Tahukah kau apa artinya?”
“Khu Tootiang menghendaki aku tidak melupakan peristiwa Ceng Kong yang memalukan,” sahut sang anak.
“Benar, Anak Paman Yo itu mengakui musuh sebagai ayah, maka runtuhlah nama dan tubuhnya. Tentang anak itu, tak usahlah disebut-sebut lagi. Tapi kasihan Paman Yo yang gagah itu, kehormatannya dirusak anaknya sendiri….” la menghela napas, tapi lalu melanjutkan, “Dulu aku menahan malu dan menderita, tapi aku tetap terus merawat dan membesarkanmu. Tahukah kau, untuk apa perbuatanku jtu? Mustahil aku hendak memelihara pengkhianat penjual negara hingga ayahmu di alam baka menjadi malu dan menderita!”
“Ibu!” kata Kwee Ceng, lantas ia menangis.
Li Peng bicara dalam bahasa Tionghoa, Jenghis Khan semua tidak mengerti, tetapi mereka melihat air mata si anak muda, maka mereka menduga si nyonya takut mati dan telah berhasil membujuk anaknya. Diam-diam mereka girang.
“Ada orang berkata, ‘Hidup manusia hanya seratus tahun, tempo itu lewat dalam sekejap,’” Li Peng berkata lagi. Ia memang wanita, tetapi ia wanita sejati. “Maka. apalah artinya hidup atau mati? Selama hidup manusia, yang diharap adalah jangan melakukan sesuatu yang membuatnya terhina! Kalau orang lain menyia-nyiakan kita, biarlah, tak usah kita ingat kejahatannya. Ingatlah perkataanku ini!” la menatap wajah anaknya, air mukanya sabar sekali.
Kemudian ia menambahkan, “Nak, jagalah dirimu baik-baik…!” Perkataan ini disusul dengan bekerjanya belati itu memutuskan dadung belenggu putranya. Setelah itu ia memutar tubuhnya untuk menikam dadanya sendiri.
Kwee Ceng menyingkirkan dadung belenggunya, menyambar ibunya, tetapi sudah kasip. Belati itu sudah menancap di dada ibunya, terbenam sebatas gagangnya.
Jenghis Khan melihat itu, ia kaget tidak terkira.
“Tangkap!” ia menitahkan.
Kedelapan algojo itu tidak berani melukai huma mereka. Setelah melemparkan senjata masing-masing, barulah mereka berlompatan menubruk Kwee Ceng.
Kwee Ceng sangat bersedih. Dengan hati terluka ia memeluk tubuh ibunya. Begitu melihat orang-orang itu menyerbunya, sambil memondong ibunya, ia menyambut dengan sapuan kaki. Dua algojo tersepak.
kaki mereka patah. Salah satu algojo disodoknya dengan sikut kirinya, tepat mengenai dada, hingga algojo itu roboh dengan tulang iga patah juga.
Menampak begitu, beberapa perwira terkejut, lantas maju.
Kwee Ceng melompat ke belakang ke tenda, tangan kirinya membetot, maka separo kemah emas Jenghis Khan roboh menutupi semua perwira. Dalam kekacauan itu, ia berlari dengan membawa kabur ibunya.
Segera terdengar bunyi trompet riuh, para perwira berlarian ke kuda masing-masing, menaikinya, lantas mengejar pemuda itu.
“Ibu!” panggil Kwee Ceng sambil menangis. Ia tidak mendapat jawaban. Ketika ia memeriksa hidung ibunya, ia tidak lagi merasakan embusan napas.
Ibunya sudah berpulang ke alam lain menyusul arwah ayahnya. Bukan main mencelosnya hati Kwee Ceng.
Namun () ia sedang terancam bahaya.
Dalam kegelapan, ia berlari terus untuk menyingkir dari bahaya. Kupingnya mendengar orang bergerak di empat penjuru, matanya melihat obor menyala. Ia kabur tanpa memilih jalan lagi. Ia bingung, dengan memondong ibunya, mana bisa ia melawan demikian banyak orang? Kalau menunggang kuda merahnya, ia mempunyai harapan. Tetapi sekarang ia Cuma berjalan kaki.
Pemuda ini berhenti menangis. Tanpa bersuara ia berlari terus. Ia ingin lekas-lekas tiba di gunung, di sana ia bisa menggunakan ilmu enteng tubuhnya untuk mendaki lereng. Asalkan ia dapat merayap naik, bebaslah ia. Di atas gunung, ia dapat diam sementara waktu. Sekonyong-konyong di depannya muncul sepasukan serdadu yang dipimpin panglima bermuka merah dan berkumis putih. Di bawah sinar api.
panglima itu tampak sangat berwibawa. Kwee Ceng mengenali salah satu panglima andalan Jenghis Khan, Chilaun. Panglima itu memegat dan membacok si pemuda. Kwee Ceng berkelit untuk membebaskan diri.
Setelah itu, bukannya berlari kembali, ia justru melompat menerjang pasukan Mongolia itu. Semua serdadu kaget hingga berseru.
Kwee Ceng menyambar seorang serdadu berpangkat siphu-tio yang menghalang di depannya. Selagi membetot kaki orang itu, kaki kanan Kwee Ceng menjejak tanah untuk melompat, maka tubuhnya mencelat naik ke punggung kuda serdadu itu.
Begitu meletakkan tubuh ibunya, Kwee Ceng menolak, serdadu itu terguling jatuh. Sebelumnya Kwee Ceng sempat merampas tombaknya. Sekarang ia bergerak dengan cepat dan hebat. Ia membuka jalan, merobohkan setiap serdadu di depan atau di sampingnya. Ia berhasil kabur, maka Chilaun dan barisannya mengejar pemuda itu.
Dengan cara ini, Kwee Ceng tidak jadi menuju gunung, melainkan ke arah bertentangan, semakin menjauh dari gunung. Namun ia masih berpikir akan langsung menuju Selatan atau mampir ke gunung.
Sementara itu Borchu pun menyusul dengan barisannya.
Jenghis Khan gusar luar biasa, tetapi ia masih ingat untuk menitahkan menangkap hidup-hidup Kwee Ceng. Para serdadunya menyusul untuk mengurung pemuda itu. Bahkan ada pasukan berkuda yang mendahului ke Selatan untuk mencegat.
Kwee Ceng bertindak nekat, la berhasil menerobos pasukan Borchu. Sekarang pakaian dan kudanya telah berlepotan darah. Ia meraba tubuh ibunya, terasa dingin. Ia sedih bukan main, tetapi ia menguatkan hati. Dilarikannya kudanya ke Selatan.
Ia berhasil meninggalkan semua pengejarnya jauh di belakang, namun sementara itu hari sudah mulai terang, sang fajar telah menyingsing. Ia masih berada di daerah musuh, bahkan di pusatnya…
Masih ada ribuan li untuk sampai di Tionggoan.
Bisakah ia seorang diri, dengan membawa-bawa jenazah ibunya, meloloskan diri?
Tengah berlari. Kwee Ceng melihat debu mengepul di depannya. Itu pasti pasukan berkuda. Ia memutar kudanya untuk kabur ke timur.
Mendadak kaki depan kuda itu tertekuk, binatang itu tidak dapat bangun lagi.
Dalam keadaan seperti itu, pemuda ini tidak mau menyerah. Ia memondong tubuh ibunya, sambil mencekal keras tombaknya, la maju untuk menyerbu pasukan itu. Tiba-tiba ia terkejut. Sebatang anak panah menyambar, tepat mengenai ujung tombaknya.
Ia merasakan getaran akibat bentrokan itu. Celaka untuknya, ujung tombak itu patah. Menyusul itu sebatang anak panah lain menyambar ke dadanya. Ia melemparkan tombaknya, menangkap anak panah itu.
Ketika mengamati anak panah itu, ia melengak.
Ujung anak panah yang tajam itu tidak ada. Ia tidak bisa diam saja. Ia mendongak memandang ke depan.
Terlihat olehnya perwira yang mengepalai pasukan berkuda di depan itu menahan barisannya. Sang perwira maju menghampiri seorang diri. Kwee Ceng mengenali Jebe, jago panah yang menjadi gurunya dalam ilmu memanah.
”Guru, apakah Guru hendak menangkapku?” tanya Kwee Ceng.
“Ya,” sahut Jebe.
Kwee Ceng berpikir cepat, “Kelihatannya aku tak bakalan bisa lolos. Daripada ditangkap orang lain, biarlah aku menyerahkan diri pada guruku ini.” Maka ia lantas berkata, “Baiklah! Tapi aku mau menguburkan ibuku dulu!” Ia melihat ke sekitarnya.
Di kirinya ada bukit kecil. Ia membawa jenazah ibunya ke sana. Dengan tombak buntungnya ia menggali tanah. Setelah berhasil membuat liang, ia meletakkan tubuh ibunya di situ, la tidak tega mencabut belati di dada ibunya. Ia lantas berlutut untuk paykui, kemudian menguruk liang itu. Ia sedih bukan main mengingat budi serta kesengsaraan ibunya, sampai-sampai tidak sanggup menangis lagi.
.Jebe melompat turun dari kudanya. Ia paykui empat kali di depan kuburan Li Peng, kemudian menyerahkan kantong anak panah, busur, dan tombaknya kepada si pemuda. Terakhir ia menyerahkan kudanya sendiri, tali lesnya dijejalkan ke tangan si murid. Ia berkata, “Pergilah! Mungkin kita tak bakal bertemu lagi….”
Kwee Ceng tercengang.
“Guru!” katanya.
“Dulu kau bersedia berkorban menolongku ” kata Jebe. “Apakah kausangka aku bukan laki-laki hingga aku pun tak bisa berkorban menolongmu?”
“Tapi, Guru, kau melanggar titah Khan, kau bisa terancam bahaya….”
“Aku telah berperang ke timur dan ke barat. Jasaku bukannya sedikit,” kata Jebe. “Maka kalau Khan mempersalahkanku, paling juga aku dirangket,
kepalaku tak bakal dipenggal. Maka lekaslah kau pergi!”
Kwee Ceng masih ragu-ragu.
“Aku khawatir pasukanku tidak menaati perintahku, maka yang kubawa ini bekas pasukanmu yang berperang di Barat.” Jebe menambahkan. “Tanyailah mereka, apakah mereka temaha akan jasa dan akan menawanmu….”
Kwee Ceng menuntun kuda menghampiri pasukan itu. Serentak semua serdadu turun dari kuda mereka, lantas berlutut di tanah. Mereka berkata, “Kami mengantarCiangkun pulang ke Selatan!”
Kwee Ceng mengawasi. Mereka memang bekas pasukannya yang pernah menantang bahaya bersamanya, maka ia menjadi sangat terharu, la berkata, “Aku bersalah pada Khan yang Agung. Berat hukumanku. Sekarang kalian melepaskan aku, jika Khan Agung tahu hal ini, besar risiko yang harus kalian pikul…”
“Ciangkun baik sekali pada kami, budi itu sebesar gunung, kami tak berani melupakannya.” Sahut semua serdadu itu.
Pemuda itu menghela napas, lantas menjura kepada mereka. Sesudah itu dengan memegang tombak ia melompat naik ke kudanya. Tepat saat akan melarikan kudanya, ia melihat debu mengepul di depannya. Kembali sepasukan serdadu berkuda mendatanginya, la terkejut, demikian juga Jebe.
“Aku telah bersalah melepaskan Kwee Ceng, kalau aku melawan pasukan ini, terang aku memberontak,”
pikir Jebe. Tapi ia tidak mengubah putusannya, ia berkata pada si anak muda, “Anak Ceng, lekas lari!”
Hampir berbareng dengan itu, terdengar teriakan para serdadu yang baru datang, “Jangan ganggu Huma! Jangan ganggu Huma!”
Sekarang terlihat jelas ternyata pasukan itu membawa bendera Pangeran Keempat, malahan seorang penunggang kuda segera bergegas menghampiri dari antara pasukan itu. Orang itu adalah Tuli yang sedang menunggang kuda merah Kwee Ceng, tidak heran kalau ia datang cepat sekali.
Begitu tiba di depan Kwee Ceng, pangeran itu melompat turun dari kudanya.
“Anda, apakah kau tak terluka?” demikian pertanyaannya yang pertama.
“Tidak,” jawab Kwee Ceng. “Guru Jebe hendak menawan dan membawaku menghadap Kha Khan!”
Sengaja Kwee Ceng bicara begitu untuk mencegah gurunya itu dicurigai.
Tuli melirik Jebe. lalu berkata pada Kwee Ceng, “Anda, naiklah ke kuda merahmu ini dan lekaslah pergi!” Ia meletakkan bungkusan di atas kuda merah itu dan menambahkan, “Ini uang emas seribu taill Di belakang hari kita akan bertemu lagi!”
Kwee Ceng mengerti, ia lantas melompat naik ke kuda merahnya. Ia berkata kepada saudara angkatnya itu, “Tolong sampaikan pada Adik Gochin agar dia merawat diri baik-baik! Biarlah dia menikah dengan orang lain, jangan memikirkan diriku lagi….”
Tuli menghela napas.
“Selamanya Adik Gochin tak mau menikah dengan orang lain,” ia berkata. “Kurasa dia bakal pergi ke Selatan untuk mencarimu. Kalau itu sampai terjadi, aku nanti mengatur orang untuk mengantarkannya.”
“Jangan, jangan mencariku,” kata Kwee Ceng.
“Jangan kata di dalam negara yang luas sulit mencariku, umpama kita akhirnya dapat bertemu, cuma akan menambah keruwetan!”
Tuli diam, Kwee Ceng diam juga.
“Jalanlah, akan kuantar kau serintasan!” kata si pangeran kemudian.
Kwee Ceng menurut, ia menyuruh kudanya berjalan.
Tuli naik kuda yang lain, mereka berjalan berendeng.
“Anda,” kata Kwee Ceng setelah mereka berjalan sekitar tiga puluh li. “silakan kau kembali. Ada yang bilang, meski mengantar sampai seribu li, akhirnya mesti berpisah juga.”
“Aku akan mengantarmu serintasan lagi,” kata Tuli.
Maka berjalanlah mereka sampai sepuluh li lebih. Di sini keduanya turun dari kuda masing-masing untuk saling menjura, kemudian dengan sama-sama mengucurkan air mata, mereka berpisahan. Tuli mengawasi Kwee Ceng hingga tampak kecil sekali lalu lenyap, barulah ia memutar kudanya untuk kembali. Ia masygul bukan main.
Kwee Ceng melarikan kudanya selama beberap hari, akhirnya ia keluar dari daerah yang berbahaya.
Sekarang ia langsung menuju Selatan. Di sepanjang jalan, ia menyaksikan bekas-bekas peperangan, terutama rumah-rumah rusak dan tulang-tulang berserakan. Pemandangan yang menggiriskan. Ia sedih sekali.
Akhirnya sampai juga Kwee Ceng di Tionggoan. Ia merasa dirinya seperti orang asing, sebab tidak tahu mesti pergi ke mana. la tidak mempunyai rumah dan sanak saudara. Dalam setahun, ia kehilangan ibunya.
Oey Yong, dan guru-gurunya, la ingat Auwyang Hong dan timbul niatnya untuk membalaskan dendam Oey Yong, tetapi begitu ingat keadaan yang menyedihkan sekali di Khoresm, hatinya menjadi tawar, la berhasil membalaskan sakit hati ayahnya, namun demikian banyak jiwa manusia yang melayang dalam keadaan memilukan. la jadi sangsi, jangan-jangan balas dendam itu bukan cara yang tepat untuknya.
“Seumur hidup aku belajar ilmu silat, sekarang beginilah kepandaianku,” ia berpikir. “Tapi aku tak bisa membela kekasihku dan ibuku, maka apa gunanya aku belajar silat? Tujuan hidupku adalah jadi orang baik-baik, bagaimana sekarang? Siapa yang memperoleh kesenangan karenanya? Ibu dan Yongji binasa gara-gara aku…. Karena aku, seumur hidup Adik Gochin takkan senang… Ya, banyak orang yang telah kubikin celaka….”
Ia berhenti berpikir sebentar, terus melamun lagi.
“Wanyen Lieh dan Raja Khoresm memang orang-orang busuk, tapi bagaimana dengan Jenghis Khan?
Dia membunuh Wanyen Lieh, dia orang baik. Dia telah memelihara ibuku dan aku selama dua puluh tahun, tapi dia menitahkanku untuk menyerang Pemerintah Song, dan sekarang dia memaksakan kematian ibuku. Dengan Yo Kang aku saling mengangkat saudara, tapi hatinya tidak lurus. Adik Liam Cu orang baik, mengapa dia mencintai Yo Kang mati-matian? Anda Tuli baik sekali padaku, kalau nanti dia menyerang ke Selatan, haruskah aku menghadapinya di medan perang untuk bertempur hidup-mati? Tidak, tidak! Setiap orang punya ibu yang telah mengandungnya selama sembilan bulan dan susah payah merawatnya hingga besar, maka mana bisa aku membunuh anak orang hingga ibunya bakal jadi susah?” Ia diam, berpikir lagi.
“Belajar silat adalah untuk menghajar orang, membunuh orang…,” ia melamun lebih jauh.
“Kelihatannya hidupku selama dua puluh tahun salah semuanya. Dengan rajin dan susah payah aku belajar silat, akhirnya cuma untuk mencelakai orang…. Kalau tahu begini, lebih baik aku tak mengerti silat sama sekali! Tapi kalau tak belajar silat, aku mesti mengerjakan apa? Sebenarnya untuk apa aku hidup di dunia? Setelah beberapa puluh tahun nanti, bagaimana lagi? Bukankah lebih baik mati siang-siang? Kalau aku hidup terus, bukankah akan lebih banyak keruwetan? Tapi kalau aku mati siang-siang, untuk apa ibuku melahirkan aku? Kenapa Ibu mesti bercapek lelah merawatku hingga besar?”
Semakin lama pikirannya menjadi semakin ruwet.
Selama beberapa hari Kwee Ceng merasa tidak keruan, makan tidak bernafsu, tidur pun kurang. La mondar-mandir di tegalan, memikirkan semua pertanyaannya itu.
“Ibuku dan semua guruku mengajariku supaya memegang kepercayaan,” kemudian ia berpikir lagi.
“Sekarang timbul urusan Yongji. Aku sangat mencintainya. Tapi di sana ada putri Jenghis Khan.
Dapatkah aku menolak putri itu? Kesudahannya perjodohanku itu menyebabkan kematian ibuku dan Yongji, dan karenanya Khan yang Agung, Tuli, dan Adik Gochin jadi bersusah hati…. Ketujuh guruku dari Kanglam dan Suhu Ang adalah orang-orang gagah dan mulia hatinya, tapi tak ada satu pun yang selamat.
Sebaliknya Auwyang Hong dan Kiu Cian Jin jahat, kenapa mereka hidup merdeka dan senang?
Sebenarnya di dunia ini ada hukum Thian atau tidak…?”
Suatu hari tibalah anak muda ini di sebuah dusun di kota Cee-Iam, Shoatang. la singgah di rumah makan, la duduk seorang diri menenggak arak, pikirannya pepat. Ketika ia baru minum tiga cawan, mendadak seorang laki-laki menghampirinya, sambil menuding dan mendamprat. “Hai, Tartar bangsat, kau telah memusnahkan rumahku dan membinasakan keluargaku, sekarang aku hendak mengadu jiwa denganmu!” Kata-kata itu disusul dengan tinjunya.
Kwee Ceng terkejut, heran. Langsung ia menangkis sambil menangkap, ketika ia menarik pelan saja, orang itu jatuh ngusruk. Jelas orang itu tidak mengerti ilmu silat. Kepalanya mengenai lantai dan darahnya mengucur.
“Saudara, apakah kau salah lihat orang?” tanyanya seraya menolong orang itu bangun, la merasa tidak enak hati tanpa sengaja melukai. Orang itu gusar sekali.
“Tartar bangsat! Tartar bangsat!” cacinya berulang-ulang.
Dari luar rumah makan lantas menerobos masuk belasan orang. Tanpa banyak omong mereka menyerbu Kwee Ceng. Tentu saja anak muda ini menjadi repot. Ia main berkelit, karena tidak mau melukai orang lain. Tapi ia repot, sebab serangan makin seru, sedangkan ruangan sempit.
Tiba-tiba dari balik pintu terdengar suara nyaring, “Anak Ceng, kau bikin apa di sini?”
Kwee Ceng lantas menoleh, untuk melihat orang yang menegurnya, la mendapati imam dengan kumis putih panjang, romannya suci dan berwibawa. Ia mengenali Khu Ci Kee, maka ia girang bukan main.
“Tootiang!” jawabnya. “Tak keruan orang-orang ini mengepungku!”
Khu Ci Kee lantas masuk, mendorong setiap orang, kemudian menarik tangan si anak muda, mengajaknya berlalu. Mereka disusul oleh banyak orang yang gusar, tapi setibanya di luar, setelah Kwee Ceng memanggil kuda merahnya, dengan cepat mereka menghilang.
Setelah mereka tinggal berdua, Kwee Ceng
mengulangi keterangan bahwa ia dikeroyok tanpa sebab.
Khu Ci Kee tertawa. “Kau berdandan sebagai orang Mongolia, maka mereka salah menyangkamu,”
katanya.
Di wilayah Provinsi Shoatang ini, orang Mongolia telah bertempur hebatdengan orang Kim.
Penduduk Shoatang telah sangat menderita karena bangsa Kim, maka mereka membantu bangsa Mongol.
Siapa tahu, ternyata bangsa Mongol itu sama kejamnya dengan bangsa Kim. Setelah bangsa Kim dikalahkan, mereka pun menindas rakyat. Maka rakyat sangat gusar dan benci. Sudah biasa terjadi, apabila ada pasukan tentara Mongolia lewat dan salah satu serdadu atau opsirnya tertinggal orang itu lantas dibunuh rakyat.
“‘Kenapa kau membiarkan dirimu ditinju dan ditendangi?” tanya Ci Kee kemudian. “Lihat, kau jadi tak keruan, tubuhmu bengkak dan bengep….”
Kwee Ceng menghela napas.
“Aku tak berniat melayani mereka,” sahutnya sedih.
Ia lantas menceritakan tentang ibunya yang seperti dipaksa bunuh diri oleh Jenghis Khan.dan bahwa selama ini pikirannya kacau.
Khu Ci Kee terkejut.
“Kalau Jenghis Khan bemiat menyerang Kerajaan Song, mari kita lekas berangkat ke Selatan,” katanya.
“Pemerintah mesti diberi kisikan supaya siap sedia menyambut musuh!”
“Apa gunanya?” tanya si pemuda sambil menggelengkan kepala. “Kesudahannya kedua pihak bakal berperang hingga mayat-mayat bakal bertumpuk setinggi gunung, rumah rakyat akan musnah, dan nyawa rakyat akan lenyap….”
“Kalau Kerajaan Song dimusnahkan bangsa Mongol, rakyat bakal lebih menderita,” Tiang Cun Cu. Memberi pengertian. “Penderitaan itu tiada taranya.”
“Tootiang,” kata si anak muda, “ada banyak soal yang tak kumengerti, tolong Tootiang jelaskan.”
Khu Ci Kee menggandeng anak muda itu, mengajaknya ke bawah pohon, lalu mereka duduk bersama.
“Bicaralah!” katanya.
Kwee Ceng mengutarakan keruwetan dalam hatinya.
kemudian menghela napas dan menambahkan, “Sekarang aku memuruskan tak berniat bentrok dengan siapa pun. Aku menyesal tak dapat melupakan ilmu silatku. Tadi pun tanpa sengaja aku melukai orang itu hingga berdarah….”
“Anak Ceng, pandanganmu salah,” kata Tiang Cun Cu sambil menggeleng. “Beberapa puluh tahun lalu ketika muncul kitab mestika Kiu Im Cin Keng, orang-orang gagah kacau, memperebutkannya dengan saling bunuh, sampai kemudian ada keputusan dalam rapat di Gunung Hoa San, tempat orang melakukan pertempuran terakhir. Di sana guruku, Ong Tiong Yang, telah keluar sebagai pemenang, berhasil mendapatkan kitab itu. Mulanya guruku juga berpikir akan memusnahkan kitab itu, tapi kemudian mengubah niatnya. Dia ingat bahwa air dapat membuat perahu berlayar, tapi juga dapat mengaramkannya. Keberuntungan dan bencana tergantung pada masing-masing orang. Maka ia mempertahankan dan menyimpan kitab itu.
Kepandaian manusia, sipil maupun militer, tentara kuat, serta senjata tajam, semuanya bisa membuat manusia beruntung, tapi juga bisa membikin manusia celaka. Kau tahu, asal orang berniat baik, makin gagah dia makin baik. Karena itu, mengapa kau ingin melupakan ilmu silatmu?”
Kwee Ceng berpikir. Ia berkata, “Tootiang benar, tapi… sekarang kaum kangouw rata-rata menyebut Sesat Timur, Racun Barat, RajaSelatan,
dan Pengemis Utara sebagai orang-orang yang paling gagah. Untuk menyamai kepandaian mereka, sukar bukan buatan. Tapi lihatlah, apa gunanya kepandaian mereka itu? Kulihat tak ada faedahnya bagi manusia.”
Ditanya begitu, Khu Ci Kee melengak. Selang sejenak, ia berkata, “Oey Yok Su aneh, pasti ada sebabnya yang tak dapat dilampiaskannya. Dia sekarang berbuat sesuka hatinya, tak pernah me-mikirkan orang lain, maka aku tak mau mengambil perbuatannya sebagai teladan. Auwyang Hong jahat, dia tak usah dibicarakan lagi. Toan Hongya baik hati, kalau tetap menjadi raja, dia bisa berbuat
banyak untuk rakyat. Sayang karena satu urusan kecil, hatinya jadi tawar hingga sekarang dia bersembunyi. Lain halnya dengan Ang Cit Kong. Dia tetap bekerja untuk orang banyak, padanya aku kagum dan takluk sekali. Akan segera tiba saatnya pertemuan di Hoa San. Meski ada orang yang dapat melebihi kegagahannya. aku percaya orang banyak bakal mengangkat dia jadi orang nomor satu di Rimba Persilatan.”
Mendengar disebutnya pertemuan orang gagah di Gunung Hoa San, Kwee Ceng lantas ingat gurunya.
“Apakah luka guruku sudah sembuh?” tanyanya.
“Benarkah guruku bakal turut ambil bagian dalam pertemuan di Hoa San itu?”
“Sejak aku kembali dari Barat, belum pernah aku bertemu dengan Ketua Ang,” sahut Ci Kee.
“Tapi aku percaya, bagaimanapundia tentu bakal pergi ke Hoa San. Sekarang aku sedang dalam perjalanan ke Hoa San, bagaimana kalau kau turut aku pergi ke sana untuk melihat-lihat?”
