Cerita Silat Panas ABG : Tiga Maha Besar 1 [lanjutan bara maharani]

Diposting oleh eysa cerita silat chin yung khu lung on Senin, 26 Desember 2011

Cerita Silat Panas ABG : Tiga Maha Besar 1

Tiga maha besar
Karya : Khu Lung
Diceritakan oleh Tjan ID
Jilid 1
DITENGAH arena berdirilah seorang perempuan cantik
berusia pertengahan yang berpakaian sederhana tapi bersih,
wajahnya tenang tapi penuh berwibawa, seakan-akan baru
saja melayang turun dari atas langit, berdiri dengan gagahnya
ditengah gelanggang.
Dalam waktu yang sangat singkat itu pula Liong-bun Siangsat
serta Yan-san It-koay yang merupakan gembong-gembong
iblis kalangan hitam, Jin Hian serta Yau Sut sekalian yang
merupakan jago-jago kangouw yang membunuh orang tanpa
berkedip, secara tiba-tiba berubah jadi jinak dan sama sekali
tak berani berkutik secara sembarangan.
Perempuan cantik berusia pertengahan itu bukan lain
adalah majikan muda dari perkampungan, atau Hoa Hujin
yang namanya pernah menggemparkan seluruh kolong langit
sejak belasan tahun berselang.
Dengan cepat Hoa Thian-hong alihkan pula sorot matanya
ke arah perempuan setengah baya itu, setelah mengetahui
bahwa orang yang merampas pedang bajanya bukan lain
adalah ibunya sendiri, ia jadi girang bercampur sedih,
jantungnya terasa berdebat amat keras.

Tampaklah ibunya berpakaian amat bersih dan rapi sekali,
seakan akan bukan muncul dari dalam goa yang kotor dan
gelap itu, untuk beberapa saat lamanya ia berdiri tertegun
sehingga rasa sakit akibat kambuhnya racun terataipun
terlupakan olehnya.
Dalam pada itu, air muka Cukat racun Yau Sut berubah jadi
pucat kehijau-hijauan, beberapa kali bibirnya bergerak seperti
mau mengucapkan sesuatu akan tetapi setiap kali maksudnya
itu diurungkan.
Liong-bun Siang-sat serta Yan-san It-koay berdiri kaku
seperti patung. Jin Hian tundukkan kepala memandang
kebawah, Pek Soh-gie berdiri dengan wajah penuh
kekaguman sedangkan Pek Kun-gie membelalakkan matanya
lebar-lebar sambil mengawasi wajah Hoa hujin secara diamdiam,
sikapnya tidak menentu dan tak dapat diketahui apakah
ia sedang merasa girang ataukah murung.
Semua orang membungkam dalam seribu bahasa, Tio Samkoh
juga tidak buka suara serta menunggu Hoa hujin
berbicara, sedangkan Hoa hujin sendiri sambil mencekal
pedang baja berdiri gagah ditengah arena, sepasang matanya
yang tajam perlahan-lahan menyapu sekejap keatas wajah
para jago, akhirnya berhenti diatas wajah malaikat kedua Sim
Ciu.
Gembong iblis itu sebenarnya keder pada kegagahan Hoa
Hujin serta kelihayan ilmu silatnya, karena itu sejak
kemunculan perempuan itu, watak buasnya agak terkendali.
Tetapi bagaimanapun juga dia adalah seorang jago yang
sudah sering kali mengalami kejadian besar, ketika dilihatnya
Hoa hujin mencari gara-gara kepadanya, timbul kembali sifat
buas dalam hatinya, ia segera berpikir, “Hoa Goan-siu yang
begitu lihaypun berhasil kami jagal secara bersama-sama,

apalagi sekarang akupun bukan sebatang kara, kendatipun
engkau lihay, belum tentu serangan gabungan dari Liong-bun
Siang-sat serta Yan-san It-koay dapat kau bendung…”
Berpikir sampai disini keberaniannya segera timbul kembali,
sambil tertawa serunya, “Hoa Hujin, sudah belasan tahun
engkau mengasingkan diri dari keramaian dunia persilatan,
aku rasa ilmu silatmu tentu sudah berhasil dilatih hingga
mencapai puncak kesempurnaan bukan? aku boleh tahu apa
maksudmu untuk munculkan diri kembali didalam dunia
persilatan?”
Gembong iblis dari kalangan Hek to itu kelihatan kasar dan
bodoh, dihari-hari biasa ternyata bilamana perlu ucapannya
sopan dan tahu diri juga, hal ini merupakan suatu kejadian
yang tak pernah diduga oleh setiap orang.
Dengan wajah serius dan suara yang tenang dan datar,
Hoa Hujin menjawab, “Bun Siau-ih munculkan diri kembali
dalam dunia persilatan dengan tubuh sebagai janda, tentu
saja tujuanku adalah menuntut balas bagi kematian suamiku
serta menuntut keadilan dari umat Bu lim lainnya!”
Malaikat pertama Sim Kiam segera tertawa terbahak-bahak,
tukasnya, “Haaaahh…. haaahh….. haaahh… sejarah pada
masa dahulu merupakan contoh yang paling tepat bagi
engkau, meskipun memiliki ilmu silat yang sangat tinggi belum
tentu apa yang kau harapkan itu bisa terlaksana sebagaimana
mestinya!”
Maksud dari ucapan itu bukan lain adalah menyinggung
tentang peristiwa yang terjadi di pertemuan besar Pek Beng
Tayhwee dimasa lampau, kemungkinan besar hari ini dapat
terulang kembali.

Perlahan-lahan Hoa Hujin alihkan sorot matanya dan
memandang sekejap ke arahnya dengan pandangan dingin,
lalu berkata, “Kejadian yang berlangsung dimasa lampau
belum tentu bisa terulang kembali, bagaimanakah nasib
manusia siapa yang tahu? itu berhasil atau tidaknya siapa pula
yang dapat menduga lebih dahulu?”
Tiba-tiba sorot matanya dialihkan keatas wajah Pek Kungie.
Pada waktu itu secara diam-diam Pek Kun-gie sedang
mengawasi pula wajah Hoa hujin, ia merasa biji mata
perempuan cantik itu bening bagaikan bintang timur ditengah
kegelapan, kecantikan wajahnya benar-benar sukar di lukiskan
dengan kata-kata.
Ketika biji mata yang jeli beralih ke arahnya, ditengah sorot
mata yang serius terselip kegagahan yang luar biasa, ketika
sorot mata Pek Kun-gie terbentur dengan sinar matanya,
seketika itu juga ia merasakan pikirannya kalut dan tanpa
sadar ia tundukkan kepalanya rendah-rendah.
“Apakah nona yang bernama Pek Kun-gie?” terdengar Hoa
Hujin bertanya dengan suara nyaring.
Buru-buru Pek Kun-gie menengadah keatas dan menjawab,
“Boanpwee Pek Kun-gie….”
Biji matanya berputar dan dengan cepat melirik sekejap ke
arah Hoa Thian-hong.
Air muka Hoa Hujin tiba-tiba berubah jadi sedih, seakanakan
didalam hatinya terdapat banyak persoalan yang tak
dapat diputuskan olehnya, tetapi hanya sebentar saja
wajahnya telah pulih kembali seperti sedia kala, tiba-tiba ia
bertanya kembali, “Nona apakah engkau takut mati?”

Tertegun hati Pek Kun-gie mendengar pertanyaan itu, tidak
sempat berpikir panjang, lagi ia segera menjawab, “Boanpwee
tidak takut mati!”
Hoa Hujin mengangguk, ujarnya kembali, “Mati atau hidup
sudah digariskan menurut takdir, memang tiada yang perlu
ditakutkan”
Ia berpaling ke arah malaikat kedua Sim Ciu, kemudian
ujarnya, “Sudah lama aku dengar Liong-bun Siang-sat adalah
manusia yang berhati kejam dan bertangan telengas,
beranikah engkau membinasakan nona itu detik ini juga?”
“Dengan seorang angkatan yang lebih muda aku tak punya
hubungan dendam ataupun sakit hati, kenapa aku musti
membinasakan dirinya?”
“Hmm! Putri dari Pek Siau-thian memang tak dapat
dibunuh dengan sesuka hati sendiri”
Setelah berhenti sebentar, dari balik mata Hoa Hujin
memancar keluar serentetan cahaya tajam yang menggidikkan
hati, ujarnya lebih jauh sambil tertawa, “Kalau engkau
menganggap dirimu sebagai angkatan tua kenapa tidak kau
lepaskan baju nona itu?”
Mula-mula malaikat kedua Sim Ciu agak tertegun,
kemudian sambil tertawa terbahak-bahak serunya,
“Haaahh….haaahh….. haaahh…. Hoa Hujin suruh aku orang
she Sim melepaskan nona ini, apakah tujuanmu hendak
pungut dia sebagai menantumu….??”
“Barang siapa yang bercita-cita merebut kolong langit, dia
tak akan mengurusi keluarganya, Pek Siau-thian mempunyai
ambisi yang amat besar dan ingin menguasai seluruh kolong

langit, dia tak akan bersedia mengawinkan putrinya kepada
pihak lawan sehingga perbuatannya mengalami gangguan,
aku Bun Siau-ih tiada berminat untuk pungut dia sebagai
menantuku, dan bagimu tetap menahan nona itupun tak akan
mendatangkan manfaat apa-apa….”
Ketika Pek Kun-gie mendengar bahwa Hoa Hujin tidak
berminat mengambil dirinya sebagai menantu, tercekatlah hati
gadis itu, ia jadi lemas dan sama sekali tak bersemangat lagi,
ia tahu semua perkataan dari Hoa Hujin itu tujuannya bukan
lain adalah hendak memaksa Sim Ciu untuk melepaskan
dirinya dari cekalan orang.
Dengan pikiran yang kalut dan hati yang sedih, sorot
matanya segera dialihkan ke arah Hoa Thian-hong.
Kebetulan sekali sepasang mata Hoa Thian-hong yang
tajam dan menawan hati itu sedang memandang ke arahnya,
ketika empat mata saling bertemu, air muka kedua orang itu
sama-sama berubah hebat, rasa sedihpun terlintas diatas raut
wajah masing-masing.
Semua tingkah laku dari dua orang muda mudi itu tidak
terlepas dari pengawasan malaikat kedua Sim Ciu, dalam hati
ia segera berpikir, “Rupanya kedua orang bocah itu memang
saling menaruh hati antara yang satu dengan yang lain, akan
tetapi golongan putih dan golongan hitam selamanya
berhadapan bagaikan api dan air, belum tentu Pek Loo ji suka
menyetujui perkawinan itu, sedangkan perempuan dari
keluarga Hoa ini selamanya tegas dalam pendirian, iapun
belum tentu akan menyetujui perkawinan ini…..
“Waah….! urusannya tentu ramai”.
Tindakannya menangkap kakak beradik dari keluarga Pek
tadi sebenarnya dilakukan karena terdorong oleh suara

hatinya belaka dia tahu tindakannya ini sama sekali tak akan
mendatangkan manfaat apapun juga baginya, apa lagi tiga
puluh orang jago dari per kumpulan Sin-kie-pang berjaga-jaga
disana, untuk membawa pergi Pek Kun-gie jelas bukan suatu
pekerjaan yang mudah maka dengan cepat dia mengambil
keputusan didalam hatinya.
Kepada Hoa hujin sambil tertawa ujarnya, “Aku lihat kesan
Pek Kun-gie terhadap putramu tidak jelek, memandang diatas
wajah emas Hoa Hujin rasanya sudah sepantasnya kalau aku
orang she Sim harus memenuhi keinginanmu itu, tapi
bagaimana kalau Hujin mendemonstrasi lebih dahulu
kelihayanmu sehingga kami sekelompok manusia-manusia
kasar dapat menambah pengetahuan kami”
“Benar!” sambung Yan-san It-koay sambil tertawa, “aku
dengar ilmu silat yang di miliki It kiam kay Tionggoan Siang
Tang Lay lihay dan luar biasa sekali, sayang rejekiku kurang
begitu baik dan tak sempat menyaksikan dengan mata kepala
sendiri, selama belasan tahun belakangan ini akupun belum
pernah menyaksikan ilmu silat yang benar-benar luar biasa,
jikalau Hoa hujin bersedia mendemonstrasikan keampuhanmu,
niscaya kami semua akan merasa puas sekali!”
Sejak memperlihatkan kelihayannya dalam pertemuan
besar Pak Beng Tayhwee dan mendapat pujian dari Pek Siauthian
sehingga di beri kedudukan sebagai Kunsu, boleh
dibilang selama belasan tahun belakangan ini setiap perbuatan
dari Cukat racun Yau Sut pasti mendatangkan hasil yang
memuaskan, ini hari setelah mengalami kekalahan total
ditangan sekawanan jago lihay yang ilmu silat serta
kecerdikannya satu tingkat lebih tinggi darinya sehingga
membuat ia berulang kali jadi malu, rasa bencinya terhadap
Hoa Hujin maupun Liong-bun Siang-sat sekalian boleh dibilang
sudah merasuk ke tulang sumsum.

Kini mendengar Yan-san It-koay mengungkap kembali
persoalan mengenai Siang Tang Lay, ia segera tertawa dingin
dan menyela, “Heeehh…. heeehh…. heeeh…. Siang Tang Lay
bisa termasyhur namanya di kolong langit tidak lebih karena ia
mampu mengalahkan lima orang jago, sewaktu
dilangsungkannya pertemuan besar Pak Beng hwee, bukankah
pernah terjadi pula peristiwa dikerubutnya seorang jago oleh
lima orang jago lihay lainnya?”
Begitu ucapan tersebut diutarakan keluar suasana jadi
amat gempar.
Air muka Hoa Hujin, Liong-bun Siang-sat, Yan-san It-koay
serta Jin Hian seketika berubah hebat, lima pasang sorot mata
dengan pandangan gusar sama-sama dialihkan keatas wajah
Cukat racun.
Diam-diam Yau Sut merasa amat terperanjat, akan tetapi
diluaran ia segera tertawa terbahak-bahak.
“Haaahhh…. haaaahh…. kebetulan sekali..! sungguh
kebetulan sekali, saat inipun terdapat lima orang, kalau aku
orang she Yau bisa mendapat kehormatan untuk mati dibawah
kerubutan kalian lima orang jago lihay, kejadian ini boleh
dihitung merupakan rejeki bagiku”
Air muka malaikat pertama Sim Ciu berubah jadi hebat,
sambil menyeringai seram serunya, “Keparat yang tak tahu
diri, engkau masih belum mempunyai rejeki sebesar itu, cukup
aku seorang sudah dapat mengirim engkau pulang kelangit
sebelah barat”
Selesai berkata, selangkah demi selangkah ia berjalan maju
kedepan.

Cukat racun Yau Sut segera berpikir di dalam hati, “Liongbun
siang sat maupun Yan-san It-koay sama-sama merupakan
pembunuh dari Hoa Goan-siu, tidak mungkin Bun Siau-ih akan
berpeluk tangan belaka dengan melupakan dendam kematian
suaminya, kalau ini hari tidak sampai terjadi pertarungan
massal, keadaan masih mendingan, asal terjadi pertarungan
maka dia tak akan berpeluk tangan belaka, ditambah Tio Samkoh
serta Hoa In si tua bangka itu, bagi tiga orang makhluk
tua itu untuk melarikan diri jauh lebih sulit dari pada naik ke
langit, bahkan inti kekuatan dari perkumpulan Hong-im-hwie
pun akan mengalami kehancuran total.
Berpikir sampai disini, tanpa terasa semangatnya berkobar,
ketika dilihatnya malaikat pertama Sim Kian maju
menghampiri dirinya, ia segera tertawa lebar sambil serunya,
“Haaahh…. haaaah…. haahh…. bagus sekali, aku orang she
Yau akan mengikuti jejak orang dulu, dengan melawan lima
jago mengorbankan diri sendiri”
Ia ulapkan tangannya kemudian maju menyongsong
kedepan!
Bayangan manusia berkelebat lewat, Kiu im sam kui ikut
meloncat maju pula kedepan, seorang pria setengah baya
yang berwajah buruk dengan panca indranya yang tidak
genah, berbadan kurus tinggi serta memakai jubah pajang
yang nampak lututnya tanpa mengeluarkan sedikit suarapun
membuntuti di belakang Cukat racun Yau Sut.
Malaikat pertama Sim Kian tak pernah menyangka kalau
Cukat racun Yau Sut bakal mengambil tindakan seperti ini,
keadaannya pada saat ini boleh dibilang ibaratnya
menunggang dialas punggung harimau, membuat ia sangat
mendongkol sehingga sorot matanya memancarkan sinar
berapi-api.

Terdengar malaikat kedua Sim Ciu berseru dengan suara
menyeramkan, “Loo toa, bertemu dimana kita selesaikan
dimana, tak usah kita tunggu sampai pertemuan Kian ciau
tayhwee lagi!”
Tangan kirinya digulung menggempit tubuh Pek Kun-gie
yang lemas itu dibawah ketiaknya, kalau ditinjau dari
keadaannya mungkin ia ber siap-siap untuk menerjang keluar
dari kepungan.
Jin Hian serta Yan-san It-koay dengan cepat saling bertukar
pandangan sekejap, kedua orang itu mengetahui bahwa
situasi telah berubah jadi amat serius. Jin Hian segera
menyingkap jubahnya dan cabut keluar sebilah pedang
pendek yang memancarkan cahaya tajam, sedangkan Yan-san
It-koay dari balik lengannya mengambil pula sebuah gelang
tangan yang berwarna hitam emas, belasan pengawal golok
emaspun sama-sama meloloskan senjatanya.
Melihat pihak lawan melakukan persiapan untuk menerjang
keluar dari tempat itu, para jago dari pihak perkumpulan Sinkie-
pangpun sama-sama meloloskan pula senjata tajamnya,
mereka semua bersiap sedia dan kalau ditinjau keadaannya
jelas mereka telah mempersiapkan diri untuk melakukan
pertarungan secara massal.
Dipihak lain, Hoa Thian-hong serta Tio Sam-koh merasakan
semangatnya berkobar kembali, pertumpahan darah yang
terjadi antara dua kekuatan besar ini justru merupakan apa
yang diharapkan oleh mereka, sebab hancurnya dua
perkumpulan tersebut berarti suatu keuntungan bagi seluruh
umat manusia dalam dunia persilatan.
Dengan sorot mata yang tajam, diam-diam Hoa Thian-hong
melirik sekejap ke arah malaikat kedua Sim Ciu, setelah itu
sambil mendekati ibunya ia berbisik lirih, “Ibu, pedangku!”.

“Bagaimana dengan luka dialas dadamu?” tanya Hoa Hujin
sambil melirik sekejap ke arah dada putra kesayangannya
yang berlepotan darah.
“Jalan darahnya sudah kutotok, darah telah berhenti
mengalir!”
“Bagaimana dengan luka racunnya?”
“Ini hari sudah tidak terlalu mengganas seperti hari-hari
biasa, hanya setengah jam saja kemudian telah lenyap”
Diam-diam Hoa hujin menghela napas panjang, ujarnya,
“Darah segar yang mengalir keluar dari tubuhmu terlalu
banyak, tentu….saja daya kerja racun itupun bertambah
kecil….”
“Tapi ananda sama sekali tidak merasakan sesuatu yang
tak beres!” sambung Hoa Thian-hong dengan cepat sambil
tertawa.
Sementara pembicaraan masih berlangsung, orang-orang
dari perkumpulan Sin-kie-pang serta Hong-im-hwie telah
menjadi tenang kembali, kedua belah pihak sama-sama
mempersiapkan diri untuk melakukan pertarungan, suasana
amat tegang, cahaya tajam memantulkan sinar yang
menyilaukan mata, hawa pembunuh tersebar di empat
penjuru, rupanya suatu pertempuran yang sengit setiap saat
dapat terjadi.
Kiranya It kiam kay Tionggoan Siang Tang Hay menemui
ajalnya ditangan Pek Siau-thian, Jin Thian, Thian Ik-cu, Ciu Itbong
serta Bu Liang Sinkun sebaliknya Hoa Goan-siu menemui
ajalnya karena dikerubuti oleh Liong-bun Siang-sat, Yan-san
It-koay, nenek dewa bermata buta serta Thian Ik-cu, diantara

kelima orang itu ada empat orang diantaranya merupakan
anggota dari perkumpulan Hong-im-hwie, kecuali nenek buta
tiga orang yang lain hadir pula disana, dendam berdarah
seperti ini tentu saja Hoa hujin tak akan membiarkannya
berlalu dengan begitu saja!
Seandainya tiada orang yang mengungkap, mungkin
masing-masing pihak masih mempunyai perhitungannya
sendiri dan urusan bisa dilewatkan dengan begitu saja, tapi
justru Cukat racun Yau Sut telah mengungkapnya hingga
menimbulkan suasana yang kalut, dalam keadaan begini
sudah sepantasnya kalau Hoa hujin akan mempergunakan
kesempatan ini secara baik-baik, jika demikian keadaannya
maka posisi Hong-im-hwie semakin terdesak dan lemah,
bahkan kemungkinan besar akan terancam kemusnahan.
Malaikat pertama Sim Kian telah membenci Cukat racun
Yau Sut hingga merasuk ke tulang sumsum, pada saat itu
sorot mata yang bengis memancar keluar dari matanya, ilmu
cakar Tay im sin jiau telah dikerahkan hingga mencapai dua
belas bagian, rupanya dia ada maksud untuk membinasakan
Cukat racun dalam suatu serangan mendadak.
Yau Sut sendiri sama sekali tidak gentar, rupanya ia sudah
mempunyai rencana yang matang sekali, sorot mata yang
memancar keluar dari balik matanya nampak dingin
menyeramkan, diapun menatap tajam wajah Sim Kian tanpa
berkedip, ia tak berani bertindak gegabah menghadapi musuh
yang sangat tangguh itu.
Kedua belah pihak sama-sama tak berani bergerak, tetapi
begitu bergerak niscaya serangan akan dilancarkan dengan
sepenuh tenaga, menang kalahpun dengan cepat akan
ditentukan.
000O000

41
PADA saat itu suasana diseluruh arena jadi sunyi senyap
tak kedengaran sedikitpun suara, seolah-olah ditengah gunung
yang tak ada manusianya.
Hoa Hujin berdiri diantara kedua belah pihak, dengan sikap
yang tenang ia menyaksikan perubahan yang terjadi didepan
matanya, mendadak dengan dahi berkerut ia termenung dan
berpikir beberapa saat lamanya, tiba-tiba ia serahkan kembali
pedang baja itu ke tangan Hoa Thian-hong, lalu pesannya.
“Jangan bergerak secara sembarangan, selama aku berada
disini. engkau tak usah pertaruhkan jiwamu secara
sembarangan!”
Beberapa patah kata itu diutarakan keluar dengan suara
yang tak begitu keras tetapi juga tidak terlalu rendah, hampir
boleh di katakan setiap orang yang berada dalam arena dapat
mendengar perkataan itu dengan jelas.
Bagi orang lain keadaannya masih agak mendingan, lain
halnya dengan malaikat pertama Sim Kian yang berada di
paling depan, pada waktu itu sebenarnya dia sedang pusatkan
perhatiannya untuk melakukan penyerbuan, tetapi sesudah
mendengar ucapan dari Hoa hujin itu, semangatnya segera
mengendor, timbullah niat dalam hati kecilnya menyerang lalu
kabur dari sana.
Pada saat semangatnya mengendor tadi hatinya sudah
mulai goncang, seharusnya Cukat racun Yau Sut
menggunakan kesempatan ini secara baik-baik untuk
melancarkan serangan, tetapi ia sudah dibikin gentar oleh
nama besar Sim Kian dan bertindak sok serius, karena itulah

suatu kesempatan yang sangat baik telah dibuang dengan sia
sia.
Sementara Hoa Hujin masih berputar otak untuk
memancing terjadinya pertarungan antara dua kelompok
kekuatan besar dalam dunia persilatan, tiba-tiba ia merasakan
dari arah jembatan batu seberang muncul sesosok bayangan
manusia yang dengan cepatnya meluncur ke arah mereka.
Ia segera alihkan sorot matanya ke arah mana berasalnya
bayangan manusia itu, tampaklah dua bayangan manusi
bagaikan gulungan asap ringan sedang melayang mendekat
dengan cepatnya, sekali kelebatan tubuhnya sudah mencapai
tempat yang jauh dan cepatnya luar biasa.
Air muka Hoa Hujin agak bergerak, tanpa ragu-ragu lagi
ujung bajunya diam-diam dikebaskan kedepan, segulung
angin pukulan yang dahsyat dan sama sekali tidak
menimbulkan sedikit suarapun langsung menggulung ke arah
tubuh Cukat racun yang berada kurang lebih dua tombak
dihadapannya.
Seluruh perhatian dari Cukat racun Yau Sut sedang
dicurahkan ke arah badan Malaikat pertama Sim Kiau, ketika
secara tiba-tiba muncul segulung angin pukulan yaug amat
dahsyat serta menghajar tubuhnya, kuda-kuda orang itu
seketika tergempur, tak dapat ditahan lagi seolah-olah
tergulung oleh ombak dahsyat, badannya mundur ke belakang
dengan sempoyongan.
Malaikat pertama Sim Kian adalah seorang manusia yang
sangat lihay, menyaksikan air muka Yau Sut berubah hebat, ia
segera memperdengarkan suara pekikan tajamnya yang
membetot sukma, tubuhnya laksana kilat menerjang maju
kedepan.

Dalam waktu singkat bentakan keras berkumandang diri
empat penjuru, bayangan manusia pun saling menyebarkan
diri untuk mencari lawan tandingnya masing-masing.
Pada saat itulah terdengar suara seseorang yang tajam
amat menusuk pendengaran berkumandang datang, “Sicu
sekalian harap tahan…. harap kalian suka mendengarkan
sepatah dua patah dari aku orang Thian Ik-cu!”
Bersama dengan selesainya ucapan itu, dua sosok
bayangan manusia bagaikan anak panah yang terlepas dari
busurnya dalam waktu singkat telah menyeberangi jembatan
batu dan mendaki keatas bukit.
Sekarang Hoa Hujin telah melihat jelas bahwa pendatang
yang baru saja munculkan diri bukan lain adalah dua orang
imam tua yang rambutnya telah beruban semua, salah satu
diantaranya adalah Thong-thian kaucu, sadarlah perempuan
itu kalau siasatnya ‘memasang perangkap menusuk harimau’
susah untuk diwujudkan kembali, tak terasa ia menghela
napas panjang, membuyarkan kembali tenaga dalamnya dan
berdiri membungkam ditempai semula.
Ditengah suasana yang amat kalut, terlihat malaikat
Pertama Sim Kian berdiri saling berhadapan dengan lima
orang jago lihay, keenam orang itu sama-sama kaku seakanakan
sebuah buah patung arca, hanya saja pada waktu itu
malaikat pertama Sim kian memejamkan sepasang matanya
dengan wajah pucat pias, dadanya berombak naik turun tiada
hentinya, sebuah bekas telapak yang amat jelas tertera di
bagian bawah iga kirinya, dilihat dari keadaan jelas ia telah
menderita luka dalam yang cukup parah.
Cukat racun Yau Sut cerdik dan licik, pada saat yeng amat
kritis ia berhasil meloloskan diri dari mara bahaya yang
mengancam jiwanya, sekalipun begitu keringat dingin telah

membasahi seluruh tubuhnya, mukanya pucat pias seperti
mayat sedang jantungnya berdebar keras, lama sekali debaran
jantungnya baru agak reda.
Keadaan dari Kiu im Sam Kui, tiga setan Kiu im tetap
seperti sedia kala, dalam benrokan yang terjadi amat singkat
itu mereka bertiga tidak merasa kaget, pun tidak mengalami
bencana apa-apa. Sebaliknya air muka pria setengah baya
bermuka jelek berpanca indera tak lengkap serta memakai
jubah panjang yang kelihatan lututnya itu nampak berubah
agak aneh, orang ini bentuknya sama sekali tidak menyolok
tetapi pada waktu itu sorot matanya yang terpancar keluar
nampak tajam sekali, sikapnya jauh lebih angkuh dari pada
siapa pun.
Dalam waktu singkat Thong-thian kaucu telah tiba didepan
mata para jago, tampaklah disamping tubuhnya mengikuti
pula seorang imam tua berbaju kuning berambut putih serta
memiliki sepasang mata yang amat tajam.
Dengan kejelian mata Hoa Hujin, sekilas memandang ia
telah tahu bahwa tenaga dalam yang dimiliki imam tua
berbaju kuning itu jauh diatas keampuhan diri Thian Ik-cu
sendiri, tanpa terasa ia memperhatikan imam tua baju kuning
itu beberapa kejap lagi.
Rupanya imam tua baju kuning itupun sudah mengetahui
siapakah Hoa Hujin, setelah tiba ditengah gelanggang,
sepasang matanya yang tajam segera dialihkan ke arah Hoa
Hu Jin.
Dalam pada itu, Thian Ik-cu ketua dari perkumpulan
Thong-thian-kauw telah menyapu sekejap seluruh kalangan
kemudian sambil tertawa, serunya lantang, “Saudara-saudara
sekalian, selamat bertemu kembali! terimalah hormat dari
Thian Ik-cu!”

Jin Hian adalah ketua dari perkumpulan Hong-im-hwie, ia
segera tampil kedepan dan menjawab dengan suara dingin,
“Kaucu, selamat bertemu!” Ia memandang sekejap ke arah
imam tua baju kuning itu, kemudian dengan alis mata
berkernyit, ia melanjutkan, “Bila pandangan mata aku orang
she Jin belum melamur, bukankah imam tua itu adalah Cin
Ling cinjin?”
“Haaaahh…… haaaahhh….. daya ingat Jin Tang-kee
memang tajam sekali,” sambung Thian Ik-cu sambil tertawa,
“sedikitpun tidak salah, dia bukan lain adalah paman guru
pinto yang bernama Cin Ling loohu, sudah hampir dua tiga
puluh tahun lamanya dia orang tua mengasingkan diri dari
keramaian dunia serta tak pernah muncul dalam dunia
persilatan!”
Diam-diam Hoa hujin berpikir dalam hatinya, “Menurut
kabar berita yang tersiar di dalam dunia persilatan, katanya
beberapa orang siluman tosu tua itu sudah pada mampus,
rupanya mereka cuma mengasingkan diri belaka, kalau begitu
kekuatan dari perkumpulan Tong thian Kau masih berada
diatas dari perkumpulan Hong-im-hwie.”
Dengan pandangan dingin, Cin Ling cinjin melirik sekejap
ke arah Jin Hian, kemudian sorot matanya dialihkan kembali
ke arah lain, wajahnya dingin dan kaku sehingga nampak
angkuh sekali.
Terdengar Thian Ik-cu tertawa terbahak-bahak, lalu berkata
lagi, “Haaaahh…. haaah…. haaahh… pertemuan besar Kian
Ciau tayhwee dalam waktu singkat akan berlangsung, semula
pinto masih mengira Hoa hujin yang sedang mengasingkan
diri tak mungkin bisa ikut menghadirinya…”

Tidak menunggu imam tersebut menyelesaikan katakatanya,
dengan cepat Hoa Hujin menukas.
“Setelah mendapat perhatian yang begitu khusus dari
kaucu, tentu saja aku tak berani menyia-nyiakan harapanmu,
kaucu tak usah kuatir, pada saat diselenggarakannya
pertemuan besar Kian ciau tayhwee, aku Bun Siau-ih pasti
akan datang”
“Kehadiran hujin pasti akan menambah semaraknya
pertemuan besar itu, atas kesediaan hujin, sebelumnya pinto
ucapkan banyak terima kasih terlebih dahulu”
Setelah memberi hormat, dia alihkan sinar matanya ke arah
Cukat racun Yau Sut serta malaikat pertama Sim Kian,
lanjutnya, “Selamanya antara Sin-kie-pang dan Hong-im-hwie
hidup secara damai dan tak pernah bentrok antara yang satu
dengan yang lain, bolehkah aku tahu apa sebabnya sampai
kalian saling bertempur sendiri ditempat ini?”
Dalam hati Cukat racun Yau Sut segera berpikir, “Bila
perkumpulan Sin-kie-pang dan Hong-im-hwie tidak akur, pihak
sekte agama Thong-thian-kauw lah yang akan berada pada
posisi yang paling menguntungkan, Hoa hujin merupakan bibit
bencana yang bisa mendatangkan bahaya besar bagi kita
semua, kalau hendak turun tangan maka dialah yang harus
pertama-tama dibasmi lebih dahulu, dalam keadaan begini
pihak Sin-kie-pang harus bekerja sama dengan Hong-im-hwie
serta Thong-thian-kauw untuk menghadapi serangan dari luar,
sebab inilah tugas pertama paling penting yang harus segera
diselesaikan”
Serangan Hoa hujin yang dilancarkan secepat geledek tadi
membuat juru pikir dari perkumpulan Sin-kie-pang ini
merasakan hatinya bergidik, ia tak berani bertindak sok pintar
lagi, apa lagi mengambil tindakan yang berbahaya.

Setelah mengambil keputusan didalam hati, wajahnya
segera berubah jadi amat serius, katanya dengan suara
nyaring.
“Sahabat! dari perkumpulan Hong-im-hwie telah
menangkap putri kesayangan dari Pek lo pangcu kami, apakah
anak buah kumpulan Sin-kie-pang tidak berhak untuk
merampasnya kembali?”
Ucapan ini sangat beralasan tetapi nadanya sudah lunak
sekali, bukan saja semua orang dapat menangkap nada
ucapannya itu bahkan malaikat pertama Sim Kian pun
merasakan hawa amarahnya jauh berkurang.
Thian Ik-cu segera tertawa terbahak-bahak, setelah
mengebutkan senjata Hudtimnya ia berpaling ke arah Jin Hian
dan berkata, “Ketua Jin kalau memang begitu, kesalahannya
terletak pada diri kalian”
“Kalau salah habis mau apa?” bentak Jin Hian dengan
penuh kegusaran, sepasang matanya melotot besar,
“selamanya perkumpulan Hong-im-hwie bekerja menurut
suara hati sendiri dan tak sudi terikat oleh siapapun, kalau ada
diantara kalian yang merasa tidak leluasa untuk menyaksikan
perbuatan kami, tak ada halangannya untuk menantang kami
guna mengadu tenaga”
Bukan gusar, Thian Ik-cu malah tertawa.
“Ketua Jin, pendapatmu itu keliru besar, kalau perkumpulan
Sin-kie-pang serta Hong-im-hwie bisa bekerja sama tanpa
selisih paham maka semua bencana bisa disingkirkan dengan
mudah, bukankah masalah ini gampang sekali
dibayangankan……”

“Hmmm! belum tentu begitu” tukas Jin Hian dengan suara
dingin, “sahabat saling menggigit, saudara sekandung saling
membunuh sudah seringkali terjadi di kolong langit, kerja
sama bukan suatu perbuatan yang bisa dipercayai seratus
persen”
Diam-diam Thian Ik-cu jadi mendongkol, makinya didalam
hati, “Tua bangka sialan! engkau tak usah berlagak sok dan
bersikap takabur dihadapanku, dalam pertemuan besar Kian
cian tayhwee nanti kami akan lenyapkan kaum pendekar dari
kalangan lurus lebih dahulu kemudian membasmi
perkumpulan Hong-im-hwie, rencana bagus ini sekarang
sudah berada didalam saku Pek lo ji serta kaucumu. Hmm!
tunggu saja sampai tang-gal mainnya”
Didalam hati ia berpikir demikian, sementara air mukanya
berubah jadi keren, ujarnya lagi dengan serius, “Beberapa
waktu berselang pinto pernah membekuk Pek Soh-gie pula,
hal ini dikarenakan Pek Soh-gie amat angkuh dan tinggi hati,
ia tak pandang sebelah matapun kepada orang lain. maka dari
itu pinto sengaja mempermainkan dirinya agar keangkuhan
Pek Soh-gie bisa agak berkurang, sekarang ketua Jin
menggunakan pula cara yang sama dengan perbuatanku itu,
atau mungkin engkau memang sengaja menjiplak cara kerja
pinto itu?”
“Kaucu pandai sekali bersilat lidah, ketajaman selembar
lidahmu boleh dibilang nomor satu di kolong langit, aku
merasa tak mampu menangkan dirimu” ejek Jin Hian ketus.
Thong-thian kaucu tertawa.
“Aaah…! terima kasih atas pujianmu…terima kasih banyak
atas pujianmu!”

Sambil berpaling ke arah malaikat kedua, Sim Ciu, ia
berkata kembali, “Sim loo ji, bersediakah engkau menjual
muka untuk pinto serta melepaskan budak cilik itu dari
cengkeramanmu?”
Malaikat kedua Sim Ciu tertawa seram
“Hmm… hmm… kalau cuma Thong-thian kaucu belaka, aku
rasa belum punya muka sebesar itu sehingga kita harus jual
muka ke padanya”
Tiba-tiba Cin Ling cinjin berpaling, sepasang matanya yang
tajam bagaikan pisau belati memancar keluar seakan-akan
hendak menembusi ulu hati dari Sim Ciu.
Thian Ik-cu yang berada di sisinya segera tertawa dan
berkata, “Susiok, engkau tak usah marah, Sim loo ji memang
orangnya binal serta sukar diatur, sejak dilahirkan dia
berwatak seperti itu!”
Selama ini Hoa hujin hanya menonton saja dari samping
arena, melihat tingkah laku orang-orang itu, dalam hati
kecilnya segera berpikir.
Selama tiga bibit bencana dari dunia persilatan saling
bersaing dalam menguasai kolong langit, hasut menghasut
serta saling mengadu domba sudah merupakan kejadian yang
lumrah entah apakah maksud serta tujuan dari siluman tosu
ini dengan mengucapkan kata-kata yang begitu enak
didengar?
Terdengar Thian Ik-cu sambil tertawa telah berkata
kembali, “Beberapa waktu berselang ketika aku berhasil
menangkap Pek Soh-gie, mau bunuh tak berani bunuh, mau
lepas merasa keberatan untuk dilepas dengan begitu saja,
batin ku benar-benar tersiksa sekali, Sim Loo ji.”

“Kata engkau mengatakan aku tak tega untuk turun
tangan, sekarang juga akan kubunuh budak ini dihadapanmu!”
bentak Sim Ciu sicara tiba-tiba dengan suara keras.
Telapak tangannya segera diangkat dan ditekan diatas
batok kepala dari Pek Kun-gie.
Tindakan ini sama sekali berada diluar dugaan semua orang
para jago mengira Sim Ciu sudah terpengaruh oleh watak
bengisnya hingga tak dapat menguasai diri.
Hoa Thian-hong merasakan darah panas dalam dadanya
bergelora, ia membentak keras, sambil memutar pedang
bajanya ia menerjang maju ke arah depan.
Hoa Hujin menyaksikan kejadian segera mengerutkan
dahinya, dengan cepat ia menggerakkan pergelangannya
untuk menyambar lengan putra kesayangannya itu, tetapi
ketika mencapai tengah jalan tiba-tiba ia berubah pikiran,
sambil menghela napas panjang, pemuda itu dibiarkan
melanjutkan terjangannya kedepan.
Para jago dari perkumpulan Sin-kie-pang juga dibuat
gempar oleh tindakan lawannya itu, semua orang
menggerakkan badannya siap melakukan pertolongan, akan
tetapi karena jaraknya terpaut amat jauh maka reaksi dari
mereka pun jauh lebih lambat.
Sementara itu dengan gerakan yang cepat sekali, Hong
Thian Hong telah menerjang maju kedepan, pedangnya
dengan disertai desiran angin tajam langsung membacok
keatas tubuh gembong iblis itu.
Malalaikat kedua Sim Ciu mendengus dingin, telapak
tangan yang semula menekan diatas batok kepala Pek Kun-gie

itu tiba-tiba dibalik mencengkeraman badan gadis itu,
kemudian mengangkat badannya dan dipapakan ke arah
datangnya bacokan pedang itu.
Hoa Thian-hong merasa amat terperanjat, pada saat yang
amat kritis, ia tarik kembali pedang panjangnya dan melayang
turun keatas tanah, teringat kalau pedang panjangnya hampir
saja melukai gadis she Pek itu, diam-diam ia bersyukur
didalam hati, “Oooh…sungguh berbahaya!”
Terdengar malaikat kedua Sim Ciu sambil tertawa keras
berkata, “Hoa Thian-hong! aku toh hendak membinasakan
putri dari Pek Siau-thian, apa sangkut pautnya urusan ini
dengan dirimu?”
Merah padam selembar wajah Hoa Thian-hong setelah
mendengar perkataan itu, buru-buru jawabnya, “Selamanya
sau ya paling suka mencampuri urusan orang lain, engkau
mau apa?”
Selama ini kesadaran Pek Kun-gie sama sekali belum
hilang, tentu saja terhadap peristiwa yang baru saja
berlangsung dapat di ikuti dengan amat jelas, rasa girang dan
lega timbul dalam hati kecilnya, dengan biji matanya yang jeli
dan penuh mengandung rasa cinta yang mesra, ditatapnya
tanpa berkedip, kerlingan matanya yang indah seakan-akan
sedang mengutarakan rasa terima kasihnya yang tak
terhingga, seakan-akan ia sedang memohon kepada Hoa
Thian-hong agar mengundurkan diri ke tempat semula dan tak
usah menempuh bahaya bagi dirinya.
Secara diam-diam Malaikat kedua Sim Ciu mengawasi terus
tingkah laku dari kedua orang muda-mudi itu, pikirnya didalam
hati, “Seandainya hubungan Thong-thian-kauw dengan Sinkie-
pang berlangsung amat akrab dan mesra, maka
persekutuan ini jelas tidak menguntungkan bagi pihak

perkumpulan Hong-im-hwie kami, sebaliknya kalau Pek Siauthian
telah berhubungan dengan para pendekar dari kalangan
lurus, maka secara otomatis pihak Thong-thian-kauw akan
bersekongkol dengan Hong-im-hwie untuk bersama-sama
turun tangan menghadapi Sin-kie-pang.
Hubungan diantara perkumpulan Sin-kie-pang, Hong-imhwie
serta Thong-thian-kauw berkaitan dengan suatu keadaan
yang sangat sensitip, pertikaian dan persengketaan mudah
terjadi diantara mereka, suatu tindakan yang keliru akan
mengakibatkan keadaan yang luar biasa sekali.
Sim Ciu malaikat kedua dari Liong-bun Siang-sat termasuk
seorang siluman tua yang banyak akal dan mudah menaruh
curiga, setelah berpikir sebentar ia segera tepuk bebas jalan
darah diatas tubuh Pek Kun-gie, kemudian sambil tertawa
ujarnya, “Pek Kun-gie aku hendak memberitahukan tentang
suatu urusan kepadamu!….”
Diam-diam Pek Kun-gie salurkan hawa murninya
mengelilingi seluruh badan, setelah mengetahui bahwa jalan
darahnya telah berjalan lancar kembali, ia bertanya hambar,
“Ada petunjuk apa yang hendak kau sampaikan kepadaku?”
“Sewaktu aku bersiap sedia untuk melancarkan serangan
guna menghabisi jiwamu tadi, sorot mataku berhasil
menangkap mimik wajah beberapa orang yang saling berbeda
satu sama lainnya”
“Hmmm! persoalan itu bukan suatu kejadian yang terlalu
serius…… kenapa musti kau ributkan?”
“Engkau keliru besar, pada saat itu aku saksikan air muka
Hoa Hujin kelihatan amat gelisah dan seakan-akan merasa
sayang sekali dengan kematianmu itu, jelas ia tak tega
membiarkan engkau mati”

Pek Kun-gie melirik sekejap ke arah Hoa hujin, wajahnya
yang cantik segera berubah jadi lembut dan halus, rasa
hormat dan penuh pengharapan tertera jelas diatas wajahnya.
Ia tahu Hoa Thian-hong adalah seorang bocah yang
berbakti sekali kepada ibunya, bisakah impian indahnya
terwujud dimasa mendatang keputusan terakhir tetap berada
ditangan Hoa Hujin, karena itu perkataan dari Sim Ciu
merupakan warta yang paling digirangkan olehnya.
Hoa Hujin sendiri adalah seorang jago yang amat
berpengalaman, apalagi terhadap perasaan hati seorang gadis
muda, boleh di bilang dia mengetahui dengan amat jelas
sekali, dalam hati kecilnya ia segera berpikir, “Meskipun aku
mempunyai perasaan tak tega, akan tetapi sama sekali tidak
menampakkan sikap gelisah atau kuatir, ocehan iblis tersebut
bukankah sama artinya telah mencelakai kehidupan Pek Kungie?”
Sementara itu Sim Ciu telah berkata kembali, “Ketika Thian
Ik-cu menyaksikan aku hendak membinasakan dirimu,
wajahnya segera menampilkan rasa girang, apa yang sedang
ia pikirkan aku rasa tak usah kuterangkan lebih lanjut bukan?”
Thian Ik-cu segera tertawa terbahak-bahak.
“Haaah….. haaahh….. haaahh… Sim loo ji, aku adalah
manusia seperti apa? tak mungkin aku bakal terpengaruh oleh
perkataanmu itu, kau suka bicara apa, silahkan diutarakan
keluar saja…”
Sim Ciu pura-pura tidak mendengar, lanjutnya, “Pek Kungie,
tahukah engkau bagaimana mimik wajah dari Cukat
racun? ketika ia saksikan engkau bakal mati, wajahnya

menampilkan pula rasa kegirangan seakan-akan dia bersyukur
karena engkau tertimpa bencana besar ini…..”
“Haaah….. haaaa…. haaah…. kalau tidak begitu, bukankah
sama artinya namaku Cukat racun hanya nama kosong belaka
tanpa ada bukti yang jelas?” sambung Yau Sut sambil tertawa.
Sim Ciu sama sekali tidak ambil perduli, sambungnya lebih
jauh, “Tanpa angin tak akan menimbulkan ombak, persoalan
tentang pengkhianatannya Yau Sut dari ayahmu harus engkau
selidiki sampai sejelas-jelasnya!”
“Tentang soal ini engkau tak usah risau ataupun cemas”
jawab Pek Kun-gie dengan suara dingin, “anak buah
perkumpulan Sio Kie Pang semuanya adalah manusia yang
setia dengan perkumpulan, mereka merupakan orang-orang
yang bisa dipercaya”
Setelah memberi hormat, ia segera berjalan kembali ke
arah barisan perkumpulannya.
Menyaksikan Pek Kun-gie telah kembali dalam keadaan
selamat, lagipula perkumpulan Sin-kie-pang berhasil merebut
kemenangan pula didalam pertarungan hari ini, diam-diam
Cukat racun Yau Sut merasa amat bangga sekali, ia segera
memberi hormat kepada semua orang dan membentak, “Ayoh
berangkat!”
Tapi sebelum rombongan dari perkumpulan Sin-kie-pang
sempat berlalu, tiba-tiba malaikat pertama Sim Kian membuka
matanya lebar-lebar, lalu sambil menyeringai seram serunya,
“Ilmu pukulan pek kut cui sim ciang atau tulang putih
penghancur hati sudah seratus tahun lamanya musnah dari
dunia persilatan, ini hari bisa muncul kembali dalam sungai
telaga, kejadian ini benar-benar merupakan suatu peristiwa
yang amat besar”

Pria jelek yang berada di sisi tubuh Yau Sut kelihatan agak
tertegun, kemudian menjawab, “Jadi kalau begitu engkau
yang merupakan orang pertama merasakan kelihayan ilmu
telapak tersebut boleh merasa berbangga hati”
Sim Kian jadi gusar sekali, sambil tertawa seram ia
berteriak, “Heeeh… heeehhh… heeehh…. bagus sekali, bagus
sekali, boleh aku tahu siapakah namamu?”
“Aku hanya seorang prajurit tak bernama di kolong langit,
tapi kalau engkau ingin tahu juga, aku orang she Si bernama
Jin-kiu!”
“Apakah engkau juga termasuk salah seorang pelindung
hukum dalam barisan panji kuning?” tanya Sim Kian lagi
sambil menekan hawa amarah yang berkobar dalam dadanya.
Si Jin-kiu mengangguk, dengan seenaknya ia berkata,
“Pelindung hukum dari barisan panji kuning disebut pula
pelindung hukum tingkat atas, kami langsung berada dibawah
perintah pangcu dan tidak terikat oleh kekuasaan tiga bagian
dalam tubuh perkumpulan, tetapi kalau pangcu ada perintah
maka Kunsu pun….”
“Luar biasa!…sungguh luar biasa….!” tukas Sim Kian sambil
tertawa menyeringai, “bila kita sempat berjumpa lagi, aku
akan mohon petunjukmu lebih jauh”
“Baik! setiap saat aku akan melayani kehendakmu” teriak Si
Jin-kiu.
Meskipun orang ini memiliki ilmu silat yang sangat lihay,
namun dalam pembicaraan kadang kala sengaja
menyembunyikan kelihayannya tapi kadang kala
membingungkan hati, sejak terkena oleh pukulannya hingga

menderita luka dalam yang cukup parah, Sim Kian tak berani
bertindak secara gegabah lagi, kerena itu diapun tak mau
banyak bicara lagi.
Diam-diam Sim Kian berpikir didalam hati kecilnya, “Kita
selalu kalah kalau dibandingkan dengan kekuatan dari pihak
perkumpulan Sin-kie-pang! dan sekarang berapa orang hidung
kerbau tua dari perkumpulan Thong-thian-kauw ternyata
masih hidup di kolong langit, jika dibandingkan, kekuatan
Hong-im-hwie paling lemah sekali, apalagi sekarang Lootoa
serta nenek buta sedang menderita luka parah, andaikata
pihak kami tidak segera menyusun kekuatan serta mengatur
persiapan lain, mungkin pihak kami bakal dimusnahkan oleh
kekuatan-kekuatan lain….”
Rupanya Jin Hian maupun Yan-san It-koay mempunyai
perasaan yang sama, ketiga orang itu segera saling bertukar
pandangan sekejap dan sama-sama bermaksud untuk
mengundurkan diri
Jin Hian pun memberi hormat kepada semua jago yang ada
disana, kemudian berkata, “Pertemuan besar Kian ciu
Tayhwee sudah berada di ambang pintu, selamat tinggal dan
sambil bersama-sama dengan Liong-bun Siang-sat, Yan-san
It-koay serta puluhan orang pengawal golok emas, mereka
segera berlalu dari tempat itu.
Cukat racun Yau Sut sendiri juga mempunyai rencana lain,
dia ingin segera bertemu dengan Pek Siau-thian, maka ia
ulapkan tangannya dan membawa para jago dari perkumpulan
Sin-kie-pang untuk berlalu dari situ.
Sebenarnya Pek Kun-gie ada banyak persoalan yang
hendak disampaikan kepada Hoa Thian-hong, akan tetapi
situasi tidak mengijinkan bagi dirinya untuk tetap tinggal
disana, karenanya setelah melirik sekejap kepada kekasih

hatinya dengan mulut mem bungkam, ia berlalu mengikuti di
belakang para jago lainnya.
Dalam sekejap mata para jago dari perkumpulan Hong-imhwie
serta Sin-kie-pang telah berlalu semua dari sana tinggal
Thong-thian kaucu serta Cin Ling cinji dua orang yang masih
tetap berada ditempat semula.
Hoa Hujin tampak termenung sebentar, tiba-tiba sambil
berpaling ke arah Thian Ik-cu ujarnya, “Tootiang, setelah
engkau buru-buru datang kemari dan sekarang belum juga
berlalu dari sini, apakah kecuali hendak membereskan
pertikaian diantara dua kekuatan besar, engkau masih ada
urusan lain?”
Thian Ik-cu tertawa.
“Hujin memang cerdik sekali, bila pinto tak ada urusan
lainnya tidak mungkin aku datang kemari untuk mengganggu
ketenangan kalian!”
“Ada urusan apa tootiang datang kemari?”
Air muka Thian Ik-cu berubah jadi amat serius, katanya,
“Selama ini putramu selalu menyiarkan ditempat luaran
bahwasanya pedang emas dari Siang Teng Lay itu sudah
terjatuh ke tangan pinto, persoalan ini membuat pinto jadi
pusing tujuh keliling dan tak tahu apa yang sebenarnya
dimaksudkan oleh putramu itu, karenanya sengaja aku datang
kemari untuk mohon penjelasan!”
Sementara itu, Tio Sam-koh sedang berpikir dalam hati.
“Sian Ih hanya berbicara terus terang, apakah dia lupa
kalau dewasa ini dunia sedang kacau dan kaum iblis
merajalela dimana-mana, apakah dia tahu kalau sekarang

adalah jamannya yang lemah ditindas yang kuat, yang besar
mencaplok yang kecil, kini cuma tinggal dua orang tosu
siluman yang berada disini sedangkan pihak kita ada empat
orang, bukankah kesempatan ini merupakan peluang yang
sangat baik untuk menundukkan kaum iblis itu…?”
Sesudah beristirahat sebentar ia merasa kekuatan tubuhnya
telah pulih kembali seperti sedia kala, berpikir sampai disitu
semangatnya segera timbul kembali, dia segera melangkah
maju kedepan dan berseru dengan suara lantang.
“Thian Ik-cu, tak ada salahnya kalau engkau ingin minta
penjelasan, tapi sayang waktunya tidak tepat!”
Thian Ik-cu mengerutkan dahinya, kemudian tertawa.
“Tio Loo thay, engkau benar-benar panjang umur, bolehkah
aku tahu apa sebabnya kesempatan ini bukan waktunya yang
tepat?
“Hmmm!” Tio Sam-koh mendengus dingin, “ketika berada
dalam pertemuan besar Pak Beng Hee tempo hari, engkau
termasuk salah seorang penjahat yang ikut mengerubuti Hoa
Goan-siu, setelah ini hari kita saling berjumpa kembali, inilah
kesempatan yang paling baik untuk sang janda dan sang anak
yatim untuk membuat selembar jiwamu, coba bayangkan
bukankah kesempatan bagimu untuk mengajukan pertanyaan
kurang tepat?”
Thian Ik-cu mengeratkan dahinya lalu tertawa serak,
katanya, “Hey nenek tua, engkau memang terlalu berangasan
kenapa untuk bersabar selama beberapa hari pun tak dapat?”
Setelah terhenti sebentar, kepada Hoa hujin ujarnya lebih
jauh, “Hoa hujin, bagaimana pendapatmu? dendam
permusuhan sebagai ekor dari peristiwa berdarah dipertemuan

Pek Beng hwee tempo hari akan diselesaikan pada hari ini
juga, ataukah akan ditunda sampai diselenggaranya
pertemuan besar Kian ciu tayhwee?”
Hoa Hujin membungkam dalam seribu bahasa, sepasang
matanya yang tajam menyapu sekejap keatas wajah Ci Ling ci
jim, kemudian secara tiba-tiba dialihkan ke arah wajah Hoa
Thian-hong.
Thian Ik-cu yang mengikuti perubahan tersebut jadi
tercengang, segera pikirnya di dalam hati.
“Siapapun tahu kalau perempuan ini berwatak keras hati
dan tegas didalam mengambil keputusan, selamanya tak
berhak kalah dari kaum lelaki tapi aneh sekali kenapa masalah
membalas dendam malahan suruh putranya yang mengambil
keputusan?”
Sementara itu sambil menggertakkan gigi, Hoa Thian-hong
telah berkata, “Ibu, ayah mati selama berlangsungnya
pertemuan Pak Beng hwee, mari kita tunggu saja sampai
diselenggarakannya pertemuan Kian ciau tayhwee dan berada
di hadapan para enghiong dari selurah kolong langit untuk
membalaskan dendam bagi kematian ayah”
Tio Sam-koh yang mendengar perkataan itu jadi teramat
gusar, dengan mata melotot besar ia menghardik, “Goblok,
dalam pertemuan Kian ciau tayhwee yang hadir kebanyakan
adalah gerombolan srigala atau komplotan anjing, dari mana
munculnya kaum enghiong disitu?”
Merah padam selembar wajah Hoa Thian-hong mendengar
perkataan itu, buru-buru serunya lagi, “Boanpwee mengerti!”
Thian Ik-cu tertawa terbahak-bahak sambil acungkan
jempolnya, ia berseru memuji, “Haaahh…. haaahh…. haaah…

bagus! begitulah baru patut disebut sebagai seorang enghiong
di kalangan kaum muda!”
Selelah berhenti sebentar, ia bertanya lebih jauh dengan
suara menyeramkan, “Engkau menyiarkan kabar berita
diempat penjuru yang mengatakan pedang emas itu
ditanganku, sekarang aku ingin tahu apa sebabnya engkau
menodai nama baik kaucu mu?”
“Hmmm! selama bertempur jangan jemu menggunakan
siasat, perbuatan itu termasuk salah satu siasat mengadu
domba, buat apa sih kau banyak bertanya lagi?” sahut Hoa
Thian-hong ketus.
Thian Ik-cu gelengkan kepalanya dan tertawa dingin, ia
berseru, “Bagi seorang manusia yang cerdik tak nanti akan
mempergunakan siasat jelek yang begitu bodoh dan sama
sekali tak ada manfaatnya, tiada angin tiada awan tak
mungkin hujan turun dengan begitu saja, aku merasa dibalik
perbuatanmu itu tentu terselip suatu rahasia yang amat besar”
Diam-diam Hoa Thian-hong merasa amat terperanjat
mendengar ucapan itu, pikirnya didalam hati, “Giok teng hujin
yang sebenarnya adalah enci Siang, mempunyai hubungan
yang tidak jelek dengan diriku, siapa tahu kalau Thian Ik-cu
telah menaruh curiga terhadap dirinya? tapi aneh, secara
bagaimana enci Siang bisa menjaga diri sehingga rahasianya
itu tidak sampai ketahuan orang?”
Didalam hari ia berpikir demikian, diluaran ia berkata
dengan nada ketus, “Pentang busur membidik bayangan, gua
kosong berhembus angin, aku lihat tootiang tak usah pusingpusing
kepala memikirkan persoalan ini lagi, lebih baik cepatcepatlah
pulang untuk mempersiapkan diri didalam
menyelenggarakan pertemuan besar Kian ciau tayhwee!”

Dalam hati Thian Ik-cu merasa amat gusar, tapi ia
menyadari bahwa bertempur dalam keadaan serta situasi
seperti ini kemenangan belum tentu berada di pihaknya, maka
ia segera berpaling ke arah Cin Ling Cinjin untuk menanyakan
maksud hatinya.
Cin Ling Cinjin membungkam dalam seribu bahasa, setelah
hening sesaat mendadak dia ayunkan telapak kanannya
melancarkan sebuah serangan ke arah Hoa Hujin dari tempat
kejauhan.
Hoa Hujin mendengus dingin, ujung bajunya dikebaskan ke
arah depan lalu dengan tangan sebelah ia mengirim pula satu
pukulan untuk menyongsong datangnya ancaman tadi.
Dalam sekejap mata suara gemuruh yang berkumandang
secara lapat-lapat muncul dari balik telapak Hoa Hujin
meskipun suara gemuruh itu tidak begitu nyaring akan tetapi
mempunyai daya kekuatan yang cukup membetot hati setiap
orang.
Semua jago yang hadir dikalangan merasa terperanjat dan
berubah air mukanya, Cin Ling Cinjin serta Thian Ik-cu yang
saling berhadapan dengan Hoa hujin menemukan bahwa
diatas telapak perempuan itu yang berwarna putih kemerahmerahan
terlihat nyata pemunculan segumpal warna hitam
pekat sebesar mulut cawan gumpalan cahaya hitam itu amat
menyilaukan mata terutama sekali dikala melepaskan
serangan, gumpalan hitam itu seolah-olah ikut meluncur
kedepan.
Thian Ik-cu terperanjat, ia tahu bahwa ilmu silat yang
dipelajari Hoa hujin sebagian besar adalah warisan dari Soat
san Sin Ik yang telah menutup usia ia tak mengira dalam
keadaan begini, perempuan tersebut bisa mengeluarkan ilmu

pukulan yang begitu aneh dan jelas merupakan suatu ilmu
pukulan dari kalangan sesat.
“Bu… liang… siu… Hud..!” seru Cin Ling Cinjin dengan suara
nyaring.
Suara itu membubung tinggi ke angkasa dan mendengung
di seluruh penjuru, tangan kanannya diluruskan kaku ke arah
depan seakan-akan sedang mendorong bukit yang berat,
tangan kirinya ditaruh keatas tangan kanannya mencekal eraterat,
air muka berubah jadi berat dan kelihatan tegang sekali.
Hoa Hujin sendiri menjulurkan telapaknya tak bergerak, air
mukanya berubah jadi amat serius pula, suara gemuruh yang
berat itu berlangsung tiada hentinya di angkasa sebentar
perlahan sebentar mengencang membuat air muka Cin Ling
Cinjin berubah-ubah pula mengikuti bergemanya suara
gemuruh tersebut.
Hoa Thian-hong merasa gelisah dan tidak tenang, tetapi
setelah teringat bahwa suara gemuruh itu berasal dari telapak
tangan ibunya ia merasa jauh lebih berlega hati.
Tiba-tiba terjadi ledakan dahsyat yang amat memekikkan
telinga, baik Hoa Hujin maupun Cin Ling Cinjin sama-sama
menarik kembali telapaknya, pasir dan deru segera
beterbangan memenuhi seluruh angkasa, pusaran angin
puyuh menggulung diatas permukaan bumi menerbangkan
benda apapun juga yang berada di sekitar sana.
Dengan sorot mata yang tajam, Thian Ik-cu mengamati
perubahan wajah kedua orang itu, akan tetapi ia tak berhasil
mengetahui siapakah yang berhasil memenangkan
pertarungan tersebut.

Sebagai orang yang licik diapun tahu bahwa berada disitu
lebih lama sama sekali tak ada manfaatnya, maka dengan
serius dia berkata, “Kelihayan ilmu silat yang dimiliki hujin
sangat mengagumkan hati pinto, aku harap dalam pertemuan
besar Kian Ciau tayhwee nanti aku bisa melayani hujin dengan
sebaiknya, agar kehadiran hujin bisa menyenangkan semua
enghiong dilolong langit”
Sesudah berhenti sebentar, dia melanjutkan, “Di ruang
bawah dalam kuil kami di wilayah Ci tang berhasil menawan
dua orang pemuda, sedangkan pada kuil It-goan-koan di kota
Hang-ciu banyak anak murid kami yang terkena racun keji dari
wilayah Biau, kedua belah pihak sama-sama angkatan muda,
setiap saat hujin memberi obat pemunah kepadaku, setiap
saat pula pinto akan melepaskan dua orang pemuda itu,
sementara persengketaan dalam soal lain kita selesaikan
dikemudian hari saja…..”
Diam-diam Hoa Thian-hong terkejut mendengar perkataan
itu, dia segera menyela dari samping, “Orang yang berhasil
tootiang tangkap, apakah bernama Bong Pay?
Senyum yang penuh arti tersungging diujung bibir Thian Ikcu,
sesudah termenung sebentar dia baru menjawab, “Yang
satu bernama Bong Pay sedang yang lain bernama Tiong
Long, sebaliknya kawanan gadis yang sedang melakukan
pengacauan dalam kuil It-goan-koan di kota Hang-ciu katanya
sedang mencari jejak engkau engkoh cilik!”
Habis berkata dia memberi hormat kepada Hoa hujin dan
bersama-sama Cin Ling Cinjin putar badan berlalu dan situ,
dalam sekejap mata bayangan tubuh mereka sudah lenyap
dari pandangan.

Sepeninggalnya kedua orang itu Hoa Thian-hong jadi amat
gelisah, buru-buru serunya, “Ibu biarlah ananda melakukan
perjalanan…”
“Tak usah tukas Hoa hujin dengan cepat, aku rasa baik
Bong Pay maupun Tiong Long tak akan menemui mara
bahaya, tentang kejadian ini kau tak perlu gelisah ataupun
cemas”
“Kawanan gadis yang sedang mengacu di kota Hang-ciu
tentulah beberapa orang cici dari wilayah Biau, pengalaman
mereka masih kurang cukup aku kuatir…”
“Kau tak usah kuatir, kembali Hoa hujin menyela. Kiu-tok
Sianci adalah seorang tokoh silat yang paling susah dilayani,
bilamana keadaan tidak terlalu terpaksa tak seorangpun
manusia bersedia melukai anak muridnya, kalau tidak begitu
Thian Ik-cu tak mungkin datang kemari untuk melukai diriku”
“Kalau begitu….”
Tiba-tiba terdengar Tio Sam-koh berseru dengan suara
dingin, “Hmm! sikapmu benar-benar tenang dan wajar kami
kuatir tentang keselamatanmu, sebaliknya engkau masih
punya kegembiraan untuk tukar pakaian sambil menyisir
rambut, benar-benar kurang ajar…”
Hoa Hujin yang ikut mendengar perkataan itu segera
tertawa.
“Jumlah musuh jauh lebih banyak dari kita, dalam keadaan
begini apa yang bisa kita lakukan lagi kecuali berusaha
membatasi diri oleh pengaruh emosi…..”

“Barusan, apa sebabnya kita tidak bekerja sama untuk
membereskan dua orang iman siluman itu lebih dahulu?”
teriak Tio Sam-koh dengan penuh kegusaran.
Hoa Hujin tertawa getir.
“Persoalannya tidak semudah itu, kalau engkau ingin tanya,
tanyalah saja kepada Seng ji!”
“Sam poo!” ujar Hoa Thian-hong dengan cepat,
“membunuh dua orang imam tua itu memang tak sulit, tapi
bila Thian Ik-cu mau maka pertemuan besar Kian ciau
tayhwee pasti akan mati sebelum melahirkan, “dalam keadaan
begitu pihak lawan tentu akan menjadi kalap dan menerjang
pihak kita, sedangkan Pek Siau-thian serta Jin Hian
sekalianpun pasti akan bekerja sama pula untuk menghadapi
kita karena kuatir peristiwa tragis yang sama bakal dialami
pula oleh mereka”
“Hmmm! berlagak sok pintar, kalau Thian Ik-cu tidak
dibunuh, apakah ketiga kekuatan besar itu tak dapat bekerja
sama untuk menghadapi kita?”
“Tentu saja masih ada kemungkinan untuk bekerja sama
bagi mereka. Cuma saja pikiran mereka masih tetap ragu-ragu
dan dasar kerja sama itu tidak kokoh, sekalipun bekerja sama
belum tentu bisa benar-benar bersatu padu….”
Tio Sam-koh jadi tidak sabaran, ia segera goyangkan
tangannya berulang kali sambil berkata, “Lebih baik tak usah
terlalu banyak membicarakan soal itu, bicara pulang pergi
yang penting toh engkau sudah terlalu percaya dengan
perkataan dari perempuan genit itu, dan kau mempercayai
kalau sebilah pedang emas telah disembunyikan didalam
pedang mustika Poan-long-poo-kiam milik Thian Ik-cu,
bukankah begitu?”

Merah padam selembar wajah Hoa Thian-hong mendengar
perkataan itu.
“Didalam persoalan ini terdapat banyak hal yang bisa
dipercayai karena terpaksa kita harus mempercayainya” ia
menjawab.
“Andaikata sampai waktunya tiba, engkau menemukan
bahwa dirimu sedang tertipu, apa yang hendak kau lakukan?”
“Tio Loo thay” tiba-tiba Hoa In menyela, “Siau Koan-jin
harus beristirahat!”
Tio Sam-koh semakin naik pitam, bentaknya dengan penuh
kegusaran, “Kurang ajar, selama aku si nenek tua sedang
berbicara, engkau berani mengganggu?”
Ia segera berpaling ke arah Hoa Thian-hong, ketika
dilihatnya noda darah diatas dadanya belum kering, wajahnya
berubah jadi begitu pucat dan mukanya nampak amat lesu,
nenek itu jadi tak tega.
Tampak Hoa Thian-hong tersenyum dan berkata, “Sam
poo, keadaan kita ini ibaratnya sudah tahu kesempatan baik
namun tidak mampu melakukannya…”
“Hmm! ucapan dari ibumu sudah cukup muak masuk
kedalam telingaku, aku si nenek tua segan untuk
mendengarkannya lebih lanjut”
Selesai betkata dia segera putar badan dan berlalu.
0000O0000
42

DIAM-diam Hoa Hujin menghela napas panjang, setelah
termenung berpikir beberapa saat lamanya, tiba-tiba kepada
Hoa In dia berkata, “Tempat ini letaknya strategis dan
gampang untuk digunakan sebagai tempat pertemuan, untuk
menunggu terselenggaranya per temuan besar Kian ciu
tayhwee biarlah kita tetap tinggal disini saja, sekarang engkau
pergilah untuk mempersiapkan rangsum kering untuk
beberapa hari lamanya, dari pada setiap hari kita harus
merisaukan soal makanan”
“Budak segera akan melaksanakan perintah ini” jawab Hoa
In, setelah melirik sekejap ke arah Hoa Thian-hong, diapun
berlalu.
Sepeninggalnya Hoa In, Hoa hujin memilih sebuah batu
gunung untuk duduk kemudian berkata, “Seng ji, datanglah
kemari dan duduk bersilalah disini!”
Hoa Thian mengiakan dan maju menghampiri ibunya, tetapi
sewaktu dilihatnya asap hitam telah menyumbat mati gua
kuno itu ia jadi terperanjat dan segera berseru, “Ibu,
dimanakah Leng-ci berusia seribu tahun itu?”
“Dalam sakuku! “
Hoa Thian-hong berjalan kehadapan ibunya dan duduk
bersila keatas tanah, siapa tahu karena hatinya lega dan
pikirannya jadi kosong itulah, mendadak kepalanya terasa
pusing tujuh keliling, badannya segera roboh terjengkang
keatas tanah.
Dengan cepat Hoa hujin mencekal urat nadi pada
pergelangan putranya lalu diperiksa dengan teliti sekali, ia
temukan denyutan nadi putranya telah berubah jadi lemah

sekali hal ini menunjukkan bahwa pemuda itu kekurangan
darah.
Hoa Thian-hong buru-buru tertawa ketika melihat ibunya
menunjukkan rasa kuatir bercampur sedih, ujarnya, “Ini hari
kalau tiada racun teratai yang tetap mempertahankan diri,
sejak tadi ananda sudah kehabisan tenaga dan lak mampu
untuk mempertahankan diri lebih jauh, aaai, sungguh tak
nyana bencana akhirnya malah berubah jadi rejeki!”
Hoa Hujin tertawa sedih.
“Engkau sudah kehilangan banyak darah dalam sepuluh
sampai setengah bulan kemudian badanmu belum tentu bisa
pulih kembali seperti sedia kala dalam keadaan yang amat
menderita seperti ini terpaksa kita harus menggunakan Lengci
ini
Bagaimana dengan ibu Sendiri? tanya Hoa Thian-hong
dengan alis mata berkernyit, bukankah engkau pernah
mengatakan bahwa luka racun yang engkau derita belum
tentu bisa disembuhkan oleh tenaga dalam?
Hoa Hujin tidak langsung menjawab, dalam hati ia segera
berpikir, “Bagaimanakah nasibku di kemudian hari dan
bencana apa yang bakal ku alami masih sukar ditentukan,
mulai sekarang lebih baik keadaanku yang sebenarnya jangan
sampai di ketahui olehnya.”
Berpikir sampai disini ia lantas tertawa dan menjawab,
“Luka racun yang aku derita sudah sembuh sekarang, setelah
bencana lewat mungkin usiaku ‘kan mencapai ratusan tahun.”
Dari sakunya dia ambil keluar sebuah kotak kumala dan
penutup kotak itu segera di buka.

Hoa Thian-hong maju mendekat serta tarik napas kuatkuat,
bau harum semerbak mengalir masuk kedalam dadanya
membuat ia merasa segar dan pikirannya jadi terang, tanpa
terasa ia memuji dengan suara lantang, “Waaah….! Lengci
berusia seribu tahun ini benar-benar suatu obat mujarab yang
langka dan sukar ditemukan di kolong langit, ibu! gunakanlah
secara hemat dan jangan dipakai secara sembarangan”
Hoa hujin mengangguk.
“Untuk mempergunakan Leng-ci berusia seribu tahun ini
sebenarnya harus disertai pula dengan bahan obat-obatan
sampingan lainnya, sayang kita berada ditengah pegunungan
yang sunyi sehingga untuk mencari bahan obat-obatan
tersebut kita akan mengalami banyak kesulitan
Tiba-tiba ia menghela napas panjang dan lebih jauh, “Nona
Siang dapat menghadiahkan benda mujarab yang begini
berharganya kepadamu, tujuan serta maksud baiknya tak
perlu kita curigai lagi, sedangkan mengenai soal pedang emas
yang dikatakan olehnya, belum tentu semuanya tidak benar,
cuma sayang pedang jantan miliknya itu sekarang tidak
berada disini”
“Ibu, buat apa engkau mendapatkan pedang emas itu?”
tanya Hoa Thian-hong tercengang.
Hoa hujin termenung dan berpikir sebentar, kemudian
menjawab, “Pokoknya kegunaannya besar sekali, dibicarakan
pada saat ini sama sekali tak ada gunanya bagimu, lebih baik
tak usia aku katakan saja”
Dia membalik kotak kumala itu untuk mengeluarkan akar
dari tumbuhan Leng-ci tersebut, kemudian perintahnya,
“Sekarang pentang mulutmu leba-lebar2!”

Buru-buru Hoa Thian-hong membuka mulutnya, dengan
ujung jari kelingking tangan kanannya dia membuat sebuah
guratan diujung daun Leng-ci tadi, dengan cepat muncullah
setitik lubang kecil pada ujung daun tadi dan meneteslah
cairan kental berwarna putih mengalir masuk kedalam
tenggorokan Hoa Thian-hong.
Leng-ci berusia seribu tahun itu panjangnya cuma beberapa
senti dan terdiri dari tiga buah akar, sedang cairan kental
warna putih itu semuanya hanya berjumlah sepuluh tetes
belaka, dalam sekejap mata cairan itu sudah habis semua dan
Leng-ci yang semula berwarna hijau segar itupun seketika
berubah jadi layu dan berwarna kuning, keadaannya tidak
jauh berbeda dengan rumput kering biasa.
Dalam hati kecilnya kembali Hoa hujin berpikir, “Dengan
bantuan diri Leng-ci yang berumur ribuan tahun ini, sekalipun
tidak dapat memunahkan racun yang bersarang dalam
tubuhnya, paling sedikit selembar jiwanya dapat tertolong.”
Tiba-tiba Tio Sam-koh maju menghampiri, setelah
merampas kotak kumala itu, kepada Hoa Thian-hong
perintahnya, “Pentang mulutmu lebar-lebar!”
Jilid 2
“SAM-KOH!” seru Hoa Hujin dengan alis mata berkenyit,
“benda mujarab yang amat langka itu jangan dibuang dengan
percuma!”
“Hmmm…. semua orang mengatakan bahwa benda ini
dapat ganti tulang ganti kulit serta menambah umur, aku si
nenek tua tidak percaya dengan kabar berita semacam itu….”

“Kalau memang tidak percaya, apa yang hendak kau
lakukan?”
“Akan kucoba!” Tio Sam-koh berpaling ke arah Hoa Thianhong
dengan mata melotot besar, lalu membentak, “Hey,
bukankah aku suruh engkau pentang lebar mulutmu? apakah
telinga mu sudah tuli?”
Hoa Thian-hong menggerakkan bibirnya seperti mau
mengucapkan sesuatu, tapi ujung kuku Tio Sam-koh telah
menggurat diatas daun Leng-ci itu, karena terpaksa ia buka
mulut untuk menerimanya.
Cairan yang dingin dan membawa rasa getir masuk lewat
tenggorokannya masuk ke dalam perut.
Ketika Hoa Hujin menyaksikan Tio Sam-koh kurang terima
dan kembali akan menyobek pula daun terakhir yang masih
tersisa, buru-buru ia cekal pergelangan tangannya segera
merampas kembali kotak kumala itu, ujarnya sambil menghela
napas panjang, “Badan kulit rambut berasal dari orang tua,
kenapa pasti ganti kulit lagi? sekarang kaum iblis sedang
merajalela manusia dibuat permainan dan banyak yang mati
karena sengsara meskipun ada obat mujarab nasib manusia
sudah ditentukan takdir”
Habis berkata ia tutup kotak kumala itu dan bermaksud
dimasukkan kedalam sakunya.
Tio Sam-koh sama sekali tidak menggubris ucapan itu
sambil tertawa dingin kembali ia berkata, “Benda itu toh
miliknya pribadi kenapa engkau menghematnya? hendak buat
apa benda itu?

Hoa Thian-hong segera tertawa dan menubruk, “Sam poo
boanpwee….”
“Tutup mulut!” bentak Tio Sam-koh dengan gusar.
Hoa Hujin tersenyum, dia serahkan kembali kotak kumala
itu ke tangan Hoa Thian-hong sambil pesannya, “Simpan baikbaik
benda ini, sekarang duduklah bersemedi serta mengatur
pernapasan”
Buru-buru Hoa Thian-hong menerima kembali kotak kumala
itu dan dimasukkan kedalam saku, kemudian pejamkan mata
dan duduk bersemedi.
Tio Sam-koh memperhatikan pemuda itu beberapa saat
lamanya, lalu duduk pula di sampingnya sedangkan Hoa Hujin
ambil beberapa lembar kitab yang sudah rusak dan pusatkan
perhatiannya untuk mempelajari isi buku tersebut.
Kurang lebih setengah jam kemudian, air muka Hoa Thianhong
yang pucat pias telah berubah jadi merah kembali,
dengusan napas pun kian lama kian bertambah berat, sedikit
pun tidak mirip seorang jago silat yang memiliki tenaga dalam.
Walaupun Tio Sam-koh duduk agak jauh dari pemuda itu,
namun sepasang matanya menatap wajah Hoa Thian-hong
tanpa berkedip, dia awasi terus semua perubahan wajah.
Sedangkan Hoa Hujin sama sekali tidak menggubris
putranya yang sedang duduk bersemedi itu bahkan melirik
barang sekejappun tidak, dia hanya pusatkan perhatiannya
untuk membaca buku.
Buku tadi bukan lain adalah kitab catatan Ci yu jit ciat yang
berhasil dirampas oleh Tio Sam-koh dari saku Hoa Thian-hong.

Menyaksikan Hoa Hujin pusatkan perhatiannya untuk
membaca buku dan sama sekali tidak mengurusi putranya, Tio
Sam kong naik pitam dan merasa mendongkol sekali, dia ingin
sekali membentak perempuan tersebut, tapi diapun takut
bentakan itu akan mengganggu ketenangan Hoa Thian-hong
dalam melakukan semedinya.
Setelah bersabar beberapa saat lamanya, lama-kelamaan ia
tak kuat menahan diri lagi, dengan ilmu menyampaikan suara
segera tegurnya terhadap diri Hoa Hujin, “Obat itu mulai
bekerja, coba tengoklah sebentar wajah Seng ji”
Hoa Hujin menengadah memandang sekejap ke arah Hoa
Thian-hong kemudian menjawab, “Kita tak tahu setelah Lengci
itu dimakan bagaimanakah reaksinya apabila bertemu
dengan sari racun dari teratai racun empedu api yang
bersarang didalam tubuhnya, dan lagi akupun tak tahu
bagimana akibatnya nanti?”
“Apakah engkau tak dapat menggerakan tangan untuk
memeriksa sebentar denyutan nadinya?” seru Tio Sam-koh
dengan gusar.
Hoa Hujin tersenyum.
“Seng ji bisa mendapat perhatian yang begitu serius dari
engkau, boleh dibilang dia memang punya rejeki yang amat
besar”
Telapak kanannya segera ditempelkan keatas batok kepala
Hoa Thian-hong, terasalah aliran darah didalam tubuh pemuda
itu bergerak amat cepat sekali, kecuali itu tiada tanda lain
yang mencurigakan.

Lewat beberapa waktu kemudian, tiba-tiba Hoa Thian-hong
menggerakkan bulu matanya dan berkata dengan suara
seperti sedang mengigau, “Ibu, aku ingin tidur….”
“Kalau ingin tidur, pergilah tidur!“ jawab Hoa Hujin berpikir
sebentar.
“Tio Sam-koh segera memburu kedepan, omelnya, “Engkau
memang seorang manusia yang berhati keras seperti baja,
aku nenek tua merasa takluk padamu”
“Orang kuno memang lebih tahan uji dan banyak
merasakan pahit getirnya kehidupan daripada orang
sekarang….”
Tiba-tiba ia membungkam dan segera alihkan sorot
matanya ke arah jembatan batu bagian seberang.
Tio Sam-koh segera mengalihkan pula sorot matanya ke
arah jembatan batu itu, tampaklah dari arah Timur, laut
muncul serombongan manusia sedang bergerak mendekat,
berhubung jaraknya masih jauh maka raut wajah orang-orang
itu tidak nampak begitu jelas.
Tanpa terasa lagi ia meryumpah didalam hati, “Hmmm!
kalau ini hari aku nenek tua tidak melakukan pembunuhan
secara besar-besaran, aku bersumpah tak mau menjadi
manusia!”
“Diantara mereka terdapat pula Hoa In, aku pikir
rombongan itu pastilah sahabat-sahabat dari Bu Lim”
sambung Hoa Hujin dengan cepat.
Tio Sam-koh alihkan kembali sorot matanya ke arah orangorang
itu, sesaat kemudian ia baru melihat bahwa orang yang
berjalan di paling depan bukan lain adalah Hoa In, sedang

dibelakangnya mengikuti belasan orang baik pria maupun
wanita baik tua maupun muda.
Lewat beberapa saat kemudian semua orang sudah tiba di
tepi sebrang jembatan batu, tampaklah Hoa In sambil
menggendong sebuah keranjang amat besar berjalan di paling
depan, dibelakangnya mengikuti Cu Im taysu yang pelihara
rambut berwarna keperak-perakan, memakai jubah warna
putih serta membawa senjata sekop, disamping itu terdapat
pula Ciong liang kek yang bertangan tunggal, si telapak pasir
emas Chin Pek-cuan serta putranya Chin Giok-liong….
Selain itu terdapat pula tiga orang gadis berdandan suku
Biau mengelilingi seorang dara berbaju hitam. Harimau
berlarian Tiong Liau serta Harimau Ompong Tiong Lo poo cu
dari tiga harimau keluarga Tiong menguntil dipaling belakang.
Sepanjang jalan ketiga orang dara suku Biau itu “Kuku….
kakakk….kaak”, bicara tiada hentinya, sedangkan air muka
dara baju hitam itu tetap tenang namun serius sekali.
Dalam sekejap mata rombongan para jago telah tiba diatas
bukit, belasan pasang mata bersama-sama dialihkan ke arah
dalam gua.
Hoa Hujin segera bangkit berdiri untuk menyambut
kedatangan mereka, dari mulut Hoa Thian-hong telah
mengetahui asal usul dari rombongan orang itu, apa lagi
sebagian besar merupakan sahabat- sahabat lamanya tentu
saja perempuan itu mengenali siapakah mereka.
Teringat bahwa pertarungan sengit sudah hampir
berlangsung dan para jago persilalatan itu sudah berdatangan
tepat pada saatnya dengan perasaan terharu bercampur
terima kasih Hoa Hujin memunculkan diri dan berteriak
dengan suara lantang, “Taysu, Cion liang hin heng….”

“Hujin, baik engkau?” tegur Cu Ing taysu pula dengan
suara lantang, “gunung thay san belum ambruk, akarnya
masih berada dalam tanah, rupanya kami sekelompok sukma
sukma gentayangan akhirnya dapat melegakan hati!”
Tiba-tiba terdengar para gadis berdandan sukma Biau itu
kemudian memanggil dengan suara lantang, “Siaulong….”
“Telur busuk cilik!” omel Tio Sam-koh didalam hati,
“dimana-mana meninggalkan bibit bencana, teman gadisnya
terlalu banyak….”
Hoa Hujin tersenyum, sambil menyapa gadis muda itu
sahutnya, “Putra sedang merasa kurang enak badan,
maafkanlah kalau ia tak dapat bangkit berdiri untuk
menyambut kedatangan kalian”
Mendengar Hoa Thian-hong tidak enak badan, tanpa sadar
kawanan gadis muda itu mempercepat langkahnya dan
didalam waktu singkat telah meluruk tiba semua.
Adat istiadat suku Biau jauh lebih bebas daripada suku
bangsa Han yang kolot dan banyak tata cara itu, ketika
mereka saksikan Hoa Thian-hong tertidur amat nyenyak diatas
tanah dengan cepat gadis-gadis itu mengelilingi tubuhnya, ada
yang memegang kepala, ada yang memeriksa denyutan
nadinya, dan ada pula yang membuka pakaian untuk
memeriksa luka diatas dadanya, suara pembicaraan terdengar
amat gaduh sekali membuat suasana jadi amat ramai.
Sementara itu Harimau pelarian Tiong Liau serta nenek tua
she Tiong secara diam-diam ikut mengelilingi pula si anak
muda itu.

Cu Im taysu tidak kenal bahasa Biau, ia takut Hoa Thianhong
mengalami luka yang cukup parah, tidak sempat ia
memberi hormat lagi segera tegurnya, “Hoa Hujin kenapa
dengan putramu itu?”
Hoa Hujin tersenyum.
“Sebetulnya luka yang diderita tidak terlalu ringan untung
kita memperoleh sebatang Leng-ci berusia seribu tahun, baru
saja ia makan Leng-ci itu kemudian tertidur pulas.
Seperti baru saja menurunkan beban yang berat dari atas
bahunya, Cu In taysu jadi amat girang kembali ia berkata,
“Leng-ci berusia seribu tahun apalah benda langka yang amat
berharga sekali dalam kolong langit, pemuda itu bisa
memperoleh obat semujarab itu hal tersebut menunjukkan
kalau dia memang punya rejeki besar”
Setelah berhenti sebentar, sambungnya lagi, “Silahkan
hujin bercakap-cakap dengan saudara yang lain, pinceng akan
pergi kesana untuk menengok keadaan dari Hoa kungcu”
Habis berkata ia segera berjalan menuju ke arah Hoa
Thian-hong.
Hoa Hujin tersenyum, sambil berpaling ke arah Ciong Liankhek
serta Chin Pek Cain, ujarnya, “Putraku bodoh dan tak
banyak pengalaman, dimana-mana selalu menimbulkan
keonaran aku sangat berterima kasih karena engkau berdua
sering kali membantu dirinya.
Dengan wajah murung Ciong Lian-khek tetap
membungkam, senyumnya tersungging di ujung bibirnya.
Sedangkan Chin Pek-cuan segera goyangkan tangannya
berulang kali, sambil tertawa ia berkata, “Hujin tak usah

sungkan-sungkan, seorang pimpinan tidak melihat berapakah
usianya, aku sekeluarga sudah kerap kali mendapat bantuan
dari Seng ji, aaaai….! mengingat kita adalah sahabat lama
rasanya aku pun tak perlu mengucapkan terima kasih
padamu”
Ia berpaling lalu membentak keras, “Giok Liong Hong ji
cepat datang kemari dan memberi hormat kepada Tio
loocianwee serta Hoa Hujin.
Chi Giok liong serta dara baju hitam itu mengiakan, mereka
segera maju kemuka dan memberi hormat kepada Hoa Hujin
serta Tio Sam-koh.
Dengan sorot matanya yang tajam, Tio Sam-koh
mengawasi terus gerak-gerik dari dara baju hitam itu, Pikirnya
dalam hati, “Budak ini halus, sederhana dan merupakan
seorang calon istri dan ibu yang amat baik sedang Pek Kun-gie
kecuali dalam hal kecantikan, tak satupun yang bisa
menangkan dirinya…. aku setuju sekali kalau dia dijadikan
bakal istrinya Hoa Thian-hong….!”
Rupanya Hoa Hujin sendiri pun menaruh perhatian khusus
kepada Chin Wan-hong, hanya saja karena ia sedang
merisaukan keadaan dalam dunia persilatan maka untuk
sementara waktu masalah mengenai putranya ini belum
sempat ditangani.
Setelah membalas hormat, sambil tertawa ujarnya,
“Gurumu paling suka mengasingkan diri dan selamanya tak
pernah mencampuri urusan dunia persilatan, kedatangan nona
kesini apakah telah memperoleh izin gurumu?”
“Sudah lama suhu mengagumi akan kebesaran jiwa hujin,”
sahut Chin Wan-hong dengan rasa hormat, “kali ini beliau
mengijinkan Hong ji serta tiga orang suci untuk turun gunung

karena pertama suci bertiga yang selalu memohon ijin kepada
suhu, dan kedua karena suhu amat menyayangi Hoa si heng
serta menguatirkan soal racun teratai empedu apinya,
walaupun banyak nasehat harus kami dengar namun akhirnya
beliau mengijinkan suci sekalian datang kemari guna
membantu hujin.”
Hoa Hujin tertawa.
“Orang-orang persilatan didaratan Tionggoan mengira
gurumu adalah seorang tokoh sakti yang suka menyendiri,
sungguh tak nyana suhumu adalah seorang manusia yang
berjiwa besar dan begitu saleh hatinya”
Sementara itu Chin Pek-cuan telah melirik sekejap ke arah
tiga orang gadis suku Biau yang sedang mengelilingi tubuh
Hoa Thian-hong, sambil tertawa katanya, “Ketiga orang nona
itu adalah Biau nia sam sian tiga dewa dari wilayah biau,
meski pun usianya nampak masih muda namun ilmu silatnya
luar biasa sekali, terutama dalam hal menggunakan ilmu racun
boleh dikata luar biasa sekali, dua hari berselang mereka telah
mendemonstrasikan kelihayannya, membuat satu sarang
srigala dan tikus dari sekte agama Thong-thian-kauw kocar
kacir serta kacau tak karuan, bahkan sampai ini haripun
mereka masih muntah berak tiada hentinya!”
Bicara sampai disini jago tua tersebut tak dapat menahan
rasa gelinya lagi dan segera tertawa terbahak-bahak.
Tio Sam-koh pun ikut tertawa, tiba-tiba ia bertanya, “Chin
Wan-hong, selama satu tahun lebih belajar ilmu, aku rasa
kepandaianmu didalam menggunakan racun pasti tidak lemah
bukan?”
Dengan cepat Chin Wan-hong gelengkan kepalanya.

“Hong ji belum pernah belajar ilmu melepaskan racun!”
“Pertama kali angkat guru dan menjadi murid orang,
seharusnya rajin belajar ilmu silat, dengan begitu dasarnya
baru dapat kokoh,” ujar Hoa Hujin pula.
Merah jengah selembar wajah Chin Wan-hong mendengar
nasehat itu, ia tundukkan kepalanya rendah-rendah dan
menjawad, “Hong ji juga tidak belajar ilmu silat….!”
Chin Pek-cuan yang berada disisinya segera tertawa
terbahak-bahak.
“Haaahhh….haaaahh….haaah…. budak ini khusus belajar
ilmu ilmu obat-obatan, dikemudian hari dia bakal menjadi
seorang ahli dalam memunahkan pelbagai macam racun!”
Air muka Chin Wan-hong berubah semakin merah padam
selesai mendengar perkataan itu kepalanya ditundukan
semakin rendah dan saking malunya sehingga tak berani
angkat kepalanya lagi.
Hoa Hujin yang menyaksikan kejadian itu, diam-diam
segera berpikir didalam hati, “Teratai racun empedu api
merupakan sejenis racun yang tak dapat dipunahkan oleh obat
mujarab apapun, bocah ini melepaskan niatnya belajar silat
dan mengkhususkan diri dari ilmu obat-obatan tujuannya
pistilah demi Seng ji, rasa cinta yang bersemi dalam hati
benar-benar suci bersih membuat hatiku amat terharu….”
Berpikir simpai disitu, ketika dilihatnya ia masih tersipu-sipu
maka segera ujarnya, “Ada dua orang rekan kita terjebak
didalam perkumpulan Thong-thian-kauw, barusan Thian Ik-cu
datang kemari mencari aku merundingkan untuk
membebaskan kedua orang itu dengan syarat obat pemunah
bagi anak buahnya, Hong ji pergilah temui sucimu serta

mintakan obat pemunah, kita segera mengutus orang untuk
membebaskan orang-orang kita yang tertawan!”
Semenjak tadi pikiran maupun perasaan Chin Wan-hong
telah dicurahkan keatas tubuh Hoa Thian-hong, tetapi
berhubung ia takut kurang hormat dihadapan Hoa Hujin maka
sekuat tenaga ia berusaha untuk mempertahankan diri.
Kini setelah mendapat perintah, gadis itu sepera
mengangguk dan berlalu dengan riang hati.
Li hoa siancu sedang berjongkok disamping tubuh Hoa
Thian-hong, ketika dilihatnya Chin Wan-hong datang, ia
segera berteriak, “Hong ji, cepat datang lemari! benarkah siau
long baru saja makan rumput mustajab Leng-ci usia seribu
tahun?”
Rupanya selama ini Hoa Thian-hong tertidur dengan
pulasnya, dipandang dari mukanya yang merah padam persis
sekali seperti obat yang mabok oleh arak, tiga dewi dari
wilayah Biau telah membolak-balikkan tubuhnya akan tetapi
dia tetap tidak merasa, bahkan kelopak matanya sedikitpun
tidak bergoyang.
Chin Wan-hong segera berjongkok dan memegang urat
nadi Hoa Thian-hong setelah termenung sebentar dia periksa
pula pernapasannya, lidah serta kutu, setelah itu jawabnya,
“Kalau dilihat dari denyutan nadinya yang teratur serta hawa
murninya yang bergerak lancar…. rupanya ia sama sekali tidak
menderita keracunan”
“Tentang soal itu aku tahu, jawab Li hoa Siancu tapi
kenapa tidur dengan pulasnya?”
“Aku rasa hal ini disebabkan karena, reaksi daya kerja obat
mujarab itu….”

“Aku dengar dari suhu, katanya bagi yang makan Leng-ci
berusia seribu tahun keadaannya tidak seperti ini” sela Ci Wi
siancu sambil tertawa.
“Hong ji, seru Li hoa siancu pula benarkah pemeriksaanmu
itu? jangan-jangan siau long sudah kena ditipu orang sehingga
yang dimakan bukan Leng-ci tapi yang dimakan benda jahat
lainnya?
Mendengar perkataan itu air muka Chin Wan-hong berubah
sangat hebat, dengan gugup segera serunya, “Coba
kutanyakan pada hujin….!”
Lan hoa siancu yang berada disisinya segera tertawa
tergelak.
“Hiiiihh….hiiiih….hiiih Hong ji, tak usah takut! mereka
sedang menggoda dirimu serunya, didalam saku siau long
masih ada sisa separoh batang Leng-ci seribu tahun, yang dia
makan memang benar benar Leng-ci mujarab.
Li hoa sincu serta Ci wi siancu segera tertawa cekikikan,
terdengar Hoa siancu berkata, “Hong ji ilmu obat-obatan apa
yany kau pelajari? mungkin engkau belum berhasil
mempelajari segenap kepandaian dari suhu!”
Merah jengah selembar wajah Chin Wan-hong, sahutnya
dengan suara lirih.
“Aku memang tak tahu apa-apa, aku baru belajar satu
tahun saja!”
Tiba-tiba ia lihat Hoa Hujin sekalian berjalan menghampiri
mereka, buru-buru ia ceritakan kepada Lan Ho siancu
bahwasanya Bong pay serta Tiong Long telah tertangkap

pihak lawan serta masalah tentang tukar oragp dengan obat
pemunah.
Mendengar perkataan itu, dari sakunya Lan Hoa Siancu
ambil keluar sebuah botol porselen mengeluarkan sedikit
bubuk obat warna putih yang dibungkusnya dengan kertas lalu
diserahkannya ke tangan Chin Wan-hong.
Harimau pelarian Tong Liau setelah mengetahui bahwa
putranya tertangkap, segera mengajukan diri sebagai wakil
untuk tukar orang dengan obat pemunah tersebut.
Chin Wan-hong tak berani mengambil keputusan, ia
sampaikan hal tersebut kepada Hoa Hujin, Ciong Lian-khek
yang mendengar laporan itu menyatakan kesediaannya untuk
mendampingi Harimau Pelarian Tong Liau.
Hoa Hujin berpikir sebentar, akhirnya dia perintahkan Hoa
In serta Tong Liau yang melaksanakan tugas tersebut, setelah
Chin Wan-hong menerangkan bagaimana caranya
menggunakan obat pemunah tersebut, berangkatlah kedua
orang itu dengan terburu-buru.
Sepeninggalnya dua orang jago itu, Hoa Hujin segera
menanyakan kabar berita tentang dewa yang suka
pelancongan Cu Tong.
Cu Im taysu menjawab, “Sebagian besar para jago
persilatan yang berhasil menyelamatkan diri dari pertempuran
Pak beng hwee tempo hari dan selama ini mengasingkan diri
telah bermunculan semua untuk menggabungkan diri dengan
mereka. Dewa yang suka pelancongan Cu Tong sedang
mencari kabar berita serta mengadakan hubungan kesana
kemari untuk memperkuat posisi pihak golongan kaum lurus
yang dipimpin oleh Hoa Thian-hong.”

Berbicara pulang pergi akhirnya beberapa tokoh silat
kawakan itupun membicarakan menang kalah yang bakal
terjadi sesudah terjadinya pertarungan di masa mendatang.
Kawanan jago tua itu kebanyakan adalah mereka-mereka
yang berhasil meloloskan diri dari pertemuan berdarah Pak
beng hwee, siapa pun sudah tidak mempersoalkan hidup atau
mati mereka lagi, demi tegaknya keadilan dalam dunia
persilatan, demi dendam pribadi mereka semua telah berbulat
tekad untuk melawan kaum iblis dari golongan sesat hingga
titik darah penghabisan.
Akan tetapi kendatipun semangat semua orang berkobar
dan semangat bertempur yang mereka miliki sangat kuat
namun dalam hati kecil semua orang mengetahui bahwa
belasan tahun belakangan ini kekuatan di pihak kaum
pendekar kaum lurus sama sekali belum pulih kembali,
sebaliknya kaum iblis dari golongan sesat semakin kuat
menghimpun kekuatannya, pengaruh merekapun kian lama
kian bertambah besar, jika kedua belah pihak dibandingkan
maka tampak perbedaan yang amat menyolok.
Pihak kaum lurus hanya mengandalkan bekas-bekas
panglima yang pernah kalah perang, sebaliknya kaum sesat
bukan saja andalkan jago-jago tuanya bahkan jago-jago
mudapun tak terhitung banyaknya, sekilas memandang bisa
diketahui betapa suramnya masa depan kaum lurus dalam
dunia persilatan.
Sekalipun begitu dalam tubuh perkumpulan Thong-thiankauw
telah tersembunyi seorang jago perempuan, yakni Giok
Teng Hujin, pengakuannya sebagai keturunan dari It kiam kay
Tionggoan Pedang sakti menyapu Tionggoan Siang Tang Lay
telah membuat pandangan orang terhadap dirinya sama sekali
berubah. Peristiwa berdarah tentang kematian dari Jin Bong
putra Jin Hian hingga kini belum dapat terselesaikan,

andaikata Giok Teng Hujin betul-betul dapat menyulut api
peperangan antara pihak perkumpulan Hong-im-hwie
melawan sekte agama Thong-thian-kauw, maka kendatipun
pihak kaum lurus hanya mengandakan sisa-sisa laskar yang
pernah kalah perang, siapa tahu akan timbul suatu
kemukjijatan?
Oleh karena itulah Pedang emas yang kecil dan kabar
beritanya sudah amat meluas di kolong langit namun jarang
sekali ada orang yang pernah melihat sendiri itu telah menjadi
satu-satunya titik harapan bagi kaum pendekar dari kalangan
lurus asalkan pihak lurus berhasil menangkap titik harapan
tersebut maka besarlah kemungkinan bagi mereka untuk
munculkan diri kembali dalam kolong langit.
Bicara pulang pergi akhirnya masalah terhenti pada soal
pedang emas, rahasia tentang Pedang emas itu muncul diri
mulut Giok Teng Hujin dan hanya Hoa Thian-hong seorang
yang mendengar dengan mata kepala sendiri kini pemuda
tersebut sedang tidur nyenyak dan semua orang tidak ingin
menunggu sampai Hoa Thian-hong mendusin menanyai secara
jelas kemudian barulah mengambil keputusan.
Saat itu Hoa In, Bong Pay serta Tiong Lian, Tiong Ling telah
kembali keatas bukit bahkan mereka membawa pula bahan
makanan dalam jumlah besar.
Selesai bersantap, Hoa Hujin berpesan kepada Hoa In,
“Engkau berdiamlah pada ujung jembatan batu itu, mulai
sekarang kita harus memelihara tenaga serta menghimpun
hawa murni kita masing-masing dengan sebaik-baiknya, dalam
empat lima hari mendatang bilamana ada musuh yang
menyerang datang, engkau segera mengirim tanda bahaya,
kami akan menggunakan jembatan batu itu sebagai tempat
pertahanan serta menghindari pertarungan-pertarungan yang
tak berguna”

“Budak terima perintah” jawab Hoa Itu dia melirik sekejap
ke arah Hoa Thian-hong yang berbaring diatas tanah, lalu
tanyanya, “Benarkah Siau Koan-jin tidak apa-apa?”
“Engkau tak usah kuatir, beberapa orang nona itu
kesemuanya adalah murid-murid orang kenamaan yang
memiliki kepandaian mendalam tentang ilmu obat-obatan
serta pertabiban, dengan kehadiran mereka ditempat ini, aku
rasa Seng ji tak akan menemui kejadian yang tidak diharapkan
lagi”
Li Hoi siancu yang berada disana segera ikut menimbrung
sambil tertawa.
“Pengurus tua, cairan kumala dari tumbuhan Leng-ci
berusia seribu tahun adalah benda yang mamabukkan, apalagi
cairan tersebut digunakan dalam jumlah yang besar, maka
orang akan mabuk dan tidur terus dengan nyenyak, walaupun
aku tak tahu Leng-ci berusia seribu tahun itu mampukah untuk
memunahkan racun teratai, akan tetapi kedua kekuatan
tersebut tidaklah saling bertentangan satu sama lainnya, Siau
Koan-jin mu itu pasti tak akan menemui kesulitan apapun”
Hoa In jadi berlega hati setelah mendengar penjelasan itu,
katanya kemudian, “Terima kasih atas petunjuk dari nona!”
dan diapun putar badan mengundurkan diri dari situ.
Tiba-tiba Lam hoa siancu tertawa merdu sambil berkata,
“Hoa Hujin, daripada kita harus meronda dan jaga malam
hingga melelahkan sang badan, bagaimana kalau kami
gunakan sedikit kepandaian untuk mengatur suatu penjagaan
yang kuat disekitar tempat ini? dengan begitu kitapun bisa
menghemat tenaga kita dengan percuma!”

“Nona adalah murid tertua dari Kiu-tok Sianci” sahut Hoa
Hujin sambil tertawa, “sebagaimana gurunya, sang muridpun
sudah bisa diraba sampai dimanakah kelihayannya, kalau
memang hendak tunjukan kepandaian, ayohlah cepat
dilakukan, agar kita semuanya dapat ikut menyaksikan!”
Biau nia sam sian tiga dewi dari wilayah Biau yang
mendengar ucapan itu jadi sangat gembira mereka bersamasama
bangkit berdiri dan berjalan menuju ke tepi jembatan
batu kurang lebih sepuluh tombak jauhnya dari ujung
jembatan sebelah sana, semua orang dengan keheranan ikut
turun pula kebawah hanya Chin Wan-hong serta tiga harimau
dari keluarga Tiong yang masih tetap menjaga disisi Hoa
Thian-hong.
Tempat itu merupakan dua buah bukit yang dipisahkan
oleh sebuah jurang yang sangat dalam, pada jurang itu
terbentanglah sebuah jembatan batu yang terputus-putus
dengan lebar beberapa depa, setelah memperhatikan sejenak
keadaan medan, Biau nia sam sian segera melayang naik
keatas jembatan batu itu dengan langkah yang enteng.
Semua orang yang mengikuti dibelakangaya segera
berhenti pada tepi jurang tersebut, tampaknya Lam hoa
siancu berjalan beberapa depa jauhnya ketengah jambatan
dan berhenti diatas tonggak batu yang luasnya dua depa
ditengah dua lekukan batu yang terpatah, sedangkan Li hoa
siancu berjalan menuju kesamping jembatan tadi sebaliknya Ci
wi siancu berdiri pada jarak dua tiga tombak dari tepi
seberang, sesudah merciri posisinya, masing-masing berdiri
tegak.
Cu Im taysu yang menyaksikan posisi dari ketiga dewi
tersebut sambil mengelus jenggotnya segera tertawa seraya
berkata, “Makin dekat ke ujung jembatan sebelah sini

pertahanan yang dipasang semakin lihay, benar juga cara
seperti ini!”
Tiba-tiba terdengarlah Ci wi siancu yang ada diujung
jembatan batu itu berseru dengan suara lantang, “Toa suci, ji
suci! apakah sudah siap?”
Angin gunung terlalu besar, terpaksa kita harus bekerja
sekenanya saja! jawab Li hoa siancu yang berada ditengah
jembatan.
Dia ulapkan tangannya, dan tiga dewi dari wilayah Biau pun
bagaikan burung walet pulang tahu-tahu sudah balik kembali
ketempat semula.
Hoa Hujin serta Cu Im taysu yang menyaksikan perbuatan
tiga dewi tersebut segera saling bertukar pandangan dengan
mulut membungkam, Ciong Lian-khek yang di hari-hari biasa
selalu murung dan tak pernah menunjukkan suatu perubahan
sikappun pada saat ini wajahnya agak berubah, dengan
ketajaman mata beberapa orang ini ternyata mereka hanya
sempat melihat Biau nia Sam sian berdiri sebentar ditempat
dituju kemudian tanpa menggerakkan tangannya telah balik
kembali ketempat semula, siapapun tak sempat melihat
persiapan apakah yang telah diatur oleh beberapa orang itu.
Sesudah tiga dewi dari wilayah Biau melayang kembali
ketempat semula, sambil tersenyum Li hoa siancu segera
berkata, “Hujin! kami telah mendemonstrasikan kejelekan,
harap engkau jangan mentertawakan”
Hoa Hujin tertawa merah, sementara dalam hati kecilnya ia
berpikir, “Mereka sama-sama mengenakan pakaian adat suku
Biau yang sama sekali tak berlengan panjang, namun gerakan
tangannya sedikit pun tidak meninggalkan jejak bahkan
kecepatannya membuat orang sukar untuk mempercayainya,

kepandaian tersebut benar-benar luar biasa dan sangat
mengagumkan!”
Perempuan yang berpengalaman ini tahu bahwa ilmu
melepaskan racun yang mereka miliki merupakan kepandaian
rahasia yang tidak diwariskan kepada orang lain, meskipun
hati kecilnya ingin tahu namun perasaan tersebut hanya
diangan dalam hati belaka.
Sementara itu Tio Sam-koh dengan perasaan ingin tahu
segera bertanya, “Eeei….sebenarnya apa sih yang telah kalian
kerjakan? seandainya ada orang menyebrangi jembatan batu
ini, apa yang bakal terjadi?”
Ci wi Siancu tertawa cekikikan.
“Kami telah melepaskan diatas jembatan batu tersebut,
apabila seorang yang memiliki kepandaian agak rendah berani
melangkah diatas jembatan itu mula-mula kepalanya langsung
akan menjadi pusing dan pandangan matanya berkunangkunang,
tubuh pun jadi lemas hingga gontai!”
“Dibawah jembatan merupakan jurang yang dalamnya
mencapai ratusan tombak, apabila terjatuh sedalam jurang,
bukankah tubuhnya akan hancur lebur….?” seru Tio Sam-koh
sambil menjulurkan lidahnya.
Ci wi siancu menutupi mulutnya menahan geli, sahutnya,
“Kalau seorang memiliki tenaga dalam yang amat sempurna
atau lebih tinggi kewaspadaan dan mungkin saja pada
pertahanan yang pertama itu tubuhnya tak akan sempai
roboh”
Setelah berhenti sebentar, tambahnya, “Angin gunung
terlalu besar, daya kerja obat itu hanya mampu bertahan

suatu saat yang tertentu saja, besok kita harus mengaturnya
kembali”
“Bagaimana dengan nona yang lain?” tanya Tio Sam-koh
kembali sambil alihkan sorot matanya.
Li hoa siancu tertawa, sahutnya, “Bila ada orang berani
melewati tempat pertahananku itu, kecuali dia meniliki
kepandaian silat setaraf dengan Hoa Hujin, bila tidak ingin
roboh maka hal itu merupakan suatu perkerjaan yang amat
sulit!”
Ia tertawa cekikikan, kemudian sambungnya lebih jauh,
“Asalkan orang mengerti tutup napas maka pos pertahanan
yang pertama bisa di lewati, namun untuk melewati pos
pertahanan yang kedua, sekalipun menutup napas juga sama
sekali tak tak ada gunanya”
Tio Sam-koh segera alihkan sinar matanya ke arah Lan hoa
siancu namun bibirnya yang telah bergetar, tiba-tiba ditutup
kembali.
Hob hujin termenung sebentar, lalu bertanya, “Bagaimana
dengan nona Lan hoa?”
Lan hoa siancu tersenyum, jawabnya, “Kepandaian tak
seberapa yang jelek mungkin cuma akan mentertawakan
semua orang belaka, aku hanya mencuri belajar cara guruku
saja yakni menyebarkan sedikit kabut sembilan bisa bikinan
guruku disekitar tempat itu….!”
“Kalau memang racun itu hasil bikinan gurumu, kurasa
kelihayannya pasti luar biasa sekali” ujar Hoa Hujin dengan
alis mata berkernyit.

Sesudah termenung beberapa saat lamanya, ia
menyambung lebih jauh.
“Cuma saja, dengan demikian ada sahabat dari aliran kita
yang tak tahu duduknya perkara berjalan melewati jembatan
itu, kemungkinan besar mereka korbankan jiwanya dengan
percuma, bagaimana baiknya?
Lan hoa siancu segera tertawa.
“Menurut hujin apa yang harus kita lakukan?” serunya,
“apakah perlu kita bubarkan pertahanan itu?”
“Tidak usah!” jawab Cio Sam-koh dengan cepat, “lebih baik
beberapa orang budiman ikut mati daripada kita tak mampu
membinasakan beberapa orang bajingan….”
Semua orang tertawa geli sehabis mendengar perkataan
itu.
Hoa In segera berkata, “Bagaimana kalau budak berjagajaga
ditepi seberang sana? apabila yang datang adalah orangorang
pihak kita maka budak akan sambut kedatangan orangorang
itu?”
“Kalau sampai berbuat dimikian maka kitapun akan
kehilangan tujuan yang semula dalam melakukan pertahanan
tersebut yakni menghemat tenaga” kata Hoa Hujin sambil
gelengkan kepalanya, “begini saja, buatlah sebuah batu
peringatan pada ujung jembatan batu sebelah sana dan
cantumkan tulisan di atas batu peringatan tersebut yang
berbunyi demikian: Barang siapa merasa sahabat harap
laporkan dahulu kedatangannya, dengan begitu aku rasa pihak
mereka pasti akan memberi kabar lebih dahulu”

Hoa In segera mengiakan dengan membawa pedang baja
milik Hoa Thian-hong serta mendapat obat pemunah dari Biau
nia sam sian berangkatlah pelayan tua itu menyebrangi
jembatan.
“Hoa In, engkau jangan mencoba-coba daya kerja racun
yang diserangkan oleh Sam sian!” tiba-tiba Hoa Hujin
memperingatkan.
Hoa In segera berhenti dan menyahut, “Hamba tidak
berani!”
Tio Sam-koh yang berada disisi perempuan itu segera
tertawa terbahak-bahak, serunya,
“Haaahh….haaahh….haaahh…. dalam hati aku nenek tua
sedang berpikir perlukah untuk mencoba kelihayan dari kabut
sembilan bisa, eeei….! tahu-tahu engkau sudah berteriak lebih
dahulu, dengan demikian aku jadi urungkan maksudku
semula….”
“Apa yang sedang kita hadapi saat ini bukanlah permainan
kanak-kanak” kata Hoa Hujin dengan serius, “kita tunggu saja
sampai tiba saatnya ada musuh yang masuk perangkap, pada
waktu itulah kalian baru akan saksikan sampai dimana
kelihayan yang dimiliki Kiu-tok Sianci!”
Malam amat Sunyi rembulan bersinar dengan terangnya
diangkasa, segerombolan laki perempuan tua muda yang
berkumpul diatas bukit sama-sama duduk bersila mengatur
pernapasan hanya Hoa Thian-hong seorang yang tidur
terlentang diatas tanah dengan nyenyaknya.
Tengah malam baru saja lewat, tiga harimau dari keluarga
Tiong, ayah dan anak dari keluarga Chin serta Bong Pay yang
merupakan jago-jago dengan tenaga dalam agak rendah telah
menyelesaikan semedinya dan secara beruntun sudah tertidur

diatas tanah, Chin Wan-hong sendiri selelah melirik sekejap ke
arah Hoa Thian-hong yang tertidur pulas segera ikut
membaringkan diri pula diatas tanah.
Lewat beberapa saat kemudian Hoa Thian-hong yang
tertidur pulas tiba -iba menghembuskan napas panjang
meskipun hembusan napas itu tidak terlalu keras namun
beberapa orang yang sedang duduk bersemedi itu sama-sama
mementangkan matanya lebar-lebar dan alihkan sorot
matanya ke arah pemuda itu bahkan Hoa In yang berada
didekat jembatan batupun ikut berpaling kebelakang.
Tampaklah Hoa Thian-hong menggerakkan keempat buah
anggota badannya kemudian bangun duduk dan bersila,
meskipun dia belum sadar dari tidurnya namun secara
otomatis telah melakukan semedi sendiri.
Semua orang saling bertukar pandangan sekejap, tetapi
melihat Hoa Hujin tidak berbicara, semua orangpun tak berani
buka suara, lewat beberapa saat kemudian Hoa Thian-hong
masih tetap tidak menunjukkan perubahan apa-apa, Hoa Hujin
pun segera mejamkan matanya kembali dan meneruskan
semedinya, sedangkan orang lainpun sama-sama meneruskan
semedinya pula.
Kurang lebih satu jam kemudian, Hoa Thian-hong yang
sedang duduk bersemedi mendadak mementangkan bibirnya
dan memperdengarkan suara suitan panjang yang ringan
namun memanjang dan berkumandang tiada hentinya.
Semua orang dibikin terkejut hingga bangkit dari
semedinya dan menengok ke arah pemuda itu. Bong Pay pun
meloncat bangun sambil menggerakkan bibirnya seperti mau
mengucapkan sesuatu, namun Ciong Lian-khek segera
goyangkan tangannya mencegah dia untuk berbicara.

Suara suitan terpait panjang bagaikan serat yang
diludahkan oleh ulat sutera, panjang tiada putusnya hingga
berlangsung selama seperminum teh lamanya, saat itulah Hoa
Thian-hong baru hentikan suitannya dan membungkam.
Seluruh lembah dan bukit segera mendengung suara
pantulan yang nyaring bagaikan Pekikan naga, lama sekali
baru membuyar.
0000O0000
43
SEMUA orang saling bertukar pandangan dengan wajah
tercengang, sebaliknya Hoa Thian-hong masih tetap duduk
tenang seperti semula, terhadap suitan yang dipancarkan
barusan sedikitpun tidak merasakannya.
Cu Im taysu tak dapat menahan diri lagi, dengan ilmu
menyampaikan suara ia lantas berbisik, “Hoa Hujin, pinceng
menyadari bahwa emposan tenaga dalamku tidak mampu
menandingi panjangnya suitan yang dipancarkan oleh
putramu itu, menurut pendapat hujin apakah hal ini
merupakan hasil dari kemujaraban Leng-ci berusia seribu
tahun itu?”
Hoa Hujin termenung dan berpikir beberapa saat lamanya,
kemudian dengan suara rendah ia menghela napas panjang,
sahutnya, “Bocah ini mula-mula makan Teratai racun empedu
api lebih dahulu, kemudian menelan Leng-ci berusia seribu
tahun, bagaimanakah akibatnya bilamana dua macam benda
langka itu bercampur menjadi satu, aku orang she Bun pun
kurang begitu paham”

“Menurut pendapatku” jawab Chin Pek-cuan tiba-tiba,
“Thian pasti akan melindungi kaum budiman, karena bencana
Thian Hong tentu bakal mendapat rejeki”
“Pada saat ini Seng ji sedang bersemedi dalam keadaan
lupa segala-galanya, lebih baik kita semua tutup mulut
daripada mengganggu konsentrasinya….!” tiba-tiba Tio Samkoh
menggerutu dengan suara lirih.
“Benar” buru-buru Chin Pek-cuan menyahut, “kalau ada
persoalan kita bicarakan besok pagi saja!”
Hoa Hujin tersenyum, sementara dia hendak meneruskan
kembali semedinya tiba-tiba sorot matenya berhasil
menangkap berkelebatnya dua sosok bayangan manusia ditepi
pantai seberang,
Gerak-gerik dari dua sosok bayangan manusia itu amat
hati-hati dan cermat, mereka gunakan batu cadas atau semak
belukar sebagai tempat persembunyian dan sebentar
berjongkok sebentar bergerak, gerakan tubuhnya lincah dan
cekatan sekali andaikata pada saat terang-terang bulan
ditambah pula ketajaman mata Hoa Hujin yang melebih orang
lain, mungkin jejak itu sulit untuk ditemukan.
Dalam sekejap mata kedua sosok bayangan manusia itu
sudah berkelebat sampai diatas jembatan batu dan
menyembunyikan diri di belakang batu peringatan yang
didirikan belum lama berselang itu, kemudian mereka tidak
menunjukkan gerak-gerik apa-apa lagi.
Ketika semua orang menyaksikan sorot mata Hoa Hujin
dialihkan ke arah tebing seberang, mereka dapat menduga
apa yang sudah terjadi, sorot mata orang-orang itupun segera
dialihkan pula ke tebing seberang. Hoa In yang berjaga-jaga

diujung jembatan batu sedang memikirkan keselamatan Hoa
Thian-hong, dia malah justru tak merasakan sesuatu apapun.
Setelah memandang beberapa saat lamanya namun tidak
menemukan sesuatu apapun, Li hoa siancu tak tahan lagi
segera berbisik, “Hoa Hujin, apakah kedatangan musuh?”
Hoa Hujin mengangguk, jawabnya dengan berbisik, “Ada
dua orang manusia menyembunyikan diri dibelakang batu
peringatan itu….!”
Tio Sam-koh segera tertawa dingin, ujarnya, “Gerakgeriknya
tersembunyi dan main kucing-kucingan, pastilah yang
datang hanyalah dua orang kurcaci belaka. Hmm! besar amat
nya li orang-orang itu!”
“Kedua oraug itu pastilah mata-mata dari perkumpulan
Thong-thian-kauw yang secara kebetulan berada disekitar
tempat ini” ujar Chin Pek-cuan mengemukakan pendapatnya,
“karena mendengar suitan dari Thian Hong, mereka datang
untuk menyelidiki duduknya perkara….”
“Benar!” sambung Ci wi siancu sambil tertawa, “pekikan
dari Siau long itu paling sedikit dapat mencapai kejauhan
sepuluh li lebih, mereka pasti terpancing datang oleh pekikan
tersebut”
Cu In taysu alihkan sorot matanya ke arah tepi seberang,
kemudian berkata, “Kalau kedua orang ini tahu diri, setelah
membaca tulisan diatas batu peringatan tersebut semestinya
segera mengundurkan diri dari sana…. karena dengan berbuat
begitulah jiwanya baru bisa diselamatkan”
“Hmmm! hweesio tua, apakah dalam hatimu telah muncul
kembali perasaan welas kasihmu?” ejek Tio Sam-koh.

Sorot matanya beralih dan melirik sekejap ke arah Hoa
Thian-hong, tiba-tiba bentaknya, “Bagaimana kalau kalian
semua jangan berbicara lebih dahulu??”
Diam-diam semua orang tertawa geli, mendadak dari bilik
batu peringatan muncul sesosok bayangan manusia, sambil
menempel jembatan batu sekali berkelebat tubuhnya sudah
mencapai beberapa tombak jauhnya dari tempat semula dan
tepat berhenti diatas batu cadas dimana Ci wi siancu
melepaskan racunnya pada pos pertahanan yang pertama.
Baru saja orang itu melangkah maju kedepan, hidungnya
segera mencium bau harum aneh yang amat tipis, dalam
waktu singkat kepalanya terasa pusing tujuh keliling dan
pandangan matanya berkurang, kejadian ini sangat
mengejutkan hatinya, buru-buru ia tutup pernapasan putar
badan dan siap mengundurkan diri dari tempat itu.
Hoa In yang berjaga-jaga ditepi jembatan batu segera
menemukan jejak orang itu, menyaksikan musuhnya siap
meloncat mundur dari sana ia segera meloncat bangun sambil
membentak keras, “Bajingan yang tak tahu diri, cepat
berhenti!”
Buru-buru ia menelan sebutir pil pemunah dan mengejar ke
arah depan.
Dalam pada itu, orang tadi baru saja akan loncat mundur
dengan sepenuh tenaga, ketika secara tiba-tiba mendengar
suara bentakan keras sepasang kakinya kontak jadi lemas dan
tak dapat dihindari lagi tubuhnya segera tergelincir dan roboh
kebawah.
Terdengarlah jeritan kaget yang menyayat kata hati
berkumandang memecahkan kesunyian, sesosok bayangan
manusia berjumpalitan beberapa kali ditengah udara

kemudian terjatuh kedalam jurang yang dalamnya mencapai
ratusan tombak itu.
Mendengar jeritan tersebut, dengan cepat Hoa In berhenti
mengejar merasakan bulu kuduknya pada bangun berdiri.
Sedangkan bayangan manusia yang masih
menyembunyikan diri dibelakang batu peringatan itu segera
melarikan diri terbirit-birit setelah menyaksikan rekannya mati
terjatuh kedalam jurang.
Hoa Thian-hong sedang bersemedi di punggung bukit
tersentak kaget dan sadar dari semedinya, ia segera berteriak,
“Ibu, apa yang sudah terjadi?”
“Ada seorang bandit terjatuh kedalam jurang!” sahut Hoa
Hujin sambil berpaling.
Tio Sam-koh pun buru-buru berseru, “Seng ji, hawa
murnimu tidak sampai tersumbat bukan? cobalah mengepos
tenaga lagi….”
Nada suaranya penuh mengandung perasaan sayang dan
kuatir.
“Terima kasih Sam po….” sahut Hoa Thian-hong sambil
tertawa.
Tiba-tiba ia temukan bahwa disekitar tubuhnya berdirilah
beberapa orang pria dan wanita yang semuanya merupakan
orang-orang yang dia rindukan dan kuatirkan selama ini,
hatinya jadi terkejut bercampur girang hingga tanpa terasa ia
menjejakkan kakinya bangun berdiri.

Jejakan kaki yang sama sekali dilakukan tanpa maksud
apa-apa itu ternyata sudah memantulkan badannya hingga
mencelat setinggi tombak lebih ketengah udara….
Cu Im taysu yang menyaksikan kejadian itu sambil tertawa
terbahak-bahak segera berkata, “Budha maha pengasih,
ternyata Hoa kongcu telah sehat walafiat kembali bahkan
karena bencana mendapat rejeki”
Hoa Thian sendiri merasa amat gembira karena dapat
berkumpul kembali dengan rekan-rekan lamanya, ia sama
sekali tidak memperdulikan arti dari perkataan Cu Im taysu
itu, sambil memberi hormat ujarnya beulang kali.
“Taysu, baik-baikkah engkau? Chin locianpwee Ciou Lian
cianpwee baik-baikkah engkau? Chin locianpwee, Ciong lian
cianpwee baik-baikkah selama ini, kakak dan enci sekalian?”
“Hooree…. Sian long, baik-baiklah engkau sendiri?” teriak
tiga dewi dari wilayah Biau sambil bersorak, “setiap kali kami
berjumpa dengan dirimu, engkau pasti sedang tertidur pulas
dan belum bangun!”
Hoa Thian-hong tertawa cekikikan
“Haaah….haaa…. haaahhh…. baik-baikkah Sian nio? selama
satu tahun belakangan ini aku selalu kangen dan rindu kepada
dia orang tua”
“Suhu pun sangat memperhatikan dirimu,” jawab Lan Hoa
siancu sambil tertawa, “kalau tidak, kali ini kamipun tak dapat
ikut keluar ontuk bermain….”
“Siou long!” seru Li hoa siancu pula, “Hong ji dengan rajin
dan tekun mempelajari ilmu pertabiban dan ilmu obat-obatan,
ia selalu berusaha agar bisa menyembuhkan racun teratai

yang mengeram dalam tubuhmu, siapa tahu engkau telah
menemukan kejadian aneh hingga aman tiada urusan,
waah…. kalau begitu perjuangannya selama ini hanya sia-sia
belaka”
Hoa Thian-hong serta Chin Wan Hoa saling bertukar
pandangan sekejap lalu tersenyum, beribu-ribu patah kata
yang ingin diucapkan masing-masing pihakpun lenyap dibalik
senyuman tersebut.
Tiba-tiba terdengar Ciong Lian-khek berkata, “Thian Hong,
aku dengar engkau sudah kehilangan banyak darah, sekarang
cobalah lebih dahulu racun teratai itu sudah punah atau
belum, dan bagaimana pula tenaga dalammu kalau
dibandingkan dengan keadaan tempo dulu….?”
Hoa Thian-hong pejamkan mata dan mencoba sebentar,
kemudian sambil tertawa jawabnya, “Racun teratai kambuh
setiap tengah hari, biasanya didalam pusar terdapat segumpal
hawa hangat yang bersarang terus disana, kini hawa hangat
tersebut telah punah, aku rasa racun teratai itu semestinya
sudah punah!”
Setelah berhenti sebentar, tiba-tiba sambil tertawa
cekikikan katanya kembali, “Aku mempunyai satu cara untuk
mencoba apakah racun teratai itu masih bersarang di dalam
tubuhku atau tidak”
“Bagaimanakah caramu itu? dan bagaimana cara untuk
mencobanya?” tanya Chin Pek Cuin dengan penuh perhatian.
Pada dasarnya ia memang merasa amat senang dengan
pemuda ini, ditambah pula mengetahui kalau putrinya
mempunyai hubungan cinta dengan si anak muda tersebut,
dalam hati kecilnya diam-diam ia sudah mengambil keputusan
untuk menerima dia sebagai calon menantunya.

Dengan wajah berseri-seri, Hoa Thian-hong berpaling ke
arah Tiga dewi dari wilayah Biau, kemudian sambil angsurkan
tangannya kedepan ia berkata, “Ketika aku masih mengidap
racun teratai, serangan obat beracun yang bagaimanapun
lihaynya tak mampu untuk menyerang tubuhku, cici bertiga,
asal kalian berikan sedikit obat racun kepadaku untuk dicoba
maka andaikata wajahku menunjukkan tanda-tanda
keracunan, hal itu membuktikan kalau racun teratai tersebut
sudah tidak berada di dalam tubuhku lagi”
“Cara apa itu? caramu itu adalah cara yang goblok” teriak
Tio Sam-koh dengan keras. “Sudah jangan dicoba lagi!”
Lam hoa siancu tertawa.
“Obat racun bukanlah gula!, mana boleh kau makan
sebagai barang mainan, Hong ji adalah seorang ahli dalam hal
racun teratai, mintalah petunjuk darinya untuk mengetahui
bagaimana gejalanya kalau racun teratai masih bersarang
didalam tubuhmu”
Hoa Thian-hong segera berpaling dan serunya, “Hong ji….”
Chin Wan-hong tertawa, ujarnya, “Racun teratai itu kecuali
kambuh satu kali setiap tengah hari, racun itupun
mempengaruhi urat syaraf Tay yang simkeng….!”
“Aah! kenapa aku tidak berpikir sampai kesitu” teriak Hoa
Thian-hong seperti menyadari akan sesuatu.
Diam-diam ia mengerahkan hawa murninya untuk
menggerakkan jalan darah darah Tay yang sim keng,
mendadak ia teringat akan sesuatu dan buru-buru
membuyarkan kembali hawa murninya.

Kiranya racun teratai itu kecuali tiap tengah hari bekerja
satu kali, kalau badan nya terpengaruh oleh nafsu birahi maka
daya kerja racun itupun akan kambuh pula, itulah sebabnya
selama racun treratai masih mengeram dalam rubuhnya ia tak
dapat mempunyai bini.
Dengan menggerakan hawa murninya kedalam urat Tay
yang sim keng bisa mengobarkan nafsu birahinya, dan dari
sanapun bisa digunakan untuk memeriksa apakah racun
teratai itu masih bersarang didalam tubuhnya atau tidak, akan
tetapi dengan begitu maka alat kelaminnya akan menjadi
tegang dan berdiri kaku seperti tongkat besi, dalam
pandangan banyak orang tentu saja pemuda itu merasa malu
untuk berbuat begitu.
Bong Pay yang tak tahu duduknya perkara, ketika
menyaksikan kerikuan yang menyelimuti wajah si anak muda
itu jadi merasa keheraran, segera ia berseru, “Permainan apa
sih yang sedang kau lakukan? pekerjaan yang menyangkut
dirimu sendiri kenapa tidak dilakukan secara blak-blakan dan
tanpa ragu-ragu?”
Merah padam selembar wajah Hoa Thian-hong sehabis
mendengar perkataan itu, jawabnya, “Tenaga dalam yang siau
te miliki masih kurang sempurna, aku tak berani secara
sembarangan urat penting!”
“Kalau memang begitu, tunggu saja sampai besok tengah
hari bukankah beres….?” seru Bong Pay.
“Sedikiipun tidak salah!” sahut Hoa Thian-hong buru-buru
sambil tertawa.
Ia mendongak memandang cuaca, dari ufuk sebelah timur
tampaklah sang surya mulai memancarkan sinar keemasTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
emasannya, buru-buru ia bertanya, “Ini hari sudah tanggal
berapa?”
“Ini hari tanggal sebelas!” sahut Tio Sam-koh dengan
cepat.
Air muka Hoa Thian-hong berubah hebat, sambil berpaling
ke arah ibunya dia segera berseru, “Ibu, waktunya mulai
sekarang sampai di selenggaranya pertemuan besar Kian ciau
tayhwee tinggal tiga hari lagi, bagaimana caranya kita untuk
menyerang dan bagaimana pula caranya untuk
mempertahankan diri, harus mulai dibicarakan mulai
sekarang”
Hoa Hujm tertawa, katanya, “Dalam perundingan kemarin
malam kita semua belum mengambil keputusan, sekarang
kemukakan lebih dahulu bagaimanakah pendapatmu, setelah
itu barulah kita rundingkan kembali!”
“Kalau kita harus berduel melawan salah satu diantara
perkumpulan Sia Kin Pang, atau Hong-im-hwie atau Thongthian-
kauw, kelompok kita meskipun masih bukan
tandingannya, aku rasa masih mampu untuk mempertahankan
diri….” kata Hoa Thian-hong sesudah termenung sebentar.
“Menurut penglihatan aku nenek tua” ujar Tio Sam-koh
dengan cepat, “Tiga bibit bencana pasti akan bersatu padu
pada saat yang terakhir untuk menghadapi kita”
“Kalau sampai tiga bibitbencana bersatu padu…. sekalipun
pihak kita lebih banyak beberapa orangpun, pasti bukan
tandingan mereka”
“Omong kosong! bentak Tio Sam-koh dengan gusar telah
mendengar perkataan itu, “tentang soal ini buat apa engkau
katakan lagi?”

Hoa Thian-hong tersenyum, kembali dia berkata, “Maksud
boanpwee, apabila mulai sekarang juga kita sudah dapat
menduga kalau pihak perkumpulan Sin-kie-pang, Hong In
Hwee dan Tong Thiau kau pasti akan bekerja sama untuk
menghadapi kita, itu berani siapa tangguh siapa lemah sudah
tertera dengan jelas sekali, dalam keadaan demikian lebih baik
kita mundurkan diri mulai sekarang juga, lebih baik menerima
ejekan dari musuh daripada menghindari pertemuan besar
Kian citau tayhwee tersebut….”
“Kentut busuk!” bentak Tio Sam-koh dengan gusar, “paling
banter kita mati semua, kenapa harus mengundurkan diri
sambil menahan malu….??”
Air muka Hoa Thian-hong berubah jadi amat serius,
katanya dengan nada sungguh-sungguh, “Boanpwee bukanlah
seorang manusia yang takut mati, tapi aku menguatirkan
kalau sumber kekuatan dari golongan lurus kita terbasmi
semua sehingga lenyap tak berbekas, andaikata sampai terjadi
keadaan seperti ini sampai kapankah kita baru akan melihat
cahaya sang surya lagi?”
Tiba-tiba dia menghela napas panjang, dengan suara tegas
dan tandas ia meneruskan, “Kejadian dalam pertemuan Pak
beng hwee tidak boleh sampai terulang kembali pada saat ini!”
Mengungkap kembali tentang peristiwa berdarah dalam
pertemuan Pak beng hwee, air muka semua orang berubah
jadi sedih, Tio Sam-koh sendiri yang segera teringat kembali
akan cita-citanya selama ini adalah membalas dendam serta
menuntut sakit hati yang pernah dialaminya dimana lampau,
terpaksa menekan hawa amarah dan berangasan nya dalam
seribu bahasa.

“Hoa kongcu!” beberapa saat kemudian Cu Im taysu
berkata dengan suara lirih, “menurut pendapatmu,
mungkinkah tiga bibit bercana bagi umat persilatan itu dapat
bekerja sama kembali untuk menghadapi pihak kita?”
“Dalam keadaan yang terdesak dan mengenaskan,
persekutuan mungkin bisa muncul dan janji kerja samapun
pasti akan terjadi”
Cu Im taysu mengerutkan dahinya sehabis mendengar
perkataan itu, katanya, “Hoa kongcu berpengetahuan luas,
perkataan ini pasti didasarkan olen alasan-lasan tertentu,
pinceng bersedia untuk mendengarkan keteranganmu lebib
jauh”
“Boanpwee masih muda dan pengalamanku masih cetek,
dalam kenyataan apa alasannya aku rasa taysu serta
locianpwee sekalian pasti jauh lebih memahami daripada
diriku”
Bicara sampai disiiu sorot matanya segera dialihkan ke arah
ibunya.
Dengan wajah serius Hoa bu jin segera berkata,
“Locianpwee sekalipun mempunyai pandangan yang sama
seperti jalan pikiranmu itu, coba beberkanlan rencanmu itu
agar para cianpwee bisa ikut menilai serta
mempertimbangkannya”
Hoa Thian-hong berpikir sebentar, kemudian setelah
menyapu sekejap sekeliling tempat itu, katanya, “Diantara tiga
kekuatan besar yang berkuasa dalam kolong langit dewasa ini
sebenarnya terselip pula hubungan-hubungan yang terasa
serba salah dan diantara kesemuanya itu tentu saja pokok
persoalan yang paling penting adalah kasus terbunuh nya Jin
Bong secara misterius serta soal pedang emas tersebut, dasar

daripada pandang anku ini adalah mengikuti perkataan dari
Giok Teng Hujin, aku percaya masih terdapat sebilah pedarg
emas lain yang disembunyikan didalam pedang mustika Poan
liong poo kiam Tong Thiang kaucu”
“Seandainya apa yang terjadi memang demikian, lalu apa
yang harus kita lakukan?” tanya Cu Im taysu.
“Didalam pembukaan pertemuan besar Kian ciau tayhwee
tersebut, pertama-tama kita bongkar dahulu rahasia tersebut
didepan umum, dalam suasana para jago dari kolong langit
bersama-sama kumpul jadi satu, asalkan redang emas itu
munculkan diri maka Thian Ik-cu sekalipun hendak
menyangkal juga tak akan berhasil, suasana pasti akan kacau
balau”
Cu Im taysu mengangguk, katanya, “Pendapat Hoa kongcu
memang tinggi, asalkan terjadi peristiwa semacam ini lalu apa
yang harus kita lakukan?”
“Sebagian besar orang dalam dunia persilatan telah
terpengaruh oleh kabar berita yang tersiar diluaran dan
mempercayai kalau pedang emas itu mempunyai hubungan
yang erat sekali dengan sejilid kitab pusaka ilmu silat,
seandainya ada orang berbasil mendapatkan kitab pusaka itu
maka ilmu silat It kiam kay Tionggoan Siang Teng Lay, dan
tiada tandingannya di kolong langit, oleh sebab itulah sajak
dahulu pedang emas sudah dianggap sebagai benda mustika,
asal pedang itu munculkan diri maka para jago pasti akan
saling berusaha untuk memperebutkan dan pertarungan untuk
merebut mustikapun pasti akan berkobar….”
“Aaah! belum tentu begitu” tiba-tiba Tio Sam-koh berteriak
keras, “aku nenek tua tidak percaya dengan kabar berita yang
tersiar dalam dunia persilatan, sekalipun pedang emas itu

munculkan diri didepan mata, aku sinenek tua tak akan ikut
untuk memperebutkannya”
Cu Im taysu yang mendengar perkataan itu segera tertawa,
ujarnya, “Tio lo tay, orang kuno ada satu cerita….”
“Hweesio tua tidak membicarakan tentang pelajaran agama
Buddha, cerita apa yana hendak kau tuturkan kepadaku?” seru
Tio Sam-koh dengan mata melotot besar.
“Seorang pelayan datang melapor, katanya diluar pintu
muncul seekor harimau, sang majikan tidak percaya. Kembali
seorang pelayan datang melapor katanya diluar pintu muncul
seekor harimau, sang majikan setengah percaya setengah
tidak, seorang pelayan kembali datang melapor….”
“Aku nenek tua lebih tidak percaya!” teriak Tio Sam-koh
dengan penuh kegusaran.
Melihat kekerasan nenek tua itu, dengan gusar Ciong Liankhek
segera membentak keras, “Sang harimau telah masuk
kedalam pintu!”
“Aku nenek tua sekali hajar membinasakan binatang itu!”
seru Tio Sam-koh kembali setengah berteriak.
Mendengar jawaban tersebut, Cu Im taysu segera tertawa
ter-bahak-bahak.
“Haah….haaahh….haaahh…. kalau begitu, Tio lo tay tetap
percaya kalau diluar pintu ada harimaunaya bukan?” serunya.
Sementara itu terdengar Chin Pek-cuan telah berkata,
“Thian Hong, lanjutkan perkataanmu itu!”

Hoa Thian-hong mengangguk, katanya, “Karena sebilah
pedang emas. Ciu It-bong sudah merasakan penderitaan
hidup yang tidak menyerupai kehidupan seorang manusia
selama belasan tahun lamanya, setelah pedang emas itu
munculkan diri, perduli sudah terjatuh ketangan siapapun, dia
pasti akan mempertaruhkan nyawanya untuk merebut
kembali”
Cu Im taysu menghela napas panjang, katanya, “Memang
disinilah terletak kelemahan watak manusia, Hong kongcu bisa
menyelaminya, hal itu membuat pinceng merasa amat kagum”
Merah jengah selembar wajah Hoa Thian-hong, ujarnya
kembali, “Pek Siau-thian berdaya upaya menyekap Ciu It-bong
sampai belasan tahun lamanya, itu berarti diapun menaruh
perhatian khusus terhadap pedang emas serta berusaha untuk
mendapatkannya, dendam sakit hati selaa belasan tahun tak
mungkin dibiarkan berlalu dengan begitu saja oleh Ciu Itbong,
ia pasti akan berusaha untuk membina sakan Pek Siauthian
serta melampiaskan rasa mendongkol yang disiap
kannya selama ini di dalam hati. Andaikata pedang emas
benar-benar berada ditangan Thian Ik-cu, sekalipun antara
pihak Sin-kie-pang ser ta Thong-thian-kauw sudah ada
perjanjian untuk bersekutu, Pek Siau-thian tak mungkin
mengerahkan segenap kekuatannya untuk turun gelanggang,
dia pasti akan berusaha untuk menjauhkan diri dari
pertentangan tersebut”
“Bandit-bandit dari kalangan hitam memang merupakan
manusia bangsa kurcaci yang gampang melupakan budi,
untuk kepentingan diri sendiri mudah saja mereka berganti
haluan” ujar Ciong Lian-khek.
“Itulah dia,” sambung Hoa Thian-hong lebih jauh, “kalau
pedang emas benar-benar muncul didalam pedang mustika
Poan liong poo kiam milik Thian Ik-cu, Jin Hian pasti akan

menuduh Thian Ik-cu sebagai pembunuh putranya, sekalipun
dia adalah seorang pimpinan suatu perkumpulan besar, dalam
keadaan begini tak mungkin ia bisa berpeluk tangan belaka.
Asal situasinya sudah berubah jadi begini maka
persekongkolan Sin-kie-pang, Hong In Hwee serta Thongthian-
kauw untuk menghadapi golongan kitapun tak mungkin
bisa diwujudkan kembali!”
“Andaikata pedang emas itu tidak berada didalam pedang
pusaka Poan liong poo kiam milik Thian Ik-cu, dan apa yang
diucapkan Giok Teng Hujin adalah ucapan yang kosong
belaka, apa yang harus kita lakukan?” sela Tio Sam-koh dari
samping.
Mendengar perkataan itu Hoa Thian-hong menghela napas
panjang.
“Aaaai….! pembicaraan boanpwee dilakukan dengan dasar
mempercayai perkataan dari nona Siang, andaikata perkataan
yang di ucapkan adalah kata-kata yang kosong belaka, maka
rencana besar kita dalam menghadapi pertarungan besar ini
tak berani kukatakan lagi”
Tiba-tiba Li hoa siancu berkata, “Leng-ci berusia seribu
tahun adalah benda langka yang sukar ditemukan didalam
kolong langit, kalau aku bersedia menghadiahkan benda
tersebut kepada seorang, itu berarti bahwa akupun bersedia
untuk memberikau pula selembar jiwaku kepadanya”
“Akupun berpendapat demikian” sambung Ci wi siancu
pula.
“Giok Teng Hujin tidak mungkin mempunyai hasrat untuk
mencelakai jiwa Siau long, masalah ini adalah suatu masalah

yang besar dan serius, tak mungkin ia berani bicara secara
ngawur dan sembarangan”
“Thian Hong,” tiba-tiba Chin Wan-hong bertanya,
“berapakah usia Giok Teng Hujin itu?”
Hoa Thian-hong tertegun, kemudian jawabnya, “Sekilas
memandang usianya diantara dua puluh satu, dua tahunan,
yang benar berapa dia tak pernah mengakuinya sendiri, ada
apa sih engkau tanyakan tentang persoalan ini?”
Chin Wan-hong tersenyum.
“Aku sedang menyelidiki apakah pertanyaannya itu bisa
dipercaya atau tidak….”
Setelah berhenti sebentar, sambungnya lebih jauh, “Ia
menyebut diriya sebagai hujin, apakah ia telah mempunyai
suami….?”
“Aku rasa tidak!”
Tio Sam-koh yang mendengarkan pembicaraan itu, diamdiam
berpikir didalam hatinya, “Hmmm! anak perempuan
benar-benar musingkan kepala, dunia mau ambruk tidak
digubris, yang dipikirkan cuma merebut orang laki saja….”
Berpikir sampai disini, ia segera berpaling ke arah Hoa
Hujin yang berada disisinya dan bertanya, “Sebenarnya Siang
Tang Lay sudah mati atau masih hidup?”
“Setelah berhasil kami selamatkan jiwanya tempo dulu,
keadaannya amat payah, empat otot besar pada anggota
badannya sudah putus, ilmu silatnya punah dan tubuhnya
telah menjadi cacat, setelah Goan Siu menghantar dirinya
pulang ke wilayah See Ih, kabar beritanya tiba-tiba terputus

dan aku sendiri pun tak tahu apakah dia masih hidup di kolong
langit atau tidak”
“Kecuali mempunyai seorang Putri, masih ada siapa lagi
yang punya bubungan dengan dirinya? apakah dia mempunyai
anak murid?”
Hoa Hujin segera menggeleng.
“Pada waktu itu Siang Tang Lay sudah berputus asa dan
orangnya jadi pemurung sekali, ketika Goan Siu mengantar
dirinya melakukan perjalanau sejauh puluhan laksa li dalam
waktu empat bulan, dan sendiripun masih belum dapat
menyelami perasaan hatinya”
Setelah berpikir sebentar, sambungnya lebih jauh, “Setelah
Goan Siu menghantar dia sampai diwilayah See Ih, diapun
menghadiahkan pedang berat terbuat dari baja itu untuk
dirinya dan sejak itulah mereka berpisah, untuk selanjutnya
apakah Siang Tang Lay beristri dan beranak, apakah dia
mempunyai murid? Goan Siu sama sekali tidak tahu”
“Oooh….! rupanya pedang baja yang amat berat milik Sang
ji adalah hadiah dari Siang Tang Lay, barang pusaka yang dia
miliki benar-benar amat banyak, bukan saja ada pedang emas
bahkan Leng-ci berusia seribu tahun pun dimiliki olehnya”
Setelah tertegun sebentar, sambungnya kembali, “Kalau
memang putri Siang Tang Lay bisa menghadiakan Leng-ci
berusia seribu tahun itu untuk orang lain, bukankah itu berarti
bahwa penyakit cacad yang diderita Siang Tang Lay telah
sembuh?”
“Itu belum tentu” jawab Chin Pek-cuan sambil tertawa,
“bukankah didalam cupu-cupunya manusia pincang she Lie
penuh berisikan obat mujarab yang bisa menghidupkan

kembali orang mati? namun justru kakinya yang pincang tak
mampu untuk disembuhkan”
“Chin loo ji, apakah engkau ada maksud untuk mencari
gara-gara dan ribut dengan aku nenek tua?” bentak Tio Samkoh
dengan gusar.
“Aku tidask berani! buru-buru Chin Pek-cuan berseru sambil
tertawa.
Dengan suara berat Ciong Lian-khek pun berkata, “Thin
Hong, kalau keadaannya memang begitu, terpaksa kita harus
maju terus pantang mundur, tapi pedang emas disembunyikan
didalam pedang mustika Poan lio ng poo kiam milik Thian Ikcu,
menurut pendapat mu apa yang harus Kita lakukan untuk
membongkar rahasia tersebut?”
“Boanpwee pernah memikirkan persoalan ini, aku merasa
andaikata kita bongkar dengan menggunakan kata-kata, maka
orang lain malah justru akan menaruh cunga bahwasanya
sengaja Kita sedang mengadu domba dan menggunakan
siasat”
Jilid 3
SEMUA orang menganggut dengan mulut membungkam,
mereka menantikan perkataan pemuda itu lebih jauh.
Dengan sorot mata yang tajam, Hoa Thian-hong menyapu
sekejap wajah para jaga, kemudian katanya lebih jauh,
“Menurut pendapat boanpwce, lebih baik sebelum kejadian
kita tentukan lebih dahulu seseorang, sebelum pertarungan
massal berkobar kita tantang Thian Ik-cu lebih dahulu serta
berusaha keras untuk menggetar kutungkan pedang Poan
liong Poo kiam miliknya itu!”

