Cerita Silat Favorit : Harpa Iblis Jari Sakti 1

Diposting oleh eysa cerita silat chin yung khu lung on Selasa, 20 Desember 2011

Cerita Silat Favorit : Harpa Iblis Jari Sakti

Harpa Iblis Jari Sakti

Karya : Chin Yung


Angin menerpa bendera besar itu sehingga terdengar
suara berdesah-desah, warna dasarnya biru, diatasnya ada
sulaman warna warni bergambar seekor harimau yang hidup
sekali. Di bagian bawahnya ada sulaman tulisan empat huruf
"Thian Houw Piau Kiok" Bendera itu memang tertancap di atas
genteng gedung Thian Houw Piau Kiok (Ekspedisi Harimau
Langit) itu.
Thian Houw Piau Kiok boleh dibilang merupakan Ekspedisi
terbesar di antara lima propinsi sebelah Selatan. Barangbarang
yang dikawal perusahaan ini rata-rata bernilai laksaan
tail uang perak. Namun selama ini belum pernah terjadi
kegagalan. Bukannya para golongan hitam tidak
menginginkannya, tapi karena mereka tidak berani membentur
majikan Ekspedisi itu, Si Harimau Langit Lu Sin Kong juga
istrinya, Sebun It Nio.
Si Harimau Langit Lu Sin Kong merupakan salah satu di
antara para murid Go bi Pai yang tidak menyucikan diri
menjadi pendeta dan menonjol sekali kepandaiannya. Ilmu
tenaga dalam (Iweekang) maupun tenaga luar (Gwakang) nya
sudah mencapai taraf yang tinggi sekali. Umumnya, bila
seseorang sudah mencapai taraf ini, dia akan memilih hidup
menyucikan diri di pegunungan yang tenang atau bersemadi
sehingga menjadi orang sakti.
Namun Thian Houw Lu Sin Kong masih membuka
perusahaan pengawalan di wilayah Lam Cong.
Watak Lu Sin Kong cukup setia kawan, suka menolong
yang lemah. Hanya ada sedikit penyakitnya, yakni agak

3
serakah dan tamak terhadap kekayaan. Sebetulnya hal ini juga
tidak dapat disebut penyakit. Manusia normal mana yang tidak
ingin mencari harta sebanyak-banyaknya, apalagi yang telah
berkeluarga?
Mengandalkan nama besar Lu Sin Kong, barang semahal
apa pun yang dikawalnya, Lu Sin Kong tidak perlu turun
tangan sendiri. Asal dia memerintahkan salah seorang
Piausunya lalu menancapkan bendera Thian Houw Piau Kiok di
kereta kawalannya pasti tidak ada yang berani mengganggu
gugat. Walaupun misalnya ada orang yang berani membentur
Thian Houw Lu Sin Kang, tapi sudah pasti mereka tidak berani
mencari gara-gara dengan istrinya, Sebun It Nio.
Walaupun Sebun It Nio tinggal di wilayah selatan, namun
pada dasarnya wanita ini adalah ketua atau Ciangbunjin Tiam
Cong Pai di Hun Lam. Ia juga terhitung kakak seperguruan
Enam Elang Leng Siau Ing. Kepandaiannya tinggi sekali. Nama
besarnya di dunia Kang Ouw tidak kalah dengan nama
suaminya.
Oleh karena itu, kecuali berlatih ilmu silat, pekerjaan Lu
Sin Kong sehari-hari di rumah hanya mengajak anaknya
bermain. Kadang-kadang ada beberapa sahabatnya yang
datang untuk mengobrol masalah yang menyangkut dunia
persilatan masa itu.
Pada usia lima puluh tahun, Lu Sin Kong baru memperoleh
seorang putera yang diberi nama Lu Leng. Usia Lu Leng
sekarang dua belas tahun. Sejak anak itu masih bayi,
pasangan suami istri Lu Sin Kong sudah mencari berbagai
obat-obatan yang bermanfaat bagi orang yang belajar silat
agar tubuhnya menjadi kuat.

4
Sejak Lu Leng berusia delapan tahun, baik Lu Sin Kong
maupun Sebun It Nio sudah mulai mengajarkan kepandaian
yang mereka miliki. Itulah sebabnya dalam usia yang masih
kecil saja, ilmu silat Lu Leng sudah mempunyai dasar yang
cukup kuat. Bahkan mereka juga mendatangkan beberapa
jago dari Go Bi Pai dan Tiam Cong Pai untuk memberi
petunjuk kepada putera mereka dengan harapan kelak akan
menjadi manusia yang berguna.
Hari itu awal musim gugur. Cuacanya cerah dan udaranya
hangat. Bendera yang terpancang di atas gedung Thian Houw
Piau Kiok berkibar dengan gagah. Beberapa orang pegawainya
sedang melepaskan lelah di samping serambi, tiba-tiba
terdengar suara beberapa orang yang bertanya,
"Apakah Lu Cong Piau Tau ada di tempat?"
Para pegawai itu menolehkan kepalanya. Tampak
beberapa pelayan yang mengenakan kopiah lebar berdiri
tegak di hadapan mereka. Melihat penampilannya, dapat
dipastikan bahwa mereka merupakan utusan dari keluarga
kaya. Pemimpin para pegawai itu tidak berani membuang
waktu lama-lama, cepat-cepat dia menyahut,
"Ada, ada! Entah para Kuan Ke (Kepala Pelayan) sekalian
ada perintah apa?"
Keempat orang itu tidak menjawab sepatah kata pun.
Mereka langsung membalikkan tubuhnya lalu pergi begitu
saja. Pegawai-pegawai Thian Houw Piau Kiok jadi heran
melihatnya.
Selang beberapa lama, seseorang yang berdandan seperti
Kuan Ke juga, namun dengan pakaian yang jauh lebih mewah

5
datang. Tangannya membawa sebuah kotak yang indah
sekali.
"Harap sampaikan kepada Lu Cong Piau Tau bahwa Cayhe
ingin menemuinya!" kata orang itu.
Sebetulnya, kalau ada langganan yang datang, para
pegawai Piau Kiok itu tidak berani bersikap lancang atau
gegabah. Tapi di atas kepala orang yang baru muncul itu
tertempel sebuah giok pada kopiahnya, persis seperti orangorang
sebelumnya. Sedangkan pegawai Houw Thian Piau Kiok
masih merasa jengkel dengan sikap orang-orang tadi. Maka,
dilampiaskannya kekesalan hatinya kepada orang yang baru
muncul ini,
"Apakah Anda mempunyai barang berharga yang akan
dikawal oleh perusahaan kami? Serahkan saja padaku! Apa
barangnya? Ke mana hendak diantarkan? Kenapa kalian diam
saja, bicaralah!" tanyanya dengan nada membentak.
Selama dia berbicara, Kuan Ke yang perlente itu hanya
tersenyum-senyum saja. Setelah ucapannya selesai, dia baru
berkata pula,
"Mengenai ini, hamba tidak berani mengambil keputusan.
Soalnya Majikan hamba sudah berpesan wanti-wanti. Kotak ini
harus diserahkan langsung ke tangan Lu Cong Piau Tau.
Harap Anda sudi melaporkannya ke dalam. Sebelumnya
hamba ucapkan banyak-banyak terima kasih."
Sebetulnya pegawai Piau Kiok itu masih ingin
melampiaskan kejengkelannya. Namun karena pihak lawan
menggunakan cara yang lunak, maka kemarahannya surut
sebagian. Dia memperhatikan orang itu sekali lagi sampai
agak lama, baru kemudian menyahut,

6
"Kalau kau ingin aku melaporkan kedatanganmu,
setidaknya kau harus menyebutkan sebuah nama."
"Majikan kami dari marga Ki. Kau sampaikan saja bahwa
ada utusan orang she Ki yang datang," Kata Kuan Ke tadi.
Pegawai itu merenung sebentar. Dia sudah lama bekerja di
perusahaan itu, maka boleh dibilang hampir seluruh hartawan
di wilayah sekitarnya diketahuinya. Namun setelah dipikir-pikir,
rasanya kok tidak ada satu pun yang marga Ki. Kalau menilik
penampilan orang-orang ini, dapat dipastikan majikan mereka
bukan golongan orang biasa. Hatinya diliputi berbagai tekateki,
akhirnya dia melangkah masuk juga ke dalam rumah.
Orang yang berdandan seperti Kuan Ke itu meletakkan
kotak yang dibawanya di atas pelataran serambi. Kepalanya
mendongak menatap tulisan Thian Houw Piau Kiok di atas
kepalanya, kemudian tertawa dingin sekilas.
Tidak lama kemudian, Thian Houw Lu Sin Kong sudah
melangkah keluar diiringi pegawai tadi. Tampak wajahnya
yang segar dengan jenggot yang melambai-lambai di bawah
dagunya. Tampangnya berwibawa dan langkah kakinya
mantap. Baru saja dia melangkah keluar, orang yang
berdandan seperti Kuan Ke itu sudah menjura dalam-dalam
sebagai penghormatannya.
"Lu Cong Piau Tau, hamba Ki Hok datang menghadap!"
Lu Sin Kong mengibaskan lengan bajunya. Serangkum
kekuatan menahan gerakan orang itu. Si Kuan Ke mencoba
mengerahkan tenaga dalam untuk mengimbangi. Masih
mending kalau dia diam saja. Sekali mengadu tenaga dalam,
langkah kakinya langsung terhuyung-huyung. Hampir saja dia
terjungkal ke belakang.

7
Lu Sin Kong tersenyum simpul.
"Rupanya Tuan Kuan Ke ini memiliki sedikit kepandaian.
Barang apakah yang hendak diserahkan ke tangan Lohu (Aku
yang tua), silakan utarakan langsung!" katanya.
Wajah si Kuan Ke berubah merah padam,
"Hanya kotak ini, harap Cong Piau Tau antarkan sendiri ke
Tuan Han Sun yang bergelar Kim Pian (Si Pecut Emas) di Su
Cou Hu sebagai hadiah."
Lu Sin Kong tertawa terkekeh-kekeh.
"Lohu sudah lama lepas tangan dari profesi ini, kali ini pun
tidak ada perkecualiannya."
Wajah Ki Hok menunjukkan perasaan serba salah.
"Majikan kami sudah pesan wanti-wanti, bagaimanapun
harus Lu Cong Piau Tau sendiri yang mengantarnya."
Lu Sin Kong mengelus jenggotnya sambil tersenyum
simpul.
"Mengandalkan sebuah bendera dari perusahaan kami,
barang apapun pernah kami kawal sampai ke seluruh negeri
ini. Kami jamin tidak akan terjadi apa-apa. Apalagi barang itu
hendak diantarkan ke rumah Han Tayhiap, siapa pula yang
begitu besar nyalinya berani merampas? Rasanya
kekhawatiran majikan kalian terlalu berlebihan."
Ki Hok ikut tersenyum.

8
"Apa yang dikatakan Lu Cong Piau Tau memang benar,"
sahutnya sembari membalikkan tubuhnya. Terdengar suara
Plok! Plok! Plok! Sebanyak tiga kali. Rupanya Ki Hok menepuk
tangannya dengan keras. Saat itu juga, keempat kepala
pelayan yang muncul pertama-tama langsung berjalan
mendatangi. Tangan masing-masing membawa sebuah
nampan emas. Bagian atasnya di tutup dengan kelambu
berwarna hijau. Ki Hok membuka kelambu-kelambu itu.
Saat itu juga, Lu Sin Kong dan beberapa pegawainya
langsung terpukau.
Rupanya, di atas nampan yang pertama terdapat
lempengan-lempengan batu Giok berbentuk segi empat.
Tebalnya kurang lebih setengah cun, warnanya hijau
berkilauan. Ternyata Tou Cui Liok yang sangat langka di
dunia.
Di atas nampan kedua terdapat sebutir Mutiara besar yang
dapat bersinar terang di malam hari.
Nampan ketiga berisi sebuah patung singa dari batu
Manau. Batunya berwarna merah marong seperti bara api.
Jenis ini sangat sulit ditemukan dan yang paling istimewa
justru hasil ukirannya yang hidup sekali. Bahkan setiap helai
surainya dapat dihitung dengan jelas.
Di atas nampan ke empat terdapat seekor Go Jiau Kim
Leng yang panjangnya kurang lebih delapan cun. Kalau
dihitung emasnya saja, mungkin tidak lebih dari setengah kati.
Nantun buatannya yang sehalus itu, justru sulit dicari duanya.
Mungkin pembuatannya memakan waktu delapan sampai
sepuluh tahun. Belum lagi batu yang terdapat di kedua
matanya. Sorotnya tajam seakan menggetarkan hati siapa pun
yang melihatnya.

9
Sejak perusahaannya berkembang maju, Lu Sin Kong
sendiri sudah cukup kaya raya. Dia sering membeli pajanganpajangan
yang mahal. Sedangkan dirinya juga mengenali
mutu barang yang bagus. Namun benda-benda seperti yang
ada di hadapannya sekarang ini, boleh dibilang baru kali ini dia
melihatnya. Bahkan harganya sulit dinilai.
Untuk sesaat, dia sampai berdiri terpana sekian lamanya,
akhirnya baru bertanya,
"Tuan Kuan Ke, a... apa ini?"
"Majikan kami tahu Lu Cong Piau Tau sudah bosan melihat
uang emas, maka sengaja mencari benda-benda langka di
wilayah Lam Hai. Bila Lu Cong Piau Tau sudi turun tangan
sendiri mengantarkan kotak itu, maka seluruh barang-barang
ini akan diberikan kepada Lu Cong Piau Tau sebagai tanda
hormat majikan kami," sahut Ki Hok.
Lu Sin Kong terkesiap. Dalam hati dia berpikir,
Benda-benda langka seperti ini saja diberikan kepadaku
sebagai tanda penghormatan kepadaku. Kira-kira benda
langka apa yang majikannya berikan kepada Han Tayhiap?
Lu Sin Kong memandang keempat benda pusaka itu, lalu
perlahan-lahan diambilnya dan diperhatikan sejenak, baru
kemudian diletakkan kembali. Tampaknya dia merasa berat
sekali melepaskan benda-benda pusaka itu. Akhirnya dia
berkata,
"Baiklah, Lohu mengabulkan permintaan majikan kalian.
Sebetulnya benda apa yang terdapat dalam kotak itu?"
Ki Hok membungkukkan tubuhnya.

10
"Lu Cong Piau Tau, maafkan kelancangan hamba! Menurut
Majikan hamba, sebelum sampai di tempat kediaman Han
Tayhiap, kotak itu tidak boleh dibuka sedikit pun juga, jadi
hamba sendiri tidak tahu apa isinya."
Ucapan Ki Hok itu tidak sesuai sama sekali dengan
peraturan dunia Piau Kiok. Karena biasanya orang yang
meminta pengawalnya pihak Thian Houw Piau Kiok harus
menerangkan dengan jelas dulu barang apa yang akan
dibawa. Tidak ada aturan bahwa pihak pengawalan tidak
boleh tahu apa isi kotak yang akan mereka kawal.
Oleh karena itulah, Lu Sin Kong berkata,
"Kalau begitu, terpaksa rejeki ini kami tolak."
"Lu Cong Piau Tau, menurut Majikan kami, keempat benda
pusaka ini sulit dicari keduanya lagi di seluruh dunia," sahut Ki
Hok.
Kata-katanya itu tepat mengenai isi hati Lu Sin Kong.
Untuk beberapa lama dia sampai terbungkam!
"Kotak itu juga sudah dipasang kertas segel. Asal Lu Cong
Piau Tau berjanji tidak akan merobeknya, maka kami jamin
tidak akan terjadi apa-apa sampai di tempat tujuan," kata Ki
Hok pula.
"Memangnya kau kira aku ini siapa, masa sembarangan
membuka barang milik orang lain?" sahut Lu Sin Kong dengan
nada kurang senang.
"Betul, hamba memang lancang sekali," kata Ki Hok cepat.
Lu Sin Kong mendongakkan kepalanya.

11
"Tuan Kuan Ke, siapa sebetulnya majikan kalian?"
tanyanya.
"Sebelum mendapat ijin dari majikan, kami tidak berani
sembarangan menyebutnya," sahut Ki Hok.
Lu Sin Kong mendengus satu kali, dan dengan tiba-tiba
tangannya mencengkeram. Terpancarlah serangkum kekuatan
yang melanda ke pergelangan tangan Ki Hok.
Ki Hok mencela mundur, tubuhnya dimiringkan sedikit,
tangannya diangkat ke atas, tahu-tahu dia sudah berhasil
menghindar dari serangan Lu Sin Kong.
"Lu Cong Piau Tau...."
Hati Lu Sin Kong tercekat. Cara menghindarkan diri yang
ditunjukkan Ki Hok barusan menunjukkan bahwa dia orang
Hoa San Pai. Bahkan kalau tidak salah dia malah salah satu
jagonya. Tapi mengapa dia justru rela menjadi pelayan yang
jabatannya begitu rendah?
Di antara semua partai di dunia persilatan, anggota murid
Hoa San Pai lah yang paling banyak, bahkan Go Bi Pai saja
tidak sanggup menandinginya.
Namun karena muridnya terlalu banyak, maka tidak
seluruhnya dapat dikontrol dengan baik. Itu pula yang
menyebabkan belakangan ini nama Hoa San Pai di luaran
kurang baik. Meskipun demikian, tokoh-tokoh di dunia Kangouw
masih menaruh rasa hormat yang besar kepada
ketuanya, yakni Liat Hwe Cousu, juga dua belas Tongcu
perguruan itu.

12
Barusan Lu Sin Kong melancarkan sebuah serangan yang
mana dapat dielakkan dengan mudah oleh Ki Hok, bahkan
gerakan yang dikerahkan tadi bukan lain daripada Sut Kut
Kang (Ilmu menyusutkan tulang) dari Hoa San Pai. Sedangkan
ilmu yang satu ini hanya dipelajari oleh murid Tingkat tinggi
dari perguruan itu. Dengan demikian Lu Sin Kong bisa
menduga bahwa Ki Hok merupakan salah satu dari dua belas
Tongcu Hoa San Pai.
Maka Lu Sin Kong segera tersenyum, "Rupanya Liat Hwe
Cousu yang memerintahkan Anda datang ke mari?" katanya.
Dia tahu, kedua belas Tongcu Hoa San Pai mempunyai
kedudukan yang tinggi di dunia Bulim. Tidak mungkin mereka
sudi merendahkan diri menjadi pelayan orang. Itulah
sebabnya Lu Sin Kong langsung menduga bahwa semua ini
merupakan sandiwara yang diatur oleh Liat Hwe Cousu.
Begitu kedoknya terbuka, mimik wajah Ki Hok agak
berubah, namun dalam sekejap saja sudah pulih kembali
seperti biasa.
"Ternyata pandangan mata Lu Cong Piau Tau tajam sekali.
Sekali melihat saja langsung mengetahui bahwa hamba
pernah belajar silat beberapa hari di Hoa San Pai. Tapi hamba
bukan anak murid perguruan itu. Majikan hamba she Ki,
bukan Liat Hwe Cousu," sahutnya.
Lu Sin Kong tertegun. Dalam hati dia sadar bahwa ilmu
Sut Kut Kang merupakan ilmu rahasia Hoa San Pai. Kalau
bukan murid tingkat tinggi, pasti tidak boleh mempelajari ilmu
ini. Sedangkan Ki Hok tidak mengakui dirinya sebagai jago
Hoa San Pai. Maka urusan ini benar-benar mencurigakan.
Kemungkinan dibalik semua ini terdapat apa-apa yang akan

13
membawa ketidak beruntungan bagi dirinya, maka dia berkata
dengan nada dingin,
"Tuan Kuan Ke...."
Baru saja dia menyebut panggilan itu, Ki Hok seperti
sengaja atau mungkin juga tidak, menggeser kakinya sedikit.
Keempat pelayan yang lainnya juga ikut bergerak. Seketika
empat macam benda pusaka di atas nampan bertambah
berkilauan cahayanya tersorot oleh matahari, sehingga
pandangan mata Lu Sin Kong semakin berkunang-kunang
melihatnya.
Lu Sin Kong semakin tidak sanggup menahan pesona yang
ditimbulkan benda-benda pusaka itu. Maka, setelah merenung
sejenak, dia berkata,
"Dari sini ke Su Cou hanya membutuhkan perjalanan
selama tujuh delapan hari. Kepandaian Tuan sudah begitu
tinggi, apalagi majikannya. Tapi mengapa tidak mengantarkan
sendiri barang-barang itu malah menyerahkannya kepada
kami? Apakah kalian sudah punya bayangan bahwa dalam
perjalanan akan ada orang yang memberikan kesulitan?"
Ki Hok menarik nafas panjang.
"Lu Cong Piau Tau memang pandai menerka. Dari sini ke
Su Cou, kemungkinan memang ada sedikit masalah, Majikan
kami bukannya takut, tapi di antara orang-orang yang akan
mendatangkan kesulitan itu, ada seorang di antaranya yang
tidak ingin ditemui oleh majikan kami. Itulah sebabnya kami
terpaksa merepotkan Lu Cong Piau Tau agar kotak ini dapat
lancar sampai di tujuannya."

14
Lu Sin Kong merenung sebentar. Mengandalkan nama
besarnya di dunia Kang-ouw, siapa yang berani merampas
barang yang dikawalnya sendiri? Seandainya ada orang yang
mempunyai niat itu, apakah golok Ce Hun To nya mudah
dilawan begitu saja?
Setelah berpikir panjang lebar, dia yakin tidak akan gagal,
maka dia berkata,
"Baiklah. Kau serahkan saja kotak itu kepadaku, besok
juga aku langsung berangkat."
Ki Hok menjatuhkan dirinya berlutut.
"Hamba sungguh beruntung, kali ini terpaksa
mengandalkan Lu Cong Piau Tau!"
Dia mengibaskan tangannya. Keempat pelayan yang
menyertainya segera meletakkan empat nampan emas itu di
atas lantai serambi dengan hati-hati, setelah itu mereka
langsung mengundurkan diri.
Setelah orang-orang itu keluar dari pintu gerbangnya, Lu
Sin Kong menurunkan perintah kepada salah seorang
pegawainya,
"Cin Piautau, kau ikuti kelima orang itu, hati-hati, jangan
sampai mereka tahu! Kita harus selidiki sampai jelas, siapa
sebetulnya orang-orang itu!"
Cin Piautau merupakan salah seorang pegawainya yang
paling banyak akal. Maka, Lu Sin Kong berani mempercayakan
urusan sepenting ini ke tangannya. Orang itu segera
mengiakan, dan tanpa banyak tanya dia langsung berjalan
keluar.

15
Sementara itu, Lu Sin Kong mengangkat keempat benda
pusaka itu, kemudian dia meletakkannya kembali.
Perbuatannya itu diulangi sampai berkali-kali, seakan-akan dia
merasa berat sekali melepaskannya. Setelah puas
memainkannya, dikumpulkannya keempat benda itu dalam
sebuah nampan lalu dibawanya masuk ke dalam.
Baru sampai di depan koridor panjang, tampak sesosok
bayangan panjang menyelinap keluar. Tubuh wanita itu kurus
sekali. Dialah istri Lu Sin Kong yang bernama Sebun It Nio.
Raut wajahnya mirip kuda, alisnya tebal, tampangnya
menakutkan. Sekali lihat saja dapat dipastikan bahwa watak
orang ini beringas sekali.
Ketika melihat Sebun It Nio, Lu Sin Kong segera berkata,
"Hujin, aku justru ingin menemuimu. Mana Leng Ji?"
Begitu melirik saja Sebun lt Nio sudah melihat empat
macam benda pusaka yang dibawa Lu Sin Kong. Tanpa dapat
ditahan lagi dia terkejut.
Sebun It Nio terlahir di salah satu keluarga kaya di Hun
Lam. Kakeknya merupakan bendahara kerajaan Tayli. Ketika
kerajaan itu musnah, kemana perginya semua harta kekayaan
kerajaan itu, boleh dibilang tidak ada seorang pun yang tahu.
Sebetulnya semua sudah ditelan oleh kakeknya sendiri.
Bayangkan saja berapa banyaknya harta kekayaan yang
dimiliki seorang Raja!
Itulah sebabnya pandangan Sebun It Nio juga lebih tinggi
dari orang biasa. Emas permata yang sering dibeli suaminya,
kenyataannya tidak ada satu pun yang dipandang sebelah
mata olehnya. Sekarang dia melihat keempat benda pusaka

16
itu, hatinya terkejut setengah mati. Kemudian tanpa sadar dia
bertanya,
"Sin Kong, dari mana kau memperoleh keempat macam
benda ini?"
Melihat istrinya juga terpesona melihat empat macam
benda itu, Lu Sin Kong sadar bahwa benda-benda ini memang
bukan pusaka biasa. Hatinya semakin bangga. Dia langsung
menceritakan kedatangan Ki Hok barusan serta amanat yang
dibawanya.
"Dari sini ke Su Cou, paling-paling hanya tujuh delapan
hari. Sedangkan orang yang harus diserahi kotak itu justru si
Pecut Emas-Han Sun. Aku rasa, walaupun mungkin ada yang
jail di perjalanan, tapi tentunya bukan masalah yang perlu
dikhawatirkan," katanya kemudian.
Mimik wajah Sebun It Nio menunjukkan perasaan raguragu.
Maka, setelah merenung agak lama, barulah dia
menyahut,
"Aku rasa urusannya tidak sesederhana itu. Seandainya
dapat sampai di tujuan dengan mudah, mengapa orang she Ki
itu harus mengeluarkan imbalan sebesar ini? Aku khawatir
empat macam benda pusaka ini bisa mendatangkan bencana
besar bagimu."
Lu Sin Kong tertawa terbahak-bahak.
"Hujin, rasanya kecurigaanmu ini agak berlebihan. Kalau
bukan orang itu yang menginginkan agar aku turun tangan
sendiri, belum tentu dia sudi memberikan imbalan sehebat ini.
Asal aku tancapkan sebuah bendera Thian Houw Piau Kiok,

17
jangan kata baru Su Cou, seluruh dunia pun dapat kujelajahi
tanpa rintangan."
Sebun It Nio menjulurkan tangannya.
"Sini, biar kulihat sebentar kotak itu!" katanya.
Lu Sin Kong melemparkan kotak yang harus diantarnya.
Sebun It Nio menyambutnya dengan tenang, lalu menimbangnimbangnya
dan memperhatikannya sejenak. Kotak itu tidak
berat, dan bentuknya biasa-biasa saja, sama sekali tak ada
keistimewaannya. Hanya saja di bagian atas kotak itu sudah
disegel dengan selembar kertas. Kecuali tercantum tanggal
dan bulan, di atas kertas itu tidak ada tulisan apa-apa lagi.
Sebun It Nio membolak-balikkan kotak itu dan
diperiksanya dengan teliti. Mengandalkan pengetahuan dan
pengalamannya yang luas di dunia Kang-ouw, ternyata dia
juga tidak menemukan apapun yang janggal.
Sembari berbicara, kaki mereka terus melangkah. Saat itu
mereka sudah sampai di taman kecil dalam rumah. Sebun lt
Nio meletakkan kotak itu di atas meja lalu berkata dengan
mimik serius.
"Sin Kong, aku yakin di balik semua ini pasti ada intrik
yang mencurigakan. Kalau menurut pendapatku, sebaiknya
kita buka saja kotak ini untuk melihat apa isi di dalamnya."
Lu Sin Kong tertegun.
"Hujin, mungkin... usulmu itu kurang baik,"
Sebun It Nio tertawa dingin.

18
"Di dunia ini mana ada aturan seperti ini. Minta barangnya
dikawal tapi tidak boleh tahu isinya."
"Kalau menurut aturan memang tidak sesuai. Tapi
mungkin saja isi kotak itu merupakan rahasia dunia Bulim atau
sejenis rumput obat yang langka. Bila urusan ini sampai
tersebar luas, pasti akan menjadi bahan rebutan serta
menimbulkan pertikaian. Maka dari itu orang she Ki itu
memilih merahasiakannya," kata Lu Sin Kong.
Sebun It Nio merenung sejenak.
"Apa yang kau katakan memang ada benarnya juga. Kalau
kau sudah mengambil keputusan untuk tidak membuka kota
ini, bagaimana kalau aku mengiringi kepergianmu ke Su Cou
kali ini?"
Lu Sin Kong gembira sekali mendengar ucapan itu.
"Bila Hujin bersedia menemaniku, aku berani menjamin
tugas ini pasti berhasil dengan baik." Setelah berhenti sejenak,
dia melanjutkan pula, "Tapi, kalau kita pergi berdua-duaan,
Leng Ji ditinggal sendirian di rumah, siapa yang akan
mengurusnya nanti?"
Sebun It Nio tertawa.
"Memangnya kita tidak bisa mengajaknya ikut serta?
Lagipula, sudah waktunya anak kita keluar melihat-lihat."
"Apa yang dikatakan Hujin tepat sekali." Dia langsung
berteriak, "Leng Ji, Leng Ji!"
Belum lagi suara panggilannya sirap, terdengarlah langkah
kaki mendatangi. Dari arah pintu menghambur seorang bocah

19
berusia kurang lebih tiga belas tahun. Alisnya tebal, bentuk
matanya indah, wajahnya bersih. Dia berhenti tepat di depan
pintu sambil bertanya,
"Ayah, Ibu, ada apa kalian memanggilku?"
Bocah itu memang Lu Leng, anak tunggal mereka. Lu Sin
Kong memang suka harta, tapi putranya ini justru buah hati
yang lebih disayangi melebihi nyawanya sendiri. Dia langsung
membungkukkan tubuhnya untuk merangkul anak itu.
"Leng Ji, besok aku dan ibumu akan pergi ke Su Cou. Kami
ingin mengajakmu, bagaimana menurut pendapatmu?"
Lu Leng bertepuk tangan sambil bersorak gembira.
"Bagus! Aku senang keluar jalan-jalan!"
Sebun It Nio tertawa,
"Leng Ji, kau anggap kita berjalan-jalan? Kemungkinan
ada lawan yang tangguh menanti kita di sana," katanya.
Sepasang mata Lu Leng yang bening mengerling ke sana
ke mari.
"Aku tidak takut! Kalau ketemu lawan, pukul saja!"
Lu Sin Kong dan Sebun It Nio tertawa. Usia anaknya masih
kecil tapi sudah bisa menunjukkan kegagahannya. Tentu saja
hati mereka senang sekali mempunyai anak seperti dia.
Tiba-tiba, dari luar terdengar suara ramai, rasanya ada
beberapa orang yang berseru dengan suara lantang,

20
"Cepat panggil Cong Piau Tau!"
Ada pula orang lain yang berteriak,
"Yang penting menolong orang dulu!"
Terdengar seorang lainnya berteriak,
"Apa kau tidak punya mata? Memangnya orang ini masih
bisa tertolong?"
Untuk sesaat, suasana menjadi bising sekali. Lagipula
sayup-sayup terdengar langkah kaki mereka semakin lama
semakin dekat dengan taman bunga itu.
Hati Lu Sin Kong tertegun. Entah apa yang telah terjadi.
Tangannya menumpu pada tiang pilar, dan dia langsung
berdiri. Wajah Sebun It Nio juga mulai berubah.
Digenggamnya tangan Lu Leng erat-erat, jangan sampai
bocah itu sembarangan keluyuran.
Tepat pada saat itu, dari luar pintu terdengar seseorang
bertanya,
"Apakah Lu Cong Piau Tau ada di tempat?"
"Ada apa?" tanya Lu Sin Kong cepat.
Brakk!! Pintu taman itu terbuka seketika. Dari luar
menyeruduk masuk tujuh delapan belasan orang yang terdiri
dari para pegawai perusahaan Ekspedisi itu. Dua di antaranya
merupakan Piau Tau tua. Mereka melangkah masuk. Tubuh
keduanya penuh dengan bercak darah, sebab mereka sedang
membimbing seseorang yang tubuhnya penuh luka.

21
Kalau mengatakan orang yang mereka papah itu seorang
"Manusia Darah", rasanya kiasan itu memang tepat sekali.
Dari atas kepala sampai ke ujung kaki orang itu memang
bergelimang darah segar.
Melihat keadaan itu, Lu Sin Kong juga terkejut setengah
mati.
"Jangan ribut!" bentaknya.
Dalam sekejap mata, suasana dalam taman itu menjadi
hening. Lu Sin Kong memperhatikan "Manusia Darah" itu, dan
lagi-lagi hatinya terkesiap,
"Ah! Bukankah ini Cin Piau Tau?"
Memang benar, orang yang bergelimangan darah itu
memang Cin Piau Tau yang ditugaskan Lu Sin Kong untuk
mengikuti jejak kelima orang Kepala Pelayan keluarga Ki.
Terdengar seseorang menyahut,
"Memang Cin Piau Tau."
Lu Sin Kong segera menghampiri lalu perlahan-lahan
mendongakkan wajah Cin Piau Tau. Tampak dari atas kepala
sampai ujung kaki orang itu penuh dengan lobang luka.
Tampaknya luka yang diderita orang itu parah sekali. Sudah
barang tentu, dengan luka sehebat itu, Cin Piau Tau tidak bisa
berjalan sendiri.
Dalam waktu bersamaan, Sebun It Nio juga melihat
kejadian ini.
"Siapa yang mengantarnya pulang?" tanya wanita itu.

22
Salah seorang pegawainya menyahut,
"Sebuah kereta yang mewah sekali. Begitu sampai di
depan pintu, Tubuh Cin Piau Tau terlempar keluar. Kami
segera berhamburan keluar untuk melihatnya, tapi kereta itu
sudah tidak tampak lagi."
Sebun It Nio melirik sekilas kepada Lu Sin Kong, lalu
bergerak maju selangkah. Kedua jari telunjuk dan tengahnya
menjulur ke depan lalu perlahan-lahan menotok jalan darah
Pek Ciok Hiatnya Cin Piau Tau.
Jalan darah Pek Ciok Hiat merupakan salah satu di antara
delapan urat darah terpenting di tubuh manusia. Luka yang
dialami Cin Piau Tau sudah terlampau parah. Tapi bila jalan
darah Pek Ciok Hiatnya ditotok, getarannya dapat membuat
orang sadar kembali. Sebun It Nio langsung membentak,
"Cin Piau Tau, siapa yang mencelakaimu? Cepat katakan
agar kami bisa membalas dendammu!"
Cin Piau Tau mendongakkan kepalanya, kemudian dengan
suara lemah dia berkata,
"Lu.... Cong Piau.... Tau.... A... ku sungguh... ti... dak
berun... tung, kau... ti... dak... bo... leh...." Baru berkata
sampai di situ, kepalanya sudah terkulai.
"Tidak boleh apa?" tanya Lu Sin Kong cepat.
Namun Cin Piau Tau untuk selamanya tidak bisa bersuara
lagi.

23
Orang-orang yang melihatnya, tanpa sadar mengeluarkan
seruan terkejut, sebab di dalam Thian Houw Piau Kiok,
masalah seperti ini belum pernah terjadi sebelumnya.
Lu Sin Kong berusaha menenangkan hatinya, "Kalian
keluar!"
Para pegawainya segera berjalan keluar. Begitu sampai di
luar, mereka berkasak-kusuk membicarakan urusan itu. Ada
pula beberapa di antaranya yang menduga-duga hal ini
merupakan hal yang wajar.
Setelah semua orang keluar, Lu Sin Kong baru meletakkan
jenasah Cin Piau Tau lurus ke atas tanah. Brett! Dikoyaknya
sebagian baju jenasah itu lalu digunakannya untuk
membersihkan noda darah diwajah jenasah Cin Piau Tau.
Setelah itu dia baru memperhatikan wajah pegawainya itu,
dan kembali dia diguncang rasa terkejut. Rupanya mimik
wajah Cin Piau Tau menunjukkan rasa gentar yang begitu
hebatnya sehingga untuk selamanya tidak pernah terlihat oleh
Lu Sin Kong. Mimik seperti itu juga tidak pernah terlihat pada
manusia umumnya.
Melihat keadaan ini, Lu Sin Kong tahu bahwa sebelum ajal
atau sebelum jatuh pingsan, Cin Piau Tau pasti menghadapi
suatu situasi yang membuatnya ketakutan sampai titik
puncaknya. ltulah sebabnya dia mati dengan membawa mimik
wajah seperti itu.
Bisa jadi juga, rasa takut yang hebat itulah yang
membuatnya pingsan. Dalam keadaan tidak sadar, barulah
pihak lawan membuat sekian banyak luka di tubuhnya.

24
Lu Sin Kong tersadar seketika bahwa urusan yang
dihadapinya kali ini bukanlah urusan sepele lagi seperti
dugaan sebelumnya.
Sampai cukup lama dia memperhatikan mimik wajah Cin
Piau Tau, akhirnya dia berdiri kembali sambil berkata,
"Hujin, kira-kira apa yang terjadi? Apakah kau mempunyai
sedikit dugaan?"
Pada saat itu mimik wajah Sebun It Nio sendiri juga
sungguh tidak sedap dipandang.
"Sebelum mati dia mengatakan bahwa dirinya sungguh
tidak beruntung, apakah kau menugaskannya melakukan
sesuatu?" tanya wanita itu.
Lu Sin Kong menganggukkan kepalanya.
"Setelah orang bernama Ki Hok pergi bersama keempat
Kepala Pelayan lainnya, aku menugaskan Cin Piau Tau
mengikuti kelima orang itu. Aku ingin tahu asal-usul mereka,"
sahutnya.
"Kemungkinan dia sudah berhasil mengetahui asal-usul
mereka. Sayangnya dia tidak sempat mengatakannya, malah
mati terbunuh." kata Sebun lt Nio.
Sejak tadi Lu Leng berdiri di samping ibunya. Semua
kejadian itu dilihatnya dengan jelas, namun mimik wajahnya
tidak menunjukkan rasa takut sedikit pun. Malah tiba-tiba dia
bertanya,

25
"Ma, kalian menyebut orang-orang itu, siapa sebetulnya
mereka? Dan bagaimana kita membalaskan kematian Cin Piau
Tau?"
Sebun It Nio tertawa getir, dielusnya kepala Lu Leng.
"Nak, kau masih terlalu kecil, jangan ikut camput urusan
orangtua!"
Sepasang mata Lu Leng mengerling ke sana ke mari,
seakan-akan ada sesuatu yang ingin dikatakannya namun
tidak jadi. Diam-diam dia menganggukkan kepalanya.
"Ma, aku takut melihat orang mati, aku ingin keluar saja,"
katanya kemudian.
Sebun lt Nio tidak melarang.
"Jangan sembarangan keluyuran!" pesannya.
Lu Leng menganggukkan kepalanya, dan langsung
berjalan keluar.
Sejak Lu Leng lahir, kedua suami istri Lu Sin Kong dan
Sebun It Nio memang sangat sayang terhadap anak mereka
yang semata wayang itu.
Orangtua yang terlalu menyayangi anaknya, maka untuk
selamanya anak itu akan dianggap sebagai balita saja.
Walaupun usia Lu Leng belum tiga belas tahun, namun sejak
kecil dia sudah belajar silat, tenaga dalamnya juga sudah
mempunyai dasar yang cukup kuat. Sudah barang tentu
nyalinya juga lebih besar daripada anak-anak biasa. Dapat
dipastikan bukan "bocah kecil" seperti anggapan orangtuanya.

26
Dia juga tidak mungkin takut melihat mayat Cin Piau Tau,
hanya alasannya saja agar diijinkan keluar.
Begitu keluar dari taman bunga, dia segera kembali ke
kamarnya sendiri. Dia meloncat ke atas untuk mengambil
sebilah golok pemberian ayahnya sendiri. Golok itu serupa
dengan golok Ce Hun To yang digunakan oleh ayahnya, hanya
miliknya lebih pendek beberapa ciok. Setelah berhasil
mengambil golok itu, Lu Leng berjalan keluar kembali.
"Tidak boleh". Kira-kira apa maksud perkataannya itu?.
Perlahan-lahan Sebun It Nio menarik nafas panjang.
"Kata-katanya memang sulit dijelaskan. Bisa jadi dia
menyuruhmu jangan menerima langganan kali ini, atau kau
tidak boleh berangkat ke Su Cou."
Lu Sin Kong tertegun.
"Kenapa?"
"Kalau kau tanya kenapa, mungkin hanya Cin Piau Tau
yang tahu apa alasannya. Sayangnya dia sudah mati. Sin
Kong, urusannya sudah sedalam ini, bagaimanapun aku harus
membuka kotak itu," sahut Sebun It Nio.
Lu Sin Kong memperlihatkan kebimbangan.
"Karena mengikuti orang bernama Ki Hok itulah maka Cin
Piau Tau menemui kematiannya dengan cara yang begitu
mengenaskan. Hal ini membuktikan bahwa Ki Hok pasti bukan
manusia baik-baik...."
Baru berkata sampai di sini, tiba-tiba Sebun It Nio
bertanya,

27
"Kau mengatakan bahwa Ki Hok bisa mengerahkan ilmu
Sut Kut Kang dari Hoa San Pai, bagaimana rupa orang itu?"
"Kalau tahu rupanya saja apa gunanya? Anak murid Hoa
San Pai begitu banyak, kemana kita harus mencari orang itu?"
Sebun lt Nio menyahut dengan nada dingin,
"Bagaimana kau ini? Di dalam perguruan Hoa San Pai,
kecuali Liat Hwe Cousu dan dua belas Tongcunya,
memangnya ada orang keempat belas yang bisa memainkan
ilmu Sut Kut Kang? Dulu, Su Cou dari Tiam Cong Pai pernah
mengajakku ke Hoa San Pai untuk mengunjungi Liat Hwe
Cousu. Ketika itu kedua belas Tongcunya juga keluar
menyambut kami. Bila kau menyebut rupa orang itu, mungkin
aku bisa mengingatnya kembali!"
"Kapan kejadiannya?" tanya Lu Sin Kang. "Kurang lebih
tiga puluh tahun yang lalu."
"Kalau begitu, tidak cocok. Usia Ki Hok rasanya belum
sampai empat puluh tahun," sahut Lu Sin Kong.
Mimik wajah Sebun It Nio menunjukkan perasaan bingung.
Sampai lama dia tidak berkata-kata. Tiba-tiba dia menjulurkan
tangannya untuk mengambil kotak itu.
"Hujin, kalau kita bisa menahan diri untuk tidak membuka
kotak itu, lebih baik kita jangan membukanya. Aku pernah
berjanji kepada Ki Hok bahwa aku tidak akan membuka
segelnya sampai di Su Cou," kata Lu Sin Kong.
Sebun It Nio tertawa dingin.

28
"Sin Kong, bila seseorang memasang perangkap, apakah
kau akan menjebloskan diri begitu saja?" Sembari berbicara
dia mengambil cawan berisi air teh lalu disiramkan ke atas
kertas segel itu.
Tidak lama kemudian, kertas segel di atas kotak itu telah
basah semuanya oleh air teh. Dengan hati-hati Sebun It Nio
melepaskannya. Walaupun adat nyonya ini agak berangasan
tapi dalam mengambil tindakan dia selalu waspada. Ternyata
kertas itu tidak koyak sedikit pun juga. Setelah itu dia
membuka besi kecil yang mengait di kotak kayu itu lalu
membukanya.
Sepasang suami istri itu sama-sama melongokkan
kepalanya ke dalam kotak. Namun hanya beberapa detik
mereka serentak mengangkat kepalanya dan menunjukkan
mimik keheranan.
Ternyata kotak itu kosong melompong, tidak ada apaapanya
sama sekali.
Orang itu sudah memberikan imbalan begitu besar,
bahkan memutuskan harus Lu Sin Kong yang mengantar kotak
itu sendiri, tapi ternyata barang yang harus diantar hanya
berupa sebuah kotak kosong. Seandainya mengatakan urusan
ini hanya lelucon yang disengaja oleh orang iseng, memang
agak mirip. Namun Cin Piau Tau sudah mati dengan cara yang
mengenaskan. Maka, dapat dipastikan urusan ini bukan
lelucon belaka.
Sebun It Nio cepat-cepat merapatkan kembali kotak itu
lalu memasang kertas segelnya dengan rapi.
Sepasang suami istri itu tertegun untuk sekian lama.
Perasaan Lu Sin Kong sudah tidak terkatakan gundahnya.

29
"Hujin, apakah kita tetap berangkat ke Su Cou atau tidak?"
tanyanya kepada sang istri.
"Tentu saja kita harus pergi, sebab kalau kita tidak jadi
pergi, bukankah kita akan dipandang hina oleh orang?" sahut
Sebun It Nio dengan nada dingin.
Lu Sin Kong tertawa getir.
"Seandainya kita menempuh perjalanan sejauh ribuan li
untuk mengantarkan sebuah kotak kosong kepada si Pecut
Emas-Han Sun, lalu urusan ini tersebar di dunia Kang-ouw,
bukankah akan menjadi bahan tertawaan yang sebelumnya
belum pernah ada?" katanya.
"Kotak kayunya memang kosong, tapi di dalamnya pasti
mengandung rahasia yang tidak diketahui orang lain. Mungkin
kalau si Pecut Emas-Han Sun melihatnya, dia akan mengerti
seketika. Yang penting dalam perjalanan kita harus
meningkatkan kewaspadaan."
Lu Sin Kong merenung sebentar,
"Apa yang kau katakan ada benarnya juga. Walau pun
perjalanan kita nanti tidak terlalu jauh, tapi mungkin saja kita
akan berhadapan dengan lawan. Hal ini sudah bisa kita duga.
Saat itu, kita berdua harus mengerahkan segenap kemampuan
untuk menghadapi musuh. Usia Leng Ji masih kecil, sebaiknya
kita jangan mengajak dia dalam perjalanan ini."
"Kalau kita tidak mengajaknya, kemungkinan kita akan
mati ketika berhadapan dengan musuh tangguh. Bukankah
kita tidak sempat meninggalkan pesan apa pun kepadanya?"
sahut Sebun lt Nio.

30
-ooo0ooo-
Bab 2
Mendengar kata-kata istrinya, Lu Sin Kong tertegun. Dia
tahu sekali bahwa selama ini istrinya selalu memandang tinggi
diri sendiri. Lagipula, selama ini, baik sendiri atau pun
bergabung dengannya, entah sudah berapa banyak lawan
yang mereka hadapi. Namun selama ini pula, dia belum
pernah mendengar Sebun It Nio mengucapkan kata-kata yang
demikian putus asa, padahal perang belum lagi dimulai.
Oleh karena itu Lu Sin Kong terbungkam sampai sekian
lama.
"Hujin, menurut perkiraanmu, kepergian kita kali ini akan
menghadapi lawan seperti apa?" tanyanya kemudian.
Sebun It Nio berpikir cukup lama.
"Sulit untuk menerkanya. Beberapa tahun belakangan ini,
dunia Bulim tenang tentram, bahkan gembong-gembong Iblis
yang dulunya banyak menimbulkan keonaran, akhir-akhir ini
malah memilih menyepi di tempat terpencil. Mungkin ada
sekelompok orang yang merencanakannya secara diam-diam.
Atau dengan kata lain, mereka bergerak secara gelap. Lebih
baik kita terka dulu, siapa kira-kira majikan orang yang
bernama Ki Hok itu."
Lu Sin Kong berjalan mondar-mandir sembari
menggendong kedua tangannya. Dia juga menundukkan
kepalanya untuk melirik ke arah jenasah Cin Piau Tau. Melihat
mimik wajah jenasah yang ketakutan, Lu Sin Kong sendiri

31
berpikir-pikir dengan tidak habis mengerti, kira-kira apa yang
dilihatnya sebelum ajal? Matanya mengedar, sekonyongkonyong
dia melihat sepasang tangan Cin Piau Tau mengepal
dengan erat. Di antara jari tangan kanannya seakan ada
sesuatu yang tersembul keluar.
"Hujin, coba kau lihat, benda apa yang tergenggam di
tangan Cin Piau Tau?" katanya cepat.
Sebun It Nio juga merasa heran.
"Cin Piau Tau paling banyak akalnya. Mungkin ketika
terluka berat, dia sempat menggenggam sesuatu dalam
tangannya sebagai tanda untuk kita."
Kedua orang itu segera mengerahkan tenaganya untuk
membuka kepalan tangan Cin Piau Tau. Setelah berhasil,
ternyata mereka melihat jari tangan orang itu mengepal
secarik kain berwarna ungu.
Keduanya langsung merentangkan lipatan kain itu. Dapat
dipastikan secarik kain itu terkoyak dari pakaian seseorang. Lu
Sin Kong semakin heran,
"Aih, orang bernama Ki Hok beserta keempat pelayan
lainnya tidak ada yang mengenakan pakaian ungu!"
"Kalau melihat keadaan ini, urusannya semakin lama
semakin rumit. Kita tinggal di wilayah Lam Cong, tapi tidak
sadar bahwa di wilayah ini kedatangan orang-orang sakti. Sin
Kong, masalahnya penuh dengan teka-teki, kita tidak perlu
asal tebak. Malam ini juga kita berkemas, besok pagi-pagi kita
berangkat," kata Sebun It Nio.

32
Dengan hati-hati Lu Sin Kong mengangkat kotak kayu itu
lalu melangkah keluar. Bersama-sama dengan Sebun It Nio,
keduanya menuju sebuah gunung-gunungan yang terdapat di
taman belakang rumah.
Mereka sampai di sisi gunung-gunungan itu. Keduanya
mengedarkan pandangan ke sekeliling, tapi tidak tampak
bayangan seorang pun. Gunung-gunungan itu dibangun di
sudut taman, dengan memunggungi dinding rumah, jadi tidak
menarik perhatian sama sekali. Di bagian depannya juga
dipenuhi tumbuhan yang lebat, maka siapa pun yang
melihatnya, pasti menganggapnya sebagai dekorasi dalam
taman itu. Hanya Lu Sin Kong dan Sebun It Nio yang tahu
betapa pentingnya gunung-gunungan itu.
Secara berturut-turut keduanya menyusup ke dalam
sebuah goa yang terdapat di balik tetumbuhan yang lebat.
Baru masuk sedikit, mereka harus melalui tiga kelokan.
Setelah itu tubuh mereka baru bisa ditegakkan. Keadaan di
dalam goa itu gelap sekali. Walaupun di siang hari ada sedikit
cahaya matahari yang menyorot masuk lewat celah-celah
batu, namun keadaannya masih remang-remang. Sedangkan
hawa di dalamnya lembab sekali sehingga terendus bau
pengap.
Mereka sampai di ujung kelokan ketiga. Keduanya baru
saja menegakkan tubuh, tiba-tiba terdengar Sebun It Nio
mengeluarkan seruan "Aih!"
"Sin Kong, apakah beberapa hari terakhir ini kau datang ke
sini?" tanyanya kemudian.
"Tidak pernah. Kecuali empat hari yang lalu ketika kita
bersama-sama masuk ke sini, aku tidak pernah datang lagi,"
sahut Lu Sin Kong.

33
Sebun It Nio mengendus dingin.
"Ternyata keanehan ini terus berentet, tapi kita berdua
justru seperti katak dalam tempurung yang tidak tahu apaapa.
Tempat ini sudah diketahui orang, bahkan ada yang
pernah masuk ke sini."
Lu Sin Kong terkejut setengah mati.
"Hujin, bagaimana kau bisa tahu?" tanyanya cepat.
Sebun It Nio menunjuk ke arah dinding goa.
"Coba kau lihat, di sini ada sebuah cap telapak tangan.
Beberapa hari yang lalu ketika kita masuk ke sini, tanda ini
belum ada."
Lu Sin Kong mendongakkan kepalanya. Ternyata di
hadapannya, yakni di dinding yang permukaannya rata namun
banyak ditumbuhi lumut, dengan jelas tertera sebuah cap
telapak tangan. Tempat yang ada cap tangannya sudah tidak
berlumut lagi. Hal ini membuktikan bahwa cap tangan itu
dibuat dengan tenaga yang kuat sekali.
Dengan penasaran Lu Sin Kong berkata,
"Rupanya memang ada orang yang menyusup ke sini.
Sebaiknya kita segera memeriksa, apakah ada sesuatu.yang
berkurang?"
Ternyata di dalam gunung-gunungan ini, Lu Sin Kong
menyuruh dua orang ahli untuk membangun gudang
penyimpanan barang.

34
Di dalam gudang itu tersimpan berbagai emas, permata,
barang-barang antik yang dikoleksinya selama belasan tahun
belakangan ini. Mereka berdua masuk ke tempat ini,
tujuannya adalah menyimpan keempat benda pusaka yang
dihadiahkan majikan Ki Hok.
Gudang penyimpanan ini, kecuali suami istri Lu Sin Kong
sendiri, boleh dibilang selain kedua arsitek dari Tibet yang
membangunnya, maka tidak ada pihak lain yang
mengetahuinya. Sekarang mereka melihat di dinding goanya
ada tanda cap tangan, berarti sudah pernah ada orang yang
masuk ke situ, bagaimana Lu Sin Kong tidak menjadi tercekat
hatinya?
Sekali lagi Sebun It Nio mendengus dingin. "Kau hanya
mementingkan benda-benda rongsokanmu itu, mana sempat
melihat cap telapak tangan.
Sebun It Nio memang terlahir di keluarga berada. Sejak
dia kecil, intan permata atau pun batu-batuan berharga
lainnya menjadi mainannya sehari-hari. Maka, terhadap watak
Lu Sin Kong yang gila harta, sudah sejak lama dia merasa
tidak senang. Namun karena kasih sayangnya terhadap suami,
selama ini dia mendiamkan saja. Sekarang timbul masalah
seperti ini, maka tanpa dapat menahan diri lagi, dia
mencetuskan rasa tidak senangnya.
Mendengar sindiran istrinya, Lu Sin Kong segera
memperhatikan tanda telapak tangan itu dengan seksama.
Begitu melihat sebentar, dia langsung menemukan sesuatu
yang janggal.
Rupanya tanda telapak tangan itu berbeda dengan telapak
tangan orang pada umumya. Pada sisi jari jempolnya terdapat

35
sebuah jari kecil lainnya. Jadi orang yang membuat tanda ini
pasti memiliki enam jari tangan.
Bagaimanapun pengalaman Lu Sin Kong di dunia Bulim
sudah banyak sekali. Maka, begitu melihatnya, dia langsung
bertanya dengan suara tercekat.
"Mungkinkah Liok Ci Siansing ?"
"Pasti memang dialah orangnya, tak salah lagi..
memangnya didunia ini selain dia ada lagi orang yang
mempunyai bentuk jari tangan seperti itu?" sahut Sebun It
Nio.
Lu Sin Kong semakin heran.
"Walaupun adat Liok Ci Siansing angin-anginan, tapi
selama ini selalu menetap di puncak gunung Bu Yi San. Beliau
jarang sekali terjun ke dunia persilatan. Beberapa tahun lalu,
beliau pernah menyebarkan berita bahwa dirinya akan
mencari seorang murid sebagai ahli warisnya, maka beliau
muncul lagi di dunia persilatan. Kecuali hobby mengoleksi
harpa-harpa antik, tidak ada benda lainnya yang bisa menarik
perhatiannya. Mana mungkin dia mengincar hartaku ini?"
Mendengar suaminya berulang kali menyebut hartanya,
hawa amarah dalam dada Sebun It Nio menjadi meluap.
"Sin Kong, kau anggap orang lain selalu sama denganmu,
yaitu melihat harta benda melebihi nyawamu sendiri? Bila Liok
Ci Siansing benar pernah ke mari, pasti dia sudah membuka
gudang penyimpanan ini. Kenapa tidak segera kau buka agar
kita bisa memeriksa keadaan di dalamnya?"

36
Mendengar omelan istrinya, Lu Sin Kong membayangkan
dirinya sendiri yang agak gila harta, dan hatinya menjadi rada
malu. Tapi dia memaksakan diri untuk tertawa.
"Hujin, seandainya Liok Ci Siansing pernah datang ke mari,
belum tentu dia bisa membuka gudang penyimpananku ini,"
katanya.
Apa yang dikatakan Lu Sin Kong memang tidak berlebihan.
Gudang penyimpanan harta bendanya itu memang dirancang
khusus oleh kedua Arsitek dari Tibet. Jadi untuk membukanya
memang sulit sekali. Mereka menciptakan sebuah gudang
yang belum pernah ada sebelumnya. Alat rahasianya terletak
di bawah sebuah batu besar, berupa tujuh butir kancing yang
terbuat dari batu. Di atasnya penuh dengan lumut pula. Bila
tidak mencarinya dengan teliti, pasti tidak berhasil
menemukannya. Seandainya ketemu pun, tidak akan tahu
cara membukanya, berarti sia-sia juga.
Ketujuh kancing batu itu, mula-mula harus ditekan kancing
pertama dan yang ketujuh dalam waktu yang bersamaan, lalu
menekan pula kancing kedua dan keenam, setelah itu
menekan kancing ketiga dan lima, terakhir baru menekan
kancing keempat. Dengan demikian pintu batu itu baru bisa
terbuka.
Dalam melakukannya, tidak boleh ada kesalahan sedikit
pun juga. Bukan saja pintunya tidak akan terbuka, malah dari
bagian atasnya akan meluncur keluar puluhan senjata rahasia
yang mematikan.
Semua ini masih belum terhitung sulit. Yang paling
istimewa adalah kancing batunya itu yang beratnya mencapai
ribuan kati. Bila orang yang tenaga dalamnya tidak kuat,
jangan harap sanggup menekan kenop batu itu.

37
Itulah sebabnya, setiap kali hendak memasuki gudang
penyimpanannya ini, Lu Sin Kong harus mengajak istrinya.
Mengandalkan tenaganya sendiri, dia tidak akan sanggup
menekan dua kenop sekaligus. Bagaimanapun tingginya ilmu
seseorang, tekanan jari tangannya mempunyai batas-batas
tertentu. Jari tangan Lu Sin Kong mungkin mengandung
tenaga sebanyak delapan ratusan kati, namun tetap aja tidak
sanggup menekan dua kenop sekaligus.
Oleh karena itu, ucapan Lu Sin Kong mengenai Liok Ci
Siansing yang kemungkinan telah datang ke tempat itu dan
belum tentu bisa membuka gudang penyimpanan hartanya
memang beralasan.
Kedua orang itu segera membungkukkan tubuhnya. Lu Sin
Kong menekan kenop ketujuh, maka Sebun It Nio menekan
kenop pertama dalam waktu yang bersamaan. Tiga kali
berturut-turut mereka menekan, akhirnya Lu Sin Kong sendiri
menekan kenop keempat.
Terdengar suara berderak-derak, batu besar yang ada di
hadapan mereka perlahan-lahan terkuak.
Lu Sin Kong mengambil mutiara yang dapat bersinar dari
atas nampan, lalu melangkah masuk. Ruangan dalam goa
batu itu sebetulnya gelap gulita, tapi begitu terkena sinar
mutiara itu menjadi agak terang.
Tampak ruangan batu itu luasnya kurang lebih satu depa
persegi. Di dalamnya terdapat banyak rak-rak yang di atasnya
tersusun berbagai benda-benda bernilai tinggi. Dalam waktu
senggang, Lu Sin Kong sering berdiam di dalam ruangan itu
sampai berjam-jam lamanya untuk menikmati keindahan hasil
koleksinya. Sedangkan Sebun It Nio selalu menunggu di luar
goa untuk berjaga-jaga. Kadang-kadang wanita itu harus

38
masuk ke dalam sampai beberapa kali, barulah suaminya
bersedia meninggalkan tempat itu.
Oleh karena itu, berapa banyak jumlah benda-benda
pusaka atau harta benda yang tersimpan di dalam gudang itu,
Lu Sin Kong sudah hapal luar kepala. Bahkan di mana setiap
benda diletakkan, dia bisa mengambilnya, meskipun dalam
kegelapan.
Begitu masuk kedalam matanya mengedar, dan sekali
melihat dia tahu hartanya tidak ada yang berkurang. Hatinya
merasa bangga sekali, dan dia langsung menoleh kepada
istrinya dan berkata,
"Hujin, sejak tadi aku sudah bilang, walaupun Liok Ci
Siansing bisa masuk ke tempat ini, belum tentu bisa membuka
pintu batunya."
Dari luar pintu Sebun It Nio membentak dengan nada
dalam,
"Cepat simpan keempat benda itu, jangan menunda waktu
lagi!"
Setiap kali melihat harta benda yang dikumpulkannya
dengan susah payah, hati Lu Sin Kong pasti gembira sekali.
Meskipun sepanjang hari itu banyak kejadian yang tidak
terduga, namun Lu Sin Kong bukan tipe manusia yang mudah
dibuat takut oleh segala hal. Karena itu, dengan bibir
tersenyum dan mengelus-elus jenggotnya, dia melangkah
masuk. Disentuhnya beberapa benda tertentu yang selama ini
menjadi kesayangannya, kemudian ditariknya dua buah rak
untuk menempatkan keempat macam benda pusaka yang
dibawanya. Setelah itu dia menyurut mundur lagi beberapa

39
langkah, untuk menaksir tepat tidak penataan benda-benda
itu.
Lagaknya seperti orang yang baru menyelesaikan sebuah
hasil karya besar, dia melangkah mundur beberapa tindak
untuk menikmati keindahannya. Tapi kali ini keadaannya
berbeda, begitu mundur dua langkah, dia memang melihat
benda-benda itu berkilauan dengan indah. Namun justru
kilauan benda-benda itu pula yang membuat dia melihat di
bagian bawah rak tersebut ada seseorang yang sedang berdiri
tegak.
Tinggi rak itu kurang Iebih sampai di bawah dagu Lu Sin
Kong, tapi orang yang dilihatnya berdiri tegak di bawahnya
menunjukan postur tubuh orang yang dilihatnnya itu lebih
pendek darinya. Rasa terkejut dalam hati laki-laki itu jangan
ditanyakan lagi. Maka, setelah tertegun sejenak, dia segera
berseru,
"Hujin, cepat kau lihat!"
Sebun It Nio berdiri di luar pintu. Sejak tadi pikirannya
memang terus melayang-layang memikirkan berbagai kejadian
aneh yang mereka hadapi hari ini. Tiba-tiba dia mendengar
suara panggilan suaminya yang mengandung rasa terkejut
yang besar. Maka tubuhnya segera melesat, tahu-tahu dia
sudah masuk ke dalam gudang.
"Ada apa?" tanyanya.
Lu Sin Kong menunjuk ke bagian bawah rak itu.
"Lihatlah!"

40
Sebun It Nio mengalihkan pandangannya ke arah yang
ditunjuk Lu Sin Kong, hatinya terkesiap. "Leng Ji!" teriaknya.
Tangannya mencengkeram lengan Lu Sin Kong.
Tenaga dalam laki-laki ini tinggi sekali, namun
cengkeraman istrinya menimbulkan rasa sakit. Begitu
mendengar teriakan Sebun It Nio, rasa sakitnya sirna entah ke
mana.
"Leng Ji?" tanyanya dengan nada tercekat.
Tepat pada saat itulah, dia baru ingat, ketika Lu Leng
masuk ke taman bunga menemui mereka, pakaian yang
dikenakannya memang berwarna hijau. Sedangkan sosok
orang yang berdiri tegak di bawah rak itu juga mengenakan
pakaian hijau.
Membayangkan anaknya bisa muncul di dalam gudang
penyimpanan hartanya, perasaan Lu Sin Kong menjadi tidak
karuan. Cepat-cepat dia maju dua langkah. Tapi baru saja
mau melangkah, tiba-tiba sebuah ingatan melintas dalam
benaknya, dan hatinya bergidik seketika. Seluruh tubuhnya
bagai terserap dalam ruangan es sehingga dia tidak sanggup
bergerak sedikit pun.
Ketika pertama kali melihat orang yang berdiri tegak tadi,
dia sama sekali tidak terpikir ke anaknya, Lu Leng. Hal ini
disebabkan tinggi Lu Leng sudah lebih tinggi dari bawah
dagunya, orang yang dilihatnya justru berdiri tegak di bawah
rak, berarti dia lebih pendek kurang lebih satu kepala dari Lu
Leng.
Sekarang dia maju ke depan sedikit. Tiba-tiba sebuah
ingatan melintas dalam benaknya, di mana kepala orang itu?

41
Karena melihatnya dari kejauhan, ditambah suasana dalam
gudang yang remang-remang, maka yang tampak hanya
bagian tubuhnya saja, dari tadi dia tidak melihat bagian kepala
orang itu.
Seandainya kepala orang itu masih ada, pasti akan
menyembul keluar dari ketinggian raknya. Sedangkan ketika
mutiara di tangannya menyinari ruangan, yang tampak hanya
bagian atasnya yang datar. Dari sini saja dapat diketahui,
orang itu bisa berdiri tegak dan rapat bersandar pada rak,
justru karena kepala sampai batas lehernya telah tiada.
Begitu berpikir sampai di sini, apalagi setelah mengetahui
tubuh yang terlihat adalah anaknya sendiri, bagaimana hati Lu
Sin Kong tidak menjadi kaku karena ketakutan?
Tepat pada saat dirinya masih berdiri terpaku, Sebun It
Nio sudah menjerit histeris, tangannya menghantam ke arah
rak barang itu, orangnya juga melesat melewati samping Lu
Sin Kong dan langsung menghambur ke depan.
Sekali tangannya menghantam, pukulannya menimbulkan
suara Brakk! Rak tempat memajang barang itu hancur total
dan benda-benda berharga yang terpajang di atasnya juga
pecah berantakan. Tiba-tiba dia meraih tubuh orang yang
berdiri tegak itu lalu dipandangnya sekilas. Ternyata sosok
tubuh tanpa kepala, tangan dan kakinya kecil. Maka dapat
dipastikan tubuh itu milik seorang bocah cilik.
Mayat tersebut mengenakan pakaian Lu Leng. Di
tangannya juga melingkar sebuah gelang Giok seperti yang
biasa dikenakan Lu Leng. Gelang Giok itu dihadiahkan oleh Lu
Sin Kong ketika Lu Leng berusia tiga tahun dan selama ini
tidak pernah dilepasnya. Karena usianya yang bertambah,

42
sudah barang tentu gelang itu menjadi ketat, akhirnya tidak
bisa dilepas lagi.
Dalam sesaat, hati Sebun lt Nio bagai tersayat ratusan
pisau kecil, bahkan seperti di atas lukanya ditaburi garam
sehingga perihnya tidak terkatakan. Kesedihan hatinya terlalu
dalam. Setelah berdiri termangu-mangu cukup lama, tiba-tiba
Hoakkk!! Segumpal darah segar muncrat dari mulutnya! Dia
meraung keras-keras lalu dilemparkannya tubuh tanpa kepala
yang sudah kaku itu ke arah Lu Sin Kong sambil tertawa
terbahak-bahak
"Bagus! Orang tahu kau suka menyimpan barang-barang
antik! Tidak perlu kau susah payah, ada orang yang
menolongmu membersihkan anakmu ini dan mengantarnya
sendiri ke dalam gudangmu!"
Tubuh mayat itu melayang bagaikan terdorong angin
dahsyat. Meskipun perasaan Lu Sin Kong saat itu juga pilu
sekali, namun bagaimanapun juga perasaan laki-laki memang
lebih kuat dari perempuan. Tangannya menjulur ke depan,
sosok mayat itu disambutnya dan matanya menatap ke arah
luka di leher mayat itu. Ternyata tidak ada jejak darahnya lagi,
seakan sudah dicuci sampai bersih. Dalam keadaan putus asa,
dia berkata,
"Hujin jangan kelewat bersedih. Mayat ini tidak ada
kepalanya, kita tidak dapat memastikan bahwa ini anak kita."
Kembali Seburi It Nio memperdengarkan suara tawa yang
menyeramkan.
"Kalau bukan Leng Ji, lalu siapa? Lihatlah gelang Giok di
tangannya!"

43
Lu Sin Kong melirik ke arah gelang di tangan mayat itu.
Harapannya yang terakhir pupus sudah. Tapi, pada saat itu
juga suatu ingatan melintas dalam benaknya dan dia segera
berkata,
"Hujin, di depan dada Leng Ji ada tanda merah, kenapa
kita tidak lihat sekali lagi?" Sembari berbicara, dia mengoyak
bagian depan pakaian mayat itu. Tampak di dadanya, di mana
semestinya ada tanda merah yang dibawa Lu Leng sejak lahir,
sekarang telah di sayat kulitnya.
Walaupun Lu Sin Kong seorang gagah perkasa, namun
karena kejadian yang ada di hadapannya saat ini terlalu sadis,
maka tangannya jadi lemas, Buk! Tubuh itu terhempas di atas
tanah, menimpa harta bendanya yang tidak ternilai. Tapi saat
ini, benda-benda yang disayanginya setengah mati itu pada
hari biasanya, sekarang dilihatnya seperti onggokan debu
yang mengotorkan saja.
Sebab Lu Leng sudah mati ! Anak mereka yang semata
wayang sudah mati !
Lu Sin Kong ingin sekali berteriak sekeras-kerasnya untuk
melegakan dadanya, namun tidak ada sedikit pun suara yang
keluar. Rasanya dia ingin menangis menggerung-gerung, tapi
air matanya tidak turun setetes pun juga.
Beberapa saat kemudian, dia malah tertawa terbahakbahak
! Suara tawanya begitu memilukan ! Suara tawa itu
terus bergema di dalam gudang batu. Laki-laki yang namanya
telah menggetarkan dunia persilatan ini, dalam sekejap mata
berubah menjadi seorang tua biasa... seorang kakek yang
begitu sedih karena kehilangan anaknya.

44
Setelah tertawa kurang lebih selama sepeminum teh,
suara tawanya baru tertahan oleh batuknya yang keras. Saat
itu pula, dia merasa ada seseorang yang berjalan di
sampingnya dan menepuk pundaknya dengan lembut.
Terdengar orang itu berkata,
"Sin Kong, jangan bersedih lagi. Seandainya Leng Ji benarbenar
dicelakai orang, berarti musuh yang kita hadapi bukan
orang sembarangan. Kita harus mengumpulkan kekuatan
untuk membalas dendam anak kita."
Lu Sin Kong menolehkan kepalanya. Tampak di wajah
istrinya yang pilu terselip ketabahan yang luar biasa. Dalam
hati dia mengulangi kembali ucapan istrinya barusan,
kemudian dengan suara lemah dia bertanya,
"Seandainya Leng Ji dicelakai orang? Apakah kau
bermaksud mengatakan bahwa Leng Ji masih hidup? Ini
bukan Leng Ji?"
Sebun It Nio menganggukkan kepalanya.
"Sebetulnya, begitu melihat tubuh tanpa kepala ini, aku
juga menduga dia memang Leng Ji. Tapi setelah kurenungkan
kembali, rasanya ada bagian yang perlu kita curigai."
"Apanya yang perlu dicurigai?" tanya Lu Sin Kong cepat.
Sebun It Nio menunjuk ke arah dada mayat itu.
"Lihat, di dada Leng Ji ada tanda merah, sekarang kulit
dada mayat itu sudah disayat, bisa jadi musuh memang
sengaja membuat kita percaya bahwa Leng Ji memang sudah
mati. Itulah sebabnya aku mengatakan bahwa kemungkinan
Leng Ji masih hidup, ini mayat orang lain!"

45
Lu Sin Kong malah menggelengkan kepalanya.
"Cara yang diambil lawan sungguh keji. Dia pasti ingin
membuat kita merasa bahwa Leng Ji masih ada kemungkinan
hidup. Kau tahu, bila seseorang putus asa, kepiluan hatinya
hanya sesaat. Tapi bila dalam hati masih terselip harapan,
sedangkan harapan itu tidak pernah menjadi kenyataan, inilah
penderitaan yang bisa kita tanggung seumur hidup."
Ucapan Lu Sin Kong itu merupakan ungkapan hatinya yang
terlalu sakit. Selesai bicara, dia menghantam dua kali ke rak
tempat pajangan harta bendanya sehingga dinding di
sekitarnya ikut bergetar.
Sebun It Nio terbungkam sesaat. Kemudian dia
menggunakan lengan bajunya untuk menyeka darah yang ada
di ujung bibirnya, dan dengan suara tenang, dia berkata,
"Biar bagaimana, kita sudah dihadapi kemelut ini. Urusan
ini untuk sementara jangan sampai tersebar keluar. Biarlah
mayat ini kita sembunyikan dalam gudang dulu. Kita harus
bersikap wajar, seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Hanya
dengan cara ini, kita bisa menemukan siapa musuh besar yang
sebenarnya."
"Kecuali Liok Ci Siansing, siapa lagi musuh besar kita?
Apakah kita berdua harus tetap ke Su Cou?"
"Tentu saja."
Lu Sin Kong berteriak kalap.
"Aku tidak mau! Aku harus berangkat ke gunung Bu Yi
San, akan kuratakan tanah di bukit itu!"

46
"Kalau hanya Liok Ci Siansing seorang, kau pikir aku
sendiri tidak ingin berangkat ke Bu Yi San?" sahut Sebun lt Nio
dengan nada dingin.
"Memangnya ada siapa lagi?!" teriak Lu Sin Kong.
"Biasanya Liok Ci Siansing selalu bersama Pik Giok Sen,
Tiat Cit Siong Jin, Bu Lim Jit Sian. Jumlah mereka bisa
mencapai belasan orang. Kepandaian mereka tinggi sekali,
makanya bisa mendapat julukan "Dewa". Kalau kau
memperlihatkan gerakan sedikit saja, belasan orang itu pasti
bergabung untuk menghadapi kita. Apakah kita mempunyai
kemampuan untuk melawan mereka?" tanya Sebun lt Nio.
Lu Sin Kong tertegun sesaat. Kemudian tiba-tiba dia
menghantamkan sebuah pukulan lagi.
"Pik Giok Sen, apakah dia orangnya yang pernah membuat
keonaran di Ngo Tay San belasan tahun yang lalu, yang
belakangan terjebak dalam barisan ilmu golok sehingga
hampir mati, Namun akhirnya berhasil meloloskan diri?"
"Tidak salah. Mengapa kau seperti sengaja mengungkit
persoalan yang satu ini? Kepandaian yang dimilikinya memang
hebat, namun rasanya tidak ada seorang pun yang tahu asalusulnya.
Bila melihat kekalahan yang dialaminya di Ngo Tay
San, kemungkinan dia tidak terlalu sulit dihadapinya. Bisa jadi
ilmunya lebih rendah dibandingkan Tiat Cit Siong lin dan yang
lainnya," sahut Sebun It Nio.
"Aku tidak peduli tinggi rendahnya kepandaian orangorang
itu. Tapi barusan kau mengungkit orangitu, aku jadi
teringat kepada Ki Hok dan keempat kepala pelayan itu. Di
atas kopiah mereka juga tertempel sebuah batu Giok," kata Lu
Sin Kong.

47
Sebun It Nio tertegun.
"Pik Giok Sen paling menyukai batu Giok, karena itu pula
dia membuang nama aslinya sendiri serta menggunakan nama
yang artinya "Diri sendiri ibarat Kumala". Dia juga disebut si
Gila Giok, mungkinkah aslinya dia bermarga Ki?"
"Untuk sementara kita tidak perlu urus masalah itu. Coba
kau katakan, bagaimana seharusnya kita membalas dendam
atas kematian Leng ji?" tanya Lu Sin Kong.
Sebun It Nio menjungkitkan sepasang alisnya dan
terdengar dia tertawa dingin dua kali.
"Biarpun orang-orang ini mempunyai kepandaian yang
tinggi, memangnya perguruan Go Bi Pai dan Tiam Cong Pai
kita tidak ada yang jago? Apakah semuanya terdiri dari
gentong-gentong nasi belaka?"
Perasaan Lu Sin Kong agak terperanjat mendengar
jawaban istrinya.
"Hujin, maksudmu... kau ingin mengumpulkan jago-jago
dari kedua perguruan itu untuk membalas sakit hatinya Leng
ji?"
"Tepat! Tapi untuk sementara kita tidak boleh
memperlihatkan gerakan apa-apa. Setelah kotak ini sampai di
tangan si Pecut Emas-Han Sun, kau berangkat ke Go Bi Pai
aku akan pergi ke perguruan Tiam Cong. Kita rundingkan dulu
kapan waktunya. Jago-jago dari Go Bi Pai jumlahnya banyak
sekali, tidak perlu kau undang semuanya, asal ada belasan
orang yang sudi tampil saja, sudah lebih dari cukup. Ketua
kedua perguruan juga jangan diusik, sebab urusannya malah
bisa menjadi gawat!" sahut Sebun It Nio.

48
Dalam hati Lu Sin Kong yakin, tidak mungkin pihak lawan
tidak mendengar berita apa-apa. Walaupun Liok Ci Siansing
maupun Pik Giok Sen biasanya selalu malang melintang
sendirian di dunia Bulim, tapi Tiat Cit Siong Jin justru
mempunyai hubungan yang erat dengan perguruan Ceng Ci
Pai. Sedangkan Bu Lim Jit Sian itu, mereka terdiri dari
manusia-manusia yang wataknya berbagai ragam, ada satu
dua diantaranya juga mempunyai hubungan istimewa dengan
perguruan Hoa San Pai dan Partai Cik Sia Pai.
Kemungkinan buntut urusan ini bisa menimbulkan
pergolakan yang hebat dalam dunia persilatan.
Sedangkan pergolakan yang demikian hebat, sedikit
banyaknya akibat yang akan timbul sudah dapat dibayangkan,
paling-paling kedua pihak sama-sama menanggung kerugian
besar.
Meskipun pikiran Lu Sin Kong membayang sampai sejauh
ini, namun mengingat kembali nasib anaknya yang
kemungkinan besar memang sudah mati, dia sudah tidak
peduli akibatnya lagi, maka dia segera menganggukkan
kepalanya sambil berkata,
"Baik!"
Kedua orang itu segera keluar dari goa penyimpanan harta
itu. Pintu batunya dirapatkan kembali. Lu Sin Kong merabaraba
sakunya, kotak kosong itu masih ada. Tanpa
memperlihatkan gerak-gerik yang mencurigakan, mereka
keluar dari gunung-gunungan itu.
Gunung-gunungan itu terletak di taman belakang rumah.
Pada hari-hari biasanya, kalau tidak mendapat panggilan, para
pegawai Ekspedisi itu tidak ada yang berani masuk ke dalam

49
rumah. Oleh karena itu, meskipun Lu Sin Kong dan Sebun It
Nio cukup lama berada di balik gunung-gunungan, tidak ada
seorang pun yang mengetahuinya.
Hati Lu Sin Kong diliputi berbagai teka-teki. Pertama dia
merasa sedih sekali, kedua, dia tidak mengerti bagaimana
mungkin ada orang yang masuk ke dalam gudang hartanya
itu. Satu-satunya kemungkinan hanya kedua orang arsitek dari
Tibet itu yang membocorkan rahasanya. Tapi kedua orang itu
berada di tempat yang jauh sekali. Sedangkan tahun yang
lalu, ketika dia mengundang kedua orang itu, dia juga
melakukannya dengan sangat hati-hati sehingga tidak ada
seorang pun yang tahu rencana perjalanannya itu. Entah
bagaimana Liok Ci Siansing itu bisa tahu rahasianya?
Seorang diri dia menuju ruang perpustakaannya. Hatinya
penuh dengan kemarahan dan kepedihan. Kemudian dia
duduk termenung dengan pikiran melayang-layang
Sebun It Nio juga berusaha menahan duka dalam hatinya.
Dengan mempertahankan sikap wajar dia berjalan ke ruangan
depan. Dia berharap dapat menemukan sedikit keterangan
tentang musuh dari mulut para pegawainya.
Melihat dia berjalan keluar, beberapa pegawai langsung
mengerumuninya untuk melontarkan berbagai pertanyaan. Dia
menjawab secara samar-samar. Salah seorang pegawainya
tiba-tiba bertanya,
"Sebun Lihiap, apakah kau yang mengijinkan Tuan muda
bermain keluar?"
Pikiran Sebun It Nio langsung tergerak. Dia mendongakkan
kepalanya, yang mengajukan pertanyaan itu adalah seorang

50
laki-laki setengah baya yang biasanya menjadi kuli kasar
dalam perusahaan itu.
"Kapan kau melihatnya?" tanyanya cepat. Laki-laki itu
berpikir sejenak.
"Kurang lebih setengah kentungan yang lalu," sahutnya
kemudian.
Hati Sebun It Nio tercekat. Ketika melihat mayat bocah
tadi, pakaian yang dikenakannya memang pakaian Lu Leng.
Gelang Gioknya juga sama, namun bagian dada di mana ada
tanda merah justru kulitnya telah disayat. Dia yakin dibalik
semua ini pasti ada apa-apanya,
Karena itu, begitu mendengar pertanyaan pegawainya
tadi, dia segera menanyakan waktunya yang tepat. Sebab, bila
orang itu melihat Lu Leng tepat pada saat dia dan suaminya
masuk ke dalam gudang itu, berarti anaknya masih hidup.
Namun jawaban pegawainya membuat hatinya kecewa.
Setengah kentungan yang lalu, berarti sesaat sesudah Lu Leng
meninggalkan mereka.
Namun dia tidak putus asa begitu saja, maka dia bertanya
pula,
"Di mana kau melihatnya?"
"Di pintu barat gedung kita. Di jalan kecil itu aku
melihatnya berjalan dengan tergesa-gesa. Di pinggangnya
terselip sebatang golok. Aku sempat menariknya, lalu
menanyakannya ingin ke mana, tapi dia malah menyengkat
kakiku sehingga aku hampir saja...."

51
Sebun It Nio tidak peduli apa yang terjadi pada orang itu.
"Apakah dia sempat mengatakan kemana tujuannya?"
potongnya cepat.
"Tidak. Saat aku terjatuh di atas tanah, aku sempat
melihat dia berjalan ke sebelah barat."
Sebun It Nio mendengus satu kali. Dalam hati dia
memperhitungkan waktunya. Setengah kentungan yang lalu,
berarti Lu Leng langsung keluar dari rumah mereka setelah
meninggalkan taman bunga. Masih sempat ada yang bertemu
dengannya dan melihatnya menuju barat. Sedangkan dia dan
suaminya tidak menunda waktu terlalu lama kemudian masuk
ke dalam gudang. Antara saat itulah musuh mencelakai Lu
Leng lalu memasukkan mayatnya ke dalam gudang. Bila
dihitung-hitung, waktunya hanya dua peminum teh.
Dari sini saja dapat dibuktikan bahwa dalam beberapa
tahun terakhir ini, kekuatan Liok Ci Siansing atau
rombongannya tentu sudah jauh lebih hebat dibandingkan
sebelumnya. Atau setidaknya lebih lihai daripada yang pernah
didengar olehnya.
Perasaan Sebun It Nio saat itu, ingin sekali membawa
sepasang pedangnya untuk mengejar ke arah barat. Namun
dia sadar, dengan seorang diri, tak mungkin ia sanggup
menghadapi musuh-musuh setangguh mereka. Maka,
terpaksa dia menahan kepedihan hatinya lalu berkata,
"Memang aku yang menyuruhnya menunggu di depan
sana. Besok kami akan berangkat bersama-sama ke Su Cou.
Urusan dalam Piau Kiok ini harus kalian tangani dengan hatihati,
jangan sembrono!"

52
Para pegawai Perusahaan Pengawalan itu merasa heran,
mengapa seorang bocah cilik disuruh berangkat terlebih
dahulu untuk menunggu di sebelah depan bukannya
berangkat bersama-sama dengan orangtuanya?
Tapi ucapan ini tercetus dari mulut ibunya sendiri, masa
bohong? Karena itu mereka hanya berjanji untuk menuruti
kata-kata nyonya majikannya itu.
Sebun lt Nio kembali ke dalam rumah. Dia merundingkan
masalah ini dengan suaminya. Sampai mentari hampir muncul
di ufuk timur, ternyata keduanya tidak ada yang tidur
sepanjang malam.
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali Sebun It Nio sudah
menyiapkan perbekalan mereka. Tidak lupa ia menyelipkan
sepasang pedang di pinggangnya.
Lu Sin Kong juga membawa golok andalannya. Tanpa
menunda waktu lagi mereka segera meninggalkan rumahnya.
Dalam hati mereka sudah ada keyakinan bahwa musuh
besar mereka pasti Liok Ci Siansing beserta komplotan orangorang
yang akrab sekali dengan si Tuan Enam Jari itu. Namun,
keduanya mengambil keputusan untuk tidak memperlihatkan
gerak-gerik apa-apa agar sakit hati ini dapat terbalas dengan
lancar.
Sepanjang malam Lu Leng tidak pulang. Sebetulnya
kepiluan dalam hati kedua suami istri semakin bertambah
dengan kenyataan ini. Sepanjang malam juga mereka tidak
tidur, namun seakan keduanya sudah bersepakat untuk tidak
mengungkit nama anaknya itu.

53
Sekarang mereka mulai percaya bahwa mayat dalam
gudang harta itu memang mayat Lu Leng, putera mereka.
Meskipun demikian, masih ada satu hal yang membuat
mereka tidak habis mengerti. Baik Liok Ci Siansing, Tiat Cit
Siong Jin, Pik Giok Sen atau pun tokoh-tokoh lainnya yang
mendapat sebutan Tujuh Dewa, antara mereka tidak pernah
ada perselisihan atau dendam apa pun, tapi mengapa mereka
menggunakan cara yang demikian keji terhadapnya.
Di samping itu, dari hasil perundingan mereka tadi malam,
kemunculan Ki Hok beserta keempat rekannya yang
memberikan imbalan begitu besar hanya untuk mengantarkan
sebuah kotak ke Su Cou, rasanya tidak ada kaitannya dengan
kematian Lu Leng.
Mereka segera melakukan perjalanan. Pintu kota Lam
Cong baru dibuka, keduanya segera memacu kuda
tunggangan masing-masing menuju tenggara.
Siang harinya, mereka sudah menempuh perjalanan
sejauh seratus li lebih. Keduanya menerawangkan pandangan
di kejauhan. Sekeliling terasa hening sekali, bahkan
suasananya terasa agak mencekam. Dalam hati keduanya
telah mengadakan persiapan. Mereka melanjutkan perjalanan
sampai belasan li pula.
Keduanya bersepakat untuk beristirahat sejenak sambil
mengisi perut dengan ransum kering yang dibawa. Mendadak,
dari samping hutan terdengar suara Ting Ting Tang Tang!,
kumandang nada dari petikan harpa yang merdu.
Begitu mendengar suara petikan harpa, baik wajah Lu Sin
Kong maupun Sebun It Nio langsung menunjukkan mimik

54
marah. Mereka memegang tali kendali kuda tanpa bergerak
sedikit pun.
Terdengar Sebun It Nio berkata dengan nada rendah,
"Sin Kong, rasanya suara harpa itu dipetik oleh Liok Ci
Siansing. Kalau dia muncul, kita jangan memperlihatkan reaksi
apa-apa dulu. Kita dengar apa yang akan dikatakannya, baru
ambil keputusan."
Baru saja ucapannya selesai, suara harpa itu sudah
semakin dekat. Lalu terdengar pula suara seruling, dan tidak
lama kemudian, dari sisi hutan muncullah seekor keledai yang
warnanya hitam pekat seperti disiram dengan tinta.
Di atas keledai itu duduk bertengger seorangtua berjubah
kuning. Sebuah harpa antik tersandar di depan dadanya,
tangannya terus memetik alat musik itu, seakan dia tidak
menaruh perhatian sedikit pun terhadap Lu Sin Kong maupun
Sebun It Nio.
Melihat kemunculan musuh besar mereka, hampir saja Lu
Sin Kong tidak sanggup menahan diri. Wajahnya berubah
merah padam, dan sepasang tangannya mengepal dengan
erat. Sementara itu, si orangtua berjubah kuning masih terus
memainkan harpanya dengan kepala tertunduk. Bila
diperhatikan kedua tangannya, maka dapat terlihat di samping
masing-masing jempolnya terdapat pula sebuat jari kecil
lainnya.
Ternyata cocok sekali dengan julukannya yakni Liok Ci
Siansing atau si Tuan Enam Jari!
Sebun It Nio dapat merasakan kemarahan hati suaminya,
sedangkan pihak lawan tetap adem ayem. Dia sendiri merasa

55
tidak baik mengejutkan musuh pada saat seperti ini, sebab
rencananya untuk membalas dendam bisa menjadi
berantakan.
Karena itu, perlahan-lahan dia menjawil lengan baju Lu Sin
Kong sambil berkata,
"Lebih baik kita pergi saja!"
Begitu dia berbicara, Liok Ci Siansing yang nangkring di
atas keledai langsung mendongakkan kepalanya. Dia
memperhatikan Lu Sin Kong dan Sebun It Nio sejenak,
kemudian menyapa,
"Aih, apakah kalian berdua bersuami istri keluarga Lu yang
membuka perusahaan pengawalan Thian Houw Piau Kiok?
Cayhe justru bermaksud menuju Lam Cong untuk
mengunjungi kalian berdua, tidak disangka-sangka kita malah
bertemu di sini, sungguh kebetulan sekali!"
Sebun It Nio tertawa dingin.
"Memang sungguh kebetulan!" sahutnya seakan
menyindir.
Liok Ci Siansing tertegun sejenak, sepertinya dia tidak
mengerti mengapa Sebun It Nio bersikap demikian. Tampak
dia menoleh kepalanya sambil berseru,
"Tiat Cit Siong Jin, kebetulan sekali suami istri keluarga Lu
ada di sini, kita tidak usah buang-buang waktu lagi!"
Dalam hati Lu Sin Kong dan Sebun It Nio langsung
mengeluh, Sungguh bagus! Rupanya komplotan mereka sudah
berkumpul di sini!.

56
Dari dalam hutan terdengar suara seseorang yang
nyaringnya seperti bunyi keliningan,
"Liok Ci Siansing, suara harpa burukmu itu membuatku
tidak bisa tenang sedikit pun juga. Baru merasa enak sedikit,
kau malah berteriak-teriak kayak orang kesurupan!"
Liok Ci Siansing tertawa terbahak-bahak.
"Apa gunanya memperdengarkan alunan musik di depan
kerbau? Pantas saja kau mencela suara harpaku yang katamu
berisik itu!"
Tepat pada saat itu pula, dari dalam hutan tampak
seseorang berjalan keluar. Bentuk tubuh orang itu luar biasa
tinggi besarnya. Pakaiannya serba hitam. Dia berdiri di depan
hutan seperti sebuah pagoda yang kokoh. Kepalanya bulat
dengan mata lebar, wajahnya penuh berewok sehingga
berkesan angker. Di bagian punuknya ada sesuatu yang
menyembul ke atas, tapi tidak mirip dengan seonggok daging,
malah seperti sedang menggembol sesuatu benda.
Begitu keluar dari hutan dia segera menghentikan langkah
kakinya sembari berkata,
"Ini rupanya pasangan suami istri dari Thian Houw Piau
Kiok. Namanya sih sudah Iama kudengar, tapi baru kali ini ada
jodoh untuk bertemu muka!"
Begitu melihat orang itu, Lu Sin Kong dan Sebun It Nio
segera tahu bahwa dialah yang disebut Tiat Cit Siong Jin, ahli
Gwakang. Yang dipanggul di punuknya justru senjata
andalannya yang berbentuk seperti bola besi. Beratnya
mencapai enam ratusan kati, tapi orang ini dapat

57
menggunakannya sebagai senjata, bahkan gerakannya tetap
cepat seperti kilat.
Melihat lagak Tiat Cit Siangjin dan Liok Ci Siansiang yang
seolah-olah tidak pernah terjadi apaapa, hati Sebun It Nio
semakin marah. Namun dia bisa menahan diri sehingga dari
luar kelihatannya biasa-biasa saja.
"Tentunya Tuan yang berjuluk Tiat Cit Siong Jin. Entah
kalian mencari kami untuk keperluan apa?"
Thian Cit Siong Jin maju beberapa langkah, setiap langkah
kakinya mencapai setengah depaan,
"Justru karena putera kalian." sahutnya.
Jawaban ini benar-benar diluar dugaan Sebun It Nio.
Barusan keduanya masih pura-pura bodoh, tidak disangkasangka
sekarang mereka berani menuju ke persoalannya
langsung.
Baru saja dia ingin menjawab, Lu Sin Kong sudah tidak
dapat menahan kemarahan dalam hatinya. Dengan suara
keras dia berteriak,
"Ada apa dengan anak kami? Usianya masih kecil,
kalian...."
Baru berkata sampai di sini, Sebun it Nio sudah menjawil
lengan bajunya sebagai isyarat agar dia menghentikan katakatanya.
Sementara itu, mimik wajah Liok Ci Siansing dan Tiat Cit
Siong Jin sama-sama menunjukkan perasaan bingung.

58
"Entah ada apa sampai Lu Cong Piau Tau marah
sedemikian rupa?" tanya Liok Ci Siansing.
Lu Sin Kong mendengus satu kali, namun Sebun It Nio
segera menukas terlebih dahulu,
"Ada masalah apa dengan putera kami?"
Liok Ci Siansing tersenyum.
"Selama ini aku tinggal di bukit Sian Jin Hong yang terletak
di gunung Bu Yi San. Walaupun kepandaianku masih belum
bisa menandingi ilmu-ilmu dari perguruan Go Bi Pai maupun
Tiam Cong Pai, setidaknya memiliki kelebihan tersendiri.
Setengah tahun yang lalu, aku pernah turun gunung sekali,
maksudnya untuk mencari seorang ahli waris, siapa sangka
ternyata orang yang herbakat baik di dunia ini sedikit sekali,
sehingga aku tidak berhasil menemukan seorang pun yang
cocok. Bulan lalu, aku pernah mendengar Tiat Cit Siongjin
mengatakan, bahkan bukan dia saja, masih ada beberapa
sahabat lainnya juga ikut mendukung, bahwa putera Anda
yang bernama Lu Leng kini berusia kurang lebih dua belas
tahun, tenaga dalamnya sudah mempunyai dasar yang cukup,
bakatnya bagus pula. Karena itulah aku memberanikan diri
untuk meminta puteramu itu untuk menjadi muridku. Dia
hanya perlu menetap di gunung Bu Yi San selama lima tahun
saja, maka seluruh kepandaianku akan diwariskan
kepadanya."
-ooo0oooKANG
ZUSI WEBSITE http://cerita-silat.co.cc/
59
Bagian 02
Bab 3
Di dalam dunia Bulim, seorang guru memilih murid, atau
seorang murid mencari guru yang pandai merupakan urusan
yang wajar.
Lagipula, walaupun orangtuanya sendiri mempunyai
kepandaian yang tinggi, namun anaknya berguru kepada
orang lain, juga bukanlah kejadian yang mengherankan.
Menilik kepandaian yang dimiliki Liok Ci Siansing,
seandainya Lu Leng benar-benar berguru kepadanya, hal ini
juga tidak merendahkan derajat Lu Sin Kong dan Sebun It Nio
sebagai orangtuanya. Seandainya mereka belum menemukan
mayat dalam goa dan cap telapak tangan di balik gununggunungan
itu, saat ini mereka pasti sudah turun dari kuda
masing-masing untuk menyatakan perasaan terima kasihnya.
Tapi, kenyataannya justru berlawanan, maka dalam hati
mereka segera berpikir,
Betul, antara kami dengan orang-orang ini tidak pernah
terlibat permusuhan apa-apa. Sedangkan Leng ji lebih tidak
mungkin lagi mencari masalah dengan tokoh-tokoh besar ini.
Pasti mereka memaksa Leng ji untuk menjadi muridnya Liok Ci
Siansing, tapi karena Leng ji menolak, maka mereka tidak
segan-segan membunuhnya.
Lu Sin Kong hanya berpikir sampai di sini, tapi pandangan
Sebun It Nio lebih jauh lagi.
Mereka sengaja berbicara demikian, maksudnya pasti
untuk menyelidiki apakah kami sudah menemukan mayat Lu

60
Leng atau belum. Sebaiknya aku pura-pura tidak tahu, jadi
kami yang memegang kartu As-nya, kelak dengan mudah
kami bisa menuntut balas atas dendam ini.
Dengan tenang dia tersenyum,
"Liok Ci Siansing memandang putera kami begitu tinggi,
tentunya kami berterima kasih sekali. Kami hanya khawatir
putera kami itu terlalu bodoh sehingga tidak dapat belajar
dengan baik," katanya.
Liok Ci Siansing tertawa terbahak-bahak.
"Mengapa Lu Hujin harus merendahkan diri?"
"Sayangnya sekarang kami suami istri masih ada
keperluan sedikit. Kami harus berangkat ke Su Cou untuk
menyelesaikannya. Sekembalinya nanti, kami akan
mengantarkan Leng ji ke gunung Bu Yi San. Bagaimana kalau
Liok Ci Siansing dan sahabat lainnya menunggu di bukit Sian
Jin Hong saja?" kata Sebun It Nio pula.
Liok Ci Siansing merenung sejenak.
"Boleh juga. Kalau begitu, sekarang juga kami mohon
diri!" Kepalanya kembali tertunduk, tangannya mulai memetik
harpa. Tiat Cit Siong Jin melangkah dengan tindakan lebar
mengikuti di belakangnya.
Tidak lama kemudian, keduanya sudah menyeberangi
jalan raya lalu menghilang ke dalam hutan. Setelah kedua
orang itu tidak terlihat lagi, Sebun It Nio baru berkata dengan
nada berapi-api,

61
"Sebulan kemudian, akan kubuat mereka mati tanpa
kubur!"
"Hujin, kalau melihat lagak keduanya, tampaknya mereka
tidak tahu menahu urusan ini," kata Lu Sin Kong.
"Sudah terang mereka yang menurunkan tangan keji,
bagaimana bisa tidak tahu? Mereka bersikap begini, pasti ada
tujuannya, hanya kita saja yang tidak bisa menerka apa
maksudnya," sahut Sebun It Nio dengan nada tajam.
Sebetulnya Lu Sin Kong ingin mengatakan bahwa dia tidak
tahu bagaimana watak Liok Ci Siansing, tapi mengenai Tiat Cit
Siongjin, dia justru jelas sekali. Orang ini adatnya keras, tapi
jujur. Rasanya dia tidak mungkin berpura-pura seperti dugaan
istrinya.
Keduanya segera mengisi perut dengan ransum kering lalu
meneruskan perjalanan. Menjelang sore harinya, mereka
dapat melihat di bagian depan terdapat sebuah kota besar.
Dari wuwungan rumah terlihat asap mengepul. Rupanya para
penduduk sedang mempersiapkan makan malamnya. Mereka
segera turun dari kuda masing-masing dan meneruskan
dengan berjalan kaki. Maksudnya agar jangan timbul
kecurigaan di hati orang-orang yang melihatnya. Bisa-bisa
timbul lagi masalah lainnya.
Tiba-tiba dari belakang terdengar suara tertawa dingin
sebanyak dua kali. Mereka segera menolehkan kepalanya.
Tampak tiga orang bertubuh kurus kering sedang berlari
mendatangi dengan cepat. Kaki mereka seakan tidak
menyentuh tanah. Hal ini membuktikan ilmu ginkang ketiga
orang itu sangat tinggi sekali. Sekejap saja mereka sudah
melewati kuda tunggangan Lu Sin Kong dan Sebun It Nio,
bahkan ketiga orang itu masih sempat melirik mereka sekilas.

62
Gerakan ketiga orang itu menunjukkan bahwa mereka
bukan orang sembarangan. Mendapat lirikan sekilas tadi, Lu
Sin Kong dan Sebun it Nio segera mencurahkan perhatiannya
kepada ketiga orang itu.
Pandangan kedua pihak sempat bertemu sesaat. Sebun It
Nio melihat sorot mata ketiga orang itu tajam sekali. Sembari
menoleh, kaki ketiganya tidak berhenti. Sebentar saja mereka
sudah melesat jauh di depan.
Sebun It Nio tertawa dingin. Baru saja dia ingin
mengatakan sesuatu kepada Lu Sin Kong, sekonyong-konyong
dari belakang kembali terdengar suara seruan,
"Numpang lewat! Nurripang lewat!"
Tempat di mana mereka berada sudah dekat sekali
dengan kota besar dengan jalananya yang lebar sekali.
Walaupun banyak orang pun kuda yang berlalu lalang, tapi
bila orang di belakang itu ingin mendahului, sebetulnya tidak
perlu Lu Sin Kong maupun Sebun it Nio menggeser ke pinggir
untuk mereka lewat.
Diam-diam hatinya merasa gondok juga. Dia menolehkan
kepalanya, tampak seorang laki-laki yang gemuknya luar biasa
dengan menggembol sesuatu seperti bakul batu di pundaknya.
Orang itu melenggang-lenggok seperti induk bebek yang
sedang bunting. Di kiri kanannya masih ada jalan yang
longgar tapi dia tidak mau menepi, malah sengaja mengintil di
belakang kudanya Sebun It Nio. Lemak di pipi, leher dan
perutnya bergoyang-goyang sementara mulutnya terus
berteriak: "Numpang lewat! Numpang lewat!"
Sebun It Nio sudah banyak pengalaman dan
pengetahuannya luas pula. Sekali lihat saja, dia dapat

63
menduga bahwa batu yang dipanggul di pundak si Gendut itu
paling tidak beratnya mencapai empat ratusan kati. Dia
langsung tahu bahwa si Gendut itu bukan orang
sembarangan. Lagipula, menilik keadaannya, dapat dipastikan
bahwa orang itu sengaja mencari gara-gara dengannya.
Sejak semula Sebun It Nio juga sudah tahu, bahwa dalam
mengantarkan kotak kayu itu ke Su Cou, sepanjang perjalanan
mereka akan bertemu dengan jago-jago yang tidak sedikit
jumlahnya.
Tujuannya ikut dengan suaminya, sesungguhnya juga
karena ingin melihat tokoh-tokoh siapa saja yang akan mereka
temui dalam perjalanan.
Namun, sebelum keberangkatannya, mereka menemukan
kejadian di dalam gudang. Maka dalam hati Sebun It Nio
timbul tekad, dia ingin secepatnya mengantarkan kotak itu ke
Su Cou lalu berangkat ke gunung Bu Yi San untuk mencari
Liok Ci Siansing, Tiat Cit Siongjin dan yang lainnya untuk
membalas dendam. Niat untuk mengadu kepandaian dengan
tokoh-tokoh yang akan merebut kotak dalam perjalanan sudah
sirna entah ke mana.
Itulah sebabnya sekarang dia memilih diam walaupun si
Gemuk terang-terangan mengincar dirinya dengan mencari
gara-gara.
Ditariknya tali kendali kudanya untuk menepi sejauh tiga
Ciok. Si Gemuk juga tidak sungkan sedikit pun juga. Dengan
memanggul batu yang berat di pundaknya, dia berjalan
dengan langkah lebar di antara Lu Sin Kong dan Sebun It Nio.
Malah kepalanya terus menoleh ke kiri dan ke kanan untuk
memperhatikan kedua orang itu. Sebun It Nio memberi isyarat

64
kepada Lu Sin Kong dengan kedipan matanya agar dia
menahan kedongkolan hatinya.
Lu Sin Kong hanya menatap si Gemuk dengan pandangan
dingin. Tiba-tiba dia melihat di punuk si Gemuk tumbuh
daging sebesar kepalan yang warnanya merah matang.
Mendadak bayangan seseorang melintas dalam benaknya, dan
untuk sesaat dia menjadi tertegun.
Tepat pada saat itulah, si Gemuk mempercepat langkah
kakinya. Jangan dilihat tubuhnya yang penuh lemak, belum
lagi beban di pundaknya yang begitu berat, namun begitu dia
mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya, tahu-tahu
gerakannya seperti terbang.
Ser, ser, ser! Tahu-tahu dia sudah melewati beberapa
kereta kuda dan orang-orang yang berlalu lalang dan sekejap
saja sudah menuju kota besar di depan.
Lu Sin Kong menarik tali kendali kudanya agar dapat
berjalan beriringan dengan istrinya.
"Hujin, mungkinkah si Gemuk tadi adalah Ciangbunjin dari
perguruan Tai Ci Bun yang berjuluk Pang Sian (si Dewa
Gemuk) dan namanya Yu Lao Pun yang sangat terkenal di
dunia Kang-ouw?" tanyanya.
Sebun It Nio menganggukkan kepalanya.
"Tidak salah. Sedangkan ketiga orang yang tubuhnya
kurus kering tadi pasti Thai San Sam Sia (Tiga Sesat Dari
Gunung Thai San). Apakah kau tidak melihat kalau di
pinggang mereka masing-masing terselip sebuah senjata yang
aneh?" sahutnya.

65
Lu Sin Kong baru tersadar mendengar keterangan istrinya.
"Betul. Mereka bertiga tentu anak didik Hek Sin Kun dari
Thai San."
Sepasang alis Sebun It Nio tampak mengerut.
"Urusan ini benar-benar aneh. Thai San Sam Sia itu
biasanya malang melintang di wilayah Hopak, San Tung.
Dengan Beking Hek Sin Kun, mereka berani melakukan
kejahatan apa saja, bahkan sebagian besar tokoh dari
golongan hitam saja dibuat pening kepalanya oleh mereka.
Kalau mereka ingin merebut kotak ini, memang pantas. Tapi
Ciangbunjin dari perguruan Tai Ci Bun itu terhitung orang dari
golongan lurus, mengapa dia juga ikut mengincar kita?"
Lu Sin Kong tertawa sumbang.
"Biar saja. Tunggu saja sampai mereka mengusik kita
secara terang-terangan. Taruh kata kita tidak bisa melawan
mereka, biarlah mereka mendapatkan kotak kosong ini, toh
tak ada gunanya bagi mereka," sahutnya.
Sebun It Nio juga mempunyai pikiran yang sama. Tapi
bagaimanapun dia memang lebih cerdik daripada Lu Sin Kong,
maka dia berkata,
"Jangan bicara keras-keras! Bagaimanapun malam ini kita
harus meneliti kotak itu sekali lagi, siapa tahu kita bisa
menemukan rahasianya. Kalau tidak, mengapa si Ki Hok
bersedia memberikan imbalan yang begitu besar? Kenapa pula
Thai San Sam Sia dan Yu Lao Pun bisa mengikuti jejak kita?"
Baru saja dia selesai bicara, dari belakangnya kembali
terdengar suara ratapan yang memilukan sekali.

66
Kepandaian Lu Sin Kong dan Sebun It Nio sudah terhitung
jago kelas satu. Seandainya mereka berdua bermaksud
mendirikan sebuah perguruan, ketenarannya mungkin tidak
akan kalah dengan perguruan besar lainnya. Meskipun
demikian, begitu mendengar suara ratapan tadi, tidak urung
hati keduanya bergetar juga, seakan tiba-tiba mereka dilanda
rasa takut yang hebat.
Cepat-cepat mereka menenangkan perasaannya,
kemudian segera menoleh. Tampak di belakangnya berjalan
dua pemuda yang sedang berkabung. Yang seorang
membawa lentera dari kertas, dan yang satunya membawa
Leng ki atau bendera tanda berkabung.
Bahkan tangan mereka juga menaburkan kertas-kertas
sembahyang sehingga memenuhi sepanjang jalan. Dandanan
kedua orang ini sungguh mencurigakan. Rona wajah keduanya
juga pucat pasi, tidak mirip sedikit pun dengan orang hidup.
Hal ini membuat perhatian orang-orang di sepanjang jalan
beralih kepada mereka berdua. Namun keduanya seakan tidak
peduli, mereka tetap mendengarkan suara ratapan yang
menyayat hati, bahkan langkah keduanya juga seradakseruduk
sehingga orang-orang disekitarnya menepi untuk
memberi jalan. Kuda-kuda orang-orang yang berlalu lalang
juga mengeluarkan ringkikkan keras karena didorong ke sana
ke mari.
Sebun It Nio tertawa dingin. Dia memalingkan kepalanya
seakan tidak menaruh hati sama sekali terhadap sikap kedua
orang itu.
Sementara itu, kedua orang itu masih saja melangkah
dengan seenaknya. Tiba-tiba, mereka menyeruduk ke arah
seekor kuda hitam sehingga binatang itu terkejut. Orang yang

67
menunggang di atasnya berdandan seperti Piau Su, ia
langsung melonjak bangun dan nyaris terjatuh.
Laki-laki itu gusar sekali, dan terdengar dia memaki,
"Sialan! Biar keluarga kalian kematian bapak, juga tidak
perlu seruduk ke sana seruduk ke mari!"
Kedua pemuda yang sedang berkabung itu mendongakkan
kepalanya. Ternyata bukan suara ratapannya saja yang tidak
enak didengar, malah suara bicaranya yang mengandung
suara tangisan itu juga membuat telinga orang ikut tergetar.
"Bapak kami baru mati, tanpa sengaja kami
mendorongmu, mohon maaf! Mohon maaf!" ucap keduanya
serentak.
Sambil bicara, kaki mereka terus melangkah ke depan.
Walaupun tindakan kaki mereka seperti orang sempoyongan
namun mengandung gaya tersendiri. Dalam sekejap keduanya
sudah melewati Lu Sin Kong dan Sebun lt Nio.
Ketika melalui kedua orang itu, mereka malah sempat
menoleh dan tersenyum, tapi tampangnya malah terlebih
menyeramkan. Setelah itu mereka meneruskan langkah kaki
ke depan.
Diam-diam Sebun lt Nio memaki dalam hati, "Bagus! Setan
dan Iblis model apa saja sudah berkumpul di sini!"
Ketika di saat hatinya memaki, dari belakang terdengar
suara ringkikan kuda yang keras dan suara jeritan yang
histeris. Dia segera menoleh. Situasi di belakangnya sudah
ramai sekali. Kuda hitam yang didorong kedua pemuda tadi

68
sudah terkulai di atas tanah dengan mulut mengeluarkan buih
putih.
Sedangkan si laki-laki kekar yang duduk di atas punggung
binatang itu juga sudah menggelinding di atas tanah.
Mulutnya mengeluarkan suara Krok, Krok, Krok seperti orang
yang disembelih. Tidak lama kemudian tubunya sudah
membujur kaku, dan wajahnya berubah kehijauan. Dapat
dipastikan selembar nyawanya sudah melayang.
Sebun It Nio dan Lu Sin Kong sudah lama berkecimpung di
dunia Bulim. Mendengar suara ratapan serta dandanan kedua
pemuda tadi, mereka sudah dapat menebak asal-usulnya.
Mereka juga tahu, laki-laki berkuda hitam yang mengeluarkan
makian tadi pasti akan menerima akibat yang menyedihkan.
Namun mereka tidak menyangka kejadiannya bisa begitu
cepat, apalagi setelah melihat wajah laki-laki itu, keduanya
semakin terkesiap.
Rupanya setelah mati, mimik wajah si laki-laki kekar itu
bukan saja menyeramkan, tapi tersirat ketakutan yang hebat
sekali.
Keduanya langsung teringat mimik wajah Cin Piau Tau
sebelum kematiannya. Tampang kedua orang itu
memperlihatkan ketakutan yang sama, maka baik Lu Sin Kong
maupun Sebun It Nio sama-sama tertegun jadinya.
Ketika mereka menoleh kembali kepada kedua pemuda
yang dandanannya aneh itu, ternyata bayangan keduanya
sudah tidak terlihat lagi.
"Hujin, kalau Kui Sen Seng Ling telah mengutus kedua
anak kesayangannya untuk muncul, kemungkinan dia sendiri
juga sudah datang," kata Lu Sin Kong.

69
Sebun It Nio menganggukkan kepalanya.
"Thai San Sam Sia, si Dewa Gemuk Yu Lau Pun, Hek Sin
Kun, Kui Sen dari Pak Bong San...Hemm... Kita menempuh
perjalanan belum sampai dua ratus li, tokoh yang muncul
sudah begitu banyak. Mungkin di depan nanti masih ada
tontonan yang lebih menarik lagi"
Lu Sin Kong merenung sejenak.
"Bagaimana kalau kita mengambil jalan putar dan
meneruskan perjalanan tanpa beristirahat?"
Biasanya Sebun It Nio tidak pernah sudi mendengarkan
usul orang lain. Tapi saat ini yang terpikir olehnya hanya
dapat membalaskan dendam atas kematian anaknya dengan
secepatnya. Dia tidak ingin melibatkan diri dalam
persengketaan dengan orang lain, maka dia menyahut,
"Baik!"
Begitu dekat dengan kota besar itu, mereka segera
menarik tali kendali kudanya lalu mengambil jalan lain. Dalam
semalaman mereka sudah menempuh perjalanan sejauh
seratus li lebih. Sampai keesokan paginya, orangnya masih
tidak apa-apa, tapi kuda-kuda tunggang mereka sudah
kecapean. Tampaknya kedua binatang itu tidak sanggup
meneruskan perjalanan lagi.
Sejak mendirikan Thian Houw Piau Kiok, setidaknya Lu Sin
Kong juga sudah malang melintang di dunia Bulim selama dua
puluh tahun lebih. Hampir seluruh wilayah pernah
dijelajahinya. Maka dia tahu, bila berjalan terus, sebentar lagi
mereka akan sampai di kota Keng Bun Ceng.

70
Walaupun kota itu tidak terlalu besar, namun di tempat ini
hasil buminya seperti teh merah sangat terkenal sekali.
Daerah ini juga sering menjadi ajang berkumpulnya para
pengusaha.
Sepasang suami istri itu berunding sebentar. Mereka
mengambil keputusan untuk melepaskan kelelahan perjalanan
panjang dengan bermalam di kota ini.
Dengan menunggang kuda, keduanya masuk ke dalam
kota. Baru sampai di depan pintu gerbangnya, tampak dua
orang yang berdandan seperti pelayan penginapan berdiri
menyambut mereka. Tangan keduanya membawa sebuah
lentera. Lilinnya memang sudah padam, namun raut wajah
kedua orang itu tampak jelas. Mereka tampak sudah letih
sekali, rupanya sudah menunggu selama sepanjang malam.
Melihat Sebun It Nio dan Lu Sin Kong mendatangi, kedua
orang yang berdandan seperti pelayan itu segera maju untuk
menyambut.
"Apakah kalian berdua suami istri Lu Cong Piau Tau dan Lu
Hujin?" tanya mereka serentak.
Lu Sin Kong tertegun.
"Betul. Bagaimana kau bisa tahu?"
Wajah kedua pelayan itu berseri-seri seketika.
"Tampang Lu Thai Enghiong (Pendekar Besar Lu) gagah
perkasa. Sekali lihat saja sudah bisa dikenali. Kami berdua
mendapat perintah dan kami sudah menunggu sepanjang
malam. Kami berdua menyiapkan dua kamar besar agar kalian
bisa beristirahat dengan tenang," sahut salah satunya.

71
Hati Lu Sin Kong merasa heran. Sedangkan Sebun lt Nio
langsung bertanya dengan nada tajam,
"Siapa yang memerintahkan kalian untuk menunggu kami
di sini?"
Pelayan itu tertawa cekikikan.
"Tuan besar itu berpesan, hamba tidak boleh mengatakan
apa-apa. Hamba bilang, kalau Tuan memaksa hamba bicara,
mana mungkin Lu Toaya akan melepaskan hamba begitu saja?
Tuan besar itu berkata, tidak perlu takut, Lu Toaya dan Lu
Toanio merupakan tokoh-tokoh yang berjiwa besar, mereka
tentu tidak gentar menghadapi. undangan ini. Tuan dan
Nyonya berdua, silakan. Semuanya sudah hamba persiapkan
dengan rapi," sahutnya.
Lu Sin Kong dan Sebun It Nio saling memandang. Mereka
sadar, kalau mengikuti kedua pelayan ini, mungkin akan
terjadi pula hal-hal yang tidak diinginkan. Tapi, orang yang
tidak bersedia menyebutkan identitasnya itu telah
mengucapkan kata-kata tadi, maka kalau mereka menolak
ikut, bukankah mereka akan menjadi bahan ejekan orangorang
di dunia Bulim?
Rasanya di kota seramai itu, lagipula di siang bolong
seperti ini tidak mungkin terjadi apa-apa. Maka, mereka
segera mengangukkan kepalanya sambil menyahut,
"Baiklah, silakan kalian tunjukkan jalannya!"
Kedua pelayan itu segera mengambil alih tali kendali kuda
tunggang mereka dengan penuh semangat, lalu berjalan lebih
dulu di depan.

72
Saat itu matahari baru menyingsing. Suasananya masih
dingin dan menyegarkan. Setelah melintasi jalan raya dan
melewati sebuah tikungan, tampaklah sebuah losmen yang
besar sekali.
"Inilah rumah penginapan hamba," kata pelayan tadi.
Lu Sin Kong dan Sebun lt Nio turun dari kudanya dan
masuk ke dalam rumah penginapan. Ternyata ada pula yang
keluar menyambut mereka. Setelah melalui ruangan depan,
mereka sampai di sebuah teras terbuka. Si pelayan mengajak
mereka menuju kamar di sebelah utara. Kedua kamar itu
saling berhubungan, jadi ada pintu yang menembus di
dalamnya.
Pelayan itu membukakan pintunya sambil berkata,
"Silakan masuk, kalau ada keperluan apa-apa, panggil
saja. Semuanya sudah dibayar oleh Toaya itu."
Lu Sin Kong mendengus satu kali. Dia juga mengibaskan
tangannya.
"Tidak ada apa-apa lagi. Kalau tidak dipanggil, jangan
sembarang masuk ke kamar kami!" perintahnya.
Sambil berbicara, mereka melangkah masuk ke kamar.
Dekorasi kamar itu indah sekali. Di sebelah timur terdapat
sebuah tempat tidur yang besar. Di tengah-tengah ruangan
ada meja dan bangku yang alasnya terbuat dari batu pualam.
Sedangkan kaki meja dan sandaran bangkunya terbuat dari
kayu jati yang diukir dengan halus.
Begitu merapatkan pintu kamar, Lu Sin Kong segera
melakukan pemeriksaan di dalamnya. Sedangkan Sebun It Nio

73
menguakkan jendela lalu melongokkan kepalanya keluar.
Pandangan matanya mengedar untuk melihat apakah ada
orang yang gerakgeriknya mencurigakan, namun tidak terlihat
bayangan seorang pun. Hati keduanya terasa gundah. Mereka
tidak dapat menerka siapa orangnya yang mengatur semua
ini, dan apa pula maksud orang itu.
Keduanya duduk di sisi meja. Lu Sin Kong mengeluarkan
kotak kayu dari balik pakaiannya. Sekali lagi Sebun It Nio
melepaskan kertas segel yang terdapat di atas kotak kayu itu.
Dia ingin memeriksa dengan teliti apakah ada rahasianya atau
tidak.
Hampir setengah kentungan lamanya mereka mengutakatik
kotak itu, tampaknya hanya sebuah kotak biasa saja, tidak
ada keistimewaan apa-apa. Tapi kalau dibilang tidak ada
keistimewaannya, mengapa sepanjang jalan begitu banyak
tokoh hitam dan putih yang mengintil di belakang mereka?
Semakin dipikir, keduanya semakin tidak habis mengerti.
Kotak itu disimpan kembali. Baru saja mereka bermaksud
memanggil pelayan untuk memesan makanan, tiba-tiba
terdengar suara ketukan pintu,
"Lu Toaya, hidangan sudah datang!" Terdengar pula suara
pelayan tadi.
Lu Sin Kong dan istrinya saling memandang sekilas. Dalam
hati mereka terlintas pikiran yang sama, Tampaknya si
pelayan sudah memperhitungkan segalanya dengan matang.
"Masuk!" sahut Lu Sin Kong.
Tampak si pemilik rumah penginapan melangkah masuk
bersama dua orang pelayannya. Hidangan yang disuguhkan

74
berupa masakan yang mewah. Ketika kedua pelayan
menyiapkan peralatan makan, ternyata mangkok dan sumpit
yang disediakan ada tiga pasang.
"Siapa orang yang satunya lagi?" tanya Sebun lt Nio.
"Toaya yang menyuruh hamba menunggu kedatangan
Tuan dan Nyonya berdua. Sebentar Iagi beliau akan tiba,"
sahut si pelayan.
Kembali hati Lu Sin Kong dan Sebun It Nio dilanda
perasaan berat. Mereka juga khawatir di dalam sayuran dan
arak telah ditaruh racun sehingga mereka tidak berani
menyentuhnya sama sekali.
Belum lama si pemilik penginapan dan pelayannya keluar,
dari depan pintu terdengar pula seruan seseorang,
"Lu Cong Piau Tau, Lu Hujin, aku yang rendah Toan Bok
Ang mohon bertemu!"
Brakk! Pintu kamar terbuka dengan sendirinya, kemudian
tampak seseorang menjatuhkan dirinya berlutut. Karena
situasi yang mencurigakan, hati Lu Sin Kong maupun Sebun It
Nio sudah dipenuhi rasa anti pati. Maka, mereka tidak
membalas penghormatan orang itu, malah Sebun It Nio
menyahut dengan nada dingin,
"Sahabat tidak perlu banyak adat."
Orang itu mendongakkan kepalanya. Lu Sin Kong dan
Sebun It Nio langsung terpana. Rupanya usia itu masih muda
sekali, paling banter enam belas atau tujuh belas tahun,
dandanannya seperti para pelajar. Jubahnya berwarna hijau,
bagian atasnya disulam dengan gambar bambu-bambu

75
berwarna hijau pupus. Raut wajahnya berbentuk kuaci, alisnya
bagus, matanya bening, hidungnya mancung dengan bibir
yang tipis. Tampaknya sulit diuraikan dengan kata-kata.
Melihat orang yang datang ternyata seorang pemuda yang
begitu tampan dan rapi penampilannya, rasa permusuhan
dalam hati mereka sudah berkurang sebagian. Bahkan nada
suara Sebun It Nio juga jauh lebih lembut dari sebelumnya.
"Saudara mengundang kami di sini, entah ada maksud
apa? Silahkan utarakan secara ringkas!"
Pelajar muda yang mengaku bernama Toan Bok Ang itu
berubah merah padam wajahnya,
"Kalian berdua pasti menyalahkan kelancangan Boanpwe
yang tidak menerangkan maksud sebelumnya, tapi Boanpwe
sendiri juga melakukannya karena terpaksa. Mohon kalian sudi
memaafkan!" katanya.
Sambil berbicara, dia maju beberapa langkah Ialu
menuangkan arak ke dalam cawan.
Lu Sin Kong dan Sebun It Nio hanya memegangi cawan
masing-masing tanpa memperlihatkan niat untuk
meneguknya. Toan Bok Ang tersenyum.
"Cayhe Toan Bok Ang, walaupun tidakanku kali ini
memang mencurigakan, tapi aku bukan macam manusia yang
suka menaruh racun dalam arak untuk mencelakai orang.
Kalian berdua tidak perlu khawatir." Selesai bicara, dia
langsung menuangkan secawan arak lalu langsung diminum di
hadapan kedua orang itu.

76
Tapi Lu Sin Kong dan Sebun It Nio tetap tidak meneguk
araknya.
"Tidak perlu bicara yang bukan-bukan. Ada keperluan,
harap utarakan langsung!" kata Lu Sin Kong.
Toan Bok Ang meletakkan cawannya kembali, lalu menarik
nafas panjang.
"Kepergian kalian berdua kali ini, apakah untuk mengawal
semacam benda yang sangat penting?" tanyanya.
"Betul," sahut Lu Sin Kong dengan nada dingin.
"Kedatangan cayhe adalah dikarenakan benda itu," kata
Toan Bok Ang dengan terus terang.
Kemarahan Lu Sin Kong hampir meluap, sedangkan pikiran
Sebun It Nio justru tergerak. "Kalau begitu, tentunya kau tahu
benda apa yang
kau inginkan, bukan?" tanyanya.
"Tentu saja. Tapi kalau kalian berdua memang tidak tahu,
aku juga tidak leluasa mengatakannya. Kalian harus percaya
bahwa aku berniat baik. Bila kalian menyerahkan benda itu
kepadaku lalu melanjutkan urusan kalian sendiri, pasti kalian
tidak akan mengalami kerugian apa-apa," kata Toan Bok Ang.
Tadinya Sebun It Nio ingin memancing ucapannya agar
mengatakan benda apa yang diinginkannya. Namun rupanya
orang itu tidak bersedia menyebutkannya, maka tanpa sadar
hatinya menjadi kesal.

77
"Bagi kami sebetulnya tidak ada masalah apa-apa, namun
ada tiga sahabat kami yang mungkin keberatan," sahutnya.
Toan Bok Ang tertawa terbahak-bahak.
"Apakah yang merasa keberatan itu sepasang pedang Lu
Hujin dan sebatang goloknya Lu Cong Piau Tau? Cayhe juga
sudah mengadakan persiapan."
Selesai bicara, dia menyingkapkan lengan bajunya lalu
mengeluarkan suatu benda yang cahayanya berkilauan,
kemudian diletakkan di atasnya.
Sebun It Nio mempertajam pandangannya. Benda yang
berkilauan itu halus seperti jari tangan, panjangnya mungkin
mencapai enam ciok. Di seluruh permukaannya ada duri yang
tajam. Rupanya seutas pecut panjang yang durinya terbuat
dari perak.
Melihat Toan Bok Ang mengeluarkan senjatanya, Lu Sin
Kong langsung tertawa terbahak-bahak.
"Saudara kecil, apakah kau bermaksud merampas benda
kawalan kami?" tanyanya.
"Kalau kalian berdua tidak sudi memberi muka kepada
Cayhe, terpaksa Cayhe berlaku lancang untuk merebut barang
itu," sahut Toan Bok Ang.
Baik dari usianya, penampilannya, dan cara bicaranya,
tampaknya anak muda itu baru pertama kali terjun ke dunia
kang ouw.
Bagaimanapun, Lu Sin Kong dan Sebun It Nio merupakan
suami istri yang mempunyai kedudukan di dunia kang ouw.

78
Maka, mana mungkin mereka sudi bergebrak dengan seorang
bocah kemarin sore?
Hati mereka terasa mendongkol dan juga geli.
"Saudara kecil, kalau kau benar-benar ingin merampas
barang kawalan kami, sebaiknya kau kembali dulu untuk
mengajak ayah ibumu atau saudara-saudaramu untuk datang
bersama-sama. Kami akan menunggumu di depan, sekarang
harap kau pulang saja!"
Wajah Toan Bok Ang merah padam.
"Apakah kau bermaksud mengatakan bahwa aku tidak
pantas menandingi kalian?"
Lu Sin Kong dan Sebun lt Nio tertawa terbahak-bahak.
Dengan tawanya itu mereka menyatakan jawabannya.
Belum lagi suara tawa mereka tersirap, tiba-tiba dari
ruangan depan penginapan itu terdengar suara ratapan yang
menyayat hati. Wajah Toan Bok Ang berubah seketika. Dia
langsung berdiri dan mencekal pecutnya erat-erat. Di luar
pintu tampak bayangan berkelebat, ternyata kedua pemuda
yang sedang berkabung tadi sudah berdiri diambang pintu.
Kedua anak muda itu adalah putera Kui Sen yang nama
aslinya Seng Lin. Mereka mendapat julukan Pak Bong Song Kui
(Sepasang Setan dari Utara Gunung Bong San). Yang sulung
disebut si Perenggut Sukma Seng Cai, sedangkan yang
satunya lagi si Pencabut Nyawa Seng Bou.
Wajah Toan Bok Ang merah karena gusar. "Kalian berdua
datang untuk apa?!" bentaknya.

79
"Yang melihat dapat bagian!" sahut kedua pemuda itu
serentak. Nada suara mereka seperti orang yang sedang
menangis.
"Aku yang menemukan sasaran. Kalau kalian ingin
meminta bagian, apakah kalian tidak mengerti peraturan dunia
Kang ouw?" kata Toan Bok Ang marah.
Mendengar perdebatan antara kedua belah pihak
memperebutkan barang kawalan mereka, diam-diam Lu Sin
Kong dan Sebun lt Nio merasa geli. Dalam hati mereka
berpikir, walaupun kepandaian Kui Sen dapat digolongkan
seorang jago kelas tinggi, namun masih belum dapat
dibandingkan dengan kepandaian mereka.
Memang beberapa jurus ilmu silat sesat yang dipelajari
Setan itu serta senjata rahasianya sangat berbahaya. Namun
mereka berdua tidak merasa takut menghadapinya. Apalagi
baru kedua anaknya yang muncul.
Sedangkan pemuda pelajar yang mengaku bernama Toan
Bok Ang, taruh kata sejak lahir dari kandungan ibunya dia
sudah belajar silat, berarti sampai sekarang latihannya baru
enam belas tahun, terlebih-lebih tidak ada yang perlu
dikhawatirkan. Maka diam-diam mereka merasa geli.
Keduanya segera berdiri, lalu mundur beberapa langkah
sambil menarik dua buah kursi dan duduk di sudut untuk
menyaksikan bagaimana kedua pihak akan melakukan
pertarungan.
Terdengar si Setan Pencabut Nyawa Seng Bou berkata
dengan nada dingin,
"Kaulah yang tidak mengerti peraturan dunia Kang ouw.
Yang melihat dapat bagian, paham?"

80
"Bagian Kepala...!"
Baru membentak dua patah kata, wajah Toan Bok Ang
sudah berubah merah padam sehingga dia menghentikan
kata-katanya.
Bagaimanapun pengalaman Lu Sin Kong di dunia Bulim
sudah banyak sekali, maka melihat keadaan ini, dia sempat
tertegun sejenak. Dia tahu Toan Bok Ang ingin memaki,
Bagian kepala Emakmu! tapi kata-kata yang terakhir belum
sempat diucapkannya, malah wajahnya sudah merah padam.
Jangan-jangan....dia itu..perempuan yang menyamar jadi
lelaki.
Sepasang Setan dari Bong San itu tertawa menyeramkan.
"Kalau kau tidak bersedia membagi juga tidak apa-apa,
malah kebetulan, kami akan menelan semuanya!"
Selesai bicara, mereka langsung menangis meraungraung.
Pada saat itu, keadaan di dalam rumah penginapan itu
sudah berubah ramai. Mendengar suara bising, para tamu
maupun pelayan penginapan segera berdatangan untuk
melihat apa yang telah terjadi. Tapi, baru saja mereka sampai
di depan pintu, Seng Bou sudah mengibaskan tangannya
dengan tenang. Tiga orang pelayan yang ada di bagian paling
depan langsung terhempas jatuh sembari menjerit kesakitan.
Melihat keadaan ini, siapa pula yang berani mendekat ke
kamar itu?
Begitu kedua orang itu mengeluarkan suara tangisan, hati
Lu Sin Kong dan Sebun It Nio berubah tidak tenang.
Mereka tahu suara tangisan itu merupakan suatu ilmu
sesat yang dapat membuat perasaan orang menjadi gelisah.

81
Hampir sama kegunaannya dengan ilmu "Memanggil Sukma",
sayangnya tenaga dalam kedua pemuda ini masih belum
cukup tinggi. Seandainya ayah mereka, Kui Sen yang turun
tangan sendiri, orang-orang yang tidak memiliki tenaga dalam,
bila mendengarnya bisa-bisa pecah panca inderanya sehingga
mengucurkan darah dan mati.
Tampak Toan Bok Ang mengerutkan sepasang alisnya.
"Ilmu yang rendah seperti ini berani dipamerkan di
hadapanku? Apakah kalian sedang bermimpi?" bentaknya.
Suara ratapan Seng Bou sungguh tidak enak didengar.
Tangannya juga bergerak-rak seperti menari. Dalam telapak
tangannya tergenggam sebatang lentera kertas, gagangnya
berbentuk panjang dan pipih, kurang lebih empat kali satu
setengah ciok. Gayanya memang seperti asal gerak saja, tapi
diam-diam mengandung tenaga yang kuat. Meja dan kursi
dalam ruangan itu sampai patah berderai, bahkan pakaian
Toan Bok Ang tampak berkibar-kibar seperti dilanda angin
kencang. Seng Cai juga bergerak ke sana ke mari seperti
orang mabuk, namun dia tidak melancarkan serangan kepada
lawan.
Setelah beberapa saat, terdengar dia berseru dengan nada
meratap, "Kemarikan nyawamu!"
Bendera panjang di tangannya diayunkan ke arah Toan
Bok Ang.
Dalam waktu bersamaan, Seng Bou juga berteriak,
"Kemarikan nyawamu!" Lentera kertasnya disabetkan ke
depan.

82
Melihat serangan sepasang setan yang dahsyat itu, diamdiam
Lu Sin Kong dan Sebun It Nio mencemaskan
keselamatan Toan Bok Ang.
Walaupun sikap Toan Bok Ang angkuh dan bicaranya
besar di hadapan mereka berdua, namun baik Lu Sin Kong
maupun Sebun It Nio merasa sayang terhadap bakat serta
usianya yang masih muda. Sungguh patut disesalkan
seandainya dia mati di tangan sepasang Setan ini. Maka diamdiam
keduanya sudah menyiapkan segenggam senjata rahasia
di tangan. Bila keadaan Toan Bok Ang terjerumus dalam
bahaya, mereka akan turun tangan menolongnya.
Tampak bendera dan lentera itu menyerang secara
bersamaan. Toan Bok Ang malah tertawa terbahak-bahak.
Pecutnya dilontarkan ke depan, tubuhnya menyelinap lewat di
antara kedua "senjata" aneh yang menyerbu ke arahnya, dan
tangannya bergerak. Bukan saja dia berhasil menghindar dari
serangaan kedua pemuda itu, tapi malah pecutnya menyabet
ke arah lengan Seng Cai.
Perubahan jurusnya bukan hanya indah, tapi kecepatan
ilmu meringankan tubuhnya malah jarang ditemui dalam dunia
Bulim.
Dalam hati Lu Sin Kong dan Sebun lt Nio langsung saja
melintas sebuah nama "Hui Yan Bun" (Perguruan Walet
Terbang).
Di dalam dunia Bulim, perguruan yang terkenal dengan
ilmu meringankan tubuhnya memang ada beberapa, tapi, baik
perguruan atau partai manapun, tidak ada yang sanggup
menandingi perguruan Hui Yan Bun. Keindahan gerakan dan
kecepatannya sudah diakui oleh orang-orang di seluruh dunia.

83
Sekarang mereka melihat Toan Bok Ang dapat menyelinap
lewat di antara dua serangan yang begitu berbahaya, bahkan
dengan gerakan yang indah. Kalau dia bukan murid perguruan
Hui Yan Bun, mana mungkin dia bisa melakukannya?
Sejak semula Lu Sin Kong sudah curiga bahwa Toan Bok
Ang adalah seorang gadis yang menyamar sebagai laki-laki,
sekarang hatinya semakin yakin.
Sejak berdirinya perguruan Hui Yan Bun, sampai sekarang
ini sejarahnya sudah mencapai seratus tujuh puluh tahun
lebih. Tapi di dalam perguruan itu tidak ada seorang pun
anggota laki-laki. Semuanya perempuan. Lagipula, begitu
masuk menjadi murid perguruan itu, mereka harus bersumpah
berat di depan patung leluhurnya untuk tidak menikah seumur
hidup. Karena itu pula, hampir lima puluh persen dari jagojago
wanita yang muncul di dunia Bulim boleh dibilang hasil
didikan perguruan Hui Yan Bun.
Toan Bok Ang barusan mengerahkan ilmu meringankan
tubuh dari perguruan Hui Yan Bun. Tidak perlu diragukan lagi
bahwa dia pasti perempuan yang menyamar sebagai laki-laki.
Tampak ayunan pecut di tangannya telah berhasil membuat
Seng Cai dan Seng Bou menghindarkan diri. Gerakannya
begitu tergesa-gesa, seakan hendak menerobos keluar lewat
pintu. Tapi baru melesat kurang lebih tiga langkah, dia
berhenti. Pecut di tangannya kembali diayunkan ke arah
lentera ditangan Seng Cai.
Mimik wajah Toan Bok Ang memperlihatkan perasaannya
yang sebal. Pecutnya semakin digetarkan sehingga lentera
Seng Cai terlilit. Terdengar suara Trang!!
Dari suara itu dapat dipastikan bahwa gagang lentera yang
dibawa Seng Cai juga terbuat dari baja yang kuat, hanya

84
warnanya dibuat sedemikian rupa sehingga tnirip dengan
batang kayu.
Tiba-tiba saja Seng Cai meraung semakin keras, bahkan
diiringi suara jeritan menyayat,
"Kemarikan nyawamu! Kemarikan nyawamu!"
Toan Bok Ang gusar sekali. Tangan kanannya menghentak
dengan kuat sehingga tubuh lawan tersentak ke depan. Dalam
waktu yang bersamaan, tangan satunya mengirimkan sebuah
serangan. Sedangkan jarak antara keduanya terhitung sudah
dekat. Maka, begitu disentak oleh Toan Bok Ang, wajah Seng
Cai terjerembab ke depan dan hampir saling beradu dengan
wajahnya sendiri. Cepat-cepat dia menjulurkan tangannya
untuk melancarkan serangan. Tampak di dalam telapaknya
terdapat segenggam senjata rahasia pula.
Saat itu juga, Seng Bou menggeser langkah kakinya
secara diam-diam, tahu-tahu dia sudah di belakang Toan Bok
Ang. Bendera panjangnya dihantamkan dari atas ke bawah.
Jarak antara Toan Bok Ang dan Seng Cai begitu dekat,
maka serangan senjata rahasianya berhasil mencapai sasaran
dengan jitu, bahkan menambahkannya dengan sebuah
pukulan. Seng Cai terkejut setengah mati. Meskipun terkena
serangan lawan, namun lentera di tangannya tetap
dicengkeram erat-erat. Tubuhnya terhuyung-huyung ke
belakang, dengan demikian, tubuh Toan Bok Ang sendiri juga
ikut terseret.
Bendera di tangan Seng Bun melanda datang dalam waktu
yang bersamaan. Cuma, karena majunya langkah kaki Toan
Bok Ang, senjata yang aneh itu hanya berhasil mengait
selendang yang menutupi kepalanya, sehingga rambutnya

85
yang panjang lepas terurai. Ternyata dugaan Lu Sin Kong
tidak keliru, Toan Bok Ang memang seorang gadis yang
menyamar sebagai laki-laki.
Toan Bok Ang melihat senjata rahasia Yan Bwe Piau (Piau
Ekor Walet)nya telah berhasil mengenai dada Seng Cai. Dia
juga menambahkannya dengan sebuah pukulan. Apalagi
pukulan itu tidak ringan, seharusnya orang itu sudah terluka
parah. Tapi dia masih mempunyai tenaga untuk menariknya.
Toan Bok Ang jadi tidak habis mengerti apa sebabnya. Hatinya
sudah merasa adanya gelagat yang kurang beres, namun
rupanya firasat itu datangnya agak terlambat.
Terdengar Seng Cai berteriak dengan nada meratap.
"Kembalikan senjata rahasiamu!"
Dadanya dibusungkan, senjata rahasia yang jelas sudah
menancap di dadanya malah meluncur keluar dengan cepat
dan menyerang balik ke arah hatinya sendiri.
Perubahan ini, bukan saja tidak disangka-sangka oleh
Toan Bok Ang, bahkan Lu Sin Kong dan Sebun lt Nio sendiri
juga merasa di luar dugaan. Mereka tahu, si Setan-Seng Ling
mempunyai beberapa ilmu sesat andalan, misalnya "Ratapan
Setan" yang mengandalkan khikang dalam perut yang
disalurkan melalui suara, atau sejenis ilmu meringankan tubuh
yang dinamakan "Langkah Setan" serta semacam ilmu lagi
yang di sebut "Tubuh Setan".
Ilmu Tubuh Setan itu merupakan sejenis ilmu yang sulit
dipelajari. Caranya menggunakan hawa murni Im yang lembut
untuk melindungi seluruh tubuh. Meskipun senjata tajam
kelihatannya sudah menikam ke dalam, namun karena tubuh

86
orang itu sendiri bisa melesak seperti busa yang empuk, maka
senjata itu tidak akan melukainya.
Ilmu ini hampir mirip dengan Ilmu Melunakkan Tubuh dari
golongan Buddha, cuma caranya saja yang berbeda. Maka
dapat dikatakan sulit sekali dipelajari. Lu Sin Kong dan Sebun
It Nio sudah melihat ilmu "Ratapan Setan" dari sepasang
Setan itu yang biasa-biasa saja, maka mereka tidak
menyangka Seng Cai sudah berhasil menguasai ilmu Tubuh
Setan tersebut.
Dalam keadaan yang genting itu, mereka hanya bisa
melihat senjata rahasia itu melesat kembali ke arah Toan Bok
Ang dengan mata mendelik. Rasanya sudah tidak keburu lagi
memberikan pertolongan apa-apa.
Bagaimanapun Toan Bok Ang merupakan murid perguruan
Hui Yan Bun yang kepandaiannya sudah dapat diandalkan.
Dalam keadaan terdesak, dia meJepaskan pecut di tangannya,
dan tubuhnya segera merunduk bahkan hampir tiarap di atas
tanah lalu bergerak ke samping melewati kaki Seng Cai.
Jurus "Walet tua mencari makan" yang dikerahkannya
bukan hanya indah gerakannya, malah membawa keuntungan
baginya. Tubuhnya meliuk lewat dengan lincah, sedangkan
senjata rahasia yang tadinya memantul kembali kepadanya,
sekarang Telah meluncur ke depan dan menyerang ke arah
Seng Bou.
Sedangkan Toan Bok Ang sendiri, ketika meliuk lewat di
kaki Seng Cai, jari tangannya menjulur ke depan, membalik,
lalu mencengkeram betis orang itu kuat-kuat. Tangannya
menarik keras-keras, sehingga kaki Seng Cai menjadi limbung
dan tubuhnya terjungkal jatuh. Toan Bok Ang menggunakan

87
kesempatan itu untuk berdiri. Tangannya kembali menarik
sebuah kursi lalu dihantamkannya ke arah kepala lawan.
Gadis itu baru saja terlepas dari bahaya. Kedudukannya
dari bertahan berubah menjadi menyerang, bahkan turun
tangannya tidak kepalang tanggung.
-ooo0ooo-
Bab 4
Tanpa sadar Lu Sin Kong dan Sebun It Nio serentak
menyerukan, "Bagus!"
Tampak Seng Bou menggunakan benderanya untuk
melindungi bagian dada sehingga senjata rahasia yang
meluncur ke arahnya menancap di atas bambu itu.
Tepat pada saat itulah, kursi di tangan Toan Bok Ang
sudah hampir menimpa kepala Seng Cai. Tapi lawannya juga
bukan orang biasa. Setelah terjatuh oleh tarikan tangan Toan
Bok Ang, dia langsung menggelinding ke samping. Tubuhnya
menjadi terlentang. Melihat datangnya serangan lawan, dia
mengeluarkan jeritan histeris, lentera di tangannya diangkat
ke atas dan beradu dengan kursi itu. Brakkk!!! Kursi tersebut
patah menjadi dua bagian. Sembari terus menjerit, Seng Cai
langsung saja menyeruduk ke arah Toan Bok Ang.
Kali ini pihak Toan Bok Ang yang mengalami kerugian.
Pandangan matanya terhalang oleh kursi di depannya.
Sehingga dia tidak tahu bahwa lentera di tangan Seng Cai
sudah menghantam ke arahnya.

88
Dalam keadaan panik, dia melemparkan kursi yang sudah
patah itu ke samping. Melihat datangnya serangan lentera itu,
dia langsung mengulurkan tangannya untuk mencengkeram.
Lentera yang digunakan sebagai senjata oleh Seng Cai
memang terbuat dari kertas, tapi tulang kerangka yang
mengelilinginya justru terbuat dari baja putih, sedangkan di
permukaannya sudah di lumuri dengan sejenis racun yang
ganas. Melihat Toan Bok Ang ingin mencengkeram kertas
lenteranya, Seng Cai segera menariknya sedikit, maksudnya
agar tangan gadis itu menyentuh bagian kerangkanya yang
tajam. Dengan demikian, bukan saja telapak tangan Toan Bok
Ang akan terkoyak, bahkan racun yang ada di permukaan
tulang kerangka itu akan dengan cepat menyebar di seluruh
tubuhnya.
Tapi Toan Bok Ang juga bukan anak kemarin sore yang
tidak bisa apa-apa. Melihat gerakan Seng Cai, dia sudah bisa
menebak bahwa kerangka lentera itu pasti mengandung
sesuatu yang membahayakan jiwanya. Gerakan tangannya
langsung berubah, dari mencengkeram sekarang dia malah
menghantam. Seng Cai terpaksa menyurut ke belakang. Toan
Bok Ang juga menggunakan kesempatan itu untuk mundur.
Begitu berdiri tegak, dia melihat pecutnya ada tepat di bawah
kakinya. Ia segera memungut senjata itu lalu digenggamnya.
Ketiga orang itu terlibat pertarungan yang sengit, Dari
awal hingga saat itu baru berlangsung empat lima jurus,
namun berbagai posisi yang membahayakan telah terlihat.
Senjata ketiga orang itu saling beradu. Diam-diam Lu Sin Kong
menarik nafas panjang. Dalam hati mereka berpikir bahwa
memang benar, gelombang di belakang selalu mendorong
ombak yang di depan. Dalam setiap generasi, dari jaman ke
jaman, yang muda selalu lebih unggul dari yang tua.

89
Lihat saja usia Toan Bok Ang dan kedua pemuda itu.
Tampaknya umur mereka belum mencapai dua puluh tahun,
namun kepandaian yang mereka miliki sudah begitu
mengejutkan.
Toan Bok Ang masih berkelit ke sana ke mari menghadapi
keroyokan kedua orang itu. Lama kelamaan hatinya menjadi
kesal juga.
"Kalau kalian masih tidak tahu diri, awas saja! Setelah
urusan di sini selesai, aku akan menuju Pak Bong San kalian
dan meratakannya sehingga menjadi tanah datar!" bentaknya
marah.
Sepasang Setan itu tertawa menyeramkan. Suara tawanya
lebih mirip dengan suara tangisan.
"Kalau urusannya sudah selesai, entah Pak Bong San kami
yang rata menjadi tanah atau perguruan Hui Yan Bunmu yang
akan berubah menjadi sungai darah!" ejek keduanya.
Sepasang alis Toan Bok Ang tampak mengerut,
"Untuk apa kita bersilat lidah, lebih baik kita mengadu
kepandaian saja, bagaimana?" tantang gadis itu.
"Yang menang dapat pusaka, yang kalah ambil langkah
seribu!" sahut Seng Cai dengan nada aneh. "Baik!" teriak Toan
Bok Ang sembari mengayunkan pecut di tangannya sehingga
menimbulkan guratan warna seperti pelangi.
"Bagus!" seru Sepasang Setan itu serentak. Keduanya
menepi untuk menghindari serangan Toan Bok Ang.

90
Baru saja keduanya bermaksud mengirimkan serangan
balasan, tiba-tiba dari kejauhan terdengar suara tertawa
panjang yang disusul dengan seruan,
"Yang menang dapat pusaka, yang kalah mengambil
langkah seribu! Sebaiknya kalian cepat-cepat kabur saja!"
Sesosok bayangan berkelebat lalu mengitari kamar itu.
Meskipun ruangan tersebut cukup besar, namun gerakan
orang yang baru muncul itu menimbulkan getaran yang
demikian kuatnya sehingga dinding kamar itu merekah, dan
tanah yang mereka pijak seakan-akan dilanda gempa.
Melihat kehebatan orang yang datang itu, tidak urung hati
Lu Sin Kong dan Sebun It Nio ikut tergetar juga.
Pada saat itulah, orang itu menghentikan gerakannya lalu
tertawa terbahak-bahak. Suara tawanya begitu keras sehingga
menutupi suara ratapan Sepasang Setan. Dalam waktu yang
bersamaan, Lu Sin Kong dan Sebun It Nio juga berhasil
melihat dengan jelas, orang yang baru datang itu bukan orang
lain, yakni si Ciangbunjin dari Tai Ci Bun yang mendapat
julukan Pang Sian Yu Lao Pun.
Pek Bong San Song Kui juga sudah melihat jelas orang
yang muncul itu. Mereka segera mencelat ke belakang.
Toan Bok Ang sendiri juga menyurut mundur satu depa
lebih.
"Yu Pek Pek (Paman Yu), kenapa kau juga ikut-ikutan
melibatkan diri dalam keramaian ini?" tanyanya.

91
Pang Sian Yu Lao Pun tertawa terbahak-bahak. Ketika
tertawa, lemak di seluruh tubuhnya sampai terguncangguncang.
"A Ang, si Iblis dan Gurumu benar-benar keterlaluan.
Dikiranya mengutus kedua orang ini saja, urusannya sudah
bisa diselesaikan?"
Mata Toan Bok Ang mengerling ke sana ke mari.
"Yu Pek Pek, usir dulu kedua bocah ini, aku masih ada
sedikit urusan yang ingin kubicarakan denganmu," katanya
pula.
Rupanya antara perguruan Tai Ci Bun dan Hui Yan Bun
mempunyai hubungan yang baik. Makanya begitu melihat si
Gemuk, Toan Bok Ang langsung menyapanya dengan sebutan
Paman.
Terdengar Pang Sian berkata,
"Baik!" Pandangan matanya segera beralih kepada
Sepasang Setan sambil membentak, "Kalian anak setan dan
cucu setan, untuk apa kalian berdiri di sini? Masih tidak
bergegas kembali ke Sarang Hantu kalian?"
"Siapa manusia gendut ini?" tanya Seng Cai dengan nada
dingin.
Yu Lao Pun tertawa terbahak-bahak.
"Tuan Gendutmu ini tinggal di Bukit Song Kui Hong
wilayah Tong Thian Bok, jalan tidak pernah ganti marga,
duduk tidak pernah mengubah nama. Sebut saja Yu Lao Pun
di hadapan si Setan Tua. Katakan, bila dia ingin kedua

92
anaknya benar-benar mengenakan pakaian berkabung, silakan
datang mencariku. Sekarang sebaiknya kalian menggelinding
pergi dari sini!"
Setiap patah kata yang diucapkannya mengandung hawa
murni Tai Ci Kang yang dilatihnya sehingga suaranya bergema
di seluruh ruangan dan memekakkan telinga orang yang
mendengarnya.
Menunggu ucapannya selesai, wajah Seng Bou
memperlihatkan mimik menyeramkan. Setelah mengeluarkan
suara tangisan beberapa kali, dia lalu berkata,
"Si Gendut Yu, kau rupanya, apakah kau juga ingin
mencari perselisihan dengan kami?"
Yu Lao Pun tertawa keras.
"Orang lain takut terhadap keturunan setan kalian yang
banyaknya amit-amit, tapi Tuan besarmu ini justru tidak
takut!" katanya.
"Kalau kau tidak takut kepada kami, apakah kau kira kami
takut terhadapmu?" sahut Seng Bou dengan nada aneh.
Yu Lao Pun maju satu langkah.
"Bila kalian masih tidak pergi juga, bola batuku ini akan
menghantam kalian. Sampai saat itu, kalian tidak akan bisa
pulang lagi ke Sarang Hantu dan benar-benar menginjak pintu
neraka!" bentaknya.
Tanpa menimbulkan suara sedikit pun, Seng Cai
mengangkat lenteranya lalu mengirimkan sebuah serangan.

93
"Sungguh seorang bocah yang tidak tahu diri!" bentak si
Dewa Gemuk sembari menggeser pundaknya sedikit. Batu
besarnya dihantamkan ke depan dan tepat mengenai lentera
Seng Cai sehingga benda itu berputar.
Seng Cai menjerit histeris, dan menyurut mundur.
Sementara itu, Seng Bou sudah mengangkat benderanya
untuk menyerang si Dewa Gemuk.
Melihat keadaan ini, Sebun It Nio segera menolehkan
kepalanya lalu berkata kepada Lu Sin Kong dengan suara
rendah.
"Bagaimanapun Sepasang Setan dari Pak Bong San itu
tidak mungkin sanggup menandingi si Dewa Gemuk. Namun si
Gendut juga tidak bisa mengalahkan mereka dalam waktu
yang singkat. Kita gunakan kesempatan ini untuk pergi saja."
Lu Sin Kong menganggukkan kepalanya, lalu tangannya
menghantam ke depan, Brakkk! Dinding kamar jebol sehingga
terlihat lobang yang menganga.
Keduanya segera menyusup keluar lewat lobang itu, tapi
tiba-tiba terdengar Toan Bok Ang berteriak,
"Kalian berdua, tunggu dulu!"
Sebun It Nio menolehkan kepalanya. Tampak Toan Bok
Ang sudah menyusul dengan mengayunkan pecutnya. Sebun
It Nio tertawa dingin. Begitu gadis itu sudah dekat sekali
dengannya, dia baru merundukkan tubuhnya sambil
menjulurkan tangannya. Tahu-tahu jalan darah Toan Bok Ang
sudah tertotok. Kecepatan gerakannya dan kejituannya dalam
mengenali jalan darah benar-benar pantas disebut tokoh
nomor satu.

94
Begitu tertotok, tubuh Toan Bok Ang menjadi kaku
seketika, dan tidak dapat bergerak sama sekali. Sebun It Nio
berkata dengan nada dingin,
"Bocah ingusan, sebaiknya kau pulang saja dan
mengurung diri di rumah, biar kali ini aku mengampuni
selembar nyawamu!"
Selesai bicara, bersama-sama dengan Lu Sin Kong, dia
melesat keluar dari penginapan tersebut.
"Kotak itu memang kosong, tapi balik semua ini pasti
terselip rahasia yang besar sekali. Kalau tidak, mana mungkin
perhatian si Setan Tua dari Pak Bong San, si Dewa Gemuk
bahkan si Nenek dari Hui Yan Bun itu bisa ikut tertarik?" kata
Sebun It Nio.
"Asal kita bisa secepatnya sampai di Su Cou, semua
urusan ini tentu akan menjadi jelas," sahut Lu Sin Kong.
Sembari berbicara, kedua orang itu tidak menghentikan
langkah kakinya, maka dalam sekejap mata mereka kembali
menempuh perjalanan sejauh tiga empat li. Saat itu matahari
tepat di atas kepala. Kedua orang itu tetap memilih jalan kecil.
Jalan itu sepi sekali, maka mereka tidak bertemu dengan siapa
pun.
Mendadak di sebelah depan tampak dua ekor kuda yang
gagah sekali sedang memakan rumput.
Ketika melihat kedua ekor kuda itu, Lu Sin Kong dan
Sebun It Nio sama-sama tertegun.
"Eh, bukankah itu kuda tunggang kita?" kata mereka
serentak.

95
Di saat berbicara, jarak mereka semakin dekat.
Sekonyong-konyong dari balik ilalang yang tinggi mencelat
keluar tiga orang manusia berpakaian hitam. Mereka bukan
lain daripada tiga laki-laki kurus yang mereka temui sore
kemarinnya, yakni Thai San Sam Sia (Tiga sesat dari gunung
Thai San).
Tiga orang itu berbaris sejajar. Salah seorang diantaranya
berseru dengan nada keras,
"Lu Cong Piau Tau, suhu kami mengundang kalian
berkunjung ke Lembah Ban Li Kok (Lembah Selaksa Duri) di
gunung Thay San. Kami diutus untuk menyambut di sini.
Harap kalian tidak menolak sehingga tugas kami dapat
dilaksanakan dengan baik."
"Selama ini kami tidak pernah berhubungan dengan guru
kalian. Lagipula sesat dan lurus selamanya tidak dapat
berdampingan. Ada apa dia menyuruh kami mengunjungi
tempat tinggalnya?" tanya Sebun It Nio dengan nada dingin.
"Mengenai alasannya, kami tidak tahu. Kami hanya
mendapat perintah dari suhu untuk mengajak kalian ke
Lembah Ban Li Kok."
Selama beberapa hari itu kemarahan dalam hati Lu Sin
Kong sudah ditahan-tahan, entah bagaimana harus
melampiaskannya. Maka mendengar undangan yang tidak
jelas itu, hatinya bertambah gusar.
Cringg!! Goloknya langsung dihunus, kakinya ditekuk
sedikit. Jenggot di bawah dagunya melambai-lambai,
tampangnya berwibawa sekali. Dengan suara berat dia
membentak,

96
"Majulah!"
Tangan ketiga lawannya meraba bagian pinggang.
Ternyata mereka mengeluarkan sebuah senjata yang
bentuknya aneh. Dibilang golok, rasanya bukan, tapi ada
sedikit mirip. Senjata ini merupakan ciptaan guru mereka
sendiri. Senjatanya hanya satu, tapi kegunaannya bisa tiga
macam.
Melihat Thai San Sam Sia sudah mengeluarkan senjatanya,
Lu Sin Kong berkata kepada Sebun It Nio,
"Hujin, kau tidak perlu membantuku. Aku ingin tahu
apakah tulang tuaku ini masih berguna atau tidak untuk
membalaskan dendam bagi Leng Ji!"
Selesai bicara, tubuhnya melesat ke depan, dan goloknya
diputar. Dalam satu kali gerak dia menyerang ketiga lawannya
sekaligus. Thai San Sam Sia segera mengangkat senjata
masing-masing untuk menangkis. Senjata-senjata itu beradu,
Cring, Trang, Tring!!! Dalam waktu yang bersamaan,
terdengar Thai San Sam Sia menjerit histeris. Mereka
terhuyung-huyung sampai tujuh delapan langkah, setelah itu
baru sanggup berdiri tegak kembali.
Perlu diketahui bahwa ketiga manusia dari Thai San ini
adalah murid-murid kebanggaan Hek Sin Kun. Kepandaian
mereka tidak kalah dibandingkan Sepasang Setan dari Pak
Bong San, namun dalam satu jurus saja Lu Sin Kong dapat
membuat mereka terdesak mundur.
Hati Lu Sin Kong diliputi perasaan bangga. Sembari
mengelus jenggotnya, ia tertawa panjang.
"Bagaimana? Ingin coba lagi?" tantangnya.

97
Ketiga manusia sesat dari Thai San itu menggenggam
senjata mereka erat-erat, karena itu senjata mereka tidak
sampai terlepas dari tangan. Namun telapak tangan masingmasing
sudah mengucurkan darah saking kerasnya getaran
golok Lu Sin Kong. Mana mungkin mereka berani maju lagi.
Setelah saling pandang sekilas dengan rekan-rekannya, salah
satu di antaranya berkata,
"Lu Cong Piau Tau tidak sudi memberi muka kepada kami,
harap hati-hati saja di jalan!"
Lu Sin Kong tertawa terbahak-bahak.
"Akan kubuat kalian bertiga menjadi perkedel!" bentaknya.
Sembari berbicara, kakinya maju ke depan dua langkah.
Ketiga manusia sesat itu terkejut setengah mati. Mereka
segera mencelat ke belakang. Sekali lagi Lu Sin Kong tertawa
terbahak-bahak.
"Kalau aku membunuh kalian sekarang, orang-orang di
dunia Kang-ouw pasti menganggap aku takut terhadap Hek
Sin Kun karena tidak memberi kesempatan kepada kalian
untuk melaporkan kejadian ini. Cepat menggelinding!"
Mimik wajah Thai San Sam Sia menunjukkan kemarahan,
namun mereka tidak berani mengambil tindakan apa-apa.
Ketiganya segera menghambur ke depan sejauh tujuh delapan
depa, baru kemudian salah satunya menoleh dan berkata,
"Manusia she Lu, sampai jumpa lagi!"
Sebun It Nio tertawa panjang.

98
"Eh, kalian lupa masih ada aku?" teriaknya sembari
menimpukkan tiga batang senjata rahasianya ke depan.
Belum sempat timbul pikiran ketiga orang itu untuk
menghindar, tahu-tahu sebelah wajah terasa sakit sekali.
Ternyata tiga batang senjata rahasia itu telah memutuskan
telinga kiri mereka.
Saat itu, jarak antara Thai San Sam Sia dengan Sebun It
Nio kurang lebih delapan depaan. Namun senjata rahasia itu
meluncur dengan cepat, sasarannya juga tepat sekali. Ilmu
senjata rahasia perempuan tua itu memang sulit dicari
tandingannya.
Thai San Sam Sia mengulurkan tangan mereka untuk
meraba. Ketika melihat telapak tangan mereka penuh dengan
darah, ketiganya tidak berani menunda waktu lagi, segera lari
terbirit-birit.
Lu Sin Kong dan Sebun It Nio yang telah mendapatkan
kembali kuda tunggangan mereka. Keduanya segera mencelat
ke atas punggung binatang itu lalu melarikannya ke depan.
Kedua suami istri itu telah berhasil mengusir tiga manusia
sesat dari Thai San itu. Namun mereka sadar, sejak hari itu
mereka juga melibatkan diri dalam perselisihan dengan Hek
Sin Kun. Namun, mengandalkan kepandaian mereka, belum
lagi dukungan dari perguruan Go Bi Pai dan Tiam Cong Pai,
walaupun kepandaian Hek Sin Kun sangat tinggi, keduanya
juga tidak menaruh dalam hati.
Hari itu, mereka melanjutkan perjalanan sampai malam.
Dalam perjalanan mereka tidak menemui kejadian apa-apa.
Memang mereka tidak berminat untuk mencari gara-gara.

99
Maka, mereka memutuskan untuk tidak menginap di rumah
penginapan tapi bermalam di alam terbuka di pegunungan.
Kira-kira tengah malam, terdengarlah suara ringkikan kuda
yang keras. Keduanya segera tersentak bangun. Tampak ada
dua orang yang menarik kuda mereka. Namun kuda-kuda Lu
Sin Kong dan Sebun It Nio bukanlah kuda biasa. Binatangbinatang
itu sudah terlatih sehingga mengenal baik
majikannya. Mereka tidak sudi ditarik oleh orang asing
sehingga antara manusia dan binatang saling berkutet. Kudakuda
itu mendongakkan kepalanya dan meringkik keras
sehingga membangunkan kedua majikannya.
Melihat ada orang berani menyelinap di tengah malam
untuk mencuri kuda-kudanya, hati Lu Sin Kong dan Sebun It
Nio menjadi gusar. Baru saja keduanya bermaksud mencelat
bangun, sekonyongkonyong di dalam kegelapan tampak
sesosok bayangan berkelebat. Gerakan orang itu gesit sekali,
tahu-tahu dia sudah sampai di belakang kedua pencuri kuda
itu. Tangannya menjulur untuk mencengkeram bagian leher
baju mereka lalu mengangkat tubuh keduanya tinggi-tinggi.
Mulutnya mengeluarkan suara siulan panjang, lalu terdengar
ia membentak.
"Kenapa anak murid si Setan bisa jadi orang yang begini
tidak ada gunanya? Bukannya mencari pekerjaan yang baik
malah menjadi pencuri kuda, benar-benar menggelikan!"
Sembari menenteng tubuh kedua orang itu, dia berjalan
menghampiri Lu Sin Kong dan Sebun It Nio. Jarak di antara
mereka kurang lebih tujuh delapan depa. Maka, begitu
melesat dia langsung sampai, seakan kakinya tidak menginjak
namun melayang di atas permukaan air.

100
Melihat gerak-gerik orang itu, mereka segera sadar bahwa
yang muncul kali ini pasti seorang tokoh berkepandaian tinggi.
Mereka tidak berani ayal, keduanya segera melonjak bangun.
Dalam waktu bersamaan, orang itu juga sudah sampai di
hadapan mereka.
Keduanya segera mendongakkan kepala. Tampak kepala
orang itu ditutupi sehelai cadar Hitam sehingga raut wajahnya,
tidak kelihatan.
Tapi wajah kedua orang yang ditentengnya justru
kelihatan jelas sekali. Keduanya berdandan seperti setan
gentayangan dari neraka. Satunya berdandan sebagai Setan
Putih dan seorang lagi berdandan sebagai Setan Hitam.
Di bawah didikan si Setan-Seng Ling, kecuali kedua
puteranya sendiri yang berdandan sebagai anak yang sedang
berkabung, masih ada delapan murid lainnya yang berdandan
aneh. Dua di antaranya selalu mengenakan topeng kepala
kerbau dan kuda, dan di antaranya berdandan seperti algojo
dunia akhirat, dua lagi berdandan seperti Setan Tuyul, sisanya
yakni kedua orang itu. Dalam dunia kang ouw mereka
mendapat sebutan Im Se Pat Kui (Delapan Setan dari Dunia
Akhirat).
Sedangkan kedua orang itu sudah pasti si Setan Putih dan
si Setan Hitam. Kepandaian kedua orang itu juga tidak di
bawah Sepasang Setan dari Pak Bong San. Namun ternyata
dengan mudah orang yang baru muncul itu dapat menenten
keduanya tanpa mendapat perlawanan sedikit pun. Hal itu
membuktikan bahwa kepandaian orang yang baru muncul itu
sudah mencapai tingkat yang demikian tingginya.
Lu Sin Kong tertawa lantang,

101
"Terima kasih, atas budi Tuan yang telah menangkap
maling-maling kuda!" katanya.
Orang itu ikut tertawa
"Kedua orang ini bermaksud melukai kuda kalian, Dengan
demikian bila esok hari kalian meneruskan perjalanan, tentu
akan menemui kesulitan, mereka akan menggunakan
kesempatan ini untuk membokong. Walaupun pastinya kalian
tidak merasa takut, tapi perbuatan mereka ini benar-benar
menyebalkan bagaimana pendapat kalian?"
"Apa yang dikatakan Sahabat memang benar, kedua orang
ini patut mendapat hukuman" sahut Lu Sin Kong.
"Tangan orang itu merenggang, kemudian terdengar suara
plok! Plok! Sebanyak dua kali. Si Setan Putih dan si Setan
Hitam langsung terkulai di atas tanah, ketika mengendorkan
cekalannya, tangan orang itu sempat menekan di jalan darah
Thian Kui Hiat di tubuh ke dua setan.
Kalau menilik kepandaian yang dimiliki orang bercadar
hitam itu, dapat dipastikan bahwa si Setan Putih dan si Setan
Hitam sudah terluka parah. Meskipun tidak sampai mati,
namun mulai saat itu mereka tentu tidak dapat malang
melintang di dunia kang ouw untuk melakukan kejahatan lagi.
Sebun It Nio tertawa.
"Menyenangkan! Menyenangkan! Terhadap manusia jahat
seperti mereka, kita tidak boleh bersikap ragu-ragu!" pujinya.
"Lu Hujin begitu benci terhadap kejahatan, jiwa yang
demikian gagah sudah sulit ditemukan pada jaman ini," kata
orang itu.

102
Sejak kemunculannya, orang itu sudah memamerkan
kepandaiannya yang hebat. Sayangnya wajahnya ditutupi
cadar hitam, dan pakaiannya pun biasa-biasa saja, tidak ada
ciri-ciri yang istimewa, sehingga membuat orang sulit menerka
siapa sebetulnya orang itu.
"Kalau bukan Tuan yang kepandaiannya begitu tinggi,
tentu tidak mudah melaksanakan hukuman kepada kedua
orang ini" sahut Lu Sin Kong.
Pada saat itu, si Setan Putih dan si Setan Hitam sedang
berusaha meronta untuk bangkit. Orang itu membentak
dengan suara keras,
"Kalian masih tidak cepat-cepat menyembah dihadapan Lu
Cong Piau Tau dan Lu Hujin untuk meminta maaf?"
Sebagai anak murid Kui Sen, kedudukan mereka cukup
tinggi di dunia kang ouw, dan nama mereka juga sangat
terkenal. Kali ini mereka menderita kekalahan dengan tragis.
Tanpa hujan tanpa angin tahu-tahu sudah terluka parah.
Setelah termenung sesaat, Sang Pak si setan putih bertanya,
"Kami sudah kenal dengan Lu Cong Piau Tau dan istrinya.
Bolehkah kami mengetahui nama besar Tuan?"
Orang itu tertawa.
"Setelah mengetahui namaku, kalian bisa pulang untuk
memberikan laporan kepada Kui Sen, bukan? Namaku tidak
terkenal, jauh sekali bila dibandingkan dengan Lu Cong Piau
Tau dan istrinya. Tapi bila kalian kembali ke Pak Bong San dan
menceritakan secara terperinci bagaimana kalian dirubuhkan,
mungkin Kui Sen sendiri akan teringat siapa aku ini. Cepat
minta maaf!"

103
Si Setan Putih dan Setan Hitam menjadi kewalahan.
Mereka tidak berdaya. Terpaksa keduanya menyembah di
depan Lu Sin Kong dan Sebun It Nio untuk minta maaf, lalu
meninggalkan tempat itu dengan langkah terseret-seret.
Sebun It Nio berdiri di sampingnya. Melihat orang itu tidak
bersedia menyebutkan identitasnya, maka dia tahu andaikata
ditanyakannya pun percuma. Sebaiknya langsung pada duduk
persoalannya saja.
"Tuan mengunjungi kami pada tengah malam seperti ini
tentunya ada keperluan yang penting sekali. Silakan utarakan
saja!" katanya
Orang itu mengulapkan sepasang tangannya seakan-akan
ada debu. Kemudian dia baru berkata,
"Tujuan kalian kali ini apakah hendak ke Su Cou?"
"Betul" sahut Lu Sin Kong.
"Keluarga si Pecut Emas-Han Sun sedang dilanda musibah,
maka kepergian Anda berdua kali ini mungkin akan
menimbulkan salah paham... cayhe sendiri mempunyai sebuah
permintaan yang kurang pantas, harap Anda berdua sudi
mengabulkan!" kata orang misterius itu
Lu Sin Kong lalu bertanya,
"Entah apa permintaan Tuan?"
"Kepergian kalian kali ini pasti atas permintaan orang lain
untuk mengantarkan sebuah barang. Bolehkah Cayhe melihat
apa sebetulnya barang itu?"

104
Melihat orang itu berbicara putar ke sana ke mari,
akhirnya tujuannya ternyata kotak yang mereka bawa juga,
hati Lu Sin Kong menjadi mendongkol. Maka, sembari tertawa
dingin dia menyahut,
"Permintaan Tuan ini sulit kami kabulkan."
Orang itu menarik nafas panjang.
"Cayhe sudah menduga bahwa Lu Cong Piau Tau pasti
tidak bersedia. Tapi Cayhe bersedia menggunakan seseorang
untuk menukar kotak itu. Entah Lu Cong Piau Tau bersedia
mengabulkan atau tidak?" tanya orang itu.
Lu Sin Kong tertawa dingin.
"Siapa sebetulnya Tuan ini? Untuk apa bicara yang bukanbukan?"
sahutnya.
Tapi hati Sebun It Nio langsung tergerak mendengar
ucapan orang itu, maka dia segera menyelak. "Entah siapa
orangnya yang akan Tuan gunakan untuk ditukarkan dengan
kotak ini?"
"Kalian berdua tentunya...."
Belum lagi ucapannya selesai, tiba-tiba dari kejauhan
terdengar suara siulan sebanyak tiga kali.
Ketiga kali suara siulan. itu berbunyi di tengah keheningan
malam sehingga memekakkan telinga orang yang
mendengarnya.
Orang itu berkelebat, sekonyong-konyong dia mencelat
mundur sejauh satu depa lebih sembari berseru,

105
"Rekan Cayhe sudah memanggil, pasti ada keperluan yang
penting sekali. Terpaksa Cayhe mohon diri dulu!"
Sebun It Nio segera mencelat ke depan. "Sahabat,
selesaikan dulu kata-kata!" teriaknya. Tapi ketika dia
berbicara, orang itu sudah menghambur sejauh empat
depaan. Sebun It Nio berusaha untuk mengejar, tapi orang itu
menjulurkan tangannya untuk mengirimkan sebuah pukulan.
Sebun It Nio juga meluncurkan tangannya untuk menyambut.
Plak!! Kedua tangan beradu. Sebun It Nio dapat merasa
tenaga dalam orang itu kuat sekali. Lagipula, dengan cerdik
orang itu menggunakan tenaga pantulannya untuk mencelat
semakin jauh. Sekejap saja dia sudah menghilang dalam
kegelapan malam.
Sebun It Nio tertegun sesaat, baru kemudian menoleh
kepada suaminya dan bertanya,
"Apakah kau mendengar jelas dari mana suara siulan
tadi?"
"Rasanya dari sebelah barat laut," sahut Lu Sin Kong.
"Ayo kita kejar!" ajak Sebun It Nio.
Lu Sin Kong merasa heran.
"Orang toh sudah pergi, untuk apa kita mengejarnya?"
Ketika dia berbicara, Sebun It Nio sudah melesat ke
depan. Terpaksa Lu Sin Kong mengikuti di belakangnya.
Gerakan kedua orang itu cepat sekali. Dalam sekejap mata
saja mereka sudah mengitari sebuah bukit.

106
Keduanya segera mendaki ke atas, lalu mengedarkan
pandangannya ke bawah. Tampak di bagian kaki bukit
terdapat hamparan luas berwarna hitam pekat, entah padang
rumput atau hutan. Tidak terlihat bayangan seorang pun.
Keduanya mempertajam pandangan. Kecuali hamparan yang
gelap itu, di sebelah kanan terdapat sebuah jalan kecil, selain
itu tidak ada apa-apa lagi.
Sebun It Nio menujuk ke arah jalan kecil itu.
"Kita menelusuri jalan itu saja!" katanya.
Lu Sin Kong masih tidak mengerti apa maksud istrinya
bersikeras mengikuti jejak orang tadi. Maka, dia bertanya,
"Hujin, untuk apa kita mengejar orang itu?"
"Pokoknya kita kejar saja, kalau sudah berhasil tentu ada
alasannya. Kenapa kau begitu cerewet?" bentak Sebun It Nio.
Dari nada istrinya, Lu Sin Kong tahu urusan ini pasti
penting sekali. Dia juga sadar bahwa kecerdasan sang istri
masih di atas dirinya sendiri, maka dia tidak berani banyak
bertanya lagi. Keduanya segera menuruni bukit dan berlari
melalui jalan kecil yang dilihatnya tadi.
Begitu dekat, keduanya terkejut setengah mati. Rupanya
hamparan luas yang tampak di atas bukit merupakan tanah
kosong yang penuh dengin duri, yang panjangnya mencapai
setengah cun. Duri-duri itu tajam-tajam. Jangankan orang,
binatang saja sulit melaluinya. Terlihat jalan kecil yang
lebarnya hanya beberapa ciok, maka seandainya mereka
berhasil melaluinya, setidak-tidaknya celana dan pakaian
mereka pasti akan terkoyak oleh duri-duri yang tajam itu.

107
Sebun It Nio sempat bimbang sejenak.
"Tempat ini sesuai sekali untuk orang yang berlatih ilmu
meringankan tubuh," katanya. Dia menghimpun hawa
murninya lalu melompat ke seberang.
Tanah kosong itu ditumbuhi tanaman berduri tajam. Bukan
hanya batangnya saja, bahkan rantingnya juga runcingruncing.
Aneh sekali, seumur hidup Sebun It Nio belum pernah
melihat tanaman seperti itu. Untung saja Ilmu Ginkangnya
sudah mencapai taraf yang tinggi sekali, maka dia berhasil
melaluinya tanpa terluka sedikit pun.
Melihat istrinya sudah melompat ke seberang, Lu Sin Kong
segera mengikuti dari belakang. Baru saja Sebun It Nio
menginjakkan kakinya di atas tanah, dari depan terlihat
puluhan titik sinar berkilauan meluncur datang. Dia terkejut
setengah mati. Tubuhnya mencelat ke samping sembari
berseru,
"Sin Kong, hati-hati!"
Lu Sin Kong juga sudah berhasil melihat datangnya
bokongan senjata rahasia itu. Dalam, keadaan genting,
terpaksa dia melompat ke samping. Meskipun akhirnya dia
berhasil menghindar dari senjata rahasia itu, namun hampir
sebagian pakaiannya koyak di sana sini karena kaitan duri
tanaman yang tajam.
Setelah berhasil berdiri tegak, Lu Sin Kong tertawa
terbahak-bahak. Suara tawanya mengandung kemarahan.
Golok di tangannya langsung membacok ke belakang sebuah
batu besar.

108
Terdengar suara jeritan menyayat. Lu Sin Kong
menghambur ke depan lalu menarik tubuh orang itu. Tampak
bagian kepalanya penuh berlumuran darah. Lu Sin Kong tidak
menyangka pihak lawan yang membokong mereka ternyata
begitu tidak berguna. Sekali bacok saja langsung kena
sasaran.
Dia memperhatikan wajah orang itu sekilas, rasanya belum
pernah mengenal orang ini. Kemungkinan salah satu bandit
yang ingin merampas kotak yang mereka bawa. Secara
serampangan ia melemparkan tubuh orang itu di atas tanah.
Tiba-tiba dia melihat disamping tubuh orang itu terjatuh
sesuatu benda.
Dia segera maju selangkah, lalu dipungutnya benda itu.
Setelah dilihatnya sekilas, tanpa terasa dia menjadi tertegun.
Rupanya benda yang dipungutnya itu berupa sebuah lencana
yang di atasnya tertulis "Te Hio Hiocu Oey" (Orang bermarga
Oey yang menjabat sebagai Hiocu di ruangan Te Hio). Di
baliknya lencana itu, tampak gambar kobaran api.
Ternyata lencana itu merupakan lambang kedua belas
Tongcu dari Hoa San Pai, sedangkan orang yang mati kena
bacokannya pasti Tongcu dari ruangan Te Hio Tong. Apakah
orang-orang dari Hoa San Pai juga ikut-ikutan mengincar
mereka?
Lu Sin Kong melemparkan lencana itu ke atas. Goloknya
menyabet dalam waktu yang bersamaan, Trang!! Lencana itu
terpental sampai jauh. Orangnya sendiri meneruskan langkah
kakinya ke depan. Daratan penuh tanaman berduri sudah
dilewatinya. Di kejauhan tampak sebuah sungai kecil dengan
airnya yang beriak-riak.

109
Tapi, anehnya Sebun It Nio justru menghilang cntah ke
mana. Diam-diam Lu Sin Kong berpikir dalam hati. Tidak
disangka-sangka orang-orang dari Hoa San Pai juga muncul di
sini. Apakah orang yang mengenakan cadar hitam tadi
merupakan Ciangbunjin mereka yakni Liat Hwe Cousu?
Tapi setelah direnungkan beberapa lama, rasanya tidak
mirip. Liat Hwe Cousu adalah orang Tibet. Rambutnya merah,
bentuk tubuhnya tinggi besar. Kalau muncul di dunia
persilatan, lagaknya banyak, dan pasti diiringi beberapa
pengawal. Lu Sin Kong yakin orang yang dikejar istrinya bukan
Liat Hwe Cousu. Lawan yang tidak diketahui identitasnya pasti
semakin sulit dihadapi. Jangan-jangan istrinya yang sendirian
akan menderita kerugian.
Baru saja dia bermaksud mengejar ke depan, tiba-tiba dari
seberang sungai terdengar suara Ahhh!! Lu Sin Kong
mengenali suara itu adalah suara jeritan istrinya. Maka,
dengan cemas dia memanggil,
"It Nio, di mana kau?"
Tampak sesosok bayangan berkelebat di seberang, tahutahu
tampak Sebun It Nio berdiri sambil berseru kepadanya.
"Coba kau lihat apa ini?"
Melihat istrinya dalam keadaan selamat, hati Lu Sin Kong
pun terasa lega. Dia segera melompat ke seberang lalu
mendarat di samping Sebun It Nio. Pandangannya mengikuti
arah yang ditunjuk sang istri.
Di tengah-tengah batang pohon Siong tampak sesuatu
yang berkilauan cahayanya. Benda itu seperti golok namun
agak pendek sedikit.

110
"Ah, itu kan golok Leng Ji!" seru Lu Sin Kong dengan suara
tercekat, dan tanpa sadar dia langsung berteriak, "Leng Ji!
Leng Ji! Di mana kau?"
Sebun It Nio langsung mendengus dingin.
"Goloknya memang di sini! Kau kira orangnya ada di sini
juga?" sindirnya.
Hati Lu Sin Kong langsung tertekan.
"Betul. Aku lupa Leng Ji sudah mati," katanya dengan
nada pilu.
Keduanya terdiam. Selama beberapa hari ini, baru kali ini
mereka mengungkit nama sang anak yang membuat hati
mereka terasa pedih.
Setelah beberapa lama, terdengar Sebun It Nio membuka
suara, "Kenapa pahamu?"
Lu Sin Kong tahu, istrinya sengaja mengalihkan bahan
pembicaraan. Kejadian yang menimpa Lu Leng merupakan
pukulan terberat yang pernah mereka derita seumur hidup.
Walaupun tenaga dalam keduanya sudah mencapai taraf
sangat tinggi, namun orangtua yang kehilangan anaknya pasti
sangat sakit hatinya. Kalau dibiarkan berlarut-larut, mereka
malah bisa terluka di bagian dalam.
Maka Lu Sin Kong tidak ingin mengungkit kejadian itu lagi.
"Ketika menghindari bokongan senjata rahasia lawan,
pahaku tertusuk duri. Tapi yang luka hanya kulit luarnya saja,
tidak apa-apa," sahutnya.

111
"Senjata rahasia yang digunakan orang itu mirip dengan
senjata rahasia dari Hoa San Pai," kata Sebun lt Nio.
"Memang betul. Orang yang mati dibawah golokku itu
ternyata Tong Cu dari Te Hio Tong yang bermarga Oey."
Sebun it Nio menganggukkan kepalanya.
"Tidak salah. Orang itu bernama Oey Han. Aneh, kenapa
ilmunya begitu rendah? Hm.... Sekarang muncul pula orang
Hoa San Pai yang mengincar kita."
-ooo0ooo-
Bab 5
Sebetulnya dalam hati kedua suami istri itu ingin sekali
melompat ke atas pohon untuk mengambil goloknya Lu Leng,
namun mereka khawatir benda itu akan membangkitkan
kenangan mereka kepada sang anak, maka sampai sekian
lama keduanya tidak mempunyai keberanian untuk
mencabutnya. Bahkan mereka membicarakan urusan yang
tidak penting.
Sebun It Nio tertawa terkekeh-kekeh.
"Tampaknya baik dari golongan sesat maupun lurus
semuanya mengincar kita. Sekarang sudah kepalang
tanggung, sebaiknya kita tidak usah mengantarkan kotak ini
ke Su Cou, biar kita tunggu mereka di sini saja. Kita suruh
mereka mengadu kepandaian, siapa yang menang akan
mendapatkan kotak ini. Rasanya, biarpun hubungan Hui Yan
Bun dan Tai Ci Bun sangat baik, tapi untuk mendapatkan
kotak ini mereka juga akan saling membunuh," katanya.

112
Lu Sin Kong tidak menjawab. Sampai lama dia merenung,
akhirnya ia berkata dengan nada bergetar,
"Hujin, bagai... mana kalau kita am... bil saja golok itu?"
"Kau saja yang ambil!" sahut Sebun It Nio dengan nada
sedatar mungkin.
Sebetulnya hati kedua suami istri terasa pedih sekali,
namun mereka sudah hidup bersama selama puluhan tahun,
siapa pun tidak ingin seorang yang lainnya menderita. Kasih
sayang antara mereka yang dalam membuat mereka saling
menjaga perasaan masing-masing.
Lu Sin Kong mengeraskan hatinya. Dia melompat naik ke
atas pohon Siong itu, tampak golok anaknya tertancap pada
batang antara dahan dan ranting, di bawahnya terselip
selembar kertas. Diam-diam Lu Sin Kong merasa heran.
Dicabutnya golok itu, sekaligus tangan satunya meraih kertas
tersebut. Setelah itu dia baru mencelat turun.
"Hujin, di bawah golok ada selembar kertas." katanya.
Sebun It Nio mengambil kertas itu dari tangan suaminya
lalu diperhatikan beberapa saat. Tapi di atas kertas itu hanya
ada lingkaran-lingkaran berwarna hitam, tidak terlihat tulisan
satu huruf pun.
Walaupun bentuk lingkaran itu ada yang besar dan ada
yang kecil, namun perbedaannya tidak banyak. Lagipula
barisannya rapi sekali. Hal ini membuktikan bahwa tadinya di
sana terdapat tulisan yang berderet, tapi kemudian ditutupi
oleh seseorang dengan lingkaran-lingkaran dari tinta hitam.

113
Sebun it Nio membalikkan kertas itu, di belakangnya
hanya hamparan putih tanpa tulisan apa-apa.
Kembali kedua orang itu tertegun untuk sekian lamanya.
Kertas itu tidak berbeda dengan serentetan kejadian lainnya,
tetap merupakan misteri.
Lu Sin Kong memutar-mutar golok di tangannya, di
benaknya kembali timbul bayangan Lu Leng yang lincah saat
berlatih dengan golok itu. Tanpa terasa matanya mulai
membasah, kemudian air matanya mengalir setetes demi
setetes di pipinya yang mulai keriput.
Di saat hatinya semakin pilu, telinganya mendengar Sebun
It Nio menegur,
"Sin Kong, kita harus melanjutkan perjalanan kembali."
Lu Sin Kong mengiyakan dengan suara deheman.
Kemudian ia mendongakkan kepalanya. Tampak sang istri
melipat kertas itu dengan rapi lalu dimasukkannya ke dalam
saku dengan hati-hati. Dia juga menyelipkan golok Lu Leng di
pinggangnya.
Sebun It Nio tertawa getir.
"Lihat saja pakaianmu, koyaknya sampai tidak karuan.
Sesampainya di kota depan sana, sebaiknya beli lagi satu stel
untuk salinan."
Lu Sin Kong memaksakan dirinya untuk tertawa. "Hujin,
apakah kau berhasil mengejar orang tadi?"
"Tidak," sahut Sebun It Nio.

114
"Untuk apa sebetulnya kau mengejar orang itu?" tanya Lu
Sin Kong pula.
"Memangnya kau tidak mendengar dia mengatakan bahwa
akan menggunakan seseorang untuk menukar kotak itu?"
"Iya, tapi apa hubungannya?"
"Dia sudah tahu bahwa kita tidak bersedia memberikan
kotak itu, tapi dia justru mengajukan usul demikian.
Seandainya orang yang ia maksudkan tidak penting artinya
bagi kita, mungkinkah dia mengajukannya sebagai imbalan?"
Bagian 03
Lu Sin Kong tambah heran.
"Memangnya masih ada siapa lagi di dunia ini yang berarti
bagi kita? Yang tua sudah lama mati, yang kecil...." Berkata
sampai di sini, ia tidak sanggup melanjutkannya lagi.
"Itu dia. Makanya aku ingin mengejarnya sampai dapat
agar dapat menanyakannya sejelas mungkin. Sayangnya
gerakan orang itu terlalu cepat. Tahu-tahu di sini kita
menemukan golok itu."
Walaupun ucapan Sebun It Nio hanya samarsamar, namun
Lu Sin Kong langsung memahami maksud istrinya. Orang tadi
mengatakan akan menggunakan "seseorang" untuk ditukar
dengan kotak yang dibawanya. Kemungkinan "seseorang"
yang dimaksud itu anak mereka, Lu Leng.

115
Tapi Lu Sin Kong sendiri tidak berani memberikan
komentar apa-apa. Hatinya semakin pedih melihat keadaan
istrinya. Sebab, tubuh Lu Leng sudah muncul di gudang
penyimpanan hartanya, mana mungkin orang itu bisa
menggunakannya untuk ditukarkan dengan kotak ini? Dia
hanya dapat menghibur istrinya dengan berkata,
"Hujin, tujuan orang itu tidak lain dari kotak ini juga.
Sesampainya kita di Su Cou, pasti dia akan mencari kita lagi."
"Betul. Gerakan orang ini cepat sekali. Bahkan ilmu
meringankan tubuh si Setan yang terkenal yakni Kui Heng
Kong masih belum sanggup menandinginya. Sayangnya wajah
orang itu ditutup dengan cadar hitam sehingga kita tidak tahu
siapa dia," kata Sebun lt Nio.
"Ini memang aneh, aku juga tidak terpikir kira-kira siapa
orang itu."
Kedua orang itu berunding sebentar. Matahari sudah
hampir menyingsing, mereka tidak mencari kuda tunggangan,
malah meneruskan perjalanan ke depan.
Sepanjang hari itu mereka tidak menemui kejadian apaapa.
Malam harinya mereka menginap di kota Kuang Tek
Ceng, juga tidak terjadi apa-apa. Keesokan harinya mereka
sudah sampai di wilayah Se Kiang. Kalau dihitung-hitung, satu
hari lagi mereka akan mencapai kota Su Cou.
Mereka merundingkan apa yang akan mereka lakukan
setelah sampai di Su Cou dan menyerahkan kotak itu kepada
si Pecut Emas-Han Sun.
Seandainya si Pecut Emas bersedia memberitahukan
rahasia yang ada pada kotak, tentulah merupakan hal yang

116
terbaik. Tapi bila dia juga tidak bersedia mengatakannya, ya
sudah.
Mereka lalu merencanakan untuk menyamar supaya tidak
ada yang mengenali. Hari itu, karena ingin secepatnya sampai
di wilayah Su Cou, mereka memilih jalan pegunungan, yakni di
sebelah utara wilayah Se Kiang. Di sana memang paling
banyak jalan yang berliku-liku di antara perbukitan. Siang
harinya mereka sudah mencapai bukit Pek Cang Hong, dan
sore harinya telah melalui Tong Tian Bok. Asal sudah melewati
wilayah Sai Tian Bok, jalan yang ditempuh tidak berliku-liku
lagi. Daerah itu juga sudah dekat sekali dengan telaga Thai
Hu. Bila menyusuri telaga itu, paling-paling hanya
menghabiskan waktu setengah hari untuk sampai di Su Cou.
Kedua orang itu mengitari wilayah Tong Tian Bok. Baru
berjalan kurang lebih satu sekonyong-konyong mereka melihat
ada seseorang yang tubuhnya gemuk sekali sedang tidur di
tepi sungai. Benda yang dijadikan bantal berupa sebuah batu
bulat.
Lu Sin Kong dan Sebun It Nio melihat orang itu yang
bukan lain daripada si Dewa Gemuk Yu Lao Pun, keduanya
menjadi tertegun.
Tampak orang itu melonjak bangun sambil tertawa
terbahak-bahak.
"Ternyata kalian benar-benar mengambil jalan ini,
dugaanku memang tepat sekali," katanya.
"Memangnya kenapa kalau kami mengambil jalan ini?"
tanya Sebun It Nio dengan nada dingin.
Yu Lao Pun tertawa terkekeh-kekeh.

117
"Sebun It Nio, sepasang pedangmu memang sudah
terkenal sekali di dunia Bulim. Sebetulnya si Gemuk ini tidak
berminat meminta petunjuk darimu, tapi kalau kau sudi
memberi pelajaran, aku juga tidak akan menolak."
Sebun It Nio sadar bahwa orang yang gemuk ini tidak
mudah dihadapi. Untuk sesaat dia juga terpaksa menahan
kemarahannya. Kemudian sembari tertawa dingin dia berkata,
"Selamanya Tai Ci Bun selalu mengaku dirinya sebagai
perguruan golongan lurus, tidak disangka-sangka sang
ketuanya justru melakukan perbuatan serendah ini."
"Perbuatan rendah apa yang telah kulakukan? Masih
untung ada aku yang menunggu di sini. Seandainya kalian
meneruskan perjalanan, lalu bertemu dengan Sahabat dari Sai
Tian Bok itu, kalian bisa celaka!"
Tentu saja Lu Sin Kong dan Sebun It Nio tahu siapa yang
dimaksud dengan "Sahabat dari Sai Tian Bok". Maka hati
mereka semakin gundah.
"Apakah dia juga telah mengincar kami?" tanya Lu Sin
Kong.
Yu Lao Pun menganggukkan kepalanya. Baru saja dia ingin
menyahut, sekonyong-konyong terdengar suara pekikan aneh,
yang datangnya dari sebelah barat. Wajah Yu Lao Pun
berubah seketika.
"Cepat menyeberang sungai!" teriaknya. Tubuhnya
melesat ke depan, tahu-tahu dia sudah berada di seberang
sungai.

118
Begitu sampai di seberang, tangan Yu Lao Pun sudah
memanggul batu besarnya. Dia melihat Lu Sin Kong dan
Sebun It Nio masih berdiri di tempat semula. Saking paniknya
sampai-sampai lemak di seluruh tubuhnya berguncangguncang.
"Kalian masih tidak menyeberang?" teriaknya.
Ketika mendengar suara pekikan aneh yang tidak mirip
suara tertawa ataupun suara tangisan, juga tidak mirip
tercetus dari mulut seorang manusia, lebih pantas kalau
dikatakan timbul dari suatu alat yang ditiup, bulu kuduknya
merinding seketika, karena suara itu benar-benar tidak enak
didengar. Hatinya sudah dapat menduga apa yang sedang
terjadi. Sembari tertawa dingin, dia menyahut.
"Menyeberangi sungai ketemu maling, tidak menyeberangi
sungai juga bertemu maling. Untuk apa kami menyeberang?"
Yu Lao Pun semakin panik.
"Lu Cong Piau Tau, setidaknya nada bicaraku masih
sungkan, lagipula aku bukan maling. Kalau sahabat itu tiba di
sini, apakah dia akan bersikap sesungkan aku?" katanya.
Sementara itu, suara pekikan yang aneh tadi sudah
semakin dekat.
Hati Sebun It Nio tergerak,
"Boleh juga, biar kita menyeberang dulu baru
membicarakan urusan lainnya."
Kedua orang itu segera mencelat. Tapi baru sampai
setengah jalan, suara pekikan aneh itu sudah ada di

119
belakangnya dan berhenti mendadak, kemudian disusul oleh
suara bentakan seseorang,
"Jangan menyeberang!"
Tapi ketika orang itu berbicara, Lu Sin Kong dan Sebun It
Nio sudah sampai di seberang. Yu Lao Pun menarik nafas
lega.
Setelah menyeberang, keduanya menoleh untuk melihat.
Tampak seseorang yang bentuk tubuhnya tinggi sekali.
Dengan jubah berwarna hijau pupus yang bagian bawahnya
melambai-lambai karena tiupan angin, dia berdiri di sana
dengan tampang angker.
Di lengan baju kiri orang itu tersulam gambar tengkorak
kepala dari benang emas sehingga cahayanya berkilauan.
Raut wajahnya memperlihatkan usianya kurang lebih
empat puluh tahun. Bentuk hidung dan bibirnya bagus, hanya
sorot matanya yang mengandung hawa sesat membuat orang
yang memandangnya menjadi bergidik. Begitu sampai di tepi
sungai, dia mengambil ancang-ancang untuk menyeberang.
Di saat itulah, tiba-tiba terdengar Yu Lao Pun berseru.
"Sahabat, kita pernah membatasi wilayah kita masingmasing
dengan sungai ini, Tong Tian Bok dan Sai Tian Bok,
siapa pun tidak boleh melanggar peraturan ini. Apakah kau
ingin menelan kembali kata-katamu sendiri?"
Orang itu tertawa terbahak-bahak.
"Yu Gendut, kalau melanggar sekali sajakan tidak apaapa?"
sahutnya.

120
Wajah si Dewa Gemuk langsung berubah, kemudian ia
memanggul batu besarnya di puncak.
"Tempo hari kita pernah menepuk tangan sebagai
perjanjian. Siapa pun tidak boleh menyeberangi dunia yang
lainnya untuk mencari gara-gara. Kalau kau berani
mengingkari janjimu sendiri, kau kira aku akan takut
kepadamu?"
Orang itu kembali tertawa terkekeh-kekeh.
"Oh ya, memang betul. Asal aku tidak mencari gara-gara,
kenapa aku tidak boleh menyeberang ke tempatmu?"
Si Dewa Gemuk melirik sekilas kepada Lu Sin Kong dan
Sebun It Nio, kemudian mencelat mundur sejauh satu depa
lebih sembari berkata,
"Kedua orang ini merupakan tamu agungku. Kalau kau
memang mempunyai minat atas diri mereka berdua,
sebaiknya sekarang juga kau katakan terus terang!"
Terdengar orang itu mengeluarkan suara keluhan "Aih!"
Tahu-tahu dia sudah sampai di depan mata, tidak terlihat
bagaimana caranya bergerak, seakan-akan ia melayang lewat
permukaan sungai tanpa menimbulkan suara sedikit pun.
"Yu Gendut, kenapa kau bisa tahu isi hatiku sih?" tanyanya
dengan nada tenang.
Dari nada suaranya, dapat dipastikan bahwa dia akan
turun tangan terhadap suami istri Lu Sin Kong. Mimik wajah
Sebun It Nio dan Lu Sin Kong memperlihatkan tawa dingin,
dan mereka juga menggeser diri ke samping.

121
Yu Lao Pun menunggu sampai orang itu berdiri tegak.
Mimik wajahnya justru memperlihatkan kecemasan. Kemudian
setelah mendengus satu kali, ia berkata,
"Kau benar-benar hendak turun tangan terhadap mereka?"
Orang itu tersenyum kepada Yu Lao Pun, kemudian
membalikkan tubuhnya untuk menjura kepada Lu Sin Kong
dan istrinya.
"Selamat berjumpa Lu Cong Piau Tau, Cayhe sudah lama
mendengar nama besar kalian. Begitu terkenalnya sehingga
seperti guntur yang memekakkan telinga. Hari ini kita dapat
berjumpa di sini, sesungguhnya Cayhe menyesal sekali
mengapa sampai sekarang baru ada jodoh untuk bertemu
muka." katanya dengan nada sungkan.
Lu Sin Kong tahu bahwa orang ini hatinya keji sekali.
Perbuatan apa pun sanggup dilakukannya. Bahkan si Dewa
Gemuk yang menjadi Ciangbunjin perguruan Tai Ci Bun dan
daerah ini merupakan daerah kekuasaannya pun masih
merasa segan terhadap orang ini.
Meskipun mereka suami istri tidak harus takut kepadanya,
namun kalau sudah bertemu tentunya tidak mudah untuk
melepaskan diri. Karena orang itu memperlihatkan sikap
sungkan, kenapa dia sendiri juga tidak ikut berpura-pura saja?
Maka dia segera membalas penghormatan orang itu sambil
menyahut,
"Tidak berani, tidak berani. Nama besar Tuanlah yang
begitu tersohor sehingga tidak ada tandingannya di dunia ini."

122
Wajah orang itu agak berubah mendengar ucapan Lu Sin
Kong.
"Kalau begitu, tentunya Lu Cong Piau Tau tahu siapa
namaku?" tanyanya.
"Cayhe tidak tahu. Tapi di dunia ini, bila menyebut kata
Kim Kut Lau, siapa yang tidak pernah mendengarnya?" sahut
Lu Sin Kong.
"Rupanya begitu." kata orang itu sambil tertawa terkekehkekeh.
"Bila kita sama-sama sudah lama mengetahui nama
masing-masing, sekarang Cayhe mempunyai sebuah
permintaan yang kurang pantas, rasanya Lu Cong Piau Tau
tidak akan menolaknya, bukan?"
Belum lagi Lu Sin Kong menjawab, Sebun It Nio sudah
menukas dengan nada tajam,
"Kim Kut Lau, sudah tahu permintaanmu kurang pantas,
tapi kenapa kau masih berharap orang akan
mengabulkannya?"
Kim Kut Lau tertawa dingin.
"Apakah kalian bahkan tidak memberi kesempatan
kepadaku untuk mengatakannya?" tanyanya.
Lu Sin Kong dan Sebun It Nio sama-sama mundur dua
langkah,
"Coba kau katakan dulu!"
"Dengar kabar bahwa kepergian kalian berdua dari kota
Lam Cong kali ini karena mengawal sesuatu barang yang

123
berharga sekali, tujuannya ke Su Cou. Kemungkinan barang
yang kalian bawa itu ada hubungan yang erat sekali
denganku, maka aku ingin menanyakannya, entah Lu Cong
Piau Tau dan Lu Hujin bersedia memberitahukan apa tidak?"
Bagaimanapun, Sebun It Nio memang lebih teliti dari pada
suaminya. Dalam hati dia berpikir, Orang ini tidak ketahuan
marga maupun namanya, hanya saja, dalam mengenakan
pakaian apapun, di lengan kiri bajunya selalu ada sulaman
Tenggorak Emas, maka dia dijuluki Kim Kut Lau. Semua tokoh
di dunia ini selalu ada asal-usul atau nama perguruannya,
hanya orang ini yang misterius sekali, tidak pernah ada yang
tahu siapa gurunya atau berasal dari perguruan mana.
Lima enam tahun yang lalu, di dunia Kang-ouw masih
belum pernah terdengar nama orang ini. Pada suatu hari di
musim gugur, secara berturut-turut, di wilayah Kan Liang dia
melukai Tujuh Harimau dari keluarga Cui. Pada hari keduanya,
dia membuat si Tombak Perak Tan Cu Ciat dari Lan Cui
sampai terluka parah. Bahkan mulai saat ini kedua kaki Tan Cu
Ciat patah dan mengundurkan diri dari dunia persilatan.
Ketujuh orang pertama yang dilukainya adalah tokoh-tokoh
golongan hitam yang banyak melakukan kejahatan,
sedangkan Tan Cu Ciat justru pendekar dari golongan putih.
Maka dari itu pula, tidak ada orang yang dapat menerka watak
Kim Kut Lau ini. Adatnya angin-anginan. Kadang-kadang dia
sendiri tidak ragu-ragu melakukan perbuatan serendah
apapun, namun ada kalanya dia juga bisa bersikap gagah
seperti seorang pendekar budiman.
Setelah dua hari berturut-turut melukai delapan tokoh
terkemuka, dalam perjalannya dari wilayah Kan Liang ke
selatan, setiap tokoh yang bertemu dengannya selalu
ditantangnya berkelahi, dan semuanya kalah di tangannya.
Maka dalam waktu singkat namanya pun menjadi terkenal.

124
Tapi begitu sampai di Sai Tian Bok, orang-orang hanya
mendengar bahwa dia pernah berselisih beberapa kali dengan
ketua perguruan Tai Ci Bun, selain itu tidak pernah terbetik
kabar beritanya.
Dalam hati Sebun It Nio sendiri sebetulnya sedang
dibingungkan oleh kotak yang mereka kawal. Sekarang dia
mendengar tokoh misterius ini mengatakan bahwa
kemungkinan kotak itu mempunyai hubungan yang erat
dengannya, dan orang itu ingin menanyakannya, maka
pikirannya menjadi tergerak seketika.
Mungkinkah orang ini tahu rahasia kotak yang dikawalnya?
Ataukah ia tahu asal-usul orang yang bernama Ki Hok? Oleh
karena itu dia segera tertawa datar sembari berkata,
"Sebetulnya, mengingat ketulusan hati Tuan yang
menanyakannya, seharusnya kami harus memberitahu. Tapi
urusan ini membuat kami sendiri terbenam dalam kabut tekateki,
kami sendiri bahkan tidak tahu barang apa yang kami
kawal."
Kim Kut Lau tersenyum.
"Lu Hujin, urusan ini penyelesaiannya mudah sekali. Asal
kita buka kotak itu, tentu kita akan segera mengetahuinya,
bukan?"
Wajah Sebun It Nio agak berubah mendengar usulnya.
"Apakah Tuan tidak merasa bahwa ucapan Tuan ini agak
keterlaluan? Kami sudah berjanji untuk mengantarkan kotak
ini ke Su Cou, mana boleh kami membukanya di tengah
jalan?"

125
Sekonyong-konyong Kim Kut Lau menarik nafas panjang.
"Kalau kalian tetap berkeras, mungkin aku terpaksa
bersikap lancang!"
Sembari berbicara, tubuhnya bergerak. Maka Tengkorak
Emas yang tersularn di lengan kiri bajunya ikut bergerak. Raut
wajah orang itu cukup bagus, namun kilauan cahaya dari
Tengkorak Emas di lengannya menimbulkan kesan yang
sangat menyeramkan.
Lu Sin Kong tertawa dingin.
"Entah pusaka apa yang ada dalam kotak yang kami kawal
itu sehingga menarik minat begitu banyak tokoh dunia Bulim.
Seandainya Tuan benar-benar ingin memberikan petunjuk
kepada kami, silahkan mulai!"
Tubuhnya berkelebat, kakinya ditekuk sedikit, kudakudanya
kokoh sekali dan tampangnya menunjukkan wibawa
besar.
Tanpa sadar Kim Kut Lau menyatakan pujiannya,
"Orang bilang bahwa Lu Cong Piau Tau merupakan anak
murid Go Bi Pai dari golongan orang biasa yang paling
menonjol bakatnya, ternyata memang bukan ucapan kosong
belaka!" sembari berbicara, kakinya maju dua langkah.
Namun baru saja dia ingin menerjang ke depan, tiba-tiba
terasa ada angin kuat yang berkesiur di sisinya. Dengan
memanggul batunya yang berat, Yu Lao Pun sudah
menghadang di depannya. Lemak di seluruh tubuhnya tampak
berguncang-guncang.

126
"Sahabat, seandainya kau tetap hendak turun tangan di
Tong Tian Bok ini, maafkan kalau aku tidak bisa mengijinkan,"
katanya.
"Tidak apa-apa, paling aku harus menggebahmu terlebih
dahulu!" bentak Kim Kut Lau sembari mengulurkan tangannya
untuk menekan batu yang dipanggul Yu Lao Pun.
Yu Lao Pun membentak dengan keras dan dengan tibatiba
mengangkat batu besarnya tinggi di atas. Gerakannya ini
jelas telah mengerahkan hawa murni Tai Ci Kangnya sebanyak
tujuh bagian, namun tangan Kim Kut Lau tetap menekan di
atas batu itu, hanya wajahnya saja yang dari putih berubah
menjadi merah padam. Hal ini membuktikan bahwa dia juga
telah mengerahkan tenaga dalamnya untuk mengadu
kekuatan dengan si Dewa Gemuk.
Tampak tempat kaki keduanya berpijak semakin lama
semakin melesak ke dalam, bahkan bebatuan yang ada di tepi
sungai itu sampai hancur berderai oleh pijakan kaki atau
getaran kedua orang itu.
Bagaimanapun Lu Sin Kong dan Sebun It Nio juga
terhitung ahli dalam bidang ini. Melihat keadaan kedua orang
itu, mereka tahu bahwa keduanya sedang mengadu kekuatan
tenaga dalam dengan dibatasi oleh batu besar tersebut. Untuk
sesaat pasti sulit menentukan siapa yang akan menang. Kalau
tidak menggunakan kesempatan ini untuk pergi, tunggu kapan
lagi?
Sebun It Nio tertawa panjang.
"Kalian berdua silahkan mengadu ilmu dengan tenang,
maafkan karena kami tidak bisa menemani lebih lama lagi!"

127
Sembari berbicara, tubuhnya melesat ke depan. Sungai
yang lebarnya dua depaan itu berhasil diseberanginya dalam
satu kali lompatan.
Keduanya sudah sampai di seberang.
Namun baru saja mereka bermaksud melangkah pergi,
tiba-tiba terdengar Kim Kut Lau memperdengarkan suaranya
yang tidak mirip tawa atau tangisan. Pokoknya tidak enak
didengar!
Tepat pada saat itu pula terdengar bunyi plok yang keras.
Mereka menolehkan kepalanya untuk melihat, tampak batu
besar yang menjadi senjata andalan si Dewa Gemuk sudah
gompal sebagian. Daerah yang gompal itu bekas tekanan
tangan Kim Kut Lau. Sedangkan orangnya sendiri sudah
mencelat seperti terbang untuk menerjang ke arah mereka.
Tanpa sadar, saat itu juga Lu Sin Kong dan Sebun It Nio
dibuat terpana oleh kejadian itu. Sebab, dalam mengadu
kekuatan antara dua tokoh kelas tinggi, sebelum ada hasilnya,
siapa pun tidak dapat melepaskan diri begitu saja. Yang
mengundurkan diri justru yang akan mengalami kerugian.
Entah ilmu apa yang digunakan oleh si Tengkorak Emas
sehingga dia dapat memisahkan diri dengan mudah dari
lawannya bahkan sempat menerjang ke seberang.
Tampak mimik wajah Yu Lao Pun menyiratkan kemarahan.
"Jangan pergi!" bentaknya.
Kim Kut Lau menerjang keluar dengan mencelat ke atas,
lalu meliukkan tubuhnya lewat bawah. Gerakannya tidak kalah
cepat dengan lawannya. Air bermuncratan kemana-mana.
Sebagian tubuhnya sudah terendam di dalam sungai. Batu

128
besar yang digunakan sebagai senjata langsung dihantamkan
ke atas untuk menyerang dada Kim Kut Lau.
Suara pekikan aneh masih terus berkumandang dari mulut
Kim Kut Lau. Tubuhnya yang sedang mengapung di tengah
udara tahu-tahu mencelat lebih tinggi lagi, setinggi lima ciok.
Sebetulnya dengan melambungnya tubuh orang itu,
senjata Yu Lao Pun tidak mungkin mencapai sasarannya lagi.
Tapi entah jurus apa yang digunakan si Dewa Gemuk itu,
apalagi ditambah dengan hawa murni Tai Ci Kang yang
dikuasainya, walaupun senjatanya sendiri tidak sanggup
mengenai lawan, tapi tenaga pantulannya yang kuat dan
tajam malah terus melanda ke atas.
Tubuh Lim Kut Lau sedang melayang di tengah udara,
maka sulit baginya untuk mengerahkan tenaga dalam. Begitu
kekuatan pantulan batu Yu Lao Pun melanda datang, tanpa
dapat dipertahankan diri lagi, tubuhnya tertahan. Dalam
keadaan genting dia menjulurkan kedua tangannya untuk
diadukan dengan kekuatan batu besar itu, tapi terlambat,
tubuhnya malah terpental ke belakang sejauh tiga depa dan
mendarat kembali di tempatnya semula.
Memang hal ini yang menjadi tujuan Yu Lao Pun, maka dia
pun tertawa terbahak-bahak.
"Sahabat, jangan harap dapat menyeberang!"
Kim Kut Lau juga ikut tertawa.
"Yu Gendut, kau diam saja di sana, aku tidak bisa
menemani lebih lama lagi."
Hati Yu Lao Pun langsung tergerak.

129
"Kau mau ke mana?"
Kim Kut Lau tertawa terbahak-bahak dengan nada aneh.
"Di atas bukit Song Kui Hong aku boleh membuka
pantangan dengan membunuh sepuas hati, kenapa aku tidak
ke sana saja?" katanya.
Bukit Song Kui Hong merupakan markas perguruan Tai Ci
Bun. Anak murid Yu Lao Pun yang sebanyak tiga generasi,
jumlahnya ada delapan puluh orang, dan semuanya tinggal di
bukit itu. Ucapan Kim Kut Lau barusan menyiratkan bahwa dia
akan membunuh seluruh anak muridnya.
Yu Lao Pun sendiri sadar, bahwa kecuali dirinya sendiri,
bila dipaksakan mungkin masih bisa menghadapi Kim Kut Lau
dengan seimbang. Bahkan kedua murid kesayangannya bisa
saja masih belum mampu menandingi orang ini. Bila
membiarkan dia naik ke bukit Song Kui Hong, kemungkinan
perguruan Tai Ci Bun akan musnah di tangannya. Karena itu
hatinya menjadi cemas sekali.
Tapi si Dewa Gemuk juga bukan orang bodoh. Dia tidak
memperlihatkan kepanikan dalam hatinya, malah tertawa
dingin sambil berkata,
"Kalau bukit Song Kui Hong begitu mudah didatangi
musuh, apakah perguruan Tai Ci Bun pantas berdiri di muka
bumi ini?"
"Kalau begitu, tentunya kau mempunyai keberanian untuk
membiarkan aku ke sana bukan?" tantang Kim Kut Lau.

130
"Bagus! Kalau kau mendaki puncak bukit Song Kui Hong,
aku akan mendatangi San Tian Bok untuk mengacak-acak di
sana!" sahut Yu Lao Pun.
Mendengar ucapannya, wajah Kim Kut Lau agak berubah
juga. Kemudian dengan nada tajam dia bertanya,
"Yu Gendut, ucapanmu ini serius apa tidak?"
Hati Yu Lao Pun agak bimbang. Terhadap misteri yang
menyelimuti si tokoh sesat yang menjadi tetangganya ini,
sebetulnya ingin sekali ia mengungkapkan rahasianya. Tapi
sejak kemunculan orang ini, beberapa kali mereka sempat
bergebrak, sayangnya tidak pernah ada hasilnya.
Akhirnya mereka memutuskan untuk menggunakan sungai
ini sebagai batas dunia masing-masing, maka selama
beberapa tahun ini keadaan menjadi aman dan tentram.
Sampai hari ini baru timbul kembali perselisihan di antara
kedua orang. Mendengar nada suara Kim Kut Lau yang seakan
mengandung rasa takut begitu mengetahui dirinya akan
mengunjungi tempat tinggalnya, diam-diam Yu Lao Pun
merasa heran.
"Kau toh akan mendaki bukit Song Kui Hong, tentu aku
harus balas berkunjung ke tempatmu!" katanya.
Kim Kut Lau mengeluarkan suara tertawa yang aneh.
Kemudian dia membalikkan tubuhnya untuk menerjang ke
arah Yu Lao Pun. Gerakannya cepat bagai kilat. Begitu sampai
di tengah sungai, telapak tangannya menghantam. Bumm!! Air
sungai bermuncratan ke mana-mana, orangnya sendiri terus
maju ke depan. Pukulannya semakin cecar, bahkan bebatuan
dalam sungai terbang ke atas lalu menjadi senjata rahasia
yang menyerang ke arah Yu Lao Pun.

131
Sementara itu, Yu Lao Pun sendiri seakan tidak
mempedulikan air sungai yang seperti air mancur menari-nari
itu. Seluruh tubuhnya dilindungi dengan hawa murni Tai Ci
Kangnya, maka meskipun bebatuan yang dihantam Kim Kut
Lau menerpa seluruh tubuhnya, tapi batu-batu itu terpental
kembali. Orang-nya sendiri tetap berjalan dengan langkah
lebar untuk menyeberangi sungai itu.
Melihat keadaan ini, Sebun It Nio berkata kepada Lu Sin
Kong dengan suara rendah,
"Mari kita pergi!"
Lu Sin Kong menganggukkan kepalanya. Selagi kedua
pihak sibuk dengan urusan mereka, dia dan istrinya segera
meninggalkan tempat itu dengan diam-diam.
Tentu saja Yu Lao Pun dan Kim Kut Lau melihat kepergian
kedua orang itu. Namun keduanya tidak berdaya, sebab
mengalihkan perhatian sedikit saja, lawan akan menggunakan
kesempatan itu untuk membokong. Karena itu mereka hanya
dapat memandangi bayangan tubuh Lu Sin Kong dan Sebun It
Nio yang menghilang di tikungan sebuah bukit.
Kim Kut Lau tertawa dingin.
"Yu Gendut, apakah antara kita tidak bisa disatukan lagi?"
tanyanya.
Yu Lao Pun sadar, kali ini persengketaannya dengan
manusia aneh ini sudah semakin dalam. Terdengar dia
mengeluarkan suara siulan panjang, dan suara itu
berkumandang sampai jauh.

132
"Betul. Kita tidak mungkin bersatu lagi," katanya
kemudian.
Wajah Kim Kut Lau berubah angker.
"Yu Gendut, kau kira aku ini benar-benar takut terhadap
perguruan Tai Cin Bun? Terus terang saja, kalau karena bukan
masih ada sedikit kebaikan dalam diriku ini, sejak dulu aku
sudah rnemusnahkan perguruanmu itu?"
"Bila kau berminat memusnahkannya sekarang, rasanya
masih belum terlambat!" sahut Yu Lao Pun dengan nada yang
tidak kalah dinginnya.
Kim Kut Lau tertawa terbahak-bahak.
"Yu Gendut, sekarang sepasang suami istri Lu Cong Piau
Tau sudah pergi. Apa sebetulnya yang ingin kau dapatkan dari
mereka?"
Yu Lao Pun melihat lawannya masih belum turun tangan
juga, malah mengajukan pertanyaan seperti ini, hatinya
menjadi bimbang.
"Kau sendiri? Apa yang ingin kau dapatkan?" ia balik
bertanya.
"Benda yang ingin kudapatkan itu, sedikit pun tidak ada
manfaatnya bagimu, tapi kau masih turun tangan juga. Hal ini
membuktikan bahwa kau pasti keliru," kata Kim Kut Lau.
Yu Lao Pun tertawa dingin.
"Lucu! Keliru atau tidak, apa urusannya denganmu?"

133
"Kalau kau tidak bersedia mengatakannya, aku juga tidak
akan memaksamu," kata Kim Kut Lau sambil berjalan mondarmandir.
"Kau toh tinggal di Tong Tian Bok, memangnya aku
bisa mengusirmu? Yu Gendut, minggirlah, kita hentikan saja
pertarungan ini untuk sementara!"
Yu Lao Pun tertawa dingin.
"Betul. Kalau aku minggir, kau bisa pergi mengejar kedua
suami istri itu bukan?"
"Kau kira aku tidak bisa menerobos?"
"Coba saja!" tantang Yu Lao Pun.
Meskipun mulut mereka saling berdebat, tapi siapa pun
tidak ada maksud untuk menyerang terlebih dahulu. Keduanya
berdiri tegak saling menunggu.
Sekarang kita tinggalkan dulu Kim Kut Lau dan Yu Lao Pun
yang masih berkutet di tepi sungai. Kita kembali kepada Lu Sin
Kong dan Sebun It Nio, yang sedang meneruskan perjalannya.
Mereka berlari dan karena dari belakang tidak terlihat ada
yang mengejar, maka keduanya melambatkan langkah
kakinya.
"Kita sudah dua kali memeriksa kotak itu, di dalamnya
kosong melompong. Kenapa mereka masih saja mengintil
kita?" kata Sebun It Nio dengan nada tidak habis mengerti.
"Masih ada satu hal lagi yang membingungkan. Baru
beberapa hari kita menerima barang kawalan ini, di Lam Cong,
tapi kenapa sepertinya tokoh-tokoh di seluruh dunia sudah
mengetahui hal ini?" sambung Lu Sin Kong.

134
Sebun It Nio merenung sejenak, kemudian dengan tibatiba
mengeluarkan seruan terkejut. "Ah! Aku mengerti
sekarang!"
"Apa yang kau mengerti?" tanya sang suami.
-ooo0ooo-
Bab 6
Ditanya begitu Lu Hujin diam sesaat seperti ragu namun
dia kembali berkata,
"Kita telah diperalat orang. Dengan kata lain, kita dijadikan
umpan. Pasti ada suatu barang yang penting sekali harus
diantarkan ke tangan si Pecut Emas-Han Sun di Su Cou. Tapi
mereka takut banyak orang yang mengincar di tengah jalan.
Maka pihak lawan pura-pura menitipkan kotak kosong ini ke
tangan kita, agar kita mengantarnya sendiri. Sementara itu,
barang yang asli dibawa oleh orang lain secara diam-diam.
Perhatikan seluruh tokoh di dunia Kang-ouw pasti tertuju
kepada kita, dengan demikian barang itu dapat sampai
dengan selamat di tangan si Pecut Emas," kata Sebun It Nio
menjelaskan pemikirannya.
Lu Sin Kong merenung sejenak. Dia merasa apa yang
dikatakan oleh sang istri ada benarnya juga, maka dia berkata
dengan nada marah.
"Kalau benar begitu, sungguh keterlaluan orang yang
menyerahkan kotak kosong ini kepada kita!"

135
Sebun It Nio tertawa dingin.
"Untuk mendapatkan imbalan besar, memang sudah
seharusnya mengeluarkan pengorbanan. Apanya yang
keterlaluan?"
Mendengar nada sindiran istrinya yang menyiratkan
kegilaan dirinya akan harta, Lu Sin Kong merasa malu
sehingga wajahnya berubah merah padam.
"Bagaimana kejadian yang sebenarnya, tidak lama lagi kita
akan tahu. Benar tidaknya dugaanmu itu, untuk sementara
kita juga tidak bisa memastikan."
Sebun It Nio hanya tertawa dingin. Dalam beberapa hari
ini, kehidupan mereka yang biasanya tenang tiba-tiba saja
dilanda berbagai kemelut yang memusingkan. Yang paling
menyedihkan justru kematian anak mereka yang semata
wayang, Lu Leng.
Kepiluan hati mereka tidak terkatakan. Hanya karena
mereka sudah menjadi suami istri selama sepuluh tahun,
maka keduanya sama-sama mengalah. Sampai detik ini,
keduanya tidak pernah bertengkar juga.
Sebun It Nio hanya mendengus. Dia tidak mengatakan
apa-apa lagi. Lu Sin Kong mengajaknya meneruskan
perjalanan.
Sepanjang jalan, pikiran mereka melayang-layang. Kalau
bukan teringat kematian Lu Leng yang mengenaskan, mereka
berpikir tentang kotak misterius yang mereka kawal. Belum
lagi berjaga-jaga terhadap kemunculan para tokoh yang ingin
merebutnya.

136
Tanpa terasa, langit sudah mulai gelap. Tiba-tiba Lu Sin
Kong tertegun,
"Hujin, mengapa kita sudah berjalan begitu lama tapi
masih belum juga keluar dari wilayah Sai Tian Bok?" tanyanya.
Sebun It Nio mengedarkan pandangan ke sekelilingnya.
Tampak pepohonan yang rimbun, dan di sebelah timur ada
sebuah bukit. Ternyata jalan itu sudah pernah mereka lalui
sebelumnya.
"Hujin, daerah Sai Tian Bok ini banyak bukit-bukit, maka
sulit bagi kita untuk menemukan jalan. Sekarang hari sudah
menjelang malam, percuma saja kita putar-putar di sini.
Sebaiknya kita bermalam di tempat ini saja," kata Lu Sin Kong.
"Kalau begitu, keenakkan si Maling Enam Jari itu dapat
hidup lebih lama satu hari lagi," sahut istrinya dengan nada
berapi-api. Rupanya dalam hati wanita itu terus memikirkan
kapan mereka bisa menyerbu ke gunung Bu Yi San untuk
membalas dendam atas kematian anak mereka. Dia berharap
semakin cepat semakin baik, maka dia mengucapkan katakata
seperti itu.
Lu Sin Kong tertawa getir.
"Yang penting kita bisa mengundang jago-jago dari Go Bi
Pai dan Tiam Cong Pai, dengan demikian kita pasti bisa
menuntut balas. Toh tidak mungkin kita lakukan hari ini juga,
beda beberapa hari, kan tidak apa-apa?"
Disaat keduanya terlibat pembicaraan, tiba-tiba di daerah
pegunungan yang gelap terlihat setitik sinar api, dan oleh
karena itu keduanya menjadi tertegun seketika.

137
Tempat mereka berada merupakan daerah pedalaman,
tepatnya di dalam hutan belantara di pegunungan. Gelapnya
tidak terkira, belum lagi suara lolongan srigala dan suara
burung hantu yang menyeramkan. Sungguh sulit dibayangkan
ada manusia yang bersedia membangun rumahnya di tempat
seperti ini!
Kedua orang itu memperhatikan beberapa saat, kemudian
terdengar Lu Sin Kong berkata,
"Hujin, ternyata di sini ada rumah. Bagaimana kalau kita
menumpang barang satu malam saja?"
"Kau ini bagaimana sih? Memangnya kesulitan yang kita
dapatkan sepanjang jalan masih kurang banyak, lalu kau
sekarang malah ingin mengasongkan dirimu sendiri ke rumah
orang?"
Lu Sin Kong tertawa panjang.
"Hujin, apakah kau ketakutan karena digertak oleh orangorang
itu? Sejak meninggalkan kota Lam Cong, entah sudah
berapa banyak jago-jago yang kita temui, apakah kita sempat
terluka sedikit pun juga?"
Sebun It Nio ikut tertawa.
"Apa yang kau katakan memang benar."
Kedua orang itu segera menyusuri jalan menuju sinar itu.
Belum seberapa jauh mereka berjalan, terlihat bahwa sinar itu
ada empat titik. Mereka terus berjalan ke depan. Terlihat di
dalam keremangan malam ada tujuh delapan rumah yang
berderet menjadi satu. Semuanya dibangun dengan batu

138
besar yang kokoh. Di bagian tengah terdapat sebuah pintu
besar berwarna hitam pekat.
Keempat sinar yang mereka lihat tadi terbit dari empat
buah lentera yang tergantung di atas pintu. Lentera-lentera itu
besar sekali, sepertinya terbuat dari emas, dan bentuknya
aneh sekali. Sampai sekian lama mereka memperhatikan, tapi
tetap tidak dapat menerka bentuknya seperti apa.
Tiba-tiba serangkum angin kencang berhembus, membuat
lentera-lentera berputaran beberapa kali. Saat itulah Lu Sin
Kong dan Sebun It Nio baru bisa melihat bentuk lentera
tersebut dengan jelas. Rupanya model lentera itu dibuat
menuruti bentuk tengkorak kepala yang besar sekali.
Hati Sebun It Nio bergidik seketika.
"Tidak disangka-sangka kita malah keliru menerobos ke
sana ke mari, akhirnya ke tempat tinggalnya Kim Kut Lau,"
katanya.
Lu Sin Kong juga tertawa getir.
"Benar-benar kebetulan sekali. Keempat lentera ini
tampaknya baru dinyalakan. Mungkinkah Kim Kut Lau-nya
sendiri sudah pulang?"
Sebun It Nio merenung sejenak.
"Rasanya belum. Kalau dia sudah pulang, masa kita tidak
ketemu dengannya?"
"Hujin, ingatkah kau, tadi Kim Kut Lau mengatakan bahwa
kotak yang kita bawa ini kemungkinan berhubungan
dengannya? Tadinya kita masih belum sadar bahwa diri kita

139
telah diperalat orang sehingga kita tidak memberitahukan
kepadanya bahwa kotak ini sebenarnya kosong. Kalau dipikirpikir,
si Ki Hok itu memang keterlaluan. Kenapa kita tidak
membalasnya? Tidak peduli Kim Kut Lau ada atau tidak, kita
ketuk saja pintunya dan numpang menginap satu malam,"
kata Lu Sin Kong.
Sebun It Nio tertawa dingin.
"Betul. Kita gunakan cara "Senjata makan Tuan","
sahutnya.
Sembari berbicara, mereka berjalan menuju pintu besar
itu. Belum sempat keduanya mengetuk pintu, dari dalam
terdengar suara lembut pertanyaan seorang gadis.
"Siapa yang datang?"
Hati Lu Sin Kong dan Sebun It Nio tercekat. Keduanya
berpikir, meskipun mereka tidak sempat meringankan langkah
kaki, tapi orang di dalam rumah bisa tahu kedatangan mereka,
sebenarnya bukan hal yang mudah! Hal ini membuktikan
bahwa pendengaran gadis itu tajam sekali.
Sebun It Nio segera melirik kepada Lu Sin Kong kemudian
berkata,
"Kami kebetulan lewat di tempat ini, mohon dapat
menginap barang semalaman saja."
Untuk beberapa saat tidak terdengar suara gadis itu.
Mungkin ia sedang ragu-ragu. Namun akhirnya terdengar dia
menyahut,

140
"Kalian bisa muncul di tempat ini tentunya kalian juga
orang-orang dari dunia Bulim. Mengapa kalian tidak bermalam
di tempat lain atau meneruskan perjalanan saja? Kenapa
harus datang ke sini untuk mencari kesulitan?"
Mendengar nada suaranya yang lembut dan nyaring, Lu
Sin Kong dan Sebun It Nio menaksir usia gadis itu pasti masih
muda sekali. Dalam hati mereka berpikir, selamanya Kim Kut
Lau terkenal suka malang melintang seorang diri, tidak pernah
terdengar berita bahwa dia mempunyai kekasih atau istri.
Mungkinkah tempat ini bukan kediaman Kim Kut Lau?
Kalau dibilang bukan, kenapa di atas pintunya ada lentera
berbentuk tengkorak kepala manusia?
Sebun It Nio merenung sejenak, kemudian dia bertanya,
"Apakah karena Tuan rumahnya sedang tidak ada, maka
kau merasa tidak leluasa untuk menerima tamu?"
Nada suara gadis itu seakan terkejut sekali,
"Aih, bagaimana kau bisa tahu bahwa Tuan rumah sedang
tidak ada?"
Di saat berbicara, dari dalam pintu terdengar suara
gemerincing yang tidak henti-hentinya.
Tidak lama kemudian suara itu sudah sampai di dekat
mereka, disusul suara Kreakkk! Pintu besar itu telah terbuka.
Sebun It Nio cepat-cepat menjulurkan tangannya untuk
mendorong pintu itu. Setelah diperhatikan sekejap, dia pun
tertegun.

141
Rupanya orang yang membuka pintu itu memang seorang
gadis yang masih muda sekali. Rambutnya yang panjang
terurai sampai ke bahu. Alisnya melengkung seperti bulan
sabit, hidungnya mancung, bibirnya mungil. Cantiknya sampai
sulit dilukiskan dengan kata-kata.
Namun, pakaian yang dikenakannya sudah lusuh sekali,
bahkan ada beberapa bagian yang sudah koyak, sehingga
lengan kirinya terlihat dari luar. Kulitnya putih mulus, tapi
banyak guratan garis berwarna merah, seakan-akan pernah
dicambuk dengan keras.
Semua ini masih tidak mengherankan. Yang paling aneh
justru di pergelangan tangannya diborgol oleh seutas rantai
besi yang tebal. Rantai itu panjangnya mencapai empat
depaan, terus menjuntai kedalam dan terikat pada sebuah
tiang besar di ruangan.
Sebun It Nio tertegun sesaat. Dia tidak bisa menerka asalusul
gadis itu. Begitu melihat mereka berdua, wajah gadis itu
langsung berubah berseri-seri.
Gadis itu menyembulkan kepalanya keluar untuk melihat
ke sekeliling, lalu bertanya dengan suara rendah,
"Apakah kalian berdua suami istri Lu Cong Piau Tau dan Lu
Hujin dari kota Lam Cong? Cepat masuk ke dalam!"
Kedua orang itu dapat melihat bahwa rantai yang
memborgol kedua tangan gadis itu tidak seberapa panjang,
paling-paling dia bisa berjalan sampai depan pintu untuk
menyalakan lentera-lentera di atasnya. Tapi sekali bicara saja
dia sudah dapat menebak asal-usul mereka, tentu saja mereka
merasa heran. Untuk sesaat keduanya merasa bimbang.

142
Terdengar gadis itu berkata pula,
"Kalian berdua tidak perlu khawatir, aku tidak bermaksud
jahat!"
Sebun It Nio menjulurkan tangan untuk membelai-belai
kepala gadis itu, sekilas, bibirnya menyunggingkan senyuman.
"Kalaupun kau bermaksud jahat, kami juga tidak takut.
Bagaimana kau bisa tahu nama kami, apakah Kim Kut Lau
yang mengatakannya?"
Mendengar nama "Kim Kut Lau", rnimik wajah gadis itu
langsung berubah ketakutan,
"Di mana dia?" tanyanya dengan nada bergetar.
Melihat gadis itu begitu cantik, dan sikapnya penurut,
Sebun It Nio membayangkan bahwa gadis itu pasti setiap hari
merasakan siksaan Kim Kut Lau. Maka timbul rasa kasihan dan
sayang dalam hatinya.
"Dia sedang bertarung melawan si Dewa Gemuk Yu Lao
Pun di tepi sungai, untuk sementara pasti tidak bisa
diselesaikan. Meskipun dia pulang, tidak ada yang perlu
ditakuti!"
Wajah gadis itu menyiratkan perasaannya yang agak lega.
Dia mempersilakan kedua orang itu masuk, setelah itu
merapatkan pintunya kembali. Di saat bergerak, rantai
tangannya tidak hentinya mengeluarkan suara gemerincing.
Mereka masuk ke dalam rumah. Lu Sin Kong dan Sebun It
Nio dapat melihat dekorasi di dalamnya yang sederhana
sekali. Bahkan meja dan kursinya juga terbuat dari kayu biasa.

143
Justru tiang tempat mengikat rantai besi di tangan gadis itu
yang terbuat dari baja murni.
Tanpa sungkan-sungkan lagi Lu Sin Kong dan Sebun It Nio
duduk di atas kursi.
"Aku mempunyai sebuah permintaan, entah kalian dapat
mengabulkannya apa tidak?" tanya gadis itu.
"Ada apa, katakan saja!" sahut Sebun It Nio.
Gadis itu tampak bimbang sejenak, namun akhirnya
berkata juga,
"Ayahku tidak tahu sama sekali bahwa aku ditangkap oleh
Kim Kut Lau lalu ditahan di sini. Seandainya kalian bersedia
memberitahukan kepada ayahku agar beliau bisa datang
memberikan pertolongan, untuk selamanya aku tidak akan
lupa budi ini."
"Siapa ayahmu?" tanya Lu Sin Kong.
Gadis itu menarik nafas panjang.
"Kalian toh akan ke Su Cou. Sesampainya di sana, kalau
bisa mampir sebentar di Kiam Si, maka kalian bisa bertemu
dengannya," sahutnya.
Lu Sin Kong tertawa sumbang.
"Telaga Kiam Si di Hou Yok merupakan tempat yang
sangat terkenal di luar kota Su Cou. Orang yang melancong di
sana tidak terhitung jumlahnya, bagaimana kami bisa tahu
yang mana ayahmu?"

144
"Kalian tunggu sebentar!" kata gadis itu sembari berjalan
menuju sebuah pintu yang terletak di sebelah kiri, lalu masuk
ke dalamnya.
Lu Sin Kong dan Sebun It Nio melihat rantai besi di
tangannya tertarik sampai habis. Berat rantai itu mungkin
mencapai empat lima ratus kati, tapi gadis itu bisa
menggondolnya sambil berjalan ke sana ke mari. Hal ini
membuktikan bahwa tenaga dalamnya sudah mencapai taraf
yang cukup tinggi.
Di saat keduanya sedang berpikir, gadis itu berjalan keluar
kembali dengan sebuah bungkusan di kedua tangannya.
"Setelah sampai di telaga Kiam Si, harap kalian buka
bungkusan ini, ayahku pasti akan datang menemui kalian,"
katanya.
Sebun It Nio menyambut bungkusan itu, yang ternyata
berat sekali.
"Apakah ayahmu selalu ada di sekitar telaga itu?"
tanyanya.
"Betul," sahut gadis itu.
"Apa sebetulnya isi bungkusan ini?" tanya Sebun It Nio
sambil mengulurkan tangannya dengan maksud membuka
bungkusan itu.
"Lu Hujin, sebelum sampai di telaga Kiam Si, jangan
sekali-sekali kalian buka bungkusan itu." cegahnya gadis itu.

145
Mendengar kata-katanya, hati Sebun It Nio langsung
merasa kurang senang. Maka dia menoleh kepada Lu Sin Kong
sambil berkata,
"Bagus sekali! Kita menerima suatu barang untuk dikawal,
tapi isinya kita tidak boleh tahu. Sekarang kita menerima
permintaan orang untuk mencari bantuan, barang yang
dititipkan juga tidak boleh dilihat!"
Sebetulnya hati Lu Sin Kong juga kurang puas mendapat
perlakuan seperti itu. Tapi ketika dia menolehkan kepalanya,
dilihatnya mimik wajah gadis itu menunjukkan kecemasan
yang tidak terkira. Tangannya menjulur untuk mengambil
kembali bungkusan itu, namun sepertinya ragu-ragu, mungkin
takut Sebun It Nio akan tersinggung.
Lu Sin Kong merasa iba melihatnya. Setelah
memperhatikan sejenak, dia tersenyum,
"Hujin, usianya masih muda, tindakannya tentu saja tidak
dapat disamakan dengan orang dewasa, kenapa kau harus
perhitungkan dengannya? Kembalikan saja bungkusan itu
kepadanya!"
Mimik wajah gadis itu bertambah cemas, bahkan air
matanya sudah mengembang.
"Apakah kalian berdua tidak sudi menolong sama sekali?"
tanyanya panik.
Lu Sin Kong tertawa.
"Kau meminta kami menemui ayahmum, tujuan-nya agar
dia bisa datang ke mari menolongmu bukan?"

146
Dengan air mata menetes, gadis itu menganggukkan
kepalanya.
"Itu dia. Kalau sekarang kami membebaskanmu, kan sama
saja?" kata Lu Sin Kong.
Mimik wajah gadis itu menyiratkan perasaan kurang
percaya.
"Kalian berdua sudi menyampaikan keadaanku ini kepada
ayahku saja, aku sudah berterima kasih sekali. Aku tidak
berani mengharap kalian berdua memikul bahaya sebesar ini."
"Kalau kami menolongmu, paling-paling menambah
perselisihan dengan Kim Kut Lau. Apanya yang harus
ditakutkan?" kata Lu Sin Kong.
Gadis itu seakan ingin mengatakan sesuatu namun
dibatalkannya. Maka Sebun It Nio langsung menukas,
"Mengharap kami menolongmu sebetulnya tidak sulit, asal
kau mau mengatakan dengan terus terang, siapa namamu,
siapa nama ayahmu!"
"Ayah bernama Tam Sen, aku bernama Tam Goat Hua,"
sahut gadis itu.
Sebun It Nio merasa bahwa di dunia Bulim tidak ada tokoh
yang bernama Tam Sen, apalagi nama Tam Goat Hua, dia
belum pernah mendengarnya sekalipun. Tapi mimik wajah
gadis itu menunjukkan bahwa dia tidak berbohong, maka dia
bertanya,
"Ayahmu pasti tokoh Bulim juga. Bolehkah kami tahu dia
berasal dari partai atau perguruan apa?"

147
"Harap Lu Hujin maafkan, ayahku dari partai atau
perguruan mana, aku sendiri tidak tahu," sahut Tam Goat
Hua.
Dalam hati Sebun It Nio berpikir, mengapa dalam
beberapa hari ini, urusan seaneh apa pun pernah mereka
temui. Masa ada puteri sendiri yang tidak tahu asal-usul partai
atau perguruan ayahnya?
Baru saja dia ingin bertanya lagi, tiba-tiba Lu Sin Kong
mengeluarkan siulan panjang, jari tangannya mengirimkan
sebuah totokan ke dada Tam Goat Hua. Gadis itu
memandangnya dengan mata terbelalak, namun tidak bisa
bergerak sedikit pun.
Serangan yang dilakukan oleh Lu Sin Kong sebenarnya
hanya untuk menyelidiki asal-usul gadis itu.
Tidak tahunya Tam Goat Hua tidak bergerak sama sekali.
Dalam hati Lu Sin Kong berpikir, ketenangan Tam Goat Hua
dalam menghadapi lawan sudah mencapai taraf air muka tak
berubah walau gunung runtuh di hadapannya.
Dalam hatinya sudah tahu, gadis itu amat cerdik dan
banyak akalnya. Dia juga berpikir tidak peduli gadis itu dari
golongan lurus atau dari golongan sesat, yang jelas Kim Kut
Lau bukan orang baik.
Gadis itu berada di tempat ini, sekujur badan pun terdapat
bekas cambukan. Kini dia bertemu dengannya, kenapa tidak
menolongnya?
Lu Sin Kong tersenyum seraya berkata,

148
"Nona Tam, legakanlah hatimu! Kami sudah bilang
bersedia menolongmu, tentunya kami pun sudah siap
menghadapi risikonya."
"Kalau begitu...," ucap Tam Goat Hua. "Aku amat
berterima kasih sekali."
Tiba-tiba Lu Sin Kong mengerutkan kening. Ternyata dia
melihat lengan gadis itu pun diborgol dengan besi tebal.
Kecuali dengan pedang pusaka, barulah dapat memutuskan
borgol itu.
Lagipula, walau punya pedang pusaka, juga harus berhatihati
memutuskan borgol tersebut. Sebab kalau tidak,
lengannya pun akan putus terbacok. Itu membuat Lu Sin Kong
membungkam, dan tanpa sadar dia pun menggelenggelengkan
kepala.
"Borgol di lengan itu tidak dapat diputuskan," kata Sebun
It Nio dan menambahkan, "Kenapa kita tidak memutuskan
rantai besi itu saja?"
Perkata itu menyadarkan Lu Sin Kong. Maka, dia
memandang rantai besi itu seraya berkata, "Hujin, ambilkan
golok Leng Ji!"
Sebun It Nio tahu bahwa golok milik putranya amat tajam.
Kalau menggunakannya disertai dengan tenaga dalam,
tentunya tidak sulit memutuskan rantai besi itu.
Dia mengangguk, kemudian merogoh ke dalam bajunya
dan terdengar suara "Cring", golok tersebut sudah berada di
tangannya.

149
Begitu golok itu berada di tangan Sebun It Nio, mendadak
Tam Goat Hua berseru tak tertahan. "Haah? Golok ini?"
Namun kemudian gadis tersebut diam, tidak
melanjutkannya.
Hal itu membuat Sebun It Nio merasa heran.
"Kenapa golok ini?" tanyanya.
"Golok ini...," sahut Tam Goat Hua agak tersendatsendat."...
dapatkah memutuskan besi?"
Sebun It Nio tahu bahwa apa yang akan dikatakan Tam
Goat Hua, bukanlah perkataan tersebut. Golok itu
diketemukan di luar kota Lam Cong ratusan mil jauhnya, itu
betul-betul merupakan suatu teka-teki.
Namun dapat dipastikan bahwa golok itu pasti erat
hubungannya dengan orang yang mencelakai Lu Leng.
Oleh karena itu, bagaimana mungkin Sebun lt Nio begitu
gampang melepaskan.
"Kau pernah melihat golok ini?" tanyanya lagi.
Tam Goat Hua tidak menyahut.
Sebun It Nio menatapnya tajam, kemudian berkata, "Kalau
kau mengharapkan pertolongan kami, haruslah berkata
sejujurnya!"
Wajah Tam Goat Hua kemerah-merahan, lalu ia
menundukkan kepala.

150
Saat ini, Lu Sin Kong juga dapat melihat akan keanehan
urusan itu. Maka dia segera berkata,
"Nona Tam, terus terang sebetulnya golok ini milik
putraku, tapi...."
Sebelum Lu Sin Kong menyelesaikan ucapannya, Sebun It
Nio sudah melototinya. Lu Sin Kong tahu bahwa istrinya
melarangnya membocorkan tentang musibah tersebut, agar
orang luar tidak mengetahuinya. Akhirnya dia menghela nafas
panjang seraya berkata,
"Tentunya dulu kau tidak pernah melihat golok ini. Kalau
belum lama ini kau pernah melihat golok ini, biar
bagaimanapun harap kau sudi menutur tentang kejadiannya
itu, lebih baik sejelas-jelasnya!"
Seusai Lu Sin Kong berkata, Tam Goat Hua
memberitahukan.
"Tiga hari yang lalu, aku memang pernah melihat golok
ini."
Tersentak hati Sebun It Nio mendengar ucapan itu.
"Ketika itu, golok ini berada di tangan siapa?" tanyanya.
"Aku tidak melihat dengan jelas," sahut Tam Goat Hua.
"Tiga hari yang lalu, ketika Kim Kut Lau mencambuki
diriku, dia pun memaksaku menceritakan suatu urusan. Dalam
kurun waktu setengah tahun ini, dia mengurung diriku di sini
dan setiap hari menyiksaku, tujuannya memaksaku
menceritakan rahasia itu, namun aku tidak mau...."

151
"Cepatlah kau ceritakan tentang golok ini!" desak Sebun It
Nio.
Tam Goat Hua mengangguk, kemudian berkata.
"Ketika itu hari sudah menjelang malam, mendadak di luar
terdengar suara yang amat lirih. Tak seberapa lama kemudian
terdengar pula suara seseorang di luar. "Saudara Chiang ada?"
Begitu mendengar suara itu, Kim Kut Lau segera menyeretku
ke ruang sebelah, sekaligus menutup pintu ruang itu. Tak
lama, aku mendengar suara langkah masuk ke dalam. Karena
merasa heran, aku mengintip melalui cela-cela daun pintu.
Dalam kegelapan tampak Kim Kut Lau bercakap-cakap dengan
seseorang. Barulah aku tahu bahwa orang itu kaum rimba
persilatan, dan aku pun tahu bahwa Kim Kut Lau bermarga
Chiang."
"Lalu siapa orang itu?" tanya Lu Sin Kong.
"Aku tidak melihat wajahnya," sahut Tam Goat Hua.
"Hanya melihat punggungnya. Mereka berdua bercakap-cakap
dengan suara rendah, maka aku tidak dapat mendengar
dengan jelas apa yang mereka bicarakan. Di saat bersamaan,
mendadak terdengar suara harpa...."
Mendengar sampai di situ, Lu Sin Kong dan Sebun It Nio
nyaris meloncat saking terkejutnya. "Suara harpa?"
Terbelalak Tam Goat Hua memandang mereka. Gadis itu
merasa heran kenapa suami istri itu tampak begitu terkejut?
Kemudian ia manggut-manggut dan melanjutkan,
"Memang suara harpa. Suara itu begitu lembut
menggetarkan. Kim Kut Lau dan orang itu bangkit berdiri

152
serentak. Saat itu, barulah kulihat wajah orang tersebut.
Pakaiannya mewah tapi dandanannya mirip pengurus rumah."
Tersentak lagi hati Lu Sin Kong dan membatin,
mungkinkah Ki Hok?
Sedangkan Tam Goat Hua melanjutkan.
"Suara harpa masuk ke dalam rumah. Aku ingin melihat
orangnya, tapi tidak terlihat jelas, hanya tampak cahaya golok
berkelebat, yakni golok ini."
Sebun It Nio segera bertanya,
"Siapa yang memegang golok ini?"
Tam Goat Hua berpikir sejenak.
"Aku pikir pasti pemetik harpa itu, sebab sebelah
tangannya terdapat enam jari," jawabnya kemudian.
Sebun It Nio langsung mencaci sengit. "Jahanam!"
"Aku pernah dengar...," kata Tam Goat Hua. "Liok Ci
Siansing dari gunung Bu Yi San Hok Kian, paling gemar main
harpa. Aku kira dialah orangnya."
Sebun It Nio berkeretak gigi seraya berkata,
"Tentu dia! Selain dia siapa lagi?"
"Setelah cahaya golok itu sirna...," Lanjut Tam Goat Hua.
"Mereka bertiga bercakap-cakap dengan suara rendah, maka
aku tidak mendengar jelas percakapan mereka. Kemudian Kim

153
Kut Lau mengantar tamu-tamu itu keluar. Setelah itu, dia
menyeretku keluar pula, dan bertanya padaku apakah aku tadi
mencuri melihat. Tentunya aku menjawab tidak, barulah dia
melepaskanku."
"Terimakasih kau telah menutur tentang itu kepadaku,"
ucap Sebun It Nio dan mendadak dia mengayunkan
tangannya.
"Cring!" Ternyata dia mulai memotong rantai besi dengan
golok yang dipegangnya.
Putuslah rantai itu, namun masih tersisa di lengan Tam
Goat Hua.
Gadis itu mengibaskan lengannya sehingga terdengar
suara menderu dan....
"Plak!" Sisa rantai besi di lengannya menghantam ujung
meja batu, sehingga membuat ujung meja batu itu hancur
lebur.
Tam Goat Hua tertawa gembira.
"Bagus! Sisa rantai besi di lenganku ini menjadi semacam
senjata istimewa. Lu Hujin, tolong potong rantai besi yang di
lengan kiriku!"
Lu Sin Kong tahu, bahwa golok itu bukan golok pusaka
yang dapat memotong besi. Kalau ingin memotong rantai besi
itu, haruslah menggunakan Lweekang. Oleh karena itu, dia
berkata pada istrinya.
"Hujin, berikan golok itu kepadaku!"

154
Sebun It Nio mengangguk, lalu menyerahkan golok itu
kepada suaminya. Setelah menerima golok itu, Lu Sin Kong
mengerahkan Lweekangnya, lalu menebas rantai besi itu.
"Cring!"
Putuslah rantai besi itu, tapi tetap tersisa seperti yang di
lengan kanan gadis itu.
Terdengar suara seruan gembira, kemudian Tam Goat Hua
menjatuhkan diri berlutut di hadapan kedua orang itu.
"Terima kasih atas pertolongan kalian berdua!" ucapnya.
"Biar bagaimanapun, aku tidak akan bilang kalian berdua yang
menolongku, kalian berdua boleh berlega hati!"
Lu Sin Kong tersenyum.
"Orang gagah bertanggung jawab atas perbuatannya. Kau
bilangpun kami tidak takut!"
Bibir Tam Goat Hua tampak bergerak sedikit. Sepertinya
dia ingin mengatakan sesuatu, tapi tidak dicetuskannya,
melainkan berkata,
"Apakah kalian berdua masih mau bermalam di sini?"
"Tidak salah," sahut Lu Sin Kong.
"Lweekang kalian berdua sungguh tinggi, tentunya tidak
takut pada Kim Kut Lau," kata Tam Goat Hua. "Tapi tahukah
kalian berdua, siapa guru Kim Kut Lau?"

155
Lu Sin Kong dan Sebun It Nio tertegun. Mereka saling
memandang dan kemudian menggelengkan kepala.
"Tidak tahu" jawabnya hampir serentak.
"Ketika aku baru berada di sini," kata Tam Goat Hua. "Kim
Kut Lau masih belum merantai diriku, hanya mengurungku di
dalam rumah, aku bisa berjalan ke sana ke mari dan tanpa
sengaja... aku menemukan rahasia perguruannya. Mari kalian
berdua ikut aku melihat-lihat!"
Lu Sin Kong baru mau bangkit berdiri, tapi mendadak
melihat air muka Sebun It Nio agak aneh, dan itu
membuatnya menjadi tertegun.
"Ada orang ke mari!"
Wajah Tam Goat Hua langsung berubah. la langsung
menyambar bungkusan itu dan cepat-cepat masuk ke dalam.
Tak lama kemudian, Lu Sin Kong mendegar suara langkah
kaki yang tergesa-gesa. Mereka berdua saling memandang,
lalu bangkit berdiri.
Sebelum mereka bersembunyi, sudah terdengar suara
"Blam", tampak sosok bayangan menerobos ke dalam, yang
tidak lain adalah Kim Kut Lau.
Wajah orang itu pucat pasi. Begitu sampai di dalam
rumah, dia langsung duduk tanpa menghiraukan Lu Sin Kong
dan Sebun It Nio.
Kim Kut Lau perlahan-lahan mendongakkan kepala, ketika
melihat rantai besi yang telah putus itu, wajahnya bertambah
pucat menakutkan.

156
"Ka... kalian melepaskannya?"
Menyaksikan keadaan Kim Kut Lau, Lu Sin Kong tahu
bahwa Kim Kut Lau terluka parah. Maka rasa permusuhannya
menjadi berkurang.
"Tidak salah!"
"Uaaakh!" Mendadak mulut Kim Kut Lau menyemburkan
darah segar. Dia menuding Lu Sin Kong dengan tangan
bergemetar. "Kalian.... kalian kenapa begitu ceroboh?"
Lu Sin Kong tahu, pasti ada sebabnya Kim Kut Lau berkata
begitu.
"Sebetulnya siapa gadis itu?" tanyanya segera.
Kim Kut Lau menghela nafas panjang.
"Dia bermarga Tam...." Berkata sampai di sini, Kim Kut
Lau menggoyang-goyangkan tangannya. "Dia sudah pergi,
untuk apa mengungkitnya lagi? Kalian boleh meninggalkan
rurnah ini!"
"Tidak bisa!" sahut Sebun It Nio. "Kami masih ingin
bertanya, pernahkah kau melihat golok ini?"
Air muka Kim Kut Lau berubah dan tampak terkejut.
"Eh? Kenapa golok ini bisa berada di tangan kalian?"
Sebun It Nio tertawa dingin.

157
"Ketika kau melihat golok ini...," tanya Sebun it Nio sambil
menatapnya tajam. "Golok ini berada di tangan siapa?"
Kim Kut Lau bangkit seraya menyahut, "Liok...Ci.... Liok
Ci...."
Hanya mencetuskan empat perkataan, mendadak
badannya sempoyongan, lalu jatuh gedebuk di lantai.
Lu Sin Kong segera mengarah padanya, ternyata Kim Kut
Lau telah pingsan, bahkan nafasnya pun amat lemah sekali,
kelihatannya sudah sulit ditolong. Lu Sin Kong menoleh ke
arah Sebun It Nio. Dilihatnya istrinya termangu-mangu di
tempat dan wajahnya menghijau.
"Hujin, siapa musuh kita kini sudah jelas. Kita harus cepatcepat
rnengantar kotak kayu itu, lalu rnelaksanakannya sesuai
rencana."
Sebun It Nio mengeluarkan suara siulan panjang, sekaligus
menyimpan golok itu, kemudian melanjutkan perjalanan di
malam hari bersama Lu Sin Kong. Ketika hari mulai terang,
mereka berdua sudah keluar dari Sai Thian Bok. Jalan yang
mereka lalui mulai rata, maka dengan mudah mereka
mempercepat langkah masing-masing.
Tak Beberapa lama, mereka sudah berada di luar belasan
mil dan hari pun sudah terang. Di saat mereka sampai di
depan sebuah rimba, mendadak terdengar suara jeritan yang
menyayat hati di dalam rimba itu, menyusul tampak tubuh
seorang lelaki terpental keluar dari dalam rimba tersebut.
Begitu menyentuh tanah, lelaki itu binasa. Sebun It Nio
menghampirinya, dan seketika juga dia berteriak kaget.

158
"Hah! Ini adalah Thian Hiang Tong Tongcu Hoa San
bernama Sou Tai Hok!"
Dia mendongakkan kepala. Tampak beberapa sosok
bayangan berkelebatan di dalam rimba, ternyata beberapa
orang sedang bertarung dengan sengit. Mereka berdua,
sesungguhnya tidak mau banyak urusan. Lagipula pertarungan
antara kaum rimba persilatan merupakan hal yang biasa. Tapi
setelah mereka memperhatikan dengan cermat, terlihat empat
orang mengurung seseorang. Orang yang dikurung itu
bersenjata aneh, yakni sepasang rantai besi yang melekat di
lengannya.
Kini mereka berdua baru tahu, bahwa orang yang dikurung
itu, tidak lain adalah Tam Goat Hua.
Hati Lu Sin Kong tergerak. Dia memandang istrinya seraya
berkata,
"Hujin, ketika Kim Kut Lau mengetahui kita melepaskan
gadis itu, lukanya menjadi bertambah parah. Itu membuktikan
bahwa gadis tersebut punya asal-usul yang luar biasa. Kita
lihat bagaimana kepandaiannya, tapi kita jangan
memperlihatkan diri, dan setelah menyaksikannya kita
langsung pergi. Bagaimana?"
Sesungguhnya dalam hati Sebun It Nio, sudah tirnbul
kecurigaan mengenai asal-usul Tam Goat Hua, maka dia
manggut-manggut. Mereka berdua mendekati rimba itu, lalu
bersembunyi di balik sebuah pohon dan mengintip. Sebun It
Nio terkejut dan berkata,
"Ilmu silat gadis itu, jauh di atas perkiraan kita. Keempat
orang yang mengurungnya, semuanya adalah anggota Hoa
San Pai Cap Jie Tongcu."

159
Kedudukan ketua Hoa San Pai Liat Hwe Cousu amat tinggi
dalam rimba persilatan, Lweekangnya pun tinggi sekali.
Namun karena dia sudah tua maka jarang berkecimpung di
rimba persilatan lagi. Reputasi Hoa San Pai sudah tersohor
sampai ke mana-mana. Sedangkan ke dua belas Tongcunya
juga berkepandaian tinggi dan tergolong jago tinggi dalam
rimba persilatan.
Kalau ada yang menyiarkan berita bahwa keempat Tongcu
Hoa San pai mengeroyok seorang gadis namun masih tidak
dapat berada di atas angin, tentunya tiada seorang pun akan
percaya.
Begitu pula Lu Sin Kong, seandainya tidak menyaksikan
dengan mata kepala sendiri, dia pun tidak akan percaya. Dia
terus memperhatikan pertarungan itu. Tampak sepasang
telapak tangan Tam Goat Hua berkelebatan ke sana ke mari
dan amat aneh pula gerakannya. Jelas gadis itu menggunakan
semacam ilmu pukulan, tapi ada sepasang rantai besi melekat
di lengannya, sehingga kelihatan seperti menggunakan
senjata.
Justru karena itu, maka sulit sekali bagi lawan menjaga
setiap serangannya, dan itu membuat wajah keempat Tongcu
Hoa San Pai menjadi tegang. Sedangkan wajah gadis itu tetap
tampak tenang dan berseri-seri.
Tak Beberapa lama kemudian, tampak Tam Goat Hua
melengkungkan lengannya, lalu menyerang salah seorang
lawannya, sehingga menimbulkan suara.
"Cring!"
Ternyata Tam Goat Hua mengibaskan tangannya,
sekaligus memajukan badannya. Pukulan yang dilancarkannya

160
mendarat telak di dada orang itu, membuat orang itu menjerit
dan terpental jauh sekali.
Ketiga orang lainnya, langsung mundur serentak. Tam
Goat Hua tertawa.
"Hi hi hi! Bagaimana? Tak mau bertarung lagi?" tanya Tam
Goat Hua sambil tertawa.
Salah seorang dari mereka sudah berusia agak lanjut,
namun masih tampak gagah sekali.
"Anak gadis! Kau dari perguruan mana?" bentak orang itu.
Tam Goat Hua tertawa seraya berkata,
"Melawanku saja kau tak sanggup, untuk apa menanyakan
perguruanku? Kalian bertiga, lebih baik segera kembali ke
gunung Hoa San! Jangan coba-coba atau bermimpi ingin pergi
mencari Lu Sin Kong, maka aku akan melepaskan kalian!
Kalau kalian ingin mengundang Liat Hwe Cousu membalas
dendam ini, silakan ke Su Cou! Kami ayah dan anak amat
senang akan menunggu di sana, maka masih akan tinggal di
sana untuk beberapa bulan!"
Begitu Lu Sin Kong dan Sebun It Nio mendengar itu,
tentunya dapat menduga sebab musabab pertarungan
tersebut.
-ooo0ooo-
Bab 7
Karena Lu Sin Kong pernah melukai Te Hio Hio Cu dari
Hoa San Pai, maka Hoa San Pai mengutus beberapa jago

161
untuk menangkapnya. Kelima orang itu mungkin sedang
berunding di dalam rimba, justru kepergok oleh Tam Goat Hua
sehingga terjadi pertarungan, sebab gadis itu merasa
berhutang budi kepada Lu Sin Kong dan istrinya.
Mereka berdua berpikir lama sekali, kemudian Sebun It Nio
berbisik di telinga suaminya.
"Kau dapat melihat ilmu pukulan itu, berasal dari
perguruan mana?"
Lu Sin Kong menggelengkan kepala.
"Sungguh memalukan, aku tidak mengenali ilmu pukulan
itu!"
"Aku pun tidak mengenali ilmu pukulan itu," kata Sebun It
Nio. "Tapi kalau diperhatikan dengan seksama, ilmu pukulan
itu amat aneh dan sulit diduga gerakan-gerakannya."
"Tidak salah," sahut Lu Sin Kong. "Ilmu pukulan itu
seharusnya sudah terkenal dalam rimba persilatan, tapi kita
malah tidak mengenalinya."
Di saat mereka sedang berbisik-bisik, terdengar suara
bentakan orangtua Hoa San Pai itu.
"Kalau begitu, Nona harus meninggalkan nama!"
Tam Goat Hua tersenyum simpul.
"Margaku Tam, namaku Goat Hua!" sahut gadis itu.
Ayahku bernama Tam Sen, sudah ingat?"

162
"Hm!" dengus orangtua Hoa San Pai itu. "Baik, gunung
takkan berubah, air sungai terus mengalir, kita akan berjumpa
kelak!"
Orangtua Hoa San Pai itu melesat pergi. Yang lain segera
mengikutinya. Mereka sama sekali tidak mempedulikan mayat
teman mereka itu.
Setelah mereka pergi, wajah Tam Goat Hua tampak
berseri dan menyiratkan puas. Gadis itu bersenandung sambil
melangkah keluar rimba. Kelihatannya dia menyerupai anak
gadis yang belum tahu apa-apa dan berhati polos, tapi tak
disangka, tadi kedua Hiang Cu Hoa San Pai, justru mati di
tangannya.
Lu Sin Kong ingin memunculkan diri menemui anak gadis
itu, tapi dicegah oleh Sebun It Nio. Setelah Tam Goat Hua
tidak kelihatan, barulah Sebun It Nio berkata,
"Anak gadis itu masih muda, tapi ilmu silatnya di atas kita.
Sebelum tahu jelas asal-usulnya, lebih baik kita jangan
mendekatinya!"
"Justru kepandaiannya begitu tinggi," sahut Lu Sin Kong.
"Maka aku berpikir ingin minta bantuannya."
"Kalau dia punya hubungan dengan pihak Liok Ci
Siansiang, bukankah kita yang akan masuk perangkap?" kata
Sebun It Nio.
"Tam Sen! Tam Sen..." gumam Lu Sin Kong menyebut
nama tersebut berulang kali, namun tetap tidak ingat akan
orang tersebut. Memang banyak jago dalam rimba persilatan,
tapi nama itu justru tidak diketahui orang. Seperti halnya Liok

163
Ci Siansiang, Tiat Cit Siong Jin, Liat Hwe Cousu dan Kim Kut
Lau, siapa yang tidak tahu nama mereka?
Akan tetapi, sebaliknya Tam Sen siapa dia?. Mungkin gadis
tersebut sengaja merahasiakan julukan ayahnya, kalau tidak,
tentunya ada alasan lainnya untuk dijelaskan.
Oleh karena itu, timbulnya kecurigaan Sebun It Nio,
memang masuk diakal. Setelah merapihkan pakaian, mereka
melanjutkan perjalanan. Ketika hari mulai menjelang malam,
tibalah mereka di sebuah kota, lalu bermalam di penginapan.
Mereka tidak menemui kejadian apa pun. Keesokan harinya
mereka melanjutkan perjalanan lagi. Di saat hari mulai senja,
mereka sudah tiba di luar pintu kota Su Cou.
Lu Sin Kong dan Sebun It Nio, sudah lama berkecimpung
dalam rimba persilatan. Sedangkan si Pecut Emas-Han Sun,
jauh di daerah Hun Lam, karena itu mereka tidak pernah
bertemu muka.
Mereka berdua memasuki pintu kota itu, dan yakin dapat
mencari alamat rumah Kim Pian Han Sun, karena penduduk
setempat pasti tahu rumahnya. Berjalan tak beberapa lama,
tampak sebuah Piau Kiok (Perusahaan Ekspedisi).
Ketika Lu Sin Kong baru mau menuju ke perusahaan itu
untuk menanyakan alamat rumah Han Sun, mendadak muncul
dua orang dari sebuah tikungan jalan. Mereka berpakaian
ringkas dan terlihat sebuah pecut bergemerlapan melingkar di
pinggang mereka. Kedua orang itu mengamati Lu Sin Kong
dan Sebun It Nio, kemudian menjura seraya berkata,
"Kalian berdua dari Lam Cong mengantar barang ke mari,
guru kami sudah menunggu beberapa hari."

164
Sebun It Nio menatap mereka dan bertanya.
"Guru kalian...."
Kedua orang itu menunjuk pecut yang melingkar di
pinggang masing-masing, lalu salah seorang dari mereka
menyahut,
"Guru kami adalah Kim Pian Teng Kian Kun (Si Pecut Emas
Menggetarkan Jagat), beliau bernama Han Sun."
Mendengar ucapan itu, Lu Sin Kong dan Sebun It Nio
bergirang dalam hati, sebab mereka berdua tidak usah repotrepot
mencari alamat rumah Han Sun.
"Harap kalian menunjukkan jalan!"
Kedua orang itu mengangguk, lalu berjalan. Lu Sin Kong
dan Sebun It Nio mengikuti mereka dari arah belakang. Agak
mengherankan karena kedua orang itu melalui jalan kecil yang
sepi. Setelah menikung ke sana ke mari, tak lama kemudian
sampailah di depan pintu rumah.
Rumah itu sungguh besar sekali. Di depan pintunya
terdapat dua buah singa batu dan dipinggirnya terlihat dua
orang berdiri berjaga2. Dua orang itu juga berpakaian ringkas
dengan sebuah pecut melingkar di pinggang.
Kedua penunjuk jalan tadi menghampiri mereka lalu
berkata.
"Cepat lapor kepada guru, Lu Cong Piau Tau dan istrinya
telah tiba!"

165
Kedua orang itu mengangguk, lalu segera masuk ke
dalam. Lu Sin Kong dan istrinya mengikuti kedua penujuk
jalan memasuki pintu itu. Setelah melewati halaman yang
amat luas, barulah sampai di ruang depan. Kedua penunjuk
jalan itu mempersilakan mereka duduk.
Begitu duduk, sudah ada orang menyuguhkan teh.
Tak Beberapa lama kemudian, dari dalam berjalan keluar
seorang lelaki berusia lima puluhan, sepasang matanya
bersinar-sinar.
"Selamat datang, aku Han Sun! Kalian telah capek lelah di
tengah jalan."
"Di tengah jalan...," sahut Lu Sin Kong. "Memang banyak
sekali kaum rimba persilatan menghendaki barang bawaan
kami. Namun tidak memalukan, barang itu tetap dapat kami
antarkan sampai ditempat."
Kim Pian Han Sun mengerutkan kening, kemudian berkata.
"Memang karena barang maka banyak kaum rimba
persilatan menghendakinya, dan itu merupakan hal yang
wajar. Kini barang itu telah sampai di sini, itu sungguh tidak
gampang!"
Mereka bertiga duduk. Kemudian Lu Sin Kong
mengeluarkan kotak kayu dari dalam bajunya.
Kim Pian Han Sun menjulurkan tangannya ingin menerima
kotak kayu itu, namun Sebun It Nio justru bertanya.
"Bolehkah aku bertanya, sebetulnya barang apa yang ada
di dalam kotak ini?"

166
"Maaf!" ucap Kim Pian Han Sun. "Aku punya kesulitan
untuk memberitahukan, harap maklum!" sahut Kim Pian Han
Sun.
Usai berkata begitu, dia bangkit berdiri untuk menerima
kotak kayu tersebut.
Begitu melihat Kim Pian Han Sun amat tegang, timbullah
kecurigaan dalam hati Sebun lt Nio dan membatin.
Ada orang berani memberi imbalan begitu tinggi, khusus
untuk mengantar kotak kayu tersebut ke tempat ini. Di tengah
jalan banyak kaum rimba persilatan ingin merebutnya, namun
tetap aman sampai di tempat. Tentunya tidak ada lagi yang
merebut kotak kayu itu, tapi kenapa Kim Pian Han Sun tampak
begitu tegang dan gelisah?
Berpikir sampai di situ, Sebun It Nio segera memberi
isyarat kepada Lu Sin Kong. Begitu melihat isyarat, Lu Sin
Kong cepat-cepat menarik tangannya, dan Sebun It Nio
berkata.
"Karena Han Tayhiap tidak mau memberitahukan, maka
kami pun tidak akan bertanya lagi. hanya saja... kami ingin
tahu suatu hal dari Han Thaihiap."
Tersirat lagi kegelisahan di wajah Kim Pian Han Sun,
namun hanya sekilas. Hal itu membuat Sebun It Nio semakin
bercuriga, sehingga keningnya tampak berkerut.
"Ingin tahu tentang hal apa? Katakanlah!" ujar Kim Pian
Han Sun cepat.
"Kali ini kami mengantar kotak kayu sampai di sini, dan
memperoleh imbalan yang amat tinggi. Namun kami justru

167
tidak tahu siapa orang itu, maka bolehkah Han Thaihiap
memberitahukan?" kata Sebun It Nio.
Kim Pian Han Sun tertawa.
"Itu adalah kawan lamaku, tapi aku tidak leluasa
menyebut namanya."
Sebun It Nio segera mendesak.
"Apa marganya, tentunya Han Tayhiap tidak berkeberatan
untuk memberitahukan, bukan?"
Kim Pian Han Sun tertawa terbahak-bahak lagi.
"Memang berkeberatan. Lu Cong Piau Tau serahkan saja
kotak kayu itu kepadaku, lalu tinggallah di sini beberapa hari,
bagaimana?"
Sebun It Nio terus mengajukan berbagai pertanyaan. Hal
itu dikarenakan telah timbul kecurigaan dalam hatinya.
Akan tetapi, dia bertanya kian ke mari justru tiada
hasilnya. Tentunya dia harus menyerahkan kotak kayu itu
kepada Kim Pian Han Sun.
Akhirnya dia berpaling. Dilihatnya belasan lelaki berdiri di
ruang itu. Di pinggang masing-masing melingkar sebuah Pecut
Emas. Begitu melihat itu, dalam hati Sebun lt Nio menjadi
terang.
Teringat pula akan julukan Kim Pian Teng Kian Kun, yaitu
julukan Han Sun. Tidak usah bertanya pun bisa tahu, Pecut
Emas merupakan senjata andalan Han Sun.

168
Siapa yang melihat Pecut Emas, pasti akan teringat Han
Sun. Tapi kalau dipikirkan secara seksama, justru amat
mencurigakan, sebab di pinggang orang-orang terdapat Pecut
Emas, jelas sengaja berbuat begitu.
Menyaksikan itu, dalam hati Sebun It Nio berani
memastikan, bahwa kecurigaannya beralasan. Ia langsung
menjulurkan tangannya untuk menyambar kotak kayu yang
berada di tangan Lu Sin Kong, lalu berkata.
"Entah berapa berat Pecut Emas-Han Sun itu?"
Lu Sin Kong tertegun dan membatin, kenapa pula istriku?
Di hadapan tuan rumah justru menyebut namanya langsung.
Di saat Lu Sin Kong terheran2, dan terdengar suara sahutan
Kim Pian Han Sun.
"Pecut Emasnya...."
Tercetus sampai di situ, Kim Pian Han Sun cepat-cepat
berhenti. Di saat bersamaan, Sebun It Nio menatapnya seraya
bertanya,
"Siapa kau?" Kemudian disodorkannya kotak kayu itu ke
hadapan Lu Sin Kong. "Simpanlah!"
Sementara Kim Pian Han Sun tampak tenang.
Dipandangnya Sebun It Nio seraya menyahut,
"Kenapa Lu Hujin bertanya begitu? Aku adalah Han Sun!"
"Hm!" degus Sebun It Nio. "Kalau kau Han Sun, kenapa
tadi menyahut "Pecut Emas", dan juga kenapa di pinggang
anak buahmu melingkar Pecut Emas pula?"

169
Usai berkata begitu, Sebun It Nio bangkit berdiri sekaligus
menghunus pedangnya, dan langsung menyerang dada Kim
Pian Han Sun.
Wajah Han Sun berubah. Ia cepat-cepat meloncat ke
belakang dan menyambar sebuah kursi untuk menangkis
serangan Sebun It Nio.
Lu Sin Kong juga menyadari akan adanya ketidak beresan
itu. Kakinya bergerak ke depan sekaligus mengayunkan
tangannya untuk memukul kursi tersebut.
Sedangkan pedang Sebun It Nio tetap menyerang Han Sun
dengan jurus Meteor Mengejar Bulan.
Han Sun bersiul panjang sambil mencelat ke samping,
sekaligus melemparkan kursi itu. Tangannya pun bergerak dan
sebuah senjata aneh sudah berada di tangannya, yakni
sebuah Poan Koan Pit (Pencil Cina). Senjata itu menangkis
pedang Sebun It Nio.
Ilmu pedang Sebun It Nio, masih di atas ketua Tiam Cong
Pai Sih Liok Khie. Jurus Liu Sing Kan Goat terdapat tiga
perubahan. Dapat dibayangkan betapa lihainya jurus itu.
Namun jurus yang dikeluarkan Han Sun juga aneh dan
lihay, maka terdegarlah suara benturan senjata.
Trang! Trang! Trang!
Benturan itu membuat tangan Sebun It Nio berkesemutan.
Cepat-cepat ia menggeserkan kakinya, kemudian menyerang
dengan jurus Mendorong Daun Jendela Memandang
Rembulan.

170
"Bangsat!" bentaknya mencaci. "Siapa kau?"
Han Sun tidak menyahut, melainkan memutar Poan Koan
Pitnya, sekaligus maju selangkah. Trang!
Poan Koan Pit Han Sun membentur pedang Sebun It Nio
kemudian mengarah jalan darah Yang Kut Hiat di lengan
wanita itu.
Sebun It Nio tertawa panjang.
"Cukup tinggi kepandaianmu, Bung!" katanya.
Ia menarik pedangnya untuk menangkis Poan Koan Pit,
kemudian diputar membentuk beberapa buah lingkaran dan
mengarah ke dada Han Sun. Jurus Menyiram Air Mengejutkan
Langit, merupakan jurus dalam bahaya merebut kemenangan,
kelihaiannya tak terbayangkan.
Han Sun berteriak kaget dan segera meloncat ke belakang.
Bajunya tersobek di bagian dada, sehingga tampak dadanya
yang bidang terukir huruf Poan (Hakim).
Setelah Sebun It Nio bertarung dengan Han Sun, Lu Sin
Kong sudah tahu apa gerangan yang telah terjadi. Ternyata
ada orang menyamar sebagai Han Sun untuk menipu dirinya.
Untung istrinya bercuriga, kalau tidak barang tersebut pasti
jatuh ke tangan orang itu. Namun dia pun bingung dan tidak
habis pikir, sebetulnya siapa orang yang menyamar sebagi
Han Sun itu. Kepandaiannya begitu tinggi dan tampak
berwibawa.
Sesudah baju orang itu tersobek dan terlihat huruf "Poan"
tersebut, Sebun It Nio dan Lu Sin Kong paham.

171
"Ha ha ha!" Lu Sin Kong tertawa gelak.
Sebun It Nio maju selangkah dan ketika baru mau
melancarkan serangan kembali, tiba-tiba terdengar suara.
Tang!
Orang-orang yang berdiri di situ serentak menjatuhkan diri
berlutut, dan "Han Sun" itu pun segera mundur, lalu berdiri
agak membungkuk sambil menjura.
Lu Sin Kong dan Sebun It Nio tersentak menyaksikan
keadaan itu.
Cring! Lu Sin Kong sudah menghunus goloknya diikat di
pinggangnya.
Sedangkan Sebun It Nio mundur selangkah membelakangi
punggung suaminya, sehingga mereka berdiri dengan
punggung menghadap punggung. Di saat itulah terdengar
suara tangisan lirih.
"Hati-hatilah!" bisik Sebun It Nio. "Sepanjang jalan kita
bertemu begitu banyak jago, tapi kali ini justru setan tua itu
datang sendiri."
Lu Sin Kong mengangguk.
"Aku tahu."
Setelah melihat huruf "Poan" yang terukir di dada orang
itu, Lu Sin Kong dan Sebun It Nio pun tahu bahwa itu adalah
bawahan Pak Bong San Kui Sen-Seng Ling.
Murid Kui Seng-Seng Ling memang banyak sekali. Selain
kedua putranya Kou Hun Su-Seng Cai dan Sou Mia Su-Seng

172
Bou, masih terdapat Hakim Kiri, Hakim Kanan, Setan Kepala
Kerbau, Setan Muka Kuda, Setan Tuyul dan Setan Hitam Putih.
Beberapa hari yang lalu, ketika mereka berdua bertemu
orang aneh yang memakai kain penutup muka, orang aneh itu
telah melukai Setan Hitam Putih. Ternyata Kui Sen-Seng Ling
tetap mengutus orang mengikuti mereka berdua.
Orang yang menyamar sebagai Han Sun, yang bersenjata
Poan Koan Pit dengan dada berukir huruf
"Poan" itu jelas salah satu Hakim Kiri Kanan, anak buah
Kui Sen-Seng Ling.
Sesungguhnya Kui Sen-Seng Ling tidak pernah
berhubungan dengan kaum rimba persilatan. Dia tinggal di
istana misteri di gunung Pak Bong San yang disebut Istana
Setan.
Di saat Sebun lt Nio berbisik-bisik dengan Lu Sin Kong,
suara tangisan itu semakin mendekat.
Tak Beberapa lama kemudian tampak dua sosok bayangan
berkelebat ke dalam ruang itu, Ternyata dua orang berpakaian
berkabung, yang tidak lain adalah Kou Hun Su-Seng Cai dan
Sou Mia Su-Seng Bou.
Orang yang menyamar sebagai Han Sun segera memberi
hormat, kemudian bertanya.
"Sen Kun sudah tiba?"
Seng Cai memandang Lu Sin Kong dan Sebun It Nio
sejenak lalu menyahut.

173
"Sen Kun sudah tiba."
Sebelum suara sahutan itu sirna, mendadak ruangan itu
terasa bergetar-getar. Tampak dua lelaki bertubuh tinggi
besar berjalan memasuki ruangan. Di belakang mereka
sebuah tandu yang digotong empat orang. Di dalamnya duduk
seorang aneh berjubah kuning. Wajah orang itu kehijauan,
badannya kurus kering dan sepasang matanya berbentuk
segitiga, sulit diduga berapa usianya.
Sampai di tengah ruangan, keempat orang itu menaruh
tandu ke bawah. Lu Sin Kong dan Sebun It Nio saling
memandang. Dugaan mereka memang tidak meleset, orang
aneh itu adalah Kui Sen-Seng Ling. Setelah tandu itu ditaruh
ke bawah, Kui Sen-Seng Ling melangkah keluar dari tandu itu
sambil menatap lelaki yang menyamar sebagai Han Sun.
"Kenapa tidak tampak Hakim Kanan?"
"Hakim Kanan meninggalkan kota kemarin," sahut orang
itu dengan hormat. "Dia pergi menyelidiki jejak kedua orang
ini, hingga kini belum pulang."
Kui Sen-Seng Ling terus menatapnya dan kemudian
mengeluarkan suara dengusan.
"Hingga kini masih belum pulang?"
"Ya." Orang itu mengangguk.
Perlahan-lahan Kui Sen-Seng Ling memalingkan kepalanya
untuk memandang Lu Sin Kong seraya berkata.
"Tamu agung sampai di sini, kenapa tidak duduk saja?"

174
Lu Sin Kong tertawa dingin.
"Kau menghendaki apa, katakan saja!"
"Sejak kalian berdua berangkat dari Lam Cong, aku sudah
mengutus beberapa orang untuk menghadang kalian di
tengah jalan. Kalian berdua memang tidak bernama kosong,
maka aku terpaksa ke mari. Kotak kayu yang di dalam baju Lu
Cong Piau Tau, harap diperlihatkan!"
Air muka Lu Sin Kong berubah seketika.
"Kotak kayu itu akan kusampaikan kepada si Pecut Emas-
Han Sun, bagaimana mungkin kuserahkan kepadamu?"
Kui Sen-Seng Ling tertawa dingin. Betapa tingginya
Lweekang Si Setan itu, dapat dirasakan Lu Sin Kong dan
Sebun It Nio, karena tawa dingin itu membuat mereka
merinding.
Bagian 04
"Nyawa kalian berdua dalam bahaya, tapi kenapa masih
berkeras melindungi kotak kayu itu?" kata Seng Ling.
Lu Sin Kong tampak gusar.
"Bagaimana nyawa kami dalam bahaya?"
Seng Ling tertawa aneh, kedengarannya amat
menyeramkan.

175
"Aku meninggalkan Istana Setan gunung Pak Bong San,
apakah akan pulang dengan tangan kosong?"
Dari tadi Lu Sin Kong dan Sebun It Nio sudah
mengerahkan Lweekangnya bersiap-siap. Begitu mendengar
suara tawa, Lu Sin Kong langsung menggerakkan goloknya.
"Setan tua!" bentaknya. "Aku justru akan menyuruhmu
pulang dengan tangan kosong!"
Mendadak golok di tangannya mengarah ke Kui Sen-Seng
Ling.
Kui Sen-Seng Ling tertawa dingin. Di saat ujung golok itu
hampir mengenai dirinya, mendadak badannya mencelat ke
belakang beberapa depa.
Jurus Ombak Menyapu Darat merupakan gerakan yang
amat Iihay dan cepat. Namun dengan santai si Setan-Seng
Ling mencelat ke belakang.
Lu Sin Kong bukan orang biasa. Ilmu kepandaiannya
sudah mencapai taraf yang amat tinggi, begitu pula
Lweekangnya. Begitu goloknya menyerang tempat kosong, dia
memekik gusar sambil menyerang. Jurus Ombak Menyapu
Darat berubah menjadi jurus Petir Menyambar di Tengah
Langit.
Seng Ling yang baru mencelat kebelakang, belum juga
berdiri tegak, golok itu sudah mengarah kakinya. Tanpa gugup
sama sekali Kui Sen berkelit ke kiri sekaligus menyambar
sebuah kursi, lalu bergerak cepat menangkis golok itu.
Plaaak! Kursi itu terpotong menjadi dua.

176
"Ha ha ha!" Kui Sen-Seng Ling tertawa gelak.
Suara tawanya amat menggetarkan. Dapat diketahui, Seng
Ling memiliki beberapa macam ilmu sesat yang dapat
mengacaukan pikiran, bahkan juga dapat membetot sukma.
"Lu Cong Piau Tau, sungguh lihay ilmu golokmu! Aku
kagum sekali! Tapi kalau kau tidak tahu gelagat, justru akan
mencelakai diri sendiri!"
Terhadap Datuk Sesat itu, memang sulit bagi Lu Sin Kong
melawannya. Dia segera meloncat ke belakang, ke samping
istrinya.
Mendadak mereka berdua membentak keras. Sebun It Nio
menggerakkan pedangnya, sedangkan Lu Sin Kong
mengayunkan goloknya. Mereka tidak menyerang si Setan-
Seng Ling, melainkan menerjang ke arah pintu. Beberapa
orang ingin menghadang, tapi seketika juga mereka terluka
pedang dan golok itu.
Akan tetapi, Kui Sen-Seng Ling tertawa dingin, kemudian
melesat ke arah pintu untuk mengejar mereka berdua. Para
anak buahnya pun segera melesat keluar mengikutinya.
Setelah melesat keluar, Kui Sen-Seng Ling melancarkan
sebuah pukulan dahsyat ke arah Lu Sin Kong dan Sebun It
Nio.
Mereka berdua berkelit, Kui Sen-Seng Ling tertawa aneh,
dan itu membuat jantung mereka berdua tergetar keras.
Sebun lt Nio segera berbisik pada suaminy,

177
"Aku akan menghadapinya agar dia tidak tertawa aneh.
Kau harus menghancurkan tembok itu!"
Lu Sin Kong mengangguk kemudian mengerahkan
Lweekangnya. Namun dia mencemaskan istrinya, maka
berpaling untuk melihat istrinya. Dilihat istrinya sudah
bertarung dengan Kui Sen-Seng Ling.
Walau Sebun It Nio menyerang dengan sengit sekali, tapi
pedangnya sama sekali tidak dapat menyentuh jubah Kui Sen-
Seng Ling.
Lu Sin Kong berpikir, seandainya berhasil membobol
tembok itu, belum tentu mereka berdua dapat melarikan diri.
Bukankah lebih baik dia bersama Sebun It Nio menyerang Kui
Sen-Seng Ling? Siapa tahu mereka berdua dapat mengalahkan
si Setan Tua itu. Berpikir sampai di situ, dia lalu memekik
keras sambil menyerang Kui Sen-Seng Ling.
Mereka merupakan suami istri yang sudah puluhan tahun
lamanya, tentunya tahu jelas mengenai ilmu silat masingmasing.
Oleh karena itu, mereka dapat bekerja sama dengan
baik. Sudah barang tentu serangan-serangan mereka pun
bertambah lihai.
Akan tetapi, di saat bersamaan mereka merasa ada
serangkum angin dingin mengarah mereka.
Angin dingin itu tidak begitu kuat, namun menyiarkan bau
mayat busuk yang amat menusuk hidung.
Betapa terkejutnya Lu Sin Kong dan Sebun It Nio. Mereka
berdua segera menutup pernafasan. Namun mereka sudah
merasa pusing, sehingga membuat gerakan mereka menjadi
lamban. Di saat itulah tampak Kui Sen-Seng Ling mencelat

178
keluar dari kurungan bayangan pedang dan golok, sekaligus
tertawa aneh.
"Kalian berdua sudah tersambar oleh angin pukulan Im Si
Ciang, apakah masih ingin bertarung denganku?"
Mendengar ucapan itu mereka berdua tertegun, lalu
mencoba menghimpun hawa murni. Mereka tidak merasa apa
pun, hanya perut mereka merasa mual.
Sebun It Nio tertawa dingin.
"Kau pikir kami tak dapat meninggalkan tempat ini...??!"
Kui Sen-Seng Ling tertawa terbahak-bahak. "Kalian berdua
memang dapat meninggalkan tempat ini, hanya saja harus
digotong!"
Sementara rasa mual di dalam perut mereka semakin
menjadi, sehingga belum sempat berkata sepatah pun mereka
berdua sudah muntah beberapa kali.
Wajah Kui Sen-Seng Ling yang dingin kehijauan itu,
menyiratkan rasa puas.
Sedangkan dalam hati Sebun It Nio sudah cemas sekali
lalu pikirannya membatin. "Kui Sen-Seng Ling memang tidak
bernama kosong. Karena kurang berhati-hati, justru menjadi
celaka. Kelihatannya kali ini sungguh sulit untuk meloloskan
diri."
Usia mereka suami istri sudah melewati setengah abad,
maka mati pun tidak akan merasa penasaran. Hanya saja,
putra mereka yang masih muda sudah mati terbunuh. Kalau
mereka mati, siapa pula yang akan membalas dendam itu?

179
Berpikir sampai di situ, ke gusaran Sebun It Nio jadi
memuncak.
Maka, melihat Seng Cai dan Seng Bou sedang memandang
mereka sambil tertawa aneh, mendadak timbul suatu ide
dalam hatinya. Kemudian dengan perlahan-lahan disentuhnya
Lu Sin Kong.
Sudah puluhan tahun mereka menjadi suami istri,
tentunya tahu akan isyarat tersebut. Setelah menyentuh Lu
Sin Kong, Sebun It Nio menerjang ke arah Seng Cai.
Seng Cai bergerak cepat untuk berkelit, tapi gerakan
Sebun It Nio jauh lebih cepat. Maka, tahu-tahu dia sudah
berada di belakang Seng Cai, sekaligus menotok jalan darah
Khie Hu Hiat di punggung Seng Cai dengan gagang
pedangnya.
Walau kepandaian Seng Cai cukup tinggi, namun masih
berada di bawah Sebun It Nio. Oleh karena itu, Seng Cai tak
berkutik sama sekali.
Sebun It Nio menjulurkan tangannya mencengkeram bahu
Seng Cai. Begitu jari tangannya bergerak, seketika Kou Hun
Su Seng Cai langsung terkulai.
Barulah Sebun It Nio berpaling. Dilihatnya golok Lu Sin
Kong berkelebatan, sedangkan sepasang telapak tangan si
Setan-Seng Ling bergerak, cepat sekali, sehingga membuat Lu
Sin Kong terkurung di dalam bayangan telapak tangannya.
Sebun It Nio segera menudingkan ujung pedangnya ke
tenggorokan Seng Cai, kemudian berteriak.

180
"Setan Tua! Kalau kau tidak berhenti, nyawa setan kecil ini
pasti melayang!"
Di saat Sebun It Nio berteriak, di saat itu pula Lu Sin Kong
melesat ke arah Seng Bou. Karena si Setan-Seng Ling agak
lengah, maka kesempatan tersebut dimanfaatkan Lu Sin Kong.
Betapa terkejutnya Seng Bou. Dia ingin berkelit tapi
terlambat, sebab golok Lu Sin Kong sudah menempel di
punggungnya.
Di saat bersamaan, si Setan-Seng Ling pun bergerak cepat
sambil menjulurkan tangannya, dan menempel di punggung
Lu Sin Kong.
"Ha ha ha!" Lu Sin Kong tertawa gelak. "Bagus.. bagus
dua tukar satu! Setan Tua, kau yang rugi!"
Seng Ling mendengus. Wajahnya semakin menghijau tak
berperasaan.
"Lu Cong Piau Tau, jangan salah hitung! Dua tukar dua!"
sahutnya dingin.
Mendengar itu Lu Sin Kong dan Sebun It Nio mendadak
mulai merasa mual lagi, akibat tersambar oleh ilmu Pukulan
Mayat yang dilancarkan si Setan-Seng Ling tadi. Karena itu,
mereka berdua tahu kenapa Datuk Sesat mengatakan "Dua
tukar dua" Itu memang beralasan.
Sebun It Nio tertawa dingin.
"Setan Tua! Walau dua tukar dua, namun kau akan putus
turunan!"

181
Si Setan-Seng Ling juga tertawa dingin. "Sama-sama!"
Sahutan si Setan itu justru sungguh menggetarkan hati Lu
Sin Kong dan Sebun It Nio.
"Sama-sama" berani kalau si Setan-Seng Ling putus
turunan, mereka berdua pun putus turunan.
Itu pertanda si Setan-Seng Ling tahu tentang kejadian itu,
hal tersebut tentu saja amat mengejutkan Lu Sin Kong dan
Sebun It Nio.
-ooo0ooo-
Bab 8
Boleh dikatakan, selain mereka berdua, tiada orang lain
yang tahu akan kejadian itu, termasuk para piausu bawahan
Lu Sin Kong.
Tentunya, tidak hanya mereka berdua yang tahu. Si
pembunuhnya pun pasti tahu. Bagaimana si Setan tua itu
mengetahui akan kejadian tersebut.
Setelah hilang rasa terkejutnya, Sebun It Nio segera
bertanya.
"Bagaimana kau bisa tahu?"
Si Setan tua tertawa terkekeh-kekeh.
"Walau aku tinggal di Istana Setan, tapi apa yang terjadi di
kolong langit ini, aku tahu semua!"

182
Begitu teringat akan kematian anak kesayangan yang
mengenaskan, darahnya bergolak sehingga berteriak tanpa
terkendali.
"Setan Tua, kau juga ikut mengambil bagian?"
Si Setan-Seng Ling tertawa dingin. Namun ketika dia baru
mau berkata, mendadak terdengar suara kereta dari arah luar.
Sepertinya kereta itu menerobos ke dalam halaman, kalau
tidak, bagaimana mungkin suaranya terdengar begitu jelas.
Kemudian terdengar pula suara bentakan.
"Siapa berani mengacau di sini?"
Menyusul terdengar suara jeritan, lalu terdengar pula
suara gedebak-gedebuk seperti suara orang jatuh.
Itu sungguh membingungkan semua orang yang berada di
dalam ruangan. Mendadak terlihat beberapa orang berjalan ke
dalam.
Begitu melihat, tercenganglah Lu Sin Kong, karena orang
yang berjalan duluan, yang berpakaian mewah dan berdandan
sebagai pengurus rumah itu ternyata Ki Hok, yang setengah
bulan lalu menitip kotak kayu untuk diantar ke kota Su Cou.
Empat orang yang berjalan di belakangnya, berdandan
sebagai pembantu yang juga pernah bertemu di Lam Cong.
Setelah mereka berlima masuk ke dalam, tampak pula
beberapa anak buah si Setan-Seng Ling, termasuk si Hakim
Kiri.

183
Akan tetapi, orang-orang itu hanya mengambil sikap
mengurung, sama sekali tidak berani bertindak apa-apa.
Sementara Ki Hok memberi hormat kepada si Setan-Seng
Ling, kemudian berkata,
"Majikanku berada di dalam kereta. Apakah Tuan Seng
ingin bertemu?"
Berdasarkan dugaan Lu Sin Kong dan Sebun It Nio, saat
itu si Setan tua dalam keadaan marah besar. Sedangkan
kepandaian Ki Hok tidak begitu tinggi. Maka, asal si Setan itu
mengayunkan tangan, nyawa Ki Hok pasti melayang seketika.
Tapi urusan justru di luar dugaan. Seng Ling sama sekali
tidak turun tangan terhadap Ki Hok, hanya menyahut dengan
dingin.
"Kami sudah bertemu di Lam Cong, untuk apa bertemu
lagi?"
Ki Hok membungkukkan badannya sedikit sambil memberi
hormat.
"Tuan Seng boleh tidak bertemu, namun majikanku
berharap Tuan Seng menepati janji yang dicetuskan di Lam
Cong, yaitu tidak akan merebut barang kawalan Lu Cong Piau
Tau."
Wajah si Setan-Seng Ling yang menyerupai mayat, saat ini
justru berubah menjadi menyeramkan. Lama sekali, barulah
dia tertawa mendadak, kemudian dengan tiba-tiba menerjang
ke arah Ki Hok.

184
Ki Hok tetap berdiri tak bergeming sedikit pun. Mendadak
badan Seng Ling berputar, dan menerjang ke arah Sebun It
Nio.
Ketika Sebun It Nio menyadari apa yang telah terjadi, di
saat bersamaan terdengar pula suara "Trang" yang amat
nyaring.
Ternyata Seng Ling telah berhasil menyentil pedang Sebun
It Nio, bahkan bersamaan itu pula ia menotok jalan darah Sam
Kian Hiat di tangan Sebun It Nio. Di saat itu pula Seng Ling
menggerakkan kakinya untuk menendang Seng Cai, sekaligus
membuka jalan darahnya yang tertotok itu.
Beberapa gerakan itu dilakukan Seng Ling laksana kilat. Ia
menerjang, menyentil pedang, menotok jalan darah,
menendang Seng Cai dan membuka jalan darahnya yang
tertotok. Semua itu dilakukan Seng Ling dalam waktu sekejap.
Betapa gusarnya Sebun It Nio, namun juga merasa kagum
akan kepandaian si Setan-Seng Ling.
Setelah berhasil menyelamatkan Seng Cai, si Setan-Seng
Ling segera melayang ke arah Seng Bou.
Dan Tangannya telah memegang bahu Seng Bou.
"Lu Cong Piau Tau!" katanya dingin. "Apakah engkau ingin
mengadu Lweekang denganku?"
Ketika tangan si Setan-Seng Ling menyentuh bahu Seng
Bou, tangan Lu Sin Kong yang mencengkeram bahu kiri Seng
Bou merasa ada serangkum tenaga lunak menggetar
tangannya.

185
Lu Sin Kong tahu bahwa si Setan-Seng Ling telah berhasil
menguasai ilmu Pik San Tah Gu (Memukul Kerbau Di Seberang
Gunung).
Lu Sin Kong tertawa panjang. Setelah itu, dia melepas
cengkeramannya sekaligus meloncat ke belakang beberapa
depa.
Di saat bersamaan, si Setan-Seng Ling bersiul panjang lalu
mundur ke pintu lain. Seng Cai, Seng Bou dan lainnya juga
melesat ke arah pintu itu. Datang dan pergi laksana setan saja
"Datang tak dijemput Pulang tak diantar. Maka, walau di siang
hari, namun tetap membuat orang merinding karenanya.
Lu Sin Kong dan Sebun It Nio, justru tidak habis pikir
mengenai si Setan-Seng Ling dan lainnya, yang sudah
meninggalkan Istana Setan Pak Bong San, namun malah
mundur lantaran ucapan Ki Hok. Ketika Lu Sin Kong berpaling
ingin bertanya sesuatu kepada orang tersebut, tapi di ruangan
itu sudah tidak tampak seorang pun. Ki Hok dan keempat
pembantu sudah tidak kelihatan.
Pada saat bersamaan, di luar terdengar suara kereta.
Mereka berdua segera melesat keluar. Tampak sebuah kereta
kuda mewah bergerak ke depan. Sebun It Nio cepat-cepat
berseru.
"Kereta yang di depan harap berhenti!" Kemudian ia
melesat ke arah kereta itu, diikuti Lu Sin Kong dari belakang.
Kereta itu berlari cepat sekali, tapi Sebun It Nio dan Lu Sin
Kong mengerahkan ginkang, maka dapat menyusul kereta
tersebut. Mendadak terdengar suara harpa yang amat nyaring
membuat hati tergetar.

186
Lu Sin Kong dan Sebun It Nio tidak tahu dari mana
datangnya suara itu. Mereka tertegun, bahkan pikiran mereka
agak kacau. Seketika mereka tidak berani bergerak. Keduanya
memejamkan mata sambil menghimpun hawa murni untuk
melawan suara harpa itu.
Berselang beberapa saat, suara harpa itu mulai merendah.
Barulah mereka membuka mata. Namun apa yang mereka
saksikan? Ternyata jalan itu sepi-sepi saja, tidak tampak
bayangan kereta. Mereka berdua segera mencari ke sana ke
mari, tapi sama sekali tidak menemukan jejak kereta itu.
Akhirnya mereka berdua berhenti, Lu Sin Kong menghela
nafas panjang, kemudian bertanya,
"Hujin, apakah Liok Ci Siansing yang memetik harpa tadi?"
Air muka Sebun It Nio berubah tak menentu, lama sekali
barulah menyahut.
"Bagaimana mungkin Liok Ci Siansing memiliki Lweekang
setinggi itu?"
Sebun It Nio menyahut demikian, karena tadi mereka
berdua telah terpengaruh oleh suara harpa itu.
Begitu terpengaruh, mereka berdua merasa pusing dan
seakan kehilangan sukma. Suara harpa itu jauh lebih lihai dari
Kui Khau Sin Hau (Ilmu Ratapan Setan) milik Kui Sen-Seng
Ling.
Kedudukan Bu Yi San Liok Ci Siansing dalam rimba
persilatan memang tinggi sekali. Namun dengan hanya suara
harpa dapat mempengaruhi Lu Sin Kong dan Sebun It Nio
sampai begitu terpengaruh akibatnya sungguh sulit dipercaya!

187
Lu Sin Kong bertanya lagi.
"Sebetulnya siapa dia?"
Sebun It Nio menggeleng-gelengkan kepala. "Entahlah!"
Mereka berdua saling memandang, lalu tertawa getir, Lu
Sin Kong merogoh ke dalam bajunya, kotak kayu masih
tersimpan di sana.
Demi sebuah kotak kayu itu, mereka sepanjang jalan
entah sudah mengikat berapa banyak musuh tangguh. Sampai
di tempat, justru bertemu si Setan-Seng Ling, bahkan juga
tersambar oleh angin pukulan Im Si Ciang. Bagaimana
akibatnya, mereka berdua sama sekali tidak mengetahuinya,
mereha hanya bisa tersenyum getir saja.
Mereka berdua segera menghimpun hawa murni, untuk
menekan rasa mualnya. Setelah itu, barulah mereka berdua
meninggalkan jalan kecil tersebut.
Tak lama kemudian mereka tiba di jalan besar, Lu Sin
Kong bertanya kepada orang tentang alamat rumah Han Sun.
Mereka tak bertanya pada satu orang saja, tapi bertanya
kepada hampir puluhan orang yang berbeda, untuk
menghindari penipuan yang baru saja mereka alami.
Setelah melewati beberapa jalan, mereka akhirnya berhasil
mencari rumah tersebut.
Suasana di depan rumah itu tampak sepi. Lu Sin Kong
mengetuk pintu. Tak lama kemudian muncul seorang
pembantu tua. Begitu mendengar mereka ingin menemui Han
Sun, pembantu tua itu segera menggoyang-goyangkan
sepasang tangannya.

188
"Majikan kami belum lama ini tidak mau bertemu tamu
yang mana pun. Kalian berdua sia-sia ke mari!"
Usai berkata begitu, pembantu tua itu bersiap untuk
menutup pintu, namun Sebun It Nio segera mencegahnya.
"Tolong beritahukan kepada Han Thaihiap, bahwa kami
berdua datang dari Lam Cong, marga suamiku Lu! Seorang
bermarga Ki menitip suatu barang untuknya, dia pasti bersedia
menemui kami!"
Pembantu tua itu masih kurang percaya. Ia tampak
berpikir, sejenak kemudian barulah berkata.
"Harap kalian berdua menunggu di sini, aku akan ke dalam
melapor!"
Pembantu tua itu menutup pintu, lalu berjalan ke dalam.
Lu Sin Kong mengeluarkan suara "Hm", kemudian berkata,
"Kim Pian Han Sun agak keterlaluan!"
Sebun It Nio malah tertawa dingin.
"Sin Kong, sepanjang jalan kita telah mengalami berbagai
kejadian aneh. Mungkin urusan yang lebih aneh, justru belum
terjadi."
"Maksudmu?" tanya Lu Sin Kong.
"Lihatlah keadaan ini!" sahut Sebun It Nio. "Si Pecut Emas-
Han Sun jelas tidak tahu siapa akan mengantar barang
kepadanya, bukankah itu sungguh aneh sekali?"

189
Di saat Lu Sin Kong ingin membuka mulut, pintu itu
terbuka mendadak, yang muncul adalah pembantu tua tadi.
"Majikan kami bilang, kalian berdua datang dari Lam Cong
dan bermarga Lu, tentunya adalah pemimpin Thian Houw Piau
Kiok Lu Cong Piau Tau dan istrinya."
"Tidak salah," sahut Sebun It Nio cepat.
"Kata majikan kami, beliau amat kagum pada kalian
berdua. Beliau memang ingin bertemu, namun baru-baru ini
banyak urusan, maka terpaksa menolak tamu. Harap kalian
berdua maklum," kata pembantu tua.
Usai berkata begitu, pembantu tua itu memandang mereka
berdua, seakan menyuruh mereka berdua cepat pergi.
Lu Sin Kong dan Sebun It Nio menarik nafas dingin.
Mereka berdua bersusah payah barulah sampai di tempat ini,
bahkan tersambar angin pukulan Im Si Ciang pula. Bagaimana
akibatnya mereka masih belum tahu. Kini sudah tiba di tempat
tujuan, malah memperoleh perlakuan begitu macam. Dapat
dibayangkan betapa gusarnya mereka berdua.
"Sungguh keterlaluan!" caci Lu Sin Kong.
Sebun It Nio segera berkata.
"Pak tua, kau tidak memberitahukan kepada Han Thaihiap,
bahwa kami membawa barang titipan dari orang bermarga Ki
untuk disampaikan kepadanya?"
Pembantu tua itu mengeluarkan suara "Hah", lalu
menepuk keningnya sendiri sambil tertawa.

190
"Kalau usia sudah tua, maka jadi pikun! Harap kalian
berdua tunggu sebentar!"
Pembantu tua itu menutup pintu lagi, kemudian berjalan
ke dalam.
Sebun It Nio memandang Lu Sin Kong lalu berkata.
"Bagaimana menurutmu?"
"Sungguh mengherankan. Sepanjang jalan sudah begitu
banyak orang tahu, tapi dia sendiri justru tidak tahu sama
sekali, itu amat membingungkan," sahut Lu Sin Kong.
Kening Sebun It Nio berkerut-kerut.
"Sebuah kotak kayu kosong, tapi golongan lurus dan sesat
ingin merebutnya. Bahkan Hui Yan Bun pun mengutus seorang
murid perempuan untuk merebutnya pula. Namun si pemilik
barang malah tidak tahu tentang itu. Lagipula kelihatannya,
orang bermarga Ki itu telah tiba di kota Su Cou duluan, tapi
kenapa harus kita yang ke mari?"
"Begitu kau menyinggung orang itu, aku pun merasa
curiga," kata Lu Sin Kong dan melanjutkan.
"Coba pikir, si Setan itu orang macam apa? Tapi si Ki Hok
hanya mengucapkan beberapa perkataan, Datuk Sesat itu pun
langsung berlalu. Coba katakan, orang bermarga Ki itu orang
macam apa?"
"Entahlah! Mungkinkah dia yang memetik harpa mencegah
kita mengejar kereta kuda itu?" sahut Sebun It Nio.

191
Ketika Lu Sin Kong baru mau membuka mulut, pintu itu
terbuka lagi, dan yang muncul tetap pembantu tua tadi.
"Majikan kami bilang, beliau tidak punya kawan bermarga
Ki, juga tidak akan ada suatu barang diantar ke mari. Kalian
berdua pasti sudah keliru."
Begitu mendengar itu, kemarahan Lu Sin Kong memuncak
sehingga langsung membentak.
"Sungguh keterlaluan, bagaimana mungkin kami keliru?"
Blaaak!
Lu Sin Kong menghantam pintu itu, membuat pembantu
tua itu terpental beberapa langkah. Pintu itu pun terbuka
lebar. Lu Sin Kong segera berjalan ke dalam.
"Han Thaihiap!" serunya. "Kami ke mari dari Lam Cong,
bahkan bersusah payah pula demi kau! Kenapa kau malah
tidak mau bertemu kami? Kami masih ada urusan lain, tidak
bisa menunggu terlalu lama!"
Suara Lu Sin Kong bergema ke dalam rumah. Kemudian
terdengar suara batuk-batuk dari dalam rumah itu, disusul
suara sahutan.
"Lu Cong Piau Tau datang dari tempat jauh, berdasarkan
aturan tentunya aku harus menyambut. Tapi belum lama ini,
aku mengalami sesuatu yang amat menyedihkan, maka tidak
mau bertemu tamu dari mana pun. Kalau benar ada suatu
barang untukku, harap serahkan saja kepada pembantu tua
itu!"

192
"Hm!" dengus Lu Sin Kong. "Han Thaihiap, apa yang kami
alami, mungkin lebih dari menyedihkan lagi! Sepanjang jalan
muncul Hui Yan Bun, Tai Ci Bun dan juga orang aneh dalam
rimba persilatan Kim Kut Lau, kemudian muncul pula si Setan
Seng Ling dari gunung Pak Bong San. Semuanya ingin
merebut barang itu, bagaimana mungkin dapat kuserahkan
kepada pembantu tuamu itu?"
"Oh?" Han Sun terkejut. "Sebetulnya barang apa itu?"
Sebun It Nio menyela dengan suara nyaring. "Kami justru
ingin bertanya padamu apa sebetulnya barang itu!"
"Harap kalian berdua tunggu sebentar, aku akan keluar
menemui kalian!" terdengar suara sahutan.
Lu Sin Kong dan Sebun It Nio melangkah ke ruang besar.
Tak lama setelah mereka duduk, tampak seorang bertubuh
tinggi dan seorang pendek berjalan keluar.
Yang tinggi itu berwajah agak kuning, sepasang alisnya
bagaikan golok, berjenggot dan sepasang matanya agak sipit.
Sedangkan yang pendek adalah seorang gadis kecil yang
bermata besar. Begitu keluar sepasang bola matanya berputar
ke sana ke mari, Lalu berhenti ke arah Lu Sin Kong dan Sebun
It Nio.
Lelaki berusia pertengahan itu tersenyum getir.
"Sudah lama aku mendengar nama besar kalian berdua,
harap memaafkan aku yang berlaku kurang hormat!"
Lu Sin Kong dan Sebun It Nio memandangnya. Walau
orang yang berbicara itu tampak tidak begitu bersemangat,
namun tetap tidak kehilangan sikap sebagai orang rimba

193
persilatan. Oleh karena itu, mereka berdua pun
membungkukkan badan sebagai penghormatan. Perlahanlahan
si Pecut Emas membelalakkan matanya, kelihatannya
seperti merasa terkejut.
"Tadi kalian berdua menyinggung si Setan Seng Ling,
apakah kalian bertarung dengannya?"
"Ketika kami tiba di Su Cou, kami bertemu para anak buah
Seng Ling yang menyamar sebagai dirimu. Tujuan mereka
ingin merebut barang itu. Kemudian barulah muncul si Setan-
Seng Ling."
Si Pecut Emas berpaling memandang anak gadis kecil itu
seraya berkata,
"Ah Shia, pergilah kau ke kamarku, ambilkan botol kristal!"
"Ayah," tanya anak gadis kecil itu. "Apakah botol kristal
yang berisi obat Kiu Coan Siau Hoan Tan itu?"
Han Sun mengangguk.
"Tidak salah." jawabnya.
Lu Sin Kong dan Sebun It Nio saling memandang. Dalam
hati masing-masing berpikir, sungguh tak bernama kosong si
Pecut Emas-Han Sun! Obat Kiu Coan Siau Hoan Tan,
merupakan obat peninggalan orang aneh jaman dulu di dalam
sebuah goa di gunung Lo Fou San. Benda itu adalah suatu
benda pusaka dalam rimba persilatan. Kala itu gara-gara obat
tersebut, telah menimbulkan bencana dalam rimba persilatan
pula.

194
Setelah anak gadis kecil itu masuk ke dalam, barulah si
Pecut Emas-Han Sun berkata,
"Kalian berdua terkena racun aneh, itu tentu perbuatan si
Setan-Seng Ling...."
Suaranya amat perlahan. Di saat bersamaan anak gadis
kecil itu sudah datang lagi dengan membawa sebuah botol
kristal. Tampak di dalamnya ada dua butir obat berwarna
hijau, sebesar-besar biji kelereng.
Han Sun mengambil botol kristal itu seraya berkata.
"Untung aku masih punya dua butir obat Kiu Coan Siau
Hoan Tan ini. Kalian makanlah obat ini! Racun aneh yang
mengidap di dalam tubuh kalian pasti dapat dipunahkan."
Usai berkata begitu, Han Sun menyodorkan botol kristal itu
ke hadapan Lu Sin Kong.
Lu Sin Kong segera berkata.
"Kita baru bertemu muka, tapi Anda telah berbuat baik
pada kami, cara bagaimana kami membalasnya?"
Si Pecut Emas-Han Sun tersenyum getir.
"Kalian berdua amat terkenal. Sungguh menyesal kita agak
terlambat bertemu! Kalau soal membalas budi, itu tidak perlu
sama sekali."
Lu Sin Kong menerima botol kristal itu, lalu disimpan ke
dalam bajunya.

195
"Kami suami istri amat berterima kasih atas kebaikan
Anda."
Lu Sin Kong mengeluarkan sebuah kotak kayu, kemudian
diserahkan kepada si Pecut Emas-Han Sun.
Ketika dia mengeluarkan kotak kayu itu, dalam hatinya
merasa heran sekali, karena bentuk, ukuran dan besar kotak
itu tetap, namun beratnya bertambah.
Sudah dua kali Lu Sin Kong dan Sebun It Nio membuka
kotak itu, di dalamnya tidak terdapat apa pun.
Namun saat ini, kotak itu bertambah berat. Maka ia amat
heran, sehingga nyaris menarik kembali tangannya.
Akan tetapi, kotak kayu itu telah disodorkannya ke
hadapan Han Sun, lagipula ia merasa tidak enak membuka
kotak kayu itu di hadapan Han Sun.
"Hujin, tadi apa yang kau katakan di luar memang tidak
salah." katanya sambil memandang istrinya.
Maksud Lu Sin Kong, tadi istrinya mengatakan bahwa
urusan yang lebih aneh masih belum terjadi.
Sebun It Nio tahu akan maksud perkataan itu, hanya dia
tidak tahu Lu Sin Kong menunjukkan tentang apa.
Saat ini Sebun It Nio merasa tidak enak untuk bertanya,
maka diam saja. Sedangkan Lu Sin Kong masih memegang
kotak kayu tersebut.
Itu menyadarkan Sebun It Nio, yang aneh pasti kotak kayu
itu, namun tetap tak terpikirkan apa keanehannya.

196
Ketika mereka berdua dicekam rasa heran, si Pecut Emas-
Han Sun justru berkata.
"Apakah kotak kayu ini untukku?"
"Tidak salah," sahut Lu Sin Kong cepat.
Han Sun memperlihatkan wajah tidak mengerti.
"Walau pergaulanku cukup luas, namun aku tidak punya
kawan bermarga Ki. Kotak kayu ini telah menyebabkan begitu
banyak jago tangguh bermaksud merebutnya. Tentunya
benda yang di dalamnya pasti luar biasa sekali."
Sembari berkata dia menjulurkan tangannya untuk
menerima kotak kayu tersebut.
Sesungguhnya saat ini dalam hati Lu Sin Kong timbul rasa
keberatan menyerahkan kotak kayu itu, karena merasa kotak
kayu itu agak berat, maka ingin tahu barang apa yang ada di
dalam kotak kayu tersebut.
Seingatnya, dia hanya pernah mengeluarkan satu kali
kotak kayu itu di hadapan para anak buah si Setan-Seng Ling,
kemudian disimpannya ke dalam bajunya dengan hati-hati
sekali, tentunya tidak mungkin ditukar orang di tengah jalan.
Pecut Emas-Han Sun telah menjulurkan tangannya untuk
menerima kotak kayu itu, sudah barang tentu dia harus
menyerahkannya.
Setelah menerima kotak kayu itu, si Pecut Emas-Han Sun
segera merobek kertas segelnya, sekaligus membukanya.

197
Saat ini, Lu Sin Kong dan Sebun It Nio sudah duduk di
hadapan si Pecut Emas-Han Sun. Ketika dia membuka kotak
kayu itu, pandangan mereka berdua terhalangi oleh tutup
kotak.
Sesungguhnya mereka berdua ingin sekali melihat isi kotak
kayu itu, namun malah tidak dapat melihatnya.
Mereka hanya dapat melihat wajah si Pecut Emas-Han Sun
berubah hijau setelah melihat isi kotak kayu itu, sedangkan
anak gadis kecil itu mengeluarkan jeritan tak tertahan sambil
rnenyurut mundur beberapa langkah.
Tersentaklah hati Lu Sin Kong dan Sebun It Nio. Namun
mereka tidak tahu barang apa yang dilihat si Pecut Emas-Han
Sun dan gadis itu. Sementara wajah si Pecut Emas-Han Sun
masih tampak hijau. Dia menutup kotak kayu itu, lalu
menaruhnya di atas meja. Kemudian dia berpaling seraya
berkata,
"Ah Shia, ambilkan Pecut Emasku di kamarku!"
Anak gadis kecil itu mengangguk, lalu segera ke dalam,
tapi masih sempat melototi Lu Sin Kong dan Sebun It Nio.
Sungguh mengherankan, sepasang mata anak gadis kecil itu
penuh diliputi rasa dendam.
Mereka berdua terheran-heran. Sedangkan jari tangan Han
Sun terus mengelus-elus kotak kayu itu, dan tak beberapa
lama kemudian, air matanya meleleh deras.
Terkejutlah Lu Sin Kong.
"Han Thaihiap, kau...."

198
Si Pecut Emas-Han Sun mengibaskan tangannya, agar Lu
Sin Kong tidak melanjutkan ucapannya.
Tentunya amat mengherankan Lu Sin Kong. Dia segera
memandang Sebun It Nio yang langsung menggelengkan
kepala, pertanda dia pun tidak tahu apa-apa.
Seketika suasana di ruang itu berubah menjadi hening
mencekam, bahkan juga terasa akan terjadi sesuatu.
Tak Beberapa lama kemudian anak gadis kecil itu sudah
kembali ke ruang tersebut dengan membawa sebuah Pecut
Emas, yang kemudian ditaruhkannya di atas meja.
Pecut Emas itu bergemerlapan. Dapat diduga bahwa itu
merupakan Pecut Emas pusaka yang amat lembut pula.
Han Sun menjulurkan tangannya untuk menyambar Pecut
Emas itu. Kemudian dengan perlahan-lahan ia bangkit berdiri
dan sekaligus menanggalkan jubah panjangnya yang
kemudian ditaruh pada sandaran kursi. Setelah itu, dia
menuding Lu Sin Kong dan Sebun It Nio.
"Sudah lama kudengar ilmu golok Lu Cong Piau Tau amat
lihay, dan Lu Hujin memiliki ilmu pedang yang amat dahsyat,
maka aku ingin mohon petunjuk."
Ketika melihat Han Sun menyambar Pecut Emasnya, hati
Lu Sin Kong dan Sebun It Nio merasa heran.
Kini Han Sun mencetuskan tantangan, itu membuat
mereka berdua semakin tercengang. Tadi Han Sun
menghadiahkan dua butir obat Kiu Coan Siau Hoan Tan,
namun saat ini malah menantang mereka bertarung.
Bukankah itu merupakan hal yang amat aneh?

199
Karena itu, Lu Sin Kong segera berkata.
"Han Thaihiap, kita baru bertemu, kenapa harus
bertarung?"
Si Pecut Emas-Han Sun mendongakkan kepalanya,
kemudian tertawa gila yang penuh mengandung rasa dendam
dan kesedihan.
"Kalian berdua masih tidak mau memberi petunjuk
padaku?"
Sebun It Nio segera menyahut.
"Kami dengan kau, sama sekali tidak punya permusuhan
apa-apa, kenapa harus bertarung?"
Si Pecut Emas-Han Sun tertawa dingin. Mendadak anak
gadis kecil itu berkata.
"Ayah, untuk apa masih omong kosong dengan mereka?
Cepatlah membalas dendam adik!"
Si Pecut Emas-Han Sun memekik gusar. "Ah Shia, betul
katamu!"
Usai berkata begitu, si Pecut Emas-Han Sun segera
menggerakkan Pecut Emasnya ke arah Lu Sin Kong.
Serrrt! Serrrt...! Terdengar suara aneh.
Pecut Emas itu meliuk-liuk indah mengarah Lu Sin Kong.
Gerakannya tampak lemah gemulai, namun amat cepat seperti
kilat.

200
Ketika mendengar ucapan anak gadis kecil itu menyuruh
ayahnya membalas dendam adiknya, Lu Sin Kong semakin
terheran-heran. Di saat bersamaan pecut itu telah mengarah
dirinya. Tiada kesempatan baginya untuk menjelaskan, cepatcepatlah
ia berkelit, Pecut Emas itu menyambar kursi yang
didudukinya tadi.
Sungguh mengherankan, sama sekali tidak ada suara,
namun kursi itu telah hancur berkeping-keping. Setelah
berkelit, Lu Sin Kong berseru cepat. "Han Thaihiap, harap
dengar perkataanku!"
Si Pecut Emas-Han Sun tertawa dingin. "Masih mau omong
apa?"
Serrt! Pecut Emas itu meliuk-liuk lagi ke arah Lu Sin Kong.
Saat ini, Sebun It Nio sudah tidak dapat bersabar lagi.
Tiba-tiba terdengar suara "Trang", ternyata wanita itu telah
menghunus pedangnya, dan langsung menyerang si Pecut
Emas dengan jurus Liu Sing Kan Goat (Meteor Mengejar
Bulan).
Serangan itu amat cepat dan mendadak, menyabet Pecut
Emas. Namun Pecut Emas itu tidak putus, seakan menyabet
benda yang amat lunak.
Di saat bersamaan, ujung Pecut Emas itu berputar
menyerang Sebun It Nio, sehingga wanita itu terpaksa
meloncat ke belakang.
"Han Thaihiap, ada apa silakan bicara! Kenapa harus
bertarung?" bentaknya sengit.

201
Wajah si Pecut Emas tampak berduka sekali. "Hm!"
dengusnya dingin. Namun ketika dia baru mau membuka
mulut, anak gadis kecil itu telah mendahuluinya.
"Ayah bisa bersabar, tapi aku tidak!"
Mendadak anak gadis kecil itu melesat ke hadapan Sebun
It Nio, lalu mengayunkan tangannya dan tampak tiga titik
cahaya meluncur keluar dari tangannya. Di saat bersamaan,
gadis itu bergerak lagi, tahu-tahu sudah muncul sebuah
senjata aneh di tangannya. Sebelum Sebun It Nio melihat
dengan jelas senjata itu, gadis tersebut telah melancarkan
serangan kilat ke arah dadanya.
Bukan main terkejutnya Sebun It Nio. Tanpa ayal lagi ia
bergerak cepat menghindari tiga buah senjata rahasia itu.
Akan tetapi, senjata yang di tangan anak gadis kecil itu
justru telah mengarah dadanya. Sulit bagi Sebun It Nio untuk
berkelit lagi, maka terpaksa harus menangkis senjata itu
dengan pedang nya.
Trang! Terdengar suara benturan senjata.
Anak gadis kecil itu termundur-mundur beberapa langkah,
namun Sebun lt Nio juga merasa genggamannya menjadi
ringan, ternyata pedangnya telah kutung.
Sebun It Nio tersentak hatinya dan segera memandang
anak gadis kecil itu. Yang disebut senjata aneh itu merupakan
sebuah rantai yang bergemerlapan, tapi pada ujungnya
terdapat sebuah gelang merah seperti darah.
Walau anak gadis kecil itu berdiri diam ditempat, namun
gelang itu masih terus berputar. Bagi kaum rimba persilatan

202
yang berpengetahuan, tentunya tahu senjata itu milik seorang
pendekar wanita, yang berjuluk Hwe Hong Sian Kouw. Senjata
aneh yang amat terkenal itu adalah Liat Hwe Soh Sim Lun
(Gelang Api).
Senjata aneh itu dibikin dari semacam baja murni, maka
tidak mengherankan kalau pedang Sebun It Nio kutung ketika
menangkis senjata aneh itu.
Anak gadis kecil itu memegang senjata Liat Hwe Soh Sim
Lun, tentunya punya hubungan erat dengan Hwe Hong Sian
Kouw. Itu membuat Sebun It Nio merasa gusar dan terkejut.
Sebun It Nio tergolong pendekar wanita yang amat
tersohor, namun Hwe Hong Sian Kouw justru merupakan
wanita yang amat luar biasa.
Sesungguhnya jejak Hwe Hong Sian Kouw muncul di Tiang
Kang dan daerah utara, sedangkan Sebun It Nio bertempat
tinggal di Hun Lam, maka kedua pendekar wanita itu tidak
pernah bertemu.
Namun beberapa tahun lalu, Sebun It Nio menerima
undangan dari seseorang untuk mengurusi suatu masalah.
Kebetulan pihak lain pun mengundang beberapa jago
tangguh, termasuk Hwe Hong Sian Kouw. Sifatnya juga
seperti api yang menyala, sedangkan Sebun It Nio juga
tergolong wanita yang tak sabaran. Begitu bertemu, kedua
pendekar wanita itu langsung bertarung.
Akan tetapi, tiga buah pedang Sebun It Nio justru kutung
oleh senjata aneh Liat Hwe Soh Sim Lun. Hwe Hong Sian
Kouw menyindirnya, sehingga membuat Sebun It Nio gusar
sekali, dan langsung pergi tanpa pamit.

203
Sebelum mereka berdua berpisah, masing-masing telah
mencetuskan suatu janji untuk bertarung lagi. Hal tersebut
diketahui oleh kaum rimba persilatan, maka kaum rimba
persilatan menasihati mereka agar tidak bertarung lagi.
Oleh karena itu, ketika mereka bertemu, tidak pernah
bertarung lagi, bahkan terpaksa berdamai pula. Walau hal itu
sudah berlalu cukup lama, namun hati Sebun It Nio tetap
terganjel, dan ganjelan itu tak pernah hilang.
Kini melihat senjata Liat Hwe Soh Sim Lun itu, ganjelan
dalam hatinya Sebun It Nio bergolak.
"Gadis kecil, senjatamu itu memang tajam! Tapi
Lweekangmu masih belum cukup tinggi untuk menggunakan
senjata itu!" katanya sambil tertawa dingin.
"Phui!" Anak gadis kecil itu meludah. "Begitu kau
menangkis, pedangmu sudah kutung, masih mau omong apa
lagi?"
Betapa gusarnya Sebun It Nio, namun ketika dia ingin
mengejar anak gadis kecil itu, cepat-cepat Lu Sin Kong
mencegahnya.
"Hujin harap tunggu!" serunya kemudian berpaling ke arah
si Pecut Emas, "Han Thaihiap, kenapa kalian ayah dan anak
bersikap demikian terhadap kami, harap dijelaskan!"
Si Pecut Emas-Han Sun mendengus. "Hm!"
Anak gadis kecil itu segera menyahut.
"Ayah, jangan percaya pada mereka! Mereka amat licik!"

204
Si Pecut Emas-Han Sun menatap putrinya sejenak,
kemudian memandang Lu Sin Kong seraya berkata.
"Dia tetap seorang anak kecil, kenapa kalian berdua tega
mencelakainya?"
Lu Sin Kong tercengang.
"Kok Han Thaihiap berkata begitu? Kapan kami pernah
bertemu anakmu?"
"Kalian berdua tidak perlu menyangkal, lebih baik kita
bertarung saja!" sahut si Pecut Emas-Han Sun.
Plak! Lu Sin Kong menaruh goloknya di atas meja lalu
berkata,
"Han Thaihiap, perkataanmu agak kelewat batas. Kita dulu
walau tidak pernah bertemu, namun sudah mendengar nama
masing-masing. Tadi ketika kita bertemu, kau langsung
menghadiahkanku Kiu Coan Siau Hoan Tan, aku amat
berterima kasih. Lalu bagaimana mungkin kami mencelakai
putramu? Itu pasti salah paham, maka aku tidak akan
bertarung denganmu."
Si Pecut Emas-Han Sun terus memandang Lu Sin Kong.
Sedangkan Lu Sin Kong berdiri dengan tangan kosong di
tempat. Goloknya tergeletak di atas meja, pertanda dia
memang tidak mau bertarung.
Beberapa saat kemudian si Pecut Emas-Han Sun menghela
nafas panjang, dan anak gadis kecil itu segera berkata.
"Apakah hati Ayah tersentuh oleh ucapannya?"

205
Si Pecut Emas-Han Sun melotot.
"Ah Shia, jangan banyak bicara!"
Kening anak gadis kecil itu berkerut, di wajahnya tersirat
kegusaran.
"Kalau Ayah tidak mau membalas dendam adik, biar aku
yang membalaskan dendamnya!"
Si Pecut Emas-Han Sun menatap putrinya dengan kening
berkerut-kerut.
"Bagaimana kau tahu ayah tidak mau membalaskan
dendam adikmu?"
Anak gadis kecil itu menggerakkan senjatanya, sehingga
gelang yang di ujung, senjata itu langsung berputar-putar.
"Kalau begitu, tidak seharusnya Ayah mendengar
perkataan mereka!"
Sungguh keras hati anak gadis kecil itu! Ia terus menuduh
Lu Sin Kong adalah pembunuh adiknya, dan itu membuat Lu
Sin Kong gusar dalam hati. Namun berdasarkan
kedudukannya, tentunya dia tidak mau bertengkar dengan
anak gadis kecil itu, maka dia menekan hawa kegusarannya
seraya berkata,
"Nona kecil, kenapa kau begitu tidak sabaran? Tunggu
kami dengan ayahmu menjernihkan urusan ini!"
Anak gadis kecil itu membanting kaki.

206
"Ayah, kalau guru berada di sini, dendam adikku pasti
terbalas!"
Sebun It Nio tertawa dingin.
"Kalau begitu, cepatlah kau undang gurumu kemari!"
Wajah gadis remaja itu memerah.
"Baik, kalian jangan pergi!" ujarnya lalu melesat keluar.
"Ah Shia! Ah Shia!" seru si Pecut Emas-Han Sun.
Namun gadis remaja itu sudah tidak kelihatan, maka si
Pecut Emas-Han Sun mengibaskan tangannya.
"Kalian berdua pergilah! Tadi saking sedihnya aku
menganggap kalian berdua adalah musuh! Setelah kupikir
secara seksama, justru tiada alasan menuduh kalian. Ah Shia
merupakan gadis yang tidak sabaran. Gurunya adalah Hwe
Hong Sian Kouw, yang sifatnya lebih tidak karuan. Kalau
gurunya ke mari, urusan pasti bertambah rumit."
Hati Sebun It Nio tergerak.
"Apakah Hwe Hong Sian Kouw berada di sini?"
"Demi mengajar Ah Shia ilmu silat, maka dia tinggal di
puncak menara Hou Yok."
"Kalaupun dia ke mari, apakah dia juga akan menuduh
kami sebagai pembunuh putramu?" tanya Sebun It Nio.
Tiba-tiba Lu Sin Kong menyela.

207
"Sebelum urusan ini dijernihkan, kami tidak akan pergi.
Boleh bertanya kapan putramu binasa, dan kenapa kami pula
yang menjadi tertuduh?"
Si Pecut Emas-Han Sun menghela nafas, lalu duduk
kembali sekaligus mendorong kotak kayu seraya menyahut.
"Kalian lihat sendiri saja!"
Lu Sin Kong dan Sebun It Nio saling memandang.
Kecurigaan mereka timbul seketika. Perlahan-lahan Sebun It
Nio membuka kotak kayu itu. Mereka terkejut setelah melihat
ke dalam kotak kayu itu.
Ternyata kotak kayu itu berisi... sebuah kepala manusia
yang masih tampak seperti hidup, bahkan agak mirip Han Sun,
yang berusia kira-kira sebelas tahun. Yang paling mengejutkan
adalah sebuah bendera kecil menancap di kepala itu, dan
bendera kecil itu merupakan tanda pengenal Thian Hou Piau
Ki (Bendera Harimau Langit).
Sebun It Nio segera menutup kotak kayu itu. Mereka
berdua membungkam seperti orang bisu. Tiba-tiba terdengar
Han Sun berkata,
"Tentunya kalian berdua sudah mengerti, kenapa tadi aku
mau bertarung dengan kalian berdua."
"Memang Anda tidak dapat dipersalahkan," sahut Sebun It
Nio. "Tapi kami justru tidak pernah bertemu putra Anda itu."
Saat ini, pikiran Sebun It Nio menjadi kacau balau.
Di dalam kotak kayu itu, mendadak berisi sebuah kepala
manusia, bahkan kepala putra si Pecut Emas-Han Sun.

208
Dapat diketahui bahwa Ki Hok menitipkan kotak kayu itu
telah disertai dengan suatu rencana. Akan tetapi, bagaimana
mungkin kepala manusia itu menimbulkan begitu banyak jago
tangguh untuk merebutnya?
Hati Sebun It Nio semakin dikacaukan oleh teka-teki itu,
sehingga membuatnya tidak dapat berpikir sama sekali.
-ooo0ooo-
Bab 9
Begitu pula hati Lu Sin Kong. Setelah berpikir sejenak
barulah dia berkata dengan perlahan-lahan.
"Pasti ada orang tertentu menghendaki kita bermusuhan.
Karena itu dengan rencana ini menjebak diri kami. Entah
kapan putramu dicelakai orang?"
Si Pecut Emas-Han Sun menghela nafas panjang dan
menyahut.
"Kira-kira setengah bulan yang lalu, putra bungsuku
mendadak hilang. Aku telah mencarinya ke sana ke mari,
namun sama sekali tiada kabar beritanya. Tiga hari kemudian,
tiba-tiba muncul seseorang mengantar surat ke mari, yang
isinya menyatakan bahwa putraku telah dicelakai. Agak ganjil
datangnya surat itu, maka dalam hati aku sudah tahu adanya
gelagat ketidak beresan. Namun justru sama sekali aku tidak
tahu siapa musuh tersebut. Oleh karena itu aku tidak mau
menemui tamu dari mana pun. Ketika kalian berdua datang,
aku pun tidak mau bertemu, siapa langka putraku betul-betul
telah dicelakai orang. Aaaah! Sebelum menghembuskan nafas
penghabisannya, istriku telah berpesan agar aku baik-baik

209
menjaga kedua anak itu. Namun tidak disangka anak Hou
justru telah binasa!"
Berkata sampai di situ, mendadak si Pecut Emas-Han Sun
memukul meja, sehingga menimbulkan suara "brak" dan meja
itu pun berlobang.
Ketika mendengar penuturan itu, Sebun It Nio teringat
akan putra kesayangannya yang juga dicelakai orang. Maka,
air matanya pun tak terbendung lagi langsung meleleh.
"Han Thaihiap, kami berdua pun mengalami musibah yang
sama seperti...." Ucapannya terputus, karena mendadak
Sebun It Nio teringat sesuatu dan bertanya cepat, "Han
Thaihiap, apakah mayat putramu telah ditemukan?"
Lu Sin Kong memandang istrinya. Kelihatannya dia agak
menyesali istrinya yang mengajukan pertanyaan tersebut
dalam keadaan begini, namun Sebun It Nio sama sekali tidak
menghiraukannya.
Si Pecut Emas-Han Sun menghela nafas.
"Hingga saat ini, barulah kuketahui dia sudah binasa.
Tentunya belum menemukan mayatnya." sahutnya.
Kini Lu Sin Kong sudah mengerti, kenapa istrinya
mengajukan pertanyaan tersebut.
"Hujin, maksudmu mayat yang di gudang batu di bawah
tanah itu putra Han Sun?"
Sebelum Sebun It Nio menyahut, si Pecut Emas-Han Sun
sudah bercuriga.

210
"Lu Cong Piau Tau, apa katamu?"
Lu Sin Kong segera menjawab.
"Ketika kami menerima titipan kotak kayu ini, justru terjadi
berbagai macam urusan aneh."
Lu Sin Kong menutur tentang kejadian di dalam gudang
batu di bawah tanah, juga mengenai mayat anak tanpa
kepala.
Makin mendengar penuturan itu, wajah si Pecut Emas-Han
Sun makin tak sedap dipandang.
Usai Lu Sin Kong menutur, si Pecut Emas-Han Sun
membentak bertanya dengan sengit.
"Lu Cong Piau Tau, maksudmu hanya kalian berdua yang
dapat membuka pintu gudang batu itu?"
Lu Sin Kong menutur sejujurnya, sebab dia merasa tak
bersalah sama sekali dalam hal tersebut. Namun tak dinyana
malah menimbulkan kecurigaan si Pecut Emas-Han Sun.
"Benar." Lu Sin Kong mengangguk. "Memang hanya kami
berdua yang dapat membuka gudang batu itu."
Si Pecut Emas-Han Sun tertawa gila, kemudian berkata.
"Tadi aku mengira salah tuduh, tak tahunya memang
kalian berdua yang mencelakai putraku!"
"Kenapa Han Tayhiap berkata demikian?" Lu Sin Kong
mengerutkan kening.

211
Si Pecut Emas-Han Sun menyahut dengan sengit.
"Kalau bukan kalian berdua yang mencelakai putraku,
bagaimana mungkin mayat putraku berada di dalam gudang
batu itu?"
"Han Thaihiap, itu adalah mayat putraku, Lu Leng."
Si Pecut Emas-Han Sun tertawa aneh.
"Kau tidak perlu mengemukakan alasan itu! Putra kalian
itu pasti bersembunyi di suatu tempat! Setelah itu, kalian ke
mari untuk menipuku dengan cerita bohong!"
Hingga saat ini dan setelah berpikir lebih teliti, barulah Lu
Sin Kong dan Sebun It Nio menyadari, bahwa orang yang
menjebak mereka itu sungguh licik dan lihay. Sesudah
menutur tentang kejadian di dalam gudang batu, mereka
berdua malah menjadi tertuduh berat.
Itu membuat Lu Sin Kong tertegun, lama sekali barulah
berkata.
"Han Thaihiap, kami berdua tiada permusuhan apa pun
denganmu. Lalu bagaimana mungkin kami mencelakai
putramu? Terus terang, hingga saat ini kami masih mencurigai
Bu Yi Liok Ci Siansing sebagai pembunuh putra kami. Setelah
urusan di sini beres, kami pun telah mengambil keputusan
untuk berangkat ke Go Bi dan Tiam Cong, guna mengundang
beberapa jago tangguh ke puncak Sian Jin Hong di gunung Bu
Yi San untuk membalas dendam!"
Baru usai berkata, mendadak terdengar suara "Blam",
kemudian tampak seseorang menerjang ke dalam bagaikan

212
angin puyuh. Begitu sampai di dalam, orang itu langsung
membentak,
"Han Sun, kau tidak mau membalas dendam kematian
putramu?"
Ketiga orang itu segera memandang, ternyata yang
menerjang ke dalam itu adalah seorang wanita tua berpakaian
serba merah, wajahnya penuh diliputi kegusaran.
Mereka bertiga mengenali wanita tua itu yang tidak lain
adalah Hwe Hong Sian Kouw. Tak lama gadis remaja itu pun
sudah sampai di situ.
Si Pecut Emas-Han Sun segera bangkit berdiri.
"Hwe Hong Sian Kouw, harap bersabar dulu! Dendam
kematian putraku memang harus dibalas. Namun kini mereka
berdua tetap menyangkal."
Hwe Hong Sian Kouw tertawa dingin.
"Tentunya mereka berdua tidak mau mengaku."
Sebun It Nio juga tertawa dingin.
"Kalau benar itu adalah perbuatan kami, kenapa kami
tidak mengaku? Apakah kami takut padamu?"
Hwe Hong Sian Kouw bersiul panjang, kemudian
mendadak badannya bergerak. Ternyata dia telah
melancarkan sebuah pukulan ke arah Sebun It Nio.

213
Sebun It Nio juga bergerak cepat menangkis pukulan itu,
maka terdengar suara "Blam". Mereka berdua termundur tiga
langkah, dan lantai yang mereka injak pun sudah hancur.
Begitu melihat mereka berdua sudah mulai bertarung, Lu
Sin Kong memandang ke sana ke mari. Di dalam ruang itu
terdapat empat orang, yang rata-rata berkepandaian tinggi.
Lagipula Hwe Hong Sian Kow adalah mantan anggota Hui Yan
Bun. Walau sudah secara resmi mengundurkan diri dari Hui
Yan Bun. Namun hubungannya masih tetap baik dengan para
jago tangguh di Hui Yan Bun. Sedangkan si Pecut Etnas-Han
Sun amat luas pula pergaulannya.
Apabila keempat orang itu bermusuhan, entah berapa
banyak jago tangguh dalam rimba persilatan akan terseret ke
dalamnya.
Sedangkan Lu Sin Kong dan Sebun It Nio masih harus
berangkat ke gunung Bu Yi San mencari Liok Ci Siansing untuk
membuat perhitungan. Selain itu masih ada si Setan-Seng
Ling, Kim Kut Lau dan lainnya, tentunya mereka tidak akan
menyudahi urusan itu begitu saja.
Itu boleh dikatakan, seandainya urusan terus berlanjut,
pasti akan menimbulkan bencana dalam rimba persilatan,
bahkan akan terjadi banjir darah.
Dalam hati Lu Sin Kong, justru muncul suatu bayangan.
Oleh karena itu, segeralah dia membentak.
"Berhenti!"
Hwe Hong Sian Kouw tertawa dingin. "Kenapa harus
berhenti?"

214
Lu Sin Kong tertegun lama sekali, kemudian barulah
menyahut.
"Kami berdua memang tidak mencelakai putra Han Sun,
apakah kalian tidak percaya?"
Gadis remaja itu dan Hwe Hong Sian Kouw menjawab
hampir serentak.
"Tentunya tidak percaya!"
"Kalau benar kami yang mencelakai putra Han Sun, untuk
apa kami masih mengantar kepala itu ke mari? Bukankah
bodoh sekali?" kata Lu Sin Kong.
Apa yang dikatakan Lu Sin Kong memang masuk akal, dan
membuktikan bahwa diri mereka tidak bersalah sama sekali.
Namun Hwe Hong Sian Kouw justru salah tanggap.
"Bagus! Bagus! Kalian berdua mencelakai orang, apakah
tiada seorang pun mengetahuinya? Huh! Tidak gampang
kalian berdua membohongi kami!"
"Tidak salah!" sambung gadis remaja itu. "Kemungkinan
besar mereka berdua ke mari, berniat membunuhku dan
Ayah!"
"Itu memang mungkin!" sahut Hwe Hong Sian Kouw. "Tapi
mereka berdua tahu aku berada di sini, maka tidak berani
turun tangan, hanya mencari alasan untuk mengundurkan diri
saja!"
Mereka berdua guru dan murid saling menyahut, namun
Lu Sin Kong tetap bersabar. Apabila dia tidak dapat menekan

215
hawa amarahnya, niscaya keadaan akan bertambah kacau dan
sulit teratasi lagi.
Sebaliknya Sebun It Nio sudah tidak dapat bersabar,
sehingga langsung mencaci.
"Kentut! Siapa takut padamu?"
"Oh, ya?" Hwe Hong Sian Kouw tertawa sinis.
"Tentu! Tiga tahun yang lalu tiga buah pedangmu kutung,
apakah kau sudah lupa?"
Selama ini, urusan tersebut masih terganjel dalam hati
Sebun It Nio, karena merupakan penghinaan bagi dirinya. Kini
Hwe Hong Sian Kouw mengungkitnya lagi, tentunya
membangkitkan amarahnya sampai meluap-luap.
Di saat itulah mendadak gadis remaja itu menambahkan,
"Guru, ditambah hari ini berarti empat buah pedang sudah
kutung!"
Tambahan itu bagaikan api tersiram minyak, maka
seketika meledaklah amarah Sebun It Nio. Dia bersiul panjang
sekaligus menggerakkan pedangnya yang sudah kutung itu.
Pedang itu berkelebatan membentuk beberapa kuntum bunga
menyerang Hwe Hong Sian Kouw.
Hwe Hong Sian Kouw tertawa, lalu berkelit.
Namun jurus Thian Lo Te Bong (Jebakan Langit Dan Bumi)
yang digunakan Sebun It Nio itu merupakan jurus andalan
yang amat lihay dan dahsyat. Begitu dikeluarkan, jurus itu
menutup empat penjuru.

216
Walau kini hanya menggunakan pedang buntung, tapi
kedahsyatan dan kelihayan jurus tersebut tidak berkurang
sedikit pun.
Hwe Hong Sian Kouw bertangan kosong, maka walau gesit
gerakannya dan lihay ilmu pukulannya, tapi kewalahan juga
menghadapi jurus itu. "Breet", lengan bajunya telah tersabet
hingga kutung.
Seketika juga Hwe Hong Sian Kouw meloncat ke belakang
sambil berseru.
"Ah Shia, cepat berikan Liat Hwe Soh Sim Lun padaku!"
Ah Shia cepat-cepat menyerahkan senjata itu kepada Hwe
Hong Sian Kouw.
Sebun It Nio justru tertawa dingin.
"Biarpun kau menggunakan senjata itu aku tidak akan
takut!"
Ucapan Sebun It Nio membuat air muka Hwe Hong Sian
Kouw berubah.
"Beranikah kau mengadu Lweekang denganku?"
tantangnya.
Sebun It Nio mengibaskan tangannya. Pedang kutung itu
melayang ke atas lalu menancap pada langit-langit ruang
tersebut.
"Kenapa tidak berani?"

217
Hwe Hong Sian Kouw mengembalikan Liat Hwe Soh Sim
Lun kepada gadis remaja itu.
Mereka berdua maju dua langkah, kemudian terdengar
suara "Plak", ternyata telapak tangan mereka telah menempel
menjadi satu. Beberapa tahun yang lalu, mereka berdua
memang pernah bertarung dengan senjata. Hwe Hong Sian
Kouw memperoleh kemenangan karena menggunakan Liat
Hwe Soh Sim Lun. Mengenai Lweekang mereka sudah pasti
sama.
Urusan itu telah lewat beberapa tahun, namun keadaan
mereka berdua tetap seperti dulu. Yang satu bersifat seperti
api menyala, dan yang satu lagi bersifat berangasan.
Sebun It Nio memang sengaja mencetuskan kata-kata
tajam dan pedas, agar Hwe Hong Sian Kouw tidak
menggunakan senjata aneh itu, kemudian mereka akan
mengadu ilmu pukulan atau Lweekang. Kini mereka berdua
sudah mulai mengadu Lweekang. Itu sungguh membahayakan
diri mereka, sebab akhirnya mereka berdua pasti akan samasama
terluka.
Menyaksikan itu, Lu Sin Kong berpaling untuk memandang
si Pecut Emas-Han Sun seraya berkata.
"Han Thaihiap, pernahkah kau berpikir bahwa urusan di
antara kita berdua justru ada orang lain yang
merencanakannya?"
Si Pecut Emas-Han Sun adalah orang yang berpikiran luas
dan jauh, maka hatinya tergerak ketika mendengar ucapan Lu
Sin Kong.
Setelah berpikir sejenak, barulah ia berkata.

218
"Lu Cong Piau Tau, apa yang kau katakan memang tidak
salah."
Legalah hati Lu Sin Kong mendengar ucapan itu.
"Han Thaihiap, aku kagum sekali atas pikiranmu yang
amat luas. Pada dasarnya di antara kita sama sekali tidak
terdapat permusuhan apa pun. Hanya saja diperalat orang,
sehingga membuat kita salah paham. Kini mereka berdua
mati-matian mengadu Lweekang. Bagaimana kalau kita
berdua melancarkan sebuah pukulan untuk memisahkan
mereka?"
"Baik, tapi...." Sebetulnya si Pecut Emas-Han Sun ingin
mengatakan tentang sifat Hwe Hong Sian Kouw, lagipula
wanita tua itu telah menganggap Lu Sin Kong dan Sebun It
Nio sebagai pembunuh, maka sulit sekali menjernihkannya. Di
saat bersamaan, terdengarlah suara jeritan.
Lu Sin Kong tersentak dan segera menoleh. Tampak
Sebun It Nio terpental ke belakang tujuh delapan langkah.
Wajah pucat pias dan mulutnya mengeluarkan darah,
pertanda dia terluka dalam yang cukup parah.
Hwe Hong Sian Kouw tertawa sambil melangkah maju.
Rupanya dia ingin menghantam Sebun It Nio dengan pukulan
dahsyat.
Menyaksikan itu, cemaslah hati Lu Sin Kong. Maka dia
membentak keras sekaligus menyambar goloknya yang ada di
atas meja, kemudian mengeluarkan jurus Lo Cia Noh Hai (Lo
Cia Mengacau Laut), goloknya berkelebatan mengarah Hwe
Hong Sian Kouw.

219
Hwe Hong Sian Kouw cepat-cepat berkelit, tapi tetap
terlambat sedikit, sehingga bahunya tersabet oleh golok itu,
dan darah segarnya mengucur seketika.
Hwe Hong Sian Kouw membentak gusar. "Ingin
mengeroyok aku?"
Sebetulnya Lu Sin Kong sama sekali tidak mengerti,
bagaimana Sebun It Nio begitu gampang roboh. Dia segera
mendekatinya.
Terdengar Sebun It Nio mengeluarkan suara lemah.
"Sin Kong, kita... kita puluhan tahun menjadi suami istri,
akan berakhir sampai di sini."
Hati Lu Sin Kong seperti tersayat mendengar ucapan itu.
"Hujin, kenapa kau berkata begitu?" tanyanya.
Sebun It Nio tersenyum getir.
"Aku terkena pukulan Im Si Ciang dari si Setan-Seng Ling.
Di saat mengadu Lweekang, racun itu pun menjalar sehingga
membuat hawa murniku menjadi buyar, maka... aku terluka
parah."
"Hujin, kita punya Kiu Coan Siau Hoan Tan, maka separah
apa pun lukamu, tidak jadi masalah," kata Lu Sin Kong.
Wajah Sebun It Nio berubah gusar.
"Sin Kong, itu adalah obat kepunyaan musuh, bagaimana
mungkin kita memakannya?" bentaknya. Usai berkata begitu,

220
mulut Sebun It Nio mengeluarkan darah lagi, dan nafasnya
bertambah lemah. "Sin Kong, kau harus ingat! Kalau.... Leng Ji
(Anak Leng) belum mati, suruhlah membalaskan dendamku.
Musuh kita adalah si Setan-Seng Ling... dan beberapa orang
ini...."
"Hujin...." Lu Sin Kong baru memanggilnya, namun Sebun
It Nio langsung memutuskan.
"Apabila Leng Ji telah binasa, mengenai... dendam ini
bergantung padamu." Suara Sebun It Nio bertambah lemah.
"Kau... kau harus minta bantuan kepada pihak.... Go Bi Pai
untuk membalas dendam terhadap.... Bu Yi Liok Ci Siansing, si
Pecut Emas Han Sun, Hwe Hong Sian Kouw, gadis remaja itu
dan si Setan-Seng Ling... tidak boleh tersisa satu pun."
Suara Sebun It Nio yang makin lemah itu membuat si
Pecut Emas-Han Sun menjadi cemas sekali.
"Cepat cekoki dia dua butir Kiu Coan Siau Hoan Tan itu!"
Namun Lu Sin Kong sama sekali tidak mendengar suara
seruan si Pecut Emas-Han Sun, dia hanya berdiri termangumangu
di tempat bagaikan patung. Tiba-tiba terdengar suara
"Trang", ternyata golok itu terlepas dari tangannya, tapi dia
tetap berdiri mematung di tempat.
Si Pecut Emas-Han Sun tertegun, kemudian memandang
Sebun It Nio. Sepasang mata wanita itu mendelik dan
sepasang bola matanya redup tak bercahaya. Itu
membuktikan bahwa Sebun It Nio telah mati.
Begitu melihat Sebun It Nio telah mati, hati si Pecut Emas-
Han Sun tercekat. Urusan itu masih belum jelas, kini Sebun It
Nio malah telah mati. Tentunya urusan tersebut tidak akan

221
dapat diselesaikan secara damai, pasti harus diselesaikan
dengan genangan darah.
Saat ini, Hwe Hong Sian Kouw dan gadis remaja itu
berdiam diri. Di ruang itu hanya terdengar suara desah nafas
berat dari Lu Sin Kong.
Walau Lu Sin Kong berdiri mematung, tapi di telinganya
terus mendengung ucapan Sebun It Nio. "Sin Kong, kau harus
ingat! Kalau Leng Ji belum mati, suruhlah membalaskan
dendannku. Musuh kita adalah si Setan-Seng Ling dan
beberapa orang ini. Apabila Leng Ji telah binasa, rnengenai
dendam ini bergantung padamu. Kau harus minta bantuan
kepada pihak Go Bi Pai untuk membalas dendam terhadap Bu
Yi Liok Ci Siansing, si Pecut Emas-Han Sun, Hwe Hong Sian
Kouw, gadiis remaja itu dan si Setan-Seng Ling, tidak boleh
tersisa satu pun."
Suara itu terus berdengung di dalam telinga Lu Sin Kong,
sehingga membuat kepalanya terasa mau pecah. Kini suara
yang mendengung itu berubah menjadi satu ucapan.
"Balas dendam!" "Balas dendam!"
"Tidak boleh tersisa satu pun!" "Tidak boleh tersisa satu
pun!"
Mendadak Lu Sin Kong membalikkan badannya. Sepasang
matanya tampak membara, dan itu mengejutkan Han Sun
yang bermaksud menglhiburnya sampai menyurut mundur dua
langkah.
Saat ini dalam hati Lu Sin Kong, menyerupai selembar
kertas putih yang terdapat tulisan darah "Balas Dendam"!
Badannya bergoyang seperti dalam keadaan mabuk.

222
Mendadak dia maju selangkah, matanya menatap tajam pada
si Pecut Emas-Han Sun.
Sedangkan si Pecut Emas- Han Sun tahu bagaimana
perasaan Lu Sin Kong saat ini. Percuma menghiburnya, tapi
dia juga tidak bisa tinggal diam.
Si Pecut Emas-Han Sun" tersenyum getir.
"Lu Cong Piau Tau, aku pun percaya yang mencelakai
putraku bukan kau, kita pasti terjebak ke dalam rencana
orang."
Lu Sin Kong tertegun mendengar ucapan itu. Setelah si
Pecut Emas-Han Sun usai berkata, mendadak dia tertawa gila.
Suara tawa itu amat mengejutkan, membuat wajah orang
lain langsung berubah.
Tak larna, suara tawa itu berubah seperti suara tangisan,
sehingga membuat Hwe Hong Sian Kouw dan gadis remaja
yang menuduhnya sebagai pembunuh, saat ini ikut tertegun.
Ketika Lu Sin Kong mulai tertawa gila, badannya tetap
berdiri mematung di tempat. Di saat dia mulai mengeluarkan
suara tangisan, sepasang tangannya ikut bergerak, kemudian
membentak keras sambil menerjang ke "arah si Pecut Emas-
Han Sun.
Sikap Lu Sin Kong tadi telah menimbulkan kecurigaan
dalam hati si Pecut Emas-Han Sun, maka dari tadi dia sudah
bersiap-siap. Di saat Lu Sin Kong menerjang ke arahnya, dia
cepat-cepat meloncat ke samping.

223
Lu Sin Kong memang sudah seperti gila. Terjangannya
membuat kakinya tidak bisa berhenti, maka ia menubruk
sebuah kursi yang ada di hadapannya.
Casss! Sepuluh jarinya menusuk ke dalam kursi itu,
kemudian dia pun memeluk kursi itu erat-erat.
Padahal sesungguhnya Lu Sin Kong berkepandaian amat
tinggi, namun saat ini dia sangat berduka, sehingga
menyebabkan hilang kesadarannya. Lagipula dia pun telah
lupa, bahwa dirinya terkena hawa racun pukulan lm Si Ciang.
Karena kelewat batas mengerahkan Lweekangnya, maka
racun tersebut mulai menjalar mempengaruhi kesadarannya,
sehingga membuatnya seperti orang gila.
Braaak! Kursi itu hancur berkeping-keping.
Lu Sin Kong tertawa gelak, kemudian mendadak menubruk
sebuah pilar.
Buuk!
Lalu memeluk pilar itu erat-erat sambil berteriak-teriak
gusar, sepertinya pilar itu adalah musuh besarnya.
Si Pecut Emas-Han Sun dan Hwe Hong Sian Kouw saling
memandang, kemudian si Pecut Emas-Han Sun berkata.
"Sian Kouw, kalau terus begitu nyawa Lu Cong Piau Tau
pasti melayang. Biar bagaimanapun kita harus
menyelamatkannya."
Walau Hwe Hong Sian Kouw bersifat galak dan pemarah,
namun tidak berhati jahat. Lagipula dia tergolong pendekar
wanita tingkatan tua yang amat terkenal. Sedangkan reputasi

224
Lu Sin Kong dalam rimba persilatan amat baik dan harum,
bahkan juga murid Go Bi Pai yang tidak menyucikan diri.
Setelah Sebun It Nio binasa, urusan yang telah membesar itu
tidak boleh dibiarkan bertambah besar lagi.
Oleh karena itu, Hwe Hong Sian Kouw manggut-manggut.
"Tidak salah." katanya.
Mereka berdua maju serentak, kemudian Hwe Hong Sian
Kouw menjulurkan tangannya ingin menotok jalan darah Hu
Keng Hiat Lu Sin Kong.
Tapi mendadak berkelebat sosok bayangan ke hadapan
Hwe Hong Sian Kouw, ternyata adalah gadis remaja itu.
"Guru!" panggilnya.
Hwe Hong Sian Kouw segera menarik kembali tangannya
dan tanyanya.
"Ah Shia, kau mau mengatakan apa?"
Wajah gadis remaja itu tampak serius.
"Guru, Ayah! Kalau kalian menyelamatkannya, sebaliknya
dia justru tidak akan melepaskan kalian. Untuk apa harus
meninggalkan penyakit itu?"
Begitu mendengar perkataan itu, hati si Pecut Emas-Han
Sun dan Hwe Hong Sian Kouw tersentak.
Mereka berdua menyadari, bahwa apa yang dikatakan Han
Giok Shia memang benar. Saat ini kalau Lu Sin Kong binasa,

225
walau merasa tidak enak dalam hati karena tidak berusaha
menyelamatkannya, namun justru melenyapkan seorang
musuh tangguh.
Apabila menyelamatkan Lu Sin Kong, mengenai kematian
Sebun It Nio, tentunya dia tidak akan menyudahi begitu saja.
Lagipula kalau urusan bertambah membengkak, sudah
pasti akan menyeret Go Bi Pai, Tiam Cong Pai serta kawan
baik Lu Sin Kong dan Sebun It Nio ke dalam kancah dendam
kesumat itu.
Sesaat itu, mereka berdua berdiri mematung dengan
pikiran kacau balau, sama sekali tidak tahu harus berbuat apa.
Sementara Lu Sin Kong masih terus memeluk pilar itu
sambil memekik, bahkan mulai mengguncang-guncangkan
pilar itu pula.
Akan tetapi, berselang sesaat suara pekikannya
kedengaran melemah, tenaganya tampak berkurang, dan
wajah mulai berubah pucat kian tak sedap dipandang.
Han Giok Shia tahu bahwa ajal Lu Sin Kong sudah berada
di ambang pintu. Di saat itulah terdengar suara si Pecut Emas-
Han Sun.
"Sian Kouw, apakah kita adalah orang semacam itu?"
Hwe Hong Sian Kouw segera menyahut. "Tentu bukan."
Usai menyahut, dia bergerak cepat menotok jalan darah
Hu Keng Hiat di tubuh Lu Sin Kong.

226
Saat ini, Lu Sin Kong telah kehilangan kesadarannya sama
sekali. Dia memeluk pilar itu tapi dalam hati mengira, semua
musuhnya telah berada dalam genggaman tangannya.
Di depan matanya pun muncul bayangan musuhnya satu
persatu. Liok Ci Siansing, Tiat Cit Songjin, Han Sun, Hwe Hong
Sian Kouw dan lainnya berada dalam telapak tangannya, maka
dia berusaha membunuh mereka satu persatu pula.
Setelah Hwe Hong Sian Kouw menotok jalan darahnya, Lu
Sin Kong diam tak bergerak lagi.
Si Pecut Emas-Han Sun segera melepaskan tangannya
yang memeluk pilar tersebut, lalu membaringkannya ke lantai.
Han Sun, Hwe Hong Sian Kouw dan Han Giok Shia
memandang pilar itu. Seketika juga mulut gadis itu ternganga
lebar, Han Sun dan Hwe Hong Sian Kouw yang berkepandaian
tinggi, juga terbelalak menyaksikan itu.
Ternyata di pilar itu terdapat bekas pelukan Lu Sin Kong
yang cukup dalam. Itulah yang mengejutkan mereka bertiga.
Ketika melihat ayah dan gurunya menolong Lu Sin Kong,
dalam hati Han Giok Shia merasa tidak senang, namun tidak
berani bersuara.
Sejak kecil dia telah kehilangan ibu, maka si Pecut Emas
amat memanjakannya, sehingga membuat sifat gadis remaja
itu menjadi agak kasar dan mau menang sendiri. Dia tidak
tahu bahwa perbuatan Han Sun dan Hwe Hong Sian Kouw
justru adalah perbuatan orang gagah.
Setelah membaringkan Lu Sin Kong ke lantai, si Pecut
Emas-Han Sun segera mengambil botol kristal dari dalam

227
bajunya. Cepat-cepat dituangnya kedua butir obat Kiu Coan
Siau Hoan Tan lalu dimasukkan ke dalam mulut Lu Sin Kong.
Si Pecut Emas-Han Sun dan Hwe Hong Sian Kouw tahu,
setelah makan obat itu, nyawa Lu Sin Kong pasti dapat
diselamatkan, karena racun yang mengidap di dalam tubuhnya
akan segera punah.
Perlahan-lahan si Pecut Emas bangkit berdiri sambil
menghela nafas panjang, setelah itu berkata.
"Ah Shia, Sian Kouw! Aku yakin Lu Cong Piau Tau tidak
mungkin akan mencelakai orang tanpa sebab."
Hwe Hong Sian Kouw tidak menyahut. Hatinya yang keras
sulit membuatnya membuka mulut untuk mengaku salah.
Karena tidak membuka mulut, itu juga pertanda dia
menyetujui perkataan Han Sun.
Namun Han Giok Shia justru berkata lain.
"Ayah, kalau bukan dia yang mencelakai adik, bagaimana
kepala adik bisa berada di dalam kotak kayu yang dibawanya
itu?"
Si Pecut Emas-Han Sun menggeleng-gelengkan kepala.
"Itu sulit dikatakan." Kemudian dia memandang Hwe Hong
Sian Kouw seraya berkata dengan wajah serius. "Sian Kouw
kurasa rimba persilatan yang sudah tenang sekian lama, akan
timbul petaka banjir darah? Kalaupun urusan kita dengan Lu
Cong Piau Tau telah jernih, tapi Go Bi, Tiam Cong, Liok Ci
Siansing, Tiat Cit Songjin dan lainnya-pasti akan bertarung
mati-matian."

228
Hwe Hong Sian Kouw tetap diam saja.
Si Pecut Emas-Han Sun segera menutur tentang kejadian
aneh di Lam Cong, berdasarkan apa yang di dengarnya dari Lu
Sin Kong.
Mendengar penuturan itu, Hwe Hong Sian Kouw menghela
nafas panjang, lalu berjalan mondar-mandir sejenak dan
memandang Lu Sin Kong yang tergeletak di lantai. Wajah Lu
Sin Kong tampak mulai memerah. Ketika dia baru mau
membuka totokannya, mendadak terdengar suara "Blam" di
luar, menyusul terdengar pula suara bentakan seorang anak
gadis.
"Siang hari bolong, pintu ditutup sampai begitu rapat,
bahkan bilang tuan rumah tidak mau menemui tamu. Itu
sungguh keterlaluan!"
Suara itu sirna, kemudian di tengah ruang itu muncul
seorang gadis.
Kemarahan Hwe Hong Sian Kouw bangkit kembali. Ketika
melihat lebih jelas, ternyata gadis itu berparas cantik, namun
tampak sepasang rantai pendek melekat di lengannya.
Hwe Hong Sian Kouw tertegun.
"Kau ke mari juga ingin mencampuri urusan orang lain?"
Gadis itu tertawa.
"Sungguh di luar dugaan, Hwe Hong Sian Kouw juga
berada di sini...."

229
Baru berkata sampai di situ, dia pun melihat Sebun It Nio
dan Lu Sin Kong tergeletak di lantai.
Air mukanya berubah, badannya bergerak ke arah Sebun
It Nio, sekaligus memeriksa nadinya. Begitu mengetahui
Sebun lt Nio sudah mati, gadis itu mendongakkan kepala.
Wajahnya tampak kehijauhijauan. Ia meloncat ke arah Lu Sin
Kong, lalu bergerak cepat menepuk bahunya. Lu Sin Kong
berteriak keras, kemudian meloncat bangun.
Walau Lu Sin Kong telah makan obat Kiu Coan Siau Hoan
Tan, namun tenaganya telah terkuras habis, maka jatuh lagi di
lantai.
Gadis itu segera memapahnya bangun, lalu
mendudukannya di kursi.
Lu Sin Kong tertawa getir.
"Nona Tam, mau apa kau ke mari?"
Gadis itu ternyata Tam Goat Hua, yang pernah ditolong
oleh Lu Sin Kong dan Sebun It Nio di rumah Kim Kut Lau.
Kening gadis itu berkerut-kerut, kemudian menggelenggelengkan
kepala seraya berkata,
"Aku datang terlambat selangkah, Lu Hujin telah mati."
Ucapannya itu membuat semua orang tertegun, juga
membuat air mata Lu Sin Kong meleleh.
"Nona Tam, bagaimana kau tahu aku berada di sini?"

230
Tam Goat Hua menyahut.
"Panjang sekali kalau dituturkan. Lebih baik kau ikut aku
pergi dulu!"
Lu Sin Kong mencoba menghimpun hawa murninya. Kini
dia telah merasa enakan lalu bangkit berdiri. Sepasang bola
matanya penuh bergaris merah.
"Nona Tam, kau jangan bermain di air keruh ini, lagipula
sementara ini aku tidak bisa ikut kau pergi."
Wajah Tam Goat Hua tampak murung.
"Lu Cong Piau Tau, aku tahu maksudmu. Dendam Lu Hujin
memang harus dibalas, namun kini kondisi badanmu
sedemikian lemah. Di sini terdapat tiga orang, jangan takut
mereka bertiga akan kabur! Terlambat beberapa hari tidak jadi
masalah."
Si Pecut Emas-Han Sun tertegun, bahkan hatinya
tersentak. Gadis ini berdandan begitu aneh.
Di saat bersamaan, Hwe Hong Sian Kouw dan Han Giok
Shia justru tertawa dingin.
Sedangkan Lu Sin Kong terus menatap ketiga orang itu,
lama sekali barulah menghela nafas panjang.
"Baiklah. Biar mereka hidup beberapa hari."
Lu Sin Kong berdiri di sisi Tam Goat Hua. Ketika mereka
mendekati mayat Sebun It Nio, mendadak Han Giok Shia
menghadang sambil menggoyang-goyangkan Liat Hwe Soh
Sim Lun.

231
"Lu Cong Piau Tau, kau boleh pergi namun harus mengerti
satu hal dalam hatimu!"
Walau kematian Sebun It Nio disebabkan pukulan Im Si
Ciang, tapi lantaran mengadu Lweekang dengan Hwe Hong
Sian Kouw, maka menimbulkan kejadian tragis itu.
Akan tetapi, yang membawa Hwe Hong Sian Kouw ke
mari, justru Han Giok Shia, maka dapat dibayangkan betapa
bencinya terhadap gadis itu.
"Minggir!" bentaknya.
Kening Han Giok Shia berkerut.
"Lu Cong Piau Tau, tahukah kau, kalau bukan ayah dan
guru berusaha menolongmu, saat ini kau pasti sudah
melancong ke alam baka!"
Ketika si Pecut Emas-Han Sun dan Hwe Hong Sian Kouw
berusaha menyelamatkan nyawa Lu Sin Kong, dia justru
dalam keadaan pingsan, maka tidak tahu akan hal itu. Walau
Han Giok Shia berkata sesungguhnya, namun bagaimana
mungkin Lu Sin Kong mempercayainya?
Lu Sin Kong tertawa gelak.
"Ha ha ha! Kalau begitu, aku harus berterimakasih kepada
kalian berdua?"
Apa yang diucapkan Lu Sin Kong merupakan kebaikan,
dan siapa pun dapat mendengar itu.
Wajah Han Giok Shia merah padam.

232
"Binatang masih tahu membalas budi, tak disangka kau
yang begitu terkenal, malah tidak dapat dibandingkan dengan
binatang!"
Tingkatan Lu Sin Kong dalam rimba persilatan tinggi
sekali. Kebanyakan kaum rimba persilatan, pasti memberi
hormat bila bertemu dengannya. Kini dia dicaci oleh Han Giok
Shia, sehingga membuatnya tak dapat mengucapkan apa pun
saking gusarnya.
Tam Goat Hua yang diam dari tadi segera membuka mulut
dengan suara dalam.
"Nona Han! Kalau kau masih banyak mulut, aku tidak akan
berlaku sungkan lagi terhadapmu!" Han Giok Shia tertawa
dingin.
"Lucu sekali! Siapa suruh kau berlaku sungkan
terhadapku?"
Kedua gadis itu sama-sama berparas cantik, juga keras
hati. Kini mereka berdua berdiri berhadap-hadapan,
kelihatannya sudah bersiap untuk bertarung.
Air muka Tam Goat Hua berubah. Dia menatap Han Giok
Shia dengan tajam sekali seraya membentak.
"Kau mau minggir tidak?"
Han Giok Shia tidak segera menyahut, melainkan
menuding Lu Sin Kong dengan Liat Hwe Soh Sim Lun.
"Tidak sulit menghendakiku minggir, tapi dia harus
mengucapkan terimakasih kepada ayah dan guru atas
pertolongan mereka, barulah kulepaskan kalian!"

233
Si Pecut Emas-Han Sun segera menghardik. "Ah Shia,
tidak boleh...."
Sebetulnya Han Sun ingin mengatakan "Tidak boleh
banyak urusan", namun sebelum dilanjutkan, mendadak Hwe
Hong Sian Kouw menarik ujung lengan bajunya seraya
berbisik.
"Han Thaihiap, sementara jangan mencegahnya!"
Si Pecut Emas-Han Sun segera menoleh. Dilihatnya
sepasang mata Hwe Hong Sian Kouw menyorot tajam
mengarah Tam Goat Hua. Hwe Hong Sian Kouw berkata
begitu, sudah pasti ada sebabnya, maka dia pun tidak banyak
bicara lagi.
Tam Goat Hua tertawa dingin.
"Sebun It Nio telah binasa di sini. Kalau Lu Cong Piau Tau
tidak mengalami luka parah, aku pasti menyuruh kalian
bertiga menggantikan nyawa Sebun It Nio! Kini masih ada
waktu beberapa hari, itu merupakan kesempatan kalian untuk
minta bantuan!"
-ooo0ooo-
Bab 10
Tam Goat Hua dan Han Giok Shia terus ribut mulut. Dalam
pandangan siapa pun, itu merupakan hal yang wajar.
Sebab mereka berdua sebaya, ilmu silat mereka pun
mungkin berselisih tidak jauh. Tapi begitu Tam Goat Hua
membuka mulut, nadanya sungguh besar. Itu membuat air
muka Hwe Hong Sian Kouw berubah hebat.

234
Lebih-lebih Han Giok Shia. Saking gusarnya gadis itu
malah tertawa.
"Ha ha! Tidak salah, kami memang tidak tahu mampus!
Tapi kenapa kau tidak segera turun tangan membalas
kematian Lu Hujin?"
Tam Goat Hua maju selangkah dan menghardik.
"Sambutlah!"
Badannya bergerak. Ia tidak menyerang Han Giok Shia,
melainkan berkelebat ke belakang gadis itu. Gerakannya
sungguh ringan sekali.
Melihat sikapnya, ia tidak seperti mau bertarung dengan
Han Giok Shia, malah tampak seakan mengajaknya bermain
kucing-kucingan.
Han Giok Shia segera memutar badannya, sekaligus
membentak.
"Mau lari ke mana?"
Cring! Suara Liat Hwe Soh Sim Lun. Ternyata Han Giok
Shia telah menyerangnya dengan jurus Hwe Ouw Siang Hui
(Sepasang Burung Gagak Api Berterbangan).
Di saat bersamaan, badan Tam Goat Hua pun berputar,
sekaligus menepuk dengan telapak tangannya
Pukulan itu, boleh dikatakan sama sekali tidak akan
mengenai badan Han Giok Shia, sebab mengarah ke sisi gadis
itu.

235
Akan tetapi, rantai yang melekat di lengannya, justru
melayang mengeluarkan suara menderu mengarah Liat Hwe
Soh Sim Lun.
Han Giok Shia adalah murid didikan Hwe Hong Sian Kouw.
Bahkan ia memiliki ilmu warisan dari ayahnya. Maka,
kepandaiannya boleh dikatakan sudah tinggi sekali, namun ia
belum pernah menghadapi jurus seaneh itu.
Cring! Terdengar suara benturan senjata.
Gelang bergerigi di ujung rantai Han Giok Shia menjepit
ujung rantai Tam Goat Hua, namun mendadak Tam Goat Hua
menyentak rantainya, sehingga ujung rantai itu meliuk
bagaikan ular, terlepas dari jepitan gelang bergerigi itu.
Bagian 05
Betapa terkejutnya Han Giok Shia. Walau pun mereka
bergebrak hanya satu jurus, dan belum tahu siapa menang
atau kalah, tapi ketika kedua senjata itu beradu, Liat Hwe Soh
Sim Lun tidak dapat menjepit rantai itu, sudah merupakan hal
yang amat mengejutkan, sebab Sebun It Nio yang memiliki
ilmu pedang yang amat lihay dan dahsyat, pedangnya masih
kutung beradu dengan Liat Hwe Soh Sim Lun.
Kalau begitu, apakah Lweekang Tam Goat Hua lebih tinggi
dari Sebun It Nio?
Han Giok Shia tersentak dan tidak berani berlaku ayal lagi.
Namun Tam Goat Hua telah bergerak ke belakangnya.
Han Giok Shia tertawa dalam hati, lalu perlahan-lahan
memutar badannya. Di saat itu pula badan Tam Goat Hua ikut
berputar ke belakang gadis itu. Mendadak Han Giok Shia

236
bersiul panjang, sekaligus mengibaskan lengan kanannya ke
belakang tanpa memutar badannya.
Ternyata adalah jurus Toh Hong Pang Hwe (Membalikkan
Angin Membantu Api). Senjata Liat Hwe Soh Sim Lun itu
berkelebatan mengeluarkan cahaya, dan gelang bergerigi di
ujung rantai mengarah dada Tam Goat Hua.
Menghadapi jurus andalan itu, Tam Goat Hua sama sekali
tidak gugup, malah tampak tenang dan bisa tertawa pula.
"Ha ha!"
Di saat bersamaan, dia menggoyangkan sebelah
tangannya, maka rantai yang melekat di lengannya ikut
berputar-putar, kemudian menangkis Liat Hwe Soh Sim Lun.
Cring! Suara benturan kedua senjata itu. Mendadak gelang
bergerigi itu berputar menjepit
rantai besi, sehingga mengeluarkan suara "Krak", dan
rantai itu terjepit.
Pada saat itu pula tangan kiri Tam Goat Hua pun bergerak.
Bukan main terkejutnya Han Giok Shia, sebab tahu-tahu
kakinya terasa sakit sekali. Ternyata rantai di lengan kiri Tam
Goat Hua telah melingkar di kaki gadis itu. Di saat bersamaan,
gadis itu pun merasa ada serangkum tenaga menyerang ke
arahnya, maka tanpa mampu lagi dia terjatuh ke belakang.
Karena Liat Hwe Soh Sim Lun menjepit rantai di lengan
Tam Goat Hua, maka ketika dia jatuh, Tam Goat Hua pun ikut
jatuh menindihnya.
"Ah Shia, berhenti!" seru Hwe Hong Sian Kouw cepat.

237
Han Giok Shia tidak mendengar seruan gurunya,
sebaliknya malah memukul ke arah Tam Goat Hua. Mendadak
Han Giok Shia merasa kakinya yang sakit itu menjadi
lenggang, ternyata rantai yang melingkar di kakinya telah
mengarah dirinya. Betapa terkejutnya Han Giok Shia. Tanpa
banyak berpikir lagi dia langsung meloncat ke belakang
beberapa depa, dan Liat Hwe Soh Sim Lun pun dilepaskannya.
Braaak!
Rantai itu menghantam lantai, membuat lantai itu pecah
tidak karuan. Kini Han Giok Shia baru tahu akan kelihayan
Tam Goat Hua, sebab senjata andalannya telah berpindah ke
tangan gadis itu.
"Baru mengerti sedikit ilmu silat, sudah berani bertarung
dengan orang! Ha ha!"
Belum lenyap suara tawa Tam Goat Hua, dia sudah
mengibaskan tangannya. Liat Hwe Soh Sim Lun itu meluncur
ke luar, kemudian terdengar suara yang amat memekakkan
telinga. Ternyata senjata itu telah menancap di tembok luar.
Di saat kedua gadis itu bertarung, Lu Sin Kong sudah
membopong mayat isterinya. Setelah Liat Hwe Soh Sim Lun
terlempar ke luar, Tam Goat Hua berkata.
"Lu Cong Piau Tau, mari kita pergi! Lihat siapa yang masih
berani menghadang!"
Han Giok Shia segera berseru.
"Ayah! Guru!"

238
Maksudnya agar Han Sun dan Hwe Hong Sian Kouw
menghadang kepergian Lu Sin Kong dan Tam Goat Hua,
namun ketika Han Giok Shia mendongakkan kepala, dia pun
tertegun.
Tampak wajah Hwe Hong Sian Kouw berubah agak
kehijau-hijauan, sedangkan si Pecut Emas-Han Sun tetap
berdiri mematung, dengan wajah pucat pias.
Sikap mereka kelihatan seperti telah menyaksikan sesuatu
yang amat menakutkan.
Han Giok Shia tertegun, sebelum ia bersuara, Tam Goat
Hua dan Lu Sin Kong sudah berjalan keluar.
Han Giok Shia cepat-cepat menghampiri Han Sun dan Hwe
Hong Sian Kouw seraya bertanya. "Ayah dan Guru kenapa
sih?"
Si Pecut Emas-Han Sun menghela nafas panjang,
sedangkan Hwe Hong Sian Kouw diam saja. Han Giok Shia
tercengang menyaksikan sikap mereka berdua.
"Ayah dan Guru membiarkan mereka pergi, ya sudahlah!
Ada urusan apa lagi sih?"
Si Pecut Emas-Han Sun tetap tidak menyahut. Ia hanya
mengangkat sebelah tangannya, lalu membelai-belai rambut
Han Giok Shia. Selang beberapa saat kemudian barulah ia
berpaling seraya berkata,
"Sian Kouw, lebih baik bawa Ah Shia pergi bersembunyi ke
Hui Yan Bun dulu!"
Hwe Hong Sian Kouw manggut-manggut.

239
"Itu baik juga! Asal dia membawa Liat Hwe Soh Sim
Lunku, Hui Yan Bun pasti menerimanya."
Walau Han Giok Shia tidak tahu apa yang terjadi, namun
pembicaraan si Pecut Emas-Han Sun dengan Hwe Hong Sian
Kouw, justru mengenai dirinya seakan telah mengikat
permusuhan dengan seorang musuh tangguh, maka ayah dan
gurunya menghendaki dirinya pergi ke Hui Yan Bun untuk
menghindar.
Perlu diketahui, hati Han Giok Shia amat keras, bahkan
sifatnya pun seperti gurunya pula. Maka, mendengar ucapan
itu ia langsung berkata.
"Ayah aku tidak mau ke mana-mana."
Si Pecut Emas-Han Sun menghela nafas panjang.
"Ah Shia, bagaimana sifatmu ayah tahu jelas, namun biar
bagaimanapun kau harus mendengar perkataan ayah dan Sian
Kouw, jangan keras hati, ayah tentu akan senang sekali."
Han Giok Shia berpikir, kelihatannya apa yang dikatakan
ayah dan gurunya harus dituruti. Tiada gunanya
membangkang, meninggalkan tempat ini menuju ke Hui Yan
Bun atau tidak, itu tentu bergantung pada dirinya sendiri,
maka ada baiknya menurut.
Oleh karena itu, Han Giok Shia manggut-manggut.
"Ayah, kenapa aku harus ke Hui Yan Bun, bolehkah aku
mengetahuinya?"
Si Pecut Emas-Han Sun menggeleng-gelengkan kepala

240
"Kelak kau akan mengetahuinya. Kini lebih baik kau tidak
banyak bertanya!"
Han Giok Shia tidak banyak bertanya lagi.
"Aku akan berpergian jauh, harus berkemas2 dulu,"
katanya.
Setelah itu, dia mengambil senjata Liat Hwe Soh Sim Lun
yang menancap di tembok lalu masuk ke dalam.
Si Pecut Emas terus memandang punggung putrinya, lama
sekali barulah duduk.
"Siau Kouw, ketika gadis itu baru masuk, kelihatannya kau
mengenalnya, benarkah begitu?"
Kening Hwe Hong Sian Kouw berkerut-kerut, kemudian
menarik nafas dalam-dalam seraya menyahut.
"Aku tinggal di puncak menara Hou Yok. Kira-kira dua
bulan yang lalu aku pernah melihatnya bersama seorang
pemuda pesiar di Hou Yok. Ketika itu banyak orang pesiar di
sana, tapi mereka berdua menerobos ke sana ke mari dengan
gesit sekali, maka dapat kuketahui mereka memiliki Ginkang
tingkat tinggi. Karena mereka berdua masih begitu muda,
maka kupanggil mereka. Setelah kutanya, mereka mengaku
sebagai kakak beradik bermarga Tam, sedang menunggu ayah
mereka di Hou Yok. Namun siapa ayah mereka, keduanya
tidak memberitahukan. Selanjutnya aku masih sering melihat
mereka, namun baru-baru ini tidak pernah melihat gadis itu.
Dia entah ke mana lalu muncul mendadak dengan sepasang
lengannya terbelenggu rantai besi."
Si Pecut Emas-Han Sun menarik nafas dalam-dalam.

241
"Kalau begitu, sementara ini ayah mereka tidak berada di
Su Cou?"
"Kelihatannya memang begitu. Mereka kakak beradik
berusia belum dua puluh, tapi kepandaian mereka sudah
begitu tinggi. Dapat dibayangkan bagaimana kepandaian ayah
mereka," kata Hwe Hong Sian Kouw.
Sampai di sini, mereka berdua diam, tidak berbicara apaapa
lagi.
Han Giok Shia yang telah berkemas itu berjalan ke ruang
besar, maka mendengar pembicaraan ayah dan gurunya.
Apa yang dibicarakan mereka berdua, tidak terlewat dari
telinganya. Namun pembicaraan terakhir, dia tidak mengerti
siapa yang dimaksudkan. Hanya tahu mereka kakak beradik,
masih berada di wilayah Hou Yok.
Tiba-tiba di depan mata Han Giok Shia muncul sebuah
bayangan orang, bayangan yang muncul di depan matanya
adalah bayangan seorang pemuda berbadan kurus namun
tampan. Ketika Han Giok Shia berada di puncak menara Hou
Yok bersama Hwe Hong Sian Kouw, untuk melatih Liat Hwe
Soh Sim Lun Hoat (Ilmu Gelang Api).
Han Giok Shia ke puncak menara Hou Yok itu di malam
hari, itu agar tidak diperhatikan orang.
Setengah bulan yang lalu, setiap kali dia meninggalkan
menara Hou Yok, pasti merasa ada seseorang menguntitnya.
Orang itulah yang muncul mendadak dalam benaknya yang
merupakan pemuda tampan.

242
Apa pekerjaan pemuda itu, Han Giok Shia tidak begitu
jelas, kelihatannya seperti seorang sastrawan.
Beberapa kali muncul, pemuda itu selalu mengenakan
jubah hijau. Jubah itu berkibar-kibar terhembus angin,
sehingga menambah ketampanannya, membuat hati kaum
gadis menjadi berdebar-debar menyaksikannya.
Pemuda itu memang tampan. Sepasang matanya
menyorot tajam, maka tidak dapat mengelabuhi Han Giok
Shia, pemuda itu juga adalah kaum rimba persilatan.
Dalam waktu setengah bulan ini, boleh dikatakan setiap
malam Han Giok Shia pasti bertemu pemuda itu, namun
belum pernah saling menyapa.
Han Giok Shia tidak tahu siapa pemuda itu, tapi kini
setelah mendengar pembicaraan Hwe Hong Sian Kouw dengan
ayahnya, maka dalam benaknya muncul bayangan pemuda
itu.
Si Pecut Emas-Han Sun dan Hwe Hong Sian Kouw tetap
duduk diam. Han Giok Shia memberi hormat kepada mereka.
"Ayah, Guru! Aku mau pergi!"
Hwe Hong Sian Kouw manggut-manggut.
"Ah Shia, setelah kau tiba di kaki gunung Hui Yan, pasti
akan muncul murid Hui Yan Bun. Mereka akan menanyakan
identitasmu. Asal kau memperlihatkan senjata Liat Hwe Soh
Sim Lun, dan mengatakan mau bertemu ketua, tentu ada
orang membawamu ke sana. Yang penting kau harus ingat,
katakan bahwa aku masih ingin pesiar, maka menyuruhmu ke
puncak gunung Hui Yan belajar ilmu silat!"

243
Padahal sesungguhnya, Han Giok Shia sama sekali tidak
berniat pergi ke Hui Yan Bun. Namun ia tetap menyahut "Ya",
lalu melangkah pergi. Mendadak si Pecut Emas-Han Sun
berseru memanggilnya.
"Ah Shia!"
Han Giok Shia segera menolehkan kepalanya seraya
menyahut,
"Ya, Ayah."
Kemudian ia berlari mendekati si Pecut Emas-Han Sun,
dan mendekap di dadanya.
Sebelum mendekap di dada ayahnya, gadis itu melihat
sepasang mata ayahnya bersimbah air, dan tak lama air mata
itu pun meleleh.
Belum pernah Han Giok Shia melihat ayahnya
mengucurkan air mata seperti itu. Ayahnya berkepandaian
tinggi dan tergolong pendekar gagah, namun kini justru
mengucurkan air mata.
Ketika adiknya menghilang mendadak dan boleh dikatakan
dalam bahaya, ayahnya hanya tampak tidak gembira, tapi
sama sekali tidak mengeluarkan air mata. Kini, ayahnya justru
mengucurkan air mata, maka membuat Han Giok Shia merasa
sedih.
"Kenapa Ayah menangis?" tanyanya sambil mendongakkan
kepala.
Si Pecut Emas-Han Sun segera tertawa.

244
"Anak bodoh! Kenapa ayah harus menangis? Jangan
omong sembarangan!"
Gadis itu amat cerdik. Ia tahu bahwa ayahnya begitu,
lantaran mengkhawatirkan dirinya. Maka, ia segera memanggil
ayahnya dengan air mata bercucuran.
"Ayah! Ayah!"
Si Pecut Emas-Han Sun menjulurkan tangannya untuk
membelai putrinya dengan penuh kasih sayang, kemudian
berkata sepatah demi sepatah.
"Nak, jarak dari sini ke gunung Hui Yan amat jauh. Kau
harus ingat, dalam perjalanan jangan bertarung dengan siapa
pun. Rubahlah sikapmu yang agak buruk!"
Han Giok Shia manggut-manggut dan menyahut agak
terisak-isak.
"Aku tahu."
Berselang sesaat, si Pecut Emas-Han Sun berkata lagi.
"Setelah kau tiba di puncak gunung Hui Yan, janganlah
menelantarkan Ilmu Pecut yang kuajarkan dan ilmu Gelang
Api yang diajarkan gurumu, berikut Lweekang Sim Hoat (Ilmu
Melatih Tenaga Dalam). Kau hanya memperoleh sedikit
kulitnya, maka harus terus berlatih dengan giat. Tiga lima
tahun kemudian, kau pasti akan berhasil menguasai semua
ilmu itu. Aku tidak akan pergi menengokmu, kau pun tidak
perlu merindukan kami. Pecut Emas ini sudah kubawa sejak
kecil, juga merupakan benda pusaka dalam rimba persilatan,
kuhadiahkan kepadamu."

245
Begitu mendengar perkataan ayahnya, timbullah rasa duka
dalam hati Han Giok Shia, karena seakan berpisah selamanya
dengan ayahnya. Pada dasarnya dia adalah gadis yang keras
hati, maka dia dapat menekan rasa dukanya. Ia manggutmanggut,
lalu menerima Pecut Emas tersebut. Namun ketika
baru dililitkan pada pinggangnya, mendadak teringat sesuatu.
"Ayah tidak menggunakan Pecut Emas untuk menjaga
diri?"
Si Pecut Emas-Han Sun menggeleng-gelengkan kepala.
"Aku tidak perlu menggunakannya lagi."
Han Giok Shia mendongakkan kepala. la menatap ayahnya
dengan tertegun, karena ayahnya tampak bertambah tua.
Kematian adiknya amat mendukakan hati ayahnya, kini
ditambah berbagai masalah, maka si Pecut Emas-Han Sun
menjadi kelihatan bertambah tua. Diam-diam gadis itu
menghela nafas panjang.
Si Pecut Emas-Han Sun berpikir sejenak, lalu berkata.
"Masih ada, adikmu...."
Hubungan Han Giok Shia dengan adiknya amat baik dan
akur. Oleh karena itu begitu ayahnya menyinggung adiknya,
air matanya tak terbendung lagi, langsung berderai-derai.
Kemudian ia mengarah tempat lain sambil berkertak gigi.
Si Pecut Emas-Han Sun menghela nafas.
"Yang mencelakai adikmu dapat dipastikan bukan Lu Sin
Kong. Sebetulnya siapa pembunuh itu, masih sulit dipastikan.

246
Setelah kau berkepandaian tinggi, jangan lupa menyelidiki hal
ini, agar dia terlepas dari tuduhan!"
Han Giok Shia mengangguk.
Si Pecut Emas-Han Sun mengibaskan tangannya.
"Pergilah!"
Han Giok Shia membalikkan badannya, sekaligus melesat
keluar. Sampai di halaman, air matanya berderai-derai lagi.
Dia tidak membuka pintu pagar, namun malah mengambil
jalan samping menuju halaman belakang yang mana terdapat
pohon bambu. Dia duduk di situ sambil menangis meraungraung.
Karena sifatnya yang keras, maka biasanya ada masalah
apa pun, tidak akan membuatnya mengucurkan air mata.
Namun saat ini, dia justru merasakan kedukaan itu, sehingga
air matanya mengucur deras tak terbendung lagi.
Apakah musuh ayahnya begitu tangguh dan lihay, maka
merasa percuma menjaga diri dengan Pecut Emas itu, dan
hanya tinggal pasrah saja?
Meskipun si Pecut Emas-Han Sun maupun Hwe Hong Sian
Kouw tidak memberitahukan apa pun, namun Han Giok Shia
dapat mendengar dari nada ucapan ayahnya, yang
kedengarannya seperti akan berpisah selamanya.
Gadis itu terus menangis. Setelah puas menangis, barulah
dia bangkit berdiri.

247
Halaman belakang itu amat luas. Sedangkan jumlah
anggota keluarga si Pecut Emas-Han Sun tidak begitu banyak.
Maka tiada seorang pun melihat Han Giok Shia ada di situ.
Dia berdiri termangu-mangu, sementara sang surya mulai
condong ke barat.
Han Giok Shia meraba senjata Liat Hwe Soh Sim Lun di
punggungnya dan Pecut Emas yang di pinggangnya. la
berkertak gigi dan wajanya memperlihatkan kekerasan
hatinya, kemudian melesat pergi melalui tembok belakang.
Dalam hatinya ia sudah mengambil keputusan, tidak akan
ke Hui Yan Bun, melainkan ke Hou Yok menemui Tam Goat
Hua untuk bertanya sejelas2nya.
Oleh karena itu, Han Giok Shia langsung menuju bukit Hou
Yok. Bukit itu tidak begitu tinggi, namun merupakan bukit
yang amat terkenal di luar kota Su Cou. Konon raja Gouw
dimakamkan di Hou Yok. Biasanya para pelancong ramai
bagaikan semut. Tapi saat ini, hari sudah mulai malam, maka
para pelancong sudah pulang ke rumah masing-masing,
sehingga jalanan tampak sepi.
Beberapa mil kemudian, Han Giok Shia sudah merasa
angin malam menerpa-nerpa wajahnya. Di saat bersamaan,
hujan gerimis pun mulai turun. Hati gadis itu tercekam oleh
berbagai macam masalah, dan itu membuat hatinya tertekan
sekali. Kini ia menghadapi cuaca demikian, sehingga membuat
perasaannya tidak enak. Ia memandang jauh ke depan.
Dilihatnya bayangan menara di puncak bukit itu.
Han Giok Shia memperlambat langkahnya. Ia sudah
sampai di Hou Yok, sekaligus ingin tahu pemuda yang sering
memandangnya, apakah benar adalah kakak Tam Goat Hua.

248
Perlahan-lahan ia memasuki bukit Hou Yok. Tak berapa
lama kemudian gadis itu sudah sampai di sekitar Telaga
Pedang. Mendadak terlihat sosok bayangan kecil berkelebat di
sisi sebuah batu.
Saat ini, bukan hanya hari sudah gelap, bahkan turun
gerimis pula. Sudah barang tentu tempat itu jadi sepi sekali.
Maka ketika melihat sosok bayangan kecil itu, dia tertegun.
"Siapa?" bentaknya.
Bayangan kecil itu sudah berada di balik batu itu. Tapi
begitu mendengar suara bentakan, dia justru berkelebat
keluar seraya menyahut.
"Kakak Tam, kau sudah kembali? Paman Tam menyuruhku
menunggumu di sini!"
Begitu mendengar suara sahutan itu, tergeraklah hati Han
Giok Shia. Ia menoleh kepalanya ke belakang, namun tidak
tampak orang lain datang.
"Tidak salah, memang aku yang ke mari. Sudah Lama kau
menungguku di sini?" sahutnya.
Han Giok Shia sungguh cerdik. Ketika mendengar suara
itu, ia yakin bahwa yang bersuara itu adalah seorang pemuda.
Dalam kegelapan pemuda itu mengira dirinya itu adalah Tam
Goat Hua, maka bertanya begitu.
Oleh karena itu, Han Giok Shia menggunakan siasat untuk
bercakap-cakap dengannya guna mengorek sedikit
keterangan.

249
Walau gelap tapi Han Giok Shia dapat melihat dengan jelas
wajah pemuda itu, ternyata masih remaja dan setinggi Han
Giok Shia.
Usianya sekitar empat lima belas tahun, namun tampak
gagah dan sepasang matanya bersinar terang.
Han Giok Shia sama sekali tidak kenal siapa dia. Pemuda
itu menunggu Tam Goat Hua di tempat ini, tentunya punya
hubungan dengan gadis tersebut. Tapi nada perkataannya
kedengarannya belum pernah bertemu Tam Goat Hua. Karena
itu, Han Giok Shia hendak menyamar sebagai Tam Goat Hua,
itulah siasatnya untuk mengorek sedikit keterangan dari mulut
anak remaja tersebut.
Gadis itu tersenyum-senyum.
"Tentu! Selain kau menunggu di sini, sudah pasti tiada
orang lain."
Anak remaja itu tersenyum. Sungguh mengherankan,
senyumannya menyerupai senyuman anak dewasa.
"Kakak Tam, kata Paman Tam kau pergi menengok
ayahku, apakah ayahku sudah tiba di Su Cou? Sudah setengah
bulan aku meninggalkan rumah, ayahku pasti panik sedikit.
Apakah ayahku pernah menanyakan tentang diriku?"
Sesungguhnya Han Giok Hua amat gembira, sebab anak
remaja itu sama sekali tidak tahu identitasnya.
Akan tetapi, ketika anak remaja itu berkata begitu, justru
membuatnya tertegun.
"Sebetulnya siapa kau?" tanyanya.

250
Pertanyaan tersebut nyaris dilontarkan, namun masih
dapat ditahan dalam tenggorokan, kemudian menyahut.
"Sudah sampai, dia amat rindu kepadamu."
Anak remaja itu segera bertanya.
"Ibuku juga sudah datang? Dia tidak memarahiku? Kini
mereka berada di mana? Bolehkah kau membawaku pergi
menemui mereka?"
Han Giok Shia semakin tertegun. Ia merasa nada
perkataan anak remaja itu mengarah pada Lu Sin Kong, tapi
dia masih kurang yakin.
Saat ini, anak remaja itu menyinggung tentang ibunya,
membuat Han Giok Shia menjadi bercuriga.
Karena menyamar sebagai Tam Goat Hua, tentunya tidak
bisa bertanya tentang asal-usul anak remaja itu. Tapi dalam
hatinya justru timbul suatu ide, maka ia berkata dengan suara
rendah.
"Adik kecil, di sini bukan tempat untuk bercakap-cakap,
lebih baik kau ikut aku!"
Han Giok Shia menjulurkan tangannya menarik lengan
anak remaja itu untuk diajak pergi.
Mereka baru berjalan beberapa depa, tiba-tiba terdengar
suara langkah yang tergesa-gesa dari kejauhan.
Han Giok Shia segera memandang ke arah datangnya
suara. Dilihatnya dua sosok bayangan yang tinggi dan pendek
berkelebat. Bayangan yang tinggi membopong seseorang.

251
Begitu melihat, Han Giok Shia sudah tahu bahwa sosok
bayangan tinggi itu adalah Lu Sin Kong, yang dibopongnya
adalah mayat Sebun It Nio. Ada pun bayangan pendek
tentunya Tam Goat Hua.
Hati Han Giok Shia tersentak, sedangkan anak remaja itu
pun telah melihat mereka. Han Giok Shia segera berbisik.
"Adik kecil, pendatang itu bukan orang baik, kau tidak
boleh bersuara!"
Anak remaja itu menyahut dengan suara rendah. "Kakak
Tam, salah satu dari mereka mirip ayahku!"
Kini Han Giok Shia sudah mengerti, bahwa anak remaja itu
memang putra kesayangan Lu Sin Kong dan Sebun It Nio yang
bernama Lu Leng.
Seketika juga, muncullah berbagai macam urusan dalam
benak Han Giok Shia. Ia, teringat akan kematian adiknya yang
mengenaskan. Usianya sebaya dengan Lu Leng, tinggi dan
besar badan mereka sama pula. Akan tetapi, adiknya telah
binasa. Berdasarkan apa yang dikatakan Lu Sin Kong,
kedengarannya juga kehilangan anak kesayangannya.
Namun, putra Lu Sin Kong itu bukankah masih hidup segar
bugar dan berada di sisinya?
Dalam hati Han Giok Shia memang telah menganggap Lu
Sin Kong dan isterinya yang mencelakai adiknya. Mereka
menaruh kepala itu ke dalam kotak kayu, kemudian diantar ke
rumahnya. itu sematamata hanya ingin membunuh si Pecut
Emas-Han Sun ayahnya dan dirinya. Kini, Lu Leng muncul
mendadak di bukit Hou Yok, membuatnya lebih yakin, bahwa

252
apa yang dikatakan Lu Sin Kong, semua itu hanya bohong
belaka.
Api kebencian dalam hatinya, makin lama makin berkobar.
Dia sungguh ingin turun tangan seketika juga untuk
menghabiskan nyawa Lu Leng.
Sedangkan Lu Leng di saat ini, sama sekali tidak berjagajaga,
maka boleh dikatakan tidak sulit membunuhnya.
Perlahan-lahan Han Giok Shia mengangkat tangannya, tapi
justru tidak untuk memukulnya.
Mendadak gadis itu ingin tahu satu hal, yakni keluarga Lu
dan keluarga Han punya dendam apa, kenapa Lu Sin Kong
begitu tega membunuh adiknya? Lagipula Lu Sin Kong dan
Tam Goat Hua sudah berada di sekitar tempat tersebut.
Begitu menotok, Han Giok Shia justru menotok jalan darah
Tay Pai Hiat di tubuh Lu Leng, sehingga membuatnya tak bisa
bergerak sama sekali. Han Giok Shia pun merebahkan dirinya,
lalu bersama-sama bersembunyi di tempat itu.
Di saat bersamaan, Tam Goat Hua dan Lu Sin Kong telah
tiba di tempat itu, hanya terpisah beberapa depa saja. Sampai
di situ, Tam Goat Hua berhenti.
Itu membuat jantung Han Giok Shia menjadi berdebar
tidak karuan, takut tempat persembunyiannya mereka ketahui.
Terdengar Tam Goat Hua berkata.
"Lu Cong Piau Tau, tidak baik kau terus membopong
mayat Lu Hujin, lebih baik kuburkan saja di sini!"
Lu Sin Kong menyahut dengan suara parau.

253
"Tidak! Biar bagaimanapun aku harus membawa mayat
isteriku ke Tiam Cong, biar Tiam Cong Pai yang menguburnya
di Hun Lam."
Tam Goat Hua menghela nafas panjang.
"Lu Cong Piau Tau, aku lihat lukamu telah sembuh. Kalau
kau ingin melanjutkan perjalanan, aku pun tidak akan
menghalangi waktumu. Tapi apakah kau sama sekali tidak
mau menemui ayah dan saudaraku?"
Lu Sin Kong menyahut.
"Nona Tam, maksud baikmu kuterima dalam hati. Tapi
dendam kematian putra dan isteriku masih belum terbalas, itu
membuatku tidak bisa lama-lama di sini."
Tam Goat Hua segera berkata.
"Lu Cong Piau Tau, kalau bukan kalian suami isteri yang
menyelamatkan diriku di rumah Kim Kut Lau, mungkin saat ini
aku masih dirantai. Hanya saja...."
"Nona Tam mau mengatakan apa, katakanlah!" sahut Lu
Sin Kong cepat.
Tam Goat Hua segera berkata.
"Lu Cong Piau Tau, maafkan aku berterus terang! Siang
tadi ketika kita meninggalkan rumah si Pecut Emas-Han Sun,
aku melihat ada beberapa jago tangguh dari Hoa San Pai,
berjalan mondar-mandir di depan rumah itu karena kau
kelewat berduka, maka tidak melihat mereka. Aku sengaja
memutar dan kembali ke halaman belakang rumah Han Sun,
menunggu sampai malam di taman bambu yang rimbun itu,

254
barulah ke mari. Kalau kau seorang diri melanjutkan
perjalanan ke Tiam Cong dan Go Bi, yang begitu jauh, aku
khawatir akan terjadi sesuatu atas dirimu.
Lu Sin Kong tertawa.
"Ha ha! Nona Tam, terimakasih atas perhatianmu! Mereka
itu sama sekali tidak berada dalam mataku. Harap Nona sudi
menyampaikan salamku kepada ayah dan saudaramu, aku
mau pamit sekarang!"
Usai berkata begitu, Lu Sin Kong melesat pergi. Dalam
waktu sekejap, dia telah lenyap ditelan kegelapan malam.
Walau pembicaraan mereka tadi tidak begitu keras, namun
Han Giok Shia dapat mendengarnya dengan jelas.
Setelah Lu Sin Kong pergi, barulah Han Giok Shia
berpaling untuk memandang Lu Leng.
Di saat bersamaan, Han Giok Shia juga teringat akan
kematian adiknya yang begitu mengenaskan, maka diapun
amat gusar. Sudah barang tentu mereka berdua saling
menatap dengan penuh kebencian, lama sekali barulah Han
Giok Shia mendongakkan kepala.
Tampak Tam Goat Hua duduk di atas sebuah batu. Tak
lama dia bangkit kembali, lalu berjalan mondar-mandir.
Kelihatannya dia sedang menunggu seseorang dengan tidak
sabaran.
-ooo0oooKANG
ZUSI WEBSITE http://cerita-silat.co.cc/
255
Bab 11
Han Giok Shia mengintipnya sambil menahan nafas. Tak
Beberapa lama kemudian, di sebelah barat laut terdengar
suara yang amat nyaring, yaitu suara orang membaca syair.
Asap tebal di dalam rimba,
gunung dingin hati berduka,
ada orang merana di loteng,
burung-burung berterbangan,
di mana adalah tempat tinggal....
Itu adalah syair Lie Thet Pek yang amat terkenal. Suara
belum sirna, orangnya sudah mendekat.
Bukan main cepatnya gerakan orang itu, bahkan tak
mengeluarkan suara sedikit pun Han Giok Shia memandang si
pendatang itu. Seketika juga hatinya berdebar-debar.
Si pendatang itu tidak lain pemuda kurus yang tampan itu,
yang sering dilihatnya setiap malam dalam waktu setengah
bulan ini.
Setelah mendekat, Tam Goat Hua menyapanya seraya
memanggil.
"Kakak!"
Hati Han Giok Shia tertegun. Ternyata dugaannya tidak
meleset, pemuda itu memang kakak Tam Goat Hua.
Oleh karena itu, dia terus menahan nafas sambil pasang
kuping, karena ia yakin bahwa mereka berdua akan
membicarakan sesuatu.

256
"Eh? Adik, kenapa kau ke mari seorang diri?"
Tam Goat Hua menghela nafas panjang.
"Lu Cong Piau Tau sudah pergi." Gadis itu
memberitahukan.
Pemuda itu segera bertanya.
"Apakah mereka tetap akan pergi ke Tiam Cong dan Go Bi
untuk mengundang para jago tangguh, membuat perhitungan
dengn Liok Ci Siansing?"
Tam Goat Hua tampak tercengang.
"Tentu! Memangnya kenapa?"
Pemuda itu kelihatan terkejut.
"Hah? Adik, kau tidak bertemu ayah?" Tam Goat Hua
menyahut.
"Tidak." Gadis itu menggelengkan kepala. "Ayah ke
mana?"
"Celaka!" seru pemuda itu.
"Kakak! Apa yang celaka?" Tam Goat Hua menatapnya.
"Ada kejadian apa, cepatlah beritahukan!"
Pemuda itu segera menyahut.
"Kini tiada waktu untukku menutur, karena kita harus
segera pergi mencari Lu Sin Kong."

257
Tam Goat Hua terheran-heran. Dia menatap pemuda itu
dengan tidak mengerti.
"Mengapa?" tanyanya kemudian.
Pemuda itu menyahut.
"Putranya tidak mati. Kalau kita tidak segera pergi
menyusulnya, bukankah akan terjadi pertarungan mati-matian
antara Bu Yi San, Tiam Cong dan Go Bi?"
Tam Goat Hua tampak tertegun.
"Putra Lu Sin Kong tidak mati? Bagaimana kau tahu?
Legakanlah hatimu, pasti belum jauh dia pergi! Tuturkanlah
dulu kejadian itu!"
Pemuda itu tersenyum.
"Kenapa kau tidak sabaran? Mengenai kejadian itu, aku
pun tidak begitu jelas. Sore ketika kau pulang, juga tidak
memberitahukan pergi ke mana selama setengah bulan ini.
Sebetulnya kau pergi ke mana dan kenapa sepasang
lenganmu terbelenggu sepasang rantai? Dengarkanlah! Lu Sin
Kong dan isterinya ke tempat tinggal si Pecut Emas-Han Sun,
kemungkinan besar mereka akan bertarung. Karena aku
melihat Nona Han tergesa-gesa dan dalam kemarahan besar
mengundang Hwe Hong Sian Kouw, gurunya. Kau tidak dapat
bersabar sama sekali, langsung pergi sih! Kalau kau bersabar
sedikit sampai ayah pulang, bukankah kau akan tahu itu?"
Tam Goat Hua mengendus dingin.
"Hm! Masih bilang aku tidak sabaran? Aku justru telah
terlambat selangkah sampai di sana, Sebun It Nio telah

258
binasa. Apabila terlambat lebih lama lagi, nyawa Lu Sin Kong
pun sulit diselamatkan."
Pemuda itu tampak terkejut sekali.
"Adik, benarkah perkataanmu itu?"
"Mengapa aku harus membohongimu?" sahut Tam Goat
Hua.
Pemuda itu menghela nafas panjang.
"Kalau begitu, antara Lu Sin Kong, si Pecut Emas-Han Sun
dan Hwe Hong Sian Kouw sudah mengikat suatu
permusuhan."
"Memang begitu," sahut Tam Goat Hua. Pemuda itu
berjalan mondar-mandir sejenak dengan kepala tertunduk.
Han Giok Shia yang mengintipnya dapat melihat wajahnya
yang muram sekali.
Terdengar Tam Goat Hua berkata.
"Kakak, terus terang Lu Sin Kong dan isterinya pernah
menyelamatkanku. Tidak hanya mereka dengan si Pecut
Emas-Han Sun dan Hwe Hong Sian Kouw terikat suatu
permusuhan, tapi aku dengan mereka juga telah terjadi suatu
pertikaian pula. Tadi aku telah bertarung dengan putri Han
Sun."
Pemuda itu tampak terkejut sekali. Kemudian ia
menjulurkan tangannya untuk menggenggam lengan Tam
Goat Hua.
"Adik, kau... kau melukainya?"

259
Han Giok Shia dapat mendengar, nada pertanyaan itu
penuh mengandung perhatian, itu membuat hatinya
berbunga-bunga.
Terdengar Tam Goat Hua tertawa dingin. "Kakak, tidak
begitu lama aku pergi, apakah kau telah berkenalan dengan
dia?"
Pemuda itu segera menyahut.
"Tidak, Dik. Kau... kau telah melukainya?"
Tam Goat Hua menyahut dingin.
"Kalau aku melukainya, kau mau apa?"
Sepasang alis pemuda itu terangkat sedikit.
"Aku akan mengantar obat kepadanya, agar dia lekas
sembuh." katanya.
"Mungkin dia tahu kau adalah kakakku, tidak mau
menerima kebaikanmu lho!" kata Tam Goat Hua.
Pemuda itu tersenyum getir.
"Aku mengantar obat ke sana setulus hati, kenapa dia
tidak mau terima?"
Mendengar sampai di situ, hati Han Giok Shia bergejolak,
bahkan terasa hangat pula. Di saat seorang gadis remaja tahu
ada orang mencintainya, tentunya akan berperasaan
demikian. Itu adalah perasaan cinta mulai bersemi. Gembira,

260
hangat, malu-malu dan lain sebagainya, begitu pula Han Giok
Shia.
Dengan tertegun dia memandang pemuda itu, dan dalam
hatinya berseru-seru.
"Kau mengantar obat untukku, aku pasti menerimanya!"
Di saat bersamaan, wajah Tam Goat Hua justru berubah.
"Kakak! Bagaimana seandainya dia telah mati di
tanganku?"
Wajah pemuda itu langsung berubah pucat pias, lalu
menyurut mundur beberapa langkah dan mem.bentak.
"Adik!"
Tam Goat Hua tertawa geli.
"Kakak! Kenapa kau begitu cemas? Legakanlah hatimu,
aku cuma merebut senjata Liat Hwe Soh Sim Lun saja, sama
sekali tidak melukainya."
Pemuda itu menghela nafas lega. Wajahnya pun mulai
kembali normal.
"Dasar! Adik, jangan omong yang bukan-bukan lagi, kita
harus segera pergi menyusul Lu Sin Kong,
memberitahukannya bahwa putranya belum mati."
Tam Goat Hua mengangguk.
"Baik."

261
Mereka berdua lalu berjalan pergi sambil bercakap-cakap.
Sayup-sayup masih terdengar pemuda itu berkata.
"Kata ayah, tidak lama lagi dalam rimba persilatan akan
terjadi badai. Ayah akan berusaha mencegah badai itu, tapi
khawatir kemampuannya terbatas...."
Kata-kata berikutnya, sudah tidak terdengar lagi oleh Han
Giok Shia, namun tetap tampak punggung kedua orang itu,
karena rembulan sudah mulai bersinar.
Han Giok Shia terus memandang punggung pemuda itu. Di
saat bersamaan terdengar suara kereta yang datangnya
sungguh cepat sekali.
Tak Beberapa lama kemudian tampak sebuah kereta kuda
mewah berpacu cepat sekali.
Saat ini, Tam Goat Hua dan kakaknya sudah sampai di
sebuah tikungan. Kereta kuda itu justru mengarah ke sana,
lalu menghadang mereka. Di saat bersamaan, terdengarlah
suara harpa yang amat nyaring menusuk telinga.
Sungguh mengherankan, suara harpa itu entah berasal
dari mana. Di saat itu pula kereta kuda tersebut pun berjalan
dengan perlahan-lahan.
Tentunya membuat Han Giok Shia tercengang, tapi dia
justru menyaksikan suatu keanehan.
Begitu mendengar suara harpa itu, Tam Goat Hua dan
kakaknya mendadak membalikkan badannya, lalu melesat ke
tempat persembunyian Han Giok Shia.

262
Gadis itu memang tidak mau bertemu Tam Goat Hua,
namun ingin sekali menjumpai pemuda itu.
Di saat hatinya sedang bertentangan, barulah diketahuinya
bahwa Tam Goat Hua dan kakaknya tidak mengarah
kepadanya, melainkan bergerak cepat berputar-putar
membentuk sebuah lingkaran besar.
Tercekat hati Han Giok Shia, kemudian mendengar dengan
seksama suara harpa itu, sepertinya berasal dari kereta,
namun kedengarannya juga berasal dari empat penjuru.
Sementara wajah Tam Goat Hua dan kakaknya, tersirat
suatu penderitaan, tapi masih terus berputar2 di tempat itu.
Mengenai kepandaian Tam Goat Hua, Han Giok Shia telah
merasakannya, sudah pasti kepandaian kakaknya tidak akan
berada di bawahnya.
Walau usia mereka berdua belum begitu besar, tapi
kepandaian mereka sudah mencapai tingkat tinggi.
Melihat keadaan mereka, jelas keduanya masih tidak tahu
bahwa dirinya terus berputar di situ, melainkan mengira
berlari ke depan.
Kekuatan apa yang telah mempengaruhi mereka? Padahal
mereka memiliki Lweekang yang cukup tinggi, namun masih
dapat dikendalikan orang. Apakah suara harpa itu yang
mempengaruhi mereka?
Han Giok Shia mencoba mendengarkan suara harpa itu
dengan seksama. Tak lama dia pun merasa semangatnya agak
terbetot. Kini dia berani memastikan, bahwa orang yang
memetik harpa memiliki Lweekang yang amat tinggi sekali.

263
Segeralah dia menghimpun hawa murninya, setelah itu
barulah dia bisa merasakan agak tenang.
Dia memandang ke depan lagi. Dilihatnya Tam Goat Hua
dan kakaknya masih terus berputar-putar, sedangkan kereta
kuda itu bergerak perlahan-lahan meninggalkan tempat itu,
namun kusirnya tidak terlihat, entah berada di mana.
Dalam hati Han Giok Shia tahu, suara harpa itu bukan
ditujukan kepadanya, maka dia tidak terpengaruh.
Berdasarkan situasi itu, Tam Goat Hua dan kakaknya tidak
akan mengalami suatu luka, lagipula ayah mereka tentunya
bukan orang biasa. Lebih baik cepat-cepat meninggalkan
tempat ini. Setelah mengambil keputusan tersebut, dia pun
mengapit Lu Leng lalu melesat pergi.
Tujuannya ke menara Hou Yok. Sayup-sayup dia masih
mendengar suara harpa itu. Berselang beberapa saat mereka
sudah sampai di menara tersebut, kemudian langsung masuk
dan naik ke tingkat teratas, yaitu tempat tinggal Hwe Hong
Sian Kouw.
Han Giok Shia telah faham keadaan di menara itu. Maka
begitu mendorong daun pintu tingkat teratas itu, dia pun
langsung masuk sekaligus menaruh Lu Leng di Iantai, dan
membalikkan badannya untuk melihat keluar.
Menara itu sangat tinggi, lagipula terletak di atas bukit.
Maka dari menara tersebut, orang bisa memandang sejauh
sepuluh mil, Tampak di tempat tadi Tam Goat Hua dan
kakaknya masih terus berputar-putar.
Dalam hati Han Giok Shia semakin merasa heran. Dia tidak
mempedulikan Lu Leng yang tergeletak di lantai, hanya terus
memandang Tam Goat Hua dan kakaknya. Berselang

264
beberapa saat kemudian, terlihat sebuah lengan terjulur
keluar dari dalam kereta itu.
Plaaak!
Sebuah pecut bergerak mengeluarkan suara. Kereta kuda
itu berpacu cepat ke depan, sedangkan suara harpa itu makin
rendah.
Setelah suara harpa itu berhenti, Tam Goat Hua dan
kakaknya pun berhenti berputar.
Mereka berdua tampak tertegun, kemudian melesat pergi.
Dalam sekejap keduanya sudah lenyap dari pandangan Han
Giok Shia.
Sementara Han Giok Shia masih tetap berdiri di dekat
jendela. Ia terus memandang ke tempat itu sambil melamun.
Ternyata dia sedang mengingat kembali kata-kata pemuda itu,
sehingga hatinya merasa kehilangan sesuatu. Setelah pemuda
itu lenyap dari pandangannya, barulah ia membalikkan
badannya.
Kini hari sudah mulai terang. Namun ketika ia
membalikkan badannya, di depan matanya tetap gelap gulita.
Han Giok Shia menghela nafas panjang. Kemudian ia
mengeluarkan sebuah batu api, dan menyalakan lampu yang
tergantung di ruangan itu.
Dalam waktu setengah tahun ini, setiap malam dia pasti ke
mari, namun tidak pernah memperhatikan bangunan menara
itu.

265
Tingkat teratas menara itu menyerupai sebuah kamar. Di
dalamnya terdapat sebuah meja, sebuah kursi dan boleh
dijadikan tempat tinggal.
Setelah lampu dinyalakan, gadis itu tampak tertegun,
bahkan sepasang matanya terbelalak lebar. Dia ingin berteriak
tapi tidak dapat mengeluarkan suara. Wajahnya penuh diliputi
kedukaan.
"Ayah! Ayah!" Ia menubruk ke depan. Ternyata ia melihat
di dinding ruangan itu muncul sosok bayangan.
Bayangan itu tinggi besar, jelas bukan Lu Leng. Lagipula ia
menaruh Lu Leng di lantai, sedangkan bayangan itu berdiri
bersandar di dinding.
Rambut orang itu awut-awutan, dadanya tampak terluka
dan darahnya belum kering. Sepasang matanya mendelik
memandang ke depan, namun sudah redup.
Begitu melihat orang itu, Han Giok Shia mengenalinya,
yang tidak lain si Pecut Emas-Han Sun, ayahnya.
Sungguh tak terduga, dia akan bertemu ayahnya di tempat
ini, tapi ayahnya telah mati.
Han Giok Shia memeluk erat-erat mayat ayahnya, lama
sekali barulah meledak isak tangisnya.
Adiknya telah binasa, ayah pun telah mati, ibu sudah lama
tiada, kini dia hanya tinggal sebatang kara.
Kali ini, Han Giok Shia jauh lebih sedih dari kesedihannya
ketika berada di halaman belakang rumahnya. Ia terus

266
menangis hingga cahaya mentari menyorot ke dalam melalui
jendela, ternyata hari sudah mulai siang.
Han Giok Shia mendongakkan kepala. Wajahnya murung
dan kusut, rambutnya awut-awutan tidak karuan, bibirnya
berbekas gigitan dan terdapat noda darah. Dapat dibayangkan
betapa sedihnya hati gadis itu.
Perlahan-lahan dia bangkit berdiri, lalu merapihkan
rambutnya. Dia termangu-mangu lagi.
Di dinding tempat Han Sun bersandar tadi, tampak dua
huruf yang ditulis dengan tangan. Yakni huruf "Lu" dan huruf
"Tam".
Kira-kira tiga kaki di atas kedua huruf itu, terdapat pula
bekas sebuah telapak tangan yang cukup dalam, di jempol
bercabang sebuah jari, maka telapak tangan itu berjumlah
enam jari.
Padahal Han Giok Shia sudah berhenti menangis, namun
ketika melihat itu dia mulai menangis lagi.
"Ayah! Ayah! Aku sudah tahu! Yang membunuhmu adalah
Lu Sin Kong dan orang bermarga Tam itu! Aku sudah tahu!
Aku sudah tahu!"
Gadis itu cuma memperhatikan kedua huruf itu, sama
sekali tidak melihat bekas telapak tangan tersebut. Gadis itu
pun yakin, kedua huruf itu ditulis ayahnya, agar orang tahu
pembunuh itu adalah orang bermarga Lu dan bermarga Tam.
Walau malamnya dia melihat Lu Sin Kong membopong
mayat isterinya pergi namun dalam hatinya telah menganggap

267
Lu Sin Kong yang membunuh ayahnya, maka dia sama sekali
tidak bercuriga.
Sebab terhadap Lu Sin Kong, dia memang amat benci. Kini
melihat kedua huruf itu, sehingga semakin yakin Lu Sin Kong
adalah pembunuh ayahnya, sama sekali tidak bercuriga akan
keganjilan itu. Maklum! Gadis itu masih muda dan belum
berpengalaman.
Lama sekali dia berdiri mematung di situ, kemudian
perlahan-lahan memandang Lu Leng dengan penuh
kebencian.
Jalan darah Tay Pai Hiat di tubuh Lu Leng telah ditotok.
Walau anak itu terus menerus menghimpun hawa murninya
untuk membuka totokan itu, namun tidak berhasil sama sekali.
Sorotan mata Han Giok Shia yang penuh kebencian itu,
ditujukan pada Lu Leng. Berselang beberapa saat, perlahanlahan
dia menjulurkan tangannya untuk meraih senjata Liat
Hwe Soh Sim Lun yang di punggungnya, lalu diayunkannya
sehingga gelang bergerigi yang ada di ujung rantai itu,
melayang ke dada Lu Leng, dan menancap di situ tapi tidak
begitu dalam. Walau merasa sakit, tapi Lu Leng sama sekali
tidak menjerit.
Sebaliknya dia malah berusaha tenang, setelah itu berulah
berkata perlahan-lahan.
"Aku dan Nona sama sekali tidak saling mehgenal, tapi
kenapa Nona ingin merenggut nyawaku? Harap dijelaskan!"
Saat ini dalam hati Han Giok Shia, justru sedang berpikir
harus dengan cara bagaimana membuatnya mati perlahanKANG
ZUSI WEBSITE http://cerita-silat.co.cc/
268
lahan dalam keadaan tersiksa. Akan tetapi, perkataan Lu Leng
barusan malah membuat-nya tertegun.
Di saat bersamaan, Lu Leng pun mengerahkan seluruh
Lweekangnya totokan seketika itu juga terbuka dan mendadak
melancarkan sebuah pukulan.
Pukulan itu tidak diarahkan pada Han Giok Shia, melainkan
ditujukan pada senjata Liat Hwe Soh Sim Lun.
Dalam keadaan tertegun, Han Giok Shia merasakan
adanya serangkum tenaga yang amat kuat menerjang ke atas,
sehingga membuat badannya terhuyung-huyung ke belakang,
dan gelang bergerigi yang menancap di dada Lu Leng pun
tercabut.
Perubahan yang sekejap itu, justru merupakan suatu
kesempatan bagi Lu Leng untuk menyelamatkan diri. Tiba-tiba
sebelah tangannya menekan lantai, dan seketika juga
badannya mencelat sejauh tiga depaan.
Kini Han Giok Shia baru sadar, di saat Lu Leng membuka
mulut berbicara, ternyata dia berhasil membuka totokan itu
dengan hawa murninya.
Oleh karena itu, ketika melihat Lu Leng mencelat, dia pun
menggerakkan senjata Liat Hwe Soh Sim Lun untuk
menyerangnya, dengan jurus Thian Lung Hwe Yun (Langit
Menurunkan Awan Api).
Di saat gelang bergerigi itu hampir mengenainya,
mendadak Lu Leng berkelit ke samping.

269
Dikarenakan kematian ayahnya, maka timbul
kebenciannya yang amat dalam di hatinya, maka ketika
menyerang, dia menggunakan sembilan bagian tenaganya.
Plaaak!
Senjata Liat Hwe Soh Sim Lun menghantam lantai,
sehingga membuat lantai itu berlobang.
Lu Leng yang berhasil berkelit, cepat-cepat menyambar
sebuah kursi sekaligus menyerang Han Giok Shia. Padahal
luka di dadanya cukup berat, namun dia tahu kalau tidak
bertahan mati-matian, nyawanya pasti akan melayang. Oleh
karena itu, dia pun menggunakan tenaga sepenuhnya untuk
menyerang gadis itu, hingga kursi itu mengeluarkan suara
menderu-deru.
Han Giok Shia tidak sempat lagi mencabut senjatanya
yang menancap di lantai. Dilepaskannya senjata itu sambil
meloncat ke belakang sekaligus meraih Pecut Emas yang
melilit di pinggangnya.
Gadis itu menyentakkan Pecut Emas itu, sehingga
menimbulkan suara "Taar", dan itu sungguh mengejutkan Lu
Leng.
"Kau adalah puteri Han Sun?" tanya Lu Leng tertegun.
Han Giok Shia tidak menyahut, melainkan terus
menggerakkan Pecut Emas itu untuk menyerang Lu Leng.
Taaar!
Ujung Pecut Emas itu mendarat di bahu kiri Lu Leng,
membuat bajunya tersobek dan meninggalkan bekas

270
memerah. Walau kini bahunya telah terluka, namun Lu Leng
tetap mengajukan pertanyaan tadi.
Lu Leng amat membutuhkan jawaban, sebab penting
sekali bagi dirinya.
Semalam jalan darahnya ditotok oleh Han Giok Shia, tapi
tetap dapat mendengar pembicaraan Tam Goat Hua, Lu Sin
Kong dan kakak Tam Goat Hua.
Saat itu, dia tahu dirinya tidak becus, maka dipecundangi
orang. Lagipula dia pun kurang berpengalaman, sehingga
mengira gadis itu adalah Tam Goat Hua.
Selain itu, dia pun tahu ibunya telah binasa di rumah Pecut
Emas-Han Sun.
Betapa sedihnya hati Lu Leng saat itu, namun masih
belum terpikirkan, gadis yang menotok jalan darahnya, justru
puteri si Pecut Emas-Han Sun.
Hingga saat ini, Han Giok Shia mengeluarkan Pecut
Emasnya, barulah dia terpikirkan tentang itu.
Apabila benar gadis itu adalah puteri si Pecut Emas-Han
Sun, berarti gadis tersebut dan dia merupakan musuh besar.
Meskipun bahu Lu Leng terluka oleh Pecut Emas, tapi dia
tetap mengajukan pertanyaan tadi.
Han Giok Shia tertawa panjang.
"Tidak salah, aku memang puterinya!"

271
Usai menyahut, mendadak badannya melesat ke depan
sambil mengayunkan Pecut Emasnya. Serrr!
Gadis itu mengeluarkan jurus Toh Lang Cih Thian (Ombak
Menyapu Langit) menyerang Lu Leng. Itu adalah jurus
andalan ayahnya yang diwariskan kepadanya.
Begitu Pecut Emas itu diayunkan, terdengar suara
menderu-deru bagaikan suara ombak. Sedangkan dada Lu
Leng telah terluka, ditambah lagi luka di bahu, itu
membuatnya terasa sakit sekali, tapi dia terus berkelit ke sana
ke mari.
Tar! Taar! Tak henti-hentinya Pecut Emas itu
mengeluarkan suara yang mengguncangkan jantung.
Walau sudah berkelit ke sana ke mari, namun badannya
tak luput dari hantaman Pecut Emas itu.
Terasa sakit sekali ketika Pecut Emas itu mendarat di
badannya.
Sementara rambut Han Giok Shia sudah awut-awutan,
keadaannya bagai orang gila, terus memecut Lu Leng.
Lu Leng sudah tidak mampu berkelit lagi. Namun
kebetulan dia berada di dekat senjata Liat Hwe Soh Sim Lun
yang tertancap di lantai. Dia menggigit gigi sambil menyambar
senjata itu, sekaligus mencabutnya. Kemudian dengan senjata
itu dia menangkis Pecut Emas yang terus menyambarnyambar
dirinya.
Cring! Kedua senjata itu beradu. Di saat bersamaan Lu
Leng meloncat ke samping.

272
Han Giok Shia tertawa dingin lalu membentak.
"Binatang kecil, kau mau kabur ke mana?"
Setelah menggenggam senjata Liat Hwe Soh Sim Lun, Lu
Leng berusaha bangkit berdiri, akan tetapi sekujur badannya
terasa sakit sekali, sehingga membuatnya tak mampu bangun.
Ketika Han Giok Shia tertawa dingin itu bagaikan sembilu
menyayat hatinya, maka sekuat tenaga dia berusaha bangkit
berdiri dan berhasil, namun tidak bisa berdiri tegak, sebab
badannya terus bergoyang-goyang. Dia terpaksa menghimpun
hawa murninya, sekaligus mengayunkan senjata Liat Hwe Soh
Sim Lun untuk menyerang gadis itu, kemudian mendadak
dilepaskannya senjata itu dan menerjangnya ke arah jendela.
Lu Leng saat ini, sudah tentu akan binasa. Justru dalam
hatinya merasa, dari pada terus dipecut oleh musuh, lebih
baik meloncat keluar lewat jendela, itu akan mati secara
menyenangkan.
Ketika badannya mulai meluncur ke bawah, tiba-tiba
terdengar suara "Ser", ternyata Han Giok Shia telah
mengayunkan Pecut Emasnya untuk melilit badannya.
Tujuan gadis itu tidak menyelamatkannya, hanya saja
tidak menghendakinya mati terhempas di bawah, sebab gadis
itu masih ingin menyiksanya.
Di saat Pecut Emas itu melilit badan Lu Leng, membuat Lu
Leng nyaris tak dapat bernafas, sehingga sepasang tangannya
menggapai ke sana ke mari, kebetulan menggapai pinggir
jendela.

273
Pada waktu bersamaan, dia mendengar suara tawa Han
Giok Shia, kemudian Pecut Emas itu mulai memecutnya.
Tadi Lu Leng tidak mempedulikan apa pun, karena dia
telah mengambil keputusan untuk mati terhempas, namun kini
hatinya justru berubah keras.
Biar bagaimana pun juga, dia sudah tidak ingin mati lagi.
Asal ada sedikit kesempatan hidup, dia harus berjuang untuk
hidup. Itu demi membalas dendam ibunya, dan saat ini dia
justru menemukan kesempatan itu.
Ketika badannya berayun-ayun di pinggir jendela, dia
melihat tingkat bawah hanya berjarak dua tiga kaki.
Dia tahu, asal hatinya tenang pasti dapat meloncat ke
ujung wuwungan tingkat bawah itu, kemudian dengan jurus
Toh Kua Kim Ceng (Lonceng Emas Bergantung), dia bisa
menerobos ke dalam ruang tingkat bawah itu melalui jendela
untuk sementara menghindari siksaan Han Giok Shia.
Lu Leng berkertak gigi menahan rasa sakit Pecut Emas
yang terus menghujani badannya, dia memperhatikan ke
bawah. Di saat bersamaan Pecut Emas itu mengarah jalan
darah yang di punggungnya, itu merupakan jalan darah yang
amat penting.
Lagipula Han Giok Shia menyerangnya dengan jurus Liu
Sing Sam Tah (Meteor Membuat Tiga Lingkaran), mengarah
tiga jalan darah penting di punggung Lu Leng. Apabila ketiga
jalan darah itu tertotok, nyawa Lu Leng pasti melayang
seketika.
Oleh karena itu, dia menarik nafas dalam-dalam sambil
melepaskan tangannya yang memegang pinggir jendela,

274
membiarkan badannya merosot ke bawah, kemudian
melintangkan kaki kanannya untuk menggaet ujung
wuwungan. Maka badannya bergantung di situ dan
bergoyang-goyang, sekaligus mengayunkan badannya untuk
menerjang ke dalam jendela.
Buuk!
Badannya terhempas di lantai, sedangkan ujung
wuwungan yang telah menyelamatkan dirinya pun roboh jatuh
ke bawah.
Untung di bawah tidak terdapat seorang pun. Kalau ada
pasti tertimpa oleh ujung wuwungan itu.
Begitu terhempas di lantai, sekujur badan Lu Leng terasa
sakit lagi.
Tapi dia tahu, kalau masih ingin hidup, haruslah
memanfaatkan kesempatan yang sekejap itu untuk meloloskan
diri.
Karena itu, dia langsung bangkit berdiri. Setelah bangkit
berdiri, seketika juga dia merasa merinding. Ternyata di ruang
itu terdapat beberapa buah patung dewa yang tampak angker,
balikan seperti hidup.
Sungguh aneh sekali, di ruangan itu terdapat begitu
banyak Barang laba-laba, namun patung-patung dewa itu
justru kelihatan bersih sekali.
-ooo0oooKANG
ZUSI WEBSITE http://cerita-silat.co.cc/
275
Bab 12
Di saat itulah terdengar. suara bentakan Han Giok Shia,
dan itu sungguh mengejutkan Lu Leng.
"Binatang kecil! Jangan harap dapat meloloskan diri,
kecuali menuju ke alam baka!"
Lu Leng tahu tidak mungkin dirinya bisa lari ke bawah,
maka dia bersembunyi di belakang sebuah patung dewa.
Baru saja dia bersembunyi, hatinya merasa menyesal
sekali, karena jejak kakinya berada di lantai, bahkan menuju
ke arah patung tempat dia bersembunyi. Siapa yang melihat
jejak itu, pasti tahu ada orang bersembunyi di tempat itu.
Namun di saat itu Lu Leng sudah tidak sempat
bersembunyi di tempat lain, sebab suara Han Giok Shia sudah
semakin mendekat.
Sesungguhnya dari tingkat atas ke tingkat bawah, tidak
begitu membutuhkan waktu.
Akan tetapi, beberapa tingkat atas menara itu sudah lama
tidak diperbaiki, dan tangganya pun sudah lapuk, maka Han
Giok Shia harus berhati-hati melangkah turun, sudah barang
tentu memberi sedikit waktu untuk Lu Leng bernafas.
Lu Leng saat ini semakin panik, karena tahu sulit baginya
untuk meloloskan diri, sehingga membuatnya lupa akan rasa
sakit di sekujur badannya. Justru di saat itu, suatu hal yang
luar biasa terjadi mendadak.

276
Lu Leng nyaris tidak percaya akan matanya sendiri,
mengira itu hanya merupakan halusinasinya lantaran sekujur
badannya terluka.
Dia menggoyang-goyangkan kepala, apa yang terjadi itu
memang nyata, bukan halusinasinya.
Ternyata dia melihat salah satu patung dewa yang di
ujung, sekonyong-konyong bangkit berdiri, kemudian bergerak
cepat berputar-putar di ruang itu, dan berhenti di dekat
jendela, setelah itu mencelat ke tempat semula.
Betapa cepatnya gerakan patung dewa itu, sehingga
membuat mata Lu Leng menjadi kabur.
Ketika dia menundukkan kepala, memang benar patung
dewa itu pernah bangkit berdiri, sekaligus berputar-putar di
ruang itu.
Sebab jejak kakinya telah terhapus semua, malah muncul
jejak kaki lain menuju ke arah jendela.
Dalam hati Lu Leng tahu, kalau Han Giok Shia muncul
pasti akan melihat jejak kaki itu, dan mengira dirinya telah
meloncat keluar melalui jendela.
Di saat dia berpikir, terdengar suara "Blam", gadis itu
sudah menerobos ke dalam. Sebelah tangannya
menggenggam Pecut Emas, yang sebelah lagi memegang
senjata Liat Hwe Soh Sim Lun. Padahal gadis itu berparas
cantik, namun saat ini dia tampak beringas dan bengis sekali.
Lu Leng segera menahan nafas, tak berani bergerak sama
sekali.

277
Han Giok Shia yang telah masuk itu, langsung menengok
ke sana ke mari. Dilihatnya jejak kaki di lantai mengarah
jendela, maka dia lalu melesat ke jendela itu.
Seketika juga Lu Leng menarik nafas lega. Namun
kemudian berkeluh lagi, sebab dia melihat Han Giok Shia
membalikkan badan setelah memperhatikan jejak kaki di
lantai. Sedangkan apabila Han Giok Shia memperhatikan
patung-patung dewa yang di ruang itu, dia pasti akan
menemukan Lu Leng.
Justru di saat inilah hal aneh terjadi lagi. Ternyata
mendadak jubah patung dewa itu mengembang menutupi
badan Lu Leng.
Di saat itu pula terdengar suara dengusan Han Giok Shia
yang amat dingin.
"Hm! Bocah busuk, aku mau melihat kau kabur ke mana!"
Kemudian gadis itu melesat keluar menuju tingkat bawah.
Sampai di situ Han Giok Shia sama sekali tidak
menemukan jejak kaki. Karena itu, dia terus memeriksa ke
bawah. Tercium wangi dupa dan tampak beberapa Hweeshio
sedang membaca doa. Apa yang telah terjadi di lantai atas,
para Hweeshio itu sama sekali tidak mengetahuinya.
Han Giok Shia juga tidak punya waktu untuk berbicara
dengan mereka, namun segera bertanya.
"Maaf! Apakah kalian dapat melihat seorang anak remaja
melarikan diri dari sini?"
"Omitohud!" sahut salah seorang Hweeshio. "Seorang
anak remaja? Tidak."

278
Han Giok Shia mendekati jendela dan memandang ke
bawah, namun tidak tampak ada orang terhempas di bawah
sana, dan itu membuatnya tidak habis pikir.
Setelah termangu-mangu beberapa saat, gadis itu kembali
ke atas lagi. Beberapa Hweeshio itu tahu bahwa Hwe Hong
Sian Kouw tinggal di tingkat teratas, adalah orang dunia
persilatan, maka tidak merasa heran menyaksikan gadis itu
naik ke sana.
Han Giok Shia memeriksa setingkat demi setingkat, namun
sampai di tingkat itu dia pun tertegun. Padahal tadi di tingkat
itu terdapat tujuh delapan buah patung dewa, namun kini
sudah Ienyap semuanya.
Menyaksikan keadaan itu, sadarlah Han Giok Shia bahwa
dirinya telah terjebak oleh siasat orang. Maka dia bersiul
panjang seraya bertanya.
"Kurcaci dari mana, beranikah memperlihatkan diri?"
Walau dia berseru beberapa kali, tapi tetap tiada sahutan
sama sekali. Tiba-tiba dia teringat akan mayat ayahnya yang
masih bersandar di dinding ruangan tingkat atas. Maka
segeralah dia berlari ke tingkat teratas itu.
Han Giok Shia melihat mayat ayahnya sudah tidak
bersandar di dinding lagi, melainkan terbaring di ranjang. Dia
langsung menghampiri mayat itu. Dilihatnya selembar kertas
menempel di dada mayat ayahnya yang terluka. Pada kertas
tersebut terdapat beberapa baris tulisan. Diambilnya surat itu
lalu dibacanya.

279
Dada saudara Han, dilukai oleh Hou Jiau Kou (Cakar
Harimau) tiada hubungan dengan orang itu. Keponakan tidak
boleh bertindak sembarangan terhadap orang baik!
Pada surat itu tidak tercantum siapa yang menulisnya,
hanya terdapat tujuh macam gambar.
Yakni sebuah Holou (Semacam Kendi), sebatang suling,
sebatang Pit, sebuah buku, sebuah kipas, sebuah gelang besi
dan sebuah lempengan besi.
Gambar-gambar tersebut mewakili apa, Han Giok Shia
sama sekali tidak mengetahuinya, bahkan terheran-heran
pula.
Tadi di lantai bawah dia melihat tujuh delapan buah
patung dewa, tapi tidak memperhatikannya secara seksama.
Kini dia melihat ketujuh gambar itu, dapat diduga itu mewakili
tujuh orang.
Mengenai ketujuh orang tersebut Han Giok Shia pun tidak
kenal maupun tidak mengetahuinya.
Saat ini, dia masih dalam keadaan gusar, maka tidak
begitu memperhatikan bunyi tulisan itu. Kematian ayahnya
justru dilukai oleh Hou Jiau Kou, semacam senjata yang amat
ganas. Dalam hatinya dia menduga, bahwa ketujuh orang
tersebut telah menyelamatkan Lu Leng. Oleh karena itu,
dirobekrobeknya kertas tersebut, lalu dipeluknya mayat ayahnya
sambil menangis meraung-raung dan akhirnya pingsan.
Tak Beberapa lama kemudian, dia siuman dari pingsannya.
Ketika ia membuka mata, keadaan di sekelilingnya gelap
gulita, hanya tampak satu titik sinar.

280
Itu bukan berarti hari sudah gelap, melainkan sepasang
matanya tertutup sehelai kain.
Han Giok Shia tidak tahu dirinya berada di mana, dan itu
membuat hatinya menjadi "gugup dan panik. Mendadak
terdengar suara "Ting! Ting! Ting", yaitu suara harpa, tapi
cepat sekali suara berhenti, kemudian terdengar lagi suara
tawa.
"Ha ha ha!"
Tak seberapa lama, suara tawa itu pun hilang lenyap,
barulah Han Giok Shia menghimpun hawa murninya untuk
membuka jalan darahnya yang tertotok. melepaskan kain yang
menutupi mukanya. ternyata dia masih tetap berada di tingkat
atas menara tersebut dan mayat ayahnya pun tetap terbujur
di atas ranjang. Dia terus menatap mayat itu dengan wajah
murung.
Berselang beberapa saat, dia mulai berpikir. Ayahnya mati
di sini, lalu di mana Hwe Sian Siau Kouw, gurunya?
Apakah gurunya juga telah binasa? Kalau tidak, bagaimana
mungkin gurunya tidak ke mari? Padahal ketika dia
meninggalkan rumah, ayahnya dan gurunya masih duduk di
ruang besar, tapi kenapa malam harinya ayahnya sudah
menjadi mayat dan berada di sini sedangkan gurunya tidak
kelihatan sama sekali?
Berpikir sampai di sini, dia langsung menutupi mayat
ayahnya dengan selimut, kemudian segera turun ke tingkat
bawah. Keluar dari menara itu, dia langsung melesat menuju
kota. Sampai di depan rumahnya dia tidak membuka pintu
pagar lagi, melainkan meloncat ke dalam melalui tembok.

281
Rumah yang begitu besar, tampak sepi sekali, tiada suara
sedikit pun. Han Giok Shia berseru memanggil pembantu tua,
kemudian berseru memanggil gurunya, namun tidak terdengar
suara sahutan.
Dia langsung menerobos memasuki ruang besar.
Keadaan ruangan itu pun sama seperti kemarin ketika dia
pergi, tidak terdapat perubahan apa pun.
Han Giok Shia berputar ke sana ke mari, tapi tidak melihat
pembantu. Entah pergi ke mana pembantu itu.
Gadis itu membatin, mungkin gurunya belum mati. Hanya
karena musuh amat tangguh, maka gurunya pergi
mengundang jago tangguh untuk menghadapi musuh itu.
Gurunya punya hubungan baik dengan Hui Yan Bun, tentunya
gurunya pergi ke sana.
Tapi kemudian Han Giok Shia berpikir lagi, ayahnya dan
Hwe Hong Sian Kouw berada di ruang besar ini, sudah pasti
tidak ada musuh tangguh ke mari, maka Hwe Hong Sian Kouw
berpamit. Sedangkan ayahnya bukan mati di rumah,
melainkan di menara Hou Yok, bahkan juga meninggalkan
tulisan, yakni Lu dan Tam.
Lu tentunya menunjukkan Lu Sin Kong, sedangkan Tam
sudah pasti menunjukkan ayah Tam Goat
Hua....
Mendadak dalam benak Han Giok Shia kembali muncul
sosok bayangan, yaitu pemuda kurus yang tampan itu.

282
Bayangan pemuda itu justru membuatnya tersenyum getir,
sebab dia tahu jelas pemuda itu mencintainya, dan dia pun
terkesan baik terhadapnya.
Padahal kalau urusan terus berkembang, pasti akan baik
dan indah sekali. Akan tetapi kini apa pula yang harus
dikatakannya?
Han Giok Shia terus berpikir, setelah itu mengambil
keputusan, bahwa malam harinya dia akan kembali ke menara
itu. Walau dia tidak tahu jejak musuh, namun paling tidak bisa
menurunkan mayat ayahnya dan memakamkannya, kemudian
setelah itu baru menyusun suatu rencana untuk membalas
dendam.
Sesudah mengambil keputusan tersebut, barulah Han Giok
Shia merebahkan dirinya ke tempat tidur, tapi dia sama sekali
tidak bisa pulas.
Sulit sekali menunggu hari gelap. Walau tidak begitu lama
menunggu, namun dia merasa lama sekali. Ketika hari mulai
gelap, gerimis pun mulai turun. Di saat itulah Han Giok Shia
berangkat ke gunung Hou Yok.
Tak seberapa lama kemudian, dia sudah berada di sekitar
gunung Hou Yok tersebut. Hujan pun makin lama makin lebat,
sehingga rambut dan pakaiannya telah basah kuyup, tapi dia
sama sekali tidak merasakannya. Dia hanya berharap bertemu
kembali dengan Tam Goat Hua dan kakaknya, agar dapat
menyelidiki siapa ayah mereka, barulah membalas dendam.
Han Giok Shia mendatangi tempat semalam di mana dia
bersembunyi bersama Lu Leng, lalu duduk di atas sebuah
batu, membiarkan hujan turun terus mengguyur dirinya.

283
Ketika tengah malam, dia melihat dua sosok bayangan
berkelebat. Cepat-cepat dia bersembunyi di balik batu itu.
Kedua sosok bayangan itu sudah semakin mendekat, mereka
memakai topi rumput lebar.
Walau muka mereka ditutup oleh topi rumput lebar itu,
namun Han Giok Shia mengenali mereka berdua, yang tidak
lain Tam Goat Hua dan kakaknya.
Dia langsung menahan nafas dan tidak bergerak sama
sekali di tempat persembunyiannya, tak lama terdengar suara
Tam Goat Hua.
"Heran, sebetulnya ayah pergi ke mana, kok sudah malam
begini masih belum datang?" Kakaknya menyahut.
"Adik, apakah kau khawatir ayah akan dicelakai orang?"
Tam Goat Hua tertawa.
"Tentunya ayah tidak akan dicelakai orang, sebab dalam
rimba persilatan tidak banyak pesilat yang dapat bertahan
sepuluh jurus melawan senjata Hou Jiau Kounya. Aku cuma
merasa heran, kenapa ayah tidak datang?"
Usai Tam Goat berkata, sekujur badan Han Giok Shia
menggigil. Bukan karena kedinginan, melainkan teringat akan
sesuatu.
Hou Jiau Kou (Cakar Harimau)!
Ternyata itu yang membuatnya menggigil, bahkan juga
menyerupai jarum menusuk ke dalam hatinya.

284
Teringat akan tulisan yang tertera di kertas itu, berbunyi
demikian. "Dada Saudara Han, dilukai oleh Hou Jiau Kou..."
Pada waktu itu dia masih ragu, tapi kini sudah berani
memastikan siapa yang dimaksudkan "Tam" itu.
Itu membuat darahnya langsung mendidih. Rasanya ingin
segera memecut putra putri musuh besarnya itu, tapi dia
justru tahu, seorang diri tidak mungkin dapat melawan
mereka berdua.
Lagipula... bagaimana mungkin dia turun tangan terhadap
pemuda kurus tampan itu? Oleh karena itu hatinya manjadi
bimbang.
Di saat bersamaan, terdengar pemuda itu menyahut.
"Ayah tidak datang, tentunya ada urusan. Adik, kau jangan
mengira orang yang berkepandaian tinggi pasti ternama, itu
belum tentu. Seperti halnya apa yang kita alami semalam, kau
sudah lupa itu?"
"Kalau tidak diungkit masih tidak apa-apa. Tapi kalau
diungkit, justru hingga hari ini aku masih merasa gusar dan
penasaran sekali."
Pemuda itu tertawa.
"Adik, apa gunanya gusar dan penasaran. Suara harpa itu
dapat mempengaruhi kita, bahkan membuat kesadaran kita
kabur. Kalau si pemetik harpa itu mau mencelakai kita, boleh
dikatakan gampang sekali. Aaah! Dalam hal ilmu silat,
memang tiada batasnya!"
Tam Goat Hua juga tertawa.

285
"Kakak, kalau malam ini ayah tidak datang, kelihatannya
kita tidak bisa terus berdiam di Hou Yok. Kita harus segera
berangkat ke gunung Bu Yi, menunggu Lu Sin Kong membawa
para jago tangguh dari kedua partai pergi mencari Liok Ci
Siansing untuk membuat perhitungan. Kita memunculkan diri
dan asal mengatakan sesuatu, mereka pasti tidak akan
bertarung mati-matian."
Pemuda itu menyahut.
"Gampang sekali kau bicara. Kemarin kita bersama pergi
menyusul Lu Sin Kong, suara harpa itu datang dari langit,
membuat kita kehilangan banyak waktu, sehingga kita tidak
berhasil menyusulnya. Lagipula Lu Leng masih hidup, itu
hanya ucapan ayah, aku juga tidak bertemu Lu Leng. Sampai
saat ini kedua pihak menghunus pedang bertarung kalau kita
juga mengucapkan begitu apakah Lu Sin Kong dan para jago
kedua partai itu akan percaya?"
Tam Goat Hua menghela nafas panjang.
"Menurutmu, tidak ada yang harus kita lakukan?"
Pemuda itu menyahut, kemudian menghela nafas panjang.
"Juga tidak begitu. Kita harus ke gunung Bu Yi. Kalau
sampai saatnya mereka tidak percaya, asal kita menyebut
julukan ayah, mungkin untuk sementara mereka tidak akan
bertarung."
Tam Goat Hua bertepuk tangan.
"Ide yang bagus! Mari kita berangkat, jangan membuang
waktu lagi!"

286
Pemuda itu tertawa.
"Kau memang tidak sabaran!"
Tam Goat Hua juga tertawa.
"Kakak, jangan berkata begitu! Bagaimana kau sendiri
semalam? Begitu mendengar aku melukai gadis itu, kau pun
tampak begitu gugup dan panik. Kak, perlukah kita ke
rumahnya untuk berpamit?"
Pemuda itu memukul Tam Goat Hua. Gadis itu langsung
berkelit, kemudian mereka berdua tertawa lagi.
Begitu mendengar suara tawa mereka, hawa kegusaran
yang berada di rongga dada Han Giok Shia makin menyala,
tapi dia terpaksa bertahan kemudian terdengar lagi pemuda
itu berkata.
"Kita pun harus meninggalkan beberapa kata agar ayah
tahu ke mana tujuan kita. Kalau ayah berhasil membawa Lu
Leng bukankah baik sekali?"
Tam Goat Hua mengangguk.
"Betul apa yang kau katakan."
Mereka berdua menengok ke sana ke mari. Tampak batu
besar tempat Han Giok Shia bersembunyi. Mereka berdua
mempunyai maksud yang sana, lalu melesat ke arah batu
besar itu.
Begitu melihat mereka berdua melesat ke arahnya, Han
Giok Shia langsung menahan nafas dan tak berani bergerak
sedikit pun.

287
Ketika Tam Goat Hua dan pemuda itu sampai di hadapan
batu besar, Han Giok Shia dapat mendengar desah nafas
mereka, kemudian terdengar pula suara. Sert! Serrrt!,
kedengarannya seperti suara semacam senjata tajam
mengukir sesuatu di batu besar itu. Berselang sesaat, Tam
Goat Hua berkata.
"Kakak, biar aku yang mengukir namaku!"
Terdengar lagi suara "Serrt! Serrrt!".
Setelah itu, Tam Goat Hua berkata lagi. "Beres! Kalau ayah
ke mari pasti melihat ini!" Badan mereka bergerak, kemudian
perlahan-lahan meninggalkan tempat itu.
Setelah mereka tidak kelihatan, barulah Han Giok Shia
keluar dari tempat persembunyiannya.
Dia ke hadapan batu besar itu. Dilihatnya dua Baris tulisan
diukir di atas batu, yang berbunyi demikian.
ayah, Anak telah berangkat ke gunung Bu Yi, Ayah boleh
menyusul.
Berdasarkan ukiran huruf itu, dapat diketahui bahwa
Lweekang pemuda itu lebih tinggi, sebab ukirannya lebih
dalam. Tam Goat Hua tadi mengatakan mengukir namanya
sendiri, terlihat ukiran nama tersebut tidak begitu dalam.
Han Giok Shia berdiri termangu-mangu di depan batu
besar itu. Sampai lama sekali barulah dia mengambil
keputusan, yakni untuk berangkat kegunung Bu Yi juga.

288
Lu Sin Kong mau ke gunung Bu Yi membuat perhitungan.
Tam Goat Hua dan kakaknya bernama Tam Ek Hui serta ayah
mereka juga mau ke gunung Bu Yi.
Itu berarti kedua pembunuh ayahnya berada di gunung Bu
Yi, maka Han Giok Shia mengambil keputusan untuk
berangkat ke sana.
Walau gadis itu tidak kenal Liok Ci Siansing, Tiat Cit
Songjin dan lainnya, namun apabila dia membantu mereka
menghadapi musuh, tentunya mereka pasti gembira sekali dan
akan menyambutnya dengan baik.
Begitu ingat akan dendam tersebut, Han Giok Shia tampak
bersemangat sekali, lalu ke menara Hou Yok untuk mengambil
mayat ayahnya. Setelah dibawa pulang, hari berikutnya dia
membeli sebuah peti mati, kemudian menaruh mayat ayahnya
ke dalam peti mati itu, sekaligus dimakamkan di halaman
belakang. Isak tangisnya pun meledak di situ. Setelah puas
menangis barulah dia berangkat ke gunung Bu Yi.
Sementara ini tidak mengikuti perjalanan Han Giok Shia
yang sedang pergi ke gunung Bu Yi, sebaliknya kita harus
tahu bagaimana keadaan Lu Leng yang terluka malam itu.
Dia bersembunyi di belakang sebuah patung dewa. Ketika
Han Giok Shia memasuki lantai itu,
patung dewa itu pun menutupi badannya dengan
jubahnya. Lu Leng adalah anak cerdik, seketika juga dia dapat
menduga, bahwa patung dewa itu adalah orang.
Orang-orang itu bersedia menyelamatkannya, tentunya
tidak akan mencelakainya, maka dia berlega hati.

289
Walau dia sudah terluka, namun masih terus bertahan
karena ingin hidup. Di saat dia merasa lega, justru sudah tidak
kuat bertahan lagi. Dia merasa matanya gelap lalu pingsan.
Di saat dia pingsan, kebetulan Han Giok Shia
meninggalkan lantai itu menuju lantai bawah. Mendadak
ketujuh patung dewa itu bangun serentak, kemudian bergerak
cepat bagaikan terbang menuju tingkat teratas. Salah satu
patung itu masih menggendong Lu Leng.
Tidak begitu lama berada di tingkat teratas itu, mereka
segera turun ke tingkat bawah menggunakan Ginkang. Sampai
di bawah, mereka langsung melesat pergi laksana kilat.
Segala yang berlangsung itu, Lu Leng sama sekali tidak
mengetahuinya. Ketika dia siuman dan perlahan-lahan
membuka matanya, dia merasa badannya bergoyang-goyang.
Ternyata dirinya berada di dalam sebuah perahu yang cukup
besar.
Begitu siuman, sekujur badannya terasa sakit sekali. Maka
dia merintih-rintih tak tertahan.
Dia baru saja mengeluarkan suara rintihan, tampak
seseorang menjulurkan kepalanya ke dalam. "Bocah, kau
sudah siuman? Perutmu pasti sudah lapar, mau makan?"
Orang itu bertelinga lebar dan tampak ramah, sehingga Lu
Leng terkesan baik. Dia berusaha bangun tapi tak mampu
bergerak, sebaliknya sekujur badannya bertambah sakit, maka
merintih lagi.
"Bocah!" Si Gendut itu menggeleng-gelengkan kepala.
"Merasa sakit ya sudahlah! Jangan terus merintih, kau masih
hidup kok."

290
Lu Leng berkertak gigi. Walau sekujur badannya masih
terasa sakit sekali, tapi dia sama sekali tidak mengeluarkan
suara rintihan lagi.
Si Gendut mengacungkan jempolnya sambil manggutmanggut.
"Bagus! Hatimu memang tabah!" katanya.
Ketika si Gendut mengacungkan jempolnya, Lu Leng
melihat sebuah gelang berukuran cukup besar di lengannya.
Sementara Lu Leng terus menahan rasa sakitnya, sehingga
membuat wajahnya tampak meringis-ringis.
"Kau tidak usah cemas, kawan-kawanku itu sedang pergi
mencari obat untukmu. Tak lama mereka pasti ke mari.
Lukamu itu cukup berat, namun kau memiliki Lweekang yang
cukup tinggi, maka tidak apa-apa." kata si Gendut.
Bagian 06
"Terimakasih atas pertolongan para Cianpwee," ucap Lu
Leng.
Si Gendut kemudian mendadak menjulurkan tangannya
untuk mengambil sebuah topeng tembaga. Dipakainya topeng
itu tapi kemudian dilepaskan lagi.
"Tidak mengejutkanmu?" katanya.

291
Topeng tembaga itu memang aneh, justru adalah salah
satu patung dewa yang dilihatnya di dalam menara Hou Yok.
Saat ini walau sekujur badan masih terasa sakit, namun
kelakuan si Gendut yang lucu itu membuat Lu Leng tertawa
geli.
"Tidak terkejut, hanya saja kenapa para Cianpwee
menyamar sebagai patung dewa di menara Hou Yok itu?"
Si Gendut menghela nafas panjang.
"Panjang sekali kalau diceritakan. Setelah lukamu sembuh,
barulah kuceritakan. Ingat, saat ini kau tidak boleh gusar,
sebab akan menambah parah lukamu!"
Lu Leng mengangguk, lalu memandang keluar.
Tampak sedikit kabut di luar sana. Ternyata perahu
tersebut berada di pinggir sebuah telaga. Bukan main
indahnya panorama di tempat itu.
Setelah memandang keluar sejenak, dia bertanya kepada
si Gendut.
"Bolehkah aku tahu, siapa Cianpwee sekalian?"
Si Gendut tertawa gelak.
"Ha ha ha! Kami berjumlah tujuh orang, maka untuk
mengingat nama kami, mungkin sulit bagimu."
Begitu mendengar mereka berjumlah tujuh orang, hati Lu
Leng tergerak.

292
"Apakah Cianpwee sekalian adalah Tujuh Dewa dalam
rimba persilatan?"
Walau Lu Leng tidak pernah berkecimpung dalam rimba
persilatan, namun kedua orangtuanya sudah berpengalaman,
maka pernah mendengar dari kedua orangtuanya mengenai
orang-orang aneh berkepandaian tinggi dalam rimba
persilatan.
Dia masih ingat akan penuturan ayahnya, selain para
ketua partai besar, masih terdapat tujuh orang aneh yang
berkepandaian amat tinggi sekali. Karena merasa cocok satu
sama lain, maka ketujuh orang aneh itu selalu bersama dan
dijuluki Tujuh Dewa dalam rimba persilatan.
Jejak ketujuh orang aneh itu tidak menentu, kadangkadang
berada di dalam perahu, di pegunungan dan di pinggir
laut, bertindak sesuatu pun berdasarkan kemauan hati, sama
sekali tidak terikat oleh peraturan rimba persilatan. Kalau
berjodoh bertemu mereka dan mau menyebut sebagai
"Teecu" (Murid), pasti akan memperoleh keuntungan besar.
Teringat akan ini, barulah Lu Leng dapat menduga identitas
mereka.
Si Gendut tertawa lagi.
"Bocah, pengetahuanmu cukup luas, kami memang Tujuh
Dewa."
Lu Leng justru tidak tahu, sejak hari itu dia melihat
seorang piausu yang berlumuran darah, begitu masuk ke
dalam ruangan langsung mati, karena itu dia membawa golok
pendek meninggalkan rumah. Sejak itu pula dia terus
menghadapi berbagai macam bahaya, bahkan juga mengalami
hal-hal yang aneh.

293
Begitu pula apa yang dialami kedua orangtuanya, sebab
menemukan mayat anak tanpa kepala di dalam gudang batu,
maka mengira dia telah binasa, lantaran bekas telapak tangan
berjari enam, sehingga menganggap itu adalah perbuatan Bu
Yi San Liok Ci Siansing, Tiat Cit Songjin dan Tujuh Dewa
sebagai pembunuh.
Lu Leng sama sekali tidak tahu akan urusan itu. Begitu
pula Tujuh Dewa tersebut, sama sekali tidak tahu bahwa Lu
Sin Kong pergi mengundang para jago tangguh Tiam Cong Pai
dan Go Bi Pai, ke gunung Bu Yi guna membuat perhitungan
terhadap Liok Ci Siansing.
Ketika Lu Leng tahu bahwa Tujuh Dewa yang
menyelamatkan dirinya, maka hatinya menjadi lega. Di saat
itulah justru dia teringat akan kedua orangtuanya. Sudah
sekian lama dia tidak berjumpa, bahkan kini ibunya telah
binasa. Tak disangka hari itu meninggalkan rumah, malah
berpisah selamanya dengan ibunya.
Lu Leng merupakan anak yang berperasaan, begitu
teringat hal itu, air matanya meleleh. Sedangkan si Gendut
sudah kembali ke geladak. Lu Leng memandang keluar,
tampak permukaan telaga sedikit bergelombang, dan itu
membuat pikirannya menjadi menerawang.
Setelah meninggalkan rumah, Lu Leng mengalami
berbagai macam kejadian. Ternyata dia pergi mengejar kereta
mewah itu. Apa yang dialaminya, akan dituturkan di sini.
Hari itu setelah meninggalkan rumah, Lu Leng terus
mengejar kereta mewah itu. Dia terus mengejar sampai di luar
kota, tapi sama sekali tidak menemukan jejak kereta mewah
tersebut.

294
Lu Leng berpikir, apakah dirinya terlambat selangkah,
sehingga kereta mewah itu telah pergi jauh? Ketika dia baru
ingin kembali ke rumah untuk berunding dengan kedua
orangtuanya, mendadak terdengar suara kereta.
Lu Leng segera meloncat ke semak-semak dan
bersembunyi di situ lalu mengintip. Tampak sebuah kereta
mewah yang dihiasi dengan bermacam-macam permata, terus
melaju ke arah luar kota.
Setelah kereta mewah itu melewati tempat
persembunyiannya, dia segera melesat keluar, ke arah
belakang kereta mewah itu, sekaligus meraih pinggirnya,
maka dia bergantungan di situ.
Walau Lu Leng bernyali besar, tapi saat itu hatinya merasa
tegang juga. Sebelah tangannya memegang erat-erat
pinggiran atap kereta, tangan yang sebelah lagi bersiap-siap
menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi.
Sementara kereta mewah itu terus melaju dengan
mengeluarkan suara "Tik Tak Tik Tak", tak Beberapa lama
kemudian, sudah tiba di pinggir sebuah sungai. Begitu tiba di
pinggir sungai itu, kereta mewah tersebut berhenti.
Hati Lu Leng bertambah tegang, sebab kereta mewah itu
berhenti di pinggir sungai, sudah barang tentu mau
menyeberang, itu berarti orang yang ada di dalamnya akan
keluar.
Hati Lu Leng terus berkebat-kebit. Akan tetapi, sudah
lewat sekian lama, tiada suara gerakan apapun.
Lu Leng merasa heran. Kebetulan di belakang kereta
mewah itu terdapat sebuah jendela kecil, yang ditutup dengan

295
sehelai gordyn warna keemasan. Karena tidak mendengar
suara gerakan apapun, maka dia mengeluarkan golok pendek
yang dibawanya untuk merobek sedikit gordyn itu, sekaligus
mengintip ke dalam.
Begitu melihat ke dalam, hatinya tersentak, karena
ternyata kereta itu kosong melompong.
Betapa heran hati Lu Leng, sebab kereta mewah itu
kosong. Keberaniannya pun menjadi bertambah. Dia segera
menghimpun hawa murninya lalu menerobos ke dalam. Ketika
sepasang kakinya menginjak, terasa menginjak sesuatu yang
amat lunak. Ternyata kereta mewah itu beralas semacam kulit
bulu binatang. Suasana di dalam kereta itu agak gelap,
tercium pula semacam bau harum yang amat aneh.
Lu Leng menyingkap sehelai gordyn, seketika di dalam
kereta mewah itu pun menjadi terang.
Sungguh indah dekorasi di dalam kereta mewah itu.
Terdapat sebuah meja kecil, tampak sebuah teko dan sebuah
pedupaan yang mengepulkan asap harum. Di sini pedupaan
terdapat sebuah harpa kuno berwarna agak kehitam-hitaman.
Lu Leng memang sering melihat berbagai macam harpa,
maka tahu ada berapa banyak tali senar harpa. Namun harpa
kuno yang satu itu, justru punya dua puluh satu tali senar
yang sehalus rambut.
Menyaksikan harpa kuno itu, dia merasa tercengang,
karena itu dia menjulurkan tangannya untuk memetik tali
senar harpa itu.

296
Akan tetapi, jari tangannya sama sekali tidak mampu
menggerakkan tali senar itu, sehingga sedikit suara pun tak
terdengar.
Mulut Lu Leng ternganga lebar. Padahal tadi dia telah
menggunakan tenaga yang cukup besar untuk memetik tali
senar harpa itu, namun tak berbunyi sama sekali.
Kalau begitu, si pemiliknya harus menggunakan tenaga
besar untuk memetik tali Benar harpa tersebut? Maklum! Lu
Leng masih bersifat anak-anak, maka ingin sekali
membunyikan harpa kuno tersebut. Dia menghimpun hawa
murni, kemudian disalurkan ke jari tangannya untuk memetik
tali senar itu.
Tali senar harpa kuno itu bergerak dan mendadak
mengeluarkan suara bagaikan halilintar. Lu Leng sama sekali
tidak menyangka harpa kuno itu akan mengeluarkan suara
yang begitu keras memekakkan telinga, membuat jantungnya
tergetar dan badannya terpental jatuh.
Di saat bersamaan, terdengar pula suara ringkikan kuda,
kemudian kereta mewah itu tergoncang-goncang lalu
meluncur laksana kilat.
Saat itu, Lu Leng mengerti bahwa dirinya telah
menimbulkan suatu bencana. Dia segera menuju tempat
duduk kusir, lalu dengan sekuat tenaga ditariknya tali les kuda
itu, agar kuda itu berhenti.
Akan tetapi, kuda itu terus meringkik dan mengamuk
berjingkrak-jingkrak seperti gila, mulut mengeluarkan busa.
Bagaimana mungkin tali les itu dapat menahan amukan kuda
tersebut? Tiba-tiba terdengar suara "Plaak", tali les itu telah
putus.

297
Begitu tali les itu putus, kuda tersebut berlari kencang ke
depan. Lu Leng ingin meloncat turun, tapi ketika melihat ke
bawah, kepalanya langsung terasa pusing dan pandangannya
kabur. Itu dikarenakan saking kencangnya kuda itu berlari.
Kalau dia meloncat, pasti akan terluka berat.
Kini sekujur badannya mengeluarkan keringat dingin.
Sedangkan kuda itu terus berlari kencang. Lu Leng berteriakteriak,
namun kuda itu tidak mau berhenti. Kuda itu terus
berlari, tak terasa hari mulai gelap.
Lu Leng memandang ke depan, dilihatnya sebuah telaga
besar. Permukaan telaga itu menyatu dengan langit, dan
kemerah-merahan pula. Itu sungguh indah sekali! Lu Leng
dibesarkan di kota Lam Cong, tentunya tahu bahwa dirinya
telah tiba di telaga Hoan Yang Ouw.
Sampai di pinggir telaga itu, kuda tersebut berhenti lalu
terkulai dengan mulut mengeluarkan busa. Kalau bukan
terhalang oleh telaga itu, kuda tersebut entah akan berlari
sampai ke mana?
Begitu sampai di telaga Hoan Yang Ouw, Lu Leng
tertegun, karena dari Lam Cong ke tempat itu paling sedikit
harus menempuh jarak seratus mil lebih. Maka dapat
diketahui, bahwa kuda itu sangat jempolan.
Lu Leng meloncat turun dari kereta. Ketika itu hari sudah
agak gelap. Dalam hati Lu Leng merasa, kereta mewah itu
amat aneh dan misterius pula. Maka, dia tidak berani lamalama
berada di tempat itu.
Dia membalikkan badannya, kemudian berlari kencang ke
arah kota Lam Cong. Dia ingin pulang untuk memberitahukan

298
kepada kedua orangtuanya tentang apa yang dialaminya, juga
mengenai harpa kuno itu.
Namun ketika dia baru berlari tujuh delapan mil,
mendadak terdengar suara kereta di belakangnya, seakan
mengejarnya.
Tersentak hati Lu Leng, tapi kemudian berpikir mungkin
kereta lain sedang melakukan perjalanan malam, maka dia
tidak begitu cemas lagi, juga tidak berpaling ke belakang.
Setelah berlari beberapa mil, suara kereta itu tetap
terdengar di belakangnya, dan itu membuat Lu Leng berpaling
ke belakang. Begitu berpaling, sekujur badannya langsung
mengeluarkan keringat dingin.
Ternyata kereta yang berada di belakangnya, justru kereta
mewah itu.
Saat ini, kereta mewah tersebut telah bertambah seorang
kusir yang berpakaian serba hitam, tangannya memegang
pecut kuda.
Di malam nan gelap itu, kereta mewah tersebut kelihatan
mirip arwah gentayangan menerjang ke arahnya. Lu Leng
cepat-cepat meloncat ke samping, tapi kereta mewah itu pun
bergeser ke samping seakan menindihnya.
Betapa terkejutnya hati Lu Leng. Ia langsung membentak
sambil mengeluarkan golok pendek.
"Hei! Kau buta ya? Kau tidak melihat di depan ada orang?"
Kereta mewah itu berhenti, dan si kusir mendengus dingin.

299
"Hmmm!" Dengusan itu membuat orang merinding
mendengarnya.
Saat ini, jarak kereta mewah tersebut dan Lu Leng begitu
dekat, sehingga Lu Leng dapat melihat dengan jelas kusir itu
berpakaian serba hitam. Wajahnya kehijau-hijauan, sama
sekali tidak terdapat warna darah. Sepasang bola matanya tak
bergerak, namun menyorot dingin.
Terkejut Lu Leng menyaksikannya, sehingga tanpa sadar
ia menyurut ke belakang.
"Kau... kau siapa?" tanyanya.
Si kusir itu mendengus dingin lagi, kemudian mengangkat
pecut kuda yang di tangannya. Kemudian pecut itu meliuk-liuk
ke arah Lu Leng.
Lu Leng ingin berkelit, namun terlambat, tahu-tahu pecut
itu sudah mendarat di bahunya.
Tar! Taaar!
Bahu Lu Leng terpecut dua kali. Itu membuat Lu Leng
gusar sekali. Dia langsung mengayunkan golok pendek yang di
tangannya untuk menyerang si kusir dengan jurus It Coh Keng
Thian (Sekali Menyerang Mengejutkan Langit).
Si kusir tetap duduk tak bergeming, tapi mendadak
menggerakkan pecut kuda itu untuk menangkis golok pendek
yang mengarahnya. Golok pendek itu tertangkis sehingga
arahnya menjadi miring ke kiri. Di saat bersamaan pecut kuda
itu menghantam lengan Lu Leng yang menggenggam golok
pendek.

300
Lengan Lu Leng terasa sakit sekali, sehingga golok pendek
yang digenggamnya terlepas, jatuh ke tanah.
Lu Leng terkejut bukan kepalang, karena hanya dua jurus
bergebrak dengan kusir itu, dia sudah kehilangan golok
pendeknya. Mendadak dia menjatuhkan diri, sekaligus
menyambar golok pendek yang tergeletak di tanah.
Dia berhasil menyambar golok pendek itu, namun
punggungnya terasa sakit sekali. Ternyata pecut kuda itu telah
menyambar punggungnya. Dia terguling-guling beberapa
depa, namun tiba-tiba ada tenaga lunak menahan dirinya,
sehingga dia tidak berguling lagi.
Lu Leng tertegun, lalu mendongakkan kepalanya. Tampak
tiga orang berbadan tinggi besar berdiri di hadapannya.
Dandanan ketiga orang itu sungguh aneh. Mereka
mengenakan pakaian kuno dan topi tinggi. Di pinggang
masing-masing bergantung sebilah pedang panjang.
Salah seorang dari mereka mengangkat Lu Leng bangun
dengan sebelah kakinya, kemudian melemparkannya beberapa
depa, membuat Lu Leng berdiri.
Terhadap apa yang telah terjadi dan siapa pula yang
dijumpainya, Lu Leng sama sekali tidak paham, hanya merasa
tercengang.
Kemudian orang itu menjura ke arah kereta kuda mewah
seraya berkata,
"Jago tangguh dari partai mana yang berada di dalam
kereta, harap memberitahukan!"

301
Kusir itu perlahan-lahan menoleh. Sepasang bola matanya
tetap tak bergerak memandang ketiga orang itu. Kemudian ia
mengeluarkan suara dengusan dingin namun sama sekali tidak
berbicara.
Ketiga orang itu maju selangkah, lalu berkata serentak.
"Kalau kau masih tidak berbicara, kami akan membuka
pintu kereta melihat dalamnya!"
-ooo0ooo-
Bab 13
Lu Leng tidak kenal dengan ketiga orang itu. Namun dia
amat berterimakasih kepada mereka karena mereka telah
menyelamatkannya. Dia ingin memberitahukan bahwa kereta
itu kosong, tidak ada orangnya.
Namun ketika dia baru mau membuka mulut, mendadak
tampak sosok bayangan meloncat keluar dari kereta mewah
itu.
Lu Leng terkejut sekali, sebab ketika dia meninggalkan
kereta mewah itu, di dalamnya tidak terdapat seorang pun.
Dia sudah merasa heran karena kereta mewah itu
mengejarnya, bertambah seorang kusir, kini bahkan tampak
seseorang meloncat keluar dari dalamnya, membuatnya
bertambah heran. Entah kapan kedua orang itu berada di
kereta mewah tersebut. Orang yang meloncat keluar
berdandan sebagai pengurus rumah. Wajahnya lumayan, tidak
seperti wajah si kusir yang menyeramkan itu.

302
Setelah meloncat keluar, orang itu memberi hormat
kepada ketiga orang tersebut seraya berkata,
"Aku bernama Ki Hok, entah ada urusan apa kalian bertiga
ingin menemui majikanku?"
Salah seorang dari mereka menyahut.
"Tahukah kau siapa kami bertiga?"
Ki Hok tertawa.
"Harap beritahukan!"
Wajah ketiga orang itu berubah gusar, kemudian salah
seorang dari mereka membentak.
"Kau berani menggunakan kereta ini ke mana-mana
menimbulkan urusan, tentunya majikanmu punya asal-usul
yang luar biasa, tapi kenapa tidak kenal kami bertiga?"
Semula Lu Leng tidak tahu kenapa ketiga orang itu marahmarah.
Setelah mendengar ucapan itu, barulah ia tahu bahwa
mereka bertiga pasti amat terkenal dalam rimba persilatan.
Namun Ki Hok justru tidak kenal mereka, maka mereka bertiga
menjadi gusar sekali.
Oleh karena itu, Lu Leng memperhatikan ketiga orang itu,
hatinya tergerak dan membatin. Apakah mereka bertiga
adalah Bu Tong Sam Kiam (Tiga Pedang Dari Bu Tong) yang
amat tersohor itu?
Bu Tong Pai memang mempunyai jago-jago tangguh,
maka nama Bu Tong Pai amat cemerlang dalam rimba

303
persilatan. Ketiga orang itu memang Bu Tong Sam Kiam,
karena apabila mereka turun pasti bersama pula.
Mereka bertiga telah menguasai ilmu pedang Sam Cay
Kiam Hoat, yakni ilmu pedang Langit, Bumi dan Manusia.
Ketiga macam ilmu pedang itu merupakan ilmu pedang tingkat
tinggi, yang amat lihay dan dahsyat.
Ki Hok tertawa.
"Aku cuma keluyuran mengikuti majikanku ke empat
penjuru. Mengenai kaum rimba persilatan yang terkenal, aku
memang tidak mengetahuinya, harap kalian bertiga
memaafkanku!"
Wajah ketiga orang itu penuh kegusaran, sedangkan
wajah Ki Hok tampak berseri-seri.
"Hmm!" Ketiga orang itu mendengus dingin, kemudian
salah seorang dari mereka berkata,
"Dengar-dengar ada sebuah kotak kayu yang punya
hubungan dengan kereta ini. Kami ingin melihatnya!"
Ucapan tersebut agak bernada angkuh, namun Ki Hok
sama sekali tidak tersinggung maupun marah.
"Sungguh tidak kebetulan kedatangan kalian bertiga,
sebab majikanku telah menitipkan kotak kayu itu kepada
Thian Hou Piau Kiok yang di kota Lam Cong untuk diantar ke
Su Cou, kini sudah tidak berada di dalam kereta."
Apa yang dikatakan Ki Hok membuat Lu Leng menyadari
satu hal, maka dia berseru dalam hati.

304
"Hah! Ternyata yang datang mencari ayahku di siang hari,
adalah Ki Hok ini!"
Karena berkaitan dengan ayahnya, maka Lu Leng pun
mendengarkan dengan penuh perhatian. Ketiga orang itu
tertawa.
"Ha ha! Kalian dapat mengelabui orang lain, namun tidak
dapat mengelabui kami bertiga!"
Ki Hok tampak tertegun.
"Apa maksud ucapan kalian bertiga itu?" tanyanya
kemudian.
Salah seorang dari Bu Tong Sam Kiam itu tertawa
panjang, lalu menyahut.
"Kalian menyiarkan berita ke mana-mana, bahwa kotak
kayu itu telah dititipkan kepada Lu Sin Kong, tentunya akan
membuat para jago terkenal pergi mencarinya! Tapi
sesungguhnya, kotak kayu itu justru masih berada di tangan
kalian! Ya, kan?"
Ki Hok tertawa.
"Kalian bertiga salah! Kotak kayu itu memang benar sudah
berada di tangan Lu Sin Kong, siapa pun tahu itu!"
Ketiga orang itu maju selangkah. Mendadak terdengar
suara "Tring! Tring! Tring", ternyata mereka telah menghunus
pedang masing-masing dan langsung mengurung Ki Hok.

305
Usia Lu Leng masih muda. Tapi ibunya adalah ahli ilmu
pedang, dan mengajarnya ilmu pedang Tiam Cong Pai, bahkan
juga menjelaskan ilmu pedang partai lain.
Maka ketika menyaksikan cara ketiga orang itu menghunus
pedang, Lu Leng sudah tahu bahwa mereka bertiga memiliki
ilmu pedang tingkat tinggi.
Setelah terkurung oleh ketiga bilah pedang itu,
wajah Ki Hok mulai berubah, namun tetap tersenyum.
"Kalian bertiga mengurungku, sebetulnya bermaksud
apa?"
Ketiga orang itu tertawa dingin.
"Sesungguhnya kau bukan bermarga Ki, melainkan adalah
Sun San, Hian Hiang Tongcu dari Hoa San Pai. Kami tidak
salah bicara bukan?"
Air muka Ki Hok langsung berubah, tapi hanya sekejap
sudah normal kembali seperti semula.
"Itu hanya merupakan jabatanku sehari di Hoa San Pai,
lalu aku meninggalkan Hoa San. Kalian bertiga dapat
mengenaliku, itu membuatku salut sekali!"
Ketiga orang itu tertawa gelak.
"Dua belas Tongcu dari Hoa San Pai, berkedudukan tinggi
dalam rimba persilatan. Sejak kapan kau rela meninggalkan
Hoa San, menjadi seorang pengurus rumah?"

306
Ki Hok menyahut hambar.
"Setiap orang punya kemauan sendiri, kalian bertiga tidak
perlu banyak bertanya!"
Ketiga orang itu tertawa lagi.
"Jangan macam-macam! Yang kau maksudkan majikan itu
adalah si Tua Liat Hwe, bukan? Bicaralah!"
Mendengar sampai di sini, Lu Leng semakin yakin bahwa
ketiga orang itu adalah Bu Tong Sam Kiam.
Sedangkan ketua Hoa San Pai adalah Liat Hwe Cousu,
kedudukannya sangat tinggi dalam rimba persilatan. Namun
dalam dua puluh tahun ini, beliau tidak begitu gampang
menginjakkan kakinya di rimba persilatan.
Akan tetapi, nada ucapan ketiga orang itu kedengarannya
tidak memandang sebelah mata kepada Liat Hwe Cousu.
Ki Hok menggeleng-gelengkan kepala seraya menyahut.
"Kalian bertiga keliru, majikanku bukan Liat Hwe Cousu!"
Salah seorang Bu Tong Sam Kiam bernama Mok Pek Yun.
Dia adalah saudara tertua. Ketika dia baru mau bertanya lagi,
yang di sampingnya yaitu Mok Cong Hong, saudara kedua
sudah tidak sabar lagi.
"Kakak, untuk apa banyak bicara dengan dia? Hoa San Pai
memang tidak karuan, lebih baik dia kita habiskan dulu!"
Mok Kui Ih, yang bungsu itu menyelak.

307
"Betul. Dia tidak punya majikan, cuma berlagak dan
macam-macam saja! Kotak kayu itu pasti menyimpan sesuatu
yang amat penting, bagaimana mungkin akan dititipkan
kepada orang lain?"
Mok Pek Yun memberi isyarat kepada kedua adik
seperguruannya, kemudian berkata kepada Ki Hok.
"Kau mendengar itu?"
Ki Hok tertawa hambar.
"Kalau kalian bertiga mau turun tangan, aku pun tidak bisa
apa-apa. Namun kalau kalian bertiga menjadi pecundang,
jangan mempersalahkanku!"
Usai Ki Hok berkata, si kusir mengeluarkan tawa dingin. Di
saat itulah Bu Tong Sam Kiam sudah mulai bergerak.
Tampak sinar pedang berkelebatan ke arah Ki Hok.
Sungguh cepat sekali gerakan ketiga pedang itu! Kemudian
ketiga orang itu mundur serentak.
Sekujur badan Ki Hok telah terluka oleh ketiga pedang itu,
dan darah segarnya pun mengucur.
Ki Hok sama sekali tidak berkelit maupun menangkis.
Kalaupun dia berkelit atau menangkis, juga percuma karena
gerakan ketiga pedang itu amat cepat, lihay dan dahsyat
sekali.
Menyaksikan kejadian itu, Lu Leng merasa tidak senang
akan tindakan Bu Tong Sam Kiam.

308
Walau dia pernah bergebrak dengan si kusir sehingga
badannya tercambuk, namun Ki Hok adalah orang yang
sedang dicarinya karena membunuh salah seorang piausu
Thian Hou Piau Kiok.
Meskipun Bu Tong Sam Kiam telah menyelamatkannya,
tapi Lu Leng berjiwa gagah, maka merasa tidak adil mereka
bertiga mengeroyok satu orang.
"Tiga lawan satu, itu tidak adil sama sekali. Kalau mau
bertarung, satu lawan satu!" serunya lancang.
Bu Tong Sam Kiam berpaling. Mereka menatap Lu Leng
dengan penuh kegusaran, sedangkan Ki Hok justru tertawa
sambil memandangnya.
"Saudara kecil, terimakasih atas ucapanmu yang gagah
itu! Dengarlah perkataanku, cepat tinggalkan tempat ini!"
Lu Leng sungguh salut terhadap sikap Ki Hok yang begitu
tenang, pertanda orang gagah.
Lu Leng masih kecil, maka dia tidak tahu sama sekali,
bahwa Ki Hok begitu tenang karena tahu akan perkembangan
selanjutnya.
Lu Leng menggeleng-gelengkan kepala. "Aku tidak mau
pergi."
Ki Hok berpaling ke arah si kusir, lalu memberi isyarat. Si
kusir berwajah seram itu langsung tertawa dingin, mendadak
mencelat ke atas dari tempat duduknya, berputar di udara
kemudian melayang turun. Di saat bersamaan, terdengar pula
suara "Sert! Sert! Sert", pecut kuda yang di tangannya telah

309
mengarah Lu Leng. Sungguh cepat dan indah sekali
gerakannya pecut itu.
Lu Leng terkejut sekali. Tanpa ayal lagi dia segera
meloncat ke belakang. Akan tetapi, ujung pecut kuda itu
masih tetap mengarah padanya, sehingga membuat Lu Leng
harus meloncat lebih jauh lagi.
Tak terasa dia sudah meloncat mundur sekitar dua tiga
puluh depa. Disaat bersamaan, sekonyong-konyong si kusir itu
melesat pergi, kembali ke tempat duduknya.
Lu Leng menarik nafas lega. Dia bersandar dipohon sambil
memandang ke depan. Dilihatnya Bu Tong Sam Kiam masih
berdiri di situ mengurung Ki Hok, sedangkan Ki Hok masih
berdiri tak bergeming di tempat itu.
Dalam hati Lu Leng tahu, si kusir aneh sama sekali tidak
bermaksud mencelakai dirinya, melainkan menuruti perintah Ki
Hok untuk mendesaknya keluar dari tempat itu.
Seandainya si kusir aneh itu ingin mencelakai dirinya, tidak
mungkin pecut kuda itu tidak mengenai badannya. Kini
melihat Ki Hok terkurung di situ, dia bermaksud maju.
Di saat bersamaan, mendadak telinganya menangkap
suara harpa yang amat halus.
Tergerak hati Lu Leng dan teringat dirinya ketika berada di
dalam kereta mewah itu, melihat sebuah harpa kuno dan
memetik tali senarnya, justru menimbulkan suara yang amat
menggetarkan jantung.
Kini terdengar suara harpa kuno itu, kedengarannya
seperti berasal dari langit, namun Lu Leng tahu suara itu pasti

310
berasal dari dalam kereta mewah. Akan tetapi. Ki Hok telah
keluar dari dalam kereta itu, bagaimana mungkin masih ada
orang lain di sana?
Lu Leng berpikir sambil memandang. Begitu suara harpa
mengalun, Bu Tong Sam Kiam mulai menyerang. Lu Leng
amat mengkhawatirkan Ki Hok. Namun setelah diperhatikan
dengan seksama, dia justru terheran-heran hingga tak percaya
akan pandangannya, ternyata mereka mengayunkan pedang
masing-masing ke arah orang lain, yang ternyata Mok Kui Ih.
"Aaaakh!" Dia menjerit menyayat hati dan nyawanya
melayang seketika.
Setelah Mok Kui lh binasa, kedua orang itu mulai
bertarung lagi. Berselang sesaat, gerakan pedang mereka
mulai melemah.
Suara harpa berhenti, kereta mewah itupun mendadak
meluncur pergi. Kedua orang itu masih saling menyerang.
Setelah kereta mewah itu hilang ditelan kegelapan,
perkelahian mereka barulah berhenti.
Walau Lu Leng berada di tempat yang agak jauh, namun
dapat melihat kedua bilah pedang itu terlepas dari tangan
mereka, kemudian mereka berdua terkulai.
Lu Leng tahu bahwa apa yang dilihatnya itu merupakan
kejadian yang amat aneh dan besar dalam rimba persilatan.
Ketika melihat kedua orang itu terkulai, dia segera berlari
menghampiri mereka. Ternyata mereka berdua telah terluka
parah. Dada masing-masing berlobang dan darah segar tak
henti-hentinya mengucur dari luka itu.

311
Di saat bersamaan, tampak kedua orang itu membalikkan
badan, lalu memandang Lu Leng seraya berkata.
"Sa... sahabat kecil... beritahukan kepada Bu Tong Pai...
kami bertiga...."
Berkata sampai di situ, mata kedua orang itu mendelik,
dan nafasnya pun putus seketika.
Lu Leng termangu-mangu, Bu Tong Sam Kiam amat
terkenal dalam rimba persilatan, namun kini malah mati secara
mengenaskan di tempat ini. Kalau tidak menyaksikannya
dengan mata kepala sendiri, tentu tidak akan percaya apabila
orang lain menceritakannya.
Sebelum menghembuskan nafas penghabisan, mereka
berpesan. Walau pesan itu tidak lengkap, namun Lu Leng
tahu, mereka berdua menghendakinya ke Bu Tong Pai
mengabarkan tentang kejadian ini.
Lu Leng berdiri termangu-mangu dekat ketiga sosok mayat
itu, kemudian membatin. Karena pesan itu mau tidak mau dia
harus pergi ke Bu Tong Pai. Namun tidak bisa membiarkan
mayat-mayat itu tergeletak di situ, harus dikubur.
Oleh karena itu, dengan sebilah pedang mulailah dia
menggali sebuah lobang besar. Di saat bersamaan, justru
terdengar suara derap kaki kuda menuju ke tempat itu, lalu
berhenti.
Lu Leng berpaling. Dilihatnya seorang lelaki meloncat
turun dari kuda, lalu menghambur mendekati mayat-mayat
itu.

312
Setelah melihat sejenak ketiga sosok mayat itu, dia
mendadak menerjang ke arah Lu Leng seraya membentak.
"Bangsat! Cara bagaimana kau melukai ketiga paman
guruku?" usai membentak, lelaki itu meng ayunkan goloknya
menyerang Lu Leng.
Lu Leng gusar tapi juga ingin tertawa. Bu Tong Pai
tergolong salah satu partai besar dalam rimba persilatan,
namun punya murid yang begitu tak becus berpikir. Dia
menangkis golok pendeknya, mengeluarkan jurus Siang Hong
Cak Yun (Sepasang Puncak Menembus Awan).
"Trang!" Suara kedua senjata itu beradu.
Golok pendek milik Lu Leng dibuat dari baja murni. Walau
tidak tergolong golok pusaka, namun golok itu amat tajam.
Tangkisan Lu Leng membuat lelaki tersebut terhuyunghuyung
ke belakang bahkan goloknya telah somplak.
Setelah dapat berdiri, lelaki itu langsung membentak.
"Bangsat kecil, siapa kau?"
"Namaku Lu Leng!"
Lu Leng? Laki-laki tertegun, sebab sama sekali tidak
pernah mendengar nama tersebut.
"Siapa orangtuamu?" tanyanya lagi.
"Thian Hou Lu Sin Kong!" Lu Leng memberitahukan.

313
"Hah?" Lelaki itu tampak terkejut dan mendadak meloncat
ke punggung kudanya seraya berseru, "Ternyata Lu Sin Kong
bangsat tua itu yang membunuh ketiga paman guruku!"
Usai berseru, dia memacu kudanya. Hati Lu Leng
tersentak. Kalau tidak menjelaskan padanya,
Bu Tong Pai pasti akan salah paham terhadap ayahnya.
Oleh karena itu, dia melesat pergi mengejar lelaki itu, dan
berhasil meraih ekor kudanya.
Lu Leng berteriak-teriak.
"Bu Tong Sam Kiam saling membunuh! Mereka bertiga
saling membunuh!"
Lelaki itu mengayunkan goloknya. Terdengar suara "Sert",
ekor itu telah putus.
Lu Leng terjatuh, tapi masih sempat berteriakteriak.
"Bu Tong Sam Kiam...!"
"Omong kosong!" sahut lelaki itu lantang. "Suruh bangsat
tua itu tunggu, Bu Tong Pai pasti mencarinya!"
Lu Leng meloncat bangun, tapi kuda itu sudah jauh sekali,
tidak mungkin dapat mengejarnya.
Lelaki itu memanggil Bu Tong Sam Kiam sebagai "Paman
Guru", tentunya dia murid tingkat rendah. Tapi dia begitu
pulang ke Bu Tong Pai, sudah pasti akan menceritakan yang
bukan-bukan.

314
Lu Leng menyesal sekali, karena telah membocorkan
identitas dirinya. Setelah termangu-mangu sejenak, barulah
dia mengubur mayat Bu Tong Sam Kiam.
Setelah itu Lu Leng berpikir, akhirnya dia keputusan untuk
pulang ke rumah dulu. Saat itu sudah tengah malam, Lu Leng
terus melesat ke arah kota Lam Cong, tak seberapa lama
kemudian mendadak di hadapannya tampak beberapa orang,
ada yang tinggi dan pendek. Mereka berdiri di tengah-tengah
jalan, tak bergerak sama sekali.
Malam ini, Lu Leng telah mengalami begitu banyak
kejadian aneh yang menegangkan. Ketika melihat ada orang,
hatinyapun tersentak.
Ketika dia baru mau memperhatikan orang-orang itu, tibatiba
ada suatu benda meluncur ke arahnya.
Lu Leng tahu adanya gelagat tidak baik. Dia langsung
mengayunkan golok pendeknya untuk menangkis. Namun
benda itu amat lembut sekali, tidak mempan dibacok dan Lu
Leng pun merasa matanya gelap, ternyata benda itu telah
menutupi dirinya.
Betapa gusarnya Lu Leng, dia langsung membentakbentak.
"Sobat dari mana, kenapa melakukan serangan gelap?"
Terdengar suara tawa dingin dan terkekeh-kekeh. Suara
tawa itu bernada seperti menangis dan sungguh tak sedap
didengar.
"Sampai waktunya, kau akan tahu sendiri, sabarlah
sedikit!"

315
Lu Leng bertambah gusar. Dia merasa dirinya terjaring
oleh jala, maka dia meronta-ronta. Tapi kemudian, dia merasa
berkesemutan, ternyata salah satu jalan darahnya telah
tertotok.
"Kini bocah ini sudah jatuh di tangan kita. Ayahnya pasti
akan menyerahkan kotak kayu itu kepada kita!" kata salah
seorang dari mereka.
"Tentu! Namun berdasarkan maksud Kauwcu, alangkah
baiknya terlebih dahulu kita mengantar bocah ini ke Istana
Setan Pak Bong San, barulah membuat rencana." sahut yang
lain.
Beberapa orang segera mengangguk.
"Tidak salah!"
Lu Leng merasa badannya terangkat ke atas, lalu dibawa
pergi. Gelap gulita di dalam jala itu, sama sekali tidak dapat
membedakan Timur, Barat, Utara maupun Selatan, juga tidak
tahu siapa mereka.
Dia hanya mendengar Pak Bong San, dan itu membuatnya
tertegun, sebab di Pak Bong San terdapat golongan sesat,
Istana Setan merupakan tempat tinggal si Datuk Setan-Seng
Ling.
Beberapa saat kemudian, Lu Leng merasa agak terang di
luar. Dia tahu bahwa saat itu hari sudah terang. Dia mulai
menghimpun hawa murni, namun tiada gunanya sama sekali,
maka dia pasrah.

316
Hingga malam, dia dapat bahwa dirinya masih dalam
perjalanan. Tiba-tiba terdengar salah seorang diri mereka
berkata,
"Jangan sampai bocah ini mati kelaparan, buka saja
totokan itu!"
"Tapi...," sahut salah seorang lainnya ragu-ragu.
"Jangan khawatir, dia berada di dalam jala pusakaku, tidak
mungkin bisa melarikan diri. Buka saja totokan itu!" kata salah
seorang yang lainnya lagi sambil tertawa.
Lu Leng bergirang dalam hati. Di saat bersamaan, dia pun
merasa punggungnya ditepuk orang.
Seketika itu juga sekujur badannya menjadi ringan dan
dapat bergerak, sehingga membuatnya meronta2 ingin keluar
dari jala tersebut.
Terdengar orang berkata.
"Bocah, jangan terus meronta, sebab sama juga mencari
penyakit!"
Lu Leng berpikir, percuma dia meronta-ronta, karena tak
dapat lolos dari jala pusaka itu, lebih baik pasrah dan terserah
mereka mau membawanya ke mana.
Tak Beberapa lama, justru ada makanan kering masuk ke
dalam jala pusaka itu, entah dimasukkan dari mana. Lu Leng
memang sudah lapar, maka langsung menyantap makanan
kering itu dengan lahap sekali. Setelah kenyang, dia
memejamkan mata untuk tidur.

317
Hari berikutnya ketika Lu Leng merasa haus, jala itu
dicemplungkan ke sungai. Sesudah dia puas minum, jala itu
diangkat. Kini dia sama sekali tidak tahu dirinya berada di
mana, hanya tampak agak terang di luar, pertanda hari sudah
siang. Kalau gelap berarti hari sudah malam, tak terasa sudah
melakukan perjalanan empat hari lamanya.
Dalam waktu empat hari itu, Lu Leng sama sekali tidak
tahu dirinya jauh ke tangan siapa, juga tidak tahu dirinya akan
dibawa ke mana. Empat hari lalu dia dijaring ke dalam jala itu,
dan sejak itu pula seperti dirinya dipisahkan dengan dunia.
Dia hanya tahu, bahwa yang membawanya tidak hanya
satu orang, melainkan beberapa orang. Akan tetapi, dalam
perjalanan mereka sama sekali tidak pernah berbicara, maka
Lu Leng tidak tahu identitas mereka.
Dia pun merasa, kadang-kadang berada di dalam kereta,
di punggung kuda, melalui rimba, lembah dan jalan yang
berliku-liku. Suatu kali dia pun merasa bergoyang-goyang,
ternyata berada di dalam perahu.
Lu Leng yang berada di dalam jala, hanya bisa pasrah,
tidak dapat berbuat apa-apa.
Pada sore di hari keempat, mendadak Lu Leng merasa
berhenti.
Di saat bersamaan, terdengar suara menderu-deru, yaitu
suara angin yang amat menusuk telinga.
Lu Leng tahu, mungkin akan terjadi suatu perubahan.
Maka, dia terus pasang kuping untuk mendengar penuh
perhatian.

318
Mendadak di depan mata, muncul sedikit cahaya,
sepertinya cahaya obor, bukan cahaya mentari.
Walau ada sedikit cahaya di depan matanya, namun Lu
Leng sama sekali tidak bisa melihat apa pun.
Tak seberapa lama kemudian, terdengar suara lonceng
yang amat nyaring memekakkan telinga. "Tang! Tang! Tang!"
Lu Leng tidak tahu apa yang terjadi.
Berselang sesaat, terdengar suara "Ser, Ser", dia diangkat
orang lagi menuju depan. Di depan mata menjadi gelap
kembali, terasa angin dingin menerpa2, dan kemudian
terdengar suara batuk.
Merasakan suasana yang meremangkan bulu roma di
sekitar tempat itu, Lu Leng dapat menerka bahwa dirinya
berada di dalam sebuah goa.
Di dalam goa itu terdengar suara batuk. Kedengarannya
memang aneh dan menyeramkan, bahkan membuat Lu Leng
merinding, juga merasa tegang.
Tak lama kemudian Lu Leng merasa dirinya ditaruh ke
bawah, lalu mendengar suara langkah meninggalkannya. Lu
Leng tahu, bahwa kini dirinya mereka tinggalkan seorang diri.
Itu membuatnya merasa takut, cemas dan gelisah.
Maklum! Usia Lu Leng masih kecil, tentunya punya perasaan
takut.
Oleh karena itu, dia berusaha bangkit berdiri. Mendadak
jala itu terbuka sendiri. Dapat dibayangkan, betapa
gembiranya hati Lu Leng.

319
Namun dia merasa heran, kenapa orang-orang itu
membawanya ke tempat itu, lalu meninggalkannya begitu
saja? Kini Lu Leng telah bebas, tentunya dapat melihat,
sebetulnya tempat apa ini.
Dia berusaha menenangkan hatinya. Kemudian
digenggamnya golok pendek yang diselipkan di pinggangnya.
Dia mulai menengok ke sana ke mari, tapi tidak dapat melihat
apa pun, karena tempat itu gelap gulita. Dia hanya dapat
merasakan adanya angin dingin yang menerpa-nerpa
wajahnya.
Lu Leng berteriak beberapa kali, namun tiada sahutan
sama sekali, hanya terdengar suaranya sendiri yang
berkumandang. Dapat diketahui bahwa dirinya berada di
dalam sebuah goa.
Beberapa saat kemudian matanya perlahan-lahan dapat
melihat dalam kegelapan itu. Dia telah melihat sesuatu, dan
itu membuat keringat dinginnya langsung mengucur. Bahkan
dia lalu berdiri mematung, tak berani bergerak sama sekali.
Ternyata entah berapa banyak orang tinggi dan pendek
berdiri di sekitarnya.
Padahal sebelumnya, Lu Leng mengira bahwa dirinya
berada di dalam goa itu seorang diri, maka dia merasa takut.
Kini dia melihat begitu banyak orang berdiri di sisinya,
bukannya menjadi berani, tapi sebaliknya malah bertambah
takut.
Seketika itu juga hatinya terasa dingin, dan sekujur
badannya menjadi lemas, sehingga membuat-nya nyaris tak
kuat menggenggam golok pendeknya.

320
Tak berapa lama, barulah hatinya merasa agak tenang.
Kemudian mendadak dia memekik keras sambil mengayunkan
golok pendeknya.
Serrr! Dikeluarkannya jurus Heng Hong Sin Ih (Angin
Melintang Hujan Miring) untuk menyerang orang-orang itu.
Lu Sin Kong ahli ilmu golok, sudah barang tentu, Lu Leng
pun mahir ilmu golok. Maka, serangannya itu amat lihay dan
dahsyat. Akan tetapi, dia tidak melihat orang-orang itu
bergerak, juga tidak berkelit sama sekali. Golok pendeknya
berhasil membacok orang itu. Bersamaan dengan
terdengarnya suara "Trang", terpercik juga bunga-bunga api,
sehingga membuat tempat itu agak terang, Lu Leng pun
segera melihat.
"Hah?" Dia menjerit kaget dan golok pendeknya terlepas
dari tangannya. Kemudian dia menutup mukanya sambil
menjerit-jerit. "Ayah! Ibu!"
Badannya termundur beberapa langkah, menubruk sosok
yang berdiri di belakangnya. Cepat-cepat Lu Leng
membungkukkan badannya untuk menyambar golok pendek
itu, tetapi dia justru sudah tiada keberanian untuk bangun
lagi.
-ooo0ooo-
Bab 14
Ternyata ketika golok pendeknya membacok
mengeluarkan suara "Trang" dan mengeluarkan percikan
bunga api, itu membuat Lu Leng terkejut bukan main.Karena
dia tahu, kalau golok pendeknya tidak membacok batu,
tentunya tidak akan begitu kejadiannya. Berarti yang berdiri di

321
sekitarnya itu semuanya patung batu, maka tidak perlu
ditakuti. Namun ketika terjadi percikan bunga api, dia melihat
wajah-wajah yang menyeramkan.
Wajah-wajah itu bukan wajah patung batu, melainkan
wajah manusia. Bagaimana menakutkan wajah-wajah itu,
sesaat itu sulit diuraikan dengan kata-kata, sehingga
membuatnya merinding dan tanpa sadar dia pun menjerit
ketakutan memanggil kedua orangtuanya.
Lu Leng telah menggenggam golok pendeknya, tapi
posisinya tetap jongkok di tempat itu, sama sekali tidak tahu
apa yang harus dilakukannya. Di saat itulah, terdengar suara
tawa dingin berasal dari empat penjuru, bahkan kedengaran
amat jauh, juga seakan keluar dari mulut orang yang
berwajah menyeramkan tadi.
Lama sekali barulah Lu Leng berdiri tegak, kemudian
bertanya.
"Si... siapa kau?"
Tiada sahutan, namun suara tawa dingin itu masih
terdengar. Sesaat kemudian suara tawa itu berhenti, dan
dalam waktu yang bersamaan tiba-tiba di depan matanya
muncul seberkas sinar terang. Perlahan-lahan dia
mendongakkan kepala, memandang ke depan.
Dia tertegun, ternyata di hadapannya, sejauh lima depaan
terdapat cahaya lampu berbentuk bulat bergoyang-goyang di
tengah udara.
Cahaya Iampu itu kehijau-hijauan, mirip api setan,
sehingga membuat Lu Leng menjadi merinding.

322
Katakanlah itu api setan, namun telah menerangi tempat
itu, maka Lu Leng dapat melihat jelas keadaan di sekitarnya
dan di mana dia berada.
Memang tidak salah, ternyata dia berada di dalam sebuah
goa, tersorot oleh cahaya lampu itu, sehingga dinding-dinding
goa memantulkan sinar remang-remang. Akan tetapi, goa itu
telah kosong. Orang-orang berwajah menyeramkan yang
berdiri di tempat itu tadi, kini telah menghilang entah ke
mana.
Lu Leng mengerutkan kening, apa yang dilihatnya tadi
mungkinkah hanya merupakan halusinasinya?
Tapi dia segera tahu bahwa itu bukan halusinasi, sebab
apa yang terjadi tadi masih terasa dalam benaknya. Apabila
itu hanya merupakan suatu halusinasi, tentunya tidak akan
merasa begitu.
Lu Leng berusaha menerangkan hatinya, kemudian
berpikir. Sebelumnya terdengar suara batuk, kemudian suara
tawa dingin, itu pertanda ada orang di tempat itu. Kalau dia
terus ketakutan, bukankah akan ditertawakan orang?
Berpikir sampai di situ, rasa takutnya berkurang, kemudian
dia berteriak sekeras-kerasnya.
"Tempat apa ini? Kenapa kalian membawaku ke mari?
Ayoh! Cepat lepaskan aku?"
Setelah Lu Leng berteriak berulang kali, barulah terdengar
suara tawa dingin yang amat menyeramkan.
Bersamaan itu, cahaya lampu yang bergantung di tengah
udara pun mulai menari. Sesungguhnya Lu Leng sudah

323
merasa heran, bagaimana mungkin cahaya lampu itu bisa
bergantung di tengah udara. Kini dia bertambah heran dan
terkejut, karena cahaya lampu itu menari-nari.
Tak seberapa lama, suara tawa dingin itu berhenti, namun
kemudian disusul oleh suara orang bernada parau.
"Kaukah Lu Leng?"
Suara itu mengalun, cahaya lampu itu pun menari lebih
cepat.
Cahaya lampu itu menerangi goa itu, tapi Lu Leng tidak
melihat apa pun.
Suara itu kedengarannya seperti berasal dari cahaya
lampu tersebut. Cahaya lampu bisa berbicara, itu memang tak
masuk akal dan amat aneh. Lu Leng telah mengalami berbagai
macam kejadian aneh, maka tidak merasa aneh lagi tentang
itu.
"Tidak salah!" sahut Lu Leng. "Aku Lu Leng, siapa kau?"
Terdengar suara tawa dingin lagi, lalu menyusul suara
sahutan.
"Siapa aku, bukankah kau sudah melihatnya? Kenapa
masih bertanya?"
Lu Leng mendengarkan dengan penuh perhatian, namun
tetap tidak dapat memastikan, suara itu berasal dari mana.
Tapi nadanya kedengaran bahwa yang berbicara itu adalah
cahaya lampu tersebut. Lu Leng tidak merasa takut,
sebaliknya malah merasa amat gusar.

324
"Apa maksudmu menyamar sebagai setan?"
Terdengar suara tawa gelak.
"Ha ha! Lu Leng, tahukah kau, nyawamu telah berada di
telapak tanganku?"
Lu Leng langsung membentak.
"Kentut! Kenapa kau tidak berani memunculkan diri
bertarung denganku?"
Terdengar suara sahutan.
"Kepandaianku sudah mencapai tingkat tertinggi, kau tidak
dapat melihat diriku, bahkan kaupun tidak tahu jejakku?
Cobalah kau pikir, apakah kau lawanku? Lagipula tadi aku
telah berubah seribu macam, kau sama sekali tidak tahu!"
Walau usia Lu Leng masih kecil, tapi tidak seperti anak
sebayanya, mudah dibohongi.
Dia tahu, bahwa orang yang bersuara itu memang
berkepandaian amat tinggi. Namun orang itu bisa berubah
seribu macam, itu omong kosong belaka. Lu Leng tidak
mempercayainya.
Dia tertawa dingin, kemudian berkata,
"Kau tidak perlu omong yang bukan-bukan, aku tidak akan
percaya!"
Hening sejenak suasana tempat itu. Kemudian terdengar
suara tawa dingin lagi.

325
"Aku mau bertanya, inginkah kau meninggalkan goa ini
berkumpul kembali dengan kedua orangtuamu?"
Lu Leng segera menyahut.
"Tentu, cepatlah lepaskan aku!"
"Itu tidak sedemikian gampang!" Suara itu mengalun lagi.
"Kau harus mengabulkan satu hal, barulah kulepaskan!"
Ketika bercakap-cakap dengan orang yang tak kelihatan
itu, Lu Leng memperhatikan keadaan di sekitarnya.
Selain apa yang dilihatnya tadi, di dalam goa itu tidak
tampak apa pun, juga tidak terlihat tempat aneh. Namun itu
malah amat menyeramkan, mungkin dikarenakan ada angin
dingin berhembus-hembus di tempat itu.
Yang lebih aneh lagi adalah cahaya lampu itu, masih tak
henti-hentinya menari-nari di tengah udara.
Kini nyali Lu Leng sudah bertambah besar, maka dia
segera bertanya.
"Hal apa? Katakanlah!"
Terdengar suara sahutan.
"Kedua orangtuamu...."
Lu Leng tidak menunggu suara itu berlanjut. Mendadak dia
melesat ke arah cahaya lampu. Diayunkannya golok
pendeknya mengeluarkan jurus Meteor Mengejar Bulan untuk
menyerang cahaya Lampu itu.

326
Ternyata dalam hatinya telah mengambil suatu keputusan,
harus tahu jelas kenapa cahaya lampu itu terus menari-nari.
Suara itu berhenti dan di saat golok pendek itu hampir
menyentuh cahaya lampu tersebut, tiba-tiba cahaya lampu itu
meluncur ke atas, lalu berhenti di langit-langit goa.
Setelah itu, suara tadi terdengar lagi.
"Bocah busuk, kau ingin melawanku, bukankah berarti kau
bermimpi di siang hari bolong?"
Lu Leng segera berhenti lalu mendongakkan kepalanya.
Tinggi goa itu hampir tiga empat depa, karena merasa
Ginkangnya tidak bisa mencapai langit-langit goa, maka dia
berteriak.
"Aku benci cahaya lampu itu! Kau boleh melanjutkan!"
Sembari berkata, otaknya terus berputar untuk mencari
ide yang bagus.
Terdengar suara itu melanjutkan.
"Belum lama ini, kedua orangtuamu menerima suatu
titipan yang harus diantar ke Su Cou! Tentang itu, kau sudah
tahu, bukan?"
Mendengar itu, hati Lu Leng tergerak.
"Kalau aku tahu lalu kenapa?"
"Ada baiknya kau tahu!" sahut orang yang tak kelihatan
itu. "Aku punya sepucuk surat, kau harus sampaikan kepada

327
kedua orangtuamu! Setelah meninggalkan tempat ini, kau
harus segera pergi mencari kedua orangtuamu! Sebelum
mereka tiba di Su Cou, surat ini sudah harus disampaikan
kepada mereka! Kalau tidak, kau pasti mati!"
Lu Leng menyahut.
"Itu bagaimana mungkin? Kini diriku berada di mana aku
sama sekali tidak tahu. Kedua orangtuaku berangkat dari
rumah, tentunya lebih cepat tiba di Su Cou, tidak mungkin aku
dapat menyusul mereka!"
Terdengar suara tawa gelak.
"Ha ha ha! Kau tidak perlu cemas! Dalam beberapa hari
ini, kau terus melakukan perjalanan, dan kini sudah berada di
sekitar Su Cou! Asal kau keluar dari goa ini, sudah berada di
luar kota Su Cou, kau boleh menunggu kedua orangtuamu!"
Lu Leng tertegun, hanya terdengar suara tidak kelihatan
orangnya. Di dalam goa ini hanya terdapat cahaya Lampu dan
dirinya sendiri, entah bersembunyi di mana orang itu.
Suaranya agak bergema, pertanda dia berada di dalam
goa ini. Kenapa tidak mau mengabulkan syaratnya itu? Setelah
menerima surat tersebut, Bukankah dia akan melihat orang
itu?
Lagipula asal bisa meninggalkan goa ini, setelah bertemu
kedua orangtuanya, biar kedua orangtuanya yang mengambil
keputusan.
Berpikir sampai di sini, Lu Leng manggut-manggut seraya
berkata.

328
"Baik, aku setuju! Di mana surat itu, cepat serahkan
kepadaku!"
Terdengar suara itu lagi.
"Bocah, ketika kau memasuki goa ini, tubuhmu telah
terkena racun! Kalau kau berani macam-macam, pasti akan
tersiksa!"
Lu Leng tidak sabaran.
"Di mana surat itu?"
"Kenapa kau tidak sabaran?" Terdengar suara sahutan.
Lu Leng menganggap, orang itu akan menyerahkan surat
kepadanya, tentunya harus memunculkan diri. Akan tetapi,
mendadak melayang sebuah amplop merah, kemudian jatuh
di hadapannya.
Lu Leng tertegun. Di saat bersamaan suara itu mengalun.
"Cepat ambil surat itu, dan ikuti cahaya lampu!"
Dari awal hingga kini, Lu Leng tetap tidak tahu siapa yang
membawanya ke mari, juga tidak tahu siapa orang yang
berbicara dengannya. Apa boleh buat, dia harus menuruti
perkataan orang itu, segera memungut surat tersebut.
Tampak cahaya lampu itu merosot ke bawah, kemudian
bergerak ke depan. Lu Leng cepat-cepat mengikuti cahaya
lampu itu.

329
Tampak cahaya lampu itu menikung ke sana ke mari, tak
seberapa lama kemudian, sudah tampak sebuah pintu besi. Lu
Leng tidak perlu membukanya, karena pintu besi itu sudah
terbuka sendiri. Di saat bersamaan, cahaya lampu itu padam
seketika.
Di dalam goa itu, Lu Leng mengalami beberapa keanehan,
walau dirinya tidak mengalami kecelakaan, namun suara itu
mengatakan bahwa dirinya telah terkena racun, ketika
memasuki goa itu. Benar atau tidak, Lu Leng tidak
mengetahuinya. Yang jelas kini sudah ada jalan keluar, itu
membuatnya girang sekali. Dia langsung melesat keluar
melalui pintu besi itu.
Tak seberapa lama setelah Lu Leng keluar dari pintu besi
tersebut, mendadak terdengar suara "Blam" ternyata pintu
besi itu telah tertutup kembali. Lu Leng tertegun, lalu dia
berpaling ke belakang.
Seketika dia terbelalak sebab yang dianggapnya sebagai
pintu besi itu, ternyata sebuah batu yang menonjol, dan di situ
tampak juga pepohonan.
Dia mendongakkan kepala, ternyata dirinya berada di
tengah-tengah gunung. Puncak gunung itu tidak begitu tinggi,
dan di sana terdapat sebuah jalanan kecil.
Menyaksikan semua itu, Lu Leng bergumam. "Apakah aku
berada dalam mimpi?"
Dia bergumam di tempat yang amat sepi, justru tak
tersangka sama sekali, mendadak terdengar suara sahutan.
"Kau tidak berada dalam mimpi!"

330
Tanpa menoleh, Lu Leng langsung mengayunkan golok
pendeknya ke belakang.
Serrr!
Kemudian tak bersuara lagi, sepertinya golok pendeknya
telah ditangkap orang. Lu Leng tersentak kaget dan segera
menoleh. Dugaannya tidak meleset.
Tampak seorang berbadan tinggi besar, mukanya ditutupi
kain hitam, terlihat pula jarinya menjepit golok pendek itu.
Bukan main terkejutnya Lu Leng.
Orang itu pun berkata.
"Jangan takut, aku tidak akan mencelakaimu! Berdasarkan
ilmu silatmu itu, bagaimana mungkin kau dapat melawanku?"
Suaranya agak lembut, membuat Lu Leng berlega hati.
Tapi dia juga merasa heran, karena baru keluar dari goa itu,
justru berjumpa orang tersebut di tempat ini.
"Kau... kau adalah orang tadi yang berbicara denganku di
dalam goa?"
Orang itu tertawa.
"Tentu bukan. Aku bermarga Tam, kau boleh
memanggilku Paman Tam."
"Paman Tam kenal kedua orangtuaku?" tanya Lu Leng.
Orang yang memakai kain penutup muka itu menggelenggelengkan
kepala.

331
"Aku tidak kenal kedua orangtuamu." sahutnya.
"Oh ya! Apakah Paman Tam pernah memasuki goa itu?
Kalau aku tidak berada dalam mimpi, bagaimana mungkin
pintu besi itu bisa hilang setelah aku keluar?"
"Kalau diberitahukan, itu tidak akan aneh lagi. Di luar pintu
besi itu terdapat sebuah batu. Setelah pintu besi itu tertutup
kembali, otomatis tidak kelihatan lagi." sahut orang itu.
Lu Leng manggut-manggut.
"Oooh! Ternyata begitu! Paman Tam, ketika aku berada di
dalam goa, mula-mula aku melihat begitu banyak orang
berdiri di situ, tapi kemudian kenapa tidak tampak satu pun?"
Orang itu menghela nafas.
"Aku tidak begitu jelas tentang itu, namun yang pasti apa
yang kau lihat di dalam goa itu, bukanlah setan iblis."
sahutnya.
Lu Leng tertawa.
"Aku tentu tidak percaya kalau itu setan iblis. Kalau benar
itu setan iblis, bagaimana mungkin akan menitipkan sepucuk
surat untuk ayahku?"
Orang itu menatap Lu Leng dalam-dalam, lama sekali
barulah bersuara.
"Kau memang berani dan bernyali. Apa yang kau lihat di
dalam goa itu, sama sekali tidak membuatmu takut. Aku
kagum kepadamu."

332
Pujian itu membuat wajah Lu Leng kemerahmerahan,
karena ketika berada di dalam goa itu, dia justru merasa takut
setengah mati.
Orang itu berkata lagi.
"Aku memang kenal dia. Tapi aku justru tidak bisa
memberitahukan siapa orang itu. Bolehkah kau berikan
padaku surat itu?"
Lu Leng mengerutkan kening.
"Paman Tam...."
Orang itu tertawa.
"Legakanlah hatimu, aku sudah bilang tadi, tidak akan
mencelakai dirimu. Kalau aku mau mencelakaimu, bukankah
aku bisa merebut surat itu? Asal kau berikan surat itu
kepadaku, tentunya bermanfaat bagi kedua orangtuamu."
Hati Lu Leng tergerak.
"Bagaimana kedua orangtuaku sekarang?" Orang itu
menyahut.
"Mereka berdua sudah meninggalkan Lam Cong, namun
sepanjang jalan banyak orang mencari mereka, maka
perjalanan mereka menjadi terhambat. Aku harus pergi
memberitahu mereka, bahwa bencana sudah menjelang
datang."
Lu Leng tertegun mendengar ucapan orang itu.

333
"Kedua orangtuaku akan menghadapi bencana?"
Kemudian Lu Leng menggeleng-gelengkan kepala. "Tidak
mungkin, sebab kepandaian kedua orangtuaku amat tinggi,
bagaimana mungkin akan menghadapi bencana?"
Orang itu menghela nafas panjang, lalu menepuk bahu Lu
Leng seraya berkata.
"Usiamu masih kecil, maka tidak tahu. Kali ini yang
terseret ke dalam urusan itu, rata-rata merupakan kaum rimba
persilatan yang berkepandaian tinggi sekali. Kalau kedua
orangtuamu tidak mundur sekarang, pasti akan celaka."
Lu Leng amat cerdas. Setelah bercakap-cakap dengan
orang itu, dia tahu bahwa orang itu berhati bajik, bukan orang
jahat.
"Paman Tam, urusan itu apakah mengenai barang titipan
orang, yang harus diantar ke Su Cou?" Orang itu manggutmanggut.
"Tidak salah, memang urusan itu. Aaaah! Kedua
orangtuamu demi menjaga reputasi. Kalau tidak, bagaimana
mungkin akan diperalat orang menempuh bahaya?"
Lu Leng sudah mulai tahu akan awal dari urusan itu,
namun justru merasa heran.
"Paman Tam, sebetulnya urusan apa itu? Bolehkah aku
tahu?"
"Saat ini, aku pun tidak begitu jelas. Tapi aku percaya
urusan itu pasti akan jernih." sahut orang itu.

334
Setelah mendengar ucapan itu Lu Leng tidak banyak
bertanya lagi.
"Lu Leng, serahkan dulu surat itu kepadaku!" kata orang
itu lagi.
Lu Leng berpikir sejenak, kemudian menyerahkan surat itu
kepada orang tersebut.
Setelah menerima surat itu, orang tersebut melambaikan
tangannya.
"Mari kita baca bersama!" katanya sambil mengeluarkan
surat itu dari amplopnya.
Lu Leng mendekatinya, lalu ikut membaca. Surat itu
berbunyi demikian,
Lu Cong Piau Tau :
Kali ini kau mendapat titipan dari orang. Berdasarkan
reputasitmu, tentunya aku tidak berani bertindak
sembarangan. Tapi kini, putramu telah terkena racun. Di
kolong langit ini, hanya aku seorang yang dapat memunahkan
racun itu. Kalau kau tidak menyerahkan barang itu kepada
putramu, agar dibawa ketnari, nyawa putramu pasti
melayang. Harap pikirkan baik-baik!
Di dalam surat itu tidak tertera nama penulisnya. Seusai
membaca surat itu, Lu Leng termangu-mangu, lama sekali
barulah membuka mulut.
"Paman Tam, sungguhkah aku telah terkena racun?"
Orang itu menggelengkan kepala.

335
"Tentu tidak, sebab aku tahu hatinya tidak jahat, tidak
akan mencelakai orang." jawabnya.
Usai berkata, orang itu menghela nafas panjang seraya
bergumam.
"Kukira dia tidak berambisi sama sekali. Tidak tahunya dia
justru ingin keluar, melakukan sesuatu."
Lu Leng tertegun memandangnya.
"Paman Tam, siapa dia?"
Orang itu menghela nafas panjang.
"Aaaah! Surat ini tidak perlu kau berikan kepada kedua
orangtuamu."
Lu Leng segera bertanya.
"Kalau begitu, aku sungguh tidak akan mengalami sesuatu
yang diluar dugaan?"
Orang itu tertawa.
"Legakanlah hatimu. Bagaimana mungkin aku akan
membohongimu? Kau ikut aku! Aku akan mengajakmu
menemui kedua orangtuamu."
Betapa girangnya Lu Leng.
"Oh? Kedua orangtuaku berada di sekitar sini?" tanyanya.
"Tidak salah. Mari ikut aku!"

336
Orang itu menjulurkan tangannya untuk menarik Lu Leng,
lalu meninggalkan tempat itu.
Begitu orang itu menariknya, seketika juga Lu Leng
mendengar suara yang menderu-deru melewati telinganya.
Ternyata orang itu menggunakan Ginkang.
Berselang beberapa saat kemudian, orang itu mendadak
berhenti, dan mengeluarkan suara bernada heran.
"Eh?" Kemudian berkata. "Kau tunggu di sini, jangan
sekali-kali mengeluarkan suara, juga tidak boleh bergerak
sembarangan!"
Lu Leng tahu orang yang memakai kain penutup muka itu,
merupakan orang tingkatan tua dalam rimba persilatan, maka
dia amat mempercayainya. Karena itu, dia segera bersandar di
sebuah pohon.
Tampak orang itu melesat ke depan, ternyata di depan
sana berdiri dua orang berpakaian aneh, memakan topi tinggi
lancip.
Kedua orang itu ternyata si Setan Hitam dan si Setan
Putih, anak buah si Setan-Seng Ling.
Berarti saat itu, Lu Leng dan kedua orangtuanya cuma
terpaut setengah mil.
Sayang sekali, Lu Leng tidak tahu tentang itu. Begitu pula
kedua orangnya, juga tidak tahu akan hal tersebut.
Sementara Lu Leng tetap berdiri diam di bawah pohon,
tidak berani bergerak sama sekali.

337
Tak seberapa lama kemudian, mendadak terdengar suara
siulan dari goa itu, tiga kali siulan panjang dan dua kali siulan
pendek.
Sebelum suara siulan itu lenyap, Lu Leng sudah melihat
sosok bayangan berkelebat begitu cepat ke arah nya.
Begitu sampai di hadapan Lu Leng, bayangan itu pun
berhenti seraya berkata.
"Cepat! Kau cepat pergi! Cepat! Cepat!"
Nada suara itu begitu gugup, membuat Lu Leng terheranheran.
"Paman Tam tidak mau pergi menemui kedua
orangtuaku?"
Orang itu menyahut.
"Sementara ini tidak perlu, cepatlah kau pergi ke Su Cou
seorang diri, dan sampai di Su Cou, kau tidak usah ke manamana!
Malam harinya, kau ke Hou Yok dan bersembunyilah di
balik sebuah batu! Kalau melihat seorang gadis muncul di
sana, dia adalah putriku bernama Tam Goat Hua. Beritahukan
kepadaku, bahwa aku yang menyuruhmu ke sana
menunggunya! Dia pasti akan mengatur segalanya untukmu.
Jangan membuang waktu di tengah jalan, cepatlah pergi!"
Usai berpesan demikian, orang itu melesat pergi tanpa
menghiraukan Lu Leng lagi.

338
Namun Lu Leng tahu, itu amat penting, sebab nada suara
orang itu kedengaran tak begitu tenang. Maka Lu Leng tidak
membuang waktu lagi langsung melesat pergi menuju Selatan.
Tak seberapa lama kemudian, Lu Leng mendadak
berhenti. Ternyata dia teringat apa yang dikatakan orang itu,
bahwa kedua orangtuanya berada di sekitar tempat itu.
Mungkin mereka juga sedang menuju Su Cou. Itu berarti
sejalan. Kenapa tidak meninggalkan surat, agar kedua
orangtuanya tahu dirinya sedang menuju Su Cou? Dengan
adanya pikiran itu, maka Lu Leng mengeluarkan selembar
kertas, lalu membakar sebatang ranting. Setelah itu, dia
menulis dengan ranting yang hangus itu berbunyi demikian.
Ayah, ibu!
Aku ke Su Cou, harap tidak mencemaskan Ananda.
Sembah sujud Lu Leng
Usai menulis, dia memanjat sebuah pohon, kemudian
mengambil golok pendeknya untuk menancapkan surat itu di
pohon tersebut.
Begitulah terus dia melanjutkan perjalanannya perlahanlahan
dan memasuki bukit Hou Yok. Tak berapa lama
kemudian Lu Leng sudah sampai di sekitar Telaga Pedang dan
Seperti saran Paman Tam ia kemudian menunggu seorang
gadis yang bermarga Tam dan kemudian telah salah
mengenali ialah Han Giok Shia yang ia temui disisi sebuah
batu itu. Cerita selanjutnya telah diuraikan didepan. Kini kita
kembali dimana Lu Leng diselamatkan oleh ketujuh orang
aneh itu.
-ooo0oooKANG
ZUSI WEBSITE http://cerita-silat.co.cc/
339
Bab 15
Sesaat terdengar suara beberapa orang dari arah luar
kapal, sigendut mendengar ini kemudian keluar kapal, dan
tampaknya dia tengah bercakap-cakap dengan beberapa
orang diluar kapal yang tak lain ialah enam orang rekannya
yang lain.
Ketujuh orang itu mulai bersenandung sambil tertawa
gembira. Tak seberapa lama kemudian, si Gendut masuk ke
perahu dengan membawa semangkok obat untuk Lu Leng.
Setelah minum obat itu, Lu Leng segera duduk bersila
untuk menghimpun hawa murninya. Entah berapa lama,
ketika dia membuka matanya, tampak permukaan telaga itu
memerah, ternyata hari telah senja.
Lu Leng memandang keluar. Tampak mereka bertujuh
duduk di darat, kelihatannya seperti ada suatu urusan penting.
Maka Lu Leng tidak berani mengganggu mereka.
Berselang beberapa saat, si Gendut menghela nafas
panjang.
"Sudah hampir sampai waktunya," katanya. Ucapan itu
bernada resah. Tak lama kemudian, si Gendut berkata lagi.
"Saudara sekalian, kita bertujuh selama dua tiga puluh
tahun ini, entah sudah berjumpa berapa banyak musuh
tangguh. Tapi kali ini, kita justru tidak tahu nama musuh itu
dan bagaimana rupanya, sungguh aneh sekali! Mungkinkah
beberapa iblis yang dahulu pernah roboh di tangan kita?"
Seorang yang berpakaian Sastrawan menyahut.

340
"Keempat iblis itu setelah mengalami kekalahan di tangan
kita. Satu di antaranya telah mati, yang dua jauh di Pak Hai
(Laut Utara), sedangkan yang satu lagi, ditangkap oleh
seorang pendekar dari golongan lurus, kemudian dibelenggu
di lembah See Coan, tidak mungkin dia dapat meloloskan diri.
Namun kalau memang mereka bertiga, tentunya kepandaian
mereka sudah bertambah tinggi, tapi tidak perlu kita takuti."
Si Kurus berkata.
"Mengenai urusan ini, aku tetap tenang, tapi bukan
masalah itu yang kumaksudkan ..." Si Gendut bertanya.
"Maksudmu orang yang mengundang kita bertemu di
menara Hou Yok tidak mengandung niat jahat?"
Si Kurus menyahut.
"Tidak salah. Cobalah pikir, kalau dia berniat jahat, ketika
menaruh kartu undangan itu, bukankah kita semua tidak
mengetabuinya? Nah, itu merupakan kesempatan baginya
untuk mencelakai kita, tapi toh dia tidak turun tangan
terhadap kita, pertanda dia tidak berniat jahat."
Kini Lu Leng baru paham, ketujuh orang itu berada di
menara Hou Yok ternyata ada janji dengan orang, tapi mereka
bertujuh tidak tahu siapa orang itu, maka menyamar sebagai
patung dewa dan secara tidak sengaja menyelamatkan Lu
Leng.
Tiba-tiba seorang berkepala gundul berkata.
"Berniat jahat atau tidak, kita akan tahu setelah dia
muncul, yang penting kini kita harus bersiap-siap!"

341
Tentunya orang itu berjanji lagi dengan mereka bertujuh
untuk bertemu di pinggir telaga. Mungkin tak lama orang itu
akan muncul.
Lu Leng berpikir, Tujuh Dewa itu amat terkenal dalam
rimba persilatan. Masing-masing memiliki kepandaian
istimewa. Tapi saat ini mereka bertujuh tampak begitu tegang.
Maka, dapat diketahui orang yang mengundang mereka untuk
bertemu di situ pasti orang luar biasa.
Sementara hari sudah mulai gelap. Tampak bulan sabit
bergantung di langit. Berselang beberapa saat kemudian,
tampak sosok bayangan berkelebat di kejauhan yang makin
lama makin mendekat.
Ketika Lu Leng melihat bayangan itu, hatinya tertegun,
karena mengenali bentuk tubuhnya.
Setelah bayangan itu dekat, Lu Leng nyaris berteriak
kaget.
Ternyata orang itu pernah memberitahukannya bermarga
Tam, memakai kain penutup muka.
Orang itu berdiri sejauh dua depa dari Tujuh Dewa,
kemudian tertawa seraya berkata.
"Kalian bertujuh sungguh dapat dipercaya. Aku tidak
menepati janji di menara Hou Yok, itu saking terpaksa, maka
aku mohon maaf!"
Ketujuh orang itu tertawa, kemudian si Gendut berkata.
"Kalaupun kau ke sana, kami sudah tidak berada di sana.
Entah ada petunjuk apa kau ingin berjumpa kami?"

342
Orang yang memakai kain penutup muka menyahut.
"Tidak berani, tidak berani. Aku justru mohon petunjuk
kalian bertujuh."
Wajah mereka bertujuh langsung berubah, karena istilah
"Petunjuk" dalam rimba persilatan adalah menantang
bertarung.
Si Sastrawan berkata lantang.
"Kami tujuh orang dalam rimba persilatan, terhitung cukup
terkenal. Siapa kau, bolehkah kami tahu nama besarrnu?"
"Namaku Tam Sen," sahut orang itu.
Setelah mendengar nama tersebut, ketujuh orang itu
melongo. Mereka sudah begitu lama berkecimpung dalam
rimba persilatan, maka kaum rimba persilatan yang
berkepandaian tinggi, mereka pasti kenal!
Akan tetapi, mereka bertujuh justru tidak kenal orang
bernama Tam Sen itu. Berdasarkan gerakannya tadi, dapat
diketahui bahwa kepandaiannya amat tinggi sekali.
Si Sastrawan mendengus dingin.
"Hmm! Kau tidak mau memperkenalkan nama asli ya
sudahlah!"
Tam Sen justru tertawa.
"Sobat salah, Tam Sen memang nama asliku. Di hadapan
kalian, kenapa aku harus menggunakan !ama palsu? Dulu aku

343
punya julukan, maka nama asliku tidak ada seorang pun tahu.
Akan tetapi, kini aku sudah tidak mau memakai nama julukan
itu lagi, harap kalian tidak banyak bertanya!"
Tujuh Dewa itu tercengang, orang itu dulunya pasti
mempunyai julukan yang cemerlang, namun kini dia memakai
kain penutup muka, maka mereka bertujuh tidak dapat
menerka siapa orang itu.
Si Gendut bertanya.
"Sobat Tam ke mari cuma seorang diri?"
Tam Sen tertawa sambil menyahut.
"Aku ke mari bukan untuk bertarung, kenapa harus banyak
orang?"
Si Gendut berkata.
"Kau ingin berjumpa kami, apakah hanya untuk mengobrol
yang tak berarti?"
Tiba-tiba Tam Sen menyahut serius.
"Tahukah kalian bertujuh, tidak lama lagi dalam rimba
persilatan akan timbul suatu badai besar?"
Si Gendut tertawa terbahak-bahak.
"Ha ha ha! Kami bertujuh sudah mengundurkan diri dari
rimba persilatan, tentunya kau sudah tahu, bukan?"
Tam Sen menghela nafas panjang.

344
"Urusan sampai di depan mata, kalian mau menghindar
pun sudah tidak bisa. Kini Lam Cong Thian Houw Lu Sin Kong
sudah menuju Go Bi dan Tiam Cong, mengundang para jago
dari kedua partai itu mencari Liok Ci Siansing dan Tiat Ciat
Songjin membuat perhitungan, apakah kalian akan tinggal
diam?"
Tujuh Dewa mempunyai hubungan baik dengan Liok Ci
Siansing dan Tiat Ciat Songjin. Maka ketika mendengar kabar
itu, air muka mereka langsung berubah.
Namun mereka bertujuh, masih tidak percaya. akan apa
yang Tam Sen katakan.
"Apakah kau punya bukti tentang itu?" tanya si Gendut.
Tam Sen tersenyum dingin.
"Masih ada, Bu Tong Sam Kiam telah binasa. Bu Tong Pai
menganggap Thian Hou Lu Sin Kong yang mencelakai mereka.
Maka para jago dari Bu Tong Pai sudah berangkat ke Bu Yi
San untuk menuntut balas pada Lu Sin Kong."
Lu Leng yang berada di dalam perahu, tertegun ketika
mendengar kata-kata Tam Sen.
Ketika Bu Tong Sam Kiam mati, Lu Leng menyaksikan
dengan mata kepala sendiri. Urusan itu memang sulit
dijernihkan. Karena ketika itu, tiba-tiba muncul seorang murid
Bu Tong Pai. Murid Bu Tong Pai itu menanyakan identitas Lu
Leng, dan Lu Leng memberitahukannya. Namun Lu Leng tiada
kesempatan menjelaskan mengenai kejadian itu, sehingga
ayahnya menjadi tertuduh.
"Hah!" Tujuh Dewa itu terperanjat.

345
Karena apabila partai-partai besar itu bertikai, tentunya
akan menimbulkan bencana dalam rimba persilatan, dan itu
membuat mereka bertujuh jadi cemas sekali.
Tam Sam berkata kembali dengan dingin.
"Urusan itu tidak hanya di situ. Isteri Lu Sin Kong
sebelumnya terkena racun pukulan Im Si Ciang, kemudian
terkena pukulan Hwe Hong Sian Kouw hingga binasa. Go Bi
dan Tiam Cong Pai takkan tinggal diam. Peristiwa itu terjadi di
rumah si Pecut Emas-Han Sun. Tapi Han Sun telah mati, maka
sudah pasti kedua partai itu akan mencari Hwe Hong Sian
Kouw untuk menuntut balas. Karena itu, Hui Yan Bun dan Tai
Chi Bun juga akan terseret ke dalam masalah itu.


ALWAYS Link cerita silat : Cerita silat Terbaru , cersil terbaru Cerita Silat Favorit : Harpa Iblis Jari Sakti, Cerita Dewasa Cerita Silat Favorit : Harpa Iblis Jari Sakti, cerita mandarin,Cerita Dewasa terbaru,Cerita Dewasa Terbaru Cerita Silat Favorit : Harpa Iblis Jari Sakti, Cerita Dewasa Pemerkosaan Terbaru Cerita Silat Favorit : Harpa Iblis Jari Sakti
Anda sedang membaca artikel tentang Cerita Silat Favorit : Harpa Iblis Jari Sakti 1 dan anda bisa menemukan artikel Cerita Silat Favorit : Harpa Iblis Jari Sakti 1 ini dengan url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/12/cerita-silat-favorit-harpa-iblis-jari.html,anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel Cerita Silat Favorit : Harpa Iblis Jari Sakti 1 ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,namun jangan lupa untuk meletakkan link Cerita Silat Favorit : Harpa Iblis Jari Sakti 1 sumbernya.

Unknown ~ Cerita Silat Abg Dewasa

Cersil Or Post Cerita Silat Favorit : Harpa Iblis Jari Sakti 1 with url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/12/cerita-silat-favorit-harpa-iblis-jari.html. Thanks For All.
Cerita Silat Terbaik...

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar