Cerita Silat Seru Terbaru : Bara Maharani 3

Diposting oleh eysa cerita silat chin yung khu lung on Senin, 26 Desember 2011

Cerita Silat Seru Terbaru : Bara Maharani 3

“Fuui! bocah kurangajar, kesemuanya ini bukankah
gara-gara kau yang bikin onar!”
Hoa Thian-hong tertawa nyaring, setibanya di
perempatan jalan kedua orang itu berpisah, pemuda itu
segera berangkat pulang ke rumah penginapannya.
Setibanya di rumah penginapan, Hoa Thian-hong
membuka kamar tidur Ciong Lian-khek. Ia lihat jago
bercambang itu sedang duduk bersemedi sedang Chin
Giok-liong sudah terlelap tidur, maka iapun kembali ke
kamarnya sendiri untuk beristirahat.
Semalam berlalu dengan secepatnya, hari kedua pagipagi
sekali Hoa Thian-hong telah bangun, sebelum ia
turun dari pembaringan tiba-tiba Ciong Lian-khek
berjalan masuk ke dalam kamar diikuti penerima tamu
she-Sun dari perkumpulan Hong-im-hwie serta Ciau
Khong ketua kantor cabang kota Cho Ciu.
Hoa Thian-hong tahu bahwa urusan pasti luar biasa,
buru-buru ia turun dari pembaringan dan menyapa kedua
orang itu. Selesai memberi hormat dari sakunya Ciau
Khong ambil keluar sebuah kartu undangan merah yang
besar dan diangsurkan ke tangan pemuda itu.

Di atas kartu merah tadi tercantumlah beberapa huruf
yang berbunyi demikian, “Hormat kami. Jin Hian ketua
dari perkumpulan Hong-im-hwie”
Terdengar Ciau Khong berkata, “Sebetulnya ketua
kami akan berkunjung sendiri kemari, tetapi berhubung
masih banyak urusan yang harus diselesaikan maka sulit
bagi beliau untuk berkunjung sendiri, karena itu aku
sengaja diutus datang kemari untuk menyampaikan rasa
kagum kami terhadap dirimu”
“Jin Hian adalah pemimpin dari suatu perkumpulan
besar” pikir Hoa Thian-hong dalam hati.” Soal undangan
walaupun enteng tapi gengsinya luar biasa, belum lama
aku terjun ke dalam dunia persilatan. Kalau berbicara
menurut peraturan dunia persilatan, sepantasnya kalau
akulah yang melakukan kunjungan kepadanya”
Berpikir sampai disitu dia segera menjura dan berkata,
“Aku tiada berbudi dan berkemampuan, tidak berani
kuharapkan kunjungan dari Jien Tang-kee, harap Ciauheng
suka menyampaikan kepada ketua kalian, katakan
saja besok sore aku pasti akan datang berkunjung ke
kantor cabangmu untuk mengucapkan terima kasih
kepada Jien Tang-kee!”
Ciau Khong mengiakan beralang kali, setelah memberi
hormat diapun mohon pamit dan berlalu. Dari sikap
maupun nada ucapannya yang begitu menghormat
seakan-akan memperlihatkan bahwa dalam semalaman
saja nilai Hoa Thian-hong sudah meningkat berlipat li pat
ganda.

Selesai sampan pagi, seorang pelayan muncul
menyampaikan sebilah pedang baja. Ciong Lian-khek
terima pedang itu sambil ujarnya, “Pedang ini sengaja
kusuruh orang untuk membuatnya semalam, mumpung
sekarang tak ada urusan, mari kita berlatih diluar kota.
Hoa Thian-hong merasa amat berterima kasih atas
perhatian orang, sambil membawa serta Chin Giok-liong
mereka tinggalkan rumah penginapan dan menuju keluar
kota.
Di suatu tempat yang sunyi, Hoa Thian-hong terima
pedang baja itu dan menimang2nya sebentar, lalu
berkata, “Pedang baja milikku itu terbuat dari baja yang
dilapisi besi murni, berat keseluruhannya mencapai enam
puluh dua kati, aku rasa pedang ini jauh lebih kecil,
beratnya hanya mencapai tiga puluh tiga kati dan
merupakan separuh dari senjataku itu, entah cocok tidak
bila kugunakan nanti?”
“Baja Hian-tiat adalah benda yang tak ternilai
harganya, sekalipun ada uang juga belum tentu bisa
dibeli. Senjata tajam keluaran dari kota Cho-Ciu sudah
tersohor di seluruh kolong langit, bila kau mengatakan
kurang bagus, yaah. apa boleh buat, tak mungkin
mereka sanggup membuatkan yang lebih baik lagi.”
Ia berpikir sebentar, lalu tambahnya, “Sekarang coba
kau mainkan dulu ilmu pedangmu, aku pingin tahu
sampai dimanakah kehebatannya.”
Hoa Thian-hong tertawa, sambil memegang pedang
baja itu dia maju ke tengah kalangan, setelah hening

sejenak kaki kirinya melangkah maju setindak ke muka,
pedang di tangan kiri mengayun ke atas dan laksana kilat
lancarkan sebuah babatan maut.
“Sreeeet….!” desiran angin pedang bergema memekik
telinga, suara dengungan akibat getaran di tubuh pedang
itu berbunyi nyaring dan tajam, seolah-olah pedang
tersebut akan terpatah jadi beberapa bagian.
“Usahakan sekuat tenaga untuk mengatur hawa
murnimu!” seru Ciong Lian-khek dengan suara dalam.
Hoa Thian-hong menyadari bahwa pedang baja itu tak
kuat menahan getaran hawa murninya, sekuat tenaga ia
berusaha membendung penggunaan hawa murninya
yang hebat dengan sangat hati-hati setiap babatan
dilancarkan.
Jumlah jurus dalam ilmu pedangnya itu hanya enam
gerakan belaka, walaupun Hoa Thian-hong mainkan
dengan gerakan lambat namun dalam sekejap seluruh
gerakan itu telah selesai dimainkan.
Hoa Thian-hong pun tarik kembali pedangnya sambil
berdiri keren, ujarnya, “Cianpwe adalah seorang ahli
pedang kenamaan……”
“Kau tak usah sangka-sangka terhadap diriku!” tukas
Ciong Lian-khek sambil goyangkan tangannya, “Aku
adalah Seorang manusia yang sudah mati separuh,
selama kau ada niat untuk mengatur dunia persilatan
maka aku akan menjadikan diri untuk membantu
usahamu dalam dunia kangouw, tak ada perbedaan

tingkat kaum enghiong tak ada perbedaan usia, kita tak
usah gubris apakah itu cianpwee atau boanpwee, selama
kau berani meneriakkan keadilan dalam dunia persilatan
aku akan selalu mendukung cita-citamu tiap orang
berusaha dan berjuang menurut kemampuan masingmasing,
siapapun tidak mengurusi satu sama lainnya,
bukankah begitu jauh lebih bagus?”
Hoa Thian-hong merasa sangat terharu sehingga
tanpa terasa air mala jatuh bercucuran membasahi
pipinya, buru-buru ia berseru, “Baiklah, akan kulatih
kembali degan seksama, mungkin karena sudah lama,
ilmu itu tersia-sia kesaktiannya serta kemujijatan gerakan
jurus ilmu pedang itu sendiri, asal kau suka berlatih giat
hingga pedang yang enteng itu dapat kau gunakan untuk
melawan musuh tanpa berhasil dipatahkan lawan, maka
tenaga dalammu berarti telah memperoleh kemajuan
satu tingkat”
Mendengar perkataan Hoa Thian-hong jadi tertegun.
“Selama ini belum pernah aku memikirkan soal itu,
sedikitpun tidak salah! Seandainya sekarang aku berlatih
dengan memakai pedang ini, kemudian ganti memakai
pedang biasa, bukanlah selanjutnya aku berlatih dengan
memakai pedang bambu atau pedang kayu? dasar
belajar silat rupanya satu sama lain adalah sama dan
tidak jauh bedanya”
“Ucapan tepat sekali!” jago pertambangan sangat
membenarkan.

Tempo dulu Hoa Thian-hong sendiripun pernah
merasakan, dengan hanya andalkan sebuah jurus
pukulan ‘Kun-siu-ci-tauw’ saja tidak cukup baginya untuk
menghadapi para jago lihay dengan ilmu silat yang
beraneka ragam, tapi berhubung pedang bajanya telah
ditahan oleh Ciu It-bong dan ia tidak berhasil
menemukan senjata tajam yang cocok banyaknya, maka
persoalan itu untuk sementara waktu terbengkalai.
Sekarang setelah disadarkan kembali oleh Ciong Liankhek,
ia baru sadar bahwa senjata tajam bukanlah
masalah yang penting, asal dia melatih diri dengan giat
maka akhirnya menggunakan senjata tajam macam
apapun tak ada bedanya satu sama lain.
Tanpa terasa semangat segera berkobar, niat untuk
melatih diri pun semakin menebal. Sekali lagi ia pasang
kuda2 dan mengulangi kembali permainan ilmu
pedangnya, tapi berhubung penggunaan hawa murni
yang tidak sesuai bisa mengakibatkan patahnya pedang
baja itu’ maka meskipun gerakannya dilakukan sangat
lambat’ pemuda itu justeru merasa semakin payah. baru
berlatih beberapa saat sekujur badannya telah basah
kuyup oleh keringat.
Selama ini Chin Giok-liong hanya duduk disisi kalangan
dengan pandangan mendelong dan bodoh, sedangkan
Ciong Lian-khek pusatkan seluruh perhatiannya
menyaksikan permainan pedang pemuda itu, sesaat
kemudian tiba-tiba ia angkat kepala dan berpaling ke
arah tembok kota.

Kiranya diantara lekukan tembok kota duduklah
seorang kakek tua yang gemuk pendek dan berwajah
merah bercahaya sedang mengawasi Hoa Thian-hong
berlatih pedang, tatkala Ciong Lian-khek menoleh ke
arahnya, kakek gemuk itu segera menggerakkan bibirnya
membisikkan sesuatu dengan ilmu menyampaikan suara,
kemudian perhatiannya dicurahkan kembali ke arah
permainan pedang si anak muda itu.
Setelah berlatih kurang lebih satu jam kemudian,
sekujur badan Hoa Thian-hong telah basah kuyup oleh
air keringat, napasnya tersengkal2 bagaikan kerbau
Ketika itulah mendadak kakek gemuk di atas tembok
kota itu menyentilkan sebutir batu kerikil menghantam
ujung pedang baja di tangan Hoa Thian-hong.
Sementara itu seluruh perhatian yang dimiliki si anak
muda itu sedang dicurahkan dalam permainan jurus
pedangnya, begitu merasakan datangnya ancaman dari
luar, hawa murninya segera disalurkan semakin hebat
menelusuri tubuh pedang itu.
“Criiing…!” diiringi suara dentingan nyaring, pedang
baja yang besar dan kasar itu seketika putus jadi empat
lima puluh potongan kecil dan berceceran di seluruh
angkasa
Hoa Thian-hong yang sedang pusatkan seluruh
perbatiannya berlatih ilmu pedang hingga berada dalam
keadaan lupa diri, sewaktu melihat pedang bajanya
secara tiba-tiba tergetar patah jadi amat terperanjat,
tubuhnya dengan tangkas berkelit ke samping

meloloskan diri dari sambitan kutungan pedang itu,
sedang matanya dengan tajam menyapu sekeliling
tempat itu mencari asal datangnya serangan bokongan
itu.
Rupanya si kakek gemuk yang berada di atas tembok
kota itu tiada maksud berjumpa dengan pemuda itu,
badannya dengan cepat menyusup ke bawah dan
menyembunyikan diri dibalik tembok kota.
Dalam pada itu Ciong Lian-khek telah maju
menghampiri dirinya sambil berkata, “Nanti aku akan
suruh ahli besi buatkan sebilah pedang lagi untukmu, kini
sudah mendekati tengah hari, bagaimana dengan racun
teratai yang mengeram di dalam tubuhmu?”
Sesudah bergaul agak lama dengan jago buntung isi,
lama kelamaan Hoa Thian-hong sudah lupa dengan
kebiasaannya, melihat wajahnya murung dan
menguatirkan persoalan itu, buru-buru ia tertawa paksa.
Racun teratai sudah akan mulai kambuh, biar kulatih
dulu serangkaian ilmu pukulan tangan kosong”
Sambil maju beberapa langkah ke depan, ia segera
rentangkan telapaknya dan mulai berlatih
Tiba-tiba Ciong Lian-khek meloloskan pedangnya yang
tersoren d ipunggung, ia berseru, “Mari aku temani
dirimu bermain beberapa gebrakan!”
Pedang digetarkan dan segera terpisah mengancam
beberapa bagian tubuh pemuda itu.Hoa Thian-hong

melengos ke samping, telapaknya langsung ditadok
kemuka…. suatu pertarungan serupun segera terjadi
diantara dua orang jago lihay itu.
Ilmu pedang yang dimiliki Ciong Lian-khek ganas,
tajam dan telengas, setiap gerakannya cepat laksana
sambaran kilat. Dengan susah payah Hoa Thian-hong
masih sanggup mempertahankan diri, kurang lebih
setelah lewat seratus gebrakan, mendadak racun teratai
yang mengeram dalam tubuhnya mulai kambuh, sekujur
tubuhnya terasa linu dan amat sakit.
Dengan kambuhnya racun teratai, hawa murni yang
bergolak dalam tubuhnya semakin berlipat ganas, cuma
sayang pikirannya tak tenang. Menghadapi ilmu pedang
Ciong Lian-khek yang cepat dan ganas benar-benar tidak
sesuai
Beberapa saat kemudian, sebuah tabasan pedang jago
bercabang itu berhasil mampir di atas bahu Hoa Thianhong,
ia segera melompat mundur ke belakang sambil
berseru, “Cepatlah pergi lari racun, pertarungan ini kita
lanjutkan besok pagi saja!”
Dalam peristiwa yang terjadi kemarin siang, secara
kebetulan saja aku berhasil lolos dari tangan Cu Goankhek”
pikir Hoa Thian-hong di dalam hati.” Kejadian
semacam ini setiap saat bisa jadi terulang kembali,
mumpung sekarang ada kesempatan aku musti berusaha
keras untuk menahan siksaan dan berlatih giat, dari pada
sampai menghadapi keadaan seperti ini aku jadi bingung
dan gelagapan”

Berpikir sampai disitu ia segera ambil keputusan
dengan menahan rasa sakit berlatih terus.
“Ayoh kita lanjutkan bergebrak!” katanya sang badan
meluruk ke muka dan telapaknya langsung diayun
menghantam tubuh lawan.
Ciong Lian-khek putar pedang menyambut datang
serangan, melihat hawa pukulan yang dipancarkan dari
telapaknya kian lama kian bertambah kuat, sehingga
mengakibatkan pedang bajanya merasa gemetar yang
sangat kuat, ia jadi terkejut bercampur girang, sambil
mengepos tenaga pertarungan dilanjutkan semakin seru.
Puluhan jurus setelah lewat, suatu kesempatan Ciong
Lian-khek melancarkan tiga jurus serangan berantai,
pedangnya bergetar kencang dan secara tiba-tiba
menotok dada pemuda itu.
Ketika pertarungan melawan Cu Goan-khek tempo
hari, pertama. Ia bertarung dengan keras lawan keras,
kedua. Jiwanya terancam bahaya. Karena itu perlawanan
yang. diberikan sepuluh kali lipat lebih hebat dari pada
sekarang, maka ia sanggup mempertahankan diri tidak
kalah.
Sebaliknya keadaan yang dihadapinya saat ini jauh
berbeda pertarungan ini termasuk dalam bilangan
latihan, setiap jurus harus dipatahkan dengan jurus,
setiap gerakan harus dipecahkan dengan gerakan tentu
saja lama kelamaan pemuda itu tak tahan dan keteter
hebat.

Mendadak Ciong Lian-khek berseru dengan nada
dalam, “Rendahkan bahu ke bawah sambil lintangkan
kaki ke samping, maju menyerobot sambil kirim
serangan!”
0000O0000
Hoa Thian-hong tertegun mendengar seruan itu, tapi
dengan cepat ia dapat memahami seruan tersebut, sekali
lagi ia menubruk maju kemuka.
Tidak lama setelah pertarungan berlangsung, Ciong
Lian-khek dengan gerakan yang sama melancarkan
tusukan kembali ke depan, Hoa Thian-hong tidak raguragu
lagi, ia rendahkan bahunya ke bawah sambil
geserkan kaki kanannya ke samping, sambil putar
telapak ia kirim satu pukulan ke muka.
Tusukan pedang Ciong Lian-khek segera mengenai
sasaran kosong, dengan cepat ia melayang mundur ke
belakang. Menggunakan kesempatan itu Hoa Thian-hong
menerjang ke depan dan merebut posisi yang lebih baik,
serangan bertubi-tubi segera dilancarkan.
Pertarungan berlangsung kurang lebih satu jam
lamanya dengan sebilah pedangnya Ciong Lian-khek
pertunjukan pelbagai perubahan yang tiada taranya.
berulang kali si anak muda itu menelan kekalahan
ditangannya tapi setiap kali ia pasti peroleh pemecahan
dari jurus ampun tadi, dengan demikian setelah
bertarung sengit hampir satu jam lamanya manfaat yang
ia dapatkan melebihi hasil latihan selama tiga bulan.

Akhirnya kedua orang itu berhenti bertarung, dengan
sekujur badan basah kuyup oleh air keringat mereka
beristirahat dan mengatur pernapasan.
Kemudian Sambil mengajak Chin Giok-liong mereka
kembali ke rumah penginapan, selesai membersihkan
badan dan pakaian Hoa Thian-hong masuk ke dalam
kamarnya jago bercambang itu untuk berpamitan, Ketika
itulah Ciong Lian-khek ambil keluar sebuah kartu
undangan sambil berkata, “Janjimu dengan Pek Kun-gie
lebih baik dipenuhi seorang diri, bisa bersahabat itu lebih
baik, kau musti sedia jalan mundur untuk menghadapi
segala kemungkinan yang tidak diinginkan!”
Ia termenung beberapa saat lamanya. kemudian
melanjutkan, “Dalam pertemuanmu dengan Jin Hian
nanti, bertindaklah menurut keadaan. bila kau sanggup
menemukan jejak pembunuh tersebut hal ini jauh lebih
bagus lagi.”
“Mengapa begitu?” tanya Hoa Thian-hong sambil
menerima kartu undangan tersebut.
Ciong Lian-khek tidak menjawab, ia berjalan keluar
dari kamar dan periksa Sekejap keadaan di empat
penjuru, lalu sambil bersandar di atas pintu bisiknya,
“Berhasil mencari tahu jejak pembunuh Jin Bong berarti
pula berita mengenai pedang emas ada harapan bisa kita
temukan. Bila kita berhasil dapatkan pedang tersebut
berarti pula ada harapan besar bagi kita untuk
mendapatkan ilmu silat warisan dari Siang Tang Lay. Jika
demikian keadaannya maka usaha kita membasmi kaum

iblis serta menegakkan kembali keadilan dalam dunia
persilatan pun ada harapan besar.”
Mendengar perkataan itu, Hoa Thian-hong segera
merasa darah panas bergelora dalam dadanya.
“Cianpwee, kau juga percaya dengan rahasia pedang
emas?”
Meskipun Ciong Lian-khek berulang kali menyatakan
bahwa dia tak mau dipanggil sebagai ‘cianpwe’, tapi
kebiasaan sukar dihilangkan dan mulut pemuda itu.
Dengan wajah serius Ciong Lian-khek mengangguk.
“Pedang kecil berwarna emas itu ada hubungan yang
erat sekali dengan ilmu silat peninggalan dari Siang Tang
Lan, persoalan ini tak bakal salah lagi! Sekarang
pusatkan saja seluruh perhatian dan tenagamu untuk
mendapatkan pedang emas itu, mengenai masalah yang
lain kita bicarakan kemudian hari saja. aku percaya suatu
ketika persoalan ini pasti akan jadi terang!”
“Mengenai pembunuh dari Jing Bong, sedikit banyak
aku telah memperoleh suatu gambaran!” ujar Hoa Thianhong
setengah berbisik.
“Maksud perempuan yang mencatut nama Pui Chegiok
serta raut wajahnya mirip dengan Pek Kun-gie itu?”
“Bukan! bukan orang itu yang kumaksudkan”jawab
pemuda itu sambil menggeleng, “jejak perempuan itu
bagai kabut di pagi hari, detik ini entah dia sudah berada
dimana? yang kumaksudkan adalah Pui Che-giok dayang
kepercayaan dari Giok Tong Hujie!”

“Dengan alasan apa kau mencurigai orang itu?” tegur
Ciong Lian-khek dengan suasa terkejut, “Nak, kau musti
tahu persoalan ini bukanlah persoalan kecil yang boleh
dibuat permainan, suatu tindakan yang keliru segera
akan mendatangkan bencana kematian yang
mempengaruhi mati hidup seseorang!”
“Ketika pembunuh itu menyelesaikan jiwa Jin Bong,
yang dipergunakan adalah sebilah badik mustika yang
kecil mungil, kemarin sewaktu aku berada di kuil It-goankoan,
dalam paniknya Pui Che-giok juga pernah unjukkan
badik mustika yang bentuknya persis sekali dengan alat
pembunuh tersebut, oleh karena itulah aku menduga
antara mereka berdua tentulah terkait oleh suatu
hubungan yang sangat erat”
Ia berhenti sebentar dan berpikir, kemudian lanjutnya,
“Tatkala peristiwa berdarah itu sedang terjadi, perahu
peribadi milik Giok Teng Hujien kebetulan pula sedang
berlabuh di sungai Huang-hoo, apakah cianpwee tidak
merasa bahwa kejadian ini aneh sekali?”
“Ehmm…! badik mustika adalah suatu benda yang
kecil dan tidak menyolok mata, tak nyana bocah ini
bekerja amat teliti dan seksama, sampai urusan sekecil
itupun tidak terlepas dari pengamatannya. Aaai…. ia
betul-betul bernyali besar dan berpikiran teliti, bocah ini
termasuk seorang calon jago yang luar biasa. Mungkin
Thian punya mata dan sengaja menurunkan bocah ini ke
bumi untuk melenyapkan kaum durjana dan iblis dari
kolong langit?” pikir Ciong Lian-khek dalam hati kecilnya.

Berpikir sampai disitu ia lantas berkata, “Banyak
peristiwa yang terjadi di kolong langit kadang kala
berada diluar dugaan orang, adu kelicikan dan adu
kekejian bukanlah sifat utama dari orang golongan kita.
Kau harus bertindak dengan hati-hati, bekerja secara
mantap dan seksama, utamakan perlindungan jiwa atas
diri sendiri kemudian baru pikirkan usaha untuk maju ke
titik sukses, jangan terlampau gegabah dan menuruti
emosi hati sehingga sebaliknya malah kena dicurangi
oleh pihak lawan”
Hoa Thian-hong mengiakan berulang kali, sesudah
menepuk bahu Chin Giok-liong ia putar badan dan
berlalu dari situ.
Sambil menghantar pemuda itu keluar dari kamar,
Ciong Lian-khek berpesan kembali, “Kunjunganmu ke
perkumpulan Hong-im-hwie lakukanlah menurut
peraturan dunia persilatan, dengan begitu mereka tak
akan turun tangan menghadapi dirimu. Aku punya
dendam sedalam lautan dengan Cia Kim, bila kita saling
bertemu pertarungan sengit pasti akan terjadi, maka dari
itu akupun tak akan menemui kepergianmu ini.”
Hoa Thian-hong mengiakan sertu mengangguk,
sepeninggalnya dari rumah penginapan dia langsung
menuju ke rumah makan Ki-Eng-Lo.
Sebagai seorang jago muda yang mendapat sorotan
paling tajam dari semua golongan di kota Cho-Ciu,
pemuda ini dikenal oleh seluruh orang di rumah makan
tersebut, ketika ia tiba dipintu depan. Pemilik rumah

makan diiringi beberapa orang pelayan telah menyambut
kedatangannya sambil berkata, “Hoa-ya, Pek toasiocia
dari perkumpulan Sin-kie-pang telah siapkan perjamuan
dalam gardu Cui-Wi-Teng, silahkan Hoa-ya menuju
kesitu!”
Hoa Thian-hong mengangguk dan segera mengikut di
belakang orang itu, setelah melewati tanah lapang untuk
bersilat mereka putar ke dalam sebuah jalan kecil yang
rimbun. beberapa puluh tombak kemudian sampailah
mereka di hadapan sebuah gardu persegi delapan yang
rimbun dan sejuk, dalam gardu telah disiapkan meja
perjamuan.
Pek Kun-gie dengan mengenakan pakaian serba putih
duduk disisi gardu, ketika Itu ia sedang memperhatikan
sepasang capung di tengah kolam teratai, Siauw Leng
sambil memegang sebuah kipas berdiri disisinya, dayang
ini sedang celingukan kesana kemari seperti sedang
mencari sesuatu.
Ketika Hoa Thian-hong munculkan diri di tempat itu,
Siauw Leng sambil tertawa cekikikan segera berseru,
“Nona, tamu kita telah datang!”
Pengurus rumah makan itu maju beberapa langkah
kemuka dan berseru sambil memberi hormat, “Nona,
Hoa-ya telah tiba!”
Perlahan-lahan Pek Kun-gie berpaling dia ulapkan
tangannya mengundurkan pengurus rumah makan itu,
kemudian dengan sikap ogah-ogahan bangkit berdiri dan
berjalan menuju kemeja perjamuan.

“Agaknya pertemuan yang diadakan hari ini rada
sedikit berlebihan” pikir Hoa Thian-hong dalam bati.
Sementara ia berpikir begitu, langkahnya dilanjutkan
menuju ke arah meja perjamuan sapanya sambil
memberi hormat, “Nona, harap suka memberi maaf bila
kedatanganku agak terlambat!
“Untuk keterlambatanmu kau harus dihukum dengan
tiga cawan arak” seru Siauw Leng dengan cepat sekali
tertawa, “Kemarin malam secara gegabah dan kasar kau
telah melukai pula nona kami, sebentar lagi hutang ini
musti diselesaikan pula!”
“Hmmm! Sedikit tak tahu aturan!” tegur Pek Kun-gie
dengan wajah berubah, “Apa itu kau, kau, kau?”
Sambil meleletkan lidahnya Siauw Leng segera
membungkam, buru-buru dia penuhi cawan kedua orang
itu dengan arak wangi.
Diam-diam Hoa Thian-hong pun memperhatikan sikap
Pek Kun-gie, dia lihat wajah gadis itu layu dan lemah
bahkan nampak sedikit murung dalam hati segera
pikirnya, “Serangan yang kulancarkan kemarin malam
hanya menggunakan tenaga sebesar lima bagian, masa
ia benar-benar terluka?”
Bibirnya bergerak hendak mengucapkan beberapa
patah kata yang menyatakan permintaan maaf, tapi
setelah teringat kembali akan penghinaan yang pernah

diterima pada masa lalu, pemuda itu segera keraskan
hatinya dan membungkam dalam seribu bahasa.
Kecantikan wajah Pek Kun-gie boleh dibilang nomor
satu di kolong langit, kecuali kalah setengah tingkat dari
gadis yang mencatut nama Pui Che-giok boleh dibilang
gadis2 lain dalam dunia persilatan tak seorangpun yang
dapat menandingi dirinya.
Tampak ia angkat kepala memandang sekejap ke arah
Hoa Thian-hong, lalu ujarnya, “Apa yang hendak kau
katakan? Mengapa tidak jadi bicara? Apa takut didengar
orang lain?”
Hoa Thian-hong menggeleng, sambil angkat cawan
arak ia menyahut, “Sanak keluarga dari Chin Pek-cuan
Loenghiong masih tertinggal di kota Seng-ciu, asal kan
tersedia melindungi jiwa mereka semua maka semua
hutang piutang kita dimasa yang silam kuhapuskan
sampai disini saja, sejak kini aku tak akan mencari garagara
dengan dirimu lagi.”
“Hmmm, kesetia kawanmu terhadap keluarga Chin
rupanya luar biasa sekali?”
Hoa Thian-hong tertegun, dari nada ucapan itu dia
dapat menangkap suatu perasaan lain yang aneh sekali,
setelah merandek sejenak ia lantas berkata, “Chin Pekcuan
pernah melepaskan budi terhadap keluarga Hoa
kami, dan aku rasa semua orang pasti mengetahui akan
kejadian tersebut. Setelah aku makan teratai racun
empedu api, enci Chin Wan-hong pula yang
mengusahakan obat mujarab sehingga aku dapat

terhindar dari bahaya maut, bila tiada pengorbanan
darinya, darimana aku Hoa Thian-hong bisa munculkan
diri di kota Cho-Ciu pada saat ini?”
Dari pembicaraan itu dapat terlihat betapa mesranya
sikap pemuda ini terhadap diri Chin Wan-hong, perasaan
tersebut sama sekali tidak disembunyikan barang
sedikitpun jua.
Pek Kun-gie segera tertawa dingin, selanya, “Bila aku
tidak mengirim Oh Sam untuk menghantar kalian
melakukan perjalanan sejauh ribuan li, masih kau bisa
sampai di tempat tujuan….?”
Mula2 Hoa Thian-hong tertegun, kemudian pikirnya
dalam hati, “Seandainya bukan dikarenakan tiga batang
jarum beracun ‘So-Hun-Tok-Ciam’ akupun tak akan
menelan teratai racun untuk bunuh diri, andaikata aku
mati keracunan itu masih mendingan, sekarang aku
hidup segar bugar di kolong langit sedang Teratai racun
empedu api yang seharusnya kuberikan kepada ibuku
sebagai obat malah termakan olehnya, siapa yang harus
menyembuhkan sakit yang diderita ibu?”
Sebagai seorang anak yang berbukti kepada orang
tuanya, Hoa Thian-hong lebih mementingkan soal
kesehatan ibunya daripada soal lain. Teringat akan hal
tersebut rasa bencinya terhadap pihak perkumpulan Sinkie-
pang kian bertambah tebal, sekalipun berhadapan
kamu dengan seorang gadis cantik jelita bagaikan
bidadari, perasaan itu sulit pula untuk disembunyikan….

Sementara itu ketika Pek Kun-gie tidak mendengar
jawaban dari si pemuda itu, dan segera berpaling dan
berkata lagi, “Kemarin malam aku telah pikirkan kembali
pertanyaan yang kau ajukan kepadaku rasanya sekarang
aku telah berhasil memahami maksud yang sebenarnya
dari pertanyaanmu itu….”
“Maksud apa?” tanya Hoa Thian-hong dengan alis
berkerut.
“Bukankah kemarin kau bertanya kepadaku, adakah
seseorang datang ke markas mencari dirimu? Sekarang
aku sudah tahu siapakah orang yang kau maksudkan itu”
“Siapa?”
“Ayahmu sudah meninggal, hanya ibumu merupakan
satu2nya orang yang kau sayang Kalau kulihat dari
sikapmu yang gelisah bercampur cemas maka dapat
kusimpulkan bahwa kau tentulah merasa kuatir bila
ibumu pergi ke markas Sin-kie-pang mencari dirimu.
bukan begitu?”
Tercekat juga hati Hoa Thian-hong mendengar
perkataan itu, dengan suara dingin segera serunya, “Ilmu
silat yang dimiliki ibuku sangat lihay, andaikata ia benarbenar
berkunjung kebukit Tay-pa-san, maka aku
peringatkan lebih baik kalian berhati-hati!”
“Addduuuh mak! benarkah Hoa Hujien selihay
itu?”teriak Siauw Leng tiba-tiba sambil tertawa
merdu.”Aku jadi pingin tahu sampai dimanakah
kehebatannya”

Dengan pandangan dingin Pek Kun-gie melirik sekejap
ke arah dayangnya lalu angkat cawan araknya dan
diangsurkan kepada Hoa Thian-hong.
Pikiran Hoa Thian-hong jadi kuatir, ia tak dapat
membebaskan gadis cantik di hadapannya ini seorang
teman atau lawan tanpa banyak bicara diapun angkat
cawan arak sendiri dan meneguknya setegukan.
Terdengar Pek Kun-gie berkata kembali, “Memang aku
tahu bahwa kelihayan ilmu silatnya yang dimiliki orang
tuamu dikenal oleh setiap orang, tapi kau musti ingat
bahwa sepasang kepalan susah mengalahkan empat
buah telapak Apalagi dalam markas perkumpulan Sin-kiepang
terdapat jago lihay yang tak terhitung jumlahnya,
bila ibumu benar-benar berani menempuh bahaya, aku
takut sulit baginya untuk keluar dari situ dalam keadaan
selamat”
Tertegun bati Hoa Thian-hong mendengar perkataan
itu, hanya dia seorang yang tahu bahwa Hoa hujien
menderita luka dalam yang amat parah sehingga ilmu
silatnya tak dapat dipergunakan lagi, tapi rahasia
semacam ini tentu saja tidak sampai diucapkan keluar,
Sambil tertawa paksa segera katanya, “Kalau anggota
perkumpulan Sin-kie-pang kalian berani berbuat kurang
ajar terhadap ibuku dengan andalkan jumlah banyak,
akupun tak usah susah2 pergi mencari satroni dengan
orang lain, rasa dongkolku itu segera akan kulampiaskan
di atas tubuhmu, dengan gigi aku balas gigi dengan

cakar aku balas cakar, hutang baru hutang lama
semuanya aku bereskan atas namamu seorang”
Pek Kun-gie segera mendengus dingin.”Hmm! Aku
nasehati dirimu, lebih baik lepat21ah bunuh diriku, sebab
kalau tidak, sekembaliku ke kota Seng-ciu maka seluruh
keluarga dari Chin Pek-cuan akan kubunuh sampai habis”
“Kau anggap aku tak berani mencabut jiwamu…”
teriak Hoa Thian-hong dengan gusar Tiba-tiba ia merasa
dibalik ucapan
gadis itu seakan-akan terselip nada pedih yang
menyedihkan hati, sikapnya yang lesu dan murung pada
saat ini jauh berbeda dengan sikapnya yang angkuh dan
sombong dimasa lampau, ia jadi heran dan untuk sesaat
berdiri tertegun,
Keadaan Pek Kun-gie nampak lesu, layu dan seperti
orang aras2an, dengan kepala tertunduk dia awasi cawan
araknya dengan pandangan mendelong.
Lama sekali ia baru angkat kepala dan memandang
wajah si anak muda itu, biji matanya yang bening secara
lapat-lapat terselip kelesuan yang sangat aneh.
Makin dipandang Hoa Thian-hong merasa semakin
bingung, ia merasa sikap Pek Kun-gie pada saat ini jauh
berbeda dengan sikapnya dimasa silam. sekarang bukan
saja tidak nampak kesombongan jiwanya bahkan nampak
jauh lebih halus dan lembut.

Setelah berpikir sejenak, pemuda itu merasa semakin
bingung. Akhirnya sambil angkat cawan araknya ia
berkata setengah gelagapan, “Aku akan menemani nona
untuk minum beberapa cawan lagi, bila kau tak ada
urusan lain, akupun ingin mohon diri terlebih dulu”
Mendengar perkataan itu, Pek Kun-gie angkat
cawannya dan meneguk setegukan. kemudian dengan
nada seenaknya ia berkata, “Aku dengar katanya ibumu
sangat cantik, benarkah itu?”
Hoa Thian-hong tidak menyangka kalau ia bakal
mengajukan pertanyaan semacam itu, setelah melengak
sejenak ia mengangguk “Benar, ibuku memang sangat
cantik”
“Bagaimana kalau kecantikannya dibandingkan dengan
Chin Wan-hong?….”
Hoa Thian-hong segera tersenyum. “Lucu amat
pertanyaanmu ini, yang satu adalah orang dewasa
sedang yang lain baru seorang bocah, bagai mana aku
musti membandingkannya?….”
Haruslah diketahui Hoa Hujien adalah seorang
perempuan yang amat cantik, meskipun usianya telah
mencapai empat puluh tahun namun kecantikan
wajahnya masih belum hilang lenyap.
Sedangkan Chin Wan-hong hanya halus lemah lembut
dan menyenangkan orang, gadis ini tidak termasuk
dalam golongan gadis cantik. Bila hendak dibandingkan
tentu saja ia bukan tandingan dari kecantikan Hoa Hujien

Sekalipun begitu Hoa Thian-hong tidak ingin
merendahkan salah satu diantara mereka berdua, sebab
yang satu adalah ibu kandungnya yang sangat disayang
sedang yang lain adalah teman akrabnya, dalam keadaan
begini pemuda tersebut segera ambil jalan tengah
dengan tidak memberikan perbandingan
Tiba-tiba terdengar Siauw Leng nyeletuk, “Bagaimana
kalau Hoa Hujien dibandingkan dengan nona kami?”
“Lancang amat kau ini, jangan banyak bicara,!” seru
Pek Kun-gie dengan uring2an. Ia berpaling ke arah Hoa
Thian-hong kemudian melanjutkan, “Tabiatku suka
menyendiri dan jarang sekali mengikat tali persahabatan
dengan orang lain, di hari2 biasa teman,ku hanya budak
ini saja, bila ia kurang ajar kepadamu harap kau suka
memaafkan”
“Omongan bocah cilik kenapa musti dipikirkan?” sahut
Hoa Thian-hong sambil tersenyum. ketika dilihatnya
sepasang biji mata gadis itu sedang mengawasi dirinya
seolah-olah sedang menantikan perkataan selanjutnya,
terpaksa sambil tersenyum ia menambahkan, “Harap
nona jangan marah, ibuku ibarat rembulan di angkasa
sedang nona bagaikan sekuntum bunga, meskipun kedua2nya
indah namun sulit bagiku untuk
membandingkannya”
Bila di-hari2 biasa. perkataan itu pasti akan
menggatalkan telinga Pek Kun-gie, tapi sekarang
wajahnya tetap tersungging senyuman lirih, sedikitpun
tidak nampak rasa tidak senang yang terlintas di atas
wajahnya.

“Aku toh seorang budak ingusan yang tiada berharga,
mana bisa dibandingkan dengan Hoa Hujien? Mungkir.
dengan enci Wan-hong mu itupun tak dapat
mengimbangi”
“Apanya sih yang bagus pada diri Chin Wan-hong?
Kalau dibandingkan dengan nona kami, dia belum ada
separuhnya!” sela Siauw Leng tidak puas.
Sorot mata Pek Kun-gie berkilat ia sapu sekejap wajah
Hoa Thian-hong lalu katanya sambil tertawa,
“Perempuan yang telah dewasa toh gampang berubah,
siapa tahu kalau kecantikan wajah Chin Wan-hong secara
tiba-tiba berubah jadi lebih cantik dari pada diriku?”
Hoa Thian-hong tersenyum, pikirnya, “Perempuan
memang aneh sekali, baik dalam raut wajah maupun
dalam ilmu silat, mereka selalu ingin kecantikannya
melebihi orang lain.”
Ia bangkit dari tempat duduknya dan segera menjura,
katanya, “Karena masih ada urusan lain, dilain hari saja
aku datang kembali untuk menyambangi nona!”
Wajah Pek Kun Ge yang baru saja dihiasi senyuman
kegembiraan seketika berubah jadi sedih kembali setelah
mendengar pemuda itu mohon diri.
Hoa Thian-hong adalah pemuda yang cerdik.
meskipun usianya masih muda tapi dia pandai melihat
gelagat orang. menyaksikan gadis itu menunjukkan rasa
sedih setelah ia mohon pamit, tanpa terasa dalam hati

pikirnya, “meskipun gadis ini sombong dan agak mau
menang sendiri dalam menghadapi tiap persoalan,
namun bila keadaannya bisa begini halus terus menerus,
dia patut diajak berteman”
Berpikir sampai disitu. timbullah rasa kasihan dalam
hatinya, ia segera berkata, “Pagi ini Jin Hian telah
mengutus orang untuk mengampaikan sebuah kartu
undangan kepadaku, karena akupun membutuhkan
sejenis obat darinya maka undangan tersebut telah
kuterima. Bila nona tak keberatan, aku ingin mohon diri
lebih dahulu agar bisa bikin sedikit persiapan”
“Itu toh urusan nanti malam? Atau mungkin hendak
pergi ke kuil It-goan-koan?”
Pek Kun-gie adalah seorang gadis yang tinggi hati,
sebelum berkenalan dengan Hoa Thian-hong belum
pernah hatinya tertarik siapapun, tapi setelah berjumpa
dengan pemuda itu, sedikit demi sedikit ia mulai tertarik
hatinya oleh kegagahan serta ketampanannya, dalam
hati kecilnya timbullah rasa cinta yang mendalam, cinta
itu bersemi sedikit demi sedikit. akibatnya rasa senang
gadis ini terhadap pemuda itu boleh dikata jauh lebih
mendalam dari pada cinta dalam pandangan pertama.
Rasa cinta itu mulai bersemi sejak perkenalan mereka,
ketika terjadi peristiwa Hoa Thian-hong bunuh diri
dengan menelan teratai racun empedu api di tepi sungai
Huang-hoo, gadis itu baru menyadari bahwa hati kecilnya
telah terisi oleh bayangan Seorang pria, dan pria itu
bukan lain adalah Hoa Thian-hong.

Tapi sayang semuanya terlambat, pemuda pujaannya
telah bunuh diri dan kabar beritanya sejak itu ikut lenyap
bersama lenyapnya Chin Wan-hong serta Tiong-si Sam
Houw.
Ketika berita tentang munculnya kembali Hoa Thianhong
dalam dunia persilatan tersiar sampai gunung Tay-
Pa-San, Pek Kun-gie merasakan hatinya senang
bercampur murung, ia merasa ingin sekali cepat-cepat
bertemu dengan pemuda itu, tapi diapuu tahu antara
mereka berdua pernah terikat oleh suatu permusuhan
dimasa yang silam, sengketa tadi seolah-olah sebuah
jurang yang dalam telah memisahkan mereka berdua
pada tepian yang berbeda, hal mi membuat hatinya jadi
murung dan sedih. tapi akhirnya ia nekad berangkat juga
ke kota Cho-Chiu untuk bertemu dengan dirinya.
Hoa Thian-hong sendiri meskipun tidak dapat
memahami perasaan hati si gadis, tapi ia dapat metihat
perubahan sikap Pek Kun-gie yang amat besar serta
sikap persahabatannya terhadap dia, hal iti membuat
sikapnya jadi kikuk dan Salah, dia ingin sekali hatinya
dan berlalu dari situ, tapi apa daya hatinya terasa lemah
menghadapi kaum wanita.
Untuk sesaat pemuda ini jadi melongo dan tak tahu
apa yang musti dilakukan olehnya.
Siauw Leng si dayang kecil itu tidak punya pikiran
cabang. melihat Hoa Thian-hong hendak pergi sedang
Pek Kun-gie ada maksud menahan, ia segera menarik
tangan pemuda itu sambil menyeretnya duduk kembali di
tempat semula, serunya sambil tertawa, “Eeei….

bagaimana sih kau ini? Kok sikapmu tak tahu adat?
pertanyaan yang diajukan nona kami toh belum selesai!”
Hoa Thian-hong tertawa getir, ia duduk ke tempat
semula. Sikap kurangajar yang diperlihatkan Siauw Leng
pada saat ini ternyata tidak peroleh dampratan dari Pek
Kun-gie, malahan gadis ini pura-pura tidak melihat.
Suasana untuk sesaat diliputi kecanggungan serta
serba kerikuhan mendadak pada sesaat itulah terdengar
suara langkah manusia bergema datang, disusul
tampaklah pengurus rumah makan diiringi seorang
pemuda baju putih berjalan mendekat
Melihat kehadiran pemuda itu. dengan mata melotot
besar Siauw Leng segera berseru, “Aaah! Kok kongcu
juga datang ke kota Cho-Ciu?”
Pek Kun-gie sendiri sewaktu mengenali pemuda itu
sebagai Kok See-piauw, dengan alis berkerut segera
alihkan biji matanya yang jeli ke arah Hoa Thian-hong.
Rupanya Kok See-piauw sendiri juga telah melihat
ketiga orang yang hadir dalam gardu, sambil melangkah
masuk ke dalam gardu itu ia tertawa lantang dan
berseru, “Oooh…! Adikku manis, kenapa kau pergi tanpa
pamit? Aku sampai tak enak makan tak enak tidur, kejam
amat hatimu!”
Diam-diam Pek Kun-gie merasa amat gusar melihat
kehadiran pemuda itu, dalam keadaan serta situasi
seperti ini ia tak ingin dirinya diganggu orang lain, di
samping itu diapun takut Hoa Thian-hong tak senang

hati, maka setelah manggut lirih kembali dia alihkan
sorot matanya ke arah pemuda she Hoa tadi untuk
mengamati perubahan wajahnya.
Sementara itu Hoa Thian-hong telah berpikir di dalam
hatinya setelah menyaksikan kehadiran dari Kok Seepiauw,
“Kebetulan sekali, aku memang hendak
mengundurkan diri, eeei .. siapa tahu kau datang
kemari…. inilah kesempatan bagiku untuk pergi dari sini!”
Berpikir demikian ia lantas bangkit berdiri dan siap
memohon diri kepada Pek Kun-gie.
Tiba-tiba Siauw Leng berseru sambil tertawa, “Kok
Kongcu saudara ini bukan lain adalah Hong-po Seng
Kongcu yang pernah kita jumpai tempo dulu, sekarang ia
bernama Hoa Thian-hong dan merupakan orang yang
paling tersohor di kota Cho-Ciu!”
Kok See-piauw sendiri agaknya juga sudah
mengetahui siapakah Hoa Thian-hong itu, dengan alis
berkerut sengaja dia amati lawannya dari atas kepala
hingga sampai ke ujung kaki lalu sambil membuka
kipasnya ia menyindir sambil tertawa , “Bisa lolos dari
bencana besar, kehidupanmu kemudian hari tentu
banyak rejeki, bocah keparat! Sekali goyang badan
ternyata kau betul-betul sudah berubah lebih hebat dari
dahulu!”
Hoa Thian-hong berjiwa besar dan bercita cita tinggi,
setiap saat ia selalu memikirkan bagaimana caranya
menumpas kaum iblis serta durjana dari muka bumi dan
bagaimana caranya menegakkan kembali keadilan di

kolong langit, yang termasuk daftar incarannya antara
lain Bun Liang Sinkun, Pek Siau-thian, Jin Hian serta
beberapa orang gembong iblis dari perkumpulan sekte
agama Thong-thian-kauw.
Manusia-manusia sebangsa Kok See-piauw sebetulnya
tidak tercatat dalam hati, tapi setelah menyaksikan
kesombongan pemuda itu serta sikapnya yang begitu
jumawa, tak urung berkobar juga hawa amarah dalam
dadanya, rasa benci dan muak menyelimuti seluruh
benaknya.
Kok See-piauw sendiri sudah lama mencintai Pek Kungie,
meskipun tiada kemajuan namun harapan selalu
tetap ada, kini setelah dilihatnya gadis itu secara
mendadak meninggalkan permusuhan dan berubah Jadi
bersahabat dengan Hoa Thian-hong, terutama sikap Pek
Kun-gie yang begitu dingin terhadap dirinya serta raut
wajah pemuda she-Hoa yang tampan serta gagah,
timbullah rasa dengki dan cemburu dalam hati kecilnya,
nafsu membunuh segera berkobar dan tanpa banyak
bicara dia langsung ambil tempat duduk di dalam gardu.
Hoa Thian-hong semakin naik pitam terutama setelah
dilihatnya sikap maupun perkataan lawan amat tak tahu
diri, tapi ingatan lain segera berkelebat dalam benaknya,
ia merasa tak leluasa untuk bergebrak dalam keadaan
begini.
Maka sambil menekan kembali hawa gusarnya ia
bangkit berdiri dan tinggalkan tempat duduknya.

Pek Kun-gie jadi amat gelisah. segera pikirnya di
dalam hati, “Dalam menghadapi persoalan yang kutemui
pada saat ini, aku haru ambil keputusan tegas. Bila
kutampik Kok See-piauw maka paling banter dari sahabat
kita akan berubah jadi permusuhan, sebaliknya kalau aku
sampai menggusarkan dirinya, mungkin sejak detik ini
kami tak akan hidup secara damai.”
Hati perempuan memang dalam ibarat saudara,
terutama sekali gadis tinggi hati macam Pek Kun-gie, bila
ia tidak senang mungkin masih mendingan, jika ia telah
jatuh hati maka sekalipun perjalanan dihadang oleh golok
tajampun ia tak akan balik kembali.
Demikianlah, setelah mengambil keputusan ia segera
bangkit berdiri dan mengejar ke sisi Hoa Thian-hong,
serunya, “Disebelah tenggara kota terdapat sebuah kedai
makan tersohor. mari aku temani dirimu makan di
tempat lain saja!”
Hoa Thian-hong terkesiap. dalam hati ia merasa
bangga dengan sikap gadis tersebut tetapi iapun merasa
serba salah, untuk beberapa saat ia jadi berdiri
menjublak dan tak tahu apa yang musti dilakukan.
Kok See-piauw jadi sangat malu dengan tindakan Pek
Kun-gie tersebut, sambil bangkit berdiri teriaknya keraskeras,
“Hian-moy harap berhenti, biar siau-heng saja
yang pergi dari tempat ini!”
Pek Kun-gie tidak menyahut, ia tarik ujung baju Hoa
Thian-hong dan diajak menyingkir ke samping untuk
memberi jalan lewat bagi Kok See-piauw.

Pemuda she-Kok ini adalah anak murid kesayangan
dari Bu-Liang-Sinkun, semula tabiatnya sangat binal dan
kasar, tapi sejak ia jatuh cinta kepada Pek Kun-gie lama
kelamaan sifatnya banyak berubah, ia jadi lebih halus
dan penurut. Tapi kini setelah impian indahnya buyar,
terutama setelah hatinya diliputi kedengkian serta rasa
kecewa. muncullah kembali wataknya yang buas dan
kasar itu. ia bersumpah hendak membalas sakit hati ini.
Tatkala tubuhnya berjalan lewat disisi kedua orang itu,
mendadak ia berhenti dan melotot ke arah Hoa Thianhong
dengan sorot mata berapi-api.
Wajah Pek Kun-gie berubah hebat. ia tahu pemuda itu
mengandung maksud tak baik tanyanya dengan suara
dingin, “Kok-heng, diantara kita berdua hanya ada
hubungan persahabatan dan selamanya tiada urusan
pribadi apapun, dalam urusan hari ini jika Kok-heng
masih suka memberi muka kepadaku. lebih baik
janganlah menimbulkan keonaran dan gara-gara di
tempat ini”
Kok See-piauw tertawa dingin.”Hubungan diantara kita
berdua toh sudah berlangsung lama, siapa suruh kau
bersikap kejam lebih duhulu?”
Sorot matanya dialihkan ke arah Hoa Thian-hong,
kemudian sambil tertawa seram tambahnya,
“Kedatangan aku orang she Kok di kota Keng-ciu kali ini
adalah menuntut balas bagi sakit hati guruku, tetapi
memandang di atas wajah adik Pek untuk sementara
waktu urusan itu telah kukesampingkan. tapi sekarang

urusan telah jadi begini, kau si bangsat cilik pun harus
memberi pertanggungan jawab kepadaku”
“Sungguh menggelikan orang ini,” batin Hoa Thianhong
di dalam hati, “Dia lebih mengutamakan
kepentingan pribadi daripada perintah gurunya, Hmm!
dasar manusia rendah….”
Sebelum dia sempat buka suara, Pek Kun-gie telah
berseru kembali dengan gusar, “Kok-heng, mengungkap
ungkap kejadian masa lampau bukanlah seorang lelaki
sejati masalah yang menyangkut keluarga Chin telah
kutangani sendiri, bila Kok-heng merasa tidak puas,
silahkan mengajukan perotes langsung dengan diriku!”
Kok See-piauw masih mencintai gadis ini dia tak ingin
putus hubungan sama sekali dengan Pek Kun-gie, tapi
terhadap Hoa Thian-hong rasa bencinya telah merusak
ke tulang sumsum, ia bersumpah hendak membinasakan
pemuda itu.
Mendengar ucapan dari gadis she-Pek, ia segera
tertawa panjang dan menyindir, “Hoa Thian-hong, Hoa
Thian-hong, tampangmu sih berubah tambah ganteng
dan gagah, tidak tahu sampai dimana kehebatan ilmu
silatmu, masa kau cuma berani bersembunyi dibawa
gaun seorang perempuan?”
Dalam hati Hoa Thian-hong tertawa geli terhadap Pek
Kun-gie pemuda ini sama sekali tidak menaruh hati, tapi
setelah teringat akan sebuah pukulan Kiu-pit-sin-ciang
yang dihadiahkan Kok See-piauw sewaktu berada di
gedung keluarga Chin di kota Keng-ciu hingga hampir

saja jiwanya melayang, ia jadi bangga hati melihat
kegusaran orang makin memuncak, ia merasa sakit hati
itu tak perlu dibalas lagi asal pemuda she-Kok ini bisa
dibikin naik pitam sehingga muntah darah.
Meskipun demikian, iapun kuatir bila musuhnya itu
menimpakan rasa mangkel dan gusarnya di atas tubuh
Chin Pek-cuan. maka dengan wajah serius katanya,
“Sudah lama aku mendengar orang berkata bahwa Buliang
Sinkun paling pegang janji dan selamanya tak
pernah mengingkari ucapan sendiri, kau sebagai murid
kesayangannya tentu mempunyai watak demikian pula
bukan?”
“Kau tak usah menjebak aku orang she-Kok dengan
kata-kata,” tukas Kok See-piauw cepat, “Kalau punya
kepandaian ayoh unjukkan kelihayanmu, asal kau si
bangsat belum modar, aku orang she Kok tak nanti akan
mencari Chin Pek-cuan tua bangka itu.”
Sebagai tamu terhormat dan perkumpulan Sin-kiepang,
selama ini dia hanya berdiam terus di bukit Taypa-
san, setelah Pek Kun-gie Pergi tanpa pamit buru-buru
ia menerjang ke Timur dan baru tengah hari tadi tiba di
kota Cho-ciu, setelah berkunjung sejenak di kantor
cabang Sin-kie-pang, ia langsung menyusul kemari.
Dengan begitu dia belum sampai mendengar kabar
mengenai pertarungan antara Hoa Thian-hong dengan
Cu Goan-khek, karena itulah dalam pandangannya, dia
musti menganggap enteng musuhnya ini, dianggapnya
pemuda itu bakal keok dalam beberapa gebrakan saja.

Sementara itu Hoa Thian-hong telah tersenyum
setelah diketahuinya Kok See-piauw masuk perangkap,
ujarnya kemudian, “Sulit sekali untuk peroleh janji dari
mulutmu sendiri, kalau memang ingin bergebrak silahkan
saudara tentukan waktu dan tempatnya, aku pasti akan
datang menemui janji.”
Kok See-piauw semakin naik pitam, ia tidak menanti
untuk menunggu lebih lama, sambil menyapu sekejap
sekeliling tempat itu serunya, “Ikuti diriku”
Dengan langkah lebar ia berlalu lebih dulu dari situ.
Sambil tersenyum Hoa Thian-hong membuntuti dari
belakangnya, sedang Pek Kun-gie dengan mulut
membungkam mendampingi disisi pemuda tersebut.
Setibanya dilapangan beradu silat Kok See-piauw
segera berhenti, melihat musuhnya datang didampingi
oleh Kun-gie. ia merasa gengsinya semakin terinjak
dengan penuh kegusaran segera teriaknya, “Bila aku
beruntung dan berhasil menangkan pertarungan ini,
Hian-moay tak boleh gunakan obat pemunahku untuk
menolong jiwanya.”
Pek Kun-gie mengerutkan alisnya, dari dalam saku dia
ambil sebutir pil warna hijau dan segera ditimpuk ke
depan. Kok See-piauw sambut obat tersebut, tiba-tiba ia
merasa menyesal ia merasa tidak seharusnya karena
persoalan itu dia musti bentrok dengan Pek Kun-gie,
dalam hati. segera pikirnya, “Baiklah. akan kubunuh lebih
dahulu bangsat ini, kemudian akan kulihat kau bakal
berubah pikiran atau tidak?”

Sekali gencet ia hancurkan obat itu jadi bubuk lalu
disebar di atas tanah, jengeknya sambil tertawa dingin,
“Hoa Thian-hong, kau berdiri melulu di situ, apakah
hendak tunggu sampai aku orang she-Kok turun tangan
lebih dahulu?”
“Hmm! Bajingan, kau memang terlalu tak tahu adat!”
dengus Hoa Thian-hong, ia maju kemuka dan segera
melancarkan sebuah pukulan.
Dengan tangkas Kok See-piauw mengegos dari
ancaman itu, lalu sambil tertawa dingin kembali ejeknya,
“Aku kira ilmu silatmu telah mendapat kemajuan pesat,
tak tahunya….Huuuh! Melulu satu jurus itu saja”
Sambil berseru jari dan telapaknya bekerja cepat,
dalam sekejap mata dia sudah kirim lima jurus serangan
silat.
Dengan tenang Hoa Thian-hong hadapi setiap
serangan lawar, sembil bertempur pikirnya dalam hati,
“Meskipun orang ini terlalu jumawa, ilmu silatnya luar
biasa juga. Dari sini dapat dibayangkan betapa lihaynya
Bu-liang Sinkun sang gurunya…”
Sementara itu, para tamu dalam rumah makan
tersebut berbondong2 telah penuhi sekitar kalangan
tatkala mereka tahu ada orang sedang bertempur disitu,
tentu saja diantara mereka terdapat pula para jago dari
golongan Sin-kie-pang, Hong-im-hwie serta Thong-thiankauw,
suara bisik2 kedengarannya berkumandang
diantara mereka sedang seluruh perhatian dicurahkan ke

tengah kalangan, seakan-akan mereka sedang menikmati
suatu pertempuran yang amat indah.
Dalam menghadapi pertarungannya hari ini, Hoa
Thian-hong bersikap tenang dan sama sekali tidak
terburu nafsu, ilmu pukulan Kun-siu-ci-tau dimainkan
dengan bebas dan enteng, diantara serangan terdapat
pula pertahanan yang kuat.
Tenaga dalam yang ia miliki saat ini sedang berada
dalam taraf peningkatan, terutama pembaruan antara
hawa murni serta kadar teratai racun yang bersarang di
tubuhnya telah menciptakan sesuatu cara berlatih tenaga
dalam yang aneh, makin kerap ia bergerak makin pesat
kemajuan yang diciptakan dalam tenaga murninya.
bukan saja ia tidak merasa lelah bila bertempur melawan
orang kebalikannya tubuh merasa makin segar dan
nyaman.
Lain hanya dengan Kok See-piauw yang diliputi rasa
dengki dan benci, ia berniat membinasakan musuhnya
dalam berapa gebrakan saja, karena itu lewat beberapa
jurus kemudian ilmu ‘Kiu-pit-sin-ciang’ dari perguruannya
telah dimainkan dengan dahsyat, tangan kanan
menyerang dengan ilmu pukulan tangan kiri menotok
dengan ilmu totokan, ia menyerang secara brutal dan
penuh nafsu.
Bila dibicarakan tentang indahnya gerakan serta
luasnya ilmu silat, Hoa Thian-hong tak dapat menangkan
Kok See-piauw, tapi kalau berbicara tentang tenaga
dalam maka pemuda kita ialah yang lebih unggul.
Meskipun jurus pukulannya hanya tunggal tapi dibalik itu

terkandunglah banyak perubahan yang dahsyat, ia tak
pernah menyerang dengan jurus tipuan ataupun
pancingan, namun walau Kok See-piauw telah unjukan
ilmu silat macam apapun itu selalu tak berhasil merebut
kemenangan
Begitulah, Kok See-piauw kuat dalam variasi jurus,
lemah tenaga dalam, semakin gusar ia menghadapi
pertarungan itu semakin lemah tenaga serangannya,
hingga lama kelamaan posisinya mulai nampak goyah
dan terdesak bebat.
Menghadapi keadaan seperti ini, Hoa Thian-hong
segera berpikir dalam hati, “Setelah Cu Siauw Lek tampil
ke muka, sekarang bila Kok See-piauw kupukul roboh
maka dengan sendirinya Bu-liang Sinkun bakal muncul
diri, orang lain punya tulang punggung sedang aku? Bila
aku kalah siapa yang akan balaskan dendam?”
Teringat pula luka yang diderita ibunya, ia jadi kesal.
Hilanglah niatnya untuk bertempur lebih jauh. sambil
membentak keras telapaknya laksana kilat menyapu ke
depan. Pukulan ini bukan saja dilancarkan dengan cepat
laksana kilat, bahkan luar biasa hebatnya.
Mimpipun Kok See-piauw tidak menyangka kalau
dalam serangan yang sama secara tiba-tiba musuhnya
telah menggunakan tenaga yang lebih dahsyat, melihat
tak ada kesempatan lagi baginya untuk menghindar,
terpaksa ia putar telapak menyongsong datangnya
serangan itu dengan keras lawan keras.

“Blaaaam….!” di tengah bentrokan nyaring Kok Seepiauw
merasa tubuhnya bergetar keras, lengannya jadi
linu dan kaku hingga tanpa terasa badannya terdorong
mundur dua depa ke belakang.
“Kalau rejeki? pasti bukan bencana, kalau bencana tak
akan kuhindari lebih baik undang saja gurumu!” pikir
Hoa- Thian-hong dalam hati.
Tabuhnya menerjang makin kemuka, telapak diayun
dan sebuah pukulan kembali dilancarkan.
Kok See-piauw terkesiap, buru-buru ia pasang she-si
(Kuda-kuda) kemudian sepasang telapak didorong ke
depan dan menerima datangnya serangan itu secara
keras lawan keras?
JILID 15 : Benci menjadi Cinta
BLAAM…! Sekali lagi terjadi bentrokan dahsyat. Kok
See-piauw rasakan kepalanya hampir pecah termakan
daya tekanan hawa pukulan tersebut. matanya kontan
berkunang-kunang dan tubuhnya mundur ke belakang
dengan sempoyongan. Keadaannya saat ini jauh lebih
payah dari pertama kali tadi.
Hoa Thian-hong sendiri hanya tergetar sedikit ke
samping, lalu seperti tak pernah terjadi apa2 dia loncat
ke belakang tubuh Kok See-piauw, telapaknya diayun
dan segera menghantam punggung orang sekeraskerasnya.

“Jangan bunuh dia!” mendadak Pek Kun-gie menjerit
kaget.
Hoa Thian-hong tertegun mendengar seruan itu tanpa
pikir panjang ia kurangi hawa murninya dan ayun
telapaknya ke samping.
Weesss! Tubuh Kok See-piauw segera terlempar ke
depan
Meskipun pukulan yang bersarang di atas punggung
lawan ini cukup ringan, namun bagi Kok See-piauw
dirasakan bagaikan terhajar martil seberat seribu kaki, ia
menjerit tertahan dan mencelat sejauh beberapa tombak,
kemudian tubuhnya terbanting keras-keras di atas tanah.
Kok See-piauw berusaha untuk menahan diri namun
gagal, tak bisa dihindari lagi ia muntah darah segar.
“Kok-heng silahkan berlalu dari sini,” kata Pek Kun-gie
kemudian. “Dilain hari siaumoay pasti akan minta maaf
kepadamu!”
Kok See-piauw merasa malu bercampur gusar, dengan
sorot mata penuh kebencian ia melotot sekejap ke arah
Hoa Thian-hong kemudian putar badan dan berlalu dari
situ.
Hoa Thian-hong sendiri tertawa dingin tiada hentinya,
menanti bayangan punggung musuhnya sudah lenyap
dari pandangan ia alihkan sorot matanya keempat
penjuru. tiba-tiba wajahnya terata panas dan jengah
sekali

0000O0000
PARA tamu yang menonton jalannya pertarungan dari
sisi kalangan pada menyadari bahwa sepasang laki
perempuan yang berada di kalangan bukanlah manusia
sembarangan, melihat pertarungan telah berakhir
merekapun sama-sama membubarkan diri dan kembali
ke tempat masing-masing, suasana tetap sunyi dan tak
seorangpun berani membicarakan lagi peristiwa itu.
Dengan sikap seperti gembira seperti gusar, Pek Kungie
berbisik kepada Siauw Leng, “Bayar rekening kita,
kemudian kau boleh pulang lebih dahulu!”
Kemudian sambil menghampiri Hoa Thian-hong
ujarnya pula, “Mari kutemani dirimu pergi ke rumah
makan lain, bagaimana kalau kita mencicipi sayuran
dusun?”
Hoa Thian-hong sendiri sudah sedari tadi ingin
tinggalkan tempat itu, maka tanpa banyak berbicara ia
berjalan keluar dari rumah makan itu dan menuju ke
jalan raya.
“Sst… perlahan sedikit aah” mendadak Pek Kun-gie
berbisik. “Langkah kakimu terlalu lebar, aku sampai lelah
menyusul dirimu”
Hoa Thian-hong tertegun dan segera berpaling,
tampaklah gadis itu dengan senyum dikulum dan biji
mata yang bening sedang memandang pula ke arahnya,
“cantik jelita nian gadis ini!” batinnya dalam hati.

“Seandainya enci Wan-hong secantik dirinya, oooh
betapa indahnya suasana itu.”
Keadaan dari Pek Kun-gie be.nar-benar bagaikan
berganti orang lain, ini hari wajahnya tidak nampak
dingin atau ketus, sebaliknya gerak-geriknya lemah
lembut dan penuh kehangatan membuat dia nampak
bertambah menarik ibarat sekuntum bunga di pagi hari.
Beberapa waktu kemudian mereka berdua telah tiba di
pusat kota, pada suatu persimpangan jalan Hoa Thianhong
segera berhenti dan ia ada maksud mohon diri
Pek Kun-gie tundukkan kepalanya rendah-rendah,
terdengar ia berbisik lirih, “Kau masih marah kepadaku?”
“Marah apa,” tanya sang pemuda tertegun.
“Bu-liang Sinkun adalah jago kelas satu dalam dunia
persilatan dewasa ini, bila kau bunuh Kok See-piauw
maka tindakanmu ini akan mencelakai dirimu sendiri, apa
gunanya mengundang bencana bagi diri sendiri?”
“Aaah… siapa sih yang masih ingatan terus urusan
sepele itu?” bantah Hoa Thian-hong sambil tersenyum,
“Toh urusan itu sudah kita lepaskan, kenapa musti
dibicarakan lagi?”
Pek Kun-gie termenung sebentar, kemudian ujarnya
lagi, “Umumnya bila kita hadiri suatu pertemuan antara
sesama orang kangouw, patut bila kita jangan makan
barang makanan yang mereka suguhkan, sekarang mari

kita bersantap dulu kemudian baru pergi menghadapi
pertemuan itu!”
Hoa Thian-hong tidak tega menampik tawaran orang
maka diapun lantas mengangguk dan berjalan ke arah
Timur
Di tengah perjalanan, Pek Kun-gie menarik ujung baju
si anak muda itu dan berbisik “Bila racun teratai itu
kambuh, payah tidak siksaannya?”
Hoa Thian-hong tersenyum. “Payah sekali. rasanya
bagaikan otot-otot dalam tubuhku dicabut dan sekujur
tubuhku digigit berjuta juta ekor semut!”
Pek Kun-gie tertegun, wajahnya berubah jadi pucat
pias bagai mayat, tanya kembali, “Bagaimana caranya
menghilangkan racun teratai itu dari dalam tubuhmu?”
“Di kolong langit tak seorang manusiapun mampu
menghilangkan racun dari teratai racun empedu api itu
dari dalam tubuhku!”
Pek Kun-gie menatap wajah tajam-tajam, kemudian
dengan penuh rasa kuatir ia berkata, “Menurut berita
yang tersiar dalam dunia persilatan, katanya Kiu-tok
Sianci adalah malaikat dari segala macam racun, apakah
dia juga tak mampu menolongi dirimu? Atau ia tak sudi
memberikan bantuannya?”
“Kiu-tok Sian-nio sangat sayang kepadaku, ia telah
berusaha dengan seluruh pikiran serta tenaganya untuk
menolong aku tapi semua usahanya cuma sia-sia

belaka,” berhenti sejenak, lalu sambil tertawa
sambungnya, “Dalam darahku terkandung sari racun,
selama hidup tak mungkin bagiku untuk kawin dan
berbini”
Tertegun Pek Kun-gie setelah mendengar ucapan itu,
tapi sesaat kemudian dengan suara halus ia telah berkata
kembali, “Lalu bagai manakah pendapat Chin Wan-hong
tentang musibah ini? Bagiku pribadi asal hatinya sudah
penuju kenapa musti dipikirkan lagi persoalan lain yang
tak perlu?”
Meskipun perkataan biasa saja kedengarannya, namun
Hoa Thian-hong dapat menangkap arti lain dari ucapan
tersebut, setelah melengak sejenak ia berkata,
“Keadaanmu serta diriku ibarat api dan air. tak mungkin
terjalin hubungan persahabatan diantara kita, bila kau
adalah seorang yang cerdik maka sejak kini mustinya
menyadari akan hal itu.”
Pek Kun-gie tertawa sedih, seolah-olah ia takut
pemuda itu mendadak merat dari situ ujung bajunya
segera dipegang erat-erat bisiknya lirih, “Aku bukanlah
seorang yang cerdik, kalau tidak dahulu akupun tak akan
bertindak setolol itu.”
“Bertindak tolol apa?”
Pek Kun-gie tundukkan kepalanya semakin rendah,
sahutnya tergagap, “Dahulu sikapku terhadap dirimu….”

“Aaai…! Kenapa kita musti ungkap lagi masalah
ketidak cocokan diantara pribadi pada masa yang
lampau? lupakanlah hal itu.”
Pek Kun-gie jadi girang bercampur malu, ia melengos
memandang ke arah lain sedang tubuhnya bergeser lebih
dekat lagi dengan pemuda itu, hingga lengan mereka
saling bergerak.
Meskipun gerakan itu lirih sekali tapi dapat
menggantikan beribu2 patah kata, ucapan yang penuh
mengandung rasa cinta yang mendalam.
Beberapa waktu kemudian, kedua orang itu sudah
berada di dalam sebuah rumah makan yang memakai
merek “King-Pak” setelah pelayan menyodorkan daftar
sayur, sambil tersenyum Pek Kun-gie bertanya, “Tempat
ini khusus menjual sayur dusun, kau ingin makan apa?”
Sejak kecil Hoa Thian-hong dibesarkan di atas gunung
yang sunyi, sejak munculkan diri dalam dunia persilatan
walaupun sudah mendekati dua tahun, tapi selama ini
kerjanya melulu berjuang diantara hidup dan mati, kini
sambil membaca sebentar daftar sayuran itu ia
menyahut, “Waaah… begitu tak kenal nama nama
sayuran itu, sembarang saja pokoknya kenyang!”
Pek Kun-gie tertawa lebar, ia sambil daftar sayur itu
lalu bertanya, “Bagaimana kaiau kita pesan saja sayur
Ciong-hau-wi?”
“Baiklah!”

Pek Kun-gie membaca lagi daftar menu itu, kemudian
kembali ia bertanya, “Atau kau ingin merasakan masakan
Angsio-bhe-an-kiau?”
“Meskipun aku orang bangsa Han, bagiku nama
sayuran itu asing sekali dalam pendengaran, terserah
deh apa pilihanmu itu!”
Pek Kun-gie tersenyum, setelah mempertimbangkan
sebentar ia baru pesan beberapa macam sayur,
kemudian tanyanya, “Tengah hari ini, kenapa aku tidak
melihat kau lari racun?”
“Aku sedang berlatih pedang”
“Bukankah siksaannya lebih hebat?”
Hoa Thian-hong mengangguk.
“Asal aku bisa bersabar terus. suatu hari hal itu akan
jadi biasa dengan sendirinya.”
Ketika dilihatnya gadis itu sedang memandang ke
arahnya dengan wajah kasihan, ia segera tertawa
nyaring dan bertanya, “Apakah Ciu It-bong masih
hidup?”
Pek Kun-gie mengangguk.
“Kalau menurut maksud Tok Cukat, orang itu hendak
dibinasakan secepatnya tapi ayahku tidak setuju maka
sampai sekarang dia masih berada di tempat semula,
bukankah pedang bajamu masih berada ditangannya?”

“Ehmm! Yau Sut si bangsat cilik itu benar-benar keji
dan telengas perbuatannya, suatu saat terjatuh ke
tanganku…. Hmm pasti akan kuhadiahkan sebuah bogem
mentah di atas tubuhnya!”
Pek Kun-gie tertawa lirih. “Dalam suatu peperangan,
kedua belah pihak sudah tentu akan membantu masingmasing
junjungannya, bila kau suka menduduki kursi
kebesaran dari perkumpulan Sin-kie-pang kami, tentu
diapun akan tunduk dan melindungi dirimu dengan
setulus hati.
“Masalahnya bukan mau atau tidak” jawab Hoa Thianhong
setelah tertegun sejenak, “Perkumpulan Sin-kiepang
adalah hasil karya dari ayahmu. Masa ia sudi
memberikan kursi kebesarannya kepada orang lain?”
Pek Kun-gie melirik sekejap ke arah pemuda itu
mendadak sambil tundukan kepalanya rendah2 ia
membungkam.
“Eeei… masa kau masih anggap diriku sebagai anak
murid perkumpulan Sin-kie-pang” tanya Hoa Thian-hong
kembali.
“Apa salahnya kalau begitu?” sahut Pek Kun-gie sambil
tertawa cekikikan, “Ayahku tidak berputra selama hidup
belum pernah menerima murid, bila sudah lanjut usia
nanti ia pasti akan mengundurkan diri dan kursi Pangcu
akhirnya juga harus diwariskan kepada orang lain”

“Haaah….. haaah…. haah…. kalau menurut peraturan
semestinya warisan itu jatuh ke tanganmu”
Sambil tundukkan kepalanya Pek Kun-gie tertawa lirih.
“Aku adalah seorang perempuan kawin dengan ayam ikut
ayam, kawin dengan anjing harus ikut anjing……”
Kali ini Hoa Thian-hong dapat menangkap arti lain dari
ucapannya itu, ia tersenyum dan menggeleng.
“Perkumpulan itu adalah tempat berkumpulnya
manusia durjana tempat untuk menindas dan memeras
rakyat jelata, kalau aku mampu maka semua
perkumpulan seperti ini akan kurombak dan kulenyapkan
dari muka bumi”
Pek Kun-gie sama sekali tidak tersinggung oleh
perkataan itu, setelah termenung sejenak ia berkata
kembali, “Sekalipun kau hendak basmi atau lenyapkan
perkumpulan semacam ini, tidak semestinya kalau kau
laksanakan dengan tindak kekerasan. bukankah lebih
baik mendapatkannya dengan jalan menipu kemudian
baru bubarkan secara gampang?’
“Eeeei……! rupanya kau adalah pagar makan
tanaman? Makan di dalam bantu diluar?” teriak Hoa
Thian-hong sambil tertawa gelak.
“Perempuan selalu menghadap keluar masa kau juga
tak tahu akan ucapan ini?”
Sementara pembicaraan masih berlangsung sayur dan
arak telah dihidangkan Pek Kun-gie dengan kehalusannya

sebagai seorang gadis segera melayani pemuda itu
bersantap dan bercanda, suasana dilewatkan dalam
keadaan yang gembira dan penuh rasa persahabatan.
Tanpa terasa senja telah menjelang tiba, pada waktu
itulah Pek Kun-gie menemani Hoa Thian-hong hingga
tiba di sebuah kantor cabang perkumpulan Hong-imhwie,
katanya, “Tahukah kau mengapa Jin Hian bagi
undangan memanggil dirimu menghadap? tujuannya
tidak lain pastilah hendak menyelidiki pembunuh dari Jin
Bong serta membalaskan dendam bagi kematian
putranya, dalam waktu singkat mungkin keadaan ini tak
akan membahayakan dirimu, tapi bila pembunuh itu
sudah ketahuan maka kau cepat-cepat mengundurkan
diri, perhatikanlah serangan bokongan yang bakal dia
lancarkan terhadap dirimu.
“Betul, secara tidak langsung aku telah ikut terlibat
dalam peristiwa berdarah ini,” sahut Hoa Thian-hong
dengan hati terkesiap, “Bila pikiran Jin Hian amat picik,
mungkin saja dia akan seret diriku untuk menemani
putranya yang telah mati”
“Betulkah pembunuh itu mempunyai wajah yang mirip
sekali dengan diriku?”
“Benar memang ada beberapa bagian mirip sekali
dengan wajahmu,” sambil berkata ia awasi sekejap raut
Wajah gadis itu, tiba-tiba satu ingatan berkelebat dalam
benaknya, segera ia berpikir, “Pembunuh itu berwajah
genit dan merangsang, sedang Pek Kun-gie halus lagi
menarik, seharusnya antara kedua orang itu tidak bisa
dikatakan mirip”

Sementara itu Pek Kun-gie tetap berdiri tegak sambil
membiarkan pemuda itu mengawasi wajahnya, kemudian
sambil tertawa katanya, “Kita toh bukan saudara kembar,
mana mungkin wajahnya bisa mirip bagaikan pinang
dibelah dua dengan diriku? Mungkin kau terlalu gugup
pada waktu itu sehingga salah melihat!”
Hoa Thian-hong sendiripun merasa agak bingung,
maka setelah sangsi sejenak akhirnya ia berkata, “Bila
aku dapat bertemu lagi dengan orang itu, maka aku pasti
akan kenali kembali dirinya, sulit bagiku untuk
menerangkannya pada saat ini”
Habis berkata dia angkat tangan tanda berpisah dan
melanjutkan langkahnya dengan tindakan lebar
“Thian-hong……” tiba-tiba Pek Kun-gie berseru lirih.
“Ada urusan apa?” tanya pemuda itu dengan wajah
tertegun.
Pek Kun-gie menunduk tersipu sipu, sahutnya setelah
sangsi sejenak, “Pohon tinggi gampang terhembus angin
janganlah terlalu memperlihatkan kelihayanmu!”
Hoa Thian-hong mengangguk, sambil berlalu pikirnya
dalam hati, “Ibu pernah berpesan kepadaku agar jangan
mencari isteri sebelum tugas yang dibebankan di atas
pundakku selesai dilaksanakan enci Wan-hong menaruh
hati kepadaku hal ini tak bisa ditolak lagi, tapi Pek Kungie
secara tiba-tiba merubah sikapnya terhadap diriku,

lebih baik aku bersiap2 diri lebih dahulu dari pada di
kemudian hari pusing kepala"
Ketika ia tiba di depan pintu kantor cabang
perkumpulan Hong-im-hwie tampaklah Ciau Khong
diiringi anak buahnya menyambut kedatangannya di
depan pintu.
“Kongcu betul-betul seorang lelaki yang bisa
dipercayai,” ujar Ciau Khong sambil maju memberi
hormat, “Cong Tang-kee kami telah menunggu di ruang
dalam, biarlah aku segera pergi memberi laporan!”
Hoa Thian-hong ambil keluar kartu namanya dan
diangsurkan ke depan, ujarnya, “Aku hanya seorang
angkatan muda dalam dunia persilatan, tidak berani
merepotkan Tang-kee kalian musti menyambut
kedatanganku!”
Ciau Khong mengiakan berulang kali, setelah
menerima kartu nama itu ia serahkannya ke tangan
penerima tamu she-Sun, sambil membawa kartu tadi
orang she-Sun itu segera masuk ke dalam ruangan.
Hoa Thian-hong bersama Ciau Khong mengikuti dari
belakang. Tampaklah dalam ruangan penuh dengan priapria
kekar berbaju serba hijau, bersoren golok berdiri
berbanjar di tepi jalan. dandanan mereka semua sama
senjata yang dipergunakanpun tak ada bedanya, semua
berdiri serius dan tak pernah melirik sekejappun ke arah
tamu yang sedang lewat dihadapan mukanya.

“Luar biasa penjagaan disini dari sorot mata mereka
yang tajam jelas menunjukkan bahwa tenaga dalam
yang mereka miliki amat sempurna,” pikir pemuda itu
dalam hati.
Sementara itu ia telah diajak melewati sebuah jalan
kecil yang panjang dan tiba di atas sebuah jembatan
kecil yang mungil, diantara bebungahan yang harum
semerbak nampak bangunan indah berdiri dengan
megahnya disitu, ketika Hoa Thian-hong diam-diam
menghitung jumlah penjaga disitu ternyata jumlahnya
persis mencapai empat puluh orang.
Mendadak dari dalam bangunan mungil itu muncul
seseorang berperawakan tinggi kurus dan memakai baju
warna hitam, jenggot hitam terurai sepanjang dada,
wajahnya murung dan sorot matanya tajam. Sambil
bergendong tangan ia berjalan bolak-balik di muka pintu
seperti lagi menantikan kedatangan seseorang.
Hoa Thian-hong segera merasa hatinya tercekat
setelah menyaksikan kemunculan orang itu.
Tampak Ciau Khong maju ke muka dan berkata sambil
memberi hormat, “Lapor Cong Tang-kee, Hoa Thianhong
kongcu telah tiba!”
Jin Hian angkat kepala dan menyapu sekejap wajah si
anak muda itu dengan sorot mata tajam, kemudian
sambil memberi hormat dan tersenyum sapanya, “Ooh….
kiranya Hoa kongcu telah datang, maaf bila aku orang
she Jin tidak menyambut kedatangan mu dari tempat
kejauhan”

Seram dan bengis sekali raut wajah oran ini, meskipun
cuma beberapa patah kata belaka, namun ucapan yang
dingin dan tak sedap didengar itu cukup membuat bulu
kuduk di atas tubuh Hoa Thian-hong pada bangun berdiri
semua….,
“Dia adalah Cong Tang-kee kami,” terdengar Ciau
Khong memperkenalkan.
Dengan cepat Hoa Thian-hong menenangkan hatinya
dengan perasaan mendongkol pikirnya, “Ayah dan ibuku
adalah jago-jago kenamaan yang disenangi setiap orang
Bulim kenapa aku musti takut dengan seorang pentolan
dari suatu perkumpulan kecil?”
Berpikir demikian, semangatnya segera berkobar
kembali, sambil, menjura ujarnya lantang, “Bila
kedatangan dari aku orang she-Hoa sedikit terlambat,
harap Jien Tang-kee suka memaafkan!”
Jin Hian tertawa hambar, ia menyingkir ke samping
dan mempersilahkan tamunya untuk masuk ke dalam,
Sambil membusungkan dada Hoa Thian-hong melangkah
masuk ke dalam ruangan, ia lihat dikedua belah sisi
ruangan telah hadir berpuluh puluh orang manusia,
diantara mereka tampak pula Cu Goan-khek, si Malaikat
berlengan delapan Cia Kim yang baru saja kehilangan
lengan. Seng Sam Hauw si hweesio gemuk serta Siang
Kiat yang baru saja kehilangan saudara.
Di tengah ruangan telah tersedia dua buah meja
perjamuan, sambil melangkah masuk ke dalam ruangan

Jin Hian berkata, “Hoa kongcu, silahkan menempati kursi
utama!”
Setelah berada di tempat yang berbahaya, rasa jeri
dan kuatir yang semula menyelimuti benak si anak muda
itu lenyap tak berbekas, setelah ucapkan terimakasih ia
segera ambil tempat duduk di samping, sedang Jin Hian
mengiringi duduk di sisinya.
Para jago lain pun segera ambil tempat duduk masingmasing.
seorang pria pertengahan bersoren golok besar
segera melangkah maju dan berdiri di belakang orang
she Jin itu.
Suasana dalam ruangan diliputi keseriusan serta
ketegangan. secara tidak sengaja Hoa Thian-hong
menemukan bahwa banyak diantara mereka yang
menggembol senjata, hal ini membuat hatinya jadi amat
terkejut, pikirnya, “Orang-orang itu bisa duduk dalam
kedudukan yang seimbang dengan Jin Hian ini
menunjukkan bahwa kedudukan mereka tidak rendah.
kemunculan mereka semua di tempat ini sungguh
mencurigakan sekali, kalau tinjau dari dandanan mereka
yang keren, mungkinkah dalam dunia persilatan telah
terjadi suatu peristiwa besar?”
“Hoa Kongcu ini hari kau berkunjung kemari sebagai
tamu, bila diantara saudara-saudara Hong-im-hwie kami
terdapat perselisihan dengan dirimu, sementara waktu
persoalan itu tidak kita singgung dulu,” ujar Jin Hian
secara tiba-tiba, “Bagaimana kalau dalam pertemuan ini
kita ini hanya membicarakan masalah umum dan bukan
masalah pribadi?”

Hoa Thian-hong alihkan sorot matanya menyapu
sekejap wajah Cu Goan-khek serta Cia Kim dua orang,
melihat sikap mereka tawar dan sedikitpun tidak
menunjukkan suatu reaksi, ia segera tertawa nyaring.
“Bagi aku orang she-Hoa yang belum lama muncu1
diri dalam dunia persilatan, tanpa sebab tentu saja tak
akan berani bikin keonaran, bila Jien Tang-kee ada
urusan silahkan saja diutarakan.
“Nasib dari aku orang she Jin benar amat jelek,
dimasa tua aku musti kehilangan putra tunggalku rasa
sedih yang kualami bisa kau bayangkan sampai dimana
hebatnya. bila sakit hati ini tidak kubalas. sekalipun harus
matipun aku akan mati dengan mata tidak meram”
“Cinta orang tua terhadap putranya memang nomor
satu di dunia, aku dapat ikut merasakan kesedihan
tersebut.”
Dalam ruangan perjamuan meskipun hadir dua puluh
orang lebih, tetapi selama pembicaraan itu berlangsung
tak seorangpun diantara mereka yang ikut buka suara,
mereka hanya meneguk arak dengan mulut
membungkam, hal ini membuat Hoa Thian-hong kian
lama kian bertambah curiga.
Mendadak terdengar Jin Hian berkata lagi dengan
suara keras, “Apakah ibumu pernah beritahu kepadamu,
Hoa tayhiap sebenarnya mati di tangan siapa?”

Tergetar keras sekujur badan Hoa Thian-hong
mendengar perkataan itu, dengan Sorot mata tajam ia
awasi wajah orang, kemudian sahutnya, “Ibuku sudah
berhasil menyadari aku artinya hidup, beliau telah
melupakan seluruh budi dan dendam dimasa lampau
bagaikan awan di angkasa, hingga kini ibuku belum
pernah beritahu kepadaku siapakah pembunuh yang
telah menghabiskan jiwa ayahku?”
Rupanya Jin Hian agak tertegun oleh jawaban
tersebut, alisnya berkerut dan ia menunjukkan sikap
seakan akan tidak percaya, setelah berhenti sejenak
ujarnya kembali, “Perkataan semacam ini hanya bisa
diutarakan oleh ibumu yang berjiwa besar dan berpikiran
luas, dendam terbunuhnya seorang ayah lebih dalam dari
samudra, hidup sebagai seorang putra sudah
sepantasnya kalau dendam itu dituntut balas.”
“Huuuh…… kau anggap aku orang she-Hoa adalah
manusia macam apa? Aku tahu diantara kalian tiga
golongan saling bermusuhan dan selalu berusaha untuk
merobohkan pihak yang lain, kau ingin menggunakan
pancingan itu agar aku masuk perangkap dan membantu
pihakmu? Aku tak akan setolol itu….” pikir Hoa Thianhong
dalam hati.
Sekalipun dalam hati ia berpikir demikian, namun
peristiwa berdarah ini memang sangat menarik hatinya,
setelah berhenti sejenak akhirnya ia berkata, “Aku pikir
Jien Tang-kee mengungkap persoalan ini pasti ada
tujuan tertentu, meskipun aku orang she Hoa tidak tahu
terbunuhnya ayahku tak nanti akan kulupakan untuk
selamanya. Bila Jien Tang-kee ada persoalan katakanlah

secara langsung, bila kau mohon bantuan aku pasti akan
berusaha untuk membantu”
Jin Hian tersenyum, “Ehmmm, kau memang tidak
malu disebut keturunan seorang pendekar besar,
kehebatanmu sulit dibandingkan dengan orang lain”
Ia berhenti sejenak, dengan wajah serius terusnya,
“Ayahmu mati di tangan Thian Ik toosu bajingan dari
Thong-thian-kauw, ibumu tidak mengungkap soal ini aku
duga mungkin ia kuatir apabila kau tak mampu menahan
emosi dan langsung menuntut balas kepada toosu itu,
akibatnya selembar jiwamu pun ikut melayang”
“Toosu bangsat! Rupanya kaulah yang telah
membunuh ayahku!”’ pikir Hoa Thian-hong sambil
menggigit bibir.
Jin Hian adalah pentolan dari suatu perkumpulan
besar, sekalipun dia bermaksud mengadu domba, tidak
mungkin kalau hal itu dilakukan tanpa bukti yang nyata,
karena itu Hoa Thian-hong sangat mempercayai
ucapannya ini.
Meskipun dalam hati ia menaruh dendam, diluaran
wajahnya tetap tenang dan kalem seperti biasa. Ujarnya,
“Pendapat ibuku memang jauh lebih hebat dari orang
lain, akupun tahu bahwa Thian Ik-cu adalah kaucu dari
Thong-thian-kauw ilmu silatnya lihay dan anggota
perkumpulannya sangat banyak, senang aku bukan saja
seorang diri bahkan ilmu silatnya amat rendah, bila aku
harus menuntut balas hanya karena dorong emosi,
bukan saja selembar wajah belaka dihantar secara

percuma, gagal melukis harimau bukankah aku bakal jadi
bangsa anjing yang ditertawakan sahabat kangouw?”
“Huuh…. pengecut takut mati, rupanya cuma seorang
manusia bernama kosong belaka, dari meja perjamuan
lain berkumandang seruan ketua Hong-im-hwie yang
dingin.
Meskipun ucapan itu diutarakan dengan suara yang
amat lirih, tapi semua orang dapat mendengar suara itu
dengan amat jelas Jin Hian segera berpaling dan
mendengus dingin, suasana seketika berubah kembali
dalam kesunyian yang mencekam, semua orang
bungkam kembali dalam seribu bahasa.
Hoa Thian-hong ikut alihkan sorot matanya ke arah
mana berasalnya suara itu, dia lihat orang yang barusan
bicara adalah seorang pria berusia pertengahan yang
berbadan pendek dan berjenggot lebat, segera pikirnya,
“Orang ini berangasan dan tak punya otak bila sampai
terjadi suatu peristiwa, pertama-tama akan kuhantam
dulu orang itu.”
Tiba-tiba terdengar Jin Hian tertawa kering dan
berkata kembali, “Hoa kongcu, bagi orang lain mungkin
dendam ini tak akan terbalas lagi, tetapi bagi Hoa kongcu
harapannya masih selalu ada!”
“Bila Jien Tang-kee suka membantu usahaku ini, aku
tentu akan merasa berterima kasih sekali dan budi
tersebut suatu ketika pasti akan kubalas!”

Pemuda itu merasa jantungnya berdebar keras, tapi
diluar sikapnya tetap tenang dan sama sekali tidak
gugup, sepintas lalu keadaannya memang mirip orang
yang takut mati.
Tapi Jin Hian adalah seorang jago kawakan yang
sudah memiliki banyak pengalaman tentu saja ia dapat
meraba pula apa yang sedang dipikirkan oleh pemuda
itu, atas ketenangan serta kepandaiannya melihat
gelagat ini, dalam hati diapun merasa kagum.
“Thian Ik toosu bangsat itu berambisi besar dan
bercita-cita membasmi seluruh jago di muka bumi serta
merajai di dunia,” kata Jin Hian kembali, “Hmm….
Hmm…. ia sudah pandang enteng Pek Siau-thian, juga
pandang rendah aku orang she-Jin!”
“Oooh…. rupanya posisi segi tiga yang selama ini
nampaknya tenang. sebetulnya dibalik kesemuanya ini
sudah mulai terjadi kekalutan, semua orang mulai
dengan rencananya masing-masing untuk menjatuhkan
pihak lawan” Pikir Hoa Thian-hong dalam hati.
Berpikir begitu, dia lantas berkata, “Pepatah kuno
sering berkata. terlalu lama berpisah pisti akan cocok
untuk berkumpul, terlalu lama berkumpul pasti akan
berpisah, aku rasa hal ini sudah jamak dalam kehidupan
manusia!”
“Keparat, rupanya kau pandai sekali berbicara dan
terlalu licik pikiranmu,” pikir hati Jin Hian.

Diluaran ia tersenyum dan menjawab, “Ucapan Hoa
Lo-te sedikitpun tidak salah, Thian Ik Toosu bangsat itu
memang terlalu licik dan besar ambisinya, dia
menginginkan agar perkumpulan Hong-im-hwie benrok
lebih dahulu dengan pihak Sin-kie-pang kemudian ia
berpeluk tangan jadi nelayan yang beruntung. Hmmm!
Hmmm! Siapa tahu Pek Siau-thian serta aku Jin Hian
justru bukan orang bodoh, sengaja kami kesampingkan
dahulu semua persengketaan pribadi dan bekerja sama
untuk menghadapi toosu bangsat itu terlebih dahulu”
Hoa Thian-hong mengerutkan alisnya, sengaja ia
menyala, “Wilayah kekuasaan Hong-im-hwie serta Sinkie-
pang toh sudah terbagi amat jelas, air sungai tidak
melanggar air sumur, sengketa pribadi apa sih yang
sudah terjadi antara Jien Tang-kee dengan Pek pangcu?”
Jin Hian tertawa seram nafsu membunuh menyelimuti
wajahnya.
“Loo-te, apa kau sudah lupa dengan peristiwa
berdarah yang mengakibatkan matinya putraku?”
“Oooh…. maaf, aku memang bodoh dan tak dapat
menangkap arti yang .sebenarnya dari ucapan Jien Tangkee
itu”
Jin Hian tertawa seram. “Aku orang she-Jin telah
berhasil menyelidiki dengan jelas, pembunuhan yang
telah membinasakan puteraku itu bukan anak murid dari
pihak Thong-thian-kauw, melainkan dilakukan oleh
orang-orang Sin-kie-pang.”

Beberapa patah kata ini diucapkan dengan suara tegas
dan nyaring, hal ini membuat Hoa Thian-hong jadi
terkejut hingga cawan arak dalam genggamannya hampir
saja terlepas, dengan cepat dia bangkit berdiri.
“Apakah sampai kini Hoa Loo-te masih beranggapan
gadis berkerudung itu adalah anak murid dari Thongthian-
kauw?” seru Jin Hian kembali.
Hoa Thian-hong mengangguk, pikirannya semakin
bingung.
“Peristiwa pembunuhan ini betul-betul suatu kejadian
yang sangat aneh……..”
Satu ingatan berkelebat dalam benaknya, ia segera
bertanya kembali, “Apakah Jien Tang-kee berhasil
menyelidiki siapakah gadis berkerudung itu?”
Gelak tertawa Jin Hian semakin menyeramkan.
“Bukankah Hoa Loo-te menyaksikan dengan mata kepala
sendiri bahwa pembunuh itu mirip sekali dengan wajah
Pek Kun-gie?”
“Jien Tang-kee…..” seru Hoa Thian-hong dengan
wajah berubah hebat.
Jin Hian segera goyangkan tangannya mencegah
pemuda itu bicara lebih lanjut, katanya sambil tertawa,
“Aku orang she-Jin tahu bahwa hubungan Loo-te dengan
Pek Kun-gie baru-baru ini erat sekali”

Ia berhenti sebentar, kemudian tertawa keras
terusnya, “Pembunuh itu pernah melakukan hubung
gelap dengan puteraku, sedang Pek Kun-gie hingga kini
masih perawan suci. karena itu harap Hoa Loo-tee suka
berlega hati. aku orang she-Jin tak akan mencampur
baurkan urusan ini secara gegabah”
Hoa Thian-hong semakin bingung dibuatnya, rasanya
ingin tahu segera muncul dalam hatinya. ia berkata, “Jien
Tang-kee, dapatkah kau terangkan ucapanmu itu lebih
jauh? Andai kata ada rahasia dibalik hal ini, aku pasti tak
akan mengatakannya kepada orang lain”
“Oooh….? Urusan ini sifatnya bukan suatu rahasia,”
sahut Jin Hian sambil tertawa hambar, setelah berhenti
sejenak terusnya dengan nada serius, “Istri Pek Siauthian
mengasingkan diri di atas bukit Hoan Keng dan Pek
Kun-gie mempunyai saudara kembar yang selalu
mendampingi ibunya, demikian Hoa Loo-te tentu paham
bukan?”
“Oooh…! Kiranya…” mendadak perkataan itu tidak
ditanjutkan.
Melihat pemuda itu membungkam Jin Huan meneguk
isi cawannya dan mendengus dingin.
“Aku percaya seratus persen kepada diri Loo-te,
mengapa sebaliknya Loo-te bersikap ragu-ragu
kepadaku? Bila ada ucapan katakanlah secara blakblakan?”
.

Hoa Thian-hong tertawa nyaring, “Ketika aku bertemu
dengan Pek Kun-gie untuk pertama kalinya, waktu
kebetulan bulan satu tanggal satu, dan terjadi diluar kota
Keng-ciu aku rasa mungkin ia sedang pergi mengunjungi
ibunya, kalau tidak apa sebabnya di hari tahun baru ia
berkelian di tempat luaran dan bukannya berpesta dalam
markas”
“Pendapat Loo-te mungkin ada benarnya juga,” Jin
Hian mengangguk, “Sejak Pek Siau-thian hidup berpisah
dengan isterinya Pek Kun-gie terpaksa harus hilir mudik
antara kedua tempat itu, saudara kembarnya bernama
Soh-gie, jarang sekali ada orang kangouw yang pernah
bertemu muka dengan dirinya”
“Oooh tak kusangka masih ada seseorang yang
bernama Pek Soh-gie sungguh mencengangkan!”
Sementara itu dalam hati kecilnya dia berpikir, “Badik
mustika yang dimiliki Pui Che-giok dayang kepercayaan
dari Giok Teng Hujien itu merupakan senjata yang
dipergunakan untuk membunuh Jin Bong, seandainya
pembunuh itu adalah Pek Soh-gie, kenapa senjata tajam
itu bisa berada di tangan Pui Che-giok? peristiwa ini
benar-benar membingungkan!”
Ketika dia alihkan sorot matanya memandang sekitar
ruangan itu, tampaklah Cu Goan-khek sedang minum
arak seorang diri, malaikat berlengan delapan Cia Kim
duduk termenung, Seng Sam Hua makan minum dengan
lahapnya sedang orang lainpun sibuk dengan caranya
sendiri2, tak seorangpun diantara mereka yang menaruh

perhatian atas pembicaraan antara Jin Hian dengan
dirinya
“Loo-te, kau tak usah risau,” ujar Jin Hian kembali.
Suatu saat urusan ini akan jadi terang dengan sendirinya,
hanya saja waktu itu aku harap Hoa Lo-te suka bertindak
sebagai saksi, lihatlah aku orang she-Jin akan membedah
isi perut pembunuh itu dan hatinya akan
kupersembahkan untuk bersembahyang bagi arwah
putraku itu”
Hoa Thian-hong mengiakan berulang kali beberapa
saat kemudian ia bertanya, “Jien Tang-kee, tahukah kau
apa sebabnya Pek Hujien tinggalkan segala kemegahan
dan keluarganya untuk mengasingkan diri di tempat yang
terpencil….?”
Jin Hian tertawa dingin.
“Menurut berita yang tersiar katanya percekcokan itu
terjadi karena urusan pribadi, siapapun tak tahu kejadian
yang sesungguhnya!”
“Mengenai peristiwa terbunuhnya putramu itu,
mengapa Jien Tang-kee tidak bekuk lebih dahulu gadis
yang bernama Pek Soh-gie tersebut?”
“Aku toh tiada bukti yang cukup meyakinkan, sedang
dasarku juga hanya perkataan Hoa Loo-te. Aku tahu
hubunganmu dengan Pek Kun-gie sangat erat, andaikata
kita harus berpadu tiga dan waktu itu Hoa loo-te
mengatakan bahwa pembunuhnya bukan orang itu,

bukankah nama baik dari aku orang she-Jin bakal hancur
di tanganmu”
Merah jengah selembar wajah Hoa Thian-hong. “Sejak
kecil aku sudah dididik hidup sederhana dan bicara jujur,
tentu saja aku tak akan membohong atau berkata yang
bukan-bukan….” serunya.
“Ah, aku hanya bergurau saja harap Hoa Loo-tee
jangan menganggap sungguhan” kata Jin Hian sambil
tertawa ewa, “Menangkap pembunuh sih gampang,
pedang emas itulah yang sulit kudapatkan kembali,
sedang Pek Soh-gie adalah puteri Siau-thian, urusan
yang menyangkut suatu perkumpulan tak berani
kulakukan secara gegabah….”
Berbicara sampai disitu dia lantas angkat kepala dan
berpaling ke arah meja sebelah muka.
Lima orang yang duduk di meja perjamuan itu segera
bangkit dan memberi hormat kepada Jin Hian, tanpa
mengucapkan sepatah katapun mereka berlalu dari
ruang perjamuan.
Hoa Thian-hong jadi curiga tapi ia merasa tidak
leluasa untuk mengajukan pertanyaan secara langsung.
maka segera katanya, “Pedang emas yang amat kecil itu
secara beruntun dari tangan Ciu It-bong jatuh ke tangan
Jien Tang-kee kemudian dirampas pula orang lain,
andaikata pembunuh itu adalah Pek Soh-gie, semestinya
senjata itu sudah terjatuh ke tangan Pek pangcu. tetapi…
apa betul senjata kecil itu mempunyai sangkut pautnya

dengan ilmu silat yang diwariskan Siang Tan Lay? Aku
rada kurang percaya.”
Jin Hian tertawa ewa. “Dalam pedang emas itu
tersembunyi dalam teka teki bisu yang amat ruwet sekali,
sekalipun aku serta Ciu It-bong sudah mendapatkannya
agak lama tapi sayang teka teki bisu itu belum berhasil
juga kupecahkan. Tapi aku yakin bahwa pedang emas itu
pasti ada hubungannya dengan ilmu silat yang dimiliki
Siang Tang Lay….”
“Sungguh aneh kejadian ini,” pikir Hoa Thian-hong
kemudian di dalam hati.
“Bukan saja Ciu It-bong seorang bahkan Ciong Liankhek
serta Jin Hian pun mengatakan secara meyakinkan
bahwa pedang emas itu ada hubungannya dengan ilmu
silat warisan Siang Tang Lay. Dimana sih sebetulnya
letak kunci untuk memecahkan rahasia ini?”
Tiba-tiba Jin Hian tertawa nyaring dan berkata
kembali, “Ketika Siang Tang Lay menderita kekalahan
hebat setelah kami kerubuti hingga jiwanya terancam, ia
berhasil diselamatkan jiwanya oleh ayahmu. Untuk
menyatakan terima kasihnya pastilah rahasia pedang
emas itu telah diberitahukan kepada ayahmu. Tapi
sayang ayahmu telah meninggal dunia, orang yang
mengetahui rahasia ini mungkin tinggal ibumu seorang”
Tertegun hati Hoa Thian-hong setelah mendengar
perkataan itu, serunya terus terang, “Ibu melarang aku
berhati serakah, urusan pedang emas itu belum pernah
dibicarakan dengan diriku!”

“Aku tahu, aku tahu….” sahut Jin Hian sambil tertawa
dan mengangguk. “Kecerdikan ibumu lebih hebat dari
ayahmu, setiap orang dalam Bu-lim telah mengetahui
akan hal ini”
Dia angkat cawan araknya ke atas menunjukkan sikap
hendak menghormati tamunya dengan secawan arak
dalam hati Hoa Thian-hong kembali berpikir, “Posisi serta
situasi yang kuhadapi saat ini aneh sekali, biarlah aku
pura-pura berlagak hendak pamit, aku ingin tahu
bagaimanakah reaksinya?”
Berpikir begitu ia segera letakkan cawan araknya ke
atas meja dan bangkit berdiri, ujarnya sambit menjura.
“Jien Tang-kee maafkanlah daku, takaran arakku
terbatas sekali lagipula waktu sudah tidak pagi, dengan
ini aku ingin mohon diri lebih dahulu semoga dilain
kesempatan kita dapat bertemu kembali”
Serentetan senyuman licik terlintas di atas wajah Jin
Hian, ia segera menyahut, “Hoa loo-te, kau toh gagah
dan berkepandaian hebat, apa sih artinya beberapa
cawan arak bagimu?”
Melihat pihak lawan tiada bermaksud menghantar
dirinya keluar, Hoa Thian-hong segera sadar bahwa
dibalik kesemuanya itu pasti ada hal-hal yang kurang
beres, ia segera mendebrak meja sambil serunya dengan
wajah berubah hebat, “Jien Tang-kee, apakah kau ada
maksud menahan diriku?”

“Hoa loo-te, kau toh tamu terhormatku….” buru-buru
Jin Hian berseru setelah menyaksikan tamunya marah.
Belum habis ia mengatakan kata-katanya, dari luar
ruangan mendadak berkumandang datang suara
bentakan keras, meskipun sayup-sayup sampai namun
jelas menunjukkan bahwa diluar telah terjadi
pertarungan sengit.
Pria berbaju hijau yang menggembol golok besar dan
berdiri di belakang Jin Hian itu segera bertindak keluar
dari ruangan, tidak selang beberapa saat kemudian ia
sudah masuk kembali sambil memberi laporan, “Diluar
kedatangan seseorang yang tak mau menyebutkan
namanya, ia bersikeras hendak menyerbu masuk
kedalam, sekarang telah bertempur melawan pengawal
golok emas.”
Jin Hian mengangguk tanpa mengucapkan komentar
apapun rupanya ia tidak menaruh perhatian atas
kejadian itu.
Tiba-tiba suara bentakan keras kembali berkumandang
datang meskipun suaranya masih sayup-sayup sampai
namun semua orang yang hadir dalam ruangan itu dapat
membedakan bahwa jarak lerjadinya pertarungan
semakin mendekat.,
Dalam sekejap mata kecuali Hoa Thian-hong semua
orang yang telah menunjukkan perubahan sikap. bahkan
ada diantara mereka yang telah bersiap siap untuk
bangkit dari tempat duduknya.

Mendadak satu ingatan berkelebatan dalam benak Hoa
Thian-hong, segera serunya, “Jin loo-tang-kee, mungkin
orang itu adalah Ciong Lian-khek cianpwee yang sengaja
datang menjenguk diriku karena aku sudah lama sekali
belum juga pulang ke rumah”
Jin Hian mengerutkan alisnya, mungkin la sedang
memperhatikan jalannya pertarungan diluar ruangan.
setelah itu dengan suara dingin ejeknya, “Kalau dia
adalah Ciong Lian-khek, tak mungkin pengawal pribadiku
sanggup dilewati….”
Mendadak air mukanya berubah hebat, sambil bangkit
berdiri tambahnya, “Atau mungkin ibumu yang telah
datang”
Hoa Thian-hong terperanjat sekali mendengar ucapan
itu, sementara Cu Goan-khek sekalipun ikut tercekat
hatinya, dalam sekejap mata semua orang telah bangkit
tinggalkan tempat duduknya.
Jin Hian serta Hoa Thian-hong berjalan lebih duluan
keluar dari ruangan itu, para jago yang lain mengikuti
dari belakang. Sekeluarnya dari ruang tadi terdengar
suara bentrokan senjata tajam berkumandang semakin
santar dan ramai, bahkan diiringi bentakan-bentakan
yang memekikkan telinga, Setelah keluar dari lorong
kecil. para jago sama-sama berdiri tertegun.
Di bawah ruang sebelah barat tampak delapan orang
pengawal golok emas dengan membagi jadi dua
setengah lingkaran sedang menggencet seseorang,
pertarungan berjalan dengan amat seru. sisanya dengan

empat orang membentuk satu setengah lingkaran
berkelompok di sekitar lapangan itu pada jarak satu
tombak.
Tiga rombongan jago berada di depan itu dan tujuh
kelompok ada di belakang tubuhnya pemotongan oleh
para jago lihay itu membuat jalan mundur orang itu
tersumbat sama sekali.
Pengawal2 golok emas itu benar-benar terdiri dari
para jago yang sangat lihay, empat orang menyerang
dari depan, empat orang menyerang dari belakang
terdengarlah suara dentingan nyaring bergema
memekikkan telinga sambaran golok emas yang lebarnya
mencapai empat senti berkelebat kesana kemari
menyiarkan cahaya emas yang menyilaukan mata,
ditambah pula desingan suara tajam yang membetot
sukma membuat suasa na terasa bertambah
mengerikan…..
Ooo)*(ooO
Hoa Thian-hong segera alihkan sinar matanya ke arah
jago lihay yang sedang bertempur melawan delapan
orang pengawal golok emas itu, ia melihat orang itu
mengenakan sepatu tersebut dari rumput, baju pendek
dari kain kasar. Wajahnya hitam dengan kerutan yang
banyak, rambut yang telah memutih berkibar terhembus
angin, meskipun harus menandingi delapan bilah golok
emas tetapi orang itu selalu melawan dengan tangan
kosong belaka.

Terlihatlah jurus-jurus serangannya ganas dan dahsyat
meskipun delapan orang musuhnya berusaha keras
untuk menciptakan berlapis2 bayangan golok untuk
membendung serangan orang itu tetap mereka keteter
hebat.
Setelah menonton beberapa jurus serangan yang
dipergunakan kakek tua itu, Hoa Thian-hong segera
berpikir di dalam hati, “Tidak aneh kalau Jin Hian
mengira ibuku yang telah datang, ilmu silat yang dimiliki
kakek ini memang luar biasa sekali hebatnya……”
Tiba-tiba kakek tua yang berada di tengah kalangan
itu menggeserkan tubuhnya ke samping, sepasang
telapak, segera direntangkan ke arah kedua belah
samping.
Traaang…. traaang…..! di tengah bentrokan nyaring,
dua gulung angin pukulan yang dilancarkan kakek tua itu
sudah menumbuk di atas golok emas dari empat jago
yang berada di hadapannya, tidak ampun lagi keempat
orang itu sama-sama roboh terjengkang ke arah samping
kiri serta samping kanan.
Sungguh cepat gerakan kakek tua itu, dalam sekejap
mata ia sudah menerjang kehadapan pengawal golok
emas itu. Terdengar keempat orang jago itu membentak
keras, cahaya golok berkilauan, serentak mereka
membacok ke arah tubuh lawan.
Mereka2 yang tergabung dalam kelompok pengawal
golok emas rata-rata merupakan jago pilihan diantara
seluruh anggota perkumpulan Hong-im-hwie, dimana

bukan saja mereka dididik langsung oleh Jin Hian bahkan
sim-hoat tenaga dalam yang mereka pelajaripun
merupakan basil didikan langsung dari ketua mereka.
Kecuali mempelajari ilmu pukulan dan ilmu senjata
merekapun mendapat pendidikan ilmu barisan, maupun
ilmu berperang. bukan saja bertempur secara kerja sama
maupun bertarung satu lawan satu mereka semua
merupakan jago-jago yang luar biasa.
Bacokan dari keempat orang itu seketika berhasil
membendung jalan maju kakek tua itu, empat orang
yang kena dipukul pental tadi sementara itu telah
menyusul datang. Dalam sekejap mata empat depan
empat belakang kembali mengurung kakek tua itu di
tengah kepungan.
“Kakek tua itu memang lihay dan sakti,” pikir Hoa
Thian-hong setelah menyaksikan jalannya pertarungan,
“Meskipun ia telah berhasil melampaui tiga kepungan
namun masih ada enam babak yang ada di belakang,
apalagi pentolan mereka belum turun tangan sendiri,
bertarung macam begini betul-betul suatu perbuatan
yang tidak cerdik….”
Berpikir demikian ia lantas berpaling ke arah Jin Hian,
pada wajahnya sengaja ia perlihatkan sikap mengejek
dan pandang rendah, seolah-olah ia Sedang
menertawakan pertarungan dengan cara mengerubut itu.
Jin Hian segera mengerutkan dahinya, ia tertawa
rendah dan tiba-tiba bentaknya, “Tahan!”

Sambil berseru perlahan-lahan ia maju ke dalam
gelanggang.
Para jago dan pengawal golok emas yang
menghadang di tengah jalan sama-sama menyingkir ke
samping, para jago yang sedang bertempur pun samasama
menarik diri dan loncat keluar dari kalangan.
Jin Hian segera mendekati kakek tua itu sambil
tertawa sapanya, “Pengurus keluarga Hoa. sudah
sepuluh tahun lamanya kita tak pernah saling berjumpa,
masih ingatkah dengan aku orang she Jin?”
Kakek itu alihkan sorot matanya mengamati Jin Hian
sekejap, kemudian menjawab, “Anda toh masih ingat
dengan aku Hoa In, kenapa Hoa In bisa lupa dengan
dirimu?”
Sinar matanya berkeliaran memandang sekeliling
tempat itu, lalu serunya lagi, “Majikan kecil kami….”
Belum habis dia berkata, sorot matanya sudah
terbentur dengan wajah Hoa Thian-hong tubuhnya
segera bergetar keras.
Lampu lentera yang tergantung di bawah serambi itu
memacarkan cahaya yang terlalu redup lagipula Hoa
Thian-hongpun tidak kenal siapakah kakek tua itu.
setelah mendengar Jin Hian menyebut kakek itu sebagai
pengurus keluarga Hoa, ia baru tergerak hatinya apalagi
setelah kakek itu menyebut dirinya sebagai Hoa In, ia
segera teringat kembali akan pelayan ibunya yang telah
bekerja selama tiga generasi dengan keluarga mereka.

Cepat ia maju menyongsong ke depan dengan
serunya, “Hoa In! aku adalah Seng Koan….”
Perlu diketahui nama kecil Hoa Thian-hong adalah
Seng jin, ketika ia masih berada di dalam perkampungan
Liok Soat Sanceng dahulu, para pelayan dan dayang
yang bekerja di keluarganya semua memanggil” Seng
koan” kepadanya.
Karena itu setelah mendengar suara tersebut, Hoa In
segera membelalakkan matanya lebar2, kemudian
jatuhkan diri berlutut di atas tanah, serunya, “Oooh…Siau
Koan-jin, sungguh menderita budak mencari jejakmu….!”
Dengan mata terbelalak ia memandang wajah Hoa
Thian-hong tanpa berkedip, titik air mata segera jatuh
berlinang membasahi seluruh pipinya.
“Hoa Thian-hong sendiripun dengan air mata
bercucuran maju membangunkan kakek tua itu, serunya,
“Bangunlah dulu sebelum berbicara!”
“Dimanakah majikan perempuan?”
‘Ibu masih berada diluar perbatasan, tempat ini bukan
tempat yang cocok untuk berbicara, bangunlah dulu!”
Perlahan-lahan Hoa In bangkit berdiri, setelah
memandang sekejap lagi ke atas wajah Hoa Thian-hong,
dia menyeka air matanya dengan ujung baju.
“Siau Koan-jin, mari kita pergi!” ajaknya kemudian.

Hoa Thian-hong mengangguk, pikirnya, “Sepanjang
hari Chin toako selalu berada dalam keadaan tak sadar,
bila waktu berlarut, terlalu lama badannya tentu akan
menderita gangguan perduli amat dia mau kasih atau
tidak aku akan coba untuk memintanya….”
Ia segera memberi hormat kepada Jin Hian sambil
ujarnya, “Dapatkah aku mengajukan suatu permintaan
kepada Jien Tang-kee?”
“Apakah kau menginginkan obat pemunah bagi Chin
Giok-liong?” tanya Jin Hian sambil tertawa ewa. Si anak
muda itu mengangguk
“Chin Giok-liong hanya seorang pemuda yang baru
saja terjun ke dalam dunia persilatan, ia belum pernah
bermusuhan dengan siapapun, sedang Jien Tang-kee
adalah seorang jago lihay dari suatu wilayah, enghiong
dari dunia ketiga. Apa sih faedahnya bermusuhan dengan
anak muda seperti itu?”
“Hoa kongcu,” tiba-tiba Cu Goan-khek menyela
dengan suara dingin, Orang itu berhasil kau rampas dari
tangan aku orang she Cu. sepantasnya kalau obat
pemunah itupun kau dapatkan dari tangan aku orang she
Cu!”
“Jien Tang-kee keliru besar” Hoa Thian-hong segera
menyabut sambil ulapkan tangannya, “Dalam
perkumpulan Hong-im-hwie kedudukan Jien Tang-kee
adalah satu tingkat di bawah ketua dan beberapa.
tingkat lebih tinggi dari yang lain, kedudukanmu

terhormat dan dipuja orang Semasa ayahku masih hidup
dahulu, sekalipun dihormati kawanan Bulim itu pun tidak
lebih dianggap sebagai enghiong. Sedang aku….. aku
tidak lain hanya ingin menyelesaikan budi dan dendam
mendiang ayahku, maka aku tiada maksud mencari nama
atau kedudukan, semakin tiada bermaksud menjagoi
diantara kawanan Bulim”
Cu Guan Kek tertawa mengejek, “Jadi maksud Hoa
kongcu, andaikata tiada persoalan kau tak akan
bergebrak dengan orang?”
“Sedikitpun tidak salah! aku tidak ingin memburu
ambisi serta nafsu angkara murka, tetapi kalau didesak
atas dasar keadilan serta kebenaran, sekalipun kepala
harus putus badan harus musnah akan kulakukan juga
hingga titik darah penghabisan. Jien Tang-kee, bila kau
suka beringan tangan dan serahkan obat pemunah itu
kepadaku, sekarang juga aku akan berlalu dari sini,
sebaliknya kalau kau hendak memaksa untuk mengukur
kepandaian, maka aku akan melayani hingga obat
pemunah itu berhasil kudapatkan, perduli dalam ilmu
silat bisa menang atau kalah”
Maksud dari perkataan itu jelas sekali, bila tidak turun
tangan masih mendingan, bila harus turun tangan maka
ia akan nekad melawan terus hingga tujuannya tercapai.
Mendadak terdengar Jin Hian tertawa terbahak bahak
dan berkata, “Ji-te, ucapan dari Hoa kongcu sedikitpun
tidak salah, kalau dibicarakan mengenai ilmu silat belum
tentu dia dapat menandingi dirimu, kaupun belum tentu
dapat menandingi kepandaian silatku, bila Hoa tayhiap

masih hidup di kolong langit akupun belum tentu berhasil
menangkan dirinya, dalam kolong langit dewasa ini
menang kalahlah yang menentukan Enghiong, aku rasa
perebutan satu jurus tak usah dilakukan lagi.”
Selesai berkata dari sakunya dia ambil keluar sebutir
pil yang terbungkus dalam lilin kemudian diserahkan ke
tangan Hoa Thian-hong.
Sambil menerima obat itu, pemuda she Hoa lantas
berkata, “Atas kebesaran jiwa Jien Tang-kee, aku
mengucapkan banyak-banyak terima kasih. Mumpung
hari ini aku serta pelayan tuaku bisa berjumpa kembali
terasa banyak persoalan yang harus kusampaikan
kepadanya, bila selama ini aku telah melakukan
kesalahan, di kemudian hari aku pasti ikan datang
berkunjung lagi untuk mohon maaf.”
“Hoa kongcu, kalau kau berbuat begitu maka
tindakanmu itu tidak benar!” kata Jin Hian sambil tertawa
ringan
“Lalu bagaimana yang benar? harap Jien Tang-kee
suka memberi petunjuk!….”
“Kesempatan baik untuk membalas dendam bagi
kematian ayahmu telah tiba, kenapa Hoa kongcu
malahan hendak buru-buru berlalu dari sini? Masa kau
sudah melupakan dendammu itu?”
Hoa Thian-hong merasa hatinya tercekat, segera
pikirnya, “Rupanya perkumpulan Hong-im-hwie
mempunyai urusan dengan pihak sekte agama Thong

Thian Kau, kedua belah pihak belum tahu bahwa tenaga
dalam yang dimiliki ibuku telah punah, maka sekarang
ingin menyeret aku terjerumus pula di dalam pertikaian
ini….”
Bayangan serta cita-citanya untuk membasmi iblis dan
membangun kembali dunia persilatan yang aman dan
adil selalu melekat di dalam hati kecilnya kini setelah
diketahuinya bahwa kedua partai telah terlibat dalam
suatu permusuhan, jangan dibilang suruh dia pergipun
belum tentu dia mau, apalagi persoalan ini menyangkut
soal pembalasan dendam bagi kematian ayahnya?
Otaknya dengan cepat berputar dan ambil keputusan,
dia serahkan obat tadi ke tangan Hoa In sambil
pesannya, “Bawalah obat ini ke rumah penginapan Seng-
Liong disebelah Timur kota, serahkan kepada seorang
cianpwee yang bernama Ciong Lian-khek.”
“Budak belum lama berselang baru saja berkunjung ke
situ, bagaimana kalau obat ini disampaikan agak
belakang saja?” bantah Hoa In sambil menerima obat itu.
Hoa Thian-hong tahu bahwa pelayan tuanya ini tidak
rela tinggalkan dirinya dengan begitu saja, segera
serunya, “Obat ini biar cepat diminum dan penyakitnya
cepat sembuh, mengenai keselamatan diriku kaupun tak
usah kuatir. Meskipun banyak orang yang menghendaki
jiwaku tetapi saat ini waktunya masih belum tiba.”
Hoa In nampak tertegun, tapi akhirnya tanpa
mengucapkan sepatah katapun ia putar badan dan

berlalu dari situ, dalam sekejap mata bayangan tubuhnya
telah lenyap dari depan mata.
Diam-diam Hoa Thian-hong merasa amat kagum atas
kecepatan gerakan pelayan tuanya itu, air muka Cu Coan
kek sekalipun nampak berubah hebat. hanya Jin Hian
seorang tetap tenang dan tidak menunjukkan suatu
reaksi apapun juga.
Setelah suasana hening beberapa saat lamanya, Jin
Hian kembali ulapkan tangannya memberi tanda kepada
Siang Kiat sekalian, kelima orang itu segera memberi
hormat dan berlalu dari situ.
Hoa Thian-hong semakin curiga lagi, tak tahan ia
menegur, “Jien Tang-kee, tadi kau mengatakan bahwa
kesempatan bagus begitu untuk menuntut balas bagi
Kematian ayahku telah tiba, padahal Thong-thian-kauwcu
jauh berada di kota Leng-An, sebetulnya apakah
maksudmu?
Jin Hian tertawa hambar, sambil putar badan
tinggalkan tempat itu dia menjawab, “Perkumpulan
Hong-im-hwie telah mengerahkan segenap kekuatannya
menuju ke selatan, dalam perjalanan ini kalau Hoa
kongcu sudi mengiringnya maka kami akan merasa amat
bangga”
Terkejut hati si anak muda itu setelah mendengar
ucapan tersebut, kembali pikirnya di dalam hati,
“Kejadian ini berlangsung amat mendadak tanpa
mengeluarkan sedikit suarapun ternyata pertempuran
telah berada di samping pintu”

Berita ini diketahui olehnya terlalu mendadak, hal itu
membuat Hoa Thian-hong merasa agak kelabakan. Untuk
beberapa saat lamanya ia membungkam terus sambil
berusaha menenteramkan hatinya.
Sekali lagi semua orang balik ke dalam ruangan
perjamuan, setelah masing-masing ambil tempat duduk,
Jin Hian lantas berkata sambil tertawa, “Perjalanan kita
kali ini menuju kota Leng-An bakal waktu beberapa hari
perjalanan. sebentar lagi kita akan berangkat Hoa
kongcu silahkan bersantap lebih dahulu dari pada di
tengah jalan nanti merasa kelaparan!”
Hoa Thian-hong tersenyum, sambil tundukkan kepala
ia bersantap dan meneguk arak, dengan menggunakan
kesempatan yang sangat baik inilah ia berusaha
memecahkan situasi yang sedang dihadapinya sambil
berusaha mencari jalan keluar untuk menghadapi segala
kemungkinan besar merupakan salah satu pembunuh
ayahku…” pikirnya di dalam hati. “Tapi jelas bukan hanya
dia seorang saja, dendam terbunuhnya ayahku, aku
sebagai putranya bersumpah harus menuntut balas, tapi
perbuatan ini tak boleh kulakukan secara gegabah, apa
lagi sampai tenagaku dipergunakan oleh Jin Hian Aku
harus berusaha mempergunakan sengketa antara pihak
Hong-im-hwie dengan Thong-thian-kauw ini sebagai
sumbu bahan peledak yang akan memecahkan
pertumpahan darah antara ketiga golongan itu….”
Berpikir demikian, dia lantas angkat kepala dan
berkata, “Sudah lama aku dengar orang berkata bahwa
kekuatan dari ‘Tiga besar’ adalah seimbang, andaikata

dalam persengketaan ini pihak kalian harus kerahkan
segenap kekuatan yang dimilikinya, menang kalah
kekuatanmu pasti akan mengalami kemunduran dan
kerugian yang cukup parah, apakah kau tidak takut
karena itu posisimu jadi goyah? Dan apakah kau tidak
takut pihak Sin-kie-pang akan jadi nelayan beruntung
yang tinggal mengeduk keuntungannya saja sambil
berpeluk tangan?”
“Perkataan dari Hoa kongcu ini memang tepat sekali,”
puji Jin Hian sambil tertawa dan bertepuk tangan,”
Dalam pertempuran ini, andaikata aku tidak beruntung
dan menderita kekalahan, bukan saja kekuatan inti
perkumpulan Hong-im-hwie akan menderita kerusakan
hebat, posisi kekuasaanku akan goyah. bahkan
kemungkinan besar bakal runtuh dan hancur berantakan”
Dari sikap serta gerak-geriknya yang rileks dan tidak
bersungguh hati, Hoa Thian-hong segera mengetahui
bahwa dibalik peristiwa itu masih terselip latar belakan g
lain, ia segera berkat. “Aku lihat persoalan ini
menyangkut posisi kekuasaan pihak kalian serta jauh
berbeda dengan permusuhan pribadi antara perorangan
mungkinkah Jien Tang-kee sudah mempunyai rencana
yang masak serta memegang keyakinan penuh bahwa
kemenangan pasti berada dipihak, kalian?”
Jin Hian tertawa gelak, “Hoa kongcu benar-benar amat
cerdik sekali dan pandai melihat gelagat, aku orang she
Jin benar-benar merasa amat kagum.”
Dari ucapan yang selalu berusaha menghindar dari
pokok pembicaraan tersebut, Hoa Thian-hong segera

menyadari bahwa banyak bicarapun tak ada gunanya,
dengan mulut membungkam ia segera bersantap dan
minum arak,
Beberapa saat kemudian Hoa In telah muncul kembali
dalam ruangan itu, sambil menghampiri ke sisi Hoa
Thian-hong ujarnya, “Siau Koan-jin, obat itu kuserahkan
ketahgan Ciong Lian-khek!”
Hoa Thian-hong mengangguk, pikirnya. “Keluarga Hoa
kami telah tercerai berai dan berantakan, meskipun
sebutan antara majikan dan pelayan tak perlu dihapus,
rasanya soal peraturan rumah tangga tak perlu
kuperhatikan lagi”
Berpikir demikian, ia lantas menuding ke sebuah kursi
kosong sambil katanya, “Malam nanti kita masih akan
melakukan perjalanan, duduklah dan bersantap dulu!”
Perlu diketahui Hoa In adalah pengurus dari
perkampungan Liok Soat Sanceng, ketika Hoa Goan-siu
masih melakukan perjalanan dalam dunia persilatan
tempo dulu, Hoa In-pun sering kali munculkan diri pula di
dalam Bulim, ilmu silat yang ia miliki belum tentu berada
di bawah kepandaian silat dari Jin Hian.
Oleh sebab itu ketika Hoa Thian-hong suruh pengurus
perkampungannya itu duduk, para jago dari pihak Hongim-
hwie-pun tak seorangpun yang memberi komentar,
bahkan tak ada pula yang menunjukkan sikap tidak puas,
Tetapi Hoa In segera gelengkan kepalanya, “Aku tidak
lapar!”