Mendengar perkataan ini semua orang segera saling
berpandangan dengan mulut membungkam, dalam hati
mereka pun memikirkan siapakah orang yang cocok untuk
maju pada babak pertama ini serta mengambil oper tugas
tersebut.
Tiba-tiba Cu Im taysu berkata, “Hoa Hujin, pekerjaan itu
merupakan suatu pekerjaan yang berat dan maha penting,
aku lihat terpaksa hujin harus turun tangan sendiri”
Hoa Hujin termenung beberapa saat lamanya, kemudian
sambil menghela napas, ia gelengkan kepalanya berulang kali.
“Sejak permulaan sampai sekarang, aku orang Bun Siau-ih
tak pernah menggunakan senjata, kalau dikatakan untuk
membereskan jiwa Thian Ik-cu memang gampang sekali, tapi
untuk menggetarkan pedang mustikanya sampai kuntung
pekerjaan ini terlalu sulit”
“Aneh benar!” teriak Tio Sam-koh dengan dahi berkerut,
“kalau memang untuk membereskan jiwa Thian Ik-cu
gampang sekali, apa salahnya kalau sekali hantam kau
bereskan saja bajingan-bajingan itu?”
Hoa Hujin tertawa getir.
“Sam-koh, terus terang saja kukatakan bahwa tenaga
pukulan yang kumiliki pada saat ini mungkin tak akan mampu
ditahan oleh siapapun juga di kolong langit dewasa ini”
“Bagus sekali, kalau memang begtu kenapa engkau harus
sungkan-sungkan lagi?”
“Aaai….! Sam-koh dengarkan dahulu perkataanku!”

“Katakanlah! aku nenek tua akan mendengarkan.”
Hoa Hujin menghela nafas panjang ujarnya, “Tenaga
pukulan yang kumiliki bagaikan air dalam gentong saja lebih
banyak serangan yang dipergunakan makin berkurang tenaga
pukulanku jumlah pukulan yang bisa kupergunakanpun
tertentu sekali jumlahnya”
“Lalu berapa banyak pukulan yang mampu kau lancarkan?”
tanya Tio Sam-koh dengan hati tercengang.
“Itu sih tidak menentu, tenaga pukulanku bisa digunakan
dalam satu kali pukulan belaka dapat pula dipergunakan
secara menghemat dan sampai beberapa puluh pukulan”
“Heeehh…. heeehh…. heeehhh….selamanya engkau
memang paling suka memperhatikan segala macam
keanehan!” seru Tio Sam-koh sambil gelengkan kepalanya
berulang kali.
“Ibu!” tiba-tiba Hoa Thian-hong berseru, “bila tenaga
pukulanmu telah habis dipergunakan maka bagaimanakah
dengan kesehatan badanmu?”
Cu Im taysu menghela napas panjang, pikirnya, “Kebaktian
bocah ini terhadap ibunya benar-benar tak dapat
dibandingkan dengan orang lain”
Tampak Hoa Hujin tersanyum, sambil memandang ke arah
putra kesayangannya, ia berkata, “Semua harapan pada saat
ini terletak di atas pundak kita, sudah sepantasnya kalau kita
berusaha untuk menghindarkan diri dari pertanyaan itu,
timbullah perasaan curiga dalam hati Hoa Thian-hong,
tanyanya lebih jauh, “Bagaimana dengan luka lama yang ibu
derita? dan pukulan beracun itu….”

“Engkau tak usah banyak bertanya!” tukas Hoa Hujin cepat.
Setelah berhenti sebentar, tiba-tiba ujarnya lagi dengan
suara lembut, “Akupun tak akan mengelabuhi dirimu, luka
racun yang kuderita akibat serangan tempo hari berhasil
kusanding dengan tenaga da lamku, jikala tenaga murniku
habis digunakan maka luka racun itu akan kambuh kembali”
Hoa Thian-hong jadi amat terperanjat.
“Bukankah pada waktu itu keadaan jadi payah sekali….!”
Tiba-tiba ia temukan wajah ibunya diliputi perasaan tak
senang hati, buru-buru ia tutup mulut tidak berbicara lagi.
“Hujin, ilmu pukulan apa sih yang kau pelajari? kenapa
gejalanya sama sekali bertolak belakang dalam keadaan pada
umumnya?” tanya Cu Im taysu kemudian, “apakah engkau
dapat memberi keterangan sehingga pin ceng sekalipun dapat
menambah pengetahuan?”
“Ilmu telapak yang aku pelajari adalah peleburan antara
ilmu telapak Thian lui ciang pukulan geledek dengan Hek sat
ciang ilmu pukulan malaikat hitam ilmu sesat aliran kiri
bukanlah suatu kepandaian yang patut dibanggakan”
Cu Im taysu mengerutkan dahinya mendengar ucapan
tersebut katanya, “Seringkali aku dengar orang berkata bahwa
ilmu Thian lui ciang ialah ilmu pukulan yang paling keras di
kolong langit sebaliknya ilmu pukulan Hek sat ciang adalah….”
Hoa Hujin menangkap tangannya dan tertawa.
“Ilmu pukulan Hek sat ciang terdiri dari banyak ragamnya,
sifat racun yang dìgunungpun berbeda-beda, dan yang

mengandalkan racun bangkai, racun ular, racun tumbuhtumbuhan
dan juga racun yang bersipat dingin, meskipun
begitu kebanyakan racun yang dipakai adalah racun yang ada
dalam jagad, dengan dilatih secara tekun maka racun itu
mencampur baur dengan angin pukulan, siapa yang
terhantam isi perutnya pasti luka keracunan, sebaliknya racun
yang kugunakan adalah racun batu yang ada didaftar perut
bumi!”
Setelah berhenti sebentar, sambil tertawa getir
sambungnya lagi, “Racun ini ganas sekali, siapa yang terkena
pasti mati…. Harimau ganas mengandalkan air sungai…. kalau
dibicarakan benar-benar memalukan sekali!”
Tanpa sadar sorot mata semua orang dialihkan ke arah
telapak tangannya yang putih mulus itu, tampaklah sekilas
gumpalan hitam tercekat pada telapak tangannya, gumpalan
hitam itu melompat-lompat seperti mau loncat keluar,
membuat orang yang melihat jadi ngeri rasanya.
Setelah suasana hening beberapa saat lamanya, tiba-tiba
Ciong Lian-khek berkata kembali dengan suara lantang.
“Taysu, engkau gunakan senjata sekop menggantikan
senjata toya, setelah berlatih sepuluh tahun pasti sudah
mendapatkan kemajuan yang pesat bukan….? bagaimana
kalau tugas berat pada pertarungan babak pertama ini
kubebankan kepadamu?”
Mendengar pertanyaan tersebut, mula-mula Cu Im taysu
nampak agak tertegun kemudian dengan kepala tertunduk
termenung beberapa saat lamanya.
Seperminum teh kemudian dia angkat kepala dan menjura,
“Sejak kekalahan dalam pertemuan besar Pak beng hwee,
pinceng telah mengasingkan diri selama sepuluh tahun

lamanya tanpa seharipun berani angkat kepala, dalam
pertemuan Kian ciau tayhwee nanti, walaupun aku masih
belum mampu untuk membebaskan jiwa Thian Ik-cu, namun
untuk mempertaruhkan jiwa guna menggetar kutung pedang
mustika milik imam tua itu, pinceng yakin masih mampu untuk
melakukannya”
“Luar biasa! apakah engkau ingin melatih dirimu jadi Budha
dan selamanya tidak mati?” teriak Tio Sam-koh
“Demi keadilan serta kebenaran pinceng tidak takut
mengorbankan jiwa ragaku, cuma saja Thian Ik-cu adalah
seorang ketua perkumpulan besar, lagi pula tuan rumah
penyelenggaraan pertemuan besar Kian ciau tayhwee,
sedangkan pinceng bukan seorang jagoan yang kenamaan,
berada dihadapan para jago dari seluruh jagad, kendatipun
pinceng mengajukan tantangan untuk berduel, belum tentu
Thian Ik-cu bersedia untuk melayaninya”
“Kau maki saja nenek moyang delapan belas turunanya,
masa dia tetap tidak akan ambil perduli!” seru Tio Sam-koh
dengan gusar.
Cu Im taysu agak tertegun mendengar perkataan itu,
sambil tertawa segera ujarnya, “Thian Ik-cu adalah seorang
pemimpin tertinggi dari perkumpulannya, ia pasti akan
mengutus jago lihay lainnya untuk melayani tantanganku itu,
aku lihat ilmu silat yang dimiliki Tio lo tay jauh lebih tinggi
daripada kepandaian pinceng….”
Lihay atau tidak kenapa!” seru Tio Sam-koh dengan mata
melotot besar, apakah aku nenek tua kalah dengan dirimu?”
Hoa Hujin segera goyangkan tangannya berulang kali,
serunya agak keras, “Sam-koh, buat apa sih musii bersilat
lidah? persoalan ini amat serius sekali.”

“Thian Ik-cu sebagai tuan rumah bagi diselenggaranya
pertemuan besar Kian ciau tayhwee, sebelum mencapai babak
terakhir tak mungkin ia bersedia untuk turun tangan
sendiri….”
“Kalau memang begitu, apa itu pedang emas pedang
perak, bukankah kita sudah bicarakan persoalan itu dengan
percuma saja?” teriak Tio Sam-koh kembali.
“Engkau tak usah terburu nafsu, sebodoh-bodohnya
manusia pasti akan berhasil juga, mari kita berunding kembali
persoalan ini secara masak, akhirnya kita pasti akan berhasil
mendapatkan suatu cara yang baik!”
“Siau long, mampukah engkau menangkan Thong-thiankauwcu?”
tiba-tiba Li hoa siancu bertanya.
“Aku sama sekali tak becus!” jawab Hoa Thian-hong
dengan wajah agak jengah, “bicara yang sesungguhnya aku
masih bukan tandingan dari Thian Ik-cu….”
Li hoa siancu segera menghela napas panjang, ujarnya,
“Thian Ik-cu adalah salah seorang diantara musuh-musuh
besar pembunuh ayahmu, jikalau engkau menggunakan dalih
hendak menuntut balas bagi kematian ayahmu, berada
dihadapan umum mungkin saja Thian Ik-cu terpaksa harus
munculkan diri untuk melayani dirimu, lagipula engkau masih
muda dan merupakan angkatan yang lebih muda, siapa tahu
kalau Thian Ik-cu merasa yakin dapat menangkan dirimu dan
segera turun tangan melayani tantanganmu itu….”
“Perkataan ji suci sedikitpun tidak salah” sahut Hoa Thianhong.

Sambil menggertak gigi, ujarnya kembali, “Sebenarnya aku
ingin sekali mengatakan imam siluman itu untuk berduel satu
lawan satu, aku hanya kuatir kekalahanku bakal
mempengaruhi semua keadaan!”
Tio Sam-koh yang semakin berpikir semakin kesal, tiba-tiba
loncat bangun dari atas tanah dan beteriak sambil
menghantamkan tongkat besinya keatas tanah, “Perahu yang
tiba diujung jembatan tentu akan lurus sendiri! siapa kalau
berani bicara tidak keruan lagi, jangan salahkan kalau aku
nenek tua segera akan memberi hadiah satu pukulan yang
keras”
ooooOoooo
44
“PERKATAAN dari Tio lo tay tidak salah!” seru Chin Pekcuan
pula dengan suara keras, “daripada duduk sambil
berbicara lebih baik kita gunakan kesempatan ini untuk
berlatih ilmu silatnya sendiri-sendiri….”
Pada saat itu fajar telah menyingsing diufuk sebelah timur,
diatas bukit tampaklah jago-jago dari kalangan lurus itu
sedang melatih ilmu silatnya masing-masing dengan tekun dan
rajin.
Hoa Hujin duduk diatas batu gunung sambil menyaksikan
putranya berlatih ilmu pedang, Hoa Thian-hong sendiri dengan
gerak naga langkah harimau memainkan pedang bajanya
dengan penuh bersemangat, dibawah sinar matahari
tampaklah cahaya tajam memancar keempat penjuru
menyilaukan mata orang, angin pedang menderu-deru amat
memekikkan telinga.

Li hoa siancu maju mendekati, lalu berkata sambil tertawa,
“Sewaktu masih berada diselat Bu hiang kok tahun berselang,
ilmu silat yang dimiliki siau long masih belum dapat
menangkan diriku, tapi sekarang agaknya lima puluh
gebrakanpun aku sudah tak mampu untuk melayani dirinya….”
Tiga dewi dari wilayah Biau adalah tamu terhormat, Hoa
Hujin tak berani bersikap ayal, segera ia tersenyum sambil
menjawab, “Nona memiliki kepandaian ahli dibidang lain,
tentu saja kemajuan yang diperoleh dalam bidang ilmu silat
agak lambat!”
Ci wi siancu pun berjalan mendekat, lalu menimbrung dari
samping, “Hujin, ilmu pedang siau long meskipun hanya terdiri
dari enam belas jurus belaka akan tetapi setiap kali tampaklah
muncul gerakan-gerakan baru yang serba aneh dan belum
pernah terlihat sebelumnya, setelah kuamati dengan lebih
seksama terasa olehku bahwasanya keenam belas jurus ilmu
pedang itu merupakan serangkaian garis besar dari suatu
kepandaian belaka, sedangkan isinya sebenar nya amat luas
dan memiliki perubahan yang tak terhitung banyaknya”
Hoa Hujin menghela napas panjang katanya, “Rangkaian
ilmu pedang itu sebenarnya merupakan hasil ciptaan dari
mediang ayahku, sayang sekali waktu berlatih terlalu singkat
sehingga seng ji tak mampu untuk melatih inti sari yang
sebenarnya”
Ditengah pembicaraan, Hoa Thian-hong telah selesai
memainkan jurus pedangnya, baru saja tarik kembali
senjatanya untuk minta petunjuk pada ibunya, tiba-tiba
terdengar Ciong liang kek membentak keras, “Thian Hong,
lihat pedang!”
Hoa Thian-hong tertegun, bayangan manusia berkelebat
dan cahaya tajam pun tahu-tahu sudah muncul didepan mata,

membuat si anak muda itu terpaksa harus cepat-cepat
menggerakkan pedangnya untuk menyambut datangnya
serangan tersebut.
“Lihat pedang, lihat pedang!” bentak Ciong liang kek
berulang kali.
Ditengah bentakan keras pedangnya laksana sambaran dan
ledakan guntur berkilauan memenuhi angkasa, seranganserangan
gencar yang dilancarkan semuanya ditujukan ke
arah jalan darah penting diseluruh badan Hoa Thian-hong.
Dalam keadaan begitu, terpaksa pemria she Hoa itu harus
putar pedangnya untuk menyambut serangan musuh namun
lama kelamaan ia merasa kepayahan, segera pikirnya,
“Locianpwee turun tangan begini gencar, aku mana sanggup
untuk melayaninya….?”
“Ayolah menyarang secara benar-benar….!” tiba-tibaa
Ciong Lian-khek membentak dengan penuh kegusaran.
Hoa Hujin termenung sebentar, kemudian iapun ikut
berseru dengan suara lantang, “Ciong lian cianpwee ada
maksud untuk menggembleng dirimu Seng ji! layanilah
dengan sepenuh tenaga”
Hoa Thian-hong merasakan semangatnya berkobar, ia
membentak keras dan pedangnya segera disapu kedepan
untuk menolong posisinya.
“Bukankah engkau berhasrat untuk menggetarkan pedang
pusaka Poan liong poo kian milik Thian Ik-cu sewaktu
diselenggarakannya pertemuan besar Hian ciau tayhwee? Nah!
layani dulu serangan pedangku ini!” seru Ciong Lian-khek
dengan suara lantang.

“Boanpwee tak berani bertindak kurang ajar” sahut Hoa
Thian-hong sambil putar senjata untuk menyambut datangnya
ancaman musuh.
“Hmm! tak usah bicara begitu, belum tentu engkau mampu
untuk menggetarkan pedang ku ini….”
“Sungguh gagah dan bersemangat locianpwee ini” pikir Hoa
Thian-hong didalam hati, “kalau aku bertindak sungkansungkan
terus, justru tindakanku ini malahan akan bangkitkan
kemarahannya….”
Berpikir demikian, ia segera menggetarkan pedangnya dan
langsung menerjang ke arah pedang lawan.
“Kurang ajar!” bentak Ciong Lian-khek.
Ujung pedangnya segera menggetarkan berpuluh-puluh
bunga perak yang menyiliaukan mata, dengan suatu gerakan
cepat, ia serang dada pemuda itu.
Hoa Thian-hong terkesiap, sekuat tenaga ia loncat
kebelakang sejauh beberapa tombak dari tempat semula,
ketika ia menengok ke atas dadanya maka tampaklah pakaian
yang dia kenakan telah bertambah dengan dua puluh buah
lubang kecil yang rumit dan rapi.
Hoa Hujin segera tertawa dan memuji, “Suatu jurus Cu sian
tiau keng atau para dewa menghadap atasan yang sangat
indah, aku rasa kesempurnaan ilmu pedang yang dimiliki
Thian Ik-cu tak akan jauh lebih ampuh daripada serangan
tersebut, “Hujin memahami bukan, bahwa kepandaian yang
dimiliki bajingan Thian Ik-cu bukan hanya terbatas pada jurus
pedang belaka?” kata Ciong Lian-khek dengan nada tertawa.

“Untuk menggetarkan pedang lawan hingga patah, engkau
harus menyerang ke arah bagian tubuh lawan yang penting
dan lemah, kalau menyerang pedang lawan secara ngawur
begitu, bukan sama artinya mencari jalan kematian buat diri
sendiri?”
Merah padam selembar wajah Hoa Thian-hong setelah
mendengar perkiraan itu, sahutnya kemudian, “Boanpwee
memang sangat bodoh, sekarang aku telah mengerti!”
Tiba-tiba Cu Im taysu maju menghampiri dan berkata, “Hoa
Hujin, setelah pinceng berpikir pulang pergi, aku segera
merasa kendatipun setiap saat dan setiap detik kita melatih
ilmu silat kita secara tekun dan rajin setetes demi setetes
dikumpulkan hal itu tidaklah mendatangkan manfaat yang
terlalu banyak, lain halnya dengan Thian Hong, mula-mula
tenaga dalamnya memperoleh kemajuan pesat karena
pengaruh racun teratai empedu api kemudian badannya jadi
enteng karena pengaruh Leng-ci berusia seribu tahun, hal ini
membuat dia memiliki dasar kekuatan yang benar-benar
sangat tangguh, sepantasnya kalau kita gembleng dirinya
secara tekun dan rajin sebab dialah satu-satunya kekuatan
yang bisa kita harapkan serta andalkan”
“Budi kebaikan taysu sangat mengharukan hati kami
berdua” ujar Hoa Hujin dengan serius.
Setelah termenung beberapa saat lamanya, tiba-tiba ia
berpaling ke arah Hoa Thian-hong dan berseru, “Seng Ji,
berlutut!!”
Buru-buru Hoa Thian-hong maju kedepan dan jatuhkan diri
berlutut diatas tanah, katanya, “Ananda siap mendengarkan
nasihat ibu!”

Dengan suara dalam Hoa Hujin segera berkata, “Cu Im
taysu serta Ciong lian cianpwee adalah sahabat karib
mendiang ayahmu, setelah cianpwee berdua maksud untuk
menggembleng engkau jadi naga maka engkau harus
berjuang secara tekun dan rajin untuk mencapai tingkat
seperti yang diharapkan, janganlah sampai engkau menyianyiakan
maksud baik dari kedua orang cianpwee itu”
Hoa Thian-hong mengiakan, ia segera memberi hormat
kepada Cu Im taysu serta Ciong Lian-khek sambil berkata,
“Terima kasih banyak atas kesediaan locianpwee untuk
membimbing seria membina diriku”
“Tak usah banyak adat!” seru Ciong lian-kek sambil ulapkan
tangannya, “keluarkan segenap kepandaian yang kau miliki,
lebih cepat ia mampu mengalahkan kami berarti kekuatan bagi
rombongan kita jauh lebih kuat dan ini berarti harapan kita
untuk melanjutkan hidupun semakin besar!”
Hoa Thian segera bangkit berdiri, sambil memberi hormat,
serunya kembali, “Boanpwee akan berusaha dengan sepenuh
tenaga, aku tak akan berani bermalas-malasan!”
Air muka Ciong Lian-khek tetap hambar, pedangnya
direntangkan kedepan menerjang maju kedepan.
Buru-buru Hoa Thian-hong putar pedang menyambut
datangnya serangan, seluruh perhatiannya dicurahkan jadi
satu untuk mengha dapi pertempuran itu, sedikitpun ia tak
berani berayal. Ilmu pedang yang dimiliki Ciong Lian-khek
mengutamakan keganasan serta ketelengasan, dengan
bantuan tenaga dalamnya yang amat sempurna, boleh
dibilang setiap serangannya disertai desingan angin tajam.
Sebaliknya ilmu pedang yang dipergunakan Hoa Thianhong
lebih bersifat terbuka namun kokoh dalam pertahanan

dan tajam dalam serangan, meskipun sudah bertempur lima
enam puluh jurus lebih, namun kedua belah pihak masih tetap
bertahan dalam posisi seimbang.
Hoa Hujin yang mengikuti jalannya pertempuran dari sisi
arena, tiba-tiba berseru dengan suara berat, “Keluar dari
posisi Bu wong menuju ke tempat kedudukan Kui wi, gunakan
jurus Hang hui ciy thian atau pelangi melayang diangkasa
serta Liong Can ek ya atau naga bertarung ditanah liat”
Beberapa patah kata itu diutarakan amat cepat, Hoa Thianhong
tak sempat berpikir panjang lagi segera geserkan
langkahnya dua tindak kesamping, pedang digetarkan keatas
dan…. Sreeeet! Sreeet! secara beruntun melancarkan dua
babatan kilat.
Kedua jurus serangan tersehat merupakan jurus kesebelas
dan kedua belas dari rangkaian ilmu pedang yang dipelajari
Hoa Thian-hong serta entah berapa ribu kali, sekali bergerak
serangannya secara otomatis meluncur keluar dengan
sedirinya.
Ciong Lian-khek sendiri ketika mendengar Hoa Hujin
memberi petunjuk kepada putranya, satu ingatan segera
berkelebat dalam benaknya, pedang panjang dengan cepat
menerjang maju kedepan.
Tampaklah pedang baja Hoa Thian-hong mencuak keatas,
mula-mula memunahkan serangan yang dilancarkan olehnya,
baru saja dia akan berubah jurus serangan mendadak pedang
si anak muda itu dengan jurus Liong can ek ya telah
membabat pinggangnya.

Dalam keadaan begini, bagi Ciong Lian-khek kecuali
menangkis datangnya ancaman tersebut satu-satunya jalan
loncat mundur keluar gelanggang.
Namun rupanya ia sudah mempunyai perhitungan, disaat
yang kritis pedangnya segera di ayun kesamping dan
berpapasan dengan pedang baja Hoan Thian Hong, meskipun
begitu senjatanya sama sekali tidak terbentur olehnya.
Cu Im taysu segera tertawa dan berseru, “Hujin benarbenar
sangat lihay, Cong liang heng pun hebat sekali!”
Sambil siapkan senjata sekopnya, ia segera berseru,
“Bersiap-siaplah, pinceng akan turut terjun ke dalam
gelanggang!”
Setelah mendapat petunjuk dari ibunya, Hoa Thian-hong
berhasil memperbaiki posisinya tetapi baru saja
menghembuskan napas lega mendadak terasalah cahaya
perak berkilauan diangkasa, segulung desiran angin tajam
tahu-tahu sudah menghantam batok kepalanya.
Ia sudah pernah merasakan kelihayan dari Cu Im laysu dan
mengetahui pula kalau di balik senjata sekopnya itu tersimpan
tenaga raksasa seberat ribuan kali, ia tak menerima keras
lawan keras, badannya segera berkelit kesamping dan
menerjang Ciong Lian-khek.
Terdengar Co Im taysu membentak keras, angin tajam
berhembus lewat sekali lagi, senjata sekop yang berat
meluncur datang kembali, sedangkan Ciong Lian-khek pun
ambil kesempatan itu mengirim satu pukulan kembali ke arah
depan.

Dengan kerja sama dari kedua orang ini, boleh dibilang
serangan-serangan yang dilancarkan termasuk kuat dan
ampuh, Hoa Thitan Hong yang harus menghadapi serangan
dua orang sekaligus jadi keteter hebat.
“Criiing….! senjata sekop Cu Im taysu menyambar lewat
menggetarkan pedang baja dari Hoa Thian-hong hingga
mencelat keang kasa, sementara Ciong Lian-khek dengan tak
kenal ampun segera melancatkan satu tusukan kilat ke arah
tubuhnya.
Hoa Thian-hong malu bercampur cemas, sekuat tenaga ia
loncat ke tengah udara dan menyambar kembali pedang
bajanya.
“Hmm! engkau begitu tak becus, namun ambisinya besar
sekali” seru Ciong Lian-khek dengan ketus, “dengan andalkan
kepandaian seperti itu engkau ingin merebut kekuasaan
dengan Thian Ik imam? bajingan itu. Heeh….heeh….heeh.
benar-benar omong kosong”
“Dalam menghadapi pertarungan seseorang tidak boleh
mempunyai perasaan mengalah, kepandaian silat apa saja
yang kau miliki? ayoh keluarkan semua….!”
“Maaf kalau boanpwee tak tahu adat!” seru Hoa Thianhong
dengan wajah jengah.
Ia segera menerjang maju kedepan, pedar nya langsung
menerjang tubuh Cu Im taysu.
“Hmm! kalau engkau tak mampu menangkan taysu serta
diriku, dalam pertemuan besar Kian ciau tayhwee, engkau tak
ada kesempatan untuk tampil kedepan!” seru Ciong Lian-khek
kembali dengan dingin.

Sembari berkata, pedangnya berputar kencang, dalam
waktu singkat ia sudah melancarkan tujuh buah serangan
kilat.
Hoa Thian-hong segera mengerahkan segenap
kemampuannya untuk menangkis datangnya seranganserangan
kilat dari Cu Im taysu serta Ciong Lian-khek,
walaupun begitu posisinya masih tetap terdesak dan kalang
kabut.
Tiba-tiba terdengar Li hoa siansu berkata sambil tertawa,
“Hoa Hujin, usia siaulong masih terlalu muda, mana dia
mampu untuk menghadapi serangan gabungan dari dua orang
cianpwee? lebih baik biarlah kami kakak beradik yang
melayani dirinya saja, sedang hujin memberi petunjuk dari
samping, dengan begitu mungkin hal ini akan jauh lebih
bermanfaat bagi dirinya.”
“Bagus sekali!” pikir Hoa Thian-hong di dalam hati,
“sampai-sampai Li hoa cicipun tidak pandang sebelah matapun
terhadap diriku!”
Meskipun pendidikan yang diberikan Hoa Hujin terhadap
putranya sangat keras, akan tetapi Hoa Thian-hong sebagai
pemuda yang berdarah panas, ia tak tahan mendengar
rangsangan dan akhirnya timbullah perasaan ingin menang
dalam hati kecilnya, tanpa sadar pula semangat bertempurpun
semakin meningkat, tidak menggubris apa yang diucapkan
oleh Hoa Hujin lagi, ia segera membentak keras berulang kali
dan pedang bajanya melancarkan serangan balasan dengan
sepenuh tenaga.
Dalam sekejap mata, cahaya tajam membumbung tinggi
diangkasa, dari posisi bertahan ia berubah jadi posisi
menyerang.

Sekalipun begitu, namun sayang sekali dalam beberapa
saat kemudian ia sudah terdesak kembali oleh seranganserangan
gabungan sekop dan pedang itu hingga terdesak
diatas tanah.
Dengan saksama Hoa Hujin mengikuti terus jalannya
pertarungan antara ketiga orang itu, melihat Hoa Thian-hong
sudah lemah tak bertenaga lagi ia segera berseru, “Gunakan
jurus Hok tok han tong bangau sakti terbang dikolam, Sa in
cion bong em empat penjuru sunyi senyap, Im yang ji kek dua
kekuatan Im yang serta Po goan siu it pusat pikiran jadi satu!”
Keempat jurus tersebut merupakan jurus-jurus ampuh
dalam ilmu pedang yang dipelajari Hoa Thian-hong begitu
cepatnya Hoa Hujin menyebutkan nama dari jurus-jurus
serangan itu membuat orang yang berada disampingnya boleh
dibilang sama sekali tak sempat mendengar dengan jelas.
Tetapi bagi Hoa Thian-hong yang mempelajari ilmu silat
tersebut dari Hoa Hujin, boleh dibilang antara kedua orang itu
sudah memiliki ikatan batin yang kuat, mendengar seruan
tersebut pedang baja ditangan Hoa Thian-hong segera
berputar cepat dalam waktu singkat keempat buah jurus
serangan tersebut sudah dikerahkan keluar semua.
Ketika ia gunakan jurus Im yang ji kek, pedang
ditangannya berputar dari arah kiri menuju ke arah kanan,
begitu tepat dan manis penggunaan jurus pedang tersebut
membuat dua orang lawannya terdesak mundur satu langkah
kebelakang.
Ciong Lian-khek yang berada disebelah kiri, setelah mundur
segera maju kembali kedepan, pedangpun ikut menyerang
kedepan.

Siapa tahu, setelah melancarkan tiga jurus serangan tadi,
mendadak Hoa Thian-hong silangkan pedangnya didepan
dada, tubuhnya berputar kencang dan pedangnya menerjang
kedepan, nampaknya pedang baja itu segera akan saling
membentur dengan senjata lawan.
Selama hidup Ciong Lian-khek membenamkan diri untuk
mendalami ilmu pedangnya, tenaga dalam yang dimilili boleh
dibilang sudah mencapai kesempurnaan yang luar biasa,
ketika menyaksikan gelagat kurang baik, dia segera buyarkan
serangan sambil menahan diri.
Hoa Hujin yantg menyaksikan kejadian itu, bersiap untuk
memberi perintah kepada Hoa Thian-hong untuk
menggunakan jurus Lak hoo kui it atau enam bergabung satu
untuk mengobrak-abrik pertahanan.
Ciong Lian-khek mendadak teringat olehnya bahwa tenaga
dalam yang dimiliki Hoa Thian-hong belum mencapai
puncaknya serangan yang dilancarkan secara paksa belum
tentu mampu hasilkan tenaga sebesar sepuluh bagian, maka
ingatan lain berkelebat dalam benaknya, ia segera membentak
keras, “Gunakan jurus Kiu thian cu lay atau sembilan langit
menutup seruling serta Kun siu ci tau!”
Sementara itu, ketika menyaksikan datangnya ancaman
sekop yang dilancarkan Cu im taysu, Hoa Thian-hong memang
berhasrat untuk mempergunakan jurus serangan Kiu thian cu
lay, mendengar seruan tersebut ia jadi semakin bersemangat,
pedang bajanya segera diayun kedepan membabat sepasang
lengan Cu Im taysu sedangkan telapak kirinya menghajar
Ciong Lian-khek.
Traaang….! Pedang baja saling membentur dengan senjata
sekop hingga menimbulkan suara dentingan yang amat
nyaring, tubuh Cu Im taysu terbendung kebelakang sebaliknya

Hoa Thian-hong terdorong mundur satu langkah kebelakang
dengan sempoyongan.
Meskipun pedang bajamerupakan benda yang keras namun
senjata sekop dari Cu Im taysu pun merupakan tenaga
raksasa yang luar biasa, dalam bentrokan tersebut sama sekali
tak cedera sebaliknya tubuh Hoa Thiang Hong malahan
tergetar keras.
Dengan termakannya oleh getaran tersebut, serangan yang
dilancarkan dengan tangan kirinya pun melesat…. Kraaak!
serangan tadi menghajar diatas bahu Ciong Lian-khek.
Ketika ujang telapaknya menempel diatas pakaian, buruburu
Hoa Thian-hong menarik kembali serangannya dengan
perasaan tak tenang, Cu Im taysu sendiripun menarik kembali
senjatanya dan berhenti menyerang hanya Ciong Lian-khek
yang membentak kembali, “Ayo teruskan seranganmu!”
Pedang panjangnya laksana kilat melancarkan serangan
kembali.
Dalam waktu singkat kedua orang itu sudah terlibat kembali
dalam suatu pertempuran yang amat sengit.
Diam-diam Hoa Thian-hong berpikir, “Orang lain tak dapat
maju karena susah mendapat bimbingan guru pandai serta
kesempatan untuk memperdalam ilmunya, sedangkan aku
sudah mendapatkan kasih sayang dari orang tuaku, bisa
mempelajari il mu silat tangguh dan lagi ada pula para
cianpwee yang bersedia mengobankan waktu serta tenaga
untuk menggembleng diriku, kalau aku tidak dapat
memanfaatkan kesempatan ini serta mencapai tingkat ilmu
silat yang tinggi, bukankah kemampuanku ini ibaratnya kentut
anjing yang busuk dan sama sekali tak ada gunanya?”

Berpikir sampai disini, semangatnya segera berkobar,
pedang bajanya berputar makin kencang dan berusaha untuk
menyerobot posisi yang menguntungkan, hal ini memancing
berkobarnya semangar Cu Im taysu serta Ciong Lian-khek
untuk lebih memusatkan perhatiannya pada permainsn
senjata, jurus demi jurus dilancarkan semakin gencar dan
sedikitpun tiada maksud untuk mengendorkan serangan.
Hoa Hujin sendiripan lebih bersemangat serta lebih sering
memberi petunjuk kepada putranya, hal ini membuat Hoa
Thian-hong tak bisa menang juga tak dapat kalah,
pertarungan sengit berlangsung terus dengan ramainya.
Ditengah berlangsungnya pertarungan sengit, tiba-tiba
senjata sekop dari Cu Im taysu menggunakan jurus-jurus
ampuh yang paling rahasia, secara beruntun ia memaksa
Thian Hong jadi gugup dan kalang Kabut tak karuan, terdesak
hebat hingga kacau dalam pertahanan.
Menggunakan kesempatan yang sangat baik itu, Ciong
Lian-khek segera menyerang dengan serangan-serangan
ampuh, memaksa Hoa Thian-hong harus merghindar
berulangkali, tanpa sadar ia mundur semakin mendekati
ibunya.
Tiba-tiba terdengar Cu Im taysu membentak keras, cahaya
perak berkilauan memenuhi seluruh angkasa, dan tahu-tahu
senjata sekop itu sudah muncul diatas pinggang Hoa Thianhong
memaksa si anak muda itu sama sekali tak berkutik lagi.
Sambil menarik kembali senjata sekopnya, Cu Im taysu
berkata, “Untuk menyaksikan jurus Budbi bertanya soal
agama, pinceng harus membutuhkan waktu selama dua bulan
lebih sebelum berhasil menggunakan serangan itu dengan
leluasa, coba pikirkanlah dengan seksama, apakah engkau

mempunyai kepandaian untuk mencegah jurus serangan
tersebut?”
Merah padam selembar wajah Hoa Thian-hong setelah
mendengar pekataan itu, sambil menyeka air keringat yang
membasahi keningnya ia berkata, “Boanpwee tak dapat
memikirkan dengan jurus serangan apakah aku baru bisa
memecahkan jurus seranaan tersebut….”
Bicara sampai disini, sorot matanya segera dialihkan ke
arah ibunya.
Hoa Hujin termenung dan berpikir beberapa saat kemudian,
kemudian ujarnya dengan lirih, “Jurus serangan Budhi
menanyakan soal agama dari taysu memang betul-betul hebat
dan luar biasa sekali, akupun tak mampu untuk menemukan
jurus pemecahan yang jitu”
“Haahhh….haahah….haaahh…. kita toh sesama kawan
sealiran, kenapa hujin musti merendahkan diri?” seru Ciu Im
taysu sambil tertawa terbahak-bahak.
Mendadak seperti menyadari akan sesuatu sambil menatap
tajam wajah Hoa Thian-hong, katanya, “Nak, keenam belas
jurus ilmu pelang yang kau miliki merupakan kepandaian silat
maha ampuh yang ada di kolong langit, engkau harus
merubahnya secara teliti dan seksama, janganlah selalu
menggantung-kan pada kecerdasan ibumu”
Tiba-tiba terdengar Han In menimbrung dari samping
arena, “Sekarang tengah hari sudah menjelang tiba,
bagaimana kalau kalian beristirahat lebih dahulu? setelah
bersantap nanti latihan baru dilanjutkan kembali!”

Li hoa siansu pun memandang cuaca sebentar, kemudian
teriaknya, “Sian long, apakah ini hari engkau sudah tidak
merasakan lagi gejalagejala mau kambuhnya racun teratai?”
Hoa Thian-hong segera gelengkan kepalanya berulang kali.
“Sama sekali tidak merasakan apa-apa, aku rasa racun
teratai itu sudah dicairkan oleh getah Leng-ci berusia seribu
tahun”
Mendengar jawab n tersebut, semua orang jadi sangat
gembira dan merekapun bersantap siang.
Ternyata latihan pertarungan yang dilangsungkan oleh
ketiga orang itu sudah menarik perhatian para jago lainnya
sehingga ber sama-sama berkumpul disekitar arena, tanpa
terasa setengah hari sudah lewat dengan cepatnya.
Selesai bersantap, Hoa Thian-hong segera menyambar
kembali pedang bajanya dan loncat bangun dari atas tanah,
serunya sambil memberi hormat, “Locianpwee berdua,
bagaimana kalau kita lanjutkan pertarungan ini?”
“Apakah engkau telah berhasil menemukan bagaimana
caranya untuk memunahkan jurus serangan Budhi
menanyakan soal agama dari Cu Im taysu itu?”
“Setelah boanpwee berpikir beberapa saat, boanpwee rasa
untuk menghadapi jurus serangan Budhi menanyakan soal
agama dari taysu, aku dapat mempergunakan jurus Hi Cweng
ciu atau ikan lompat ke-dalam sungai untuk mempertahankan
diri, cuma saja tenaga dalamku terlalu cetek, gerakan
selanjutnya susah untuk dikerjakan, oleh sebab itulah jikalau
pedang panjang dari cianpwee menyerang tiba tepat pada
waktunya, boanpwee masih tetap tak mampu
mempertahankan diri”

“Kalau memang begitu, bukankah engkau sudah pasti bakal
menderita luka kekalahan?” kata Ciong Lian-khek dengan nada
tawar.
“Seandainya benar-benar sedang menghadapi serangan
musuh, maka boanpwee akan mempergunakan jurus Thian
hoo seng San atau bintang buyar disungai langit untuk
mengadu jiwa dengan taysu, sebaliknya andaikata taysu
buyarkan serangan maka pedang baja dari boanpwee akan
berputar mengancam cianpwee”
“Bintang buyar sungai adalah jurus yang keberapa?” tanya
Ciong Lian-khek dengan dahi berkerut.
“Jurus terakhir dalam ilmu pedangku” jawab Hoa Thianhong,
setelah berhenti sebentar sambungnya lebih jauh,
“Cuma saja, berada dihadapan taysu serta cianpwee yang
berkepandaian tinggi, dalam keadaan tenaga dalam tak cukup
tentu saja sukar untuk mewujudkan harapanku itu”
Rasa sedih melintas diatas wajah Ciong Lian-khek,
keluhnya, “Bicara pulang pergi yang paling penting adalah
tenaga dalammu tidak mencukupi, aaai….! seratus hari
berlatih golok, seribu hari berlatih pedang, sebenarnya hanya
suatu pekerjaan yang terlalu dipaksakan….”
“Boanpwee akan berlatih dengan tekun!”
“Engkau tidak lelah?”
“Tidak, boanpwee sama sekali tidak merasa lelah….” jawab
Hoa Thian-hong sambil gelengkan kepalanya.
Cu Im taysu yang berada disisinya segera tertawa.

“Kalau dilihat keadaan yang begitu semangat, agaknya
tenagamu memang betul-betul luar biasa sekali” serunya.
Ia segera bangkit berdiri dan menyambung lebih jauh,
“Ciong lian heng! membakar dupa bakar sampai habis,
mengantar Buddha mengantar sampai langit, kitapun tak
boleh menunjukkan sikap lelah!”
Ciong Lian-khek adalah seorang manusia Varg bersemangat
baja, sebelum suatu pekerjaan berhasil dilesaikan, ia
bersumpah tak akan berhenti, sekarang setelah dilihatnya Hoa
Thian-hong masih mempunyai kekuatan untuk bertempur
lebih jauh, dia segera mempersiapkan pedangnya dan berjalan
menuju ketengah gelanggang.
Tiba-tiba Hoa Hujin berpaling ke arah Chin Giok-liong serta
Bong Pay lalu ujarnya, “Hian tit berdua bagaimana dengan
hasil latihan kalian selama belakangan ini?”
Buru-buru Chin Giok-liong memberi hormat dan menjawab,
“Sebenarnya boanpwee sedang mengikuti Ciong lian cianpwee
belajar ilmu pedang, dan belakangan ini mendapatkan pula
serangkaian ilmu langkah dari ayahku, cuma sayang bakatnya
kurang baik sehingga kemajuan yang berhasil dicapai pun
lambat sekali”
Hoa Hujin mengangguk.
“Dalam soal ilmu silat, memang tak dapat menghiasi dalam
satu dua hari belaka, meskipun aku mempunyai hasrat untuk
membimbing dirimu, sayang sekali aliran ilmu silat yang kita
anut sama sekali berbeda, sekalipun kuwariskan kepada hian
tit juga sama sekali tak ada manfaatnya
“Bibi demikian memperhatikan boanpwee, membuat hian tit
merasa amat berierima kasih sekali.

Hoa Hujin menghela napas panjang, serunya kemudian,
“Bagaimana dengan Bong hian tit?”
“Boanpwee tetap mempelajari ilmu pukulan Pek lek ciang
warisan dari mendiang guruku!”
“Ehmm! guruku adalah seorang pendekar besar yang
namanya amat tersohor di kolong langit” kata Hoa Hujin
sambil manggut, “asalkan engkau dapat meneruskan cita-cita
gurumu serta menegakkan terus garis hidup yang telah
diterapkan oleh mendiang gurumu, bila mana suka gurumu
dialam baka mengetahui akan hal ini, dia pasti akan merasa
amat gembira sekali.”
Setelah berhenti sebentar, sambungnya lebih jauh, “Dewa
yang suka melancong dengan mendiang gurumu adalah
sahabat yang sangat akrab, ia sangat mengharapkan akan
kesuksesanmu dalam mewujudkan cita-cita mendiang gurumu,
karena itu separoh dari jilid kitab ilmu silat telah ia serahkan
kepadaku dengan harapan aku bisa mewariskannya kepadamu
kalau berhasrat untuk maju, sekarang juga a kan kuwariskan
kepandaian itu padamu”
Bong Pay tertegun mendengar perkataan itu, dia melirik
sekejap ke arah Hoa Thian-hong kemudian jawabnya dengan
kepala ter tunduk, “Kepandian silat yang boanpwee miliki
sangat cetek, setiap kali bertempur pasti kalah, jikalau bibi
bersedia untuk memberi pelajaran tentu, saja boanpwee pun
bersedia untuk mempelajarinya”
Hoa Hujin menghela napas panjang, katanya, “Kami semua
adalah bekas panglima perang yang kalah tempur ditangan
musuh namun tetap semangat, maka suatu saat semua sakit
hati dan dendam kesumat akan berhasil kita tuntut balas”

Bong Pay segera mengangguk.
“Asalkan boanpwee dapat membalaskan dendam bagi
kematian guruku, perbuatan macam apapun aku bersedia
untuk melakukannya”
Mendengar ucapan itu, Hoa Hujin pun berpikir dalam hati
kecilnya, “Meskipun orang ini kasar dan berangasan namun
dia adalah seorang manusia yang berperasaan….”
Ia segera bangkit berdiri dan membawa Bong Pay menuju
ke puncak bukit dimana ilmu sakti Cu yu jit ciat segera
diwariskan padanya.
Siapa sangka, sisa laskar golongan lurus yang berjumlah
kecil ini benar-benar berhasrat sekali untuk menggunakan
kekuatan mereka yang kecil untuk menumbangkan tiga
kekuatan besar yang ada di kolong langit dewasa itu, setiap
orang berlatih diri dengan tekun dan semua orang mengharap
kemajuan yang pesat dalam kepandaian silatnya masingmasing.
Dalam waktu singkat, tiga hari sudah lewat tanpa terasa
dan haripun sudah menunjukkan bulan tujuh tanggal tujuh
belas malam, berhubung usaha mati-matian dari Hoa Hujin
serta Cu Im taysu sekalian, dalam tiga hari yang penuh
dengan latihan itu tenaga dalam yang dimiliki Hoa Thian-hong
telah memperoleh kemajuan yang pesat dan permainan
pedang boleh dibilang hampir melampui beberapa orang jago
tua itu.
Sekarang ia mampu bertempur melawan Cu Im taysu serta
Ciong Lian-khek sebanyak ribuan gebrakkan tanpa kalah,
cuma saja ke dua orang tokoh silat itupun sudah memahami
ilmu pedangnya maka pemuda itu sendiripun tak mampu
untuk merebut kemenangan

Tio Sam-koh serta Hoa In segera ikut menerjunkan diri pula
kedalam arena untuk bertarung melawan Hoa Thian-hong,
namun pertempuran selama setengah harian akhirnya tetap
seri.
Adakalanya empat orang jago itu turun tangan bersamasama
untuk mengerubuti pemuda itu selama setengah harian
lamanya membuat pemuda itu kehabisan tenaga dan lelah,
namun posisi masih masih tetap dipertahankan dalam keadaan
seimbang.
Keempat orang jago itu bagaikan sebuah tungku api yang
menggembleng serta menempa tubuh Hoa Thian-hong
dengan ketatnya, latihan demi latihan yang berat serta
melelahkan membuat langsung berhasil dicapai benar-benar
menakjubkan, sayang waktunya tidak terlalu banyak lagi
sebab waktu sudah menunjukkan tanggal tiga belas malam,
besok malam adalah saat diselenggarakannya pertemuan
besar itu.
Selesai bersantap malam, sambil membawa pedangnya,
Hoa Thian-hong segera memberi hormat kepada Cu Im taysu
sekalian sambil ujarnya, “Besok kita harus memelihara tenaga
secara baik-baik dan beristirahat semalam suntuk,
menggunakan kesempatan yang terakhir pa da malam ini,
harap para cianpwee sekalian suka bersusah payah lagi….”
“Aaaai….! apa itu soal susah payah? asal engkau mampu
untuk meningkat lebih tinggi setaraf, aku rasa Thian Ik-cu pun
tidak akan mampu untuk menahan pedang bajamu” kata Cu
Im taysu dengan cepat.
Ciong Lian-khek, Tio Sam-koh maupun Hoa In sama-sama
membungkam dalam seribu bahasa, Cu Im taysu serta Hoa
Thian-hong, lima orang mereka bersama-sama menuju keatas

bukit. Sementara kemudian, Chin Pek-cuan pun membawa
Chin Giok-liong berlalu dari situ. Sedang Bong Pay seorang diri
menuju keatas puncak bukit.
Pertemuan besar Kian cian tayhwee sudah kian lama kian
semakin dekat, perasaan hati semua orangpun tersadar
bertambah tegang, gelak tertawa sudah jarang kedengaran
lagi.
Ci wi siancu menengadah memandang rembulan, kemudian
kepada Hoa Hujin ujarnya, “Hujin, ketiga jurus ilmu jari itu
bilamana dilatih Siau long pada tangan sebelah kiri dan
diimbangi dengan permainan jurus pedang, bukankah daya
tekanannya akas bertambah kuat?”
Sejak permulaan ia sudah melatih kepandaian tersebut
dengan tangan kanan, sekarang sudah tiada waktu lagi untuk
merubahnya”
“Ciu It-bong dapat mengandalkau jurus Kun siu ci tau yang
terdiri hanya satu jurus sebagai kepandaian andalannya, hal
ini membuktikan kalau dibalik permainan jurus itu terkandung
perubahan yang sakti serta daya kekuatan yang luar biasa”
sela Lam hoa siancu dari samping, “tetapi berhubung ilmu
pedang serta telapak dari Siau long belum berhasil mencapai
pada puncaknya maka ia susah untuk menggabungkan
permainan kedua macam kepandaian itu menjadi satu,
seandainya ilmu itu sudah mencapai puncak kesempurnaan
dan bisa dipergunakan menurut kehendak hati, aku rasa kalau
dibandingkan dengan kekuatan ilmu jari Ci yu jit ciat pun akan
jauh lebih tangguh lagi”
“Perkataan nona sedikitpun tidak salah” sahut Hoa Hujin
sambil mengangguk, tombak panjang golok pendek, itu bukan
berarti golok tak dapat menangkan tombak, melainkan

kesempurnaan dalam kepandaian silatlah yang lebih
diutamakan”
Lam hoa siancu tersenyum, setelah berhenti sebentar
katanya lagi, “Hujin, lebih baik engkau mengurusi tentang dari
Sian long saja, biarlah kami beberapa orang yang berjaga-jaga
dijembatan batu ini, dan aku rasa tak mungkin akan terjadi
suatu kesalahan, andaikata terjadi peristiwa yang tidak
diinginkan biarlah kami akan suruh Tiong Hau untuk memberi
laporan kepada nyonya!”
Hoa Hujin berpikir sebentar, kemudian jawabnya, “Kalau
memang begitu, terpaksa aku harus merepotkan nona
bertiga….!”
Setelah berjalan maju beberapa langkah, tiba-tiba ia
berpaling dan berkata kembali, “Saat dibukanya pertemuan
Kian ciau tayhwee sudah semakin dekat, mungkin saja ada
sahabat dari satu aliran yang akan menyusul kemari, harap
nona bertiga jangan sampai berayal menyambut kedatangan
sahabat- sahabat kita itu….!”
Tiga dewi dari wilayah Biau mengiakan dan Hoa Hujin pun
segera meneruskan perjalanannya menuju kebelakang bukit
dan lenyap dibalik bebatuan.
Li Hoa siancu memandang sekejap ke arah Chin Wan-hong,
lalu sambil mengerdipkan matanya ia tertawa dan berkata,
“Hong ji, bukanlah engkau ingin melihat siau long? kenapa
tidak ikut serta bersama sama hujin?”
“Siapa sih yang mengatakan kalau aku hendak meliat Siau
long? dia sedang berlatih ilmu silat, aku tak ingin mengganggu
ketenangannya selama latihan!” jawab Chin Wan-hong sambil
tertawa.

“Hong ji!” seru Ci wi siancu pula sambil tertawa, aku lihat
sesudah tak berjumpa selama satu tahun, sikap siau long
terhadap dirimu sudah tidak menyerupai keadaannya pada
tempo dulu, coba lihatlah selama beberapa hari ini, dia sama
sekali tak mengucapkan sepatah katapun terhadap dirimu.
Chin Wan-hong tertawa, jawabnya, “Pertemuan besar Kian
ciau tayhwee sudah hampir tiba, perasaan hatinya sedang
berat, murung dan lagi pula sibuk berlatih ilmu silat, mana dia
punya waktu untuk bercakap-cakap dengan aku?”
Setelah berhenti sebentar, tiba-tiba ujarnya lagi dengan
nada sedih, “Selama ini dia selalu memikirkan tentang dendam
kematian ayahnya, cuma perasaan tersebut selamanya tak
pernah diutarakan keluar, dalam penemuan Kian ciau tayhwee
nanti dia bakal bertemu dengan musuh besarnya, pertarungan
sengitpun tak mungkin bisa dihindari lagi”
“Dengan kesumat atas kematian ayahnya adalah suatu
dendam yang dalamnya melebihi samudra, kenapa ia tak
berani mengutarakannya keluar?” kata Ci wi siancu.
“Hujin melarang dirinya untuk mengatakan soal dendam
karena takut melemahkan semangat persatuan diantara para
pendekar serta melemahkan daya pikiran setiap orang dalam
menghadapi masalah besar ini”
“Kenapa?”
“Suci coba bayangkan seadainya yang dipikirkan terus
olehnya hanyalah membalas dendam, manusia-manusia gagah
seperti Cu Im taysu sekalian yang sama sekali tidak
mengutamakan soal dendam pribadi bukankah bakal putus
asa dan seandainya sampai terjadi keadaan seperti ini
bukankah akan mematahkan semangat tempur mereka
sendiri?

“Ooooh….! rupanya terdapat juga masalah yang demikian
peliknya seru Ci wi siansu sambil tertawa, yang akan kita
bantu hanya lah siau long seorang diri perduli amat siapa lurus
siapa sesat mau bertempur kita turun tangan dan mau bunuh
kita bunuh saja bukankah lebih beres?”
Tiba-tiba Li hoa siancu tertawa dan berkata, “Hong ji,
engkau mengatakan bahwa Siau long selalu memikirkan
tentang dendam kematian ayahnya, apakah secara diam-diam
ia berita-hukan kepadamu?”
Chin Wan-hong segera menggeleng.
“Dia adalah seorang anak yang berbakti, setelah ibunya
melarang dia untuk berbuat demikian maka sekalipin hanya
mencuri untuk berpikirpun, tak akan berani apalagi
mengutarakannya keluar, cuma saja…. ia bisa berbakti
terhadap ibunya masa tidak berbakti terhadap ayahnya? dan
masa ia dapat melupakan soal kematian ayahnya?”
Li hoa siancu mengangguk tanda membenarkan, tiba-tiba ia
berpaling dan serunya, “Tong Long, engkau mengatakan
bagaimana hubungan antara siau long dengan Giok Teng
Hujin dari sekte agama Thong-thian-kauw?”
“Oooh…. aku hanya secara kebetulan saja mendengar
percakapan antara dua orang imam cilik ketika masih berada
didalam kuil It goan hoan tempo hari….” kata Harimau bisu
Tong Long.
“Apa yang dia katakan?”
Harimau bisu Tong Long itu agak tertegun sebentar,
kemudian jawabnya, “Kedua orang imam cilik itu
membicarakan tentang bagaimanakah hubungan yang intim

antara Hoa kongcu dengan Giok Teng Hujin, kemudian
membicarakan pula bagaimana Thong-thian-kauwcu
cemburu!”
“Sebenarnya bagaimana sih yang tepatnya?” tanya Li hoa
siancu dengan wajah cemberut.
“Aku sendiripun kurang begitu jelas”
Sesudah berhenti sebentar, sambungnya lebih jauh, “Kedua
orang imam cilik itu tidak membicarakan sampai jelas, tentu
saja aku sendiripun kurang begitu jelas.”
“Persoalan ini toh menyangkut tentang nona Hong, masa
engkau tidak bisa menanyai mereka?” seru Li hoa siancu
dengan marah.
Chin Wan-hong yang berada disampingnya segera
menimbrung, “Pada saat itu dia adalah seorang tawanan,
sedangkan kedua orang imam cilik itu pun membicarakannya
secara diam-diam, Ji sicu! coba engkau suruh dia bagaimana
caranya untuk mengajukan pertanyaan tersebut, padahal tak
usah ditanyakan lagipula urusan sudah sangat jelas” kata Lam
hoa siancu dengan cepat, “perempuan itu toh bersedia
menghadiahkan Leng-ci berusia seribu tahun kepada Siau
long, apa yang harus dibicarakan lagi….?”
Tiba-tiba terdengar Harimau ompong Tiong Lo poo cu
berkata, “Perempuan itu benar-benar ibarat pungguk
merindukan bulan, Hoa sauya masih muda dan gampang
terpengaruh oleh nafsu birahi…. tentu saja ia gampang
mempengaruhi sauya kita. Hmmm! Siancu, dalam pertemuan
besar Kian ciau tayhwee besok pagi engkau harus
mengeluarkan sedikit kepandaian dan racuni perempuan itu
sampai mampus!”

Dalam pandangan tiga harimau dari keluarga Tiong, Hoa
Thian-hong serta Chin Wan-hong adalah pasangan yang
paling ideal dan lagi ke dua-duanya merupakan majikan
mereka tentu saja dalam pandangan ketiga orang itu mereka
tak rela membiarkan orang ketiga turut campur dalam
hubungan tersebut, sekali pun Hoa Thian-hong serta Chin
Wan-hong bersedia, tiga harimau dari keluarga Tiong tetap
tidak setuju.
Cin wi siancu yang mendengar perkataan itu segera
menimbrung, “Toa Suci, ide ini sangat bagus sekali! Hong ji
jadi orang terlalu jujur dan lagi tak bersedia melatih ilmu silat
bukan saja sekarang tidak merasa iri atau cemburu sebaliknya
malah dipermainkan oleh perempuan lain, aku rasa untuk
berjaga terhadap segala kemungkinan yang tidak diinginkan
lebih baik kita cepat-cepat bikin mampus perempuan itu lebih
dahulu….!”
“Suci bertiga, janganlah bikin huru hara yang sama sekali
tak ada artinya” seru Chin Wan-hong dengan gelisah, Giok
Teng Hujin adalah putri kesayangan dari Siang Tang Lay dan
lagi kitapun sedang menghadap musuh yang amat tangguh….”
“Bikin huru hara apa omel Ci wi siansu, budak yang tak
berguna, pembaringan yang hanya muat ditiduri dua orang
masa kau biarkan orang lain untuk menidurinya? kami
bersusah payah untuk membantu engkau malah bicara
seenaknya…. benar-benar bodoh!”
Gadis suku Biau paling tebal rasa cemburunya, sering
mereka lepaskan racun jahat untuk mempengaruhi perasaan
kekasihnya, apabila ada musuh dalam cinta merekapun tak
segan-segan untuk turun tangan keji guna menyingkirkan
saingannya itu, seringkali apa yang dibicarakan dilakukan
dengan segera, karena itulah sesudah mereka mengancam

akan bikin mati Giok Teng Hujin maka ancaman itu pasti akan
dilakukannya pada suatu ketika.
Sebaliknya Chin Wan-hong adalah seorang gadis yang
berbudi luhur serta memahami keadaan situasi, dan lagi
diapun jerih sekali terhadap wibawa dari Hoa Hujin, karena
itulah meski pun perbuatan dari ketiga orang sucinya itu
adalah demi kebaikan dirinya, namun sang hati merasa ngeri
dan kuatir.
ooooooooo
45
DALAM pada itu, dari tepi pantai seberang berkelebat
datang sesosok bayangan manusia yang ramping, disorot sinar
rembulan tampaklah gerakan tubuh orang itu cepat bagaikan
kilat dan tergesa-gesa sekali, dalam beberapa kali lompatan ia
sudah berada dibelakang batu peringatan tersebut.
Tatkala tiba didepan batu peringatan itu, bayangan
manusia yang ramping tadi nampak tertegun dan segera
membaca tulisan yang tertera disana.
Ia termenung sambil memandang keangkasa, lama sekali….
kemudian baru bergumam dengan suara sedih, “Apakah aku
terhitung sebagai sahabat mereka….? kalau aku mengaku
sebagai sahabatnya, apakah ia bersedia untuk menerimanya?
dan orang lain apakah bersedia pula untuk menerimanya?
apakah tiada orang lain yang akan mentertawakan diriku?”
Lama sekali ia berdiri termangu-mangu, kemudian alihkan
kembali rorot matanya ke arah tepi seberang.

Dibawah sorot rembulan, secara lapat-lapat ia temukan
pula ada beberapa orang sedang duduk diatas bukit, dan
orang-orang itu bukan lain adalah sekawanan perempuan.
Bayangan ramping itu kembali tertegun, akhirnya sambil
menggertak gigi ia loncat naik seatas jembatan batu dan
bergerak ke depan.
Tiga dewi dari wilayah Biau sekalian yang berada diatas
bukitpun sudah mengetahui kalau ditepi seberang telah
kedatangan seseorang, hanya saja berhubung jaraknya masih
jauh dan lagi membelakangi cahaya rembulan maka raut
wajahnya tidak terlibat jelas.
Tiba-tiba Li hoa siancu tertawa dan berbisik lirih, “Bagus
sekali, baru saja kita bicarakan soal Co Cho, eei….! tak
tahunya Co Cho sudah tiba, rupanya Giok Teng Hujin itu
sudah tidak sabar menunggu sampai diselenggarakannya
pertemuan besar Kian ciau tayhwee dan datang menghantar
kematiannya lebih dahulu”
“Tidak aneh kalau siau long terpikat oleh dirinya” ujar Lan
hoa siancu pula sambil tertawa, “cukup ditinjau dari
potongannya badannya memang sudah cukup membuat orang
tergiur”
“Lebih baik kita binasakan dirinya dengan bubuk racun
pemabok ataukah ditangkap dulu dalam keadaan hidup-hidup
setelah disiksa ba ru dibunuh mati?” tanya Ci wi siancu.
“Kalau berbuat begitu rasanya kurang baik tungkas harimau
ompong Tiong lo po cu secara tiba-tiba, perempuan ini adalah
putrinya Siong Tang Lay dan lagi telah meluaskan budi
terhadap sauya kita, seandainya kita hukum mati setelah
berhasil menangkapnya hidup-hidup bila Hoa Hujin akan
mengetahui peristiwa ini, lain kali dia akan menyalahkan kita,

sedang Hoa sauya yang sudah tergila-gila oleh
kecantikannya….”
“Hmm! bicara tanpa bukti tukas harimau pelarian Toang
Lian dengan cepat, dengan alasan apa engkau mengatakan
kalau Siau Koan-jin telah tergila-gila oleh kecantikannya?”
“Peduli bagaimanapun, kaum pria memang suka sekali
mengganti yang baru dan bosan terhadap yang lama, kata
Harimau ompong Tiong Lo Po cu dengan perasaan tak puas,
dari julukan yang dipergunakan perempuan itu sudah dapat
diketahui kalau dia bukan manusia baik-baik, lebih baik kita
pura-pura tidak tahu saja, agar ia tercebur ke dalam jurang
dan mati dengan badan hancur”
“Cara berpikir Lo popo memang jauh lebih tepat!” seru Lan
hoa si ancu kemudian sambil tertawa, “kematian manusia
bagaikan padamnya lampu, sekalipua Siau long merasa
bersedih itupun hanya bersifat sementara untuk kemudian
akan melupakan untuk selamanya, dan asal kita tidak turun
tangan maka Hoa Hujin pun tak dapat menyalahkan kita”
Sementara pembicaraan masih berlangsung, gadis yang
tinggi semampai dan amat ramping itu sudah melewati batu
peringatan dan meluncur ketengah jembatan.
Li Hoa siancu segera tertawa dan berkata lagi, “Coba kalian
liat gerak-geriknya yang tersipu-sipu dan diliputi rasa malu,
bukan saja tak mau sebutkan nama bahkan menganggap
dirinya sebagai kekasih siau long, dengan langkah lebar ia
berjalan kedepan tanpa perasaan takut barang sedikitpun
juga”
Berbicara sampai di situ, perempuan tadi sudah tiba pada
lapisan batu pertama dimana Ci wi siancu melepaskan
racunnya pada pos pertahanan yang pertama.

Berhubung semakin dekatnya dengan hari diadakannya
pertemuan besar, penjagaan diatas jembatan batu itu sudah
diperbaharui, dan tiga dewi dari wilayah Biau pun belum lama
berselang menaburkan kembali bubuk racunnya, baru saja
ujung kaki perempuan itu menginjak diatas lapisan batu yang
pertama, lubang hidungnya telah mencium bau racun
pemabok yang lihay dari perguruan Kiu-tok Sianci tersebut.
Meskipun obat pemabok itu tidak lebih lihay dari Mi hun san
yang berada pada pos pertahanan kedua, akan tetapi
perempuan itu sudah tak tahan, tubuhnya gontai dan hampir
saja roboh kedalam jurang.
Menyaksikan kejadian itu Chin Wan-hong segera menjerit
kaget, ketika terbayang kembali oleh jeritan ngeri yang pernah
didengarnya beberapa hari berselang, ia tak tega dan buruburu
serunya, “Suci bertiga, mari kita kesana dan memeriksa
keadaannya, setelah menanyakan maksud tujuannya lebih
baik kita usir dirinya pergi saja”
“Budak bodoh, apa yang perlu kita tanyakan lagi? apakah
engkau bersedia untuk angkat saudara dengan dirinya serta
menjadi istri seorang suami yang sama?”
Chin Wan-hong terbungkam dan menunduk.
Tiba-tiba Lan hoa siancu berseru keras, “Eeeei….! Giok
Teng Hujin itu benar-benar luar biasa…. coba lihatlah!”
Ternyata gadis berbadan ramping itu berhasil menguasai
diri, setelah masukkan sebutir obat kedalam mulutnya dan
mengatur pernafasan sebentar, ia lanjutkan perjalanannya
menuju kedepan.

“Aaih!” teriak Li hoa siancu dencan gemas, “kalau engkau
mampu untuk melawan bubuk Mi hun san milikku itu maka
aku akan takluk kepadamu”
Chin Wan-hong membelalakan matanya dan menatap
wajah perempuan itu tanpa berkedip barang sedikitpun jua,
ketika ia saksikan perempuan itu sudah tiba dipunggung
jembatan dan teringat kembali akan kelihayan bubuk mi hun
san milik ji suci nya itu ia jadi sangat gugup dan segera
teriaknya keras-keras, “Giok Teng Hujin, cepat berhenti!”
Mendengar teriakan tersebut perempuan itu benar-benar
berhenti dan segera menengadah keatas.
Li hoa siancu jadi gemas, sambil menuding dahi Chin Wanhong
serunya dengan nada getun, “Budak bodoh, rupanya
engkau lebih suka mencari penyakit buat diri sendiri….!”
Sedangkan Lam hoa siancu sambil tertawa cekikikan segera
menggandeng tangan Chin Wan-hong seraya berkata, “Ayoh
jalan, mari kita saksikan sampai dimanakah kecantikan wajah
dari hujin ini, mari kita kesana bersama-sama.”
Semua orang segera loncat turun dari atas bukit dan
menuju ketepi jembatan itu.
Baru saja mereka tiba ditempat tujuan, tiba-tiba Chin Wanhong
celah menjerit tertahan, “Oooh….! dia….”
“Siapa?” tanya Lam hoa siancu.
“Pek Kun-gie!”
“Pucuk dicinta ulam tiba, kebetulan sekalii!” seru Li hoa
siancu dengan alis berkerut.

Ia segera menjejakkan kakinya dan bergerak lebih dahulu
menuju kedepan, sedangkan Lam hoa siancu serta Ci wi
siancu pun segera berkelebat kedepan setelah mengetahui
bahwa perempuan yang munculkan diri itu bukan lain adalah
Pek Kun-gie.
Tiba-tiba terdengar harimau ompong Tiong lo po cu
lantang, “Sian cu bertiga, malam ini sekalian langit bakal
ambruk jangan kita lepaskan perempuan rendah itu dalam
keadaan hidup”
“Kau tak usah bicara, kami sudah tahu,” jawab Li hoa
siancu.
Dalam sekejap mata ketiga orang itu sudah tiba di tengah
jembatan batu dan berdiri saling berhadapan dengan Pek Kungie
dalam jarak hanya tiga tombak belaka.
Dibawah sorot rembulan, Pek Kun-gie yang angkuh dan
agung berdiri dengan angkernya diatas jembatan, pakaiannya
yang berwarna putih salju terhembus angin gunung, membuat
wajahnya nampak begitu cantik jelita hingga ibaratnya
bidadari yang baru turun dari kahyangan.
Pek Kun-gie memang sangat cantik, begitu cantiknya
sehingga menimbulkan perasaan iri dan cemburu dalam hati
kecil Biau nia sam sian, Pek Kun-gie terlalu angkuh sehingga
menimbulkan kesan yang jelek dalam ketiga dewi dari wilayah
Biau itu.
Dalam waktu singkat seluruh udara diliputi oleh nafsu
pembunuh yang amat tebal, suasana jadi tegang dan setiap
saat pertumpahan yang bakal terjadi.

Terdengar Li hoa siancu bertanya dengan nada dingin
bagaikan es, “Apakah engkau putri dari Sin-kie-pangcu yang
bernama Pek Kun-gie….”
“Ucapanmu sedikitpun tidak salah” jawaban dari Pek Kungie
lebih dingin begitu dinginnya hingga menggidikan hati
orang, kalau kulihat dari dandananmu yang menyerupai orang
dari suku Biau, aku rasa kalian tentulah anak murid dari Kiutok
Sianci bukan?”
“Tiga dewi dari wilayah Biau suatu nama yang tak dikenal
di kolong langit” jawab Li hoa siancu dengan hawa nafsu
membunuh menyelimuti seluruh wajahnya.
Setelah berhenti sebentar sambil tertawa dingin,
sambungnya lebih jauh, “Engkau bukannya berdiam
dilindungan ayahmu mau apa seorang diri datang kemari?”
“Manusia liar yang belum beradab, buat apa menyampuri
urusan orang lain?” ejek Pek Kun-gie sinis.
Ia segera menengadah dan berteriak keras, “Chin Wanhong
mengapa engkau tak berani datang kemari untuk
berjumpa dengan aku?”
“Perempuan bajingan!” seru harimau ompong Tiong lo po
cu dengan penuh kebencian, engkau sendiri manusia macam
apa? kenapa nona kami harus berjumpa dengan dirimu?”
Chin Wan-hong sendiri mengerdipkan matanya lalu
melayang turun diatas jembatan batu dan berkelebat ke arah
depan.
Luas jembatan batu amat sempit, tiga dewi dari wilayah
Biau pun secara memaksakan diri bisa berdiri sejajar, setelah

Chin Wan-hong menyusul maju kedepan maka diapun hanya
dapat berdiri di belakang tubuh ketiga orang sucinya belaka.
“Pek Kun-gie ada urusan apa engkau mencari aku?”
serunya.
“Hmm! engkau tak usah terlalu meninggikan kedudukanmu
sendiri, sekalipun aku ada urusan tidak mungkin aku bakal
datang sendiri untuk mencari dirimu”
Setelah berhenti sebentar, tambahnya, “Undangan Thing
Hong untuk berbicara dengan aku, ada rahasia penting yang
hendak disampaikan sendiri kepadanya”
Chin Wan-hong maupun Biau nia sam san sama-sama
berdiri tertegun, Li hoa siancu kuatir pendengarannya keliru,
dengan wajah tercengang ia segera berkata, “Thian Hong?
engkau sedang memanggil siapa? engkau anggap nama Thian
Hong boleh kau sebut dengan seenaknya?”
Haruslah diketahui, dalam pandangan Pek Kun-gie, musuh
cintanya yang terutama adalah Chin Wan-hong dan selamanya
dia menaruh rasa permusuhan yang amat besar terhadap
dirinya.
Sedangkan dalam pandangin Chin Wan-hong serta Bau nia
sam sian, mereka menganggap Pek Kun-gie sudah berulang
kali mencelakai jiwa Hoa Thian-hong membuat pemuda itu
menderita rasa malu dan penghi naan, membuat pemuda itu
harus merasakan jarum racun Soh hun tok ciam dari Pek Siauthian
serta memaksa dia untuk menelan Racun teratai empedu
api.
Tetapi setelah, Hoa Thian-hong berubah muka serta
munculkan diri kembali dalam dunia persilatan, dari bencinya
Pek Kun-gie malahan jatuh cinta dan tergila-gila terhadap Hoa

Thian-hong, tentu persoalan belakangan ini baik Chin Wanhong
maupun Biau nia sam sian sama sekali tidak
mengetahuinya, apalagi selama beberapa hari ini tiada orang
yang menganggap tentang persoalan itu maka merekapun
semakin tak tahu.
Dalam pada itu dengan pandangan dingin Pek Kun-gie
melirik sekejap ke arah Li hoa siancu, kemudian ia menatap
wajah Chin Wan-hong sambil katanya, “Aku suruh engkau
mengundang datang Thian Hong, sudah kau dengar belum?”
Jilid 4
WALAUPUN Chin Wan-hong masih merasa curiga, tetapi dia
adalah seorang perempuan yang halus budi dan ramah,
karena itu sambil menahan hawa gusar yang berkobar dalam
dadanya ia berkata dengan tawa, “Thian-hong sedang ada
urusan, sekarang ia tak berada disini, kalau engkau ada
perkataan, katakan dahulu garis besarnya, kemudian aku akan
mengutus orang untuk mengundang kedatangannya”
“Eeei, bagaimana sih kamu ini?” teriak Pek Kun-gie tak
sabaran.
“Bukankah sudah kukatakan bahwa persoalan ini
menyangkut suatu rahasia besar….? apa yang kau tanyakan
lagi?”
“Nona, buat apa sih berbicara dengan perempuan rendah
itu?” tib-tiba Harimau ompong Tiong Lo pocu, “perduli urusan
besar atau urusan kecil, mari kita hajar saja perempuan
rendah itu hingga terjatuh kedalam jurang!”

Tiga harimau dari keluarga Tiong pernah mendapat siksaan
serta penganiayaan berat dari pihak perkumpulan Sin-kie-pang
terhadap mereka, boleh dibilang rasa bencinya luar biasa
sekali dan sukar dilukiskan dengan kata-kata meskipun dalam
hal ilmu silat Tiong Loo po cu masih bukan tandingannya akan
tetapi dalam silat lidah dia sama sekali tak mau mengalah.
Lan hoa siancu dengan merasa curiga termenung dan
berpikir beberapa saat lamanya tiba-tiba ia berseru, “Pek Kungie,
Hoa Thian-hong amat membenci terhadap dirimu mana ia
sudi untuk datang menemui dirimu? aku lihat lebih baik
sedikitlah tahu diri dan cepatlah mengundurkan diri dari sini!”
Mendengar perkataan itu diam-diam sekujur badan Pek
Kun-gie gemetar amat keras, pikirnya, “Dia membenci aku….
dia…. tidak! dia adalah seorang pendekar besar, seorang lelaki
perkasa, dia tak akan membenci dan mendendam terhadap
kesalahan yang pernah dilakukan oleh seorang perempuan….
dia…. dia sudah tidak membenci diriku lagi.”
Berbicara sampai disini dengan suara gemetar ujarnya lagi,
“Chin Wan-hong, Thia Hong sudah mengeluarkan banyak
darah lukanya…. lukanya….”
Mendadak Li-hoa Siancu membentak keras, “Racun terantai
empedu api yang bersarang ditubuh sudah kambuh dia sudah
mati!”
Bagaikan disambar petir dihari siang bolong sekujur badan
Pak Kun Gie gemetar keras dan hampir saja ia jatuh terjungkal
keatas tanah.
Tiga dewi dari wilayah Biau saling bertukar pandangan
sekejap, mereka tidak habis mengerti terhadap kejadian yang
berlangsung didepan matanya, Chin Wan-hong sendiripun

berdiri terbelalak dengan mulut melongo, ia sendiripun dibuat
tak habis mengerti.
Terdengar Pek Kun-gie bergunam seorang diri, “Ia pasti
sudah mengalami kejadian, kalau tidak tentu sedari tadi ia
sudah datang menemui diriku, dia tak mungkin sengaja
menyembunyikan diri”
Tiba-tiba jeritnya dengan suara lengking, “Minggir! siapa
berani menghalangi perjalananku, mati!”
Sepasang telapak disiapkan didepan dada dan siap maju ke
arah depan.
Chin Wan-hong jadi amat terperanjat, teriaknya keraskeras.
“Tunggu sebentar….! berhenti! cepat berhenti!”
Pek Kun-gie segera menghentikan gerakan tubuhnya, jarak
antara tubuhnya dengan tepat dimana tersebar bubuk Mi hun
sang, hanya terpaut beberapa depa saja namun sama sekali
tidak merasakan akan datangnya marabahaya.
Sambil menatap tajam Biau-nia Sam-sian dengan
pandangan mata bagaikan pisau, serunya, “Ayoh cepat
nyingkir kesamping, memandang diatas wajah Thian-hong aku
tak akan mencari urusan dengan kalian”
“Hmmm! bicaranya saja gede sekali, jengek Li-hoa Siancu
sambil tertawa dingin, kalau engkau berani maju selangkah
lagi, aku akan suruh engkau maiti tanpa tempat kubur”
Chin Wan Hoag takut kalau Pek Kun-gie dipengaruhi emosi
dan benar-benar maju kedepan, bila salah tindak maka semua
rombongan ba kal tercebur dalam jurang, buru-buru serunya

kepada Pek Kun-gie, “Ada persoalan mari kita bicarakan
secara baik-baik, engkau jangan bertindak secara gegabah,
Thian-hong sedang berlatih ilmu pedang dibelakang bukit
sana, urusan apapun tak boleh mengganggu ketenangannya,
coba katakan lah dahulu rahasia besar apa yang hendak kau
sampaikan kepadanya, kemudian aku baru akan mengundang
kedatangannya.”
“Aaab! benar” pikir Pek Kun-gie didalam hati.
“ketika Thian-hong bunuh diri dengan menelan racun ketika
berada ditepi sungai Huang-ho tempo hari, Chin Wan-hong
begitu sedihnya sehingga selama beberepa bulan lamanya ia
kehilangan semangat dan pikirannya tidak waras hingga
sampai wilayah Biau pun ia tak tahu, andaikata Thian-hong
mengalami sesuatu hal masa ia dapat begitu te nang?”
Berpikir sampai disini, perasaan hatinya jadi agak lega dan
wajah yang semula pucat pun kini jadi merah kembali.
Li-hoa Siancu diam-diam mengawasi perubahan wajah
gadis itu, tiba-tiba ia temukan bahwa rasa cinta Pek Kun-gie
terhadap Hoa Thian-hong ternyata tidak berada dibawah cinta
kasih adik Seperguruannya, delamm keadaan tercengang dan
tak habis mengerti, ia segera tertawa keras sambil serunya,
“Pek Kun-gie, sungguh tak nyana engkau dapat berubah jadi
begini rupa, benar-benar pe-rubahan cuaca sukar diramalkan,
membuat orang merasa tak dapat untuk mempercayainya”
“Kalian cepatlah mengundang datang Thian-hong, aku tak
dapat menunggu terlalu lama lagi” seru Pek Kun-gie dengan
tegas, “sele watnya malam ini, dimana kita berjumpa disitulah
kita bikin perhitungan, aku ingin membuktikau ilmu beracun
dari wilayah Biau yang lebih lihay ataukah ilmu silat dari
daratan Tionggoan yang lebih ampuh”

Li hoa siansu tertawa terkekeh-kekeh.
“Haaahh…. haaahh…. haaahh…. tentang persoalan itu lebih
baik dibicarakan dikemudian hari saja, sudah lama aku dengar
orang berkata bahwa bangsa Han memegang teguh tata cara,
aku ingin bertanya kepadamu, engkau selalu mengatakan
hendak berjumpa dengan Thian-hong, apakah eagkau tidak
takut ditertawakan orang lain?”
Pek Kun-gie agak tertegan kemudian dengan gusar
serunya, “Perempuan suku Biau yang tak tahu diri, Pek Kungie
adalah seorang gadis suci bersih perbuatan apakah yang
kutakuti hingga ditertawakan orang lain?”
“Seorang gadis suci bersih?” Li-hoa Siancu bukannya gusar
malahan tertawa sinis, tahukah engkau bahwa Hoa Thianhong
sudah ditunangkan dengan orang lain? malam-malam
buta untuk berjumpa bahkan telah pandang calon istrinya
sebagai manusia apa?”
Seakan-akan kena dihajar dengan pentungan, Pek Kun-gie
nampak tertegun kemudian membungkam dalam seribu
bahasa.
Lan hoa siancu sekalian mula-mula juga nampak tertegun
tapi dengan cepat mereka menyadari apa yang telah terjadi
dan mengetahui pula kalau Li-hoa Siancu hanya bicara
sembarangan untuk menggoda serta mempermainkan Pek
Kun-gie.
Putri bungsu dari Pek Siau-thian ini sebenarnya juga
seorang gadis yang cerdik tetapi sayang ia terpengaruh oleh
rasa cinta hingga pikirannya jadi tersumbat pada dasarnya ia
sedang menguatirkan pesoalan itu maka perkataan dari Li-hoa
Siancu justru dengan tepat telah mengena pada titik
kelemahan.

Chin Wan-hong sendiri juga merupakan seorang gadis yang
berperasaan halus menyaksikan Pek Kun-gie terkena pukulan
batin hingga termangu-mangu, dara itu merasa tak tega.
Akan tetapi sebelum ia sempat membongkar rahasia
tersebut, terdengarlah Li-hoa Siancu dengan gusar
membentak.
“Pek Kun-gie, ayoh cepat enyah dari sini, benarkah engkau
mau tunggu sampai Hoa Thian-hong datang serta memberi
pelajaran ke padamu?”
Sepasang mata Pek Kun-gie pudar dan sayu, wajahnya
kosong dan termangu-mangu, ia mengangguk dan benarbenar
berlalu dari sana.
Tiga dewi dari wilayah Biau jadi amat bangga mereka tak
mengira hanya sepatah dua patah katanya telah mengalahkan
Pek Kun-gie bahkan mengalahkan dirinya dalam keadaan yang
mengenaskan sekali jauh lebih mengenaskan dari pada mati.
Pek Kue Gie berlalu beberapa langkah dari sana.
Mendadak ia putar badan dun bertanya dengan bimbang,
“Apakah calon istrinya adalah Chin Wan-hong?”
“Kecuali Chin Wan-hong siapa lagi yang pantas
mendamping Hoa kongcu….?” teriak Li-hoa Siancu.
“Aku sudah tahu, Giok Teng Hujin memang tidak pantas
untuk mendampingi dirinya,” gumam Pek Kun-gie, tiba-tiba ia
berkata kembali, “Apa Hoa Hujin menjodohkan mereka?”
Makin menyaksikan kejadian itu Ci-wi Siancu semakin
kegirangan tak tahan ia berteriak keras, “Tentu saja Hoa Hujin

sendiri yang menjodohkan pihak pria diwakili oleh Ciong Liankhek
sedangkan pihak wanita kami bertiga lah yang mewakili
sedangkan Cu Im tasyu bertindak sebagai saksi, bukankah
semuanya sudah komplit? masa engkau masih belum paham?”
Pek Kun-gie gelengkan kepalanya dan bergumam kembali,
“Dengan apa yang kuduga, sedikitpun tidak meleset taysu itu
adalah orang beribadah ia hanya bertindak sebagai saksi dan
tidak pantas jadi mak comblang diri pihak perempuan
memang kalian bertiga yang pantas sebagai wakil.”
Lan hoa siancu yang melihat kesemuanya itu segera
berpikir didalam hati, “Pek Kun-gie cantik jelita bagaikan
bidadari, setiap pria yang bertemu dengan dirinya pasti akan
tertarik hatinya, persoalan ini menyangkut kebahagiaan hidup
Hong ji selamanya daripada membinasakan perempuan she
Pek ini sehingga mengikat tali permusuhan dengan pihak
perkumpulan Sin-kie-pang lebih baik kubikin jengkel saja
hatinya sehingga ia jadi gila dengan begitu akupun tak usah
menanggung resiko musti mengikat tali permusuhan dengan
orang….”
Berpikir sampai disini, ia segera mengambil keputusan dan
dengan cepai ia sambar sebuah kantong kain yang tergantung
dibalik baju yang dikenakan Chin Wan-hong.
Gadis she Chin itu jadi amat gelisah, sambil menangis
serunya, “Toa suci, benda itu adalah….”
“Bocah cilik, kenapa sih musti ribut terus!” hardik Lan hoa
siancu, ia segera berpaling dan teriaknya, “Pek Kun-gie,
apakah engkau ingin melihat tanda mata apakah yang
diberikan Hoa kongcu untuk Hong ji?”
Pek Kun-gie melenggak kemudian mengangguk.

“Tentu saja saya ingin lhat!”
Lan boa siancu segera melemparkan bungkusan yang
berhasil didapatkan dari dalam saku Chin Wan-hong itu ke
arah depan, serunya, “Tanda mata itu berada dalam kantong
kain itu lihatlah sendiri dengan jelas!”
Kantong itu kecil dan enteng sekali, Pek Kun-gie segera
menerimanya dan merobek dengan menggunakan ujung
jarinya, tetapi kan tong itu terbuat dari ulat sutera yang ada di
wilayah Biau, sekalipun coba dirobek berulangkali ternyata
usahanya gagal.
Sesudah bersusah payah akhirnya tutup kantong itu
terbuka juga dan isi kantong tadipun muncul didepan mata.
Dalam sekenjap mata, wajah Pek Kun-gie yang pada
dasarnya sudah pucat kini berubah jadi semakin pucat hingga
menyerupai mayat, sepasang tangannya gemetar keras
sementara sepasang giginya saling beradu dengan ketasnya.
Ternyata isi dalam kantong kain milik Chin Wan-hong itu
bukan lain adalah tiga biji gigi yang kuning dan tiada sesuatu
yang aneh, namun bagi pandangan Pek Kun-gie ketiga biji gigi
itu justru telah menghancur luluhkan perasaan hatinya.
Keadaan seperti ini seketika menggetarkan perasaan hati
tiga dewi dari wilayah Biau, Chin Wan-hong yang bersembunyi
dibelakang tubuh ketiga orang suci nya pun mengucurkan air
mata sambil tiada hentinya memanggil, “ Suci…. suci!”
Tiba-tiba…. Pek Kun-gie membuka sepasang matanya, dua
titik butiran darah mengalir keluar membasahi pipinya.
Chin Wan-hong tak dapat menahan diri lagi, ia segera maju
kedepan sambit teriaknya diiringi isak tangis, “Pek Kun-gie!

engkau sedang dibohongi oleh suciku, Thian-hong sama sekali
belum dijodohkan dengan diriku, ia belum dijodohkan dengan
aku!”
Tetapi pikiran maupun perasaan hati Pek Kun-gie sudah
kacau, ia sudah tak dapat menangkap maksud dari perkataan
Chin Wan-hong lagi. sorot matanya hanya bisa memandang
tempat kejauhan dengan pandangan kosong, sementara
mulutnya bergumam terus, “Gigi ini adalah gigi milik Thianhong….
gigi…. gigi itu milik…. milik Thian-hong, ketika ia
berlutut di hadapanku…. aku…. akulah yang menghantam
sampai rontok….”
Melihat air mata yang mengucur keluar dari balik mata Pek
Kun-gie telah bercampur dengan darah, Chin Wan-hong
semakin terperanjat hingga sambil menangis serunya, “Pek
Kun-gie, benda itu bukan suatu tanda mata sebagai pengikat
perkawinan kami, benda itu kusimpan sendiri tanpo diketahui
oleh Thian-hong sendiri!”
Tetapi Pek Kun-gie tidak menggubris perkataannya lagi
dengan suara yang kosong ia berseru, “Buat apa dia
tinggalkan benda ini? dia…. dia…. ternyata ia masih amat
membenci terhadap diriku ia telah menggunakan benda itu
sebagai tanda mata pengikat tali perkawinan”
“Bukan…. bukan….” teriak Chin Wan-hong sambil
menangis, “tempo hari ketika aku mengejar kereta kudamu,
kalianlah yang membuang pakaian bercampur darah dari
Thian-hong ketika kubuka pakaian itu, kulihat benda
tersebut….”
Belum habis dia berkata, tiba-tiba Pek Kun-gie
mendekatkan tangannya yang gemetar tiada hentinya itu
kesisi bibirnya, kemudian memasukkan ketiga biji gigi tadi
kedalam mulutnya dan ditelan kedalam perut.

Suara gemeretak berbunyi keras, darah mengalir keluar
membasahi bibir Pek Kun-gie, keadaannya mengenaskan
sekali membuat siapapun yang menyaksikan merasa tidak
tega.
Chin Wan-hong menangis tersedu, serunya, “Toa suci, Ji
suci, Sam suci, carilah akal untuk menolong dirinya!”
“Hmm! siapa suruh dia mencari penyakit buat diri sendiri”
kata Li-hoa Siancu sesudah berhasil menenangkan hatinya,
“apakah gigi milik siau long bukanlah gigi manusia?”
“Hong ji!” ujar Ci-wi Siancu pula, “bukankah kalian
seringkali menceritakan tentang bagaimana kejam serta
ganasnya orang-orang dari perkumpulan Sin-kie-pang?
bukankah kalian sering bercerita tentang ketelengasan serta
kejahatan mereka menindas kaum yang lemah? selama ini
entah sudah berapi banyak kejahilan yang telah dilakukan oleh
Pek Kun-gie….? Sudah sepantasnya kalau sekarang ia
mendapat hukum karma serta pembalasan atas perbuatanperbuatannya
itu, kenapa engkau malah menggerutu terhadap
kami?”
“Dia mencintai Hoa long! mungkin siau long pun mencintai
dirinya….” bisik Chin Wan-hong dengan air mata bercucuran.
“Omong kosong!” hardik Li-hoa Siancu dengan gusar,
“apakah engkau tidak mencintai Siau long? apakah engkau
bersedia me-nyerahkan kembali siau long ketangan orang
lain?”
Tiba-tiba tampaklah Pek Kun-gie merapatkan bibirnya dan
menelan kehancuran gigi beserta darah itu kedalam perutnya,
sinar mata nya pudar dan kepalanya tertunduk kebawah
jurang seolah-olah sedang mencari sesuatu.

Chin Wan-hong jadi amat terperanjat, segera teriaknya
keras-keras, “Pek Kun-gie!”
Sambil berteriak, tubuhnya segera menerjang kedepan.
Dengan cepat Lan hoa sianca menyambar tangannya serta
mencengkeramnya erat-erat, hardiknya, “Engkau cari mati?
kesadarannya sudah kabur, dia dapat menyeret engkau untuk
terjun kedalam jurang!”
Chin Wan-hong semakin gelisah air matanya jatuh
berlinang makin deras, tiba-tiba ia berpaling dan teriaknya
keras-keras, “Tiong Long, cepat undang kemari Siau long
cepat!”
Harimau bisu Tiong Long tertegun dan untuk beberapa saat
lamanya tak tahu apa yang barus dilakukan akhirnya ia putar
badan siap berlalu dari sana.
Tiba-tiba harimau ompong Tiong Lo Poo cu membentak
lirih, “Tak boleh pergi! biarkan perempuan rendah itu mati
konyol!”
“Kentut busuk!” bentak Harimau pelarian Tiong Liau
dengan gusar. “Engkau berani membangkang perintah nona?”
“Ploook!” dia hajar punggung putranya.
Tubuh Harimau bisu Tiong Long segera terpental sejauh
beberapa tombak dan tempat semula, ia cepat-cepat
merangkak bangun dan segera berlarian menuju ke arah
depan,
“Kalau lari perlahan sedikit!” kembali harimau ompong
Tiong Lo poo cu menghardik.

Harimau bisu Tiong Long tak tahu apa yang musti
dilakukan, beberapa langkah ia berlalu cepat beberapa
langkah kemudian agak lambat kemudian beberapa tombak
lagi ia berpaling kabelakang.
Tiba-tiba Pek Kun-gie mengurut dada sambil berteriak
keras.
“Thian-hong….! ooouh, Thian-hong….! kenapa engkau
begitu membenci akan diriku? engkau boleh pukul aku maki
aku dan membinasakan diriku! janganglah membenci aku….”
Setelah berhenti sebentar gumannya kembali, “Kalian
cepatlah melarikan diri! Thian-hong kalian cepatlah melarikan
diri jangan menghadiri pertemuan Kian ciau tayhwee”
Mendengar seruan tersebut, sekujur badan Chin Wan-hong
gemetar keras tanpa terasa ia berpaling ke arah belakang
gunung sambil berteriak dengan suara lantang, “Thian-hong
Thian-hong cepat datang kemari!”
Air muka Pek Kun-gie berubah jadi hijau membesi, tiba-tiba
iapun membentak keras, “Jangan berteriak! jangan berteriak
aku tak dapat berjumpa dengan dirinya!”
Sambil berteriak tubuhnya menerjang maju kedepan
bagaikan seekor harimau betina yang terluka.
Ketika itu baik Chin Wan-hong maupun Biau-nia Sam-sian
sama-sama berdiri berjejar di atas jembatan batu yang
sempit, menyaksikan gadis itu menerjang maju kedepan
dengan wajah menyeringai seram, mereka jadi amat
terperanjat sekali.

Karena takut kena ditumbuk sehingga bersama-sama jatuh
kedalam jurang, tanpa terasa Biau-nia Sam-sian bersamasama
ayunkan telapak nya dan melancarkan satu babatan dari
tempat kejauhan.
Ketika angin pukulan itu menggulung ke arah depan, teriak
Pek Kun-gie yang serak hanya sempat berteriak sampai
ditengah jalan, tubuhnya segera terjungkal diatas jembatan
batu dimana obat Mi hun san ditaburkan dan tak dapat
dicegah lagi tubuhnya segera terjatuh kedalam jurang.
Jurang itu dalamnya mencapai ratusan tombak dan sukar
melihat dasarnya, setelah terjatuh kedalam jurang, tubuh Pek
Kun-gie segera tertelan dibalik kegelapan, dari dasar jurang
tak kedengaran sedikit suarapun.
Sedang Chin Wan-hong serta Biau-nia Sam-sian yang ada
diatas jembatan batu berteriak kaget, dari arah lain
berkumandang teriakan Oh Sam pelayan dari Pek Kun-gie
sedang dari sebelahnya bergema ben takan dari Hoa Thianhong.
Bluummm….! Bluuumm….! cahaya api berkilauan di
angkasa dan bom udarapun berdentuman, cahaya warnawarni
yang membentuk panji besar tersebar di angkasa
membuat udara jadi terang benderang.
Hoa Thian-hong dengan gerakan tubuh yang enteng
bagaikan segulung angin berkelebat datang serunya, “Hong ji,
apa yang telah terjadi?”
Sementara itu Biau-nia serta Chin Wan-hong sudah berada
diatas bukit sambil memandang kebawah jurang dan
menangis terisak, Chin Wan-hong berseru, “Pek Kun-gie dia….
dia terjatuh kedalam jurang….”

Hoa Thian-hong merasakan pandangan matanya jadi gelap
dengan cepat ia berkelebat menuju ke arah jembatan batu itu.
Lin hoa siancu serta Li-hoa Siancu yang berada
disampingnya menyambar pergelargan tangannya sambil
berseru, “Diatas jembatan batu terdapat kabut sembilan
bisa….”
“Aku mau turun kedasar jarang!” seru Hoa Thian-hong
dengan suara gemetar, cepat ia merenggut kembali dari
cekalan.
Tiba-tiba Hoa Hujin munculkan diri didepan mata, teriaknya
dengaa suara tajam, “Jurang ini dalamnya seratus tombak
dengan dinding yang tegak lurus, sekalipun malaikat juga tak
dapat menuruninya, engkau jangan bertindak gegabah!”
Hoa Thian-hong merasa gelisah sekali, serunya dengan
tegap.
“Ananda yakin masih bisa menuruni jurang ini…. jangan
menghawatirirkan keselamatan jiwaku….”
Hoa Hujin mengerutkan dahinya, setelah termenung
jawabnya dengan suara berat, “Baiklah, sebenarnya
perbuatanmu tak ada gunanya tetapi agar engkau puas
turunlah kebawah tapi kau harus berhati-hati!”
Buru-buru Hoa Thian-hong mengangguk dalam sekejap
mata tubuhnya lenyap tak berbekas, Biau-nia Sam-sian serta
Chin Wan-hong buru-buru menyusul ketepi jurang untuk
mengikuti gerakan si anak muda itu.
Mendadak Hoa Hujin seakan-akan mendengar suara derap
kaki manusia yang amat ramai, hal ini membuat hatinya amat
terperanjat segera serunya kepada Biau-nia Sam-sian, “Nona

bertiga, perketat penjagaan disekitar tempat ini, bagaimanapun
juga malam ini jangan biarkan orang-orang dari
perkumpulan Sin-kie-pang berhasil menyerbu keatas jembatan
batu tersebut”
Merdengar perkataan itu, Biau-nia Sam-sian segera
bertindak cepat dan berdri diatas jembatan batu, setelah
memeriksa keadaan disekelilingnya mereka mulai
mendemonstrasikan kelihayan dari Kiu-tok Sianci.
Dalam pada itu, Hoa Thian-hong yang melompat turun
kedalam jurang, dengan mengandalkan hawa murninya yang
panjang dan sempurna, perlahan-lahan ia merambat turun
kebawah.
Jurang itu dalamnya ratusan tombak, dinding tebing tegak
lurus dan keadaan medan amat berbahaya, bagi Hoa Hujin
yang memiliki tenaga dalam amat sempurna pun belum tentu
mampu untuk menuruni jurang itu.
Akan tetapi Hoa Thian-hong secara beruntun telah
menemukan kejadian aneh, mula-mula dia makan Teratai
racun empedu api ke mudian makan Leng-ci berusia seribu
tahun, hal ini membuat hawa murninya semakin panjang dan
tubuhnya enteng bagaikan burung walet.
Ketika tubuhnya sudah meluncur tiga empat puluh tombak
jauhnya kedalam jurang, tiba-tiba daya luncurnya kian lama
kian bertambah cepat, menyaksikan gelagat kurang
menguntungkan buru-buru ia berjumpalitan ditengah udara
kemudian lancarkan satu babatan keatas tebing.
Menggunakan daya pantul yang dihasilkan karena
pukulannya itu, pemuda she Hoa tersebut segera mengepos
tenaga serta memperlambat gerakan luncurnya kebawah,
kejadian itu diulangi sampai dua kali.

Suatu ketika mendadak pandangan matanya jadi kabur,
kecepatan daya luncur badannya kebawah jurang pun tak
terkendalikan lagi.
Untung dari arah bawah ia mendengar suara percikan air,
buru-buru tubuhnya berjumpalitan kembali beberapa kali
sebelum tubuhnya mencapai permukaan tanah, ia lancarkan
pukulan dahsyat dahulu ke arah bawah, dengan daya pantul
itu ia berhasil mengurangi kecepatan daya luncur tubuhnya
hingga kemudian Bluuum! badannya berhasil mendarat diatas
dasar jurang.
Bantingan ini cukup keras, membuat pemuda itu
mendengus berat dan pandangan matanya berkunangkunang,
tulang disekujur badannya linu dan sakit, pakaiannya
menjadi compang-camping sedangkan kakinya terluka.
“Kun Gie….!”
“Kun Gie….!” sekali lagi Hoa Thian-hong berteriak keras.
Sorot cahaya rembulan yang redup memancar diatas dasar
jurang itu, membuat suasana disana dapat dilihat secara
samar-samar, batu cadas berserakan di mana-mana, air
mengalir tenang dan suasana sunyi senyap tak kedengaran
sedikit suarupun.
Dalam air mencapai batas lutut, Hoa Thian-hong yang
separoh badannya terendam dalam air jadi amat gelisah ketika
mendengar suara teriakan sama sekali tak mendapat jawaban,
ia segera loncat bangun dan lari menuju kebawah jembatan
batu untuk mencari jenasah dari Pek Kun-gie.
oooOooo

46
PEMUDA itu berlarian mengelilingi seluruh daerah diatas
jembatan batu itu kemudian balik lagi ketempat semula,
namun bayangan tubuh Pek Kun-gie sama sekali tak terlihat,
hal ini membuat dia jadi tercengang dan tak habis mengerti.
“Kun-gie….!” kembali teriaknya.
Tiba-tiba sesosok bayangan manusia muncul dibelakang
tubuhnya, dengan nada suara yang hambar dan sama sekali
tidak membawa perasaan apapun menjawab dengan lirih,
“Pek Kun-gie telah mati, siapapun tak dapat memanggilnya
lagi…. dan dia pun tak dapat mendengar suara panggilanmu
lagi!”
Sekujur badan Hoa Thian-hong gemetar keras, tiba-tiba ia
putar badan dan menengok ke arah orang yang berbicara itu.
Dibawah sorot cahaya rembulan, tampaklah seorang rahib
berpotongan badan ramping berbaju warna hijau dan
memakai cadar kain hitam diatas wajahnya, berdiri angker
diatas sebuah batu besar, dalam bopongannya menggendong
tubuh seorang gadis dia bukan lain adalah Pek Kun-gie yang
terjatuh kedalam jurang.
Karena rahib itu memakai kain cadar, maka sulitlah untuk
diperkirakan masih muda atau sudah tua, ditinjau dan
suaranya yang merdu dan rambutnya yang hitam pekat
semestinya dia adalah seorang yang masih muda namun kalau
dilihat kewibawaan serta keagungannya menunjukkan kalau
orang itu sudah punya umur.
Rasa sedih, menyesal, gugup dan pedih bercampur aduk
jadi satu dalam hati kecil Hoa Thian-hong, setelah tertegun
sebentar ia tu ding tubuh Pek Kun-gie yang berada dalam

bopongan rahib itu dan bertanya dengan suara gemetar, “Sian
koh, nona Pek…., dia….”
Titik air mata berlinang membasahi pipi rahib bercadar kain
hitam itu, dia mengangguk dan menjawab lirih, “Sejak jaman
dahulu gadis cantik bagaikan panglima perang, jarang sekali
ada yang bisa hidup hingga akhir tua…. aaaai!” ia menghela
napas panjang suaranya lirih dan lemah terdengarlah betapa
pedihnya hati orang itu.
Hoa Thian-hong merasa amat sedih sekali, air mata jatuh
berlinang membasahi wajahnya, tiba-tiba ia saksikan wajah
Pek Kun-gie yang pucat pias bagaikan mayat, darah kental
masih menodahi bibirnya, dengan penasaan hati seperti diirisiris,
ia menubruk kedepan.
Rahib berpakaian cadar hitam ini segera mengegos
kesamping dan melayang mundur beberapa rombak
kebelakang serunya dengan gemetar, “Yang sudah mati yaa
sudahlah, engkau mau berbuat apa?”
Hoa Thian-hong tertegun, dengan air mata berlinang
sahutnya, “Aku….”
Mendadak ia teringat kembali akan sebatang Leng-ci yang
masih tertinggal dalam sakunya, dengan cepat kotak kumala
itu diambil keluar dan berkata, “Aku mempunyai sebatang
Leng-ci berusia seribu tahun, kasiatnya dapat menghidupkan
kembali mereka yang telah mati….”
Tidak menunggu pemuda itu menyelesaikan kata-katanya,
rahib bercadar kain bitam itu sudah menukas sambil
gelengkan kepalanya.
“Dikoloog langit tiada obat mujarab yang dapat
menghidupkan kembali orang yang telah mati, nyawa Pek

Kun-gie sudah melaoyang tinggalkan raganya, sekalipun ada
Leng-ci berusia sepuluh laksa tahun, jiwanya juga tak dapat
diselamatkan lagi”
“Meskipun demikian, aku hendak berusaha dengan segala
kemampuan yang kumiliki!”
Rahib berkain cadar hitam itu kembali gelengkan kepalanya
berulang kali, tukasnya, “Percuma…. sekalipun engkau
berhasil selamatkan jiwa Pek Kun-gie, apa yang hendak kau
lakukan selanjutnya?”
Mula-mula Hoa Thian-hong agak tertegun, kemudian
dengan perasaan tak senang hati menjawab, “Perkataan sian
koh! mengandung arti yang sangat dalam seakan-akan
engkau telah mengetahui akan hubungan budi serta dendam
antara aku dengan Pek Kun-gie?”
“Persoalan itu sudah tersebar luas diseluruh kolong langit,
setiap jago dalam persilatan telah mengetahuinya, tentu saja
pin ni juga mengetahui akan masalah ini!”
“Bolehkah aku mengetahui sebutan sian koh dan apa pula
hubunganmu dengan Pek Kun-gie?” tegur Hoa Thian-hong
dengan sepasang alis mata berkenyit.
“Sudah lama tidak kupergunakan lagi namaku, maka
engkaupun tak usah tahu siapakah aku, dengan Pek Kun-gie
bukan sanak bukan keluarga, tiada hubungan apa-apa yang
bisa dibicarakan diantara kami berdua”
Diam-diam Hoa Thian-hong merasa amat gusar sekali
mendengar jawaban tersebut, pikirnya, “Bukan sanak bukan
keluarga, kenapa engkau harus mencampuri urusan orang
lain?”

Sementara itu Rahib bercadar hitam itu telah berkata
kembali dengan nada dingin, “Pek Kun-gie menjadi korban
karena cinta, pinni merasa kasihan terhadap nasibnya yang
buruk itu, maka aku berhasrat untuk carikan sebuah tempat
yang indah panoramanya umuk mengubur jenasahnya disana,
agar muda mudi di kolong langit dapat mengetahui serta
berjiarah pula kedepan kuburannya”
“Hehh…. heeeh…. heeeh…. sian koa benar-benar seorang
manusia yang suka mencampuri urusan orang lain” sindir Hoa
Thian-hong sambil tertawa dingin, “jikalau Pek Siau-thian
mengetahui akan persoalan ini, dia pasti akan berterima kasih
kepadamu, dan seandainya sukma Pek Kun-gie dialam baka
mengetahui akan hal ini, dia pun akan ikut tersenyum kerena
gembira”
Rahib bercadar hitam itu sama sekali tidak menggubris atas
sindiran tersebut, kembali ujarnya lebih jauh, “Pek Kun-gie
adalah seorang gadis suci yang belum pernah dikawini orang,
kalau memang engkau tidak menaruh perasaan cinta terhadap
dirinya, buat apa kau sentuh jenasahnya sehingga membuat
sukmanya di alam baka menjadi tak tenang?”
Setelah berhenti sebentar, sambungnya lebih jauh, “Cuma
saja, kalau engkau bersedia untuk mengakui bahwa kau
mencintai dirinya maka pin ni akan serahkan jenasahnya
kepada mu dan terserah apa yang hendak kau lakukan
terhadap dirinya”
Beberapa patah kata itu sungguh jauh di luar dugaan Hoa
Thian-hong, sebagai seorang pemuda yang jujur dan berjiwa
lelaki meskipun terhadap orang yang sudah mati namun ia tak
bersedia bicara sembarangan.
Karenanya setelah mendengar perkataan dari Too koh
tersebut, buhungan budi dan dendam antara dia dengan Pek

Kun-gie segera berkecamuk kembali didalam benaknya, ia
merasa tidak sepantasnya kalau ia korbankan kepentingan
umum demi menjalin hubungan cinta kasih dengan Pek Kungie,
lagi pula seandainya ia sampai menjalin hubungan kasih
dengan gadis tersebut bagaimana penyelesaiannya dengan
diri Chin Wan-hong.
Hubungan yang rumit serta seluk beluk persoalan yang
kacau balau membuat Hoa Thian-hong jadi Kebingungan dan
tak tahu apa yang musti diucapkan keluar pada waktu itu.
Ketika ditunggunya beberapa waktu namun pemuda itu
belum juga bersedia untuk menjawab.
Too koh atau rahib bercadar kain hitam itu menghela napas
panjang lalu berkata, “Sejak dulu sampai sekarang cinta yang
berpihak memang tidak mendatangkan kebahagiaan, dalam
peristiwa ini aku tak dapat menyalahkan dirimu!”
Habis berkata, ia putar badan kemudian dengan
membopong jenasah dari Pek Kun-gie segera berlalu dari situ.
Hoa Thian-hong yang menyaksikan kejadian itu tiba-tiba
merasakan kehilangan sesuatu, dengan air mata jatuh
berlinang segera ben taknya dengan keras, “Berhenti!!”
Mendengar bentakan itu, sang rahib bercadar hitam
hentikan langkah kakinya kemudian seraya berpaling ia
berkata, “Apa yang hendak kau katakan?”
“Apakah engkau anak buah dari perkumpulan Sin-kiepang?”
“Boleh dibilang begitu boleh juga dibilang tidak!” jawab Too
koh bercadar hitam itu hambar.

Hoa Thian-hong jadi amat gusar, serunya, “Mula-mula
pertama tadi engkau mengatakan bahwa antara dirimu
dengan Pek Kun-gie sama sekali tak ada hubungan sanak
ataupun kelu arga dan sama sekali tidak kenal satu sama
lainnya sekarang engkau mengakui bahwa dirimu lain adalah
anggota dan perkumpulan Sin-kie-pang, bicara mencla-mencle
sebenarnya mana yang benar?”
Bicara sampai kesitu, dari atas jurang berkumandang
datang suara bentakaa keras yang terdengar samar-samar,
baik Hoa Thian-hong ma upun too koh bercadar hitam itu
sama-sama menengadah keatas.
Tiba-tiba terdengarlah suara teriakan keras bergema
datang, “Kun ji….! Kun Gi….!”
Kian lama suara itu kian mendekat hingga menggema
diseluruh jurang tersebut.
Dengan pandangan dingin, too koh bercadar hitam itu
melirik sekejap ke arah Hoa Thian-hong kemudian ujarnya,
Pek Siau-thian telah turun kebawah tebing, kalau engkau ingin
hidup dengan selamat maka hal ini lebih sukar daripada
mendaki keatas langit….!”
Selesai berkata, dengan mengikuti dasar jurang tersebut ia
segera berkelebat menuju ke arah utara.
Hoa Thian-hong jadi gelisah bercampur gusar, ia ikut
mengejar dari belakang sambil bentaknya, “Cepat letakan
jerasah itu diatas tanah, kalau tidak jangan salahkan aku tak
akan bertindak sungkan-sungkan terhadap dirimu!”
“Hmmm! pada dasarnya engkau memang seorang lelaki tak
kenal budi, seorang lelaki yang tak bertanggung jawab kenapa
engkau musti sungkan terhadap diriku?”

Tiba-tiba terdengar Pek Siau-thian dengan suara yang
penuh emosi berkumandang datang.
“Hoa Thian-hong! engkau berada dimana?”
Walaupun Hoa Thian Hoag mengetahui bahwa Pek Siauthian
masih berada diatas tebing namun mendengar suara
tersebut seakan-akan berkumandang datang dari
punggungnya, ia jadi amat gelisah tanpa terasa serunya
kepada too koh bercadar hitam itu, “Kalau jenasah tersebut
tidak kau letakan diatas tanah, aku orang she Hoa segera
akan turun tangan”
“Jenasah Pek Kun-gie sudah sewajarnya di selesaikan oleh
orang-orang dari perkumpulan Sin-kie-pang sendiri, apa
sangkut pautnya urusan itu dengan dirimu?”
Sementara pembicaraan masih berlangsung, kedua belah
pihak sama sekali tidak meng-hentikan gerakan tubuhnya,
laksana sambaran kilat meresa saling menjejar satu sama
lainnya.
Diam-diam kedua belah pihak sama-sama merasa
terperanjat, mereka tidak mengira kalau gerakan tubah
lawannya ternyata begitu cepat sehingga hampir melampui
kemampuan sendiri.
“Benarkah di kolong langit terdapat banyak sekali jago
lihay?” pikir Hoa Thian-hong dalam hati kecilnya.
Sementara ia masih berpikir, desiran angin tajam sudah
menyambar datang, tiba-tiba si anak muda itu berkelebat dua
langkah lebih ke depan, jari tangannya bagaikan tombak
langsung menotok jalan darah Leng tay hiat di atas punggung
too koh bercadar hitam itu”

Tak kala merasakan datangnya acaman yang begitu tajam
dari pihak lawan, too koh bercadar hitam itu merasa
terperanjat, segera pikirnya, “Sungguh lihay! ia tak malu
menjadi sukma dari kaum pendekar dari kalangan lurus….”
Berpikir sampai disini, dengan menempuh bahaya dia
membiarkan totokan tersebut mengancam tubuhnya, sedang
dia sendiri sama sekali tidak menggubris ataupun
memperdulikan.
Serangan kilat yang dilancarkan Hoa Thian-hong
nampaknya sebentar lagi bakal bersarang diatas tubuh too
koh bercadas hitam itu akan tetapi pemudu itu buru-buru
menarik kembali ancamannya ketika menyaksikan pihak lawan
sama sekali tiada maksud untuk menghindar, serunya dengan
gusar, “Aku orang she Hoa tidak ingin melukai orang dari
belakang, kalau engkau masih saja tak tahu diri, jangan
salahkan kalau aku tak akan berlaku sungkan-sungkan lagi
terhadap dirimu!”
Melihat pemuda itu batalkan serangannya, Too koh
bercadar hitam itu kembali berpikir dalam hati kecilnya, “Hoa
Goan-siu dapat memiliki seorang bocah segagah ini….
sekalipun mati, ia tak akan menyesa. Aaai…. sayang sekali
Kun ji tidak mempunyai rejeki sebaik ini….”
Berpikir sampai disitu, dengan suara dingin ia segera
berseru, “Kalau engkau benar-benar ingin bertempur mari kita
cari suatu tempat terpencil yang jauh dari keramaian dunia,
mari kita bertempur sepenuh tenaga seindainya engkau
mampu menangkan diriku maka jenasah diri Pek Kun-gie
boleh kau ambil.”
“Aaah! jelaslah sudah kalau Too koh ini adalah seorang
anggota perkumpulan Sin-kie-pang, dengan kematian Pek

Kun-gie secara mengenaskan, Pek Siau-thian pasti akan gusar
bercampur sedih, dalam dendamnya ia tak akan mengampuni
jiwaku, andaikata kedua orang ini sampai bekerja sama,
jelaslah sudah bahwa aku bukan tandingannya lagi….”
Berpikir sampai disini, ia segera mengambil keputusan
untuk menguntit terus dibelakang tubuh Too koh bercadar
hitam itu dan sedikitpun tidak mengendorkan pengejarannya.
Rupanya Too koj bercadar hitam itu hafal sekali dengan
keadaan medan dalam jurang tersebut, dengan kecepatan
bagaikan sambaran kilati ia bergerak terus menuju ke depan,
sedangkan Hoa Thian-hong bagaikan sukma gentayangan
membuntuti dibelakangnya.
Setelah berlarian kurang lebih setengah jam lamanya,
keadaan tanah kian lama kian bertambah tinggi tanpa terasa
mereka sudah tinggalkan dasar jurang dan berlarian mendaki
keatas sebuah punggung bukit.
Pada waktu itu rembulan sudah tenggelam diarah barat,
suasana disekitar bukit itu sunnyi sepi dan gelap tak
bercahaya, ketika Hoa Thian-hong masih menguntil dengan
kencangnya dibelakang tubuh Too koh bercadar hitam itu,
tiba-tiba terdengar rahib tersebut mem bentak keras, “Hati
hati….!”
Hoa Thian-hong terkesiap, tampaklah tubuh rahib itu
bagaikan seekor kera dengan lincahnya meloncat naik
kesebuah bukit, buru-buru ia pertajam pandangan matanya,
setelah mengincar tempat berpinjak tempat yang
dipergunakan rahib itu ia segera menyusul dari belakangnya.
Seandainya pada waktu itu ada orang menyaksikan tingkah
laku dari mereka berdua maka orang itu akan terkesiap dan
kaget.

Hoa Thian-hong sendiri sama sekali tidak menyadari kalau
ia berada dalam keadaan bahaya, ia melompat dan melompat
terus mem buntuti dibelakang rahib tersebut, kurang lebih
setengah jam kemudian mereka sudah mencapai diatas
sebuah bukit yang tinggi dan Too koh bercadar hitam itupun
segera menghentikan langkah kakinya.
Dengan cepat Too koh bercadar hitam itu membaringkan
jenasah Pek Kun-gie diatas tanah, kemudian sesudah
mengatur pernafasan perlahan-laha maju kedepan.
Hoa Thian-hong sendiri sambil menyeka keringat yang
membasahi keningnya, ia awasi sebentar suasana disekeliling
tempat itu ketika dilihatnya Too koh bercadar hitam iiu sudah
membaringkan tubuh Pek Kun-gie ke atas tanah ia segera
menerjang maju kedepan.
Terlihatlah Pek Kun-gie memejamkan matanya rapat-rapat,
wajahnya pucat pias bagaikan mayat, nafasnya sudah berhenti
dan sekujur ba dannya jadi dingin dan kaku, rupanya gadis itu
benar-benar sudah putus nyawa.
Hoa Thian-hong sendiri sebenarnya adalah seorang
pemuda yang romantis, akan tetapi berhubung pendidikan
rumah tangganya amat ketat maka sejak kecil ia sudah
terdidik untuk bisa menguasai perasaan sendiri.
Ketika Pek Kun-gie memperlihatkan rasa cintanya yang
mendalam, dia sendiripun tertarik hatinya pada gadis itu, apa
lacur dendam kesumat yang tertanam antara golongan putih
dan golongan hitam sudah terlalu mendalam hingga ibaratnya
api dan air.
Sebagai seorang pemuda yang bercita-cita untuk
mewujudkan pesan terakhir dari mendiang ayahnya yakni

membasmi kaum iblis serta menyelamatkan umat persilatan
dari badai pembunuaan membuat ia harus mengeraskan hati
serta mengabaikan rasa cinta gadis she Pek itu.
Sebaliknya kini setelah orang yang dihadapannya telah
berubah jadi mayat, pelbagai rasa sedih, cinta dan aneka
ragam perasaan lainnya segera berkecambuk jadi satu
membuat ia jadi amat terharu dan air mata jatuh bercucuran
dengan derasnya.
Diam-diam ia berdoa, “Oooooh….! Kun Gie orang yang
sudah mati tak akan terikat oleh dendam andaikata diantata
kita terdapat dendam atau sakit hati kesemuanya itu telah
terhapus sampai disini saja, kalau selama ini aku telah
mengabaikan dirimu, hal ini kulakukan karena keadaan
terpaksa kalau engkau benar-benar mencictai aku semestinya
engkau da pat memahami keadaanku serta memaafkan
kesalahanku itu….”
Mendadak terdengar suara dari Too koh bercadar itu
berkumandang datang.
“Tiga depa dari hadapanmu ada Sin leng, kalau engkau
berpura-pura menyatakan cinta dihadapan orang yang telah
mati maka suatu ketika engkau akan mendapat ganjaran yang
setimpal!”
Mendengar perkataan itu, Hoa Thian-hong merasa amat
gusar ia segera menengadah dan berseru, “Menyindir orang
tanpa bukti Sian koh! apakah engkau tidak merasa bahwa
caramu itu terlalu kejam?”
“Tidak berbudi, perasaan beku! apakah pin ni tak boleh
mendongkol terhadap manusia seperti itu!”

Hoa Thian-hong benar-benar merasa amat gusar sambil
membopong jenasah Pek Kun-gie, ia bangkit berdiri lalu
memandang sekejap sekeliling tempat itu untuk mencari
tempat yang baik untuk menyimpan jenasah Pek Kun-gie,
kemudian baru berusaha untuk mengusir Too koh bercadar
hitam itu.
Tiba-tiba sorot matanya terbentur dengan sebuah kuburan
kecil tiada jauh dihadapannya, didepan kuburan berdirilah
sebuah batu per ingatan, baik batu nisan maupun batu
peringatan nampak antik sekali dan agaknya sudah berusia
ratusan tahun.
Hoa Thian-hong tertegun ia segera berkelebat kehadapan
kuburan itu, ia temukan di atas batu peringatan terukir tiga
hurup besar yang terdiri dari rangkaian hurup kuno dan
berbunyi demikian, Kuburan pemendam pedang!
Dalam pada itu, dengan suara dingin Too koh bercadar
hitam itu telah berkata dengan suara dingin, Hoa Thian-hong,
andaikata engkau merasa tidak yakin untuk menangkan diriku,
cepat lepaskan jenasah Pek Kun-gie dari bopongan mu dan
segera mengundurkan diri dari puncak ini, memandang diatas
rasa cinta yang pernah diberikan Pek Kun-gie kepadamu, aku
tak akan melukai selembar jiwamu.
Hoa Thian-hong mengerutkan sepasang alis matanya yang
tebal sebelum bibirnya sempat membantah matanya yang
tajam telah menyapu sekejap disekeliling tempat itu ternyata
dimana ia berdiri pada saat ini adalah sebuah puncak gunung
yang tinggi menjulang ke angkasa, sekeliling puncak itu
merupakan rentetan pegunungan yang tinggi, kabut tebal
menyelimuti hampir seluruh permukaan tanah.
la sendiri tak tahu bigaimana caranya hingga dirinya berada
diatas puncak bukit yang begitu tinggi, setelah mengetahui

jelas keadaan disekelilingnya ia merasa bergidik dan bulu
kuduknya pada bangun berdiri, dipandangnya sekejap wajah
Pek Kun-gie yang pucat pias itu tampaklah gadis itu semakin
putih mukanya hingga menyerupai kertas.
Agaknya Too koh bercadar hitam itu sudah tak sabar untuk
menanti lebih lama lagi, sambil kebaskan senjata hud tim ia
berseru, “Hoa Thim Hong, engkau yang akan pergi dari sini
atau pin ni yang harus tinggalkan tempat ini, ayoh cepat ambil
keputusan.”
“Engkau yang pergi!” bentak Hoa Thian-hong dengan
gusar.
Too koh bercadar hitam itu mendengus dingin badannya
melayang maju kedepan dan….
Sreet!! senjata hud tim nya menyapu kemuka.
Hoa Thian-hong semakin mendongkol menyaksikan
datangnya ancaman dari lawan, dengan cepat ia loncat
bangun dari atas tanah telapak kirinya menghajar senjata
musuh sedangkan jari telunjuk dan jari tengah tangan
kanannya menotok kedepan.
Terdengar desiran tajam yang amat memekikkan telinga
disertai segulung angin serangan yang maha dahsyat, laksana
kilat cepatnya menerobos kedepan mengancam jalan darah
sian ki hiat ditubuh Too koh bercadar hitam itu, begitu dahsyat
serangannya hingga sangat mengejutkan hati orang.
Diam-diam Too koh becadar itu merasa amat terperanjat,
buru-buru ia berubah jurus senjata Hud tim nya balik
menyerang pergelangan ta ngan musuh sementara telapak
kirinya melancarkan satu pukulan berhawa lunak yang hebat
menghantam dada si anak muda itu.

“Sungguh lihay Too koh ini,” pikir Hoa Thian-hong dengan
kaget, “jurus demi jurus serangan yang dilancarkan Too koh
ini penuh berisi tenaga, jelas dia adalah seorang jago
kenamaan, mungkinkah dalam perkumpulan Sin-kie-pang
benar-benar terdapat bagitu banyak jago kenamaan?”
Berpikir sampai disitu, tubuhnya segera menerjang maju
kedepan secara beruntun dia lancarkan delapan buah pukulan
dan kesemuanya merupakan satu jurus yang sama yakni jurus
Kun-siu-ci-tauw.
Delapan buah serangan tersebut ibaratnya gulungan air
sungai Tiang kang yang tiada berputusan, seandainya musuh
yang dihadapi bukan seorang tokoh persilatan yang ampuh,
tak mungkin akan mampu urtuk menghadapi datangnya
ancaman tersebut.
Too koh bercadar hitam itu sendiri, dengan sebilah senjata
hud tim nya yang maha dahsyat, terutama sekali kepandaian
Liu in bui siu atau awan mengalir ujung baju beterbangan
merupakan kepandaian terampuh di kolong langit kendatipun
pada mula-mulanya masih bisa bertahan dengan seenaknya
namun lama kelamaan dia harus menghadapi nya dengan
sepenuh tenaga dan sedikitpun tidak berani berayal.
Selelah berhasil memunahkan delapan buah serangan
tersebut, diam diam too koh bercadar hitam itu
menghembuskan napas lega, menggunakan kesenpatan itu ia
lancarkan serangan balasan.
“Hoa Thian-hong!” serunya sambil tertawa dingin,
“mengapa engkau tidak cabut keluar pedangmu?”

“Bertempur dengan tangan kosongpun belum tentu engkau
mampu untuk mempertahankan diri!” jawab Hoa Thian-hong
angkuh.
“Hmmm! bicara takabur dan pandai omong besar, engkau
benar-benar seorang manusia yang tak tahu tingginya langit
dan tebalnya bumi!“
“Hmm! kalau memang begitu, cobalah terima pukulanku
ini!” hardik Hoa Thian-hong dengan gusar.
Dari posisi Tiong kiong ia bergerak menuju kepintu hong
bun dengan jari tangan menggantikan pedang, sebuah
totokan maut dengan ilmu menyerang sampai mati segera
dilepaskan.
“Bocah tak tahu diri, engkau memang benar-benar kurang
ajar….!” maki Too koh itu dengan gusar.
Tubuhnya berkelebat kesamping, telapak kirinya dengan
jurus Toa mo hui sah atau pasir beterbangan ditengah gurun
melancarkan sebuah gulungan maut kedepan, sementara hud
tim ditangan kanannya berputar membabat wajah lawannya.
Ketika dalam gerakan menyambar gagang hud tim
mengurat dan tiba-tiba mengancam urat nadi pada
pergelangan Hoa Thian-hong dalam satu jurus tersembunyi
tiga gerakan yang penuh dengan nafsu membunuh, serangan
tersebut betul-betul mengerikan sekali.
Diam-diam Hoa Thian-hong merasa terkesiap, satu ingatan
segera berkelebat dalam benaknya, dia merasa bahwa
gerakan tubuh Too koh berkeruedurg hitam ini seperti pernah
dikenal dan dilihatnya disuatu tempat.

Tiba-tiba terdengar Too koh bercadar hitam berseru dingin,
“Hoa Thian-hong apabila engkau mampu mempertahankan diri
terhadap seranganku dengan jurus In mao sam wu atau mega
menari-nari, pin ni akan tunduk seratus persen dan segera
mengundurkan diri dari tempat ini.”
Secara tiba-tiba Hoa Thian-hong telah menyadari bahwa
gerakan tubuh Too koh tersebut mirip sekali dengan
seseorang dan tanpa terasa diapun teringat akan seseorang
yang lain.
Dengan keringat dingin mengucur keluar membasahi
seluruh tubuhnya pemuda itu segera meloncat mundur
kebelakang, serunya dengan gelisah, “Cianpwee harap tunggu
sebentar, aku ada perkataan hendak kusampaikan padamu!”
“Manusia yang telah mati tak dapat hidup kembali, bicara
omong kosong apa gunanya” sahut Too koh bercadar hitam
dengan sinis.
Senjata hud tim nya dikebaskan ke arah depan, cahaya
hijau segera tersebar keempat penjuru beratus-ratus lembar
bulu Hud tim yang menyebar kebawah, serentak mengancam
jalan darah penting diseluruh badan lawannya.
Hoa Thian-hong terkejut bercampur cemas, dalam waktu
singkat pelbagi ingatan berkelebat dalam benaknya
bagaimanapun juga ia tak berani melancarkan serangan
balasan, dalam keadaan yang amat kritis sekuat tenaga
badannya loncat mundur kebelakang.
Menyaksikan serangannya tidak mengenai sasaran, Too
koh bercadar hitam itu segera mengejar kedepan, senjata Hud
tim nya sekali lagi menyerang kemuka bentaknya dengan
gusar, “Mengapa engkau tidak lancarkan serangan balasan?”

“Menteri setia pendekar sejati, anak berbakti cucu
budiman….” sahut Hoa Thian-hong sambil menyusup
kesamping dan sekali lagi meloloskan diri dari ancaman kedua.
Too koh bercadar hitam itu merasa amat terharu akan
tetapi diluar sama sekali tidak mengendorkan pengejaranya,
sambil mendesak maju kedepan serunya sambil tertawa
dingin, “Hoa Thian-hong engkau menghormati pin ni sebagai
apa?”
“Aku menghormati cianpwee sebagai pendekar sejati….”
jawab si anak muda itu dengan gelisah.
Belum habis dia berkata, Too koh bercadar hitam itu
mendengus dingin senjata Hud timnya dikibaskan kemuka dan
untuk ketiga kalinya dia melancarkan sebuah serangan kilat.
Hoa Thian-hong merasa amat gelisah pikirnya, “Sudah
sewajarnya kalau dia merasa sedih karena menyaksikan darah
dagingnya mengalami musibah, baiklah! akan kusambut
sebuah serangannya agar rasa mangkel dan mendongkolnya
yang berkecambuk dalam dadanya bisa keluar….”
Berpikir sampai disini, ia segera salurkan hawa murninya
keseluruh badan terutama sekali disekitar punggungnya
kemudian dengan cepat maju kedepan.
Ketika pemuda itu berkelebat ke arah sisi kiri, Too koh
bercadar hitam itu merasa curiga bercampur sangsi akan
tetapi anak panah sudah ada dibusur mau tak mau harus
dilepaskan juga.
Sambil membentak keras, senjata hud timnya segera
dibabat ke arah bawah dengan amat dahsyat.

“Aduuuh….! Hoa Thian-hong mendengus dingin, belasan
jalur luka yang mengucurkan darah segar muncul diatas
punggungnya, daging merekah dan keadaannya mengerikan
sekali, tubuhnya segera terlempar hingga mencapai sejauh
dua tombak dari tempat semula.
Tertegun hati Too koh bercadar hitam itu menyaksikan
kejadian tersebut, dengan cepat ia membopong maju Pek
Kun-gie kemudian kabur turun bukit dan sekejap mata
bayangan tubuhnya sudah lenyap dari pandangan
Hoa Thian-hong berdiri termangu-mangu, beberapa saat
kemudian ia menghela napas panjang dan bergumam seorang
diri, “Ataai….! manusia yang telah mati tak bakal hidup
kembali, bicara kosong apa gunanya?”
Untuk beberapa saat lamanya karena murung, pemuda itu
telah melupakan rasa sakit diatas punggungnya.
Baru saja dia akan menuruni bukit itu untuk kembali pada
ibunya, mendadak pemuda itu teringat kembali akan kuburan
pemegang pedang, segera pikirnya, “Dalam dunia persilatan
memang sering kali terdapat manusia yang berwatak aneh
dan suka menyendiri, orang itu menggunakan kuburan untuk
memendam pedangnya, aku rasa dia pastilah seorang
manusia yang luar biasa.
Perlahan-lahan ia dekati kuburan tersebut, ketika diperiksa
dengan seksama mendadak di-temuinya bahwa kuburan
pemegang pedang sudah pernah dibongkar orang bahkan
kalau ditinjau dari keadaan disekeliling tempat itu jelas
pembongkaran itu terjadi belum lama berselang.
Diam-diam segera pikirnya, “Orang persilatan kebanyakan
pada menyukai senjata tajam apa lagi kuburan pemendam
pedang ini tiada pemilik, tidak aneh kalau tempat seperti ini

paling sudah memancing kedatangannya orang tapi batu
peringatan itu sudah kuno dan hurufnya sudah kabur
semestinya usia kuburan ini sudah mencapai dua tiga ratus
tahun lamanya, pedang didalam kuburan ini semestinya sedari
dulu sudah diambil orang kenapa belakangan ini masih
nampak juga bekas-bekas digali?”
Berpikir sampai disini, timbullah perasaan ingin tahu dalam
hati kecilnya, ia meyingkirkan batu besar diatas kuburan itu
dan segera ditelitinya dengan seksama.
Luas kuburan pemendam pedang itu hanya empat depa,
lapisan kuburan terdiri dari petak-petak batu persegi empat,
berhubung tempat itu pernah digali orang maka sewaktu
menyingkirkan petak-petak batu itu dapat dilakukan dengan
mudah sekali, dalam waktu singkat seluruh lapisan kuburan
bagian depan sudah terbongkar hingga muncullah sebuah
papan batu cadas yang berbentuk panjang.
Diam-diam Hoa Thian-hong berpikir didalam hatinya,
“Meskipun kuburan ini kecil akan tetapi bangunannya megah
sekali, nampaknya kuburan ini adalah kuburan orang kaya….”
Dalam hati masih berpikir, tangannya telah bekerja
membongkar lapisan batu cadas tersebut.
Dibawah lapisan batu itu merupakan sebuah liang kosong
berbentuk panjang, pada lapisan liang itu membujurlah
sebuah lapisan batu lain yang panjangnya tiga depa dengan
luas beberapa depa diatas lapisan itu terukirlah hurup-hurup
lembut yang amat rapat kecuali itu tiada benda lainnya lagi.
Waktu itu fajar baru saja menyingsing di ufuk disebelah
timur, dengan mata yang tajam Hoa Thian-hong mengamati
tulisan itu terbacalah tulisan itu berbunyi demikian, “Setelah

tamat belajar ilmu aku terjun kedunia persilatan dengan
andalkan sebilah pedang yang berat!”
Hoa Thian-hong terperanjat sambil meraba pedang baja
yang tergantung dipinggangnya, ia berpikir, “Mungkinkah
pedang baja yang dimaksud adalah pedang bajaku ini….
Ia membaca tulisan itu lebih jauh, “Berkat perlindungan
dari perguruan, semuanya berjalan lancar dan berjalan
sepuluh tahun nama besarku telah tersohor diseluruh kolong
langit dalam usia semuda ini tentu saja hasil itu membuat
hatiku sangat gembira…. tapi sayang suatu ketika karena
kurang ber hati-hati aku telah salah membunuh seorang
pendekar sejati, hasil jerih payahku selama sepuluh tahun
punah dan hancur dalam sehari dalam malu dan putus asa,
kupendam pedang bajaku, mengasingkan diri dan tak bersedia
membicarakan soal ilmu silat lagi….”
Membaca sampai disini Hoa Thian-hong menghela napas
panjang, pikirnya, “Seringkali orang menang silat dan lupa
daratan memang akibatnya adalah penyesalan yang tiada
akhirnya….”
Kemudian pemuda itu teruskan kembali pembacaannya,
“Dalam ketenangan, timbullah satu ingatan dalam benakku,
aku berhasrat munculkan diri kembali dalam dunia persilatan,
aku berusaha berbuat amal dan kebajikan untuk menebus
kesalahan yang pernah kulakukan dimasa lampau, puluhan
tahun telah berlalu bagaikan sehari.
Timbul perasaan kagum dan hormat dalam hati Hoa Thianhong
dengan semangat berkobar, ia melanjutkan membaca
tulisan itu.
“Walaupun pada saat ini aku tidak pernah dibantu oleh
pedang berat, namun dengan andalkan tenaga dalam yang

tinggi walaupun dengan kayu ataupun rumput tetap tidak ada
tandingannya di kolong langit, lama kelamaan sadarlah aku
tentang arti yang sebenarnya dari pada kata yang
mengatakan, pedang enteng menangkan pedang berat,
pedang kayu menangkan pedang baja, latihankusemakin rajin
dan perbuatan amalku semakin besar….”
Hoa Thian-hong cabut keluar pedang bajanya dan
menimang-nimang, lalu gumannya seorang diri, “Pedang
enteng menangkan pedang berat, pedang kayu menangkan
pedang baja….?”
Ia gelengkan kepalanya dan segera alihkan kembali sorot
matanya keatas lapisan batu tersebut.
Setelah hidup seratus tahun, kepandaian silat yang kumiliki
semakin meningkat terus, aku menyadari bahwa perguruanku
tak boleh putus dengan begitu saja lantaran aku karena itu
selain pedang baja yang berat kusertakan pula sebait “Kiam
keng” ditempat ini.
Membaca sampai disini, sorot matanya dengan tajam
menyapu sekejap sekeliling liang pedang itu dengan harapan
bisa menemukan ‘Kiam keng’ atau catatan pedang seperti
yang dimaksudkan namun liang batu itu kosong melompong
kecuali batu cadas tersebut tiada benda yang lain lagi.
Dengan hati terkejut ia melanjutkan membaca tulisan itu,
“Selama membawa pedang ditangan, ternyata di kolong langit
tiada seorang manusiapun yang mampu menandingi diriku,
tiada benda yang mampu menahan pukulanku, dalam keadaan
begini timbullah ingatan dalam benakku, hidup dengan
pedang lebih baik hidup tanpa pedang, tapi perguruan turun
temurun mewariskan pedang tersebut, itu berarti dibalik hal
itu pastilah terdapat sesuatu maksud yang tertentu maka aku
segera menutup diri untuk memecahkan rahasia ini, setelah

menghabiskan waktu sembilan belas tahun, akhirnya dapat
aku resapi apa artinya ada pedang menangkan tanpa pedang
berat meranakan pedang ringan karena itu dengan sepenuh
tenaga kuciptakan serangkaian catatan Kiam keng sebagai
pembantu mereka yang ingin memperdalam ilmu pedangnya
cataitan terlampir dibawah dan siapa yang berjodoh boleh
mempelajarinya!”
Dibawah tulisan tersebut tertulis kembali nama dari pemilik
kuburan tersebut yakni”
“Ahli waris angkatan keempat puluh empat dari perguruan
pedang Gi Ko”
Dan tulisan dipaling bawah adalah Catatan Kiam keng.
Hoa Thian-hong merasakan hatinya bergolak keras setelah
membaca sampai disitu, dengan suara lantang segera
bacanya,
“Peraturan menurut langit, kerugian pasti bersisa tenaga
masih kurang kekerasan bukanlah….”
Baru saja ia berbicara sampai disitu mendadak dari
belakang tubuhnya berkumandang datang suara bentakan
keras disusul segulung angin pukulan yang maha dahsyat
menggulung datang.
Hoa Thian-hong merasa amat terperanjat, ia tak
menyangka siapakah jago lihay dalam dunia persilatan yang
memiliki tenaga pukuln yang begitu dahsyat?
Ditengah desingan angin tajam, pemuda itu buru-buru
menjejakan kakinya keatas tanah dan membumbung
keangkasa tinggi hingga menca pai ketinggian tiga tombak
dari permukaan.

Blaaaamm! ditengah benturan keras yang menggelegar di
angkasa, batu nisan didepan kuburan pemendam pedang
serta papan batu dalam liang terhajar hingga hancur jadi
berkeping-keping kemudian tersebar kemana-mana….
Hoa Thian-hong merasa terkejut bercampur gusar ketika ia
melayang turun keatas tanah dan menengok ke arah orang
yang melan carkan serangan itu maka tampaklah Pek Siauthian
ketua dari perkumpulan Sin-kie-pang yang amat tersohor
itu sudah berdiri angker dihadapannya.
Pek Siau-thian berdiri kaku dihadapannya dengan mulut
terkatup rapat-rapat, jubahnya yang lebar berkibar terhembus
angin sikapnya yang begitu mengerikan membuat orang jadi
segan dan tak berani memandang rendah dirinya.
Hoa Thian-hong teramat gusar, pada saat itu dia sudah
lupa akan arti jeri ataupun takut sambil mempersiapkan
pedang bajanya ia berseru dengan gusar, “Pek Siau-thian!
persoalan lain tak usah kita bicarakan lagi, mari kita berduel
untuk menentukan siapa menang siapa kalah, kita bereskan
semua hutang lama maupun hutang baru!”
Air muka Pek Siau-thian berubah hebat, perlahan-lahan
katanya, “Kalau didengar dari pada ucapanmu, apakah putriku
benar-benar telah mati?”
Wajahnya penuh emosi, suaranya gemetar dan ia tak dapat
mengua-sahi perasaan ngeri serta kecewa yang berkecamuk
dalam benaknya.
Kematian dari Pek Kun-gie merupakan suatu kejadian yang
amat menyesalkan hati Hoa Thian-hong, rasa sedih yang
dialaminya sukar untuk dilukiskan dengan kata-kata, tetapi
bara kebencian yang masih tertanam didasar hatinya

membuat pemuda itu tak sudi memperlihatkan perasaan hati
yang sebenarnya dihadapan Pek Siau-thian.
Mendengar pertanyaan itu, dia segera mengangguk sebagai
tanda membenarkan ucapan itu.
Sekujur badan Pek Siau-thian gemetar keras sesudah
termenung beberapa saat, tiba-tiba ia menengadah keatas
dan memperdengarkan suara gelak tertawa yang amat
menyeramkan.
“Heeehh…. heeehh dimanakah jenasahnya?”
Hoa Thian-hong tidak langsung menjawab, diam-diam
pikirnya didalam hati, “Ilmu silat yang dimiliki too koh
bercadar hitam itu berasal satu aliran dengan kepandaian
yang dimiliki Pek Kun-gie kalau kutinjau dari sikapnya sewaktu
membopong jenasah Pek Kun-gie tanpa bersedia untuk
melepaskannya, mungkin dia adalah bininya Pek Siau-thian
atau ibu kandung dari kakak beradik itu, tapi itu hanya
menurut dugaanku belaka belum tentu dugaanku itu tepat.”
Sementara itu ketika Pek Siau-thian menyaksikan pemuda
itu hanya membungkam terus tanpa menjawab, hatinya
kembali tercekat, tegurnya dengan nada agak gemetar,
“Kenapa? apakah engkau takut terjadi urusan maka kau
lenyapkan jenasah itu dari muka bumi?”
“Engkau tak usah menggunakan pikiran seseorang manusia
rendah untuk menilai seorang kuncu, aku orang she Hoa
bukan manusia semacam itu, aku tak dapat melakukan
pekerjaan seperti itu”
“Dimanakah jenasahnya?” bentak Pek Siau-thian tiba-tiba
dengan suara keras.

Mula-mula hawa gusar menyelinap diatas wajah Hoa Thianhong
kemudian dengan dingin dan hambar jawabnya, “Tak
usah banyak bertanya, aku orang she Hoa sudah cukup
menerima penghinaan serta pencemoohan dari kalian dan
akupun tahu persoalan yang terjadi pada hari ini tak dapat
diakhiri secara damai, daripada buang waktu dengan percuma
lebih baik kita tetapkan saja mati hidup kita dengan ilmu silat.”
Mendengar perkataan itu, Pek Siau-thian segera
menengadah keatas dan tertawa seram suaranya
mengandung perasaan sedih, gusar, benci, mendendam serta
pelbagai perasaan lain, begitu seramnya suara tertawa itu
hingga jauh lebih tak enak di dengar dari pada suara tertawa.
Seluruh bukit dan udara segera menggema dan
mengalunkan tertawanya yang mengerikan itu….
Hoa Thian-hong merasa bergidik hingga bulu kuduknya
pada bangun berdiri, pikirnya, “Cinta kasih ayah anaknya
selalu sama meskipun Pek Siau-thian adalah seorang jagoan
yang amat lihay namun kesedihannya karena kehilangan
putrinya yang tercinta benar-benar memilukan.”
“Aaaai….! dalam pertempuran yang bakal terjadi hari ini
mungkin salah satu diantara kita berdua bakal menemui
ajalnya….”
Berpikir sampai disini, sengaja ia berseru dengan suara
dingin, “Hmmm! sebagai seorang pangcu dari perkumpulan
Sin-kie-pang mengapa tidak bersikap lebih terbuka sedikit?”
Gelak tertawa Pek Siau-thian segera sirap, sepatah demi
sepatah ujarnya dengan nada menyeramkan, “Kalau hari ini
aku tak mampu membinasakan dirimu maka perkumpulan Sinkie-
pang akan buyar dengan begitu saja, besok malam

pertarungan besar Kian ciau tayhwee pun tak ada manusia
yang bernama Pek Siau-thian lagi.”
Hoa Thian-hong merasakan semangatnya berkobar dengan
sikap bertempur ia berteriak keras, “Bagus sekali! selama aku
orang she Hoa masih dapat bernapas, aku pasti akan
bertempur dengan dirimu hingga titik darah penghabisan, aku
tak mungkin akan tinggalkan bukit ini dengan begitu saja.”
ooooooOoooooo
47
NAFSU membunuh yang amat tebal dengan cepet
menyelimuti seluruh wajah Pek Siau-thian, sambil tertawa
dingin tubuhnya bergerak maju kedepan, telapak tangannya
laksana kilat melancarkan sebuah pukulan dahsyat ke arah
dada lawan.
Hoa Thian-hong tetap bersikap angkuh dan sama sekali tak
bermaksud menghindarkan diri kesamping, tubuhnya tetap
berdiri tegak ditempat semula sementara pedang bajanya
diayun kedepan…. Sreeet! sebuah serangan balasan telah
dilepaskan.
Pek Siau-thian merasa amat terperanjat dan hatinya
bergentar keras dan perasaan tersebut belum pernah dialami
selama hidup.
Sejak mendirikan perkumpulan Sin-kie-pang, hampir
separoh jagad telah berada dalam genggamannya tidak
membicarakan soal kepandaian silatnya, cukup meninjau
kepandaiannya mengendalikan serta menguasai anak buahnya
sudah bisa diketahui bahwa dia adalah sseorang manusia yang
luar biasa.

Dalam sekilas pandangan, ia sudah tau bahwa Hoa Thianhong
memiliki bakat yang bagus dan dikemudian hari bakal
mencapai puncak kesempurnaan karena itu kemauan yang
dicapai oleh Hoa Thian-hong sudah berada dalam dugaannya
namun kemajuan yang sangat mendadak itulah justru
membuat hatinya bergetar keras ia tak dapat menemukan
dimanakah letak alasannya hingga pemuda itu berhasil
memperoleh kemajuan secepat itu.
Jilid 5
HARUSLAH diketahui serangan yang dilancarkan oleh Hoa
Thian-hong barusan sama sekali tidak memperlihatkan
kesempurnaan dalam tenaga dalam juga bukan keampuhan
dalam jurus serangan melainkan kegagahan keberanian serta
hasil latihan yang semestinya sudah mencapai puluhan tahun
lamanya dan pengalamanya dalam menghadapi ratusan
pertarungan itulah yang menggetarkan kesempurnaan
tersebut tak dapat diciptakan baik dengan obat-obatan
maupun dengan kecerdasan, kematangan itu hanya bisa
dihasilkan karena latihan yang lama serta seringnya
bertempur.
Diam-diam Pek Siau-thian merasa amat terperanjat,
dengan cepat menyingkir kesamping kiri pemuda itu kemudian
melancarkan sebuah serangan lagi.
Hoa Thian-hong menggetarkan pedang bajanya kebawah
untuk memunahkan serangan tersebut, pikirnya, “Kun Gie
sudah mati, dendam kesumat inipun tak dapat dihindari lagi,
Pek Siaiu Thian sebagai seorang pemimpin persilatan pasti
akan berusaha keras untuk membalas dendam sakit hati akan
kematian putrinya itu, tapi aku merasa bersalah meskipun
kematiannya membuat aku menyesal namun aku tak dapat

mengorbankan jiwaku demi mensukseskan harapan Pek Siauthian
untuk membalas dendam….”
Berpikir sampai disini ia segera membentak keras…. Sreett!
sreett! secara beruntun ia lepaskan dua buah serangan
dengan kedu dukan menyerang menggantikan posisi lawan
dan ia berusaha merebut diatas angin.
Desiran angin pedang menggetarkan telinga Pek Siau-thian,
hawa pedang yang terpancar keluar dari senjata tersebut
mampu melukai orang tanpa berwujud.
Sementara itu Pek Siau-thian sendiri sambil melayani
serangan-serangan lawan, dalam hati diam-diam membuat
perhitungan, pikirnya, “Tindak tanduk ini seringkali berada
diluar dugaanku, rupanya ia sudah berhasil mencapai
kesempurnaan dalam ilmu silatnya dan jelas merupakan
ancaman terbesar bagi dunia persilatan, Kun Gie sudah mati
dan perduli bagaimanapun juga hari ini aku harus
membinasakan bocah keparat ini tapi…. besok pertemuan
besar Kian ciau tayhwee bakal diselenggerakan, aku harus
menghindari pertempuran-pertempuran yang terlalu
membuang tenaga serta berusaha keras untuk menghemat
tenaga….”
Berpikir sampai disini secara tiba-tiba ia lancarkan tiga buah
serangan berantai kemudian bentaknya keras-keras, “Tahan!”
Hoa Thian-hong menghindar satu langkah kebelakang
sambil silangkan pedangnya didepan dada, ia menegur,
“Engkau ada urusan apa?”
Wajah Pek Siau-thian Kaku dan sedikitpun tidak
menunjukkan perasaan apapun, ujarnya, “Tahukah engkau,
kemarin malam ada urusan apa putriku yang tidak berbakti itu
datang mencari dirimu?”

Dengan penuh perasaan sedih, Hoa Thian-hong
menggeleng lalu jawabnya lirih, “Pada saat itu aku sedang
berlatih pedang dibelakang bukit, aku tak sempat berjumpa
muka dengan dirinya ketika aku menyusul kesini dia….”
Terbayang kembali kejadian tatkala ia di kerubuti orang
tempo hari, Pek Kau Gie begitu kuatir, cemas bercampur
gelisah memandang ke arahnya membuat ia merasa amat
sedih sehingga tak sanggup mengucapkan sepatah katapun.
Terdengar Pek Siau-thian tertawa dingin dan berseru,
“Orang she Hoa, terus terang kuberitahukan kepadamu, pihak
perkumpulan Sin-kie-pang, Hong-im-hwie, Thong-thian-kauw
untuk sementara waktu telah melupakan perselisihan
pribadinya dan telah membentuk persekutuan untuk bersamasama
membentuk jebakan maut disekitar tempat
terselenggaranya pertemuan besar itu, asal kalian besok pagi
berani menghadiri pertemuan besar Kian ciau tayhwee maka
kalian manusia-manusia yang berlagak sok mulia akan dibasmi
semua dan dibunuh habis dari muka bumi!”
Walaupun kejadian ini sudah berada dalam dugaan para
jago, akan tetapi setelah perkataan itu diutarakan dari mulut
Pek Siau-thian sendiri, tak urung membuat Hoa Thian-hong
terkesiap juga hingga air mukanya berubah sangat hebat.
Terdengar Pek Siau-thian menghela napas panjang,
kemudian menyambung lebih jauh, “Siapa tahu putriku yang
tak berbakti itu mencari kematian buat diri sendiri, matanya
sudah buta dan menganggap engkau seorang pria yang suka
memandang tinggi soal cinta, ia berharap bisa mendampingi
dirimu sepanjang hidup setelah dia mengetahui akan rahasia
ini dan menyaksikan kalian terancam kepunahan, maka
dengan menempuh bahaya ia memohon kepadaku agar
memberi petunjuk untuk menghindarkan kalian dari bencana

maut, ia telah berlutut satu hari satu malam lamanya. Aaaai….
sungguh menyesal kukabulkan permintaannya”
Berbicara sampai disini seluruh kulit tubuhnya berkerut
kencang sambil memandang keangkasa, ia membungkam
dalam seribu bahasa, dalam waktu singkat itulah belbagai
macam kesedihan berkecamuk dalam benak Pek Siau-thian
membuat ia berdiri termangu-mangu.
Hoa Thian-hong tak dapat menahan diri, dua titik air mata
jatuh membasahi pipinya diam-diam is berpikir, “Sungguh tak
kusangka, tanpa kusadari aku telah berhutang budi yang
demikian besarnya terhadap dia. Aaaai….! takdir telah
menentukan segala-galanya apa yang dapat kulakukan lagi?”
Tiba-tiba Pek Siau-thian berkata lagi dengan suara keras,
“Hoa Thian-hong tahukah engkau tiba-tiba hatiku berubah jadi
lunak dan aku bersedia mengkhianati persekutuan dengan
pihak lain sebaliknya malah membantu musuh dengan
mengabulkan permintaan putriku itu?”
Hoa Thian-hong tertegun kemudian jawabnya, “Sadar akan
kesalahan yang dilakukan selama ini dan engkau bermaksud
meninggalkan yang sesat kembali kejalan yang benar”
“Kentut!!” bentak Pek Siau-thian dengan penuh kegusaran.
Dalam hati Hoa Thian Hoag segera berpikir.
“Rupanya Pek Siau-thian sudah terlanjur tersesat sehingga
meskipun sang Budha turun keatas bumi sendiripun belum
tentu membu at ia bertobat diri segala dosanya.
Sesudah berpikir sebentar, diapun berkata, “Sejak kecil Kun
Gie dibesarkan dibawah perawatanmu, kalian berdua sudah

hidup berdampingan selama banyak tahun membuat cinta
kasihmu terhadap dirinya dalam bagaikan samudra….”
Makin mendengar, Pek Siau-thian merasa semakin kesal, ia
segera ulapkan tangannya memotong perkataannya yang
belum selesai itu, serunya, “Engkau jangan menyamkan diri
orang lain bagaikan dirimu, engkau adalah seorang anak yang
berbakti apa yang diucapkan ibumu selalu kau turuti, engkau
tak pernah membangkang perkataan ibumu, sebaliknya
putriku itu bukanlah seorang putri yang berbakti, aku
melarang dia untuk mencintai dirimu sebaliknya dia malah
justru tak mau dengarkan perkataanku, mencari penyakit buat
diri sendiri sehingga membuat akupun harus menanggung
rasa malu karena ditertawakan oleh setiap orang di kolong
langit!”
Hoa Thian-hong merasa tak tega membiarkan Pek Kun-gie
yang sudah meninggal dunia dicaci maki oleh ayahnya, tanpa
terasa ia segera menimbrung dari samping, “Ucapanmu itu
terlalu serius, andaikata keadaan tidak melarang aku untuk
membatasi diri dalam pergaulan, siapa tahu kalau aku dapat
berhubungan lebih mendalam lagi dengan putrimu hingga
membawanya kejenjang perkawinan? siapa yang akan
mentertawakan kami?”
Pek Siau-thian tertawa dingin.
“Engkau tak usah mengatakan persoalan itu meskipun
engkau berbakti pada orang tuamu belum tentu ibumu
bertindak bijaksana, aku bukanlah manusia sembarangan,
sekalipun putriku yang tak berbakti itu kupelihara sendiri
sampai dewasa akan tetapi aku tak akan mengorbankan
keselamatan anggota Sin Kie Hong yang mencapai jumlah
seratus laksa orang itu hanya dikerahkan ingin mewujudkan
hubungan kalian berdua.

“Seratus laksa orang?” seru Hoa Thian-hong dengan hati
terperanjat, hampir saja tak percaya dengan pendengaran
sendiri.
“Hmm! mimpi pun engkau tak pernah menyangka bukan?”
sahut Pek Siau-thian dengan wajah penuh ejekan.
“Aaah….! mungkin ia memperhitungkan pula keluarga
mereka semua…. pikir Hoa Thian-hong didalam hati, akan
tetapi kalau satu keluarga terdiri dari sepuluh orang itu berati
anggota perkumpulan Sin-kie-pang semuanya berjumlah
sepuluh laska orang, kemampuan Pek Siau-thian untuk
memimpin anggota sebanyak itu memang benar-benar luar
biasa serta mengagumkan sekali….
Berpikir Sampai disini, ia lantas berkata, “Caramu bertindak
memang amat sukar diduga, sebenarnya apa sih alasanmu
sehingga membuat hatimu jadi lemah serta mengabulkan
permintaan diri Kun Gie? aku tak dapat menduganya….”
“Aiaai….!” Pek Siau-thian menghela napas panjang, “aku
teringat akan keretakan keluarga kami berhubung dengan
hidup berpisahnya dengan istriku, sejak kecil Kun Gie sudah
kehilangan kasih sayang ibunya, ia dibesarkan dibawah
lingkungan para jago yang beraneka ragam watak serta
perbuatannya, aku tak tega menyaksikan ia menjadi sedih
karena pengaruh cinta, akupan tak ingin membiarkan dia mati
karena kesedihan karena itu ditengah jalan aku telah berubah
pikiran dan mengijinkan dirinya untuk pergi memberi kabar
kepada kalian serta menunjukkan pula satu jalan keluar bagi
kamu semua, tapi…. siapa tahu….”
Ia berhenti sebentar, dari balik matanya tiba-tiba
memancarkan cahaya berapi-api, sambungnya lebih jauh,
“Siapa tahu kalian manusia-manusia yang mengaku sebagai
kaum pendekar dari kolong langit ternyata tidak lebih hanya

sekawanan manusia yang tak tahu diri manusia yang tak
mengenal budi…. bukannya berterima kasih atas jerih
payahnya, kalian malah mencelakai jiwa putriku yang tolol
itu…. kau…. Hoa Thian-hong, apakah masih punya muka
untuk berjumpa dengan para enghiong di kolong langit?
kenapa engkau tidak bunuh diri saja untuk menebus dosadosamu
itu? apakah engkau hendak menunggu sampai aku
turun tangan sendiri?”
Air muka Hoa Thian-hong pucat pias bagaikan mayat, ia
berdiri kaku dan membungkam seribu bahasa lama…. lama
sekali baru jawabnya, “Latar belakang yang sebenarnya aku
tak usah terangkan lagi, pokoknya hutangku terhadap Kun Gie
dikemudian hari pasti akan kubayar!”
“Tapi dia sudah mati!” bentak Pek Siau-thian dengan mata
melotot.
“Apa aku bisa menggunakan kematianku untuk membalas
budinya itu? atau juga dalam penitisan yang akan datang aku
toh dapat pula membalas budi kebaikannya itu!”
“Perkataan tentang Penitisan yang akan datang terlalu
khayal dan kosong, menurut penglihatanku lebih baik engkau
balaa saja kebaikan budi Kun Gie dengan satu kematian!”
Hoa Thian-hong agak tertegun, lalu jawabnya dengan
sedih, “Sekalipun aku tersedia namun harus menunggu sampai
pekerjaanku telah selesai lebih dahulu!”
“Heeeehhh…. heeehhh…. heeehhb engkau bersedia
menunggu tapi aku tak bersedia untuk menunggu lebih jauh!”
sahut Pei Siau Thiang sambil tertawa dingin.

Tubuhnya segera menerjang maju kedepan telapak
tangannya lak sana kilat melancarkan sebuah serangan
dahsyat kedepan.
Hoa Thian-hong segera putar pedang bajanya untuk
mengunci datangnya ancaman tersebut namun Pek Siau-thian
adalah seorang manusia yang amat lihay, setelah berhasil
menduduki posisi diatas angin sepasang telapaknya segera
melancarkan serangan-serangan berantai secepat kilat sampai
si anak muda itu sama sekali tak mempunyai kesempatan
untuk melakukan pembalasan.
Dengan waktu singkat segulung angin pukulan bagaikan
gulungan ombak ditengah samudra membungkus Hoa Thianhong
dalam kepungan, Pek Siau-thian senderi seakan-akan
telah berubah jadi gulungan angin pukulan yang maha
dahsyat, jejaknya tiba-tiba lenyap tak berbekas.
Hoa Thian-hong dengan sepenuh tenaga memutar pedang
bajanya untuk menahan gempuran-gempuran dari lawannya,
cahaya hitam tampak meronta diantara angin pukulan
sebentar cahaya hitam itu muncul sebentar lagi lenyap
seakan-akan permainkan pedangnya sudah terbungkus
ditengah gulungan pukulan angin pukulan lawan.
Perkataan yang diucapkan Pek Tiau Thian barusan telah
menggetarkan hati Hoa Thian-hong membuat pemuda itu
merasa menyesal hingga permainan pedangpun menjadi
lunak.
Setelah kehilangan posisi yang menguntungkan, dalam
sekejap mata tubuhnya sudah tertelan ditengah gelombang
angin pukulan yang dahsyat bagaikan hembusan angin puyuh
itu, kendatipun ia telah berusaha untuk meronta dan
melakukan perlawanan akan tetapi selalu gagal untuk
menemukan kesempatan guna membenahi diri sendiri, ia

sadar jika keadaannya begini terus menerus maka pada
akhirnya dia bakal menemui ajalnya ditangan lawan.
Pek Siau-thian sendiri berhasrat untuk membinasakan Hoa
Thian-hong dalam sebuah se-rangan mautnya, siapa tabu
kendatipun sudah melancarkan ratusan jurus serangan dan
me-maksa Hoa Thian-hong berada dalam posisi yang sangat
berbahaya dan kritis bahkan sering kali jiwanya nyaris
melayang namun maksud tujuannya belum pernah bisa
tercapai.
Pertempuran ini benar-benar merupakan suatu
pertempuran yang sengit dan jarang terjadi di kolong langit.
Makin bertempur Pek Siau-thian merasa makin terperanjat
ia tak pernah menyangka kalau di kolong langit masih
terdapat seorang jago yang mampu bertahan sebanyak
ratusan jurus tanpa menderita kalah dibawah kurungan ilmu
pukulan Ceng boan ngo heng sian ong toan hun ciang nya itu.
Sudah terlalu banyak jago lihay di kolong langit yang
penrah dihadapi olehnya manusia lihay sebangsa Ciu It-bong
dan lain-lainnya asal sudah terjebak dibawah serangan
rangkaian ilmu telapak yang jarang sekali dipergunakan
olehnya ini, maka dalam seratus jurus pasti akan keok dan
menderita kekalahan ditangannya.
Siapa tahu ketika ilmu telapaknya yang ampuh itu
dipergunakan untuk menghadapi Hoa Thian-hong, walaupun
sudah bertahan sampai ratusan jurus akan tetapi pemuda itu
masih belum juga mampu dikalahkan.
Tak tertahan lagi, ia berpikir dalam hati kecilnya, “Kun ji,
engkau memang tak punya rejeki dan keluarga Pek kitapun
tak punya rejeki andaikata bocah ini dapat menjadi
pasanganmu dan aku bisa mendapat bantuannya maka para

jago persilatan baik dari go longan putih maupun dari
golongan hitam yang ada dilima telaga empat samudra
bukankah akan tunduk dan berada dibawah kekuasaan per
kumpulan Sin-kie-pang kita.”
Karena terpengaruh emosi, serangan yang dilancarkan
semakin dahsyat dan daya tekanan yang terpancar keluar dari
ilmu telapak Ceng hoan sian hong toan hun ciang itupun
makin menggetarkan seluruh permukaan bumi.
Hoa Thian-hong mengerahkan segenap kekuatan yang
dimilikinya untuk melindungi keselamatan sendiri, dalam
keadaan begini otaknya tak sempat untuk dipakai lagi
terpaksa ia harus punahkan jurus bila bertemu jurus,
punahkan gerakan bila bertemu gerakan pertarungan
diteruskan dengan mengikuti semua gerakan lawan.
Adaikata Pek Siau-thian tidak menghentikan serangannya
maka diapun terpaksa harus bertahan terus dengan cara
demikian sekalianpun tidak sampai menderita kekalahan
diapun tak memiliki kekuatan untuk merebut kemenangan.
Dalam waktu singkat Pek Siau-thian telah melancarkan
empat lima puluh jurus serangan lagi, ketika dilihatnya tenaga
dalam yang terpancar keluar dari ujung pedang Hoa Thianhong
sama sekali tidak menunjukkan kelemahan, diam-diam ia
merasa amat gelisah pikirnya, “Kalau penarungan berlangsung
dalam keadaan begini terus, sekalipun bergebrak tiga sampai
lima ratus jurus lagipun belum tentu aku mampu untuk
melukai bocah keparat ini, apalagi kalau sampai membiarkan
dia hapal dengan gerakan ilmu telapakku ini bisa-bisa akan
muncul suatu kejadian yang sama sekali tak terduga….”’
Berhubung besok adalah hari pembukaan pertemuan besar
Kian ciau tayhwee atau dengan perkataan lain saat terakhir
bagi kaum jago untuk menentukan siapa tangguh dan siapa

lemah, siapa berkuasa siapa tidak lagi pula mempengaruhi
mati hidup perkumpulan Sin-kie-pang maka Pek Siau-thian
tidak ingin menggunakan hasil latihannya selama puluhan
tahun ini sebelum tiba pada saatnya yang tepat, sebelum
pertarungan massal berlangsung ia tak ingin mengorbankan
tenaganya dengan percuma hingga mempengaruhi
kelangsungan pertemuan besok pagi.
Disamping itu, diapun mengerti setelah Hon Thian-hong
dibunuh maka Hoa Hujin pasti bersiap sedia untuk
membalaskan dendam bagi kematian putranya, iapun harus
bersiap sedia untuk menghadapi pertentangan yang paling
berat itu.
Berpikir sampai disana, diapun segera mengambil
keputusan untuk merubah siasat, ia berusaha mencari
kemenangan dengan andalkan kepandaian yang dimilikinya
selama ini.
Terdengar orang she Pek itu mendengus dingin, gerakan
telapaknya tiba-tiba berubah, telapak kiri menyapu keatas
pinggang musuh sementara kepalan kanannya langsung
menghantam dada Hoa Thian-hong.
Perubahan yang sama sekali tak terduga itu membuat jago
muda she Hoa itu jadi amat terperanjat, disaat yang kritis
pedang bajanya buru-buru berputar dengan gerakan Po goan
siu it atau berjaga-jaga dalam satu titik, badannya secepat
kilat berputar kencang.
Menghadapi serangan musuh dengan badan berputar,
pedang disilangkan didepan dada merupakan jurus pertama
dari antara enam belas jurus pedang yang dipelajari oleh Hoa
Thian-hong, gerakan itu mengandung unsur Pat kwa serta Tay

kek membuat pihak lawan susah untuk menduga arah
manakah yang bakal diancam….
Pek Siau-thian merasa amat kagum sekali ketika
menyaksikan kepalannya ketiga menyapu kedepan, tiba-tiba
berkelebat cahaya hitam dan tahu-tahu sepasang
pergelangannya hampir membentur diatas pedang lawan, ia
memuji kelihayan ilmu pedang yang diciptakan oleh Hoa
Goan-siu tersebut serta kesempurnaan Hoa Thian-hong
didalam permainan pedangnya.
Tetapi setelah berhasil merebut kedudukan diatas angin, ia
tak mau membuang kesempatan itu dengan begitu saja,
telapak kirinya dengan suatu gerakan yang sangat aneh tibatiba
menotok jalan darah Ki huo hiat diatas badan Hoa Thianhong
sedangkan tangan kanannya yang mengandung
kekuatan inti mendadak diluncurkan kedepan.
Hoa Thian-hong tak sempat berpikir panjang lagi, pedang
bajanya dikembangkan dengan jurus Hok lay cing beng atau
pekikan bangau membumbung keangkasa, ia balik membabat
lengan kiri Pek Siau-thian sedangkan telapak kirinya dengan
jurus Kun ciu ci tau menyambut datangnya serangan lawan.
Siau tahu serangan tangan kiri Pek Siau-thian adalah gerak
tipu belaka, sedang serangan telapak kanan adalah serangan
yang sesungguhnya, terutama sekali gerakan ini merupakan
hasil ciptaannya setelah belasan tahun lamanya bertempur
melawan Ciu It-bong, bisa dibayangkan betapa jitu dan
hebatnya serangan tersebut.
“Ploook….!” sepasang telapak saling membentur satu sama
lainnya menimbulkan suara benturan keras, tubuh kedua
orang itu sama sama bergetar keras dan seranganpun terhenti
untuk beberapa saat.

Terdengar Pek Siau-thian tertawa terbahak-bahak,
lengannya berkelebat kedepan melancarkan satu pukulan.
Ketika terjadi bentrokan tersebut kedua duanya berada
dalam posisi serangan yang mencapai setengah jalan, dengan
begitu serangan susulan yang dilancarkan oleh Pek Siau-thian
ini boleh dibilang jauh menyimpang dari kebiasaan dunia
persilatan dan siapapun tak akan menduganya.
Hoa Thian-hong merasa amat terperanjat melihat gelagat
tidak menguntungkan itu, keputusan diambil dalam benaknya
dia mengepos tenaga kemudian menghimpun segenap
kekuatannya diatas bahu dan tubuhnya dengan cepat miring
kesamping.
Semua peritiwa itu berjalan dalam sekejap mata ketika
serangan dari Pek Siau-thian meluncur datang tiba-tiba, Hoa
Thian-hong miringkan badannya kesamping tak sempat untuk
mengganti jurus lagi…. Kraaak! telapak tangannya sudah
mampir diatas bahu Hoa Thian-hong membuat tubuhnya
terpental sejauh dua tombak lebih dari tempat semula.
Pek Siau-thian sendiri ketika telapak tangannya dengan
telak bersarang diatas bahu lawan ia merasakan timbulnya
tenaga tolakan yang amat besar menggetarkan tangannya hal
itu membuat dirinya amat terperanjat.
Ia tak menyangka kalau serangannya yang dilancarkan
dengan melanggar kebiasaan Bu Lim itu ternyata sudah
disambut oleh Hoa Thian-hong dengan persiapan yang penuh,
hal ini membuat luka yang diderita oleh lawan boleh dibilang
enteng sekali.
Jago tua she Pek itu jadi penasaran, ia segera berkelebat
maju kedepan siap melancarkan serangan berikutnya yang
mematikan.

Terlihatlah Hoa Thian-hong berdiri angkernya didepan
dengan pedang disilangkan didepan dada, sorot matanya
memancarkan cahaya kilat dengan tajam, ia awasi gerak-gerik
Pek Siau-thian dengan kesiap siagaan penuh, dari sikapnya
seakan-akan ia telah bersiap sedia untuk menghadapi
serangan musuh sampai dimanapun juga.
Tercekat hati Pek Siau-thian menyaksikan hal itu, ia
hentikan gerakan tubuhnya sambil berpikir.
“Aku harus bersikap lebih tenang gerakan yang ngawur dan
gegabah tak mungkin berhasil membinasakan bocah itu….”
Dalam pada itu, Hoa Thian-hong telah berkata dengan
nada dingin, “Engkau telah tunjukan kegagahanmu selama
beberapa waktu, sayang sekali tujuanmu tak dapat tercapai,
sekarang tibalah giliranku untuk menunjukkan kelihayan”
Pek Siau-thian tertawa dingin, “Heeehh…. heehhh…. heehh
dengan andalkan sedikit kepandaianmu itu masih belum cukup
untuk membinasakan diriku”
“Hmm! kalau bukan engkau yang mati akulah yang binasa,
aku akan berusaha sekuat teraga….”
Sambil menerjang maju kedepan, pedangnya segera
melancarkan satu babatan.
Pek Siau-thian mengerutkan dahinya, baru saja bisa
memunahkan serangan tersebut, Hoa Thian-hong telah
tertawa dingin tiada hentinya, pedang bajanya berputar
melancarkan serangan berantai bagaikan gulungan ombak
sungai Tiang kang ia mengirim serangan-serangan yang
mematikan.

Setelah permainan pedang bajanya dikembangkan, sekali
pun Cui Im taysu bekerja sama dengan Ciong Lian-khek pun
merasakan tekanan yang maha berat dan dalam seratus jurus
belum tentu bisa merobah posisinya jadi seimbang, apa lagi
Pek Sau Thian hanya seorang diri, dalam waktu singkat ia
sudah dipaksa dalam situasi yang serba menyulitkan
Makin bertempur makin bersemangat, Hoa Thian-hong
membentak berulang kali pedang bajanya disertai deruan
angin tajam menggulung diseluruh angkasa, sekalipun Pek
Siau-thian sudah berusaha keras untuk mengarahkan pelbagai
macam jurus aneh namun ia tak mau membendung rangkaian
serangan yang bertubi-tubi itu untuk merebut po sisi yang
lebih menguntungkan, sekalipun begitu bukanlah suatu
pekerjaan gampang bagi Hoa Thian-hong untuk mengalahkan
dirinya.
Ditengah berlangsungnya pertempuran sengit, diam-diam
Pek Siau-thian berpikir dalam hatinya, “Perpisahan yang
sangat singkat, diri mana bocah ini berhasil melompat jadi
jago lihay yang mampu menandingi kepandaian silatku?
benar-benar mengherankan….”
Tiba-tiba ia membentak keras, “Tahan!!”
Hoa Thian-hong sendiripun menyadari bahwa sulit baginya
untuk merebut kemenangan, mendengar ia berseru keras,
terpaksa sambil menghela napas mengundurkan diri
kebelakang.
Pek Siau-thian menengadah memandang cuaca, kemudian
ujarnya dingin, “Tengah hari sudah hampir tiba kalau racun
teratai empedu api yang mengeram di dalam tubuhmu sudah
mulai kambuh kita boleh beristirahat lebih dahulu kemudian
baru bergebrak kembali”

Mendengar perkataan itu Hoa Thian-hong jadi amat
terperanjat, ia tak menyangka kalau pertarungan iiu sudah
berlangsung setengah harian lamanya dalam hati segera
pikirnya, “Ketika aku menuruni jurang ini ibu menunjukkan
perasaan kuatir Pek Siau-thian dapat menemukan tempat ini,
berarti ibukupun bisa juga berbuat demikian dibalik peristiwa
tersebut tentu ada sebab sebabnya….”
Pek Siau-thian jadi girang ketika dilihatnya pemuda itu
murung dan sedih, sambil tertawa dingin katanya, “Engkau tak
usah bermuram durja, aku akan memberi kesempatan
kepadamu untuk beristirahat dahulu kemudian baru
melanjutkan kembali pertarungan ini, bagaimanapun toh bala
bantuanmu tak mungkin bisa tiba disini, aku dapat suruh
engkau mati dengan mata meram.”
Mendengar perkataan itu Hoa Thian-hong merasa semakin
gelisah ia mengambil keputusan untuk menyelesaikan
pertarungan ini dengan secepatnya hingga diapun bisa cepatcepat
melepaskan diri dari cengkeraman jago tua itu, sambil
ayun pedang bajanya ia berseru, “Dalam tubuhku sudah tidak
terdapat racun teratai lagi engkau tak usah pura-pura berlagak
alim dan baik hati kalau engkau tak mau bertempur lagi maaf
kalau aku tak bisa melayani dirimu lebih jauh”
“Jadi kalau begitu racun teratai yang mengeram didalam
tubuhmu sudah punah?”
“Engkau kecewa?” jengek Hoa Thian-hong sambil tertawa
dingin.
Pek Siau-thian tertawa seram.
“Heeehh…. heehh…. heeeh…. tempo hari aku penuju
kepadamu dan ajukan pinangan kepadamu untuk
mengawinkan engkau dengan putriku, pada waktu itu engkau

mengatakan tubuhmu masih mergeram racun dan tak dapat
beristri, kini racun yang mengeram dalam tubuhmu telah
punah, rupanya untuk menjaga kemungkinan engkau telah
turun keji dahulu dengan membinasakan putriku….”
Hoa Thian-hong jadi amat gusar sehingga sekujur
badannya gemetar keras, sehabis mendengar perkataan itu
teringat cinta kasih yang ditujukan Pek Kun-gie terhadap
dirinya, saking sedihnya dia mencucurkan air mata serunya
dengan gemas.
“Pek Siau, putri kandungmu sudah tiada lagi di kolong
langit, kenapa engkau memandang begitu rendah akan
dirinya?”
“Oooh….! engkau merasa tak tega? aku mengira engkau
benar-benar adalah seorang lelaki berhati baik!”
“Sebenarnya apa maksudmu mengucapkan kata-kata yang
sama sekali tak ada gunanya itu?”
Senyuman licik yang menyeramkan melintas diujung bibir
Pek Siau-thian, pikirnya, “Aku akan membuat pikiranmu jadi
kalut dan bingung tak karuan, akan kulenyapkan semangat
bertempurmu hingga sebelum ajalnya engkau rasakan lebih
dahulu bagaimana rasanya jadi orang gila….”
Sinar matanya berkelebat memandang sekejap ke arah
Kuburan pemendam pedang yang telah dihancurkan oleh
angin pukulannya itu, tiba-tiba berkelebat lewat satu akal licik,
sambil tertawa tergelak segera serunya, “Hoa Thian-hong,
tahukah engkau dirimu adalah anak murid siapa?”
Meskipun Hoa Thian-hong cerdik namun ia masih bukan
tandingan dari Pek Siau-thian yang licik, mendengar
pertanyaan tersebut segera jawabnya, “Siapapun mengetahui

kalau ilmu silat aku orang she Hoa adalah kepandaian
keluarga buat apa engkau banyak bertanya lagi?”
“Lupa pada soal perguruannya engkau memang seorang
manusia lupa budi!”
Tiba-tiba Hoa Thian-hong teringat akan sesuatu tanpa
sadar ia berseru, “Katakanlah semestinya aku orang she Hoa
adalah anggota perguruan mana….?”
“Kiam seng malaikat pedang Gi Ko!”
Hoa Thian-hong berpaling dan memandang sekejap ke arah
kuburan pemendam pedang kemudian pikirnya, “Cianpwee ini
selama hidupnya banyak berbuat kebaikan, ilmu pedangnya
tiada tandingannya di kolong langit dia memang pantas
disebut malaikat pedang sayang aku hanya mendapatkan
pedangnya dan gagal menemukan Kiam keng tersebut”
Teringat kalau catatan Kiam keng tersebut telah
dihancurkan oleh tenaga pukulan Pek Siau-thian sehingga
pusaka yang tak ternilai harganya lenyap tak berbekas, tanpa
terasa ia menaruh benci terhadap jago tua itu, sambil
menggertak giginya serunya, “Sebenarnya aku tidak berhasrat
untuk membinasakan dirimu akan tetapi setelah engkau
mengungkap persoalan ini, andaikata aku tidak mencabut
selembar jiwamu rasanya sulit untuk melampiskan rasa
dendam didalam hatiku….”
Sambil putar senjata, ia segera menerjang maju kedepan.
Tampak Pek Siau-thian mengelus jenggotnya sambil
tertawa terbahak-bahak, diantara gelak tertawanya penuh
mengandung perasaan bang ga.

Bagaimanapun juga Hoa Thian-hong adalah seorang
pendekar sejati melihat pihak lawan tiada bermaksud untuk
melakukan perlawananan terpaksa ia tarik kembali
serangannya sambil berseru dengan nada gemas.
“Pek Siau-thian tingkah lakumu yang licik serta gelak
tertawamu yang seram bagaikan setan membuat aku teringat
pada seseorang”
“Siapa?” tanya Pek Siau-thian sambil tertawa.
“Co Cho!!”
“Haahhh…. haaahhh…. haaahhh…. terima kasih atas
sanjunganmu itu aku orang she Pek tak berani menerimanya!”
Haruslah diketahui, dalam pandangan Hoa Thian-hong,
manusia yang paling licik dan berbahaya dalam sejarah adalah
Co Cho, sebaliknya dalam pandangan Pek Siau-thian maka Co
Cho dianggap sebagai seorang pahlawan yang luar biasa, dan
dia menganggap orang itu sebagai pahlawan yang paling
dikagumi olehnya, karena itu makian Hoa Thian Hoag telah
disalah tafsirkan olehnya….
Dengan wajah serius dan penuh penghinaan, Pek Siauthian
berseru membaca isi dari Kiam keng yang telah
dihancurkan olehnya itu,
“Peraturan menurut langit, kerugian pasti tersisa, tenaga
masih kurang, kekerasan bukanlah kekerasan, keras tapi
lincah, lunak bu kanlah lemah….”
Membaca sampai disini mendadak ia membungkam.
Hoa Thian-hong mendengarkan dengan seksama, tetapi
ketika ditunggunya sangat lama namun ia tidak meneruskan

pembacaannya pemuda itu jadi mendongkol bercampur gusar
tentu saja ia tak dapat mengajukan permintaan kepada
lawannya untuk meneruskan pembacaan tersebut, dengan
hati terbakar oleh hawa amarah ingin sekali ia bacok lawannya
sampai mati.
“Bagaimana?” terdengar Pek Siau-thian mengejek sambil
tertawa, “meskipun aku tak mampu membaca sepuluh kata
dalam sekali pandangan namun tulisan diatas lapisan batu
cadas itu telab kubaca sampai selesai, engkau berbakat bagus
dan lagi masih muda masa tulisan itr« belum sempat kau baca
sampai habis?”
Diam-diam Hoa Thian-hong merasa menyesal, menyesal
karena sudah terpikat oleh masa hidup Gi ko yang tertera
diatas lapisan batu itu hingga ketajaman telinganya berkurang
dan memberi kesempatan kepada Pek Siau-thian untuk
menghapalkan isi dari Kiam Keng sebelum menghancurnya
hingga jadi abu.
Haruslah diketahui bagi orang yang belajar ilmu silat,
catatan ilmu yang sangat mendalam itu kadangkala dipandang
jauh lebih berharga daripada jiwa sendiri apalagi sejak kecil
Hoa Thian-hong sudah mempelajari ilmu pedang dengan
pedang baja tersebut boleh dibi lang dengan malaikat pedang,
Gi Ko mempunyai jodoh karena itu bagi pandangan nya Kiam
Keng tersebut jauh lebih berharga daripada apapun juga.
Mula-mula ia tidak berpikir sampai kesitu, semakin setelah
dipikir lebih jauh makin lama hatinya semakin mendongkol
sehingga akhirnya amarahnya berkobar dalam dadanya,
sambil menyeringai seram, segera serunya, “Pek Siau-thian,
ini hari kalau bukan engkau yang mati akulah yang binasa
kalau aku Hoa Thian-hong yang mati maka pembaca Kiam
keng atau tidak bagiku sama saja sebaliknya kalau engkau
yang mati….”

“Aku akan membawa pergi catatan itu kealam baka,” sahut
Pek Siau-thian sambil tertawa terbahak-bahak, “dan sejak kini
di kolong langit tiada orang lain mengetahui apa isi dari
catatan Kiam keng tersebut….”
Tiba-tiba ia menghela napas panjang, sambungnya lebih
jauh, “Sungguh kasihan Malaikat pedang Gi Ko, dengan
usianya sebesar seratus tahun dia harus semedi selama
sembilan belas tahun lamanya sebelum berbasil menemukan
rahasia ilmu pedaag itu serta menciptakan Kiam keng sayang
usahanya itu hanya sia-sia belaka dan akhirnya harus musnah
dan muka bumi….”
“Engkau jangan keburu merasa bangga lebih dahulu!”
bentak Hoa Thian-hong dengan gusar, “lihat aku akan segera
membacok tubuhmu hingga hancur berkeping-keping!”
Sambil menerjang maju kedepan, pedagnya segera dibabat
secara gencar.
Menyaksikan pemuda itu mulai dibakar oleh hawa amarah
sehingga konsentrasinya buyar, diam-diam Pek Siau-thian
merasa bangga, dengan cepat ia bergeser kesamping, lalu
sambil tertawa ujarnya, “Hoa Thian-hong malaikat pedang Gi
Ko membutuhkan waktu selama sembilan belas tahun untuk
menciptakan kelima puluh delapan kata catatan Kiam keng
tersebut, coba pikirkanlah sendiri dia membutuhkan waktu
berapa lama untuk mendapatkan satu patah kata?”
Mendengar perkataan itu, diam-diam Hoa Thian-hong
menghitung, ia merasa malaikat pedang tersebut
membutuhkan waktu selama empat lima bulan untuk
mendapatkan setiap patah kata tersebut, hal ini membuat
hatinya semakin mendongkol, serunya dengan gemas,
“Semoga saja engkau jangan sampai terjatuh ditanganku,

kalau aku orang she Hoa berhasil menangkap dirimu, aku
akan menusukkan pedangku kedalam tubuhmu untuk
memperoleh setiap patah kata, suatu ketika aku pasti akan
berbasil memaksa engkau untuk mengucapkan kelima puluh
delapan patah kata tadi”
Dengan cepat Pek Siau-thian berkelebat delapan depa
kesampinag, sesudah berhasil meloloskan diri dari serangan
tersebut, katanya sambil tertawa, “Seandainya engkau telah
selesai membaca kelima puluh delapan patah kata yang
tercantum dalam catatan Kiam Keng tersebut, suatu ketika
engkau memang besar kemungkinan bisa menangkap diriku,
tapi sayang engkau tidak berhasil menyelesaikan bacaan itu
maka sepanjang hiduppun jangan harap akan berhasil untuk
menawan aku!”
Hoa Thian-hong merasa amat gusar….
Sreet! Sreet! Sreet! secara beruntun ia lancarkan tiga buah
serangan berantai, namun dengan ilmu meringankan tubuh
yang sempurna Pek Siau-thian berhasil mundur tiga langkah
kebelakang, biji matanya berputar dan secara tiba-tiba ia
sengaja memperlihatkan satu titik kelemahan.
Hoa Thian-hong pada saat ini sudah termasuk diantara
deretan kaum jago lihay di kolong langit, memperlihatkan titik
kelemahan secara sengaja merupakan suatu tindakan yang
berbahaya sekali.
Pek Siau-thian mengeluarkan ilmu telapak Im yang ciang
untuk memancing musuhnya tujuan yang lebih utama tidak
lebih hanyalah untuk mengejek pemuda itu bahkan Hoa Thianhong
jadi amat kegirangan, pedangnya laksana sambaran kilat
segera membabat keatas pinggang jago tua itu.

Ketika ujung pedangnya menyentuh lawan tiba-tiba dalam
benak Hoa Thian-hong terlintas catatan Kiam keng,
pedangnya dibabat sejajar dada lalu menabok keatas
sedangkan tangan kirinya dengan suatu gerakan secepat kilat
melancarkan sebuah totokan.
Pek Siau-thian tertawa ringan, tubuhnya berkelebat
delapan depa dari tempat semula, sengaja ia mengambil
bahaya ini untuk menilai perasaan hati Hoa Thian-hong,
karena ada persiapan lebih dahulu maka ia tidak merasa selalu
jeri.
Siapa tau setelah tubuhnya berkelebat kesamping, ia baru
merasa terjelos hatinya sehingga air mukanya jadi pucat pias
bagaikan mayat.
Kiranya padi saat terakhir ujung pedang si anak muda itu
masih berhasil juga menempel diatas pinggangnya,
kendatipun sentuhan tersebut enteng sekali akan tetapi cukup
mengejutkan hatinya sehingga keringat dingin menguncur
keluar membasahi seluruh tubuhnya.
Suatu ingatan berkelebat dalam benak Hoa Thian-hong
sekarang ia baru mengerti kalau Pek Siau-thian sengaja
memperlihatkan titik kelemahan tersebut kepadanya, hal ini
membuat pemuda itu jadi mendongkol dan menyesal,
menyesal karena ia tak dapat memanfaatkan kesempatan baik
yang sukar ditemukan selama hidupnya itu.
Sambil menjejakan kakinya keatas tanah, karena gemas
teriaknya, “Aaaai….! sialan….!”
Sambil putar pedang ia lancarkan kembali satu serangan
kilat.

Kali ini Pek Siau-thian tidak berani bertindak gegabah lagi,
sambil berkeliaran kesana kemari menghindari ancaman
musuh otaknya berputar cepat untuk menyusun siasat guna
mencari kemenangan….
Bila pertarungan ini sampai diketahui orang dan tersiar luas
dalam dunia persilatan maka seluruh sungai telaga pasti akan
jadi gempar.
Kedua orang itu sama-sama saling mengadu tenaga serta
kecerdikan, kedua belah pihak sama-sama lihaynya, siapapun
tidak ingin melepaskan lawannya dengan begitu saja, siapa
pun tak bersedia menghentikan pertarungan sampai di situ
saja.
Setelah bertempur beberapa saat lagi, tiba-tiba Pek Siauthian
berseru dengan nada dingin, “Hoa Thian-hong catatan
Kiam keng semuanya terdiri dari lima puluh delapan kata,
pernahkah engkau pikirkan arti dari setiap patah kata itu….?
ketahuilah bahwa dalam tiap kata itu terkandung suatu arti
yang sangat bermanfaat bagi ilmu silat asal engkau dapat
memahaminya maka sepanjang hidup engkau akan menikmati
hasilnya….”
“Pikirkan saja dialam baka nanti!” tungkas Hoa Thian-hong
dengan penuh kebercian.
Pek Siau Thim mengirimkan satu pukulan keudara kosong
lalu melayang mundur kebelakang, serunya, “Pertarungan
menurut langit kerugian pasti tersisa…. pernahkah kau
bayangkan apa arti yang sebenarnya?”
Satu ingatan berkelebar dalam benak Hoa Thian-hong,
segera pikirnya, “Peraturan menurut langit kerugian pasti
tersisa….”

oooooOooooo
48
Dia adalah seorang jago lihay yang sudah memiliki ilmu
silat yang sangat mendalam, hanya saja selama ini tak ada
kesempatan untuk menyelaminya, kini setelah dipikir lebih
jauh segera terasalah olehnya meskipun beberapa patah kata
itu amat sederhana sekali namun arti yang sebenarnya sangat
dalam sekali.
Dengan cepat tubuhnya melayang beberapa tombak
kebelakang, sambil menatap tajam wajah Pek Siau-thian
mulutnya membungkam dalam seribu bahasa.
Pek Siau-thian sendiri diam-diam merasa amat girang
tatkala dilihatnya si anak muda itu mulai terjebak dalam
siasatnya, sambil mengelus jenggot ia berkata lebih jauh.
“Tidak salah bukan? daya tekanan yang terpancar dari
pedangmu berlebihan, kesalahannya justru terletak pada
kekasaran, andai kata engkau dapat menyelami kekerasan tapi
lincah maka aku bukan tandinganmu lagi.
Hoa Thian-hong merasa perkataan itu masuk diakal juga,
diam-diam ia lantas mengulangi kembali rahasia Kiam keng itu
didalam hati.
“Peraturan menurut langit, kerugian pasti tersisa, tenaga
masih kurang kekerasan bukanlah kekerasan, keras tapi
lincah, lunak bukanlah lemah….”
Sambil berpikir tanpa disadari pedang bajanya segera
dibabat ke arah depan dengan hebatnya.

Pek Siau-thian tertawa sambil menganguk, sahutnya,
“Tepat sekali, serangan pedang bajamu ini kalau tidak disertai
suara itu berani bahwa tenaga seranganya sepuluh Kali lipat
dari ke adaan biasa dan akupun tak mampu menandingi
dirimu lagi….”
Hoa Thian-hong melototkan matanya bulat-bulat sambil
menatap tajam wajah Pek Siau-thian, tiba-tiba pedang
bajanya melancarkan babatan demi babatan lagi.
Hawa murninya diam-diam dikendalikan, pedang bajanya
berputar kencang semakin kecil bawa murninya desingan
udarapun Semakin kecil, tiba-tiba ia lancarkan satu babatan
keatas tanah.
Traaang….! percikan bunga api menyebar keempat penjuru
sebuah, batu cadas yang keras telah terbacok hingga muncul
sebuah liang besar, setelah berhenti sebentar, tiba-tiba ia
lancarkan sebuah bacokan kembali, kali ini tenaga yang
dipergunakan jauh lebih kecil hingga tak dapat kecil lagi ketika
pedang baja itu menusuk diatas batu segera muncullah
sebuah celah diatas batu gunung itu hingga mencapai dua
depa dalamnya.
Sambil tersenyum Pek Siau-thian menyaksikan kesemuanya
itu dengan penuh kegembiraan tiba-tiba ia temukan dari balik
mata Hoa Thian-hong memancarkan cahaya aneh, sepasang
pipinya berubah jadi merah dan rupanya ia terpengaruh oleh
emosi, hal ini membuat hatinya jadi terperanjat hingga tanpa
terasa pikirnya, “Aku tak boleh berbuat bodoh sehingga
menggali liang kubur untuk mengubur tubuhku sendiri….!”
Berpikir sampai disini ia segera membentak keras, “Lunak
bukanlah lemah, rendah diri harus mundur, mundur karena
rendah diri, diri untuk diri sendiri!”

Hoa Thian-hong merasakan hatinya bergetar keras….
Sreeet!! ia putar pedang melancarkan satu babatan
kembali.
“Seranganmu itu menggunakan tenaga terlalu besar!”
bentak Pek Siau-thian, sembari berkata sepasang tangannya
laksana sambaran petir melancarkan tiga buah serangan
gencar.
Hoa Thian-hong tahu bahwa keadaan yang sedang
dihadapinya sangat gawat dan bahaya, dalam keadaan begini
pikirannya tak boleh bercabang akan tetapi beberapa patah
kata yang tercatat dalam Catatan Kiam keng bu kui terlalu
menarik hatinya, setiap kata yang tercantum dalam caatan
tersebut seakan-akan sebatang jarum yang menusuk perasaan
hatinya semuanya tepat menunjukkan penyakit yang
dideritanya dalam permainan pedang itu ia tak tahan untuk
memecahkan rahsia itu serta menutupi kekurangan yang
dideritanya dalam permainan pedang tersebut.
Terdengar Pek Siau-thian membentak nyaring, telapak
tangannya melancarkan serangan hebatnya luar biasa.
Hoa Thian-hong terdesak hebat dan mundur kebelakang
terus tiada hentinya, dengan jurus Su ku ciong hong atau
bunyi senyap diempat penjuru ia lancarkan serangan balasan,
pedangnya sebentar menyapu kekiri sebentar menyapu
kekanan, semuanya mengancam untuk membabat telapak
musuh.
Desingan angin serangan sebentar ringan sebentar berat
dan sangat tidak beraturan kekuatan yang terpancar dari
senjata itupun seketika berkurang dan sama sekali tak mampu
mencapai puncak kehebatannya, hal ini memberi peluang bagi
Pek Siau-thian untuk menerjang masuk kedalam lingkaran

pertahanannya, jurus demi jurus dilancarkan dengan mantap
dan leluasa sedang tenaga pukulanpun berhasil ditingkatkan
menjadi dua belas bagian.
Kendatipun begitu, diam-diam Pek Siau-thian merasa
terperanjat juga sebab didalam per-tarungan singkat yang
sedang berlangsung ke lika itu, rupanya Hoa Thian-hong lelah
berhasil mendapatkan sedikit pemecahan rahasia ilmu
pedangnya, walaupun jurus permainan pedangnya sudah
berubah menjadi tak karuan, tetapi terpancar pula sejenis
kekuatan yang luar biasa.
Dendam kematian putrinya membara bagaikan api, rasa iri
dan dengki bagaikan minyak, api bercampur minyak
mengakibatkan darah panas dalam rongga dada Pek Siauthian
mendidih, watak jahatnya muncul dan menyelimuti
seluruh benaknya, dia ingin sekali satu kali menghajar berhasil
membinasakan si anak muda itu.
Apa daya, dasar ilmu silat yang dimiliki Hoa Thian-hong
terlalu kokoh dan daya tenaganya luar biasa sekali, serutama
ilmu silat yang dimilikinya sekarang bagian besar didapatkan
dari hasil latihannya yang tekun dalam menghadapi
pertarungan-pertarungan sengit, oleh sebab itulah walaupun
kesadaran otaknya sudah mulai samar, namun dengan
andalkan kemampuan yang dimilikinya ia masih mampu untuk
bergebrak melawan musuh selama setengah harian lamanya.
Pertempuran ini benar-benar merupakan suatu pertarungan
yang sengit dan mendebarkan hati, tanpa terasa sang surya
sudah condong ke arah barat dan senjapun menjelang tiba,
dari arah sebelah Timur muncullah rembulan dengan
cahayanya yang samar menyinari kabut yang menyelimuti
puncak bukit yang berjejer, suatu pemandangan yang indah
sekali.

Pada saat itu yang terdengar hanyalah suara tertawa
menyeringai dari Pek Siau-thian serta raungan gusar dari Hoa
Thian-hong, pukulan demi pukulan dilancarkan tiada hentinya,
sementara cahaya hitam menggulung kian kemari melakukan
terjangan-terjangan maut.
Tiba tiba…. Pek Siau-thian membentak keras, “Hoa Thianhong,
tempat ini adalah puncak Ciat in hong, besok adalah
hari Tionggoan, ingat baik-baik….”
“Aku bersumpah akan membinasakan dirimu!” teriak Hoa
Thian-hong setengah mendesis.
Pek Siau-thian tertawa keras, ditengah gelak tertawanya
sepasang tangan secara beruntun melancarkan serangan
mematikan, sebentar menghantam sebentar menyodok, jurusjurus
serangan berantai yang dilepaskan memaksa Hoa Thianhong
harus memutar senjatanya sambil mundur terus tujuh
delapan belas langkah kebelakang.
“Keras tapi lincah!” tiba-tiba Hoa Thian-hong membentak
keras.
Tanpa memperdulikan serangan musuh yang sedang
meluncur datang, tiba-tiba ia lancarkan sebuah babatan.
Serangan pedang itu dilancarkan tanpa mengeluarkan
sedikit suarapun ketika mencapai ditengah jalan, tiba-tiba dari
balik tubuh pedang itu memperdengarkan suara desingan
yang amat tajam, gerakannya miring kesamping dan langsung
membabat sisi tubuh lawan,
Pek Siau-thian yang menyaksikan kejadian itu jadi sangat
kegirangan sambil putar telapak bentaknya, “Kun ji sedang
menantikan kedatanganmu, pergilah!”

Bersamaan dengan selesainya perkataan itu…. Blaaam!
sebuah pukulan dengan telapak bersarang diatas punggung
Hoa Thian-hong.
Terdengar pemuda itu melengking panjang, darah segar
muncrat keluar dari mulutnya, tubuhnya terjungkal kebawah
puncak dan dalam waktu singkat bersama dengan pedang
bajanya lenyap dibalik awan tebal yang menyelimuti punggung
bukit.
Suasana diatas bukit pulih kembali dalam kesunyian, sinar
mata Pek Siau-thian liar dan kacau, mukanya pucat pias
sementara tubuhnya yang tinggi kekar berdiri ditepi tebing
dan sempoyongan tiada hentinya, seakan-akan sebatang
pohon yang kosong dimakan ulat.
Sebentar kemudian kegelapan telah menyelimuti jagad,
udara bersih tak berawan sang rembulan bersinar dengan
terangnya membuat suasana jadi terang benderang.
Angin malam menghembus lewat membuat Pek Siau-thian
bersin tiada hentinya, sekujur badan bergentar keras dengan
ujung bajunya ia menyeka keringat yang membasahi pipinya.
Tiba-tiba berguman seorang diri, “Kalau rejeki bukan
bencana, kalau bencana tak akan bisa dihindari, keadaan
sudah berlangsung demikian, apa yang musti kuta kuti lagi?”
Ia putar badan dan berjalan menuruni bukit tersebut.
Dalam pada itu, Hoa Hujin masih tetap duduk diatas bukit
tersebut, sepanjang hari ia tak pernah bergeser barang
setengah langkah pun dari tempat semula.

Cu Im taysu, Ciong Lian-khek, Chin Pek-cuan, Biau-nia
Sam-sian serta jago-jago lainnya hampir semua duduk
disekitar sana, cuma sa ja air muka Hoa Hujin serius dan
keren sedikitpun tidak menunjukkan wajah murung sebaliknya
mereka yang lain gelisah dan merasa tidak tenang.
Dipihak lain pada, seberang jembatan batu berdiri lautan
manusia yang bersenjata lengkap, sekilas memandang cahaya
tajam memenuhi seluruh angkasa suasana sunyi sepi
menegangkan kecuali ringkikan kuda tiada suara lain yang
kedengaran.
Rupanya seluruh pasukan dari perkumpulan Sin-kie-pang
telah membuat barisan ditepi seberang jembatan batu walau
pun saling berhadapan dengan golongan Hoa Hujin akan
tetapi kedua belah pihak belum sampai melakukan bentrokan
langsung.
Disamping itu, pada bukit sebelah utara merupakan
pasukan besar dari perkumpulan Hon im hwee dibukit sebelah
selatan ada para iman dari sekte agama Thong-thian-kauw,
rupanya ketiga kekuatan besar dalam dunia persilatan sudah
bersatu padu dan siap menghadapi orang-orang dari golongan
pendekar.
Waktu berlalu dengan cepat suasana tetap tenang diliputi
keheningan yang mencekam hingga mencapai tengah malam
dari balik pa sukan besar perkumpulan Sin kie psng tiba-tiba
kedengaran demtuman yang amat keras, ditengah-ditengah
udara muncullah sebuah bunga api berbentuk sebuah panji
yang amat besar.
Mengikuti suara dentuman tadi diri arah bukit sebelah utara
terdengar suara peluit yang dibunyikan memekakkan telinga.

Ci-wi Siancu yang mendengar suara itu segera
menengadah dan bertanya keheranan, “Hujin apakah yang
terjadi?”
Hoa Hujin tersenyum.
“Berangkat! jarak tempat ini dengan tempat
diselenggarakannya pertemuan besar Kian ciau tayhwee toh
tidak dekat!”
Kemudian sambil menyapu sekejap ke arah jago, ujarnya
lagi sambil tertawa, “Kitapun harus segera mempersiapkan diri
untuk berangkat pula”
“Bagaimana dengan Seng ji?” Sam-koh mendadak berkata
dengan penuh kegusaran
Senyuman yang semula menghiasi ujung bibir Hoa Hujin
seketika lenyap tak berbekas, jawabnya, “Kalau ia tidak cedera
maka besok pasti akan datang sendiri dibukit Thian bok
sebelah barat kalau tidak beruntung dan mendapat celaka
itulah takdirnya sudah tiba!”
Mendengar perkataan ini, Tio Sam-koh jadi gusar sekali
hingga tubuhnya gemetar keras, serunya, “Engkau keja,
engkau kejam, akan kulihat engkau bakal mampus ditangan
siapa? akan kulihat bagaimana tenangnya engkau menerima
kematianmu itu!”
Cu Im taysu menghela napas panjang, hiburnya, “Tio lo
tay, urusan toh sudah jadi begini, mengapa engkau harus
mengumbar hawa amarah?”
Tiba-tiba terdengar suara derap kaki kuda berkumandang
dari tepi seberang, rupanya orang-orang dari perkumpulan
Sin-kie-pang sudah mulai berangkat tinggalkan tempat itu.

Tio Sam-koh masih belum dapat menekam hawa amarah
yang berkobar dalam dadanya, dengan gemas kembali dia
berseru, “Kalau engkau mencegah dia untuk menuruni jurang
ini, tak mungkin ia tinggalkan kita semua, kalau engkau tidak
bersikeras untuk melakukan perundingan, kita semua telah
berhasil mengurung dirinya dan tidak akan sampai terjadi hal
seperti ini….”
Makin berbicara ia semakin mendongkol, ketika sampai
ditengah jalan mendadak mulutnya tergagap dan tak mampu
melanjutkan kembali kata-katanya.
“Kami semualah yang salah!” tiba tiba Lan-hoa Siancu
berkata dengan sedih, “kalau bukan kami yang mencelakai
jiwa Pek Kun-gie lebih dahulu, tak mungkin pula bakal terjadi
peristiwa tragis seperti ini.”
Hoa Hujin tersenyum.
“Nona tak usah menyalahkan diri sendiri,” katanya,
“kehidupan manusia di kolong langit telah ditentukan oleh
takdir, siapa yang bisa mempertahankan kehidupannya sampai
beberapa ratus tahun? apalagi dewasa ini kaum lurus tak
dapat hidup bersama kaum sesat. Siapa tahu kalau sekarang
kita masih hidup dan besok malam sudah tinggalkan dunia
yang fana ini….?”
“Kalau kita bisa mempertahankan diri sampai
diselenggaranya pertemuan besar Kian ciau tayhwee,
bagaimanapun juga saat yang dipilih untuk mengorbankan diri
jauh lebih tepat, membunuh beberapa orang banditpun sudah
dapat menarik kembabli modal sendiri!” seru Tio Sam-koh
dengan penuh kemarahan.
Kembali Hoa Hujin tersenyum.

“Oleh sebab itulah aku tidak setuju untuk bentrok secara
kekerasan pada kesempatan yang tidak benar, dan aku tidak
bersedia mengorbankan diri tanpa sebab musabab yang nyata
dalam pertarungan massal.”
“Aku maksudkan Seng ji kita!“ tukas Tio Sam-koh marahmarah.
“Darimana engkau tahu kalau Seng ji pasti mati? dan
darimana engkau bisa tahu kalau dia mati secara konyol!”
Bicara sampai disitu perempuan she Hoa itu bangkit berdiri
dan melanjutkan sambil tertawa, “Mari kitapun berangkat,
bagaimanapun juga pertarungan bakal kita temui, lebih cepat
tiba ditempat tujuan rasanya jauh lebih baik.”
Semua orang memang sudah merasa tak sabar, mendengar
perkataan itu para jago pun segera bangkit berdiri dan
melakukan perjalanan.
Gerakan orang-orang dari perkumpulan Sin-kie-pang
sewaktu datang tadi cepat bagaikan hembusan angin, tapi
dalam waktu singkat pula sudah berlalu tanpa bekas, maka
dibawah pimpinan Biau-nia Sam-sian yang menyapu bersih
racun keji diatas jembatan batu lebih dahulu, berangkatlah
para jago untuk menghadiri pertemuan besar yang
mempengaruhi mati hidup mereka itu….
Sekte agama Thong-thian-kauw mendirikan pertemuan
besar Kian ciau Tayhwee dibukit See thian bok dengan tujuan
untuk mendoakan arwah-arwah yang telah tiada serta sukmasukma
gentayangan, meja sembahyang didirikan didalam
lembah Cu-bu-kok dan dipimpin langsung oleh kaucu nya
yakni Thian Ik-cu sedang ratusan anggota perkumpulannya
ikut hadir untuk memeriahkan upacara besar tadi.

Sejak pagi hari bulan tujuh tanggal lima belas, lembah Cubu-
kok telah diterangi oleh cahaya lilin, asap dupa mengepul
keudara ba gaikan kabut putih, bunyi alat sembahyangan
bertalu-talu memekakan telinga, pada meja altar yang
dibangun tiga tingkat dengan bersandar pada sebuah dinding
bukit teraturlah berpuluh-puluh buah meja abu kecil yang
bertuliskan nama-nama para pahlawan yang telah gugur,
sedang tepat ditengah altar berdirilah sebuah meja abu yang
luar biasa besarnya sehingga dapat dilihat sejak dari mulut
selat.
Pada meja abu itu terpancang papan nama yang lebarnya
dua depa dengan tinggi mencapai satu tombak, diluarnya
terselubung kain warna kuning, diatas kain kuning terpancang
beberapa hurup besar yang berbunyi demikian, “Meja abu
para jago yang gugur di medan perang pertempuran Pak beng
hwee”
Dibawah meja abu bertumpuklah buah sajian dan bunga,
Thong-thian Kaucu sendiri dengan memakai kopiah kebesaran
dengan jubah imam berwarna merah bersulam pat kwa dan
benang emas dan mantel warna ku ning sedang memimpin
anak muridnya membaca doa di meja abu tersebut suasana
ramai sekali.
Disamping itu, sepanjang kedua belah dinding bukit telah
didirikan tempat berteduh yang berdempet empat, dalam
barak tersebut tempat meja dan bangku, air teh, teko, tunggu
dan alat untuk memasak semuanya sudah tersedia lengkap.
Perlu diketahui lembab Cu-bu-kok adalah sebuah lembah
buntu yang berbentuk gentong dan dalam mulut lembah
hanya terdapat sebuah jalan keluar saja yang berhubungan
dengan luar, berhubung tempat itu lembah dan kalau siang

tidak melihat sang surya kalau malam sunyi menyeramkan
karena itu selat tadi disebut orang sebagai lembah Cu-bu-kok.
Kurang lebih antara jam tiga sore, orang-orang dari
perkumpulan Hong im bwee masuk ke dalam selat lebih
dahulu, Jin Hian dengan sorot matanya yang tajam segera
mengawasi kedalam lembah tersebut, ketika melihatnya barak
yang didirikan dikedua belah sisi dinding dibagi jadi empat
bagian dan pihak sekte agama Thong-thian-kauw sendiri
sudah menempati barak sebelah kiri dekat meja
sembahyangan, maka dia segera memilih barak sebelah kiri
yang dekat mulut lembah walaupun jumlah anak buahnya ada
sembilan puluh orang namun setelah masuk kedalamm barak
yang lebar itu kelihatannya sedikit dan sepi.
Sebentar kemudian pasukan induk dari perkumpulan Sinkie-
pang pun telah tiba dan bergerak masuk kedalam lembah,
mereka segera menempati barak sebelah kanan dekat mulut
lembah.
Pek Siau-thian benar-benar seorang ahli setrategi perang,
ia tidak memimpin seluruh pasukannya masuk kedalam
lembah, melainkan hanya kurang lebih lima ratus orang jago
saja yang dipimpin masuk kedalam barak tempat beristirahat,
sedangkan sebagian besar lainnya tetap tinggal diluar lembah
tersebut, ada yang berjaga-jaga di mulut lembah dan ada pula
yang meronda disekitar bukit, tidak selang beberapa saat
kemudian diatas purcak bukit yang mengitari selat Cu-bu-kok
telah mucul para peronda dari perkumpulan Sin kei pang.
Kurang lebih pukul lima sore, rombongan yang dipimpin
Hoa Hujin muucul dimulut lembah, tetapi sebelum mereka
memasuki selat tersebut tiba-tiba dari balik tikungan bukit
muncul dua belas orang, orang pertama bukan lain adalah
Siau yau sian dewa yang suka pelancongan Cu Tong, sambil
menggoyangkan kipasnya dan tertawa terbahak-bahak, ia

maju menghampiri rombongan yang dipimpin Hoa Hujin
kemudian memberi hormat.
Buru-buru Hoa Hujin menyongsong kedepan, sekilas
memandang terlihat olehnya bahwa hampir semuanya adalah
sahabat-sahabat lama, dengan cepat ia menyapa dan
melepaskan rindu diantara mereka, suasana diliputi keharuan
dan kegembiraan
Dengan air mata meleleh keluar karena terharu, dewa yang
suka pelancongan Cu Tong berkata, “Mungkin semua orang
yang masih hidup di kolong langit ini hari telah berdatangan”,
semua disini banyak perkataan yang hendak kita bicarakan
bagaimana kalau kita masuk dulu kedalam lembah kemudian
baru dibicarakan secara perlahan-lahan”
“Cu toako, dandanan maupun potongan wajahmu sama
sekali telah berubah….” kata Hoa Hujin sambil tertawa paksa,
“andaikata aku tidak mendengar penuturan orang lebih dahulu
mungkin aku tak dapat mengenali dirimu kembali, sedang dua
orang lainnya aku tak bisa ingat kembali siapakah mereka
gerangan?”
Dewa yang suka melancong Cu Tong segera menuding ke
arah manusia jelek bertubuh seperti beruk itu, ia
memperkenalkan, “Dia adalah Ciu tayhiap dari gunung Huangsan
berhubung hatinya selalu gelisah ketika berlatih ilmu,
mengakibatkan dia mengalami jalan api menuju neraka dan
berubah potongan tubuhnya jadi begini rupa”
“Cui heng….? “seru Hoa Hujin dengan terperanjat “aku
masih amat jelas ketika itu engkau….”
Ciu Thian-hau dari gunung Huang-san segera tertawa.

“Ketika itu tubuhku memang sudah termakan oleh enam
buah tusukan pedang dan satu buah pukulan berat yang
bersarang didada ku membuat aku roboh terkapar diatas
genangan darah dan kemudian tertindih pula oleh dua sosok
mayat sampai aku sendiripun telah mengira bahwa diriku telah
mati, siapa tahu nyawaku ternyata belum putus, lewat dua
hari kemudian aku telah hidup kembali di kolong langit”
Mendengar ucapan tersebut Hoa Hujin segera menghela
napas panjang.
“Aaaai….!Cui heng tidak mati itu berarti bahwa beberapa
orang gembong iblis tersebut sudah tiba pada waktunya untuk
mampus”
Sorot matanya segera dialihkan keatas wajah seorang padri
berusia empat puluh tahunan.
Padri itu segera merangkap kedua tangannya didepan dada
untuk memberi hormat sambil tersenyum katanya, “Ti Kiam
Hui yang hujin kenal tempo dahulu, sekarang telah berubah
menjadi It sim hweesio!”
“Kiam Hui hen? bagaimana caranya engkau merawat diri
hingga awet muda? rupanya semakin latihan muka mu
berubah semakin muda dan semakin bercahaya?”
It sim hweesio menghela napas, kemudian ujarnya, “Pahit
getir yang kualami selama ini sukar dilukiskan dengan katakata,
aku harus cukur rambut menjadi pendeta karena itu
kuguna kan gelar It sim sebagai pengganti namaku yaitu agar
aku selalu ingat untuk membalas dendam selalu ingat pada
dendam kesumat yang tertanam dalam hatiku, aku tak bisa
bertemu dengan leluhurku tak apa, tak bisa bertemu dengan
orang suci juga tak apa, sekalipun harus masuk neraka asal

sakit hati ku bisa terbalas hal itu sudah cukup menggirangkan
hatiku….!”
Hoa Hujin diam-diam berpikir dalam hatinya, “Walaupun
setiap orang mempunyai kesedihannya sendiri-sendiri, tetapi
kesediaan yang dialami Ti Kiam hui rupanya jauh lebih dalam
daripada siapa pun juga….!”
Tiba-tiba Dewa yang suka melancong Cu Tong tidak
menemukan Hoa Thian-hong ada dalam rombongan, dengan
dahi berkerut, segera tegur nya, “Hoa Hujin, di manakah
putramu?”
“Pek Kun-gie putri Pek Siau-thian dari perkumpulan Sin-kiepang
telah mati, putra itu telah meloncat kedalam jurang
untuk menolong tapi akhirnya hingga kini tiada kabar
beritanya lagi, aku sendiri pun tak tahu bagaimanakah
nasibnya kini….” ujar Hoa Hujin dengan wajah sedih.
Menyengat berita tersebut, air muka Cu Tong sekalian dua
belas orang seketika itu juga berubah hebat, Ciu Thian-hau
dari gunung Huang-san dengan cepat bertanya, “Kapan
terjadinya peristiwa ini?”
“Tengah malam tanggal tiga belas jadi sudah tiga hari
lamanya….!”
“Waktu itu apakah hujin tidak hadir disana” timbrung It sim
hweesio dari samping.
Beberapa pertanyaan yang dilontarkan beberapa orang
jago itu penuh mengandung nada cemas dan kuatir, hal ini
membuat Hoa Hujin terpaksa harus menghela napas berulang
kali, jawabnya, “Pada waktu itu aku hadir ditempat kejadian
tetapi berhubung jurang tersebut tegak lurus dan dalamnya
mencapai ratusan tombak diantara kami hanya ilmu

meringankan tubuhnya saja yang secara paksakan diri bisa
dipergunakan, karena itu aku biarkan dia untuk menuruni
jurang tadi guna memberikan pertolongan. Kemudian para
jago dari perkumpulan Sin-kie-pang menyusul disitu, Pek Siauthian
dengan mempergunakan seutas tali menuruni pula
jurang tersebut, karena aku kuatir Seng ji menemui bahaya,
buru-buru aku menuruni jurang itu dari sisi kiri bukit tadi, tapi
semalam suntuk sudah berlalu, didasar jurang tidak nampak
sesosok bayangan manusiapun, bahkan jejak Pek Siau-thian
pun tidak kelihatan lagi”
Ciu Thian-hau dari gunung Huang-san mengerutkan
dahinya rapat-rapat, dengan nada me-negur katanya,
“Manusia terdiri dari darah dan daging, tidak mungkin tubuh
mereka bisa lenyap dengan begitu saja, menurut dugaanku
dibawah jurang pasti ada jalan tembus lainnya, dengan
kepandaian yang hujin miliki seharusnya engkau dapat
menyusul mereka”
Tio Sam-koh yang selama ini memang merasa mendongkol
terus, tiba-tiba mendengus dingin dan menyindir, “Hmmm!
orang lain toh punya semangat gagah yang membubung
tinggi kelangit seorang putra apa harganya? mau kejar atau
tidak siapa yang dapat mengurusi?”
Hoa Hujin menghela napas panjang.
“Aaaai…. bukannya aku tidak menaruh perhatian atas nasib
putraku, tapi dalam kenyataan situasi yang sedang kita hadapi
pada saat itu genting sekali setiap saat suatu pertarungan
terbuka bakal terjadi menurut pendapatku Pek Siau-thian toh
hanya seorang diri sekalipun dapat menyusul Seng ji belum
tentu ia dapat melukai jiwanya.”

“Dengan kepandaian silat yang dimiliki Pek Siau-thian, ia
belum mampu untuk melukai jiwa Seng ji….?” seru It sim
Hweesio dengan perasaan hati sangsi.
Hoa Hujin mengangguk.
“Kepandaian silat yang dimiliki Seng ji tidak lemah,
bilamana ia ada maksud untuk melarikan diri maka Pek Siauthian
tak mungkin bisa mengapa-apakan dirinya.”
“Orang muda selamanya berdarah panas” sela Ciu Thianhau
dari gunung Huang-san dengan nada tak senang hati,
seandainya ia tak sudi untuk melarikan diri, bukankah
selembar jiwa dikorbankan dengan percuma….??”
“Dalam pertemuan besar Pak beng hwee tempo hari, kita
semua bilamana tidak melarikan diri, siapakah yang mampu
hidup hingga ini hari? walaupun Seng ji masih muda belia, tapi
aku sudah belasan tahun mempelajari dirinya untuk menahan
emosi dan tebalkan iman, andaikata ia masih juga tak tahu diri
dan tidak bisa mengambil keputusan yang bijaksana maka
keadaannya bagaikan seorang manusia tolol yang tak bisa
dibimbing, ini hari kita berhasil melindungi keselamatan
jiwanya toh dilain hari kita belum tentu dapat menolong
jiwanya!?”
Pandangan perempuan ini terhadap kehidupan manusia
boleh dibilang melewati jangkauan daya pikir orang biasa,
jalan pikiran semacam itu bukan bisa diterima oleh sekawanan
manusia biasa, apalagi diantara Ciu Thian-hau sekalian ada
yang didasarkan karena persahabatan, ada yang pada
perasaan, dan ada pula yang karena pernah bertemu atau
mendengar, semuanya menaruh perasaan sayang dan kagum
terhadap diri Hoa Thian-hong, oleh karena itu sehabis
mendengar perkataan dari Hoa Hujin, rata-rata mereka
menunjukkan wajah tidak puas.

Kawanan jago tersebut adalah para pendekar yang berjiwa
lurus serta terus terang, dalam hati merasa tak senang
perasaan tersebut segera terpancar diatas wajahnya, kalau
dilihat gelagatnya nampak jelas bahwa semua orang akan
menunjukkan protesnya.
Cu Im Taysu segera memuji keagungan sang Buddba dan
berkata setelah menghela napas panjang, “Aaai….!
sesungguhnya persoalan ini amat sulit untuk diatasi, hati siapa
tidak lara melihat darah daging sendiri terancam bahaya?
perasaan hati hujin sudah cukup tersiksa, aku harap saudara
sekalian dapatlah bersabar sedikit!”
Hoa Hujin tertawa paksa, sambil membeli hormat dia
berkata, “Kejadian telah berlangsung jadi begini, merasa
murung juga tak ada gunanya, lebih baik kita segera masuk
kelembah Cu-bu-kok untuk menyelesaikan masalah besar
yang menyangkut kepentingan dunia persilatan saja!”
Semua orang membungkam dalam seribu bahasa, setelah
hening beberapa waktu lamanya, berangkatlah mereka
mengikuti Hoa Hujin ma suk kedalam lembah tersebut.
Seorang pemuda baju hijau yang menyoren pedang di
pinggangnya tiba-tiba munculkan diri dari rombongan para
jago, tegurnya dengan suara dingin, “Enso, kejadian itu
berlangsung dimana? siaute bermaksud melakukan
pemeriksaan disana”
Hoa Hujin berpaling ketika diketahui bahwa orang itu bukan
lain adalah adik angkat mendiang suaminya yang bernama
Suma Tiang-cing, ia segera termenung sebentar lalu
menjawab.

Pulang pergi ada empat ratus li jauhnya, daripada buang
waktu dalam perjalanan, lebih baik himpun saja tenagamu
untuk membunuh musuh.
Jilid 6
Air muka Suma Tiang Ciang berubah jadi hijau membesi,
katanya, “Pek Siau-thian telah memasuki selat ini, apa bila
Seng ji tidak menemui musibah, sepantasnya kalau iapun
sudah sampai disini.
“Apakah engkau punya rencana untuk keluar dari lembah
Cu-bu-kok ini dalam keadaan hidup?” seru Hoa Hujin secara
tiba-tiba dengan wajah yang berat.
“Selama hidup siaute tak pernah melarikan diri untuk kedua
kalinya….!”
“Kalau memang begitu apa yang hendak kukatakan lagi?”
kata Hoa Hujin dengan sepasang matanya memancarkan
cahaya berkilat, “sekalipun engkau berhasil menemukan Seng
ji belum tentu ia dapat lolos dari lembah Co bu kok dalam
keadaan hidup, kalau memang di mana-mana pun jiwanya
terancam bahaya kematian apa gunanya engkau cari dirinya?”
Suma Tiang Cin adalah saudara angkat dari Hoa Goan-siu,
dia merupakan satu-satunya orang yang berusia paling muda
diantara angkatan yang setaraf dengan Hoa Hujin, wataknya
berangasan dan kasar dalam menghadapi musuh, tindakannya
selalu keji dan telengas karena kekejamannya dan sikapnya
yang sama sekali tidak kenal ampun di tambah pula
kepandaian silat yang dimiliki sangat lihay maka beberapa
gembong iblis tidak bersedia untuk melakukan pertempuran

melawan dirinya oleh sebab itulah dalam beberapa kali
pertarungan sengit jiwanya selalu selamat dari kematian.
Karena keistimewaannya itu, orang-orang kangcu memberi
julukan Kiu mia kiam kek atau jago pedang bernyawa rangkap
sembilan kepada orang ini, selama melakukan perjalanan
dalam dunia persilatan dia merupakan momok yang paling
memusingkan kepala bagi orang-orang kalangan hitam dan
oleh karena wataknya yang sukar diatur itulah Hoa Hujin
dengan kedudukannya sebagai kakak ipar selalu bersikap
tegas dan keras terhadap dirinya.
Sementara pembicaraan masih berlangsung, semua orang
telah memasuk kedalam lembah tersebut.
Suma Tiang Ting merasa sangat tidak puas, belum sempat
ia berbicara tiba-tiba sorot matanya yang tajam telah
menangkap tulisan besar yang terpancang diatas meja abu
pada panggung persembahan, air matanya kontan berubah
hebat dan darahnya mendidih.
Sesaat kemudian semuajagopun dapat melihat tulisan tadi,
air muka mereka semua kontan berubah sangat hebat.
Terdengar Chin Pek-cuan sambil menggertak gigi berseru,
“Anjing bangsat…. manusia laknat….!Rupanya tujuan mereka
menyelenggarakan pertemuan besar Kian ciau tayhwee adalah
untuk mendoakan arwah-arwah yang telah berpulang dalam
pertemuan Pak beng Tay bwee tempo hari….”
Baru saja perkataan itu selesai diutarakan keluar, Thongthian
Kaucu dengan memimpin anak muridnya telah turun
dari panggung persembahan dan menyambut kedatangan
mereka.

Ketika Hoa Hujin menyaksikan Suma Tiangg Cing telah
meraba gagang pedangnya siap menerjang kedepan, ia
segera menyapu sekejap wajah para jago dan menegur
dengan suara berat, “Siapa yang akan munculkan diri untuk
berbicara?”
“Berada dihadapan musuh tangguh, hujin jangan
mengacaukan barisan sendiri, engkau saja yang buka suara”
kata Cu Tong dewa yang suka pelancongan dengan gelisah.
It Sim hweesio yang berada disisinya segera menimbung
pula, “Pinceng tidak ada komentar apa-apa, aku bersedia
menerima perintah….” seraya berkata ia menggeserkan
badannya mundur selang-kah ke arah belakang.
Cu Im taysu yang melihat sikap rekannya segera ikut pula
mundur kebelakang sedang Ciu Thian Huu dari gunung
Huang-san bergeser tiga depa kebelakang.
Suma Thian Cing amat membenci terhadap diri Thian Ik-cu,
dia ingin sesaki membinasakan imam tua tersebut dalam satu
tusukan kilat akan tetapi setalah dilihatnya para jago yang
berjalan disamping Hoa Hujin telah mengundurkan diri semua
kebelakang terpaksa diapun ikut melangka mundur setindak
kebelakang, sepasang matanya yang tajam dengan
memancarkan cahaya penuh nafsuh membunuh menatap
wajah Thong-thian Kaucu tanpa berkedip.
Thong-thian Kaucu buru-buru maju kedepan, sesudah
memberi hormat serunya dengan lantang, “Kehadiran Hujin
dan para tayhiap lainnya sungguh merupakan suatu
kehormatan bagi perkumpulan Tiong Thian Kau kami dan
merupakan kebanggaan pula bagi umat persilatan di kolong
langit….”

Sementara itu suasana dalam lembah Cu-bu-kok diliputi
keheningan dan kesunyian, suara bunyi-bunyian alat
sembahyang telah berhenti berdenting dan suara pembicaraan
manusiapun telah sirap dalam lembah seluas itu, hanya
kedengaran suara lantang dari Thian Ik-cu seorang….
Dari balik mata Hoa Hujin memancar keluar cahaya kilat
yang menggidikkan hati, membuat wajahnya yang keren dan
penuh berwibawa kelihatan semakin gagah dan menyeramkan
membuat siapapun tak berani memandang enteng perempuan
ini.
Ia balas memberi hormat kemudian menjawab dengan
suara yang keras dan tegas, “Tujuan dari pertemuan besar
Kian ciau tayhwee adalah untuk mengenang kembali arwaharwah
para jago persilatan yang sudah tiada, aku orang she
Bun sekalian termasuk anggota persilatan, sudah sepantasnya
kalau kami semua ikut menghadiri upacara besar seperti ini.”
Sesudah berhenti sebentar, sorot matanya dialihkan
sekejap ke arah meja abu yang berjajar diatas panggung
persembahan, setelah itu sambungnya lebih jauh, “Mendiang
suamiku dan rekan-rekan kami lainnya telah mati binasa
dalam pertemuan besar Pak beng tayhwee tempo dulu, atas
kebaikan ha ti kaucu untuk mendoakan arwah-arwah mereka
yang sudah tiada, aku orang she Bun sekalian mengucapkan
banyak terima kasih lebih dahulu”
Perkumpulan Thong-thian-kauw adalah sekte agama yang
didirikan diatas kehendak Thian, tujuan kami adalah
mendoakan arwah-arwah yang telah tiada agar segera masuk
ke nirwana dan mendapat ketenangan untuk selamanya, tugas
berdoa adalah pekerjaan kami, buat apa engkau musti
berterima kasih kepada kami? sahut Thong-thian Kaucu
dengan wajah serius.

Kegagahan Hoa Hujin membuat Thong-thian Kaucu diamdiam
merasa kecil hati dan malu, karena itu setelah
mengucapkan kata-kata yang merendah dan saling memberi
hormat, ia segera mengiringi Hoa Hujin memasuki lembah dan
ambil tempat dibarak sebelah kanan.
Setelah masuk kedalam barak, Hoa Hujin pun lantas
bertanya, “Pertemuan besar Kian ciau tayhwee akan
diselenggarakan mulai kapan….? dapatkah kaucu memberi
keterangan?”
“Jam sebelas malam upacara dimulai dan jam dua belas
tengah malam pintu akhirat akan terbuka, pada saat itulah
upacara penghormatan untuk arwah-arwah yang telah tiada
dalam pertemuan Pak beng hwee akan diselenggarakan!”
Hoa Hujin mengangguk.
Upacara sudah akan diselenggarakan, dalam keadaan
demikian kaucu pasti repot sekali, silahkan engkau
menyelesaikan pekerjaanmu, tolong saja apabila waktunya
sudah tiba engkau bersedia memberi kabar agar aku orang
she Bun sekalian dapat memberi hormat untuk arwah rekanrekan
kami”
“Tak usah kuatir….!” setelah memberi hormat kaucu dari
Thong-thian-kauw itu segera mengundurkan diri.
Beberapa saat kemudian alat tetabuhan berkumandang
kembali dan pembacaan doa pun dimulai lagi, dari balik barakbarak
disisi kanan dan kiri ramai pula oleh suara pembicaraan
manusia.
Pertemuan ini adalah suatu pertemuan besar yang jarang
terjatdi di kolong langit, suatu saat sebelum datangnya hujan
badai.

Sebentar lagi pembunuhan besar-besaran akan dimulai
namun pada saat ini suasana sama sekali tidak diliputi oleh
bentrokan, tidak tercium pula nafsu membunuh yang
menyelimuti angkasa….
Perkumpulan Sin-kie-pang, Hong-im-hwie, Thong-thiankauw
dan para pendekar dari golOngan lurus salingmenempati
suatu barak yang berbeda, walaupun tiada hubungan namun
suasana tetap tenang dan damai, bahkan sorot mata yang
memancarkan sinar bengis pun tertutup untuk sementara,
yang ada hanya sikap yang dingin serta dugaan-dugaan yang
tersembunyi untuk menilai kekuatan pihak lawan.
Waktu berlalu dengan cepatnya, tanpa terasa senja telah
menjelang tiba, sang surya telah lenyap dibalik bukit dan
kegelapan mulai menyelimuti seluruh jagad.
Pada saat itulah, tiba-tiba dari luar lembah Cu-bu-kok
berkumandang datang suara tangisan setan yang mendirikan
bulu roma, pekikan dan jeritan yang memilukan hati itu
bergema tidak menentu, sebentar ke kiri sebenar kekanan
seakan-akan diluar lembah telah berkumpul berpuluh-puluh
sosok arwah gertayangan yang sedang menangis dan
menjerit….
Begitu suara tangisan setan itu berkumandang, suara
tetabuhan dan pembacaan doa seketika tertumpuk lenyap,
suara pembicaraan dalam barak-barak pun tak kedengaran
lagi.
Dalam lembah Cu-bu-kok, semua bagian telah ditutup oleh
kain putih sebagai tanda berkabung, rumah-rumahan dari
kertas, kuda-kudaan dari kertas telah bersusun dibawah meja
sembahyang, ditambah pula dengan meja abu yang berpuluhpuluh
banyaknya menambah seram nya suasana disitu, kini

ditambah pula dengan suara jeritan dan tangisan setan yang
menggidikkan hati membuat suasana bertambah seram, hawa
setan menyelimuti seluruh lembah membuat bulu kuduk orang
pada bangun berdiri.
Tiba-tiba segulung angin dingin menghembus lewat,
membuat udara jadi dingin dan menusuk tulang, bunyi desiran
tajam menambah seramnya isak tangis sukma gentayangan
tersebut.
Ci-wi Siancu paling takut dengan setan, ia jadi ketakutan
setengah mati hingga keringat dingin mengucur tiada
hentinya, tanpa terasa ia menggenggam tangan Hoa Hujin
sambil bisiknya dengan suara gemetar.
“Hujin….! buu…. bukankah pintu gerbang akhirat baa….
baru dibuka selewatnya jam dua belas tengah malam….??”
Melihat gadis itu ketakutan setengah mati sehingga air
mukanya pucat pias dan bibirnya membiru, buru-buru Hoa
Hujin menghibur sambil berkata, “Engkau tak usah takut….
pastilah hal ini merupakan permainan setan dari pihak Thongthian-
kauw, di kolong langit tidak mungkin ada setan benarbenar….”
“Tidak, setan itu pasti ada!” seru Ci-wi Siancu dengan hati
amat gelisah.
Hoa Hujin tersenyum.
“Kalau begitu duduklah disisiku!”
Dalam pada itu…. tiba-tiba terdengar Dewa yang suka
melancong Cu Tong berseru tertahan.

“Aaah! sungguh aneh, kenapa siluman-siluman tosu itu
pada gugup semua….??”
Hoa Hujin segera menengok ke arah depan, sedikitpun
tidak salah tampaklah Thian Ik-cu dengan wajah gusar sedang
membisikkan sesuatu kesisi telinga dua orang muridnya, dua
orang imam tersebut buru-buru lari keluar lembah dengan
wajah aagk gugup.
Pada saat itulah orang-orang perkumpulan Sin-kie-pang
dan Hong-im-hwie yang berada dimulut lembah tiba-tiba
memperdengarkan seruan kaget dan sama-sama bangkit
berdiri untuk menengok ke arah luar lembah tersebut….
ooooOoooo
49
DALAM sekejap mata, dari mulut lembah Cu-bu-kok muncul
segerombolan setan berwajah menyeringai seram dengan
rambut yang awut-awutan terurai kebawah.
Setan-setan bermuka seram itu ada yang tua ada yang
muda ada yang wanita ada pula yang pria, dandanan seta
pakaian yang mereka pakai berbeda-beda satu sama lainnya
ada yang memakai baju model sekarang ada yang berdandan
seperti orang pada masa Tong tiau atau pula yang mamakai
baju model Han semuanya menjerit-jerit dan menangis
menggerung dengan suara yang keras mereka saling dorong
mendorong membuat suasana jadi ribut….
Dua orang imam dari perkumpulan Thong-thian-kauw yang
mendapat perintah untuk melakukan pemeriksaan Keluar
lembah telah berpapasan dengan rombongan setan penasaran
itu, untuk sesaat mereka jadi gugup…. pedangnya buru-buru
dicabut keluar.

Terdengar diantara rombongan setan-setan penasaran itu,
tiba-tiba terdengar keluhan seram yang menggidikkan hati,
“Oooh…. anakku!”
Seorang setan perempuan yang bermuka seram dan
berlidah menjulur keluar melewati rombongannya dan
langsung menubruk ke arah tosu tersebut.
Pada waktu itu kegelapan telah mencekam seluruh jagad,
dibawah remang-remangnya cuaca sulit bagi para jago untuk
memeriksa apakah setan-setan itu adalah setan asli atau
gadungan, keadaan mereka benar-benar mengerikan sekali.
Dua orang imam tersebut ketakutan setengah mati, dengan
jantung berdebar keras mereka membentak keras kemudian
melancarkan sebuah serangan dahsyat kedepan.
Tetapi…. sebelum serangan itu mencapai sasarannya,
mendadak mereka rasakan geng-gamannya jadi enteng dan
tahu-tahu kedua batang pedang tersebut telah lenyap tak
berbekas.
Setan perempuan yang lidahnya menjulur keluar bagaikan
setan gantung itu segera berpekik nyaring, “Ooooh….
anakku!” sambil rentangkan sepasang tangannya, ia segera
memeluk salah satu diantara dua orang imam itu.
Dua orang tosu tersebut semakin ketakutan hingga serasa
sukma melayang tinggalkan raganya, mereka sipat telinga dan
melarikan diri terbirit-birit.
“Criing….! tiba-tiba kaki mereka disapu oleh seorang setan
pria dengan rantai yang membelenggu tangannya hingga
jatuh tersungkur diatas tanah, sedang seorang lainnya yang

melarikan diri agak lambat kena dipeluk oleh setan tua
berambut putih.
Dalam waktu singkat imam tersebut dibikin bulanbulanan
oleh rombongan setan penasaran tersebut, kau rebut aku
rampas jeritan isak tangis menggema memenuhi angkasa,
seluruh jubah yang dikenakan tosu itu jadi koyak tak ada
juntrungnya karena ketakutan akhirnya imam tadi jatuh tak
sadarkan diri.
Semua peristiwa tersebut berlangsung dalam sekejap mata,
para jago yang hadir dalam lembah Cu-bu-kok dan rata-rata
merupakan jago kangou berkepandaian lihay dan membunuh
orang tak berkedip itu seketika dibuat berubah wajahnya dan
merasa amat terperanjat.
Thong-thian Kaucu yang berada diatas panggung
persembahan dapat menyaksikan jalannya peristiwa tersebut
dengan amat jelas, mulutnya yang membaca doa segera
diperkeras, tangan kiri berputar-putar diudara sedang pedang
ditangan kanannya menepuk meja keras-keras.
Anak murid diatas pangguug sama-sama jadi gugup dan
gelagapan, suara pembacaan doa semakin nyaring dan
tetabuhan alat sembah yang pun semakin memekikkan
telinga.
Thian Seng cu dengan wajah penuh kegusaran segera
loncat keluar dari dari dalam barak, hardiknya keras-keras,
“Hian cing, tenangkan hatimu!”
Imam yang bergelar Hian cing itu sambil mengguling dan
merangkak sedang melarikan diri dari kejaran setan-setan
penasaran itu, mendengar bentakan dan Thian Seng cu, ia jadi
semakin gugup sehingga sepasang kakinya jadi lemas.
Terdengarlah jeritan dan tangisan setan makin memekikkan

telinga, orang itu kena ditumbuk oleh rombongan setan tadi
hingga jatuh terjungkal keatas tahan.
Rombongan setan penasaran itu bergerak bagaikan
hembusan angin, diiringi jeritan dan pekikan ngeri mereka lari
menuju kebawah panggung persembahan, kemudian sambil
depak kaki memukul dada menangis mengerang-erang….
Air muka Thian Seng cu berubah jadi hijau membesi, dia
ulapkan tangannya, dari balik barak segera berlompatan
puluhan orang jago berbaju merah, dengan senjata terhunus
mereka mengurung rombongan setan penasaran itu rapatrapat.
Rombongan setan penasaran itu tetap tidak menggubris
atas kepungan tersebut, mereka sama-sama menengadah
memandang Thong-thian Kaucu yang berada diatas
panggung, isak tangis bergema tiada hentinya membuat hati
orang semakin kalut.
Ci-wi Siancu paling ketakutan, sekujur badannya gemetar
keras dan giginya saling beradu keras, lengannya memeluk
tubuh Hoa Hujin kencang-kencang.
Hoa Hujin merasa tak tega, bisiknya dengan suara lirih,
“Jangan takut, mereka adalah menusia dan jumlahnya tujuh
puluh dua orang….”
Sementara itu Thian Seng cu telah membentak dengan
suara keras, “Kalian kawanan setan darimana? siapa pemimpin
kalian? ayoh jawab!”
Kawanan setan penasaran itu tetap melompat dan
menangis tersedu-sedu tiada hentinya.

Li-hoa Siancu segera mendekati tubuh Hoa Hujin dan
berbisik dengan gemetar, “Hujin rombongan itu benar-benar
adalah setan asli, kalau manusia yang menyaru jadi setan
kenapa tujuh delapan puluh orang loncat bersama sedikitpun
tidak menimbulkan suara.
“Aduuuh…. sungguh tak enak didengar suara tangisan
mereka seru Ci-wi Siancu pula, suara mereka sedikitpun tidak
mirip suara manusia….”
Tiba-tiba Thong-thian Kaucu yang berada diatas panggung
menepukkan pedangnya keras-keras dan membentak keras,
“Pertemuan Kian ciau tayhwee adalah untuk mendoakan
arwah-arwah yang telah tiada, kawanan setan penasaran tiada
tempat disini enyah kalian dari tempat ini”
Bersamaan dengan selesainya perkataan itu mendadak
kawanan setan penasaran itu menengadah dan mengeluh,
dalam waktu singkat dari tujuh lobang indera mereka
mengucur keluar darah segar dan setan-setan itupun roboh
terkapar diatas tanah tak berkutik lagi.
Suasana dalam lembah Cu-bu-kok segera diselimuti oleh
suasana yang menyeramkan.
Pembacaan doa, suara tetabuhan berhenti berdentang,
suasana diliputi keheningan dan kesunyian….
Pemandangan yang terpapar didepan mata pada saat itu
benar-benar mengerikan dan mendebarkah hati, diatas tanah
penuh berserakan tubuh makhluk-makhluk setan berambut
panjang dan menyeringai seram, darah yang mengalir ke luar
dari tujuh lobang indera mereka membuat wajah setan-setan
itu bertambah mengerikan, jangan dikata setan, sekalipun
manusia pun cukup mendirikan bulu roma dan menggidikkan
hati orang.

Perubahan yang terjadi sangat tiba-tiba ini jauh diluar
dugaan semua orang dan cukup mengejutkan hati para jago,
Thong-thian Kaucu yang berada diatas mimbar pun berdiri
kaku bagaikan patung, karena terperanjat air mukanya
berubah jadi amat jelek.
Tetapi, bagaimanapun juga dia adalah seorang ketua dari
suatu perkumpulan besar, sesudah tertegun beberapa saat
lamanya, ia segera tersadar kembali dari lamunannya.
“Ploook….”pedang mustikanya dipukulkan keatas meja
keras-keras kemudian lanjutkan pembacaan doanya dengan
suara lantang.
Para anak murid perkumpulan Thong-thian-kauw yang
berada di mimbar nampak tertegun, diikuti suara tetabuhan
dan pembacaan doapun dilanjutkan lebih jauh, mula-mula
suaranya masih lirih dan terpotong-potong, tapi sebentar
kemudian suasana berubah jadi ramai kembali.
Thian Seng cu mendekati makhluk-makhluk aneh yang
tidak mirip manusia dan setan itu, setelah mengetahui bahwa
tubuh mereka telah mendingin dan napasnya telah putus,
buru-buru ia perintahkan anak muridnya untuk menggotong
mayat tadi keluar dari lembah, noda darah diatus tanahpun
segera dibersihkan.
Thong-thian Kaucu yang berdasarkan ajaran agamanya
pada soal kebatinan seringkali menyaru jadi setan atau
malaikat untuk menakut nakuti kaum rakyat kecil yang bodoh,
sekarang setelah benar-benar menghadapi kejadian semacam
itu, walaupun sudah tahu bahwa setan itu adalah setan
gadungan semua namun ia tidak membongkar rahasia
tersebut.

Sekalipun demikian, kedatangan makhluk aneh yang tibatiba
dan kematiannya secara mengerikan menimbulkan
kecurigaan dalam hati semua orang, tak seorangpun yang
berani unjukkan sikap mengejek atau mentertawakan atas
terjadinya peristiwa itu.
Setelah kejadian yang menegangkan telah lewat, suara
hiruk pikuk manusia berbicara pun mulai muncul dari barakbarak
dikiri maupun kanan, rata-rata mereka semua
membicarakan peristiwa aneh yang barusan berlangsung itu.
Siau yau siau Cu Tong dengan penuh semangat berkata,
“Kalau dilihat dari sikap Thian Ik-cu yang jengah dan tersipusipu,
rupanya apa yang terjadi tadi bukanlah permainan setan
dari pihak perkumpulan Thong-thian-kauw sendiri, ditinjau
dari hal ini dapat diketahui bahwa diantara tiga bibit bencana
dunia persilatan masih terdapat perselisihan yang belum dapat
diselesaikan, itu berarti belum tentu mereka benar-benar bisa
bekerja sama untuk meghadapi kita!”
Hoa Hujin mengerutkan dahinya rapat-rapat.
“Aku rasa perbuatan semacam ini tidak mirip perbuatan
dari Sin-kie-pang ataupun Hong-im-hwie!” katanya.
“Perkataan hujin sedikitpun tidak salah” Ciu Thian-hau dari
gunung Huang-san mengangguk tanda membenarkan,
“kawanan makhluk aneh itu sudah jelas bukan berasal dari
orang-orang gabungan tiga kekuatan besar tersebut, kalau
dilihat dari ilmu meringankan tubuh mereka yang aneh dan
ampuh, sudah jelas orang-orang tadi berasal dari satu
golongan yang sama, tidak mungkin perkumpulan Sin-kiepang
dan Hong im bwee mampu melatih manusia aneh
sebanyak itu!”

“Kecuali tiga bibit, bencana dari dunia persilatan dan
golongan kita, masa dalam dunia persilatan masih terdapat
kelompok kelima?” seru Im sim hweesio dengan wajah
tercengang.
Beberapa orang ini semuanya merupakan jago-jago
persilatan yang berkelana dalam Bu lim sejak muda sampai
tua, boleh dibilang situasi persilatan sepanjang puluhan tahun
diketahui mereka dengan jelas sekali, bahkan merekapun
sempat mengalaminya sendiri, kalau dibilang diluar empat
kelompok besar dalam dunia kangkou masih ada kekuatan
lainnya lagi, siapapun merasa tidak percaya akan kenyataan
tersebut.
Terdengar Cu Im taysu menghela napas panjang dan
berkata, “Yang paling aneh lagi, ternyata kawanan manusia
aneh itu pada saat bersamaan sama-sama menemui ajalnya
dengan darah mengalir keluar dari ketujuh lubang indera
mereka, bagaimana penjelasannya tentang peristiwa ini?”
“Kalau dilihat keadaan mereka, semestinya mati lantaran
keracunan hebat….!” sambung Li-hoa Siancu dari samping,
“cuma tidak diketahui siapakah yang melepaskan racun keji
tersebut?”
Cu Im taysu segera berpaling ke arah Ci-wi Siancu dan
bertanya, “Nona ketiga racun itu semestinya bukan engkau
yang melepaskan bukan….?”
Ci-wi Siancu terttegun lalu menggeleng.
“Bukan aku yang melepaskan!!” jawabnya.
Tiba-tiba ia menggertak gigi dan berseru dengan gemas,
“Tadi aku sudah lupa kalau aku membawa racun. Hmm! kalau
makhluk-makhluk aneh semacam itu berani munculkan diri

lagi, perduli dia adalah manusia atau setan akan kusuruh
mereka merasakan lebih dulu kelihayan dari kabut sembilan
bisa!”
Tiba-tiba dari mulut lembah muncul cahaya lampu, dua
orang dayang berdandan rapi dengan membawa lampu
lentera berjalan, dipa ling depan seorang gadis baju putih
yang berdandan agung bagaikan gadis keraton, berjalan
dibelakangnya seorang gadis baju hijau mengikuti dibelakang
gadis agung tadi dan bersama-sama masuk kedalam lembah
tadi.
“Siapakah dia?” tanya Ci-wi Siancu dengan alis mata
berkernyit.
“Perempuan yang agung dan berdandan keraton itu bukan
lain adalah Giok Teng Hujin dari perkumpulan Thong-thiankauw,
gadis yang mengikuti dibelakangnya itu bernama Pui
Che-giok, dia adalah dayang kepercayaan dari perempuan
tersebut,” Cu Tong menerangkan.
Berhubung semua jago telah mengetahui bahwa Giok Teng
Hujin bernama Siang Hoa dan merupakan putri dari It Kiam
kay Tionggoan ‘pedang sakti yang menyapu Tionggon’ Siang
Tang Lay, maka ketika mendengar akan kehadirannya, semua
orang segera alihkan sorot matanya ke arah tengah
gelanggang.
Dengan wajah yang agung, Giok Teng Hujin masuk
gelanggang, biji matanya yang jeli ketika itu mengawasi barak
yang dihuni para pendekar dengan tajam, ketika tidak
menjumpai Hoa Thian-hong hadir disitu, air mukanya tampak
berubah hebat.
Ci-wi Siancu segera mendengus dingin, sambil menarik
ujung baju Hoa Hujin, katanya, “Hujin, usia Giok Teng Hujin

paling sedikit sudah mencapai dua puluh tahunan, sedang siau
long baru berumur sembilan belas tahun, kedua orang itu
sama sekali cocok satu sama lainnya!”
Mendengar perkataan itu diam-diam Hoa Hujin berpikir,
“Aaai….!sampai sekarang jejak Seng ji masih belum ketahuan,
mati atau hidup sukar diramalkan, nona ini masih memikirkan
tentang soal perkawinannya, benar-benar tak tahu
keadaan….”
Ia segera tertawa paksa dan menjawab, “Malam ini seluruh
pikiran dan perhatian kita diputuskan untuk membunuh
musuh, persoalan yang lain dibicarakan dilain waktu saja”
Tiba-tiba Cu Tong dengan wajah murung berkata, “Hujin,
aku hendak mencari Pek Siau-thian untuk menanyakan jejak
dari Seng ji, entah bagaimanakah pendapat hujin itu.
“Biar aku saja yang pergi!” seru Ci-wi Siancu sambil bangkit
berdiri dan siap berlalu.
Hoa Hujin segera menarik pergelangan tangannya sambil
berseru, “Tunggu sebentar, biar aku yang menanyakan
sendiri!”
Tiba-tiba suara genta yang ada diatas mimbar berdentang
nyaring, diikuti suara tetabuhan dan pembacaan doa berhenti
sama sekali, ha nya Thong-thian Kaucu seorang yang masih
membaca doa tiada hentinya sambil membakar Lenghu, satu
demi satu hingga akhirnya setelah membakar tiga belas
lembar Lenghu ia baru berhenti. Kemudian memerintahkan
anak muridnya untuk pasang hio ganti lilin dan membakar
uang kertas perak dan kertas emas.
Pada waktu itulah, puluhan orang imam berjubah kuning
dengan lukisan pat kwa dam menyoren pedang dipunggung

berjalan masuk kedalam lembah, usia para imam tersebut
rata-rata empat puluh tahun keatas, tiga orang membentuk
satu barisan berjalan masuk dengan teratur sekali, paling
belakang berjalanlah tiga orang imam tua yang usianya sudah
mencapai delapan puluh tahunan dengan rambut yang
berwarna keperak-perakan, Cin Leng-cinjin berada dtantara
ketiga orang itu.
Thong-thian Kaucu segera loncat turun dari atas mimbar
dan lari menuju kemulut lembah untuk menyambut
kedatangan ketiga orang imam tua tersebut dengan sikap
sangat menghormat, ia mempersilahkan orang-orang tua tadi
masuk kebarak untuk beristirahat.
Hoa Hujin takut orang-orang dipihaknya tidak mengenal
akan kelihayan dari ketiga orang imam tua tersebut sehingga
dalam pertarungan massal nanti salah mencari sasaran, maka
segera ujarnya, “Imam tua yang ada ditengah adalah Hian
Leng, yang ada disebelah kiri bernama Pia Leng, sedang imam
yang kecil dan kurus itu bernama Cin Leng-cinjin, ketiga orang
itu merupakan paman guru dari Thian Ik-cu dan sudah
puluhan tahun lamanya tak pernah munculkan diri didalam
dania persilatan!”
Mendengar penjelasan itu, wajah para jago agak berubah,
mereka tahu ketiga orang imam tua yang sudah lama
mengasingkan diri dari keramaian dunia, ini pasti memiliki ilmu
silat yang sangat mengerikan, tapi mereka sama sekali tidak
merasa gentar atau takut, sebab mereka sudan menyadari
bahwa keadaan pada saat itu pihak lawan jauh lebih tangguh
kekuatannya daripada pihak sendiri, kecuali Biau-nia Sam-sian,
rata-rata para pendekar yang lain sudah ambil keputusan
untuk berjuang sampai titik darah penghabisan.
Tiba-tiba suasana dibarak bagian depan berubah jadi
hening dan sepi, hal ini segera memancing perhatian orangTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
orang dari golongan pendekar dan perkumpulan Thong-thiankauw
untuk bersama-sama menengok kedepan.
Terdengar Cu Tong berkata dengan suara berat, “Bu liang
loo ji telah datang!”
Tampaklah seorang kakek tua berperawakan kekar, berikat
kepala warna tua dan berjenggot perak sepanjang dada
berjalan masuk kedalam lembah tersebut….
Bu Liang Sinkun dari gunung Buliang san sejak belasan
tahun berselang telah dianggap umum sebegai jago lihay
nomor satu dalam kalangan hek to tetapi sejak ia dikalahkan
oleh Hoa Goan-siu ketika diselenggaranya pertemuan Pak
beng hwee, dengan menahan rasa malu ia segera
mengundurkan diri dan sepuluh tahun lamanya mengasingkan
diri. Ini hari telah muncul kembali dalam pertemuan besar
Kian ciau tayhwee orang itu masih tetap dianggap sebagai
seorang tokoh sakti dalam dunia persilatan.
Kok See-piauw murid ahli warisnya dengan kencang
mengikuti disamping gurunya.
Thong-thian Kaucu dengan memimpin para anak muridnya
buru-buru menyambut kedatangannya, sambil tertawa
katanya, “Kunjungan sinkun benar-benar merupakan suatu
kehormatan bagi kami, apabila sambutan kami kurang
memuaskan, harap siokun suka memberi maaf yang sebesarbesarnya”
Dengan sorot matanya yang tajam bagaikan kilat, Bu Liang
Sinkun menyapu sekejap seluruh lembah lalu sambil tertawa,
jawabnya, “Aku bisa ikut menghadiri pertemuan ini sudah
merupakan suatu kebanggaan, kaucu tak usah sungkansungkan!”

Kemudian tertawa tergelak dengan suara nyaring, suaranya
keras bagaikan genta hingga mendengung dalam lembah
tersebut.
Yan-san It-koay dan Liong bun siang san dari perkumpulan
Hong-im-hwie segera menyapa sambil tersenyum dari tempat
duduknya hanya Jin Hian seorang yang munculkan diri dari
barak, sambil memberi hormat.
“Sinkun selamat berjumpa kembali!” sapanya.
“Jin heng, baik-baik kah selama ini?”, kemudian kakek tua
itupun menjura ke arah Yan-san It-koay sekalian.
Thong-thian Kaucu tertawa nyaring, serunya, “Kunjungan
Sinkun kedalam pertemuan ini boleh dibilang merupakan
seorang tamu terhormat, bagaimana kalau pinto khusus si
apkan meja perjamuan untuk menghormati dirimu?”
“Tujuan diselenggarakannya pertemuan Kian ciau tayhwee
adalah untuk menghormati arwah yang telah tiada, lebih baik
orang yang hadir dalam pertemuan ini tak usah dilayani secara
istimewa….!”
Kedua orang itu saling pandangan dan tertawa, Bu Liang
Sinkun segera memberi hormat oan meneruskan
perjalanannya menuju kebarak dari perkumpulan Sin-kie-pang.
Sedari permulaan tadi, Pek Siau-thian telah keluar dari
baraknya untuk menyambut kedatangannya orang itu, setelah
saling me-ngucapkan kata-kata merendah, merekapun segera
masuk kedalam barak untuk ambil tempat duduk.
Kok See-piauw maju memberi hormat, sapanya, “Paman
Pek!”

Sorot matanya dengan tajam menyapu sekeliling tempat itu
untuk mencari Pek Kun-gie, ketika sinar matanya membentur
wajah Pek Soh-gie pemuda itu agak tertegun.
Satu ingatan berkelebat dalam benak Bu lian sinkun,
tegurnya, “Eeei…. kenapa keponakan Kun Gie tidak nampak?”
Dengan sedih Pek Siau-thian menghela papas panjang.
“Aaai…. bocah itu berumur pendek, ia sudah tiada lagi di
kolong langit….!”
Mendengar berita itu sekujur badan Kok See-piauw
gemetar keras, dengan wajah berubah hebat, serunya,
“Kenapa dia bisa mati?”
Diam-diam Pek Siau-thian berpikir dalam hatinya,
“Walaupun orang ini kalah jauh kalau dibandingkan dengan
binatang cilik dari keluarga Hoa, namun rasa cintanya
terhadap Kun Gie sudah mendalam sekali, aaai! sayang
keadaan tidak mengijinkan….!!”
Dalam hati ia berpikir dsmikian, diluar jawabnya dengan
hambar.
“Ia mati ditangan Hoa Thian-hong, bagaimanakah
duduknya perkara yang sebenarnya aku sendipun kurang
begitu jelas….”
“Hoa Thian-hong, putra Hoa Goan-siu?!” seru Bu Liang
Sinkun dengan sepasang alis mata berkenyit, dengan sorot
mata tajam ia segera mengawasi para jago dibarak sebelah
depan.

“Bajingan cilik itu sudah kuhajar masuk kedalam jurang
setinggi sepuluh ribu tombak hingga kini masih belum ada
kabar beritanya, aku rasa dia pasti sudah mampus!”
“Bagus! ini hari kita harus babat rumput sampai seakarakarnya,
kalau berkerja harus sempurna daripada dalam dunia
persilatan selalu terbagi antara golongan hitam dan putih.”
Pek Siau-thian tersenyum, ia berpaling ke arah Pek Soh-gie
yang berada disisinya dan berkata, “Soh-gie, kemarilah! cepat
memberi hormat untuk empek Lie dan Kok toako!”
Sepasang mata Pek Soh-gie masih merah membengkak dan
basah oleh air mata, mendengar perkataan itu ia segera
menghampiri kedua orang itu dan memberi hormat.
Bu Liang Sinkun segera berpaling ke arah Pek Siau-thian
dan berseru dengan wajah tercengang, “Dia adalah putri
sulungmu?”
Pek Siau-thian menganguk.
“Ia bernama Soh-gie, jauh lebih jujur, dia polos daripada
Kun Gie, budak liar yang sukar dikendalikan itu….”
Dengan pandangan tajam Bu Liang Sinkun memperhatikan
sekejap wajah Pak Soh-gie, kemudian pikirnya, “Ditengah
kecantikan wajah gadis ini terpancar suatu daya tarik yang
memikat hati, keayuannya tidak berada dibawah adiknya….”
Berbicara sampai disitu, sambil tersenyum segera ujarnya,
“Gadis yang mengutamakan kehalusan dan kelembutan
memang sukar ditemukan di kolong langit, apalagi berwajah
begini cantik….”

Ia menghela napas panjang, setelah berhenti sebentar
sambungnya lebih jauh, “Kita adalah sahabat lama, sedangkan
See Piau dan keponakan Kun Gie juga boleh dibilang
mempunyai hubungan yang erat antara yang satu dengan
yang lain, sayang takdir menghendaki lain sehingga terjadi
perubahan seperti ini. Aaai….! seandainya keponakan Kun Gie
masih hidup di kolong langit dan kita bisa menjodohkan
mereka berdua hingga kita saling berbesar, bukankah hal ini
bagus sekali….??”
Mendengar perkataan ini, satu ingatan segera berkelebat
dalam benak Pek Siau-thian, pikirnya, “Ucapannya ini
bukankah berarti bahwa ia sedang mengajukan pinangan
kepadaku dan mengharapkan aku menjodohkan Soh-gie
kepada muridnya.
Sesudah berhenti sebentar, ia berpikir lebih jauh, “Dalam
pertempuran yang bakal langsung kali ini, melenyapkan
kawanan pendekar dari golongan putih merupakan suatu
pekerjaan gampang, tetapi kalau hendak menggunakan
kesempatan ini untuk menumpas kekuatan golongan Hong-imhwie
dan Thong-thian-kauw bukanlah suatu pekerjaan yang
gampang, tapi seandainya aku bisa mendapat bantuan dari Bu
Liang Sinkun, maka harapannya untuk mendapat kemenangan
bukankah jauh lebih besar?”
Berpikir sampai disini, pikirannya segera bekerja, diamdiam
ia memperhatikan sekejap diri Kok See-piauw, kemulian
pikirnya, “Paras muka orang ini tidak jelek, ilmu silat yang
dimilikipun sangat bagus, memang tak ada salahnya kalau
dijodohkan kepada Soh-gie. Dalam koiong langit dewasa ini
tiada ada seberapa orang yang pantas mempersunting putri
keluarga Pek, biar kuterima saja pinangannya ini….”
3

Setelah mengambil keputusan, ia segera tersenyum dan
berkata, “Keponakan See Piau memang tampan dan manusia
hebat yang sukar didapati dalam kolong langit dewasa ini,
sayang Kun Gie budak itu tidak punya rejeki baik. Aaai….!”
Dia menghela napas panjang dan tiba-tiba membungkam.
Ketika Bu Liang Sinkun mendengar Pek Siau-thian memuji
anak muridnya, ia tahu bahwa urusan berjalan lancar, sambil
mengelus jenggot dan tertawa segera ujarnya lagi, “Pek Loo
te, apakah Soh-gie bocah ini sudah dijodohkan kepada orang
lain?”
Kembali Pek Siau-thian menghela napas panjang.
“Aaaiii….! sebenarnyaa ia selalu mendampingi ibunya hidup
menyendiri sedangkan akupun sibuk dengan urusan
perkumpulanku, sampai sekarang masih belum ada
kesempatan untuk memikirkan soal jodoh mereka!”
Bu Liang Sinkun jadi sangat kegirangan.
“Kalau memang begitu, siau Leng ingin sekali mempererat
hubunganku dengan diri Lo te, cuma sayang muridku See Piau
mungkin terlalu jelek dan bodoh sehingga tidak dapat
menerimanya?”
“Kita toh sahabat lama kenapa harus sungkan-sungkan”
jawab Pek Siau-thian sambil tertawa, “mungkin putriku yang
tidak memadahi untuk mendampingi keponakan See Piau.
“Haahh…. haahh…. haaahhh” Bu Liang Sinkun tertawa
terbahak-bahak, “ayoh cepat cepat memberi hormat kepada
ayah mertuamu!” Kok See Pitu jadi amat terperanjat.
“Suhu….” teriaknya.

Bu Liang Sinkun jadi gusar, dengan ilmu menyampaikan
suara buru-buru bisiknya, “Goblok! budak ini sepuluh kali lipat
lebih hebat daripada Pek Kun-gie, kalau engkau mengawini
dirinya sebagai istrimu maka per kumpulan Sin-kie-pang
merupakan hadiah bagi perkawinan itu, cepat atau lambat Pek
loo ji akan mengundurkan diri dan ketika itu dunia persilatan
akan menjadi kekuasaanmu”
Mula-mula Kok See-piauw merasa terperanjat kemudian
tertegun dan akhirnya kegirangan, buru-buru ia bangkit berdiri
dan berjalan kehadapan Pek Siau-thian lalu menjalankah
penghoramatan besar.
“Ayah….” tiba-tiba terdengar Pek Soh-gie berseru sambil
menangis.
Pek Siau-thian merasakan hatinya bergetar keras, dengan
rasa kejut bercampur gusar, serunya, “Ada apa?”
Dengan air mata bercucuran, Pek Soh Gei berkata, “Siau li
telah bersumpah antuk menemani ibu sepanjang hidup,
selamanya aku tak akan membicarakan tentang….”
Pek Siau-thian semakin gusar bentaknya, “Kurang ajar,
aku….”
Dengan sorot matanya yang tajam Bu Liang Sinkun segera
mengamati wajah Pek Soh-gie, ia lihat wajahnya bersungguhsungguh
dan sedikit pun tidak nampak berpura-pura, karena
takut urusan jadi berabe dan malahan tidak karuan, buru-buru
ia menukas sambil tertawa, “Loo te tak usah marah, bocah ini
meskipun bodoh tapi rasa baktinya kepada orang tua amat
besar, engkau tak usah menegur di rinya lebih jauh….”

Sesudah berhenti sebentar, dengan ilmu menyampaikan
suara segera ujarnya lagi, “Hati kaum muda paling gampang
berubah, paling bander sikapnya itu hanya berlangsung untuk
sementara waktu belaka, biarlah mereka berdua bergaul lebih
lama sehingga timbul perasaan yang mendalam da lam hati
mereka masing-masing, setelah selesai menghadiri pertemuan
besar Kian ciau tayhwee ini, aku dengan mengajak muridku
akan berkunjung sendiri kegunung Hoan keng san, asalkan
Hong hwee menyatakan persetujuannya dalam soal
perkawinan ini, bukanlah urusan besar?”
Pek Siau-thian menghela napas panjang, ia segera teringat
kembali akan keadaan dirinya yang telah berpisah deagan
istrinya, putri bungsu Kun Gie yatg berada dibawah
bimbingannya ternyata mendapat bencana dimasa muda,
terhadap putri sulungnya yang jauh lebih luhur ia merasa tak
tega untuk menggunakan cara yang keras.
Setelah termenung beberapa saat lamanya ia segera
membangunkan Kok See-piauw yang sedang berlutut
dihadapannya dengan muka merah padam, katanya, “Ini hari
seluruh orang gagah dari penjuru dunia berkumpul disini,
inilah kesempatan ynng paling baik buat setiap pria sejati
untuk unjukkan kehebatan, Hian tit! duduklah disisiku dan soal
perkawinan kita bicarakan lagi di kemudian hari”
“Terima kasih atas perhatian dari paman!” jawab Kok Seepiauw
sambil memberi hormat.
Ia segera maju kedepan dan duduk disamping Pek Soh-gie.
Tiba-tiba…. dari mulut lembah muncullah empat orang
pemuda berbaju ringsas yang menggotong sebuah tandu
berwarna hitam.

Paras muka keempat orang pemuda itu bersih dan tampan,
usianya diantara lima enam belas tahunan, gerak-geriknya
enteng dan cepat, sesudah memasuki mulut lembah tersebut
tandu tadi langsung menuju kebawah persembahan.
Seorang murid perkumpulan Thong-thian-kauw segera
maju menyongsong sambil bertanya, “Yang datang adalah
orang gagah dari mana?”
Empat orang pemuda berpakaian ringkas itu menurunkan
tandunya keatas tanah, kemudian salah seorang yang berada
dipaling depan menjawab dengan suara lantang, “Siang Tang
Lay dari wilayah See ih!”
Jawaban tersebut laksana guntur yang membelah bumi
disiang hari bolong, menggetarkan hati semua jago yang hadir
dalam lembah Cu bu-kok tersebut, seketika itu juga suasana
jadi sunyi senyap tak kedengaran sedikit suarapun.
Thong-thian Kaucu , Pek Siau-thian, Jin Hian, Bu Liang
Sinkun dan para jago lainnya sama-sama merasa terperanjat,
mereka semua segera bangkit berdiri tinggalkan tempat
duduk.
Pedang sakti yang menyapa daratan Tionggoan, Siang
Tang Lay adalah seorang tokoh sakti yang sudah tersohor
namanya sejak dua puluh tahun berselang kemunculannya
yang secara tiba-tiba sebelum pertemuan besar Kian ciau
tayhwee diselenggarakan benar-benar sa ngat menggetarkan
hati setiap orang.
Seorang pemuda berpakaian ringkas maju kedepan
menyingkap horden yang menutupi tandu tersebut, dua orang
lainnya segera maju kedepan dan mendorong keluar sebuah
kursi beroda dari dalam tandu tadi, diatas kursi beroda duduk
seorang pria bangsa Han yang memakai jubah putih, sepatu

tebal dan kaos putih yang tinggi, sedikitpun tidak nampak
dandanannya sebagai seorang suku Oh.
Rambut putih orang itu panjang terurai kepundak, jenggot
peraknya sepanjang dada, menurut keadaan semestinya orang
itu adalah seorang kakek tua, terapi mukanya ternyata masih
kencang dan sedikitpun tidak nampak kerutan-kerutan, sekilas
pandangan bahwa menyerupai seorang lelaki yang baru
berusia tiga puluh tahunan.
Thong-thian Kaucu berada paling dekat dengan orang itu,
ketika wajah orang itu diamatinya dengan lebih seksama maka
kecuali rambut putih serta Jenggot putih yang telah tumpuh
subur diwajah orang itu, paras mukanya sama sekali tidak
berbeda, dia bukan lain adalah manusia aneh yang pernah
mengobrak abrik dunia persilatan dengan an dalkan sebilah
pedang emas kecil.
Untuk beberapa saat lamanya jantung terasa berdebar
keras, ia tak dapat mengutarakan hatinya merasa terkejut
atau takut, murung atau gembira.
Dalam sekejap mata dari dalam barak muncullah Pek Siauthian,
Bu Liang Sinkun, Jin Hian dan lainnya, melihat hal itu
Thong-thian Kaucu buru-buru maju pula kedepan.
Pedang sakti yang menyapu daratan Tionggoan Siang Tang
Lay masih tetap duduk diatas kursi, sepasang tangannya
diletakan di atas lutut dan membawa sebuah kotak kecil
setengah depa lebarnya yang memancarkan sinar keemasemassan
ketika itu dengan sorot matanya yang tajam, ia
sedang menyapu empat orang jago yang sedang mendekati
dirinya kemudian tegurnya dengan suara lantang, “Dimanakah
Ciu It-bong?”
Thong-thian-kauwca segera tertawa terbahak-babak.

“Haaahh…. haaahbh…. haaahhh…. kepergian Siang sicu
telah meninggalkan bencana karena sebilah pedang emas itu,
Ciu It-bong telah berangkat menuju neraka!”
“Hidung kerbau bau, engkau berani menyumpai diriku?”
mendadak diri mulut lembah berkumandang teriakan
seseorang.
Diiringi suara ketakutan yang nyaring tahu-tahu ditengah
gelanggang telah bertambah dengan seorang marusia.
Ketika semua orang alihkan sorot matanya, maka
tampaklah Ciu It-bong dengan andalkan sebuah lengan kirinya
sambil membawa sebuah tongkat besi sepanjang lima depa
sedang meluncur datang dari tengah udara, walaupun
badannya sudah cacad namun semangat orang itu masih
tinggi, hal ini membuat semua orang diam-diam merasa
kagum.
Siang Tang Lay segera tersenyum, tanyanya, “Ciu It-bong,
senjata e«masku itu apakah masih berada ditanganmu?”
“Haaahh…. hahhh…. haaahhh…. tentang soal ini tanyakan
saja kepada Jin Hian tua bangka tersebut karena sudah
diambil olehnya,” jawab Ciu It-bong sambil tertawa tergelak,
dengan alis berkenyit ia melirik sekejap ke arah pemimpin
perkumpulan Hong-im-hwie tersebut.
Siang Tang Lay alihkan pandangnya ke arah Jin Hian dan ia
bertanya kembali.
“Apakah pedang emas itu berada ditanganmu?”
Dalam hati Jin Hian segera berpikir, “Tempo dulu kami
semua telah memotong kutung seluruh otot dan sendi penting

dari Siang Tang Lay, kalau dilihat dari kursi roda yang
digunakan untuk mengganti kakinya, hal ini jelas
menunjukkan bahwa badannya memang telah cacad, dengan
badan yang cacad ia masih punya kemampuan apalagi yang
bisa diandalkan?”
Berpikir sampai disitu ia segera mendengus dingin dan
menjawab.
“Pedang emas memang berada ditangan aku orang she Jin,
engkau mau apa?”
“Bagus sekali” teriak Cui It Bong dengan cepat “Jin loo ji
dicuri orang, ternyata engkau sengaja melepaskan asap untuk
membo hongi orang?”
“Heeehhh…. heeehhh…. heehhh…. kalau benar engkau
mau apa?” jawab Jin Hian sambil tertawa dingin.
Haruslah diketahui, lantaran pedang emas tersebut putra
tunggal Jin Hian telah dibunuh orang bahkan hingga saat ini
pembunuhnya masih belum ketahuan, karena itulah
kendatipun dalam kenyataan pedang emas tersebut telah
dicuri orang tetapi ia mengakui masih berada disakunya untuk
memanaskan hati orang.
Tetapi rahasia tentang Pedang emas adalah rahasia besar
yang tak dapat dipecahkan oleh semua orang dalam
persilatan, pedang emas justru merupakan titik perhatian
semua orang, pada dasarnya para jago memang sudah
menaruh curiga akan persoalan itu, setelah Jin Hian berkata
demikian maka situasi pun seketika berubah.
Pek Siau-thian dengan sepasang matanya memancarkan
cahaya tajam segera berseru, “Jin heng, kalau memang
pedang emas itu masih berada ditanganmu kenapa tidak

engkau ambil keluar? mumpung sahabat Siang masih berada
disini, kita bisa minta bantuanny untuk memecahkan teka teki
mengenai pedang emas ini, agar dunia persilatanpun tak usah
selalu diliputi pertikaian karena masalah tersebut!”
“Benar!” teriak Ciu It-bong, “kalau rahasia pedang emas
belum terbongkar aku tak alan mati dangan mata terpejam”
Thong-thian Kaucu tertawa terbahak-bahak.
“Haahh…. haah…. haahh…. Siang Sicu, engkau bersusah
payah melakukan perjalanan sejauh sepuluh laksa li datang
kemari, apakah tujuanmu adalah untuk melagukan duel sengit
lagi dengan para orang gagah dari daratan Tioaggoan?”
tegurnya.
Siang Tang Lay berpaling dan memandang sekejap meja
abu para orang gagah yang telah gugur dalam pertemuan Pak
beng bwee diatas panggung persembahan, lalu menghela
napas panjang, sahutnya, “Dari mulut seseorang, aku pernah
mendengar bahwa para orang gagah dari daratan Tionggoan
kebanyakan sudan menemui ajalnya dalam pertemuan besar
Pak beng hwee, kedatanganku ke Timur kali ini sama sekali
bukan bermaksud untuk melakukan pertarungan melawan
orang-orang persilatan daratan Tionggoan….!”
“Maksud dari perkataan itu sudah jelas sekali, yakni dalam
pandangannya kelima orang jago lihay yang berada dihadapan
mukanya sekarang ini sama sekali tidak terhitung sebagai
manusia gagah dari daratan Tionggoan.”
Mendengar sindiran tersebut, merah jengah selembar
wajah Thong-thian Kaucu berlima.
“Haruslah diketahui sewaktu tempo hari, Siang Tang Lay
mengacau daratan Tionggoan akhirnya ia telah menderita

kekalahan ditangan tenaga gabungan dari kelima orang ini
bahkan kelima orang tersebut telah menggunakan siasat licin,
oleh sebab itulah sesudah mendengar sindiran yang amat
pedas itu mereka semua merasa tersipu dan malu!”
Bu Liang Sinkun dari malu menjadi gusar dengan suara
berat ia segera menukas, “Walaupun semua orang gagah
didaratan Tionggoan telah mampus, manusia-manusia bodoh
yang masih hidup masih ada banyak sekali, akulah yang
pertama-tama akan minta petunjuk darimu”
Sambil ayun telapaknya dari kejauhan dia lancarkan satu
pukulan gencar ke arah depan.
Gulungan angin puyuh menderu-deru menembusi angkasa,
begitu hebat serangan yang dilepaskan membuat orang-orang
yang ada dibarak-barak kiri dan kanan merasakan telinganya
mendengung keras.
Kekuatan tenaga pukulan yang dipancarkan Bu Liang
Sinkun betul-betul luar biasa sekali, meskipun semua orang
terperanjat namun mereka tidak merasa keheranan sebab
dibawah nama besar tak mungkin ada manusia yang tak
becus, semua orang hanya ingin tahu Siang Tang Lay yang
sudah cacad akan menghadapi serangan tersebut dengan cara
apa.
Terdengar bentakan keras menggeletar di angkasa, empat
orang pemuda berpakaian ringkas yang berdiri dikedua belah
sisi kursi roda tiba-tiba ayunkan tangannya, serentetan cahaya
perak laksana sambaran petir berkelebat ke arah depan,
seketika itu juga angin pukulan Bu liang Sinkun yang maha
dahsyat itu terbagi menjadi dua dan menggulung lewat dari
kedua belah sisi kursi roda itu….

Dengan ketajaman mata Bu Liang Sinkun, walaupun cahaya
perak hanya berkelebat dalam waktu singkat, namun ia
sempat melihat bahwa ditangan keempat orang pemuda itu
masing-masing membawa sebilah pedang kecl berwarna
perak, pedang kecil itu panjangnya lima cun dan tiada
berbeda jauh antara yang satu dengan lainnya, hanya
warnanya berbeda dan cahaya yang memancar keluar nampak
aneh sekali.
Keempat orang pemuda berpakaian ringkas itu setelah
menahan ancaman yang meluncur tadi segera turunkan
kembali tangannya kebawah, pedang kecil yang berada
digenggamannyapun seketika lenyap tak berbekas, sikap
mereka tenang seolah-olah tak terjadi sesuatu apa pun, untuk
beberapa saat lamanya keadaan iu menegunkan hati beberapa
orang gembong iblis tersebnut.
Thong-thian Kaucu yang bisa membawa diri, setelah
tertegun beberapa saat lamanya ia segera tergelak, serunya,
“Kiong hi…. kiong ni….!ilmu silat ampuh yang dimiliki Siang
sincu telah mendapatkan ahli waris, sekarang sahabat-sahabat
persilatan dapat membuka matanya kembali!”
Siang Tang Lay tersenyum dan gelengkan kepalanya, ia
berkata, “Dengan andalkan ilmu silat mereka yang tidak
seberapa itu masih selisih jauh kalau ingin adu kekuatan
dengan para jago lihay dan daratan Tionggoan”
Hmm! engkau berani datang kembali ke wilayah Timur
sudah tentu tiada sesuatu yang kau segani bukan? apa yang
kau andalkan lagi? ayoh cepat perlihatkan keluar!” seru Bu
Liang Sinkun dengan suara dingin.
Bukannya gusar, Siang Tang Lay malah tertawa, jawabnya,
“Aku tidak lebih hanya seorang manusia cacad yang sudah tak
berguna lagi, ambisiku sudah lenyap tak berbekas sejak

dahulu kala, kedatanganku ke wilayah timur kali ini tidak lebih
hanyalah hendak menyelesaikan beberapa macamm persoalan
kecil, soal arti nama dan kedudukan sudah tidak masuk dalam
pikiranku lagi”
Mula-mula Bu Liang Sinkun nampak tertegun, kemudian
pikirnya lebih lanjut.
“Meskipun beberapa orang bocah cilikmu tidak terlalu
menarik perhatian, nampaknya kepandaian silat mereka cukup
tangguh dan sulit dihadapi, sekalipun aku berhasil menang
juga tidak gagah, aku harus baik-baik menjaga diri agar nama
besarku yang dipupuk secara susah payah selama ini tidak
hancur berantakan dengan begitu saja”
Karena berpikir demikian, diapun membungkam dan segera
meagundurkan diri dari situ.
Terdengar Thong-thian Kaucu berkata lagi, “Siang sicu
kalau memang engkau tidak berhasrat untuk cari nama dan
kedudukan dalam dunia persilatan, itu berarti bahwa engkau
adalah tamu terhormat dari perkumpulan kami, entah
persoalan apakah yang hendak kau selesaikan? apabila
membutuhkan bantuan, pinto bersedia untuk
menyumbangkan tenagaku, Siang Tang Lay tertawa, sahutnya
dengan suara lantang, “Pertama aku hendak membongkar
rahasia yang menyangkut tentang soal pedang emas, daripada
kepandaian silat yang maha sakti itu ikut lenyap kedalam
perut bumi bersama aku manusia cacad ini….”
“Mengutamakan kependekaran daripada keuntungan
pribadi tindakanmu ini memang patut dipuji oleh setiap
manusia di kolong langit, apakah persoalan kedua yang akan
Siang sicu lakukan?” seru Thong-thian Kaucu dengan suara
lantang. “Dalam peti yang kubawa ini tersimpan suatu benda
mustika yang tak ternilai harganya dan merupakan benda

langka yang diimpikan oleh setiap umat persilatan dalam
kolong langit, aku hendak mencari seseorang yang berjodoh
serta menghadiahkan benda ini kepadanya”
Makin bicara orang itu semakin aneh membuat orang yang
hadir dalam lembah itu merasakan jantungnya berdebar keras
dan wajahnya berubah jadi merah padam, mereka menjadi tak
sabar dan ingin cepat-cepat mengetahui rahasia yang
menyulubunni pedang emas itu disamping juga ingin
mengetahui benda apakah yang berada dalam peti itu.
Terdengar Jin Hiag menjengek dingin dan berkata, “Sebuah
pedang emas sudah cukup termasuk aneh dan luar biasa, aku
tidak percaya kalau di kolong langit masih terdapat benda
mustika lainnya yang jauh lebih aneh dan luar biasa”
Siang Tang Lay tersenyum.
“Kolong langit selebar ini siapa bilang tiada keanehan yang
terdapat didalamnya? asal orang ada rejeki maka ia dapat
merasa kannya dengan gembira”
“Siang Tang Lay,” seru Ciu It-bong pula, “kita semua boleh
dibilang bersikap kurang begitu baik terhadap dirimu, kenapa
benda mustika yang begitu berharga engkau berikan kepada
orang lain?”
“Dari mana engkau tahu benda mustika itu akan
kuhadiahkan kepada siapa….? siapa tahu aku hendak
menghadiahkan kepada seorang sahabat karibku atau
keturunannya sebagai tanda penghargaan atas budi yang
pernah diberikan kepadaku dimasa lampau”
Setelah perkataan itu diutarakan keluar, mau tak mau
semua orang jadi mempercayainya, dalam sekejap mata
meluruh pandangan mata yang tajam bersama-sama dialihkan

ke arah kotak emas yang berada ditangan orang she Siang itu,
seakan-akan hendak mengetahui apa isi kotak yang
sebenarnya….
Thong-thian Kaucu diam-diam berpikir, “Hoa Goan-siu
pernah melepaskan budi kepadanya, dimana selembar jiwanya
telah diselamatkan dari kematian, apabila dia memiliki benda
mustika yang tak ternilai harganya, benda itu tentu akan
dihadiahkan kepada keluarga Hoa, aaai! sayang peristiwa ini
terjadi didepan umum, tak mungkin aku bisa merampas benda
tersebut dengan keke rasan….”
Jin Hian telah kehilangan nyawa putra tunggalnya lantaran
ia menyimpan benda mustika, atas terjadinya peristiwa
tersebut ia merasa amat membenci terhadap pedang emasnya
Siang Tang Lay, sekarang mendengar ada benda mustika yang
akan dihadiahkan kepada orang lagi, timbullah rasa benci
dalam hatinya.
Dengan penuh kegusaran ia membentak keras, “Siang
Tong Lay, engkau tak usah bermain licik, andaika masih ada
persoalan yang ketiga, ayoh cepat diutarakan keluar kalau
tidak perkumpulan Hong-im-hwie akan segera mengirim
engkau untuk pulang keakhirat.
“Tentu saja masih ada masalah yang ketiga,” jawab Siang
Tang Lay perlahan-lahan.
“Apakah persoalan itu?” bentak Jin Hian dengan kasar.
Air muka Siang Tang Lay berubah jadi serius, dengan nada
ber suagguh-sungguh ia berkata, “Persoalanku yang ketiga
adalah hendak menyambangi arwah-arwah yang telah tiada
dalam pertemuan besar Kian ciau tayhwee ini, disamping itu
aku akan berusaha dengan sekuat tenaga untuk balaskan
dendam bagi sababat-sahabat lamaku yang telah meninggal!”

Mendengar sampai disitu, Bu Liang Sinkun segera
menengadah kea tas dan tertawa terbahak-bahak, sejenak
kemudian dengan wajah menyeringai ia berkata, “Haahh….
haahh…. haahh…. jadi kalau begitu bicara pulang pergi,
kedatanganmu adalah mengandung maksud-maksud
tertentu?”
Sorot matanya segera dialihkan keatas wajah Thong-thian
Kaucu dan melanjutkan, “Too teng, apakah upacara dalam
pertemuan Kian ciau tayhwee ini telah selesai atau belum?
jikalau tiada upacara lainnya lagi maka kami semua akan
segera menyelesaikan perselisihan tentang urusan dunia
persilatan”
ooooOoooo
50
MENDENGAR ucapan tersebut, Thong-thian Kaucu jadi
amat terperanjat, buru-buru katanya, “Pinto beran-benar
pikun, tengah malam sudah lewat tapi upacara resmi masih
belum juga dimulai….”
Setelah memberi hormat, buru-buru ia balik lagi kedalam
barak, setelah mengenakan pakaian upacara ia segera loncat
naik keatas mimbar.
Terdengar suara genta kembali bergema nyaring, suara
pembacaan doa berkumandang kembali memecahkan
kesunyian.
Dengan kerdipan mata, Siang Tang Lay memberi tanda
kepada keempat orang muridnya, mereka segera mendorong
kursi beroda itu masuk Kedalam tandu lalu berjalan menuju
kebarak yang dihuni para pendekar dari kalangan lurus.

Pek Siau-thian, Bu Liang Sinkun dan Jin Hiang kembali
kebaraknya masing-masing, hanya Ciu It-bong seorang yang
loncat keangkasa dan seorang diri duduk diatap barak.
Setelah semua orang mungundurkan diri, segerombolan
imam dengan membawa orang-orangan kertas, kuda-kudaan
kertas berjalan masuk ke dalam gelanggang, sambil berputar
mengelilingi arena, mereka membaca doa tiada hentinya.
Tiba-tiba muncul kembali tiga orang imam cilik baju merah,
ditangan mereka masing-masing membawa sebuah Leng pay
berwarna putih dan naik keatas panggung persembahan,
kemudian ketiga leng pay berwarna putih tadi di letakkan
dibawah meja abu yang sangat be-sar ditengah panggung
tersebut.
Dalam sekejap mata suasana dalam lembah jadi sangat
gaduh, suara bisikan bergema jadi pembicaraan yang ramai,
suasana benar-benar amat ramai dan ribut.
Ternyata ketiga buah leng pay warna putih yang
terpancang diatas panggung itu yang tengah bertuliskan,
“Tempat abu dari Hoa Thian-hong kepala kampung muda
perkampungan Liok Soat Sanceng”
Yang kiri bertuliskan,
“Tempat abu Jin Bong pimpinan muda perkumpulan Hongim-
hwie”
Sedangkan yang ada disebelah kanan bertuliskan,
“Tempat abu dari Pek Kun-gie ketua muda perkumpulan
Sin-kie-pang.”

Siang Tang Lay setelah masuk kedalam barak baru saja
sempat ber cakap-cakap beberapa patah kata dengan Hoa
Hujin ketika menyaksikan munculnya tempat abu dari Hoa
Thian-hong sekujur badannya bergetar keras, ia segera
menegur, “Hoa Hujin, sebenarnya apa yang telah terjadi?”
Hoa Hujin sendiri pun terbelalak matanya dengan mulut
melongo, bagaikan disambar petir disiang hari bolong ia
berdiri mendelong, beberapa saat kemudian ia mendusin dari
lamunannya dan menggerakkan bibir seperti sedang
mengucapkan sesuatu.
Tiba-tiba tampaklah bayangan manusia berkelebat lewat,
Tio Sam-koh, Hoa In, Biau-nia Sam-sian dan tiga harimau dari
keluarga Tiong bersama-sama loncat keluar dari dalam barak
Menyaksikan kejadian itu, Hoa Hujin merasa amat
terperanjat, dengan cepat tangannya bekerja menyambar
lengan Tio Sam-koh, hardiknya dengan suara keras,
“Semuanya berhenti!”
Semua orang merasa terkesiap dan segera menghentikan
langkah kakinya dan berdiri tertegun.
Sepasang mata Tio Sam-koh berubah jadi merah membara,
sambil mengetukkan toyanya diatas tanah, teriaknya dengan
suara lantang, “Pek Siua Thian! apakah Hoa Thian-hong mati
karena kau bunuh?”
“Kecuali aku yang lakukan, siapa lagi yang mampu
membinasakan dirinya….?” jawab Pek Siau-thian dengan suara
dingin.
“Bluuk….!” tiba-tiba Chin Wan-hong yang duduk dikursi
roboh keatas tanah dan jatuh tak sadarkan diri.

Hoa Hujin merasakan hatinya amat sakit bagaikan diiris
dengan pisau, tetapi ia masih tetap menaban diri, sepatah
demi sepatah katanya dengan suara tegas, “Manusia yang
mana tidak dikandung selama sembilan bulan sepuluh hari
sebelum dilahirkan? manusia semuanya dipelihara oleh ayah
dan ibu, Seng ji tak akan mati dengan siasia, tetapi untuk
membalas dendam kita harus menilai dahulu kekuatan kita
masing-masing.”
Tio Sam-koh berusaha meronta dengan sekuat tenaga
tetapi ia tak behasil melepaskan diri dari cekalan lawan
akhirnya dengan suara gamas serunya, “Engkau mau menilai,
nilailah tenagamu sendiri dan aku akan melakukan pekerjaan
sendiri, masing-masing melakukan tugasnya sendiri dan tidak
saling bersangkutan”
“Hmmm! Hoa Goan-siu adalah ayah dan Hoa Thian-hong
adalan putra, sebelum dendam sakit angkatan sebelumnya
dibalas, dendam angkatan yang lebih muda tak dapat
dilakukan lebih dahulu!” seru Hoa Hujin dengan suara tegas.
“Tio lo thay!” Ciu Thian-hau dari gunung Huang-san segera
menimbrung dengan suara serak, “seribu hutang piutang jadi
satu per hitungan, belasan tahunpun kita dapat menunggu
mengapa untuk sesaat saja engkau tak mampu?”
Dari atas panggung persembahan tiba-tiba berkumandang
suara seruan seseorang dengan suara lantang.
“Thong-thian Kaucu telah resmikan pembukaan upacara
pertemuan Kian ciau tayhwee, para enghiong dan orang
gagah yang akan menghormati arwah-arwah dari
perkampungan Liok Soat Sanceng dipersilahkan maju
kedepan….”

Buru-buru Hoa Hujin menentramkan hatinya dan maju
kedepan lebih dahulu, semua orang yang menyaksikan
kejadian itu segera menyusul dari belakang dan bersamasama
menuju kebawah panggung persembahan.
Terdengar panitia yang ada diatas panggung kembali
berseru lantang, “Persembahan untuk Hoa Goan-siu lo cung
cu dari perkampungan Liok Soat Sanceng”
Hoa Hujin menahan air mata yang hampir meleleh keluar
dan buru-buru jatuhkan diri berlutut didepan meja abu, Chin
Wan-hong yang baru saja mendusin dari pingsannya dibawah
bimbingan Tiong Lo poo cu ikut maju kedepan panggung.
Gadis itu sudah menganggap dirinya sebagai menantu
keluarga Hoa, dalam sedihnya diapun tak kenal arti malu lagi,
melihat Hoa Hujin berlutut keatas tanah diapun ikut berlutut
memberi hormat, Hoa In sebagai pelayan keluarga Hoa,
segera mengikuti majikannya belutut pula keatas tanah.
Selesai menjalankan penghormatan, ketiga orang itu
menyingkir kesamping, para jagopun maju memberi hormat
sedang ketiga orang tadi berlutut membalas hormat.
Ditengah dentingan alat tetabuhan, panitia kembaii berseru
lantang, “Persembahan untuk Oh Thian Siau ketua angkatan
ketujuh perguruan keluarga Wi dari kota Wanciu….”
“Persembahan untuk In beng sam hiap Giu Huan Tiat Sio
dan Ko Sau Po….”
“Persembahan untuk Dewa geledek Chin Goan Tay….”
Pek lek sian dewa geledak adalah guru dari Bong Pay,
sebagai seorang lelaki berjiwa polos ketika mendengar nama

guruaya disebut ia tak dapat menahan kesedihan hatinya lagi
dan meledaklah isak tangis yang ramai.
Jilid 7
SETELAH pria itu menangis, maka Chin Wan-hong, Biau-nia
Sam-sian, tiga harimau dari keluarga Tiong yang teringat akan
kematian Hoa Thian-hong sama-sama tak dapat menahan diri
dan ikut menangis pula.
Dewa yang suka pelancongan Cu Tong adalah salah
seorang diantara sepasang dewa bersama-sama dengan Dewa
geledek, sedang Suma Tiang-cing adalah saudara angkat diri
Hoa Goan-siu, walaupun sanak namun mereka adalah sahabat
karib, semua orang segera diliputi oleh kesedihan membuat
suasana penuh diliputi kedukaan.
Dengan susah payah, akhirnya terdengar panitia berseru
kembali, “Dipersilahkan para orang gagah yang tergabung
dalam kelompok perkampungan Liok Soat Sanceng
mengundurkan diri….”
Semua orang dengan menahan sedih dan air mata,
mengundurkan diri kembali kedalam barak, panitia segera
mempersilahkan orang-orang dari perkumpulan Sin-kie-pang
maju memberi hormat.
Dengan dipimpin oleh Pek Siau-thian, ratusan orang
anggota perkumpulan Sin-kie-pang sama-sama maju kedepan
untut memberi hormat kepada arwah-arwah anggota
perkumpulan Sin-kie-pang yang gugur dalam pertemuan besar
Pek beng hwee.

Haruslah diketahui, upacara penghormatan untuk arwah
yang telah tiada merupakan adat yang dipegang teguh setiap
orang pada masa itu, arwah yang telah tiada dianggap
sebagai orang besar. Karena itu meskipun Pek Siau-thian
adaloh seorang ketua perkumpulan namun sikapnya selama
upacara selalu serius dan bersungguh-sungguh, hal ini
dimaksudkan asar menarik simpati dari anak buahnya.
Setelah perkumpulan mereka, maka giliran Hong-im-hwie
maju memberi hormat.
Baru Saja pihak Perkumpulan Hong-im-hwie selesai
melakukan penghormatan, tiba-tiba dari luar lembah Cu-bukok
secara lapat-lapat dengaran tangisan setan.
Setelah itu, tampaklah para jago perkumpulan Sin-kiepang,
Hong-im-hwie serta Thong-thian-kauw yang bertugas
diluar lembah sama-sama lari terbirit-birit masuk kedalam
lembah, dua orang imam dari Thong-thian-kauw dengann
wajah pucat pias lari menuju kehadapan Thian Sengji,
tangannya menuding keluar lembah dengan gemetar,
beberapa saat kemudian mereka baru mampu bersuara.
“Lapor Tamcu, setan-setan penasaran yang telah mati
dengan darah mengalir dari ketujuh lobang inderanya itu, te….
telah…. telah hidup kembali!”
Mendengar laporan itu, Thian Sengcu merasa terkejut
bercampur gusar, bentaknya, “Omong kosong!, dengan mata
kepalaku sendiri telah kuperiksa bahwa mereka telah mampus
semua, mana mungkin bisa hidup kembali?”
“Makhluk-makhluk aneh itu telah dibuang kedalam sebuah
jurang di bukit sebelah kiri dan dikubur dalam satu liang,
tapi…. tapi….”

“Tapi kenapa?” bentak Thian Sengcu dengan gusar.
“Mereka semua telah hidup kembali, sambil ribut dan
menangis mereka menuju kemari dan agaknya segera akan
tiba disini, aduh mak! itu mereka telah datang!”
Ditengah pembicaraan, suara isak tangis dan jeritan setan
telah bergema memenuhi seluruh lembah, makhluk setan
berwajah seram dan berambut awut-awutan itu sambil
berdesak-desakan muncul kembali didalam lembah.
Setan-setan itu pada dasarnya berwajah menyeramkan,
ditambah darah mengalir keluar dari tujuh lubang inderanya
membuat wajah makhluk-makhluk itu nampak lebih seram.
Dalam waktu singkat, makhluk setan yang memakai
belenggu kehilangan kaki tangan atau lidahnya menjulur
keluar itu sudah ber kumpul semua dibawah panggung
persembahan, mereka semua pada menjerit dan menangis
hingga suasana jadi amat ribut.
Ci-wi Siancu jadi ketakutan setengah mati, dengan badan
gemetar dan gigi saling beradu ia mendekati Hoa Hujin dan
berbisik lirih, “Hujin, suhu telah menghadiahkan sedikit kabut
sembilan bisa ke padaku dengan pesan agar racun itu jangan
digunakan sembarangan, bagaimana kalau sekarang
kulepaskan racun itu agar makhluk-makhluk setan itu….”
Agaknya takut ia kalau perkataannya kedengaran oleh
makhluk setan tersebut, perkataannya makin lama semakin
lirih, Hoa Hujin termenung sebentar, kemudian menjawab,
“Engkau tak usah terburu nafsu lebih dahulu, selama mereka
tidak mengganggu kita lebih baik kitapun tak usah
mengganggu mereka”

Sementara pembicaraan masih berlangsung, Thong-thian
Kaucu serta Thian Seng cu dengan memimpin sekelompok
anak muridnya telah mengepung rapat-rapat ketujuh puluh
dua orang makhluk setan itu, tetapi makhluk-makhluk aneh itu
masih tetap menjerit dan menangis, terhadap pengepungan
tersebut mereka sama sekali tidak ambil perduli.
Dengan muka penuh kegusaran Thian Seng cu segera
menghardik, “Pertemuan besar Kian cian tayhwee diadakan
untuk mengenang arwah-arwah orang gagah yang semasa
dalam dunia merupakan orang kenamaan, perduli kalian
semua adalah setan atau manusia, ayoh cepat mengirim
seorang pemimpin untuk berbicara, apabila kalian
mengharapkan sesuatu maka perkumpulan Thong-thian-kauw
kami pasti akan berusaha memenuhinya….”
Baru saja ucapan terebut diutarakan keluar, dari luar
lembah Cu bo kok tiba-tiba berkumandang datang suara
jeritan lengking yang amat menusuk pendengaran, diikuti
suara gembrengan dan tambur bergema tiada hentinya.
Beberapa saat kemudian pekikkan lengking dan suara
tetabuhan gembrengan dan tambur itu sudah tiba dimilut
selat, tujuh puluh dua orang makhluk setan yang sedang
menangis dan menjerit itu segera membungkam dalam seribu
bahasa, semua berdiri kaku ditempat semula tanpa berkutik
barang sedikitpun juga.
Bayangan hitam berkelebat memasuki lembah tersebut,
sekelompok setan dan makhluk aneh dibawah iringan suara
gembrengan dan tambur memosuki gelanggang dengan
teratur.
Barisan tersebut adalah suatu barisan aneh yang tidak
pernah nampak di kolong langit, berjalan dipaling depan
adalah dua orang prajurit setan berbaju hitam yang membawa

sebuah gembrengan sebesar lima depa, seorang setan berbaju
merah dengan membawa sebuah alat pemukul gembrengan
tersebut mengikuti irama langkah kaki.
Dibelakang gembrengan berjalanlah empat orang prajurit
setan pembuka jalan yang memakai baju warna-warni,
berwajah pucat pias, menyoren senjata garpu pada
pundaknya dan menunggang kuda jempolan yang tinggi
besar.
Yang paling mengerikan, ternyata keempat ekor kuda itu
sama sekali tidak menimbulkan sedikit suarapun ketika
berjalan, seakan-akan kuda itu adalah sukma-sukma Kuda
yang tidak bernyawa lagi.
Dibelakang prajatit pembuka jalan adalah tiga puluh enam
sosok arwah penasaran, diantaranya terdapat setan gantung,
setan mati tenggelam, setan mati terbakar serta setan lainnya.
Ada setan yang mati secara mengerikan terlindas roda
kereta, tubunnya penuh berlumuran darah dan isi perutnya
bergelantungan diluar, ada pula setan yang mati karena
dipenggal, batok kepalanya dipegang ditangan.
Yang lebih seram lagi adalah setan perempuan yang
membopong bayi berusia satu dua tahunan, separuh bagian
batok kepala bayi itu sudah hancur tidak karuan, otaknya pada
mengalir keluar, namun matanya ma sih berputar tiada
hentinya membuat orang yang menyaksikan kejadian itu
merasa ngeri dan bulu kuduknya pada bangun berdiri.
Dibelakarg ketiga puluh enam sosok setan itu adalah lima
orang setan pria yang sudah lanjut usia, didepannya berjalan
seso-sok setan yang tinggi dan kurus, rambut dan janggutnya
awut-awutan tidak karuan, matanya melotot keluar, sepasang
lengannya mengenakan borgol sedang tengkuknya membawa

rantai, rupanya setan tersebut adalah setan penasaran yang
mati dalam penjara.
Dibelakang kelima sosok setan tua itu, mengikuti
sekawanan prajurit setan yang menggotong delapan buah
tandu berwarna hitam, empat buah tandu yang ada didepan
duduklah empat setan pria yang kekar, sedangkan empat
tandu yang ada dibelakang tertutup rapat, mungkin isinya
adalah setan perempuan.
Dibelakarg kedelapan bush tandu tadi, mengikuti sebuah
tandu besar yang megah, indah dan berukirkan burung hong
dan naga, tandu tersebut digotong oleh delapan sosok prajurit
setan, seorang bocah perempuan berusia sebelas dua belas
tahunan dengan baju warna merah dan rambut dikepang
mengikuti disisi tandu tersebut.
Sembilan buah tandu itu berjalan menuju kebawah mimbar,
empat pria setan yang duduk ditandu loncat lebih dahulu
diikuti dengan horden pada empat tandu lainnya terbuka dan
perlahan-lahan melayang turun empat setan perempuan,
hanya tandu indah yang nampak megah dan besar itu saja
tiaak menunjukkan suatu gerakan apapun.
Jumlah rombongan setan itu seluruhnya melampaui seratus
orang lebih, barisan sebesar ini benar-benar luar biasa, para
jago dari Sin-kie-pang, Hong lm Hwee, Thong-thian-kauw dan
pendekar dari golongan lurus tak berani memandang enteng
lagi, untuk beb rapa saat lamanya suasana jadi hening dan
diliputi keseriusan.
Thong-thian Kaucu yang berada diatas mimbar dan
menunggu beberapa saat lamanya, namun dari balik tandu
besar yang megah itu sama sekali tidak ada gerak-gerik
apapun, hal ini menggusarkan hatinya, imam tua tersebut
segera membentak.

“Pinto Thian Ik-cu mohon tanya, diantara rombongan para
malaikat ini apakah ada seorang wakil untuk berbicara?”
Dari balik tandu yang terakhir melayang keluar sesosok
setan perempuan, sambil maju kedepan jawabnya, “Aku
adalah Tiam cu dari istana neraka terimalah hormat dari
kami….!”
Tiam cu dari istana neraka ini mengenakan jubah hitam
yang lebar, rambutnya terurai sepanjang pinggang dengan
sebuah bunga kertas sebesar mangkuk menghiasi kepalanya,
diatas dada terukirlah sebuah uang kertas yang memancarkan
cahaya keperak-perakan, mukanya pucat dan gerak-geriknya
enteng sekali, nada suara ketus dan adem membawa hawa
setan yang sangat tebal.
Dengan pandangan yang tajam, Thong-thian Kaucu
mengamati Tiam cu dari istana neraka itu beberapa saat
lamanya, kemudian dengan alis mata berkenyit, pikirnya,
“Ooooh…. aku benar-benar sudah bertemu dengan setan
hidup!”
Imam tua itu segera mendongak dan tertawa terbahakbahak.
“Haaah…. haaah…. haaah…. rupanya Tiam cu yang telah
tiba, maafkanlah kalau pinto tidak melakukan penyambutan”
“Tidak berani” jawab Tiam cu istana neraka, “bila
kedatangan kami terlalu gegabah harap engkau juga bersedia
memaafkan”
Thong-thian Kaucu tersenyum, ia segera menuding ke
arah makhluk- makhluk setan yang berada disekitarnya

kemudian bertanya, “Setan-setan penasaran itu apakah
merupakan anak buah Tiam cu semua….?”
Tiam cu istana neraka adalah seorang gadis yang berparas
cantik dan berpotongan badan menawan, usianya baru dua
puluh tahunan, andaikata dia adalah seorang manusia maka
sepantasnya kalau merupakan seorang gadis yang sangat
menawan hati, sayang mukanya pucat, ucapannya kaku dan
dingin serta dari tubuhnya memancarkan hawa setan yang
tebal, membuat siapapun yang memandang merasakan
hatinya bergidik.
Thong-thian Kaucu memandang sekejap ke arah tandu
besar yang indah dan megah itu, kemudian bertanya lagi,
“Tandu tersebut berukirkan naga dan burung hong, bentuknya
megah din indah, entah Tiam cu manakah yang berada dalam
tandu tersebut?”
“Tandu itu berisikan kaucu kami!”
Semua pertanyaan yang diajukan segera dijawab, tapi
jawabanya selalu singkat dan sederhana, seakan-akan
perempuan itu segan untuk banyak berbicara.
Mendengar perkataan itu Thong-thian Kaucu segera
tertawa terbahak-bahak, serunya, “Haahh…. haahh….
hahhh…. sungguh tak kusangka kecuali kaucu dari sekte
agama Thong-thian-kauw masih ada kaucu lainnya lagi, kalian
Tong kaucu kalian berasal dari perkumpulan mana? dan siapa
pula sebutan dari kaucu kalian itu?”
“Maaf, tak dapat diberitahukan!”
Tong Thian Kaacu mengerutkan dahinya.

“Mengapa kaucu kalian tidak turun dari tandu? apakah
harus menunggu sampai aku turun tangan sendiri untuk
membukakan tandu baginya?” ia menegur.
Diatas wajah Tiam cu istana mereka yang dingin dan pucat,
tiba-tiba melintas nafsu membunuh yang tebal, engkau harus
membukakan tandu dan mempersilahkan kaucu kKami untuk
turun dari tandu!”
Thong-thian Kaucu merasa amat gusar sekali, sambil
berpaling bentaknya
“Pek Lian, maju dan bukalah tabir tandu tersebut!”
Seorang imam cilik berbaju merah mengiakan dan maju
kedepan dengan langkah lebar.
Cing lian, Pek lian adalah dua orang murid kesayangan
Thian Ik-cu, ilmu silat yang dimiliki kedua orang ini jauh
melampaui kakak seperguruan lainnya, bukan saja kelicinan
bahkan akalpun banyak sekali dan melebihi siapapun.
Sementara itu, Pek Lian dengan langkah lebar berjalan
melewati kawanan makhluk setan itu dan mendekati tandu
besar, meskipun wajahnya saram sekali tidak menampilkan
perasaan takut, akan tetapi secara diam-diam ia telah
melakukan siap siaga dan sedikit pun tidak berani bertindak
secara gegabah.
Tong Taian Kaucu pun berjaga-jaga bila pihak lawan
melakukan penyergapansecara tiba-tiba, sepasang matanya
yang tajam mengawasi gerak-gerik Pek Lian tanpa berkedip.
Tampak Pek Lian berjalan menuju kedepan tandu besar itu
kemudian menyingkap tabir yang menutupi tandu tersebut,
siapa tahu sorot matanya menemui tandu yang kosong

melompong, tidak ada manusia disitu pun tak ada bayangan
barang sedikit pun jua.
Menyaksikan akan hal itu, Pek lian nampak tertegun, pada
saat itukah seorang setan pria yang memakai kopiah
kebesaran, berbaju orang pangkat dan bermuka warna hijau
memetangkan mulutnya melakukan penyerbuan, segulung
hawa dingin langsung meluncur ke arah tenggorokan Pek lian.
Sementara itu Pek lian sedang putar badan siap berlalu dari
sana, ketika merasakan segulung hawa dingin secara tiba-tiba
menyerang tengkuknya kemudian mengikuti bagian belakang
menyerang tulang punggungnya, ia jadi amat terperanjat
hingga tanpa terasa sekujur badannya gemetar keras.
Thong-thian Kaucu yang menyaksikan kejadian itu merasa
terkejut bercampur gusar, sebenarnya ia hendak menghardik
tetapi ingatan lain segera berkelebat dalam benaknya, ia
merasa pihak lawan sama sekali tidak turun tangan kecuali
meniup belaka, dalam anggapannya tiupan tersebut tidak
mungkin akan melukai muridnya, apalagi kalau per soalan itu
dibongkar malah tidak menguntungkan pihaknya, maka sambil
menahan diri ia pura-pura tidak tahu.
Pek lian segera putar badan dan melotot sekejap ke arah
setan berpakaian pembesar itu dengan penuh kegusaran,
kemudian dengan langkah lebar ia berjalan balik ke arah
mimbar.
Siapa tahu baru saja badannya maju selangkah, tubuhnya
terasa makin dingin dan kian lama kian bertambah kaku,
belum mencapai sepuluh langkah rasa dingin telah merasuk
ketulang sumsumnya membuat giginya saling beradu dan
badan menjadi kaku.

Pek lian tahu bahwa gelagat tidak menguntungkan
pihaknya, buru-buru ia tarik napas dan bermaksud untuk
mengatur perasaan, siapa lahu keadaan sudah terlambat,
sebelum hawa murni sempat disalurkan, sekujur badannya
sudah gemetar keras kemudian roboh terjengkang keatas
tanah.
Thong-thian Kaucu yang menyaksikan kejadian itu merasa
amat terperanjat, segera bentaknya, “Thian seng….”
Sebelum mendapat perintah, Thian Sengcu laksana kilat
telah malompat kedepan dan memayang tubuh Pek lian yang
sedang roboh ketanah, ia rasakan tangan dan tubuh bocah itu
sudah berubah jadi dingin bagaikan es, hawa dingin yang
sangat aneh serasa menyusupi setiap tubuh imam cilik
tersebut, dalam bingung dan tidak habis mengertinya buruburu
ia loncat kembali kesisi tubuh Thian Ik-cu.
Thong-thian Kaucu segera mengamati pula imam cilik itu
sekejap, ia lihat sepasang mata Pek Lian terpejam rapat-rapat,
giginya menga tup kencang sementara bibirnya telah berubah
jadi biru, mukanya pucat ke hijau-hijauan dan keadaan
tersebut tidak jauh berbeda dengan orang yang mati karena
kedinginan.
Maka nadi dan jantung Pek lian diperiksa dengan seksama,
ia temukan bahwa denyutan nadi imam cilik itu sudah tiada
dan jan tungnya telah berhenti berdetak, hal itu menunjukkan
bahwa jiwanya sudah melayang dan tak tertolong lagi.
Peristiwa ini benar-benar suatu kejadian yang sangat
mengerikan, sebuah tiupan mampu membinasakan jiwa
manusia andaikata tidak menyaksikan dengan mata kepala
sendiri, siapapun tak akan percaya atas kejadian tersebut, tapi
sekarang kenyataan sudah ada di depan mata membuat
semua orang mau tak mau terpaksa harus mempercayai.

Thong-thian Kaucu merasa amat gusar sekali hingga
seluruh wajahnya berubah jadi hijau membesi sambil ulapkan
tangannya ia berseru, “Hantar dia kepada tiga orang susiok
untuk diteliti, coba diperiksa dimanakah letak mulut lukanya?”
Mendengar perkataan itu, Thian Seng cu segera
membopong mayat Pek Lian dan balik kedalam barak.
Dengan sorot mata yang tajam bagaikan sambaran kilat
sekali lagi, Thong-thian Kaucu menyapu sekejap kawanan
manusia aneh dan makhluk- makhluk setan itu kemudian
prkirnya, “Diatas langit masib ada langit, diatas manusia masih
ada manusia nampaknya kemunculan kelompok baru ini bukan
suatu kelompok yang biasa….”
Berpikir demikian, ia berusaha keras untuk menekan hawa
amarah yang bergolak dalam dadanya sambil memandang
setan berdandan pembesar itu, tegurnya, “Dan engkau….
Tiam cu apa lagi?”
“Aku adalah Tiam cu ruang penyiksaan” jawab setan
berdandan pembesar itu dengan suara menyeramkan,
bilamana kaucu ingin memberi petunjuk dengan senang hati
akan kulayani keinginanmu itu.
Thong-thian Kaucu mendengus dingin, ia berpaling dan
memandang sekejap ke arah Tiam cu istana neraka, lalu
tegurnya, “Kenapa kaucu kalian belum juga datang kemari?”
“Kaucu kami sudah lama sekali hadir di tempat ini, setiap
orang yang punya mata dapat melihat dengan amat jelas”
Tang Thian Kaucu menjadi terkejut, sorot matanya segera
berputar menyapu sekeliling tempat itu.

Pada waktu itu, bukan saja Thong-thian Kaucu merasa
terperanjat, bahkan semua orang yang ada didalam
gelanggangpun sama-sama merasa terkejut dan curiga, untuk
beberapa saat lamanya sorot mata semua orang berputar kian
kemari untuk mencari jejak pemimpin kelompok setan
tersebut.
Tiba-tiba…. sorot mata Thong-thian Kaucu berhenti pada
tandu kecil yang ditumpangi Siang Tang Lay, satu ingatan
segera berkelebat dalam benaknya membuat ia seperti
menyadari akan sesuatu, tak tahan lagi imam tua itu tertawa
terbahak-bahak.
“Haaah…. haahh…. haaah…. Siang Tang Lay, rupanya
kesemuanya ini adalah hasil permainan setanmu. Haahh….
haah…. haahh…. sudah sepantasnya sedari permulaan tadi
pinto harus dapat berpikir sampai kesitu, badanmu cacad dan
gerak-gerikmu tidak leluasa mana engkau berani andalkan
kekuatan empat orang muridmu untuk berkunjung kedaratan
Tionggoan guna mulakukan pembalasan dendam….”
Tetapi dengan cepat Siang Tang Lay gelengkan kepalanya
berulang kali, sembari tertawa nyaring, jawabnya, “Dugaan
Kaucu keliru besar, dengan kemampuan yang kumiliki rasanya
masih belum mampu menciptakan hasil karya sebesar itu
haaa…. haaah…. haaaah.”
Tertegun hati Thong-thian Kaucu , kembali ia berpikir,
“Kalau ditinjau dari gerak-gerik kedelapan orang makhluk
aneh bertandu itu jelas mereka semua adalah jago-jago lihay
yang berke pandaian amat tinggi, kecuali kakek tua ini siapa
lagi yang bisa mendidik mereka jadi demikian lihay?”
Hoa Hujin serdiripun dibuat kebingungan dan tidak habis
mengerti, dengan ilmu me-nyampaikan suara ia lantas

berbisik, “Siang heng.! sebenarnya manusia-manusia itu
berasal dari mana?”
“Apakah engkau tahu?”
Siang Tang Lay mengerutkan dahinya, dengan ilmu
menyampaikan suara pula dia menjawab, “Sepanjang
perjalananku menuju ketimur kali ini meskipun membawa pula
sedikit anak buah, tetapi aku tidak mengetahui tentang asal
usul dan kelompok manusia-manusia aneh tersebut”
Diam-diam Hoa Hujin merasa terperanjat, setelah
termenung sebentar kembali ia bertanya, “Entah putri
kesayanganmu mengetahui tentang persoalan ini atau
tidak….?”
“Apa?” seru Siang Tang Lay dengan hati terperanjat.
Dalam pada itu, Thong-thian Kaucu yang berada diatas
mimbar tiba-tiba berkata lagi sambil tertawa, “Pinto tak akan
ambil perduli kalian sebagai manusia atau setan, dan tak mau
tahu.siapakah kaucu kalian, pinto hanya ingin mengetahui apa
maksud kalian datang kemari? dan apa pula tujuannya?”
“Kami semua banya mendapat perintah untuk datang
kemari” jawab Tiam cu istana neraka dengan suara dingin,
“dimanakah letak maksud dan tujuannya, lebih baik engkau
tanyakan sendiri kepada kaucu kami”
Thong-thian Kaucu benar-benar dibikin gusar oleh sikap
lawan yang ketus, ia ingin segera turun tangan untuk
membinasakan setan perempuan yang rupanya merupakan
pemimpin rombongan tersebut, tetapi menyaksikan jumlah
mereka yang mencapai ratusan orang dan kekuatannya
nampak mengerikan sekali, segera ia tekan hawa amarah
yang berkobar dalam dadanya.

Sambil menuding barak disisi kiri, serunya, “Kalau memang
kedatangan kalian adalah sedang melaksanakan perintah
maka tunggu sajalah disamping sebelah situ, bilamana kaucu
kalian sudah munculkan diri, undanglah dia untuk berbicara
dengan pinto”
Tiam cu istana neraka tidak banyak bicara lagi, dia segera
ulapkan tangannya dan bergerak menuju kebarak lebih
dahulu, kawanan setan lainnya segera mengikuti dari
belakang.
Dalam sekejap mata kelompok makhluk setan tersebut
sudah masuk kedalam barak semua dan menempati ruang
kosong antara barak yang ditempati kawanan pendekar dari
kalangan lurus pihak perkumpulan Hong-im-hwie….
Siang Tang Lay tidak ambil perduli terhadap gerak-gerik
kawanan makhluk setan lagi diam-diam tanyanya kepada Hoa
Hujin dengan wajah tercengang dan tidak habis mengerti,
“Hujin, barusan engkau mengatakan putri kesayanganku,
jangan-jangan kau artikan aku masih mempunyai seorang
putri?”
“Giok Teng Hujin yang berada diseberang sana apakah
bukan putri kesayangan Siang heng?” tanya Hoa Hujin dengan
dahi berkerut.
“Siapa?” seru Siang Tang Lay lagi sambil menahan rasa
kejutnya.
Hoa Hujin segera menuding ke arah Giok Teng Hujin yang
berada dibarak seberang, sahutnya, “Nona itu mengaku
dirinya bernama Siang Hoa dan ia mengakui sebagai putri
kesayangan Siang heng!”

Aneh….! suatu kejadian yang sangat aneh seru Siang Tang
Lay sambil gelengkan Kepalanya berulang kali, sepanjang
hidup aku tak pernah kawin dan tak pernah pula mendekati
kaum wanita darimana bisa muncul seorang nona yang
mengakui sebagai putriku? benar-benar kejadian yang lucu
dan bikin orang tidak habis mengerti….
Begitu ucapan tersebut diutarakan keluar, semua jago
merasa terperanjat, mula-mula dalam perkiraan para jago
pastilah Siang Tang Lay yang menyuruh putrinya untuk
menyusup kedalam tubuh Thong-thian-kauw sehingga
dikemudian hari gerakannya itu banyak membantu usaha
pembalasan dendamnya.
Siapa tahu kenyataan yang terpapar didepan mata
menunjukkan lain, Siang Tang Lay tidak berputri dan ucapan
Giok Teng Hujin tidak lebih hanya uniuk membohongi Hoa
Thian-hong belaka.
Hoa Hujin makin berpikir semakin curiga, maka ia segera
memaparkan kisah hubungan antara Hoa Thian-hong dengan
Giok Teng Hujin kepada diri Siang Tang Lay.
Sehabis mendengar keputusan tersebut, Pedang sakti yang
menyapu daratan Tionggoan ini segera tertawa dan berkata,
“Oooh….! kiranya begitu, bukan saja aku tidak berputri bahkan
pedang emaspun hanya ada sebatang, tidak seperti apa yang
dikatakan terdiri dari pedang jantan dan pedang betina,
rupanya perempuan tersebut hanya berbohong untuk
menggirangkan hati putramu belaka, perkataannya sama
sekali tak boleh dipercaya”
Hoa Hujinpun segera tertawa.

“Persoalan ini sih tidak penting, katanya, “cuma saja
dengan adanya peristiwa tersebut maka jejak dari pedang
emas itu jadi le bih sulit untuk ditemukan”
Tiba-tiba terdengar Ciu Thian-hau dari gunung Huang-san
berseru sambil menuding kedepan.
“Saudara sekalian coba lihatlah kedepan, rupanya ketiga
orang pentolan bajingan itu saling merundingkan sesuatu.”
Semua orang segera berpaling ke arah ten ah gelanggang,
tampaklah para imam dari Thong-thian-kauw ada yang
berbisik-bisik dengan pihak Sin-kie-pang, sedang anak buah
Sin-kie-pang ada yang berbisik-bisik kepada anggota Thongthian-
kauw, sedangkan pada barak dekat mulut lembah sana,
pihak perkumpulan Sin-kie-pang dengan Hong-im-hwie pun
saling bertukar kurir untuk menyampaikan berita.
Tio Sam-koh segera mendengus dingin, ujarnya dengan
suara berat.
“Saudara-saudara sekalian harap waspada dan perhatikan
baik-baik, jika pertarungan massal terjidi maka kita semua
harus ber-sama-sama menyerang pihak perkumpulan Sin-kiepang
bunuh dahulu Pek Siau-thian dan Bu liang loojin
kemuiian baru bergerak menuju kepi hak Hong-im-hwie….”
“Tidak, tukas Hoa Hujin dengan cepat,” kita harus bergerak
menuju barak Thong-thian-kauw lebih dahulu dan berusaha
untuk melenyapkan Hian Leng-cinjin. Pia Long cia jin, Cin
Leng-cinjin serta imam-imam tua dari angkatan Thian!”
Mendengar ucapan tersebut, Tio Sam-koh jadi tercengang,
serunya, “Yan-san It-koay, Liong ban siangsat, nenek buta
semuanya merupakan pembunuh dari Hoa Goan-siu, mengapa

keempat orang itu tidak berusaha untuk dilenyapkan lebih
dahulu?”
“Tiga bibit bencana dari dunia persilatan semuanya
merugikan bagi umat persilatan di kolong langit, tetapi kalau
berbicara tentang mencelakai rakyat kecil maka hanya pihak
Sin-kie-pang serta Thong-thian-kauw saja yang sering
melakukan perbuatan terkutuk itu, seandainya kedua
perkumpulan ini bisa dibasmi, maka kendatipun kita semua
harus mati dan dendam sakit hati Goan Siu tidak terbalaspun,
kematian kita tak perlu disesalkan….”
“Hujin benar-benar seorang yang bijaksana, aku merasa
sangat kagum….” Puji Siang Tang Lay dengan sikap
menghormat.
Sesudah berhenti sebentar, cahaya berkilat memancar
keluar dari wajahnya, ia melanjutkan, “Begini saja, biarlah aku
yang bertempur pada babak pertama, seandainya arwah Hoa
tayhiap melindungi kita, siapa tahu kalau aku dapat
membinasakan beberapa orang bajingan tua lebih dahulu
sehingga bibit bencana bagi umat persilatan dapat
dilenyapkan”
Berbicara sampai disitu, ia segera memerintahkan anak
muridnya untuk menghantar dirinya menuju keluar barak.
Empat orang pemuda berpakaian ringkas itu segera
mendorong kursi beroda tersebut dan menghantar Siang Tang
Lay menuju ke bawah mimbar, mukanya menghadap kemulut
selat dan empat orang pemuda tadi mundur kebelakang
berdiri berdampingan dibelakang kursi.
Sambil meogempos hawa murninya, Siang Tang Lay segera
berseru lantang, “Pedang emas milikku sebenarnya telah

terjatuh ketangan siapa? harap orang yang merasa membawa
pedangku itu maju kedepan dan menjawab pertanyaanku!”
“Siang looji” seru Jin Hian dengan suara dingin dan ketus,
“engkau cumi bisa mengigau belaka disiang hari bolong,
membuat aku jadi muak dan bosan!”
Siang Tang Lay tidak ambil gubris, ditunggunya beberapa
saat lamanya disitu, tatkala tidak nampak seorang manusiapun
yang mun culkan diri, maka ia berseru, “Kalau ada orang yang
pernah melihat pesan terakhir dari Malaikat pedang Gi Ko,
harap segera tampil kedepan.”
Thong-thian Kaucu yang duduk didalam barak segera
tertawa dan menjawab, “Siapapun tahu kalau kuburan
pemendam pedang dari malaikat pedang Giok berada diatas
puncak Ciat im hong, dan pedang mustikanya sejak ratusan
tabun berselang telah di ambil orang, dalam kuburan kosong
sama masih ada pesan terakhirnya lagi?”
Siang Tang Lay tertawa, sekali lagi ia berseru dengan suara
lantang, “Barang siapa yang pernah membaca pesan akhir
yang tercatat dalam kuburan pemendam pedang harap segera
tampil kedepan, kalau sampai menyia-nyiakan kesempatan
yang sangat baik ini, maka menyesal kemudian tak ada
gunanya….”
0000O0000
51
Tiba-tiba dari luar selat berkumandangdatang suara
bentakan seseorang dengan suara yang amat nyaring, “Siapa
yang membicarakan pesan terakhir dari Gi Ko? serahkan
nyawamu kepadaku….!”

Mendengar seruan itu, Siang Tang Lay nampak tertegun
kemudian sorot matanya di alihkan ke arah mulut selat.
Tampaklah seorang pemuda berbadan kekar sambil
mencekal pedang baja dengan langkah sempoyongan
bergerak masuk kedalam lembah.
“Hoa Thian-hong….!!”
Jeritan kaget berkumandang memecahkan kesunyian,
semua orang didalam barak kiri dan kanan hampir serentak
pada bangkit berdiri.
Ci-wi Siancu jadi girang bercampur kaget, segera teriaknya,
“Pek Siau-thian sialan, siapa bilang kalau siau long sudah
mati!”
Ia larik tangan Chin Wan-hong dan segera maju
menyongsong kedatangannya.
“Keras tapi lincah!” bentak Hoa Thian-hong dengan suara
keras.
Pedang bajanya berputar dan langsung membabat ke arah
batok kepala kedua orang gadis tersebut.
Serangan pedangnya itu cepat bagaikan sambaran kilat,
namun sama sekali tidak disertai desiran angin tajam, dalam
sekali ayunan cahaya hitam tahu-tahu sudah tiba diatas batok
kepala Ci-wi Siancu.
“Aah….! Ci-wi Siancu berteriak kaget dengan hati terkesiap,
dalam gugupnya dengan cepat ia angkat sepasang lengannya
untuk melindungi batok kepalanya.

Mimpipun gadis itu tak pernah menyang kakalau Hoa
Thian-hong bakal mencabut jiwanya, lagipula serangan
pedangnya itu dilancarkan dengan kecepatan bagaikan
sambaran petir, kendatipun seseorang telah mengadakan
persiapan pun susah untuk melepaskan diri dari ancaman
tersebut.
Untung Hoa Hujin sudah merasakan ketidak beresan yang
menimpa putranya hingga dia ikut maju kedepan, pada saat
yang kritis, dengan cepat Ci-wi Siancu ditarik kebelakang
hingga lolos dari ancaman pedang maut tersebut.
Ci-wi Siancu merasa malu bercampur gusar, dengan uringuringan
bentaknya keras-keras, “Siau Long! kau inngin
mampus?”
Tampaklah pakaian yang dikenakan Hoa Thian-hong
compang camping tak karuan, badannya berlumuran darah
dan rambutnya awut-awutan tidak karuan dengan wajah yang
mengenaskan ia berdiri tertegun.
Sepasang matanya liar sekali dan jauh berbeda dengan
keadaan semula, setelah melotot sekejap ke arah Hoa Hujin ia
segera putar badan menuju ke arah Siang Tang Lay.
Ci-wi Siancu yang menyaksikan kejadian itu jadi tertegun,
segera teriaknya, “Hujin, kenapa siau long sama sekali tidak
kenali dirimu juga?”
“Kalian berdua kembalilah lebih dahulu kedalam barak, aku
dapat menyelesaikan persoalan ini!”
Ci-wi Siancu segera mengiakan dan sambil menarik tangan
Chin Wan-hong buru-buru mengundurkan diri dari gelanggang
sedangkan Hoa Hujin sendiri dengan sorot mata yang tajam

mengawasi gerak-gerik Hoa Thian-hong tanpa berkedip, ia
kuatir kalau si anak muda itu melukai Siang Tang Lay.
Dengan langkah sempoyongan bagaikan orang mabuk, Hoa
Thian-hong berjalan menuju kehadapan Siang Tang Lay,
sambil menuding dengan pedang bajanya, ia membentak,
“Engkaukah yang sedang membicarakan soal pesan yang
tertinggal dalam kuburan pemendam pedang?”
Dengan pandangan tajam Siang Tang Lay mengawasi
sekejap wajah si anak muda itu, kemudian sambil gelengkan
kepala dan tersenyum, jawabnya, “Aku tidak mempunyai
keberanian sebesar itu, Thong-thian Kaucu yang mengatakan
akan hal itu”
Sinar mata Hoa Thian-hong segera berkeliaran memandang
empat penjuru, teriaknya dengan gusar, “Thong-thian Kaucu ,
ayoh gelinding keluar untuk menemui aku!”
Thong-thian Kaucu yang menjumpai peristiwa itu, diamdiam
berpikir didalam hatinya, “Kenapa peristiwa aneh terjadi
berulang kali pada hari ini? aai…. suatu alamat yang kurang
baik”
Perlahan-lahan ia turun dari mimbar dan menjawab sambil
tertawa, “Aku berada disini, ada urusan apa engkau mercari
aku?”
Hoa Thian-hong mengamati sekejap imam tua tersebut,
kemudian bentaknya lagi, “Engkau adalah Thong-thian Kaucu
? bagaimana dengan pesan terakhir dalam kuburan
pemendam pedang? bagaimana dengan malaikat pedang, Gi
Ko?”
“Haah…. haahh…. haahh…. aku belum pernah melihat
pesan terakhir dalam kuburan pemendam pedang….”

“Tolol!” bentak Hoa Thian-hong dengan penuh kegusaran.
Pergelangan berputar, lalu pedangnya secara tiba-tiba
melancarkan sebuah sapuan kedepan
Thong-thian Kaucu jadi amat terperanjat, buru-buru ia
loncat mundur sejauh delapan depa kebelakang.
Ciu It-bong yang berada diatas atap barak segera tertawa
tergelak sesudah menyaksikan kejadian itu, serunya,
“Haaah…. Haaah…. Haaah…. Hoa Thian-hong, engkau benarbenar
gagah sekali!”
“Siapa engkau?” seru Hoa Thian-hong sambil menengadah
keatas.
“Haaah…. Haaah…. Haaah aku adalah Ciu It-bong, sahabat
karibmu! Pek Siau-thian bajingan tua itu benar-benar pandai
mengibul dan omong besar, katanya engkau telah dibunuh
olehnya sehingga membuat aku yang mendengar kabar ini jadi
sedih sekali, hampir saja aku menggorok leher sendiri.”
Hoa Thian-hong anggukkan kepalanya tanda mengerti,
tiba-tiba ia berpaling dan membentak keras.
“Pek Siau-thian! enyah keluar dari tempat
persembunyianmu….”
Wajahnya menghadap ke arah barak yang dihuni para
pendekar dari kalangan lurus, hal ini membuktikan bahwa
kesadaran otaknya sudah kacau hingga sama sekali tidak
mengenali kembali siapakah yang bernama Pek Siau-thian itu.
Kok See-piauw yang menyaksikan kejadian tersebut,
dengan alis mata berkenyit segera berkata, “Paman Pek,

boanpwee ingin maju untuk beradu kekuatan dengan bajingan
itu sekalian balaskan dendam kematian adik Kun Gie!”
Terdengar Bu Liang Sinkun mendeogus berat hawa gusar
berkobar dalam dadanya dan nampak jelas tertera didepan
mata.
Pek Siau-thian tertawa seram, jawabnya, “Bocah keparat
itu sudah memperoleh penemuan aneh ilmu silatnya sudah
mencapai tingkat yang tinggi, sehingga akupun belum tentu
bisa menangkan dirinya aku rasa hian tit lebih bukan
tandingannya.”
Selesai berkata perlahan-lahan ia bangkit berdiri.
Bun Siau-ih adalah perempuaa yang licik dan sukar diduga
hatinya kata Bu Liang Sinkun secara tiba-tiba. Aku akan
menjaga disamping arena untuk mencegah sergapan secara
tiba-tiba darinya.
Selama ini Pek Siau-thian tak berani maju lantaran
persoalan ini, ketika mendengar kakek tua itu bersedia untuk
membayangi dirinya dari samping gelanggang, ketua dari
perkumpulan Sin-kie-pang ini segera menjura mengucapkan
terima kasih dan segera ke luar dari barak.
Hoa Thian-hong melototkan sepasang matanya bulat-bulat,
sambil mengawasi dua orang yang sedang mendekati ke
arahnya itu, bentaknya, “Pek Siau-thian!”
“Hmmm! coba bocah cilik, engkau benar-benar sudah gila
atau sedang pura-pura gila? tegur Pek Siau-thian dengan
suara dingin.

Agaknya Hoa Thian-hong tak mengerti dengan perkataan
tersebut, biji matanya berputar liar sedang mulutnya tetap
membungkam dalam seribu bahasa.
Cu It Bong yang ada diatas atap barak segera berteriak,
“Hoa Thian-hong, Pek looji sedang memaki diri mu.
“Pek loo ji yang mana?” tanya Hoa Thian-hong sambil
menengadah keatas atap.
“Pek Siau-thian!”
Hoa Thian-hong jadi amat gusar tubuhnya menerjang maju
kedepan dan pedangnya segera melancarkan sebuah babatan.
Serangan pedang itu dilancarkan dengan gencar dan
dahsyat sekali, dalam kejut dan gusarnya buru-buru Pek Siauthian
loncat mun dur sejauh lima depa kebelakang.
“Bagus!” bentak Hoa Thian-hong, “keras tapi lincah!”
Kembali ia lancarkan satu tusukan dahsyat.
Melihat kelihayan musuhnya, Pek Siau-thian amat
terperanjat, diam-diam pikirnya, “Sungguh tak nyana bocah
keparat ini berlatih rangkaian ilmu pedangnya yang keras dan
kasar menjadi begitu enteng tak bersuara dan kecepatannya
melebihi sambaran petir, untung otaknya sudah agak sinting,
kalau masih segar bugar niscaya aku sudah bukan
tandinganya lagi….!”
Berpikir sampai disitu, tangan kanannya segera berputar
kencang melancarkan serangan balasan, sebentar
menghantam sebentar membabat, sebentar lagi menusuk dan
sebentar lagi menyodok, seluruh kepandaian silat yang
dimilikinya dikerahkan keluar untuk melawan seranganTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
serangan dari pedang baja lawan, sementara tangan kirinya
bagaikan hembusan angin puyuh memainkan jurus ampuh
dari ilmu pukulan Ceng hoan sian hong toan hun ciangnya
untuk meneter lawan.
Pertempuran sengit yang berlansung pada saat ini segera
memikat hati setiap perhatian orang, kelihayan ilmu silat yang
dimiliki kedua orang ini jauh diluar dugaan setiap orang,
membuat Bu Liang Sinkun yang disebut sebagai manusia
paling ampuh di kolong langit dewasa inipun mengerutkan
dahinya, semangat ambisinya tanpa terasa ikut lenyap
beberapa bagian.
Tiba-tiba terdengar Hoa Thian-hong membentak keras.
“Peraturan menurut langit, kerugian pasti tersisa, tenaga
masih kurang, kekerasan bukanlah kekasaran, keras tapi
lincah, lunak bukanlah lemah….”
Setiap kali mengucapkan sepatah kata pedang yang berada
dalam genggamannya segera melancarkan satu serangan
maut yang memaksa Pek Siau-thian mau tak mau harus
terdesak mundur satu langkah lebar kebelakang, ketika
pemuuda itu mengutarakan kata yang terakhir, secara
beruntun enam buah serangan maut tersebut berhasil
memaksa Pek Siau-thian untuk mundur sejauh satu dua
tombak lebih dari tempat semula.
Peristiwa ini benar-benar merupakan suatu kejadian yang
mengejutkan hati setiap orang, ketua perkumpulan Sin-kiepang
yang tersohor akan kelihayannya ternyata didesak
dibawah angin dan bahkan menderita kekalahan secara
mengenaskan sekali.
Hoa Hujin, Bu Liang Sinkun maupun Thong-thian Kaucu
ikut bergerak berbarengan dengan menggesernya tubuh

kedua orang itu. Siang Tang Lay pun memerintahkan anak
muridnya untuk mendorong kursi rodanya mengikuti
bergesernya arena pertarungan yang sedang berlangsung.
Semua jago dalam barak dikedua belah pihak pada bangkit
berdiri dan keluar dari barak masing-masing, Cukat racun Yau
Sut dengan memimpin ketiga orang tongcunya dan seluruh
pelindung hukum dibawah panji kuning ikut terjun kedalam
gelanggang dan membuat posisi setengah lingkaran.
Melihat posisi yang dilakukan pihak lawan, para pendekar
dan golongan lurus segera terjun pula kedalam gelanggang
membentuk posisi pada separuh lingkaran yang lain.
Situasi dalam gelanggang berubah jadi sangat tegang,
setiap saat pertarungan massal bakal terjadi.
Beberapa kali Bu Liang ingin turun tangan untuk
mengerubuti pemuda tersebut, tetapi menyaksikan Hoa Hujin
mengawasi terus gerak-geriknya dengan tajam membuat jago
tua ini tak berari bergerak secara sembarangan.
Cukat racun Yau Sut pun ikut bergerak mengikuti
bergesernya gelanggang pertarungan, tetapi berhubung pihak
Thong-thian Kaucu seria Hong-im-hwie masih tetap bersikap
tenang belaka, ia tak berani bertindak secara gegabah.
Pertarungan sengit berlangsung entah beberapa lamanya,
tiba-tiba terdengar Hoa Thian-hong membentak keras,
“Rendah diri harus mundur, mundur akibat rendah diri
sendiri….!”
Setelah melancarkan sebuah tusukan, tiba-tiba ia lancarkan
pula sebuah tusukan yang lain.

Dengan mengerahkan segenap kemampuan yang
dimilikinya, Pek Siau-thian hanya mampu menahan tujuh buah
serangan pedang yang pertama, terhadap datangnya
ancaman pedang yang terakhir ini, ia merasa tobat dan benarbenar
tak mampu untuk mempertahankan diri lagi, dalam
keadaan terdesak terpaksa ia jatuhkan diri keatas tanah dan
berguling ke arah samping.
Menyaksikan keadaan ketuanya yang begitu mengenaskan,
para anggora perkumpulan Sin-kie-pang jadi amat terperanjat
untuk meng-hindari serangan Hoa Thian-hong lebih jauh,
mereka segera membentak dengan suara yang keras bagaikan
guntur.
Tenaga dalam yang dimiliki orang itu lihay sekali, bentakan
yang dilakukan secara serentak oleh ratusan orang angagota
perkumpulan Sin-kie-pang itu boleh dibilang benar-benar luar
biasa sekali.
Hoa Thian-hong nampak terperanjat dan segera berdiri
tertegun ditempat semula, seranganpun tidak dilancarkan
Kembali.
Perlahan-lahan Pek Siau-thian bangkit berdiri lalu
menghembuskan nafas panjang, tiba-tiba dari sorot matanya
memancar cahaya yang sangat tajam, ia berbisik, “Semua
yang rahasia harus dijaga ketat, pedang baja asli bocorkan
rahasia langit”
“Apa?” bentak Hoa Thian-hong sambil loncat mundur
kebelakang.
“Hmmm! tak ada kedua kalinya lagi, pikirkan sendiri apa
yang kukatakan barusan!” sahut Pek Siau-thian dengan dingin.

Telapaknya segera diputar melancarkan satu serangan,
sedang tubuhnya dengan dahsyat menerjang kedepan.
Ulangi sekali lagi! hardik Hoa Thian-hong.
Agaknya kegusaran pemuda ini sudah mencapai pada
puncaknya, pedang baja berputar, dengan jurus Thian hoo
san atau bintang menyebar dilangit terbuka, ia kirim sebuah
tusukan kilat, cahaya hitam yang menyilaukan mata menyebar
keseluruh udara.
Suatu serangan yang sangat bagus! “teriak Ciu It-bong dari
atap barak.
Hawa gusar yang bergolak dalam dada Pek Siau-thian
betul-betul sudah memuncak, sambil menggertak gigi serunya,
“Ini hari kalau aku tak dapat membinasakan dirimu, aku
bersumpah tak akan hidup sebagai manusia!”
Sepasang telapaknya bekerja bersama, dalam waktu
singkat ia lancarkan belasan jurus serangan berantai,
memaksa Hoa Thian-hong harus berputar secara kacau.
Hoa Hujin dan Bu Liang Sinkun sekalipun segera ikut
bergerak mengikuti perubahan tersebut.
Dalam pertempuran yang sedang berlangsung pada saat
ini, kedua belah pihak sama sama mengandung niat untuk
membunuh pihak lawannya, masing-masing pihak berusaha
sedapat mungkin dan tidak mengindahkan pertaruhan apapun.
Menurut keinginan masing-masing pihak, mereka ingin
turun tangan serentak dan membunuh lawannya dalan waktu
singkat, tetapi sebelum yakin dapat menangkan pertarungan
tersebut, semua pihak tidak ingin bergerak secara gegabah,

karena itulah untuk sementara waktu semua pihak tak berani
bertindak secara ngawur.
Hoa Thian-hong sendiri yang pikirannya tidak beres, dalam
waktu singkat terdesak di bawah angin, belum lama
pertarungan berlangsung beberapa kali ia sudah menemui
ancaman bahaya….
Para pendekar dari kalangan lurus yang menyaksikan
kejadian itu secara bersiap siaga untuk memberi pertolongan
setiap saat, sedangkan anak buah dari perkumpulan Sin-kiepang
pun semakin mendesak kedepan semakin dekat, mereka
siap sedia melakukan penyerangan secara serentak.
Selama terjadinya pertarungan itu, pihak Thong-thian-kauw
dan Hong-im-hwie tetap berpeluk tangan belaka, sementara
makhluk-makhluk aneh yang asal usulnya tidak jelas itupun
tetap betdiam diri belaka.
Tiba-tiba terdengar Hoa Thian-hong membentak keras,
“Ulangi sekali lagi!”
Pek Siau-thian mendengus dingin, tubuhnya berputar
secepat kilat, dalam waktu singkat ia sudah kurung tubuh
pemuda itu dalam lingkaran angin pukulan Ceng hoan sian
hong toan hun ciangnya.
Li-hoa Siancu yang menyaksikan gelagat tidak
menguntungkan, buru-buru berseru dengan suara lantang,
“Semua yang rahasia harus dijaga ketat, pedang baja asli
bocorkan rahasia langit”
“Tidak benar!” teriak Hoa Thian-hong dengan penuh
kegusaran, “ulangi sekali lagi!”

Diam-diam Hoa Hujin merasa amat terperanjat, pikirnya,
“Hong ji sudah berada dalam keadaan setengah gila, entah
bencana atau rejeki yang diterima olehnya….!”
Belum habis ingatan tersebut berkelebat dalam benaknya,
tiba-tiba ia saksikan Pek Siau-thian melancarkan pukulan
secara berantai, membuat ilmu pedang dari Hoa Thian-hong
kacau balau, ia jadi terkejut dan buru-buru menggerakkan
tubuhnya siap menerjang ke depan.
“Bun Siau-ih!” bentak Bu Liang Sinkun dengan cepat.
Badannya memotong tengah jalan, sebuah pukulan dahysat
dilepaskan ke arah depan.
Sejak permulaan Hoa Hujin telah menduga sampai disitu,
diam-diam pikirnya, “Biarpun hidupku sekarang lebih singkat
sepuluh tahun, ini hari aku harus membereskan dahulu jiwa
orang ini!”
Berpikir demikian, ia tidak memperdulikan keselamatan
putranya lagi, tiba-tiba dengan gerakan yang dahsyat
bagaikan geledek tubuh nya berhenti ditengah jalan dan
sepasang kakinya memantek diatas tanah, sebuah pukulan
yang maha dahsyat langsung dilepaskan ke arah depan.
Disinilah kelicikan dan kelihayan dari Pek Siau-thian,
peristiwa Hoa Hujin melukai nenek bermata buta ketika
sedang berlatih ilmu dalam gua kuno bukannya tidak diketahui
olehnya, namun peristiwa tersebut sama sekali tidak
disampaikan kepada Bu Liang Sinkun.
Menanti gembong iblis tersebut secara tiba-tiba
menyaksikan diatas telapak tangan Hoa Hujin tersembur
keluar cahaya hitam yang menyilaukan mata, ia baru

terperanjat, untuk menghindarkan diri pada saat itu sudah tak
sempat lagi.
“Blaaam! sepasang telapak saling membentur satu sama
lainnya menimbulkan benturan dahsyat yang sangat
memekikkan telinga, Hoa Hujin masih tetap berdiri ditempat
semula, hawa hitam yang berada diantara alis matanya
nampak berkelebat lewat dan menunjukkan rasa kesakitan,
tapi sejenak ke mudian telah lenyap tak berbekas.
Sebaliknya Bu Liang Sinkun menjerit ngeri, tubuhnya
mundur kebelakang dengan sempoyongan, darah hitam
memancar keluar dari mulutnya dan dalam waktu singkat
hawa hitam sudah menyelimuti seluruh wajahnya, keadaan
jago tua itu nampak kritis sekali.
Meskipun ilmu pukulan Kiu pit sinciang amat lihay, tapi
kalau dibandingkan dengan pukulan maut dari Hoa Hujin
masih terpaut jauh sekali.
Dalam pada itu, pada saat yang bersamaan Pek Siau-thian
telah berhasil memaksa Hoa Thian-hong untuk membuka
pertahanan tubuhnya, kemudian diiringi gelak tertawa seram,
kepalanya langsung menghantam ke arah dada lawan.
Bentakan keras bergeletar memecahkan kesunyian, Ciu
Thian-hau dari gunung Huang-san serta jago pedang
bernyawa rangkap sembilan Suma Tiang-cing bersama-sama
menerjang kedepan, sedangkan Cukat racun Yau Sut berserta
para jagonya ikut menerjang pula kemuka.
Gerakan tubuh Ciu Thian-hau cepat bagaikan kilat dan tak
ada orang yang melampaui dirinya, sekali enjot ia sudah
rentangkan tangannya melancarkan satu pukulan ke arah Pek
Siau-thian.

Merasakan datangnya ancaman tersebut, Pek Siau-thian
merasa amat terperanjat, segera pikirnya, “Entah siapakah
setan jelek ini?”
Sebuah tendangan dilancarkan mendepak tubuh Hoa
Thian-hong dari hadapannya, jurus serangan dirubah dan ia
sambut datangnya ancaman tersebut dengan keras lawan
keras.
“Blaaamm….!” ditengah benturan keras, tubuh kedua orang
jago itu sama-sama tergetar mundur kebelakang ketika saling
berpandangan diatas wajah masing-masing pihak terlintas rasa
kaget dan tertegun.
Mendadak terdengar Siang Tang Lay berseru dengan suara
nyaring, “Harap saudara semua berhenti bertempur,
dengarkan dahulu perka taanku….!”
Pek Siau-thian ulapkan tangannya dan berseru, “Semua
anggota perkumpulan Sin-kie-pang mundur!”
Mendapat perintah dari ketuanya, Cukat racun Yau Sut
serta para jago lainnya segera mengundurkan diri dari
kalangan.
Semua kejadian itu berlangsung secara berurutan dan
memakan waktu yang amat singkat, tubuh Bu Liang Sinkun
yang terlukapun belum sampai roboh keatas tanah.
Kok See-piauw menjerit kaget, ia segera lari maju kedepan
dan berteriak, Bu Liang Sinkun membuka sedikit kelopak
matanya dan menjawab dengan nada sedih.
“Aku sudah tak kuat lagi….”

Setelah berbenti beberapa saat dengan amat lemah
sambungnya lebih jauh, “Cepatlah pergi dari sini, orang lain
berhati licik dan tidak menguntungkan bagi kita…. pergilah….”
Belum habis kata-katanya, hawa hitam yang menyelimuti
wajahnya semakin tebal, akhirnya tubuh orang itu berkelejit
dan tak berkutik lagi.
“Suhu….!” jerit Kok See-piauw.
Ia segera membopong tubuh Bu Liang Sinkun keatas
pundaknya kemudian setelah melotot sekejap ke arah Hoa
Hujin dengan sinar kebencian, pemuda itu putar badan dan
kabur dari situ
Suasana yang kalut dan kacau perlahan-lahan berubah jadi
tenang kembali, beberapa patah kata yaog diucapkan Bu
Liang Sinkun sebelum ajalnya telah menimbulkan
kewaspadaan dihati masinh-masing pihak.
Terdengar Siang Tang Lay dengan suara dingin berseru,
“Pek Siau-thian, benarkah engkau hendak langsungkan
pertarungan masal dengan pihak kami?”
Pek Siau-thian memutar biji matanya dan melirik sekejap ke
arah Thong-thian Kaucu , kemudian pikirnya, “Menurut
rencana yang telah disepakati, mereka akan menyerbu masuk
kedalam gelanggang bersamaan waktunya, tapi dalam
kenyataan kedua orang tua bangka tersebut masih tetap
berpeluk tangan belaka…. Hmn! apa dianggapnya aku adalah
seorang manusia bodoh?”
Berpikir sampai disini ia segera ulapkan tangannya dan
berlalu dari gelanggang.

Dalam waktu singkat semua jago dari perkumpulan Sin-kiepang
telah mengundurkan diri kedalam baraknya, sorot mata
para pendekar dari golongan luruspun segera dialihkan ke
arah Thian Ik-cu.
Teng Thian Kaucu yang ditatap seperti itu, dalam hati
kecilnya merasa terkesiap, kemudian sambil tertawa terbahakbahak
ia meloncat mundur tiga tombak kebelakang.
Setelah imam tua itu mengundurkan diri, perlahan-lahan
Hoa Hujin tundukkan kepalanya melirik sekejap ke arah
telapak sendiri, ia melihat hawa hitam yang tertanam dalam
telapaknya telah tawar beberapa bagian, tanpa terasa lagi
perempuan itu menghela napas panjang dan berpikir, “Kalau
dilihat keadaan ini rupanya setelah melancarkan dua kali
pukulan lagi maka keadaanku akan menyerupai lampu lentera
yang kenabisan minyak….”
Tiba-tiba terdengar Siang Tang Lay berseru, “Kaucu tolong
tanya pertemuan besar Kian ciau tayhwee yang kau
selenggarakan ini akan dilangsungkan berapa hari?”
“Akan kuselenggarakan selama tujuh hari tujuh malam,”
jawab Thong-thian Kaucu sambil tertawa nyaring.
Siang Tang Lay menengadah memandang cuaca di angkasa
lalu berkata lagi, “Sekarang sudah jam sebelas siang satu hari
satu malam telah lewat!”
Ternyata sang surya tak dapat memancarkan cahayanya
kedalam lembah tersebut, meskipun udara cerah dan siang
hari sudah menjelang tetapi suasana dalam lembah itu masih
tetap samar.
Thong-thian Kaucu tertawa katanya, “Siang sicu, engkau
tanya-tanya waktu ada apa sih?”

Kami semua yang datang kemari adalah tamu, kalau
memang upacara Kian ciau tayhwee akan diselenggarakan
selama tujuh hari lamanya, bagaimanapun kaucu sudah
sepantasnya kalau sediakan makanan dan mi numan buat
kami, masa engkau akan suruh kami semua mati kelaparan
disini?”
“Haah…. haah…. haah…. sayur berantakan, arak sih sudah
kami persiapkan, tapi aku takut para orang gagah sama-sama
menaruh curi ga karena itu tak berani kupersembahkan ke
luar”
Siang Tang Lay tersenyum.
“Kaucu adalah seorang pemimpin suatu perkumpulan
besar, masa engkau begitu rendah de-rajatnya hingga
meracuni sayur dan arak? lagi pemberian itu toh dari pihak
panitia, aku rasa tak pantas kalau engkau tidak menyediakan
sayur dan arak buat tetamunya….”
“Perkataan Siang sicu memang tepat sekali!” habis berkata
sambil tertawa imam tua itu segera mengundurkan diri.
Sepeninggal Thong-thian Kaucu , Siang Tang Lay segera
berpaling ke arah Hoa hujjn dan berkata sambil tertawa,
“Serangan yang hujin lancarkan sungguh dahsyat membuat
aku merasa kagum sekali!
Hoa Hujin tertawa getir.
“Siang heng adalah seorang maha guru, dalam hal ilmu
silat aku rasa persoalan yang berhubungan dengan aku Bun si
tak akan lolos dari ketajaman mata Siang heng bukan?”

Siang Tang Lay tersenyum, diantara kerutan dahinya
terlintas rasa sedih yang tebal, katanya, “Hujin dan para
tayhiap sekalian harap segera mengundurkan diri kedalam
barak, aku disini masih ada sedikit persoalan hendak
diselesaikan lebih dahulu”
Hoa Hujin melirik sekejap ke arah putranya kemudian
berjalan balik lebih dahulu kedalam barak.
Chin Wan-hong yang menyaksikan sikap Hoa Thian-hong
kaku dan termangu-mangu tanpa berkutik barang sedikitpun
jua, diam-diam segera menarik ujung baju Tio Sam-koh sambil
berbisik, “Popo coba lihatlah keadaannya….”
Tio Sam-koh sambil membawa toyanya segera melangkah
maju dengan tindakan lebar, teriaknya, “Seng ji, masih kenal
dengan diriku?”
“Ulangi sekali lagi!” bentak Hoa Thian-hong dengan gusar.
Tiba-tiba pedangnya berputar dan melancarkan sebuah
bacokan searah tubuh nenek tua itu.
Tio Sam-koh segera putar menangkis datangnya babatan
pedang tadi, bentaknya, “Binatang, rupanya engkau memang
sudah sinting!”
Terdengar suara bentrokan Hoa Thian-hong tahu-tahu telah
berhasil memapas kuntung toya baja dari Tio Sam-koh.
Menyaksikan senjatanya kutung, Tio Sam-koh nampak
tertegun lalu makinya dengan marah-marah, “Binatang cilik,
rupanya engkau ingin mampus?”
Nenek tua ini ingin sekali maju kedepan untuk memberi
gaplokan nyaring keatas pipinya, tetapi karena kuatir

tersambar pedang bajanya, untuk beberapa saat lamanya ia
malahan berdiri menjublek.
Siang Tang Lay tersenyum.
“Tio loo thay tak usah gusar, aku punya akal untuk
menyelesaikan persoalan ini”
Kalau memang ada akal, cepatlah sadarkan bocah keparat
ini, aku harus baik-baik memberi pelajaran kepadanya” seru
Tio Sam-koh dengan sepasang alis berkernyit.
“Sam-koh, Hong ji, kembalilah kemari, jangan mengganggu
lagi!” terdengar Hoa Hujin berteriak dan dalam barak.
Dengan gemas Tio Sam-koh melotot sekejap ke arah Hoa
Thian-hong, sedang Chin Wan-hong memungut kutungan toya
dari atas tanah dan bersama-sama kembali kedalam barak.
Sepeninggalnya kedua orang itu, Siang Tang Lay diamdiam
berpikir dalam hatinya, “Nyonya ini tidak malu disebut
sebagai seorang pemimpin yang luar biasa, cukup ditinjau dari
kejadian ini sudah terlihat jelas betapa besar jiwanya!”
Berpikir demikian, ia lantas membisik didalam telinga Hoa
Thian-hong dengan ilmu menyampaikan suara, “Berjaga ketat,
sikap waspada dan rahasia pedang mengusir setan, bocorkan
rahasia langit!”
Mendengar bisikan itu, Hoa Thian-hong merasakan sekujur
badannya gemetar keras, ia segera berpaling dan menatap
tajam wajah Siang Tang Lay.
Melihat sikap pemuda itu, kembali Siang Tang Lay berpikir.

“Rupanya pemusatan pikiran yang keliru mengakibatkan
bocah ini mengalami keadaan jalan api menuju neraka,
kesadaran otaknya sama sekali belum punah”
Berpikir demikian, dengan ilmu menyampaikan suara ia
segera berkata kembali.
“Tadi Pek Siau-thian telah membohongi dirimu, sekarang
aku akan membacakan kembali uraian rahasia pedang yang
asli dari depan hingga kebelakang, dengarkanlah baik-baik!”
Setelah berhenti sebentar, ia segera membaca dengan
suara amat lirih….
“Peraturan menurut langit, kerugian pasti tersisa, tenaga
masih kurang, kekerasan bukanlah kekasaran, keras tapi
lincah, lunak bu kanlah lemah, rendah diri harus mundur,
mundur akibat rendih diri untuk diri sendiri, berjaga ketat,
sikap waspada dan rahasia pedang pengusir setan, bocorkan
rahasia langit!”
Hoa Thian-hong membelalakkan sepasang matanya lebarlebar,
sorot mata kaget dan tercengang terlintas diatas
wajahnya, bibir bergerak seperti hendak mengucapkan
sesuatu na-mun akhirnya niat tersebut dibatalkan.
Dengan ilmu menyampaikan suara, sekali lagi Sang Tang
Lay mengulangi rahasia ilmu pedang tersebut, kemudian
tanyanya, “Sudah kau dengar jelas perkataanku? kau masih
belum ingat, tanyakan kepadaku, kalau sudah hapal sama
sekali, anggukkan lah kepalamu!”
Hoa Thian-hong menggetarkan bibirnya mengulangi
pembacaan rahasia itu dengan suara lirih, kemudian ia
mengangguk.

Tiba-tiba terdengar Ciu It-bong yang berada diatap barak
berteriak.
“Hoa Thian-hong, apa yang sedang kalian lakukan?”
“Jangan berisik!” bentak Hoa Thian-hong dengan gusar.
Siang Tang Lay tertawa, diam-diam bisiknya lagi.
“Bocah baik, tempat ini sudah diliputi badai pembunuhan
yang tiada taranya, kemungkinan besar baik buruk, cantik
jelek akan binasa bersama-sama, tiada seorangpun yang bisa
hidup keluar dari sini, usiamu masih muda dan masa depanmu
masih cemerlang, guna kanlah kesempatan baik ini untuk
berlalu dari sini, tinggalkan tempat ini sebaik-baiknya….!”
Mendengar bisikan itu, Hoa Thian-hong nampak tertegun,
lalu per-lahan-lahan putar badan memandang sekejap ke arah
semua orang yang berada didalam lembah tersebut,
kebingungan dan kemurungan makin tebal menyelimuti
wajahnya.
Siang Tang Lay menghela napas panjang, dengan ilmu
menyampaikan suara ujarnya lagi dengan lembut, “Anak baik,
tempat ini tak ada yang perlu kau kenang kembali, cepatlah
berlalu dari sini!”
Sekali lagi Hoa Thian-hong nampak tertegun dan
memandang kembali semua orang yang ada didalam lembah
itu, mukanya semakin sangsi seakan-akan masih ada sesuatu
hal yang mencurigakan hatinya.
Siang Tang Lay mengerutkan dahinya, tiba-tiba satu
ingatan berkelebat dalam benaknya, sambil berpaling ia
segera berseru, “Hoa In!”

Hoa In segera memburu maju kedepan sambil bertanya,
“Siang ya ada urusan apa?”
Dengan ilmu menyampaikan suara Siang Tang Lay
berpesan, “Siau Koan-jin kalian agak kurang waras otaknya,
tetap berada dalam lembah hanya akan mendapatkan
bencana kematian baginya, bawalah keluar dari lembah ini
dan pergilah jauh-jauh menanti otaknya telah sadar kembali,
kalian baru mengambil keputusan kembali”
Ucapan tersebut sesuai dengan kehendak hati Hoa In tapi
sesudah berpikir sebentar ia jadi sedih kembali, dengan ilmu
menyampaikan suara serunya, “Perkataan yang diucapkan
Siang ya memang tidak salah sayang majikan kami….”
“Aku yang akan bertanggung jawab dihadapan Cu bo mu
itu” tukas Siang Tang Lay dengan cepat, “pertemuan besar
akan segera berlangsung persoalan ini tak boleh ditunda
kembali, cepatlah pergi!”
Hoa In segera berpikir didalam hati kecilnya, “Apabila tiga
kekuatan besar dalam dunia persilatan bersatu padu dengan
kekuatan kami beberapa puluh orang meskipun dapat
membalas dendam rasanya untuk mempertahankan hidup
bukanlah suatu pekerjaan yang gampang, aku Hoa In tidak
takut mati, tapi Siau Koan-jin adalah satu-satunya keturunan
keluarga Hoa, terlalu sayang kalau diapun jatuh jadi korban.”
Berpikir sampai disini, ia segera ambil keputusan dan tanpa
memperdulikan maksud hati Hoa Hujin lagi, ia segera memberi
hormat kepada Siang Tang Lay sambil berkata, “Hamba akan
mendengarkan perintah dari Siau ya, berada dihadapan Cu bo
harap Siau ya suka menasehati dengan beberapa patah
kata….”

“Aku sudah tahu, kalian pergilah!” kata Siang Tang Lay
sambil berseru.
Hoa In tidak ragu-ragu lagi, sambil berpaling ke arah Hoa
Thian-hong, teriaknya keras, “Siau Koan-jin ikutlah hamba!”
Dengan langkah lambat ia berjalan munuju kemulut
lembah.
Hoa Thian-hong nampak tertegun, sorot matanya segera
dialihkan keatas wajah Siang Tang Lay.
Setelah jago pedang sakti yang menyapu daratan
Tionggoan ini memberikan rahasia pedang kepadanya, dalam
anggapan si anak muda itu Siang Tang Lay adalah manusia
yang patut dipercaya.
Melihat sikap pemuda itu Siang Tang Lay segera tertawa
dan berkata dengan ramah.
“Anak baik, ikutilah dia berlalu dari sini, malaikat pedang Gi
Ko sedang menantikan kedatanganmu diluar lembah”
Air muka Hoa Thian-hong agak berubah, sambil membawa
pedang bajanya dengan langkah lebar ia segera menyusul
kedepan.
Cukat racun Yau Sut yang menyaksikan Hoa In dan Hoa
Thian-hong keluar dari lembah itu, timbullah rasa curiga dalam
hati kecilnya ia segera berbisik, “Pangcu perlukah kita
menghadang jalan pergi kedua orang itu?”
“Hmm….” Pek Siau-thian termenung.
Belum sempat ia memberi jawaban terdengar Siang Tang
Lay tiba-tiba berseru, “Pek Siau-thian!”

Ketua dari perkumpulan Sin-kie-pang itu segera bangkit
berdiri serunya dengan nada tak senang.
“Ada urusan apa engkau memanggil diriku?”
“Haah…. haahh…. haahh, diantara kalangan hitam, engkau
Pek Siau-thian adalah manusia yang paling gagah, cepatlah
kemari, li hatlah aku akan membuat hatimu jadi terperanjat”
“Tua bangka itu sengaja mengulur waktu” bisik Cukat racun
Yau Sut dengan suara lirih, “tujuannya tidak lain adalah
hendak melindungi bocah keparat itu keluar lembah, Pangcu
jangan sampai tertipu oleh siasat licinnya”
Pek Siau-thian mengangguk, sebelum ia sempat memberi
keputusan, Hoa Thian-hong telah berjalan keluar dari selat
lembah tersebut.
Jilid 8
MELIHAT untuk dikejar tak sempat lagi, kakak she Pek itu
terpaksa hanya bisa berkata dengan suara hambar.
Keparat cilik ini bukan seorang manusia yang takut mati,
apalagi ibunya masih berada didalam selat ini, aku rasa
setelah pergi ia pasti akan kembali lagi.
“Tetapi otaknya sudah tidak waras, sambung Cukat racun
Yau Sut dengan cepat” aku rasa pasti akan dibawa kabur oleh
Hoa In tua bangka itu dan tak akan kembali lagi.
Mendengar perkataan itu, Pek Siau-thian jadi amat
terperanjat, dengan cepat ia berpaling, tapi Hoa Thian-hong

sudah pergi jauh dan bayangan tubuhnya sudah lenyap tak
berbekas.
Terdengar Siang Tang Lay tertawa terbahak-bahak sambil
berkata, “Haaah…. haah…. haah…. pek Siau-thian, cepatlah
kemari. Dengarkan aku akan bicarakan soal malaikat pedang
Gi Ko.”
Tiba-tiba Thong-thian Kaucu berjalan keluar dari baraknya
dan bertanya sambil tertawa.
“Siang sicu, sebenarnya apa yang telah terjadi? cepatlah
katakan, pinto akan cuci telinga dan mendengarkan dengan
seksama”
“Haaah…. haah…. haah…. Pek Siau-thian, sudah kau lihat
batu peringatan yang ditinggalkan malaikat pedang Gi Ko?”
0000O0000
52
“AKU SIH pernah melihatnya, ada apa sih?” jawab Pek
Siau-thian dengan dingin.
“Pek heng!” Thong-thian Kaucu dengan alis berkenyit
berseru, “engkau dan aku toh sahabat karib bukan?”
“Kalau sahabat karib lantas kenapa?”
“Haahh…. haahh…. haahh…. pinto pernah mendengar
mendiang guruku berkata, malaikat pedang Gi Ko adalah
seorang manusia aneh dari dunia persilatan pada jaman akhir
Tong, ilmu pedangnya sangat lihay, budi pekertinya juga
hebat, sayang pada saat ia meninggal dunia tak seorang ahli

warispun dimiliki, sehingga dengan begitu ilmu pedangnya
lenyap tak berbekas….”
Pek Siau-thian tertawa dingin tukasnya, “Sungguh tidak
sedikit Too heng mengetahui perihal sejarah dunia persilatan,
cuma sayang pertemuan Kian ciau tayhwee yang
diselenggarakan pada saat ini bukanlah untuk membicarakan
tentang sejarah.”
“Aah! belum tentu begitu,” sambung Siang Tang Lay sambil
tertawa.
Sesudah berhenti sebentar, sambungnya lebih jauh,
“Bayangkan saja Lie Bu liang yang begitu angkuh dan sama
sekali tidak pandang sebelah matapun kepada semua orang
gagah di kolong langit, siapa tahu dalam satu ayunan telapak
dari Hoa hujitn, ternyata jiwa nya telah berhasil dicabut, dari
satu bisa diketahui bahwa gerak-gerik secara gegabah adalah
suatu tindakan yang bodoh!”
“Ucapan ini sedikitpun tidak salah,” pikir Pek Siau-thian
didalam hati, “andaikata serangan yang dilancarkan Bun Siauih
tadi di tujukan kepadaku, bukankah aku orang she Pek akan
menemui ajalnya tanpa mengetahui apa yang sebenarnya
telah terjadi? agaknya didalam peristiwa hari ini aku harus
baik-baik menjaga diri….”
Teringat akan keadaannya pada saat itu, timbul rasa sangsi
dan takut dalam hatinya tetapi bagaimanapun juga dia adalah
seorang jago kawakan yang sudah kenyang dengan
pengalaman pahit, kendatipun hati kecilnya merasa ngeri dan
takut akan tetapi wajahnya tetap tenang dan golakan
perasaan hatinya sama sekali tidak diperlihatkan diatas
wajahnya.

Terdengar Thong-thian Kaucu berkata, “Apa yang tertulis
dalam catatan batu peringatan dari malaikat pedang Gi Ko?
Pek heng mengapa tidak kau utarakan keluar agar kami
semua mendapat tambahan pengetahuan?”
Pek Siau-thian mengerutkan dahinya, ia segera berseru,
“Aku tidak habis mengerti, rupanya too-heng lebih suka
dipecah belah oleh Siang Tang Lay.”
Thong-thian Kaucu putar biji matanya melirik sekejap ke
arah kawanan manusia setan yang berkumpul dalam barak
lalu sambil tertawa menjawab, “Pek heng keliru besar, semua
peristiwa yang terjadi dalam pertemuan besar Kian ciau
tayhwee semuanya berada diluar dugaan, tindakan pinto ini
justru hendak membongkar permainan setan dari Siang sicu”
Pek Siau-thian mendengus dingin, tiba-tiba ia mempertinggi
suaranya dan berseru.
“Aku orang she Pek akan membaca semua isi tulisan yang
berada diatas batu peringatan tersebut, siapa suka mendengar
silahkan dengar baik-baik”
Setelah berhenti sebentar, dengan suara lantang ia
berkata,
“Sesudah aku tamat belajar, dengan andalkan pedang baja
berkelana dalam dunia persilatan, berkat keampuhan
perguruan kami semuanya berjalan lancar tidak sampai
sepuluh tahun para pendekarku sudah tersohor di kolong
langit. Orang muda suka mencari kesenangan siapa tahu
karena masalah kecil aku telah salah bertindak, dan salah
membunuh pendekar budiman, hasil yang kupupuk selama
sepuluh tahun hancur dalam sehari, dalam maluku, aku
mengasingkan diri dan tak berani membicarakan soal silat
lagi…. waktu berjalan cepat usiaku mencapai seratus tahun,

aku merasa tak boleh melenyapkan ilmu silat perguruanku,
karena pikiran yang salah maka kepandaian yang kumiliki
telah kucatat dalam Kiam keng kitab pedang ini.”
Membaca sampai disitu, tiba-tiba ia berhenti, sementara itu
ssluruh lembah Cu bu koh telah diliputi kesunyian yang
mencekam, semua perhatian para jago sama-sama ditujukan
keatas badan Pek Siau-thian.
Tiba-tiba terdengar Ciu It-bong yang ada diatas atap barak
berteriak keras.
“Pek loo ji, apa kira-kira selanjutnya?”
Pek Siau-thian menengadah memandang sekejap ke arah
atap barak kemudian melanjutkan pembacaannya,
“Dengan pedang ditangan ternyata tak seorang
manusiapun di kolong langit mampu menahan seranganku,
tak ada benda apapun yang mampu menahan bacokanku,
timbul rasa sedih dalam hatiku, dari pada hidup dengan
pedang lebih baik hidup tanpa pedang tapi perguruanku turun
tumurun mengutamakan pewaris pedang baji ini, berarti
dibalik hal tersebut pasti ada maksud tertentu, maka aku tutup
diri untuk memecahkan persoalan ini, sembilan belas tahun
kemudian aku baru memahami apa artinya ada pedang
menangkan tanpa pedang, pedang berat menangkan pedang
enteng, agar kepandaian ini tidak lenyap dari pere daran maka
kuwariskan ilmu tadi dalam catatan kitab pedang, siapa yang
berjodoh akan menerima manfaatnya”
“Apa kata selanjutnya?” teriak Cu It Bong dengan suara
keras.
“Ahli waris angkatan keempat dari perguruan pedang berat
Gi Ko” sambung Pek Siau-thian hambar.

“Selanjutnya?”
“Apakah engkau tidak merasa bahwa caramu itu terlalu
bernafsu?” ejek Pek Siau-thian sinis.
“Hmmm! engkau toh sudah mempunyai perkumpulan Sinkie-
pang masa aku tak boleh mendapatkan sedikit saja?”
“Aku takut apa yang kau inginkan tak bakal tercapai
sehingga apapun tidak akan kau dapatkan!”
Ciu It Hong segera tertawa seram.
“Heehh…. heehh…. heehhh…. kalau memang begitu aku
akan beradu jiwa dengan dirimu sehingga siapapun jangan
harap bisa memperoleh kegembiraan”
Thong-thian Kaucu segara tertawa tergelak, serunya,
“Haah…. haaaaah…. haah…. ide dari Ciu heng itu memang
tidak jelek, cuma saja harus di coba lebih dulu!”
Pek Siau-thian melirik sekejap ke arah Thian Ik-cu, lalu
sambil tertawa dingin katanya, “Heeeh…. heeh…. heeh…. aku
lihat, di kolong langit dewasa ini orang yang ditakuti too heng
hanya aku seorang!”
Thong-thian Kaucu tertawa terbahak-bahak.
“Aah….! cuma bergurau belaka, kenapa Pek heng musti
menganggap sungguhan?”
Dengan muka serius, ia melanjutkan,
“Peristiwa ini sudah berlangsung beberapa ratus tahun
lamanya, aku rasa kitab Kiam keng tersebut tak mungkin bisa

diketahui oleh Pek heng sendiri, tapi…. apa pula yang
tercantum dalam catatan Kiam keng tadi?”
“Pertaruhan menurut langit, kerugian pasti tersisa, tenaga
masih kurang, kekerasan bukanlah kekasaran, keras tapi
lincah, lunak bukanlah lemah, rendah diri harus mundur,
mundur akibat rendah diri untuk diri sendiri, berjaga yang
ketat, sikap waspada dan rahasia, pedang pengusir setan,
bocorkan rahasia langit.”
Li-hoa Siancu yang mendengar pembacaan itu segera
berteriak sambil tertawa.
“Bagus sekali Pek Siau-thian, rupanya engkau sengaja
sedang membohongi Siau long, tidak aneh kalau ia selalu
meneriakkan untuk ulangi sekali lagi.”
Pek Siau-thian mendengus dingin, sebenarnya ia hendak
membantah, tetapi ketika teringat olehnya bahwa dia adalah
seorang ketua dari suatu perkumpulan besar, cekcok dengan
angkatan muda hanya akan menurunkan derajatnya belaka,
maka perkataan yang sudah mendekat sampai dibibir segera
ditelan kembali.
Dalam pada itu, semua orang yang mengerti akan ilmu
silat, diam-diam sedang mendalami beberapa patah kata yang
mengandung arti mendalam itu, Thong-thian Kaucu sendiri
sudah berpikir sebentar, tiba-tiba bertepuk tangan sambil
berseru, “Benar-benar luar biasa, setiap patah kata semuanya
mengandung arti yang sangat dalam….
Dengan dahi berkerut, ia tertawa dan berkata, “Pek heng,
apa kata-kata selanjutnya?”
“Kata-kata selanjutnya telah dihapus orang hingga sama
sekali tidak bisa terbaca lagi, kecuali kalau kita dapat

menemukan orang yang menemukan batu peninggalan itu
lebih dahulu rasanya siapapun tak akan tahu….”
Thong-thian Kaucu mengangguk tiada hentinya diam-diam
ia berpikir, “Perkataan ini sedikitpun tidak salah kalau aku
yang pertama kali menemukan catatan kitab Kiam Keng
tersebut maka beberapa patah katfa yang pertama pasti akan
kuhapus lebih dahulu sehingga tak bisa dibaca orang.”
Tampak bayangan manusia berkelebat lewat, Ciu It-bong
tahu-tahu sudah melayang turun keatas tanah sambil
memandang Siang Tang Lay, ujarnya sambil tertawa, “Loo
Siang, bagaimana kalau kita mengikat tali persahabatan?”
“Haahh…. haahh…. haaahhh…. bagus sekali!” sahut Siang
Tang Lay sambil tertawa tergelak, “tempo hari diantara lima
orang yang mencelakai diriku meski terdapat pula engkau
seorang, tetapi bagaimanapun juga engkau telah mendapat
pembalasan yang setimpal, kita masing-masing telah cacad,
semua itu berarti senasib sependeritaan, memang sudah
sepantasnya kalau kita hapus semua ganjalan sakit hati dan
mengikat tali hubungan persahabatan”
Benar ujar Ciu It-bong pula sambil tertawa. “Siang Loo te
engkau terangkan dahulu masalah mengenai batu peringatan
tersebut, aku orang she Ciu tetap merasa bahwa persoalan ini
mempunyai hubungan yang erat sekali dengan pedang
emasmu itu”
Perasaan hati Thong-thian Kaucu pun agak tergerak, ia
segera maju kedepan dan berkata, “Perkataan dari Ciu heng
sedikitpun tidak salah, Sian sicu obat yang kau jual dalam
cupu-cupumu itu sudah tersimpan terlalu lama sekarang
sudah sepantasnyalah kalau engkau bongkar rahasianya”

Siang Tang Lay tertawa keras, beberapa saat kemudian ia
baru berkata, “Kaucu, Ciu loo te tahukah kalian bahwa
kuburan pememdam pedang sebenarnya kosong melompong
tiada isinya apa pun kenapa secara tiba-tiba bisa muncul batu
peringatan?”
“Itulah persoalan yang ingin kami ketahui!” jawab Ciu Itbong
dengan cepat.
Thong-thian Kaucu tertawa sambil mengelus jenggotnya,
ia berkata, “Kalau didengar dari nada ucapan siang sicu,
rupanya kemunculan batu peringatan tersebut tidak lebih
hanyalah permainan setan dari Siang sicu sendiri?”
Senyuman yang semula menghiasi bibir Siong Tang Lay
seketika lenyap tak berbekas, dengan wajah serius sahutnya,
“Persoalan itu memang hasil perbuatanku, tetapi maksud serta
tujuanku bukanlah permainan setan seperti apa yang kalian
anggap”
Jin Hian yang selama membungkam terus, tiba-tiba berkata
dengan suara seram, “Hmm! apa lagi maksud dan tujuanmu
itu kalau bukan untuk memecah belah umat persilatan dan
memancing terjadinya pertumpahan darah di antara jago-jago
Bu lim sendiri….”
Bersamaan dengan selesainya perkataan itu, tahu-tahu ia
sudah berada kurang lebih delapan sembilan depa dihadapan
Sing Tang Lay.
Pedang sakti yang menyapu daratan Tionggoan tersenyum,
ujarnya, “Orang kuno pernah berkata, bahwa setiap benda
akan hancur deggan sendirinya, kemudian muncul ulatnya,
kalau seseorang tidak berhati tamak, sekalipun aku berniat
jelek juga sukar diperlihatkan”

“Orang Buddha pantang berhati tamak” kata Thong-thian
Kaucu sambil tertawa, tetapi kalau Thong-thian-kauw kami
sama sekali tidak kenal akan kata pantangan, silahkan Siang
sicu utarakan saja sebenarnya apa yang terjadi dengan batu
peringatan tersebut?”
Siang Tang Lay tersenyum, dengan wajah bersungguhsungguh,
katanya, “Seratus tahun berselang, batu peringatan
dan malaikat pedang Gi Ko telah muncul di wilayah See ih,
disamping itu terdapat pula sebilah pedang baja, sebilah
pedang kecil berwarna emas berserta kotak emas yang berada
dalam genggamanku sekarang, keempat macam benda itu
semuanya merupakan barang peninggalan dan Malaikat
pedang Gi Ko, entah apa sebabnya ternyata semua benda
mustika itu sudah terjatuh ketangan leluhurku….”
Ketika mendengar perkataan itu, sorot mata semua orang
bersama-sama dialihkan ke arah kotak emas yang berada
ditangan Siang Tang Lay tersebut.
Sepasang mata Thong-thian Kaucu benar-benar tajam,
dengan wajah merah bercahaya ia tertawa terbahak-bahak,
katanya, “Haahh…. haahh…. haahh…. Malaikat pedang Gi Ko
adalah suku bangsa Han, semua pedang peninggalannya
didalam kuburan pemendam pedang diatas puncak Ciat in
hong bukit Gan tong san, aku rasa hal ini merupakan suatu
kenyataan yang tak bisa dibantah lagi”
“Perkataan ini sedikitpun tidak salah” sambung Ciu It-bong,
mungkin ada orang dari See ih yang berkunjung kedaratan
Tionggoan dan mencuri pulang benda mustika yang di
sembunyikan leluhur bangsa Han kita dalam kuburan
pemendam pedang, kalau tidak me-ngapa benda diatas bukit
Gan tong san bisa lenyap tak berkekas dan tiba-tiba muncul di
wilayah See Ih….”

“Haahh…. haahh…. haah…. jadi kalau begitu, leluhurku tak
bisa menghindarkan diri lagi dari tuduhan mencuri barang
mustika milik orang lain?” kata Siang Tang Lay.
Thong-thian Kaucu tertawa.
“Sebenarnya menemukan benda orang lain yang terbuang
bukanlah merupakan dosa besar, tetapi orang bangsa Han kita
lebih memandang tinggi leluhur yang telah mati, membongkar
peti mencuri barang merupakan dosa yang amat besar,
sekalipun tidak tercantum dalam undang-undang tapi
siapapun tak berani melanggar pantangan ini, kalau tidak
bukankah barang peninggalan leluhur bangsa Han kita bakal
dicuri s mua oleh orang lain?”
Ciu It-bong mengangguk.
“Perkataan dari kaucu memang sangat masuk diakal, tetapi
orang suku Oh tidak kenal dengan peraturan adat suku
bangsa Han, siapa tidak tahu dia tidak salah, hal ini masih
dapat dimaafkan!”
Thong-thian Kaucu tertawa dan mengangguk, sambil
berpaling ke arah Siang Tang Lay segera ujarnya lagi, “Tiang
sicu, harap teruskan perkataanmu, bagaimana selanjutnya?”
Siang Tang Lay tersenyum, sahutnya, “Leluhurku segera
melakukan penyelidikan yang seksama, setelah bersusah
payah beberapa saat akhirnya beliau berhasil memahami kitab
pedang yang disebut sebagai Kiam keng oleh malaikat pedang
Gi Ko itu sebenarnya tersimpan dalam kotak yang ku bawa ini”
Mendengar perkataan itu, gemparlah suasana dalam
lembah ter-sebut, semua orang dengan sorot matanya yang
tajam bagaikan sambaran kilat sama-sama dialihkan keatas
kotak emas itu tanpa berkedip.

Siang Tang Lay tertawa terbahak-bahak, mendadak ia
berpaling dan serunya kepada anak murid yang ada
dibelakang, “Bawalah kotak mustika ini kedepan agar para
enghiong serta orang gagah bisa ikut menikmatinya”
Seorang pemuda berpakaian ringkas segera mengiakan,
dengan membawa kotak berwarna kuning emas yang berada
dalam pangkuan Siang Tang Lay itu ia berjalan menuju
kehadapan Thong-thian Kaucu .
“Tunggu sebentar….” tiba-tiba terdengar Lan-hoa Siancu
membentak nyaring.
Mendengar bentakan tersebut, pemuda berpakaian ringkas
itu segera berhenti dan berpaling ke arah Siang Tang Lay
menantikan petunjuk.
Siang Tang Lay mengerutkan dahinya menyaksikan hal itu
tegurnya, “Nona ada petunjuk apa?”
Perlahan-lahan Lan Hhoa siancu maju kedepan sambil
tertawa merdu jawabnya, “Siang locianpwee, Gi Ko menyebut
dirinya sebagai malaikat pedang, aku rasa ia pasti tersohor
karena kepandaian ilmu pedangnya bukan?”
Siang Tang Lay termenung sebentar lalu menjawab,
“Tentang soal itu sih belum tentu demikian, menurut
perkiraanku ia dapat disebut sebagai malaikat lantaran
perbuatan selama hi dupnya adalah bijaksana dan ramah, oleh
sebab itulah mendapatkan penghormatan dari orang lain”
“Hihhih hihhih hiiiih,” Lan-hoa Siancu tertawa cekikikan,
“benar, bagi orang yang saleh dan berbudi seperti dia,
sepantasnya kalau benda mustika peninggalannya dihadiahkan
kepada orang yang saleh dan berbudi pula.”

Ciu It-bong melotot dengan sepasang matanya bulat-bulat,
dengan gusar bentaknya, “Kalau engkau tidak ingin mati, lebih
baik kalau bicara sedikit-lah tahu diri.”
Lan-hoa Siancu pun melototkan matanya bulat-bulat, ia
tertawa dingin dan balas membentak, “Siapa yang kesudian
berbicara dengan dirimu? Hmm! sekalipun engkau tidak
berbicara akupun sudah tabu bahwa dirimu adalah seo rang
manusia rendah yang tak tahu malu”
Ciu It-bong semakin gusar, telapak kiri nya segera diayun
siap melancarkan serangan.
Terdengar Siang Tang Lay tertawa terbahak-bahak dan
berseru, “Haahh…. haahhh…. haahhh…. Ciu loo te, kalau
engkau tidak ingin mampus, lebih baik janganlah bertindak
secara gegabah.”
Ciu It-bong turunkan kembali tangannya dan berkata
dengan nada dingin, “Terima kasih atas perhatian dari Siang
heng meskipun nama besar Kim tok sian cian tersohor sekali
di kolong langit tetapi aku orang Ciu tua masih tidak
memikirkannya di dalam hati”
Lan-hoa Siancu mencibirkan bibirnya dan mendengus
dingin wajahnya menunjukkan sikap memandang hina pada
lawannya.
Siang Tang Lay tertawa, kembali ujarnya, “Oooh…. yaa tadi
aku lupa bertanya, nona dalah anak murid Kiu-tok Sianci yang
ke berapa?”

“Kalau dibicarakan sungguh menyesal sekali, aku adalah
Loo toa dan dibawahku masih ada dua belas orang sumoay,
Hoa Thian-hong adalah kekasih dari siau sumoayku!”
Mendengar perkataan itu Siang Tang Lay segera tertawa
terbahak-bahak.
“Haah…. haah…. haah…. rupanya Leng hoa siancu dari
Biau-nia Sam-sian, hampir saja aku bersikap kurang hormat.”
“Tidak berani,” jawab Leng hoa siancu tertawa, “sungguh
tidak sedikit orang persilatan yang diketahui oleh Siang
locianpwee!”
“Aah! mana, mana….” sesudah berhenti sebentar, sambil
tertawa sambungnya lebih jauh, “Terus terang saja kukatan,
sebenarnya kitab Kiam keng ini hendak kuhadiahkan kepada
Hoa kongcu….”
Betul, seharuinya memang demikian tukas Leng hoa siancu
dengan cepat.
Siang Tang Lang menghela napas panjang, ujarnya
kembali, “Sayang sekali kesadaran otak Hoa kongcu belum
pulih, sekalipun aku bermaksud hendak menghadiahkan kitab
Kiam keng ini kepadanya, rasanya diperoleh Hoa kongcupun
tak ada gunanya, bahkan kemungkinan besar karena
membawa benda mustika malahan jiwanya akan ikut
melayang!”
“Engkau telah membohongi dirinya pergi kemana?” tanya
Lan-hoa Siancu dengan dahi berkerut, “dia adalah saudara
dari saudara seperguruan kami kalau engkau berani
mencelakai jiwanya maka jangan salahkan kalau akupun akan
bersikap kasar terhadap dirimu.”

“Aku pernah berhutang budi kepada Hoa tayhiap, karena
beliau telah menyelamatkan selembar jiwaku, tidak mungkin
aku membalas air susu dengan air tuba dan malahan
mencelakai jiwa Hoa kongcu.”
Sesudah berhenti, sebentar sambungnya lebih jauh, “Aku
telah memberitahukan suatu tempat pada mereka dan
sekarang Hoa kongcu telah pergi kesana untuk merawat
penyakitnya.”
“Kemana? engkau jangan membohongi dirinya hingga pergi
ke wilayah See ih”
“Haahh…. haahh…. haahh…. tentu saja tidak,” jawab Siang
Tang Lay sambil tertawa terbahak-bahak.
Setelah berhenti sebentar, sambungnya lebih jauh,
“Ditempat ini banyak terdapat mata dan telinga yang ikut
mendengarkan pembicaraan kita, tempat dimana Hoa kongcu
sedang merawat penyakitnya nanti saja kuberitahukan kepada
nona”
Lan-hoa Siancu segera mengangguk, tiba-tiba ia tuding ke
arah kotak berwarna emas itu sambil bertanya, “Benarkah isi
diri kotak tersebut adalah Kiam Keng kitab ilmu pedang yang
amat berharga itu?”
Sedikitpun tidak salah, Siang Tang Lay tertawa dan
mengangguk jerih payah Malaikat pedang Gi Ko sepanjang
hidupnya telah dicantumkan semua kedalam sejilid kitab yang
sekarang berada di dalam kotak tersebut.
“Menurut pendapatku, daripada engkau serahkan kepada
orang lain yang tidak genab, lebih baik serahkan saja kepada
Hoa Hujin untuk menyimpannya kemudian baru diserahkan
kepada Hoa Thian-hong….”

Siang Tang Lay gelengkan kepalanya, ia menukas sambil
tertawa, “Hoa Hujin telah mengambil keputusan untuk
berjuang sampai titik darah penghabisan, kalau memang ia
telah ambil keputusan untuk tidak keluar dari lembah Cu-bukok
dalam keadaan hidup lagi, bukankah kitab Kiam Keng ini
daripada disimpan olehnya sama saja kalau diserahkan kepada
orang lain….”
Setelah berhenti sebentar sambungnya lebih jauh,
“Cuma…. aku hanya akan serahkan kotak ini kepada para jago
untuk memandangnya belaka sedangkan kotak ini bakal
diserahkan kepada siapa sampai sekarang masih belum dapat
dipastikan”
Lan-hoa Siancu tertawa terkekekeh-kekeh mendengar
perkataan itu.
“Kalau memang boleh dipandang aku harus melihat
dahulu!” ia berseru.
“Haah…. haah…. haahh nona, engkau benar-benar seorang
gadis yang tinggi hati!”
Kepada muridnya yang membawa kotak emas tersebut
serunya, “Hian cin serahkan Kiam keng tersebut kepada nona
itu agar diberikan….”
Pemuda yang bernama Hian cing itu segera mengiakan
dengan membawa kotak emas tadi ia segera maju kedepan
dan mengangsurkan kedepan.
Lan-hoa Siancu segera menerimanya dan diperiksa dengan
seksama, ia lihat kotak tersebut panjangnya delapan cun
dengan lebar empat cun, kotak tadi persis untuk menyimpan
sejilid kitab.

Warna kotak kuning keemas-emasan dan memancarkan
cahaya tajam, diatas kotak terukirlah dua buah huruf kuno
yang berbunyi, “Kiam Keng” atau kitab pedang.
Akan tetapi kotak emas itu seakan-akan sebuah kotak yang
berbentuk persegi tanpa celah atau tempat membuka yang
nyata, selu ruh kotak bersambungan antara yang satu dengan
yang lain, dengan rapat, sehingga membuat orang susah
untuk menentukan mana bagian atas mana bagian bawah,
apalagi bagaimana cara untuk membukanya.
Dengan cermat Lan-hoa Siancu mengamatinya beberapa
saat lamanya, akan tetapi ia gagal untuk menemukan tanda
yang mencurigakan, akhirnya sambil tertawa cekikikan
ujarnya, “Bagus sekali! tidak aneh kalau locianpwee bersikap
begitu sosial, benda berhala yang tak ternilai ini bersedia
diberikan kepada orang lain dengan begitu saja, rupanya
diatas kotak itu masih terpasang pula alat rahasia….”
Siang Tang Lay segera tertawa terbahak-bahak.
“Haahh…. haah…. haah…. hati manusia sukar diduga, aku
toh bukan seorang manusia tolol”
Terdengar Ciu It-bong berteriak keras, “Alat rahasia apa?
bawa kemari, biar aku yang periksa!”
Lan-hoa Siancu mengerling sekejap ke arah jago tua itu
dengan hati mendongkol, ejeknya, “Huuuh….! kalau dilihat
keadaanmu yang begitu gelisah macam monyet kepanasan,
sedikitpun tidak mirip sebagai orang kenamaan dalam dunia
persilatan….!!”

“Kurang ajar, engkau ingin mampus?” bentak Ciu It-bong
dengan gusarnya, telapak kirinya diayun dan siap melancarkan
sebuah serangan ke arah depan.
Lan-hoa Siancu berlagak pilon dan pura-pura tidak melihat
akan datangnya ancaman tersebut, sambil menggoncangkan
kotak berwarna kuning emas itu ujarnya kembali sambil
tertawa, “Hmmm…. nampaknya isi kotak ini benar-benar
adalah sejilid kitab….”
“Barang asli dengan nilai yang tinggi, kenapa aku musti
memalsukan keaslian kotak tersebut?”
Lan-hoa Siancu menutar biji matanya, tiba-tiba dengan
wajah agak berubah serunya manja, “Siang locianpwee,
bagaimana sih caranya membuka kotak ini? aku pingin sekali
kitab tersebut!”
Thong-thian Kaucu yang mendengarkan perkataan itu,
segera merasakan hatinya agak bergerak, pikirnya, “Gadis
suku Biau paling romantis dan hangat, paras mukanya cantik
jelita bagaikan bunga bahkan mempunyai daya rangsang yang
luar biasa andaikata aku bisa mendapatkan gadis ini, ooh!
betapa bahagianya dan nikmatnya hidupku….”
Berpikir sampai disini ia segera tertawa tergelak, serunya,
“Siang sicu anak murid Kiu-tok Sianci selamanya tidak pernah
menggunakan pedang sekalipun kitab Kiam keng tersebut
diperlihatkan kepadanya pinto rasa tidak menjadi soal bukan?”
“Huuuh….! siapa yang suruh membaiki diriku?” seru Lan
hoa Sian cu dengan wajah berubah.
Thong-thian Kaucu mengelus jeoggotnya dan kembali
tertawa tergelak, “Haahh haahh haahhh apakah engkau tidak
ingin melihat sekejap kitab pedang tersebut?” serunya.

“Kitab pedang tersebut adalah suatu benda mustika yang
diimpikan serta diinginkan oleh umat persilatan di kolong
langit” ujar Siang Tang Lay, “oleh karena itu kecuali
majikannya yang terakhir siapapun dilarang untuk melihat
kitab tersebut!”
“Mengapa?” tanya Lan-hoa Siancu tercengang.
“Perduli siapapun asalkan orang itu dapat melihat kitab
Kiam Keng tadi serta membaca sepatah atau dua patah kata
dari isinya maka kendatipun batok kepalanya bakal dipenggal
ia tak akan melepaskan tangannya”
“Apakah engkau sendiri telah membaca kitab tersebut?”
tanya Ciu It-bong dengan dahi berkerut.
Siang Tang Lay gelengkan kepalanya dan tertawa
Kalau aku pernah membaca kitab tersebut tak mungkin
kitab ini kuhadiahkan kepada orang lain.
“Hmmm! kalau memang belum pernah membaca dirimana
engkau bisa tahu kalau kitab pedang itu luar biasa isinya?
siapa tahu kalau isinya cuma biasa saja dan tak ada yang
hebat?”
Siang Tang Lay kembali gelengkan kepalanya berulang kali.
“Tahukah engkau, serangkaian ilmu silat yang kumiliki
berasal dari mana?” ia bertanya.
“Bukankah ilmu silat dari Siang loo te berasal dari pelajaran
gurumu….?”

Siang Tong Lay tersenyum dan menggelengkan kepalanya,
walaupun ia tidak buka suara namun semua orang
mengetahui bahha ilmu silatnya bukan hasil pelajaran diri
gurunya.
Ciu It-bong segera melotolkan sepasang matya bulat-bulat.
Kalau begitu pastilah ibu gurumu yang secara diam-diam
wariskan kepadamu!”
“Haaahh…. haah…. haahh…. hanya ilmu silat dari Ciu Loo le
yang di ajarkan ibu guru secara diam-diam, rangkaian ilmu
silat yang kumiliki tidak lain adalah hasil dari mempelajari
catatan kitab pedang yang terdiri dari beberapa huruf belaka
itu.
Pek Siau-thian yang mendengar pembicaraan tersebut
sampai disitu segera merasakan hatinya bergetar keras,
pikirnya, “Tua bangka ini pasti omong kosong dan ngaco belo
tidak karuan, dari limapuluh delapan kata yang begitu singkat
mana mungkin bisa menciptakan rangkaian ilmu silat yang
begitu ampuh dan luar biasanya”
Berpikir sampai disitu, secara diam-diam dia mengulangi
kembali kelima puluh delapan patah kata dari catatan ilmu
pedang tersebut, ia merasa bahwa kelima puluh delapan
patah kata itu memang mengandung dasar ilmu silat yang
sangat tinggi dan mendalam, setiap patah kata mengandung
perubahan dan pemecahan yang tak terhingga banyaknya,
tetapi kalau dikatakan ilmu silat yang dimiliki Siang Tang Lay
seluruhnya didapatkan dari sana, hal ini kedengarannya agak
berlebihan.
Terdengar Ciu It-bong berkata, “Siang Loo te, hanya
berdasarkan catatan ilmu pedang saja engkau dapat memiliki
ilmu silat selihay itu, kalau engkau mempelajari pula ilmu silat

yang tercantum dalam kitab Pedang, bukankah ilmu silatmu
akan tiada tandingannya di kolong langit? kenapa tidak
sekalian kau pelajari kitab mustika tersebut?”
Siang Tang Lay mengerutkan dahinya lalu menjawab, “Ciu
Loo te sekalipun aku tidak mempelajari kitab pedang, dengan
kepandaian silat yang dimiliki siapakah yang mampu
menandingi dirinya….
Sesudah berhenti sebentan, sambil tertawa lanjutnya,
“Coba lihatlah Hoa Thian-hong, ia hanya mengetahui beberapa
patah kata yang paling depan saja tetapi ilm u pedangnya
sudah mencapai tarap yang sebegitu dahsyatnya sehin ga
setiap jurus serangan yang dilepaskan mengandung daya
penghancur yang maha besar membuat Pek lo pangcu pun
tidak mampu mempertahankan diri!”
Diam-diam Ciu It-bong berpikir dalam hatinya, “Perkataan
dari orang tua ini sedikitpan tidak salah, kalau ditinjau dari
peraturan yang berlangsung tadi, seandainya Pek Siau-thian
tidak segera mengacaukan pikiran Hoa Thian-hong mungkin
sedari tadi ia sudah menemui ajalnya diujung pedang bocah
tersebut….”
Tiba-tiba terdengar Thong-thian Kaucu tertawa dan
berkata, “Siang sicu, ucapanmu membuat pinto jadi
kegirangan sekali, aku rasa perkataan yang tak ada gunanya
lebih baik tak usah dibicarakan lagi, sekarang sudah
sepantasnya kalau kau perlihatkan kitab pedang itu kepada
kami agar kami semua mengetahuii apakah kitab itu palsu
atau tidak, kemudian persoalan lain baru dibereskan
kembali….”
“Hal ini sudah tentu saja” jawab Siang Tang Lay, ia segera
berpaling ke arah Lan-hoa Siancu dan berseru, “Nona engkau
toh sudah melihat kotak itu, sekarang sudah sepantasnya

kalau engkau berikan kotak tadi kepada beberapa orang jago
itu.
“Lan-hoa Siancu tertawa cekikikan.
“Hiih…. hiih…. hiih! aku merasa agak keberatan untuk
melepaskan benda yang demikian indahnya”
“Haaah…. haah…. haah…. setiap benda mempunyai
pemiliknya, sekalipun kau merasa sayang tapi apa boleh buat,
benda itu toh bu kan menjadi milikmu.
“Hmmm! siapa yang kesudian dengan benda ini, sambil
mencibirkan bibirnya Lan-hoa Siancu segera melemparkan
kotak emas itu kehadapan muka Pek Siau-thian, kemudian
dengan hati mendongkol kembali kedalam barak.
Pek Siau-thian yang menyaksikan benda mustika itu
terjatuh kehadapannya, ia segera merasakan jantungnya
berdebar keras, pikirnya, “Jangan-jangan inilah yang
dinamakan takdir, mungkinkah aku memang sudah ditakdirkan
untuk merajai seluruh kolong langit?”
Berpikir sampai disitu, jago tua tersebut tak dapat menahan
golakan perasaan dalam hatinya lagi, ia segera berjongkok
untuk mengambil kotak emas tersebut.
“Pek heng, jangan sentuh benda tersebut! tiba-tiba Thongthian
Kaucu membentak keras.
Sepasang telapak didorong kemuka, segulung angin
pukulan yang dingin dan tajam dengan cepat meluncur
kedepan.
Ciu It-bong dengan tangan kirinya melancarkan pula
sebuah pukulan yang maha dahsyat kedepan.

Jin Hiang yang melihat kedua orang jago itu sudah turun
tangan, ia segera ayun telapaknya melancarkan pula satu
pukulan gencar kedepan.
Tiga gulung angin pukulan yang maha dahsyat serentak
menerjang ke arah Pek Siau-thian, dimana gulungan angin
puyuh menyambar lewat, terdengarlah desingan angin t jam
yang memekikan telinga.
Pek Siau-thian merasa terkejut bercampur gusar, ia segera
menjejakkan kakinya dan meloncat dua tombak ketengah
udara untuk meloloskan diri dari serangan tersebut.
“Blaamm!” tiga gulung angin pukulan saling membentur
satu sama lainnya menimbulkan pusaran angin puyuh yang
maha dahsyat, begitu kencang gulungan angin tersebut
hingga mengibarkan baju Pek Siau-thian.
Sementara kotak emas tadi masih tetap berada ditempat
semula tanpa bergeser sedikit pun jua.
Pek Siau-thian melayang turun kembali keatas tanah
dengan muka pucat bagaikan mayat, ia berseru penuh
kegusaran, “Thian Ik-cu kalau memang bernyali bagaoimana
kalau kita berduel lebih dahulu satu babak?”
“Eeei hidang kerbau tua”, teriak Ciu It-bong dengan cepat
“engkau ditantang oleh Pek loo ji hantam saja tua bangka itu
masa engkau tidak berani?”
Thong-thian Kaucu tertawa terbahak-bahak.
“Haaah…. haah…. haahh Pek heng, hawa amarahmu
benar-benar besar sekali, masa cuma begitu raja engkau
harus marah-marah besar?” serunya.

“Hmm! meskipun tabiat aku orang she Pek baik, aku tak
akan mengalah untuk kedua kalinya terhadap dirimu”
Sambil berkata kembali ia berjongkok untuk mengambil
kotak emas tersebut.
Thong-thian Kaucu , Jin Hian dan Ciu It-bong saling
bertukar pandangan sekejap, tiba-tiba mereka ayunkan
telapaknya dan bersama-sama melancarkan sebuah pukulan
dahsyat kedepan.
Ujung jari tangan Pek Siau-thian hampir saja menyentuh
kotak emas tersebut ketika segera tiba-tiba terdengar
desingan angin tajam meluncur tiba, ia tahu dalam keadaan
demikian bila dirinya lanjutkan niat untuk mengambil kotak
emas tersebut, kendatipun kotak tadi berhasil didapatkan akan
tetapi ia pun bakal terluka dibawah serangan gabungan ketiga
orang itu.
Dalam keadaan apa boleh, buat terpaksa ia enjotkan
badannya dan menerobos keluar melewati celah antara angin
pukulan yang di lancarkan Jin Hian dan Ciu It-bong.
Siang Tang Lay yang menyaksikan kejadian itu segera
tertawa terbahak-bahak.
“Gerakan tubuh yang sangat indah, nama besar ketua
perkumpulan Sin-kie-pang benar-benar bukan nama kosong
belaka….!”
Air muka Pek Siau-thian berubah jadi hijau membesi, ia
maju sambil melancarkan serangan, segulung angin puyuh
yang tajam langsung menghantam keatas tubuh Thong-thian
Kaucu .

“Pek heng, apakah engkau benar-benar ingin berkelahi”
bentak Thong-thian Kaucu .
Tangan kirinya diayun memotong pergelangan musuh,
tangan kanannya dengan jurus Im kay kian jit atau awan
hilang muncullah sang surya melancarkan satu pukulan
kedepan.
Serangan tersebut tersembunyi dibalik ujung jubah kirinya
dan dilancarkan secara tiba-tiba, ancaman itu sangat bahaya
dan luar biasa sekali.
Pek Siau-thian dalam gusarnya, penjagaan tubuhnya agak
mengendor tapi dalam sekejap mata otaknya dapat
didinginkan kembali, menyak sikan datangnya serangan yang
begitu dahsyat ia tak berani menyambut dengan lawan keras,
sepasang kakinya segera menjejak tanah dan berkelit ke arah
samping
Jin Hian yang berdiri dibelakangnya ketika menyaksikan Pek
Siau-thian berdiri membelakangi dirinya dalam jarak lima
enam depa merasa amar girang, pikirnya, “Inilah kesempatan
baik bagiku untuk melukai dirinya apa yang harus kutunggu
lagi?”
Tanpa mengucapkan sepatah katapun, secara diam-diam
dia ayun telapaknya melancarkan pukulan dahsyas.
0000O0000
53
SERANGAN yang dilancarkan ketiga orang itu tanya selisih
waktu amat sedikit sekali. Ciu It-bong ketika menyaksikan ada
kesempatan baik segera memanfaatkan secara baik-baik,

dengan badan menempel diatas tanah ia bergeser kedepan
dan menyambar kotak emas diatas tanah.
Begitu Ciu It-bong bergerak, Pek Siau-thian sekalian segera
menyadari akan hal itu, Jin Hian pertama-tama yang putar
badan sambil melancarkan serangan ke arah Ciu It-bong,
sedangkan Pek Siau-thian dan Thong-thian Kaucu satu dari
kiri yang lain dari kanan bersamaan waktunya menubruk
kedepan.
Ciu It-bong tertawa terbabak-bahak, setelah berhasil
menyambar kotak emas tersebut, tubuhnya segera
menggelinding kesamping menghindarkan diri dari hantaman
ketiga orang itu.
Diantara keempat anggota badannya ada tiga diantaranya
telah cacad, sisa sebuah tangan yang dimilikinya digunakan
untuk memegang kotak emas tersebut, dengan sendirinya ia
tak ada kemampuan untuk melakukan serangan lagi.
Maka telah lolos dari ancaman musuh, ia segera berdiri
tegak ditempat semula tanpa berkutik, Thong-thian Kaucu ,
Pek Siau-thian dan Jin Hian pun secara otomatis
menghentikan serangannya sambil mengurung Ciu It-bong
rapat-rapat.
Haruslah diketahui tiga bibit bencana dari dunia persilatan
ini dapat hidup berdampingan selama banyak tahun tanpa
mengalami bentrokan, apapun hal ini disebabkan kekuatan
dari ketiga belah pihak seimbang dan sama kuat, ilmu silat
yang dimiliki ketiga orang pemimpin merekapun seimbang
pula, andaikata ada satu pihak berhasil melampaui kekuatan
pihak yang lain maka hal ini akan dianggap sebagai ancaman
bahaya bagi kedua belah pihak yang lain, karena itulah rasa
curiga dan was-was diantara sesama pihak sangat tebal dan
kuat sekali.

Kotak tersebut berisikan kitab pedang yang tak ternilai
harganya, seandainya benda berharga itu sampai terjatuh
ketangan Pek Siau-thian dan berhasil dibawa kabur, maka
kejadian ini akan merupakan mara bahaya yang besar sekali
bagi keamanan dua golongan lainnya.
Sebaliknya kalau terjatuh ketangan Ciu It-bong, maka
keadaannya lain sebab masing-masing pihak tidak usah
merisaukan salah satu pihak diantara mereka akan melampaui
kekuatan mereka.
Cui It Bong hanya ada musuh dan tak punya kawan, orang
sendiripun tahu bahwa posisinya dalam lembah Cu-bu-kok
pada saat ini sangat tidak menguntungkan, walaupun pada
saat ini ia berhasil mendapatkan kotak emas tersebut, akan
tetapi untuk membawa kabur kotak emas itu dari kepungan
musuh jelas bukan suatu pekerjaan yang gampang.
Diam-diam ia segera berpikir didalam hatinya, “Perduli
amat bakal mati atau hidup, aku harus bertarung lebih dahulu
dengan mereka kemudian baru diputuskan lagi….”
Berpikir sampai disini, ia segera mendongak dan tertawa
ter-babak-bahak, serunya, “Siang loo ji, seandainya isi kotak
ini bukan kitab pedang, melainkan adalah seekor ular
beracun….”
Belum habis ia berkata tiba-tiba air mukanya berubah
hebat, kelima jarinya mengendor dan hampir saja kotak emas
itu terjatuh dari genggamannya.
Thong-thian Kaucu yang menyaksikan hal itu segera
tertawa, serunya, “Ciu tua apakah tanganmu telah digigit ular
beracun? cepat lemparkan kotak tersebut kemari”

Ciu It-bong memutar sepasang biji matanya kemudian
berteriak keras, “Jin Hian, engkau telah merampas pedang
emasku, sekarang biarlah kotak ini kuserahkan pula
kepadamu!”
Sambil berkata ia segera melemparkan kotak emas tersebut
kedepan.
Jin Hian bukan seorang yang bodoh mendengar seruan
tersebut diam-diam pikirnya dalam hati, “Ciu It-bong
mempunyai hubungan dendam yang amat mendalam dengan
diriku, tak mungkin ia berikan kotak tersebut kepadaku
dengan rela hati, dibalik kejadian ini pasti ada permainan
setannya.”
Berpikir sampai disitu, sebelum ia sempat ambil keputusan,
kotak emas tadi telah meluncur kehadapannya.
Terbayang bahwa benda itu adalah sebuah benda mustika
yang sukar didapatkan kendatipun harus beradu jiwa, buruburu
ia menggulung ujung bajunya dan menangkap kotak
emas itu dengan dilapisi kain baju pada tangannya.
Ketika sorot matanya dialihkan kedepan maka tampaklah
kelima jari tangan Ciu It-bong dalam waktu singkat telah
berubah jadi hitam membekas, wajahnya yang semula
berwarna merah bercahayapun kini dilapisi oleh hawa hitam,
sekilas memandang dapat diketahui orang itu sudah terkena
sejenis racun keji yang sangat lihay.
Pek Siau-thian yang menyaksikan kejadian itu diam-diam
berpikir dalam hatinya, “Sungguh berbahaya! sungguh
berbahaya! tadi, seandainya benda tersebut berhasil
kudapatkan, maka orang yang keracunan pada saat ini bukan
Ciu tua melainkan adalah aku….”

Makin berpikir ia merasa semakin ngeri sehingga tanpa
terasa keringat dingin mengucur keluar membasahi tubuhnya.
Terdengar Thong-thian Kaucu tertawa dan berkata, “Pek
heng, jangan lupa dengan budi pertolongan yang kuberikan
kepadamu lho”
“Hmm! Pek Siau-thian mendengus dingin, aku tak nyana
kalau kaucu adalah orang yang berhati haik, kalau begttu aku
telah salah menuduh orang!”
Sreeet….! terdengar Jin Hian merobek ujung bajunya dan
digunakan untuk membungkus kotak emas tersebut, setelah
itu ia merobek pula ujung baju yang lain untuk melapisi
bungkusan yang pertama tadi, setelah itulah dengan
membawa kotak emas tadi ia berlalu dari gelanggang.
Thong-thian Kaucu dan Pek Siau-thian segera saling
bertukar pandangan sekejap dua orang itu dengan cepat
menggerakkan tubuhnya menghadang jalan pergi Jin Hian.
Melihat jalan pergi dihadang, ketua dari perkumpulan
Hong-im-hwie itu segera melototkan matanya bulat-bulat
sambil tertawa dingin, tegurnya, “Apa maksud kau berdua
menghalangi jalan pergi? apakah kalian hendak menantang
aku untuk bergebrak?”
Thong-thian Kaucu segera tertawa terbahak-bahak,
sahutnya, “Haah haah haah…. Jin Hian jangan lupa, tiga maha
besar dan dunia persilatan telah mengadakan perjanjian kerja
sama”
“Heeh…. heeh…. heeh….! aku ssma sekali tidak melupakan
akan hal itu” jawab Jin Hian sambil tertawa dingin, tetapi aku
masih ingat bahwa perjanjian tersebut hanya menyangkut
tentang pertahanan dan penyerangan, toh tidak ada larangan

yang tidak memperkenankan aku untuk menerima hadiah dari
sahabat, “Orang Persilatan lebih mengutamakan soal setia
kawan, kalau memang diantara kita sudah terikat oleh
perjanjian maka itu berarti ada kesusahan dipikul bersama ada
kebahagiaan dinikmati bersama, andaikata Jin heng begitu
tamak dan lupa pada teman, apakah tindakan itu tak akan
mengecewakan hati sahabat lainnya?”
Sreeet! Sreeet! desiran angin tajam berkelebat lewat, Yansan
It-koay dan Liong-bun Siang-sat tiga jago din
parkumpulan Hong-im-hwie segera menceburkan diri kedalam
arena.
Menyaksikan tindakan musuh, Pek Siau-thian segera
mendengus dingin, serunya, “Orang-orang dari perkumpulan
Hong-im-hwie banyak apakah dari pihak Sin-kie-pang kekurangan
manusia?”
Sambil berkata ia segera ulapkan tangannya….
Cukat racun Yau Sut dengan cepat memimpin belasan
orang pelindung hukum dari panji kuning terjunkan diri pula
kedalam gelanggang dan mengepuug Yan-san It-koay serta
Liong-bun Siang-sat erat-erat, suasana seketika berubah jadi
tegang dan serius, salah bicara sepatah kata saja pasti akan
menimbulkan benturan hebat.
Diam-diam Jin Hian segera berpikir, “Kalau terjadi
bentrokan saat ini, sudah jelas pihak Thong-thian-kauw akan
membantu perkumpulan Sin-kie-pang, dalam keadaan tercekat
perkumpulan Hong-im-hwie kami pasti akan mengalami
kerugian besar.
Berpikir sampai disini, terpaksa ia menahan hawa amarah
yang berkobar dalam dadanya, ia berseru.

“Pek heng, apakah engkau siap bentrok lebih dahulu
dengan perkumpulan Hong-im-hwie kami?”
Siaute sudah terdesak oleh keadaan, mau jadi sahabat atau
musuh terserah pada pilihan Jin heng sendiri.
Pek Siau-thian adalah satu-satunya orang yang pernah
menyaksikan sendiri kehebatan catatan kitab pedang, bagi
dirinya daya tarik kitab pedang tersebut jauh melebihi
siapapun juga, sekalipun harus terjadi bentrokan langsung
dengan pihak lain, ia tak akan membiarkan Kitab Pedang
tersebut terjatuh kepihak lain.
Sementara itu Thong-thian Kaucu telah tertawa keras dan
berkata, “Jin heng, semua orang gagah di kolong langit telah
berkumpul semua dalam lembab Cu-bu-kok ini, mati hidup tiga
kekuatan besar dalam dunia persilatan harus ditentukan
didalam pertemuan besar Kian ciau tayhwee ini, aku harap
engkau berpikir tiga kali sebelum bertindak.
Jin Hian segera alihkan sorot matanya melirik sekejap ke
arah rombongan yang dipimpin oleh Hoa Hujin, kemudian
melirik pula ke arah kelompok makhluk setan tersebut secara
tiba-tiba ia merasakan hatinya bergidik pada saat itu juga ia
merasa betapa lemah dan kecilnya kekuatan dari perkumpulan
Hong-im-hwie, dalam suasana menang kalah sulit diramalkan,
menggunakan kekerasan hanya akan merugikan pihaknya
sendiri.
Sebagai seorang jJago kawakan yang berakal panjang, ia
segera merasakan gelagat yang sangat tidak menguntungkan
pihaknya, dengan wajah serius segera katanya, “Isi kotak
emas ini belum tentu adalah kitab pedang, bagaimanakah
menurut pendapat too heng?”

“Menurut pendapat pinto, tidak mungkin Siang sicu
menghadiahkan benda mustika kepada kita semua, apa
salahnya kalau Jin heng berusaha untuk membuka kotak emas
itu lebih dahulu serta melihat apakah isi kotak itu yang
sebenarnya….”
“Hmm! diatas kotak emas ini terlapis racun yang sangat
keji, dalam keadaan situasi seperti ini, aku tidak ingin
menempuh bahaya yang sama sekali tak ada gunanya!”
Thong-thian Kaucu tersenyum.
“Kalau memang Jin heng tidak ingin menempuh bahaya,
bagaimana kalau pinto saja yang mewakili? kalau isi kotak
emas itu bukan kitab pedang yaa sudahlah tapi kalau isinya
memang kitab pedang maka kita dapat membaginya jadi tiga
bagian, setiap golongan mendapat satu bagian bukankah hal
ini merupakan suatu kejadian yang sangat bagus?”
Diam-diam Jin Hian menilai keadaan disekitarnya, ia
merasa kecuali bertindak demikian, rasanya meming tiada
jalan lain lagi, maka koak emas tersebut segera dilemparkan
kedapan, ujarnya dengan suara dingin, “Kitab pedang
tersebutt berada disini. Nah, benar atau tidaknya silahkan too
beng periksa sendiri”
Ketika kotak tersebut dilemparkan ketanah, tenaga
sambitan yang dipergunakan adalah tenaga Im yang lunak
serta tenaga Yang yang kuat.
Ketika kotak emas tersebut dilemparkan ke arah depan
Thong-thian Kaucu , sewaktu mencapai ditengah jalan
mendadak berubah jadi kilatan cahaya emas dan meluncur
makin dahsyat kedepan.

“Tua bangka ini benar-benar kejam!” maki Thong-thian
Kaucu didalam hatinya.
Teringat akan racun keji yang berada di atas kotak emas
tersebut, hingga mengakibatkan Ciu It-bong yang lihaypun
kena dipecundangi, maka sebagai seorang manusia yang licik
imam tua itu merasa bahwa lebih baik kehilangan muka
danpada menempuh bahaya dengan percuma.
Menyaksikan kotak emas tersebut meluncur datang,
tangannya dengan cepat berputar melancarkan satu pukulan
berhawa lunak ke depan untuk menahan daya luncur kotak
tadi….
Sreeet! kotak emas tersebut dengan membentuk gerakan
satu lingkaran busur segera terjatuh kembali keatas tanah.
Terdengar Siang Tang Lay tertawa terbabak-bahak dan
mengejek, “Haaah…. haah…. haah…. Tootiang, engkau musti
berhati-hati, siapa tahu kalau isi kotak emas itu bukan kitab
pedang malaikat adalah obat peledak yang maha dahsyat dan
maha keji?”
“Ucapan Siang beng sedikitpun tidak salah, berhati-hati
memang merupakan tindakan yang jitu”
Imam tua tersebut segera berpaling dan berseru keras,
“Cing liang, bukalah kotak emas itu dan coba periksa benda
apa yang tersimpan dalam kotak tersebut!”
Dari dalam barak berjalan keluar seorang imam kecil
berbaju merah, setelah memberi hormat kepada Thong-thian
Kaucu , ia menge- nakan seperangkat sarung tangan terbuat
dari kulit menjangan dan segera memungut kotak emas tadi.

Sarung tangan kulit menjangan itu adalah sarung tangan
yang di pergunakan untuk melepaskan pasir beracun, Cing lian
meminjam dari rekan seperguruannya sebelum maju ke
tengah gelanggang, oleh karena itu dapatkah dipergunakan
untuk menahan racun keji yang melekat diatas kotak emas
tersebut, ia tak punya keyakinan.
Baru saja kotak emas itu dipegang ditangan, keringat
dingin terasa mengucur keluar membasahi seluruh tubuhnya,
jantung berdebar keras dan hatinya bergidik.
Ketika kotak emas itu diteliti dengan seksama, ternyata
kotak itu terdiri dari satu wadah yang utuh tanpa sambungan,
persis bagaikan sekeping batang emas, ketika kotak tadi
digoncangkan maka terasa isinya berupa sejilid kitab, cuma
saja walaupun sudah dicari kian kemari letak tombol rahasia
untuk membuka kotak tersebut belum ketemu juga.
Dalam pada itu sorot, mata semua orang yang ada didalam
lembah bersama-sama ditujukan keatas tangan Cing lian,
ketika melihat imam cilik itu membolak balikkan kotak emas
tersebut tanpa berhasil menemukan alat rahasianya hingga
hati jadi gelisah dan keringat mengucur tiada hentinya, para
jago ditepi gelanggangpun ikut merasa gelisah.
Tiba-tiba dari dalam barak berkumandang suara teriakan
seseorang, “Coba gosoklah tulisan Kiam keng tersebut dengan
jari tanganmu….!”
Mendengar teriakan tersebut Cing lian segera menggosok
tulisan Kiam keng tadi dengan jari tangannya, tetapi keadaan
kotak tersebut masih tetap seperti sedia kala, sedikitpun tiada
berubah apapun jua.

Mendadak Thong-thian Kaucu berseru, “Papas saja kotak
emas itu dengan senjata, tapi engkau musti berhati-hati,
jangan sampai merusak isi kotak tersebut….”
Cing lian letakkan kembali kotak emas tadi keatas tanah,
kemudian cabut keluar sebilah pedang pendek yang
memancarkan cahaya tajam.
Pedang pendek tersebut memancarkan sinar yang amat
menyilaukan mata, membuat siapapun yang melihat segera
akan mengetahui bahwa pedang tersebut adalah sebilah
pedang mustika yang tajamnya bukan kepalang.
Cing lian segera menggerakkan pedang pendeknya
membacok kotak emas itu…. Criiing! cahaya tajam berkilauan,
ketika ujung pedang tersebut menggurat diatas permukaan
kotak, ternyata kotak tadi masih tetap utuh dan sedikitpun
tidak meninggalkan bekas.
Menyaksikan hal itu para jago yang berada didalam barak
sama-sama memperdengarkan jeritan kaget.
Jago lihay yang hadir dalam lembah Cu-bu-kok banyak
sekali, semua orang dapat melihat betapa tepatnya babatan
pedang yang dilancarkan oleh Cing liang tersebut, tetapi
kenyataan membuktikan lain, ternyata kotak emas itu masih
tetap utuh seperti sedia kala, dan pedang yang begitu tajam
pun sama sekali tidak mempan, kejadian ini membuat orangorang
tidak habis berpikir.
Merah padam selembar wajah Cing lian karena
kegagalannya itu, dengan cepat ia tenangkan hatinya dan
sekali lagi melancarkan babatan ke arah kotak emas tadi.
Ia merupakan murid kebanggaan dari Thong-thian Kaucu ,
baik ilmu pedang maupun tenaga dalamnya telah mencapai

puncak kesempurnaan, benda sekeras dan sekuat apapun bila
termakan babatan pedangaya ini niscaya akan terpapas dan
kutung.
Siapa tahu ketika cahaya tajam berkelebat lewat, kotak
emas itu masih tetap utuh sepeati sedia kala, sedikitpun tidak
mengalami cedera apapun juga.
Pek Siau-thian merasakan jantungnya berdebar keras,
pikirnya, “Cukup melihat wadah kotak emas itu sudah
menunjukkan suatu benda mustika yang tak ternilai harganya,
benda yang tersimpan dalam kotak emas itu jelas jauh lebih
tak ternilai harganya”
Jalan pikiran Jin Hian maupun Pek Siau Thiin tidak berbeda
satu sama lainnya, dua orang itu sama-sama merasakan
jangtungnya ber debar dan wajahnya berubah jadi merah
padam, disamping itu otak merekapun bekerja keras untuk
mengambil Keputusan tentang tindakan selanjutnya, mereka
semua berpendapat bahwa kotak itu tak boleh sampai terjatuh
ketangan pihak lain.
Tiba-tiba terdengar Thong-thian Kaucu membentak keras.
“Bawa kemari pedang mustika Boan liong poo kiam ku!”
Mendapat perintah tersebut, Cing lian buru-buru kembali
kedalam barak dan sejenak ke-mudian telah muncul kembali
sambil membawa sebilah pedang antik yang berkulit kuda,
pada gagang pedang terukir seekor naga yang sangat indah
dan mempersonakan hati.
Thong-thian Kaucu segera mencekal sarung pedang
dengan tangan kiri, gagang pedang dengan tangan kanan….
Criing! sekilas cahaya hijau memancar keempat penjuru dan

tahu-tahu muncullah sebilah pedang mustika yang amat
tajam.
“Pedang bagus!” puji Siang Tang Lay tanpa terasa.
Begitu pedang tadi dicabut keluar orang yang berdiri
beberapa tombak disekelilingnya seketika merasakan hawa
dingin yang merasuk ketulang sum sum.
Sudah lama orang kangou mendengar bahwa Thong-thian
Kaucu memiliki sebilah pedang mustika Boan liong Poo kiam
yang tajam tetapi semua orang selain anggota perkumpulan
hanya pernah mendengar belum pernah melihat sendiri,
sekarang setelah melihat ketajaman pedang tadi, diam-diam
semua orang merasa kagum dan memuji tiada hentinya.
Thong-thian Kaucu tersenyum bangga, katanya, “Pedang
ini ketajamannya luar biasa dan tiada benda yang mampu
menandingi ketajamannya, tapi kalau memang tusukan
pedang ini pun tak berhasil, yaa…. apa boleh buat lagi!”
Perlahan-lahan ia maju kedepan, ujung pedangnya
ditempelkan diatas kotak emas itu kemudian mengerahkan
tenaganya dan menusuk kebawah.
Siang Tang Lay tertawa katanya, “Kaucu kau harus berhatihati,
andaikata kitab pedang yang berada didalam kotak itu
sampai hancur dan rusak waah kerugian yang harus diderita
cukup besar….”
Thong-thian Kaucu tetap membungkam dalam seribu
bahasa, ujung pedangnya perlaan-lahan ditusuk kebawah
dengan bawa murni disalurkan kedalamnya, siapa tahu kotak
emas itu tetap utuh tanpa cidera, entah terbuat dari bahan
keras apa, tusukan pedang yang demikian tajampun sama
sekali tidak berhasil melubanginya.

Peristiwa ini benar-benar merupakan suatu kejadian yang
luar biaaa, semua orang diam-diam merasa terperanjat, dan
tanpa terasa akibat pengaruh kotak emas tadi, nilai kitab
pedang yang berada didalamnyapun secara tiba-tiba
meningkat sampai sepuluh kali lipat.
Thong-thian Kaucu bukan manusia sembarangan, sekali
mencoba saja ia sudah tahu bahwa dengan ketajaman pedang
boan liong poo kiam-nya, kotak emas itu masih tetap tidak
terbuka, daripada ditawarkan orang hingga dirinya jadi malu
atau pedang kesayangannya makin rusak, imam tua itu segera
masukkan kembali pedangnya kedalam sarungnya.
Setelah itu sambil acungkan jempolnya ia berseru kepada
diri Siang Tang Lay, “Siang heng, benda itu benar-benar luar
biasa sekali, pinto merasa sangat kagum!”
“Benda peninggalan orang kuno memang hebat, engkau
tak usah memuji diriku sebab benda itu bukan aku yang buat”
“Siang Tang Lay!” seru Pek Siau-thian pula sambil
menyeringai seram, “engkau pasti mengetahui bukan
bagaimana caranya membuka kotak emas tersebut?”
“Tentu saja tahu!”
“Dan rahasia itu tak mungkin engkau bongkar dihadapan
kami bukan….?” seru Pek Siau-thian lagi sambil tertawa
dingin.
“Aaah! belum tentu demikian”
Setelah berhenti sebentar sambil tertawa, ujarnya lagi,
“Engkau pernah membaca seluruh isi dari catatan kitab
pedang itu, berarti bahwa engkau termasuk juga anak murid

dari malaikat pedang Gi Ko, bila kitab pedang ini diwariskan
kepadamu rasanya pilihanku ini adalah paling tepat.”
Thong-thian Kaucu yang mendengar perkataan itu segera
tertawa terbahak-bahak, ejeknya, “Haahh…. haahhh….
haahhh…. Pek heng, aku harus mengucapkan selamat
kepadamu, kiong bi, kiong hi….”
Dengan gusar Pek Siau-thian mendengus sambil menengok
ke arah Siang Tang Lay, kembali serunya, “Engkau tak usah
bermain licik, bagaimana caranya membuka kotak emas ini
harap segera diutarakan keluar!”
Ia ingin tahu bagaimana caranya membuka kotak itu tapi
tidak ingin Siang Tang Lay mengatakannya sekarang karena
disitu ada dua orang musuhnya, pikiran ini membuat hatinya
jadi serba salah.
Terdengar Siang Tang Lay berkata, “Engkau pernah
membaca kitab Kiam keng bu kui, asal isi dari catatan tersebut
kau selami dan yakini dengan seksama, aku tanggung tidak
sampai tiga tahun engkau sudah mampu jadi seorang tokoh
maha sakti di kolong langit”
Mendengar ucapan tersebut, Thong-thian Kaucu dan Jin
Hian saling bertukar pandangan, pikir mereka hampir
berbareng.
“Kalau ini hari Pek Siau-thian berhasil kabur dari sini dalam
keadaan selamat, itu berarti tiga tahun kemudian kami semua
sudah bukan tandingannya lagi, pada waktu itu bukankah
perkumpulan Sin-kie-pang dapat menguasai seluruh kolong
langit tanpa seorangpun mampu menandingi
kehebatannya….?”

Sementara itu Siang Tang Lay telah melanjutkan kembali,
katanya, “Berbicara tentang cara untuk membuka kotak emas
tersebut sebenarnya amat sederhana sekali, cukup kalian….”
Tiba-tiba sesosok bayangan berkelebat lewat, Ciu It-bong
sambil menempel tanah menggelinding kemuka dan
menyambar kotak emas tersebut kemudian setelah berhasil
mendapatkan benda itu ia menggelinding kembali menjauhi
tempat itu.
Baik Thong-thian Kaucu maupun Pek Siau-thian sekalian
cuma bisa berdiri tertegun menyaksikan tindakan nekad itu
untuk mencegah jelas sudah tak mungkin lagi terpaksa
mereka tidak ambil tindakan apa-apa.
Ketika pertama kali berhasil merampas kotak emas itu, Ciu
It-bong sama sekali tak menyangka kalau diatas kotak sudah
dipolesi racun yang sangat keji sesudah keracunan hebat
buru-buru dia salurkan hawa murninya dan memaksa racun
keji yang bersarang dalam tubuhnya itu berkumpul didalam
sepasang kakinya yang cacad dengan begitu untuk sementara
waktu jiwanya berhasil diselamatkan.
Setelah kotak emas itu terjatuh ketanah dan Thong-thian
Kaucu serta Pek Siau-thian sekalian saling berusaha untuk
mendapatkan kotak tersebut tanpa seorangpun berhasil
memperolehnya diam-diam kakek she Ciu ini menyusun
rencana untuk merebut kembali.
Saat yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba juga, ketika
perhatian semua orang sedang ditujukan ke arah Siang Tang
la, dengan satu gerakan tubuh yang sangat cepat dan diluar
dugaan ia menggelinding kesamping kotak emas itu dan
merebutnya kembali tapi kali ini tak berani menyentuh kotak
emas itu dengan jari tangannya lagi.

Dalam keadaan yang serba tergesa-gesa, ujung bajunya
segera dikibaskan keatas tanah untuk menggulung kotak emas
itu kemudian benda tadi barulah dipegang dengan alas kain.
Begitulah setelah menyaksikan kotak emas tadi terjatuh
kembali ketangan Ciu It-bong, sambil tertawa Siang Tang Lay
segera berkata, “Eeei…. manusia yang bernama Ciu It-bong
apakah engkau ingin tau bagaimana caranya membuka kotak
emas tersebut?”
Ciu It-bong menyeringai dan tertawa seram.
“Heehh…. heehh…. heehh…. bagiku tahu juga boleh tidak
tahupun tidak menjadi soal!”
“Jumlah yang banyak akan menangkan jumlah yang sedikit,
seorang lelaki sejati tak akan sudi melayani kerubutan orang
banyak, aku lihat dalam perebutan kitab Kiam keng kali ini,
lebih baik engkau mengundurkan diri saja! ejek Siang Tang
Lay sambil tertawa.
Ciu It-bong tertawa terbahak-bahak, suaranya
menyeramkan sekali, pikirnya dihati, “Racun keji yang berada
diatas kotak emas ini sudah pasti merupakan hasil perbuatan
dari gadis-gadis suku Biau itu, tapi…. mereka toh merupakan
orang-orang muda dari angkatan yang lebih rendah, aku malu
kalau musti minta obat penawar dari mereka….!”
Otaknya berputar sebentar, kemudian dengan dingin,
serunya, “Meskipun kotak emas ini tidak mempan dibacok
dengan pisau atau kampak, aku rasa ii tak akan mampu
menahan hawa panas, tenaga dalamku sudah kusalurkan
kedalam kotak emas ini, jika kalian berani berkutik secara
gegabah maka perduli amat isi kotak ini adalah kiam keng
yang asli atau tidak, aku tanggung isinya tentu akan hancur
jadi abu dan sepatah katapun tak akan tersisa!”

Terperanjat hati Pek Siau-thian, setelah mendengar
ancaman tersebut, ketiga orang itu segera bersiap sedia
melancarkan tubrukan.
Ciu It-bong melototkan sepasang matanya bulat-bulat,
hardiknya, “Barang siapa berani sembarangan bergerak, aku
akan segera musnahkan kitab Kiam keng ini lebih dahulu, agar
impian indah ka lian segera hancur dan musnah tanpa bekas!”
Thong-thian Kaucu tertawa terbahak-bahak.
“Haah…. haahh…. haah…. Pek heng, Jin heng” katanya,
“tua bangka ini mampu melakukan apa yang telah dia
katakan, ia tidak akan memperdulikan apa dosanya
menghancurkan khien, memegang burung bangau…. lebih
baik kita mengalah satu tindak kepadanya!”
Mendengar perkataan itu, terpaksa Pek Siau-thian dan Jin
Hian membuyarkan himpunan hawa murni mereka dalam
telapak, dengan pandangan dingin mereka menatap wajah Ciu
It-bong dan ingin melihat permainan setan apa lagi yang
hendak ia lakukan.
Ciu It-bong tertawa seram.
“Heehh…. heehh…. heehhh Siang too ji serahkan obat
pemunah kepadaku!” teriaknya
Mendengar permintaan itu Siang Tang Lay tersenyum.
“Kenapa engkau minta obat pemunah kepadaku? toh kotak
emas milikku itu sama sekali tidak mengandung racun!”
“Hmmm!…. aku tidak mau ambil peduli akan soal itu
barang tersebut pokoknya milik mu maka aku hanya minta

pertanggungan jawab dari dirimu saja” seru Ciu It-bong sambil
tertawa dingin tiada hentinya.
“Engkau memang pandai sekali mencari gara gara….
Setelah berhenti sebentar, sambil tertawa Siang Tang Lay
melanjutkan kembali kata-katanya, “Aku pernah dengar orang
berkata, menghadapi orang yang tamak akan harta sekali pun
uang sudah berada ditangan akhirnya toh harus berkurang
kembali….
Lan-hoa Siancu yang duduk dalam barak segera tertawa
merdu, selanya dengan suara lantang, “Siang loocianpwee
rupanya engkau sedang menyindir kami? hati-hati dengan
perkataanmu!”

ALWAYS Link cerita silat : Cerita silat Terbaru Cerita Silat Panas ABG : Tiga Maha Besar 1, cersil terbaru Cerita Silat Panas ABG : Tiga Maha Besar 1, Cerita Dewasa Cerita Silat Panas ABG : Tiga Maha Besar 1, cerita mandarin Cerita Silat Panas ABG : Tiga Maha Besar 1,Cerita Dewasa terbaru Cerita Silat Panas ABG : Tiga Maha Besar 1,Cerita Dewasa Terbaru, Cerita Dewasa Pemerkosaan Terbaru Cerita Silat Panas ABG : Tiga Maha Besar 1
Anda sedang membaca artikel tentang Cerita Silat Panas ABG : Tiga Maha Besar 1 [lanjutan bara maharani] dan anda bisa menemukan artikel Cerita Silat Panas ABG : Tiga Maha Besar 1 [lanjutan bara maharani] ini dengan url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/12/cerita-silat-panas-abg-tiga-maha-besar.html,anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel Cerita Silat Panas ABG : Tiga Maha Besar 1 [lanjutan bara maharani] ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,namun jangan lupa untuk meletakkan link Cerita Silat Panas ABG : Tiga Maha Besar 1 [lanjutan bara maharani] sumbernya.

Unknown ~ Cerita Silat Abg Dewasa

Cersil Or Post Cerita Silat Panas ABG : Tiga Maha Besar 1 [lanjutan bara maharani] with url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/12/cerita-silat-panas-abg-tiga-maha-besar.html. Thanks For All.
Cerita Silat Terbaik...

{ 1 komentar... read them below or add one }

Anonim mengatakan...

lanjutannya mana boss ?

Posting Komentar