Kwee Ceng menggeleng. Hatinya telah tawar dan kepalanya pusing kalau ingat soal pergulatan itu. Ia menjawab, “Maaf, Tootiang, aku tak bisa turut Tootiang pergi ke sana.”
“Habis kau hendak pergi ke mana?”
“Aku tidak tahu. Aku pergi ke mana saja kakiku melangkah….”
Imam itu sedih. Menurut penglihatannya, pemuda itu seperti baru sembuh dari sakit berat. Ia mencoba membujuknya, tetapi anak muda itu tetap meng-goyangkan kepala. Ia berpikir, Kwee Ceng biasanya menuruti kata-kata Ang Cit Kong, ada baiknya kalau pemuda ini mau pergi ke Hoa San untuk bertemu dengan gurunya itu. Bagaimana ia mesti membujuknya?
“Anak Ceng,” katanya kemudian. “Kau ingin melupakan ilmu silatmu, untuk itu ada jalannya,”
katanya kemudian.
“Benarkah itu, Tootiang?”
Mendadak pemuda ini tertarik.
“Ya,” sahut Ci Kee. “Ada seseorang yang di luar tahunya telah meyakini ilmu yang mahir dari Kiu lm Cm Keng, kemudian dia merasa pelajaran itu menyalahi janjinya, dia menyia-nyiakan pesan seseorang, maka dia ingin melupakan ilmu itu.
Dia lalu mencoba sebisa-bisanya. Kalau kau hendak mencontohnya, kau mesti mencari dia untuk minta diajari.”
Kwee Ceng melompat bangun.
“Benar!” katanya. “Orang itu Kakak Ciu Pek Thong!”
Mendadak muka pemuda ini memerah, la likat sendiri, ingat bahwa Ciu Pek Thong adalah paman guru Ci Kee dan ia memanggilnya “Kakak” saja.
Khu Ci Kee dapat menerka penyebab jengahnya pemuda itu. la tersenyum dan berkata. “Paman Guru Ciu memang biasanya tidak membedakan derajat, maka kau dapat memanggilnya sesukamu.”
“Sekarang dia ada di mana?”
“Dia bakal menghadiri pertemuan di Hoa San. Dia tentu akan pergi ke sana.”
“Baiklah, aku akan ikut Tootiang” kata Kwee Ceng akhirnya.
Ci Kee puas, ia lantas mengajak anak muda itu berangkat. Mereka berjalan bersama. Di dusun pertama, Kwee Ceng membelikan si imam seekor kuda, untuk mempercepat perjalanan mereka. Tujuan mereka adalah Barat. Suatu hari, tibalah mereka di kaki Gunung Hoa San di sebelah selatan. Mereka lantas singgah di perhentian San-sun-teng. Di samping tempat itu tumbuh dua belas batang pohon
rotan yang dinamakan “rotan naga”, karena batang-nya panjang dan berbentuk mirip naga.
“Hoa San merupakan gunung suci bagi kami kaum Too Kauw,” kata Khu Ci Kee. “Menurut cerita, dua belas batang pohon rotan ini dulunya ditanam oleh Hi I Sianseng Tan Pok Loocouw.”
“Tan Pok Loocouw? Bukankah dia dewa yang tidur selama genap setahun tanpa bangun sama sekali?”
“Tan Pok Loocouw lahir di akhir zaman Tong.
Sepanjang lima pemerintahan, setiap kali men-dengar penguasa kerajaan berganti, selalu dia tidak puas, maka dia mengunci pintu rumahnya, terus tidur. Orang bilang dia tidur setahun suntuk tanpa mendusin. Yang benar ialah, karena jengkel meng-ingat nasib rakyat, dia tak suka memunculkan diri.
Yang terakhir, ketika mendengar Song Thay-couw naik takhta, dia baru dapat tertawa lebar dan mengatakan bahwa mulai saat itu negara bakal aman sentosa.”
“Kalau Tan Pok Loocouw lahir di zaman se-karang, dia pasti bakal tidur lagi berbulan-bulan dan bertahun-tahun!” kata Kwee Ceng.
Khu Ci Kee menghela napas.
“Bangsa Mongol menjagoi wilayah Utara, me-reka hendak menerjang ke Selatan. Sebaliknya Raja Song dan menteri-menterinya bangsa dogol semua, maka negara bakal kacau,” katanya. “Kita adalah bangsa laki-laki, meski tahu kita tak bakal bisa apa-apa, kita perlu bangun untuk melawannya.
Sebab aku pun tak setuju dengan sikap Tan Pok Loocouw yang main mengunci pintu dan tidur saja.”
Sampai di situ mereka menghentikan pembicara-an, menitipkan kuda di kaki gunung, lantas mereka mendaki. Mereka melintasi Toh-hoa-peng, Hi I Ap, dan See-bong-peng. Makin tinggi jalanan makin sukar. Setibanya di See-hian-bun, mereka naik dengan berpegangan pada rantai besi.
Bagi mereka, perjalanan memanjat itu tidak sulit. Kira-kira tujuh li kemudian, tibalah mereka di Ceng-peng, Tanah Datar Hijau. Lalu mereka menemukan batu-batu yang berdiri tajam, di sebelah utaranya ada sebuah batu yang memegat jalan.
“Inilah batu yang diberi nama Hwee-sim-cio,”
kata Ci Kee. Pelancong yang tiba di sini dapat balik kembali.
Hwee-sim-cio berarti Hati Berbalik Pulang.
Maju lebih jauh adalah tempat-tempat yang ber-nama Cian-cio-kiap dan Pek-cio-kiap, celah yang lebarnya tidak ada setengah kaki, hingga orang mesti berjalan miring.
Kwee Ceng langsung ingat, “Kalau ada musuhmemegat dan menyerang di sini, orang yang sangat lihai pun sukar melawan….” Baru saja ia berpikir begitu, dari depan mereka terdengar bentakan, “Khu Ci Kee, di Yan I Lauw kami telah mengampuni jiwamu, apa perlunya kau sekarang mendaki Gunung Hoa San ini?”
Khu Ci Kee mendengar suara itu, dengan segera ia mempercepat langkahnya, hingga sampai di samping gua. Ia mengangkat kepala melihat ke depan.
Di sana, yang merupakan ujung jalan terakhir, terlihat lima orang, yaitu See Thong Thian, Pheng Lian Houw, Lama Leng Ti, Nio Cu Ong, dan Hauw Thong Hay, yang memegat jalan. Melihat mereka itu, ia heran. Ia menyangka akan menemui Auwyang Hong, Kiu Cian Jin, Ciu Pek Thong, dan Ang Cit Kong, tidak tahunya, di sini ada rombongan pengkhianat itu. Tentu saja ia mengerti bahaya yang mengancamnya, sebab ia dan Kwee Ceng di tempat yang letaknya buruk. Begitu ter-desak, mereka berdua bakalan terjerumus ke dalam jurang. Karena itu. ia menghunus pedangnya, lantas mendului melompat maju. Ia menyerang Hauw Thong Hay, bukan saja karena orang itu yang terlemah, tapi karena ia yang jaraknya paling dekat.
Thong Hay menangkis serangan, la lantas di-bantu Pheng Lian Houw dan Lama Leng Ti yang menggencet musuh dengan senjata masing-masing, poankoan-pit dan cecer, bermaksud mendesak Khu Ci Kee sampai terjatuh ke jurang.
Khu Ci Kee tahu apa yang mesti diperbuatnya.
Setelah menikam Thong Hay, ia menjejak dengan kedua kakinya untuk melompat tinggi melewati kepala Hauw Thong Hay. Selain bebas dari gencet-an, ia pun tiba di tempat yang lega.
Senjata Leng Ti dan Lian Houw mengenai batu, hingga lelatu bepercikan.
Selama di Tiat Ciang Bio, See Thong Thian telah kehilangan sebelah tangannya, namun ia tetap gagah. Menampak adik seperguruannya gagal me-megat Khu Ci Kee. ia melompat maju guna membantu. Tapi, karena lihainya Tiang Cun Cu, yang merampas kedudukan, ia juga bisa dilewati.
Ia lantas mengejar, disusul oleh Lian Houw.
Ci Kee tidak lari terus, ia melawan dua musuh-nya itu, yang segera dibantu Lama Leng Ti, hingga ia jadi dikepung tiga orang.
Selama pertempuran itu berjalan, Kwee Ceng tidak membantu Khu Ci Kee, padahal sepantasnya ia turun tangan di pihak imam itu. Hatinya tawar, ia jemu dengan pertarungan. Bukan saja ia tidak sudi membantu, melihat pun tidak. Untuk naik terus, ia mengambil jalan lain, ialah dengan ber-pegangan pada oyot rotan. Toh ia terganggu satu pertanyaan yang berkutat dalam hatinya, “Bantu atau jangan? Bantu atau jangan…?’1
“Bagaimana kalau Khu Tootiang mereka binasa-kan? Bukankah itu salahku? Kalau aku membantu dan mereka mati, perbuatanku itu benar atau sa-lah?” Pikirannya terus-menerus terganggu, sedang-kan ia tidak menunda jalannya, hingga kupingnya tidak mendengar lagi bunyi senjata beradu. Seka-rang ia berhenti untuk menyender pada batu. Ia bengong.
Tiba-tiba ada bunyi di sampingnya, di belakang pohon cemara. Ia segera menoleh. Ia melihat se-orang bermuka merah dan berambut putih, yaitu Nio
Cu Ong. Orang ini tahu Kwee Ceng lihai, ia takut,
maka ia bersembunyi. Namun Kwee Ceng tidak peduli, ia terus merenung, mulutnya kemak-kemik.
Nio Cu Ong heran. Ia menduga si pemuda tidak melihatnya.
“Aneh kelakuan bocah ini,” pikirnya. “Baiklah kucoba-coba.” Ia tidak berani mendekat, ia me-mungut batu, lalu menimpukkannya ke punggung si pemuda.
Mendengar bunyi sambaran angin, Kwee Ceng berkelit, tapi ia masih diam saja.
Som Siam LaoKoay merasa lega. Ia menghampiri beberapa langkah.
“Menghajar orang adalah perbuatan yang sangat busuk, itu tidak pantas.” katanya.
“Oh. kau pun berpikir demikian?” tanya si anak muda “Sungguh aku ingin dapat melupakan ilmu silatku….”
Mata Nio Cu Ong bersinar tajam. Kebenciannya jadi bertambah begitu ia ingat pemuda ini telah mengisap darah ularnya. Ia mendekati Kwee Ceng dari belakang, tapi berkata pelan, “Aku juga sedang berpikir untuk melupakan ilmu silatku. Bagaimana kalau aku membantumu?”
Kwee Ceng jujur, pikirannya sedang bimbang, ia lupa akan kelicikan orang itu.
“Baik,” jawabnya. “Bagaimana caranya?”
“Aku tahu caranya,” jawab Cu Ong, lalu men-dadak mencekuk dua jalan darah thian-cu di leher belakang dan sin-tong di punggung Kwee Ceng.
Kwee Ceng terkejut, tubuhnya langsung terasa kaku, ia tidak dapat bergerak.
Cu Ong memegang kuat-kuat, kemudian meng-gigit leher pemuda itu untuk mengisap darahnya.
la mau ganti menyedot darah pemuda itu. Bukankah ular yang sudah dipeliharanya susah-susah menjadi korban si pemuda?
Kwee Ceng sangat kesakitan, sampai kedua mata-nya kabur la berontak, tapi dua jalan darahnya telah ditekan, tenaganya habis, la melihat roman Cu Ong yang sangat bengis dan menakutkan, la merasa se-makin sakit, sebab gigitan orang itu keras. Bukankah ia akan binasa kalau tenggorokannya putus? Dalam kagetnya, mendadak ia berontak lagi. Kali ini ia menggunakan tipu yang didapatnya dariKin Toan Kut Piant dan tenaganya juga terkerah pada kedua jalan darah yang ditekan itu.
Nio Cu Ong sedang menekan ketika ia merasa ada tenaga menolak yang keras, lantas • telapak tangannya sakit, tekanannya pun terus meleset, seperti berada di tempat licin.
Kwee Ceng menunduk, lalu tenaganya di ping-gang bekerja.
Begitu anak muda ini membungkuk, tubuh Cu Ong terangkat, lalu terlempar dari punggung si anak muda. Ia menjerit ngeri, karena tubuhnya terlempar ke arah jurang. Menyusul itu dari dalam jurang terdengar jeritan yang lebih hebat lagi, menyayat hati, berkumandang ke segala penjuru lembah, membuat bulu roma berdiri.
Kwee Ceng menjublek karena kejadian itu. Ia mengusap-usap lehernya yang luka tergigit, lalu sadar bahwa dengan ilmu silatnya ia kembali telah membunuh. Pikirnya, “Kalau aku tak membunuh-nya, dia akan membunuhku. Kalau dengan mem-bunuhnya aku berbuat tak pantas, lalu bagaimana dengan dia yang hendak membunuhku, perbuat-annya pantas atau tidak?” Ia melongok ke jurang yang sangat dalam. Ia tidak melihat apa pun, maka tak tahulah ia, di bagian mana Nio Cu Ong terjatuh….
Sambil duduk di batu, Kwee Ceng membalut lukanya.
Selang sekian lama, mendadak terdengar bunyi seperti langkah kaki, namun kadang-kadang ter-putus. Segera terlihat seorang aneh muncul dari tikungan Ia terkejut tapi mengawasi. Orang itu berkelakuan aneh, berjalan dengan kaki di atas dan kepala di bawah, kedua tangannya diulurkan lem-peng ke samping tubuhnya. Karena jalannya ber-lompatan, terdengar bunyi luar biasa dari batok kepala yang membentur bebatuan gunung. Kemudi-an ia lebih heran lagi. Setelah mengawasi, ia mendapati orang itu adalah si Racun Barat Auwyang Hong.
Kwee Ceng baru saja diperdaya orang. Ia men-duga Racun Barat pun sedang pasang siasat, maka ia lantas mundur dua langkah. Ia pasang mata sambil siaga.
Auwyang Hong aneh. Ia melompat naik ke batu, tidak ambil mumet pada si anak muda. Dia berdiri tegar dengan kepalanya seperti mayat hidup.
“Paman Auwyang, kau sedang apa?” akhirnya Kwee Ceng bertanya.
Si Racun Barat tetap tidak memedulikannya, ia seperti tidak mendengar pertanyaan pemuda itu.
Kwee Ceng mundur lagi beberapa langkah supaya berdiri agak jauh. Ia memasang tangan kiri
di dadanya, sebab khawatir jago dari Barat itu menyerangnya mendadak.
Tetapi Auwyang Hong tetap berdiri dengan cara aneh itu, dan Kwee Ceng terus memperhatikan.
Selang sesaat, karena penasaran dan ingin tahu, Kwee Ceng mengawasi muka orang tua itu sambil membungkuk dan menempelkan kepalanya ke tanah. Ia melihat lewat selangkangannya dengan mementangkan kedua kakinya. Baru sekarang ia melihat dengan tegas.
Kepala Auwyang Hong bermandikan peluh, mukanya meringis.
Kwee Ceng menduga orang itu tentu sedang melatih suatu ilmu. Ia pun lantas melihat Racun Barat mementang kedua tangannya, tubuhnya di-tekuk sedikit hingga mirip keong besar. Tangannya digerakkan,makin lama makin cepat Ilmu itu aneh, pantas Auwyang Hong berlatih di tempat sepi. Kalau keliru cara mempelajarinya, barangkali ilmu ini bakal membuat orang itu sesat dan membahayakan keselamatan dirinya sendiri.
Namun aneh, kenapa yang dipilihnya justru Gunung Hoa San ini, tempat pertemuan itu? Bukankah di sini bakal segera berkumpul banyak orang? Kenapa ia seperti tidak menjaga diri? Tidakkah dalam keadaan seperti ini Racun Barat gampang di-bokong? Mungkin orang yang tidak mengerti ilmu silat pun dapat dengan gampang merobohkannya….
Tiba-tiba pemuda ini ingat sakit hatinya. Meng-apa ia tidak mau menuntut balas? Bukankah ini kesempatan baiknya? Namun karena baru saja membinasakan Nio Cu Ong, ia jadi sangsi. Ia tidak lantas turun tangan.
Auwyang Hong tetap tidak memedulikan si anak muda. Setelah berlatih sekian lama, kembali ter-dengar bunyi nyaring kepalanya. Ia kembali ke tempat dari mana tadi ia muncul.
Bukan main herannya Kwee Ceng. Ia menjadi ingin tahu, maka diam-diam ia melangkah mengikuti.
Auwyang Hong berjalan dengan kepala tetapi tidak kalah cepat dari orang yang berjalan biasa dengan kaki. Yang lebih heran lagi. ia juga dapat mendaki gunung, makin lama makin tinggi.
Kwee Ceng mengikuti terus sampai di depan gua.
Di situ ia berhenti, bersembunyi di balik batu besar.
Tepat di depan gua itu Auwyang Hong berhenti.
Mendadak ia berkata bengis, “Haphouvvbun-poat-eng sengji-kit-kin, si-kouw-ji! Tidak, tak tepat penjelasanmu ini! Tak sempurna aku melatihnya.”
Kwee Ceng terkejut. Itu bunyi kitab Kht Im Cin Keng palsu yang ditulisnya selama di atas perahu di tengah laut ketika ia dipaksa si Racun Barat.
Dengan siapa si Bisa Bangkotan sedang bicara?
Lantas dari dalam gua terdengar jawaban seorang wanita.
“Latihanmu belum sempurna, pasti kau tak mem-peroleh hasil,” demikian suara nona itu. “Kapan aku salah membacakannya?”
Kwee Ceng terkejut berbareng girang, ia hampir berteriak. Itu suara Oey Yong, yang dipikirkannya siang-malam! Jadi. mungkinkah nona itu tak binasa di gurun pasir? Apakah ia tengah bermimpi? Atau, apakah ia salah mendengar atau salah mengenali?
“Aku berlatih menurut penjelasanmu, tak mung-kin salah!” kata Auwyang Hong. “Sekarang aku merasakan otot jim-wi dan yang-wi-ku tak tersalur dengan betul.”
“Aku sudah bilang, latihannya masih kurang,”
si nona pun berkeras. “Kalau kaupaksakan. Percuma saja.”
Sekarang Kwee Ceng mendengar jelas sekali.
Tidak salah, itulah Oey Yong, Yongji-nya. Saking girangnya, tubuhnya terhuyung, hampir ia pingsan.
Ia menguatkan hati, maka luka di lehernya pecah hingga berdarah, merembesi balutannya. Tapi ia seperti tidak merasakannya.
Auwyang Hong terdengar berkata lagi, suaranya menyatakan ia gusar sekali.
“Besok tengah hari tepat adalah saat pertemuan itu berlangsung, mana dapat aku berlatih ayal-ayalan!” katanya bengis. “Lekas terjemahkan se-luruh isi kitab itu, jangan coba-coba main gila!”
Sekarang Kwee Ceng mengerti betul bahwa orang itu sedang mempelajari Kiu Im Ciri Keng. Ia akan memakai ilmu itu untuk mengadu kepandaian dalam pertemuan, supaya menjadi orang kosen nomor satu.
Pantas Racun Barat gelisah.
Dari dalam terdengar tawa Oey Yong.
“Kau telah berjanji pada Kakak Ceng-ku, dia sudah mengampuni jiwamu sampai tiga kali,” kata si nona. “Karena itu, kau tak dapat memaksaku, kau mesti menyerah, menanti sampai hatiku senang untuk mengajarimu….”
Kwee Ceng senang mendengar gadis itu me-nyebutnya Kakak Ceng-ku. Ia nyaris tidak dapat mengendalikan diri lagi, hampir ia melompat sambil berseru dan berlari menghampiri si nona manis.
Auwyang Hong tertawa dingin.
“Temponya sudah mendesak, meskipun ada, janji itu sekarang mesti ditangguhkan!” katanya sengit.
Lantas ia menggerakkan tubuhnya, dalam sekejap ia telah berdiri dengan kakinya. Terus ia melangkah lebar-lebar ke gua itu.
“Tak tahu malu!” seru Oey Yong. “Tidak, aku tak mau mengajarimu!”
Auwyang Hong kembali memperdengarkan tawa dinginnya lagi hingga beberapa kali.
“Aku mau lihat, kau mengajariku atau tidak!” katanya, kali ini perlahan.
79. INSAF
MENDADAK terdengar jeritan Oey Yong, disusul bunyi robeknya baju.
Di saat seperti itu, Kwee Ceng lupa akan ke-ruwetan persoalannya sendiri, yaitu pantas atau tidak ia menggunakan ilmu silatnya untuk melawan.
Ia berteriak, “Yongji, aku akan membantumu!” Ia lantas melompat, berlari ke dalam gua. Tepat saat itu ia melihat Auwyang Hong memegang tongkat si nona dengan tangan kirinya, tangan kanannya akan dipakainya untuk mencekuk lengan kiri nona itu. Untuk mengatasi itu Oey Yong menggunakan jurus Menyontek Anjing Buduk. Dengan menolak dan terus menarik, ia dapat meloloskan tongkatnya, hingga berbareng dengan itu tangan kirinya pun terbebas.
“Bagus!” Auwyang Hong memuji. Ia hendak menyerang lagi ketika mendengar suara Kwee Ceng dari luar gua. Mendadak mukanya memerah.
Bukankah ia telah memberikan janjinya? Mana dapat ia menyangkal janji itu? Ia berbuat begini pun karena terpaksa. Ia malu pada dirinya sendiri. Maka langsung ia mengundurkan diri. dengan berkelit ia melompat keluar gua, menutupi mukanya dengan lengan baju-nya. Dalam sekelebatan saja, ia telah menyingkir ke luar gua dan lenyap.
Kwee Ceng tidak peduli orang itu kabur. Ia lari menghampiri Oey Yong, langsung mencekal keras kedua tangan si nona.
“Yongji!” serunya. “Kaubikin aku hampir mati memikirkanmu!”
Begitu kencang debar hatinya, hingga tubuhnya bergetar.
Oey Yong melepaskan tangannya.
“Kau siapa?” tanyanya dingin. “Mau apa kau me-megangiku ?”
Pemuda itu tercengang.
“Aku Kwee Ceng,” sahutnya. “Kau baik-baik saja?”
“Aku tak kenal kau!” kata si nona seraya terus melangkah keluar.
Kwee Ceng menyusul mendului, lalu berulang-ulang menjura.
“Yongji!” panggilnya. “Yongji, dengarkan aku…!”
“Hm! Apa kau kira kau dapat menyebut nama Yongji?” kata si nona. “Kau siapa?”
Kwee Ceng celangap, tidak dapat mengeluarkan suara.
Nona itu mengawasi, maka sekarang ia melihat muka si pemuda yang pucat dan kucel, tubuhnya pun agak kurus. Sesaat timbul rasa kasihannya, rasa tidak tega. Tapi begitu ingat berulang kali ia telah disia-siakan, hatinya jadi panas lagi.
“Fui!” Ia meludah , lalu melangkah cepat.
Kwee Ceng cemas, ia menyambar ujung baju si nona dan menariknya.
“Dengarkan dulu perkataanku…!” katanya.
“Bicaralah!”
“Di embal pasir aku menemukan gelang rambut dan bajumu, kusangka kau….”
“Kau ingin aku mendengarkan perkataanmu, se-karang aku sudah mendengarkannya!” potong si nona. Ia menarik lepas bajunya, terus berjalan.
Kembali Kwee Ceng bengong, pikirannya bi-ngung. Ia tidak pandai bicara, maka tidak tahu mesti mengatakan apa. Ia khawatir si nona nanti lenyap lagi, maka ia lantas mengikuti.
Oey Yong berjalan terus dengan pikiran kusut.
Ia pulang dari Barat dengan hati tawar. Di Tionggoan, ia sebatang kara. Ia ingin pulang ke Pulau Persik untuk mencari ayahnya. Apa lacur, tiba di Shoatang ia menderita sakit berat. Celaka-nya, tidak ada orang yang merawatnya. Selagi rebah di pembaringan, ia sakit hati teringat sikap Kwee Ceng yang ia anggap tipis budi pekertinya.
Kalau ingat nasibnya yang buruk, ia menyesal telah dilahirkan di dunia. Syukurlah, ia dapat sem-buh dari sakit, tapi belum bebas dari penderitaan.
Di Shoatang Selatan ia bersampokan dengan Auwyang Hong yang memaksanya turut pergi ke Hoa San. Ia dipaksa untuk menjelaskan isi kitab Kiu Im Cin Keng. Kalau tidak ada si pemuda, entah apa yang akan diperbuat Auwyang Hong pada dirinya. Dengan sedih ia berjalan terus.
Kwee Ceng terus mengintil. Kalau si nona ber-jalan cepat, ia pun mempercepat langkahnya. Kalau si nona pelan, ia ikut pelan.
Sesudah berjalan sekian lama, mendadak si nona menoleh ke belakang.
“Mau apa kau mengikutiku ?” tegurnya sinis.
“Aku akan mengikutimu selamanya…,” sahut si pemuda. “Seumur hidup aku tak mau berpisah darimu….”
Oey Yong tertawa dingin.
“Kau menantu Jenghis Khan! Buat apa kau mengikuti budak melarat?”
“Jenghis Khan telah menyebabkan kematian ibu-ku, mana dapat aku menjadi menantunya?” Kwee Ceng menjawab.
Muka si nona memerah.
“Bagus!” serunya. “Kukira kau masih ingat se-dikit padaku, rupanya kau telah didepak Jenghis Khan! Setelah tak dapat menjadi huma, kau se-karang mencariku si budak melarat! Apa kau sangka aku manusia hina-dina yang dapat kau hina sesuka-mu ?”
Si nona lantas menangis, air matanya bercucuran.
Kwee Ceng terharu, tetapi ia bingung. Apa yang mesti diperbuatnya? Apa yang mesti dikatakannya…?
“Yongji…,” katanya kemudian, selagi nona itu sesenggukan. “Aku ada di sini, jika kau hendak membunuhku, silakan, terserah padamu….”
“Buat apa aku membunuhmu?” tanya si nona, suaranya pilu. “Anggap saja perkenalan kita sia-sia belaka…. Kumohon, janganlah kau mengikutiku….”
Muka Kwee Ceng bertambah pucat.
“Apa yang harus kulakukan supayakau percaya padaku?” tanyanya.
“Sekarang kau baik denganku,” kata si nona.
“Kalau besok kau bertemu dengan Adik Gochin-mu, kembali kau akan melupakanku, kau bakal menyia-nyiakanku…. Sekarang ini. asal kau mati di depanku, baru aku percaya padamu..-”
Darah Kwee Ceng meluap, ia mengangguk. Ke-mudian ia memutar tubuhnya dan melangkah ke jurang. Kebetulan saat itu ia berada di tepi Sia Sin Gay, Jurang Mengorbankan Diri. Kalau ia terjun di situ, pastilah tubuhnya hancur lebur.
Oey Yong tahu hati pemuda itu keras, ia me-lompat menyusul, tangannya terulur untuk me-nyambar punggung si pemuda. Ia menarik keras, tubuhnya meucelat, maka sekejap kemudian justru dialah yang berada di tepi jurang. Ia mencucurkan air mata. hatinya tegang.
“Bagus ya, sedikit pun kau tak kasihan padaku!” katanya.
“Aku baru mengeluarkan sepatah kata karena panas hatiku, kau langsung tak mau me-lewatkannya! Aku bilang padamu, jangan marahi aku, cukup asal kau jangan bertemu lagi denganku…”
Muka Oey Yong pucat, tubuhnya gemetar.
“Yongji, kemarilah,” kata Kwee Ceng. Tadi ia mau bunuh diri, sekarang ia khawatir si nona yang akan terjun.
Oey Yong mendengar suara pemuda itu bergetar.
Ia tahu si pemuda masih mencintainya, ia sangat sedih. Sembari menangis, ia berkata, “Aku tahu kau pura-pura saja berkata begini. Ketika aku sakit di Shoatang, tak seorang pun memedulikanku…. Apakah waktu itu kau datang menjengukku? Aku dikekang Auwyang Hong, aku tak dapat meloloskan’ diri, apakah kau datang menolongku? Ibuku tak me-nyayangiku, dia pergi mati sendiri saja.— Ayah pun tak menghendakiku, dia tak mencariku…. Apalagi kau, lebih-lebih tak menginginkanku! Di dunia ini, tak seorang pun menyayangiku, mengasihaniku….”
Ia menangis terus, sambil membanting-banting kaki.
Kwee Ceng diam. Ia masih tidak tahu mesti bilang apa. [a bisa merasakan panasnya hati si nona. Ia cuma bisa mengawasi.
Sunyi di antara mereka,-cuma terdengar embusan sang angin.
Rupanya si nona merasa kedinginan, tubuhnya menggigil.
Kwee Ceng membuka baju luarnya, berniat me-ngerobongi tubuh nona itu. Selagi ia akan me-lakukannya, mendadak ada bentakan dari ujung jurang, “Siapa yang nyalinya begitu besar berani menghina Nona Oey-ku?”
Kwee Ceng girang sekali. Ia langsung men-dongak, melihat seorang tua dengan rambut pendek dan kumis putih, dialah Ciu Pek Thong si Bocah Tua Nakal.
“Kakak Ciu!” panggil Kwee Ceng.
Oey Yong pun memperdengarkan suaranya de-ngan agak mendongkol. “Eh. Bocah Tua Nakal!
Aku menitahkanmu untuk membunuh Kiu Cian Jin! Mana kepalanya?”
Ciu Pek Thong- menghampiri mereka, ia tidak menjawab, hanya tertawa haha-hihi.
“Nona Oey, siapa yang mengganggumu?” ia bertanya. “Nanti Bocah Tua Nakal membikinmu puas!”
“Siapa lagi kalau bukan dia!” sahut si nona seraya menunjuk Kwee Ceng.
Untuk menyenangkan si nona, si Bocah Tua Nakal bertindak sejadinya saja. Tahu-tahu Kwee Ceng telah digaploknya dua kali hingga kelabakan.
Kwee Ceng sama sekali tidak menyangkanya. Ka-rena itu, bengaplah pipi kiri dan kanannya. Ketika baru dihajar, matanya juga berkunang-kunang.
“Nona Oey, cukupkah?” tanya Bocah Tua Nakal.
“Jika belum cukup, nanti kuhajar lagi dia.”
Menampak muka si pemuda merah dan bengap, di pipinya tampak bekas tapak tangan dengan lima jari, kedongkolan Oey Yong mereda, lantas timbul rasa kasihannya. Ia berbalik jadi mendongkol ke-pada si tua tukang guyon itu.
“Aku marah sendiri, tak ada hubungannya de-nganmu!” ia tegur orang tua itu. “Kenapa kau lancang memukulnya? Kuperintahkan kau membunuh Kiu Cian Jin, mengapa kau tak dengar perintahku?’
Pek Thong menjulurkan lidahnya panjang-pan-jang. Ia tidak dapat menjawab.
Ketika itu, jauh di belakang jurang, terdengar bunyi beradunya senjata. Pek Thong mendengarnya, ia segera mendapat akal.
“Pastilah si tua bangka Kiu sudah datang, aku akan mendatanginya!” katanya seraya terus me-mutar tubuh untuk lari ke belakang jurang itu.
Tentu saja Bocah Tua Nakal bukan mau mencari Kiu Cian Jin, bahkan sebaliknya ia jeri dengan ketua Tiat Ciang Pang itu. Di antara kedua jago ini, keadaan seperti jungkir balik.
Di rumah batu, tempat Kwee Ceng dan Auwyang Hong berlalu saling susul, Pek Thong dan Cian Jin bertempur tidak lama. Cian Jin bisa lolos dan kabur, ia dikejar Pek Thong, ke mana pun lari ia disusul, hingga akhirnya ia mendongkol berbareng putus asa. Ia berpikir, ia toh jago dan ketua partai, mengapa sekarang ia begini sial menghadapi Ciu Pek Thong yang lihai itu? la merasa sangat terhina.
Karena putus asa, ia menjadi nekat. Daripada kena bekuk, lebih baik ia bunuh diri. Kebetulan ia melihat seekor ular berbisa di sela batu, ia me-nangkap ular itu. la berniat memagutkan ular itu ke dirinya sendiri. Dengan memegangi ular itu, ia berkala pada Ciu Pek Thong, “Eh, Pek Thong, bangsat, lihat ini!”
Sebenarnya Cian Jin hendak menempelkan mulut ular itu ke lengannya, tapi mendadak Ciu Pek Thong menjerit, lalu memutar tubuhnya dan lari kabur. Cian Jin menjadi heran. Namun sejenak kemudian ia lantas dapat menduga, tentulah Bocah Tua Nakal takut ular. Maka ia sekarang berbesar hati, ia membatalkan niatnya untuk bunuh diri, lantas mengejar si tua bangka berandalan itu. Lebih dari itu ia menangkap seekor ular lain, hingga tangan kiri dan kanannya masing-masing mencekal binatang berbisa itu. Sembari mengejar, ia berteriak-teriak mengancam musuhnya.
Pek Thong ketakutan, ia lari ngacir.
Kiu Cian Jin mempunyai julukan Sui-siang-piauw, yang berarti larinya sangat pesat. Seandainya tidak jeri, ia tentu sudah dapat menangkap Pek Thong. Maka mereka cuma main kejar-kejaran.
Dari siang mereka berlari-lari sampai hari gelap, setelah itu barulah Pek Thong bisa lolos. Dalam hati Cian Jin tertawa. Ia mengejar hanya untuk menggertak. Sekarang ia pun bebas dari ancaman si tua berandalan itu.
Oey Yong melihat orang tua itu pergi, ia melirik Kwee Ceng. Ia menghela napas lantas menunduk.
“Yongji!” panggil Kwee Ceng.
Nona itu menyahut lirih.
Kwee Ceng hendak berbicara tetapi tidak tahu mesti mengatakan apa, ia berdiri diam. Karena si nona pun terus membungkam, keduanya berdiri bagaikan patung, tubuh mereka disampoki angin.
Tidak lama kemudian Oey Yong bangkis akibat terlalu banyak kena angin.
Kwee Ceng ingat bajunya, ia lantas menghampiri untuk menutupi tubuh si nona dengan bajunya itu.
Tadi ia diganggu oleh Ciu Pek Thong, sekarang tidak ada rintangan lagi.
Oey Yong diam saja, menunduk terus.
Dalam kesunyian itu. kuping mereka mendengar tawa nyaring Ciu Pek Thong yang ierus berseru memuji, “Bagus! Bagus”‘
Mendadak si nona mengulurkan tangannya, mencekal tangan Kwee Ceng seraya berkata pelan.
“Kakak Ceng, ayo kita lihat!”
Kwee Ceng mengikuti. Ia tidak bisa menyahut.
Kali ini saking girangnya ia mencucurkan air mata.
Dengan ujung bajunya Oey Yong mengusap air mata si pemuda.
“Di mukamu ada air mata dan bekas tapak tangan. Kalau orang tak tahu, dia bisa menyangka akulah yang menamparmu….”
Dengan tertawanya si nona, berarti mereka ber-dua sudah akur lagi.
Dengan bergandengan mereka lari melintasi ju-rang, pergi ke tempat asal datangnya tawa Ciu Pek Thong. Di sana mereka melihat banyak orang dengan sikap yang aneh-aneh.
Pek Thong terlihat girang bukan main. Ia me-megangi perutnya sambil terbungkuk-bungkuk. Ia tertawa puas sekali. Di dekatnya tampak Khu Ci Kee berdiri diam dengan pedang di tangan. Di antara mereka masih ada empat orang lagi, ialah See Thong Thian, Pheng Lian Houw, Lama Leng Ti, dan Hauw Thong Hay. Sikap keempat orang itu luar biasa. Mereka memegang senjata masing- masing, ada yang sedang menyerang, ada yang sedang berkelit atau mundur. Sikap tubuh mereka tetap begitu, sebab mereka tidak dapat bergerak bagaikan patung. Sebab mereka korban totokan si Bocah Tua Nakal yang kekanak-kanakan.
“Tempo hari itu aku membuat obat pulung dari lumpur tubuhku,” kata Ciu Pek Thong kepada See Thong Thian berempat. “Aku menitahkan kalian
untuk menelannya. Kemudian kalian kawanan bang-sat cerdik juga, kalian tahu itu bukan obat penawar racun, lantas kalian tak mau dengar kata-kata kakekmu ini. Hm! Bagaimana sekarang ?”
Pek Thong mengatakan demikian sebab meski berhasil membekuk mereka, ia tidak tahu bagaimana harus menghukum mereka. Tapi begitu melihat Oey Yong dan Kwee Ceng, ia lantas mendapat pikiran.
Katanya, “Nona, empat bangsat bau ini kuserahkan padamu !”
“Apa gunanya mereka buatku?” tanya si nona.
“Kau main gila, ya? Kau tak mau membunuh tapi juga tak mau melepaskan mereka! Kau telah” me-nangkap mereka tapi tak berdaya mengurus! Lekas kaupanggil aku kakak yang baik tiga kali, nanti kau kuajari..-!”
Pek Thong tidak mau banyak pikir, ia juga tidak peduli dengan segalanya, maka tanpa sangsi sedikit pun ia memanggil “Kakak yang baik!” tiga kali.
Bahkan ditambah dengan menjura dalam-dalam.
Oey Yong tersenyum.
“Geledah dia!” kata si nona seraya menunjuk Pheng Lian Houw.
Pek Thong menurut. Dari tubuh Lian Houw ia mendapatkan cincin dengan jarum beracun dan dua peles kay-yok, obat pemunah racun.
Kata si nona, “Dia pernah menusuk Ma Giok, kemenakan seperguruanmu, dengan jarumnya ini.
Sekarang tusuklah dia .beberapa kali, juga ketiga kawannya!”
Lian Houw semua mendengar perkataan si nona, mereka kaget dan takut bukan main, tetapi mereka masih tertotok, tidak dapat lari ataupun meronta.
Maka mereka mesti merasakan sakitnya ditusuk Pek Thong beberapa kali.
“Obatnya ada di tanganmu,” kata si nona lagi kepada Bocah Tua Nakal. “Sekarang kau dapat menitahkan mereka untuk melakukan apa pun yang kaukehendaki. Coba lihat mereka berani mem-bangkang atau tidak!”
Pek Thong girang. Ia lantas mengasah otak. Ia tidak usah membuang tempo untuk mendapatkan akal. Ia membuat obat lagi dari kotoran, namun kali ini kotoran itu dicampur dengan kay-yok, dipulung menjadi butiran-butiran kecil, kemudian diserahkan-nya kepada Khu Ci Kee sambil berkata, “Sekarang kaugiring kawanan bangsat bau ini ke Kuil Tiong Yang Kiong di Ciong Lam San. Penjarakan mereka selama dua puluh tahun. Jika selama dalam perjalanan mereka menurut kata-katamu, beri mereka masing-masing sebutir pil mustajabku ini. Tapi kalau sebaliknya, biarkan saja, biar mereka tahu rasa!
Mereka berbuat, mereka mesti bertanggung jawab, jangan sekali-kali kasihan pada mereka!”
Khu Ci Kee menerima obat itu sambil menjura.
Ia menghaturkan terima kasih seraya memberikan janjinya.
Oey Yong tertawa dan berkata pada Pek Thong, “Bocah Tua Nakal, kata-katamu ini tepat sekali, sangat pantas! Tak kusangka, baru setahun kita tak bertemu kau telah maju begini pesat!”
Pek Thong puas sekali, ia tertawa senang. Se-sudah itu ia membebaskan totokan keempat orang itu. Katanya pada mereka, “Sekarang kalian mesti pergi ke Tiong Yang Kiong, tinggallah di sana baik-baik selama dua puluh tahun. Jika kalian benar-benar hendak bertobat, di belakang hari kalian masih dapat menjadi orang baik. Tapi jika kalian masih tetap jahat… hm! Hm! Perlu kalian ketahui, kami para imam dari Coan Cin Kauw bukan orang yang dapat dibuat permainan, kami ahli membetot otot tanpa mengerutkan alis! Maka, empat bangsat bau. berhati-hatilah kalian!”
Lian Houw berempat tidak berani banyak omong, mereka cuma mengangguk.
Khu Ci Kee menahan tawa melihat sikap paman gurunya yang lucu itu. la kembali menjura, lantas menggiring pergi keempat tawanannya turun gu-nung, untuk pulang ke gunungnya sendiri.
“Eh, Bocah Tua Nakal,” kata Oey Yong tertawa.
“Sejak kapan kau belajar mendidik orang? Kata-katamu yang bagian depan masuk akal, tapi yang belakangan lantas jadi tak keruan….”
Pek Thong tidak menjawab, ia hanya tertawa sambil melengak. Saat itu ia melihat sinar putih berkelebat di puncak kiri, lalu lenyap, la yakin itu sinar senjata tajam.
“Eh, apa itu?” tanyanya heran.
Oey Yong dan Kwee Ceng mengangkat kepala, tapi sinar itu sudah lenyap.
Pek Thong takut Oey Yong akan menanyakan Kiu Cian Jin lagi, maka ia lantas menggunakan alasan.
“Biar kulihat!” katanya. Terus ia lari pergi.
Oey Yong berdua Kwee Ceng membiarkan orang tua itu pergi, sebab banyak yang hendak mereka bicarakan. Mereka mencari tempat untuk duduk, lalu saling menuturkan pengalaman masing-masing dan saling mengutarakan isi hati. Sampai matahari sudah turun ke barat, mereka masih belum berhenti pasang omong.
Kwee Ceng berbekal ransum kering. Ia menge-luarkannya untuk mereka santap bersama-sama.
Sembari makan, Oey Yong berkata, “Bangsat tua Auwyang Hong memaksaku menjelaskan isi Kiu lm Citi Keng. Bukankah kitab tulisanmu yang kauberikan padanya kacau-balau? Nah, aku pun tak keruan menjelaskannya! Tapi dia percaya, maka dia bersengsara selama beberapa bulan ini untuk mempelajari ilmu itu. Kubilang dia mesti berlatih terbalik, kepala di bawah dan kaki di atas, dia menurut. Dia sungguh hebat, dapat membuat jalan darahnya tersalur secara bertentangan, yaitu jalan darah im-wu yang-wi. im-kiauw. dan yang-kiauw.
Entah bagaimana andai kata dia membalik semua jalan darahnya.”
Kwee Ceng tertawa.
“Pantas aku melihat dia jalan meloncat-loncat dengan kepala di bawah dan kaki di atas, kiranya dia sedang kaupermainkan!” katanya. Memang sulit untuk berlatih dengan cara demikian.
Oey Yong tersenyum.
“Kau datang kemari, apa kau juga hendak turut berebut gelar orang gagah nomor satu di kolong langit itu?” tanyanya.
“Ah, Yongji, kau menggodaku,” sahut si pemuda.
“Aku datang ke gunung ini buat mencari Kakak Ciu supaya diajari ilmu untuk melenyapkan ilmu silatku….”
Kwee Ceng lantas menjelaskan alasan mengapa ia sampai mendapat pikiran demikian.
Oey Yong memiringkan kepalanya, berpikir.
“Ya, melupakan itu pun baik juga,” katanya kemudian. “Memang, semakin kita pandai, pikiran kita semakin tak tenang. Lebih baik seperti waktu masih kecil, kita tak bisa segala-galanya, tak ada yang kita pikirkan, tak ada yang menyusahkan kita….”
Waktu mengatakan itu, si nona tidak berpikir bahwa sudah wajar dengan bertambahnya usia manusia berarti bertambah juga keruwetan hidupnya, bahwa kehidupan ini tidak ada hubungannya dengan pandai silat atau tidak. Kemudian ia berkata, “Besok tiba saatnya pertemuan di Hoa San ini, untuk mengadu pedang. Ayah pasti akan ambil bagian.
Karena kau tak berniat turut memperebutkan gelar jago itu, menurutmu bagaimana cara kita untuk membantu ayahku?”
“Yongji,” kata si pemuda, “bukannya aku tak mau mendengar perkataanmu, tapi dalam hal ayah-mu, sebagai manusia, dia kalah dari Ang Insu….”
Ang Insu berarti Guru Ang yang berbudi, yaitu Ang Cit Kong.
Oey Yong sedang duduk bersender. Begitu ia mendengar Kwee Ceng mengatakan ayahnya kalah dari Cit Kong, artinya ayahnya bukan manusia baik-baik, mendadak ia menjadi gusar. Ia mendorong Kwee Ceng. Tentu saja Kwee Ceng melengak.
Hanya sedetik, si nona lantas tertawa.
“Memang, memang Suhu Ang baik pada kita,”
katanya. “Sekarang begini saja. Kita tidak membantu pihak mana pun! Bagaimana menurutmu?”
“Ayahmu dan Suhu Ang sama-sama kesatria, jika kita membantu diam-diam, tentu mereka tak senang,” kata Kwee Ceng.
“Apa? Diam-diam? Apa sangkamu aku orang jahat?”
Lantas si nona memperlihatkan roman tidak senang.
Kwee Ceng heran.
“Ah, aku salah omong…,” katanya.
Si nona mengawasi, tiba-tiba ia tertawa lagi.
“Sudahlah!” katanya. “Sebenarnya, asal kau tak menyia-nyiakanku, kita masih bisa cukup lama berkumpul….”
Bukan main girangnya Kwee Ceng, ia mencekal keras tangan si nona.
“Mana bisa aku menyia-nyiakanmu!” katanya.
“Ya, sebab si tuan putri tak menghendakimu lagi, baru kau menghendaki aku si budak hina….”
Kwee Ceng diam. Disebutnya nama Gochin mem¬buat ia teringat kepada ibunya yang mati secara menyedihkan di gurun pasir.
Cahaya rembulan menyinari muka anak muda ini. Oey Yong melihat muka itu pucat dan lesu, ia terkejut. Ia menyangka telah salah omong.
“Kakak Ceng,” katanya lekas-lekas, “lebih baik kita jangan membicarakan lagi urusan yang sudah-sudah. Kita sekarang telah berkumpul, kita senang.
Aku sebenarnya senang sekali. Bagaimana jika kubiarkan pipiku kaucium?”
Muka Kwee Ceng memerah. Ia tidak berani mencium.
Oey Yong tertawa, ia melengos. Ia likat sendiri.
“Coba bilang, siapa yang bakal menang besok?” ia menyimpangkan pembicaraan.
“Itu sukar dibilang. Entah It Teng Taysu datang atau tidak….”
“Dia sudah menjadi orang suci, dia takkan be-rebut nama kosong lagi.”
“Aku pun menduga demikian. Ayahmu, Suhu Ang, Kakak Ciu, Kiu Cian Jin, dan Auwyang Hong mempunyai kepandaian masing-masing. Me-ngenai Suhu Ang, aku tak tahu dia sudah sembuh atau belum dan entah bagaimana kepandaiannya….”
Waktu mengucapkan begitu, Kwee Ceng sedih.
“Menurut keadaan. Bocah Tua Nakal yang pa-ling lihai,” kata si nona. “Tapi kalau tidak meng-gunakan Kiu Jm Cin Keng, dia kalah dari empat orang yang lain….”
Kwee Ceng membenarkan dugaan itu.
Mereka masih bicara sampai rasa kantuk si nona datang, maka tidak lama kemudian, ia pulas di dada si pemuda, yang membiarkannya. Tidak lama setelah itu. Kwee Ceng pun ingin tidur, namun ketika baru layap-layap tidurnya, mendadak ia mendengar langkah yang disusul dengan ber-kelebatnya dua bayangan yang lari ke belakang jurang. Ia terkejut, samar-samar ia mengenali Pek Thong dan Cian Jin. Ia heran melihat Bocah Tua Nakal dikejar Cian Jin. Ia tidak tahu ketua Tiat Ciang Pang itu menggunakan ular berbisa.
Bukankah tadinya Cian Jin yang dikejar-kejar Pek Thong? Pelan-pelan ia membangunkan si nona dan berkata, “Lihat!”
Oey Yong bangun, mengangkat kepalanya. Ia lantas melihat Pek Thong yang lari berputar-putar di dekat mereka. “Kemudian didengarnya Bocah
Tua Nakal berkata, “Bangsat tua Kiu, di sini bersembunyi kawanku tukang menangkap ular ber-bisa! Apa kau masih tak mau lekas-lekas kabur?”
Lalu Kiu Cian Jin menjawab sambil tertawa, “Apa kausangka aku bocah umur tiga tahun?”
Ciu Pek Thong berteriak-teriak, “Saudara Kwee!
Nona Oey! Lekas bantu aku!”
Kwee Ceng hendak membantu. Ketika ia mau melompat bangun, Oey Yong menariknya dan tetap merebahkan diri di dada si pemuda.
“Jangan bergerak!” kata si nona lirih.
Pek Thong terus lari berputar-putar, ia tidak juga melihat kemunculan kedua orang yang di-teriakinya itu. Setelah mengulangi tapi tetap tidak ada yang memedulikannya, ia berteriak, “Bocah busuk! Budak iblis! Kalau kau tetap tak mau keluar, nanti kucaci maki delapan belas leluhurmu!”
Oey Yong lantas muncul. Ia tertawa.
“Aku tak mau keluar!” katanya. “Kalau kau bisa, makilah!”
Pek Thong tidak berani memaki.
“Nona, bantulah aku,” katanya. “Bagaimana kalau aku mencaci delapan belas leluhurku?”
Melihat munculnya sepasang muda-mudi itu, hati Kiu Cian Jin ciut. Ia lantas berniat kabur, sebab celakalah kalau ia dikepung mereka bertiga. Kalau besok, bertempur satu lawan satu. ia tidak jeri.
Lantas ia mengangkat ularnya, menyampokkannya ke muka Pek Thong.
Bocah Tua Nakal kaget, ia berkelit. Mendadak ia merasakan sesuatu yang dingin di lehernya, ia kaget sekali. Ia menyangka itu ular berbisa.
“Mati aku! Mati aku!” teriaknya berulang-ulang.
Binatang itu meronta-ronta di punggungnya. Ia pun tidak berani merogoh. Mendadak ia lemas, lantas tubuhnya roboh.
Oey Yong dan Kwee Ceng kaget, keduanya melompat menubruk untuk menolong.
Kiu Cian Jin heran melihat robohnya Pek Thong, tapi karena ini kesempatannya yang baik, ia hendak lari pergi. Belum lagi ia mengangkat kaki, dari gerumbulan pohon muncul sesosok bayangan, yang lalu berkata dengan dingin, “Bangsat tua Kiu, hari ini kau tak dapat lolos lagi!”
“Siapa kau?” bentak Cian Jin. Orang itu berdiri membelakanginya, hingga Cian Jin tidak dapat melihat mukanya. Ia hanya bisa khawatir.
Pek Thong rebah di tanah, mengira dirinya sudah ada di alam baka. Tapi kupingnya mendengar, “Tuan Ciu, jangan takut, itu bukan ular!” Ia pun ditolong bangun. Ia lantas melompat berdiri. Kembali ia merasakan sesuatu yang dingin di punggungnya, benda itu bergerak-gerak. Kembali ia kaget, hingga menjerit, “Dia menggigitku! Ular! Ular!”
“Bukan ular. hanya ikan emas!” kata orang itu lagi.
Sekarang Oey Yong berdua Kwee Ceng telah melihat orang yang bicara itu, malahan mereka mengenalinya, yaitu si tukang pancing, murid ke-pala It Teng Taysu. Orang itu pun lantas meng-ambil ikan dari punggung Bocah Tua Nakal.
Si tukang pancing datang ke Gunung Hoa San, ia melihat sepasang ikan emas Kim-wawa, maka ia lantas menangkapnya. Entah bagaimana ia mem-buat yang seekor terlepas, bahkan tepat sekali jatuh ke dalam baju Ciu Pek Thong. Tak heran Pek Thong kaget dan takut bukan main, sebab ia menyangka itu ular Kiu Cian Jin.
Begitu Pek Thong membuka mata dan meng-awasi orang itu, ia bengong. Ia seperti mengenali orang itu, tetapi lupa siapa. Kemudian ia berpaling kepada Kiu Cian Jin, ketua Tiat Ciang Pang itu sedang mundur selangkah demi selangkah, sedang- kan si bayangan maju selangkah demi selangkah juga. Ia mengawasi bayangan itu. Akhirnya ia kaget tak terkira, semangatnya seolah terbang tinggi. Bayangan itu ternyata Eng Kouw atau Lauw Kui-hui dari istana Negara Tali!
Kiu Cian Jin juga kaget bukan main. Ia datang ke Hoa San dengan harapan besar, sebab meski gagah Ciu Pek Thong bisa dipengaruhi dengan ular. Ia sama sekali tidak menyangka sekarang Lauw Kui-hui muncul tiba-tiba. Selama di Chee-liong-toa, ia telah menyaksikan selir itu mengamuk, maka sekarang hatinya jadi ciut. Justru itu ter-dengar si nyonya berkata, “Kembalikan jiwa anakku…!”
Sebenarnya Cian Jin heran bagaimana nyonya ini mengenalinya, karena dulu ketika menyatroni istana Toan Hongya, ia menyamar. Dulu ia juga tidak berniat membinasakan anak itu. Sebab maksudnya ialah supaya Toan Hongya mengobati anaknya dan menjadi lelah karenanya.
“Eh, perempuan edan, buat apa kau mengganggu-ku?” tanyanya sambil memaksakan diri tertawa.
“Pulangkan jiwa anakku!” jawab Eng Kouw.
“Buat apa kau menyebut-nyebut anakmu?” tanya Cian Jin. “Anakmu sudah mati, apa hubungannyadenganku?”
“Sebab kaulah pembunuhnya! Malam itu aku tak melihat mukamu, tapi aku mendengar tawamu!
Nah, coba kau tertawa lagi! Tertawa! Cepat!”
Kiu Cian Jin mundur lagi. Ia melihat wanita itu akan menerkamnya. Ketika nyonya itu benar-benar maju, ia menggeser sedikit ke samping, tangan kirinya menepuk tangan kanannya, lalu tangan kanan-nya itu meluncur ke perut si nyonya. Itulah jurus Imyang Kwi It, Bersatunya Im dan Yang, salah satu di antara ketiga belas jurus dari Tiat Ciang Kiat, silat Tangan Besi-nya yang lihai. Tenaga tangan kanannya dibantu dengan tangan kirinya.
Eng Kouw tahu hebatnya serangan itu. la hendak membebaskan diri dengan Ni Ciu Kang, ilmu Lindung-nya, tetapi di luar dugaannya, gerakan Cian Jin sangat sebat. Ia menjadi nekat. Maka bukannya menangkis atau berkelit, ia justru menubruk untuk memeluk musuh, supaya mereka sama-sama jatuh ke jurang.
Belum lagi kedua pihak mempertaruhkan jiwa mereka, Kiu Cian Jin merasakan sambaran angin di sampingnya, sedangkan matanya melihat bayang-an berkelebat. Terpaksa ia menarik pulang serang-annya untuk dipakai menangkis. Ia lantas melihat siapa yang telah merintanginya, ia gusar sekali.
“Ah, Bocah Tua Nakal, kau lagi!” serunya.
Memang Pek Thong-lah yang menolong Eng Kouw dari bahaya. Tiba-tiba saja datang rasa cinta si orang tua, bahkan ia menyerang dengan jurus dari Kiu Im Cin Keng. Meski menolong, Pek Thong tidak berani memandang langsung kekasihnya.
Sembari membelakangi ia berkata, “Eng Kouw, kau bukan tandingan tua bangka ini, lekas pergi! Aku pun mau pergi dari sini!”
Bocah Tua Nakal benar-benar mau angkat kaki.
tetapi Eng Kouw bertanya, “Ciu Pek Thong, kau hendak menuntut balas untuk anakmu atau tidak?”
“Apa? Anakku?” tanya Bocah Tua Nakal. Ia heran hingga melengak.
“Benar! Pembunuh anakmu adalah Kiu Cian Jin!” sahut Eng Kouw.
Pek Thong bingung, la tidak tahu bahwa hubung-annya beberapa hari dengan Lauw Kui-hui telah menghasilkan anak. Selagi ia diam, telah datang beberapa orang lain, maka tempo mengangkat ke-pala ia melihat It Teng Taysu serta keempat muridnya.
Kiu Cian Jin mendapati dirinya berada kurang tiga kaki dari jurang, artinya ia sudah terkurung dan terancam bahaya, sedangkan semua musuhnya lihai. Dalam keadaan seperti itu, ia menjadi nekat.
Ia menepukkan kedua tangannya dan berkata angkuh, “Aku mendaki Gunung Hoa San ini untuk memperebutkan gelar orang kosen nomor satu di kolong langit, tapi kalian berkumpul sekarang!
Hm! Apakah kalian mengepungku hendak me-nyingkirkan satu lawan lebih dulu? Dapatkah kalian melakukan perbuatan sehina ini?”
Menurut Ciu Pek Thong perkataan orang itu beralasan.
“Biarlah besok, sehabis pertemuan adu silat, baru aku mengambil jiwamu yang busuk!”
“Baiklah!” kata Kiu Cian Jin.
“Tidak bisa!” teriak Eng Kouw. “Mana bisa aku menanti sampai besok!”
“Bocah Tua Nakal!” Oey Yong turut bicara.
“Dengan orang terhormat kita bicara tentang ke-hormatan, dengan manusia licik kita bicara secara licik.”
Muka Kiu Cian Jin memucat, la mengerti sedang menghadapi bahaya. Tapi ia licik, ia mendapat akal.
“Kenapa kau hendak membunuhku?” tegurnya.
“Kau jahat sekali, setiap orang berhak mem-bunuhmu!” jawab si pelajar.
Cian Jin tertawa terbahak sambil melengak.
“Kalian lebih banyak, aku bukan tandingan kalian!” ejeknya. “Tapi apa kalian kira aku takut?
Barusan kalian bicara tentang kehormatan dan ke-jahatan, baiklah! Sekarang aku bersedia melayani kalian! Nah, majulah siapa di aniara kalian yang seumur hidup belum pernah membunuh manusia serta belum pernah berbuat jahat! Kalian boleh turun tangan, aku nanti manda menyerahkan leher-ku untuk dipenggal! Jika aku mengerutkan alis, aku bukan laki-laki!”
It Teng Taysu menghela napas. Ia lantas men-dului mengundurkan diri untuk duduk bersila.
Kata-kata Cian Jin berpengaruh sekali. Sekalipun
si tukang pancing, tukang kayu, petani, dan pelajar pernah memangku pangkat, mereka semua pernah membunuh orang.
Ciu Pek Thong dan Eng Kouw saling memandang, keduanya teringat segala hal yang mereka alami bersama dulu.
Kwee Ceng dan Oey Yong turut diam.
Kwee Ceng dan Oey Yong turut diam.
Kiu Cian Jin menggunakan kesempatan, la me-langkah ke arah Kwee Ceng. Si pemuda minggir.
Cian Jin mengerahkan tenaganya untuk lompat melewatinya, namun mendadak dari balik batu besar menyambar sebatang tongkat bambu ke mukanya. Ia terkejut tapi bisa menangkis untuk menangkap tongkat itu, berniat merampasnya. Di luar duga-annya, ia gagal, bahkan tiga kali beruntun tongkat itu menyerang. Ia kaget, ternyata setiap serangan adalah totokan ke jalan darah. Ia kewalahan, sedang-kan di situ tidak ada jalan mundur. Terpaksa ia
mundur ke tempatnya tadi, mendekati jurang. Segera setelah ia mundur, sesosok bayangan melompat ke depannya.
“Suhu!” teriak Oey Yong. Si nona mengenali sosok itu, yaitu Kiu Ci Sin Kay Ang Cit Kong!
“Hai, pengemis bau!” Kiu Cian Jin mencaci.
“Kenapa kau usil? Sekarang masih belum tiba waktunya pertemuan untuk beradu ilmu pedang!”
“Aku datang untuk menyingkirkan kejahatan!”
jawab Ang Cit Kong. “Siapa mau rapat beradu pedang denganmu!”
“Bagus, orang gagah, pendekar!” teriak Kiu Cian Jin. “Ya, aku si orang jahat, kau sendiri si manusia baik yang belum pernah melakukan perbuatan busuk!”
“Memang!” jawab Cit Kong lagi. “Aku si penge-mis tua telah membinasakan 531 orang yang se-muanya jahat, pembesar rakus, hartawan, jago jahat, atau manusia tak berbudi! Benar, aku si pengemis tua sangat kemaruk hidangan lezat; tapi seumur hidupku belum pernah aku membunuh orang baik-baik! Kiu Cian Jin, kaulah orang ke-532 yang akan kubunuh!”
Mendengar itu Cian Jin tersentak.
“Kiu Cian Jin,” Ang Cit Kong berkata lagi, “Ketua Siangkoan Kiam Lam dari Tiat Ciang Pang adalah orang gagah perkasa, seumur hidup dia setia pada negara, tak pernah berubah pikiran. Tapi kau, yang sama-sama menjadi ketua, bersekongkol dengan bangsa Kim, berkhianat, menjual negara! Kalau nanti kau mati, apakah kau punya muka untuk bertemu dengan Ketua Siangkoan? Sekarang kau mendaki Gunung Hoa San ini, kau bemiat gila mengharapkan kehormatan sebagai orang kosen nomor satu di kolong langit! Jangan kata ilmu silatmu tak mampu menandingi orang-orang gagah lain, umpama kata kau benar tiada tandingan, di kolong langit ini, orang gagah mana yang sudi takluk pada pengkhianat penjual negara!”
Kiu Cian Jin berdiri menjublek. Hebat kata-kata itu. Teringatlah ia akan kejadian-kejadian beberapa puluh tahun lampau ketika ia pertama kali me-nerima kedudukan sebagai ketua Tiat Ciang Pang.
Waktu itu Siangkoan Kiam Lam, ketua yang lama, sambil rebah sakit di pembaringan, telah meninggal- kan pesan, menjelaskan pada Kiu Cian Jin tentang aturan suci Tiat Ciang Pang, berpesan supaya mencintai negara dan menyayangi rakyat. Kiu Cian Jin ingat, semakin menanjak usianya, semakin ting-gi kepandaiannya, sepak terjangnya semakin ber-tentangan dengan cita-cita partainya. Semua
anggotanya yang jujur dan setia mengundurkan diri; sedangkan yang buruk tetap berkumpul ber-samanya, hingga kemudian Tiat Ciang Pang yang suci murni itu telah berubah menjadi kotor, menjadi sarang penjahat. Ia mengangkat kepalanya, melihat rembulan bersinar terang. Sepasang mata Ang Cit Kong bersinar tajam mengawasinya. Mendadak ia menginsafi semua perbuatannya dulu bertentangan dengan Thian. Tanpa sadar peluh membasahi se-luruh tubuhnya.
“Ketua Ang, kau benar!” katanya akhirnya. Ia memutar tubuh untuk melompat ke jurang.
Cit Kong kaget. Ia memegang tongkatnya untuk menjaga diri. Ia khawatir, karena gusarnya, Kiu Cian Jin akan menerjangnya. Ia tahu ketua Tiat Ciang Pang itu lihai. Maka ia tidak menyangka orang itu menjadi nekat hendak bunuh diri. Ia tercengang. Selagi ia tidak berdaya, orang lain telah mencelat maju ke lepi jurang. Orang itu adalah It Teng Tay.su yang sejak tadi duduk bersila saja. Pendeta ini melompat tidak dengan kakinya, namun dengan tubuh melayang. Ia masih dalam posisi bersila. Tangan kirinya terulur, ia menyambar kaki Kiu Cian Jin dan menariknya keras-keras, sambil memuji, “Siancay! Siancay! Laut keseng-saraan tidak ada batas pinggirnya. Siapa yang menoleh, melihat tepian! Kau telah insaf, kau telah menyesal, maka bagimu masih belum kasip untuk kembali menjadi manusia benar! Pergilah kau mengurus dirimu baik-baik!”
Kiu Cian Jin menangis menggerung-gerung, ber-lutut di depan si pendeta, pikirannya pepat. Tidak dapat ia mengatakan sesuatu.
Eng Kouw melihat orang itu berlutut membe-lakanginya. Melihat kesempatan itu, ia menghunus belatinya, menikam punggung musuhnya itu.
“Tahan!” seru Ciu Pek Thong seraya menahan tangan si nyonya.
“Kau mau apa?” bentak Eng Kouw gusar.
Bocah Tua Nakal memang tidak mau berurusan dengan si nyonya, maka dibentak begitu ia ber-teriak, lantas memutar tubuhnya untuk lari kabur.
“Ke mana kau mau pergi?” bentak Eng Kouw lalu mengejar.
“Perutku sakit, aku hendak buang kotoran!” sahut Pek Thong sambil lari terus.
Sejenak Eng Kouw tergugu, lantas ia mengejar lagi. Ia tidak memedulikan kata-kata orang itu.
Pek Thong berteriak-teriak lagi, “Celaka! Celaka!
Celanaku penuh kotoran bau sekali, jangan dekat-dekat aku!”
Eng Kouw tidak memedulikannya, ia terus me-ngejar. Sudah dua puluh tahun ia mencari, kalau sekarang ia membiarkan orang itu lolos lagi, lain kali sukar mencarinya hingga ketemu. Ia lari kencang.
Bocah Tua Nakal mendengar langkah kakinya, ia kaget. Sekarang ia benar-benar terkejut. Kalau tadi ia mengatakan hendak buang air besar hanya untuk menggertak Eng Kouw. sekarang ia benar-benar hendak melakukannya….
Kwee Ceng dan Oey Yong tersenyum melihat
lagak Pek Thong itu, yang bersama Eng Kouw lenyap dengan cepat. Kemudian mereka menoleh, memandang lt Teng Taysu.
Pendeta itu bicara berbisik kepada Kiu Cian Jin, dan ketua Tiat Ciang Pang itu mengangguk-angguk. Kemudian Toan Hongya yang sudah “mati” itu bangkit.
“Mari berangkat!” katanya.
Sampai di situ Kwee Ceng dan si nona meng-hampiri untuk memberi hormat. Mereka pun mem-beri hormat pada si tukang pancing berempat.
It Teng mengusap-usap kepala sepasang muda-mudi itu. Ia tersenyum, kelihatan nyata pada roman-nya bahwa ia mengasihi mereka. Ia menoleh kepada Ang Cit Kong dan berkata. “Saudara Cit, kau sehat walafial, lebih gagah daripada dulu! Kau pun telah menerima dua murid yang baik sekali, selamat padamu!”
Ang Cit Kong menjura.
“Hongya juga baik!” katanya.
It Teng tertawa.
“Sekarang aku bukan hongya lagi!” katanya. Ia menolak sebutan hongya atau raja. “Saudara Cit, gunung itu tinggi, air itu panjang. Sampai bertemu lagi!” la merangkapkan kedua tangannya untuk memberi hormat, lantas membalikkan tubuh akan beranjak pergi.
“Eh, eh,” kata Cit Kong, “besok pertemuan berlangsung. Kenapa Toan Hongya pergi sekarang?”
Karena telah jadi kebiasaan, ia tidak dapat meng-ubah panggilan Toan Hongya itu.
It Teng berbalik. la tertawa.
“Aku dari kalangan lain, tak berani aku be-rebutan dengan orang-orang gagah di kolong la-ngit,” sahutnya. “Kedatanganku hari ini hanya un-tuk menyelesaikan keruwetan dari dua puluh tahun lampau. Maka aku bersyukur maksudku telah ter-capai. Saudara Cit, sekarang siapa lagi orang gagah itu kalau bukannya kau. Janganlah merendahkan diri!”
Lagi-lagi pendeta ini memberi hormat, lantas „ pergi dengan menggandeng Kiu Cian Jin.
Si tukang pancing herempat menghormat pada Ang Cit Kong, kemudian mengikuti guru mereka.
Si pelajar lewat di dekat Oey Yong, melihat muka si nona bercahaya, ia tertawa dan menggoda dengan bersenandung, “Di lanah rendah ada pohon yang toh, cabangnya halus dan lemas.”
Oey Yong membalas sindiran itu, “Sang ayam menclok di para-paranya, hari sudah jadi malam….”
Si pelajar tertawa lebar, ia menjura dan melanjut-kan perjalanan.
Kwee Ceng heran, ia tidak mengerti. Ia menduga mereka main teka-teki.
“Yongji, apakah itu kata-kata Sanskerta?” tanyanya.
Si nona tertawa.
“Bukan. Itu syair dari Kitab Syair”
Kedua syair si pelajar dan Oey Yong itu masih ada sambungannyaj tetapi mereka sengaja menyebut permulaannya saja. Si pelajar mengatakan si nona belum menikah tapi sudah kegirangan, sedangkan Oey Yong mengumpamakan si pelajar sebagai bi-natang.
Sementara itu Kwee Ceng, yang telah mendengar teguran Ang Cit Kong kepada Kiu Cian Jin, turut tersadar. Ia seperti mendapat petunjuk untuk mengatasi keruwetannya selama ini. Gurunya itu telah membunuh banyak orang, tapi semuanya orang jahat. Tindakan gurunya itu tidak dapat dikatakan tidak pantas. Guru itu bukannya jahat, bahkan , sebaliknya, gurunya orang baik. sebab ia menindas kejahatan. Karena itu semestinya ia tidak melupakan atau membuang ilmu silatnya.
Lantai muda-mudi ini menghampiri guru mereka untuk memberi hormat, kemudian mereka pasang omong tentang segala hal yang terjadi sejak per- pisahan mereka yang terakhir.
Ang Cit Kong ikut Oey Yok Su ke Pulau
Persik Di sana ia dapat menyembuhkan diri dengan memahami Kiu i m Ciri Keng. dengan melatih ilmu tenaga dalamnya untuk memperlancar jalan per- napasan dan jalan darahnya. Dalam tempo setengah tahun ia sembuh, lalu dalam tempo setengah lahun berikutnya ia berhasil memulihkan kepandaian silat- nya, la sudah sembuh, tetapi ia meninggalkan Pulau Persik sesudah Oey Yok Su, yang pergi lebih dulu untuk mencari anak daranya yang selalu dipikirkan dan dirindukannya. Oey Yok Su bertolak ke utara. Cit Kong bertemu dengan Lou Yu Kiak, maka ia tahu tentang kedua muridnya itu, kecuali hal-hal yang terjadi setelah rombongan Yu Kiak meninggalkan Mongolia.
“Suhu, sekarang silakan Suhu beristirahat,” Kwee Ceng mempersilakan. “Sang fajar bakal lekas tiba, sebentar lagi tiba waktunya beradu kepandaian.
Suhu mesti menggunakan banyak tenaga.”
Cit Kong tertawa dan berkata, “Usiaku telah lanjut, tapi kegemaranku akan menang pun ber-tambah. Tapi mengingat yang bakal kuhadapi Sesat Timur dan Racun Barat, hatiku kurang tenteram.
Selama ini, Yongji, kepandaian ayahmu maju pesat sekali. Coba tebak, siapa yang akan lebih kuat atau lebih lemah di antara ayahmu dan gurumu?”
“Sebenarnya kepandaian Suhu dan kepandaian Ayah berimbang,” sahut Oey Yong. “Tapi sekarang Suhu telah mewarisiYang Ci dari lt Teng
Taysu dan Suhu sendiri telah meyakinkan Kiu Im Cm Keng, maka tentulah ayahku bukan tandingan Suhu lagi. Aku akan omong dengan ayahku, supaya Ayah tak usah melawan Suhu lagi, lebih baik lekas-lekas pulang ke Pulau Persik.”
Ang Cit Kong memikirkan perkataan si murid yang nada suaranya berbeda, ia lantas menduga isi hati gadis itu. Ia tertawa lebar dan berkata, “Tak usah kau bicara berputar-putar.Yang Ci kepunyaan Toan Hongya dan Kiu Im Cin Keng kepunyaan kalian berdua, maka tak usah kalian sebut lagi. Aku si pengemis tua tidak bakal menebalkan muka menggunakannya. Kalau nanti tiba saatnya pibu, aku akan menggunakan kepandaian asalku.”*
Memang itulah maksud Oey Yong, maka ia tertawa.
“Suhu,” katanya, “jika kalah dari ayahku, kau akan kumasakkan seratus macam masakan untuk berpesta pora. Bagaimana, akur?”
Air liur Cit Kong langsung terbit.
“Eh, bocah cilik, hatimu tak bagus!” kalanya.
“Sudah membakar hatiku, kau menyogok juga!
Kau sangat licik, berharap supaya ayahmulah yang menang!”
Oey Yong tertawa. Belum lagi ia menyahut, mendadak Cit Kong bangun berdiri dan sambil menunjuk ke belakangnya berkata, “Bisa Bangkot-an, kau datang begini pagi!”
Kwee Ceng dan si nona melompat bangun, lantas menoleh, berdiri di samping guru mereka.
Mereka segera melihat Auwyang Hong yang tinggi besar sedang berdiri. Racun Barat datang secara diam-diam, hingga muda-mudi itu tidak tahu. Me- reka heran dan terkejut.
“Datang lebih pagi. pibu lebih pagi!” sahut Auwyang Hong. “Datang siang, pibu siang. Eh.
pengemis tua, hari ini kita bakal bertempur. Kata-kan, kita bakal bertempur untuk mencari kemenang-an yang memutuskan atau untuk mengadu jiwa?”
“Karena kita bertaruh untuk kalah dan menang, itu berarti hidup dan mati,” jawab Ang Cit Kong.
“Maka kalau kau menurunkan tangan, tak usah kau main kasihan-kasihan lagi!”
“Baik !” kata Auwyang Hong. Ia lantas meng-gerakkan tangan kirinya, yang tadi ditaruhnya di belakang. Ternyata ia telah menyiapkan tongkatnya.
Ia menotok batu seraya berkata lagi, “Di sini saja atau di tempat lain yang lebih lebar?”
Cit Kong belum menyahut, tapi sudah didului Oey Yong.
“Tidak bagus Gunung Hoa San ini dipakai se-bagai tempat pibul” kata si nona. “Lebih baik kita pergi ke perahu!”
Pengemis Utara melengak.
“Apa kau bilang?” ia bertanya menegaskan.
“Dengan bertempur di perahu, kita dapat mem-berikan kesempatan sekali lagi pada Paman Auwyang untuk membalas kebaikan dengan ke-jahatan!” si nona menjelaskan. “Biarlah dia men-dapat kesempatan untuk membokong lagi!”
Ang Cit Kong tertawa terbahak.
“Dulu kita teperdaya satu kali, maka satu kali juga kita belajar pintar!” katanya. “Jangan harap si pengemis bangkotan nanti memberi ampun lagi!”
Racun Barat merasakan sindiran si nona, air mukanya tidak berubah sama sekali, namun tanpa bilang apa-apa ia lantas menekuk kedua dengkul-nya, menongkrong, sedangkan tongkatnya berpindah ke tangan kiri. Tangan kirinya itu lantas dipakai untuk mengerahkan ilmu silat istimewanya, Kap-mo-kang.
Melihat demikian. Oey Yong segera menyerahkan tongkat Tah-kauw-pang kepada gurunya.
“Suhu!” katanya. “Lawan bangsat licik ini de-ngan Tah-kauw-pang danYang O’! Terhadap dia kau jangan pakai lagi segala aturan atau kemurahan hati!”
Cit Kong lantas berpikir, “Dengan kepandaianku sendiri, belum tentu aku dapat mengalahkan dia, sedangkan sebentar lagi aku mesti melayani Oey Yok Su. Kalau aku sudah letih, mana bisa aku melayani Sesat Timur.”
Ia menyambut tongkat keramat partainya itu.
lalu bergerak dalam sikap Mengeprak Rumput Membikin Ular Kaget dan Membiak Rumput Mencari Ular. tongkatnya bergerak ke kiri dan ke kanan.
. Sudah beberapa kali Auwyang Hong bertempur melawan Pengemis Utara, namun belum pernah ia melihat orang itu menggunakan tongkatnya, yang pernah disaksikannya adalah ilmu tongkat Oey Yong, yang kurang diperhatikannya. Sekarang untuk pertama kalinya ia melihat, ia kagum. Gerakan Cit Kong pulang-pergi, mengembuskan angin keras.
karena itu tanpa ayal lagi ia maju menyerang ke liong-kiong—tengah. Tempo hari ketika Cit Kong dibokong Auwyang Hong, jiwanya nyaris melayang, sehingga ia mesti berobat dan merawat diri hampir dua tahun, setelah itu barulah kesehatannya pulih dan kepandaiannya kembali, maka hari ini ia tidak mau berkelahi secara sembarangan. Kekalahannya dulu adalah kekalahan besar yang belum pernah dialaminya seumur hidup, juga bahaya yang belum pernah dihadapinya. Sekarang, berhubung merupa-kan saat penentuan kehormatan dan kehinaan, atau hidup dan mati, ia tidak main sungkan lagi.
Bab 80. PIBU DI GUNUNG HOA SAN
AUWYANG HONG bertubuh tinggi dan besar, meskipun telah sedikit menekuk kedua kakinya untuk menjalankan ilmu Kodok-nya, ia masih lebih tinggi daripada Ang Cit Kong. Ia sekarang menggunakan tongkat yang ketiga, yang baru dibikinnya, sebab dua tongkat ularnya yang pertama telah lenyap.
Tongkatnya ini, di bagian ujungnya berukiran kepala manusia, tetapi aneh dan mengerikan. Di situ dililit-kan dua ekor ular berbisa, tapi kedua ular ini baru, kurang lincah dibandingkan dua ularnya yang dulu.
Di samping itu, ia sekarang bertempur melawan Pengemis Utara untuk keempat kalinya, maka caranya berbeda. Pertama kali ia melawan Cit Kong di Gunung Hoa San ini, dan itu juga untuk memperebutkan kehormatan dan Kiu Im Cin Keng. Yang kedua terjadi di Pulau Persik, yaitu untuk membela Auwyang Kongcu yang berebut jodoh dengan Kwee Ceng. Yang ketiga ialah pertempuran di laut.
Usia kedua pihak semakin lanjut, tetapi berbareng dengan itu, ilmu silat mereka juga semakin maju, maka pertarungan menjadi hebat. Inilah pibu untuk nama baik, menyangkut hidup atau mati.
Siapa yang alpa atau kurang gesit, ia harus menerima nasibnya. Dalam sekejap seratus jurus lebih telah dilewatkan.
Mendadak sang putri malam menghilang. Langsung suasana menjadi gelap. Perubahan seketika itu terjadi karena pergantian waktu, sang malam telah lewat dan akan digantikan oleh sang fajar.
Suasana akan menjadi terang. Namun sekarang kedua pihak sukar melihat satu sama lain dengan jelas. Mereka saling menyerang dengan lebih banyak menutup diri.
Kwee Ceng dan Oey Yong menonton dengan perhatian tertumpah- sepenuhnya. Bagaimanapun, mereka mengkhawatirkan guru mereka. Mereka maju beberapa langkah, supaya kalau perlu mereka bisa menolong guru mereka.
Mata Kwee Ceng mengawasi tajam tapi hatinya berpikir, “Mereka inilah jago-jago nomor satu di zaman ini, hanya bedanya yang satu orang gagah dengan hati mulia; yang lain berhati buruk, mengganas karena mengandalkan kekosenannya. Jadi, ilmu silat tidak mengenal baik dan jahat, hanya terbawa oleh orang yang bersangkutan. Siapa baik, ilmu silatnya menambah kebaikan; siapa jahat, ilmu silatnya menambah kejahatan.” la cemas ketika mendengar Racun Barat dan gurunya bergantian berseru, tanda hebatnya pertarungan mereka.
“Suhu telah terluka parah, itu artinya dia telah menyia-nyiakan waktu hampir dua tahun,” anak muda ini berpikir lagi, hatinya berdebar-debar.
“Memang ilmu silat mereka seimbang, tapi kalau Suhu terhalang begitu, mungkin Racun Barat mem-punyai kepandaian lebih. Pertarungan ini berartihanya dengan satu langkah maju dan satu langkah mundur. Kalau Suhu kalah? Ah, sayang aku telah memberi ampun hingga tiga kali pada jago dari Barai ini….”
Kwee Ceng kembali ingat ajaran Khu Ci Kee bahwa kepercayaan dan kebajikan besar haruslah dibedakan dari kepercayaan dan kebajikan kecil;
kalau karena kepercayaan dan kebajikan kecil orang roboh, itu bukan lagi kepercayaan dan kebajikan.
Singkatnya, itu bukanlah kehormatan.
“Racun Barat mengatakan untuk berkelahi satu lawan satu, dengan cara terhormat,” anak muda ini berpikir lebih jauh. “Habis bagaimana kalau dia tetap bertindak curang? Bagaimana kalau dia lantas mengganas dengan lebih hebat lagi? Berapa banyak korban jatuh karenanya? Dulu-dulu aku tak dapat membedakan arti kepercayaan dan kebajikan ini, jadi aku telah melakukan banyak ketololan….”
Karena berpikir begini, Kwee Ceng lantas ber-ketetapan membantu gurunya. Tapi belum lagi ia maju, didengarnya suara Oey Yong.
“Auwyang Hong, dengar!” demikian si nona.
“Kakak Ceng telah berjanji padamu, hendak mem-beri ampun jiwamu tiga kali. Siapa tahu ternyata kau mengandalkan kekosenanmu, tetap menghinaku.
Untuk menjadi orang kecil tak ternama dari Rimba Persilatan, kau tak surup, bagaimana mungkin kau hendak memperebutkan gelar jago nomor satu di kolong langit ini?”
Racun Barat telah melakukan kejahatan yang tidak terhitung banyaknya, namun ia orang yang selalu menepati janji, belum pernah menyangkal kata-kata atau janjinya. Ia juga sangat jumawa. Ia memaksa Oey Yong karena sangat terpaksa, sebab ia ingin sekali si nona menjelaskan isi kitab itu padanya. Sekarang selagi hebatnya ia bertarung melawan Ang Cit Kong, nona itu mengungkit-ungkit kesalahannya. Kupingnya panas, karena itu gerakan tangannya terlambat, ia hampir kena sodok tongkat si pengemis.
“Kau dinamakan Racun Barat,” kata Oey Yong lagi, “maka tak bisa dikatakan apa-apa mengenai segala perbuatan busukmu, tapi kau diberi ampun sampai tiga kali oleh orang muda. sungguh kau telah kehilangan muka! Bagaimana dapat kau me-nelan kata-katamu sendiri terhadap orang muda?
Sungguh kau menyebabkan orang-orang gagah kaum kangouw tertawa hingga mulut mereka men-cong! Auwyang Hong, Auwyang Hong! Ada satu hal pada dirimu yang tak dapat dikalahkan siapa pun di kolong langit ini, kau orang nomor satu yang tak tahu malu!”
Racun Barat gusar bukan kepalang, tetapi ia tahu maksud si nona yang hendak membangkitkan amarahnya, supaya perhatiannya terpecah, supaya ia tidak dapat mengutamakan pertempurannya dengan Ang Cit Kong—tegasnya, supaya ia kalah.
Karena itu, sebagai orang licik, ia tidak mau dirinya kena bakar. Ia tidak menghiraukan ocehan itu. Tapi Oey Yong sangat cerdik, ia tidak mau berhenti mengoceh, bahkan menyebutkan kebusukan yang sebenarnya belum pernah dilakukan Auwyang Hong. Ia sengaja supaya Racun Barat dipandang sebagai manusia terjahat di dunia ini. Mulanya Racun Barat dapat bersabar, namun akhirnya ter-bakar juga, ia lantas membela diri, menyangkal tuduhan si nona. Inilah yang diharapkan Oey Yong, ia lantas mengoceh lebih jauh. Maka Racun Barat berkelahi di dua kalangan. Melawan Pengemis Utara, ia bersilat dengan kaki dan tangannya; me-layani Oey Yong, ia bersilat dengan lidahnya.
Sedangkan dalam hal bersilat lidah. Oey Yong lebih pandai daripada Cit Kong.
Lewat sekian lama, Auwyang Hong merasa ter-desak. Saat itu ia teringat, “Pengemis tua ini tentunya tak mengerti Kiu Im Ciu Keng, maka, untuk merebut kemenangan, aku mesti menggunakan ilmu itu.” Ia lantas menggunakan ilmunya itu. Tidak peduli yang didapatnya ajaran sesat, ia lihai dan ber-bakat baik sekali, hingga ia memperoleh kemajuan juga. Dengan begitu berubahlah gerakan tongkatnya.
Ang Cit Kong terkejut. Ia mesti melayani dengan memasang mata tajam luar biasa, dengan kegesitan yang bertambah.
Oey Yong dapat melihat perubahan di kedua pihak, ia kini as berkata nyaring, “‘ Goansu-engji, pasi-palok-pou, soaliok-bunpeng!”
Auwyang Hong mendengar itu dan terperanjat.
“Apa arti kata-kata Sanskerta itu?” pikirnya. Ia tidak tahu si nona cuma asal mengoceh, kata-kata itu tidak ada artinya. Oey Yong tidak berhenti bicara, ia menambahkan kata-kata yang lain lagi.
la juga berseru-seru dan menghela napas bergantian, beberapa kali nadanya seperti bertanya.
“Apa yang kaukatakan?” akhirnya Racun Barat bertanya.
Oey Yong menyahut dengan kata-kata Sanskerta ngawur, hingga jago dari See Hek itu makin bingung. Mendadak Ang Cit Kong berseru, “Kena!”
Pengemis Utara tahu perhatian Racun Barat telah dikacaukan, ia menggunakan kesempatan itu untuk menyerang, tongkatnya menghajar ke batok kepala lawannya yang tangguh itu.
Auwyang Hong kaget melihat datangnya serang-an itu, ia menjerit sambil berkelit, terus menyeret tongkatnya dan berlari pergi.
“Ke mana kau hendak pergi?” bentak Kwee Ceng sambil meloncat untuk mengejar, tetapi ia tidak dapat mencandak. Auwyang Hong lari dan melompat berjumpalitan tiga kali, lalu bergulingan dan lenyap di balik jurang.
Ang Cit Kong bengong, demikian juga Oey Yong. Hanya sebentar, lantas keduanya saling memandang dan tertawa. Kwee Ceng ikut tertawa.
“Yongji,” kata si pengemis sesaat kemudian, “kali ini aku berhasil mengalahkan si Bisa Bangkotan, semua ini karena jasamu….” Ia menghera napas.
Oey Yong tersenyum.
“Tapi, Suhu,” kata si nona. “Bukankah itu kepandaian ajaranmu sendiri?”
“Sebenarnya itu bakatmu sendiri!” Cit Kong ter-tawa. “Dengan adanya tua bangka yang licin se-bagai ayahmu, muncullah anak perempuan yang licin seperti kau!”
“Bagus ya!” tiba-tiba terdengar seruan di belakang mereka. “Di belakang kau omong jelek tentang orang lain! Pengemis Bangkotan, kau malu atau tidak?”
“Ayah!” Oey Yong berteriak seraya melompat maju, lalu berlari-lari ke arah dari mana suara itu datang.
Sekarang sang matahari sudah menyingsing.
maka terlihat kemunculan seorang dengan jubah hijau yang melangkah dengan tenang. Orang itu tidak lain adalah pemilik Pulau Persik. Oey Yok Su.
Oey Yong menubruk ayahnya, merangkulnya.
Sang ayah balas merangkulnya.
Ayah itu mengawasi putrinya. Ia melihat anaknya telah berubah, sifat kekanak-kanakannya berkurang, sekarang romannya mirip dengan mendiang istrinya.
Oey Yok Su bahagia sekaligus sedih.
“Sesat Tua.” kata Ang Cit Kong, “kau ingat tidak apa yang kubilang padamu di Pulau Persik, bahwa anakmu sangat cerdik dan banyak akalnya, orang lain dapat dikelabuinya tapi ia sendiri tak bakal dapat teperdaya, bahwa kau tak usah meng-khawatirkannya? Nah, sekarang katakan, benar atau tidak perkataan si Pengemis Tual”
Oey Yok Su tersenyum, sembari menarik tangan anaknya ia mendekati Pengemis Utara.
“Aku memberi selamat padamu yang telah mem-bikin si Tua Bangka Berbisa kabur!” katanya.
“Dengan kekalahannya itu, legalah hatimu dan hatiku.
Ang Cit Kong tersenyum.
“Jago di kolong langit ini adalah kau dan aku si Pengemis Tua,” katanya. “Tapi melihat anakmu ini, cacing dalam perutku langsung mengamuk tak keruan, liurku pun meleleh. Mari kita lekas-lekas bertempur! Bagiku sama bagusnya baik kau mau-pun aku yang jadi jago, aku hanya menunggu menyikat habis hidangan yang lezat-lezat!”
.”Ingat!” seru Oey Yong. “Kalau kau kalah, baru aku akan masak untukmu!”
“Fui. tak tahu malu!” Cit Kong membentak.
“Jadi kau hendak menggencetku, ya?”
Oey Yok Su beradat tinggi, katanya, “Pengemis Tua,’setelah lerluka kau menyia-nyiakan waktumu selama dua tahun, maka sekarang aku khawatir kau bukan tandinganku! Yongji, aku tak peduli siapa menang siapa kalah, kau mesti memasak dan mengundang gurumu bersantap!”
“Benar begitu!” puji Cit Kong. “Itu baru kata-kata guru besar! Pemilik Pulau Persik mana boleh berpandangan cupet seperti anak gadisnya! Se-karang mari kita mulai, tak usah menanti sampai tepat tengah hari!”
Sehabis, berkata. Cit Kong mengangkat tongkat-nya lalu maju menyerang.
Oey Yok Su menggelengkan kepalanya.
“Baru saja kau bertempur lama melawan Racun Barat,” katanya. “Meski benar kau tak letih, tapi kau toh telah mengeluarkan banyak tenaga. Mana dapat aku Oey Yok Su mau menang tempo! Baik-lah kita tunggu sampai tengah hari tepat, supaya kau sekalian bisa menghimpun tenagamu kembali!”
Cit Kong tahu itu benar dan pantas sekali,
tetapi ia tidak dapat menahan sabar,- maka ia mendesak untuk mulai bertempur saja.
Oey Yok Su sebaliknya, ia duduk di batu tidak memedulikan si Pengemis Tua.
Melihat kedua orang tua itu berkutat, Oey Yong menengahi.
“Ayah, Suhu, aku punya cara.” katanya. “Dengan caraku ini kalian bisa langsung bertempur tanpa ada yang menang tempo.”
“Bagus!” kata Cit Kong dan Yok Su berbarengan.
“Bagaimana caranya?”
“Ayah dan Suhu adalah sahabat kekal, siapa menang siapa kalah akhirnya toh persahabatan di antara kedua belah pihak akan terganggu juga,”
jawab Oey Yong. “Pibu hari ini adalah pibu yang menghendaki menang atau kalah, bukan?”
Cit Kong dan Yok Su telah berpikir serupa, maka mereka mengiyakan. Lantas keduanya ber-tanya bagaimana cara si anak atau si murid.
“Caraku begini,” kata Oey Yong. “Mula-mula Ayah bertempur melawan Kakak Ceng. Coba lihat, dalam berapa jurus Ayah dapat mengalahkannya.
Setelah itu Suhu bertempur melawan Kakak Ceng.
Umpama dalam 99 jurus Ayah dapat mengalahkan Kakak Ceng sedangkan Suhu mesti menggunakan seratus jurus, maka Ayahlah yang menang. Sebalik-nya kalau Suhu menang dalam 98 jurus, Ayahlah yang kalah.”
“Bagus, bagus!” Cit Kong memuji.
“Kakak Ceng bertempur lebih dulu melawan Ayah.” Oey Yong berkala lagi. “Kedua pihak masih segar dan bertenaga cukup. Kalau nanti Kakak Ceng melawan Suhu, mereka sama-sama bekas bertempur, jadi seimbang. Tidakkah itu adil?” Oey Yok Su mengangguk.
“Cara ini bajk.” katanya. “Anak Ceng, mari maju. Kau pakai senjata atau tidak?”
“Terserah!” jawab Kwee Ceng. Ia setuju dengan cara sama jengah itu. Ia lantas akan melangkah maju.
“Perlahan dulu!” Oey Yong mencegah. “Masih ada yang harus dijelaskan. Bagaimana umpama dalam tiga ratus jurus Ayah dan Suhu masih belum sanggup mengalahkan Kakak Ceng?”
Ang Cit Kong tertawa tergelak.
“Sesat Tua,” katanya, “mulanya aku sangat me-ngagumi putrimu yang pandai sekali membela ayah-nya, ha, siapa tahu dia toh tetap wanita, dia akhirnya membela pihak luar juga! Tapi ini wajar!
Sebenarnya dia ingin sekali supaya si tolol ini yang memperoleh gelar orang gagah nomor satu di kolong langit.”
Sesat Timur bertabiat sangat aneh. Setelah men-dengar ucapan putrinya dan si Pengemis Utara, ia memutuskan, “Biarlah kubikin tercapai keinginan anakku ini.” Ia lantas berkata. “Apa yang dikatakan Yongji benar adanya. Kita dua tua bangka, kalau kita tak dapat mengalahkan Anak Ceng dalam tiga ratus jurus, mana kita punya muka untuk terhitung sebagai orang-orang nomor satu?” Namun, setelah berkata begitu, -ia berbalik pikir lagi, “Aku bisa saja mengalah, membiarkan dia sanggup melayani-ku sampai tiga ratus jurus; tapi jika si Pengemis Tua tak sudi mengalah, tentu dia bakal dapat mengalahkan Anak Ceng dalam tiga ratus jurus itu! Dengan demikian, aku jadi bukan mengalah pada Anak Ceng, melainkan pada si Pengemis Tua…,” Ia jadi ragu-ragu.
Ang Cit Kong langsung menolak tubuh muridnya.
“Lekas mulai!” katanya. “Mau tunggu apa lagi?”
Kwee Ceng terhuyung ke depan Oey Yok Su, yang terpaksa mengambil keputusan segera. Ia berkata dalam hati, “Baiklah, sekarang aku men-coba dulu tenaga dalamnya, sebentar akan kupikir-kan lagi.” Tangan kirinya bergerak ke arah pundak si anak muda. “Jurus pertama!” serunya.
Kalau Oey Yok Su berpendirian tidak tetap, demikian juga Kwee Ceng. Pemuda ini berpikir.
“Sudah pasti aku tak dapat menjadi orang kosen nomor satu di dunia ini, tapi manakah yang akan kubiarkan menang, ayah Yongji atau Suhu?” Te-ngah ia ragu-ragu, tangan Oey Yok Su menyambar padanya. Tangan kanannya terangkat untuk me-nangkis. Karena ia belum sempat memperbaiki diri, dengan bentroknya (angan mereka, ia terpental hingga hampir jatuh. Lantas ia mendapat pikiran baru, “Aku gila! Kenapa mesti kupikirkan soal mengalah atau tidak? Biarpun kukeluarkan semua kepandaianku, mana bisa aku melawan sampai tiga ratus jurus?” Maka ketika serangan kedua Oey Yok Su tiba. ia berniat melawan. Ia akan membiarkan mereka berdua menggunakan kepandai-an mereka untuk mengalahkannya, terserah siapa lebih dulu dan siapa ketinggalan, ia sendiri tidak mau berat sebelah.
Selelah jurusnya yang kedua dapat dihindari, Oey Yok Su melanjutkan serangannya lebih jauh.
Baru beberapa jurus ia sudah heran sekali hingga bertanya dalam hati, “Baru setahun lebih berlalu, kenapa anak tolol ini sudah maju begini rupa?
Kalau aku mengalah, kecuali tiga ratus jurus yang disebutkan itu, mungkin aku terkalahkan olehnya….”
Dalam beberapa jurus itu, lantaran ia mengalah dan cuma memakai tujuh bagian tenaganya, Oey
Yok Su berada di bawah angin, itulah sebabnya ia heran. Maka selanjutnya ia bersilat dengan ilmu Lok Eng Ciang.
Kwee Ceng sekarang benar-benar bukan Kwee Ceng yang dulu. Yok Su telah mencoba belasan jurus, namun pemuda itu belum bisa diunggulinya.
Ia menukar dengan belasan macam jurus lagi, tetapi masih belum berhasil juga. Demikianlah puluhan jurus telah dilewatkan .
Setelah seratus jurus lebih, Kwee Ceng yang jujur bertindak alpa, ia nyaris kena tendang- kaki kiri lawan. Syukurlah ia keburu melompat mundur, tapi karena itu kedudukan kedua pihak jadi se-imbang.
Oey Yok Su menarik napas lega. “Hebat,” pikir-nya. Baru setelah menggunakan tipu ia bisa meng-ubah keadaan, tapi untuk menang di atas angin ia mesti bekerja lebih keras lagi. Setelah pengalaman pertamanya itu Kwee Ceng memasang kedudukan kokoh teguh, biar diserang bagaimana juga, ia tetap membela diri. la telah mengambil sikap, walaupun tidak menang asal jangan sampai kalah.
“Dua ratus tiga!” Oey Yong menghitung. “Dua ratus empat!”
Oey Yok Su menjadi bingung juga.
“Tangan sf Pengemis Tua lihai, bagaimana kalau dia dapat merobohkan muridnya dalam tempo se-ratus jurus?” pikirnya. “Di mana aku mesti me-naruh mukaku?’
Maka kembali ia bekerja keras untuk menyerang hebat.
Baru sekarang Kwee Ceng terdesak, malahan ia hampir sukar bernapas. Ia merasa seperti tertindih gunung, matanya mulai kabur.
Oey Yok Su menyerang hebat sekali, cepat serangannya itu, tetapi sang wasit, putrinya sendiri, juga cepat sekali hitungannya. Saat Kwee Ceng merasa bibir dan lidahnya kering, kaki dan tangan-nya lemas, hingga ia akan berseru menyerah kalah.
mendadak terdengar suara nyaring si nona, “Tiga ratus!”
Segera muka Oey Yok Su memucat, ia melompat mundur.
Kwee Ceng menderita hebat sekali. Matanya kabur, kepalanya pusing, kaki dan tangannya ke-hilangan tenaga. Pertempuran telah berhenti, tapi ia belum berhenti bergerak, ia berputar-putar dan terhuyung-huyung, hampir ia roboh ketika sadar bahaya yang mengancam dirinya. Mendadak ia menancapkan kaki kirinya dengan tipu Cian Kin Twi, Berat Seribu Kati. Baru sekarang ia dapat berdiri tegak. Untuk memulihkan kesegarannya, tangan kanannya bergerak; dengan ilmu silat Hang Liong Sip-pat Ciang ia menyerang sepuluh kali.
Otaknya lantas menjadi jernih. Ia diam sejenak, terus berkata, “Tuan Oey, beberapa jurus lagi pastilah aku roboh…!”
Sesat Timur malu dan sedih, ia sedikit men-dongkol, tetapi menyaksikan ketangguhan anak muda itu ia berbalik menjadi girang. Luar biasa pemuda itu dapat bertahan dari serangannya dengan tipu silat Ki-bun Ngo-coan, yang telah dipahaminya selama belasan tahun. Dengan ilmu itu ia biasa membikin letih lawannya.
“Pengemis Tua,” katanya pada Ang Cit Kong, “aku tak berguna, kaulah yang mendapatkan gelar orang gagah nomor satu di kolong langit ini!” Ia memberi hormat, terus memutar tubuh untuk berlalu.
“Tunggu dulu, tunggu dulu!” kata Cit Kong.
“Segala di dunia bagaikan catur, perubahannya tak dapat diterka….” Ia lantas mengliampiri Kwee Ceng, melemparkan tongkatnya, lalu dari pinggangnya ia menghunus sebilah pedang yang diserahkannya pada Kwee Ceng. Ia berkata, “Kau menggunakan senjata, aku akan melawanmu dengan tang’an ko-song!”
Kwee Ceng melengak.
“Suhu….” katanya, “mana…”
“Ilmu silat tangan kosongmu aku yang meng-ajarkannya. Kalau kau menggunakan kepalanmu, apa itu namanya pihuT kata si orang tua. “Majulah!”
Kata-kata ini disusul dengan sambaran tangan kiri untuk merampas pedang Kwee Ceng.
Kwee Ceng tidak dapat menerka maksud gurunya itu, ia melepaskan pedangnya, tidak melawan.
“Anak tolol!” damprat Cit Kong. “Kita sedang pibu, tahu!”
Ia menyerahkan kembali pedang itu dengan tangan kirinya, tapi tangan kanannya merampas lagi.
Kali ini Kwee Ceng menghindarkan pedang itu hingga tidak terampas.
“Satu!” Oey Yong lantas menghitung.
Ang Cit Kong langsung menggunakan Hang Liong Sip-pat Ciang. Tentu saja ia hebat luar biasa.
Sambaran-sambaran anginnya sedemikian rupa, hingga meskipun bersenjatakan pedang Kwee Ceng tidak dapat mendekati lawannya ini. Sebenarnya si anak muda tidak biasa menggunakan senjata, tapi setelah didesak Auwyang Hong di rumah batu, ia jadi pandai menggunakannya. Tapi berbeda dari orang-orang lain, ia menggunakan kepandaian senjatanya delapan bagian untuk pembelaan diri, dua bagian untuk penyerangan. Dari Kanglam Cit Koay ia memperoleh apa yang dinamakan “kepandai-an kasar”. Setelah mendapatkan Kiu Im Cin Keng baru ia memperoleh kemajuan yang berarti, sekarang ditambah dengan kepandaiannya dalam menggunakan senjata. Menghadapi Auwyang Hong, ia membela diri dari serangan tombak kayu, sekarang ia membela diri dari serangan tangan kosong.
Ang Cit Kong girang mendapati muridnya dapat bertahan demikian bagus.
“Anak ini dapat maju, tak kecewa aku mendidiknya.” pikirnya. “Tapi kalau aku merobohkan-
nya dalam dua ratus jurus, itu jelek untuk si Sesat’
Tua. Lebih baik aku menanti sampai dua ratus jurus lebih, baru aku menggunakan tangan berat….”
Lalu Pengemis Utara menggunakan ilmu silat tiang Liong Sip-pat Ciang, Delapan Belas Jurus Menaklukkan Naga. Ia mengurung muridnya, angin serangannya mendesir-desir.
Dalam sikapnya ini Ang Cit Kong telah membuat kekeliruan. Kalau ia terus mendesak, mungkin Kwee Ceng kewalahan dan perlawanannya patah. Tapi ia mengulur tempo, mau menanti hingga dua ratus jurus. Ia lupa Kwee Ceng orang muda, tenaganya sedang penuh. Apalagi setelah mempelajari Kiu Im Toan Kut Pian, pemuda itu telah maju jauh sekali.
Sebaliknya Cit Kong sendiri orang tua, jadi tidak dapat beradu ulet. Demikianlah, ketika ia sudah menyerang hingga sembilan putaran, atau artinya 162 jurus, serangannya tidak dahsyat lagi seperti semula. Bahkan sesudah sampai jurus kedua ratus, di samping tangan kanannya memegang pedang, tangan kiri Kwee Ceng jadi semakin hebat.
“Ini hebat,” pikir si Pengemis Utara yang merasa tidak tenang. Tapi ia orang yang berpengalaman, ia tahu ia tidak bisa beradu tenaga, maka terpaksa ia menggunakan akalnya dan mementang terbuka kedua lengannya.
Kwee Ceng dapat melihat perubahan itu, ia heran.
“Ini jurus yang belum pernah Suhu ajarkan padaku…,” pikirnya. Kalau menghadapi orang lain, tentu ia lelah merangsek ke nong-kiong^ tengah, .untuk menyerang dada. Namun menghadapi guru-nya, ia tidak bisa bertindak telengas. Karena itu ia mesti berpikir dulu untuk menyerang.
“Tolol!” tegur si guru. “Kau teperdaya!”
Mendadak kaki kiri sang guru melayang naik, menendang pedang muridnya hingga terlepas, sedangkan tangan kanannya menyambar ke pundak.
la lianya menggunakan delapan bagian tenaganya, karena tidak berniat melukai si murid. Ia yakin muridnya akan roboh dan ia sendiri akan menang.
Tapi ia keliru.
Walaupun muda, Kwee Ceng telah banyak pengalaman, tubuhnya sering menderita, hal itu bagaikan semacam latihan untuknya. Hajaran itu hanya membikin ia terhuyung beberapa langkah dan membuat pundaknya terasa sakit, tidak sampai membikin ia roboh. Maka kagetlah si guru yang lantas berseru, “Lekas kibaskan tanganmu tiga kali, lalu sedot napas, nanti kau terluka dalam!”
Kwee Ceng menurut. Benar saja, ia langsung merasa lega.
“Saya menyerah,” katanya.
“Tidak!” kata guru itu. “Kalau kau menyerah,si Sesat Tua mana puas! Sambutlah!” Tangannya lantas menyambar.
Sekarang Kwee Ceng tidak mempunyai senjata, ia mesti melawan dengan tangan kosong. Ia menghindar dengan jurus Kong-beng-kun ajaran Ciu Pek Thong, semacam ilmu silat lunak yang paling lunak yang diciptakan Bocah Tua Nakal setelah ia membaca kitab Too Tek Keng bagian “Serdadu kuat bisa musnah, kayu kuat bisa patah, yang keras kuat jatuh di bawah, yang lunak lemas jatuh di atas.” Air adalah benda terlunak di kolong langit ini, tidak ada yang melebihinya, tetapi kuat serangannya tidak ada yang dapat menahan. Hang Liong Sip-pat Ciang adalah ilmu silat yang terkeras, maka mesti dilawan dengan ilmu yang terlunak. Tapi Kwee Ceng tidak melawan hanya dengan yang lunak, melainkan juga dengan yang keras, sebab di samping pandai Kong-beng-kun, Pukulan Memisah Diri, ia pun paham Hang Liong Sip-pat Ciang dari gurunya ini. Jadi kedua tangannya bergerak masing-masing, keras dan lunak.
Dengan begitu, gurunya kewalahan.
Oey Yong menonton sambil menghitung. Melihat tidak ada tanda-tanda Kwee Ceng bakal kalah, ia girang. Ia menghitung terus sampai 299.
Ang Cit Kong mendengar hitungan itu. Mendadak muncul tabiatnya yang suka menang sendiri, ia menyerang dengan jurus Kang Liong Yu Hui yang hebat sekali, bagaikan gunung roboh dan laut terbalik. Setelah itu ia menyesal, karena khawatir Kwee Ceng tidak dapat mempertahankan diri dan akan terluka parah, la berteriak, “Hati-hati!”
Kwee Ceng mendengar peringatan itu saat tangan gurunya sudah di depan mukanya, la kenal baik serangan itu, sebab waktu mempelajari Hang Liong Sip-pat Ciang, itulah jurus pertamanya. Ia mengerti bahwa tidak ada jurus Kong-beng-kun yang dapat menghindari serangan itu, maka ia menggunakan jalan keras lawan keras, ia menyambut dengan Kang Liong Yu Hui juga.
Tidak ampun lagi kedua tangan beradu keras, hingga terdengar bunyi nyaring. Sebagai akibatnya, tubuh kedua orang itu sama-sama bergetar.
Oey Yok Su dan putrinya terkejut, hingga mereka berseru, keduanya melangkah menghampiri.
Guru dan murid itu seperti berpegangan, tangan mereka bagaikan menempel satu sama lain. Kwee Ceng mempertahankan diri. ia lantas tahu, kalau mengalah ia akan terluka parah. Ia tahu baik bahwa gurunya lihai. Maka ia hendak menanti sampai tangan gurunya sudah tidak begitu membahayakan, baru ia mau menyerah kalah.
Ang Cit Kong kaget berbareng girang mendapati muridnya bisa bertahan, segera timbul rasa sayangnya, hingga berkuranglah tabiat suka menang sen-dirinya. Ia lantas memikirkan cara untuk mengalah supaya muridnya mendapat nama. Maka pelan-pelan ia memperlunak tenaganya.
Tepat selagi guru dan murid itu tidak menang dan tidak kalah, dari balik jurang terdengar tiga kali seruan nyaring, dibarengi munculnya seorang yang berjungkir balik hingga tiga kali. la adalah Racun Barat Auwyang Hong, yang muncul lagi tiba-tiba.
Kwee Ceng dan Ang Cit Kong mengendurkan tenaga mereka berbareng serta melompat mundur.
dengan begitu mereka bisa mengawasi si Racun Barat yang bajunya robek rubat-rabit dan mukanya berlepotan darah. Kembali orang itu berteriak, “Raja Langit telah tiba! Giok Hong Taytee turun ke bumi!” Lantas dengan tongkat ularnya ia merabu keempat orang yang berada di situ.
Ang Cit Kong menjumput tongkatnya, lalu me-nangkis, hingga mereka jadi bertempur. Setelah beberapa jurus, ia heran. Oey Yok Su, Kwee Ceng, dan Oey Yong juga tidak kurang herannya.
Aneh sekali kelakuan Racun Barat ini. la berkelahi tetapi adakalanya mencakar muka sendiri, me-nyentil, mendepak kempolannya sendiri, atau tengah menyerang, mendadak ia menarik pulang serangan-nya untuk diubah dengan jurus yang lain.
Menyaksikan demikian, Ang Cit Kong mengambil sikap membela diri.
Lewat beberapa jurus kembali Auwyang Hong memperlihatkan keanehannya. Beruntun tiga kali ia menggaplok mukanya sendiri, hingga terdengar suara nyaring diikuti jeritannya yang keras. Setelah itu mendadak ia melonjorkan kedua tangannya untuk merayap di depan Cit Kong.
Pengemis Utara girang. Ia berpikir, “Menyerang anjing adalah keistimewaan tongkatku ini. Sekarang kau bersikap seperti anjing, bukankah kau meng-antarkan dirimu sendiri masuk ke jaring?” Ia me-nusuk pinggang lawannya itu.
Sekonyong-konyong Auwyang Hong membalik-kan tubuh, dengan begitu ia menindih ujung tong-kat, terus menggelindingkan tubuhnya mendaki tongkat. Cit Kong terkejut hingga tongkatnya ter-lepas. Menyusul itu, tubuh Racun Barat mencelat tinggi, kedua kakinya berbareng menendang ke arah kedua mata lawannya,
Cit Kong terkejut, ia melompat mundur.
Oey Yok Su maju seraya mencabut pedangnya, lalu menusukkannya pada si Racun Barat.
“Toan Hongya, aku tak takut It Yang O’-mu!”
kata Auwyang Hong yang menangkis, tapi terus merangsek untuk menubruk.
Oey Yok Su mengerti jago dari See Hek ini sedang kacau pikirannya, namun heran, serangannya justru lebih hebat daripada waktu ia sadar, la tentu tidak tahu, karena Auwyang Hong belajar Kiu im Cin Keng palsu yang sangat menyita pikiran dan tenaganya, ia menjadi tersesat, tetapi karena bakatnya baik dan ilmu silatnya sudah tinggi, sesat atau tidak, ia telah memperoleh kemajuan yang luar biasa, hingga dua orang kosen ini menjadi kewalahan.
Selang beberapa puluh jurus, Oey Yok Su keteter hingga mesti mundur. Tempatnya segera diambil alih Kwee Ceng yang maju dengan pedangnya.
Tiba-tiba Racun Barat menangis dan berkata, “Oh, anakku, kau mati sangat mengenaskan….”
Tiba-tiba ia melemparkan tongkat ularnya untuk melompat dan merangkul anak muda di depannya.
Kwee Ceng tahu tentunya ia disangka Auwyang Kongcu. Karena mendengar jeritan dan keluhan orang itu, ia menjadi tidak tega menurunkan tangan jahat. Di lain pihak, ia juga takut. Maka ia meng-ulurkan tangannya untuk menolak.
Auwyang Hong lihai sekali. Walaupun ia ber-kelakuan aneh, gerakannya sangat gesit, tangan kirinya lantas memegang lengan Kwee Ceng dan tangan kanannya memeluk. Si anak muda meronta, tapi kalah tenaga, ia tidak berhasil meloloskan diri.
Ang Cit Kong dan Oey Yok Su terkejut, keduanya melompat maju untuk menolong. Dengan It Yang Ci Cit Kong menotok jalan darah hongbwee-hiat di punggung Racun Barat agar Kwee Ceng dilepaskan.
Arah aliran darah Auwyang Hong telah bertentangan, sehingga ia tidak dapat ditotok. Totokan itu tidak terasa olehnya, ia tidak menghiraukannya.
Oey Yong memungut batu untuk menyerang kepala Auwyang Hong, tetapi tangan kanan si Racun Barat meninju batu itu sampai terpental masuk ke jurang. Karena itu, Kwee Ceng dapat memberontak sambil terus melompat mundur.
Oey Yok Su juga sudah menyerang si edan itu.
Auwyang Hong tidak lagi memakai ilmu silat biasa, tetapi hebat bukan main, sering ia memiringkan tubuh, atau berdiri tegak, atau menjatuhkan diri tengkurap dengan sebelah tangannya menekan tanah, hingga tangannya yang lain dapat digunakan untuk berkelahi terus. Tentu saja cara berkelahi itu sulit dilayani Sesat Timur.
Oey Yong khawatir ayahnya akan salah tangan maka ia berteriak, “Suhu, menghadapi orang edan ini jangan kita pakai aturan lagi, mari kita keroyok dia!”
“Di waktu biasa, kita bisa berbuat begitu untuk membekuknya,” kata Ang Cit Kong. “Tapi sekarang adalah hari pibu di Hoa San ini. Dunia tahu kita mesti bertempur satu lawan satu, kalau sekarang kita mengepungnya, kita bakal ditertawakan orang kangouw”
Selagi Pengemis Utara bicara, serangan aneh Auwyang Hong bertambah dahsyat, bahkan orang itu meludahi Oey Yok Su hingga majikan Pulau Persik itu gelagapan dan melangkah mundur.
Sehabis itu Auwyang Hong menyerang sambil membungkuk, berarti ia tidak melihat ke atas. Oey Yok Su girang melihatnya, dalam hati ia berkata, “Dasar dia edan, dia kacau!” Langsung ia menotok jalan darah genghiang-hiat.
Totokan itu baru mengenai kulit muka, tapi mendadak Auwyang Hong menyambar dengan mulut-nya, menggigil jari telunjuk penyerangnya. Dalam kagetnya Oey Yok Su segera menyerang dengan tangan kirinya ke jalarr darah tayyong-hiat. Tapi Auwyang Hong juga sebat sekali, ia menangkis dengan tangan kanannya dan memperkeras gigitannya.
Kwee Ceng maju berbareng bersama Oey Yong, masing-masing dengan pedang kayu dan tongkat bambu. Baru sekarang Auwyang Hong melepaskan gigitannya, tapi sebagai gantinya, ia mencakar ke muka si nona, untuk itu ia memakai kedua tangannya atau kesepuluh jarinya. Selagi berbuat begitu ia memperlihatkan roman bengis sekali, sedangkan mukanya berlepotan darah.
Oey Yong kaget hingga menjerit, ia melompat ke samping. Tapi ia disusul.
Kwee Ceng menggempur punggung jago dari See Hek itu, ia menangkis. Dengan begitu barulah Oey Yong lolos dari ancaman bahaya.
Baru belasan jurus si anak muda melayani orang edan itu, pundak dan pahanya beberapa kali kena hajar, syukur tidak berbahaya.
“Anak Ceng, mundur!” kata Cit Kong. “Biar aku yang mencoba melayaninya!”
Pengemis Utara melompat maju, hingga ia bertempur lagi melawan Racun Barat. Kali ini mereka bertempur lebih hebat daripada tadi. Setelah menyaksikan serangan orang itu terhadap Oey Yok Su dan Kwee Ceng, Cit Kong melihat masih ada jalan untuk menghadapi ilmu silat kacau Auwyang Hong itu, maka sekarang ia melawan dengan perhatian. Kap-mo-kang digunakan si Racun Barat secara bertentangan, yang mestinya ke kanan menjadi ke kiri, yang mestinya ke atas menjadi ke bawah, demikian seterusnya. Umumnya, tujuh dalam sepuluh, gerakan itu tidak meleset. Maka, meski keteter Cit Kong bisa juga balas menyerang, satu kali melawan tiga kali.
Oey Yok Su juga memperhatikan ilmu silat Racun Barat itu. Selagi anaknya mengurus lukanya, ia meneliti lebih jauh. Dalam hal ini, ia lebih cerdas daripada Ang Cit Kong, maka ia pun lantas menemukan cara menghadapi ilmu itu. Segera ia mengajari Cit Kong berulang-ulang, “Cit Kong, tendang dia! Hajar dia pada jalan darah ki-koat.
Serang jalan darah thian-cui” Semua petunjuk ini diberikan selagi semua jalan darah itu terbuka.
Sebagai penonton, Oey Yok Su dapat melihat jelas sekali.
Ang Cit Kong menuruti petunjuk itu, maka tidak lama kemudian kedudukannya seimbang de-ngan lawannya. Meski begitu Cit Kong dan Yok Su jengah sendiri, sebab mereka berdua mesti mengepung Racun Barat.
Suatu ketika Cit Kong mendapat kesempatan untuk bisa menghajar Racun Barat dengan tepat, namun tiba-tiba Auwyang Hong kembali meludah, hingga Cit Kong batal menyerang dan mesti ber-kelit. Lalu ia dirabu dan diludahi lagi hingga gelagapan. Biarpun cuma ludah, tapi bisa merusak mata bila mengenainya. Si pengemis tidak sudi mandah begitu saja. Tidak ada jalan lain, ia me-nangkap ludah itu dengan tangannya, lantas terus menyerang.
Baru beberapa jurus kembali Auwyang Hon meludah.
Rupanya inilah siasatnya untuk mengacaukan lawan.
Cit Kong mendongkol sekali. Ia merasa dirinya seperti dihina. Ia juga jijik dengan ludah Racun Barat yang masih melekat di tangan kanannya, karena sangat repot, ia tidak sempal mengusapkan tangannya ke bajunya.
“Kena!” serunya mendadak setelah lewat beberapa jurus. Tangan kanannya menepuk muka Auwyang Hong. Tampaknya ia hendak memulas muka orang itu dengan ludahnya sendiri, tidak tahunya diam-diam ia hendak menotok dengan It Yang Ci, totokan istimewa untuk menaklukkan Kap-mo-kang.
Meski seperti gila, Auwyang Hong sebenarnya sangat gesit dan dapat berpikir, la menanti tibanya tepukan tangan lawan. Ketika jari-jari tangan Cit Kong dikeluarkan untuk menotoknya, ia hendak menyambut dengan gigitannya seperti sebelumnya ia menggigit tangan Oey Yok Su.
Oey Yok Su, Kwee Ceng, dan Oey Yong yang pasang mata jadi terkejut. Mereka melihat berke-lebatnya gigi putih Racun Barat. Ketiganya lang-sung berteriak, “Awas!”
Mereka lupa bahwa Ang Cit Kong, yang ber-julukan Kiu Ci Sin Kay si Pengemis Aneh Berjari Sembilan, sudah tidak mempunyai telunjuk kanan, yang telah dikutungtnya sendiri untuk mengurangi keserakahannya gegares. Ketika Auwyang Hong menggigit sasaran kosong, seluruh gigi atas dan gigi bawahnya bercatrukan keras sekali.
Inilah kesempatan yang paling baik, Ang Cit Kong tidak mau menyia-nyiakannya. Selagi mulut Racun Barat terkatup rapat, Cit Kong mengeluarkan jari tengahnya untuk http:kangzusi.com menotok jalan darah tee- chong-hiat di pinggir mulut lawannya.
Ong Tiong Yang dan Toan Hongya biasa meng-gunakan telunjuk, tetapi Cit Kong tidak mem- punyainya, maka ia menggunakan jari tengah sebagai pengganti. Auwyang Hong tidak menyangka, maka ia menggigit seperti biasa untuk menyambut totokan, tidak tahunya ia kehilangan sasaran.
Melihat Cit Kong berhasil, Oey Yok Su bertiga akan berseru girang, namun sebelum itu tiba-tiba mereka tersentak. Mendadak Pengemis Utara ber-jumpalitan roboh ke tanah, sedangkan Racun Barat terhuyung mundur beberapa langkah, gerakannya mirip orang mabuk. Setelah dapat berdiri tegak, ia tertawa terbahak sambil melengak.
Sudah diketahui bahwa jalan darah Auwyang Hong telah bertentangan semuanya, maka totokan Ang Cit Kong bukan mengenai tee-chong-hiatt tapi justru jalan darah besar ciok-yang-beng wi-keng. Tapi waktu ditotok tubuh Racun Barat Cuma mati sedetik, sehabis itu ia pulih seperti biasa.
Maka ia sebat luar biasa balas menghajar pundak lawannya.
Cit Kong melihat serangan itu. ia tidak sempat menangkis, ia lantas berkelit. Benar ia kena hajar, tapi karena sembari berkelit, ia bisa membuang diri dengan berjumpalitan. Tentu saja ia tidak menyerah begitu saja. sambil berkelit tadi ia ber-bareng menyerang dengan jurus Kian Liong Cay Tians tapi karena kenanya tidak telak, Racun Barat cuma terhuyung.
Cit Kong tidak terluka parah. Sejenak tubuhnya terasa kaku, ia tidak dapat lantas bergerak leluasa, tidak dapat segera maju lagi. Karena orang ternama, ia malu dengan kekalahannya, maka setelah bangun lagi ia memberi hormat pada Racun Barat seraya berkata, “Saudara Auwyang, aku si pengemis tua takluk padamu, kaulah orang kosen nomor satu di kolong langit ini!”
Auwyang Hong mendongak, ia tertawa lama.
Kemudian ia mengulap-ulapkan kedua tangannya ke udara.
“Toan Hongya.” katanya pada Oey Yok Su, “kau takluk atau tidak padaku?”
Sesat Timur mendongkol sekali, dalam hati ia berkata. “Bagaimana bisa gelar orang gagah nomor satu di kolong langit ini dirampas orang edan?
Bagaimana kami bisa menemui orang banyak?”
Meski begitu ia menginsafi kenyataan, la tidak bisa melawan jago dari Barat ini. Maka akhirnya ia mengangguk. Ia pun tidak peduli dipanggil Toan Hongya oleh si edan itu.
Auwyang Hong lantas berpaling pada Kwee Ceng.
“Nak,” katanya, “ilmu silat ayahmu sangat lihai, di kolong langit ini tak ada tandingannya lagi, kau girang atau tidak?”
Orang-orang merasa aneh mendengar RacunBarat memanggil anak pada keponakannya. Itu tidak mengherankan, karena tidak seorang pun mengetahui rahasianya. Sebenarnya Auwyang Kongcu dilahirkan oleh kakak ipar Auwyang Hong setelah berbuat serong dengannya, maka walaupun bagi orang luar mereka itu anak dan keponakan, sebenarnya mereka adalah ayah dan anak. Ia belum sadar, ia masih menganggap Kwee Ceng sebagai anaknya, seperti ia mengira Oey Yok Su adalah Toan Hongya. Setelah puluhan tahun, ia seolah membuka rahasianya sendiri dengan menyebut-nyebut anaknya itu.
Kwee Ceng jujur, tanpa menghiraukan panggilan orang itu ia berkata, “Kami semua tak sanggup mengalahkanmu.”
Auwyang Hong tertawa geli sekali.
“Nona mantuku yang baik, kau girang atau tidak?” ia bertanya pada Oey Yong sambil me-mandangnya.
Oey Yong tengah masygul, karena terpaksa me-nyaksikan ayahnya, Ang Cit Kong, dan Kwee Ceng dipecundangi Racun Barat, hingga ia me- mikirkan upaya untuk menghadapi orang kosen yang edan ini. Begitu sekarang ditegur si edan. Ia langsung menyahut, “Siapa bilang kau orang kosen nomor satu di kolong langit ini? Ada satu orang yang mesti kauhadapi, kau pasti tak sanggup me-ngalahkannya!”
Mendengar perkataan itu Auwyang Hong gusar hingga-menepuk dadanya.
“Siapa? Siapa dia?” tanyanya keras. “Suruh dia datang melawanku!”
Oey Yong menatap mata orang itu. Ia memusat-kan tenaganya untuk Uap Sim Tay-hoat ilmu mempengaruhi hati dari Kiu im Cin Keng yang semacam ilmu sihir. Selama rapat di Gunung Kun San, Telaga Tong Teng, ia telah mempergunakan ilmu itu terhadap Pheng Tianglo hingga pengemis itu tertawa tidak mau berhenti. Kalau diterapkan terhadap orang yang tenaga dalamnya cetek, ilmu itu gampang mempan; namun tidak demikian hal-nya terhadap orang lihai. Dalam kitab itu tercantum pesan bahwa ilmu itu tidak dapat sembarang digunakan, sebab bisa mencelakai diri sendiri. Tapi Oey Yong menggunakannya juga karena tidak menemukan cara lain, sedangkan Auwyang Hong tampaknya kacau pikirannya.
Dalam keadaan biasa, memang Auwyang Hong tidak dapat dipengaruhi Oey Yong, yang tenaga dalamnya kalah jauh, kalau dibalik ia bisa celaka.
Tapi sekarang ia sedang kacau, ia tidak dapat melawan. Sambil mengawasi ia masih bertanya, “Siapa? Siapa dia? Suruh dia datang melawanku!”
“Dia lihai luar biasa, kau pasti tak dapat melawannya!” kata Oey Yong, matanya tetap mengawasi tajam.
“Siapa? Siapa dia? Suruh dia datang melawanku!”
“Dia bernama Auwyang Hong!”
“Auwyang Hong?”
Racun Barat menggaruk-garuk kepalanya.
“Benar, Auwyang Hong! Kau boleh lihai, tapi kau tak bakal dapat melawan Auwyang Hong!”
Kacau pikiran Racun Barat. Ia merasa mengenal baik nama Auwyang Hong itu, tetapi tidak dapat mengingatnya. Ia cuma merasa Auwyang Hong itu sangat berdekatan dengannya, hanya entah siapa….
“Sebenarnya siapa aku ini?” tanyanya kemudian.
“Kau adalah kau!” jawab Oey Yong tertawa dingin, matanya terus menatap. “Kau sendiri tak tahu, mengapa kau menanyaiku?”
Auwyang Hong bingung. Ia seperti berpikir keras untuk mengetahui siapa dirinya sendiri. “Aku ini siapa? Sebelum dilahirkan, aku ini apa? Setelah mati, aku ini apa?’ Lalu ia bertanya lagi, “Sebenar-nya aku siapa? Aku berada di mana? Aku kenapa?”
“Auwyang Hong mau mencarimu untuk mengadu kepandaian!” kata si nona. “Dia hendak merampas kitabmu, kitab Kiu Itn Cin Keng”
“Mana dia sekarang? Dia ada di mana?”
“Itu dia, di belakangmu!” jawab Oey Yong sambil menurfjuk ke belakang Racun Barat.
Auwyang Hong memutar tubuhnya cepat luar biasa, lantas melihat bayangannya sendiri yang berdiri di belakangnya. Ia melengak.
“Lihat, dia hendak menghajarmu!” kata Oey Yong cepat.
Auwyang Hong mendak, segera menyerang- Karena ia bergerak, bayangannya turut bergerak. Ia terkejut. Segera ia menyerang lagi, tangan kiri dan kanannya bergantian. Ia bergerak sangat cepat, bayangannya bergerak- sama cepatnya. Satu kali ia melompat berkelit, tubuhnya diputar hingga ia menghadap matahari. Sudah tentu ia kehilangan bayangannya.
“Hai. kau lari ke mana?” teriaknya. Ia melesat ke kiri.
Di sebelah kirinya ada lereng, di situ terlihat bayangannya. Tidak ayal lagi Auwyang Hong meninju. Tentu saja ia menghajar batu gunung. Ia merasa sakit bukan main dan berteriak, “Kau sangat lihai!” la lantas menendang. Tentu saja ia berjengit sendiri, sebab ia menendang gunung dan kakinya terasa sakit sekali seperti kepalannya barusan. Sekarang ia jadi jeri sendiri. Mendadak ia memutar tubuhnya dan lari.
Karena berlari ke arah matahari, ia tidak melihat bayangannya lagi. Setelah lari beberapa tombak, ia menoleh. Ia kaget melihat bayangannya berada di belakangnya dan berteriak, “Biar kau saja yang menjadi orang kosen nomor satu di kolong langit ini! Aku menyerah kalah!”
Karena ia berhenti lari dan tidak bergerak, bayangannya pun diam. Ia tidak berkata apa-apa lagi, ia memutar tubuh lagi untuk berlalu. Namun ia masih menoleh, hingga melihat bayangannya itu mengikutinya. Ia menjadi kaget dan takut, lantas berlari sekeras-kerasnya sembari menjerit-jerit. Ia menuruni gunung, sampai sekian lama masih terdengar jeritannya, “Jangan kejar aku! Jangan kejar aku!”
Oey Yong dan Ang Cit Kong saling mengawasi,
sama-sama menghela napas. Mereka tidak menyangka, demikian rupa nasib jago yang lihai sekali.
Oey Yong duduk bersila. Sehabis mengerahkan tenaga dan pikirannya demikian keras, ia letih.
Setelah sekian lama bersemadi, ia baru bangkit.
Suara Auwyang Hong kadang-kadang masih terdengar, tetapi ia sudah terpisah dari mereka beberapa ‘. Yang terdengar adalah kumandangnya.
“Dia tak bakal hidup lebih lama lagi,” kata Cit Kong.
“Aku… aku siapa ya?” mendadak Kwee Ceng bertanya seorang diri.
Oey Yong terkejut. Ia mengira pemuda tolol ini tentunya telah dibikin bingung oleh Racun Barat.
“Kau Kwee Ceng! Kau Kakak Ceng!” kata Oey Yong lekas-lekas. “Jangan pikirkan dirimu, pikirkan diri orang lain!”
Anak muda itu melengak. lalu sadar.
“Benar!” katanya. “Suhu, Tuan, mari kita turun gunung!”
“Anak tolol!” bentak Cit Kong. “Kau masih memanggilnya Tuan! Nanti kau kugaplok!”
Kwee Ceng melengak, ia menatap Oey Yong yang tersenyum.
“Ayah Mertua!” panggilnya kemudian dengan jengah.
Oey Yok Su tertawa, rupanya ia senang dipanggil Ayah Mertua. Ia menarik tangan anak gadisnya, lalu menarik tangan menantunya itu. dan berkata pada Pengemis Utara, “Saudara Cit, hari ini barulah kita berdua mengerti, ilmu silat itu tak ada batas habisnya, jadi di kolong langit ini juga tak ada orang kosen nomor satu!”
“Tapi aku berani bilang ilmu masak Anak Yong paling hebat!” kata Pengemis Utara tanpa ditanya.
Oey Yong tersenyum.
“Jangan puji-puji aku!” katanya. “Mari kita lekas-lekas turun gunung! Kalian akan kumasakkan beberapa macam hidangan!”
PENUTUP
OEY YONG berempat tiba di kaki gunung, lalu mereka mencari penginapan. Si nona benar-benar menepati janjinya, ia memasak berbagai hidangan lezat terutama untuk gurunya. Malamnya mereka beristirahat di dalam dua kamar, Oey Yok Su bersama putrinya, dan Ang Cit Kong bersama Kwee Ceng. Keesokan paginya ketika mendusin.
Kwee Ceng tidak melihat gurunya. Di atas meja ia melihat tiga huruf yang terukir dalam: “Aku telah pergi” Jelas tulisan itu diukir dengan jari. La heran, lekas-lekas ia pergi ke kamar mertuanya untuk memberitahukan kepergian gurunya itu.
Oey Yok Su menghela napas.
“Biarlah!” katanya. “Memang demikian sepak terjang Saudara Cit, seperti naga sakti yang kepalanya tampak tapi ekornya tidak…!” Kemudian ia melirik si pemuda dan anak gadisnya, lantas meneruskan berkata, “Anak Ceng, ibumu telah me¬nutup mata, maka sekarang orang yang paling dekat denganmu tinggallah gurumu, Kwa Tin Ok, Maka sebaiknya kau turut aku pulang ke Pulau Persik, di sana kau mohon gurumu itu menjadi wali agar merampungkan pernikahanmu dengan Yongji.”
Kwee Ceng sedih berbareng girang sampai tidak bisa bilang apa-apa, melainkan mengangguk berulang-ulang.
Oey Yong hendak mengatai kekasihnya itu tolol, tapi batal karena ada ayahnya. Ia diam saja sambil melirik ayahnya.
Tiga orang ini memulai perjalanan pulang ke Pulau Persik. Sepanjang jalan mereka menggunakan kesempatan untuk menikmati keindahan alam. Mereka menuju tenggara. Suatu hari tibalah mereka di selatan jalan perbatasan antara timur dan barat Provinsi Ciatkang. Itu berarti Pulau Persik sudah tidak jauh lagi. Begitu sampai di situ mereka mendengar suara burung rajawali di udara, lantas terlihatlah sepasang burung itu terbang mendekat dari utara.
Kwee Ceng girang sekali, lantas memanggil.
Kedua burung itu menghampirinya lalu menclok di pundaknya.
Ketika meninggalkan Mongolia, anak muda ini tidak sempat membawa burung-burung itu, maka bisa dimengerti kegirangannya. Ia mengusap-usap kedua rajawali itu. Tiba-tiba ia melihat ada sesuatu di kaki burung yang jantan. Ternyata itu sehelai kulit yang digulung kecil sekali, la membuka simpul tali pengikatnya, lalu membeberkannya, hingga terlihat ukiran huruf-huruf berikut:
Angkatan perang kami berangkai berperang ke Selatan dan akan menyerang kota Siangyang.
Berhubung dengan itu, karena aku tahu kau sangat setia pada negara, dengan menempuh bahaya aku menyampaikan kabar ini padamu. Aku telah menyebabkan kematian ibumu yang sangat menyedihkan, aku malu bertemu lagi denganmu, maka sekarang aku berangkat ke Barat, di daerah yang terasing, untuk tinggal bersama kakak sulungku.
Seumur hidup aku tidak akan kembali ke negeriku.
Kuharap kau menjaga diri baik-baik, semoga kau panjang umur!
Surat itu tanpa alamat dan tanpa tanda tangan, tetapi Kwee Ceng tahu itu surat Putri Gochin Baki.
la menyalin surat itu untuk memberitahu Oey Yok Su dan Oey Yong, kemudian ia bertanya pada mertuanya, tindakan apa yang harus mereka ambil.
“Kita sekarang berada dekat dengan kota Lim-an,” kata Oey Yok Su. “Tapi jika kita menyampaikan berita pada pemerintah, artinya kita terlambat.
Pemerintah pasti bertindak sangat pelan dan kota Siangyang terancam bahaya. Kuda merahmu kencang larinya, berangkatlah langsung ke Siangyang untuk menemui kepala perang di sana. Umpama dia mau mendengar nasihat, bantulah dia membela kota itu bersama. Sebaliknya, kalau dia menentang, hajar mampus dia, lantas gantikan dia. Kau bekerja sama dengan semua pasukan dan rakyat kota itu, melawan angkatan perang Mongolia. Aku akan pulang bersama Yongji, di Pujau Persik aku menantimu.”
Kwee Ceng menerima baik perkataan mertuanya.
Oey Yong diam tetapi tampak tidak senang.
Oey Yok Su melihat roman muka anak gadisnya, ia tertawa.
“Baiklah, Yongji, kau boleh pergi bersamanya!”
ia berkata. “Begitu urusan beres, kau mesti lekas pulang. Jangan pedulikan seandainya pemerintah memberi ganjaran padamu.”
Gadis itu girang sekali.
“Itu pasti!” sahutnya.
Lantas sepasang muda-mudi ini berangkat ke barat, mereka melarikan kuda mereka. Kwee Ceng tidak mau ayal-ayalan, ia khawatir musuh akan keburu sampai. Jika kota Siangyang pecah, celakalah penduduk kota itu. Ia menginsafi kekejaman tentara Mongolia.
Suatu malam mereka singgah di dekat perbatasan selatan Liang-ciat dan barat Kanglam. Si pemuda duduk diam, pikirannya kusut. Ia teringat bunyi surat Putri Gochin, maka ia teringat juga saat ia dan putri itu masih sama-sama kecil, mereka hidup rukun hingga besar. Si nona membiarkan pemuda itu berpikir, ia sendiri duduk menjahit bajunya.
“Yongji,” tiba-tiba si anak muda bertanya, “dia menulis bahwa ibuku mati mengenaskan dan dia tak punya muka menemuiku lagi. Kau tahu apa artinya itu?’
“Ayahnya memaksakan kematian ibumu, sudah tentu dia tak tega dan sedih karenanya,” sahut si nona. “Tentu dia sangat menyesal.”
Kwee Ceng diam, membayangkan kematian ibunya itu. Mendadak ia melompat bangun, tangannya menepuk meja keras sekali.
“Aku tahu sekarang!” serunya. “Kiranya demikian!”
Oey Yong terkejut, jarum yang dipegangnya menusuk jarinya hingga berdarah.
“Eh, kau kenapa?” ia bertanya sambil tertawa.
“Sekarang aku mengerti duduk persoalannya,” sahut si pemuda.
“Ketika aku dan ibuku membuka surat rahasia dari Jenghis Khan hingga kami memutuskan untuk pulang ke Selatan, di sana tak ada orang lain, tapi Jenghis Khan bisa tahu rencana itu, lantas memergoki dan menawan kami. Karena sudah putus asa, Ibu bunuh diri. Bagaimana rencana kami bisa bocor? Sekian lama aku memikirkannya, baru sekarang aku tahu. Jadi rupanya dialah yang membocorkan rencana kami pada ayahnya.”
Oey Yong menggelengkan kepalanya.
“‘Putri Gochin sangat mencintaimu, dia tak mungkin membocorkan rahasia itu hingga mencelakai-mu,” katanya.
“Tapi dia bukan hendak bikin celaka, dia Cuma hendak mencegah keberangkatanku. Dia berada di luar tenda, mendengar pembicaraan kami berdua, terus melaporkannya pada ayahnya. Dia yakin ayah-nya akan tidak mengizinkan kami berangkat, siapa tahu akibatnya adalah bencana hebat….”
Ia menghela napas.
“Karena dia berbuat tanpa sengaja, kau harus pergi ke Barat mencarinya!” kata Oey Yong.
Kwee Ceng menggeleng.
“Aku dan dia seperti kakak dan adik saja,” katanya. “Sekarang dia tinggal di wilayah Barat itu bersama kakaknya. Hidupnya mulia, buat apa aku pergi mencarinya?”
Oey Yong tertawa, hatinya girang.
Besoknya perjalanan dilanjutkan terus sampai suatu hari mereka tiba di Kecamatan Bu-leng di Kawedanan Liong-hin. Mereka melintasi Ok-lim dan Tiang Nia, mereka melihat pemandangan alam seperti semasa mereka bertemu dengan Cin Lam Khim di tempat mereka menangkap burung hiat niauw.
“Kakak Ceng,” kata Oey Yong tertawa. “Di mana saja berada kau main asmara, dan sekarang kau kembali akan bertemu dengan sahabat lamamu….”
“Jangan ngaco. apa itu sahabat lama dan bukan sahabat lama!” kata si pemuda yang polos.
Oey Yong tetap tertawa.
“Kalau umpama kembali turun hujan besar, dia pasti akan mengambil payung untuk memayungimu, bukannya aku!” ia menggoda.
Baru saja si nona menutup mulut, tiba-tiba terdengar suara kedua burung mereka yang mengikuti sembari terbang. Kedua rajawali itu terdengar gusar, lalu menukik ke dalam rimba dan lenyap.
“Mari kita lihat!” ajak Kwee Ceng. Ia menduga sesuatu.
Si nona juga menduga demikian.
Mereka melarikan kuda memutari rimba. Lantas mereka menampak kedua rajawali itu terus beterbangan, sedang bertarung dengan seseorang.
Anehnya, hiat-niauw. si burung api. juga ada di situ dan turut membantu bertarung.
“Bagus!” seru Oey Yong. Ia girang bertemu dengan burung yang sangat disayanginya itu.
Sekarang mereka melihat tegas, orang itu adalah Pheng Tianglo dari Kay Pang. Ia membela diri dengan memutar goloknya, maka ketiga burung tidak bisa mendekatinya. Tapi kemudian rajawali betina dapat menyambar ikat kepalanya dan mematuk kepala pengemis itu. Pheng Tianglo membacok, ia berhasil membabat bulu binatang itu hingga berhamburan.
Karena ikat kepala orang itu terlepas. Oey Yong dapat melihat sebagian kulit kepalanya yang tanpa rambut. Segera ia teringat, “Dulu burung ini terpanah dadanya dengan anak panah pendek, kiranya pengemis busuk inilah yang memanahnya. Ketika bertarung di Chee-liong-thoa, kedua burung ini membawa kulit kepala orang, jadi itu milik pengemis ini!
Oey Yong lantas memungut beberapa butir batu, berniat membantu burung-burungnya, tetapi belum sampai ia turun tangan ia sudah melihat burung api menyambar dan bacotnya yang panjang mematuk biji mata si pengemis. Orang itu sedang
melindungi kepalanya, tidak tahu burung kecil ini menyambar dari bawah. Ia kesakitan bukan main hingga menjerit, ia melemparkan goloknya, terus berlari masuk ke gerombolan duri. Untuk menyelamatkan jiwanya ia tidak memedulikan duri menusuk sana-sini.
Ketiga burung tidak dapat berbuat apa-apa lagi.
Hiat-niauw melihat si nona dan terbang menghampiri. Kedua rajawali masih terbang berputaran di atas gerombolan duri itu.
“Sebelah matanya sudah buta, beri dia ampun!”
kata Kwee Ceng pada kedua rajawalinya.
Setelah itu Kwee Ceng mendengar suara anak kecil beberapa kali. Ia heran hingga berseru tertahan. Suara itu datangnya dari sampingnya, tempat tumbuh rumput tinggi dan tebal. Langsung ia melompat turun dari kuda, berlari ke rerumputan itu dan menyibakkannya. la menemukan seorang anak kecil sedang duduk sendirian, kedua tangannya memegangi seekor ular berbisa yang meronta-ronta tapi tidak dapat meloloskan diri. Kwee Ceng kaget dan tercengang. Keheranannya semakin bertambah ketika ia melihat di samping anak itu terjulur
sepasang kaki wanita. Maka ia menyibakkan rerumputan di sana hingga mendapati seorang wanita berbaju hijau sedang tergeletak pingsan. Ia segera mengenali wanita itu sebagai Nona Lam Khim.
Karena khawatir ular itu akan mencelakai si anak, Kwee Ceng mengulurkan tangannya untuk menarik, namun anak itu sudah melemparkan ular berbisa itu. Binatang itu bergerak-gerak sebentar, lantas terdiam mati, sebab ternyata telah dipencet anak itu.
Pemuda ini semakin heran. Ia menduga anak itu belum berumur dua tahun. Ia membungkuk memeriksa Nona Lam Khim, lalu menekan hidungnya.
Selang tidak lama, Lam Khim mendusin. Waktu membuka mata dan melihat Kwee Ceng, ia melengak, merasa seakan tengah bermimpi.
“Kau… kau kan Kakak Ceng…,” katanya dengan suara bergetar.
“Ya, aku Kwee Ceng!” sahut si anak muda mendahului. “Nona Cin, apakah kau terluka?”
Nona itu bergerak akan bangun, namun roboh kembali. Ternyata tangan dan kakinya terikat. Oey Yong segera menghampiri dan memotong belenggu itu.
“Terima kasih.” kata Lam Khim yang terus menggendong anaknya. Ia duduk diam.
“Sebenarnya, Nona, apa yang telah terjadi atas dirimu?” tanya Kwee Ceng.
Lama nona itu diam, akhirnya dengan likat ia menuturkan juga hal ihwal dirinya. Di puncak Tiat Ciang Hong, kehormatannya telah dicemarkan oleh Yo Kang, lantas ia hamil, la melahirkan anaknya di kampung halamannya. Karena tidak punya apa-apa lagi, ia tetap hidup sebagai penangkap ular. Ia terhibur dengan adanya anaknya yang cerdik sekali itu, anak itu seakan tahu kesengsaraan sang ibu.
Hari itu Lam Khim membawa anaknya mencari kayu bakar. Kebetulan ia bertemu dengan Pheng Tianglo yang sedang lewat di sitn. Nafsu binatang pengemis itu timbul melihat kecantikan Lam Khim.
Si pengemis akan main gila. Lam Khim telah mempelajari ilmu yang diajarkan Kwee Ceng, tubuhnya menjadi sehat dan kuat. Sayang ia bertemu dengan Pheng Tianglo, salah satu di antara keempat pemimpin Kay Pang, ia dikalahkan dan diringkus.
Bersama Lam Khim ada hicu-niauw, si burung api. Sejak berpisah dari Kwee Ceng dan Oey Yong di Chee-liong-thoa, burung itu pulang ke kampungnya, tinggal bersama Nona Cin. Burung ini tahu si nona sedang dalam bahaya, maka ia menyerang Pheng Tianglo hingga keduanya jadi bertarung. Tidak lama kemudian datang bantuan kedua rajawali. Lantaran ini, pengemis itu tidak sempat melampiaskan nafsu binatangnya. Lam Khim sendiri lantas jatuh pingsan, karena melihat beberapa ular berbisa datang ke situ. Ia mengkha-watirkan keselamatan anaknya. Ia tidak menyangka ketika mendusin ia mendapati sepasang muda-mudi itu dan anaknya ternyata tidak kurang suatu apa.
Malam itu Kwee Ceng dan Oey Yong singgah di rumah Nona Cin.
Si pemuda senang melihat roman muka si anak kecil, yang mengingatkannya pada Yo Kang yang tersesat itu. Ia menghela napas.
” “Kakak Kwee,” kata Lam Kim kemudian, “coba tolong beri nama anak ini.”
“Dengan ayahnya aku bersaudara angkat,” kata Kwee Ceng. “Sayang ayahnya tersesat hingga hubungan kami berdua memburuk. Sebenarnya aku menyesal tak bisa melakukan kewajibanku sebagai sahabat. Kuharap setelah anak ini dewasa, sifatnya berbeda dari sifat ayahnya. Menurutku sebaiknya dia diberi nama Ko alias Kay Ci. Apakah kau setuju?”
“Ko” berarti salah atau kesalahan, dan “Kay”
berarti mengubah itu atau mengubah kesalahan.
Setelah besar, anak itu diharapkan dapat mengubah kesalahan ayahnya dan menjadi orang bijaksana.
“Terserah padamu, Kakak,” sahut Lam Khim sambil meneteskan air mata. “Semoga dia menjadi orang baik-baik.”
Harapan mereka ini di kemudian hari terkabul.
(Sebagaimana kisahnya dapat dibaca dalam Sin Tiauw Hiap Lu—Rajawali Sahi dan Pasangan Pendekar, sambungan kisah ini.)
Kwee Ceng dan Oey Yong tidak bisa tinggal di rumah Lam Khim. Mereka mempunyai urusan yang sangat penting. Ketika mereka akan berangkat, Kwee Ceng memberikan uang emas seratus tau, sedangkan Oey Yong menghadiahkan serenceng mutiara. Oey Yong tidak mengajak hiat-niauw meskipun sangat menyukainya, karena burung itu lebih dibutuhkan untuk menemani Nona Cin.
Lam Khim merasa berat berpisah, teiapi tidak dapat menahan muda-mudi itu. Ia terharu dan menyesal, lalu mendoakan supaya mereka berhasil.
Kwee Ceng berdua menuju ke barat, lalu tiba di selatan Lian Ouw yang terletak di antara dua provinsi, yaitu Ouwlam dan Ouwpak. Mereka membelok ke utara. Suatu hari tibalah mereka di tempat tujuan mereka, kota Siangyang. Lega hati mereka, lernyata musuh belum sampai. Penduduk tenang, kota ramai, sama sekali tidak terlihat tanda-tanda bahaya perang.
Kota Siangyang memegang peranan penting di Utara. Di zaman Lam Song, atau Song Selatan, di situ ditempatkan pembesar tinggi An-bu-su, komisaris keamanan, dengan pasukan tentaranya yang kuat untuk menjaga keselamatan kota, atau lebih tepatnya tapal batas.
Karena pentingnya urusan, tanpa menanti mencari penginapan lagi Kwee Ceng mengajak Oey Yong segera pergi ke kantor An-bu-su untuk menemui pembesar militer itu. Tentu saja tidak gampang menemui pembesar itu. An-bu-su itu pangkal tinggi. Meskipun di Mongolia Kwee Ceng menjadi panglima perang, di sini Kwee Ceng adalah rakyat jelata yang tidak dikenal. Tapi Oey Yong tidak kurang akal. Ia menyerahkan uang emas satu tail kepada penjaga pintu, yang langsung bersikap manis, tapi masih berkeberatan untuk segera melaporkan. Katanya, menurut kebiasaan, untuk bertemu dengan pembesar itu orang mesti menanti paling cepat setengah bulan. Apalagi biasanya yang diterima menghadap adalah pembesar, bukan orang semacam si pemuda.
Akhirnya Kwee Ceng mendongkol.
“Ini adalah urusan tentara yang sangat penting, mana bisa aku menanti lama-lama!” katanya bengis.
Sebaliknya Oey Yong berpikir lain. Ia mengedipkan mata pada kekasihnya, menarik tangannya untuk mengajaknya minggir, dan berbisik, “Nanti
malam kita menyelundup masuk untuk menemuinya dengan paksa.”
Kwee Ceng setuju, maka mereka mengundurkan diri untuk mencari tempat menginap lebih dulu.
Begitu pukul dua dini hari tiba, mereka lantas menyatroni gedung pembesar itu.
An-bu-su itu seorang bermarga Lu. Ketika Kwee Ceng dan Oey Yong masuk ke gedung, ia sedang bersenang-senang makan-minum sambil memeluk gundiknya.
“Hamba hendak melaporkan urusan militer penting!” kata Kwee Ceng sambil menjura .
Lu An-bu-su kaget sekali.
“Ada pembunuh!” jeritnya sambil mendorong gundiknya. Ia sendiri menyelusup masuk ke kolong meja.
Kwee Ceng melangkah dan mencekal tubuh orang itu, lalu mengangkatnya.
“An-bu, jangan takut!” katanya. “Hamba tidak berniat membikin celaka.”
Ia mendorong tubuh si pembesar hingga terduduk lagi di tempatnya.
Pembesar itu masih ketakutan, mukanya pucat, tubuhnya gemetaran.
Segera muncul beberapa puluh serdadu pengiring yang hendak menolong atasan mereka, tetapi Oey Yong mengancam dada si pembesar dengan belati-nya untuk menahan mereka maju. Para serdadu itu cuma bisa berteriak-teriak.
“Suruh mereka jangan bikin berisik!” perintah Oey Yong pada An-bu-su. “Mari kita bicara!”
Dengan bingung An-bu-su memerintahkan orang-orangnya supaya diam. Maka sunyilah ruangan itu.
Kwee Ceng mengeluh dalam hati menyaksikan pembesar yang berpangkat tinggi dan memikul tanggung jawab besar ini ternyata cuma kantong nasi, tapi tidak mudah mengubah sikap orang itu.
Ia lantas menyampaikan laporan tentang angkatan perang Mongolia yang bakal datang menyerang kota itu secara mendadak. Ia meminta pembesar ini segera mengambil tindakan memperkuat penjagaan untuk menyambut musuh.
Lu An-bu-su tidak mempercayai laporan itu, tetapi menyahut, “Ya, ya!”
“Kau dengar tidak?” tanya Oey Yong yang melihat orang itu gemetar saja.
“Dengar, dengar….”
“Kau dengar apa?”
“Aku dengar bangsa Kim bakal menyerbu dan kami mesti bersiap sedia….”
“Bangsa Mongol, bukan bangsa Kim!” Oey Yong membetulkan.
Pembesar itu heran.
“Bangsa Mongol? Tak mungkin!” katanya.
“Bangsa Mongol telah berserikat dengan perdana menteri kita untuk bersama menyerang bangsa Kim!
Mereka takkan bermaksud lain….”
Oey Yong sebal, matanya mendelik.
“Aku bilang bangsa Mongol!” bentaknya. “Bangsa Mongol!”
Pembesar itu ketakutan.
“Ya, bangsa Mongol, bangsa Mongol…,” katanya seraya mengangguk-angguk.
Kwee Ceng lantas berkata dengan sabar tapi bersungguh-sungguh, “Kota ini dan penduduknya di bawah perlindungan Tuan, kota Siangyang ini juga merupakan tirai kerajaan Selatan kita, maka kuminta Tuan memperhatikannya baik-baik.”
“Benar, yang Saudara bilang itu benar,” kata pembesar itu. “Sekarang silakan!”
Kwee Ceng dan Oey Yong menghela napas, tanpa banyak omong lagi, mereka menyingkir dari gedung itu. Tapi mereka mendengar teriakan-teriakan di belakang mereka. “Tangkap orang jahat!
Tangkap orang jahat!” Suara itu berisik dan kacau.
Mereka kembali ke tempat penginapan sambil menanti sepak terjang An-bu-su, tetapi dua hari lamanya penantian mereka sia-sia. Kota tetap tenang, tidak ada tindakan apa-apa dari pihak pembesar.
“Pembesar itu busuk!” kata Kwee Ceng. “Lebih baik kita bertindak seperti yang diajarkan ayahmu!
Kita binasakan dia. lantas kita mengambil tindakan.”
“Pembesar anjing itu memang pantas dibinasakan, tak patut diselamatkan,” kata Oey Yong. “Tapi musuh bakal sampai dalam beberapa hari ini, tentara dan rakyat tentulah kacau karena tak ada
yang memimpin. Bagaimana musuh bisa dilawan?”
Kwee Ceng mengerutkan alisnya.
“Benar, sulit…,” katanya. “Bagaimana sekarang?”
Oey Yong berpikir, kemudian berkata, “Dalam kitab Co Toan ada dongeng yang mungkin dapat kita tiru, yaitu dongeng Hian Kho memberi hadiah pada tentaranya.”
Kwee Ceng girang.
“Yongji, manfaat membaca kitab memang tak ada habisnya,” ia berkata. “Dongeng itu bagaimana?
Coba kauceritakan padaku. Mungkin kita dapat mencontohnya.”
“Mencontoh tentu bisa. cuma itu tergantung padamu….”
Si pemuda heran.
“Apa?” ia menegaskan.
Si nona tidak lantas menjawab, hanya tertawa.
Kwee Ceng mengawasi, menanti cerita itu.
Oey Yong berhenti tertawa, kemudian baru memulai, “Baiklah, akan kututurkan. Di zaman Cun Ciu. di Negeri The ada seorang saudagar bernama Hian Kho. Dia berdagang dengan merantau. Suatu kali, di tengah jalan dia bertemu dengan angkatan perang Negeri Cin. Angkatan perang itu akan menyerbu Negeri The. Negeri The tidak bersiap sedia. Kalau musuh tiba mendadak, pasti negeri itu bakal musnah. Walaupun saudagar, Hian Kho sangat mencintai negaranya, dia hendak menolong menyelamatkan negaranya. Apa akalnya? Dia lantas membawa dua belas ekor kerbau pada pasukan Negeri Cin itu, dia menemui kepala perangnya.
Dia bilang dia diperintahkan Raja The untuk menghaturkan hadiah pada pasukan Cin itu. Di lain pihak, diam-diam dia mengirim kabar kilat kepada Raja The, memberitahukan kedatangan pasukan musuh. Panglima Negeri Cin mengira Negeri The sudah bersiap sedia, maka dia tak berani melanjutkan gerakannya untuk menyerbu Negeri The, bahkan menarik pulang pasukannya.”
“Siasat itu bagus sekali,” kata Kwee Ceng girang.
“Tapi kenapa kau bilang siasat itu tergantung padaku?”
“Ya, aku hendak pinjam tubuhmu.”
“Bagaimana caranya?”
“Bukankah tadi kukatakan ada dua belas ekor kerbau?” kata si nona tertawa. “Bukankah shio-mu Gu?”
Kwee Ceng melonjak.
“Bagus, dengan jalan memutar kau mencaciku!” katanya.
Pemuda ini ber-shio Gu, kelahiran tahun Gu, dan Gu itu berarti kerbau. Maka ia mengulurkan tangannya untuk menggelitiki si nona. Si nona lantas berkelit sambil tertawa. Kwee Ceng pun turut tertawa.
“Sekarang begini rencanaku,” kata si nona, setelah mereka berhenti bergurau. “Malam ini kita menyelundup masuk ke kantor An-bu-su, kita curi uang emas dan permatanya. Besok aku akan menyamar sebagai pria, aku akan dandan sebagai pegawai negeri, lantas aku akan memapak angkatan perang Mongolia dan menghadiahkan barang-barang itu pada mereka. Kau sendiri mesti bekerja di dalam kota. mencoba menjalin kerja sama dengan tentara dan rakyat untuk mengatur penjagaan.”
Kwee Ceng setuju, dengan girang ia bertepuk tangan. Malam itu mereka mulai bekerja.
Lu An-bu-su punya banyak simpanan uang dan permata. Sampai terang tanah, tidak ada yang mengetahui pencurian yang mereka lakukan. Pagi hari Oey Yong melanjutkan rencananya, menyamar sebagai pegawai negeri pria. Dengan naik kuda merah dan membawa kantong besar, ia pergi ke luar kota utara, menyambut angkatan perang Mongolia.
Tengah hari kedua, Kwee Ceng menuju pintu kota utara untuk memandang jauh ke luar. Ia menanti kekasihnya. Segera ia melihat kuda merah menghampirinya, ia menyambutnya. Oey Yong menahan kuda itu, roman mukanya tampak gelisah.
Ketika berbicara, suaranya bergetar, “Jumlah tentara Mongolia itu mungkin belasan laksa. Mana dapat kita melawan mereka?”
Kwee Ceng pun kaget.
“Begitu banyak?” ia menegaskan.
“Kelihatannya Jenghis Khan ingin sekali memusnahkan Kerajaan Song,” kata si nona. “Aku menemui punggawa terdepannya dan menyerahkan hadiah itu. Dia tak tahu kita sudah mendengar kabar mengenai kedatangan mereka. Dia mengatakan membawa pasukan perang itu untuk menyerang Negeri Kim, bukan Negeri Song. Waktu kubeberkan rahasianya, dia kaget, lantas menahan pasukan perangnya. Mungkin dia mau melapor dulu pada kepala perangnya.”
“Kalau mereka terus pulang, itu bagus,” kata Kwee Ceng. “Kalau mereka maju terus, aku khawatir….”
Oey Yong mengerutkan alis.
“Aku telah berpikir sehari semalam, tapi belum juga mendapat akal,” ia berkata. “Kakak Ceng, kalau kita bertempur satu lawan satu, cuma ada dua-tiga orang yang dapat melayani kita, tapi sekarang kita mesti menghadapi belasan laksa orang,
Bagaimana caranya?”
Kwee Ceng menghela napas.
“Sebenarnya rakyat Song jauh lebih banyak dari pada rakyat Mongolia,” katanya kemudian. “Di antara para tentara dan rakyat itu, masih ada yang setia pada negara. Kalau mereka bisa bersatu, kita tak usah takut menghadapi tentara Mongolia itu.
Sayang banyak pembesar negeri ini yang tolol dan bernyali kecil, cuma bisa memeras dan menyiksa rakyat, tanpa sadar mereka mencelakakan negara.”
“Kalau terpaksa, biarlah kita coba melabrak
pasukan Mongolia itu,” kata Oey Yong. “Kita bisa mengandalkan kuda merah kita….”
“Yongji, sikapmu keliru,” kata Kwee Ceng sungguh-sungguh. “Kita telah mempelajari kitab perang Gak Bu Bok, kenapa kita tak mau meniru kegagahannya dalam membela negara dengan berbekalkan kesetiaan kita? Kalau kita berkorban untuk negara, kita takkan mengecewakan orangtua yang telah merawat kita dan guru yang telah mendidik kita!”
Si nona menghela napas.
“Aku memang telah menduga pasti hal seperti ini akan terjadi,” katanya. “Baiklah, mati atau hidup kita tetap bersama!”
Setelah berpikir demikian, mereka menjadi sedikit lega. Lantas mereka kembali ke penginapan mereka. Kali ini hubungan mereka semakin erat.
Mereka minum arak sampai pukul dua. Saat akan berangkat tidur, mereka dikagetkan bunyi riuh dari luar kota.
“Mereka tiba!” kata si nona.
“Ya!” sahut si pemuda.
Keduanya berlari keluar, terus menuju tembok kota. Mereka menyaksikan rakyat negeri, tua-muda, pria-wanita, berduyun-duyun dan berkumpul di balik tembok kota hendak masuk kota, namun mereka dihalangi. Pintu kota dikunci rapat. Kemudian datang pasukan yang dikirim Lu An-bu-su yang siap dengan panah. Mereka memerintahkan rakyat menyingkir menjauh.
“Tentara Mongolia datang menyerang! Lekas buka pintu, biarkan kami masuk!” rakyat berteriak-teriak.
Pintu kota tetap tertutup.
Saking takutnya, rakyat berteriak-teriak makin hebat, banyak pula yang menangis.
Kwee Ceng berdua memandang ke tempat jauh, mereka melihat cahaya api berlugat-legot bagaikan naga api sedang mendekat. Itulah pasukan depan angkatan perang Mongolia. Jelas mereka tidak kembali ke negara mereka, melainkan maju terus, berarti rakyat dan tentara pembela kota bakal bertempur.
Dalam keadaan seperti itu, mendadak pemuda ini mengambil keputusan. Tiba-tiba ia berseru-seru, “Kalau kota Siangyang pecah, tak seorang pun bakal hidup! Siapa yang merasa laki-laki sejati, man turut aku menerjang musuh!”
Punggawa di pintu kota itu orang kepercayaan Lu An-bu-su, ia gusar sekali melihat perbuatan Kwee Ceng. Ia berteriak menitahkan, “Tangkap orang itu! Dia mengacaukan rakyat!”
Tapi Kwee Ceng sudah bertindak. Ia melompat turun, menyambar dada punggawa itu, mengangkat tubuhnya, maka sekejap kemudian ia menggantikan duduk di punggung kuda si punggawa.
Di antara para tentara itu. banyak yang gagah dan mencintai negara. Mereka tidak tega menyaksikan rakyat di balik tembok berteriak-teriak dan menangis minta dibukakan pintu kota. Mereka menyambut sepak terjang Kwee Ceng, tidak mengambil mumet titah punggawa mereka.
Kwee Ceng senang melihat sikap pasukan itu.
“Lekas perintahkan membuka pintu kota!” perintahnya.
Si punggawa masih menyayangi jiwanya, terpaksa ia menurut.
Begitu pintu kota dibuka, bagaikan banjir yang meluap rakyat berlomba masuk.
Kwee Ceng menyuruh Oey Yong menjaga si punggawa, sedangkan ia sendiri menuju ke luar kota dengan menunggang kuda dan membawa tombak.
“Baik.” sahut si nona. Ia menyuruh si punggawa melepaskan baju perangnya untuk dipakai Kwee Ceng. Setelah itu ia berbisik pada kekasihnya, “Dengan memakai perintah palsu, pergilah kau membawa tentara ke luar kota.”
Kwee Ceng girang. Siasat itu baik sekali. Maka ia maju dan segera berseru, “Atas perintah Sri Baginda Raja, An-bu-su kota Siangyang, yang tolol dan memandang enteng musuh, dipecat dari jabatannya! Para tentara semua, ayo ikuti aku menghadang musuh!”
Dengan bantuan tenaga dalamnya, Kwee Ceng bersuara keras hingga terdengar sampai jauh, walaupun di balik tembok suasana sangat berisik.
Semua serdadu mendengarnya dengan nyata. Banyak serdadu yang menyangsikan titah yang datangnya mendadak itu. tetapi banyak juga yang tahu bahwa an-bu-su mereka memang tolol dan mereka mengerti pentingnya melawan musuh itu, maka segera terdengar seruan sambutan yang riuh.
Sebentar saja Kwee Ceng sudah berada di luar tembok kota bersama sekitar tiga ribu serdadu, la menyesal melihat tentara itu tidak tertib. Mana bisa mereka diajak berperang melawan musuh yang berjumlah besar? Ia ingin menerapkan siasat Gak Hui, saat terjepit, lebih baik menggunakan akal muslihat, la memerintahkan seribu serdadu pergi ke balik gunung sebelah timur untuk bersembunyi.
Mereka dipesan, kalau mendengar tanda letusan meriam, mereka mesti bersorak-sorai sambil melambai-lambaikan bendera tapi jangan keluar berperang. Seribu serdadu lebih lainnya diperintahkannya sembunyi di balik gunung barat dengan tugas “serupa.
Sampai fajar tiba, barulah semua rakyat berhasil masuk kota dengan selamat. Sebagai ganti mereka, segera terlihat kedatangan para musuh. Bunyi tetabuhan perang serta langkah kaki pasukan musuh itu berisik sekali. Debu mengepul tinggi.
Selagi musuh berdatangan, Oey Yong menotok punggawa yang diserahkan padanya. Ia melemparkan orang itu ke luar pintu kota, lantas meminta kuda dan tombak dari salah satu serdadu untuk menyusul Kwee Ceng.
“Pentang keempat pintu kota.’*” Kwee Ceng memberikan perintahnya lagi. “Semua rakyat harus sembunyi di dalam rumah.’ Siapa yang lancang keluar akan dihukum penggal!”
Perintah itu ditaati terutama oleh rakyat, tanpa titah itu pun mereka tidak akan berani muncul di luar rumah.
Di dalam gedungnya, An-bu-su bersembunyi di bawah kasur dengan tubuh gemetaran.
Pasukan Mongolia telah sampai dengan cepat.
Mereka melihat pintu-pintu kota terpentang dan kota dalam keadaan sepi. Di muka jembatan gantung bersiaga sepasang pria dan wanita yang menunggang kuda dan bersenjatakan tombak. Punggawa yang memimpin pasukan depan itu seorang cianhu-tio. Ia heran, maka ia lantas melapor pada kepalanya, seorang banhu~rio. Orang ini pun tidak kurang herannya. Ia langsung maju untuk menyaksikan sendiri,
Banhu-tw ini terkejut ketika mengenali Kwee Ceng. Selama berperang ke Barat, Kim Too Huma itulah yang paling berakal dan gagah, sehingga tentara berpayungnya berhasil merampas kota Samarkand. Ia curiga melihat pintu kota dipentang dan kota kosong. Cepat-cepat ia menghampiri Kwee Ceng, lalu turun dari kudanya dan memberi hormat.
Ia memanggil, “Kim Too Huma yang mulia!”
Kwee Ceng membalas hormat, tanpa bilang apa-apa.
Segera banhu-tio itu mengundurkan diri sembari mengundurkan pasukannya. Segera ia mengirim kabar kepada kepala perangnya.
Sejam kemudian muncul pasukan dengan bendera besar, dipimpin oleh seorang panglima muda yang diiringi banyak punggawa. Ia adalah Pangeran Keempat, Tuli. Si pangeran langsung melarikan kudanya keluar dari barisan dan maju.
“Anda Kwee Ceng!” serunya. “‘Kau baik-baik saja?”
Kwee Ceng melarikan kudanya untuk menyambut.
“Anda Tuli!” serunya. “Kiranya kau!”
Biasanya kalau bertemu, mereka berdua saling merangkul, namun sekarang mereka tidak terlalu mendekat, melainkan sama-sama menahan kuda masing-masing.
“Anda,” Kwee Ceng bertanya, “kau mengepalai pasukan perang untuk menyerang Negeri Song, bukan ?”
“Aku menerima titah ayahku, aku tidak merdeka,” sahut Tuli. “Kuminta kau mau memaafkanku.”
Kwee Ceng memandang pasukan musuh yang entah berapa laksa jumlahnya.
“Kalau pasukan berkuda itu menyerbu, hari ini habislah jiwaku…,” pikirnya. Lantas ia menghadap pada pangeran Mongolia itu lagi dan berkata, “Baiklah! Nah. ambillah jiwaku.’”
Tuli terperanjat, ia pun segera berpikir, “Dia sangat pandai mengatur tentara, aku bukan tandingannya. Lagi pula. kami bagaikan saudara kandung, mana bisa aku merusak persaudaraan ini…?”
Oleh karena itu. ia menjadi ragu-ragu.
Oey Yong menyaksikan semua itu. ia lantas berpaling ke arah kota, melambaikan tangan kanannya.
Tentara di dalam kota melihat isyarat itu, mereka langsung menyulut meriam. Maka bergemalah bunyi ledakan, disusul dengan sambutan tentara yang bersembunyi di balik gunung timur. Mereka bersorak-sorai dan melambai-lambaikan bendera.
Tuli kaget hingga air mukanya berubah.
Ledakan meriam yang pertama disusul dengan yang kedua dan disusul lagi dengan sambutan tentara yang bersembunyi di balik gunung barat.
“Celaka, aku terjebak!” pikir pangeran ini kaget.
Tanpa membuang waktu lagi ia menitahkan pasukan perangnya mundur sampai tiga puluh li. Untuk ini, tentaranya cuma perlu membalik tubuh, maka lantas pasukan belakang menjadi pasukan depan dan pasukan depan sendiri menjadi pasukan belakang.
Tuli tidak tahu berapa besar pasukan musuh, tetapi karena ia sudah jeri terlebih dulu terhadap Kwee Ceng, mundur adalah jalan yang paling aman baginya.
Melihat mundurnya musuh, Kwee Ceng berpaling pada Oey Yong dan tertawa, si nona menyambutnya sambil tertawa juga, “Kakak Ceng, aku memberimu selamat untuk Khong Shia Kee ini!” si nona memuji.
Khong Shia Kee adalah akal muslihat mengosong kan kota untuk menggertak musuh. Siasat itu juga
dapat dipakai untuk menjebak musuh agar masuk ke kota dan kemudian dikepung.
Sehabis tertawa, Kwee Ceng memperlihatkan roman berduka.
“Tuli itu gagah dan ulet,” katanya. “Sekarang dia memang mundur, tapi besok dia pasti bakal datang lagi. Bagaimana kita melawannya?”
Oey Yong menginsafi itu, ia lantas berpikir.
“Aku punya satu cara, tapi aku khawatir lantaran kau mengingat persaudaraanmu dengannya, kau takkan sudi turun tangan melakukannya.” Katanya kemudian.
Kwee Ceng terkesiap.
“Kau menghendaki aku pergi membunuhnya diam-diam?” tanyanya.
“Dia putra kesayangan Jenghis Khan,” kata si nona. “Dia juga berbeda dari panglima-panglima perang lainnya, satu kali dia mati, pasti musuh mundur dengan sendirinya!”
Kwee Ceng tertunduk diam. Mereka kembali ke dalam kota.
Semua tentara ditarik pulang, semua pintu kota ditutup rapat dan dijaga. Untuk sesaat kota tampak kacau.
Setelah mendapat laporan bagaimana dengan omong sedikit saja Kwee Ceng berdua dapat mengundurkan musuh. Lu An-bu-su sendiri pergi menemui muda-mudi itu untuk menghaturkan terima kasih. Kwee Ceng menggunakan kesempatan itu untuk membicarakan soal pembelaan kota.
An-bu-su menjadi berkecil hati dan tubuhnya lemas begitu mendengar bahwa musuh akan datang lagi besok, sampai-sampai ia tidak dapat buka suara, kemudian berulang-ulang menitahkan, “Siap-kan joli, pulang!” la telah memutuskan untukkabur meninggalkan kota.
Kwee Ceng berduka. Meski Oey Yong telah memasak sayur lezat, ia tidak bernafsu makan.
Apalagi ketika malam datang dan sang jagat gelap gulita, di sana-sini terdengar tangis rakyat yang ketakutan. Ia membayangkan besok siang tentu bakal tidak ada lagi tentara atau rakyat, semuanya bakal terbasmi habis oleh tentara Mongolia yang ganas itu. Di depan matanya berkelebat peristiwa dahsyat, kejam, dan menyedihkan di kota Samarkand.
“Yongji.” katanya, mendadak tangan kirinya menggebrak meja. “Di zaman dulu. demi negara orang dapat membunuh sanak atau temannya sendiri, maka sekarang mana bisa aku memberatkan saudara angkat lagi!”
Oey Yong menarik napas panjang.
“Memang urusan kita ini sulit sekali,” katanya. Kwee Ceng telah memutuskan, maka ia lantas berganti pakaian, lalu bersama Oey Yong ia menunggang kuda merahnya menuju ke utara. Setelah mendekati kubu tentara Mongolia, mereka me¬nambatkan kuda mereka di kaki gunung, lalu dengan berjalan kaki mereka menghampiri musuh untuk mencari kemah Tuli. Tidak sulit mereka menemukannya.
Mula-mula Kwee Ceng membekuk dua serdadu ronda dengan menotok mereka. Sesudah mereka tidak berdaya, ia merampas seragam mereka untuk dipakainya bersama Oey Yong. Dengan begini mereka bisa berkeliaran dengan lebih leluasa. Ia mengerti bahasa Mongol, juga segala peraturan ketentaraannya, maka dengan cepat mereka berdua tiba di kemah Tuli. Karena langit gelap, mereka berhasil menyelinap ke belakang tenda dan bersembunyi sambil mengintai kangzusi.com.
Tuli belum beristirahat, bahkan masih mondar- mandir dengan gelisah. Lalu ia berkata, “Kwee Ceng, Anda! Anda Kwee Ceng!”
Kwee Ceng terkejut, ia menyangka Tuli sudah mengetahui kedatangannya hingga ia nyaris menyahut.
Oey Yong melihat gelagat itu, maka buru-buru ia membekap mulut si pemuda.
“Ah…!” pikir Kwee Ceng tersadar. Ia sedih.
Dalam hati ia memaki ketololannya.
Oey Yong menghunus belatinya sambil berbisik di kuping kekasihnya, “Lekas turun tangan! Seorang laki-laki mesti tegas, tak boleh ragu!”
Berbareng dengan itu, dari kejauhan terdengar derap langkah kuda, lantas tampak seorang penunggang kuda mendatangi kemah besar itu. Kwee Ceng tahu, itu berarti ada urusan penting.
‘Tunggu dulu,” bisik si nona. “Kita dengar dulu apa kabar penting ini.”
Penunggang kuda itu seorang pesuruh berseragam kuning, la melompat turun dari kuda, lalu berlari ke dalam kemah, setelah menghormat pada Tuli, ia berkata, “Tuan Pangeran, ada titah dari Khan yang Agung!”
“Apa kata Kha Khan?” tanya Tuli.
Bangsa Mongol belum lama mempunyai bahasa tulis, apalagi Jenghis Khan tidak dapat membaca dan menulis, maka apabila mengeluarkan perintah, ia memberikannya secara lisan. Supaya tidak lupa, si pesuruh disuruhnya menghafalkan titahnya dulu hingga mengingat dengan baik. Titah itu dilagukan.
Demikian juga utusan ini, sambil berlutut ia menyanyikan titah Khan Agung yang telah dihafalnya luar kepala.
Orang itu baru menyanyikan tiga baris kata-kata, namun Kwee Ceng sudah terkejut sekali, sedangkan Tuli mencucurkan air mata.
Jenghis Khan sudah berusia lanjut, belakangan ini kesehatannya sering terganggu. Karena mendapat firasat bahwa mungkin ia tidak bakal hidup lebih lama lagi, ia mengeluarkan titah untuk memanggil Tuli supaya segera pulang dan bertemu dengannya.
Dalam penutup titah itu, Khan juga memberitahukan bahwa ia merindukan Kwee Ceng. Maka ia berpesan, kalau di Selatan putranya itu bertemu dengan Kwee Ceng, ia meminta supaya pemuda itu diajak pergi bersama ke Utara, agar Khan yang Agung dapat melihatnya untuk yang terakhir kalinya….
Sampai di situ tanpa sadar Kwee Ceng menggurat tenda dengan belati di tangannya, la melompat masuk.
“Anda Tuli, aku akan pergi bersamamu!” serunya.
Tuli kaget bukan main, tetapi setelah mengenali pemuda itu, ia girang bukan buatan. Keduanya lantas saling merangkul.
Si utusan juga mengenali Kwee Ceng, ia memberi hormat sambil terus berlutut, lalu berkata. “Kim Too Huma, Khan yang Agung menitahkan supaya Huma yang Mulia pergi ke Kemah Emas untuk menemuinya!”
Hati Kwee Ceng tercekat mendengar ia tetap dipanggil Kim Too Huma. Tentu saja ia khawatir Oey Yong curiga. Maka ia lari ke luar tenda, menghampiri si nona, lantas menariknya seraya berkata,
“Yongji, mari kita pergi dan nanti pulang bersama!”
Nona itu diam.
“Yongji, kau percaya aku atau tidak?** Kwee Ceng bertanya.
Tiba-tiba nona itu tertawa dan berkata. “Jika kau berniat untuk menjadi huma atau hugu, akan kupenggal kepalamu!”
Huma berarti menantu raja, huruf ma berani kuda, maka Oey Yong menambahkan dan menyebut hugu untuk menggoda. Huruf gu berarti kerbau.
Kwee Ceng mempertemukan si nona dengan Tuli, sedangkan Tuli langsung memerintahkan tentaranya untuk bersiap sedia berangkat pulang ke Utara keesokan paginya.
Kwee Ceng bersama Oey Yong pulang lebih dulu untuk mengambil kuda dan burung mereka.
Pagi berikutnya mereka kembali bergabung dengan pasukan perang Mongolia untuk berangkat ke Utara.
Tuli khawatir mereka tidak sempat bertemu dengan ayahnya, maka ia menyerahkan pimpinan pasukan kepada wakilnya, sedangkan ia sendiri bersama Kwee Ceng dan Oey Yong berangkat lebih dulu dengan memacu kuda mereka. Maka sebelum sebulan lewat, mereka bertiga telah sampai di Kemah Emas Jenghis Khan.
Dari jauh Tuli telah melihat bendera di kemah ayahnya masih terpancang seperti biasanya. Hatinya sedikit lega, namun toh berdebaran juga. Ia melarikan kuda sekencangnya supaya cepat sampai di kemah itu.
Kwee Ceng menahan kudanya, pikirannya bekerja keras, la ingat budi Khan Agung, yang sudah menolong ia dan ibunya, sebaliknya ia juga ingat kematian ibunya yang” mengenaskan. Jadi Khan adalah penolong sekaligus musuh besarnya!
la menyayangi sekaligus membencinya! Bagaimana sekarang? Selama di Siangyang dan di tengah jalan, ia ingin sekali menemui sang penolong, tetapi kini ia ragu. Ia tercenung sambil menunduk. Tidak lama kemudian terdengar bunyi trompet, lalu di muka markas terlihat munculnya dua baris serdadu pengiring. Setelah itu Jenghis Khan keluar dengan berkerobong baju bulu hitam, sebelah tangannya memegangi pundak Tuli. Langkahnya masih lebar, namun tubuhnya sedikit gemetar.
Kwee Ceng maju untuk berlutut di tanah.
“Bangun, bangun!” katanya. “Setiap hari aku memikirkanmu…!”
Kwee Ceng bangkit. Ia melihat muka Khan keriput dan kedua pipinya celong. Ia yakin orang tua itu tidak bakal hidup lebih lama lagi. Panas hatinya sedikit mereda.
Jenghis Khan memegangi pundak Kwee Ceng dan pundak Tuli dengan kedua tangannya. Ia pun mengawasi mereka bergantian. Kemudian ia menarik napas panjang, matanya memandang jauh ke depan, ke gurun yang besar dan luas. Ia termenung.
Kwee Ceng dan Tuli tidak dapat menerka isi hatinya, keduanya diam.
Sesudah sekian lama diam saja. Jenghis Khan menghela napas.
“Dulu mulanya aku bekerja sama dengan Anda Jamukha,” ia berkata. “Siapa tahu akhirnya mau tak mau aku harus membunuh saudara angkatku itu. Aku menjadi khan yang maha agung, tapi dia telah terbinasa di tanganku. Beberapa hari lagi aku sama dengan dia, pulang ke tanah kuning.
Siapa berhasil, siapa runtuh, bukankah itu akhirnya tak ada bedanya?”
Ia menepuk-nepuk pundak kedua anak muda itu.
“Maka mulai hari ini hingga akhir nanti, kalian berdua mesti hidup rukun bersama,” ia berkata.
“Sekali-kali janganlah kalian saling bunuh. Anda Jamukha telah mati, kuanggap persoalannya sudah beres, tapi setiap kali aku ingat dia, mataku sukar kupejamkan.”
Dalam benak Kwee Ceng dan Tuli lantas terbayang peristiwa yang baru saja terjadi di antara mereka di Siangyang. Bukankah mereka bakal saling membunuh? Maka itu mereka malu pada diri sendiri.
Setelah berdiri sekian lama. Jenghis Khan merasa kakinya lemas, ia hendak kembali ke dalam markas.
Sebelum ia mengajak Tuli dan Kwee Ceng masuk. datanglah sebarisan kecil serdadu berkuda yang dipimpin seseorang yang mengenakan pakaian perang putih dan ikal pinggang emas. Dari dandanannya sudah bisa diketahui bahwa ia orang Kim.
Melihat musuh, semangat Jenghis Khan terbangun.
Orang Kim itu menghentikan barisannya walaupun masih jauh. la melompat turun dari kudanya, lalu berjalan menghampiri pendekar Mongolia itu, tetapi tidak berani sampai dekat sekali. Di tempat yang agak jauh ia sudah berlutut untuk memberi hormat.
“Utusan Negeri Kim menghadap Khan yang Agung!” demikian lapornya.
“Negeri Kim tak sudi takluk, malahan mengirim utusan, untuk apa?” tanya Jenghis Khan gusar.
Sambil terus berlutut, utusan Kim itu berkata, “Negara kami yang rendah mengetahui kami telah berlaku kurang ajar terhadap Khan yang Agung, dosa kami tak terampuni, karena itu sekarang hamba diutus untuk menghaturkan seribu butir mutiara dengan permohonan agar Khan yang Agung tidak gusar lagi dan sudi memberi ampun. Ini mutiara pusaka negara kami, hamba mohon sudilah kiranya Khan yang Agung menerimanya.”
Sehabis berbicara, utusan itu menurunkan bungkusan dari punggungnya, membukanya, lalu me-
ngeluarkan sebuah nampan kemala. Dari kantong bersulamnya ia menuang keluar butiran mutiara banyak sekali, lalu menaruhnya di atas nampan itu. Akhirnya kedua tangannya menghaturkan bingkisan itu.
Jenghis Khan melirik. Ia melihat mutiara-mutiara sebesar jari telunjuk mengitari sebutir yang sebesar jempol tangan. Harga sebutir mutiara itu saja sudah mahal, apalagi seribu butir. Semuanya berkilauan.
Dulu Jenghis Khan pasti girang bukan main melihat mutiara-mutiara itu, namun sekarang ia hanya mengerutkan alis beberapa kali.
“Simpanlah!” katanya pada pengiringnya.
Si pengiring menyambut nampan berharga besar
itu. Utusan Kim itu girang bukan main melihat
bingkisannya diterima, ia lantas menghaturkan
terima kasih. Ia berkata bahwa raja serta rakyat
negerinya sangat bersyukur dan akan mengingat
baik-baik budi Khan yang Agung, karena menerima
baik permintaan mereka untuk akur dan bersahabat.
“Siapa bilang bersahabat?” tanya Jenghis Khan
tiba-tiba. “Sebentar lagi aku akan menggerakkan
angkatan perangku untuk menghajar anjing-anjing Kim! Tangkap dia!”
Sejumlah serdadu pengiring lantas maju mencekuk utusan itu.
Tapi Jenghis Khan menghela napas dan berkata, “Seribu butir mutiara pun takkan bisa membikin hidupku lebih lama satu hari lagi….” Ia mengambil nampan dari tangan pengiringnya, lantas melemparkannya hingga semua butiran mutiara itu berhamburan.
Semua orang kaget dan heran, semuanya bungkam.
Para serdadu Mongolia memunguti butiran mutiara itu, namun masih banyak yang terpendam di antara rerumputan, maka beberapa ratus tahun kemudian ada juga penggembala yang beruntung menemukannya.
Dengan masygul Khan yang Agung kembali ke markas. Senja hari ia meminta Kwee Ceng seorang diri menemaninya menunggang kuda, berjalan-jalan di padang rumput sejauh beberapa puluh li sampai di tepi jurang.
Kwee Ceng teringat akan masa kecilnya ketika ia bertemu dengan Kanglam Cit Koay, bagaimana suatu malam ia menghajar mampus Tong Si Tan Hian Hong si Mayat Perunggu, bagaimana Ma Giok mengajarinya ilmu tenaga dalam. Mengenang semuanya itu ia merasa bersyukur dan terharu.
Tengah ia merenung, kupingnya mendengar suara burung rajawali di udara. Itulah burungnya yang terbang berputar-putar di atas jurang. Rupanya kedua burungnya juga mengenali kampung halaman mereka.
Sekonyong-konyong Jenghis Khan mengambil busurnya dan segera membidik kedua rajawali itu.
Kwee Ceng kaget sekali, dengan gugup ia berseru, “Kha Khan, jangan panah!”
Meski tenaganya sudah berkurang, Jenghis Khan masih cukup kuat, waktu si pemuda berseru, anak panahnya sudah melesat. Maka pemuda itu mengeluh, menyesal bukan main. la tahu pendekar Mongolia ini pun jago memanah. Ia sangat mencemaskan kedua burungnya.
ALWAYS Link cerita silat : Cerita silat Terbaru , cersil terbaru, Cerita Dewasa, cerita mandarin,Cerita Dewasa terbaru,Cerita Dewasa Terbaru, Cerita Dewasa Pemerkosaan Terbaru
{ 0 komentar... read them below or add one }
Posting Komentar