Tiba-tiba serunya kembali, “Baiklah…… Aku akan
bersantap disitu saja.”
Sepuluh orang yang semua duduk dimeja perjamuan
sebelah depan secara beruntun berlalu semua, Hoa In
segera menuju ke tempat itu, setelah bersantap ia buruburu
balik lagi ke belakang tubuh Hoa Thian-hong.
Kembali beberapa waktu telah lewat, kali ini Cu Goankhek
sekalian yang bangkit berdiri, katanya, “Toako,
kami sekalian akan berangkat lebih dahulu!”
Jin Hian mengangguk. “Ingat baik-baik rencana kita
yang sebenarnya, dalam perjalanan berusahalah
mengadakan saling kontak antara kedua belah pihak,
setibanya di kota Ceng-kang nantikanlah kedatanganku!”
Cu Goan-khek mengiakan dan segera berlalu .
Menanti Hoa Thian-hong menyapu sekejap sekeliling
ruangan itu, dia lihat disitu sudah tiada orang lain lagi
kecuali Jin Hian, Cia Kim serta tiga orang pria baju hijau
yang menyoren golok besar bergagang emas itu.
Rupanya jin Hian tidak dapat membendung rasa
girang yang meluap-luap dalam hatinya, setelah
meneguk habis isi cawannya ia menghembuskan napas
panjang dan berkata sambil tertawa, “Sejak pertemuan
besar Pak-Beng-Hwie, dunia persilatan terasa sunyi
bagaikan berada di kuburan, setelah sepuluh tahun
merana akhirnya ini hari muncul pula setitik napas
Perkumpulan Hong-im-hwie bakal merajai persilatan, aku

ingin lihat kau si toosu bangsat Thian Ek bakal berubah
muka atau tidak?”
Dia buang cawannya ke lantai dan tertawa terbahakbahak.
“Haaa…. haaah…. haaaah…. Hoa Loo-te, mari
kitapun berangkat!……”
Sambil bangkit berdiri dari tempat duduknya, Hoa
Thian-hong berpikir, “Rupanya mereka semua terdiri dari
manusia-manusia yang tidak menginginkan kesunyian,
selama ini tak seorangpun diantara mereka yang berkutik
lantaran waktu yang dinanti nantikan belum tiba…..”
Sekeluarnya beberapa orang itu dari ruang perjamuan.
tampaklah Ciau Khong serta seorang pembantunya
sedang menanti di depan pintu, tujuh delapan ekor kuda
jempolan telah disiapkan di samping jalan, sementara
keempat puluh orang pengawal golok emas itu tanpa
menimbulkan suarapun telah berlalu semua dari situ.
Setelah semua orang naik ke atas panggung kuda. Jin
Hian angkat kepala memandang sekejap cuaca di langit,
kemudian sambil berpaling ke arah Hoa Thian-hong ia
perlihatkan wajahnya yang kegirangan.
Hoa Thian-hong pura pura berlagak pilon sambil
menjura serunya, “Jien Tang-kee, silahkan berangkat
lebih dahulu!”
Sikapnya yang tegas, mantap dan gagah ini
merupakan warisan langsung dari orang tuanya. hal ini
menunjukkan pula didikan Hoa Hujien selama sepuluh
tahun serta pengalamannya yang dialaminya selama ini

telah menimpa pemuda itu jadi semakin matang dan
berpengalaman.
Jin Hian yang menyaksikan itu diam-diam merasa
kagum, sedang pelayan tua Hoa In merasa girang
bercampur bangga.
Suara derap kaki kuda berkumandang memecah
kesunyian, Jin Hian menceplak kudanya berlalu lebih
dahulu dari pintu besar, malaikat berlengan delapan
menyusul dan belakang kemudian pria bergolok emas itu
nomor tiga, Hoa Thian-hong nomor empat sedang Hoa In
paling buncit.
Lima ekor kuda berlari sepanjang jalan menuju ke
pintu kota sebelah utara Setelah kelima ekor kuda itu
berlalu dari bawah wuwungan rumah seberang jalan
segara berkelebat keluar enam tujuh sosok bayangan
manusia. mereka semua tidak menyembunyikan jejaknya
lagi, ada yang lari menuju ke pintu barat, ada yang
menuju ke pintu selatan. ada yang membuntuti di
belakang kuda dan ada pula yang naik ke tembok kota.
Hoa Thian-hong yang melihat arah yang mereka tuju
adalah pintu utara, ia nampak agak tertegun. Tapi
sebelum ia sempat mengajukan keragu-raguannya itu Jin
Hian telah alihkan lari kudanya menuju ke arah Timur. Di
bawah cahaya bintang kelima ekor kuda itu nampak
mengitari dinding kota itu satu kali, tidak selang
sepertanak nasi kemudian mereka telah tiba diluar kota
sebelah selatan dan mulai menginjak jalan raya menuju
ke arah Wi-Im.

Perjalanan dilakukan amat cepat, ketika fajar hampir
menyingsing mereka beristirahat sejenak di sebuah
dusun kecil di tepi jala ketika itulah Hoa Thian-hong
bertanya, “Jien Tang-kee, pergerakan kita kali ini akan
dilaksanakan secara terang-terangan ataukah hendak
dilakukan secara sembunyi dan diluar dugaan
mereka?…….”
“Wilayah Kanglam adalah suatu wilayah yang makmur
dan ramai. di dalam setiap kota besar tentu terdapat
kantor cabang dari Thong-thian-kauw, gerakan pasukan
besar kita tentu akan mengejutkan mereka dan diketahui
jejaknya sejak dari permulaan, oleh karena itu gerakan
kita kali ini dilakukan setengah terang-terangan dan
setengah bersembunyi, asal pada bulan tujuh tanggal
tiga kita bisa mencapai kota Ceng-kang, sekalipun Thian
Ek si toosu bangsat itu sudah memperoleh berita, belum
tentu ia mampu melakukan penjagaan yang ketat
terhadap serbuan kita orang”
Hoa Thian-hong yang meninjau persoalan itu dari
sudut pandangan ke depan, secara lapat-lapat dapat
merasakan pula rumit serta kalutnya persoalan ini, ia
tahu bahwa pekerjaan besar semacam ini tak mungkin
sungguh dilakukan oleh Jin Hian sekalian beberapa
gelintir orang saja, kebanyakan pihak Sin-kie-pang tentu
terlibat pula dalam peristiwa ini.
Sekalipun begitu diapun menyadari bahwa banyak
bertanya tak ada faedahnya, oleh sebab itu ia segera
mengambil keputusan untuk menunggu perubahan
dengan sikap tenang. Mulutnyapun membungkam dalam
seribu bahasa,.

Terdengar Jin Hian bertanya kembali, “Hoa loo-te,
untuk setiap kali ‘lari racun’, apakah kau mempunyai saat
yang tertentu?”
Pemuda itu mengangguk, “Benar, setiap setengah hari
menjelang tiba.”
Jin Hian termenung sebentar, lalu berkata lagi, “Kalau
begitu sebelum tengah hari nanti kita beristirahat dulu
sebentar di kota Ko-kee-ceng!”
“Jien Tang-kee, janganlah karena urusan ini hingga
menunda perjalananmu ini!….” Jin Hian tersenyum. “Kita
toh sedang melakukan perjalanan bersama, sudah
sepantasnya kalau kami mengimbangi keadaan dari
rekan seperjalanan kami, kalau tidak bantu membantu
darimana kita bisa kokoh?”
Setelah sang surya menyingsing perjalanan segera
dilakukan, tengah hari racun teratai yang mengeram
dalam tubuh Hoa Thian-hong kambuh, ia segera turun
dari punggung kudanya dan melanjutkan perjalanan
dengan jalan berlari.
Makin lari ia semakin cepat hingga dalam sekejap
mata rombongan kuda telah ditinggalkan beberapa ratus
tombak jauhnya Hoa In tak mau tinggalkan majikan
mudanya dengan begitu saja, diapun loncat turun dari
kuda dan berlari di sisinya.
“Siau Koan-jin!” serunya kemudian. bila kau tidak
tahan, biarlah budak menotok beberapa buah jalan

darahmu serta menggendong dirimu untuk melanjutkan
perjalanan”
JILID 16 : Kesetiaan Pelayan Setia
Hoa Thian-hong tertegun, pikirnya, “Cara menotok
jalan darah belum pernah kujajal…tapi bagaimanakah
faedahnya?” Pemuda itu segera menggeleng, katanya,
“Biarkanlah aku lari seorang diri, kau boleh kembali naik
kuda”
“Tidak, aku masih kuat untuk lari!”
Waktu itu tengah hari telah menjelang, sang surya
memecahkan cahayanya dengan terang menyiarkan
hawa panas yang menyengat badan, Hoa Thian-hong
tidak tega membiarkan kakek tua itu ikut menderita
lantaran dia, dengan alis berkerut segera serunya, “Hati
licik manusia sukar diduga, setiap saat kemungkinan
besar kita bakal diserang dan dibokong oleh orang, kau
harus menjaga badan serta tenagamu baik-baik, hingga
seandainya terjadi urusan kita tidak jadi kelabakan serta
mandah dijagal oleh musuh”
Hoa In ragu-ragu sejenak, lalu menjawab, “Walaupun
ucapan Siau Koan-jin benar, tapi selama Siau Koan-jin
melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki, budak
merasa tidak tenang untuk naik kuda seorang diri”
Hoa Thian-hong merasa amat terharu hingga tanpa
terasa air mata jatuh berlinang, tapi dengan wajah serius
dan pura-pura gusar ia menegur kembali, “Ayah telah

mati, ibupun tak ada disini. masa kau tak mau mengerti
perkataanku.”
Mendengar teguran itu Hoa In segera menghentikan
larinya, buru-buru ia berseru, “Budak…budak….”
Sebelum ia sempat meneruskan kata-katanya,
bagaikan hembusan angin puyuh Hoa Thian-hong sudah
melampaui dirinya, dalam sekejap mata pemuda itu
sudah berada puluhan tombak jauhnya di depan sana.
Sesaat kemudian Jin Hian sekalian telah menyusul
kesitu, Hoa In segera loncat naik ke atas kudanya dan
membawa kuda tunggangannya dari Hoa Thian-hong
menyusul dari belakang.
Dalam pada itu Hoa Thian-hong yang sudah berada
jauh di depan. tiba-tiba lari berbalik ke belakang,
kemudian pulang pergi beberapa kali di sekitar
rombongan itu, makin berlari kecepatannya semakin
tinggi hingga akhirnya halnya tinggal setitik cahaya saja
yang berkelebatan kesana kemari.
Ketika tengah hari sudah lewat dan sore menjelang
tiba. Beberapa orang itu telah tiba di kota Ko-kee-ceng,
sebelum mereka sempat beristirahat dari arah selatan
terdengar suara derap kaki kuda yang ramai
berkumandang datang. itulah suara dari rombongan dua
puluh pengawal golok emas yang baru saja tinggalkan
dusun itu untuk melanjutkan perjalanan.
Meskipun kota itu kecil, tapi karena merupakan jalan
raya penting yang menghubungkan Utara dan Selatan,

maka dalam kota itu terdapat lima buah rumah
penginapan. Beberapa orang itu segera masuk ke dalam
penginapan untuk beristirahat serta berjanji tengah
malam nanti akan melanjutkan perjalanan kembali.
Sekujur badan Hoa Thian-hong basah kuyup oleh
keringat, setibanya di rumah penginapan ia segera
memerintahkan pelayan untuk siapkan air buat mandi..
Pada pelana setiap kuda tunggangan tersebut telah
tersedia sebuah kantongan berisi uang serta air minum.
Hoa In segera mengambil sekeping uang perak dan
diserahkan kepada pelayan itu sambil pesannya, “Lihat
baik-baik potongan badan sauya kami ini, belikan satu
setel baju yang paling bagus dengan warna biru
bersulamkan benang emas, berdasar warna kuning, bila
tak ada yang cocok buatkan dengan segera, sebelum
senja nanti pakaian itu harus sudah siap. Di samping itu
carikan pula satu setel baju warna ungu bagiku.”
Pelayan itu menerima uang tersebut, setelah
mengamati potongan badan kedua orang tetamunya ia
baru berlalu.
“Eeei…. tunggu dulu pelayan!” tiba-tiba Hoa In
berseru kembali, “Celana untuk sauya ini belikan dulu!”
“Hamba mengerti!”
Sepeninggalannya pelayan itu, Hoa Thian-hong sambil
tertawa segera berkata, “Buat apa sih musti mencari
pakaian yang mahal? Apalagi memilih warna biru dengan
strip benang emas”

“Selama Lo-ya masih hidup, sering kali ia berdandan
seperti ini”
Bayangan tubuh ayahnya segera terlintas di dalam
benaknya, rasa sedih segera menyerang hatinya, sambil
tertawa paksa segera ujarnya, “Ilmu silat yang kau miliki
telah mencapai puncak kesempurnaan. Aku pikir
beberapa orang jago lihay itu masih belum bisa
menandingi kekuatanmu!”
“Siau Koan-jin, mungkin kau lupa bahwa ilmu silat
yang budak miliki adalah langsung dari Lo-thay-ya,” ujar
Hoa In dengan mata berubah jadi merah, “Sewaktu toaya
belajar silat, budakpun ikut berlatih!”
Melihat kakek tua itu menangis, buru-buru si anak
muda itu berseru, “Ibu paling tidak suka melihat aku
menangis, sekarang adalah saat bagiku untuk berkelana
di dalam dunia persilatan. janganlah kau bangkitkan pula
kesedihanku”
Dengan cepat Hoa In menyeka air mata yang
membasahi pipinya. “Siau Koan-jin, ada urusan apa Cubo
(majikan perempuan) pergi keluar perbatasan?
Mengapa beliau ijinkan dirimu berkelana seorang din?”
tanyanya kemudian.
Hoa Thian-hong mengerling sekejap ke arah dinding
ruangan sebelah kiri, lalu sambil tertawa jawabnya, “Aku
pergi tanpa pamit, ibu sedang berkelana di empat
penjuru mencari jejaknya”

Hoa In tidak tahu perkataannya itu sungguhan atau
tidak, ia lantas mengomel. “Aaai…! Siau Koan-jin benarbenar
nakal, kau toh tahu bahwa musuh kita tersebar
dimana mana, kenapa kau menahan bermain kesana
kemari tiada arah tujuan?”
Hoa Thian-hong tersenyum, ia tidak menanggapi lagi
ucapan tersebut. sambil alihkan pokok pembicaraan
kesoal lain katanya, “Selama banyak tahun
bagaimanakah kau lanjutkan hidupmu?”
“Setelah pertemuan Pak-Beng-Hwie, Cubo buru-buru
pulang ke dalam perkampungan dan memerintahkan
budak serta seluruh anggota perkampungan untuk
mengungsi kelaut Tang-hay, waktu itu budak tidak ingin
meninggalkan Siau Koan-jin, tapi akupun tak tahu Cubo
telah menyembunyikan Siau Koan-jin dimana maka …” la
berhenti sejenak, lalu bergumam, “Siau Koan-jin tentu
mengetahui bukan bagaimani perangai cubo? . .
“Ibu memang lebih sukar diajak berbicara daripada
ayahku, aku sendiripun tidak berani membangkang
perintahnya”
“Benar. siapa yang berani membangkang perintah
Cubo? Waktu itu keadaan amat mendesak dan situasi
amat berbahaya, Cubo pulang dengan membawa luka
dalam yang amat parah, budakpun tak tahu
bagaimanakah keadaan Siau Koan-jin, terhadap perintah
dari cubo ini dalam hati kecilku budak merasa amat tidak
puas”

“Ibuku mengatur demikian, tentu saja dia mempunyai
alasan tertentu”
“Meskipun memang beralasan tapi caranya itu tidak
bagus, keluarga Hoa hanya mempunyai keturunan Siau
Koan-jin seorang, sedang budak yang mengerti sedikit
ilmu silat ternyata bukannya di perintahkan untuk
melindungi keselamatan Siau Koan-jin, sebaliknya malah
disuruh mengungsi jauh kelaut Tanghay, bukankah
tindakan ini hanya akan membuat hatiku merasa semakin
tidak tenteram?”
“Haruslah diketahui Hoa In adalah anggota keluarga
Hoa, sedang Hoa Thian-hong adalah majikan dari
keturunan keluarga Hoa sebaliknya majikan
perempuannya berasal dari luar, dalam pandangan
matanya majikan kecil itu merupakan keseluruh dari
keluarga Hoa, kedudukkannya jauh lebih terhormat dan
penting dari majikan perempuannya maka dari itu Hoa In
merasa tidak puas pada saat ia dititahkan untuk
mengungsi dan bukannya mendapat tugas untuk
menyelamatkan majikan kecilnya.
Menyaksikan ketulusan hati serta kesetiaan pelayan
tuanya ini, Hoa Thian-hong merasa amat terharu. Tapi
iapun merasa tak enak untuk memberi penjelasan karena
keputusan itu dilakukan oleh ibunya.
Dalam suasana yang serba kikuk itulah tiba-tiba
pelayan datang membawa air panas menggunakan
kesempatan itulah ia segera berseru, “Aku mau mandi
dulu, sehabis mandi kita pergi bersantap!”

Hoan in berpesan kepada pelayan untuk siapkan
hidangan, kemudian menutup pintu dan siap membantu
majikan mudanya untuk lepas pakaian.
“Kau duduk sajalah, aku akan kerjakan sendiri” tampik
Hoa Thian-hong, setelah melepaskan pakaian ia bertanya
kembali, “bagaimana kemudian? Apakah kau selalu
berdiam di laut Tang-hay?”
Hoa In mengundurkan diri dan duduk di samping, lalu
menjawab, “Cubo memerintahkan aku untuk meyakinkan
ilmu ‘Sau-yang ceng-khie’ bila sudah berhasil maka aku
dititahkan untuk kembali ke daratan Tionggoan dan
mencari Siau Koan-jin. Dalam keadaan apa boleh buat
terpaksa budak membawa seluruh anggota keluarga
lainnya sebanyak lima orang mengungsi ke laut Tanghay.
Sungguh tak nyana ilmu ‘Sau-yang-ceng-khie’
benar-benar susah sekali untuk melatihnya, akupun tidak
dapat memadahi kecerdikan Toa-ya dimana dalam usia
dua puluh tujuh tahun kepandaian tersebut telah berhasil
dikuasainya, selama perjalanan hingga tiba dilaut Tanghay,
hatiku benar-benar merasa amat sedih, aku
menyedihkan kematian toa-ya, rindu pula terhadap Siau
Koan-jin, terdesak oleh keadaan maka terpaksa setiap
hari aku berlatih dengan giat. Sungguh tak nyana tujuh
delapan tahun kemudian ilmu Ceng-kie tersebut akhirnya
berhasil aku kuasai juga”
Hoa Thian-hong merasa amat girang bercampur
terharu mendengar kabar itu, sambil tersenyum ujarnya,
“Berlatih ilmu silat secara paksa memang merupakan
suatu pekerjaan yang amat menderita, tapi setelah
berhasil maka penderitaan itupun tidak terlalu sia-sia.”

“Begitu kepandaian silatku berhasil kuyakini, hari itu
juga budak berangkat menuju ke daratan Tionggoan,
siapa tahu meskipun sudah kujelajahi utara maupun
selatan, sudah kusambangi sahabat2 toa-ya dulu kabar
berita mengenai soan-jin belum juga ketahuan, Selama
tiga empat tahun belakangan ini budak benar-benar
merasa amat menderita”
“Macam apa saja sih sahabat serta kenalan lama
ayahku itu?” tanya Hoa Thian-hong sambil menghela
napas ringan.
Hoa In gelengkan kepalanya dan menggerutu,
“Mereka2 yang termasuk jago lihay sudah mati semua, di
rumah hanya tertinggal perempuan2 tua istri belaka, ada
pula sebagian yang masih hidup tetapi jejaknya tidak
ketahuan, entah mereka telah menyembunyikan diri
dimana?”
Hoa Thian-hong menghela napas panjang mendengar
kabar itu. Selesai mandi kedua orang itupun bersantap di
dalam kamar sambil membicarakan soal rumah tangga,
kemudian Hoa In memaksa pemuda itu untuk naik
pembaringan beristirahat sedang ia sendiri duduk
bersemadi di dekat pintu.
Senja itu ketika Hoa Thian-hong mendusin dari
tidurnya, pakaian baru telah siap, dibantu oleh Hoa In
pemuda itu segera berdandan.
“Coba kau lihat, aku mirip dengan ayahku atau tidak?”
ujar Hoa Thian-hong kemudian sambil tertawa.

Hoa In mengamati wajahnya beberapa saat, kemudian
menjawab, “Potongan badan serta raut wajahmu mirip
dengan Toa-ya, alismu rada tebalan, mata serta hidung
mirip pula, cuma bibir serta janggutmu lebih mirip
majikan perempuan”
“Lalu bagaimana dengan perangaiku? lebih mirip
ayahku ataukah ibuku?” Hoa In berpikir sebentar, lalu
sahutnya, “Toa-ya ramah dan halus sedang Cubo keras
lagi disiplin. sewaktu Siau Koan-jin masih kecil dulu nakal
dan lincah mirip toa ya, entah kalau sekarang lebih mirip
siapa ‘“
Hoa Thian-hong tersenyum. “Di dalam situasi yang
serba kacau ini, lebih baik perangaiku lebih mirip dengan
ibuku,” katanya.
Selesai bersantap hari sudah gelap, kedua orang
itupun bercakap-cakap lagi di dalam kamar sambil minum
teh. Suatu ketika mendadak Hoa In memperendah
suaranya sambil berbisik, “Siau Koan-jin, aku telah
berhasil mendapat keterangan yang amat jelas mengenai
peristiwa berdarah yang menimpa toa-ya tempo dulu.
Dalam pertarungan yang terakhir toaya seorang diri
dikerubuti oleh lima orang manusia jahanam, mereka
adalah Thian Ek toosu siluman dari Thong-thian-kauw,
Yan-san It-koay serta Liong-bun Siang-sat dari Hong-imhwie
serta seorang bajingan tua yang bernama Ciu Itbong.”
Hoa Thian mengangguk.

“Sstt…. awas dinding bertelinga….” bisiknya.
“Ketiga orang pentolan bajingan dari Thong-thiankauw,
Hong-im-hwie serta Sin-kie-pang semuanya adalah
manusia-manusia rendah yang tak tahu malu, mereka
manusia yang tak bisa pegang janji dan omongannya
plin-plan. menurut pendapatku lebih baik kita berangkat
sendiri saja untuk membunuh Thian Ek toosu bajingan itu
guna balaskan dendam bagi toa-ya, melakukan
perjalanan bersama-sama Jin Lo-ji itu pasti tak akan ada
manfaatnya.”
“Ucapanmu memang benar, bukan saja kita harus
menyelesaikan dendam pribadi, kitapun harus keras
untuk membasmi ketiga buah perkumpulan besar hingga
lenyap dari muka bumi.”
“Lalu apa yang musti kita lakukan?”
“Kita laksanakan saja tindakan kita menurut keadaan
di depan, perlahan lahan apa yang kita harapkan pasti
tercapai juga. Putra Jin Hian telah mati datanganku,
cepat atau lambat dia pasti akan turun tangan kepadaku,
berhati hatilah setiap saat!”
“Budak rasa lebih baik kita cepat-cepat temukan jejak
Cubo, mungkin dia mempunyai cara yang baik untuk
menyelesaikan persoalan ini,” usul Hoa In sambil
mengerutkan dahinya.
Hoa Thian-hong segera menggeleng, bisiknya, “Ibuku
tak dapat unjukan diri di depan umum luka dalam yang

ia derita masih belum sembuh betul bila ia unjukan diri
maka keadaan kita akan semakin berbahaya.”
Mendadak dari luar pintu terdengar suara langkah
manusia, Hoa In segera bangkit sambil menegur, “Siapa
disitu?”
Ketika pintu dibuka, terlihat orang itu bukan lain
adalah komandan dari pasukan pengawal pribadi Jin
Hian.
Orang itu she-Cho bernama Bun Kui dan merupakan
komandan dari keempat puluh orang pengawal golok
emas, ketika itu sambil melangkah masuk ke dalam
ruangan katanya, “Tang-kee kami mempersilahkan Hoa
kongcu meneruskan perjalanan kembali!…,”
Hoa Thian-hong mengangguk dan segera keluar dan
kamar, Hoa In sambil membawa buntalan mengikuti dari
belakangnya. Jin Hian serta Cia Kim-pun secara beruntun
munculkan diri pula, setelah Cho Bun Kui membayar
rekening berangkatlah kelima orang itu meneruskan
perjalanannya menuju ke arah Selatan.
Keempat orang pengawal golok emas selalu berada di
depan rombongan Jin Hian, setiap kali mereka
beristirahat di rumah penginapan, rombongan pengawal
itu tentu berangkat melanjutkan perjalanan kembali.
Sebaliknya Cu Goan-khek sekalian sejak berpisah di kota
Cho ciu belum parnah bertemu kembali, rupanya orangorang
itu melakukan perjalanan lewat jalan kecil.

Suatu tengah hari ketika racun teratai dalam tubuh
Hoa Thian-hong kambuh kembali sebagai mana biasanya
ia segera berlarian bolak balik mengitari rombongan itu,
setelah lari sejauh beberapa li dia balik dan menyusul
kembali rombongannya.
Mendadak…. dari tengah jalan muncul seorang tauto
yang memelihara rambut menghadang jalan perginya,
Padri berambut itu berusia enam tujuh puluh tahunan
dengan raut wajah yang bersih dan kulit badan berwarna
putih.
Ia mengenakan sebuah jubah padri berwarna putih,
tangannya membawa senjata sekop berbentuk bulan
sabit yang terbuat dari baja, sebuah tasbeh berwarna
putih tergantung di lehernya. sedang pada keningnya
terikat sebuah ikat kepala terbuat dari perak, di bawah
sorot cahaya sang surya tampaklah orang itu begitu
gagah bagaikan malaikat.
Hoa Thian-hong sudah tiga kali mengitari jalanan itu
tapi selama ini belum pernah temukan jejak orang itu,
sekarang melihat kemunculannya secara tiba-tiba ia jadi
tercengang, sebelum ingatan kedua berkelebat dalam
benaknya orang itu sudah berlari mendekati ke arahnya.
Dengan cepat kedua belah pihak saling berpapasan,
mendadak padri itu menyilangkan senjata sekop bulan
sabitnya ke tengah jalan sambil serunya, “Siau sicu,
harap tunggu sebentar”
Hoa Thian-hong terkejut, terasa olehnya cahaya
keperakan berkelebat lewat dan tahu-tahu ujung sekop

sudah menghadang di depan dada. Dalam keadaan
begini tak mungkin baginya untuk menahan gerakan
tubuh lagi, karena gugup ia segera mencengkeram
senjata lawan sambil didorong keluar.
Bayangan putih berkelebat lewat tauto tua itu
mengitari tubuh Hoa Thian-hong satu lingkaran,
sementara senjata sekop bulan sabit masih tetap
menyilang di depan dada pemuda tersebut.
“Sungguh aneh gerakan tubuhnya,” pikir Hoa Thianhong
dengan hati terkesiap. cepat ia bergeser dua
langkah ke belakang lalu berseru. “Toa suhu, harap suka
memberi jalan lewat bagiku!”
“Ditinjau dari sikapmu yang tidak tenang dan
langkahmu yang terburu-buru. apakah kau merasa amat
tersiksa?”
“Benar! aku terkena racun aneh yang amat keji,
sekujur tubuhku terasa sakit bagaikan tersiksa….”
“Masa dengan berlari lari begitu maka rasa sakit yang
menyerang tubuhmu bisa dikurangi?”
“Ucapan toa suhu sedikitpun tidak salah” jawab si
anak muda itu, karena tiada berminat untuk banyak
bicara ia segera enjotkan badan dan lari kembali ke
muka.
“Bocah muda, kau berani kurang-ajar!” bentak Tauto
tua itu dengan suara nyaring senjata sekop bulan

sabitnya segera dihantam ke atas batok kepala pemuda
itu.
“Rupanya padri tua ini ada maksud mencari perkara…
baiklah akan kucoba sampai dimanakah kelihaiannya,”
pikir pemuda itu di dalam hati.
Mendengar datangnya desiran angin tajam yang
mengancam batok kepalanya, ia segera putar badan
sambil mengirim satu babatan ke tengah udara, serunya
lagi, “Toa suhu maafkanlah daku!”
“Blaaam…!” pukulan Hoa Thian-hong secara telak
bersarang di ujung senjata sekop tersebut membuat
senjata itu mencelat sejauh empat lima depa ke tengah
udara.
Oleh benturan keras tadi kedua belah pihak samasama
merasakan lengannya jadi linu dan kaku, mereka
merasa kaget dan kagum atas kelihaian lawannya, sambil
membentak keras suatu pertempuran sengitpun segera
terjadi.
Pertempuran belum berlangsung lama, tiba-tiba Hoa
Thian-hong merasa daya tekanan yang dipancarkan
lewat senjata sekop itu kian lama kian bertambah berat,
bahkan tak pernah daya tekanan itu berkurang. Dalam
waktu singkat tekanan yang datang dari empat penjuru
itu berat laksana bukit, mengikuti gerakan perputaran
senjata itu segulung demi segulung menggencet
tubuhnya habis-habisan.

Hoa Thian-hong merasakan sepasang matanya jadi
silau terkena pantulan cahaya perak yang berkilauan,
nampaknya ia semakin keteter dan tak mampu untuk
mempertahankan diri lebih jauh.
Dalam keadaan begini, timbullah perasaan ingin
menang di dalam hatinya, ia membentak keras.
Sepasang telapaknya dengan segenap tenaga segera
disodok kemuka.
Tauto tua itu semakin melipat gandakan tenaga
tekanannya setelah melihat keadaan musuhnya keteter
hebat. tapi setelah merasakan datangnya perlawanan
yang gigih, dengan alis berkerut ia segera berseru, “Aku
akan turun tangan keji untuk membunuh orang, bocah
cilik! Kalau kau tak merasa kuat menahan diri cepatcepatlah
buka suara untuk minta ampun!….”
“Aneh sekali,” pikir pemuda she-Hoa dalam hati,
”tauto ini mirip sekali dengan malaikat dalam lukisan,
wajahnya tidak nampak seperti orang jahat, tetapi
mengapa ia meneter diriku terus-menerus?”
Dengan suara lantang ia segera menegur, “Toa suhu,
bagaimanakah sebutanmu?”
Tauto tua itu tidak menjawab, sebaliknya mengejek
kembali, “Bocah cilik, perhatikan langkahmu. Aku lihat
kau cukup tangguh juga untuk bertahan. Janganlah
karena berbicara gerakanmu jadi kalut!”
Bacokan sekopnya bagaikan gulungan ombak di
samudra menyerang ke depan tiada hentinya. Sekuat

tenaga Hoa Thian-hong memberikan perlawanan yang
gigih kembali ia berseru, “Toa suhu, aku toh tak pernah
mengganggu atau menyakiti hatimu, apa sebabnya toa
suhu mendesak diriku terus meneius, sebetulnya apa
maksudmu?”
“Aku sedang mencari derma!”
“Mencari derma, masa beginilah cara seorang pendeta
mencari derma,” batin pemuda itu, Dengan suara lantang
segera serunya, “Toa suhu, kau tidak mirip dengan
pendeta yang menyiksa diri, entah derma apa yang
sedang kau cari?”
“Aku hendak menderma dirimu, samudra penderitaan
tiada bertepi, berpalinglah ke arah daratan. bila kau
mengerti gelagat sekarang juga ikutilah aku berlalu dari
sini”
“Toa suhu, ucapanmu ini mengandung maksud yang
sangat mendalam maafkanlah aku yang muda tak
sanggup menangkap arti dari perkataanmu itu”
Sementara pembicaraan masih berlangsung, daya
tekanan yang tergencar keluar dari ujung senjata itu kian
berkurang, Hoa Thian-hong secara paksakan diri masih
dapat mempertahankan diri.
Terdengar Tauto tua itu berkata kembali, “Dari sini
menuju ke arah selatan adalah samudra penderitaan
yang tak bertepi bila kau tidak segera berpaling maka
kau akan tenggelam dalam samudra penderitaan itu.
Sekalipun ada nelayan bermurah hati yang muncul,

belum tentu dapat menghantar kau naik ke atas daratan,
ucapan ini cukup sederhana, aku rasa kau tentu bisa
menangkap maksudnya bukan?”
Hoa Thian-hong cerdik dan berotak encer, dengan
cepat ia berhasil menangkap maksud yang sebenarnya
dari ucapan itu. Dia tahu Tauto itu sedang
memberitahukan kepadanya bahwa perjalanannya
menuju ke kota Leng An serta menceburkan diri ke
dalam pertikaian tiga besar sama artinya begaikan
tenggelam di tengah samudra penderitaan, ia dianjurkan
segera berlangsung dan jangan menceburkan diri dalam
persengketaan itu.
Meskipun dalam hati ia mengerti, sayang pemuda ini
tak mau menerima nasehat tersebut, Setelah berpikir
sebentar ia lantas berkata, “Terima kasih atas maksud
baik taysu, sayang aku pernah bersumpah di hadapan
kuburan mendiang ayahku, sekalipun badan harus
hancur dan jiwa musti melayang, aku harus
menyelesaikan dahulu pesan dari mendiang ayahku ini”
“Takdir telah menentukan begini, kau melakukan
tindakan tersebut hanya akan tinggalkan penyesalan
belaka. usaha apa yang bisa kau lakukan?….”
“Maksud Thian sukar diduga manusia, siapa tahu
bagaimana yang dimaksudkan sebagai takdir? Bagiku
hanya ada jalan maju tanpa jalan mundur, meskipun
harus mati juga tak akan menyesal!”
Rupanya Tauto tua itu dibikin gusar oleh ucapan
tersebut, dengan suara berat ia berkata, “Kau terlalu

keras kepala dan teguh dalam pendirian kalau memang
kau tak sudi mendengarkan nasehatku, akupun tidak
ingin banyak berbicara lagi. Kau harus layani dahulu
serangan-serangan gencarku, bila aku menang kau harus
pergi dari sini mengikuti diriku, sebaliknya kalau kau
yang menang maka aku akan menghaturkan sisa hidupku
ini untuk selamanya mengikuti serta mendampingi dirimu
kendati kau hendak pergi keu jung langit atau dasar
samudrapun”
Berdebar hati Hoa Thian-hong mendengar perkataan
itu, ia tahu ilmu silat yang dimiliki Tauto tua itu jauh
berada diatasnya, Karena itu ia tak berani memberikan
komentar setelah tenangkan hati dengan mulut
membangkam ia lakukan perlawanan secara gigih dan
waspada, ia berusaha agar kemenangan bisa diraih
olehnya.
Dalam waktu singkat pertarungan berlangsung
semakin sengit. angin pukulan yang kuat menyambar
silih berganti. sambaran senjata sekop bulan sabit
berkelebat memancarkan cahaya perak yang
menyilaukan mata, seluruh tubuh si anak muda itu
terkurung dalam kepungannya, Sesaat kemudian, Hoa
Thian-hong mulai kepayahan, napasnya tersengal-sengal
dan dengusan hidungnya kedengaran makin nyata.
Disaat yang amat kritis itulah, tiba-tiba terdengar
suara bentakan gusar Hoa In bergema datang dari
kejauhan. “Hey, siapa itu? Cepat tahan!”
Ketika mengucapkan bentakan itu tubuhnya masih
berada ratusan tombak jauhnya, tapi bersamaan dengan

berakhirnya ucapan terakhir, sesosok bayangan manusia
telah menerjang masuk ke dalam gelanggang.
“Jangan bertindak bodoh!” seru Hoa Thian-hong
memperingatkan.
Hoa In yang harus menderita dua belas tahun
lamanya sebelum berhasil menemui majikan mudanya
kembali dalam keadaan selamat. tentu saja tak ingin
membiarkan dirinya menempuh bahaya, bersamaan
dengan datangnya terjangan itu. sepasang telapak
dengan mengerahkan ilmu ‘Sau-yang-ceng-khie’ segera
menyambar ke arah senjata sekop bulan sabit lawan.
Terdengar Hoa In membentak nyaring serentetan
suara pekikan naga yang nyaring bergema memecahkan
kesunyian, tauto tua itu cepat-cepat loncat mundur dan
melayang keluar dari gelanggang, dalam waktu singkat
tubuhnya sudah berada beberapa ratus tombak jauhnya
dari tempat semula dan kabur menuju ke arah utara.
Memandang bayangan punggung Tauto tua itu hingga
lenyap dari pandangan, Hoa Thian-hong baru berpaling
dan menegur, “Bagaimana? Kau tidak sampai terluka
bukan?”
Sambil memegang tangan kanannya dengan telapak
kiri, Hoa In menggeleng. “Untung aku tidak terluka,
Tauto tua itu sungguh lihay!”
“Aku lihat kedatangannya tidak bermaksud jelek,
diapun tak mau sebutkan namanya atau mungkin dia

adalah salah satu rekan ayahku dalam pertemuan Pek-
Beng-hwee tempo dulu?”
Hoa In termenung sebentar lalu menggeleng.
“Dandanan dari Tauto tua itu istimewa sekali, bila dia
adalah seorang jago kenamaan aku pasti tak akan lupa
terhadap dirinya. Tapi aku merasa tak pernah berjumpa
dengan manusia seperti itu”
“Mungkin baru2 ini dia baru berdandan macam
begini?”
Hoa In mengangguk, tiba-tiba serunya, “Di depan
sana telah terjadi persoalan beberapa orang hidung
kerbau dari perkumpulan Thong-thian-kauw telah
menghadang jalan pergi Jin Hian serta Cia Kim.
“Pihak lawan terdiri dari berapa orang? Mari cepat kita
kesana!” seru pemuda itu dengan alis berkerut.
Hoa In segera menarik lengannya sambil berkata,
“Dari pihak Thong-thian-kauw terdiri dari tiga orang
toosu tua dan seorang perempuan, pertempuran itu pasti
akan berlangsung beberapa waktu lamanya, Siau Koanjin
tak usah terburu-buru.”
“Aku ingin menonton jalannya pertarungan ini!”
“Apa sih yang baik untuk dilihat? Ketiga orang toosu
tua dari Thong-thian-kauw itu adalah Ngo Ing cinjin,
Ceng Si-cu serta Ang Yap Toojin, sedang yang
perempuan bernama Giok Teng Hujien!”

“Ehmm. Giok Teng Hujien adalah seorang sahabat
karibku, lumayan juga wataknya bahkan aku sebut dia
sebagai cici,” kata Hoa Thian-hong sambil tertawa.
Perkataan ini segera meneguhkan hati Hoa In.
“Siau Koan-jin mengapa kau berhubungan dengan
perempuan macam itu?” serunya, “Bila Cubo tahu akan
kejadian ini, dia pasti tak akan senang hati”
Pemuda itu segera menggeleng, katanya dengan
wajah serius, “Siapa saja yang bisa kukenali aku akan
berhubungan dengan dirinya, orang? yang tergabung
dalam tiga kelompok besar terlalu banyak, bagi kita mau
bertarungpun tak akan ada habis-habisnya, mau
bunuhpun tak akan ada selesainya, bila kita bisa
menasehati beberapa orang diantaranya hingga bertobat
dan berpihak pada kita, bukankah kejadian itu sangat
baik sekali?”
“Siau Koan-jin. caramu bekerja tidak mirip dengan toaya.
tidak mirip pula dengan Cuba, sungguh bikin orang
jadi cemas dan tidak tenteram”
Hoa Thian-hong tersenyum. “Keadaan mereka adalah
empat lawan dua, Soat-jie milik Giok Teng Hujien pun
merupakan jago yang sangat lihay, menurut pendapatmu
apa yang bakal dilakukan oleh Jin Hian?”
“Buat Jin Hian sih tak jadi soal. bila tak bisa menang
masih mampu untuk melarikan diri. Sebaliknya luka yang
diderita Cia Kim belum sembuh betul, mungkin sulit
baginya untuk meloloskan diri dalam keadaan selamat….”

Hoa Thian-hong segera berpikir dalam hati kecilnya,
“Bila aku tiba disitu, pihak mana yang musti kubantu?
Suatu masalah yang cukup pelik” Setelah berpikir
sebentar, akhirnya dia ambil keputusan untuk memburu
ke gelanggang itu, segera katanya, “Situasi pertempuran
setiap saat bisa terjadi perubahan besar, lebih baik kita
cepat ke situ.”
Tidak menunggu jawaban lagi, ia percepat langkahnya
meninggalkan tempat itu.
ooooOooo
“SIAU KOAN-JIN, tunggu sebentar!” teriak Hoa In
sambil menyusul dari belakang, “kita tunggu saja sampai
salah satu pihak menangkan pertarungan itu, kita baru
menyerang pihak yang menang”
“Itu namanya siasat menusuk harimau dengan hati
gegabah” seru Hoa Thian-hong sambil tertawa, “Sayang
Jin Hian adalah seorang manusia licik, sedang para toojin
dari Thong-thian-kauw juga siluman2 yang punya otak
encer. mereka tak akan tertipu mentah oleh siasat
macam begitu!,”
Dengan kecepatan gerak kedua orang itu sementara
pembicaraan masih berlangsung gelanggang pertarungan
sudah muncul di depan mata.
Tampaklah Soat-ji makhluk aneh itu dengan ganasnya
sedang menerjang Cie Kim habis habisan. sejak sebuah
lengan kirinya dikutungi Ciong Tian kek hingga peristiwa
itu mulut lukanya belum sembuh benar-benar, hal ini

membuat keadaannya ibarat harimau yang masuk dusun
digonggongi anjing, ia didesak oleh makhluk aneh
tersebut hingga kalang kabut dan keteter hebat, diantara
beberapa orang itu posisinya yang paling kritis.
Giok Teng Hujien sambil putar senjata Hud timnya
melayani serangan-serangan gencar dari Cho Bun Kui
komandan pengawal Golok Emasnya Jin Hian, dengan
sebilah golok besar gagang emasnya orang she Cho itu
pertunjukkan suatu pemainan ilmu golok yang mantap
dan lihai, hal ini jauh diluar dugaan Hoa Thian-hong.
Ditinjau dari situasi ketika itu, agaknya bila Giok Teng
Hujien tidak mengeluarkan ilmu simpanannya Hiat sat
sinkang, sulit bagi perempuan itu untuk menangkan
lawannya. Di pihak lain, tiga orang toosu tua dengan
andalkan tiga bilah pedang mustika sedang mengerubuti
Jiu Hian seorang, diantara tiga kelompok pertarungan itu
boleh dibilang kelompok inilah yang bertarung paling
seru dan menarik.
Ngo Ing Tojin mempermainkan pedang mustikanya
dengan amat hebat, setiap kali melancarkan serangan
dari tubuh pedang itu segera menyiarkan pula irama2
yang aneh.
Kadangkala suara yang dipantulkan amat gemuruh
bagaikan gulungan ombak yang menghantam pantai,
kadangkala mendebar bagaikan aliran air di sungai,
kadangkala dalam melancarkan tusukan disertai dengan
lengking bagaikan gelak tertawa seorang gadis,
kadangkala pula dalam melancarkan babatannya ia sertai

suara desiran bagaikan rintihan seorang gadis yang
lemah.
Sebaliknya Cing Si-cu mempermainkan pedang tipis
Liu-yap-po-kiamnya dengan enteng dan lincah,
serangannya rapat seperti dinding terbuat dari baja,
meskipun nampaknya lemah lembut tak bertenaga
namun dalam kenyataannya mengandung daya kekuatan
yang sangat hebat.,
Ang Yap Toojin sendiri lebih mengutamakan
permainan ilmu pedang aliran sesat, setiap jurus
serangannya merupakan ancaman maut dan jauh
berbeda dengan ilmu pedang biasa, sepintas lalu
memandang siapapun akan melihatnya bahwa permainan
pedangnya amat ganas, keji dan penuh dengan tipu tipu
muslihat, membuat orang yang menyaksikan merasa jeri,
takut dan muak!
Ketiga bilah pedang mustika itu rata-rata merupakan
pedang tajam yang luar biasa, bayangan pedang yang
berlapis lapis mengurung ketat di sekitar tubuh Jin Hian,
maju atau mundur semua serangan diatur secara bagus
dan sempurna.
Jin Hian adalah seorang pimpinan dari suatu
perkumpulan, ilmu silat yang ia miliki sangat lihai dan tak
dapat dibandingkan dengan kepandaian dari Cu Goankhek
sekalian.
Tampaklah sepasang telapaknya menari kesana
kemari dengan amat lincah, ketiga bilah pedang mustika
itu dilawan dengan mantap, setiap jurus dipecahkan

dengan jurus, setiap ada peluang segera melontarkan
serangan balasan, sikapnya tidak gugup dan gerakannya
enteng bagaikan mega. Hawa murni yang terkandung
dalam telapaknya amat hebat sekali, barang siapa
terkena niscaya bakal terluka parah.
Makin bertarung suasana makin seru dan ramai tujuh
manusia seekor binatang mengerahkan segenap
kemampuannya untuk berusaha merobohkan lawannya,
kecuali Cia Kim yang jelas terdesak hebat dan terjerumus
dalam posisi yang amat berbahaya, yang lain masih sulit
untuk menentukan menang kalahnya dalam waktu
singkat.
Sementara itu Hoa Thian-hong yang telah tiba disisi
gelanggang pertama-tama alihkan sinar matanya lebih
dahulu ke arah kelompok Jin Hian yang melawan tiga
orang toosu tua itu, terutama sekali irama merdu yang
dipancarkan keluar dari pedang Ngo Ing Too-jin, terasa
olehnya suara itu merdu dan memabukkan.
“Siau Koan-jin” ujar Hoa In secara tiba-tiba, “Apakah
racun teratai yang mengeram dalam tubuhmu telah
hilang?”
“Sekarang sudah tak menjadi soal lagi,” jawab
pemuda itu sambil mengangguk.
Sejak kemunculan dua orang itu ditepi gelanggang,
secara diam-diam semua orang menaruh perhatian
kepada mereka berdua. Sebab posisi kedua belah pihak
ketika itu adalah seimbang, bila dua orang itu membantu

salah satu pihak saja niscaya pihak yang lain akan
menderita kekalahan total.
Untuk keadaannya waktu itu aneh sekali, Jin Hian tahu
bahwa Hoa Thian-hong mempunyai hubungan dengan
Thong-thian-kauw terutama sekali hubungannya dengan
Giok Teng Hujien amat akrab, sebaliknya pihak Thongthian-
kauw yang melihat pemuda itu berjalan bersama
Jin Hian, hal ini jelas menunjukkan bahwa ia telah
bekerja sama dengan pihak Hong-im-hwie.
Karena persoalan inilah kedua belah pihak sama-sama
tidak tahu kemanakah pemuda itu akan bercondong, Jin
Hian serta ketiga orang toosu tua itu menyadari akan
posisi sendiri karena takut urusan jadi berabe maka tak
seorangpun diantara mereka yang buka suara
Yang lebih aneh lagi adalah Giok Teng Hujien sendiri,
perempuan itu tetap berlagak pilon dan seolah olah tidak
tahu kalau Hoa Thian-hong telah hadir disitu.
Pemuda she-Hoa itu sendiri sambil berpeluk tangan
hanya menonton jalannya pertarungan dari sisi kalangan
mendadak ia merasa bahwa dari ujung pedang milik Ngo
Ing Toojin memancar keluar suara aneh yang bisa
membuyarkan perhatian orang, hal ini mencengangkan
hatinya di samping merasa makin kagum atas kehebatan
ilmu silat yang dimiliki Jin Hian.
Suatu ketika Ang Yap Too jin mendadak berkata, “Jien
Tang-kee, betulkah kau menenggelamkan sampan
membuang kapak?” dalam pergerakanmu itu hanya ada
maju dan tak ada mundur?”

“Dalam perkumpulan Thong-thian-kauw, aku orang
she jin hanya kenal Thian Ek-cu seorang, lebih baik
kalian undang dia keluar untuk berbicara,” jawab Jin Hian
ketus.
Ang Yap Toojin jadi amat gusar. “Kaucu kami toh jauh
berada di kota Leng-An”
Tidak menanti ia menyelesaikan katanya, Jin Hian
telah menukas dengan suara dingin, “Sekarang juga aku
orang she-Jin sedang berangkat menuju ke kota Leng
An!”
“Jien Tang-kee. kau benar-benar tidak pandang
sebelah matapun terhadap orang lain, kalau memang
begitu jangan salahkan kalau pinto akan berlaku
kurangajar kepadamu!”
Pedangnya digetarkan, secara beruntun ia lancarkan
tiga jurus serangan berantai, bentaknya, “Saudarasaudara
sekalian, ayoh perketat serangan kita bereskan
dulu ketiga orang jagoan itu!”
“Bagus sekali!” seru Giok Teng Hujien pula sambil
tertawa nyaring, “Ini hari aku akan membuka pantangan
membunuh”
Ujung baju sebelah kirinya dikebaskan segera
tampaklah telapak tangannya yang putih bersih
menghantam dada Cho Bun Kai Komandan dari pengawal
golok emas itu membentak keras, goloknya dibabat
kemuka balas melancarkan pula sebuah bacokan,

bersama dengan gerakan itu pula ia bergeser satu
langkah ke samping.
Giok Teng Hujien segera menerjang kemuka, bibirnya
bersuit nyaring memperdengarkan jeritan yang sangat
aneh. Mendeagarkan jeritan aneh itu, Soat-ji makhluk
aneh tersebut segera memperhebat terjangannya, sambil
bercuit gusar binatang itu loncat ke angkasa dan
menerjang tubuh Cia Kim dengan ganas.
Dalam waktu singkat Cia Kim serta Cho Bun Kui segera
terjerumus dalam posisi yang amat berbahaya, setiap
saat jiwa mereka mungkin akan punah di tangan musuh.
“Hmm!” dengan gusar Jin Hian mendengus, “setelah
dunia persilatan aman selama sepuluh tahun,
binatangpun berani unjuk kebuasan terhadap manusia!”
Sambil berseru, sepasang telapaknya didorong ke
depan secara berbareng, tubuhnya bergeser beberapa
langkah ke samping, dengan manis sekali ia melepaskan
diri dari kepungan ketiga bilah pedang pusaka itu,
kemudian telapak sebelah menyerang Giok Teng Hujien,
telapak yang lain menghantam tubuh Soat-jie rase salju
itu.
Bentakan keras berkumandang memecahkan
kesunyian, Ang Yap Toojin serta Cing Si-cu
menggerakkan pedangnya menyusul ke depan, secara
berbareng mereka tusuk2 bagian belakang Jin Hian.

Ngo Ing Toojin loncat pula ke tengah udara Sreeet!
pedangnya diiringi dengungan nyaring membacok lengan
kiri orang she Jin itu.
Dengan lincah Jin Hian berkelit ke samping, setelah
terlepas dari ancaman ketiga bilah pedang itu maka
posisinya dengan Cia Kim serta Cho Bun Kui-pun
terbentuk jadi posisi segi tiga, dalam keadaan begini
setiap saat ia dapat memberikan pertolongan kepada
pihak yang lemah.
Mendengar sampai disitu, Hoa Thian-hong segera
berpikir di dalam hati, “llmu silat yang dimiliki Jin Hian
sangat lihay, sekalipun ia tak mampu untuk melawan
setiap saat masih sanggup untuk melarikan diri, sedang
Giok Teng Hujien agaknya memiliki ilmu silat yang sukar
diukur kelihaiannya, tapi ia tak mau menyerang dengan
sepenuh tenaga. Pertarungan yang terjadi pada hari ini
jelas merupakan suatu keadaan yang tak
terselesaikan…!”
Hoa In yang berada di sisinya jadi amat kuatir bila
pemuda itu ikut campur tangan dalam pertarungan itu,
apalagi setelah dilihatnya pemuda itu tersenyum dengan
sorot mata berkilat, buru-buru katanya, “Kedua bilah
pihak sama-sama belum membongkar isi peti masingmasing,
rasanya tak perlu bagi kita untuk mencampuri
urusan mereka.
Hoa Thian-hong tersenyum, tiba-tiba berkata, “Harap
saudara-saudara sekalian berhenti bertempur, bagai
mana kalau dengarkan dulu sepatah dua patahku?”

Ucapan itu nyaring dan lantang, setiap patah kata
dapat terdengar oleh semua orang dengan cepat. Maka
orang-orang itupun segera tarik kembali serangannya
sambil meloncat mundur ke belakang.
Sambil membopong rase saljunya, Giok Teng Hujien
mengundurkan diri kesisi kalangan, serunya sambil
tertawa, “Apa yang hendak kau katakan?”
Hoa Thian-hong tertawa, ia menjura dan menyapa,
“Cici. Baik-baikkah kau? tootiang bertiga, baik-baikkah
kalian semua?”
Giok Teng Hujien tertawa makin merdu. “Oooh….aku
mengira kau sudah tidak kenal lagi dengan aku yang
menjadi cicimu”
“Siaute masih tetap seperti sedia kala, siapapun tak
kupandang dengan rendah” sorot matanya menyapu
sekejap keseluruh wajah para jago, kemudian lanjutnya,
“Baik Thong-thian-kauw maupun Hong-im-hwie samasama
merupakan perkumpulan besar dalam Bulim, Jien
Tang-kee-pun mempunyai hubungan yang erat dengan
Thian Ek kaucu, bagaimana kalau pertarungan pada hari
ini kalian sudahi sampai kisini saja?”
Giok Teng Hujien tertawa cekikikan. ujarnya,
“Siapapun mengira hanya kaulah yang tidak menyukai
kolong langit jadi kacau, tak tahu caramu bekerja
ternyata jauh lebih hebat. Itulah yang dikatakan setiap
orang pandai bermain sulap. hanya caranya saja masingmasing
berbeda.”

Hoa Thian-hong tersenyum, kepada Jin Hian sembari
menjura katanya kembali, “Jien Tang-kee, lebih baik kita
seleaikan saja urusan kesalahpahaman ini langsung
dengan Thian Ek kaucu, ayoh kita pergi saja dari sini!”
“Bocah. pandai amat kau!” pikir orang she-Jin itu di
dalam hati.
Cho Bun Kui serta Hoa In yang mendengar mereka
mau berangkat segera menuntun kudanya masingmasing
untuk diserahkan kepada majikan mereka Jin
Hian serta Hoa Thian-hong segera menerima tali les kuda
itu dan loncat naik ke atas pelana.
“Saudara Hoa,” terdengar Giok Teng Hujien berseru
sambil tertawa merdu, “Andaikata kami bersikeras akan
menahan Jien Tang-kee di tempat ini, kau bakal
membantu pihak Hong-im-hwie ataukah membantu
Thong-thian-kauw kami?”
Jin Hian segera mengerutkan dahinya dengan mata
melotot, ia mendengus dingin dan bibirnya bergerak
seperti mau mengucapkan sesuatu, namun akhirnya niat
itu dibatalkan kembali.
Hoa Thian-hong tersenyum dan segera menjawab,
“Dengan andalkan kemampuan cici serta Tootiang
bertiga, aku rasa masih belum sanggup untuk menahan
Jien Tang-kee, kalau tidak perkumpulan Hong-im-hwie
tak akan hidup hingga hari ini…..”
“Pintar juga kau si bocah cilik,” batin Jin Hian di dalam
hati.

Sementara itu Giok Teng Hujien sudah tertawa
mengejek, katanya lagi, “Andaikata kami tak mau tahu
diri dan memaksa untuk tahan orang itu? Apa yang akan
kau lakukan?”
“Itu mamanya mencari penyakit buat diri sendiri,”
batin Hoa Thian-hong, diluaran ia tertawa nyaring dan
menjawab, “Aku akan berpeluk tangan belaka, kedua
belah pihak tiada yang akan kubantu!”
“Seandainya cici bukan tandingan lawan dan jiwaku
terancam mara bahaya?”
“Tentu saja aku akan turun tangan untuk memberi
pertolongan” sahut si anak muda itu setelah berpikir
sebentar.
Giok Teng Hujien segera tertawa cekikikan. “Waaah….
jadi kalau begitu, kau masih tetap membantu pihak
Thong-thian-kauw?”
Hoa Thian-hong pun tersenyum, sambil menjura
segera serunya, “Perjumpaan kita sampai disini saja,
sampai ketemu lain waktu.”
Ia cemplak kudanya dan segera berlalu dari sana……
Tiba-tiba Ang Yap Toojin gerakan tubuhnya
menghadang di depan kuda, hardiknya dengan suara
keras, “Apakah Hoa Kongcu juga akan ikut ke kota Leng-
An untuk menyambangi Kaucu kami?”

Sebelum pemuda itu sempat menjawab, Jin Hian
larikan kudanya maju ke depan, serunya sambil tertawa
dingin, “Ang Yap, kalau kau hanya mencari Satroni
dengan aku orang she-Jin, itu masih mendingan, kalau
kau berani mengganggu Hoa kongcu. Hmm…….
Hmm……. aku tanggung kau pasti akan berbaring di
tempat ini dan sejak kini tak mampu untuk pulang ke
kota Leng An lagi”
“Eeei…. eeei ,…. orang ini benar-benar sangat lihay”
pikir Hoa Thian-hong dalam hati, “Belum sampai aku
mengadu domba mereka berdua, tak tahunya ia sudah
mendahului diriku lebih dulu…. sunggub hebat!”
Sambil tertawa terbahak-bahak segera serunya, “Jien
Tang-kee, kau terlalu pandang tinggi diriku.”
Dalam pada itu Ang Yap Toojin merasa semakin gusar,
dengan mata melotot serunya, “Saudara cilik, sudah kau
dengar tidak pertanyaan yang pinto ajukan? Atau
mungkin kau sudah tuli?”
Hoa Thian-hong mengerutkan dahinya mendengar
makian itu. segera pikirnya kembali, “Orang goblok!
rupanya kau memang seorang manusia tolol yang tak
punya otak!”
Tiba-tiba tampak sesosok bayangan manusia
berkelebat lewat, tahu-tahu Hoa In sudah muncul disitu
sambil membentak, “Siapa yang sedang kau maki?”
Telapak tangannya diayun, ia kirim satu pukulan ke
depan.

Dalam serangan ini meskipun ia tidak menggunakan
ilmu ‘Sau-yang-ceng-khie’ nya, namun kecepatan
gerakan tangannya serta kemantapan dari tenaga
pukulannya cukup mengejutkan hati orang.
Ang Yap Toojiu segera enjotkan kakinya loncat
mundur lima depa ke belakang, cring….! pedang
mustikanya kembali diloloskan dari sarung, serunya
sambil menyeringai seram, “Maaf bila pinto tidak sempat
mengenali dirimu, siapa sih namamu?”
“Kau bukan tak sempat kenal, goblok dan pelupa,”
sahut Hoa in sambil tertawa dingin, “Aku adalah Hoa In
dari perkampungan Liok Soat Sanceng, pada sepuluh
tahun berselang bukankah kita pernah berjumpa muka?”
Mula-mula Ang Yap Toojin nampak agak tertegun,
diikuti ia segera tertawa seram ejeknya, “Menurut kabar
yang tersiar dalam dunia persilatan, aku dengar majikan
dari perkampungan Liok Soat Sanceng adalah seorang
she-Jin, hey orang yang bernama Hoa In, kenapa kaupun
mengatakan orang yang berasal dari perkampungan Liok
Soat Sanceng?”
Jin Hian yang berada di samping segera tertawa
terbahak-bahak, selanya dari damping, “Dulu karena aku
lihat perkampungan Liok Soat Sanceng indah dan tak
berpenghuni, aku merasa sayang untuk membiarkan
bangunan itu rusak dimakan tahun, maka sengaja
kudiami beberapa tahun lamanya. Siapa tahu tempat
yang penuh rejeki macam itu ternyata tidak cocok bagi
orang kasar seperti aku, dimana akhirnya selembar jiwa
putera kesayangankupun lenyap disana. Aai kini aku

sudah menyadari akan kesalahanku pada masa yang
silam, perkampungan tadi sudah kuserahkan kembali
kepada Hoa kong cu”
Ang Yap Toojin tertawa dingin. pada dasarnya diapun
seorang siluman tua yang licik, ia tahu bila dirinya
memusuhi Hoa Thian-hong maka dialah yang akan
menderita kerugiannya.
Tapi apa lacur ia sudah kesesem terhadap kecantikan
Giok Teng Hujien sayang orang yang diidamkan itu tidak
menaruh perhatian kepadanya, ditambah pula setelah
menyaksikan tingkah laku Giok Teng Hujien yang begitu
mesra terbadap diri Hoa Thian-hong, hal ini membuat
rasa cemburunya makin berkobar, tanpa sadar ia telah
anggap Hoa Thian-hong sebagai paku di depan mata, ia
seialu berusaha keras untuk mencabutnya dari depan
mata.
Jin Hian adalah seorang manusia yang licik, ia pandai
mendalami perasaan orang, melihat keadaan Ang Yap
Toojin sudah mengenaskan sekali, ia jadi kegirangan,
Sambil tertawa tergelak serunya, “Hoa Loo-te, waktu
sudah tidak pagi-pagi ayoh kita lanjutkan perjalanan…-!”
Ia cemplak kudanya dan berlalu lebih dahulu dari situ.
Ngo Ing Toojin sendiri dapat memahami sampai
dimanakh kelihayan dari ilmu silat yang dimiliki Hoa In,
dia takut keadaan Ang Yap toojin bertambah runyam,
sambil memburu maju ke depan seraya serunya, “Ang
Yap Too-heng, baiknya kita sudahi saja persoalan pada
hari ini sampai disini saja, mari kitapun harus segera
melanjutkan perjalanan”

Waktu itu matahari bersinar dengan teriknya, siapapun
tidak tahan untuk berdiam terlalu lama disitu, Hoa Thianhong
sendiri setelah ‘lari racun’ sekujur badannya basah
kuyup oleh air peluh, sambil meneguk air dalam botol
yang tersedia di atas pelana kudanya, ia beri tangan
kepada Giok Teng Hujien dan segera berlalu dari Sana.
Ang Yap Toojin yang ditinggalkan begitu saja, dari
mulanya jadi gusar, dengan mata melotot diawasinya
kelima orang jago itu berlalu dari sana, giginya
bergemerutukan menahan gusar seluruh rasa benci dan
dongkolnya segera ditimpakan ke atas tubuh Hoa Thianhong
seorang, ia banci pemuda itu hingga terasa
merasuk ke dalam tulang sumsumnya.”
Sore itu rombongan Jin Hian sekalian beristirahat
disebuah rumah penginapan dalam dusun yang kecil.
tengah malam perjalanan kembali dilanjutkan.
Hoa Thian-hong yang tak dapat melupakan peristiwa
pertarungan dengan Tauto tua itu sepanjang perjalanan
selalu berjalan dipaling belakang, dia berharap bisa
berjumpa kembali dengan orang itu. Siapa tahu Tauto
tua berambut putih itu tak pernah muncul kembali
dihadapan mukanya.
Keesokan harinya, ketika sore menjelang tiba
sampailah mereka di kota Wi-im, kota itu merupakan
sebuah kota yang terpenting di wilayah utara dengan
pelabuhan yang ramai pula, keempat puluh orang
pengawal golok emas itu masih berada di dalam kota dan
belum berlalu dari situ.

Setelah mencari rumah penginapan, Hoa Thian-hong
duduk dikamar minum teh sambil menunggu air untuk
mandi, tiba-tiba Cho-Bun Kui masuk ke dalam kamar
sambil berkata, “Cong Tang-kee memerintahkan aku
untuk memberi tahu kepada kongcu, bahwa seluruh
rombongan akan beristirahat selama satu hari di kota Wiim,
besok malam perjalanan baru akan dilanjutkan
kembali”
Dari sakunya dia ambil keluar serenteng mutiara serta
dua keping emas murni, sambil diserahkan ke tangan
Hoa In sambungnya lebih jauh, “Cong Tang-kee berkata
bahwa kota Wi-im adalah sebuah kota yang ramai dan
makmur, bila Hoa kongcu ada kesenangan untuk berjalan
jalan, silahkan pengurus tua membawa sedikit emas dan
mutiara ini sebagai persiapan untuk dipergunakan oleh
kongcu”
Hoa Thian-hong ingin menampik tapi Hoa In keburu
sudah menerimanya sambil menyahut, “Sampaikan
kepada Tang-kee kalian, anggap saja dua keping emas
serta satu renteng mutiara ini sebagai beaya menyewa
perkampungan kami selama ini, hutang piutang kita
hapus sampai disini saja”
Cho Bun Kui mengiakan sebisanya, setelah memberi
hormat kepada pemuda she-Hoa itu dia segera
mengundurkan diri dari kamar. Pelayan datang
membawa air, selesai mandi dan bersantap Hoa Thianhong
segera naik ke atas pembaringan untuk
beristirahat, Hoa In yang menyanjung serta menyayang

majikan kecilnya bagaikan burung hong membuat
pemuda itu tidur dengan nyenyak dan tenang.
Senja itu Hoa Thian-hong setelah bangun dari tidurnya
segera bersantap di dalam kamar bersama pelayan
tuanya, terdengar Hoa In bertanya, “Siau Koan-jin, apa
kau ingin berjalan2 cari angin di dalam kota?”
“Emmm….sepanjang jalan kita sibuk terus untuk
melakukan perjalanan, hingga kesempatan untuk
berbicarapun tak ada, malam ini lebih baik kita cari
kesenangan dengan membicarakan soal ilmu silat saja,
apa gunanya berkeliaran di tempat luar?”
“Ilmu silat setiap saat dapat dibicarakan Toa-ya pun
pernah berkata daripada membaca selaksa jilid kitab
lebih baik melakukan perjalanan selaksa li. Siau Koan-jin!
bukankah kau baru pertama kali ini datang ke wilayah
selatan, mari kita berjalan jalan diluar sambil cari
kesenangan!”
Hoa Thian-hong adalah seorang jago yang masih
muda, hatinya segera tergerak oleh ucapan itu, setelah
menutup pintu berangkatlah kedua orang itu berjalan
jalan mencari angin.
Kota Wi-Im meskipun merupakan kota penting yang
menghubungkan utara dan selatan serta ramai dengan
toko dan perdagangan, namun disitu tak ada tempat
rekreasi yang baik, setelah berjalan jalan beberapa saat
lamanya Hoa Thian-hong merasa bosan dan kesal, tanpa
terasa ia teringat akan ibunya, bayangan Chin Wan-hong
pun terlintas pula dalam benaknya, banyak persoalan

berkecamuk dalam benaknya membuat kegembiraannya
hilang sama sekali. Akhirnya kepada Hoa In dia berseru,
“Badanku terasa amat lelah, mari kita pulang ke
penginapan untuk beristirahat!”
“Siau Koan-jin, apakah badanmu merasa tak enak?”
Hoa Thian-hong geleng kepala, maka berangkatlah
kedua orang itu kembali ke rumah penginapan. Tiba-tiba
dari hadapan mereka menyongsong datang seseorang,
sambil jalan mendekati ia bersenandung dengan suara
lantang:
“Angin dan rembulan tiap malam muncul.
Manusia durjana kian lama kian menumpuk.
Ada orang bertanya bagaimana urusan?
Samudra manusia amat luas, angin dan ombak setiap
saat bakal muncul….”
Ketika Hoa Thian-hong melihat orang yang
bersenandung itu adalah seorang kakek gemuk pendek
yang membawa sebuah kipas bundar, hatinya segera
tergerak. Teringat olehnya bahwa orang yang telah
melarikan Chin Giok-liong dari rumah makan Li-Ing loo di
kota Cho-ciu tempo dulu bukan lain adalah orang yang
berada dihadapannya sekarang.
Sejak kakek tua itu mempermainkan Giok Teng Hujien
dengan sindiran syairnya Hoa Thian-hong telah
mengetahui bahwa orang itu adalah seorang pendekar

aneh, kini setelah berjumpa muka tentu saja ia tak mau
membuang kesempatan baik ini dengan begilu saja,
sambil menjura teriaknya, “Locianpwee…”
Namua kakek gemuk pendek itu pura-pura berlagak
pilon, sambil bersenandung ia tetap lanjutkan langkahnya
ketika berpapasan dengan mereka berdua. Tanpa
berpikir panjang Hoa Thian-hong segera melakukan
pengejaran bisiknya, “Hoa In, kenal tidak dengan kakek
tua itu.”
Hoa In termenung dan berpikir sebentar, kemudian
sahutnya, “Kalau dilihat dari potongan badannya aku
seperti mengenali dirinya. Cuma aku lupa siapakah orang
itu!”
Ia berhenti sejenak. kemudian sambil mengamati
bayangan punggung kakek gemuk pendek itu ujarnya
lagi, “Pada sepuluh tahun berselang, hampir semua jago
kenamaan yang tersohor namanya di kolong langi pernah
kujumpai, yang tak pernah kutemui sedikit sekali
jumlahnya hingga bisa dihitung dengan jari.”
“Mungkinkah kakek itu adalah seorang jago kenamaan
yang belum lama muncul dalam dunia persilatan?” pikir
anak muda itu.
Langkahnya dipercepat, dengan langkah lebar ia
segera menyusul ke depan. Hoa In dengan kencang
mengikuti disisi majikan mudanya, ia lihat ilmu
meringankan tubuh yang dimiliki kakek gemuk itu lihai
sekali. dalam setiap loncatannya beberapa tombak
berhasil dilalui dengan enteng. la segera berteriak

lantang, “Hey! Sahabat dari manakah itu? Kongcu kami
ingin berjumpa dengan dirimu!”
Kakek gemuk pendek itu tidak menjawab, hanya
senandungnya kembali:
“Jangan takabur jangan berlagak latah bibit bencana
sukar diduga.
Lok Hau bukan perwira budiman, ia membawa Ki-pang
menuju bencana.
Pertempuran kerbau api hampir binasa, ingin
mengejar tak mungkin terkena”
Mendengar senandung itu Hoa In segera melototkan
matanya bulat bulat, serunya, “Siau Koan-jin, kakek tua
itu sedang menyindir kita, ia telah samakan aku Hoa In
seperti Lok Hau, dia bilang aku tidak becus dan tak
mampu melindungi Siau Koan-jin”
Hoa Thian-hong tersenyum. “Ia sedang menyanyikan
sebuah bait syair dari Ma Bi Wan, bila syair itu
dinyanyikan dalam keadaan begini memang persis seperti
maksud hati Tauto berambut putih itu. Rupanya orang
inipun sedang menasehati diriku agar membatalkan niat
menuju ke selatan serta datang ke kota Leng An.”
“Perkataannya itu memang tidak salah baik orangorang
dari Thong-thian-kauw maupun orang-orang dari
Hong-im-hwie rata-rata merupakan manusia yang tidak
genah, mereka hanyalah manusia-manusia rendah yang
mengandalkan jumlah banyak. Bila kita bergaul terus

dengan mereka maka akhirnya sendirilah yang bakal
rugi.”
Ia menghela napas panjang, kemudian lanjutnya,
“Mati hidup aku budak tua sih bukan menjadi soal,
sebaliknya bila Siauw-koan-jin sampai mengalami
sesuatu kejadian, budak mana punya muka untuk
bertemu lagi dengan toa-ya diakhirat?”
Hoa Thian-hong tertawa paksa. “Bagaimanapun juga
kita harus balaskan dendam bagi kematian ayahku, kalau
tidak apa gunanya kita hidup lebih lanjut di kolong
langit?”
Ia mendongak dan tiba-tiba bersenandung:
“Di tengah berhembusnya angin malam, burung elang
terbang di angkasa.
Sebercak kain terkurung di daratan tengah …
Oooh! pedih tahukah sahabat lama, ingin naik loteng
sayang tiada tangga menuju ke langit?”
Kakek gemuk pendek itu segera menjawab dengan
bersenandung pula,
“Di tengah kain bertanya pahlawan apa gunanya
merebut kekuasaan merajai kolong langit?
Tinggi rendah gardu merah generasi pemerintah, jauh
rendah daun seribu kuburan.

Aaaai…. .! yang ada tinggal impian buruk!”
“Kalau didengar dari nada ucapannya ini jelas dia
adalah seorang jago yang sedang putus asa dan bersedih
hati, tapi siapa dia?” pikir Hoa Thian-hong di dalam hati.
Sejak ia terjun ke dunia persilatan, sudah banyak
pengetahuan serta pengalaman yang didapatinya.
Terhadap orang-orang dari Hong-im-hwie, Sin-kie-pang
serta Thong-thian-kauw, pemuda ini merasa bahwa
orang-orangnya kalau bukan sengaja melanggar hukum,
pastilah manusia yang termasuk dalam golongan orang
buas, licik dan keji. Sebaliknya mereka2 yang berjiwa
ksatria sebagian besar telah putus asa dan patah
semangat.
Kini mendengar nada ucapan dari kakek itu, dengan
cepat ia dapat merasakan bahwa kakek gemuk itu adalah
segolongan dengan dirinya.
Setelah berhasil menyusul kesisi tubuhnya ia lantas
menjura dan berkata, “Loocianpwee, aku Hoa Thianhong
memberi hormat untukmu.”
“Tidak berarti, bagaimana kalau kita bicarakan suatu
perdagangan jual beli?” sahut si kakek gemuk itu sambil
goyangkan kipasnya.
“Bolehkah aku mengetahui terlebih dahulu sebutan
loocianpwee?”

“Kalau kau ingin tahu, akupun tak akan merahasiakan
kepadamu. aku she-Cu bernama Tong. dengan
mendiagan ayahmu boleh dibilang pernah bersahabat!”
“Oooh..! rupanya Cu toa-ya!” seru Hoa In tercengang,
“Hampir saja hamba tidak kenal lagi dengan kau orang
tua”
“Kekesalan serta penderitaan membuat orang
gampang tua, wajahmu penuh berkeriput dan rambutmu
telah berubah semua. hampir saja akupun tidak kenali
dirimu lagi,” sahut Cu Tong.
“Kini hamba sudah tidak kesal dan menderita lagi.
Eeei.. Cu toa-ya. Bukan dahulu wajahmu putih bersih?
Kenapa sekarang berubah jadi merah bercahaya?”
“Mungkin tua aku semakin tak becus, maka aku ganti
berlatih ilmu iblis hingga wajahku makin lama makin jadi
merah” ia tertawa kering lalu melanjutkan, “Setelah
mencuri hidup belasan tahun, aku malu untuk bertemu
dengan orang jagad lagi, bila wajahku tidak berubah
merah, bukankah keadaanku lebih rendah daripada
seekor binatang?”
Tertegun hati Hoa In mendengar ucapan itu. setelah
termangu mangu beberapa saat lamanya ia berkata,
“Siau Koan-jin, Cu toa-ya ini adalah salah seorang
diantara Bulim Siang-Sian sepasang dewa dari dunia
persilatan…..”
“Aku hanya seorang panglima yang kalah perang”
tukas Cu Tong dengan cepat, “Tidak pantas

menceritakan kegagahan dan keberanian, lebih baik
jangan kau ungkap lagi peristiwa di masa silam”
Diam-diam Hoa Thian-hong menghela napas melihat
sikap kakek gemuk itu, ujarnya kemudian, “Loocianpwee.
mari kita cari tempat untuk beristirahat,
keponakan ingin berlutut memberi hormat kepadamu!”
“Tak usah… tak usah, mari kita keluar dari kota saja”
Dengan membawa perasaan yang berat serta pikiran
masing-masing, berangkatlah ketiga orang itu keluar
kota, tidak selang beberapa saat kemudian sampailah
mereka di pinggir kota.
“Orang tua, apakah kau ada urusan hendak
diperintahkan kepada tecu?” tanya Hoa Thian-hong
kemudian.
“Memberi perintah sih aku tak berani,” sahut Cu Tong,
setelah berhenti sebentar ia lanjutkan lagi dengan nada
serius, “Sejak pertarungan di Pak Beng, golongan
kesatria mengalami kekalahan total yang hampir saja
memusnahkan seluruh inti kekuatan golongan lurus,
“Tiga bencana” masing-masing merajai suatu wilayah
dan membentuk posisi segi tiga, karena pertama setelah
pertempuran besar mereka membutuhkan istirahat yang
cukup, dan kedua kekuatan ketiga belah pihak seimbang,
siapapun tak berani bergerak secara serampangan,
dengan demikian dunia persilatan dapat hidup aman
selama sepuluh tahun. Tapi kini…. aaai! Ketenangan
tersebut mulai goyah, rupanya saat saling
memperebutkan kekuasaan telah tiba.”

“Perkataan dari Loocianpwe sedikitpun tidak salah”
pemuda itu mengangguk membenarkan, “Kematian Jin
Bong bukanlah suatu kejadian secara kebetulan saja. Pek
Siau-thian mengurung Ciu It-bong selama sepuluh tahun
lamanya tanpa dibunuhpun tujuannya bukan lain hanya
terletak pada pedang emas tersebut. Manusia-manusia
semacam ini semuanya merupakan manusia golongan
pengacau, masing-masing pihak ingin merajai kolong
langit dan menduduki kursi pimpinan, merebut tanah
beradu ilmu silat rasanya memang suatu kejadian yang
tak dapat dihindari lagi.”
“Yang lebih tak beruntung lagi, kau yang belum lama
muncul di dalam dunia persilatan ternyata sudah
terjerumus pula di dalam persoalan ini,” Cu Tong
menambahkan dengan suara gusar.
Hoa Thian-hong tertawa getir. “Takdir telah
mempermainkan orang, keadaan siautit amat kepepet
dan bagaimanapun juga terpaksa harus berbuat begitu.”
“Aaai..!benarkah bagimu hanya ada jalan maju tanpa
mundur dan hendak bertarung melawan kawanan
durjana itu hingga sampai akhirnya?”
“Selama siautit masih bisa bernapas, aku akan
balaskan dulu dendam sakit hati ayahku, kemudian
berusaha membukakan sebuah jalan keluar bagi
sahabat2 Bulim!”
“Seandainya tak ada kita orang, mungkin kawanan
durjana itu bakal bentrok sendiri dan saling bunuh

membunuh, saling berebut memperebutkan wilayah serta
kekuasaan” sela Hoa In dengan wajah sedih, “Tetapi
setelah Siau Koan-jin tampil kemuka kemungkinan besar
kawanan durjana itu akan tinggalkan dendam pribadi dan
bekerja sama untuk menghadapi kita orang lebih dahulu”
“Dunia selalu berputar, kita hidup sebagai seorang
kuncu mengapa mesti unjuk kelemahan sendiri?” sahut
Hoa Thian-hong, “Bagaimanapun kita toh tak bisa
berpeluk tangan belaka hidup di tengah penindasan
sambil menunggu pihak lawan saling bunuh membunuh
lebih dahulu. Lagipula seandainya dari pihak mereka
akhirnya berhasil muncul satu golongan yang mampu
mengalahkan golongan-golongan yang lain hingga
seluruh kolong langit jatuh di bawah kekuasaannya,
bukankah hal ini akan membuat kekuatan mereka kian
lama kian bertambah kuat?”
“Andaikata situasi berubah jadi demikian, maka budak
hanya akan memperhatikan keselamatan Siau Koan-jin
seorang, aku tidak punya minat lagi untuk memikirkan
jalan keluar dari kawan2 Bulim” sambung Hoa In dengan
cepat.
Bicara pulang pergi pelayan tua ini lebih
mementingkan keselamatan majikan mudanya, dari
ucapan tadi jelas ia mengartikan bahwa lebih baik
dendam terbunuhnya ayah Hoa Thian-hong tidak berhasil
dibalas, dari pada harus membiarkan majikan mudanya
menempuh bahaya.
Terdengar Cu Tong menghela napas berat dan
berkata, “Bagi orang yang lebih banyak makan garam,

hidupnya akan lebih lama beberapa tahun. Pengurus tua!
Kau tak usah kuatir aku tak berani bicara besar tetapi
aku berjanji kemanapun Hoa Hian-tit pergi aku orang
she-Cu pasti akan mengikuti terus dibelakangnya”
JILID 17 : Tujuh kupasan dari Ci-Yu
“LOOCIANPWE, kuucapkan banyak terima kasih atas
kasih sayangmu itu!” seru Hoa Thian-hong, setelah
termenung beberapa saat ia melanjutkan, “Menurut
pendapatku, pihak lawan tidak terlalu menaruh perhatian
terhadap kekuatan siautit seorang, karena itu lebih baik
untuk sementara waktu loo-cianpwe jangan unjukkan diri
lebih dahulu, dari pada kita musti pukul rumput
mengejutkan ular membuat pihak lawan mempertinggi
kewaspadaannya terhadap kita.”
“Aaaai….! Kawanan bajingan itu masih menaruh
beberapa bagian rasa jeri terhadap Hoa Hujien, sekalipun
aku munculkan diri rasanya mereka tak akan menaruh
perhatian terhadap diriku.”
Dari sikap kakek gemuk itu Hoa Thian-hong mengerti
bahwa ia sedang mencari tahu keadaan ibunya, maka
tidak menanti pihak lawan ajukan pertanyaan itu ia
berkata lebih dahulu, “Dewasa ini ibuku juga sedang
berkelana di dalam dunia persilatan, hanya dimanakah
beliau pada saat ini siautit sendiripun kurang begitu
jelas!!”
Karena melihat orang-orang itu sudah patah
semangat, Hoa Thian-hong tidak ingin menceritakan

keadaan ibunya yang sebenarnya dimana luka dalamnya
belum sembuh dan tenaga dalamnya punah, ia takut bila
hal ini diketahui mereka maka kemungkinan besar
semangat mereka semakin merosot.
“Cu toa-ya,” tiba-tiba Hoa In menegur, “Kenapa
kaupun bisa datang ke kota Wi-im?”
“Aku selalu mengikuti di belakang Siau Koan-jin mu
ini,” sahut Cu Tong, sorot matanya berputar dan
melanjutkan. “Hoa hiantit. apakah aku boleh ajukan satu
permintaan?”
“Kalakan sajalah loocianpwee!”
Cu Tong menghela napas panjang. “Aku mempunyai
seorang sahabat karib yang disebut ‘Pek-lek-sian’ atau
disebut Dewa geledek oleh orang-orang Bulim, ia
mempunyai seorang murid yang bernama Bong Pay,
tahun ini berusia dua puluh satu tahun dan hidup
terlantar di dalam dunia persiiatan. Sebetulnya aku ada
maksud membawa dirinya disisiku, apa daya ia punya
pandangan lain terhadap diriku, ia tak sudi berada
didekatku”
“Siau Koan-jin,” sambung Hoa In dengan cepat, “si
dewa geledek Chin jiya adalah sahabat karib serta
saudara angkat dari Cu-Tau-ya, jadi orang jujur dan
berjiwa pendekar, dengan loa-ya kitapun mempunyai
hubungan yang intim”
“Kalau begitu Bong toako adalah saudaraku sendiri. Cu
locianpwe, kini Bong toako berada dimana?”

Cu Tong menghela napas panjang. “Selama ini ia
hidup gelandangan di kota Wi Im, ketika aku hendak
tengok dirinya tadi, kutemui bahwa ia sudah terperosok
di dalam kuil Tiong-goan-koan”
“Kuil Tiong-goan-koan? Semestinya kuil dari pihak
Thong-thian-kauw?”
Cu Tong mengangguk. “Diam-diam aku sudah
menengok keadaannya, sekarang ia berada dalam
keadaan sehat dan sebenarnya akan kuselamatkan
jiwanya, tapi sayang pertama ia benci melihat
tampangku dan kedua, aku tak tahu bagaimana musti
mengatur dirinya. karena itu terpaksa aku harus mohon
bantuan dari Hoa hiantit untuk melakukan pekerjaan ini”
“Ooo… kau orang tua tak usah sungkan-sungkan,
siautit sebagai seorang anggota muda sudah
memastikannya melakukan pekerjaan ini,” pemuda itu
berpikir sebentar lalu melanjutkan, “menolong orang
bagaikan menolong api, mari sekarang juga kita pergi
menolong Bong toako….”
Tapi dengan cepat ingatan lain berkelebat dalam
benaknya, teringat olehnya bahwa usia Bong Pay jauh
lebih besar dari dia sendiri, bagaimana selanjutnya ia
akan mengatur kehidupannya?
Sekembalinya ke dalam kota, terdengar Cu Tong
menghela napas dan berkata kembali, “Watak Bong Pay
selalu berangasan dan kasar, setelah ia punya
pandangan lain terhadap diriku sulitlah bagiku untuk

mendidik dirinya. Hoa hiantit. Kau masih muda dan
gagah perkasa, mungkin ia bisa menaruh hormat
kepadamu, Bila demikian adanya aku berharap agar kau
suka mengingat pada hubungan angkatan yang lebih tua
dan baik-baik merawat dirinya.”
“Locianpwee tak usah kuatir, siautit pasti akan
berusaha dengan segenap tenaga.”
Rupanya Co Tong merasa amat lega hatinya, ia segera
tersenyum. “Bila hiantit bisa baik-baik membimbing
dirinya, kemungkinan besar bocah itu bisa unjukkan
kegagahannya dan memupuk kembali nama baik
perguruannya….!”
Melihat begitu besarnya perbatian jago tua itu
terhadap keturunan sahabatnya, dalam hati Hoa Thianhong
segera berpikir, “Loocianpwee ini betul-betul
memiliki jiwa yang besar dan hati yang lapang, begitu
setia kawan ia terhadap sahabatnya sampai terhadap
anak muridnyapun diperhatikan benar-benar bila Pek-leksian
mengetahui akan hal ini dia tentu akan beristirahat
dengan hati tenteram.”
Tiba-tiba Cu Tong ambil keluar sebuah bungkusan
kecil terbuat dari kertas minyak, sambil diangsurkan ke
depan katanya, “Hoa hiantit, bungkusan ini berisikan
sebagian kecil dari kitab ilmu pukulan yang berhasil
kutemukan dimasa yang silam, meskipun hanya terdiri
dari tiga jurus dua gerakan, namun kehebatannya luar
biasa sekali. Aku harap hiantit suka mempelajari lebih
dahulu kemudian wariskanlah kepada Bong Pay”

Hoa Thian-hong simpan baik-baik bungkusan kertas
minyak itu ke dalam saku. lalu tanyanya, “Kenapa kitab
ilmu pukulan ini tidak langsung diserahkan ke tangan
Bong toako?”
“Aaaai….. dia tidak mengerti tulisan dan isi kitab
itupun terdiri dari bahasa kuno yang sulit untuk
dipahami, bila kau serahkan kitab itu kepadanya, dari
mana ia bisa mempelajarinya?”
Sementara pembicaraan masih berlangsung dihadapan
mereka muncullah sebuah bangunan kuil yang indah dan
megah, papan nama dengan tulisan ‘Tiong-goan-koan’
terbuat dari tinta emas nampak terpanjang diatap
bangunan tersebut Cu Tong membawa kedua orang itu
menuju ke kuil bagian belakang, setelah loncat masuk
lewat tembok pekarangan mereka berputar-putar di
halaman belakang, hingga akhirnya sampailah mereka
diluar pintu sebuah kebun katanya, “Hiantit, masuklah ke
dalam untuk menolong Bong Pay, sedang aku akan
membantu secara diam-diam, dihadapan pemuda dogol
itu jangan sekali2 kau sebut namaku”
Hoa Thian-hong mengiakan, ia segera masuk ke dalam
kebun sambil pikirnya di dalam hati, “Bong toako itu
benar-benar seorang manusia aneh. sampai Cu
locianpwee yang menjadi cianpweenya malahan takut
kepadanya ketika dia angkat kepala, pemuda itu segera
berdiri tertegun.
Bangunan loteng tinggi yang berada dalam kebun itu
mempunyai corak yang persis sama dengan kuil It-goankoan
di kota Cho-ciu, yang berbeda hanyalah di bawah

undak undakan batu tertanam sebuah tonggak besi
setinggi beberapa depa, pada tonggak tadi terbelenggu
sebuah rantai baja sebesar telur itik yang panjangnya
mencapai tujuh depa, pada ujung rantai tadi tampaklah
seorang pria kekar yang berwajah hitam pekat bagaikan
pantat kuali dan memakai baju compang-camping
bagaikan pengemis sedang duduk terpekur.
Kalau di kuil bagian depan banyak sekali peziarah
yang berdoa dan pasang hio suasana di kuil bagian
belakang amat sunyi sekali seakan akan tak terdapat
seorang manusiapun disitu.
Ketika mendengar suara langkah manusia, pria yang
dirantai di atas tonggak itu segera membuka matanya
dan berpaling.
Hoa Thian-hong berjalan menghampiri kehadapannya.
di bawah sorot cahaya lentera ia lihat orang itu punya
potongan wajah persegi empat, sepasang alisnya tebal
dan meletik ke atas, matanya yang cekung memancarkan
cahaya tajam, hidungnya mancung dan badannya kekar
tak terasa dalam hati ia memuji.
“Sungguh kekar dan gagah orang ini, andaikata
tubuhnya tidak dirantai mungkin ia kelihatan jauh lebih
keren….!”
Dalam pada itu pria kekar itu sudah melotot ke arah
Hoa Thian-hong berdua dengan pandangan tajam tibatiba
tanyanya, “Kalian adalah pemuja dewa yang datang
untuk pasang hio, ataukah kaki tangan anjing Thongthian-
kauw?”

“Semuanya bukan,” sahut pemuda itu sambil
menggeleng, “Aku bernama Hoa Thian-hong,
kedatanganku kesini bukan lain adalah untuk mencari
seorang kakakku yang bernama Bong Pay, apakah
saudara tahu ia dikurung dimana?”
“OOH….! Kau yang bernama Hoa Thian-hong? jadi kau
yang mengadakan Lari Racun di kota Cho-ciu?” seru pria
kekar itu dengan mata melotot besar.
Hoa Thian Houg tersenyum dan mengangguk. “Tolong
tanya siapakah nama saudara?”
“Akulah Bong Pay, ketika berada di pertemuan Pak-
Beng-Hwee tempo dulu, aku sempat bertemu dengan
bapakmu Hoa Goan-siu”
Tiba-tiba terdengar suara langkah manusia
berkumandang datang, disusul seseorang menegur
dengan suara berat, “Siapa yang sedang berbicara
dengan Bong Pay?”
Hoa Thian-hong berpaling, dia lihat dari balik ruangan
berjalan keluar seorang toosu muda, dengan cepat
pemuda mengedip memberi tanda kepada Hoa In sedang
ia sendiri sambil menggape serunya, “Siau sian-tiang,
cepat datang kemari,! orang ini hendak memutuskan
rantai untuk melarikan diri…..”
“Omong kosong,” jengek toosu muda itu sambil
tertawa dingin, “kau anggap rantai besi itu adalah rantai
biasa”

Sambil mengomel ia berjalan menghampiri kedua
orang itu, siapa tahu belum sempat ia berbuat sesuatu
tiba-tiba Hoa In telah ayunkan telapaknya menotok jalan
darah toosu muda itu.
Tanpa mengeluarkan sedikit suarapun, toosu itu
segera menggeletak tak berkutik di atas tanah.
“Kepandaian silat yang bagus!” puji Bong Pay dengan
sinar mata berkilat, “Eee, siapa namamu?”
“Aku bernama Hoa In, pengurus rumah tangga dari
perkumpulan Liok Soat Sanceng!”
Melihat orang she-Bong itu bicara keras dan nyaring,
Hoa Thian-hong kuatirkan lebih banyak musuh yang
datang kesitu, buru-buru ia berjongkok sambil katanya,
“Bong toako, mari biar siaute periksa rantai ini.”
Ujung rantai itu berada di atas leher Bong Pay, ketika
Hoa Thian-hong sedang meraba benda tersebut, tiba-tiba
pemuda she-Bong itu ayunkan telapaknya mengirim satu
pukulan ke arah dadanya, Hoa Thian-hong terkejut, bila
dibicarakan dari soal ilmu silat maka sekalipun orang
yang menyerang adalah jago nomor satu ditolong langit,
ia masih mampu untuk menandinginya selama beberapa
saat, yang diandalkan hanya sebuah jurus pukulan ‘Kunsiu-
ci-tauw’ belaka. berbicara tentang ilmu pukulan dan
ilmu tendangan boleh dibilang pengetahuannya cetek
sekali.

Sekarang setelah dilihatnya serangan tersebut muncul
secara mendadak, dalam keadaan kepepet tak sempat
lagi baginya untuk menghindarkan diri, terpaksa ia
gunakan telapak kirinya untuk menyambut datangnya
serangan tersebut dengan keras lawan keras.
Tentang jurus telapak ini Hoa Thian-hong telah
melatihnya hingga hapal diluar kepala.
Plooook! di tengah benturan nyaring, sepasang
telapak saling membentur satu sama lainnya.
Pemuda itu segera merasakan telapak tangannya
bergetar keras, namun tubuh mereka berdua tetap
berdiri tegap tak berkutik, agaknya kekuatan mereka
seimbang satu sama lainnya
Tampak Bong Pay tertawa lebar dan memuji, “Kau
memang sangat lihay, dalam bentrokan ini telapak kiri
yang telah kau pergunakan”
“Bong toako memang bukan orang bodoh,” batin Hoa
Thian-hong, “Cuma wataknya terlalu berangasan dan
ugal ugalan!”
Berpikir demikian, ia lantas mendekati tonggak besi itu
dan menyambar rantai tersebut, kemudian dibetotnya
sekuat tenaga,
Telapaknya terasa sakit dan panas, sedang rantai
tersebut masih tetap utuh seperti sedia kala, ternyata
betotannya itu tidak menghasilkan apa-apa

“Hey sahabat, kalau kau mampu memutuskan rantai
itu, aku Bong Pay pun sanggup melakukan hal itu,” ejek
Bong Pay dengan suara lantang.
Hoa In segera maju ke depan, katanya, “Rantai ini
bukan ditempa dari besi baja biasa, Siau Koan-jin
menyingkirlah ke samping, biar budak yang coba
membetot putus rantai ini.”
Hoa Thian-hong geleng kepala, pikirnya di dalam hati,
“Bong toako terlalu jujur dan lugu, andaikata aku tidak
unjukan sedikit kepandaian mungkin dia akan pandang
rendah diriku, baiklah aku harus unjuk kelihaianku!”
Karena berpikir demikian, hawa murninya segera
dihimpun ke dalam telapak, setelah pusatkan
perhatiannya ke arah tongkat besi itu sekuat tenaga ia
betot rantai tadi ke belakang.
Rantai baja itu benar-benar luar biasa
Criiing!” di tengah suara dentingan nyaring, rantai itu
sama sekali tidak putus sebaliknya tongkat baja yang
tertanam di bawah tanah terbetot patah jadi dua bagian
oleh senjata hawa murni Hoa Thian-hong yang maha
hebat itu.
Bentakan gusar bergema memecahkan kesunyian,
sesosok bayangan manusia dengan kecepatan bagaikan
kilat meluncur masuk ke dalam gelanggang

Melihat orang itu adalah seorang toojin berusia
pertengahan, Hoa In segera menyongsong
kedatangannya.
Baru saja pihak lawan meloloskan pedang yang
tersoren di bahunya untuk menghadapi segala
kemungkinan, Hoa In telah bertindak lebih duluan,
telapak tangannya bergerak cepat dan tahu-tahu jalan
darah kakunya sudah tertotok
Sementara itu Hoa Thian In yang telah berhasil
mematahkan tongkat baja segera merasakan telapaknya
panas dan kaku, ia gosok-gosok telapaknya sambil
berseru, “Bong toako, rantai besi ini benar-benar luar
biasa sekali, bagaimana dengan rantai dilehermu?”
Belum habis dia berkata Bong Pay sudah loncat
bangun dari atas tanah, telapaknya menyambar rantai
tersebut kemudian…..
“Weees!” senjata itu dihajarkan ke atas punggung
toojin setengah baya tadi.
Pemuda she-Bong ini bukan saja memiliki kekuatan
yang luar biasa, bahkan gerak-geriknya lincah dan
enteng, begitu rantai itu diayun toojin setengah baya tadi
terhajar telak punggungnya.
Bisa dibayangkan betapa hebatnya akibat serangan itu
yang ditujukan ke arah seseorang yang tertotok jalan
darahnya, toojin itu mendengus berat, tulang
punggungnya segera patah jadi dua bagian, sedang
tulang dadanya patah lima batang.

Baik Hoa Thian-hong maupun Hoa In sama-sama
tertegun menyaksikan peristiwa yang sama sekali berada
diluar dugaan ini, mereka tak sempat menghalangi
perbuatannya itu lagi. terlihatlah toojin itu muntah darah
segar dan jiwanya sukar dipertahankan lebih lanjut.
Rupanya Bong Pay sudah dipengaruhi oleh nafsu
membunuh yang berkobar kobar, ia loncat ke muka dan
rantainya kembali diayun menghajar toosu muda yang
lain.
Hoa Thian-hong bertindak cepat tangan kirinya
berkelebat mencengkeram pergelangannya sambil
berseru, “Bong toako, buat apa kau musti?”
Desiran angin tajam menderu deru, mendadak Bong
Pay ayunkan ujung rantainya itu menghantam ke atas
kepala pemuda Hoa.
“Wataknya memang betul-betul berangasan” batin
pemuda kita, tangan kanannya segera bergerak
mencekal ujung rantai itu, tegurnya sambil tertawa,
“Bong toako, masa siaute pun hendak kau hantam?”
Sinar mata Boag Pay berapi-api, dengan penuh
kegusaran teriaknya, “Kalau tidak kau lepaskan rantai itu,
aku akan menyumpahi dirimu!”
Hoa Thian-hong benar-benar takut orang kasar itu
memaki dirinya dengan ucapan yang tak genah, cepatcepat
ia lepas tangan dan mundur selangkah ke
belakang.

Bong Pay berdiri agak tertegun. tapi akhirnya dia putar
badan dan lari menuju ke ruang loteng.
Rupanya Hoa In merasa sangat tidak puas dengan
sikap pemuda she-Bong itu, dengan alis berkerut
omelnya, “Keparat cilik ini benar-benar goblok dan
sembrono, dia adalah seorang jago pemberani yang tak
berotak, di kemudian hari entah berapa banyak kesulitan
yang bakal ia perbuat!”
Yang diperhitungkan serta dipikirkan oleh kakek tua
she Hoa ini hanyalah untung rugi bagi majikan mudanya,
ia merasa tak senang hati karena urusan Bong Pay ini,
dalam anggapannya mencampuri urusan manusia
sembrono itu hanya akan mendatangkan banyak
kerepotan bagi majikan mudanya saja, oleh sebab itu dia
ada maksud mengajak Hoa Thian-hong jangan
mencampuri urusan itu lagi.
Tapi Hoa Thian-hong segera berkata, “Kita telah
mengabulkan permintaan dari Cu Locianpwee,
bagaimanapun juga janji yang telah kita ucapkan tak
boleh disesali kembali!”
Habis berkata ia gerakkan badannya dan berkelebat
menuju ke arah ruang loteng, terdengar teriakanteriakan
keras berkumandang datang, Bong Hay sambil
membentak gusar memutar rantai besinya secara kalap.
tiga orang toojin berusia pertengahan sambil putar
pedangnya melakukan perlawanan selangkah demi
selangkah terdesak keluar dari ruang loteng itu.

“Sudah terjadi keributan begini lama, kenapa belum
nampak juga seorang jago lumayan yang munculkan
diri?” pikir Hoa Thian-hong di dalam hati.
“Masa kuil Tiong-goan-koan yang begini besar, hanya
dipimpin oleh beberapa orang itu saja?”
Ketika dia mendongak kembali, terlihatlah Bong Pay
memutar rantai bajanya makin kencang, keberaniannya
luar biasa sekali, sekalipun harus melawan tiga orang
musuh sekaligus namun sedikitpun tidak menunjukkan
tanda-tanda akan menderita kalah,
Ia segera mendekati toosu muda tadi dan
membebaskan jalan darahnya, setelah itu tanyanya,
“Siapakah hong-tiang dari kuil Tiong-goan-koan ini?
Kenapa sampai sekarang belum juga unjukkan diri?”
Toosu muda ini tahu bahwa Hoa Thian-hong sangat
lihay, terutama kehebatannya dalam membetot patah
tiang tonggak besi itu. begitu totokannya di bebaskan ia
segera putar badan dan kabur dari situ.
Hoa In yang berdiri disisinya segera ayun telapaknya
mencengkeram bahu toosu muda itu, bentaknya,
“Hidung kerbau cilik! Sudah kau dengar belum
pertanyaan yang kami ajukan?”
“Aduuuh….!” toosu muda itu menjerit kesakitan,
dengan badan terbongkok2 menahan rasa sakit ujarnya
setengah merengek, “Apakah yang hendak sicu berdua
tanyakan?”

“Aku tanya siapakah ketua kalian? Kenapa tidak
nampak dia unjukan diri?”
Agaknya semangat toosu itu bangkit kembali, sambil
busungkan dada ia menjawab. “Ketua dari kuil kami
adalah Thamcu sektor tengah sekte agama Thong-thiankauw,
gelarnya Hian Leng Cinjin! dia adalah seorang jago
yang tersohor namanya di kolong langit”
“Tak usah banyak cerewet” bentak Hoa In gusar,
“Sekarang dimana orangnya?”
Mendadak dari tempat kejauhan terdengar Bong Pay
membentak keras, ketika semua orang berpaling
tampaklah ia sedang ayun rantai besinya membentur
ujung pedang seorang toojin, letupan bunga api diiringi
suara gemerincing yang amat nyaring segera bergema,
pedang dalam genggaman Toojin itu seketika terlepas
dari genggamannya.
Melihat kesempatan yang sangat baik itu Bong Pay tak
mau sia-siakan peluang itu, rantainya diayun dan
langsung dibacok ke atas wajah orang tadi.
Dua orang toojin lainnya buru-buru ayunkan
pedangnya berusaha untuk menolong jiwa rekannya itu,
namun sayang gerakan mereka terlambat satu langkah,
jeritan ngeri yang menyayat hati seketika berkumandang
ke tengah udara, raut muka toojin tadi hancur
berantakan dengan darah berceceran di atas lantai
setelah termakan hantaman rantai itu, ia roboh ke atas
tanah sekarat, rintihan ngeri mendirikan bulu roma…

Setelah berhasil dengan serangannya, kembali Bong
Pay membentak keras, sambil putar senjata rantainya ia
menerjang ke arah dua orang toojin lainnya
Menyaksikan betapa dahsyat dan bengisnya pihak
lawan pecahlah nyali kedua orang toojin tadi, pemainan
pedang mereka kontan jadi kacau tak karuan, mereka
berusaha untuk melarikan diri apa lacur permainan rantai
itu sangat dahsyat, hal ini membuat mereka jadi kalang
kabut dan berkaok-kaok minta ampun.
Sudah lama aku dengar para toojin dari sekte agama
Tong Thian melakukan tindakan sewenang wenang
terhadap rakyat biasa, dosa mereka sudah bertumpuk
tumpuk, ditambah pula Bong toako ini sudah lama
dikurung, disiksa dan dihina. rasa bencinya terhadap
mereka sudah tak terlukiskan lagi dengan kata-kata bila
ini hari aku tidak biarkan ia mengumbar hawa nafsunya,
Orang itu pasti tak mau berdiam diri begitu saja”
Ia sendiri pernah mencicipi bagaimanakah tersiksanya
bila seseorang dihina dan dipermainkan, ia dapat
menyelami perasaan orang semacam ini, maka Hoa
Thian-hong pun tidak menghalangi perbuatan Bong Pay
untuk melampiaskan rasa sakit hatinya.
Kepada toosu muda itu kembali ia membentak, “Ayoh
cepat menjawab, Hian Leng Toojin sekarang berada
dimana?”
Dua orang toojin yang berhasil dilukai Bong Pay.
seorang patah tulang punggungnya dan yang lain hancur

wajahnya, mereka belum putus napasnya tapi berbaring
disitu sambil merintih kesakitan.
Menyaksikan keadaan yang sangat mengerikan itu,
toosu muda tersebut merasakan sukmanya seakan akan
terbang tinggalkan raganya, dengan suara gemetar ia
segera menjawab, “Kaucu kami telah menurunkan titah
untuk memanggil seluruh anak murid perkumpulan kami
berkumpul semua di markas besar, Koancu kami dengan
membawa seluruh anak muridnya telah berangkat ke
kota Leng-An fajar tadi!”
“Kalau ditinjau keadaan ini, rupanya kehadiran
pasukan besar perkumpulan Hong-im-hwie menuju
selatan telah diketahui pula oleh pihak sekte agama
Thong-thian-kauw,” kata Hoa In!
Hoa Thian-hong mengangguk, “Ehmmm..,l Thongthian-
kauw bukanlah sebuah perkumpulan agama yang
tidak terdapat orang pandai”
Jeritan ngeri berkumandang susul menyusul,
permainan rantai baja Bong Pay dalam waktu singkat
telah berhasil menghajar pula batok kepala kedua orang
toojin itu sehingga pecah dan mengucurkan darah segar,
dengan lengan putus kaki patah mereka roboh tak
berkutik lagi di atas tanah.
Tanpa berpaling Bong Pay langsung menerjang masuk
ke dalam bangunan loteng itu.
Menyaksikan tingkah laku orang itu, Hoa Thian-hong
segera mengerutkan dahinya, dalam hati ia membatin,

“Dia pasti sedang pergi mencari kunci untuk membuka
borgol rantai yang membelenggu lehernya.
Kepada toosu muda itu ia segera bertanya, “Siapa saja
yang masih berada di dalam loteng?”
“Hanya dua orang toosu cilik”
“Apakah disitu terdapat alat jebakan serta alat rahasia
lain?” “Tidak ada!”
Melihat raut wajah toosu muda itu telah berubah jadi
pucat pias bagaikan mayat dan ketakutan setengah mati,
Hoa Thian-hong jadi tidak tega. segera ujarnya,
“Cepatlah menyingkir jauh jauh dari sini, bila kau tidak
bertobat dan baik-baik jadi manusia….. Hmmm! lain kali
aku tak akan mengampuni jiwamu lagi.”
Toosu muda itu mengangguk tiada hentinya ketika
Hoa In melepaskan cengkeramannya, toosu muda tadi
segera kabur terbirit-birit dari situ.
Rintihan kesakitan yang memilukan hati bersahut
sahutan memenuhi seluruh angkasa, suasana di sekitar
tempat itu jadi mengerikan sekali. Lama kelamaan Hoa
Thian-hong jadi tidak tega sendiri, kepada Hoa In dia
lantas bertanya, “Apakah keempat orang ini masih ada
harapan untuk ditolong?”
Hoa In tertegun lalu menggeleng. “Tiada harapan lagi
untuk hidup, yang seorang di sebelah sana itu mungkin
masih ada harapan untuk hidup. cuma sekalipun bisa

lolos dari kematian dia bakal hidup sebagai seorang
cacad!”
“Aaai…! bagaimanapun akhirnya toh mati, lebih baik
cepat-cepatlah menghantar keberangkatan mereka untuk
pulang ke rumah neneknya!”
Hoa In mengangguk, dia segera berkelebat maju ke
depan telapaknya diayun berulang kali, dalam sekejap
mata keempat orang toojin yang menggeletak di atas
tanah dalam keadaan terluka parah itu menghembuskan
napas yang terakhir.
Tiba-tiba terdengar suara isak tangis kaum wanita
yang amat ramai bergema datang dari balik ruangan
loteng muncullah serombongan gadis-gadis muda yang
menangis dengan penuh kesedihan, di belakangnya
mereka menyusul pula serombongan pria yang jumlah
keseluruhannya mencapai delapan puluh orang lebih.
Rombongan pria wanita itu semuanya berada dalam
kondisi mengenaskan, tubuh mereka kurus ceking tinggal
kulit pembungkus tulang, yang pria berwajah tampan
sedang yang gadis berwajah cantik rupawan. Sekilas
memandang bisa diketahui bahwa orang-orang itu sama
sekali tidak mengerti akan ilmu silat.
Hoa In adalah seorang jago kawankan, meninjau
keadaan tersebut dengan cepat ia bisa memahami apa
yang sudah terjadi. Ketika dilihatnya rombongan pria dan
wanita itu celingukan kesana kemari dengan wajah
ketakutan, ia segera membentak keras, “Kalian semua
ikutilah diriku!”

Hoa Thian-hong tertegun dan dalam Waktu singkat
iapun tahu apa yang telah terjadi, diapun lantas berkata,
“Hoa In, coba carilah di ruang atas loteng apakah da
sedikit harta benda yang berharga? Kalau ada, ambillah
dan bagikan kepada mereka semua!”
“Kalian semua harap tunggu sebentar!” teriak Hoa In
kemudian dengan suara keras. Ia segera putar badan
dan berkelebat masuk ke dalam ruang loteng.
Cahaya api berkilauan memenuhi seluruh angkasa, di
tengah kilatan cahaya terang tampaklah Bong Pay
dengan membawa sebuah obor sedang membakar ruang
loteng yang megah itu, dalam sekejap maka seluruh
bangunan telah tenggelam dibalik amukan api yang
berkobar-kobar.
Tiba-tiba Bong Pay menerjang keluar dari balik lautan
api, dengan gerakan bagaikan kilat ia menerjang ke arah
kuil bagian depan.
“Bong toako!” pemuda kita berteriak keras.
Namun Bong Pay sama sekali tidak menggubris
panggilan itu, dalam sekejap mata bayangan tubuhnya
sudah lenyap dibalik bangunan.
Melihat pemuda itu tak menggubris panggilannya, Hoa
Thian-hong lantas berpikir di dalam hati, “Aaai,
bagaimanapun di tempat ini toh tak ada jago lihay,
biarlah dia berbuat sekehendak hatinya”

Si anak muda she-Hoa ini merasa malu dan menyesal
atas kejadian yang telah berlangsung di hadapannya ia
tidak mengira kalau di dalam kuil kaum toosu ini
terkurung begitu banyak gadis muda dan pria tampan ia
semakin tak menduga kalau tempat suci semacam ini
sebenarnya merupakan suatu tempat mesum yang
menjijikkan, karena itu ia merasa tak enak untuk
menghalangi perbuatan Bong Pay, sambil berdiri
menjublak ia pandang jilatan api yang sedang membakar
seluruh bangunan kuil itu.
“Siau Koan-jin, terimalah ini!” mendadak Hoa In
berteriak dari atap loteng.
“Weess… weess…!” dua buah buntalan besar segera
meluncur ke bawah loteng dengan cepatnya.
Hoa Thian-hong sambut buntalan tadi, ketika dibuka
ternyata isinya berupa intan permata dan emas murni,
buru-buru benda tersebut dibagi-bagikan kepada kaum
gadis dan pria tampan yang mendapat celaka itu.
Jilatan api bergerak dengan cepatnya menyebar
keempat penjuru, dalam waktu singkat ruang loteng
bagian terbawahpun sudah menjadi lautan api, Hoa In
tiba-tiba loncat turun dari atas loteng sambil membawa
dua bungkusan besar berisi alat-alat yang terbuat dari
emas dan perak, hardiknya dengan suara keras, “Jangan
menangis, jangan dorong mendorong….”
Suasana di halaman belakang kacau balau penuh
dengan jeritan serta tangisan, tiba-tiba dari bagian depan
kuilpun terjadi kegaduhan, suara teriakan manusia makin

ramai dan api berkobar memenuhi seluruh kompleks kuil
Tiong-goan-koan tersebut.
“Rupanya cukup banyak siksaan serta penderitaan
yang dirasakan bocah itu hingga dia jadi kalap” ujar Hoa
In sambil tertawa.
“Bong toako adalah seorang lelaki yang berjiwa panas,
melenyapkan kuil ini sama artinya dengan membasmi
bibit penyakit bagi rakyat kecil daerah sekitar sini”
“Toosu-toosu siluman dari Thong-thian-kauw adalah
manusia cabul yang suka main perempuan dan
homoseks, aku rasa di setiap kuil di daerah kekuasaan
sekte agama Thong-thian-kauw semuanya melakukan
perbuatan-perbuatan terkutuk macam ini”
“Kalau demikian adanya, sekte agama Thong-thiankauw
adalah suatu perkumpulan kaum durjana,” seru
Hoa Thian-hong dengan alis berkerut, “Mungkin
kejahatan yang mereka lakukan jauh di atas perbuatanperbuatan
dari Sin-kie-pang maupun Hong-im-hwie”
Sementara pembicaraan masih berlangsung, kedua
orang itu telah selesai membagi bagikan emas perak
serta intan permata itu kepada para korban, maka
dipimpinlah orang-orang itu keluar dari halaman kebun
dan menyuruh cepat-cepat bubar.
Dalam pada itu peristiwa terbakarnya kuil Tiong-goankoan
telah menggemparkan seluruh kota, banyak rakyat
dari empat penjuru berduyun duyun datang ke sekitar
situ menonton kebakaran, para Jemaah berusaha keras

menolong api membuat suasana jadi kalut dan kacau tak
karuan.
Menanti para korban yang berhasil ditolong telah
bubar semua, Hoa Thian-hong berdua baru balik lagi
untuk mencari jejak Bong Pay, seluruh ruangan kuil telah
tenggelam di tengah amukan api, dengan gerakan
tubuhnya yang cepat mereka berkelebat kesana kemari
mencari jejak pemuda she-Bong tersebut
Ujung baju tersampok angin bergema tiba, empat
sosok bayangan manusia dengan gerakkan cepat
mendadak muncul dari arah depan, ketika kedua belah
pihak saling berpapasan mereka semua pada tertegun
dibuatnya.
Di bawah sorot cahaya api, terlihatlah keempat orang
itu bukan lain adalah Ang Yap Toojin, Ngo Ing Toojin,
Cing Si-cu serta Giok Teng Hujien dari perkumpulan
Thong-thian-kauw…..
Setelah terjadi bentrokan fisik dengan rombongan Jin
Hian, keempat orang itu secara diam-diam mengawasi
terus gerak-gerik dari musuhnya itu, ketika baru saja tiba
di kota Wi-im, tiba-tiba mereka temukan kuil Tiong-goankoan
kebakaran, keempat orang itu segera sadar bahwa
suatu peristiwa yang tak diiginkan telah terjadi.
Buru-buru berangkatlah mereka menuju kesitu, siapa
tahu kedatangan mereka justru telah berpapasan dengan
Hoa Thian-hong berdua.

Begitu bertemu dengan pemuda she-Hoa Ang Yap
Toojin seketika naik darah. sambil tertawa seram
teriaknya, “Kau yang bakar kuil Tiong-goan-koan ini?”
“Kalau benar mau apa?” sahut Hoa Thian-hong tawar.
Giok Teng Hujien tertawa merdu.
“Eeei…. kenapa sih kau suka main gila? too-koan ini
toh indah dan megah, kenapa musti dibakar habis?!”
“Hmmm, dalam kuil ini terjadi perbuatan mesum yang
amat menjijikkan, kuil sebagai tempat pemujaan kaum
dewata telah digunakan sebagai gudang untuk
menyimpan gadis tak berdosa. Justru siaute merasa
muak melihat tempat seperti ini maka sengaja kubakar
sampai habis. Apa cici ada petunjuk lain?”
“Sudahlah…. kau tak usah berlagak sok di
hadapanku!” seru Giok Teng Hujien sambil tertawa, “aku
berani taruhan, api ini bukan kau yang lepaskan…..!
bukan begitu?”
“Saudara Hoa, diantara kita toh pernah berjumpa
beberapa kali,” ujar Ngo Ing Toojin pula. “Bolehkah pinto
mengetahui siapa yang telah melepaskan api ini?”
Hoa In tidak ingin melihat majikan mudanya memikul
dosa orang lain, dengan hati tak senang ia segera
berkata, “Kami bukanlah manusia-manusia rendah yang
suka menjual teman, kalau kamu semua ingin mencari
orang yang melepaskan api, sana carilah sendiri!!….”

Meskipun hanya dua tiga patah kata saja, tapi dengan
cepat ia telah mencuci bersih segala tuduhan yang
ditimpakan kepada mereka berdua.
Kembali Giok Teng Hujien tertawa ringan. “Too-yu
sekalian, api ini pasti dilepaskan oleh musuh bebuyutan
kita kaum cecunguk dari perkumpulan Hong-im-hwie,
mari kita geledah sekeliling tempat ini mungkin jejaknya
masih bisa tertangkap!” serunya.
“Bong Pay bukan tandingan dari beberapa orang ini,”
pikir Hoa Thian-hong di dalam hati, “sekarang aku telah
menyanggupi Cu locianpwee untuk merawat serta
melindungi dirinya, bagaimanapun juga aku harus
menghadapi kejadian ini dengan tegas.”
Berpikir demikian, dengan suara lantang ia lantas
berseru, “Cici, setelah kau temukan orang yang
melepaskan api itu. apa yang hendak kalian lakukan?”
“Bocah bodoh!” sahut Giok Teng Hujien dengan alis
berkerut, “Jin Hian bukanlah manusia baik-baik, kenapa
sih musti bergaul dengan dirinya?”
Hoa Thian-hong tersenyum. “Cici terus terang saja
kukatakan, api ini bukanlah perbuatan dari Jin Hian”
“Tentu saja, Jin Hian adalah seorang pimpinan dari
suatu perkumpulan besar, tentu saja dia tak akan turun
tangan sendiri, Too-yu sekalian, ayoh berangkat!”
Menyaksikan sikap Giok Teng Hujien yang begitu
hangat dan mesra terhadap diri Hoa Thian-hong, makin

dilihat Ang Yap Toojin merasa semakin gusar, api
cemburu membakar hatinya dan niat jahat segera
muncul dalam benaknya, dengan suara keras dia segera
membentak, “Hoa Thian-hong! ayoh ngaku terus terang,
apakah api ini kau yang lepaskan?”
Hoa Thian-hong sendiripun naik darah melihat
kekasaran musuhnya, ia menjawab dengan nada ketus,
“Sedari tadi toh aku orang she-Hoa sudah mengatakan
bahwa api itu akulah yang lepaskan, apa telingamu
sudah tuli?”
Ketika terjadi persengketaan sewaktu berada di
tengah jalan tempo dulu, Ang Yap Toojin pernah memaki
Hoa Thian-hong sebagai orang yang tuli, maka
sekarangpun si anak muda itu memaki telinganya telah
tuli pula.
Ang Yap Toojin segera tertawa seram. “Too-yu
bertiga, ini hari pinto bersumpah akan cabut selembar
jiwa manusia she-Hoa ini, harap too-yu bertiga suka
melayani pengurus perkampungan itu, urusan
selanjutnya serahkan saja kepada pinto untuk dibereskan
sendiri.”
Selesai berkata ia cabut keluar pedang mustika yang
tersoren di atas bahunya. Berbicara sampai disana sorot
mata semua orang tanpa terasa dialihkan ke atas wajah
Giok Teng Hujien, jelas dalam peristiwa yang terjadi hari
ini perempuan tersebut mempunyai peranan yang amat
penting.

Andaikata ia setuju dengan cara kerja Ang Yap Toojin,
itu berarti posisi akan berubah jadi empat lawan dua,
meskipun menang kalah masih sulit untuk ditentukan,
namun pertarungan masih bisa dilangsungkan.
Sebaliknya kalau ia nampik dan sebaliknya akan
membantu Hoa Thian-hong, maka posisinya akan
menjadi tiga lawan tiga, jelas posisi di pihak Thong-thiankauw
amat lemah, apalagi Soat-ji rase salju dalam
bopongannya masih belum masuk hitungan.
Giok Teng Hujien sama sekali tidak menanggapi
pertanyaan itu, ia malahan menuding ke arah lain sambil
berseru, “Coba kalian lihat, pohon dan bunga telah
termakan api, sebentar lagi seluruh kuil akan tenggelam
di tengah lautan api dan kita tak akan mendapatkan
tempat berpijak lagi”
“Giok Teng Too-yu!” hardik Ang Yap Toojin dengan
penuh kegusaran, “Pinto ingin bertanya kepadamu,
dalam pertempuran yang akan terjadi pada malam ini
Hujien akan berpihak kemana?’
“Aku berdiri di pihak perkumpulan Thong-thian-kauw,”
sahut Giok Teng Hujien dengan wajah berubah, “Tetapi,
Hoa Thian-hong adalah saudara angkatku, maka Soat-ji
ku harus berdiri di pihaknya’“
Semua orang tertegun sehabis mendengar perkataan
itu, siapapun tahu kelihayan Soat-ji makhluk aneh itu,
kehebatannya cukup menandingi kelihayan seorang jago
silat kelas satu.

Bila Hoa Thian-hong berdua sampat mendapat
bantuan Soat-ji, maka kekuatan mereka pasti akan
bertambah lipat ganda. dan Giok Teng Hujien seandainya
bekerja setengah tengah dan tidak menyerang dengan
sepenuh tenaga, bukankah mereka bertiga orang toosu
tua bakal mati konyol?
Kuil-kuil yang didirikan di tempat luaran di bawah
kekuasaan perkumpulan Thong-thian-kauw memang
amat banyak sekali, tapi struktur organisasinya lapuk dan
tidak ketat. Hoa Thian-hong sendiripun tidak tahu
kedudukan Giok Teng Hujien yang lebih tinggi atau Ang
Yap Toojin yang lebih tinggi di dalam perkumpulan itu,
tetapi setelah mengetahui bahwa perempuan itu secara
terang terangan berpihak kepadanya, sedikit banyak ia
merasa hatinya rada lega.
Sebaliknya Ang Yap Toojin makin cemburu dan naik
darah setelah mendengar keputusannya itu, dengan
sorot mata bengis ia segera berseru, “Hoa Thian-hong,
seandainya kau menganggap dirimu seorang lelaki jantan
pria sejati…. ayoh terimalah tantanganku untuk berduel!”
Hoa In teramat gusar, ia takut Hoa Thian-hong tak
kuat menahan sindiran itu dan menerima tantangan
lawan. Tanpa mengucapkan sepatah katapun sepasang
telapaknya segera bekerja Cepat dan melancarkan
sebuah pukulan dahsyat ke arah depan.
Demi majikan mudanya. kakek tua she-Hoa ini tanpa
berpikir panjang segera lancarkan sebuah pukulan
dengan ilmu Sau-yang-Ceng-khie-nya yang lihay.

Ang Yap Toojin sekalian tak pernah menyangka kalau
ilmu maha sakti dari Hoa Goan-siu yang pernah
menggemparkan seluruh kolong langit itu bisa muncul di
tangan seorang pelayan tua, terkesiap hati mereka
bertiga menjumpai serangan itu.
Rupanya Ang Yap Toojin sekalian menyadari akan
kelihayan lawannya, melihat begitu dahsyat datangnya
ancaman buru-buru pedangnya dipindahkan ke tangan
kiri, telapak kanan diangkat ke depan dan serentak
mereka bendung datangnya ancaman itu
Hoa Thian-hong naik pitam, ia tak sudi berpeluk
tangan belaka. Melihat serangan dahsyat dari Hoa In
telah dilancarkan iapun segera menggerakkan sepasang
telapaknya menyerang Ngo Ing Toojin serta Ceng Si-cu
yang berdiri di dekatnya.
Tindakan yang dilakukan beberapa orang itu
semuanya dilakukan dengan kecepatan laksana
sambaran kilat…. Blaam! terjadi benturan keras
bergeletar memenuhi angkasa, Hoa Thian-hong, Ngo Ing
Toojin serta Ceng Si-cu secara beruntun mundur
beberapa langkah ke belakang.
Hoa In takut majikan mudanya cedera, dalam
kerepotan telapak kirinya dimiringkan ke samping,
separuh bagian tenaga serangannya segera dihantamkan
ke arah tubuh Ngo Ing Toojin serta Ceng Si-cu.
Kendati begitu Ang Yap Toojin masih belum mampu
untuk menahan diri, termakan oleh pukulan yang sangat
hebat itu badannya segera mencelat ke belakang darah

kental mengucur keluar dari panca inderanya membuat
keadaan toosu itu mengerikan sekali.
Dalam waktu singkat Ngo Ing Toojin serta Ceng Si-cu
sama-sama menderita Iuka dalam yang parah darah
panas bergolak dalam dada mereka membuat kedua
orang itu buru-buru pejamkan mata dan mengatur
pernapasan.
Keadaan Ang Yap Toojin paling parah. tubuhnya
menggeletak di atas tanah dengan sepasang mata
terpejam rapat, mukanya pucat pias bagaikan mayat,
napasnya kempas-kempis dan lirih sekali.
Hoa Thian-hong sendiripun merasa jantungnya
berdebar dan napasnya tersengal-sengal lama sekali ia
baru berhasil menguasai diri.
Hoa In segera menghampiri ke sisi tubuhnya. “Siau
Koan-jin, bagaimana keadaanmu?” tegurnya gelisah.
Buru-buru telapak kanannya ditempelkan ke atas
punggung pemuda itu. segulung hawa murni segera
menyusup masuk ke dalam tubuhnya
“Api sudah hampir menyumbat jalan keluar kita, mari
kita undurkan diri lebih dahulu dari sini,” kata Hoa Thianhong
kemudian setelah berhasil menenangkan diri, sorot
matanya segera melirik sekejap ke arah Giok Teng
Hujien.
“Kau memang amat pandai bikin gara-gara,” omel
perempuan itu sambil tertawa. “Coba kau lihat, sekarang

apa yang musti cici sampaikan kepada kaucu nanti
tentang peristiwa ini”
Hoa Thian-hong tersenyum. “Cici, bila kau ada niat
tinggalkan jalan sesat menuju ke jalan yang benar,
seketika ini juga siaute akan cabut selembar jiwa Ang
Yap Toojin untuk memotong jalan mundurmu.
“Kurang ajar! apa sih yang dimaksudkan tinggalkan
jalan sesat menuju ke jalanan yang benar? Siapa yang
bersih tetap bersih, siapa yang kotor tetap akan kotor cici
yakin belum pernah melakukan perbuatan yang
memalukan orang.”
“Aaai… kalau memang cici selalu berpikiran sesat dan
tak mau mendusin dari kedosaan, siautepun tidak akan
bicara lebih banyak lagi,” ia berpaling dan serunya, “Hoa
In, ayoh kita pergi.”
Kedua orang itu putar badan dan segera berlalu, tibatiba
disini mereka bertambah lagi dengan seseorang, dia
bukan lain adalah Bong Pay yang sedang dicari.
Hoa Thian-hong jadi amat kegirangan dia tarik lengan
pemuda itu dan diajak bersama-sama membelok ke
sebelah kiri.
Dalam pada itu setiap ruangan dalam bangunan kuil
itu telah termakan api, jalan maju ketiga orang itu segera
tersumbat sama sekali, hawa begitu panas terasa
menyengat badan membuat peluh mengucur keluar
dengan derasnya, dengan susah payah akhirnya mereka

bertiga berhasil juga mendekati tepi dinding pekarangan
dari kuil itu.
Mendadak terdengar Jin Hian tertawa tergelak sambil
serunya, “Hoa Loo-te, dimanakah cicimu serta ketiga
orang toosu hidung kerbau itu?”
Pemuda kita segera mendongak, ia lihat di atas
dinding pekarangan berdiri sederetan panjang jago-jago
lihay dari perkumpulan Hong-im-hwie, kecuali Jin Hian,
Cia Kim serta Cho Bun-kui, keempat puluh orang
pengawal golok emas pun telah hadir semua di tempat
itu.
Di bawah sorot cahaya api nampak kilatan senjata
berkilauan, dalam keadaan siap siaga dengan senjata
terhunus para jago dari perkumpulan Hong-im-hwie itu
memblokir seluruh daerah yang tidak terjamah oleh api.
Hoa Thian-hong sama sekali tidak gentar menghadapi
kejadian ini, dengan langkah yang tetap ia dekati dinding
pekarangan tersebut, sekali enjot badan tubuhnya
langsung melayang ke arah mana Jin Hian berada.
Dengan kencang Hoa In mengikuti di sisi majikan
mudanya, hawa sakti Sau-yang-ceng khie dihimpun ke
dalam sepasang telapak, asal Jin Hian menunjukkan
tanda-tanda tidak beres, ia segera akan lancarkan
serangan dengan sepenuh tenaga.
Terdengar ketua dari perkumpulan Hong-im-hwie itu
tertawa terbahak-bahak, kaki kanannya melangkah satu
tindak ke samping memberikan sebuah tempat berpijak

bagi lawannya, dengan cepat Hoa Thian-hong serta Bong
Pay sekalian telah hinggap di atas tembok pekarangan
itu.
Beberapa waktu kemudian. dari kejauhan tampaklah
Ceng Si-cu memayang Ang Yap Toojin yang terluka
parah dilindungi Giok Teng Hujien serta Ngo Ing Toojin
di kedua belah sisinya muncul pula di tempat itu.
“Hoa Loo-te” Jin Hian segera berseru sambil tertawa,
“Kalau bekerja janganlah kepalang tanggung, bagaimana
kalau kita bekuk pula ketiga orang peria dan seorang
perempuan itu agar tak bisa keluar dari tempat ini?”
Hoa Thian-hong tidak menjawab, ia tetap
membungkam dalam seribu bahasa.
Sementara itu keempat puluh orang pengawal golok
emas telah membentak keras, “Berhenti!”
Keempat sosok bayangan manusia itu segera
menghentikan langkah kakinya, Ngo Ing Toojin dengan
suara gusar menegur, “Jien Tang-kee, apa yang hendak
kau lakukan?”
“Hmmm….. jalan sempit, kita selalu berjumpa, tentu
saja aku hendak menahan kalian,” sorot matanya
dialihkan ke samping dan melanjutkan, “bagaimana
menurut pendapat Hoa Loo-te?”
Hoa Thian-hong tertawa lantang, pikirnya, “Memang
lebih baik toosu-toosu siluman dari Thong-thian-kauw

dibunuh habis oleh kaki tangannya, cuma bagaimana
dengan cici yang tak kuketahui nama aslinya ini…..!”
Puluhan pasang mata para jago sama-sama dialihkan
ke atas wajahnya, dalam keadaan begini tak sempat
baginya untuk berpikir panjang lagi, segera sahutnya,
“Pertikaian antara perkumpulan Hong-im-hwie dan
Thong-thian-kauw tidak ingin kucampuri, bila Jien Tangkee
ada maksud menahan mereka silahkan turun tangan
sendiri”
Bicara sampai disitu sorot matanya berkilat mengerling
sekejap ke arah Giok Teng Hujien, maksudnya agar
perempuan itu bisa menerjang ke arahnya.
Giok Teng Hujien adalah seorang gadis yang cerdas,
menyaksikan keadaan itu dia segera berkata, “Setan cilik,
seorang pria sejati berani berbuat berani bertanggung
jawab, kalau kau punya keberanian lindungilah cicimu,
kalau tidak lebih baik jangan turut campur, aku tidak
ingin mengajak kau main pat-pat gulipat!”
Merah jengah selembar wajah si anak muda itu,
setelah tertegun sejenak ia berkata kembali, “Selamanya
siaute bekerja tampa menghendaki merusak nama baik
orang lain, sekalipun aku bukan enghiong akupun tak
ingin pura-pura jadi hohan, sekalipun hubungan pribadi
kuperhatikan tetapi kepentingan umum akan
kuutamakan lebih dulu”
la berhenti sejenak, kemudian dengan suara yang
tegas ia melanjutkan, “Dalam peristiwa yang terjadi hari
ini, siaute akan menjamin keselamatan dari cici untuk

tinggalkan tempat ini dalam keadaan selamat, aku harap
cici dapat menjaga diri baik-baik sehingga tidak menyianyiakan
jerih payahku untuk melihat diri cici.”
Giok Teng Hujien tersenyum. “Seandainya pikiranku
masih sesat dan bekerja lagi untuk pihak Thong-thiankauw?”
“Mungkin orang yang akan membunuh cici adalah
siaute sendiri”
“Kau berani?” seru perempuan itu sambil mencibirkan
bibirnya. biji matanya yang jeli mengerling ke arah Ngo
Ing Toojin dan memberi tanda agar bersiap sedia
melakukan penerjangan.
“Tunggu sebentar?” tiba-tiba terdengar Jin Hian
berseru, “Hoa Loo-te, bila cicimu berhasil lolos dari sini,
bukankah urusan akan semakin berabe? Terbakarnya kuil
Tiong-goan-koan pasti akan dikatakan olehnya sebagai
hasil karya dari perkumpulan Hong-im-hwie”
“Haaah… haaah… antara perkumpulan Hong-im-hwie
dengan Thong-thian-kauw toh sudah berhadapan
sebagai musuh, kenapa Jien Tang-kee musti risaukan
urusan sekecil ini?’
“Akulah yang membakar kuil Tiong-goan-koan!” tibatiba
Bong Pay berteriak lantang, “Siapa yang tidak puas,
carilah aku orang she Bong untuk dimintai
pertanggungan jawabnya!”

Semua orang segera alihkan sorot matanya ke arah
pemuda itu, tetapi setelah diketahuinya bahwa orang
yang barusan berteriak bukan lain adalah seorang pria
dekil yang lehernya masih diborgol oleh rantai baja yang
kasar dan panjang, tak tertahankan lagi semua orang
segera mendongak dan tertawa terbahak bahak,
Watak Bong Pay amat berangasan dan kasar, melihat
semua orang menertawakan dirinya, dengan penuh
kegusaran ia segera berteriak, “Kalau mau tertawa
tertawalah sekeras-kerasnya, kalau mau berkelahi, ayoh
tunjukkan kepala kalian!”
Tentu saja semua orang tak memandang sebelah
matapun terhadap dirinya, mendengar teriakan itu gelak
tertawa para jago terdengar semakin keras
Hoa Thian-hong menyadari akan rendahnya ilmu silat
yang dimiliki Bong Pay, dengan kepandaiannya yang
cetek itu pemuda tadi masih belum mampu untuk
berduel melawan salah seorangpun di antara para
pengawal golok emas.
Karena takut ia turun ke gelanggang secara gegabah
hingga mencari Kesulitan bagi diri sediri, sambil mencekal
pergelangannya ia lantas berseru, “Bong toako, jangan
gubris urusan tetek bengek yang sama sekali tak
berguna itu.”
Kemudian ia menoleh dan berkata kembali, “Ngo Ing
Tootiang, harap sampaikan kepada kaucu kalian,
katakanlah untuk peristiwa kebakaran ini ia boleh catat
atas namaku!”

“Pinto akan mengingatnya!”
Hoa Thian-hong segera berpaling ke arah Jin Hian dan
menantikan keputusannya. Ketua dari perkumpulan
Hong-im-hwiee ini bukanlah seorang manusia bodoh,
dalam hati ia segera berpikir, “Kenapa aku musti repot2
untuk turun tangan sendiri? Kalau dilihat keadaan Ang
Yap toosu hidung kerbau itu, jelas ia terluka parah di
tangan pemuda itu. Baiklah aku akan biarkan dia tetap
hidup di kolong langit agar di kemudian hari bisa
merupakan bibit bencana bagi bangsat cilik itu”
Berpikir begitu ia lantas tertawa terbahak-bahak dan
berkata, “Haaah…. haaah…. haaah kalian anggap aku
she-Jin adalah manusia macam apa? Sebelum berjumpa
muka dengan Thian Ek si toosu tua itu aku tak sudi ributribut
dengan anak buahnya”
Diam-diam Hoa Thian-hong geli juga melihat sikapnya
itu, ia segera menyingkir ke samping dan berseru, “Cici,
baik-baiklah menjaga diri. kita berjumpa lagi di kota Leng
An nanti”
“Aku takut sebelum tiba di kota Leng An kau sudah
mati terlebih dahulu oleh serangan bokongan dari Jien
Tang-kee” kata Giok Teng Hujien sambil tertawa.
Rasa benci malaikat berlengan delapan Cia Kim
terhadap Giok Teng Hujien maupun terhadap Hoa Thianhong
adalah sama-sama mendalamnya, hanya sayang ia
tak berani melanggar perintah Jin Hian maka selama ini
ia tak sempat mencelakai kedua orang itu.

Sekarang setelah mendengar sindiran tersebut, ia
segera tertawa dingin serunya dengan marah, “Hujien,
lebih baik cepat-cepatlah pulang ke kota Leng An, bila
kau berani berlagak tengik lagi dihadapanku… Hmmm,
hati-hati1ah bila serangan bokongan dari perkumpulan
Hong-im-hwie segera akan unjukkan kehebatannya….”
Giok Teng Hujien tertawa ewa, ia ulapkan tangannya
ke arah Ngo Ing Toojin berdua, maka berkelebatlah
tubuh ketiga orang itu lewat disisi Hoa Thian-hong….
Pemuda she-Hoa itu melirik sekejap ke arah Ang Yap
Toojin dalam dukungan Ceng Si-cu, ia lihat sepasang
mata toosu tua itu terpejam rapat-rapat, giginya
mengatap satu sama lainnya, wajahnya kuning pucat dan
mengerikan sekali keadaannya, dalam hati ia lantas
berpikir, “Begitu lihaynya ilmu Sau-yang-ceng-khie
seharusnya aku melatih ilmu tersebut sedari
dulu…,dulu….”
Dalam waktu setingkat beberapa orang dan sekte
agama Tong Jin Kau itu sudah lenyap dari pandangan.
Jin Hian segera ulapkan tangannya dan berseru, “Hoa
Loo-te, persoalan di tempat ini telah selesai, mari kita
kembali ke penginapan!”
“Silahkan Jien Tang-kee!”
Jin Hian melompat turun terlebih dahulu dari atas
tembok pekarangan, Cho Bun-kui memberi tanda kepada
para pengawal golok emas dan secara beruntun keempat

puluh orang jago itu melayang turun pula dari atas
tembok dan membentuk barisan berbanjar empat,
dengan rapi dan teratur mereka mengikuti di belakang
komandannya.
Hoa Thian-hong sambil menggandeng tangan Bong
Pay menyusul di belakang rombongan jago-jago dari
perkumpulan Hong-im-hwie, katanya di tengah jalan,
“Bong toako, aku dengar katanya kau hidup sebatang
kara tanpa sanak tanpa tempat tinggal, bagaimana kalau
kita bersahabat dan mengembara di dunia persilatan
bersama-sama?”
Bong Pay tertegun mendengar ucapan itu, kemudian
nyeletuk, “Kepandaian silatmu hebat sedang ilmu silatku
cetek sekali, mana mungkin kita bisa melakukan
perjalanan bersama-sama?”
“Sahabat bisa berkumpul bila saling setia kawan, asal
tujuan dan cita-cita kita sama apa bedanya antara ilmu
silat yang .tinggi dan ilmu silat yang rendah”
Tapi Bong Pay tetap menggeleng. “Kepandaian silatku
kecil tapi watakku terlalu besar, bila jalan bersama dirimu
maka tentu banyak kerepotan yang akan kutimbulkan
untukmu!”
“Ehmmm…. bocah ini rupanya tahu diri juga,” pikir
Hoa In di dalam hati, “Kalau begitu hanya perangainya
saja yang kasar dan berangasan. sedang otaknya sama
sekali tidak tumpul”

Tanpa terasa sikap serta pandangannya terhadap
pemuda itu berubah lebih baik beberapa bagian.
Memandang raut wajah Bong Pay yang dipenuhi oleh
garis-garis kekesalan dan kemurungan, Hoa Thian-hong
pun berpikir di dalam hati, “Ketika diadakan pertemuan
Pek Beng Hwee, ayahku mati dalam medan pertempuran
sedang ibuku dalam keadaan terluka parah berhasil lolos
dari kepungan kesemuanya adalah berkat bantuan dari
para sahabat karib, aku lihat Bong toakopun seorang
keturunan dari golongan ksatria, aku tak boleh
memandang rendah dirinya karena ilmu silat yang ia
miliki terlalu rendah!”
Ia lantas menggenggam tangan Bong Pay dan
berseru, “Bong toako, kau maupun aku adalah keturunan
dari kaum ksatria, marilah kita angkat saudara dan hidup
bersama mati berbareng, mari kita bekerja sama
membangun suatu pekerjaan besar yang berguna bagi
seluruh umat dunia….!”
Bong Pay merasa amat terharu mendengar perkataan
itu. tetapi setelah tertegun beberapa saat lamanya
kembali ia menggeleng. “Kalau berbuat begitu, aku pikir
rada kurang baik”
“Kenapa?” tanya Hoa Thian-hong tidak habis mengerti.
“Usiaku tebih tua tapi kepandaianku kecil, sedang kau
usia muda kepandaian lihay, bila kita harus angkat
saudara maka akulah sang kakak dan kau sang adik,
kepandaianku tak mampu melampaui dirimu, mana
mungkin aku bisa memberi petunjuk kepadamu…”

“Sungguh tak nyana Bong toako meskipun kasar
orangnya cermat otaknya…..” pikir Hoa Thian-hong.
Dengan wajah serius ia lantas berkata, “Siaute toh
sudah pikir sejak tadi, persahabatan hanya didasarkan
oleh rasa setia kawan dan hubungan batin yang cocok,
asal tujuan dari cita-cita kita sama perduli amat dengan
kepandaian yang lebih lihay atau kepandaian yang lebih
lemah”
Untuk kesekian kalinya Bong Pay menggeleng.
“Yang aku maksudkan kepandaian bukan hanya
terbatas dalam hal ilmu silat belaka,” katanya.
“Lalu apa yang dimaksudkan Bong Toako?”
Rupanya Bong Pay tidak tahu bagaimana musti
menjawab pertanyaan itu, setelah termenung senjenak ia
berkata, “Usiamu masih sangat muda, sekalipun ilmu
silatmu lihay tak mungkin kelihayannya mencapai
setinggi langit. tetapi bukti menunjukkan bahwa orangorang
dari pihak Hong-im-hwie berlaku sungkan
kepadamu, para toosu siluman dan Thong-thian-kauw
juga jeri kepadamu, menurut penglihatanku inilah baru
yang dinamakan kepandaian sesungguhnya.”
“Tentu saja begitu,” batin Hoa Thian-hong. “Mau
tundukan hati orang, tidak dapat hanya mengandalkan
ilmu silat saja.”

Dalam hati berpikir begitu, diluaran ia segera
menjawab, “Ooo…! Kiranya kau maksudkan tentang soal
itu. Siaute mendapat perlindungan dari pengurus
perkampunganku yang sangat lihay dalam ilmu silat,
berkat kelihayannya itulah tak ada orang yang berani
menganiaya diri siaute.”
Sementara pembicaraan masih berlangsung,
sampailah beberapa orang itu di depan penginapan. Jin
Hian sekalian segera masuk ke dalam kamar sedang
sepuluh orang pengawa golok emas yang tinggal disana
ikut masuk pula ke dalam penginapan, sisanya setelah
menghantar pulang ketua mereka segera berlalu dari
situ.
“Bong toako” ujar Hoa Thian-hong kemudian, “Urusan
tentang angkat saudara kita bicarakan lagi kemudian hari
saja, kita berteman dulu untuk sementara waktu,
bagaimana menurut pendapatmu?”
Bong Pay mengangguk “Baiklah, bila kau merasa
bosan dengan tampangku, aku segera pergi dari sini.
Hoa Thian-hong tersenyum, masuklah ketiga orang itu ke
dalam kamar.
Setelah berada di tempat kebakaran beberapa waktu
lamanya Semua orang merasa haus, pemuda she Hoa
pun ambil dua cawan air teh dan sebuah diantaranya
diserahkan ke tangan Bong Pay, katanya, “Bong toako,
silahkan minum air teh”
Waktu itu adalah bulan tujuh musim panas, teh dingin
merupakan minuman yang paling segar untuk keadaan

demikian. Bong Pay segera menerima cawan air teh itu
dan sekali teguk menghabiskan isinya.
Hoa Thian-hong yang minum secucupan dengan cepat
merasakan lidahnya jadi kaku dan pedas, rasanya aneh
sekali, ia jadi terperanjat.
Melihat Bong Pay hendak penuhi pula cawannya
dengan air teh tangannya segera berkelebat ke muka
menahan cawan itu.
Dalam pada itu Hoa In sedang keluar pintu untuk
mencari cawan. melihat gerak-gerik Hoa Thian-hong
sangat aneh, buru-buru tegurnya, “Siau Koan-jin, apakah
air teh itu tidak bersih?”
“Masih mendingan” sahut sang pemuda sambil
tersenyum, “katakanlah kepada Jien Tang-kee bahwa
aku terlalu rakus hingga perutku terasa mules, mintakan
dua biji obat sakit perut darinya.”
“Obat pemberian dari Jin Hian mana boleh diminum!”
seru Hoa In dengan alis berkerut, “biarlah kucarikan
seorang tabib saja…..”
Habis berkata ia lantas melangkah keluar dari kamar.
“Eeei… eee… kenapa musti pergi terlalu jauh? Cari
saja Jien Tang-kee!” kembali pemuda itu berseru sambil
tertawa.
Hoa In melongo kemudian sambil menghela napas ia
geleng kepala dan menuju ke kamar Jin Hian.

Hoa Thian-hong perhatikan sekejap cawan air teh itu,
sewaktu tidak menemukan sesuatu tanda ia menoleh
pula ke arah Bong Pay ditemuinya sorot mata pemuda itu
tetap jeli dan sama sekali tak berubah, segera diambilnya
cawan air teh pemuda itu dan dicicipi sedikit, ternyata
rasanya kaku dan pedas, sama sekali tak enak diminum.
Sementara itu Bong Pay sendiri telah merasakan pula
gejala yang tidak beres, matanya segera melotot dan ia
berseru, “Apakah Jien loo-ji telah main gila dengan air
teh kita?”
“Bagaimana rasanya teh dalam cawan Bong toako
itu?”
“Air teh, yaah air teh, sedikitpun tidak ada rasanya!”
Hoa Thian-hong tersenyum, ia ambil poci teh itu dan
dihisapnya satu tegukan, ternyata air teh disana rasanya
biasa saja sedikitpun tiada pertanda yang mencurigakan,
maka sadarlah dia apa yang telah terjadi.
“Ooooh…! rupanya bubuk racun itu dipoleskan dalam
cawan air teh itu hingga air teh dalam poci sama sekali
tidak terganggu, kalau ditinjau dari lambatnya daya kerja
racun itu, jelas bukanlah racun dari jenis yang terlalu
lihay, Sebagai seorang pemuda yang kebal terhadap
racun, perduli racun yang jahat dari jenis apapun asal
masuk ke dalam mulutnya ia segera akan merasa pedas
dan kaku, pengalaman yang lain membuktikan bahwa
pertanda itu tak mungkin salah lagi.

SESAAT kemudian Hoa In muncul kembali di dalam
kamar sambil membawa dua pil, ujarnya, “Siau Koan-jin,
Jin Hian telah memberi dua buah pil untukmu, aku lihat
pil ini sama sekali tak berbeda dengan obat yang
diberikan kepada Chin Giok-liong tempo dulu”
Setelah kupecahkan siasat busuknya, mungkin lain kali
ia tak akan berani main gila lagi kepadaku!” pikir Hoa
Thian-hong.
Meskipun dalam hati berpikir begitu, untuk
menghindari siasat buruk berantai dari orang she-Jien
itu. ia segera ambil sebutir obat diantaranya dan di
kunyah dalam mulut, setelah dirasakan obat itu sama
sekali tidak mengandung rasa kaku atau pedas seperti
halnya gejala keracunan, ia baru serahkan obat penawar
yang lain ke tangan Bong Pay.
“Bong toako!” ia berkata, “telanlah obat penawar ini!”
Bong Pay amat percaya terhadap ucapan pemuda ini,
tanpa banyak curiga ia terima obat itu dan segera ditelan
ke dalam mulut kemudian ia baru mengomel dengan
suara jengkel, “Jin Hian tua bangka itu benar-benar licik,
sungguh memalukan manusia macam itu bisa, dianggap
sebagai seorang pimpinan dari suatu perkumpulan besar”
“Siau Koan-jin” ujar Hoa In pula dengan wajah
murung, “serangan secara blak-blakan bisa dihindari,
serangan bokongan sukar dilewatkan. lebih baik kita
berpisah saja dari rombongan merek”

Hoa Thian-hong termenung sejenak, lalu menggeleng.
“Aku pikir lebih aman bagi kita untuk tetap
menggabungkan diri dengan rombongan mereka, sebab
dengan begitu kita hanya perlu berjaga jaga terhadap
serangan bokongannya dia seorang, sebaliknya kalau
perjalanan kita lakukan secara berpisah maka bukan saja
kita musti waspada terhadap mereka, kitapun harus waswas
terhadap bokongan dari orang-orang Thong-thiankauw
“Ucapan dari Hoa kongcu sedikitpun tidak salah,”
sahut Bong Pay dengan alis berkerut, “Aku orang she-
Bong akan menuntun kuda bagimu. mari kita genjot Hian
Loo-ji sampai keok.”
Begitu nyaring dan keras ucapan itu sehingga hampir
semua tamu yang menginap dalam rumah penginapan
itu dapat mendengar ucapannya, “Bong toako kalau kau
tidak merasa direndahkan, itulah bagus sekali,” ujar Hoa
Thian-hong sambil tertawa, “hanya sikapmu terlalu
sungkan justru membuat hubungan kita serasa lebih
renggang.”
Sembari berkata ia hancurkan dua buah cawan yang
beracun itu dan dihuang keluar jendela.
Hingga saat itu di atas leher Bong Pay masih terborgol
sebuah rantai besi panjang tujuh depa, Hoa Thian-hong
serta Hoa In harus bekerja keras beberapa waktu
lamanya sebelum rantai tersebut berhasil dicopot dan
dilepaskan dari leher orang.

Bertiga mereka bersantap di dalam kamar kemudian
Boan Pay pindah ke kamar sebelah untuk mandi dan
tidur. sedang Hoa In sambil membawa rantai itu berkata,
“Siau Koan-jin, beristirahatlah dulu aku ingin jalan2
sebentar diluaran”
“Tengah malam buta begini, mau apa kau keluar
kamar?”
“Aku lihat rantai ini kuat dari aneh, aku ingin mencari
tukang besi untuk menempa rantai ini jadi sebilah
pedang”
Hoa Thian-hong pikir benar juga ucapan itu, maka ia
mengangguk. Sepeninggalnya Hoa In ia tutup pintu dan
ambil keluar bungkusan kertas minyak untuk yang
diserahkan Cu Tong kepadanya itu.
Ketika dibuka ternyata isinya berupa setengah jilid
kitab yang isinya cuma lima enam lembar, kertasnya
warnanya kuning dan agak kumala, sepintas dilihat
sudah bisa diketahui bahwa buku itu sudah berusia lama
sekali.
Pada halaman pertama buku itu terlihatlah empat
huruf kuno yang berbunyi, “Ci-Yu-Jit-Ciat” atau Tujuh
kupasan dari Ci-Yu.
Hoa Thian-hong merasa semangatnya bangkit, ia
duduk di dekat meja memasang lampu lentera dan
membuka halaman berikutnya.

Pada ujung halaman tertera tulisan “Bab pertama
menyerang menyebabkan mati”, di bawah judul itu
tertulis tulisan kecil yang rapat dan penuh semuanya
membicarakan tentang bagaimana cara-cara
mengendalikan serangan secara jitu dan tepat.
Halaman berikutnya merupakan gambar-gambar
manusia yang disertai dengan keterangan lengkap
Hoa Thian-hong yang memeriksa sepintas lalu segera
menemukan bahwa isi kitab itu hanya terdiri dari tiga
jurus serangan belaka, semuanya merupakan jurus-jurus
serangan yang dilakukan baik ada kesempatan maupun
tidak ada kesempatan, baik menyerang secara halus
maupun kekerasan, tetapi yang diarah semuanya
merupakan tempat-tempat penting di tubuh manusia,
serangan tidak terbatas pada kepalan belaka, tapi
mencakup pula menyerang dengan telapak, dengan
bacokan maupun dengan totokan jari.
JILID 18: Rasa Cinta Pek Kun Gie
SEMAKIN memperhatikan isi kitab itu Hoa Thian-hong
semakin kesemsem hingga akhirnya ia mengulangi lagi
dari permulaan, sambil mempelajari diam-diam diapun
mulai meraba inti sari dari pelajaran tersebut.
Entah lewat berapa saat lamanya, Hoa In muncul
kembali di dalam kamar itu, ketika melihat pemuda
tersebut belum tidur ia lantas menegur, “Hari sudah pagi
waktu menunjukkan kentongan kelima, apakah Siau
Koan-jin belum tidur??”

“Ehmmm, ayam toh belum berkokok”
“Ayam telah berkokok sejak tadi…”
Hoa In dekati meja dan bertanya kembali, “Ilmu silat
apakah itu? Berguna tidak bagi Siau Koan-jin….??”
“Oooh…. suatu ilmu aliran silat yang luar biasa
hebatnya….“
Melihat pemuda itu sedang kesemsem Hoa In-pun
tidak berani mengganggu kembali, ia sediakan air teh
lalu menyingkir ke samping untuk bersemedhi.
Ketika fajar telah menyingsing, pelayan muncul
menghidangkan air teh. Tetapi perhatian Hoa Thian-hong
masih tetap terjerumus di dalam ilmu silat, hingga
akhirnya kepada Bong Pay ia berkata. “Bong toako,
bukankah gurumu telah meninggal dunia hingga toako
tiada orang yang memberi petunjuk? ilmu silat yang di
miliki pengurus perkampunganku ini didapati dari
leluhurku, bila kau punya kegembiraan tak ada salahnya
bila minta petunjuk darinya.”
“Bakatku tidak bagus, watakku berangasan. dan tidak
sabaran, aku takut pengurus tua merasa tidak sabar
untuk memberi petunjuk kepadaku.”
“Bocah ini jujur dan gagah,” pikir Hoa In dalam hati,”
bila aku bisa mendidiknya secara baik-baik. akhirnya ia
akan menjadi seorang pembantu yang baik buat Siau
Koan-jin.”

Agaknya semua persoalan yang ia pikirkan hanya
ditujukan demi kebaikan majikan mudanya. berpikir
sampai disana dengan senang hati ia lantas berkata,
“Engkoh cilik. asal kau mau belajar akupun dengan
senang hati akan menurunkan kepandaian silatku
padamu.”
Hoa Thian-hong jadi sangat girang mendengar
perkataan itu, ujarnya, “Selama berkelana di dalam dunia
persilatan, ilmu silat adalah merupakan senjata yang
paling ampuh, setiap saat kemungkinan besar kita bisa
dikerubuti oleh musuh dalam jumlah yang lebih banyak,
mari kita mulai berlatih sekarang juga, jangan sampai
membuang waktu dengan percuma”
Itu hari kecuali di tengah hari pergi ‘lari racun’,
sepanjang waktu Hoa Thian-hong mengurung diri di
dalam kamar sambil mempelajari ketiga jurus serangan,
ampuh itu, setelah dipertimbangkan berulang kali
akhirnya ia ambil keputusan, ilmu tadi baru akan
diwariskan kepada Bong Pay setelah ia dapat menguasai
kepandaian tersebut.
Malam harinya rombongan melanjutkan perjalanan
tinggalkan kota Wi-Im menuju ke selatan, seperti semula
keempat puluh orang pengawal golok emas berangkat
lebih duluan dan menanti di kota paling depan, sedang
Jin Hian serta Hoa Thian-hong sekalian enam orang
menyusul dari belakang.
Rantai besi yang didapatkan dari leher Bong Pay itu
oleh Hoa In telah dibikinkan sebilah pedang raksasa yang

amat besar, ketika Hoa Thian-hong menjajal senjata
tersebut terasalah olehnya meski tidak seberat pedang
baja miliknya yang hilang di markas besar perkumpulan
Sin-kie-pang, tetapi benda itu secara paksa masih dapat
menahan getaran tenaga dalamnya hingga tidak sampai
patah.
Hari itu tibalah mereka di kota Ko-Yu dan bermalam
disitu. Bong Pay dengan berlagak hendak membeli
barang di kedai, seorang diri ternyata telah menyusup ke
dalam kuil ‘Tiong-goan-koan’ milik perkumpulan Thongthian-
kauw, karena para jago lihaynya telah ditarik
pulang semua ke kota Lang-An ditambah pula rasa
dendamnya yang berkobar-kobar, setelah melepaskan
semua perempuan yang disekap di dalam kuil itu, di
tengah hari bolong ia segera melepaskan api dan
membakar pula kuil itu hingga hancur sama sekali.
Menanti Hoa Thian-hong mengetahui kejadian ini,
sudah tak sempat lagi baginya untuk mencegah
perbuatan itu. Melihat kenyataan bahwa dendamnya
dengan pihak Thong-thian-kauw kian hari kian
bertambah dalam hati pemuda itu hanya bisa mengeluh
sambil tertawa getir.
Suatu senja rombongan Jin Hian sekalian telah
menyeberangi sungai Tiangkang dan menginjakkan
kakinya di wilayah Kanglam suasanapun seketika
berubah sama sekali.
Tampak Cu Goan-khek, Seng Sam Hau. Siang Kiat
serta seluruh jago yang terpandang dalam perkumpulan
Hong-im-hwie hadir semua jadi satu rombongan, di

samping itu terdapat pula lima puluh orang jago lainnya
termasuk keempat puluh pengawal golok emas maka
rombongan Hong-im-hwie yang berkumpul ditepi sungai
meningkat jumlahnya jadi beberapa ratus orang.
Setelah mendarat barisan berangkat memasuki kota
Ceng-kang-shia, suara derap kaki kuda yang ramai
bergema bagaikan guntur di tengah hari, pasir dan debu
beterbangan memenuhi angkasa seolah-olah medan
pertempuran yang sedang melangsungkan pertumpahan
darah. Hoa Thian-hong bertiga yang berada diantara
rombongan besar itu merasakan dirinya bagaikan sebuah
sampan kecil di tengah amukan ombak, sekalipun nyali
pemuda itu amat besar tak urung gelisah juga dibuatnya.
Setelah masuk ke dalam kota, pasukan besar
perkumpulan Hong-im-hwie itu behenti di depan sebuah
bangunan rumah yang besar dan megah, semua orang
loncat turun dari kuda dan mengiringi Jin Hian masuk ke
dalam rumah.
Tiba-tiba Jin Hian menghentikan langkahnya, kepada
para pengiring disisinya ia berseru, “Hoa kongcu akan
ditempatkan dimana?”
“Lapor toako” sahut seorang pria setengah baya,
“siauwte mengosongkan ruang barat tempat itu sengaja
kami sediakan untuk Hoa Kongcu..”
Jin Hian mengangguk, sambil berpaling ke arah Hoa
Thian-hong ujarnya, “Loo-te, bila pelayanan kurang
memadai harap kau suka secara langsung mencari aku.”

“Terima kasih atas perintahmu!”
Seorang pria baju hijau segera maju dan memberi
hormat ujarnya, “Hoa kongcu, silahkan ikut diriku menuju
ke ruang barat untuk beristirahat….!”
Hoa Thian-hong memberi hormat kepada Jin Hian lalu
mengikuti di belakang pria tadi menuju ke ruang barat,
disana empat orang pelayan perempuan telah siap
menyambut kedatangannya.
“Aku bernama Lie Sim” ujar pria baju itu
memperkenalkan diri, “aku mendapat tugas untuk
melayani kongcu. bila kau ada permintaan harap kongcuya
suka sampaikan kepadaku”
“Terima kasih!”
Lie Sim memberi hormat dan mengundurkan diri dari
ruang barat.
Ruangan itu merupakan sebuah bangunan yang
tersendiri, bangunannya luas dengan suasana yang
tenang, setelah memandang sebentar sekitar tempat itu
Hoa In berkata, “Rupanya Jin Hian akan berdiam agak
lama ditempat ini, kalau ditinjau dari sikapnya mungkin ia
tiada maksud untuk meneruskan perjalanannya menuju
ke selatan”
Melihat kakek itu murung bercampur kesal, Hoa Thianhong
segera menghibur. katanya, “Persoalan ini
merupakan suatu masalah besar yang akan merubah
situasi di dalam dunia persilatan, banyak sekali masalah

yang pelik tercakup dalam soal itu dan tidak dipahami
oleh kita, tetapi toh kita sudah sampai disini, marilah kita
hadapi setiap perubahan dengan sikap tenang tak perlu
kita terlalu merisaukan akan soal ini”
“Aku amat merisaukan keselamatan dari Siau Koanjin,”
Hoa Thian-hong tersenyum. “Berjuang demi
menegakkan keadilan ibaratnya bekerja sebagai
pengawal barang kiriman. setiap hari harus
bergelimpangan di ujung senjata dan adu kepalan, soal
bahaya sudah bukan kejadian yang asing lagi bagi
manusia macam kita ini”
Ia berhenti sebentar untuk tukar napas, lalu berpaling
tampaknya, “Bong toako, siaute mempunyai tiga jurus
ilmu totokan, bagaimana kalau kita pelajari secara
bersama?”
Dengan cepat Bong Pay menggeleng. “Sebelum
pertemuan besar Pek Beng Hwee, suhu secara terburuburu
telah turunkan ilmu kepandaian andalannya ‘Pek
Lek-ciang’ kepadaku itu waktu usiaku masih terlalu kecil
dan dasarku amat cetek ditambah pulu otakku bebal,
sekalipun secara dipaksakan aku masih ingat permainan
ilmu telapak itu namun belum pernah kepandaian tadi
kupelajari secara baik. setelah mendapat petunjuk dari
pengurus tua beberapa hari belakangan ini pikiranku
terasa bertambah terbuka, aku ingin melatih dulu ilmu
telapak milik suhuku sehingga matang, kemudian baru
mempelajari ilmu silat yang lain.”
“Rangkaian ilmu telapak itu merupakan kepandaian
ampuh dari Pek-lek-sian, sewaktu dia berkelana dan

angkat nama di dalam dunia persilatan” sambung Hoa In
cepat, “bila ilmu tersebut bisa dilatih hingga mencapai
puncak kesempurnaan, sama saja kau bisa menjagoi
kolong langit tanpa tandingan menurut penilaianku
memang sudah sepantasnya kalau ilmu silat dari
perguruan sendiri dilatih dulu sampai matang.”
Hoa Thian-hong mengangguk, ujarnya kemudian,
“Mara bahaya setiap kali akan muncul dijalan sebelah
muka, kita harus berusaha sekuat tenaga untuk
mencegah jangan sampai peristiwa dalam pertemuan Pek
Beng Hwe terulang kembali, mari kita gunakan waktu
sebaik-baiknya untuk menggembleng diri!”
“Tapi dengan andalkan kita beberapa orang…..” tetapi
setelah dilihatnya raut wajah majikan kecilnya
menunjukkan kebulatan tekadnya, ucapan yang telah
meluncur keluar segera ditelan kembali.
Dalam ruang barat tersedia empat orang pelayan
perempuan yang khusus untuk melayani kebutuhan
beberapa orang itu, Hoa In memandang majikannya
bagaikan barang mustika, semua keperluannya masih
tetap dilayani sendiri olehnya, selesai bersantap Hoa
Thian-hong mengunci diri kembali di dalam kamar untuk
mendalami ilmu ‘Ci Yu Jit Ciat’ sedang Bong Pay di bawah
mengawasi Hoa In berlatih ilmu telapak diluar halaman.
Meskipun pelayan tua itu tidak mengerti akan jurus
silat dari ilmu telapak Pek-Lek-ciang, namun dengan
pengetahuannya yang luas setiap kali Bong Pay
mengalami kesulitan ia dapat memecahkannya secara
jitu.

Ketika senja telah menjelang dan ketiga orang itu
sedang bersantap, tiba-tiba Lie Sim datang melapor
katanya ada orang mohon bertemu.
Setelah menanyakan raut wajah tamunya, Hoa Thianhong
buru-buru munculkan diri di depan pintu untuk
menyambut kedatangan tamunya. Yang datang
berkunjung semuanya terdiri dari tiga orang- mereka
adalah Ciong Lian-khek, Chin Giok-liong serta seorang
tauto jubah putih berikat kepala perak.
Ciong Lian-khek dengan pedang tersoren di punggung
ujung baju sebelah kosong kegagahannya masih nampak
seperti sedia kala, Cuma sorot matanya memancarkan
cahaya berapi api, seakan-akan ia sedang merasa amat
gusar.
Hoa Thian-hong segera memburu maju ke depan dan
memberi hormat kepada Ciong Lian-khek. Jago buntung
itu menahan badannya sambil berseru, “Mari kita
berbicara di dalam kamar saja”
Hoa Thian-hong mengangguk dan menoleh ke arah
tauto tua berambut putih itu, sambil memberi hormat
katanya, “Toa suhu, baik-baikkah kau? boanpwee
mengira kau si orang tua telah meninggalkan diriku”
Tauto berambut putih itu tertawa ramah. “Akupun
merupakan salah seorang rekan dari mendiang ayahmu,
setelah kau punya keberanian untuk menghadapi
kekacauan di depan mata, kenapa aku musti sayang
dengan rongga badanku yang kosong ini??”

Hoa Thian-hong tersenyum, ia gandeng tangan Chin
Giok-liong dan naik ke atas undak-undakan, mereka
berpandangan sambil tersenyum, semua rasa kangen
seketika lenyap dalam senyuman itu.
Setelah semua orang ambil tempat duduk Hoa In
mengamat amati tauto berambut putih itu beberapa
kejap, tiba-tiba teriaknya dengan suara keras, “Eeei….toa
suhu, bukankah kau adalah Cu In Taysu??”
“Sedikitpun tidak salah. aku adalah Cu In” sahut Tauto
tua itu sambil tertawa, “Loo Koan-kee (pengurus tua)
ilmu sakti Sau-yang-ceng-kiemu sudah hampir memadahi
kehebatan dari Hoa Tayhiap tempo dulu, hal ini patut
dibanggakan dan dipujikan.”
“Aaaat, hamba telah tua,” sambil berkata pengurus
she-Hoa itu melirik sekejap ke arah Hoa Thian-hong,
secara lapat-lapat, wajahnya terlintas rasa murung yang
mendalam.
Cu In Taysu termenung beberapa saat lamanya. Tibatiba
ia menghela napas dan berkata pula, “Melihat kau
berdiri di belakang keponakan Hoa tanpa terasa
terbayang kembali olehku akan Hoa Taybiap dimasa yang
silam, waktu itu dimana kalian berdua muncul Hoa
Tayhiap bagaikan rembulan di langit, memberikan
suasana tenang dan damai bagi setiap orang, kau yang
berdiri di belakangnya menunjukkan sikap yang gagah
dan berwibawa. Kini justru keadaan itu malah sebaliknya,
majikan mudamu ini kokoh dan kebal laksana sebuah

bukit. sebaliknya kau berwajah murung, kesal dan tidak
tenteram. Aaaai…”
Helaan napas itu mengandung arti yang sangat
mendalam, tiba-tiba ia membungkam.
Teringat akan majikannya, Hoa In tertunduk dengan
wajah sedih. sambil menghela napas katanya, “Kejadian
yang telah lampau tak akan kembali lagi, meskipun Siau
Koan-jin memiliki kecerdasan yang luar biasa, lapi betapa
hebatnya musuh yang harus dihadapi, mungkinkah
dengan tenaga kita beberapa orang keadilan bila
ditegakkan kembali? dan dia,.„ ternyata tak mau
mendengarkan nasehatku..”
Diam-diam Hoa Thian-hong mengamati raut wajah
semua jago. Ia lihat Cu In Taysu menunjukkan raut
wajah yang sedih, Ciong Lian-khek tenang bagaikan air
telaga, sedikitpun tidak menunjukkan perubahan apapun.
Chin Giok-liong juga tenang dan alim bahkan Bong Pay
yang biasanya binalpun saat itu bungkam dalam seribu
bahasa.
Tanpa terasa ia lantas berpikir di dalam hati, “Masa
depan amat suram. mereka semua tidak mempunyai rasa
percaya pada diri sendiri, tapi karena aku seorang meski
tahu bukan tandingan mereka paksakan diri untuk
muncul pula di gelanggang, sikap ini walaupun patut
dihargai tetapi berjuang tanpa semangat darimana bisa
menyelesaikan persoalan??”
Kendati dalam hati merasa kesal tapi perasaan itu
tidak sampai diperlihatkan ditempat luaran, sambil

tertawa nyaring ujarnya, “Hoa In, bukankah tempo dulu
kau adalah sahabat karib dari Toa suhu ini,kenapa
sewakiu berjumpa muka di tengah jalan tempo hari,
kalian telah saling bertempur??”
“Dahulu kepala taysu gundul kelimis dan kini
memelihara rambut, dulu senjata yang dipergunakan
adalah toya Pat-Poo sian-ciang sedang kini yang dipakai
adalah senjata sekop bergigi. dulu sekarang bagaikan
dua orang yang berbedi, dari mana aku bisa ingat??”
Cu In Taysu tertawa sedih. “Sejak bertempur di Pak
Beng, sahabat karib dan rekan2 seperjuangan banyak
yang mati binasa, aku yang berhasil melepaskan diri dari
maut sungguh merasa tak punya muka untuk hidup
sebagai manusia”
Mendengar pembicaraan yang berlangsung selalu
gagal untuk membangkitkan semangat orang, Hoa Thianhong
segera tertawa lantang dan berkata, “Locianpwee,
meskipun aku tidak becus tetapi aku rela memberikan
sebutir batok kepalaku kepada kawanan manusia laknat
itu bila cianpwee sekalian pada mengundurkan diri dari
dunia persilatan semua hingga aku jadi sebatang kara,
bukankah kawanan durjana itu akan mentertawakan kita
sebagai orang-orang pengecut??”
Tertegun hati Cu In taysu mendengar perkataan ini,
sambil tertawa ia lantas berkata, “Ucapan Hoa Si-heng
sedikitpun tidak salah, bagaimanapun juga aku harus
berbuat sesuatu hingga bisa melegakan hati para jago
yang telah berpulang”

Hoa Thian-hong tersenyum, sambil menuding ke arah
Bong Pay dia memperkenalkan, “Bong toako ini adalah
anak murid dari Pek-lek Sian cianpwee, semoga taysu
serta Cing-lian cianpwee suka menyayangi dirinya dan
sering memberi petunjuk yang berguna.”
“Menunggu bimbingan dari cianpwee berdua!” seru
Bong Pay sambil bangkit berdiri.
Cu In taysu menghela napas panjang. “Aaai….!
Sepasang dewa dari dunia persilatan adalah orang-orang
yang penuh emosionil harap hiantit jangan memandang
kami sebagai orang luar”
Ketika itulah Lie Sim muncul kembali di dalam ruangan
sambil membawa sepucuk surat, sambil bongkokkan
badan memberi hormat katanya, “Lapor Hoa kongcu, dari
pihak perkumpulan Sin-kie-pang ada sepucuk surat yang
disampaikan kepadamu!”
“Oooh….perkumpulan Sin-kie-pang pun sudah kirim
orang kesini??” pikir pemuda itu dengan alis berkerut.
Ketika surat itu dibuka dan dibaca isinya dengan cepat
hatinya terasa tercekat, ternyata isi surat itu amat
singkat sekali, yakni berbunyi demikian,
“Ditujukan kepada Hoa Kongcu pribadi Mengharapkan
kedatangan saudara untuk menghadiri perjamuan kecil,
sangat menantikan kedatangan saudara.
Tertanda,

Pek Siau-thian”
Hoa Thian-hong serahkan itu ke tangan Cu In taysu
sekalian, kemudian kepada Lie Sim ujarnya, “Beritahu
kepada pengantar surat itu, aku akan tiba pada saatnya!”
Lie Sim mengiakan dan mengundurkan diri.
“Aaaah, aneh sekali! Kenapa Pek Siau-thian bisa
sampai pula di tempat ini??” seru Hoa In dengan nada
tercengang.
“Perkumpulan Sin-kie-pang, Hong-im-hwie serta
Thong-thian-kauw adalah tiga kekuatan besar yang
menguasai wilayah Tionggoan dewasa ini, bila Hong-imhwie
terbentur sengketa dengan pihak Thong-thiankauw,
tentu saja Pek Siau-thian juga hadir di tempat
kejadian, hanya kedatangannya yang begini pagi
membuat orang lantas bisa menduga bahwa latar
belakangnya tidaklah sederhana”
“Bila Jin Hian tidak bersekongkol dengan Pek Siauthian,
tak mungkin ia berani membawa pasukan
besarnya menyerang ke selatan” terdengar Ciong Liankhek
berseru, “Siapa tahu kalau mereka berdua telah
berkomplot dan sama-sama kirim jago untuk menyapu
pihak Thong-thian-kauw”
“Akupun berpendapat demikian” sambung Cu In taysu.
Hoa Thian-hong segera bangkit berdiri dan memberi
hormat ujarnya, “Cianpwee berdua, engkoh berdua.

harap kalian suka menunggu sebentar disini dan aku
akan pergi sebentar”
“Siau Koan-jin, kau benar-benar akan penuhi janji??”
seru Hoa ln
“Aku bahkan ingin bertemu dengan Thian Ik-cu,
sayang Ia tak mungkin akan mengundang diriku”
“Kalau mau pergi marilah kita pergi bersama-sama,
daripada seandainya pembicaraan tidak cocok dan terjadi
pertarungan, kita harus menelan kekalahan yang
mengenaskan”
“Tak usah! Kenyataan telah menunjukkan bahwa pihak
lawan lebih kuat daripada kita, seandainya benar terjadi
pertarungan kita sudah pasti akan menderita kerugian,
bila terlalu banyak orang yang pergi malahan suasana
terasa kikuk”
Cu In taysu serta Ciong Lian-khek cuma bisa saling
berpandangan dengan mulut membungkam, dalam
keadaan begini mereka sendiripun tak tahu apa yang
musti dilakukan.
Tiba-tiba Bong Pay mendeprak meja sambil berseru
dengan nada gegetun, “Aaai! ilmu silat kita tak becus.
keadaan begini jauh lebih enak mati dari pada hidup”
“Aku toh pergi memenuhi janji dan bukan pergi
berkelahi,” hibur Hoa Thian-hong dengan suara lembut,
..Bagaimana kalau Bong toako ikut siauwte pergi
menjumpai orang itu??”

“Tidak. aku tak mau pergi. daripada nantinya cuman
bikin malu dirimu saja!”
Diam-diam Hoa Thian-hong menghela napas panjang
setelah berpamitan dengan semua Hoa In ambil pedang
bajanya di dalam kamar lalu mengikuti dari belakang.
Sekeluarnya dari pintu besar, tiba-tiba seseorang
menyongsong ke depan sambil memberi hormat, ketika
Hoa Thian-hong mengenali Orang itu sebagai Oh Sam ia
segera berdiri tertegun, tegurnya, “Apakah nona kalian
juga telah tiba di wilayah Kanglam??”’
Oh Sam mengangguk tidak menjawab Dari pihak
perkumpulan Hong-im-hwie segera muncul orang yang
menyediakan kuda Hoa Thian-hong loncat naik ke atas
punggung kuda dan bersama Oh Sam berlalu disitu.
Tiga ekor kuda dengan cepatnya lari menuju keluar
kota dan tiba ditepi sungai, setelah berlarian beberapa
saat ditepi sungai sampailah mereka di depan
rombongan perahu yang berjajar2 sepanjang pantai
sejauh setengah lie lebih, pada ujung seratus buah
perahu itu berkibar sebuah panji kuning yang
bersulamkan huruf ‘Pek’ yang amat besar.
Diam-diam Hoa Thian-hong merasa terperanjat.
pikirnya, “Oooh … rupanya baik perkumpulan Sin-kiepang
maupun pihak Hong-im-hwie telah mengerahkan
seluruh pasukannya datang kemari, ditinjau dari keadaan
tersebut jelaslah sudah bahwa kedua buah perkumpulan
itu telah bersatu padu untuk bekerja sama membasmi

Thong-thian-kauw, tidak aneh kalau Jin Hian melakukan
perjalanan tanpa menyembunyikan jejaknya, dan diapun
tiada rencana untuk melakukan sergapan…”
Oh Sam membawa kedua orang itu menuju ke pantai
dan naik ke atas sebuah perahu. “Hoa kongcu telah
tiba!” dari ujung geladak seseorang berseru nyaring.
Suara itu dengan cepat disampaikan pula secara
berantai hingga kedatangan Hoa Thian-hong telah
diketahui oleh semua orang dalam waktu yang amat
singkat.
“Organisasi perkumpulan Sin-kie-pang paling ketat dan
peraturannya paling sempurna,” pikir Hoa Thian-hong
dalam hati. “Kekuatan mereka luar biasa sekali dan tak
boleh dipandang enteng”
Dalam pada itu Oh Sam telah membawa kedua orang
itu melewati beberapa buah perahu perang dan naik ke
atas sebuah perahu besar yang berlabuh di tengah
sungai, ketika pemuda itu baru saja tiba di atas geladak
tampaklah horden pintu perahu itu tersingkap dan
sesosok bayangan manusia langsung menubruk ke arah
Hoa Thian-hong.
Dengan ketajaman matanya pemuda itu dapat
mengenali bayangan tadi sebagai Pek Kun-gie, sebelum
ingatan kedua berkelebat dalam benaknya, tahu-tahu
sepasang telapaknya sudah kena ditangkap oleh gadis
itu.

Dengan wajah bersemu merah dan memancarkan
cahaya berseri-seri Pek Kun-gie berseru sambil tertawa,
“Aku melihat dirimu sewaktu kau masuk ke dalam kota,
tapi waktu itu aku tidak memanggil dirimu.”
Merah jengah selembar wajah Hoa Thian-hong, dari
balik tubuh gadis itu ia lihat seorang kakek tua berjubah
ungu sambil bergendong tangan dan wajah dihiasi
senyuman melangkah keluar dari ruangan.
Buru-buru ia tarik kembali tangannya sambil menjura,
katanya, “Loo pengcu, sejak berpisah baik-baikkah kau??
Aku orang she Hoa menghunjuk hormat bagimu”’
Kakek tua itu bukan lain adalah Pek Siau-thian, ketua
dari perkumpulan Sin-kie-pang yang nama serta
pengaruhnya secara lapat-lapat jauh di atas kehebatan
dari Jin Hian maupun Thian Ik-cu.
Dahulu ia pernah berjumpa dengan si anak muda itu,
sekarang setelah dilihatnya Hoa Thian-hong yang berdiri
di hadapannya jauh berbeda dengan keadaan Hong-po
Seng dahulu, bukan saja orangnya bertambah tinggi
kekar terutama sekali gerak-geriknya yang begitu gagah
dan mencerminkan kewibawaannya yang amat besar
membuat jago tua she-Pek ini diam-diam bergetar hati
kecilnya.
Dengan sorot mata yang tajam Pek Siau-thian
mengamati pemuda itu dari ujung kepala hingga ujung
kaki, kemudian sambil tersenyum ujarnya, “Tidak leluasa
bagi kita untuk bercakap-cakap disini. Hati-hati! Silahkan

masuk ke dalam ruangan untuk minum air teh”.
Hoa Thian-hong adalah seorang pemuda yang berjiwa
besar, walaupun mereka baru berpisah dua tahun namun
terhadap peristiwa ditancapkannya jarum racun Suo-huntok
ciam, di atas bahunya telah dilupakan sama sekali
olehnya. habis memberi hormat ia segera melangkah
masuk ke dalam ruang perahu.
Pek Kun-gie dengan gerak-gerik yang manja
membuntuti terus di sisi tubuhnya, senyuman menghiasi
wejahnya yang cantik membuat Hoa In diam-diam
menggerutu terus.
Ruang perahu itu amat lebar dan luas, perabot dan
perawatan yang diatur dalam ruangan itu nampak indah
dan megah. sebuah meja perjamuan dengan sepoci arak
dan empat lima macam sayuran telah tersedia disana,
sepintas memandang keadaan mirip sekali dengan
keadaan dalam rumah tangga biasa. sedikitpun tidak.
menunjukkan sikap seorang tamu terhadap sesama
orang kangouw.
“Yaya… baik-baikkah kau?” seorang dayang kecil yang
cantik muncul dari balik ruangan dan memberi hormat.
Melihat dayang itu adalah Siauw Leng, Hoa Thianhong
segera ulapkan tangannya sambil tertawa.
“Budak nakal, tak usah banyak adat,” Siauw Leng
bangkit dan buru-buru tarikkan kursi bagi tamunya.

Setelah semua orang ambil tempat duduk Pek Kun-gie
baru melirik sekejap ke arah pedang baja yang tersoren
di pinggang Hoa In, dengan mata terbelalak serunya,
“Eeei……. kapan sih secara diam-diam kau telah
menyusup ke markas besar lagi??”
Hoa Thian-hong tersenyum. “Dia bernama Hoa In,”
katanya, dahulu ikut kakekku dan sekarang merupakan
satu-satunya sanak yang sangat menyayangi siaute,
pedang baja itu adalah pemberian darinya”
“Aku ingin lihat” seru Pek Kun-gie manja.
“Siau Koan-jin benar-benar kehangatan,” pikir Hoa In
di dalam hati, “katanya ia punya hubungan yang sangat
akrab dengan nona Chin Wan-hong, diapun main kasakkusuk
dengan Giok Teng Hujien, sekarang kenapa diapun
punya hubungan yang begitu akrab dengan puteri Pek
Siau-thian?? Sungguh membingungkan sekali…….”
Dalam hati berpikir demikian, tapi diluaran ia cabut
keluar pedang baja itu dan diangsurkan ke depan.
Sebetulnya ia kenal baik dengan Pek Siau-thian yang
hadir disitu lagipula tingkat kedudukan mereka berbeda,
maka sekalipun sudah bertemu mereka sama-sama
berlagak tidak kenal, bahkan melirik sekejappun tidak..
Sementara itu Pek Kun-gie telah menerima pedang
baja tadi, sesudah ditimang2 sebentar ujarnya sambil
tertawa, “Oooh….. kiranya pedang ini cuma enam puluh
dua kati, kalau begitu beratnya lebih ringan enam kati
setengah”

“Pedang baja yang kumiliki tempo dulu terbuat dari
besi murni yang tak mempan dibacok golok mustika
maupun pedang mustika,” ujar Hoa Thian-hong
menjelaskan, “sedang pedang ini mengandung tiga
bagian besi campuran, tentu saja jauh berbeda satu
sama lainnya”
“Lain hari bila aku telah kembali ke markas besar,
pedang bajamu itu pasti akan kuusahakan untuk
merebutnya kembali”
“Ciu It-bong pikirannya terlalu picik, dia ingin
mencabut jiwamu. maka lebih baik janganlah kau usik
dirinya…”
“Huuuh…. akan kubikin dia mati kelaparan terlebih
dulu!” seru Pek Kun-gie sambil mencibirkan bibirnya,
selesai berkata ia tertawa cekikikan dan tunduk tersipu
sipu.
Pek Siau-thian yang selama Ini hanya duduk
membungkam di sisi meja, setelah menyaksikan keadaan
putrinya itu tanpa terasa ia lantas berpikir, “Pedang besi
macam itupun dipermainkan dengan begitu sayang…..
rupanya budak ini sudah terpikat hatinya kepada Hoa
Thian-hong”
Apa yang dipikirkan jago tua ini sedikitpun tidak salah,
memang begitu hubungan cinta antara muda-mudi. Bila
tidak ada rasa cinta maka sekalipun intan permata di
depan mata belum tentu ia sudi memandang sekejappun,
sebaliknya sudah jatuh cinta maka meskipun hanya sebiji

kancing di atas bajupun akan berubah jadi amat
berharga.
Pek Kun-gie adalah seorang gadis yang tinggi hati,
setelah mengalami pelbagai liku liku secara mendadak ia
jatuh cinta terhadap diri Hoa Thian-hong, sebagai gadis
yang belum pengalaman sama sekali dalam hal bercinta
ia tak pernah berpikir lebih jauh lagi tentang kesulitan2
seseorang bercinta, dia anggap Hoa Thian-hong yang
tidak menunjukkan sikap menampik tentulah berarti
bahwa diapun sudah jatuh cinta pula terhadap dirinya
urusan selanjutnya berarti tiada persoalan lagi
Karena pikiran semacam inilah membuat hubungan
mereka berdua kian lama kian bertambah rapat, sikapnya
terhadap Hoa Thian-hong pun semakin bebas dan
terbuka, ia anggap pemuda itu sebagai sahabat
kentalnya yang paling rapat.
Pek Siau-thian adalah seorang lelaki yang pernah
terjungkal di dalam lautan cinta, melihat putrinya
menanam bibit cinta pada pemuda tersebut hatinya jadi
terkesiap, sambil tertawa paksa segera ujarnya, “Anak
Gie, hormatilah secawan arak kepadanya lalu pergilah
mengontrol daerah sekitar tempat ini.”
Merah jengah selembar wajah Pek Kun-gie, dia angkat
cawan araknya sambil tersenyum ke arah si anak muda
itu, Hoa Thian-hong buru-buru angkat cawan dan
meneguk habis isinya.
Angin berrbau harum berkelebat lewat bagaikan
burung walet Pek Kun-gie mengundurkan diri dan

ruangan itu. Pek Siau-thian segera ulapkan tangannya ke
arah Siauw Leng. dayang cilik itupun segera undurkan
diri.
“Rahasia besar apa sih yang hendak ia bicarakan
dengan diriku?” pikir Hoa Thian-hong di dalam hati
kenapa Pek Kun-gie serta Siauw Leng harus menyingkir
dari sini?”
Melihat Pek Siau-thian tetap membungkam dalam
seribu bahasa, terpaksa kepada Hoa In katanya.
“Pergilah keujuag perahu dan berjaga disitu, sebelum
mendapat ijin dari Pek pangcu siapapun dilarang masuk
ke dalam ruangan”.
“Penjagaan yang diatur di tempat ini toh amat ketat,
siapa yang sanggup menerjang masuk kemari?” bantah
Hoa In dengan rasa tidak senang hati.
Hoa Thian-hong jadi serba salah, dalam keadaan apa
boleh buat terpaksa dengan wajah membesi serunya.
“Kenapa sih kau tak mau menuruti perkataanku? Apakah
aku harus mengundang ayah dan kakekku lebih dahulu?
Hoa In tertegun, dengan sorot mata dingin ia menatap
sekejap ke arah Pek Siau-thian kemudian baru selangkah
demi selangkah mengundurkan diri dari ruangan itu.
Sepeninggalnya Hoa In, Pek Siau-thian baru
tersenyum dan berkata, “Menurut apa yang kuketahui,
ayahmu maupun kakekmu belum pernah bersikap
sedemikian kasarnya terhadap pelayan tua itu.”

Hoa Thian-hong menghela napas panjang. “Kecuali
ibuku dia adalah satu-satunya orang yang paling erat
hubungannya dengan boanpwee, rasa setianya kepadaku
luar biasa dan memandang diri boanpwee lebih berharga
dari jiwanya sendiri, cuma Sayang ia tak mau
mendengarkan perkataanku membuat boanpwee
terpaksa harus bersikap marah lebih dulu….“ Ia tertawa
getir dan geleng kepala.
“Waktu selalu berubah, keadaan sekarang jauh
berbeda dengan keadaan tempo dulu, hal ini membuat
boanpwee merasa bersedih hati”
Pek Siau-thian angkat cawan araknya dan berkata,
“Hiantit adalah seorang pemuda berbakat yang sukar
dibandingkan dengan manusia biasa, persoalan yang
pernah terjadi dimasa yang silam lebih baik tak usah kita
ungkap kembali. Marilah aku hormati secawan arak
untukmu, kemudian aku masih ada satu urusan hendak
dibicarakan dengan dirimu”
“Hoa Thian-hong angkat cawannya dan menghirup
habis isinya, kemudian ia menyahut, “Silahkan pangcu
utarakan persoalanmu itu!”
Pek Siau-thian tarik napas panjang-panjang, dengan
suara dalam ia berkata, “Isteriku adalah seorang
perempuan dari keluarga Thia, baik bakat maupun
budinya sangat mengagumkan. Dua puluh tahun
berselang ia mempunyai nama besar yang sejajar
dengan nama ibumu. orang kangouw sebut mereka
berdua sebagai Bulim Ji-bi atau dua orang cantik dari
dunia persilatan”

“Kalau ibunya tidak cantik dari mana bisa lahir seorang
putri macam Pek Kun-gie yang begitu jelita??” pikir Hoa
Thian-hong dalam hati, “sekalipun tak usah dikatakan hal
ini sudah bisa diduga”
Pek Siau-thian merandek sebentar. lalu sambungnya,
“Keindahan dari isteriku terletak pada budi pekertinya,
tentang raut wajahnya tak usah dibicarakan lagi”
“Bila ada kesempatan dan ada jodoh, boanpwee pasti
akan menyambangi bibi serta mohon petunjuk darinya,”
kata Hoa Thian-hong dengan sikap yang hormat.
Pek Siau-thian menghela napas panjang. “Kami suami
isteri berdua mempunyai dua orang puteri, yang sulung
bernama Soh-gie dan yang bungsu bernama Kun-gie,
mereka berdua adalah saudara kembar yang mempunyai
wajah bagaikan pinang dibelah dua, satu sama lain
sedikitpun tak ada bedanya”
“Boanpwee pernah mendengar tentang persoalan ini
dari mulut Jin Hian” sela si anak muda itu.
Sepasang mata Pek Siau-thian segera memancarkan
cahaya tajam. “Apakah Jin loo-ji menaruh curiga bahwa
puteranya yang tolol itu mati ditangan puteri sulungku
Soh-gie?”
Hoa Thian-hong mengangguk. “la memang mencurigai
puteri sulungmu itu,” jawabnya terus terang.

Sepasang gigi Pek Siau-thian seketika bergemerutukan
keras, matanya melotot dan wajahnya berubah jadi
merah padam. Lama sekali rasa gusar itu baru reda
kembali.
“Kalau ditinjau dari sikapnya yang begitu gusar,
bukankah urusan ini nampak semakin rumit??” pikir Hoa
Thian-hong dengan hati terkesiap.
Terdengar Pek Siau-thian dengan suara dingin berkata
kembali, “Hoa hiantit, lima belas tahun berselang istriku
merasa tidak puas dengan perbuatanku, dalam keadaan
sedih bercampur marah dia telah cukur rambut jadi
pendeta, kedua orang putriku pun dibagi jadi dua, putri
sulung, Soh-gie ikut ibunya masuk ke dalam kuil, selama
lima belas tahun terakhir belum pernah ia tinggalkan
pintu rumah barang selangkahpun jua.”
“Ooooh… sungguh tak nyana toa siocia begitu berbakti
pada orang tua, sungguh mengagumkan” puji Hoa Thianhong
dengan hati bergetar keras.
“Aaaai…. putriku yang bungsu Kun-gie karena sedari
kecil sudah terbiasa manja, sikapnya memang rada
ugal2an, tapi putri sulungku Soh-gie amat alim dan
soleh, tak mungkin ia bisa melakukan perbuatan tercela
semacam ini”
Dengan dada berombak menahan emosi. air muka Pek
Siau-thian berubah jadi dingin dan menyeramkan,
sepatah demi sepatah serunya, “Hiantit, putri sulungku
telah difitnah

Orang secara keji hingga nama baiknya ternoda,
peristiwa ini. merupakan suatu kejadian yang amat
besar, mungkin saja Jin Hian sanggup membunuh diriku,
tetapi akupun percaya masih memiliki kemampuan untuk
membunuh dirinya. namun perduli siapapun yang bakal
hidup, fitnahan ini harus diselesaikan dulu dan noda yang
telah melekat pada nama baik putriku harus dicuci bersih
lebih dahulu! “
Suasana seram dan penuh nafsu membunuh segera
menyelimuti seluruh ruang perahu itu membuat Hoa
Thian-hong merasa bergidik dan bulu romanya pada
bangun berdiri.
“Seandainya nama baik putri bungsuku Kun-gie yang
ternoda, aku tak akan merasa terlalu sedih” ujar Pek
Siau-thian lagi dengan suara seram, “Putri sulungku Sohgie
adalah seorang gadis yang suci dan belum pernah
terjun ke dalam dunia persilatan, karena kesalahanku dia
sudah harus ikut menderita”
Ia tarik napas panjang-panjang lalu melanjutkan,
“Sekalipun aku harus mengikat permusuhan dengan
banyak orang, meskipun aku harus bunuh mati semua
orang yang ada di kolong langit, aku tak rela putri
sulungku itu ternoda oleh sebutir debupun”.
Pikir Hoa Thian-hong jadi goyah, pikirnya, “Ia merasa
berdosa terhadap isterinya maka seluruh rasa kasih
sayangnya dicurahkan kepada putri sulungnya yang
mendampingi sang istri selama ini, bila persoalan
tersebut tidak dibikin jelas sehingga duduknya perkara

jadi terang. dalam dunia persilatan entah bakal berubah
jadi bagaimana?”
Berpikir sampai disatu, dengan wajah serius ia lantas
berkata, “Persoalan tentang miripnya raut wajah
pembunuh itu dengan wajah nona Kun-gie adalah
berasal dari mulut boanpwee atas terjadinya persoalan
ini boanpwee merasa amat menyesal”.
Pek Siau-thian ulapkan tangannya memotong ucapan
tersebut. katanya. “Kalau kau mengatakan mirip, sudah
pasti wajah pembunuh itu mirip sekali dengan putriku
ucapan yang diutarakan anak keturunan keluarga Hoa
tak mungkin salah, tentang soal itu aku sama sekali tidak
menaruh curiga”
Ia berhenti sejenak, lalu dengan suara yang tenang
sambungnya, “Hiantit, seluruh peristiwa itu sudah pasti
diatur oleh seorang yang sangat cerdik, sekalipun Thian
Ik-cu si toosu tua itupun belum tentu mempunyai
kecerdikan sampai begitu tinggi. apa tujuan orang itu
sukar untuk diketahui oleh siapapun. Selama ini kau toh
hanya menceritakan apa yang telah kau lihat, aku sama
sekali tidak mengalihkan rasa gusarku ke atas tubuhmu”
Hoa Thian-hong merasa Pek Siau-thian yang berada di
hadapannya ini tiba-tiba berubah jadi amat tua, kakek itu
kelihatan amat kesal dan mendongkol tapi semua
perasaan itu tak tersalurkan keluar, membuat ia sedih
dan amat menderita.
Dengan pihak Sin-kie-pang boleh dibilang Hoa Thianhong
mempunyai dendam dan sengketa, hubungannya

dengan Pek Kun-gie pun amat kabur sebentar seperti
kawan sebentar seperti lawan. Sekalipun demikian ia
merasa penasaran bila melihat ada orang dibuat
penasaran tanpa bisa berkutik.
Pikirannya dengan cepat berputar, “ia segera teringat
kembali akan Pui Che-giok dayang kepercayaan dari Giok
Teng Hujien itu, dayang tersebut memiliki sebilah pisau
belati yang persis seperti alat yang digunakan untuk
membunuh Jin Bong, Benarkah dayang itu yang
melakukan pembunuhan?? Kalau bukan lalu siapakah
pembunuhnya?? Kecuali saudara kembar, siapa pula
yang memiliki raut wajah mirip Pek Kun-gie??”
Tiba-tiba terdengar Pek Siau-thian berkata dengan
suara tegas, “Hoa-hiantit, pembunuh itu pastilah berasal
dari kalangan kaum lurus dan jelas bukan hasil
perbuatan dari anak murid perkumpulan Thong-thiankauw!!….“
Mula mula Hoa Thian-hong agak tertegun kemudian
dengan pikiran yang tidak tenang dan perasaan penuh
curiga ia berkata, “Siapakah diantara kalangan lurus yang
dapat menggunakan siasat semacam ini?? Pembunuh itu
pernah mengadakan hubungan kelamin dengan Jin Bong,
itu berarti urusan menyangkut nama baik seorang gadis,
siapa yang kesudian melakukan perbuatan hina semacam
ini??”
000O000
Pek Siau-thian mendengus dingin. “Bagi seseorang
yang punya tujuan membalas dendam, sekalipun harus

korbankan jiwapun rela apalagi hanya melakukan
perbuatan semacam itu?? Aku rasa siapapun dapat
melakukan tindakan seperti ini”
Ia berhenti sebentar, lalu sambil tertawa panjang
lanjutnya, “Dalam dunia persilatan pada dasarnya
memang tiada perbedaan antara yang putih dengan yang
hitam, yang kumaksudkan sebagai orang dari kalangan
lurus adalah orang dibalik layar yang mendalangi
terjadinya peristiwa berdarah ini bukanlah seseorang
yang tergabung dalam tiga besar dunia persilatan”
“Lo-pangcu, atas dasar apa kau bisa mengatakan
bahwa pembunuh itu bukan berasal dari pihak Thongthian-
kauw??” seru Hoa Thian-hong dengan alis berkerut.
Pek Siau-thian tertawa seram, “Aku telah mengadakan
janji persahabatan dengan Jin Hian, karena persoalan itu
maka perkumpulan Sin-kie-pang serta Hong-im-hwie
yang keadaannya ibarat api dan air bisa bekerja sama
untuk melenyapkan Thong-thian-kauw lebih dulu,
kemudian baru menentukan nasib sendiri. aku rasa
tentang hal ini Thian Ik-cu pasti memahami sejelas
jelasnya, sekalian dia punya ambisi untuk merajai kolong
langit tapi belum memiliki kekuatan untuk melawan Sinkie-
pang dan Hong Im Hwte. maka dari itu pastilah
sudah dalang di belakang layar dalam peristiwa berdarah
ini bukanlah dirinya!….“
“Oooh….! Kiranya di antara tiga partai besar dalam
dunia persilatan terdapat hubungan yang sensitif, lalu
siapakah pembunuh itu? Kenapa alat untuk melakukan
pembunuhan itu bisa berada di tangan Pui Che-giok itu

mempunyai raut wajah yang mirip sekali dengan dua
bersaudara she-Pek?? Sungguh aneh” pikir Hoa Thianhong
dalam hati.
Setelah berpikir pulang pergi ia tetap merasa bahwa
Pui Che-giok dayang kepercayaan dari Giok Teng Hujien
adalah satu-satunya yang akan ia selidiki. Maka diapun
alihkan pokok pembicaraan ke soal lain, katanya.
“Kedatangan loo-pangcu ke wilayah Kanglam kali ini
apakah sedang bekerja sama dengan Jin Hian untuk
melenyapkan pihak Thong-thian-kauw??”
Pek Siau-thian mengangguk. “Inilah pekerjaan
pertama yang dilakukan kami sejak perkumpulan Sin-kiepang
bekerja sama dengan Hong-im-hwie”.
“Tahu diri tahu keadaan musuh, setiap bertempur
pasti menang, aku rasa apa tindakan Thong-thian-kauw
ternyata pangcu sudah mengetahui bukan??….”
“Andaikata Hiantit adalah Thian Ik toosu tua itu, apa
yang hendak kau lakukan untuk menghadapi situasi
semacam ini?”
Hoa Thian-hong tersenyum. “Siautit tak tahu
bagaimana kekuatan yang sebenarnya dari pihak Thongthian-
kauw, sulit bagiku untuk menjawab pertanyaan ini”.
“Kekuatan dari Sin-kie-pang, Hong-im-hwie serta
Thong-thian-kauw adalah seimbang satu sama lain,
sekalipun berbeda juga sedikit sekali”.

Hoa Thian-hong termenung sebentar lalu menjawab,
“Kalau Thong-thian-kauw harus satu lawan dua sudah
pasti mereka tak akan tahan, bila siautit yang jadi
mereka maka akan kugunakan siasat menggeser pantai
melompati perahu. sebelum Lo-pangcu serta Jin Hian
sempat mendekati kota Leng An. di tengah jalan akan
kuserang lebih dulu salah satu pihak yang terlemah agar
kalang kabut dan pusing kepala..,”
Sambil tersenyum Pek Siau-thian segera gelengkan
kepalanya. “Persoalan mengenai Tiga besar dunia
persilatan selamanya memang tak bisa diraba oleh orang
luar, tindakan yang dilakukan baik oleh Thian Ik-cu, Jin
Hian maupun diriku sendiri sering kali jauh diluar dugaan
orang lain!…”
“Lo-pangcu, bagaimana kalau kau terangkan cara
kerja kalian hingga membuka pikiran boanpwee yang
bebal” seru Hoa Thian-hong dengan sepasang alis
berkerut.
Pek Siau-thian tertawa. “Tiga golongan besar berdiri
saling bermusuhan, siapa yang turun tangan lebih dulu
dialah yang bakal rugi, siapapun tidak ingin
menguntungkan pihak yang lain sebelum tiba pada
waktunya untuk adu senjata siapa yang mencari garagara
lebih dulu dialah yang akan bertindak sebagai
pelopor, keadaan ini selalu tetap dan tak akan berubah
untuk selamanya”
“Bila Thian Ik-cu tidak mencari siasat bagus untuk
menghadapi situasi semacam ini, dan andaikata pasukan

musuh sudah berada di depan mata, bukankah waktu itu
keadaan sudah terlambat??”
“Pertarungan antar perkumpulan jauh berbeda dengan
pertempuran antar dua negara, sekalipun pasukan sudah
berada di depan mata itu bukan berarti pertempuran
segera akan berlangsung, mungkin saja ketika tiba pada
waktunya keadaan sama sekali berubah karena mungkin
aku akan bekerja sama dengan Thian Ik-cu untuk
melenyapkan perkumpulan Hong-im-hwie, mungkin juga
Jin Hian bekerja sama dengan Thian Ik si toosu tua itu
untuk merontokkan perkumpulan Sin-kie-pang”
“Jika demikian keadaannya, bukankah itu berarti
bahwa mereka sudah mempermainkan kesetiaan kawan
serta janji yang telah diucapkan” pikir Hoa Thian-hong
dalam hati. “Rupanya mereka lebih mementingkan
keuntungan pribadi dari pada hubungan persahabatan!”
Terdengar Pek Siau-thian tertawa keras dan berkata
lebih lanjut, “Urusan yang ada di dunia bagaikan orang
bermain catur, perubahan yang kemudian terjadi sukar
diduga sejak semula. mungkin saja setelah pasukan dari
tiga golongan bertemu satu sama lainnya tiba-tiba tujuan
berubah dan ditujukan untuk menghadapi Hiantit, siapa
tahu bukan??”
Hoa Thian-hong merasa terkejut, tapi diluaran sambil
tertawa paksa katanya, “Loo pangcu, kenapa kau musti
menakut-nakuti diri boanpwee dengan ucapan semacam
itu?? Boanpwee toh tidak lebih hanya seorang pemuda
yang baru saja terjun ke dalam dunia persilatan, mana
begitu tinggikah perhatian kalian pada diriku??”

“Pendapat hiantit keliru besar” kata Pek Siau-thian
sambil tertawa ewa, “Ibumu masih hidup di kolong langit
sedang hiantit merupakan mustika dalam kolam. cukup
berbicara dari keadaan sekarang sudah jelas
menunjukkan bahwa pengaruhmu amat besar tiap hari
pengaruhmu itu berkembang semakin luas, bila dibiarkan
berlarut larut maka keadaanmu akan jadi amat
berbahaya”
Peluh membasahi seluruh tubuh Hoa Thian-hong,
selanya, “Ibuku tawar terhadap perebutan nama dan
kedudukan, sedangkan boanpwee masih muda dan tiada
berpengalaman hanya dibantu oleh seorang pelayan tua
masa dikatakan pengaruhnya berkembang, pengaruh apa
yang berkembang??”
Ucapan Pek Siau-thian tiba-tiba berubah jadi amat
santai, ia tertawa dan berkata, “Mega membuntuti naga
angin membuntuti harimau, betulkah hian-tii seorang
diri??”
Dia angkat cawan araknya dan berkata lebih lanjut
sambil tertawa, “Hiantit, bila tiga golongan besar
mengurung kau ditempat ini maka tidak sampai tiga
bulan seluruh jago lihay dari kalangan lurus baik itu kenal
atau tidak mereka akan berduyun-duyun datang kemari.
waktu itu tiga golongan akan bekerja sama dan
membasmi mereka semua dari muka bumi, bukankah hal
ini bagus sekali??”
Makin didengar Hoa Thian-hong merasa hatinya
semakin terkejut, pikirnya di dalam hati, “Ucapannya

memang sangat masuk diakal, Cu Tong locianpwee serta
Ciong Lian-khek beberapa orang jago bukankah
menguatirkan keselamatanku karena mengingat di atas
nama baik ayahku?? Seandainya aku benar-benar
terjatuh ke tangan pihak musuh, Para jago dari kalangan
lurus sudah pasti tak akan berdiam diri belaka, bila
mereka munculkan diri untuk menolong aku niscaya
perbuatan mereka itu sama artinya terjerumus dalam
siasat lawan, bahkan kemungkinan besar jiwa ibukupun
akan terancam.”
Ia adalah seorang pemuda yang cerdas, setelah
berpikir sebentar ia segera menyadari akan lihaynya
kejadian itu, iapun tahu Pek Siau-thian sengaja menakutnakuti
dirinya tentulah didasari tujuan tertentu, maka
sambil menenangkan hatinya ia berkata, “Terima kasih
atas petunjuk yang diberikan oleh Lo-pangcu, bila aku
boleh bertanya bagaimanakah pendapatmu mengenai
cara untuk menghindarkan diri dari bencana ini??”
Pek Siau-thian angkat kepala dan tertawa terbahak
bahak. “Haaaah….. haaaaah….. haaaah……. kalau
memang hiantit bertanya secara terus terang, akupun
akan beberkan pendapatku sebagaimana yang
kupikirkan, satu-satunya jalan yang terbaik bagimu
adalah pergi sejauh-jauhnya dari sini dan jangan
mencampuri lagi urusan pertikaian ini”
“Bila perahu berada di tengah sungai, maju atau
mundur adalah sama-sama jauhnya, boanpwee tak
mungkin bisa lolos dari sini lagi”

“Kalau memang demikian adanya maka lebih baik
hiantit secepatnya menyatakan sikap dan secara resmi
mengumumkan bahwa kau telah bergabung dengan
salah satu kelompok diantara tiga golongan besar. Hanya
berbuat demikian saja kau baru dapat menghindari
gencetan dari tiga pihak”
“Kalau didengar dari pembicaraan tersebut, rupanya ia
suruh aku bergabung dengan pihak Sin-kie-pang…” pikir
pemuda itu.
Dalam hati berpikir demikian, diluaran ia berkata, “Dari
pihak Thong-thian-kauw aku cuma kenal Giok Teng
Hujien seorang, hanya perkenalan itu mendalam maka
tak mungkin bagiku bergabung dengan dirinya, apa lagi
Ang Yap Toojin punya permusuhan dengan diriku,
bergabung dengan pihak Thong-thian-kauw sudah tak
mungkin lagi bagi diriku”
Pek Siau-thian tertawa, selanya, “Hiantit telah
melakukan perjalanan jauh bersama-sama Jin Hian, aku
Iihat hubungan kalian bagaikan sahabat yang intim”
“Kematian Jin Bong sedikit banyak melibatkan pula diri
boanpwee,” kata Hoa Thian-hong sambil tertawa ewa,
“Jin Hian bukanlah seorang manusia yang berjiwa besar,
dendam sakit hatinya itu suatu saat pasti akan dibalas,
sekarang boanpwee sudah sadar. ia menahan diriku
selama ini bukan lain adalah menggunakan aku sebagai
umpan untuk memancing kedatangan para jago dari
kalangan lurus hingga bisa berhubungan dengan dirinya,
dan dapat dipergunakan tenaganya.”

Pek Siau-thian mengangguk, ujarnya sambil
tersenyum. “Termasuk aku sendiri, pemimpin dari tiga
golongan besar bukanlah manusia baik-baik….”
Hoa Thian-hong tertegun, pikirnya, “Kau berkata
demikian. bukankah itu berarti bahwa pembicaraan yang
berlangsung selama ini hanya omong kosong belaka…..”
Sementara kedua orang itu masih berbincang hal yang
tak berguna, tiba-tiba horden tersingkap dan muncullah
Pek Kun-gie serta Hoa In.
Air muka Pek Siau-thian seketika berubah bebat,
tegurnya, “Gie-ji, kenapa kau tak mau dengarkan
perkataanku??”
Dengan kepala tertunduk dan nada sedih Pek Kun-gie
menjawab, “Ayah, kukatakan secara terus terang
kepadanya, dia bukanlah manusia yang gampang dipaksa
oleh ancaman”
Hoa Thian-hong jadi sangat terkejut setelah
mendengar perkataan itu, secara tiba-tiba ia merasa
bahwa urusan yang dihadapinya saat ini jauh lebih serius
daripada apa yang diduganya semula, rasa curiga segera
muncul membuat hatinya jadi tak tenteram.
Rupanya Pek Siau-thian sedang mengalami kesulitan
besar, air mukanya berubah beberapa kali, sambil
mencekal cawan lama sekali dia membungkam dalam
seribu bahasa.

Setelah tertegun sesaat tiba-tiba Pek Kun-gie berjalan
ke depan dan duduk disisi Hoa Thian-hong, tanyanya
dengan suara lirih, “Apakah kau telah mempunyai ikatan
perkawinan dengan Chin Wan-hong?”
Perkataan itu diucapkan amat lirih bagaikan bisikanbisikan
nyamuk dan dengan kepala tertunduk rendah2,
tapi bagi Hoa Thian-hong bagaikan guntur membelah
bumi di siang hari bolong sekujur tubuhnya bergetar
keras.
Pada saat itulah Pek Siau-thian berbatuk ringan lalu
berkata, “Hiat-tit, marilah kita buka kartu dan berbicara
sekarang terang-terangan”
“Boanpwee akan turut perintah!”
“Perpisahanku dengan istriku sudah merupakan suatu
kejadian yang tak beruntung bagi keluargaku, putri
sulungku Soh-gie difitnah orang dan sekarang putriku
yang bungsu Kun-gie pun menemui persoalan, aku tidak
ingin terjadi sesuatu lagi atas keluargaku.”
“Aku dapat memahami kesulitan yang sedang dialami
oleh lo-pangcu!”
“Tapi sayang putriku Kun-gie tak tahu diri, dan ia ingin
menggunakan kedudukannya, muda dan mudi memang
sukar untuk dihindari hal ini harus disalahkan kepada
kami yang jadi orang tuanya tak bisa mendidik secara
baik-baik dimasa yang lalu hingga sekarang jadi
kelabakan sendiri. Sekarang urusan sudah jadi begini,
aku tak bisa menghalangi pun tak bisa memenuhi

harapannya coba hiantit berpikir bila aku tak bisa
selesaikan persoalan ini bukankah orang kangouw akan
mentertawakan ketidakbecusanku??”
Hoa Thian-hong merasa amat terperanjat, ia tak tahu
apa yang musti dikatakan pada waktu itu.
Urusan ini menyangkut nama baik Pek Siau-thian.
menyangkut pula nama baik Pek Kun-gie, bila sepatah
kata saja Hoa Thian-hong salah berbicara maka dalam
malunya Pek Siau-thian berdua tentu akan berubah jadi
gusar dan mendendam terhadap dirinya.
Untuk beberapa saat lamanya suasana dalam ruangan
itu jadi sunyi senyap tak kedengaran sedikit suarapun,
Hoa Thian-hong jadi serba salah dan tak tahu apa yang
musti dikatakan, sedang Pek Kun-gie dengan sepasang
matanya yang jeli menatap terus wajahnya tanpa
berkedip tubuhnya nampak agak gemetar.
Tiba-tiba terdengar Pek Siau-thian berkata kembali,
“Hiantit, urusan sudah jadi begini, bila kau tidak
menampik tawaranku ini dan tidak kecewa dengan
putriku yang jelek aku ingin menjodohkan dirinya
kepadamu”
Agaknya untuk mengucapkan beberapa patah kata itu
dia harus mengerahkan seluruh tenaga yang dimilikinya,
habis berkata ia menghembuskan napas panjang dan
menyambung lebih jauh dengan suara lemah, “Semula
akupun seorang manusia yang kasar. atas jerih payahku
yang tak kenal lelah akhirnya aku berhasil juga
membangun suatu usaha yang besar seperti hari ini.

Sekarang aku merasa usiaku telah tua sedang keturunan
belum ada, bila hiantit tidak menampik maka aku akan
gunakan perkumpulan Sin-kie-pang ini sebagai mas
kawin dari putriku. asal putriku telah kawin maka akupun
akan berlega hati. Bukankah dengan demikian Hiantit
pun dapat melanjutkan pula keturunan dari keluarga
Hoa??”
Soal perkawinan ini kecuali didasari oleh kecantikan
wajah Pek Kun-gie yang luar biasa serta rasa sayangnya
terhadap putri sendiri, di samping itu disertakan pula
suatu gertakan yang amat besar.
Hoa Thian-hong yang berada dalam posisi terjepit.
terutama sekali menghadapi keributan dari kelompok tiga
besar, sepantasnya kalau ia terima tawaran itu dengan
serang hati.
Hoa In adalah pelayan tua dari tiga keturunan
keluarga Hoa dia sayang majikan mudanya melebihi
sayang pada jiwanya sendiri, ketika mendengar Pek Siauthian
ajukan pinangan jantungnya segera berdebar
keras.
Ia merasa dengan asal usul majikan mudanya yang
cemerlang, tidak pantas kalau ia kawin dengan putri
seorang manusia kasar tapi iapun merasa sulit untuk
menganjurkan majikannya menampik mengingat situasi
yang sedang mereka hadapi berbahaya sekali.
Sebaliknya bila dia anjurkan majikannya untuk
menerima pinangan itu, berarti sebuah perkumpulan
besar ada harapan jatuh ke tangan majikannya, dengan

kemampuan dari majikannya itu ia merasa kemungkinan
besar di kemudian hari seluruh kolong langit akan
menjadi milik keluarga Hoa.
Pikir bolak-balik merasa serba salah, untuk beberapa
saat pelayan tua inipun tak tahu apa yang musti
dilakukan.
Tiba-tiba Pek Kun-gie menggenggam tangan Hoa
Thian-hong, dengan suara gemetar tanyanya, “Thian
Hong, apakah kau telah mempunyai janji dengan Chin
Wan-hong untuk sehidup semati??”
“Sama sekali tidak……” ia berhenti sejenak, tiba-tiba
sambil berpaling ke arah Pek Siau-thian lanjutnya lebih
jauh, “Aku merasa amat terharu dan berterima kasih
sekali atas perhatian serta kasih sayang dari lopangcu……”
“Sebagai seorang pria sejati hidup sebagai pendekar
mati sebagai pahlawan tiada persoalan yang perlu
dikuatirkan. Hiantit! Kau sebagai seorang jago yang luar
biasa sepantasnya kalau menjawab secara tegas,
menerima atau menampik harap dikatakan secara terus
terang”
“Ketika boanpwee hendak meninggalkan rumah tempo
dulu,” ujar Hoa Thian-hong dengan tenang, “ibuku telah
menyampaikan beberapa buah urusan kepadaku,
diantaranya adalah melarang aku kawin lebih dulu”

“Kenapa?” sela Pek Kun-gie sambil membelalakkan
matanya dari pihak keluarga Hoa, toh tinggal kau
seorang….”
Hoa Thian-hong tersenyum. “Ibu takut akan
tenggelam dalam kesenangan keduniawian hingga
membuka masa mudaku dengan begitu saja.”
“Aku tak pernah terikat dendam permusuhan dengan
keluarga Hoa kalian,” terdengar Pek Siau-thian berkata
pula, “sedang ibumu adalah seorang pendekar wanita
aku percaya ibumu tak akan menampik perkawinanmu
dengan putriku.
Hoa Thian-hong adalah seorang pemuda yang amat
berbakti kepada orang tuanya, kata2 dari ibunya itu
sudah melekat dalam2 di hati sanubarinya, sejak terjun
ke dalam dunia persilatan belum pernah ia pikirkan
masalah perkawinannya. Walaupun begitu diapun takut
ucapannya menyakiti Pek Siau-thian berdua, maka
dengan wajah tenang ia melanjutkan, “Soal perkawinan
adalah urusan yang diatur oleh orang tua, biar ibuku
sudah menyanggupi perkawinan ini, tentu saja boanpwee
tak akan menampik!”
“Jadi kalau begitu, hiantit pribadi telah menyetujui
perkawinan ini??” sambung Pek Siau-thian dengan cepat.
Melengak Hoa Thian-hong setelah mendengar
perkataan itu, ia segera menggeleng dan menjawab,
“Boanpwee sejak terkena racun keji Teratai empedu api,
selama hidup tak bisa beristri dan beranak lagi, dalam
keadaan begini boanpwee tak pernah memikirkan

tentang soal pernikahan, sebab aku tidak ingin merusak
kehidupan gadis manapun akibat dari keadaanku ini”
Apa yang diucapkan olehnya merupakan kenyataan
sekalipun Pek Siau-thian cerdas dan banyak akal tak
urung dibikin gelagapan juga, ia tak tahu apa yang musti
dikatakan dalam keadaan begini.
Pek Kun-gie yang duduk disisi ayahnya jadi teramat
gelisah menyaksikan hal itu, setelah ditunggunya
sebentar namun tidak kedengaran ayahnya buka suara
untuk menanggapi perkataan tadi, ia semakin cemas lagi
sehingga tanpa sadar ia berseru, “Thian Hong, aku juga
bukan seorang perempuan yang terlalu mementingkan
soal-soal sepele, apalagi kita semua merupakan jagojago
yang pernah belajar silat, asal kau tidak menampik
diriku serta memandang rendah aku orang she-Pek,
sekali pun telah menikah suami istri, tetap masih bisa
hidup rukun dan penuh kedamaian, apa sangkut pautnya
keadaan itu dengan racun teratai empedu api yang
mengeram dalam tubuhmu itu??”
Sebagai gadis muda sama sekali belum punya
pengalaman, terhadap arti perkawinan dan hubungan
kelamin pandangannya sangat jauh dan hambar apalagi
api cinta yang berkobar dalam hatinya terhadap diri Hoa
Thian-hong telah merasuk ke tulang sumsum, ucapan
yang dia utarakan keluar semuanya muncul dari hati
sanubari yang murni dan tiada maksud paksaan.
Hoa Thian-hong sendiri masih kabur pandangannya
terhadap persoalan itu, bagi dirinya perkataan yang

diucapkan gadis itu juga dianggap sebagai sesuatu hal
yang biasa dan sama sekali tidak janggal.
Lain halnya dengan Pek Siau-thian yang sudah banyak
pengalaman serta mengerti mendalam akan arti cinta
yang sebenarnya antara lelaki dari wanita, meskipun
cintanya murni namun hubungan badaniahlah yang
mempererat serta memperdalam cinta itu, tanpa berbuat
demikian lama kelamaan cinta itu bakal luntur dan
akhirnya patah. Tentu saja sebagai orang tua dia merasa
agak canggung untuk menjelaskan soal hubungan pribadi
lelaki dan wanita itu kepada putrinya.
Bagaimanapun juga dia adalah seorang jago kawakan
yang banyak pengalaman, setelah berpikir sebentar dia
lantas berkata, “Hiantit, putri dari Pek Siau-thian
bukanlah gadis yang tidak laku untuk dikawinkan dengan
orang lain, jawablah secara terus terang dan terbuka,
andaikata kadar racun Teratai empedu api yang
mengeram di dalam tubuhmu dapat dipunahkan, apa
yang hendak kau lakukan?”
Ragu ragu hati Hoa Thian-hong mendapat pertanyaan
itu, pikirnya di dalam hati, “Enci Wan-hong pernah
melepaskan budi pertolongan terhadap diriku, walaupun
diantara kami tak pernah terikat oleh suatu hubungan
apapun, namun boleh dibilang hati kami sudah bersatu,
andaikata aku punya kesempatan untuk mencari istri dan
menikah sepantasnya kalau kupilih dirinya sebagai
istriku, tapi bagaimana pula dengan tawaran Pek Siauthian
ini? Apa yang musti kau lakukan?”

“Sebagai pria yang amat kuat rasa
kesetiakawanannya, sulit bagi pemuda ini untuk
melupakan setiap kebaikan yang pernah di berikan Chin
Wan-hong terhadap dirinya, tetapi diapun mengetahui
mara bahaya yang setiap saat mengancam jiwanya pada
saat ini, bila jawabannya tepat maka kemungkinan besar
keluarga Hoa akan mengikat hubungan famili dengan
keluarga Pek, sebaliknya kalau dia salah bertindak maka
pertumpahan darah pasti tak akan terhindar, Pek Siauthian
tentu akan memandang dirinya sebagai musuh
besar yang paling dibenci, sedang kehidupan Pek Kun-gie
pun akan ikut hancur di tangannya,”
Berpikir akan seriusnya masalah ini, ia segera bangkit
dan memberi hormat, ujarnya dengan wajah serius,
“Racun keji Teratai empedu api adalah racun yang tak
mungkin bisa dipunahkan. tiada kemungkinan bagiku
untuk terbebas dari pengaruh racun ini, karenanya
terhadap masalah perkawinan yang merupakan masalah
besar boanpwee harap kita bisa berbicara sesuai dengan
kenyataan, omong kosong hanya akan mencelakai orang
lain serta mencelakai diri sendiri. Aku harap Lo-pangcu
suka mempertimbangkan masak-masak tentang
persoalan ini, janganlah disebabkan salah bertindak
mengakibatkan semua orang ikut menderita.”
Pek Siau-thian tidak berputra dan belum pernah
menerima murid, terhadap diri Hoa Thian-hong boleh
dibilang dia memandang tinggi dan serius, apa daya
persoalan ini menyangkut kebahagiaan hidup putrinya
sepanjang masa karena itu dalam keadaan begini
terpaksa ia musti lakukan segala sesuatu apapun dengan

harapan bisa memaksa pemuda itu menuruti
keinginannya.
“Ayah!” terdengar Pek Kun-gie berseru, “kau orang tua
jangan terlalu memaksa dirinya, akupun tidak terburu
nafsu untuk menikah. biarlah aku menunggu tiga sampai
lima tahun lagi ….“
“Seandainya ada orang hendak mencelakai jiwanya,
apakah kau dapat berpeluk tangan belaka membiarkan
dia mati terbunuh??” seru Pek Siau-thian dengan suara
dingin.
“Tentang soal itu aku harap Lo-pangcu tak usah
merisaukan diri,” tukas Hoa Thian-hong dengan cepat,
“boanpwee telah menyerahkan nasibku atas pengaturan
takdir, aku tidak akan menyusahkan diri kesayanganmu”.
“Itu toh menurut jalan pemikiranmu, kalau dia akan
mencampuri urusanmu itu apakah kau mampu untuk
menghalangi atau mencegahnya??”
“Sekalipun putri bakal mati, tak nanti aku
menyusahkan ayah!” ujar Pek Kun-gie.
Pek Siau-thian mendengus dingin.
“Hmm! pendapat seorang bocah cilik seandainya ada
orang hendak membinasakan dirimu, kau anggap aku
bisa berpeluk tangan belaka menyaksikan kau dijagal
orang?”

Dalam hati Pek Kun-gie merasa amat sedih, namun
sambil menekan perasaan pedih itu di dalam hati katanya
terhadap diri pemuda itu, “Thian Hong, kau harus ingat
bahwa Jin Hian adalah manusia licik yang sangat
berbahaya, melakukan perjalanan bersama dia cepat
atau lambat pasti akan terbokong olehnya, lebih baik kau
tak usah kembali kesana berdiamlah saja di tempat ini”.
“Dlsitu masih ada dua orang cianpwee yang sedang
beristirahat, jika aku tidak kembali, rasanya aku akan
kehilangan rasa hormatku sebagai angkatan yang lebih
muda……”
Habis berkata ia putar badan dan segera mohon diri
kepada diri Pek Siau-thian.
Ketua dan perkumpulan Sin-kie-pang itu sama sekali
tidak menahan dirinya, ia segera mengantar tamunya
keluar dari ruang perahu.
Pek Kun-gie bagaikan burung kecil yang jinak
menempel terus disisi badan Hoa Thian hingga sampai ke
atas daratan mereka hanya saling berpandangan belaka
dengan mulut membungkam, banyak persoalan yang
hendak
mereka bicarakan namun siapapun tak tahu musti
berbicara dari mana lebih dahulu
Hoa Thian-hong terburu-buru hendak tinggalkan
tempat itu, setelah termenung sebentar akhirnya ia
berseru, “Nona Pek….“

“Apakah kau musti memanggil diriku dengan sebutan
nona Pek??” sela Pek Kun-gie dengan nada yang murung
bercampur sedih.
Hoa Thian-hong menghela napas panjang, bisiknya
lirih, “Sejak jaman dahulu orang yang terlalu romantis
akan berakhir dengan rasa kebencian kau adalah
manusia cerdik, janganlah di sebabkan soal sepele
menyebabkan masa mudamu hilang dengan begitu saja,
di kemudian hari kau akan merasa menyesal karena
sikapmu itu”
Pek Kun-gie menggeleng. “Aku telah membuat jaring
untuk membelenggu diriku apa daya?? Aku tidak bisa
berbuat apa-apa lagi”
Dengan murung bercampur sedih Hoa Thian-hong
menghela napas panjang ia termenung beberapa saat
lamanya, akhirnya sambil mengempos semangatnya
berkata, “Dewasa ini banyak masalah dunia persilatan
yang sedang terjadi tiada waktu bagiku untuk mengurusi
soal cinta serta hubungan pribadi antara muda dan mudi,
ambillah keputusan buat dirimu sendiri! andaikata aku
sampai mengecewakan dirimu janganlah salahkan kalau
aku tak kenal budi…”
Bicara sampai disitu ia segera putar badan dan berlalu
dari situ.
Rasa cinta yang bersemi dalam tubuh Pek Kun-gie
telah berkembang biak, ia tak mungkin bisa disadarkan
hanya dengan sepatah dua patah kata belaka, dengan
termangu-mangu ia berdiri menjublek di tempat semula,

sorot matanya memancarkan kebingungan serta
kebodohan………
Oh Sam sejak semula telah menunggu disitu, ia segera
menuntun kuda bagi pemuda itu Hoa Thian-hong berdua
dengan cepat loncat naik ke atas punggung kuda dan
melarikannya menuju ke arah kota.
Ketika hampir tiba di pintu kota, tiba-tiba tampaklah
Ciong Lian-khek sambil membawa Chin Giok-liong serta
Bong Pay menyongsong kedatangannya dari arah depan,
Hoa Thian-hong segera meloncat turun dari kudanya
sambil berkata, “Cianpwee, sungguh kebetulan sekali
kedatanganmu, boanpwee punya rencana untuk
berangkat lebih dahulu ke kota Leng An, aku ingin pulang
ke rumah untuk menyampaikan hal ini kepada cianpwee
sekalian”
JILID 19: Perubahan sikap Chin Pek Cuan
“EEI…… situasi pada saat ini sangat tegang dan kritis
sekali, mau apa kau berangkat lebih dahulu ke kota Leng
An?” tegur Ciong Lian-khek dengan nada tercengang.
“Sikap perkumpulan Hong-im-hwie serta Sin-kie-pang
misterius dan tidak terbuka pihak Thong-thian-kauw
tetap tenang dan tidak menggerakkan tentaranya, hal ini
merupakan suatu keadaan yang tidak umum dan luar
biasa sekali, boanpwee punya rencana untuk berangkat
lebih dahulu ke kota Leng An guna melihat keadaan, di
samping berusaha pula untuk menemukan pembunuh

dari Jin Bong, dari pada andaikata terjadi perubahan
yang tak terduga kita semua jadi kelabakan dibuatnya.”
“Apa yang kau maksudkan sebagai perubahan yang
tak terduga?” tanya Ciong Lian-khek dengan alis
berkerut, tindakanmu yang lupa akan tugas dan
memikirkan masalah lain yang sama sekali tak ada
gunanya untuk menyelidiki sang pembunuh, apakah
bertujuan untuk mendapatkan pedang mas itu?”
“Dalam pembicaraan yang berlangsung barusan, Pek
Siau-thian telah memberi bisikan kepadaku, katanya
kemungkinan besar perkumpulan Sin-kie-pang, Hong-imhwie
serta Thong-thian-kauw akan bersatu padu kembali
untuk bersama-sama menghadapi kekuatan kaum
pendekar kalangan lurus yang mulai menghimpun
kembali itu. Jika peristiwa ini sampai terjadi maka kita
semua bakal mati konyol dan bercerai berai, Oleh sebab
itulah boanpwee ingin melakukan penyelidikan lebih
dahulu untuk mengetahui siapakah pembunuh dari Jin
Bong serta membongkar persoalan ini, sekalipun Jin Hiat
punya watak seperti kura2 dalam keadaan begini dia
tentu akan berusaha untuk membalaskan dendam bagi
kematian puteranya, asal kekuatan tiga partai telah
terpecahkan itu berarti pihak kita akan memperoleh jalan
kehidupan!”
Sebenarnya bagaimana hubunganmu dengan pihak
perkumpulan Sin-kie-pang?” tegur Ciong Lian-khek
dengan wajah murung.
Pek Siau-thian mengajukan tawaran kepadaku untuk
menikah dengan putrinya, tetapi telah boanpwee tolak

dengan menemukan kesulitan sesungguhnya yang
sedang kuhadapi.
“Aaai… kalau bukan berbesan tentu bermusuhan
apakah kalian telah bentrok satu sama lainnya?”
Hoa Thian-hong menggeleng.
“Rasa cinta Pek Kun-gie yang berakar sukar
dilenyapkan dalam waktu singkat, Pek Siau-thian sendiri
sebenarnya ingin menarik diriku berpihak kepadanya,
tetapi berhubung dalam tubuh boanpwee masih
mengandung racun jahat ia merasa tidak lega untuk
benar-benar mengawinkan putrinya kepada boanpwee,
karena rumitnya persoalan inilah membuat ia tak
sanggup mengambil keputusan… dan boanpwee pun
segera mohon pamit dalam keadaan begitu.
“Cukat racun Yau Sut adalah manusia yang paling
lihay, apakah bangsat cilik itu ikut berbicara?”
“Sewaktu berada ditepi sungai Hoang-hoo tahun
berselang, ia pernah turun tangan keji terhadap
boanpwee sehingga memaksa aku harus menelan Teratai
Racun Empedu api untuk bunuh diri dalam pertemuan
tadi Pek Siau-thian tidak mempertemukan diriku dengan
manusia she-Yau itu!”
Ciong Lian-khek mengangguk, setelah termenung
beberapa saat lamanya dia berkata kembali. “Kota Leng-
An merupakan basis pertahanan yang paling kuat dari
pihak perkumpulan Thing Thian Kauw, terutama sekali
dalam keadaan begini seluruh jago lihay dari

perkumpulan itu sudah berkumpul disana, andaikata kau
ingin pergi ke situ lebih dahulu aku rasa lebih baik kita
berangkat bersama-sama”
Hoa Thian-hong segera tertawa. “Boanpwee ada
maksud menghubungi Giok Teng Hujien lebih dahulu jika
terlalu bayak yang pergi bukan saja kurang leluasa
bahkan tindakan kita ini mungkin akan mencurigakan hati
Jin Hian”
Walaupun pemuda ini hanya seorang angkatan muda
belaka tetapi justru dialah pemimpin dari himpunan
kekuatan diluar tiga kekuatan besar dalam dunia
persilatan kendati Ciong Lian-khek sekalian adalah para
orang gagah yang sudah lanjut usia namun semangat
jantan mereka dimasa lampau telah hilang lenyap sama
sekali, kemunculan mereka pada saat inipun tidak lain
karena merasa tak tega membiarkan pemuda itu
melakukan perjuangan seorang diri.
Karena itulah tanpa sadar Hoa Thian-hong telah
dipandang sebagai otak serta pemimpin mereka, dalam
menghadapi masalah besar ataupun kecil kebanyakan
mereka tidak kukuh dalam pendirian dan lebih banyak
menuruti rencananya,
Terdengar Bong Pay berseru, “Dalam perkumpulan
Thong-thian-kauw tak terdapat seorang manusia
baikpun, tindak tanduk Giok Teng Hujien tidak beres dan
namapun tidak punya, dia merupakan manusia yang
paling berbahaya Hiat-te, yang paling keji di kolong langit
adalah hal perempuan, kau musti selalu waspada untuk
menghadapi segala kemungkinan yang tidak diinginkan!”

“Terima kasih atas petunjuk dari toako”
“Aku sedang memperingatkan kepadamu siapa. yang
memberi petunjuk?” sela Bong Pay dengan mata melotot
Hoa Thian-hong tersenyum, dia menjura ke arah tiga
orang itu, sambit tinggalkan kudanya dan melanjutkan
perjalanan dengan berjalan kaki pemuda itu lari menuju
ke dalam kota.
Hoa In telah berhasil merubah tabiat dari majikan
mudanya ini, dia tahu setelah pemuda itu mengambil
keputusan sulitlah baginya untuk merubah keputusannya
itu, maka diapun tidak banyak bicara dengan cepat
pelayan tua ini menyusul di belakangnya.
Malam itu juga Hoa Thian-hong berdua melanjutkan
perjalanannya menuju ke selatan, tidak sampai satu hari
mereka telah tiba diluar kota Leng An.
Hoa In adalah jago kawakan, dia tahu markas besar
dari perkumpulan Thong-thian-kauw bernama ‘It-goankoan’
dan letaknya berada di keresidenan Chee-Thong,
kuil It-goan-koan dalam kota Leng-An tidak lain adalah
markas dari sektor atas.
Maka dia lantas mengajak Hoa Thian-hong masuk ke
dalam kota lebih dahulu untuk mencari penginapan dan
beristirahat. Kuil It-goan-koan markas besar
perkumpulan Thong-thian-kauw terletak di atas sebidang
tanah yang luasnya mencapai ribuan bau, bukan saja
luas sekali bangunan lotengpun bersusun2 dengan
rapatnya, bangunan itu bukan saja kokoh bahkan

nampak begitu megah dan melebihi keraton kaisar di ibu
kota.
Kentongan kedua baru saja lewat, dua sosok
bayangan manusia nampak berkelebat ke tempat
kegelapan dibawah tembok pekarangan, kedua orang itu
bukan lain adalah Hoa Thian-hong serta Hoa In.
Hoa In mencabut keluar pedang baja yang terselip di
pinggangnya, lalu berbisik lirih, “Ilmu meringankan tubuh
yang dimiliki Siau Koan-jin belum mencapai taraf
kesempurnaan, andaikata jejakmu ketahuan oleh pihak
lawan berusahalah sedapat mungkin cepat-cepat
mengundurkan diri dari bangunan kuil ini, daripada kita
harus bertempur di dalam kuil dan terjebak dalam
kepungan yang terlalu tangguh”
Hoa Thian-hong mengangguk, setelah menyelipkan
pedang baja itu di pinggangnya ia segera meloncat
masuk kebalik tembok pekarangan.
Hoa In berebut berjalan di depan, ia berkelit ke kiri
mengigos ke kanan, akhirnya sampailah ditengah-tengah
sebuah ruang istana yang besar, ketika memasuki
ratusan tombak jauhnya kemudian dengan cepat mereka
temukan disetiap sudut bangunan itu terpencar
penjagaan yang sangat ketat, toojin bersoren pedang
melakukan perondaan di sekitar sana dan cahaya lampu
menyinari setiap sudut ruangan membuat tempat
menjadi terang benderang.
Walaupun ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Hoa
Thian-hong berdua cukup lumayan,tak urung dibikin

kesulitan juga oleh situasi tersebut, setiap saat
kemungkinan besar jejaknya ketahuan.
Dengan enteng kedua orang itu menyusup ke balik
sebuah hioloo besar yang tingginya melebihi manusia,
dari situ sorot mata mereka dengan tajam mengawasi
keadaan di sekelilingnya untuk menantikan kesempatan
baik guna maju lebih ke depan.
Tiba-tiba terdengar suara langkah kaki manusia
berkumandang datang, lima orang toosu cilik berjubah
merah yang menyoren pedang pendek di punggungnya
dan berusia antara empat lima belas tahun munculkan
diri dari sudut tikungan sebelah kanan.
Dari langkah kaki serta sorot mata yang tajam dari
kelima orang toosu cilik itu bisa ditarik kesimpulan bahwa
ilmu silat mereka lihay sekali sementara Hoa Thian-hong
masih tertegun menyaksikan keadaan tersebut, disisi
telinganya terdengar suara Hoa In yang lembut bagaikan
suara nyamuk berkumandang datang, “Kekuatan yang
dimiliki lima orang bocah cilik itu luar biasa sekali.
mereka mampu menandingi empat orang pengawal
pribadi golok emas dari Jin Hian!”
Kembali terdengar suara langkah manusia yang lirih
berkumandang datang, dari arah lain muncul pula lima
orang toosu cilik dan berbelok ke arah samping kiri.
“Bocah-bocah cilik itu bertugas melakukan patroli di
sekitar ruang kuil ini” bisik Hoa In kembali, “hanya tidak
kuketahui berapa banyak jumlah mereka!”

Tenaga dalam yang dimiliki Hoa Thian-hong belum
berhasil mencapai pada puncak ia tak berani buka suara
dan terpaksa hanya mengangguk belaka, pikirnya, “Giok
Teng Hujien menyebut kedudukannya sebagai
pengontrol pusat dari kesepuluh sektor, kedudukannya
pasti tidak rendah. Entah dia memiliki tempat kediaman
yang pasti atau tidak?”
Tiba-tiba Hoa In ulapkan tangannya sambil enjotkan
badan dan melayang sejauh puluhan tombak dari tempat
semula, Hoa Thian-hong segera mengepos tenaga dan
buru-buru mengejar dari belakang mereka berdua
dengan andalkan nyali yang besar serta kepandaian yang
tinggi kembali menyusup masuk ke dalam ruang tengah
melewati penjagaan yang amat ketat itu.
Kurang lebih sepertanak nasi kemudian, kedua orang
itu berhasil melewati ruang tengah dengan penjagaan
yang amat ketat tadi tampak diluar ruangan sunyi senyap
tak nampak sesosok bayangan manusiapun, dengan
perasaan kecewa mereka segera berkelebat menuju ke
belakang kuil disisi halaman.
Suara langkah kaki manusia kembali berkumandang
datang, buru-buru kedua orang itu menyembunyikan diri
ke tempat kegelapan, tampak dua orang toosu cilik
berjalan di depan, di belakangnya mengikuti seorang
kakek berkerudung hitam dengan langkah kaki yang
enteng.
Di belakang tubuh kakek berkerudung tadi mengikuti
pula seorang manusia orang itu berperawakan kurus kecil
dan bentuknya mirip beruk, seperti halnya dengan sang

kakek di depan, diapun mengenakan kain kerudung
hitam di atas wajahnya. Biji mata yang nampak dari luar
memancarkan cahaya tajam yang menggidikkan hati.
Keempat orang itu berjalan masuk dari kuil depan,
dengan mengikuti lorong kecil langsung menuju ke arah
kuil belakang. Ketika lewat di depan Hoa Thian-hong
berdua, pemuda itu mengamati beberapa saat tubuh
kakek berkerudung yang ada di paling depan itu, dia
merasa sikapnya yang gagah serta bentuk tubuhnya
yang kekar seolah-olah pernah dikenal olehnya hanya
untuk beberapa saat tak teringat olehnya siapakah orang
itu.
Setelah keempat orang itu lewat. Hoa In segera
memberi tanda bersama-sama Hoa Thian-hong mereka
menguntit dari tempat kejauhan, setelah melewati
sebuah ruang besar lagi sampailah mereka dihadapan
sebuah ruang tamu yang lebar cahaya lampu menyinari
seluruh ruang tadi hingga nampak terang benderang,
dibawah pohon diluar ruangan berdiri sejajar sepuluh
orang toojin berusia pertengahan yang menyoren pedang
di punggungnya
Di dalam ruang tamu itu pada dinding sebelah
belakang tersedia meja sembahyang. Di atas meja
sembahyangan berdiri sebuah arca berbaju emas yang
tingginya mencapai beberapa tombak, semuanya
merupakan toosu-toosu yang berwajah agung.
Dibawah meja sembahyang terdapat sederetan kasur
untuk semedi, di atas kasur semedi tadi duduklah tiga
orang toosu tua, mereka semua memakai kopiah

kebesaran dengan jubah berlambangkan Pat kwa emas,
jenggot panjang terurai sepanjang dada dengan di
tangannya memegang sebuah senjata kebutan di
belakang mereka masing-masing berdiri seorang toosu
cilik yang memegang sebilah pedang pusaka.
Berhubung jaraknya amat jauh Hoa Thian-hong tidak
sempat menangkap suara pembicaraan di dalam ruang
itu, baru saja ia hendak menyusup maju lebih ke depan
tiba-tiba Hoa In menarik tangannya sambil berbisik,
“Toosu tua yang duduk di tengah ruangan itu bernama
Thian Seng-cu, dia adalah seorang jago lihay yang
berasal satu perguruan dengan Thian Ik-cu ketua
perkumpulan Thong-thian-kauw, lebih baik kita jangan
bergeser terlalu dekat, hati-hati kalau jejak kita sampai
ketahuan”
“Apakah kau dapat menangkap suara pembicaraan
mereka?”
“Siau Koan-jin tak perlu gelisah, biarlah kuheningkan
cipta dan pusatkan pikiran mungkin saja pembicaraan
mereka bisa kutangkap!”
Sementara pembicaraan masih berlangsung kakek
berkerudung itu sudah dipersilahkan masuk ke dalam
ruangan, setelah memberi hormat dengan Thian Seng-cu
sekalian dia pun duduk di atas kasur untuk semedi,
sedangkan pria kurus kecil yang mirip beruk tadi hanya
berdiri saja dibelakang kakek itu, rupanya dia adalah
pembantu orang tadi.

Setelah masing-masing pihak saling mengucapkan
beberapa patah kata rendah, mendadak Thian Seng-cu
merogoh ke dalam sakunya dan mengambil keluar
sepucuk surat yang mana segera diterima oleh kakek
berkerudung tadi.
Kakek itu segera menyimpan surat tersebut ke dalam
saku. setelah berbicara beberapa patah kata dengan
Thian Seng-cu tiba-tiba dia angkat kepala dan
melepaskan kain kerudung hitam yang menutupi
wajahnya.
Hoa Thian-hong yang dapat melihat pula raut wajah
orang itu segera merasa terkejut, hampir saja ia menjerit
saking kagetnya.
Ternyata kakek berkerudung hitam itu bukan lain
adalah ayah dari Chin Giok-liong serta Chin Wan-hong
Telapak pasir emas Chin Pek-cuan dari kota Kengciu.
Hoa Thian-hong merasa terkejut bercampur curiga,
otaknya berputar keras berusaha untuk memecahkan
kecurigaannya itu, tetapi ia tak berhasil mendapat
jawabannya, ia tak tahu apa sebabnya Chin Pek-cuan
bisa tiba di tempat itu, bahkan wajahnya berkerudung
dan tingkah lakunya misterius sekali, kalau ditinjau
keadaannya jelas ia sedang melakukan suatu tugas yang
dibebankan kepadanya.
0000O0000
Hoa Thian-hong hanya dapat melihat orangnya tak
dapat mendengar suaranya, ia merasa gelisah sekali dan

berulang kali menoleh ke arah Hoa In dengan harapan
pelayan tuanya bisa. memberi keterangan.
Tetapi Ketika itu Hoa In sendiripun picingkan matanya
dengan alis berkerut, kalau ditinjau keadaannya nampak
diapun dibikin bingung oleh keadaan di depan mata.
Lama kelamaan Hoa Thian-hong tak kuat menahan
diri, segera bisiknya dengan suara lirih, “Loo-ting itu
adalah Chin Pek-cuan dari kota Keng-ciu kau kenal tidak
dengan dirinya?”
Hoa In mengangguk tanda kenal.”Apa yang mereka
bicarakan?”
“Rupanya Chin Lo-ji telah menggabungkan diri dengan
pihak perkumpulan Sin-kie-pang, dia mendapat tugas
dari Cukat racun Yau Sut datang kemari. Rupanya orang
she-Yau itu telah berkhianat dan mencari persekongkolan
dengan pihak luar, mereka sering kali mengucapkan
kata-kata “menyerang diluar dugaan” hasil dibagi sama
rata, hanya tidak kuketahui dia mengajak pihak Thongthian-
kauw untuk bersama-sama menyerang Hong-imhwie,
ataukah bekerja sama untuk memberontak di
dalam tubuh perkumpulan Sin-kie-pang sendiri….”
“Situasi dalam dunia persilatan dewasa ini benar-benar
luar biasa berbahayanya” pikir Hoa Thian-hong di dalam
hati” Entah apa sebabnya Chin Pek-cuan bisa bergabung
dengan Yau Sut? pihak Hong-im-hwie telah bersepakat
dengan perkumpulan Sin-kie-pang untuk bekerja sama
melenyapkan Thong-thian-kauw, namun secara diamdiam
mereka sendiripun berusaha main setan, keadaan

begini justru malah menguntungkan pihak Thong-thiankauw
yang mengadu domba dari tengah dan menjadi
nelayan beruntung yang menunggu hasil”
Tiba-tiba tampak Chin Pek-cuan mengenakan kembali
kain kerudung hitamnya, setelah mengucapkan beberapa
patah kata dengan Thian Seng-cu ia segera bangkit
berdiri dan mengundurkan diri dari situ.
Pria kurus kecil yang menyerupai beruk itu masih tetap
mengikuti dibelakang tubuhnya, sedang dua orang toosu
cilik berbaju merah tadi berjalan dipaling depan.
Hoa In jago pengalaman yang teliti dalam setiap
gerakan, dia tidak ingin menyaksikan majikan mudanya
menempuh bahaya, maka ditunggunya sampai Chin Pekcuan
sekalian lewat lebih dahulu kemudian baru berbisik,
“Siau Koan-jin, jago lihay di dalam kuil ini banyak tak
terhitung jumlahnya, tujuan dari kedatangan kita kali ini
adalah mencari Giok Teng Hujien, aku rasa lebih baik kita
tak usah berkeliaran secara membabi buta sehingga
kemungkinan besar kita akan menemui bahaya ditangkap
atau terkepung….”
Hoa Thian-hong sendiripun merasa pula tegang serta
seriusnya keadaan ketika itu, dia mengangguk. “Baiklah,
kita selidiki dahulu persoalan dari Chin Pek-cuan. Besok
baru kita selidiki lagi tempat tinggal dari Giok Teng
Hujien”
Hoa In jadi amat kegirangan. dengan melalui jalan
semula mereka segera mengundurkan diri keluar dari kuil
tersebut.

Mereka berdua ngeloyor keluar lewat sisi ruangan
kemudian lari ke pintu kuil dan dari sana
menyembunyikan diri ke sudut gelap dekat dinding
perkampungan, dari sana mereka lihat Chin Pek-cuan
serta pria kurus kecil seperti beruk itu sudah naik ke atas
kuda dan lari menuju ke arah kota Leng An.
“Bila aku lakukan pengejaran pada saat ini, jejak kami
pasti ketahuan” pikir Hoa Thian-hong dalam hati,
“baiklah biar kutunggu sebentar lagi”
Rupanya Hoa In sendiripun berpendapat demikian
pula, mereka berdua segera berdiam diri beberapa saat
lamanya.
Menanti derap kaki kuda sudah menjauh dan kedua
orang toosu cilik berbaju merah itu sudah masuk kembali
ke dalam kuil mereka baru berangkat melakukan
pengejaran.
Dengan kecepatan gerak mereka berdua, sekalipun
kuda jempolan dalam waktu singkat berhasil pula disusul
oleh mereka.
Setelah mengejar beberapa saat lamanya telinga
mereka dapat menangkap suara derap kuda jauh
disebelah depan sana, Hoa Thian-hong merasa
semangatnya berkobar. Ia segera mengerahkan
tenaganya lebih besar dan mengejar lebih cepat lagi.

“Kita hanya berusaha merampas surat ataukah
menangkap sekalian dengan orangnya?” tiba-tiba Hoa In
bertanya.
Hoa Thian-hong termenung sejenak, kemudian
jawabnya, “Biarlah kujajaki dahulu jalan pikiran mereka,
kemudian kita baru bertindak!”
“Bukankah hubungan Siau Koan-jin dengan putrinya
erat sekali?” tanya Hoa In sambil tersenyum.
Merah jengah selembar wajah Hoa Thian-hong. “Enci
Wan-hong sangat baik terhadap diriku, Chin toako-pun
orang baik. sedang Chin Pek-cuan dahulu merupakan
seorang ksatria yang gagah perkasa, entah apa sebabnya
sekarang malah berkomplot dengan Yau Sut manusia
licik itu?”
“Lain dulu lain sekarang dewasa ini dunia adalah milik
kaum laknat dari golongan hitam, mencari perlindungan
terhadap keselamatan sendiri pada pihak yang kuat
sudah menjadi kebiasaan setiap orang”
“Aaah.. duduk perkara yang sebenarnya toh belum
kita ketahui, janganlah kita menuduh orang secara
sempurna,” kata Hoa Thian-hong.
Mendengar perkataan itu Hoa In segera berpikir,
“Pastilah Siau Koan-jin amat mencintai nona itu, maka ia
selalu berusaha untuk melindungi bapaknya”
Berpikir demikian, dengan wajah serius ia lantas
berkata, “Seandainya Chin-lo-ji benar-benar sudah

berubah perangainya, lebih baik Siau Koan-jin jangan
berhubungan dengan putrinya, dan jangan Kau gubris
pula putri dari Pek Siau-thian”
Hoa Thian-hong tersenyum, tiba-tiba ia temukan
bahwa tembok kota sudah berada diambang pintu,
dengan cepat ia hentikan langkah kakinya sambil
berkata, “Tunggu sebentar, coba kita lihat apakah
mereka masuk ke dalam kota atau tidak?’,
Terlihatlah Chin Pek-cuan serta pria berbadan kurus
kecil yang menyerupai beruk itu memutar haluan,
mereka melarikan kuda tunggangannya menuju ke arah
utara.
Hoa Thian-hong siap melakukan pengejaran, tetapi
sebelum ia sempat bergerak tiba-tiba dari atas tembok
kota melayang turun tiga sosok bayangan manusia. dan
segera mengejar dibelakang orang she Chin itu.
Setelah menanti sejenak kemudian. Hoa Thian-hong
hendak melakukan pengejaran tetapi dari sudut tembok
kota kembali menyusup keluar sesosok bayangan
manusia. bagaikan segulung asap ringan orang itu
segera menyusul dari belakang mereka bertiga.
Hoa Thian-hong gelengkan kepalanya. ia menunggu
sampai orang terakhir itu sudah mencapai kejauhan
ratusan tombak baru mulai mengerahkan ilmu
meringankan tubuhnya dan tanpa mengeluarkan sedikit
suarapun mengejar dari belakang.

“Aaai… jaman sekarang benar-benar sudah mendekati
jaman edan” gumam Hoa In dengan suara lirih, ”di
mana-mana yang dijumpai hanya persoalan yang
membingungkan dan tidak diketahui ujung pangkalnya”
“Manusia dari kalangan hitam telah terbagi jadi tiga
kekuatan besar ditambah. pula kita manusia
gentayangan yang tercerai berai membuat suasana
bertambah kacau, banyak orang melakukan tindakan
pagar memakan tanaman tentu saja jamannya semakin
berubah mendekati jaman edan
“Seandainya kita berhasil menemukan rahasia pribadi
dari Yau Sut, perlukah kita bongkar rahasia itu?”
Hoa Thian-hong berpikir sebentar, kemudian jawabnya
sambil tertawa, “Seandainya kita benar-benar berhasil
menangkap basah rahasia pribadinya, maka Yau Sut
tidak akan disebut sebagai Cukat racun lagi”
Dia menghela napas panjang, setelah termenung
sebentar terusnya, “Kau tidak punya kesabaran sedang
pikiranku kurang cermat, semua perbuatan kita dimasa
lampau harus dirubah kalau tidak maka urusan besar tak
mungkin bisa kita selesaikan!”
Tiba-tiba suara derap kaki kuda disebelah depan
kedengaran amat kacau, disusul ringkikan kuda serta
bentakan gusar berkumandang datang.
Diam-diam Hoa Thian-hong merasa terkejut, ia segera
menatap tajam ke arah depan, tampaklah bayangan
manusia disebelah depan itu laksana kilat berkelebat

beberapa kali ke muka dan seketika itu juga jejaknya
lenyap tak berbekas.
“Kita telah berjumpa dengan jago lihay kelas satu!”
bisik Hoa In dengan wajah agak berubah, “Mari kita
tengok dulu kemudian baru mengambil keputusan!”
Kedua orang itu berputar ke sisi kiri dan diam-diam
menyusup ke depan, setelah bersembunyi dibelakang
sebatang pohon pendek terlihatlah ketika itu Chin Pekcuan
serta pria seperti beruk itu telah loncat turun dari
kudanya, dihadapan mereka berdiri tiga orang kakek baju
hitam, pakaian mereka merupakan pakaian ringkas dan
di pinggang tersoren senjata tajam.
Sinar mata Hoa Thian-hong dengan tajam menyapu
sekejap sekeliling tempat itu, ia berusaha mencari
tempat persembunyian dari orang lihay tadi, namun
walaupun sudah dicari setengah harian belum ditemukan
juga.
Terdengarlah Chin Pek-cuan dengan suara gusar
membentak keras, “Apa maksud kalian mengejar diriku?
dalam biji mata yang bersih tak ada pasirnya, kalau ada
urusan katakanlah sejujurnya”
Kakek baju hitam yang berada di tengah mendengus
dingin. “Hmm! Melakukan perjalanan dengan wajah
berkerudung merupakan pantangan terbesar dalam
dunia persilatan, lo-yamu ingin melihat raut wajahmu
yang sebenarnya agar bisa menambah pengetahuan!”

“Haaah….baaah….. haaah….. kau menyebut diri
sebagai Lo-ya, rupanya bajingan-bajingan dari
perkumpulan Sin-kie-pang!”
Kakek baju hitam itu tertawa dingin. “Heeh… heeh…
heeh… heeeh … tua bangka sialan! rupanya kau seorang
jago kawakan juga. Tidak salah! Kami tiga orang lo-ya
adalah pelindung hukum dari perkumpulan Sin-kie-pang,
kau hendak turun tangan sendiri ataukah lo-ya mu yang
harus mewakili dirimu?”
“Hmmm, sudah banyak tahun aku tak pernah
menjagal anjing” ejek Chin Pek-cuan dengan nada
menghina, “Bila kau merasa usiamu terlalu panjang,
maju sajalah! akan kulayani keinginanmu itu.”
Bentakan keras berkumandang memecahkan
kesunyian, kakek baju hitam yang ada disebelah kiri
menerjang maju ke depan, lengannya berkelebat dan
mencakar wajah orang she Chin itu.
Chin Pek-cuan mendengus dingin. kaki kirinya mundur
setengah langkah ke belakang diikuti telapaknya diayun
dan langsung menghantam kemuka.
“Ooooh…. kiranya berlatih ilmu Kim-see-ciang. luar
biasa juga tenaga dalamnya!” seru kakek yang pertama
tadi.
Sementara perkataan itu diucapkan, dua orang dalam
gelanggang telah saling bertempur empat jurus lebih,
angin pukulan menderu-deru dan pertarungan
berlangsung dengan serunya.

“Chin Pek-cuan melakukan pekerjaan atas dasar
perintah rahasia dari Cukat beracun Yau Sut. tetapi
sekarang ia bergebrak pula dengan para jago dari Sinkie-
pang, itu berarti yang dilakukan olehnya adalah
urusan pribadi Yau Sut sendiri!” pikir Hoa Thian-hong.
Terdengar Hoa In berbisik dengan suara lirih,
“Rupanya ilmu silat yang dimiliki Chin Pek-cuan telah
memperoleh kemajuan yang pesat!”
Hoa Thian-hong tersenyum. “Makin tingkat usianya,
makin cekatan hidup seorang manusia, hal itu sudah
jamak!”
Sementara itu Chin Pek-cuan telah menerjang maju ke
depan. secara beruntun dia lancarkan delapan sembilan
jurus serangan, kakek baju hitam tadi terdesak hebat
dan tak mampu mempertahankan diri, membuat dia
harus kirim satu pukulan untuk menyambut serangan
tersebut dengan keras lawan keras
Ploook….pukulan Kim-see-ciang yang dilatih Chin Pekcuan
dengan sempurnanya itu berhasil menghajar telak
tubuh lawan.
Dalam keadaan begini tentu saja kakek baju hitam itu
tak mampu pertahankan diri, ia mendengus berat dan
tubuhnya terpental sejauh satu tombak dari tempat
semula persendian tulang kanannya terlepas dan separuh
tubuhnya kontan jadi kaku.

Menyaksikan rekannya terluka kakek baju hitam yang
buka suara tadi jadi amat gusar. ia membentak sambil
ayunkan tangan kirinya ke depan. Sekilas cahaya
keemas-emasan berputar bagaikan roda dan meluncur ke
arah batok kepala Chin Pek-cuan dengan kecepatan
bagaikan kilat.
Chie Pek Cuan adalah jago kawakan yang
berpengalaman luas, mendengar deruan angin tajam
yang meluncur datang ia segera mengetahui bahwa
serangan tak boleh disambut dengan kekerasan, ia
merandek dan menyusup ke arah samping.
Cahaya emas yang menyilaukan mata….memenuhi
seluruh angkasa, dari samping….kiri kanan depan
maupun belakang serentak meluncur datang roda2 emas
yang tajam.
Chin Pek-cuan mendengus dingin, sepasang bahunya
bergeser dan menggunakan suatu gerakan yang manis ia
berhasil melepaskan diri dari serangan gabungan
keempat buah roda emas itu, telapaknya diayun dan
secepat kilat ia balas mengirim satu pukulan gencar ke
arah kakek yang menyerang dengan roda emas tadi.
Diam-diam Hoa Thian-hong bersorak memuji. pikirnya,
“Sejak meninggalkan kota Keng-ciu. rupanya ia telah
mendapat pendidikan ilmu dari orang lihay!”
Terdengar Hoa In berbisik lirih, “Chin Pek-cuan
kekurangan serangkaian ilmu pukulan yang dahsyat,
kalau tidak niscaya ia sudah berhasil angkat nama dan
menjadi jago Bu-lim yang disegani orang”

Dalam hati Hoa Thian-hong juga berpendirian
demikian. ia mengangguk tanda membenarkan.
Sementara itu tampak kakek beroda Ngo-heng-lun itu
ayunkan kembali tangan kanannya, mendadak dalam
telapak telah bertambah dengan sebilah pedang emas
yang memancarkan cahaya tajam, dua tangan
menggunakan enam macam senjata tajam, dengan
gencar dan hebatnya ia layani setiap pukulan Kim-seeciang
yang dilancarkan Chin Pek-cuan.
“Kakek tua itu bernama Ciong Tiau-gak, dia
merupakan seorang jago kosen dalam dunia persilatan”
bisik Hoa In, “katanya permainan roda ditangan kirinya
merupakan hasil ciptaan sendiri yang ditekuni serta
dilatih sendiri tanpa bimbingan guru pandai”
Hoa Thian-hong mengerutkan sepasang alisnya,
“Sewaktu ada di kota Cho-ciu, pernah kusaksikan dia
bertempur melawan rase salju milik Giok Teng Hujien,
ilmu silatnya memang luar biasa, tanpa mendapat
bimbingan guru dia berhasil melatih ilmu silatnya
mencapai taraf begitu tinggi. hal ini benar-benar bukan
suatu pekerjaan yang gampang”
“Chin Pek-cuan”
“Ketika berlangsungnya pertemuan Pak Beng Hwee,
dialah orang yang membawa keluar jenazah ayah, dia
adalah tuan penolong dari keluarga Hoa kita, aku
berharap kau jangan bertindak kurang adat terhadap
dirinya……”

Mendengar perkataan itu Hoa In nampak tertegun,
lalu jawabnya, “Aku benci kepadanya karena
perbuatannya yang tidak benar”
“Bagaimana duduk perkara toh belum jelas sepatah
dua patah kata tak bisa menyimpulkan keseluruhan dari
masalah itu, kau jangan menuduh orang dengan hal
yang bukan-bukan”
Tiba terdengar Ciong Tiau-gak membentak keras,
tangan kirinya menyerang secepat kilat, lima buah roda
emas dengan cepat berputar ke depan membokong dari
depan dada belakang punggung lawan, sedangkan
pedang lemas ditangan kanannya mengirim satu tusukan
kilat ke arah lambung kakek she- Chin tersebut.
Lima buah roda emas mengepung secara berbareng,
cahaya tajam ketika menyilaukan mata dan desiran tajam
memekikkan telinga, tusukan pedang lemas yang
dilancarkan belakangan tiba lebih duluan keganasan
serta ketajamannya mengerikan sekali, sekilas
memandang siapapun tahu bahwa serangan itu amat
luas luar biasa.
Menghadapi mara bahaya langkah kaki Chin Pek-cuan
sama sekali tidak kalut, melihat cahaya tajam mengurung
disekeliling tubuhnya, sepasang bahu segera bergerak
dan menyusup keluar dari lingkaran cahaya dalam
repotnya telapak diayun ke depan menghantam
punggung Ciong Tiau-gak.

Hoa Thian-hong yang menyaksikan dua kali kakek
she-Chin itu berhasil lolos dari ancaman dengan
mempergunakan gerakan yang sama, dalam hati segera
mengerti pikirnya
“Tidak aneh kalau ilmu silatnya mendapat kemajuan
yang pesat, rupanya ia sudah memperoleh penemuan
aneh dan mendapat didikan ilmu dari orang pandai.”
Berpikir demikian, dia lantas berbisik kepada Hoa In,
“Gerakan tubuhnya sangat aneh dan lihay sekali, tahukah
kau asal usulnya?”
Hoa In menggeleng.
“Diantara gerakan langkah yang tersohor di kolong
langit, belum pernah kujumpai gerakan semacam ini”
Hoa Thian-hong segera alihkan sorot matanya ke arah
pria berbentuk seperti beruk itu, ujarnya kembali,
“Bentuk tubuh manusia berkerudung yang kecil kurus itu
aneh sekali.”
Belum habis bicara, tampaklah olehnya kakek baju
hitam lainnya dari perkumpulan Sin-kie-pang telah
merogoh sakunya dan ambil keluar sebatang garpu
pendek yang sangat beracun setelah menyaksikan
rekannya tidak berhasil menangkan pihak lawan, tanpa
mengucapkan sepatah katapun dia langsung menerjang
ke belakang tubuh Chin Pek-cuan.
Traaang! baru saja kakek baju hitam itu mendekati
belakang punggung kakek she Chin itu, mendadak

tubuhnya terhenti dan garpu pendek beracun yang
dicekalnya itu terjatuh ke atas tanah.
Chin Pek-cuan segera memutar tubuhnya sambil
membentak keras, telapaknya langsung dihantam ke
arah dada musuh.
Semua peristiwa itu berlangsung dalam sekejap mata.
Ciong Tiau-gak tidak sempat berpikir panjang lagi,
tangan kirinya laksana kilat melancarkan serangan, roda
Ngo-heng-kim lun langsung dihantamkan ke tubuh
musuh.
Gerakan senjata aneh ini jauh lebih cepat dari pada
desiran senjata rahasia. sebelum pukulan Chin Pek-cuan
bersarang di tubuh lawan, cahaya tajam yang disertai
dengungan nyaring sudah berada di depan mata,
terpaksa ia batalkan pukulannya sambil mengigos
kesamping.
Dalam sekejap mata Chin Pek-cuan telah terlibat
kembali dalam pertempuran sengit melawan Ciong Tiaugak,
kakek baju hitam tadipun segera memungut garpu
racunnya yang terjatuh ketanah. sinar matanya dengan
sangsi memandang sekejap ke arah pria seperti beruk
tadi kemudian celingukan kakiri dan kanan.
Hoa Thian-hong serta Hoa In saling bertukar
pandangan sekejap, dengan ketajaman mata mereka
berduapun tak mampu menyaksikan pria itu melakukan
gerakan apapun tetapi empat tombak sekeliling sana tak
ada orang, maka bisa ditarik kesimpulan bahwa pria
seperti beruk itulah yang telah main gila dengan

menimpuk jatuh senjata tajam milik kakek baju hitam
tadi, hanya saja tidak terlihat gerakan apakah yang dia
pergunakan.
Ciong Tiau-gak adalah seorang jago kawakan yang
berpengalaman melihat keadaan tidak beres segera
timbul niat untuk mengundurkan diri, pedang lemasnya
segera diputar melindungi tempat penting di tubuhnya, ia
berkata, “Sahabat karib ini hari aku orang she-Ciong
merasa telah berjumpa dengan musuh tangguh, gunung
nan hijau tidak berubah air yang biru tetap mengalir, lain
kali kita lanjutkan kembali pertarungan ini”
Serangan dari kelima buah roda emasnya segera
diperketat, ia siap mendesak musuhnya untuk mencari
pulang guna mengundurkan diri.
Chin Pek-cuan segera mendongak dan tertawa
terbahak-bahak. “Haaah…. haaah…. haaah…. kawan, bila
berjodoh walaupun berpisah ribuan li akhirnya bertemu
juga, aku harap kau tak usah pergi lagi!”
Sembari berkata gerakan tubuhnya tiba-tiba berubah,
tampak ia melayang dengan kecepatan bagaikan kilat,
tubuhnya menerobos kesana kemari diantara kelima
buah roda emas tersebut, dua buah telapak bajanya
dengan gencar bagaikan hujan badai menyerang
musuhnya habis2an…..
Dalam sekejap mata Ciong Tiau-gak terdesak dibawah
angin, kelima buah roda emasnya tak mampu
dipergunakan lagi, bukan menolong benda itu malahan
menjadi beban baginya. Semua serangan lawan terpaksa

harus ditangkis dan dibendung dengan mempergunakan
pedang lemas di tangan kanannya.
Melihat Ciong Tiau-gak menderita kekalahan, kakek
baju hitam yang lain tidak berpikir panjang lagi, garpu
pendeknya segera diputar dan untuk kedua kalinya
menerjang kembali ke depan.
Kakek yang terluka tadipun segera ayun pula tameng
bajanya dan ikut menerjang ke depan.
Terdengar pria berbadan seperti beruk itu memaki
dengan suara yang tinggi melengking, “Anak iblis yang
tak tahu malu!”
Sambil berseru tubuhnya segera maju dan menerjang
ke depan. Dalam sekejap mata bentakan serta teriakan
berkumandang memecahkan kesunyian, sebuah pukulan
keras yang dilancarkan Chin Pek-cuan bersarang telak di
atas bahu kiri Ciong Tiau-gak, membuat kakek itu
bersama-sama dengan senjatanya terlempar sejauh satu
tombak lebih dari tempat semula.
Ilmu pukulan Kim-see-ciang yang dia yakini sanggup
digunakan untuk menghancurkan batu nisan, Ciong Tiaugak
yang termakan oleh pukulan itu tulang bahunya
seketika hancur berantakan.
Keadaan dari dua orang kakek baju hitam yang lain
jauh lebih aneh lagi, dengan senjata yang masih
terhunus mereka menggeletak ditanah tanpa bisa
berkutik, peluh membasahi tubuhnya dan suara rintihan
bergema memecahkan kesunyian.

Sikap Ciong Tiau-gak jauh lebih gagah, ia bangkit
berdiri dengan susah payah kemudian sambil menahan
sakit disimpannya kembali pedang lemas itu, tanpa
memunguti kembali senjata roda emasnya yang tersebar
ditanah dia berjalan menghampiri dua orang rekannya
yang menggeletak tak bisa bangun itu, setelah
memeriksa sebentar keadaan mereka berdua ia segera
bangkit berdiri.
Terhadap Chin Pek-cuan serta pria kurus kecil yang
ada disana ia berlagak bodoh dan sama sekali tidak
menengok barang sekejappun.
Chin Pek-cuan mendengus dingin, sinar matanya
berputar memandang sekejap ke arah pria berbadan
seperti beruk itu.
Pria itu membisikkan sesuatu kesisi telinganya, Chin
Pek-cuan segera kelihatan agak tertegun dan putar
badan kemudian teriaknya, “Sahabat-sahabat
darimanakah yang telah datang bila tidak munculkan diri
lagi jangan salahkan kalau aku tak akan menemani lebih
jauh”
“Sungguh lihay orang ini” pikir Hoa Thian-hong di
dalam hati” tanpa berpaling dia sudah tahu kalau
dibelakang tubuhnya ada orang yang menguntil.
Tampaklah dari balik sebuah pohon besar kurang lebih
beberapa puluh tombak dihadapannya meloncat keluar
seseorang, setelah berjalan beberapa langkah kemuka

tiba-tiba dia alihkan sorot matanya ke arah tempat
persembunyian dari Hoa Thian-hong berdua,
Melihat hal itu Hoa In segera menyumpah dengan hati
mendongkol, “Nenek anjing sialan rupanya dia lebih
cerdik dari kita berdua!!”
Hoa Thian-hong tersenyum, dia tahu tempat
persembunyiannya sudah ketahuan, maka dia lantas
bangkit dan berjalan keluar dari balik pohon.
Tiba-tiba Hoa In menyusul maju ke depan, bisiknya
dengan suara lirih, “Siau Koan-jin harap waspada,
bajingan tua itu bernama Yan-san It-koay dia adalah
salah satu tulang punggung dari perkumpulan Hong-imhwie!!”
Hoa Thian-hong mengerutkan sepasang alisnya yang
tebal, ia menoleh dan menatap wajah manusia aneh dari
gunung Yan-san itu, tampaklah sepasang matanya
cekung ke dalam dengan hidungnya menghadap atas,
raut wajah berwarna kuning hangus dan jeleknya luar
biasa.
Ketika itu sampai melototkan matanya Yan-san It-koay
pun sedang mengawasi Hoa Thian-hong berdua dengan
pandangan tajam. pada saat yang hampir bersamaan
ketiga orang itu sama-sama muncul di tengah kalangan
Chin Pek-cuan serta pria seperti beruk itu melirik sekejap
ke arah pedang baja yang tersoren di pinggang, wajah
mereka segera menunjukkan suatu sikap yang aneh.

Ciong Tiau-gak sendiripun nampak agak tertegun
ketika menjumpai kemunculan Hoa Thian-hong secara
mendadak disitu, untuk beberapa saat lamanya sorot
mata semua orang sama-sama ditujukan ke arah
pemuda itu.
Tiba-tiba terdengar kembali suara ujung baju
tersampok angin secara lapat-lapat berkumandang
datang. semua orang merasa terkejut dan sama-sama
berpaling.
Bayangan manusia berkelebat lewat dan sama-sama
munculkan diri di tengah kalangan, orang yang barusan
datang berjumlah dua belas orang, sebagian besar
diantaranya mengembol pedang dipunggung
Orang pertama yang munculkan diri terlebih dahulu
bukan lain Thian Seng-cu dari perkumpulan Thong-thiankauw,
sedang separuh lainnya berdandan seperti
manusia biasa, usianya di atas empat puluh tahunan
Setibanya di tengah kalangan kedua golongan
manusia yang berbeda itu masing memencarkan diri dan
berdiri pada kelompok yang berbeda.
Menyaksikan siapa yang telah datang, Ciong Tiau-gak
seketika merasa semangatnya berkobar, dengan cepat ia
maju menghampiri kakek baju kuning dan memberi
hormat.
“Tongcu, kebetulau sekali kedatanganmu itu…!”
serunya.

“Aku sudah tahu” jawab kakek baju kuning sambil
ulapkan tangannya.
Dia memberi tanda dan dua orang segera munculkan
diri, kakek baju hitam yang menggeletak di atas tanah
dan tak bisa berkutik itu dengan cepat dibopong keluar
dari gelanggang.
Hoa In yang mengenali siapakah kakek baju kuning
itu, dengan ilmu menyampaikan. suara segera berbisik
kepada Hoa Thian-hong, “Tua bangka itu she-Ho
bernama Kee Sian, orang-orang menyebutnya sebagai
Poan Thian jiu si tangan sakti pembalik langit, dia
merupakan Tongcu ruang Thian Leng Tong dari
perkumpulan Sin-kie-pang, nama besarnya dikenal oleh
setiap orang dan tidak berada dibawah nama besar
Cukat racun Yau Sut….”
Hoa Thian-hong alihkan sorot matanya ke arah orang
itu dia lihat dada tangan sakti pembalik langit Ho Keesian
amat bidang dengan perut buncit, alisnya tebal dan
matanya besar, sinar mata tajam memancar keluar dari
balik kelopak matanya dan kelihatan mengerikan sekali.
Dalam hati segera pikirnya, “Kegagahan orang ini
mengerikan sekali, dia bisa menduduki jabatan sebagai
Tongcu ruang Thian Leng Tong, ilmu silat yang
dimilikinya pasti lihay sekali”
Dalam pada itu si tangan sakti pembalik langit Ho Keesian
telah menyapu sekejap wajah seluruh jago yang
hadir ditempat itu, sambil melangkah maju dua tindak ke
depan tegurnya dengan suara dingin, “Saudara yang
mana telah memberi pelajaran kepada saudara

saudaraku? disini aku orang she Ho mengucapkan
banyak terima kasih lebih dahulu”
Chin Pek-cuan tertawa keras, “Haaaah…. haaaah….
haaaah….. akulah yang telah melukai beberapa orang
loo-ya itu karena pengaruh oleh emosi, harap Ho Tongcu
suka memberi maaf!”
Dengan sorot mata yang dingin tangan sakti pemba1ik
langit Ho Kee-sian mengawasi wajah Chin Pek-cuan dari
atas hingga ke bawah, lalu mendengus dingin. “Hmmm!
Kau mempunyai orang dengan wajah berkerudung, aku
rasa aku orang she Ho tak usah mengajukan pertanyaan
atas namamu lagi.”
“Aku cuma seorang prajurit kecil yang tak bernama,
sekalipun kau ingin tahu nama ku juga tak ada gunanya.”
“Tua bangka itu pandai mempergunakan ilmu telapak
Kim-see-ciang!” teriak Ciong Tiau-gak dengan gusar,
“rupanya dia adalah manusia she-Chin dari kota Kengciu!”
Ho Kee-sian telapak sakti pembalik langit mengerutkan
sepasang alisnya yang tebal. “Berapa hebatnya sih Chin
Pek-cuan itu? Masa kalian bertiga bukan tandingannya?”
ia berseru.
Haruslah diketahui Chin Pek-cuan adalah seorang jago
dari kalangan lurus yang sangat luas pergaulannya, ia
merupakan seorang manusia kenamaan yang diketahui
setiap orang, tetapi ilmu silat yang dimilikinya cuma
biasa2 saja dan orang mengetahui akan hal ini.

Hoa Thian-hong yang mengikuti jalannya peristiwa itu
dari sisi kalangan makin memandang ia semakin
kebingungan.
Thian Seng-cu baru saja bertemu muka dengan Chin
Pek-cuan bahkan menyerahkan pula sepucuk surat
kepadanya, tetapi kini ia datang bersama-sama Ho Keesian
sekalian dan sikapnya ternyata pura2 tidak kenal
dengan orang she Chin tersebut.
Sedang Yan-san It-koay adalah seorang jago lihay
kelas satu di dalam dunia persilatan sepantasnya ilmu
silat yang dia miliki jauh di atas Ho Kee-sian maupun
Thian Seng-cu dan semestinya mereka bertiga kenal satu
sama lainnya, tetapi sekarang mereka tidak saling
menyapa sedang Yan-san It-koay pun tiada maksud
mengumbar hawa amarah. kejadian ini benar-benar
merupakan suatu peristiwa yang aneh sekali. Terdengar
Ciong Tiau-gak berkata kembali, “Lapor Tongcu, jago
lihay yang sebenarnya adalah manusia kurus yang
bongkok itu sedang si tua bangka ini cuma bonekanya
belaka”
Mendengar perkataan itu tangan sakti pembalik langit
Ho Kee-sian segera berpaling, dengan sorot mata yang
tajam ia menatap pria kurus kecil yang menyerupai beruk
tadi jengeknya sambil tertawa dingin.
“Heeeh…. heeeh… ternyata kau berulah manusia lihay
yang tak mau unjukkan diri tak nyana kalau aku orang
she-Ho sudah salah melihat.”

“Hmm! omong kosong” dengan pria kurus kecil seperti
beruk itu dengan nada sinis.
Mendengar ucapan itu tangan sakti pembalik langit Ho
Kee-sian jadi teramat gusar, sambil menerjang ke depan
dia kirim satu pukulan dahsyat, serunya, “Aku orang she-
Ho ingin mencoba dahulu sampai dimanakah kelihayan
yang kau miliki….”
Pria kurus kecil menyerupai beruk itu sama sekali tidak
gentar, dengan langkah yang seenaknya dia maju ke
depan, telapak kanan didorong kemuka dan
menyongsong datangnya serangan tersebut dengan
keras lawan keras.
Blaaam….! di tengah getaran keras tubuh mereka
berdua sama-sama tergetar keras, jubah panjang seolah
olah bergelombang seketika menggelembung besar.
“Ho tua!” Thian Seng-cu yang selama ini selalu
membungkam tiba-tiba buka suara, “ini hari kau telah
bertemu dengan lawan tangguh, ingin kulihat sampai
dimanakah keampuhan dari tangan sakti pembalik
langitmu itu”
Tangan sakti pembalik langit Ho Kee-sian tertawa
dingin. “Hmmm! aku si Ho tua bukan seorang anak muda
yang baru muncul dalam dunia persilatan, kau tak usah
pakai akal untuk memanasi hatiku!”
“Haah…. haaah…. haaah sungguh tebal iman kau Ho
tua, harap kesanalah sedikit!”

Tangan sakti pembatik langit Ho Kee-sian mendengus
dingin, kepada pria kurus kecil yang menyerupai beruk
itu serunya dengan nada dingin, “Rupanya kekalahan
saudara-saudaraku bukanlah kekalahan secara
penasaran, hutang ini baiklah kita bereskan nanti saja!”
Dia mundur dua langkah ke belakang, sepasang mata
memandang ke langit dan mulutnya membungkam dalam
seribu bahasa.
Tampak Thian Seng-cu putar badan sambil memberi
hormat, katanya, “Lo-sicu, kau bukannya hidup secara
bebas digunung Yan-san, ada urusan apa jauh-jauh
berkunjung kewilayah Kanglam?”
Yan-san It-koay melototkan sepasang matanya bulatbulat
dan menjawab sambil tertawa, “Tua bangka hidung
kerbau, rupanya kau sudah bosan hidup? wilayah
Kanglam toh bukan wilayah pribadi dari perkumpulan
Thong-thian-kauw aku mau datang atau mau pergi apa
urusannya dengan dirimu? Mau apa kau urusi
persoalanku?”’
Thian-Seng-cu tertawa hambar. “Dewasa ini dunia
persilatan sedang dilanda kerusuhan dan banyak
persoalan telah bermunculan, Tiga besar dari dunia
persilatan belum sampai menentukan siapa kawan siapa
lawan, ini hari losicu telah berlagak sok dihadapan kami
dengan ucapan yang sombong, Hmmn.! hati hatilah, bila
sampai salah. berbicara maka…”
“Kau berani berbuat apa terhadap diriku!” tukas Yansan
It-koay dengan mata melotot.

“Haaah….haah….haaaah…. soal itu….bila sampai kau
salah bicara maka aku akan mengajak Lo-hooo untuk
bekerja sama dan menahan lo-sicu di tempat ini. Hmm…,
Hmm…. jika perkumpulan Hong-im-hwie sampai
kekurangan seorang jago macam Lo-sicu, maka urusan
semakin gampang untuk diselesaikan”
Yan-san It-koay angkat kcpala dan tertawa terbahakbahak.
“Haaah….. haaah….. haaah….. hidung kerbau
yang tak tahu diri, aku malas untuk cekcok serta ribut
dengan manusia semacam kau, ayoh cepat enyah
kesamping, aku hendak berbicara dengan puteranya Hoa
Goan-siu!”
Setelah mengetahui bahwa kedatangan gembong iblis
itu adalah untuk menjumpai Hoa Thian-hong, dengan
cepat Thian Seng-cu mundur setengah langkah ke
belakang dan tidak berbicara lagi.
“Licik amat siluman tua ini!” sumpah Hoa Thian-hong
dalam hati, “Rupanya dia takut juga menghadapi
kerubutan orang banyak. Hmm! Sungguh tidak mirip
seorang jago yang berlatih silat”
Haruslah diketahui hubungan diantara perkumpulan
Sin-kie-pang, Hong-im-hwie serta Thong-thian-kauw
boleh dibilang kawan boleh dibilang juga lawan
sedikitpun tiada perasaan setia kawan diantara mereka,
asal bisa melenyapkan kekuatan dari golongan lain
dengan cara serta tindakan apapun akan mereka
lakukan, oleh sebab itu tidak sampai keadaan yang

terlalu terdesak siapapun tidak ingin turun tangan lebih
dahulu.
Hoa Thian-hong adalah seorang jago muda yang
berjiwa ksatria, tentu saja ia tidak terbiasa melihat
keadaan semacam itu,
“Hoa Thian-hong!” terdengar Yan-san It-koay berseru
dengan suara lantang. “kenal tidak dengan diriku?”
“Aku rasa kau pastilah Yan-san It-koay” jawab
pemuda itu dengan suara hambar. “Bagaimana dengan
cara menyebut dirimu, aku rasa lebih baik kau memberi
petunjuk”.
“Haaah…. haaah, sebut saja Yan-san It-koay, aku
tiada sebutan ia bepaling ke samping dan melanjutkan,
“Apakah kau bernama Hoa In?”
“Hmm! tidak nyana kau masih kenal dengan diriku”
sahut Hoa In dengan mata mendelik.
“Tua bangka sialan, besar amat lagakmu” kembali iblis
tua itu berpaling ke arah Hoa Thian-hong, “situasi yang
terbentang di depan mata dewasa ini amat kritis, nafsu
membunuh telah menyelimuti setiap sudut tempat. ketika
Jin Hian melihat kau pergi tanpa pamit ia segera merasa
tidak tenteram, maka aku diutus datang kemari untuk
mengajak kau kembali”
“Terima kasih, setelah menyaksikan keramaian aku
segera berangkat”

Yan-san It-koay tidak menduga jawaban pemuda itu
begitu cepat, ia segera tertawa terbahak-bahak.
“Haaah…. haaaah…. haaah….. bocah pintar memang
gampang dididik” ia berpaling dan segera teriaknya,
“Siapa yang merasa gatal tangan silahkan turun ke
gelanggang, selesai menonton keramaian akupun akan
segera berlalu”
Tangan sakti pembalik langit Ho Kee-sian menyapu
sekejap wajah semua jago, kemudian sambil menuding
ke depan bentaknya, “Tangkap!”
Bentakan keras bergema di angkasa, desiran angin
tajam menderu-deru, dari belakang tubuh manusia she
Ho itu segera meloncat keluar delapan orang jago lihay
yang bersama-sama menerjang ke arah Chin Pek-cuan
serta pria kurus kecil menyerupai beruk itu.
Dalam waktu singkat. dalam kalangan segera
berkobarlah suatu pertempuran yang amat sengit.
Pertempuran yang berkobar pada saat ini jauh lebih
seru daripada pertarungan semula delapan orang jago
dari perkumpulan Sin-kie-pang yang turun ke dalam
gelanggang pada saat. ini semuanya merupakan
pelindung hukum dari ruang Thian Kee Tong, ilmu silat
mereka semua jauh di atas kepandaian Ciong Tiau-gak,
meskipun senjata tajam yang dipergunakan berbeda satu
sama lainnya tetapi maju mundur menyerang serta
bertahan diantara mereka dilakukan dengan sangat
teratur sekali yang satu membantu yang lain yang kuat
mengisi yang lemah, sekilas memandang siapapun bisa

melihat bahwa kerja sama dari kedelapan orang itu amat
sempurna dan sudah berpengalaman sekali.
Pria kurus kecil menyerupai beruk itu segera tunjukkan
kelihayannya, sepasang telapak berputar bagaikan titiran
angin puyuh, dengan tangguh dan kosen ia hadapi
semua serangan yang muncul dari empat arah delapan
penjuru.
Angin pukulan menderu deru, meskipun berada di
tengah dentingan suara yang beraneka ragam namun
suara deruan angin pukulannya tetap nyaring dan tidak
kacau, sejurus demi sejurus dilancarkan dengan mantap
dan hebat.
Semua jago yang menyaksikan jalannya pertarungan
dari sisi kalangan diam-diam merasa kagum juga melihat
keampuhan orang itu, merekapun dapat melihat jelas,
meskipun Chin Pek-cuan ikut terjun ke dalam kalangan
namun hampir boleh dikata tiada kesempatan baginya
untuk ikut melancarkan serangan.
Setelah memandang beberapa saat lamanya, dengan
cepat Hoa Thian-hong telah memahami akan sesuatu,
pikirnya, “Aaah..! rupanya ilmu silat yang dimiliki Chin
Pek-cuan itu adalah hasil pelajaran dari orang ini….”
Situasi dalam kalangan ketika itu benar-benar luar
biasa sekali, para jago dari perkumpulan Sin-kie-pang
turun tangan lebih dahulu. Tangan sakti pembalik langit
Ho Kee-sian mengawasi jalannya pertarungan dari sisi
kalangan sedang Yan-san It-koay serta para toojin dari
Thong-thian-kauw tak bisa ditebak isi hati mereka.

sekalipun pria kurus kecil itu kosen dan punya harapan
untuk melarikan diri, namun pertarungan yang
berlangsung lebih jauh hanya merugikan dirinya belaka,
apalagi masih ada Chin Pek-cuan sebagai beban, bila
pertarungan diteruskan akhirnya dia bakal kehabisan
tenaga dan menunggu saat kematiannya belaka.
Chin Pek-cuan adalah tuan penolong keluarga Hoa dia
merupakan ayah dari Chin Wan-hong pula, meskipun
perbuatannya di kuil It-goan-koan mencurigakan sekali,
namun Hoa Thian-hong tak dapat membiarkan kakek itu
terjerumus dalam posisi yang berbahaya.
Tetapi diapun tahu jika dirinya tak berhasil
mendapatkan kesempatan baik, dan turun tangan secara
gegabah maka tindakan yang sembrono itu justru akan
merupakan ancaman bagi keselamatannya, bahkan
mungkin akan terkepung oleh tiga golongan tersebut.
Berpikir demikian. tiba-tiba ia putar kepala dan
berteriak keras, “Thian Seng Tootiang, seandainya
barang itu sampai terjatuh ke tangan Ho Tongcu maka
semua rencana besarmu akan punah dan lenyap tak
berbekas!”
Tertegun hati Thian Seng-cu mendengar ucapan itu,
tetapi dia tetap membungkam.
Yan-san It-koay yang ikut mendengar pula
pembicaraan tadi. dengan alis berserut segera berseru,
“Hoa Thian-hong, barang apakah itu? Apakah benda itu
mempunyai pengaruh yang besar?”

“Aku tidak berani bicara secara sembarangan” sahut
Hoa Thian-hong berlagak sok rahasia, “Aku takut
ucapanmu yang keliru akan mendatangkan bencana
kematian bagi diriku sendiri, lebih baik tanyakan sendin
kepada Thian Seng Tootiang”
“Hidung kerbau sialan!” Yan-san It. koay segera
berteriak keras, “cepat katakan pusaka apakah itu?”
“Bangsat cilik, pikir Thian Seng-cu dalam hati, masa
dia mengetahui akan rahasia besar ini?”
Berpikir demikian ia lantas tertawa terbahak bahak,
serunya, “Hoa Thian-hong, kau bocah cilik yang belum
hilang bau teteknya, berani benar omong yang tidak
genah dan membuat ombak tanpa angin apa kau anggap
di kolong langit sudah tak ada manusia lagi?”
Hoa Thian-hong tersenyum. “Pihak Thong-thian-kauw
lah yang sudah pada buta semua dan menganggap di
kolong langit sudah tak ada orang lain lagi, kau anggap
Jin Hian serta Pek Siau-thian adalah manusia tolol
semua?”
Sepasang mata Yan-san It-koay melotot makin bulat,
teriaknya, “Tua bangka hidung kerbau. tunggu sebentar,
hutang ini akan kubereskan sejenak lagi.”
Tubuhnya segera berkelebat ke depan dan menerjang
ke arah tubuh Chin Pek-cuan teriaknya, “Tua bangka,
andaikata benda itu adalah Pedang emas, ayoh, cepat
serahkan kepadaku!”

Sembari berseru, jari tangannya laksana kilat
mencengkeram tubuh kakek tua she-Chin tadi.
Terdengar pria kurus kecil yang menyerupai beruk itu
mendengus dingin, telapak tangannya dengan gencar
melancarkan satu pukulan hebat mengancam bawah iga
Yan-san It koay.
Pukulan ini dilancarkan dengan suatu gerakan yang
aneh dan ampuh, begitu dikirim keluar angin pukulan
yang tajam segera berhembus lewat.
Yan-san It-koay segera miring ke samping dan
meloncat beberapa depa ke sisi kalangan, kelima jari
tangannya bagaikan cakar kuku garuda tiba-tiba
mengancam tubuh Chin Pek-cuan.
Makhluk tua yang banyak berpengalaman ini memang
cerdik sekali, meskipun dia tahu kalau ilmu silat yang
dimiliki pria kurus kecil itu sangat lihay namun ia tetap
bersikeras hendak merampas barang ‘pusaka’ itu dari
saku Chin Pek-cuan, dalam perkiraannya
cengkeramannya itu pasti akan mengenai sasarannya.
Tiba-tiba terdengar suara desiran tajam yang amat
memekikkan telinga berkumandang datang, segulung
angin pukulan yang maha dahsyat meluncur datang dan
mengancam tubuhnya.
Dari desiran angin pukulan yang menyerupai ilmu
totokan tetapi bukan ilmu totokan. menyerupai ilmu
pukulan tetapi bukan pukulan itu, Yan-san It-koay segera
mengetahui bahwa orang yang melancarkan serangan

bokongan barusan bukan lain adalah Tangan Sakti
pembalik langit Ho Kee-sian.
Dengan cepat ia miringkan tubuhnya ke samping lalu
maju selangkah ke depan, sambit putar badan sebuah
pukulan kilat dilancarkan, Tanpa mengucapkan sepatah
katapun Tangan sakti pembalik langit Ho Kee-sian
merubah gerakan dan berganti jurus, dengan gerakan
‘Sian-toh-poh Liong’ atau tadi dewa pembelenggu naga,
dia menerjang maju kemuka.
Setelah dia lancarkan serangan ke arah Yan-san Itkoay,
para jago perkumpulan Sin-kie-pang yang semula
mengerubuti Chin Pek-cuan serta pria kurus kecil itu
segera meloncat keluar tiga orang, mereka putar badan
dan berbalik menerjang ke arah manusia aneh dari
gunung Yan-san itu.
Dengan peristiwa ini maka daya tekanan pada pihak
Chin Pek-cuan jadi jauh berkurang, dalam sekejap mata
menyerang serta bertahan bisa dilakukan dengan leluasa,
bagaikan harimau gila yang terlepas dari sangkar Chin
Pek-cuan membentak berulang kali, dengan gencar dia
lancarkan serangan secara bertubi-tubi.
“Pertarungan massal semacam ini sukar diramalkan
bagaimana akhirnya, tetapi seandainya Yan-san It-koay
bisa dilenyapkan lebih dahulu maka pihak kami maju bisa
bertempur, mundur bisa bertahan…” pikir Hoa Thianhong
dalam hati.
Berpikir demikian tanpa terasa sorot matanya dialihkan
ke arah Thian Seng-cu, empat mata beradu satu sama

lainnya membuat kedua orang itu tanpa terasa
tersenyum, rupanya ada yang dipikirkan kedua orang itu
tidak jauh berbeda.
Thian Seng-cu lebih berpengalaman dan perkirannya
lebih licik, biji matanya segera berputar, sambil tertawa
katanya, “Hoa Thian-hong, kau benar-benar tidak punya
semangat jantan seorang lelaki. masa berhadapan muka
dengan musuh besar pembunuh ayahmu kau masih tetap
berdiri termenung tak berkutik, bila sukma Hoa Goan-siu
di alam baka mengetahui akan hal itu, dia pasti akan
memaki dirimu sebagai bocah tak berbakti yang lemah
dan pengecut!”
Tergetar hati Hoa Thian-hong setelah mendengar
perkataan itu, meskipun dia tahu perkataan dari Thian
Seng-cu itu bermaksud untuk mengadu domba, tetapi ia
merasa tak bisa membiarkan musuh besar pembunuh
ayahnya berlalu dengan begitu saja.
Ia segera cabut keluar pedang bajanya dan
membentak dengan suara keras, “Yan-san It-koay!
Sudah kau dengar perkataan dari Thian Seng-cu?”
Diam-diam Yan-san It-koay merasa terperanjat,
meskipun dia tidak jeri terhadap Hoa Thian-hong, tetapi
dia sadar bahwa ilmu silat yang dimiliki Hoa In tidak
berada dibawah dirinya, tentu saja ia tak berani mungkir
dihadapan banyak orang, sambil putar otak cari jalan
keluar sepasang telapaknya dilancarkan semakin gencar,
dalam sekejap mata dia sudah mengirim enam buah
pukulan berantai

Gembong iblis ini benar-benar memiliki ilmu silat yang
luar biasa, setelah beberapa buah serangan itu
dilancarkan seketika itu juga Tangan sakti pembalik
langit Ho Kee-sian sekalian tak sanggup
mempertahankan diri, mereka semua tergetar mundur
dan mencelat sejauh satu tombak lebih dari kalangan.
Hoa Thian-hong lintangkan pedang bajanya di depan
dada berdiri dengan sikap angker, ujarnya, “Kau tak usah
gugup atau gelisah, aku berdua tak mampu
membinasakan dirimu pada saat tni, dendam
terbunuhnya ayahku untuk sementara waktu akan
kubiarkan dahulu”
Sementara pembicaraan masih berlangsung,
pertarungan telah terhenti dan Chin Pek-cuan sekalian
telah mengundurkan diri ke belakang, sedang para jago
dari perkumpulan Sin-kie-pang sama-sama mundur ke
belakang Ho Kee-sian, sinar mata mereka semua
dialihkan ke arah Hoa Thian-hong serta Yan-san It-koay.
Terdengar jago aneh dari gunung Yan-san itu tertawa
keras, ujarnya, “Ketika diadakannya pertemuan besar
Pak Beng Hwee, enam jago lihay bersama-sama
mengerubuti Hoa Goan-siu seorang, aku adalah salah
satu diantaranya majulah kalian berdua berbareng!
perbuatanmu itu akan dianggap adil dan siapapun tak
akan mengatakan apa-apa”
“Siau Koan-jin” teriak Hoa Ia dengan suara keras,
“budak akan membunuh dirinya dengan kekuatanku
seorang!”

“Tujuan kita adalah membalas dendam bukan adu
kepandaian untuk mencari nama” seru Hoa Thian-hong
dengan wajah serius dan suara dingin, “Aku harap kau
bisa menahan diri dan jangan terbaru nafsu!”
Meskipun usianya masih muda tetapi wibawanya besar
sekali, setelah air mukanya berubah Hoa In tak berani
banyak bicara lagi, dia mengepas napas dan melayang ke
depan, sambil berdiri pada jarak enam tujuh depa dih
adapan Yan-san It-koay hawa murninya disalurkan keluar
siap menghadapi segala kemungkinan yang tidak
diinginkan.
Perlahan2 Hoa Thian-hong maju beberapa langkah ke
depan. tangan kanan memegang gagang pedang tangan
kiri dengan ketiga jarinya menjepit ujung senjata sambil
berdiri kokoh bagaikan batu karang ujarnya dengan
suara tenang, “Yan-san It-koay, di dalam pertarungan
yang akan berlangsung hari ini, bagaimana pendapatmu
mengenai siapa yang menang siapa yang bakal
kalah…..?”
Ketika itu malam tak berbintang dan tak berbulan
yang gelap sekali. angin malam berhembus kencang
mengibarkan ujung baju setiap orang, di tengah tanah
liar jauh dari kota hawa membunuh menyelimuti seluruh
angkasa.
Semua jago baik dari pihak Thong-thian-kauw maupun
Sin-kie-pang semuanya merupakan jago-jago
pengalaman yang sudah seringkali menghadapi
pertarungan besar, walaupun begitu tak urung mereka

dibikin terkesiap juga menyaksikan sikap Hoa Thian-hong
yang begitu serius, keren dan penuh kewibawaan.
Yan-san It-koay sebagai jago tangguh yang seringkali
memandang rendah umat Bu-lim tak urung sekarang
merasa goncang pula hati kecilnya, tetapi setelah
mendengar perkataan dari Hoa Thian-hong tadi dengan
cepat ia tenangkan pikirannya sambil berpikir sebentar.
kemudian dia menggeleng dan menjawab sambil
tertawa.
“Aku belum pernah menyaksikan ilmu silat yang
dimiliki kalian berdua, menurut perkiraan Jin Hian
katanya ilmu silat yang dimiliki Hoa In telah memperoleh
kemajuan pesat dan rupanya sudah menguasai ilmu Sauyang-
ceng-kie kepandaian sakti dari perkumpulan Liok
Soat Sanceng, aku dengar ilmu silat yang kau milikipun
tidak jelek, cuma usianya terlalu muda dan pelajaran
yang berhasil dikuasai belum banyak”
Dia berhenti sebentar dan tertawa terbahak bahak,
lanjutnya, “Haah…. haaah….. haaaah…. aku sih hanya
seorang manusia yang diberkahi usia panjang, aku
bukanlah manusia tanpa tandingan di kolong langit,
banyak pertarungan berdarah yang telah kualami selama
hidup. bagiku sih kalau menang mendesak terus sedang
kalau kalah cepat-cepat kabur, mengenai pertarungan
yang akan berlangsung hari ini … terus terang saja
kukatakan bahwa aku tidak mempunyai keyakinan untuk
menang”

Dengan wajah serius Hoa Thian-hong mengangguk,
“Jadi kalau begitu, kaupun belum bisa dikatakan seorang
jago yang tak terkalahkan di kolong langit”
Yan-san It-koay tidak tahu apa maksud yang
sebenarnya dari pemuda itu mengucapkan kata-kata
semacam itu, sepasang alisnya segera berkerut.
“Kalau berbicara tentang nama besar yang disegani
setiap orang, maka dalam ratusan tahun belakangan ini
hanya bapakmu Hoa Goan-siu seorang yang pantas
untuk menerimanya, sayang sekali dia meninggal dikala
usia muda. Akhir hidupnya tidak tenteram dan bahagia,
siapa pun yang memberi nama besar tersebut kepadaku,
aku segan untuk menerimanya”
“Oooh…! jadi kalau begitu kau adalah seorang
manusia yang sayang akan jiwa dan berusaha hidup
sepanjang masa?”
“Hmmm! Semutpun menginginkan hidup, siapa yang
sudi mengorbankan jiwa sendiri dengan percuma?”
dengus Yan-san It-koay dengan suara dingin.
JILID 20: Mencari Giok Teng Hujien
Hoa Thian-hong tertawa dingin. “Heeeh… heheh,
baiklah, memandang di atas ucapanmu barusan kau
boleh segera melancarkan serangan, bila jiwamu sudah
terancam mara bahaya nanti. aku orang she-Hoa bisa
melaksanakan kebijaksanaan mendiang ayahku untuk
memberi satu jalan kehidupan bagimu.”

Yan-san It-koay seketika itu juga naik pitam, satelah
mendengar perkataan itu dia tertawa seram, dia
menerjang maju kemuka, telapaknya diayun mengirim
satu pukulan dahsyat ke depan.
Terdengar Hoa In membentak keras, tubuhnya
bergerak maju ke depan, telapaknya berputar dan
mencegah datangnya ancaman tersebut.
Gerakan tubuh kedua orang itu sama-sama enteng
dan cepat laksana sambaran petir, sebaliknya gerakan
dari Hoa Thian-hong tetap tenang dan mantap, tampak
kaki kirinya melangkah ke samping dan bergeser ke sisi
sebelah kiri manusia aneh dari gunung Yan-san itu,
pedang bajanya membabat datar dan……
Sreeet! dia bacok pinggang tawan.
Terkesiap hati Yan-san It-koay menyaksikan kejadian
itu, dia bukan kaget karena ilmu silat yang dimiliki Hoa
Thian-hong amat lihay, juga bukan karena tenaga
dalamnya yang menggetarkan hati di ujung pedang itu,
melainkan caranya dia membacok yang memakai
gerakan begitu sederhana serta lama sekali terbuka itu.
Haruslah diketahui enam belas jurus ilmu pedang yang
diwariskan kepada si anak muda itu merupakan hasil
ciptaan dari Hoa Goan-siu dengan dasar seluruh
kepandaian silat yang pernah dipelajarinya sepanjang
hidup perubahan yang terselip dibalik gerakan-gerakan
sederhana itu demikian sulit dan kaburnya, Sehingga Hoa

Thian-hong sendiripun tak mampu mengartikannya
keluar.
Tetapi berhubung ilmu pedang itu dilatih setiap hari
dan bertahun-tahun lamanya, maka mengikuti
perkembangan tenaga dalam yang berhasil dia yakin, inti
sari dari ilmu pedang itupun terbentuk dengan sendirinya
mengikuti semakin sempurna dia mainkan jurus-jurus
tersebut, sepintas lalu kelihatan jurus serangan itu sama
sekali tak berubah namun perubahan sakti yang
menyertainya ternyata jauh berbeda.
Yan-san It-koay adalah seorang jago kawakan yang
sangat berpengalaman, dari gerakan jurus pedang baja
itu dia sadar bahwa serangan itu sulit dipunahkan
dengan mudah. Sebetulnya dia hendak menggunakan
cara keras lawan keras untuk memaksa Hoa Thian-hong
tarik kembali serangannya guna melindungi keselamatan
sendiri, tetapi Hoa In adalah musuh tangguh yang
membutuhkan delapan bagian tenaga dalamnya untuk
dihadapi, kalau tidak dia akan didahului oleh lawannya
dan terdesak dibawah angin.
Dalam keadaan apa boleh buat terpaksa dia gunakan
serakan tubuh yang cepat hingga sukar diikuti dengan
pandangan mata untuk bergeser keluar dan gencatan
serangan gabungan kedua orang itu, dalam gugupnya
jari tangan laksana tombak langsung menyodok iga kiri si
anak muda itu.
Sejak meninggalkan markas besar perkumpulan Sinkie-
pang, Hoa Thian-hong selalu melayani musuhmusuhnya
dengan serangan tangan kiri, latihannya yang

tekun selama dua tahun membuat jurus ‘Kun-siu-ci-tauw’
tersebut berhasil dilatih hingga matang benar-benar,
bukan saja gerakannya semakin leluasa bahkan tekanan
yang dilancarkanpun jauh lebih hebat. Setiap kali ada
musuh menyerang dari sebelah kiri, secara otomatis
telapak kirinya bergerak untuk menyambut datangnya
ancaman itu.
Baru saja totokan jari Yan-san It-koay meluncur ke
depan, tiba-tiba Hoa Thian-hong mengayunkan
telapaknya pula untuk membendung datangnya ancaman
itu.
Serangan yang dilancarkan pada saat yang bersama
ini nampaknya akan mengakibatkan kedua belah pihak
sama-sama menderita luka parah. pada saat yang kritis
itulah buru-buru manusia aneh dari gunung Yan-san itu
tarik mundur tubuhnya ke belakang sambil menarik dada
kesamping, pikirnya dalam hati, “Keparat cilik! Kau
benar-benar merupakan suatu ancaman yang amat
berbahaya”
Dalam hati berpikir demikian, diluar segera teriaknya,
“Bocah cilik, kau memang cerdik!”
Semua peristiwa itu berlangsung dalam sekejap mata,
baru saja tubuh mereka bertiga mengumpul jadi satu
segera berpisah kembali ke arah belakang, deru angin
pukulan yang santar menderu-deru dan memenuhi
seluruh angkasa.
Pertempuran yang berlangsung saat ini jauh berbeda
dengan pertarungan masalah belum lama berselang

tampak tiga sosok bayangan manusia berkelebat
bagaikan kilat, mereka saling sambar menyambar tiada
hentinya, sebentar berkumpul dan sebentar terpisah
kembali…hawa membunuh tersebar diseluruh angkasa.
siapapun kurang waspada niscaya tubuhnya akan
menggeletak di atas tanah dengan berlumuran darah.
Pada permulaan berlangsungnya pertarungan itu Hoa
In masih menguatirkan keselamatan dari majikan
mudanya. tetapi setelah bertempur beberapa saat
lamanya dan melihat Hoa Thian-hong tetap tenang
bagaikan bergerak laksana gulungan ombak di tengah
samudra, bahkan kegagahan serta keangkerannya jauh
melebihi dirinya, tanpa sadar rasa percayanya pada
kekuatan pemuda itu semakin bertambah tebal, tanpa
dibebani rasa kuatir atau sangsi lagi dia bisa melancarkan
serangan dengan sepenuh tenaga dan bebas leluasa.
Pertarungan ini benar-benar merupakan suatu
pertarungan yang mendebarkan hati, semua penonton
disisi gelanggang tanpa terasa pada menahan napas,
Thian Seng-cu serta Ho Kee-sian sekalian yang
merupakan jago kawakan dengan pengalaman yang luas
setelah menyaksikan beraneka ragamnya ilmu silat yang
dimiliki Yan-san It-koay serta Hoa In dan menjumpai pula
kemantapan serta keampuhan ilmu pedang yang dimiliki
Hoa Thian-hong, diam-diam merasa terkesiap dan
menghela napas tiada hentinya.
Sementara itu ketika Hoa In menyaksikan pertarungan
itu makin lama berlangsung, menang kalah semakin sulit
ditentukan batinya mulai jadi gelisah, ia segera teringat
kembali akan kegagahan majikan tuanya dimasa lampau,

darah panas segera bergolak di dalam dada
menimbulkan rasa sedih, gusar serta kesal yang sudah
berkecamuk sejak tadi. jurus serangan yang dilancarkan
makin lama semakin ganas dan telengas dia mulai
banyak menyerang dari pada melakukan pertahanan.
Yang paling penting dalam ilmu silat tingkat tinggi
adalah ketenangan jiwa yang mantap. setelah pikiran
Hoa In terpengaruh oleh angkara murka walaupun Yansan
It-koay seketika terjerumus dalam posisi yang kritis
dan berbahaya namun dalam hati kecilnya diam-diam ia
malah jadi girang, dia beranggapan justru keadaan inilah
akan memberi peluang yang lebih banyak baginya untuk
merebut kemenangan.
“Hoa In!” tiba-tiba Hoa Thian-hong membentak keras,
“musuh besar kita bukan hanya Yan-san It-koay seorang,
kau ingin beradu jiwa dengan dirinya??”
Teguran itu bagaikan pentungan yang mendarat di
atas kepala segera membuat Hoa In terkesiap hatinya,
segera pikirnya, “Aku betul-betul amat tolol, sejak
kematian majikan tua semua pengharapan keluarga Hoa
telah terjatuh ke atas pundak Siau Koan-jin, aku mana
boleh bertindak secara gegabah dengan meninggalkan
dia seorang di kolong langit….”
Begitu ingatan tersebut berkelebat di dalam benaknya,
dia segera mengekang nafsu angkara murkanya di dalam
hati dan situasi pertempuranpun segera berubah kembali
jadi mantap dan semakin kokoh.

Yan-san It-koay tertawa dingin, serunya, “Hoa Thianhong,
Hoa Goan-siu bisa mempunyai seorang putera
macam dirimu sekalipun mati dia bisa mati dengan mata
meram!”
Pemuda itu mendengus dingin, sambil pusatkan
perhatiannya dia layani serangan-serangan musuh
sedang otaknya berputar mencari akal untuk merebut
kemenangan. pikirnya dalam hati, “Ilmu Sau-yang-cengkie
yang diyakini Hoa In sudah mencapai delapan bagian
kesempurnaan, aku harus berusaha untuk menyuruh dia
bermain petak dengan lawan untuk kemudian memaksa
Yan-san It-koay beradu kekerasan dengan dirinya,
menggunakan kesempatan yang sangat baik ini aku bisa
menghadiahkan pula sebuah tusukan dari arah belakang”
Pertarungan antara jago lihay yang terpenting adalah
pusatkan pikirannya menghadapi serangan, setelah
pikiran pemuda itu bercabang dalam waktu singkat
berulang kali dia menghadapi mara bahaya seandainya
Hoa In tidak menolong pada saat yang tepat niscaya dia
sudah terluka di ujung telapak manusia aneh dari gunung
Yan-san.
Dalam pada itu semangat Yan-san It-koay segera
berkobar setelah menyaksikan tenaga tekanan dari
pemuda itu kian lama kian merosot dan beberapa kali
memperlihatkan lubang kelemahan. sambil memperketat
serangan telapaknya dia berseru, “Hoa Thian-hong,
benarlah kau hendak beradu tenaga sehingga salah
seorang diantara kita menggeletak mati??”

Hoa Thian-hong mendengus dingin, tiba-tiba
bentaknya keras-keras, “Perketat posisi pertahanan,
bendung empat puluh jurus serangannya!”
Sresst! Sreeet! Ia kirim dua babatan kencang dan tibatiba
loncat keluar dari gelanggang pertarungan Yan-san
It-koay jadi tertegun melihat, perbuatan lawannya itu,
dia tak tahu apa sebabnya pemuda itu secara tiba-tiba
meloncat keluar dari gelanggang dikala pertarungan
masih berlangsung dengan serunya.
Meskipun dalam hati kecilnya timbul kecurigaan
namun gerakan serangannya sama sekali tidak
mengendor, sepasang telapak bagaikan gulungan ombak
di tengah samudra menerjang Hoa In tiada hentinya.
Dengan mundurnya Hoa Thian-hong dari gelanggang,
justru cocok dengan apa yang diharapkan oleh Hoa In,
semangatnya segera berkobar dan bersama Yan-san Itkoay
dia berebut menyerang untuk mencari posisi yang
lebih menguntungkan.
00000O00000
KEDUA orang itu sama-sama mempunyai pendapat
yang berbeda yakni menggunakan kesempatan dikala
Hoa Thian-hong tak ada dikalangan secepatnya
membinasakan pihak musuh di ujung telapaknya, dalam
waktu singkat situasi dalam kalangan pertempuran
berubah makin seru dan mendebarkan hati.
Hoa Thian-hong yang menyaksikan Hoa In tak berhasil
menyelami perasaan hatinya dalam, malahan menyerang

dengan gencar dan begitu bernafsunya, dalam hati ia
merasa gelisah sekali.
Sepasang matanya dengan tajam mengikuti terus
perubahan sepasang telapak dari Yan-san It-koay, di
tengah gelagapan tampaklah sepasang matanya
memancarkan cahaya tajam. Dalam waktu singkat empat
puluh jurus telah berlalu, pemuda itu segera berpikir di
dalam hati, “Sulit rasanya untuk mencari lubang
kelemahan diantara jurus serangan yang dipergunakan
Yan-san It-koay jago lihay yang amat tersohor namanya
di kolong langit ini, apalagi pengalaman serta kepandaian
silatku masih jauh ketinggalan juga dibandingkan dengan
dirinya, akupan tidak hapal dengan permainan jurusnya,
untuk memancing dia masuk jebakan rasanya bukan
suatu pekerjaan yang gampang”
Otaknya berputar kencang dan berusaha untuk
mencari akal bagus, apa lacur tiada suatu akal baguspun
berhasil didapatkan. diapun kuatir Hoa In terluka di
ujung telapak musuh, akhirnya dia bernekad untuk
melubangi sampan menenggelamkan perahu sambil
menancapkan pedang bajanya ditanah ia maju
menyerang dengan tangan kosong.
Meskipun ilmu silat yang dimiliki Yan-san It-koay amat
lihay dan jauh melebihi kepandaian silat pemuda itu,
namun menghadapi serangan pedang bajanya yang
begitu ampuh dan luar biasa itu tak urung dirasakan
payah sekali.
Kini melihat pemuda itu secara tiba-tiba membuang
senjata pedangnya dan menyerang dengan tangan

kosong, diam-diam dalam hati merasa girang. pikirnya,
“Jurus pemuda itu semuanya mengandalkan tenaga
dalam yang besar, rupanya bocah itu sudah tak mampu
untuk memainkannya”
Sambil berpikir tangan kanannya segera diayun ke
depan menghajar iga Hoa In, sementara kakinya
melancarkan sebuah tendangan kilat menghantam pusar
Hoa Thian-hong.
Hoa In mengetahui dengan jelas akan kesempurnaan
tenaga dalam yang dimiliki majikan mudanya, semakin
bertempur tiga empat ratus jurus lagi dengan pedang
baja itupun dia masih sanggup mempertahankan diri
sekarang melihat dia membuang pedangnya, pelayan tua
ini jadi tak habis mengerti, namun dalam menghadapi
pertarungan sengit diapun merasa tak leluasa untuk buka
mulut, terpaksa kecurigaan tadi hanya ditelan di dalam
hati saja.
Sementara itu Hoa Thian-hong sudah mengigos ke
samping setelah menyaksikan datangnya tendangan kilat
dari Yan-san It-koay telapak kirinya segera diputar dan
langsung menghajar telapak kakinya.
Jurus ‘Kun-siu-ci-tay’ dari tangan kirinya ini sudah
menjadi bahan pembicaraan dalam dunia persilatan,
sejak semula Yan-san It-koay sudah memperhitungkan
datangnya serangan tersebut.
Dengan cepat dia geser pinggangnya ke samping
untuk melepaskan diri dari ancaman Hoa In, tiba? dia

berkelebat ke sisi kanannya dan mengirim satu totokan
kilat ke arah jalan darah Ki bun hiat.
Criiit…….! desiran angin totokan yang tajam meluncur
keluar dan menggetarkan pendengaran setiap orang
yang hadir di tempat itu.
Hoa Thian-hong terkejut, di tengah keadaan yang
kritis pinggangnya ditarik ke belakang sambil melompat
ke depan, dia melayang sejauh delapan depa dari tempat
semula.
Hoa In meskipun melihat keadaan tidak beres, namun
tak sempat baginya untuk menyusul kemuka, sambil
membentak keras telapaknya segera didorong ke depan
melancarkan sebuah pukulan.
Yan-san It-koay begitu merasakan totokan jarinya
mengenai sasaran kosong dengan cepat dia merasakan
segulungan hawa tekanan tak berwujud yang sangat
berat bagaikan tindihan bukit menerjang ke sisi
tubuhnya, dalam hati ia merasa terperanjat, pikirnya,
“Budak tua itu rupanya benar-benar telah berhasil
meyakinkan ilmu silatnya….!”
Dengan cepat dia mengigos ke samping dan melayang
lima depa dari sisi kalangan.
Tubuh ketiga orang itu kembali saling berpisah, untuk
kemudian bertempur kembali menjadi satu, saat ini
pertarungan dilangsungkan dengan beradu ilmu telapak,
angin pukulan yang menderu deru tajam berseliweran
silih berganti, pasir dan batu beterbangan desiran angin

tajam memekikkan telinga begitu hebat jalannya
pertarungan saat ini ibaratnya bumi akan kiamat dan
permukaan tanah dilanda gempa dahsyat.
Di tengah berlangsungnya pertarungan itu meskipun
beberapa kali Hoa Thian-hong menghadapi serangan
maut, namun setiap kali ia selalu menggunakan jurus
‘Kun-siu-ci-tauw’ dari tangan kirinya untuk menolong diri,
sedang tangan kanannya boleh dibilang lumpuh sama
sekali sebab tak sanggup menggunakan sebuah jurus
seranganpun.
Setelah bertempur sampai empat jurus lebih, hawa
murni yang terpancar keluar dari telapak Hoa Thian-hong
kian lama kian bertambah lemah, pemuda itu mulai
kelihatan lemah dan kehabisan tenaga sehingga bisa
diduga kalau dia tidak mampu mempertahankan diri lebih
lama lagi, Yan-san It-koay sendiri meskipun licik dan
banyak akal, dalam menghadapi pertarungan yang begitu
seru tak pernah dia sangka kalau Hoa Thian-hong jauh
lebih cerdas darinya dan secara diam-diam telah
menyusun suatu rencana baik.
Begitu menyaksikan tekanan angin pukulannya makin
lama semakin lemah, tanpa terasa dia mulai alihkan
sasarannya ke arah pemuda itu. diam? dia bersiap sedia
untuk melancarkan sebuah serangan bokongan.
Tiba-tiba Hoa In menyusup ke arah sisi tubuhnya,
sang telapak dibabat ke depan dan langsung mengancam
dua buah jalan darah penting di atas dada serta lambung
Yan-san It-koay.

Kebetulan sekali pada waktu itu Hoa Thian-hong
berada di sisi kiri manusia aneh dari gunung Yan-san itu,
melihat keadaan tersebut diam-diam ia merasa bergirang
hati. ia mengetahui bahwa lawannya pasti akan berputar
ke samping kanan tubuhnya maka sambil membentak
keras tubuhnya segera menerjang ke depan.
Ketika Yan-san It-koay menyaksikan Hoa In
melancarkan serangan dengan pukulan langit bumi yang
begitu dahsyat, ia benar-benar menyingkir ke samping
kanan si anak muda itu, tangan kirinya menggetar ke
atas menyerang bawah iga Hoa In sedang tangan
kanannya laksana kilat menghantam tubuh pemuda she
Hoa itu.
Hoa Thian-hong sudah menyusun rencana baiknya
sejak semula sedang Yan-san It-koay merasa
kesempatan baik tak boleh dibuang dengan percuma,
kedua belah pihak sama-sama merasa bergirang hati
menjumpai keadaan tersebut.
Dengan kecepatan tubuh yang sukar diikuti dengan
pandangan kedua orang itu bersama-sama menerjang
maju ke depan dan terjadilah suatu bentrokan yang
cakup keras.
Dalam dugaan Yan-san It-koay, pemuda lawannya ini
kecuali hanya bisa menyerang dengan sebuah jurus
serangan memakai tangan kirinya belaka sama sekali
tidak mempunyai ilmu silat lain yang mampu melukai
tubuhnya.

Dia tunggu sampai serangan lawan telah dilancarkan
keluar, sepasang bahu segera bergerak dan tiba-tiba
menyusup ke samping badan sambil tertawa terbahak
bahak telapak tangannya laksana kilat dilancarkan ke
arah muka.
Hoa In yang berada di belakang tubuh Yan-san Itkoay
jadi amat terkesiap menyaksikan peristiwa itu,
keringat dingin mengucur keluar membasahi seluruh
tubuhnya, sambil membentak keras sepasang telapak
bekerja secara berbareng, dengan menggunakan ilmu
Sau-yang-ceng-kie dengan dua belas bagian tenaga
dalam dia kirim satu pukulan maut ke depan.
Bayangan manusia berkelebat lewat, tiba-tiba pria
kurus kecil menyerupai beruk itu menyusup ke depan,
telapaknya membokong pinggang Yan-san It-koay
sedang mulutnya menyumpah, “Keturunan iblis….!”
Semua kejadian itu berlangsung hampir bersamaan
waktunya, Yan-san It-koay sebagai gembong iblis
kenamaan dalam dunia persilatan sedan permulaan telah
memperhitungkan kesemuanya itu, dia tahu asal Hoa
Thian-hong terjerumus dalam posisi yang sangat
berbahaya niscaya Hoa In akan berusaha menolong
dengan sepenuh tenaga, hanya dia tidak mengira kalau
pria kurus kecil tersebut bisa ikut campur pula dalam
tindakan itu.
Meskipun demikian sama sekali tidak jeri sebab
posisinya berada di atas angin, asal dia sanggup
menghajar tubuh Hoa Thian-hong masih cukup banyak
waktu baginya untuk berkelit ke samping dan

menghindarkan diri dari serangan gabungan Hoa In serta
pria kurus kecil itu.
Siapa tahu Hoa Thian-hong sendiripun sudah
mempunyai perhitungan yang masak, ia berani bertindak
demikian karena yakin bahwa rencananya pasti berhasil.
Meskipun mara bahaya telah berada di depan mata.
pemuda itu tetap berdiri tegak bagaikan gunung Tay-san,
wajahnya tidak kaget ataupun menunjukkan sikap yang
gugup.
Ketika serangan lawan sudah hampir mengenai
tubuhnya, tiba-tiba dia tekuk pinggangnya ke samping,
sepasang lengan bagaikan kera bekerja cepat, jari
tengah tangan kanannya meluncur ke depan dan
melancarkan sebuah totokan aneh ke arah telapak
tangan manusia aneh dari gunung Yan-san itu.
Totokan ini muncul dengan suatu gerakan yang aneh,
tertegun hati Yan-san It-koay setelah melihat totokan jari
tengah lawannya yang kaku dan berbentuk aneh itu. apa
lagi setelah melihat lengannya ikut bergerak pula dengan
gerakan yang menyerupai jurus ‘Tok-liong-jut-tong’ atau
naga racun keluar dari gua, bergoyang dan bergeser
tiada hentinya ke kiri ke kanan dengan sasaran yang
tidak menentu hati terasa makin terperanjat.
Jurus serangan ilmu totokan itu bukan lain adalah
jurus pertama dari ilmu ‘Ci yu-jit-ciat’ atau tujuh kapusan
dari Ci-ya yang disebut menyerang sampai mati bagian
pertama.

Ilmu kepandaian ini merupakan ilmu silat aliran hitam
yang sudah ratusan tahun lamanya lenyap dari
peredaran Bu-lim, jarang sekali jago kangouw jaman itu
yang mengenali kembali akan keanehan dari jurus
perubahan tersebut serta sampai dimanakah
kedahsyatan dari totokan tadi.
Bagaimana juga Yan-san It-koay adalah seorang jago
kosen dari dunia persilatan, dalam keadaan terkejut
bercampur curiga gerakannya sama sekali tidak kalut.
Setelah mengetahui bahwa serangan telapaknya bila
tidak ditarik maka ujung jari Hoa Thian-hong pasti akan
bersarang di atas urat nadinya buru-buru ia tarik napas
dan merubah gerakannya dari serangan telapak menjadi
serangan mencengkeram.
Dengan cepat ia cekal pergelangan si anak muda itu
sementara tubuhnya meneruskan terjangannya ke depan
memaksa Hoa Thian-hong untuk memberi jalan lewat
kepadanya.
Perubahan yang terjadi diluar dugaan ini berlangsung
secepat kilat. para jago yang menonton jalannya
pertarungan dari samping kalanganpun hanya Thian
Seng-cu serta tangan sakti pembalik langit Ho Kee-sian
dua orang yang melihat dengan jelas. mereka tahu
bahwa dibalik tangan kanan Hoa Thian-hong tersembunyi
suatu serangan ilmu silat yang maha sakti, hal itu
membuat mereka jadi amat terperanjat.
Sementara itu pria kurus kecil menyerupai beruk
itupun sudah menyadari bahwa pemuda itu telah
mempunyai rencana yang matang setelah melihat Hoa

Thian-hong secara tiba-tiba menggunakan ilmu saktinya.
dengan cepat ia melayang satu lingkaran busur di udara
dan balik kembali ke tempat semula.
Lain halnya dengan Hoa In, walaupun dia tahu bahwa
Hoa Thian-hong memiliki ilmu ‘Ci yu-jit ciat’ tujuh
kupasan dari Ci-yu tetapi karena pertama kitab catatan
itu tidak lengkap dan kedua masih terlalu sedikit yang
berhasil dikuasai pemuda itu maka ia tak begitu yakin
terhadap kemampuan majikan mudanya itu.
Melibat dia terjerumus dalam posisi yang berbahaya.
sepasang telapaknya dengan cepat melancarkan
serangan dahsyat„
Ilmu Sau-yang-ceng-kie adalah atas gubahan dari ilmu
Tay-ceng-kie kalangan beragama, besar sekali daya
tekanannya dan jauh berbeda dengan kepandaian lain.
Ketika Yan-san It-koay merubah jurus serangannya
sehingga gerakan tubuh terlambat beberapa kosen,
angin pukulan Sau-yang-ceng-kie yang dilancarkan Hoa
In bagaikan gulungan ombak samudra telah menerjang
tiba.
Yan-san It-koay jadi terkesiap, sepasang kakinya
segera menjejak tanah dan buru-buru mengigos ke
samping.
Terdengar Hoa Thian-hong membentak keras
tubuhnya bagaikan bayangan setan mengejar ke depan,
lengan kanannya disodok ke muka, sementara jari
tengahnya tegang bagaikan pit, hawa murni meluncur

keluar dan secara tiba-tiba menotok jalan darah Cianhun-
hiat di tubuh Yan-san It-koay.
Ilmu Silatnya dimiliki Hoa Thian-hong jika
dibandingkan dengan kepandaian dari Yan-san It-koay
boleh dibilang ketinggalan jauh, ketika semua orang
melihat pemuda itu mencari hasil dengan menempuh
bahaya jadi terkesiap, terutama sekali pria kurus kecil
menyerupai beruk itu, rupanya dia menaruh perhatian
yang cukup besar terhadap diri pemuda itu.
Tanpa mengucapkan sepatah katapun dia menyusup
ke depan dan siap menghadapi segala kemungkinan
yang tidak diijinkan.
Kegelisahan dari Hoa In tak usah dikatakan lagi,
melihat Hoa Thian-hong menempeli terus diri Yan-san Itkoay,
tanpa memperdulikan keselamatan sendiri lagi dia
segera menerjang ke muka.
Yan-san It-koay jadi terkejut bercampur gusar waktu
melihat Hoa Thian-hong menyusul dari belakang dengan
cepat dia ayun telapak tangannya melancarkan sebuah
pukulan yang dahsyat ke atas batok kepala lawannya.
Dalam hati Hoa Thian-hong telah mengambil
keputusan untuk mencari kemenangan dengan
menempuh bahaya, melihat dia lancarkan pukulan
dengan cepat telapak kirinya diayun ke depan,
menggunakan gerakan ‘Kun su ci-tau’ dia sambut
datangnya ancaman tadi sementara tangan kanannya
dengan gerakan secepat kilat melancarkan sebuah

totokan ke atas jalan darah Kie-hay di tubuh manusia
aneh dari gunung Yan-san.
Tiga jurus permulaan dari tujuh kupasan Ci-yu
merupakan gerakan-gerakan menyerang sampai mati
bagian kesatu, kedua dan ketiga, kehebatannya bisa
dibayangkan dari namanya itu.
Hoa Thian-hong berbakat baik dan bertenaga dalam
sempurna, walaupun kepandaian itu belum lama dilatih
olehnya tetapi sewaktu dilancarkan kehebatannya betulbetul
luar biasa.
Plooook….! telapak kanan Yan-san It-koay saling
membentur dengan telapak kiri Hoa Thian-hong, begitu
keras bentrokan tadi membuat si anak muda itu berseru
tertahan dan tubuhnya mencelat ke arah belakang.
Tetapi manusia aneh dari gunung Yan-san pun tak
dapat menghindarkan diri dari totokan musuhnya, ia
merasa dua tiga cun di samping jalan darah Kie-nayhiatnya
tertotok telak, isi perutnya kontan terasa
bergolak dan sakitnya bukan kepalang, buru-buru dia
berjumpalitan dan mengundurkan diri dari gelanggang.
Jeritan kaget berkumandang dari antara para jago di
samping kalangan, semua orang membelalakkan
matanya lebar-lebar dan menyaksikan perubahan
tersebut dengan hati tercekat.
Hoa In dengan cepat meloncat ke muka menyambar
pinggang dari Thian Hong, sedangkan Yan-san It-koay
sendiri setelah melayang ke atas pemukaan bumi segera

berdiri kaku dengan mata terpejam, badannya tak
berkutik bagaikan sebuah arca batu
Untuk beberapa saat lamanya suasana di tengah
kalangan jadi sunyi senyap tak kedengaran sedikit
suarapun, begitu hening sehingga napas setiap orang
dapat kedengaran dengan nyata.
Terlihatlah pria kurus kecil menyerupai beruk itu
meloncat ke depan dan berdiri kurang lebih enam tujuh
depa dihadapan Yan-san It-koay, sepasang matanya
yang tajam bagaikan pisau belati menatap wajah
manusia aneh itu tanpa berkedip, jelas andai kata Hoa
Thian-hong menemui celaka maka diapun tak akan
melepaskan orang itu.
Chin Pek-cuan dengan wajah berkerudung kain hitam
sebenarnya tidak saling menyapa dengan Hoa Thianhong,
tetapi ketika itu dia berjaga-jaga di samping tubuh
Hoa In, sepasang matanya menatap wajah Hoa Thianhong
yang sedang bersemedi dengan sorot mata penuh
rasa kuatir.
Keempat orang itu bukan musuh melainkan sahabat,
hal ini sudah terlihat jelas sekali dari keadaan tersebut
Yan-san It-koay adalah termasuk jago dari Hong-im-hwie
sedang sisanya termasuk jago dari Sin-kie-pang serta
Thong-thian-kauw. Dengan begitu golongan Hoa Thianhong
sekalian segera terkepung oleh musuh-musuh yang
tangguh di empat penjuru.
Thian Seng-cu sendiri segera timbul rasa curiganya
setelah menyaksikan Chin Pek-cuan berdiri di pihak Hoa

Thian-hong berdua, pikirnya di dalam hati, “Biasanya
Cukat racun Yau Sut, bekerja dengan amat cermat dan
teliti sekali, tapi kenapa ia utus manusia yang berpihak
kepada keparat cilik she Hoa untuk melaksanakan tugas
rahasia yang amat besar ini?? jangan-jangan dibalik
kesemuanya ini ada hal-hal yang kurang beres??”
Sedang Tangan sakti pembalik langit Ho Kee-sian
berpikir pula di dalam hati, “Hoa Thian-hong mempunyai
hubungan cinta dengan Pek Kun-gie. Kedua orang ini
yang pria tampan, yang perempuan cantik, cepat atau
lambat akhirnya pasti akan bersatu. Andaikata aku
sampai melukai dirinya, dihadapan pangcu tiada kebaikan
yang bakal kuperoleh ditinjau dari keadaan Yan-san Itkoay
rupanya tidak enteng luka dalam yang dia derita,
seandainya hari ini aku sanggup melenyapkan orang ini,
suatu pahala besar tentu akan kuperoleh”
Apa yang dipikirkan kedua orang ini sama-sama jalan
pikiran untuk menyerang orang dikala pihak lain sedang
menderita, sorot mata mereka berputar dan membentuk
satu sama lainnya, terlihatlah jelas bahwa kedua orang
itu sama-sama ada niat untuk turun tangan.
Pada saat itulah tiba-tiba Hoa Thian-hong membuka
mata dan meronta dari cekalan Hoa In, sambil cabut
pedang bajanya dari atas tanah dia menghampiri
manusia aneh dari gunung Yan-san itu.
Hoa In yang menyaksikan kejadian itu buru-buru
meloncat ke depan, serunya dengan nada cemas, “Siau
Koan-jin!”

“Aku tidak apa-apa” jawab Hoa Thian-hong dengan
suara berat, dengan alis berkerut dan nada serius,
lanjutnya, “Yan-san It-koay, dalam pertarungan yang
berlangsung hari ini bagaimana pendapatmu mengenai
siapa yang bakal menang siapa yang bakal kalah??”
Perlahan-lahan Yan-san It-koay membuka matanya
dan menjawab dengan suara dingin, “Bukankah sudah
kukatakan bahwa dalam pertarungan ini aku tidak
mempunyai keyakinan untuk menang!”
Ia berhenti sebentar, kemudian sambil tertawa
lanjutnya, “Nama besar Hoa Goan-siu menggetarkan
seluruh dunia persilatan tetapi aku tidak puas terhadap
dirinya, sedang kau masih muda namun memiliki
kecerdasan yang tinggi serta keberanian yang luar biasa,
tidak malu kau jadi keturunan orang terkemuka, aku
bukan manusia sembarangan, bila kau ada perkataan
ucapkanlah tanpa ragu-ragu”
“Bukankah kau berkata bila menang akan mendesak
terus, bila kalah akan kabur?? Sekarang kau belum juga
meninggalkan tempat ini. Apakah masih ada kepandaian
sakti yang belum sempat kau keluarkan?? rupanya kau
ingin melangsungkan pertarungan kembali!”
Sorot mata Yan-san It-koay berkilat tajam, dia melirik
sekejap ke arah pria kurus kecil menyerupai beruk itu
lalu tertawa dingin.
“Jika kau punya minat untuk menambah
pengetahuanmu, tak ada halangannya bagiku untuk

melayani kembali beberapa jurus serangan dari kamu
berdua!”
“Siau Koan-jin, apa gunanya kau ribut-ribut dengan
makhluk tua itu??” seru Hoa In tiba-tiba, “Dendam sakit
hati atas kematian dari majikan tua harus dibalas, mari
kita langsungkan pertarungan mati-matian melayan
dirinya!”
Diam-diam Hoa Thian-hong menghela napas panjang,
pikirnya, “Urusan tak akan berlangsung begitu gampang,
kalau Yan-san It-koay yang mati masih mendingan. jika
aku yang berumur pendek bagaimana dengan ibu…??
Kalau aku membiarkan kaum iblis dan manusia laknat
tetap berkeliaran di muka Bu-lim tanpa sanggup untuk
menghalanginya, sia-sia belaka hidupku di alam ini.
Hmm… Hmm… kemajuan ilmu silat yang mereka miliki
berkembang lambat sekali asal aku mampu memajukan
kepandaianku maka suatu ketika hutang ini pasti akan
berhasil kutagih”
Berpikir sampai disitu, segera ujarnya kepada Yan-san
It-koay, “Di kolong langit tidak dendam yang tak bisa
diakhiri, memandang di atas wajah mendiang ayahku
yang berjuang demi kebenaran kali ini aku akan memberi
sebuah jalan hidup bagimu”
“Hmm!” Yan-san It-koay mendengus dengan mata
melotot” kau anggap aku adalah manusia apa?? Kenapa
musti menantikan balas kasihan darimu??”
Hoa Thian-hong tertawa hambar. “Meskipun ilmu
silatmu luar biasa namun masih terlalu sulit bagimu

untuk mengalahkan kami berdua, apalagi hari ini kau
berada dalam keadaan sebatang kara jika pertarungan
dilanjutkan, sekalipun kau berhasil menangpun belum
tentu bisa tinggalkan tempat ini dalam keadaan hidup.
Menurut pendapatku lebih baik mengundurkan dirilah
sekarang juga dan sejak kini tak usah mencampuri
urusan dunia persilatan lagi, asal kau suka cuci tangan
serta melanjutkan sisa hidupmu secara bebas maka
keturunan keluarga Hoa kami tak akan mencari dirimu
lagi untuk membuat perhitungan.”
Tiba-tiba Thian Seng-cu angkat kepala dan tertawa
terbahak-bahak. “Haaa… haaah… Hoa Thian-hong kau
terlalu congkak dan menyombongkan diri!”
Hoa Thian-hong alihkan sorot matanya dan menjawab
dengan suara berat. “Aku orang she-Hoa belum pernah
bertemu dengan kaucu dari perkumpulan kalian,
andaikata semua tootiang yang tergabung di dalam
perkumpulan Thong-thian-kauw adalah manusia-manusia
bernyali tikus dan berhati cabang seperti dirimu itu, aku
orang she Hoa berani jamin diantara tiga kekuatan besar
dalam dunia persilatan, perkumpulan Thong-thian-kauwlah
yang akan musnah lebih dahulu.
Sambil mengelus jenggotnya Thian Seng-cu segera
tertawa terbahak-bahak, “Haaah… haaah… kehendak
Thian sukar diduga siapa tahu justru kenyataan
merupakan kebalikan dari apa yang kau katakan barusan
perkumpulan Thong-thian-kauw berhasil meluaskan
pengaruhnya diseluruh kolong langit dan turun-temurun
sampai beratus2 tahun, bukankah semua peristiwa masih
diiringi oleh kata mungkin??”

Hoa Thian-hong mendengus dingin, dia malas untuk
banyak bicara dengan toosu tua itu, sorot matanya
segera dialihkan kembali ke arah Yan-san It-koay.
Sejak termakan oleh totokan aneh dari musuhnya,
walaupun tidak sampai terkena jalan darahnya namun
luka yang diderita manusia aneh dari gunung Yan-san
tidak ringan, dia tahu bahwa pertarungan pada malam ini
jika dilanjutkan maka lebih banyak bahayanya daripada
keuntungan hanya saja ia merasa segan untuk mengaku
kalah dengan begitu saja kendati diantara kedua orang
lawannya ilmu silat Hoa In yang lebih hebat sebab
sasaran yang sebenarnya bukan lain justru adalah Hoa
Thian-hong seorang jago angkatan muda, ia merasa jika
berita ini sampai tersiar di dalam dunia persilatan maka
dia pasti akan kehilangan muka dan malu untuk
menancapkan kaki kembali dalam Bu-lim.
Di samping itu semua diapun merasa malu untuk
mengaku kalah dihadapan mata banyak orang karenanya
keadaan diri Yan-san It-koay ketika itu ibaratnya anak
panah di atas gendewa bagaimanapun akhirnya harus
dilepaskan juga.
Demikianlah dia lantas merogoh ke dalam sakunya
untuk ambil keluar sebuah senjata aneh berbentuk
tangan yang berwarna hitam pekat dan memancarkan
cahaya tajam sambil menimang2 senjata itu di tangan
ujarnya sambil tertawa, “Sejak berlangsungnya
pertemuan besar Pek beng hwee, belum pernah aku
pergunakan senjataku lagi”

“Ketika itu kalian andalkan jumlah banyak untuk
mengerubuti satu orang, sedang kini dengan seorang diri
ingin mengalahkan jumlah yang lebih banyak, sekalipun
pergunakan senjata tajam juga masuk diakal dan
merupakan suatu kejadian biasa” tukas Hoa Thian-hong
cepat.
Yan-san It-koay tersenyum. “Sudah Tiga puluh tahun
lamanya aku tak pernah menggunakan senjata tajam,
rasanya permainanku jadi kaku dan asing, lebih baik kau
turun tangan lebih dahulu” katanya
Pemuda itu sempat melihat keempat jari tangan
kirinya dikaitkan semua di atas senjata tangan yang
hitam pekat itu, dengan tangan menggenggam serta
melintang di depan dada dia bersiap siaga. sedang
tangan kanannya yang kosong melakukan pula gerakan
yang sama, mungkin dia pergunakan untuk melancarkan
serangan telapak, hal ini membuat pemuda she Hoa itu
jadi tercengang bercampur keheranan, pikirnya, “Sudah
sering kudengar akan bentuk senjata tajam yang aneh,
tetapi belum pernah kudengar tentang senjata tangan
yang digunakan untuk menghadapi musuh apalagi
seorang jago lihay yang mempergunakannya”
Otaknya segera berputar dan dia ambil keputusan
untuk tetap bersikap tenang walaupun menjumpai hal
yang aneh, setelah memberi tanda kepada Hoa In
mereka berdua segera menerjang ke muka. Dalam
sekejap mata pertarungan sengit kembali berkobar.
Pertarungan kali ini jauh berbeda dari pertempuran
sebelumnya, Hoa Thian Hong tahu bahwa tenaga dalam

yang dimilikinya belum cukup dan ilmu Ci-yu tak mungkin
bisa dipergunakan lagi.
Pemuda itu segera pusatkan seluruh perhatiannya
untuk mainkan ilmu pedang dengan sehebat-hebatnya.
Senjata tangan berwarna hitam milik Yan-san It-koay
benar-benar memiliki kegunaan yang luar biasa, di
tengah ayunan senjata tadi cahaya hitam berkilauan
membentuk selapis daya pertahanan yang kuat, jika
ditinjau dari jurus serangannya mirip dengan gerakan
dari ilmu gelang baja mirip pula dengan jurus gelang
pelindung tangan, ada kalanya kepalan disodok ke depan
seolah-olah ditangannya tiada benda apapun, tetapi
setelah pedang baja Hoa Thian-hong menyerang ke
depan, Yan-san It-koay segera ayun pula kepalannya
untuk menumbuk pedang yang berat dan kasar itu
seakan-akan menyedot udara kosong.
Dalam hati ketiga orang itu mengerti semua bahwa
pertempuran yang berlangsung saat ini kemungkinan
besar sulit untuk diselesaikan secara damai, karena itu
semua pihak mengerahkan segenap kemampuan yang
dimilikinya untuk berusaha mencari kemenangan.
Traaang….! terdengar suara benturan nyaring
berkumandang di angkasa, pedang baja Hoa Thian-hong
saling membentur dengan senjata tangan yang hitam
pekat dari Yan-san It-koay sehingga menimbulkan suara
benturan nyaring yang amat memekikkan telinga.
Tidak sedikit keistimewaan dari senjata aneh itu.
ketika terbentur dengan senjata tajam macam apa pun

senjata lawan pasti akan terpeleset ke arah samping,
kedua belah pihak sama-sama tidak merasakan getaran
apapun kecuali senjata yang sudah terpeleset ke
samping sulit untuk melancarkan jurus serangan kembali.
Biasanya menggunakan kesempatan yang sangat baik
inilah dia segera melancarkan serangan kilat ke arah
musuhnya hingga mengakibatkan pihak lawan sering kali
terluka atau binasa.
Begitu merasa pegangnya tergelincir ke samping Hoa
Thian-hong segera menyadari bahwa keadaan tidak
beres sebelum ingatan kedua berkelebat dalam benaknya
selapis cahaya hitam sudah meluncur ke arah
pangkuannya.
Dia tahu senjata aneh lawan terbuat dari bahan emas,
jika membentur telapak tangannya niscaya akan
meninggalkan bekas luka, dalam gugup dan gelisahnya
sepasang kaki segera menjejak tanah dan mengigos ke
arah sisi tubuh Hoa In.
Budak tua itu tak berani gegabah, sejak mendengar
suara benturan nyaring tubuhnya sudah menerjang ke
arah depan, dia paksa Yan-san It-koay harus
membuyarkan ancamannya untuk putar badan
melindungi keselamatan sendiri.
Dalam waktu singkat pertarungan yang berlangsung
diantara ketiga orang itu sudah berlangsung ratusan
jurus banyaknya, setiap setangan kedua belah pihak
sama-sama mengerahkan segenap kekuatannya untuk
mengirim serangan mematikan.

Ketika itu fajar telah menyingsing hembusan angin di
pagi hari menimbulkan hawa dingin bagi beberapa orang
itu.
Trang…..! Kembali terjadi benturan nyaring yang
memekikkan telinga, diantara kilatan cahaya hitam
tampaklah percikan bunga api berhamburan di empat
penjuru.
Hoa Thian-hong yang menyaksikan keanehan serta
keampuhan jurus serangan senjata lawan membuat dia
tak mampu mempertahankan diri, diam-diam hatinya
terasa jadi amat risau, pikirnya, “Aku dengar pihak
perkumpulan Hong-im-hwie mempunyai tulang punggung
yang sangat kuat sekali yakni Yan-san It-koay, Liong-bun
Siang-sat serta seorang nenek bermata buta kalau Yansan
It-koay seorangpun sudah demikian lihaynya apalagi
kalau keempat orang itu bersatu padu, apa yang bisa
dilakukan lagi oleh umat Bu-lim??”
Kalau dia murung bercampur kesal, sebaliknya Yansan
It-koay diam-diam merasa bergirang hati, telapak
kanan berputar cepat membendung setiap serangan dari
Hoa In sebaliknya telapak kiri menerjang hebat mengirim
pukulan-pukulan yang berat bagaikan bukit mengancam
keselamatan Hoa Thian-hong,
Melihat dirinya terus menerus diteter lama kelamaan
pemuda itu jadi naik pitam pedang bajanya berputar dan
segera menyapu ke depan, secara beruntun dia kirim
beberapa buah babatan mengancam pergelangan tangan
Yan-san It-koay.

Dalam sekejap mata cahaya hitam berkilauan
memenuhi angkasa, angin desiran tajam menderu deru
memekikkan telinga, suasana berubah jadi tegang dan
penuh diliputi hawa membunuh.
Criiing! Untuk ketiga kalinya pedang dan senjata aneh
itu saling membentur satu sama lainnya, pedang baja
yang kasar dan besar itu seketika tergetar kutung jadi
berpuluh puluh buah kutungan kecil dan tersebar di
seluruh permukaan tanah.
Yan-san It-koay bersorak gembira, ia segera
membentak keras dan telapaknya diayun kemuka
menghantam tubuh Hoa Thian-hong.
Pukulan itu datangnya cepat dengan gerakkan yang
aneh, Hoa Thian-hong kehilangan pedang bajanya
seketika merasa hatinya terkesiap, menanti dia
menyadari akan mara bahaya yang mengancam, senjata
aneh Yan-san It-koay tahu-tahu sudah meluncur datang.
Selama ini pria kurus kecil menyerupai beruk itu selalu
berjaga jaga di tepi kalangan, setelah dua kali yang
pertama tidak sempat menolong pemuda itu, kali ini dia
telah bersiap sedia.
Begitu menyaksikan pemuda itu terancam jiwanya, ia
segera meloncat ke sisi tubuh Hoa Thian-hong, jari
tangan kanannya bagaikan golok membacok pergelangan
tangan Yan-san It-koay sementara sikut kirinya disodok
ke belakang mementalkan tubuh Hoa Thian-hong hingga
mundur lima depa dari tempat semula.

Rupanya pria kurus kecil menyerupai beruk itu juga
seorang jago lihay yang sangat kosen, setelah dia turun
tangan tentu saja Yan-san It-koay tak mampu melukai
musuhnya lagi.
Hoa In sendiri setelah melihat majikan mudanya
terancam bahaya, hawa amarah seketika berkobar
memenuhi benaknya, serangan yang dilancarkan
seketika meluncur ke muka dengan hebatnya.
Kebetulan sekali waktu itu Yan-san It-koay sudah
terhadang oleh pria kurus kecil itu, dengan datangnya
serangan ini maka berarti pula iblis tua itu sekaligus
harus menghadapi dua serangan dahsyat.
Keringat dingin mengucur keluar membasahi seluruh
tubuh manusia aneh dari gunung Yan-san, melihat
datangnya ancaman itu ia merasa tak ada jalan lagi
baginya untuk mengundurkan diri,
Dalam suasana yang amat kritis itulah tiba-tiba pria
kurus kecil itu enjotkan badannya dan melayang ke
samping dengan gerakan yang sangat enteng
Gerakan tubuh manusia ini cepat bagaikan sukma
gentayangan, maju maupun mundur dilakukan dengan
enteng bagaikan asap yang melayang di angkasa, Yansan
It-koay sangat kegirangan, cepat-cepat dia
menyusup keluar dan loncat sejauh dua tombak dari
tempat semula, di saat yang terakhir dia berhasil
meloloskan diri dari mara bahaya.

Suasana untuk beberapa saat lamanya jadi tenang,
berpuluh puluh buah mata sama-sama dialihkan ke atas
wajah Hoa Thian-hong serta Yan-san It-koay, mereka
ingin tahu bagaimanakah kesudahan dari pertarungan
itu.
Terdengar Yan-san It-koay dengan suara dingin
berkata, “Hoa Thian-hong, apa yang hendak kau
lakukan??”
“Kita masing-masing telah menangkan satu jurus, bila
pertarungan dilanjutkan kembali maka menang kalah
sulit untuk ditentukan, aku lihat terpaksa permusuhan
diantara kita harus ditunda untuk sementara waktu”
Mendengar perkataan itu Yan-san It-koay segera
tertawa seram. “Heeh… heeeh… heee, bila aku hendak
mendesak terus mumpung posisi ku berada di atas
angin, apa yang hendak kau lakukan?”
Thian Seng-cu takut pertarungan disudahi sampai
disitu saja, mendengar perkataan itu ia segera
menyambung sambil tertawa, “Bagus sekali! lebih baik
ditetapkan tiga babak lagi untuk menentukan siapa
menang siapa kalah, ini hari aku ingin membuka
sepasang mataku lebar-lebar”
Dengan pandangan dingin Hoa Thian-hong melirik
sekejap ke arahnya. kemudian ulapkan tangannya ke
arah Yan-san It-koay, dia berkata, “Pertarungan yang
berlangsung pada hari ini lebih baik kita sudahi sampai
disini saja, kalau pertarungan ingin dilanjutkan terpaksa
aku orang she Hoa harus minta batuan dari sesama umat

Bu-lim untuk melenyapkan bibit bencana bagi dunia
persilatan”
“Bocah cilik yang tak tahu diri!” maki Yan-san It-koay
penuh kegusaran.
Terdengar pria kurus kecil menyerupa, beruk itu
mendengus dingin, tukasnya, “Makhluk tua, kau betulbetul
tak tahu diri!”
“Hmm! Menyembunyikan kepala memamerkan ekor,
kau termasuk manusia macam apa??” bentak Yan-san Itkoay
pula dengan nada penuh kemarahan.
“Bila kau mengetahui raut wajahku mungkin selembar
jiwamu tak dapat dipertahankan lagi….”
Sementara itu Hoa Thian-hong lihat Hoa In telah
selesai memunguti kutungan pedangnya dari atas tanah,
dia tahu bertempur lebih jauh di tempat itu sama sekali
tak ada manfaatnya, segera kepada Chin Pek-cuan serta
pria kurus kecil itu dia memberi hormat katanya,
“Locianpwee berdua, fajar telah menyingsing, aku rasa
kita musti berlalu dari tempat ini”
Chin Pek-cuan serta pria kurus kecil itu saling bertukar
pandangan sekejap. mereka berdua tetap membungkam
dalam seribu bahasa.
Melihat itu pemuda tersebut segera memberi hormat
kepada semua orang yang hadir disisi kalangan
kemudian putar badan dan berlalu.

Chin Pek-cuan serta pria kurus kecil itupun dengan
mulut membungkam segera ikut berlalu mengikuti di
belakang si anak muda itu.
Menyaksikan kepergian keempat orang itu Yan-san Itkoay
mengetahui bahwa kekuatannya tak mampu
menandingi kepergian beberapa orang itu, diapun tak
jadi bertempur melawan Thian Seng-cu serta Ho Keesian
sekalian, tanpa banyak bicara diapun putar badan
dan berlalu.
Thian Seng-cu serta Ho Kee-sian sendiri walaupun
merasa amat kecewa. tetapi merekapun tak berani
unjukkan diri untuk menghadang kepergian beberapa
orang itu maka orang-orang itupun hanya tetap tiaggal
dengan mulut tertutup.
Sepeninggalnya dari tempat kejadian Hoa Thian-hong
segera melakukan perjalanan beberapa waktu lamanya,
suatu ketika pemuda itu berpaling dan ujarnya kepada
Chin Pek-cuan sambil tertawa, “Empek Chin, sebetulnya
permainan apa yang sedang orang tua lakukan, mengapa
kau malah jadi utusan dari si Cukat racun Yau Sut…..”
Agak tertegun Chin Pek-cuan mendengar perkataan
itu, segera serunya, “Engkoh cilik, dari mana kau bisa
mengetahui akan persoalan ini?? Siapa yang
memberitahukan hal ini kepadamu??”
Hoa Thian-hong tertawa. “Kemarin malam kami telah
menyusup masuk ke dalam kuil It-goan-koan, sewaktu
Thian Seng-cu serahkan surat tersebut kepada empek.
secara diam-diam keponakan sempat mengetahuinya”

“Aaaai….! engkoh cilik, kau memang betul-betul
hebat” seru Chin Pek-cuan dengan nada kegirangan,
“kalau kau memang keturunan dari Hoa Tayhiap.
sepantasnya kalau hal ini kau jelaskan sejak tahun
berselang aku mengira kau benar-benar bernama Hongpo
Seng, sudah kucari jejakmu di seluruh dunia
persilatan tetapi tak berhasil kutemukan, akhirnya
setelah aku berhasil mengetahui jelas asal usulmu,
kudengar pula kabar berita tentang kematianmu….”
Dari nada suaranya yang gemetar Hoa Thian-hong
tahu bahwa jago tua ini adalah seorang manusia yang
penuh emosi, terharu sekali hatinya setelah mendengar
perkataan itu, buru-buru dia alihkan pembicaraan ke soal
lain katanya, “Enci Wan-hong, saat ini sedang belajar
ilmu di wilayah Biau. Giok Liong toako sebetulnya berada
bersama-sama siautit, tapi sekarang dia mengikuti Ciong
Lian-khek menantikan diriku di dalam kota”
Chin Pek-cuan jadi terkejut bercampur girang.
“Aaah …” serunya tertahan.
Hoa Thian-hong tersenyum ujarnya kembali, “Tentang
semua persoalan itu kita bicarakan nanti saja, sekarang
seharusnya sempat perkenalkan dahulu cianpwee ini
kepadaku, apa yang musti kusebut terhadap dia orang
tua??”
“Panggil saja sesuka hatimu” sahut pria kurus kecil tua
dengan cepat, “Baik-baik berbuat dan berjuang,

balaskanlah sakit hati kami sekalian mayat2 hidup yang
bisa berjalan!”
“Cianpwee ini pasti pernah putus asa dan kecewa
hatinya” batin Hoa Thian-hong dalam hati. Setelah
bergaul agak lama dengan Ciong Lian-khek, dia tahu
bagaimanakah tabiat manusia yang putus asa. maka ia
tidak bertanya lebih jauh dan cuma mengangguk tanda
mengerti, kepada Chin Pek-cuan katanya, “Empek,
bagaimana sih kau bisa berhubungan dengan Yau Sut
manusia licik itu??”
Chin Pek-cuan segera tertawa setelah mendengar
perkataan itu, serunya dengan suara lantang, “Aku
adalah manusia macam apa? Mana aku sudi
berhubungan dengan manusia-manusia rendah yang
bejat, tak bermoral serta memalukan itu?? persoalan ini
panjang sekali ceritanya dan tak akan habis dalam
sepatah dua patah kata saja”
Ia berhenti sebentar, sambil melepaskan kain
kerudung hitamnya la melanjutkan sambil tertawa, “Aku
sudah mencari dirimu di empat penjuru dunia,
bagaimana kau bisa bertemu dengan Giok Liong?? dan
dari mana pula bisa tahu kalau Hong-ji sedang belajar
ilmu di wilayah Biau?”
Kedua orang ini yang satu memikirkan keselamatan
putra putrinya sedang yang lain memikirkan masalah
besar dunia persilatan, pertanyaan yang saling
dilontarkan ini membuat kedua orang itu untuk beberapa
saat lamanya tak mampu membicarakan sesuatu.

Tiba-tiba dari balik semak belukar di sisi jalan
berkelebat lewat sesosok bayangan putih, seekor rase
salju yang berbadan putih mulus dengan sepasang mata
memancarkan cahaya merah melompat keluar.
Mencapai rase salju itu Hoa Thian-hong jadi
kegirangan, ia bongkokkan tubuhnya sambil berteriak,
“Soat-jie!”
Rase salju itu menyusup kehadapan Hoa Thian-hong,
mengelilinginya satu lingkaran kemudian secara tiba-tiba
la menuju ke alam terbuka.
Hoa Thian-hong jadi amat gelisah menyaksikan hal itu,
baru saja dia hendak berteriak tiba-tiba rase salju itu
berhenti dan menoleh ke belakang, seolah olah dia
sedang menantikan kedatangan pemuda itu.
“Hiantit!”dengan sepasang alis berkerut Chin Pek-cuan
segera berteriak. “Aku dengan Giok Teng Hujien dari
perkumpulan Thong-thian-kauw memelihara seekor
makhluk aneh, jangan2 makhluk ini adalah binatang
peliharaannya??”
Hoa Thian-hong mengangguk. “Sedikitpun tidak salah,
memang rase salju ini!” dia tertawa dan menambahkan,
“Kedatangan siautit ke kota Leng An maksudnya bukan
lain adalah untuk mengunjungi Giok Teng Hujien,
dimanakah kau orang tua beristirahat?? Siautit sebentar
lagi akan menyusul kesana”.
“Giok Teng Hujien adalah seorang perempuan beracun
yang tak boleh diajak bergaul, mau apa kau berkunjung

kesitu?” kembali Chin Pek-cuan menegur dengan alis
berkerut.
“Siautit hendak menyelidiki duduknya perkara tentang
kematian Jin Bong, di dalam persoalan ini Hoa In sudah
mengetahui jelas sekali, biarlah dia yang
memberitahukan hal ini kepada kau orang tua”
“Aku akan pergi ikut Siau Koan-jin” tukas Hoa In
dengan cepat, “biarlah persoalan itu kubicarakan kembali
dengan Chin tayhiap sekembalinya nanti”
“Tempat ini merupakan daerah kekuasaan dari
perkumpulan Thong-thian-kauw, memang ada baiknya
kalau Lo-koan-kee menemani disisi hiantit untuk
menghadapi segala kemungkinan yang tidak diinginkan”
“Setelah siautit menyelesaikan urusanku kemana
harus pergi untuk menjumpai empek??”
Chin Pek-cuan serta pria kurus kecil menyerupai beruk
itu saling bertukar pandangan sekejap, setelah
termenung beberapa saat kakek she-Chin itu menjawab,
“Sebenarnya kami tiada suatu tempat tertentu yang
digunakan untuk beristirahat, begini saja! disebelah barat
daya situ terdapat sebuah dusun kecil setelah urusanmu
selesai berangkatlah kesitu untuk bertemu dengan kami!”
Hoa Thian-hong mengangguk tiada hentinya, dengan
membawa serta Hoa In mereka segera berangkat
membuntuti di belakang rase salju itu.

Setelah berlarian beberapa saat lamanya dan melihat
rase salju itu masih juga berlarian tiada hentinya entah
menuju kemana buru-buru Hoa Thian-hong menyusul ke
depan sambil berteriak “Soat-jie, dimanakah
majikanmu??” Hoa In tersenyum. “Masa makhluk itupun
mengerti akan ucapan manusia??” serunya.
Rase salju itu berpaling memandang sekejap ke arah
Hoa In, setelah berteriak dua kali dia lanjutkan kembali
perjalanannya lari menuju ke arah depan.
Sesudah berlarian beberapa saat lamanya, tiba-tiba
rase salju itu berhenti dibawah sebuah pohon kuai yang
tua, buru-buru Hoa Thian-hong menyusul ke depan,
tegurnya, “Soat-jie, Giok Teng hujien berdiam dimana??”
Dari balik pohon berkumandang datang suara tertawa
cekikikan, mengikuti lengking suara tertawa itu
muncullah seorang dara baju hijau yang memakai gaun
panjang.
Begitu berjumpa dengan dara itu, Hoa Thian-hong
segera mengenali sebagai dayang kepercayaan dari Giok
Teng Hujien yang bernama Pui Che-giok, dalam hati ia
merasa kegirangan pikirnya, “Pisau belati yang
dipergunakan untuk membunuh Jin Bong berada di
dalam sakunya benda itu merupakan kunci utama untuk
memecahkan teka teki sekitar peristiwa pembunuhan ini,
baiklah aku pura2 bertanya kepadanya agar dia masuk
jebakan”
Sementara itu Pui Che-giok sambil tertawa telah
memberi hormat, ujarnya dengan suara halus, “Hoa

kongcu, kedatanganmu ke kota Leng An kali ini apakah
hendak berjumpa dengan hujien kami?”
00000O00000
SINAR mata Hoa Thian-hong dengan tajam menyapu
sekejap sekeliling tempat itu, ketika dilihatnya sekitar
sana tiada orang lain, air mukanya segera diubah jadi
masam sekali, sabutnya dengan suara ketus, “Hujien mu
akan kutemui, kaupun akan kutemui juga!”
Tertegun hati Pui Che-giok mendengar jawaban
tersebut. menyaksikan air mukanya rada kurang beres
dengan perasaan sangsi kembali dia bertanya, “Ada
urusan apa kongcu-ya hendak mencari diri hamba??”
Hoa Thian-hong tertawa dingin. “Hmmm! Sewaktu
masih berada di kota Cho ciu tempo dulu, kau telah
meracuni arakku dan ingin mencelakai selembar
jiwaku…”
“Bukan…. itu bukan racun!” sahut Pui Che-giok
dengan hati amat gelisah.
“Kalau bukan racun, lalu apa yang telah kau
campurkan ke dalam arakku? Bentak si anak muda itu.
Merah padam selembar wajah dayang she Pui itu
setelah sangsi beberapa saat lamanya dia menjawab,
“Obat… obat itu adalah obat perangsang aku… aku
hanya bermaksud gurau saja”

“Konyol!” hardik Hoa Thian-hong dengan gusarnya,
“ini hari kita bisa saling berjumpa kembali. ayoh!
Serahkan selembar jiwamu” Sebagai penutup kata
telapak tangannya segera diayun ke depan segera
melancarkan satu pukulan gencar.
Pucat pias selembar wajah Pui Che-giok menyaksikan
datangnya ancaman itu, tubuhnya buru-buru bergerak
dan mengigos ke samping teriaknya, “Sau-ya tunggu
sebentar. budak ada perkataan yang hendak
disampaikan terlebih dahulu”
“Apa yang hendak kau katakan lagi??”
Pui Che-giok ketakutan setengah mati, biji matanya
yang jeli berputar dan memandang sekejap ke arah Hoa
In, lalu serunya, “Lo Koan-kee, aku mohon sudilah
kiranya kau memohon ampun bagiku, tolonglah jiwaku”.
Hoa In baru untuk pertama kali ini berjumpa dengan
Pui Che-giok, terhadap dirinya boleh dibilang ia sama
sekali tiada pikiran apapun, dan dia sendiripun tak tahu
apa sebabnya Hoa Thian-hong hendak menyusahkan
dirinya., setelah tertegun beberapa saat lamanya dia
berkata. “Urusan dari Siau Koan-jin siapa yang mampu
menghalanginya?? Aku sama sekali tak berdaya untuk
mohonkan ampun bagimu lebih baik carilah jalan lain”
Dalam keadaan apa boleh buat terpaksa Pui Che-giok
berpaling kembali ke arah pemuda she Hoa itu sambil
katanya, “Siau Koan-jin, ini hari bukannya waktunya
bagimu untuk turun tangan, ketika budak menjumpai

kehadiran Siau Koan-jin di sekitar tempat ini, sengaja
kulepaskan Soat-jie untuk memimpin jalan bagi dirimu”.
Hoa Thian-hong tidak gubris perkataan orang, telapak
kakinya diangkat dan siap melancarkan sebuah pukulan
lagi, serunya, “Lebih baik kau tak usah banyak bicara,
sebetulnya kau ingin mati atau ingin hidup?”
“Kalau budak ingin hidup?”
“Kalau ingin hidup boleh juga. tetapi setiap pertanyaan
yang kuajukan harus kau jawab dengan sejujurnya!”
Pui Che-giok mengangguk tiada hentinya. “Budak pasti
akan menjawab dengan sejujurnya!” dia menyahut.
Tiba-tiba sambil menutupi mulutnya sendiri dengan
ujung pakaian. dia tertawa cekikikan.
“Apa yang kau tertawakan??” bentak Hoa Thian-hong
dengan suara gusar.
Buru-buru Pui Che-giok mendekam mulutnya sendiri,
sesaat kemudian dengan suara genit dia menjawab,
“Budak sedari tadi sudah tahu kalau Siau Koan-jin adalah
seorang enghiong yang berbudi luhur dan penuh
kebijaksanaan, tidak mungkin kau benar-benar
mencelakai jiwa budak”
“Tentang soai itu sulit untuk dikatakan” setelah
berhenti sebentar tanyanya lagi, “Nyonya mu sebenarnya
she apa??”

Pui Che-giok tertegun mendapat pertanyaan itu, dia
gelagapan untuk beberapa saat lamanya.
“Budak tidak berani menjawab!” akhirnya dia berseru,
“lebih baik Siau Koan-jin tanyakan sendiri pertanyaan ini
kepada hujien, budak rasa hujien pasti akan
mengatakannya secara terus terang”’
Hoa Thian-hong tertawa dingin. “Heee… heee…
heee… siapa yang mengajari ilmu silat kepadamu? Sudah
berapa lama mengikuti hujienmu itu??”
“Sedari masih kecil budak sudah mengikuti hujien,
seluruh ilmu silat yang kumiliki adalah pelajaran dari
hujien sendiri, sayang sekali bakatku terlalu jelek.
walaupun mendapat didikan dari guru pandai namun
kemajuan ilmu silat yang berhasil kucapai terbatas sekali”
“Senjata tajam apa yang biasa kau pakai?”
Rupanya Pui Che-giok tak pernah menyangka kalau
pemuda itu bakal mengajukan pertanyaan seperti ini,
setelah tertegun beberapa saat ia tertawa genit. “Selama
hidup budak belum pernah menggunakan senjata tajam,
sebab sejak dulu sampai sekarang budak belum pernah
melakukan pertarungan sengit dengan mempertaruhkan
jiwaku!”
“Budak ini benar-benar licik sekali” batin Hoa Thianhong
di dalam hati kecilnya, “Rupanya dia sudah
menduga kalau aku tak bakal mencelakai jiwanya kalau
dia tak mau mengaku terus terang, meskipun pisau belati
itu adalah benda yang dipergunakan untuk melakukan

pembunuhan, tanpa bukti yang kuat tak mungkin dia bisa
mengakuinya dengan begitu saja”
Setelah termenung beberapa saat lamanya, pemuda
itu segera merasa bahwa lebih baik untuk sementara
waktu tetap menyabarkan diri daripada memukul rumput
mengejutkan ular.
Dengan wajah serius segera serunya, “Ayo cepat
membawa jalan, aku ada urusan hendak bertemu
dengan hujienmu itu.”
Pui Che-giok tertawa. dia lantas berteriak, “Soat-jie,
ayoh cepat lari!”
Sambil berseru diapun ikut putar badan dan berlalu
dari sana.
Hoa Thian-hong serta Hoa In segera menyusul dari
belakang. tiga orang manusia seekor binatang dengan
cepatnya bergerak menuju ke arah timur.
Hoa In belum pernah berjumpa dengan Giok Teng
Hujien, ketika itu hatinya terasa bergerak segera bisiknya
dengan suara lirih, “Ilmu meringankan tubuh yang
dimiliki budak ini telah mencapai kesempurnaan, aku
rasa ilmu silat yang dimiliki tentu tidak jelek juga,
Budaknya saja sudah begini hebat bisa dibayangkan
kepandaian silat yang dimiliki majikannya tentu luar biasa
sekali, Siau Koan-jin adalah tubuh emas yang tak bernilai
harganya, kenapa kau musti masuk ke dalam sarang
harimau”

Hoa Thian-hong menghela napas panjang setelah
mendengar perkataan itu sahutnya, “Untuk mendirikan
sebuah gedung besar, tak cukup kalau disanggah dengan
sebatang golok saja, dewasa ini adalah masa yang bagus
bagi manusia-manusia lurus dan budiman untuk
melakukan perjuangan, setiap orang harus berusaha
dengan segala pikiran serta kemampuan yang
dimilikinya, siapapun bukan tubuh emas dan semua
orang berhak untuk mempertaruhkan jiwa raganya demi
tercapainya cita cita yang diharapkan”

ALWAYS Link cerita silat : Cerita silat Terbaru Cerita Silat Seru Terbaru : Bara Maharani 3, cersil terbaru Cerita Silat Seru Terbaru : Bara Maharani 3, Cerita Dewasa, cerita mandarin,Cerita Dewasa terbaru Cerita Silat Seru Terbaru : Bara Maharani 3,Cerita Dewasa Terbaru Cerita Silat Seru Terbaru : Bara Maharani 3, Cerita Dewasa Pemerkosaan Terbaru Cerita Silat Seru Terbaru : Bara Maharani 3
Anda sedang membaca artikel tentang Cerita Silat Seru Terbaru : Bara Maharani 3 dan anda bisa menemukan artikel Cerita Silat Seru Terbaru : Bara Maharani 3 ini dengan url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/12/cerita-silat-seru-terbaru-bara-maharani.html,anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel Cerita Silat Seru Terbaru : Bara Maharani 3 ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,namun jangan lupa untuk meletakkan link Cerita Silat Seru Terbaru : Bara Maharani 3 sumbernya.

Unknown ~ Cerita Silat Abg Dewasa

Cersil Or Post Cerita Silat Seru Terbaru : Bara Maharani 3 with url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/12/cerita-silat-seru-terbaru-bara-maharani.html. Thanks For All.
Cerita Silat Terbaik...

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar