Cersil Online Klassik : Rahasia Hiolo Kumala 2 [Lanjutan 3 Maha Besar]

Diposting oleh eysa cerita silat chin yung khu lung on Senin, 26 Desember 2011

Cersil Online Klassik : Rahasia Hiolo Kumala 2 [Lanjutan 3 Maha Besar]

“Cong-gi….. Cong-gi.….” katanya, “Kau musti ingat jika
kepergian kalian saat ini bukan berpesiar, tapi untuk mencari
berita. Bila kau tak dapat menahan diri dan berkaok-kaok
seperti saat ini, bisa jadi urusan engkoh In-liong akan
terbengkalai di tanganmu!”
“Keponakan mengerti, keponakan sudah mengerti jelas,”
sahut Coa Cong-gi sambil mangut-mangut, “Pokoknya setelah
tiba di rumah pelacuran Gi-sim-wan aku pasti akan menutup
mulutku rapat-rapat!”
Semua orangpun pelan-pelan tinggalkan ruang tamu
menuju ke halaman depan. Disana pelayan telah siapkan tiga
ekor kuda.
“Nah….. Naiklah keatas kuda!” ajak Kanglam Ji-gi kemudian
sambil ulapkan tangannya, “Cepatlah pergi dan cepatlah
kembali. Bila berhasil mendapatkan sesuatu keterangan, lebih
baik malam ini jangan sampai turun tangan lebih dahulu.”

284
Beberapa patah kata terakhir itu mungkin saja tak dipahami
orang lain, tapi Hoi Liong yang cerdik segera dapat memahami
arti dari perkataan itu.
Ia tersenyum, sahutnya sambil menjura, “Boanpwe tentu
akan baik-baik menjaga diri. Malam sudah makin kelam, udara
amat dinguin, silahkan locianpwe masuk ke dalam ruangan!”
Setelah menerima tali les kuda dan meloncat naik keatas
punggung kudanya, ia berseru pula ke pada rekan-rekan
lainnya, “Sampai jumpa lagi saudara-saudaraku!”
la lantas membedal kudanya menyusul Yu Siau-lam berdua.
Malam itu udara bersih, rembulan dan bintang
memancarkan sinarnya dengan redup, dengan ke-tajaman
mata dari tiga orang itu mereka membedal kudanya cepatcepat,
dalam suasana yang sepi dan lenggang mereka tidak
kuatir terjadinya sesuatu diluar dugaan.
Akan tetapi setelah melewati loteng tambur dan masuk
jalan besar See-ong-hu, mereka terpaksa harus menjalankan
kudanya pelan-pelan, sebab manusia yang berlalu lalang disitu
terjejal-jejal.
Tiga orang itu semuanya berdandan sebagai putra
hartawan, bukan saja wajahnya tampan, kuda merekapun
kuda jempolan. Sepanjang jalan mereka banyak menarik
perhatian serta pandangan kagum khalayak ramai.
Yu Siau-lam mempunyai julukan sebagai Say-beng-siang
(Beng Siang Sakti). Bagi orang yang kenal Kim-leng ngokongcu
tentu kenal pula pemimpinnya. Sepanjang jalan
banyak pula orang-orang yang seagaja maju menyapa, hal ini
menyebabkan perjalanan mereka semakin lambat.

285
Coa Cong-gi adalah seorang pemuda yang tak dapat
menyembunyikan perasaan sendiri. Sewaktu dalam hatinya
ada urusan maka ia lantas tunjukkan sikap kurang sabar
terhadap mereka yang sengaja menyapa. Dengan sikap acuh
tak acuh sepasang alis matanya yang tebal berkenyit kencang.
Hoa In-liong sendiri juga tak sabar lagi, tapi oleh karena
baru pertama kali ini ia berkunjung ke kota Kim-leng, apa
yang terlihat di sekelilingnya terasa masih segar, maka untuk
membuang kekesalan hatinya sebentar-sebentar dia
celingukan ke sana ke mari.
Selang sesaat kemudian, tiba-tiba Hoa In-liong
menyaksikan Coa Cong-gi duduk di kudanya dengan alis mata
berkenyit. Tanpa terasa diperhatikannya pemuda itu dengan
seksama, kemudian pikir, “Saudara Coa paling blak-blakan dan
suka bicara tanpa tedeng aling-aling. Manusia beginilah
terhitung manusia paling jujur dan tak kenal arti tipu muslihat.
Jangan dilihat alisnya tebal dan matanya besar, berbicara soal
ketampanan, belum tentu dia kalah dengan yang lain-lain,
malahan bisa jadi dialah paling tampan diantara Kim-leng ngokongcu.
Cuma ketampanannya selalu tertutup oleh kerutan
alisnya yang tebal itu. Aku tak boleh menyia-nyiakan
kesempatan yang sangat baik ini untuk berkenalan dirinya,
sebab pemuda ini sangat jujur dan merupakan sahabat yang
paling dapat dipercaya!”
Berpikir sampai disitu, tiba-tiba saja kegembiraan hatinya
berkobar kembali, dia lantas menjalankan kudanya kes amping
begitu, lalu tegurnya, “Saudara Cong-gi apakah keluargamu
juga menetap di kota Kim-leng ini?”
Waktu itu Cong-gi sedang merasa kesal sekali, ketika
mendengar pertanyaan itu, alisnya yang berkerut segera
mengendor kembali, dan mukanyapun kembali berseri,

286
“Haaa…… Haaa…… Haaa…… Benar, aku berasal dari kota Kimleng.
Bagaimana dengan kau?”
Tiba-tiba ia merasa bahwa pertanyaan macam itu
sebenarnya tidak perlu ditanyakan cepat lanjutnya kembali,
“Eee…… kita harus sebutkan tanggal lahir masingmasing,
coba lihat siapa yang lebih tua diantara kita! Dengan
begitu untuk menyebut “kakak atau adik” pun tak usah
ngawur seenaknya bukan begitu saudara Hoa In-liong?”
Hoa In-liong tersenyum den mengangguk. “Siau-te
dilahirkan pada tahun Jin-seng, bulan Cin-gwe tanggal
sembilan besar, tahun ini berusia delapan belas tahun,
bagaimana dengan saudara Cong-gi?”
Pemuda ini masih teringat terus akan pesan neneknya
maka dia selalu menghapalkan tanggal dan tahun
kelahirannya setahun lebih tua. Otomatis dalam setiap
pembicaraanpun tanpa terasa dia selalu menyebut tanggal
kelahirannya secara komplit.
Cong-gi yang tak pernah mau berpikir dengan otaknya
sudah tentu tak akan mengira kalau tahun kelahiran pemuda
itu sebetulnya palsu, ia lantas tertawa terbahak-bahak.
“Haaaa….. haaaa….. Haa..… Kalau begitu akulah yang
menang. Aku dilahirkan tahun Sim-wi, jadi persis lebih tua
satu tahun daripada kau……!” katanya
Hoa In-liong ikut tersenyum.
“Siau-te tidak merasa dirugikan dengan kemenangan Conggi
heng, sebab itu di kemudian hari aku akan diperhatikan
baik-baik olehmu…..”
“Haaa….. haaaa….. haaa….. sudah sepantasnya kita saling
memperhatikan! Sepantasnya kita saling memperhatikan!”

287
gelak tertawa Coa Cong-gi amat nyaring. Ini menunjukkan
kalau pikiran maupun perasaannya telah lapang kembali.
Melihat sikap saudaranya itu, tiba-tiba Hoa In-Liong berpikir
dalam hati, “Orang ini mengetahui cara sopan santun dan
merendahkan diri, ini berarti bahwa dia sebenarnya tidak
bodoh!”
Selang sesaat kemudian ia bertanya lagi, “Cong-gi heng,
siapakah gurumu?”
“Oooh….. ilmu silatku adalah warisan keluarga, jadi aku
bisa bebas bergerak tanpa musti dikekang oleh peraturan
perguruan”
Diam-diam Hoa In-liong tertawa geli, katanya pula,
“Apakah Pek-hu Pek-bo berada dalam keadaan sehat walafiat?
Berapa orang saudaramu?”
“Ayahku sudah meninggal banyak tahun. Di rumah aku
cuma mempunyai seorang adik perempuan”
Tiba-tiba sepasang matanya dibelalakkan lebar-lebar,
dengan wajah bersungguh-sungguh ujarnya lebih jauh,
“Eeh….. aku hendak memberitahukan satu hal kepadamu,
tahukah engkau bahwa adik perempuanku adalah harimau
betina yang galaknya bukan kepalang? Kalau kau bertemu
dikemudian hari, mustilah sedikit berhati-hati.”
Sebelum Hoa In-liong memberikan tanggapannya, tiba-tiba
terdengar Yu Siau-lam telah berseru, “Hati-hati sedikit! Kita
sudah sampai di tempat tujuan.”
Ternyata dalam bercakap-cakap tadi, tanpa terasa mereka
sudah tiba di pintu gerbang rumah pelacuran Gi-sim-wan.
Ramai sekali suasana di sekitar tempat itu.

288
Sementara Hoa In-liong dan Coa Cong-gi masih tertegun
keheranan, tiba-tiba seorang pegawai rumah pelacuran itu
maju menyongsong kedatangan mereka. Sambil
membungkukkan badannya memberi hormat kepada Yu Siaulam
katanya sambil tertawa tengik, “Yu-ya baru sekarang kau
datang? In cici telah siapkan meja perjamuan dan kini sedang
menunggu di dalam kamar”
Kejadian ini benar-benar diluar dugaan. Ketika mendengar
perkataan itu, untuk sesaat mereka bertiga jadi tertegun dan
lupa melompat turun dari kudanya.
Ketika Yu Siau-lam menghadang jalan pergi Cia In diluar
pintu Gui-tee-bun kemudian merampas tawanannya,
perempuan itu pernah mencabut pisau belatinya untuk
melakukan perlawanan. Semenjak itu kedua belah pihak telah
saling berhadapan sebagai musuh.
Kini, tawanannya telah ditolong orang, ternyata bukannya
kabur jauh-jauh dari situ Cia In malah tetap berdiam disana,
bahkan telah siapkan meja perjamuan untuk menantikan
kedatangan mereka. Meski hal itu memang merupakan janji
dari Cia In waktu masih berada diluar kota, tapi yang
mengherankan, apakah dia takut Hoa In-liong meluruk kesitu
dan membongkar rahasianya?
Waktu itu kaum pelancong yang berpesiar di sekitar kuil
Hui-cu-bio luar biasa banyaknya, terutama tamu-tamu yang
berkunjung ke rumah bordil Gi-sim-wan, boleh dibilang
bagaikan aliran air sungai yang mengalir silih berganti.
Yu Siau-lam tertegun sejenak, kemudian sempat berpikir
panjang lagi dia melompat turun dari kudanya seraya ulapkan
tangan.

289
“Bawa jalan buat kami!” perintahnya.
“Baik tuan!” Pelayan itu bungkukkan badan sambil
mengiakan, dia putar badan lalu berteriak ke arah halaman
rumah pelacuran itu, “Yu kongcu telah tiba!”
Dengan langkah yang sengaja dibuat tegap, ia membawa
tamu-tamunya masuk ke dalam.
Dalam waktu singkat seruan ‘Yu kongcu telah tiba’ tadi
sudah disampaikan secara berantai ke ruang paling dalam.
Suara yang keras bagaikan gembrengan itu membuat orang
merasa semangatnya berkobar kembali.
Yu Siau-lam tersenyum, dia berpaling dan memandang
sekejap ke arah Hoa In-liong serta Coa Cong-gi, lalu katanya,
“Nona Cia betul-betul seorang yang dapat dipercaya. Silahkan
saudara sekalian!”
Tali les kuda mereka telah diterima oleh seorang pelayan
dan dibawa masuk ke kandang. Hoa In-liong tidak banyak
bicara lagi, dia manggut-manggut sambil menirukan lagak
rekannya. “Ehmmm….. memang dapat dipercaya! Dapat
dipercaya! Silahkan saudara Siau-lam”
Mereka bertiga masuk bersama dengan langkah lebar.
Ditengah jalan, Yu Siau lam diam-diam berbisik dengan
menggunakan ilmu menyampaikan suara.
“Sungguh diluar dugaan Cia In tidak berusaha
menghindarkan diri, Hoa-heng! Bagaimana rencanamu
berikutnya?”
“Lebih baik kita bertindak menurut keadaan, coba lihat dulu
bagaimanakah tanggapan serta tanggung jawabnya terhadap

290
peristiwa itu!” sahut Hoa In-liong dengan ilmu menyampaikan
suara pula.
“Jika dia bersikeras mungkir atau memberikan yang alasan
berbelit-belit bagaimana sikapnya pada kita? Atau bila perlu
kita gunakan saja kekerasan untuk memaksa perempuan itu
mengaku? Kadang kala memang ada orang yang baru mau
mengaku jika dipakai kekerasan!”
“Aku pikir tak usah gunakan kekerasan!”
ooooooOoooooo
“CONG-GI adalah seorang pemuda yang ringan mulut dan
seringkali gampang menyemburkan kata-kata yang kasar
tanpa tedeng aling-aling, aku kuatir kalau sampai waktunya
dia banyak mu-lut” kata Yu Siau-lam mengutarakan
kekuatirannya.
“Aku pikir pendapat ayahmu sangat tepat. Bila jejak ini kita
bikin putus dengan kekerasan, tentu tiada hasil yang bisa kita
capai. Alangkah baiknya kalau dalam segala tindak tanduk
nanti, nantikan dulu maksud hatiku,” pesan Hoa In-liong.
“Baiklah!” sahut Yu Siau-lam sejenak kemudian, “Aku akan
bertindak mengikuti kerlingan mata Hoa-heng”
Menyusul kemudian dengan ilmu menyampaikan suara
diapun berpesan beberapa patah kata kepada Coa Cong-gi.
Semenjak permulaan tadi, Coa Cong-gi sudah menganggap
Hoa In-liong sebagai pemimpinnya, tentu saja ia tidak
mengemukakan pendapat apa-apa. Pemuda itu hanya mangut
sebagai tanda bahwa semua pesan itu telah diingatnya semua.

291
Cahaya lampu menerangi seluruh ruangan Gi-sim-wan,
suasana disitu ramai dan gaduh. Suara tertawa, suara
pembicaraan dan suara orang bergurau serasa memekakkan
telinga.
Sementara mereka bertiga berjalan masak ke dalam,
seringkali muncul perempuan-perempuan cantik dengan aneka
macam potongan badan serta kegenitan berjalan mondarmandir
disana sambil tiap kali mengerling genit ke arah
mereka.
Perlu diketahui, baik Yu Siau-lam maupun Coa Cong-gi
kedua-duanya adalah langganan tetap rumah pelacuran Gisim-
wan. Hampir tiap hari mereka bermain disitu lagipula jadi
orang royal tak heran kalau sebagian besar pelacur-pelacur
disana kenal dengan tampang ‘cukong cukong muda’ mereka
ini.
Berbeda sekali dengan kedatangan mereka kali ini. Dengan
membeban tugas penting, sejak masuk ke rumah pelacuran
itu mereka telah pasang mata baik-baik memperhatikan
keadaan disekeliling tempat itu. Bukan saja mereka tidak
merasakan pengaruh apa-apa oleh kerlingan maut pelacurpelacur
tersebut, malahan memandang tubuh mereka yang
berliuk-liuk padat, tiba-tiba saja timbul rasa jijiknya yang
tebal. Mereka segera merasa bahwa itulah profil dari seorang
pelacur.
Cia In berdiam di sebuah gedung berloteng yang mungil
dan indah. Loteng itu berpagar bambu dengan tirai tipis yang
berwarna merah muda. Di sekeliling gedung penuh pohon
bambu yang rindang. Jauh di ujung sana terdapat sebuah
kolam dengan air yang jernih. Bebungaan yang beraneka
macam menyiarkan bau harum semerbak, ditambah pula
suara keliningan yang dipasang diatas wuwungan rumah,

292
suara ‘ting-tang ting-tang’ yang merdu membuat semaraknya
suasana disana.
Seorang pelacur ternyata mempunyai tempat tinggal yang
begitu tenang, nyaman dan indah, dari sini dapat diketahui
bahwa kedudukan Cia In di tempat itu boleh dibilang cukup
tinggi.
Setelah tiba di tempat itu, pelayan rumah pelacuran yang
membawa jalan tadi segera berhenti. Sambil menuding ke
dalam katanya, “Yu kongcu, silahkan melihat sendiri, In Ci-ji
sudah menanti ditepi pagar, silahkan masuk! Silahkan masuk!
Tan-ji mohon diri lebih dahulu.”
Meskipun diluaran dia bilang mau mengundurkan diri, tapi
badannya cuma membungkuk belaka sama sekali tak ada
tanda-tanda akan mengundurkan diri dari situ.
Melihat sikap pelayan itu, sebagai langganan lama tentu
saja Yu Siau-lam cukup mengetahui akan maksudnya, dia
tersenyum, “Terima kasih banyak, terima kasih banyak atas
bantuanmu. Nah! ini persen untukmu, harap saja tidak
terlampau kurang bagimu…..!” Seraya berkata dia mengambil
satu tahil perak dan dilemparkan ke arah pelayan tadi.
“Tan-ji mengucapkan banyak terima kasih.”
Cepat-cepat pelayan itu berseru dengan wajah berseri.
Ketika berbicara sampai disitu, uang perak itu sudah tiba di
depan matanya, cepat dia bangkit, berdiri dan menerimanya.
Yu Siau-lam gemas oleh tingkah laku pelayan itu. Selain itu
diapun ingin menjajal apakah pelayan itu berilmu atau tidak?
Maka ketika uang perak itu disentil ke depan, sengaja dia
menyertakan pula tenaga dalamnya yang lihay.

293
Maka bisa dibayangkan apa akibatnya ketika uang perak itu
disambut oleh pelayan tadi, bukan saja uang itu tak sempat
ditangkap, malahan tonjolan yang menongol keluar pada uang
perak itu sempat menggesek telapak tangannya.
Pelayan itu menjerit kesakitan, sambil menggertakkan gigi
dia mengaduh tiada hentinya.
Telapak tangan lecet dan berdarah, sekalipun sakitnya
bukan kepalang rupanya pelayan itu lebih mementingkan
uangnya daripada badan sendiri. Tak sempat memeriksa luka
lecet itu lagi, cepat-cepat dipungutnya uang perak itu
kemudian sambil memegangi telapak tangannya yang terluka
ngeloyor pergi dari situ.
Melihat setelah pelayan itu berlalu, Hoa In-liong bertiga
saling berpandangan sambil tertawa mereka lantas
menyeberangi kebun kecil itu dan naik ke atas loteng.
Cia In yang cantik jelita dengan dandanan yang indah telah
menanti kedatangan mereka di mulut anak tangga.
Ketika tamunya muncul, dia lantas memberi hormat sambil
berkata,
“Rembulan terasa redup, bintang amat jarang,
embun malam terasa dingin…..
Rumah nyanyian, gedung pelacuran, sudah berapa rumah
kau kunjungi…..?
Yu-ya, apakah kau sudah tidak kenal jalanan lagi?”

294
Mendengar bait syair tersebut, Yu Siau-lam segera tertawa
tergelak.
“Kekasihku Lau dari Thian-tay terpikat oleh gua kuno…..
Sekalipun harus mabok, mati pun terima….. Setelah
mengetahui nona Cia menyiapkan perjamuan untuk kami,
sekalipun aku sudah tak kenal jalan lagi, akan kupinjam
burung bangau sakti untuk menghantar aku kemari,
haaaaa….. haaaaa…. haaaaaa…..”
Cia In mengerling genit, bibirnya mencibir lalu serunya,
“Eeeh….. kau pingin mampus rupanya! Masa di hadapan
sahabat baruku, begitu bertemu kau lantas hendak cari
untung? Sayang gua kuno sudah tertutup, mau terpikat,
pergilah terpikat sendiri!”
Dia membalikkan tubuhnya, lalu dengan langkah yang
lemah gemulai berjalan masuk ke dalam ruangan.
Untuk kesekian kalinya Hoa In-liong bertiga saling
berpandangan sambil tertawa. Tanpa berbicara lagi mereka
ikut masuk ke dalam ruangan itu dibelakang Cia In.
Setelah berbelok ke arah timur, ditengah-tengah gedung itu
merupakan sebuah ruang tamu yang besar. Lampu lentera
tergantung disana sini. Meja benar-benar telah tersedia
disana.
Siau-in-ji segera maju menyongsong kedatangan tamutamunya,
sambil memberi hormat katanya, “Yaya bertiga, jika
kalian tidak datang sesaat lagi, tentu arak dan sayur telah
menjadi dingin semua!”
Ketika berjumpa dengan Siau-in-ji, tiba-tiba Coa Cong-gi
merasakan hatinya agak bergerak, dia lantas merogoh ke
dalam sakunya dan mengambil sekeping uang perak, katanya

295
kemudian, “Selama kami minum arak, tolong layanilah kami
baik-baik. Nah! Uang perak ini persen bagimu untuk membeli
pupur.”
Jari tangannya lantas disentil ke depan. Uang perak itu
dengan kecepatan bagaikan kilat meluncur ke depan.
Tiba-tiba Cia in maju ke depan, ujung bajunya segera
dikebut kedepan, tiba-tiba uang perak itu sudah tergulung
masuk ke dalam ujung bajunya. “Coa-ya, kau benar-benar
berjiwa sempit” katanya sambil tertawa genit. “Toh rahasiaku
sudah ketahuan, buat apa Coa-ya menjajal kami lagi?”
Berbicara sampai disitu, dia lantas berpaling ke arah Siau-in
ji dan menambahkan, “Pergilah kedalam dan ambil keluar
pedang mustika serta buntalan milik Hoa kongcu, agar dengan
begitu orang yaya ini jadi berlega hati kalau kami memang
tidak bermaksud jahat.’“
Perkataan itu diucapkan dengan blak-blakan namun dia
sendiri sama sekali tidak menunjukkan sikap marah. Hal ini
membuat Coa Cong-gi merasa pipinya jadi merah karena
jengah. Untuk sesaat dia jadi gelagapan dan tak tahu apa
yang musti dikatakan.
Hoa In-liong maupun Yu Siau-lam sendiri pun tertegun,
mereka benar-benar merasa tak habis mengerti, dengan
maksud apakah Cia In menyiapkan meja perjamuan untuk
menjamu mereka?
Selang sesaat kemudian, Siau-in-ji telah muncul kembali
sambil membawa pedang mustika dan buntalan milik Hoa Inliong,
segera ujarnya sambil tertawa, “Hoa-ya, apakah engkau
akan periksa dulu barang-barang milikmu ini…….?”

296
Hoa In-liong tertawa terbahak-bahak. “Haaa..… haaa…..
haaa….. aku tidak kuatir kehilangan barang milikku, yang aku
kuatirkan justru kalau sampai jalan darah giok-tin-hiat ku
ditusuk lagi dengan jarum!”
Cia In ikut tertawa cekikikan sehabis mendengar sindiran
tersebut.
“’Hiii….. hiii….. hiii….. Mungkin sepanjang hidupku sudah
tak akan mempunyai kesempatan lagi untuk membekuk
engkau. Jika kau tidak takut bila arak dan sayur ini sudah
kucampuri racun, silahkan mengambil tempat duduk.”
Hoa In-liong tertawa, dia tidak banyak berbicara lagi,
segera pemuda itu beranjak dan menuju ke meja perjamuan.
Setelah masing-masing orang mengambil tempat duduk,
In-ji maju memenuhi cawan tamu-tamunya dengan arak.
Tiba-tiba Hoa In-liong ulapkan tangannya mencegah
dayang cilik itu bekerja lebih jauh serunya, “Eeeh….. tunggu
sebentar, akan kuperiksa dulu dengan seksama, apakah teko
arak ini adalah teko yen-yang-hu atau bukan?”
Senyuman lirik tersungging di ujung bibirnya, tentu saja
pemuda itu tidak berniat sungguh-sungguh untuk
memeriksanya.
Menggunakan kesempatan itu Cia In menjual lagaknya,
dengan sikap manja direbutnya teko arak itu dari tangan In-ji,
kemudian serunya dengan muka cemberut, “Tidak boleh
dilihat!. Terus terang kuberitahu kepadamu, teko ini bukan
teko yen-yang-hu, tapi araknya adalah arak Yen-yang-ciu,
lebih baik Hoaya jangan minum!”

297
Yu Siau-lam segera membungkukkan badan dan merebut
kembali teko arak itu dari tangan Cia In, kemudian sambil
memenuhi cawan araknya perlahan-lahan dia bersenandung,
“Dewi cantik bidadari ayo berkumpul dalam khayangan…..
Suasana semarak menghilangkan derita…..
Mengagumi burung yan-yang, jangan mencemooh
bidadari…..”
Cia In mengerdipkan matanya dan ditujukan sikap yang
aleman, serunya kemudian dengan manja, “Siapa toh yang
kau maksudkan burung yan-yang dan siapa pula bidadarinya?.
Iiiiih…. Yu-ya benar-benar tak tahu!”
Ia memutar biji matanya, lalu sambil berpaling kepada In-ji
katanya lagi, “Oooh….. In-ji yang nakal! Uang persenan ‘kan
sudah kita terima, masakah kau benar-benar akan suruh ya ya
sekalian menuang arak sendiri?”
Setelah ada perintah dari majikannya, In-ji baru menerima
teko arak itu dan menuangkan arak bagi cawan-cawan
tamunya.
Setelah semua isi cawan dipenuhi, Cia In mengangkat
cawan araknya kehadapan Hoa In-liong kemudian katanya,
“Pertama-tama akan kuhormati dulu Hoa-ya dengan secawan
arak. Semoga dengan secawan arak ini Hoa-ya dapat memberi
maaf kepadaku karena sepanjang jalan telah menyiksa diri
Hoa-ya.”
Sekali teguk dia menghabiskan isi cawannya.
Hoa In-liong tertawa tergelak.

298
“Haa.…. Haa….. haa….. kebetulan aku memang sedang
berpesiar ke tempat-tempat indah. Sudah lama aku punya
rencana untuk berkunjung ke wilayah Kanglam. Haaaaa…
ha….. haaa….. Sekalipun sepanjang perjalanan tak sempat
kunikmati keindahan alam, paling sedikit ‘kan aku sudah
mengirit beberapa tahil perak ongkos jalan. Siapa bilang aku
menderita? Malahan aku bersedia merasakan keadaan
semacam itu sekali lagi.”
Dia ikut meneguk habis isi cawan sendiri.
Menggunakan kesempatan itu Yu Siau-lam melirik sekejap
ke arah Hoa In-liong. Ketika dilihatnya pemuda itu picingkan
mata kanannya dan janggutnya ditarik sedikit sebagai tanda
anggukan, tahulah dia bahwa arak itu memang tak beracun.
Dengan hati lega pemuda she Yu ini mengangkat cawan
araknya sendiri dan berkata sambil tertawa, “Ditemani
perempuan cantik dalam sekereta sekalipun tak dapat
menikmati keindahan alam, hal itu juga bukan kejadian yang
patut disesali. Nona Cia aku pesan tempat dulu ya?, kalau lain
waktu ada kesempatan semacam itu, tolong nona Cia beri
kabar padaku. Hanya suasana romantis macam begitu baiknya
jangan dirusak karena jalan darahku kau totok…”
Tiba-tiba Cia In picingkan sebelah matanya sambil menyela,
“Aduuh….. Aduuuh…… katanya saja seorang taki-laki sejati
yang gagah perkasa, kenapa pandangan serta jiwamu begitu
picik?. Aku ‘kan sudah mengaku salah? Masa itu tidak cukup?
kenapa musti pakai main sindir terus menerus?”
Cia Cong-gi yang tadi ikut-ikutan berbicara mengikuti jejak
rekannya, siapa tahu ketanggor batunya, sampai sekarang
hatinya masih merasa tak enak. Sebagai seorang pemuda
yang berjiwa terus terang, ia selalu teringat akan tujuan
kedatangan mereka. Maka ketika dilihat datangnya

299
kesempatan yang baik, dia lantas tertawa kering dan menyela,
“Si penjagal mau bunuh babi, tapi sudah salah bunuh
manusia. Apakah kau anggap hanya mengaku salah saja itu
sudah cukup? Paling sedikit musti kau terangkan dulu apa
sebabnya kau culik saudara kita dari keluarga Hoa……?”
Mendengar ucapan tersebut, Yu Siau-lam merasa sangat
gelisah. Dia menganggap waktu itu belum tiba saatnya untuk
mengutarakan maksud tujuan kedatangan mereka. Ia kuatir
jika suasana dibuat beku lebih dulu maka sampai saatnya
nanti main kekerasan tak bisa, tentu keadaan mereka malah
akan jadi sulit sendiri.
Untunglah Cia In tidak memikirkan hal itu di dalam hati, dia
tertawa cekikikan.
“Hiiii….. hiii…… hiii…. Coa-ya memang lucu benar orangnya,
masa kau bandingkan aku sebagai si penjagal dan
membandingkan Hoa Kongcu sebagai babi. Hiiii….. hiiii…..
perkataan Coa-ya kurang tepat, kau musti di hukum dengan
secawan arak”
Untuk mencari perumpamaan tersebut, dengan susah
payah Coa Cong-gi harus memutar otak, maksudnya dia akan
membawa pembicaraan tersebut kepokok pembicaraan yang
sebenarnya. Siapa tahu perumpamaan itu telah digunakan
lawannya untuk memukul diri sendiri. Untuk sesaat dia jadi
menjublak dan tak mampu berkata-kata lagi.
Yu Siau-lam sendiripun merasa agak lega setelah dilihat
suasana tidak dibikin rusak oleh persoalan itu. Cepat dia
mengangkat cawan sendiri dan berkata sambil tertawa, “Nona
Cia, coba lihatlah benda apakah yang berada ditanganku ini?”
“Itukan secawan arak!” sahut Cia In rada tertegun.

300
“Benar, benda ini adalah secawan arak!” Yu Siau-lam
membenarkan seraya mengangguk “Aku lihat nona pun tidak
berjiwa besar!”
“Eeeeh….. Apa sangkut pautnya antara cawan arak ini
dengan kebesaran jiwaku?” kembali Cia Jin disaat tertegun
oleh perkataan dari si anak muda ini.
Yu Siau-lam tersenyum, ”Semula kuangkat cawan dengan
maksud mengucapkan beberapa kata yang enteng lalu baru
menghormati nona dengan secawan arak. Siapa tahu nona tak
pandai mengambil kesempatan itu untuk bergurau, malah
menegur aku berpandangan dan berjiwa sempit. Adik Cong-gi
segera menyambung pula dengan beberapa banyolan ternyata
kau menyindir pula. Coba lihatlah, bukankah yang pantas
dihukum adalah nona sendiri? Hayo, sekarang kau musti
dihukum dengan secawan arak!”
“Aaaah….. kalian jahat, kalian jahat semua!” seru Cia In
manja, “Aku tak mau kalau begitu, masa tiga orang laki-laki
gede bekerja sama untuk menganiaya seorang perempuan
macam aku….. kalian curang!”
“Haaa….. haaaa….. haa….. perkataan nona terlampau
serius!”
Yu Siau-lam tertawa terbahak-bahak, “Baiklah, kalau begitu
mulai sekarang kita kemukakan larangan, barang siapa mulai
dulu dengan kata-kata yang tak senonoh, maka dia harus
didenda tiga guci arak!”
“Aduuuh…. mak, aku tidak mau ikut!” Cia In menjerit keras,
“Aku sudah terbiasa hidup menjual tertawa menjual banyolan.
Menyambut orang she-Thio menghantar tuan she-Li sudah
menjadi kebiasaanku sehari-hari. Dan lagi kedatangan yaya
sekalian ke Gi-sim-wan toh untuk mencari hiburan dan

301
kesenangan. Sekalipun malam ini harus kulayani kalian sampai
mabok, mencari kegembiraan adalah soal paling penting. Jika
Yu-ya betul-betul perlakukan larangan itu, akulah yang
akhirnya bakal kesal. Tidak….. tidak mau….. Aku tidak mau
ikut”
“Sudah….. Sudahlah! Gurauan kita stop sampai disini saja,”
sela Hoa In-liong sambil tertawa, “Minum arak barulah urusan
kita yang paling penting.”
Menggunakan kesempatan itu Yu Siau-lam ikut memutar
haluan mengikuti hembusan angin. Cepat-cepat sambungnya,
“Betul! Betul! minum arak barulah urusan kita yang paling
penting! In ji ayoh penuhi cawan arak. Aku akan menghormati
nona kalian dengan secawan arak.”
Hakekatnya In-ji masih kecil. Ketika mendengar beberapa
orang ini cekcok dan bersilat lidah, dia hanya bisa
mendengarkan dengan muka tertegun, tentu saja diapun lupa
untuk menuang arak.
Sekarang setelah ditegur oleh Yu Siau-lam, dengan wajah
merah jengah ia baru sadar kembali dari lamunannya. Cepatcepat
dia mengangkat teko arak itu dan memenuhi cawan
kosong dari Cia In serta Hoa In-liong dengan wajah tersipusipu.
Maka barulah adegan lain yang tak kalah serunya, mereka
sambil membujuk sambil saling melotot, cawan tak pernah
lepas tangan, ternyata beberapa orang itu mulai minum arak
dengan bersungguh-sungguh.
Keempat orang itu sama-sama mempunyai takaran minum
arak yang besar sekali, setiap cawan yang disodorkan
kehadapannya segera diteguk hingga habis.

302
Cia In seperti akan mengucapkan sesuatu, tapi akhirnya
maksud itu dibatalkan, dia tahu kedatangan Hoa In-liong
sekalian mempunyai maksud-maksud tertentu. Tapi tindak
tanduk mereka yang minum arak terus macam orang yang
betul-betul datang untuk iseng, sangat mencengangkan
hatinya.
Entah beberapa puluh cawan sadah mereka minum, paras
muka Cia In telah berubah jadi merah seperti bunga tho.
Makin merah makin merangsang tampaknya, bikin hati orang
seperti dikilik-kilik.
Hanya Coa Cong-gi seorang yang selalu memikirkan tujuan
kedatangan mereka disana. Bebe-rapa kali dia ingin buka
suara, tapi selalu kuatir kalau perkataannya kurang cocok
sehingga dicemooh orang, saking gelisahnya dia sampai
garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
Beberapa kali dia mengerling ke arah Hoa In-liong dan Yu
Siau-lam memberi tanda namun baik Hoa In-liong maupun Yu
Siau-lam seakan-akan sama sekali tidak melihat kerlingan itu,
jangan toh menanggapi, menggubrispun tidak.
Keadaan tersebut ternyata tak lepas dari pengamatan Cia
In yang tajam. Sepasang alis matanya segera berkenyit, tapi
hanya sebentar saja dia sudah tersenyum kembali.
“Yu-ya sudah lama kita tak berjumpa!” katanya dengan
manja.
“Yaa…! Kalau dihitung hitung dengan jari, sudah hampir
tiga puluh hari lebih”
Cia In tersenyum manis. “Sepanjang perjalanan, ku selalu
merasa kesepian dan tiada berkawan, tahukah kau bahwa aku
selalu memikirkan engkau?”

303
Yu Siau-lam mengerutkan dahinya, sesaat kemudian dia
menjawab agak takabur, “Bila hati sudah bertemu dengan
hati, memang sepantasnya kalau nona Cia selalu teringat akan
diriku.”
“Kalau memang begitu….. kau….. kau..… Bagaimana kalau
kau tinggal disini saja!” bisik perempuan itu.
Selesai berkata kepalanya ditundukkan rendah-rendah,
sikapnya tersipu-sipu dan mukanya merah padam seperti
kepiting rebus.
Mendengar tawaran itu, Yu Siau-lam merasa amat
terperanjat. Ia jadi terbelalak dan gelagapan dibuatnya. “Soal
ini….. Aku rasa soal ini……”
Yu Siau-lam memang seorang yang suka bermain cinta,
apalagi kedatangannya kesitu adalah menyaru sebagai laki-laki
iseng yang mencari kesenangan akan tetapi ketika secara tibatiba
ia mendengar permintaan perempuan itu agar dia tinggal
disana, sedikit banyak kejadian itu diluar dugaannya. Ini
membuat jago muda kita jadi gelagapan setengah mati.
Masih mendingan kalau ia datang tanpa tujuan. Kini
maksud kedatangannya adalah untuk menyelidiki asal-usul
perempuan itu. Tidaklah heran kalau tawaran itu malahan
bikin jantungnya berdebar keras dan gelagapan dengan
sendirinya.
Tiba-tiba terdengar Coa Cong-gi memukul meja keras
sambil tertawa tergelak.
“Haaa….. haaa…… haaa….. Ada nona cantik yang bersedia
menemani tidur. Oooh.…. Saudara Siau-lam, aku lihat

304
rejekimu betul-betul amat besar. Aku rasa itulah yang
dinamakan orang kalau lagi Hok-kie…”
Jilid 9
MERAH padam selembar wajah Yu Siau-lam karena jengah,
dengan gelisah ia lantas membentak. “Cong-gi te, kau jangan
sembarangan berbicara”
”Siapa bilang aku sedang berbicara sembarangan…..?” Coa
Cong-gi mengerutkan dahinya rapat-rapat, “haa… haa…..
haa….. perpisahan yang terlampau lama kadangkala memang
memberi kemesraan bagaikan pengantin baru, aku lihat….
heee…. heee….. heee….. Saudara Siau-lam, kau tak usah
pura-pura berlagak pilon lagi”
Tampaknya jago muda yang berwatak berangasan ini
sudah lama menyimpan rasa mendongkolnya atas sikap Hoa
In-liong serta Yu Siau-lam yang selalu membicarakan soal-soal
tetek bengek yang sama sekali tak ada gunanya, maka dia
menggunakan kesempatan yang sangat baik itu untuk
menyindir rekan-rekannya.
Yu Siau-lam jadi mendongkol bercampur penasaran oleh
perkataan itu. ia tuding rekannya sambil berseru tergagap.
“Kau… kau…..”
Tiba-tiba sinar matanya membentur wajah Hoa In-liong
yang masih duduk dengan senyum dikulum. Sontak saja satu
ingatan melintas dalam benaknya, sekuat tenaga dia
mengendalikan rasa mangkel dalam hatinya, kemudian sambil
berpaling kembali ke arah Cia In, katanya lagi sambil tertawa
lebar, “’Wah….. Nona Cia, aku lihat engkau memang suka
sekali memutarbalikkan perkataanmu”.

305
“Eeeh….. Yu-ya, Apa maksud perkataanmu itu?” Cia In
pura-pura tertegun.
“Haaa….. haa….. haa….. Bukankah engkau telah berkata
bahwa gua kuno sudah tertutup. Kalau mau terpikat, pergilah
terpikat sendiri”
Ia terbahak-bahak, setelah berhenti sejenak sambungnya
lebih jauh, “Haaa….. haa… haa… Aku tahu kalau nona sudah
mempunyai sahabat baru dan hatimu sudah ada yang punya.
Asal aku orang she-Yu masih kebagian sedikit saja cintamu,
aku sudah merasa puas sekali!”
Hoa In-liong tertawa nyaring tiba-tiba menyela, “Eeeh….
Saudara Siau-lam, yang kau maksudkan sehabat-sahabat baru
itu apakah diri siaute?”
Yu Siau-lam ikut tertawa. “Saudara In-liong romantis dan
gagah perkasa, sedang nona Cia adalah seorang perempuan
sakti yang luar biasa. Siapakah sahabat baru nona itu
masakah musti siaute terangkan lebih terperinci?”
“Haaa….. haaa… haa….” Hoa In-liong segera tertawa
terbahak-bahak, “Saudara Siau-lam, mempunyai roman muka
yang gagah, mempunyai tindak tanduk yang supel, apalagi
merupakan tamu kehormatan dari nona Cia, haaa….. haa…..
siaute tak berani dianggap sebagai sahabat karibnya kuatir
ada yang cemburu!”
Yu Siau-lam segera berpaling ke arah Cia In, sambil
menuding perempuan itu katanya pula, “Kau tidak percaya?
Kenapa tidak tanyakan sendiri kepadanya? Sudah bertahuntahun
lamanya aku berkenalan dengannya, tapi kapankah aku
pernah dipersilahkan masuk pintu gerbangnya? Kata-kata
tamu terhormat sudah tidak cocok lagi untukku, eeeh…..

306
Saudara In-liong, aku saja telah bersedia mengalah, mengapa
kau masih juga berusaha unjuk menampik kesempatan baik
ini?”
Hoa In-liong sengaja menunjukkan sikap seperti monyet
kepanasan. Sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal
dia berpaling ke arah perempuan itu, ditatapnya wajah Cia In
dengan sinar mata berkedip, kemudian tanyanya sambil
tertawa cengar-cengir, “Nona Cia sungguhkah ini?”
Sebenarnya saat inilah merupakan kesempatan yang
sangat baik bagi mereka untuk membawa pembicaraan
kepokok persoalan yang sebenarnya.
Asal Yu Siau lam segera menyambung pembicaraan itu
dengan kata-kata- “Kalau tidak sungguh2 buat apa nona Cia
harus bersusah payah menangkap dirimu ribuan li jauhnya
datang ke kota Kim-leng?” Niscaya Cia In akan terperangkap
oleh pembicaraan tersebut dan terseret untuk
mengungkapkan alasan-alasan serta sebab musababnya yang
sebetulnya.
Sayang Yu Siau-lam tidak berbuat demikian, terpaksa Hoa
In-liong pun melanjutkan sandiwaranya dengan mengedipkan
matanya seperti monyet kepanasan.
Begitulah, dua orang pemuda ini saling memberi umpan
untuk menjebak lawan. Sementara diluaran mereka berbicara
kesana kemari seakan-akan sudah melupakan sama sekali
akan tujuan kedatangan mereka yang sebenarnya ke sana.
Coa Cong-gi yang selalu tak mau berpikir dengan
menggunakan otaknya jadi gusar dan mendongkol sekali oleh
tingkah laku kedua orang rekannya, tiba-tiba dia memukul
meja keras-keras, kemudian teriaknya marah-marah, “Sudah,
kau tak usah banyak bertanya lagi, mau tinggal disini kau

307
boleh saja menginap dirumah ini. Hmmm……! Ternyata
engkau adalah manusia semacam ini, hitung-hitung anggap
saja aku Coa Cong-gi mempunyai mata tak berbiji sehingga
tak dapat menilai kepribadianmu yang bobrok dan amoral itu!”
Sambil melampiaskan rasa dongkol dan marahnya, pemuda
berangasan itu segera bangkit berdiri dan berjalan menuju ke
pintu depan.
Hoa In-liong masih tetap tenang dan sama sekali tak
berkutik, sedangkan Yu Siau-lam jadi panik sekali, dia segera
membentak nyaring, “Kembali!”
Coa Cong-gi sama sekali tidak berhenti, dia hanya berkata
lagi dengan dingin, “Mau apa kembali kesitu? Hmmm, jika
engkau pun terpikat oleh kecantikan wajahnya, silahkan tetap
tinggal disini… Dasar sama-sama cabulnya”.
Tiba-tiba terdengar Cia In menghela napas panjang.
“Aaaaaai….. Hoa kongcu, aku benar-benar merasa takluk
kepadamu!” katanya.
Helaan napas yang datang tanpa dikemudian asal mulanya
jauh diluar dugaan siapapun. Coa Cong-gi segera merasa
hatinya bergerak, tanpa sadar ia putar badannya sambil
bertanya, “Eeeh…. kenapa kau takluk kepadanya?”
“Yaaa…. takluk oleh ketenangannya serta kemampuannya
untuk mengendalikan diri”.
“Ketenangan dan kemampuannya mengendalikan diri?” Coa
Cong-gi mengerutkan alisnya rapat-rapat.
“Benar, ketenangannya jauh melebihi ketenangan kalian
berdua. Apalagi kemampuannya untuk mengendalikan diri,

308
kalian masih kalah jauh di bandingkan dengan dirinya.
Silahkan engkau kembali kedalam ruangan!” bisik Cia In
dengan murung.
Coa Cong-gi mengedipkan matanya berulang kali. Tanpa
sadar dengan wajah tercengang dan tidak habis mengerti,
selangkah demi selangkah, diapun masuk kembali kedalam
ruangan.
Tiba-tiba dilihatnya Hoa In-liong juga bangkit, sambil
menjura kepada nona itu, lalu sambil tersenyum katanya,
“Nona Cia… akupun merasa takluk kepadamu, takluk oleh
kecerdasan otakmu…..!”
Cia In tertawa getir, “Apa gunanya kecerdikan? Toh
akhirnya aku tak dapat mengendalikan jaga perasaanku
sendiri” katanya lirih.
Sekali lagi Hoa In-liong tertawa. “Apa gunanya kita
membicarakan persoalan tetek bengek yang sama sekali tak
ada gunanya itu? Diam-diam aku telah mengerahkan tenaga
dalamku untuk memeriksa daerah disekitar tempat ini. Aku
tahu dalam wilayah seluas tiga puluh kaki tak ada orang yang
mencuri dengar pembicaraan kita. Nona Cia! Apabila engkau
tidak menginginkan pembicaraan tersebut dilangsungkan
diatas pembaringan sambil berbisik-bisik lirih, silahkan kau
utarakan saja saat ini secara blak-blakan!”
Sampai detik ini Coa Cong-gi baru mengerti apa gerangan
yang sebenarnya telah terjadi, dia lantas berteriak keras,
“Ooooh…… Sekarang aku mengerti sudah, rupanya kau…..
haaa…. Haa…. Haa… ….Lote! Aku Coa Cong-gi ikut takluk
benar-benar kepadamu!”

309
Diantara gelak tertawanya yang amat nyaring seperti suara
geledek, dia masuk kembali kedalam ruangan, dan langsung
duduk kembali diatas kursinya semula.
Terdengar Cia In menghela napas lagi. “Aaaaaai…. Dia
menginginkan aku berbicara sendiri peristiwa itu tanpa
paksaan. Dengan demikian maka bila usahanya yang pertama
tidak berhasil, lain kali dia masih bisa datang kemari untuk
kedua kalinya. Yaaa….…. kalau kulihat dari sikap kalian ini,
tampaknya kamu semua sudah menaruh kecurigaan terhadap
rumah pelacuran Gi-sim-wan kami ini….!”
Hoa In-liong hanya tersenyum belaka, mulutnya tetap
membungkam tanpa memberi komentar apa-apa.
Setelah berhenti sejenak, tiba-tiba Cia In berkata lebih
jauh, “Apa yang pernah diucapkan guruku ternyata memang
benar. Keturunan dari keluarga Hoa bukan manusia
sembarangan. Mereka pasti terdiri dari manusia-manusia
hebat. Setelah aku berbuat secara gegabah kali ini, tampaknya
usaha yang telah kami bangun dengan susah payah selama
ini, tak bisa dipertahankan lebih lanjut”.
Hoa In-liong merasakan batinya bergetar keras, tak kuasa
lagi dia bertanya, “Ooooh….. jadi tempat ini adalah hasil dari
usaha kalian selama bertahun-tahun. Siapakah gurumu?”
Cia In mengangguk tanda membenarkan. “Guruku she-Pui
bernama Che-giok!” sahutnya.
“Pui Che-giok?” bisik Hoa In-liong dengan sepasang alis
matanya berkenyit.
Sekali lagi Cia In mengangguk. “Benar, guruku bernama Pui
Che-giok! Beliau adalah adik angkat diri Giok Teng hujin. Ilmu
silat yang dimilikinya adalah warisan dari Giok Teng hujin

310
juga. Oleh karena itu kalau dihitung-hitung maka akupun
terhitung anak murid dari perguruan Giok Teng hujin. Hoa
kongcu tentunya engkau mengenal diri Giok Teng hujin
bukan?”
Pucuk dicinta ulam tiba, begitulah keadaan Hoa In-liong
pada saat itu. Kalau ingin dicari susahnya sampai sepatu jadi
bobrokpun belum ketemu juga, tapi kalau sudah ditemukan
paling paling yaa cuma begitu. Tak terkirakan rasa gembira
anak muda itu setelah mendengar ucapan tersebut. Hanya dia
memang pandai membawa diri, sekalipun dihati rasa
girangnya meluap-luap, namun diluaran dia tetap bersikap
wajar. “Ooooh, jadi nona Cia adalah anak murid dari Giok
Teng hujin! ” katanya tenang, “Lantas pada saat ini Giok Teng
hujin sendiri berada dimana?”
“Aaaai…. aku dengar dia sudah berpulang ke alam baka!”
jawab Cia In dengan sedih.
Didengar dan nada perkataan itu, dapat dilihat betapa
sedih dan kesalnya perempuan tersebut.
Hoa In-liong pandai melihat perubahan wajah orang, ketika
menyaksikan mimik wajahnya, diam-diam dia berpikir, “Macam
apakah manusia yang bernama Giok Teng hujin itu?
Tampaknya Cia In sendiripun kurang begitu kenal dengan
perempuan tersebut. Tapi kenapa wajahnya kelihatan begitu
murung dan sedih sekali….?”.
Dalam hati dia berpikir demikian diluarim segera tanyanya
kembali dengan lembut, “Sudah berapa lama Giok Teng hujin
kembali ke alam baka? Apakah kau pernah berjumpa
dengannya?”
Cia In menggeleng dan menghela napas panjang, murung
dan sedih sekali mukanya. “Dahulu aku memang pernah

311
berjumpa dengar Giok Teng hujin, tapi itu sudah berlangsung
lima belas tahun berselang. Kecantikan wajahnya luar biasa,
lagi pula sikapnya lemah lembut, penuh daya tarik dan
simpatik sekali….”
“Ooooh…. lalu….. lalu…… dari siapa kau mendengar
tentang meninggalnya Giok Teng hujin dia orang tua?” tukas
Hoa In-liong kemudian.
“Aku mendengar dari cerita guruku, jadi aku pikir hal ini tak
mungkin palsu!”
“Sekarang, gurumu ada dimana? Apakah kau bisa undang
dia orang tua datang kemari?”
Cia In gelengkan kepalanya berulang kali. “Semula guruku
memang berdiam ditempat ini, tapi dia sekarang telah pergi
meninggalkan tempat ini” sahutnya.
“Sudah pergi? Kenapa dia meninggalkan tempat ini?” desak
anak muda itu lebih jauh.
“Aaaaai….! Kesemuanya ini! adalah akibat aku telah salah
melakukan pekerjaan. Tidak sepantasnya kalau kubawa
kongcu datang ke kota Kim Leng ini”.
“Ooooh….! Jadi maksudmu, gurumu segan atau tidak
bersedia untuk bertemu dengan aku?”
“Salah satu penyebabnya memang guruku tak ingin
berjumpa dengan dirimu…..” jawab Cia In sedih, “Tapi yang
terpenting adalah dia kuatir bila usaha yang berhasil kita
bangun dengan susah payah selama banyak tahun ini tak
dapat dipertahankan lagi rahasianya, maka guruku akan pergi
ke tempat lain untuk membuat rencana berikutnya!”

312
“Nona Cia, selama ini kau selalu menyinggung tentang tak
dapat dipertahankannya usaha kalian selama banyak tahun,
ada satu hal yang rasanya kurang enak bila tak kutanyakan
kepadamu. Tolong tanya nona, apakah gurumu telah
mendirikan sebuah perkumpulan atau suatu organisasi besar
dalam dunia persilatan?” tiba-tiba Yu Siau-lam menimbrung
dari samping dengan penuh antusias.
Sementara itu Hoa In-liong sendiripun diam-diam sedang
berpikir dengan perasaan tidak habis mengerti. “Aneh…
kejadian ini betul-betul sangat aneh. Padahal aku sama sekali
tidak kenal dengan gurunya itu, tapi kenapa gurunya tidak
bersedia untuk berjumpa dengan aku?. Aaaah….. benar! Dia
tadi bilang kalau gurunya adalah saudara angkatnya Giok
Teng hujin. Kalau Giok Teng hujin telah meninggalkan dunia
yang
fana ini, dus adalah tanda pengenal nyonya itu sudah
terjatuh ke tangan gurunya. Haaa… haa….. haa….. Jadi kalau
urusan ini dihubungkan satu sama lainnya, delapan puluh
persen terbunuhnya Suma siok-ya berdua ada sangkut
pautnya dengan perempuan she-Pui tersebut. Aku harus
mencari kesempatan yang baik menyelidiki latar belakang dari
peristiwa tersebut….”
Dalam pada itu Cia In telah mengangguk tanda
membenarkan pertanyaan dari Yu Siau-lam. “Benar!”
Demikian ia berkata, “Dengan hadirnya Hoa kongcu disini,
rasanya akupun tak mungkin akan merahasiakan persoalan ini
lebih jauh. Yaaa memang, guruku telah mendirikan suatu
perkumpulan dan perkumpulan itu kami namakan
perkumpulan Cha-li-kau (kumpulan nona-nona), cuma
saja….…….”
Tiba-tiba dia membungkam.

313
Sementara itu Hoa In-liong sudah mempunyai rencana
yang cukup matang untuk mengatasi masalah pelik yang
sedang dihadapi. Ketika mendengar perkataan itu dia lantas
tertawa nyaring. “Haa…… haa….. haa…… Perkumpulan Cha-likau
maksudmu?” tukasnya, “Apakah perkumpulan itu adalah
sebuah perkumpulan sesat yang khusus memikat hati orang
dengan kecantikan wajah perempuan?”
“Eceeh….. Hoa kongcu, kau tidak boleh menuduh orang
dengan kata yang bukan-bukan!” seru Cia In dengan panik.
“Kenapa? Memangnya aku sudah salah berbiara atau
mungkin ada soal lain dibalik kesemuanya itu?”
Dengan sedih Cia In menjawab, “Sebenarnya guruku
memang mempunyai tujuan tertentu, dia ingin…… dia
ingin……”
“Haaa….. haaa…… haa……. Dia ingin apa?” seru Hoa Inliong
terbahak-bahak. “Eeeh, kenapa tidak kau lanjutkan
perkataanmu lebih jauh?”
Cia In menggerakkan bibirnya seperti mau mengatakan
sesuatu, tapi sesaat kemudian dia telah membatalkan niatnya
itu.
Untuk sesaat suasana jadi hening, tiba-tiba ia berkata lagi
dengan wajah serius. “Hoa kongcu, maafkanlah aku.
Hakekatnya apa yang kuketahui adalah sangat terbatas dan
apa yang bisa kukatakan juga hanya melulu sampai disini saja.
Pokoknya sekalipun perkumpulan Cha-li-kau mengandalkan
kecantikan paras muka kaum dara, namun kami bukanlah
perkumpulan sesat seperti apa yang kau duga. Yang paling
penting tujuan kami adalah membantu keluarga Hoa kalian.
Maka percaya atau tidak dengan perkataanku ini terserah
padamu sendiri. Hanya aku berharap untuk sementara waktu

314
simpanlah rahasia ini baik-baik dan janganlah kau siarkan
tentang semua peristiwa ini ke dunia luar”
“Oooh…… tujuan perkumpulan kalian adalah membantu
keluarga Hoa kami?” jengek Hoa In-liong sinis. “Haa…..
haaa….. haaa…… Andaikata keluarga Hoa kami harus minta
bantuan dari kaum perempuan…….”
Belum habis ia berkata Cia In sudah menatap wajah anak
muda itu tajam-tajam, kemudian tukasnya dengan suara
dalam, “Hati-hatilah, kalau mau bicara! Hoa kongcu
memangnya kau lupa bahwa nenekmu adalah seorang
perempuan? Memangnya kau lupa kalau kedua orang ibumu
juga pendekar perempuan? Apakah kau lupa andaikata dimasa
lampau ayahmu tidak mendapat bantuan dari Giok Teng hujin,
maka dia tak akan mempunyai kesuksesan seperti yang
dimilikinya sekarang….? Hoa kong cu…..”
Perempuan itu seperti akan mengucapkan sesuatu lagi tibatiba
suara In-ji telah menukas, “Suci, kau……”
Seperti baru sadar bahwa dia telah salah berbicara, paras
muka Cia In berubah hebat, sekujur badannya ikut bergetar
keras, cepat-cepat ia tundukkan kepalanya dengan sedih.
“Hoa-kongcu, maafkanlah kesilafanku, harap kau jangan
marah atau tersinggung oleh kata-kata yang barusan
kuutarakan!”
Hoa In-liong bukan seorang pemuda yang bodoh, sudah
tentu dia tahu bahwa keadaan yang dihadapinya sekarang
bukan suatu keadaan yang sederhana atau biasa saja.
Mendingan kalau begitu mengetahui latar belakang semua
peristiwa yang pernah terjadi di masa lampau. Saat ini boleh
dibilang dia buta sama sekali atas peristiwa-peristiwa itu,
maka setelah mendengar pembicaraan itu, dia lantas

315
menyusun rencana lebih jauh.
Maka ketika Cia In minta maaf diapun tidak banyak bicara
atau menyinggung kembali urusan itu. Ditatapnya perempuan
tersebut tajam-tajam, kemudian ujarnya dengan dingin, “Kau
silaf atau tidak aku tak mau tahu. Baik bicaramu betul atau
tidak akupun tak ambil pusing. Pokoknya hanya ada satu
keinginan dalam hatiku. Sekarang, aku ingin berjumpa dengan
gurumu dan aku harap nona bisa bantu aku mempersiapkan
pertemuan itu!”
Cepat-cepat Cia In menggelengkan kepalanya, “Maafkanlah
daku Hoa kongcu. Aku betul-betul tak mempunyai
kemampuan untuk memenuhi kehendak hatimu itu. Aku tak
mungkin bisa aturkan pertemuan bagimu dengan guruku!”
Hoa In-liong mendengus dingin. “Tidak bisa? Hmmm, bisa
atau tidak aku tak akan ambil pusing. Pokoknya
bagaimanapun jaga pertemukan ini harus bisa terselenggara”
Melihat ketegasan si anak muda itu, tiba-tiba Cia In
menghela napas panjang. “Aaaai….. Tampaknya dugaan
guruku memang
tidak meleset, tentunya kongcu menaruh curiga bukan
bahwa pembunuh yang telah mencelakai ji-wa Suma tayhiap
adalah guruku?”
“Benar dia yang berbuat atau bukan, aku rasa gurumu jauh
lebih jelas dari pada siapapun jua, nona Cia tak usah pusingpusing
memikirkan persoalanmu. Tugasmu sekarang hanya
mengaturkan pertemuan antara diriku dengan gurumu dan itu
sudah lebih dari cukup”

316
“Kongcu, kau keliru besar, keliru besar!” Cia In gelengkan
kepalanya berulang kali, “Peristiwa berdarah yang menimpa
keluarga Suma, sama sekali tak ada sangkut pautnya dengan
guruku. Percayalah Hoa kongcu, tak nanti kami akan
membohongi dirimu!”
“Nona Cia!” Hoa In-liong segera menukas pula dengan
suara dalam, “Terus terang pula kukatakan kepadamu, si
pembunuh yang berhati keji itu telah meninggalkan sebuah
hiolo kecil berwarna hijau kumala selesai melakukan
pembunuhan brutal itu dan hiolo kecil yang terbuat dari batu
kemala hijau itu tak lain adalah tanda pengenal dari Giok Teng
hujin. Kalau toh Giok Teng hujin benar-benar telah
meninggalkan dunia yang fana ini, maka itu berani gurumu
yang paling dicurigai. Siapa tahu kalau dia benar-benar terlibat
dalam peristiwa berdarah itu? Coba bayangkan sendiri,
seandainya gurumu tiada sangkut pautnya dengan peristiwa
berdarah itu, mengapa ia berusaha untuk menghindarkan diri
dari pertemuannya dengan aku? Nona Cia, aku bukan seorang
manusia kasar yang tidak memakai aturan, sekalipun demikian
akupun tidak sudi mendengar segala pembelaan yang
bertujuan menyangkal tanggung jawab itu tanpa disertai
dengan alasan yang cukup kuat!”
“Hoa kongcu, aku tidak melakukan pembelaan ataupun
melakukan sangkalan yang tanpa disertai alasan yang tepat,
tapi pada hakekatnya apa yang kuucapkan adalah kenyataan
yang sebenarnya!” bantah Cia In lagi dengan sengit.
“Kalau engkau mengatakan bahwa apa yang kau ucapkan
adalah suatu kenyataan, tolong berilah bukti yang kuat
kepadaku, apakah nona dapat mencarikan suatu bukti yang
cukup kuat yang menunjukkan bahwa garumu benar-benar
tidak terlibat dalam peristiwa berdarah itu? Bisa…..?
Bisa………? Ayoh jawab!” desak Hoa In-liong ketus.

317
Mendengar perkataan itu Cia In tertegun. Untuk sesaat ia
tak sanggup mengucapkan sepatah katapun.
Melihat gadis itu terbungkam tanpa berkata-kata, Hoa Inliong
segera berkata lebih lanjut, “Sudahlah nona kunasehati
dirimu lebih baik tak usah bersilat lidah dengan percuma.
Ingat kau anggap karena aku ingin berjumpa dengan gurumu,
maka aku lantas memvonis bahwa gurumu itulah pembunuh
gadis atau paling sedikit otak dari pembunuhan itu. Tidak! Aku
tak akan menuduh yang bukan-bukan tanpa disertai bukti
yang nyata. Akupun tidak memastikan bahwa gurumu itulah si
pembunuh atau si otak yang mendalangi peristiwa berdarah
itu. Aku hanya ingin bertanya kepadanya, mengapa ia tak mau
berjumpa dengan aku, bila dia mempunyai alasannya, maka
aku ingin mendengar apa alasannya itu!”
Cia In membuka bibirnya lebar-lebar seperti hendak
mengucapkan sesuatu, tapi sesaat kemudian ia batalkan
niatnya itu, gadis itu termangu-mangu seperti orang bodoh.
Lama sekali…. Entah berapa lama sudah lewat akhirnya dia
menghela nafas panjang, “Aaaai…. Hoa kongcu, terus terang
kuberi tahu kepadamu, guruku telah meninggalkan kota Kimleng.
Sekalipun kusanggupi permintaan kongcu untuk
mengaturkan pertemuan dengan beliau, sayang aku ada
kemauan tak mempunyai tenaga, maafkanlah daku!”
Tiba-tiba Hoa In-liong jadi berang, matanya jadi merah
melotot besar, mukanya menyeringai seram, dengan suara
keras dia membentak, “Nona Cia, tampaknya baik-baik
kutawarkan arak kehormatan kau tolak pemberianku itu,
Hmm! Jika kau memang lebih suka mencari arak hukuman
heee…… hee…… heee… Baik….! Baik…..! Jangan salahkan
kalau aku akan menggunakan kekerasan untuk memaksa
engkau!”

318
Pada saat ini sinar matanya yang memancar keluar benarbenar
tajam dan mendatangkan rasa bergidik bagi siapapun
yang melihatnya. Ditambah lagi mukanya yang menyeringai
dengan otot otot hijau pada menongol keluar semua, siapapun
akan tahu bahwa kemarahan yang berkobar dalam dada si
anak muda itu benar-benar sudah mencapai pada puncaknya.
Yu-Siau-lam selama ini banyak berdiam diri sambil
mengikuti jalannya pembicaraan itu. Akhirnya ketika ia
mengetahui bahwa rekannya sungguh-sungguh telah naik
darah, cepat ujarnya dengan cemas dari samping, “Saudara
Hoa, harap bersabar dulu? Tenangkanlah perasaanmu dan
jangan mengumbar emosi…. Tenang! Tenang….! Mungkin
juga apa yang barusan dikatakan nona Cia dapat kita percayai.
Sabarlah dulu, urusan kan bisa dirundingkan secara baik-baik!”
Hoa In-liong berusaha mengendalikan hawa amarah yang
berkobar dalam dadanya pelan-pelan dialihkan sinar matanya,
lalu dengan tak sabaran tanyanya, “Ooooh….. jadi kau percaya
dengan semua obrolan dan pembicaraannya tadi…..?”
Yu-Siau-lam segera mengangguk. “Aku rasa mungkin juga
gurunya memang benar-benar telah meninggalkan kota Kimleng,
apa salahnya kalau kita mempercayai pernyataannya
ini?”
“Ooooh…..” Hoa In-liong tertegun untuk sesaat. Rupanya ia
tidak habis mengerti dengan perkataan rekannya itu, “Dengan
alasan apa saudara Siau-lam bisa berkata demikian”
“Alasannya memang tak ada, cuma entah bagaimana siaute
merasa bahwa ucapnya memang benar!”
“Bagaimana perasaan saudara Siau-lam itu? Apakah dapat
kau terangkan lebih terperinci?”

319
“Bila kutinjau dari pembicaraan yang selama ini
berlangsung antara nona Cia dengan dirimu, aku lihat sikap,
tindak tanduk maupun caranya berbicara seakan-akan
menaruh perhatian khusus kepada Hoa-heng dan perhatian itu
mirip sekali dengan suatu rasa kagum dan hormat yang amat
besar. Bahkan aku lihat apa yang dapat dia katakanpun
semuanya telah dia utarakan keluar. Misalkan saja soal
perkumpulan Cha-li-kau yang didirikan oleh gurunya,
bukankah hal ini merupakan suatu rahasia besar bagi
perkumpulan mereka? Tadi karena Hoa-heng hadir disini,
maka tanpa ledeng aling-aling diungkapnya juga persoalan itu.
Maka bila kita tinjau dari keadaan tersebut, dapat kita tarik
kesimpulan bahwa gurunya memang benar-benar telah
meninggalkan kota Kim-leng. Cuma ada satu hal yang masih
kuherankan, yaitu mengapa setiap kali membicarakan
persoalan yang selalu nona Cia bicara berbelit-belit atau
tergagap, aku tidak mengerti mengapa dia bisa begini, apakah
kalian tahu?”
“Aaah….. Memang masuk di akal, sekarang aku dapat
memahami duduknya persoalan ini!” tiba-tiba Coa Cong-gi
yang selama ini membungkam berteriak keras.
“Apa yang kau pahami?” Hoa In-liong berpaling dengan
sepasang alis berkenyit.
Wajah Coa Cong-gi tampak berseri-seri, katanya dengan
kalem, “Apa lagi yang kupahami? Tentu saja tentang gurunya
nona Cia ini! Aku tahu, gurunya menghindari dirimu bukan
lantaran ia terlihat dalam peristiwa berdarah atas diri Suma
tayhiap!”
“Engkau punya bukti?” tanya Hoa In-liong dengan, jantung
berdebar keras.

320
“Kenapa musti mencari bukti? Toh asal alasannya bisa
diterima dengan akal itu lebih dari cukup? Coba bayangkan
sendiri, seandainya gurunya memang benar-benar terlibat
dalam peristiwa berdarah yang menimpa keluarga Suma, apa
gunanya nona Cia mengakui asal usul perguruannya? Jika
mereka terlibat bukankah mengakui asal-usul perguruannya
sama artinya mencari kesulitan buat diri sendiri? Betul tidak?
Karena itu jadi agak yakin kalau gurunya nona Cia pada
hakekatnya memang tidak terlibat dalam peristiwa berdarah
itu!”
Memang kalau dipikir beberapa patah kata itu sederhana
sekali kedengarannya, tapi justru ucapan yang amat
sederhana itu mempunyai alasan yang kuat sekali.
Hoa In-liong kontan terbungkam tak mampu melanjutkan
kembali kata-katanya. Untuk sesaat dia cuma bisa duduk
tertegun sambil memutar biji matanya.
Cia In segera tertawa lebat, agak lega juga hatinya setelah
mendengar perkataan itu. “Terima kasih banyak Coa kongcu
atas bantuanmu, kau telah bantu aku melepaskan diri dari
kesulitan!” serunya.
Coa Cong-gi terlampau jujur dan polos, ketika nona itu
berterima kasih kepadanya, cepat dia go-yangkan tangannya
berulang kali, “Jangan…. jangan….! Kau tak usah berterima
kasih kepadaku, terus terang saja persoalan yang tidak
kupahami mungkin jauh lebih banyak daripada kalian semua!”
Untuk sementara waktu suasana jadi hening. Hoa In-liong
segera terjerumus dalam pemikiran sendiri, tampaknya
perkataan dari Yu Siau-lam dan Coa Cong-gi barusan telah
memberi reaksi dalam benaknya.

321
Sikap Cia In pada saat ini jauh lebih santai dan lega.
Senyum dan suara tertawanya kedengaran jauh lebih merdu
dan enak didengar.
Ketika mendengar ucapan dari Coa Cong-gi tadi, serta
merta dia berkata sambil bertanya, “Kau masih ada beberapa
persoalan yang merasa kurang jelas? Kenapa tidak kau
tanyakan kepadaku? Asal aku mengetahuinya, pasti akan
kuberikan jawaban yang selengkap-lengkapnya., tanggung tak
akan membuat Coa kongcu jadi kecewa”
“Sungguhkah itu?” mencorong sinar tajam dari mata Coa
Cong-gi, “Kalau begitu aku ingin bertanya kepadamu, apa
sebabnya kau culik Hoa lote dan membawanya ke kota Kimleng?”
Sudah lama pertanyaan ini terpendam dalam hatinya, dan
selama ini dia selalu berharap-harap Yu Siau-lam atau Hoa Inliong
lah yang mengajukan pertanyaan tersebut. Siapa tahu
kedua orang itu justru tak pernah mengajukan pertanyaan itu,
seakan-akan kedua orang itu sudah lupa dengan persoalan itu.
Maka ketika ada kesempatan baginya serta-merta pertanyaan
itulah yang pertama-tama diajukan.
Sebagai seorang pemuda polos yang lebih suka berbicara
blak-blakan, semua pertanyaan yang ingin diajukan selalu
diutarakan tanpa tedeng aling-aling. Ia merasa hanya
berbicara secara berterus teranglah dapat membuat pikiran
maupun perasaannya jadi lega.
Sampai matipun Cia In tidak menyangka kalau pertanyaan
itulah yang bakal diajukan kepadanya. Untuk sesaat dia jadi
tertegun, gelagapan dan tak mampu berkata-kata.
Menyaksikan sikap perempuan itu, Coa Cong-gi merasa tak
senang hati. Sinar matanya berkilat tajam, segera teriaknya

322
dengan suara lantang, “Eeeh…. kenapa sih kamu jadi orang
sukanya berbicara mencla-mencle? Bukankah kau mengatakan
akan menjawab semua pertanyaanku? Tapi bagaimana
buktinya sekarang? Baru saja kuajukan pertanyaanku yang
pertama kau sudah tak mampu menjawab. Huuuh… atau
mungkin engkau memang sengaja sedang ajak aku
bergurau?”
Merah padam selembar wajah Cia In karena jengah. Dia
semakin gelagapan, apalagi berhadapan muka dengari
pemuda polos yang lebih suka bicara blak-blakan, sindiran
yang terasa amal pedas itu menyinggung perasaan halusnya.
“Aku……. aku……. aku…..”
Saking gugupnya, nona itu hanya bisa mengulangi kata
“aku” sampai beberapa kali, kecuali itu tiada perkataan lain
yang diucapkan.
Tiba-tiba In-ji tertawa cekikikan. “Hiiih… hiih…… hiii….. Coa
kongcu, suciku sangat menaruh perhatian kepada Hoa kongcu
dan perhatian itu rupanya telah berubah menjadi cinta.
Kenapa sih kau memaksanya terus untuk menjawab
pertanyaanmu itu?”
Ketika perkataan tersehat diucapkan keluar, Cia In
tundukkan kepalanya rendah-rendah sikapnya tersipu-sipu
seperti orang malu.
Sebaliknya Coa Cong-gi tertegun, dia termangu-mangu
seperti orang bodoh dan tak mampu me-ngucapkan sepatah
katapun.
Suasana hening untuk sesaat tiba-tiba terdengar Hoa Inliong
mendengus dingin. “Hmmm! Budak cilik, pandai amat
engkau mengucapkan kata-kata indah yang menyesatkan

323
pikiran orang, memangnya kau anggap aku orang she-Hoa
percaya dongan omongan setanmu?”
“Eeeh…. eehhh…. siapa yang lagi ngomong setan?” In-ji
kelihatan semakin gelisah, “Kalau engkau tidak percaya,
kenapa tidak kau tanyakan langsung kepada kakak
seperguruanku? Hmmmm! buka mulut lantas memaki orang….
aduuuuh mak, gayanya! Hebat benar….”
Merah padam selembar wajah Hoa In-liong. Perkataan itu
sangat mengena dalam hatinya. Mesti demikian mukanya
tetap kaku dan dingin, katanya dengan ketus, “Aku mau
bertanya kepadamu, apa yang dimaksudkan dengan sebagai
manusia haruslah banyak melakukan kewajiban? Bukankah
ucapan ini kau yang ucapkan?”
“Kalau memang aku yang bicara, lantas kenapa?” teriak Inji
dengan garang, tiba-tiba matanya melotot besar, mukanya
merah dan tangannya bertolak pinggang.
“In-ji, kurangilah mulut usilmu itu….” tiba-tiba Cia In
menengadah dan berseru dengan hati gelisah.
In-ji mengenyitkan hidungnya, sekalipun sudah dihalangi
oleh kakak seperguruannya namun sikapnya masih tetap
garang. “Huuuh… siapa suruh dia kasar sekali kalau bicara,
sungguh menjengkelkan!”
Cia In menghela napas sedih, “Aaaai….! Bagaimanapun
juga suhu toh sudah menurunkan larangannya bagi kita untuk
melakukan hubungan lagi dengan orang-orang dari keluarga
Hoa. Sekalipun banyak bicara dan bersilat lidah sampai pagi
juga tak ada gunanya, buat apa kau musti mangkel dan
meraba mendongkol karena soal sepele?”

324
Berbicara sampai disitu dia berhenti sebentar. Pelan-pelan
sinar matanya dialihkan keatas wajah Hoa In-liong, kemudian
sambungnya lebih jauh dengan muka serius, “Hoa kongcu,
janganlah kau anggap aku adalah seorang perempuan rendah
yang tak tahu malu. Setelah urusan berkembang jadi begini,
mau tak mau aku harus berbicara juga dengan terus terang,
agar kaupun tak menaruh curiga terus menerus terhadap
kami. Coba bayangkanlah sendiri, dengan paras mukamu yang
tampan, dengan kedudukan keluarga Hoa kalian yang tersohor
dan terhormat, perempuan mana yang tak ingin berhasil
menggaet hatimu? Yaaa, memang aku mempunyai maksudmaksud
pribadi sewaktu menculik kongcu datang ke kota Kimleng
ini. Untunglah kejadian itu sudah lewat, jadi rasanya aku
pun tak usah merahasiakan kejadian ini lagi dihadapanmu”.
Sepasang matanya mulai berkaca-kaca, sejenak kemudian
air mata meleleh keluar membasai pipinya. Dengan suara
yang lirih dan penuh perasaan iba katanya lebih lanjut,
“Sedang mengenai perkataan dari In-ji yang mengatakan
orang banyak adalah besar manfaatnya, akupun tidak ingin
mengelabui dirimu lebih jauh. Selain itu akupun tak ingin
memberikan penjelasan lebih jauh. Pokoknya guruku ada niat
mendirikan perkumpulan Cha-li-kau, tapi tentunya kau pun
tahu bukan pekerjaan yang mudah untuk mendirikan sebuah
perkumpulan. Apalagi dengan mengandalkan kekuatan dari
beberapa orang perempuan, tak mungkin bisa melakukan
usaha besar. Maka setiap kali-kali jumpai orang yang berbakat
bagus, bila mempunyai pandangan dan cara berpikir yang
sama, kami lantas menawarkan kepada mereka untuk masuk
menjadi anggota. Dari tujuanku menculik engkaupun hanya
lantaran soal ini saja. Nah, hanya sampai disini saja
keterangan yang dapat kuucapkan kepadamu mau percaya
atau tidak terserah pada keputusan Hoa kongcu sendiri, sebab
hakekatnya aku sudah tak dapat memberi keterangan yang
lain lagi!”

325
Sekalipun dalam keterangannya ini masih terdapat pula halhal
yang dirahasiakan, toh pengakuan yang sudah diucapkan
terhitung blak-blakan, terutama sekali di balik kesemuanya itu
menyangkut juga soal hubungan cinta muda-mudi. Sebagai
seorang pemuda yang menurut aturan dan lagi hatinya juga
tidak sekeras baja, tentu saja Hoa In-liong tak dapat berbuat
apa-apa lagi, terutama setelah melihat dan mendengar sendiri
semua yang terpampang dihadapan matanya sekarang.
Tampaknya Cia-In juga mempunyai watak yang keras,
meskipun matanya berkaca-kaca dan air mata jatuh berlinang,
akan tetapi ia berusaha keras mengendalikan sesenggukan
dan isak tangisnya.
Setelah hening sesaat, akhirnya dia menengadah kembali,
kepada Coa Cong-gi tanyanya lagi, “Coa-kongcu, apakah
engkau masih ada persoalan lain yang hendak kau tanyakan
kepadaku?”
Mula-mula Coa Cong-gi tertegun, tapi sejenak kemudian ia
sudah gelengkan kepalanya berulang kali. “Tidak ada… Sudah
tidak ada lagi!” sahutnya.
Dia lantas berpaling ke arah lain dan tak ingin melihat
keadaan Cia In yang mengenaskan hati itu. “Kalau sudah tiada
persoalan yang akan ditanyakan lagi, marilah kita minum
arak!” ajaknya.
Diangkatnya cawan arak yang berada dihadapannya kalau
meneguk isinya sampai habis, menggunakan kesempatan itu
dia membesut air mata yang membasahi pipinya.
Tindak-tanduknya yang sangat mengenaskan itu cukup
menggetarkan hati orang. Yu Siau-lam terbungkam dibuatnya
dan duduk dengan termangu-mangu, sedang Hoa In-liong
sendiri merasakan tubuhnya bergetar keras karena emosi.

326
Pada saat itulah tiba-tiba dari ujung lorong sebelah depan
sana berkumandang suara langkah kaki manusia yang berat,
makin lama suara itu makin dekat dan akhirnya berhenti diluar
pintu ruangan loteng tersebut….
Cia-In segera mengerutkan dahinya, dengan ragu-ragu
tegurnya, “Tan-Ji kah yang berada disitu?”
“Benar nona, hamba adalah Tan-Ji” jawab orang yang
berada diluar pintu loteng diluar pintu sebelah depan sana
datang dua orang tamu, “Mereka bersikeras hendak berjumpa
dengan nona, apakah nona dapat menjumpai mereka”
Cia In mengerutkan dahinya rapat-rapat. “Apakah tidak kau
tolak, permintaan orang itu? Katakan saja kepada mereka,
malam ini aku tak dapat melayani mereka sebab lagi ada
tamu, suruh saja datang lagi beberapa hari kemudian!”
“Hamba…. hamba telah berkata begitu” jawab Tan Ji
dengan agak ketakutan, tapi kedua orang tamu itu kasar dan
tidak pakai aturan. Mereka bersikeras akan menjumpai nona,
malahan ancam-nya bila nona tak mau menemani mereka
berdua maka seluruh rumah Gi-sim-wan kita ini akan di obrak
abrik!”
Sementara itu pikiran Coa Cong-gi sedang kusut dan
dadanya seperti ditindih dengan batu raksasa sebesar seribu
kati. Dalam keadaan semacam ini orang lebih mudah dibuat
gusar oleh kejadian apa pun. Demikian pula keadaannya
dengan jago muda kita yang berangasan ini.
Ketika didengarnya ada tamu tak tahu aturan yang bermain
paksa sambil mengancam kontan dia naik darah sambil
melompat turun gembornya penuh kegusaran, “Kunyuk!
Bangsat tak tahu diri siapa yang berani membuat gara-gara

327
ditempat ini? Hmm, beritahu kepada mereka agar sedikit tahu
diri, kalau tidak…… hee… hee.. heee….. Jangan salahkan kalau
kuhajar sepasang kaki anjing mereka sampai buntung!”
“Oooh… Coa kongcu, Kau harap jangan marah-marah”
rengek Tan Ji seperti orang yang minta dikasihani, “Kami
adalah orang-orang yang mementingkan langganan, mana
berani kami tolak langganan? Coa kongcu harap maklumilah
keadaan kami.
Coa Cong-gi jadi makin sengit, tiba-tiba dia meloncat
bangun dan siap menerjang keluar dari ruangan itu.
“Eeeh… Eeh… Coa kongcu, silahkan duduk, silahkan duduk
lebih dulu” seru Cia In dengan gelisah “Harap jangan kau
umbar hawa amarahmu disini, biarlah kuselidiki sendiri
persoalan ini agar menjadi jelas”
Diapun bangkit berdiri dan berjalan keluar dari ruangan
tersebut.
Setibanya diluar pagar loteng, nona itu memandang
pelayan rumah pelacuran itu, kemudian tanya, “Tan-Ji,
bagaimanakah tampang serta potongan badan kedua orang
itu….? Mereka adalah langganan lama ataukah tamu baru?”
Dengan wajah amat gelisah Tan Ji menyahut, “Mereka
adalah tamu asing yang belum pernah berkunjung kemari,
yang seseorang berdandan sebagai pemuda perlente
sedangkan yang lain memakai baju ringkas berwarna biru,
tampangnya jelek sekali. Kedua-duanya menyoren pedang
mustika hamba rasa kedua orang itu pastilah jago persilatan
yang berilmu!”
Cia-In agak tertegun, untuk sesaat dia seperti memikirkan
sesuatu, kemudian dengan alis mata berkenyit bisiknya,

328
“Orang persilatan? Sudah kau tanyakan siapakah nama
mereka berdua… dan berasal dari mana?
“Katanya mereka She-Ciu. yang seorang disebut Sam-ko
sedang yang lain disebut Ngo-te, tidak mereka jelaskan
berasal dari mana”
Ketika secara tiba-tiba mendengar nama dari kedua orang
tamu yang datang berkunjung kesitu. Hoa In-liong sekalian
segera merasakan hatinya tergerak tanpa sadar ketiga orang
pemuda itu bersama-sama bangkit berdiri lalu melangkah
keluar dengan tindakan lebar.
Dalam pada itu Cia In sendiri pun merasakan sekujur
badannya gemetar keras setelah mendengar nama orang itu.
Dengan suara yang gelisah sekali serunya, “Cepat…. cepat
keluar dan….ha… halangi mereka masuk katakan saja
sebentar aku datang kesitu!”
“Baik nona!” sahut Tan Ji mengiakan, dia lantas putar
badan dan lari keluar dari tempat itu.
Menanti Cia ln memutar badannya kembali ia saksikan Hoa
In-liong sekalian sudah di ambang pintu, “Apakah Ciu Hoa
yang datang? Kebetulan sekali kedatangan orang itu, aku
memang sedang mencari jejaknya!” kata Hoa In-liong
kemudian agak emosi.
“Tidak jangan!” seru Cia In sangat gelisah, “Engkau tak
boleh bertemu dengan orang disini, kalau hendak mencari
dirinya kuharap carilah di tempat lain!”
Suara perempuan ini sudah bernada setengah merengek
seakan-akan takut sekali kalau pemuda ini tak mau menuruti
perkataannnya.

329
“Kenapa musti begitu. Kan tak ada salahnya kalau kita
berjumpa muka disini?” sahut si anak muda itu dengan sinar
mata berkilau, ”Bagaimanapun juga Gi-sim-wan kau boleh
dikunjungi oleh setiap orang secara bebas? Bertemu atau
tidak, sama sekali tidak akan merugikan nona!”
“Oooh…. Hoa kongcu!” seru Cia In dengan wajah murung,
“Tindakanku menculik engkau datang ke kota Kim-leng ini
sudah merupakan suatu kesalahan besar. Bagaimanapun juga
aku tak ingin lantaran kesalahan yang kulakukan itu
mengakibatkan gagalnya usaha besar kami yang telah
diperjuangkan selama banyak tahun. Aku selalu berharap
dapat mempertahankan usaha kami ini hingga berhasil. Sebab
itulah sengaja kusiapkan meja perjamuan dan siap sedia
memberi keterangan yang kalian minta. Hoa kongcu…..!
Ketahuilah, apabila perkumpulan Cha-li-kau bisa berdiri
secepatnya maka perkumpulan kami itu hanya mendatang
keuntungan tanpa kerugian bagi keluarga Hoa kalian. Buat
apa toh kau mendesak diriku hingga berdiri tersudut. Oooh….
Hoa kongcu yang baik, janganlah menyusahkan aku, berilah
kesempatan kepadaku untuk mempertahankan usaha besar
dari guruku ini. Janganlah membiarkan aku terjerumus
kedalam suatu keadaan yang serba runyam, sebab kalau
sampai terjadi begini, bagaimanakah tanggung jawabku
terhadap suhu dia orang tua? Hoa kongcu, ikutilah
perkataanku……”
Hoa In-liong mengerutkan dahinya rapat-rapat. “Nona Cia,
aku sama sekali tidak bermaksud untuk menyusahkan dirimu
apa lagi mendesak kau ke sudut, tapi engkaupun harus
memaklumi keadaanku juga. Ciu Hoa adalah salah seorang
pembunuh yang telah mencelakai jiwa Suma siok-ya ku.
Sekalipun belum ada buktinya, tapi dia adalah manusia paling
mencurigakan diantara sekian banyak orang yang kujumpai”

330
Rupanya pikiran dan perasaan Cia In pada waktu itu kusut
sekali. Dia tak ingin mendengar pembicaraan itu lebih jauh,
segera tukasnya dengan cepat, “Hoa koagcu, apabila engkau
menaruh rasa kasihan kapadaku dan dapat memaklumi
keadaan pada saat ini, lebih baik janganlah sampai berjumpa
muka dengannya dalam Gi-sim-wan ini. Toh setelah dia keluar
dari tempat ini, engkau masih mempunyai banyak kesempatan
untuk berjumpa dengan dirinya?”
Agaknya Yu Siau-lam simpatik juga atas keadaan Cia In
yang mengenaskan, dia jadi tak tega, timbrungnya dari
samping, “Hoa-heng, dengarkanlah kata-kataku, belum tentu
Ciu Hoa yang kau jumpai sekarang adalah Ciu Hoa yang itu.
Kemungkinan juga mereka sama sekali tak ada sangkut
pautnya dengan peristiwa berdarah dikeluarga Suma, kenapa
tidak kita tunggu saja setelah mereka keluar dari tempat ini
baru kita sergap?”
“Ada sangkut pautnya atau tidak, terlampau pagi rasanya
untuk dibicarakan pada saat ini. Bukankah kau mendengar
sendiri kedua orang itu mempunyai nama yang sama. Selain
itu akupun tahu bahwa mereka mempunyai potongan baju
yang sama dengan jumlah yang banyak. Masakah dibalik
kesemuanya itu tidak terdapat hal-hal yang patut dicurigai?.
Kesempatan baik tidak gampang ditemui, kenapa siaute musti
melepaskan kesempatan yang sangat baik ini dengan begitu
saja?”
Cia In benar-benar merasa sangat gelisah. “Hoa kongcu…..
Apakah engkau hendak menjegal kakimu sendiri?” tiba-tiba
tegurnya!
Hoa In-liong amat terkejut. “Eeeh… apa maksud
perkataanmu itu?” serunya.

331
“Terus terang kuberitahukan kepadamu, sejak dulu sampai
sekarang aku dan guruku selalu memperhatikan situasi dalam
dunia persilatan. Sampai dewasa ini paling sedikit sudah ada
dua kelompok manusia yang mempunyai maksud jahat
terhadap keluarga Hoa kalian. Jika engkau bersikeras hendak
berjumpa dengan Ciu Hoa dirumah Gi sim-wan ini, itu berarti
engkau akan merusak usaha besar kami dan itu berarti juga
mendatangkan kerugian yang sangat besar bagi pihakmu
sendiri!”
Mendengar ucapan tersebut, Hoa-In liong merasakan
hatinya bergetar keras. Sebelum ingatan ke-dua sempat
melintas dalam benaknya, terdengar Coa Cong-gi telah
berteriak keras, “Ayoh… ayolah, kita segera berlalu dari sini,
ayoh berangkat! Siau In-ji, ambil kemari pedang mustika dan
buntalan baju itu!”
In-ji mengiakan, cepat-cepat dia lari masuk ke dalam
ruangan dan sebentar kemudian sudah muncul kembali
dengan membawa pedang dan buntalan baju tadi…..
Cia In menerimanya dari tangan pelayan cilik itu, kemudian
dengan lembut diserahkan ketangan Hoa In-liong, katanya
dengan penuh kehalusan dan kelembutan, “Hoa kongcu,
legakanlah hatimu, bagaimanapun juga aku dan guruku tidak
akan melakukan perbuatan yang akan merugikan keluarga
Hoa dan pesan ini adalah pesan dari guruku yang suruh aku
sampaikan kepadamu. Ketahuilah selama engkau membantu
diriku berarti pula sedang membantu dirimu sendiri. Kumohon
kepadamu sekali lagi, cepatlah berlalu dari tempat ini dan
janganlah berjumpa dengannya disini!”
Ditengah kelembutan terkandung nada gelisah dan panik,
namun mencerminkan pula perasaan kasih sayangnya. Ini
membuat orang tak dapat menampik permohonannya lagi.

332
“Bagaimana dengan kau sendiri?” akhirnya Hoa In-liong
bertanya.
Cia In tertawa, tertawa yang enteng dan segar, sambil
memandang wajah anak muda itu dengan lembut, sahutnya,
“Aku tidak apa-apa, aku bisa jaga diriku sendiri, terima kasih
banyak atas perhatianmu!’”
“Kongcu bertiga, silahkan mengikuti di belakang In-ji!” saat
itulah siau In-ji berkata lagi.
Maka dengan uring-uringan Hoa-In liong menerima
buntalan baju dan pedang mustikanya, lalu berjalan keluar
dari ruangan itu mengikuti di belakang In-ji dengan pikiran
kosong. Akhirnya mereka tiba dihalaman depan setelah
melewati sisi rumah pelacuran Gi-sim-wan dan pulang kembali
ke pesanggrahan tabib dengan naik kuda.
Suasana disekitar pesanggrahan tabib gelap gulita tidak
tampak sedikit cahayapun. Suasana hening, sepi dan tak
kedengaran sedikit suarapun di pandang dari tempat
kejauhan. Pasanggrahan tersebut mirip sekali dengan sebuah
perkampungan kosong.
Menyaksikan suasana yang mencekam rumahnya pertamatama
Yu-Siau-lam yang menjerit kaget lebih dahulu. “Eeeh…
apa yang terjadi dalam rumahku?” teriaknya dengan perasaan
kalut.
“Benar!” sambung Coa Cong-gi pula, “Suasana disekitar
tempat ini memang rasa-rasanya aneh sekali. Sekarang baru.
mendekati kentongan kedua, semestinya mereka belum tidur
semua, tapi… kok sepi amat suasana disini, apalagi gelap,
jangan-jangan…..”

333
Sebelum ucapan tersebut diselesaikan, Hoa In-liong merasa
hatinya tercekat. Diapun kuatir bila di pesanggarahan tersebut
telah terjadi sesuatu yang tak diinginkan.
Sebelum ingatan kedua melintas dalam benaknya, Yu Siaulam
telah mencemplak kudanya dan dilarikan cepat-cepat
menuju perkampungan itu.
Baru saja orang itu tiba didepan pintu perkampungan, tibatiba
dari balik kegelapan melampai keluar sesosok bayangan
manusia.
Orang itu mempunyai gerakan tubuh yang enteng, cepat
dan cekatan, dalam sekejap mata tahu tahu sudah muncul
didepan mata. “Saudara Siau-lam bertigakah disini?” orang itu
menegur.
Ternyata orang itu tak lain adalah Ko Siong-peng, salah
seorang diantara Kim-leng ngo-kong.
Yu Siau-lam makin tercengang lagi melihat kemunculan
rekannya disana. “Eeeh… Saudara Siong-peng, sebenarnya
apa yang telah terjadi? Apakah ada sesuatu yang tak beres
dirumahku?” tanyanya kuatir.
“Haa … haa…. Haa….. Tidak ada, tidak ada. Suasana tetap
tenang dan aman seperti sedia kala!” sahut Ko Siong-peng
sambil tertawa terbahak-bahak “Kesemuanya ini memang
sengaja kami atur untuk menjaga terjadinya segala sesuatu
yang tidak diinginkan”
Berbicara sampai disini, dia lantas berpaling sambil
bertepuk tangan tiga kali. Pintu halaman depan lantas dibuka
orang, menyusul kemudian cahaya lampu memancar keluar
dari ruangan tengah.

334
Terdengar Ko Siong-peng berkata lebih jauh, “Aku
mendapat tugas berjaga-jaga di halaman depan, saudara Poseng
menjaga halaman belakang, saudara Ek-hong menemani
Pek-bo duduk diruang tengah sedang Pek-hu tugasnya
meronda keempat penjuru dan siap membantu pihak
manapun, Haa… haa…. Haa…… Menunggu kelinci dibawah
pohon, akhirnya cuma kalian bertigalah yang berhasil
kusergap secara jitu”.
Tiba-tiba si Tabib Sosial dari Kanglam muncul dibalik pintu
ruang tengah, dengan nyaring dia lantas menyela, “Eeeh…
Siong-peng, ucapanmu itu kurang begitu tepat, darimana kau
tahu kalau tak ada orang yang telah berkunjung kemari?”
Makin nyaring gelak tertawa dari Ko Siong-peng. “Sudah
hampir setengah malaman keponakan menghirup angin baratlaut
yang kencang dan dingin, aku kan cuma bergurau saja,
masa sungguhan?” sahutnya.
“Kalau cuma bergurau janganlah melukai orang kalau
sampai melukai orang itu namanya menyindir dan sindiran
gampang mengakibatkan perselisihan. Aku rasa usul dari Ekhong
kan tidak terlampau berlebihan malahan aku rasa tepat
sekali” tegur Kanglam Ji-gi.
Mula-mula Ko Siong-peng agak tertegun, tapi menyusul
kemudian sahutnya dengan sungguh-sungguh, “Yaaa,
keponakan tahu salah!”
Melihat semua yang terpapar di depannya, diam-diam Hoa
In-liong berpikir dalam hati, “Locianpwe ini pandai mendidik
orang menuju ke jalan yang benar, lagipula selalu
mengajarkan angkatan yang muda untuk tersopan santun dan
menurut peraturan, bahkan caranya mendidikpun ramah
tamah membuat mereka yang mendapat teguran benar-benar
takluk dibuatnya. Yaa….. Manusia pendidik semacam inilah

335
yang diharapkan setiap manusia. Asal Kim-leng ngo-kongcu
dapat dibimbing terus oleh cianpwe ini, niscaya banyak
kebaikan yang akan mereka terima darinya. Itu berarti Kimleng
ngo-kongcu memang punya nasib baik…….”
Mereka bertiga telah melompat turun dari kudanya. si Tabib
Sosial dari Kanglam kelihatan agak tertegun sewaktu
menyaksikan Hoa In-liong pulang dengan membawa pedang
mustika serta buntalan bajunya. “Aaaaah….. Ada apa? Liong
koji tampaknya tidak sampai terjadi bentrokan kekerasan
bukan dalam perjalanan kalian barusan?” tanyanya dengan
nada kuatir.
“Ooooh, terima kasih banyak atas kekuatiran cianpwe.
sekalipun dalam perjalanan kami tidak sampai mengakibatkan
terjadinya bentrokan kekerasan, akan tetapi boanpwe masih di
bikin kebingungan setengah mati, sampai kini pun aku masih
merasa kurang begitu paham”
“Oh yaa..? Sebenarnya apa yang telah terjadi?” Kanglam Jigi
makin keheranan.
“Cia In semula kita anggap pasti kabur, ternyata masih
bercokol ditempatnya semula” Timbrung Yu Siau-lam,
“Malahan ia siapkan meja perjamuan untuk menyambut
kedatangan kami bertiga!”
Agaknya Coa Cong-gi mempunyai kesan yang cukup baik
terhadap Cia In. Ketika mendengar perkataan itu cepat-cepat
selanya pula dari arah samping, “Sikap Cia In terhadap Hoa
lote cukup baik! Malahan setiap pertanyaan yang diajukan
selalu dijawab dengan sejujurnya!”
“Waah…… kalau begitu kan urusan jadi lebih
mengherankan” kata si Tabib sosial dengan muka tertegun,

336
“Jangan-jangan orang menyusup datang malam tadi memang
tak ada sangkut pautnya dengan perempuan she Cia itu?”
Ko Siong-peng segera membelalakkan matanya lebar-lebar,
seperti amat kaget ia menjerit keras. “Apa…? Jadi malam tadi
sungguh-sungguh ada orang yang telah menyatroni kita?”
Dengan dahi berkerut Tabib Sosial dari Kanglam
menganggukkan kepalairya tanda membenarkan. “Yaaaa!
Kurang lebih mendekati kentongan kedua tadi, ada sesosok
bayangan manusia melayang turun di halaman samping
sebelah tenggara. Agaknya bayangan manusia itupun
menyadari bahwa pihak kita telah mengadakan persiapan,
maka setelah berdiri sejenak disana agak sangsi, akhirnya dia
mengundurkan diri dengan cepatnya”
“Macam apakah manusia itu?” seru Coa Cong-gi dengan
gelisah. “Pek-hu, kenapa tidak kau hadang jalan perginya?
Paling sedikit kita harus mengetahui siapakah orang itu!”
“Aaaai….. Gerakan tubuh orang itu cepatnya bukan
kepalang, menanti aku tiba ditempat tujuan, dia sudah kabur
dari rumah kita. Tapi sekilas pandang aku rasa orang itu
adalah seorang perempuan” Tabib Sosial itu menerangkan.
Setelah berhenti sebentar dia alihkan kembali pokok
pembicaraannya kesoal lain, ujarnya lebih jauh,
“Bagaimanapun juga aku tetap berkeyakinan bahwa duduknya
persoalan ini tidak sesederhana seperti apa yang kita
bayangkan semula, mari ….kita masuk dulu kedalam ruangan!
Ek-hong dan Pek-bo mu sedang menanti di ruang tengah!”
Tanpa banyak bicara lagi, dia lantas putar badan dan
masuk dulu kedalam ruangan dan langsung menuju ke ruang
tamu sebelah belakang gedung itu.

337
Hoa In-liong sekalian berdiri saling berpandangan, siapapun
tidak bersuara atau mengucapkan sepatah katapun.
Sementara dalam hati kecil mereka hanya ada satu perkataan
yang sama, yakni siapakah orang itu? Benarkah dia seorang
perempuan? Dan apa pula maksudnya datang menyatroni
kepasanggrahan tabib?
Ko Siong-peng juga menjulurkan lidahnya dengan hati
kecut, seolah-olah sedang mentertawakan ketidak becusan
sendiri. Yaaa, hakekatnya dia tak merasa kalau ada orang
telah menyatroni tempat tersebut tanpa diketahui olehnya.
Setelah saling berpandangan sekejap, akhirnya empat
orang pemuda itu baru melangkah masuk kedalam ruangan
dan menyusul si tabib sosial yang telah masuk lebih duluan
itu.
Ketika mereka tiba diruang tengah, Li Po-seng juga sudah
kembali dari halaman belakang. Wan Ek-hong segera bangkit
menyambut kedatangan mereka, sedang Yu lo-hujin manggut
ke arah Hoa In-liong dengan senyum di kulum. “Liong ko-ji,
kau telah pulang?” sapanya dengan ramah, “Bagaimana hasil
perjalanan kalian barusan?”
“Tampaknya banyak keanehan dan kejadian yang diluar
dugaan terselip dalam peristiwa ini?” sela Tabib Sosial dengan
cepat, “Mari kita bicarakan lagi persoalan itu dengan seksama,
duduk! Kalian duduklah lebih dahulu….”
Yu lo-hujin kelihatan tercengang. “Bagaimana anehnya?” ia
bertanya.
Setelah semui orang mengambil tempat duduk. Tabib Sosial
dari Kanglam baru berkata, “Perempuan she-Cia itu bukan
saja tidak melarikan diri dari Gi-sin-wan, malahan dia siapkan
meja perjamuan untuk menyambut kedatangan mereka.

338
Kemudian di halaman sebelah tenggara aku telah temukan
juga seorang perempuan tak dikenal yang datang menyatroni
kita. Tapi ketika kukejar ke sana, ternyata ia sudah kabur
pergi. Aku pikir dibalik semua kejadian ini tentu ada hal-hal
yang luar biasa”
“Ooooh……! Jadi sudah terjadi peristiwa macam begini?” Yu
Lo-hujin duduk dengan dahi berkerut, “Siapakah perempuan
tak dikenal yang datang menyatroni tempat kita? Kemudian
apakah dia tidak munculkan diri lagi…..?”
“Aku rasa perempuan tak dikenal yang berkunjung kemari
itu sama sekali tidak bermaksud jahat, sebab hanya sebentar
dia berdiri disini kemudian pergi. Pada mulanya aku
mencurigai kalau perempuan itu ada sangkut pautnya dengan
perempuan she Cia itu. Tapi setelah mendengar cerita dari
Liong koji sekalian, aku merasa pula bahwa kejadian tersebut
kemungkinan jaga tiada sangkut pautnya”
Ia berhenti sebentar untuk tukar napas, lalu sambil
menatap Hoi In-liong lanjutnya, “Liong-koji, lebih baik kau saja
yang bercerita. Akupun ingin mendengar kisah kalian sejak
awal sampai akhir”
Hoa In-liong mengangguk, sesudah tarik napas panjang,
diapun berkata, “Ketika boan-pwe sekalian tiba di rumah
pelacuran Gi-sim-wan, si pelayan Tan-ji sudah menyongsong
kedatangan kami, maka setelah kami bertemu dengan Cia-In,
sambil minum arak dan bergurau….”
Seorang pelayan masuk menghidangkan air teh, semua
orang duduk dengan tenang mendengarkan Hoa In-liong
menuturkan pengalamannya.
Diantaranya yang hadir dalam ruangan tersebut, Li Po-seng
dan Wan Ek-hong terhitung manusia-manusia berotak cerdik

339
yang sangat berbakat, sedangkan Li Siang-tek suami istri
termasuk juga angkatan tua yang berpengalaman luas.
Kecerdasan otak mereka melebihi orang lain setingkat.
Sepanjang mereka mendengarkan kisah dari Hoa In-liong,
sering kali alis mata mereka berkenyit dan matanya melotot,
namun sampai cerita itu selesai dituturkan pula seperti
keadaan Hoa In-liong, mereka tetap kebingungan dan merasa
tak mengerti.
Untuk sesaat, suasana dalam ruangan jadi sepi, hening dan
tak kedengaran suara.
Akhirnya Coa Cong-gi merasa suasana disana terlampau
menyesakkan napas, tiba-tiba teriaknya, “Eeeh… Sekarang
kita mau apa lagi? Aku rasa Cia-In adalah seorang perempuan
yang berkepribadian menarik, sekaipun dia mempunyai katakata
yang tak dapat dijelaskan secara blak-blakan, itu berarti
dia mempunyai kesulitan pribadi yang tak dapat diutarakan.
Mau apa lagi kita duduk terpekur disini sambil putar otak?
memangnya ada sesuatu hasil yang dapat kita peroleh dengan
memutar otak melulu?”
Tabib Sosial dari Kanglam mengalihkan sinar matanya ke
wajah pemuda itu, lalu tegurnya, “Cong-gi, semenjak dulu
sampai sekarang watak berangasanmu itu belum juga dapat
diubah. Aaaai….! Sekalipun Cia-In mempunyai kepribadian
yang menawan hati, tidakkah kau merasa bahwa tindaktanduknya
terlampau misterius?. Siapakah yang dapat
menyakinkan kepada kita bahwa perempuan yang datang
menyatroni kita malam, tadi sama sekali tak ada hubungannya
dengan Cia-In? Yaaa… kau terlampau muda, belum kau
ketahui betapa licik dan berbahayanya dunia persilatan. Bila
watak berangasanmu tetap kau pertahankan terus menerus
dan tiap kali menjumpai persoalan tak kau pikirkan dengan
otak yang dingin, niscaya dalam sepuluh kali peristiwa ada
sembilan kali kau akan tertipu”.

340
Sebagaimana diketahui Coa Cong-gi adalah seorang
pemuda polos yang berjiwa terbuka. Ia suka berterus terang
dan bicara blak-blakan daripada harus menghadapi tiap
persoalan dengan otaknya. Maka kalau suruh pemuda itu
menggunakan otaknya sama saja dengan memaksa kambing
memanjat sebatang pohon.
Dengan alis mata barkenyit, langsung pemuda itu berteriak
lagi, “Buat apa musti putar otak buang energi dengan
percuma! Biarpun dia mau gunakan akal yang bagaimana
licikpun, akan kuhadapi setiap perubahan dengan kemantapan
hati. Coba lihat saja nanti siapa akhirnya yang bakal menang!”
Setelah berhenti sebentar, ia menambahkan, “Hoa-lote
sudah jatuh pingsan selama beberapa hari, sekarang diapun
musti bersusah payah setengah malaman lebih. Aku pikir lebih
baik kita tidur saja dulu! Kalau mau berpikir lagi, besokpun
rasanya belum terlambat….”
Yu Lo-hujin yang pertama-tama bangkit lebih, katanya.
“Loya cu!” ujarnya, “Apa yang dikatakan Cong-ji memang
beralasan. Bukan saja Liong koji baru sadar dari pingsannya,
lagi pula barusan sangat menegangkan hati. Aku rasa
dipikirpun belum tentu bisa terpecahkan dalam semalaman
saja. Kini malam semakin kelam lebih baik beristirahat dulu
untuk menghimpun tenaga lagi, ada persoalan kita bicarakan
lagi besok saja!”
Setelah istrinya ikut angkat bicara, tentu saja Tabib Sosial
dari Kanglam tak leluasa untuk banyak bicara lagi. Dia
memandang sekejap anak-anak muda itu lalu bangkit berdiri,
“Baiklah! Lebih baik kita beristirahat dulu, toh bagaimanapun
juga tak mungkin persoalan ini dapat diselesaikan dalam
semalaman!”

341
Dalam pesanggrahan tabib banyak terdapat kamar-kamar
tidur. Ruang samping sebelah timur dan barat adalah kamar
tamu. Tabib Sosial suami istri menempati ruang belakang. Yu
Siau-lam berdiam di ruang tengah, sedangkan sahabatsahabatnya
seperti Wan Ek-hong, Li Po-seng sekalian bila
datang berkunjung kesana, mereka menempati pula ruang
tengah.
Hoa In-liong dipersilahkan untuk beristirahat diruang tamu
sebelah timur. Selesai membersihkan badan, ia lantas naik
keatas pembaringan untuk beristirahat.
Tapi mana mungkin ia dapat tidur nyenyak? Walaupun
sudah membolak-balikkan badannya, mata belum juga mau
terpejam. Otaknya selalu bekerja memikirkan kejadian yang
dialaminya di rumah pelacuran Gi-sim-wan belum lama
berselang.
Makin berpikir pemuda itu merasa makin kebingungan.
Pembunuh gadis yang telah membereskan nyawa Suma Tiangcing
suami istri hanya meninggalkan sebuah hiolo kecil terbuat
dari batu kemala hijau sebagai tanda pengenal. Padahal dia
tahu hiolo kemala hijau itu adalah tanda pengenal dari Giok
Teng hujin. Kalau dibilang Giok Teng hujin telah meninggalkan
dunia yang fana ini, dus berarti tanda pengenalnya itu tentu
akan diwariskan kepada orang lain.
Pemuda itu teringat pula akan surat pribadi dari Giok Teng
hujin yang diserahkan neneknya kepadanya dan surat tersebut
kini dijahit dalam kaus kutang pelindung badan. Bukankah
tindakan dari neneknya ini sama artinya dengan memberi
kisikan kepadanya kalau Giok Teng hujin tersangkut dalam
peristiwa berdarah itu?
Kalau kejadian berdarah itu memang benar-benar
menyangkut Giok Teng hujin, itu berarti gurunya Cia

342
In….yakni Pui Che-giok tak dapat cuci tangan dengan begitu
saja. Tapi…. Aneh, kenapa Cia In mengaku terus terang
tentang asal usulnya serta rahasia gurunya! Menurut
perkataan Coa Cong-gi, bukankah itu sama artinya sedang
mencari kesulitan buat diri sendiri?
Dikolong langit tak nanti ada orang yang bersedia
mencarikan kesulitan bagi diri sendiri, kecuali kalau orang itu
sudah goblok. Atau mungkin juga Cia In mengungkap
kesemuanya itu lantaran perempuan itu menaruh perasaan
kagum yang istimewa terhadapnya? Tapi…. rasanya inipun
mungkin.
Dengan amat jelas Cia In telah berkata bahwa gurunya
melarang mereka mengadakan hubungan lagi dengan orangorang
keluarga Hoa, atau dengan perkataan lain, kejadian
yang sudah lewat. Dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa
Cia In adalah seorang perempuan yang lebih mementingkan
perguruan dari pada kepentingan pribadi. Terhadap manusia
macam begini, mungkinkah dia menjual perguruannya demi
mendapatkan cinta kasih?
Hoa In-liong membalikkan tubuhnya berulang kali untuk
menghapus semua pikiran itu dari benaknya akhirnya dia
bergumam, “Lebih baik kita berangkat keselatan saja untuk
melakukan penyelidikan. Tampaknya Pui Che-giok memang
tidak tersangkut dalam peristiwa berdarah ini…..”
Gumamnya memang begitu tapi ingatannya masih berputar
terus tiada hentinya.
Tindak tanduk Pui Che-giok benar-benar sukar diduga
sepintas lalu kelihatannya ia mempunyai rasa dendam yang
amat tebal terhadap keluarga Woa, tapi tampaknya diapun
sangat menguatirkan keselamatan dari orang-orang keluarga
Hoa, sebenarnya apa yang telah terjadi?

343
Kalau ditinjau dari perkumpulan Cha-li-kau, itu berarti
perkumpulan mereka adalah suatu perkumpulan sesat yang
khusus mengandalkan kecantikan kaum wanita untuk
membujuk kaum pria menjadi anggota perkumpulan tersebut.
Padahal Cia In juga tahu bahwa keluarga Hoa adalah
keluarga persilatan yang paling menjungjung tinggi keadilan
serta kesejahteraan dalam dunia persilatan. Apakah tidak
mereka pikirkan bahwa keluarga Hoa tak nanti akan
membiarkan sebuah perkumpulan kaum sesat muncul dalam
dunia persilatan?
Tapi tanpa ragu-ragu atau merasa kuatir Cia In telah
membeberkan segala sesuatunya kepadanya, mungkinkah hal
ini disebabkan karena mereka terlampau percaya pada
kebenaran dari tujuan perkumpulannya ataukah mungkin
sudah mereka duga bahwa keluarga Hoa pasti tak bisa
mengapa-apakan perkumpulan mereka itu?.
Ditengah lamunannya, tiba-tiba anak muda ini seperti
merasa terkejut. Sepasang matanya melotot besar-besar, lalu
gumamnya lagi, “Apa maksudnya ia berkata demikian?
Dewasa ini paling sedikit ada dua kelompok manusia yang
bermaksud tidak menguntungkan bagi keluarga Hoa. Siapakah
dua kelompok manusia yang dimaksudkan itu…..?”
Ketika persoalan itu terlintas kembali dalam benaknya,
pada mulanya pemuda itu menduga bila Cia In memang
sengaja hendak menggunakan kata-kata itu untuk menggertak
dirinya agar segera meninggalkan rumah pelacuran Gi-simwan
dan tidak bertemu dengan Ciu Hoa disitu sehingga
menggagalkan rencana besar perkumpulan Cha-li-kau.
Tapi setelah dipikir lebih jauh bahwa jalan pikirannya tidak
benar. Cia In pernah berkata padanya bahwa mereka tak nanti

344
akan melakukan perbuatan yang menyalahi keluarga Hoa.
Meskipun kata katanya itu sedikit mengandung nada sindiran,
tapi jelas menumbangkan jalan pikirannya tentang “gertakan”
tadi. Tanpa sadar ucapan dari si nona baju hitam yang pernah
dijumpainya diluar kota Lok yang tempo hari berkumandang
kembali disisi telinganya.
Dia masih ingat, perempuan baju hitam itu pernah berkata
demikian kepadanya, “Dunia persilatan pada saat ini sedang
terjadi perubahan besar. Suma Tiang-cing hanyalah korban
pertama yang menanggung dosa-dosa orang lain….“.
Kemudian diapun berkata demikian lagi kepadanya,
“Ayahmu memang merajai seluruh kolong langit, nama besar
dan kedudukannya amat terhormat ibaratnya sang surya
ditengah angkasa. Akan tetapi musuh besarnya banyak
tersebar dalam dunia persilatan”
Setelah pelbagai ingatan tersebut kian bertambah berat
dalam benaknya, ia merasa semakin yakin kalau dunia
persilatan benar-benar sedang mengalami perubahan besar.
Perasaannya kian lama kian berat dan hal ini tentu saja
semakin menyulitkan dia untuk tidur dengan tenang.
Pada hakekatnya Hoa In-liong adalah seorang pemuda
yang tak pernah risau tak pernah murung dan menghadapi
setiap masalah dengan acuh tak acuh. Akan tetapi setelah
diatas bahunya diberi beban seberat ribuan kati, ia telah
berubah jadi aeoraog pemuda yang pemurung dengan
pelbagai masalah yang menindih dalam hatinya. Dari sini
dapat menunjukkan bahwa wataknya meski tetap seperti sedia
kala, namun rasa tanggung jawabnya jauh lebih berbobot.
Begitulah, setiap kali teringat akan satu persoalan,
persoalan lainpun ikut melintas dalam benaknya. Mulai dari
nona Yu sampai ke kucing hitamnya, Si Nio yang bertampang

345
jelek, Wan Hong giok yang genit dan manja, Siau Ciu kakak
seperguruan Wan Hong-giok yang jumawa sampai beberapa
Ciu Hoa yang pernah dijumpainya semuanya terpampang lagi
didepan matanya.
Jilid: 10
AYAM jago mulai berkokok kentongan lima telah menjelang
dan fajarpun hampir menyingsing, akan tetapi dia masih
berpikir dan berpikir terus menerus.
Ia berpikir pula tentang perempuan misterius yang datang
ke pesanggrahan tabib, berpikir pula tentang hubungannya
dengan Cia In. Andaikata perempuan itu tiada sangkut
pautnya dengan Cia In, lantas siapakah dia? Apa tujuannya
datang ke situ?
Walaupun pelbagai pikiran sudah berkecamuk dalam
benaknya, akan tetapi pemuda itu masih gagal untuk
mendapatkan suatu jawaban yang memuaskan hatinya,
akhirnya anak muda itu kewalahan. Ia duduk bersila dan
mengatur pernapasan, sesaat kemudian pikirannya jadi tenang
kembali dan berada dalam keadaan lupa diri.
Entah berapa lama sudah lewat tiba-tiba ia merasa ada
orang masuk ke dalam kamarnya, cepat dia membuka
matanya. Tampaklah Coa Cong-gi sedang berjinjit-jinjit
menutup kembali pintu kamarnya.
Hoa In-liong jadi terkejut bercampur keheranan, segera
serunya, “Saudara Cong-gi…..”
Secepat kilat Coa Cong-gi putar badannya dan
menempelkan jari telunjuknya keatas bibir tanpa jangan

346
berbisik, setelah itu dengan suara lirih baru bisiknya, “Lote,
ayoh ikut aku pergi dari sini! “
“Ada urusan apa?” Hoa In-liong makin kaget bercampur
tercengang.
“Aaaah…… tak ada urusan apa-apa, sisirlah dulu
rambutmu, tapi harus cepat dan jangan berisik aku akan
menanti dirimu!”
“Aneh benar saudara Cong-gi ini” demikian Hoa In-liong
berpikir, “kalau toh tak ada kejadian apa-apa, kenapa dia
musti berlagak misterius, malahan aku musti cepat dan jangan
berisik….?”
Sekalipun dalam hati berpikir demikian, diluaran dia
berkerut kening, sambil bangun dan ber-pakaian kembali
tanyanya, “Apakah saudara Siau-lam sekalian sudah bangun?”
“Aaaah……….kau tak usah perduli mereka, kita harus diamdiam
ngeloyor pergi dari sini!” bisik Cong-gi lagi.
“Ngeloyor pergi secara diam-diam? Kenapa?”
“Kenapa? Kita pergi bermain, akan kuajak engkau untuk
berpesiar ke tempat-tempat yang termasyhur disekitar kota
ini”
“Tentang soal ini…..” Hoa In-liong kelihatan agak sangsi
setelah mendengar perkataan itu.
Coa Cong-gi jadi sangat gelisah. “Ayoh cepatan sedikit”
desaknya, “kalau kita tunggu sampai mereka sudah bangun,
tentu kita tak akan jadi pergi!”

347
Setelah berhenti sebentar, tiba-tiba sambungnya lebih jauh,
“Tentunya kau tidak tahu bukan, disekitar kota Kim-leng
banyak terdapat tempat-tempat indah yang tak terhitung
jumlahnya, seperti bukit Cing liang-san, bukit Si-cu-san. bukit
Ciong-san, pagoda Pak-kek-kek, kuil Ki-beng-si, puncak Yuhoa-
tay, pantai Yan-cu-ki…. bahkan masih ada lagi telaga Mociu-
ou dan telaga Hian-bu-ou. Pokoknya komplit ada semua
disini!”
“Kalau toh kita akan bermain, tidak sepantasnya kalau kita
ngeloyor pergi tanpa pamit, bagaimanapun juga…..”
“Bagaimanapun juga kenapa?” tukas Coa Cong-gi dengan
cepat. “Jika kita minta ijin dulu kepada Yu pek-hu, niscaya kita
tak akan jadi berangkat, apalagi kalau menunggu sampai
mereka bangun semua, pastilah yang diributkan dan
dipersoalkan hanya masalah Cia In belaka, bisa pusing kepala
dibuatnya. Saudara Hoa, lantaran aku merasa cocok
denganmu, maka diam-diam kuajak engkau bermain, tapi
kalau engkau segan pergi yaa sudahlah, biar aku pergi
sendirian!”
Pada dasarnya Hoa In-liong memang seorang pemuda yang
gemar bermain, apalagi setelah Coa Cong-gi menyebutkan
tempat rekreasi yang begitu banyak dan menawan hati,
semenjak tadi ia sudah tertarik.
Maka ketika mendengar perkataan Coa Cong-gi yang
terakhir ini, ia merasa kurang enak untuk menampik kebaikan
orang. Walaupun begitu, tentu saja ia tak dapat ngeloyor pergi
seenaknya sendiri, sementara orang lain ikut memikirkan
persoalannya lagi pula pada saat ini dia menginap di rumah
keluarga Yu, untuk sesaat dia jadi gelagapan dan tak tahu apa
yang musti dikatakan.

348
Coa Cong-gi bukan orang bodoh, dari sikap rekannya yang
seperti mau berbicara namun tak dapat mengucapkan sesuatu
itu, dia lantas memahami kesulitannya, kembali ia berkata,
“Kesempatan baik tak boleh dibuang dengan percuma. Disiang
hari kita pergi bermain, malam nanti kutemani engkau lagi
untuk berkunjung ke Gi-sim-wan dan mencari tahu jejak dari
manusia she-Ciu itu, maka saat bermain dapat kita
manfaatkan untuk bermain, saat bekerja kita bekerja dengan
baik, bukankah itu sangat bagus sekali?”
Hoa In-liong merasa bahwa perkataan itu ada benarnya
juga, maka setelah termenung sebentar sahutnya kemudian,
“Kalau…. kalau….. memang begitu, le…… lebih baik tinggalkan
saja surat disini”
Mendengar si anak muda itu mengabulkan ajakannya, air
muka Coa Cong-gi segera berseri-seri, dia ulapkan tangannya
seraya berseru lagi, “Kalau begitu pergilah cuci muka dan
berpakaian biar aku yang menulis surat, ayoh cepatan dikit”
Dia berjalan menuju kemeja dan segera menulis surat.
Terbacalah tulisan itu barbunyi demikian, “Siaute mengajak
In-liong pergi berpesiar, malam nanti baru pulang”.
Dan dibawah tulisan yang Sederhana itu dia di bubuhi pula
dengan singkatan namanya yaitu “Gi”
Baru saja menulis surat tampaklah Hoa In-liong dengan
senyum dikulum telah menanti dibelakangnya.
Coa Cong-gi jadi tertegun, dengan mata melotot segera
serunya, “Eeeh….. bagaimana sih kami ini? Kenapa belum cuci
muka……”

349
“Aku hanya membasuh mukaku dengan kain kering,
dengan begitu tindak tanduk kita tak akan mengganggu orang
lain” jawab anak muda itu dengan tenangnya.
Mula-mula Coa Cong-gi agak tertegun, kemudian dia ingin
tertawa tergelak, untunglah tiba-tiba ia teringat akan keadaan
mereka, maka sambil acungkan jempolnya dia memuji, “Kau
memang hebat! Itulah kalau dinamakan teman seia sekata,
ayoh ikutilah aku!”
Ia lantas putar badan dan pelan-pelan membuka pintu lalu
menyusup keluar.
Ketika itu fajar biru saja menyingsing. Beberapa orang
pelayan keluarga Yu telah bangun membersihkan lantai.
Dengan sembunyi-sembunyi mereka menuju ke halaman
samping. Setelah memeriksa sekitar tempat itu dan yakin
kalau di sekitarnya tak ada orang, kedua orang itu segera
melompat keluar lewat dinding pekarangan dan keluar.
Sekejap kemudian mereka sudah beradu dua tiga li jauhnya
dari pasanggrahan tabib. Ketika hampir tiba di kaki tembok
kota, Hoa In-liong baru bertanya, “Saudara Cong-gi, apakah
kita akan masuk dulu ke dalam kota Kim-leng?”
“Ehmm, kita masuk kota, sebab bukit Cing-liang-san, kuil
Ki-beng-si dan pagoda Pak-khek-kek berada didalam kota
semua!”
“Kalau begitu, kita akan berpesiar kemana dulu?”
“Bukit Cing-liang-san! Sebab kuil Ki-beng-si berada di atas
bukit tersebut. Setelah mengisi perut dikuil Ki-beng-si, baru
kita menuju puncak Yu-hoa-tay untuk memungut batu kerikil!”

350
Hoa In-liong masih asing dengan keadaan disana, tentu
saja dia tak mengerti apa yang dimak-sudkan “memungut
batu kerikil di Yu-hoa-tay” dan tidak tahu juga kenapa musti
mengisi perut di kuil Ki-beng-si. Tapi ketika dilihatnya Coa
Cong-gi berlarian dengan kencangnya maka diapun segan
untuk banyak bertanya. Dengan kencang diikutinya rekannya
itu menuju ke dalam kota.
Setelah berada dalam kota Kim-leng, kedua orang itu
langsung menuju ke kota sebelah barat. Sesaat kemudian
mereka sudah tiba ditempai tujuan.
Yang dimaksudkan bukit Cing-liang-san pada hakekatnya
tak lain adalah sebuah tanah perbukitan yang tak terlampau
tinggi, luasnya kurang lebih dua puluh li dengan tinggi
mencapai ratusan kaki. Meskipun demikian pepohonan
tumbuh dengan rimbunnya disekitar tanah perbukitan
tersebut.
Tiap kali musim panas menjelang tiba, bila ada angin yang
berhembus lewat maka terdengarlah suara serangga berbunyi
sahut bersahutan, mendatangkan rasa sejuk bagi mereka
yang kepanasan disana, itulah sebabnya bukit itu dinamakan
bukit kesegaran atau Cing-liang-san.
Kuil Ki-beng-si terletak dipuncak bukit Cing-liang-san,
gedung bangunannya tidak terlampau besar tapi banyak sekali
jemaah yang berkunjung kesana. Walau fajar baru
menyingsing, namun sudah banyak kaum jemaah yang telah
tiba dibukit itu untuk pasang hio bersembahyang.
Tentu saja hal ini ada alasannya. Pertama tanah perbukitan
itu sangat tenang, sejuk dan udaranya segar. Penduduk kota
selalu menggunakan kesempatan itu untuk mendaki bukit.
Bukan saja dapat pasang hio bersembahyang, mereka pun

351
dapat berolahraga menyehatkan badan. Sebab itulah orangorang
selalu saling berebut mendekati bukit itu.
Kedua dikuil Ki-beng-si telah tersedia bubur dan beberapa
macam sayur yang sengaja dimasak oleh kaum padri yang
menghuni disana. Bukan saja hidangan itu lezat dan nikmat,
yang penting adalah gratis. Tidak heran kalau kebanyakan
orang setelah naik bukit dan bersembahyangan, mereka
datang kekuil itu untuk mengisi perut.
Dan itulah sebabnya Coa Cong-gi mengajak rekannya untuk
mengisi perut dikuil Ki-beng-si.
Setibanya dikaki bukit, dua orang itu segera memperlambat
langkah kakinya dengan mencampurkan diri diantara para
jemaah yang lain, pelan-pelan mereka mendaki ke puncak
bukit tersebut.
Jalan yang mereka ambil sekarang adalah jalan setapak
yang paling terpencil dan jarang dilalui orang. Sepanjang
perjalanan tidak banyak yang mereka jumpai, akan tetapi
setelah mereka tiba di pinggang bukit, dimana semua jemaah
yang mendaki dari empat penjuru berkumpul jadi satu.
Jumlahnya jadi banyak sekali, kendati begitu diantara orangorang
itu tidak nampak ada orang-orang yang berdandan
menyolok. Sekalipun ada, lantaran Hoa In-liong berdua
tujuannya adalah berpesiar, mungkin merekapun tidak
terlampau menaruh perhatian.
Suara pembacaan doa pagi berkumandang diudara pagi
yang bersih, itulah para pendeta sedang menjalankan upacara
sembahyangan mereka dipuncak bukit.
Suara ketukan bok-hi dan nyanyian liam-keng yang
berpadu menjadi satu memberikan ketenangan dalam hati
Hoa In-liong. Dalam suasana setenang dan secerah ini, anak

352
muda itu hampir melupakan semua kemurungan dan
kekesalan yang dialaminya kemarin malam. Tanpa terasa ia
mempercepat langkah kakinya menuju ke puncak bukit
dimana ketukan bok-hi dan nyanyiannya liam-keng berasal.
Dalam kuil Ki-beng-si hanya terdapat ruang tengah, sebuah
ruang samping, sebuah ruang belakang dan ruang bersantap.
Ruang tengah sebagai ruang sembahyang, ruang makan
letaknya diruangan belakang, dibelakang ruang makan itu
terdapat pula ruangan ruangan kecil disanalah terletak gudang
dan dapur.
Waktu itu ada dua tiga puluh orang hweesio berkumpul di
ruang depan sambil bersembahyang, semuanya memejamkan
mata rapat-rapat dan pusatkan perhatiannya hanya untuk
berdoa.
Agaknya Hoa In-liong sudah terpikat oleh suasana tenang
disitu, dia langsung menuju ke ruang tengah dan mendengar
pembacaan doa itu dengan penuh seksama.
Beberapa saat lewat dengan begitu saja. Lama kelamaan
Coa Cong-gi tercengang juga oleh sikap rekannya itu, ia jadi
habis kesabarannya, segera bisiknya, “Eeeh… lote, sebenarnya
apa yang terjadi?”
Hoa In-liong tertegun lalu tersadar kembali dari
lamunannya. Dia sendiripun dibuat kebingungan dan tak habis
mengerti dengan kejadian yang baru saja berlangsung
didepan matanya. Ia tak tahu kenapa suara liam-keng dan
kekuatan bok-hi itu begitu memikat hatinya sampai hampir
saja dia kehilangan kesadaran.
Dengan muka tersipu-sipu ia menggeleng, lalu sahutnya
sambil tertawa jengah, “Oooh… Tidak apa-apa, tidak apa-apa.
Mari kita berkunjung ke tempat lain!”

353
Tanpa menantikan jawaban dari Coa Cong-gi lagi, dia putar
badan dan pelan-pelan berjalan menuju ke ruang samping.
Tindak tanduk rekannya yang termangu-mangu seperti
orang kehilangan kesadaran ini tentu saja sangat
membingungkan Coa Cong-gi yang berada disampingnya. Ia
benar-benar dibuat tak habis mengerti oleh sikap rekannya,
tapi ada seseorang yang berdiri dikejauhan menganggukkan
kepalanya berulang kali dengan senyum dikulum.
Orang itu adalah seorang hweesio kurus kering tinggal kulit
pembungkus tulang yang mukanya sudah penuh berkeriput,
matanya setengah terpejam dan memelihara jenggot
sepanjang dada.
Potongan badan maupun roman muka hweesio itu
sederhana sekali dan sedikitpun tidak menyo-lek. Sebuah
tasbeh bergantung didadanya, memakai jubah pendeta
berwarna abu-abu yang kasar dengan sepatu rumput yang
sederhana sekali.
Walaupun sederhana dandanannya, tapi ia sudah menguntil
terus dibelakang Hoa In-liong semenjak pemuda itu mulai
mendaki ke atas puncak bukit. Hanya tentu saja anak muda
itu sama sekali tidak merasa kalau secara diam-diam ada
orang yang menguntil terus dibelakangnya.
Setelah berpesiar disekitar halaman kuil, Coa Cong-gi dan
Hoa In-liong menuju ke puncak sebelah tenggara, dari situ
mereka nikmati keindahan kota Kim-leng.
Penduduk yang berdiam di kota Kim-leng sebelah tenggara
benar-benar padat sekali, rumah yang berjejer-jejer jauh
memanjang sampai ke depan sana, ramai sekali suasananya.

354
Walaupun fajar baru saja menyingsing, namun sudah
banyak orang yang berlalu lalang dijalan raya.
Daerah kota sebelah barat laut meski tidak sedikit jumlah
rumah yang ada disitu, namun kebanyakan adalah gedunggedung
besar milik pembesar atau pedagang kaya. Suasana
dijalan lorong dan jalan raya sekitar tempat itu masih sepi dan
jarang ada orang yang berlalu lalang.
Tiba-tiba Hoa In-liong tertegun, sinar matanya yang tajam
bagaikan sembilu itu menatap ke arah loteng tambur tanpa
berkedip.
Kembali Coa Cong-gi dibikin tertegun oleh sikap rekannya
itu. Dengan perasaan tidak habis mengerti segera tegurnya,
“Eeeeh…. kenapa kamu? Adakah sesuatu yang tidak beres?”
Hoa In-liong segera menuding ke arah mana yang
dipandangnya itu, lalu katanya, “Coba kau lihat, bukankah
kereta kuda itu adalah kereta kuda milik Cia In?”
Mengikuti arah yang ditunjuk Coa Cong-gi segera
memandang ke bawah. Benar juga, tampak seekor kereta
kuda sedang dilarikan kencang kencang menuju bagian kota
yang ramai.
Sayang ketajaman matanya tak dapat menandingi
ketajaman mata Hoa In-liong. Sekalipun ia melihat adanya
kereta yang sedang dilarikan kencang-kencang akan tetapi tak
sempat dilihat bagaimanakah bentuk kereta kuda itu.
“Aaaah….kamu ini!” Serunya kemudian. “Di kota Kim-leng
ini banyak sekali kereta kuda macam begitu! Darimana kau
bisa tahu kalau kereta tersebut adalah keretanya Cia In?”

355
“Memang, di kota Kim-leng mungkin terdapat banyak sekali
kereta kuda, tapi modelnya toh tak mungkin sama antara yang
satu dengan yang lain. Aku sangat hapal dengan model kereta
milik Cia In dan aku rasa dugaanku tak mungkin keliru” kata
Hoa In-liong dengan nada yang meyakinkan.
“Kalau memang kereta kuda itu adalah keretanya Cia In
lantas kenapa? Eagkau ‘kan juga tahu kalau dia adalah
seorang pelacur? Malam diundang orang, pagi baru pulang
sudah merupakan suatu pekerjaan yang umum, apanya yang
aneh?”
“Aaah………aku rasa tak mungkin begitu” Hoa In-liong tetap
menggelengkan kepalanya berulang kali.
“Masa kau lupa? Kemarin Ciu Hoa ‘kan pergi kesana untuk
mencari gara-gara. Jelas kedata-ngannya bukan untuk
mengundangnya mencari kesenangan. Aku jadi ingin tahu
bagaimana caranya ia meloloskan diri dari cengkeraman orang
she-Ciu itu?”
“Kalau tak dapat meloloskan diri lantas kenapa?” seru Coa
Cong-gi lagi dengan muka tertegun, “Eeeh… saudara Hoa
sekalipun engkau merasa curiga dengan kejadian ini, aku rasa
tak perlu kau pikirkan pada saat ini. Malam nanti kita
berkunjung saja ke kamarnya, tanggung semua kecurigaanmu
akan peroleh jawaban. Ayoh jalan kita pergi makan bubur.”
Tanpa menunggu jawaban lagi dia lantas menarik lengan
Hoa In-liong dan diajak menuju ke ruang makan.
Coa Cong-gi memang terlalu polos dan kasar, selamanya
dia tak mau berpikir secara baik-baik tiap kali merasa tak
mampu untuk menjawab pertanyaan orang, maka
digunakannya kekerasan. Menghadapi manusia semacam ini

356
terpaksa Hoa In-liong harus bersabar dan mengikuti kehendak
hatinya.
Setelah masuk ke ruang makan, tampaklah tamu yang
bersantap disitu banyaknya bukan kepalang. Dua puluh buah
meja yang tersedia hampir boleh dibilang sudah penuh diisi
manusia.
Dalam ruangan bersantap ini tidak tersedia orang yang
melayaninya, jadi bila ada orang yang hendak makan bubur,
maka dia harus menyiapkan buat diri sendiri. Oleh sebab itu
manusia yang berlalu lalang disitu amat banyak dan sangat
tidak beraturan.
Hoa In-liong mencampurkan diri dengan para jemaah yang
berkumpul disitu, mengikuti di belakang Coa Cong-gi mereka
pergi mengambil bubur, lalu mencari tempat kosong dan
duduk sambil bersantap.
Sayur yang tersedia disitu ada empat macam. Sepiring
sayur putih dimasak cah, sepiring ayam masak kecap, sepiring
tahu merah dan sepiring cah toge, empat macam sayur yang
amat sederhana dan umum, akan tetapi rasanya nikmat sekali,
jauh lebih nikmat dari masakan restoran.
Selesai makan bubur sampai kenyang, Coa Cong-gi baru
berpaling ke arah temannya sambil berta-nya, “Eeeeh….. Hoa
lo-te, bagaimana rasanya sayur dan bubur yang dihidangkan
disini?”
“Ehmmm…… lezat! lezat sekali” sahut Hoa In-liong sambil
angkat kepalanya dan tertawa.
Tiba-tiba dia membungkam, kata-kata selanjutnya tidak
diteruskan bahkan senyuman yang menghiasi ujung bibirnya

357
seketika lenyap, sinar matanya memandang kesatu arah
dengan termangu.
Coa Cong-gi mengenyitkan sepasang alis matanya yang
tebal, kemudian dengan perasaan tidak habis mengerti
tanyanya, “Hey Hoa lo-te, kenapa hari ini……”
Tiba-tiba ia merasa sinar mata yang terpancar dari kelopak
mata Hoa In-liong aneh sekali, tanpa sadar diapun
menghentikan kata-katanya dam mengalihkan pula sinar
matanya ke arah samping.
Ternyata di meja samping mereka duduklah seorang
pemuda yang menyoren pedang dengan disampingnya duduk
seorang gadis berkerudung hitam yang sedang bermain
dengan seekor kucing hitam.
Memandang kucing hitam yang bermata merah
menggidikkan hati itu, Coa Cong-gi kelihatan tertegun. Untuk
sesaat diapun, tak mampu mengucapkan sepatah katapun.
Dalam pada itu, pemuda tersebut telah meletakkan sumpit
dan mangkuknya keatas meja lalu menengadah. Kiranya
orang itu tak lain adalah kakak seperguruannya Wan Honggiok….
yaitu Siau Ciu adanya.
Coa Cong-gi tidak kenal dengan Siau Ciu, tapi dari Hoa Inliong,
dia pernah mendengar tentang kisah si kucing hitam
yang ganas.
Sementara itu Siau Ciu sendiripun tampak agak tertegun,
menyusul kemudian ia bangkit dan tertawa seram. “Hee…..
hee….. hee….. Hoa loji, sudah lama kita tak bertemu muka!”
Mendengar teguran tadi, perempuan berkerudung hitam
yang duduk disampingnya ikut menengadah, akan tetapi

358
setelah mengetahui siapakah pemuda yang berada
dihadapannya, kontan sekujur badannya menggigil keras.
Sekalipun perempuan itu mengenakan kain kerudung
warna hitam yang menutupi wajahnya atau mungkin tidak
membawa serta kucing hitamnya, Hoa In-liong tetap dapat
mengenali perempuan itu sebagai nyonya Yu “gundik” Suma
liang-cing yang pernah ditemuinya menjaga di sisi layon siokya
nya itu.
Tak heran Hoa In-liong segera tertegun, ketika secara tibatiba
bertemu muka dengan pembunuh yang paling
dicurigainya itu ditempat tersebut itu…..
Tampak nyonya Yu menarik ujung baju Siau Ciu, kemudian
bisiknya dengan suara lirih, “Jangan mencari gara-gara disini
mari kita pergi!”
“Heeh… heeeh… hee… mau pergi?” jengek Coa Cong-gi
dengan suara dalam “Kalian mau kemana? jangan mimpi di
siang hari bolong….”
“Biarlah mereka pergi” kata Hoa In-liong tiba-tiba dengan
suara halus dan tenang. “Tempat ini adalah tempat beribadah
yang sunyi, jangan sampai kita nodai tempai suci ini dengan
bau anyirnya darah manusia!”
“Kenapa?” seru Coa Cong-gi dengan alis mata berkenyit,
“Apakah orang itu bukan…..”
Sebelum pemuda itu menyelesaikan kata-katanya, Hoa Inliong
telah mengangguk. “Benar, dialah nyonya Yu dan aku
rasa tak mungkin bakal salah lagi!”

359
“Hoa In-liong!” seru Siau Ciu kemudian setelah mendengus
dingin, “Kongcumu akan menantikan kedatanganmu di bukit
Ciong san, beranikah engkau pergi ke sana?”
“Baik, kita tetapkan dengan perkataanmu itu, sebentar aku
pasti akan tiba di tempat itu!” sabut Hoa In-liong dengan sinar
mata berkilat.
Setelah berhenti sebentar, ditatapnya nyonya Yu dengan
pandangan tajam, kemudian lanjutnya, “Perjanjian ini dengan
hujin sebagai pokok persoalan, aku ada persoalan hendak
dibicarakan dengan hujin. Maka aku harap sampai waktunya
hujin juga harus habis disitu”
“Aku…… aku….. aku turut perintah!” dengan terbata-bata
nyonya Yu memberikan janjinya.
Hoa In-liong tersenyum, dia lantas bangkit berdiri.
“Saudara Cong-gi, mari kiia pergi!” ajaknya.
Dengan langkah lebar dia berjalan lebih dahulu menuju ke
pintu gerbang ruangan itu.
Dengan mulut membungkam Coa Cong-gi hanya mengekor
dibelakang rekannya. Menanti mereka tiba dipinggang bukit,
pemuda itu kehabisan sabar, dia lantas bertanya, “Hoa lo-te,
benarkah kau percaya dengan ucapan nyonya Yu yang akan
hadir dalam pertemuan itu?”
Hoa In-liong tersenyum, “Sekalipun dia merupakan satusatunya
titik petunjuk yang menguntungkan bagiku,
hakekatnya perempuan itu bukan manusia penting, jadi mau
datang atau tidak, sebenarnya tidaklah terlalu penting!”

360
“Kalau…… kalau memang begitu, kenapa kau undang pula
kehadirannya dalam pertemuan itu?” tanya Coa Cong-gi
dengan wajah tercengang dan tidak habis mengerti.
Sekali lagi Hoa In-liong tersenyum. “Andaikata perempuan
itu tidak pergi, ini membuktikan bahwa dia sudah melakukan
suatu perbuatan salah kepada pihak kami. Dus berarti pula dia
tersangkut dalam peristiwa berdarah yang menimpa Suma
siok-ya ku itu. Bila suatu ketika aku betul-betul menghadapi
jalan buntu, maka semua tenaga dan pikiranku dapat
dipusatkan untuk mengejarnya dan akhirnya duduknya
persoalan tentu akan ketahuan juga”
“Seandainya dia menghadiri pertemuan itu?” Cong-gi
bertanya lebih lanjut.
“Bila kita tinjau keadaan yang terpapar dihadapan mataku
sekarang, dengan posisi nyonya Yu yang tersangkut dalam
peristiwa berdarah itu maka menurut dugaanku jika dia berani
datang menghadiri pertemuan itu, tentu diapun akan
membawa pula membantu pembantunya untuk mengerubuti
aku dan keadaan semacam inilah yang memang sedang
kunanti-nantikan”
Mula-mula Coa Cong-gi agak tertegun setelah mendengar
perkataan itu, tapi menyusul kemudian ia sudah tertawa
terbahak-bahak. “Haa… haa…. haa…. Aku mengerti,
sekarang….. Aku mengerti…. Sungguh tak kusangka kau….”
Hoa In-liong segera menepuk bahunya pelan. “Kalau
banyak bicara tentu lebih banyak gagalnya dari pada berhasil.
Kalau sudah mengerti yaa sudahlah, mari percepat perjalanan
kita”
Demikianlah, dua orang itu lantas bergandengan tangan
dan buru-buru menuruni bukit Cing-liang san.

361
Baru saja dua orang itu lenyap dari pandangan, nun jauh
dibalik pepohonan yang rindang sana pelan-pelan muncul
seorang hweesio tua yang kurus kering tinggal kulit
pembungkus tulang. Memandang bayangan punggung Hoa Inliong
yang menjauh, dia gelengkan kepalanya berulang kali,
kemudian sambil memanggul kantungan kainnya pelan-pelan
diapun menuruni bukit itu.
Bukit Ciong-san terletak kurang lebih lima puluh li disebelah
timur kota Kim-leng.
Hoa In-liong dan Coa Cong-gi tidak langsung menuju
ketempat tujuan. Mereka keluar kota lewat pintu sui-see-bun,
mula-mula bermain dulu di Yu-hoa-tay setelah itu mereka baru
mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya menuju ke bukit
Ciong-san.
Setibanya di kaki bukit, waktu menunjukkan antara pukul
tujuh pagi. Angin berhembus sepoi-sepoi menyejukkan badan.
Gunung itu cukup tinggi dan angker, orang menyebutnya pula
bukil Ci-kim-san.
Memandang tanah perbukitan yang tinggi dan luas itu, Coa
Cong-gi tampak agak tertegun, kemudian sambil
menghembuskan napas panjang katanya, “Aaah….. Coba
lihatlah bukit Ciong-san begini besar dan luasnya, kenapa tadi
kita bisa lupa menanyakan tempat yang sebenarnya? Coba
sekarang kemana kita musti menunggu?”
Hoa In-liong berpikir sebentar, lalu sahutnya, “Untunglah
waktu masih pagi. Mari kita mendaki dulu kepuncak bukit itu.
Dari situ kita akan menyaksikan dengan jelas setiap orang
yang mendatangi bukit ini”

362
Oleh karena hanya itulah satu-satunya jalan yang bisa
ditempuh, tentu saja Coa Cong-gi tak dapat berkata apa-apa
lagi. Sekali lagi dua orang itu mengerahkan tenaga dalamnya
untuk lari ke atas puncak.
Sesaat kemudian, mereka sudah mendekati puncak bukit
tersebut, tiba-tiba terdengar seorang perempuan membentak
dengan suara yang amat parau, “Berhenti! Kalau engkau
berani maju selangkah lagi, jangan salahkan kalau kutebas
kutung sepasang kaki anjingmu!”
Mendengar ancaman tersebut, Hoa In-liong merasa
terkesiap, segera pikirnya, “Lhoo…. itu kan Si Nio? Kenapa dia
bisa berada disini?.”
Baru saja pikiran itu melintas dalam benaknya, tiba-tiba
terdengar suara pria lain menyahut sambil tertawa dingin,
“Lengan belalang mau menahan kereta. Haa…. Haa…. Haa….
Kau si nenek jelek benar-benar manusia yang tak tahu diri,
berani benar……”
Belum habis perkataan itu, tiba-tiba Hoa In-liong
membentak dengan suara dalam, “Ayoh cepatan sedikit!
Orang itu adalah Ciu Hoa”
Begitu selesai berkata, tubuhnya lantas melambung ke
udara. Dari situ dengan kecepatan bagaikan sambaran kilat
menerjang ke atas puncak bukit.
Dalam waktu singkat kedua orang itu sudah tiba diatas
puncak bukit itu. Tampaklah tempat tersebut adalah sebidang
tanah berumput yang tidak rata, luasnya kurang lebih belasan
kaki persegi. Sebelah timur dan barat merupakan hutan yang
rimbun, sebelah timur laut merupakan sebuah jurang yang
entah berapa dalamnya.

363
Pada waktu itu kecuali arah tebing dengan jurang yang
dalam itu tanpa penjagaan, boleh dibilang tiga arah
disekitarnya sudah dikepung oleh enam belas orang laki-laki
berbaju ringkas warna merah.
Ditengah tanah lapang berumput itu berdirilah seorang
nona baju hitam yang berusia enam belas tahunan dengan
pedang pendek terhunus. Mukanya diliputi kegusaran dan
matanya melotot besar. Si Nio si perempuan bertampang jelek
itu menghadang dihadapannya. Mukanya yang jelek itu
kelihatan menyeringai seram, sepasang matanya berapi-api.
Kulit wajahnya mengejang kencang, sepasang tangannya yang
hitam pekat bagaikan arang tampaknya sudah disaluri tenaga
dalam yang sempurna, ini menunjukkan bahwa ia telah
bersiap-siap hendak turun tangan.
Dihadapan perempuan jelek itu berdirilah Ciu Hoa dengan
sikap acuh tak acuh. Sinar matanya memancarkan cahaya
cabul, senyuman tengik tersungging di ujung bibirnya.
Kendatipun pihak lawan sudah bersiap sedia menerjang ke
depan, akan tetapi dia sendiri tetap tenang-tenang saja,
malahan selangkah demi selangkah maju semakin ke depan.
Dibelakang Ciu Hoa berdirilah seorang pemuda berbaju
perlente yang usianya antara dua puluh tahunan. Kalau dilihat
dari gerak geriknya, jelas dia berasal sealiran dengan Ciu Hoa.
Dari keadaan yang terpapar didepan mata sekarang,
siapapun akan tahu bahwa pertarungan ini bukan disebabkan
soal dendam, sebaliknya karena Ciu Hoa yang cabul dan suka
main perempuan itu telah berhasrat untuk menangkap si nona
baju hitam.
Coa Cong-gi adalah seorang pemuda yang berangasan,
menyaksikan adegan tersebut, sontak bawa amarahnya
berkobar dada, tiba-tiba membentak keras, “Berhenti!

364
Mengganggu kaum perempuan yang lemah, Hmm! Terhitung
manusia gagah macam apakah kau itu?”
Bentakan tersebut diucapkan dengan disertai tenaga dalam
yang amat sempurna, begitu nyaring-nya bentakan tadi
membuat telinga orang terasa jadi sakit.
Cia-Hoa sangat terkejut, tanpa terasa dia menghentikan
langkah kakinya dan berpaling.
Rupanya si nona baju hitampun telah mengetahui siapa
yang datang, dengan kegirangan segera teriaknya, “Hoakongcu!”
Ketika itu Ciu Hoa pun sudah melihat kedatangan Hoa-In
liong. Dengan alis mata berkenyit segera tegurnya dengan,
seram, “Heeh… heee…. heee… rupanya kita memang
berjodoh! Tempo hari kau berdaya upaya menipu aku dengan,
mengakui bernama Pek khi. Setelah itu melakukan perbuatan
licik pula atas diriku. Heee….. heee… heee…… Hoa-loji,
apakah kau tidak takut perbuatanmu melarikan perempuan
pelacuran itu akan merusak nama baik keluarga Hoa-kalian?”
Mendengar perkataan itu, diam-diam Hoa In-liong merasa
terkejut, segera pikirnya, “Aaaah…. apa yang telah terjadi?
Mungkinkah Cia In telah membongkar rahasiaku
dihadapannya…..?”
Belum habis ingatan itu melintas dalam benaknya,
terdengar nona baju hitam itu sudah menjerit kaget, “Oooh
Thian! Kau…..”
Jeritan itu penuh mengandung nada kecewa, sekalipun tak
diketahui dengan alasan apakan ia menunjukan perasaan
kecewanya itu.

365
Belum sempat Hoa In-liong berpikir lebih jauh, Si Nio si
perempuan jelek itu sudah menukas lebih dulu dengan suara
dingin, “Nona, jangan lupa dengan tujuan kita yang
sebenarnya. Biar dia mau menculik nona darimanapun,
kesemuanya itu sama sekali tak ada sangkut pautnya dengan
kita!”
Dalam beberapa waktu singkat ini memang telah terjadi
banyak sekali kejadian aneh. Seruan girang dari nona baju
hitam itu disusul dengan jerit penuh kekecewaan, ditambah
dengan ucapan Si Nio dan sindiran Ciu Hoa, kesemuanya itu
membuat Coa Cong-gi semakin kebingungan di buatnya.
Tampak Hoa In-liong tarik napas panjang panjang,
kemudian sambil menghampiri nona baju hitam itu katanya,
“Nona! Kau jangan bersedih hati, duduk persoalan yang
sebenarnya sudah berhasil kuselidiki sedikit demi sedikit dan
terbukti sudah bahwa nona memang tidak tersangkut
didalamnya. Mengenai persoalan ayahmu, dikemudian hari
pasti akan kuusahakan bantuan sedapat mungkin, Nah,
sekarang kau boleh tinggalkan tempat ini lebih dahulu…….”
Belum habis dia berkata, tiba-tiba terdengar Ciu Hoa
tertawa terbahak-bahak, “Haa….. haa…. Haa… Orang she-
Hoa, apakah engkau juga akan mencampuri urusan ini?”
tegurnya.
Hoa In-liong sama sekali tidak menggubris perkataannya
itu, dia berkata lebih jauh, “Nona, perkataanku ini benar-benar
muncul dari hati sanubariku. Keturunan keluarga Hoa
selamanya tidak akan menjilat kembali ludah yang lelah
ditumpahkan. Percayalah dengan aku. Nah, ayolah pergi dulu!
Urusan disini akan kubereskan untuk nona!”
Si Nona baju hitam itu hanya menangis terisak dan sama
sekali tidak menjawab, sedangkan Si Nio berdiri dengan muka

366
sedingin es. Diapun tidak menunjukkan tanda-tanda akan
mengundurkan diri diri tempat itu.
“Hmmm. kau akan menguruskan persoalan mereka itu?”
tiba-tiba terdengar Ciu Hoa mengejek sambil mendengus
dingin. “Hmmm! Engkau benar-benar manusia tak tahu diri,
makin lama perbuatanmu semakin berani sehingga urusan
orang lain pun baru kaucampuri!”
Sinar matanya lantas dialihkan ke arah pemuda perlente
dibelakangnya, tambahnya, “Lo-ngo, ayoh serbu. Mati atau
hidup tak usah dipersoalkan, lagi… pokoknya sikat beres”
Sebuah pukulan kencang langsung disodok ke tubuh Hoa
In-liong yang berada dihadapannya.
Dengan satu kecepatan bagaikan kiiat Hoa In-liong
mengegos kesamping. Setelah lolos dari pukulan dahsyat itu,
bentaknya, “Eeeh…. tunggu sebentar! Aku masih ada
perkataan yang hendak kutanyakan kepadamu!”
“Criiiiiiing….!”
Pemuda berbaju perlente itu mencabut keluar pedangnya
lalu menghadang jalan pergi pemuda itu, sambil melancarkan
sebuah bacokan ke arah pinggang serunya dengan ketus,
“Dalam dunia akhirat bukan hanya kau seorang yang jadi
setan kebingungan, kau tak usah banyak bicara lagi! Nih,
rasakan sebuah bacokan mautku!”
Bukan saja perkataannya tajam, serangan pedang itupun
cepatnya bagaikan sambaran kilat, lihaynya bukan kepalang.
Menyaksikan serangan yang amat lihay itu, si nona baju
hitam menjerit kaget, sepasang matanya terbelalak lebarlebar.

367
Hoa In-liong sama sekali tak keder menghadapi serangan
maut itu. Tangan kirinya segera disodok ke muka melepaskan
sebuah pukulan dahsyat yang membentur ujung pedang itu,
bentaknya, “Siapa kau?. Kalau ingin bertempur, ayoh
terangkan dulu namamu…. aku paling tak sudi berkelahi
dengan manusia tak bernama!”
Setelah serangan telapak tangannya mengenai sasaran
yang kosong tadi, Ciu Hoa telah meloloskan pedangnya.
Dengan jurus Cian-li-yang huan (mengembangkan layar
menempuh seribu li) dia tusuk pergelangan tangan musuh.
“Dia bernama Ciu Hoa, sudah jelas?” sahutnya dengan
lantang.
Ciu Hoa pemuda berbaju perlente inipun bernama Ciu Hoa?
Ini berarti sudah ada tiga orang yang mengaku bernama Ciu
Hoa!
Hoa In-liong merasakan hatinya amat terperanjat, nyaris
iga kirinya termakan oleh tusukan pe-dang itu.
Melihat rekannya terancam bahaya, Coa Cong-gi sangat
gelisah dia siap menerjang kedepan untuk memberi
bantuannya.
Tiba-tiba terdengar nona baju hitam itu berteriak lengking,
“Hoa kongcu, sambutlah pedangku ini”
Serentetan cahaya tajam menembusi udara, pedang
pendek yang panjangnya hanya beberapa depa itu secepat
kilat meluncur ke arah punggung Ciu Hoa.

368
Merasakan datangnya maut dari belakang, Ciu Hoa tak
berani melanjutkan serangannya, cepat dia menarik kembali
pedangnya sambil menyingkir kesamping.
Agak lega Coa Cong-gi menyaksikan kesemuanya itu. Diamdiam
ia berpikir dihati, “Aku lihat perempuan itu mempunyai
satu ganjalan terhadap Hoa In-liong namun rupanya dia pun
menaruh rasa cinta, itulah yang dinamakan orang tidak cinta
sebenarnya cinta!”
Sementara hatinya berpikir demikian, sepasang matanya
dengan tajam mengikuti jalannya pertarungan ditengah
gelanggang.
Tampaklah pedang pendek itu dengan membawa desingan
angin tajam masih meluncur terus ke depan. Tampaknya Hoa
In-liong tak dapat menyambut senjata tersebut. Dalam
gugupnya lengan kanannya cepat dijulurkan ke depan dan
tahu-tahu entah dengan cara apa, pedang pendek yang
bersinar tajam itu sudah terjepit diantara jari tengah dan jari
telunjuknya.
Setelah memegang pedang, maka keadaan Hoa In-liong
ibaratnya harimau yang tumbuh sayap. Tampaklah pedang
pendek itu berkelebat kian ke mari dengan cepatnya. Dengan
serangkaian serangan berantai yang maha dahsyat dia serang
dua orang Ciu Hoa itu habis-habisan sehingga kedua orang itu
terdesak mundur terus tiada hentinya.
Sementara melancarkan serangan berantainya, diam-diam
Hoa In-liong berpikir pula didalam hati, “Aneh benar dari mana
munculnya begitu banyak Ciu Hoa dalam dunia persilatan.
Pemuda berbaju perlente itu disebut Lo-ngo, pria bermuka
kuda dulu disebut Lo-sam… Entah ada berapa orang Ciu Hoa
lagi yang bakal kujumpai? Kenapa tidak kugunakan siasat

369
untuk memancing mareka? Asal jalannya ilmu silat mereka
dapat kuraba, tentu untuk menebak asal usul mereka….’
Berpikir sampai disini, dia lantas menunjukkan sikap
seakan-akan tenaga dalamnya sudah lemah, sehingga
permainan pedangnya ikut melambat pula….”
Pertarungan antara jago-jago lihay, seringkali menang
kalah hanya tergantung dalam waktu sedetik.
Pada hakekatnya ilmu silat yang dimiliki dua orang Ciu Hoa
itu sudah mencapai pada puncaknya. Tapi oleh karena mereka
menyerang secara gegabah, mengakibatkan posisi mereka
selalu berada di bawah angin.
Dan sekarang, ketika secara tiba-tiba dilihatnya serangan
pedang dari Hoa In-liong melambat, serta-merta mereka
manfaatkan kesempatan baik yang sama sekali tak diduganya
itu sebaik mungkin.
Dengan wajah berseri-seri, kedua orang itu segera
memperketat serangan pedang.
“Sreeet….! Sreeet…..! Sreeet!”
Secara beruntun mereka lancarkan tiga buah serangan
berantai untuk memperbaiki kembali posisi mereka.
Perlu diketahui, oleh karena kedudukan mereka berada
dibawah angin, maka ilmu pedang mereka tak bisa
dikembangkan sebaik-baiknya dan sekarang setelah posisinya
berhasil diperbaiki, dua bilah pedang mereka bagaikan ikan
yang bertemu air, segera melancarkan serangan lagi dengan
jauh lebih lincah dan ganas.

370
Ilmu pedang yang dimiliki kedua orang itu betul-betul
ganas, lihay dan berbahaya, bukan saja kerjasamanya sangat
tapat, langkah dan permainan pedang kedua orang itupun
jauh lebih mantap dan berbobot. Lebih banyak jurus-jurus
serangan aneh yang digunakan dari pada tipu muslihat,
bahkan kelihayannya tidak jauh berbeda dengan ilmu pedang
yang dimainkan Ciu Hoa ketika mereka bertarung di kota Lokyang
tempo hari.
Setelah mencoba dua puluh jurus lebih, Hoa In-liong mulai
berpikir dalam hatinya, “Kalau ditinjau dari gerakan jurus ilmu
pedang mereka, tampak-tampaknya jurus pedang itu berasal
dari satu perguruan yang sama. Itu berarti pula bahwa
mereka berasal dari satu perguruan yang sama pula, entah
berapa sebenarnya jumlah manusia yang memakai nama Ciu
Hoa itu?. Aku perlu menyelidikinya sampai jelas!”
Tiba-tiba pedangnya digetarkan kencang-kencang, lalu
secepat kilat membacok tubuh Ciu Hoa yang berbaju perlente
itu, bentaknya dengan nyaring, “Ayoh bicara! Apakah kalian
semua adalah anak murid dari perkumpulan Hian-beng-kau?”
Serangan itu datangnya seperti bianglala dari angkasa,
bukan saja sangat tajam bahkan disertai tenaga desingan
yang memekikkan telinga.
Ciu Hoa yang berbaju pelente itu amat terkejut. Ia tak
berani menyambut ancaman tersebut dengan kekerasan.
Tanpa sadar kakinya melangkah mundur setindak kebelakang.
Ciu Hoa yang bermuka potongan kuda itu cepat menyergap
maju ke depan. Ujung pedangnya menciptakan selapis cahaya
tajam yang menggidikkan hati, tanpa memperdulikan
keselamatan jiwanya. Secara beruntun dia totok tiga buah
jalan darah penting dipunggung Hoa In-liong, tentu saja

371
tujuan dan serangannya ini adalah untuk menyelamatkan jiwa
laki-laki berbaju perlente yang bernama Ciu Hoa itu.
Serangan itu lihaynya memang lihay. Sayang Ciu Hoa
bermuka kuda itu telah melupakan sesuatu. Dia lupa bila
seseorang akan menyerang dengan satu jurus mengadu jiwa,
maka pertahanan atas tubuhnya sendiri akan terbuka.
Baru saja dia menerkam kemuka, dengan satu gerakan
manis Hoa In-liong sudah putar badannya sambil
membabatkan pedang pendeknya ke depan. Seketika itu juga
ia merasa kepalanya jadi dingin dan sakit. Rasa kaget dan
takutnya bukan alang kepalang.
Hoa In-liong tertawa, sambil mundur kebelakang tegurnya,
“Coba aku mau bertanya, apabila serangan pedangku tadi
kulancarkan tiga inci lebih kebawah maka apa akibatnya?”
Apa akibatnya? Tentu saja tak usah ditanyapun orang akan
mengetahui dengan sendirinya.
Berdiri semua bulu kuduk Ciu Hua bermuka potongan kuda
itu, peluh dingin membasahi tu-buhnya, diam-diam ia menarik
napas panjang dengan jantung berdebar keras.
Hoa In-liong tersenyum kembali ujarnya, “Tolong tanya,
dalam perguruanmu ada berapa yang menggunakan nama
dan she sebagai Ciu Hoa?”
“Delapan orang!” jawab Ciu Hua bermuka potongan kuda
itu seperti kena hipnotis.
“Delapan orang menggunakan nama yang sama bukankah
itu berarti bahwa kalian memang sengaja memusuhi keluarga
Hoa kami!” bentak Hoa In-liong dengan muka sedingin es.

372
“Hmmm! Ayoh jawab permusuhan apakah yang sebenarnya
terikat antara gurumu dengan keluarga Hoa kami?”
Tiba-tiba Ciu Hoa bermuka potongan kuda itu tertegun. Ia
baru sadar bahwa barusan dia telah kesalahan berbicara,
kontan paras mukanya berubah jadi pucat pias bagaikan
mayat. Saking kaget dan gugupnya dia jadi gelagapan dan tak
tahu apa yang musti dilakukan.
Tiba-tiba Ciu Hoa yang berbaju pelente itu menimbrung
dari samping arena, “Lo-sam sepatah kata juga bicara,
delapan sepuluh patah kata juga telah berbicara. Kalau toh
sudah berbicara, aku rasa apa yang telah kita ketahui katakan
saja semuanya secara blak-blakan!”
Hoa In-liong mengerutkan alisnya rapat-rapat dalam hati
diam-diam pikirnya, “Kakak beradik seperguruan ini
mempunyai usia yang hampir sebaya, mempunyai nama yang
sama dan saling memuji tapi mengindahkan mana yang lebih
besar mana lebih kecil. Ditinjau dari sikap mereka, tentulah
guru mereka pun berwatak seperti itu.”
Berpikir demikian, ia lantas berkata, “Kukagumi engkau
sebagai seorang laki-laki sobat. Nah! Tolong tanya markas
besar perkumpulan Hian-beng-kau kalian terletak dimana?
Apakah aku boleh mengetahuinya?”
“Perkumpulan kami belum dibuka secara resmi” jawab Ciu
Hoa berbaju parlente itu dengan nya-ring, “Kau tak usah
kuatir, disaat perkumpulan kami akan diresmikan nanti, kartu
undangan pasti akan kami bagi ke seluruh dunia persilatan,
termasuk juga keluarga Hoa kalian! “
Hoa In-liong mengangguk tanda puas dengan jawabannya,
“Benarkah Suma tayhiap suami istri yang berdiam di kota Lokyang
terbunuh oleh orang-orang yang kalian utus?”

373
“Benar!” jawab Ciu Coa berbaju perlente.
“Bukan!” sanbung Ciu Hoa bermuka potongan kuda.
“Eeeh….. Kalau mau menjawab yang betul, sebetulnya ya
atau tidak?” bentak Hoa In-liong dengan sinar mata berkilat.
“Kami berdua ‘kan sudah mengakuinya secara terus
terang?” seru Ciu Hoa bermuka kuda dengan ketus.
Hoa In-liong mengerutkan dahinya kencang-kencang. “Jadi
sebetulnya ya atau tidak?” kembali tegurnya.
“Ya juga tidak, semuanya benar! Apa susahnya
mengartikan perkataan yang sangat sederhana itu? Cerewet
amat kamu ini”.
Hawa amarah sontak mencekam seluruh benak Hoa Inliong.
Hampir saja amarahnya itu akan dilampiaskan keluar,
untunglah ia masih mampu mengendalikan perasaannya.
“Hmm….. Baik…. Baik, rupanya sebelum kuberikan suatu
demontrasi kekuatan, kalian tak akan mengakuinya secara
berterus-terang. Kalau memang begitu lihat saja kelihayanku
ini!” ancamnya.
Ciu Hoa berbaju perlente itu melototkan sepasang matanya
lebar-lebar, bibirnya bergerak seperti hendak mengucapkan
sesuatu. Tapi sebelum ia sempat berbicara, tiba-tiba terdengar
suara sese-orang yang serak tua tapi lantang berkumandang
memecahkan kesunyian, “Eeeh……..bocah cilik, kalau engkau
ingin tahu segala sesuatunya hingga jelas, tanyakan saja
langsung kepadaku!”

374
Ucapan tersebut datangnya sangat mendadak dan sama
sekali tak terduga. Hoa In-liong merasa amat terperanjat,
cepat-cepat dia berpaling kebelakang.
Entah sejak kapan, dari arah selatan telah muncul empat
orang kakek yang telah berusia lanjut didampingi nyonya Yu
yang masih menggendong kucing hitamnya dan Siau Ciu yang
berbaju ringkas dengan sebilah pedang tersoren
dipinggangnya.
Kedatangan beberapa orang itu sama sekali tidak berisik
ataupun menimbulkan suara. Malahan Siau Ciu dan nyonya Yu
juga bisa muncul dengan entengnya, ini menunjukkan bahwa
ilmu meringankan tubah yang mereka miliki telah peroleh
kemajuan yang pesat.
Memandang beberapa orang yang berdiri dihadapinya, Hoa
In-liong merasa terkejut, tanpa terasa pikirnya dalam hati,
“Entah siapakah beberapa orang kakek itu? Kalau didengar
dari nada pembicaraannya mereka, rupanya orang-orang itu
mengetahui jelas tentang peristiwa berdarah yang menimpa
keluarga Suma dan tampaknya pula mereka mempunyai rasa
dendam dan sakit hati yang amat mendalam dengan keluarga
Hoa kami. Jangan-jangan…. jangan-jangan mereka memang
sengaja hendak memusuhi keluarga Hoa?”
OOOOOoooOOOOO
BELUM habis ingatan tersebut melintas dalam benaknya,
Coa Cong-gi yang berangasan telah melompat kedepan
kemudian dengan muka dingin serunya lantang, “Eeeh…..
Kalian toh orang-orang yang sudah punya umur kenapa kalau
berbicara begitu tak tahu sopan santun? Bocah….. Bocah…..
Siapa yang kau sebut bocah? Kalau kita panggil tua bangka
kepada kalian, coba bayangkan saja bagaimana perasaan
kalian?. Hmmm! Betul-betul kurang ajar!”

375
Beberapa patah katanya itu diucapkan dengan suara yang
tajam bagaikan pisau, seketika itu juga empat orang kakek itu
dibikin tertegun.
Salah seorang diantara empat kakek yang berbadan kurus
jangkung segera tampil kemuka, dengan wajah agak berubah
bentaknya nyaring, “Bocah keparat, engkau benar-benar
menggemaskan hati, ayoh bicara. Siapa namamu?”
Coa Cong-gi sama sekali tidak jeri meskipuna harus
berhadapan muka dengan kakek yang berwajah bengis,
jawabnya, “Aku bernama Coa Cong-gi, salah seorang dan Kimleng
ngo-kongcu, ada apa?”
Sikapnya yang sombong dan jumawa itu semakin
menggusarkan kakek jangkung yang kurus itu. Sinar matanya
berkilat tajam, agaknya dia akan mengumbar hawa
amarahnya.
Saat itulah, kakek bermuka bengis yang berada ditengahtengah
menghalangi tindakan rekannya. “Huan heng, harap
tunggu sebentar!” katanya, “Buat apa kita musti ribut-ribut
dengan seorang bocah ingusan yang masih berbau tetek?
Sudahlah jangan gubris bocah itu!”
Tiba-tiba entah apa sebabnya, Hoa In-liong merasa hatinya
jadi tegang. Menurut pengamatannya secara diam-diam, ia
merasa bahwa beberapa orang kakek yang berada
dihadapannya tak dapat disangsikan lagi tersangkut dalam
peristiwa berdarah yang menimpa keluarga Suma. Pemuda itu
merasa bila kesempatan yang sangat baik ini dapat
dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya, maka tak sulit baginya
dikemudian hari untuk menyelidiki latar belakang dari
peristiwa berdarah itu.

376
Tentu saja diapun tahu, kalau dapat bentrokan secara
kekerasan harus dihindari, penyelidikan baru mendatangkan
hasil jika itu berlangsung dalam suasana yang tenang dan
ramah-tamah.
Oleh sebab itulah, begitu sikakek bengis tadi menyelesaikan
kata-katanya, cepat dia maju kedepan dan menjura kepada
kakek itu. “Aku adalah Hoa In-liong, boleh kuketahui siapakah
nama lotiang?”
Perkataannya ini tidak terlampau angkuh juga tidak terlalu
merendahkan diri sendiri. Nadanya besar dan tidak mirip
bocah yang masih ingusan. Siapapun akan mengira bahwa
pemuda ini sudah lama berkelana dalam dunia persilatan.
Ketika mendengar perkataan tersebut, pada mulanya kakek
bermuka bengis itu tampak tertegun, menyusul kemudian
dengan alis mata berkenyit sahutnya dengan dingin,
“Pernahkah engkau dengar tentang perkumpulan Kiu-im-kau
dari mulut orang persilatan?”
Dalam hati Hoa In-liong merasa tercekat, akan tetapi
diluarnya dia tetap tersenyum ewa. “Pernah sih pernah!”
sahutnya, “Aku dengar perkumpulan Kiu-im-kau berulang kali
mengalami kekalahan, malahan tempo dulu……”
“Tempo dulu kami sudah munculkan diri sebanyak dua kali
di wilayah selatan” Tukas kakek bermuka bengis itu sambil
mendengus. “Dan sekarang kami munculkan diri untuk ketiga
kalinya. Dalam pemunculan kali ini kali ini kami khusus akan
menyatroni keluarga Hoa kalian dan akan kami tandingi siapa
gerangan yang sebenarnya lebih pantas menguasai jagad”
Mendengar perkataan itu, Hoa In-liong merasa sangat
terperanjat. Diam-diam ia berseru tertahan. “Aaaah…. Tak
salah lagi. Mereka memang khusus memusuhi keluarga Hoa

377
kami ternyata memang perbuatan biadab dari orang-orang
perkumpulan Kiu-im-kau. Aaai….. Kakek ini tidak berani bicara
secara blak-blakan, itu berarti ada sesuatu yang dia takuti.
Dus berarti issue yang mengatakan bahwa dunia persilatan
bakal terjadi perubahan besar, tampaknya bukan berita isapan
jempol belaka yang tak dapat dipertanggung jawabkan”
Sekalipun dihatinya merasa terkejut bercampur curiga,
namun diluaran si pemuda itu tetap tenang. Ia kalem seperti
tak pernah terjadi sesuatu apapun, malahan dia tertawa
hambar. “Lotiang, perkataanmu terlalu berlebihan!” serunya.
“Kami keluarga Hoa sedari sian-cou sampai sekarang selalu
mengekang diri dengan ketat dan bersikap seramah-ramahnya
kepada orang lain. Sampai sekarang keadaan tersebut telah
berlangsung selama tiga generasi. Selama tiga generasi ini
kendatipun kami tak berani mengatakan telah melakukan
kebajikan dan keadilan bagi khalayak ramai, akan tetapi kami
pun yakin selama ini tak pernah berhasrat untuk mencari
gara-gara atau berebut nama dan kedudukan dengan orang
lain. Soal ini… yaaa, soal ini lebih baik tak usah dibicarakan
lebih jauh. Tolong tanya tujuan Lotiang datang kemari
adalah…..”
Ditengah pembicaraan bukan saja secara tiba-tiba ia telah
mengalihkan pokok pembicaraan ke soal lain, bahkan tiba-tiba
saja perkataan tersebut dipotong ditengah jalan. Dengan
senyuman dikulum ditatapnya wajah kakek itu dan
menantikan jawaban lawan.
Kalau kita perhatikan perkataannya barusan, maka dapat
kita dengar sekalipun nada pembica-raannya lunak dan enak
didengar, hakekatnya mengandung suatu ketegasan yang
membuat orang tak dapat mengganggu gugatnya kembali.
Mendengar ucapan tersebut, kakek bermuka bengis itu
segera alihkan pandangan matanya ke atas wajah Hoa InTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
378
liong, kemudian ditatapnya anak muka tajam-tajam. Selang
sesaat kemudian ia ba-ru tertawa terbahak-bahak dengan
nyaringnya. “Haaa… haa….. haa….. Bagus! Bagus sekali! Anak
keturunan keluarga Hoa memang jauh berbeda dengan orangorang
yang lain…..Bagus! Bagus!”
Setelah berhenti sebentar, ia melanjutkan kembali, “Aku
she-Le bernama Kiu it, tiancu ruang siksa dari perkumpulan
Kiu-im-kau. Dua puluh tahun berselang aku pernah mendapat
hadiah sebuah pukulan dari ayahmu!”
“Bagus….. Bagus! rupanya kau sedang menagih hutang
kepada Hoa lote yaaa? Rupanya kau ku-rang terima hanya
mendapat hadiah sebuah pukulan belaka?” tiba-tiba Coa
Cong-gi berteriak dengan suara lantang.
Hoa In-liong merasa gelisah sekali, cepat-cepat dia
berpaling kesamping seraya tegurnya, “Saudara Cong-gi,
jangan berteriak sembarangan lebih dulu. Bagaimanapun juga
kita tak boleh lupa akan kata kesopanan!”
“Tata kesopanan?” Coa Cong-gi melotot bulat-bulat,
“Kenapa kita musti membicarakan soal tata kesopanan dengan
mereka? Tahukah engkau, apa maksud dan tujuan mereka
datang kemari?”
“Tentu saja. Siaute juga tahu apa maksud dan tujuan
mereka datang kesini, cuma…..”
“Nah, kalau sudah tahu itu lebih baik lagi” tukas Cong-gi
tidak memberi kesempatan bagi rekannya untuk bicara lebih
jauh. “Mari kita selesaikan persoalan ini dengan pertarungan
kilat, jangan beri peluang bagi mereka untuk mencari
keuntungan di air keruh”

379
Hoa In-liong benar-benar dibikin serba salah oleh perkataan
rekannya. Mau marah bagaimana, tidak marah bagaimana.
Akhirnya dia memutuskan untuk tidak memberi tanggapan
terhadap ucapan rekannya.
Pelan-pelan anak muda itu berpaling, ditatapnya Tiancu
ruang siksa dengan sinar mata tajam, ke-mudian katanya lagi,
“Aku rasa apa yang barusan dikatakan Coa heng memang
benar. Tampaknya kedatangan Le Tiancu adalah untuk
menuntut balas terhadap sebuah pukulan yang pernah
dihadiahkan ayahku padamu, serta menguasai dunia
persilatan dibawah kekuasaanmu, Hmmm. Kalau toh memang
itu tujuan kalian, baik untuk kepentingan umum maupun
untuk kepentingan pribadi, cari saja langsung kepadaku pasti
akan kuselesaikan semua persoalan sebaik-baiknya dan aku
rasa satu-satunya cara yang bisa digunakan adalah bertarung
sampai salah satu diantara kita menang.”
Baru saja ia menyelesaikan kata-katanya, kakek kurus
jangkung itu sudah tertawa seram dan menimbrung dari
samping. “Eeeh….. Anak muda, besar amat lagak bicaramu!.
Untuk kepentingan umum dan kepentingan pribadi?. Heeh….
hee…. hee….. Rupa-rupanya kau hendak mengandalkan
kekuatanmu seorang untuk menghalang-halangi usaha
perkumpulan kami yaa?”
Hoa In-liong tidak memberi tanggapan, sinar matanya
lantas dialihkan ke wajah kakek kurus itu lalu tegurnya,
“Tolong tanya siapa nama lotiang? Dan apa kedudukanmu
dalam perkumpulan Kiu-im-kau?”
“Aku bernama Huan Tong, menjabat sebagai Tongcu
bagian propaganda dalam perkumpulan Kiu-im-kau” sahut
kakek itu angkuh.

380
Air muka Hoa In-liong segera berubah jadi serius. Dengan
wajah bersungguh-sungguh katanya lagi, “Bagus sekali, Huantongcu!
Tolong tanya bagaimana dengan hutang ayahku?”
Kakek kurus yang bernama Huan Tong itu agak tertegun,
menyusul kemudian sahutnya, “Kenapa? Hutang sang ayah,
anaklah yang musti bayar! Kenapa kau musti banyak bertanya
lagi?”
Hoa In-liong mengangguk. “Benar, ayah yang berhutang
putranya yang wajib membayar. Le-tiancu merasa pernah
berhutang sebuah pukulan dari ayahku, maka aku Hoa loji
sebagai putra ayahku, apakah tidak berkewajiban untuk
menerima pembayaran sebuah pukulan itu?”
Huan Tong tertegun, untuk sesaat ia tak mampu berkatakata.
Ia cuma bisa memandangi lawan-nya dengan mulut
melongo.
Hoa In-liong tidak berdiam sampai disitu saja, kembali
ujarnya lebih jauh, “Huan tongcu, ada satu persoalan hendak
kuberitahukan pula kepadamu, yaitu setiap orang dari
perkampungan Liok-soat-san-ceng dibukit In-tiong san selalu
menitik beratkan semua kekuatan dan perhatiannya untuk
menjaga keamanan serta kestabilan situasi dalam dunia
persilatan. Perduli siapapun jika berani menerbitkan keonaran
atau ingin mendatangkan hujan badai dalam dunia kangouw,
maka anak cucu keluarga Hoa bersumpah akan memusuhinya
sampai titik darah penghabisan, tidak terkecuali pula terhadap
perkumpulan Kiu-im-kau. Nah, Huan tongcu! Percuma kau
berlagak garang dihadapanku, sebab toh sikap garangmu itu
tidak nanti akan mempengaruhi sikap maupun pendirian
dalam hatiku!”
Kiranya pemuda itu sengaja berbicara kesana kemari,
tujuan yang sebenarnya tak lain hanya hanya satu yakni

381
mengutarakan pendirian dan sikapnya dalam persoalan
tersebut.
Tak terkirakan rasa gusar dan mendongkol yang berkobar
dalam dada Huan Tong sehabis mendengar perkataan itu.
Untuk sesaat ia berdiri tertegun kemudian sambil tertawa
seram serunya, “Haa…. haa…. haa…. Bocah keparat kau
memang bernyali! Kau memang benar-benar bernyali!”
Seraya berkata selangkah demi selangkah dia maju
menghampiri lawannya. Ditinjau dari sikapnya yang garang
dan menyeramkan itu dapat diketahui bahwa ia sudah tak
sabar lagi dan kini bersiap-siap untuk melakukan serangan
maut.
Coa Cong-gi yang menyaksikan kemarahan orang,
bukannya jadi jeri, dia malahan semakin gembira, sambil
bertepuk tangan bersorak sorai serunya lantang, “Puas….
Puas! Sungguh memuaskan! Lo-te, biar aku yang layani kakek
ceking ini”
Dengan langkah lebar dia maju ke muka dan siap
menyongsong kedatangan Huan Tong.
Siapa tahu, baru selangkah dia maju, dengan kecepatan
bagaikan kilat Hoa In-liong telah menarik tangannya. “Saudara
Cong-gi, tunggu sebentar…. Tunggu sebentar!” Serunya
kemudian, “Jangan terburu-buru turun tangan, sebab siaute
masih ada persoalan yang hendak dibicarakan dulu dengan
orang ini”
Pelan-pelan Huan Tong maju menghampiri si anak muda
itu, langkahnya sama sekali tidak berhenti, serunya pula
dengan suara yang dingin dan menggidikkan hati, “Kau tak
usah banyak berbicara lagi, ingin ber bicara maka lebih baik

382
kita berbicara dalam gerakan tangan dan kaki saja…. ayoh!
siapkan dirimu untuk menyambut seranganku ini”
Hoa In-liong kualir Coa Cong-gi tak dapat menahan
sabarnya, dia maju ke depan dan menghadang dihadapannya,
lalu dengan suara dalam serunya, “Huan tongcu, harap
engkau sedikit tahu diri. Aku sama sekali tidak takut untuk
bertarung melawan engkau. Tapi sebelum itu ada beberapa
persoalan ingin kutanyakan lebih dulu, masa kau tak berani
menjawabnya….?”
“Aku mengerti jelas sekali, bahkan terlampau jelas bagiku”
sahut Huan Tong sambil mendengus dingin, “Bila selesai
kujajal dirimu, otomatis aku akan lebih jelas lagi…..”
Belum habis perkataan itu, ketika tiba-tiba seorang nyonya
tua menanggapi perkataannya itu dengan dingin, “Huan Tong,
ayoh mundur, kau terlalu congkak terlalu jumawa sekali dalam
setiap pembicaraan!”
Huan Tong terperanjat, cepat-cepat dia berpaling, lalu
tergopoh-gopoh memberi hormat. “Yaa kaucu, Huan Tong
menghunjuk hormat buat kaucu!”
Dalam waktu singkat seruan “menghunjuk hormat buat
kaucu” berkumandang silih berganti, Le Kiu-it sekalian bertiga
memberi hormat dengan sikap yang bersungguh-sungguh lalu
mengundurkan diri kesamping. Sedangkan Siau Ciu dan
nyonya Yu bertekuk lutut dan menyembah ke atas tanah.
Hoa In-liong sangat terperanjat, cepat dia menengadah dan
alihkan pandangan matanya kedepan, tampaklah pada sudut
sebelah selatan dari tanah berumput itu telah berdiri seorang
nyonya tua yang berwajah potongan rembulan didampingi
seorang gadis cantik yang bertubuh ramping, tinggi semampai
dengan rambut sepanjang bahu.

383
Nyonya tua bermuka bulat rembulan itu mempunyai
perawakan tubuh yang tinggi besar. Ia me-ngenakan jubah
lebar berwarna hitam. Rambutnya yang berwarna keperakperakan
berkibar terurai di bahu. Tangan kanannya
memegang sebuah toya baja berwarna hitam. Di ujung toya
baja itu terukirlah sebuah kepala setan perempuan sebanyak
sembilan buah. Kesemuanya diukir dengan muka bengis. Gigi
taring mencuat keluar dan rambut panjang awut-awutan,
mengerikan sekali tampangnya.
Ketika kepala setan itu diamati lebih seksama, ternyata
roman mukanya persis seperti tampang nyonya tua itu. Hanya
saja perempuan tua itu kecuali bermuka pucat seperti mayat
dan sama sekali tidak ada warna merahnya. Sepasang
matanya bersinar tajam menggidikkan hati, membuat siapa
pun yang melihatnya merasa seram dan ketakutan.
“Dialah ketua dari perkumpulan Kiu-im-kau?” diam-diam
Hoa In-liong berpikir, “Yaa, kalau dia yang datang, itu lebih
baik lagi, sebab dengan begitu akupun tak usah jauh-jauh
pergi ke Lam-huang untuk mencari jejaknya.”
Berpikir sampai disini, sinar matanya lantas dialihkan
kebelakang nenek itu dan menatap tajam dara cantik
berambut panjang yang berada di belakang Kiu-im-kaucu.
Menyaksikan tampangnya yang ayu dan menawan hati itu
tiba-tiba saja anak muda itu tertegun.
Yaa, gadis itu memang cantik sekali. Kecantikan wajahnya
melebihi bidadari dari kahyangan. Rasanya sekalipun Siang-go
atau Si-see lahir kembali pun kecantikan mereka juga begitu
saja.
Usia nona itu masih muda sekali. Mukanya potongan kwaci
dengan sepasang alis mata yang lentik. Matanya jeli bagaikan

384
bintang timur. Hidungnya mancung. Bibirnya kecil mungil
bagaikan delima merekah. Kulitnya halus dan putih, seputih
susu. Pinggangnya ramping dan pinggul yang padat berisi.
Tertutup oleh gaun bajunya yang putih salju itu tampaklah
perawakan badannya yang ramping dan menawan hati. Rasarasanya
didunia ini sukar untuk temukan perempuan kedua
yang memiliki kecantikan melebihi gadis tersebut.
Sebagaimana diketahui, Hoa In-liong adalah seorang
pemuda romantis. Manusia macam dia pa-ling pantang
bertemu dengan gadis-gadis cantik. Ketika memandang untuk
kejapan yang pertama tadi, anak muda itu masih merasakan
keadaan yang wajar. Akan tetapi semakin dilihat dia merasa
semakin tertarik. Makin dipandang ia merasa keayuan dan
kerampingan nona itu semakin memi-kat hatinya dan akhirnya
perasaan tersebut tak dapat dikuasahi lagi. Dari kagum ia jadi
tertarik dan karena tertarik timbullah hasratnya untuk memiliki
gadis itu.
Tanpa sadar uatuk sesaat anak muda itu berdiri terbelalak
dengan mulut melongo, nyaris dia lupa berada dimanakah
saat itu.
Untuk sesaat suasana diarena pertarungan itu jadi sunyi,
sepi dan tak kedengaran sedikit suara pun, Ciu Hoa berdua
beserta para begundalnya telah berkumpul jadi satu. Si Nio
yang jelek berdiri bersama majikannya dibelakang Hoa Inliong.
Hampir semua perhatian dan sinar mata orang-orang
yang hadir di sana tertuju kesatu arah, yakni wajah kaucu
serta gadis cantik itu.
Selang sesaat kemudian, dengan sinar mata setajam
sembilu Kiu-im-kaucu menyapu pandang sekejap ke arah
orang-orangnya yang berdiri disekeliling tempat itu, kemudian
sambil mengulapkan tangan kirinya dia menghardik keras,
“Kalian semua tak perlu banyak adat!”

385
Empat orang kakek itu mengiakan, mereka lantas luruskan
badan dan mundur kebelakang. Se-mentara Siau Ciu dan
nyonya Yu selesai menyembah tiga kali mengundurkan diri
dari situ.
Hoa In-liong baru tersadar dari lamunannya sesudah
mendengar bentakan itu, mukanya jadi merah padam karena
jengah, sorot matanya cepat-cepat dialihkan ke arah wajah
Kiu-im-kaucu.
Ketua dari perkumpulan Kiu-im-kau itu sedang mengetuk
tanah dengan tongkat kepala setannya, lalu terdengar ia
menegur, “Huan tongcu, apakah engkau tahu salah?”
“Hamba….. hamba…. hamba……” Huan Tong tergagap dan
buru-buru membungkukkan badannya.
Kembali Kiu-im-kaucu mendengus dingin. “Coba jawab!
Bagaimanakah pesan dan perintahku kepada kalian tadi?
Terbayang kegagahan dan kebesaran Hoa Thian-hong, aku
sendiripun mena-ruh tiga bagian rasa kagum kepadanya.
Apalagi kau Hmmm! Watakmu terlampau berangasan. Apalagi
mulutmu kurang tajam untuk bersilat lidah, sudah tahu
kelemahan sendiri ternyata berani juga bercekcok dengan
keturunan keluarga Hoa…. Huuh…! Perbuatanmu itu benarbenar
bikin hatiku merasa sangat kecewa!”
“Lapor kaucu!” ujar Huan Tong dengan sikap yang sangat
terhormat “Bocah cilik dari keluarga Hoa ini takabur dan
sombongnya bukan kepalang. Mulutnya terlampau tajam dan
bicaranya tidak kira-kira. Oleh karena dia bersumbar akan
menentang perbuatan perkumpulan kita, maka hamba…..”
“Sudah kau tak usah banyak bicara lagi!” tiba-tiba Kiu-imkaucu
menukas sambil mengulapkan tangannya “Memang

386
demikianlah pelajaran yang diwariskan keluarga Hoa mereka
terhadap setiap keturunannya!”
Tiba-tiba ia menghela napas panjang setelah berhenti
sebentar sambungnya lagi, “Atau dengan lebih tegasnya saja,
dengan mengandalkan keberhasilan ilmu silat yang dimiliki
keluarga Hoa, mereka mempunyai hak untuk mengucapkan
kata-kata semacam itu”
“Hamba tidak percaya” teriak Huan Tong dengan gelisah
setelah mendengar perkataan itu.
Setajam sembilu sorot mata Kiu-im-kaucu tiba-tiba
ditatapnya anak buahnya itu tanpa berkedip lalu bentaknya
dengan suara berat dan dalam. “Tutup mulutmu! Engkau tidak
percaya dengan kemampuan ilmu silat yang dimiliki keluarga
Hoa ataukah engkau sudah tidak percaya lagi dengan
perkataanku?”
Dengan ketakutan cepat-cepat Huan Tong
membungkukkan badannya memberi hormat. “Hamba tidak
berani! Hamba hanya mempunyai kesetiaan sampai mati dan
sepanjang masa hanya mendengarkan perintah serta
perkataan kaucu seorang!”
Ditinjau dari sikapnya itu, dapat diketahui betapa takut dan
jerihnya kakek itu terhadap ketuanya. Hormatnya boleh
dibilang sudah mendekati suatu penjilatan. Suatu sikap
munduk-munduk yang cuma terdapat dalam hubungan antara
seorang majikan dengan budak beliannya.
Lama sekali Kiu-im-kaucu menatap anak buahnya itu, tibatiba
ia menghela napas panjang. “Aaaai….! Dalam kejadian ini,
aku memang tak dapat menyalahkan engkau. Sudah sekian
lama kau menetap diluar perbatasan dan lagi jarang sekali
bergerak di daratan Tionggoan, maklumlah kau tak memahami

387
seluk beluknya dunia persilatan dewasa ini. Yaa, berbeda
tentunya keadaan sekarang dengan keadaan pada lima belas
tahun berselang. Waktu itu engkau merupakan seorang
anggota perkumpulan yang aktif dan selalu berada
disampingku dalam menangani setiap kejadian dalam dunia
persilatan. Kini setelah lama mengasingkan diri, apalagi tidak
menyaksikan dengan mata kepala sendiri, tentu saja tak dapat
disalahkan kalau kau tak akan percaya dengan apa yang baru
saja kukatakan”
Baru selesai ia berkata, Huan Tong telah bungkukkan
badannya dan memberi hormat lagi. “Yaa kaucu, semoga
kaucu dapat memaklumi keadaan dari hamba.” bisiknya lirih.
Kiu-im-kaucu segera ulapkan tangannya lagi. “Kau tak usah
merasa menyesal atau merasa rendah diri, dikemudian hari
aku masih banyak membutuhkan tenagamu untuk kejayaan
perkumpulan kami” ucapnya. “Atau tegasnya, selama berada
dalam perkumpulanlah yang patut dijunjung tinggi dan
dinomor satukan daripada persoalan lain. Disamping itu, harus
kita akui bahwa Hoa Thian-hong betul-betul seorang pendekar
besar yang berjiwa ksatria, berbudi luhur dan mengutamakan
kebaikan serta kesetiaan kawan. Kendatipun dia adalah musuh
nomor satu dari perkumpulan kita, tidak sepatutnya kalau kita
pandang enteng atau memandang cemooh ke-padanya, aku
harap soal ini dapat kau ingat selalu didalam hati”
Setelah keadaan berubah menjadi begini, kendatipun dihati
kecilnya Huan Tong merasa sangat tak puas dengan ucapan
tersebut, toh terpaksa juga dia harus manggut-manggut
sambil mengiakan berulang kali.
Jilid 11

388
SEPANJANG pembicaraan itu berlangsung, Hoa In-liong
dengan pandangan matanya yang tak berkedip selalu
mengawasi setiap gerakan dan tingkah laku Kiu-im-kaucu,
mendengarkan pula setiap perkataan yang diucapkan olehnya.
Dari hasil pengamatannya itu, kesan pertama yang melintas
dalam benaknya adalah Kiu-im-kaucu seorang perempuan itu
berotak brilian dan betul-betul seorang musuh yang sukar
ditandingi.
Sekalipun Kiu-im-kaucu memuja ayahnya setinggi langit
dan menunjukkan sikap hormatnya, akan tetapi Hoa In-liong
juga bukan seorang pemuda yang bodoh, makin melangit
pujian perempuan itu makin tinggi kewaspadaannya terhadap
orang tersebut.
“Apa yang sebenarnya telah terjadi?” demikian ia terpikir
dalam hatinya, “Jelek-jelek Huan-tong adalah seorang tongcu
perkumpulan Kim-im-kau. Lagipula diapun kedudukannya
sebagai seorang tamu kehormatan, tidak sepantasnya kalau
Kiu-im-kaucu mengucapkan kata-kata “Masih banyak
mengandalkan dirimu dalam persoalan” dan sebangsanya
dihadapan orang lain. Sebenarnya apa yang dia butuhkan?”
Sementara pikiran masih melayang kesana kemari
memikirkan psrsoalan itu, dengan suara lantang Kiu-im-kaucu
telah berseru kembali, “Hoa siau hiap, harap engkau
datanglah sebentar kemari!”
Pada saat kebengisan dan keseraman yang menghiasi
wajah Kiu-im-kaucu sudah lenyap tak membekas, sebagai
gantinya senyum manis penuh menghiasi ujung bibirnya,
caranya berbicarapun halas dan penuh keramah-tamahan.

389
Agak tertegun Hoa In-liong menghadapi keadaan seperti
itu, bibirnya bergerak separti hendak mengucapkan sesuatu,
namun maksud tersebut akhirnya diurungkan, sesaat lamanya
dia bingung dan marasa kehilangan pegangan.
“Kami tak mau kesitu!” tiba-tiba terdengar Coa Cong-gi
menyahut dengan suara nyaring.
“Tapi aku kan tidak suruh engkau yang datang kemari?”
kata Kiu-im-kaucu sambil tertawa.
Untuk sesaat Coa Cong-gi tertegun, kemudian sahutnya,
“Tapi….. tapi….itu toh sama saja, kenapa kami harus menuruti
perkataanmu?”
“Aaaah! Kamu ini benar-benar seorang manusia yang tak
tahu aturan” damprat Kiu-im-kaucu sambil tertawa “Jelek-jelek
aku kan seorang nenek tua, sekalipun ada persoalan yang
hendak dibicarakan, masa orang tua yang musti menghampiri
yang muda? Itu kan namanya tak tahu sopan santun?”
Betul juga perkataan itu! Yang lebih muda sepantasnya
menghormati orang yang lebih tua dan sewajarnya pula kalau
yang lebih muda yang menghampiri orang yang lebih tua,
bukan orang yang tua menghampiri orang muda, karena
memang begitulah menurut tata kesopanan dan adat seorang
manusia yang benar.
Coa Cong-gi jadi terbelalak dan gelagapan setengah mati,
dia tertegun dan tak tahu apa yang musti dilakukan.
“Masuk diakal juga perkataannya itu” akhirnya Hoa In-liong
berbisik dengan lirih “Mari kita ke-situ!”
Selangkah demi selangkah dia maju kemuka dengan
langkah lebar.

390
Dalam keadaan begini. Coa Cong-gi sudah kehilangan
pegangan. Dengan perasaan apa boleh buat terpaksa dia
mengikuti juga di belakang rekannya dan menghampiri nenek
itu.
“Hoa-Kongcu, kau harus berhati-hati!” mendadak si nona
berbaju hitam itu berteriak dengan gugup, “Perempuan itu
berhati palsu dan menyembunyikan goloknya dibalik
senyuman, sudah pasti dia menaruh maksud-maksud jahat
terhadap dirimu”.
Mendengar seruan tadi, Kiu-im-kaucu sontak tertawa
terbahak-bahak. “Haa….. haa….. haa………Nona cilik, agaknya
kau sangat memperhatikan keadaan Hoa Siau-hiap yaa?
Jangan-jangan ada main…..” godanya.
Merah padam selembar wajah nona baju hitam itu karena
jengah. “Aku………aku…..”gumamnya tergagap.
“Jangan memperdulikan obrolan perempuan itu!” tukas Si
Nio perempuan jelek itu dengan ketus. Kita tidak akan
menguatirkan keadaan siapapun juga”
Kiu im kaucu tertawa terbahak-bahak. Dia seperti akan
mengucapkan sesuatu lagi, tapi sebelum sepatah dua patah
kata sampat diucapkan, Hoa In-liong telah tiba dihadapan
mukanya.
“Hoa In-liong menjumpai kaucu!” demikian ia berseru
sambil memberi hormat, “Bila kaucu hendak menyampaikan
sesuatu silahkan saja diutarakan secara blak-blakan.
Ketahuilah kedua orang perempuan itu adalah orang yang
berada diluar garis batas-batas persoalan ini. Jadi sama sekali
tak ada sangkut pautnya dengan persoalan ini. Bila kaucu

391
masih juga bersilat lidah terus dengannya, maka hal ini
mungkin akan merusak martabat serta nama baik kaucu!”
Setelah mendengar kata-kata yang tegas itu, Kiu im kaucu
baru menarik kembali gelak tertawanya. Dengan wajah serius
dia amati wajah si anak muda itu, kemudian sambil tertawa
pujinya, “Ehmmm….! Kau memang gagah bocah muda,
tampaknya kegagahan dan keberanian ayahmu telah
diwariskan semua kepadamu!”
“Aku tahu bahwa usiaku masih muda” kata Hoa In-liong
dengan muka bersungguh-sungguh, “Sekalipun demikian, aku
tidak berani berbuat semena-mena dengan gegabah!”
“Ehmmm, kau memang seorang bocah yang bersemangat!”
puji Kiu-im-kaucu lagi sambil mengangguk, “Apakah engkau
adalah loji dari keluarga Hoa? Putra Hoa Thian-hong yang
dilahirkan Pek Kun-gi?”
Mendengar nama ibunya langsung disinggung, Hoa In-liong
segera menunjukkan wajah tak senang hati, sepasang alis
matanya berkenyit. “Aku tahu kaucu datang kemari karena
ada maksud dan tujuan tertentu” katanya, “Aku sendiri
rasanya juga tak ada kepentingan untuk mengelabui dirimu.
Tapi aku harap dihadapan putra seseorang, lebih baik
janganlah kau sebut nama ayah ibuku secara langsung,
karena tindakan semacam itu hanya akan merosotkan
kedudukan dan gengsi kaucu didepan mataku!”
Kiu-im-kaucu tergelak gelak karena kegelian. “Haaa…..
haaa….. haaa….. Anak muda, kau ini memang lucu amat”
katanya, “Kalau kutinjau dari usiamu, sudah jelas engkau
adalah seorang pemuda. Sebagai seorang pemuda sudah
sewajarnya kalau bersikap supel, terbuka dan riang gembira.
Kalau caramu bersikap dengan orang selalu sok-sokan macam

392
begitu, tanggung orang akan merasa jemu menyaksikan
tingkah lakumu itu”
“Aku sama sekali tidak bermaksud untuk membaiki atau
mencari muka terhadap kaucu” tukas anak muda itu ketus.
“Oooh….. tentu saja! Tentu saja! Aku juga tahu bahwa hal
ini tak mungkin akan terjadi pada dirimu, sebab pada
hakekatnya aku adalah musuh bebuyutan dari keluarga Hoa
kalian!”
Setelah berhenti sebentar, tiba-tiba ujarnya lagi, “Walaupun
demikian, ada satu hal yang ingin juga kuberitahukan
kepadamu. Tahukah engkau bahwa aku sangat senang dan
cocok sekali dengan watak ibumu? Tempo dulu aku ada hasrat
untuk menerimanya sebagai muridku dan mewarisi semua
ilmu silatku. Sayang oleh karena ibumu begitu tergila-gila
kepada…..”
Kata selanjutnya tentulah, “kepada ayahmu” dan
sebagainya dan sebagainya….. tapi lantaran ucapan “tergilagila”
itu sudah cukup menyakitkan hati Hoa In-liong, maka
dengan tak sabaran lagi dia lantas menukas ditengah jalan,
“Sudah, kau tak usah banyak bicara lagi. Urusan yang sudah
lewat biarkan saja lewat, kenapa musti kau ungkap-ungkap
lagi dalam keadaan semacam ini? Kalau ada urusan penting,
lebih baik bicarakan saja urusan pentingmu!”
Kiu im kau tersenyum. “Baiklah” katanya kemudian, “Baikbaikkah
nenekmu selama ini? Apa kabar dengannya?”
“Terima kasih atas perhatianmu, beliau dalam keadaan
sehat wal’afiat,” jawab Hoa In-liong ketus dan singkat”.
Tampaknya dia mulai muak terhadap musuhnya itu.

393
“Bagaimana pula dengan ayah ibunya?” kembali Kiu-imkaucu
bertanya.
“Sehat semua!”
Tiba-tiba pemuda itu merasakan gelagat kurang betul.
Semestinya Kiu-im-kaucu akan membicarakan soal-soal yang
penting, tapi mengapa dia hanya menanyakan tentang
kesehatan anggota keluarga Hoa? Bukankah hal ini terasa
janggal sekali?
Karena curiga, tanpa terasa kewaspadaannya timbul
kembali, sikapnya jadi lebih berhati-hati. Sementara sepasang
matanya mengamati raut wajah Kiu-im-kaucu tanpa berkedip.
Kiu-im-kaucu tertawa hambar. “Sejak keluarga Hoa kalian
hidup mengasingkan diri di perkampungan Liok-soat-san-ceng,
tampak-tampaknya semua anggota keluarga jarang sekali
melakukan perjalanan lagi dalam dunia persilatan. Sebenarnya
sudah beberapa kali aku berhasrat untuk berkunjung ke
perkampungan kalian sekalian menengok ibumu. Tapi setiap
kali rencanaku itu selalu kubatalkan karena aku tak berani
bertindak secara gegabah, aaaai…….! Tampaknya kami
memang tak berjodoh, terpaksa niatku tersebut harus
dipadamkan sampai disini saja”
Hoa In-liong berkerut kening, pikirnya dalam hati, “Kaucu
ini sejak awal sampai akhir selalu berkeluh kesah, berbicara
bolak-balik yang dipersoalkan juga masalah-masalah yang
sama sekali tak ada sangkut pautnya dengan masalah pokok.
Apa gerangan yang sebenarnya ia rencanakan? Atau mungkin
ia memang mempunyai rencana atau siasat-siasat tertentu?.
Hmmm! Kau ada kesabaran untuk itu, sayang kesabaranku
dalam soal tersebut terbatas sekali, tak sudi aku bersilat lidah
terus menerus dengan kau”

394
Karena berpikir demikian, maka dia lantas menengadah lalu
tegurnya, “Kaucu, tolong tanya apakah engkau kenal dengan
seorang jago persilatan yang bernama Kiu-mia kiam kek (jago
pedang bernyawa rangkap sembilan)?”
“Tentu saja kenal! Eeeh…. bukankah orang itu telah
meninggal dunia……?” perempuan itu balik bertanya.
Diam-diam Hoa In-liong menggigit bibir menahan rasa
gemas dan mendongkolnya, dia mengangguk. “Yaa benar, dia
orang tua memang sudah meninggalkan dunia. Siok-cou-bo ku
juga ikut menghembuskan napas penghabisan. Konon Siokcou
bo ku itu adalah Yu beng tiancu (tiaocu istana neraka)
dari perkumpulan kaucu dimasa lalu, apakah berita itu juga
benar?”
“Betul!” Kiu-im-kaucu mengakui secara berterus terang,
“Karena dia cinta kepada Suma Tiang-cing maka perempuan
itu sudah berkhianat kepada perkumpulannya dan kabur
dengan Suma-siok-ya mu itu. Mereka menetap di kota Lokyang
setelah kawin. Yaaa……… Selama duapuluh tahun
terakhir, peristiwa itu merupakan dua peristiwa yang paling
menyakitkan hatiku. Engkau ingin tahu peristiwa lain yang
selalu membuat aku jadi dendam? Itulah peristiwa kaburnya
Giok Teng hujin Ku Ing-ing lantaran dia juga jatuh cinta
kepada ayahmu!”
Sebenarnya Hoa In-liong ingin sekali mengetahui persoalan
yang menyangkut diri Giok Teng hujin, akan tetapi kondisinya
saat ini tidak memungkinkan dirinya untuk berbuat demikian.
Karena untuk membawa pembicaraan ke pokok pembicaraan
yang sebenarnya dia sudah harus bersusah payah lebih
dahulu, tentu saja setelah persoalan kembali ke poros yang
dikehendakinya, ia tak ingin bahan pembicaraan tadi
nyeleweng lagi ke masalah lain.

395
Karena itu setelah berhenti sebentar, dengan dingin
ujarnya lagi, “Menurut kabar berita yang tersiar dalam dunia
persilatan, semua orang menanggap bahwa Suma siok-ya ku
suami istri mati terbunuh atas perintah dari kaucu,
bagaimanakah penjelasan kaucu tentang kabar berita itu?”
“Ooooh… ….Jadi orang persilatan menyiarkan begitu?” kata
Kiu-im-kaucu tetap tenang “Sebenar-nya kabar itu memang
tak ada salahnya! Sebab bagaimanapun juga Kwa Gi-hun
(maksudnya Yu-beng tiancu atau istri dari Suma Tiang-cing)
adalah pengkhianat dari perkumpulan kami. Bila kuu-tus orang
untuk membereskan jiwanya, itu juga pantas. Toh
bagaimanapun juga aku cuma menin-dak anak buahku sendiri
menurut peraturan perkumpulanku, apa salahnya dengan
peristiwa itu?”
Mula-mula Hoa In-liong agak tertegun, menyusul kemudian
dengan suara nyaring bentaknya, “Hmmm! Itukah alasanmu
dalam melakukan pembunuhan keji tersebut? Aku ingin
bertanya kepadamu, apakah Kiu-mia-kiam-kek juga
merupakan anak buah perkumpulanmu?”
Kiu-im-kaucu tetap tenang dia tersenyum malah, “Kiu-miakiam-
kek berani membawa lari anak gadis orang sehingga
mengakibatkan perkumpulan kami kehilangan seorang tiancu
yang mengakibatkan kekuatan perkumpulan kami merosot
sekali. Maka jika kucari biang keladinya. Dalam kegagalanku,
orang itulah biang keladinya. Andaikata di dunia ini tiada Kiuma-
kiam-kek, tentu saja Kwa Gi-taun tak akan berhianat dan
kawin lari dengannya. Andaikata dia tidak kawin lari maka
kekuatan dari perkumpulan kami pun tak akan mengalami
kemerosotan hebat. Coba bayangkan sendiri tidak pantaskah
kulenyapkan biang keladi dari peristiwa itu?”
Hoa In-liong benar-benar amat gusar, hawa amarah yang
berkecamuk dalam tubuhnya serasa menyesakkan napas, dia

396
menghembuskan napas panjang-panjang, maksudnya untuk
sedikit mengurangi tekanan dalam dadanya, setelah itu
dengan suara nyaring kembali bentaknya, “Membuat-buat
alasan untuk menjatuhi hukuman kepada orang yang tak
bersalah, itulah yang bisa dilakukan manusia-manusia macam
kau, Hm! Nyonya Yu itukah pembunuhnya?”
“Yang diartikan pembunuh tak lebih hanya pesuruh dalam
melaksanakan perintah, buat apa kau tanyakan tentang dia?”
tiba-tiba gadis cantik jelita bak bidadari dari kahyangan itu
menyela sambil mendengus dingin. Dengusan itu benar-benar
dingin, sedingin salju dari kutub utara.
Gadis itu cantiknya memang cantik, tapi dinginnya cukup
membuat badan orang jadi menggigil. Sejak tiba disana dia
cuma berdiri kaku tanpa mengucapkan sepatah katapun.
Bukan saja tidak berbicara, senyumpun tak pernah. Tapi
setelah tiba-tiba saja berbicara, suasana lebih dingin dari salju
di kutub. Kendatipun nadanya merdu seperti keliningan, akan
tetapi kedengaran dalam telinga orang seperti desingan angin
dingin yang merasuk sampai ke dalam tulang.
Kejut dan heran Hoa In-liong menghadapi manusia sedingin
itu. Cepat sinar matanya dialihkan keatas wajah nona tadi.
Bagaimanapun juga ia tak percaya kalau kata-kata yang
sangat dingin tadi diucapkan oleh nona secantik bidadari itu.
Setelah termenung beberapa saat, tiba-tiba ia bertanya,
“Tolong tanya, siapakah nona?”
“Tiancu istana neraka Bwee Su-yok!” Jawab gadis cantik itu
dengan nada tetap dingin.
Mendengar nama itu, Hoa In-liong makin terkejut.
“Ooooh…… Jadi perempuan ini adalah Tiancu istana neraka
dari perkumpuan Kiu-im-kau?” pikirnya.

397
Perlu diketahui, susunan organisasi dalam perkumpulan
Kiu-im-kau dimasa lalu terdiri dari sang kaucu sebagai pucuk
pimpinan dengan dua istana dan tiga ruangan besar sebagai
pembantu- pembantunya.
Kedua istana yang dimaksudkan adalah istana neraka dan
istana penyiksaan. Sedangkan tiga ruangan terdiri dari ruang
propaganda, ruang penerimaan anggota serta ruang
kesejahteraan anggota.
Para tiancu dan tongcu yang mengepalai kedua istana dan
ketiga ruangan besar itu merupakan panglima-panglima
tertinggi dalam perkumpulan Kiu-im-kau dengan kedudukan
langsung dibawah Kekuasaan kaucu. Tapi kalau dibicarakan
dari tingginya kedudukan serta lihaynya ilmu silat, maka tak
bisa diragukan lagi Tiancu istana nerakalah yang terhitung
manusia nomor satu dibawah kedudukan kaucu.
Hoa In-liong adalah loji dari keluarga Hoa di perkampungan
Liok-soat-san-ceng dalam bilangan bukit In-tiong-san, tentu
saja sedikit banyak dia mengetahui juga tentang persoalanpersoalan
itu. Padahal nona yang berada dihadapannya
sekarang baru berusia enam-tujuh belasan, tapi mengakunya
sebagai Tian-cu istana neraka dari Kiu-im-kau tak heran kalau
anak muda itu merasa amat terperanjat.
Kejut dan heran jadi satu kejadian, watak romantisnya juga
merupakan kejadian yang lain. Hakekatnya kecantikan wajah
Tiancu istana neraka Bwee Su-yok memang tak terkirakan.
Tak heran kalau Hoa In-liong jadi termangu-mangu dibuatnya.
Untuk sesaat dia jadi melamun, benaknya terasa kosong dan
penuh diisi oleh lamunan yang beraneka macam. Timbul
pikiran dalam benaknya untuk memeluk pinggangnya yang
ramping itu dan mencium bibirnya yang mungil.

398
Tiba-tiba terdengar Kiu-im-kaucu tertawa. “Hoa siau-hiap!”
dia menegur “Coba pandanglah tiancu istana nerakaku ini,
cantikkah dia?”
Terkesima Hoa In-lioag memandang kecantikan nona itu, ia
buat setengah sadar setengah tidak oleh keadaan tadi, maka
ketika mendengar pertanyaan itu, dengan cepat pemuda itu
mengangguk. “Cantik…..! Cantik….! Cantik….!” Pujinya
berulang kali dengan nyaring.
“Cantik kentutnya!” teriak Coa Cong-gi pula dari samping
“Huuuh, tampang semacam monyet juga dikatakan cantik,
bah! Jadi pelayan yang tukang bersih tong berisi kotoran
manusiapun, belum tentu adikku mau menerimanya”
“Itu yang dinamakan cantiknya cantik bau busuk!” Nona
baju hitam yang berada di kejauhan segera menimpali,
“Hmm….. Sudah tahu kalau ilmu silatnya tak dapat
menandingi keluarga Hoa, maka diaturnya siasat Bi jin-ki
(siasat wanita cantik) untuk menjebak anak orang Huuh…!
Manusia menyebalkan namanya!”
Baru saja perkataan itu selesai diucapkan, Kiu-im-kaucu
sudah tertawa terbahak bahak. “Haa….. haa….. haa………
Nona cilik, besar amat rasa cemburu?” godanya.
“Cemburu kentut busuk makmu!” damprat Si Nio dengan
marah, “Kami selalu berusaha untuk membereskan nyawa si
bocah keparat dari keluarga Hoa itu, kenapa musti cemburu
cemburu macam kunyuk?”
Selama beberapa orang itu saling cekcok dan bersilat lidah
sehingga suasana jadi amat gaduh, Yu beng-tiancu Bwee Suyok
tetap berdiri kaku bagaikan sebuah patung arca. Bukan
saja ia tak menggubris, bahkan sikapnya acuh tak acuh,

399
seakan-akan ia tidak mendengar segala sesuatupun dari
sekitar tempat itu. Tindak tanduknya yang kaku dan dingin
tidak menunjukkan perobahan emosi itu membuat orang
beranggapan bahwa gadis itu memang dilahirkan tanpa
membawa perasaan.
Hoa In-liong tersentak kaget dari lamunannya oleh
bentakan Coa Cong-gi yang amat keras itu. Setelah
termenung sebentar, dia tersenyum kembali. Dihampirinya
Tiancu istana neraka Bwee Su-yok dengan langkah tegap,
kemudian sambil memberi hormat dia berkata, “Oooooh…..!
Rupanya engkau adalah Bwee tiancu, terimalah salam dan
hormatku ini”
“Hmmm! Tak usah banyak lagak” tukas Bwee Su-yok,
tiancu istana neraka itu ketus “Kalau ada persoalan, lebih baik
utarakan saja secara blak-blakan!”
Hoa In-liong sama sekali tidak tersinggung oleh sikap nona
itu, kembali ia tertawa lebar. “Dalam dunia persilatan sering
tersiar kata yang menyebut: Hutang darah harus dibayar
dengan darah. Apakah nona Bwee pernah mendengar tentang
kata-kata semacam itu?”
“Oooh….. Jadi engkau menghendaki nyawa dari
sipembunuh keluarga Suma….?” bukan menjawab Bwee Suyok
malahan balik bertanya.
“Menghendaki nyawa sipembunuh itu sama artinya
melakukan pembalasan dendam. Haaa….. haaa…… haaa……
Soal itu sih tak perlu kupusingkan. Aku Cuma mendapat
perintah dari ayahku untuk menyelidiki duduknya perkara atas
peristiwa berdarah itu. Aku ingin tahu siapakah otak atau
dalang dari pembunuhan ini? Siapa pembunuh sesungguhnya?
Siapa yang membantu perbuatan keji itu? Siapa saja yang ikut

400
dalam rombongan pembunuh itu? Bagaimanakah akibat dari
kejadian itu? Dan apa tujuan dari pembunuhan berdarah itu?
Bila nona bersedia memberi keterangan kepadaku, tentu saja
aku akan merasa berterima kasih sekali atas bantuanmu itu!”
“Hmmm! Banyak juga persoalan yang ingin kau ketahui!”
ejek Bwee Suyok sinis.
Hoa In-liong tersenyum. “Tak boleh takabur, tak boleh
bicara sembarangan adalah syarat paling penting yang harus
dipegang teguh oleh orang-orang keluarga Hoa kami dalam
menyelesaikan segala macam persoalan. Sedikit saja
persoalan sepele yang kelewatan kemungkinan besar akan
mengakibatkan kesalahan yang fatal, oleh karena itu…….”
Belum habis dia berbicara kembali Bwee Su-yok telah
mendengus dingin, katanya dengan sinis, “Hmmm…..! Kalau
berbicara saja lagaknya sok bijaksana dan setia kawan, tapi
perbuatannya….. Huuuh, menyebalkan! Sayang ayahmu sudah
mengirim seorang utusan yang salah!”
Hoaln-liong sama sekali tidak tersinggung atau marah oleh
ejekan nona itu, dia malah balik bertanya, “Kalau begitu,
menurut pengamatan nona Bwee siapakah yang sepantasnya
diutus oleh ayahku?”
“Semestinya dia harus muncul sendiri untuk melakukan
penyelidikan terhadap peristiwa terse-but!”
Mendengar jawaban itu, Hoa In-liong segera merasa
hatinya bergerak, dengan cepat dia berpikir, “Aaah……!
Benarlah sudah, orang ini sengaja berbicara pulang pergi
putar kesana putar kemari, rupanya sedang menyelidiki gerakgerik
da ri ayahku. Haaa……. Haaa…… haaa…… kenapa tidak
kutipu saja perempuan ini biar runyam?”

401
Sebagaimana diketahui, Hoa In-liong adalah pemuda yang
binal dan paling suka berbohong. Apa yang dipikir dalam
benaknya selalu dilaksanakan pula dengan cepat, maka
setelah mendapat ide tersebut dia pun tersenyum. “Nona
Bwee, kelirulah jalan pikiranmu itu! Ketahuilah, Suma siok-ya
ku itu adalah satu-satunya adik angkat dari mendiang kakekku
maka ketika secara tiba-tiba dia orang terbunuh ditangan
orang, dalam gusarnya nenekku telah mengutus semua
anggota keluarga Hoa untuk melakukan penyelidikan terhadap
peristiwa ini. Kalau semua orang sudah diutus keluar,
memangnya ayahku dapat dikecualikan? Haa…… haa……
haa…….. Siapa tahu kalau pada saat ini dia orang tua telah
tiba juga di kota Kim-leng?”
Pada hakekatnya perkataan itu diutarakan olehnya secara
ngawur dan bohong semua. Bila orang mau meneliti katakatanya
itu, tidaklah sukar untuk menemukan titik-titik
kelemahannya. Apa mau dikata ucapan itu diutarakan olehnya
dengan lancar, kemudian sebagai penutup kata pemuda itu
pun tertawa tergelak. Ini semua membuat orang-orang yang
hadir disekitar arena itu jadi percaya. Untuk sesaat semua
orang tertegun dan tak tahu apa yang musti dilakukan.
Ditengah keheningan yang mencekam seluruh arena, tibatiba
terdengar Ciu Hoa berbaju perlente itu berbisik, “Lo-sam,
ayoh kita pergi dari sini!”
Tanpa menunggu jawaban dari Ciu Hoa bermuka kuda lagi,
dia ulapkan tangannya ke arah kawan laki-laki berbaju ungu
itu dan berlalu lebih dulu menuruni bukit Ciong-san.
Pada saat yang bersamaan, Si Nio menarik pula ujung baju
si nona berbaju hitam sambil berbisik, “Nona tempat ini sudah
tak berguna lagi bagi kita, ayoh kitapun pergi dari sini!”

402
“Tidak!” jawab nona baju hitam itu berkeras kepala, “Kita
harus tunggu sebentar lagi disini!”
Sementara itu Coa Cong-gi sudah tertawa terbahak bahak
setelah menyaksikan kejadian itu ejeknya, “haaa…. Haa……
haa….. Bagus! Bagus! Begitu mendengar Hoa pek-hu akan
datang, semua badut dan kunyuk sialan pada lari pontang
panting. Itu baru namanya pengecut sejati. Haa….. haa…..
haa……..Puas, sungguh memuaskan”
Paras muka Kiu-im-kaucu pun agak berubah ketika
mendengar berita itu. Tapi bagaimanapun juga dia adalah
seorang ketua dari suatu perkumpulan besar, baik dalam soal
pengalaman maupun dalam hal ketenangan perempuan tua
itu mempunyai kelebihan dari pada orang lain. Hanya sebentar
dia kaget, menyusul kemudian paras mukanya telah pulih
kembali seperti sedia kala.
“Hoa siauhiap!” ucapnya kemudian sambil tersenyum,
“Engkau pandai amat membohongi orang!”
“Ada apa?” sengaja Hoa In-liong mengerdipkan matanya,
“Toh percaya atau tidak terserah pada keputusan kaucu
sendiri. Aku kan sama sekali tidak bermaksud menggertak
dirimu?”
Bwee Su-yok segera mendengus dingin. “Hmm…..! Hoa
Thian hong juga sama-sama manusia, dia tak akan mampu
menggertak atau menakut-nakuti siapapun!”
“Betul! betul sekali perkataan itu!” sambung Hoa In-liong
cepat dengan suara nyaring, “Ayahku bukan malaikat. Dia
sudah datang kesini atau belum sama sekali tak ada sangkut
pautnya dengan tugas yang dibebankan diatas pundakku.
Nona, kecantikanmu bagaikan bidadari hatimu ramah dan
berbudi luhur. Dapatkah engkau memberitahukan kepadaku,

403
apakah pembunuhnya adalah nyonya Yu? Dengan begitu, bila
aku sampai bertemu kembali dengan ayahku, dapat kuberikan
pertanggungan jawab sebagaimana mestinya”
Beberapa patah kata ini bukan saja sama sekali tidak
merosotkan kedudukan serta nama baik ayahnya, bahkan
diapun memperingatkan Bwee Su-yok bahwa gadis itupun
seorang manusia pu-la.
Pemuda itu memang cerdik dan pandai berbicara, dalam
kata-kata yang serba gagah dan terbuka ini, selain
disampaikan perasaan ingin membaiki nona itu dan
bermaksud mendekatinya tanpa harus berterus terang kepada
Bwe Su-yok, lagipula diapun seolah-olah sedang berkata
demikian, “Engkau juga seorang manusia! Kenapa sikapmu
musti dingin dan kaku berlagak ssperti sebuah bukit salju?”
Andaikata Bwee Su-yok dapat memahami arti dari
perkataannya itu, niscaya dia akan dibikin tersipu-sipu.
Sepasang sinar mata Bwee Su-yok segera memancarkan
sinar tajam yang menggidikkan hati. Rupanya dia agak gusar
dibuatnya. Setelah termenung sejenak, tiba-tiba ujarnya lagi
dengan dingin, “Hanya mencari tahu siapa pembunuhnya
tanpa menyelidiki siapa biang keladinya, darimana kau bisa
memberi pertanggungan jawab? Bagaimana mungkin kau bisa
memberi laporan? Hmm! mencari muka menjilat pantat,
sungguh suatu sikap yang memuakkan. Bila engkau masih
juga tak tahu diri. Heee….. heee…. hee…. Jangan salahkan
kalau nonamu akan menjatuhi hukuman yang sangat berat
kepadamu”
“Mencari muka menjilat pantat, sungguh Suatu sikap yang
memuakkan” Beberapa patah kata itu benar-benar suatu
makian yang tidak sungkan sungkan. Bukan saja nona itu

404
membongkar maksud Hoa In-liong yang sesungguhnya,
bahkan diapun telah menyatakan pula sikap sendiri.
Mendengar kata-kata itu, kontan saja Kiu-im-kaucu tertawa
terbahak-bahak. “Haa…… haaa….. haa…… Bagus! Bagus-sekali
anak Yok, sekarang gurumu bisa merasa bangga sekali!”
“Yok-ji tak berani melupakan pengharapan dari engkau
orang tual” jawab Bwee Su-yok tetap dingin.
Bwee Su-yok tak lain adalah anak murid dari Kiu-im-kaucu
dan sikapnya yang dingin dan kaku itu sebenarnya bukan
watak alamiah, dahulu-dia tidak bersikap sedingin itu.
Hoa In-Hong membungkam dalam seribu bahasa dalam
namun diam-diam ia berpikir lagi, “Yang dimaksudkan
“pengharapan” yang dimaksudkan “kebanggaan” tentulah
persoalan yang
menyangkut tentang penghianatan siok coubo dan Giok
Teng hujin. Haa….. haa….. haa… Benarkah engkau bakal
merasa bangga? Aku Hoa loji pasti akan mencoreng moreng
mukamu dan membuat engkau benar-benar merasa amat
kecewa”
Pemuda ini bukan saja binal, diapun sangat romantis. Pada
mulanya dia hanya merasa wajah Bwee Su-yok amat cantik
menawan hati. Dia hanya bermaksud untuk mendekatinya
atau tegasnya pemuda itu sama sekali tak berniat untuk
melangkah lebih kedepan.
Akan tetapi sekarang, setelah timbul keinginannya untuk
bikin susah Kiu-im-kaucu. Tentu saja rencananya semula
dirubah sama sekali. Kini ia tak akan lepas tangan sebelum
gadis itu benar-benar jatuh ke tangannya.

405
Demikianlah, setelah ia mempunyai rencana dalam hatinya,
anak muda itu tertawa tergelak. “Nona Bwee, perkataanmu itu
terlalu berlebihan!” Ia berkata, “Sekalipun aku berbicara blakblakan,
itu bukan berarti aku adalah seorang pemuda yang
memuakkan. Berbicara terus terang saja, sekalipun kecantikan
nona luar biasa sekali, namun kecantikanmu itu masih belum
cukup untuk menggerakkan hatiku, apalagi dalam
pandanganku saat ini sudah…..”
Belum habis ucapan tersebut diutarakan, Bwee Su yok
telah membentak nyaring, “Tutup mulutmu! Jangan membuat
perbandingan dengan nonamu sebagai Sasaran pembicaraan”
“Eeeeh….. Lucu amat nona ini!” Hoa In-liong pura pura
tercengang dibuatnya, “Aku membanding-bandingkan siapa?
Aku toh sedang membicarakan tentang….. Oooya, baiklah,
persoalan itu lebih baik tak usah dibicarakan lagi! Mari kita
kembali ke pokok pembicaraan yang sebenarnya”
Setelah berhenti sebentar, dengan muka berpura pura
bersungguh-sungguh ia berkata lebih jauh, “Tadi nona
menegur, aku kenapa tidak mencari tahu siapa biang
keladinya? Dan kalau biang keladinya belum diketahui dari
mana aku bisa memberikan pertanggungan jawabnya?
Tentang persoalan ini, kembali nona keliru besar!”
Terlampau cepat pemuda ini mengalihkan pokok
pembicaraannya. Untuk sesaat Bwee Su-yok tak dapat
memberikan tanggapannya, ia jadi gelagapan dan tak tahu
apa yang musti dilakukan.
Hoa In-liong tersenyum, ujarnya lebih jauh, “Biang
keladinya ada dua orang. Yang satu adalah gurumu sedang
yang lain adalah ketua dari perkumpulan Hian-beng-kau.
Adapun alasannya adalah mereka iri dan cemburu oleh
kesuksesan serta kejayaan yang berhasil dicapai keluarga Hoa

406
kami, maka digunakannya peraturan perguruan dan
menghukum penghianat sebagai alasan untuk menciptakan
pelbagai pembunuhan berdarah. Maksudnya asal terjadi
peristiwa berdarah lagi dalam dunia persilatan, maka ayahku
pasti dapat dipaksa pula untuk munculkan diri kembali.
Bukankah begitu nona Bwee?”
Selesai berkata sepasang alis matanya lantas mengenyit,
sepasang matanya melotot besar dan menantikan jawaban
dari Bwee Su-yok.
Sementara itu Bwee Su-yok telah pulih kembali dalam
sikapnya yang semula, dingin, ketus dan hambar. Ia
mendengus dingin, jengeknya dengan sinis, “Hmmm…..
Bergaya seorang pintar, memangnya kau anggap jalan
pikiranmu itu benar?”
“Benar atau tidak adalah urusan pribadiku sendiri” Hoa Inliong
tersenyum manis, “Tolong nona terangkan saja, siapakah
pembunuh yang sebenarnya dari pembunuhan berdarah itu?”
“Menurut anggapanmu pembunuhnya adalah Yu In?” Bwee
Su-yok balik bertanya.
“Memangnya bukan dia?” Hoa In-liong pura-pura berlagak
seperti orang tercengang.
“Hmmm!….! Terus terang kukatakan kepadamu
pembunuhnya adalah orang lain, sedang otak pembunuhan
tersebut adalah Ku Ing-ing!”
Kontan saja Hoa In-liong tertawa terbahak-bahak. “Haaa…..
haa…… haa….. Nona tak usah menyelimurkan persoalan. Giok
Teng hujin kan sudah lama meninggal dunia? Mana mungkin
menjadi dalang dari pembunuhan berdarah itu?”

407
“Hee….. hee….. heee…… Mau percaya atau tidak terserah
padamu sendiri, nona kan tidak memaksa engkau untuk
mempercayai perkataanku?”
Hoa In-liong terbungkam sesaat. “Baiklah” akhirnya ia
berkata “Untuk sementara waktu biarlah kuanggap perkataan
nona memang benar. Kalau memang begitu, tolong tanya
siapakah pembunuh yang sebenarnya itu?”
“Aku lihat engkau kan memiliki keyakinan besar atas
kemampuanmu? Kenapa tidak melakukan sendiri atas
persoalan itu? Kenapa aku musti memberitahu kepadamu?”
“Baik! Baik! Aku akan pergi menyelidikinya sendiri, aku
akan pergi menyelidikinya sendiri!”
Dia lantas putar badan dan ulapkan tangannya ke arah
nona baju hitam itu, serunya lantang, “Nona, mari kita pergi
dari sini!”
Baru selesai dia berseru, Bwee Su-yok telah menggerakkan
badannya menghadang jalan pergi mereka. “Berhenti.!”
bentaknya.
Perlu diterangkan disini, ilmu meringankan tubuh serta ilmu
langkah Loan-ngo-heng-mi-sian-tun-hoat (dewa pemabuk lima
unsur yang kacau) yang dimiliki anggota perkumpulan Kiu-imkau
boleh dibilang sebagian besar dilatih oleh Ke thian-tok,
tongcu dari ruang kesejahteraan. Sebaliknya ilmu
meringankan tubuh yang dimiliki Bwee Su-yok saat ini adalah
didikkan langsung dari Kiu-im-kaucu. Ilmu kepandaian
tersebut amat sakti dan jauh lebih hebat daripada ilmu
langkah Loan ngo heng mi sian tun hoat tersebut. Tak sempat
dilihat gerakan apa yang dia lakukan, tahu-tahu gadis itu
sudah berada didepan mata Hoa In-liong.

408
Diam-diam Hoa In-liong merasa terperanjat sekalipun
diluaran senyum manis masih menghiasi ujung bibirnya.
“Eeeh…. Ada apa ini?” pura-pura teriaknya “Apakah nona
Bwee masih ada petunjuk bagiku?”
Sekilas pandangan saja ia dapat menangkap membaranya
kobaran api amarah dibalik sinar mata Bwee Su-yok.
Tampaknya kemarahan nona itu sudah mencapai puncak
kehebatannya yang tak terkendalikan lagi. Sekalipun dia
cerdik, namun apa yang terpapar dihadapan matanya tetap
merupakan suatu teka-teki. Dia tak tahu apa sebabnya secara
tiba-tiba nona itu jadi sangat marah.
“Kau harus mampus!” bentak Bwee Su-yok dengan wajah
dingin dan suara menyeramkan.
Hoa In-liong sangat terkejut, cepat pikirnya, “Kenapa musti
begitu? Toh aku tiada ikatan dendam atau sakit hati dengan
perempuan ini, kenapa ia begitu membenci diriku? Sekalipun
Kiu-im-kaucu pernah menelan pahit getir ditangan orangorang
keluarga Hoa kami, tidak sepantasnya kebencian itu
tersalur ketubuh muridnya…. dan sikapnya yang dingin dan
mengerikan itu tidak semestinya berubah-ubah dengan begitu
cepatnya!”
Sementara dia masih termenung, Bwee Su-yok telah
mendengus lagi. “Hmmm! Orang-orang keluarga Hoa pandai
menggaet hati perempuan dengan mengandalkan ketampanan
wajahnya. Untuk melenyapkan perbuatan busuk kalian itu,
sedikit banyak nona harus merusak tampang wajahmu itu.
Ayoh cepat turun tangan, kenapa masih juga termangumangu
seperti orang bodoh?”
Setelah mendengar penjelasai itu, Hoa In-liong baru
memahami duduknya persoalan. “Oooh…..! Jadi kalau begitu
nona merasa penasaran dan tak terima bagi para cianpwe

409
perkumpulanmu?” katanya, “Kalau memang begitu, maka
perbuatan nona keliru benar! Pujangga besar jaman kuno
pernah berkata demikian dalam bukunya: Nona-nona yang
cantik adalah pasangan yang ideal bagi laki laki sejati. Orang
kuno berkata pula: Lelaki yang normal adalah lelaki yang
tertarik pada kaum wanita. Soal cinta antara laki laki dan
perempuan adalah suatu kejadian yang almiah dan normal.
Suatu cinta kasih baru bisa terjalin bila antara kedua jenis
manusia itu mempunyai perasaan saling tertarik dan perasaan
saling jatuh cinta. Sedang kecantikan dan ketampanan hanya
pelengkap saja dari suatu hubungan cinta kasih”
Makin berbicara pemuda itu makin lancar akhirnya
terlontarlah kuliah soal “cinta” yang panjang lebar dan berteletele.
Tampaknya Bwee Su-yok tidak sabar mendengarkan kuliah
soal cinta itu, tiba-tiba bentaknya, “Kapan selesainya kuliahmu
yang memuakkan itu?”
Hoa In-liong tersenyum, “Nona merasa tidak terima bagi
para cianpwe mu, sedang jalan pikiranmu terlampau picik, apa
lagi masalah itu menyangkut ayahku, mendingan kalau aku
tidak tahu. Setelah mengetahui kejadian ini maka
bagaimanapun juga harus kuberi keterangan yang sejelasjelasnya
kepada nona, agar engkau tidak berpandangan picik
lagi”
“Hmmm! Siapa yang sudi mendengarkan keteranganmu?”
bentak Bwee Su-yok semakin marah “Cabut pedangmu dan
siap bertempur!”
Sambil membentak dia maju selangkah lagi ke depan.
Hoa In-liong segera mundur selangkah kebelakang, ujarnya
lagi, “Eeeh…. Nona manis, kenapa musti tergesa-gesa?

410
Sekalipun Kiu-im-kau tidak mendesak terus menerus, cepat
atau lambat akhirnya toh akupun akan mencabut pedang pula
untuk bertempur. Tapi sekarang aku merasa tenggorokanku
tersumbat, rasanya kurang lega hatiku bila kata-kata tersebut
tidak diucapkan keluar. Kalau toh engkau bertempur, lebih
baik tunggu saja sampai ucapanku selesai diutarakan keluar!”
Tidak menunggu pertanyaan dari Bwee Su-yok lagi, dia
melanjutkan kembali kata-katanya, “Menurut apa yang
kuketahui, Giok Teng hujin dari perkumpulan kalian adalah
seorang pengagum watak ayahku. Mereka berdua bergaul
dalam batas sebagai kakak dan adik, belum pernah hubungan
tersebut ditingkatkan menjadi sitatu hubungan yang kelewat
batas. Kemudian suhumu kemaruk harta dan ingin merampas
kitab kiam-keng dari tangan ayahku. Dia menyiksa Giok Teng
hujin dengan siksaan Im-hwe-lian-hun (api dingin melelehkan
sukma) yang amat keji itu dengan tujuan memaksa ayahku
menyerah dan serahkan kitab pusakanya kepada gurumu.
Mendengar kabar itu ayahku dan Cui-in taysu segera
berangkat ke kota Cho-ciu untuk memberi pertolongan. Siapa
tahu ketika Giok Teng hujin menjumpai ayahku, ia berkata
bahwa lebih rela mati disiksa daripada melihat ayahku
terdesak dan harus menyerahkan kitab pusaka kiam-keng nya
untuk ditukar dengan jiwanya. Melihat kekejian alat siksa itu,
ayahku jadi sedih bercampur marah. Hampir saja dia akan
membantai semua anggota perkumpulan Kiu-im-kau untuk
melampiaskan rasa dendamnya itu”
(Untuk mengetahui jalannya peristiwa itu, silahkan
membaca Bara Maharani oleh penyadur yang sama).
Setelah berhenti sejenak, ia melanjutkan kembali katakatanya,
“Nona, mungkin engkau tak tahu, ayahku adalah
seorang manusia yang berjiwa besar dan ramah, belum
pernah dia orang tua marah-marah tanpa sebab. Belum
pernah dia melukai orang tanpa alasan. Bayangkan sendiri

411
nona, ayahku menjadi teramat gusar karena menyaksikan
kerelaan Giok Teng hujin menerima siksaan yang keji daripada
menyaksikan dia didesak orang, apakah engkau tak dapat
menghargai kebesaran cintanya? Rela berkorban demi
kepentingan orang lain adalah suatu perbuatan yang mulia.
Apakah nona tetap berpandangan jelek dan mencemooh Giok
Teng hujin setelah mengetahui duduk persoalan yang
sebenarnya?”
Bwee Su-yok menjengek sinis, seakan akan sama sekali
tidak mendengar akan perkataan itu, ujarnya dengan sinis,
“Sudah selesaikah perkataanmu itu? Kalau sudah selesai,
sekarang kau boleh cabut keluar pedangmu!”
Hoain-lioag terkesiap, dengan wajah termangu pikirnya,
“Bagaimana sih perempuan ini? Masa sepatah katapun tidak ia
dengarkan perkataanku ini? Manusia macam apakah
sebenarnya orang itu? Ataukah mungkin darahnya memang
dingin?”
Tiba-tiba si nona baju hitam yang selama ini membungkam
ikut berteriak keras, “Cabut pedang yaa cabut pedang, apa
yang luar biasa pada dirimu itu?. Hmm….. Hoa kongcu, ayoh
cabut keluar pedangmu!”
Bwee-Su-yok segera berpaling, sinar matanya yang setajam
sembilu menatap wajah si nona baju hitam itu tajam-tajam,
kemudian bentaknya dengan ketus, “Engkau juga harus
mampus, lebih baik kalian berdua maju bersama-sama!”
Si nona baju hitam itu mendengus dingin dia sudah siap
untuk melompat maju kedepan, tapi be-lum selangkah nona
itu maju Si Nio telah menarik tangannya. “Nona!” seru
perempuan jelek itu dengan cemas, “Masih ingatkah kau, apa
tujuan kita datang kesini? Lebih baik urusan orang lain jangan
kita campuri!”

412
Coa Cong-gi yang selama ini membungkam terus, tiba-tiba
saja tergelak. “Haa….. haa….. haaa…. Sekarang aku sudah
mengerti…… Sekarang aku sudah mengerti….!. Oooh… jadi
rupanya dia sedang merasa cemburu!’”
“Siapa yang sedang cemburu?” tanya Hoa In-liong dengan
wajah keheranan.
Coa Cong-gi langsung menuding ke arah tiancu istana
neraka Bwee Su-yok, katanya lagi sambil terbahak bahak,
“Haaa.. ha….. haa…. Siapa lagi? Tentu saja dia! Nona Bwee si
tiancu istana neraka itu!”
Belum habis dia berkata, dengan garang Bwee Su-yok
sudah menerkam kedepan. “Kurang ajar, rupanya kau ingin
mampus!” bentaknya dengan suara menyeramkan.
Telapak tangannya dengan disertai tenaga pukulan yang
maha dahsyat langsung disodok ke-punggung Coa Cong-gi.
Gerakan tubuh Bwee Su-yok benar-benar sangat cepat
bagaikan sambaran geledek. Jarak sejauh beberapa kaki itu
hanya ditempuh dalam sekejap mata tahu-tahu telapak
tangannya yang putih halus tapi penuh berisikan tenaga dalam
itu sudah muncul didepan mata.
Andaikata pukulan tersebut benar-benar bersarang diatas
sasarannya, sekalipun tidak sampai mati, paling sedikit Coa
Cong-gi akan menderita luka dalam yang parah.
Coa Cong-gi sendiripun merasa amat terkejut ketika
ucapannya sampai ditengah jalan, tahu-tahu terdengar suara
bentakan nyaring serta munculnya desingan angin pukulan
yang menyergap punggungnya.

413
Dalam keadaan gugup dan tak mungkin untuk
menghindarkan diri lagi, serta merta anak muda itu jatuhkan
diri berguling keatas tanah, kemu dian menyingkir sejauh satu
kaki lebih.
Gagal dengan serangannya yang pertama, Bwee Su-yok
melompat lagi kedepan dan mengejar musuhnya, sekali lagi
telapak tangannya disapu ke depan menghantam tubuh
lawannya.
Hoa In-liong sangat terperanjat menyaksikan serangan itu,
dia segera berteriak keras, “Nona Bwee, ampuni selembar
jiwanya!”
Berbareng dengan bentakan itu, tubuhnya melambung ke
udara dan langsung menghadang didepan perempuan itu,
lengan kirinya diayun kedepan dengan jurus Kun-siuci tau
(perlawanan terakhir dari binatang binatang yang terjebak),
kemudian buru-buru disambutnya angin serangan Bwee Suyok
yang maha dahsyat tadi.
Ketika angin pukulan saling bertemu, terjadilah suatu
ledakan keras yang memekikkan telinga bayangan manusia
saling berpisah dan masing masing melayang turun keatas
tanah.
Menggunakan kesempatan tersebut, Coa Cong-gi segera
menekan permukaan tanah dan melejit ke angkasa, dari situ
dia mundur sejauh tiga langkah lebih.
Paras muka Bwee Su-yok sedingin salju, diantara biji
matanya jeli terpancar hawa nafsu mem-bunuh yang tebal.
Dengan ketus bentaknya kembali, “Kenapa harus mengampuni
jiwanya? Kalian semua harus mampus ditanganku”

414
Ditengah bentakannya yang amat nyaring, telapak tangan
kanannya bergerak cepat.
“Criiing….!”
Tahu tahu ditangannya itu telah bertambah dengan sebilah
pedang lemas yang tipis bagaikan kertas, tapi memancarkan
sinar keperak-perakan yang menyilaukan mata.
Pedang semacam ini disebut juga Kiam wan (pil pedang).
Lebarnya hanya beberapa inci dengan panjang empat depa.
Kedua belah sisinya tajam dan pedang itu terbuat dari baja
asli yang berkwalitet tinggi. Karena sifatnya lemas maka bila
pedang itu tidak dipakai dapat digulung seperti bola. Bila
disimpan didalam sebuah kulit yang bulat maka besarnya
hanya seperti kepalan tangan. Bila akan dipakai maka asal
tombol rahasianya di tekan, secara otomatis pedang lemas
yang amat tajam itu akan membantul keluar. Jadi bila pedang
itu disimpan dalam kulit baja, maka senjata tersebut seolaholah
tertelan didalam gagang pedang, bukan saja praktis,
enteng juga mudah dibawa-bawa.
Pedang lemas semacam ini jarang sekali dijumpai dalam
dunia persilatan, pertama karena senjata itu tidak mudah
untuk membuatnya. Kedua, pedang lemas semacam ini
penggunaannya jauh lebih sukar daripada penggunaan
pedang tipis. Bila tenaga dalam yang dimiliki orang itu kurang
sempurna atau jurus serangannya kurang hafal atau mungkin
juga tenaga dalam yang dimiliki musuhnya jauh lebih tangguh
daripada dirinya, maka ja ngan dibilang melukai musuhnya,
bisa jadi diri sendirilah yang akan termakan oleh senjata itu.
Sementara itu, Bwee Su-yok telah meloloskan pedang
lemasnya, entah dengan cara apa dia me-nyentak senjata
tersebut, tahu tahu pedarg lemas yang tipisnya seperti kertas
itu sudah menegang keras bagaikan sebatang toya baja. Dari

415
sini terbuktilah sudah bahwa tenaga dalam yang dimiliki nona
itu betul betul sudah mencapai puncak kesempurnaan.
Terperanjat juga Hoa In-liong menyaksikan kejadian itu.
Coa Cong-gi yang sudah bangkit berdiri dan semula masih
dibakar oieh api kegusaran, setelah menyaksikan kelihayan
musuhnya mengkeret juga dibuatnya, dia tak berani turun
tangan lagi secara gegabah.
Kembali Bwee Su yok menggetarkan pergelangan
tangannya, ujung pedang itu ditudingkan ke muka, lalu
dengan wajah menyeringai hardiknya keras keras, “Eeehh…
engkau sebetulnya mau cabut keluar pedangmu atau tidak?
Ketahuilah, mau cabut pedangmu atau tidak, nona sama saja
akan membunuh kau. Sampai waktunya jangan salahkan kalau
nona bertindak kejam kepadamu!”
Dalam pada itu, secara lapat-lapat Hoa In-liong telah
merasa bahwa gadis cantik berwajah dingin kaku yang berada
dihadapannya ini pada hakekatnya masih mempunyai
perasaan yang sensitif se-perti kebanyakan orang lain. ini
terbukti dari kemarahannya yang begitu memuncak setelah
mendengar ocehan Coa Cong-gi yang menuduh dia sedang
cemburu. Sebab hanya manusia berperasaan sensitiflah yang
gampang tersinggung oleh cemoohan atau ejekan orang lain.
Pemuda ini wataknya terbuka dan tak senang menyelidiki
orang sampai seteliti-telitinya, apalagi setelah dipaksa terus
menerus oleh Bwee Su-yok dengan caranya yang sinis itu,
sontak gengsinya sebagai seorang laki-laki tersinggung.
Pedang pendeknya digetarkan keras-keras sampai
memperdengarkan suara dengungan yang memekakkan
telinga, kemudian dengan lantang dia berkata, “Nona Bwee,
eagkau terlalu sombong dan takabur, sekalipun tidak sampai
kucabut nyawamu, tapi pantatmu akan kuhajar sebagai

416
peringatan atas keangkuhanmu itu. Nah, bersiap-siaplah!
Sebentar aku akan tangkap badanmu dan gebuk pantatmu
itu….”
Bwee Su-yok semakin gusar, saking marahnya pucat pias
wajahnya yang cantik itu, badannya ikut menggigil, sambil
menggigit bibir ia mendengus lalu menerjang kemuka sambil
melepaskan sebuah tusukan kilat.
Hoa In-liong tentu saja tak sudi unjukkan kelemahannya
didepan orang. Baru saja dia akan menggerakkan pedangnya
untuk menangkis, tiba-tiba tampak sesosok bayangan hitam
berkelebat lewat, menyusul kemudian orang itu membentak
nyaring, “Tunggu sebentar!”
Bayangan hitam yang menghalangi terjadinya pertempuran
itu bukan lain adalah Kiu im-kaucu.
Pada waktu itu air muka Kiu im kaucu kelihatan sangat
mengerikan. Sepasang matanya merah penuh nafsu
membunuh, rambutnya yang telah beruban bergoyang-goyang
kencang walaupun tiada angin yang berhembus lewat,
rupanya ia se dang merasa gusar sekali.
Mendengar bentakan itu, Hoa In-liong segera membatalkan
maksudnya untuk menangkis dan mundur selangkah
kebelakang. Sedangkan Bwee Su yok menarik kembali pedang
lemasnya dan menyingkir kesamping.
Dengan tatapan mata yang tajam, Kiu-im-kaucu
memandang sekejap dua orang muda mudi itu tiba-tiba
ujarnya dengan suara dingin, “Yok-ji, tampankah Hoa siauhiap
ini?”
OOOOoooOOOO

417
“ADA APA?” seru Bwee Su-yok seperti orang tercengang.
“Apakah Yok-ji telah melakukan perbuatan salah?”
Sinar mata yang memancar dari mata Kiu-im-kaucu berkilat
tajam, bukan menjawab kembali dia membentak, “Jawab
pertanyaanku, cepat! Dia terhitung tampan atau tidak?”
Bwee-Su-yok menoleh dan memandang sekejap wajah Hoa
In-liong dengan ragu-ragu, lalu sahutnya, “Tidak….tampan”
“Jangan banyak berpikir!” kembali Kiu-im-kaucu
membentak nyaring, “Jawabannya tak boleh dua, ayoh cepat,
beri jawaban yang tegas!”
“Dia bermuka tampan atau tidak, apa sangkut pautnya
dengan Yok-ji?” bantah Bwee Su-yok. “Kenapa kau orang
tua….…..”
“Jangan banyak bertanya, ayoh segera jawab!” tukas Kiuim-
kaucu lagi sambil mengetukkan toya baja kepala setannya
ke atas tanah.
Mula-mula Bwee Su-yok agak tertegun, menyusul kemudian
sahutnya setengah menjerit, “Tampan! Tampan! Tampan!”
Agaknya Kiu-im-kaucu merasa sangat puas dengan
jawaban tersebut, dia menarik napas panjang sekulum
senyuman menghiasi bibirnya, lalu mengangguk dengan lirih.
“Hmmm! Ternyata tidak membohongi aku……! Ternyata tidak
membohongi aku….. Kalau begitu aku memang sedang
menguatirkan soal yang sama sekali tak perlu!”
Menyaksikan sikap musuhnya yang sebentar marah
sebentar girang, lalu memaksa muridnya menjawab
pertanyaan yang sama sekali tak ada gunanya itu, Hoa InTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
418
liong menjadi keheranan dan berdiri tertegun. Ia tidak habis
mengerti mengapa musuhnya harus berbuat begini?
Tampaknya Bwee Su-yok juga tidak dapat memahami
maksud tujuan gurunya, dengan alis berkenyit katanya sambil
cemberut, “Kenapa Yok-ji mesti membohongi engkau orang
tua? Soal apa yang kau orang tua musti kuatirkan tentang diri
Yok-ji?”
Kiu-im-kaucu menengadah dan tertawa. “Kejadian yang
sudah lewat biarkanlah lewat kau tak usah banyak bertanya
lagi! Pokoknya yang penting, engkau harus selalu teringat
akan nasehat dari gurumu”
Bwee Su-yok mengangguk, sahutnya dengan sikap yang
sangat hormat, “Yaa! Yok-ji akan mengingatkan selalu,
dikolong langit tak ada seorang laki-lakipun yang merupakan
orang baik, semakin tampan orang itu semakin busuk hatinya”
Wajah maupun sikapnya yang dingin, kaku dan hambar itu
pulih kembali seperti sedia kala. Nada pembicaraanpun
kembali jadi dingin seperti salju sedikitpun tidak membawa
emosi.
Melihat dan mendengar keketusan muridnya itu Kiu-imkaucu
tampak merasa puas sekali, tak kuasa lagi ia tertawa
terbahak-bahak.
Sampai disini, Hoa In-liong pun dibuat mengerti juga
dengan keadaan yang selang dihadapinya. Rupanya keketusan
dan sikap dingin yang dimiliki Bwee Su-yok saat ini bukanlah
watak yang alamiah, melainkan watak dari hasil didikan orang
lain yang dilakukan sejak dari gadis itu masih kecil.
Karena itu juga, diapun berpikir didalam hati,
“Aaaah….suatu sistim pendidikan yang sungguh sungguh

419
mengerikan! Padahal usia gadis itu masih sangat muda,
wajahnya juga cantik, sepantasnya kalau dia hidup dalam
kebebasan dan kegembiraan. Yaa….nona yang begitu polos
dan sederhana telah dididik Kiu im kaucu menjadi Giok Kwanim
yang tak bersukma. Tak heran kalau jalan pikirannya
begitu picik, tak heran kalau dia bersikeras hendak membunuh
aku!”
Siapa tahu jalan pemikiran si anak muda inipun keliru
besar, sekalipun tingkah laku dan pembicaraan seorang
manusia erat sekali hubungannya dengan pendidikan yang
diterimanya, namun pendidikan itu sendiri tak dapat
melenyapkan watak almiah dari manusia.
Bwee Su-yok bisa naik pitam dan tiba-tiba saja berkobar
nafsu membunuhnya boleh dibilang sama sekali tak ada
sangkut pautnya dengan sikap dingin, kaku dan ketus yang
ditunjukkan dara itu. Tidak sepantasnya pemuda itu
menyinggung gengsi dan harga diri Bwee Su-yok. Tidak
seharusnya pemuda itu berkata, “Walaupun nona cantiknya
memang cantik, namun kecantikan itu belum cukup untuk
menggerakkan hatiku” serta kemudian sikap dan tindak
tanduknya yang mencemooh.
Selain daripada itu, sepantasnya kalau pemuda itu tidak
menunjukkan pula sikap mesrahnya dengan nona berbaju
hitam itu. Bwee Su-yok bukan gadis buta yang tak dapat
melihat, sudah tentu dia tahu bahwa dia lebih cantik bila
dibandingkan dengan nona baju hitam itu, tapi kenyataannya
pemuda itu lebih tertarik pada gadis yang tidak lebih cantik
daripadanya dibandingkan menaruh perhatian kepadanya,
tentu saja sebagai seorang gadis remaja Bwee Su-yok jadi tak
tahan.
Manusia yang normal adalah manusia yang mengenal arti
cinta, laik-laki atau perempuan semuanya mempunyai

420
perasaan semacam itu, sebab gaya tarik memang selalu
terdapat dalan tubuh laki-laki maupun perempuan.
Selain daripada itu, delapan sampai sembilan puluh persen
wanita cantik didunia ini adalah egois (lebih mementingkan diri
sendiri). Hoa In-liong tampan lagi gagah, bukan saja lihay ilmu
silatnya baik pula budinya sekalipun Bwee Su-yok dibesarkan
dalam pendidikan yang keliru dan berpandangan picik,
sekalipun sikapnya dingin kaku dan tidak beremosi, tapi dalam
hati kecilnya dia masih mempunyai daya tarik terhadap lawan
jenisnya.
Sejak pandangan yang pertama, kegagahan dan
ketampanan pemuda itu telah meninggalkan kesan yang
cukup mendalam. Sayang pemuda itu telah mengucapkan
kata-kata yang menyinggung perasaan dan gengsi gadis itu.
Apalagi sedari kecil ia sudah mendapat pendidikan yang keliru,
dalam keadaan demikian semakin yakinlah dia bahwa apa
yang diucapkan gurunya…. makin tampan seorang lelaki
makin busuk hatinya adalah benar. Serta merta hawa nafsu
membunuh daiam hati gadis itu pun berkobar.
Tentang soal ini, mungkin Hoa In-liong tidak
menyangkanya sama sekali, tapi Kiu-im-kaucu dapat
merasakan hal tersebut. Sebab itulah dengan suara yang
lantang dan nyaring ia bertanya kepada Bwee Su-yok dengan
pertanyaannya yang serba aneh, menanti Bwee Su-yok
memberi jawabannya yang jujur disertai teriakan nyaring dan
sikapnya pulih kembali dalam keketusan dan dingin, ia baru
merasa puas dan berlega hati.
Suasana dalam arena kembali pulih dalam kesunyian, yang
terdengar hanya gelak tertawa Kiu-im-kaucu yang bangga dan
nyaring. Ditengah gelak tertawa yang memekikkan telinga itu,
pelan-pelan Kiu-im-kaucu maju kedepan, dibelainya bahu

421
gadis she Bwee itu, kemudian tanyanya dengan lembut, “Yokji
bencikah engkau kepadanya?”
“Aku tidak tahu” sahut Bwee Su-yok dingin, “Tapi aku muak
sekali melihat tampangnya!”
Kiu-im-kaucu mengangguk beberapa kali. “Ehmmm! Yok-ji,
kau memang anakku sayang sebenarnya boleh saja kau bunuh
orang itu, tapi aku masih membutuhkan dirinya, maka pergi
dan tawanlah orang itu hidup-hidup!”
“Baik!” sahut Bwee Su-yok.
“Sreeet!”
Dia menyimpan kembali pedang lemasnya, kemudian
dengan wajah dingin dan langkah yang tegap selangkah demi
selangkah dihatn pirinya pemuda Hoa In-liong.
Kiu-im-kaucu putar badannya, memandang bayangan
punggung muridnya itu dia tertawa bangga sambungnya lebih
jauh, “Hati-hati! Ilmu silat keluarga Hoa bukan kepandaian
yang bisa dianggap remeh, jangan sampai kau hancurkan
merek gurumu!”
Tiba-tiba Coa Cong-gi menerkam ke muka, teriaknya
setengah menjerit, “Bagus sekali! Akan kuremukkan papan
merekmu itu. akan kulihat kau siluman tua bisa berbuat
apalagi!”
Sebuah pukulan dahsyat segera dilontarkan ke depan
menghantam dada Bwee-Su-yok.
Serangan yang dilancarkan ini bukan saja disertai tenaga
dalam yang maha dahsyat, kecepatannya pun bagaikan
sambaran kilat, belum habis ucapannya diutarakan, serangan

422
yang keras dan kuat bagaikan gulungan ombak ditengah
samudera itu sudah menerjang ke arah dada gadis itu.
Bwee-Su yok memang sungguh-sungguh amat lihay. Sedikit
saja badannya miring ke samping, tahu-tahu serangan yang
maha dahsyat itu sudah di hindarinya. Ditengah dengusan
dingin tangan tangan kanannya mencengkeram kemuka
mengancam urat nadi diatas pergelangan tangan Coa Cong-gi.
Sementara tangan kirinya yang tajam bagaikan pisau
membacok tekukan sikutnya, bukan begitu saja malahan kaki
kanannya ikut melayang kedepan menendang jalan darah
Tan-tian dipusar.
Satu jurus dengan tiga gerakan, bukan saja enteng dan
gesit, bahkan tajam dahsyat dan luar biasa lihaynya.
Hoa In-liong terhitung seorang pemuda yang dapat
menguasai perasaan sendiri, akan tetapi setelah menyaksikan
jalannya pertarungan itu, bergidik juga hatinya.
Tampaknya aliran ilmu silat yang dianut Coa Cong-gi
sejalan dengan tabiatnya, keras berangas dan dan
mengandalkan tenaga besar. Masih mendingan kalau ia tidak
bertarung, sekali turun tangan maka tubuhnya menerjang
terus kedepan, sedikit pun tidak merasa gentar atau takut.
Tampak telapak tangannya ditekan ke arah bawah,
tubuhnya mendadak berputar keras, sikutnya langsung
disodok ke belakang menumbuk jalan darah Mia-bun-hiat.
Sementara tangan kirinya disapu ke samping mencengkeram
jalan darah cian-keng-hiat di bahu, baik berganti jurus
maupun menukar gerakan, semuanya dilakukan de ngan
ganas, sama sekali tidak memperdulikan ke selamatan jiwa
sendiri.

423
“Woouw, suatu gerakan serangan yang ganas dan
tekebur!” teriak Kiu-im-kaucu lantang, “Eeh.. anak muda,
engkau adalah anak murid siapa….?”
“Anak murid diri sendiri!” sahut Coa Cong-gi ketus. Seraya
berkata, tubuhnya secepat kilat berputar kencang. Kepalan
dan telapak tangannya dipergunakan berbareng. Dalam waktu
singkat dia telah melancarkan tiga buah jotosan dan tujuh
buah pukulan telapak tangan yang tajam.
Sebetulnya anak muda itu maksudnya hendak berkata
bahwa ilmu silatnya adaran ajaran keluarga, tapi oleh karena
wataknya terlalu berangasan lagi pula sedang melancarkan
serangan berantai, jawaban yang kemudian diucapkan
malahan menjadi suatu jawaban seperti orang segan
menyahut.
Kiu-im-kaucu mendengus dingin, tiba-tiba dia berseru,
“Seng tongcu, kau maju dan layanilah engkoh cilik ini
bermain-main beberapa jurus!”
Seorang kakek pendek, kecil yang memelihara jenggot
kambing dijanggutnya disudut arena sana segera mengiakan
dan masuk kedalam gelanggang bentaknya dengan suara
lantang, “Lohu bernama Seng Sin-sam, akan melayani
beberapa jurus serangan darimu!”
Dengan suatu loncatan kilat ia menerjang masuk ke arena,
telapak tangannya secepat kilat dibabat kebawah membacok
dada kiri Coa Cong-gi.
Sementara itu Bwee Su-yok telah melayang mundur ke
belakang, dengan suara berat katanya , “Tangkap dia, aku
minta dalam keadaan hidup!”

424
Kemudian sambil putar badan, dia menuding ke arah Hoa
In-liong sambil ujarnya lagi dengan di-ngin, “Orang she-Hoa,
kaucu ada perintah yang melarang nonamu membunuh kau,
sekarang kau boleh menyerang dengan legakan hatimu!”
“Ooooo….. Tadi kan sudah kukatakan, aku hendak
menabok pantatmu karena kau nakal….”
Belum habis ucapan itu, si nona baju hitam telah
menerjang kedepan sambil berseru, “Hoa kongcu. silahkan
pergi dari sini! Mereka andalkan jumlah banyak, tidak
menguntungkan bagi kita untuk melayani kurcaci-kurcaci
tersebut!”
Bwee-su-yok semakin naik pitam, kembali ia membentak
keras, “Kek Tongcu, tangkap perempuan itu!”
Ditengah bentakan nyaring, segesit dia mengigos
kesamping menghindarkan diri dari sergapan nona baju hitam,
kemudian ia berbalik menerjang ke arah Hoa In-liong lagi.
Pada saat yang bersamaan, seorang kakek tinggi besar
yang berkepala botak melayang masuk ke dalam arena, ia
langsung menghadang jalan pergi si nona baju hitam.
Si Nio yang melihat majikannya terhadang, serta merta
menerjang pula kedepan, dia kuatir majikannya menemui
celaka. “Telur busuk!” makinya, “Kami tak ada sangkut
pautnya dengan orang she Hoa itu. ayoh cepat menyingkir,
kami akan berlalu dari sini!”
Si Nio benar-benar amat setia terhadap majikannya, dia tak
ingin menyaksikan majikannya berhubungan dengan Hoa Inliong,
lebih-lebih tak ingin membiarkan dia bertempur dengan
orang-orang Kiu-im-kau, tapi lantaran wataknya yang
berangasan. Begitu selesai berbicara, telapak tangan

425
kanannya langsung diayun kemuka menghantam dada Kek
Tongcu itu.
Orang she Kek ini bernama Kek Thian tok, dia adalah
seorang anggota lama dari Kiu-im-kau, malahan terhitung
bawahan yang paling kuno sebab pengabdiannya semenjak
kaucu angkatan yang lalu, sekarang dia menjabat sebagai
ketua ruangan kesejahteraan anggota, bukan saja
kedudukannya terhormat, ilmu silat yang dimiliki juga bebat
sekali.
Dengan suatu langkah yang aneh tiba-tiba ia memutar
badannya, entah dengan gerakan apa, tahu-tahu tubuhnya
yang tinggi besar itu sudah berada dibelakang punggung Si
Nio telapak tangannya segera dihantam keatas jalan darah
Leng-tay-hiat ditubuh perempuan itu.
“Hmm! Rupanya engkau memang sudah bosan hidup……”
bentaknya.
Si nona baju hitam merasa amat terkejut, serta merta ia
menerjang ke muka sambil berteriak, “Si Nio, hati-hati”.
Telapak tangannya diayun, langsung menyongsong datangnya
ancaman dari Kek Thian-tok.
“Blaaaang….,..!” ketika dua pasang telapak tangan saling
beradu, terjadilah suatu ledakan keras yang memekikkan
telinga.
Sekujur badan sinona baju hitam itu terpukul miring
kesamping dan secara beruntun mundur delapan langkah dari
tempat semula sebelum akhirnya berhasil untuk berdiri tegak
kembali. Keadaan Kek Thian-tok sendiripun tidak begitu
menyenangkan, badannya terseret miring kesamping oleh
angin pukulan itu.

426
Rupanya Si Nio merasakan gelagat yang kurang
menguntungkan, serta merta ia melesat beberapa kaki
kedepan dengan badan hampir menempel diatas permukaan
tanah, dengan suatu gerakan yang mendebarkan hati loloslah
sinenek jelek itu dari ancaman maut.
Semua kejadian ini berlangsung hampir bersamaan
waktunya, sementara Hoa In-liong masih bertarung sengit
melawan Bwee Su-yok. Keadaan sinona baju hitam itu sudah
keteter hebat, tampaknya ia tak sanggup untuk melakukan
perlawanan lebih jauh.
Melihat keadaan tersebut, Hoa In-liong jadi terkejut sekali,
dia mengepos tenaga dalamnya dan memaksa mundur Bwee
Su-yok, lalu pedang pendeknya dilontarkan ke muka sambil
teriaknya dengan penuh kecemasan dan kekuatiran, “Nona,
sambutlah pedang ini!”
“Criiiit….!”
Diiringi suara desingan tajam yang memekikkan telinga,
pedang pendek itu dergan memancarkan sinar berwarna
keperak-perakan meluncur ke muka.
Kebetulan sekali Kek Thian-tok sedang bergerak maju dan
melancarkan terjangan untuk kedua kalinya ke arah nona baju
hitam saat itu, dengan melesatnya sang pedang pendek itu,
otomatis ujung pedang itu mengancam keatas punggung Kek
Thian-tok.
Untunglah Toagcu dari ruang Kesejahteraan perkumpulan
Kiu-im-kau ini terhitung seorang jago kawakan, baik
ketajaman dalam penglihatan maupun ketajaman dalam
pendengaran boleh dibi lang cukup tangguh, tatkala
merasakan tibanya de singan angin tajam, dengan ketakutan
buru-buru badannya bertiarap keatas tanah.

427
“Sreeet!”
Dengan membawa desingan angin tajam, pedang pendek
itu meluncur tepat diatas batok kepalanya dan melayang ke
arah dada si nona baju hitam.
Dari kejauhan si nona baju hitam itu dapat merasakan pula
desingan angin tajam yang dibawa pedang pendek itu sangat
memekikkan telinga, dan lagi tenaga luncurnya belum lemah,
dia tak berani menyambut dengan begitu saja, terpaksa
kakinya bergeser selangkah ke samping, terhindar dari
sambaran senjata itu, pedang pendek tadipun rontok ke
tanah.
Si-Nio menyambar pedang pendek itu dengan kecepatan
luar biasa, lalu menerjang kedepan, ben-taknya keras-keras,
“Nona. cepat lari! biar setan tua ini aku yang hadang……”
Pedangnya menggeletar nyaring, dengan membawa
desingan yang menggidikkan hati dia tusuk dada Kek Thian
tok.
Bwee-Su-yok semakin kalap menyaksikan kejadian itu,
teriaknya setengah menjerit, “Bunuh dia! Bunuh perempuan
itu sampai mampus!”
Agaknya kemarahan yang berkobar dalam dada perempuan
itu sudah mencapai pada puncaknya. Sinar mata yang
memancar keluar mengerikan sekali, telapak tangannya
berputar kesana kemari, desingan angin jari mendesis
kesekeliling gelanggang. Semua jalan darah penting ditubuh
Hoa In-liong terancam dibawah serangannya, ini membuat si
anak muda itu mau tak mau harus mengerahkan pelbagai
macam ilmu tangguhnya untuk mempertahankan diri.

428
Walaupun demikian, pemuda itu masih juga keteter hebat
dan tak mampu mempertahankan diri, dia terdesak berada
dibawah angin.
Syarat terpenting yang harus diperhatikan oleh jago-jago
lihay yang sedang bertempur adalah ke-tenangan serta
pemusatan pikiran dan perhatian ke satu titik.
Ketika Hoa In-liong masih bisa bertempur dengan
memusatkan pikiran tadi, kedudukannya masih lumayan. Tapi
setelah dilihatnya si nona baju hitam itu terancam bahaya dan
bukan tandingan Kek Thian-tok, karenanya pedang pendek
yang dipakainya itu disambit kembali kepada nona itu agar
nona tadi bisa melawan dengan ketajaman senjatanya, justru
karena perhatiannya bercabang, ia jadi kehilangan posisi yang
menguntungkan, dan untuk sesaat tak mampu
mengembalikan lagi posisinya yang tidak menguntungkan itu.
Bwee Su-yok memang masih muda, usianya baru belasan
tapi kepandaian silat yang dimilikinya luar biasa sekali. Apa
lagi mukanya sekarang diliputi keketusan dan keseraman yang
mencekam hati, seakan-akan gadis itu sudah lupa kalau Kiuim-
kaucu telah berpesan untuk menangkap mu-suhnya dalam
keadaan hidup.
Baju putihnya sebentar bergerak kekiri sebentar lagi
bergerak kekanan, semua serangan yang digunakan seolaholah
merupakan jurus mematikan yang mengerikan hati, ini
membuat lawan-nya jadi semakin keteter bebat.
Hoa In-liong sendiri, sekalipun posisinya sangat tidak
menguntungkan. Namun kejadian itu tidak membuat hatinya
jadi gugup. Memang keteguhan hati dan ketenangan adalah
pokok utama yang diandalkan ayahnya untuk melepaskan diri
dari kesulitan. Dihari-hari biasa diapun selalu mendidik anakanaknya
untuk mengutamakan keteguhan hati.

429
Oleh sebab itulah meskipun Hoa In-liong berada dalam
posisi yang menyulitkan, namun sikapnya tetap tenang dan
keteguhan hati betul-betul tercermin dari setiap gerakgeriknya.
Sekarang ia tidak mengharapkan keuntungan tapi
lebih mengutamakan keselamatan. Karena itu bila Bwee Suyok
ingin melukai pemuda itu dalam beberapa gebrakan saja
jelas hal ini tak mungkin terjadi.
Begitulah, kedua orang itu saling menyerang dengan
gencarnya, dalam waktu singkat dua puluh gebrakan sudah
lewat. Sekalipun terjadi perbedaan antara yang terdesak dan
pihak yang menyerang namun untuk menentukan siapa
menang siapa kalah masih merupakan suatu tanda tanya
besar.
Jilid: 12
DITENGAH pertarungan, Hoa In-liong berpikir dihatinya,
“Apa yang sebenarnya telah terjadi? Bukankah Kiu-im-kaucu
telah berkata dengan jelas bahwa dia menghendaki aku dalam
keadaan hidup? Kenapa perempuan ini malahan begitu
bernafsu untuk membunuh aku? Kalau toh ingin membunuh
aku, kenapa tidak ia gunakan pedang lemasnya?”
Sebuah telapak tangan yang kecil dan putih tiba-tiba
mencengkeram ke arah dadanya, ini memaksa anak muda itu
harus segera menarik kembali lamunannya, ia berjongkok
kesamping, tangannya digetarkan keatas dan dengan kelima
jari tangannya yang direntangkan bagaikan kuku garuda,
dicengkeramnya urat nadi diatas pergelangan lawan.
Bwee Su-yok miring kesamping menghindarkan diri dari
serangan Kim-liong-tam-jiau (naga emas mengunjukkan

430
cakarnya) si anak muda itu, mendadak telapak tangannya
ditekan kebawah dan membacok jalan darah cian-heng hiat
dibahunya, sementara jari tangan kirinya setegang tombak
menusuk jalan darah Hu-ciat-hiat dilambung.
Hu-ciat-hiat merupakan jalan darah pertemuan ditubuh
manusia, apa bila tempat itu sampai tertotok, maka hawa
darah akan membuyar kesamping, jiwapun otomatis
terancam. Padahal serangan itu dilancarkan dengan kecepatan
bagaikan sambaran kilat, cukup dari desingan angin
serangannya dapat diketahui bahwa ancaman tersebut benarbenar
mengerikan.
Hoa In-liong sangat terkejut, buru buru ia memutar
badannya kesamping untuk menghindarkan diri.
Tiba-tiba terdengar Coa Cong-gi berteriak keras, “Seng lo
kui (setan tua), mau bunuh mau cincang aku orang she Coa
tak nanti mengerutkan dahi, tani kalau engkau hendak
mempermainkan diriku…..”
“Hmmm……! Jangan salahkan kalau aku orang she Coa
akan mencaci maki dirimu…..”
Tongcu penerimaan anggota, Seng-Sin-sam tertawa seram.
“Heeeh….. hee…… hee…… kaucu ada perintah untuk melayani
sobat muda bermain sebanyak beberapa jurus, sedang akupun
hanya melaksanakan perintah belaka, mau maki mau marah
silahkan saja, yang pasti aku tak berani membunuh dirimu!”
Coa Cong-gi memang seorang laki laki yang berangasan,
begitu terjun kedalam gelanggang dia lantas melancarkan
serangkaian serangan yang meng getarkan hati. Dengan
pukulan pukulannya yang serba keras dan penuh bertenaga,
mula mula ancamannya itu mendatangkan juga hasil yang
diinginkan, tapi lama kelamaan dengan usianya yang muda

431
dan tenaga dalamnya yang serba terbatas puluhan jurus
kemudian tenaga serangannya makin mengendor, akhirnya
pukulan-pukulan yang di lancarkan juga makin lemah jadinya.
Seng-Sin-sam sendiri sebagai seorang Tongcu tentu saja
memiliki ilmu silat yang tinggi, sudah puluhan tahun ia
berkelana dalam dunia persilatan. Baik pengetahuan maupun
pengalamannya boleh dibilang luas sekali, ditambah lagi dia
adalah seorang manusia yang licik dan banyak akalnya. Sejak
awal pertarungan, dia hanya bergerilya belaka memeras
tenaga Coa Cong-gi, menanti jalannya pertarungan sudah
dikuasahi, dia baru pukul sana hantam kemari seperti orang
lagi mempermainkan musuhnya. Pada hal hakekatnya ia
sedang mencari kesempatan untuk menyarangkan pukulannya
ketubuh lawan. Sayang musuhnya ini berani mati. Ilmu
silatnya juga istimewa, bertarung sekian lama dia belum
berhasil juga untuk memenuhi harapannya.
Coa Cong-gi semakin berang, ketidak-sabarannya membuat
mukanya sampai ketelinga jadi merah padam, napasnya ngosngosan
seperti kerbau. Serangan yang dilancarkan juga
semakin ngawur.
Hoa In-liong merasa amat terperanjat cepat teriaknya
dengan suara lantang, “Tenang…..! Tenang…..! Saudara
Cong-gi, Jangan
keburu nafsu, bertempurlah pelan-pelan….”
Bagaikan bayangan setan, Bwee Su-yok menerjang maju
kemuka, bentaknya dengan dingin, “Sudah, kamu tak usah
campuri urusan orang lain, uruslah dirimu sendiri”
Telapak tangannya segera diayun kedepan menghajar
batok kepala anak muda itu.

432
Cukup keji serangan tersebut bahkan tenaganya bagaikan
bukit Thay san yang memindah di atas kepala. Dalam kejutnya
Hoa In-liong berusaha untuk berpaling sambil berkelit, tapi
sayang ter-lambat, ia saksikan telapak tangan musuh yang
putih bagaikan pualam itu tahu-tahu sudah berada beberapa
inci diatas kepalanya.
Untunglah disaat yang amat kritis itu terdengar Kiu-imkaucu
membentak nyaring, “Aku menginginkan yang hidup!”
Bentakan tersebut penuh bernada kemarahan yang
memuncak.
Bwee-Su-yok terperanjat, gerakan tangannya segera
terhenti ditengah jalan. Menggunakan kesempatan itu Hoa Inliong
menjejakkan kakinya dan mundur delapan depa ke
belakang, dengan demikian loloslah dia dari ancaman
tersebut.
Hoa In-liong memang jauh berbeda dengan manusia biasa,
bila orang biasa yang baru lolos dari ancaman bahaya maut,
niscaya nyalinya akan pecah dan peristiwa itu akan
mengakibatkan kemarahan yang mendekati kalap. Sebaliknya
Hoa In-liong tetap tenang, dipandangnya sekejap sekeliling
arena pertarungan, kemudian sambil mengerahkan tenaga
dalamnya dia membentak nyaring, “Tahan!”
Bentakan itu diutarakan dengan tenaga penuh, kerasnya
bagaikan guntur yang membelah bumi di siang hari bolong,
membuat jantung orang bukan saja berdebar keras,
telingapun jadi sakit rasanya.
Jangan dibilang Coa Cong-gi yang memang keteter hebat,
Si Nio berdua yang sedang bertarung melawan Kek Thian-tok
pun berada dalam posisi yang sangat tidak menguntungkan.

433
Ketika mendengar bentakan tadi, semuanya terkejut dan serta
merta juga pertarungan pun terhenti.
Paras muka Kiu-im-kaucu agak berubah, diam-diam
pikirnya didalam hati kecil, “Hebat juga tenaga dalam yang
dimiliki bocah itu, rasanya tidak berada dibawah kemampuan
Hoa Thian-hong. Aku tak boleh terlalu memandang enteng
orang ini!”
Sementara dihati kecil dia berpikir demikian, diluaran
segera tegurnya dengan lantang, “Ada apa? Ada persoalan
yang hendak kau ucapkan….?”
Hoa In-liong tidak menggubris pertanyaan itu, dia berpaling
ke arah Si Nio yang masih berdiri dengan muka menyeringai
dan serunya, “Kau boleh temani nonamu untuk, berlalu lebih
dulu dari sini!”
Si Nio tertegun, kemudian serunya mendadak, “Dengan
dasar apakah engkau memerintah aku….?”
“Persoalan yang sedang kami hadapi sama sekali tak ada
sangkut pautnya dengan diri kalian berdua maka kuanjurkan
janganlah mencampuri urusan ini!”
Maksud dari ucapan anak muda itu cukup jelas, ia telah
bersiap sedia melangsungkan pertempuran mati-matian, maka
diharapkan orang yang tak ada sangkut pautnya dengan
kejadian itu dipersilahkan untuk berlalu lebih dulu.
“Tidak….!” si nona baju hitam itu segera menampik, “Kalau
mau pergi, kita harus pergi bersama-sama!”
“Nona tak usah kuatir” kembali Hoa In-liong membujuk,
aku kan sudah berkata bahwa urusan ayahmu tak akan
kucampuri? Pokoknya bila persoalan ditempai ini sudah

434
selesai, aku pasti akan mencari nona untuk merundingkan lagi
tentang persoalan ini”
“Huuuh……” Enak benar kalau bicara, bagaimana kalau
seandainya kau mampus?” sela Si Nio dengan suara parau.
“Ngaco-belo!” bentak nona baju hitam dengan muka dingin,
“Siapa yang suruh engkau mencam-puri urusan ini? Sana
menyingkir jauh jauh dari sini”
“Aku tidak mengapa ada, semua perkataanku adalah
sejujurnya. Andaikata dia sampai mati terbunuh Kiu-im-kaucu,
bukankah kita akan menggigit jari?”
Tentu saja dibalik semua persoalan itu, sebetulnya terdapat
suatu hubungan yang aneh sekali dan hubungan itu cukup
membingungkan mereka mereka yang terlibat.
Tak bisa diragukan lagi, si nona baju hitam itu menaruh
kesan yang sangat mendalam terhadap Hoa In-liong, akan
tetapi diapun menguatirkan keselamatan ayahnya, karena itu
perasaannya jadi serba salah, caranya berbicarapun jadi
mengarah dua bagian.
Sebaliknya Si Nio amat setia kepada majikannya. Apa yang
dikuatirkan cuma keselamatan majikan tuanya. Selain itu
diapun kuatir majikan mudanya terjebak dalam jaring cinta,
maka setiap saat dia berusaha menyakiti hati Hoa In-liong,
sedang keputusan dan caranya berpandangan pun sangat
tegas.
Hoa In-liong pribadi hakekatnya tidak mempunyai
prasangka apa-apa. Dia mengira apa yang diu-capkan Si Nio
adalah kata-kata yang sejujurnya dan tujuan si nona baju
hitam membantu dirinya serta menguatirkan keselamatan
jiwanya juga tak lain demi keselamatan ayahnya, sebab itu dia

435
cuma tertawa ewa. “Sudah….. pergi!, pergi sana!” serunya
sambil ulapkan tangan, “Aku yakin masih mempunyai
kemampuan untuk menjaga diri, kalian tak usah menyianyiakan
waktu bagi urusan yang tak penting lagi!”
Terdengar Bwee Su-yok mendengus dingin dengan bibir
dicibirkan, sedangkan Siau Ciu yang se-lama ini hanya
membungkam terus, sekarangpun berseru sambil tertawa
seram, “Heeeh…. hee…… heee…… mau pergi? Aku rasa tak
akan segampang itu!”
Hoa In-liong mengalihkan pandangan matanya kesekeliling
gelanggang, lalu tersenyum. “Ooooh….! Rupanya saudara Siau
juga terhitung salah seorang anggota Kiu-im-kau. Suatu
kejadian yang sama sekali tak terduga bagiku!” ejeknya.
Lantaran soal Wan Hong-giok yang dicintainya Siau Ciu
merasa benci sekali terhadap Hoa In-liong boleh dibilang rasa
bencinya itu sudah merasuk kedalam tulang sumsum.
Mendengar itu, dia celingukan kesana kemari, kemudian
katanya, “Hmmm! Engkau gemar bermain perempuan kesana
kemari, berani menggaet juga sumoay aku orang she Siau…..”
Mendadak perkataannya terputus sampai ditengah jalan,
dia menjura kepada Kiu-im-kaucu dan berkata, “Hamba minta
ijin untuk turun ke gelanggang”
“Kau hendak beradu tenaga dengan Hoa siau-hiap?” tanya
Kiu-im-kaucu dengan sangsi.
“Hamba minta ijin untuk menahan perempuan itu!” jawab
Siau Ciu dengan hormat.
“Huuuh…. kamu itu manusia macam apa?” maki Hoa Inliong
dengan suara mendongkol.

436
Siau Ciu menengadah lalu menjawab, “Aku hendak
menggunakan cara yang sama untuk menghadapi dirimu. Kau
telah merampas pacarku, maka sekarang aku orang she Siau
juga akan bunuh kekasihmu ini, akan kusuruh engkau
bagaimana sengsaranya orang patah hati!”
Hoa In-liong betul-betul dibuat menangis tak bisa
tertawapun tak dapat, tapi ia masih berusaha mengendalikan
hawa amarahnya. Dalam keadaan begini ia betul-betul segan
untuk memberi perjelasan. “Hmmmm…..! Bagus, bagus sekali”
serunya sambil mendengus dingin “kalau engkau memang
merasa bernyali, kenapa tidak bertempur saja melawan
diriku?”
“Hmmm, engkau adalah milikku, kenapa musti cerewet?”
tukas Bwee Su-yok dari samping dengan dingin “Kalau ingin
turun tangan, ayolah kulayani keinginanmu itu!”
Telapak tangannya segera diayun kedepan, segulung angin
pukulan yang maha dahsyat segera meluncur kedepan.
Hoa In-liong miringkan badannya menghindarkan diri dari
ancaman tersebut, kemudian hardik-nya, “Tunggu sebentar!”
Setelah berhenti sejenak, dengan sinar maita yang tajam
tiba-tiba ia berpaling ke arah Kiu-im-kaucu, lanjutnya,
“Sebelum terjadi peristiwa apa-apa, hendak kuperingatkan
lebih dulu kepadamu, andaikata ada orang hendak
menyusahkan Si Nio berdua, Heeh…. hee…. hee….. Kaucu!
Jangan salahkan kalau aku akan bertindak kejam!”
Tiba-tiba nona berbaju hitam itu berseru, “Siapapun jangan
harap bisa menyuruh aku tinggalkan tempat ini, kalau
tidak…… Aduh!”

437
Rupanya tanpa menimbulkan sedikit suarapun Si Nio
menotok jalan darah kakunya. Begitu majikannya terkulai,
dengan gerakan paling cepat disambarnya nona itu, lalu
sambil mengempitnya dengan gerakan cepat perempuan jelek
itu meluncur turun ke bawah bukit.
Siau-Ciu menggerakkan tubuhnya akan mengejar tapi Kiu
im kaucu keburu berseru dengan lan-tang, “Kembali! Biarkan
mereka pergi….”
Siau Ciu tak berani membangkang, terpaksa dia
menghentikan gerakan tubuhnya dan melotot sekejap ke arah
Hoa In-liong dengan gemas.
Hoa In-liong sendiri pura pura tidak melihat, dia malah
berpaling ke arah Cong-gi sambil berkata. “Saudara Cong-gi,
engkau juga harus pergi dari sini!”
“Kenapa musti pergi?” teriak Cong-gi dengan mata melotot
dan dan alis mata berkenyit, “Memangnya kau anggap aku
adalah seorang pengecut yang takut mampus?”
Hoa In-liong tersenyum. “Tentu saja tidak!” sahutnya, “Kiuim-
kaucu hendak menangkap siaute. Sekalipun aku tak tahu
apa maksud tujuannya, tentu saja siaute tak dapat menyerah
dengan begitu saja, maka siaute akan bertempur mati matian
melawan mereka!”
“Kalau memang begitu, ayolah kita kerjakan!” teriak Coa
Cong-gi dengan lantang, “Sekalipun harus mampus, delapan
belas tahun kemudian aku juga akan hidup lagi sebagai
seorang laki-laki”
“Saudara Cong-gi, aku kagum sekali oleh kegagahanmu,
akan tetapi sebagaimana pun juga…..”

438
“Sudah, kau tak usah banyak bicara lagi, kalau mau
bertempur ayoh kita lakukan sekarang juga!”
“Dengarkan dulu perkataanku” bujuk In-liong “Jika aku
mati kaulah yang berkewajiban untuk membalaskan dendam
bagiku, apalagi…. Yaa, harap saja saudara Cong-gi jangan
tersinggung, hakekatnya ilmu silatmu bukan apa-apaku. Bila
engkau turut campur bukannya membantu malah justru akan
memecahkan perhatianku. Aku justru malahan tak bisa
pusatkan perhatian untuk ber-tempur melawan mereka”
Perkataan semacam itu boleh dibilang sangat blak-blakan
dan berterus terang, andaikata orang lain yang diucapi katakata
seperti itu, sedikit banyak mereka akan berpikir dua kali.
Apa mau di bilang Coa Cong-gi adalah pemuda yang setia
kawan. Dia tak mau tahu soal lain kecuali tujuannya. Maka
berbicara dengannya sama juga seperti tidak berbicara sama
sekali.
Tampak sinar matanya berkilat, lalu dengan suara tak
senang hati teriaknya, “Kenapa? Memangnya cuma kau saja
yang boleh tunjukkan kebolehannya sedang orang lain tidak
boleh? Kalau kau suruh aku kabur meninggalkan teman, lantas
jadi apakah aku Coa Cong-gi dimata orang?”
Melihat kekerasan hati rekannya itu. Hoa In-liong jadi
cemas, serunya lagi, “Tapi dalam soal ini bukan soal setia
kawan atau tidak, situasi yang kita hadapi sekarang……”
“Sudah, tak usah banyak bicara lagi, aku tak mau
mendengarkan!” tukas Coa Cong-gi tiba-tiba dengan suara
keras.
Begitu selesai berteriak, dia lantas melompat ke depan
Seng Sin-sam dan langsung mengayunkan kepalanya untuk
menyerang.

439
Setelah beristirahat sebentar, tenaga dalamnya telah pulih
kembali seperti sedia kala, otomatis tenaga serangannya juga
amat hebat pula.
Seng Sin-sam cepat berkelit kesamping menghindarkan diri
dari serangan musuh yang lihay, kemudian sambil menerjang
maju kedepan dia balas melancarkan serangan berantai.
Begitulah, pertarungan pun segera berkobar. Dua orang itu
saling menyerang dengan gencarnya. Angin pukulan bayangan
telapak tangan memenuhi seluruh angkasa, untuk sesaat
mereka bertempur dalam keadaan seimbang dan sama kuat.
Melihat rekannya sudah bertempur, Hoa In-liong pun tak
bisa berbuat apa-apa lagi, dia lantas berpikir, “Rasa setia
kawannya setinggi langit, Yaa… aku harus kagum dan
berterima kasih kepada dia”
lapun berpaling kepada Kiu-im-kaucu, lalu ujarnya dengan
dingin, “Aku ingin mergisahkan semua cerita, bersediakah
kaucu untuk mendengarkan?”
“Eeee… dalam keadaan semacam inipun kau masih berniat
untuk bercerita?” tanya Kiu-im-kaucu keheranan.
“Ooooh….Ceritanya pendek sekali, tak akan makan waktu
terlalu banyak untuk mengisahkan-nya!”
Kiu-im-kaucu tersenyum. “Kalau engkau memang punya
kegembiraan untuk berbuat demikian, ceritakanlah, aku akan
mendengarkannya dengan seksama!”
“Dulu, ketika raja Chu Pah-ong menderita kekalahan total
disungai Wu-kang, Han Ko-cou yang cerdik dan bijaksana
tiada bermaksud memaksa lawannya untuk bunuh diri. Dalam

440
hati kecilnya dia hanya bermaksud untuk mendesaknya hingga
tak ada jalan kabur lagi dan suruh dia menyerah kalah dan
dipakai tenaganya”
Kiu-im-kaucu tertawa terbahak-bahak setelah mendengar
cerita itu. ”Haaa….. haa….. haa….. Engkau memang pandai
sekali memutar balikkan duduknya perkara, setelah
mengalami kekalahan demi kekalahan ditangan Siang Yu,
hakekatnya rasa benci Lau Pang kepadanya sudah mencapai
taraf ingin mendahar dagingnya, menghirup darahnya, mana
mungkin ia berniat untuk menerimanya sebagai pembantu?
Apalagi setelah menderita kekalahan yang total Siang Yu toh
akhirnya gorok diri dan mati? Cerita seperti itu bukan cerita
lagi namanya, tapi merupakan catatan sejarah”
“Dalam sejarah hanya tercatat bagaimana akhir dari
kejadian itu, padahal Chu Pah ong mempunyai kekuatan yang
bisa mencabut bukit. Dia merupakan seorang jendral yang
tangguh dalam usaha mempersatukan semua daratan Han-Ko
cou membutuhkan manusia-manusia berbakat semacam itu,
dari mana kaucu bisa mengatakan bahwa ia bermaksud untuk
membunuhnya?”
Kiu-im-kau tertawa, sahutnya, “Lau pang tidak mempunyai
kebijaksanaan untuk mengampuni musuh-musuhnya, setelah
Siang-Yu mati, duniapun jadi aman, apa perlunya dia musti
menerima jendral musuh sebagai panglimanya?”
Tiba-tiba seperti baru saja memahami sesuatu, ia berhenti
sejenak, lalu sambil berpaling ke arah pemuda itu lanjutnya,
“Apa maksudmu mengucapkan kata-kata semacam itu?
Apakah engkau telah mengambil keputusan hendak beradu
jiwa denganku?”
“Haaah….. haa….. haa……….Akhirrnya kaucu mengerti juga
maksudku……! Seru Hoa In-liong sambil tersenyum.

441
Setelah berhenti sejenak, dengan wajah bersungguhsungguh
ujarnya lebih jauh, “Keluarga Hoa cuma mempunyai
anak cucu yang rela kehilangan kepala, tapi tak akan
mempunyai keturunan yang sudi ditawan. Sekalipun aku
sudah tersudut dan tak ada jalan pergi lagi, akan kugunakan
segenap kemampuan yang kumiliki untuk melakukan
perlawanan hingga titik darah peng habisan. Aku lebih rela
mati konyol daripada ditawan dan dihina olehmu. Kalau toh
kaucu sudah memahami perkataan itu, hal ini jauh lebih baik
lagi. Tapi sebelumnya hendak kuterangkan dulu kepadamu,
bila ada yang terluka atau sampai tewas, maka semuanya
adalah tanggung jawab kaucu sendiri. Sebab setelah
bertempur narti, aku tidak akan berlaku sungkan sungkan
lagi.”
Mula-mula kiu im kaucu tertegun, menyusul kemudian
diapun tersenyum geli. “Aaah… kamu ini selalu ada-ada saja!”
tegurnya, “Urusan tak akan berubah jadi demikian seriusnya.
Aku kan bukan Lau pang sedang engkau juga bukan Siang Yu
dari kerajaan Chu. Tidak mungkin kau akan kudesak hingga
kehilangan jalan mundur!”
“Hmm, ucapan semacam itu hanya perkataan yang sama
sekali tak ada artinya” tukas Hoa In-liong “Demi dendam
kematian Suma siok-yamu, juga dengan mencegah ambisi Kiuim-
kau kalian merajai dunia persilatan dan menciptakan badai
pembunuhan, bagaimanapun juga harus mencampuri urusan
ini. Tapi karena semenjak kecil aku sudah dididik ketat, aku
tak ingin bertindak secara gegabah. Seandainya aku kalah
maka aku pun akan berusaha untuk mengundurkan diri dari
sini, jika kaucu bermaksud menangkap hidap-hidup diriku….
Heee… hee….. hee…… Lebih baik jangan bermimpi disiang
hari bolong”

442
“Hmm! Engkau ingin beradu jiwa?”, jengek Bwee Su-yok
dengan dingin “Justru nona tak akan membiarkan engkau
mampus!”
Hoa In-liong tersenyum, pelan-pelan dia alihkan pandangan
matanya ke arah gadis itu, kemudian sahutnya, “Bukannya
aku sengaja berbicara sombong, jika kalian hendak main
kerubut maka untuk membunuh aku gampang, tapi mau
menangkap aku….? Huuh, bukan urusan gampang”
“Seandainya aku turun tangan sendiri?” tanya Kiu-im-kaucu
secara tiba-tiba.
“Kau maju sendiri juga sama saja!” jawab Hoa In-liong
dingin, ucapannya sangat tegas.
Mendengar jawaban tersebut, paras muka Kiu-im-kaucu
berubah hebat, ia tertawa dingin tiada hentinya.
Haruslah diketahui, Kiu-im-kaucu adalah seorang manusia
yang berpandangan picik dan amat menitik beratkan soal
dendam dan sakit hatinya. Tapi sikapnya selama ini terhadap
Hoa In-liong bisa ramah hal ini dikarenakan pertama, usianya
sudah makin lanjut, otomatis watak dan sikapnya juga jauh
lebih ramah, kedua dimasa lalu dia mempunyai kesan yang
baik terhadap ayah ibu Hoa In-liong, yakni rasa kagumnya
terhadap Hoa Thian-hong dan rasa sayangnya terhadap Pek
Kun-gi.
Hoa In-liong sangat mirip dengan ayah ibunya. Lagipula
sebagai seorang angkatan yang lebih muda ditambah pemuda
itu bukan sasaran dari gerakannya kali ini, maka untuk
mempertahankan gengsinya sebagai seorang angkatan tua,
dia berusaha untuk mengendalikan sifat ganasnya.

443
Tapi sekarang sikap Hoa In-liong yang serius dan suaranya
yang dingin telah menyinggung pera-saan serta gengsinya.
Sebagai seorang manusia yang berpandangan sempit tentu
saja paras mukanya berubah hebat, karena gusarnya dia
tertawa seram.
Hoa In-liong tetap berdiri tanpa perubahan, sementara
hawa murninya diam-diam telah disiapkan, berjaga-jaga atas
sergapan yang tiba-tiba akan dilakukan Kiu im kaucu.
Ditengah keheningan yang mencekam sekeliling puncak
bukit itu, tiba-tiba terdengar suara seruan merdu
berkumandang datang, “Disini….! Disini…..! Ibu, ayoh cepat
sedikit….”
Suara itu berasal dari sisi kanan puncak bukit itu, tanpa
sadar Hoa In-liong berpaling ke arah mana berasalnya suara
tadi, terlihatlah sesosok bayangan merah melayang turun dari
tengah udara. Di belakang bayangan merah tadi mengikuti
seorang nyonya setengah baya yang memakai baju warna
hijau.
Ketajaman mata Hoa In-liong luar biasa, meskipun ia
berdiri dipuncak bukit enam-tujuh puluh kaki jauhnya dari
bayangan itu, cukup dalam sekilas pandangan ia dapat melihat
bahwa perempuan setengah baya itu sangat cantik dan
berwajah agung, usianya antara empat puluhan. Sedangkan
bayangan merah didepannya adalah seorang gadis muda yang
berparas cantik jelita.
Keayuan nona itu menandingi kecantikan Bwee Su-yok,
cuma dia lebih lincah dan penuh gairah hidup, jauh berbeda
dengan Bwee Su-yok yang dingin kaku bagaikan salju.
Hoa In-liong yang romantis. Dalam keadaan begitu tidak
bernafsu lagi untuk menikmati kecantikan paras mukanya, ia

444
lebih terkesima oleh keindahan gerak tubuh yang
didemontrasikan nona tadi.
Ketika melayang turun dari udara, tubuhnya lurus dan tidak
bergeser barang sedikitpun ke samping. Keindahan dan
kelincahannya melebihi bidadari dari kahyangan. Ini
menunjukkan kalau ilmu silatnya sudah mencapai puncak
kesempurnaan.
Usia nona itu baru enam tujuh belasan, tapi dengan usia
semuda itu ilmu silatnya sudah mencapai puncak
kesempurnaan. Siapa yang akan percaya dengan kejadian ini
bila tidak menyaksikan dengan mata kepala sendiri?
Termangu-mangu Hoa In-liong melihat kelihayan orang,
dalam hati dia lantas berpikir, “Murid siapakah gadis itu?
Sungguh tak kusangka dalam dunia persilatan masih terdapat
kepandaian sakti yang jauh melebihi keampuhan keluarga Hoa
kami!”
Ketika masih melayang diudara, tanpa mengurangi daya
luncur badannya tiba-tiba saja nona itu berseru, “Ibu, coba
lihatlah! Masa untuk melawan seorang tua bangka pun koko
tak mampu untuk memenangkannya, betul-betul memalukan
sekali! Sekembalinya disini dia musti dihukum berlutut selama
tiga hari dan tak boleh makan!”
“Kau yang musti dihukum berlutut didepan altar selama
tiga puluh hari tanpa boleh makan!” teriak Coa Cong-gi
dengan geram.
Si-nona cantik itu tertawa cekikikan. “Siapa suruh kau tidak
pulang semalaman, tapi lari kesini dan berkelahi dengan
orang? Kau telah bikin susah diriku saja….. Mendingan kalau
menang, Huuh! Mengalahkan pun tak mampu…… Kau musti
dihukum untuk berlatih lebih tekun lagi”

445
Setelah melayang keatas tanah, dua orang itu pelan-pelan
maju ketengah gelanggang.
“Wi-ji, jangan ribut dulu” seru nyonya setengah baya itu,
“Kita berlatih ilmu silat adalah untuk menguatkan badan. Ilmu
silat bukan dipakai untuk cari nama atau ribut-ribut dengan
orang”
Setelah berhenti sebentar, lanjutnya, “Anak Gi, cepat
berhenti! Ayoh pulang!”
Coa Cong-gi tidak menguasai tenaga dalamnya secara
sempurna, sejak pertama kali tadi sudah keteter hebat.
Keadaannya pada saat ini mengenaskan sekali. Peluh
membasahi sekujur badannya, untuk berbicara rasanya sulit
sekali. Karena itu dia hanya membungkam belaka walau
mendengar seruan dari ibu dan adiknya. Semua kekuatan dan
pikirannya hanya terpusat untuk mematahkan seranganserangan
dahsyat dari lawannya.
Hoa In-liong hampir tak percaya dengan pendengaran
sendiri, ditatapnya kedua orang perempuan itu dengan
termangu-mangu, sementara dalam hati kecilnya merasa
kaget sekali. “Yaa ampun, jadi perempuan itu adalah ibu dan
adiknya saudara Cong-gi? Benar-benar diluar langit masih ada
langit, diatas manusia masih ada manusia!”
Kiu-im-kaucu lebih-lebih terkejut lagi, diapun berpikir, “Jadi
perempuan itu adalah ibunya bocah she Coa itu? Waah…..
tampaknya apa yang kuharapkan sukar tercapai hari ini, aku
harus mencari akal untuk mengatasi persoalan ini”
Perempuan ini licik dan berakal panjang, sebelum
tujuannya tercapai dia segan untuk berhenti ditengah jalan.
Sekalipun dia telah sadar bahwa tenaga dalam yang dimiliki

446
pendatang itu lihay sekali dan mungkin ilmu silatnya bukan
tandingan tapi ia tak sudi berhenti sampai disitu saja.
Diapun tahu perempuan itu adalah ibunya Coa Cong-gi,
sedang Coa Cong-gi yang setia kawan adalah sahabat karib
Hoa In-liong. Bila dia ingin menangkap Hoa In-liong, serta
merta akan bentrok juga dengan ibu dan putrinya itu, padahal
keyakinan untuk menang tak ada, dapat dibayangkan betapa
kacaunya pikiran kaucu itu.
Kendati begitu, air mukanya tetap tenang dan kalem,
sedikitpun tak nampak panik atau bingung dari sini semakin
kentaralah bahwa watak Kiu-im-kaucu memang keras sekali.
Selang sesaat kemudian, diam-diam ia memberi tanda
kepada anak buahnya dengan kode yang tidak dimengerti
orang lain, serentak kawanan jago dari Kiu-im-kau itu bersiapsiap
untuk mengundurkan diri dari tempat kejadian.
Dalam pada itu, Hoa In-liong masih belum merasa apa-apa,
sedang Coa Cong-gi juga lagi bertempur dengan sungguhsungguh.
Lama kelamaan nyonya setengah baya itu mulai merasa tak
sabaran, dia melirik sekejap ke arah putrinya, kemudian
berkata, “Anak Wi, pergi kesana dan gantikan engkoh-mu, tapi
jangan lukai orang!”
Gadis cantik yang disebut anak Wi itu mengiakan, dengan
langkah yang lembut ia masuk ke dalam arena.
Pada saat itulah, dengan suatu gerakan yang cepat
bagaikan sambaran kilat Kiu-im-kaucu menerjang kedepan,
jari tangannya langsung menotok jalan darah Ji-keng-hiat
didada kiri Hoa In-liong.

447
Mimpipun si anak muda itu tak menyangka kalau dia bakal
disergap, tak ampun tubuhnya jadi lemas dan roboh ke tanah
dalam keadaan tak sadar.
Kiu-Im-kaucu yang telah menyusun siasatnya, cepat
mengempit tubuh si pemuda itu dan kabur ke depan, serunya,
“Ayoh mundur!”
Dengan menutulkan ujung toyanya keatas permukaan
tanah, ia kabur menuju hutan lebat disebelah kiri. Sekejap
kemudian bayangan tubuhnya sudah lenyap dari pandangan.
Melihat ketuanya sudah mengundurkan diri, kawanan jago
dari Kiu-im-kau ikut berseru pula de-ngan nyaring, masingmasing
segera menggerakkan tubuhnya ikut kabur juga dari
sana.
Tak terkirakan rasa kaget Coa Cong-gi menyaksikan
kejadian itu, segera bentaknya, “Eeeh….. mau lari kemana
kalian? Tinggalkan dulu orang itu!”
Ujung kakinya segera menjejak permukaan tanah, dengan
gerakan yang cepat dia ikut mengejar kedalam hutan.
Tapi baru beberapa kaki dia berlalu “Wi-ji” bagaikan
bayangan sudah menyusul dihadapannya, sambil menghadang
jalan pergi kakaknya dia berseru nyaring, “Eeeh… mau apa
kamu? mau coba kabur yaa?”
“Minggir, minggir Aku harus menolong temanku itu…”
teriak Coa Cong-gi dengan paniknya.
Dia menyusup kesamping dan mencoba untuk kabur lewat
samping tubuh adiknya.

448
Siapa tahu gerakan tubuh Wi-ji jauh lebih cepat dari
padanya, baru saja badan pemuda itu bergerak, tahu-tahu
nona itu sudah menghadang lagi dihadapannya. “Siapakah
orang itu?”
“Siapakah orang itu sama sekali tak ada sangkut pautnya
dengan kita” tukas nyonya setengah baya itu tiba-tiba “Anak
Gi ayoh kembali!”
Mendengar panggilan dari ibunya itu, Coa Cong-gi tak
berani membangkang, terpaksa dia menyahut, “Tapi…. Tapi….
Ibu, orang itu adalah putranya Hoa tayhjap, dia adalah
sahabat karibku”
“Siapa sih Hoa tayhiap itu?” sela Wi-ji.
“Aaah….! Kamu anak perempuan, lebih baik jangan banyak
bertanya” tukas Coa Cong-gi cepat apalagi dia sedang
menguatirkan keselamatan rekannya. Jawaban tersebut
kedengaran ketus sekali.
Kontan saja Wi-ji mengerutkan dahinya, “Eeeh…..
eeehh…… Koko, kau berani galak yaa?” teriaknya dengan
penasaran “Tak usah bertanya yaa tak usah bertanya, siapa
yang pingin tahu?”
Dengan bibir dicibirkan dia lantas berdiri bertolak pinggang
dan persis menghadang jalan perginya, tampaknya gadis itu
berprinsip demikian, ‘Boleh saja aku tak usah banyak
bertanya, tapi engkaupun jangan harap bisa lewat dari
hadapanku.’
Rupanya Coa Cong-gi cukup mengetahui sifat binal dari
adiknya ini, bukan saja dimanja ibunya ilmu silatnya berkalikali
lipat lebih lihay dari kepandaian sendiri, pemuda itu segera
menyadari kekeliruan sendiri.

449
Terpaksa dengan muka merengek katanya, “Oooh… adikku
yang baik, koko sudah salah bicara, maafkanlah daku…..
berilah jalan kepadaku agar aku bisa lewat. Ketahuilah orang
itu adalah sahabat karib kokomu dan sekarang dia sudah
ditangkap orang. Bila koko tidak berusaha untuk
menyelamatkan jiwanya, tentulah aku akan dianggap sebagai
manusia pengecut yang takut mati. Aku pasti akan dituduh
orang bukan laki-laki yang setia kawan”
“Lalu apa sangkut pautnya dengan aku?” jengek Wi-ji
dengan sinar mata tajam memancar ke luar dari matanya.
“Bagaimana sih tak ada hubungannya dengan kau?
bagaimanapun juga aku kan saudara kandungmu” seru Coa
Cong-gi dengan gelisah.
Tiba-tiba hatinya agak bergerak, cepat ujarnya lagi,
“Baiklah, kuberitahukan kepadamu semua yang kuketahui.
Hoa tayhiap bernama Hoa Thian-hong orang menjulukinya
sebagai Thian-cu-kiam. Ia berdiam di perkampungan Liok Soat
Sanceng yang ada dibukit In-tiong-san dalam bilangan
propinsi San-see. Dia adalah seorang pendekar besar yang
bijaksana dan berbudi luhur. Sedang sahabat koko tadi
bernama Hoa Yang alias In-liong. Dia dilahirkan pada tahun
Jin-seng, bulan cia-gwee tanggal sembilan belas, tahun ini
berusia delapan belas tahun, dia adalah putra nomor dua dari
Hoa-tayhiap. Orangnya gagah, romantis dan supel menarik
sekali dalam pergaulan…..”
Dasar berangasan dan lagi sedang cemas, Coa Cong-gi
hanya tahunya berusaha untuk melepas-kan diri dari
hadangan adiknya. Otomatis apa yang diucapkan juga
sembarangan tanpa dipikir lebih jauh, bukan saja tanggal lahir
Hoa In-liong disebut, malahan wataknya yang romantis juga
disinggung.

450
Pemuda itu tentu saja mengucapkan kata-kata itu tanpa
disertai maksud tertentu, berbeda dengan ibunya. Amarahnya
kontan memuncak sehabis mendengar perkataan tadi,
sebelum putranya menyelesaikan kata-katanya itu dia sudah
menukas, “Anak Gi, kau lagi ngaco belo apaan?”
“Aku tidak ngaco belo, semua perkataanku adalah kata kata
yang sejujurnya” sahut Coa Cong-gi dengan mata terbelalak
karena panik bercampur gelisah.
“Kalau tidak, kenapa tanggal lahir orang lain pun kau
sebutkan dihadapan adikmu?”
“Apa salahnya? Hoa loji kan bukan orang luar. Dia dan aku
adalah sahabat…..”
“Mengherankan! Benar-benar mengherankan!” tukas
nyonya setengah baya itu dengan wajah be-rubah, “Dari dulu
sampai sekarang, lagakmu selalu ketolol-tololan. Sampai
kapan kecerdikanmu itu baru muncul?”
Sekali lagi Coa Cong-gi tertegun, setelah hening sejenak,
tiba-tiba ia baru teringat bahwa ka anan jago dari Kiu-im-kau
telah lenyap dari pandangan, sekarang dia baru gelisah.
Dalam keadaan seperti ini, si anak muda itu segan untuk
mengurusi perkataan ibunya lagi, te-riaknya cepat, “Sudah…..
Sudahlah, ibu tak usah mengurusinya lagi pelan-pelan toh aku
bakal cerdik sendiri, yang penting sekarang adalah
menyelamatkan jiwa orang!”
Badannya lantas menyusup kesamping dan siap menerobos
lewat dari sisi Wi-ji untuk kabur ke arah hutan.

451
Kali ini Wi-ji tidak menghalanginya, tapi ibunya telah
membentak dengan nyaring, “Berhenti!”
Mau tak mau Coa Cong-gi berhenti juga, serunya dengan
wajah setengah merengek, “Mau apa lagi ibu? Sekarang aku
harus pergi menolong temanku itu. Kalau gagal maka aku
akan malu untuk berjumpa dengan teman-teman yang lain
dan akupun jangan harap bisa tampilkan diri lagi didalam
dunia persilatan!”
Menyaksikan tampang putranya yang mengenaskan itu,
nyonya setengah baya tersebut akhirnya jadi tak tega, diamdiam
dia menghela napas panjang.
“Aaaa…..! Bagaimanapun jua, dia toh sudah pergi jauh,
sekalipun kau kejar juga tak ada gunanya. Kemarilah dulu, aku
ada persoalan hendak dibicarakan dengan dirimu”
Coa Cong-gi merasa perkataan itu ada benarnya juga,
hutan itu lebat sekali. Sedang orang-orang Kiu-im-kau kabur
dengan menerobosi hutan lebat itu. Dia tak tahu ke arah
manakah mereka telah pergi?
Jelek- jelek Coa Cong-gi bukan seorang anak yang tidak
berbakti. Sekalipun gelisah juga tak ada gunanya, terpaksa
dengan uring-uringan dia menghampiri ibunya.
“Anak-Gi!” kata nyonya setengah baya itu kemudian
dengan lembut, “Benarkah engkau sangat berhasrat untuk
melakukan perjalanan didalam dunia persilatan?”
“Kakek moyang kita kan orang persilatan semua?” seru
Cong-gi dengan cepat.
Nyonya itu mengangguk. “Sekalipun demikian, tapi diantara
turun-temurun juga tinggal ibumu seorang yang masih hidup.

452
Sejak kongcou mu meninggalkan pesan yang melarang anak
cucunya melakukan perjalanan dalam dunia persilatan, sudah
lima generasi yang menaatinya dengan sungguh-sungguh,
apakah pesannya ini harus dilanggar olehmu saat ini?”
“Ananda mana berani melanggar pantangan dari kongcou.
Akan tetapi aku selalu beranggapan bahwa sebagai keturunan
orang persilatan, sepantasnya kalau kita gunakan ilmu silat
yang miliki untuk melenyapkan kaum durjana dari muka bumi.
Sepantasnya kita melakukan perbuatan mulia yang
menguntungkan orang banyak, dengan demikian baru
beranilah kehidupan kita sebagai anggota persilatan di dunia
ini!”
Nyonya setengah baya itu tersenyum. “Janganlah kau
anggap ibumu tidak mengerti dengan jalan pikiranmu itu….”
katanya. “Tapi kaupun harus tahu, sebagai anggota persilatan
maka kehidupan kita sepanjang hari adalah bergelimpangan
diantara mayat dan darah. Sekali terlibat dendam sakit hati,
jangan harap perselisihan itu bisa diakhiri dengan begitu saja.
Kehidupan keluarga kita sekarang meski sederhana dan tidak
mencampuri urusan orang, toh bagaimanapun juga keluarga
kita terhitung sebagai keluarga pemuka persilatan yang cukup
tersohor di kota Kim-leng. Asal kita menuruti selalu peringatan
dari kongcoumu, orang tak akan menyusahkan diri kita, apa
salahnya kalau kita hidup tenang?”
Coa Cong-gi menggerakkan bibirnya seperti hendak
mengucapkan sesuatu, tapi belum sempat ia berkata, Wi-ji
yang cantik telah menimbrung dari samping, “Ibu! Kalau toh
engkau telah membicarakan persoalan itu, maka akupun
hendak mengucapkan pula sesuatu kepada ibu!”
Nyonya itu tersenyum. “Kalau ingin bicara, katakanlah
cepat!” katanya.

453
Dengan wajah bersungguh-sungguh Wi-ji lantas berkata,
“Aku rasa Kongcou bisa meninggalkan pesan semacam itu,
mungkin hal ini dikarenakan ada hubungannya dengan jumlah
anggota keluarga kita bukan?”
“Sebenarnya apa yang hendak kau ucapkan? Kenapa musti
berputar kayun? Mengapa tidak kau utarakan saja berterus
terang?”
“Baik!” ucap Wi-ji setelah ragu-ragu sejenak, “Kalau ibu
ingin aku bicara terus terang, biarlah aku bicara secara blakblakan.
Aku rasa keturunan ada sangkut pautnya dengan
nasib, maka pesan dari kongcu ini kurang begitu sesuai
rasanya!”
Mula-mula nyonya setengah baya itu agak tertegun setelah
mendengar perkataan itu, menyusul kemudian sambil
tersenyum katanya, “Dihari-hari biasa engkau selalu menuruti
perkataanku, selalu setuju dengan caraku berpikir. Sungguh
tak kusangka rupanya dalam hati kecilmu kau mempunyai cara
berpikir yang tak berbeda dengan kokomu”
“Tapi caraku berpikir kan masuk diakal” tukas Coa Cong-gi
tidak terima.
Belum habis ia berkata, dengan sinar mata berkilat dan
muka dingin menyeramkan nyonya beru-sia setengah baya itu
telah menggerakkan bibirnya seperti hendak mengucapkan
sesuatu. Tapi sebelum ia sempat mengucapkan sepatah
katapun, tiba-tiba terdengar seseorang berseru nyaring
memuji keagungan Buddha.
0000O0000
“OMITOHUD, apa yang diucapkan Siau Gi-ji mungkin ada
betulnya, biarkan dia melanjutkan kata-katanya itu!”

454
Semua orang terkejut dan berpaling ke arah mana
berasalnya suara itu. Didepan hutan sebelah kiri terlihatlah
seorang hweesio tua yang berjenggot panjang berdiri tegap
disitu dengan senyuman dikulum.
Hweesio itu sudah tua sekali, mukanya banyak keriput,
badannya kurus kering tinggal kulit pembungkus tulang.
Bajunya warna abu-abu dengan sepatu terbuat dari rumput,
dia tak lain adalah padri tua yang menguntil dibelakang Hoa
In-liong dan Coa Cong-gi sejak berada di bukit Cing liang-an
tadi.
Tampaknya nyonya setengah baya itu merasa kenal
dengan padri tua itu, tapi lupa-lupa ingat. Ia tak tahu padri
tersebut pernah ditemuinya di mana, untuk sesaat matanya
jadi mendelong dan dia mengawasi padri itu dengan wajah
termangu-mangu.
Pelan-pelan hweesio itu maju kedepan, lalu katanya sambil
tertawa, “Sian-ji, sudah lupa dengan aku? Ketika Siau gi-ji
berusia setahun tempo dulu, aku kan pernah pulang….”
Belum habis padri itu menyelesaikan kata-katanya, nyonya
setengah baya itu sudah menubruk kehadapannya dan
menjatuhkan diri berlutut. “Oooh….. kiranya engkau orang
tua!” ia berseru dengan wajah kegirangan. “Oooh….. Tahukah
kau bahwa anak Sian sudah amat kangen dengan engkau
orang tua?”
“Haa…… haa…… haaa….. Bangun!” seru hweesio tua itu
sambil terbahak-bahak, “Putriku sudah berusia setengah baya,
kenapa tingkah lakumu masih seperti anak kecil? Jangan
sampai perbuatanmu itu ditertawakan orang!”

455
Serasa berkata lengannya lantas digape ke muka, nyonya
setengah baya itu segera merasakan munculnya segulung
tenaga kekuatan yang lembut menarik badannya secara
paksa, mau tak mau badannya lantas meninggalkan
permukaan tanah.
Dalam keadaan begini terpaksa nyonya itu harus bangkit
dari atas tanah dan berdiri.
Coa Cong-gi dan adiknya yang menyaksikan kejadian itu
merasa terkejut bercampur curiga, mereka lantas berpikir,
“Padri lihay dari manakah orang ini? Agaknya dia adalah
angkatan tua dari keluarga kita. Padahal ilmu silat yang
dimiliki ibu sudah terhitung luar biasa hebatnya. Sungguh tak
nyana tenaga dalam yang dimiliki padri ini jauh lebih hebat”
Sementara mereka masih termangu-mangu, nyonya
setengah baya itu telah berpaling seraya berseru, “Ayoh cepat
kemari semua, beri hormat kepada kongcou luar kalian!”
Coa Cong-gi tertegun karena kaget, bibirnya ternganga
matanya terbelalak lebar, untuk sesaat….. Ia tak mampu
mengucapkan sepatah katapun…..
Berbeda dengan Wi-ji yang lincah dan supel, setelah
tertegun sejenak, ia lantas menerjang ke depan sambil
teriaknya dengan penuh kegembiraan, “Hoore….. hoore…..
Kiranya engkau adalah kongkong ku, eeeh….. Kongkong,
kenapa kau jadi hweesio?”
“Wi-ji, makin hari engkau makin edan, tahu aturan tidak?”
damprat ibunya dari samping.
Hweesio tua itu tertawa terbahak-bahak, “Haa…. haa….
haa…… Bagus, bagus sekali! Manusia adalah burung hong

456
dimalam bulan purnama, hati yang bersih bagaikan cermin
yang tak berdebu. Anak manis siapa namamu?”
Lengan kanannya segera merangkul pinggang Wi-ji dan
menariknya kedalam pelukan, jelas te lihat kalau padri tua itu
merasa gembira sekali dengan pertemuan tersebut.
Wi-ji sendiripun sangat gembira, dengan muka berseri ia
mempermainkan jenggot kakeknya, lalu ujarnya sambil
tertawa, “Aku bernama Wi Wi, ibu memanggil Wi-ji kepadaku!”
“Tahun ini Wi-ji umur berapa?” tanya hweesio tua itu lagi.
“Enam belas tahun! Eeeh………Kenapa? Masa kongkong
tidak tahu umur wi-ji…..?”
Sambil mengerdipkan matanya yang jeli, gadis itu
memandangi si hweesio tua itu dengan termangu-mangu.
Tampangnya kelihatan sekali kalau ia sedang tercengang.
Meskipun pandangan itu penuh kecengangan, akan tetapi
dalam pandangan padri tua itu terlihat kepolosan dan
kemanjaan dari seorang bocah mungil, hal ini semakin
menggirangkan hatinya.
Sambil menowel ujung hidungnya yang mancung itu,
katanya dengan hati gembira, “Kongkong seringkali berkelana
ke seluruh penjuru dunia, dari mana bisa mengingat begitu
banyak persoalan?”
Coa Wi Wi gelengkan kepalanya berulang kali dia meronta
dan melepaskan diri dari cekalan, kemudian dengan alis
berkenyit keluhnya, “Aaai……! Kongkong mengapa kau musti
berkelana terus diseluruh jagad…..?”

457
“Kongkong kan seorang hweesio? Lebih baik jangan
diteruskan saja kongkong….!” pinta Coa Wi-wi dengan bibir
cemberut.
Mendengar permintaannya yang lucu itu, hweesio tua
tersebut tak dapat menahan diri lagi, akhirnya dia
menengadah dan tertawa terbahak-bahak dengan nyaringnya.
Coa Cong-gi yang selama ini hanya berdiri di samping
dengan mulut membungkam, kini tak dapat menahan diri lagi,
segera tegurnya, “Adik Wi, perkataan semacam itu tidak
pantas kauucapkan, Huuh….. ngaco belo tak karuan!”
“Siapa yang suruh kau urusi aku?” teriak Coa Wi-wi sambil
berpaling dengan mata mendelik, “Perkataanmu barulah
perkataan yang ngaco belo!”
Melihat adiknya berang, Coa Cong-gi tersenyum. “Eeeh…
Jangan galak-galak ah, cepat atau lambat engkau kan musti
dicarikan jodoh, rasain nanti setelah kawin, akan kulihat kau
bakal masih galak-galak atau tidak?” godanya.
Coa Wi-wi semakin mendongkol, ia tuding kakaknya lalu
berteriak dengan suara lengking, “Engkaulah yang akan
dicarikan jodoh! Kau yang akan dikawinkan! Kau…… kau yang
akan di-carikan seorang kuntilanak!”
Makin berbicara semakin mendongkol, akhirnya seluruh
wajahnya berubah jadi merah padam.
Melihat gadis itu marah-marah yang lain malahan tertawa
tergelak, suara tertawa yang nyaring serasa membelah
angkasa.

458
Ditengah gelak tertawa itu nona setengah baya tersebut
segera menegur lirih, “Wi-ji, ayoh turun! Jangan merecoki
kongkongmu terus”
Coa wi-wi mencibirkan bibirnya tidak menurut sedang
hweesio tua itu tiba-tiba berkata dengan muka sedih,
“Omitohud! Lolap sudah menjadi murid Buddha tapi
hakekatnya hubungan kekeluargaan masih belum dapat
kuputuskan sama sekali. Aaaai…..! Itu namanya aku tidak
terlalu memusatkan pikirannya pada pelajaran agama!”
Sambil berkata, pelan-pelan ia turunkan Coa Wi-wi dari
dalam pelukannya.
Melihat hweesio tua itu tiba-tiba menghela napas, nyonya
setengah baya itu jadi terperanjat, dengan ketakutan segera
serunya, “Sian-ji pantas dihukum mati! Sian-ji telah salah
berbicara, harap kau orang tua jangan murung”
Hweesio tua itu tertawa getir. “Kau tak usah menyesali
dirimu. Lolap tak bisa memusatkan semua pikiranku untuk
agama, itu berarti aku bukan murid Buddha yang sejati.
Aaai…! Manusia bukanlah malaikat, mana bisa melupakan
hubungan kekeluargaan? Apalagi kalian adalah darah
dagingku”
“Ajaran Buddha tak bertepian, kan tiada larangan yang
mengharuskan seseorang untuk memu-tuskan semua
hubungan kekeluargaan?” sela nyonya setengah baya itu
dengan cepat, “Sekarang Sian-ji hidup menyendiri, apa
salahnya kalau engkau orang tua melepaskan jubah pendeta
itu, agar Sian-ji dapat menunaikan kewajiban kebaktianku
untuk merawat kau orang tua hingga akhir tua nanti?”
Hweesio tua itu segera menggelengkan kepalanya berulang
kali. “Anak-Sian! Anak keturunan keluarga kita tidak subur.

459
Keturunan kita sejak sembilan generasi yang lalu telah
berakhir sampai disini. Bukan saja tinggal keturunan
perempuan, keturunan laki-laki hampir musnah tak berbekas.
Yaa… Keturunan nenek moyang kita hanya bisa dilanjutkan
dengan bersandar dari keturunan perempuan belaka. Aaai…!
Ketika lolap akan menjadi pendeta tempo hari, sebenarnya
aku bermaksud hendak berbuat banyak amal sehingga bisa
mendapat keturunan lelaki. Tapi sekarang setelah lama
mengikuti ajaran Buddha, aku merasa semua pikiran dan
perasaanku telah melebur menjadi satu dengan ajaran itu.
Kenapa aku harus memutuskannya ditengah jalan? Soal
melepaskan jubah pendeta lebih baik tak usah kau singgung
lagi!”
“Kalau begitu… Kalau begitu…. Sian-ji akan mendirikan
sebuah kelenteng untuk kau orang tua agar kau orang tua…..”
Kata-katanya itu penuh nada permohonan dan muncul dari
hati sanubari yang jujur, siapapun dapat merasakan betapa
mengharapnya nyonya itu agar permintaannya bisa terkabul.
Tapi sebelum perkataan itu selesai diucapkan, hweesio tua
itu sudah menukas sambil tertawa nyaring, “Anak Sian, buat
apa kau melakukan perbuatan bodoh? Aku datang
menjumpaimu bukanlah suruh engkau dateng mengurusi
aku!”
“Tapi Sian-ji hidup sebatang kara, tiada sanak tiada
keluarga…” bisik nyonya itu sambil terisak.
“Engkau terlalu mengekang diri, terlalu mentaati pesan
kongcou, tidak dapat melihat gelagat, tak dapat menyesuaikan
diri dengan kenyataan, hidupmu yang terkekang itulah yang
membuat engkau kesepian, hidup terpencil dan tiada sanak
tiada keluarga”

460
“Maksud kau orang tua….” nyonya setengah baya itu
tampak agak tertegun.
“Maksud lolap, engkau harus perbanyak mengadakan
hubungan persahabatan dengan orang lain perbanyak
melakukan gerakan ditempat luaran dan tak ada halangannya
melakukan sedikit per-buatan yang melindungi keadilan dan
kebenaran bagi umat persilatan. Hanya dengan berbuat begi
itulah kehidupanmu baru berarti, kegembiraanmu akan
berlipat ganda, kau tak akan merasa kesepian, tak akan
merasa tiada sanak tiada keluarga dan hidupmu akan lebih
segar dengan aneka kenangan baru”
Tampaknya nyonya setengah baya itu merasa tercengang
setelah mendengar wejangan tersebut, dengan mata
terbelalak tercengang serunya, “Kenapa musti begitu?
Bukankah kau orang tua suruh Sian-ji memegang teguh pesan
kongcou?”
Kembali hweesio tua itu tersenyum. “Pesan kongcoumu itu
adalah menyangkut soal budi dendam yang seringkah terjadi
dalam dunia persilatan. Kongcou bila keturunan kita akan
terseret kedalam lembah kehancuran sehingga mengakibatkan
mereka tak dapat melepaskan diri lagi, maka kongcou kuatir
keturunannya akan mengalami banyak kesulitan. Tapi
sekarang kalau kita pikir kembali, manusia toh hanya hidup
puluhan tahun saja, apa artirya hidup jika kita mengekang diri
terus-menerus? Apalagi hidup matinya manusia kan berada
ditangan Thian. Siapa yang dapat menentang kekuasaannya?
Maka aku rasa, hidup sebagai manusia sudah sepantasnya
kalau kita melakukan perbuatan seperti apa yang dilakukan
juga oleh manusia lainnya”
“Tapi ini…… Ini…….” saking gugupnya nyonya setengah
baya itu jadi tergagap dan tak mampu melanjutkan kembali
kata-katanya itu.

461
Haruslah diketahui, pada jaman itu pesan dari kakek
moyangnya merupakan kata-kata emas yang tak bisa
diganggu gugat lagi, seakan-akan orang beranggapan bahwa,
‘Jika kaisar mati panglimanya musti mati, bila ayah suruh
putranya mati, putranya mau tak mau musti mati juga.’
Orang menganggap bila pesan dari kakek moyangnya
dilanggar, maka perbuatan itu adalah suatu perbuatan yang
melanggar adat istiadat dan merupakan perbuatan orang yang
tidak berbakti.
Padahal hweesio itu bukan saja adalah seorang pendeta,
dia juga terhitung kakek luar dari “Sian ji”. Ditinjau dari hal
inilah tak heran kalau nyonya setengah baya itu menjerit
kaget sehabis men-dengar perkataan dari kakeknya.
“Hooree….” perkataan itu memang sangat beralasan!”
sokong Coa Cong-gi kegirangan, “Mati hidup manusia memang
ada ditangan Thian. Apa yang bisa manusia perbuat tentang
mati hidupnya? Sejak dulu sampai sekarang kita adalah
keturunan orang persilatan. Apa gunanya kita belajar silat
kalau tidak digunakan untuk melakukan suatu usaha besar
dalam dunia persilatan? Apa gunanya kalau tidak dipakai
untuk menegakkan keadilan dan kebenaran”
Belum habis pemuda itu menyelesaikan kata-katanya,
nyonya setengah baya itu sudah berhasil menenangkan
hatinya, dia lantas membentak nyaring, “Tidak tahu aturan,
orang tua lagi bicara kau juga ikut menimbrung….. Hmm!
Peraturan darimana itu?”
“Jangan maki dia, orang muda itu memang sepantasnya
memiliki semangat untuk mengejar cita citanya!”sela hweesio
tua itu lagi.

462
Nyonya setengah baya itu berpaling, ditatapnya hweesio itu
dengan alis berkerut, kemudian tanya-nya lagi, “Benarkah
engkau orang tua mempunyai pikiran demikian?”
Hweesio itu tertawa hambar. “Lolap telah memikirkan
masalah ini dalam-dalam, aku merasa kalau toh Buddha
menurunkan firmannya bagi kehidupan manusia maka dia
pasti mempunyai harapan pula bagi kesejahteraan hidup
umatnya, maka aku berharap anak keturunanku bisa berjuang
dan melakukan suatu usaha besar bagi kepentingan umat
manusia lainnya sekalipun jalan pikirannya ini keliru. Sekalipun
aku bakal diganjar masuk keneraka, aku juga rela untuk
menerimanya”
Coa-wi-wi yang ada disampingnya segera berteriak, “Tidak
mungkin! Kongkong tak mungkin diganjar masuk neraka,
sebab melenyapkan kaum durjana dari muka bumi adalah
suatu per-buatan mulia! Apalagi kongkong sebagai murid
Budha mengutamakan keselamatan dan kesejahte raan
umatnya…….”
“Wi-ji, jangan banyak bicara!” untuk kesekian kalinya
nyonya setengah baya itu menukas.
“Sian-ji, apakah engkau merasa bahwa perbuatanku ini
tidak pantas?” tiba-tiba hweesio tua itu berpaling seraya
menegur.
Mendapat pertanyaan itu, sinyonya setengah baya tersebut
jadi gelagapan. “Sian-ji tidak berani. Sian-ji cuma merasa
bahwa pesan yang ditinggalkan Kongcou……”
“Engkau terlalu kolot Sian-ji” tukas sihweesio dengan cepat
“Pikiranmu tidak terbuka dan ter-lampau kukuh pada satu
pendirian. Aku lihat Siau Wi-ji adalah seorang gadis yang
punya rejeki besar dan mempunyai anak cucu yang banyak.

463
Sedang Siau gi-ji mempunyai bakat yang bagus, mempunyai
garis-garis muka yang baik. Lolap berani memastikan bahwa
soal keturunan sudah bukan menjadi masalah lagi. Kenapa
engkau musti kuatir karena melanggar pesan kongcou?”
Setelah berhenti sejenak, tiba-tiba dia alihkan pembicaraan
kesoal lain tanyanya, “Beberapa tahun belakangan ini apakah
engkau sudah mendapat kabar berita tentang Hou-ji?”
Tiba-tiba sekujur badan nyonya setengah baya itu bergetar
keras, mula-mula agak terkejut bercampur heran, menyusul
kemudian titik-titik air mata jatuh berlinang membasahi
pipinya.
Melihat keadaan cucunya perempuannya itu, kembali si
hweesio tua itu menghela napas panjang. “Aaaai…. Berbicara
yang sesungguhnya, lolap tidak terhitung seorang pendeta
sungguhan, karena semua urusan dalam keluarga selalu
kupikirkan dan kukuatirkan”
Mendengar sampai di situ, nyonya setengah baya itu tak
dapat menguasai rasa pedih didalam hatinya lagi, ia lantas
mendekap mukanya sendiri dan menangis tersedu-sedu.
Kiranya orang yang disebut “Hoa-ji” tadi adalah suami
nyonya setengah baya itu dia bernama Coa Goan-hou.
Pada lima tahun berselang, ketika suatu hari Coa Goan-hou
pergi berkelana, ternyata sampai kini tiada kabar beritanya
lagi, seakan-akan orang itu lenyap dengan begitu saja dari
muka bumi.
Nyonya setengah baya ini berwatak halus dan setia, bukan
saja pada waktu itu harus menuruti pesan kongcou-nya, ketika
itupun dia sedang menyusui anaknya. Maka sekalipun tiap hari

464
mengharapkan suaminya kembali, namun rasa rindunya itu
hanya selalu disimpan didalam hati.
Tapi sekarang, secara tiba-tiba hweesio tua itu
menyinggung kembali persoalan itu, sontak perta-nyaan tadi
menyentuh luka dalam hatinya. Untuk sesaat ia tak dapat
menguasai perasaan hatinya lagi, dan meledaklah isak
tangisnya yang memilukan hati.
Nyonya setengah baya ini bernama Swan Bun-Sian.
Ayahnya bernama Swan Tiong-siang dan ibunya bernama Su
Beng-wan. Hweesio tua ini bukan lain adalah ayahnya Su
Beng-wan, Sebe-lum jadi padri dulu bernama Su Tiong-kian,
sedang setelah jadi pendeta bergelar Goan-cin. Istrinya Cin
Wan-kun adalah keturunan dari Ko Hoa seorang pemuka
persilatan dari kota Kim-leng pada tiga ratus tahun berselang.
Putri tunggal dari Ko Hoa bernama Ko Cing dengan nama
kecil Bun-ji. Ia menikah dengan ahli waris dari Pak-to-kiam
(pedang bintang utara) Thio Cu-hun yang bernama Bu-seng
(malaikat silat) In Ceng.
Malaikat silat In Ceng sendiri mempunyai dua orang istri
dan melahirkan seorang putra dan seorang putri. Putranya
mati sewaktu masih muda sedang putrinya dilahirkan oleh Ko
hujin Ko Cing.
Sejak itulah turun temurun anak cucunya diwariskan dari
putrinya itu, hingga keturunan yang ketujuh Cing Tong Ti
adalah ayah mertua dari Su Tiong kian atau si padri tua itu.
Putra tunggal dari Su Tiong-kian sendiri mati ketika sedang
melerai suatu pertikaian dunia persilatan. Dalam sedihnya
itulah Cing Tong Ti lantas menurunkan larangannya bagi anak
cucunya untuk berkelana dalam dunia persilatan. Karena

465
peristiwa itu Su Tiong-kian lantas keluar dari rumah itu dan
mencakur rambut jadi pendeta.
Padri berusia lanjut itu….Goan-sing Taysu kendatipun
sudah bertahun-tahun hidup sebagai pen-deta, namun cara
berpikir orang awam masih amat jelas melekat dalam
benaknya. Sehingga terhadap pelajaran agama Buddha yang
pernah diterimanya, ia mempunyai sistim pengetrapan yang
jauh berbeda dengan orang lain.
Ketika dilihatnya cucu kesayangannya merasa begitu sedih
dan murungnya, tak kuasa lagi ia menghela napas panjang.
“Anak Sian, tak usah menangis lagi!” hiburnya, “Anak Hou
bukan termasuk orang yang berusia pendek. Sekalipun ia
sudah lenyap selama lima belas tahun, lolap percaya sampai
saat inipun dia masih hidup segar bugar didunia. Apalagi
serangkaian ilmu silat yang dimilikinya mendapat pendidikan
langsung dari keluarganya. Soal keselamatan jiwanya lolap
rasa bukan merupakan hal yang perlu kita kuatirkan”
Tapi sebelum kata-kata tersebut sempat diselesaikan,
nyonya setengah baya itu…. Swan Bun-si-an telah berseru
dengan hati terperanjat dan nada sesenggukan menahan isak
tangisnya, “Apa maksud kau orang tua dengan ucapan
tersebut? Ataukah Goan-hou benar-benar sudah disekap
seseorang?”
“Sekilas pandangan, selama puluhan tahun belakangan ini
dunia persilatan memang tampaknya terang dan aman.
Aaai……! Padahal dalam kenyataan telah terjadi pergolakan
yang maha dahsyat. Suasana perebutan kekuasaan dan
pengaruh selalu melanda dalam dunia persilatan ini. Yaa, anak
Hou memiliki ilmu silat yang sangat lihay, itulah sasaran yang
terutama dari kawanan jago yang ingin mengangkat diri
menjadi seorang pemimpin. Padahal semenjak kecil anak Hou

466
sudah dididik untuk berbakti kepada orang tua, menjunjung
tinggi keadilan dan kebenaran. Lolap yakin dia tak akan berani
menghianati pelajaran keluarga yang pernah diterimanya.
Siapa tahu lantaran pembangkangnya ini maka dia disekap
orang selama belasan tahun? Aaaaai…..! Pada hakekatnya
apapun memang bisa terjadi dalam dunia ini”.
“Kalau….. Kalau dia disekap orang, lantas dia……. Dia….
Telah disekap dimana?” Swan Bun-sian berpekik dengan nada
yang memilukan hati.
Selama ini Coa Wi Wi hanya mengikuti jalannya
pembicaraan dengan mulut membungkam, tapi sekarang, ia
tak dapat mengendalikan pergolakan hatinya lagi, cepat dia
menyela, “Mama! Engkau harus berusaha untuk
mententeramkan hatimu. Perkataan kongkong tak bakal salah.
Ilmu silat ayah memang lihay sekali, selembar jiwanya tak
mungkin akan terancam marabahaya!”
Coa Cong-gi yang berangasan tak dapat menerima
perkataan itu, dia lantas membantah, “Apa gunanya
mententeramkan hati dan berlagak tenang? Kalau ayah kita
memang betul-betul disekap orang, sudah menjadi kewajiban
kita untuk mencari jejaknya sampai ketemu Hoa Tayhiap yang
berdiam dibukit Im-tiong-San adalah seorang tokoh silat yang
bijaksana dan suka menolong kaum yang lemah. Dia adalah
seorang pendekar besar yang disanjung dan dihormati setiap
umat persilatan. Asal kita bersekongkol dengan keluarga Hoa,
apa susahnya menemukan kembali jejak ayah kita?”
Teka teki yang menyelimuti soal mati hidup suaminya ini
untuk sesaat membuat Swan Bun-siao kehilangan akal dan
pikirannya, dia cuma bisa memandang sekejap ke arah
putranya tanpa mengucapkan sepatah jua.

467
“Ehmm… Apa yang dikatakan Siau Gi-ji memang benar,”
Goan-cin Taysu membenarkan sambil mengangguk, “Menurut
pengamatan lolap secara diam-diam, memang kenyataan
membuktikan bahwa dewasa ini hanya keluarga Hoa dari bukit
Im-tiong-san yang tetap menjaga keadilan dan kebenaran
dengan sebaik-baiknya. Hanya merekalah yang tetap bersikap
bijaksana dan mulia kepada setiap orang. Aaai…..! Tahukah
kalian semua, heboh tentang munculnya tokoh-tokoh silat
dipelbagai tempat sebenarnya bertujuan satu yakni memusuhi
keluarga Hoa mereka? Karena itu, perduli tindakan kita ini
demi mencari tahu jejak anak Hou yang lenyap, ataukah demi
melindungi pelajaran nenek moyang kita yang menyuruh kita
mengutamakan keadilan serta kebenaran, sudah menjadi
kewajiban bagi kita untuk bekerja sama dengan keluarga Hoa,
sebab hanya tindakan inilah merupakan tindakan yang paling
tepat untuk mengatasi masalah tersebut”
Berserilah air muka Coa Cong-gi setelah Goan cing Taysu
menyetujui usulnya itu. “Yaa, memang begitulah!” serunya
pula, “Sekalipun ananda belum pernah bertemu muka dengan
Hoa Thian-hong tayhap, tapi ji-kongcu dari Hoa Tayhiap Hoa
In-liong adalah sahabat karibku. Bukan saja romantis, jadi
orangpun gagah perkasa dan suka menolong kaum yang
lemah. Dia pun berjiwa besar, periang dan berwatak terbuka,
diantara kami Kim-leng-ngo-kongcu, tak seorangpun yang
dapat menandingi kegagahannya”.
“Yang kau maksudkan sebagai Hoa-ji-kongcu itu apakah
pemuda yang kena diculik pergi tadi?” sebelum ia
menyelesaikan kata-katanya, Coa-wi-wi telah menukas.
“Huuuh…..Semuanya ini adalah gara-gara kau!” omel Coa
Cong-gi setengah mendongkol, “Coba kalau kau tidak
menghalangi diriku, belum tentu Hoa loji kena diculik orang!”

468
“Eeee….eeeh….kok jadinya aku yang diomeli?” seru Coa-wiwi
dengan dahi berkerut, “Kan ilmu silatnya yang tidak becus,
kenapa aku yang kau salahkan?”
“Apa kau bilang? Ilmu silatmu tak becus?” Coa Cong-gi
melototkan matanya bulat-bulat, “Hmmm! Jangan kau anggap
ilmu silatmu luar biasa sekali. Sekalipun ada tiga orang Coa
Wi-wi, belum tentu bisa menandingi seorang Hoa In-liong!”
Jilid 13
“COA WI-WI segera mengernyitkan alis matanya lalu
dengan bibir yang dicibirkan dia mengejek, “Hmmm….!
Memang luar biasa…. memang luar biasa…. Akhirnya dia
sendiri pun diculik orang. Hmmm…. sahabatmu memang
hebat sekali!”
“Kau…. kau…. semuanya ini adalah gara-gara ulahmu!”
Coa Cong-gi semakin mendongkol sehingga ia berteriakteriak
keras, “Coba kalau bukan gara-gara kau sehingga
perhatiannya bercabang, Hmm! Kiu-im Kaucu itu manusia
macam apa? Dengan andalkan kepandaiannya tak nanti ia
sanggup….”
“Tak dapat memusatkan perhatian untuk menghadapi
musuh sudah merupakan pantangan yang paling besar lagi
seorang jago silat. Sekalipun ilmu sifatnya maha dahsyat, tapi
kalau pantangan tersebutpun tidak diperhatikan, lalu apa
gunanya?” tukas Coa-wi-wi dengan suara yang tak kalah
lantangnya.
Coa Cong-gi jadi semakin mendongkol sehingga untuk
sesaat ia tak mampu berkata-kata. Selang sejenak kemudian

469
ia menggerakkan bibirnya seperti hendak mengucapkan
sesuatu, akan tetapi ibunya Swan Bun-sian yang lagi murung
dan kesal jadi jengkel. Semua rasa murungnya segera
dilampiaskan keluar dengan membentak keras, “Jangan ribut
terus! Apa sangkut pautnya antara tinggi rendahnya ilmu silat
orang lain dengan diri kita?”
Goan-cing Taysu segera tersenyum. “Anak Sian, kembali
engkau keliru” katanya dengan lembut, “Hoa In-liong benarbenar
seorang pemuda yang luar biasa. Bukan saja gagah
perkasa dan berjiwa besar. Wataknya juga jujur, disiplin dan
bijaksana, dia merupakan seorang laki-laki yang berani
berbuat, berani pula bertanggung jawab. Ditambah lagi
otaknya memang cerdik dan pandai menghadapi segala
perubahan dengan cekatan, justru dialah yang dikemudian
hari akan memikul tanggung jawab untuk membasmi siuman
dari muka bumi serta menegakkan keadilan dan kebenaran
bagi dunia persilatan kita semua”
Berbicara sampai disini, sinar matanya seperti sengaja tak
sengaja melirik sekejap ke arah “Wi-ji”.
Coa Wi-wi segera merasa adanya satu ingatan melintas
dalam benaknya, dia lantas berseru, “Kongkong, kalau
engkaupun berani berkata demikian, bukankah itu berarti
bahwa dia adalah seorang manusia yang betul-betul
sempurna?”
Goan-cing Taysu mengangguk. “Yaa, tentu saja ada juga
kejelekan-kejelekan, cuma kejelekan yang dimilikinya
terlampau kecil sehingga sama sekali tidak mempengaruhi
wibawanya untuk memimpin dunia persilatan dikemudian hari.
Bila dikemudian hari ada kesempatan, lolap harap engkau
dapat bersahabat dengan lebih akrab lagi dengannya”

470
Kontan Coa Wi-wi mencibirkan bibirnya yang kecil. “Huuh!
Siapa yang sudi bersahabat dengannya? Bila dikemudian hari
ada kesempatan, justru anak Wi ingin menantang dia
berkelahi. Ingin kubuktikan apakah ilmu silatnya benar-benar
amat luar biasa atau tidak!”
Goan-cing taysu tersenyum ia tidak menanggapi kata kata
dari gadis itu lagi, sambil berpaling ke arah Swan Bun-sian, dia
pun berkata lebih lanjut, “Anak Sian, bagaimana pendapatmu?
Lolap rasa apa yang diucapkan Siau Gi-ji memang sangat
tepat, baik untuk menyelidiki jejak dari anak Hou ataukah
melaksanakan kewajiban sebagai seorang yang pernah belajar
silat. Engkau harus banyak melakukan perjalanan didunia luar.
Mengurung diri dalam rumah tak akan mendatangkan
keuntungan serta manfaat apa-apa bagimu!”
Swan Bun-sian tidak langsung menjawab, dia tampak
termenung sejenak, kemudian baru sahutnya, “Pikiran dan
perasaan anak Sian pada saat ini sedang kalut dan tidak
tenang, aku tak bisa mengambil keputusan”
“Haaa…. haa…. haa…. Kalau memang begitu, demikian
saja” kata Goan-cing Tay su setelah tertawa terbahak-bahak
dengan nyaringnya, “Engkau berangkatlah ke barat dan
temuilah Hoa Thian-hong serta ibunya. Hoa Thian-hong
mempunyai kenalan yang tersebar diseantero jagad. Ini
sangat membantu usahamu untuk mencari tahu jejak dari
anak Hou. sedang lolap sendiri biarlah sementara waktu
bersama anak Gi dan anak Wi pergi menolong nyawa Hoa Inliong”
“Aaaah…. Tidak mau, tidak mau. Wi-ji ingin bersama ibu
saja…. Wi-ji tak mau ikut Kongkong” buru-buru Coa wi-wi
berseru dengan nada amat gelisah.

471
“Bukankah engkau hendak menantang Hoa In-liong untuk
berduel….?” goda Goan Cing Taysu sambil tersenyum.
“Sekalipun aku pingin menantangnya untuk berduel, toh
tidak musti dilakukan sekarang, lain kesempatan masih
panjang” sahut Coa Wi-wi, “Wi ji tak tega membiarkan mama
pergi jauh seorang diri, biarlah wi-ji menemani dia orang tua!”
Goan-cing Taysu segera mengangguk sambil memuji,
“Ehmmm…. Sungguh tak kusangka kalau engkau sangat
berbakti kepada ibumu, Nah! Kalau memang begitu, ikutlah
ibumu pergi!”
Setelah perundingan berakhir, sekalipun Swan Bun-sian
tidak berkenan dengan keputusan itu, akan tetapi diapun tidak
membantah lebih jauh….
Selama ini Coa Cong-gi sendiri selalu menguatirkan
keselamatan Hoa In- liong, ia jadi gelisah sekali. Dengan
pelbagai cara serta perkataan ia mendesak ibunya agar cepat
mengambil keputusan dibawah desakan putranya yang
bertubi-tubi, akhirnya Swan Bun-sian kewalahan juga, dengan
perasaan apa boleh buat terpaksa dia mengangguk.
Maka cucu dan kakek berempat pun melakukan perjalanan
dan menuruni bukit Ciong-san tersebut.
OOOOoooOOOO
Dalam pada itu, Kiu-im kaucu yang berhasil dengan
sergapannya segera mengempit tubuh Hoa In-liong kabur ke
dalam hutan. Dari situ dengan tergopoh-gopoh dia pimpin
semua anak buahnya kabur kebukit Ciong-san sebelah barat
dan menuju ketepi sungai Yang-cu-kang.

472
Ditepi sungai berdirilah sebuah bangunan besar yang
megah. Bukan saja gedung itu tersusun-susun memanjang ke
dalam, bahkan bangunan tersebut tampak masih baru, seperti
selesai dibangun belum lama berselang.
Tak usah diragukan lagi disinilah letak kantor cabang kota
Kim-leng dari perkumpulan Kiu-im-kauw. Rombongan jago itu
setibanya di tepi sungai segera memasuki gedung baru itu.
Sejak jalan darahnya tertotok tadi selama ini Hoa In-liong
berada dalam keadaan tak sadar. Tentu saja terhadap segala
yang terjadi diapun tidak tahu. Ketika mendusin kembali dari
pingsannya, ia baru temukan kalau dirinya berada dalam
sebuah ruangan yang besar, megah, indah dan sangat
mewah.
9
Lampu keraton bergantungan disana-sini. Dinding yang
berwarna kuning keemas-emasan me-mancarkan cahaya yang
menyilaukan mata. Dengan senyuman dikulum Kiu-im kaucu
duduk diatas kursi kebesarannya yang dilapisi kulit harimau.
Yu-beng-tiancu Bwee Su-yok yang berwajah kaku dan
sedingin salju berdiri dibelakangnya, sementara Tiancu ruang
penyiksaan dan para Tongcu lainnya berjajar dikedua belah
sisinya, suasananya waktu itu amat serius dan penuh dengan
kewibawaan.
Diam-diam Hoa In-liong mengerahkan tenaga dalamnya
mengelilingi seluruh badan, ia merasa semua jalan darahnya
sudah bebas semua, dan lagi sekujur badannya tidak
menunjukkan tanda-tanda yang tak beres. Kenyataan ini
membuat perasaannya jadi lebih tenang, otaknya lantas
berputar keras untuk mencari jalan keluar dalam masalah
tersebut.

473
Sementara dia masih termenung, tiba-tiba terdengar
olehnya Kiu-im Kaucu sedang berkata dengan suara lembut,
“Hoa siau-hiap, dengan suatu sergapan yang tidak terdugalah
aku baru berhasil membekuk diri mu, tentunya engkau tidak
menyalahkan perbuatanku yang terlampau rendah dan tak
tahu malu bukan?”
“Ooooh…. Jadi engkau juga tahu toh kalau main sergap
adalah suatu perbuatan yang rendah dan memalukan?” ejek
Hoa In-liong dengan dahi berkerut.
Bwee Su-yok yang selama ini membungkam, tiba-tiba
mendengus dingin. “Hmm….! Sebagai musuh yang sedang
berhadapan muka, sudah jamak atau kalau masing-masing
pihak berusaha adu tenaga maupun kecerdikan. Bila engkau
tidak puas, ayolah! Kita beradu kepandaian lagi disini juga”
Mendengar ucapan tersebut, berkobarlah hawa amarah
Hoa In-liong tapi ketika sinar matanya saling membentur
dengan sepasang biji mata Bwee Su-yok yang jeli tapi dingin
itu, tiba-tiba saja hawa amarahnya sirna dengan begitu saja,
malah diapun berpikir lebih jauh, “Sebagai seorang lelaki sejati
aku harus pandai menyesuaikan diri. Bila aku bersikeras
mengumbar emosi saja, sudah pasti kerugianlah yang
kuperoleh, aku harus mencari akal untuk berusaha meloloskan
diri dari tempat ini”
Pemuda ini jadi orang bersikap terbuka dan tidak terlampau
terikat oleh segala adat istiadat yang tetek bengek, apalagi
setiap kali berjumpa dengan ancaman bahaya maut, dia selalu
tenang dan menggunakan otaknya untuk menghadapi
keadaan.
Tapi sekarang, setelah ia tertawan, otomatis jalan
pemikirannya juga ikut mengalami perubahan itulah yang
dinamakan orang: Siapa yang tahu gelagat dan keadaan,

474
dialah seorang manusia yang cerdas. Dan rasanya Hoa Inliong
memang cocok sekali dengan keadaan tersebut.
Padahal, berbicara yang sesungguhnya, selain alasanalasan
diatas masih ada lagi sebab musabab lain yang rasanya
lebih cocok, yakni kecantikan Bwee Su-yok.
Tampaknya kecantikan wajah si nona itu sudah terlampau
melekat dalam hatinya membuat pemuda yang pada dasarnya
memang romantis ini tak mampu mengutarakan
kemarahannya dihadapan gadis cantik itu, meski amarahnya
sudah mencapai pada puncaknya.
Ketika pemuda itu teringat kembali tentang kegagahannya
sebagai seorang pria, sepasang matanya yang tajam segera
memandang wajah Bwee Su-yok lekat-lekat, sedikitpun tidak
nampak berkedip.
Bagi pandangan orang lain, maka sorot mata tersebut
dapat berarti dua perasaan.
Yang satu adalah perasaan tenang, hambar, seakan-akan
perasaan hatinya setenang air, terhadap suasana yang serta
menegangkan disekelilingnya sama sekali tidak terpengaruh.
Sedang perasaan kedua adalah suatu perasaan marah yang
meluap, orang akan menganggap dia sedang marah dan
tersinggung oleh perkataan Bwee Su-yok, tapi lantaran ia
sudah tertawan, maka rasa gusarnya tak berani diutarakaan
keluar.
Sebaliknya bagi pandangan Bwee Su-yok, sorot mata
semacam itu justru mendatangkan perasaan yang lain
daripada yang lain dengan rekan-rekannya.

475
Walaupun wajah Bwee Su-yok dingin dan kaku tapi sorot
mata dari Hoa In-liong itu justru merupakan kobaran api yang
membara. Ketika mereka berdua saling berpandangan tanpa
berkedip, maka lama kelamaan Bwee Su-yok merasakan suatu
perasaan yang sangat aneh. Dia merasa tubuhnya bergetar
keras, jantungnya berdebar lebih keras dari keadaan semula.
Suatu perasaan yang belum pernah dialaminya selama ini
dengan cepat menyelimuti seluruh benaknya dan tanpa
diketahui sebabnya tiba-tiba saja mukanya jadi merah. Tapi
hanya sejenak, dia segera mendengus dan melengos
kesamping lain.
Setelah merah wajahnya kemudian mendengus pula, apa
alasannya demikian? Tentu saja kecuali mereka berdua, orang
lain tidak akan memahaminya.
Dalam pada itu, Kiu-im kaucu telah berkata lagi sambil
tertawa seram, “Hoa siau-hiap, kalau berbicara tentang soal
tingkat kedudukan, perbuatanku dengan cara menyergap
menotok jalan darahmu tadi memang kurang pantas dan
sedikit menurunkan gengsi sendiri. Tapi akupun mempunyai
kesulitan yang memaksa diriku harus berbuat demikian. Coba
bayangkan saja betapa sayangnya aku terhadap ibumu,
padahal tujuanku turun gunung kali ini adalah untuk merebut
tempat kedudukan yang terhormat dalam dunia persilatan.
Selama ibumu masih berada di bukit Im-tiong-san bagaimana
mungkin aku dapat melanjutkan rencanaku untuk memusuhi
keluarga Hoa kalian?”
Hoa In-liong adalah seorang pemuda yang cerdik. Dari
pembicaraan Kiu-im kaucu yang bolak balik tak menentu itu,
dia segera mengetahui bahwa pihak musuhnya mempunyai
tujuan dan maksud-maksud tertentu, maka diapun mengerling
sekejap ke arah perempuan tua yang angker itu seraya
berseru, “Huuuh! Kalau bicara saja enak kedengarannya,

476
padahal siapa tahu bagaimanakah kesungguhannya? Benarkah
kaucu benar-benar tidak bermaksud sesuatu?”
Kiu-im kaucu tidak tersinggung oleh perkataan tersebut,
kembali ujarnya, “Bila kubicarakan secara blak-blakan,
mungkin saja engkau tak akan mempercayainya, tahukah
engkau bahwa didalam peristiwa pembunuhan berdarah atas
diri Suma tayhiap beserta istrinya bukan saja aku ikut
mengambil bagian. Pihak perkumpulan Hian-beng-kauw juga
ikut ambil bagian bahkan Ku Ing-ing, si Giok-teng hujin itupun
turut ambil bagian. Jika engkau hanya menaruh rasa benci
dan dendam terhadap aku seorang, tidakkah kau merasa
bahwa tindakanmu tersebut bukan saja tidak bijaksana
bahkan merupakan suatu keputusan semena-mena yang tidak
adil?”
Diam-diam Hoa In-Iiong merasa terperanjat sekali sehabis
mendengar pekataan itu, pikirnya, “Dengan begitu terus
terang dia mengemukakan latar belakang peristiwa berdarah
itu kepadaku, sudah pasti ia memang mempunyai rencana
untuk membinasakan diriku”
Meskipun dalam hati merasa kaget, diluaran dia tetap
bersikap tenang, setelah mengerling sekejap katanya
kemudian, “Dewasa ini Hoa In-liong sudah menjadi
tawananmu, mau bunuh mau jagal terserah pada diri kaucu,
buat apa kau ucapkan kata-kata seperti itu….?”
“Aku hanya suruh engkau percaya saja” sahut Kiu-im kaucu
sambil tersenyum, “Aku tidak bermaksud apa-apa terhadap
diri siauhiap”
“Hoa In-liong bukan anak kecil yang berusia tiga tahun,
jangan harap bujuk rayu dan kata-kata manismu akan
mendatangkan hasil bagimu” kata Hoa In-liong kemudian
dengan tenang. “Maka kuanjurkan kepadamu lebih baik

477
berbicaralah terus terang bila ingin mengutarakan sesuatu,
asal aku Hoa In-liong mampu untuk menjawab, pertanyaan itu
tentu akan kujawab, jika tak sanggup kujawab, sekalipun kau
rantai badanku dengan borgol sebesar apapun jangan harap
bisa memaksa aku untuk mengutarakan sepatah katapun
juga”
Seng-Sin-sam yang kerdil dan menjabat sebagai Tongcu
penerimaan anggota baru itu tiba-tiba menyela sambil tertawa
seram, “Heeehh…. heehh…. hee…. Terus terang
kuberitahukan kepadamu, pada hakekatnya kamipun tiada
pertanyaan yang hendak diajukan kepadamu. Aku menjabat
sebagai ketua ruang penerimaan anggota baru. Andaikata
engkau berhasrat masuk menjadi anggota perkumpulan kami,
asal aku mengutarakan beberapa patah kata yang indah
dihadapan kaucu kami, tanggung engkau pati akan ke terima
menjadi anggota kami”
Berbicara menurut keadaan pada umumnya yang berlaku
dalam dunia persilatan, peraturan dari tiap perguruan ataupun
partai yang ada didunia ini rata-rata ketat dan disiplin.
Biasanya bilamana seorang kaucu hadir dalam suatu ruangan,
maka sebagai anak buah tak seorangpun berani menyela atau
menimbrung pembicaraan yang berlangsung sebelum diminta
oleh ketuanya.
Tapi sekarang, bukan saja Tongcu she-Seng itu berani
menyela suatu pembicaraan, bahkan berani pula
mengemukaan sebuah usul, sementara Kiu-im kaucu sendiri
sedikitpun tidak menunjukkan sikap kurang senang hati, dari
sini dapatlah diketahui betapa terhormatnya kedudukan Seng
Sin-sam dalam perkumpulan Kiu-im-kauw.
Hoa In-liong yang binal tapi cerdik segera memutar
otaknya, selang sesaat kemudian ia sudah mendapat akal

478
bagus, maka pemuda itupun tertawa nyaring. “Haa…. haa….
haa…. Begitupun ada baiknya, setelah menjadi anggota Kiuim-
kauw, bukan saja aku Hoa Loji dapat menciptakan suatu
pekerjaan yang besar, akupun setiap harinya bisa berkumpul
dengan nona Bwee…. Haa…. haa…. haa…. Ada gadis cantik
dalam rangkulan, masa depanku juga cemerlang, bukan saja
aku Hoa Loji akan hidup penuh kebahagian, nama dan
kedudukanku juga termashur…. Tentu saja ide ini bagus
sekali!”
Merah padam wajah Bwee Su-yok karena jengahb cepat dia
menghardik dengan nyaring, “Hey, apa yang kau ocehkan
terus?”
“Hoa siauhiap!” Kiu-im kaucu yang selama ini
membungkam tiba-tiba berkata “Andaikata engkau benarbenar
berhasrat untuk membantu diriku, tentu saja dengan
senang hati anak Yok akan kujodohkan kepadamu!”
Bwee Su-yok jadi sangat gelisah, cepat dia menyela,
“Suhu…. Orang she-Hoa ini usil amat mulutnya, ia jahat dan
tak bisa dipercaya. Anak Yok…. anak Yok….”
Tapi sebelum gadis cantik itu menyelesaikan kata-katanya,
Kiu-im Kaucu telah mengulapkan tangannya seraya berkata,
“Gurumu sudah mempunyai rencana yang sangat bagus,
engkau tak usah menimbrung lagi!”
“Huuuh…. apa rencanamu itu?” Jengek Hoa In-liong cepat
dengan wajah berubah serius, “Paling-paling juga menyelidiki
jejak serta tindak tanduk orang tua dari aku orang she-Hoa
atau menahan aku orang she-Hoa sebagai sandera. Hmm….!
Mengulangi kembali siasat lama yang pernah dipraktekkan dua
puluh tahun berselang, sayang rencanamu itu sama sekali tak
berguna bagi diriku”

479
Diam-diam Kiu-im kaucu merasa terkejut setelah
mendengar perkataan itu, dengan dahi berkerut katanya,
“Benarkan sama sekali tak berguna terhadap dirimu?”
Hoa In-liong mencibirkan bibirnya. “Huuh….! Aku orang
she-Hoa tak bakal terpikat oleh cantiknya wajah perempuan,
tak akan bertekuk lutut oleh kehebatan ilmu silat orang lain.
Sekalipun kau mempunyai beribu macam akal muslihat,
berjuta macam bentuk siksaan, jangan harap kau dapat
memaksa aku orang she-Hoa tunduk pada perintahmu”
Betapa mendongkolnya Bwee Su-yok sehabis mendengar
perkataan itu, dengan ketus dia lantas menimbrung,
“Hmmm…. ! Bukankah tadi engkau selalu berteriak bahwa
engkau lebih suka terbunuh daripada
tertawan? Sekarang toh engkau sudah menjadi tawananku,
kenapa tidak berusaha untuk bunuh diri membereskan
nyawamu sendiri?”
“Nona Bwe, apakah diantara kita terikat dendam sakit
hati?” tiba-tiba Hoa In-liong berkata dengan lembut.
Sinar matanya yang terang bagaikan bintang fajar itu
seperti senyum, tak senyum memandang wajah gadis itu
lekat-lekat.
Ketika sorot mata Bwee Su-yok saling bersentuhan kembali
dengan pandangan matanya, sekali lagi gadis itu merasakan
jantungnya berdebar keras. Untuk sesaat, dia tertegun, tapi
selanjutnya jawabnya dengan nada dingin, “Yaa, diantara kita
ada ikatan dendam, suatu ikatan dendam yang lebih dalam
dari samudra, kenapa?”
Kembali Hoa In-liong tertawa. “Sekalipun antara nona Bwe
dengan aku ada ikatan dendam, caramu memanaskan hatiku

480
tak bakal mendatangkan apa-apa. Ketahuilah aku Hoa loji jauh
berbeda dengan orang lain. Tahukah engkau apa yang sedang
kupikirkan sekarang?”
Seraya berkata kepalanya sengaja dimiringkan kesamping
berlagak seperti seorang bocah yang pura-pura sok rahasia.
Gayanya yang mengejek ini kontan saja menggemaskan Bwee
Su-yok hingga membuat giginya saling bergermerutukan
menahan emosi. Kalau bisa dia ingin menggigit pemuda itu
untuk melampiaskan rasa dongkolnya.
Sambil menggigit bibir, dia lantas berseru dengan gemas,
“Aku tak ambil perduli apa yang kau pikirkan pokoknya
nonamu cuma tahu bahwa engkau harus mampus!”
Hoa In-liong tertawa terbahak-bahak. “Haaa…. haa….
haa…. Aku orang she Hoa mana boleh mati. Kalau aku sampai
mati lebih duluan, bukankah engkau akan….”
Sebetulnya dia hendak mengatakan, “Bukankah engkau
akan menjadi seorang janda kembang?”
Kata-kata itupun mengiringi ucapan Kiu-im kaucu yang
hendak menjodohkan anak Yok-nya kepada dia.
Tapi bagaimanapun juga dia adalah keturunan seorang
pemuda persilatan yang punya nama besar ketika ucapan
tersebut sudah berada diujuag bibir, tiba-tiba dia merasa
bahwa perkataan itu terlalu tengik dan kurang sopan.
Lantaran ia kuatir kalau ucapan tersebut sampai menyinggung
perasaan halus Bwee Su-yok, maka tiba-tiba saja dia
membungkam dan menelan kembali kata-kata tersebut ke
dalam perutnya.
Perlu diketahui disini, walaupun Hoa In-liong termasuk
seorang pemuda yang romantis, sekalipun dia binal dan nakal,

481
tapi bukan berarti cabul atau tak tahu sopan santun. Apalagi
kecantikan Bwee Su-yok dan keagungan gadis itu belum
pernah dijumpai seumur hidup. Sekalipun dara itu bersikap
angkuh dan dingin, lagipula mereka berhadapan sebagai
musuh, tapi bila Hoa In-liong disuruh benar-benar melukai
perasaan Bwee Su-yok, dengan watak yang dimiliki pemuda
itu, belum tentu dia bersedia untuk melakukannya.
Kalau toh diapun begitu, tentu saja keadaan tersebut
berlaku juga bagi diri Bwee Su-yok.
Orang bilang gadis yang cantik selalu menjaga gengsi.
Gengsi ini mencakup pula terhadap orang-orang yang
melakukan hubungan dengannya. Keadaan tersebut tak
ubahnya ibarat seorang hartawan yang kaya raya tak sudi
berhubungan dengan kaum pengemis.
Seorang gadis yang betul-betul cantik, selain dia selalu
menjaga gengsi, disamping itu diapun selalu berharap setiap
orang yang berhubungan dengannya memiliki kecantikan atau
keayuan yang setaraf dengan kecantikannya, terutama
dengan lawan jenisnya, hal ini akan tampak semakin kentara.
Kebetulan sekali Hoa In-liong terhitung seorang pemuda
yang gagah dan tampan, orangnya juga amat romantis.
Berbicara soal kegantengan maupun karakternya boleh
dibilang setingkat lebih tinggi dari orang lain atau dengan
perkataan lain pemuda tersebut benar-benar merupakan
ssorang pemuda yang tampan.
Bwee Su-yok yang terhitung pula sebagai seorang gadis
cantik. Bila dikatakan ia tidak tertarik oleh pemuda setampan
dan segagah itu, maka hal tersebut merupakan kata-kata yang
bohong dan tak bisa dipercaya.

482
Ia tertarik juga merasakan pergolakan yang hebat, tapi
sayang oleh karena pendidikan yang keliru membuat
terciptanya suatu watak membenci kepada laki-laki tampan
dalam hati sidara ayu ini ditambah lagi Hoa In-liong memang
binal sukar diurus, yang kebetulan sekali merupakan watak
yang paling dibenci olehnya dihari-hari biasa, apalagi Hoa Inliong
menunjukkan sikap hambar dan seolah-olah sama sekali
tidak tertarik oleh kecantikannya, kesemuanya ini membuat
nona itu semakin berang hingga berulang kali mengatakan
hendak membunuh dirinya dan bersumpah tak mau hidup
berdampingan dengannya.
Padahal bila kita bahas keadaan tersebut dengan lebih
mendetail, maka dapatlah kita ketahui bahwa tindakan
tersebut disebabkan karena perasaan tak puas si nona itu
terhadap lawannya, cuma gadis itu sendiripun tidak menyadari
akan keadaan tersebut.
Sementara itu, sorot mata Bwee Su-yok sudah
memancarkan sinar dingin yang menggidikkan hati. Kalau
dilihat dari gayanya jelas gadis itu sudah siap akan
melancarkan serangan.
Tapi lantaran perkataan dari Hoa In-liong tiba-tiba berhenti
ditengah jalan, dimana tindakan semacam itu justru sama
sekali berada diluar dugaannya, maka gadis itu jadi tertegun
untuk sesaat lamanya. “Ayoh teruskan kata-katamu itu!”
bentaknya kemudian “Kenapa tidak kau lanjutkan?”
“Aaaah…. Lebih baik tak usah kulanjutkan lagi!”
Bwee Su-yok jadi makin mendongkol, teriaknya dengan
nyaring, “Tidak! Bagaimanapun juga engkau harus
mengatakan keluar, kalau tidak kau lanjutkan kata-katamu itu,
lidahmu akan segera kupotong sampai kutung”

483
“Baiklah!” ucap Hoa In-liong kemudian sambil mengangkat
bahunya “Aku akan mengatakannya keluar. Aku sedang
memikirkan bagaimana caranya meloloskan diri dari sini,
percayakah kau?”
Begitu ucapan tersebut diutarakan keluar, Bwee Su-yok
kontan jadi terbelalak lebar, sedang kawanan jago lainnya tak
dapat menahan rasa gelinya lagi, mereka tertawa terbahakbahak.
Tak aneh kalau mereka tertawa geli, bayangkan saja
bukannya ia sudah kena ditawan orang, bahkan berada pula
dilingkungan musuh musuhnya yang tangguh tapi pemuda itu
telah mengucapkan kata-kata yang tidak bersemangat, selain
itu diapun malah bertanya apakah orang mau percaya dengan
perkataan itu, bayangkan saja siapa yang tidak geli dibuatnya.
Bwee Su-yok sendiri pun diam-diam berpikir dihati,
“Manusia macam apaan orang ini? Kalau dilihat dari wajahnya
yang tampan dan tindak tanduknya yang gagah perkasa,
sudah pasti dia terhitung seorang laki-laki yang tinggi hati.
Tapi mengapa mengucapkan kata-kata macam perkataan
bocah cilik? Apakah…. Apakah dia merasa yakin sekali kalau
dirinya memiliki kemampuan untuk meloloskan diri?”
Dalam pada itu, Hoa In-liong duduk dikursi tepat
dihadapannya dengan senyuman dikulum, sikapnya amat
tenang, tidak tampak sikap malu, atau menyesal, juga tidak
menunjukkan tanda-tanda kalau ia merasa amat yakin.
Sikapnya yang begitu santai, begitu kalemnya mengingatkan
orang bahwa dia seakan-akan berada dilingkungan sahabatsahabat
sendiri, kehambaran dan ketenangannya cukup
membuat orang jadi tercengang.
Haruslah diketahui, keketusan dan kehambaran sikap Bwee
Su-yok jauh berbeda dengan manusia biasa. Seringkali

484
manusia dengan pendidikan yang kaku dan dingin semacam
ini memiliki pandangan yang lebih agresif terhadap segala
macam bentuk rasa sayang maupun rasa benci.
Waktu itu dia masih belum menemukan rasa cintanya
terhadap Hoa In-Liong, maka ia merasa setiap gerak-gerik dari
si anak muda itu mendatangkan rasa benci baginya. Menurut
jalan pikirannya, andaikata manusia semacam ini dibiarkan
lolos dari cengkeramannya, maka kejadian ini akan
dianggapnya sebagai suatu penghinaan yang luar biasa
besarnya, otomatis tak bisa disalahkan pula bila ia mempunyai
cara berpikir yang bertolak belakang dengan orang biasa.
Seng Sin-sam, tongcu bagian penerimaan anggota baru
yang kerdil pada hakekatnya adalah seorang manusia yang
licik dan banyak tipu muslihatnya. Sambil tertawa tergelak
tiada hentinya, dengan mata yang tajam dia mengawasi
gerak-gerik Hoa In-liong, Kemudian ia berseru dengan nada
dingin, “Lapor kaucu, aku lihat Hoa In-liong adalah seorang
manusia kurcaci yang tak berguna. Ia tidak memiliki
kegagahan dan kejantanan seperti Hoa Thian-hong. Menurut
pendapat hamba, lebih baik kita tak usah membuang banyak
tenaga dan pikir-an lagi”
Begitu ucapan tersebut diutarakan keluar, semua gelak
tertawa terhenti dan sorot mata semua orang pun sama-sama
dialihkan keatas wajah Hoa In-liong.
Si anak muda itu masih tetap duduk dengan sennyuman
dikulum, Tubuhnya yang duduk sekokoh batu karang tampak
begitu tenang dan kalemnya, seolah-olah tidak terpengaruh
sama sekali oleh ancaman yang membahayakan jiwanya itu.
Huan Tong Si Tongcu bagian propaganda segera menyela
dari samping ruangan, “Hamba juga mempunyai pendapat
demikian, asal yang kecil kita jagal, tentu si kura-kura tua

485
terpaksa harus menongolkan diri. Bagaimanapun jua kita toh
hendak memimpin dunia persilatan dan bersikap musuhan
dengan Hoa Thian-hong, nanti juga bentrok sekarang juga
bentrok, kenapa tidak kita jagal saja bangsat cilik ini baru
kemudian melakukan pertarungan besar dengan sepuaspuasnya”
Orang ini sangat suka mencari nama dan pahala. Dia paling
tidak percaya kalau dikatakan Hoa Thian-hong itu lihay, maka
dalam penbicaraanpun bukan saja sama sekali tidak
menunjukkan perasaan jeri, bahkan penuh dengan semangat
yang menyala-nyala.
Hoa In-liong tidak biasa dengan gayanya yang sok itu,
cepat dia menimbrung sambil tertawa tergelak, “Haaa….
haa…. haaa…. Ayohlah kalau mau turun tangan! Aku orang
she-Hoa kan duri dalam mata bagi kalian semua, kenapa tidak
segera turun tangan?”
Lie Kiu-it, tiamcu dari ruang siksa menyahut dengan suara
yang dingin dan tajam, “Cepat atau lambat kita pasti akan
turun tangan. Asal kaucu ada perintah, pertama-tama akan
kusuruh kau cicipi bagaimana rasanya kalau sekujur badan
diselomoti dengan batang hio yang menyala!”
Lie Kiu-it yang menjabat sebagai ketua istana ruang
penyiksaan ini memang memiliki tampang “kriminal”. Bukan
saja kepalanya botak, tubuhnya tinggi besar, biji matanya
yang putih lebih banyak daripada yang hitam. Malahan mata
itu semu merah menyala. Tampang semacam ini tak bisa
dibatalkan lagi kalau dikatakan sebagai tampang seorang
manusia yang buas dan berjiwa kejam.
Mendengar ucapan tersebut, Hoa In-liong lantas berpikir
didalam hatinya, “Orang ini adalah seorang penjagal yang
melanjutkan hidup dengan kerjanya menjagal manusia,

486
tampang semacam ini persis dengan tampang pembantu Gwakong
ku yang kejam itu. Biasanya manusia seperti itu bukan
saja buas, juga tidak berperi kemanusian. Manusia macam
begini tak dapat dibiarkan hidup lebih jauh. Bila sampai
bertempur nanti, akan kucabut lebih dahulu se-lembar
jiwanya”
Kek Thian-tok yang menjabat sebagai Tongcu bagian tata
cara dan disiplin perkumpulan merupakan anggota Kiu-imkauw
yang paling tua, diapun paling paham dengan jalan
pemikiran kaucunya. Ketika pendapat mulai diutarakan
simpang siur, tiba-tiba dia melangkah keluar dari rombongan
dan memberi hormat kepada kaucunya seraya berkata,
“Hamba mengetahui betapa terkenangnya kaucu terhadap
sahabat-sahabat lama, terutama kesan yang begitu mendalam
terhadap sanak keluarganya Hoa In-liong. Sayang bocah she
Hoa ini begitu
tak tahu diri dan menganggap dirinya sebagai sok jagoan
hingga bersikap kurang sopan kepada kaucu. Menurut hamba,
orang ini terlampu binal dan aneh. Rasanya untuk
menundukkan perasaannya dengan mengenang kembali kesan
dan hubungan persahabatan dimasa lampau, hal ini sukar
untuk terpenuhi dengan mudah!”
Selama orang lain mengajukan usul dan pendapatnya yang
beraneka ragam, Kiu-im kaucu selalu membungkam dalam
seribu bahasa tanpa memberi komentar apa-apa, ini
menunjukkan bahwa jalan pemikiran mereka tidak sesuai
dengan jalan pemikirannya.
Tapi setelah Kek Thian-tok yang menjadi Tong cu bagian
tata cara dan disiplin perkumpulan ini mengutarakan katakatanya,
pelan-pelan diapun mengangguk.

487
Meskipun telah mengangguk, tapi mulutnya tetap
membungkam, sementara otaknya masih berputar memikirkan
sesuatu.
Haruslah diketahui, Kiu-im kaucu adalah seorang manusia
yang cerdik dan banyak tipu muslihatnya, sekalipun wataknya
agak keras pada hakekatnya dia adalah seorang manusia yang
buas, ganas dan berbahaya.
Dimasa lampau, dia pernah menaruh kesan baik atas diri
Pek Kun-gi sebagai muridnya, meski-pun pada akhirnya
keinginan hatinya itu tak sampai keturutan, tapi bayangan dari
Pek-Kun-gi masih selalu melekat dalam-dalam dihatinya.
Apalagi dimasa lalu dia mempunyai suatu cita-cita yang
lain, yakni bila Pek Kun-gi dapat ia terima sebagai muridnya,
otomatis Hoa Thian-hong akan tertarik juga untuk menjadi
anggota Kiu-im-kauw. Asal orang-she-Hoa itu sudah tunduk
dibawah perintahnya, dengan gampangnya pula tahta
pemimpin dunia persilatan akan terjatuh ketangannya.
Meskipun kejadian itu sudah lewat banyak tahun, tapi
sampai sekarang ambisinya itu belum pernah padam, tentu
saja dalam gerakan turun gunungnya kali ini juga diselilingi
dengan maksud-maksud tertentu.
Apa mau dikata ketika baru saja terjun ke dalam dunia
persilatan, dia telah bertemu lebih dulu dengan putranya Pek
Kun-gi. Sebagaimana diketahui Hoa In-liong mempunyai
wajah yang mirip dengan ayah ibunya, maka dipakainya siasat
yang bersifat lembut untuk menggaet perasaan simpatik dihati
anak muda itu.
Pikirnya asal Hoa In-liong bisa ditarik kesan baiknya
sehingga antara pihaknya dengan keluarga Hoa Thian-hong

488
dapat terjalin hubungan, maka cita-citanya untuk menjagoi
dunia persilatan tak akan terlampau sulit untuk dicapai.
Maka bila diteliti lebih mendalam, boleh dibilang ia memang
sedarg mengulangi kembali sia-sat lamanya.
Tentu saja dibalik kesemuanya itu terdapat suatu alasan
yang amat sensitif sifatnya, yaitu Kiu-im kaucu menaruh rasa
jeri dan ngeri terhadap Hoa Thian-hong, ayahnya Hoa Inliong.
Tegasnya Kiu-im kaucu sampai sekarang masih tak dapat
melupakan dendam sakit hatinya dimasa lampau, terutama
keberhasilan Hoa Thian-hong memimpin dunia persilatan dan
menghancurkan ambisinya untuk menguasai seluruh jagad.
Sakit hati semacam ini tentu saja tak dapat dia lupakan untuk
selamanya.
Betapa besarnya rasa dendam dan sakit hati Kiu-im kaucu
terhadap diri Hoa Thian-hong dapat terlihat jelas misalnya saja
dalam pembunuhan terhadap Suma Tiang-cing beserta istrinya
Kwa Gi-hun dan tindakannya menciptakan Bwee Su-yok yang
dingin dan kaku. Boleh dibilang kesemuanya itu dilakukan
khusus untuk ditujukan buat keluarga Hoa.
Sekalipun demikian, Kiu-im kaucu termasuk juga seseorang
yang lebih memperhatikan tercapainya tujuan daripada
memikirkan cara pelaksanaannya. Ia merasa apalagi bisa
menarik kesan baiknya Hoa In-liong sehingga antara pihaknya
dengan pihak Hoa Thian-hong terjalin hubungan baik dan citacitanya
dapat tercapai tanpa harus terjadi kontak senjata,
bukankah cara tersebut jauh lebih baik?
Walaupun dia adalah seorang ketua dari suatu
perkumpulan besar, namun daripada itu diapun merasa tak
mempunyai keyakinan untuk menangkan musuhnya maka

489
kalau bisa dia berusaha ingin mencapai tujuan dengan cara
yang halus dan baik-baik.
Sayang sekali perempuan tua itu sudah salah menafsirkan
diri Hoa In-liong. Sekilas pandangan pemuda ini memang
tampaknya acuh tak acuh dan tidak begitu menaruh perhatian
terhadap setiap persoalan. Padahal justru dia merupakan
seorang berotak encer, ditambah lagi kecerdikannya wataknya
yang terbuka dan tidak terikat adat istiadat yang tetek
bengek, serta pandai memutar kemudi mengikuti hembusan
angin, kesemuanya itu membuat orang jadi sukar untuk
meraba maksud tujuan serta jalan pemikiran yang
sebenarnya.
Karena persoalan ini Kiu-im kaucu pernah merasakan
kesulitan, bahkan nafsu membunuhnya pernah menyelimuti
pula benaknya, terutama sewaktu berada dibukit Ciong-san, ia
pernah dibuat marah oleh persoalan itu.
Sebagai seorang yang berhati kaku, dia enggan untuk
merubah cara berpikirnya, tapi sekarang setelah diberi
petunjuk oleh Kek Thian-tok, dan lagi apa yang diucapkan
juga begitu luwes tanpa menyinggung gengsinya, maka
setelak termenung sebentar dia alihkan pandangannya
kewajah orang itu. “Bagaimana menurut pendapatmu?”
tanyanya kemudian.
“Menurut pendapat hamba lebih baik untuk sementara
waktu kita sekap saja pemuda ini. Sementara kabar tentang
penangkapan ini kita siarkan luas diluaran. Coba kita lihat saja
bagaimanakah reaksi dari ayah ibunya, selain itu kitapun
mengirim kabar kepada Hian-beng kaucu agar segera datang
ke suatu tempat yang kita janjikan untuk bersama sama
merundingkan rencana besar kita selanjutnya dalam
menghadapi Hoa Thian-hong. Bagaimanapun juga kita toh
sudah keluar gunung, cepat atau lambat akhirnya kita pasti

490
akan melangsungkan suatu pertarungan habis-habisan
melawan Hoa Thian-hong dan konco-konconya. Maka menurut
pendapat hamba, selama Hoa In-liong ini masih bisa dipakai
kita pakai saja, tapi kalau sudah tak dapat kita pakai lagi,
sampai waktunya kita lenyapkan saja bocah kunyuk ini dari
muka bumi, urusan kan menjadi beres?”
Yang dimaksudkan sebagai “bisa dipakai” disini adalah
digunakan sebagai sandera.
Sebelum Kiu-im kaucu sempat memberikan reaksinya, Hoa
In-liong sudah tertawa terbahak-bahak. “Haaa…. haa…. haa….
Suatu ide yang sangat bagus! Suatu idee yang bagus sekali?
Kalau toh semua pihak akan berdatangan semua untuk
menyelesaikan masalah ini, rasanya aku Hoa loji tak perlu
repot-repot lari kesana kemari lagi!”
Habis berkata dia lantas bangkit berdiri dan berjalan
menuju keruang belakang.
Dengan suatu gerakan yang sangat cepat Bwee Su-yok
melayang kedepan dan menghadang jalan perginya, kemudian
bentaknya keras-keras, “Hey, mau apa kamu?”
“Mau apa? Tentu saja pergi beristirahat! Bukankah kalian
hendak menyekap diriku?” sahut Hoa In-liong dengan dahi
berkerut.
Bwee Su-yok segera mendengus dingin. ““Hmmm….! Enak
benar kalau berbicara, memangnya kasu anggap disekap itu
enak yaa?”
Hoa In-liong mengangkat bahunya seraya tertawa.
“Meskipun katanya saja disekap! Tentunya kau tidak akan
memborgol tangan dan kakiku bukan macam buronan
penjahat besar dalam penjara kota….?”

491
Mengangkat bahu sambil tertawa sebenarnya merupakan
suatu gerakan melucu, tapi lantaran orangnya memang
tampan dan binal, maka gerakan melucunya ini justru
mendatangkan suatu daya rangsangan yang lain dari pada
yang lain.
Menyaksikan semua gerakannya itu, Bwee Su-yok merasa
dirinya seakan-akan kena ditampar, makin dilihat semakin tak
enak rasanya, tak kuasa lagi dia mendengus dingin berulang
kali.
Ditengah dengusan tersebut tiba-tiba tubuhnya berputar
menghadap ke arah Kiu-im kaucu, kemudian serunya, “Suhu,
apakah engkau sudah mengambil keputusan yang tetap?”
Rupanya Kiu-im kaucu cukup memahami betapa marah dan
mendongkolnya gadis itu. Dengan nada tercengang dia balik
bertanya, “Mengambil keputusan tentang soal apa?”
“Menyekap orang she-Hoa ini disini!”
“Oooh….! Soal itu toh…. ada apa? Apakah engkau
mempunyai pendapat lain?”
“Tidak ada, anak Yok cuma berharap bilamana suhu telah
mengambil keputusan maka harap engkau orang tua suka
menyerahkan orang she-Hoa itu kepadaku?”
Mendengar ucapan tersebut, tiba-tiba Hoa In-liong
berteriak aneh, “Bagus…. Bagus sekali? Ada perempuan yang
mau menemani aku, berarti rejeki yang amat besar bagi aku
Hoa-loji…. haaa…. haa…. haa…. Syukurlah kalau nona
memang demen sama aku!”

492
Kiu-im kaucu tertawa dingin, sinar matanya segera
dialihkan ke wajah muridnya dan berkata, “Kenapa harus
kuserahkan kepadamu? Orang
ini aneh sekali dan banyak tipu muslihatnya”
“Aku tidak takut kebinalannya, juga tidak takut tipu
muslihatnya, aku akan suruh dia merasa-kan pahit getirnya
ditanganku”
Kiu-im Kaucu tidak langsung menyanggupi, dia berpikir
sebentar kemudian baru menjawab, “Baiklah! Memang ada
baiknya juga membiarkan dia merasakan sedikit kelihayanmu.
Tapi kau musti hati-hati, jangan sampai membuat badannya
menjadi cacad, sebab aku masih mempunyai kegunaan
lainnya”
“Yaa suhu!” Bwee Su-yok mengiakan, dia lantas putar
badan dan berseru lagi dengan dingin, “Ayoh jalan!”
Hoa In-liong sama sekali tidak memikirkan ancaman lawan
malahan dengaa sikap yang mengejek ia membuat gerakan
mempersilahkan nona itu berjalan lebih dulu. “Silahkan nona
manis! Harap engkau suka mem bawa jalan bagi diriku!”
katanya sambil tertawa.
Bwee Su-yok mendengus dingin, tanpa mengucapkan
sepatah katapun dia putar badan dan berjalan menuju ke arah
pintu ruangan sebelah belakang.
Hoa In-liong segera menjura kepada diri Kiu-im kaucu,
kemudian katanya, “Bila dari pihak ayah ibuku sudah ada
kabar, tolong kaucu bersedia memberi kabar kepadaku, maaf
tak dapat menemani terlampau lama….!”

493
Dengan langkah lebar dan sikap yang amat santai dia
lantas berlalu dari situ dan menuju ke ruang belakang
mengikuti langkah Bwee Su-yok.
Menyaksikan sikap Hoa In-liong yang begitu santai dan
sama sekali tidak merasa takut itu, Lie Kiu-it si tiamcu ruang
penyiksaan dan para tong-cu lainnya sama-sama
menunjukkan senyuman yang menyeringai. Agaknya mereka
senang sekali karena musuhnya sudah dibawa pergi untuk
disekap sementara waktu.
Hanya Kiu-im kaucu seorang yang mengerutkan dahiaya,
dalam hati dia berpikir, “Bagaimanakah watak si bangsat itu
yang sebenarnya? Benarkah dia tidak takut disiksa dan tak
takut mati? Ataukah dia emang memiliki sesuatu kekuatan
yang bisa diandalkan….”
Semakin dipikir hatinya semakin gundah, akhirnya dengan
suara keras dia berseru, “Bubar! Kita laksanakan tugas
masing-masing sesuai dengan rencana, Kek-tongcu! Bawalah
orang dan segera mengadakan kontak dengan Hian-beng
kaucu”
Begitu selesai berkata, dia lantas mengundurkan diri lebih
dahulu dari tempat itu.
Tanpa mengucapkan sepatah kata pun Bwee Su-yok
berjalan didepan menelusuri serambi yang pa jang dan
menuju keruang belakang.
Hoa In-liong mengikuti tanpa berbicara juga, hanya
bedanya kalau si nona berwajah dingin dan serius. Sementara
si anak muda itu berjalan dengan wajah penuh senyuman.
Kendatipun demikian perbedaan sikap itu sama sekali tidak
mengurangi ketampanan dan kecantikan wajah mereka

494
berdua. Begitu menariknya raut wajah kedua orang itu
sehingga mirip dewa-dewi yang baru turun dari kahyangan.
Setelah mencapai ujung serambi tersebut, mereka melewati
sederetan bangunan rumah dan ak-hirnya tibalah disebuah
halaman yang terpencil letaknya jauh dlbelakang sana.
Disinilah tempat tinggal Bwee Su-yok, letaknya disudut
tenggara bangunan utama. Halaman itu bertengger persis
dibawah tanah perbukitan Ciong-san. Didepan pintu membujur
sebuah selokan kecil yang meliuk-liuk kesana-kemari,
menciptakan suatu pemandangan yang sangat indah dan
sedap dilihat.
Setelah memasuki halaman tersebut, seorang dayang kecil
yang memakai baju berwarna hijau pupus menyambut
kedatangan mereka.
Bwee Su-yok mendengus dingin, katanya kemudian dengan
ketus, “Siapkan tali dan bawa kedalam ruangan!”
Tanpa menghentikan langkah kakinya dia langsung masuk
kedalam sebuah bangunan yang mungil didepan sana.
Dengan langkah yang santai dan wajah diliputi senjuman
Hoa In-liong mengikuti terus dibelakang gadis itu, ketika lewat
disamping dayang cilik itu ia lantas menunjukkan muka setan.
Dayang itu agak tertegun melihat sikap tamunya, matanya
jadi terbelalak lebar. Untuk sesaat dia jadi lupa untuk
melaksanakan perintah majikannya.
“Kenapa berdiri melulu?” Bwee Su-yok membentak sambil
putar badannya. “Sudah kau dengar belum perkataanku tadi?”

495
Dengan rada kaget dayang itu buru-buru menyahut,
“Sudah dengar…. Sudah dengar….”
Dengan langkah cepat dia lantas kabur dari situ.
oooOOOOooo
S
ETIBANYA didalam ruangan, dengan gaya yang sok Bwee
Su-yok duduk dikursi kebesaran dalam ruangan itu. Sedang
Hoa In-liong masih berlagak santai, makanya celingukan
kesana kemari mengamati bangunan tersebut.
Bangunan itu cukup megah, sekalipun tidak begitu besar
tapi cukup mewah dan mentereng.
Ditengah-tengah bangunan merupakan sebuah ruangan
tamu, kedua belah sisinya merupakan tempat tinggal Bwee
Su-yok, kamar baca dan ruangan untuk bersemedi. Dibelakang
ruang semedi adalah tempat tidur dayang itu.
Semua perabot yang ada disana terbuat dari kayu jati
pilihan. Modelnya bagus, bikinannya ju-ga halus. Lukisanlukisan
kenamaan tergantung dikedua sisi dinding ruangan
dan semuanya berada dalam keadaan bersih. Ini menunjukkan
kalau Bwee Su-yok adalah seorang gadis yang suka akan
kebersihan.
Pada waktu itu senja lelah menjelang tiba, selang sesaat
kemudian dayang tadi muncul sambil membawa baki berisi
cawan air teh dan seutas tali besar.
Melihat itu. Bwee Su-yok langsung melototkan matanya
lebar-lebar, bentaknya dengan gusar, “Siapa yang suruh kau
hidangkan air teh?”

496
“Kan ada tamu nona? Biarlah kesuluh lampu “ jawab
dayang itu sok pintar.
Setelah meletakkan baki air teh dimeja dan meletakkan tali
dilantai, ia putar badan siap meng-ambil api.
“Omong kosong! Siapa yang menjadi tamu kita?” Bentak
Bwee Su-yok lagi dengan marah.
Dayang cilik itu jadi terbelalak makin tercengang, sebentar
dia memandang ke arah Bwee Su-yok, sebentar memandang
pula ke arah Hoa In-liong. Wajahnya jelas menunjukkan sikap
kebingung
an dan tidak habis mengerti.
Dayang cilik itu berusia dua tiga belas tahunan, dia adalah
seorang bocah perempuan yang cilik. Mukanya bulat dengan
mata yang besa. Meskipun sifat kanak-kanaknya belum hilang
dan polos sekali, dia terhitung seorang nona yang cerdik dan
lincah. Dihari-hari biasa amat disayang oleh Bwee Su-yok
hingga sikapnya juga jauh lebih akrab.
Sementara nona cilik itu masih termangu keheranan, tibatiba
Hoa In-liong berkata sambil ter-tawa, “Aaah…. Jiwa nona
memang terlampau sempit. Sekalipun aku bukan tamu, apalah
artinya secawan air teh? Kenapa kau musti mengumbar hawa
amarah terhadap seorang bocah cilik?”
Dengan pandangan yang dingin Bwee Su-yok melirik
sekejap ke arahnya, kemudian kepada dayang cilik itu katanya
lagi, “Peng-ji, kenapa kamu….? Ayoh panggil Siau-kian dan
Siau-bi suruh kemari, kemudian baru memasang lampu!”

497
Tampaknya Peng-ji masih merasa bingung dan tidak habis
mengerti, apalagi dihari biasa selalu dimanja, bukannya
melaksanakan perintah itu, dengan dahi berkerut dia malah
membantah, “Kenapa musti panggil mereka? Peng-ji kan
dapat melakukan semua perintah nona sendirian!”
“Suruh panggil mereka yaa, panggil mereka, kenapa musti
cerewet melulu?” bentak Bwee Su-yok dengan muka berubah,
“Memangnya kau sanggup untuk mengikat orang itu
sendirian?”
Peog-ji semakin tertegun, segera pikirnya. “Aneh benar
siocia kita ini. Kenapa orang itu harus diikat? Memangnya
dia…. dia sudah menyalahi siocia?”
Sementara dia masih berpikir, Hoa In-liong telah berkata
sambil tertawa nyaring, “Haa…. haa…. haa…. Kau anggap
dengan seutas tali maka aku dapat terikat sehingga tak bisa
berkutik?”
“Tak usah banyak bicara lagi, nanti toh kau akan tahu
sendiri” jawab Bwee Su-yok dingin.
Hoa In liong tersenyum. ‘Sekalipun tali itu bisa
membelenggu tubuhku, jika aku tak mau menyerahkan diri
untuk diikat, sekalipun nona turun tangan sendiri rasanya
keinginanmu itu belum tentu dapat keturutan!”
Bwee Su-yok mendengus dingin. “Hmm, kecuali kalau
engkau bukan seorang enghiong. Siau-kian dan Siau-bi hanya
setahun lebih tua dari Peng-ji, boleh saja kalau ingin
mencobanya”
Mendengar ucapan tersebut Hoa In-liong jadi tertegun, dia
lantas berpikir pula didalam hati, “Waaah…. kalau begitu rada
susah juga, masa aku harus berkelahi dengan bocah cilik?

498
Tapi…. Tapi…. aku tak dapat menyerahkan diri dengan begitu
saja”
Pikir punya pikir akhirnya sambil tersenyum dia berkata.
“Aku benar-benar tak habis mengerti, kenapa nona begitu
ngototnya ingin membelenggu tubuhku? Ketahuilah nona,
pekerjaan semacam itu tak ada gunanya!”
“Hmmm….! Siapa bilang tak ada gunanya? Aku hendak
mengikat tubuhmu kemudian menggantung engkau diatas
pohon” sahut Bwee Su-yok dengan ketus.
“Kalau sudah digantung lantas bagaimana? Itukah yang
kaumaksudkan sebagai siksaan bagiku?”
“Kalau digantung masih belum dapat menyiksa dirimu,
maka aku akan menggantung tubuhmu dengan kepala
dibawah. Selama tiga hari tiga malam tak akan kuberi makan
maupun minum, coba lihat saja bagaimana rasanya nanti!”
Bagi seorang jago yang belajar silat, tidak makan selama
tiga hari mungkin tak akan menda-tangkan penderitaan apaapa.
Tapi kalau selama tiga hari tiga malam digantung secara
terbalik, dengan isi perut yang terbalik dan peredaran darah
yang mengalir secara terbalik pula, siksaan dan penderitaan
semacam itu boleh dibilang luar biasa sekali. Siksaan itu
lambat sifatnya tapi cukup membuat orang jadi sinting karena
menderitanya.
Diam-diam Hoa In-liong merasa terperanjat. Tanpa sadar
sinar matanya dialihkan ke arah pohon besar yang tumbuh
diluar pintu.
Berbanggalah hati Bwee Su-yok melihat rasa terkejut yang
menyelimuti wajah si anak muda itu. Dia cibirkan bibirnya lalu
berkata lebih jauh, “Aku lihat engkau tidak acuh yaa terhadap

499
semua ancamanku? Baiklah, kalau memang engkau sudah
siap menerima semua siksaan terse-but, kupersilahkan dirimu
untuk merasakan bagaimana nikmatnya kalau digantung
secara ter-balik selama tiga hari tiga malam!”
Berbicara sampai disitu dia lantas berpaling lagi ke arah
Peng-ji seraya ujarnya, “Ayoh cepat lakukan! Mau apa kamu
berdiri
melongo melulu ditempat itu?”
Melihat sikap si nona itu, Hoa In-liong segera tertawa getir.
“Nona Bwee, sungguh tak kusangka kalau engkau adalah
manusia macam begitu” katanya, “Aku Hoa Yang toh tiada
permusuhan apa-apa dengan dirimu, sekalipun ada
perselisihan, itupun perselisihan dari orang-orang setingkat
lebih tinggi dari kita, mengapa kau berbuat begitu kejam
dengan menyiksa aku memakai cara semacam itu, aku….
aku…. Benar-benar tidak habis mengerti dengan keputusanmu
itu”
“Heeh…. heeh…. hee…. Bagaimana?” ejek Bwee Su-yok
sambil tertawa dingin, “Jadi engkau juga mengerti tentang
soal jeri dan ketakutan?”
Dengan cepat Hoa In-liong gelengkan kepalanya. “Nona
keliru besar, aku Hoa Yang belum pernah kenal apa yang
dimaksudkan jeri atau ketakutan. Orang bilang kalau berani
adu jiwa maka tiada kesulitan yang akan dihadapi seseorang,
kalau cuma kelaparan selama tiga hari atau digantung selama
tiga hari sih masih belum terhitung penderitaan yang luar
biasa. Cuma saja…. Cuma saja…. aaai….! Lebih baik tak usah
kukatakan saja!”
Ia lantas membungkukkan badannya, memungut tali itu
dari tanah, kemudian setelah ditimang-timang sesaat ujarnya

500
sambil berpaling ke arah Peng-ji, “Siau Peng-ji, harap
kemarilah sebentar!”
“Mau apa?” seru Peng-ji tertegun.
Hoa In-liong tertawa ewa. “Kalau memanggil orang lain
tentu merepotkan sedang siocia kalian tak sudi turun tangan
sendiri, maka aku minta agar engkau saja yang membelenggu
tubuhku!”
Mendengar ucapan tersebut. Peng-ji semakin tertegun lagi
dibuatnya, demukian pula halnya dengan Bwe-Su-yok. Ia
tampak tercengang dan sedikit merasa diluar dugaan atas
keputusan lawannya.
Didalam pemikiran Bwe-Su-yok, keadaan Hoa In-liong
dianggapnya sudah terpojok dan tak bisa berkutik lagi, hingga
sekalipun diejek lagi juga tak akan berani membangkang.
Dia justru ingin sekali menyaksikan keadaan Hoa In-Iiong
yang mengenaskan karena dibuat serba salah dan tercemooh
habis-habisan. Siapa tahu tiba-tiba saja Hoa In-liong merubah
sikapnya, bahkan berubah jadi begitu penurut dan alimnya
bukan saja pembicaraannya terputus sampai ditengah jalan
bahkan juga tidak mamanggil orang untuk membelenggunya,
sebaliknya suruh Peng-ji yang baru berusia dua tiga belas
tahun itu melaksanakan tugasnya. Tindakan semacam ini
tentu saja aneh sekali tampaknya dan siapapun tidak akan
menduga sampai kesitu.
Dipandangnya wajah Hoa In-liong dengan termangumangu.
Ia merasa pemuda itu bersikap sungguh-sungguh dan
sama sekali tiada tanda-tanda mau main curang atau
menggunakan tipu muslihat yang licin, tentu saja gadis itu
makin keheranan.

501
Tapi dia tak mau mempercayai keadaan tersebut dengan
begitu saja, bagaimanapun juga “sedia payung sebelum
hujan” memang ada baiknya. Maka dengan wajah yang masih
diliputi rasa cengang bercampar curiga dia menegur,
“Hmmm…. Rupanya engkau hendak menggunakan akal
muslihat untuk menyergap Peng-ji?”
Tertawalah Hoa In-liong mendengar tuduhan tersebut.
“Haa…. haa…. haa…. Nona memang terlalu banyak curiga.
Keturunan keluarga Hoa bukan manusia munafik, setiap patah
kata yang telah kuucapkan tak akan kubantah lagi untuk
selamanya. Tadi, nona telah memuji aku Hoa Yang sebagai
seorang Enghiong. Apabila aku Hoa Yang betul-betul tak tahu
diri, bukankah perbuatanku ini akan membuat kecewanya hati
nona?”
Sewaktu mengucapkan kata-kata tersebut, wajah pemuda
itu tetap santai, biasa dan sama sekali tidak mengandung
nada sindiran atau ejekan. Kesemuanya ini segera
mendatangkan suatu perasaan yang bergetar keras dalam hati
Bwee Su-yok. Ia merasakan suatu perubahan perasaan yang
aneh sekali. “Omong kosong, ngaco belo tak karuan!”
bentaknya, “Siapa yang merasa kecewa….”
Tiba-tiba ia merasa makin berbicara makin tak genah,
akhirnya tak bisa dicegah lagi merah pa-damlah pipinya
karena jengah. Pembicaraanpun segera terhenti.
Hoa In-liong juga agak tertegun oleh keadaan tersebut,
tapi dengan cepat dia menjura seraya berkata, “Harap nona
jangan gusar, maksudku aku lebih rela menjadi seorang
enghiong daripada melakukan perbuatan terkutuk yang
memalukan dengan mencelakai jiwa Peng-ji. Karenanya harap
engkau suka memerintahkan Peng-ji untuk datang mengikat
tubuhku! Hanya saja….”

502
Mendengar perkataan itu, air muka Bwee Su-yok berubah
semakin merah, ia tertegun sejenak, kemudian serunya
dengan suara dalam, “Tidak! Hanya kenapa….? Ayoh lanjutkan
dulu perkataanmu itu….!”
“Dibicarakan juga tak ada gunanya, lebih baik tak usah
dibicarakan saja!”
Kembali dia menggunakan kata-kata “lebih baik tak usah
dibicarakan” untuk menampik kehendak nona itu, hal ini
segera menggusarkan hati Bwee Su-yok, bentaknya dengan
nyaring, “Tidak! Bagaimanapun juga harus kau lanjutkan katakatamu
itu, kalau tidak maka engkau akan kugantung selama
tujuh hari tujuh malam lamanya!”
Hoa In-liong membetulkan letak tempat duduknya,
kemudian ditatapnya wajah Bwee Su-yok dengan serius,
setelah itu katanya lagi, “Jika nona memang ingin tahu,
terpaksa aku harus mengatakannya secara terus terang”
“Jangan bicara sembarangan” tiba-tiba Peng-ji
memperingatkan dengan suara nyaring, “Kalau bicara
sembarangan, siocia kami pasti akan menjadi marah!”
Hoa In-liong tersenyum kepadanya sebagai tanda terima
kasih, kemudian seraya berpaling ujarnya dengan wajah
bersungguh sungguh, “Kecantikan nona melebihi kecantikan
siapapun yang ada didunia ini. Dewi dari kahyanganpun belum
tentu secantik wajah nona. Memang banyak sudah gadis
cantik yang pernah kujumpai. Tapi bila mereka dibandingkan
dengan nona, maka selisihnya ibaratnya langit dan bumi”
“Cantik atau tidak tiada sangkut pautnya dengan dirimu”
tukas Bwee Su-yok sebelum pemuda itu menyelesaikan katakatanya,
“Nona benci mendengar kata-kata sanjunganmu
yang manis itu”

503
“Nona jangan salah sangka, aku berkata demikian bukan
bertujuan untuk merayu nona atau mencari pujian dan
sanjungan dari nona. Apa yang kuucapkan sesungguhnya
merupakan kata-kata yang betul-betul muncul dari hati
sanubariku sendiri” kata Hoa In-liong dengan wajah serius,
“Terus terang saja kukatakan, sejak berjumpa dengan nona
hatiku sudah merasa terpikat, siapa tahu…. Aaaiaa…. Siapa
tahu nona….”
“Ngaco belo melulu, apa yang kau omelkan te rus
menerus?” tukas Bwee Su-yok sambil membentak marah.
“Tidak….! Dia tidak ngaco belo! Nona memang cantik jelita
membuat siapapun yang melihat jadi terpikat….” Sela Peng-ji
dari samping dengan suara melengking.
Tiba-tiba Bwee Su-yok bangun berdiri dengan marah,
bentaknya penuh kegusaran, “Oooh…. Jadi engkau membantu
dia untuk mengerubuti nonamu….?”
“Tidak, tidak…. Peng-ji tidak membantu dia, Peng-ji hanya
bicara sejujurnya” sahut Peng-ji ketakutan.
Hoa In-liong ikut bangkit berdiri, lalu selanya, “Peng-ji
adalah dayang kepercayaanmu sendiri, masa dia mau
membantu aku untuk mengerubuti dirimu? Sayang meski nona
cantik jelita bak bidadari dari kahyangan, tapi wataknya terlalu
dingin kaku dan kejam, terutama sikapnya terhadap diriku”
Setajam sembilu sorot mata Bwee Su-yok, jelas
perasaannya waktu itu yaa marah yaa mendongkol, dia
sendiripun tidak begitu jelas. Sebelum Hoa In-liong
menyelesaikan kata-katanya, kembali dia menukas,
“Bagaimana sikapku terhadap dirimu? Hmm….! Jangan

504
dianggap lantaran kau tampan dan gagah maka nona bersikap
baik kepadamu! Peng-ji, ikat dia!”
Beberapa patah katanya itu diucapkan dengan tegas dan
nyata, sama sekali tidak dibuat buat atau lain dengan jalan
pikirannya. Jelaslah sudah bahwa keputusannya sudah bulat
dan tak bisa diganggu gugat lagi.
Hoa In-liong gelengkan kepalanya berulang kali seraya
berguman seorang diri, “Yaa…. Kalau memang begitu, kenapa
kau paksa aku untuk berterus terang? Peng-ji, terpaksa aku
harus merepotkan dirimu. Lakukan saja apa yang
diperintahkan nonamu itu, dan ikatlah badanku lebih erat
lagi!”
Seraya berkata dia menghampiri Peng-ji seraya
mengangsurkan tali tersebut ke tangannya.
Peng-ji menerima tali itu dengan wajah kebingungan, dia
sama sekali tidak melakukan apa yang diminta.
“Ayoh kerjakan!” hardik Bwee Su-yok kemudian “Apa yang
kau nantikan lagi?”
Dengan perasaan apa boleh buat terpaksa Peng-ji berjalan
ke belakang punggung Hoa In-liong, mula-mula dia ikat dulu
pergelangan tangannya.
Dayang itu bertubuh kecil dan pendek sedang Hoa In-liong
tinggi besar, terpaksa pemuda itu harus berjongkok kebawah
agar dayang tersebut bisa membelenggu lengannya.
Setelah kedua lengannya diikat dibelakang badan, tubuh
Hoa In-liong bagian ataspun jadi kaku dan hilanglah
kebebasan geraknya.

505
Rupanya Bwee Su-yok merasa sangat tidak puas bila cuma
lengannya saja yang dibelenggu, dengan nada yang berat dan
dalam kembali dia mengomel, “Sebetulnya kau bisa
membelenggu orang atau tidak? Kalau cuma lengannya saja
yang diikat, kakinya kan bisa dipakai untuk berjalan kesana
kemari?”
“Nona, lebih baik jalan darahku kau totok saja lebih dulu”
seru Hoa In-liong dari samping “Sebab kalau tidak begitu, bila
aku sudah tak tahan lagi, tali-tali yang mengikat badanku itu
bisa kugetarkan sampai putus semua”
“Kalau membayangkan memang rasanya mudah dan
semuanya bisa berjalan lancar memangnya kau itu seorang
yang goblok atau memang tak takut sakit….? Hmmm….! Lihat
saja pohon yang ada diluar itu, tingginya sembilan kaki. Jika
kau tidak takut terbanting sampai mampus, silahkan saja talitali
itu kau getarkan sampai putus semua!”
Diam-diam Hoa In-liong menghela napas panjang.
Sepasang matanya segera dipejamkan rapat rapat dan diapun
tidak banyak berbicara lagi.
Selang sesaat kemudian, ketika lampu sudah mulai
menerangi seluruh ruangan Hoa In-liong telah digantung
diatas dahan pohon dengan kepala dibawah kaki diatas.
Waktu itu Bwee Su-yok masih duduk diruang tengah. Dua
orang bocah perempuan yang berdandan sebagai dayang
berdiri dikedua belah sisinya, sedangkan Peng-ji berdiri
dihadapannya sambil mencibirkan bibir, jelas dayang cilik itu
sedang merasa tak senang hati.
Tapi Bwee Su-yok berlagak tidak melihat keadaannya itu.
Pandangan matanya yang memancar kedepan tampak kosong

506
dan hambar. Dia seperti lagi memikirkan sesuatu, tapi mirip
juga seperti tidak lagi memikirkan apa apa, dengan wajah
yang dingin dan kaku dia duduk membungkam dalam seribu
basa.
Lewat beberapa saat lagi, dayang cilik yang ada disebelah
kanan itu mulai tidak sabaran lagi, dengan suara yang rada
takut-takut dia menegur, “Siau-cia, kami semua sudah lapar!”
“Sstt….! Jangan berisik” cegah dayang yang ada disebelah
kiri dengan suara setengah berisik, “Siau-bi, nona kita sudah
capai seharian penuh, sekarang perlu beristirahat dulu!”
“Sekalipun capai, masa makanpun segan? Toh orang itu
sudah digantung dipohon, mau apa lagi kita berdiri termangu
disini macam orang yang kehilangan ingatan?”
“Huuuh…. siapa yang tahu!” sambung Peng-ji dengan
wajah cemberut karena kheki, “Orang itu kan nona sendiri
yang suruh diikat dan digantung. Sekarang setelah digantung
mukanya jadi masam seperti orang kehilangan semangat,
duduk tak bergerak, disuruh makan juga menolak…. aaaah,
lagi ngambek barangkali!”
Rupanya Bwee Su-yok mendengar omelan tersebut, sinar
matanya lantas dialihkan kesamping dan melirik sekejap ke
arah tiga orang dayangnya, kemudian dengan suara hambar
katanya, “Kalian jangan berisik melulu disini, ayoh sana pergi
semua. Aku akan tetap berada disini untuk menjaga orang
she-Hoa itu!”
“Huuuh…. apa toh bagusnya? Kenapa musti dijaga?” seru
Peng-ji dengan bibir yang dicibirkan
Bwee Su-yok semakin mangkel, teriaknya lagi, “Aaaah….
kamu ini memang cerewet sekali!. Siapa yang bilang aku cuma

507
ingin memandanginya belaka? Aku sedang mengawasi dirinya?
Ayoh cepat pergi semua”
Diantara ketiga orang dayang itu, usia Siau-kian yang
paling tua, melihat paras muka Bwee Su-yok yang tak
menentu, cepat-cepat dia ulapkan tangannya seraya berseru,
“Mari kita pergi saja! Siocia kita sedang merasa kesal, ayoh
kira makan duluan”
Selesai berkata ia memberi hormat lalu dengan membawa
Siau-bi dan Peng-ji buru-buru mengundurkan diri dari ruangan
itu.
Ketika bayangan tubuh mereka lenyap dari ruangan, dari
pintu luar masih kedengaran suara Peng-ji yang sedang
berbisik lirih, “Eeeh…. Sebetulnya apa yang telah terjadi?
Tampaknya siocia kita telah berubah….”
Benarkah telah berubah? Tentu saja hanya Bwee Su-yok
sendiri yang mengarti akan hal ini.
Sementara itu, Hoa In-liong yang digantung terbalik diatas
pohon betul-betul merasakan suatu siksaan dan penderitaan
yang luar biasa tak enaknya.
Jilid 14
SEPASANG kaki dan tangannya terikat kencang. Badan di
gantung dengan kepala dibawah kaki di atas. Bila ada angin
berhembus lewat dan ranting pohon mulai bergoyang kesana
kemari, pemuda itu betul-betul merasakan jantungnya
berdebar-debar. Sebab setiap saat dirasakan bahwa ranting
pohon itu akan patah jadi dua.

508
Dia pernah mengatakan bahwa kecuali hati tiada kesusahan
yang lebih besar, semangat yang gagah perkasa dan bersifat
jantan ini tak perlu disinggung lagi. Yang menyiksa justru
adalah mengalirnya darah dalam tubuhnya berjalan terbalik.
Dia merasa isi perutnya serasa menyumbat tenggorokannya
dan seakan-akan setiap saat akan keluar dari lubang hidung
dan lubang mulutnya. Bukan saja kepala jadi pusing tujuh
keliling bahkan diapun merasakan perutnya jadi mual dan
ingin dan ingin tumpah-tumpah.
Tapi ia tahu dalam keadaan demikian jangan sekali-kali
sampai tumpah, sebab sekali isi perutnya tumpah keluar
semua maka yang sisa hanya air dan bila air itu ikut tumpah
keluar maka akhirnya darah yang akan tumpah keluar. Jika
darah sudah mulai tumpah sampai habis, jiwanya ikut
melayang tinggalkan raganya.
Sebab itu dia berusaha keras untuk mempertahankan diri
sekuat tenaga. Ia buang jauh-jauh semua pikiran yang
berkecamuk dalam benaknya bahkan siksaan yang dirasakan
ditubuhnya juga berusaha dibuang jauh-jauh dari
perasaannya.
Tentu saja pekerjaan semacam itu bukanlah suatu
pekerjaan yang terlampau gampang….
Orang bilang, luka kecil diatas kulit saja sakitnya bukan
kepalang apalagi penderitaan yang dirasakan Hoa In-liong
sekarang datangnya dari dalam badan, bisa dibayangkan
betapa tersiksanya dan menderitanya pemuda itu.
Sinar sang surya pelan-pelan mulai condong kebarat.
Rembulan yang kaburpun mulai muncul dari sela-sela
dedaunan yarg menyinari tubuh Hoa In-liong. Waktu itu dia
merasa seakan-akan ada beribu-ribu batang anak panah yang
menancap didalam hatinya. Makin lama siksaan dan

509
penderitaan yang dialaminya terasa semakin menghebat dan
berat.
Mukanya hijau membesi, bulu kuduknya pada berdiri
semua. Pakaiannya basah kuyup oleh keringat dan dengusan
napasnya sudah seperti kerbau, padahal baru tiga jam dia
mengalami siksaan itu. Bagaimana mungkin ia bisa bertahan
sampai tiga puluh tiga jam mendatang?
Lambat laun napasnya tidak tersengkal lagi, keringat juga
tidak mengucur keluar. Tapi paras mukanya dari hijau berubah
jadi semu biru, dari biru berubah jadi pucat pasi, warna darah
sama sekali lenyap dari wajahnya dan akhirnya pemuda itu
jatuh tak sadarkan diri.
Entah sejak kapan Bwee Su-yok sudah mengundurkan diri
dari situ. Suasana dalam bangunan rumah mungil itu gelap
gulita, sedikitpun tiada cahaya lampu. Tapi pancaran cahaya,
rembulan ditengah awang-awang terasa makin lama semakin
terang.
Tiba-tiba dari arah timur muncul dua sosok bayangan
manusia, kedua sosok bayangan itu bergerak dengan
cepatnya dibawah cahaya rembulan yang terang benderang.
Ketika mencapai sepukh kaki dari bangunan tersebut,
terlihatlah sekarang bahwa dua sosok bayangan itu tak lain
adalah Goan-cing Taysu serta Coa Cong-gi yang berangasan.
“Bangunan rumah itu sangat besar, megah dan agung”
bisik Goan-cing Taysu setelah memandang sekejap sekitar
tempat itu. “Lagipula terletak jauh dari keramaian kota. Bila
ditinjau dari letaknya yang serba rahasia, aku rasa tujuan kita
kali ini tak bakal keliru lagi, pasti inilah sasaran kita”

510
“Perduli amat benar atau tidak” sahut Coi Cong-gi dengan
berangasannya, “Anak Gi serta beberapa orang saudara
lainnya sudah memeriksa seluruh penjuru kota Kim-leng, tapi
bayangan dari orang orang Kiu-im kau tidak juga kami
temukan. Malam ini telah kami putuskan masing-masing
mencari ke satu arah yang berlawanan. Seandainya anak Gi
tak ada janji dengan kong-kong, sejak tadi-tadi niscaya anak
Gi sudah kabur keluar dari kota Kim-leng. Ayoh masuk! Kita
geledah saja rumah ini, kemudian baru mengambil keputusan”
“Jangan berbuat gegabah, bagaimanapun lolap kan
seorang paderi dari agama Buddha” bisik Goan ling-taysu lirih.
Mendengar ucapan tersebut, Coa Cong-gi makin gelisah.
“Memangnya kenapa kalau seorang paderi agama Buddha?”
serunya, “Masa kongkong akan berpeluk tangan belaka
menyaksikan saudara Hoa tertimpa bencana?”
“Tahun ini lolap sudah barusia delapan puluh sembilan
tahun, mengikuti ajaran buddhapun sudah banyak tahun.
Tentu saja tak banyak yang akan kugubris”
“Kalau memang bukan begitu, lalu….” Coa Gong-gi semakin
tertegun.
“Sstt, jangan terlalu keras! Lolap hanya merasa bahwa
pembunuhan telah menyelimuti hampir seluruh dunia
persilatan. Suasana demikian tidak akan mendatangkan
ketenteraman bagi umat manusia. Akan semakin kudesak
ibumu agar cepat turun gunung dan menyumbangkan
segenap kemampuan yang dimilikinya demi umat manusia”
“Ibu adalah ibu, Hoa Yang adalah Hoa Yang. Anak Gi rasa
masih bisa membedakannya dengan jelas. Perhatian yang
Kongkong tunjukan terhadap saudara Hoa….”

511
“Itulah yang dinamakan jodoh” tukas Goan-cing Taysu
dengan cepat, “Lolap hanya merasa punya jodoh dengan
bocah itu. Aku ingin berkumpul dengan dirinya titik. Tentang
masalah mati hidup, kejayaan dan martabat baik maka
semuanya itu harus ditentukan sendiri oleh kalian masingmasing!”
Nada ucapan diri paderi tersebut selalu rendah, datar,
hambar serta tanpa emosi. Padahal bagi Coa Cong-gi saat ini,
keselamatan jiwa Hoa In-liong merupakan titik perhatian yang
nomor satu. Ia menganggap persoalan lain bisa dibicarakan
dilain waktu. Tapi perbuatan yang harus dilakukan sekarang
adalah menyelamatkan pemuda itu dari ancaman bahaya
maut.
Sebagaimana diketahui, Coa Cong-gi merupakan seorang
pemuda yang setia kawan. Ia merasa setia kawan adalah
merupakan suatu persoalan yang maha penting, apalagi
hubungannya dengan Hoa In-liong boleh dibilang sangat
akrab meski berkenalan belum lama. Tak kuasa lagi dia
menukas, “Kong-kong, soal lain tak mau kuurusi dulu! Yang
penting sekarang adalah masuk ke dalam dan lakukan
pemeriksaan!”
Bicara sampai disitu, kembali ia maju kedepan siap
menyusup masuk ke dalam ruangan.
Siapa tahu baru saja ia melangkah, tiba-tiba tangannya
sudah dicekal kembali oleh Goan-cing Taysu. “Tunggu
sebentar” seru Goan-cing setengah berbisik “Coba lihatlah
dulu, apa itu?”
“Apa?” tanya Coa Cong-gi seraya berpaling dengan wajah
tertegun.

512
Goan-cing Taysu menuding kemuka. “’Coba lihat, diatas
dahan tergantung sesosok bayangan. Tampaknya bayangan
manusia” Ia berbisik.
Cepat Coa Cong-gi berpaling dan menengok ke arah mana
yang ditunjuk kongkong-nya.
Seperti diketahui, tenaga dalam yang dimiliki Goan-cing
Taysu sudah mencapai puncak kesempurnaan. Tentu saja
dengan kemampuan seperti itu otomatis ketajaman matanya
sepuluh kali lipat lebih tajam dari manusia biasa.
Tubuh Hoa In-liong tergantung diantara ranting dan daun
yang lebat. Tapi oleh sebab sinar rembulan amat tajam, lagi
pula angin berhembus lewat menggoyangkan ranting dan
daun, serta-merta tubuh Hoa In-liong yang tergantung ikut
bergoyang pula kesana kemari.
Waktu itu, Gong-cing Taysu memang lagi bercakap-cakap.
Namun sembari berbicara matanya yang tajam bagaikan
sembilu itu justru mengawasi terus sekeliling bangunan rumah
tadi. Tak heran kalau bayangan pemuda tersebut akhirnya
ditemukan juga.
Ketajaman mata Coa Cong-gi tidak memadai kelihayan
Kongkong-nya, walaupun setengah harian dia melotot bulatbulat
kedepan, tak tiada sesuatu apapun yang bisa ia lihat,
meski demikian ia berkata juga, “Mari kita masuk dan
memeriksanya, siapa tahu kalau orang itu bukan lain adalah
saudara kita dari keluarga Hoa?”
Sementara ucapannya baru selesai, tiba-tiba Goan-cing
Taysu menyambar lengannya dan diajak melayang mundur
sejauh sepuluh kaki lebih kebelakang, kemudian
menyembunyikan diri dibelakang sebuah batu besar.

513
“Jangan bercakap cakap!” bisiknya dengan ilmu
menyampaikan suara, “Ada orang yang keluar dari bangunan
rumah itu”
Benar juga perkataan itu. Ujung baju tersampok angin
terdengar berkumandang memecahkan kesunyian, menyusul
kemudian seseorang melompat naik keatas tembok
pekarangan dan memeriksa sekeliling tempat itu.
Untung tenaga lweekang yang dimiliki Goan-cing Taysu
cukup sempurna dan keburu menyembunyikan diri lebih
dahulu. Terlambat selangkah saja niscaya jejak mereka akan
ketahuan.
Orang yang baru saja munculkan diri itu bukan lain adalah
Bwee Su-yok, tiancu Istana Neraka dari perkumpulan Kiu-im
kau.
Tampaknya Bwee Su-yok tidur tak tenang. Kebetulan suara
pembicaraan dari Coa Cong-gi sedikit keras sehingga
terdengar olehnya. Cepat-cepat dia melompat keluar dari
tempat persembunyiannya dan melakukan pemeriksaan
disekitar tempai itu.
Namun ia gagal untuk menyaksikan sesuatu. Setelah
diperiksanya sesaat, akhirnya pelan-pelan ia mengundurkan
diri kembali dari tempat tersebut.
Ketika lewat di bawah pohon, dia menengadah dan melirik
sekejap ke arah Hoa In-liong. Waktu itu paras muka anak
muda tersebut sudah berubah hebat, mukanya tampak layu.
Yang pasti ia berada dalam keadaan tak sadar.
Paras muka gadis itu sedikit berubah, lalu mendengus
dingin dan putar badan masuk ke dalam rumah.

514
Sementara itu, Goan-cing Taysu telab menggunakan
telinganya sebagai pengganti mata. Setiap gerak-gerik yang
membawa suara dapat dipahami olehnya dengan jelas sekali.
Ketika Bwee Su-yok sudah masuk kembali ke rumahnya,
dia baru berbisik dengan suara lirih, “Tampaknya bayangan
yang di gantung pada dahan pohon itu memang bukan lain
adalah bocah she Hoa itu”
“Sungguh!” Coa Cong-pi merasa sangat tegang, tak kuasa
lagi ia berseru tertahan.
Tiba tiba ia merasa bahwa keadaan gawat dan ini tak boleh
bersuara, sebelum perkataan itu selesai diucapkan tiba-tiba
saja dia terbungkam diri.
“Jangan gugup, tak usah tegang!” bujuk Goan-cing Taysu
dengan lembut. “Asal kita sudah tahu bahwa orangnya berada
disini, urusan bisa diselesaikan lebih gampang lagi”
“Lalu apa daya kita?” Seru Coa Cong-gi dengan ilmu
menyampaikan suaranya, “Aku lihat si penjaga gedung itu
cukup lihay dan berperasaan tajam. Kecuali merampas dengan
kekerasan, apa lagi yang bisa kita lakukan?”
Pemuda ini memang berangasan wataknya, tapi setelah
menghadapi urusan gawat, sikap maupun tindak-tanduknya
sama sekali tidak gegabah ataupun terburu nafsu.
“Tentu saja lolap mempunyai cara lain yang lebih bagus,
ayoh, Sementara waktu kita mundur dulu dari sini” kata Goancing
Taysu sambil manggut-manggut.
Tentu saja Coa Cong-gi amat mempercayai kemampuan
yang dimiliki kongkongnya, kendati begitu ia jadi gelisah
setelah disuruh mengundurkan diri dari sana.

515
“Kongkong, ini…. ini…. Kenapa kita musti mengundurkan
diri dari sini?” serunya amat cemas.
“Bila seorang berada dalam keadaan tidak sadar, keadaan
kondisi badannya sangat lemah. Apalagi jika sedang menderita
siksaan karena peredaran darah yang mengalir secara terbalik.
Aku lihat bocah ini memang luar biasa. Dia memiliki daya
ketahanan tubuh yang lain dari pada yang lain. Agaknya ia
berusaha meronta dengan sepenuh tenaga. Hawa murni
sekuat tenaga dihimpun jadi satu untuk menekan daya edar
darahnya yang mengalir terbalik agar bergerak lebih lambat.
Tapi justru dingan keadaan seperti ini, lebih besar penderitaan
yang akan dialaminya”
Tak terkirakan rasa gelisah Coa Cong-gi sehabis mendengar
perkataan itu. “Mengapa peredaran dalam tubuhnya bisa
berjalan terbalik? Kenapa ia berada dalam keadaan tak sadar?
Kenapa….”
“Tubuhnya kan digantung secara terbalik pada dahan
pohon. Tentu saja peredaran darahnya berjalan terbalik!”
“Kong-kong…. kau…. kenapa kau orang tua tidak berusaha
untuk menyelamatkan jiwanya?”
“Lolap justru sedang bersiap-siap untuk menyumbangkan
sedikit kemampuan yang kumiliki untuk menolong dirinya.
Janganlah ribut lebih dulu. Ayoh kita mundur agak jauh dari
sini”
Tidak menanti jawaban dari anak muda itu lagi, dengan
gerakan tubuh yang sangat enteng, paderi itu berkelebat
mundur beberapa kaki jauhnya dari tempat tersebut.

516
Pelbagai kecurigaan berkecamuk dalam benak Coa Cong-gi.
Meskipun demikian, tentu saja ia tak dapat bertanya dengan
suara teriakannya. Terpaksa dengan langkah cepat dia
menyusul dibelakangnya.
Begitulah, dalam waktu singkat kedua orang itu sudah
mundur keatas gundukan bukit kecil. Gong-cing Taysu diamdiam
mengukur jarak serta meneliti keadaan medan,
kemudian dengan mata terpejam, tangan dirangkap didepan
dada ia duduk bersila.
Coa Cong-gi hanya bisa berdiri termanggu disampingnya
dengan pelbagai kecurigaan berkecamuk di dalam benak. Dia
mengawasi gerak-gerik kongkongnya tanpa mengucapkan
sepatah-katapun.
Lama sudah Coa Cong-gi menunggu, namun tiada sesuatu
gerakan apa-apa yang dilakukan paderi tersebut. Akhirnya
habislah kesabarannya. Pemuda itu buka suara hendak
bertanya. Tapi sebelum sesuatu terutarakan keluar, tiba-tiba
dilihatnya jenggot Goan-cing Taysu yang putih panjang
bergerak tanpa terhembus angin. Sewaktu diamati lebih
seksama lagi, ternyata bibirnya sedang berkemak-kemik
mengucapkan sesuatu.
Coa Cong-gi benar-benar kaget, tercengang dan tak habis
mengerti. Tanpa sadar ia melirik sekejap ke arah
perkampungan itu, kemudian pikirnya dalam hati, “Mungkin ia
sedang bercakap-cakap dengan Hoa lote? Tapi selisih jarak
dari sini sampai ke
situ ada lima puluh kaki jauhnya, masa ilmu menyampaikan
suara masih bisa digunakan dengan sempurna….?”

517
Disatu pihak pemuda itu keheranan disamping tidak
percaya, di pihak lain Hoa In-liong dapat menangkap suara
bisikan tersebut dengan amat jelasnya.
Suara itu lembut dan halus seperti suara bisikan nyamuk,
tapi ramah dan penuh kehangatan itulah suara yang
dipancarkan oleh Goan-cing Taysu.
“Nak, tak usah gugup atau gelisah” Demikian ia berbisik
“lolap datang untuk membantu dirimu. Sekarang buyarkan
dulu himpunan hawa murnimu, tapi harus perlahan. Buyarkan
sedikit demi sedikti sampai akhirnya habis. Lalu ikutilah cara
menyalurkan hawa murni seperti apa yang akan lolap katakan
berikut ini. Asal kau laksanakan petunjukku dengan seksama
maka semua penderitaan yang kau alami akan berkurang
sebelum akhirnya lenyap tak berbekas”
Keadaan Hoa In-liong waktu itu, baik dipandang diri sudut
manapun jua, tentu orang akan menganggapnya sudah
berada dalam keadaan tak sadarkan diri. Padahal dalam
kenyataannya ia memang sudah setengah sadar setengah
tidak. Meskipun pembicaraan manusia masih dapat didengar
dengan jelas.
Tentu saja apa yang dikatakan Goan-cing Taysu barusan
dapat terdengar pula olehnya tanpa tertinggal satu hurufpun.
Itulah hasil dari keteguhan hati Hoa In-liong untuk
mempertahankan diri meski harus mengalami siksaan.
Perlu diterangkan dlsini, meskipun Hoa In-liong itu
orangnya romantis. Sekalipun dia tak mau kehilangan
kegagahannya didepan Bwee Su-yok bukan berarti ia sama
sekali tak tahu betapa menderitanya kalau orang digantung
secara terbalik dalam waktu tiga hari tiga malam.

518
Tapi berhubung wataknya yang keras hati tak takut
menghadapi kesusahan, lagipula dalam usahanya menyelidiki
latar belakang pembunuhan berdarah tersebut, hasil yang
didapatkan menunjukkan betapa rumitnya masalah itu. Maka
begitu membuktikan bahwa penyelidikan yang dimulai dari
pihak Kiu-im kaucu lebih gampang dan lebih terang ia semakin
segan meninggalkan tempat itu sebelum penyelidikannya
berhasil.
Sebab itulah dengan sikap acuh tak acuh, seakan-akan
sama sekali tak takut dibelenggu, ia pasrahkan diri dan
membiarkan tubuhnya digantung secara terbalik oleh Bwee
Su-yok.
Waktu itu ia sama sekali tidak merasa kuatir atau takut.
Dalam anggapannya dengan mengandalkan sim hoat tenaga
dalam dari Hoa mereka, asal segeiap hawa murni dihimpun
menjidi satu, kendatipun ada pendetitaan yang bagaimanapun
besarnya, ia pasti masih mampu untuk mempertahankan diri.
Siapa tahu tidak demikian kenyataannya, penderitaan
akibat darah yang mengalit secara terbalikk jauh lebih berat
sepuluh kali lipat daripada apa yang dibayangkan. Apalagi isi
perutnya yang terbalik terasa bagaikan dililit, akhirnya toh ia
setengah tidak sadar juga dibuatnya.
Namun, soal tidak sadar adalah masalah lain, andaikata ia
tidak menghimpun lebih dulu tenaga murninya, meskipun
dalam keadaan sakit dan tersiksa ia masih dapat
mengendalikan hawa murninya agar tidak sampai buyar dan
mengandalkan keteguhan hatinya ia berusaha
mempertahankan diri. Jangankan menangkap perkataan
Goan-cing Taysu dalam keadaan setengah sadar, mungkin
waktu itu dia sudah muntah darah tiada hentinya.

519
Teraga dalam yang dimiliki Goan-cing Taysu sangat
sempurna. Bisikannya memang lirih, tapi dalam pendengaran
Hoa In-liong ibaratnya gentingan genta di pagi hari cukup
menggetarkan seluruh perasaan hatinya dan menimbulkan
suatu kekuatan yang makin memperkokoh daya tahannya.
Mendengar bisikan tersehat, walau kesadarannya belum
pulih kenbali namun tanpa disadari, Hoa In-liong telah
menuruti perkataan dari paderi itu dan pelan-pelan
membuyarkan tenaga dalam yang dihimpunnya itu,
membiarkan tenaganya berputar secara bebas.
Makin buyar tenaga murni yang diihimpunnya, penderitaan
yang dideritanyapun berlipat ganda lebih dahsyat.
Saat itulah ucapan dari Goan-cing Taysu kembali
berkumandang disisi telinganya, “Perhatikan baik-baik nak!”
Kemudian sepatah demi sepatah kata paderi itu mulai berbisik,
“Badan kita bukan untuk kita. Perasaan kita bukan milik kita.
Tapi datang dari alam semesta. Kelapangan dan kebebasan
yang tiada bertepian. Ketenangan mendatangkan keheningan
semesta. Aliran yang terbalik menimbulkan hawa. Kumpulan
hawa nendatangkan kekuatan….”
Itulah rangkaian ilmu semedi aliran terbalik. Suatu inti
kekuatan ilmu tenaga dalam yang tiada taranya. Bukan saja
setiap patah kata mengandung arti yang dalam. Rangkaian
kalimat tersebut merupakan suatu ledakan kekuatan jang luar
biasa.
Kepandaian ini terhitung salah satu kepandaian ampuh
andalan dari Buseng (malaikat ilmu silat) Im Ceng.
Perlu diterangkan disini, dimasa lampau Im Ceng telah
mempelajari ilmu silat tingkat tinggi dari aliran Buddha
maupun aliran Tao. Kemudian mendapat pendidikan pula dan

520
Ko Hoa. Ketika mencapai usia tua ia berhasil pula mencapai ke
tingkatan yang disebut Sam hoat ci-teng (gumpalan tiga
bunga berkumpul dipuncak), Ngo-ki-tiau-goan (lima hawa
berpusat pada kekuatan), ini menyebabkan kemampuannya
mencapai ke tingkatan yang tak terhingga untuk takaran masa
itu.
Sayang ia tak punya anak keturunan sehingga kepandaian
yang berhasil dimilikinya tak dapat diwariskan semua. Maka
akhir hayatnya diapun menciptakan serangkaian ilmu semedi
aliran terbalik yang luar biasa untuk disebarkan kepada orangorang
dari generasi yang akan datang.
Atau tegasnya, rahasia ilmu tenaga dalam itu sudah
meliputi segenap inti sari kepandaian yang dimiliki Im-Ceng
sepanjang hidupnya. Barang siapa mempelajari kepandaian
tersebut, sama keadaannya dengan seorang jago silat yang
jalan darah penting Jin dan toknya sudah tertembus. Tenaga
dalamnya akan peroleh kemajuan yang amat pesat sekali
dalam waktu yang amat singkat.
Walau begitu, andaikata seseorang tidak memiliki bakat
yang bagus serta kecerdasan yang luar biasa, bukan
pekerjaan yang gampang untuk melatih diri meskipun rahasia
manteranya telah diketahui sebab ilmu aliran darah terbalik ini
berbeda jauh dengan kepandaian pada umumnya. Kalau
bukan demikian kenapa Goan-cing Taysu tidak mewariskan
kepandaian tersebut untuk Coa Cong-gi?”
Dan jelasnya sekarang apa sebabnya Goan-cing Taysu
hanya tersenyum belaka sewaktu menyaksikan keadaan Hoa
In-liong. Itulah karena ia melihat ada kesempatan yang baik
untuk mewariskan ilmu maha sakti tersebut kepada pemuda
itu.

521
Waktu itu Coa Cong-gi tidak melihat diri Hoa In-liong tapi
menyaksikan bibir Goan-cing-taysu berkomat-kamit tiada
hentinya, dia ingin bertanya tapi tak tahu apa yang sedang
dibicarakan kong-kongnya. Dia kuatir mengganggu
konsentrasi orang tua tersebut akan meninggalkan ketidakberesan
bagi Hoa In-liong.
Maka ia cuma bisa memandang dengan mata melotot dan
hati penuh kegelisahan, kalut benar perasaannya waktu itu.
Selang sesaat kemudian, Goan-cing Taysu baru
menghentikan komat-komitnya, Coa Gong-gi yang sudah tidak
sabaran semenjak tadi cepat menghampiri kongkongnya dan
menegur, “Kongkong! Apa yang kau bicarakan? Baik-baikkah
keadaan saudara Hoa?”
Goan cing-Taysu menengadah lalu tersenyum. “Ia baik-baik
saja!”
“Bicaralah yang jelas lagi” pinta Coa Cong-si dengah alis
mata berkenyit, “Sebenarnya bagaimanakah keadaan dari
saudara Hoa?”
“Bocah itu memang sebuah bakat bagus yang sulit dijumpai
daiam seratus tahun terakhir. Yaa ilmu silat keluarga kita
sekarang sudah mendapat pewaris yang cocok!”
Meskipun dia adalah seorang paderi yang hidup terkekang,
toh waktu itu tak sanggup mengendalikan luapan rasa
gembiranya. Serta-merta dalam pembicaraan pun seperti
menjawab tapi tidak menjawab. Ini menunjukkan bahwa ia
merasa betapa pentingnya peristiwa yang barusan dialaminya.
Bagi paderi ini menemukan pewaris ilmu silat yang cocok
adalah lebih berharga daripada soal apapun jua.

522
“Ah, bagaimana sih kongkong ini?” seru Coa Cong-gi tidak
puas, “Anak Gi kan sedang menanyakan bagaimana keadaan
dari saudara Hoa! Siapa yang menanyakan soal lain?”
Goan-cing Taysu agak tertegun, kemudian baru jawabnya,
“Oooh…. soal itu? Dia tidak apa-apa, lolap telah mewariskan
ilmu simhoat tenaga dalam Bu-khek-teng-heng-sim-hoat
kepadanya, biarlah di digantung beberapa hari lagi”
Agak lega juga perasaan Coa Cong-gi sehabis mendengar
perkataan itu. Tapi dengan perasaan tak paham kembali ia
bertanya, “Apa toh yang dimaksudkan Bu-khek-teng-hengsim-
hoat itu?”
“Yang dimaksud Bu-khek-teng-heng adalah suutu keadaan
tubuh yang bebas tak terikat, tapi dapat memusatkan semua
pikiran dan perasaan menjadi satu. Sayang bakatmu kurang
bagus, kalau tidak sim-hoat tenaga dalam yang tak ternilai
harganya dari leluhur kita ini pasti akan kuwariskan pula
kepadamu”
Perasaan Coa Cong-gi waktu itu hanya memikirkan
keselamatan Hoa In-liong. Soal diwariskan atau tidaknya simhoat
tenaga dalam leluhurnya boleh di bilang ia tak ambil
pusing. Dengan dahi berkerut terdengar ia bertanya lagi,
“Kalau…. kalau memang begitu, kenapa kongkong tidak tolong
saja saudara Hoa? Kenapa dia musti digantung beberapa hari
lagi?”
“Sim hoat tenaga dalam dari leluhur kita ini diciprakan
secara luar biasa. Sebelum berlatih kepandaian maka
peredaran darah seseorang harus dibiarkan mengalir secara
terbalik lebih dulu. Kemudian baru masuk kedalam tahap
kedua, pokoknya tegasnya saja untuk melatih sim-hoat ini dari
tingkat pertama orang harus digantung secara terbalik….”

523
“Apa susahnya itu ? Saudara Hoa kita bawa pulang lalu
digantung pula secara terbalik, bukankah sama saja
keadaannya?”
Tertawalah Goan-cing Taysu setelah mendengar perkataan
itu. “Haa…. haaa…. haaa…. Kalau segampang itu tentu
kaupun bisa melatihnya juga”
“Lalu…. lalu…. dimana letak kesulitannya?” Coa Cong-gi
agak tertegun.
“Sulitnya justru terlelak pada kewajaran dan
keluwesannya!”
“Ah, kalau orang digantung secara terbalik, otomatis darah
akan mengalir secara terbalik, lantas dimana letak kewajaran
dan keluwesannya?”
“Digantung secara terbalik sehingga mengakibatkan darah
mengalir secara terbalik bukan termasuk suatu kewajaran.
Karenanya untuk melatih sim-hoat aliran kita ini, seseorang
bukan saja harus cerdik dan berbakat. Pikiran dan
perasaannya juga harus kosong. Bocah itu berbakat sangat
bagus, digantung pula oleh orang secara terbalik. Dalam
keadaan demikian, apa yang dia pikirkan hanyalah bagaimana
caranya mengurangi rasa sakit yang dideritanya tanpa embelembel
pikiran yang lain. Meski dalam keadaan setengah sadar
ia dapat pula menerima pelajaran dari lolap serta
melakukannya tanpa paksaan. Nah, disinilah terletak
kewajaran yang kumaksudkan itu”
Setelah diberi penjelasan, Coa Cong-gi baru mengerti.
“Oooh! Makanya kau orang tua membiarkan dia digantung
beberapa hari lagi, rupanya koag-kong takut merusak
kejernihan pikirannya sehingga mengganggu kewajarannya
itu. Bukan demikian?”

524
Goan-cing taysu mengangguk sambil memuji tiada
hentinya. “Ehmm, anak Gi menang cerdik! Meski bocah ini
berpikir kosong dan pusatkan semua perasaan dan pikirannya
menjadi satu, asal tidak kita rubah posisinya sekarang, lama
kelamaan akan menimbulkan kebiasaan bagi kondisi badannya
dan itulah yarg penting bagi seseorang untuk mempelajari
kepandaian tersebut. Percayalah keadaan ini tak akan
merugikan dirinya! Mari kita pergi, mumpung ada kesempatan
bagus, lolap hendak mewariskan kepandaian silat lainnya
kepadamu!”
Sehabis berkata ia lantas bangkit berdiri dan berlalu lebih
dulu dari situ.
Semua kecurigaan yang masih menyelimuti benak Coa
Cong-gi seketika tersapu lenyap hatipun jadi lega. Apalagi
setelah didengarnya ada kepandaian silat yang lain hendak
diwariskan kepadanya, dengan perasaan yang lapang dan
gembira berangkatlah pemuda itu menuju ke kota Kim leng….
Tiga bari lewat dengan cepatnya.
Hari itu dikala senja telah menjelang tiba, Bwee Su-yok
masuk kedalam halaman dari ruang depan. Siau-kian dan
Siau-bi mengikuti di belakangnya.
Ketika lewat di bawah pohon, serta-merta ketiga orang itu
menghentikan langkahnya sambil menengadah dan
memandang ke arah Hoa In-liong yang di gantung.
Agaknya hal ini sulih menjadi kebiasaan bagi mereka.
Selama tiga hari belakangan ini, setiap kali mereka berempat
lewat dibawah pohon, tentu berhenti sebentar sambil
menengok keadaan dari Hoa In-liong.

525
Keadaan Hoa Hoa In-liong tidak mengalami banyak
perobahan. Ia masih tetap tergantung diatas dahan pohon
dengan kepala dibawali kaki diatas. Bila di bilang ada
perubahan maka perubahan tersebut berkisar pada perubahan
air mukanya belaka.
Bila dihari pertama mukanya tampak layu pucat pias dan
bentuknya seperti orang terserang penyakit parah, malam
harinya sudah tampak perubahan. Bahkan kemudian terjadi
perubahan yang makin membaik, sampai kini bukan saja paras
mukanya sudah menjadi merah lagi, kondisi badannya juga
makin stabil. Sekilas pandangan orang akan menyangka kalau
ia sedang tertidur nyenyak.
Tentu saja perubahan tersebut tak akan mengelabui
ketajaman mata Bwee Su-yok berempat.
Paras muka Bwee Su-yok saat ini amat dingin dan hambar.
Dia melirik sekejap ke arah Hoa In-liong kemudian mendengus
dingin. Tanpa mengucapkan sepatah katapun melanjutkan
langkahnya naik kepelataran rumah.
“Siocia….” tiba-tiba Siau-bi berbisik agak takut-takut.
“Ada urusan apa?” tanya Bwee Su-yok seraya berpaling.
“Ssuuuu…. Sudah tiga hari!”
Tiba-tiba Bwee Su-yok memutar badannya. “Kalau sudah
tiga bari lantas kenapa?” bentaknya.
Setajam sembilu sorot matanya, hawa gusar memancar
dibalik wajahnya yang cantik. ini membuat Siau-bi jadi
ketakutan sehingga buru-buru menundukkan kepalanya.

526
Siau-kian paling tua usinya diantara yang lain, diapun
paling pemberani diantara mereka, tiba-tiba selanya, “Siocia
kan berjanji akan mengantungnya selama tiga hari? Apakah
kita perlu melepaskannya dari ikatan?”
“Hmmm….! Jadi kau kasihan kepadanya?” dengus Bwee
Su-yok dengan nada dingin.
Siau kian agak tertegun, tapi cepat dia tundukkan
kepalanya. “Buuu…. bukannya kasihan!”
“Lalu buat apa kau singgung tentang persoalan itu?” bentak
gadis itu semakin marah.
“Huuh!…. sudah tahu pura bertanya!” batin Siau-kian.
Tentu saja apa yang di batin tak berani diutarakan secara
terus terang, sesudah termenung sejenak dia baru menjawab,
“Apa yang telah kita janjikan harus ditepati dengan sebaikbaiknya,
maka budak minta petunjuk dari nona untuk….”
“Tidak akan kulepas!” tiba-tiba Bwee Su-yok menukas.
Selesai berkata dia putar badan dan masuk ke dalam ruangan
dengan wajah marah.
Selama tiga hari belakangan ini, sikap marah-marahnya itu
sudah menjadi suatu kebiasaan dan beberapa orang
dayangnya sudah terbiasa menyaksikan tingkah polahnya.
Tak heran kalau Siau-kian sama sekali tidak kaget atau
terkejut melihat keadaan tersebut. Sambil menjulurkan
lidahnya, ia alihkan kembali sinar matanya ke arah Hoa Inliong.
Tiba-tiba wajahnya tampak tertegun, dengan suara
setengah menjerit teriaknya. “Nona….! Nona….!”

527
Secepat angin Bwee Su-yok melayang kembali ketempat
semula, gesit dan lincah seperti burung walet. “Kau pingin
mampus bentaknya dengan merah.
“Dia…. dia telah sadar kembali” kata Siau-kian sambil
menuding ke depan.
“Sadar atau tidak apa urusannya dengan dirimu?” bentak
Bwee Su-yok lagi, “Siapa suruh berteriak macam kesetanan?”
Walaupan ia berkata demikian, sinar matanya toh dialihkan
juga ke wajah Hoa In-liong.
Tampaklah paras muka anak muda itu segar bugar.
Senyuman manis tersungging di ujung bibirnya. Waktu itu
diapun sedang memandang ke arahnya dengan pandangan
mengejek.
Mula-mula ia tertegun, menyusul kemudian rasa malu dan
mendongkol melintas dalam benaknya. Tanpa sadar diapun
balas melotot sekejap ke arah Hoa In-liong dengan pandangan
gemas.
Hoa In-liong tersenyum lebar.
“Nona Bwe, bolehkah aku minta secawan air?” pintanya.
“Tidak!” jawab Bwee Su-yok ketus.
“Aku lapar sekali” kembali Hoa In-liong mencibirkan
bibirnya, “Apakah nona sudah menyiapkan arak dan sayur
bagiku?”
Tubuhnya yang jungkir balik membuit pancaindranya
tampak aneh. Apalagi waktu berbicara, mirip sekali dengan

528
makhluk yang aneh dia lucu. Serta-merta dua orang dayang
yang berdiri disisinya tertawa cekikikan menahan geli.
“Kau bilang suruh siapa yang menyiapkan arak dan nasi?”
kembali Bwee Su-yok membentak nyaring.
Hoa In-liong mengernyitkan alis matanya lalu tertawa lebar
lagi. “Sebetulnya aku minta bantuan nona, tapi lebih baik tak
usah kukatakan lagi. Harap lepaskan aku turun!” katanya.
“Tidak, kau tak akan kulepas!” teriak Bwee Su-yok makin
mendongkol “Kau mau apa?”
Hoa In-liong tertawa.
“Kalau tak salah hari ini kan sudah hari yang ketiga?”
“Hmm, kau akan kugantung tujuh hari lagi!” kata gadis itu
dengan nadanya yang dingin.
“Sebagai seorang manusia, janganlah mengingkar janji dan
menjilat perkataan sendiri. Apalagi nona sebagai seorang
tiancu dari perkumpulan Kiu-im-kauw….”
“Tidak akan kulepas! Tidak akan kulepas! Tidak akan
kulepas….!” jerit Bwee Su-yok setengah melengking.
Tapi belum habis teriakan tersebut, tiba-tiba….
“Kraaak….! kraaak….”
Diiringi suara yang amat nyaring Hoa In-liong telah
mematahkan semua tali yang membelenggu tubuhnya,
kemudian seenteng kapas dia melayang turun kepermukaan
persis dihadapan mukanya.

529
Seketika itu juga keempat orang dayang itu menjerit kaget,
demikian pula dengan Bwee Su-yok tanpa sadar dia mundur
selangkah dengan mulut melongo lebar.
Wajah Hoa In-liong cerah dan bersinar, senyum manis
tersungging diujung bibirnya, orang tak akan percaya kalau
dia sudah tiga hari digantung tanpa makan dan minum.
“Batas waktu selama tiga hari sudah lewat,” demikian ia
berkata, “Aku rasa digantung secara terbalik itu tak sedap
dirasakan lebih lama. Maka jika nona segan melepas aku,
terpaksa kuambil keputusan untuk memutus sendiri tali-tali
yang membelenggu badanku”
Keadaan Bwee Su-yok waktu itu yaa kaget, yaa malu, yaa
mendongkol, hawa amarah kontan saja menyelimuti seluruh
benaknya.
“Kau tak usah sok berlagak dihadapankul!” bentaknya.
Bagaikan harimau kelaparan ia menerkam ke muka,
sepasang telapak tangannya berputar kencang. Dengan
sepuluh jari tangannya yang runcing ia cengkeram dada Hoa
In-liong.
Desingan angin jari menderu-deru. Sungguh dahsyat
serangan tersebut. Dalam keadaan demikian terpaksa Hoa Inliong
miringkan badannya dan buru buru mengigos ke
samping. “Eeeeeh…. nanti dulu Nona!” teriaknya, “Aku
berbuat demikian toh demi menjaga nama baik nona? Kenapa
nona malahan….”
Belum habis perkataan itu tiba-tiba desingan angin tajam
kembali menyerang tiba dari arah belakang. Terpaksa ia telah

530
kembali perkataan berikutnya, lengan diputar dan sebuah
serangan balasan segera dilontarkan ke depan.
Tak salah lagi kalau serangan tersebut dilancarkan dalam
keadaan tergesa-gesa, kekuatan yang di pakai juga tak
sampai lima depa. Meski demikian keampuhan yang
tersembunyi dibalik serangan tersebut benar-benar luar biasa.
Meski hanya satu serangan namun mengandung balasan
macam perubahan yang tak terduga, bukan sembarangan
jago lihay yang sanggup membendung ancaman semacam itu.
Bwee Su-yok segera menyingkir ke samping dan
menghindarkan diri dari ancaman tersebut. Tubuhnya
berputar cepat ke samping kanan Hoa In-liong. Tiba-tiba
dengan jari tangannya yang kaku bagaikan tombak ia tusuk
jalan darah Ki bun hiat di iga kanan anak muda itu.
“Hmm….! Justru nonamu sengaja tak mau pegang janji.
Akan kugantung kau selama tujuh hari lagi, akan kulihat apa
yang bisa kaulakukan….?” katanya ketus.
Indah nian gerakan tubuhnya, ganas, keji dan berat pula
ancaman serangannya. Andaikata serangan tersebut
bersarang telak pada sasarannya, meski tubah Hoa In-liong
terlindung oleh kaos kotang pelindung badan, toh dia tetap
akan roboh juga.
Hoa In-liong tidak panik. Ia tarik badannya hingga cekung
ke dalam, kemudian dengan entengnya anak muda itu mundur
delapan depa ke belakang.
“Nona!” ujarnya dengan dahi berkerut, “Gurumu kan
bermaksud menahan aku secara baik-baik?”
“Tak usah banyak cerewet!” tukas Bwee Su-yok sambil
mengejar sasarannya bagaikan bayangan. “Sengaja mau

531
gantung kau selama tujuh hari, mau apa kau? kalau
dilepaspun harus tunggu tujuh hari kemudian”
“Oooh…. jadi kau hendak melepaskan aku pergi?” seru Hoa
In-liong dengan wajah tercengang.
“Ya!” jawaban dari Bwee Su-yok sungguh-sungguh, serius
dan tak nampak kalau cuma bergurau belaka.
Setajam sembilu sorot mata Hoa In-liong yang mengawasi
wajah Bwee Su-yok, tiba-tiba ia tertawa. “Haa…. haa…. haa….
Diantara anak cucu keluarga Hoa, hanya aku yang suka
berbohong. Haa…. haa…. haa…. Sungguh tak kusangka….”
“Apa kau bilang?” bentak Bwee Su-yok dengan sorot mata
yang luar biasa tajamnya.
Hoa In-liong masih tergelak-gelak. “Haa…. haa…. haa….
Sekalipun nona tidak bohong, aku yakin ucapanmu kau
utarakan karena emosi belaka. Bila kau lepaskan aku pergi
dari sini, lantas bagaimanakah pertanggungan jawabmu
dibadapan gurumu nanti?”
Benar juga perkataan ini! Bila anak muda itu dilepaskan
secara pribadi, lantas bagaimanakah pertanggung jawabnya
dihadapan Kiu-im kaucu nanti? Kalau bukan begitu, bukankah
berarti bahwa nona itu sedang berbohong?
Tampaknya karena malu Bwee Su-yok jadi marah merah
padam selembar wajahnya. Sinar mata yang menyambar
kesana kemari setajam pisau, menggidikkan keadaannya.
“Kalau memang begitu, lebih baik kau mampus saja!”
teriaknya kemudian dengan lantang.
Berbareng itu juga sepasang telapak tangannya diayun ke
depan deugan dahsyat.

532
Kalau dilihat dari gaya Bwee Su-yok melepaskan
serangannya, dapat ditarik kesimpulan kalau hati nona itu
sedang gundah dan diliputi hawa amarah. Andaikata serangan
tersebut bersarang telak, dengan kekuatan yang terkandung
dibalik pukulan itu, sedikit banyak akan binasa juga Hoa Inliong
bila terhantam.
Tak terkirakan rasa kaget dari dua orang dayang cilik itu
sampai-sanpai mereka berteriak keras, “Nona….!”
Bukan saja lengking suaranya, diantara kelengkingan
tersebut terbawa pula nada gemetar yang jelas kedengaran.
Agak tertegun Bwee Su-yok mendengar jeritan tersebut, ia
menunda serangannya sambil membentak, “Apa-apaan kalian?
Kenapa menjerit jerit macam orang edan?”
Sebelum dayang-dayang itu menjawab, Hoa In-liong telah
menimbrung dari samping, “Aku hendak berbicara nona!”
Oooo OOO oooo
“HUUUUH! Kau anggap nonamu sudi mendengarkan segala
ocehanmu yarg tak genah?” Jengek Bwe-su yok seraya
menatap lawannya dengan pandangan dingin.
“Mau mendengarkan atau tidak tentu saja urusan nona
sendir. Aku hanya merasa tak enak rasanya bila perkataan
yang menyumbat tenggorokanku tidak kuutarakan keluar.
Terus terang kuberitahukan kepadamu nona, sebetulnya aku
tak ingin pergi dari sini. Tapi setelah dapat kupahami jalan
pemikiran nona, maka aku merasa, andaikata aku tetap
berdiam diri disini malah justru akan menjerumuskan nona
pada keadaan yang tidak berbudi, oleh sebab itu….”

533
“Hmm….! Nonamu berbudi atau tidak, kenapa musti kau
risaukan?” tukas Bwee Su-yok sangat mendongkol.
Hoa In-liong tertawa ewa. “Bila persoalan ini sama sekali
tak ada hubungannya dengan diriku, tentu saja tak usah
kurisaukan tapi berhubung persoalan ini timbulnya justru
lantaran aku. Jika nona sampai melakukan perbuatanperbuatan
yang tak berbudi, bukankah semuanya itu adalah
berkat dari dosa dan kesalahanku?”
Kembali Bwee Su-yok mendengus dingin. “Hmm…. Usil
mulut pandai menjilat, rupanya engkau sedang berusaha
untuk membersihkan diri dari segala dosa dan kesalahan!
Begitupun bolehlah, ayoh cepat menyerah dan biarkan
tubuhmu di ikat, kau musti digantung selama tujuh hari lagi”
“Aaah….! Bicara pulang pergi, nona toh bersikeras akan
menggantung aku selama tujuh hari lagi!”
“Kalau tidak, maka engkau harus mampus!” sambung Bwee
Su-yok dengan suara yang menyeramkan.
Paras muka Hoa In-liong tiba-tiba saja berubah jadi amat
serius, dengan sungguh-sungguh dia berkata, “Nona Bwee,
engkau terlalu picik pikirannya, terlalu sempit jiwanya, watak
semacam ini patut segera dirubah!”
Kalau dihari-hari biasa Hoa In-liong selalu tertawa haha hihi
dengan sikap yang santai dan acuh tak acuh, sehingga orang
menganggap dirinya sebagai laki-laki hidung bangor, atau
kalau serius pun wajahnya tetap tenang tanpa pancaran hawa
gusar. Maka setelah air mukanya menjadi serius dan nada
pembicaraannya tiba-tiba berubah ber-sungguh-sungguh,
kontan saja Bwee Su-yok dibikin tertegun olehnya.

534
Hoa In-liong berhenti sebentar, kemudian sambangnya
lebih jauh, “Dengarkanlah perkataanku selanjutnya.
Pantangan paling besar bagi seorang manusia adalah tak tahu
diri dan kelewat sombong. Bagaimanapun juga aku kan sudah
kau gantung selama tiga hari tanpa melawan. Semestinya
nona sudah harus puas dengan hasil tersebut. Tapi sekarang,
lantaran kau lihat keadaanku tak kekurangan sesuatu apapun,
hatimu jadi panas. Maka dengan alasan yang dibuat-buat kau
ingin memancing aku masuk perangkap. Sekalipun aku
percaya dengan perkataanmu itu, bukankah soal kepercayaan
bagi nona akan mengalami kerugian? Sebaliknya bila pegang
janji, setelah kau gantung aku selama tujuh hari lantas
melepaskan aku pergi, tidakkah engkau merasa bahwa
perbuatanmu itu telah melanggar perintah dari gurumu?
Meskipun budi dan dendam yang kau lakukan bukan dilakukan
dengan tujuan tertentu, tapi akibat yang dihasilkan semuanya
merupakan suatu tindakan yang tidak berbudi. Nah, nona!
Terus terang kukatakan kepadamu, tak mungkin kaudapat
menggantung aku selama tujuh hari lagi tanpa perlawanan
dariku. Padahal nafsu membunuh sudah menyelimuti wajah
nona, bayangkan sendiri, dengan kemampuan yang nona
miliki, mampukah engkau untuk melaksanakan kesemuanya
itu?”
Setiap perkataan yarg diutarakan anak muda itu boleh
dibilang diucapkan dengan nada yang tegas dan alasan yang
tepat. Meskipun selama ini Bwee Su-yok bermaksud
membantah, ia tak tahu bagaimana harus membantahnya.
Tiba-tiba saja paras muka Hoa In-liong berubah semakin
cerah, sambil tertawa nyaring ujarnya kembali, “Nona Bwe,
terus terang kukatakan, raut wajah serta keanggunan nona
amat mengagumkan aku Hoa Yang. Sayang kedudukan kita
jauh berbeda, kita harus berdiri pada posisi yang saling
bermusuhan. lagipula nona sombong dingin dan tak
berperasaan. Kalau tidak demikian, mungkin kita bisa menjadi

535
sahabat yang karib. Oleh sebab itu, bila lantaran aku akan
mengakibatkan nona terjerumus dalam keadaan yang tidak
berbudi, sampai matipun aku Hoa Yang tidak akan
melakukannya. Maka setelah kupikir lebih jauh, aku rasa satusatunya
jalan yang bisa kita tempuh sekarang adalah mohon
diri darinu, kita putuskan dahulu gejala “ketidak berbudi”
tersebut, agar nona tak sampai rugi karenanya. Nona Bwee,
aku ingin mohon diri kepadamu, dihadapan gurumu nanti
tolong sampaikan permintaan maafku yang mana telah pergi
tanpa pamit, semoga nona bisa jaga diri baik-baik!”
Selesai berkata dia menjura, putar badan dan berjalan
menuju ke dinding pekarangin dihalaman belakang. Selang
sesaat kemudian ia sudah melewati dinding pekarangan dan
lenyap dari pandangan mata.
Ia bilang pergi lantas pergi. Perkataannya terus terang dan
blak-blakkan. Sikapnya gagah perkasa, sedikitpun tidak
menunjukkan tanda-tanda berat hati atau segan pergi.
Memandang bayangan punggungnya yang kekar dan lenyap
dari pandangan mata, Bwee Su-yok hanya bisa berdiri
termangu dengan mata terbelalak dan mulut melongo. Dia
lupa menjawab, lupa menegur. Untuk sesaat hanya berdiri
kaku bagaikan sebuah patung arca.
Sepintas lalu keadaan tersebut seakan-akan suatu kejadian
yang diluar dugaan, padahal memang demikianlah keadaan
pada umumnya.
Perlu diterangkan disini, bahwasanya Hoa In-liong adalah
seorang pemuda yang tampan. Hal ini sudah terbukti jelas,
manusia dengan tampang gagah seperti inilah merupakan
idaman dan incaran dari setiap gadis kaum remaja.
Meskipun Bwee Su-yok itu dingin dan kaku hatinya,
bagaimanapun dia adalah seorang gadis yang berwajah cantik.

536
Dan selama manusia punya perasaan, tentu perasaan mereka
tak jauh berbeda, begitu pula dengan keadaan dara tersebut.
Sebelum itu, dia selalu barusaha menyusahkan Hoa Inliong,
hal ini disebabkan karena pertama hasil pendidikannya
yang bertahun-tahun, kedua rasa dongkolnya terhadap Hoa
In-liong yang sama sekali tidak tergiur oleh kecantikan
wajahnya.
Kedua hal tersebut diatas segera menimbulkan perasaan
tak puas, perasaan mendongkolnya atas diri pemuda itu,
padahal terus terang dalam hati kecilnya diapun menaruh rasa
simpatik terhadap Hoa In-liong. Apalagi rasa simpatiknya lebih
mendekati sebagai benih-benih cinta. Bisa dibayangkan
bagaimanakah perasaannya ketika itu.
Sekarang, dengan begitu terus terang, dengan begitu blakblakan
Hoa In-liong telah mengutarakan perasaan cinta dan
kagumnya terhadap dirinya. Tapi lantaran dia tak ingin
menjerumuskan dirinya dalam keadaan tak berbudi, dia rela
pergi meski dengan perasaan berat. Betapa terus terangnya
pengakuan pemuda itu atas rasa cinta dan kagumnya? Betapa
dalamnya perasaan kuatir dan perhatiannya terhadap segala
hal yang ncenyang-kut dirinya? Tidak heran kalau Bwee Suyok
dibuat tertegun tanpa mengetahui apa yang harus
dilakukan.
Malam semakin kelam, rembulan sudah muncul dari arah
timur, secepat sambaran kilat Hoa In-liong bergerak menuju
ke kota Kim-leng.
Anak muda itu langsung berkunjung ke pesanggrahan
pertabiban dan menyambangi Kang-lam Ji-gi (Tabib Sosial dari
Kanglam) Yu Siang-tek suami istri.

537
Dari mulut kedua orang tua inilah dia baru tahu bahwa Yu
Siau-lam beserta Kim-leng ngo-kongcu nya telah menyebarkan
diri untuk mencari jejaknya semenjak ia tertangkap musuh.
Coa Cong-gi sendiri walaupun bertugas menjaga dikota Kimleng,
tapi sudah tiga hari Kang-lam Ji-gi tidak menjunpai
jejaknya.
Setelah mengetahui tentang gerakan yang dilakukan oleh
Kim-leng ngo-kongcu, selain Hoa In-liong merasa berterima
kasih atas perhatian serta simpatik Kim-leng ngo-kongcu yang
sudi mencari jejaknya dengan susah payah, diapun merasa
kuatir atas keselamatan dari Coa Cong-gi. Dia kuatir Coa
Cong-gi telah berjumpa dengan orang-orang dari Kiu-im kau
dan kena ditangkap juga oleh mereka.
Karena itu setelah buru-buru bersantap, dia mengambil
senjata, menanyakan tempat tinggal dari Coa Cong-gi,
kemudian baru berpamitan dengan Yu Siang-tek suami istri
dan lari menuju kejalan raya sebelah timur
Tempat tinggal Coa Cong-gi terletak di istana raja muda
Kim-leng, meskipun Ko Hoa sudah melepaskan diri dari
jabatan tersebut, namun tempat tinggal itu masih ditempati
oleh anak keturunannya baik kewibawaan maupun
keangkerannya tak jauh berbeda seperti dulu.
Sayang para pelayan yang ada dirumah tak ada yang tahu
kemana perginya Coa Cong-gi. Menurut seorang pengurus
rumah tangga she-Kok, sudah tiga hari majikan mudanya tidak
pulang ke
rumah. Sedang majikan perempuannya beserta nona telah
melakukan perjalanan jauh pada tiga hari berselang….
Tentu saja Hoa In-liong tidak tahu kalau kesemuanya itu
adalah hasil perbuatan dari Goan-cing Taysu. Sepeninggalnya

538
dari gedung Coa dijalan raya sebelah timur, perasaannya jadi
gundah, gelisah dan sangat tidak tenang.
Sekalipun demikian ia tidak merasa gelisah, karena setelah
meninggalkan gedung perkampungan yang misterius itu, ia
telah mengambil keputusan akan menyelidiki kembali gerakgerik
dari Kiu-im kau tengah malam nanti. Seandainya Coa
Cong-gi memang terbukti sudah diculik orang-orang Kiu-im
kau, waktu itu kabar tersebut tentu akan diperoleh juga dan
rasanya melakukan pertolongan pada waktu itupun belum
terlambat.
Karenanya setelah termenung dan berpikir sejenak, dia
memutuskan untuk berkunjung lebih dulu ke rumah pelacuran
Gi-sim-wan untnk menemui Cia In.
Pemuda ini memang dasarnya suka bermain perempuan.
Dimana saja ia berada, disanalah ia pasti berkenalan dengan
perempuan. Baru beberapa hari berkenalan dalam dunia
persilatan, sudah beberapa orang gadis yang selalu terkenang
dalam benaknya.
Diantara sekian banyak gadis, Cia In terhitung perempuan
yang istimewa bagi pandangannya. Sejak ia membocorkan
jejaknya dihadapan Ciu Hoa kemudian pada tiga hari
berselang dia menyaksikan kereta kudanya muncul dari
daerah loteng sambur menuju keramaian kota. Maka
meskipun hatinya kangen, diapun sedikit curiga. Tanpa sadar
langkah kakinya telah bergerak menuju ke arah kuil Hu cu-bio.
Setelah memasuki sebuah lorong, sampailah pemuda itu
disebelah barat rumah pelacuran Gi-sim-wan. Dengan
matanya yang jeli dia menengok kekiri kekanan. Setelah yakin
kalau disekitar tempat itu tak ada orang, ia baru melompati
pagar pekarangan dan masuk kedalam. Setelah melewati

539
beberapa bangunan akhirnya tibalah dia didepan loteng
tempat tinggal Cia In.
Ruangan loteng itu terang benderang, dari kejauhan ia
saksikan In-ji berdiri ditepi pagar sambil memandang sekelling
sana. Ketika ia pandang lebih seksama lagi, ternyata tidak
tampak bayangan tubuh dari Cia In. Diatas lotengpun tak
kelihatan ada orang yang berlalu lalang, meski sudah ditunggu
beberapa saat lagi, ternyata keada-annya masin tetap dan
tidak berubah.
Menyaksikan kesemuanya itu, Hoa In-liong mengerutkan
dahinya seraya berpikir, “Kemana perginya Cia In? Mengapa ia
tidak tampak? Kalau pergi memenuhi undangan orang kenapa
In-ji tidak ikut? In-ji jelas ada diatas loteng, tapi disitu tak
nampak ada tamu, masa…. masa….”
Belum habis kecurigaan tersebut terlintas dalam benaknya,
tiba tiba serentetan bisikan lirih berkumandang ke dalam
telinganya, “Anak Liong kah disitu? Cepat kemari!”
Mula-mula Hoa In-liong agak terkejut, tapi segera ia
kegirangan, dengan ilmu menyampaikan suara pula sahutnya,
“Ngo-siok, paman Ngo, engkau berada dimana?”
Ternyata orang yang membisiknya dengan ilmu
menyampaikan suara itu bukan lain adalah seorang murid Bun
Tay-kun yang diterimanya ketika ia telah lanjut usia.
Muridnya ini dianggap sebagai murid juga dianggap sebagai
putra sendiri, ia bernama Hoa Ngo dan nama aslinya “Siaungo-
ji”
Bocah itu tak berayah tak beribu, dulunya adalah seorang
berandal kecil pimpinan Ko Thay dari kota Lok-yang dan
pernah menyumbangkan tenaganya bagi keluarga Hoa.

540
Bun Tay-kun yang kasihan atas kehidupan bocah itu dan
lagi senang akan kecerdasannya, kemudian Ko Thay dan Ngoji
diterimanya menjadi murid serta diwarisi ilmu silat yang
tinggi.
Sejak Ko Thay ditetapkan menjadi satu-satunya pewaris
dari Ciu It-bong dan memperoleh pelajaran silat Hu im-cianghoat,
dia telah meninggalkan perkampungan Liok-soat-sanceng
dan mendirikan perguruan sendiri, sebaliknya Hoa Ngo
tetap berdiam di perkampungan Liok-soat-san-ceng dan
menjadi salah satu kekuatan dari keluarga Hoa. (untuk
mengetahui peristiwa diatas, silahkan membaca: Baramaharani).
Sejak kecil Hoa Ngo sudah pintar, diapun termasuk seorang
laki-laki yang binal dan sukar diikat dengan segala peraturan,
sejak berhasil memiliki ilmu silat yang tinggi, ia seringkali
berkelana diluaran, tapi bila berada di rumah Hoa In-liong lah
yang paling disayang, kebinalan dan kelicikan Hoa In-liong
justru sebagian besar adalah berkat ajaran dan pengaruh dari
paman Ngo-nya ini.
Tidaklah heran kalau ia jadi sangat gembira setelah
mengetahui babvva orang yang mengirim suara kepadanya itu
bukan lain adalah paman Ngo siok nya.
“Hati-hati….!” Suara dari Hoa-Ngo kembali berkumandang
dengan nada serius, “Aku ada disini. Disebelah sini ada sebuah
ruangan mungil, kurang lebih satu panahan sebelah tenggara
bangunan loteng, kau harus menyusup kemari dengan pelanpelan,
jangan sampai bersuara!”
“Harus menyusup kesitu?” pikir Hoa In-liong kemudian
dengan perasaan tegang, “Benarkah dalam rumah pelacuran
Gim-sim-wan terdapat hal hal yang aneh dan mencurigakan?”

541
Tapi dalam keadaan demikian, tidak sempat lagi baginya
untuk berpikir lebih jauh, buru buru ia menyusup ke arah
tenggara seperti apa yang di perintahkan Paman Ngo nya.
Benar juga, disebelah tenggara terdapat sebuah bangunan
mungil. Letaknya berada dihalaman yang berbeda, hingga
sepintas lalu orang akan mengira bangunan tersebut tidak
berhubungan sama sekali dengan rumah pelacuran Gi-simwan.
Meski ada pintu yang menghubungkan halaman yang
satu dengan halaman lainnya.
Ia menyusup masuk kedalam halaman tersebut lewar pintu
yang setengah tertutup. Begitu keluar dari balik pintu,
terlihatlah sebuah kereta kuda yang berwarna emas dan
mungil berhenti didepan pintu bangunan mungil itu, sebagai
kusir keretanya adalah Hek lo-tia.
Sementara hatinya merasa terkesiap, tiba-tiba terdengar
suara dari Cia In berkumandang nyaring, “Hek lo-tia, sudah
kau siapkan keretanya?”
“Lapor nona, kuda dan kereta telah siap menanti nona naik
kedalam kereta”
Diantara cahaya lentera yang bergoyang terhembus angin,
seorang dayang muncul dipaling depan membawa alat
penerangan. Cia In dengan mendampingi seorang perempuan
cantik berbaju ungu menyusul dari belakangnya, mereka
semua muncul dari ruangan tersebut.
Perempuan cantik berbaju ungu itu memakai gaun
sepanjang lantai. Rambutnya disanggul tinggi dan berparas
cantik jelita. sepintas lalu mirip seorang perempuan berusia
tiga puluh tahunan, mirip juga berusia dua puluh lima enam

542
tahunan, berapa umurnya yang pasti sukar rasanya untuk
ditentukan.
Hoa In-liong menyaksikan kesemuanya itu dengan wajah
termangu mangu. Sebelum ia tahu apa yang musti dilakukan,
dayang itu sudah membuka pintu kereta dan mempersilahkan
Cia In berdua masuk ke dalam kereta.
“Anak Liong, cepat….” tiba-tiba bisikan dari Hoa-Ngo
kembali berkumandang datang.
Belum habis ia berkata, Hek lo-tia sudah ayun cambuknya
dan kereta itu pun mulai bergerak meninggalkan tempat
tersebut.
Meskipun tidak lengkap yang didengar Hoa In-liong, tapi ia
mengerti bahwa paman Ngo-siok nya memerintahkan dia
untuk “membonceng kereta dan mengikuti kemana perginya
orang-orang itu.”
Dalam keadaan demikian, ia tak sempat untuk berpikir
panjang lagi. Dengan gerakan hampir menempel diatas
permukaan tanah, dia menyusul ke belakang kereta lalu
menerobos ke bawah lantai kereta yang sedang berjalan itu.
Seenteng burung walet gerakan tubuhnya, selincah kucing
terkamannya. Gerakannya ini bukan saja tidak menggerakkan
daun atau rumput, tidak mengejutkan dayang yang ada
didepan bangunan, bahkan orang yang berada dalam
keretapun tidak akan merasa bahwa ada seseorang telah
membonceng kereta mereka.
Dengan berpegangan pada dasar ruang kereta, Hoa Inliong
bergelantungan terus sepanjang jalan. Ia cuma
mendengar berputarnya roda kereta tanpa diketahui kemana

543
kereta itu akan pergi dan dimanakah paman Ngo-siok nya
menyembunyikan diri.
Meski demikian, ia tahu bahwa kereta itu sudah melalui
sebuah jalanan berbatu datar yang sangat panjang, lalu
bergerak dijalanan berlumpur, kurang lebih setengah jam
kemudian kereta mulai mendaki ditanah perbukitan, dan
sepertanak nasi kemudian baru berhenti disuatu tempat.
Dengan tenangnya Hoa In-liong menunggu di bawah lantai
kereta, setelah yakin kalau orang-orang diatas kereta sudah
meninggalkan kereta tersebut, pelan-pelan ia baru menerobos
keluar dari tempat persembunyiannya.
Waktu itu sudah mendekati tengah malam, bintang
bertaburan di angkasa. Dibawah sinar rembulan yang redup
terlihatlah sebuah to koan (kuil kaum beragama To) berdiri
anggun didepan sana sementara Hek lo-tia dengan kesiapsiagaan
penuh duduk diatas keretanya sambil memandang ke
sana kemari. Rupanya ia bertugas mengawasi kea-manan
sekitar wilayah tersebut.
Dengan gerakan yang sangat hati-hati, Hoa In-liong
menyusup masuk ke dalam semak belukar. Kemudian setelah
berputar ke arah lain, ia baru membersihkan debu yang
mengotori bajunya. “Wah, tak sempat lagi bila aku hendak
selidiki gerak-gerik dari orang orang Kiu-im kau” pikirnya
dalam hati.
Sementara otaknya berputar, tubuhnya dengan enteng
melayang kedepan menghampiri To koan tersebut, cahaya
lampau menyinari ruang tersebut terang benderang, dengan
menghindari cahaya lampu pemuda itu meryusup dikegelapan
dan mendekati bangunan itu.

544
Saat itulah tiba-tiba ia dengar suara helaan napas
seseorang yang amat nyaring, “Aaai….! Che giok, tidak
seharusnya engkau datang kemari….”
Begitu mendengar disebutnya nama “Che-giok” mendadak
sontak Hoa In-liong merasakan hatinya bergetar keras.
“Oooh…. Sekarang aku baru tahu” pikirnya, “Jadi perempuan
cantik tadi adalah Pui Che-giok!”
Dengan perasaan kaget bercampur curiga, pemuda itu
mendekati dinding jendela dan menyembunyikan diri baikbaik.
Ia membuat sebuah lubang kecil pada kertas penutup
jendela itu, lalu menempelkan mata kanannya dilubang itu dan
mengintip ke dalam ruangan.
Ruangan tersebut adalah sebuah ruangan yang sederhana
dan jelek. Seorang Tookoh (rahib perempuan) berwajah cantik
dan berkulit putih bersih duduk bersila diatas pembaringan.
Seorang Tookoh berusia lanjut yang berwajah bersih
mendampingi disisinya.
Waktu itu Cia In berlutut diatas tanah, sedangkan
perempuan cantik berbaju ungu itu berdiri di hadapan Tookoh
berwajah cantik tersebut dengan sikap menghormat.
“Heng tooyu!” terdengar Tookoh tua ilu berkata setelah
mendehem periahan “Bagaimanapun jua nona Pui sudah
sampai disini, marilah persilahkan dia duduk dan berbicara
dengan sebaik-baiknya!”
“Bicara pulang pergi, yang dibicarakan toh tetap masalah
keduniawian belaka” sahut Too-koh cantik yang disebut Heng
tooyu itu dengan suara hambar, “Tiang-heng telah
mengasingkan diri dari keramaian duaia, hidup mengasingkan
diri sebagai pendeta, perasaan hatiku saat ini sangat tawar

545
dan tenang, persoalan apalagi yang hendak dibicarakan
dengan diriku?”
“Nona….” seru Pui Che-giok agak emosi.
“Pin-ni Tiang heng, sudah lama bukan nonamu lagi!” tukas
Heng tooyu cepat.
“Yaa, tootiang!” sahut Pui Che-giok sedih.
To-koh yang bernama “Tiang-heng” itu memberi kode
tangan mempersilahkan tamunya untuk duduk, lalu katanya,
“Silahkan duduk, asal tidak menyinggung soal lampau, kita
boleh saja bercakap-cakap sebentar!”
“Yaa, tootiang!” kembali Pui Che-giok mengangguk, air
mata bercucuran membasahi wajahnya, hampir saja ia
menangis tersedu.
“Jangan terlalu memikirkan satu masalah yang sama
melulu” kata Tiang-heng Tookoh hambar “Kejadian masa
lampau sudah lewat bagaikan asap yang buyar di angkasa,
buat apa kau menangis dan bersedih hati? Silahkan duduk,
lebih baik katakan apa yang hendak kau ucapkan pada saat
ini?”
Kepada Cia In, diapun berkata lebih jauh, “Anak In,
silahkan bangun! Pinni tak berani menerima sembahmu yang
berkepanjangan!”
Sambil masih sesenggukan Pui Che-giok duduk sedang Cia
In menyembah lagi beberapa kali di depan Tookoh cantik itu
sebelum berdiri dibelakang Pui Che-giok dengan wajah sedih
dan murung.
Untuk sesaat suasana jadi hening dan sepi….

546
Entah berapa saat kemudian, Pui Che-giok baru menyeka
air matanya dengan ujung baju, kemudian ia berkata ,
“Totiang, soal perkumpulan Cha-li-kau yang Che-giok dirikan,
tidak lama kemudian akan diresmikan dan diumumkan secara
meluas keseluruh dunia persilatan. Untuk keperluan itu
sengaja Che-giok datang kemari mohon petunjuk dari totiang”
Mendengar perkataan tersebut, Hoa In-liong merasa amat
terperanjat, ia semakin pusatkan perhatiannya untuk
mendengarkan semua pembicaan tersebut dengan lebih
seksama.
“Kalau hanya soal meresmikan perkumpulan saja, kenapa
kau musti minta petunjuk pinto?” kata Tiang hengto koh
dengan dahi berkerut.
“Sejak kecil Che-giok sudah dipelihara oleh totiang,
kemudian mendapat pula warisan Cha-li sim keng dari totiang.
Segala sesuatu yang Che-giok miliki sekarang adalah
pemberian dari Totiang. Tak ternilai tebalnya budi yang Chegiok
terima, sebelum ada persetujuan dari totiang, darimana
Cbe giok berani sembarangan ambil keputusan?”
Tiang-heng to koh menghela napas panjang. “Aaaai…. bila
pinto belum jadi pendeta, sudah pasti pinto tak akan terlalu
setuju dengan tindakanmu mendirikan perkumpulan. Tapi
sekarang pikiran dan perhatian pinto hanya tertuju pada
pelajaran agama To, dengan sendirinya soal-soal ke duniawian
pun tak akan terlalu banyak yang kuurusi”
“Harap Hoo…. tootiang berlega hati” tiba-tiba Pui Che giok
berseru dengan cemas, “Che-giok tidak akan melakukan
segala tindakan yang menyusahkan keluarga Hoa”

547
“Kau….” Tiang heng Tookoh tiba-tiba berseru dengan
wajah amat serius.
“Che-giok patut mampus!” seru Pui Che-giok lagi dengan
takut, “Karena terlampau emosi sehingga Che-giok melupakan
peringatan dari diri totiang”
Tiang heng to koh menghela napas panjang. “Aaaaai….
Perkataan dari pinto memang sedikit kelewat batas. Padahal
kejadian sudah lewat, sekalipun disinggung kembali, rasanya
juga tak akan sampai menimbulkan pergolakan didalam hati”
Setelah berhenti sebentar, tiba-tiba sambungnya lebih jauh,
“Secara tiba-tiba kau terburu nafsu untuk mendirikan
perkumpulanmu, apakah hal ini ada hubungannya dengan
keluarga Hoa?”
“Benar! Oh, bukan…. bukan….” Pui Che giok gelagapan
sekali menghadapi pertanyaan tersebut.
Melihat jawaban yang saling bertentangan itu, sekali lagi
Tiang heng To koh mengerutkan dahinya. “Jika engkau
hendak mengucapkan sesuatu, katakanlah secara terus
terang, apa yang perlu kau takuti lagi?”
Pui Che-giok berusaha keras untuk menenangkan hatinya,
kemudian ia baru berkata, “Totiang, kau tidak tahu, Suma
tayhiap suami istri telah dibunuh orang secara keji”
Mendengar kabar tersebut, sekujur badan Tiang heng
Tookoh bergetar keras. Rupanya ia merasa amat terkejut oleh
kejadian tersebnt, tapi selang sesaat kemudian ia berhasil
menguasai perasaan hatinya itu. “Kau maksudkan Suma
Tiang-cing suami isteri yang disebut orang sebagai Kiu-miakiam-
kek itu?”

548
“Yaa, Suma Tiang-cing tayhiap suami istri itulah yang
kumaksudkan” sahut Pui Che-giok seraya mengangguk,
“Mereka berdua mati dirumahnya di kota Lok-yang. Menurut
hasil menyelidikan luka mematikan yang ditemukan ditubuh
korban letaknya diatas tenggorokan, tampaknya mati tergigit
oleh binatang buas. Selain itu pembunuh tersebut juga
meninggalkan tanda yang biasanya digunakan totiang dimasa
lalu”
Sebelum ucapan itu selesai diutarakan, paras muka Tiangheng
Tookoh sudah berubah bebat, si nar matanya setajam
sembilu. “Kau maksudkan hiolo kecil terbuat dari batu kemala
hijau?” teriaknya tertahan.
Ketika Tiang-heng Tookoh mengucapkan kata-kata
tersebut, maka Hoa In-liong yang curi dengar pembicaraan
itupun hampir saja menjerit tertahan.
“Gio-teng hujin? Yaa, dialah perempuan yang bernama
Giok-teng hujin itu….”
Padahal sewaktu Pui Che-giok menyebut Tiang heng
Tookoh sebagai “nona” tadi, pemuda ini sudah curiga kesitu.
Tapi oleh karena menurut pengertiannya Giok Teng Hujin
sudah wafat, apalagi surat wasiatnya masih berada disakunya,
maka ia tak berani mempercayai seratus persen.
Dan sekarang setelah kenyataan membuktikan bahwa apa
yang diduganya itu tidak keliru. Tak terkendalikan golakan
perasaan hatinya, telapak tangan kanannya segera diangkat
keatas, hampir saja ia menerobos masuk kedalam ruangan
lewat jendela.
“Liong-ji. Jangan terburu nafsu!” untunglah pada saat itu
suara peringatan dari Hoa Ngo kembali berkumandang,
“Dengarlah lebih lanjut apa yang mereka bicarakan!”

549
Tercekat hati Hoa In-liong. Cepat ia berpaling ke arah mana
berasalnya suara peringatan itu. Betul juga, dibawah jendela
yang lain tampak sesosok bayangan manusia sedang
manggut-manggut ke arahnya.
Karena itu, ia segera mengendalikan golakan perasaan
dalam hatinya, dengan ilmu menyampaikan suara bisiknya
pula, “Ngo siok, benarkah Tookoh itu adalah Giok-teng hujin
yang kita cari?”
“Jangan banyak bertanya, dengarkan lebih lanjut apa yang
mereka bicarakan!”
Sementara itu, suara dari Tiang-heng Tookoh telah
berkumandang kembali dari ruangan, “Hubungan Suma
Tayhiap dengan keluarga Hoa dibukit Im-tiong-san bukan
hubungan persahabatan yang umum. Dengan terbunuhnya
mereka berdua secara bersama, entah tindakan apa yang
telah dilakukan oleh pihak perkampungan Liok-soat sanceng?”
Bila didengar dari pembicaraan tersebut, Hoa In-liong tahu
bahwa diantara pembicaraan mereka ada sepotong
pembicaraan yang tak sempat terdengar olehnya, tentu saja ia
makin tak berani memecahkan perhatiannya.
Cepat kepalanya ditempelkan kembali diatas jendela, dari
situ dia mengintip kembali kedalam kamar.
Tampaklah Pui Che-giok dengan wajah yang iba sedang
berkata, “Oleh karena hiolo kecil kumala hijau itu, pihak Lioksoat-
san-ceng telah mencurigai bahwa otak dari pembunuhan
ini adalah totiang, Dewasa ini putra Pek Kun-gi yang bernama
Hoa Yang telah ditugaskan turun kedunia persilatan untuk
menyelidiki peristiwa pembunuhan berdarah itu!”

550
“Ehmmm…. Ternyata memang begitulah tindakannya!
Kenapa Hoa Thian-hong tidak turun tangan sendiri?” ucap
Tiang-heng Tookoh agak dipengaruhi emosi.
Waktu itu, Tiang-heng totiang tidak berusaha untuk
menyangkal pembunuhan itu adalah hasi| perbuatannya, tapi
malah bertanya dengan emosi mengapa Hoa Thian-hong tidak
turun tangan sendiri. Mendengar kesemuanya itu, Hoa In-liong
merasa makin bingung dan tidak habis mengerti.
“Sekarang Hoa tayhiap sudah merasakan nikmat dan
bahagianya kehidupan manusia didunia. Siapa tahu kalau ia
sudah melupakan sama sekali atas semua kejadian dimasa
lampau?” sambung Pui Che-giok dengan gemas bercampur
marah.
Dibalik kegemasan dan kejengkelannya dalam pembicaraan
tersebut, terselip pula nada sedih dan murung yang
menggenaskan. Sebagai pemuda yang berjiwa romantis Hoa
In-liong dapat merasakan pula suatu kelainan yang istimewa
dibalik kata-katanya itu.
Tak aneh kalau matanya terbelalak semakin lebar, ia makin
memperhatikan semua pembicaraan tersebut.
Sementara itu sepasang mata Tiang-heng Tookoh pun
memancarkan sinar yang terang, tapi hanya sebentar, katanya
kemudian, “Aaaai….! Benih cinta dalam hati pinto sukar
rasanya untuk dipadamkan. Setiap saat tanpa kusadari suutu
harapan untuk bertemu kembali dengan dirinya selalu timbul
didalam hati. Padahal usiaku makin lama makin lanjut,
kenangan lama tak mungkin bisa terwujud kembali, daripada
berjumpa kembali bukankah lebih baik tak usah bertemu lagi
untuk selamanya….”

551
“Bagaimanapun juga Che-giok tetap penasaran karena
persoalan ini” tukas Pui Che-giok dengan cepat, “Bayangkan
saja betapa besar dan tebalnya perasaan cinta totiang
terhadapnya. Bila tiada bimbingan dan bantuan dari totiang
dimasa lampau, mungkinkah Hoa tayhiap bisa memiliki
keberhasilan seperti sekarang ini? Jangan kita bicarakan kalau
Suma tayhiap itu adalah angkatan tuanya, cukup berbicara
dari tanda kepercayaan totiang, bertemu dengan bendanya
sama seperti bertemu dengan orangnya sendiri, seharusnya
Hoa tayhiap turun tangan sendiri untuk bertemu dengan
lotiang serta menanyakan duduknya persoalan ini sampai
menjadi jelas”
“Kau keliru besar Che-giok!” kata Tiang-heng Tookoh
seraya gelengkan kepalanya berulang kali, “Dia adalah
seorang anak yang berbakti. Seandainya Lo-tay kun tidak
menurunkan perintah, sekali pun hasratnya untuk
membalaskan dendam bagi kematian paman angkatnya amat
besar, tak nanti ia berani turun gunung dengan begitu saja”
“Meski demikian, Lo tay kun bukannya tidak tahu kalau
budi dan cinta yang pernah totiang limpahkan kepada
keluarga Hoa setinggi langit” bantah Pui Che-giok lagi,
“Terutama dalam peristiwa ini menyangkut kematian yang
menimpa Suma tayhiap suami isteri. Menurut pendapat Chegiok,
sepantasnya kalau Hoa-tayhiap turun gunung sendiri
untuk menyelidiki persoalan ini, terutama setelah bertemu
dengan benda milik totiang!”
Kembali Tiang heng Tookoh menghela napas panjang.
“Aaai….! selama hidupnya Lo tay kun selalu disiplin pun
bertindak cekatan. Andaikata persoalan ini tidak menyangkut
diri Suma tayhiap dan lagi tidak melihat pula hiolo kecil kumala
hijau tersebut mungkin ia akan memerintahkan Hoa tayhiap
untuk turun gunung mencari pinto. Tapi sekarang, persoalan
ini menyangkut peristiwa pembunuhan berdarah. Budi dendam

552
pinto dengan keluarga Hoa pun sukar dibedakan. Tindakan dia
orang tua mengutus cucunya untuk menyelidiki persoalan ini
adalah suatu tindakan yang sangat bijaksana. Kalau tidak
begitu, bayangkan saja bagaimana mungkin Hoa tayhiap bisa
mengatasi persoalan yang serba pelik ini?”
Jilid 15
MENDENGAR sampai disitu, Hoa In-liong merasakan
hatinya bergolak keras, diam-diam pikirnya, “Tookoh ini boleh
dibilang merupakan sahabat paling akrab dari keluarga Hoa
kami. Jika ayah mempunyai sobat semacam ini, kenapa nenek
hanya diam diri belaka tanpa mengurusinya? Kenapa nenek
tidak berusaha untuk menjemputnya pulang kerumah?”
Sebagaimana diketahui pemuda ini adalah seorang pemuda
yang romantis, ia tahu “sahabat karib” macam begini paling
sukar ditemukan, hingga tanpa disadari timbullah rasa
simpatiknya terhadap Tiang-heng Tookoh. Ia merasa tidak
sepantasnya kalau nenek tidak mengurusi persoalan itu
sebijaksana mungkin.
Dalam pada itu Tiang-heng Tookoh telah berkata lagi
setelah menghela napas panjang, “Tentang persoalan ini lebih
baik tak usah kita bicarakan lagi. Tadi bukankah kau bilang
kalau putranya Pek Kun-gi telah ditugaskan terjun ke dalam
dunia persilatan untuk menyelidiki peristiwa pembunuhan itu?
Tahukah kau sekarang dia berada dimana?”
“Beberapa hari berselang, dia bersama putranya Kanglam
Ji-gi telah berkunjung ke Gi-sim-wan untuk menyelidiki asal
usulnya. Anak itu kabarnya sekarang dia sudah ditangkap oleh
kaucu!”

553
“Kau maksudkan Kiu-im kaucu?” seru Tiang-heng Tookoh
dengan terkejut, “Jadi Kiu-im kaucu juga sudah datang ke
kota Kim-leng?”
Pui Che-giok mengangguk. “Ya, dia sudah ditangkap Kiu-im
kaucu. Ketika Che-giok mendengar kalau ia sudah tertangkap
segera kugerakkan semua anak murid kita untuk menyelidiki
persoalan ini sampai jelas. Tapi hingga kini kami masih belum
berhasil menemukan tempat tinggal Kiu-im kaucu”
Tiang-heng Tookoh termenung dan berpikir beberapa saat
lamanya, tiba-tiba ia berkata, “Pintar juga bocah itu, ia bisa
mencari Kiu-im kaucu berarti sudah ia temukan sasaran yang
se-benarnya. PinTo-cukup memahami bagaimanakah watak
dari Kiu-im kaucu itu. Dia licik banyak akal dan kejam, tanpa
tujuan tertentu tak mungkin ia muncul kembali didalam dunia
persilatan…. Aaaai…. bila bocah ini sampai terjatuh ke
tangannya, bukan saja dia tak akan berhasil mendapatkan
sesuatu, mungkin nasibnya lebih banyak buruknya daripada
beruntung”
Dugaan tersebut sama sekali bertolak belakang dengan
kenyataan. Tapi lantaran ucapan tersebut diutarakan Tiang
heng Tookoh dengan nada kuatir den penuh perhatian, bukan
saja Hoa In-liong tidak merasa geli, sebaliknya malah semakin
menambah kesan baiknya terhadap perempuan itu.
Sementara itu Pui Che-giok sudah berkata lagi, “Menurut
hasil penyelidikan yang berhasil Che-giok lakukan, peristiwa
terbunuhnya Suma tayhiap mencakup suatu hubungan
persoalan yang luas sekali. Pembunuhan itu bukan dilakukan
oleh pihak Kiu-im kau belaka. Tapi berhubung tanda yang
ditinggalkan pembunuh itu adalah lambang dari totiang, maka
orang-orang Liok-soat-san-ceng beranggapan bahwa
totianglah merupakan orang yang paling dicurigai. Menurut
pendapat Che-giok, sudah waktunya bagi totiang untuk

554
membersihkan diri dari segala tuduhan tersebut, daripada
harus menanggung kesalahan orang lain, totiang harus
membersihkan nama totiang dari segala taksiran yang salah!”
“Tak usah dinyatakan lagi, aku percaya engkau semua tak
ada hubungannya dengan peristiwa itu” pikir Hoa In-liong
dalam hati.
Waktu itu Tiang-heng Tookoh sudah meaghela nafas lirih.
“Aaaai…. Siapa yang bersih dia akan bersih dengan sendirinya.
Siapa kotor dia akan menjadi kotor dengan sendirinya.
Sekarang pinto sudah menjadi seorang paderi, apalah arti
nama dan kebersihan bagi diriku? Apalagi pinto sudah
mengirimkan surat wasiatku ke perkampungan Liok-soat- sanceng.
Giok-teng-hujin yang dulu sudah meninggal dunia
banyak tahun berselang, itu berarti hiolo kecil kemala hijau
tersebut sudah tiada hubungannya lagi dengan pinto.
Biarkanlah mereka pecahkan sendiri persoalan tersebut?”
Perasaan Hoa In-liong sangat sensitif. Ketika mendengar
sampai disitu, ia merasa darah paras yang bergolak dalam
dadanya tiba-tiba menggelora hampir saja ia menerjang
masuk ke dalam kamar untuk membongkar jejaknya serta
menghibur Tookoh tersebut.
Untunglah dihari biasa ia sudah mendapat pendidikan yang
berdisiplin ketat, disaat yang gawat ia masih mampu untuk
mengendalikan golakan emosinya, hingga tindakan yang
gegabah itu tak sampai dilaksanakan dengan begitu saja.
Dengan cepat pemuda itu berpikir, “Giok-teng hujin telah
merubah namanya menjadi Tiang-heng, itu berarti ia merasa
benci yang tak terkirakan dalamnya. Jika tindakan terlalu
gegabah tanpa perhitungan, mungkin malahan akan
memancing rasa antipatinya terhadap diriku, bisa jadi malahan

555
kejadian akan berobah makin kacau. Bagaimanapun juga aku
tak boleh bertindak semaunya sendiri.”
Sesudah berpikir sampai disitu, emosinya dapat
dipadamkan, dan diapun mendengarkan pembicaraan tersebut
lebih jauh.
Terdengar Pui Che giok menghela napas ringan lalu
berkata. “Aaaai…. Tootiang, apa gunanya engkau selalu
menyiksa diri sendiri?”
Tiang-heng tookoh tertawa sedih. “Dan kau sendiri
mengapa bersusah hati lantaran aku?” balik tanyanya. “Kau
mengatakan tak akan menyulitkan keluarga Hoa, tapi selalu
teringat untuk mendirikan perkumpulan Cha-li-kau. Dimanakah
letak tujuanmu itu? Bukankah perasaanmu tidak jauh berbeda
dengan perasaan pinto sekarang?”
Tiba-tiba paras muka Pui-Che-giok bersemu merah, sambil
tundukkan kepadanya dia membantah, “Che-giok berbuat ini
itu hanya berdasarkan perintah dari tootiang belaka. Bila aku
mampu, ingin sekali kuterbitkan hujan badai yang amat
dahsyat dalam dunia persilatan. Ingin kulihat bagaimanakah
tindakannya untuk menyelesaikan persoalan itu”
“Yaa, meskipun demikian jalan pemikiranmu, tapi pada
hakekatnya kau selalu melindungi ke-pentingan orang-orang
Liok-soat-san-ceng, bukankah begitu….?” sambung Tiangheng
Tookoh sambil tertawa geli.
Warna merah yang menghiasi wajah Pui Che-giok makin
membara. Tampaknya dia ingin membantah, tapi tak tahu apa
yang harus diucapkan untuk membantah ucapan tersebut.
Tookoh tua yang selama ini hanya membungkam tiba-tiba
menghela napas lirih dan menimbrung dari samping, “Aaaai….

556
Itulah dosa yang harus diterima oleh umat-ya. Kita sebagai
perempuan satu kali terlibat dalam urusan cinta, maka
selamanya tak akan terlupakan lagi. Heng tooyu, aku kuatir
kalau dunia persilatan akan terlibat dalam banyak peristiwa
besar lagi”.
“Apakah tooyu mempunyai pendapat lain?” tanya Tiangheng
tookoh sambal berpaling dengan wajah tercengang.
“Kenyataan telah membuktikan dengan jelas bahwa Suma
tayhiap bukan manusia sembarangan. Sekalipun pinto juga
tahu kalau hubungannya dengan pihak Liok-soat-san-ceng
akrab sekali dan sekarang suami istri berdua itu mati bersama
dibunuh orang, bukankah peristiwa ini sama artinya dengan
suatu tantangan bertempur bagi keluarga Hoa dibukit Imtiong-
san? Sekarang Kiu-im kaucu telah muncul kembali dalam
dunia persilatan, apalagi menurut pernyataan nona Pui tadi,
tampaknya ada kelompok kekuatan lain yang bersekongkol
dengan pihak Kiu-im kau….”
Sebelum tookoh itu menyelesaikan kata-katanya Pui Chegiok
telah menyela dari samping, “Itulah perkumpulan Hianbeng-
kauw! Dalam tahun tahun belakangan ini anak murid
Hian-beng kau banyak yang berkeliaran dalam dunia
persilatan. Pelbagai kejahatan mereka lakukan dan
kebanyakan orang-orang itu berhati kejam dan berilmu silat
tinggi. Menurut hasil pengamatan Che-giok secara diam-diam,
telah kubuktikan bahwa ilmu silat yang dimiliki orang-orang itu
tampaknya berasal dari sumber yang sama. Dari bertindak
gelap-gelapan sekarang mereka sudah bertindak terus terang,
malahan kian lama kian terang-terangan dan berani”
“Aaaah….! Siapakah yang menyelenggarakan perkumpulan
Hian-beng-kauw itu?” seru Tiang-heng tookoh dengan
perasaan terperanjat, hingga paras mukanya berubah.

557
“Sampai kini ketua dari perkumpulan Hian-beng-kauw
belum pernah menampakkan diri didepan umum tapi dia
mempunyai anak buah yang semuanya mempunyai nama
marga serta nama sebutan yang sama yaitu Ciu Hoa. Mereka
saring menerbitkan keonaran dimana-mana. Malah, konon
dalam pembunuhan yang menimpa diri Suma tayhiap, salah
seorang Ciu Hoa turut terlibat dalam peristiwa itu”
“Beberapa puluh orang Ciu Hoa? Bukankah itu berarti
mereka sengaja memusuhi Thian-hong?” seru Tiang-heng
tookoh dengan penuh golakan emosi
“Memang begitulah keadaannya. Oleh sebab itu Che-giok
merasa bahwa too-tiang harus bertemu dengan Hoa tayhtap
atau paling sedikit menerangkan duduknya persoalan tentang
hiolo kecil kumala hijau tersebut”
Agak lama Tiang-heng tookoh termenung sambil berpikir
keras akhirnya ia menengadah dan menggeleng, “Tak perlu,
jelas semua kejadian itu merupakan siasat busuk dari Kiu-im
kaucu” katanya “Pinto tahu maksudnya mencuri lambang milik
pinto tak lain adalah memancing diri pinto agar munculkan
diri, kemudian dia akan menggunakan hubungan pinto dimasa
lalu untuk berusaha mencelakai Thian-hong sekeluarga.
Andaikata pinto sampai berjumpa muka dengan Thian-hong,
justru tindakanku ini sama artinya terjebak dalam perangkap
busuknya. Apalagi pinto sekarang adalah seorang paderi. Aku
tak mau terlibat lagi dalam urusan budi dendam dalam dunia
persilatan. Biarlah mereka beradu kekuatan sendiri!”
Pui Che-giok sangat terperanjat sehabis mendengar
perkataan itu, serunya dengan cemas, “Benarkah tootiang tak
mau mencampuri urusan
Hoa tayhiap lagi….?”

558
Tiba-tiba Tiang-heng tookoh menghela napas panjang.
“Aaai…. Serat Sutera akan berhenti mengalir bila ulat
suteranya telah mati. Api Hiolo baru padam bila lilin telah
meleleh jadi kering! Che-giok, dirikanlah Cha-li-kau mu dan
bantulah dia. Perasaan pinto sudah hambar dan tenagaku
sudah musnah. Aku tidak berkemampuan apa-apa lagi
sekarang”
“Tentang soal ini….” Pui Che-giok jadi gelagapan dan
tergagap dibuatnya.
“Pergilah dari sini!” tukas Tiang-heng tookoh lebih jauh
sambil ulapkan tangannya “Anggaplah dimasa lampau pinto
sudah bertindak teledor, sehingga tidak kuketahui kalau
engkaupun menanam bibit cinta terhadap Thian-hong dan
sekarang setelah kupahami, sayang aku tidak berkemampuan
spa apa lagi. Apa yang bisa pinto lakukan sekarang hanyalah
membeli nasehat padamu, Cintailah siapa yang kau cintai,
walaupun belum tentu akan peroleh hasil yang diharapkan.
Maafkanlah kegagahan dan keberanianmu sebagai seorang
pendekar dimasa lampau, bangunlah suatu kejayaan dan
kesuksesan oengan kemampuan yang kau miliki”
Sampai disitu, Hoa In-liong tak dapat membendung air
matanya lagi. Ia bersandar ditepi jendela dengan air mata
bercucuran, hampir saja kesadarannya punah.
Selang sesaat kemudian, Hoa Ngo menyusup ke
sampingnya, lalu berbisik dengan ilmu menyampaikan suara,
“Liong-ji, ayah kita pergi!”
Dengan terkejut Hoa In-liong sadar kembali dari
lamunannya, ia merasa suasana dihadapannya telah berubah
jadi gelap gulita. Lampu dalam ruangan telah dipadamkan,
sedang Pui Che-giok dan muridnya entah sedari kapan telah
mengundurkan diri dari situ.

559
Perasaannya waktu itu adalah suatu perasaan yang kosong,
murung dan penuh kesedihan. Tanpa mengucapkan sepatah
katapun ia mengikuti di belakang Hoa Ngo meninggalkan
tookoan tersebut dan berlarian menuju ke arah bukit.
Diatas bukit terdapat sebuah gardu peneduh air hujan yang
dibuat dari anyaman jerami. Dalam gardu itulah Hoa Ngo
menghentikan gerakan tubuhnya.
Setelah suasana hening untuk sesaat, ia berpaling dan
memandang sekejap ke arah Hoa In-liong, lalu bertanya,
“Anak Liong, bagaimanakah perasaanmu pada saat ini?”
“Aaaai….!” Hoa In-liong menghela napas panjang,
“Sungguh tak kusangka kalau Giok-teng hujin sebenarnya
adalah manusia macam begitu….”
Hoa Ngo manggut-manggut. “Duduklah. Ngo-siok hendak
bercakap-cakap dengan dirimu!”
Hoa In-Iiong duduk dibangku panjang, lalu bertanya, “Ngosiok,
banyakkah yang kau ketahui tentang masa lampau Giokteng
hujin?”
“Walaupun banyak yang ngo-siok ketahui, tapi kenyataan
yang sesungguhnya tidaklah begitu jelas. Tapi setelah
berjumpa dengan orangnya sendiri barusan, apalagi sesudah
mendengarkan pembicaraan mereka, ngo-siok baru merasa
bahwa cara berpikirku dimasa lampau sedikit picik dan berjiwa
sempit”
“Ooh…. Jadi tempo dulu kaupun belum pernah bertemu
muka dengan Giok Teng Hujin?” tanya Hoa In-liong dengan
alis mata berkenyit.

560
“Yaa, sampai sekarang baru kali ini kutemui diri Giok-teng
hujin yang sebenarnya. Dahulu, kesan burukku terhadap Giokteng
hujin boleh dibilang sangat mendalam. Bila aku tahu
kalau dia sebetulnya adalah manusia macam begini, tak nanti
kuperintahkan dirimu untuk mengejar jejaknya sampai disini”
“Apa yang sebenarnya terjadi? Tampaknya dia selalu
bersikap baik terhadap ayah!”
Hoa Ngo menghela napas panjang. “Justru lantaran dia
menaruh perasaan cinta yang mendalam tarhadap ayahmu,
maka Ngo-siok baru menaruh pandangan yang sempit
terhadap karakternya. Aku selalu merasa bahwa pelimpahan
rasa cinta harus dipusatkan pada satu titik. Setelah ayahmu
berhubungan deogan kedua orang lbumu, tidaklah pantas
baginya untuk berhubungan dengan perempuan-perempuan
lain”
Rupanya Hoa In-liong tidak setuju dengan pandangan
semacam itu, cepat bantahnya, “Aaaaai…. Aku rasa hal ini
tergantung pada perempuan macam apakah yang dihubungi.
Kalau perempuan itu macam Giok-teng hujin….”
“Haa…. haaa…. haa…. Begitu ayah, begitulah anaknya.
Dalam soal ini engkau banyak kemiripannya dengan ayahmu.
Cuma bedanya, kalau ayahmu sedikit membatasi diri, maka
kau menganggap setiap perempuan cantik yang ada di dunia
ini kalau bisa jadi pacarmu semua, bukan begitu anak Liong?”
Merah padam selembar wajah Hoa In-liong karena jengah,
sahutnya tersipu-sipu, “Baik laki-laki maupun perempuan
semuanya kan manusia. Terhadap kaum laki-laki aku juga
bersikap sama baiknya!”
Hoa-ngo tertawa. “Berbicara tentang soal ini, Ngo-siok
hendak memperingatkan dirimu dengan suugguh-sungguh.

561
Ketahuilah antara laki-laki dan perempuan itu ada batasnya.
Banyak teman laki-laki itu baik dan menguntungkan tapi
teman perempuan yang akrab lebih baik satu-dua orang saja
sudah cukup. Bila engkau tak dapat membatasi diri sendiri,
sampai waktunya untuk kawin nanti, orang lainlah yang akan
kau buat menderita karena urusan cinta. Kejadian ini sangat
merusak nama baikmu dan ngo-siok paling tidak setuju”
“Tak usah kuatir ngo-siok. Aku masih dapat membatasi diri
dengan otak yang sadar” Jawab Hoa In-liong sambil
mengerutkan dahi.
“Mau dirubah atau tidak terserah kepadamu sendiri. Bila
kau suka bermain perempuan disana-sini, suatu ketika Ngosiok
tentu akan menghajar dirimu habis-habisan. Engkau
harus menggunakan kejadian yang menimpa Giok-teng hujin
sebagai suatu contoh, agar tindakanmu selanjutnya tidak
ceroboh”’
“Sudah tahu…. Ngo-siok, Aku sudah tahu! Apa hanya
persoalan ini yang hendak kau bicirakan denganku?” Hoa Inliong
mulai tak sabaran dan membantah.
“Tentu saja ada persoalan lain yang hendak ku bicarakan
denganmu!”
“Kalau begitu, bicarakan saja persoalan yang
sesungguhnya, tak utah kuatir, pesanmu tak akan kulupakan
untuk selamanya”
Waktu kecil Koa Ngo tidak binal dan licik, tapi sekarang
setelah bertemu Hoa In-liong yang lebih binal, ia betul-betul
mati kutunya, sama sekali tak mampu berbuat apa-apa.
Maka setelah tertegun beberapa saat lamanya ia pun
menggelengkan kepalanya berulang kali. “Baiklah! Kita

562
bicarakan masalah yang serius saja. Apakah surat wasiat dari
Giok-teng hujin masih berada disakumu?”
“Eeeh….Ngo-siok. Kenapa secara tiba tiba kau singgung
soal surat tersebut?”
“Sini, serahkan kepadaku!” perintah Hoa-Ngo sambil
rentangkan tangan kanannya.
“Aneh, kenapa harus diberikan kepadamu?” tanya Hoa Inliong
dengan wajah tercengang, “Waktu nenek serahkan surat
itu padaku, beliau telah berpesan kecuali dikembalikan
langsung kepada Giok-teng hujin pribadi, bilamana perlu surat
itu harus dimusnahkan. Siapapun tak boleh melihatnya, tentu
saja termasuk Ngo siok sendiri!”
“Yaa, soal itu aku tahu” sahut Hoa Ngo sambil manggutmanggut,
“Tapi neneklah yang memerintahkan kepadaku
untuk minta kembali surat wasiat tersebut”
“Oooh…. Jadi Ngo-siok sudah pulang ke gunung?” tanya
anak muda itu sedikit curiga.
“Aku datang dari rumah!”
“Apa yang dikatakan nenek?”
“Nenek rupanya sudah tahu kalau Giok-teng hujin belum
meninggal dunia. Beliau kuatir surat itu bisa hilang kalau kau
bawa terus kesana kemari, andaikata sampai ditemukan
orang, waah…. kalau itu orang lain pasti akan menggunakan
surat tersebut untuk memeras kita dan kejadian macam begitu
bisa jadi akan merusak nama baik ayahmu”.
Tiba tiba ia merasa tidak semestinya membicarakan
persoalan semacam itu dengan Hoa In Liong mendadak

563
sontak ia menghentikan pembicaraannya, lalu dengan wajah
berubah hebat bentaknya lagi , “Cepat berikan padaku. Nenek
suruh aku membawa surat itu pulang kegunung”
Hoa In-liong tidak langsung menjawab, ia termenung
sejenak kemudian baru gelengkan kepalanya berulang kali.
“Tidak bisa, Liong-ji tak dapat menyerahkan surat wasiat itu
kepada ngo-siok!”
“Kenapa?” teriak Hoa-Ngo dengan mata melotot, rupanya
jawaban tersebut sama sekali diluar dugaannya “Memangnya
kau tidak percaya lagi dengan Ngo-siok mu?”
“Bukannya liong-ji tidak percaya dengan Ngo-siok tapi
lantaran Liong ji menemui kesulitan untuk melakukannya!”
“Kesulitan? Kesulitan apa yang kau jumpai?” Hoa Ngo
bertanya dengan wajah keheranan.
“Pertama, surat itu sudah dijahit didalam kaos kutang
pelindung badan, sukar rasanya untuk mengambilnya keluar.
Kedua, nenek sudah berpesan kepada Liong-ji, siapapun juga
dilarang melihat isi surat wasiat itu, maka Liong-ji pikir
biarkanlah surat itu berada ditempatnya semula sampai nanti
kuserahkan kembali dihadapan nenek”
Hoa Ngo jadi tertegun, tapi sejenak kemudian sudah
tertawa tergelak. “Haa…. haa…. haa…. Tak kunyana kalau kau
begitu keras kepala! Bagaimana seandainya surat itu sampai
hilang?”
“Tak mungkin hilang! Surat itu dijahit dalam kutang
pelindung badan, dan kaos pelindung ba-dan itu kukenakan
terus kemanapun kupergi. Bayangkan saja bagaimana
mungkin bisa hilang? Andaikata sampai hilang, biar Liong-ji
tanggung segala hubungannya dihadapan nenek!”

564
Mungkin lantaran terlalu sayang dengan keponakannya
yang satu ini, setelah pikir punya pikir Hoa-Ngo merasa cengli
juga alasan tersebut, maka ia pun tertawa. “Yaa sudah,
terserah padamu sendiri. Tapi waktu aku tiba di kota Kim-leng
beberapa hari yang-lalu, aku dengar kau sudah ditangkap oleh
Kiu-im kaucu. Bila kejadian macam begini berlangsung satudua
kali lagi, jangan toh baru sehelai kaos kutang pelindung
badan, mungkin kulit badanpun bisa disayat satu lapis. Lain
kali kau musti lebih berhati-hati lagi!”
Merah padam selembar wajah Hoa In-liong karana jengah,
jawabnya dengan tersipu-sipu, “Tak mungkin ada kedua
kalinya, tak usah kuatir paman Ngo-siok!”
“Tak usah kita bicarakan persoalan itu lagi! Kisahkan saja
semua pengalamanmu sejak kau tinggalkan gunung!”
Hoa In-liong berpikir sebentar untuk mengumpulkan
kembali pengalamannya. Lalu diapun bercerita bagaimana
sampai di kota Lok-yang. Bagaimana melakukan perjalanan Ke
selatan, berkenalan dengan Kim-leng ngo-kongcu. Bagaimana
berpesiar dengan Coa Cong-gi, bertemu dengan Kiu-im kaucu
dibukit Ciong-san. Bagaimana dipecundangi Kiu-im kaucu,
digantung terbalik oleh Bwee Su-yok dibatang pohon.
Bagaimana bertemu dengan tokoh sakti, mendapat pelajaran
Bu-sang-sim-hoat aliran darah terbalik, lalu melepaskan diri
dan belenggu Bwee Su-yok, kembali ke kota Kim-leng dan
sebagainya…. dan sebagainya.
Dlbalik kisah pengalaman tersebut, ada kejadian aneh, ada
kejadian yang berbahaya dan mendebarkan hati, ada pula
kejadian yang boleh dibilang melanggar adat kesopanan dan
tata cara, tapi bagi pandangan Hoa Ngo, tingkah laku serta
perbuatan keponakannya ini masih belum merusak nama baik

565
keluarganya. Dapat menyelesaikan tugas dengan sebaikbaiknya
juga termasuk suatu perbuatan yang sukar.
Pokoknya sembari mendengarkan penuturan tersebut, dia
manggut-manggut tiada hentinya, kemudian pujinya.
“Ehmm….! Besar amat keberanianmu, tingkah lakumu juga
terlampau gegabah. Untung saja tak sampai mengakibatkan
keadaan yang lebih gawat. Tapi, menurut pandangan Ngosiok,
ada kemungkinan Bwee Su-yok si tiancu dari ruang Yubeng-
tiam bakal mendatangkan banyak kesulitan bagimu
dilain waktu”
“Kesulitan apa yang bisa ia berikan padaku?” Hoa In-liong
tak mau mengakui, malahan kepalanya semakin didongakkan,
“Kan Liong-ji tak ada hubungan apa-apa dengan dirinya. Jika
ia pintar lebih baik tioggalkan Kiu-im kau secepat mungkin.
Bila tidak, seperti juga yang lain-lain akan Liong-ji sikat juga
dirinya”
“Aaaah…. Kalau cuma ngomong memang gampang, tapi
untuk melaksanakannya belum tentu segampang apa yang
kau ucapkan sekarang!”
Hoa Ngo berbenti sebentar, lalu mengalihkan pembicaraan
ke soal lain, katinya lebih jauh dengan wajah serius, “Liong-ji,
soal melacaki jejak pembunuh keji itu boleh kita akhiri dulu
sampai disini!”
“Kenapa?” tanya Hoa In-liong kurang paham, “Masa kita
tak akan mencampuri lagi dendam berdarah dari Suma siokya?”
“Bukannya kita tak mau mencampuri lagi, tapi ditunda
untuk sementara waktu. Hingga kini, boleh dibilang jejak
pembunuh pembunuh keji itu sudah ketahuan identitasnya.
Mengenai pelaksanaan pembalasan dendam itu sepantasnya

566
kalau kau serahkan kembali kepada Jin kokoh- mu untuk
melakukannya sendiri”
“Maksud Ngo-siok, Liong-ji harus pulang gunung?” bisik
Hoa In-liong dengan perasaan berat hati.
“Oooh, kau sih tak usah pulang gunung. Apa yang kita
saksikan malam ini, serta semua pengalaman yang kau alami
selama ini biar Ngo-siok yang laporkan kepada nenek. Sedang
kau boleh melanjutkan kelanamu dalam dunia persilatan.
Cuma harus kau pertingkat pula perjuanganmu untuk
melenyapkan kaum durjana dari muka bumi serta
menegakkan keadilan serta kebenaran dalam dunia persilatan
kita!”
Tak terkirakan rasa gembira Hoa ln-liong setelah Ngosioknya
memutuskan dia tak usah pulang kegunung. Sambil
meloncat kegirangan serunya setengah bersorak, “Horeeee….!
Bagus sekali, aku tak usah pulang kegunung!”
Tiba-tiba patas muka Hoa-Ngo terubah jadi serius,
tukasnya, “Dengarkan dulu perkataanku lebih jauh. Ketahuilah
tugasmu selanjutnya bukan bertambah enteng tapi justru
sebaliknya. Tugas yang akan dibebankan kepadamu berlipatlipat
lebih berat dari sekarang, karenanya tak boleh sekali-kali
kau buang sikap waspada dan seriusmu dalam menghadapi
pelbagai situasi. Tugas berat ini, akulah yang mintakan
bagimu dihadapan nenek jika kau lakukan. Jika kau lakukan
tugas ini secara gegabah, merusak nama baik Ngo-siok sih
urusan kecil, tapi nama baik keluarga Hoa kita akan tenggelam
untuk selamanya, inilah pertaruhan untukmu!”
“Oooh….! Seserius itukah persoalannya?” Seru Hoa In-liong
sangat terkejut.

567
“Bukan serius saja, bahkan bencana yang mengancam diri
kita semua kian hari kian bertambah dekat dan makin lama
semakin berat!”
“Apakah Ngo-siok dapat menyinggung satu dua diantaranya
sebagai contoh….” pinta Hoa In-liong berkerut dahi.
“Padahal seharusnya kau sudah dapat menduganya sendiri.
Pergolakan yang terjadi dalam dunia persilatan bukan baru
berlangsung sehari
dua hari belaka. Hanya sekarang pergolakan itu semakin
kentara saja, kepulangan Ngo-siok kegunung kali inipun….”
“Oooh…. Ngo-siok maksudkan masalah Kiu-im kau dan
Hian-beng-kauw?” tukas Hoa In-liong tiba-tiba seperti baru
saja memahami apa yang sebetulnya diartikan pamannya.
Hoa Ngo mendengus dingin. “Hmmm….! Coba lihatlah
sikapmu yang acuh tak acuh, betul-betul keterlaluan”*
tegurnya.
Dengan terkejut Hoa In-liong menjulurkan lidahnya, ia tak
berani memberi komentar lagi.
Tiba-tiba Hoa Ngo menghela napas panjang lalu berkata,
“Liong-ji, persoalan ini tidak seperti permainan kanak-kanak.
Ketahuilah Kiu-im-kauw dan Hian-beng-kauw tidak lebih cuma
dua buah kelompok kekuatan yang agak lebih besar saja.
Dibalik kesemuanya itu masih terdapat unsur-unsur iblis yang
menggerakkan kekuatan tersebut. Memang keluarga Hoa kita
disanjung dan dikagumi kaum pendekar, tapi justru
merupakan duri dalam mata bagi pandangan orang-orang
kaum sesat. Tak salah lagi kalau orang-orang itu sengaja
mencari keonaran terhadap keluarga Hoa kita. Orang bilang
manusia itu hidup untuk mencari nama, pohon hidup karena

568
kulit. Soal nama memang kecil artinya, tapi bagaimanakah
dengan keselamatan umat persilatan di dunia ini? Bila semua
umat manusia terancam bahaya, habislah pamor keluarga Hoa
kita dimata orang banyak”
“Liong-ji mengerti akan seriusnya persoalan ini. Liong-ji
akan akan memperhatikannya dengan seksama” Kata Hoa Inliong
kemudian dengan serius dia bangkit dan memberi
hormat.
“Kalau sudah mengerti, itu lebih bagus lagi” sahut Hoa Ngo
sambil ikut bangkit berdiri, “Aku pun tidak akan banyak
berbicara lagi, segala sesuatunya boleh kau putuskan sendiri”
“Ngo-siok mau pergi?” buru-buru Hoa In-liong bertanya.
“Ehmmmm….!” Hoa-Ngo mengangguk, “Aku harus pulang
ke gunung dengan sagera. Oya…. Beberapa waktu berselang
kujumpai ada sekelompok orang-orang suku asing memasuki
kota Kim-leng. Beberapa orang itu mencurigakan sekali tindaktanduknya.
Bila bertemu di lain waktu, berhati-hatilah sedikit”
Berbicara sampai disitu, dia lantas putar badan dan buruburu
turun gunung.
Memandang bayangan punggung Hoa Ngo yang menjauh,
Hoa In-liong hanya bisa berdiri termangu-mangu. Untuk
sesaat dia tak tahu apa yang harus dilakukan….
Kepergian Hoa-Ngo sangat tergesa-gesa. Ketergesaannya
itu justru mendatangkah suatu tekanan batin yang besar bagi
Hoa In-liong.
Sepsrti diketahui sejak kecil ia dibesarkan bersama Hoa-
Ngo. Terhadap watak dan kebiasaan pamannya boleh dibilang
sangat hapal. Dia tahu Hoa Ngo itu suka bicara blak-blakan

569
dan cerdik, tak pernah ia serius menghadapi masalah macam
apapun jua.
Setiap kali pulang dari bepergian, ia paling suka mengajak
dirinya adu kecerdasan dan berde-bat dalam segala hal.
Meskipun tiap kali ia selalu kalah dan berada dibawah angin,
tapi pemuda ini tak segan segannya untuk menghadapi terus
pamannya.
Dan kali ini, Hoa In-liong dapat merasakan bahwa Hoa Ngo
telah menyembunyikan perkata-an, rupanya ada sesuatu yang
dirahasiakannya. Sikap yang berbeda dengan keadaan
biasanya ini segera mendatangkan suatu tanda tanya besar di
hati Hoa In-liong.
Pikirannya mula bergolak. Ia merasa pelbagai persoalan
seakan-akan berkecamuk menjadi satu dalam benaknya. “Apa
yang telah terjadi?. Kiu-im-kauw tak lebih hanya suatu
kelompok kekuatan yang merangkak bangun dari liang
kuburnya, sedang Hian-beng-kauw juga tak lebih hanya suatu
organisasi baru yang muncul belum lama berselang. Orangorang
dari kedua perkumpulan itu pernah kujumpai semua.
Merekapun tidak seseram apa yang kubayangkan sebelumnya.
Aku tahu Ngo-siok bernyali besar, berotak cerdik dan tak
pernah takut langit dan bumi. Sekalipun berada dihadapan
nenek juga tak pernah tegang. Heran, kenapa kali ini dia pergi
dengan tergesa-gesa? Masa karena urusan ini saja, dia akan
mengganggu ketenangan nenek serta ayah ibuku….?”
Pemuda itu jauh berbeda bila dibandingkan denagan Hoa
Thian-hong. Kalau ayahnya Hoa Thian-hong dibesarkan dalam
suasana yang serba sulit dan penuh percobaan. Sepanjang
hidupnya tak ada yang dijadikan pegangan dan
kesuksesannya berhasil didapat karena perjuangannya yang
betul-betul hebat, maka dalam setiap pembicaraan mau pun
tindakannya selalu serius dan tegas.

570
Maka dia dibesarkan dalam suasana yang menyenangkan
serta cukup. Lagipula ada ayah bundanya sebagai pegangan
yang kuat, sejak kecil tak pernah kenal arti takut. Sekalipun
ada orang memberi peringatan kepadanya dan mengerti
bahwa keadaan sangat gawat, namun ia tak pernah
memperdulikannya.
Bagi anak muda ini berlaku sistim pukul dulu urusan
belakangan.
Orang bilang keadaan alam gampang dirubah, watak
manusia susah diganti. Begitulah keadaan pemuda itu, watak
tak kenal tingginya langit dan tebalnya bumi sudah menempel
sangat dalam-dalam tubuhnya.
Walaupun begitu, jelek-jelek diapun keturunan keluarga
persilatan. Apalagi kecerdasannya lebih tinggi dari orang lain.
Kewaspadaannya tidak hilang sama sekali karena wataknya
itu. Sesudah berpikir sebentar diapun teringat kembali akan
pesan dari Hoa Ngo.
Karenanya sambil berpikir, matanya celingukan kesana
kemari, kemudian gumamnya seorang diri, “Aaah…. peduli
amat, fajar sudah hampir menyingsing. Ada urusan pikirkan
saja nanti setelah beristirahat, bagaimanapun jua berpikir
melulu tak ada gunanya. Badai yang melanda dunia persilatan
dan hawa iblis yang menyelimuti angkasa tak mungkin in bisa
kuatasi hanya mengandalkah otak belaka….”
Karena berpikir demikian, dia lantas duduk bersandar
tembok. Semua pikiran dibuang jauh- jauh dari benaknya dan
perhatiannya dipusatkan untuk mengatur pernapasan.

571
Siang itu, dengan pedang tersoren dipinggang buntalan
menggembol dlpunggungm ia berkunjung kembali ke kota
Kim-leng.
oooOOOooo
PEMUDA itu masuk kota lewat pintu Ki-bun dan menginap
di rumah penginapan yang memakai merek Ban-liong.
Ia tidak langsang menuju ke pasanggrahan pertabiban, ini
menunjukkan bahwa keputusan tersebut diambil setelah
melalui pemikiran yang panjang dan seksama.
Selesai ganti pakaian dan bersantap, dengan mengenakan
seperangkat baju sutera warna biru laut, sepatu indah,
menyoren pedang antik dipinggang dan menyimpan tiga botol
obat dan untaian mutiara kedalam sakunya, berpesanlah
pemuda itu kepada pelayan bahwa ia akan pergi melancong.
Kemudian pura-pura sebagai kaum pesiar pelan-pelan ia
menyusuri jalanan dikota.
Menurut hasil analisanya, kota Kim-leng yang sekarang
merupakan kumpulan dari para jago dari pelbagai golongan.
Orang-orang dari Kiu-im-kauw ada disitu, orang orang Hianbeng-
kauw ada pula disitu. Malahan menurut pesan Hoa Ngo,
dia harus memperhatikan pula beberapa orang suku asing.
Seandainya beberapa suku asing inipun bermaksud membuat
keonaran pula dalam dunia persilatan, berarti sudah ada tiga
kelompok manusia hadir disana.
Bila ditambah lagi dengan kelompok Si Nio dan majikannya,
Cia In dengan gurunya dan ia serta Kim-leng ngo kongcu,
berarti pertemuan beberapa kelompok manusia itu sekaligus
akan menerbitkan suatu kegoncangan yang luar biasa dalam
dunia persilatan.

572
Walau demikian, diapun mengerti, Kim-leng ngo-kongcu
tidak berada dikota asalnya. Si Nio dan majikannya mungkin
sudah kabur jauh-jauh bila mereka mau menuruti nasehatnya.
Sedang Cia In dan gurunya, oleh sebab perkumpulan Cha-likau
mereka belum dibuka secara resmi, tentu saja kelompok
mereka tak akan tampilkan diri secara terus terang.
Sedangkan kelompok ‘beberapa orang Suku asing’ itu,
hingga kini jejaknya belum ketahuan. Pihak Hian-beng-kauw
juga baru tunjukkan kedua orang ‘Ciu-Hoa’ serta begundalnya.
Itu berarti pertarungan tak mungkin berlangsung dalam waktu
singkat. Sekalipun terjadi bentrokan kekerasaan kekuatan
pihaknya juga tidak terhitung terlalu minim.
Walaupun ia memandang remeh setiap masalah yang
dihadapinya, tidak berarti perbuatannya gegabah. Setelah
mengalami suatu pemikiran yang serius dan mendalam,
pemuda itu merasa bahwa ada beberapa persoalan harus
dilaksanakan lebih dahulu.
Pertama, siapa gerangan manusia-manusia yang disebut
sebagai ‘beberapa orang suku asing’ itu? Apa tujuan
kedatangan mereka? Dimana mereka bercokol saat ini? Dan
berapa banyak jumlah kekuatan mereka?
Kedua, jejak Coa Cong-gi harus berusaha dilacak sampai
jelas. Seandainya ia sudah ditangkap oleh jago-jago Kiu-imkauw,
ia harus mengusahakan pertolongan lebih dahulu,
kemudian baru berusaha untuk mengumpulkan kembali
seluruh kekuatan dari Kim-leng ngo-koancu.
Ketiga, Masihkah Kiu-im kaucu bercokol dalam gedung
megah itu? Setelah kepergiannya, tin-dakan apa yang dia
lakukan? Ia pernah memerintahkan anak buahnya untuk
menjalin kontak dengan orang-orang Hian-beng-kauw untuk

573
bersama-sama menghadapi keluarga Hoa, bagaimanakah
keadaan situasinya saat ini?
Keempat. Garis besarnya ia sudah memahami tentang latar
belakang pembunuhan atas Suma Tiang-cing suami istri, tapi
berhubung Giok-teng hujin tidak memberi perjelasan yang
lebih mendalam dalam pembicaraannya, seperti misalnya
bagaimana caranya sampai hiolo kecil kemala hijau itu bisa
tercuri oleh Kiu-im kaucu, serta apa sebabnya Kiu-im kaucu
sampai bersekongkol dengan orang-orang Hian-beng-kauw,
maka hingga kinii ia masih belum menguasai penuh masalah
tersebut.
Bila mana mungkin, dia ingin sekali bertemu dengan Giokteng
hujin, atau Cia In serta guru-nya untuk membicarakan
persoalan ini dengan lebih terperinci.
Oleh sebab itulah, tindakan pemuda itu menginap dirumah
penginapan, berpesiar dengan menyaru sebagai pelancong
boleh dibilang mengandung dua maksud tertentu.
Pertama, dia tak ingin mendatangkan bibit bencana bagi
pihak Kang lam Ji-gi.
Kedua dengan berbuat demikian maka jejaknya jadi cukup
rahasia. Itu berarti ia dapat bergerak dengan lebih bebss lagi
tanpa kuatir diawasi gerak-geriknya oleh lawan.
Disamping itu semua, pemuda itu pun menyusun jadwal
tugas-tugas yang harus dilakukan lebih dulu dengan rapi dan
teratur.
Menurut pandangan In-liong, menjumpai Giok-teng Hujin
tak perlu dilakukan dengan terburu nafsu, sebab hal itu
merupakan suatu perbuatan yang tak bisa diminta tapi harus
menanti tibanya kesempatan baik.

574
Untuk melakukan penyelidikan atas gerak-gerik pihak Kiuim-
kauw, waktu yang paling baik adalah malam, daripada
nantinya perbuatan itu menimbulkan gejala ‘Memukul rumput
mengejutkan ular’, mempertinggi kewaspadaan mereka.
Maka ia putuskan untuk menyelidiki lebih dulu indentitas
“beberapa orang suku asing” itu sekalian berpesiar di kota
Kim-leng sambil menperhatikan apakah Kim-leng ngo-kongcu
telah kembali ke kota asalnya atau belum, diantaranya
termasuk juga Coa Cong-gi.
Susunan rencananya ini memang cukup cermat teliti dan
sempurna seakan-akan dalam waktu setengah hari saja, ia
telah kena digembleng sehingga jauh lebih matang.
Waktu itu dengan langkah yang santai Hoa In-liong
berjalan menelusuri kota, matanya Celingukan kesana kemari
memperlihatkan orang yang berlalu lalang, sehingga akhirnya
tanpa terasa sampailah anak muda itu ditepi sungai.
Kota Kim-leng adalah kota niaga dijaman ahala Beng, juga
merupakan bandar penting waktu itu, terutama dibagian kota
pusat perdagangan, suasana amat ramai. Banyak kaum
pedagang dan pelancong berlalu lalang disitu. Bukan saja
banyak terdapat warung penjual barang, perusahaan
pengawal juga banyak, rumah makan banyuk, warung teh
juga tak terhitung jumlahnya
Wilayah pusat perdagangan ini tak kalah ramainya dengan
sekitar Hu-cu-bio. Kalau didalam kota, kecuali kaum
pedagang, kaum pelancong, tukang perahu, kuli kasar
berkeliaran disana-sini. Banyak pula laki-laki berwajah bengis
yang luntang-lantung kesana kemari. Percekcokan,
perselisihan sudah sering terjadi disekitar sana, maka diapun
terbiasa dengan situasi macam begitu.

575
Hoa In-liong membaurkan diri dengan para pelancong
lainnya berputar kesana kemari, ak-hirnya karena tidak
menemukan orang-orang yang terasa menyolok dalam
pandangan, diapun masuk kedalam sebuah warung teh untuk
beristirahat.
Seorang pelayan menyambut kedatangannya dengan
badan terbungkuk-bungkuk. “Silahkan masuk siau-ya!”
katanya, “Diatas loteng masih tersedia tempat yang baik!”
Hoa In-lioog manggut-manggut, dia naik ke tingkat dua
dan memilih sebuah tempat yang de-kat dengan jendela.
Buru-buru pelayan itu mempersilahkan tamunya duduk,
setelah itu baru ujarnya, “Hee…. heee…. heee…. Jendela ini
menghadap ke arah sungai Tiang-kang. Udara segar,
pemandangan indah dan tempat dudukpun strategis letaknya.
Tuan mau minum teh apa?”
“Sediakan saja teh Bu-oh!” sahut Hoa In-liong sekenanya.
Pelayan itu segera tertawa paksa. “Hee…. hee…. hee….
Tentunya kau datang diri propinsi Im-lam bukan?” sapanya
seramah mungkin. “Heee…. hee…. Padahal teh Bu-oh kalah
jika dibandingkan teh Bu-gi. Teh Bu-gi masih kalah kalau
dibandingkan ten Kun-san. Daripada teh Kun-san lebih baik
teh Liong-keng, dan Mao-cian dari teh Liong-keng merupakan
teh nomor wahid didunia ini. Tuan, bagaimana kalau hamba
sediakan sepoci teh Mao-cian untuk dicobanya lebih dulu?”
“Ehmm…. Tampaknya kau mendalam sekali
pengetahuannya tentang soal air teh?” ujar Hoa In-liong
sambil menengadah dan tertawa.

576
Pelayan itu tertegun sejenak, lalu bungkukkan badannya
berulang kali. “Tuan terlalu memuji, tuan terlalu memuji!”
“Aku minta teh Bu-oh!” seru Hoa In-liong ketus. Paras
mukanya berubah serius.
Sekali lagi pelayan warung teh itu tertegun. “Tentang soal
ini…. Tentang soal ini….”
“Apa ini itu?” seru Hoa In-liong sambil tertawa terbahakbahak,
“Bukankah teh Bu-oh langka dicari?”
“Yaa…. yaaa…. Benar, benar. Bu-oh memang teh yang
langka, harap tuan suka memaafkan” Jawab pelayan itu
sambil menjura tiada hentinya dengan jawaban gagap.
Hoa In-liong tertawa tergelak tiada hentinya…. “Haa….
haa…. haaa…. Kalau sudah tahu barang langka, buat apa kau
banyak bicara lagi”? Hmm…. aku lihat kau menang lihay
berdagang!”
Merah padam wajah pelayan itu karena jengah, kepalanya
tertunduk rendah-rendah. “Orang budiman tidak akan lihat
kesalahan siau-jin. Harap yaya sudi maafkan!”
“Sana pergi! Sediakan saja air teh apapun, aku doyan air
teh dari jenis manapun juga!” kata Hoa In-liong kemudian
sambil ulapkan tangannya.
Pelayan itu tak menyangga kalau urusan dapat selesai
semudah itu. Ia menengadah dengan jawab tertegun,
kemudian setelah memberi hormat, buru-buru turun dari
loteng.
Seketika itu juga, perhatian semua tamu yang berada
diloteng sama-sama dialihkannya ke arahnya.

577
Pertama karena ia berpakaian ketat menyoren pedang dan
bertubuh kekar. Sekilas pandangan orang mengetahui bahwa
ia berilmu.
Kedua, karena memilih secawan air teh saja ia telah ribut
dengan pelayan warung itu, orang lain mengira pemuda itu
sengaja memang mencari gara-gara, maka perhatian orang
pun lebih dipertingkat.
Haruslah diketahui, kebanyakan peminum, teh di pagi hari
adalah kaum pelancong yarg tidak mempunyai pekerjaan
tetap. Manusia bangsa begitu bukan saja gemar mencari
urusan. Mereka paling suka mengagumi seorang enghiong
membantu kaum yang lemah dan suka nonton keramaian.
Tapi kenyataannya sikap Hoa In-liong sangat ramah,
diapun cuma tertawa ringan untuk menyudahi urusan, tak
heran lalu banyak orang merasa kecewa atas tindakannya itu.
Hoa In-liong sendiripun tidak terlalu memperhatikan sikap
orang. Ia memandang sekejap raut wajah orang-orang itu,
kemudian alihkan pandangan matanya keluar jendela,
sikapnya yang begitu santai ia sangat mencengangkan orang
banyak.
“Ji-ko, tidak lemahkah kemampuan yang dimiliki orang itu?”
tiba-tiba terdengar seseorang bertanya.
“Ehmm….! Orang ini tampan dan penuh bersemangat, jelas
seorang jago silat yang berilmu tinggi” sahut yang lain.
“Bila kita bisa mendapat bantuannya, tentunya tak perlu
diam-diam pulang untuk mencari bantuan lagi” Kata suara
pertama dengan parau.

578
“Eeeh…. Sam-te, kau sudah jadi bodoh atau gimana?”
tegur orang pertama. “Kita kan tidak kenal dengan dia.
Lagipula tidak tahu juga siapakah orang itu, darimana
munculnya ingatan semacam itu dalam benakmu?”
Suara yang parau tadi menghela napas panjang. “Aaiiia….
Tapi menolong orang bagaikan menolong api, kita sudah
membuang waktu selama satu hari”
Waktu itu meskipun Hoa In-liong sedang menikmati
pemandangan alam di sungai, tapi ia memang datang kesitu
dengan membawa tujuan tertentu. Sudah barang tentu
pembicaraan kedua orang itu dapat didengar olehnya sangat
jelas.
Sebagai majikan muda dari Im Tiong-san, Sejak kecil dia
memang sudah dididik untuk ber-jiwa ksatria, sifat ingin
menolong kaum yang tertindas selalu tertanam dalam jiwanya,
maka ketika mendengar kata-kata “menolong orang bagaikan
menolong api” mendadak sontak hatinya merasa bergetar
keras.
Kebetulan pelayan datang menghidangkan sepoci arak
wangi, ia pun berpaling sambil meneguk air tehnya.
Menggunakan kesempatan tersebut ia berpaling ke arah mana
berasalnya suara itu.
Disudut loteng ruangan, tepat berada dihadapannya
duduklah dua orang laki-laki berusia tiga puluh tahunan. Salah
seorang diantaranya bercambang lebat dan bercodet pada
keningnya. Orang kedua berperawakan jangkung dan kurus.
Di antara alis matanya terdapat tahi lalat besar.
Mereka mengenakan pakaian ringkas yang sama
bentuknya, menggembol senjata rahasia, tapi wajahnya ramah

579
dan gagah. Hanya waktu itu terhias perasaan cemas dan tak
tenang.
Ketika ia mengawasi kedua orang itu, kebetulan dua orang
itupun sedang mengawasi ke arahnya. Maka ketika mata
saling bertemu, Hoa In-liong segera berkata sambil
tersenyum. “Saudara berdua, bila kalian tidak keberatan
bagaimana kalau pindah ke mejaku untuk bercakap cakap?”
Ucapan tersebut terdorong oleh jiwa pendekarnya, tapi ia
sudah melupakan tujuan kedatangannya yang sebenarnya.
Bukan saja tidak berusaha untuk menjaga diri, dia malah
menyapa orang lain lebih dahulu.
Dua orang laki laki itu tampak ragu-ragu sebentar, akhirnya
mereka bangkit dan pindah tempat.
Sambil menjura dan memberi hormat, laki-laki jangkung
kurus itu memperkenalkan diri: ‘“Aku bernama Liat Ceng-poh,
sedang dia adalah sam-te ku bernama Be Si-kiat….”
Hoa In-liong segera balas memberi hormat, katanya pula
dengan wajah serius, “Aku bernama Pek-Khi, silahkan duduk!”
Diam-diam ia telah mengambil keputusan, sebelum
mengetahui jelas identitas orang yang di-jumpainya, untuk
sementara waktu dia akan menggunakan nama palsu.
“Oooh…. kiranya Pek-heng, selamat berjumpa muka,
selamat berjumpa muka….” kata Liat Ceng-poh dan Be Si-kiat
hampir bersamaan waktunya, masing-masingpun ambil
tempat duduk disisinya.
Begitu kedua orang itu sudah duduk, Hoa In-liong pun
bertanya secara langsung dengan berterus terang: Dari
pembicaraan saudara berdua, barusan dapat kudengar bahwa:

580
Menolong orang bagaikan menolong api: Boleh aku tahu siapa
yang mendapat kesulitan? Kesulitan apa pula yang sedang
dihadapi? Bila tidak keberatan, aku bersedia untuk
mendengarkannya”
Setelah ucapan tersebut diutarakan, Liat Ceng-poh dan Be
Si-kiat segera saling berpandangan tanpa menjawab, untuk
sesaat mereka agak tertegun.
Hoa In-liong tersenyum, kembali ujarnya, “Aaah…. Aku
memang terlalu gegabah. Semestinya kalau kujelaskan dulu
sikapku, agar kalian tidak sampai menaruh curiga lebih jauh
terhadap maksud baikku!”
“Apa yang sebenarnya telah terjadi?” pikir Liat Ceng-poh
dihati “Bila dilihat dari tenaga dalamnya yang begitu
sempurna, semestinya dia adalah seorang jago sakti yang
berilmu tinggi. Tapi mengapa sikapnya begitu polos dan blakblakan.
Seakan-akan seorang jago yang sama sekali tidak
berpengalaman sampai berbicara pun tidak dipikirkan lebih
dahulu….?”
Be Si-kiat adalah seorang lelaki yang berangasan, dengan
cepat dia menyambung? “Aaah…. mana, mana, sungguh tak
sangka. Pembicaraan kami yang lirih dapat didengar oleh Pekheng.
Ketertegunan kami tadipun lantaran kejadian tersebut
sedikit diluar dugaan. Harap Pek-heng jangan menaruh curiga
kepada kami!”
Hoa In-liong mengangguk, “Kalau toh demikian, apa salah
kalau Bo-heng terangkan secara langsung latar belakang
persoalan yang membebani benak kalian? Asal tidak
melanggar soal kebenaran dan keadilan, bilamana
memerlukan tenagaku, dengan senang hati aku bersedia
membantunya”

581
Kembali suatu pembicaraan yang menunjukkan bahwa
pengalamannya masih kurang, sebab walaupun latar belakang
persoalan diketahuipun tidak sepantasnya mengucapkan katakata
seperti itu.
Dalam hati kecilnya Liat Ceng-poh menggerutu, tapi
diluaran dia manggut berulang kali. “Yaa…. Yaa…. Kami
berdua memang sangat mengharapkan bantuan dari saudara
Pek”
Sesudah berhenti sebentar, ujarnya kembali, “Beginilah
duduk persolan yang sebenarnya. Beberapa hari berselang,
kami tiga bersaudara dengan mengikuti seorang sahabat
berangkat ke arah barat karena ada persoalan. Tak nyana
sewaktu tiba disekitar kota Mong-yang telah berjumpa dengan
serombongan manusia-manusia yang berdandan aneh….”
Penbicaraan yang bertele-tele itu segera membuat Hoa Inliong
jadi tak sabar, dahinya berkerut. ‘Saudara Liat,
bersediakah engkau untuk bercerita seringkasnya saja….?”
Liat Ceng-poh jadi tersipu sipu. Dengan wajah merah ia
tergagap tak mampu berbicara.
Be Si-kiat yang ada disampingnya segera menyela, “Jiko,
biar aku saja yang teruskan”. Sambil berpaling ke arah Hoa
In-liong dan menatapnya lekat-lekat, ia melanjutkan,
“Sebenarnya tujuan kami adalah mencari seseorang. Siapa
tahu walau sudah sampai di kota Hongyang
pun tak ada kabar beritanya, sahabat kami itu pun
mulai gelisah. Kebetulan dari arah depan muncul
serombongan manusia, maka diapun maju sambil numpang
tanya. Siapa tahu tatkala rombongan itu mendengar nama
dari orang yang hendak kami cari, tanpa banyak bicara lagi

582
segera menyerang kami dengan kejinya. Suatu pertarungan
sengitpun tak bisa dihindari….”
Selama pembicaraan berlangsung dia hanya menggunakan
istilah, “sahabat” serta “orang yang dicari”. Sekalipun
mengulanginya sampai beberapa kali tak pernah ia sebut
nama sebenarnya dari kedua orang tersebut.
Tentu saja Hoa In-liong dibikin tidak habis mengerti,
akhirnya dia menyela, “Sebenarnya siapakah sahabat kalian
itu? Dan siapakah pula yang hendak kalian cari?”
Mendengar pertanyaan tersebut, Be Si-kiat tertegun, lalu ia
menengadah dan celingukan kesana kemari dengan perasaan
tidak tenang.
Rupanya Hoa In-liong cukup memahami perasaan orang,
dengan suara setengah berbisik kata-nya, “Begini saja, tulislah
nama itu diatas meja dengan menggunakan air teh…. .!”
Lian Ceng-poh ada maksud untuk menghalangi rekannya,
tapi Be Si-kiat sudah terlanjur manggut. Setelah celupkan jeriji
tangannya ke air teh, diapun menulis tiga huruf diatas
meja….Hoa In-liong.
Agak terkejut Hoa In liong sewaktu dilihat namanya tertulis
dimeja, tapi sebelum ingatan selanjutnya melintas didalam
benak, Be Si-kiat telah menulis lagi tiga huruf…. Yu Siau-lam.
Bagaikan disambar geledek ditengah hari bolong, Hoa Inliong
menjerit tertahan, “Apa? Yu….”
Tiba-tiba ia sadar bahwa dinding ada telinganya, maka
sampai ditengah jalan ia telah mentahkan ucapannya itu.

583
Bersamaan waktunya juga Be Si-kiat maupur Liat Ceng-poh
menjerit kaget. “Kau….”
Menyaksikan suara terkejut dari dua orang itu, Hoa In-liong
tahu bahwa mereka sudah salah paham. Diapun tertawa lirih.
“Harap saudara berdua jangan meayalahkan diriku. Pada
hakekatnya akulah sebenarnya Hoa In-liong yang kalian cari”
Be Si-kiat dan Liat Ceng-poh agak tertegun, lalu saling
berpandangan tanpa mengucapkan sepatah katapun. Agaknya
mereka tidak percaya dengan pengakuan tersebut.
Terpaksa Hoa In-liong memberi keterangan lebih jauh,
“Sebetulnya aku diculik oleh Kiu-im kaucu, tapi kemarin malam
berhasil meloloskan diri dari mara bahaya. Telah kujumpai
pula Yu locianpwee. Pengakuanku dengan nama palsu tadipun
kulakukan lantaran keadaan yang terpaksa”
Setelah diberi penjelasan demikian, percayanya kedua
orang itu memang sudah percaya. Sayang tenaga dalam yang
mereka miliki sangat terbatas sehingga tak mampu untuk
mengutarakan isi hati mereka dengan ilmu menyampaikan
suara.
Maka setelah berhubungan untuk sesaat lamanya, Liat
Ceng-poh ambil keputusan untuk me-ngutarakan isi hatinya
dengan menulis dipermukaaan meja. Terbacalah ia menulis
demikian, “Yu kongcu ditawan orang. Tujuannya adalah
menyelidiki jejakmu. Kemarin saja mereka masih berada dikuil
Ceng-si-koan sebelah barat kota Hong-yang. Bagaimana
keadaannya sekarang, agaknya tak usah dijelaskan lagi”
Hoa In-liong jadi amat cemas, dengan ilmu menyampaikan
suara serunya kemudian. “Kalau begitu, ayoh. kita segera
berangkat!”

584
Liat Ceng-poh gelengkan kepalanya berulang kali. “Toako
sedang masuk kota cari bantuan. Bila bantuan telah tiba kita
baru berangkat”
“Apakah minta bantuan dari Yu locianpwe?” tanya Hoa Inliong
dengan wajah murung.
“Ooooh…. Kami tak akan berani mengganggu ketenangan
Yu locianpwe. Sebetulnya kami bersaudara adalah tamu-tamu
dari keluarga Yu. Rasanya tidak enak kalau mengganggu
ketenangan mereka, maka toako mencari bantuan dari rekanrekan
persilatan lainnya, tak lama lagi mereka pasti sudah
sampai disini”
Hoa In-liong mengerutkan dahinya semakin rapat sehabis
mendengar ucapan tersebut, “Perpisahan dalam sehari,
mungkin akan terjadi perubahan yang tak terhitung
banyaknya. Aku pikir lebih baik Liat heng melukiskan saja
bentuk badan dan dandanan mereka. Aku akan segera
berangkat. Daripada kalau terlalu lama akan mengakibatkan
terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan.”
Liat Ceng-poh berpikir sebentar, maka diapun menulis
diatas mejanya dengan air teh: ‘“Musuh berjumlah empat
orang. Seorang gadis baju merah, seorang laki-laki berdandan
pelajar, dua orang bersanggul tinggi berbaju imam warna
kuning dengan lengan baju sebatas sikut. Sekilas pandang
seperti jubah pendeta, tapi kopiahnya bundar dengan bagian
dadanya terbuka, kaus putih setinggi lutut, sepatu bot kulit,
tidak mirip dengan orang Tionggoan, usianya antara….”
Hoa In-liong tak sabar untuk membaca lebih jauh, setelah
membuang sekeping hancuran uang perak ke meja, ia
berseru, “Sampai jumpa didepan sana!”

585
Dengan langkah tergesa-gesa, ia menuruni anak tangga
dan berlalu dari sana.
Liat Ceng-poh dan Be Si-kiat saling berpandangan dengan
wajah tertegun, selang sesaat kemudian dia baru menghela
napas panjang. “Aaai…. Sungguh tak malu menjadi putranya
Hoa tayhiap!”
Dalam pada itu Hoa In-liong sudah kabur ke arah dermaga.
Dengan menumpang perahu peryeberang ia mendarat di
dermaga Bu-ko. Setelah mencari tahu jalan menuju ke Hongyang,
tanpa mengindahkan rasa kaget khalayak ramai, ia
kabur menuju ke kota tersebut dengan mengerahkan ilmu
meringankan tubuhnya.
Begitulah kalau orang selang diliputi kegelisahan, banyak
tugas yang harus diselesaikan ditinggalkan dengan begitu
saja. Siang malam dia melakukan perjalanan cepat untuk
menolong orang, padahal apakah orang itu masih berada
dikuil tak tahu.
Berbicara sesungguhnya, hal ini tak dapat salahkan dia
kalau begitu terburu-buru. Lantaran dia Yu Siau-lam
melakukan perjalanan jauh. Lan taran diapun pemuda itu
tertawan musuh. Sebagai seorang pendekar sejati, dalam
keadaan demikian walaupun nyawa harus dikorbankan,
pertolongan tetap harus diusahakan, mesti dia berada
dimanapun.
Perjalanan sejauh enam ratus li ditempuh olehnya dalam
waktu setengah hari satu malam. Ak-hirnya menjelang fajar
tibalah anak muda itu di tempat tujuan.
Selesai bersemedi untuk pulihkan kembali kekuatannya,
kebetulan saja kuil Ceng-si-koan baru saja buka pintu. Maka

586
berpura-pura sebagai pelancong ia masuk kedalam ruangan
kuil itu.
“Selamat pagi!” sapanya kepada imam penjaga pintu.
“Selamat pagi!” sahut toosu tersebut sambil balas memberi
hormat.
Baru saja Hoa In-liong hendak menggunakan kesempatan
tersebut untuk menanyakan apakah ada sekelompok manusia
asing menginap di kuil tersebut, tiba-tiba disudut ruangan kuil
itu ia saksikan berkelebatnya sesosok bayangan merah yang
lenyap dalam sekejap mata.
Dia masih ingat, diantara penculik Yu Siau-lam terdapat
seorang perempuan berbaju merah. Maka tanpa berpikir
panjang lagi ia menjejakkan kakinya ke tanah dan menyusup
ke depan.
Mereka menerobos masuk lewat pintu berbentuk bulan,
dibalik pintu adalah sebuah halaman, semuanya berbentuk
bulan, ketika ia tiba di pintu pertama, bayangan merah itu
lenyap dibalik pintu kedua.
Sekarang ia sudah melihat jelas bayangan punggung
bayangan merah itu. Bayangan tersebut memang bayangan
seorang perempuan, bahkan ia mengenal dengan potongan
badan orang itu.
Setelah berpikir sejenak, tiba tiba gumamnya seorang diri,
“Aneh, kenapa bisa dia….?”
Ternyata dara berbaju merah itu bukan lain adalah Giokkou-
niocu si perempuan kaitan kema-la Wan Hong-giok
adanya.

587
Wan Hong-giok pernah menaruh rasa cinta terhadapnya,
bahkan sikapnya begitu hangat dan mesranya. Malahan
sewaktu berpisah dia tunjakan sikap berat hati.
Tapi sekarang, bukan saja perempuan itu tidak
menemuinya, bahkan kalau bisa berusaha untuk
menghindarkan diri jauh-jauh.
Pelbagai kecurigaan lantas melintas dalam benaknya.
Dengan cepat ia menerobos masuk ke halaman samping dan
menelusuri serambi panjang.
Kebetulan dari arah depan situ muncul seorang tosu
berusia pertengahan. Dengan cepat Hoa In-liong membuang
semua pikirannya yang kalut. Sambil maju ke muka dan
memberi hormat katanya seraya tertawa, “Tolong tanya
totiang, apakah belakangan ini ada orang yang menumpang
disini?”
Mendengar pertanyaan tersebut, paras muka tosu berusia
pertengahan itu berubah hebat, tanpa sadar ia mundur
selangkah ke belakang.
“Sicu…. sicu….” Ucapannya tergagap tak jelas, sepatah
katapun tak mampu dilanjutkan.
Mengamati perubahan wajah orang, Hoa In-liong lantas
mengerti apa yang dipikir orang, de-ngan suara lirih, “Totiang
tak usah takut. Aku menjumpai seorang sahabat yang diculik
oleh beberapa orang itu. Aku datang kemari untuk menolong
jiwanya….”
Agak tenang perasaan imam setengah baya itu setelah
mendengar perkataan tadi. Diamatinya sekejap anak muda itu
dengan tajam, kemudian bertanya, “Apakah sicu dari marga
Hoa?”

588
“Yaa, aku adalah Hoa Yang”
Sekali lagi paras muka imam setengah baya itu berubah
hebat, serunya dengan cemas, “Cepat pergi dari sini sicu.
Beberapa orang itu justru sedang mencari dirimu!”
Tampaknya kebijaksanaan dan kemuliaan Hoat Thian-hong
telah diketahui oleh setiap orang sampai-sampai pendeta yang
tidak mengerti ilmu silatpun menaruh hormat kepadanya. Tak
heran kalau Hoa In-liong terharu sekali dibuatnya oleh
ketulusan imam tersebut.
Ia tertawa ewa, “Terima kasih banyak atas perhatian
totiang. Aku tak dapat pergi dengan begitu saja dari sini”
Imam setengah baya itu semakin gelisah. Ia mulai
mendorong pemuda itu dengan paksa.
“Ayoh, cepat pergi dari sini!. Beberapa orang itu
mempunyai ilmu siluman yang lihay. Ilmu hitam mereka tak
mungkin ditandingi dengan ilmu silat. Bila ingin menolong
orang datanglah malam nanti. Mungkin pinto dapat usahakan
suatu bantuan bagi diri sicu”
“Maksud baik tootiang biar kuterima dalam hati saja”
tampik Hoa In-liong sambil minggeleng “Aku percaya masih
sanggup untuk menjaga diri. Beritahu saja kepadaku tootiang
dimana beberap orang itu tinggal. Aku percaya mempunyai
akal untuk menyelamatkan jiwanya”
Ketika imam setengah baya itu tak berdaya mendorong
tubuhnya, sekali lagi ia awasi pemuda itu dengan tajam, tiba
tiba ia menghela napas panjang. “Aaai…. Jika sicu bersikeras,
tentu saja pinto tak dapat memaksa lebih jauh. Harap sicu
bersedia ingat baik-baik saja beberapa persoalan. Yang

589
terutama adalah kau harus berjanji kepada pinto agar segera
mengundurkan diri bila beberapa orang itu mulai menggotong
keluar sebuah hiolo darahnya”
Hoa In-liong tersenyum, “Baik, aku kuturuti permintaanmu
itu.”
Setelah pemuda itu memberi kesanggupannya, imam
setengah baya itu baru mengerling ke belakang sambil
berbisik, “Telusuri saja serambi ini, sampai diujung sana belok
kekiri. Disana ada halaman lagi. Sobatmu disekap dalam salah
satu ruangan tersebut. Sedang beberapa orang itu berada
dikedua belah sisi ruangan tahanan. Hati-hati sicu, jangan
gegabah”
Habis berkata imam itu berlalu dengan langkah tergesagesa,
seakan akan dia kuatir kalau perbuatannya diketuhui
oleh orang-orang tersebut.
Hoa In-liong mententeramkan dulu hatinya. kemudian
dengan langkah lebar maju kedepan menelusuri serambi tadi.
Benar juga, diujung serambi itu terdapat sebuah bangunan
yang berdiri terpencil dengan dikelilingi sebuah lapangan luas.
Dibelakangnya merupakan sebaris kamar kaum toosu,
semuanya berjumlah belasan buah. Mungkin tempat itu
biasanya disediakan buat tamu-tamu yang berziarah kesana….
Waktu itu, semua pintu ruangan tertutup rapat. Rupanya
beberapa orang itu belum bangun dari tidurnya.
Berdiri ditengah lapangan kosong, Hoa In-liong termenung
beberapa ssat lamanya, lalu denga suara lantang ia mulai
berteriak, “Saudara Siau-lam….! Saudara Siau-lam….! Kau ada
dimana?”

590
Cara ini memang suatu cara yang paling tepat. Bila Yu
Siau-lam masih bisa mendengar, maka pemuda itu akan tahu
bahwa dia sehat-wal’afiat. Asal lukanya tidak parah, Yu Siaulam-
pun akan berusaha untuk menunjukkan kamar
sekapannya. Dengan demikian lebih gampang bagi In-liong
untuk memberikan pertolongannya.
Sebaliknya jika luka yang diderita Yu Siau-lam parah sekali
atau jalan darahnya tertotok, diapun bisa segera merubah
taktiknya untuk memberi pertolongan.
Selain itu, Hoa In-liong bermaksud pula untuk mengundang
munculnya beberapa orang itu.
Ketika tiada jawaban yang terdengar, Hoa In-liong merasa
hatinya semakin tegang, sekali lagi ia berteriak, “Saudara
Siau-lam, engkau ada dima….?”
Sebelum ia menyelesaikan kata-katanya, mendadak
terdengar seseorang membentak dengan suara yang aneh.
“Bangsat dari mana yang berkaok-kaok macam gonggongan
anjing?”
Berbareng dengan suara bentakan itu, pintu kamar terbuka
lebar, menyusul kemudian muncullah tiga orang manusia
aneh.
Dua orang yang berada dipaling depan mengenakan jubah
warna kuning dengan rambut digu-lung menjadi satu. Usianya
antara tiga puluh tahunan, hidungnya besar seperti singa,
bibirnya tebal, tampangnya menyeramkan sekali.
Dibelakang kedua orang itu adalah seorang laki-laki berusia
dua puluh lima enam tahun. Berjubah pelajar dengan ikat
kepala hijau. Alis matanya melentik keatas. Panca inderanya
sempurna cuma sayang wajahnya agak pucat, matanya licik.

591
Sekilas pandangan dapat diketahui bahwa dia adalah seorang
manusia yang lebih banyak menggunakan akal busuk.
Dengan kerlingan tajam Hoa In-liong mengawasi beberapa
orang itu, lalu seraya menjura kata-nya dengan lantang, “Aku
bernama Pek-khi. Konon seorang sahabatku telah terjatuh ke
tangan saudara sekalian. Karenanya sengaja aku datang
kemari mohon kerelaan hati saudara sekalian untuk
melepaskan temanku itu. Untuk bantuan serta perhatian
kalian, aku akan merasa berterima kasih sekali”
Manusia berjubah kuning yang berada dipaling depan itu
segera tertawa seram. “Hee…. hee…. hee…. Enak benar kalau
berbicara, apa yang kau andalkan untuk mengajukan
pemohonan tersebut?”
Imam jubah kuning yang berada di belakangnya segera
menanggapi dengan alis berkerut dan dengusan dingin.
“Hmmm….! Orang ini berkaok-kaok macan orang edan,
sampai-sampai tidurku juga ikut terganggu, lebih baik
dimusnahkan saja daripada banyak ribut”
Tapi sebelum mereka sempat melakukan sesuatu tindakan,
laki-laki berdandan pelajar itu telah menyela, “Lapor susiok,
orang ini usianya masih sangat muda tapi tampangnya cukup
keren dan gagah.
Aku duga asal usulnya tentu luar biasa. Biar keponakan
bertanya kepadanya sebelum susiok meng ambil tindakan
lebih lanjut….”

ALWAYS Link cerita silat : Cerita silat Terbaru Cersil Online Klassik : Rahasia Hiolo Kumala 2 [Lanjutan 3 Maha Besar], cersil terbaru Cersil Online Klassik : Rahasia Hiolo Kumala 2 [Lanjutan 3 Maha Besar], Cerita Dewasa Cersil Online Klassik : Rahasia Hiolo Kumala 2 [Lanjutan 3 Maha Besar], cerita mandarin,Cerita Dewasa terbaru Cersil Online Klassik : Rahasia Hiolo Kumala 2 [Lanjutan 3 Maha Besar],Cerita Dewasa Terbaru Cersil Online Klassik : Rahasia Hiolo Kumala 2 [Lanjutan 3 Maha Besar], Cerita Dewasa Pemerkosaan Terbaru Cersil Online Klassik : Rahasia Hiolo Kumala 2 [Lanjutan 3 Maha Besar]
Anda sedang membaca artikel tentang Cersil Online Klassik : Rahasia Hiolo Kumala 2 [Lanjutan 3 Maha Besar] dan anda bisa menemukan artikel Cersil Online Klassik : Rahasia Hiolo Kumala 2 [Lanjutan 3 Maha Besar] ini dengan url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/12/cersil-online-klassik-rahasia-hiolo.html,anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel Cersil Online Klassik : Rahasia Hiolo Kumala 2 [Lanjutan 3 Maha Besar] ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,namun jangan lupa untuk meletakkan link Cersil Online Klassik : Rahasia Hiolo Kumala 2 [Lanjutan 3 Maha Besar] sumbernya.

Unknown ~ Cerita Silat Abg Dewasa

Cersil Or Post Cersil Online Klassik : Rahasia Hiolo Kumala 2 [Lanjutan 3 Maha Besar] with url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/12/cersil-online-klassik-rahasia-hiolo.html. Thanks For All.
Cerita Silat Terbaik...

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar