Bu-beng Cinjin tidak tahu kalau semalam Keng Giok-keng telah
bertarung melawan Tojin bisu tuli menyaksikan wajah pemuda itu
kusut dan layu, dikiranya dia sedang sedih karena kematian ayah
angkatnya. Maka cepat ujarnya, "Siang-sianseng, bagaimana kalau
pelaksaan janji itu kita tunda dua hari lagi?"
"Kenapa?"
"Selama ini dia amat disayang Sucouwnya, sedang hari ini adalah
hari jenasah Sucouwnya dikebumikan, perasaan sedih pasti sedang
mencekam hatinya. Lagi-pula secara adat kurang baik bila
pertarungan dilaksanakan pada saat seperti ini.”
"Perkataan Cinjin keliru besar. Pertama, janji ini aku buat semasa
Bu-siang Cinjin masih hidup dulu, jadi seharusnya diselesaikan
sebelum dia masuk liang tanah, dengan begitu kita baru bisa
menganggap dia datang sendiri memenuhi janji. Lagipula kalau
memang Lan sauhiap adalah cucu murid yang paling disayang Busiang
Cinjin, untuk menunjukkan rasa baktinya, diapun seharusnya
perlihatkan semua ilmu yang telah dipelajarinya dari perguruan di
depan layon Bu-siang Cinjin, agar Cinjin bisa ikut bangga karena
keberhasilan ilmu pedang cucu muridnya dan bisa beristirahat
dengan tenang dialam baka!"
"Ucapan ini sangat masuk diakal,” Bu-liang Totiang manggutmanggut,
"Giok-keng, kalau begitu anggap saja Sucouwmu ikut
hadir di arena pertarungan dan menyaksikan kau bertanding.”
Dengan diucapkannya perkataan itu, sama saja dia telah
melengkapi Siang Thian-beng dengan alasan ke tiga: membiarkan
Keng Giok-keng bertanding didepan kuburan Sucouw nya telah
memberikan rangsangan tidak berwujud kepadanya.
Bu-beng Cinjin segera berkerut kening, namun diapun harus
menghormati status Bu-liang Totiang sebagai seorang Tianglo,
kendatipun dihati kecilnya merasa sangat tidak puas, dia pun hanya
bisa berkerut kening saja.
Tiba tiba Pun-bu Thaysu berkata, "Siang-sicu, sewaktu kau
membuat pernjanjian dengan Bu-siang Cinjin tempo dulu, tujuannya
tentu hanya ingin beradu ilmu pedang saja bukan?"
"Betul. Tapi aku adalah angkatan muda, kata beradu tidak berani
kugunakan, lebih cocok kalau disebut minta petunjuk, karena kata
ini lebih sesuai.”
Bagaimanapun Bu-siang Cinjin sudah masuk ke liang kubur, biar
rendah hati sedikit pun tidak masalah.
"Kalau memang begitu, pertandingan pedang kali ini seharusnya
hanya sampai saling menutul bukan,” ucap Pun-bu Thaysu.
"Memang seharusnya begitu, tapi golok dan pedang tidak
bermata, seandainya terjadi luka atau salah bacok pun mungkin
masing-masing harus menuruti kehendak Thian.”
Sebagian besar tamu yang hadir disana pada menaruh rasa
simpatik kepada Keng Giok-keng, perkata an itu segera memancing
pembicaraan ramai diantara mereka.
Ada yang mengatakan, kalau bertanding pedang maka
seharusnya menang kalah ditentukan pada ilmu pedang, adu jurus
bukan adu kekuatan.
Ada pula yang mengatakan, meski luka memang susah dihindari
tapi bila menyebabkan pihak lawan terluka dalam, itu berarti dia
melukai lawan memakai tenaga dalam dan bukan terluka karena
jurus ilmu pedang. Karena itu seharusnya penggunaan tenaga
dalam harus dilarang.
Bahkan ada pula yang berpendapat menggetar lepas pedang
lawan dengan menggunakan tenaga dalam pun seharusnya
dilarang.
"Omintohud,” Put-bu Thaysu segera merangkap tangannya di
depan dada, "terluka tanpa sengaja memang susah dihindari, tapi
disengaja atau tidak sukar untuk ditentukan. Lolap berharap kedua
belah pihak sama-sama mempunyai perasaan welas asih, asal bisa
ditaati, itu sudah lebih dari cukup.”
Menggunakan kesempatan itu Bu-beng Cinjin segera ikut
menimbrung, "Sengaja atau tidak sengaja susah dipastikan dengan
mata telanjang. Masih untung ada Put-bu Thaysu yang bermata
tajam dan bijaksana. Bagaimana kalau dalam pertarungan kali ini,
biar Thaysu saja yang menjadi juri?"
Sebenarnya "perjanjian" ini termasuk perjanjian yang sifatnya
pribadi, sama sekali berbeda dengan perjanjian adu ilmu silat yang
biasanya terjadi antara dua perguruan karena dendam kesumat.
Bila perjanjian itu bersifat yang belakang, memang dibutuhkan
seorang juri untuk menyaksikannya, sementara kalau sifatnya hanya
pribadi tidak perlu.
Tapi kini Bu-beng Cinjin mengusulkan hal tersebut, sedang Punbu
Thaysu pun telah menyang-gupi, terpaksa Siang Thian-beng
harus menghormati Put-bun Thaysu, ketua ruang Tat-mo dari biara
Siau-lim ini dan menyetujuinya menjadi juri, sekalipun perasaan
persetujuan harus dilakukan dengan terpaksa.
Dengan cepat Siang Thian-beng telah meloloskan pedangnya, dia
memberi hormat terlebih dulu kepada peti mati Bu-siang Cinjin.
Seusai memberi hormat, dengan lantang dia baru berkata,
"Semenjak berusia tiga puluh tahunan, aku belum pernah
menggunakan golok atau pedang yang terbuat dari logam. Tapi hari
ini aku datang kemari adalah lantaran untuk memenuhi janjiku
dengan Ciangbun Cinjin dari Bu-tong-pay, andaikata tidak
menggunakan senjata berbentuk pedang, mungkin tindakanku itu
akan dianggap kurang hormat terhadap seorang Cianpwee, untuk
itu harap kalian semua maklum adanya!"
Biarpun penampilannya seolah menaruh rasa hormat terhadap
Bu-siang Cinjin, namun sikap angkuh dan jumawanya jelas sekali
terpancar keluar dari wajahnya.
Akan tetapi apa yang dikatakan memang benar. Apabila ilmu
pedang dapat dilatih hingga mencapai tingkat kesempurnaan, setiap
benda yang ditemukan dapat dipergunakan sebagai pengganti
pedang, bahkan tanpa pedang di tangan pun tetap dapat
mempergunakan ilmu pedang.
Seperti contohnya kemarin, sewaktu dia "beradu pedang"
melawan Seebun-hujin, "pedang" yang dipergunakan Seebun-hujin
hanya berupa sebatang ranting pohon, sedangkan pedangnya
hanyalah sepasang tangan kosong.
Chin Ling-hun, sahabat karib Kok thiat-cing segera tertawa
dingin, ejeknya, "Gayanya sok, ngibulnya gede. Sudah jelas yang
tua menganiaya yang muda, lagaknya masih memuakkan. Huuuh,
menangpun tidak gagah, apalagi kalau kalah, bikin malu saja.
Memang paling enak kalau segala kesalahan dilimpahkan kepada
Bu-siang Cinjin.”
Chin Ling-hun termasuk juga seorang jago pedang kenamaan,
dia seharusnya termasuk juga seorang pendekar dengan
pengetahuan luas, perkataan itu terang terangan bermaksud
mengejek Siang Thian-beng, membuat para tamu yang sebagian
besar memang menaruh simpatik kepada Keng Giok-keng segera
tertawa terbahak-bahak.
Siang Thian-beng mendengus dingin, katanya, "Aku tidak pernah
menggubris segala omongan orang, siapa saja yang merasa tidak
puas, selesai pertandingan pedang ini, silahkan saja ikut merasakan
kehebatan pedang tanpa wujudku.”
Kontan meledak hawa amarah Chin Ling-hun, teriaknya nyaring,
"Begitu selesai bertanding, asal kau belum mampus, akulah orang
pertama yang akan minta pelajaran darimu.”
Buru-buru Bu-liang Tianglo melerai, serunya, "Saudara sekalian,
harap melihat wajah Pun-bu Thaysu dan pinto, jangan membuat
masalah baru lagi.”
Pun-bu Thaysu adalah juri, dengan sengaja menarik nama Punbu
Thaysu, Bu-liang Tianglo bermaksud meningkatkan bobot
perkataan sendiri.
Betul saja, suasana yang mulai gaduh pun seketika menjadi
hening kembali, semua orang tidak berani banyak bicara.
Dalam pada itu Pun-bu Thaysu telah menghampiri Keng Giokkeng
sambil bertanya, "Siau-sicu, apakah belakangan kau baru saja
sembuh dari sakit parah?"
Diam-diam Keng Giok-keng merasa tercekat, pikirnya, 'Sungguh
lihay ketajaman mata hwesio tua ini'
Namun dia segera menjawab, "Tidak.”
"Baguslah kalau tidak. Aku lihat semangatmu sedikit kurang
bagus, karena itu sengaja bertanya begitu. Bagus, bangkitkan
semangatmu dan gunakan pedang sesuai dengan kemampuanmu.
Bagi seorang jago, begitu turun tangan segera akan diketahui berisi
atau tidak, jangan kau pikirkan masalah menang kalah!"
Sambil berkata dia segera menepuk bahu Keng Giok-keng.
Begitu ditepuk, Keng Giok-keng merasakan ada segulung aliran
hawa panas mengalir masuk lewat Cian-cing-hiat di bahunya dan
dalam waktu singkat menye-bar ke seluruh tubuh, dia merasakan
semangatnya seketika berkobar.
Sadar kalau secara diam-diam Pun-bu Thaysu telah
membantunya, dia segera berkata, "Terima kasih atas dorongan
semangat Thaysu.”
Selesai berkata dia segera meloloskan pedangnya dan tampil ke
tengah arena.
Sementara itu Siang Thian-beng telah memasang kuda-kuda,
sorot matanya dicurahkan ke ujung pedang, mimik mukanya serius,
seolah sedang menghadapi musuh tangguh.
Bertarung melawan singa menggunakan sepenuh tenaga,
berbarung melawan kelinci tetap menggunakan sepenuh tenaga,
inilah ajaran seorang jago lihay kelas satu untuk mempertahankan
prinsipnya tidak kalah. Jangan takut sepuluh laksa, yang dikuatirkan
justru seandainya terjadi. Hanya menggunakan sikap yang sama
seriusnya dalam menghadapi setiap masalah, kau baru bisa berjagajaga
atas terjadinya segala kemungkin-an.
Bagi seorang jago silat, begitu turun tangan segera akan
ketahuan berisi atau tidak. Tapi begitu Siang Thian-beng memasang
kuda-kuda, dia segera memperlihatkan kewibawan dari seorang
jago silat kenamaan.
Siang Thian-beng tersohor sebagai seorang jago pedang dengan
julukan Rasul pedang, sebaliknya Keng Giok-keng meski merupakan
cucu murid yang memperoleh warisan langsung dari Bu-siang Cinjin,
namun dia tidak lebih hanya seekor anak ayam yang baru menetas,
maka tidak heran sikap serius yang diperlihatkan jago pedang itu
terhadap pertarungan yang segera berlangsung membuat setiap
orang merasa tercengang dan di luar dugaan.
Akan tetapi sikap seriusnya itu mengartikan juga bahwa dia
menaruh rasa hormat terhadap Bu-siang Cinjin, hal ini membuat
para murid Bu-tong-pay disatu sisi merasa sangat puas, disisi lain
menguatirkan juga keselamatan Keng Giok-keng.
Bahkan Bu-beng Cinjin yang sangat mengetahui kehebatan ilmu
pedang Keng Giok-keng pun diam-diam berpikir, "Semoga saja dia
dapat bertahan tiga sampai lima puluh gebrakan, walaupun akhirnya
kalah, rasanya dia tetap kalah dengan terhormat.”
Di bawah sorot mata banyak orang Keng Giok-keng telah
berjalan menuju ke hadapan Siang Thianbeng, ujarnya sembari
melintangkan pedangnya di depan dada, "Siang sianseng jauh-jauh
datang sebagai tamu, silahkan melancarkan serangan lebih dahulu!"
Mula-mula Siang Thian-beng agak tertegun, kemudian sahutnya
sambil tertawa, "Benar, kau adalah wakil Bu-siang Cinjin, aku tidak
boleh memandang kau sebagai seorang murid angkatan muda dari
Bu-tong-pay. Bila memutar balikkan tata sopan santun, hal ini justru
akan memperlihatkan sikap tidak hormatku kepada Bu-siang Cinjin.”
Bicara sampai disitu segera bentaknya, "Lihat serangan!"
Cahaya pedang secepat sambaran petir segera menyapu ke
depan.
"Triiing....!" Keng Giok-keng mundur selangkah.
Siang Thian-beng segera melancarkan tiga jurus serangan
berantai, serangannya tiba susul menyusul.
Jurus kedua ganas bagaikan bianglala panjang yang membabat
ke arah pinggang, jurus ke tiga telengas bagaikan rantai baja yang
langsung menusuk ulu hati.
"Triiiing, triiiing, triiiing!" selesai terjadi tiga kali dentingan
nyaring, tubuh Keng Giok-keng mundur lagi sejauh tiga langkah,
namun dilihat dari mimik wajahnya, pemuda itu masih nampak
tenang dan santai, sedikitpun tidak ada pertanda menderita
kekalahan.
Kejadian ini kontan saja memancing perasaan kaget bercampur
keheranan dari para hadirin, bahkan Put-po yang berdiri di samping
Bu-beng Cinjing pun berbisik lirih, "Tidak kusangka Giok-keng-sutit
berhasil memahami semua intisari pelajaran silat dari perguruan
kita!"
Intisari pelajaran ilmu silat Bu-tong-pay adalah "dengan lembek
mengatasi keras", ketika menghadapi tiga jurus serangan dahsyat
dari Siang Thian-beng tadi, Keng Giok-keng memang benar-benar
memperlihatkan kehebatan dari tehnik empat tahil membelokkan
ribuan kati.
Siang Thian-beng mendengus dingin, kembali dia melanjutkan
serangan mautnya, setiap ancaman muncul bagaikan gulungan
ombak di sungai Tiangkang yang mengalir dan menggulung dengan
hebatnya.
Keng Giok-keng menciptakan lingkaran pedangnya satu per satu,
lingkaran-lingkaran besar, lingkaran kecil, lingkaran bulat, lingkaran
loncong, dalam lingkaran terkandung lingkaran lain, setiap lingkaran
yang tercipta segera memunahkan satu bagian tenaga serangan
dari Siang Thian-beng.
Tanpa terasa tiga puluhan gebrakan sudah lewat tanpa bisa
menentukan siapa menang siapa kalah.
Senyuman puas mulai tersungging diujung bibir Bu-beng Cinjin
maupun Pun-bu Thaysu, pikir mereka, "Sekalipun bocah ini bakal
kalah saat ini, namun keberhasilan yang telah dicapainya tetap akan
mempertahankan nama baik Bu-tong-pay, justru yang paling
dikuatirkan sekarang adalah dia tidak tahu diri dan merangsek
terus.”
Seandainya Keng Giok-keng menyerah kalah saat itu, boleh
dibilang walaupun kalah namun dia kalah dengan cemerlang, bagi
nama baik pihak Bu-tong-pay sendiripun akan semakin bertambah
dan sama sekali tidak akan menderita kerugian apa pun (perlu
diketahui, dia tidak lebih hanya cucu murid Bu-siang Cinjin).
Tentu saja keputusan tersebut hanya bisa diambil oleh pihak
yang bersangkutan, sementara penonton tidak bisa melampaui
wewenang tersebut.
Namun Keng Giok-keng sama sekali tidak punya niatan untuk
mundur, dia masih tetap mematahkan setiap jurus yang datang,
memunahkan setiap gerakan yang mendekat, bahkan dia seolah
sudah terlelap dalam kondisi lupa diri, sama seperti Siang Thianbeng,
seluruh pikiran, tenaga dan konsentrasinya telah terpusat di
ujung pedang lawan.
Oleh karena kedua belah pihak sama-sama bersikap begitu,
tampaknya sebelum menang kalah diketahui, pertarungan tersebut
tidak mungkin akan berhenti dengan begitu saja.
Bu-beng Cinjin selain girang diapun merasa kuatir, gembira
karena tidak mengira seorang murid angkatan mudanya sanggup
bertarung hampir lima puluh gebrakan lebih melawan si Rasul
pedang. Kuatir karena pada akhirnya Keng Giok-keng bakal kalah,
sekalipun kekalahannya tidak sampai merusak nama baik Bu-tongpay,
namun pemuda itu sendiri mungkin kalau tidak mati bakal
menderita luka parah.
Siang Thian-beng mengembangkan ilmu pedangnya dengan
hebatnya, gerak serangannya ibarat burung elang yang terbang di
angkasa, menyambar dan menukik tidak menentu.
Begitu hebatnya gempuran yang dilancarkan membuat kening
Keng Giok-keng mulai dibasahi keringat sebesar kacang kedele.
Sementara itu Bu-beng Cinjing, Bu-si Tojin serta Put-po Tojin
yang merupakan jago-jago pedang dari Bu-tong-pay merasa
teramat terperanjat, ternyata mereka dapat melihat bahwa dibalik
sifat keras dari ilmu pedang Siang Thian-beng terkandung pula sifat
lembek, terutama gaya pedangnya sewaktu berputar dan menari
diudara ibarat gelombang samudra yang mengembang ke empat
penjuru, bahkan secara lamat-lamat terkandung "makna" dari ilmu
pedang Thay-kek-kiam-hoat.
Walaupun hingga detik itu Keng Giok-keng masih sanggup
menghadapi datangnya semua ancaman, namun dalam pandangan
ke tiga orang jago pedang ini, permainan pedang Keng Giok-keng
boleh dibilang telah dikuasahi pihak lawan.
Diam-diam Keng Giok-keng menarik napas panjang, dalam hati
dia berbisik, "Biarkan dia menindih bagaikan gunung Thay-san,
kutanggapi seperti hembusan angin sejuk.”
Seketika itu juga pikirannya pulih kembali dalam kesegaran,
gerakan pedangnya ringan bagai lambaian pohon Liu, meski ringan
dan lembek namun tidak akan bisa dihancurkan oleh hembusan
angin puyuh sekali-pun.
Tanpa terasa timbul juga perasaan "sayang" Siang Thian-beng
atas bakat bagus pemuda itu, tapi pikiran lain segera melintas, "Jika
aku membiarkan bocah ini bertahan sampai seratus gebrakan lebih,
harus kutaruh ke mana wajahku ini dihadapan para enghiong,
apalagi mau membuka perguruan besar!"
Nama dan status seketika mengalahkan rasa sayangnya atas
bakat pemuda itu, sambil menggigit bibir dia segera mengeluarkan
jurus pamungkas lain yang lebih ganas dan telengas.
Tampak cahaya pedang menyambar bagaikan sambaran kilat,
begitu silau dan menusuk mata membuat para jago yang menonton
disekeliling arena pun merasakan matanya ikut sakit hingga nyaris
tidak sanggup dibuka kembali.
Dalam keadaan seperti ini, sekalipun. Keng Giok-keng mengerti
tehnik "empat tahil membelokkan ribuan kati", namun bila tidak
mampu melihat jelas datangnya serangan lawan, mana mungkin dia
bisa mengeluarkan jurus untuk menghadapinya?
Baru saja Bu-beng Cinjin akan mempertaruhkan nama baiknya
untuk mewakili Keng Giok-keng mengaku kalah, mendadak satu
kejadian yang sama sekali tidak terduga telah berlangsung di depan
mata.
Di tengah pertarungan yang begitu sengit, tiba-tiba saja Keng
Giok-keng memejamkan sepasang matanya.
Kalau dibicarakan memang sungguh aneh, begitu dia pejamkan
mata, gerak serangannya jadi lebih santai, setiap jurus yang
digunakan secara kebetulan dan pas selalu berhasil memunahkan
serangan lawan, sikapnya yang semula tegang pun kini jadi lebih
santai, lambat laun peluh yang semula membasahi jidatnya
berangsur menghilang.
Put-po betul-betul kesemsem dibuatnya, dengan mata terbelalak
tanpa berkedip dia ikuti terus pertarungan yang sedang
berlangsung.
Tiba-tiba tanyanya kepada Bu-beng Cinjin, "Aku.... aku sama
sekali tidak menyangka kalau Giok-keng-sutit berhasil melatih ilmu
pedangnya hingga mencapai tingkat begitu sempurna, bagaimana....
bagaimana cara dia melatihnya? Rasanya belum pernah tercatat
dalam ilmu pedang perguruan kita.”
Bu-beng Cinjin sendiripun terperangah menyaksikan kehebatan
anak muda itu, berapa saat kemudian dia baru menjawab, "Tentu
saja tidak ada catatan dalam ilmu pedang kita, yang dia pakai
adalah ajaran sang koki menjagal sapi, melihat tapi tidak melihat,
kalau seseorang berhasil mencapai tingkatan seperti ini, memang
tidak perlu lagi jurus atau gerakan serangan.”
"Berarti Giok-keng-sutit telah berhasil mencapai tingkatan seperti
itu?" tanya Put-po terperanjat.
"Aku tidak tahu karena aku sendiripun belum pernah mencapai
tingkatan seperti itu. Tapi menurut penilaianku, kendatipun belum
mencapai tingkatan seperti itu, paling tidak sudah mendekatinya.
Put-po, kau paling memahami seluk beluk ilmu pedang perguru an
kita, coba kau perhatikan apakah ke dua jurus serangannya telah
mencapai dari tiada menjadi ada, dari ada menjadi tiada?"
Yang dimaksudkan sebagai dari tiada menjadi ada, dari ada
menjadi tiada? Adalah menitik beratkan pada "niat pedang".
Apabila seseorang dapat mencapai pemahaman atas ilmu pedang
tingkat tinggi maka setiap gerakan yang dilakukan seadanya bisa
berubah menjadi jurus serangan maut, yang tampak seolah tanpa
jurus sesungguhnya mengandung jurus serangan yang luar biasa.
Antara "tiada" dan "ada" sudah bukan merupakan wujud yang bisa
terlihat dengan nyata, karena kedua sifat itu telah membaur jadi
satu. Itulah sebabnya orang kuno mengatakan: dari tiada bisa
diperoleh ada, seakan ada namun tetap tiada.
Put-po manggut-manggut, ujarnya, "Perkataan Ciangbunjin
memang benar, walaupun gerak serangan yang dipergunakan Giokkeng
sutit sama sekali tidak mengandung unsur ilmu pedang
perguruan kita, akan tetapi bila diamati lebih teliti, dapat dilihat
adanya sifat dari Thay-kek-kiam-hoat, hanya saja sungguh aneh,
kenapa ilmu pedang milik Siang Thian-beng pun seakan
mengandung juga unsur dari ilmu pedang kita?"
"Pernyataanmu itu hanya benar separuh,” kata Bu-beng Cinjin.
"Harap Ciangbunjin mau memberi petunjuk.”
"Memang benar, ilmu pedang dari Siang Thian-beng ada berapa
bagian mirip unsur Thay-kek-kiam-hoat-kiam aliran kita, tapi inti
utama dari jurus serangan nya masih tetap ilmu pedang
perguruannya, Hui-eng-hwee-sian-kiam-hoat. Berbicara tentang
tingkatan yang berhasil dicapai, dia masih kalah setingkat bila
dibandingkan Giok-keng.”
Put-po Tojin adalah seorang "gila pedang", sebenarnya dia ingin
manfaatkan kesempatan itu untuk minta petunjuk yang lebih banyak
dari Bu-beng Cinjin, namun melihat pertarungan yang berlangsung
di tengah arena telah memasuki babak yang paling gawat dan
tegang, dia kuatir terlewat melihat satu dua perubahan hebat yang
bakal muncul, maka dia tidak banyak berbicara lagi dan segera
memusatkan seluruh perhatian ke tengah arena pertarungan.
Sementara Put-po dan Bu-beng membicarakan tehnik dan intisari
dari ilmu pedang, maka sebagian besar tamu hanya melihat
"keramaian" dan bukan menyaksikan "kehebatan tehnik" nya.
Selama ini Keng Giok-keng hanya memejamkan mata, dia seolaholah
benar-benar memandang tapi tidak melihat, mendengar tapi
tidak mendengar.
Tidak kuasa lagi semua orang bersorak-sorai memuji kehebatan
Keng Giok-keng, bahkan ada yang mulai mengejek, "Hahahaha....
katanya saja Rasul pedang, ternyata tidak mampu mengungguli
seorang bocah yang memejamkan mata!"
"Aaah belum tentu, coba lihat si Rasul pedang masih menguasai
enam, tujuh bagian penyerangan!"
"Tapi musuhnya memejamkan mata, biar menang pun tetap
tidak gagah, apalagi kalah!"
"Coba kalian lihat, tampaknya sewaktu bocah itu memejamkan
mata, dia jauh lebih lihay daripada sewaktu membuka matanya.”
"Kalian semua tidak tahu, cahaya pedang dari Rasul pedang yang
berkilauan seperti halilintar, hanya dengan pejamkan mata dia baru
tidak merasakan silau.”
Walaupun orang terakhir yang mengucapkan perkataan itu tidak
mengerti teori ilmu pedang tingkat tinggi, namun apa yang
dijelaskan memang merupakan kenyataan.
Sindiran dan ejekan dari orang orang itu kontan saja membuat
Siang Thian-beng berang, dengan mempertaruhkan nama baiknya
tiba-tiba dia melancarkan serangan mematikan.
Terlihat cahaya pedang bagaikan sambaran petir itu mendadak
membelah bumi, diiringi kilatan bianglala berwarna perak, Siang
Thian-beng membentak nyaring, melambung ke udara dan
menyerang dari tengah udara.
Dia telah menggunakan jurus pamungkasnya yang terakhir dari
ilmu pedang Hui-eng-hwe-sian-kiam-hoat.
Sebagian jago yang hadir di arena adalah tokoh silat yang
menguasai ilmu silat tingkat tinggi, mereka terkejut juga setelah
melihat dia mengeluarkan jurus tangguh itu. Bahkan Bu-beng Cinjin
yang selama ini menaruh kepercayaan tinggi terhadap Keng Giokkeng
pun ikut ' erubah mukanya.
Gerak serangannya ini ibarat bumng elang yang terbang di
angkasa lalu berputar, menukik sambil menyerang ke bawah, di
antara gerakan pedangnya yang menukik sambil meliuk-liuk itu,
paling tidak terkandung sembilan macam pembahan.
Tiga puluh tujuh tahun berselang, ketika gurunya, Hian-tin-cu
bertarung melawan Bu-siang Cinjin, waktu itu Hian-tin-cu sempat
menggunakan jurus pamungkas ini, saat itu Bu-siang Cinjin hanya
mampu memunahkan gerakan serangannya saja.
Sekalipun pada akhirnya Bu-siang Cinjin berhasil memenangkan
pertarungan, namun berbicara soal jurus serangan ini, Bu-siang
Cinjin hanya mampu memunahkannya dan bukan mematahkan
gerak serangan itu.
Saat itu, dalam jurus serangan yang dilancarkan Hian tin-cu
hanya tersisip tujuh jenis perubahan, sementara jurus yang
digunakan Siang Thian-beng saat ini mengandung sembilan jenis
perubahan.
Sekalipun jago yang menguasahi tehnik empat tahil
membelokkan ribuan kati pun tidak mungkin baginya untuk
memunahkan satu jums dengan sembilan gerakan itu dalam waktu
singkat. Apalagi tenaga dalam yang dimiliki Siang Thian-beng jauh
di atas kemampuan Keng Giok-keng.
Mampukah Keng Giok-keng menghadang sergapan dari tengah
udara yang cepat bagaikan sambaran geledek dan disertai
perubahan yang serba pelik dan rumit?
Sementara semua orang menahan napas karena tegang, tampak
Keng Giok-keng ikut melambung pula ke udara, gerakan pedangnya
membentang bagaikan burung bangau pentang sayap.
Menyaksikan hal ini, para murid Bu-tong-pay yang dengan
tingkatan yang lebih tinggi jadi semakin kaget.
Dulu, sewaktu Bu-siang Cinjin mematahkan jurus serangan itu,
yang dipergunakan adalah jurus Twie-cong-kan-gwat (mendorong
jendela memandang rembul an), sebuah jurus serangan sederhana.
Twie-cong-kan-gwat adalah gerakan lurus disertai tenaga
serangan, meski nampak sederhana tanpa sesuatu yang hebat,
namun dengan kesederhanaan itu dia berhasil meraih kemenangan.
Berbeda sekali dengan jurus Pek-hok-liang-ci, bukan saja gerak
serangannya melebar bahkan harus terjadi bentrok kekerasan
dengan pihak lawan.
Dengan gelisah Bu-beng Cinjin berpikir, "Katanya bocah ini sudah
menguasahi ilmu pedang tingkat tinggi, kenapa tiba-tiba melakukan
tindakan bodoh?"
Tiba-tiba dia menyaksikan ternyata dalam menggunakan jurus
serangan ini Keng Giok-keng masih tetap menggunakan tehnik, ada
tapi tiada, bentuknya menyerupai Pek-hok-liang-ci namun niat
pedangnya justru berbeda.
Namun sekalipun begitu, Bu-beng Cinjin masih tetap
menguatirkan keselamatan Keng Giok-keng, dia kuatir, sekalipun
bocah itu dapat mematahkan jurus tersebut tapi berhubung
tubuhnya masih melambung di udara, lagipula harus terjadi bentrok
kekerasan, paling tidak hasil pertarungan ini bisa menyebabkan
kedua belah pihak sama-sama terluka parah.
Malahan kalau sedikit saja kurang berhati-hati, mungkin dia harus
kehilangan selembar nyawanya.
Tampaknya kedua belah pihak segera akan bentrok ditengah
udara! Mendadak terlihat selapis awan merah muncul di tengah
udara, ternyata Pun-bu Thaysu telah melepaskan jubah lhasa
berwarna merahnya dan dibabatkan ke depan menerobos dua kilas
cahaya pedang itu.
"Traaaang....!" terdengar dua kali dentingan nyaring, dua bilah
pedang sama-sama rontok ke tanah. Jubah lhasa milik Pun-bu
Thaysu pun berubah jadi hancuran kecil dan tersebar bagaikan
kupu-kupu.
Keng Giok-keng terpental sejauh beberapa jengkal dan roboh
terduduk di atas tanah, sementara Siang Thian-beng mundur sejauh
enam, tujuh langkah lebih, paras mukanya tampak amat tidak sedap
dipandang.
Bu-si Tojin melotot sekejap ke arah Siang Thian-beng kemudian
berjalan menghampiri Keng Giok-keng dan membangunkan dirinya
sambil bertanya, "Anak Keng, bagaimana keadaanmu?"
Di antara empat orang Tianglo dari Bu-tong-pay, dia menempati
posisi ke dua sedang ilmu pedangnya menempati posisi pertama,
tujuh puluh dua jurus ilmu pedang Lian-huan-toh-beng-kiam-hoat
yang dimiliki Keng Giok-keng tidak lain adalah hasil belajar darinya.
Sama seperti Bu-siang Cinjin, dia pun selama ini amat sayang
terhadap Keng Giok-keng. Pikirnya lagi, 'Bila anak Keng sampai
terluka dalam, aku bersumpah tidak akan melepaskan Siang Thianbeng!'
"Aku tidak apa-apa,” sahut Keng Giok-keng perlahan, "aku hanya
merasa malu bercampur menyesal, malu dan menyesal....”
Yang dia maksudkan sebagai malu dan menyesal karena tidak
mampu mengalahkan pihak lawan.
"Kau tidak perlu malu dan menyesal,” Bu-si Tojin segera
menghibur, "bukan saja tidak perlu malu dan menyesal bahkan hasil
pertarunganmu telah membuat pamor perguruan kita menjadi lebih
cemerlang. Dalam ilmu pedang, kau sama sekali tidak kalah dari
manusia yang menyebut dirinya Rasul pedang!"
Sebenarnya ungkapannya yang mengandung "Penilaian" hanya
pantas diucapkan seorang juri dan tidak cocok diucapkan Bu-si
Tojin. Tapi pendeta ini benar-benar tidak kuasa mengendalikan rasa
gusar dan dongkolnya sehingga tidak tahan diutarakan juga.
Kondisi tubuh Keng Giok-keng saat itu bagaikan orang yang baru
sembuh dari sakit parah, seluruh tubuhnya amat lemah.
Ketika dibimbing bangun Bu-si Tojin, terlihat tubuhnya masih
gontai sebelum dapat berdiri tegak.
Menyaksikan hal ini, semua hadiripun berpikir, "Sekalipun dia
tidak sampai menderita luka dalah, tapi dalam kenyataan telah
dirobohkan oleh tenaga dalam lawan. Eehm, lalu siapa yang berhak
menjadi pemenang dalam pertandingan pedang ini?"
Perlu diketahui, meski sebelum pertandingan pedang sudah ada
yang mengusulkan dilarang menggunakan tenaga dalam untuk
melukai lawan, tapi dirobohkannya Keng Giok-keng oleh pukulan
tenaga dalam lawan adalah masalah lain, lagipula pertarungan
belum sampai berakhir, Pun-bu Thaysu telah memisahkan mereka
berdua, kejadian semacam inipun merupakan pelanggaran
peraturan dunia persilatan, lalu apa yang harus dilakukan sekarang?
Perhatian semua jago yang hadir diarena sama-sama dialihkan ke
wajah Pun-bu Thaysu.
Terdengar Pun-bu Thaysu mendeham beberapa kali, kemudian
baru berkata, "Aku terpaksa harus memisahkan kalian berdua
karena memang keadaan memaksa. Bila kalian menganggap lolap
tidak pantas berbuat begini apalagi sebagai seorang juri, lolap
bersedia untuk melepaskan jabatan ini. Tapi menurut pendapat
lolap, hasil pertarungan barusan adalah seri, tidak ada yang menang
dan tidak ada yang kalah. Entah bagaimana menurut pendapat
Siang-sicu?"
Walaupun sebagian besar para jago yang hadir menaruh simpatik
kepada Keng Giok-keng, namun semua orangpun berpendapat
bahwa keputusan yang diambil Pun-bu Thaysu jelas lebih membelai
pihak Keng Giok-keng, tanpa terasa orang orang itu berpikir, "Keng
Giok-keng telah dijatuhkan, sementara keadaan Siang Thian-beng
masih bagaikan lentera yang belum kehabisan minyak, mana mau
dia menerima keputusan ini?"
Siapa tahu diluar dugaan banyak orang, tampak Siang Thianbeng
berdiri dengan wajah yang berubahubah, sebentar berubah
jadi hijau membesi sebentar kemudian berubah jadi merah padam.
Akhirnya dengan suara sedih katanya, "Tidak, akulah yang kalah!
Pun-bu Thaysu, terima kasih kau telah memberi muka kepadaku,
tapi kalah tetap kalah, aku tidak boleh mengingkari kenyataan ini!"
Begitu ucapan tersebut diutarakan, kontan saja para jago berdiri
terperangah dan melongo, mereka bingung dan tidak habis
mengerti.
Pada saat itulah segulung angin berhembus lewat, tiba-tiba
terlihat ada segumpal robekan kain berbentuk bulat yang besarnya
seperti mata uang tembaga terbang melayang di angkasa. Darimana
datangnya robekan kain itu?
Setelah diamati lebih seksama, semua orang baru tahu kalau
pakaian di bagian dada Siang Thian-beng telah bertambah dengan
sebuah lubang, besar lubang itu persis seperti sebuah mata uang.
Kini para jago baru menyadari, ternyata Siang Thian-beng
memang sudah menderita kekalahan.
Padahal tadi mereka berdua baru saja akan bentrok satu sama
lainnya, sementara bentrokan itu belum sampai terjadi, mereka
berdua telah dipisah Pun-bu Thaysu.
Biarpun belum terjadi benturan, namun tenaga dalam kedua
belah pihak telah dipusatkan di ujung pedang, bahkan telah
memancarkan hawa pedang tanpa wujud.
Oleh sebab itu walaupun ujung pedang Keng Giok-keng belum
sampai menyentuh tubuh Siang Thian-beng, namun hawa pedang
tanpa wujudnya telah merobek pakaiannya lebih dahulu.
Dengan teori yang sama seperti di atas, pukulan terakhir yang
dilancarkan Siang Thian-beng meski belum sampai mengenai tubuh
Keng Giok-keng, namun Keng Giok-keng seakan sudah terkena
tenaga pukulan itu dan roboh terjungkal diterjang hawa pukulan
lawan.
Untung Pun-bu Thaysu memisahkan mereka berdua tepat waktu
sehingga kedua orang itu tidak sampai terluka.
Atau dengan perkataan lain, andaikata di saat yang kritis itu jika
Pun-bu Thaysu tidak segera turun tangan, akibatnya kedua belah
pihak pasti sama-sama terluka parah.
Namun meski kedua belah pihak sama-sama terluka, taraf luka
yang diderita pun berbeda.
Bagi Keng Giok-keng, tentu saja dia akan menderita luka dalam
yang amat parah, namun belum tentu sampai menyebabkan dia
kehilangan nyawa. Sebab meski jurus pedangnya dilancarkan
belakangan akan tetapi telah mencapai sasaran duluan, bila Siang
Thian-beng sudah terluka lebih dulu oleh tusukan pedang, otomatis
serangannya tidak akan mampu membacok tubuh Keng Giok-keng,
itu berarti dia hanya bisa mengandalkan tenaga dalam yang
dilontarkan kemudian untuk melukai anak muda itu.
Sebaliknya bila tusukan pedang Keng Giok-keng itu tidak kenal
ampun, dapat dipastikan dada Siang Thian-beng pasti sudah
tertembus oleh pedang lawan.
Inilah alasan kuat yang memaksa Siang Thian-beng mau tidak
mau harus mengakui kekalahannya.
Pucat pias selembar wajah Siang Thian-beng, mendadak dia
tertawa kalap, serunya, "Seorang cucu murid Bu-siang Cinjin saja
sudah demikian hebatnya, aku masih berkhayal ingin bertarung
melawan dia orang tua, benar-benar bagaikan katak dalam
tempurung. Kionghi kalian Bu-tong-pay telah muncul seorang
pendekar muda yang begitu hebat, aku orang she-Siang mengaku
kalah!"
Di tengah gelak tertawanya yang kelap, Siang Thian-beng telah
berjalan keluar dari kompleks pemakaman dan pergi meninggalkan
tempat itu.
Para anggota Bu-tong-pay beserta para tamu segera maju
memberi selamat kepada Keng Giok-keng,.
Bu-beng Cinjin membimbing pemuda itu menuju ke depan layon
Bu-siang Cinjin, minta dia melakukan penghormatan terakhir kepada
Sucouwnya, kemudian ke empat murid Bu-tong baru memasukkan
peti mati itu ke dalam liang kubur.
Tidak sampai setengah jam kemudian, liang kubur telah diisi
tanah, batu nisan baru pun telah diletakkan.
Ketika upacara penguburan jenasah Bu-siang Cinjin telah selesai
dilakukan, menyusul kemudian Bu-beng Cinjin pun secara resmi
diangkat menjadi Ciang-bunjin baru dan menerima gelar
kehormatan dari pihak Kerajaan.
Utusan kaisar To Jian-sik segera maju mengucapkan selamat,
katanya, "Upacara penguburan telah tertunda satu jam, apakah
penganugerahan gelar bisa segera kita mulai?"
Menurut tata cara yang berlaku turun-temurun, pengumuman
tentang pengangkatan Ciangbunjin baru sama artinya dengan surat
pengangkatan resmi, mula-mula isi pengumuman itu akan
mengatakan karena mentaati pesan terakhir mendiang Ciangbunjin,
disusul kemudian seluruh anggota perguruan akan memberikan
penghormatannya.
Dalam pada itu dua orang murid Bu-tong-pay dengan membawa
baki kumala telah berdiri dikedua sisi Bu-beng Cinjin. Dalam baki
pertama berisinya tanda kekuasaan dari seorang Ciangbunjin
sementara dalam baki kedua berisikan satu stel jubah pendeta yang
sudah nampak sangat kuno, jubah kuno itu adalah barang
peninggalan dari Thio Sam-hong, Couwsu pendiri Bu-tong-pay.
Kedua macam benda ini merupakan lambang kekuasaan paling
tinggi dari seorang ketua Bu-tong-pay.
Tiba tiba Bu-beng Cinjin berkata, "Sementara waktu kalian
berdua mundur dulu, aku masih ada yang ingin kusampaikan!"
Dua orang anggota Bu-tong-pay itu saling bertatap muka dengan
perasaan terkejut bercampur heran.
Menurut aturan yang berlaku, di saat Bu-beng Cinjin telah
menyampaikan pengumuman tentang pengangkatannya sebagai
Ciangbunjin penerus, dia akan menerima tanda kekuasaan dan
mengenakan jubah pendeta itu.
Pengumuman tidak lebih hanya mengulang kata kata yang telah
disiapkan, tidak terlalu panjang isinya dan dengan cepat akan
selesai dibaca, sekalipun tidak ingin mengikuti peraturan lama, tidak
seharusnya Bu-beng Cinjin menitahkan mereka untuk mundur,
kemudian sampai waktunya meminta mereka buru-buru maju
mendekat lagi.
Tapi dikarenakan perkataan ini merupakan perintah dari seorang
Ciangbunjin, terpaksa kedua orang murid itu menyingkir ke
samping.
Kebanyakan tamu tidak memahami peraturan yang berlaku
dalam Bu-tong-pay, karenanya mereka tidak terlalu menganggap
serius kejadian ini, sebaliknya para anggota Bu-tong-pay mulai
gelisah dan cemas, serentak mereka mengawasi Bu-beng Cinjin
tanpa berkedip, setiap orang memasang telinga baik-baik.
Terdengar Bu-beng Cinjin perlahan-lahan berkata, “Semua murid
perguruan kita pasti masih ingat, sewaktu Bu-siang suheng mewakili
gurunya menerima aku sebagai murid, kemudian mengangkat aku
menjadi Ciangbunjin, telah terjadi satu peristiwa yang amat
istimewa.”
Tentu saja semua anggota Bu-tong-pay menge-tahui akan
peristiwa itu, tapi ada sementara tamu yang belum mengetahui
akan kejadian tersebut, beramai ramai mereka mencari tahu berita
tersebut dari murid Bu-tong.
Bu-liang Totiang segera nyahut, "Benar, hari itu Tonghong Liang
telah menyaru sebagai gurunya dan naik gunung menantang
berduel, Bu-beng sute hanya menggunakan satu jurus telah berhasil
menyingkap topeng kulit manusianya, hal ini membuat dia
menyerah kalah dengan perasaan puas!"
Bu-liang Totiang menyimpan banyak rencana busuk dalam
benaknya, dalam perkiraan dia Bu-beng Cinjin bakal menyerahkan
posisi ketua kepadanya setelah secara resmi dia menjadi
Ciangbunjin nanti. Karena mengira Bu-beng Cinjin ingin
memamerkan hasil karyanya sebelum lengser, maka diapun cepatcepat
membantu memberikan penjelasan.
Kini kawanan tamu baru mengerti duduknya perkara, pikir
mereka hampir berbareng, "Ternyata Bu-beng Cinjin bisa diangkat
menjadi Ciangbunjin karena dia telah membuat jasa besar.”
Sambil tertawa Pa-san-kiam-kek Kok Thiat-ceng menimbrung,
"Tempo hari muridnya yang dikalahkan, hari ini gurunya yang
dikalahkan, hahahaha.... tampaknya kejadian hari ini merupakan
hadiah besar untuk merayakan pengangkatan Ciangbunjin baru!"
Bu-liang Totiang yang mendengar ucapan itu kontan saja
mengernyitkan alis matanya.
Melihat itu Kok Thiat-ceng baru sadar kalau perkataannya
memang tidak tepat diucapkan dalam suasana begini. Apalagi yang
mengalahkan muridnya adalah Ciangbunjin baru, sementara yang
mengalahkan gurunya justru murid muda yang dua tingkat di bawah
Ciangbunjin.
Terdengar Bu-beng Cinjing melanjutkan kembali kata-katanya,
"Sebenarnya aku adalah murid preman, ketika naik gunung hari itu,
Bu-siang suheng segera menyiapkan upacara untuk menerimaku
menjadi pendeta, disusul kemudian mewakili gurunya menerima aku
sebagai muridnya. Padahal semua kejadian ini dilakukan tidak
mengikuti aturan yang berlaku, karena merupakan tindakan taktis
untuk menghadapi kejadian yang tidak diinginkan.”
"Padahal peristiwa semacam ini bukannya belum pernah terjadi
sebelumnya,” kata Bu-si Tianglo, "Ciangbunjin generasi ke tiga
perguruan kami pernah dipegang juga oleh murid preman, yaitu
Bouw Tok-it, Bouw Couwsu tidak lain adalah leluhur keluarga Bouw
kalian!"
"Peristiwa itu sudah terjadi pada dua ratus tahun berselang,”
kata Bu-beng Cinjin, "sejak leluhurku Bouw Tok-it menjadi
Ciangbunjin pertama dari kaum preman, selama ini belum pernah
terjadi lagi kejadian semacam itu. Karenanya aku pun tidak ingin
melanggar kebiasaan yang berlaku.”
"Walaupun kau diangkat menjadi Ciangbunjin bertepatan pada
hari yang sama setelah kau dilantik jadi pendeta, namun saat itu
kau sudah berstatus seorang pendeta, jadi seharusnya
pengangkatan ini tidak menyalahi aturan.”
"Tadi telah kukatakan, sebetulnya hal ini tidak lebih hanya
merupakan siasat taktis yang digunakan Bu-siang suheng untuk
mengatasi masalah, sewaktu aku menerima pengangkatan tersebut
pun sempat memberikan janji bahwa setiap saat aku siap untuk
dilengserkan dari jabatan ketua.”
Put-po adalah orang yang paling mengagumi Bu-beng Cinjin,
sebagai seorang pendeta yang polos, dia segera berseru, "Benar,
oleh karena Ciangbun supek waktu itu menganggap ilmu pedangmu
tiada tandingan dikolong langit, lagipula perguruan sedang dirudung
banyak masalah dan kesulitan, untuk menjadi seorang Ciangbunjin
selain harus mahir menggunakan ilmu pedang, diapun harus masih
berusia muda, bertenaga kuat, cekatan dan hebat. Karena itulah
baru terpikir untuk mengundang kau datang dan menduduki jabatan
Ciangbunjin. Tatkala mendiang Ciangbunjin mengambil keputusan
untuk melakukan kesemuanya itu, terlepas apakah benar seperti
yang kau katakan, hanya merupakan tindakan taktis untuk
mengatasi masalah, tapi sebelum semua situasi berubah menjadi
lebih baik dan stabil, tidak seharusnya kau melepaskan beban dan
tanggung jawab ini!"
"Tidak, telah terjadi perubahan,” sela Bu-beng Cinjin.
"Kau sangka dengan dikalahkannya Rasul pedang dan muridnya,
maka kau sudah dapat memberikan pertanggungan jawab kepada
mendiang Ciangbunjin?" teriak Put-po dengan suara keras, "apakah
kau tidak tahu kalau partai kita masih harus menghadapi persoalan
lain yang jauh lebih penting dan berat, yang menanti kau untuk
menghadapi dan menyelesaikannya!"
Ketika pertama kali berbicara tadi, dia mengatakan bahwa "partai
kita sedang dirundung banyak kesulitan", lalu sekarang kembali dia
mengatakan kalau "partai kita masih harus menghadapi masalah
lain yang jauh lebih penting daripada urusan mengalahkan Rasul
pedang dan muridnya,” kemudian berulang kali meminta Bu-beng
Cinjin untuk menanggulanginya.
Kontan saja perkataan ini menimbulkan keheboh-an diantara
para tamu, ada diantara mereka yang sedang berpikir, "Saat ini
partai Bu-tong sedang memasuki masa jayanya, kehebatan mereka
ibarat matahari di tengah hari, mengapa dikatakan sedang
dirundung banyak kesulitan?"
Tapi ada pula sebagian orang yang cukup mengetahui "banyak
kesulitan" apa yang sedang dihadapi Bu-tong-pay, banyak orang
segera menganut sikap ingin tahu lebih banyak tentang masalah itu
dan berharap Putpo bisa mengungkap lebih banyak lagi "aib"
keluarga mereka.
Kontan saja Bu-liang Totiang mengernyitkan dahi, umpatnya
dalam hati, "Kini Put-po telah menjadi salah seorang Tianglo,
kenapa dia masih begitu tidak tahu diri, tidak seharusnya dia
mengungkap masalah yang tidak banyak diketahui orang luar.”
Tapi berhubung Put-po merupakan murid pertama dari bekas
ketua Tianglo yang telah tiada, Bu-kek Tojin, apalagi sekarangpun
telah naik pangkat menjadi seorang Tianglo, biar tidak puas di
dalam hati, Bu-liangTojin tidak berani mencegahnya.
"Oleh karena kau telah mengatakan, akupun tidak perlu
mengelabuhi teman-teman lagi,” kata Bu-beng Cinjin, "enam belas
tahun berselang dalam partai kami terdapat tiga orang suheng yang
satu angkatan denganku, mereka ditemukan tewas secara misterius,
kasus pembunuhan ini memang harus kami selidiki hingga tuntas.
Namun, biarpun aku tidak menjadi Ciangbunjin pun masih tetap bisa
memberikan bantuan untuk melacak kejadian ini!"
Begitu rahasia tersebut diungkap, sekali lagi terjadi kehebohan
diantara para tamu yang hadir.
Put-po menunggu hingga suasana menjadi tenang kembali,
kemudian baru berkata, "Bu-beng-susiok, dulu kau adalah Tiong-ciu
Thayhiap, sebagai seorang Thayhiap mengapa tidak kau selesaikan
tanggung jawab ini hingga tuntas? Kenapa sebelum masalah besar
diselesaikan, kau sudah akan regenerasi?"
Dengan tabiatnya yang temperamen dan polos, begitu diumbar
hawa amarah, sebutan Ciangbunjin pun segera dirubah jadi sebutan
Susiok, bahkan mulai menegur sang ketua secara kasar.
Kini habis sudah kesabaran Bu-liang Totiang, tidak tahan
hardiknya keras-keras, "Put-po, kau tidak boleh bersikap kasar! Kita
hanya bisa membujuk Ciangbunjin untuk berubah pikiran, tidak
boleh kau tegur dengan kata-kata sekasar itu.”
Tampaknya Bu-beng Cinjin sama sekali tidak ambil perduli,
katanya lagi hambar, "Put-po, perkataanmu memang tidak salah,
sebutan Thayhiap memang hanya nama kosong belaka. Terus
terang, imanku memang tidak teguh, setelah kuserahkan jabatan
Ciangbunjin nanti, aku malah berencana untuk menjadi preman lagi.
Siapa tahu setelah menjadi preman kembali, aku bisa
menyumbangkan tenagaku lebih besar untuk partai. Oleh sebab itu
kau boleh saja menegurku tidak teguh imannya, tapi masalah tidak
menyelesaikan tugas hingga tuntas, aku rasa teguran ini kelewat
berat untuk kuterima.”
Orang yang segera akan menerima jabatan sebagai Ciangbunjin
ternyata memberikan pernyataan bahwa dia akan menjadi preman
kembali, kontan saja pertanyaan itu membuat para anggota Butong-
pay jadi malu.
Bu-liang Totiang tampak amat gembira menyaksikan ketuanya
mendapat malu, sengaja dia menghela napas panjang dan berkata,
"Kalau memang kau tidak tahan hidup dalam biara, kamipun tidak
akan memaksamu. Aaai, tidak heran kalau tadi kau mengatakan
akan melanggar kebiasaan, ternyata memang sejak awal sudah
punya rencana untuk kembali menjadi orang preman!"
Dari nada pembicaraan tersebut dapat disimpulkan bahwa dia
setuju bila Bu-beng Cinjin melepaskan jabatannya sebagai ketua
dan diberikan kepada orang lain.
"Susiok,” buru-buru Put-po Tojin berseru, "harap kau berpikir tiga
kali sebelum memutuskan. Berulang kali kau mengatakan akan
regenerasi, lalu dimana generasi baru yang kau maksud?"
"Jauh diujung langit, dekat di depan mata....”
Bicara sampai disitu sengaja dia berhenti sejenak, sinar matanya
perlahan lahan menyapu sekejap wajah Bu-liang Totiang, Bu-si Tojin
serta Put-po Tojin.
Bu-liang Tianglo merasakan jantungnya berdebar keras, sejak
awal dia sudah mengetahui rencana busuk yang diatur si Tojin bisu
tuli Ong Hui-bun, menurut rencana posisi Ciangbunjin oleh Bu-beng
Cinjin akan diserahkan kepadanya, kemudian dari tangannya
diwariskan kepada Put-ji Tojin.
Hanya saja setelah Bu-beng Cinjin lengser dari kedudukannya,
maka dia akan memegang jabatan sebagai ketua selama banyak
tahun, karena di saat dia telah menjadi ketua maka Put-ji Tojin
harus diangkat terlebih dulu menjadi murid Ciangbunjin.
Mereka terpaksa mengatur begitu karena Bu-siang Cinjin semasa
hidupnya pernah berkata, Ciangbunjin baru setelah dia diharapkan
bisa dipilih dari mereka yang masih muda, kuat dan penuh
kemampuan.
Sedangkan alasan mereka mengapa memilih Put-ji Tojin sebagai
Ciangbunjin generasi berikut, pertama karena hal ini sesuai dengan
urutan yang berlaku (karena Put-ji Tojin adalah murid Bu-siang
Cinjin) dan kedua karena mereka memegang rahasia pribadi Put-ji
Tojin. Karena mereka memegang rahasianya, otomatis Put-ji Tojin
bakal menjadi boneka mereka saja.
Siapa tahu semalam Put-ji Tojin tidak segan mengakui semua
dosanya termasuk masalah "salah membunuh" Sutenya kepada
Keng Giok-keng, semua pengakuan diberikan secara gamblang,
bahkan secara beruntun dia pun bersumpah di hadapan Bu-beng
Cinjin maupun Keng Giok-keng dan berjanji akan berusaha dengan
sepenuh tenaga untuk mencari tahu siapa pembunuh sebenarnya
yang telah menghabisi nyawa Bu-kek Totiang serta Ji-ou Thayhiap
Ho Ki-bu.
Justru lantaran masalah inilah Ong Hui-bun terpaksa turun
tangan menghabisi nyawa Put-ji.
Bu-liang Totiang merasa uring-uringan, dia takut kehilangan
kesempatan untuk menjadi ketua, namun diapun kualir setelah
menjadi ketua, kedudukan tersebut bakal diserahkan lagi kepada
orang lain, diam-diam pikirnya, 'Put-ji telah mati, aku harus
mewariskan kedudukan ini kepada siapa? Kalau tidak segera
mengangkat murid Ciangbunjin, lagipula usiaku sudah lanjut, bisa
jadi para murid tidak akan setuju bila jabatan ketua diserahkan
kepadaku'
Tiba-tiba dia memperoleh sebuah ide, pikirnya lebih jauh, 'Aaah
betul, aku toh bisa memilih Put-po, walaupun sifatnya polos dan
terus terang namun dia tidak tahu keadaan, orang semacam ini
paling gampang untuk disetir'
Belum habis ingatan itu melintas, terlihat Bu-beng Cinjin telah
menghentikan pandangan matanya di wajah Keng Giok-keng,
kemudian terdengar dia berkata lebih jauh, "Orang itu jauh diujung
langit, dekat di depan mata, dia tidak lain adalah satu-satunya cucu
murid Bu-siang Cinjin, Keng Giok-keng!"
Begitu pengumuman itu disampaikan, bahkan para tamu yang
hadir di lapangan pun nyaris tidak percaya dengan pendengaran
sendiri, terlebih para anggota Bu-tong-pay, mereka sampai
terbelalak saking kagetnya.
"Apa?" teriak Bu-liang Totiang tidak tahan, "kau hendak serahkan
posisi Ciangbunjin kepada bocah itu?"
"Benar!" jawaban Bu-beng Cinjin singkat tapi tegas.
Keng Giok-keng sendiripun berdiri terbelalak dengan mulut
melongo saking kagetnya, dengan susah payah akhirnya dia dapat
berteriak juga, "Ciangbun Cinjin, aku.... aku.... mana mungkin aku
memikul tanggung jawab seberat ini!"
Bibeng Cinjin segera memberi tanda, menanti suasana di arena
menjadi tenang kembali, dia baru berkata lebihjauh, "Walaupun
Giok-keng masih muda, namun kehebatan ilmu pedangnya telah
kalian saksikan sendiri, bahkan Rasul pedang pun kalah
ditangannya, coba kalian pikirkan, siapa lagi yang mampu
mengalahkan dirinya? Aku menang dari dia karena tenaga dalamku
jauh lebih tinggi, tapi berbicara soal ilmu pedang.... sejujurnya
harus kuakui, aku masih kalah jauh!"
Dia dengan status sebagai paman guru ternyata tidak segan
merendahkan diri, hal ini menunjukkan bahwa pujiannya terhadap
Keng Giok-keng benar-benar luar biasa.
Merah padam selembar wajah Bu-liang Totiang saking
mendongkolnya, tapi dia pun tak berani mengata kan kalau ilmu
pedangnya jauh lebih unggul daripada Keng Giok-keng.
Put-po adalah seorang gila pedang, setelah tertegun berapa saat
tiba-tiba ujarnya, "Aku tidak tahu bagaimana pemikiran orang lain,
tapi terus terang aku pribadi merasa benar-benar kagum dan takluk
atas kehebatan ilmu pedang yang dimiliki Giok-keng-sutit. Apa yang
dikatakan Bu-beng-susiok memang tepat, dia memang seorang
manusia berbakat yang belum tentu akan dijumpai dalam seratus
tahun. Apalagi dalam perguruan kitapun rasanya tidak ada
peraturan yang mengatakan hanya orang yang berusia lanjut saja
yang pantas menjadi seorang Ciangbunjin!"
Nada pembicaraan itu jelas menunjukkan kalau dia sangat setuju
bila Keng Giok-keng yang menjadi ketua.
Murid ke dua Bu-liang Totiang, Put-huang Tojin segera berpikir,
"Tampaknya suhu sungkan untuk bicara sendiri, kalau begitu biar
aku membantunya untuk berbicara.”
Maka sambil tampil ke depan katanya, "Put-po suheng, walaupun
ucapanmu masuk akal, namun bagaimana pun Giok-keng-sutit baru
menginjak usia enam, tujuh belas tahunan, mana mungkin dia bisa
memimpin sebuah perguruan yang begini besar? Apalagi untuk
menjadi seorang Ciangbunjin dari partai kita, bukan pandai ilmu
pedang saja yang diandalkan. Tadipun Bu-beng-susiok sempat
menyinggung bahwa calon ketua yang baru harus seorang yang arif,
tolong tanya dimana kearifan Giok-keng-sutit? Hingga kini toh kita
belum pernah melihatnya!"
Put-po segera garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal, katanya
kemudian, "Ehmm, kelihatannya apa yang kau katakan memang
masuk akal juga.”
"Aku rasa dalam hal ini kalian tidak perlu terlalu merisaukan,”
sela Bu-beng Cinjin.
"Kenapa?"
"Pepatah mengatakan: dekat gincu jadi merah, dekat tinta jadi
hitam, sejak kecil Giok-keng sudah dididik oleh Bu-siang Cinjin
Cinjin, apakah kalian anggap didikan dari mendiang Ciangbunjin
masih diragukan? Mengetahui kemampuan untuk mengatasi
permasalahan, hal semacam ini bisa dilatih dengan jalannya sang
waktu.”
Put-po memang orang yang tidak punya pendiri-an, sekali lagi dia
garuk-garuk kepala, "Rasanya perkataan inipun masuk akal. Betul,
bila dia berhati busuk atau moralnya jelek, mana mungkin mendiang
Ciangbun Cinjin akan mewariskan Sim-hoat tenaga dalam serta ilmu
pedang maha sakti dari perguruan kita kepadanya.”
Bu-siang Cinjin merupakan idola setiap anggota perguruan, rasa
hormat dan kagum mereka kepada ketuanya tidak perlu diragukan
lagi.
Setelah Bu-beng Cinjin mengusung hal ini, siapa pun tidak lagi
berani membantah.
Terdengar Put-huang Tojin masih menggerutu, "Tapi usia Giokkeng
sutit masih sangat muda, kalau sekarang juga mengangkatnya
jadi Ciangbunjin, rasanya.... rasanya....”
"Tentu saja masalah ini masih bisa dirundingkan lagi,” sela Bubeng
Cinjin kemudian, "misalkan saja selama jangka waktu tertentu
kita bisa memilih dua orang Tianglo untuk membantunya, atau
mungkin kita tetapkan saja dulu dirinya sebagai Ciangbun-tecu.”
Tiba tiba Bu-liang Totiang berkata, "Aku rasa saat ini belum
saatnya untuk merunding kan masalah seperti itu, karena ada satu
hal yang perlu kita tanyakan dulu hingga jelas!"
"Soal apa?" tanya Bu-beng Cinjin.
"Apabila seseorang telah melanggar peraturan-peraturan yang
diakui seluruh umat persilatan, apakah dia masih pantas menjadi
seorang Ciangbunjin?"
"Peraturan apa yang dilanggar?" tanya Bu-beng Cinjin dengan
perasaan berat, jantungnya terasa berdebar keras.
"Bersekongkol dengan penghianat, pagar makan tanaman!"
Keng Giok-keng yang mendengar perkataan itu kontan saja
melompat bangun, teriaknya, "Kapan aku bersekongkol dengan
penghianat? Kapan aku pagar makan tanaman?"
"Giok-keng, biar Tianglo selesaikan dulu tuduhannya!" bentak Bubeng
Cinjin nyaring.
Terdengar Bu-liang Totiang berkata lebih lanjut, "Aku bukannya
curiga Bu-siang suheng tidak bisa mendidik orang, tapi sifat anak
muda itu masih tidak menentu, pengetahuan tidak banyak apalagi
baru pertama kali terjun ke dalam dunia persilatan, siapa yang bisa
jamin kalau dia tidak akan ditipu orang jahat hingga terjerumus ke
jalan sesat. Harus diketahui, guru hebat menghasilkan murid hebat
hanya merupakan sebuah kebiasaan, tapi dalam pelbagai kejadian
toh terkadang muncul juga pengecualian.”
Put-po yang polos kembali menyela, "Perkataanmu memang ada
benarnya juga, namun lebih baik kau kurangi ucapan debat kusir,
banyak perlihatkan fakta saja.”
Bu-liang Totiang cukup mengetahui wataknya, meskipun ditegur,
dia sama sekali tidak mendongkol, ujarnya lebih lanjut, "Dalam
pertarungannya melawan Siang Thian-beng tadi, tentunya kalian
telah menyaksikan dengan jelas bukan?"
"Kalau dibilang jelas sekali mah susah, mungkin baru enam tujuh
bagian saja.”
"Kalau begitu coba katakan, benarkah didalam permainan pedang
Siang Thian-beng tersisip juga rahasia ilmu pedang Thay-kek-kiamhoat
dari Bu-tong-pay?"
"Benar, memang ada berapa bagian. Namun bagaimana pun juga
dia toh tidak bisa mengungguli kemampuan Giok-keng dalam
permainan pedang.”
"Peristiwa ini harus dipandang sebagai dua hal yang beda, aku
ingin bertanya lagi, bila kau tidak memahami ilmu pedang dari suatu
partai tertentu, dapatkah kau ciptakan ilmu pedangmu dengan
unsur ilmu pedang aliran lain?"
"Tentu saja tidak bisa!"
"Tepat sekali, lantas darimana Siang Thian-beng mempelajari
ilmu pedang pergunian kita?" desak Bu-liang Totiang.
"Waah, darimana aku bisa tahu?" sahut Put-po sambil memegang
kepala sendiri.
"Kau memang tidak tahu, tapi aku tahu!" jawab Bu-liang Totiang
cepat, tiba-tiba dia berpaling dan membentak, "Giok-keng, setelah
kau turun gunung tahun berselang, benarkah kau telah bersahabat
dengan Tonghong Liang?"
"Tonghong Liang bukan penghianat, juga bukan bandit, bahkan
guru dia Siang Thian-beng pun tidak pernah dianggap Sucouw
sebagai penghianat atau bandit, kalau tidak, mana mungkin Sucouw
menyang-gupi tantangannya untuk berduel.”
Bu-liang Totiang mendengus dingin.
"Hmmm! Guru ada guru, murid adalah murid, jangan kau
baurkan mereka menjadi satu. Lagipula meski Siang Thian-beng
bukan bandit atau penghianat, namun dia bermusuhan dengan
perguruan kita.”
"Tapi sekarang toh permusuhan itu telah terselesai kan,” sela
Keng Giok-keng.
Bu-liang Totiang jadi semakin sewot, bentaknya gusar, "Sudah
kusuruh kau jangan mengaitkan persoalan ini dengan orang lain,
yang kubicarakan sekarang adalah Tonghong Liang!"
"Baik, kalau begitu kita bicara soal Tonghong Liang.”
“Apakah Tonghong Liang seorang begal atau bukan, nanti akan
kujelaskan kepadamu. Sekarang aku ingin bertanya terlebih dulu,
benarkah ilmu pedang aliran Bu-tong-pay yang dimiliki Tonghong
Liang merupakan hasil ajaranmu?"
"Bukan!" jawab Keng Giok-keng setelah berpikir sejenak.
Bu-liang Totiang segera berpaling ke arah Pun-bu Thaysu,
katanya, "Pun-bu Thaysu, konon Keng Giok-keng pernah
mendatangi biara Siau-lim bersama Tonghong Liang, bahkan ketika
berada di biara Siau-lim, Tonghong Liang pernah memperlihatkan
ilmu pedangnya!"
"Benar, memang ada kejadian ini,” Pun-bu Thaysu manggutmanggut,
"dibalik ilmu pedang yang digunakan Tonghong Liang
memang terktmdung jurus serangan dari aliran Bu-tong-pay.”
Dengan wajah dingin bagai salju, Bu-liang Totiang segera
menghardik, "Giok-keng, apakah kau masih ingin menyangkal!"
"Aku bukannya ingin menyangkal....” sahut Keng Giok-keng.
Put-po Tojin tidak sabaran, dia ingin membantu Keng Giok-keng,
maka sebelum bocah itu menyesalikan perkataannya, dia sudah
menyela lebih dahulu, "Sewaktu tahun kemarin Tonghong Liang naik
gunung untuk menantang berduel, aku pernah bertarung
melawannya, waktu itu dia belum kenal Giok-keng-sutit, tapi
buktinya telah dapat menggunakan ilmu pedang Thay-kek-kiamhoat,
bahkan ada berapa jurus diantaranya malah jauh lebih hebat
daripada permainanku!"
"Apakah hal ini membuktikan kalau dia tidak pernah mengajari
Tonghong Liang?" dengus Bu-liang Totiang.
Put-po sedikit tidak mengerti, sambil garuk-garuk kepalanya dia
berkata, "Apakah pernah mengajar atau tidak, sulit untuk
dikatakan.”
Kembali Bu-liang Totiang berkata, "Aku tidak tahu siapakah orang
pertama yang mengajarkan ilmu pedang perguruan kita kepada
Tonghong Liang. Bu-beng sute, apakah kau tahu?"
"Aku tidak tahu!" jawab Bu-beng Cinjin tegas, sementara dalam
hati kecilnya diam-diam merasa terperanjat, dia tidak tahu berapa
banyak rahasianya yang diketahui pendeta tua itu.
Bu-beng Cinjin bisa merasa terperanjat karena sejak tiga puluh
tahun berselang, diapun pernah mengajarkan ilmu pedang ThayTIRAIKASIH
WEBSITE http://kangzusi.com/
kek-kiam-hoat hasil pengembangannya kepada In Beng-cu (yang
kemudian menjadi Seebun-hujin).
Sekalipun kini Bu-liang Totiang seolah-olah sedang menuduh
Keng Giok-keng, namun dalam pendengarannya berarti lain, ucapan
itu mengandung maksud "menuding si A tapi yang dimaki si B".
"Sute,” kembali Bu-liang Totiang berkata, "kalau memang kau
tidak tahu, maka lebih baik kau tidak usah tahu siapakah orang
pertama yang mengajarkan ilmu pedang Bu-tong-pay kepada
Tonghong Liang. Tapi aku yakin, yang membuat Tonghong Liang
bisa memperoleh ilmu pedang aliran murni pastilah Keng Giokkeng.”
"Tianglo, darimana kau bisa tahu?" tanya Put-po sambil garukgaruk
kepala.
Bu-liang Totiang tidak menggubris pertanyaan itu, sambil
berpaling ke arah Bouw It-yu katanya, "It-yu, kau mendapat
perintah untuk turun gunung dan membawa pulang Keng Giokkeng.
Konon kaupun pernah melihat mereka melakukan perjalanan
bersama, bahkan pernah juga beradu pedang melawan Tonghong
Liang, boleh tahu bagaimana hasil dari pertarungan itu?"
"Sungguh memalukan, aku kalah! Jawab Bouw It-yu.
"Kalau begitu bukankah ilmu pedang yang dimiliki Tonghong
Liang telah mengalami kemajuan yang pesat bila dibandingkan
ketika pertama kali naik ke gunung Bu-tong?"
"Benar, memang kemajuannya amat pesat!"
"Sudah berapa lama peristiwa ini terjadi?"
"Pertengahan bulan sepuluh tahun berselang.”
Bouw It-yu tahu kalau pendeta tua ini bermaksud menggiring dia
untuk memberi pertanyaan bahwa Keng Giok-keng lah yang telah
mengajarkan ilmu pedangnya kepada orang luar, dalam hati segera
pikirnya, 'Aku tidak bisa berbohong gara-gara ingin melindungi Keng
Giok-keng, tapi bagaimana harus kusampaikan hal tersebut?'
Karena bingung terpaksa diapun berlagak tidak tahu.
Setelah tertawa dingin Bu-liang Totiang kembali berkata,
"Padahal seharusnya aku langsung bertanya kepadamu. Aku masih
ingat kau pernah berkata kepadaku, tugasmu turun gunung kali ini
adalah khusus untuk menyelidiki dan mengawasi tingkah laku Keng
Giokkeng selama berada di luaran, kalau memang kau pernah
bertarung melawan Tonghong Liang, kenapa saat itu Keng Giokkeng
enggan turut dirimu pulang gunung sebaliknya bersikeras ingin
pergi bersama Tonghong Liang? Tentunya kau pasti tahu bukan
apakah Keng Giok-keng pernah mengajarkan ilmu pedang
perguruan kita kepada orang lain? Sekalipun tidak tahu, kau
seharusnya bisa mengambil satu kesimpulan!"
"Waktu itu dia bersikeras hendak berangkat bersama Tonghong
Liang karena mereka hendak pergi ke biara Siau-lim dan
menyambangi Hwee-ko Thaysu, panjang untuk menceritakan
kejadian ini....”
"Aku hanya ingin tahu kesimpulanmu!" bentak Bu-liang Totiang
dengan suara keras, "urusan yang tidak ada hubungannya dengan
pertanyaanku, lebih baik tidak usah kauurusi!"
Tugas utama Bouw It-yu sewaktu turun gunung kali ini adalah
menyelidiki hubungan antara Keng Giok-keng dengan Tonghong
Liang, tapi kini situasi telah berubah, posisi Tonghong Liang
dimatanya juga berubah karena kemungkinan besar akan menjadi
calon adik iparnya. Dalam kondisi seperti ini, bagaimana mungkin
dia dapat membuka suara untuk memberikan pengakuannya?
Tiba-tiba Keng Giok-keng berteriak keras, "Bu-liang Tianglo,
seharusnya kau langsung bertanya kepadaku!"
"Oooh, jadi sekarang kau bersedia bicara sejujurnya?" ejek Buliang
Totiang.
"Aku tidak pernah berbohong, karena pertanyaanmu adalah:
pernahkah aku mengajari Tonghong Liang, maka akupun hanya bisa
menjawab: tidak pernah!"
"Kurangajar, semua fakta telah terpampang di depan mata, kau
masih tetap menyangkal!" teriak Bu-liang Totiang penuh amarah.
Bu-beng Cinjin segera menangkap maksud lain dari ucapan itu,
cepat tukasnya, "Suheng, tampaknya dia belum selesai bicara,
biarkan dia selesaikan dulu ucapannya!"
Dengan suara lantang Keng Giok-keng berseru, "Di dalam
kenyataan, dialah yang mengajari aku, bukan aku yang mengajari
dia!"
"Dia mengajarimu?" dengus Bu-liang Totiang sambil tertawa
dingin, "ilmu pedang yang dia gunakan sewaktu naik ke Bu-tong
tahun berselang telah kami saksikan. Padahal jurus serangan yang
kau gunakan tadi tidak ada yang dipahami olehnya!"
Agaknya didalam hal ini Put-po pun merasa tidak habis mengerti,
gumamnya, "Benar juga perkataan ini, perbedaan mereka memang
bagaikan langit dan bumi!"
"Giok-keng,” Bu-beng Cinjin kemudian dengan nada lembut,
"coba kau ceritakan kisah pengalamanmu itu.”
"Sewaktu pertama kali berjumpa dengannya, aku sama sekali
tidak tahu kalau dia adalah Tonghong Liang. Waktu itu dia panaspanasi
hatiku untuk berduel melawannya, kemudian gara-gara duel
itu kamipun berkenalan. Dia tunjukkan semua kelemahan yang ada
dalam jurus seranganku dan minta aku mengulang dan mengulang
terus, akhirnya gara-gara kejadian ini akupun berhasil memahami
banyak teori yang sebelumnya tidak kuketahui.”
"Kalau begitu kau memperoleh banyak manfaat dari kejadian
ini?" tanya Put-po.
"Benar, memang begitulah kenyataannya.”
"Kionghi, kionghi!" seru Pun-bu Thaysu sembari memuji, "tidak
kusangka dari perguruan anda telah muncul seorang jago berbakat
alam yang hebat, sungguh luarbiasa! Sungguh luar biasa!"
Bu-liang Totiang tidak berani menyindir atau mengajak debat
Pun-bu Thaysu, tapi kepada Put-pi Tojin segera dampratnya,
"Terlepas siapa yang lebih banyak menerima manfaat, buktinya dia
telah membocorkan rahasia ilmu pedang perguruan kami kepada
orang luar. Kalau hanya orang lain saja masih tidak seberapa,
tahukah kalian siapakah Tonghong Liang?"
"Dia adalah murid Rasul pedang Siang Thian-beng,” jawab Put-po
cepat.
Dengan gemas Bu-liang Totiang melotot sekejap ke arahnya, lalu
umpatnya sambil tertawa dingin, "Kalau hanya soal itu mah setiap
orang juga tahu, buat apa kau banyak omong?"
Nyaris saja dia mengumpat dengan kata yang lebih kotor.
"Ooh, jadi dia masih mempunyai status lain?" kata Put-po lagi.
"Pamannya adalah Lioklim Bengcu di masa lalu, Seebun Mu,
sedangkan ayahnya Tonghong Siau meski tidak pernah jadi kepala
bandit akan tetapi sering membantu usaha Seebun Mu, jadi
sesungguhnya diapun tidak berbeda dengan kepala bandit. Dengan
latar belakang keluarganya seperti ini, apa mungkin Tonghong Liang
adalah orang baik? Dengan mengajarkan ilmu pedang Bu-tong-pay
kepada manusia semacam ini, bukankah sama artinya kau sedang
membantu melakukan kejahatan? Jadi tidak salah bukan jika aku
menuduhmu berkawan dengan bandit, pagar makan tanaman?"
Diantara tamu undangan yang hadir, Chin Ling-hun berasal dari
kalangan hitam, kontan saja dia protes setelah mendengar
perkataan itu.”
"Bandit pun terbagi menjadi bandit baik dan bandit jahat, mana
boleh kau sama ratakan. Menurut pendapatku, Seebun Mu mesti
seorang bandit namun dia tahu aturan. Kalau dibandingan moral
dan akhlak-mu, Hamm, dia masih menang jauh!"
Sekujur badan Bu-liang Totiang gemetar keras saking gusar dan
mendongkolnya, bentaknya keras keras, "Kau.... kau.... kau berani
membandingkan aku dengan pentolan bandit!"
Buru-buru Bu-beng Cinjin melerai, katanya, "Harap kalian jangan
membuat masalah baru, lebih baik kita kembali ke pokok persoalan
yang sebenarnya.”
"Apakah Seebun Mu termasuk orang baik atau orang jahat
rasanya tidak perlu kita persoalkan disini,” ujar Keng Giok-keng,
"tapi, sekalipun paman Tonghong Liang adalah seorang pentolan
bandit, lantas apa sangkut paut dengan dirinya? Asal dia sendiri
bukan orang jahat toh sudah cukup. Kalau menuruti perkataan-mu,
jika seorang ayah melakukan kejahatan maka anaknya yang harus
masuk penjara?"
"Pendapat yang hebat, pendapat yang hebat,” puji Put-po sambil
manggut-manggut, "Giok-keng-sutit, sungguh tidak kusangka
dengan usiamu yang masih begitu muda, ternyata pemahamanmu
sudah begitu luar biasa.”
Kembali Bu-liang Totiang mendengus.
"Hmm, pepatah mengatakan: begitu bapaknya, begitu juga
anaknya. Sekalipun perkataan ini ada pengecualian, tapi apakah
kalian bisa menjamin kalau di kemudian hari Tonghong Liang tidak
akan menjadi seorang bandit jahat?"
Setelah diserang berulang kali dengan ucapan yang tajam, dia
tetap berusaha membela pendapat sendiri, bahkan selalu tidak lupa
menambahkan kata jahat dibelakang kata bandit.
"Urusan dikemudian hari adalah urusan besok, paling tidak
hingga sekarang dia tidak begitu,” bantah Keng Giok-keng.
"Tapi kau jangan lupa, ada sebagian ilmu pedangnya berhasil
diperoleh dengan mencuri darimu, bila dia menggunakan
kepandaian tersebut untuk melakukan kejahatan, bila kemudian ada
yang mengusut, bagai-mana pertanggungan jawab Bu-tong-pay
akan persoalan ini? Apalagi jika waktu itu kau telah menjadi seorang
Ciangbunjin!"
"Seandainya Tonghong Liang benar-benar berubah sejahat itu,”
kata Keng Giok-keng dengan tegas, "aku bersumpah akan
menggunakan ilmu pedang ajaran Sucouw untuk membasminya!
Bila aku tidak mampu membunuhnya maka aku sendiri yang akan
bunuh diri di hadapan makam Sucouw!"
Begitu perkataan itu diucapkan, seketika suasana di arena
berubah jadi hening dan serius.
Sesaat kemudian Bu-beng Cinjin berkata, "Giok-keng telah
mengangkat sumpah berat, Bu-liang suheng, seharusnya semua
keraguanmu bisa dihapus bukan?
"Terus terang, aku menaruh kesan yang sangat buruk terhadap
Siang Thian-beng karena demi merebut sedikit nama bagi
Sucouwnya Hian Tin-cu, berulang kali dia selalu berusaha mencari
masalah dengan Bu-tong-pay kami. Tapi untunglah pertikaian yang
telah berlangsung selama tiga generasi ini akhirnya dapat dihentikan
pada hari ini. Sekalipun di kemudian hari Tonghong Liang bisa saja
akan mencari masalah lagi, paling tidak hingga hari ini sepak
terjangnya belum pernah bersifat negatip. Jadi semisal Giok-keng
berteman dengan dirinya pun tidak bisa dituduh sebagai bersahabat
dengan bandit. Apalagi meski Giok-keng berteman dengan
Tonghong Liang, namun gurunya Tonghong Liang justru berhasil dia
kalahkan, jadi tuduhan pagar makan tanaman semakin tidak sesuai
untuk dijatuhkan pada dirinya!"
Dengan adanya uraian tersebut maka semua tuduhan yang
dilontarkan Bu-liang Tianglo terhadap Keng Giok-keng pun menjadi
mentah kembali.
Dari malu Bu-liang Totiang jadi naik pitam, teriaknya, "Hingga
kini kau belum lengser berarti kedudukan mu masih seorang
Ciangbunjin. Kalau sebagai Ciang-bunjin maka seharusnya semua
urusan diselesaikan menurut peraturan yang berlaku dalam
perguruan, tapi kau justru kelewat membelai Keng Giok-keng!
Sekalipun ke dua tuduhan itu tidak terbukti, namun perbuatannya
membocorkan rahasia ilmu pedang perguruan kepada orang luar
tetap merupakan sebuah pelanggaran berat!"
"Aku rasa tidak ada satu peraturanpun dari perguruan kita yang
melarang anak murid kita bertarung melawan murid partai lain,
apalagi hanya sebatas adu kepandaian. Giok-keng sendiripun sudah
bicara jelas, dia hanya beradu ilmu pedang melawan Tonghong
Liang dan belum pernah mengajarkan ilmu tersebut kepada orang
lain!"
"Sekalipun tidak ada peraturan yang tertulis, tapi peraturan
semacam ini telah diakui semua umat persilatan sejak ribuan tahun
berselang!"
"Bolehkah lolap ikut berbicara?" tiba-tiba Pun-bu Thaysu
menyela.
Ketika dia hendak berbicara, siapa yang berani membantah?
Terpaksa Bu-liang Totiang manggut-manggut.
"Tentu saja boleh,” sahutnya.
"Silahkan Thaysu memberi petunjuk,” kata Bu-beng Cinjin pula.
"Petunjuk mah tidak berani. Aku hanya ingin bertanya kepada
kalian, ilmu silat dari aliran manakah yang sejak awal hanya
diciptakan atas dasar pemikiran Couwsunya sendiri? Ilmu silat dari
aliran mana pula yang tidak pernah menghisap inti sari dari ilmu
silat aliran lain? Tidak pernah terpengaruh oleh gerakan ilmu silat
aliran lain?"
Sebagian besar tamu yang menghadiri upacara pemakaman Busiang
Cinjin kali ini boleh dikata memiliki ilmu silat yang rata-rata
sudah terpengaruh oleh ilmu silat aliran lain, tidak seorang pun yang
berani membantah pernyataan ini.
Melihat semua orang hanya membungkam, kembali Pun-bu
Thaysu melanjutkan kata-katanya, "Lolap tidak tahu bagaimana
dengan aliran perguruan lain, tapi ambil contoh partai Siau-lim kami,
ilmu silatnya bersumber dari negeri Thian-tok (kini India) dan
hampir semua orang mengetahui akan hal ini. Tapi setelah melewati
perubahan hampir seribu tahun lebih, ilmu silat aliran negeri Thiantok
yang ada dalam biara Siau-lim telah membaur dan menyatu
dengan ilmu silat daratan Tionggoan sendiri sehingga tidak bisa
dibedakan jurus mana yang berasal dari Thian-tok dan jurus mana
yang berasal dari daratan. Namun ilmu silat dari biara Siau-lim tetap
dikatakan berasal dari ilmu silat yang datang dari kuil Nalanda di
negeri Thian-tok.”
Karena apa yang dikatakan memang merupakan kenyataan yang
hampir diketahui setiap orang, ada terdengar seseorang berseru,
"Rupanya dikarenakan partai Siau-lim menyerap pelbagai ilmu silat
yang ada di daratan Tionggoan maka kehebatannya baru
berkembang jadi sehebat sekarang, perkataan Thaysu benar-benar
membuat pikiranku jadi lebih terbuka.”
Ada seorang lagi yang merasa kagum dan takluk setelah
mendengar perkataan itu, dia adalah Put-po Tojin. Tampak pendeta
itu berdiri termangu bagai orang bodoh, tiba-tiba gumamnya,
"Harus menyerap pelbagai ilmu, dengan begitu kepandaian sendiri
baru makin berjaya. Masuk akal, sangat masuk akal! Tidak heran
kalau ilmu silat aliran Siau-lim-pay selalu nomor wahid dikolong
langit!"
Selama ini antara Siau-lim dengan Bu-tong selalu terjadi ganjalan
hati, sekalipun tahun-tahun belakangan ganjalan itu sudah makin
pudar namun bukan berarti lenyap begitu saja.
Bu-liang Totiang merasa sangat tidak puas, terutama setelah
mendengar Put-po mengagumi kehebatan Siau-lim, akan tetapi
diapun merasa tidak enak untuk menegur rekannya yang dianggap
hanya memuji kehebatan orang hingga kejayaan perguruan sendiri
jadi tid ak bercahaya.
Sambil tersenyum Pun-bu Thaysu berkata lagi, "Pujian itu tidak
berani kuterima, sebab banyak dari ilmu silat perguruanmu yang
terbukti jauh lebih mengungguli biara Siau-lim kami. Ehmm, apalagi
Couwsu pendiri partai kalian Thio Cinjin adalah seorang tokoh yang
luar biasa, sewaktu masih menjadi hwesio cilik di biara Siau-lim-si,
dia hanya sempat mempelajari ilmu pukulan Lo-han-kun, tapi
setelah meninggalkan biara dan mengembara di kolong langit,
akhirnya setelah menyaksikan bentuk dua bukit yang menyerupai
kura kura dan ular, beliau berhasil mendapat ilham sehingga
menciptakan tiga belas jurus Thay-kek-kun dan menjadi seorang
pendiri partai. Lolap selama hidup tidak pernah berbohong, sejak
dulu hingga sekarang, meski terdapat banyak tokoh persilatan
namun orang yang benar-benar lolap kagumi hanyalah Thio Cinjin
dari partai Bu-tong!"
Ucapan ini sama artinya menerangkan bahwa ilmu silat yang
dimiliki Bu-tong-pay saat ini berasal dari biara Siau-lim, jika
menyerap ilmu silat dari partai lain pun dilarang, bagaimana
mungkin bisa muncul partai Bu-tong saat ini? Dan mungkin hanya
Pun-bu Thaysu seorang yang berani mengungkapnya.
Oleh karena berulang kali pendeta ini menyatakan
kekagumannya terhadap Thio Cinjin, segenap anggota Bu-tong-pay
pun ikut merasa nyaman di dalam hati.
Put-po menggelengkan kepalanya berulang kali, setelah
termenung sejenak, akhirnya dia tidak tahan dan ikut menimbrung,
"Benar juga, ketika terjadi pertarungan antara Giok-keng melawan
Tonghong Liang, meski kejadian tersebut membuat Tonghong Liang
berhasil mencuri beberapa jurus, bukankah manfaat yang diperoleh
pihak kita pun lebih banyak? Jurus serangan adalah benda mati,
pemahaman itulah yang penting. Misalkan saja jurus serangan yang
sama-sama dirubah dari Thay-kek-kiam-hoat, bukankah permainan
jurus dari Giok-keng sutit masih setingkat lebih menang ketimbang
gurunya Tonghong Liang?"
"Bukan hanya setingkat, tapi dua tingkat, tiga tingkat!" teriak Pasan
Kiam-kek Kok Thiat-cing lantang.
"Oleh karena itu, sekalipun kebiasaan ini sudah berlangsung
sejak ribuan tahun berselang, belum tentu kebiasaan tersebut bisa
diterima oleh setiap orang,” kata Pun-bu Thaysu lebih lanjut, "dunia
persilatan ibarat sebuah keluarga besar yang terdiri dari beribu
keluarga, tidak seharusnyalah masing-masing perguruan menutup
diri dan hidup mengasingkan diri. Pepatah mengatakan: kita jadi
besar bila mau membaur. Lolap bersedia untuk berdiskusi dengan
kalian semua!"
Begitu dia menyelesaikan perkataannya, para tokoh dari pelbagai
perguruan pun sama-sama mengangguk tanda setuju.
"Terima kasih banyak atas petunjuk Thaysu,” kata Bu-beng Cinjin
kemudian, "Bu-liang Tianglo, apakah masih ada yang ingin kau
sampaikan?"
Oleh karena situasi telah berubah jadi begini rupa, tentu saja Buliang
Totiang tidak sanggup berbicara lagi, terpaksa dia hanya bisa
tertawa getir.
"Apakah kalian sudah tidak ada perkataan lagi,” kata Bu-beng
Cinjin kemudian, "kalau begitu mari kita kembali ke pokok
persoalan. Aku memutuskan untuk menyerahkan kedudukan
Ciangbunjin kepada Giok-keng, mengenai bagaimana
pelaksanaannya....”
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar seseorang berteriak keras,
"Tunggu sebentar!"
Seorang Tojin tua bertubuh bongkok perlahan-lahan tampil ke
depan, semua anggota Bu-tong-pay segera berseru tertahan setelah
melihat kemunculannya.
"Eeei, bukankah dia.... dia adalah Tojin bisu tuli dari istana Cisiau-
kiong yang selama ini bisu? Kenapa secara tiba-tiba bisa
berbicara?"
Setelah tertegun berapa saat, suasana pun berubah menjadi
gaduh.
Terdengar ada orang yang berseru, "Dia sudah tiga puluh
tahunan hidup melayani mendiang Ciangbun Cinjin, ternyata selama
ini hanya berpura-pura bisu dan tuli!"
"Hmm, pura-pura bisu tuli, apa tujuan sebenarnya!" seru Bouw
It-yu pula.
Tojin bisu tuli mendengus dingin, katanya, "Boleh tahu, peraturan
mana dalam Bu-tong-pay yang melarang seseorang berlagak bisu
tuli?"
"Ehmm, rasanya tidak ada,” sahut Bu-liang Totiang cepat.
Bu-beng Cinjin sadar, bentrokan tidak mungkin bisa dihindari
lagi, maka katanya, "Baik, katakan lebih lanjut.”
Sepatah demi sepatah kata Tojin bisu tuli berka ta, "Bagaimana
pun juga, hingga sekarang kau masih tetap Ciangbunjin dari Butong-
pay. Aku ingin kau laksanakan pembersihan perguruan terlebih
dulu kemudian baru menyinggung masalah kedudukan ini akan kau
wariskan kepada siapa!"
Begitu perkataan itu diucapkan, kembali terjadi kegaduhan
diseluruh arena. Semua orang merasa perkembangan kejadian yang
berlangsung sekarang makin lama semakin bertambah aneh.
"Membersihkan perguruan" bukankah sama artinya menuduh
Keng Giok-keng adalah seorang murid murtad? Sebab kalau yang
dibicarakan adalah orang lain, tidak mungkin perkataannya dikaitkan
dengan masalah regenerasi.
"Hey, membersihkan perguruan? Ucapan sema-cam ini tidak
boleh dituduhkan secara sembarangan! Supek bisu tuli, kau tuli lagi
bisu, masalah apa yang bisa kau ketahui?"
Ternyata yang berteriak adalah Put-po Tojin, tosu yang polos dan
suka bicara blak-blakan.
Biarpun Tojin bisu tuli telah berbicara, namun dia masih tetap
memanggilnya seperti kebiasaan semula, memanggilnya Supek bisu
tuli.
Bu-si Tojin paling encer otaknya diantara sekian banyak orang,
dengan alis mata berkenyit segera ujarnya pula, "Walaupun
peraturan perguruan tidak melarang seseorang untuk berlagak bisu
tuli, tapi sebelum kau melontarkan tuduhan agar kami melakukan
pembersihan atas perguruan, terlebih dulu kami ingin menanyakan
satu hal terlebih dulu. Kau sudah hampir tiga puluh tahunan
menyembunyikan identitasmu dengan bersembunyi dalam partai Butong,
sudah jelas perbuatanmu bukannya tanpa tujuan. Aku minta
kau berikan dulu sebuah penjelasan yang masuk akal!"
"Kalau tidak kau akan menuduhku mempunyai maksud dan
tujuan busuk?" ejek Tojin bisu tuli.
"Betul, memang begitu maksudku!"
"Hmmm, penjelasan yang paling nyata sudah berada
dihadapanmu, buat apa kau bertanya lagi?"
"Penjelasan apa?"
"Aku sudah puluhan tahun hidup melayani Bu-siang Cinjin,
seandainya aku adalah orang jahat dan bermaksud jahat, masa
dalam puluhan tahun ini Cinjin tidak merasakannya? Masa dia tetap
berani menerimaku untuk melayaninya?"
Karena yang dia usung adalah mendiang Ciangbunjin, orang
yang paling dihormati segenap anggota Bu-tong-pay, otomatis
meski dalam hati kecil kawanan murid itu menaruh curiga, tidak
seorang pun berani buka suara.
"Hmm!" Bu-si Tojin mendengus dingin, "seorang kuncu paling
gampang dibohongi manusia licik, Bu-siang Cinjin adalah orang
yang jujur dan polos, tidak aneh jika beliau pun bisa kau bohongi.”
"Benar,” serentak berapa orang murid Bu-tong-pay berseru,
"bukan saja kau telah berlagak bisu tuli bahkan berhasil pula
merahasiakan identitas serta asal-usul ilmu silatmu, jadi, sekalipun
kami tidak melacak apa sebabnya kau berlagak bisu tuli, paling tidak
kau harus memberikan penjelasan yang masuk akal, mengapa kau
rela datang ke gunung Bu-tong dan hidup sebagai seorang Tojin
yang tugasnya hanya masak teh dan menyapu lantai?"
Mendadak Tojin bisu tuli membusungkan dadanya, sambil angkat
kepala katanya, "Tentu saja aku ada alasannya, tapi rasanya tidak
ada kepentingan untuk disampaikan kepada kalian.”
Begitu dia membusungkan dadanya, seketika itu juga seakan
berubah menjadi dua orang yang berbeda. Sikapnya yang semula
layu dan kusut hilang lenyap seketika. Meski rambutnya tetap
beruban namun semangatnya terlihat segar sekali.
Ada berapa orang Bulim cianpwee yang berusia lanjut nampak
terperanjat setelah melihat wajahnya, serentak mereka berteriak
hampir berbareng, "Kau.... bukankah kau adalah orang kedua dari
Siau-ngo-gi yang tersohor pada tiga puluh tahun berselang, Ong
Hui-bun, Ong-thayhiap?"
"Sebutan Thayhiap tidak berani kuterima. Betul, aku memang loji
dari Siau-ngo-gi.”
Siau-ngo-gi atau lima sekawan sudah amat tersohor sejak dulu,
sekalipun dikemudian hari losu Seebun Mu dan longo Tonghong
Siau masuk kalangan hek-to, namun kejadian tersebut sama sekali
tidak mempengaruhi nama baik ke tiga orang lainnya.
Tiga orang yang lain (Jit-seng-kiam-kek Kwik Tang-lay, Hwee-ko
Thaysu serta Ong Hui-bun) pun secara beruntun lenyap dari
peredaran dunia persilatan tanpa diketahui jejaknya lagi.
Mereka yang mengetahui peristiwa itupun tanpa terasa berpikir,
"Tampaknya alasan Ong Hui-bun menyusup masuk ke dalam tokoan
di gunung Bu-tong sama seperti alasan Hwee-ko Thaysu menyusup
masuk ke biara Siau-lim dan hidup sebagai juru masak. Bisa jadi
mereka sedang menghindari kejaran musuh tangguh, atau bisa juga
karena ingin menghindari masalah yang ditimbulkan Seebun Mu.”
Dalam dunia persilatan memang sering terjadi tokoh persilatan
yang tiba-tiba hidup mengasingkan diri. Apalagi para tamu yang
hadir pun rata-rata pernah mendengar nama besar Ong Hui-bun,
tanpa terasa orang orang itupun mempercayai perkataannya.
Terdengar Ong Hui-bun berkata lebih lanjut, “Aku sudah tiga
puluh tahunan hidup disisi Bu-siang Cinjin, walaupun dulunya bukan
anggota Bu-tong-pay, tapi sekarang rasanya aku sudah termasuk
salah satu bagian dari partai ini. Selama ini aku telah banyak
berhutang budi kepadanya, untuk membalas budi kebaikannya,
sudah menjadi kewajibanku untuk membela dan melindungi Butongpay
dari pelbagai masalah. Masa kaliapun masih menganggap
aku sebagai orang luar?"
Bu-liang Totiang mendehem berulang kali, lalu katanya, "Dengan
kedudukannya serta hubungan yang erat selama ini dengan
perguruan kita, aku rasa sudah seharusnya kita memberi
kesempatan kepadanya untuk berbicara.”
"Terus terang saja, aku telah mendapat pesan dari Bu-siang
Cinjin menjelang ajalnya untuk secara khusus mengawasi
seseorang. Orang ini adalah murid partai yang paling dia kagumi
juga ingin dia bina untuk disiapkan menerima tanggung jawab yang
lebih besar.
"Tapi berhubung orang ini mempunyai rahasia yang takut
diketahui orang, apalagi jika rahasia ini sampai terjatuh ke tangan
orang lain, bisa jadi dia akan berada di bawah ancaman orang
tersebut hingga melangkah ke jalan yang salah. Dan kini aku telah
menemukan titik-titik yang mencurigakan dari orang itu....”
"Kecurigaan apa?"
"Dia berniat menghancurkan perguruan sendiri bahkan akan
menjerumuskan perguruan ke dalam kondisi yang berbahaya!"
Sebuah tuduhan yang berat untuk suatu pelanggaran, tidak
heran para murid Bu-tong-pay saling berpandangan dengan
perasaan kaget bercampur heran.
Bila didengarkan secara seksama atas perkataan dari Ong Huibun
tadi, bisa disimpulkan kalau "orang tersebut" adalah Keng Giokkeng,
karena bocah ini paling mencurigakan, tapi bisa juga yang
dimaksud adalah Bu-beng Cinjin. Tentu tidak seorang pun berani
mencurigai Bu-beng Cinjin.
Maka terdengar seseorang bertanya, "Lebih baik bicara secara
blak-blakan saja, apakah orang yang kau maksud adalah Lan Giokkeng?"
"Kau hanya mengatakan benar untuk dua per tiganya. Nama
yang kau sebut betul, tapi sebutan marganya salah, dia she-Keng,
bukan dari marga Lan!"
"Mana mungkin, bukankah dia adalah putra Lan Kau-san, petani
sayur itu?" berapa orang anggota Bu-tong-pay segera membantah.
"Bukan,” Ong Hui-bun menggeleng, "dia adalah putra Keng Kingsi!"
"Betul, ayahku memang Keng King-si, lantas kenapa?" teriak
Keng Giok-keng.
Tiba-tiba terdengar Bu-liang Totiang menghela napas panjang,
ujarnya, "Sungguh tidak nyana, selama ini aku tidak tahu kalau dia
ternyata adalah putra Keng King-si!"
Begitu Bu-liang Totiang menghela napas, ada banyak diantara
anggota Bu-tong-pay yang segera berpikir.
Sebagaimana diketahui, selama ini Keng King-si dicurigai sebagai
mata-mata bangsa Boan sehingga akhir nya tewas diujung pedang
kakak seperguruannya, Ko Ceng-kim (yang kemudian menjadi Put-ji
Tojin), sekalipun peristiwa ini merupakan rahasia besar yang tidak
disiarkan keluar, namun ada banyak anggota Bu-tong-pay yang
mengetahui kejadian ini. Khususnya para murid dari angkatan "Put.”
Bu-liang Totiang berlagak iba, dengan pandangan penuh rasa
kasihan dia tatap Keng Giok-keng, kemudian setelah menghela
napas katanya lagi, "Apakah hingga sekarang kau belum tahu, aaai.
Sebetulnya aku tidak ingin mengatakannya, tapi setelah kejadian
berkembang jadi begini rupa, sekalipun tidak ingin kukatakan pun
rasanya tidak mungkin lagi, ayah kandungmu Keng King-si
sesungguhnya adalah seorang mata-mata bangsa Boan!"
"Omong kosong!" teriak Keng Giok-keng dengan amarah yang
meledak, "ayahku bukan mata-mata bangsa Boan!"
Sebetulnya mengumpat seorang Tianglo dengan kata "omong
kosong" sudah merupakan satu tindakan yang tidak sopan. Tapi Buliang
Totiang berlagak sok bijaksana dan berbesar hari, katanya lagi,
"Anak membelai orang tua memang hal yang sangat jamak, aku
tidak menyalahkan dirimu. Tapi kau harus menunjukkan bukti,
darimana bisa tahu kalau ayahmu bukan mata-mata bangsa Boan?"
Perkataan itu kontan saja membuat Keng Giok-keng tidak mampu
menjawab, dia hanya bisa berteriak berulang kali, "Aku tahu, aku
tahu!"
Mendadak Ong Hui-bun berkata, "Aku mempunyai sepucuk surat,
harap Tianglo sekalian memeriksanya.”
Bu-liang Totiang menerima surat itu, dibaca sebentar lalu tanpa
bicara menyerahkan kepada Bu-si Tojin. Ketika selesai membaca
surat tersebut, paras muka Bu-si Tojin nampak diliputi keraguan dan
sangsi, kemudian dia serahkan surat tadi ke tangan Put-po, Tianglo
yang baru saja diangkat.
Begitu selesai membaca, Put-po segera berteriak, "Aaah, tidak
ada apa-apanya, Cuma berisi sepucuk surat biasa dari seorang
teman Keng King-si.”
"Surat biasa? Sudah kau periksa lebih jelas?" dengus Ong Huibun
dingin.
"Kalau seorang teman memberi kabar tentang keadaannya, itu
mah lumrah, tidak ada yang istimewa.”
"Di sana tertulis tanda tangan-temannya, coba dibaca siapa nama
itu?"
Put-po memeriksanya lebih seksama, kemudian katanya, "Huo
Bu-tuo! Ehmm, nama ini memang agak istimewa, rasanya tidak
mirip nama bangsa Han.”
"Siapakah Huo Bu-tuo? Ada yang tahu?" dengan suara lantang
Ong Hui-bun segera berteriak.
Seorang busu yang berasal dari luar perbatasan segera
menjawab, "Banyak tahun berselang, rasanya orang ini pernah
menjadi pengawal pribadi Nurhaci Khan dari bangsa Boan.”
"Apakah orang inipun pernah berdiam di sebuah kota yang
bernama Uh-sah-tin?"
"Rasanya benar, hanya waktu itu aku dengar dia merahasiakan
identitasnya, di kota tersebut bekerja sebagai juragan ikan.”
Seorang jago yang datang dari peternakan di luar perbatasan
ikut menimbrung, "Menurut apa yang kuketahui, penampungan ikan
itu sesungguhnya dibuka oleh anak buah Nurhaci Khan. Hanya saja
kejadian ini telah berlangsung pada dua puluh tahunan berselang,
waktu itu Nurhaci Khan masih seorang kepala suku.”
"Apakah hingga sekarang tempat itu masih ada?"
"Rasanya masih ada. Juragannya masih tetap juragan yang
lama.”
"Delapan belas tahun berselang, sewaktu Keng King-si pulang
dari luar perbatasan, seorang murid preman kami yang tinggal di
kota Kim-leng, Ting Hun-hok mendapat kabar bahwa disaku Keng
King-si terdapat sepucuk surat rahasia yang ditulis seorang mata
mata bangsa Boan, sebetulnya dia ingin mengejar dan melacak
kebenaran itu kemudian berusaha merampas surat rahasia tadi dari
tangan Keng King-si. Siapa tahu belum sempat meninggalkan kota
Kim-leng, secara misterius dia telah mati dibunuh orang. Setelah dia
terbunuh, keluarganya sempat datang ke gunung Bu-tong untuk
melaporkan kejadian ini kepada Bu-siang Cinjin, tentunya Tianglo
berdua masih ingat bukan?"
Bu-si Tojin tidak menjawab, sementara Bu-liang Totiang segera
menyahut, "Betul, memang ada kejadian seperti ini. Bisa jadi matamata
bangsa Boan yang dimaksud adalah Huo Bu-tuo.”
Dengan perasaan terkejut Put-po Tojin segera berseru, "Waaah,
kalau begitu surat ini tidak boleh dianggap sebagai surat biasa, Huo
Bu-tuo mengatakan kalau dia sudah menjadi pembesar di kota Kimleng
dan minta Keng King-si pergi menjumpainya!"
Dengan suara keras Ong Hui-bun segera berseru, "Kini sudah
terbukti kalau Keng King-si mempunyai hubungan yang sangat
akrab dengan Huo Bu-tuo, coba menurut kalian apakah pantas kalau
dia dicurigai sebagai mata-mata juga?"
"Perkataanmu tepat sekali,” seru Bu-liang Totiang, "sejak
mendapat tahu peristiwa ini dari keluarga Ting Hun-hok, aku sudah
mulai curiga kalau Keng King-si adalah seorang mata-mata.”
Tanya jawab yang dilakukan kedua orang ini mirip sebuah
tontonan opera, kontan saja membuat Keng Giok-keng gusar bukan
kepalang, akan tetapi dia pun tidak bisa berbuat apa-apa, apalagi
membelai ayahnya.
Harus diketahui, Huo Bu-tuo memang punya identitas ganda, dia
pun pernah berjumpa Huo Bu-tuo sewaktu di kota Kim-leng. Jangan
lagi dia memang tidak bisa membocorkan identitasnya sebagai Kwik
Bu, sekalipun dia katakanpun siapa yang bakal percaya kalau dia
hanya pura-pura jadi mata-mata bangsa Boan, sedang identitas
yang sesungguhnya adalah melawan bangsa Boan?
"Dengan cara apa surat ini bisa terjatuh ke tanganmu?" tanya
Bu-si Tojin dingin.
"Biarpun aku berada di Bu-tong, bukan berarti dalam dunia
persilatan tidakmemiliki teman.”
Maksud dari perkataan itu, surat tersebut diperoleh dari seorang
temannya tapi dia enggan menerangkan hal ini secara terperinci
kepada Bu-si Tojin.
Seandainya berganti orang lain, Bu-si Tojin pasti akan mengejar
terus hingga jelas, tapi pertama karena Ong Hui-bun sudah tersohor
sejak dulu, kedua diapun sudah tiga puluh tahunan melayani Busiang
Cinjin, dengan sendirinya kurang leluasa baginya untuk
memperlihatkan perasaan curiganya, apalagi merecoki dirinya terus
menerus.
Walau begitu, Bu-si Tojin tetap berkata juga, "Terlepas Keng
King-si seorang mata-mata atau bukan, apa sangkut pautnya
dengan putra dia? Ketika Keng King-si mati terbunuh, putranya baru
saja lahir!"
Ong Hui-bun segera berpaling ke arah Keng Giok-keng, tanyanya
tiba-tiba, "Bukankah kau pernah berkunjung ke Uh-sah-tin di luar
perbatasan?"
"Benar. Aku kesana karena ingin mencari keterang an yang
sejelasnya tentang kematian ayahku.”
"Tapi kenyataannya kau tidak berhasil menemukan bukti untuk
membersihkan tuduhan atas diri ayahmu, sementara orang orang
yang pernah ada hubungan dengan ayahmu di masa silam masih
tetap berada disana!"
Tidak perlu ditambahi bumbu pun semua orang juga bisa
mendengar kalau dia tetap menuduh Keng Giok-keng melanjutkan
usaha ayahnya, paling tidak sukar terlepas dari kecurigaan sebagai
mata-mata.
Keng Giok-keng benar-benar naik darah, dengan penuh amarah
teriaknya, "Siapa yang jadi mata-mata? Suatu saat aku pasti dapat
membuktikan!"
"Tapi bukan sekarang, bukan?" ejek Ong Hui-bun sambil tertawa
dingin.
"Dengan berkata begitu, apakah sekarang kau telah menemukan
saksi yang berhubungan dengan kejadian itu?" tanya Bu-liang
Totiang tiba-tiba.
Mendadak Ong Hui-bun menghela napas panjang, katanya,
"Sejujurnya aku sangat tidak ingin berbicara, tapi aku pun tidak bisa
untuk tidak harus bersuara.”
Sepasang mata Ong Hui-bun tampak basah oleh air mata, mimik
mukanya kelihatan begitu sedih seakan baru saja ditinggal mati
anak kandungnya.
"Kalian semua juga tahu bahwa akulah yang menyaksikan Giokkeng
si bocah ini tumbuh jadi dewasa,” katanya, "dia cerdas dan
cepat tanggap dalam pelajaran, asal usulnya pun amat
menyedihkan, rasa cinta dan sayangku terhadapnya tidak akan
berada di bawah siapa pun. Semasa hidupnya dulu, yang paling
dikuatirkan Bu-siang Cinjin adalah dia, di kemudikan orang lain
setelah mengetahui rahasia asal-usulnya hingga tersesat ke jalan
tidak benar. Aaaai, sungguh tidak nyana apa yang beliau kuatirkan
kini menjadi kenyataan, bila dia orang tua dialam baka
mengetahuinya, rasa sedihnya pasti tidak kalah dengan perasaan
pedihku sekarang! Namun demi nama baik dan mati hidupnya BuTIRAIKASIH
WEBSITE http://kangzusi.com/
tong-pay, demi juga pesan terakhir Bu-siang Cinjin menjelang
ajalnya, walau aku tidak ingin bicarapun tetap akan kukatakan!"
Benarkah sebelum ajalnya tiba Bu-siang Cinjin telah
meninggalkan begitu banyak pesan kepadanya? Yang sudah mati
tidak dapat dimintai sebagai saksi, siapa pun tidak tahu apakah dia
jujur atau bohong, tapi semua orang memang tahu kalau dimasa
lalu dia memang sangat menyayangi Keng Giok-keng.
Tanpa terasa para murid Bu-tong-pay berpikir, "Dia berbicara
dengan begitu sedih, rasanya tidak mungkin sedang menfitnah
Giok-keng.”
Yang paling diperhatikan Bu-beng Cinjin adalah perkataan
"dikemudikan orang lain", dia sangat paham, Ong Hui-bun sedang
memaksanya untuk menumpukkan kartu. Jika dirinya tidak
melaksanakan seperti apa yang dia harapkan, maka ujung tombak
itu sudah pasti akan ditudingkan ke arahnya.
Apabila Keng Giok-keng tidak mengetahui ter-lebih dulu kedok di
balik wajah aslinya, saat ini dia pasti akan dibuat terharu sekali oleh
perkataan itu.
"Hmmm, ilmu silatnya belum tentu nomor wahid di kolong langit,
tapi kemampuannya berakting benar-benar tiada duanya di dunia
ini!"
Kini, selain tertawa dingin di dalam hati, hanya satu pertanyaan
yang masih menggelitik hatinya, "Benarkah sepanjang hidupnya Busiang
Cinjin telah ditipu habis habisan oleh orang ini? Mungkinkah di
saat menjelang ajalnya tiba-tiba dia orang tua menyadari kalau
Tojin bisu tuli yang telah melayaninya hampir tiga puluh tahunan
patut dicurigai bahkan kemungkinan besar akan mencelakai aku
sehingga aku segera diperintahkan untuk segera meninggalkan
gunung?"
Selama ini dia memang tak habis mengerti kenapa sehari
menjelang ajal, Sucouwnya memerintahkan dia turun gunung.
Dulu, rasa curiganya dilimpahkan pada ayah angkatnya, Put-ji
Tojin, sebab Put-ji Tojin telah mengajarkan ilmu pedang aspal
kepadanya dan hal ini diketahui Sucouwnya.
Tapi sekarang mau tidak mau dia harus melimpah kan
kecurigaannya pada Ong Hui-bun, si Tojin bisu tuli gadungan.
Sikapnya yang risau dan tidak tenang segera terlihat oleh Put-po
Tojin yang polos, gerak-gerik itu seketika menimbulkan perasaan
curiganya.
"Jangan-jangan bocah ini benar-benar telah melakukan
pelanggaran besar?" demikian dia berpikir.
Maka dia pun berkata, "Paman guru bisu tuli, aaaah, maaf, aku
sudah terbiasa memanggilmu dengan sebutan tersebut hingga
untuk sesaat sukar untuk dirubah. Kalau didengar dari nada
pembicaraanmu, tampaknya kau telah mempunyai bukti atas
penghianatan Keng Giok-keng terhadap perguruan, karena masalah
ini besar, lebih baik cepat kau beberkan!"
"Baik, kalau begitu pertama-tama ijinkan aku untuk mengundang
seseorang sebagai saksi.”
“Siapa?"
"Dia tidak lain adalah Put-ji Tianglo, orang yang menjadi gurunya
sekaligus menjadi ayah angkatnya!"
"Hah? Bukankah Put-ji telah jatuh sakit karena kelelahan? Masa
kau tidak mendengar penjelasan dari Ciangbunjin?"
"Tenaga dalam yang dimiliki Put-ji sangat hebat, sekalipun
kelelahan tidak mungkin jatuh sakit hingga tidak mampu bangkit,
sekalipun sakit parah, untuk berbicara saja tentu masih sanggup
bukan?"
"Kalau tenaga untuk bicara saja tidak punya, berarti dia sudah
sekarat. Seharusnya tidak sampai separah itu.”
"Tepat sekali, biarpun dia tidak sanggup bangkit dari tempat
tidurnya, toh kita bisa menggotongnya keluar!"
"Baik, kalau begitu ijinkan aku untuk menggotongnya kemari.
Toh dia memang tinggal dalam kompleks pemakaman ini, tidak
butuh banyak waktu.”
"Tidak seharusnya kau yang pergi!" cegah Ong Hui-bun.
"Ooh, maksudmu....”
"Aku bilang seharusnya Keng Giok-keng sendiri yang pergi
menjemputnya, pertama karena dia adalah anak angkat Put-ji,
kedua Put-ji adalah saksi paling penting dalam kasus ini, tapi terus
terang aku sendiri-pun tidak tahu apa yang bakal dia berikan dalam
kesaksiannya nanti, bila ucapannya menguntungkan bagi Keng Giokkeng,
maka Keng Giok-keng pun akan bebas dari segala tuduhan,
serta merta dia pun dengan lancar dapat diangkat menjadi
Ciangbunjin berikut. Jelas berita ini merupakan sebuah berita
gembira, seharusnya kita undang kehadiran ayah angkat sekaligus
gurunya ini untuk turut merayakan hari kegembiraan ini, bukan
begitu?"
Begitu mendengar ucapannya itu, semua orang segera tahu
kalau dia sedang berbicara "kebalikan"nya, tanpa terasa pikirnya,
'Tampaknya dia sangat yakin dan sudah menduga kalau kesaksian
yang diberikan Put-ji bakal menguntung kan dirinya, jika
menguntungkan Keng Giok-keng, tidak nanti dia akan minta Put-ji
tampil sebagai saksi'
Hanya Put-po Tojin yang polos mempercayai perkataan itu dan
mengira dia berkata tulus, maka sambil garuk-garuk kepalanya dia
berkata, "Betul, perkataanmu memang masuk diakal. Aku benarbenar
pikun, masa hal semacam inipun tidak pernah kubayangkan.”
Sementara itu Ong Hui-bun telah menatap lagi Keng Giok-keng
dengan wajah dingin, katanya, "Semua orang berpendapat kaulah
yang paling pantas mengundang keluar ayah angkatmu, kenapa
belum juga berangkat?"
Selama ini Keng Giok-keng telah menahan sabar hingga
mencapai pada puncaknya, tiba-tiba bagaikan gunung berapi yang
meletus, dia mencabut keluar pedangnya sambil membentak, "Kau
telah membunuh ayah angkatku, bajingan tua, akan kucabut
nyawamu!"
Entah darimana datangnya kekuatan, sekali melompat dia sudah
mencapai beberapa tombak, pedang diiringi desingan angin tajam
langsung ditusukkan ke tubuh Ong Hui-bun.
Diantara anggota Bu-tong-pay, hanya Bu-beng Cinjin dan Bouw
It-yu berdua yang tahu kalau Put-ji Tojin telah meninggal, tidak
heran kalau semua orang tertegun dibuatnya setelah mendengar
berita yang sangat mengejutkan itu muncul dari mulut Keng Giokkeng.
Dengan kecepatan luar biasa ujung pedang Keng Giok-keng yang
memancarkan cahaya kehijauan menusuk ke tubuh Ong Hui-bun.
"Jangan!" bentak Bu-si Tojin keras.
Tapi tubuh Keng Giok-keng sudah keburu roboh terjungkal ke
tanah.
Sambil mengebaskan jubahnya Ong Hui-bun menghela napas
panjang, katanya, "Percuma kusayangi bocah ini selama belasan
tahun, aaai! Sungguh tidak kusangka dia benar-benar menginginkan
kematianku. Aaai.... tapi aku tidak boleh melayani kebrutalannya.
Kini bocah itu hanya jatuh pingsan, kalian tidak perlu kuatir.”
Orang-orang yang berdiri di seputar sana dapat melihat dengan
jelas, di atas bajunya telah muncul tujuh buah lubang kecil yang
berderet membentuk tujuh bintang bujur utara.
Pak-to-jit-seng atau tujuh bintang bujur utara merupakan salah
satu jurus pamungkas dari Bu-tong-pay, Bu-siang Cinjin lah yang
berhasil mempersatukan dengan jurus Lian-huan-toh-beng-kiamhoat,
lurus dan berlawanan saling menumbukan, keras dan lembek
saling beriring, dalam Bu-tong-pay hanya Bu-si Tojin seorang yang
menguasahi junis itu secara sempurna.
Tampak Bu-si Tojin terkejut bercampur girang setelah
menyaksikan Keng Giok-keng dapat menggunakan jurus itu dengan
begitu sempurna, dia sadar bahwa kesempurnaan jurus bocah itu
jauh diatas kemampuannya.
Tapi justru karena itu, semua anggota Bu-tong-pay semakin
percaya bahwa apa yang dikatakan Ong Hui-bun memang tidak
salah, karena dengan jurus pamungkas itu Keng Giok-keng jelas
berkeinginan untuk mencabut nyawanya.
Setelah suasana kalut menjadi tenang kembali, Bu-si Tojin
membimbing bangun Keng Giok-keng. Namun bocah itu
memejamkan matanya rapat-rapat dan belum tersadar kembali.
"Kini Giok-keng sutit sudah jatuh tidak sadarkan diri, lantas....
lantas bagaimana baiknya?" tanya Put-po.
"Akupun tidak menyangka kalau persoalan bisa berubah seperti
ini,” kata Bu-beng Cinjin, "tampaknya masalah regenerasi harus
ditunda sementara waktu, nanti saja kita bicarakan lagi.”
Ong Hui-bun tertawa dingin, jengeknya, "Sekalipun dia telah
jatuh tidak sadarkan diri, toh penyelidikan masih bisa diteruskan
hingga menjadi jelas semua!"
"Maksudmu....”
"Sebenarnya Put-ji telah meninggal atau belum! Persoalan ini
yang pertama-tama harus diperjelas lebih dahulu!"
"Benar! Kita harus memperjelas dahulu masalah ini,” Put-po
segera mendukung.
Baru selesai dia berkata, terlihat dua orang tosu telah
menggotong keluar tubuh Put-ji yang telah meninggal. Kedua orang
tosu itu tidak lain adalah murid ketiga dan murid ke empat dari Buliang
Totiang, Put-bo dan Put-yok.
Sambil mendengus kembali Ong Hui-bun berkata, "Coba kalian
periksa, apa penyebab kematian Put-ji? Tentunya ada orang yang
dapat mengenalinya bukan?"
Cepat Bu-liang Totiang menyahut, "Diantara alis matanya lamatlamat
muncul warna hijau, eeei, tampaknya dia tewas keracunan
karena terkena jarum Lebah hijau!"
"Swan-sianseng, coba kau periksa!" teriaknya kemudian.
Swan Ji-cing adalah seorang tokoh yang ahli dalam ramuan obat
obatan, pengetahuannya terhadap pelbagai senjata rahasia beracun
pun sangat luas.
Begitu diperiksa, dengan wajah berubah segera serunya, "Betul,
memang terkena jarum Lebah hijau!"
Jarum lebah hijau merupakan senjata rahasia andalan Siang Ngonio,
seketika ada banyak anggota Bu-tong-pay yang mulai
mengumpat, "Lagi lagi perbuatan siluman wanita itu!"
Diantara mereka, khususnya Put-hui Suthay yang paling
membencinya hingga merasuk ke tulang sumsum, sambil
menggertak gigi makinya, "Perempuan siluman ini pernah
menggunakan jarum Lebah hijau untuk mencelakai Put-coat suheng
kita, kemarin pun pernah menggunakan jarum Lebah hijau untuk
membumkam mulut Lian Heng, hmm! Sungguh tidak nyana dia
berani bersembunyi digunung kita bahkan lagi-lagi mencelakai Put-ji
Tianglo dengan jarum Lebah hijaunya. Hmmm! Apabila berhasil
membekuknya, aku bersumpah akan mencincangnya hingga hancur
berkeping!"
"Belum tentu orang yang mencelakai Put-ji adalah siluman wanita
itu sendiri!" sindir Ong Hui-bun dengan nada dingin.
"Memangnya kau sangka perbuatan dari Giok-keng si bocah itu?"
seru Put-hui Suthay.
Tiba-tiba Put-bo, murid ke tiga dari Bu-liang Totiang berseru,
"Oooh, aku teringat akan satu hal, tahun berselang perempuan
siluman itu pernah naik ke gunung Bu-tong, bukan saja dia pernah
mengunjungi rumah keluarga Lan Kau-san, bukankah Giok-keng pun
pernah dilarikan? Put-hui suci, kalau tidak salah pada hari itu....”
Put-hui Suthay adalah seorang tokoh yang temperamen dan tidak
sabaran, segera sahutnya, "Benar, kebetulan hari itu aku bertemu
dengan siluman wanita itu, kebetulan Giok-keng sedang turun
gunung, sedang dia lagi mengancam encinya Giok-keng yakni
muridku Lan Sui-leng. Aku yang berhasil mengusir siluman wanita
itu, tapi akibatnya aku ter-sambar pula jarum beracunnya hingga
nyaris kehilangan nyawa.”
"Aku dengar Siang Ngo-nio hendak mengangkat Giok-keng
menjadi anak angkatnya?"
"Hmm, itu mah pikiran gila siluman wanita itu, mana mungkin
Giok-keng mau mengakuinya sebagai ibu angkat?"
"Tapi bagaimanapun juga, siluman wanita itu jelas mempunyai
sedikit hubungan dengan Giok-keng, kalau tidak, mengapa dia
bukannya merampas orang lain tapi justru mengincar Giok-keng?"
seru Put-bo Tojin lagi.
"Apa maksud perkataanmu itu?" teriak Put-hui Suthay gusar,
"kau sangka Giok-keng bersekongkol dengan siluman wanita itu
untuk mencelakai ayah angkatnya sendiri? Aku yakin Giok-keng
tidak bakal melakukan perbuatan semacam itu!"
Put-bo Tojin sengaja tidak berbicara lagi, dia hanya tertawa
dingin tiada hentinya.
"Put-hui Suthay,” kata Ong Hui-bun kemudian dengan nada
hambar, "persoalannya sekarang bukan bisa dipercaya atau tidak,
terbukti jelas kalau Put-ji tewas keracunan karena terkena jarum
Lebah hijau, mengapa Keng Giok-keng harus merahasiakan kejadian
ini dan mengatakan ayah angkatnya hanya menderita sakit tidak
bisa bangun? Bahkan setelah kenyataan semakin jelas, kenapa dia
malah mengumpat dan menyerangku? Siapa pun tahu kalau jarum
Lebah hijau adalah senjata rahasia andalan Siang Ngo-nio, padahal
aku sendiri tidak pernah memakai senjata rahasia, kini kenyataan
sudah terbukti didepan mata, apabila dia bukan sedang melindungi
Siang Ngo-nio, pastilah dia telah meminjam jarum lebah hijau dari
tangan perempuan siluman itu!"
Uraian tersebut disampaikan secara detik dengan didukung fakta
yang kuat, Put-hui Suthay seketika tertunduk dan tidak mampu
berbicara lagi, pikirnya, 'Mungkinkah bocah ini termakan hasutan
orang jahat setelah mengetahui rahasia asal-usulnya hingga
melakukan tindakan bodoh?'
Sementara dia masih berpikir, Put-po yang polos kembali telah
berseru, "Sebenarnya akupun tidak percaya kalau Giok-keng bakal
berubah sejahat ini, aaaai, tapi sekarang, sekalipun tidak berani
percaya pun mau tidak mau harus mempercayainya juga. Bu-sisusiok,
Put-hui-suci, menurut pendapatku, tidak sepantasnya bila
kita kelewat melindungi bocah ini, mending kita bersama-sama
mohonkan ampun kepada Ciangbun Cinjin, mengingat dia hanya
bertujuan membalaskan dendam atas kematian ayahnya maka
tanpa mengetahui masalah yang sejelasnya telah melakukan sebuah
kesalahan besar.”
Put-hui Suthay tidak bicara, sebaliknya Bu-si Tojin dengan kening
berkerut berkata, "Aku lihat di balik kesemuanya ini mungkin masih
ada hal lain yang mencurigakan, lebih baik kita tunggu dulu sampai
Giok-keng sadar lalu menginterogasi dirinya sebelum menjatuhkan
hukuman.”
"Kenyataan telah terpampang didepan mata, buat apa kita
bertanya lagi kepadanya? Apa yang dikatakan Supek bisu tuli benar,
kalau bukan dia yang melakukan....”
"Semua perkataannya telah kudengar dengan sangat jelas, tidak
perlu kau ulang lagi,” tukas Bu-si Tojin cepat.
"Kalau begitu mohon tanya, menurut kau ucapannya masuk akal
atau tidak?" desak Put-po.
"Aku tidak tahu. Sebab masih masih membutuhkan lebih banyak
bukti sebelum memutuskan, hingga saat ini aku tetap merasa
kejadian ini mencurigakan!"
Sebetulnya Bu-si Tojin termasuk orang yang simpatik, tapi
berhubung jalan pikiran dan pandangan sebagian besar anggota Butong-
pay sama seperti apa yang dipikirkan Put-po, menganggap
Keng Giok-keng telah melakukan kesalahan karena ingin membalas
dendam atas kematian ayahnya, maka tanpa terasa sikap mereka
terhadap putsi pun ikut berubah, untuk sesaat suasana berubah jadi
gaduh.
"Put-ji Tianglo telah memeliharanya hingga dewasa, selain ayah
angkatnya, diapun gurunya, budi kebaikan yang telah diberikan
lebih tinggi dari bukit, ayah kandungnya mati karena kesalahannya
memang pantas menerima ganjaran tersebut, sekalipun ayahnya
benar tewas dibunuh Put-ji Tianglo dimasa lalu, tidak seharusnya
dia melakukan pembunuhan sekeji ini!"
"Kalau hanya berniat balas dendam mah masih mending, jangan
lupa, dia pun masih dicurigai sebagai mata-mata yang berhubungan
dengan bangsa Boan!"
"Betul, sekalipun tuduhan sebagai mata-mata belum terbukti, tapi
persekongkolannya dengan siluman wanita Siang Ngo-nio sudah
jelas terbukti. Peristiwa ini pantas diselidiki hingga tuntas!"
"Sudah cukup, harap kalian tenang!" teriak Put-po kemudian,
"menurut aku, lebih baik kita nantikan keputusan dari Ciangbun
Cinjin, bagaimana pun dia adalah seorang bocah berbakat luar
biasa, sekalipun telah melakukan perbuatan bodoh, namun....
namun....”
Bu-beng Cinjin mendeham berulang kali, kemudian katanya,
"Seandainya dia benar-benar telah melanggar dosa seperti yang
dituduhkan Ong Hui-bun, tentu saja kesalahan tersebut harus
dijatuhi hukuman yang setimpal!"
Semua orang menyangka Keng Giok-keng sudah tidak mungkin
lolos dari semua tuduhan itu, ada yang merasa sayang dengan
bakatnya yang bagus, ada pula yang kasihan karena usianya masih
muda, semua orang berharap Bu-beng Cinjin dapat menjatuhkan
hukuman yang ringan hingga bocah itu terbebas dari siksaan.
Siapa tahu pada saat itulah muncul seseorang yang membantu
Keng Giok-keng berbicara, bahkan orang itu tidak lain adalah Buliang
Tianglo.
"Apa yang diucapkan Put-po-sutit memang betul,” kata Bu-liang
Totiang, "Giok-keng masih muda, rasanya tidak mungkin dia bisa
melakukan perbuatan dengan begitu berpengalaman, bahkan pada
saat yang bersamaan melakukan beberapa perbuatan sekaligus!"
Begitu mendengar ada orang membantu berbicara, bahkan yang
berbicara pun merupakan ketua Tianglo, Put-po merasa sangat
bangga, segera ujarnya, "Betul juga, baru saja dia pergi ke luar
perbatasan untuk bersekongkol dengan bangsa Boan, kemudian
sekembalinya ke daratan bersekongkol pula dengan perempuan
siluman, padahal dia hanya seorang pemuda berusia tujuh, delapan
belas tahunan! Jika ke dua perbuatan ini bisa terbukti, waaah....
perbuatannya benar- benar sedikit di luar dugaan siapa pun!"
"Dosa memang tidak mungkin bisa dicuci bersih,” sela Ong Huibun,
"hanya saja....”
"Hanya saja kenapa?"
"Hanya saja aku duga di belakangnya masih ada aktor lain yang
mendalangi kesemuanya ini!"
Bu-liang Totiang menghela napas, ujarnya, “Dalam hal inipun
telah kubayangkan, kalau hanya mengandalkan kemampuannya,
tidak mungkin bisa dia lakukan perbuatan jahat sebanyak ini, justru
dalang yang menjadi otak itulah merupakan penjahat sesungguhnya
yang harus kita selidiki. Aku rasa Giok-keng hanya seorang
pembantu saja!"
Walaupun Put-po berharap dapat membantu Keng Giok-keng
untuk meringankan dosanya, namun perkataan yang barusan
didengar merupakan satu kejadian yang sama sekali tidak terduga
sebelumnya.
Dengan perasaan terkesiap teriaknya, "Kalau didengar dari nada
pembicaraanmu, seolah orang yang berada dibelakangnya adalah
seseorang yang mempunyai kedudukan tinggi dalam Bu-tong-pay?"
"Aaaai, pada hakekatnya mereka tidak bisa sebanding, jangan
lagi kedudukannya jauh diatasnya, bahkan jauh diatas posisimu
juga!"
Saat ini kedudukan Put-po Tojin adalah seorang Tianglo, mana
ada orang lain yang mempunyai kedudukan jauh lebih tinggi
daripada dirinya?
Dalam waktu singkat perasaan hati semua murid Bu-tong-pay
jadi terkesiap, tentu saja mereka tidak berani mengatakan siapa
gerangan orang yang telah diduga itu.
Put-po biarpun kasar ternyata dia cukup teliti, sengaja katanya,
"Aku dengar sewaktu Giok-keng turun gunung tahun berselang, dia
mendapat perintah dari mendiang Ciangbun Cinjin.”
"Apakah kau dengar dengan mata kepala sendiri Bu-siang Cinjin
berkata begitu?" tanya Ong Hui-bun.
"Tidak!" sahut Put-po, sebenarnya dia ingin mengatakan kalau
mendengar dari Bu-beng Cinjin, tapi akhirnya dia tidak berani
mengutarakannya keluar.
"Kalau memang tidak, darimana kau bisa buktikan kalau perintah
itu memang berasal dari Bu-siang Cinjin? Apalagi setelah dia pergi
jauh ke luar perbatasan, semakin menyimpulkan kalau perintah itu
bukan berasal dari Bu-siang Cinjin.”
"Berarti pada waktu itu orang tersebut sudah berada diatas
gunung Bu-tong,” kata Put-po lagi.
"Tentu saja, kalau tidak mana mungkin bisa menurunkan
perintah?"
Jawaban ini sudah menjelaskan segala sesuatunya secara
gamblang, disaat Keng Giok-keng turun gunung, pada hari itu juga
Bu-beng Cinjin tiba di atas gunung Bu-tong.
Kini, hampir semua pandangan mata tertuju ke diri Bu-beng
Cinjin!
Paras muka Bu-beng Cinjin sama sekali tidak berubah, dengan
tenang katanya, "Kalau begitu kau sudah tahu siapakah dia?"
"Benar!"
"Kenapa tidak kau katakan?"
"Pertama, karena urusan ini menyangkut keadaan yang sangat
besar, ke dua jelek-jelek orang itu tetap merupakan seorang tokoh
persilatan kelas satu, asal dia tahu kesalahannya dan bersedia
menuruti bujukan, bahkan penampilannya dalam melaksanakan janji
memang bisa dipercaya, aku tidak ingin merusak nama baiknya.”
Maksud lain dari perkataan itu adalah mengingatkan Bu-beng
Cinjin: bila kau tidak melaksanakan sesuai yang kuinginkan, aku
segera akan membuat nama baikmu tercoreng!
Bu-beng Cinjin segera berkata pula, "Aku pun berharap orang itu
jangan melanjutkan perbuatannya yang terkutuk, tapi harus
diketahui seseorang yang semula baik, dengan gampang bisa
berubah jadi jahat, tapi kalau dari jahat susahlah untuk menjadi
baik. Kami pun tidak berharap menaruh pengharapan pada hal yang
kosong, kita harus mengetahui lebih dulu apa gerangan masalah
yang sebenarnya.”
Setelah berhenti sejenak, dia berpaling ke arah Ong Hui-bun lalu
bertanya, "Kau mengatakan dibelakang Keng Giok-keng ada dalang
yang mengatur semua rencana, boleh tahu apa rencananya?"
"Menguasai seluruh Bu-tong-pay dalam genggamannya!"
"Yang kau maksudkan sebagai 'nya' apakah sekelompok
penghianat bangsa?" "Benar! Maka dari itu....”
"Maka dari itu bila rencana busuk mereka berhasil, itulah saat Butong-
pay musnah dari dunia persilatan!" sambung Bu-beng Cinjin
cepat.
"Memang begitulah!"
Setelah terjadi adu debat diantara kedua orang ini, kini sekalipun
orang yang paling bodoh dengan otak paling sederhana pun dapat
menangkap kalau ujung tombak dari Ong Hui-bun ditujukan
langsung kepada Bu-beng Cinjin.
Bu-beng Cinjin minta Keng Giok-keng untuk meneruskan
jabatannya sebagai Ciangbunjin, sementara Keng Giok-keng pun
dicurigai sebagai mata-mata, bukankah hal ini sama artinya seperti
apa yang dikatakan Ong Hui-bun tadi, ingin menguasai seluruh Butong-
pay?
Paras muka Bu-beng Cinjin tetap tidak berubah, namun nada
suaranya lebih berat dan serius, katanya, "Karena urusan sudah
menyangkut mati hidupnya perguruan kita, hal ini tidak bisa
diselesaikan hanya mengandalkan emosi! Sekarang aku masih
seorang Ciangbunjin, aku perintahkan kepadamu untuk berbicara
sejujurnya!"
"Tapi harus dapat menunjukkan saksi dan bukti yang otentik!"
Bu-si Tojin menambahkan.
Dia kuatir Ong Hui-bun mengandalkan hubungan eratnya dengan
Bu-siang Cinjin dan menyampaikan firman palsu yang justru
merupakan khayalannya.
"Ciangbun Cinjin,” kata Ong Hui-bun kemudian, "bolehkah aku
tampilkan seorang saksi penting!"
Sejak awal Bu-beng Cinjin sudah tahu siapa yang hendak
ditampilkan, namun dia tetap bertanya, "Tentu saja, siapa saksi
penting itu?"
"Siang Ngo-nio!" jawab Ong Hui-bun sepatah demi sepatah kata.
Begitu nama itu disebut, suasana dalam arena pun terjadi
kegaduhan.
Serentak para murid Bu-tong-pay bertanya, “Memangnya siluman
wanita itu masih di atas gunung?"
"Dia adalah musuh besar partai kita, mana mungkin bersedia
tampil sebagai saksi?"
"Dia telah kutangkap hidup-hidup!" ujar Ong Hui-bun.
Seketika itu juga berita ini menghebohkan seluruh arena, seluruh
anggota Bu-tong-pay jadi gaduh dan saling berbisik bahkan ada
yang mulai berteriak, minta Ong Hui-bun segera tampilkan siluman
perempuan itu.
Ong Hui-bun membuat gerakan tangan menekan bibirnya dengan
kedua belah tangan, setelah kegaduhan menjadi tenang kembali,
dia baru berkata, "Tapi kalian harus berjanji dulu untuk
mengampuni jiwanya, kalau tidak, bisa jadi dia malah langsung
ingin mati daripada tampil sebagai saksi.”
Semua orang mulai mempertimbangkan usulan itu, untuk sesaat
siapa pun tidak berani bersuara.
"Berarti siluman wanita itu telah memberikan pengakuannya
kepadamu?" tanya Bu-si Tojin.
"Betul. Daripada aku yang membeberkan, lebih baik biar dia saja
yang mengakui dihadapan jakuab senya.”
"Tapi kita pun harus mengampuni nyawa siluman perempuan ini,
aku tidak tahu bagaimana perhitungan siepoa dalam hal ini?" seru
Put-po Tojin, "kalau memang dia sudah mengaku semua,
seharusnya.... seharusnya....”
Belum selesai dia berkata, kembali ucapannya ditugas oleh
seruan orang agar dia membungkam.
Perlu diketahui, dalam hati sebagian besar orang yang hadir saat
ini, kebanyakan mereka hanya ingin nonton keramaian, kalau Siang
Ngo-nio belum tampilkan diri, bagaimana mungkin hal tersebut bisa
memuaskan hati mereka semua?
Ong Hui-bun menggelengkan kepalanya berulang kali, kepada
Bu-si Tojin katanya, "Lebih baik biar Siang Ngo-nio mengaku sendiri.
Kalau tidak, takutnya ada orang akan curiga kalau semuanya itu
hanya karangan aku sendiri.”
Tentu saja ucapan ini sengaja ditujukan untuk menyindir Bu-si
Tojin yang minta dia mengusung keluar bukti dan saksi.
Bu-si Tojin segera mendengus dingin. "Hmm, ucapan siluman
wanita mana boleh dipercaya?"
"Kita mengundangnya untuk tampil sebagai saksi tentu saja
bukan hanya mendengar perkataan dia seorang. Tapi akan kita adu
muka dengan orang yang berada di belakang Keng Giok-keng. Di
saat mereka saling bertemu, tentunya dari tanya jawab mereka
berdua kita bisa menarik kesimpulan yang lebih jelas dan
menentukan mana yang dia katakan itu benar dan mana yang
salah.”
Kembali Put-po Tojin garuk-garuk kepalanya.
"Ehmm, masuk akal juga perkataan ini,” katanya.
"Apabila dari pengakuan siluman wanita itu kita benar-benar bisa
membuktikan kalau dalam partai kita tersusup penghianat, aku rela
mengampuni nyawa perempuan itu!" seru Put-hui Suthay dengan
nada serius.
Di antara sekian banyak orang yang hadir, permusuhan Put-hui
Suthay dengan Siang Ngo-nio terhitung paling dalam, setelah dia
berjanji begitu, tentu saja orang lain pun tidak banyak komentar.
"Baik, kalau begitu persilahkan kau untuk mengundang keluar
Siang Ngo-nio!"
"Aku telah mengurungnya di dalam sebuah gua di atas tebing
bukit seberang sana dan menguncinya di dalam sebuah peti besi.
Silahkan Ciangbun Cinjin mengutus dua orang murid untuk
menggotong kemari peti besi itu.”
"Bagus, tidak nyana cara kerjamu sangat cermat dan teliti,” kata
Bu-beng Cinjin.
Orang pertama yang mengajukan diri adalah Put-po Tojin, dia
bersama murid Bu-liang Totiang pergi menggotong peti besi itu.
Gua itu terletak tidak jauh dari kompleks pemakaman, tidak
butuh waktu terlalu lama, peti besi itu sudah digotong ke depan Bubeng
Cinjin.
Kehadiran peti besi itu segera menarik perhatian semua orang,
terutama anggota perguruan Bu-tong-pay, tanpa sadar serentak
mereka meluruk maju ke depan, setiap orang membawa perasaan
ingin tahu dan perasaan gembira yang meluap, semua orang
berharap peti besi itu segera dibuka dan menunggu permainan
sandiwara apa lagi yang bakal ditayangkan.
Bahkan Bu-beng Cinjin sendiripun merasakan hatinya berdebar
keras, walaupun permainan ini sudah berada dalam dugaannya,
bahkan diapun telah memikirkan cara untuk menghadapinya. Tapi
siapa tahu apakah aktor dari permainan ini bakal berubah pikiran
atau tidak di tengah jalan.
Kalau ditinjau dari sikap Ong Hui-bun, sudah jelas dialah sang
sutradara, atau dengan perkataan lain, segala sesuatunya berjalan
mulus sesuai dengan rencana nya, dan tidak perlu ditebak pun
sudah bisa diduga permainan macam apa yang sedang dia
laksanakan.
Tapi sikapnya saat ini sama seperti orang lain, tidak dapat
menutupi perasaan tegang yang mencekam hatinya, bahkan terselip
pula berapa bagian rasa heran dan tercengang.
Karena orang yang masuk ke dalam arena telah berkurang
dengan seseorang. Sesuai dengan skenario yang telah dirancang,
seharusnya saat ini masih ada seseorang lagi yang mengikuti di
belakang Put-po dan Put-bo yang menggotong peti besi itu dan
bertindak sebagai orang yang membebaskan kurungan.
"Sebetulnya inilah kesempatan paling baik baginya untuk
menampilkan diri, akupun dengan niat baik telah menyiapkan tugas
ini kepadanya dan berniat mempromosikan dirinya setelah rencana
ini berhasil. Kenapa dia malah menyembunyikan diri? Hmm,
tampaknya dia kuatir mendapat satu tapi kehilangan yang lain, takut
aku tidak sanggup mengungguli Bouw Ciong-long maka di saat
terakhir berubah pikiran dan pilih jadi cucu kura-kura? Hmm, betulbetul
tidak tahu diri, yaa sudah, biarlah semau dia! Demikian Ong
Hui-bun berpikir.
Walaupun sebelum acara pembukaan dimulai, dia sudah
kehilangan seorang pemain, namun untungnya yang menyingkir
hanya seseorang yang tidak penting peranannya. Tanpa diapun
sandiwara masih bisa dilangsungkan. Oleh karena itu meski dalam
hati kecilnya Ong Hui-bun sedikit merasa tidak senang hati, namun
dia tidak terlalu masukkan ke dalam hati.
"Lapor Ciangbun Cinjin, siluman perempuan itu telah digotong
kemari,” lapor Put-po.
"Bagus, segera buka peti besi itu!" perintah Bu-beng Cinjin.
Ong Hui-bun segera mengeluarkan anak kunci dan diserahkan
kepada Put-bo, dengan membawa anak kunci itu Put-bo Tojin pun
membuka gembokan di depan peti besi.
Entah dikarenakan gembokan besar lagi kuno itu sukar dibuka
atau dikarenakan perasaan hatinya kelewat tegang, terlihat jari
tangannya gemetaran keras, sampai lama kemudian dia masih juga
belum berhasil membuka kunci gembokan itu.
Habis sudah kesabaran Put-po, sambil mencengkeram rantai
gembokan itu dia menariknya kuat-kuat, katanya, "Merusak sebuah
gembokan tidak terhitung apa-apa, Supek bisu tuli, kau pasti tidak
menyalahkan aku karena merusak gembokanmu bukan!"
Karena betotannya yang kuat, rantai berikut gembokan itu
segera terbetot patah jadi beberapa bagian.
Dia langsung membuka tutup peti, mencengkeram tubuh
seseorang dari dalam peti dan melemparnya ke atas tanah.
Mungkin karena bantingan itu kelewat keras, orang itu segera
menjerit kesakitan.
Dalam waktu singkat beberapa ratus pasang mata dibuat
terperana, dibuat bodoh setelah melihat wajah orang itu.
Ternyata orang itu bukan Siang Ngo-nio. Melainkan seorang tosu
tua dan tosu tua itu sudah dikenal oleh setiap anggota Bu-tong-pay
yang berada disana.
"Eeei, Put-huang suheng!" teriak Put-po, "bukannya berada di
istana Ci-siau-kiong, mau apa kau bersembunyi dalam peti?"
Ternyata Tojin itu adalah seorang pengurus rumah tangga di
istana Ci-siau-kiong dengan gelar Put-huang. Usianya lebih tua
sedikit daripada Put-po, "menjadi pengurus" di istana Ci-siau-kiong
pun sudah mencapai tiga puluh tahunan.
Ilmu silat yang dimiliki orang ini biasa saja, tapi orangnya jujur
bahkan sangat pandai bekerja, oleh sebab itu mendapat
kepercayaan penuh dari Bu-siang Cinjin.
Selama berperan sebagai Tojin bisu tuli dan bertugas di istana Cisiau-
kiong, dia adalah atasan langsung Ong Hui-bun.
Bu-liang Totiang tampak amat cemas, bentaknya nyaring, "Coba
periksa lagi, apakah dalam peti masih terdapat orang lain?"
"Tii.... tidak ada!" sahut Put-po agak gemetar.
"Put-huang, apa yang sebenarnya terjadi?" hampir pada saat
yang bersamaan Bu-beng Cinjin dan Ong Hui-bun membentak
bersama.
Kini Put-huang Tojin telah bangkit berdiri, pandangan matanya
dialihkan ke wajah Ong Hui-bun, tampaknya rasa kaget masih
mencekam perasaannya bahkan kelihatan sekali kalau dia takut
ditegur karena kelalaiannya.
Dengan badan menggigil ujarnya kemudian, "Bukannya aku tidak
menjaga dengan sepenuh tenaga, tapi aku.... aku tidak mampu
melawannya....”
Dengan ucapannya itu maka semua orang pun segera memahami
apa yang telah terjadi, ternyata dia mendapat perintah dari Ong
Hui-bun untuk menjaga Siang Ngo-nio.
Namun kalau ditinjau dari kedudukan mereka berdua, rasanya
saat ini justru terjadi kebalikannya. Kalau dilihat dari mimik
mukanya yang begitu ketakutan, seolah Ong Hui-bun adalah
atasannya saja.
Diantara murid angkatan "Put", usianya terhitung paling tua
namun kedudukannya paling rendah. Oleh sebab itu selama ini
semua murid Bu-tong-pay tidak terlalu memperhatikan dirinya,
otomatis tidak ada yang menaruh perhatian apakah dia ikut
menghadiri upacara penguburan atau tidak.
Namun setelah mendengar tanya jawabnya dengan Ong Hui-bun
barusan, semua orang pun menaruh pandangan yang berbeda
terhadapnya. Pikir mereka, "Ternyata sejak awal dia sudah
mengetahui asal usul Tojin bisu tuli yang sebenarnya!"
Kini Ong Hui-bun sudah merasa tidak perlu untuk merahasiakan
hubungan mereka lagi, segera bentaknya, "Bagaimana aku
perintahkan dirimu, sekalipun kau tidak berdaya untuk melawan,
begitu bertemu orang asing, kau seharusnya segera berteriak minta
tolong!"
Sebetulnya hal ini bukan dikarenakan kecerobohan Ong Hui-bun,
pertama karena letak gua itu memang sukar diketahui orang, kedua
dia telah menyiapkan berapa jenis senjata rahasia paling lihay untuk
Put-huang menghadapi musuh dan ketiga letak gua itu tidak terlalu
jauh dari kompleks pemakaman, asal Put-huang berteriak, dia dan
Bu-liang Totiang segera akan menyusul ke situ.
Perasaan bingung kembali menyelimuti wajah Put-huang Tojin,
katanya, "Aku.... aku.... aku tidak tahu....”
"Tidak tahu apa....?"
"Tidak tahu apakah dia adalah dirimu?"
Apa maksud perkataan itu? Semua orang tertegun dan dibuat
tidak habis mengerti. Namun paras muka Ong Hui-bun segera
berubah sangat hebat.
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar seseorang tertawa nyaring,
disusul kemudian serunya, "Kalian tidak perlu gelisah, aku telah
mengundang datang saksi mu itu!"
Bersama dengan bergemanya perkataan itu, semua orang
kembali dibuat tertegun. Ternyata jagoan yang muncul adalah
seorang tokoh silat yang tidak pernah diduga siapa pun, tapi dia
mempunyai kedudukan yang sangat tinggi dalam dunia persilatan.
Terdengar Pa-san-kiam-kek Kok Thiat-cing berseru tertahan,
teriaknya, "Bukankah kau adalah Kwik Thayhiap? Tidak disangka
dapat bertemu dengan kau disini, selama banyak tahun kau
bersembunyi di mana saja?"
Pun-bu Thaysu, ketua Tianglo ruang Tatmo dari biara Siau-lim
merangkap pula tangannya memberi hormat, sapanya, "Aku masih
ingat ketika Kwik Thayhiap datang berkunjung ke biara Siau-lim dan
berbincang tentang ilmu pedang dengan pinceng, mungkin kita
sudah berpisah hampir tiga puluh tahunan bukan?"
"Betul, tiga puluh dua tahun,” jawab orang itu sambil tertawa.
Biarpun hanya beberapa orang diantara para pelayat dan murid
Bu-tong-pay yang mengetahui orang itu, namun setelah mendengar
Kok Thiat-cing serta Pun-bu Thaysu menyebutnya sebagai Kwik
Thayhiap, hampir setiap orang segera mengetahui siapakah dirinya.
Ternyata orang ini tidak lain adalah pemimpin kelompok lima
setiakawan Siau-ngo-gi di masa lalu, jit-seng-kiam-kek Kwik Tanglay.
Dialah orang pertama yang lenyap dari peredaran dari antara
kelompok Siau-ngo-gi, disusul kemudian Ong Hui-bun dan Hwee-ko
Thaysu ikut lenyap dari dunia persilatan, sejak itu pula kelompok
lima setiakawan Siau-ngo-gi lenyap ditelan bumi.
Teka-teki tentang hilangnya mereka dari dunia persilatan
merupakan misteri yang tidak pernah terjawab selama tiga puluh
tahunan, siapa pun tidak mengira mereka bakal bermunculan pada
hari yang sama diatas gunung Bu-tong.
Seandainya Kwik Tang-lay datang dengan 'tangan kosong' pun
sudah cukup menghebohkan, apalagi sekarang dia muncul sambil
menggendong sebuah karung yang terbuat dari kulit.
Kantung kulit itu panjang lagi besar, dengan ketinggian badannya
yang mencapai tujuh kaki (lebih kurang 2,3 meter), ternyata
kantung kulit yang dipikulnya masih menyentuh permukaan tanah.
Selain Kok Thiat-cing yang maju menyambut, masih ada seorang
lagi yang ikut maju, dia adalah busu tua Chin Ling-hun.
Dengan wataknya yang suka bicara terus terang dan mempunyai
perasaan ingin tahu yang besar, Chin Ling-hun segera tampil ke
depan dan langsung menegur, "Kwik Thayhiap, apa isi kantung kulit
itu?"
"Tidak usah terburu napsu,” jawab Kwik Tang-lay sambil
tersenyum, "nanti toh kau akan tahu dengan sendirinya.”
Sembari bicara dia telah berjalan sampai didepan kuburan Busiang
Cinjin, saat itulah dia baru menurunkan kantung kulit itu,
kemudian sambil bersujud memberi hormat di depan batu nisan,
katanya, "Cinjin, di masa hidupmu, aku tidak berkesempatan
mendapat petunjuk darimu, hal ini merupakan satu kejadian besar
yang paling membuat aku kecewa. Hari ini aku khusus datang untuk
membalas budi atas kebaikanmu.”
Seluruh anggota Bu-tong-pay, termasuk juga Bu-liang Totiang,
todak ada yang tahu tentang persoalan ini, tanpa terasa mereka
saling bingung dan menduga-duga. Mereka tidak tahu apa
sebenarnya yang dia maksudkan sebagai balas budi itu.
Dalam pada itu Ong Hui-bun telah maju memberi hormat sambil
menyapa, "Toako, aku dengar kau sudah hidup mengasingkan diri di
luar perbatasan, sungguh bukan pekerja an yang gampang untuk
jauh-jauh datang kemari!"
Desa kelahiran Kwik Tang-lay ada di kota Lokyang, tapi Ong Huibun
sengaja mengubahnya menjadi "mengasingkan diri di luar
perbatasan", tujuannya jelas sedang memperingatkan dia, "Kau
mengetahui urusanku, akupun mengetahui urusanmu, jika kau
bongkar rahasiaku, akupun tidak akan sungkan-sungkan
menghadapi dirimu.”
"Hmmm!" Kwik Tang-lay mendengus dingin, ujarnya hambar,
"sudah hampir tiga puluhan tahun kau berada di gunung Bu-tong,
kalau kau bisa datang, kenapa aku tidak bisa kemari?"
Bu-beng Cinjin segera maju memberi hormat, katanya pula,
"Waktu aku berada di kota Hangciu, ternyata saat itu tidak ada
kesempatan untuk berjumpa dengan toako, hal ini benar-benar
membuatku menyesal. Ada satu hal aku harus melaporkan
kepadamu....”
Kwik Tang-lay tertawa terbahak-bahak, tukasnya, "Aku sudah
tahu mengenai urusanmu, tapi sekarang kau telah menjadi
Ciangbun Cinjin, buat apa harus mempersoalkan adat kaum awam?"
"Ciangbun-sute, apakah kau tidak merasa pertanyaan mu itu
sedikit menggelikan!" ejek Bu-liang Totiang tiba-tiba.
"Bagaimana menggelikannya? Tolong dijelaskan.”
Sambil menuding ke arah Ong Hui-bun ujar Bu-liang Totiang,
"Untuk mempermudah komunikasi, aku tetap menggunakan nama
panggilannya dulu. Siapa pun tahu kalau Tojin bisu tuli bertugas
melayani keperluan mendiang Ciangbunjin, bila dia pergi
meninggalkan gunung, memangnya Bu-siang Cinjin tidak akan
mengetahui akan hal ini?"
"Masuk diakal juga perkataanmu itu,” Bu-beng Cinjin manggut
manggut, "tapi aku tetap ada pertanyaan yang perlu diajukan. Puthuang,
aku tetap mempercayai perkataanmu tadi, dia tidak pernah
meninggalkan gunung, tapi dalam beberapa hari itu apakah telah
terjadi sesuatu kejadian yang istimewa atas dirinya? Semisal
kedatangan tamu asing yang mengunjunginya, atau menderita
sakit.”
"Belum pernah ada yang datang mencarinya, sedangkan
mengenai sakit.... soal ini.... soal ini....”
"Kenapa?"
"Kejadiannya sudah lewat cukup lama, aku tidak teringat lagi.”
"Hmm! Lebih baik pikirkan lagi dengan cermat,” dengus Kwik
Tang-lay.
"Rasanya.... rasanya....” Put-huang bergumam tiada hentinya
namun tidak muncul jawaban.
Tiba-tiba Put-po memukul benak sendiri sembari berseru, "Aaah,
aku teringat sekarang, benar, beberapa hari sebelum keluarga Ho
tertimpa kejadian, rasanya paman guru bisu tuli pernah menderita
sakit yang cukup parah.”
"Bagaimana mungkin daya ingatanmu begitu jelas?" seru Buliang
Totiang.
"Ketika Ji-ou Thayhiap Ho suheng terbunuh, aku pernah datang
ke istana Ci-siau-kiong, waktu itu kudengar dia sedang sakit dan
sempat mendatangi kamarnya untuk menjenguk. Mengapa aku bisa
teringat begitu jelas, karena selewat beberapa hari kemudian ada
orang naik ke gunung untuk melapor kepada Ciangbun suheng
katanya di saat Ho suheng terbunuh, katanya aku terlihat hadir juga
di tempat kejadian. Maka setelah pembawa berita itu pergi, akupun
sempat bertanya kepada Put-huang, apakah sakit Tojin bisu tuli
telah sembuh. Dia bilang belum.”
"Betul,” kini Put-huang Tojin baru berkata, "aku pun teringat
sudah, beberapa hari itu dia memang sakit.”
"Siapa pun dapat terserang sakit setiap saat, apa yang perlu
diherankan,” sela Ong Hui-bun.
"Ilmu silatmu begitu bagus, kau menderita penyakit apa?" tanya
Bu-beng Cinjin.
"Kejadian itupun sudah berlangsung tujuh belas tahun berselang,
mana mungkin aku masih ingat sakit apa yang kuderita waktu itu?"
Jawaban itu seketika menimbulkan perasaan curiga dari para
anggota Bu-tong-pay.
Perlu diketahui, dalam ingatan mereka, Tojin bisu tuli jarang
sekali sakit, mungkin sakitnya waktu itu merupakan satu-satunya
sakit yang pernah diderita, mana mungkin dia bisa tidak teringat?
Sorot mata banyak orang mulai dialihkan ke tubuh Put-po.
Terdengar Put-po Tojin berkata lagi, "Aku menengoknya ketika
dia berada dalam kamar, memang dia, bukan orang lain.”
"Hmm, masih ada yang hendak kalian katakan?" jengek Ong Huibun
sambil tertawa dingin.
"Masih!" jawab Kwik Tang-lay.
"Sebelum Ji-ou Thayhiap Ho Ki-bu dibunuh orang, telah terjadi
pembunuhan misterius terhadap Ting Hun-hok, seorang murid
preman perguruan kita di kota Yan-keng, disusul kemudian Bu-kek
Tianglo dibokong orang hingga menderita luka parah sewaktu dalam
perjalanan menuju kotaraja, dari pelbagai gejala yang tampak, jelas
ada sekawanan penghianat yang berniat mencelakai perguruan. Bukek
Tianglo meninggal setelah beberapa hari menderita luka parah,
tapi terus terang saja sebelum dia tewas, aku telah mendapat kabar
kalau seorang murid Ho Ki-bu telah bersekongkol dengan bangsa
Boan di luar perbatasan, bahkan sedang dalam perjalanan pulang ke
selatan. Waktu itu aku kuatir sasaran ke tiga yang bakal dibunuh
para penghianat adalah Ho Ki-bu, oleh sebab itu aku memohon
kepada Bu-siang Cinjin agar segera mengutus orang untuk memberi
kabar kepada keluarga Ho.”
"Darimana kau bisa memperoleh berita yang sangat penting itu?"
tanya Bu-si Tojin.
"Biarpun aku hidup mengasingkan diri dan bersembunyi di atas
gunung Bu-tong, akan tetapi di tempat luaran aku masih
mempunyai banyak sekali mata-mata. Kabar itu kuperoleh lewat
Put-huang saat dia naik ke gunung Bu-tong waktu itu. Karenanya
akupun langsung melapor kepada Bu-siang Cinjin, atas seijin
Ciangbunjin, akupun meminta kakakku untuk menggantikan aku
berlagak sakit, sementara aku turun gunung melakukan
penyelidikan akan sepak terjang para penghianat! Jadi sebenarnya
sejak awal Bu-siang Cinjin maupun Put-huang sudah mengetahui
identitas-ku yang sebenarnya.”
Diantara para murid Bu-tong-pay meski ada juga yang curiga
kalau pengakuannya tidak jujur, namun Bu-siang Cinjin maupun
Ong Hui-sin (kakak Ong Hui-bun) telah meninggal, orang yang
sudah mati memang tidak bisa dimintai kesaksian!
Yang lebih sukar dibantah lagi adalah semua persoalan dia
limpahkan atas nama Bu-siang Cinjin, kalau bukan mengatakan hal
ini telah dilaporkan kepada Bu-siang Cinjin, dia pasti beralasan ide
tersebut muncul atas saran Bu-siang Cinjin, tapi memang dalam
kenyataan dia telah melayani Bu-siang Cinjin hampir tiga puluh
tahunan lamanya.
Bila ada yang menunjukkan sikap curiga, bukankah hal ini sama
artinya tidak menaruh hormat kepada Bu-siang Cinjin? Paling tidak
Bu-siang Cinjin pun tersangkut dalam kesalahan ini?
Padahal segenap anak murid Bu-tong-pay menaruh sikap yang
sangat hormat terhadap Bu-siang Cinjin, sekalipun timbul
kecurigaan tersebut, mereka pun tidak berani mengutarakannya
keluar.
Sambil tertawa dingin kata Bu-si Tojin, "Benarkah Keng King-si
memiliki kemampuan yang begitu hebat sehingga mampu
mencelakai seluruh anggota perguruannya?"
"Perkataanmu tepat sekali!" seru Ong Hui-bun cepat, "yang
kumaksudkan sebagai sang penghianat tentu saja bukan Keng Kingsi,
Keng King-si tidak lebih hanya merupakan kuku garudanya.
Padahal Ho Ki-bu sendiripun tewas di tangan penghianat itu, tentu
saja dia bisa masuk ke rumah keluarga Ho dengan mulus lantaran
mendapat bantuan dari Keng King-si.”
"Waah, kau mengetahui kejadian ini dengan begitu jelas,
tampaknya saat itupun kau berada disana?" sindir Bu-si Tojin.
"Waktu itu kedatanganku terlambat selangkah, yang kulihat
hanya bayangan punggungnya. Kepandai-an yang dimiliki orang itu
jauh diatas kemampuanku dan aku yakin masih bukan
tandingannya, oleh karena itu aku hanya bisa menghindari
'memukul rumput mengejutkan ular'. Ehm, kalau dibicarakan
sesungguhnya sangat memalukan, waktu itupun aku kelewat egois,
terus terang, dengan orang itu aku pernah mempunyai hubungan
yang cukup akrab, lagipula orang itupun merupakan seorang jago
dengan bakat alam yang hebat, karena muncul dari perasaan
sayang maka aku berharap dia dapat bertobat dan kembali ke jalan
yang benar. Aku pikir jika tujuannya hanya ingin merebut kekuasaan
dalam partai, apa salahnya kalau aku bantu dia untuk
merahasiakannya sementara waktu sambil melihat perkembangan di
kemudian hari!"
Begitu ucapan tersebut diutarakan, maka jelas sudah kalau orang
yang dia tuduh sebagai "penghianat" tidak lain adalah Bu-beng
Cinjin.
"Kalau begitu mengapa tidak segera kau sebutkan, siapakah
penghianat itu?" kata Bu-beng Cinjin dingin.
Ong Hui-bun tertawa dingin.
"Kau benar-benar menyuruh aku untuk mengatakannya?"
ejeknya.
Tiba tiba terdengar seseorang tertawa dingin, dengan suara yang
lebih nyaring serunya, "Kalau begitu biar aku saja yang mewakilimu
untuk mengatakan, penghianat itu tidak lain adalah kau!
Pengkhianat bangsa yang telah menjadi mata-mata bangsa Boan
pun adalah kau!"
Tentu saja orang yang mengucapkan perkataan itu tidak lain
adalah Jit-seng-kiam-kek Kwik Tang-lay!
Kejut bercampur gusar Ong Hui-bun segera membentak, "Kau....”
"Kau, kau apa?" tukas Kwik Tang-lay, "aku mah tidak seperti
dirimu, kau sangka karena yang mati tidak dapat bersaksi maka kau
boleh bicara sembarangan? Hmmm! Kalau aku berbicara disertai
dengan bukti yang jelas!"
Keder juga perasaan hati Ong Hui-bun setelah mendengar kata
kata itu, namun dia enggan menyerah dengan begitu saja, pikirnya,
'Kenapa aku tidak mengajaknya berduel sampai titik darah
penghabisan?'
Berpikir begitu segera bentaknya, "Mana buktinya?"
"Disini telah hadir saksi-saksi hidup!"
Mendadak Bu-beng Cinjin seperti tersadar kembali, segera
ujarnya pula, "Benar, tadi kau mengatakan semuanya ada tiga
orang saksi, saksi pertama adalah Put-huang, saksi kedua adalah
Ong Hui-seng, saksi ke tiga adalah....”
"Saksi ke tiga adalah aku!" sambung Kwik Tang-lay dengan nada
lantang.
"Kau jangan ngaco belo!" bentak Ong Hui-bun.
"Bukti penghianatanmu dengan bangsa Boan telah terjatuh ke
tanganku, apakah harus kubacakan surat itu di depan orang banyak
sebelum kau mau mengakuinya?"
"Aneh,” sambil keraskan kepala Ong Hui-bun berseru,
"seandainya benar benar ada bukti bahwa aku telah bersekongkol
dengan bangsa Boan, seharusnya bukti itu rahasia sekali, mana
mungkin bisa terjatuh ke tanganmu? Kalau bukan barang palsu,
kecuali kau adalah....”
Belum selesai ia berkata, Kwik Tang-lay telah menukas lebih
dulu, "Betul sekali, kau adalah mata-mata bangsa Boan, aku pun
mata-mata bangsa Boan. Tapi aku adalah mata mata gadungan
sementara kau adalah mata-mata beneran! Selama banyak tahun
meski kau belum pernah bertemu aku, tapi kau seharusnya tahu,
sesungguhnya akulah atasanmu selama ini!"
Tampaknya Ong Hui-bun telah terdesak hingga seakan hewan
buas yang terperangkap dan tidak mampu melarikan diri lagi, tibatiba
dia menerkam ke arah Kwik Tang-lay.
Tampak cahaya pedang berkelebat, di tengah gulungan
bayangan telapak tangan, ujung baju yang dikenakan Ong Hui-bun
telah terpapas kutung sebagian dan kebetulan hancur menjadi tujuh
keping, ke tujuh keping hancuran kain itu bagaikan tujuh ekor kupu
kupu yang terbang dan menari di tengah hembusan angin.
Serentak Bu-si Tojin serta Put-po Tojin bersorak memuji, "Ilmu
pedang tujuh bintang yang hebat!"
Kedua orang ini sama-sama merupakan jagoan kelas satu dalam
dunia persilatan, menurut peraturan yang berlaku, bila dua orang
jagoan sedang bertarung, Orang lain tidak diperkenankan ikut
campur, sekalipun ingin campur tanganpun belum tentu dapat
mencampurinya.
Ong Hui-bun segera merangkap tangannya di depan dada,
dengan tangan kiri membetot tangan kanan menarik, gerak
pukulannya mantab bagaikan batu karang, tapi juga ringan bagai
selembar bulu angksa.
Pada serangan pertama meski Kwik Tang-lay berhasil mendesak
musuhnya namun pada serangannya yang ke dua ujung pedangnya
seolah terjerumus dalam pusaran angin yang tidak berwujud,
cahaya pedang mesti bergerak berulang kali namun tidak satu pun
berhasil menusuk ke arah tubuhnya.
Menyaksikan kehebatan ini, tanpa terasa ada orang yang
berteriak memuji, "Bagus sekali.... ba....”
Mendadak ucapan itu terhenti ditengah jalan, agaknya secara
tiba-tiba dia teringat kalau Tojin bisu tuli telah terbukti merupakan
penghianat yang menyusup ke dalam perguruan mereka, masa dia
harus memuji seorang mata-mata?
Kwik Tang-lay bergerak cepat bagaikan bayangan setan, dimana
cahaya pedangnya melintas seketika terciptalah beratus ratus
perubahan yang luar biasa.
Sebaliknya sepasang tangan Ong Hui-bun berputar bagaikan
gelang, jurus demi jurus dilancarkan dengan membetuk lingkaran
bulat.
Lingkaran besar, lingkaran kecil, lingkaran kiri, lingkaran kanan,
lingkaran lurus, lingkaran serong, dalam lingkaran terdapat
lingkaran lain.
Kalau dibicarakan memang sungguh aneh, betapa pun ganas dan
cepatnya permainan pedang Kwik Tang-lay, ternyata tidak satu
jurus pun yang mampu mendekati tubuhnya.
Lingkaran pedang itu bagaikan pusaran air yang tidak berwujud,
menggiring ujung pedang Kwik Tang-lay menjadi serong kesanakemari
tidak beraturan.
Terdengar desingan angin tajam menderu-deru, dedaunan yang
berada pada pepohonan di seputar mereka berguguran tiada
hentinya, bila diperhatikan, dapat dilihat setiap daun yang rontok
semuanya telah terbelah menjadi tujuh keping.
Bu-si Tojin benar-benar kesemsem dibuatnya, tiada hentinya dia
bergumam, "Menyerang belakangan mencapai tujuan duluan,
meminjam tenaga memukul tenaga, Thay-kek berputar bular,
bersambungan tiada putus. Aaah, aku mengerti sekarang apa
maksud dari teori ini, tapi alangkah sulitnya untuk bisa mencapai
tingkatan seperti ini.”
Tiba-tiba terdengar Keng Giok-keng berbisik lirih, "Walaupun
tidak berbentuk, juga tidak nampak sakti, misalkan seratus langkah
baru dilewati sembilan puluh. Sama seperti semula, sama sekali
tiada daya cipta."
Waktu itu Bu-si Tojin sedang memusatkan seluruh perhatian
untuk mengikuti jalannya pertempuran, dia tidak memperhatikan
kalau saat itu Keng Giok-keng telah tersadar kembali.
Terkejut bercampur gembira Bu-si Tojin segera bertranya,
"Maksudmu ilmu pukulan Thay-kek-kunnya masih terdapat banyak
titik kelemahan?"
Keng Giok-keng mengangguk.
"Benar, dia itu tebal tapi tidak lentur, kesempurnaan yang dicapai
sesungguhnya belum mampu melebihi dirimu.”
"Kau bukan sedang memuji aku bukan? Tenaga dalamnya jauh
lebih hebat dariku, jurus serangannya juga lebih lihay daripada
diriku.”
"Nah, titik kelemahannya justru terletak pada kata lihay!"
Bu-si Tojin seperti mengerti tapi tidak paham, namun berhubung
pertarungan antara Kwik Tang-lay dengan Ong Hui-bun makin lama
berlangsung makin sengit, diapun tidak ada waktu lagi untuk
berpikir lebih jauh.
Berbicara tentang tenaga dalam, sesungguhnya kemampuan
Kwik Tang-lay jauh lebih hebat daripada Ong Hui-bun, hanya saja
karena terkendali oleh pukulan Thay-kek-kun lawan maka daya
kemampuan yang dimiliki Jit-seng-kiam-hoat jadi terhambat dan
sukar untuk dipancarkan keluar.
Walau begitu, dengan ketajaman matanya yang bisa mengawasi
empat penjuru dan pendengarannya yang bisa menangkap suara di
delapan arah, kendatipun ucapan dari Keng Giok-keng sangat lirih,
namun setiap patah kata dapat didengarnya amat jelas, dalam
waktu singkat diapun memahami maksud dari perkataan itu.
Sebagaimana diketahui, Ong Hui-bun baru setengah jalan masuk
menjadi pendeta dan hidup melayani kebutuhan Bu-siang Cinjin
selama hampir tiga puluhan tahun lamanya, meskipun dia telah
memperoleh ajaran ilmu silat tingkat tinggi dari Bu-tong-pay, namun
ilmu silat asalnya telah mendarah daging hingga sulit baginya untuk
membuang semuanya.
Ilmu silat yang semula dipelajarinya tergolong ilmu silat
bertenaga keras, setelah melalui latihan hampir tiga puluhan tahun,
dia mengira dirinya berhasil membaurkan sifat keras dari ilmu silat
asalnya dengan sifat lembut dari ilmu silat Bu-tong-pay, padahal
justru karena hal inilah dia jadi gagal mencapai tingkatan yang lebih
sempurna.
Ketika keadaan tersebut jatuh dalam pandangan mata Keng
Giok-keng, diapun menganggap hal ini sebagai "Tebal tapi tidak
lentur".
Di tengah pertempuran sengit yang sedang berlangsung, tibatiba
terdengar suara....”Criiiit!" bahu kiri Ong Hui-bun telah terkena
sebuah tusukan, namun tusukan itu tidak sampai mengucurkan
darah, hanya pakaiannya yang tertembus oleh ujung pedang.
Menyusul kemudian "Buuuk!" Kwik Tang-lay terhajar pula oleh
sebuah pukulan hingga mundur berapa langkah sebelum dapat
berdiri tegak.
Tampaknya luka yang diderita pun tidak terlampau berat, namun
bagaimanapun juga jelas diapun menderita kerugian yang cukup
besar.
Sesudah termangu berapa saat mendadak Bu-si Tojin menari-nari
sambil berteriak, "Anak Keng, perkataanmu memang benar, aku
mengerti, aku mengerti sudah! Tebal tapi tidak lentur, kelihatan
kuat padahal lemah, tidak masuk sarang harimau mana mungkin
bisa memperoleh anak macan!"
Orang yang berada di sampingnya, kecuali Keng Giok-keng, tidak
seorang pun mengerti apa yang dia katakan.
"Susiok, kau mengerti soal apa?" tanya Put-po cepat.
"Coba lihat, begitu besar titik kelemahannya!" teriak Bu-si Tojin
lagi.
Put-po mencoba mengawasi tengah arena, tapi segera katanya
sambil garuk-garuk kepala, "Titik kelemahan siapa? Mengapa aku
tidak melihatnya?"
Saat itu Kwik Tang-lay telah merangsek maju lagi setelah mundur
sejenak, jurus serangannya makin cepat dan ganas, bunga pedang
yang berkuntum-kuntum ibarat bintang yang bertaburan di tengah
kegelapan malam dan berguguran ke atas bumi.
Begitu sengitnya pertarungan yang sedang berlangsung,
membuat Put-po Tojin terbelalak lebar, dalam keadaan begini
diapun tidak sempat lagi berbicara dengan Bu-si Tojin.
"Hey, hei, kau paham tidak?" teriak Bu-si Tojin lagi, "kalau tidak
masuk sarang harimau, bagaimana bisa memperoleh anak macan!"
Walaupun serangan yang dilancarkan Kwik Tang-lay makin cepat
dan makin garang, namun tenaga serangannya telah berkurang
banyak sekali.
Diam-diam Ong Hui-bun kegirangan, dia sangka pukulan yang
disarangkan ke tubuhnya tadi meski tidak sampai menimbulkan luka
yang sangat parah, namun bisa diduga kalau lukanya pun tidak
ringan.
Cepat dia gunakan jurus Huan-tiong-po-gwat (dalam rangkulan
memeluk rembulan), gerak pukulannya menciptakan satu lingkaran
yang besar sekali dan segera mengurung seluruh tubuh Kwik Tanglay.
Menanti Kwik Tang-lay menarik kembali pedangnya, pukulan
yang semula tipuan pun berubah jadi pukulan nyata, biar
menyerang belakangan namun tiba disasaran lebih dulu, dia berniat
mencabut nyawa Kwik Tang-lay.
"Aaaai, kau....” Bu-si Tojin menghela napas panjang.
Tiba-tiba dia menyaksikan sekulum senyum kegirangan melintas
di wajah Keng Giok-keng, Bu-si Tojin jadi tercengang, pikirnya,
'Bukankah Kwik Tang-lay telah menunjukkan gejala kalah, kenapa
dia malah tampak kegirangan? Jangan-jangan diapun berharap Ong
Hui-bun yang berhasil meraih kemenangan?'
Belum habis ingatan tersebut melintas, mendadak terdengar Kwik
Tang-lay berseru, "Terima kasih banyak atas petunjukmu!"
Mendadak tubuhnya merangsek maju ke depan, dengan jurus
Pek-hong-koan-jit (bianglala putih menembusi matahari), ujung
pedangnya langsung menusuk ke dalam lingkaran pukulan yang
diciptakan Ong Hui-bun.
"Benar sekali!" seru Bu-si Tojin kegirangan.
Tiba-tiba dia menyaksikan paras muka Keng Giok-keng berubah
jadi pucat pias, perasaan gelisah mencekam seluruh wajahnya,
senyuman girang yang semula menghiasi bibirnya, kini hilang lenyap
tidak berbekas.
Dengan cepat Bu-si Tojin tersadar kembali, teriaknya, "Aaaai,
masih tetap keliru! Cepat, cepat mundur....!"
Belum habis dia berteriak, tampak tusukan pedang Kwik Tang-lay
telah menusuk masuk ke dada Ong Hui-bun, tapi dengan cepat
senjata itu berhasil direbut lawannya, menyusul kemudian sebuah
pukulan dahsyat membuatnya roboh terjungkal ke tanah.
Ternyata yang dimaksud "sarang harimau" oleh Busi Tojin adalah
lingkaran yang diciptakan oleh pukulan Ong Hui-bun, apabila telah
dilatih hingga mencapai puncak kesempurnaan, lingkaran tersebut
seharusnya merupakan tempat yang paling kuat mengandung
tenaga merekat.
Ketika tusukan pedang menembusi lingkaran pukulan itu, sudah
pasti pedang tersebut akan dirampas nya, tapi berhubung dia
masuk jadi pendeta di tengah jalan, maka yang dipelajarinya pun
jadi tebal tapi tidak lentur, tenaga dalam yang terkandung dalam
lingkaran pukulannya jadi menyebar ke empat penjuru, dengan
begitu akan terbukalah sebuah titik kosong.
Tadi, Kwik Tang-lay tidak memahami teori tersebut, karena itu
ketika melihat ujung pedangnya selalu tergiring ke sana kemari
setiap kali mendekati tubuh lawan, maka diapun hanya bisa mundur
dan tidak berani meneter lebih jauh.
Tapi sayang walaupun pada akhirnya dia memahami petunjuk
dari Bu-si Tojin, namun tenaga serangannya tidak sesuai dengan
kehendak hatinya, dia hanya memburu maju tapi lupa meninggalkan
sisa kekuatan untuk perlindungan, kecepatan tusukan pedangnya
pun tidak mencapai pada posisi yang tepat.
Akibatnya walaupun dia berhasil melukai lawan, namun luka yang
dideritanya justru jauh lebih berat.
Baru saja Bu-si Tojin hendak berteriak, mendadak terlihat sekilas
cahaya pedang meluncur ke arahnya dengan kecepatan tinggi,
ternyata Ong Hui-bun gemas karena dia banyak bicara, maka
dengan menggunakan pedang hasil rampasan dari Kwin Tang-lay,
dia timpuk ke arahnya.
Cepat Bu-si Tojin mencabut pedangnya untuk menangkis,
"Trannng!" percikan bunga api menyebar ke empat penjuru, pedang
tersebut terbang lewat nyaris menempel di atas jidatnya.
Bu-si Tojin tidak menyangka kalau Ong Hui-bun dalam keadaan
terluka parah ternyata masih memiliki tenaga dalam yang begitu
kuat, buru-buru teriaknya, "Anak Keng, hati-hati!"
Keng Giok-keng segera menempelkan tangan kirinya diatas
pedang yang sedang meluncur ke arahnya, begitu gagang
pedangnya sedikit ditarik, tahu tahu senjata itu sudah jatuh ke
tangannya.
Entah darimana datangnya kekuatan itu, dari menerima pedang
sampai melesat ke muka, semua gerakan dilakukan hampir
bersamaan waktu dan secara tepat menghadang jalan pergi Ong
Hui-bun.
"Tidak salah,” ejek Ong Hui-bun dengan suara sinis, "akulah yang
telah membunuh ayah angkatmu, ayoh, kalau berani turun tangan!"
Tidak seorangpun yang percaya kalau dia akan menyerah dengan
begitu saja, segera terdengar teriakan orang-orang itu, "Cepat
mundur! Cepat mundur!"
Bu-si Tojin jauh lebih gelisah, bentaknya nyaring, "Kalau berani
melukai anak Keng, aku orang pertama yang tidak akan melepaskan
dirimu!"
Belum selesai dia berkata, Keng Giok-keng telah melancarkan
sebuah tusukan ke depan.
Dalam waktu sekejap, hampir setiap orang mengkhawatirkan
keselamatan jiwa Keng Giok-keng, mereka khawatir sebelum ujung
pedangnya sempat menyentuh lawan, dia sudah dihajar mati duluan
oleh tenaga pukulan musuh.
Perlu diketahui, Keng Giok-keng baru saja ter-sadar dari
pingsannya, tenaga dalam yang dimilikinya sekarang nyaris telah
tiada, sementara Ong Hui-bun selain pandai menggunakan ilmu
pukulan pedang dari Bu-tong-pay, meski diapun sudah terluka
namun bagaimana pun juga kondisinya masih jauh lebih prima
daripada Keng Giok-keng.
Tapi semua kejadian hanya berlangsung dalam waktu singkat,
belum habis mereka mengkhawatirkan keselamatan Keng Giokkeng,
kini hampir semuanya berubah jadi tercengang, kaget dan
terperangah.
Ternyata dari sisi alis mata, tengah kening, sepasang tulang Pipa-
kut pada bahunya serta dua puting susu di dada Ong Hui-bun
telah muncul butiran darah sebesar beras, setetes demi setetes
meleleh keluar tiada hentinya.
Tiada reaksi dari Ong Hui-bun, juga tidak ada serangan balasan,
hanya sepasang matanya terbelalak lebar-lebar, mengawasi Keng
Giok-keng tanpa berkedip. Yang lebih aneh lagi, ternyata sinar
matanya memancarkan perasaan girang bercampur kaget.
Pa-san-kiam-kek Kok Thiat-cing yang mempunyai gelar dewa
pedang pun berseru tertahan, dengan suara lirih tanyanya kepada
Put-po Tojin yang berdiri disisinya, "Kenapa diapun bisa
menggunakan Jit-seng-kiam-hoat?"
Tampaknya Put-po sendiripun berdiri tertegun, entah apakah
lantaran dia tidak mendengar pertanyaan itu atau karena hal lain,
dia hanya terbungkam dalam seribu basa.
"Bagus, ilmu pedang yang bagus!" terdengar Ong Hui-bun
berkata pelan, "jurus Pak-to-jit-seng (tujuh bintang busur utara) mu
sudah jauh mengungguli Bu- siang Cinjin! Aaai, tidak sia-sia aku....”
Bagaikan orang yang kehabisan tenaga hingga untuk berbicara
pun tidak mampu, belum selesai dia berkata, tubuhnya sudah roboh
lemas dalam pelukan Keng Giok-keng.
Pak-to-jit-seng merupakan jurus hasil ciptaan Bu-siang Cinjin,
sepintas memang mirip dengan ilmu pedang jit-seng-kiam-hoat,
padahal jurus ini merupakan gubahan dari ilmu pedang Thay-kekkiam-
hoat, dibandingkan Jit-seng-kiam-hoat berbeda sekali.
Mendengar perkataan itu Kok Thiat-cing semakin tercekat,
pikirnya, 'Sekalipun Ong Hui-bun masih mempunyai kekuatan untuk
melancarkan serangan balasan pun, rasanya sulit bagi dia untuk
menghindari jurus serangan yang maha dahsyat ini!'
Ong Hui-bun tergeletak lemas dalam pelukan Keng Giok-keng, di
tubuhnya terdapat tujuh buah mulut luka, yang besar seperti mata
uang dan yang kecil seperti mata jarum, darah masih meleleh terus
tiada hentinya.
Kini semua kegarangan dan keangkerannya telah musnah, mimik
mukanya telah pulih kembali seperti mimik muka Tojin bisu tuli yang
sudah sering dilihat Keng Giok-keng.
Walaupun ucapan terakhirnya hanya disampaikan separuh kata,
namun Keng Giok-keng mengetahui dengan jelas apa yang hendak
dia katakan.
Pertama kali belajar Thay-kek-kiam-hoat, Keng Giok-keng belajar
dari ayah angkatnya Put-ji, yaitu mempelajari ilmu pedang Thaykek-
kiam-hoat aspal, asli tapi palsu.
Orang pertama yang menunjukkan kesalahan pada permainan
pedangnya adalah Tojin bisu tuli, waktu itu dia mencoba
memperagakan jurus pedangnya di hadapan Bu-siang Cinjin.
Kemudian Bu-siang Cinjin baru meminta Bu-si Tojin untuk
mengajarkan ilmu pedang Bu-tong-pay kepadanya dan terakhir Busiang
Cinjin mewariskan Kiam-boh serta Sim-hoat tenaga dalam
miliknya kepada bocah itu, sebelum akhirnya berhasil mencapai
taraf seperti hari ini.
Jadi kalau ditelusuri kembali, Tojin bisu tuli sesungguhnya masih
terhitung gurunya yang pertama.
Ucapan terakhirnya yang belum sempat disampaikan adalah,
“Tidak sia-sia aku pernah mengajarimu!" mungkin saja orang lain
tidak paham, tapi Keng Giok-keng sangat memahaminya.
Apalagi sama seperti Bu-siang Cinjin serta Bu-si Tojin, rasa cinta
kasih Tojin bisu tuli terhadapnya boleh dibilang sangat tulus dan
benar-benar menaruh perhatian.
Untuk berapa saat Keng Giok-keng mengenang kembali masa
masa kecilnya dulu, benar, orang yang mencintainya masih ada lagi
ayah dan ibu asuhnya, hanya mereka amat jarang menemaninya
bermain.
Bu-si Tojin hanya mengajarkan ilmu pedang, diapun amat jarang
menemaninya bermain, apalagi Bu-siang Cinjin.
Selama ini yang menemaninya bermain selain 'cici'nya Lan Suileng,
hanya Tojin bisu tuli inilah teman bermain sejatinya. Bahkan
boleh dibilang Tojin bisu tuli adalah satu-satunya 'sahabat' karib dia
yang tidak mungkin bisa terlupakan.
Tapi sekarang 'sahabat tua'nya telah terluka oleh ujung
pedangnya, bahkan segera akan tewas di dalam pelukannya.
Keng Giok-keng terhitung seseorang yang gampang terpengaruh
oleh emosinya, dalam waktu itu juga dia seolah sudah lupa kalau
Ong Hui-bun telah membunuh kedua orang tua asuhnya, dia seakan
sudah lupa dengan dendam kesumatnya.
Sambil memeluk Tojin bisu tuli, serunya sambil berisak, "Aku....
sebenarnya aku tidak ingin berbuat begitu....”
Sekulum senyuman segera tersungging diujung bibir Ong Huibun,
katanya lirih, "Kau sudah seharusnya berbuat begini, tidak
perlu menyesal, aku lebih suka mati ditanganmu daripada harus
mati di tangan Kwik lotoa! Ehmm, ada satu hal kau harus.... harus
percaya kepadaku!"
Berbicara sampai disini, napasnya sudah bertambah lemah dan
setiap saat seakan bakal putus.
Terpaksa Keng Giok-keng menempelkan telinganya disisi bibir
Ong Hui-bun. Terdengar dia berbisik, "Bukan aku yang membunuh
kakek luarmu! Dia.... dia....”
Buru-buru Keng Giok-keng mengurut dadanya sembari bertanya,
"Siapakah dia?"
Tapi akhirnya Ong Hui-bun tidak sanggup menyebutkan nama
orang itu, dia keburu menghembuskan napasnya yang penghabisan.
Meledaklah isak tangis Keng Giok-keng.
Tiba-tiba terdengar Bu-beng Cinjin berteriak memanggil, "Keng-ji,
cepat kemari!"
Ternyata jit-seng-kiam-kek Kwik Tang-lay sudah mendekati saat
ajalnya.
Luka yang diderita Kwik Tang-lay jauh lebih berat daripada Ong
Hui-bun, isi perutnya telah hancur sebagian karena termakan
pukulan berat yang dilepaskan Ong Hui-bun tadi.
Saat ini Bu-beng Cinjin telah membangunkan dirinya, dengan
tangan sebelah menempel dipunggungnya, dia menyalurkan
segulung hawa murni ke dalam tubuhnya lewat jalan darah diatas
punggung.
Perlahan-lahan Kwik Tang-lay membuka kembali matanya dan
menggerakkan bibir.
Cepat Bu-beng Cinjin menempelkan telinganya, terdengar Kwik
Tang-lay dengan suara yang amat lirih berbisik, "Aku.... aku telah
melepaskan dirinya.”
Tentu saja Bu-beng Cinjin tahu "dirinya" yang dimaksud adalah si
Lebah hijau Siang Ngo-nio.
Tampaknya sejak awal Kwik Tang-lay sudah tahu kalau persoalan
inilah yang paling menguatirkan dirinya, sehingga ucapan
pertamanya adalah membebaskan semua kerisauan hatinya.
Selain terharu dan berterima kasih, Bu-beng Cinjin merasa juga
amat malu bercampur menyesal, untuk sesaat dia sampai tidak tahu
apa yang harus dikatakan.
Kembali Kwik Tang-lay berkata, "Manusia mana yang tidak
pernah melakukan kesalahan, kesalahan yang kulakukan jauh lebih
besar darimu, hanya saja....”
Berbicara sampai disini dia mulai terengah-engah hingga tidak
mampu melanjutkan kembali perkataannya, terpaksa dia berhenti
sambil mengatur napas.
Bu-beng Cinjin segera menguruti dadanya, beberapa saat
kemudian napas Kwik Tang-lay baru bisa teratur kembali, ujarnya
lebih jauh sambil menghela napas, "Sebenarnya watak Hui-bun tidak
terlampau jahat, hanya sayang ambisinya untuk memperoleh nama
dan pahala kelewat besar, dia iri padamu dan lo-ngo, itulah
sebabnya sampai terjebak dalam perangkap orang lain dan berakhir
secara tragis, aku.... aku....”
Bu-beng Cinjin tahu, yang dimaksud sebagai lo-ngo adalah Lioklim
Bengcu wilayah utara Tonghong Siau, hanya saja dia tidak tahu
kerelaan Ong Hui-bun menjadi mata-mata bangsa Boan kenapa bisa
berhubungan dengan Tonghong Siau. Tentu saja dalam keadaan
seperti ini dia tidak sempat lagi untuk banyak bertanya.
Dalam berapa saat kemudian sepasang mata Kwik Tang-lay
kembali kehilangan cahaya, ketika Bu-beng Cinjin menempelkan
tangan di punggungnya, terasa hawa murni yang berada di dalam
tubuhnya telah semakin kacau hingga mencapai keadaan yang
sukar dikendalikan lagi.
Bagi seorang jago dengan tenaga dalam yang sempurna, bila
hawa murninya telah kacau hingga mencapai taraf seperti itu,
sekalipun terdapat pil dewa juga sulit untuk menyembuhkannya
kembali, setiap saat jiwanya bisa melayang.
Padahal masih terdapat banyak persoalan yang ingin ditanyakan
Bu-beng Cinjin, sadar kalau keadaan sudah makin mendesak,
terpaksa dia pun bertanya, "Toako, apakah kau masih ada pesan
terakhir yang hendak disampaikan?"
Sementara itu Keng Giok-keng telah membaringkan Ong Hui-bun
yang berada dalam pelukannya dan berlari menghampiri Jit-sengkiam-
kek Kwik Tang-lay.
Saat itu napas Kwik Tang-lay sudah semakin lirih, namun masih
bisa memaksakan diri untuk berbicara, "Keng-sauhiap, aku mohon
satu hal....”
"Kwik-locianpwee," buru-buru Keng Giok-keng menyahut dengan
perasaan terperanjat, "ketika masih berada diluar perbatasan, aku
pernah menerima budi pertolonganmu, kalau ada pesan silahkan
diperintahkan.”
"Konon kau pernah berkunjung ke kota Kim-leng dan bertemu
dengan anakku?"
Keng Giok-keng manggut-manggut.
"Benar, sewaktu berada di kota Kim-leng, kebetulan putramu
Kwik Bu baru datang dari kotaraja. Aku sempat berjumpa muka
dengan dirinya.”
Dia sengaja menyebut nama Kwik Bu agar orang lain tahu kalau
Kwik Bu yang dituduh Bu-liang Totiang sebagai mata-mata bangsa
Boan meski mempunyai nama Boan sebagai Huo Bu-tuo,
sesungguhnya dia tidak lain adalah putra Jit-seng-kiam-kek Kwik
Tang-lay.
Terdengar Kwik Tang-lay berkata lagi, "Tolong sampaikan semua
kejadian yang berlangsung hari ini kepadanya, suruh dia secepatnya
hidup mengasingkan diri, makin jauh bersembunyi semakin baik.
Kau.... kau.... kaupun harus....”
Agar tidak terlalu payah untuk berbicara, buru-buru Keng Giokkeng
menukas, "Aku mengerti. Aku akan segera berangkat selesai
upacara penguburan ini dan berusaha menyampaikan kabar ini
kepadanya sebelum berita tersebut terkirim ke luar perbatasan.”
Sebagaimana diketahui, peran Kwik Bu adalah seorang spion
ganda, dalam tampilan dia seolah sedang bekerja untuk bangsa
Boan, padahal kenyataannya adalah kebalikan.
Kini identitas Kwik Tang-lay telah terbongkar, tentu saja kejadian
ini besar kemungkinan akan mempengaruh peran putranya. Begitu
bangsa Boan memperoleh berita ini, mereka pasti akan mengutus
sekawanan jago lihay untuk membunuh Kwik Bu.
Tadi, Kwik Tang-lay ingin berkata " kaupun harus secepatnya
menyampaikan kabar ini, makin cepat makin baik", namun setelah
mendengar jawaban Keng Giok-keng, sekulum senyum kepuasan
pun tersungging di bibirnya. Kini dia alihkan sinar matanya ke wajah
Bu-beng Cinjin.
Pikiran dan perasaan hati Bu-beng Cinjin saat itu dipenuhi
dengan keraguan, mengikuti rencananya semula, dia ingin Keng
Giok-keng menjabat sebagai Ciangbunjin baru, kalau memang
begitu, mana boleh dia melakukan perjalanan jauh?
Tapi hari ini Kwik Tang-lay telah membantunya membongkar
kedok penghianat yang menyusup dalam partainya, jasa yang dia
lakukan terhitung sangat besar, apalagi permintaan itu merupakan
permintaan terakhirnya, mana boleh dia tampik permintaan orang?
Maka setelah ragu sejenak diapun berkata, "Toako tidak usah
kuatir, walau ada urusan sepenting apa pun, aku pasti akan
mengijinkan anak Keng untuk menyelesaikan pesan mu itu.”
Kwik Tang-lay merasa sangat lega, perlahan-lahan dia pejamkan
matanya.
Tiba-tiba Keng Giok-keng berteriak keras, "Kwik locianpwee, ada
satu persoalan aku ingin bertanya kepadamu!"
Bu-beng Cinjin segera menyalurkan kembali tenaga dalamnya ke
tubuh Kwik Tang-lay.
Tampak Jit-seng-kiam-kek membuka matanya, ketika melihat
kegelisahan yang mencekam wajah Keng Giok-keng, tidak
menunggu pemuda itu buka suara, dia sudah berkata lebih dulu,
"Aku tahu apa yang ingin kau tanyakan, apa yang dia katakan
tentang persoalan itu?"
"Dia bilang kakek luarku bukan dia yang bunuh.”
Mendadak Kwik Tang-lay melototkan sepasang matanya semakin
besar, dia seakan bimbang juga oleh jawaban tersebut.
Bu-beng Cinjin sendiripun mempunyai satu persoalan penting
yang ingin ditanyakan kepada Kwik Tang-lay, dia tahu nyawa Kwik
Tang-hay sudah berada diujung tanduk, saat ini dia bisa
melanjutkan hidup karena dukungan hawa murninya, jelas keadaan
seperti ini tidak akan berlangsung lama.
Dia tidak ingin Kwik Tang-lay menggunakan tenaga kelewat
besar, maka segera selanya, "Masa kau percaya dengan perkataan
seorang penghianat?"
Kwik Tang-lay menggeleng, katanya tiba-tiba, "Tidak, bila
seseorang hendak meninggal, ucapannya pasti jujur dan benar. Aku
mulai curiga kalau pada malam itu....”
"Bayangan punggung yang kau jumpai malam itu....” buru-buru
Keng Giok-keng bertanya.
"Aku selalu mengira sebagai dia. Tapi kalau memang dia berkata
begitu, besar kemungkinan masih ada pembunuh lain. Apakah dia
tidak beritahu siapakah orang itu?"
"Belum sempat mengatakannya dia sudah keburu pergi. Tapi
kalau didengar nada suaranya, ilmu silat yang dimiliki orang itu
rasanya masih jauh diatas kemampuannya bahkan sangat mahir
menggunakan senjata rahasia. Jangan-jangan dia adalah Tong
Tiong-san?"
"Tidak mungkin perbuatan Tong ji-sianseng. Aaai, jangan-jangan
dia adalah.... aaah tidak benar.... rasanya tidak.... tidak benar.”
"Kalau memang tidak ingat, lebih baik kita bicarakan persoalan
yang lain....” sela Bu-beng Cinjin.
Tapi keadaan Kwik Tang-lay ibarat lentera yang kehabisan
minyak, belum sempat Bu-beng Cinjin mengutarakan persoalan
yang lain, kepalanya sudah terkulai lemas. Sekali lagi sepasang
matanya terpejam rapat-rapat.
Kali ini meski Bu-beng Cinjin ingin menyalurkan tenaga murninya
pun tidak akan bisa memperpanjang usianya lagi.
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar Put-po berseru kaget, lalu
teriaknya, "Kemana perginya Bu-liang Tianglo?"
Sebetulnya persoalan yang ingin Bu-beng Cinjin tanyakan kepada
Kwik Tang-lay adalah urusan yang menyangkut Bu-liang Tianglo.
Sejak awal Bu-liang Totiang dan Ong Hui-bun telah bersekongkel
sudah merupakan satu kenyataan yang tidak perlu disangsikan lagi.
Tapi apakah dia pun musuh dalam selimut? Apakah dia pun
penghianat bangsa? Atau karena kemaruk nama, kekuasaan dan
kedudukan sehingga dia dimanfaatkan Ong Hui-bun?
Bersamaan dengan teriakan Put-po, Bouw It-yu menemukan pula
satu kejadian aneh, ternyata ke dua orang utusan kerajaan To Jiansik
serta Tio Thay-khong ikut lenyap dari tempat upacara.
Kalau mengikuti keadaan biasa, tidak mungkin tokoh penting
seperti ini dapat kabur secara diam-diam tanpa diketahui siapa pun.
Tapi sayang perhatian hampir seluruh orang yang ada disana
sedang tercurahkan ke tubuh Jit-seng-kiam-kek Kwik Tang-lay dan
Tojin bisu tuli Ong Hui-bun yang sedang sekarat sehingga tidak
seorang pun dari mereka yang memperhatikan perginya para utusan
itu.
Karena utusan penobatan gelar sudah menghilang, terpaksa Bubeng
Cinjin pun sementara waktu mengesampingkan niatnya untuk
melepaskan kedudukan Ciangbunjin. Katanya kemudian, "Persoalan
regenerasi rasanya harus ditunda dulu perundingannya sementara
waktu. Mari kita cari dulu Bu-liang Tianglo!"
Bu-liang Totiang berhasil ditemukan, dia berbaring di bawah batu
Lo-kun dengan wajah menunjukkan perasaan kaget, ngeri dan rasa
takut yang mencekam, di atas alis matanya terdapat sebuah titik
merah bekas lubang jarum. Dia sudah tewas sejak tadi.
Keng Giok-keng telah tiba di kota Hangciu, tinggal di sebuah
penginapan di tepi telaga See-ouw.
Pemandangan alam di telaga See-ouw memang indah menawan,
konon berapa tempat pesiar yang terkenal adalah: menikmati
suasana musim sepi di tanggul Siok-ti, mendengarkan kicauan
burung di tengah ombak pohon liu, menikmati ikan di bandar
Hoakong, melihat teratai di ruang Ci-wan, menyaksikan sepasang
puncak yang menembus awan, menikmati cahaya rembulan di
telaga sam-than, menikmati rembulan musim gugur di telaga Pengouw,
mendengarkan suara lonceng dari Lam-pin....
Sayang Keng Giok-keng tidak punya selera untuk menikmati
semua pemandangan alam dan tempat pesiar terkenal itu.
Kedatangannya karena satu urusan dan bukan untuk mengagumi
keindahan telaga See-ouw.
Cicinya adalah putri angkat Seebun-hujin, sedang Seebun-hujin
pun jarang datang ke daratan Tionggoan, apalagi untuk
mengunjungi tempat tempat kenangan lama.
Karena orang tua Lan Sui-leng telah meninggal, maka selama ini
diapun menemani ibu angkat dan adik angkatnya berpesiar
diseputar telaga See-ouw.
Dia tahu jarak antara kota Kim-leng dengan Hangciu hanya
berapa hari perjalanan, maka dia minta adiknya seusai
menyampaikan pesan dari Kwik Tang-lay di kota Kim-leng untuk
datang berkunjung ke Hangciu.
Sayang dia tidak mengetahui alamat lama Seebun-hujin berada
dimana, sewaktu terburu-buru turun gunung hari itu, dia tidak
sempat bertanya secara jelas kepada Seebun-hujin. Padahal biarpun
ditanya, mungkin Seebun-hujin sendiripun tidak dapat memberi
petunjuk yang jelas. Karena waktu itu dia tinggal di rumah Cihu nya
dan peristiwa pun telah berlangsung pada tiga puluh tahun
berselang.
Apakah alamat lama masih tetap seperti dulu? Hal inipun masih
menjadi tanda tanya besar.
Keng Giok-keng hanya berharap sewaktu sedang berpesiar di
telaga, dia dapat bertemu dengan mereka.
Sudah hampir tiga hari dia tinggal disana, semua pemandangan
indah di telaga See-ouw pun telah habis dijelajahi, namun dia belum
berhasil menemukan mereka.
Malam ini seperti kebiasan sehari-hari, dia duduk bersemedi
sambil mengatur pernapasan. Di saat seperti ini, apalagi ketika
pikirannya terlepas dari segala pikiran, pendengarannya boleh
dibilang luar biasa tajamnya. Di tengah keheningan tiba-tiba dia
mendengar suara orang sedang berbincang.
Suara pembicaraan itu berasal dari dua kamar tamu di seberang
kamar tidurnya, disana ada dua orang tamu sedang berbisik-bisik,
begitu lirihnya suara bisikan mereka hingga bagi orang biasa, walau
kau berdiri di depan pintu kamar pun tidak bakal mendengar suara
apa-apa.
Kebetulan Keng Giok-keng menangkap suara pembicaraan lirih
itu, "Ssst.... perlahan sedikit suaramu, benarkah Lo-tangkee telah
datang?"
Begitu mendengar istilah "Lo-tangkee", Keng Giok-keng segera
tahu kalau mereka adalah orang persilatan, maka dia pun
menghimpuin tenaga dalamnya dan memasang telinga lebih tajam.
"Aaah, ini mah rahasia yang luar biasa besarnya!"
"Justru karena rahasia yang luar biasa besarnya, maka kita harus
berlagak seolah olah tidak tahu!"
"Pangcu, kau tidak ingin menggunakan kesempatan ini untuk
minta kepada Lo-tangkee....”
Kata berikut tidak dipahami Keng Giok-keng karena
menggunakan istilah dunia persilatan, tapi dia dapat menduga
artinya kalau dia sedang minta Pangcunya kembali ke pangkuan Lotangkee.
"Jangan, jangan sampai begitu, bila Lo-tangkee sampai
memanfaatkan kita, dia.... dia tentu....”
"Dalam berapa hari ini pasti akan terjadi peristiwa besar, ingat,
jangan sekali-kali kau bocorkan rahasia ini di luaran. Tidak, mulai
sekarang pun kau tidak boleh menyinggung masalah ini kepada
siapa pun, termasuk juga jangan kau singgung lagi sebutan Lotangkee!"
"Baik, aku tidak akan menyingging soal Lo-tangkee, tapi boleh
kan kalau bicara soal seorang nona cilik?"
"Nona cilik yang mana?"
"Siang tadi bukankah kita telah bertemu dengan seorang pemuda
tampan di seputar bukit Sang-ku-san? Toako, mungkin kau tidak
perhatian, tapi aku telah memperhatikan dengan seksama, aku
yakin delapan puluh persen bocah muda itu adalah penyamaran dari
seorang budak.”
"Kalau memang nona lantas kenapa?"
"Dia mempunyai sepasang mata yang besar!"
"Apa anehnya kalau mempunyai sepasang mata yang besar?"
"Sepasang mata besarnya begitu bening dan indah, hahaha....
asal kau dikerling oleh mata besarnya itu, hehehehe....”
"Kenapa? Apakah kau merasa nyawamu terbetot oleh kerlingan
matanya? Hmmm, dasar manusia yang tidak punya otak, kembali
kau terjangkit penyakit lama!"
"Toako, kau hanya benar setengah, budak liar itu memang
benar-benar pandai membetot sukma, tapi yang digunakan adalah
pedang, buka mata! Sebetulnya akupun bukan berniat ingin Cay-hoa
(memetik bunga), aku hanya ingin membantu lo-ngo melampiaskan
rasa jengkelnya!" Kelihatannya si Toako terperanjat, segera ujarnya,
“Jadi kau curiga kalau budak itu adalah budak yang telah membantu
si wanita iblis Hong Si-hu memusuhi kita?"
"Betul, aku lihat sembilan puluh persen pasti dia! Tempo hari kita
Liong-bun-ngo-pa menguntit mereka dari Toan-hun-kok hingga di
tebing Ki-sik-hong dengan maksud akan merebut Hong Si-hu untuk
dijadikan bini lo-ngo, baru saja akan berhasil, budak itu sudah
datang mengacau, bukan Cuma lo-ngo dan kita semua menderita
kerugian besar, bahkan sampai Toako, kau.... kau sendiripun....”
Sang Toako segera mendengus.
"Benar, akupun sudah menderita kerugian. Tapi bukan karena
kemampuan budak itu. Aku sudah tahu kalau ada orang lain yang
secara diam-diam membantunya.”
Keng Giok-keng yang mencuri dengar pembicaraan itu jadi
terkejut bercampur girang, pikirnya, 'Kalau didengar dari
pembicaraan mereka, tampaknya nona yang menyamar sebagai
pemuda tampan itu pastilah Ciri!'
Dia bukannya kuatir Liong-bun-ngo-pa mencari Cicinya untuk
balas dendam, tapi dia memang ingin secepatnya menemukan
cicinya itu. Maka tanpa membuang waktu lagi dia tinggalkan rumah
penginapan dan malam itu juga menyambangi bukit Ku-san.
Baru tiba di kaki bukit dia sudah mendengar suara seruling yang
mengalun lembut.
Bukit Ku-san merupakan sebuah tempat dengan pemandangan
paling indah di seputar telaga See-ouw, tempat itupun merupakan
tempat paling bagus untuk menikmati pemandangan alam di telaga,
di sisi timur laut terdapat sebuah hutan bunga Bwee, konon
merupakan tempat tinggal penyair terkenal dari jaman Song, Lim
Ho-cing.
Konon Lim Hon-cing senang menanam bunga Bwee sambil
memelihara bangau, itulah sebabnya orang orang di jaman itu
menyebutnya sebagai bini bunga Bwee, anak bangau. Artinya dia
memperistri bunga Bwee dan mempunyai anak burung bangau.
Setelah dia meninggal, orang pun membangun sebuah gardu Bweeteng
dan gardu Hok-teng untuk memperingati dirinya, (kini disebut
Hong-hok-teng).
Selain itu orang pun menanam beratus batang pohon Bwee
hingga arena hutan Bwee saat ini jauh lebih luas dan lebar daripada
hutan bunga Bwee di jaman Lim Ho-cing dulu.
Suara seruling berasal dari balik hutan bunga bwee.
Diantara suara seruling yang sebentar terdengar sebentar
menghilang, tiba-tiba terlihat seorang wanita cantik muncul dari
balik pepohonan.
Si peniup seruling segera maju menyongsong sambil menyapa,
"Beng-cu, akhirnya aku berhasil menemukan dirimu!"
Nada ucapan itu selain murung, terselip juga rasa kagum.
Ternyata orang yang meniup seruling itu adalah Bouw Cionglong,
sedangkan wanita cantik setengah umur itu adalah Seebunhujin.
Keng Giok-keng sama sekali tidak menyangka kalau Ciangbunjin
nya bakal muncul disana bahkan muncul dalam keadaan seperti ini,
dia semakin tidak berani menampakkan diri.
Tampak Seebun-hujin berkata sambil tertawa getir, "Aaaai,
Ciong-long, kau tidak seharusnya datang kemari!"
"Kenapa?"
"Karena dia pun telah datang!"
"Dia....? siapakah dia?" dengan pandangan tertegun Bouw Cionglong
mengawasi sinar matanya, kemudian dengan hati tergoncang
jeritnya, "Kau maksudkan dia? Dia.... bukankah dia.... dia telah....”
"Ternyata dia tidak mati!" jawab Seebun-hujin dengan suara
gemetar, "aku.... aku pun baru tahu belakangan ini!"
"Jadi kau telah bertemu dengannya?" paras muka Bouw Cionglong
bertambah pucat.
"Belum, tapi aku tahu dia pun telah kemari!"
Setelah sempat tergoncang, lambat laun Bouw Ciong-long dapat
menenangkan kembali hatinya, sesaat kemudian ujarnya sambil
tertawa getir, "Betul-betul satu kejadian yang sama sekali tidak
disangka, tidak heran kalau kau mengatakan aku tidak seharusnya
datang. Tapi aku tidak bakalan menghindar!"
"Kau ingin bertemu dengannya?"
Bouw Ciong-long menghela napas panjang.
"Aku tidak tahu apakah perbuatan yang kulakukan dulu benar
atau salah, tapi sejujurnya akupun berharap dia masih tetap hidup.
Tapi keinginanku tetap berada bersamamu merupakan hal yang lain.
Aku menyesal kenapa dulu tidak punya keberanian untuk
memberitahukan hubungan kita berdua kepadanya, dan sekarang
aku rasa merupakan saat yang tepat untuk menjelaskan segala
sesuatunya!"
"Aku kuatir bila kalian saling bertemu maka ada seorang
diantaranya bakal roboh, kalau bukan kau pastilah dia!"
"Aku tidak akan membunuhnya!"
"Tapi kaupun tidak rela dibunuh olehnya bukan?"
Bouw Ciong-long tampak sangat murung dan masgul, dia tidak
tahu bagaimana harus menjawab pertanyaan itu, terpaksa katanya,
"Bagaimana pun, persoalan ini toh harus ada penyelesaian!"
"Aku tidak ingin kehilangan kau, tapi akupun tidak tega melihat
dia mati sekali lagi,” ujar Seebun-hujin sedih, "Cong-liong, lebih baik
tinggalkan saja tempat ini untuk sementara waktu!"
"Akupun tidak tega membiarkan kau susah, baiklah, apa yang
kau ingin kulakukan, akan kulakukan. Tapi dengan susah payah
akhirnya aku baru dapat berjumpa denganmu, paling tidak biarkan
aku berada sejenak di sampingmu. Beng-cu, coba pikirlah sejenak,
apa yang hendak kau katakan kepadaku?"
Seebun-hujin seperti ada yang dipikirkan, sejenak kemudian
katanya, "Kedatanganmu memang ada baiknya juga, aku memang
ada satu masalah yang ingin kurundingkan denganmu. Tapi bukan
masalah kita berdua, melainkan.... melainkan....”
"Masalah anak anak kita?" sela Bouw Ciong-long.
"Anak Yu cerdas dan pandai bekerja, aku tidak perlu
mengkhawatirkan dirinya. Justru yang membuat hatiku khawatir
adalah Yan-ji.”
"Apa yang kau khawatirkan?"
"Aku mengkhawatirkan masalah perkawinannya.”
"Bukankah kau telah menjodohkannya kepada Tonghong Liang?
Meskipun karena urusan perguruan Tonghong Liang harus
berhadapan denganku sebagai lawan, sejujurnya akupun sangat
mengagumi dirinya. Lagipula Yan-ji memang amat menyukainya.
Padahal perselisihan dari generasi sebelumnya tidak susah untuk
dihapus, asal aku mengalah sejurus saja masalah pasti sudah
beres.”
"Tonghong Liang memang lumayan, diapun satu satunya
keponakanku, boleh dibilang semakin merekatkan persaudaraan.
Tapi sayang....”
Dia berhenti sejenak kemudian baru melanjutkan, “Tahukah kau
ilmu silat tingkat tertinggi dari perguruannya harus dilatih dengan
dasar ilmu jejaka?"
"Ooh, kau takut lantaran hal ini maka dia enggan mempunyai
bini? Tapi dia ingin berlatih ilmu silat tingkat tinggipun tidak lebih
hanya akan digunakan untuk menghadapiku. Aku bisa saja
memberitahu kepadanya, biar dia berhasil melatih ilmu tingkat tinggi
itupun belum tentu sanggup mengalahkan aku. Dari-pada susahsusah,
lebih baik biar kuajarkan sejenis ilmu tenaga dalam yang lain.
Dijamin ilmu tersebut dapat mengalahkan ilmu sakti dari
perguruannya.”
"Aku tahu, tenaga dalam aliran lurusmu memang jauh lebih
hebat, tapi ada satu hal yang tidak kau ketahui, tahukah kau
masalah apa yang paling dirisaukan Siang Thian-beng, guru
Tonghong Liang?"
"Mana mungkin aku tidak tahu kalau dia ingin melatih ilmu sakti
yang bisa mengungguli ilmu pedang Bu-tong-pay, hmmm! Pada
hakekatnya hanya bermimpi!"
"Belum tentu sedang bermimpi,” kata Seebun-hujin, "misalnya
saja bila dia dapat mempersatukan ilmu Hui-eng-kiam-hoat dengan
Thay-kek-kiam-hoat, apa yang bakal terjadi?"
"Sekalipun berhasil menyatukan dua jenis ilmu tersebut, belum
tentu dia mampu mengungguli ilmu pedang Bu-tong!"
"Kalau belum tentu berarti masih ada harapan. Tapi untuk
mencapai pengharapan itu, dia harus melatih ilmu tenaga dalam
aliran sesat itu!"
"Kita toh bisa membujuknya agar tidak melakukan latihan itu....”
kata Bouw Ciong-long.
Tiba-tiba dia menangkap perubahan aneh di wajah Seebun-hujin,
sesudah tertegun sejenak, tanyanya, "Apakah sudah terjadi
penyimpangan untuk melatih ilmu tersebut, atau masih ada kejadian
lain....”
Mendadak paras muka Seebun-hujin berubah jadi merah padam,
tapi akhirnya berkata juga, "Dia telah menyetujui maksud gurunya,
mengebiri diri untuk berlatih pedang!"
Bouw Ciong-long tampak tertegun, tapi dengan gusar ujarnya
kemudian, "Kurangajar, Siang Thian-beng si bedebah tua itu telah
memaksanya untuk berbuat begitu? Biar kucari dia untuk membuat
perhitungan!"
"Belum tentu dia dipaksa.”
"Memangnya dia melakukan dengan sukarela?"
Seebun-hujin hanya membungkam tanpa menjawab, sedang
Bouw Ciong-long seolah teringat akan sesuatu, paras mukanya dari
gusar berubah jadi bimbang dan panik, pikirnya, 'Kalau begitu
masalahnya tidak sesederhana hanya ingin merebut nama baik
untuk perguruannya saja. Entah berapa banyak yang dia ketahui
tentang kejadian di waktu itu, takutnya dia hanya tahu setengah
setengah hingga tidak jelas'
Sementara Bouw Ciong-long masih diombang ambingkan dengan
pelbagai pikiran, tiba-tiba terdengar Seebun-hujin berteriak, "Aaah,
coba lihat, dia.... dia telah datang!"
"Baiklah, kalau begitu biar aku berbicara yang jelas dengan
dirinya!"
Dalam dugaannya, orang yang muncul adalah "dia" yang paling
ditakuti Seebun-hujin, cepat dia berpaling dan menatapnya tajam.
Ternyata orang yang telah muncul dihadapannya bukanlah "dia",
melainkan Tonghong Liang.
Mimik muka Tonghong Liang tampak sangat aneh, sorot matanya
dipenuhi cahaya kegusaran, dia menatap Bouw Ciong-long tanpa
berkedip.
Biarpun disana hadir Seebun-hujin yang merupakan bibinya, dia
bersikap seolah-olah tidak melihat.
"Anak Liang, kenapa kau?" teriak Seebun-hujin.
Jangankan berpaling, melirik ke arah Seebun hujin pun tidak,
Tonghong Liang langsung menegur Bouw Ciong-long, "Bouw Cionglong,
aku tahu ilmu pedangku bukan tandinganmu. Tapi biarpun aku
ditakdirkan harus mati diujung pedangmu, aku tetap akan
melakukan penyelesaian terakhir dengan dirimu!"
"Dendam sakit hati apa yang terjalin diantara kita berdua?
Kenapa kau harus beradu nyawa denganku?" tanya Bouw Cionglong.
"Bouw Ciong-long, kau tidak usah berlagak pilon!" bentak
Tonghong Liang penuh kegusaran, "apa yang pernah kau lakukan
dimasa lalu tentunya sudah kau ketahui dengan jelas!"
"Terlalu banyak perbuatan yang pernah kulakukan dimasa lalu,
kasus mana yang kau maksudkan?"
"Kau telah membunuh pamanku, kemungkinan besar ayahku pun
sudah tewas di tanganmu!" teriak Tonghong Liang.
"Anak Liang, kau salah!" jerit Seebun-hujin.
"Yang salah mungkin kau, jangan panggil aku anak Liang lagi,
kau tidak pantas menjadi bibiku!" dengus Tonghong Liang sinis.
Sambil berusaha menahan rasa pedih dan sakit kembali Seebunhujin
berkata, "Aku tidak ambil perduli bagaimana jalan pikiranmu,
aku hanya ingin beritahu satu hal kepadamu, pamanmu masih
hidup!"
Tonghong Liang tampak sangat terperanjat, mendadak kembali
dia tertawa dingin, "Hmm, hanya setan yang bakal mempercayai
kebohonganmu itu, paman adalah seorang Enghiong sejati, semisal
masih hidup, kau sangka dia rela hidup sebagai kura-kura hampir
dua puluhan tahun lamanya?"
"Mau percaya atau tidak terserah dirimu sendiri. Sedangkan
tentang ayahmu....”
Kembali Tonghong Liang tertawa dingin, tukasnya, "Akulah yang
mengangkut balik peti jenasah ayahku, sebelum dikuburkan aku pun
sempat membuka tutup peti mati dan melihat wajah terakhirnya,
tentu kau tidak akan mengatakan dia belum mati bukan?"
Rupanya Tonghong Siau pulang ke rumah dari tempat luaran
dengan membawa luka yang sangat parah, tapi sebelum
menginjakkan kakinya di gerbang rumah, dia sudah tewas lebih dulu
di tepi jalan.
"Ayahmu memang tewas karena dibokong orang,” Seebun-hujin
membenarkan, "tapi orang yang mencelakainya bukan Bouw Cionglong!"
"Lalu siapa?" tanya Tonghong Liang.
"Aku sendiripun tidak tahu, tapi aku percaya bukan
perbuatannya.”
"Dia, dia, dia, mesra amat panggilan itu!" ejek Tonghong Liang
dengan wajah sinis, "Hmm, aku jadi bingung, seharusnya tetap
memanggilmu bibi atau seharusnya memanggilmu Bouw hujin?"
Seebun-hujin benar-benar mendongkol bercampur jengkel, dia
hanya bisa melelehkan air mata dan tidak sanggup mengucapkan
sepatah kata pun.
"Tonghong Liang!" Bouw Ciong-long segera membentak gusar,
"jangan kau pojokkan bibimu, terus terang saja aku beritahu, bukan
aku yang membunuh ayahmu....”
"Sudah kuduga kau bakal berkata begitu!" kembali Tonghong
Liang mengejek.
Bouw Ciong-long tidak menggubris ejekan itu, kembali lanjutnya,
"Walaupun bukan aku yang bunuh, tapi orang itu memang
mempunyai hubungan dengan diriku, dan aku pun tidak ingin lari
dari tanggung jawab ini.”
"Hmmm, tidak ingin lari dari tanggung jawab?" Tonghong Liang
tertawa dingin, "aku ingin bertanya, kalian mengatakan pamanku
masih hidup, lantas dimana dia sekarang? Kalau bukan kau yang
membunuh ayahku, lalu siapakah dia? Bila kau tidak dapat
menjawabnya....”
Bouw Ciong-long tertawa terbahak-bahak, tukasnya, "Walaupun
selama hidup aku belum pernah berbohong, tapi untuk menghadapi
anak muda macam kau, aku belum merasa perlu untuk
membohongi dirimu! Kalau memang tidak percaya, silahkan saja
bunuh diriku!"
Belum habis dia tertawa, mendadak terdengar seseorang dengan
suara yang tinggi melengking dan menusuk pendengaran telah
menyela, "Apa yang dia katakan memang tidak salah, aku masih
hidup! Yang membunuh ayahmu juga bukan dia!"
Dalam waktu singkat, Bouw Ciong-long maupun Seebun-hujin
berdiri tertegun saking kagetnya, ternyata tokoh misterius yang
muncul secara tiba-tiba itu bukan lain adalah Seebun Mu yang
sudah "mati" semenjak dua puluh tahun berselang, atau dengan
kata lain, dia adalah suami In Beng-cu (Seebun-hujin).
Biarpun Bouw Ciong-long maupun In Beng-cu sudah tahu kalau
dia masih hidup, namun kemunculannya yang secara tiba-tiba tetap
membuat mereka terperangah dan kaget.
Tonghong Liang ikut tertegun, lalu teriaknya, "Paman, kau....
kau.... katakan kepadaku, siapa yang telah membunuh ayahku?"
Walaupun dia dicekam perasaan kaget dan keheranan, namun
dia tidak ambil perduli akan hal itu. hal terpenting yang paling ingin
diketahui olehnya Saat ini adalah kematian sebenarnya yang
menimpa ayahnya dulu.
"Aku!" jawab Seebun Mu dengan wajah tanpa emosi.
Tonghong Liang kembali terperangah, dia seolah tidak berani
mempercayai pendengaran sendiri. "Paman, apa kau bilang?"
"Aku bilang, akulah yang telah membunuh ayahmu!"
Kali ini Tonghong Liang benar-benar yakin kalau dia tidak salah
mendengar. Setelah termangu beberapa saat, teriaknya, "Tidak
benar, aku tidak percaya! Bukan saja kau masih ada hubungan
saudara dengan ayahku, kalian pun merupakan sahabat yang paling
karib, mengapa kau harus membunuhnya? Tadi pun Bouw Cionglong
telah mengaku, dia yang telah membunuh ayahku, aku tidak
mengerti, mengapa kau harus memikul tanggung jawabnya?"
"Dia hanya mengatakan kau boleh menganggap dialah yang
membunuh,” dengan suara rendah Seebun-hujin segera
mengingatkan.
Bouw Ciong-long tertawa getir, selanya, "Kita tidak perlu
membantah atau berdebat lagi dalam masalah tersebut.”
Bicara sampai disini dia pun berpaling, saling berhadapan dengan
Seebun Mu, menyongsong pandangan matanya yang dingin
bagaikan salju.
"Seebun Mu, kau memang memiliki kelebihan yang patut
membuatku kagum, tapi juga membuat hatiku muak. Terlepas
kagum atau muak, aku tidak ingin kau mewakiliku untuk
menerimanya! Baiklah, Tonghong Liang, kalau toh kau ingin
mengetahui duduk perkara yang sebenarnya, dengarkan
penjelasanku....”
"Bouw Ciong-long,” tukas Seebun Mu sambil tersenyum, "kau
bilang selain kagum kepadaku, kaupun muak padaku, hehehehe....
sejujurnya, aku pun mem punyai perasaan yang sama terhadap
dirimu! Baiklah, akupun ingin mengetahui duduk persoalan yang
sebenarnya waktu itu, coba kau katakan lebih dulu!"
"Persoalan ini harus dimulai dari dirimu,” ujar Bouw Ciong-long
perlahan, "saat itu kau adalah seorang Liok-lim Bengcu yang hebat,
hampir semua orang mengagumi baik soal nyali, pengetahuan
maupun ilmu silat yang kau miliki, termasuk diriku sendiri. Tapi kau
pun memiliki kelemahan yang membuat orang jadi segan, kau
kelewat otoriter, dalam pandanganmu hanya ada kau seorang dan
seolah tidak ada orang lain, apalagi dikemudian hari kau berubah
makin jahat, telengas, buas, melanggar hukum dan membunuh
orang semau sendiri....!"
"Waah, benar-benar jiwa seorang pendekar sejati,” tiba-tiba
Seebun Mu menukas dengan dingin, "aku cukup mengetahui
manusia macam apakah diriku, jadi tidak perlu kau memberi analisa
yang panjang lebar! Aku hanya ingin tahu apakah niatmu untuk
membunuh-ku waktu itu bukan muncul karena kepentingan pribadi.”
Bouw Ciong-long sama sekali tidak menghindari tatapan
matanya, dia berkata lebih jauh, "Betul, aku juga memang bertindak
karena ada kepentingan pribadi, karena aku tidak ingin Beng-cu
menjadi bini seorang bandit macam dirimu hingga hidupnya susah
dan tidak pernah mendapat ketenang-an! Ketika Han Siang dan
sekelompok kalangan hitam menghianatimu, secara diam-diam
akupun telah membantu mereka.”
Mendadak Tonghong Liang berteriak keras, "Sebenarnya siapa
yang telah membunuh ayah-ku?"
"Tonghong Liang, akupun akan memberitahukan keadaan yang
sebenarnya,” sahut Seebun Mu, "walaupun ayahmu bukan terbunuh
oleh tanganku sendiri, tapi orang itu mempunyai hubungan yang
sangat erat denganku, jadi kau pun boleh anggap akulah yang telah
membunuhnya!"
"Siapakah orang itu?" dengan perasaan setengah percaya
setengah tidak Tonghong Liang bertanya.
"Kau pernah mendengar nama Bok Ing-ing?"
"Bok Ing-ing?”
“Dia adalah putri ke tujuh keluarga Bok di wilayah Liong-say
(Kainsiok), kehebatan senjata rahasia keluarga Bok dari Liong-say
sama tenarnya dengan keluarga Tong dari Suchuan. Dua puluh
tahun berselang nama besarnya sudah amat tersohor, jauh lebih
terkenal dari si Lebah hijau Siang Ngo-nio, orang persilatan
menghormatinya sebagai Bok Jit-koh "Jadi ayahku dibunuh
perempuan itu?”
“Betul, ayahmu dibunuh oleh Bok Ing-ing.”
“Kenapa dia membunuh ayahku?”
“Dia membunuh karena aku!"
"Maksudmu?" tanya Tonghong Liang sambil membelalakkan
matanya lebar-lebar.
"Dia menjadi istriku setelah aku "mati", tapi bila aku "bangkit dan
hidup" kembali maka dia tidak bisa menjadi istriku. Waktu itu aku
merasa kecewa dan putus asa karena terjadi prahara dalam rumah
tanggaku, maka setelah terjadi pertarungan sengit akupun
melenyapkan diri dari peredaran dunia, semua orang menyangka
aku sudah mati. Tapi dia takut kalau aku berubah pikiran, karenanya
dia sengaja membunuh ayahmu agar aku tidak punya kesempatan
lagi untuk bangkit dan hidup kembali!"
Bini setelah "mati" walaupun merupakan sebuah ungkapan yang
lucu, tapi siapa pun dapat memahami maksudnya.
Tonghong Liang mengerti jauh lebih banyak lagi, dia tahu dalam
keadaan seperti ini, andaikata pamannya hidup kembali (maksudnya
tampil lagi dalam dunia persilatan) maka pertama-tama dia harus
membunuh Bok Ing-ing terlebih dulu untuk balaskan sakit hati
ayahnya, kalau tidak berbuat begitu, mana mungkin dia bisa
kembali ke keluarganya dan memperoleh pengerti-an dari istri serta
keponakannya?
Dengan suara parau Tonghong Liang berteriak keras, "Mengapa
kau beritahu kejadian yang sebenarnya kepadaku?"
"Karena aku tidak ingin kau mati di tangan Bouw Ciong-long,”
jawab Seebun Mu hambar, "akupun tidak ingin Bouw Ciong-long
terluka oleh pedangmu. Sebab aku hendak menantang dia untuk
berduel. Sekarang tinggal menunggu keputusanmu, apakah saat ini
juga kau akan balas dendam?"
"Aku.... aku.... aku....” untuk sesaat Tonghong Liang tergagap,
tapi akhirnya sambil menggigit bibir katanya, "Aku tidak ingin Bouw
Ciong-long memperoleh keuntungan darimu, baiklah kita bicarakan
lagi masalah ini di kemudian hari!"
"Bagus, kalau begitu istirahatlah dulu!" kata Seebun Mu. Tibatiba
dia melancarkan sebuah totokan dengan kecepatan tinggi,
Tonghong Liang segera terkapar di tanah dan jatuh tidak sadarkan
diri.
"Akulah yang telah bersalah kepadamu,” kata Seebun-hujin
kemudian dengan nada sedih, "bila ingin membalas dendam,
hukumlah diriku, apa pun hukuman yang akan kau limpahkan
kepadaku, akan kuterima tanpa mengeluh!"
"Beng-cu, kau tidak boleh berkata begitu!" seru Bouw Ciong-long
cepat, "bila ada kesalahan, seluruh kesalahan ada pada diriku
seorang! Sebetulnya aku bisa mengawinimu sebagai istriku, bila
dulu aku tidak menuruti perkataan ayahku, mana mungkin akan
terjadi peristiwa hari ini? Tapi.... Seebun Mu, kaupun punya
kesalahan, aku berhubungan lebih dulu dengannya dan kau
bukannya tidak tahu akan hal ini, tapi setelah tahu, kaupun tetap
meminangnya menjadi binimu, apakah kau tidak pernah berpikir,
yang kau peroleh selama ini hanya tubuh kasarnya?"
Tentu saja dia tahu, perkataan ini pasti akan menimbulkan hawa
amarah Seebun Mu, tapi bagi jagoan yang bertarung, semakin bisa
mengkalutkan konsentrasi lawan, hal mana semakin
menguntungkan bagi posisi sendiri.
Betul saja, pancaran sinar berapi-api mencorong dari mata
Seebun Mu, tampaknya dia benar-benar sangat gusar dan
tersinggung oleh perkataan itu.
Cepat Bouw Ciong-long membuat persiapan, dia menunggu
sampai musuhnya bertindak lebih dulu, maka dia akan segera
melancarkan jurus pamungkas.
Dia yakin, jurus pedangnya pasti akan mencapai sasaran terlebih
dulu meski dilancarkan belakangan.
Siapa tahu kejadian sungguh di luar dugaan, gunung berapi yang
nyaris meletuk itu mendadak mereda kembali, bukan mereda, bukan
menjadi tenang, tapi dia tampil dengan mimik muka lain.
Tiba-tiba saja paras muka Seebun Mu yang diliputi hawa amarah
berubah menjadi amat sedih dan berduka.
Tidak tahan Seebun-hujin berteriak keras, "Sebenarnya apa yang
kau inginkan, cepat katakan!"
Dia sedang ketakutan, kalau harus ketakutan terus seperti ini,
biar Seebun Mu tidak gila pun, dia yang bakalan gila.
Akhirnya Seebun Mu buka suara, "Aku tahu, kalian memang
berpacaran lebih dulu sebelum kenal dengan diriku, akupun tahu,
Bouw It-yu adalah anak yang dilahirkan hasil hubungan dengan
dia!"
"Waktu itu dia belum menjadi istrimu!" cepat Bouw Ciong-long
menyela.
"Tapi saat itu kau sudah mempunyai orang lain sebagai istrimu,”
sambung Seebun Mu.
"Oleh karena itulah aku mengakui bahwa disinilah letak
kesalahanku, lantas mau apa kau? Silahkan saja....”
Tiba-tiba Seebun Mu membentak nyaring, lalu teriaknya dengan
suara berat, "Tentu saja aku tidak bakalan melepaskan dirimu, tapi
sekarang aku sedang berbicara dengan istriku, kau tidak usah ikut
campur!"
Tampaknya Seebun-hujin telah mengambil keputusan, dengan
berani dia sambut tatapan matanya.
Terdengar Seebun Mu berkata lagi, "Aku hanya ingin mengetahui
satu hal, apakah Seebun Yan adalah putriku?"
Biarpun Seebun-hujin telah mengambil keputusan, tidak urung
gelagapan juga setelah menghadapi pertanyaan dari bekas
suaminya itu, dia jadi tergagap dan tidak mampu menjawab.
"Jadi diapun putrinya?" desak Seebun Mu lagi.
"Benar, dia adalah putrinya,” jawab Seebun-hujin sambil
menghindari tatapan matanya.
Tiba-tiba Seebun Mu mendongakkan kepalanya dan tertawa
kalap, keluhnya, "Selama ini aku selalu menganggap Seebun Yan
adalah putri kandungku, ternyata diapun bukan!
Hehehe.... hahahaha.... ternyata apa pun tidak kumiliki, percuma
aku pernah hidup sebagai suami istri denganmu!"
Ternyata salah satu tujuan kedatangannya kali ini adalah ingin
minta kembali putrinya.
Seebun Mu tertawa kalap tiada hentinya, dia seolah ingin
melampiaskan keluar seluruh rasa gusar, kecewa dan
mendongkolnya lewat gelak tertawa itu.
"Kalau ingin bunuh, bunuhlah aku,” jerit Seebun-hujin, "aku
harap kalian jangan berduel lagi karena aku!"
"Oooh, jadi kau takut dia mati di tangaku sehingga rela
mengorbankan diri sendiri?" ejek Seebun Mu, "sejak awal aku sudah
tahu kalau kau berselingkuh dengannya, kalau ingin membunuhmu,
kenapa harus menunggu hingga hari ini! Bukan saja aku tidak
pernah punya ingatan untuk membunuhmu, bahkan karena alasan
kau, akupun tidak ingin membunuhnya. Kendatipun aku tahu
dengan jelas kalau kau tidak setia, namun aku masih tetap tidak
tahan untuk mencintaimu, berusaha membuat kau gembira. Aaai,
ternyata kau sama sekali tidak tahu akan maksud hatiku ini, benarbenar
membuat hatiku pedih!"
Entah karena terharu oleh ucapan itu atau karena alasan lain, air
mata mulai berlinang membasahi wajah Seebun-hujin. Katanya lirih,
"Aku pun tidak ingin menyaksikan kau mati di tangannya.”
Sekali lagi Seebun Mu tertawa tergelak.
"Hahahaha.... memang dia mampu membunuhku?" ejeknya.
"Kau pun belum tentu sanggup membunuhku!" sahut Bouw
Ciong-long sambil tertawa dingin.
"Perkataanmu itu ada benarnya juga. Sewaktu terjadi
pertempuran sengit di Toan-hun-kok dulu, dengan mengerudungi
wajah kau ikut serta menge-rubutiku, sebetulnya waktu itu kau
mendapat satu kesempatan untuk membunuhku, tapi kesempatan
tersebut kau lepaskan dengan begitu saja. Apakah lantaran saat itu
kau merasa terusik harga dirimu dan tidak ingin mencari
kemenangan dengan mengandalkan banyak orang?"
"Itu mah bukan, aku hanya merasa tiba-tiba saja tidak ingin
membunuhmu. Tapi aku tidak pernah menyesal telah melepaskan
dirimu waktu itu.”
"Tapi tahukah kau, disaat Tonghong Siau datang membantu aku
waktu itu, akupun mempunyai satu kesempatan untuk
membunuhmu?" ejek Seebun Mu sambil tertawa dingin.
"Aku tahu, akupun berterima kasih sekali karena waktu itu kau
telah melepaskan aku.”
"Tidak, aku hanya tidak tega membiarkan Beng-cu sedih. Tidak
ada salahnya kubeberkan jalan pikiranku waktu itu, aku sudah tahu
kalau perasaan hatinya sudah bukan milikku, tapi akupun tidak tega
mebuatnya sedih, maka semua kekesalan dan amarahku
kulampiaskan kepada orang lain, pertama-tama yang menjadi
sasaran-ku adalah para bekas anak buahku yang berniat berkhianat.
Selama tahun-tahun itu, aku memang banyak membunuh orang
tidak bersalah. Tapi apa mau dikata hanya kau seorang yang paling
kubenci, aku pernah bersumpah akan membunuhmu, tapi tidak
pernah tega untuk turun tangan. Setelah pertempuran berdarah di
Toan-hun-kok, hatiku mulai patah arang, kecewa dan putus asa,
maka semenjak saat itulah aku melenyapkan diri, aku berharap
kalian berdua bisa jadian.”
"Terima kasih banyak, tapi mengapa setelah 'kematian'mu
hampir dua puluh tahun lamanya, kini kau muncul kembali?" tanya
Seebun-hujin.
"Tentu saja ada alasannya, karena aku menemukan kalau dia
telah melakukan hal yang tidak boleh dimaafkan terhadap dirimu.”
"Kesalahan apa yang telah dia lakukan terhadapku?"
"Aaaaai, masa kau tidak tahu? Di samping merajut tali cinta
denganmu, ternyata secara diam-diam dia menjalin hubungan
dengan seorang gundik lagi, dan gundiknya tidak lain adalah
perempuan paling busuk dari dunia persilatan, Siang Ngo-nio!"
"Aku tahu,” jawab Seebun-hujin hambar, "tapi kabut cinta
terlarang itu pada akhirnya putus sudah. Ketika dia menjalin
hubungan dengan Siang Ngo-nio, hubunganku dengannya belum
terjalin kembali. Tapi aku pun tidak ingin membelai dia, karena dia
telah menyalahi bininya sendiri. Aaaai.... bicara sejujurnya, kami
semua yang telah melakukan kesalahan terhadap istrinya!"
Seebun Mu tertawa dingin.
"Tidak salah, kami pun telah menyalahi dirimu,” Seebun-hujin
menambahkan.
"Beng-cu, aku kagum dengan kebesaran jiwamu, tapi sayang
Bouw Ciong-long bukan seseorang yang patut memperoleh
perhatian yang begitu besar darimu.”
Tampaknya Seebun Mu masih mengetahui banyak perbuatan
busuk yang telah dilakukan Bouw Ciong-long, hanya saja dia enggan
untuk mengatakan.
"Aaai, manusia mana yang tidak pernah melakukan kesalahan?
Yang sudah lewat biarkan saja lewat, kaupun tidak usah
mengungkitnya lagi. Engkoh Mu, akupun kagum dengan kebesaran
jiwamu, aku bersalah padamu, menyesal dan sedih karena kau
harus bersembunyi hampir dua puluhan tahun lamanya. Aku mohon
kepadamu....”
"Tidak usah mohon kepadanya!" tukas Bouw Ciong-long tiba-tiba,
"walaupun selama hidup aku telah banyak melakukan kesalahan,
namun belum pernah membohongimu. Tapi hingga kini dia masih
tetap membohongimu!"
"Omong kosong!" bentak Seebun Mu gusar, "aku bohong soal
apa?"
"Membohongi rasa simpatiknya!" dengus Bouw Ciong-long dingin,
"Hmm, kau bilang karena ingin memberi kesempatan kepada kami
berdua maka kau pura-pura mati, ucapan ini jelas kebohongan yang
paling besar! Seebun Mu, sungguh tidak disangka kecuali hebat
dalam hal ilmu silat, kepandaianmu bermain sandiwara pun luar
biasa!"
Merah membara sepasang mata Seebun Mu saking gusar dan
mendongkolnya, dengan geram bentaknya, "Jadi kau menuduh
semua yang kulakukan di hadapan Beng-cu hanya sandiwara, bukan
bersungguh hati?"
"Betul, kau telah menipunya, tapi di depan dia, kau justru
berlagak minta dikasihani!"
Agaknya Seebun-hujin pun menganggap ucapan ini sedikit
kelewat batas, segera teriaknya, "Cong-liong, jangan....”
Belum selesai dia berkata, mendadak terdengar Seebun Mu
membentak nyaring, "Selama hidup, belum pernah Seebun Mu
minta belas kasihan dari orang lain!"
Dalam waktu sekejap, baik Seebun Mu maupun Bouw Ciong-long
sama-sama menerjang ke arah lawannya dengan kecepatan luar
biasa.
"Blaaaam!" sepasang tangan saling beradu, tubuh Bouw Cionglong
tergetar mundur tiga langkah, sementara tubuh Seebun Mu
hanya gontai sedikit.
Cepat Seebun-hujin menerobos masuk ke tengah antara kedua
orang itu, jeritnya, "Bila kalian ingin turun tangan, bunuhlah aku
terlebih dulu!"
Kemudian kepada Seebun Mu mintanya, "Engkoh Mu, lepaskan
kami berdua!"
"Kau ingin aku sekali lagi menjadi orang mati?" tegur Seebun Mu
dingin.
"Dua puluh tahun yang lalu pun kau rela berbuat begitu, kini kita
semua sudah tua, buat apa harus mengungkit kembali semua
dendam sakit hati di masa lalu?"
"Jadi kau ingin mengetahui alasannya?”
“Kau bersedia memberi tahu?"
Seebun Mu berpikir sejenak, kemudian sahutnya sambil
menggigit bibir, “Tidak!"
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara seorang wanita
berseru, "Kau ingin tahu? Baik, akan kuberitahu, dia berbuat begitu
karena aku!"
Kalau dilihat dari wajahnya, perempuan itu seharusnya telah
berusia diatas empat puluh tahunan, apa mau dibilang dia justru
masih berdandan seperti seorang gadis remaja. Hanya saja
walaupun dandanannya tidak genah namun masih tetap
memancarkan sifat liar yang menggairahkan.
"Jadi kau adalah Bok Ing-ing?" tanya Seebun-hujin.
"Tepat sekali dugaanmu, betul, aku adalah Bok Ing-ing.
Hehehe.... Seebun-hujin, sudah lama kudengar namamu!"
"Padahal kaulah yang seharusnya dipanggil Seebun-hujin!"
Sekali lagi Bok Ing-ing tertawa tergelak.
"Hahahaha.... lagi-lagi ucapanmu sangat tepat, memang
seharusnya hanya ada seorang Seebun-hujin!"
"Maka kau minta dia datang membunuhku?"
"Untuk ketiga kalinya ucapanmu tepat sekali! Bagaimanapun kau
memang seorang wanita, hanya wanita yang mengetahui jalan
pikiran wanita lain. Bagaimana pun juga aku toh tidak bisa
selamanya menjadi Seebun-hujin di belakang layar!"
"Aku rela menyerahkan gelar yang kusandang itu untukmu.”
"Siapa suruh kau mengalah, terus terang saja aku yang minta dia
untuk membunuhmu, bukan saja karena kau adalah Seebun-hujin
yang sebetulnya, karena aku ingin kau lenyap untuk selamanya dari
dalam pikirannya!"
"Aku mengerti. Kau minta dia membunuhku untuk membuktikan
rasa cintamu kepadanya!" kata Seebun-hujin sambil manggutmanggut.
Kemudian setelah berhenti sejenak kembali terusnya, "Ucapanmu
memang benar, aku memang seharusnya mati. Padahal kau tidak
perlu memohon dia untuk melakukannya, karena sejak awal aku
sudah rela mati di tangannya!"
"Beng-cu, jangan kau lakukan perbuatan bodoh!" hardik Seebun
Mu, "Ing-ing, aku tidak pernah menyanggupi permintaanmu itu,
mana boleh kau berbicara semaunya sendiri?"
"Aku bicara semauku sendiri?" Hmm, tampaknya kau sudah
melupakan semua perkataan yang pernah kusampaikan padamu!"
teriak Bok Ing-ing sambil tertawa dingin.
"Kapan aku pernah menyanggupi permintaanmu untuk
membunuh In Beng-cu?"
"Tapi kau pernah mohon bantuanku untuk membunuh Bouw
Ciong-long! Hehehe.... aku tahu, kau pasti akan mengabulkan
permintaanku!"
Maksud lain dari perkataan itu adalah dia minta dia membunuh
In Beng-cu sebagai pertukaran syarat.
"Kau ingin membunuh, bunuhlah aku lebih dulu! Kenapa harus
membunuh Bouw Ciong-long?" kata Seebun-hujin.
"Kalau dia tidak sanggup membunuh Bouw Ciong-long, mana
mungkin punya wajah untuk muncul lagi dalam dunia persilatan?
Setiap orang tentu akan mentertawakan dirinya sebagai kura-kura
yang pandainya menyembunyikan kepala!" kata Bok Ing-ing.
Ketika berbicara sampai disitu, paras muka Seebun Mu telah
berubah jadi merah padam saking jengkelnya, namun dia masih
terbungkam dalam seribu bahasa.
Terdengar Bok Ing-ing berkata lebih lanjut, "Selama dia tidak
bisa muncul lagi dalam dunia persilatan, bukankah aku pun tidak
akan pernah mendapat kesempatan menjadi Seebun-hujin yang
resmi?"
"Aku belum pernah punya rencana untuk mengambil kau sebagai
biniku!" bentak Seebun Mu.
"Jadi kau tidak butuh bantuanku untuk Bouw Ciong-long?"
"Tidak usah kau bantu, hmm! Kau sangka aku tidak tahu kalau
kau jauh lebih ingin menghabisi nyawa Bouw Ciong-long ketimbang
aku!"
Ternyata semasa masih remaja dulu Bok Ing-ing pun pernah
mengejar Bouw Ciong-long, tapi kemudian lantaran ungkapan
cintanya tidak mendapat perhatian, dari cinta diapun berubah
menjadi benci.
Bouw Ciong-long yang selama ini hanya membungkam tiba-tiba
membentak keras, "Seebun Mu, kau ingin membunuhku, padahal
aku lebih ingin membunuhmu!"
Seebun-hujin tampak sangat terperanjat, serunya, "Cong-liong,
bukankah kau pernah berkata tidak akan membunuhnya, kenapa
sekarang berubah pikiran? Engkoh Mu, kau.... tolong kau....”
Sementara itu Bouw Ciong-long telah tiba di depan Seebun Mu,
sambil menuding kearahnya dia berteriak, "Kau adalah pembunuh
yang telah membinasakan Bu-kek Tianglo!"
Seebun Mu tertawa terbahak-bahak.
"Hahahaha.... sekarang baru tahu?" ejeknya, "aku juga yang
telah membunuh Ting Hun-hok!"
"Bagaimana dengan Ji-ou Thayhiap Ho Ki-bu?”
“Kalau soal itu mah tidak ada sangkut pautnya dengan dia,
karena akulah yang membunuh Ho Ki-bu!" sela Bok Ing-ing sambil
tertawa dingin, "aku sengaja menyamar jadi muridnya, Keng King-si,
menggunakan kesempatan di saat dia terperanjat, akupun
membunuhnya! Hehehe.... kalau bukan ilmu merubah wajahku tiada
tandingan di kolong langit, mungkin tidak selancar itu aku berhasil
membunuhnya!"
Biarpun Bok Ing-ing sengaja membesar-besarkan
kemampuannya, namun Bouw Ciong-long tahu kalau ilmu menyaru
muka yang dia miliki memang sangat hebat.
Sekarang Bouw Ciong-long baru paham, pikirnya: 'Tidak heran
kalau kata umpatan Ho Ki-bu menjelang ajalnya adalah: ternyata
kau si binatang!' Berpikir begitu, kembali dia membentak, “Bu-kek
Tianglo, Ho Ki-bu maupun Ting Hun-hok tidak punya dendam sakit
hati apapun dengan dirimu, kenapa kau turun tangan sekeji ini
terhadap mereka?”
“Mereka memang tidak punya dendam denganku, tapi kau punya
dendam kesumat dengan aku!" jawab Seebun Mu dingin,
"hehehe.... sekarang kejadian telah berkembang jadi begini, akupun
tidak khawatir bicara sejujurnya. Kau sangka aku benar-benar iklas
menyerahkan Beng-cu kepadamu? Aku justru berlagak mati karena
ingin membalas rasa maluku karena kau telah merebut istriku!
Setelah pertempuran di Toan-hun-kok, aku sadar kalau tidak punya
kemampuan untuk membunuhmu, maka pura-pura mati adalah cara
menghindar yang paling tepat. Pertama bisa berlatih silat lebih
tekun, kedua dapat menghindari perhatianmu dan ketiga bila
kesempatan emas telah muncul, aku masih bisa menfitnah dirimu.
Setelah berlatih beberapa tahun, akupun berhasil melatih semacam
ilmu pukulan yang mirip Thay-kek-kun, akhirnya akupun menghajar
Bu-kek Tianglo hingga tewas termakan pukulanku.
Tidak banyak jago dikolong langit yang mampu melukai Bu-kek
Tianglo dengan tenaga pukulan semacam itu, apalagi jika ilmu yang
digunakan adalah ilmu pukulan Thay-kek-kun dari Bu-tong-pay.”
"Kau berharap kecurigaan orang terhadap diriku jadi semakin
besar?" tanya Bouw Ciong-long.
"Hmm, tapi aku tidak menyangka kalau Bu-siang Cinjin begitu
menaruh kepercayaan kepadamu, meski tahu kalau kau sangat
mencurigakan, ternyata dia tetap menyerahkan jabatan Ciangbunjin
kepadamu.”
Bouw Ciong-long tertawa getir.
"Dia orang tua bukannya sama sekali tidak menaruh curiga
terhadapku,” katanya, "dia memang mengangkat aku menjadi
Ciangbunjin, tapi pada saat yang bersamaan diapun memasang
Tojin bisu tuli untuk mengawasi semua gerak-gerikku. Ilmu
berakting dari Tojin bisu tuli jauh lebih hebat daripada aktingmu,
ternyata diapun berhasil membohongi dia orang tua. Masih untung
di saat yang kritis muncul Jit-seng-kiam-kek Kwik Tang-lay yang
membantu aku membongkar kedok mata-matanya!"
Berbicara sampai disini, tiba-tiba dia membentak keras, "Apakah
kau yang sengaja mengatur Ong Hui-bun sebagai Tojin bisu tuli dan
menyusupkan dia ke gunung Bu-tong sebagai mata-mata bangsa
Boan?"
Mencorong sinar gusar dari balik mata Seebun Mu, teriaknya
marah, "Percuma aku bergaul selama belasan tahun denganmu,
ternyata kau berani mengucapkan kata-kata busuk semacam itu
kepadaku! Hmm, perbuatan macam apa pun berani kulakukan,
hanya perbuatan yang menjual negara tidak bakalan sudi
kukerjakan. Jika aku tahu Ong Hui-bun adalah mata-mata bangsa
Boan, sejak awal pasti sudah kubunuh dirinya!"
"Bagus, aku percaya dirimu. Tapi aku tidak yakin kau seorang diri
sanggup membunuh Bu-kek Tianglo!" kata Bouw Ciong-long.
Bok Ing-ing tertawa terkekeh.
"Bouw Ciong-long, ternyata kau memang sangat pintar, tapi
masih belum cukup cerdas. Seharusnya kau bisa menduga, tentu
saja aku telah menggunakan senjata rahasia untuk membantumu.”
"Oooh, rupanya begitu. Baik, sekarang kalian boleh maju
bersama!"
Dari nada pembicaraan yang semula tenang, tiba tiba saja
berubah jadi keras dannyaring.
Bok Ing-ing sama sekali tidak acuh, dengan senyuman dikulum
katanya santai, "Engkoh Mu, terlepas kau ingin aku membantumu
atau tidak, orang lain sudah menganggap kita memang
bersekongkol.”
Mendadak Seebun Mu mendorong tubuhnya hingga mundur, lalu
bentaknya, "Kau ingin melihat semua Enghiong hohan di kolong
langit mentertawakan diriku? Aku ingin duel satu lawan satu dengan
dirinya, kau tidak boleh ikut campur!"
Bentakan ini sangat menyinggung perasaan Bok Ing-ing, dia jadi
kikuk dan merasa serba salah, pikirnya, 'Hmm, dia tidak lebih hanya
ingin berlagak sok Enghiong di hadapan Beng-cu'
Hadnya merasa jengkel bercampur kecut, namun dia pun tidak
berani mengumbarnya keluar.
Terdengar suara burung mulai berkicau di tengah keheningan,
kemudian cahaya terang pun mulai menyelimuti menembusi
kegelapan. Tanpa disadari fajar telah menyingsing, cahaya matahari
mulai memancar masuk ke balik hutan pohon Bwee.
Cepat Seebun Mu merebut posisi yang lebih menguntungkan
dengan berdiri membelakangi cahaya matahari, bentaknya,
"Ayohmaju!"
Sepasang lengannya direntangkan, sepuluh jari tangannya
bagaikan sepuluh batang pit baja langsung dihujamkan ke tubuh
Bouw Ciong-long.
Menghadapi datangnya ancaman, cepat Bouw Ciong-long
membalikkan tubuh sambil berputar, pedang nya dilapisi cahaya
dingin menyongsong maju ke depan dan membabat pergelangan
tangannya.
Seebun Mu membentak nyaring, dari jari tangan berubah jadi
pukulan, tenaga serangan yang kuat bagaikan gulungan ombak di
samudra langsung menyapu ke depan, menggetar ujung pedang
hingga miring ke samping.
Langkah kaki Bouw Ciong-long bagaikan lelaki mabok, pedangnya
bergoyang kacau, sepintas serangannya tampak tidak beraturan,
namun dalam perasaan Seebun Mu, seakan dari empat arah delapan
penjuru muncul pedang tajam yang menusuk ke arahnya.
Begitulah, kedua orang itu sama-sama mengerahkan segenap
ilmu yang dimilikinya untuk saling menggempur, pertarungan pun
makin lama makin seru.
Di antara kilauan cahaya pedang dan bayangan tangan,
pertarungan kedua orang itu bagaikan sebuah pertempuran massal
yang melibatkan ribuan orang.
Seebun-hujin sadar, tidak mungkin dia bisa mencegah terjadinya
pertarungan itu, bahkan sebelum salah satu terluka atau tewas,
tidak mungkin pertarung-an sengit itu akan berhenti.
Merasa tidak tega menyaksikan akhir dari pertarungan itu, tidak
tahan dia menghela napas panjang, pikirnya, 'Terlepas siapa benar
siapa salah, semua musibah dan bencana ini timbul gara-garaku!'
Dengan membawa perasaan menyesal yang luar biasa, tiba-tiba
dia mencabut pedangnya lalu dihujamkan ke atas dadanya sendiri.
Biarpun jago-jago lihay itu sedang bertarung, namun pandangan
mata mereka masih awas terhadap sekeliling arena pertarungan,
Seebun Mu yang pertama-tama menyaksikan kejadian itu.
"Beng-cu jangan!"
Dalam situasi seperti ini, pada hakekatnya Seebun Mu sudah
tidak memperdulikan keselamatan dirinya lagi, nyaris dia telah
menggunakan seluruh kekuatan yang dimilikinya untuk meluncur ke
sisi arena, melewati dari atas kepala Bouw Ciong-long dan langsung
menerkam ke hadapan bekas istrinya.
Bouw Ciong-long melancarkan serangan secepat kilat, dengan
jurus Ki-hwee-liau-thian (angkat obor membakar langit) dia
tinggalkan sebuah mulut luka yang tipis memanjang di atas betis
lawannya.
Tapi segera dia mengetahui juga akan peristiwa itu, sebab
walaupun posisi berdirinya membelakangi Seebun-hujin, namun
bayangan yang terbias dari tubuh Seebun-hujin tercermin jelas di
atas permukaan tanah dan terpampang di hadapannya.
Masih untung dia cepat menarik kembali serangan itu, kalau tidak
mungkin seluruh kaki Seebun Mu telah terpapas kutung.
Tanpa memperdulikan luka di kakinya Seebun Mu berlarian ke
depan.
Siapa tahu belum mereda sebuah gelombang, timbul kembali
gelombang lain, kali ini yang mencipta gelombang baru ad alah Bok
Ing-ing.
Dua orang lelaki, yang satu adalah pria yang pernah dicintainya
semasa masih muda dulu tapi sayang hanya bertepuk sebelah
tangan (Bouw Ciong-long), sedang yang lain adalah suaminya
sekarang (Seebun Mu), namun kini dua orang pria yang sedang
bertempur sengit segera menyelesaikan pertarungannya hanya
dikarenakan ingin menolong seorang wanita yang lain, bisa
dibayangkan bagaimana perasaan hatinya saat itu?
Terbakar oleh api cemburu yang berkobar, tanpa pikir panjang
dia sambitkan segenggam senjata rahasia ke arah Seebun-hujin.
Kebetulan saat itu Seebun Mu sedang berlarian mendekat, selisih
jaraknya dengan Bok Ing-ing masih cukup jauh.
Pada detik yang amat kritis itulah mendadak tubuh Seebun Mu
melambung ke udara, bagaikan seekor burung raksasa dia 'terbang'
lewat dengan cepatnya.
Dia bukan termasuk orang yang hebat dalam ilmu meringankan
tubuh, tapi berhubung keadaan sangat kritis dan bahaya, terpaksa
dia pun harus mengeluarkan ilmu yang bukan andalannya itu.
Di saat tubuhnya sedang melambung, dia melepas kan juga
sebuah pukulan dahsyat, kemudian menyusul tubuhnya meluncur
turun, dia langsung mencengkeram pergelangan tangan Bok Inging.
Sebetulnya waktu itu Bok Ing-ing sedang melepaskan senjata
rahasianya berulang kali, tapi begitu pergelangan tangannya
dicengkeram, otomatis serangan nya tidak bisa dilanjutkan.
Sementara senjata rahasia yang telah terlanjur dilepaskan pun
segera tercerai berai dan rontok semua ke tanah akibat terjangan
pukulan dahsyat.
Tidak terlukiskan rasa gusar Bok Ing-ing, jeritnya, "Aku tidak
mempermasalahkan bila kau tidak mau bantu aku untuk
membunuhnya, kenapa sekarang kau malah berbalik membantu dia
untuk menghadapi aku? Apa maksudmu?"
"Tidak ada maksud apa-apa,” jawab Seebun Mu dengan nada
dalam, "sekali lagi kau berani mengusik seujung rambutnya, segera
akan kusayat kulit tubuh-mu!"
Bok Ing-ing menangis tersedu-sedu, teriaknya semakin keras,
"Bagus, ternyata dalam bayanganmu, aku lebih rendah dari seujung
rambutnya. Lelaki selingkuhannya ingin membunuhmu, tapi kau
tetap memandangnya sebagai istri tercinta! Cisss, selama hidup
belum pernah kujumpai lelaki hina dan tengik macam kau. Ternyata
selama banyak tahun aku mendampingimu, kau hanya berbohong
dan menipuku. Baiklah, aku akan adu nyawa denganmu....”
Dengan kuku jari tangannya yang tajam dan runcing, dia cakar
tangan Seebun Mu, begitu dalam dia mencengkeram hingga kuku
jari yang tajam terbenam ke dalam daging tangan suaminya. Dalam
keadaan begini, jelas tidak gampang baginya untuk melepaskan diri.
Seebun Mu ikut naik darah, bentaknya, "Aku tidak punya waktu
untuk ribut denganmu!"
Diam-diam dia kerahkan tenaga dalamnya kemudian sambil
merentangan sepasang lengan, dia lempar tubuh perempuan itu
jauh ke belakang.
Sekalipun pada akhirnya dia berhasil melepaskan diri dari
cengkeraman Bok Ing-ing, namun Bouw Ciong-long pun telah
mendahuluinya dan tiba terlebih dulu di samping Seebun-hujin.
Jantung Seebun-hujin sedang gemetar, jari tangannya ikut
gemetar. Tapi untung dia sedang gemetar sehingga meski mata
pedang telah menghujam di atas dadanya, namun tidak sampai
menusuk jantungnya.
Dengan cepat Bouw Ciong-long telah tiba di sisinya.
Dada Seebun-hujin yang dingin bagaikan es segera terasa
munculnya hawa panas, sekulum senyuman mulai menghiasi
wajahnya yang pucat.
"Peluklah aku, jangan tinggalkan diriku!"
Suaranya halus bagaikan hembusan angin musim semi di atas
permukaan telaga.
Seebun Mu ikut mendengar bisikan itu. Dia terperangah,
tertegun, seakan terkena tenungan secara tiba tiba, tubuhnya
berdiri kaku, sama sekali tidak mampu bergerak.
Tapi satu hal yang sama sekali tidak terduga, nyaris pada saat
yang bersamaan telah terjadi, terdengar suara lain yang memilukan
hati.
"Criiiit!" diikuti kemudian "Triiiing....!" suara yang menusuk
telinga.... kemudian tampak Seebun-hujin merintih kesakitan.
Biarpun Seebun Mu bukan seorang ahli dalam ilmu senjata
rahasia, namun diapun tahu kalau mereka telah dibokong orang.
"Perempuan hina....” baru saja dia mulai mengumpat, mendadak
terdengar suara tertawa yang jalang telah bergema di udara, "Kau
telah salah menuduhnya, inilah senjata rahasia dari keluarga Tong,
masih selisih jauh bila dibandingkan senjata rahasia dari keluarga
Bok!"
Dalam pada itu Bouw Ciong-long masih memeluk erat tubuh
Seebun-hujin, sambil mendengus bentaknya, "Lebih baik kau cepat
pergi, kalau tidak, jangan salahkan kalau aku segera akan mencabut
nyawamu!"
Seebun-hujin yang berada dalam pelukannya segera berbisik,
"Apakah Siang Ngo-nio?"
Tidak salah, ternyata yang membokongnya adalah Siang Ngo-nio,
bukan Bok Ing-ing. Dia telah terhajar sebatang jarum Lebah hijau
milik Siang Ngo-nio.
"Ampuni dia,” pinta Seebun-hujin lirih, "bagaimana pun, dia
pernah terjalin hubungan cinta denganmu.”
Saat itulah dari balik hutan pohon Bwee berkumandang suara
tertawa seram yang serak dan tua, kemudian terdengar orang itu
berseru, "Bouw Ciong-long, kau telah melakukan kesalahan
terhadapku, sudah lama aku ingin membunuhmu. Tapi sekarang
akan kuberi waktu selama setengah jam, karena kekasihmu masih
bisa bertahan hidup setengah jam lagi. Tapi bila kau tega
meninggalkan dia, sekarang juga maju lah untuk berduel
denganku!"
Ternyata orang yang berbicara itu tidak lain adalah Tong Jisianseng,
jago senjata rahasia nomor wahid di kolong langit.
Tiba-tiba Seebun Mu membentak nyaring, "Tidak perlu
menunggu setengah jam lagi, sekarang juga aku akan menjajal
kehebatan senjata rahasia keluarga Tong!"
"Eeei, aneh sekali,” ejek Tong Ji-sianseng sambil tertawa dingin,
"sejak lama In Beng-cu sudah tidak menganggapmu sebagai
suaminya lagi, bahkan sekarang pun dia sedang berbaring dalam
pelukan laki-laki lain, heran, kenapa kau malah membantu
gendaknya untuk beradu nyawa denganku?"
"Siang Ngo-nio sering selingkuh dengan lelaki lain, kenapa kau
pun selalu mendukungnya?" balas Seebun Mu ketus.
Diam-diam Tong Ji-sianseng berpikir, Andaikata kau belum
terluka, mungkin aku masih takut tiga bagian kepadamu, tapi
sekarang, hmmm, aku yakin kau bukan tandinganku lagi!'
Berpikir begitu segera bentaknya, "Bagus, kalau begitu rasakan
dulu kelihayan dari senjata rahasiaku!"
Seebun Mu segera mengerahkan tenaga dalamnya untuk
melancarkan serangan berulang kali, angin pukulan yang menderuderu
dengan cepat merontokkan duri beracun, teratai baja, paku
pencabut nyawa, jarum bunga Bwee.... serta pelbagai macam
senjata rahasia lainnya yang tertuju ke tubuhnya, termasuk juga
senjata rahasia yang dilancarkan Siang Ngo-nio.
Bok Ing-ing cepat merangkak bangun, teriaknya, "Engkoh Mu,
jangan gugup, akan kubantu dirimu untuk menghadapi perempuan
siluman itu. Akan kulihat senjata rahasia keluarga Tong lebih lihay
atau senjata rahasia keluarga Bok lebih ampun?"
Siapa sangka, baru saja berlari dua langkah, mendadak
punggungnya terasa sangat dingin, sebilah pedang tajam telah
menembusi punggungnya hingga tembus ke ulu hati.
Ternyata orang yang membunuhnya adalah Tonghong Liang.
Rupanya kesempurnaan tenaga dalam yang dimiliki Tonghong
Liang masih jauh di atas perkiraan Seebun Mu, secara diam-diam
dia telah membebaskan diri dari pengaruh totokan.
Maka ketika Bok Ing-ing kebetulan lewat dari sisinya, dia pun
melompat bangun sambil melayangkan sebuah tusukan, tusukan
yang segera mengakhiri kehidupannya.
Selama ini, Bouw Ciong-long maupun Seebun-hujin seakan tidak
melihat mau pun mendengar pada pelbagai peristiwa yang sedang
berlangsung diseputar itu.
"Toako,” bisik Seebun-hujin dengan nada lirih, "kau tidak perlu
membuang tenaga lagi untukku. Tapi ada satu hal yang terasa
mengganjal, aku harus mengatakannya padamu.”
"Soal apa?" tanya Bouw Ciong-long.
Saat ini diapun mulai merasakan matanya berkunang-kunang dan
kepalanya pusing, sudah tiba pada saat dia tidak sanggup menahan
diri lagi.
Rupanya meski dia dapat menggunakan tenaga murninya yang
melindungi tubuh untuk mementalkan senjata rahasia Tong Jisianseng,
namun ada juga sebagian senjata rahasia yang berhasil
merobek pakaiannya, bahkan melukai sedikit kulit tubuhnya.
Padahal senjata rahasia keluarga Tong sangat beracun, begitu
kena darah langsung mematikan, seandainya dia tidak menyalurkan
tenaga murninya untuk menolong Seebun-hujin, dengan dasar
lweekangnya yang lihay, luka tersebut tidak akan sampai menjadi
ancaman serius.
Tapi kini sulitlah baginya untuk membendung menjalarnya hawa
racun dalam tubuhnya.
Meski kondisi tubuhnya mulai kepayahan, namun dia tetap
berlagak seolah tidak terjadi apa-apa dan melayani Seebun-hujin
untuk bertanya jawab.
"Masalah yang tadi akan kurundingkan denganmu,” sahut
Seebun-hujin.
"Ooh, kau maksudkan urusan perkawinan anak Yan? Baiklah, kita
bicarakan nanti saja setelah kau membaik.”
"Kau tidak perlu membohongi aku lagi, aku tahu hidupku hanya
tinggal setengah jam. Aku merasa Keng Giok-keng adalah bocah
yang sangat baik, kalau memang Yan-ji tidak mungkin lagi kawin
dengan Tonghong Liang, aku minta tolong kau untuk menjodohkan
mereka berdua.”
"Bagus sih memang bagus, hanya saja....”
"Hanya saja kenapa?"
Bouw Ciong-long tidak ingin membuat hatinya sedih, maka
sahutnya, "Dia sudah pergi meninggalkan gunung Bu-tong,
seandainya sempat bertemu lagi, pasti akan kusampaikan
keinginanmu itu kepadanya. Sudah, yang penting sekarang adalah
mengeluarkan racun dari tubuhmu, tidak usah kau pikirkan masalah
lain lagi.”
Dia sangka nyawa sendiripun sukar dipertahankan, bisa jadi
selamanya tidak akan bertemu Keng Giok-keng lagi. Siapa sangka
belum habis ingatan itu melintas, segera terdengarlah suara dari
Keng Giok-keng.
"Seebun-cianpwee, serahkan saja Tong Tiong-san bajingan tua
itu kepadaku, aku ingin membunuh sendiri musuh besar pembunuh
ayah dan ibu asuhku!"
Biar tidak dalam keadan terluka pun ilmu meringankan tubuh
yang dimiliki Seebun Mu bukan tandingannya, apalagi saat ini dia
dihadang oleh sambitan senjata rahasia yang begitu gencar.
Belum sempat dia berbicara, Keng Giok-keng telah melesat maju
ke depan dan mengejar Tong Tiong-san.
Terdengar Tong Tiong-san tertawa dingin, ejeknya, "Yang
kubunuh tidak lebih hanya sepasang suami istri petani, tidak pernah
kupikirkan soal ini dalam hari. Bocah keparat, kau masih belum
pantas untuk membalas dendam kepadaku!"
Sambil berkata kembali dia sembitkan segenggam senjata rahasia
ke arah Keng Giok-keng.
Dengan jurus Sam-coan-hoat-lun (tiga putaran roda hukum),
senjata rahasia yang menyusup masuk ke balik lingkaran cahaya
pedangnya seketika hancur lebur dan berubah menjadi bubuk.
Sekarang Tong Tiong-san baru terkesiap, pikirnya, 'Sungguh
tidak disangka baru berpisah beberapa bulan, ilmu pedang yang
dimiliki bocah ini telah maju sedemikian pesat'
Tidak sempat berpikir panjang, seluruh tubuhnya tahu-tahu
sudah terperangkap di balik lingkaran pedang yang dilancarkan anak
muda itu.
Berada dalam keadaan begini, Tong Tiong-san hanya bisa
mengandalkan tenaga dalam yang dilatihnya selama puluhan tahun
untuk mempertahankan diri, dia tidak sanggup lagi melepaskan
senjata rahasia andalannya.
Terlepas dari hadangan senjata rahasia, dengan cepat Seebun
Mu menemukan Siang Ngo-nio berada tepat dihadapannya.
Tiba-tiba terdengar Siang Ngo-nio tertawa terbahak-bahak.
"Apa yang kau tertawakan?" tegur Seebun Mu.
"Selama ini kusangka orang yang ingin membunuhku adalah
Bouw Ciong-long, tidak tahunya ternyata dirimu, apakah hal ini tidak
lucu sekali?"
"Hmm, sudah tahu kematian telah berada di depan mata, masih
bisanya tertawa tergelak, dasar makhluk aneh!" umpat Seebun Mu
dingin.
"Aku memang makhluk aneh, keanehanku muncul karena dipaksa
oleh kalian!" teriak Siang Ngo-nio kalap, "orang pertama adalah
Tong Ji-sianseng, dia paksa aku untuk menjadi kekasih gelapnya,
orang kedua adalah Bouw Ciong-long, sebetulnya dia memberi
sedikit harapan, tapi pada akhirnya dia tetap mencampakkan diriku.
Lalu orang ketiga adalah dirimu, di saat kau sedang sedih dan patah
hati, semua napsu birahimu kau lampiaskan di atas tubuhku!"
Seebun Mu jadi tertegun, dia merasa, walaupun perempuan ini
memuakkan namun bagaimana pun memang patut dikasihani.
Bukankah dia sendiripun pernah melakukan pembantaian semau
hati hanya dikarenakan tertekan oleh sakit hati?
Sambil menggertak gigi ujarnya kemudian, "Perduli apa pun yang
kau katakan, karena kau telah melukai Beng-cu maka aku pun tidak
dapat mengampunimu!"
Sekali lagi Siang Ngo-nio tertawa kalap, di tengah tertawa diapun
menghela napas berulang kali, serunya, "Beng-cu, aku benar-benar
kagum padamu, ternyata ada dua orang lelaki yang rela mati demi
kau.
Heeehehe.... hahaha.... tapi aku tidak pernah menyesal!
Bouw Ciong-long, biarpun aku tidak berhasil mendapatkanmu,
kau sendiripun tidak berhasil memperoleh apa apa! Dan kau,
Seebun Mu, kau jauh lebih mengenaskan lagi! Hahahaha.... kalian
dua orang Enghiong hohan sama-sama membenciku, tapi kalian pun
sama-sama tidak bisa berbuat apa-apa terhadapku!"
Mendadak di tengah gelak tertawa kalapnjra dia roboh terjungkal
ke tanah. Dalam waktu singkat selapis hawa hijau telah menyelimuti
wajahnya.
Dia roboh ke tanah kemudian tidak pernah bergerak lagi,
ternyata perempuan itu telah bunuh diri dengan menelan obat
beracun.
Tong Tiong-san yang sedang bertarung sengit melawan Keng
Giok-keng segera menangkap suara tertawa Siang Ngo-nio yang
sangat aneh, dengan hati tercekat segera teriaknya, "Ngo-nio,
kenapa kau?"
"Dia sudah mati!" jawab Seebun Mu dingin, "bukan aku yang
membunuhnya, kaulah yang mendesak dia untuk mati!"
Jago silat yang sedang bertempur, mana boleh mencabangkan
pikirannya? Apalagi pikirannya jadi kalut dan dicekam rasa duka
yang mendalam?
Menggunakan kesempatan itu Keng Giok-keng segera
menggetarkan ujung pedangnya, maka sebuah lubang kecil telah
muncul pada tenggorokan Tong Tiong-san, diiringi pancaran darah
segar, tubuhnya roboh terjengkang ke atas tanah.
Seebun-hujin semakin lemas kondisinya, sambil berbaring dalam
pelukan Bouw Ciong-long, tiba-tiba katanya sambil setengah
pejamkan mata, "Aku seperti mendengar suara tertawa Siang Ngonio,
suara tertawanya terdengar begitu gembira, tapi juga begitu
sedih dan murung, apa yang terjadi dengan dirinya?"
"Dia sudah mati!" jawab Bouw Ciong-long. "Aaai, kasihan! Apa
yang dia katakan menjelang ajalnya?'
"Dia bilang dia sangat kagum dengan kebahagiaanmu!"
Sekulum senyuman manis kembali tersungging di bibir Seebunhujin,
katanya, "Benar, aku memang sangat bahagia, aku adalah
seorang wanita jahat, tapi kau tetap begitu baik kepadaku!"
Bouw Ciong-long benar-benar amat sedih, hatinya pilu, tapi
sambil tertawa paksa katanya, "Tidak, kau adalah wanita baik,
jangan berkata begitu!"
"Terima kasih Bouw toako, aaah.... jangan lupa, tolong
sampaikan kepada Seebun Mu, akupun amat berterima kasih
kepadanya!"
Suaranya makin lama semakin lemah dan akhirnya dia
menghembuskan napas yang terakhir dalam pelukan Bouw Cionglong.
Dalam pada itu setelah Tonghong Liang membunuh Bok Ing-ing
dan membesut bekas darah di pedangnya, dia berjalan menuju ke
hadapan Seebun Mu dan mengangsurkan pedang tadi sambil
berkata, "Pedang mestika ini adalah pemberianmu, aku telah
menggunakan untuk membalas dendam atas kematian ayahku. Tapi
dengan senjata ini pula aku telah membunuh istrimu. Bila kau ingin
membalaskan dendam, ambillah kembali pedang ini dan gunakan
untuk membunuh aku!"
"Anak Liang, aku sudah merasa berterima kasih sekali karena kau
tidak membunuhku,” kata Seebun Mu, "semoga kau bisa gunakan
pedang mestika itu untuk menggali masa depanmu!"
"Masa depan apa yang kumiliki?" tanya Tonghong Liang sambil
tertawa getir.
"Sebagai seorang lelaki sejati, terhitung apalah sedikit
penderitaan yang telah kau alami?"
"Apakah aku masih pantas disebut seorang lelaki sejati?" pikir
Tonghong Liang dalam hati.
Tampaknya Seebun Mu dapat membaca suara hatinya, cepat dia
melanjutkan, "Kau pasti tahu tentang cerita Suma Cuan bukan?
Karena dikebiri maka dia lampiaskan kekesalannya dengan menulis
catatan sejarah, coba bayangkan, siapa yang tidak
menghormatinya? Begitu juga dengan ilmu silat, nah. Pergilah untuk
memperjuangkan masa depanmu!"
Walaupun ucapan itu disampaikan dengan lembut, namun bagi
pendengaran Tonghong Liang ibarat pukulan tongkat yang sangat
keras, segera serunya, "Terima kasih banyak atas nasehat paman.”
Dia sarungkan kembali pedangnya dan segera beranjak pergi
meninggalkan tempat itu.
Keheningan yang mencekam kembali menyelimuti hutan pohon
Bwee.
Ketika Seebun Mu berpaling, dia melihat Bouw Ciong-long telah
membaringkan jenasah In Beng-cu keatas tanah kemudian ikut
bangkit berdiri.
"Benar, aku hampir lupa, masih ada kau yang akan datang
mencari balas!" ujar Seebun Mu perlahan.
"Sebelum meninggal, Beng-cu berpesan agar aku ucapkan
banyak terima kasih kepadamu. Pertikaian pribadi antara kita
berdua telah berakhir, tapi sayang aku masih tetap seorang
Ciangbunjin dari Bu-tong-pay, untuk kematian Bu-kek Tianglo di
tanganmu, aku.... aku tidak bisa tidak harus....”
Kini racun dalam tubuhnya telah mulai bekerja, padahal dia
berniat ingin meminjam tangan Seebun Mu untuk menyelesaikan
kehidupannya. Dengan cara begini, meski dia harus mati, paling
tidak dia telah menyelesaikan pertanggungan jawabnya sebagai
Ciang-bunjin Bu-tong-pay.
"Aku tahu,” tukas Seebun Mu, "tapi lebih baik simpanlah tenaga
untukmu sendiri!"
"Apa maksudmu? Kau sangka setelah aku terkena senjata rahasia
keluarga Tong maka tidak sanggup mengalahkan dirimu?"
"Bukan, aku tidak bermaksud begitu, aku.... aku....”
Tiba-tiba Bouw Ciong-long mendengar suara letupan seperti
suara jagung yang meletus, dengan terperanjat teriaknya, "Seebun
Mu, apa yang kau lakukan?"
Seebun Mu tertawa getir, katanya, "Beng-cu telah mati, apa
artinya aku hidup terus di dunia ini?"
Ternyata suara letupan itu adalah suara dia ketika memusnahkan
tenaga dalam sendiri menjelang ajalnya.
Keng Giok-keng yang kebetulan muncul dari balik hutan Bwee
jadi tercekat hatinya setelah melihat kejadian itu.
"Anak Keng, kemari kau!" seru Bouw Ciong-long tiba-tiba.
Keng Giok-keng segera berjalan menghampiri.
"Ciangbunjin, ada perintah apa?" tanyanya.
"Sebetulnya aku ingin kau menggantikan aku jadi Ciangbunjin,
tapi sayang....”
"Kau tidak perlu minta maaf, sejak awal telah kukatakan, aku
tidak berminat dengan tawaran ini.”
"Bila kau tidak bersedia, kumohon bantulah It-yu, sekalipun
musuh dalam partai telah mati semua, namun kemungkinan besar
masih akan muncul badai yang lain.”
"Walaupun tentu tidak bisa balik lagi ke perguru-an, paling tidak
masih tercatat sebagai anggota partai Bu-tong, tecu pasti akan
sekuat tenaga mendukung dan berbakti untuk kepentingan partai!"
"Siapa bilang kau tidak boleh kembali ke perguruan? Sekarang
juga kau boleh pulang ke atas gunung!" kata Bouw Ciong-long.
"Tapi di tengah perjalanan menuju kota Kim-leng, tecu telah
melakukan perbuatan yang menyalahi dua orang utusan kerajaan
itu.”
"Kau tidak perlu merisaukan masalah ini.”
"Kenapa?"
"Karena kedua orang utusan itu telah bersekongkol dengan
bangsa Boan, dengan kaburnya Kwik Bu, mereka pasti akan ikut
melarikan diri.”
"Kalau begitu tecu akan mentaati perintah. Tapi bagaimana
dengan kau sendiri Ciangbunjin?"
"Coba lihat, siapa yang datang?" seru Bouw Ciong-long tiba-tiba.
Baru saja Keng Giok-keng berpaling, dia seperti mendengar suara
senjata yang menusuk sesuatu. Cepat dia berpaling kemba li.
Tampak sebilah pedang telah menancap diatas dada Bouw
Ciong-long, terdengar ketua Bu-tong-pay itu berkata, "Sekarang aku
tidak perlu risau lagi setelah kau berjanji akan membantu
menjayakan Bu-tong-pay. Apa yang dikatakan Seebun Mu memang
benar, setelah Beng-cu mati, apalah arti hidup terus!"
Ternyata dia telah mencabut pedang yang menghujam di tubuh
Seebun-hujin itu kemudian menggunakannya untuk bunuh diri.
Pedang ini memang pedang kesayangan Seebun-hujin, dan kini
dia roboh terkapar di sisi jenasah Seebun-hujin, perempuan yang
paling dicintainya.
Keng Giok-keng seakan baru mendusin dari impian buruk,
terburu-buru dia turun gunung.
Baru sampai di tanggul Pek-ti, terlihat seorang gadis muda
berlarian mendekat.
Mula-mula gadis itu tampak tertegun, kemudian sambil tertawa
serunya, "Kau memang amat cerdas, aku kuatir kau tidak mengerti
arti lukisan peta yang berada di sapu tanganku, ternyata kau malah
sudah sampai disini. Tahukah kau Cici mu juga ikut datang?"
Ternyata gadis itu tidak lain adalah Seebun Yan.
"Mana Ciriku?"
"Ada disana.”
Ternyata Tonghong Liang bergerak selangkah tiba lebih dulu.
Di saat semua orang belum memperhatikan, dia telah berjalan
menghampiri Lan Sui-leng.
"Nona Lan, aku merasa bersalah padamu, harap kau sudi
memaafkan,” katanya.
"Aku telah putuskan untuk ikut Put-hui Suthay menjadi pendeta,
terima kasih banyak atas perhatian Sicu!" jawab Lan Sui-leng sambil
merangkap tangannya di depan dada, sementara setitik air mata
tampak jatuh berlinang.
Walaupun dia belum mencukur rambutnya jadi pendeta, tapi
telah menyebut diri sebagai seorang Tokouw.
Di bawah deraian air mata gadis itu, Tonghong Liang beranjak
pergi meninggalkan tempat itu.
Bouw It-yu diangkat menjadi Ciangbunjin Bu-tong-pay
menggantikan ayahnya.
Meski Keng Giok-keng sempat kembali ke gunung untuk
menyampaikan selamat kepadanya, namun diapun hanya berdiam
beberapa hari sebelum pergi lagi.
Dia bersikeras menampik jadi Ciangbunjin, selain karena sadar
kalau kemampuannya masih kalah dibandingkan Bouw It-yu, hal
lainpun dikarenakan dia merasa masih ada tugas lain yang lebih
bermanfaat harus segera dilakukan.
Ooo)*(ooO
Thian-ci tahun ke enam Bulan satu, pasukan Manchu
menyeberangi sungai Liauw-ho dan menginvasi secara besar
besaran wilayah Liau-wan. Pasukan yang terlibat dalam
penyerangan itu mencapai tiga belas laksa orang.
Waktu itu pasukan Wan Tiong-huan yang menjaga wilayah
Liauw-huan hanya satu laksa orang. Tapi akhirnya Wan Tiong-huan
dengan jumlah yang kecil berhasil mengalahkan jumlah pasukan
musuh yang besar.
Bukan saja dia berhasil memukul mundur serbuan pasukan
bangsa Mancu, bahkan membuat jenderal lawan, Nurhaci Khan
menderita luka cukup parah.
Pada tahun yang sama bulan tujuh, Nurhaci Khan tewas di
benteng Si-ki-po, lebih kurang empat puluh li di luar kota Shenyang,
waktu wafat, usianya baru mencapai enam puluh delapan
tahun.
Konon dalam suatu pertempuran yang amat sengit, Nurhaci Khan
terluka oleh tusukan pedang seorang pemuda tanggung, jago
pedang muda itu tidak lain adalah Keng Giok-keng.
Tidak jelas apakah rumor itu benar atau tidak, tapi seringnya
jejak kependekaran Keng Giok-keng muncul di luar perbatasan
merupakan sebuah kenyataan yang tidak terbantahkan.
Tentu saja di sampingnya selalu terlihat pula seorang nona, dia
adalah Seebun Yan.
Begitu hebat dan tersohornya pemuda itu memainkan ilmu
pedang aliran Bu-tong-pay, pada akhirnya hampir setiap orang pasti
akan mengacungkan jempolnya bila menyinggung tentang
kehebatannya.
Semua orang memujinya sebagai Bu-tcng-it-kiam Pendekar
pedang dari Bu-tong.
Pada saat bersamaan ketika Keng Giok-keng termashur di
wilayah luar perbatasan, di wilayah seputar Soatsay, Kamsiok, Cenghay
dan barat laut wilayah Hui muncul pula seorang jago pedang
muda yang lebih misterius jejaknya ketimbang Keng Giok-keng,
jarang sekali ada orang yang pernah melihat wajah aslinya.
Tapi menurut saksi mata, dia adalah Tonghong Liang.
Sementara partai Bu-tong sendiri, di bawah pimpinan Bouw It-yu
yang hebat dan luar biasa, makin hari makin bertambah jaya.
Mereka bertiga sama-sama melakukan pekerjaan yang berbeda,
namun ada satu hal yang sama diantara ketiga orang itu, ilmu silat
mereka hampir semuanya mengandung unsur ilmu pedang Bu-tongTIRAIKASIH
WEBSITE http://kangzusi.com/
pay.
Tidak heran kalau dikemudian hari, banyak orang menyebut
mereka bertiga sebagai Bu-tong sam-kiam-khek, Tiga jago pedang
dari Bu-tong.
TAMAT
Bandung, 30 January 2009 Salam Hormat
(See Yan Tjin Djin)
ALWAYS Link cerita silat : Cerita silat Terbaru Cerita Silat Mandarin : BuTong It Kiam 6, cersil terbaru, Cerita Dewasa Cerita Silat Mandarin : BuTong It Kiam 6, cerita mandarin,Cerita Dewasa terbaru Cerita Silat Mandarin : BuTong It Kiam 6,Cerita Dewasa Terbaru Cerita Silat Mandarin : BuTong It Kiam 6, Cerita Dewasa Pemerkosaan Terbaru Cerita Silat Mandarin : BuTong It Kiam 6
{ 0 komentar... read them below or add one }
Posting Komentar