Ling
Soat-yan, sebetulnya besar niatnya saat itu juga hendak turun
tangan menutuk mati Giok-liong, tapi saban-saban ia tidak
tega turun tangan. Akhirnya sambil menghela napas dengan
hati hancur ia tinggal pergi membawa Chiu ki.
Sepanjang jalan berlari-lari itu ia masih terus sesenggukan
dengan sedihnya. Sejak kecil Chiu-ki sudah ikut majikannya, ia
tahu akan watak nonanya ini, maka segera ia membujuk:
"Siocia, orang she Ma itu baru sembuh dari luka-lukanya,
sedang orang yang dijinjing masuk itu agaknya juga terluka
berat, Kalau mereka ditinggal didalam gua itu, bila Ki-kiat si
bangsat tua itu kembali bukankah celaka jiwa mereka."
Ling Soat-yan mendengus jengkel katanya penuh
kedongkolan: "Dia hidup atau mati bukan urusanku. Aku

sudah berjanji tidak mau melihat tampangnya lagi! selama
hidup ini tak sudi aku berjumpa dengan dia melirikpun aku
tidak sudi . . . "
Dalam berkata-kata ini air mata semakin deras mengalir,
kakipun masih beranjak dengan cepat laksana angin lalu,
sehingga rambut panjangnya yang terurai melambai-lambai,
keadaannya ini sungguh kasihan betul.
Chiu-ki sendiri juga merah kelopak matanya tergenang air
mata hampir menangis, Diulurkan tangan untuk menyingkap
rambutnya yang dihembus angin mudai msdil, kakinya sedikit
diperkencang terus berendeng dengan Ling Soat-yan, katanya
membujuk lagi: "Siocia, marilah kembali lagi melihat
keadaannya."
Sebetulnya Ling Soat-yan sudah menghentikan tangisnya,
mendengar bujukan halus ini tak terasa air mata meleleh
kembali, katanya: "Chiu-ki, kau tidak tahu apa yang sedang
dilakukan, kalau kau melihat dengan matamu sendiri, pasti
kau bisa mati saking jengkel !"
Chiu-ki rada melengak, lantas sambungnya: "Siocia,
menurut hemat hamba, Ma-siau-hiap bukan manusia macam
itu, Aku berani pastikan tentu kau salah lihat."
"Tidak mungkin, aku melihat sendiri dia sedang melucuti
pakaian perempuan itu, Lalu membuka pakaian sendiri juga . .
."
"Siocia, bukankah orang itu terluka parah ? Tadi waktu Ma
siau hiap menjinjing tubuhnya, kita kan sudah melihat jelas.
Dia tidak tahu dimana letak luka-luka itu, kemungkinan besar
Ma-siauhiap sedang memeriksa keadaan luka-lukanya."
"Tidak mungkin, Memeriksa luka! Mengapa harus melucuti
pakaian sendiri ? Apalagi orang itu adalah seorang gadis

remaja . . . . . " sampai disini tiba-tiba ia merandek. Lalu
mulutnya mengguman sendiri: "Apa mungkin perempuan itu
terserang bisa dingin yang sangat jahat lantas dia
menggunakan hawa murni dalam tubuhnya untuk mengobati .
. . hm, kalau sedemikian kasih sayang dia mau mengobati
perempuan lain, buat apa aku. . ."
Chiu ki segera menyanggah: "Nah siocia cara berpikirmu ini
terang berat sebelah. Bagaimana kalau jiwa orang itu sudah
di-ambang pintu kematian ? Apalagi sebelum ini Ma-siau-hiap
tidak tahu kalau dia seorang perempuan. Siocia, seumpama
kau menjadi dia, kau mau menolong atau tidak ?"
Kontan merah jengah selebar pipi Ling Soat yan, jengeknya
aleman: "Cis, aku tak sudi menolongnya."
"Siocia, marilah kira kembali melihat keadaan, kita harus
mencari tahu duduk perkara sebenarnya, Menurut kabarnya
cara pengobatan semacam ini paling menghabiskan semangat
dan tenaga. Malah tidak boleh mendapat gangguan dari luar.
Kalau Ki-kiat bangsat tua itu muncul kembali, kejadian akan
lebih parah lagi!"
Ling Soat-yan sudah memperlambat langkahnya, katanya
masih jengkel: "Ada apa yang perlu dikwatirkan ?"
"Sudah tentu Ma siau hiap terancam bahaya !"
"Kalau dia mati ada sangkut paut apa dengan aku ?"
Dari nangis Chiu-ki malah tertawa geli: "Kalau dia betulbetul
mati, hati hamba sendiri juga akan ikut bersedih, masa
siocia kau takkan bersedih hati !"
"Cis, budak binal, Baiklah aku turut permintaanmu, kita
kembali!" sebat sekali ia memutar tubuh terus berlari lebih
kencang kearah datang semula.

Di belakangnya Cbiu-ki mengulur lidah dan membuat muka
setan, godanya lirih: "NaH kembalinya kok berjalan begini
cepat!" tanpa ajal iapun percepat langkahnya.
Tempo dalam berlari kencang kembali ini sudah tentu lebih
cepat, baru saja mereka menembus hutan, dikejauhan sana
lantas terlihat sebuah bayangan kurus kering berkelebat
menghilang di balik batu besar itu.
"Celaka." seru Chiu-ki kaget, "Tua bangka renta itu betulbetul
datang kembali."
Ling Soat-yan lantas berpaling, ujarnya: "Chiu-ki kau
sembunyi dulu, bekerjalah melihat keadaan."
Habis ucapannya badannya lantas melenting maju secepat
anak panah lepas dari busurnya menubruk ke arah batu besar
itu. KebetuIan saat mana ko-bok-im-hun tengah bergelak
tawa hendak beranjak masuk ke-dalam gua.
Begitulah sambil mengerahkan hawa murni untuk
melindung badan, Ling Soat - yan menyambung obrolan
orang: "Manusia macam setan seperti kau ini juga berani
pentang bacot, menyalak seperti anjing galak yang minta
gebuk!" sembari berkata-kata ini halus seringan sutra
melambai lengan bajunya dikebutkan segulung angin halus
sepoi-sepoi menerpa keluar mengarah ke arah Ko-bon-im hun
Ki-kiat.
Ki-kiat menjadi terkejut, batinnya: "Kapan budak
perempuan ini mendesak tiba di belakangku mengapa
sedikitpun aku tidak merasa?" tengah ia berpikir ini, segulung
angin halus sudah menerjang tiba didepan dadanya. Segera ia
tertawa gelak-gelak, serunya: "Budak ayu jelita, Marilah kita
juga adakan pertunjukan macam itu," tahu-tahu badannya
bergerak berputar seperti gangsingan sembari mengisar
kesamping, dengan indah sekali ia hindarkan diri dari

seraagan angin kebutan ini, dalam kejap lain tahu-tahu
tubuhnya sudah berkisar dibalik batu besar sebelah sana.
Tahu-tahu sebuah bayangan merah jingga berkelebat
didepan mata, Ling Soat-yan yang mengenakan selendang
sutra semampai melambai-lambai itu sudah berdiri
dihadapannya sambil tersenyum menggiurkan jaraknya tidak
lebih delapan kaki.
Wajah ayu jelita berkulit putih itu kini bersemu merah,
sepasang mata yang indah dan bening kini memancarkan
sorot pandangan penuh nafsu membunuh.
Meskipun Ko bok-im-hun Ki-kiat seorang gembong iblis
yang suka membunuh manusia tanpa berkedip, tak urung
merasa gentar juga sanubarinya katanya dalam hati: "Agaknya
Lwekang budak perempuan ini sudah sempurna, Tapi sukar
dilihat dari aliran mana. Tapi apa pedulinya, Lo ji berada
disekitar ini segera bakal tiba kemari . .."
Ternyata semalam ia bertempur sengit melawan pemuda
baju kuning yang melawan dengan mati-matian, meskipun
lawan kecilnya dapat dilukai, tak urung dia sendiri juga terluka
parah, untung ditengah jalan ia bertemu dengan saudara
angkatnya kedua yaitu Ui-cwan-te-mo (iblis tanah dari akhirat)
Ciok Kun, setelah Iuka-Iukanya diobati sembuh mereka
berpencar mencari dan memeriksa sekitar pegunungan ini.
Kepandaian silat iblis tanah akhirat Ciok Kun benar hebat
luar biasa, dibanding dengan Ko-bok-im-hun (sukma
gentayangan dari kuburan) Ki-kiat entah berapa tingkat lebih
tinggi, Maka begitu teringat akan saudara angkat kedua itu
berada tak jauh dari tempat ini, legalah hatinya mendongak ke
atas ia terkekeh kekeh, serunya sinis: "Budak keciI,
bagaimana ? Marilah kita juga adakan pertunjukkan semacam
itu?"

Ling Soat-yan tertawa ringan mengunjuk kedua dekik didua
pipinya, serunya aleman: "Ki-kiat, nyawamu sudah hampir
tamat, orang yang sudah hampir masuk liang kubur, maka
nonamu ini juga tidak perlu main sungkan-sungkan lagi !"
Bercekat hati Ki-kiat, gelak tawanya semakin keras: "Budak
kecil, siapakah gurumu, sombong dan menyenangkan benar
kau ini, Lohu . . . ck, ck, ck, , . . " sebetulnya orang yang
kemarin malam beradu pukulan dengan dia bukan lain adalah
Ling Soat-yan namun agaknya Ki-kiat tidak tahu dan melihat
jelas waktu itu.
Ling Soat-yan unjuk senyum menggiurkan, ujarnya:
"Guruku bernama Giam-lo-ong, Aku diutus kemari untuk
mencabut nyawa iblis durjana seperti kau ini." baru lenyap
suaranya lemah gemulai badannya bergelak maju terus
menyerang.
Diam-diam Ko-bok-im-hun Ki-kiat terperanjat. Walaupun
wajah Ling Soat-yao menguIum senyum, berjalan gemulai
kearahnya sedikitpun tidak mengunjuk gaya hendak
menyerang, tapi sebetulnya sikapnya ini merupakan inisiatip
penyerangan yang mengikuti gerak perubahan musuh yang
hendak di serang, bagaimanapun polah gerak musuh akan
dapat diikuti dengan perubahan yang tidak kalah rumitnya
pula.
Maka begitu ia melihat cara gerak langkah Ling Soat-yan ini
lantas terasalah olehnya bahwa kanan kiri depan dan belakang
dirinya sudah tertutup rapat oleh kesiap siagaan orang, Selain
ia berlaku nekad menempur dengan mati-matian tiada jalan
lain untuk meloloskan diri. Tapi lantas terpikir pula olehnya:
"Budak kecil ini naga-naganya masih hijau, muda usia lagi
seumpama ia membekal kepandaian setinggi langit juga tentu
latihannya belum sempurna betul" karena pikirannya ini
berjangkitlah nyalinya kembali ia berkata, serunya: "Budak

kecil, siapa namamu ? Turut saja Lohu pulang kutanggung
selama hidup ini kau akan senang berfoya-foya."
Seringan kupu menari selangkah demi selangkah Ling Soatyan
maju mendekati mulutnya menyahut lincah: "Nonamu ini
bernama Ling Soat-yan, Kematian sudah di-depan matamu
masih berani kau bermulut kotor, sungguh menggelikan,"
mendadak langkah kakinya dipercepat, sekali berkelabat tahutahu
ia sudah melejit sampai dihadapan K.o-bok-im-hun.
Dinana lengannya diangkat berayun pelan-pelan terus
mengebut kearah muka Ki-Kiat.
Ki-kiat berjingkrak kaget, batinnya: "Terhitung jurus silat
dari aliran mana ini?" sembari berpikir sebat sekali tangan
kanannya juga diulur maju terus mencengkeram
kepergelangan tangan halus putih itu.
Baru saja tangannya terulur, mendadak bayangan merah
berkelebat didepan matanya puluhan angin kencang secepat
kilat berbareng menyerang keseluruh tempat-tempat penting
tubuhnya laksana gugur gunung dahsyatnya.
Jantung Ki-kiat serasa hendak melonjak keluar teriaknya
ketakutan: "Hiat-ing-bun . . ."
Lekas-lekas tangan kiri diayun keatas, selarik bara api
warna hijau meluncur tinggi ketengah angkasa.
Bertepatan dengan itu, suara tawa cekikikan terdengar
disamping telinganya.
"Nonamu ini memang bukan lain adalah Hiat-ing Kongcu!"
"Haaaaa. . .duh. . ." jerit ketakutan yang menyayatkan hati
terdengar keluar dari mulut Ko-bok-im-hun yang setengah
sekarat belum mampus. Bukan saja belum sempat ia
menggunakan ilmu Hian-si-im ou, sampai mengerahkan
tenaga untuk melindungi badansendiri juga tidak sempat lagi,

tahu-tahu dirinya sudah menjadi korban dari serangan Hiat-ing
Kongcu yang lihay.
Begitu bayangan orang terpencar, terdengar pula suara
tawa cekikikan, Air muka Ko-bok-im-hun berubah hijau pucat,
dengan langkah sempoyongan ia berusaha lari kedalam hutan.
Terlihat beberapa jalan darah penting ditubuhnya berbareng
mengucurkan darah segar.
Setelah menerjang maju beberapa langkah badan
bergoyang-goyang tubuhnya lantas tersungkur jatuh keatas
tanah, kakinya berkelejetan sebentar dilain saat ia sudah
mendaftarkan diri pada raja akhirat sebagai pendatang baru.
Wajah Hia -ing Kongcu mengunjuk senyum kepuasaan,
mendongak keatas ia memandang mercon api yang meledak
dan ber kembang warna hijau ditengah udara, Mulutnya
mengguman,Kemungkinan betul Pit-loh thian-mo atau Ut-ttte-
mo berada disekitar yang berdekatan sini. selamanya
Thian-lan sam-yau jarang beroperasi seorang diri.
Sejenak ia merenung lalu batinnya lagi: "Bila mereka
berdua datang bersamaan lalu bagaimana aku harus
menghadapi mereka?" sambil berpikir pelan-pelan kakinya
melangkah memutari batu besar itu terus melongok kedalam
gua.
Dilihat didalam sana penuh diliputi kabut putih yang tebal
bergulung-gulung sehingga badan Giok-liong dan gadis remaja
itu tidak kelihatan. Tapi dari kabut putih yang masih mengepul
terus itu menandakan dimana Giok-liong masih berada.
Tanpa merasa Ling Soat-yan tersenyum getir, katanya
menghibur diri: "Kiranya dia tengah menolong orang, Aku. . ."
hatinya menjadi sedih, air mata mengembang di kelopak
matanya.

Sekonyong-konyong diatas pegunungan yang sunyi ini
bergema suitan panjang yang berkumandang nyaring
menembus angkasa, Gema suitan itu semakin dekat dan terus
ku mandang di tengah udara, membuat pendengarannya
merasa merinding dan mengkirik.
Hiat-ing Kongcu Ling Soat yan melolos keluar selarik
selendang sutra sedikit pergelangan tangan menggertak
lendang sutra itu mulur memanjang berkembang lebar, tertua
ta panjang lima enam kaki, pelan-pelan lalu dilempitnya
kembali dan digubatkan dipergelangan tangannya, tangannya
yang halus membalut air matanya yang mengalir dipipinya
serta batinnya, "Ui cwan-te-mo Giok-Kun telah tiba!"
Benar juga tidak lama kemudian suitan itu berhenti,
sesosok bayangan kuning laksana kilat menyamber tahu-tahu
sudah meluncur turun diatas tanah sana, begitu tegak ia
berdiri tanpa mengeluarkan suara sedikitpun. Tempat
berdirinya itu tepat berada disisi mayat Ko-bok-im-hun Ki-kiat
adik angkatnya itu.
Tampak pendatang ini mengenakan kain kasar yang
terbuat dari kaci kotor, Rambut panjangnya itu penuh dihiasi
kertas uang sembahyang yang lazimnya dibakar setelah
sembahyang memperingati almarhum, Badannya tinggi kirakira
setombak lebih, kurus kecil bagai geater, seluruh kulitnya
berwarna kuning seperti sakit-sakitan dan yang terlebih aneh
lagi adalah sepasang matanya yang cekung dalam itu setiap
merem melek memancarkar sorot kektmingan yang berkilat
menakutkan seperti mata serigala yang buas.
Sekian lama ia berdiam diri berdiri disamping mayat Ko
bok-im hun, mendadak ia memutar badan menghadap kearah
batu besar, sedikit angkat tangan lalu katanya kaku: "Tokoh
kosen darimanakah yang berani membunuh adik angkatku ini,
Kukira setelah berani turun tangan tentu bukan seorang

pengecut yang beraninya sembunyi kepala mengunjukkan
ekor bukan?"
Suasana tetap sepi dibelakang batu besar tetap sunyi tanpa
ada reaksi.
Ui-cwan-te mo Ciok Kun mendengus hina, sambungnya
lagi: "Kalau tuan tidak mau keluar, apa perlu Lohu sendiri
yang harus menyilakan keluar?"
Suara cekikikan geli terdengar dari belakang batu besar.
Seiring dengan tawa cekikikan ini dari balik batu besar itu
gemulai berjalan keluar seorang gadis rupawan yang
mengenakan pakaian serba merah dengan sari jingga
melambai dipuncaknya.
Seketika Ui-cwan-te-mo melengak, diam-diam ia memuji
dalam hati: "Budak perempuan yang cakap jelita, tak mungkin
dia mampu membunuh Losam!" dalam hati ia merasa kagum,
tapi mulutnya bertanya dingin:" Budak kecil, apa kau yang
membunuh dia?" sembari tangannya menunjuk kearah
jenazah Ko-bok-im-hun.
Ling Soat-yan tersenyum menggiurkan, sahutnya:
"Kematiannya memang setimpal!"
Bercekat Ui cwe-te mo Ciok Kun mendengar jawaban ini,
katanya: "Kau dari perguruan mana? siapa nama gurumu ?"
Tanpa bersuara Ling Soat-yan melayang maju dengan
enteng, begitu bayangan merah berkelebat tahu-tahu ia sudah
melejit tiba di-hadapan Ciok Kun terpaut satu tombak.
Sedikit berubah raut muka Ciok Kun, tapi cepat sekali
lantas kembali seperti sedia tala, katanya: "Kau..... kau dari
aliran Hiat Ing-bun"
"Sungguh tajam pandangan Ciok-cianpwe!"
"Kau ini..."

"Hiat-ing Kong-cu Ling Soat-yan."
"Oh, jadi kau adalah Hiat ing cu punya..."
"Putri tungga Hiat ing cu!"
Tergetar hati Ciok Kun mendengar pengakuan terus terang
ini. Ketahuilah bahwa Hiat-ing-cu merupakan seorang tokoh
aneh yang kejam dan telengas lain dari yang lain. Tiada
seorang tokoh silat di Kangouw ini yang pernah melihat wajah
asIinya.
Dulu waktu ia menggetarkan dunia persilatan, yang muncul
dan terlihat oleh umum tak lain hanyalah berupa segulung
merah darah saja. Itulah pertanda bahwa latihan kepandaian
tunggal Hiat-ing-bun sudah mencapai puncak setinggi yang
sukar dijajaki. Menurut kabarnya bagi semua korban yang
mati dibawah tangan golongan Hiat-ing-bun, mayatnya pasti
tidak ketinggalan utuh lagi, tinggal segenang air darah melulu.
Mengingat akan ini, tanpa merasa Ciok-Kun mendadak
membuka mulut tertawa gelak-gelak dingin mendirikan dulu
roma, katanya menyeringai: "Sudah tentu kepandaianmu
sangat tinggi. Tapi belum pasti kau merupakan salah seorang
kerabat dari Hiat-ing-bun itu."
Ling Soat-yan tersenyum manis, katanya memandang
kearah mayat Ko-bok-im-him: "Baik, biar aku membuktikan
siapa aku sebenarnya." habis ucapannya lantas terlihat sari
panjang yang menggubat di badannya itu melambai-lambai
tanpa terhembus angin, bergelombang semakin keras, pelanpelan
dari atas badannya menguap kabut warna merah
berkilau.
Terdengar Ling Soat-yan tertawa nyaring badannya
berubah segulung bayangan merah terus melesat di tengah
udara dengan kecepatan yang susah diukur terus menukik
turun menubruk kearah mayat Ko-bok-im-hun.

Tokoh macam apakah iblis tanah akherat ini ? Bukan lain
adalah gembong persilatan yang sudah malang melintang
pada puluhan tahun yang lalu, kakinya sudah menjelajah
seluruh dunia tanpa mengenal apa yang dinamakan kebaikan,
Melihat tindak tanduk Ling Soat-yan yang bakal tidak
menguntungkan jenazah saudara mudanya.
Mulutnya terus berpekik panjang seluruh tubuhnya
mendadak menguapkan kabut kuning yang bergulung seperti
air mendidih dalam kuali, Tubuhnya yang kurus tinggi itu
memperdengarkan suara keretakan panjang seperti petasan,
lambat laun berubah menjadi ungu gelap. Dimana kakinya
menjejak sambil terus berpekik panjang itu badannya
melenting mengejar kearah Ling Soat-yan.
Sayang langkahnya terlambat setindak. Tampak bayangan
merah itu laksana kilai menyamber dari tengah angkasa terus
menubruk keatas mayat Ko-bok-im-bun. Begitu kena terus
merembes masuk sirna didalam badan Ko bok-im-hun.
Hampir pecah dada iblis tanah akhirat saking marah
bercampur sedih. Dengan pekikan panjang yang menusuk
telinga itu mendadak kedua tangannya bergerak cepat
bersamaan dua gulung badai angin warna antara kuning dan
ungu langsung menerpa kearah mayat Ko bok im-hun juga
sedemikian dahsyat terjangan angin pukulan ini laksana gugur
gunng.
Sebab dia insyaf kalau lambat sedikit tentu habis sudah
nasib mayat saudara mudanya itu.
Angin pukulan membadai ini menderu hebat berputar
berguIung-guIung laksana angin lesus Baru saja badai angin
warna kuning ungu ini menerpa datang hampir menyentuh
tanah, sesosok bayangan merah langsing mendadak melejit
tinggi terus melayang kesamping mengikuti dorongan angin.

Waktu ditegasi mayat Ko bok-im hun itu kini sudah hilang
berubah segenang air darah yang berceceran diatas tanah
membasahi pakaian kosong yang masih ketinggalan.
Iblis tanah akhirat Ciok Kun menjerit pedih, kedua
tangannya bergerak bersilang, badannya sekarang berubah
warna merah ungu seluruhnya, terbungkus oleh gulungan
kabut dingin yang berkilauan terus menubruk kearah
bayangan merah darah yang lebih menyolok dan tebal dari
semula itu, setelah melayang kesamping begitu menginjak
tanah bayangan merah yang semakin menyala ini laksana
bintang meteor langsung memapak maju kearah iblis akhirat
yang menyerang datang ini.
Iblis tanah akhirat tahu akan kelihayan Hiai-ing-kang
musuh, terutama setelah menyedot darah segar korbannya,
kekuatan bertambah berlipat ganda terbukti dari warnanya
yang semakin merah dan menyala itu.
Saking murka dan sedih, Ciok Kun menjadi nekad,
bentaknya garang : "Cari mati!" kontan Hian-si im-ou
dikerahkan sampai puncak tertinggi, sinar merah ungu lantas
memancar keluar angin badai yang dingin terus berkembang.
Perbawa ilmu yang dilancarkan ini jauh berbeda dengan
yang pernah dilancarkan Ko-bok-im-bun tempo hari,
keadaannya lebih seram dan menakjubkan.
Bayangan merah darah itu bergerak tanpa membawa suara
sedikitpun. Agaknya bayangan merah ini cukup cerdik, ia tidak
mau bertanding berhadapan mengadu kekuatan, selincah
kupu menari diantara rumpun bunga bayangan ini selulup
timbul melayang kesana berkelebat kesini, selalu mencari
lubang kelemahan terus menempel kearah badan Ciok Kun.
Naga-naganya Ciok Kun memang takut juga bersentuhan
secara berhadapan, cara turun tangannya juga lantas tidak
mengenal kasihan lagi angin badai yang dingin membeku

badan terus berseliweran membawa kabut gelap, sementara
waktu kedua belah pihak sama kuat bertahan.
Dalam pada itu, Giok-liong tengah mengarahkan hawa
murninya yang terakhir dalam usahanya menolong jiwa Tan
Hak-siau, hawa murni dalam pusarnya sudah hampir terkuras
habis melalui pori-pori kulitnya terus merembes masuk
kebadan pemuda baju kuning.
Sang waktu terus berjalan detik demi detik, keringat diatas
badan Giok liong terus tercurah membasahi seluruh tubuh
seperti kehujanan, cahaya air mukanya juga semakin guram.
Tan Hak siau yang tertindih dibawah badannya itu masih
tetap celentang kaku tanpa bergerak seolah-olah jiwa sudah
melayang, Hati Giok-liong menjadi gelisah dan gundah
kemampuannya sudah dikerahkan sampai titik tertinggi,
keadaan badannya sudah capek kehabisan tenaga.
Kalau keadaan seperti ini masih terus bertahan lagi
seperminuman teh bukan mustahil Giok-liong sendiri bisa
mampus saking lemas.
Sekarang badannya mulai mendingin seperti es, sulit untuk
bertahan lebih lama lagi. Tapi ia masih kertak gigi
mengerahkan sisa tenaganya supaya hawa murninya terus
menerobos dan bekerja bergelombang seputaran dalam badan
Tan Hak-siau.
Sekonyong-konyong ia rasakan Tau Hak-siau yang tertindih
di bawah itu bergerak-gerak, keruan girang bukan main
hatinya. Tapi menyusul itu ia rasakan kepalanya pusing tujuh
keliling pandangannya menjadi gelap, hawa murni sudah luber
seluruhnya, badannya menjadi dingin membeku, tak tertahan
lagi ia terus menggelinding jatuh ke samping.
Tepat pada saat itulah Tan Hak-siau mulai siuman, pelanpelan
ia membuka matanya yang bening cemerlang, pelan
pelan ia mengulet dengan bernafsu, Tapi baru bergerak

setengah saja ia lantas merandek kesima, mendadak ia
menjerit kaget: "Ah, ini. . ."
Waktu ia menunduk seketika merah jengah seluruh
wajahnya cepat-cepat disambernya pakaian yang terletak
disampingnya untuk menutupi badannya, terus bergegas
loncat berdiri serta mundur sejauh lima kaki.
Mata yang bening indah itu seketika mengembang air mata
terus meleleh kedua pipinya, Kini iapun sudah melihat Giok
liong yang rebah tengkurep diatas tanah dengan telanjang
bulat pula bermuka pucat pias laksana kertas.
Timbul rasa curiga dan heran dalam sanubarinya, lantas
disusul perasaan marah membakar hatinya geramnya
mendesis sambil mengertak gigi: "Kiranya kau tak lain
binatang rendah yang tidak tahu malu. Terhitung aku Tan
Soat-kiau salah menilai orang, sehingga aku terluka parah
ditangan Ko-bok-im hun karena kau. Siapa nyana air mata
membanjir semakin deras, cepat cepat dikenakan pakaian
sendiri.
Sebetulnya Giok liong, hanya dalam keadaan sadar tak
sadar, Kupingnya masin bisa mendengar suara Tan Hak siau
tapi seolah-olah diucapkan dari tempat yang jauh sekali. Tahu
dia, karena dirinya terlalu membuang tenaga sehingga hawa
murninya kena cidera, asal bisa istirahat beberapa hari pasti
kesehatannya bisa lekas pulih, Besar niatnya bangkit berdiri
memberi penjelasan, tapi hakekatnya ia sendiri bergerak saja
tidak bisa.
Setelah mengenakan pakaiannya, sekian lama Tan Soatkiau
menatap wajah Giok-liong. Mendadak seperti kesurupan
setan ia menggembor terus menangis gerung-gerung,
mulutnya mengigau: "Aku benci, aku benci. Akan kubunuh
Kau, bunuh kau .. . ." terus diangkatnya badan Giok-liong,
beruntun tangannya bergerak "plak-plok " puluhan kali ia

tampar muka Giok-liong keras, darah segar mengalir dari
ujung mulutnya. Kedua pipinya bengap merah seperti bakpao.
Dengan sulit Giok-hong coba berkata: "Aku . .." lantas jatuh
pingsan.
(BERSAMBUNG JILID KE 9)
Jilid 09
Tan Soat-kiau seperti kehilangan kesadaran mulutnya
mengguman seperti orang gila: "Hantam, kuhantam mampus
manusia rendah melebihi binatang ini , . . " air matanya
mengalir dengan deras, demikian juga kedua tangannya itu
masih terus bekerja bergantian sehingga seluruh muka Giokliong
benjal benjol, sekarang mata dan hidungnya juga
melelehkan darah segar, setelah sekian lama melampiaskan
kedongkolan hatinya dengan memukul secara membabi buta
itu, akhirnya Tan Soat Kiau berhenti kelelahan, dengan cerrott
ia awasi muka Giok-liong yang matang biru itu, tanpa merasa
ia sesenggukan lagi dengan sedih. Dengan penuh rasa sesal ia
amati sepasang tangannya yang halus memerah itu, tetesan
air mata menitik jatuh ditelapak tanganaya. Lalu diloloskannya
keluar sapu tangan untuk membalut air mata. selanjutnya ia
pandang kepala Giok-liong dengan hati-hati dan teliti ia
membersihkan noda darah yang mengotori muka Giok-liong.
Mulutnya masih menggumam lagi sambil sesenggukan:
"Aku bila .. . bisa . . . membunuhmu . . . lalu , . . aku juga
bunuh diri , . , biarlah kita berdampingan di akhirat. . ."
setelah membersihkan darah dimuka Giok-liong ia membalut
lagi air mata dipipinya, pelan-pelan tangan kanan diangkat
jarinya mengarah tepat ke Bing-bun hiat Giok-liong, lalu pelanpelan
diturunkan menotok kebawah.. jelas kelihaian dari
telunjuknya yang terjulur keluar itu gemetar hebat, ini
menandakan betapa haru dan sedih hatinya, semakin dekat
ketubuh Giok-liong getaran jari itu semakin hebat, siapapun
takkan mau percaya bahwa jari halus yang putih indah itu

bakal dapat mencabut nyawa seseorang. Tapi kenyataan akan
membuktikan bahwa jari halus kecil ramping itu akan
mencabut nyawa Giok-liong ini tinggal tunggu waktu saja.
Begitulah tutukan jari itu sudah semakin dekat tinggal satu
kaki, setengah kaki sekarang tinggal beberapa senti lagi. Asal
jari telunjuk itu menyentuh punggung Giok-liong, kiranya
cukup mengorbankan nyawa Giok-liong sebagai pelampiasan
dendam hatinya.
Tepat pada saat itulah, sekonyong-konyong terdengar
sebuah bentakan ringan nyaring dari mulut gua: "Tahan!"
Tanpa merasa Tan Soat-kiau merandek menghentikan
gerakannya, Hati kecilnya tengah berperang secara kontras,
Bunuh atau tidak, dua pikiran ini tengah berkecamuk dalam
sanubarinya.
Diambang pintu gua melayang masuk sesosok bayangan
gadis yang mengenakan pakaian serba merah dengan
mengenakan sari panjang merah jingga yang membelit
dipundak dan badannya, sambil tersenyum manis gadis
pendatang ini langsung menuju ke arah Giok-liong dan
bertanya: "Kau hendak membunuhnya ?"
Seketika merah jengah selebar muka Tan Soat kiau tersipusipu
diraihnya pakaian Giok liong terus ditutupkan keatas
badannya sahutnya dengan hampa: "Ya."
"Kenapa ?"
"Dia .. dia . . , siapa kau ? ini urusan ku sendiri orang lain
tidak perlu turut campur !" pipinya yang halus bertemu merah
lagi, tak kuasa ia memberi penjelasan.
Gadis itu tersenyum manis, katanya penuh jenaka: "Aku
bernama Chiu ki, aku datang ikut siocia kemari, malam itu
kami merebutnya . , . " bicara sampai disini ia menunjuk GiokTIRAIKASIH
WEBSITE http://kangzusi.com/
liong lalu sambungnya lagi: "Merebutnya dari tangan Ko-bokim-
hun serta mengobatinya."
Tan Soat-kiau berseru kejut, tapi telunjuknya masih
mengarah ke punggung Giok-liong, katanya: "Tua bangka Kikiat
yang kejam telengas itu . . ."
Chiu-ki tersenyum riang, ujarnya: "setelah bertempur
dengan nona Tan, kedua belah pihak sama menderita luka
parah, Tapi untung ia bersua dengan saudara angkatnya
kedua bernama Ciok Kun serta menolongnya, sekarang lukalukanya
sudah sembuh !"
"Oh," keluh Tan Soat-kiau, mulutnya menggumam:
"Lukanya sudah sembuh, lalu lukaku . . ."
Chiu-ki segera menyambung: "Untung nona ketemu oleh
Ma-siau-hiap, Dengan berkorban ia berusaha menyembuhkan
luka-Iukamu."
Tergetar seluruh badan Tan Soat-kiau, tangannya menjadi
lemas Iunglai, air mata mengalir deras lagi, katanya tergagap:
"Tapi, dia. . . dia tidak mengenakan pakaian . .. . . dia. ."
Kata Chiu-ki lagi menjelaskan: "seumpama tidak pantas dia
melucuti seluruh pakaianmu. Tapi situasi yang mendesak demi
menolong nyawa nona yang sudah diambang pintu kematian
itu, Selain berbuat demikian tiada lain cara lagi, kalau tidak
tentu nona . . ."
Tan Soat-kiau memalingkan muka, air mata berderai
bercucuran, katanya penuh tekad: "Aku rela mati dari pada . .
. " sedikit matanya melirik dilihatnya mulut dan hidung Giokliong
melelehkan darah kembali, pipi yang bengap, dan mata
yang biru membuat hatinya terketuk dan tidak tega tak
tertahan lagi ia menangis pula sesenggukan, Chiu-ki menghela
napas, bujuknya: "Nona Tan kesehatanmu lebih penting,
sudah jangan nangis."

Sambil sesenggukan Tan Soat-kiau mengertak gigi, katanya
: "Semua ini gara-gara kesalahan Ki-kiat bangsat tua itu,
jikalau nonamu ini tidak menghancur leburkan. . ."
"Ko-bok-im-hun sudah mati !"
"Apa ? Siapa yang membunuh dia ?"
"Nona majikanku Ling Soat-yan!"
"Dimana nona Ling ?"
"Diluar sedang bergebrak dengan musuh ?"
"Siapa ?"
"Iblis tanah akherat Ciok Kun !"
"Ha, dia, mari lekas kita keluar . . . "
"Untuk sementara siocia masih kuat bertahan, hanya dia ini
. . . " katanya menunjuk kepala Giok-liong lalu sambungnya
lagi: "Mungkin dia tidak kuat bertahan lama."
Tan Soat-kiau menjadi pilu, batinnya: "Untuk aku dia
mengerahkan seluruh tenaga dan menguras habis hawa
murninya untuk mengobati luka-Iukaku, tapi aku masih tega
melukai dia sedemikian rupa . . ."
"Lekaslah." bujuk Chiu-ki lagi: "Meski pun Thian lam-samyau
sudah mati seorang tapi dua yang lain lebih lihay, nona
Tan harus segera berusaha mengobati luka-luka Ma-siau hiap
untuk menjaga segala kemungkinan ! lalu dirogohnya keluar
dua butir pil warna biru diserahkan kepada Tan Soat-kiau
serta katanya lagi: "Biarlah aku keluar dulu, tak peduli apa
yang terjadi diIuar, lebih penting kau mengobati luka-luka Masiau-
hiap dulu." habis berkata lantas ia berkelebat keluar gua.
Setelah Chiu-ki menghilang di luar gua, teringat akan Giokliong
rela berkorban demi menolong dirinya, seketika timbul

rasa kasih dalam benaknya, tak terasa selebar mukanya
menjadi merah jengah, batinnya: "Kiranya cukup baik juga dia
padaku." lalu ia maju mendekat serta memayang badan Giokliong
dengan teliti penuh kasih sayang ia membersihkan noda
darah dan kotoran di atas tubuhnya.
Meskipun ia merasa malu sampai mukanya terasa merah
panas, tapi dia masih bekerja membersihkan seluruh tubuh
yang kotor itu sambil menundukkan kepala, Serelah bersih
baru dikenakan pakaiannya, siapa bilang hatinya tidak bahagia
?
Setelah semua sudah selesai, kedua butir pil biru
diendusnya di dekat hidung, kiranya memang obat yang baik
dan mujarab, pelan-pelan dipentangkan mulut Giok-liong lalu
dijejalkan masuk.
Dengan jarak yang rada dekat ini baru dia melihat lebih
jelas, bahwa muka Giok-liong benjal benjol kena pukulannya
sampai bibir pecah-pecah, pipi sembab dan mata melepuh.
Dua titik air mata mengalir lagi dari kelopak matanya.
pelan-pelan ia mengelus-ngelus pipi Giok-liong, gumannya:
"Siapa suruh kau begitu goblok tidak mau bicara dulu dengan
aku. Ai!" Dari dalam bajunya dikeluarkan tiga butir obat terus
diremuk menjadi babuk lalu dipoleskan keluka-luka dimuka
Giok-liong, setelah itu ia panjang Giok-liong bergaya duduk
mulailah ia mengerahkan tenaga sendiri untuk memberikan
pertolongan.
Sebetulnya pertempuran diluar gua saat itu sudah
mencapai puncak yang hampir menentukan. Memang
kepandaian silat iblis tanah akhirat hebat luar biasa, sekuat
tenaga ia kembangkan ilmu Hiat-si-im-ou, setiap kali
menggerakkan tangan atau angkat kaki, kabut tantas
bergulung gulung disertai angin dingin menderu-deru tajam
laksana sebuah pisau mengiris kulit. Bukan saja ia sudah
membendung tiga kaki bundar sekitar tubuhnya dengan rapat,

malah serangan balasannya juga dilancarkan semakin sengit
dan gencar, Hiat si-im-ou terus memberondong bagai amukan
gelombang samudera raya, berlapis-lapis sambung
menyambung.
Keadaan Hiat ing Kongcu (putri bayangan darah) rada
payah ia tak mau adu kekuatan secara langsung, mengandal
kesebatan gerak tubuhnya bayangan darah melayang dan
berkelebat lincah sekali, setiap kali ada lubang kelemahan
meskipun hanya sekejap saja cukup sebagai peluang untuk
melancarkan serangan gerak kilat.
Tapi bagi orang yang berpengalaman sekali pandang saja
lantas dapat tahu, bahwa keadaannya sudah rada banyak
membela diri dari pada balas menyerang, keadaannya ini
memang sangat berbahaya.
Sang waktu terus berlalu terasa Hiat-ing Kongcu sudah
semakin lemah. Bayangan merah darah yang menyolok itu kini
semakin guram dan luntur, ini menandakan bahwa ia sudah
kecapean kehabisan tenaga, tak kuat bertahan lama lagi.
Iblis tanah akhirat mempergencar serangannya, saking
puas ia terloroh loroh bangga, serunya: "Budak ayu, terhitung
Lohu hari ini sudah berhadapan langsung dengan Hiat ing-bun
kalian!"
Sekonyong-konyong bayangan darah berkelebat
melambung ketengah udara, kedua telapak tangan bertepuk
nyaring, muncullah bayangan asli dari bentuk rupa Ling Soatyan.
Tampak wajahnya pucat badannya sudah basah kuyup oleh
keringat, napasnya juga sudah memburu. Diiringi angin badai
yang gemuruh dengan seluruh sisa kekuatannya ia menubruk
turun dari atas seraya hirdiknya: "Biarpun hari ini harus kalah
melawan kau, jangan sekali kau bertemu dengan ayahku. . ."

Gesit sekali CiokKun berkelebat kesamping menghindar diri
sembari mengulur cengkeraman tangannya terus menjojoh ke
dada Ling Soat yan, jengeknya tertawa: "Lohu akan menutuk
jalan darah perasa besar lalu kubawa pulang untuk
bersenang-senang. setelah puas lalu kututuk lagi Khi-hay hiat
dan kupecahkan kantong suaramu, kuserahkan kepada anak
buahku supaya menikmati bentuk tubuhmu yang menggiurkan
ini secara bergiliran, seumpama Hiat-ing-cu sendiri datang,
juga takkan tahu bahwa kau terjatuh ditanganku."
Berubah hebat air muka Ling Soat-yan, jari-jari tangannya
digerak tutupkan seperti menggunting sesuatu terus
dikebutkan ke arah cengkeraman Ciok Kun yang mengarah
dadanya, bentaknya dengan murka: "Bangkotan tua tidau
tahu malu. Dunia persilatan dikotori sampah persilatan macam
kau ini, Kalau nonamu hari ini tidak membunuhmu,
bersumpah...."
"Blang," benturan keras sekali dari adu kekuatan mereka
berdua, Terdengar Ciok-Kun semakin tertawa riang.
sementara putri bayangan darah terhuyung mundur tiga
langkah, Ciok Kun melejit lagi sambil lancarkan tutukan
mengarah jalan darah Thian-ti-hiat.
Tepat pada saat itulah ditengah alas pegunungan yang
sunyi lengang itu terdengar suitan panjang yang
berkumandang, Sedemikian tinggi suitan ini sampai menusuk
telinga, membuat pendengarannya merinding dan merasa
seram.
Begitu mendengar suitan ini seketika Ciok Kun
menghentikan aksinya, wajahnya menunjukkan rasa girang,
mulutnya masih terloroh-loroh tak henti-hentinya.

Sebaliknya putri bayangan darah Ling Soat-yan semakin
pucat pjkirnya: "Celaka, habis sudah. Tertua dari Thian-lam
sam-yau Pit-loh-thian-mo Kiau Pwe juga sudah datang."
Ma Giok liong berdua entah sampai kapan baru saja
sembuh seluruhnya seumpama sembuh juga percuma tentu
tidak kuat melawan gabungan mereka dua saudara. . ."
Ling Soat-yan tahu bahwa kepandaian Pit-loh-thian mo ini
pada ratusan tahun yang lalu sudah mencapai kesempurnaan
apalagi setelah giat berlatih sekian lama lagi, maka dapatlah
dibayangkan sampai dimana tingkat kepandaiannya. . ."
Kalau kepandaian silat Ciok Kun dibanding dengan
saudaranya tua ini, entah terpaut berapa jauhnya. sekarang
menghadapi Ciok Kun seorang saja dirinya tidak mampu
apalagi menghadapi Pik-thian-mo Kiau-Pwe.
Suasana dalam gua dibelakang batu besar itu tetap sunyi
senyap tanpa terdengar suara.
Tatkala itu iblis tanah akhirat Ciok Kun lebih mempergencar
serangannya dengan di landasi Hian-si-im-ou, angin dingin
menderu deru, bayangan pukulan tangan setajam golok terus
memberondong ke arah putri bayangan darah Ling Soat-yan.
Dalam keadaan serba runyam dan kepepet ini tergetar
sanubari Ling Soat yan akhirnya ia berlaku nekad, hardiknya:
"Kubunuh dulu kau . . ." lemah gemulai pinggang meliuk-liuk
seperti menari, awan merah mulai mengembang
menyelubungi badannya, tangan yang putih halus itu beruntun
digerakkan, kekuatan hawa merah darah seketika melambung
memenuhi udara samberan angin kencang berseliweran saling
berlomba melesat maju memapak kearah musuh.
Sesaat sebelum pukulan kedua belah pihak saling beradu
terdengar suara kekeh dingin ditengah gelanggang, "Budak
perempuan, takabur benar kau ya !" timbul angin Hsi-s yang
bawa kelebat bayangan biru lalu disusul terdengar "Bum" yang

keras memekak telinga, seketika bayangan orang terpental
mundur. Kini ditengah gelanggang tahu-tahu sudah
bertambah seorang tua berambut uban mengenakan jubah
panjang warna biru bermuka merah bertubuh tambun pendek.
Air muka putri bayangan darah Ling Soat-yan semakin
pucat, badannya terhuyung bergoyang gontai hampir roboh,
mulutnya menguak lantas menyemburkan darah segar,
Agaknya iblis tanah akhirat sangat menghormati dan takut
terhadap saudara tuanya ini cepat ia unjuk soja dan maju
menyapa: "Toako, bocah she Ma itu sekarang sudan terluka
berat sedang berobat didalam gua itu l" lalu ditunjuknya gua
di belakang batu besar.
Pit-toh tbian-mo sedikit manggut sebagai jawaban, lalu
katanya: "Biarlah aku melihatnya kesana !" enteng sekali
tanpa melihat kakinya bergerak tahu-tahu badannya berubah
segulung bayangan biru sudah meluncur kearah belakang batu
besar itu.
Melihat ini saking gelisah tanpa hiraukan luka-luka dirinya
lagi segera Ling Soat-yan membentak: "Berdiri. ."
Tapi bertepatan dengan itu iblis tanah akhirat Ciok Kuo
juga lantas terkekeh-kekeh sedikit menggerakkan badan tahutahu
ia sudah merangsak dekat terus mengulur tangan
mencengkram ke dada orang, jengeknya: "Bocah ayu,
menikah saja menjadi istriku. Kutanggang selama hidup ini
kau dapat senang sekali !"
Sungguh malu dan geram putri bayangan darah bukan
kepalang, sedikit membuka mulut ia menyemburkan darah
lagi, tapi ia tidak berhenti bergerak, beruntun tangannya
digerak silangkan, dengan mengembeng air mata ia
membentak nyaring: "iblis tua, biarlah aku adu jiwa" laksana
kilat bayangan merah mengembara berubah bayangan darah
terus menerjang maju dengan nekad.

Baru saja Pit-loh-thian mo sampai diambang pintu gua,
sekonyong-konyong terasa angin menungkrup tiba dari atas
kepalanya, Bersama itu beberapa jalur angin tajam yang
mendesis disertai bayangan merah dari sosok tubuh langsing
telah menubruk kearah dirinya.
Kiau Pwe terbahak-bahak, tangan kanan dikiblatkan
kebelakang menerbitkan gelombang angin dingin yang
bergulung-gulung seperti ombak, sementara itu tubuhnya
masih terus meluncur cepat laksana anak panah memutar
kebelakang batu besar dan melesat masuk kedalam gua
"Blang. . aduh . . ," terjadilah benturan keras diselingi pekik
nyitim". Tahu-tahu Chiu-ki terpental jungkir balik seperti bola
menggelinding sejauh tiga tombak, mulutnya lantas
menyemburkan darah segar. "Plak terbanting keras di tanah.
Begitu Pit-Iah thian-mo memasuki gua, terlihat olehnya
seorang gadis mengenakan jubah panjang warna kuning
sebagai seorang satrawan umumnya tengah mengerahkan
tenaga berusaha menolong menyembuhkan seorang pemuda
berpakaian putih didepannya.
Diatas kepala kedua orang itu sudah mengepulkan uap, ini
menandakan bahwa semadi mereka sudah mencapai puncak
yang paling gawat, sekarang asal mendapat ganguan ringan
saja dari luar pasti celakalah jiwa kedua orang ini, paling tidak
juga luka berat.
Kiau Pwe tertawa ejek, batinnya: "Pemuda baju putih ini
mungkin dikabarkan bernama Ma Giok liong itu !" karena
pikirannya ini langkah kakinya malah diperlambat terus maju
mendekat sambil mendekat ini tak urung wajahnya
menampilkan rasa kaget dan heran, matinya lantas berpikir
lebih jauh: "Bakat bocah ini benar-benar susah dicari selama
ratusan tahun terakhir ini, jika aku bisa membujuknya menjadi
murid tunggalku, itu bagus benar" sambil berpikir ini matanya

lantas mengerling kearah Giok-liong, seketika ia melonjak
kaget.
Ternyata raut muka Giok liong yang pucat seperti kertas
itu, saat mana mendadak berubah menjadi merah padam, lalu
lambat laun berubah menjadi putih lalu bersemu merah lagi,
ini pertanda sebagai seorang tokoh silat yang mempunyai
dasar latihan Lwekang yang tinggi dan ampuh tengah terluka
berat dan luka-lukanya itu sudah hampir dapat disembuhkan.
Sangat kokoh berat dasar latihan Lwekang bocah ini. Tapi
bagi penilaian Pit-lo-thian-mo, tingkat latihan Lwekang Giokliong
sudah tentu tidak masuk dalam hitungan perhatiannya.
Supaya tidak mengulur waktu terlalu lama, seenaknya saja
Kiau Pwe lantas angkat jarinya menutuk tepat pada saat air
muka Giok liong belum pulih menjadi sedia kala, sedang
lukanya jaga sudah dalam taraf penyembuhan ini. ditutuknya
dua jalur angin dingin dan lemas. masing-masing meluncur
mengarah kearah Giok-liong dan Tan Soat-kiau.
Siapa tahu baru saja tutukan angin jarinya menyamber
keluar, lantas terbit segulung angin sepoi-sepoi yang aneh
menggulung tiba, seketika angin tutukan jarinya itu lantas
sirna tanpa bekas !
Keruan hatinya terperanjat, dengusnya dingin, "siapakah
yang malu sembunyi ditempat gelap?"
Lwekang lantas dikerahkan terpusat dikedua lengannya,
dengan cermat ia mendengar dan meneliti keadaan sekitarnya
dalam gua itu. Tapi keadaan gua lebih dalam sana -sunyi
senyap tanpa ada suatu suarapun.
Pada saat itulah Giok-liong bersama Tan Soat-kiau
berbareng membuka matanya, terbayang akan keadaan
telanjang bulat tadi seketika merah jengah selebar mukanya

sambil menunduk segera ia memberi soji serta katanya
tergagap: "Aku . . . aku. . . kalau perbuatanku tadi
menyakitkan kau harap. . ."
Giok-liong tersenyum, sahutnya: "Yang sudah lalu biarlah
sudah, bukankah nona juga telah menolong jiwaku !"
Mendengar pertanyaan Giok-liong ini otak Tan Soat-kiau
serasa dipukul godam, tak terasa air mata meleleh deras,
katanya lirih: "Ya ... yang sudah lewat.... biarlah lalu."
Melihat sikap orang ini Giok liong menjadi heran, tanyanya
dengan lemah lembut:
"Nona Tan kenapakah kau. . ." mana dia tahu sebagai
seorang gadis remaja yang masih suci bersih betapa tinggi
harga dirinya, jangan kata begitu seenaknya badannya
disentuh malah berdempetan mengobati luka dengan
telanjang bulat lagi, seumpama dilirik orang juga sudah
merupakan pengorbanan besar.
Air mata semakin deras mengalir namun Tan Soat-kiau
berusaha mengendalikan perasaannya, katanya lagi tergagap
sambil sesunggukan: "Aku. . . aku baik . . . .ti. . . ..tidak apaapa
.., . "
Sedemikian tekun mereka bicara sehingga tidak menyadari
akan kehadiran Pit-lo-thian-mo tak lebih tiga tombak jauhnya
dari samping mereka, Melihat keadaan kedua muda mudi ini
Pit-lo-thian-mo sendiri juga ikut dibuat heran dan hampa.
Seolah-olah ia tenggelam dalam kenangan lama yang
mengetuk sanubarinya.
Sekonyong-konyong raut mukanya bergetar, bentaknya
dingin: "Buyung, kau ini yang bernama Ma Giok-liong ?"
Giok-liong berjingkat kaget, sinar matanya berkilat, begitu
angkat kepala lantas ia memberi soja, sahutnya: "Ya, benar,
siapakah tuan ini ?"

Perasaan Tan Soat-kian saat mana benar-benar pahit getir
dan mendelu, perlahan-lahan ia mengangkat kepala,
mendadak ia berseru kaget: "Kau. . . bukankah Pit-lo-thian-mo
Kiau Pwe Kiau-lo cianpwe."
Kiau Pwe terbahak-bahak, sahutnya: "Tajam benar
matamu, ternyata masih kenal wajah asliku semasa masih
muda dulu."
Sedapat mungkin Tan Soat-kian kendalikan rasa pedih
hatinya, katanya lembut: "Kedatangan Kiau lo-cianpwe ini
entah ada keperluan apakah ?"
Sekilas Kiau Pwe melirik kearah Giok-liong, sahutnya
lantang: "Untuk minta seruling sambar nyawa milik bocah ini
!"
Tan Soat-kiau melengak.
Tapi Giok-liong malah tersenyum geli, katanya: "Cian-pwe
sudah terlambat setindak !"
"Apa ? Masa . . . "
"Ya. seruling itu sudah terjatuh ketangan orang lain."
"Siapa?"
"Adik angkat Cian-pwe sendiri, yaitu Ko-bok-im-hun Ki-kiat!
"
"Apakah benar kata-katamu ini?"
"Sudah tentu benar."
"Buyung, mari kalian ikut aku."
"Wanpwe masih banyak urusan yang perlu segera
diselesaikan, harap maaf tidak dapat memenuhi permintaan
Cian-pwe."
"Hah, berani kau membangkang akan ke hendakku!""

"Selamanya Wanpwe tidak pernah membangkang terhadap
siapapun."
"Hm, Lohu ingin menerima kau sebagai murid tunggalku,
seluruh kepandaianku kuturunkan kepadamu . . . ."
"Wanpwe tidak ingin menjadi murid Cianpwe,"
"Bocah sombong akan Lohu lihat sampai dimana akan
kemampuanmu sehingga begini berlaku kukuh terhadapku!"
Sambil membentak gusar, seluruh rambut uban diatas
kepalanya itu bergerak melambai Enpe tfrrer bvs nrg'n,
dimana tangan mendahului maju angin dingin meluncur
laksana seutas rantai terus menggubat tiba kearah badan
Giok-liong.
Giok liong juga nnendengus dongkol, baru saja ia hendak
turun tangan membela diri, tahu-tahu terdengar sebuah
seruan berkumandang seperti dari jauh mendatng liu-nya:
"Bocah gendeng, lekas mundur kau bukan tandingan tua
bangka ini."
Tapi tepat begitu suara itu lenyap pandangan semua orang
serasa kabur, tahu tahu ditengah diantara mereka sudah
muncullah seorang perempuan pertengahan umur bertubuh
tinggi semampai meskipun sudah menanjak umur tapi raut
mukanya masih kelihatan jelita.
Pakaian putih panjang yang dikenakan diatas tubuhnya itu
seperti selarik selendang sari panjang yang seluruhnya
digubatkan, diatas badannya sehingga menunjukkan lengan
putih laksana batu giok juga seperti salju, membuat siapa saja
yang melihat pandang bergejolak semangatnya.
Di jari-jari tangan kanannya yang halus putih itu kelihatan
menyekal sebuah keliningan kuning yang memancarkan sinar
berkilauan, ditambah wajahnya yang ayu dengan pakaian

yang putih bersih lagi. Seolah-olah seperti dewi kayangan
membuat orang tidak berani memandang lama-lama.
Begitu muncul lantas ia melirik kearah Giok-liong dan Tan
Soat-kiau, mulutnya menyungging senyum ma-nis. katanya:
"Kalian istirahat dulu kesamping . . . . bersama itu tangan kiri
sedikit terangkat, lemas gemulai seperti tak bertulang
seenaknya saja terayun maju, dimana angin halus dikebutkan,
serangan angin dingin dari cengkeraman tangan Kiau Pwe tadi
seketika sirna menghilang tanpa bekas.
Sejenak Pit-loh-thian-mo melengak, di lain saat ia terbahakbahak
lagi sambil menggerak-gerakkan kepala, serunya:
"Hahahaha, tak kira, kiranya kalian perempuan ayu jelita ini
masih kulihatan muda dan menggiurkan !"
Perempuan pertengahan umur berpakaian putih itu
mengunjuk senyum, katanya: "Kiau-lo-ji, banyak tahun tidak
bertemu, Tak nyana kau masih sedemikian kolot dan tiada
kemajuan tamak lagi, hendak merebut barang milik anak
kecil."
Berubah air muka Kiau Pwe, dengusnya: "Bu-lim-su bi yang
kenamaan dulu kiranya juga masih berani memincut simpatik
pemuda gagah ganteng ini."
Seketika membesi raut muka perempuan pertengahan
umur ini mendengar ejekan ketua itu desisnya dingin: "Kiau
Pwe, dengan obrolanmu uang kotor ini kau setimpal di hukum
mati. Mengingat dan kupandang muka adik Yong, biarlah
kuampuni jiwamu sekali ini ! Pergilah !"
Begitu wajahnya membesi, ujung matanya lantas
menunjukkan kerut kerut kulit yang tak terlindung lagi dengan
segala obat rias, sehingga selebar laut muka yang jelita itu
lantas menampilkan rasa duka dan kelanjutan usia yang
kenyataan.

Sementara itu, pelan-pelan Tan Soat-kiau menggeser kaki
mendekat kesamping Giok-liong, katanya lirih: "inilah Kim-lingcu
Kim lo-cianp-we, salah satu dari Bu-1im-su-bi . . . . "
Tergentak kaget hati Giok-liong, batinnya: "Bukankah
pesan Suhu menyuruhku menyampaikan beberapa patah kata
terhadap beliau ?"
Dalam pada itu, air muka Kiau pwe juga berubah iebat,
katanya lirih dan seperti kehilangan semangat katanya
gemetar: "Adik Yung, dia . . . dia apakah dia masih hidup?"
Kim-ling-cu tertawa sedih, sahutnya, hambar: "Sejak dulu
kala umbaran cinta pasti akan membawa kekosongan hampa.
Ai, baiklah! Tiga puluhan tahun yang lalu aku pernah
melihatnya sekali di laut selatan, Wajahnya masih tetap tak
berubah, hanya sayang hari-hari kepedihan melulu yang
melingkupi hidupnya, jaman yang tidak mengenai waktu ini
sudah berubah seluruh rambut halusnya yang indah
menghitam dulu."
Kini raut muka Kiau Pwe mengunjuk rasa girang, dalamdalam
ia membungkuk kearah Kim-ling-cu, katanya: "Lo-toaci,
apakah kau tahu tempat tinggalnya yang tetap?"
"Kau benar-benar ingin tahu?"
"Tak peduli di ujung langit atau didalam samudera, selama
ratusan tahun ini Kiau Pwe sudah mencarinya kemana-mana
dengan penuh jerih payah." sembari berkata tak tertahan lagi
air mata meleleh dengan deras dan sedihnya sampai
sesenggukan.
Keadaan ini lantas mengetuk pula hati Tan Soat-kiau yang
berdiri berdampingan dengan Giok-liong, tak tertahan air
matanya juga meleleh tak terbendung lagi.
Pelan-pelan Kim-ling-cu menggeleng kepala, katanya:
"Baiklah, biar kuberitahu kepadamu, Dia sudi tidak menemui

kau, aku tidak berani memastikan! Dia bersemayan di pulau
Biau-to diteluk ombak hitam dilaut selatan!"
"Apa! Bertempat tinggal dipulau yang beriklim jahat dan
sulit penghidupan itu?"
"Keadaan pulau Biau bong-to sebaliknya adalah sedemikian
subur dengan segala tumbuhan kembang dan rumput.
Binatang hidup bebas keliaran dimana-mana seumpama
tempat dewa yang aman sentosa! Kiau Pwe kalau adik Yung
mau rukun kembali dengan kau, seharusnya kau sendiri juga
perlu menyekap diri menyempurnakan hidupmu dan membina
diri."
"Terima kasih akan petunjuk toaci ini Kalau adik Yung
benar-benar mau mengampuni segala kehilafan dulu, untuk
selanjutnya pasti merubah kebiasaan burukku selama ini
membina diri menjadi manusia baik2."
"Itulah bagus, bolehkah kau segera berangkat janganlah
kau sia-siakan pengharapanku."
Dengan wajah riang gembira Kiau Pwe segera menjura
kepada Kim ling-cu serta katanya: "Selamat bertemu kembali
Toaci, aku berangkat!!" berkata sambil menggerakkan
kepalanya yang besar bayangan biru lantas berkelebat
meluncur keluar gua.
Sekonyong-konyong terdengar tawa terkekeh dingin dan
pekik tertahan yang ketakutan diluar, Berubah air muka Kimling-
cu cepat cepai iapun berlari keluar gua.
Giok-liong sendiri juga tergetar hatinya, tercetus teriaknya:
"Celaka, nona Ling mungkin. . ." Seperti anak panah yang
melenting dari busurnya, iapun melesat keluar. Tersipu-sipu
Tan Soat-kiau menyeka air matanya terus ikut mengejar
keluar.

Waktu tiba diluar, tampak Ling Soat-yan pucat pasi, ujung
mulutnya melelehkan darah badannya rebah lemas dalam
pelukan Pit-loh-thian mo Kiau Pwe.
Saat mana Kiau Pwe telah merogoh botol kecil menuang
dua butir pil terus dijejalkan kemulutnya, sementara itu
dengan pandangan penuh keheranan iblis tanah akhirat
tengah berdiri melongo disebelah sana, tanpa bergerak juga
tidak bersuara.
Tapi begitu ia melihat Giok-liong meloncat keluar, seketika
dia menghardik keras: "Dia inilah Ma Giok-liomg adanya."
secepat setan gentayangan mendadak ia menubruk datang,
belum tubuhnya tiba tangannya sudah terayun lebih dulu
menyerang dengan angin pukulan dahsyat menerpa kearah
Giok-liong.
Giok-liong mendengus ejek, kakinya menggeser sebat
sekali, "sret" gesit sekali ia berkelit kesamping meluputkan
diri.
Tepat pada saat itulah terdsngar bentakan gusar Kiau Pwe:
"Ciok Kun berhenti."
Iblis tanah akhirat Ciok Kun berhenti dengan melengak,
tanyanya tak mengerti: "Toako, kau , . . mengapa , . . "
Kata Kiau Pvve sambit mendukung tubuh putri bayangan
daiah Ling Soat-yan: "Kau tunggu dulu, saudara tuamu ini
pasti akan membuat penyelesaian yang adil," lalu ia melejit
kehadapan Kim ling-cu dengan kedua tangannya ia sodorkan
badan putri bayangan darah diserahkan kepada Kam-ling-cu,
katanya: "Toaci, aliran keluarganya berhubungan erat dengan
kau, tapi dia sendiri merupakan seorang gadis suci yang
polos."
Setelah Kim-ling cu menyambuti tubuh Ling Soat-yan, lalu
Kiau Pwe menghadapi Ciok Kun serta angkat tangan, ujarnya:
"Hiante masih tidak mengerti akan maksud perbuatanku ini !"

Ciok Kun manggut-manggut kepala tanpa bersuara.
Kiau Pwe tertawa getir, katanya tertawa: "Angin, api air
dan tanah kalau berjodoh tentu bergabung, tiada berjodoh
lantas berpisah. Lurus dan sesat selamanya tiada dapat berdiri
berdampingan yang kalah biarlah kalah, Kuharap Hiante bisa
berpikir dua kali sebelum bertindak dalam sesuatu persoalan,
Kelak biarlah kita bertemu lagi, Kalau kelak Hiante masih
belum dapat merubah cara hidup sesat seperti sekarang ini
saudara tuamu ini mungkin tidak menghargaimu lagi sebagai
saudara muda . . ." bicara sampai terakhir air matanya sudah
membanjir keluar, tenggorokannya menjadi sesak, serunya
serak : "selamat bertemu !" secepat kilat bayangan biru
meluncur hilang memasuki hutan lebat didepan sana,
langsung ia menuju ke Biau-hong-to yang terletak di teluk
ombak hitam di laut selatan untuk mencari Hu-yung Siancu Ci
Yung.
Iblis tanah akhirat menjadi gugup, teriaknya: "Toako,
tunggu sebentar !" iapun lantas mengejar dengan kencang,
dilain kejap bayangan mereka sudah hilang dari pandangan
mata.
Memandang kearah bayangan yang telah hilang itu, Kimling-
cu gcleng-geleng kepala serta tanyanya menghela napas
rawan: "Lurus atau sesat hanya terpaut satu pikiran saja ! Ai,
Banyak mengumbar cinta akhirnya pasti berakibat mengejar
kekosongan yang hampa dalam hidup." ditundukkannya
kepala memandangi wajah nan ayu pucu di pelukannya.
Putri bayangan darah Ling Soat-yan masih pingsan seperti
terpuji lemas. Lalu pandangan Kim-ling-cu beralih kearah Tan
Soat-kiau, ujarnya: "janganlah asmara banyak diumbar,
kehampaanlah yang akan kau dapat, Ai, Jiac, seumpama kau
secantik bidadari namun bagi orang yang membabi buta
mengobral cinta, pasti berakibat ngenas dan menderita maka
hati-hatilah kalian anak-anak muda !"

Sekilas ia lirik Chiu-ki yang masih rebah diatas tanah, lalu
katanya kepada Tan Soat-kiau: "Nak, coba kau dukung
tubuhnya masuk kemari." naga-naganya dia tiada simpatik
terhadap Giok-liong maaka sekejappun ia tidak bicara
terhadapnya tapi saban-saban ia melirik dengan sorot
pandangan yang susah diterka.
Tan Soat-kiau menunduk dengar nafsu, mukanya merah
jengah. Tanpa bersuara ia bopong tubuh Chiu-ki terus
mengikuti dibelakang Kim-ling-cu dengan melangkah lebar
menuju ke gua dibelakang batu besar itu.
Giok-liong berdiri terlongong-longong ditempatnya, timbul
rasa dongkol akan dirinya yang diremehkan. Tapi betapa juga
Kim-ling cu adalah penoIongnya, bagaimana ia harus
bersikap?. Baru saja kakinya bergerak hendak ikut masuk Kim-
Iingcu sudah berpaling ke arahnya serta berkata sambil
tersenyum: "Kau, kau boleh pergi!"
Tiba-tiba Giok-liong angkat kepala, katanya: "Cian-pwe
harap berhenti, ada beberapa patah kata yang ingin Cayhe
sarnpaikan."
"O, ada urusan apa?" benar juga Kim-limg-cu
menghentikan langkahnya.
Tatkala itu sang surya sudah doyong ke-arah barat, cahaya
kuning emas memancar terang menerangi setengah angkasa,
Meskipun saat itu adalah pertengahan musim rontok, angin
menghembus rada kencang, sari panjang yang membeku
dibadan Kim ling cu melambai lambai laksana bidadari turun
dari kahyangan.
Pelan-pelan Giok liong menghela napas, katanya: "Budi
kebaikan Cian-pwe yang telah menolong jiwa Cayhe, selama
hidup ini tentu takkan kulupakan."

Kim-ling-cu juga menghela napas rawan, tanyanya lemah
lembut: "Asal selanjutnya kau bisa berdiri tegak berjalan lurus,
janganlah kau mengail banyak cinta asmara, ini sudah
terhitung kau membalas sekedar kebaikanku Ai., janji kalian
orang laki laki . . ." sepasang matanya yang indah ini entah
kapan ternyata salah mengembeng air mata, mulutnya
mengguman bersenandung: "Sejak dulu bagi yang banyak
pengobral cinta pasti rasa peroleh kekosongan yang hampa . .
."
Mendadak melonjak sanubari Giok-liong, lantas tercetus
senanduns pula dari mulutnya: "Ulat bersutra sampai mati air
mata kering setelah lilin habis. . .belum habis senandungnya
ini tiba-tiba pandangannya serasa kabur, terasa hembusan
angin sepoi yang membawa bau harum merangsang hidung,
terdengar pula suara keliningan berdering nyaring di pinggir
kupingnya.
"Siapa yang suruh kau berkata begitu?" tahu tahu Kim lingcu
sudah berdiri didepannya sambil menatap dengan sorot
pandangan tajam bersikap serius, kedua belah pipinya sudah
dibasahi oleh airmata yang meleleh turun.
Sungguh Giok liong tak menduga bahwa gerak gerik Kimling-
cu ternyata sedemikian cepat dan lincah sekali, cepatcepat
ia mundur selangkah, sahutnya sungguh-sungguh:
"Itulah guruku, beliau bernama Pang Giok."
"Alis lentik Kim-ling cu berjengkit tinggi, sepasang matanya
yang mengembang air mata mengunjuk rasa duka dan rawan,
katanya sedih: "Bagaimana pesannya?"
Giok-liong menutur sambil menunduk: "Suhu menyuruh
Wanpwe meskipun sampai diujung langit atau didalam lautan
juga harus mencari sampai ketemu jejak Cianpwe, untuk
menyampaikan perkataan tadi."

Kim ling-cu menggigit bibir, mulutnya mengguman: "Dia . .
. . mengapa sejak dulu-dulu tidak mau mengatakan. .
.mengapa membuat aku hidup merana sepanjang masa ini . .
."
Perasaan Giok liong menjadi terkejut, dalam hati ia
membatin pasti Kim-ling-cu ini ada hubungan asmara dengan
gurunya. Tapi entah mengapa akhirnya mereka berpisah.
Teringat olehnya akan cinta kasihnya terhadap Coh Ki-sia
yang telah mengikat janjinya sehidup semati sampai hari tua.
Baru beberapa lama mengecap kesenangan hidup sebagai
suami istri sekarang telah berpisah sejauh ini. Tak tertahan air
mata pelan-pelan mengalir dari ujung matanya.
Pelan pelan Kim-Iing cu menarik pandangan matanya yang
melihat kearah jauh sana, sekilas memandang kearahnya, lalu
bertanya dengan penuh canda tanya: "Kau masih ada
urusan?"
"Haraf maaf akan kelancangan Wanpwe, Wanpwe tiada
urusan apa lagi."
Kim-ling cu menghela napas katanya: "Ya, mungkin kau
mempunyai kesukaranmu sendiri. Tapi, nak kau harus ingat
selama hidupmu ini jangan sampai ditunggangi oleh asmara,
Dan jangan pula kau mengikat orang lain dalam belenggu
cinta asmara, Sekali kau menyadari bahwa dirimu tengah
mencintai seseorang, sekali-sekali jangan kau membuat suatu
kesalah pahaman atau urusan sehingga merebut sang waktu
yang seharusnya dapat kalian kecap dengan mesra !
seumpama harus hidup menderita, tidak menjadi soal asal
dapat hidup rukun dan saling memberikan kasih mesra,"
Sampai disini ia merandek sebentar, wajahnya berkembang
kulum senyuman getir memandang kearah Giok-liong, katanya
lagi: "Nak, marilah ikut masuk i Kedua teman perempuan itu
mungkin tidak boleh tunggu terlalu lama."

Giok-liong mengiakan sambil menunduk. Lalu mengintil
dibelakang Kim-ling-cu masuk kedalam gua pula, Setelah
mendengar wejangan Kim-ling-cu tadi kini hatinya tengah
bergejolak tidak tentram seperti damparan ombak samudera
yang mengamuk.
"Apakah ucapannya itu betul ? Antara aku dan Coh Ki-sia
memang mempunyai banyak rintangan, baru bertemu lantas
berpi-sah, kelak apakah dapat rukun dan bahagia . . ."
Demikian dengan pikiran pepat dan hati gundah langkahnya
terus beranjak, sampai tidak diketahui olehnya bahwa Tan
Soat-kiau yang rupawan itu tengah memandang kearahnya
dengan sorot pandangan girang dan terhibur, Tapi semua
adegan ini tidak luput dari pengawasan Kim-ling cu yang
banyak pengalaman dalam bidang itu, tanpa merasa ia
menghela napas, langkahnya seringan awan mengembang
terus memasuki gua besar itu.
Waktu pertama kali masuk tadi keadaan dalam gua
kelihatan sederhana dan cekak pendek saja, berjalan tidak
berapa sudah sampai di ujung dinding gua. Tapi Kim-ling-cu
lantas mengulur tangan menekan sebuah tombol di atas
sebuah batu yang menonjol keluar diatas dinding, maka dilain
saat terbukalah sebuah lubang pintu setinggi orang,
Dibelakang pintu ini adalah sebuah lorong panjang setelah
melewati lorong panjang ini, sampailah mereka pada ruangan
batu yang diatur rapi dan bersih.
Dikedua samping ruangan batu ini masing-masing terdapat
sebuah pintu lagi, lalu Kim ling cu menyuruh Tan Soat-kiau
membopong Chiu ki memasuki ruangan batu lain lalu katanya
kepada Giok-liong, "kau istirahat disini, Nanti kita bicara lagi
setelah kutolong mengobati mereka."
Lalu ia sendiri juga memasuki ruangan batu yang
ditunjukan kepada Tan Soat-kiau tadi sesaat kemudian
keadaan menjadi sunyi lengang. Giok-liong tenggelam dalam

kenangan lagi Cinta! Entahlah sudah berapa umat manusia
didunia ini sudah menjadi korban akan sepatah kata ini
sehingga melewatkan masa remaja dengan penuh penderitaan
dan segera.
Teringat akan diri pribadi Coh Ki sia, Li Hong, Kiong Lingling,
Tan Soat-kiau serta Ling-Soat-yan, betapa tidak mereka
menaruh perhatian besar terhadap dirinya. Bukankah
kecantikan mereka tidak kalah dibanding bidadari dari
kahyangan? seumpama mereka terhadap dirinya . . . . wah
akibatnya benar-benar tidak berani dipikirkan.
Serta merta timbul kewaspadaan dalam benaknya diamdiam
ia berjanji dalam hati: "Giok-liong hai Giok-liong,
janganlah sekali-kali kau menjadi seorang yang ingkar janji
dan tidak setia, gampang menerima uluran cinta lain orang,
janganlah lantaran kau sehingga menyia-nyiakan masa remaja
orang lain yang penuh nikmat dan mesra." pikir punya pikir
tak terasa lagi seluruh badan basah kuyup oleh keringat
dingin.
Sang waktu berlalu secara diam-diam. Lambat laun Giokliong
dapat mengekang gejolak hatinya, mulailah
menerawangi tindak selanjutnya. Pertama-tama apakah
dirinya perlu segera menuju ke Lam-hay untuk mencari
suhunya ataukah mengerjakan urusan lain.
Tepat pada saat mana pintu samping ruang batu terbuka,
beriang berjalan keluar Kim-ling-cu diikuti Tan Soat-kiau, Ling
Soat-yan dan Chiu-ki.
Agaknya perasaan Kim-ling-cu sudah banyak longgar,
tanyanya: "Apa yang celaka?"
Segera Giok liong menyahut hormat: "Seruling samber
nyawa pemberian Suhu itu kini sudah terjatuh ditangan Kobok
-im-hun Ki-kiat . . ."

Dengan langkah gemulai putri bayangan darah Ling Soatyan
lantas maju mendekat, katanya sambil tertawa geli:
"Bukankah Ki-kiat sudah mati." lalu dikeluarkan seruling
samber nyawa dari dalam balik bajunya langsung disodorkan
kearah Giok-Iiong, katanya lagi, "Aku . . . " sebetulnya ia
hendak menutur duduk perkara kejadian ini sejujurnya. Tapi
sudah keburu disanggah oleh Giok-liong. Betapa girang hati
Giok liong, segera ia unjuk soja serta katanya: "Nona Ling
sedemikian dermawan dan baik budi, bagaimana aku yang
rendah harus membalasnya."
Terdengar Kim- ling cu ikut menyela bicara: "Ya, akan
kulihat cara bagaimana kau hendak menyelesaikan utang
piutang ini, Karena kau nona Ling sampai terluka parah di
tangan Ciok Kun malah merebutkan kemba li seruling samber
nyawa ! Demikian juga nona Tan hampir mati karena kau
juga, secara sewajarnya dengan kebesaran jiwanya ia mau
menemui kau lagi, akhirnya menolong jiwamu pula . . ."
serentetan kata-kata ini seketika membuat Ling Soat-yan dan
Tan Soat-kiau malu jengah.
Tapi hatinya merasa syuuuur senang sekali, dengan sorot
kegirangan matanya melirik kearah Giok-liong.
Sesaat Giok-liong menjadi kesengsem sampai tidak berani
menyambuti seruling samber nyawa yang disodorkan
kepadanya.
Akhirnya Kim-ling-cu sendiri yang maju ambil seruling
samber nyawa itu dari tangan Ling Soat-yan terus disesapkan
ketangan Giok-liong, katanya: "Akan kulihat cara bagaimana
kau hendak menyatakan terima kasih terhadap orang, Hm,
ada guru mesti ada murid"
Merah jengah selembar muka Giok-liong seperti kepiting
direbus, Hanya Chiu-ki yang bertingkah paling jenaka,
sepasang matanya yang bundar besar itu pelerak pelerek

dengan lincahnya seakan-akan ada sesuatu persoalan yang
menggirangkan hatinya.
Sekilas Kim-ling cu melirik ke arahnya serta tanyanya, "Chiu
ki kau punya saran apa?"
Chiu-ki tertawa terkikik sambil menutupi mulutnya dengan
tangan, sahutnya: "Hamba punya sebuah saran, entah dapat
tidak dilaksanakan."
"Saran apa itu? Coba katakan!"
"Nona Tan ini dan nona majikanku bersama menjadi anak
angkat Lo cianpwe harap Lo-cian-pwe suka memberikan
pertimbangan serta membela kepentingan mereka berdua."
Kim-ling-cu menjadi girang, namun dilahirkannya ia purapura
sungkan, makinya sambil mengerutkan alis: "Budak binal,
kau ambil persoalan rumit untukku."
Tanpa banyak pikir lagi segera Tan Soat-kiau dan Ling
Soat-yan tersipu-sipu malu berlutut dihadapan Kim-ling-cu
sambil memanggil: "Ibu diatas, terimalah sembah putrimu !"
Saking girang air muka Kim-ling-cu berseri tawa, dengan
tangannya ia bimbing mereka bangun seraya berkata: "Kalian
siapa yang lebih tua ?"
Setelah masing-masing menyebutkan umurnya akhirnya
diketahui Tan Soat kiau menjadi cici berusia delapan belas
tahun, Ling Soat-yan lebih muda setahun menjadi adik.
Adalah merupakan keberuntungan Tan Soat-kiau dan Ling
Soat-yan dapat diambil anak angkat oleh Kim-ling cu yang
berkepandaian hebat itu, Tapi sebaliknya bagi Giok-liong
merupakan hal yang memusingkan kepala.
Dengan adanya Kim-ling cu sebagai sandera, maka
runyamlah keadaan dirinya untuk hari-hari selanjutnya,
Meskipun banyak keberatan yang perlu dikemukakan namun
apakah ia berani buka mulut ?

Tatkala itulah Kim-ling cu lantas berpaling kearahnya,
ujarnya: "Untuk selanjutnya mereka adalah anak putriku,
kalau kau berani menggoda mereka, awas bukan saja kupatahkan
sepasang kakimu itu, akan kulaporkan juga kepada
gurumu untuk menghukummu berat."
Tersipu-sipu Giik-liong menjura serta sahutnya hormat:
"Mana Wanpwe berani."
"Apa kau perlu segera pergi ke Bu-ing-to dilaut selatan
untuk menemui gurumu ?"
Giok-liong mengiakan
"Apakah ada urusan yang benar-benar penting ?"
"Dalam setengah tahun ini hutan kematian berhasrat untuk
menggerakkan suatu aksi besar-besaran, dengan menyebar
banyak tipu muslihat dunia persilatan untuk memperbudak
kaum persilatan."
"Hutan kematian . . . . hutan kematian yang mana ?
siapakah pemimpin Hutan kematian itu ? Berani dia begitu
sombong dan takabur !"
"Hal ini Wanpwe kurang jelas, menurut Liong Bun Liong
Cian-pwe yang mengatakan langsung kepada Wanpwe,
supaya Wanpwe segera menemukan Suhu untuk
mengumpulkan seluruh golongan sealiran untuk berjaga dan
bersiap membendung serangan besar-besaran mereka."
"Hah, jadi Liong-tay-hiap masih hidup?"
"Benar!"
"Dimana kau bersua dengan dia ?"
"Didalam hutan kematian !"
"Untuk apa dia didalam sana ?"

"Liong-cian-pwe menyelundup kedalam hutan kematian
sudah hampir seratus tahun, Menurut analisanya bahwa
kekuatan hutan kematian itu, mungkin seluruh aliran dan
golongan persilatan dalam Tionggoan ini tidak satupun yang
kuat untuk melawanya,."
Sampai sekarang Kim-ling-cu baru paham dan sadar betapa
penting persoalan ini setelah ia minta penjelasan lebih cermat
dan teliti, lantas ia berkata: "Kau boleh langsung menuju
keselatan mencari Suhumu di pulau bayangan, untuk
merundingkan serta mencari daya upaya, Biarlah dengan
waktu yang masih ada ini kuturunkan beberapa kepandaianku
kepada putri-putriku ini disamping itu juga berusaha
mengundang beberapa kenalan kental dulu untuk berkumpul
di Gak-yang-lo di pesisir danau Tong-king pada malam Cap-go
meh pada tahun akan datang !"
Giok liong menjadi girang, dalam-dalam ia membungkuk
tubuh, serta katanya: "Wanpwe minta diri untuk segera
berangkat."
Kim ling-cu merenung sebentar, lalu katanya: "Pergilah.
Hati hatilah sepanjang jalan ini supaya jangan terjebak dalam
muslihat orang. Terutama Serulrig sumber nyawa itu yang
paling gampang menimbulkan keonaran."
"Wanpwe sudah paham." sahut Giok-liong memberi hormat
Iagi, Lalu dipandangnya Tan Soat kiam dan Ling Soat yan
bergantian serta katanya: "Adik berdua selamat bertemu !"
memutar tubuh terus berjalan keluar dengan langkah lebar.
Begitulah dilain saat ia sudah keluar dari dalam gua dengan
diiringi pandangan mereka yaag segan dan berat berpisah.
Dibelakangnya sayup-sayup terdengar pesan mereka
berdua: "Engkoh Liong, hati-hatilah di jalan, jangan suka
menimbulkan onar . . ."

Dengan langkah cepat laksana terbang Giok-liong terus
berlari-lari kencang menuju arah tenggara, berselang dua hari
kemudian ia sudah memasuki daerah propinsi Sucwan,
sepanjang jalan yang dilalui selalu adalah alas pegunungan,
apalagi setelah memasuki daerah Su-cwan itu, gunung
gemunung saja yang dilalui, lembah yang dalam binatang
buas sering ditemui sepanjang jalan ini. Terutama dipuncakpuncak
pegunungan dengan awan putih mengembang halus
laksana berada ditempat dewa saja.
Semakin keselatan pegunungan semakin belukar, jarang
ditemui penduduk sepanjang jalan ini, sehingga sering sampai
berhari-hari ia narus menahan lapar. Tatkala itu matahari
sudah doyong kearah barat menjelang magrib, awan
bergulung gulung gelap angin pegunungan menghembus
keras, Diatas pegunungan yang liar dan sepi ini dimana ia
harus mencari makanan untuk sekedar untuk tangsel perut ini
benar benar bulan soal yang gampang.
Sekonyong konyong dari kejauhan didepan sana terdengar
gema suara auman harimau yang sedang marah. Meskipun
jaraknya rada jauh tapi dari suaranya yang keras dan garang
itu dapatlah diperkirakan bahwa itulah seekor harimau yang
besar tentunya, Entah sedang berkelahi dengan siapa
sehingga binatang itu mengeluarkan gerangan marah yang
keras.
Tergerak hati Giok-liong, batinnya: "Dilihat keadaan ini,
terpaksa harus berburu binatang untuk sekedar mengisi perut
yang keroncongan ini." dengan minat yang besar ini bergegas
ia lari kedepan menuju arah datangnya suara auman harimau
itu.
Setelah berlari semakin dekat suara gerungan harimau itu
benar-benar sangat keras sampai memekakkan telinga
menggetarkan pegunungan sekitarnya lagi.

Giok- liong berdiri tegak diatas sebuah batu yang menonjol
diatas ngarai, dengan ketajaman matanya ia menyelidik
kebawah yang dipenuhi kabut gelap, samar-samar terlihat
dikeremeng dibawah sana, empat titik sinar terang tengah
mengurung segulung bayangan merah yang sedang
berloncatan dengan gesit dan tangkas sekali.
Sekarang jelas terdengar pula oleh -Giok liong bunyi
pernapasan orang yang rada lemah di bawah jurang sana,
Giok-liong menjadi kaget, pikirnya: "Mungkin ada orang yang
diserang terluka oleh binatang buas ini hingga timbulIah jiwa
kependekarannya, buru-buru ditanggalkan jubah luarnya, lalu
dirogohnya beberapa pulung obat pemunah hawa beracun
terus ditelan ke dalam muIut, setelah menarik napas panjang
lalu merambat turun melalui dinding jurang, keadaan di dasar
jurang ini memang cukup gelap dan remang-remang, suara
gedebukan dan langkah-langkah berat semakin nyata terus
berkumandang saling susul. Giok liong kerahkan Ji-lo untuk
melindungi badan, lalu dari ketinggian puluhan tombak itu ia
melompat turun waktu masih mengapung ditengah udara ia
lolos keluar Kim-pit ditangan kanan.
Waktu kakinya menginjak tanah dimana ia pandang
kedepan seketika ia melonjak mundur. Ternyata keempat titik
sinar terang yang dilihatnya tadi bukan lain adalah dua pasang
mata harimau, kedua harimau ini sama besar dan garangnya
hampir setombak panjang tubuhnya dan setinggi kerbau.
Sambil mendekam dikanan kiri mulutnya menggerung
gerung, kedua ekor mereka tak henti-hentinya disabetkan
diatas tanah dan kekiri kanan, sehingga debu mengepul, batu
dan pasir beterbangan memercikkan lelatu api. Meskipun
gerungannya sangat keras dan garang, tapi naga-naganya
mereka tahu gelagat tidak berani sembarangan bergerak.

Cahaya merah marong itu bukan lain adalah mata tunggal
seekor ular besar yang berkepala menyerupai kepala ayam
jago, sedemikian aneh bentuk kepala ular ini, matanya
memancarkan sinar merah yang berkilau dengan tajam ia
awasi gerak gerik kedua harimau besar dihadapannya yang
sudah siap menyerang setiap saat.
Badan ular yang besar dan panjang ini tengah melingkar
menggubat seluruh badan seorang Hwesio tua yang
berjenggot putih duduk bersila diatas tanah.
Mulut Hwesio tua itu menganga lebar mengulum sebuah
benda bundar sebesar kepalan bocah berwarna putih kemilau
laksana perak, agaknya Hwesio tua ini berusaha menelan
benda bundar itu. Tapi karena seluruh badannya tergubat
kencang oleh badan ular, hakikatnya bernapas saja sangat
sukar, mana bisa ia menelan benda di mulutnya itu.
Meskipun seluruh badan tergubat ular tapi kedua tangan
Hwesio tua itu tepat mencengkeram tenggorokkan kepala ular
itu. Pada mulut ular ini juga menggigit sebutir benda bundar
warna putih perak. Benda bundar dimulut ular ini jauh lebih
kecil dibanding yang berada dimulut Hwesio tua.
Kabut beracun bergulung-gulung menyembur keluar dari
mulut ular tapi karena adanya rintangan benda bundar putih
perak yang tergigit dimulutnya itu sehingga semburan kabut
berbisanya ini tidak banyak mengambil keuntungan malah
kehilangan perbawanya.
Saban-saban Hwesio tua melepas salah satu tangannya
hendak meraih benda bundar dimulut ular itu. Tapi begitu ia
lepas tangan mulut ular lantas terbuka semakin lebar, agaknya
bisa segera menelan benda bundar itu, malah berpaling dan
kepalanya ku menerjang datang hendak mematuk. Saking
ketakutan cepat-cepat ia cengkeram lagi tenggorokan ular
tempat paling lemas diseluruh badan ular yang terletak tujuh
senti dibawah kepala ular.

Kedua harimau besar itu naga-naganya adalah binatang
piaraan si Hwesio tua ini. Berulang kali mereka sudah
bergerak hendak menubruk maju tapi selalu disapu mundur
oleh ekor ular besar yang keras laksana baja itu.
Dengan cermat Giok-liong meneliti dan mengamati benda
bundar dimulut ular dan yang dikulum dimulut si Hwesio tua
itu, akhirnya ia berjingkrak kaget karena kedua butir benda
bundar itu bukan lain adalah Cu-hok-gin-kong -ko, buah sinar
perak ibu beranak yang sudah berusia ribuan tahun yang
merupakan benda pusaka yang paling dikejar-kejar oleh kaum
persilatan umumnya.
Kulit dari buah sinar perak ibu beranak ini sangat keras
laksana besi ibu buah lebih besar, itulah yang dikulum dimulut
si Hwe-sio tua, seribu tahun berbuah sekali sedang anak buah
lebih kecil adalah yaitu tergigit di mulut ular, selaksa tahun
baru berbuah.
Buah ajaib yang mujarab semacam ini kalau tahu cara
penggunaannya, sedikitnya dapat menambah latihan Lwekang
orang sebanyak seratus tahun lebih! Bagi orang biasa dapat
panjang umur dan tak gampang diserang penyakit.
Tapi kasiat anak buah adalah setingkat lebih besar dan
mujarab dari pada ibu buah nya.
Melihat orang dan ular sedang berebutan menelan buah
ajaib yang mujarab ini sampai saling tempur dan bertahan
sekian lama. bukan mustahil akhirnya mereka sama-sama
mampus kelelahan Diam-diam Giok liong membatin dalam
hati: "Hwesio tua itu sungguh cukup tamak dan nyeleweng
dari ajaran sang Budha, sebagai yang suci bersih."
Dalam kejap pemikirannya inilah, dilihatnya keadaan si
Hwesio tua sudah rada payah dan tak kuat bertahan lagi,
cengkeraman kedua tangannya itu semakin lama semakin
kendor dan hampir terlepas, lidah ular sudah semakin

memanjang, senti demi senti menjulur mendesak kearah
mukanya.
Diam-diam Giok liong mengeluarkan Kim-pit-siti-piau dari
buntalannya, begitu kakinya menjejak tanafa, badannya lantas
meluncur maju waktu badannya masih terapung ditengah
udara tangan kanannya terus diayun menyambitkan selarik
sinar kuning mas.
Ular aneh berjambul seperti ayam jago itu mendadak
merasakan adanya serangan gelap dari luar ini, mendadak
mengeluarkan suara aneh dari mulutnya, seluruh badannya
mendadak merontak keras sekali, sedang buah bundar putih
perak yang digigit di mulutnya itu terus disemburkan kearah
Giok-liong membawa kabut berbisa.
Baru saja Giok liong menyambitkan piau potlot masnya
kearah tempat kelemahan dibadan leher si ular aneh
berkepala jambul ayam jago, serentak iapun ayun potlot mas
di tangan kirinya. Sewaktu badannya masih terapung dan
meluncur maju inilah mendadak dilihatnya anak buah sinar
perak yang tengah menyemprot datang itu pecah ditengah
jalan, Sari buah yang berupa cairan putih itu berubah selarik
sinar putin perak menyemprot datang kearah dirinya di
belakang kulit buahnya. Dalam kesibukannya ini Giok liong
tidak sempat banyak berpikir, lekas-lekas ia angkat tangan
kirinya meraih pecahan kulit buah sembari membuka mulut
dan menyedot dengan keras, Maka sari buah yang berupa
cairan warna putih perak itu langsung tersedot masuk
seluruhnya ke dalam mulutnya terus tertelan kedalam perut.
Tepat pada waktu itu juga terdengarlah "cras" disusul pekik
aneh yang mengerikan ternyata piau potlot mas yang
disambitkan Giok-liong itu tepat mengenai tempat kelemahan
dibawah leher ular aneh berkepala jambul ayam itu. Hebat
sekali kekuatan ular aneh itu, meskipun kelemahannya sudah

kena tusuk tapi masih kuat meluncur datang mengejar ke arah
Giok-liong dengan garangnya.
Giok-liong pentang kedua lengan tangannya, selarik sinar
kuning lantas berkelebat dan terus meluncur cepat sekali
memapas kearah batok kepala sang ular, seketika terjadi
hujan darah, kiranya potlot mas sambitan Giok liong yang
terakhir inipun dengan telak amblas ke dalam batok kepala
yang berjambui ayam jago itu, serentak dengan aksinya tadi
Giok-liong masih harus membungkuk tubuh sambil lompat
maju, karena saat itu juga terasa angin keras menyampok di
belakang kepalanya, Kiranya buntut ular yang besar dan keras
itu telah menyapu tiba.
Diam-diam Giok liong mengeluh, cepat-cepat ia
mengerahkan pinggang berbareng sekuatnya kaki menjejak
tanah sehingga tubuhnya melejit tinggi ke tengah udara.
Gerakan yang tepat dan indah ini berhasil meloIos keluar pula
sebatang potlot mas lainnya terus disongsongkan ke belakang.
"Plok" benturan keras terjadi, seketika Giok liong rasakan
seluruh lengannya tergetar linu dan luar biasa, kontan
badannya juga lantas meluncur jatuh.
JIlid 10
Disebelah sana dengan mengeluarkan suara gemuruh
sepanjang badan ular yang besar itu juga terbanting keras di
tanah terpaut beberapa langkah saja di sebelah tubuhnya,
seketika bergulingan dan berkelejetan meloncat-loncat
menimbulkan debu dan kerikil beterbangan sekian lamanya
baru berhenti dan melayanglah nyawanya.
Karena sudah menelan obat pemunah hawa beracun
pemberian suhunya yang bernama Pit-tok-tan, Giok-liong
sudah tidak usah kwatir lagi menyedot hawa berbisa yang di
semburkan dari mulut ular. Dengan cekatan dicabutnya potlot

mas serta membungkuk mengambil piau kecil yang tertancap
di bawah leher ular itu bersama terus dimasukkan ke dalam
buntalannya.
Sementara itu si Hwesio berkesempatan menggigit pecah
Gin-kong-bok-co (ibu buah sinar perak), setelah menyedot
habis sarinya, sepasang matanya lantas memancarkan sorot
kebuasan yang garang berkilat-kilat, Pada saat itu dilihatnya
Giok-liong tengah membungkuk menjemput sesuatu dari
kepala ular aneh itu, maka segera ia menghardik bengis:
"Tahan." berbareng tangannya menyambitkan kulit buah yang
berubah sinar perak langsung menyerang jalan darah Pak-simhiat
di punggung Giok-liong, bersama itu tangkas sekali iapun
meloncat menubruk membawa serangan membadai dengan
pukulan dahsyat dari tengah udara.
Demikian juga kedua ekor harimau besar itu berbareng
menggereng keras bergetar terus menubruk kearan Giokliong.
Sungguh mimpi juga Giok-liong tidak mengira
pertolongannya secara berbahaya tadi bukan saja tidak
mendapat simpatik atau tanda penghargaan malah orang
membalas air susu dengan air tuba, serentak turun tangan
menyerang dia mengancam jiwanya.
Dalam keadaan yang serba kritis begini tiada banyak
kesempatan untuk berpikir Secara gerak reflek ia ayun tangan
kirinya, maka kulit anak buah bersinar perak lantas meluncur
dengan kecepatan yang susah diukur bersama dengan
gerakan tangan ini badannya juga ikut menggeliat terus
melambung tinggi ketengah udara dari celah-celah diantara
kedua harimau yang persis menubruk tiba dari atas kepalanya.
Dalam pada itu si Hwesio tua yang masih mengapung di
tengah udara begitu melihat Giok-liong menyambitkan selarik
sinar putih perak, hatinya lantas mengeluh lirih: "Celaka !"
Badannya mendadak jumpalitan balik terus meluncur turun

sambil mengulur tangan meraih kearah kulit anak buah sinar
perak yang meluncur datang.
Sayang sekali sedetik sebelum tangannya berhasil
menangkap kulit buah itu tahu-tahu terdengar suara "pyaarrr",
yang halus, samar-samar percikan cahaya putih perak
berkembang ditengah udara lantas terendus bau harum
semerbak merangsang hidung.
Begitu tangannya meraih tempat kosong, sepasang mata
Hwesio tua lantas memancarkan sorot kebuasan yang penuh
nafsu membunuh. Begitu kaki menginjak sekali tutul lagi,
badannya lantas menggeliat dengan gaya yang indah sekali
melompat maju mengejar sambil membentak gusar: "Bunuh !"
tapi kali ini bukan meluruk kearah Giok-liong sebaliknya
melambung tinggi terus menubruk kearah ular aneh yang
setengah sekarat itu. Sekali tangan terayun, lantas terlihatlah
sinar dingin berkeredep "cras" suara sannberan enteng ini
menimbulkan cahaya merah mengalir dan berputar, tahu-tahu
digenggaman tangannya sudah menyekal sebutir mutiara
merah sebesar kepelan tangan kecil yang berkilauan.
Tepat pada saat si Hwesio tua berseru dengan teriakan
"Membunuh" tadi. Kedua ekor harimau besar itu lantas
mengabitkan ekor masing-masing sambil menggerung sekeras
kerasnya sampai menggetarkan tanah pegunungan
sekelilingnya, Dengan membawa bau amis yang memuakkan
serentak mereka menubruk kearah Giok-liong.
Keruan Giok-liong menjadi gusar, sedikit kakinya menutul,
ringan sekali badannya lantas melompat mundur tiga tombak
jauhnya, bentaknya dongkol: "Toa-suhu, apa-apaan
kelakuaamu yang ingin melukai orang tanpa sebab ?"
Dalam pada itu si Hwesio tua juga tengah berdiri tegak lalu
membentang telapak tangannya, dengan cermat ia awasi
mutiara ular merah yang berada di telapak tangannya, Dilain
saat ia lantas masukkan mutiara pusaka ini kedalam

buntalannya, wajahnya mengunjuk rasa puas dan gembira.
Tapi di lain saat tiba tiba air mukanya berubah gelap,
gerungnya rendah: "Berhenti !"
Benar juga kedua ekor harimau besar itu segera
menghentikan aksinya, tapi mereka mendekam ditanah
dengan gaya siap menerkam begitu mendengar aba-aba dari
tuannya, Tajam dan cermat si Hwesio tua mengamati Giokliong,
samar-samar air mukanya sedikit mengunjuk rasa kejut
dan heran tapi ini hanya terjadi dalam kilasan saja, maka
dilain saat air makanya semakin memberengut, tanyanya
dengan tiada berat: "Siau-si-cu telah merusak anak buah sinar
perak wi-iinku, cara bagaimana kau harus menggantinya ?"
Giok-liong menjadi tidak senang, tanyanya balik: "Jikilau
Toa-suou tadi meninggal keperut ular aneh itu lantas cara
bagaimana penyelesaiannya ?"
Hwesio tua mendengus hidung, jengeknya: "LoIap percaya
tidak akan tertelan keperut ular."
Jelas tadi Toa suhu sudah tidak kuat bertahan, dalam
keadaan yang gawat demikian, jikalau Cayhe tidak lekas-lekas
turun tangan, paling tidak Toasuhu tadi sudah berkenalan
dengan ciuman ular berbisa tadi."
"Lolap tadi hanya berledek saja dengan ular, bukan saja
Sian-si-cu telah membunuh barang permainanku, malahan
merusak buah ajaibku lagi, Dengan dosamu ini kalau Lolap
tidak turun tangan rasanya belum terlampias rasa dongkol ini
!"
Giok liong semakin menjadi dongkol dan gemas pikirnya:
"Dijagat ini kiranya ada juga orang beribadat yang tidak kenal
aturan begini."

Terdengar Hwesio tua itu membuka mulut lagi: "Siau-si-cu
apakah kau ini murid To ji Pang Giok ?"
Giok-liong manggut-manggut, tanyanya: "siapakah nama
julukan Toa-suhu ini ?"
Si Hwesio mendehem dulu lalu menjawab: "Go-bi Goanhwat
itulah Lolap ada-nya, dulu pernah bertemu sekali dengan
gurumu. "
Goan-hwat Taysu adalah Susiok dari Hian Goan Taysu
Ciang-bunjin Go-bi-pay sekarang, Kepandaian silatnya tinggi
dan lihay, tapi wataknya aneh dan suka sirik dan berat sebelah
berhati tamak dan loba, Kelakuan yang buruk ini memang
sudah menjadi rahasia umum bagi kalangan kaum persilatan.
Menurut aturan, tingkat kedudukannya setingkat lebih rendah
dari To-ji Pang Giok, namun dia sendiri mengangkat diri
dengan sebutan setingkat dalam jajaran para angkatan tua.
Dari sini bolehlah kita bayangkan betapa congkak dan
sombong serta takabur sifat buruknya ini.
Giok-liong bersikap dingin, katanya: "Kalau Taysu tidak ada
petunjuk lainnya lagi baiklah Caybe segera minta diri."
Goan-hwat Taysu menyeringai katanya: "LoIap ada dua
jalan boleh Siau si-cu pilih." Giok-liong bersikap sungguh,
tanyanya: "Kenapa ?"
"Ganti kerugian Lolap tadi."
"Hoo, cobalah Taysu sebutkan dulu!"
"Syarat pertama, serahkan seruling samber nyawa itu untuk
kupinjam selama setahun, Kedua, dengan batok kepala Siausi-
cu sebagai ganti rugi."
Seketika berkobar hawa marah Giok-liong, coba pikirkan
dengan menempuh bahaya tadi dirinya telah menolong jiwa Si
Hwesio ini, sekarang Goan-hwat Taysu sebaliknya berkata

demikian mengancam bukan kah bisa bikin orang mati saking
jengkel ?
Saking marahnya Giok-liong tertawa bahak-bahak, ujarnya:
Sungguh merdu dan enak didengar ucapan Taysu ini. Kalau
mampu marilah silakan turun tangan sendiri."
Goan hwat Taysu mendengus ejek, katanya: "Kalau benarbenar
harus Lolap sendiri yang turun tangan, jiwa Siau-si-cu
ini sudah pasti harus diserahkan. Marilah, lebih baik kita bicara
dan berdamai saja. silahkan serahkan Seruling samber nyawa
itu dan selanjutnya kita menjadi sahabat."
Ucapan Goan-hwat ini semakin mengobarkan kemarahan
Giok-liong, seketika air mukanya berubah dingin membeku
bersemu merah, desisnya geram: "Ji-bun Tecu Ma Giok-liong.
Minta pengajaran lihay dari Taysu !"
Mendadak Goan-owat Taysu mendongak serta bergelakgeiak,
serunya takabur: "Kau bocah kurcaci ini masa menjadi
tandingan LoIap . . ." belum habis kata-katanya mendadak ia
mengebutkan tangannya, segulung angin pukulan lantas
menderu keluar menerpa dengan dahsyat.
Serentak dalam waktu yang sama, kedua ekor harimau itu
menggerung keras, buntutnya yang panjang dan besar itu
lantas menyabet tiba, berbareng mereka menubruk, maju dari
kanan kiri, ini betul betul merupakan suatu penghinaan bagi
Giok-liong, memandang rendah dengan menyuruh
binatangnya menyerang. Betapa takkan murka hatinya, maka
sambil berkekanan panjang suaranya mengalun tinggi, jubah
panjang tangannya dikebutkan, badannya lantas melayang
enteng sekali, berbareng Ji lo dikerahkan sampai tingkat
kesepuluh jurus Cin-chiu juga lantas dilancarkan.
Gerungan harimau menggetarkan bumi angin menderuderu,
awan putih berkelompok-kelompok mengembang terus
memapas kedepan.

Goan hwat Taysu berteriak kejut : "Celaka, mundur!"
Lengan bajunya yang panjang lebar cepat-cepat dikebutkan
badannya juga ikut meluncur tiba secepat burung terbang,
Sayang ia bergerak lambat setindak, masih ia terapung
ditengah udara, terdengarlah gerung keras kesakitan dari
kedua binatang piaraannya itu.
Darah muncrat kemana-mana, berbareng kedua ekor
harimau besar itu terbang terpental kedua jurusan sejauh
puluhan tombak terus terbanting keras ditanah, seketika
keempat kakinya menghadap langit dan jiwanya melayang.
Goan hwat Taysu menggeram murka, hardiknya : ,,Berani
kau membunuh binatang cerdik penunggu gunungku, Go Bipay
tak berdiri sejajar dengan bocah keparat macam kau ini."
Setelah itu ia menggerung dan memekit keras dan panjang
sedemikian kerasnya sampai terdengar puluhan li jauhnya.
Bersama itu kedua lengan bajunya yang besar gondrong itu
berkibar-kibar, tubuhnya berputar cepat laksana gangsingan,
angin menderu-deru hebat, seketika Giot-liong terkepung
didalam bayangan pukulan dan tutukan yang berseliweran
cepat dan mengancam jiwanya.
Malam ini Giok-liong betul-betuI sangat marah, Pikirpun
tidak terpikir olehnya dalam pegunungan yang liar dan sepi ini
pakai ketemu seorang Hwesio tua yang tidak mengenal sopan
santun dan aturan, maka segera dengusnya mengejek "Jelekjelek
aku sebagai murid aliran Ji-bun, masa takut terhadap Go
bi-pay kalian,"
Ji-lo terus dikerankan, ilmu Sam-ji-cui-him-chia juga lantas
dilancarkan Dalam gelanggang segera timbul segundukan
bayang pukulan tangan laksana gunung meninggi berlapis
bersusun tiada habisnya, sedemikian rapat dan keras berputar
mengembang keluar ditengah deru angin pukulan awan putih

mulai berkelompok mengembang bergulung-gulung hebat
menerjang kearah Goan hwat Taysu.
"Blang, blung" suara dahsyat saling berganti menggetarkan
bumi dan langit, batu sampai pecah berhamburan, udara
menjadi gelap oleh kabut debu, bayangan kedua orang tibatiba
berpencar kedua samping.
Tampak air muka Giok-liong rada bersemu, jubah
panjangnya melambai-iambai tertiup angin ia berdiri tegak dan
waspada.
Sebaliknya Goan-hwat Taysu tak kuasa berdiri tegak, ia
tersurut tiga langkah kebelakang, mulutnya lantas
menyeringai tawa sinis: "Kim-pit-jan-hun Ma Giok liong,
hehehehe, kiranya memang cukup hebat dan lihay tak
bernama kosong !" seiring dengan tawa dinginnya tangkas
sekali kedua tangannya bergerak-gerak didepan dadanya lalu
masing-masing berputar setengah lingkaran terus didorong
maju ke depan dengan sepenuh kekuatan.
"Pyar," begitu angin pukulannya dilancarkan keluar saling
sentuh lantas mengeluarkan gesekan yang keras itu, sehingga
menimbulkan geseran angin lesus kecil-kecil berpencar ke
berbagai sasaran merangsang kearah Giok-Iiong. Bersama itu,
sepuluh jarinya beruntun menjentik, menyambitkandesis angin
kencang, sekaligus mengarah ke jalan darah penting ditubuh
Giok-Iiong.
Setelah melancarkan serangan bergelombang ini toh, Goanbwat
Taysu sendiri masih belum berhenti bergerak, tiba-tiba ia
melejit ketengah. udara, jubah Hwesionya yang besar
gedobrakan itu melambai-lambai serentak kedua kaki
tangannya bergerak-gerak menari-nari laksana seekor labalaba
yang menungkrup keatas kepala.
Melihat tingkah laku orang yang aneh ini, Giok-Iiong betulbetul
kaget. ilmu semacam ini agaknya pernah didengarnya

dari cerita suhunya, ini merupakan semacam ilmu jahat yang
sangat berbisa dan sudah sekian lama putus turunan.
Sekarang dalam keadaan kepepet begini sulit teringat olehnya
apakah nama ilmu macam begini aneh ini. Karena saat mana
angin kencang yang tajam berseliweran bagai badai
mengamuk telah menerpa tiba.
Giok-Iiong insyaf akan kelihayan ilmu semacam mi, tanpa
berani berayal lagi, cepat ia menarik napas panjang, Ji-lo
dikerahkan sampai tingkat kesepuluh, sedemikian deras aliran
hawa murni ini sampai terasa gemetar berputar melindungi
badannya, Bersama itu Leng-hun-toh juga lantas
dikembangkan sedikit kakinya menutul tanah, laksana ikan
gesitnya setangkas belut membelesot badannya bergerak
lincah seperti kera berloncatan menerjang keluar dari sela-sela
angin kencang yang merangsang tiba, belak belok tepat benar
seperti belut melesat keluar dari kurungan ilmu musuh.
Agaknya Goan-bwat Taysu tidak mengira akan perbuatan
Giok-liong, meski dalam hati ia kagum namun mulutnya
menjengek gusar: "Bocah keparat ternyata berisi juga, Lohu
semakin tidak akan mengampuni kau."
Tiba-tiba badannya yang terapung ditengah udara itu bisa
berputar cepat segesit burung terbang terus mengejar dan
menubruk datang kearah Giok-liong.
Setelah lolos dari serangan angin totokan musuh, lantas
Giok-liong berpikir, kalau hari ini dirinya tidak hati hati
menghadapi Hwesio jahat tidak kenal aturan ini, pasti
celakalah dirinya. Maka iapun tidak mau kalah garang, ejeknya
menghina: "Tuan mudamu ini masa takut menghadapi ilmu
siluman dari aliran sesat yang kau pelajari ini."
Karena pengarahan Ji-io sampai tingkat kesepuluh ini, tiga
kaki sekitar tubuhnya sudah terpenuhi dan dilingkupi oleh
Sian-thian-cin-khi, berbareng potlot mas juga dilolos keluar

terus diacungkan keatas bersiap menghadapi serangan dari
atas.
Saat mana badan besar Goan-hwat Taysu kebetulan sudah
melayang sampai diatas kepala Giok-liong, ditengah udara ia
terloroh-loroh dingin, katanya: Bocah keparat, kalau kau mau
tunduk dengar perintahku maka akan kuampuni jiwamu."
Giok-liong semakin murka, bentaknya: "Kentut, tuan muda
mu ini berkelakuan lurus berlaku bajik dan genah, Mana bisa
mendengar perintah dan tunduk pada tua bangka brutal
macam kau ini yang menjual nama baik kakek moyangmu
demi kesenangan sendiri."
Sebetulnya makiannya ini melulu untuk ucapan pancingan
belaka, Tak terduga justru tepat mengenai borok dari
keburukan Goan-hwat Taysu. seketika berubah hebat air
mukanya. Mulutnya lantas terkekeh-kekeh dingin menyakitkan
pendengarnya: "Keparat dari mana kau mengetahui rahasia
pribadi Lohu, hehehehe. . . ." suaranya sedemikian sadis dan
mengerikan.
Waktu Giok-liong mendongak keatas, Tampak badan Goanhwat
Taysu yang terbang terapung dan bergerak-gerak seperti
laba-laba lazimnya, lambat laun terbungkus oleh kabut gelap
warna biru tua yang bersinar kemilau. Demikian juga seluruh
air mukanya sudah berubah menjadi biru tua, sungguh ngeri
dan menakutkan.
Tersentak kesadaran Giok-liong, tiba-tiba selintas pikiran
berkelebat dalam benaknya: "inilah Lancu tok yam ilmu jahat
berbisa pelajaran Ibun Hwat, pemimpin istana beracun pada
empat ratus tahun yang lalu. Tapi jelas bahwa latihannya
masih belum matang, Begitulah otaknya bekerja, sebaliknya
mulutnya tertawa gelak-gelak, ujarnya: "Mengandal latihanmu
Lan cu-tok-yam yang masih cetek ini, berani kau unjuk
kegarangan dan pamer dihadapan seorang ahli, Sungguh
takabur dan memalukan!"

Agaknya Goan hwat Taysu sangat terkejut akan ucapan
Giok-liong ini. Tapi badannya sudah mulai amblas menurun
terus meluncur tiba dengan seluruh badan terselubung kabut
biru, sepasang tangannya berubah seperti cakar burung
garuda, telapak tangannya masing-masing memancarkan
cahaya terang kebiruan yang bergemerlapan.
Disaat badannya menungkrup turun, sepuluh tombak
sekelilingnya menjadi dilingkupi oleh cahaya biru yang terang
cemerlang oleh kabut yang semakin tebal.
Giok-liong berdiri tegak sambil menahan napas menanti
setiap perubahan Potlot mas-nya masih teracung keatas, Ji lo
terus dikerahkan berputar melindungi badan.
Gelombang suara tawa Goan-hwat Taysu semakin
berkumandang keras dan menusuk telinga tak enak didengar
seolah-olah gelak tawanya ini bukan keluar dari mulut
manusia.
Kabut biru yang cemerlang itu semakin tebal, seluruh
badan Giok -liong menjadi ikut tersorot menjadi biru terkena
sinar reflek dari cahaya kabut biru yang bersinar itu bahwa
Lan cu-tok-yam ini sangat berbisa, meskipun bagaimana cara
permainan ilmu ini belum jelas.Tapi pernah didengarnya dari
cerita gurunya tentang ilmu jahat ini. Katanya jurus
permainannya sangat aneh dan ganas tidak mengenal
perikemanusiaan, setiap jurus merupakan serangan
mematikan bagi lawan, apalagi banyak perubahan dan sulit
diraba mengarah kemana sasaran yang dituju sebetulnya,
sehingga sukar dibendung atau bersiaga sebelumnya.
Maka dalam saat ia sendiri menghadapi bahaya seperti
yang pernah didengar dari cerita gurunya itu, sedikitpun Giok -
liong tidak berani berayal, hawa dan tenaga murninya
dikerahkan serta mendorong keluar di luar badan sampai

melebar semakin luas kira tiga kaki sekitar tubuhnya
terkekang dan diselubungi seluruh kekuatan ilmu Ji-lonya itu.
Jarak musuh sudah semakin dekat dari delapan sampai
tujuh dan semakin dekat lagi menjadi enam kaki. . . ."
Sekonyong-konyong Giok-liong merasakan adanya
perubahan diatas badannya, ternyata tiba-tiba pusarnya telah
sedikit tergetar dan mendingin, keruan kejutnya bukan
kepalang, Pada saat itulah sesuatu telaga maha dahsyat
laksana gugur gunung telah menindih diatas kepala Giok liong.
"PIup !" terdengar ledakan ringan, waktu kabut biru
kebentur oleh hawa murni diluar tubuh Giok-liong, seketika
hawa udara di sekitar gelanggang menjadi berubah keras.
Giok-liong terdengar mendehem keras, potlot mas yang
teracung keatas mendadak memancarkan sinar kemilau terus
mencang-keatas. Sesaat lama kedua belah pihak saling
bertahan tanpa bergerak.
Tenaga tindihan atau gencetan terasa semakin besar dari
berbagai arah terus terpusat ke seluruh badannya.
Giok-liong harus memusatkan pikiran dan mengerahkan
tenaga, cahaya bersinar terang yang terpancar di ujung potlot
masnya kelihatan mencorong keempat penjuru terus melebar
luas.
Lambat laun keringat mulai membanjir diatas jidatnya.
Pancaran cahaya sinar potlot mas yang cemerlang juga
semakin mengecil dan redup, Terkilas suatu pikiran dalam
benaknya, "sedemikian kokoh dan kuat nya Lwekang Goanhwat
Taysu, mengapa tadi bisa terkalahkan oleh ular aneh
berjambul ayam jago ? Apakah ia tengah berlatih semacam
ilmu berbisa ?" sedikit pikiran ini terlintas, sorot pancaran sinar
kekuningan dari kekuatan senjatanya semakin suram lagi,
Keringat semakin banyak mengalir sehingga berketes-ketes
membasahi seluruh badan seperti kehujanan layaknya.

Giok-liong merasa tenaga tindih dan gencetan dari luar
semakin berat, boleh dikata sudah mencapai titik yang tidak
kuat dibendung atau ditahan lagi, Hawa murni dalam
tubuhnya juga terasa sudah terkuras habis, selayang pandang
matanya hanya kabut biru melulu yang melingkupi sekitar
badannya. Sungguh ngeri dan menakutkan Jelas sekali dia
mendengar kumandang gelak tawa yang menggiriskan
semakin keras terkiang kiang dipinggir kupingnya, kepalanya
mulai terasa pusing tujuh keliling, pandangan mulai
berkunang-kunang, kaki tangannya juga mulai lemas dan linu
gatal tak tertahan lagi.
Perasaan putus harapan lantas menggelitik dalam hati
kecilnya: "Masa aku harus mati secara demikian ini ! Apakah
aku lantas demikian . . ."
"Ya, dia tahu sekali kabut biru berbisa itu menyentuh
tubuhnya, kesadarannya bakal kabur dan terkekang lalu
menjadi domba selama hidup ini. Kalau tiada obat
pemunahnya yang khusus untuk mengobati dalam tujuh kali
tujuh empat puluh sembilan jam orang yang terkena kabut
berbisa itu bakal mati dengan seluruh badan menjadi
segenang cairan air darah.
Begitulah dalam keadaan pikiran tidak tenang dan hawa
murni sulit dikerahkan lagi ini. Mendadak terbayang akan
adegan dikala ibunya mengalami bencana terlintas dalam
otaknya. Lantas pemikiran lain lantas terkilas dalam benaknya
secepat kilat: "Aku tidak boleh mati, masih banyak tugas yang
harus kulakukan! Terutama tugas berat yang akan jaya dan
runtuhnya penghidupan kaum persilatan di seluruh jagat ini,
Dan lagi dengan adanya Lan Cu-tok yam yang kenyataan
mulai bersemi pula dikalangan Kangouw ini, bukan mustahil ini
merupakan benih kehidupan dari istana beracun, maka . . ."
semakin dipikir terasa betapa besar dan berat tugas yang
dipikulnya ini, serentak mulutnya lantas menghardik keras:
"Yaaaa!" kedua lengan tangannya mendadak berontak sekuat

tenaga, dimana tenaga murninya terkerahkan terus didorong
keatas.
Kabut biru rada terdesak keatas, Tapi Goan hwat Taysu
masih terus berusaha menekan kebawah, sekonyong-konyong
terasa segulung hawa dingin hangat bersemi didalam
pusarnya terus menjalar naik langsung menyusup dan
menerjang kesuluruh urat nadi dan sendi-sendi seluruh
tubuhnya.
Seketika pikiran Giok-liong menjadi terang, keruan girang
bukan main hatinya. batinnya: "Ya, mungkin karena hawa
murni dalam tubuhku sendiri sudah terkuras habis, sekarang
kasiat buah ajaib itu telah menunjukkan kegunaannya."
Sungguh tidak disadari olehnya secara serampangan saja
pengalaman yang penuh bahaya didasar jurang ini malah
merupakan cara yang tepat penggunaannya obat buah ajaib
itu. Saat mana cairan perak atau sari mujarab dari buah ajaib
itu, karena tenaga dari dalam tubuhnya sendiri sudah terkuras
habis, digencet lagi dari tenaga luar, lantas terbaur menjadi
satu dan terkombinasi dengan hawa murni dalam tubuhnya,
sekarang sudah mulai menunjukkan keampuhannya yang luar
biasa.
Begitulah sewaktu hawa dingin itu meresap keseluruh urat
nadi dan sendi-sendi di kaki tangannya, Giok-liong lantas
merasa tenaganya banyak bertambah kokoh, pancaran sinar
kuning diujung potlot masnya juga mencorong semakin
terang, seluruh badannya tiba-tiba menjadi cemerlang
mengeluarkan cahaya terang putih perak yang samar-samar.
Saking kegirangan Giok-liong mendongak sambil berpekik
lantang serentak kedua lengan tangannya meronta sekuatnya:
"Blang" benturan keras seperti ledakan petir terdengar dengan
dahsyatnya menggetarkan seluruh pegunungan. Terlihatlah

bayangan orang terbang jumpalitan angin badai melesus
membubung tinggi ketengah udara membawa debu dan pasir
sehingga udara menjadi gelap.
Seketika Giok-liong merasa bahwa gencetan atau tenaga
tindihan dari atas seketika buyar dan lenyap seluruhnya,
badan terasa ringan dan nyaman, Teriihat Goan-hwat Taysu
jungkir balik ditengah udara sampai beberapa a ir tak jauhnya
baru mendaratkan kedua kakinya diatas tanah.
Sejenak kemadian kabut dan sinar biru mulai suram lalu
sirna sama sekali, Giok-liong menarik napas dalam-dalam,
sikapnya angker dan dingin, tapi kedua pipinya bersemu
merah penuh ketampanan semangat sepasang matanya
menatap n"ka-.i kebuasan dan penuh nafsu membunuh,
dengan tajam ia tatap Goan-hwat Taysu tanpa berkedip.
Wajah Goan-hwat Taysu penuh diseIubungi kabut biru
yang berkilauan sungguh perbawanya ini bisa menakutkan
orang, Demikian juga kedua biji matanya mendelik besar
seperti kelereng memancarkan cahaya biru dingin bagai mata
dracuIa, menatap ke arah Giok-liong dengan penuh
kegusaran, suaranya terdengar serak dan sember, katanya
rendah: "kau sudah menelan sari buah ajaib ini ?"
Giok-liong mandah menyeringai ejek, bukan menjawab
malah bertanya: "Go bi-tiang-lo, ternyata adalah siluman jahat
kaum persilatan. Kabut laba-laba berbisa macam pelajaranmu
tadi dari mana kau pelajari ?"
Mendadak Goan-hwat Taysu terloroh-loroh kering
mengkirikkan kuduk dan bulu roma, serunya bersenandung:
"Seluas alam semesta, hanya akulah yang teragung Ibun-Hud
co (kakek moyang ibun) bertsbi aku panjang umur !"
Baru saja lenyap suaranya, tiba-tiba badannya bergeser
berputar cepat sekali entah dengan cara apa tahu-tahu
tubuhnya sudah melejit tiba disamping Giok-liong, Dimana

sinar biru menyala, tahu-tahu kelima jari tangannya bagai
cakar garuda sudah menjojoh datang dibawah ketiak kanan
Giok-liong.
Betapa besar nyali dan keberanian Giok-liong, menghadapi
ilmu jahat dari kalangan sesat yang lihay dan ampuh ini
hatinya rada keder dan gentar juga. Maka sejak tadi Ji-lo
masih terkerahkan terus berputar melindungi seluruh
badannya, Begitu melihat cahaya biru berkelebat, potlot mas
ditangan kanan lantas bergerak menacup kedepan, samarsamar
kabut putih menguap keluar berputar putar mengitari
badannya.
Tangkas sekali Goan-bwat Taysu menarik balik tangannya,
gerak tubuhnya seenteng kupu kupu menari-nari berkelebat
cepat laksana kilat diiringi gelak tawanya yang keras kering
menusuk telinga. Begitu cepat gerak tubuhnya itu sehingga
terbentuklah puluhan bayangan manusia berwarna biru,
semua sedang berlenggang mengitari Giok-liong dengan
langkah gesit dan teratur.
Giok-1iong mendongak sambil berpekik panjang dan keras
sekali sampai menembus langit, Potlot masnya mulai bergerak
berputar dan menari cepat memancarkan sinar kuning yang
memanjang seperti seutas rantai mas yang mengitari seluruh
tubuhnya, awan putih mulai berkembang bergulung-gulung,
Mulailah ia lancarkan ilmu Jan-hun-su-sek.
Sejak menelan sari buah ajaib, Lwekang Giok-liong
mendadak bertambah dalam dan tinggi berlipat gaada, Maka
begitu ia lancarkan jurus-jurus tipu silat Jan hun-su-sek
perbawanya sudah tentu lain dari biasanya.
Tampak mega putih berputar semakin cepat menderu-deru
berdesir diseling pancaran cahaya putih perak yang keluar dari
badannya menerangi sekitar badannya, Terutama sesosok
bayangan putih yang selulup timbul kadang-kadang jelas dilain
saat samar-samar, bergerak seperti lambat namun hakikatnya

berkelebat laksana kilat, begitulah sosok bayangan putih ini
terbungkus rapi dan ketat oleh seutas sinar kuning yang
memanjang selincah kera menari tengah berputar dan
bergerak dengan tenang.
Adalah diluar lingkungan badannya ini kabut biru masih
tetap bergulung-gulung dengan tebalnya, Gelak tawa Hks,tna
jeritan setan masih terdengar menusuk telinga. Goan-hwat
Taysu yang berwajah biru berkilau tengah bergerak dan
berputar secepat angin, gerak tubuhnya seakan-akan setan
gentayangan, dimana setiap kali lengannya bergerak lantas
menimbulkan berbagai bayangan cakar setan warna biru
selalu mengancam badan Giok-liong tempat yang diarah
terutama adalah jalan darah yang mematikan diatas
badannya.
Beginilah tanpa mengenal waktu kedua belah pihak
bertempur mempertahankan hidup, begitu saling sentuh
lantas terpental berpencar, Ditengah udara saban-saban
terdengar benturan keras laksana guntur menggelegar sampai
menggetarkan bumi pegunungan, batu-batu besar kecil
sampai bergelundungan dari atas tebing.
Sekarang kelebat tubuh mereka yang bertempur ditengah
gelanggang semakin cepat, sekitar gelanggang kini sudah
diliputi kabut biru yang mengembang tebal bayangan manusia
bergerak laksana belut diantara hawa beracun yang mulai
mengembang luas setiap saat diancam oleh cengkeraman
cakar setan.
Seumpama ombak badai samudera raya yang mengamuk
berderai berlapis-lapis tak mengenal putus, dari delapan
penjuru angin serempak menuju ke arah Giok-liong.
Meskipun setiap saat jiwanya terancam cakar setan dan
hawa beracun disertai serangan-lain yang ganas lagi, tapi

Giok-liong tetap berlaku tenang dan angker, sekali bergerak
memberikan perlawanan yang gagah berani laksana seekor
naga tangguh berlincah menari ditengah udara balas
menyerang dengan tidak salah dahsyatnya.
Sang waktu berjalan terus tanpa menamti. Seiring dengan
lewatnya sang waktu situasi pertempuran ditengah
gelanggang juga ikut berubah setelah mengalami saling
serang menyerang secara keras tawan keras ini, akhirnya
didapati oleh Giok-liong bahwa memang perbawa dari Lan-cu
tok-yam itu hakikatnya sangat menakutkan.
Namun mengandal bekal Lwekang yang melandasi setiap
jurus serangan sendiri ini, untuk menghadapi ilmu Goan hwat
Taysu yang masih setengah matang, paling banter baru
mencapai empat lima bagian latihannya, kiranya cukup
berlebihan untuk mengatasi.
Lambat laun rasa gentar yang tadi menghantui sanubarinya
lantas sirna dari membela diri kini balas menyerang dengan
tidak kalah garang dan lihaynya, pancaran sinar kuning
semakin menyala dan berkembang luas, ditengah kabut yang
bergulung bayangan kuning dari ujung potlot mas berkilauan
memanjang laksana seutas rantai.
Terlebih hebat lagi adalah gerakan sebuah tangan yang
lincah menari membawa deburan gelombang angin yang
menderu laksana hujan badai.
Sumber tenaga terus mengalir bergelombang tak mengenal
putus seperti gelombang samudera, sedemikian kuat dan
ampah sekali tenaga yang dikerahkan ini sehingga sampai
gebrak terakhir ini Giok-liong mengambil inisiatif penyerangan,
berbalik sekarang Goan-hwat Taysu dengan cakarnya yang
ganas dari kabutnya yang berbisa terkepung dan terkekang
didalam kekuatan yang dilancarkan Giok-liong malah.

Arena kabut biru yang tadi meluas lebar kini semakin
kuncup mengecil akhirnya hanya dapat melindungi sekitar
tubuhnya sekitar tiga kaki lebarnya, Suara gaduh dari
benturan yang gemuruh terdengar berulang-ulang kali. Setiap
akhir dari benturan itu, kelihatan Goan-hwat Taysu pasti
berjengkit dan terpental berloncatan tapi waktu jatuh
mendarat lagi masih tetap terkekang didalam mega putih yang
mengurungnya.
Lama kelamaan Goan-hwat Taysu menjadi gentar dan
takut, keputus asaan mulai melingkupi sanubarinya, Terasa
olehnya malaikat kematian sudah membentang lebar kedua
lengannya siap menyambut kedatangannya diakhirat.
Baru sekarang terasakan betapa sengsara dan
menyedihkan hidup sebatangkara tanpa bantuan seorang
yang terdekat, seumpama dirinya sudah merupakan manusia
buangan dari masyarakat ramai. Laksana sebuah sampah
yang terombang-ambing di tengah samudera tanpa mengenal
arah tujuan tertentu tinggal menunggu waktu tertelan oleh
gelom bang ombak yang mengamuk.
Bau kematian mulai bersemi menindih benaknya. Pedih dan
rawan, sungguh tidak pernah terpikirkan olehnya bahwa
dirinya bakal mengalami hari-hari naas seperti ini. Tapi dia
masih berusaha hidup sekuatnya melancarkan sisa-sisa
tenaganya.
Cahaya biru kelihatan menyala lantas padam, suara ledakan
bagai guntur menggelegar disertai pekik panjang yang
melengking tinggi, tampak sesosok bayangan biru membawa
hujan darah terus meluncur tinggi menghilang di kejauhan
sana.
Sesosok bayangan lain berwarna putih sebaliknya melejit
tinggi ketengah udara dua puluhan tombak, ringan sekali
kakinya menutul diatas sebuah batu diatas lereng bukit terus
jumpalitan naik lagi lalu mendarat diatas ngarai.

Dibawah jurang sana kabut debu masih mengepul tinggi,
lambat laun pulih kembali seperti sedia kala.
Tatkala mana sang putri malam kebetulan sudah mulai
memancarkan sinarnya yang terang redup berwarna perak
halus menerangi kebawah jurang sana. jelas kelihatan bangkai
kedua ekor harimau menggeletak tak berkutik lagi, sebaliknya
bangkai ular aneh tiu tersembunyi ditempat gelap yang tidak
sampai diterangi sinar bulan purnama ini.
Giok liong berdiri tegak dan berdiam diri, betapa rasa hati
ini sulit dilukiskan dengan kata-kata, sungguh tidak nyana
olehnya karena mengalami bahaya malah dirinya mendapat
rejeki, Malah sekaligus dapat melancarkan kasiat dan
kegunaan rejeki yang ampuh itu. sekarang Lwekang dalam
tubuhnya swdab bertambah berlipat ganda.
Namun demikian masih ada suatu persoalan yang selalu
mengganjal hatinya, yaitu mungkinkah pimpinan istana
beracun Ibun Hwat telah bangkit kembali dari liang kuburnya ?
Kalau tidak bagaimana mungkin Lan cu-tok-yam (kabut
beracun laba laba biru) bisa muncul pula di kalangan
Kangouw? KaIau dugaan ini menjadi kenyataan, ini benarbenar
sangat menakutkan.
Lan-cu-tok-yam merupakan ilmu sesat yang diajarkan
bukan dari jalan benar, boleh dikata malah semacam ilmu sihir
yang jahat dan beracun. Betapa besar perbawa dan
keampuhan ilmu ini, boleh dibuktikan dari apa yang telah
dipertunjukkan oleh Goan hwat Taysu tadi, padahal ia hanya
berlatih sampai tingkatan empat lima bagian saja.
Hutan kematian tengah menghimpun kekuatan yang
terpendam, merupakan bibit bencana atau bisul diantara kaum
persilatan. Kini telah muncul lagi kaum istana beracun.
Ditambah Hiat ing-bun, serta para gembong-gembong iblis
jahat yang sebelum ini banyak mengasingkan diri diatas

pegunungan kini mulai mengunjukkan diri dan muncul di muka
umum.
Dunia persilatan bakal timbul gelombang kejaran yang
penuh membawa derita sena bencana bagi kaum persilatan,
Entahlah keributan apa lagi yang bakal terjadi.
Tengah ia termenung-menung, dari kejauhan sana
didengarnya suara lambatan baju yang tertiup angin, Dari
suara lambaian angin dapatlah diperkirakan para pendatang
ini kurang lebih berjumlah dua puluh orang. Malah setiap
orangnya adalah tokoh-tokoh kosen yang berkepandaian
tinggi termasuk tokoh kelas satu di dunia persilatan.
Jarak mereka kira-kira masih kurang lebih tujuh delapan li,
sebetulnya Giok liong berniat tinggal pergi begitu saja, serta
dipikir lebih lanjut, mungkin tempat ini tidak jauh letaknya
dengan puncak Go bi-san, maka Goan-bwat Taysu bisa
membawa kedua ekor harimau penunggu gunung itu ke
tempat ini. Apalagi sebelum merat tadi Goan-hwat Taysu
pernah bersuit melengking minta bala bantuan, Mungkin para
pendatang ini adalah kelompok dari kaum Go-bi-pay.
Kalau benar para pendatang ini adalah anak murid dari Gobi-
pay, dirinya harus memberi penjelasan cara bagaimana
sampai terjadi pertempuran disini, dirinya telah kelepasan
tangan membunuh binatang piaraan penunggu gunung
mereka. Malah yang lebih tepat dia harus memberitahukan
kepada Ciang-bun-jin mereka bahwa Goan-hwat Taysu adalah
salah seorang kamprat dari istana beracun.
Karena adanya pikiran terakhir ini ia batalkan niatnya untuk
pergi, dengan tenang dan bebas seakan tidak terjadi apa-apa.
ia masukkan potlot mas kedalam buntalannya, dengan
menggendong tangan ia mendongak memandang rembulan

yang memancarkan sinar purnama.
Tidak lama ia menunggu, menyusun pinggir ngarai sana
berlari-lari serombongan Hwesio hwesio gundul, jumlahnya
memang kurang lebih dua puluhan orang.
Giok-liong tersenyum sendiri, batinnya: "Kasiat buah ajaib
itu ternyata memang luar biasa. Dari jarak tujuh delapan li
jauhnya tokoh-tokoh silat ini berlari, kiranya dengan jelas telah
dapat kudengar malah dapai menghitung jumlahnya lagi."
Dalam pada itu dengan langkah enteng dan gerakan yang
gesit tangkas sekali para Hwesio itu sudah loncat berseliweran
hinggap di sekitar Giok-liong.
Dua orang yang berlari paling depan berusia pertengahan
umur, diatas pundak masing-masing memikul Hong-pian-jan
(tongkat hwcsio), sikap mereka sangat angker dan galak, Di
belakang mereka berdua beriring serombongan hwesio-hwesio
yang berusia lebih muda dengan tubuh tegap-tegap.
Begitu mereka sampai segera terdengar salah seorang dari
mereka berteriak kejut: "Celaka, Harimau sakti penunggu
gunung kita telah mampus dibawah jurang sana." seketika
dua puluhan pasang mata serentak memandang kebawah
jurang sana.
Kedua Hwesio tua pemimpin itu segera melejit tiba
dihadapan Giok-liong berjarak setombak, Hwesio yang berdiri
disebelah kanan segera membuka mulut: "Harap tanya Siau
si-cu, apakah kau tahu harimau sakti penunggu gunung kita
telah dibunuh oleh siapa ?"
Giok-liong angkat tangan sedikit saja, sahutnya: "Kedua
binatang itu telah mampus di kedua tanganku ini !"
Serempak Kedua Hwesio tua itu lantas angkat kedua
tongkatnya sampai mengeluarkan suara kentongan, Hwesio

yang bicara tadi segera memaki dengan gusar serta melotot:
"Binatang, berani kau bertingkah di atas gunung Go-bi. Berapa
sih batok kepalamu, serahkan seluruhnya sebagai hukuman
yang setimpal.
Hwesio tua di sebelah kiri rada dapat mengendalikan diri,
katanya mendengus: "Buyung, siapa yang suiuh kau membuat
gaduh disini ? Siapa namamu, lekas sebutkan, kenapa pula
kau telah bunuh binatang sakti kita?"
Dimaki sebagai binatang dan kata-kata kotor lainnya,
memuncak kemarahan Giok-liong bagai api disiram minyak,
namun sedapat mungkin ia menahan sabar, katanya sambil
memberi hormat: "Aku yang rendah Ma Giok liong, maaf bila
kami tidak tahu bahwa daerah ini merupakan lingkungan Go
bi-pay kalian, harap para Taysu suka memberikan maaf. . ."
"Kentut, terang gamblang tempat ini sebagai leluhur
berdirinya Go bi-pay kami, mana mungkin kau bisa tidak
tahu."
Semakin berkobar amarah Giok-liong sampai alisnya
berkerut dalam, kedua matanya memancarkan sinar tajam
berkilat kiiat, namun ia masih tidak kehilangan kesabaran
sebagai murid aliran lurus yang mengenal tata krama,
sahutnya dengan suara tertekan: "setelah aku yang rendah
memasuki daerah ini, lantas bersua dan melihat Goan hwat
Taysu dari partai kalian tengah memimpin kedua ekor harimau
piaraannya bertempur seru melawan seekor ular berbisa
berkepala jambul ayam jago. Dalam keadaan yang sangat
gawat sebelum jiwa Goan-hwat Taysu terenggut oleh ular
berbisa, aku yang rendah turun tangan menolongnya, Tapi
bukan saja kebaikanku tidak diterima malah beliau
menyalahkan aku dan hendak mengambil jiwaku. Dari saling
serang tadi baru kuketahui bahwa ternyata Goan hwat Taysu
merupakan sisa murid dari istana beracun yang sudah
diberantas itu . . ."

"Bocah ingusan, jangan seenakmu buka mulut. Mana boleh
Goan hwat Taysu kau tuduh dan kau nista tanpa bukti oleh
bocah berbau bawang macam kau ! serang !"
Dengan mengeluarkan suara gemerantang, dua tongkat
Hong-pian jan berbareng telah mengemplang dan
menyerampang datang membawa deru angin dahsyat, jangan
dikata tongkat itu sangat berat dan besar, namun cara
menyerangnya sangat tangkas dan dilandasi Lwekang yang
hebat, sasarannya tepat dan tempat yang mematikan lagi,
sekali gebrak ini terang Giok-liong telah terkepung diarena
serangan musuh, jalan mundurpun telah tertutup.
Bersama itu, para Hwesio lainnya serentak berteriak riuh
rendah terus menghunus senjata masing masing mengepung
Giok-liong ditengah gelanggang.
Baru saja kedua tongkat besar itu menyambar tiba, tibattba
pandangan semua orang serasa kabur, tahu-tahu Giokliong
sudah berkelebat menggeser tempat setombak disebelah
sana, katanya mengejek: "Sungguh tak nyana para Taysu dari
Go bi-pay yang diagungkan sebagai pendeta welas-asih,
kiranya jwga tidak mengenai sopan santun?"
Tanpa merasa- para Hwesio itu terketuk hatinya diam-diam
merasa membatin: "Ternyata bocah ini bersih juga ,.."
Meskipun otak berpikir, namun gerakan mereka masih terus
dilanjutkan serentak terdengar mereka membentak-bentak,
terlihatlah sinar senjata berkelebat diiringi angin pukulan
menderu berbareng mereka menyerang kearah Giok-liong.
Bertubi-tubi Giok-liong harus main kelit, lalu hardiknya
keras: "Kalau kalian benar benar mendesak terus, terpaksa
aku yang rendah harus turun tangan!"

"Hahaha, kunyuk, kurcaci macammu ini, silakan kau turun
tangan, supaya bisa mampus dengan merem!"
Kemarahan Giok liong sudah sampai pada puncaknya,
mendongak keatas ia bersuit panjang, sedemikian keras
suaranya sampai para Hwesio merasa tergetar dan tertusuk
telinganya, dimana bayangan putih berkelebat seketika
terlihatlah sosok tubuh orang terpental jungkir balik disertai
suara senjata berjatuhan mengeluarkan suara ramai, Dua titik
sinar terang meluncur tinggi ketengah udara, Terdengar kedua
Hwesio tua pemimpin tadi mengerang kesakitan, kontan darah
menyemprot berceceran "Plak, plak" tubuh mereka terbanting
keras ditawan sejauh berapa tombak.
Timbul napsu membunuh dalam benak Giok-liong.
Terbayang akan adegan dimana waktu ibunya menghadapi
bencana dulu, matanya lantas memancarkan sorot jalang
kebuasan gerak tubuhnya semakin gesit dan berloncatan gesit
seka!i. Dimana bayangannya tubuh serta kaki tangannya
bergerak, seketika terdengar jeritan ngeri berturut turut,
darah berhamburan. Dalam sekejap saja puluhan sosok tubuh
manusia beterbangan dan terbanting mampus ditanah.
Para Hwesio lain yang masih ketinggian hidup berubah air
mukanya, dengan berteriak ketakutan serentak mereka berlari
berpencar sipat kuping seperti dikejar setan.
Giok-liong menjadi geli dan bergelak tawa sepuas-puasnya,
serunya: "Akan kulihat Go-bi-pay kalian bisa berbuat apa
terhadap aku Ma Giok-liong."
Salah seorang dari Hwesto yang melarikan diri itu
terdengar berteriak keras: "Ma-Giok-liong, Kaiau kau berani
datanglah menghadap kepada Ciang-bunjin kami,.,, ,,."
Ditengah kumandang gelak tawa Giok-liong menutulkan
kakinya, Badannya lantas melayang ketengah udara dengan
gaya yang sangat indah ia jumpalitan ditengah udara terus

mengejar kearah para Hwesjo melarikan diri tadi, Dengan para
Hwesioyang ketakutan sebagai petunjuk jalan ia terus berlari
melewati atas kepala mereka.
Belum lama ia berlari dari kejauhan didepan sana lantas
berkumandang suara genta dipukul bertalu-talu. itulah
pertanda habis atas saat isirahat malam bagi para Hwesio
didalam kelenteng. Tapi suara genta kali ini lain dari biasanya
karena terus bertalu-talu dan bergema lama ditengah udara
semakin keras. Ini pula merupakan pertanda terjadi suatu
perubahan besar yang menimpa didalam kelenteng Go-bi-san.
Giok-liong menjadi merasa heran. Adalah orang yang
bernyali begitu besar berani menyerbu keatas Go-bi-san
sebagai salah satu aliran ternama dari sembilan golongan silat
yang diagungkan didunia persilatan. Menurut apa yang
diketahui saja, diantara para Tiang-lo Gi bi-pay sekarang ada
seorang Tianglo yang berkedudukan paling tinggi, beliau
adalah Goan-hwat Taysu punya Cosu, seorang Hwesio tua
berusia lanjut yang masih ketinggalan hidup, berilmu tinggi
pula.
Hwesio tua ini beratus julukan Ngo-hui-heng-cia. Jejak
Ngo-hui-heng-cia selamanya tidak diketahui oleh orang luar,
justru karena dengan adanya Ngo-hui-heng-cia inilah maka
Go-bi-pay yang sudah disegani oleh kaum persilatan lebih
dipandang agung wibawanya lebih besar dimata umum serta
bisa sejajar dengan Siau-lim, Bu-tong Thian-san sebagai salah
satu aliran yang jempolan diantara sembilan partai besar.
Malam ini entah siapa yang berani menerjang keatas Go-bi
san membuat onar, sungguh sukar dimengerti, Tengah ia
berpikir kakinya masih melangkah cepat, dari kejauhan sudah
terlihat bangunan kelenteng yang berlapis-lapis bukan saja
pelita api tidak dipadamkan banyak tempat dipasang lilin dan
tengloleng yang besar ditiang-tiang tinggi, seolah olah tengah

mengadakan suatu upacara sembahyang atau peringatan
besar.
Tapi dengan ketajaman pendengaran Giok-Iiong, pikirnya:
"Apa mungkin keadaan yang angker dan khidmat ini untuk
menyambut kedatanganku. Bukan mustahil Goan-hwat Taysu
yang melarikan diri membawa luka-luka menghadap kepada
Go-bi Ciang-bun-jin Hian Goan Taysu serta mengadu biru
dihadapan beliau dengan adanya kenyataan dan bukti yang
telah dilakukannya tadi, bukan mustahil menjadikan mereka
bersiap siaga ada alasan kuat untuk menghadapi dirinya
sebagai musuh besar." Terpikir sampai disini timbul kekuatiran
dalam benaknya.
Tingkat kedudukan Ngo hui heng-cia konon katanya masih
setingkat lebih tinggi dari To-ji Pang Giok, gurunya sendiri.
Tingkat kepandaian silatnya katanya juga sangat tinggi hampir
menjadi pendekar pedang menjadi dewa.
Tapi berita tinggal berita, hampir selama ratusan tahun ini
tiada seorangpun yang pernah melihat beliau mengunjukkan
diri mau memamerkan ilmunya yang sejati.
Hian Goan Taysu Ciang-bun-jin Go-bi-pay yang seorang
adalah bakat yang sukar dicari keduanya dikalangan persilatan
masa kini, terbukti selama dua puluhan tahun ia memegang
tampuk pimpinan Go bi-pay sejak masih muda sampai
sekarang, Go bi-pay semakin menjulang tinggi dan tenar
sebagai aliran besar yang lurus.
Tak peduli selama dua puluhan tahun tahun ini sepak
terjangnya.bagaimana,hakikatnya ternyata Go bi-pay telah
dipimpinnya sedemikian rapi berdisiplin keras, tingkat
kepandaian para muridnya juga merata menjadi tingkatan
kelas satu dikalangan Kangouw.

Kalau malam ini membunyikan genta memanggil kumpul
seluruh penghuni kelenteng besar ini semata-mata untuk
menghadapi dirinya. Kedatangannya ini melulu mengandal
ilmu silat tiada pegangan pasti dapat menang, mengandal
kenyataan, dikawatirkan mereka tidak akan mau percaya.
Seumpama terjadi keributan dengan pihak Go bi ini berarti
pula menentang dan bermusuhan dengan pihak sembilan
partai lainnya. sekarang keadaan Bu-lim tengah menghadapi
ancaman terpendam yang suatu waktu bakal meletus dan
gawat dalam dunia yang luas ini kalau kalangan lurus
persilatan tidak dapat bersatu dan saling solider, sebaliknya
saling bunuh dan bermusuhan, dan sumber kejadian ini melulu
karena perbuatannya yang salah langkah ini, ini sungguh
sangat menguwatirkan.
Sambil berpikir tubuhnya terus meluncur dengan kecepatan
anak panah maju kedepan Tak lama kemudian pintu gerbang
pertama sudah kelihatan Dengan ringan Giok-Iiong
mendaratkan kakinya dijalan besar disini ia berhenti sejenak
mengosentrasikan pikiran dan mengendalikan diri, Lalu
pandangannya menjelajah kesekitarnya terlihat empat penjuru
sunyi senyap tanpa terdengar suara sedikitpun.
Sebagai tanda hormatnya selangkah demi selangkah ia
beranjak maju melintang dari lapangan besar itu lurus menuju
ke aula besar, Suara genta yang bertalu talu tadi sudah
berhenti, Sang putri malam memancarkan sinarnya yang
cemerlang angin menghembus sepoi-sepoi kesunyian
disekelilingnya itu membawa suasana yang hening dan angker
menegangkan.
Waktu Giok-liong beranjak sampai ditengah lapangan, tibatiba
terdengar suara mantram yang mengalun tinggi, pintu
besar bercat hitam itu juga pelan-pelan terbuka lebar, Dari
belakang pintu beriring keluar dua barisan Hwesio hwesio

berseragam kuning terus maju !kedepan pintu lalu berdiri
tegak dikedua sisi tak bergerak lagi.
MenyusuI itu berjalan keluar pintu pula empat Hwesio tua
yang mengenakan jubah besar warna merah. Dibelakangnya
para Hwesio berkasa merah ini adalah dua Hwesio yang lebih
lanjut usia membuntuti di belakang seorang Hwesio bertubuh
tinggi kekar berwajah merah bersikap gagah dan garang.
Pelan-pelan dengan langkah berat mereka maju kedepan
pintu. Salah satu Hwesio yang berusia lanjut itu bukan lain
adalah Goan hwat Taysu.
Dari keadaan yang penuh keangkeran ini terang sekali
Hwesio bertubuh tinggi tegap dengan kedua mata sedikit
meram itu pasti bukan lain adalah Hian Goan Taysu Cian-bunjin
Go bi-pay sekarang.
Baru saja mereka muncul, keempat Hwesio berkasa merah
itu langsung maju ketengah lapangan kira-kira setombak di
hadapan Giok-liong baru mereka menghentikan Iangkah.
Berbareng mereka pentang mata memandangi Giok-liong
dari bawah keatas dan dari atas kebawah, sejenak kemudian
satu diantaranya yang ditengah berseru menyapa dan
bertanya: "Apakah Siau si-cu ini adalah Ma Giok-lioag adanya
?"
Cepat cepat Giok-Iiong merangkap tangan serta menyahut
hormat: "Benar !"
Air muka si Hwesio tua ini berkelebat rasa heran dan kejut,
agaknya ia rada tidak percaya maka, ditandaskan lagi sebuah
pertanyaan: "Jadi Si-cu adalah Kim pit jan-hun Ma Giok-liong
?"
Kata Giok-liong: "Aku yang rendah memang Ma Giok-Jiong,
Tentang julukan Kim pit-jan-hun itu, mungkin adalah para

sahabat Kangouw yang sembarangan saja yang
mengangkatnya,"
Tiba tiba Goan-hwat Taysn maju selangkah serta
membentak: "Benar kurcaci rendah ini, kenapa kalian . . ."
Segera Hian Goan Taysu mengulapkan tangan mencegah
kata-kata Goan-hwat selanjutnya, lalu manggut manggut
kepada ke empat Hwesio tua berkasa merah itu.
Hwesio tua berkasa merah itu menatap pula kearah Giok-
Hong serta serunya lantang: "LoIap berempat Hwat Khong,
Hwat Bing, Hwat Hui dan Hwat Hay berkedudukan sebagai
pelindung Go-bi-pay, ada satu peristiwa yang belum jelas bagi
kita mohon sicu suka memberi keterangan."
Giok-liong tersenyum tawar, katanya: "Ada soal apakah
yang perlu kujelaskan cobalah katakan, menurut apa yang aku
tahu akan kujelaskan."
Orang yang tampil bicara tadi bukan laju adalah tertua dari
keempat Huhoat Go-bi pay yang bernama Hwat Khong, Air
mukanya membesi serius, alisnya dikerutkan dalam, suaranya
rendah berat: "Malam-malam Siau-si-cu menerjang keatas
gunung Go-bi mencuri buah ajaib kita, membunuh harimau
sakti penunggu gunung malah berani melukai Tianglo kami. .
."
Pada saat itulah terlihat sesosok bayangan meluncur
datang terus menubruk ketengah lapangan langsung
menghadap kedepan Hian Hoan Taysu terus berlutut serta
katanya sambil sesenggukan: "Tecu beramai sungguh tidak
becus, sebagian besar dari para suhengte telah gugur atau
terluka berat ditangan musuh, harap Ciang-bun-jin suka
memberi keadilan."

Hian Goan Taysu mendehem sekali lalu tanyanya: "Berapa
banyak yang menjadi korban ?"
"Ada empat belas Suheng-te telah menjadi korban
keganasannya, enam orang lagi terluka berat, Hanya tecu dan
capwe Sute tidak terluka sama sekali . . ."
"Baik, kau mundur . . . "
Goao-hwat Taysu menggereng rendah, serta maju
seiangkah, katanya: "Ciang-bun. . ."
Air muka Hian Goan Taysu membeku dingin, Kepalanya
manggut kepada Hwat Khong yang kebetulan tengah
berpaling ke arahnya.
Hwat Khong sendiri juga telah berubah cemberut membesi
kaku, sepatah demi sepatah ia lanjutkan kata-katanya:
"Membunuh pula empat belas murid-murid serta melukai
enam orang." sampai disini ia merandek menelan liur,
mendadak ia berkata lagi lebih keras dengan nada lantang:
"Kalau Siau-si-cu tidak memberikan keadiian, seumpama pihak
Go-toi-pay kita tidak meringkus dan menghukum kau, seluruh
orang gagah di dunia ini pasti bakal mentertawakan Go bi-pay
kita sebagai gentong nasi melulu !"
Giok-liong membelalakkan kedua matanya dengan tajam
berkilat ia menyapu pandang ke seluruh gelanggang, lalu
sedikit saja ke arah Hwat Khong taysu, berseri tawa, ujarnya:
"Harap Ciang-bun jin kalian suka tampil kedepan untuk
bicara."
Berubah air muka Hwat Khong, desisnya berat: "Benar
takabur !" telapak tangan yang tersembunyi didalam lengan
bajunya yang gedobrahan besar itu mendadak mengebas dan
menekan kebawah lambung Giok liong.
Seketika segulung arus deras bagai damparan ombak
menerpa dengan dahsyatnya.

Giok liong bergelak tawa, serunya: "Ternyata Go bi-pay
kalian memang banyak cecongor yang pandai membokong,"
belum lenyap suaranya, tangan kanan Iantas dibalikkan
seolah-olah sengaja atau tidak di kebalikan keluar, seperti
mengebutkan debu kotoran yang melekat dilengan bajunya
saja layaknya.
"Blang...." suara pecah bagai ledakan guntur menggelegar
ditengah gelanggang. Ke-dua belah pihak berjarak setombak
lebih, maka timbullah dua angin lesus seperti cagak kayu yang
didirikan ditengah lapangan bertahan keras itu terus
membumbung tinggi dan melayang keempat penjuru.
Terdengar Hwat Khong menggereng keras seperti hendak
muntah beruntun ia tersurut empat tindak baru bisa berdiri
tegak lagi, air mukanya berubah hebat, sebelum ia dapat
pernahkan diri untuk menerjang maju lagi, Hwat Bing, Hwat Hi
dan Hwat Hay disampingnya serentak telah mengirim sebuah
pukulan sambil melangkah maju setindak. Meskipun pukulan
dilancarkan dari kejauhan namun tiga jalur aium pukulan ini
bertemu dan bergabung ditengah jalan terus bergulung maju
mengeluarkan bunyi guntur menggeledek menerjang kearah
Giok-liong. .
Dengan gagah dan congkaknya Giok-liong berdiri tegak
diujung mulutnya menyungging senyum ejek, dengusnya
mengejek: "Aku tak percaya tidak dapat minta ciangbunjin
kalian tampil kedepan." setelah berkata, ia menarik napas,
meminjam gaya kebasan, lengan tangan kanan tadi sekali lagi
ia membalik sambil mendorong dengan rada jongkok.
"Byaaaarrrr" seperti gunung meledak dan batu batu hancur
lebut beterbangan membumbung tinggi ketengah udara.
Ditengah gelanggang kini terlihat tiga lubang besar
sedalam beberapa kaki, Bayangan orang juga berkelebat
sungsang sumbel di iringi pekik kesakitan. Kontan tiga Hu-hoat
jubah merah lainnya juga tersurut mundur dua langkah.

Sebaliknya Giok liong hanya menggeliat sedikit, tapi
tubuhnya masih tetap tegak berdiri sedikitpun kakinya tidak
tergeser, suasana mulai diliputi ketegangan yang mencekam
hati dengan nafsu membunuh telah membakar hati.
Air muka Ciang-bun-jin Go bi-pay Hian-Goan Taysu
membeku dingin dan kaku, kedua matanya membelalak besar
dengan sorot tajam berkilat, tiba-tiba badannya melejit
ketengah udara tanpa kelihatan menggerakkan kaki atau
pundakpun ia bergerak, kelihatan lambat tapi kenyataan
sangat sebat dalam sekejap saja tahu tahu dia sudah berdiri di
depan keempat Hu-hoat berkasa merah itu, Terdengar ia
membuka suara: "Para Hu hoat diharap mundur kesamping
untuk istirahat."
Sebetulnya Hwat Khong berempat sudah bersiap hendak
menerjang maju lagi, serta mendengar seruan Hian Goan
Taysu, Mereka insyaf bahwa ketua mereka telah memberi
sedikit muka kepada mereka. Tanpa berani ajal lagi beruntung
mereka mengundurkan diri sambil mengiakan.
Sementara itu, Goan-hwat Taysa dan seorang Hwesio tua
lainnya juga telah ikut mendesak maju.
Dengan wajah membesi penuh kelicikan berkatalah Goanhwat
Taysu dingin: "Lapor Ciang bun-jin, bocah keparat ini
telan mencuri buah ajaib yang telah lolap temukan sehingga
membunuh binatang sakti menunggu gunung piaraan kita
malah melukai dan membunuh para anak murid kita lagi.
Betapa besar dosanya ini sudah terang tak terampunkan lagi,
Tapi bocah ini telah menelan sari buah ajaib itu, Lwekangnya
maju berlipat ganda lihay bukan main. Harap Ciang-bun-jin
hati-hati dan waspada menghadapinya supaya tidak mendapat
cidera."
Ciang bun jin Go-bi-pay Hian Goan Tay-su hanya
mendengus dingin saja, katanya: "Sudah tahu, harap Susiok
mundur biar ku-hadapi."

Walaupun Goan Hvvat Taysu sebagai Susioknya, tapi
dihadapan Ciang-bun-jm dia tidak berani bersikap keras
kepala, setelah membungkuk serta mengiakan segera ia
mengundurkan diri, tapi masih menjubluk berkata: "Dosa
keparat ini setinggi langit, haki-katnya dia tidak pandang Go
bi-pay sebelah matanya saja...."
Saat mana Hian Goan Taysu dengan sorot pandangan
dingin mengamat-amati Giok-liong, tanyanya: "Siau-sicu ada
permusuhan atau sakit hati apakah dengan pihak Go bi-pay
kita, setelah membunuh harimau penunggu gunung, melukai
beberapa murid dan mencuri buah ajaib lagi, sekarang masih
belum puas menerjang kemari membuat keributan."
(BERSAMBUNG JILID KE 11)
JIlid 11
Giok-liong tersenyum ewa, katanya memberi penjelasan:
"Aku yang rendah secara kebetulan lewat digunung kalian
tanpa masuk biara menyulut dupa bersembahyang, hal ini
memang kekuranganku, Tapi tentang membunuh harimau,
melukai orang dan mencuri buah ajaib adalah persoalan lain,
Demi wibawa dan ketenaran nama Go-bi-pay selama ratusan
tahun yang telah dijunjung tinggi itu, biarlah secara kenyataan
dengan bukti-bukti yang ada kujelaskan seperlunya harap
Ciang-bun-jin suka bersabar."
Baru saja ucapan Giok-liong selesai, Goan-hwat Taysu
sudah melesat maju sambil terkekeh-kekeh dingin, ejeknya:
"Kunyuk yang sombong, wibawa dan ketenaran nama baik Gobi-
pay selama ratusan tahun ini mana boleh dirusak oleh
bocah berbau bawang macam kau Hm !" lalu ia menghadap
kearah Hian Goan Taysu serta memohon: "Tecu, mohon
perintah untuk meringkus bocah keparat ini."
Hian Goan Taysu Ciang-bun-jin Go-bi-pay sekarang bukan
saja berkepandaian silat maha tinggi, otaknyapun encer dan

cerdik, Melihat sikap terjang Susioknya yang kasar dan
berangasan ini tergeraklah hatinya, katanya dengan rasa tak
senang: "Harap susiok suka berlaku sabar . . ."
Tapi Goan-bwat Taysu sendiri juga bukan orang goblok, dia
seorang yang licik dan cermat dalam segala tindakan, Tanpa
menanti Hian Goan Taysu berkata habis dengan kecepatan
kilat tiba-tiba tubuhnya menubruk maju sambil mengayun
tangan kanan dengan jurus Koan-im-jatt-hud (Kenn ini
menghadap Badha) serentak timbullah bayangan pukulan
beratus kepalan yang membawa deru angin yang dilancarkan
Goan-hwat Taysu ini sehingga kata kata selanjutnya dari
ucapan Hian Goan Taysu tertelan hilang.
Sebetulnya memang Giok-liong sudah merasa sebal dan
murka melihat tingkah tengik pendeta serakah ini. batinnya:
"Hm, kalau bukan karena memikirkan jaya dan rumahnya Go
bi-pay kalian,mana aku sudi datang kemari...." Belum habis
pikirannya melintas Goan-hwat Taysu sudah menubruk datang
disertai serangan dahsyat bagai gugur gunung.
Baru saja Giok-liong mendengus jengkel dan belum sempat
turun tangan. "Tahan!" tiba-tiba terdengar sebuah bentakan
keras ditengah gelanggang. Disusul terlihatlah bayangan
orang berkelebat terasa segulung tenaga lunak yang besar
tiba tiba menerjang datang dari arah samping kiri.
"Byaarrrr!" terjadilah getaran angin, tahu tahu Hian Goan
Taysu Ciang-bun jin Go bi pay sudah berdiri berdiri diantara
Giok-liong dan Goan hwat Taysu dengan sikap kereng,
Suaranva rendah sembari membentak kearah Goan hwat
Taysu: "Harap Susiok segera mundur kesamping, urusan ini
betapa juga harus kuselesaikan sampai beres."
Goan-hwat Taysu melengak, sesaat ia terlongong longong
lalu merangkap tangan mengundurkan diri, Tapi sepasang
matanya mendelik mengawasi Giok liong, seolah-olah kuatir
Giok-liong bergerak membokong secara tiba-tiba.

Tapi samar-samar di ujung mulutnya menyungging senyum
sinis dan seringai sadis yang mengerikan, sementara itu,
seorang Hwesio tua lainnya juga sudah melangkah maju
berjaga disamping kanan Hian Goan-Taysu.
Bertanyalah Hian Goan Taysu kepada Giok liong dengan
serius: "Siau-sicu, kalau punya omongan apa silakan katakan
saja, Go-bi-pay kami tidak akan mempersukar kepadamu
tanpa alasan."
Giok-liong tertawa ringan: "Kalau minta aku yang rendah
bicara terus terang, lebih baik suruh Goan-hwat Taysu
menyingkir jauh dulu."
Hian Goan Taysu tertegun heran, sebaliknya Goan-hwat
Taysu tertawa dingin: "Kalau Lolap mengundurkan diri, kunyuk
lantas kau berkesempatan mengobral mulut sembarangan
ngotnong!"
Giok-liong bergelak tertawa: "Apa boleh buat. Maksudku
menyuruh tuan menyingkir sebab utamanya karena kwatir
tuan nanti menggunakan Lan-cu-tok-yam untuk mencelakai . .
. , . " Maksud ucapan Giok-liong ini adalah akan memberi
bisikan kepada Hian-Goan Taysu supaya beliau waspada dan
berjaga-jaga. Bahwa Goan-hwat Taysu sebenarnya sudah
menjadi kamprat atau anak buah istana beracun. Tidak nyana
belum lagi perkatanya habis, tiba-tiba terdengarlah pekik
panjang yang aneh dari tangan gelanggang disusul kabut biru
bercahaya berkilat telah timbul di sekeliling Goan-hwat Taysu,
Bersama itu terlihat tiga gumpal kabut biru melesat
berkecepatan seperti kilat berpencar masing-masing
menyerang kearah Giok liong, Hian Goan Taysu dan Goan Ci
Taysu.
Peristiwa terjadi begitu mendadak, memang tiada
seorangpun mengira bahwa Goan hwat Taysu ternyata sudah
menjadi anak buah istana beracun yang menyelundup di

dalam Go bi-pay mereka, apalagi berani turun tangan secara
berhadapan demikian.
Terdengarlah jeritan ngeri, terlihat badan Goan Ci Taysu
terpental jungkir balik. "bluk" terbanting keras beberapa
jauhnya, sejenak kaki tangannya berkelejetan dari tujuh
lubang panca indranya mengalirkan darah, Terus tak bergerak
lagi.
Bertepatan dengan itu, terdengar pula sebuah suitan
panjang yang melengking tinggi. Sinar perak berkelebat mega
putih lantas mengembang berkelompok lewat disamping tubuh
Hian Goan Taysu langsung menyerang kebelakangnya.
Hian Goan Taysu sendiri juga menggerung gusar, gesit
sekali badannya berputar terus melambung tinggi ketengah
udara, Dimana ter-Jtr-ft leTK'i,n jubah Hwesionya dikebutkan,
dua jalur angin kencang lantas diberondong keluar
mulutnyapun menghardik murka: "Pengkhianat!" Baru saja
badannya melenting ditengah jalan, mendadak paha kakinya
terasa sakit kesemutan seperti digigit nyamuk, sejalur hawa
dingin terus merambat naik dari pahanya, Keruan kejut
hatinya bukan kepalang, Tahu dia bahwa dirinya sudah
keserempet oleh kabut berbisa dari Lan cu- tok-yam, lekaslekas
ia menarik napas dan mengerahkan hawa murni,
menggunakan ilmu Cian-kin-tui membuat tubuh terus
meluncur jatuh lurus kebawah.
Dalam pada itu terdengarlah ledakan dahsyat yang
menggetarkan seluruh gelanggang, dua bayangan lantas
berpisah, tampak Giok-liong dan Goan hwat Taysu melompat
mundur deagan cepat setelah saling adu pukulan keras.
Perubahan yang terjadi secara mendadak ini berlaku begitu
cepat, setelah Giok-liong beradu pukulan dengan Goat-hwat
Taysu,baru seluruh hadirin diluar gelanggang insyaf akan

situasi yang gawat dan mengancam. Serempak mereka
berteriak dan membentak beramai-ramai maju merubung
ketengah gelanggang,
Pada saat mana Hian Goan Taysu telah duduk bersila di
tanah mengerahkan tenaga murni mendesak menjalamya
hawa beracun di dalam tubuh.
Sekonyong-konyong rangkaian suitan panjang yang serak
dan sember saling bersahutan dari segala penjuru, sedemikian
riuh ramainya suitan sumbang itu melanda datang kearah
puncak Go-bisan.
Mendengar suitan-suitan sumbang dari berbagai arah
penjuru itu, girang bukan main Goan-hwat Taysu, mendongak
keudara ia menggembor keras berbarengkedua tangannya
menarik serabutan dengan keras, jubah Hwesio yang besar
gondrong itu seketika dirobek menjadi berkeping-keping, kini
terlihatlah pakaian dalamnya yang mengenakan seragam biru
ketat, teriaknya dengan beringas: "Yang ikut aku hidup yang
menentang harus modar dengan diselubungi kabut biru yang
bercahaya terang menyolok mendadak badannya pelan-pelan
terbang ketengah udara.
Udara pegunungan Go-bi-san seketika diliputi oleh kabut
biru berbisa, udara menjadi gelap dan diliputi suasana yang
seram menakutkan.
Di tengah riuh rendahnya suara suitan yang bersahutan itu
terdengar pula serangkaian tembang rendah tnengalun:
"Seluas alam semesta. hanya kamilah yang teragung. Ibun
Cosu, berkahilah aku panjang umur!" tembang pemujaan ini
mengalun saling bersahutan, suaranya terdengar serak
sumbang menggiriskan sukma.
Maka terlihatlah kelompak-kelompok kabut biru dengan
bentuk seperti laba-laba tengah beterbangan mendatang dari
segala jurusan jumlahnya ada puluhan banyaknya, seperti

meteor terbang dengan kecekatan kilat terus meluncur
memasuki gelanggang.
"Tang . . . tang . . . taag tang , . ,tang tang tang - , . "
Genta peringatan dari kelenteng Go-bi-san segera bergema
bertalu-taIu. Tapi hanya sebentar saja lantas terdengarlah
jeritan lengking tinggi yang mengerikan, suara genta juga
lantas berganti ini menandakan bahwa penjaga atau Tianglo
pemukul genta itu sudah mengalami nasib sial.
Para anak murid Go-bi-pay menjadi geger, ditambah
melihat Ciang-bun-jin mereka sudah terluka dan tengah duduk
bersila mendesak hawa racun dalam tubuhnya, ini lebih
mengejutkan lagi sebab mereka tahu kalau luka yang diderita
Ciang-bun-jin mereka tidak parah dan tidak mungkin beliau
tinggal mengurus diri sendiri tanpa hiraukan lagi anak
muridnya, Dalam pada itu keempat Hu-hoat berjubah merah
itu serentak melambung tinggi ditengah udara terus meluncur
turun laksana empat gumpal awan merah berdiri di empat
penjuru melindungi Hian Goan Taysu.
Tepat pada anak buah istana beracun saling bermunculan
itu, Goan-hwat Taysu menjerit keras seperti pekik setan,
mendadak tubuhnya meluncur turun terus menerjang kearah
Giok liong, dimana tangannya bergerak, puluhan utas sinar
biru berkilat serentak meluncur mengarah puluhan tempat
mematikan ditubuh Giok-liong.
Diam-diam Giok-Iiong mengeluh dan kaget sungguh diluar
tahunya bahwa para kamprat dari istana beracun bisa
bergerak secepat itu. Apalagi dari gerak-gerik puluhan
pendatang itu kelihatan bahwa kepandaian silat mereka
rasanya tidak dibawah kepandaian Goan-hwat Taysu Naganaganya,
malam ini Go-bi-pay bakal mengalami keruntuhan
total.
Sambil berpikir tanpa berayal Giok-Iiong kerahkan Ji-lo
pada tingkat kesepuluh, saking bernafsu hawa murni dalam

tubuhnya mengalir deras sampai terdengar bergeser dengan
kencang, tubuhnya juga lantas memancarkan cahaya putih
perak, yang samar-samar. Berbareng kedua tangannya
digentakkan, sepuluh jalur angin kencang melesat ke luar dari
ujung jari-jarinya. Bersama itu badannya juga lantas melejit
ketengah udara, beruntun kedua tangannya mendelong
bergantian gelombang tenaga halus yang empuk tak terasa
bagai gugur gunung serentak menerpa dengan dahsyat
kearah Goan-hwat Taysu.
Dengan mengenakan pakaian ketat warna biru itu perbawa
Goan-hwat Taysu makin menakutkan, air mukanya kini
berubah hijau gelap, kedua biji matanya mendelik sebesar
kelereng memancarkan sinar biru seperti mata dracula. Kaki
tangannya bergerak-gerak seperti merambat kelakuannya
sangat aneh dan mengerikan desisnya menyeringai:
"Kunyuk, kalau kau tahu diri, lekaslah menyerah dan
bergabung di bawah asuhan Ibun Cosu, mungkin kau diberi
jalan hidup atau sebaliknya kematian tanpa liang kuburlah
bagianmu." habis berkata lekas-lekas ia miringkan tubuhnya
sambil bergeser ke sebelah kiri.
Serentetan suara mendesis menimbulkan gelombang angin
yang membadai, tutukan angin jari saling beradu dan di
tengah udara lantas sirna tanpa bekas.
Giok-liong bergelak tawa, serunya: "jangan kau kira aku ini
seorang linglung yang tengah terpojok. Malam ini tuan
mudamu harus membuka pantangan, ketemu satu bunuh satu
. . ." Tangkas sekali kedua tangannya bergerak gerak di depan
dada terakhir membuat setengah lingkaran lantas didorong
dengan sepenuh tenaga. Dua gumpal mega putih dengan
mengeluarkan desis keras yang memekik telinga terus
memberondong kearah Goan-hwat Taysu.

Dari sebelah barat meluncurlah mendatang dua sosok
bayangan orang warna biru tua dengan seluruh tubuh
diselubungi kabut biru terus meluncur memasuki gelanggang.
Seketika terjadi perang tanding yang serabutan belum lama
berselang lantas terdengarlah jeritan kesakitan saling susul
darah menyemprot berceceran kaki tangan atau batok kepala
manusia beterbangan kemana-mana.
Giok-liong menggerung dengan murka kedua tangannya
tiba-tiba membalik ditambah dengan landasan dua bagian
tenaganya lagi terus dipukulkan kedepan pula.
"Blang . , . . byuuurr" kelihatan bayangan orang saling
berjatuhan jungkir balik.
Giok-liong seketika merasa napasnya sesak darah
bergejolak dalam rongga dadanya.
Badannya juga lantas mental balik dan meluncur dengan
kencang dalam seribu kesibukannya ini cepat ia menarik napas
panjang untuk mengendalikan darah yang hampir tak
terbendung lagi. Mendongak keudara ia bersuit lantang, kedua
lengannya dipentang dan sedikit bergetar, laksana seekor
burung garuda dari tengah udara ia jumpalitan terus
menubruk turun menerjang kearah salah seorang berpakaian
biru lainnya.
Tepat pada saat itu didalam kelenteng besarsana beruntun
terdengar bentakan gusar dan jerit mengerikan yang saling
bersahutan tanpa putus putus.
Giok-liong insaf bahwa keruntuhan total bagi pihak Go bi
pay malam ini sudah pasti dan tak mungkin tertolong lagi.
Besar harapannya bahwa tokoh tertinggi dari pihak Go bi-pay
yaitu Ngo hui-heng-cia berada di dalam biara, pasti keadaan
tidak bakal terjadi sedemikian buruk ini, sayang sekali
menurut gelagat apa yang dilihat sekarang, terang kalau Ngohui-
heng cia tengah keluar kelana dan belum pulang kalau

tidak mana mungkin dia mau berpeluk tangan melihat anak
muridnya disembelih dan dibunuh begitu saja.
Melihat keadaan mengerikan para anak murid Go-bi-pay
yang bergelimpangan ditanah itu. Terbayang dalam mata
Giok-liong akan kematian ibunya yang mengerikan itu, tanpa
merasa menimbulkan gairah nafsu membunuh dalam
benaknya, Dengan mendengus keras, luncuran tubuhnya
berubah segulung bayangan putih secepat anak panah
menyamber terus menerjang turun.
Kebetulan siorang berpakaian seragam biru itu tengah
mendorongkan kedua tangannya memukul roboh seorang
murid Go-bi-pay sampai jungkir balik setombak lebih dengan
muntah darah, saking puas ia tengah terkekeh-kekeh riang
dan bersiap lagi menubruk kearah seorang murid Go-bi pay
lainnya, Mendadak didengarnya suara tawa dingin memecah
udara masuk kedalam telinganya, Belum lagi ia sempat
bersiap, sebuah kekuatan besar bagai gugur gunung tahu
tahu sudah menindih tiba diatas kepalanya.
Agaknya murid istana beracun ini tidak mengira bahwa
diatas Go bi-san ini ternyata ada seorang tokoh lihay yang
masih hidup mempunyai lwekang tinggi. Dalam kejutnya
secara gerak reflek badannya melenting miring kesamping kiri,
berbareng kedua tangan nya diayun serentak untuk memapak
ke-atas.
Diluar perhitungannya Giok-liong sudah menjadi sengit dan
timbul nafsu membunuhi menjengek dingin mendadak ia tarik
kembali kedua tangannya, badannya bukan meluncur lurus
lagi tetapi melengkung bundar melejit ke belakang orang itu,
kelima jarinya berbareng menjentik bersama-sama! Angin
keras mendesis memecah kesunyian.
Murid istana beracun itu sangat bernapsu menyongsongkan
kedua angin pukulan tangannya, tapi tiba-tiba terasa
bayangan putih berkelebat kearah samping belakang, diam

diam ia mengeluh: "celaka !" lekas-lekas membuang tubuhnya
kesamping, Tapi sudah terlambat jerit kesakitan lantas keluar
dari mulutnya. Tampak dibawah lambung kanan kirinya
berlubang terkena tutukan jari, darah mengalir deras seperti
air leding.
Sementara itu dengan ringan sekali kaki kiri Giok liong
menutul diatas tanah badannya lantas meluncur ke tempat
lain. Dalam anggapannya dengan tertutuk luka parah ditempat
jalan darah penting, pasti murid istana beracun itu bakal
mampus.
Diluar dugaannya, sekilas matanya melirik, dilihatnya orang
seragam biru itu tengah merangkak bangun dari tanah,
mulutnya agaknya seperti mengunyah sesuatu apa, Sekali
berkelebat ia terus lari kencang menuju kearah hutan sana.
Tergerak hati Giok-liong, pikirnya:"Mungkin mereka punya
suatu obat mustajab yang dapat menolong jiwa orang
dipinggir jurang kematian? Lebih baik kukuntit untuk melihat
keadaan. . ."
Baru saja pikirannya ini terlintas tidak jauh di sebelahnya
sana terdengar lolong kesakitan yang panjang, tempatnya
adalah dimana tadi Go bi Ciang-bun jin tengah duduk bersila
berobat diri.
Giok liong terkejut terpaksa ia batalkan niatnya semula,
kakinya terus menjejak tanah tubuhnya meluncur seperti
burung kepinis ditengah udara, selepas pandangannya,
Terlihat keempat Hu hoat berkasa merah itu sudah pacing
geletak di tanah, sedang Go bi Cian-bun-jin Hian Goan Taysu
tengah berkutet dengan susah payah melawan keroyokan tiga
orang berseragam biru, keadaan Hian Goan Taysu memang
sangat berbahaya, terdesak dibawah angin dan terus mundur.

Dengan pandangan Giok-liong yang tajam lantas je.ag
olehnya, bahwa Hian Goan Tavsu menggigit giginya kencang,
agaknya tengah menahan sakit, sedang air mukanya juga
sudah bersemu kebiru biruan, keruan semakin kejut hati Giokliong,
batinnya: "Celaka, agaknya racun dibadan Hian Goan
Taysu sudah mulai bekerja."
"Blang." dengan kekerasan Hian Goan Taysu menangkis
pukulan gabungan ketiga orang seragam biru, kakinya
menjadi sempoyongan dan akhirnya ia terjerembab setombak
jauhnya, begitu jatuh lantas tak dapat bangun lagi.
Giok-liong menghardik gusar, beruntun ia gerakan kedua
tangannya melancarkan serangan dahsyat, seperti dewa
elmaut saja layaknya, tubuhnya melayang turun dari tengah
udara langsung menerjang kearah ketiga orang berseragam
biru itu.
Ketiga orang seragam biru itu terkekeh-kekeh serak,
mendadak mereka berputar bersama, enam tangan pukulan
serentak dilancarkan menyongsong luncuran tubuh Giok-liong.
Dilain pihak masih ada lagi empat orang seragam biru
lainnya melejit turun disamping tubuh Hian Goan Taysu
bersama berjongkok terus menjinjing tubuhnya dibawa lari
pergi dengan cepat sekali.
Betapapun gugup dan gelisah hati Giok-liong, namun apa
yang dapat dibuatnya. Terpaksa ia kerahkan seluruh
kekuatannya terus memukul kebawah, saking bernafsu
kelihatan tubuh rada bergetar dan terus ceEerjar ke arah
musuh.
"Dar . . ." ledakan dahsyat menimbulkan bayangan kepalan
tangan yang serabutan. Dua sosok bayangan biru tua
meluncur tiba pula diarena pertempuran, sesaat itu keadaan
menjadi bertambah seram, seluruh gelanggang mulai
dilingkupi kabut biru yang tebal terang Giok-liong sudah

terkepung rapat di dalam bayangan kepalan dan kabut
beracun.
Pikiran Giok liong hanya menguatirkan keadaan Hian Goan
Taysu, maka gerik tangannya tidak mengenal ampun lagi,
mega putih berkembang cepat dan bergulung-gulung, setiap
kali ia menambah tenaga pukulannya terus meluas berlapislapis
tiada putusnya.
Sedang Giok liong sendiri sekarang berubah menjadi
segulung bayangan putih yang samar-samar hampir tidak
terpandang oleh mata telanjang, dengan gerak kecepatan
seperti setan gentayangan, ia bergerak melincah dan menarinari
diantara samberan berlapis bayangan pukulan Iawan,
meskipun kabut berbisa sudah mengepung disekitar garis luar
gelanggang, tapi masih terus diterjangnya keluar.
Namun agakaya para musuh juga sudah menduga akan
maksud tindakan Giok-liong ini, maka mereka menjadi
semakin bernafsu nerintangi dengan segala daya upaya,
sedemikian ganas dan keras pukulan mereka di tambah
beracun lagi, sampai semburan anginnya juga berbau amis
memuakkan. Kalau Giok-liong bertindak lambat sedikit saja
pasti tempat-tempat penting diseluruh tubuhnya serentak
bakal berlubang dan melayanglah jiwanya.
Sampai pada detik yang menentukan ini Giok-liong menjadi
semakin gelisah, hatinya membara seperti dibakar, tiba-tiba ia
rontakan kedua tangannya sambil menggembor keras, seutas
uap putih dan selarik sinar kuning lantas meluncur menembus
udara sekitarnya.
Ternyata Potlot mas bersama seruling samber nyawa sudah
dikerjakan keluar. Seketika di udara berkumandang lima jalur
macam irama seruling yang menusuk telinga, Pelangi putih itu
bergerak begitu lincah seperti naga terbang tengah menari
dengan iringan mega putih yang bergulung-gulung terus

disapukan keluar, Ternyata Jan hun su-sek sudah dilancarkan
sampai puncaknya.
Kontan terdengar dua jeritan orang, empat bayangan biru
lainnya segera melenting tinggi membawa aliran darah yang
deras terus meluncur dengan kecepatan seperti burung
terbang menyelinap hilang didalam hutan.
Tatkala mana tubuh Giok-lioag masih melayang ditengah
udara, waktu ia mendaratkan kakinya di tanah keadaan
sekelilingnya sudah sunyi senyap, Selayang pandangannya
menjelajah, mayat manusia bertumpuk bergelimpangan darah
mengalir panjang menggenangi seluruh tanah lapang, semua
mayat yang bergelimpangan itu adalah para anak murid Go-bipay
melulu.
Begitu banyak mayat manusia ini satu pun tiada mayat
murid istana beracun. Keruan hawa amarah yang tidak
terkendali lagi lantas membakar dadanya, Menjejakkan kaki ia
terus berlari mengejar kemana para murid istana beracun tadi
menghilang.
Keadaan puncak Go-bi-san kembali diliputi kesunyian, pihak
musuh mundur secara begitu cepat, begitu cepat sampai
diluar prasangka.
Sambil berlari kencang itu Giok-liong menyimpan kembali
Potlot mas dan seruling samber nyawa, tanpa gentar dan
banyak kwatir lagi ia terus menerjang masuk kedalam hutan,
dengan cermat dan teliti ia cari jejak para anak murid istana
beracun itu. Tapi suasana dalam hutan begitu hening, mana
ada jejak manusia ?"
Perasaan Giok-Iiong menjadi hampa dan tertekan. Sungguh
tak terkira olehnya tokoh - tokoh istana beracun begitu berani
muncul lagi dikalangan Kangouw, malah berkepandaian begitu
tinggi, kalau tidak menyaksikan sendiri siapa bakal mau
percaya.

Apalagi justru Go bi-paylah yang dijadikan mangsa pertama
dengan keruntuhan total ini, untuk selanjutnya entah pihak
mana lagi yang bakal menjadi korban.
"Ai." Giok liong menghela napas sedih, mulutnya
menggumam: "Geger dunia persilatan sudah tiba diambang
pintu! terpaksa ia memutar tubuh dan berlari kembali ke Gobi-
san.
Tak lansa kemudian ia sudah tiba di depan kelenteng besar
yang berhau amis. Melihat pemandangan yang seram
menyedihkan ini, sehingga membayangkan kenangan lama.
Pelan-pelan ia angkat langkah memasuki kelenteng besar
yang diagungkan ini, Besar harapannya didalam kelenteng
sebesar ini dapat menemukan salah seorang murid Go-bi pay
yang ketinggalan hidup, supaya ada yang disuruh turun
gunung memberitakan bencana besar yang menimpa pihak
Go-bi ini kepada aliran lurus dunia persilatan untuk bergabung
mencari daya upaya untuk memberantas Istana beracun.
Bersama itu perlu dimaklumkan kepada seluruh kaum
persilatan di jagat ini bahwa Go-bi Ciang-bun-jin Hian Goan
Taysu sendiri juga sudah jatuh dalam cengkeraman pihak
istana beracun, Tak lupa pula diharapkan Ngo-hui-heng cia
bisa segera pulang ksatan. Go-bisan untuk memimpin
peristiwa pembalasan dendam. Demikian jalan pikiran Giok-
Iiong.
Keadaan didalam kelenteng ini kiranya tidak banyak
bedanya dengan diluar, disini darah muncrat kemana-mana,
sampai dinding yang putihpun berhiaskan lepotan darah yang
menyolok mata banyak mayat lumer menjadi genangan air
darah, kaki tangan atau kepala manusia berserakan setindak
ia semakin dalam beranjak hatinya semakin tertekan dan
terasa dingin, sungguh ngeri, satupun tidah yang ketinggalan
hidup.

Baru setengah jalan ia sudah tidak kuat lagi menahan hasi,
Tiba-tiba ia mendongak dan bersuit panjang dengan penuh
kesalahan dan kepiluan hati, Mendadak ia enjit tubuhnya
melambung ketengah udara terus meluncur keluar kelenteng.
Baru saja kakinya mendarat dttartah, lantas terdengar
sebuah dengusan dingin di-pinggir kupingnya, Dengtisan
dingin ini laksana sebatang anak panah dingin yang tepat
menusuk kedalam kupingnya, Tanpa merasa Giok-liong
tersentak kaget, batinnya: "Hebat benar Lwekang orang ini!"
sambil berpikir dengan kecepatan yang sukar diukur tiba-tiba
ia memutar badan menghadap kearah mana suara dengusan
dingin tadi datang.
Baru saja ia bergerak lantas diujung matanya berkelebat
sebuah bayangan abu abu, dengusan dingin tadi kini
terdengar lagi dari belakangnya: "Kunyuk, pihak Go-bi-pay
mempunyai dendam atau sakit hati apa terhadap kau,
sedemikian kejam kau turun tangan." baru saja lenyap
suaranya segulung angin kencang seperti gugur gunung telah
menerjang di belakang punggungnya.
Kecepatan serangan dari belakang ini, hakekatnya tiada
memberi kesempatan untuk Giok-Iiong sempat berkelit, Dalam
keadaan gawat ini, tiba-tiba ia menarik napas dalam tubuhnya
lantas melejit maju kedepan sebaliknya kedua tangannya
ditepukkan kebelakang.
"Plak !" keras sekali terjadi bentrokan ditengah udara
diseling suara bentakan nyaring : "Keparat, kiranya memang
ada isi !" angin menderu deru segulung kekuatan yang tidak
kentera tahu-tahu sudah menindih diatas kepalanya.
Giok liong kehilangan serangan penduhuIuan yang
menguntungkan, dengan tepukan menangkis ke belakang tadi
belum dapat melancarkan kekuatan sepenuhnya, maka begitu
kedua pukulan saling bentrok lantas ia merasa darah bergolak,
pandangan mata menjadi berkunang-kunang. Badannyapun

tergetar keras sempoyongan kedepan. Belum lagi ia sempat
berdiri tegak tenaga besar sudah menindih tiba lagi laksana air
bah yang sukar dibendung.
Merasa serangan ini adalah sedemikian dahsyat, otak Giokliong
lantas berpikir: "Ini pasti ngo-heng-cia telah pulang...."
Tapi dia tak kuasa membuka mulut untuk membela diri,
tiada tempo untuk berpikir lagi, Sekuatnya ia memberatkan
tubuh mendarat kaki di tanah, Ji-lo dikerahkan seluruhnya
kedua lengannya terus disayang maju.
"Pyaaarr" angin badai berguIung-gulung membumbung
tinggi ke tengah udara, dua bayangan putih dan abu-abu
mendadak terpental berpencar ke dua jurusan, Giok-liong tak
kuasa mengendalikan tubuhnya, beruntun ia tersurut mundur
tujuh langkah baru bisa berdiri tegak. Dada terasa sesak
seperti di-godam, segulung hawa panas sudah menerjang naik
ke tenggorokannya, lekas-lekas ia melepas napas mentahmentah
menelan kembali darah yang hampir menyemprot
keluar.
Bayaagan abu-abu berkelebat terdengar bentakan keras:
"Kalau hari ini Lobu tidak dapat membunuh bocah iblis jahat
seperti kau ini, sia-sia belaka aku menjadi Toang-lo Go bipay!"
sering dengan bentakan ini bayangan telapak tangan
yang membawa deru angin kencang dengan kecepatan yang
susah diukur laksana angin lesus tiba-tiba menggulung tiba
dengan serangan yang mematikan.
Baru sekarang Giok-liong dapat melihat tegas bahwa
Ngohui heng-cia ternyata adalah seorang Hwesio tua yang
berperawakan kurus kecil. Tapi kedua matanya itu karena
marahnya telah memancarkan sorot kegusaran yang
berlimpah-Iimpah, Meskipun Giok-liong dapat melihat tegas
wajah Ngo hui-heng-ca, tapi saat itu juga kepalan tangan dan
tutuIan jari musuh yang sengit itu sudah tiba didepan
matanya. Dasar watak Giok liong terakhir ini suka uringTIRAIKASIH
WEBSITE http://kangzusi.com/
uringan ditambah Ngo hui-heng cia mendesak sedemikian
rupa, memuncaklah hawa amarahnya, bentaknya dengan
sengit: "Berhenti dulu !" Aku ada omongan !" sambil
membentak tubuhnya bergelak lincah sekali berputar
melancarkan gerak tangannya yang membawa deru angin
membadai, dengan tipu terangan yang cukup ganas pula ia
balas menyerang.
Ngo-hui-heng-cia mandah tertawa dingin katanya: "jangan
harap Lohu dapat kau tipu."
Wajah Giok-liong semakin membesi ka-ku, hardiknya :
,,Tua bangka gundul, jangan kau menuduh semena-mena !
peristiwa hari ini adalah buah tangan anak murid istana
beracun . . . "
Sekonyong-konyong Ngo-hui-heng-cia memperdengarkan
serentetan gelak tawa dingin yang memilukan, teriaknya:
"Kunyuk, hahahaha, kau kira gampang menipu Lohu... Kecuali
kau sendiri adalah murid dari istana beracun . . . " mendadak
serangannya semakin gencar, sekaligus berpetakan empat
bayangan abu-abu, menyelinap masuk kedalam gelombang
angin pukulan Giok-liong yang membadai itu.
Giok-liong semakin penasaran, serunya sambil kertak gigi:
"Memang Go-bi pay kalian setimpal dibunuh semua!" Sam-jiuchun-
chia tak kepalang tanggung lantas dilancarkan, pertama
jurus Cin-chiu, lalu Hiat bwe dan yang terakhir adalah
Tiamceng, dilancarkan secara bergelombang sambung
menyambung.
Mega putih bergelombang mengikuti gerak tangannya
menerjang kesana kemari, menyelubungi sebuah bayangan
putih yang memancarkan cahaya putih perak, dengan gerak
serangan kilat melancarkan beratusribu pukulan serta tutukan
jari menyerang kesegala tempat kematian Ngo-hui-heng-cia.

Tidak ketinggalan sebuah telapak tangan yang memutih
laksana batu giok juga tanpa bersuara telah muncul, inalah
dengan gerak kecepatan yang luar biasa mendadak
menyelonong tiba menepuk kearah dada Ngohui-heng-cia
tepat dijalan daran Yu-bun hiat.
Bercekat hati Ngo-hui-heng cia melihat kehebatan serangan
ini, tak kuasa tercetuspertanyaan dari mulutnya: "Sam hi cui
hun chiu? Apa hubunganmu dengan Pang Giok." Baru saja ia
berkata habis, telapak tangan putih sudah melayang dekat
tinggal tiga kaki didepan dadanya mendadak bergerak
semakin cepat menepuk tiba dengan kecepatan kilat.
Tanpa banyak ragu-ragu lagi segera Ngo-hui-heng cia
memutar kepalan tangan kanan menimbulkan gelombang
angin deras, bersama itu telapak tangan kiri tiba-tiba
diselonong kan maju kedepan untuk menangkis. Kontan
terdengar samar-samar suara guntur yang bergemuruh
semakin keras. Telapak tangan kiri Ngo hui-heng cia itu
mendadak bersemu merah darah, seiring dengan getaran
suara guntur yang gemuruh itu tangan kirinya sudah
menyelonong maju memapak kearah telapak tangan putih
yang sudah menyerang dekat itu.
Giok-liong sendiri juga terperanjat sampai air mukanya
berubah, batinnya: "lnilah Pik-lik-chiu kepandaian tunggal Gobi-
pay mereka yang sudah beratus tahun putus turunan."
Cepat cepat ia menarik kembali kedua tangannya berbareng
tubuhnya ikut melompat kesamping menghindarkan benturan
secara berhadapan lalu ia tambah dua lipat tenaganya untuk
menyerang lagi dari arah yang lebih menguntungkan.
Saat mana mendadak Ngo-hui-heng-cia berdiri tegak tanpa
bergerak, mulutnya bersuit panjang berkumandang menembut
langit, sampai menggetarkan seluruh alam pegunungan, daun
menghijau diatas pohonpun sampai rontok berjatuhan. Wajah
tuanya yang tirus kini memancarkan cahaya terang, pelanTIRAIKASIH
WEBSITE http://kangzusi.com/
pelan kedua tangannya dirangkapkan terus pelan-pelan pula
diangkat meninggi terus didorong kedepan.
Gema tembang matram didalam lingkungan suasana yang
hidup dibawah pancaran sinar kesunyian mendadak
berkumandang ditelinga Giok-liong, Begitu mendengar suara
mantram ini perasaan Giok-liong menjadi hampa dan kosong
melompong.
Giok liong tahu asal usul pukulan hebat yang dilancarkan
tadi, Dulu tatkala Tat mo cosu melawat kedaerah timur, salah
satu ilmu bekalnya yang berjumlah seratus delapan puluhan
khusus untuk menundukkan iblis, yaitu Cu sim ti mo.
Tat mo Cosu pernah bersabda kepada para muridnya:
"Bahwa ilmu pukulan ini sangat jahat dan ganas tak mengenal
belas kasihan setiap kali kau turun tangan kalau tidak sampai
melukai lawan diri sendirilah yang bakal celaka. Maka kalau
bukan menghadapi durjana yang benar benar jahat tidak
digunakan, kalau bukan dalam saat-saat yang genting untuk
membela diri ilmu ini dilarang digunakan," Maka ilmu Cu-simti-
mo ( hati suci mengusir iblis ) ini lambat laun menjadi di
lupakan orang dan akhirnya putus turunan.
Sungguh tidak nyana hari ini ilmu yang ganas dan paling
ditakuti itu bisa muncul ditangan seorang Go-bi-tiang-lo yang
tinggal seorang ini. Lebih tidak terkira olehnya Ngo hui heng
cia bisa melancarkan Cau sam-ti mo ini untuk menghadapi
dirinya.
Hati yang gelisah bingung dan marah ini semakin gentar
dan takut mengingat perbawa kehebatan ilmu itu. Tak kira
Ngo hui-heng cian menghadapinya sebagai durjana-yang patut
dilenyapkan dari muka bumi ini kerana hatinya takkan berang
mana dapat melampiaskan kedongkolan hati ini? Maka sambil
menjengek dingin Ji-lo dikerahkan sampai puncanya cepat
sekali ia merogoh ke pinggang dilain saat alunan kelima
gelombang irama seruling segera memecah alam pegunungan

dimalam nan sunyi. Dua jalur sinar kuning dan putih yang
menyilaukan mata mendadak melejit ketengah udara terus
menerjang turun pula.
"Jan hun-ti" terdengar mulut Ngo-hui-heng cia berseru
kaget belum lenyap suaranya, suara ribut seperti hawa udara
pecah bercerai berai berkumandang di tengah udara disusul
dua jeritan keras berbareng bergema lantang.
Hujan darah memenuhi angkasa berceceran kemana-mana
Dua bayangan putih dan abu-abu seperti bayangan setan
gentayangan terpental mundur terus melesat kedua arahjurusan
yang berlainan Setelah itu Go bi-san kembali dilingkupi
suasana sunyi, angin malam sepoi-sepoi menghembus lewat,
tak lama kemudian diufuk timur terpencar sinar kuning yang
cemerlang dengan munculnya sang Surya menerangi jagat
raya.
Kini lebih jelas lagi keadaan sekitarnya pemandangan yang
seram mengerikan dengan mayat- mayat gelimpangan
tergenang air darah menambah suasana yang sunyi lengang
ini semakin menakutkan.
Go bi-pay runtuh total hanya semalam saja.
Kecuali Ngo-heng-hui-cia, Giok-liong dan para murid dari
istana beracun, tiada seorangpun yang tahu dan takkan
mungkin bisa tahu atau mengira, dengan kejayaan Go-bi-pay
sekian tahun, hanya semalam saja seluruh penghuni atau
anggauta Go-bi-pay telah diberantas dan dibunuh semua
tanpa meninggalan satupun yang masih hidup.
Akhirnya kabar jelek ini terdengar pula oleh kaum
persilatan dari aliran lurus. Gelombang pembunuhan besarbesaran
bakal bersemu di dunia persilatan dan kini mulai
terpecahkan menjadi rahasia umum Terang dan gamblang,

delapan aliran terbesar lainnya juga bakal mengalami nasib
yang serupa.
Hari kedua baru saja matahari muncul dari peraduannya,
masih pagi pagi benar, Dikalangan Kangouw sudah tersiar
berita gempar yang sulit dapat dipercaya.
Kim-pit-jan-hun Ma Giok-liong pendekar tunas muda yang
menggemparkan dunia persilatan itu membekal Jan-hun-ti, itu
seruling pusaka yang menjadi incaran setiap insan persilatan
yang tamak, beruntun sebelah melukai beberapa banyak
tokoh-tokoh silat kenamaan cukup hanya semalam saja telah
memberantas dan membunuh seluruh anak murid Go bi-pay
yang tinggal diatas gunung.
Pertama-tama delapan aliran besar serta para murid Go-bipay
lainnya berteriak dan menyuarakan seruan penuntut
balas. Begitu berita ini tersiar luas dikalangan Kangouw seperti
jamur berkembang biak dimusim seni. Bagi kaum lurus satria
gagah beramai-ramai angkat senjata berteriak hendak
mengejar dan meringkus Kim-pit-jan-hun Ma Giok-liong.
Dengan Hong-tiang Siau-lim sebagai pemimpin besar
disebar luaskan Lok-Iim ciam serta Enghiong-tiap, Diminta
kepada mereka untuk menegakkan keadilan dan kebenaran
demi kesejahteraan kaum persilatan umumnya, menumpas
dan menghukum berat durjana besar yang ganas untuk
menuntut balas para murid Go-bi-pay yang telah mangkat
dialam baka.
Maka dikalangan Kangoaw bermunculan banyak gembonggembong
silat yang telan mengasingkan diri sekian tahun
lamanya, alasannya saja demi ketentraman dan keamanan
hidup kaum persilatan tapi hakikatnya dan maksud tujuan
mereka yang sebenarnya tiada seorangpun yang tahu.
Kalau dunia Kangouw tengah digegerkan akan berita naas
yang menimpa pihak Go-bi-pay. Adalah didalam sebuah gua

dibawati jurang didalam pedalaman dipegunungan Go-bi-pay
seorang pemuda berpakaian putih tengah duduk bersila
mengheningkan cipta.
Dia bukan lain adalah Kim-pit-jan-hun yang terluka parah
dan melarikan diri setelah pukulan melawan Ngo hui-heng cia.
Waktu pertama kali melihat Ngo-hui-heng cia, sebenarnya
Giok-liong sudah mau membuka mulut memberi penjelasan
asal mula kejadian yang mengenaskan ini, malah besar
harapannya dapat mengajak beliau masuk didalam barisan
besar kaum persilatan aliran lurus untuk menolong nasib
buruk kaum persilatan yang bakal timbul tak lama ini, bersama
menanggulangi dan melawan gembong gembong silat-silat
jahat dan para iblis yang telah bermunculan kembali akan
menimbulkan huru hara.
Tak duga kesempatan untuk membuka mulut saja tiada
baginya. sedemikian keras desakan Ngo-hui-heng-cia dengan
serangan ganas malah melancarkan Cu-sim-ti-mo yang ganas
itu untuk membunuh dirinya lagi. Dalam keadaan kepepet
demi hidup terpaksa ia keluarkan seruling samber nyawa dan
Potlot mas, dengan sekuat tenaga mengadu kepandaian
secara kekerasan.
Begitu kedua belah pihak saling bentrok, Giok-liong lantas
merasa kepalanya seperti hampir pecah saking keras getaran
yang menimpa dirinya, napas terasa sesak darahpun bergolak
serasa hampir meledak dadanya. Mata berkunang-kunang
kepala pusing tujuh keliling, tak tertahan lagi darah segar
menyemprot keluar dari mulutnya.
Hebat penderitaan Giok-liong. Tapi ia pun mendengar
jeritan Ngo hui heng-cia terbaur senada dan seirama dengan
jeritannya menjadi perpaduan suara yang melengking tinggi
Giok-liong insyaf bahwa dirinya sudah terluka teramat parah.

Kalau lebih lama lagi ia tinggal ditempat ini, pasti lebih
celaka dan tidak akan banyak bermanfaat. Maka sekuat
tenaga ia bertahan sambil menahan napas, tubuhnya bergerak
lincah secepat terbang kearah hutan yang lebat dan
menghilang disana.
Waktu menyingsing fajar, ditemukan sebuah gua yang
tersembunyi dan terahasia, Pada saat mana ia sudah
kehabisan tenaga dan susah bertahan lagi, mata tanpa banyak
pikir dan kwatir lagi segera ia menerobos masuk kedalam gua
itu. Dimana ditelannya beberapa butir pil peranti penyembuh
luka-luka dalam lalu mulailah ia mengerahkan tenaga murni
untuk berobat diri setelah memakan waktu sehari semalam
baru seluruh luka-luka parahnya dapat disembuhkan
seluruhnya. Dalam hati ia merasa beruntung!
Jikalau ia tidak membekal seruling samber nyawa senjata
pusaka yang ampuh mandraguna serta Potlot mas seumpama
ia tidak menelan sari buah ajaib dan khasiatnya setelah
menunjukkan perbawanya, pasti dan tentu jiwanya siangsiang
sudah melayang di bawah ilmu Cu sim-ti-mo atau Hati
suci melenyap iblis itu.
Matahari mulai terbenam kearah barat, hari menjelang
magrib dan mulai petang, pekerjaan Giok-liong dalam
usahanya menyembuhkan luka-lukanya sudah mulai mencapai
titik yang paling gawat. Alam pegunungan yang liar dan sunyi
serta angin malam mulai menghembus keras menambah
suasana terasa lengang menekan perasaan.
Giok-liong duduk bersila, lambat laun dari badannya
memancarkan cahaya putih perak yang cemerlang, kepalanya
juga mulai menguap kabut putih yang bergulung-gulung
seperti air mendidih. Demikian juga air mukanya selalu
berganti warna dengan cepat, Lama kelamaan asap putih
terus mengepul semakin tebal membungkus seluruh badan
sampai tidak kelihatan lagi.

"Krek!" pada saati(n tiba-tiba terdengar sebuah suara lirih
dari dalam gua, lalu disusul suara helaan napas panjang.
sedemikian memilukan dan sedih sekali helaan napas itu
dalam suasana yang lengang dan seram itu.
Ditempat pegunungan sunyi serta hari pun mulai petang,
maka suara helaan napas itu terdengar begitu jelas sekali.
Beruntun suara helaan napas terdengar lagi, lalu terdengar
pula suara rantai panjang yang terseret berbunyi
gemerantang, sebentar saja lalu keadaan menjadi hening
lelap.
Meskipun Giok-liong tengah tekun mengerahkan tenaga
mengobati luka-lukanya, tapi sesuatu gerakan sekelilingnya
masih tetap dapat didengar dengan telinganya yang tajam.
Maka begitu mendengar helaan napas itu bercekat hatinya,
batinnya: "Mungkinkah di gua sebelah sana ada seseorang
yang terkurung dan dibelenggu dengan rantai?"
Sedikit terpencar perhatiannya, hawa murni dalam
tubuhnya lantas menjadi kacau balau tak terkendalikan lagi,
cepat-cepat ia himpun semangat dan pusatkan pikiran tak
berani sembarangan banyak pikir segala tetek bengek.
Lambat laun pernapasannya dapat teratur dan darah dapat
mengalir lancar dan normal kembali, sekonyong-konyong
sebuah suitan panjang memecah kesunyian alam pegunungan
berkumandang diluar gua.
Makin lama terdengar semakin keras dan malah mendekat
menggetarkan bumi dan bergema didalam gua. setelah tiba
diluar gua baru suara suitan itu berhenti.
Dari suara serta kecepatan lari orang itu dapatlah
diperkirakan betapa tinggi kepandaian silat pendatang ini,
paling tidak juga sudah mencapai tingkat yang sempurna.

Baru saja suata suitan itu berhenti, mendadak Giok-liong
merasa hawa murni dalam tubuhnya bergejolak dan luber,
Sesaat sebelum Giok-liong dapat mengendalikan diri, sebuah
benda yang keras dingin tahu-tahu sudah menekan dijalan
darah Bing hun hiatnya. Bersama itu terdengar bisikan lirih
dari suara serak sambil berkata dipinggir telinganya: "Ai
buyung, biarlah Lohu membantumu""
Baru selesai perkataan osang dari benda keras yang
menekan jalan darahnya itu, tiba tiba tersalur segulung tenaga
dingin yang menembus tulang belulang, laksana panah es
meluncur memasuki seluruh sendi dan urat syaraf Giok liong.
Dalam sekejap saja gelombang tenaga dingin itu laksana
air bah terus menerjang dan menembus seluruh badannya
berputar satu putaran, setelah Giok liong merasa seluruh
badan kedinginan hampir membeku, perasaan lantas mulai
berangsur pulih dan segar nyaman.
Banyak jalan darah yang dulu belum pernah teroboskan
oleh hawa murninya sekarang telah tertembus lancar oleh
terjangan tenaga dingin bagai es itu.
Sekarang sedikit ia kerahkan tenaga murninya
semangatnya lantas bergairah dibanding sebelum ini seperti
bumi dan langit. Ternyata Lwekangnya, semakin dalam dan
kokoh, hawa murni dalam tubuhnya juga berjalan semakin
lancar. Kini tak terasakan lagi sakit akan penderitaan oleh luka
luka parahnya tadi.
Karuan tersentak kaget sanubarinya, sungguh kokoh dan
kuat benar lwekang orang yang membantunya ini, Tapi entah
dari aliran atau golongan mana, mengapa tenaga dalamnya
bisa begitu dingin dan hampir membekukan, selama itu Giok
liong juga keheranan dan curiga. Mengapa orang
berkepandaian begitu tinggi bisa di kurung dan dibelenggu
didalan gua ini.

Mengapa dia tidak membantu aku sejak mula tadi, setelah
diluar gua kedatangan tokoh kosen baru dengan secara kilat
membantu aku berobat? Apakah dia mempunyai maksud
tertentu? Kalau dia menggukan alasan ini untuk menekan aku,
apakah aku harus melulusinya ?
Tengah pikirannya bekerja diluar gua tampak berkelebat
sesosok bayangan orang kurus tinggi. Waktu Giok-Iiong
menegas pendatang ini berbadan tinggi hampir setombak
mengenakan jubah panjang warna abu abu, sedemikian
panjang pakaian yang dikenakan sampai telapak kakinya
teraling tidak kelihatan.
Rambutnya yang memutih abu-abu riap-riapan tak teratur,
wajahnya juga bersemu ungu kaku tanpa expresi, Hanya
sepasang matanya yang celong itu memancarkan sinar kilat
dingin yang menatap kedalam gua ini.
Begitu pandangan Giok-liong bentrok dengan sorot mata
orang hatinya lantas tergetar sungguh dingin pandangan
orang ini ! Terdengar ia membuka mulut dengan suara dingin
tertegun: "
Buyung, dari mana kau datang? Berani masuk ke dalam
gua ini apakah kau sudah tidak ingin hidup ?" Kata demi kata
diucapkan dengan tekanan nada yang dingin dan jelas,
membuat pendengarnya berdiri bulu romanya.
Baru saja Giok-liong niat berdiri membuka mulut, suara lirih
serak tadi terkiang di pinggir telinganya: "Duduklah jangan
bergerak! jangan hiraukan orang ini. Dia adalah rasuI jubah
abu abu dari Yo-Wog-mo-kek. Ada Lohu disini takkan berani
masuk dan sembarangan bergerak."
Giok-liong menurut nasehat orang duduk lagi tanpa
bergerak namun diam-diam ia kerahkan hawa pelindung

badan untuk berjaga dan siap siaga menghadapi segala
kemungkinan yang bakal terjadi.
Melihat Giok-liong mematung tanpa menghiraukan
pertanyaannya, orang aneh jubah abu-abu itu mendadak
mendengus dingin, jengeknya: "Keparat, menyerah atau mati,
pilihlah satu diantaranya." suaranya terdengar dingin tanpa
nada namun mengandung sifat sifat keangkuhan yang keluar
batas.
Giok-liong menjadi dongkol, katanya sambil seringai dingin:
"Tuan bertampang seperti setan, sebenarnya dari aliran atau
partai mana, lekas sebutkan asalmu,"
Memang Giok-liong menjadi pusing adanya Yu-bing-mo kek
apa segala, belum pernah didengarnya di kalangan Kangouw
ada golongan silat yang bernama demikian.
Orang aneh jubah abu-abu mendadak terkekeh-kekeh
aneh, suaranya sember seperti gembreng pecah: "Buyung,
kau harus mampus." baru lenyap suaranya tubuhnya
mendadak melejit dengan kecepatan yang luar biasa meluncur
kearah Giok-Iiong.
Tergerak hati Giok Hong, baru saja ia hendak turun tangan,
Mendadak dilihatnya gerak tubuh orang merandek ditengah
jalan mendadak membalik-balik lagi tepat dan persis sekali
ditempatnya tadi.
Gerak pergi datang tubuhnya adalah begitu cepat dan
cekatan, kalau Giok liong dapat melihat dengan mata sendiri
sampai jelas, mungkin orang lain takkan dapat melihat tegas,
paling-paling pandangannya terasa kabur, sampai si orang
jubah abu-abu bergerak juga tidak diketahui!
Begitu mencelat balik ketenipatnya semula lagi, kata sekata
orang jubah abu-abu ini berseru: "Apakah Li-cianpwe ada di

dalam ?" nadanya terdengar sangat menghormat kepada
orang di dasar gua itu, seakan-akan orang dalam sekeluarga
saja.
Tanpa merasa Giok-liong semakin bingung dan tak
mengerti. Apakan mereka sejalan dan sehaluan ? Tidak
mungkin ! curang di dasar gua ini lagak lagunya rada tidak
simpatik terhadap si orang aneh jubah abu-abu ini !
Giok-liong menjadi tertawa geli dalam hati karena
keraguannya ini, batinnya: "Mengandal kepandaian silat rasul
jubah abu abu ini masih belum kuat berbuat sesuatu
terhadapku, coba kulihat tingkah tengik apa yang akan dia
lakukan di hadapanku !"
Beruntun dua kali Rasul jubah abu-abu itu berteriak
kedasar gua tanpa memperoleh penyahutan apa-apa, agaknya
menjadi dongkol, dengusnya: "Li Hian, Pun-su-cia (aku si
rasul) memanggilmu dengan sebutan Cianpwe, karena kau
masih ada harapan masuk menjadi anggota kita dengan
kedudukan Tongcu, Tak nyana kau tua bangka ini ternyata
tidak mengenal kebaikan."
Sebuah suara serak yang keras segera menyelak dari dasar
gua sana: "Karena sedikit kelalaian Lohu maka telah tertipu
oleh kalian kalah judi dan terkurung dalam gua ini selama lima
puluh tahun, Begitu sampai pada batas waktunya Lohu dapat
memutus rantai ini sendiri dan keluar dari tempat gelap ini,
untuk membuat perhitungan dengan kalian, Minta lohu
menjadi anggota iblis seperti kalian, itulah angan-angan mimpi
belaka !"
Rasul jubah abu abu berludah, tanyanya: "Apakah setan
kecil ini orangmu ?"
"Hahaha, dialah sahabat kecil yang baru Lohu kenal, apa
yang kau dapat perbuat atas dirinya?"
"Harus dibunuh !"

"Dengan alasan apa kau hendak mencabut jiwa orang ?"
"Bagi setiap orang yang berani melanggar ketentuan
golongan kita, kalau tidak menyerah harus dibunuh!"
"Sekarang dia berada didalam gua Lohu ini, tiada alasan
kau mencari perkara dengan dia."
"Hm, kau sendiri sebagai tahanan, pesakitan loyo, apa yang
dapat kau lakakan?"
"Hahahahahahaha . . . ," dari dasar gua sana mendadak
terdengar kumandang gelak tawa panjang yang bergema
keras menggetarkan bumi memekakkan telinga.
Begitu lenyap suara gelak tawa lantas terdengar suara Li
Hian berkata: "Mengandal Rasul jubah abu-abu macam
tampangmu ini, kukira kau takkan berani!"
"Hehehehehe . . .. kenapa kau tidak berani. . ."
Saat itulah suara Li Hian berkumandang lagi di pinggir
telinga Giok-liong: "Buyung, jangan takut, silakan kau turun
tangan menggebahnya, asal kau tidak bergeser dari tempat
dudukmu, Lohu dapat menyalurkan tenaga dalam untuk
membantumu mengusir dia.
Sebetulnya Giok-liong belum pernah berlatih cara mengirim
gelombang suara, tapi dia tahu caranya, Maka wajahnya
lantas mengunjuk senyuman, menghimpun tenaga lantas ia
mendesak suaranya menjadi lirih sekecil benang menyusup
kedasar gua.
"Harap Cian-pwe tidak menjadi kuatir, Wanpwe percaya
berkelebihan dapat mengatasi manusia macam setan ini."
Dari dasar gua terdengar si orang tua berseru kejut,
katanya: "Wah buyung, kiranya Lwekangmu memang sangat
hebat dan kuat!"
"Terima kasih akan perhatian Cian-pwe ini?"

Mereka mengobrol terjadi dalam waktu yang sangat singkat
sekali.
Tapi agaknya si rasul jubah abu-abu sudah tidak sabaran
menunggu, katanya dengan nada tinggi-kepada Giok-liong:
"Bocah, mau menyerah atau rela mati?"
Sambil tersenyum lebar Giok-liong pelan-pelan berdiri,
benda yang melekat di belakangnya itu lantas di tarik kembali.
Melihat Giok liong tersenyum lebar ke-arahnya, rasul jubah
merah menjadi salah sangka ujarnya cemberut: "Bocah jadi
kau sudi menyerah?"
Melihat cecongor orang yang begitu takabur dan sombong
sekali, timbul rasa muak dalam benak Giok-liong, kedua
pipinya lantas bersemu merah, tapi sikap dan emosinya
menjadi semakin dingin membeku, kedua matanya mendadak
memancarkan sorot yang bernafsu membunuh, suaranya
terdengar kaku: "Tuan ingin aku turun tangan, atau lebih baik
tuan sendiri bunuh diri?"
Begitu pandangan mereka bentrok bertingkat kaget si rasuI
jubah abu-abu. Tapi hatinya lantas memikirkan suatu
keumpamaan. Tidak mungkin! dengan usianya yang masih
muda ini, seumpama sejak berada dalam kandungan ibunya ia
sudah berlatih selama dua puluh tahun, tingkat kepandaian
silatnya tidak mungkin bisa mencapai sedemikian tinggi,
Lwekangnya juga tidak mungkin begitu kuat! Mungkin hanya
sepasang matanya itu yang luar biasa."
Karena perumpaannya ini lantas kembali ia percaya akan
kemampuannya sendiri, mendongak ia terkekeh-kekeh
lantang, ujarnya: "Bocah yang sombong, kalau Pun-sucia
langsung turun tangan, pasti kau akan menyesal setelah
terlambat!"

Sikap Giok-Iiong sekarang juga semakin kaku, air mukanya
semakin bersemu merah, ujarnya: "Kalau tuan tidak segera
turun tangan bunuh diri, agaknya minta aku yang rendah
turun tangan sendiri bukan?"
Mendadak Rasul jubah abu abu mengakak panjang, seiring
dengan kumandang gelak tawanya ini tiba-tiba tubuhnya
melayang seringan burung kepinis seperti bayangan setan
layaknya menyerbu tiba.
Giok-liong mandah berkecek mulut, serunya: "Mari, kita
bermain dipelataran sana yang lebar." Sekali berkelebat "wut"
kencang sekali tubuhnya meluncur memberosot lewat
dipinggir tubuh rasul jubah abu-abu keluar gua.
Samar ramar kupingnya mendengar helaan napas serta
kata-kata: "Patah tumbuh hilang berganti, tunas muda
tumbuh lebih cepat melangkahi yang tua . . ."
Begitu rasul jubah abu-abu sampai diluar gua, tampak
Giok-liong sudah menunggu di luar gua puluhan tombak
jauhnya tengah menggendong tangan seenaknya. Melihat ia
melayang datang lantas unjuk senyuman, katanya : "Tuan kau
sudah hampir masuk ke liang kubur, berlakulah sabar dan
janganlah tergesa-gesa, kalau tidak bila tulang belulang dalam
tubuhnya patah atau retak tak enak rasanya lho !"
Keruan bukan kepalang gusar rasul jubah abu abu dikocok
demikian rupa, tiba tiba ia hentikan luncuran tubuhnya, seperti
tongkat yang terpaku di tanah ia berdiri tegak, dengan nada
dingin yang menakutkan ia berkata: "Bocah sebutkan namamu
untuk terima kematian !"
"Aku yang rendah tak lain tak bukan Ma Giok liong !"
"Ma Giok liong ?"
"Itulah aku yang rendah !"

"Henehehe, dicari sampai sepatu besi bejat tidak ketemu,
kiranya ketemu disini tanpa mengeluarkan tenaga ! Hebehehe.
. ."
Giok liong mandah berdiri dengan sikap dingin melihat
tingkah laku orang yang kehilangan kontrol terhadap diri
sendiri sampai suara gelak tawa orang berhenti, baru ia
membuka mulut: "Sudah cukup tertawa tuan ?"
Rasul jubah abu-abu memang sudah menghentikan
tawanya, kedua matanya memancarkan sinar aneh, katanya:
"Ma Giok-liong, kalau kau mau menyerahkan seruling samber
nyawa dan menjadi anggota kita. Bolehlah Punsu cia mewakili
kau lapor kepada Kokcu, membantumu menuntut balas
memberantas seluruh musuhmu, sehingga kau dapat hidup
mewah bahagia . . ."
"Kentut ! Aku Ma Giok liong seorang laki-laki yang kenal
apa artinya kebajikan dan kebaikan, mana sudi bergaul
dengan manusia macam kalian seperti setan gentayangan !"
Rasul jubah abu abu menjengek dingin, katanya: "Kuharap
Tuan berpikir dan berpikir lagi secara cermat, Kalau kau tidak
mau melulusi bayangkanlah akibatnya."
Saking dongkol Giok liong terbahak-bahak selepas tawanya,
serunya: "Jikalau tuan mudamu ini takut pada congormu, sia
sialah aku bernama julukan Kim-pit-jan -hun !"
Sepasang mata Rasul jubah merah semakin memancarkan
nafsu membunuh, suaranya semakin tertekan dingin: "Baik
sekarang kuberi kesempatan untuk kau berpikir. . ."
"Hahahaha, kau ada kemampuan apa, silakan keluarkan!"
Rasul jubah abu-abu membanting kaki dan serunya keras:
"Buyung, jangan kira Li Hian bisa menjadi tulang punggungmu
lantas bersikap begitu takabur. Ketahuilah. sampai besok pagi
waktu matahari terbit baru genap lima puluh tahun ia dapat

keluar dari kurungannya itu. Sebelum menjelang pagi
setindakpun dia tidak boleh berkisar dari dalam gua ini! Maka,
hehe, seandainya ia berniat membantu kau juga tiada mampu
lagi."
Maksud tujuan ucapannya ini kepihak hendak
memperingatkan kepada Giok liong janganlah menarik Li Hian
sebagai pembantu utama, dilain pihak juga memberitahu
kepada Li Hian tidak boleh melanggar janji keluar gua.
Mendengar obrolan orang ini, ujung mulut Giok-liong
menyungging senyum sinis, katayna menjengek: "Hanya
mengandal pokrol bambu macammu yang tengik ini masa
perlu membikin cape Li-cian-pwe! "
Dasar keras kepala rasul jubah abu-abu mandah kekehkekeh,
tiba-tiba bayangannya berkelebat secepat kilat laksana
setan gentayangan terus menubruk ke arah Giok liong,
sembari menghardik rendah: "Kunyuk, arak suguhan kau tidak
mau sebaliknya minta dihukum, janganlah kau salahkan Pun
su-cia tidak kenal kasihan"
Sembari menubruk maju itu tiba-tiba tangan kirinya diayun
ke atas, maka meluncurlah selarik cahaya api warna abu-abu
dengan bunyi suitan yang menembus angkasa. Terang
tujuannya adalah memanggil bala bantuan teman-temannya,
bahwa di tempat ini telah terjadi peristiwa besar.
Tatkala itulah suara Li Hian itu telah membisiki lagi di
telinga Giok-liong: "Buyung, jangan kau memandang rendah
musuhmu jikalau tidak kuat bertahan lekaslah mundur kembali
kedalam gua, Lohu masih dapat membantumu."
Giok-lioog mengerahkan Ji-lo, berbareng tubuhnya
menggeser kedudukan ke sebelah kiri untuk bertemu dari
rangsangan musuh, mulutnya tampak berkemik: "Harap
Cianpwe berlega hati. Wanpwe pasti takkan ceroboh
menghadapi setan alas ini."

Baru selesai ia berkata Rasul jubah abu-abu sudah
berhadapan ditengah udara dengan dirinya, Giok liong
menyeringai dingin, sebat sekali tangan kanannya menjojoh,
lima jalur angin kencang mendesis keluar langsung
mencengkeram ke bawah ketiak rasul jubah abu-abu.
Dalam saat genting itulah samar-samar terdengar seruan Li
Hian berkata: ". . . . . awas panah tanpa bayangan. . ."
(BERSAMBUNG JILID KE 12)
Jilid 12
Terdengar rasul jubah abu-abu membentak: "Bocah
keparat, kiranya boleh juga ,.." masih terapung ditengah
udara tiba-tiba ia meliukkan pinggang terus jumpalitan dengan
gaya yang indah, kini ia berada di belakang Giok-liong lebih
atas, dimana jubah panjang nya kelihatan melambai-lambai,
mendadak ia perdengarkan serentetan gelombang tawa yang
menusuk telinga, segulung angin dingin yang kencang
membawa bau amis yang memuakkan langsung menerjang ke
punggung Giok-liong.
Dilihat expresi wajahnya yang kaku membesi tak kelihatan
perubahan apa-apa, tapi dari sorot matanya yang buas jalang
terlihatlah nafsunya yang besar ingin membunuh, seringai
sadis membayangkan pada pandang yang penuh kepuasan.
Mereka meluncur lewat benda pundak ditengah udara ini
kejadian dalam sekejap mata saja, Tapi dalam waktu yang
singkat ini rasul jubah abu-abu dapat jumpalitan melambung
lebih tinggi sambil melancarkan serangan ganas dengan cara
membokong menyerang punggung Giok-liong, terang
kedudukan lebih menguntungkan.
Terang gamblang serangan angin dingin kencang itu sudah
menggulung kearah punggung Giok-liong, namun rasul jubah
abu-abu rasanya masih belum puas, kelima jarinya mendadak
terjulur keluar dan lengan bajunya beruntun menjentik lima

kali, maka lima utas uap putih yang samar-samar hampir tak
terlihat oleh pandangan mata secepat kilat melesat terbagi
atas tengah dan bawah menyerang kelima tempat jalan darah
mematikan ditubah Giok-liong.
Bukan sampai sebegitu saja lihay serangan ini, terasa oleh
Giok Iiong sekitar tubuhnya kini telah terkekang dan tertutup
rapat oleh kebutan angin dingin yang dilancarkan oleh rasul
jubah abu abu tadi.
Lapat-lapat terdengar helaan napas sedih dari dalam gua:
"Bocah ini terlalu membawa adat sendiri, oh sungguh tidak
beruntung!" suaranya semakin lirih dan pilu, naga-naganya Li
Hian seperti memejamkan mata tak tega melihat lagi.
Secara tiba-tiba terdengar lima macam irama seruling
mengalun tinggi menggetarkan bumi memecahkan batu,
Didalam gelanggang tiba-tiba timbul selarik sinar putih
menari-nari laksana naga hidup. Lantas terdengar jeritan ngeri
yang memecah kesunyian malam.
"Bluk !" keras sekali badan rasul jubah abu abu terbanting
diatas tanah sejauh lima tombak, darah mengalir deras dari
lubang panca inderanya, setelah berkelojotan sekian lama
lantas tak bergerak lagi, jiwanya melayang.
Sementara itu dengan tenang Giok liong berdiri tegak di
samping sana tangan kanan menggenggam Seruling samber
nyawa, air mukanya merah membara, mulutnya menggumam:
"sungguh berbahaya ! senjata berbisa yang jahat ini benarbenar
lihay!"
Dari dalam gua terdengar pula suara Li Hian berkata :
"Buyung, lebih baik kau masuk saja kedalam gua sini Terang
kau sudah mengikat permusuhan dengan pihak Hian-bing-mokek
! Masuklah biar Loltu lebih tegas melihat wajahmu. . ."
dari nadanya ini terang telah timbul rasa simpatik dalam
benaknya terhadap Giok liong.

Giok-liong sendiri juga merasa kecut dan terkam
mendengar nada perkataan orang yang penuh welas asih dan
prihatin, hampir tak tertahan ia mengalirkan air mata: sudah
lama sekali tiada seorang orang tua pernah berkata sebegitu
cinta kasih terhadap dirinya.
Maka segera ia menyahut perlahan: "Baiklah, Lo-cian-pwe
!" lalu seruling samber nyawa diselipkan diikat pinggangnya
berputar tubuh terus melangkah kedalam gua.
Tapi baru saja ia melangkah berapa tindak, tiba-tiba
terdengar bentakan dingin dari belakangnya: "Berhenti!"
Kesiur angin dingin yang membekukan juga segera melingkari
sekitar tanah lapang diluar gua itu.
Sigap sekali Giok-liong membalik tubuh, Tampak
dibelakangnya beranjak puluhan tombak disana berjajar
berdiri empat orang yang mengenakan pakaian seperti rasul
jubah abu-abu tadi. selayang pandang saja lantas bergetar
perasaan Giok-liong.
Bukan saja cara berpakaian besar tinggi badan mereka
yang sama, sampai wajahdan raut muka mereka juga persis
benar, malah kaku dingin tanpa emosi lagi seperti wajah
mayat hidup.
Setelah membalik badan Giok-liong juga mandah berdiam
diri, hadap berhadapan tanpa membuka suara sekecappun,
namun diam-diam otaknya berpikir cara bagaimana hendak
menghadapi pendatang baru ini.
Diukur dari kepandaian silat dan Lwekang rasul jubah abuabu
yang mampus itu terang masih setingkat dibawah
kemampuannya.
Tapi bila kepandaian silat keempat rasul jubah abu-abu ini
juga setarap dengan yang telah mampus itu, dengan
gabungan kekuatan rnereka, payahlah pasti dirinya.

Sementara itu, tanpa bersuara keempat rasul jubah abu-abu
sudah beranjak maju semakin dekat, Otak Giok- liong berputar
cepat sekali sayang sekian lama ini tak terpikirkan olehnya
cara yang tepat untuk menghadapi mereka.
Akhirnya ia ambil keputusan yang drastis: "Permusuhan ini
relatif sudah terjadi, sifat merekapun begitu buas tanpa
perikemanusiaan, Berantas dan bunuh mereka habis-habisan!"
Waktu dia ambil ketetapan hati ini, keempat rasul jubah ibu
abu sudah mendekat beranjak delapan tombak.
Wajah Giok-liong mulai bersemu merah nafsu membunuh
sudah mencorong dari sorot matanya, pelan-pelan dirogohnya
Kim-pit dan Jan hun-ti serta dicekal kencang-kencang, menarik
napas panjang ia kerahkan Ji-lo berputar melindungi badan,
dalam segala waktu ia bisa segera melancarkan seluruh
kekuatannya untuk merobohkan musuh.
Tapi sikap ia berdiri rada acuh tak acuh kelihatan seperti
tiada minat untuk bertempur.
Kupingnya mendengar pula bisikan Li-Hian berkata:
"Buyung, lekas masuk kemari, kau bukan menjadi tandingan
mereka." nada perkataannya mengandung rasa kuatir dan
gelisah.
Dengan lemah lembut Giok-liong menyahut: "Harap
Cianpwe lega hati, Wanpwe pasti tidak akan menanggung
kerugian! "-lalu pelan-pelan ia pejamkan mata untuk menutupi
sorot matanya yang sudah membara penuh nafsa membunuh.
Para rasul jubah abu abu sekarang sudah semakin dekat,
malah berpencar membentuk setengah lingkaran terus
memapak maju ketengah gelanggang.
Kelopak mata Giok-liong merem melek, matanya hampir
terpejam tinggal sebaris pandangan saja daIam

penglihatannya, Ujung mulutnya juga mulai menyungging
senyum ejek.
Angin dingin menghembus rada keras melambaikan jubah
putih Giok-liong, seperti sebatang pohon yang berdiri kokoh
diterpa hujan baju dengan angker dan tenang ia berdiri
dengan sikap gagah.
Hening, melingkupi seluruh gelanggang seakan akan tiada
insan penghidupan disekeliling ini, hawa membunuh semakin
tebal melingkupi sanubari mereka.
Serentak secara tiba-tiba keempat rasul jubah abu abu
meluncur lurus menerjang kearah Giok-liong, pertempuran
mati matian sudah tak mungkin terhindar lagi.
Sekonyong-konyong rasul jubah abu abu nomer dua
mendengus rendah, seketika empat suitan nyaring menembus
angkasa, Berbareng bayangan abu abu yang bergerak lincah
dengan kecepatan luar biasa membawa deru angin pukulan
yang dahsyat dingin membeku menggulung tiba kearah Giokliong.
Dari pengalaman tempur dengan rasul jubah abu-abu yang
dibunuhnya tadi Giok-liong tahu bahwa mereka pasti juga
membekal senjata rahasia yang jahat dan berisi, malah
kepandaian silat yang mereka latih juga dari aliran amgi yang
beracun lagi, Maka dengan berdiri tekun menghimpun
semangat meski matanya rada merem melek, hakekatnya ia
siap siaga mengawasi gerak gerik musuh dan siap
menghadapinya.
Baru saja keempat bayangan musuh meluncur dekat masih
sejarak satu tombak, tubuh Giok-liong mendadak
mengepulkan uap putih terus merembes dan meluas
kesekitarnya.

Semakin dekat Iuncuran keempat bayangan musuh
semakin cepat udara sekitar gelanggang mendadak dilingkupi
hawa dingin dan mega mendung.
Bayangan kepalan dan telapak tangan pukulan laksana
bunga salju menari-nari menerjang dan menyerang
keperbagai jalan darah besar yang mematikan di tubuh Giokliong.
Bayangan orang berseliweran, deru angin kencang
mengamuk bergelombang besar, pekik pertempuran
menambah ramai suasana arena perkelahian.
Irama seruling mulai mengalun tinggi, sebuah bayang putih
membawa tarikan sinar putih dan kuning melambung tinggi
ketengah udara, ditengah udara menekuk pinggang sambil
membentang kedua tangannya, dua jalur cahaya kuning dan
putih lantas berputar memenuhi angkasa laksana naga
mengamuk di tengah awan membawa deru gemuruh terus
menyapu turun kearah keempat rasul jubah abu-abu.
Agaknya keempat rasul jubah abu-abu tidak mengira
bahwa pemuda baju putih yang kelihaian lemah lembut ini
kiranya membekal ilmu silat dan tenaga dalam yang begitu
hebat dan lihay.
Saking kagetnya sedikit mereka tertegun irama seruling
sudah mengalun dan angin keras juga sudah menyampuk tiba
didepan muka, berbareng dua jalur sinar kuning dan putih
juga sudah menyapu dan menyerampang datang.
Dalam saat saat genting ini mereka berempat saling
memberi tanda lalu serempak meloncat tinggi ketengah udara
dan meluncur kesamping.
Gagal dalam serangannya ini, Giok-liong lantas bersuit
panjang nyaring, dimana badannya bergerak seketika ia
lancarkan ilmu ajaran Jan-hun-su-sek. Sebuah bayangan putih
laksana bayangan dedemit bergerak lincah secepat kilat,

tubuhnya dijabat sinar kuning putih dan cemerlang
mengeluarkan cahaya putih perak, begitu indah dan
menakjupkan benar gerakannya sehingga keempat rasul jubah
abu-abu hakikatnya terkekang, dalam serangan potlot mas
dan seruling samber nyawa.
Tapi keempat rasul jubah abu-abu juga bukan kaum kroco
belaka ? Dengan bergabung mereka merangsak semakin
hebat meronta seperti binatang dalam kurungan kabut gelap
dan angin dingin menghembus keras menderu-deru, empat
bayangan abu-abu bergerak limbung seperti setan
gentayangan, meski serangan Giok-liong sedemikian gencar
dan hebat, tapi mereka masih sekuatnya melawan dan balas
menyerang dengan tidak kalah ganas dan lihay.
Pertempuran semakin menjadi kacau balau, ditengah udara
sekitar gelanggang terbayang mempetakan sebuah bundaran
berwarna warni laksana bola kembang. Diatas bundaran bola
kembang ini selain kelihatan sebuah bayangan putih bergerak
dengan kecepatan seperti kilat, adalah yang paling menyolok
mata dua sinar kuning putih yang meluncur memanjang
laksana dua ekor naga yang menari lincah sekali.
Adalah bola bundar berkembang itu hakikatnya bukan lain
adalah kabut gelap dan mega putih yang bergulung berputar.
Demikianlah pemandangan dari jauh. Kalau didekati maka
dapatlah diketahui bahwa dari tengah-tengah kabut bundar itu
saban-saban terdengar ledakan yang menghamburkan batupecah
dan tanah, dahan dan daun pohon juga tidak
ketinggalan beterbangan, malah mengeluarkan suara gemuruh
lagi.
Sekali serang tadi sebetulnya bermaksud menggetar
menyiutkan nyali pihak lawannya membobol kepungan
mereka. Diluar perhitungannya bahwa kepandaian lawanTIRAIKASIH
WEBSITE http://kangzusi.com/
lawannya ternyata begitu lihay sekian lama mereka jadi sama
kuat alias setali delapan uang.
Sang waktu berjalan terus tanpa menanti hati Giok-liong
menjadi gelisah: "Bagaimana bila pihak Hiau bing-mo kek
datang bala bantuan lagi ?" demikian batinnya.
Baru saja ia berpikir demikian, diujung timur sana
berkumandang sebuah suitan yang melengking tinggi
menembus awan, dengan kecepatan yang susah diukur
tengah meluncur mendatang . ..
Begita mendengar suara lengking suitan ini, lantas Giokliong
tahu bahwa pihak lawan kedatangan lagi seorang kosen
yang berkepandaian lebih tinggi dari keempat lawannya ini.
Maka segera ia kerahkan seluruh hawa murninya, tangan
kanan memainkan potlot mas dengan tipu Kang-sim-sek-bun
(mengejutkan hati kehilangan sukma) sedang tangan kiri
dengan bersenjatakan seruling samber nyawa menggunakan
jurus Toan-bing-jao hun (kehilangan nyawa sukma tersiksa).
Jurus tipu ini terbagi dalam delapan gerakan yang berantai,
seketika angin badai bergulung-gulung, pancaran sinar putih
kuning semakin cemerlang, dimana mega putih menerjang
dengan kekuatan dahsyat, seketika terdengar dua jeritan yang
mengerikan lalu disusul ledakan keras yang menggetarkan
bayangan orang terus berpencaran kabut masih tebal dan
mengurung sekitar gelanggang.
Dua bayangan abu-abu membawa aliran darah yang deras
terpental sungsang sumbel terbanting keras puluhan tombak
jauhnya, setelah tergulung-gulung ditanah lantas tak bergerak
lagi, sebaliknya kedua rasul jubah abu-abu lainnya matanya
malah memancarkan sorot kegirangan tercampur rasa kejut
berbareng mereka melejit mundur delapan tombak jauhnya
dengan pandangan dingin mendelik tanpa bergerak mereka
memandang kearah Giok-liong dengan berkedip.

Adalah jantung Giok liong bergejolak keras sekali, mata
berkunang dan kepala pusing sehingga tak kuat berdiri tegak,
beruntun ia tersurut mundur puluhan langkah baru berdiri
tegak pula. Lekas lekas ia himpun semangat dan kerahkan
tenaga murni untuk memulihkan pernapasannya yang
memburu.
Giok liong insaf bahwa pertempuran lebih dahsyat bakal
dihadapinya.
Belum lenyap dugaannya, terdengarlah kesiur angin ringan
tahu-tahu ditengah gelanggang sudah bertambah seorang,
orang aneh yang mengenakan jubah panjang warna hitam
gelap, berwajah hitam pula dengan sikap kaku dan dingin.
Begitu orang aneh jubah hitam itu muncul, kedua rasu!
jubah abu abu itu lantas menyembah serta menyapa hormat:
"Rasul jubah abu-abu menghadap pada Hek-i-tong cu."
Terdengar Hek i-tong cu mendenguskan hidungnya, sekilas
ia menyapu pandang kearah tiga mayat rasul jubah abu abu
jengeknya dingin: "Inikah hasil kalian?"
Kedua rasoi jubah abu-abu tidak berani bercuit sekian lama
mereka menyambai tak berani bersuara dan bergerak akhirnya
baru berkata dengan suara lirih: "pihak musuh terlalu kuat
malah membekal senjata pusaka seruling samber nyawa."
Teriihat badan Hek-i Tong-cu rada tergetar tercetus seruan
kaget dari mututnya: "Siapa?"
"Kim-pit-jan hun Ma Giok-liong!"
Pandangan Hek i Tong-cu penuh selidik melirik kearah
Giok-liong yang berdiri tenang dengan tangan bertolak
pinggang, menatapnya tanpa menunjukkan sesuatu mimik
perubahan, tapi nada perkataannya rada ragu dan kurang
percaya: "Dia inikah?"

Kedua rasul jubah abu-abu manggut-manggut berbareng
sambil mengiakan.
Kata Hek i Tong cu: "Yang mati siap dibawa puIang, yang
luka diberi obat."
Kedua rasul jubah abu-abu mengiakan sambil membungkuk
badan, lalu tinggal pergi mengurus ketiga kawannya yang
luka-luka dan meninggal.
Dengan pandangan matanya yang tajam berkilat Hek-i
Tong-cu tatap Giok liong lalu maju menghampiri dengan
langkah lebar.
Angin malam menghembus keras sampai jubah panjang
warna hitam yang dipakainya itu berbunyi melambai, demikian
juga rambutnya yang hitam panjang menjadi riap riapan
menari-nari. Hanya dua titik sinar matanya yang berkilat itulah
yang jelas mencorong dari badannya yang serba hitam, bagi
yang bernyali kecil pasti ketakutan melihat rupanya bagai
setan.
Belum orangnya sampai sudah terasa hawa sekelilingnya
menjadi dingin mendesak kearah Giok liong membuatnya
susah bernapas. setelah mengamati dengan seksama Giokliong
berpendapat bahwa Tong cu ini bersikap cukup tabah
dan tenang, gerak geriknya sangat tangkas, jalan napasnya
begitu ringan ini menandakan tenaga dalamnya sangat kokoh.
Kalau dibanding dirinya, paling tidak masih setingkat
berada lebih atas.
Dengan pendapatannya ini hatinya menjadi kaget, pikirnya:
"Tokoh macam apakah sebetulnya Kek-cu ( pemimpin) dari
Hian-bing-mo kek ini? Anak buahnya dari para rasul sampai
Tong-cunya ini rata-rata berkepandaian begitu tinggi, Kalau
anak buahnya saja sudah begini lihay maka dapatlah
dibayangkan sifat pemimpinnya tentu hebat luar biasa."

Kira kira jarak tiga empat kaki dihadapan Giok-Iiong baru
Hek-i Tong-cu menghentikan langkannya, dari kebawah ia
amati lagi seluruh badan Giok-liong, lalu katanya sambil
menyeringai dingin: "Tuan adalah Ma Giok liong ?".
Melihat orang mendesak sampai sedemikian dekat baru
menghentikan langkah, diam-diam Giok-liong menjadi
merinding, seumpama lawan mendadak turun tangan
membokong sungguh sukar dijaga dan sungguh berbahaya,
sebaliknya kalau dirinya turun tangan lebih dulu, agaknya
sangat memalukan.
Demikian dalam hati berpikir, mulutnya menyahut : "Aku
yang rendah benar Ma Giok liong adanya ! siapakah tuan ini ?"
"Kami merupakan salah satu diantara delapan belas Tongcu
yang dipimbing oleh Hian-bing-mo-kek Kek cu !"
"Dimanakah letak Hian-bing mo-kek kalian ? selamanya aku
yang rendah belum pernah dengar di kalangan Kangouw ada
suatu organisasi macam Hian-bing-mo kek ini?"
Nada suara Hek i Tong cu selalu terdengar kaku sember
sepatah demi sepatah tanpa irama. Demikian juga mimik raut
mukanya kaku membesi tanpa bergerak sedikitpun tidak
terlihat expresi wajahnya, hanya sepasang sorot matanya itu
yang memancarkan cahaya dingin masih dapat mengunjuk
perubahan isi hatinya.
Tapi kala ini sorot matanya tidak berubah, suaranya
senadakannya dingin: "Tuan masih berusia muda sudah tentu
belum pernah dengar perihal Hian-bing mo-kek, Kalau tuan
sudah pernah dengar ketenaran nama organisasi kita ini. tentu
tuan tidak batal berani turun tangan begitu kejam terhadap
para rasul kita."

Ucapannya ini tak lain berarti: "seumpama ilmu silatmu
tinggi, sayang usiamu masih sangat muda. Begitu sempit
pengalamanmu sampai Hian-bing-mo kek yang begitu tenar
ditakuti orangpun kau belum pernah dengar, maka tidaklah
heran kau berani berlaku lancang dan bertangan gapah "
Sudah tentu Giok-liong juga maklum akan isi kata-katanya
ini, sahutnya: "Mereka setimpal dihukum mati karena
perbuatan yang kurang ajar, bukan menjadi dosaku malah."
"Hm ! Mereka kurang pandai belajar silat sehingga
membikin malu nama baik wibawa Hian bing-mo,kek, nanti
kalau pulang pasti mendapat ganjaran yang setimpal. Tapi
kwatir kau sendiri tidak bisa lepas dari keadaan ini."
"Aku juga kwatir tuan tidak dapat melaksanakan seperti
apa yang telah terjadi."
"Sudah tentu aku punya cara lain untuk menyelesaikan ?"
"Coba terangkan !"
"Pertama, serahkan seruling samber nyawa dan
menghamba diri dibawah matian Kek-cu, hidupmu akan
senang dan banyak mendapat kebaikan. Kedua, kalau tuan
tidak ingin serahkan seruling samber nyawa itu kepadaku,
bolehlah kau serahkan sendiri kepada Kek cu, tentu Kek cu
tidak menyia-nyiakan kebaikanmu ini. Ketiga, tuan harus
berkorban demi seruling samber nyawa itu, biarlah aku yang
bawa pulang seruling sarnber nyawa ini, tentang jenazahmu
kita akan mengurusnya dengan upacara besar. Keempat,
kalau tuan mempunyai syarat apa silahkan sebutkan, pasti Kek
cu tidak akan membuat tuan merasa kehilangan."
"Kalau satupun aku tidak mau pilih syarat tuan ini
bagaimana ?"
"Tuan harus pilih satu diantaranya."
"Kalau tidak ?"

Tanpa bersuara lagi Hek-i Tongcu mundur tiga langkah,
tangan kiri diayun keatas. Sebuah benda bundar kecil
meluncur dan meledak di udara membawa cahaya terang
menyolok mata berbunyi nyaring kumandang ditengah malam
nan gelap diatas alas pegunungan ini.
Baru saja cahaya ini meluncur setengah jalan, dari
kejauhan sana lantas terdengar suara suitan saling
bersahutan, sekejap saja suaranya sudah meluncur dekat.
Berkelebatlah beberapa bayangan abu-abu, tahu-tahu
dipinggir gelanggang sudah bertambah sepuluh rasul jubah
abu-abu, pakaian serta bentuk badan dan muka mereka sama,
hanya kesepuluh rasul jubah abu-abu yang baru datang ini
pinggangnya digubat sabuk hitam.
Begitu muncul lantas berpencar membentuk satu bundaran,
dan Giok-liong dan Hek-i Tong-cu terkepung ditengah
gelanggang, sekejappun tiada yang buka suara atau berani
sembarangan bergerak.
Baru saja lingkaran pengepung ini bergerak rapi, tiba tiba
tiga titik bayangan orang meluncur datang dari hutan semak
belukar sana sambil bersuit nyaring menggetarkan sukma
memekakkan telinga.
Begitu mendarat di sana sedikitpun kaki mereka tidak
mengeluarkan suara atau menimbulkan debu mengepul.
Dengan tegak mereka berdiri bagaikan terpaku, mereka tak
lain tak bukan adalah tiga orang Hek-i Tong-cu lagi, tepat
sekali mereka berdiri berpencar diempat penjuru dalam
lingkungan kepungan para rasul jubah abu-abu, jadi Giok-liong
terkurung lapis dua.
Untuk selanjutnya masih terdengar suara lambai baju
berseliweran, dari empat penjuru yang gelap sana mendadak
bermunculan lagi tiga puluhan rasul jubah abu abu, dengan

gerak cepat dan langkah ringan mereka membentuk suatu
barisan, lalu berdiri tegak berdiam diri menanti komado.
Sekilas pandang lantas Giok-liong bercekat, dalam hati ia
menimbang: "Meski aku belum pernah belajar ilmu barisan,
tapi formasi sesuatu barisan yang umum sudah sering kulihat
malah mengetahui cara membobolnya. Tapi barisan yang
mereka bentuk ini sungguh sangat aneh, seperti Su li-tin, tapi
juga seperti Pat kwa-tin atau Ngo-heng-tin. . ."
Hek-i Tongcu yang terdahulu datang tadi melirik kearah
Giok-liang lalu bertanya: "Apakah tuan punya pegangan untuk
menang melawan kekuatan gabungan kita berempat Hek-i
Tong-cu ?"
Waktu ketiga Hek i Toog-cu yang ada datang tadi, Giokliong
sudah melihat jelas cara gerak mereka adalah begitu
cekatan dan tangkas sekali, paling tidak lebih unggul dari para
tokoh kelas satu dari kalangan Kangouw umumnya. Kalau
benar-benar mereka bergabung mengeroyok dirinya, mungkin
dalam dua puluh gebrakan saja dirinya takkan kuat bertahan.
"Maka menurut hematku lebih baik tuan memilih salah satu
syarat yang ku ajukan tadi, kalau tidak bila benar benar
bertempur bukan saja kalah malah teringkus lagi, buat nama
dan muka nanti tentu tidak enak di dengar dan memalukan
bukan?"
Hawa amarah seketika bergelak menerjang otak Giok-liong,
Sekuatnya ia menahan napas dan mengendalikan diri, baru
dapat mengekang sabar sekian lamanya, tapi bahwasanya
otaknya bekerja cepat memikirkan cara bagaimana
menghadapi atau mengatasi situasi yang gawat dan
berbahaya ini.
Bila ia melulusi untuk menepati janji mengunjungi Hianbing-
mo-kek itu berarti bahwa dirinya harus masuk mulut

harimau, sampai pada saat itu apa yang dapat dilakukan
dirinya tidak lain menjadi antek atau mengekor saja apa yang
mereka perintahkan atas dirinya.
Namun seumpama menolak undangan ini, kalau kena
digusur dan terbinasa inipun tidak menguntungkan bagi
dirinya.
Sekonyong-konyong suara Li Fian berkumandang dipinggir
telinganya: "Buyung, dilihat dari situasi yang kau hadapi ini,
terpaksa kau harus, melulusi permintaan mereka! Ketua
mereka bukan seorang yang tidak mengenal aturan. Kalau kau
mempunyai akal dan pintar memutar haluan, mungkin
akibatnya baik dari pada keadaan sekarang bila kau melawan
dengan kekerasan. Para Tong-cu ini rata-rata memliki
kepandaian silat yang lihay dan banyak ragamnya, bukan
tandingan sembarang tandingan."
Otak Giok liong berkeljat, sesuatu pikiran, katanya kepada
Hek-i Tong-cu itu: "Baik, Kuputuskan untuk menemui ketua
kalian!"
"Yah, itulah baik sekali!"
"Tapi bukan sekarang?"
"Ini, lantas. . ."
"Sekarang aku punya urusan penting yang mendesak, kalau
kalian percaya akan omonganku, apa bedanya kita bertemu
lagi tiga bulan yang akan datang?"
Hek-i Tonf!-cu menjengek dingin: "Hian-bing-mo-kek mana
gampang ditipu orang ! Baik, tiga bulan yang akan datang kita
nantikan kedatanganmu dipuncak ia hong-gay di gunung Bu
lay san."
Habis berkata lantas ia berpaling menghadap ketiga Hek-i
Tong-cu lainnya serta katanya: "Terima kasih akan
kedatangan para saudara." sembari mengulap tangan

tubuhnya bergerak gesit sekali ia pimpin para rasul jubah abuabu
terus menghilang dibalik hutan sebelah kiri yang gelap
gulita, ditengah udara kupandang suitan panjang yang
bergema lama mengalun tinggi.
Angin malam menghembus keras terasa dingin, sang putri
malam sudah mulai doyong kearah barat, kegelapan yang
pekat menjelang senja sudah mulai mendatang.
Seorang diri Giok-liong berdiri tegak dan termenung
didepan gua dalam atas pegunungan yang sunyi ini, jubah
putihnya melambai-lambai terhembus angin.
Dari dalam gua sana terdengar suara Li Hian berkata: "Nak,
marilah masuk mengobrol." Giok liong mengiakan dengan
suara lirih. Pelan pelan ia masuk kedalam gua.
Diujung kiri dalam gua sana kini sudah duduk seorang tua
yang berpakaian butut kasar dan rombeng, rambutnya sudah
uban seluruhnya, air mukanya bersemu merah, jidat sebelah
kiri kelihatan jelas sekali mengkilap bekas bacokan senjata
tajam, orang tua ini bertubuh tinggi kekar.
Sambil melangkah masuk, mendadak Giok-liong merasa
hatinya menjadi hampa dan kosong melompong.
Dengan pandangan berkilat orang tua ini menatap tajam
kearah Giok-liong, wajahnya menampilkan rasa heran dan
tidak percaya, Tapi begitu Giok-liong sudah melangkah dekat
lantas ia bersikap biasa lagi, katanya: "Nak, betulkah nama
aslimu adalah Ma Giok-liong?"
"Betul, masa Cianpwe tidak percaya ?"
Li Hian menatapnya sekali, lalu katanya pula: "Bukan
begitu, mendadak Lohu teringat oleh suatu persoalan! Hm,
apakah ayah bundamu masih hidup?"

Begitu membicarakan ayah bundanya lantas Giok-liong
merasa berduka, kedua matanya menjadi merah dan hampir
saja menangis, sahutnya lirih: "Aku tidak tahu."
"Tidak tahu?"
"Ya, ayah sudah menghilang sejak aku masih kecil! sedang
ibu mendapat celaka terbokong oleh musuh laknat, entah
bagaimana mati hidupnya sekarang." tak tertahan lagi dua
titik air mata mengalir membasahi pipinya.
Selintas pandangan Li Hian mengunjuk rasa kejut dan tak
mengerti, pelan-pelan ia menghela napas serta katanya: "Nak,
janganlah bersedih! Apakah kau tahu nama ibumu? Banyak
kawan Lohu di kalangan Kang-ouw, mungkin aku bisa ikut
menyirapi!"
Giok-Iiong sadar akan sikapnya yang kehilangan kontrol,
cepat ia mengeluarkan sapu tangan untuk menyeka air
matanya, ka-tanya. sambil tertawa dibuat-buat: "Membuat
tertawaan Cian pwe saja!" lalu ia menyambung lagi.
"Dulu ibu sudah kenamaan dengan julukan Toh hu Siancu,
tapi agaknya banyak orang Kangouw yarg tidak mengetahui
akan hal ini."
Codet bekas luka di jidat Li Hian itu mendadak seperti
melepuh besar merah membara sampai memancarkan sinar
berkemilauan. Terang bahwa hatinya juga ikut terharu dan
terbawa arus perasaannya yang tak terkendali lago.
Rada lama kemudian baru ia dapat mengendalikan hatinya
seperti biasa lagi, tanyanya. "Nak, kapan ayahmu telah
menghilang? Siapa pula namanya ?"
Giok-liong menggeleng, sahutnya: "Wan-pwe kurang jelas."

"Ai, sungguh kasihan . . . ." agaknya Li Hian tenggelam
dalam kenangan lama, kedua matanya rada dimeramkan lalu
menunduk kepala tak bersuara lagi.
Sebetulnya Giok-liong bermaksud menceritakan apa yang
pernah didengar dari cerita ibunya tentang didasar mata air
rawa naga beracun di gunung Bu-i san ada peninggalan kata
kata ayahmu."
Tapi setelah dipikir kembali kelihatan memang Li Hian
sangat prihatin akan riwayat hidupnya ini, namun betapa juga
mereka baru saja kenal, dunia persilatan penuh akal dan tipu
muslihat kejam yang sering membawa bencana, serba serbi
kejadian pernah terjadi maka ada lebih baik tutup mulut saja,
karena disadari olehnya bahwa bencana kadang kadang
datang dari mulut yang suka bicara.
Sekarang Li Hian angkat kepala lagi, sejenak ia menatap
Giok-liong, matanya memancarkan cahaya aneh, tanyanya
dengan pelahan: "Nak, mereka memanggilmu Kim-pit-janhun?"
Giok liong mengiakan.
"Kenapa?"
"Sebab senjata yang Wanpwe gunakan adalah sebatang
potlat mas."
"O, siapakah tokoh kosen gurumu itu?"
"Suhu bernama Pang Giok berjulukan To-ji!"
"Ha, beliau? Tak heran ilmu silatmu sedemikian hebat. Tapi
ilmu kepandaiannya mungkin tidak banyak unggul dari
kemampuan sekarang bukan?"
Giok liong tersenyum, katanya "Mana Waupwe bisa tahu
betapa dalam dan tinggi kepandaian Suhu, yang terang
kepandaian beliau sudah jauh sempurna. Meskipun sejak

berpisah dengas Suhu memang Wanpwe ada sedikit
kemajuan, tapi mana berani dibanding dengan Suhu."
Li Hian menjadi geli, tanyanya lagi: "Kuduga tentu kau
menggembol suatu benda pusaka maka banyak kawanan
manusia tamak di-Kangouw itu selalu membuntuti dan
mengejar-ngejarmu, sehingga terpaksa kau terdesak dan
membunuh orang, bukankah begitu?"
"Ya, benar." Sahut Giok-liong manggut-manggut." Wanpwe
punya sebatang seruling samber nyawa benda pusaka inilah
yang selalu menjadi incaran mereka, mereka selalu
menggunakan kekerasan hendak merebut milikku ini, terpaksa
Wanpwe harus turun tangan membunuh orang, apalagi
kadang-kadang juga sangat dongkol dan susah bertahan lagi!"
"Oleh karena itu mereka lantas menjuluki kau Kim pit-jan
hun!"
"Ya, begitulah!"
"Tahukah kau bahwa didalam seruling samber nyawa itu
tersembunyi suatu rahasia besar persoalan dunia persilatan?"
"Harap Cian-pwe suka memberi petunjuk."
"Seruling samber nyawa adalah benda kuno yang sakti
mandra guna, dari jaman kejaman menjadi tradisi peninggalan
yang memilikinya, puluhan tokoh kosen yang pernah
memegangnya sudah melebur bergantian dengan kekuatan
mereka sehingga benda ini semakin hebat dapat menambah
semangat dan kekuatan Lwekang orang yang
menggunakannya, seribu tahun yang lalu seruling ini terjatuh
ditangan sepasang suami istri suatu cikal bakal aliran
persilatan yang kenamaan bernama Jan-hun cu, dengan suatu
cara yang teristimewa, mereka menutup atau menyumbal
daya sedot yang timbul dari seruling ini pada para
pemakainya. Cara yang digunakan itu sudah dilebur kedalam

seruling ini dijadikan sebuah lagu irama seruling yang hebat
sekali."
Giok-liong menjadi heran dan tak mengerti, tanyanya:
"Seluruh batang bersih kemilau tiada tanda-tanda luar biasa,
Wanpwe pernah memeriksa seruling ini dengan seksama,
darimana bisa ditiupkan sebuah lagu irama seruling."
Li Hian mengelus-ngelus jenggot panjangnya yang
memutih, katanya tertawa: "Sudah tentu, karena beliau tidak
mengukir not lagu itu diatas seruling itu."
"Lalu bagaimana bisa tahu cara bagaimana lagu itu harus
ditiup dengan seruling?"
"Kalau Lwekangmu sendiri sudah mencapai tingkat yang
sempurna tidak sembarang orang dapat mencapainya, lalu kau
kerahkan Lwekang kedalam seruling itu, maka seruling itu
akan melagukan beberapa irama seruling yang beraneka
macam, ragam dari lagu itu itu tergantung dari kekuatan
Lwekang orang yang memilikinya."
"Satu diantara irama lagu itu adalah curahan hasil
semayam Jan-hun cu suami istri selama memperdalam
ilmunya didalam gua semedinya itu, ada banyak peninggalan
hasil jerih payahnya dalam memperdalam dan menyelidiki
berbagai ilmu, umpamanya buku-buku ilmu pukulan, pedang
serta buku perang serta ilmu pengobatan dan lain lain."
Giok-liong semakin tak mengerti tanyanya lagi: "Kalau
begitu banyak ragam lagu-lagu itu. Lalu dari mana bisa
diketahui lagu manakah yang menyatakan petunjuk itu?"
"Rasa kecewa Jan huncu suami sitri selama hidup ini justru
tidak memperoleh seorang murid yang baik. Sedang murid
satu satunya malah mendirikan sebuah aliran tersendiri
diluaran, bukan saja kejam dengan berbagai siksaan malah
bersimaharaja puIa. Sudah tentu hal ini membuat mereka
sangat sedih dan putus asa, waktu mereka mendengar kabar

ini justru sedang saat-saat genting mereka menghadapi
latihan ilmunya maka tiada tempo lagi untuk mengurusi murid
murtad itu.
Tapi mereka suami istri tahu, cepat atau lambat murid
murid itu pasti akan menimbulkan bencana bagi dunia
persilatan, maka didalam gua semadinya itu mereka
meninggalkan hasil ciptaan jerih payah selama bertahun-tahun
disana, lalu diatas seruling sambar nyawa itulah mereka
meninggalkan kunci rahasia cara mendapatkan peninggalan
mereka itu.
Harapannya adalah dalam waktu yang tidak lama ini
terdapat seorang berbakat dalam segala bidang dapat
menerima peninggalannya itu menjadi murid resmi mereka.
"Sayang sekali selama seribu tahun ini, tiada seorangpun
yang memperoleh seruling ini yang dapat atau mencocoki
taraf yang telah ditentukan itu, juga tiada seorangpun yang
dapat memasuki atau menemukan tempat gua semedinya itu.
Maka jerih payah hasil ciptaan Jau-hun cu itu juga menjadi
khayalan belaka."
Mendengar penjelasan yang panjang lebar ini Giok-liong
jadi berpikir: "Siapakah murid Jan-hun cu dulu itu ? Bukan
mustahil adalah cikal bakal Hian-bing-mo-kek atau hutan
kematian ?" dalam hati ia berpikir mulutnya lamas bertanya:
"siapakah murid Jan-hun cu dulu itu ? Apakata nama aliran
yang telah didirikannya itu ?"
"Untuk persoalan ini aku sendiri juga kurang jelas," sahut Li
Hian, "Apa yang tadi saya ceritakan kudengar dari penuturan
majikanku dulu."
Terketuk hati Giok-liong! Li Hian masih punya majikan!

Baru saja ia hendak bertanya siapakah majikan yang
dimaksudkan itu, keburu Li Hian sudah membuka mulut lagi:
"Diluar gua sudah terang tanah, tak lama lagi Lohu harus
meninggalkan tempat ini. Mungkin tidak lama lagi kita bakal
berjumpa pula di kalangan Kangouw, tatkala itu kita bisa
duduk mengobrol panjang lebar lagi memperbincangkan
situasi dunia persilatan masa ini ! Waktu itu kalau kau banyak
persoalan yang menimpa dinmu, sekuat tenaga Lohu akan
membantumu . ."
Belum habis ia bicara, mendadak dari kejauhan sama
kumandang gelak tawa yang menggila, suaranya seperti orang
kegirangan dan mencak-mencak karena putus lotre, cepat
sekali gema gelak tawa itu meluncur datang kearah gua ini.
Lantas terdengarlah sebuah suara serak seperti gembreng
pecah berkata diluar gua sana: "Li Hian bocah kurcaci, tidak
lekas keluar kau, Apakah belum cukup derita yang kau terima
ini ?"
Giok liong menjadi terperanjat, disangkanya musuh besar Li
Hian siapa yang telah tiba lagi, atau anak murid dari Hian
bing-mo-kek telah balik kembali.
Kalau Giok-liong merasa khawatir sebaliknya Li Hian
mandah tersenyum girang, serunya: "Kunyuk kalian, tungguh
menyenangkan punya teman-teman seperti kalian ! Lima
puluh tahun sudah kalian masih ingat untuk datang kemari !"
lalu ia mendongak dan terawa terbahak bahak juga, begitu
keras gema tawanya itu sampai kuping Giok-liong
mendengung.
Kini keaaaan diluar gua sudah terang benderang. Gelak
tawa yang ramai tadi berkumandang lagi, terdengar seseorang
berkata: "Bocah keparat Li Hian, agaknya kau tidak pandang
sebelah mata pada kawan lama lagi, berani berkata omongan
yang tidak enak didengar begitu ayo merangkak keluar,

marilah kita bertemu dan bercengkerama akan kulihat macam
apa lagi tampangmu yang bagus dulu."
Li Hian berkata kepada Giok-liong: "Mari kita keluar
melihat-lihat ! Hahahaha, lima puluh tahun sudah akhirnya
aku bebas kembali," sekali berkelebat ringan sekali tubuhnya
melayang keluar gua secepat anak panah.
Giok-liong juga tidak mau ketinggalan ikut melesat keluar
gua, Kelihatan diluar gua sana berjajar berdiri tiga orang
mengenakan juban putih panjang, dengan rambut kepala
ubanan semua, tapi air muka mereka beraneka ragam,
berbeda-beda tapi bertubuh tinggi kekar.
Yang berdiri di sebelah kiri bermuka hitam kehijau-hijauan
hidungnya bengkok, bermata juling seperti mata garuda
sikapnya garang.
Di tengah yang terapit bertubuh tinggi besar hampir
setombak lebih, kulit mukanya bersemu merah ungu, jenggot
panjang terurai di depan dadanya, matanya besar berkilat
sangat galak sekali.
Orang yang berdiri paling kanan lain pula rupanya penuh
codet seperti bekas kena penyakit kudis, matanya bundar
bermulut lebar besar berjambang bauk lebat, ia berdiri sambil
bertolak pinggang sangat gagah dan angker.
Begitu sampai diluar segera Li Hian membungkuk memberi
soja kepada mereka sambil berseru: "Haya, Toako bertiga
datang berkunjung bersama, sungguh menyiksa adikmu saja."
Si orang tua yang berdiri ditengah bertubuh kekar besar
itu, begitu Li Han melangkah dekat lantas pentang kedua
lengannya yang besar kuat memeluk Li Hian dengan kencang,
sepasang matanya yang berkilat itu berlinang airmata,
suaranya keras dan tertawa aneh: "Losu beberapa puluh
tahun ini, sungguh kau menderita . . ." dua orang dikanan kiri
itu juga merubung datang ikut berpelukan berempat mereka

saling bertangisan, melampiaskan rasa rindu sekian lama ini
sampai suara tangis yang menggerung-gerung ini bergema
didalam alas pegunungan.
Giok-liong berdiri disamping, melihat adegan yang
mengharukan ini, hatinya terasa kecut, batinnya: "Ketiga
orang ini kepandaian silatnya pasti sangat hebat tak dibawah
Li Hian sendiri, sungguh merasa heran . , . tengah ia berpikir,
mereka berempat sudah menghentikan tangisnya.
Li Hian memutar tubuh, wajahnya berseri girang, tapi air
mata masih meleleh saking kegirangan, katanya kepada Giokliong:
"Harap maaf karena kita sudah lama sekali tidak pernah
bertemu . . , mari, biar Lohu perkenalkan kepada ketiga
Toakoku ini." lalu berpaling berkata kepada mereka bertiga:
"Toako, Jiko dan samko, mari kukenalkan seorang sahabat
muda Ma Giok liong yang berjuluk Kim pit-jan hun!"
Serentak mereka tertegun memandang kearah Giok-liong.
Giok-liong merasa tiga pasang mata mereka laksana kilat
menatap kearah wajahnya sehingga hatinya menjadi bercekat,
namun lahirnya tetap tenang malah unjuk senyum wajar,
serunya sambil unjuk hormat: "Wanpwe Ma Giok-liong,
selamat bertemu para Cian-pwe!"
Lalu satu persatu Li Hian perkenalkan mereka bertiga: "Si
tinggi besar ditengah itu bernama julukan Kiug-thian-sin La
Say sebagai Toako, yang sebelah kiri adalah Wi-thian-ing KLo
Biauw sebagai Jiko dan yang terakhir adalah Ka-long Ci Hong.
Waktu satu persatu mereka membalas hormat Giok-liong,
didapati olehnya sorot pasangan mereka memancarkan sinar
aneh yang sulit diselami.
Giok-liong tidak tahu apakah sebabnya, Tatkala ini tiada
waktu untuk memperhatikan hal ini, maka persoalan ini juga

lantas berlalu begitu saja, setelah basa basi sekadarnya lantas
King-thiao-sin (malaikat penunggak gunung) Lu Say
merangkap tangan didapati dada serta katanya sungguh:
"Losiu berempat sungguh sangat beruntung dapat
berkenalan dengan Siau-hiap, sayang sekali waktu memburu
kita harus segera kembali Ping goan di laut utara sana,
terpaksa tidak banyak waktu untuk saling bercengkrama
dengan siauhiap ! Besar harapan kami beberapa waktu lagi
kita bisa bertemu dan berkunjung lagi dikalangan Kangouw !"
"ergerak hati Giok-Iiong, ada niatnya hendak menjelaskan
tentang keonaran yang bakal menimpa kaum persilatan,
diminta mereka suka memberikan bantuannya, namun setelah
dipikirkan lebih lanjuf, rasanya rada janggal dan rikuh, P&Fog
tidak mereka bakal kembali ke Tiong-goan lagi, tatkala mana
pasti pada saatnya mereka bisa bertemu dan ngobrol.
Maka segera ia unjuk soja, serunya: "sungguh besar rejeki
Wanpwe dapat berkenalan dengan para Cianpwe yang oiutai.
Besar harapan Waupwe kelak dalam waktu yang tidak lama
bertemu lagi, masih ada sesuatu hal yang Wanpwe akan minta
bantuan dari para Cian-pwe."
King thian-sin berempat berbareng berkata: "Kelak kalau
kita kembali lagi ke Tiong goan, bila Siau-hiap benar-benar
memerlukan bantuan kita, menerjang gunung bergolok atau
lautan api juga pasti kita lakukan tanpa pamrih." habis berkata
berbareng bayangan mereka berkelebat membawa kesiur
angin yang ringan sekali tahu-tahu bayangan mereka sudah
menghilang didalam hutan lebat di depan sana.
Hati Giok liong serasa kosong hampa, tapi rada terhibur
dan bersyukur pula.
Menurut katanya tadi King-thian-sin Lo Say buru-buru
hendak kembali ke Ping goan dilaut utara, terang bahwa

pangkalan mereka pasti disana. Apakah mereka ada hubungan
dengan Hwi thian-khek Ma Huan dari laut utara itu ?
Kalau dugaan ini benar maka-hari-hari selanjutnya banyak
sekali pertolongan yang harus dinyatakan kepada mereka.
Sesaat Giok-liong berdiam diri, matahari sudah terbit
semakin tinggi menerangi jagat raya ini, dalam hati ia tengah
menerawang tindakan selanjutnya yang harus dilaksanakan.
Teringat tugas berat yang di-pikulnya, tanpa merasa ia
menghela napas panjang.
Menjejakkan kaki, badan seringan asap lantas meluncur
dengan pesat sekali sambil mengembangkan Leng-hun-toh ia
berlari-lari kencang menuju ke timur laut.
Giok-liong sudah kerahkan seluruh tenaganya untuk
mengembangkan ilmu ringan tubuh leng hun-toh ini, maka
badannya seperti berubah segulung jalur putih melesat
kencang dan meluncur gesit selulup timbul di hutan lebat dan
semak belukar.
Tapi hati Giok-liong sedang gundah dan memutar otak
berpikir, sejak meninggalkan hutan kematian hampir satu
bulan sudah. Menurut pesan Wi hian ciang Liong Bun
diharuskan dalam jangka waktu setengah tahun dirinya harus
sudah dapat menemukan gurunya, menyatukan Ih lwe-su-cun
bersama seluruh kaum gagah persilatan untuk melawan
kekuatan terpendam dari Hutan Kematian.
Satu persoalan belum lagi dapat diatasi bersama pula, telah
muncul golongan Hiat-ing-bun di Kangouw, Selama hampir
satu bulan ini apa yang telah dialami sungguh sangat banyak
dan ruwet sekali. Istana beracun sudah ietaBS-tv":ausaii
muncul kembali dengan taasNj terornya yang ganas meruntuh
totalkan pihak Go bi-pan. Serta Hian-bing-mo-kek yang serba
misterius ini, ini cukup mengejutkan dan menguatirkan sekali.

Kalau dihitung secara total, kecuali Hiat-hong dan Kim-i dua
organisasi jahat yang malang melintang di Kangouw tak
terhitung didalamnya. Hutan kematian, istana beracun, Hiat -
ing - bun, Hian-bing-mo-kek serta aliran Ctrm merupakan lima
golongan dan aliran yang hebat dan berkekuatan besar pula.
Kelima aliran jahat ini masing-masing tentu mempunyai
kaki tangannya yang hebat dan lihay dengan berbagai ajaran
silatnya yang tersendiri dan aneh.
Satu saja dari kelima golongan ganas ini cukup untuk
menyapu dan memberantas golongan lurus kaum persilatan.
Jikalau delapan besar aliran silat lurus serta para orang
gagah dan satria jantan tidak bisa bersatu padu, bekerja sama
untuk membendung bencana yang bakal timbul ini, maka
dunia persilatan didataran tengah ini sulitlah untuk angkat
kepala atau hidup aman dan sentosa."
Karena pikirannya ini, seketika Giok-liong terbayang adegan
pembunuhan total dipuncak Go bi-san tempo hari, tanpa
merasa ia menjadi merinding dan ngeri, diam-diam ia ambil
ketetapan dalam benaknya: "Istana beracun sudah mulai
mengulurkan cakar jahatnya, aku harus segera menuju ke Butong-
san untuk mencegah terulangnya kejadian bencana
darah."
Ya, memang letak Bu-tong adalah yang paling dekat
dengan Go bi-san. Maka dapatlah dipastikan sasaran kedua
akan teror yang bakal dilaksanakan oleh pihak istana beracun
pasti adalah Bu-tong pay! Maka tanpa ayal lagi kakinya
semakin cepat bergerak terus melesat dengan kencang,
membelok arah menuju ketimur laut.
Sehari-harian ia berlari kencang tanpa merasa sampai hari
telah menjelang magrib Lwekang latihan Giok-liong boleh
dikata sudah mencapai puncak kesempurnaannya, meskipun

hari sudah mulai gelap matanya masih dapat melihat tegas
dan jelas, pada saat mana ia sudah mulai memasuki daerah
pegunungan Bu-san pada puncak kedua belas.
Suara burung gagak ramai dan ribut kembali kcdalam
sarangnya, matahari memancarkan sinar kuningnya sebelum
sembunyi kedalam peraduannya, setelah menembus sebuah
hutan lebat Giok-liong tiba disebuah dataran rumput yang luas
dan menghilang jelas terlihat didepan sana terbentang sebuah
aliran sungai kecil, dengan aliran airnya yang bening
gemericik, sungguh indah pemandangan panorama menjelang
malam ini.
Setelah menempuh perjalanan jauh selama satu hari Giokliong
merasa letih juga, sampai dipinggir sungai ia duduk serta
menggayung air, dengan telapak tangannya untuk membasuh
mukanya yang kotor penuh debu, seluruh badan seketika
serasa nyaman dan silir sehingga semangatnya pulih kembali
bergegas ia berdiri dan menggeliat dan memandang
kesekitarnya.
Dilihatnya setelah melampaui padang rumput ini didepan
sana terdapat sebuah hutan lebat pula, di belakang hutan ini
adalah sebuah puncak gunung yang menembus awan
sambung menyambung memanjang tak kelihatan ujung
pangkalnya.
Menurut perhitungannya dengan kecepatan larinya ini,
mungkin tengah malam nanti ia sudah dapat tiba di Sam-cingkoan
di Bu-tong-san.
Begitulah setelah beristirahat sekedarnya, ia bergerak lagi
dengan pesat berlari kencang didataran padang rumput ini
terus menyelinap memasuki hutan lebat langsung menuju
kearah letak Bu-tong-san.
Tidak lama setelah Giok liong melewati hutan lebat ini,
dipinggir sungai sana terdengar kesiur angin dari lambaian

pakaian orang, ternyata disana sini sudah berdiri jajar empat
Hwesio pertengahan umur yang mengenakan jubah abu-abu
disebe!ah samping lagi berdiri dua orang Tosu yang bersikap
agung dan suci.
Salah seorang Hwesio yang terdepan menjengek kasar
"Hm, betul juga dugaan ketua kita, kiranya tidak sia-sia kita
menunggunya didalam hutan ini! iblis laknat ini terang sedang
menuju ke Bu-tong-san."
Lalu ia ayunkan tangan menyambitkan selarik sinar putih
perak berbunyi nyaring menembus angkasa, dibawah
pancaran sinar matahari kuning sungguh sangat menyolok dan
terang sekali.
Salah satu dari kedua Tosu yang berdiri disamping itu
mengekeh dingin, katanya: "Bocah keparat itu sekali ini pasti
takkan dapat lolos, Hehehe, disorga ada jalan dia tak wau
pergi, neraka tertutup sebaliknya ia datang menerjang, Butong-
san agaknya bakal menjadi tempat kuburnya!"
Seorang Tosu yang lain mengerutkan alis, ujarnya: "Aneh
benar kulihat Ma Giok liong ini bukan ini bukan seorang tokoh
kejam yang bertangan gapah dan berhati kejam. Kenapa
lengannya itu berlepotan darah. . ."
Segera seorang Hwesio menyelak bicara: "To heng menilai
seseorang jangan dari raut mukanya, demikian juga mengukur
dalamnya laut jangan dari permukaan airnya "Apa kau bisa
menduga kalau bocah keparat itu memiliki kepandaian silat
yang sehebat itu? Kalau hari ini tidak melihatnya sendiri
sungguh aku tak percaya."
"Hahahaha, apapun yang bakal terjadi terang tindak
tanduknya sudah masuk kedalam perhitungan kita! Mari
jangan berayal, kita kuntit dirinya!"

Mereka saling pandang sambil tersenyum puas terus
berloncatan dan berlari enteng seperti awan mengembang dan
air mengalir langsung menembus kedalam hutan.
Baru saja bayangan mereka lenyap, dari atas pohon besar
yang terdekat dipinggir sungai itu tiba tiba terdengar jengekan
tertawa dingin orang, sedikit daun bergerak lantas
berkelebatan bayangan scsok abu-abu melambung tinggi terus
terbang pesat menyelinap kedalam hutan lebat di depan sana.
Suasana di padang rumput kembali menjadi sunyi, namun
kadang kadang terdengar kesiur anngin dari lambaian baju
orang yang tengah berlari kencang.
Tiba tiba berkelebat dua sosok langsing semampai, tahutahu
dipinggir sungai itu telah berdiri dua gadis ayu jelita yang
mengenakan mantel kuning serta baju putih.
Gadis sebelah kiri agaknya lebih tua dan matang dalam
pengalaman, alisnya berkerut dalam, ujarnya lirih: "Si moay,
Kaucu menduga dia pasti lewat daerah sini, kiranya tepat
sekali ! Tapi situasi sekarang semakin gawat, bagaimana kita
harus cepat bekerja supaya berita ini dapat segera sampai
pada Kaucu?"
Adik keempat disebelah kiri itu berseri tawa, biji matanya
yang bundar hitam mengerling lalu sahutnya: "Begini saja
Samci, pergilah kau melapor kepada Kaucu, biar adikmu
membuntuti dia!"
"Begitu juga baik, segera aku pulang meIapor!"
"Ingat, kau harus lekas pergi cepat kembali, urusan kali ini
bukan persoalan sepele."
"Baiklah kita jumpa lagi nanti!" serentak mereka bergerak
berpencar kedua jurusan sebentar saja bayangan mereka
sudah berkelebat menghilang. Keadaan pinggir sungai kembali
hening lelap.

Sekarang marilah kita ikut perjalanan Giok-liong bagai
angin lalu seperti burung terbang saja ia menembus hutan
yang lebat ini, jurang dilompati lembah diselusuri seenak
berlari di dataran lapang, begitulah menyelusuri pegunungan
Bu-san ia terus menuju ke utara menempuh ke arah Bu-tongpay.
Kepandaian silatnya boleh dikata sudah dibekali Lwekang
ratusan tahun lamanya, maka begitu ia mengembangkan ilmu
ringan tubuhnya sekuat tenaga maka perbawanya sungguh
sangat hebat.
Tepat tengah malam, sang putri malam memancarkan
sinarnya yang cemerlang menerangi jagat raya, dari kejauhan
Bu-tong sudah kelihatan seperti raksasa yang tengah
berjongkok di bumi yang luas diliputi kegelapan.
Sepanjang jalan ini didapati oleh Giok-liong sudah beberapa
kelompok kaum persilatan yang kosen dan lihay tengah
menguntit dan mengawasi gerak geriknya. Tapi dia tidak ambil
peduli. Sebab dia tahu, bahwa dirinya sudah menjadi tokoh
yang menggemparkan dunia persilatan. Maka dalam situasi
yang genting dan banyak tokoh-tokoh silat yang
mengasingkan diri saling bermunculan ini, tidaklah
mengherankan kalau dirinya semakin menarik perhatian dan
pengejaran mereka.
Tatkala ia sudah melampaui Bu san dan mulai menginjak
daerah Bu-tong-san dengan pegunungan yang lebat
memanjang itu. Mendadak ia melihat dilamping gunung
dikejauhan sana ada dua puluhan bayangan orang tengah
melayang dan berkelebat menghilang.
Betapa tajam pandangan Giok-liong sekarang, sekilas
pandang saja sudah cukup mengejutkan hatinya. Karena
kedua puluh bayangan manusia itu masing masing kepalanya

berambut-panjang dan terurai melambai. Dilihat gelagatnya
naga naganya pihak Hian-bing-mo-kek juga sudah ikut
bergerak didaerah pegunungan Bu tong-san ini. Untuk apakah
kedatangan mereka? Apakah mereka sudah akan mulai
dengan pergerakan?
Begitulah sambil berpikir ia meogempos semangat dan
mengerahkan tenaga, kini badannya melenting semakin pesat
menuju kepuncak Bu-tong-san.
Belum lama ia menempuh perjalanan, tiba-tiba terdengar
kumandang tembang mantra dari belakang sebuah batu besar
di pinggir jalan. segera Giok liong menyilangkan kaki
badannya terus berhenti bergerak dan berdiri tegak diatas
tanah.
Dari belakang batu cadas besar berjalan keluar sebarisan
pendeta gundul mengenakan seragam ungu. Seorang yang
memimpin didepan alisnya tampak gombyok memutih
menjulai turun, air mukanya bersemu merah seperti muka
bayi, sepasang matanya sedikit dipejamkan gerak geriknya
sangat lamban dan agung sebagai pembawaan seorang suci.
Yang mengekor di belakangnya terdiri dua baris, kanan kiri
masing-masing enam orang, semuanya berjumlah dua belas,
rata rata sudah mencapai pertengahan umur, dengan
pandangan mata berkilat tajam.
Sekali pandang saja lantas dapatlah diketahui bahwa kedua
belas pendeta ini memiliki kepandaian silat yang cukup
tinggi. Iringan para pendeta ini maju terus sampai didepan
Giok liong sejauh lima tombak baru menghentikan langkahnya.
Pendeta pemimpin yang lebih tua itu masih beranjak maju
dengan langkah lamban dan kalem sampai empat tindak di
hadapan Giok-hong baru berhenti. Sepasang matanya yang
merem melek itu dengan seksama tengah mengamati Giok
liong.

Melihat sikap pendeta tua yaag agung serta penuh hidmat
ini, tahu Giok-liong bahwa orang dihadapannya ini pasti tokoh
bukan sembarangan tokoh, sedikit soja ia berseru lantang:
"Toasuhu merintang jslan, entah ada petunjuk apakah?"
Pendeta tua angkat sebelah tangannya di-depan dada
sambil bersabda Budha, lalu ia bertanya dengan suara rendah:
"Apakah Siau-si-cu ini adalah Kim-pit-jan hun Ma Giok liong
yang baru-baru ini menggemparkan Bu lim?"
Alis Giok liong rada berjengkit, sahutnya sambil merangkap
tangan: "Aku yang rendah memang Ma Giok-liong adanya,
Harap tanya siapakah nama julukan Taysu ini serta dari aliran
atau seaiaysjaa dikuil yang mana ?"
Sebentar sepasang mata pendeta tua memancarkan kilat
tajam lantas menghilang, sahutnya tertekan: "Loceng Hiankhong,
Hong-tiang, Siau lim-si beserta dua belas muridku,
sudah lama kita menunggu kedatangan tuan disini."
Terkejut Giok-liong dibuatnya, pikirnya: "sungguh tak
nyana Hong tiang Siao-lim-si Hian-khong Taysu pimpin para
muridnya ikut campur dalam urusan ini. Apa mungkin
kedatangan mereka disini melulu hendak menghadapi aku ?"
Ternyata ketua Siau-lim-si Hian-khong Taysu ini sudah
puluhan tahun lamanya mengasingkan diri, sekian tahun
lamanya tidak ikut campur mengurus perkara duniawi, Begitu
hebat kepandaiannya menurut kabarnya sudah sempurna
betul, tapi selama ini belum pernah dengar ada orang pernah
menjajal ilmu silatnya itu.
Otaknya berpikir, namun lahirnya Giok liong tetap berlaku
tenang, sikapnya ini sungguh sulit untuk dijajaki, katanya
sambil tersenyum: "O ini . . . aku yang rendah sungguh tidak
berani terima sampai sampai ketua Siaulim-si serta para Taysu
menunggu aku disini, Hian-khong Lo cianpwe apakah ada
urusan harap suka memberi petunjuk!"

Sekali lagi Hian-khong bersabda Budha, baru berkata lirih:
"Kedatangan pendeta tua ini tak lain bukan hanya untuk
menolong bencana pembunuhan yang berkenaan di Bu-lim."
"Oh." ujar Giok-Hong. "Menghindarkan bencana
pembunuhan besar yang berkancah di Bulim ini, adakah
sangkut pautnya dengan diriku ?"
"Kulihat Siau-si cu bermuka cakap bersinar terang, kalau
dugaan Loceng tidak salah pasti kepandaian silatmu tidak
sudah dibawah gurumu Pang cian-pwe bukan ?"
Giok liong unjuk senyum lagi, ujarnya: "Cian-pwe terlalu
memuji, aku yang rendah sungguh tak berani menerima
pujian ini."
"Kalau Siausicu mempunyai dendam sakit hati dengan
delapan aliran besar lurus Loceng ingin benar mendengar
penjelasan serta seluk beluknya. Mungkin aku bisa jadi
penengah untuk melerai pertikaian, demi Siau-sicu sendiri juga
bagi kaum persilatan umumnya."
Mendadak Giok-liong mendongak bergelak tertawa, nada
gelak tawanya kumandang meninggi seperti gerungan naga
dan aum singa, bergema lama dan menembus ketengah
awan.
Setelah menghentikan tawanya, mendadak ia berseru
lantang "Para kawan sudah jauh berdatangan kemari,
sungguh aku yang rendah merasa sangat beruntung
mendapat kehormatan begini besar. Mengapa bermain
sembunyi kepala mengerutkan ekor seperti bangsa panca
longok ?"
Kelihatan Hian-khong Taysu sedikit mengerutkan alis,
hatinya membatin: "Baru saja aku mendengar kesiur angin.
Dia lantas bisa mengetahui . . . "

Benar juga dari belakang batu besar sebelah samping sana
lantas kumandang tawa terkekeh yang menusuk telinga,
beruntun melompat keluar tiga orang enam puluhan tahun,
rambut dan jenggot mereka sudah beruban semua.
Jilid 13
Seorang tua yang terdepan berseru keras sambil tertawa
lebar: "Ma Giok-Iiong kiranya memang tidak bernama kosong,
Aku Ka Liang-kiam benar-benar tunduk akan kelebihanmu ini."
Habis berkata berbareng mereka lantas unjuk hormat
kearah Hian-khong Taysu serunya: "Kita bertiga saudara
setindak rada lambat, harap Taysu suka memberi maaf !"
Hian-khong membalas hormat sambil merangkap sebuah
tangan didepan dada sahutnya: "Thian-san-sam-kiam mau
turun gunung sendiri, benar-benar merupakan keberuntungan
Bulim."
Tengah mereka berbasa basi ini, dari hutan sana berjalan
keluar pula seorang Tosu tinggi kurus, punggungnya
memanggil sebatang pedang panjang enam kaki, raut muka
rada pucat, kedua matanya sipit sembari jalan menghampiri ia
menyelak dingin: "Hehehehe, ternyata kalian sudah datang
lebih dulu !"
Begitu melihat Tosu tua ini, Hian-khong serta Tian sansam-
kiarn seketika tercengang segera mereka buru-buru
unjuk hormat sambit tertawa: "Tak nyana Ji-ngo Lo cian-pwe
tidak menikmati hidup ma di Ciong-lam ini betul betul
merupakan rejeki besar bagi kaum persilatan."
Tatkala itu dari empat penjuru beruntun berdatangan
banyak macam dan ragam tokob-tokoh silat, ada Hwesio ada
Tosu serta banyak pula orang-orang preman, sedikitnya ada

puluhan orang jumlahnya. Serta merta Giok-liong menjadi
terkurung ditengah gelanggang.
BegituIah setelah semua hadirin saling sapa sekadarnya,
pandangan semua hadirin lantas terpusatkan pada diri Giok
liong, Suasana menjadi sunyi dan tegang melingkupi benak
seluruh hadirin.
Begiulah setelah semua hadirin saling sapa sekedarnya,
banyak orang meloncat tinggi di belakang Giok-liong. Dimana
mereka berbareng mengayun tangan, digabung sinar
berkeredepan dari pancaran jarum berbisa warna biru
meluncar kearah pinggang Giok liong. Bukan sampai disitu
saja serangan ganas ini, bersama itu tiga gulung angin
pukulan juga sekaligus menerpa tiba.
Giok-liong berdiri tenang seperti tidak tahu bahwa dirinya
terancam bahaya, ujung mulutnya menyungging senyum ejek
yang samar-samar tak dapat dilihat orang lain.
Adalah Ciong-lam-koay-to (Tosu aneh dari Ciong-lam-san)
Ji-ngo mendelikkan sepasang biji matanya yang membara,
sambil mendengus hina ia menggumam: "Dihadapan aku
orang tua juga berani bermain pola !" lengan bajunya yang
panjang gondrong pelan pelan dikebutkan, segulung angin
segera menerjang keluar tanpa mengeluarkan suara.
Giok-liong sedikit manggut kearahnya serta katanya:
"Terima kasih akan kebaikan Cian-pwe!"
Seenaknya saja sebelah tangannya mengulap sedepan,
ditengah gelanggang lantas terdengar pekik kesakitan yang
tertahan ketiga bayangan orang yang bergerak membokong
mendadak jungkir baiik terpental balik tergulung didalam
jarum jarum beracun yang disambitkan tadi, seketika terjadi
hujan darah dan mereka terbanting sejauh beberapa tombak
sebelum terbanting ditanah jiwanya sudah melayang.

Sementara itu Ji-ngo merasa seakan-akan suatu tenaga
lunak yang tidak kentara membendung tenaga kebasan lengan
bajunya itu sehingga badannya sedikit tergeliat.
Kejadiao yang mendadak ini menimbulkan kegemparan
diluar gelaaggang, banyak orang memaki dan berteriak
"Dimana keadilan dunia persilatan, bocah keparat ini sekali
turun tangan lantas melukai orang . . ."
"Kinilah saatnya kita tumpas kejahatan dan ringkus iblis
laknak ini . . ."
"Sungguh kejam dan telengas betul cara turun tangan
bocah keparat ini . . . "
"Maknya, sekali turun tangan mencabut jiwa orang,
emangnya jiwa manusia tidak berharga, permainan apa ini . .
."
Bayangan orang berkelebatan tujuh delapan orang sudah
melompat memasuki gelanggang di sebelah sana banyak para
Tosu yang berangasan sudah mencabut pedang serta
menghardik galak: "Kita harus tuntut balas bagi Go-bi-pay,
berabtas sampah persilatan, sekarang sudah tiba saatnya."
Semakin banyak orang berdatangan mengepung diluar
gelanggang, mungkin jumlahnya tidak kurang dari seratus
orang.
Ketua Siaulim si Hian-khong Tajsu malah pejamkan mata
dan tunduk kepala, mulutnya bersabda Budba, Demikian juga
Thian-san-sam-kiam berdiri diam saja.
Sekonyong konyong gema tawa dingin yang merindingkan
pendengaran berkumandang diantara keributan itu, Ringan
sekali Ji-ngo si Tosu aneh dari Clong-lam malah berdiri sejajar
dengan Giok-liong, serunya dingin: "Ketiga kurcaci ini
membokong dari belakang. Dengan cara kematiannya ini
cukup setimpal dengan perbuatan mereka ini sudah boleh

dikata cukup bijaksana! Kalian semua coba siapa yang tidak
terima, mari hadapi Lohu."
Memang ketenaran dan kebesaran nama si Tosu aneh dari
Ciong-lam pay ini bukan kosong belaka, seketika seluruh
hadirin terbungkam mulutnya.
Giok-liong tersenyum ewa kearah Ji-ngo ujarnya: "Teriina
kasih akan bantuan cianpwe. . ."
Ciang-lam-koay to Ji-ngo menjengek dingin: "Aku bekerja
menurut gelagat sekarang, setelah urusan ini selesai,
perhitungan lainnya harus diselesaikan secara lain."
Baru selesai ia bicara, meluncurlah dua bayangan abu-abu
kedalam gelanggang tahu-tahu dua orang tua dengan jenggot
panjang menjulai didepan dada menggunakan baju abu abu
mendarat dihadapan Ciong-lam-koay-to, serunya: "Selamat
bertemu! selamat bertemu!"
Air muka Ciong-lam-koay to membeku dingin dengusnya:
"Untuk apa kalian kemari?"
Diluar terdengar suara bisik bisik: "Cihu ji-lo juga datang,
mungkin Ci hu-sin-kun sudah tidak jauh dari sini."
"Biarkan saja, coba lihat Ji-ngo si tua bangka itu cara
bagaimana hendak menghadapi mereka."
Salah seorang dari Ci-hu-ji-lo yang berdiri disebelah kanan
air mukanya mengunjuk warna abu-abu, segera ia merubah
sikap lalu berkata menyeringai: "Ma Giok-liong adalah orang
yang sudah di tunjuk untuk diringkus pulang oleh Sin kun, kita
berdua menerima perintah beliau untuk menyambutnya
pulang!"
Tepat pada saat itulah muncul sesosok bayangan hijau
pupus, laksana dedemit hinggap ditengah gelanggang,
suasana seketika menjadi seram diliputi kengerian, sebuah

suara yang mengalun lemah merdu berkata: "Apakah obrolan
Sin-kun saja lantas menjadi perintah kerai?"
Keruan semua hadirin menjadi kaget, beramai mereka
berpaling kearah datangnya suara. Kiranya bayangan hijau
pupus ini adalah seorang pertengahan umur berwajah pucat
pias, tubuhnya kurus semampai kelihatan sangat lemah. Dari
bentuk tubuhnya yang tinggi semampai raut mukanya yang
lonjong indah serta bibirnya yang tak berdarah itu, dapatlah
diperkirakan semasa mudanya pasti perempuan ini adalah
seorang wanita cantik yang menggemparkan jagat.
Begitu orang ini muncul seluruh gelanggang menjadi ribut
bisik-bisik dan seruan tertekan "Bik-lian-hoa. . ."
"Bu-lim-su-bi kiranya masih hidup . . ." samar-samar Giokliong
mendengar bahwa perempuan pertengahan yang baru
datang ini ternyata adalah Bik-liam-taoan salah satu dari Bu -
lim - su - bi serta merta darinhati kecilnya timbul rasa dekat
dan bersahabat Berulang kali ia melirik memandang dengar
seksama.
Apa yang dilihatnya menjadikan hati Gi-ok-liong merasa
terkesiap dan kasihan.. Meski sudah pertengahan umur namun
wajah Bik-lian-hoa masih kelihatan halus cantik kedua biji
matanya yang hitam sebaliknya meoiankan rasa duka dan
pedih sedalam lautan.
"Oh, Tuhan! Sangguh kasihan benar perempuan tercantik
di jagat ini harus hidup merana sebatang kara."
Kebetulaa saat mana Bik-lian-hoa juga tengah memandang
kearahnya, begitu pandangan kedua belah pihak saling
bentrok, sorot mata Bik-Iian-hoa mendadak memancarkan
sinar aneh yang sangat ganjil, tapi itu terjadi dalam kilasan
yang pendek sekali.
Begitu melihat kehadiran Bik-lian-hoa, wajah tua Ciong lamkoay-
to yang bersitegang leher tadi lantas pelan-pelan pulih

kembali mengunjuk senyum girang, sambil soja ia berkata
seperti tidak tertawa. "Nona Li apakah baik-baik saja sekian
tahun ini?"
Bik-lian hoa tertawa lemah, ujarnya perlahan: "Terima
kasih akan perhatianmu, baik-baik saja."
Adalah Ci-hu ji-lo lah yang merasa disepelekan, air muka
mereka bersemu abu-abu, agaknya mereka tengah menahan
gusar dan mengerahkan tenaga, terdengar yang disebelah kiri
berkata dengan nada berat: "Jadi nona Li sengaja hendak
menghina Sin-kun?"
Kebetulan Thian-san-sam-kiam juga tengah maju
menghampiri dan unjuk hormat kepada Bik-lian-hoa, seru
mereka: "Apa kabar Li-cian-pwe?"
Hakikatnya Bik-Iian-hoa seperti tak hiraukan ucapan Ci-hu
ji-lo, katanya kepada Thian-san-sam-kiam: "Apakah kalian
juga baik?"
"Kita sehat walafiat berkat lindungan Tuhan, selama ini
mengasingkan diri di Thian-san."
Sementara itu ketua Siau lim-si Hian-khong Taysu juga
membungkuk tubuh mengunjuk hormat dari kejauhan, Bik lian
hoa menyambut dengan menganggukkan kepala.
Keruan Ci-hu ji-lo menjadi berjingkrak gusar seperti
kebakaran jenggot. Tapi mereka tahu bahwa Bu-lim su-bi
bukan musuh sembarang musuh yang gampang diganggu
usik. Maka sedapat mungkin mereka berlaku sabar, tanyanya
dengan suara lirih: "Lalu cara bagaimana penyelesaiannya
menurut pendapat nona Li?".
Sekilas Bik-lian-hoa melirik hina kearah mereka, lalu
semprotnya dingin: "Apa kalian ada harga ikut-ikutan
memanggilku dengan sebutan nona Li apa segala? "Lalu ia

melangkah menghampiri kearah Giok liong, katanya lemah
lembut: "Nak marilah ikut aku."
Giok liong menjadi tertegun, pikirnya: "Kenapa dia minta
aku ikut dia?" Demikian ia berpikir sehingga susah ambil
kepastian.
Sekonyong-konyong terdengar galaknya menggila yang
riuh rendah menusuk telinga semua hadirin bagai geledek
menggelegar sampai bumi terasa bergetar kuping juga seperti
ditusuk-tusuk.
Dimana bayangan merah berkelebat beruntun muncul
empat orang kata berkepala besar bermuka gepeng
mengenakan jubah panjang warna merah.
Sungguh lucu bentuk keempat orang cebol ini, rambut
kepalanya awut-awutan kaku seperti bulu landak, raut
mukanya merah darah, mata merekapun memancarkan kilat
merah yang tajam membuat orang tak kuat beradu
pandangan dengan mereka. Kepalanya terlalu besar, raut
wajahnya juga gepeng sungguh lucu jelek dan jenaka sekali.
Segera terdengar ada orang yang berteriak kejut: "Hiat-ing
su-ai..."
Begitu Hiat-ing-su ai (empat cebol dari Hiat-ing-bun)
muncul lantas gelak tawa mereka berhenti, secepat itu mereka
sudah mendarat tiba di hadapan Giok-liong, mereka memutar
tubuh menyapu pandang ke seluruh gelanggang lalu berteriak
tertawa: "Bagus, kiranya nona Li yang pegang peranan
digelanggang sini!"
Hadirin semakin tegang dan was-was. Harus diketahui
bahwa kedudukan Hiat ing-bun bagi kaum persilatan masih
setingkat lebih atas dari aliran Ci-hu, justru Hiat-ing-su-ai ini
merupakan tokoh terpenting didalam Hiat ing bun mereka,

jarang dan sulit sekali keempat orang cebol ini pernah unjuk
diri karena kedudukannya yang tinggi, kecuali mereka turun
tangan maka apa yang dituju pasti berhasil dan itu merupakan
urusan besar.
Lain lagi dengan pihak Ci hu-ji-lo meskipun ilmu silat
mereka sangat tinggi, hakikatnya mereka bukan merupakan
tokoh penting dalam golongannya, kedudukan mereka juga
tidak begitu tinggi, maka meskipun semua orang tidak berani
memandang rendah pada rnereka, tapi juga tidak berlebihan
seperti sikap mereka terhadap Hiat-ing su ai.
Terdengar Bik lian-hoa tertawa sinis: "Urusan disini tiada
tempat bagi kalian untuk ikut campur !"
"Belum tentu !" sebuah suara serak dan berat mendadak
menyelak diluar gelanggang sana, serta merta semua orang
berpaling ke arah datangnya suara.
Sebuah bayangan abu-abu meluncur tiba terus hinggap
didepan Ci-hu ji-Io. orang ini bertubuh kekar dan gagah,
bermuka ungu dengan jenggotnya yang menjiwai panjang
sungguh garang dan angker sekali sikapnya, ia mengenakan
jubah panjang warna ungu terbuat dari sutra mahal serba
perlente.
Sekali lagi suasana gelanggang menjadi sunyi begitu orang
ini muncu. Dia bukan lain adalah Ci-hu sin-kun Kiong Ki, salah
satu tokoh silat yang tenar, selama ratusan tahun namanya
tak pernah luntur, tindak tanduknya serba misterius.
Tanpa bersuara Ci-hu-jilo membungkuk tubuh terus
mundur ke belakangnya.
Sikap raut muka Hiat-in su-ai sekarang kelihaian mulai rada
kikuk dan kurang wajar.
Demikian juga Ciong-lam-koay-to Ji-ngo yang berdiri
disamping Giok-liong mengerutkan kening, katanya kepada

Giok-liong: "Buyung, cara bagaimana kau mengganggu usik
gembong gembong aneh sebanyak ini."
Giok liong menjawab dengan sombongnya: "Kalau Cianpwe
takut urusan, boleh silakan mundur saja sebagai
penonton."
Ciong-lamnkoay-to menjengek dingin, katanya: "Selamanya
Lohu belum pernah takut kepada siapapun . . . ."
Sementara itu, Ci-hu-sin-kun sudah maju beberapa langkah
sedikit membungkuk hormat kearah Bik-Iian hoa serta
katanya: "Naga-naganya nona Li sengaja hendak memikul
seluruh persoalan ini ke atas pundakmu sendiri, bukankah
begitu?"
Bik-lian-hoan juga balas sedikit menekuk lutut, sahutnya:
"Ternyata semakin tua Sin-kun semakin sehat dan
bersemangat!" "Mana, mana, berkat pujian melulu."
"Tapi semakin tua juga semakin ceroboh."
Ci-hu-sin kun menarik muka dingin, seringainya: "Nona Li
kalau bicara sukalah memberi muka."
Bik lian-hoa juga tertawa dingin: "Secara langsung Sin-kun
menunjuk anak ini, entah untuk keperluan apakah?"
Ci-hu sin-kun mengakak tawa, kedua biji matanya
membelalak besar berkilat serunya lantang: "Urusan sudah
sampai begitu jauh, aku juga tidak perlu main pat gulipat.
Tujuan Lohu adalah seruling sambar nyawa yang digembol
oleh bocah ingusan itu."
Waktu mengucapkan kata-katanya ini sengaja ia bikin
nadanya menjadi tinggi dan keras memamerkan Lwekangnya,
jadi hakikatnya kata-katanya ini bukan melulu ditujukan
kepada Bik-lian-hoa seorang ini merupakan peringatan dan
tantangan bagi seluruh kaum persilatan yang hadir.

Betul juga seluruh hadirin menjadi gempar. Satu sama
lainnsaling pandang tapi tiada seorang pun yang berani tampil
kedepan menandingi urusan ini, Sebab semua orang tahu,
bagi siapa saja yang mengajukan diri pasti seluruh perhatian
orang tertuju pada dirinya, Coba pikirkan siapa, yang kuat
bertahan menghadapi sekian banyak orang.
Bik-lian hoa terkekeh-kekeh geli, begitu geli sampai ia
meliukkan pinggang menekan perut.
Hawa ungu berkelebat lagi dimuka Ci-hu-sin-kun, hardiknya
bengis: "Apa yang kau tertawakan?"
Bik lian hoa menjebir bibir, katanya serba kalem: "Harap
tanya Sin-kun, apakah seruling samber nyawa sudah
ditakdirkan menjadi milikmu seorang?"
Ci-hu-sin-kun terhenyak terkancing mulutnya.
Terdengar Bik-lian-hoa menyambung lagi: "Seruliag samber
nyawa adalah benda pusaka kaum persilatan, siapa yang tidak
ingin memiliki, kukwatir bukan kau saja yang mengincar."
dalam berkata-kata ini sengaja atau tidak sepasang matanya
yang hitam besar dan jeli menggiurkan itu menyapu pandang
keseluruh hadirin yang berjumlah ratusan orang itu.
Sebaliknya Ci-hu sin-kun menantang dengan takabur:
"Siapa yang ingin mengincarnya, silakan keluar menghadapi
aku bermain silat." sungguh sombong dan takabur sekali,
hakikatnya ia tidak pandang sebelah mata seluruh kaum
persilatan yang hadir.
Tapi kedudukan Ci-hu-sin-kun yang tinggi serta kepandaian
silatnya yang lihay, kiranya cukup membuat keder seluruh
gembong-gembong silat dari aliran putih dan hitam, mereka
gusar dalam hati, sedikitpun tidak berani unjuk kegarangan
dilahiriah, berbisik-bisik tanpa berani banyak tingkah.

Sebaliknya Bik-lian-hoa mempunyai perhitungannya sendiri,
suara tawanya merdu menggiurkan, katanya memancing.
"Ucapan Sin-kun ini apa tidak keterlaluan . ." sengaja ia tarik
panjang suaranya sehingga ucapan selanjutnya dihentikan.
Ci-hu sin kun menjadi berjingkrak gusar semprotnya gusar:
"Apa ? Takabur ? Atau kurang sembabat ?"
Cepat Bik-lian hoa menyahut: "Bukan!, bukan takabur,
kalau mengandal nama Cihu dari Sin-kun, Lwekang serta
kepandaian silat, meskipun diantara hadirin ada yang kuat
bertahan bergerak sampai tiga ratusan jurus melawan Sinkun,
tapi toh takkan mendapat keuntungan yang diharapkan
Apa boleh buat . . . " lagi lagi ia sengaja jual mahal akan katakatanya
memancing kemarahan Ci-hu-sin-kun.
Betul juga Ci-hu sin-kun menjadi tidak sabaran, selaknya:
"Apa boleh buat gimana?"
Bik-lian hoa meninggikan suaranya: "Apa boleh buat karena
siapapun yang hadir disini mempunyai hak mendapat
bagiannya, Kau sendiri terlalu tamak hendak mengangkangi
sendiri apa kau tidak takut orang orang ini bergerak maju
mengeroyokmu ?"
Lagi-lagi seluruh hadirin menjadi geger oleh ucapan
propokasi dari Bik-lian hoa ini.
Ci hu-sin kun sendiri juga menjadi ter-longong-longong.
Betapa juga ia harus waspada dan memperhitungkan rugi
untungnya sebelum bertindak.
Agaknya propokasi Bik lian-hoa mendapat hasiI, pertamatama
Hiat ing-su ai tampil kedepan, salah seorang diantaranya
segera berteriak sambil menggerakkan kepalanya yang besar
tercetus teriakannya : "Ucapan nona Li memang benar
siapapun jangan harap bisa mengangkangi seorang diri !"

Ciong-lam kay to Ji ngo mengerutkan kening, Sambil
meraba gagang pedangnya ia pun ikut bicara: "seruling
samber nyawa ini menyangkut suatu urusan besar dunia
persilatan. Tujuan sembilan partai besar bukan terletak pada
benda pusaka itu, Tapi keselamatan dan kesejahteraan hidup
kaum persilatan betapa juga harus dipikirkan." sembari
berkata matanya berkedip memberi syarat kearah Thian sansam-
kiam.
Maka Thian-san-sam-kiam segera mengiakan bersama :
"Tepat sekali ucapan ini."
Selanjutnya Bik-lian hoa angkat bicara lagi: "Nah, kan
begitu, siapapun berhak memikirkan kepentingan bersama."
Begitulah percakapan yang bersifat menyindir dan nada
tajam ini membuat Ci-hu-sin-kun tambah gusar sampai
lidahnya terasa kaku tak bisa bicara, hawa ungu bertambah
tebal menyelubugi mukanya, desisnya berat: "Sudah jangan
cerewet tak karuan, Lohu sendiri sudah datang kemari
betapapun harus berhasil membawanya puIang."
Bik lian hoa tidak mau kalah wibawa, tanpa kelihatan ia
bergerak mendadak tubuhnya melayang tiba disamping Giokliong,
katanya lemah lembut: "Nak, mari kita pergi."
Tak terduga tiba-tiba Giok-liong mementang mulut
menggembor keras dan panjang, suaranya mengalun tinggi
bagai pekik naga nyaring dan menggetarkan sukma.
Sudah tentu perbawa gemboran Giok-liong ini sangat
mengejutkan semua hadirin. Siapa akan menduga pemuda
yang kelihatan lemah ini ternyata membekal latihan Lwekang
yang sudah sempurna dan tinggi. Mengandal suara
gemborannya ini saja cukup untuk menggetarkan nyali setiap
tokoh silat kelas satu.

Ci hu-sin kun sendiri juga menjadi berang, hardiknya
bengis: "Buyung, gembar gembor mengeluarkan kentut busuk
apa kau?"
Sikap Giok liong gagah sambil membusungkan dada
serunya lantang: "seruling satnber nyawa adalah benda
pusaka peninggalan perguruanku. Siapa yang bermaksud jelek
hendak merebut seruling ini, kecuali dapat merobohkan aku
dulu, Kalau tidak, hm." angker benar sikap garang Giok-Iiong
ini sambil berdiri bertolak pinggang dan bercagak kaki.
"Kunyuk sombong benar!" tiba-tiba bayangan abu-abu
berkelebat hawa berkabut ungu mengembang luas. Baru saja
suara Ci-hu-sin-kun lenyap tahu-tahu telapak tangannya
segede kipas sudah menyelonong tiba menekan dada Giokliong.
"Serangan bagus!" Giok-liong membentak gusar, tangan
kanan bergerak memapas, sedang, tangan kiri bergerak
melingkar menimbulkan mega putih membawa kekuatan hawa
dahsyat jurus Ciu-chiu cari salah satu jurus ilmu Samji ciu-huchiu
dilancarkan.
Seketika terdengar ledakan gemuruh bagai gugur gunung.
sebelum seluruh penonton sempat mengedipkan mata kedua
orang sudah secepat kilat mengadu pukulan. Betapa cepat
adu pukulan ini sungguh luar biasa, hakikatnya lebih cepat
dari kilatan kilat.
Terlihat wajah Ci-hu-sin-kun diselubungi hawa ungu, kulit
mukanya menjadi kaku membesi penuh kemarahan, suaranya
bernada berat: "Memang kepandaian Pang Giok tidak lemah,
tapi Lwekang Pang Giok belum tentu dapat kau pelajari
seluruhnya."
Seluruh hadirin banyak adalah gembong dan tokoh-tokoh
silat kenamaan dan ahli dalam bidang ini, entah mereka dari
aliran hitam atau putih, rata-rata mereka tahu bahwa adu

pukulan tadi merupakan pelajaran besar ilmu silat tunggal
yang jarang punya tandingan di jaman ini, yaitu Ci-hu-sinkang
dan Sam-ji-hui-cun-chiu.
Wajah Bik-lian-hoa berubah dingin, segera ia menerjang
maju sambil menarikan kedua tangannya, cukup kesiur
kebasan lengan bajunya saja dapat mengundurkan mereka
berdua.
Jengeknya dingin: "Kiong Ki, seorang orang tua seperti kau
tidak malu menindas yang masih muda?"
"Ha. kan dia sendiri yang tidak tahu tingginya langittebalnya
bumi, berani kurang ajar terhadap orang tua."
"Terang gamblang aku melihat kau dulu yang turun
tangan." ucapan ini terang memihak dan mengeloni Giokliong,
sungguh Ci-nu-sin kun Kiong Ki menjadi penasaran.
Karuan air makanya semakin tebal diselubungi hawa ungu,
kedua biji matanya semakin mendelik besar. garangnya
murka: "Jadi kau sengaja hendak ikut campur dalam urusan
ini?"
Acuh tak acuh Bik lian-hoa berkata: "Sudah puluhan tahun
aku tilak pernah bergebrak, Kalau Sin-kun ada minat tiada
halangan aku melayanimu tiga gebrak atau dua jurus."
Meskipun tidak menantang secara terang-terangan, namun
kata-kata halus dan dingin ini cukup menyebalkan dan
menjengkelkan bagi pihak Iawan.
Ci-hu-sin-kun adalah Bing cu dari golongan hitam, sebagai
seorang yang berkedudukan tinggi mana rela menerima
ejekan yang merendahkan martabatnya ini, maka sambil
menggentakkan kedua lengannya ia berteriak: "Baik, marilah
akan kulayani setiap tantanganmu." belum lenyap suaranya
tiba-tiba kakinya melangkah setengah langkah, dimana kedua

telapak tangannya bergerak silang, samar-samar terlihat jalur
hawa ungu melesat serabutan, telapak tangan segede kipas
itu menari-nari lincah sekali ditengah kabut ungu.
Bik-lian-hoa mandah berseri riang, namun sepasang
matanya berkilat dingin, Sret, tiba-tiba ia kebaskan lengan
bajunya, seketika timbul sorot sinar hijau memancar sampai
delapan kaki, hawa dingin menembus keluar dari kebasan
lengan bajunya itu.
Seketika lima tombak sekeliling gelanggang samar-samar
terdengar suara gemuruh seperti guntur menggelegar diseling
hawa dingin yang meresap kebadan masuk kedalam tulang
sungsum, tanpa merasa para hadirin terdekat menjadi
merinding dan bergidik kedinginan.
Situasi menjadi tegang dan mencekam leher, kedua belah
pihak sudah siap siaga seperti busur yang tinggal melepas
anak panah, seluruh tokoh-tokoh silat menjadi tegang serius
dan kwatir, beramai-ramai mereka menyurut mundur sampai
lima tombak jauhnya, sehingga terluang arena bertempur
yang cukup lebar.
Besar minat mereka menonton pertunjukan adu silat
tingkat tinggi yang jarang terjadi ini, sekonyong-konyong
bayangan putih melejit maju terdengar suara berseru: "Lician-
pwe, tunggu dulu!"
Tahu-tahu Giok-liong sudah menghadang ditengah kedua
tokoh besar yang sudah berhadapan sambil membusung dada
ia berdiri dengan tersenyum simpul, katanya sambil
membungkuk badan kepada Bik - lian - hoa: "Yang dia tuju
adalah aku, maka harap Li-cianpwe tak usah mencapekan diri"
Rasa gusar Ci hu-sin-kun semakin merayu eak, serunya
bergelak tawa: "Hehehe! Hahaha Bik-lian-hoa! Boeah ingusan
ini tidak mau terima budimu!"

Bik-lian-hoa menatap Giok-liong tajam, katanya terhenyak:
"Kau. . ."
Kata Giok-liong Iantang: "Yang dicari adalah aku, biarlah
aku bertanding dengan dia untuk menentukan siapa yang
lebih unggul, seorang laki laki berani berbuat berani
bertanggung jawab, aku tidak mau mengandal bantuan orang
lain."
Jikalau Ci-hu-sin-kun betul-betul bertempur melawan Biklian
hoa, siapa bakal menang atau asor sulit ditentukan.
Ketahuilah bahwa Bu lim-su-bi adakah tokoh lihay yang sukar
dilayani, jangan sekali-kali diganggu usik.
Begitulah setelah menerawang situasi di hadapan ini,
secara licik ia berusaha mengambil keuntungan tanpa menanti
Bik lian-hoa sempat membuka mulut ia mendahului ber-kata:
"Baik, kita tentukan demikian, biar Lo-hu melawanmu satu
demi satu."
Ma Giok-liong menyahut dengan gagah: "jikalau aku minta
orang membantu, hitunglah aku yang kalah."
"Demikian juga Lohu!" Ci-hu-sin-kun menyeringai licik, Lalu
ia mengulapkan tangan keaiah Ci-hu-ji-lo: "Kalian mundur dan
jangan sembarangan bergerak."
Ci-hu-ji-lo mengiakan terus melompat mundur dua tombak
jauhnya menonton dari kejauhan.
Nama Kim-pit-jan hun memang sudah tenar dan
menggetarkan Bulim, tapi yang betul betul pernah melihat
atau menjajal kepandaian Giok-liong sejati masih belum
banyak orang.
Seluruh hadirin bersitegang leher menahan napas, suasana
menjadi sunyi seakan tiada insan hidup ditempat ini,
seumpama sebatang jarum jatuh juga dapat didengar dengan
jelas.

Dalam pada itu Ci-hu-sin-kun sudah mulai mengerahkan
tenaga Lwekangnya serta menggeser tempat mencari
kedudukan yang menguntungkan.
Ma Giok-liong menjura kearah Bik-lian-hoa tanpa bersuara,
terus melompat ke samping setelah sana berhadapan dengan
lawan sejauh setombak lebih, kabut putih mulai mengepul
bergulung seperti gumpalan bunga salju.
"Buyung, sambutlah pukulanku !"
"Silakan keluarkan kemampuanmu !"
Mega putih berkelompok menyelubungi pancaran sinar
putih perak, sebaliknya di sebelah sana bayangan kepelan
tangan berlapis-lapis, hawa ungu membumbung tinggi bagai
asap.
Begitu kedua lawan melancarkan serangannya terdengarlah
ledakan gemuruh, batu pasir beterbangan menari-nari, hawa
sekitar gelanggang menjadi mengalir cepat menghembus
deras melambaikan baju para penonton diluar gelanggang.
Lambat laun sinar perak dan hawa ungu itu saling
bergulung dan menggubat menjadi satu, begitu cepat dan
tangkas sekali mereka bergerak sehingga bayangannya saja
sukar dibedakan mana Giok-liong dan yang mana pula Ci-husin-
kun.
Yang jelas kelihatan banyalan hawa ungu kadang-kadang
mumbul tiba-tiba tenggelam naik turun bergantian, Demikian
juga kabut putih itu-saban-saban melambung luas dan
melayang ringan, sekonyong-konyong bergulung-gulung cepat
seperti dihembus angin badai mengelilingi pancaran linar
perak yang cemerlang.
Diam diam Bik-lian hoa manggut-manggut. Demikian juga
para penonton lainnya merasa kagum dan memuji.

Mendadak terdengar suara gemboran keras diselingi jengek
tawa dingin, kedua bayangan musuh yang sedang berkutet itu
mendadak berpencar melompat mundur sejauh setombak.
Kedua biji mata Ci-hu-sin kun mendelik besar seperti
kelereng yang hendak mencelat keluar, air mukanya serius
dan membesi, lengannya digerak-gerakkan sambil mengusapngusap
telapak tangan, bergaya siap menubruk lagi.
Ma Giok-liong pentang kedua matanya yang memancarkan
sorot berkilat, wajahnya yang putih ganteng bersemu merah,
tenang sekali ia bergaya memasang kuda-kuda, sambil
menyiapkan kedua tangannya melintang di depan dada.
Melihat sikap Giok-liong ini Bik-lian-hoa menjadi kwatir,
omelnya dalam hati: "Bocah ini terlalu berani, bagaimana kuat
dia berani mengadu Lwekang dengan Ci-hu-sin-kun." namun
ia tidak berani bersuara memperingatkan, takut mengganggu
konsentrasi Giok-liong.
"Omitohud !" Siau lim Ciang-bun Hian-khong Taysu
bersabda Budha dengan nada rendah.
Hakikatnya siapapun tiada yang berani mengorbankan
jiwanya untuk menempuh bahaya menolong situasi yang
gawat ini, sebenarnya memang tiada seorangpun diantara
hadirin yang punya pegangan termasuk Bik-lian hoa sendiri
yang berani menempuh bahaya ini.
Tapi betapa juga Bik-lian-hoa sudah menghimpun Lwekang
bersiap-siap turun tangan bila diperlukan.
Tatkala mana hawa ungu diwajah Ci hu-sin-kun semakin
tebal Demikian juga semu merah dimuka Giok-liong semakin
besar, seluruh badannya diselubungi kabut putih, akhirnya
kabut ungu menjadi gelap dan Ci-hu-sin kun dikerahkan
sampai puncak tertinggi. Berhadapan dengan mega putih yang
semakin tebal.

Jilo sudah dihimpun sampai titik paling sempurna. Dua
musuh tua dan muda dalam waktu sedetik atau semenit ini
bakal mengadu kepandaian membagi hidup dan mati.
Sekonyong-konyong, dari kejauhan diufuk langit sana
terdengarlah suitan panjang yang melengking tinggi
menggiriskan sukma orang, disusul suitan lain saling berebut
dari berbagai penjuru, seluruh pegunungan Bu-tong-san, dari
berbagai penjuru terdengar lengking suitan yang
menggetarkan sukma itu.
Kalau disebelah sana terjadi suatu keributan yang
menggemparkan lagi, tapi ditengah gelanggang bayangan
putih dan ungu sedikitpun tidak terganggu atau tergugah oleh
suitan yang menyayatkan itu." mereka masih tegas dalam
tujuan pertama mengadu jiwa sampai mati.
"Haha . . . "
"Hai . . ." dua gerangan dan gemboran keras berbareng
keluar dari mulut kedua lawan yang berhadapan itu. Kabut
ungu tiba-tiba meletus sampai lima tombak luasnya terus
menubruk kedepan dengan kekuatan dahsyat. Mega putih
juga mengembang luas sekitar lima tombak sekelilingnya,
menerpa deras kearah musuh, sedetik sebelum kedua
kekuatan dahsyat kedua belah pihak saling bentrok,
mendadak sejalur bayangan ungu meluncur datang dengan
kecepatan anak panah terus menyelusup diantara gelombang
pukulan yang hampir beradu itu terdengar suara berteriak
keras "Jangan!"
Namum suara itu menjadi kelelap oleh ledakan gemuruh
yang menggoncangkan bumi dan memekakkan telinga
sehingga jantung para penonton berdebur keras, napas juga
menjadi sesak seperti dada ditimpa godam.

Kejadian adalah begitu cepat, kabut ungu seketika lenyap
tampak badan Ci hu-sinkun yang tinggi itu melayang ringan
jatuh meluncur setombak diluar sana.
Begitu juga mega putih lantas ditarik kembali, bayangan
Giok-liong jumpuIitan mendarat diatas tanah. Sebuah
bayangan ungu lain adalah seorang gadis jelita yang
terbanting keras diatas tanah, mulut kecilnya langsung
menyemburkan darah segar, wajahnya pucat pasi, rambutnya
nap-riapan menggeletak celentang tanpa bergerak.
Peristiwa ini terjadi begitu cepat dan di luar dugaan, boleh
dikata hanya sekedipan mata belaka.
Serentak Ci hu-ji lo melejit maju, berbareng mereka
berseru: "Tuan putri!"
Belum sempat Ci tau-sin-kun pernahkan diri dan
menormalkan pernapasannya ia menjadi kaget setengah mati,
seketika air mukanya berubah pucat dengan terhuyung ia
memburu maju sambil berteriak: "Anak Ling! anak Ling!"
Saat mana Giok-liong juga sudah melihat, keadaan Kiong
Ling-ling yang mengenaskan itu. Teringat akan budi kebaikan
Kiong Ling-ling yang telah berdampingan bersama Tan Soatkiau
menolong jiwanya, hatinya menjadi haru dan tak tega,
sekuatnya ia melangkah maju sambil berteriak: "Nona Kiong!"
Ci-hun-sin-kun mendelikan matanya semprotnya mendesis:
"Apa pedulimu!"
Ma Giok-liong juga tidak mau kalah garang, tentangnya
berani: "Apa! Mau coba-coba lagi?"
Ci-hu-sin-kun sudah malang melintang memimpin golongan
hitam sekian tahun lamanya, jelek-jelek ia seorang cikal bakal
sebuah perguruan silat maha agung, dalam gebrak pertama
ini tanpa dapat dibedakan siapa menang dan asor, ini sudah

merupakan pukulan batin dan jatuh pamor baginya, mana
kuat ia mendengar ejekan Giok-liong yang kurang ajar ini.
Maka sambil melintangkan kedua tangannya, ia menghardik
dengan murka: "Bocah sombong, kau sangka aku takut!"
Tiba-tiba bayangan hijau melejit datang menghadang
dihadapan mereka. ternyata Bik-lian hoa sudah berdiri
ditengah gelanggang sambil berseri tawa, ujarnya: "Tidak
perlu bertanding lagi, kalah menang sudah kelihatan! "
"Apa kalah menang sudah berketentuan?"
Semprot Ci-hu-sin-kun tercengang, matanya membelalak
gusar.
Bik-lian-hoa menarik badan Giok-liong, ujarnya lembut:
"Nah, mari kita pergi, gebrak pertama ini kemenanganmu
bagus sekali."
Giok-liong tidak tahu kemenangan cara bagaimana yang
dikatakan itu, tanyanya: "Aku . . ."
Bik-lian-hoa menyelak: "Pihak Ci-hu-bun telah melanggar
janji, dua lawan satu malah yang satu terluka parah lagi
bukankah sangat mentereng kemenangan mu ini."
Ci hu-sin-kun menjadi gugup dan menggerung gusar:
"Omong kosong belaka anakku. . ."
"Anak gadismu membantu kau toh masih kewalahan jaga,
Haha, sungguh memalukan!" demikian jengek Bik-lian-hoa.
Sebaliknya Ma Giok liong menyangkal: "Dia bukan
membantu, tapi. . ."
Giok-liong tahu bahwa tujuan Kiong Ling-ling adalah
hendak melerai dan mencegah pertampuran ini, siapa tahu dia
sendiri yang konyol terluka parah.

Tak duga Bik lian hoa melerok kearahnya sambil omelnya:
"Bocah gendeng, ayah anak kandung sendiri kalau tidak
membantu dia masa membantu kau malah, Mari pergi!"
Keruan Ci hu-sin-kun semakin berjingkrak gusar seperti
kebakaran jenggot, rambut diatas kepalanya sampai berdiri
bergo-yang-goyang. Tapi seumpama si bisu menelan empedu
yang pahit, ada maksud berkata tapi tak dapat bersuara.
Dalam pada itu terdengarlah keluhan sakit Kiong Ling-ling
yang mulai sadar dari pingsannya, Ujung mulutnya masih
melelehkan darah, badannya lemah celentang di-tanah,
dadanya kembang kempis pernapasannya memburu cepat.
Menolong orang lebih penting, maka sambil membanting
kaki segera Ci-hu-sin-kun merogoh pulungan obat dari dalam
bajunya terus berjongkok menuang dua butir pil sebesar
anggur terus dijejalkan ke mulut anaknya.
Lalu dijinjing dan dipeluknya badan putrinya lalu ancamnya
kepada Giok liong penuh kebencian: "Buyung, ingat
perhitungan hari ini." lalu membentak kearah Ci-hu ji-lo: "Ayo
pulang!" sekejap saja bayangan mereka sudah meluncur jauh
keluar hutan sana dan menghilang.
Mengantar kepergian Ci-hu-sin-kun, perasaan Giok-liong
menjadi mendelu dan tertekan seperti kehilangan sesuatu.
Enjah mengapa hatinya merasa menyesal, terasa olehnya
bahwa derita yang menimpa Kiong Lin-ling adalah penasaran
belaka, meskipun dirinya tidak sengaja hendak melukainya,
tapi mengapa ia merintangi pukulan ayahnya sedang serangan
tangannya . . .
Giok liong menduga bahwa iuka-Iukanya itu pasti sangat
parah, karena serangan yang dilancarkannya itu merupakan
himpunan seluruh kekuatannya, betapa hebat hantaman
dahsyat itu boleh dikata merupakan ketahan seluruh
tcekuatan latihannya selama ini.

Masa ia kuat bertahan jikalau hantaman nya ini sampai
menghancur leburkan isi perutnya . . .
Giok-liong tidak berani memikirkan akibat selanjutnya.
"Cian-pwe selamat bertemu !" setelah menjura kearah Bikliau-
hoa Giok-liong ber-siap angkat langkah mengejar kearah
jurusan Ci-hu sin-kun itu.
"Kemana kau ?" bayangan hijau berkelebat tahu tahu Biklian-
hoa sudah menghadang dihadapannya menatap tajam
kearahnya.
"Aku hendak melihat keadaan Kiong Ling-ling."
Situasi menjadi ribut iagi, bayangan berloncatan mendesat,
terdengar dengusan dan makian orang banyak: "Enak benar
mau tinggal pergi !" "Hutang darah golongan Go-bi-pay Harus
kau bayar dengan darahmu pula !"
"Benar urusan ini tokh belum selesai, mau ngacir !"
Thian-san-sam-kiam, Ciong-lam koay-to berserta Hiankhong
yang memimpin kedua belas muridnya segera
merubung datang mengelilinginya, Tak ketinggalan Hiat-ing-su
ai juga berpencar keempat penjuru.
Melihat sepak terjang pihak musuh, Giok-Iiong menjadi
bergelak tawa dengan angkuhnya, Sorot matanya mulai buas
penuh nafsu membunuh, teriaknya keras: "Kalian mau apa ?"
Bik-liap hoa juga bertolak pinggang dan berdiri dengan
angkernya, bentaknya nyaring: "Hendak main keroyok ya ?"
Siau-lim Ciang-bun Hian khong Taysu merangkap tangan
sambil bersabda Buddha lalu sahutnya perlahan : "Nona Li
jangan kau lupa bahwa Bu-lim-su-bi adalah kaum cendekia
yang mengenal keadilan, golongan kependekaran yang
diagungkan !"

"EaidtjiTifa kau sangka Sia-mo-gwa-to !" jengek Bik-lianhoa.
Ka Liang-kiam salah satu dari Thian-san-sam-kiam ikut
menyelak bicara: "Lalu mengapa tidak menegakkan keadilan
dan kebenaran."
Berubah air muka Bik-lian hoa didesak begitu rupa,
makinya tak senang: "Hidung kerbau menjadi filiranmu berani
menuding nonamu ?"
Meagandal kedudukan dan wibawa Thian-san sam-kiam
memang tidak berani banyak mulut lagi terhadap Bik-lian-hoa.
Muka Ka Ling-kiam menjadi merah, sahutnya tergagap: "Mana
berani, tapi. . .tapi bocah ini . . ."
Giok-liong menjadi gusar selalu dimaki bocah ingusan
semprotnya congkak: "Hai, mari tampil kedepan, jangan pintar
bersifat lidah melulu !"
Hiat-ing su-ai terkekeh-kekeh dingin, terlihat bayangan
merah darah mulai bergerak "Sungguh menyenangkan.
Memang harus begitulah cara penyelesaiannya !" serentak
mereka bergerak siap hendak melancarkan serangan
gabungan.
Belum lagi mereka sempat bergerak, tiba-tiba sebuah
jeritan panjang mengalun tinggi ditengah udara, Dipuncak Butong-
san didalam Sam cing koan terdengar suara bentakan
yang riuh rendah.
Sebuah bayangan orang melesat turun bagi anak panah,
begitu cepat seperti mengejar setan laksana meteor jatuh
langsung menuju ke kalangan sini.
Keruan seluruh hadirin bercekat hatinya, serentak mereka
mementang lebar mata masing masing memandang kearan
sana, "Bluk!" tahu-tahu bayangan hitam yang meluncur

datang itu tiba-tiba terkapar jatuh diatas tanah, terang
menderita luka berat ditambah harus mangerahkan tenaga
berlari kencang sehingga tak kuat lagi dan terbanting keras.
Serentak puluhan bayangan tokoh-tokoh silat melejit maju
memeriksa. Tampak bayangan yang meluncur jatuh itu bukan
lain adalah seorang Tosu tua yang berjenggot panjang dan
bermuka kuning, sepasang matanya mendelik banyak putih
dari hitamnya, dari lubang kuping, hidung dan mulutnya
merembes darah segar.
"Bu-tong-ciang-bun !"
"Cin-cin-cu, dia . . ."
Hiat khong Taysu Ciang bun-jin Siau-lim-pay segera
memburu maju terus membopongnya, tangannya segera
meraba pergelangan tangan, suaranya terdengar gemetar :
"Toheng! Ciang-bun! Kau . . ." pernapasan Cin cin-cu Ciang
bun-jin Bu-tong pay banyak dihembuskan dari disedot,
kelopak mata serta bibirnya bergerak-gerak, agaknya ingin
berkata namun tak kuasa mengeluarkan suara, napasnya
sudah kempas kempis.
Kesepuluh jarinya mencengkeram dalam kedalam tanah
dari sini dapat dibayangkan betapa sakit dan parah luka yang
dideritanya.
Dari dalam Sam ceng-koan saban-saban terdengar jeritan
dan pekik kesakitan yang mengerikan, sungguh seram dan
mendirikan bulu roma.
"Celaka, pasti Sam ciang-koan telah terjadi sesuatu mara
bahaya!" demikian teriak Ciong-lam-koay to Ji-ngo.
"Ya, bencana kehancuran telah terjadi di sana." ujar Biklian-
hoa sambil mengerutkan kening.
"Apakah ini juga perbuatanku ?" jengek Giok-liong aseran.

Thian-san-sam-kiam tadi jatuh pamor karena disenggak
oleh Bik-lian-hoa. kini saatnya telah tiba untuk melampiaskan
kedongkolan hatinya, seringainya sinis: "Ada kemungkinan. .
."
Sedapat mungkin Giok-liong menahan sabar, gerungnya:
"Mari kita tengok kesana." tanpa menanti jawaban kaki segera
menjejak tanah, tubuhnya lantas melambung tinggi, hebat
memang ilmu Leng-hun-toh yang dikembangkan begitu
melesat langsung berlari kencang menuju kearah Sam-cengkoan!
sengaja ia mendahului yang lain saking dongkol tadi,
besar harapannya dapat memeriksa dan mencari sumber
kejahatan yang tengah berkecamuk ini.
Maka sedikitnya ia tinggalkan para tokoh-tokoh silat itu dua
puluhan tombak jauhnya. Keadaan Sam-cing-koan ternyata
sunyi senyap, tanpa terdengar sedikit suarapun. Luncuran
tubuh Giok liong begitu pesat, sekali loncat puluhan tombak
dapat dicapainya, undakan batu sebanyak tiga ratus enam
puluh lapis hanya dua kali loncatan saja tubuhnya gudah
menerobos masuk kedalam biara agung.
Begitu kakinya mendarat ditanah, hidung Giok liong lantas
dsrangsang bau amis yang memualkan, dilihatnya noktahnoktah
darah berceceran, mayat bergelimpangan patungpatung
pemujaan banyak yang roboh dan tak keruan lagi
letaknya, Diatas dinding darah dan cairan otak manusia
menjadikan peta bergambar yang menyolok mata, kaki tangan
serta kepala manusia yang tidak lengkap lagi dengan
badannya berserakan dimana-mana.
Sesaat Giok-liong menjadi tertegun dan mengkirik. segera
ia kerahkan Leng-hun-toh badannya menerobos pesat
beberapa bangunan biara lain menerjang kebelakang.
Sepanjang jalan yang dilalui jenazah orang tiada seorangpun
yang ketinggalan hidup, jangan dikata hidup yang terluka
parah saja tiada.

"Siapa yang turun tangan sekejam ini!" demikian Giok-liong
membatin, tubuhnya masih bergerak lincah berloncatan dari
ruang sini keatas rumah sana, sampai akhirnya tiba di-ruang
belakang Sam ceng-koan, keadaan sama tiada bedanya.
Tiba-tiba dari ruang semadi sebelah samping sana terlihat
sebuah bayangan kuning berkelebat teraling kain gordyin
terus menerobos keluar melalui jendela.
"Siapa!" Seiring dengan bentakannya Giok-liong melesat
mengejar, Betapa cepat gerakkan Giok-liong itu, namun
bayangan kuning itu mendahului bergerak dan lebih cepat
lagi.
Tampak tungku besar didalam ruang semadi itu roboh, api
masih membara, segala barang perabot morat-marit tak
karuan, Dua orang Tosu muda tampak menggeletak digenangi
air darah, perut mereka sobck sehingga isi perutnya dedel
dowel, dan badannya terasa belum dingin seluruhnya, terang
bahwa belum berselang lama ia dibunuh orang, "Tak percaya
kau dapat bergerak begitu cepat !" Giok-liong menggumam
seorang diri, jendela sebelah belakang dipentangnya terbuka.
Betul juga dilihatnya sebuah bayangan kuning seperti
meteor jatuh laksana anak panah terlepas dari busurnya
tengah berloncatan lincah sekali lari ke arah hutan lebat di
belakang gunung sana inilah sumber penyelidikan satusatunya
yang ada. Tanpa ayal lagi Giok-liong segera
menerobos keluar dengan kencang ia kembangkan Leng-huntoh
seperti awan mengembang entengnya terus mengejar
dengan pesatnya.
Baru saja Giok-liong melesat keluar Di luar ruang semadi
sana terdengar suara ribut serta dc:SJ p 1 a'ci o^,ng banyak
yang menda ia u(ji.

Ciong-lam-koay-to Ji.ngo baru saja sampai diambang pintu,
mendadak melompat mundur lagi serta berteriak : "Kita
semua sudah diapusi dan tera&nli oleh tipu muslihatnya."
"Diakali bagaimana?" teriak Ka Liang-kiam dengan uringuringan.
"Bocah itu banyak tipu muslihatnya dengan tipu harimau
meninggalkan sarangnya serta cara suara di timur hantam
dibarat, seorang diri ia menghambat kita di depan gunung,
sedang kamrat serta kawan-kawan-nya mencuci bersih Samcing-
koan dengan darah."
Hian-khong Taysu Siau-lim Ciang-bun-jin menjadi raguragu,
katanya : "Ini, . . "
"Ini apa ? Pasti tidak akan salah !"
"Tapi selama perjalanan ini Kim-pit-jan hun tiada punya
seorang temanpun."
"Itukan kelicikannya saja. Coba kalian lihat !"
Semua orang berpaling kearah yang ditunjuk oleh Cionglam
koay-to di belakang jendela sana, Terlihat jauh ratusan
tombak sana dua titik kuning dan putih tengah berkejaran
dengan pesatnya.
"Bocah licik dan keji!" maki Thian-saa-sam-kiam bersama.
Sesaat Bik-lian-hoa sendiri menjadi bimbang, lalu katanya
sambil mengerutkan kening: "Sebelum duduk perkaranya
dibikin terang, lebih baik kalian jangan main tebak dan tuduh
sembarangan."
Ciong lam-koay to menjadi tidak senang bantahnya:
"pendengaran kuping mungkin bisa salah, tapi kenyataan
mata kita sudah melihat sendiri, Apakah nona Li tadi tidak
melihat ?"

Bik-lian-hoa menjadi dongkoI, semprotnya: "Jadi kau sudah
tahu pasti dan terang bahwa dia yang melakukan semua ini ?
Apakah tidak mungkin ia mengejar musuh yang tengah
mengundurkan diri !"
Ciong-lam koay-to bergelak tertawa, serunya : "Bukankah
nona Li rada eman dan sayang pada bocah itu, Terpaksa Pinto
tak bisa banyak bicara lagi."
Kapan Bik - lian-hoa pernah dibantah otnongannya di
hadapan sekian banyak orang seketika ia menjadi gusar,
semprotnya: "Hidung kerbau, berani kau bicara kurang ajar
terhadap aku, sudah bosan hidup kiranya ?"
Orang kebiasaan berkata: "Membunuh seorang Hwesio
membikin malu seluruh penghuni kelenteng." Sudah tentu
makian "hidung kerbau" ini bukan saja memaki Ciong-lamkoay-
to, tapi bagi pendengaran Thian-san-sam-kiam juga
menusuk telinga dan mengetuk hati, seketika merah jengah
selebar muka mereka.
"No . . . Li . . . " Ka Liang-kiam tergagap bicara.
"Kau panggil aku apa ?" tuding Bik-lian-hoa sambil
mendelik.
"Li-cian-pwe kau membela bocah itu, begitu rupa, apa
mungkin..."
Sepasang mata Bik lian hoa yang jeli seperti mata burung
Hong yang memancarkan sorot aneh, sinar matanya ini sukar
dapat dilihat tapi sebetulnya begitu agung dan penuh rasa
welas asih.
Lama dan lama kemudian baru ia meghela napas, katanya
lembut: "Ai, umpama aku tidak ikut campur dalam pertikaian
ini. Mengandal kalian para tua bangka yang tidak berguna ini
masa dapat berbuat apa terhadap dia. Tadi kalian sudah

melihat sendiri betapa hebat Sam- ji cui-hun-chiu, Lwekang
yang hebat serta hawa pelindung badan yang kokoh."
Ciong-lam koay-to masih belum kapok, jengeknya: "Sinar
kunang-kunang, silat kembangkan belaka."
"Bik lian hoa mengejek hina, dengusnya: "Hm, coba
kutanya bagaimana kepandaianmu dibanding Ci- hu-sin-kun?"
Cep celakep Ciong lam koay-to menjadi bungkam seribu
basa, Sudah tentu Thian-san sam kiam juga menjadi malu,
kalian lama mereka menjadi kikuk dan keki, akhirnya Ka Liang
kiam mencari alasan belaka: "Omong kosong belaka tak
berguna, To heng! Kejar bocah itu lebih penting."
Inilah kesempatan untuk menarik muka, sudah tentu
Ciong-latn-koay-to menjadi ber-semangat:" Ya betul, mari kita
kejar !" lalu beriring mereka melompat keluar jendela.
Melihat tiada sesuatu yang perlu digondeli di tempat ini,
tanpa bersuara apa-apa Hiat ing-su-ai saling memberi syarat
kedepan mata, serentak mereka mengapung tubuh menerjang
keluar juga terus menghilang di kejauhan sana.
"Kalian boleh kejar!" ejek Bik-lian hoa, "kuharap kalian tidak
ketemu, ini terhitung untung kalian!" Tanpa pamit lagi ia
melayang keluar terus menghilang.
Sete!ah mereka pergi Thian-san sam kiam mendesak
kepada Siau-lim Ciang-bun Hian-khong Taysu: "Taysu adalah
Bing cu dari partai sembilan besar aliran lurus, urusan kali ini
bukan sembarang urusan, betapa juga jangan menggendong
tangan tinggal menonton saja"
"Ai!" Hian-khong menghela napas panjang, Alisnya berkerut
dalam, katanya penuh prihatin: "Urusan ini harus kita
rundingkan dan hadapi dengan hati-hati. Bencana besar yang
menimpa Kangouw sejak ratusan tahun agaknya mulai kumat
lagi, ini bukan kekuatan Lolap seorang dapat mengatasinya."

"Maka itu marilah kita pikirkan bersama cara bagaimana
harus membendung bahaya ini." Demikian seru Thian san
sam-kiam bersama.
Hian-khong Taysu tertawa getir, katanya sambil manggutmanggut:
"Maksud Pinceng, seumpama kita gabung seluruh
kekuatan sembilan besar aliran lurus juga belum tentu dapat
berlawanan dengan para iblis laknat yang mengganas itu !
Maka . . ." sekian lama ia merenung tak kuasa ambil
keputusan yang positip.
"Kalau begitu kita hidup berdikari secara untung-untungan
saja, Mari pulang !" ujar Ka Liang-kiam sambil tertawa ejek.
"Omitohud ! Mari kita juga pulang gunung !" serentak dua
belas murid besar Siau-lim pay merangkap tangan bersabda
Buddha sambil meramkan mata, mengiring di belakang Ciang
bunjin mereka terus berjalan keluar melalui mayat-mayat yang
bergelimpangan dibiara besar Sam ceng koan ini terus turun
gunung.
Sementara itu Giok-liong yang mengerahkan seluruh
tenaganya mengembangkan Leng-hun-toh dengan kecepatan
kilat meluncur, sekejap mata saja sedikitnya sudah puluhan li
ditempuhnya. Namun bayangan kuning didepannya itu masih
berjarak tiga empat puluh tombak, begitu lincah dan pesat
sekali dari bayangan itu hahikatnya tiada niat hendak berhenti.
BegituIah kejar mengejar terus terjadi akhirnya Giok-liong
merasa akan keganjilan keadaan yang ditempuhnya ini.
Ternyata gerak langkah bayangan kuning didepan itu cepat
atau lambat memang sengaja dilakukan, mengikuti perobahan
Leng hun-toh dirinya yang dikembangkan ini.
Terang bayangan kuning ini memang sengaja hendak
memancing dirinya. Apakah ia hendak memancing aku masuk
ke dalam perang-kapnya ?

Sekilas pikirannya ini menjadi hati Giok-liong yang berdarah
panas menjadi dongkol, keinginan menang sendiri membara
dalam benaknya, serentak ia empos semangatnya dan himpun
tenaga sampai tingkat ke sepuluh, sedikit saja pundaknya
bergoyang, bayangan tubuhnya laksana segulung asap
mengembang meluncur lebih cepat lagi berapa lipat ganda.
Bayangan kuning didepan itu agaknya rada terkejut
ditengah udara ia bergaya indah berjumpalitan terus
membelok kesamping terus meluncur kepuncak sebuah bukit
yang terjal dan tinggi, nyata gerak geriknya ini juga tidak
kalah pesatnya.
"Seumpama harus menerjang rawa naga dan sarang
harimau juga harus kulakukan !" demikian Giok-liong berpikir
dalam hati, sedikitpun tidak kendor pengejarannya, Tanpa
disadari kini ia telah kembangkan tenaganya sampai puncak
kedua belas, suatu hal yang belum pernah dilakukan selama
ini.
Bayangan kuning didepan itu secara tiba tiba putar balik
dan meluncur dengan cepat sekali, Giok-liong yang berada
dibelakang mengejar dengan penuh nafsu, karena tidak
sengaja hampir saja mereka saling bertubrukan ditengah
udara, kedua belah pihak sama-sama berseru kejut, begitu
saling sentuhan lantas berpisah. Bayangan kuning berdiri
terlongong disebelah sana, Demikian juga Giok-liong menjadi
mengeluh heran.
"Malam telah larut dilembah pegunungan yang sepi ini,
kenapa tuan mengejar aku sedemikian kencang, apa maksud
tujuanmu?" suaranya merdu lincah menggerakkan lidah lagi
seumpama burung kutilang tengah berkicau, bukan saja
nyaring merdu, malah mengandung daya sedot yang
mempesonakan menjadikan perasaan orang ringan dan
berangan-angan: "Hai, mengapa kau tidak bicara?"

Berkedip-kedip Gionk-Iiong mengamati bayangan kuning
itu, Tampak olehnya bahwa bayangan kuning tadi kiranya
adalah seorang gadis remaja belia yang mengenakan pakaian
serba kuning ala dayang-dayang dikraton kerajaan, baju yang
longgar itu dihembus angin melambai-lambai ditambah rambut
sanggulnya yang meninggi raut mukanya lonjong bundar telur,
alisnya melengkung laksana bulan sabit menaungi sepasang
mata yang bundar bening kemilau, hidung mancung bibir tipis
seperti delima merekah, sikapnya agung seperti tertawa, jadi
sukar diraba perasaan hatinya.
Gadis cantik semampai yang bersikap agung
mempesonakan ini tak ubahnya seperti bidadari yang turun
dari kahyangan.
"Hai apa kau seorang juri yang sedang menilai pragawati,
Aku bukan sedang beraksi!" ucapan yang nyaring tawar,
seketika membuat selebar muka Giok-liong merah padam.
Agak lama kemudian baru ia menjilat-jilat bibir dan batuk
batuk, katanya: "Di Sam ceng-koan tadi, kau. . ."
Tak kuduga si gadis sudah menyenggak lebih dulu: "Kim
pit-jan-hun! Kau kan bukan Tosu, urusan di Sam ceng-koan itu
lebih baik kau jangan turut campur!"
Giok-lioug tersurut mundur dengan kaget, tanyanya: "Kau
kenal aku?"
Gadis remaja itu tertawa kering cekikikan, sahutnya: "Siapa
yang tidak kenal Kim-pit-jan-hun Ma Giok-liong yang namanya
sudah tenar cemerlang di tengah jagat ini!"
Giok liong menjadi rikuh, katanya: "Nona. . ."
"Aku dari aliran Ui hoa-kiau!"
Giok liong lebih tercengang, Ui-hoa-kiau atau agama
kembang kuning ini adalah suatu aliran luar lain yang sejajar

dan kenamaan bersama Bu-lim-su-bi dulu, ratusan tahun yang
lalu sudah menggetarkan Bulim.
"Kaucu Ui-hoa kiau sekarang bernama Kim Eng, berwatak
aneh diantara lurus dan sesat, banyak akal muslihatnya,
seorang yang tidak mempunnyai pendirian tetapi suka bekerja
melihat jurusan angin, selamanya bekerja seorang diri. Karena
terlalu banyak perbuatannya yang tercela sehingga seluruh
kaum persilatan dari golongan hitam dan aliran lurus sangat
membenci dan hendak melenyapkan kumpulan jahat ini dari
muka bumi. Sungguh tak nyana setelah sekian lama
memendam diri kini mulai muncul lagi di-kalangan Kangouw."
Bercekat hati Giok-liong, sebab Hutan kematian Mo-kok,
(Sarang iblis) serta Istana beracun tiga aliran besar persilatan
golongan jahat yang sudah sekian lamanya mengasingkan diri
dari keramaian dunia sekarang mulai bermunculan kembali
ditambah Kim-i dan Hiat-hong-pang, menjadikan situasi dunia
persilatan semakin gawat dan kacau balau.
Sekarang kalau Ui-hoa-kiau jaya kembali, maka dunia
persilatan bertambah sealiran golongan iblis laknat sumber
bencana, maka tidaklah heran dan tidak perlu disangsikan lagi
pembunuhan berdarah dalam kalangan Kangoaw bakal terjadi
sawaktu-waktu.
Demikianlah karena kekuatirannya dan Giok-liong menjadi
tunduk berpikir dan menerawang tindakan apa yang harus
dilaksanakan sehingga ia terlongong berdiri di tempatnya.
"Siau-hiap, kenapa kau ? semalaman suntuk kau mengejar
aku, kenapa malah bungkam ?"
"Karena urusan yang terjadi di Sam-ceng koan itulah !"
"Bukankah sudah kukatakan bahwa para Tosu di Sam cengkoan
itu semua adalah laki-laki palsu belaka. Lahirnya mereka
mensucikan diri, tak tahunya secara diam-diam dengan jalan

belakang saling rebutan kedudukan dan tamak jabatan, siangsiang
mereka sudah setimpal untuk diberantas seluruhnya !"
"Tapi perbuatan kalian ini kenapa sampai menyangkut
diriku ?"
"Oh, jadi kau takut kena perkara ?"
"Takut ? Apa yang perlu kutakutkan ?"
"Kalau tidak takut peduli apa ?"
(BERSAMBUNG JILID KE 14)
Jilid 14
Gadis remaja ayu jelita serba kuning itu unjuk senyum
manis lalu putar tubuh, pelan-pelan ia berlenggok menuju
kesebuah jalanan gunung. Sang putri malam tengah
memancarkan cahayanya yang gemilang, pemandangan alam
semesta malam nan sunyi ini bertambah semarak dan
mempesonakan.
Giok-liong mencuri lihat bayangan punggung gadis jelita
yang sedang berlenggok itu, sedemikian gemulai ia berjalan
seakan-akan bidadari tengah menari dibawah sinar bulan
purnama, sungguh indah cantik molek lagi.
Sesaat Giok-liong menjadi terlongong-longong kesima,
teringat olehnya akan istri tercinta yang masih ketinggalan di
Hwi-hun-san-ceng, bukankah saat-saat mereka berpisah juga
di waktu bulan purnama begini.
Dirabanya saputangan pemberian sang kekasih yang penuh
kenangan itu, tak terasa ia menghela napas sedih, pikirnya :
"Kapan baru aku dapat membikin terang riwayat hidupku,
menuntut balas sakit hati keluarga, melenyapkan awal ilalang
bencana yang bakal menimpa Bulim, lalu kembali ke Hwi hunsan
cheng berkumpul dan hidup bahagia bersama istri
tercinta.

Remuk luluhlah angkara murka yang selama ini menghantui
sanubari Giok-liong yang selalu dikejar keributan, Akhirnya ia
menghela napas lalu membalik tubuh hendak tinggal pergi.
"Hendak kemana kau ?" sebuah seruan nyaring merdu
disusul bayangan kuning berkelebat tiba-tiba gadis remaja
baju kuning itu telah menghadang dihadapannya.
Lagi-Iagi bercekat hati Giok-liong timbul kesiap siagaan
dalam hatinya, Ji lo dikerahkan sehingga mega putih mulai
menguap keluar keluar dari badannya, matanya menyapu
pandangan, katanya: "Jadi kau bermaksud merintangi aku?"
"Yang terang adalah kau yang mengejar aku bukan?"
"Sekarang aku tidak perlu mengejar lagi." setelah berkata
Giok-liong melangkah maju melewati sisi samping gadis serba
kuning terus berjalan turun gunung.
"Hm, hm! " jengek dan tertawa dingin keluar dari mulut
gadis baju kuning yang tnung!h Giok-liong jadi tersentak
berhenti: "Apa yang kau tawakan?" tanyanya.
"Aku geli dan kecewa karena mataku buta melek, salah
mengenal orang."
Giok-liong semakin tak mengerti dan garuk-garuk kepala
yang tidak gatal, tanyanya selidik: "Apa maksud ucapan ini?"
Terdengar suara sesenggukan terlihat pula si gadis
rupawan itu tengah menyeka matanya dengan ujung lengan
bajunya, terang bahwa ia yang sedang menangis, agaknya
hatinya sangat rawan dan sedih sekali sampai tak tertahan ia
sesenggukan semakin keras.
Diatas pegunungan yang sunyi pada tengah malam,
dibawah pancaran sinar sang bulan purnama terdapat seorang
gadis remaja yang rupawan ini sudah sangat janggal dan
mengherankan. Tapi justru sesenggukan tangis si gadis ini
lebih aneh Iagi.

Terpaksa Giok-liong tidak bisa tinggal pergi begitu saja,
urusan banjir darah di Sam ceng-koan boleh dikesampingkan.
Sebaliknya gadis jenaka ini mengapa rnendadak menangis ini
harus dicari tahu: "Nona, kenapa kau?"
"Jangan tanya aku!" Urusan di dunia ini sungguh sangat
aneh dan ganjil sesuatu yang ditanyakan kalau tidak
dijelaskan semakin menarik perhatian.
Maka Giok-liong melangkah setindak serta desaknya:
"Apakah kau punya sesuatu kesukaran?"
"Peduli apa dengan urusanmu?"
"Mungkin aku yang rendah dapat membantu sekuatnya
untuk mengatasi kesukaranmu itu."
"Semula memang aku berpikir begitu, maka besar sekali
harapanku !"
"Lalu sekarang bagaimana ?""
"Lenyap dan sirna sudah harapanku itu, menjadi kosong
belaka."
"Kenapa bisa begitu ?"
Gadis baju kuning mendongak melihat rembulan, air mata
meleleh deras membasahi pipinya, sebelum membuka suara ia
menghela napas rawan, lalu ujarnya penuh duka: "Selama
puluhan tahun aku hidup merana dan penuh dengan derita,
Belum lama ini aku dengar berita akan munculnya seorang
pendekar besar di kalangan Kangouw, maka kuimpikan untuk
bertemu dengan kau, ingin aku minta bantuanmu untuk
menolongku keluar dari serangan derita yang menyiksa badan
ini. Maka kutempuh suatu bahaya, melanggar pantangan atau
disiplin agama memancingmu datang kemari, Tak duga kau
ternyata bernama kosong belaka, tak lain seorang yang
bersikap dingin mengenal ..," sebetulnya ia hendak
mengatakan tak mengenal kasih. Tapi agakaya rada likuk dan

malu maka ditelannya kembali setelah jelas ia sesenggukan
lagi semakin sedih, air mata tak terbendung lagi.
Giok liong seperti orang linglung tak dapat menyelami
penjelasan orang tanpa juntrungan ini, katanya sekenanya:
"Aku tidak paham apa maksudmu!"
"Sudah tentu kau takkan paham !"
Gadis baju kuning menyeka air matanya lalu menunjuk
delapan dedaunan warna hi.jau yang menghias mukanya serta
berkata dengan sedih: "Meskipun didalam Ui-hoa-kiau
kedudukan hanya setingkat dibawah Kaucu, Tapi penderitaan
batinku serta tempaan lahiriah yang penuh kegetiran ini
siapapun takkan tahu !"
"Nona punya ganjalan hati apa, silakan jelaskan . . ."
"Apa gunanya? Semula, harapan satu-satunya kulekatkan
pada dirimu. sekarang ai . . ."
Dasar GioK-"iong seorang lugu tak tahu ia harus bicara dari
mana, katanya tertawa getir sembari mengelus-elus leher.
"Siapa tahu Tuhan maha pengasih, akhirnya aku bisa
jumpa dengan kau. Wah, haha hahahaha. . ."
Gadis baju kuning tertawa menggila, belum selesai ia
tertawa mulutnya sudah berteriak keras, "Melihat lebih
kenyataan dari pada mendengar Tak lebih hanyalah harimau
kertas melulu, sia-sialah aku berdaya upaya menempuh
bahaya melanggar peraturan agama. sekarang selain
kematian, adakah harapan untuk hidup bahagia?" berkata
sampai ucapan sedih yang mengetuk sanubari tak tertahan
lagi, ia menggerung gerung.
Mendadak ia angkat tangan kanan serta membalikkan
telapak tangan terus mengepruk kebatok kepala sendiri seraya
berteriak memilukan: "Ayah! Ibu, harap maafkan anakmu

yang tidak berbakti ini. Dendam sakit hari kalian sela ma hidup
ini sulit lagi untuk menuntut balas." kalau hantaman tangan
sendiri itu benar-benar sampai telak mengenai sasarannya
pasti jiwanya itu bakat melayang dan tamat diatas gunung
yang semak belukar ini.
"Nanti dulu! "bayangan putih memburu maju coba
mencegah.
"Hahahaha, bocah bagus, tepat sekali dalam dugaan,
hahahaha!"
Seiring dengan gelak tawa yang menggelegar ini, empat
bayangan merah kecil saling susul mendarat tiba, kiranya
bukan lain adalah enpat manusia cebol dari Hiat-ing-bun.
Begitu Hiat-ing-su-ai muncul seketika merah jengah selebar
muka Giok-liong, mulutnya terkancing sementara tangannya
masih menyekal lengan gadis baju kuning.
Salah seorang manusia cebol itu menggoyangkan kepala
serta berkata: "Elmaut kematian sudah diambang mata masih
mata keranjingan menggoda perempuan !"
PuIang pergi selalu dipanggil bocah ingusan menjadikan
Giok-liong bertambah berang, ia lepas genggamannya sembari
berkata lirih: "Nona jangan lagi mencari jalan pendek,
persoalanmu nanti kita bicarakan lagi. Biar kugebah dulu para
kurcaci ini." sembari berkata ia tatap wajah gadis baju kuning
penuh arti seperti menelan pil penenang syaraf gadis baju
kuning kontan unjuk senyum dan hilanglah rasa sedih,
sahutnya aleman : "Baik !"
Di sebelah sana terdengar Hiat-ing-su ai berseru bersama:
"serahkan seruling samber nyawa, terserah kau hendak
mengumbar nafsu, kita berempat tidak akan mengganggu mu
lagi."
Anda sedang membaca artikel tentang Bu Lim Su Cun 1 dan anda bisa menemukan artikel Bu Lim Su Cun 1 ini dengan url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/09/bu-lim-su-cun-1.html,anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel Bu Lim Su Cun 1 ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,namun jangan lupa untuk meletakkan link Bu Lim Su Cun 1 sumbernya.

Unknown ~ Cerita Silat Abg Dewasa

Cersil Or Post Bu Lim Su Cun 1 with url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/09/bu-lim-su-cun-1.html. Thanks For All.
Cerita Silat Terbaik...

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar