kanannya setengah mengepal seperti bacokan seperti juga
pukulan langsung diayun ke depan.
Dengusan tertahan bergema, dengan tubuh sempoyongan
Bong Thian-gak mundur lima langkah, mukanya pucat,
tubuhnya langsung jatuh terduduk di atas tanah.
Sebaliknya Sam-kaucu masih tetap berdiri tegak, sepasang
telapak tangannya yang membuat gerakan salib masih belum
sempat ditarik, sementara sepasang matanya melotot bulat
seperti mata kerbau.
Ho Put-ciang dan Thia Leng-juan yang menyaksikan
kejadian ini bersama-sama membentak keras, lalu serentak
menubruk ke muka, bekerja sama menyerang Sam-kaucu.
160
Siapa tahu baru saja tubuh mereka menerjang ke depan
dan belum lagi melancarkan serangan, tubuh Sam-kaucu yang
masih berdiri tegak tak berkutik itu tahu-tahu roboh terjungkal
ke tanah dalam posisi kaku.
Sekarang Ho Put-ciang dan Thia Leng-juan baru sempat
melihat noda darah yang membasahi wajah, kulit dan lengan
Sam-kaucu, darah kental seakan memancar keluar dari beriburibu
pori kulit badannya.
Kenyataan ini kontan membuat kedua orang itu tertegun,
siapa pun tidak menyangka Sam-kaucu menemui ajal di
tangan Bong Thian-gak dalam bentrokan yang terakhir tadi.
Kepandaian silat apakah yang telah dipergunakan Bong
Thian-gak dalam melancarkan serangannya itu? Mengapa dia
bisa menghajar tubuh Sam-kaucu hingga darah segar
memancar dari pori-pori badannya?
Walaupun pertempuran sengit telah berhenti, tapi
keseraman pertarungan itu menggidikkan hati, kenekatan dan
keberanian Sam-kaucu bertarung sampai titik darah
penghabisan membuat hati mereka menciut.
Akhirnya suara helaan napas panjang berkumandang
memecah keheningan, pelan-pelan Ho Put-ciang berjalan ke
hadapan Bong Thian-gak, kemudian sambil menjura dalamdalam
ia berkata, "Hari ini seandainya tiada bantuan Kosiauhiap
yang berilmu tinggi, mungkin tak akan mudah bagi
kami untuk membereskan nyawa Sam-kaucu, aku orang she
Ho benar-benar sangat berterima kasih atas bantuan ini.
Entah bagaimana dengan keadaan luka Ko-siauhiap?"
Walaupun paras muka Bong Thian-gak pada saat ini pucatpias
seperti mayat, tapi dengan cepat dia melompat bangun,
kemudian balas memberi hormat.
"Ho-bengcu, harap kau jangan berkata begitu," serunya.
"Ai ... sungguh tak pernah kusangka Sam-kaucu Put-gwa-cinkau
ternyata begini perkasa, seandainya hari ini tiada bantuan
161
Ho-bengcu dan Thia-tayhiap, tak mungkin bagiku bisa
menandingi keampuhannya."
Ucapan itu segera membuat paras muka semua orang
berubah serius, kemurungan dan kesedihan pun menyelimuti
wajah mereka.
Keperkasaan Sam-kaucu telah mereka saksikan dengan
mata kepala sendiri, kalau Sam-kaucu saja begini tangguh,
dapat dibayangkan bagaimana tangguhnya Kaucu-kaucu lain,
hal ini merupakan ancaman serius bagi keamanan serta
keselamatan dunia persilatan.
Thia Leng-juan tertawa getir, kemudian katanya, "Akhirnya
rencana kita pada hari ini berhasil dilaksanakan dengan
sukses, apakah Ho-bengcu menghendaki kepunahan jenazah
Sam-kaucu?"
"Ya, tolong Thia-heng suka mengerjakannya."
Dari dalam saku Thia Leng-juan mengeluarkan sebuah
botol kecil porselen putih, lalu membuka tutupnya dan
menaburkan sedikit bubuk hijau di atas mayat itu.
Baik Ho Put-ciang maupun Bong Thian-gak keduanya tahu
di Bu-lim terdapat semacam obat yang dinamakan Siau-kuthua-
si-san (Bubuk pelenyap tulang pelumat jenazah), maka
mereka tak memberikan reaksi apa-apa.
Setelah Thia Leng-juan menaburkan bubuk obat itu ke atas
jenazah itu, tak lama kemudian jenazah Sam-kaucu yang kaku
mulai melumat dan menyusut.
Mayat telah melumat menjadi segumpal darah, yang tersisa
hnggal kuku, rambut dan pakaian.
Kedahsyatan daya kerja obat itu benar-benar mengerikan.
Setelah melumerkan jenazah Sam-kaucu, Thia Leng-juan
segera membakar pakaian dan benda lainnya hingga tak
berbekas.
162
Thia Leng-juan menghela napas panjang, katanya,
"Sekarang Samkaucu sudah dimusnahkan, tapi kita belum
berhasil mengumpulkan sedikit pun bahan tentang Put-gwacin-
kau, apakah kita akan tetap melanjutkan rencana
menyelundupkan Ku-lo Locianpwe menggantikan kedudukan
Sam-kaucu?"
"Soal ini perlu kita pertimbangkan lagi masak-masak,"
jawab Ho Put-ciang dengan suara dalam, "Kini Ku-lo
Locianpwe sudah berada dalam gedung Bu-lim Bengcu, apa
salahnya kita berunding di sana?"
"Aku tidak setuju bila harus mengirim Ku-lo Locianpwe
memasuki Put-gwa-cin-kau, sebab tindakan semacam ini
terlampau berbahaya," tiba-tiba Bong Thian-gak berseru
dengan suara lantang.
"Mengapa Ko-heng tidak setuju?"
"Seandainya Ku-lo Locianpwe harus menyaru sebagai Samkaucu
dan menyelundup ke dalam Put-gwa-cin-kau, maka
cepat atau lambat jejaknya tentu akan ketahuan, bisa jadi
jiwanya akan terancam malah, cuma kita boleh saja
membiarkan Sinceng berada dalam gedung untuk sementara
waktu, agar ia berhubungan terus dengan mata-mata musuh
yang menyelundup dalam gedung Bengcu, dengan demikian
kita bisa melanjutkan usaha menyingkirkan semua mata-mata
yang berada dalam gedung itu."
"Asal semua mata-mata dalam gedung Bu-lim Bengcu
berhasil dimusnahkan, kita pun boleh secara terang-terangan
menantang Put-gwa-cin-kau untuk menyelesaikan persoalan
secara kekerasan."
Ho Put-ciang manggut-manggut, "Pendapat Ko-siauhiap
memang bagus, kita memang harus bertindak lebih dulu,
cuma Ku-lo Locianpwe mengatakan, kita hanya sedikit tahu
hal yang ada sangkut-pautnya dengan Put-gwa-cin-kau,
seandainya Put-gwa-cin-kau segera menarik kekuatannya,
163
maka umat persilatan di daratan Tionggoan pun akan
kehilangan titik terang."
Bong Thian-gak tersenyum, "Rencana Put-gwa-cin-kau
menguasai dunia persilatan dan menteror umat persilatan
akan dipersiapkan dalam satu dua hari, tak mungkin mereka
menarik seluruh pasukannya hanya karena kematian Samkaucu
mereka yang diselundupkan ke dalam gedung Bengcu
sebagai mata-mata, menurut perhitunganku, justru karena
peristiwa ini Put-gwa-cin-kau akan mempercepat rencana
melakukan serangan secara terang-terangan."
"Apa yang diucapkan Ko-heng memang masuk akal," kata
Thia Leng-juan, "tapi menurut pendapatku, persoalan paling
penting yang harus kita lakukan sekarang adalah
membersihkan dulu gedung Bengcu dari unsur-unsur lawan
serta mata-mata yang sengaja diselundupkan ke pihak kita,
mari kita bergerak dulu ke persoalan itu."
Mendadak Ho Put-ciang seperti teringat akan sesuatu, dia
berseru tertahan, "Sebelum tewas Sam-kaucu telah berkata
bahwa anggota Put-gwa-cin-kau selalu menguntit di
belakangnya untuk memperoleh berita, entah ucapannya itu
benar atau tidak?"
"Tadi aku bersembunyi di atas pagoda, dari ketinggian aku
bisa memperhatikan semua gerakan di seputar tempat ini
dengan jelas, tadi aku tidak menjumpai adanya bayangan
orang di sekeliling tempat ini."
"Aku rasa apa yang dikatakan Sam-kaucu tadi tak lebih
hanya bermaksud mengulur waktu saja sambil mencari akal
untuk meloloskan diri, Ho-bengcu, buat apa kau terus
memikirkan persoalan itu?" kata Bong Thian-gak pula sambil
tertawa.
"Orang-orang yang tergabung dalam Put-gwa-cin-kau
merupakan kawanan orang yang tangguh, tiada lubang yang
tak bisa mereka terobos, lagi pula gerak-gerik mereka amat
164
rahasia, membuat hati orang bergidik, sebelum aku dan dia
datang kemari, telah kuperhatikan di sekeliling tempat itu
tiada orang yang menguntit, ya, mungkin saja dia hanya
menggertak saja."
Siapa tahu baru saja dia selesai berkata, mendadak
terdengar Bong Thian-gak berkata dengan ilmu
menyampaikan suara dengan nada gelisah sekali, "Aduh
celaka! Ternyata benar-benar ada musuh yang menguntit
sampai di sini, kini di sisi kiri tingkat keempat pagoda itu
terdapat seorang musuh yang menyembunyikan diri, sekarang
lebih baik kita jangan bersuara dulu, secepatnya
mengundurkan diri dari sini, kemudian balik lagi dengan posisi
segi tiga dan kepung orang itu rapat-rapat, jangan biarkan
musuh meloloskan diri."
Ucapan ini kontan saja membuat Thia Leng-juan dan Ho
Put-ciang terperanjat, kedua orang ini pun tidak berani
celingukan memeriksa keadaan.
Sementara mereka berpikir, Bong Thian-gak berkata lagi
dengan suara nyaring, "Ho-bengcu, sekarang sudah siang, kita
harus segera kembali ke gedung Bu-lim Bengcu!"
"Mari kita berangkat!" seru Thia Leng-juan dan Ho Putciang
bersama-sama.
Mereka bertiga segera mengerahkan ilmu meringankan
tubuh dan keluar dari pintu pagoda dengan cepat, setelah itu
menjauh dengan kecepatan tinggi.
Setelah cukup jauh, Thia Leng-juan baru berani bertanya
dengan nada cemas, "Ko-heng, benarkah ada jejak musuh?"
"Ya, pihak lawan memiliki ilmu meringankan tubuh yang
amat sempurna, entah sejak kapan ia sudah mendekam di
atas pagoda itu, jika tanpa sengaja aku tidak mendongakkan
kepala dan menangkap dua titik cahaya putih, tak mungkin
kutemukan jejak musuh itu."
165
Ho Put-ciang terperanjat, serunya dengan gelisah, "Wah,
kalau begitu kita kan tak bisa melaksanakan langkah
berikutnya?"
"Itulah sebabnya bagaimana pun juga kita tak boleh
membiarkan orang itu lolos! Sekarang kita harus pergi
menjauh setengah li lagi, kemudian serentak berpencar dan
balik ke Leng-im-po-tah, usahakan agar mengepung orang itu
rapat-rapat."
Sementara itu mereka bertiga sudah berlari sejauh
setengah li, mendadak Bong Thian-gak putar badan dan balik
ke arah semula dari sudut barat daya.
Ho Put-ciang berputar melalui timur laut dan Thia Lengjuan
menelusuri jalanan semula.
Ginkang ketiga orang itu sudah mencapai puncak
kesempurnaan, maka setengah li perjalanan balik yang
mereka tempuh dicapai dalam waktu singkat.
Dipimpin oleh Thia Leng-juan, dengan cepatnya mereka
sudah balik ke depan pagoda Leng-im-po-tah.
Sedangkan Bong Thian-gak, Ho Put-ciang datang hanya
selisih sedikit sekali, mereka menerobos masuk melalui arah
barat daya serta timur laut.
Di bawah cahaya rembulan, betul juga, di tengah lapangan
tampak berdiri sesosok bayangan tubuh yang langsing dan
ramping.
Ketika dilihatnya Bong Thian-gak bertiga muncul kembali di
situ tanpa menimbulkan sedikit suara pun, wajahnya kelihatan
tertegun, peristiwa ini sama sekali di luar dugaannya.
Dengan wajah termangu-mangu, dia mengawasi ketiga
orang itu berjalan mendekat ke arahnya.
Sekarang Ho Put-ciang dan Thia Leng-juan harus
mengagumi dan memuji ketajaman mata Bong Thian-gak,
166
sesungguhnya mereka masih setengah percaya mendengar
perkataan Bong Thian-gak tadi, namun kenyataannya musuh
memang muncul di tempat itu, inilah yang membuat hati
mereka terkejut bercampur tercengang.
Di bawah sinar rembulan, tampak bayangan yang ramping
itu tak lain adalah seorang gadis berbaju merah, rambutnya
yang disisir kepang dua terurai di belakang bahu, wajahnya
bersih, cantik dan usianya antara lima-enam belas tahun,
mukanya masih kekanak-kanakan.
Menyaksikan kemunculan Ho Put-ciang bertiga, dia
gerakkan sepasang matanya yang bulat dan jeli
memperhatikan mereka sekejap, sambil tersenyum ujarnya,
"Selamat berjumpa Hiapsu bertiga!"
"Selamat berjumpa nona," sahut Bong Thian-gak sambil
tertawa dingin. "Entah karena persoalan apakah kau
bersembunyi di tempat kegelapan sebelah kiri pagoda pada
tingkat keempat?"
Mendengar pertanyaan itu, nona berbaju merah tertawa,
sahutnya, "Engkoh ini betul-betul memiliki ketajaman mata
yang mengagumkan, ketika kau sedang melancarkan
serangan ketiga untuk membinasakan orang, aku naik ke atas
pagoda melalui belakang bangunan."
"Nona seorang yang pintar, hari ini kau sampai di sini dan
menyaksikan terbunuhnya Sam-kaucu di tangan kami, kau
anggota Put-gwa-cin-kau atau bukan, yang jelas kami tak
akan membiarkan kau pergi begitu saja dari tempat ini."
Gadis berbaju merah mengedipkan matanya yang bulat
besar, lalu serunya, "Dengan cara apakah kalian hendak
menghadapi diriku?"
Sementara itu paras muka Ho Put-ciang telah berubah
serius, pelan-pelan dia berkata, "Pertama, kami ingin
mengetahui lebih dahulu siapakah nona dan berasal
darimana?"
167
"Aku she Ni bernama Kiu-yu, rumahku ada di selatan
propinsi Kamsiok, tak punya ayah dan ibu lagi, hanya ada
seorang nenek yang hidup bersamaku."
Selain lincah dan genit, gadis ini pun tanpa ragu
mengutarakan nama serta asal-usulnya.
Ho Put-ciang dan Thia Leng-juan yang menyaksikan hal ini
segera mengerut dahinya rapat-rapat.
Hanya Bong Thian-gak seorang yang mengawasi terus
gerak-gerik si nona berbaju merah lekat-lekat, sementara
mulutnya membungkam.
Sekali lagi Ho Put-ciang bertanya, "Siapakah nama
nenekmu?"
"Hei, banyak amat yang kalian tanyakan," omel gadis
berbaju merah. "Nenekku she Kang, setelah kawin dengan
kakek, dia bernama Ni-hong!"
"Siapa yang mewariskan ilmu silat kepada nona?"
"Wah, wah, wah ... kalian betul-betul cerewet, tahu begini,
aku tak akan kemari menonton keramaian."
"Nona Ni, dengarkan baik-baik," kata Ho Put-ciang dengan
wajah serius. "Hari ini kau telah terlibat dalam peristiwa ini
dan mendatangkan bencana bagi diri sendiri, seandainya kau
tidak bersedia menjawab dengan sejujurnya, lebih baik salah
membunuh satu orang daripada membiarkan kau pergi begitu
saja."
"Bukankah kalian jago-jago persilatan yang berjiwa ksatria?
Masa kalian akan menganiyaya seorang bocah perempuan
seperti aku?"
Pertanyaan yang tajam dan mengena ini kontan saja
membuat paras muka Ho Put-ciang tersipu-sipu karena malu,
sesaat lamanya dia tak mampu menjawab.
168
Thia Leng-juan menyela, "Sekarang ucapan kami sudah
diutarakan cukup jelas, paling baik nona Ni bersedia
menjawab dengan sejujurnya."
Nona berbaju merah menghela napas sedih, "Ai, sudahlah,
anggap saja memang lagi apes, ilmu silat ini kuperoleh dari
nenekku, nah, sudah cukup bukan?"
Sementara itu hawa membunuh telah menyelimuti seluruh
wajah Bong Thian-gak, sambil tertawa dingin serunya, "Nona
Ni, kau adalah anggota Put-gwa-cin-kau, sudahlah lebih baik
tak usah berpura-pura lagi!"
Melihat Bong Thian-gak menuduh dengan nada serius dan
bersungguh-sungguh, mau tak mau Ho Put-ciang bertanya,
"Ko-siauhiap, apakah kau berhasil menemukan sesuatu?"
"Perempuan ini masih muda belia, tapi memiliki keberanian
luar biasa, tak mungkin orang biasa memiliki kelebihan seperti
apa yang dia miliki itu!"
Si nona berbaju merah mendengus dingin, "Hm, kalian
bukan setan iblis atau siluman yang berwajah menakutkan?
Mengapa aku harus takut kepada kalian?"
"Nona bisa tak kuatir terhadap kami, tentu saja karena
punya kemampuan yang bisa dijadikan pegangan, tapi bila
kau ingin melarikan diri dari sini dengan mudah, aku pikir hal
itu akan jauh lebih sukar daripada memanjat ke langit, kalau
tak percaya silakan dicoba."
Nona berbaju merah tertawa, "Kau menghendaki aku
mengaku sebagai anggota Put-gwa-cin-kau? Baiklah, kalau
begitu kuakui!"
"Tentu saja kau anggota Put-gwa-cin-kau, bahkan
kedudukanmu di dalam perkumpulan itu pasti amat penting
...."
"Darimana kau bisa tahu?"
169
"Semacam perasaan halus!"
Mendadak nona berbaju merah tertawa cekikikan, "Kau
telah salah melihat, aku bukan anggota Put-gwa-cin-kau,
tetapi aku tahu sedikit mengenai Put-gwa-cin-kau itu."
"Apa yang nona Ni ketahui?" buru-buru Ho Put-ciang
bertanya.
"Aku tahu kalian telah membunuh Sam-kaucu Put-gwa-cinkau
dan orang-orang dari Put-gwa-cin-kau tak melepas kalian
begitu saja."
Dengan perasaan dongkol bercampur geli, Ho Put-ciang
berkata, "Soal ini tak usah kau katakan, kami pun sudah
mengetahui dengan amat jelas!"
"Kalau kalian telah tahu Put-gwa-cin-kau hendak
melancarkan balas dendam, mengapa kalian tidak segera
kabur menyelamatkan diri?"
Mendadak Bong Thian-gak menukas sambil membentak
nyaring, "Tak usah banyak bicara lagi, sekarang hanya ada
dua jalan yang bisa kau pilih, pertama ikut bersama kami
kembali ke gedung Bengcu atau ingin mampus dibunuh?"
"Membunuh aku? Hm!" nona berbaju merah mendengus
dingin. "Tak akan semudah apa yang kau bayangkan, bila tak
percaya silakan dicoba sekarang!"
"Baik, kalau begitu sambutlah seranganku!" seru Bong
Thian-gak sambil tertawa dingin.
Bong Thian-gak bergerak secara aneh dan menerjang ke
sisi kanan gadis berbaju merah dengan kecepatan luar biasa,
kemudian telapak tangan kirinya secara aneh diayun ke depan
langsung menghantam ke wajah gadis berbaju merah itu.
Menyaksikan datangnya ancaman yang begitu dahsyat,
nona berbaju merah tak berani ayal, cepat kaki kirinya
berputar ke dalam, sementara telapak tangan kanan menyapu
170
keluar langsung membacok urat nadi pergelangan tangan kiri
Bong Thian-gak.
Agaknya Bong Thian-gak tahu gadis itu memiliki
kepandaian silat yang sangat lihai, maka begitu turun tangan
jurus-jurus serangan yang dipergunakan diselipi suatu
ancaman yang berbahaya.
Sementara itu telapak tangan kirinya disodokkan,
membentuk gerakan setengah busur di udara, tangan kirinya
seperti ular sakti menerobos melalui lubang kosong di antara
tangkisan tangan kanan gadis berbaju merah dan secepat kilat
menotok jalan darah Khi-hay-hiat.
Serangan ini selain ganas dan sakti, juga aneh bukan
kepalang.
Paras muka gadis berbaju merah berubah hebat, kakinya
segera memainkan langkah tujuh bintang, dalam waktu
singkat dia sudah mundur sejauh beberapa kaki.
Begitu nona berbaju merah mundur, dia sama sekali tak
memberi peluang bagi Bong Thian-gak untuk menguasai
keadaan lagi, telapak tangannya diayunkan ke depan,
kesepuluh jari tangannya dibentangkan dan langsung
menyentil ke depan, secara tepat dia menerjang ke muka dan
mengancam sepuluh jalan darah penting di tubuh Bong Thiangak.
Serangan balasan itu dilancarkan dengan kecepatan
bagaikan sambaran kilat.
Bong Thian-gak menjerit kaget, tubuhnya segera berkelit
ke samping secara aneh, kemudian mundur sejauh tujuhdelapan
kaki.
"Apakah nona anak murid Mi-tiong-bun?" serunya dengan
wajah terperanjat.
Nona berbaju merah tersenyum, "Tadi sewaktu kau
melepaskan pukulan untuk membinasakan Sam-kaucu, aku
171
lihat di balik pukulanmu itu kau sembunyikan juga ilmu sakti
dari Mi-tiong-bun yang disebut Tat-lay Lhama Sin-kang, kalau
begitu kau pun anak murid Mi-tiong-bun dari Tibet?"
Bong Thian-gak benar-benar terkejut, segera tanyanya
dengan suara dalam, "Sebenarnya nona murid siapa? Cepat
utarakan atau aku akan turun tangan keji kepadamu."
"Sekali pun kau berhasil mencuri belajar ilmu Tat-lay Lhama
Sin-kang dari Mi-tiong-bun, bukan berarti kau pasti dapat
membunuhku, buat apa kau mendesak orang terus-menerus?"
Setelah menyaksikan dua gebrakan yang barusan
berlangsung dan mendengarkan tanya-jawab kedua orang itu,
paras muka Ho Put-ciang dan Thia Leng-juan berubah hebat.
Perlu diketahui, ilmu silat Mi-tiong-bun dari Tibet selamanya
hanya diwariskan kepada kaum Lhama, selama ratusan tahun
ini mereka tak pernah menurunkan kepandaian itu kepada
orang lain.
Tapi kenyataan hari ini ada dua orang preman yang dapat
mempergunakan ilmu sakti Mi-tiong-bun, tidak heran mereka
jadi terperanjat bercampur keheranan.
Bong Thian-gak sendiri semenjak mengetahui gadis berbaju
merah memiliki kepandaian silat ajaran Mi-tiong-bun, paras
mukanya segera berubah menjadi serius dan berat.
Dalam waktu singkat sepasang tangannya sudah
disilangkan di depan pusar, kemudian sambil memejamkan
mata rapat-rapat dia berdiri diam.
Sebenarnya gadis berbaju merah itu pun bersikap acuh tak
acuh, namun setelah menyaksikan cara Bong Thian-gak itu,
rasa tegangnya segera menyelimuti wajahnya, cepat telapak
tangannya satu di depan yang lain di belakang disilangkan di
depan dada, sementara kakinya pun Iurus bergeser ke arah
samping kiri, sementara sorot matanya yang tajam tiada
hentinya mengawasi wajah Bong Thian-gak.
172
Dari sikap Bong Thian-gak yang berdiri tegak bagai batu
karang, Hu Put-ciang dan Thia Leng-juan segera tahu
serangan yang hendak dilancarkan pemuda itu pasti semacam
kepandaian sakti yang maha dahsyat.
Ketika memandang pula ke arah gadis berbaju merah itu,
dia pun teIah menghimpun seluruh kekuatan dan tenaganya
untuk bersiap sedia, tampaknya dia tahu jurus serangan yang
hendak dilepaskan Bong Thian-gak itu merupakan jurus
serangan yang menakutkan.
Bong Thian-gak memejamkan mata, tetapi ia terus
mengikuti pergeseran badan si gadis berbaju merah itu,
tampaknya dia sudah mengincar korbannya secara jitu dan
telak.
Suasana tempat itu diliputi keheningan, hawa membunuh
yang mengerikan membuat suasana terasa menegangkan.
Sepasang kaki nona berbaju merah sudah saling silang,
bagaikan siput yang berjalan saja, pelan-pelan dia bergeser
menuju ke arah sebelah kiri, wajahnya telah basah oleh
butiran keringat sebesar kacang kedelai.
Tampaknya gerakan semacam itu cukup memeras tenaga
maupun pikiran kedua belah pihak.
Mendadak terdengar gadis berbaju merah menghela napas
sedih, kemudian ujarnya, "Sudahlah, kita tak usah bertarung
lebih jauh, aku mengaku kalah saja!"
Sembari berkata dia segera menarik kembali sepasang
telapak tangannya.
Akan tetapi Bong Thian-gak masih tetap memejamkan
mata rapat-rapat. Seluruh pikiran, perasaan dan hawa
murninya telah terhimpun menjadi satu, dia tak menjawab
atau pun bergerak.
Menyaksikan keadaan itu, paras nona berbaju merah itu
berubah hebat, tampaknya dia terkejut bercampur takut,
173
segera serunya lagi, "Untuk bertanding, biasanya orang hanya
membatasi sampai saling menutul saja, apakah kau baru puas
setelah membinasakan diriku?"
Ho Put-ciang dan Thia Leng-juan yang mendengar
perkataan itu mengerut dahinya rapat-rapat, mereka berdua
saling pandang sekejap, kemudian bibir bergerak seperti
hendak mengucapkan sesuatu, tapi akhirnya niat itu
diurungkan.
Keadaan Bong Thian-gak waktu itu tak jauh berbeda
dengan seorang pendeta yang sedang bersemedi dan lupa
segala-galanya, dia seperti tidak mendengar perkataan gadis
berbaju merah itu.
Melihat hal itu, nona berbaju merah terkejut bercampur
gugup, mendadak saking gelisahnya, dia langsung menangis
tersedu-sedu, serunya dengan suara iba, "Kau jangan
membunuh aku, kau jangan membunuh diriku ... cepat kau
tarik kembali seranganmu itu ...."
Perubahan ini membuat Ho Put-ciang dan Thia Leng-juan
bingung setengah mati, "Benarkah Bong Thian-gak hendak
membunuhnya? Sekali pun nona ini adalah anggota Put-gwacin-
kau, tidak seharusnya dia membinasakan dirinya?”
Isak tangis nona berbaju merah makin memilukan,
bagaimana pun juga suara tangisan gadis cilik memang
gampang membangkitkan perasaan iba orang lain.
Siapa pun yang menyaksikan kejadian ini, lambat-laun
hatinya akan menjadi lembek juga.
Akhirnya Ho Put-ciang menghela napas panjang, serunya,
"Ko-siauhiap, tariklah kembali ilmumu itu!"
Ketika mendengar suara Ho Put-ciang itulah Bong Thiangak
membuka kembali sepasang matanya.
Tapi di saat yang sangat singkat itulah mendadak nona
berbaju merah melejit ke tengah udara, kemudian dengan
174
gerakan yang amat cepat bagaikan sambaran kilat dia
berkelebat melalui atas kepala Thia Leng-juan dan melarikan
diri dari situ.
Bong Thian-gak membentak, sepasang telapak tangannya
dari kiri kanan segera diayun ke tengah udara melepaskan
pukulan dahsyat.
Terasa segulung angin lembut berhembus, tahu-tahu gadis
berbaju merah sudah berada sejauh tujuh-delapan tombak,
kemudian dengan sekali lompatan, bayangan tubuhnya sudah
lenyap di balik kegelapan sana.
Bong Thian-gak menjadi gusar, segera ia menyumpah,
"Aku sudah tahu dia bakal kabur, ternyata akhirnya termakan
juga oleh siasat busuknya!"
Ho Put-ciang dan Thia Leng-juan sekali lagi saling pandang
sekejap, mereka saling membungkam, sementara paras
mukanya dilapisi rasa malu dan menyesal.
Setelah menghela napas panjang, kata Ho Put-ciang,
"Semuanya gara-gara aku, coba kalau aku tidak iba, tak
mungkin dia dapat lolos dari sini, aku benar-benar telah
berbuat salah, aku telah membuat Ko-siauhiap kecewa."
Bong Thian-gak menghela napas panjang, setelah
ditatapnya wajah Ho Put-ciang dan Thia Leng-juan sekejap,
katanya kemudian, "Ho-hengcu tak usah terlalu menyalahkan
diri sendiri, ya, sesungguhnya rengekannya memang amat
memelas hati, sekali pun orang yang berhati baja pun pasti
akan iba mendengarnya, ai ... tiap anggota Put-gwa-cin-kau
rata-rata licik bagaikan rase, nampaknya dunia persilatan
benar-benar sudah terancam oleh mara bahaya besar."
"Ko-heng, apa kau yakin perempuan tadi anggota Put-gwacin-
kau?" tanya Thia Leng-juan dengan wajah serius.
Bong Thian-gak menggeleng, "Aku tak berani memastikan,
tapi sembilan puluh persen dia adalah orang penting dalam
175
Put-gwa-cin-kau, bila dugaanku tidak keliru, gadis berbaju
merah yang masih muda belia tadi adalah Kiu-kaucu."
Thia Leng-juan menghela napas, "Ai, kalau begitu percuma
saja kita membunuh Sam-kaucu, mata-mata dalam Bu-lim
Bengcu-hu juga tak bisa dibasmi secara tuntas!"
Bong Thian-gak turut menghela napas, "Ai, semua ini garagara
diriku yang kurang tegas, coba kalau aku tega
melancarkan serangan ganas, tak mungkin dia kabur dari sini.
Yang penting sekarang kita harus segera kembali dulu ke
gedung Bu-lim Bengcu dan menceritakan segala peristiwa ini
kepada Ku-lo Locianpwe, kemudian kita baru berunding
menyusun rencana berikutnya."
Maka ketiga orang itu pun segera mengerahkan ilmu
meringankan tubuh kembali ke gedung Bu-lim Bengcu.
Waktu itu sudah mendekati tengah malam, Ho Put-ciang,
Thia Leng-juan dan Bong Thian-gak langsung menuju ke
loteng di sebelah timur.
Baru saja mereka bertiga tiba di bawah loteng, cahaya
lampu sudah muncul dalam ruangan, tampak Ku-lo Sinceng
telah menunggu di depan mulut tangga dengan wajah serius.
Ho Put-ciang bertiga pun membungkam, mereka buru-buru
naik ke atas loteng.
Tampaknya Ku-lo Sinceng sudah tidak sabar menunggu
lebih jauh, ia menegur, "Bagaimana dengan tugas kalian?"
Hu Put-ciang menghela napas panjang, "Ai, gara-gara
Wanpwe bersikap teledor, usaha kita selama ini sia-sia
belaka."
Dengan cepat keempat orang itu sudah duduk dalam ruang
tamu, secara ringkas dan jelas Ho Put-ciang menceritakan
semua peristiwa yang telah berlangsung kepada Ku-lo
Sinceng.
176
Selesai mendengar cerita itu, Ku-lo Sinceng memejamkan
mata sambil termenung sejenak, kemudian pelan-pelan
berkata, "Ho-hiantit sekalian berhasil membunuh Sam-kaucu,
berarti usaha kalian sukses besar, mengapa dibilang usaha
kalian sia-sia belaka? Gadis berbaju merah memang di luar
dugaan siapa pun, tidak tahu bagaimana harus menghadapi,
apalagi kalian telah mengerahkan segenap kemampuan."
Bong Thian-gak menghela napas, segera katanya pula,
"Semakin Locianpwe tidak menegur, Wanpwe justru merasa
semakin menyesal!"
Ku-lo Sinceng menggeleng kepala berulang kali, "Perkataan
Ko-siauhiap kelewat serius, mengenai kemunculan gadis
berbaju merah itu membuat Pinceng menemukan suatu
petunjuk yang berharga sekali, mungkin petunjuk itu jauh
lebih penting artinya daripada melenyapkan kaum mata-mata
di gedung Bengcu ini."
"Kalian harus tahu, mata-mata yang diselundupkan ke
dalam gedung Bengcu ini adalah orang pintar, tapi orang yang
paling penting seperti Sam-kaucu yang menyaru sebagai
Pinceng kini telah berhasil dilenyapkan, aku pikir sisanya
sudah tidak mempunyai arti yang amat penting, sebab sisa
mata-mata yang berada dalam gedung ini cepat atau lambat
akan menampakkan wujudnya masing-masing dan berusaha
kabur dari sini."
Dengan serius Thia Leng-juan bertanya, "Ku-lo Supek, kau
telah berhasil menemukan petunjuk penting?"
Ternyata pendekar sastrawan dari Im-ciu ini adalah murid
Sute Ku-lo Hwesio yang merupakan orang preman, oleh
karena itu dia memanggil Supek kepada Ku-lo Hwesio.
Pendeta agung itu termenung sejenak, lalu berkata, "Asal
kita dapat membuktikan gadis berbaju merah itu adalah
anggota Put-gwa-cin-kau, ini membuktikan Cong-kaucu Putgwa-
cin-kau mempunyai hubungan yang sangat erat dengan
177
perguruan Mi-tiong-bun di Tibet."
Bicara sampai di situ, Ku-lo Sinceng mengalihkan sorot
matanya yang tajam ke wajah Bong Thian-gak, kemudian
lanjutnya lebih jauh, "Ko-siauhiap, apakah kau dapat
menerangkan dari siapa mempelajari ilmu sakti perguruan Mitiong-
bun itu?"
Bong Thian-gak menghela napas sedih, "Dia adalah
seorang kakek penyendiri yang keempat anggota tubuhnya
cacat, Wanpwe tidak tahu nama serta asal-usul orang tua itu,
dia memiliki ilmu silat sangat hebat, hampir semua ilmu
berbagai perguruan dapat diyakinkan olehnya."
"Dia orang tua sudah meninggal dunia, Wanpwe berkumpul
selama tujuh tahun lamanya dengan orang itu, dia meninggal
pada tiga bulan berselang."
"Tokoh sakti itu sudah cacat keempat anggota badannya,
tapi Ko-siauhiap yang cuma menerima pelajaran teori darinya
pun sudah berhasil memiliki kepandaian silat begini sempurna,
sudah jelas ilmu silat orang itu hebat sekali," kata Ho Putciang.
Bong Thian-gak tersenyum.
"Sebelum aku bertemu dengannya, aku sudah pernah
berguru selama belasan tahun, oleh karena itu meskipun
hanya mendapat teori saja dari Suhuku yang kedua ini, sedikit
banyak rahasia ilmu silatnya berhasil juga kupahami."
"Ko-siauhiap, tampaknya kemujuran orang memang tak
dapat diminta, secara beruntun kau dapat memperoleh didikan
dari dua orang guru kenamaan, hal itu patut diberi ucapan
selamat."
Pelan-pelan Bong Thian-gak mengangkat kepala, lalu
memandang sekejap ke arah Ku-lo Sinceng, katanya, "Semua
perkataan yang Wanpwe ucapan adalah kata-kata jujur dan
178
sama sekali tidak bohong. Tentang ilmu silat aliran Mi-tiongbun,
setahuku kepandaian mereka tak pernah diwariskan
kepada orang luar, Wanpwe tahu jelas akan hal ini. Si kakek
yang menyendiri itu pun bukan anak murid Mi-tiong-bun,
namun ilmu silat yang diketahuinya sangat luas, bahkan ilmu
sakti Siau-lim-pay juga diketahuinya dengan jelas."
"Wanpwe dan dia orang tua hidup bersama dalam gua di
sebuah lembah, tujuh tahun lamanya hidup berdampingan,
meski sudah kuusahakan dengan segala cara untuk mencari
tahu asal-usul orang tua itu, namun usahaku itu tak pernah
berhasil."
"Kalau begitu dendam Sicu terhadap Put-gwa-cin-kau
merupakan masalah gurumu yang pertama?" tiba-tiba Ku-lo
Sinceng bertanya.
Bong Thian-gak mengangguk, "Tepat dugaan Locianpwe."
Ku-lo Sinceng menghela napas dalam-dalam.
"Ai ... apakah Sicu bersedia melukiskan bagaimanakah raut
wajah orang sakti itu?" pintanya.
"Sewaktu aku bertemu dengan Suhuku yang kedua ini, dia
sudah berdiam cukup lama di dalam gua itu, badannya sudah
tersiksa hingga tinggal kulit pembungkus tulang, sehingga
pada hakikatnya sukar untuk dilukiskan bagaimanakah raut
wajahnya."
"Dia tak pernah menjelaskan cara bagaimana keempat
anggota badannya itu menjadi cacat kepadamu?" tanya Ku-lo
Sinceng dengan kening berkerut kencang.
Bong Thian-gak menghela napas panjang.
"Sesaat sebelum meninggal, dia orang tua hanya
mengucapkan beberapa patah kata saja, 'Selama hidup Lohu
sudah banyak melakukan kejahatan, terpengaruh oleh napsu
sendiri sehingga menggunakan cara yang keji dan licik untuk
memperoleh nama, pahala dan kekayaan, tapi akhirnya tujuh
179
puluh tahun hidupku hanya terkurung percuma ... ai dendam
kesumat dalam Bu-lim memang tak pernah berakhir, hukum
karma selalu berlaku atas dosa-dosaku ini, Lohu harus merasa
tersiksa selama tiga puluh tahun, hukuman memang tak akan
pernah terhindar dariku ....'."
Sampai di situ, Bong Thian-gak berhenti sejenak, lalu
sambungnya lebih jauh, "Di saat dia menghembuskan napas
yang penghabisan itulah dia orang tua berkata lagi padaku,
'Kau ... kau adalah orang kedua yang pernah mendapat
warisan ilmu silat dariku, semoga kau dapat baik-baik
mempergunakannya ....'."
Thia Leng-juan menyela bertanya, "Siapakah orang
pertama?"
Bong Thian-gak tertawa getir. "Bila aku mengetahui hal ini,
berarti aku akan mengetahui asal-usul Suhuku yang kedua,"
jawabnya.
Pelan-pelan Thia Leng-juan menggelengkan kepala
berulang-kali, giimamnya, "Tak kusangka di dunia ini terdapat
banyak orang dan kejadian aneh."
"Di saat guruku yang kedua meninggal dunia, dia berusia
tujuh puluh tahun, dari kata-katanya menjelang ajal, peristiwa
tragis itu terjadi saat dia berusia tiga puluh tahun, keempat
anggota badannya menjadi cacat dan harus hidup menyepi di
gua kematian dalam lembah terpencil. Ku-lo Locianpwe,
dapatkah kau merenungkan jago persilatan manakah yang
mirip dengan pengalaman guruku yang kedua ini."
Di saat Bong Thian-gak selesai menuturkan pesan terakhir
gurunya tadi, Ku-lo Hwesio sudah memejamkan mata
termenung.
Tak lama kemudian, dia baru membuka matanya dan
menjawab dengan suara dalam, "Jago persilatan yang paling
termasyhur pada waktu itu adalah Bu-lim Bengcu Thi-ciangkan-
kun-hoan Oh Ciong-hu, lalu Pak-hiap (pendeta dari utara)
180
Thian-kay Lojin, Say-pit-ceng Ih Hoan, Mo-kiam-sin-kun To
Tian-seng serta perempuan paling cantik di wilayah Kanglam
Ho Lan-hiang...."
Sampai di sini, kembali Ku-lo Hwesio memejamkan mata
rapat-rapat, kemudian baru melanjutkan, "Dari kelima orang
ini, hampir boleh dibilang mereka tidak pernah melakukan
kejahatan besar, dari usia mereka, Say-pit-ceng Ih Hoan dan
Mo-kiam-sin-kun Tio Tian-seng yang agak mendekati, lagi pula
asal-usul mereka memang sangat misterius."
Mendengar ini, Bong Thian-gak segera mengerut dahi,
katanya kemudian, "Mungkinkah Mo-kiam-sin-kun Tio Tianseng?
Tapi waktu Tio Tian-seng terjun ke dunia persilatan
baru berusia dua puluh enam tahun, ditambah tiga puluh
tujuh tahun berarti usianya sekitar enam puluh lima tahun!"
"Kalau dibilang Say-pit-ceng Ih Hoan," sela Ku-lo Hwesio,
"pada tiga puluh tujuh tahun lalu dia telah berusia empat
puluh tahun, berarti dia berusia tujuh puluh tahun lebih."
"Selain kelima orang ini, apakah masih ada orang yang
pantas dicurigai?"
"Masih ada empat orang buas lagi, mereka adalah To-cikim-
kong (Malaikat raksasa berjari tunggal) Lui Ko Hoatsu,
Jian-bin-hu-li (Rase berwajah seribu) Ban Li-biau, Thian-sanhim-
ong (Raja beruang dari Thian-san ) Ho Lak serta Hiat-binmo
(Setan muka darah) Si Jit-ciang ...."
"Tapi dari keempat orang itu, ada tiga orang di antaranya
telah dibunuh oleh Suhu," timbrung Ho Put-ciang cepat.
"Siapakah di antara mereka yang tidak berhasil dibunuh
Oh-bengcu almarhum?" cepat Bong Thian-gak bertanya.
"Jian-bin-hu-li Ban Li-biau!"
"Kejahatan apa saja yang pernah dilakukan olehnya?"
181
Ku-lo Hwesio menghela napas sedih, katanya pelan, "Tiga
puluh tujuh berselang, Ban Li-biau merupakan tokoh penjahat
ulung dunia persilatan, selain memperkosa, membunuh,
mencuri dan merampok dia pun sering melakukan perbuatan
jahat lainnya, hingga menimbulkan amarah segenap umat
persilatan waktu itu, semua orang bergabung untuk bersamasama
menghabisi orang ini "Bagaimana akhirnya?"
Ku-lo Hwesio menghela napas panjang, "Sama sekali tiada
kabar beritanya."
"Mengapa?"
"Ban Li-biau berjuluk Jian-bin-hu-li, membuktikan
kecerdikan dan kelicikannya, selain itu dia pun pandai
menyaru dan berganti muka, jarang ada orang di Bu-lim yang
pernah melihat wajah aslinya, mana mungkin orang dapat
membekuknya untuk dijatuhi hukuman? Untung tiga puluh
tahun lalu Jian-bin-hu-li sudah lenyap."
Bong Thian-gak menghela napas sedih, "Ai ... sungguh
tidak kusangka Suhuku yang kedua adalah Jian-bin-hu-li Ban
Li-biau!"
"Apakah Ko-siauhiap yakin akan dia?" tanya Ho Put-ciang.
"Dari ucapan dia orang tua menjelang ajal serta rasa
tobatnya dari kejahatan yang pernah dilakukan, hal ini
membuktikan dia adalah Jian-bin-hu-li Ban Li-biau ...."
Ku-lo Hwesio turut menghela napas, "Betul, guru kedua Kosiauhiap
mungkin sekali adalah Ban Li-biau, sebab kecuali dia,
tiada orang kedua di dunia ini yang bisa dicurigai!"
"Sebenarnya Pinceng menduga Jian-bin-hu-li adalah Congkaucu
Put-gwa-cin-kau, kalau dipikirkan sekarang,
kemungkinan besar Cong-kaucu Put-gwa-cin-kau adalah orang
lain."
182
Ketika selesai mengucapkan perkataan itu, paras muka Kulo
Sinceng kembali berubah serius dan kereng, jelas benak Kulo
Hwesio sekarang sedang dipenuhi persoalan lain.
Karena kecurigaan atas Jian-bin-hu-li Ban Li-biau sebagai
pentolan Put-gwa-cin-kau gugur, dia berusaha memeras otak
dan menduga lagi siapa gerangan orang yang cocok untuk
dicurigai sebagai pentolan Put-gwa-cin-kau itu.
Bong Thian-gak memahami perasaan Ku-lo Sinceng
sekarang, maka dengan perasaan berat semua orang pun
bungkam.
Selang beberapa saat kemudian, barulah terdengar Ku-lo
Hwesio berkata dengan lembut, "Fajar sudah menjelang tiba,
kalian bertiga pergilah beristirahat dulu!"
Ho Put-ciang bertanya, "Ku-lo Supek, tolong tanya perlukah
kita mengumumkan kepada para jago tentang peristiwa Samkaucu
itu?"
"Lebih baik kita merahasiakan dulu persoalan ini, tunggu
sampai tiba kesempatan yang lebih cocok sebelum
diumumkan."
"Tapi ...." Ho Put-ciang menunjukkan keraguannya.
"Kehadiran Ko-siauhiap dalam gedung Bu-lim Bengcu ini...."
"Oya ... hampir saja Pinceng lupa, antara Ko-sicu dengan
para pendekar telah terjadi perselisihan ... padahal kehadiran
para pendekar ke gedung Bu-lim Bengcu pun hanya untuk
berbela-sungkawa atas kematian Oh-bengcu, sedang jenazah
Oh-bengcu pun telah diputuskan untuk disimpan dalam
gedung es, Pinceng rasa para jago persilatan boleh
membubarkan diri kembali ke rumah masing-masing, lebih
baik besok siang kita umumkan segala sesuatunya pada
mereka, di samping mengumumkan peristiwa Sam-kaucu,
juga menjelaskan kepada para jago yang hendak menangkap
Ko-siauhiap."
183
"Ku-lo Supek, tolong tanya apa tindakan kita selanjutnya
untuk menghadapi Put-gwa-cin-kau?" tanya Thia Leng-juan
pula.
Ku-lo Hwesio menghela napas panjang, "Kini bencana telah
meluas di seluruh dunia persilatan, terpaksa bertemu satu
membunuh satu, kita berusaha terus menumpas mereka
sampai ludes."
"Kalau memang demikian, bukankah Jit-kaucu kini berada
dalam kota Kay-hong, mengapa kita tidak ke situ untuk
membekuknya?"
Dengan suara dalam Ku-lo Hwesio berkata, "Mengenai Jitkaucu,
hampir Lolap lupa meninggalkan pesan, perempuan ini
telah berhasil memiliki ilmu Soh-li-jian-yang-sin-kang, boleh
dibilang kepandaiannya sudah tiada tandingan lagi di dunia ini,
bila kalian bertemu dengannya, lebih baik menyingkir, jangan
coba menghadapi dengan kekerasan."
Mendengar itu, Thia Leng-juan tertegun. "Supek,
memangnya kita harus duduk diam menunggu kematian dan
membiarkan Jit-kaucu datang mencari kita?" serunya.
Mencorong tajam mata Ku-lo Hwesio.
"Sudah delapan tahun lamanya Pinceng duduk menutup diri
dalam ruangan, Lolap sudah bertekad menaklukkannya."
"Locianpwe, caramu menaklukkannya berarti kerugian
besar bagi umat persilatan?" tiba-tiba Bong Thian-gak
menimbrung dari samping.
Diam-diam Ku-lo Hwesio terperanjat mendengar perkataan
itu, pikirnya kemudian, "Masa dia dapat menebak suara hati
Lolap?"
Pada saat itulah Thia Leng-juan bertanya lagi, "Supek,
apakah kau hendak menghadapi Jit-kaucu seorang diri?"
184
"Menurut apa yang Lolap ketahui, di dunia dewasa ini tiada
orang kedua yang bisa lolos dari pukulan Soh-li-jian-yang-sinkang
itu tanpa menemui ajal."
"Supek, kalau engkau harus bertarung melawan Jit-kaucu
dan seandainya terjadi hal-hal yang tidak diinginkan ...." Thia
Leng-juan tak mampu melanjutkan kata-katanya, dia bungkam
dengan sedih.
Ku-lo Hwesio tertawa getir, "Setelah melakukan
penyelidikan selama delapan tahun, Pinceng percaya musuh
pun takkan memperoleh keuntungan apa-apa."
Mendadak Thia Leng-juan bertanya lagi, "Apakah Supek
telah menulis surat tantangan untuk berduel dengan Jitkaucu?
Harap Supek jangan merahasiakan persoalan ini
kepada kami...."
Begitu ucapan itu diutarakan, Bong Thian-gak dan Ho Putciang
amat terperanjat, mereka membelalakkan mata lebarlebar
dan menanti jawaban Ku-lo Hwesio.
Agak emosi Ku-lo Hwesio menjawab, "Lolap tidak menulis
surat tantangan terhadap Jit-kaucu, tetapi telah menetapkan
hari kematian untuk Pinceng."
"Apakah maksud perkataanmu itu?" tanya Bong Thian-gak
dengan terkejut.
Dari dalam sakunya Ku-lo Hwesio mengeluarkan sepucuk
surat dan diletakkan di bawah sinar lentera, kemudian
ujarnya, "Surat ini baru kuterima setengah jam sebelum kalian
pulang kemari."
Sementara itu Ho Put-ciang, Thia Leng-juan dan Bong
Thian-gak bersama-sama mengalihkan sorot matanya ke atas
surat itu.
Di atas kertas tadi tercantum beberapa kalimat yang
berbunyi:
185
Kepada yang terhormat Ku-lo Taysu dari Siau-lim-si.
Kematian Sam-kaucu merupakan tanggung-jawabku,
apabila Cong-kaucu menegur, akulah yang mendapat
hukuman.
Oleh sebab itu kumohon kepada Taysu agar berbelas
kasihan dengan mengakhiri hidupmu dalam tiga hari
mendatang atau pada malam hari keempat aku akan datang
merenggut nyawamu, Tertanda: Jit-kaucu Put-gwa-cin-kau
Selesai membaca surat itu, Ho Put-ciang bertiga menjadi
gusar dan terkejut.
Sambil tertawa dingin Bong Thian-gak berkata, "Sungguh
amat besar nada bicara orang ini!"
Thia Leng-juan termangu beberapa saat, kemudian
tanyanya, "Dengan cara bagaimana surat ini disampaikan
kemari?"
"Waktu itu Pinceng sedang duduk bersemedi di atas loteng,
kudengar ada dua orang pejalan malam sedang melintas,
menyusul dari balik jendela melayang masuk sepucuk surat.
Waktu itu Pinceng agak ragu sejenak, ternyata si pengantar
surat itu telah pergi, Ginkangnya tak malu disebut sebagai
jagoan wahid di kolong langit."
Bong Thian-gak berkerut kening.
"Ketika si nona berbaju merah Ni Kiu-yu melarikan diri,
jaraknya dengan waktu kita pulang cuma setengah jam,
bagaimana mungkin ia bisa melapor lebih dulu berita kematian
Sam-kaucu ini kepada Jit-kaucu?" gumamnya.
Begitu nama Ni Kiu-yu disinggung, Ho Put-ciang dan Thia
Leng-juan turut merasakan suatu keanehan.
186
"Tatkala kalian sedang menuturkan pertarungan melawan
Sam-kaucu tadi, Lolap sudah merasa curiga," kata Ku-lo
Hwesio, "Mungkin Jit-kaucu juga turut menyaksikan
terbunuhnya Sam-kaucu dari atas pagoda Leng-im-po-tah,
namun dia tidak muncul, di saat kalian sedang berusaha
menangkap gadis berbaju merah itu, dia berangkat ke gedung
Bengcu."
Thia Leng-juan manggut-manggut.
"Ya benar, kemungkinan memang begitu, namun sewaktu
kami kembali ke pagoda Leng-im-po-tah untuk menangkap
gadis berbaju merah itu, sama sekali tidak kujumpai ada orang
melarikan diri dari situ," serunya kemudian.
"Atau kemungkinan juga Jit-kaucu sudah tahu kita hendak
turun tangan membunuh Sam-kaucu," kata Ku-lo Hwesio.
"Bukankah persoalan ini hanya diketahui kita berempat?
Siapa yang membocorkan rahasia ini?" tanya Bong Thian-gak.
"Tentu saja tak ada orang yang membocorkan rahasia itu.
Mungkin jejak Lolap sudah diketahui oleh Jit-kaucu dan dia
pun telah dapat membedakan mana yang asli dan mana yang
gadungan!"
Bong Thian-gak menghela napas.
"Ai... benar. Dari tulisan Jit-kaucu, tampaknya dia sudah
tahu kita berencana membunuh Sam-kaucu ...."
Ku-lo Hwesio berkata lebih lanjut, "Kehadiran gadis berbaju
merah di pagoda Leng-im-po-tah pun sudah pasti bukan suatu
peristiwa yang kebetulan, mungkin sekali sedang
melaksanakan perintah Jit-kaucu untuk memberi bantuan,
sayang kedatangannya terlambat satu langkah dan Sam-kaucu
telah tewas dipukul Ko-siauhiap."
Ho Put-ciang menghela napas panjang. "Ai, kalau begitu
tindakan kita melepas gadis berbaju merah dari Leng-im-potah
merupakan suatu tindakan yang keliru besar," keluhnya.
187
"Yang sudah lewat biarlah lewat, kita tak usah
menyinggungnya! Sedangkan mengenai tantangan Jit-kaucu,
Pinceng bermaksud untuk menghadapinya seorang diri, itulah
sebabnya aku tidak berniat memberitahukan kepada kalian."
Bong Thian-gak merasa darah panas dalam dada bergolak
keras, serunya kemudian, "Locianpwe, soal tantangan Jitkaucu,
biar Wanpwe saja yang mewakili."
Ku-lo Hwesio tersenyum.
"Ko-siauhiap gagah dan mempunyai ilmu tinggi, dengan
masa depan panjang, selain Jit-kaucu jangan lupa, masih ada
Cong-kaucu yang merupakan musuh kita paling tangguh."
"Supek, Tecu mohon agar akulah yang pergi memenuhi
janji itu," pinta Thia Leng-juan.
Kembali Ku-lo Hwesio menggeleng kepala berulang-kali.
"Thia-hiantit, ilmu silat yang kau miliki sekarang sudah
mencapai tingkatan luar biasa dan jauh mengungguli gurumu,
tapi ilmu pukulan Soh-li-jian-yang-sin-kang dari Jit-kaucu
bukanlah ilmu silat biasa!"
"Ku-lo Supek, bagaimana rencanamu menyambut
tantangan Jit-kaucu itu?" Ho Put-ciang bertanya.
Ku-lo Hwesio menggeleng kepala berulang-kali.
"Pinceng jelas belum mengambil keputusan, tapi sudah
pasti dalam empat hari ini...."
Berbicara sampai di sini, dia berhenti sejenak, kemudian
lanjutnya, "Soal pertarungan Lolap melawan Jit-kaucu, harap
kalian tak usah risau, terus terang Lolap sudah mempunyai
rencana cukup matang."
"Jika Ku-lo Supek menghadapi musuh sendirian, bisa jadi
musuh akan menggunakan cara kita membunuh Sam-kaucu
...."
188
Mendengar perkataan Ho Put-ciang itu, paras muka Ku-lo
Hwesio berubah hebat, selanya, "Pinceng pun telah
mempertimbangkan hal ini, harap Ho-hiantit tak usah kuatir."
"Tapi aku benar-benar tidak tenang ...."
Kentongan kelima sudah berbunyi, dari luar jendela sana
tampak cahaya api sudah memancar menembus kegelapan,
malam yang panjang pun telah berakhir.
Pelan-pelan Ku-lo Hwesio bangkit, berjalan ke sisi jendela
dan menarik napas panjang, kemudian pelan-pelan ujarnya,
"Sejak Oh Ciong-hu menjabat sebagai Bu-lim Bengcu, dunia
persilatan telah melewatkan masa yang tenang dan aman,
namun setiap kejadian di dunia ini seakan-akan mempunyai
masa berlaku, sebab Thian telah mengatur semua kejadian ini
untuk kita. Sekali pun Lolap mungkin akan mati dalam
pertarungan ini, namun setelah terjadinya perubahan di Bulim,
sudah pasti akan muncul seorang penolong yang akan
menenteramkan kekacauan dan melenyapkan semua
kejahatan dari muka bumi...."
Sampai di sini, dia membalikkan badan dan duduk kembali
di atas kasurnya, setelah itu katanya lebih jauh, "Ko-siauhiap,
Ho-hiantit, Thia-hiantit, kalian bertiga merupakan tonggak
dunia persilatan di masa mendatang, jaya atau kacaunya
dunia persilatan di kemudian hari, keadilan dan kebenaran di
dunia ini tergantung pada perjuangan kalian, oleh sebab itu
keselamatan kalian jauh lebih penting daripada orang lain, aku
minta kalian jangan bertindak hanya karena dorongan emosi."
"Kalian harus tahu, seorang Tay-enghiong, Tay-ho-kiat
banyak membutuhkan persyaratan, bukan terbentuk
mengandal keberanian saja, contoh yang jelas, di masa Samkok
dulu, Lu Poh paling berani, tapi dia berani tanpa disertai
rencana yang matang sehingga tak lebih hanya seorang
panglima kasar. Sebagai seorang Enghiong sejati dibutuhkan
penyesuaian diri dengan keadaan, bisa maju bisa pula
189
mundur, bisa keras bisa juga lunak, segalanya harus diatur
dengan perencanaan jangka panjang yang sempurna."
Nasehat Ku-lo Hwesio ini kontan membuat beban pikiran
Ho Put-ciang, Thia Leng-juan dan Bong Thian-gak semakin
berat, lamat-lamat mereka merasakan suatu firasat jelek yang
sudah menjelang datang di hadapan mereka.
"Nah, sekarang kalian boleh pergi beristirahat!" Ku-lo
Hwesio mengakhiri kata-katanya.
Maka Ho Put-ciang bertiga pun memberi hormat kepada
Ku-lo Hwesio dan mengundurkan diri, mereka menuju ke
loteng sebelah barat.
Setelah masuk ke dalam ruang tamu, Pa-ong-kiong Ho Putciang
yang pertama-tama berkata, "Ku-lo Supek telah
memutuskan untuk menghadapi Jit-kaucu seorang diri, dari
nada suaranya, dia orang tua telah bertekad untuk
mengorbankan diri demi terwujudnya cita-cita yang luhur,
sekarang bagaimana baiknya?"
"Yang kita kuatirkan Jit-kaucu merencanakan suatu
pengeroyokan, atau menggunakan siasat busuk untuk
mencelakainya," kata Thia Leng-juan mengemukakan pula
rasa kuatirnya.
Pelan-pelan Bong Thian-gak berkata, "Yang perlu kita
ketahui sekarang adalah kapan dan dimanakah Ku-lo
Locianpwe menerima tantangan dari Jit-kaucu?"
"Bagaimana cara kita mengetahuinya?" keluh Ho Put-ciang
sedih.
"Mulai sekarang, secara bergilir kita harus mengawasi
gerak-gerik Ku-lo Locianpwe, bila ia menunjukkan suatu
tindakan, kita harus segera mengetahuinya."
"Benar," kata Thia Leng-juan. "Dengan demikian bisa
dicegah pihak lawan melakukan pengerubutan."
190
Tapi Ho Put-ciang menggeleng kepala, ujarnya,
"Mendengar nasehat terakhir Ku-lo Supek tadi, lamat-lamat
aku punya firasat dia lelah menyadari bahwa pertempuran ini
lebih banyak bahayanya bagi dia daripada keberuntungan ...."
Bong Thian-gak menghela napas, "Jauh pada delapan
tahun berselang, Ku-lo Locianpwe pernah menerima serangan
Jit-kaucu, mungkin selama delapan tahun ini dia orang tua
telah menyelidiki dan mendalami ilmu untuk melawan Soh-lijian-
yang-sin-kang, kalau dia orang tua sampai menderita
kekalahan di tangan Jit-kaucu, siapa lagi di Bu-lim dewasa ini
yang mampu menandingi perempuan ini?"
"Bagaimana pun juga Jit-kaucu harus dilenyapkan, cepat
atau lambat Ku-lo Locianpwe juga akan berhadapan
dengannya, hanya soal waktu saja, mungkin pertarungan ini
berlangsung jauh lebih awal."
"Thia-heng, Ko-siauhiap, harap kalian beristirahat dulu, biar
aku yang mengawasi gerak-gerik Ku-lo Supek dari sini," ujar
Ho Put-ciang kemudian.
"Ho-bengcu, bila kau ada urusan silakan saja, aku belum
berminat tidur," sahut Bong Thian-gak.
Meskipun pertarungan sengit yang berlangsung semalam
amat memeras tenaga dan semua orang merasa lelah sekali,
tapi setiap orang sedang dicekam perasaan tegang dan berat,
maka Bong Thian-gak bertiga sama sekali tidak beristirahat.
Tengah hari itu Ho Put-ciang mengumpulkan semua jago
dunia persilatan beserta Toan-jong-hong-liu Yu Heng-sui dan
Oh Cian-giok, untuk mengumumkan penyaruan Sam-kaucu
sebagai Ku-lo Sinceng serta perubahan situasi dunia persilatan
akhir-akhir ini.
Sebagai kesimpulan terakhir, para jago yang diwakili
sembilan partai besar mengutus Goan-ko Taysu dari Siau-limpay,
Ui-hok Totiang dari Bu-tong-pay, Wan-pit-kim-to (Golok
emas berlengan monyet) Ang Thong-lam dari Tiam-jong-pay
191
dan Hian-thian-koancu Yu Ciang-hong dari Khong-tong-pay
untuk berdiam dalam gedung Bu-lim Bengcu guna membantu
Ho Put-ciang membangun kembali pamor Bu-lim Bengcu atau
persekutuan dunia persilatan.
Sedangkan yang lain kembali ke partai masing-masing
untuk melaporkan keadaan kepada ketua masing-masing, di
samping secara diam-diam membersihkan mata-mata Putgwa-
cin-kau yang menyusup dan meningkatkan kewaspadaan
untuk menghadapi setiap bentrokan yang mungkin meletus
dengan pihak Put-gwa-cin-kau.
Sejak itu sembilan partai dunia persilatan dalam sehari saja
telah berubah menjadi kelompok kekuatan yang maha dahsyat
dan sanggup menghadapi segala perubahan yang mungkin
terjadi.
Mengenai tantangan Jit-kaucu kepada Ku-lo Sinceng,
kecuali Bong Thian-gak, Thia Leng-juan dan Ho Put-ciang,
yang lain tidak diberitahu.
Waktu berlalu dengan cepat, tiga hari sudah lewat, suasana
dalam gedung Bu-lim Bengcu pun tenang, namun ratusan
manusia yang berada dalam gedung itu tak sedikit pun merasa
tenang.
Terutama Ho Put-ciang, Thia Leng-juan dan Bong Thiangak,
selama beberapa hari ini paras muka mereka kelihatan
kusut dan sayu.
Ku-lo Hwesio dari Siau-lim-si juga tak pernah meninggalkan
loteng sebelah timur barang selangkah pun selama tiga hari
ini.
Bong Thian-gak bertiga berada di bangunan sebelah barat,
dapat menyaksikan keadaan Ku-lo Hwesio dengan jelas, ia
masih tetap duduk bersila di atas kasur duduknya dengan
tenang.
192
Matahari senja telah condong ke barat, kabut malam pun
lambat-laun menyelimuti angkasa. Kini Ho Put-ciang, Thia
Leng-juan dan Bong Thian-gak telah berkumpul di atas loteng
sebelah barat.
Sambil menghela napas panjang, Ho Put-ciang berkata,
"Malam ini Ku-lo Supek tidak memasang lentera, jelas hendak
melakukan tindakan pada malam ini."
"Ya, batas waktu yang diberikan Jit-kaucu bagi Ku-lo Supek
untuk bunuh diri akan berakhir tengah malam nanti," sambung
Thia Leng-juan.
Mendadak Bong Thian-gak menyela, "Mulai sekarang, kita
bertiga harus memisahkan diri mengawasi tempat itu dari
tempat terpisah."
Maka mereka bertiga pun segera keluar. Mereka berdandan
sebagai pengawal gedung dan berpencar melakukan
pengawasan.
Bong Thian-gak berada di balik kegelapan di sudut gedung
sebelah barat laut.
Malam ini rembulan memancarkan sinar terang, membuat
suasana liilak terlalu gelap, pemandangan pada radius seratus
kaki masih dapat terlihat dengan jelas.
Angin malam berhembus membawa udara dingin, malam
pun semakin kelam.
Mendadak tampak sesosok bayangan orang berjalan
melalui mangan sebelah utara, di bawah sinar rembulan,
tampak kepala orang Itu gundul, tak salah lagi inilah kepala
seorang pendeta.
Dengan gerakan enteng seperti burung walet, Bong Thiangak
segera melompat keluar dari tempat persembunyiannya
dan melakukan penghadangan dari arah timur laut.
193
Bukan hanya Bong Thian-gak saja yang melakukan
penguntitan, Ho Put-ciang dan Thia Leng-juan yang berjaga di
tenggara dan barat daya pun serentak mengerahkan
Ginkangnya melakukan penguntitan.
Gerakan tubuh keempat orang itu cepat sekali, cekatan dan
hati-hati. Sekali pun penjagaan dalam gedung Bu-lim Bengcu
amat ketat, ternyata tak seorang pun di antara mereka yang
mengetahui jejaknya.
Tak selang beberapa lama, mereka sudah keluar
pekarangan gedung Bengcu.
Pada saat itulah bayangan orang yang sedang berlari di
depan sana mempercepat gerakan tubuhnya menuju ke arah
tenggara.
Setelah melakukan pengejaran sejauh satu li, akhirnya
Bong Thian-gak, Ho Put-ciang dan Thia Leng-juan bertemu
satu sama lain.
Di tengah pengejaran itu, mendadak Bong Thian-gak
berseru tertahan, katanya, "Aneh, seandainya orang di depan
sana adalah Ku-lo Locianpwe, mengapa dia berlari secara
terang-terangan dan sama sekali tidak berusaha
menyembunyikan diri?"
Rupanya Bong Thian-gak teringat tantangan Jit-kaucu atas
diri Ku-lo Hwesio dirahasiakan terhadap orang lain, berarti
gerak-geriknya pasti akan dilakukan dengan hati-hati sekali,
paling tidak dia akan mencari tempat tertutup atau sering
menengok ke belakang.
Tapi orang yang sedang berlari di depan sana tak pernah
berhenti, langsung menuju ke arah hutan tanpa sangsi atau
curiga.
Baru saja Bong Thian-gak mengemukakan hal itu, Ho Putciang
dan Thia Leng-juan juga merasa orang di depan sedikit
pun tidak mirip Ku-lo Sinceng.
194
Akhirnya Ho Put-ciang berseru tertahan, "Aduh celaka, kita
sudah termakan siasat memancing harimau turun gunung."
"Lantas siapakah orang di depan sana?" tanya Bong Thiangak
kemudian.
"Mungkin Goan-ko Taysu!"
"Mari kita menyusulnya!"
Selesai berkata, mereka segera mempercepat langkah,
seperti anak panah terlepas dari busur, tak lama telah berhasil
menyusul di belakang orang itu.
Sementara itu orang di depan sana merasa jejaknya sedang
diikuti, mendadak saja ia memperlambat gerak tubuhnya.
Bong Thian-gak, Ho Put-ciang, Thia Leng-juan bertiga
segera melampaui orang itu sambil berpaling.
Tampak orang itu berwajah bulat, berkulit putih dan
berwajah merah, mengenakan jubah abu-abu yang kedodoran
dan panjang.
Siapa lagi orang ini kalau bukan Goan-ko Taysu?
Ketika Goan-ko Taysu menyaksikan Ho Put-ciang bertiga
telah menyusul, sekulum senyuman segera menghiasi
wajahnya, katanya, "Toa-supek Pinceng menyuruh aku
meninggalkan gedung Bengcu secara diam-diam pada tengah
malam ini menuju ke arah tenggara, katanya aku akan segera
bertemu dengan Ho-bengcu sekalian, ternyata kalian bertiga
datang tepat pada waktunya, entah ada urusan apa kalian
memanggil Pinceng datang kemari?"
Ketika mendengar perkataan itu, Bong Thian-gak sekalian
merasa gelisah bercampur geli.
Ho Put-ciang tidak menjawab pertanyaan Goan-ko Taysu,
sebaliknya bertanya cemas, "Ko-siauhiap, bagaimana cara
menyusul Ku-lo Supek?"
195
Bong Thian-gak menghela napas panjang, "Di saat kita
mengejar Goan-ko Taysu tadi, Ku-lo Locianpwe sudah pasti
telah berangkat untuk memenuhi janji, kemana kita harus
menemukannya sekarang?"
"Kita sekarang berempat, mari kita berpencar ke empat
penjuru mencarinya, ya ... apa boleh buat, lebih baik kita
mengadu untung ...." kata Thia Leng-juan kemudian.
Agaknya Goan-ko Taysu masih bingung dan tak habis
mengerti akan duduknya persoalan, segera tanyanya, "Hobengcu,
sebenarnya apa yang telah terjadi?"
"Sekarang waktu amat mendesak dan tidak mungkin
diceritakan, mari kita berpencar mencari Ku-lo Supek, begitu
menemukan jejaknya kita harus membantunya secara diamdiam."
"Baik," sambung Thia Leng-juan, "Kita pakai gedung Bu-lim
bengcu sebagai pusat, mari kita berpencar."
Selesai berkata dia membalik tubuh dan berlalu lebih dulu.
Ho Put-ciang segera melakukan pencarian ke arah utara.
Kini tinggal Bong Thian-gak dan Goan-ko Taysu yang masih
berdiri tak berkutik.
Melihat itu, Goan-ko Taysu segera bertanya, "Ko-sicu
hendak mencari ke arah mana?"
"Ke arah selatan!"
Selesai berkata, dia lantas berangkat menuju ke arah barat.
Sepeninggal semua orang, Bong Thian-gak mendongakkan
kepala memandang letak bintang, lalu menyapu pandang
sekeliling tempat itu, akhirnya dia bergumam, "Ku-lo Sinceng
memerintahkan Goan-ko menuju ke tenggara, menanti kita
merasa tertipu dan balik kembali ... kalau begitu tempat yang
dituju kalau bukan timur pasti selatan. Ke arah timur menuju
196
ke pantai pesisir, sedang ke arah selatan merupakan kuburan
dan dataran bukit... ah, betul! Sudah pasti tempat itu."
Selesai bergumam Bong Thian-gak segera mengerahkan
ilmu meringankan tubuhnya yang sempurna menuju ke
selatan.
Ilmu meringankan tubuhnya sangat sempurna, tak lama
kemudian dia telah menempuh perjalanan sejauh puluhan li
dan tiba di sebuah tanah berbukit-bukit.
Sejak kecil Bong Thian-gak hidup di kota Kay-hong, maka
dia pun tahu tempat ini bernama Kui-thau-nia (Tebing kepala
setan).
Sejauh mata memandang, di sana-sini hanya berupa tanah
berbukit yang tinggi rendah tak menentu, berlapis-lapis
memanjang ke arah selatan, tiap tebing berketinggian hampir
tiga puluh kaki dengan bentuk seperti kepala manusia, oleh
sebab itulah tebing itu dinamakan Tebing kepala setan.
Bong Thian-gak ragu sejenak, akhirnya dia mengerahkan
Ginkang menuju tebing paling tinggi dari Kui-thau-nia, dari
tempat ketinggian itulah dia mencoba memeriksa keadaan di
sekitar sana.
Sinar rembulan yang memancarkan sinar lembut membantu
penerangan sekitar sana, tapi suasana di sekeliling Kui-thaunia
amat sepi bagaikan kota mati saja.
"Mungkinkah aku salah menduga?" Bong Thian-gak
berpikir.
Tapi ia segera berpikir lagi, "Tapi selain tempat ini, di
sebelah selatan tak terdapat tempat lain yang cocok untuk
melangsungkan pertarungan."
Sementara dia masih tertegun dan berdiri termangu,
mendadak dari arah bukit sebelah utara Bong Thian-gak
menyaksikan ada sesosok bayangan orang sedang meluncur
datang dengan kecepatan tinggi.
197
Waktu itu Bong Thian-gak sudah memilih tempat
persembunyian, matanya mengawasi pendatang itu tanpa
berkedip.
Sementara pendatang itu semakin mendekati bukit Kuithau-
nia.
Ternyata pendatang ini tak lain adalah Ku-lo Sinceng dari
kuil Siau-lim-si.
Ku-lo Hwesio mengenakan baju berwarna kuning, tasbihnya
tergantung di depan dada, tangannya memegang Hud-tim dan
berjalan naik ke atas bukit dengan langkah amat tenang.
Ku-lo Hwesio yang bermata tajam memandang sekejap ke
sekeliling tempat itu, kemudian berjalan ke tanah rumput dan
duduk bersila di sana.
Tempat persembunyian Bong Thian-gak berada di belakang
batu karang di sebelah kiri Ku-lo Hwesio, di depan batu cadas
itu kebetulan tumbuh dua batang pohon pinus yang rendah
sehingga menutupi batu karang tadi.
Bong Thian-gak menyangka Ku-lo Hwesio baru akan
muncul pada saat ini, ketika ia mencoba mendongakkan
kepala, tengah malam baru lewat seperempat jam, ia tak tahu
jam berapakah Jit-kaucu menantang Ku-lo Hwesio untuk
bertarung di sini?
Sementara itu Ku-lo Hwesio sudah duduk bersila di situ
sembari bersemedi, Bong Thian-gak juga tak berani bertindak
sembarangan, dia tahu saat Ku-lo Sinceng bersemedi,
telinganya yang tajam dapat menangkap suara napas yang
berada dua puluh kaki sekitar tempat itu.
Maka Bong Thian-gak segera menggunakan ilmu Kui-sihoat
(ilmu napas kura-kura) dengan menempelkan diri di batu
cadas itu.
Waktu berlalu detik demi detik, menit demi menit ... tengah
malam lewat... jam satu tiba ....
198
Jam satu lewat, jam dua pun menjelang ... akhirnya malam
yang panjang akan berakhir.
Diam-diam Bong Thian-gak berpikir, "Aneh, mengapa Jitkaucu
belum juga datang? Atau mungkin Ku-lo Hwesio akan
menunggu seharian di sini?"
Belum habis ingatan itu melintas, di keheningan yang
mencekam di Kui-thau-nia, mendadak berkumandang suara
teguran dingin bagai es, "Ku-lo Hwesio, sejak kapan kau
sampai di sini?"
Bong Thian-gak amat terkejut mendengar ucapan itu,
dengan cepat dia mencoba mencari dengan mengarahkan
ketajaman matanya.
Di tengah kegelapan malam yang paling gelap menjelang
tibanya fajar, Jit-kaucu menampakkan diri.
Sesosok bayangan tubuh yang putih melayang keluar dari
balik kabut yang tebal, seperti sosok bayangan setan tahutahu
sudah berdiri di hadapan Ku-lo Hwesio.
Sementara itu Ku-lo Hwesio masih tetap duduk di atas
tanah, sahutnya, "Menjelang tengah malam, Pinceng sudah
sampai."
"Hwesio tua, begitu pagi kau sampai di sini, apakah kuatir
aku memasang jebakan di sini?"
"Pinceng tidak berani."
Kembali Jit-kaucu tertawa dingin, "Sam-kaucu telah
dikerubut di pagoda Leng-im-po-tah hingga menemui ajal, hari
ini mengapa kau tak mengundang orang-orangmu itu,
sehingga Kaucu tak usah repot-repot?"
Bong Thian-gak yang mendengar perkataan itu terkejut,
segera pikirnya, "Mungkinkah dia tahu aku bersembunyi di
sini?"
199
Sementara dia masih berpikir, Ku-lo Hwesio telah
menyahut, "Bila ada orang yang menyembunyikan diri di sini,
rasanya juga tak bakal lolos dari pengintaian Li-sicu."
"Bagus," kata Jit-kaucu dingin. "Perjanjian kita pada
kentongan kelima merupakan perjanjian menentukan mati
hidup kita, sekarang kita boleh melangsungkan pertarungan."
"Tunggu dulu!" seru Ku-lo Hwesio tiba-tiba.
"Apakah kau hendak meninggalkan pesan terakhirmu?"
"Sebelum pertarungan dimulai, Pinceng ingin mengajukan
beberapa pertanyaan kepada Li-sicu.
"Persoalan apakah yang hendak kau pahami?"
"Pertama-tama, Pinceng ingin mengetahui lebih dulu
apakah Li-sicu adalah Li-siausicu yang pernah muncul di ruang
belakang kuil Siau-lim-si pada delapan tahun berselang?"
"Daya ingatmu sangat bagus!"
Si Hwesio sudah mengira, tapi mendengar pengakuan itu,
tak urung hatinya terperanjat juga.
Setelah berhenti sesaat, Ku-lo Hwesio kembali berkata,
"Delapan tahun berselang, Li-sicu telah menggunakan ilmu
Jian-yang-ciang untuk menghantam Pinceng, entah
perselisihan atau dendam kusumat apakah yang terjalin antara
Pinceng dengan Li-sicu?"
Jit-kaucu tertawa dingin, "Delapan tahun berselang, aku
sudah menerangkan kepadamu bahwa aku mendapat perintah
mencabut nyawamu, sama sekali tiada ikatan dendam atau
sakit hati pribadi!"
"Omitohud!" puji syukur Ku-lo Hwesio untuk keagungan
Sang Buddha. "Li-sicu memiliki ilmu silat yang amat dahsyat,
namun perbuatanmu justru mencelakai orang secara
sembarangan, apakah kau tak merasa bahwa tindakanmu ini
melanggar norma-norma hukum Thian?" ,
200
"Suhuku telah membuang waktu selama dua puluh tahun
untuk mendidikku siang malam, Hwesio tua, kau tak usah
bersilat lidah lagi."
"Siapakah Suhu Li-sicu? Dapatkah memberitahu
kepadaku?"
"Dia adalah Cong-kaucu Put-gwa-cin-kau."
"Apakah Cong-kaucu itu pria atau wanita?" kembali Ku-lo
Hwesio bertanya sambil menghela napas panjang.
"Perempuan! Sebenarnya persoalan itu tidak boleh
kuberitahukan kepadamu, tapi mengingat kau akan kembali ke
langit barat, tidak ada salahnya kuberitahukan kepadamu!"
Sekali lagi Ku-lo Hwesio menghela napas, "Bila begitu,
perkiraan Pinceng tak salah, kalau Li-sicu telah
mengatakannya, mengapa tak kau sebutkan juga nama
gurumu itu?"
"Sudah diberi hati minta ampela ... ai, padahal aku sendiri
pun tak tahu siapa namanya."
"Masih ada satu hal lagi yang hendak kutanyakan, yaitu
ilmu Soh-li jian-yang-sin-kang yang dilatih Li-sicu sudah
berhasil mencapai tingkat berapa?"
"Sudah mencapai tingkat kesembilan, Hwesio tua, buat apa
kau menanyakan persoalan ini?"
Dengan sedih Ku-lo Hwesio menghela napas panjang,
"Sebab dalam pertarungan ini, Pinceng sama sekali tidak
mempunyai keyakinan untuk menang, andai aku tewas di
tangan Li-sicu, mungkin di Bu-lim dewasa ini tidak ada orang
yang bisa menghadapimu lagi."
Jit-kaucu tertawa terkekeh-kekeh, "Kau adalah jago lihai
nomor satu dalam Bu-lim, bila aku dapat membunuhmu,
apakah di Bu-lim masih ada orang yang bisa mengungguli
diriku lagi?"
201
Dengan suara dalam Ku-lo Hwesio berkata, "Ilmu silat amat
luas dan dalam, sama sekali tiada batasannya. Sejak dulu pun
banyak orang berbakat yang berhasil mempelajari ilmu sakti
dan menganggap dirinya tanpa tanding di kolong langit, tapi
akhirnya mereka justru tewas di tangan orang lain. Li-sicu
adalah seorang cerdik, tentunya kau dapat memahami
perkataanku bukan?"
"Hm, kini kentongan kelima sudah lewat, kau tak usah
banyak bicara lagi!" tukas Jit-kaucu dingin.
"Omitohud, para Nabi pernah berkata, tiada manusia yang
tak pernah berbuat kesalahan, tapi siapa yang mau mengubah
kesalahannya, dialah manusia bijaksana, Li-sicu mumpung
belum terperosok lebih dalam lagi, lepaskanlah golok
pembunuhmu, karena bila kau berpaling, di sanalah akan kau
jumpai tepian."
Beberapa patah kata itu diutarakan dengan suara nyaring
sehingga menggetarkan seluruh bukit dan mendengung tiada
hentinya.
Paras muka Jit-kaucu berubah hebat, segera bentaknya,
"Hari ini aku mengundangmu datang bukan untuk
mendengarkan kuliah Taysu, bila Taysu memiliki ilmu sakti
pelindung badan, gunakan saja dengan segera!"
Sementara itu fajar telah menyingsing di ufuk timur, cahaya
keemas-emasan pun mulai memancar ke empat penjuru.
Jit-kaucu mengenakan pakaian berwarna putih dengan
mantel yang terbuat dari bulu rase putih, begitu anggun,
cantik dan memukau.
Sebaliknya Ku-lo Hwesio dari Siau-lim-si duduk bersila di
tanah dengan sikap kereng dan serius, ia mengenakan kain
berwarna kuning dengan tasbih tergantung di leher, sepasang
tangannya dirapatkan menjepit sebatang Hud-tim.
202
Kini kedua tokoh sakti dari dunia persilatan ini berdiri dalam
jarak dekat tempat mata memancarkan sinar tajam saling
tatap, pertempuran sengit akan segera berlangsung.
Bong Thian-gak berada puluhan kaki dari arena, matanya
yang tajam mengawasi gerak-gerik kedua orang itu tanpa
berkedip.
Mendadak Jit-kaucu melejit ke tengah udara, kemudian
secepat kilat menerjang ke arah Ku-lo Hwesio.
Terhadap terjangan Jit-kaucu itu, Ku-lo Hwesio bersikap
seakan-akan tidak melihat, dia tetap duduk bersila sambil
memegang kebutnya tanpa bergerak.
Ketika terjangan Jit-kaucu hampir mencapai tubuh Ku-lo
Sinceng, mendadak dia melesat dengan cepat, lalu melayang
turun, kemudian dengan suara dingin bentaknya, "Hwesio tua,
tenaga dalammu benar-benar amat sempurna, rupanya kau
telah menguasai ilmu Tat-mo-khi-kang!"
Begitu selesai berkata, Jit-kaucu melejit kembali ke tengah
udara. Pertarungan sengit dengan kecepatan tinggi pun
segera berkobar.
Tatkala tubuh Jit-kaucu telah berada dekat Ku-lo Sinceng,
tangan kanannya diayun berulang-kali dan secara beruntun
melancarkan empat serangan berantai.
Ku-lo Hwesio segera melancarkan serangan balasan,
sepasang telapak tangannya yang menjepit kebut mendadak
menyambar ke samping, kebut tadi telah menari-nari dengan
cepat.
"Wes", hembusan tajam menderu.
Untuk kedua kalinya terjangan Jit-kaucu mengalami
kegagalan dan tubuhnya segera mundur.
Bong Thian-gak menonton jalannya dua kali bentrokan
kekerasan dari Ku-lo Sinceng dan Jit-kaucu, hatinya
203
terperanjat, pikirnya, "Kalau aku yang dihadapkan dengan
serangan itu, mungkin serangan yang pertama Jit-kaucu pun
tak mampu kutahan."
Setelah gagal dengan serangannya, tiba-tiba Jit-kaucu
menghindar dengan wajah serius, selapis hawa dingin
mencekam wajahnya, dihiasi pula dengan hawa nafsu
membunuh yang mengerikan.
Sementara itu paras muka Ku-lo Hwesio juga berubah
serius.
Mendadak Jit-kaucu mengangkat telapak tangan kirinya
pelan-pelan, kemudian telapak tangan yang putih dan halus
itu diluruskan ke depan, pada telapak tangannya lamat-lamat
tampak cahaya merah membara seperti bola api yang
berputar kencang.
Dengan kening berkerut, Bong Thian-gak membatin,
"Mungkin serangan inilah yang dinamakan ilmu Soh-li-jian-sinkang
yang hebat itu!"
Belum habis ingatan itu melintas, tubuh Jit-kaucu sudah
melejit lagi ke tengah udara dan melancarkan tubrukan ketiga
kalinya.
Mungkin dalam serangan inilah akan ditentukan menangkalah
kedua belah pihak.
Pertarungan itu mungkin tidak akan berlangsung terlampau
lama, oleh sebab itu Bong Thian-gak mengalihkan sorot
matanya yang tegang mengawasi jalannya pertarungan tanpa
berkedip.
Tampak Jit-kaucu pelan-pelan bergerak ke depan dan
lambat-laun mendekat ke arah Ku-lo Hwesio.
Tiba-tiba telapak tangan kiri Jit-kaucu yang putih
memancarkan cahaya merah yang amat menyilaukan mata,
ibarat matahari yang baru terbit, bola api berputar-putar.
204
Di saat itu pula telapak tangan Jit-kaucu segera
memanfaatkan kesempatan untuk menerobos masuk.
Kenyataan membuktikan bahwa ilmu pukulan Soh-li-jiansin-
kang Jit-kaucu telah berhasil memecah pertahanan Tatmo-
khi-kang yang disalurkan Ku-lo Hwesio untuk melindungi
tubuhnya.
Dalam waktu yang amat singkat itulah telapak tangan
kedua belah pihak memainkan berbagai macam jurus
serangan yang aneh tapi amat sakti.
Suara jeritan keras bergema di udara dan mengakhiri
pertarungan itu.
Tubuh Jit-kaucu mencelat ke samping kanan kemudian
jatuh terbanting ke tanah, kemudian tak berkutik lagi.
Sebaliknya jubah kuning yang dipakai Ku-lo Hwesio juga
banyak terdapat lubang di sana-sini, namun dia masih tetap
berdiri dan diam di tempat semula.
Bong Thian-gak yang menyaksikan adegan itu menjadi
gembira, akhirnya Jit-kaucu berhasil juga dikalahkan.
Sebenarnya ia ingin keluar dari tempat persembunyiannya
untuk memburu ke depan, tapi setelah menyaksikan Ku-lo
Hwesio masih tetap berdiri tak berkutik di tempat semula, ia
tertegun.
Tak lama kemudian, Ku-lo Hwesio menghembus napas
panjang dengan sedih, lalu melangkah ke depan menuju ke
arah Jit-kaucu yang terkapar di tanah itu.
Kini Bong Thian-gak dapat melihat muka Ku-lo Hwesio
pucat-pias seperti mayat, tampaknya dia telah banyak
kehilangan hawa murninya.
Setelah mengawasi beberapa kejap tubuh Jit-kaucu yang
tak berkutik itu, Ku-lo Hwesio baru membalikkan badan dan
berlalu dari situ.
205
Bong Thian-gak ingin memanggil, namun setelah
termenung sebentar dia lantas berpikir, "Entah bagaimanakah
keadaan Jit-kaucu?"
Teringat akan Jit-kaucu, Bong Thian-gak segera teringat
pula keindahan tubuh si nona yang telanjang bulat itu.
Ku-lo Hwesio berlalu dengan sangat cepat, bayangan
tubuhnya sudah lenyap dari pandangan.
Pada saat itulah Bong Thian-gak muncul dari balik batu
karang dan berjalan mendekat.
Matahari pagi telah memancarkan sinarnya menembus
awan tebal dan menyoroti wajah Jit-kaucu.
Tampak Jit-kaucu memejamkan mata rapat-rapat,
wajahnya yang cantik kini pucat keabu-abuan, tiada luka di
atas tubuhnya, namun ujung bibirnya tampak noda darah,
pakaiannya juga penuh dengan noda darah.
Diam-diam Bong Thian-gak menghela napas panjang,
pikirnya, "Gadis yang begini cantik akhirnya harus menemui
ajal dalam keadaan mengenaskan, tak lama kemudian dia
akan berubah menjadi sekerat tulang-belulang."
Berpikir sampai di sini, dia lantas merenung lebih jauh,
"bagaimana pun juga dia sudah mati, kasihan jenazahnya
dibiarkan telantar disinari terik matahari, ditimpa air hujan
atau mungkin akan menjadi santapan serigala kelaparan ....
Ai, bagaimana pun juga kematian akan mengakhiri segalagalanya,
biarlah kubuatkan sebuah liang untuk mengubur
jenazahnya!"
Bong Thian-gak segera mencabut pedangnya yang tajam
dan menggunakan pedang sebagai sekop untuk menggali
sebuah liang kubur di situ.
Setelah membuang waktu hampir setengah jam lamanya,
dia telah berhasil membuat sebuah liang.
206
Di kala Bong Thian-gak berpaling untuk mengubur jenazah
Jit-kaucu, mendadak dia tertegun.
Rupanya jenazah itu sudah lenyap entah kemana perginya.
Sementara Bong Thian-gak terkejut, tiba-tiba terdengar
seorang menegur dengan suara merdu, "Buat apa kau
menggali liang kubur?"
Mendengar teguran itu kembali ia berpaling, hampir saja
pemuda itu menjerit keras.
Ternyata Jit-kaucu sudah duduk di bawah pohon kurang
lebih belasan kaki di hadapannya.
Jadi dia belum mati?
Bong Thian-gak sungguh terperanjat, sekali lagi ia
mengawasi tubuh nona itu dengan seksama, ternyata ujung
bibirnya masih penuh noda darah, pakaiannya juga masih
berlepotan darah, hanya paras mukanya yang semula pucatpias,
kini sudah nampak lebih baikan.
Menyaksikan Bong Thian-gak lama sekali membungkam,
Jit-kaucu menghela napas sedih, kemudian katanya, "Apakah
kau membuat liang kubur itu untuk mengubur jenazahku?"
"Kau ... kau belum mati?" Bong Thian-gak berseru
tergagap.
"Kalau sudah mati, bagaimana mungkin bisa bicara?" jawab
Jit-kaucu hambar.
Bong Thian-gak segera menggerakkan badannya seraya
berseru lantang, "Jika kau belum mati, maka aku harus
mencabut jiwamu."
"Mengapa engkau hendak mencabut nyawaku?" tegur Jitkaucu
tanpa berubah wajah.
207
Bong Thian-gak tertegun oleh pertanyaan itu, setelah
termenung sebentar, ia baru menjawab, "Kau adalah pentolan
yang menerbitkan berbagai keonaran dalam Bu-lim, sebelum
kau mati, dunia persilatan tak akan memperoleh kedamaian."
"Ku-lo Hwesio saja tak mampu mencabut nyawaku, apalagi
kau ... kau tak mungkin berhasil."
"Jadi kau hanya pura-pura mati?" tanya Bong Thian-gak
dengan perasaan bergetar keras.
"Aku jatuh tak sadarkan diri tapi tidak mati, ilmu silat
Hwesio tua itu memang sangat lihai, sangat sempurna, cuma
sayang dia ...”
"Dia kenapa?" seru Bong Thian-gak cepat.
"Dia tak bisa hidup lebih tujuh hari," kata Jit-kaucu.
"Mengapa tak dapat hidup lebih tujuh hari?"
"Tadi dia telah menggunakan pertarungan adu jiwa yang
bisa menyebabkan kedua belah pihak sama-sama terluka,
pada kesempatan itu jalan darah Jin-meh dan Tok-meh
Hwesio tua itu telah kulukai dengan pukulan Soh-li-jian-yangsin-
kang. Dia tidak segera tewas karena tenaga dalamnya
sempurna, tapi akhirnya tak akan lolos juga dari kematian."
Bong Thian-gak benar-benar terperanjat mendengar
ucapan itu, "Sungguh perkataanmu itu?"
"Apa yang kuucapkan tentu saja sungguh-sungguh."
Paras Bong Thian-gak berubah hebat, dia tak menyangka
jerih-payah Ku-lo Hwesio untuk melenyapkan Jit-kaucu dari
muka bumi menjadi punah tak berbekas, dia tak segan
mengorbankan jiwa sendiri dengan melakukan pertarungan
adu jiwa.
Baginya, asal Jit-kaucu bisa dilenyapkan, sekali pun harus
mati dia tak sayang, namun ia bertindak kurang teliti, sebelum
memeriksa mati-hidup lawan, ia telah berlalu begitu saja dan
208
akibatnya usaha yang dilakukan selama ini menjadi sia-sia
belaka.
Tadi selagi Jit-kaucu tak sadar, bila Ku-lo Hwesio
mengetahui gadis itu belum mati tentu akan menambahi
dengan sebuah pukulan mematikan, sudah pasti Jit-kaucu
takkan bisa hidup lebih lama.
Bong Thian-gak pun menyesal mengapa tak memeriksa
lebih dulu atau mungkin Jit-kaucu memang belum ditakdirkan
untuk mati?
Terdengar Jit-kaucu berkata, "Kau yang menjumpai aku
mati ternyata tak tega membiarkan jenazahku terbengkalai di
tanah terbuka, bahkan menggalikan liang lahat untuk
mengubur jenazahku, meski aku tak jadi mati, namun
kebajikan serta kemuliaan hatimu sungguh membuat aku
terharu dan tidak akan melupakan kebaikanmu itu untuk
selamanya."
Sementara itu pikiran Bong Thian-gak amat kalut, dalam
keadaan dan kondisi seperti ini sudah seharusnya ia
menampilkan diri dan menggunakan segenap kekuatan yang
ada untuk menyelesaikan tugas Ku-lo Sinceng yang belum
terselesaikan itu.
Begitu niat itu melintas, Bong Thian-gak segera mengambil
keputusan dalam hati, sesudah tertawa dingin, katanya, "Aku
tidak peduli bagaimana ilmu silatmu, aku bertekad bertarung
melawanmu."
"Aku pun mengambil keputusan untuk tidak mencelakai
jiwamu, sebagai ucapan terima kasihku atas kebaikanmu
membuat liang lahat bagiku tadi."
"Maaf kalau begitu!" sambil berkata dia segera maju
sembari melancarkan sebuah tusukan kilat.
Ilmu silat Bong Thian-gak sekarang telah mencapai tingkat
yang luar biasa, tusukan itu pun disertai tenaga yang amat
209
dahsyat, itulah ilmu pedang terbang Cwan-sim-kiam-hoat
(Ilmu pedang penembus hati).
Jit-kaucu masih duduk di bawah pohon tanpa bergerak,
menanti serangan itu datang, tiba-tiba saja dia menyentilkan
jari tangannya ke depan.
Bunyi bergemerincing yang memekakkan telinga
berkumandang memecah keheningan.
Sambil menarik kembali senjatanya, Bong Thian-gak
mundur sejauh tiga-empat langkah, kemudian serunya dengan
terperanjat, "Hm, ilmu jari Kiam-goan-ci!"
"Betul, inilah Kiam-goan-ci, ilmu sakti perguruan Mi-tiongbun
di Tibet. Kiu-kaucu perkumpulan kami pernah
memberitahu kau punya ilmu sakti aliran Mi-tiong-bun,
nampaknya apa yang dia laporkan memang benar."
"Kau maksudkan si nona berbaju merah itu?"
"Ya, betul! Ni Kiu-yu!"
Bong Thian-gak memang sudah menduga gadis berbaju
merah yang muncul di pagoda Leng-im-po-tah itu tentu
merupakan anggota Put-gwa-cin-kau, ternyata apa yang
diduga memang betul, gadis muda itu adalah Kiu-kaucu.
Jit-kaucu berkata lagi, "Hingga sekarang aku belum berhasil
menduga riwayat hidupmu, tapi dari aliran ilmu silat yang kau
miliki, bukan saja memahami ilmu silat Mi-tiong-bun dan
menguasai seluruh aliran ilmu silat semua partai di kolong
langit, bila dugaanku tidak salah hanya dua orang di kolong
langit dewasa ini yang bisa mengajar seorang murid semacam
kau ini."
"Siapakah kedua orang itu?" tanya Bong Thian-gak
keheranan.
"Pertama adalah Cong-kaucu perkumpulan kami!"
210
"Kau maksudkan Cong-kaucu Put-gwa-cin-kau?" seru Bong
Thian-gak tertegun.
"Hari ini aku ingin kau bicara blak-blakan, benarkah kau
utusan khusus yang dikirim Cong-kaucu untuk mengawasi
diriku?"
Semakin mendengar, Bong Thian-gak semakin bingung,
tapi dari perkataan Jit-kaucu ini pula dia tahu bahwa antara
sesama anggota Put-gwa-cin-kau sebenarnya saling tidak
percaya dan curiga.
Kemungkinan besar Put-gwa-cin-kau terbentuk karena
usaha Cong-kaucu yang mempengaruhi orang dengan
kekerasan.
Sekarang Bong Thian-gak dihadapkan pada suatu masalah
penting yang harus diputuskan dengan cepat, tanpa terasa dia
berkerut kening sambil termenung.
Dengan sorot mata tajam Jit-kaucu mengawasi wajah Bong
Thian-gak lekat-lekat, gumamnya, "Selama puluhan tahun
terakhir ini, Suhu amat baik terhadapku, mengapa aku harus
mencurigai dia?"
Mendengar perkataan itu, Bong Thian-gak mengangkat
kepala dan memandang sekejap ke arah Jit-kaucu, kemudian
katanya, "Tadi Ku-lo sanseng telah berkata kepadamu, dari
dulu hingga sekarang terdapat pentolan persilatan yang ingin
menjadi raja dunia persilatan, coba berapa banyak orang yang
tewas dengan nama rusak dan tubuh binasa? Bilamana kau
pintar, sudah seharusnya berpaling ke jalan benar, mumpung
sekarang masih belum terlambat."
"Kau menginginkan aku berbuat apa?" tanya Jit-kaucu
dengan suara hambar.
"Melepas jalan sesat kembali ke jalan yang benar."
Jit-kaucu tersenyum.
211
"Kau belum menjawab pertanyaanku tadi?" serunya.
"Aku bukan anggota Put-gwa-cin-kau!" jawab Bong Thiangak.
"Oh, kalau begitu kau adalah muridnya?"
"Murid siapa?"
"Jian-bin-hu-li Ban Li-biau!"
Mendengar itu kontan paras muka Bong Thian-gak berubah
hebat, tanyanya, "Kau pun kenal nama itu?"
"Tiada nama jago lihai di dunia ini yang tidak kukenal."
Diam-diam Bong Thian-gak terkejut, dengan cepat dia
berpikir, "Sebelum menemui ajal. Suhu kedua telah berkata,
ada seorang lain pernah memperoleh pelajaran ilmu silat
darinya, mungkinkah orang itu adalah Jit-kaucu?"
Berpikir sampai di situ Bong Thian-gak segera bertanya,
"Kau pernah berjumpa dengannya?"
"Kau ini bagaimana? Mengapa tidak menjawab dulu
pertanyaan orang?"
"Ya, betul! Dia adalah guruku," jawab Bong Thian-gak
kemudian dengan suara tegas.
Paras muka Jit-kaucu berubah hebat, tanyanya, "Sudah
matikah dia?"
"Ya, baru beberapa bulan berselang."
Jit-kaucu menghela napas, "Ai, pernahkah dia menceritakan
sesuatu tentang diriku?"
"Sebenarnya ada hubungan apakah antara kau dengan dia
orang tua?"
"Guru yang memberi pelajaran ilmu silat selama empat
puluh sembilan hari kepadaku."
212
Dengan terkejut Bong Thian-gak berkata, "Jit-kaucu, kau
adalah orang pertama yang memperoleh warisan ilmu silat
dari dia orang tua?"
"Benar, peristiwa itu berlangsung dua puluh tahun
berselang, aku hanya empat puluh sembilan hari berada
bersamanya."
"Dua puluh tahun berselang? Lantas pada umur berapa kau
bertemu dengan dia orang tua?"
"Waktu berumur lima tahun."
Bong Thian-gak menggeleng kepala berulang-kali.
"Sejak usia lima tahun sudah berlatih silat, bahkan
memperoleh pelajaran silat selama empat puluh sembilan
hari."
"Waktu itu aku masih belum memahami ilmu silat, tapi dia
orang tua membacakan teori ilmu silat dan suruh aku
menghafal di luar kepala, maka aku pun ingat terus sampai
sekarang."
Bong Thian-gak menghela napas sedih, "Ai, sebelum
meninggal, Suhu Ban Li-biau telah berkata kepadaku, 'Selama
hidup Lohu hanya melakukan kejahatan, kemaruk akan nama,
harta dan kedudukan, selalu berusaha mencapai harapan
dengan menggunakan cara apa pun, tapi akibatnya tujuh
puluh tahun hidupku di dunia ini sia-sia belaka ... Ai budi
dendam dalam Bu-lim selamanya merupakan perputaran dari
hukum karma, siksaan hidup yang Lohu alami selama tiga
puluh tahun ini betul-betul merupakan suatu hukuman yang
paling adil....'."
"Hanya mengucapkan kata-kata itu saja?" tanya Jit-kaucu.
"Dia masih berkata bahwa ia pernah mewariskan ilmu silat
kepada seorang lain, dia suruh aku baik-baik mempergunakan
ilmu itu."
213
"Ai, dia orang tua memang kelewat mengenaskan nasibnya,
kelewat kesepian," ujar Jit-kaucu menghela napas.
"Tahukah kau mengapa dia orang tua menjadi cacat seperti
itu?"
"Tidak!"
Dengan suara dalam Bong Thian-gak berkata, "Kau dan aku
boleh dibilang berasal dari perguruan yang sama, kata-kata
terakhir dari Jian-bin-hu-li Ban Li-biau sudah jelas
menerangkan bagaimana akibatnya bila seseorang melakukan
kejahatan, sekarang bagaimana perasaanmu?"
Paras muka Jit-kaucu berubah. "Kau jangan menasehati
aku," katanya.
"Aku harus memberi peringatan padamu agar jangan
bercerita kepada siapa pun bahwa kau pernah belajar ilmu
silat dari Ban Li-biau, sebab bila rahasia ini sampai bocor,
maka keselamatan jiwamu akan terancam."
"Aku tidak takut menghadapi kematian, asal kematianku itu
berharga, setiap saat aku bersedia mengorbankan diri demi
keadilan dan kebenaran."
"Ya, kini kau dan aku sudah menjadi Suheng-moay," ucap
Jit-kaucu sedih. "Tapi kita pun berhadapan sebagai musuh,
bagaimana aku harus menyelesaikan persoalan ini?"
Setelah mengucapkan kata-kata itu, wajahnya
menampilkan perasaan sedih dan murung yang tak
berlukiskan.
Bong Thian-gak sendiri pun merasa betapa cepatnya
perubahan Itu berlangsung, sebetulnya hari ini dia bertekad
akan mengadu jiwa dengannya, tapi kenyataan membuktikan
bahwa mereka adalah sesama saudara seperguruan,
bagaimana mungkin dia bisa turun tangan?
214
Mendadak Bong Thian-gak menarik kembali pedangnya dan
berkata dengan wajah serius, "Tentang usulku agar kau
kembali ke jalan yang benar harap dipikirkan masak-masak,
tindak-tandukmu di kemudian hari yang akan menentukan
segalanya."
Usai berkata dia membalikkan badan dan siap berlalu dari
situ.
Mendadak Jit-kaucu berseru, "Tunggu dulu!"
Pelan-pelan Bong Thian-gak membalikkan badan, lalu
bertanya, "Masih ada urusan apa lagi?"
Dengan wajah dingin Jit-kaucu berkata, "Apabila Ku-lo
Hwesio masih ingin mempertahankan jiwanya atas luka yang
dideritanya, suruh dia mengutungi sepasang kakinya sebatas
lutut dalam tiga jam, biarkan darah mengalir keluar hingga
berubah menjadi merah segar, kemudian baru hentikan aliran
darah itu, bila melewati waktu yang ditentukan, maka dia akan
berubah menjadi cacat!"
Bong Thian-gak tertegun.
"Mungkin dia mempunyai cara pengobatan yang lebih
baik," katanya kemudian.
"Hanya cara ini saja yang bisa mempertahankan ilmu
silatnya hingga tidak punah, percaya atau tidak terserah
kepadamu."
"Siapa tahu dia tidak menderita begitu parah seperti apa
yang kau ucapkan?"
"Ku-lo Sinceng memang telah berhasil menemukan ilmu
silat yang bisa menandingi Soh-li-jian-yang-sin-kang, namun
dia telah salah memperhitungkan kesempurnaan tenaga
dalamku."
215
Sampai di situ dia berhenti sejenak, lalu melanjutkan, "Aku
bernama Thay-kun, di Bu-lim hanya kau seorang yang
mengetahui namaku itu."
"Thay-kun? Kau berasal dari marga apa?" tanya Bong
Thian-gak dengan kening berkerut.
"Belum kuketahui apa margaku."
Walaupun Bong Thian-gak agak tercengang oleh jawaban
itu, namun dia juga tidak banyak bertanya, katanya kemudian,
"Sampai jumpa lain waktu!"
Dia membalikkan badan dan beranjak pergi dari tempat itu.
Jit-kaucu Thay-kun memandangnya hingga bayangan
punggung pemuda itu lenyap dari pandangan, kemudian
sambil menghela napas gumamnya, "Mengapa aku
memberitahu banyak hal kepadanya ... mengapa aku harus
memberitahu namaku kepadanya ...."
Dia pun bangkit dan mengayunkan langkah meninggalkan
tebing Kui-thau-nia itu.
Bong Thian-gak mengerahkan Ginkang menuju gedung Bulim
Bengcu.
Sepanjang jalan, banyak persoalan yang dipikirkan olehnya.
Dia sama sekali tidak menyangka Jit-kaucu adalah ahli
waris lain Jian-bin-hu-li Ban Li-biau.
Di usia lima tahun, ternyata selama empat puluh sembilan
hari dia digembleng ilmu silat oleh Ban Li-biau, peristiwa itu
membuat orang sukar percaya.
Dari keberhasilan Jit-kaucu Thay-kun menguasai ilmu silat,
mau tak mau orang harus percaya juga.
Dia adalah salah seorang ahli waris Ban Li-biau, bagaimana
pun juga dia harus memberi kesempatan baginya untuk
menempuh hidup baru.
216
Ai, perubahan yang terjadi atas segala persoalan ini
memang berlangsung sangat mendadak, perlukah masalah itu
diberitahukan kepada Ku-lo Sinceng?
Teringat akan Ku-lo Hwesio, Bong Thian-gak segera
mempercepat langkahnya, setengah jam kemudian dia telah
tiba di depan pintu gerbang gedung Bu-lim Bengcu.
Pengawal pintu yang menyaksikan kedatangan Bong Thiangak,
segera menyongsong seraya berkata dengan penuh rasa
hormat, "Ko-siauhiap, Bengcu telah berpesan, bila Siauhiap
telah kembali dipersilakan segera menuju loteng sebelah
timur."
Bong Thian-gak sudah menduga akan duduk masalahnya,
dia segera menerobos ke dalam gedung dan menuju ke loteng
sebelah timur.
Begitu masuk ke loteng, ia saksikan di ruang tamu sudah
menunggu Ho Put-ciang, Thia Leng-juan, Toan-jong-hong-liu
Yu Heng-sui, Oh Cian-giok, Ui-hok Totiang dari Bu-tong-pay,
Wan-pit-kim-to Ang
Thong-lam, Hian-thian-koancu Yu Ciang-hong serta Goanko
Taysu.
Sedang di atas kasur duduk bersila Ku-lo Hwesio, saat itu
dia sedang memejamkan mata dengan wajah memucat,
mukanya sama sekali tidak nampak warna darah.
Begitu Pa-ong-kiong Ho Put-ciang menyaksikan Bong
Thian-gak kembali, buru-buru dia menyongsong seraya
berseru, "Ko-siauhiap, Ku-lo Supek ada pesan yang hendak
disampaikan kepadamu."
Sorot mata Bong Thian-gak yang tajam dengan cepat
menyapu semua wajah orang dengan serius, murung dan
sedih, ia segera mengetahui apa gerangan yang telah terjadi.
217
Buru-buru dia maju, menjatuhkan diri dan berlutut, ujarnya
kepada Ku-lo Sinceng, "Wanpwe menjumpai Sinceng, entah
Sinceng ada pesan apa yang hendak disampaikan?"
Waktu itu Ku-lo Hwesio sudah memejamkan mata rapatrapat,
namun bibirnya masih dapat bergerak mengeluarkan
suara yang amat lirih, terdengar dia berbisik, "Ko-siauhiap,
Pinceng sudah tak dapat hidup lebih lama lagi... Jit-kaucu juga
telah mati...."
Sebenarnya Bong Thian-gak hendak memberitahu
kepadanya bahwa Jit-kaucu belum mati, namun kuatir Ku-lo
Hwesio terlalu kaget, maka dia hanya berkerut kening dan
untuk sementara waktu tidak berkata apa-apa.
Terdengar Ku-lo Hwesio berkata lebih jauh, "Selanjutnya
musuh-musuh tangguh dari Put-gwa-cin-kau ... harus ... harus
kalian dan Ho-hiantit menghadapinya! Pinceng sengaja
menunggumu karena aku hendak mewariskan ilmu Tat-mokhi-
kang kepadamu ... sayang bila ilmu sakti ini sampai hilang
dari dunia ini ... Tat-mo-khi-kang sudah ratusan tahun lenyap
dari dunia persilatan, Pinceng pun harus mengorbankan waktu
delapan tahun untuk mencapai tingkat tiga."
"Dari tingkat empat sampai tingkat sepuluh ... kitab itu
sudah hilang sejak tiga puluh tahun lalu, kitab itu dicuri orang
dari tempat penyimpanan oleh orang tak dikenal... orang itu
mungkin adalah ...."
"Toa-supek, siapakah orang itu?" Goan-ko Taysu berseru
keras.
Ku-lo Hwesio tidak menjawab pertanyaan itu, sebaliknya
berkata lebih lanjut, "Meskipun ia berhasil mencuri kitab Tatmo-
khi-kang dari tingkat keempat hingga sepuluh, tapi tak
pernah berhasil mempelajari ilmu sakti itu, sebab dasar utama
ilmu Tat-mo-khi-kang justru terletak pada tingkat pertama dan
kedua, bila dasarnya tak ada, maka sulit untuk mencapai
tingkat keempat yang jauh lebih dalam isinya ...."
218
"Bila seseorang bisa melatih ilmu Tat-mo-khi-kang hingga
tingkat ketujuh, maka sudah cukup menjagoi kolong langit
dan sukar untuk dicari tandingannya."
"Bila dugaan Pinceng tak salah dan bila orang yang mencuri
kitab pusaka Tat-mo-khi-kang dari tingkat keempat sampai
kesepuluh itu benar-benar dia, maka Ko-siauhiap sudah pasti
telah memperoleh ilmu warisan darinya."
Ketika Ho Put-ciang dan Thia Leng-juan mendengar sampai
di situ, mereka tahu siapa orang yang dimaksud Ku-lo Hwesio,
sudah pasti orang yang mencuri kitab pusaka Tat-mo-khi-kang
dari tingkat empat sampai sepuluh itu adalah Jian-bin-hu-li
Ban Li-biau.
Bong Thian-gak sendiri ketika mendengar ucapan itu,
segera teringat suatu peristiwa di saat Ban Li-biau hendak
mewariskan ilmu silat kepadanya.
Maka dengan cepat Bong Thian-gak menjawab, "Apa yang
diduga Sinceng memang benar, orang yang mencuri kitab itu
memang dia orang tua."
Ku-lo Hwesio memejamkan mata rapat-rapat, dia lantas
bertanya, "Mengapa kau merasa yakin?"
"Suatu waktu tatkala dia orang tua sedang memberi
pelajaran ilmu silat kepadaku, beliau telah mewariskan ketujuh
kupasan ilmu itu dengan catatan aku hanya boleh menghafal
tidak boleh melatihnya dengan akibat bisa mendatangkan bibit
bencana. Pada saat itu meski aku merasa heran, besar
kemungkinan ilmu itu adalah Tat-mo-khi-kang."
Paras muka Ku-lo Hwesio segera nampak berseri, tanyanya
dengan cepat, "Ko-siauhiap, apakah kau masih hapal semua
ilmu itu?"
Bong Thian-gak menjawab, "Ai, waktu itu dia orang tua
berkata, hanya menghapal dan jangan dilatih, karena bisa
mengakibatkan bencana, oleh sebab itu Wanpwe merasa ilmu
219
itu tak ada gunanya, maka aku tidak mengingatnya secara
baik, bahkan dua-tiga bagian yang tei akhir berhubung ada
huruf dan kata yang asing, seperti bukan huruf Han, pada
hakikatnya sulit buatku untuk mengingatnya."
Mendengar itu Ku-lo Hwesio menghela napas panjang,
"Sayang, sayang sekali, kalau begitu ilmu Tat-mo-khi-kang tak
pernah akan menjadi utuh ... perkataan Ko-siauhiap memang
benar, kitab pusaka Tat-mo-khi-kang memang ditulis sendiri
oleh Tat-mo Cosu pendiri kuil Siau-lim-si kami, ketika itu
semua tulisan dicatat dalam huruf negeri Thian-tiok sehingga
sulit bagi orang yang tidak memahami. Selama ratusan tahun
belakangan ini, banyak sudah tokoh Siau-lim-si yang
mendalami ilmu itu, namun selama ini hanya seorang saja
yang berhasil hingga mendalami tingkat ketujuh, sebab kecuali
tingkat satu sampai tingkat tujuh yang ada terjemahannya
dalam bahasa Han, dari tingkat delapan sampai sepuluh
memang ditulis dalam huruf Sansekerta!"
"Kecuali tiga bagian yang terakhir tidak mampu Wanpwe
hafalkan secara baik, empat bagian yang pertama mungkin
masih bisa diingat dengan baik."
Dengan gembira Ku-lo Hwesio berkata, "Bagus sekali kalau
begitu, berarti dunia persilatan bisa ditolong."
Cepat Bong Thian-gak berkata, "Walau Locianpwe sudah
terkena pukulan Soh-li-jian-yang-sin-kang, belum tentu luka
itu menyebabkan kematian, sebab Wanpwe mempunyai cara
untuk menyelamatkan Locianpwe, sekarang paling baik kalau
kita mengobati dulu luka yang diderita Locianpwe."
"Ko-siauhiap, dengarkan baik-baik," Ku-lo Hwesio berkata
dengan cemas. "Kematian Pinceng tiada sesuatu yang perlu
disayangkan, persoalan yang paling Pinceng kuatirkan adalah
hilangnya Tat-mo-khi-kang ini dari dunia persilatan, sebab
hanya ilmu Tat-mo-khi-kang yang merupakan dasar ilmu silat,
asal Tat-mo-khi-kang ini bisa diwariskan kepada seseorang,
220
maka ilmu sesat macam apa pun jangan harap bisa
menandinginya."
"Oleh sebab itu sekarang aku harus memanfaatkan
kesempatan yang amat pendek ini untuk mewariskan ketiga
bagian Tat-mo-khi-kang itu kepadamu, asal kau mampu
menguasai ilmu itu, berarti dunia persilatan akan menemukan
bintang penolong."
Bong Thian-gak tahu Ku-lo Hwesio tidak percaya bila dia
mampu menyembuhkan luka itu, dalam keadaan demikian dia
tak berani lagi mengungkapkan bahwa Jit-kaucu sebetulnya
belum mati.
Kini ia dihadapkan pada persoalan yang sukar untuk
diputuskan.
Terdengar Ku-lo Hwesio berkata, "Pinceng pun mempunyai
cara untuk mengobati luka ini, tapi tidak terlalu yakin, maka
Pinceng lebih suka mengorbankan nyawaku daripada
membuang waktu dengan percuma. Ko-siauhiap, kau orang
pintar, kau harus mempunyai pilihan yang tepat. Sekarang
cepat kau kumpulkan semua perhatian dan pikiranmu untuk
mendengar pelajaranku ini .... Semua orang yang berada di
loteng harap mengundurkan diri dari sini dan jaga keamanan
di sekitar pagoda ini, jangan biarkan orang memasuki tempat
ini."
Begitu Ku-lo Hwesio selesai berkata, Ho Put-ciang sekalian
segera beranjak dan mengundurkan diri dari situ.
Bong Thian-gak segera berteriak, "Ho-bengcu, jangan pergi
dulu, aku masih ada persoalan yang hendak disampaikan."
Dengan paras muka serius, Pa-ong-kiong Ho Put-ciang
berpaling, kemudian sahutnya, "Ko-siauhiap, bila kau tidak
memiliki keyakinan seratus persen, lebih baik menurut saja
perkataan Sinceng."
221
"Sinceng adalah tokoh persilatan yang berilmu tinggi,
apakah kita harus membiarkan dia mati begitu saja?"
"Sinceng setia kawan dan rela mengorbankan jiwa, lebih
baik Ko-siauhiap pusatkan segenap perhatianmu ...."
Belum selesai berkata, dia sudah membalikkan badan dan
mengundurkan diri dari situ.
Bong Thian-gak berpaling ke arah Ku-lo Hwesio, dilihatnya
pendeta itu sedang memejamkan mata, kulit mukanya yang
kurus kering nampak kekuning-kuningan, tak tahan lagi ia
berbisik, "Locianpwe!"
Kembali ia menjatuhkan diri berlutut di hadapannya.
Ternyata pada saat itu Bong Thian-gak teringat cara
penyembuhan yang diajarkan Jit-kaucu Thay-kun kepadanya,
untuk menyembuhkan luka Ku-lo Hwesio memang belum
tentu bisa.
Berada dalam keadaan seperti ini, dia tak berani banyak
bicara, ditambah Ku-lo Sinceng telah memusatkan
perhatiannya mewariskan Ilmu rahasia itu.
"Tingkat pertama Tat-mo-khi-kang berbunyi: Dasar
pernapasan melupakan akar kepandaian, kendorkan badan,
atur pernapasan, aliran darah harus dasar...."
Dalam kejutnya, cepat Bong Thian-gak duduk bersila di
atas tanah dan mulai memejamkan mata mengikuti pelajaran
itu dan dihapalkan dalam hati.
Sepatah demi sepatah Ku-lo Hwesio membaca rahasia Tatmo-
khi-kang dengan sabar dan jelas.
Sementara Bong Thian-gak juga menghimpun segenap
pikiran dan perhatiannya mendengarkan dan mengingat
sambil memahami.
Dalam waktu singkat kedua orang itu seakan-akan lupa
akan segala persoalan, mereka memusatkan pikiran dan
222
pendengaran dalam mempelajari kepandaian sakti Tat-mo-khikang,
biar di samping mereka ada suara ledakan keras pun
belum tentu mereka mendengar.
Waktu berlalu dengan cepat....
Tengah hari telah lewat ... matahari pun mulai tenggelam,
Ku-lo Hwesio dan Bong Thian-gak yang berada di atas loteng
masih melanjutkan pelajaran Tat-mo-khi-kang, Bong Thiangak
mengulangi ketiga tingkat ilmu itu, kemudian kedua pihak
saling membahas dan memecahkan.
Dalam pada itu Pa-ong-kiong Ho Put-ciang dan para jago
yang ada di luar pendopo tak berani lengah, tak pernah
mengendorkan tugas mengawasi dan melindungi daerah
sekitar situ, sekeliling pendopo dijaga sedemikian ketatnya
ibarat sebuah benteng yang terbuat dari baja.
Kini senja telah lewat, namun Ku-lo Hwesio dan Bong
Thian-gak yang berada di atas loteng masih belum nampak
sesuatu gerakan.
Pada saat itulah dari depan halaman gedung Bu-lim Bengcu
tiba-tiba berkumandang suara tambur bertalu-talu,
menunjukkan keadaan dalam bahaya.
Mendengar tanda bahaya itu, paras muka Ho Put-ciang dan
sekalian jago segera berubah hebat.
Dengan cepat Ho Put-ciang menurunkan perintah, "Ada
musuh tangguh menyerang gedung Bu-lim Bengcu, harap
semua orang tetap berjaga di sini, Yu-heng! Oh-sumoay,
kalian berdua menengok keadaan di luar, segera utus orang
untuk memberi laporan!"
Toan-cong-hong-liu Yu Heng-sui dan Oh Cian-giok
menerima perinlah dan segera berangkat menuju ke halaman
depan.
Kemudian Ho Put-ciang berkata kepada Thia Leng-juan,
"Thiaheng, harap naik ke loteng dan bertahan di anak tangga,
223
Goan-ko Taysu dan Ang Thong-lam berjaga di pintu gerbang,
sedangkan Ui-hok Totiang, Yu-koancu dan aku bertiga
masing-masing bertahan pada tiga lorong tembus halaman
samping."
Ho Put-ciang tak malu disebut pemimpin dunia persilatan,
selain reaksinya cepat, perintahnya tegas. Begitu menerima
perintah, kawanan jago segera membubarkan diri untuk
melakukan tugasnya masing-masing.
Dalam tempo singkat suasana berubah menjadi tegang,
seram dan mengerikan.
Dari depan gedung sana lamat-lamat terdengar suara
benturan senjata, teriakan, jerit kesakitan serta gelak tawa
melengking seperti jeritan setan dan lolong serigala.
Begitu mendengar suara gelak tertawa yang mengerikan
itu, paras muka Ho Put-ciang berubah hebat, ternyata dari
gelombang suara tertawa lawan yang melengking, Ho Putciang
tahu musuh memiliki tenaga dalam yang luar biasa.
Mendadak dari luar halaman sana terdengar suara langkah
kaki berlari mendekat, ternyata orang itu adalah Oh Cian-giok.
Ho Put-ciang menyongsong kedatangannya sambil
bertanya, "Sumoay, musuh tangguh darimanakah yang telah
menyantroni kita?"
Paras muka Oh Cian-giok pucat-pias seperti mayat,
sahutnya dengan cemas, "Tenaga dalam pihak lawan sangat
tangguh, dalam sekejap ia telah melukai dua puluh orang
pengawal gedung ... Ji-suheng telah terjun ke gelanggang,
tapi agaknya dia tak sanggup bertahan."
"Hanya seorang?"
"Ya, hanya seorang! Musuh berperawakan tinggi besar
kurus seperti mayat hidup."
224
"Yang datang pasti tak bermaksud baik, yang bermaksud
baik tak akan datang, musuh berani menyerang gedung Bulim
Bengcu sudah pasti kepandaian silatnya amat lihai, dengan
kemampuannya sudah pasi i para pengawal gedung tak
mampu bertahan, daripada korban berjatuhan lebih banyak,
cepat turunkan perintah agar semua mundur ke dalam, suruh
Yu-sute segera mundur kemari!"
Baru saja Oh Cian-giok mendapat perintah dan berlalu,
mendadak berkumandang gelak tawa yang tajam
menyeramkan dan memekakkan telinga.
Sesosok bayangan orang secepat sambaran kilat sudah
meluncur datang dari arah depan sana.
Dengan terkejut Pa-ong-kiong Ho Put-ciang membentak
keras, "Siapa yang datang? Harap melaporkan nama!"
Di tengah bentakannya, dua gulung tenaga pukulan yang
maha dahsyat sudah dilontarkan ke depan.
Ilmu silat orang itu betul-betul sangat lihai, tubuhnya yang
sedang meluncur datang itu sudah berjumpalitan dan
meloloskan diri dari sambaran kedua gulung serangan maut
itu, kemudian tubuhnya melayang turun.
Tidak begitu saja, mendadak lengannya yang panjang
diayun melepaskan segulung pukulan hawa dingin dari
kejauhan, berbareng badannya meluncur ke arah sebelah kiri.
Ho Put-ciang adalah seorang Bu-lim Bengcu,
pengetahuannya tentu saja sangat luas, begitu menyaksikan
datangnya pukulan hawa dingin musuh, dia segera tahu
serangan itu beracun.
Dalam keadaan begini, dia tak berani menyambut
datangnya serangan itu dengan kekerasan, cepat badannya
mundur.
Posisi dimana Ho Put-ciang mundur persis menyambut
datangnya serangan musuh dari sebelah kiri.
225
Agaknya orang itu tidak menyangka gerakan tubuhnya
yang begitu cepat bisa dihadang oleh lawan. Dalam keadaan
tertegun, dia segera menghentikan gerak badannya dan tak
melakukan serangan lagi.
Dengan demikian Ho Put-ciang dapat melihat jelas paras
muka pendatang itu dengan jelas.
Musuh mempunyai sepasang mata cekung ke dalam, kedua
bola matanya berwarna hijau, rambutnya panjang terurai
sebahu, tidak laki tidak perempuan, perawakannya tinggi
ceking hingga pada hakikatnya tinggal kulit pembungkus
tulang, ibarat bambu menancap di atas tanah saja.
Yang paling istimewa adalah sepasang tangannya yang
begitu panjang hingga terkulai melebihi lutut, dilihat dari
kejauhan bentuknya menyerupai dua kaki cadangan.
Makhluk aneh itu melototi wajah Ho Put-ciang dengan bola
matanya yang hijau mengerikan, kemudian sambil tertawa
seram, ia berkata, "Kaukah Bengcu baru dari gedung Bu-lim
Bengcu ini?"
Paras muka Ho Put-ciang amat serius, jawabnya cepat,
"Benar, akulah Ho Put-ciang, tolong tanya siapa nama anda?"
"Hehehe ...." orang aneh itu tertawa seram. "Aku adalah
Liok-kaucu (ketua nomor enam) Put-gwa-cin-kau!"
Mendadak dari delapan penjuru gedung Bengcu
berkumandang suara tambur yang dibunyikan bertalu-talu.
Paras muka Ho Put-ciang segera berubah hebat, tegurnya
tanpa terasa, "Berapa orang yang dikirim Put-gwa-cin-kau
kemari hari ini?"
"Untuk melenyapkan gedung Bu-lim Bengcu dari muka
bumi, buat apa mesti mengutus banyak orang?" jawab Liokkaucu
dengan suara menyeramkan, "Liok-kaucu dan Kiu-kaucu
(ketua nomor sembilan) dari Put-gwa-cin-kau pun sudah lebih
dari cukup!"
226
"Hanya kalian berdua?" tegur Ho Put-ciang pula dengan
kening berkerut kencang.
Rupanya dari empat penjuru gedung Bu-lim Bengcu sudah
terdengar suara pertempuran yang berlangsung amat seru,
agaknya di seputar gedung sudah kedatangan musuh dalam
jumlah banyak.
Liok-kaucu tertawa, "Masih ada lagi tiga orang pengawal
tanpa tanding yang biasanya mengawal di samping Congkaucu."
"Kalau begitu dari perkumpulan kalian telah datang lima
orang jago bukan?"
"Benar."
"Hm, hanya mengandalkan kekuatan lima orang
perkumpulan kalian pun sudah ingin menumpas gedung Bulim
Bengcu, apakah kalian tidak merasa perbuatan itu benarbenar
kelewatan."
Liok-kaucu tertawa dingin, "Hehehe, apabila tidak percaya,
mengapa tidak dilihat sendiri?"
Mendadak pada saat itulah dari depan sana berlarian
mendekat Oh Cian-giok, dengan napas tersengal-sengal dia
berkata, "Lapor Toa-suheng, Ji-suheng telah dilukai olehnya.
Dari arah timur, barat, utara dan selatan telah muncul musuh
tangguh melancarkan serbuan, pengawal gedung kita banyak
yang terluka dan tewas."
Paras muka Ho Put-ciang berubah amat serius, katanya
kemudian dengan suara dalam, "Cepat turunkan perintah agar
semua pengawal mengundurkan diri, tak usah menghalangi
serbuan musuh!"
Tindakan yang dilakukan oleh Ho Put-ciang ini memang
sangat lumrah, pada saat itu segenap kekuatan inti gedung
Bu-lim Bengcu dipusatkan di sekitar loteng itu untuk
melindungi keselamatan Bong Thian-gak, mereka boleh
227
dibilang tak mampu bergeser dari posisi masing-masing, itulah
sebabnya satu-satunya jalan yang bisa mereka tempuh adalah
membiarkan musuh menyerang sampai ke halaman itu,
kemudian para jago berusaha membendung serbuan lawan.
Jika tidak demikian, mereka akan terkena siasat
memancing harimau turun gunung yang sengaja dilakukan
pihak lawan.
Liok-kaucu tertawa seram, "Hehehe, bocah perempuan
jangan pergi dulu!"
Di tengah bentakannya, lengan kiri diayun ke muka
melancarkan sebuah pukulan dahsyat, langsung menghantam
tubuh Oh Cian-giok yang berada di depannya.
Ho Put-ciang sama sekali tidak menyangka pihak lawan
bakal melancarkan serangan ke arah Oh Cian-giok, buru-buru
teriaknya, "Sumoay, jangan kau sambut serangan itu!"
Sayang terlambat, diiringi jeritan tertahan, tubuh Oh Ciangiok
sudah tertumbuk oleh angin pukulan itu hingga mencelat
dan roboh terkapar di atas tanah.
Ho Put-ciang gusar, dengan suara menggeledek ia
membentak nyaring, "Tua bangka sialan, kau berani berbuat
kejahatan?"
Dengan garang dia menubruk ke depan, kelima jari tangan
kanannya diputar melepas lima gulung desiran angin tajam
yang secara langsung menghajar bagian mematikan tubuh
lawan.
Serangan Ho Put-ciang yang dilancarkan dalam keadaan
gusar ini menggunakan ilmu silat perguruannya yang paling
hebat, yakni ilmu Thi-ciang-sin-ci (Telapak tangan baja jari
sakti).
Lima gulung desiran angin tajam dengan kecepatan tinggi
langsung meluncur ke depan dan menghajar lawan.
228
Liok-kaucu bukan orang bodoh, agaknya dia tahu juga
kelihaian jurus ini, sambil tertawa seram, telapak tangannya
secara beruntun melancarkan beberapa serangan berantai,
sementara kaki juga berputar secepat sambaran petir,
menjauh dari serangan lawan.
Melihat serangan dahsyatnya tidak mengenai sasaran, Ho
Put-ciang siap menerjang ke depan, tiba-tiba terdengar Ui-hok
Totiang dari Bu-tong-pay berkata, "Ho-bengcu, cepat ke
depan dan periksa luka adik seperguruanmu itu, biar Pinto
yang menghadapi lawan!"
Sementara itu Ui-hok Totiang dengan pedang terhunus
sudah memburu ke depan, pedangnya diputar menciptakan
beribu titik cahaya bintang, kemudian bersama-sama
menggulung ke tubuh Liok-kaucu.
Ui-hok Totiang adalah jago pedang kenamaan dari Bu-tongpay,
ilmu pedangnya sudah tentu lihai sekali, begitu turun
tangan dia segera mengembangkan ilmu pedang Thay-khekkiam-
hoat yang lihai.
Hawa dingin yang lembut menyusul gelombang pedang
yang datang menggulung, langsung mengurung sekujur tubuh
lawan secara ketat.
Ho Put-ciang tahu akan kesempurnaan tenaga dalam Uihok
Totiang, kendati bukan tandingan musuh, untuk
sementara tak sampai kalah, maka buru-buru dia menghampiri
Oh Cian-giok.
Tampak paras muka si nona pucat-pias oleh penderitaan
yang hebat, dia sedang meronta dari tanah dan duduk.
Ho Put-ciang segera membimbingnya sembari menegur,
"Sumoay, parahkah lukamu?"
Oh Cian-giok menggerakkan bibir seperti hendak
mengucapkan sesuatu, tapi kemudian dia memuntahkan darah
segar dan tak sadarkan diri.
229
Ho Put-ciang benar-benar sakit hati menyaksikan kejadian
itu, sambil membopong tubuh Oh Ciang Giok, dengan cepat
dia melayang masuk ke dalam loteng sebelah timur.
Pendekar sastrawan dari Im-ciu Thia Leng-juan yang
bertugas di loteng segera menegur dengan cemas,
"Bagaimana keadaan Oh-sumoay?"
"Thia-tayhiap, lindungi keselamatan Sumoayku ini, keadaan
di luar amat gawat, mungkin pihak musuh akan melancarkan
sergapan kilat."
Belum habis dia berkata, Goan-ko Taysu dari Siau-lim-pay
yang bertugas di depan pintu gerbang berteriak, "Sicu, harap
berhenti!"
Segera Ho Put-ciang membaringkan tubuh Oh Cian-giok ke
atas tanah, lalu mengangkat kepala.
Entah sejak kapan di depan pintu telah muncul orang
berbaju hitam berkerudung yang menggembol sepasang
pedang di punggung, orang itu sedang berjalan menuju pintu
gerbang dengan langkah lebar.
Goan-ko Taysu cepat bertindak, dia melejit ke depan dan
menghadang di depan pintu gerbang.
Orang berkerudung berbaju hitam itu membungkam dalam
seribu bahasa, begitu melangkah ke depan, mendadak ia
mendesak sambil melancarkan terkaman, sepasang telapak
tangan diayunkan kian kemari, secara beruntun dia telah
melepaskan tiga serangan berantai ke arah Goan-ko Taysu.
Ketiga serangan itu hampir semuanya merupakan jurus
serangan yang lihai, setiap gerakan dilancarkan dari sudut
yang tak terduga, meluncur datang secara beruntun dalam
waktu singkat, seluruh angkasa bagaikan diselimuti oleh hawa
serangan yang tajam.
Ho Put-ciang dan Thia Leng-juan yang melihat situasi itu
amat terperanjat, mereka tahu Goan-ko Taysu bakal celaka.
230
Betul juga, Goan-ko Taysu tak mampu menghindarkan diri
dari ketiga serangan itu, bahu kirinya kena pukulan hingga
mundur dengan sempoyongan dan terjatuh menindih palang
pintu sebelah kiri.
Dengan gusar Ho Put-ciang membentak, "Siapa kau?"
Secepat kilat tubuhnya menerjang ke depan, telapak
tangan kirinya menciptakan beribu bayangan telapak tangan
yang menyelimuti angkasa, segulung demi segulung
diayunkan ke depan tiada hentinya.
Serangan yang dilancarkan ini ibarat hembusan angin
lembut di musim semi, meluncur dan menyapu tiada hentinya,
dalam satu gebrakan saja seolah-olah terdiri dari seribu
pukulan.
Selapis hawa pukulan yang dahsyat ibarat amukan ombak
di tengah badai, menggulung ke depan mengikuti gerak
serangan tadi.
Mencorong sinar tajam yang menggidikkan dari balik mata
orang berkerudung berbaju hitam itu, bentaknya dengan
suara rendah, "Ah, Te-jian-thian-ciu-jian-jiu (Seribu telapak
tangan mengguncang bumi mengaduk langit)."
Tubuhnya tidak mundur, malah maju dan langsung
menyongsong datangnya serangan itu, tiba-tiba sepasang
lengannya bergetar secara aneh.
Beberapa benturan nyaring berkumandang.
Akibat benturan itu, orang berkerudung berbaju hitam
maupun Ho Put-ciang sama-sama tergetar mundur tiga
langkah.
Paras muka Ho Put-ciang diliputi rasa kaget dan
tercengang, dia tak menyangka pihak musuh dapat menyebut
nama pukulan sakti yang digunakannya itu dalam waktu
cepat, bahkan berhasil pula mematahkan serangan Te-jianTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
231
thian-ciu-jian-jiu yang sudah puluhan tahun lamanya merajai
dunia persilatan.
Sesungguhnya siapakah orang ini?
Ho Put-ciang membelalakkan mata mengawasi lawan tanpa
berkedip, apa mau dikata, muka lawan ditutupi cadar hitam
yang tebal menutupi seluruh wajah aslinya.
Mendadak orang berkerudung menggerakkan telapak
tangannya ke belakang bahu, dua bilah pedang pendek yang
memancarkan cahaya tajam langsung digenggam di telapak
tangan kiri dan kanan.
Kemudian tubuhnya menerjang ke muka, tanpa
mengucapkan sepatah kata pun sepasang pedangnya
menusuk dada Ho Put-ciang.
Ho Put-ciang tahu tenaga dalam lawan sangat lihai, gerak
serangannya mungkin menggunakan jurus yang amat
sederhana dan biasa, namun hakikatnya cukup mematikan
siapa pun yang berani menghadapinya.
Menyaksikan datangnya tusukan pedang yang menyambar
amat cepat itu, serta-merta ia mundur dua langkah.
Siapa tahu jurus serangan orang itu hanya jurus tipuan
belaka, di saat Ho Put-ciang mundur, sepasang bahunya
bergerak dan menerobos masuk melalui sisi kiri-kanan Ho Putciang,
langsung menerjang ke arah mulut tangga.
Pada waktu itu Thia Leng-juan telah bersiap siaga
menghadapi segala kemungkinan, sambil menghentak kipas di
tangan menciptakan berlapis-lapis bayangan serangan yang
mengancam berpuluh titik darah penting di separoh bagian
tubuh orang berkerudung itu.
Dengan cekatan orang itu membalik badan menghindari
serangan kipas Thia Leng-juan, bersamaan pula sepasang
pedang di tangannya diputar secepat kilat, gerakan pedang
bergetar bagaikan cahaya bintang membelah angkasa.
232
Jurus pedang dipakai menghindar, juga untuk melancarkan
serangan ini betul-betul luar biasa hebatnya.
Thia Leng-juan merasa terkecoh oleh gerakan lawan, "Crit",
tak ampun lengan kirinya tersambar oleh sabetan pedang
lawan hingga terluka memanjang ke bawah, darah segar
segera muncrat membasahi seluruh lengannya.
Rasa kaget Ho Put-ciang kali ini benar-benar luar biasa, dia
tak mengira pihak musuh memiliki ilmu silat yang begitu lihai,
sadarlah jagoan ini bahwa keadaan yang dihadapi hari ini
sangat gawat.
Berada dalam situasi seperti ini, dia tidak peduli kedudukan
lagi, sekali melompat tahu-tahu tubuhnya sudah melayang
turun di samping Thia Leng-juan, maksudnya mereka akan
menggunakan kekuatan dua orang untuk bersama-sama
menghadapi serangan musuh.
Orang berkerudung itu tertawa dingin, jengeknya, "Apabila
kalian berdua tahu diri, cepatlah melarikan diri! Kalau tidak,
hm ... hm ... sudah pasti kalian akan terkubur di sini!"
"Siapa kau? Mengapa tidak kau tunjukkan paras aslimu?"
tegur Ho Put-ciang.
"Hm, aku adalah komandan nomor dua pasukan pengawal
tanpa tanding Put-gwa-cin-kau!"
Ho Put-ciang tahu tak mampu memaksa lawan
mengutarakan nama aslinya, maka dia bertanya lagi, "Apakah
kau adalah pimpinan penyerbuan ke gedung Bu-lim Bengcu
malam ini?"
"Benar, akulah orangnya!"
"Apa maksudmu menyerbu gedung Bu-lim Bengcu malam
ini?" Orang berkerudung itu tertawa riang.
"Untuk membalas dendam kematian Sam-kaucu!"
sahutnya.
233
"Akulah orangnya yang telah membunuh Sam-kaucu, bila
ada persoalan boleh disampaikan kepadaku," seru Ho Putciang
dengan suara berat dan dalam.
Orang berkerudung tertawa dingin.
"Hehehe, hanya mengandalkan kemampuan Ho-bengcu
seorang juga ingin membunuh Sam-kaucu kami? Hm ... hm ...
pembunuhnya terdiri dari empat orang, yang menjadi otak
pembunuhan ini adalah Ku-lo Hwesio dari Siau-lim-pay,
pembunuhnya adalah Ho-bengcu, Thia Leng-juan serta
seorang yang bernama Ko Hong!"
Terkejut juga Ho Put-ciang mendengar perkataan itu,
katanya dengan kening berkerut, "Benar, kami bertiga
pembunuhnya, mau apa kau sekarang?"
"Siapa berhutang nyawa, dia harus membayar dengan
nyawa, kalian bertiga harus mengembalikan nyawa Samkaucu!"
"Sekarang kalian harus mengundurkan diri dari gedung
Bengcu lebih dulu, besok kami bertiga pasti akan menanti
kedatanganmu."
Kembali orang berkerudung tertawa dingin, "Hehehe, masih
ada satu hal lagi, aku hendak berjumpa dengan Ku-lo
Hwesio!"
Baru selesai dia berkata, dari atas loteng berkumandang
suara sahutan seseorang dengan suara nyaring, "Belum lama
Ku-lo Sinceng telah kembali ke alam baka, sayang
kedatanganmu terlambat!"
Ucapan itu kontan membuat ketiga orang yang berada di
situ menjadi amat terperanjat, Ho Put-ciang dan Thia Lengjuan
serentak berpaling ke belakang.
Ternyata orang yang barusan berbicara adalah Bong Thiangak,
saat ini dia sedang berdiri di mulut anak tangga dengan
wajah murung, sedih dan pedih.
234
Thia Leng-juan berseru, "Ko-heng, apakah Ku-lo Supek dia
orang tua ...."
"Ai ... dia orang tua telah menghembuskan napasnya yang
penghabisan," jawab Bong Thian-gak sambil menghela napas
sedih.
Walaupun Ho Put-ciang dan Thia Leng-juan sudah tahu Kulo
Hwesio bakal tewas akibat luka parah yang dideritanya,
namun tidak menduga kepergiannya begitu cepat, maka
mendengar jawaban itu mereka malah tertegun sampai tak
tahu apa yang mesti dilakukan.
Dengan sinar mata tajam dan menggidikkan, orang
berkerudung mengawasi Bong Thian-gak dari ujung kepala
sampai ujung kakinya, Kemudian menegur dengan dingin,
"Kaukah yang bernama Ko Hong?"
"Ya, akulah orangnya!" jawab Bong Thian-gak hambar.
Sejak tiba di situ, sikap maupun gerak-gerik orang
berkerudung itu amat angkuh, jumawa dan tidak pernah
memandang sebelah mata terhadap orang lain, tapi jawaban
Bong Thian-gak sekarang justru terasa pula amat menghina
dan memandang rendah lawan.
Kontan dia tertawa terkekeh-kekeh seram, kemudian
menegur lagi, "Aku dengar Sam-kaucu tewas di tanganmu,
benarkah itu?"
"Semua iblis dan siluman yang bergabung dalam Put-gwacin-
kau bakal mampus di telapak tanganku!"
Ucapan itu segera disambut orang berkerudung dengan
gelak tawa, "Sudahkah kau mendengar suara jeritan ngeri dan
lolong kesakitan yang berkumandang dari luar sana? Hahaha,
tahukah kau malam ini gedung Bu-lim Bengcu akan berubah
menjadi gedung mati!"
Sementara itu suara bentrokan nyaring, jeritan ngeri dan
rintih kesakitan masih berkumandang tidak hentinya dari luar
235
sana, jelas halaman depan gedung sudah berubah menjadi
ajang pertarungan yang amat sengit.
Mendadak Bong Thian-gak berkata dengan suara dalam,
"Ho-bengcu, Thia-tayhiap, cepat keluar membantu rekanrekan
lain, serahkan orang itu kepadaku!"
Ho Put-ciang sudah mendengar jeritan ngeri dan rintih
kesakitan yang berkumandang dari kawanan jago di luar
ruangan, namun dia kuatir musuh yang dihadapinya ini
berilmu silat kelewat tinggi hingga Thia Leng-juan tak mampu
menghadapinya, itulah sebabnya dia tak berani gegabah.
Kini mendengar ucapan itu, segera ujarnya kepada Thia
Leng-juan, "Thia-heng, kau tetap tinggal di sini membantu Kosiauhiap,
aku akan keluar membantu mereka!"
Seusai berkata, Ho Put-ciang segera melompat ke udara
dan menerobos keluar melalui pintu gerbang utama.
Di dalam ruang gedung bertingkat itu sekarang tinggal Thia
Leng-juan, Bong Thian-gak dan orang berkerudung berbaju
hitam.
Sementara itu Bong Thian-gak sudah melangkah turun dari
anak tangga, kemudian tegurnya dengan suara dingin, "Ada
urusan apa kau hendak berjumpa dengan Ku-lo Sinceng?"
Dengan sepasang pedang terhunus, orang berkerudung
berdiri tegak di tempat, dia menjawab, "Aku hendak
memeriksanya, apakah dia benar-benar Ku-lo Sinceng ataukah
bukan!"
"Dia adalah Ku-lo Sinceng yang keasliannya terjamin,
sedikit pun tak bakal salah!"
"Kau mengatakan Ku-lo Hwesio telah mati, sekarang
dimanakah jenazahnya?"
236
"Jenazah Sinceng tidak boleh dipertontonkan di hadapan
kaum kurcaci dan sampah masyarakat seperti kau." Orang
berkerudung tertawa seram.
"Hehehe, aku tak percaya kau mampu menghalangi jalan
pergiku."
Bicara sampai di situ pedang pendek di tangan kirinya
segera diayun menciptakan beribu bayangan pedang,
sementara pedang di tangan kanannya secepat kilat menusuk
ke dada Bong Thian-gak.
Dua jurus serangan pedang yang amat dahsyat digunakan
secara bersamaan, kedahsyatannya benar-benar tak boleh
dianggap enteng.
Bong Thian-gak menyaksikan jurus pedang itu dengan
berkerut kening, kemudian serunya sambil tertawa dingin,
"Mundur!"
Dia bukannya mundur, namun malah maju, tangan kanan
diayunkan ke depan menyongsong datangnya tusukan pedang
kanan orang berkerudung, sementara tangan kiri secepat kilat
mencengkeram urat nadi pergelangan tangan kiri lawan.
Sekali pun serangannya dilancarkan belakangan, tetapi sampai
sasaran lebih dahulu, berbareng badannya turut menerobos
maju.
Tatkala Thia Leng-juan menyaksikan orang berkerudung itu
melancarkan serangan tadi, sesungguhnya dia pun hendak
turun tangan mengerubut, akan tetapi setelah menyaksikan
jurus serangan yang digunakan Bong Thian-gak ternyata jauh
lebih tangguh dari lawan, dia malah tertegun.
Tampaknya orang berkerudung cukup tahu kelihaian
serangan itu, cepat dia menarik kembali sepasang pedangnya
sambil mundur.
Dengan sinar mata mencorong, rasa kaget dan tercengang,
ia segera bertanya, "Ilmu silat apakah ini?"
237
Bong Thian-gak tertawa dingin, "Hehehe, inilah ilmu Tatmo-
boan-sian-jiu dari Siau-lim-pay. Hari ini jangan harap kau
bisa meloloskan diri dari maut."
Seusai berkata, tubuh Bong Thian-gak bagaikan anak
panah yang terlepas dari busurnya langsung menerjang ke
depan, sepasang telapak tangannya diayun berulang kali
melepaskan tiga serangan berantai.
Ketiga serangan itu seluruhnya gerakan yang aneh dan
sakti, seperti pukulan telapak tangan dan juga bagai ilmu
mencengkeram Kim-na-jiu yang amat dahsyat.
Orang berkerudung membentak dingin, sepasang
pedangnya meluncur ke depan dengan pancaran sinar tajam
yang membias kemana-mana, dengan pedang mengunci
telapak tangan, secara beruntun dia melancarkan tiga bacokan
berantai dan maha dahsyat.
Gerak serangan yang digunakan kedua orang itu samasama
dilakukan dengan kecepatan luar biasa, sekali pun
tenaga dalam Thia Leng-juan amat sempurna, masih susah
untuk melihat perubahan jurus yang digunakan mereka.
Kedua orang itu telah beralih dua kali dari posisi semula.
Mendadak terdengar orang berkerudung mendengus
tertahan, sambil menarik kembali pedang, ia mundur empat
langkah, sepasang matanya memancarkan rasa kaget dan
tercengang.
Pada saat itulah tiba-tiba Bong Thian-gak menyaksikan Oh
Cian-giok yang sedang berbaring tak berkutik di sisi kiri anak
tangga, dalam kagetnya dia segera menyelinap ke depan sana
sambil bertanya, "Thia-tayhiap, mengapa dengan nona Oh?"
Setelah ditegur, Thia Leng-juan baru teringat pada Oh
Cian-giok yang terluka parah, segera sahutnya, "Nona telah
dihantam musuh hingga terluka parah!"
238
Oh Cian-giok adalah adik seperguruan Bong Thian-gak,
sejak kecil mereka dibesarkan bersama dalam gedung Bengcu,
hubungan batin kedua insan ini pun boleh dibilang cukup
mendalam.
Maka sewaktu Bong Thian-gak menyaksikan gadis itu
tergeletak tak berkutik di atas tanah dengan wajah pucat dan
noda darah membasahi bibir, dia menjadi sangat gelisah.
"Siapa yang telah melukainya?" ia menegur.
Dalam pada itu tangan kanan Bong Thian-gak sudah
memegang nadi pergelangan tangan Oh Cian-giok, sembari
memeriksa denyut nadinya, dengan sorot mata penuh amarah
dia pelototi wajah orang berkerudung tanpa berkedip, hawa
membunuh menyelimuti wajahnya.
Tiba-tiba orang berkerudung berpekik nyaring, dengan
sepasang pedangnya diluruskan ke depan, secepat sambaran
petir ia menerjang ke arah Bong Thian-gak.
Perubahan yang amat mendadak dan di luar dugaan ini
sungguh membuat Thia Leng-juan tertegun dan dalam posisi
tak memungkinkan hakikatnya mustahil baginya memberikan
bantuan.
Dalam terperanjatnya, jagoan ini segera berteriak, "Koheng!
Terdengar Bong Thian-gak mendengus tertahan, bahu
kirinya yang tak sempat menghindar kena tertusuk pedang
lawan, darah segera memancar keluar bagaikan semburan
mata air.
Tapi di saat bersamaan tangan kanan Bong Thian-gak
diayunkan pula ke depan melancarkan sebuah pukulan
dahsyat.
Kembali terdengar dengus tertahan menggema.
239
Pedang pendek orang itu terlepas, sementara tubuhnya
terpental ke belakang dan darah segar muntah dari mulutnya.
Kemudian dengan sepasang bahu yang gemetar keras dan
tubuhnya yang sempoyongan, mendadak ia membalikkan
badan dan kabur dari ruangan itu.
Sebenarnya Thia Leng-juan ingin mengejar, namun
berhubung dia sangat menguatirkan luka yang diderita Bong
Thian-gak, maka dengan cepat dihampirinya anak muda itu
sembari menegur, "Ko-heng, parahkah luka yang kau derita?"
Darah kental mengucur dari bahu kiri Bong Thian-gak dan
membasahi lantai, sudah jelas luka yang dideritanya itu cukup
parah.
Dengan cepat Bong Thian-gak menggunakan jarinya
menotok beberapa jalan darah penting di tubuh sendiri,
setelah menghentikan darah yang mengalir, sahutnya sambil
tertawa rawan, "Thia-heng, aku tidak apa-apa, dia berilmu
tinggi dan sangat hebat, bila sampai keluar dari sini, sudah
pasti tiada orang yang mampu menahannya, tolong kau jaga
baik-baik nona Oh, aku hendak keluar menghadapi musuh."
Jeritan ngeri yang memilukan hati berkumandang susulmenyusul
di luar sana, jelas orang berkerudung sedang
melakukan pembantaian secara besar-besaran di sana.
Thia Leng-juan yang menyaksikan luka Bong Thian-gak
amat parah menjadi gelisah, serunya lagi, "Ko-heng, luka
pedang itu sangat parah, harap kau balut dahulu luka itu, biar
aku saja yang menyambut serangan mereka."
Sementara itu Bong Thian-gak sudah bangkit, mendengar
ucapan itu dia segera menggeleng, kemudian katanya dengan
suara nyaring, "Kini darah sudah berhenti mengalir, luka ini
pun tak akan merenggut nyawaku."
240
Tidak sampai selesai perkataan itu diutarakan, tubuhnya
sudah melompat keluar dari ruangan, ketika memandang ke
depan ....
Di tengah lapangan sedang berlangsung beberapa
kelompok pertarungan, sementara di atas tanah tergeletak
mayat-mayat para pengawal gedung Bu-lim Bengcu, darah
yang menganak sungai, mayat membukit, membuat
pemandangan di situ tampak sangat mengerikan.
Sementara itu di luar lapangan sedang berlangsung
pertarungan yang amat seru.
Ho Put-ciang sedang bertarung melawan seorang gadis
berbaju merah, dia adalah Kiu-kaucu Ni Kiu-yu.
Hian-thian-koancu Yu Ciang-hong dari Khong-tong-pay
sedang bertarung melawan seorang lelaki berbaju perlente.
Goan-ko Taysu dari Siau-lim-pay dan Ang Thong-lam dari
Tiam-jong-pay bersama-sama menghadapi lelaki berbaju
perlente lainnya.
Ui-hok Totiang dari Bu-tong-pay bertarung seorang diri
melawan orang aneh berambut panjang, dialah Liok-kaucu
Put-gwa-cin-kau.
Sementara di luar arena pertarungan, di sekeliling lapangan
berdiri berlapis-lapis para pengawal gedung bersenjata
lengkap, namun waktu itu orang berkerudung berbaju hitam
sudah menerjang masuk ke dalam kelompok pengawal
gedung, pedang pendeknya yang tinggal sebelah membabat
kian kemari tanpa tandingan, jeritan ngeri dan lolong
kesakitan bergema silih berganti, darah segar pun bercucuran
menganak sungai.
Bong Thian-gak yang menyaksikan adegan itu menjadi
gusar sekali, sambil berpekik nyaring ia melejit ke udara
seperti burung alap-alap dan melayang turun di depan orang
berkerudung.
241
Melihat munculnya pemuda sakti ini, orang berkerudung
menjadi ketakutan, cepat dia berteriak dengan keras, "Liokkaucu,
Kiu-kaucu ... semuanya mundur!"
Begitu perintah diturunkan, dia segera melejit lebih dulu
dan melarikan diri dengan terbirit-birit dari tempat itu.
"Mau kabur kemana kau?" bentak Bong Thian-gak dengan
suara menggeledek.
Tubuhnya segera melejit ke udara dan melakukan
pengejaran.
Siapa tahu pada saat itulah berkumandang suara dengusan
tertahan, tertampak Ui Hiok Totiang dari Bu-tong-pay yang
sedang bertarung melawan Liok-kaucu kena dihajar oleh
musuh sehingga mencelat ke udara dan langsung menumbuk
tubuh Bong Thian-gak.
Bong Thian-gak berjumpalitan, tangan kanannya dengan
cepat menyambar ke muka mencengkeram tubuh Ui-hok
Totiang, kemudian melayang turun ke permukaan tanah
dengan tenang.
Tampak paras muka Ui-hok Totiang pucat seperti mayat,
kulit wajahnya mengejang penuh penderitaan, teriaknya
dengan suara parau, "Terima kasih banyak, Ko-siauhiap ...."
Belum habis dia berkata, orangnya sudah roboh tak
sadarkan diri di atas tanah.
Mendadak terdengar Pa-ong-kiong Ho Put-ciang berseru
dengan suara lantang, "Biarkan musuh mengundurkan diri,
jangan dikejar!"
Dengan cepat Bong Thian-gak meletakkan Ui-hok Totiang
ke tanah, baru saja dia akan melakukan pengejaran, ketika
mendongakkan kepala, ternyata kawanan musuh yang sedang
bertarung sengit sudah membubarkan diri, pertarungan telah
berhenti, di bawah sinar kegelapan nampak para musuh
sedang melarikan diri terbirit-birit meninggalkan tempat itu.
242
Dalam waktu singkat bayangan tubuh mereka sudah
lenyap.
Kemudian dia saksikan Ho Put-ciang sedang berjalan
mendekat dengan langkah sempoyongan, lalu ujarnya kepada
Bong Thian-gak, "Ai ... korban yang berjatuhan kelewat
banyak ... korban yang berjatuhan kelewat banyak...."
Hanya ucapan itu saja yang mampu diucapkan, sementara
air matanya berderai dengan deras.
Ya, siapa bilang Enghiong tidak bisa mengucurkan air
mata? Hanya saat bersedih saja ....
Ketika jumlah korban dihitung ... ternyata tujuh puluh
enam pengawal mendapat celaka, dua puluh lima orang
menderita luka termasuk Toan-jong-hong-liu Yu Heng-sui, Oh
Cian-giok dan lainnya, semuanya mencapai seratus tujuh
orang.
Lima musuh ternyata dalam waktu satu jam berhasil
menciptakan korban seratus tujuh orang, prestasi itu benarbenar
merupakan suatu peristiwa yang memilukan.
Paras muka Bong Thian-gak pucat-pias seperti mayat, dia
mengangkat kepala dan memandang sekejap tumpukan mayat
yang berserakan dimana-mana, mendadak mencorong sinar
tajam dan buas penuh dendam dari balik matanya, ia berdiri
tegak di tempat tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Yu Ciang-hong, Goan-ko Taysu dan Ang Thong-lam
bersama-sama berjalan mendekat pula dengan kepala
tertunduk sedih.
Untuk beberapa saat suasana di situ diliputi kesedihan yang
tebal.
Helaan napas sedih bergema memecah keheningan, Thia
Leng-juan berjalan keluar dari balik ruang loteng dengan
langkah perlahan, katanya, "Hari ini seandainya Ko-heng tidak
berada di sini dan memukul mundur lawan, korban yang
243
berjatuhan dalam gedung Bengcu sudah pasti akan lebih
banyak."
Benar, lima orang musuh dari Put-gwa-cin-kau yang
muncul itu, terutama orang berkerudung berbaju hitam benarbenar
berkepandaian silat amat tinggi, pada hakikatnya tiada
orang yang mampu memberikan perlawanan.
Andaikata bukan Bong Thian-gak yang memukul mundur,
akibat yang timbul sukar dilukiskan dengan kata-kata.
Selang beberapa saat kemudian, pelan-pelan Pa-ong-kiong
Ho Put-ciang berhasil menenangkan kembali gejolak perasaan
sedih yang mencekam hatinya, melihat darah bercucuran
dengan derasnya dari bahu kiri Bong Thian-gak, buru-buru dia
menegur, "Ko-heng, parahkah luka yang kau derita?"
"Gara-gara mengurusi nona Oh, Ko-heng telah kena ditusuk
musuh," seru Thia Leng-juan dari samping. "Namun pihak
lawan pun terkena pukulan Ko-heng, nampaknya tidak ringan
luka dalam yang dideritanya, dia kabur sambil muntah darah."
Bong Thian-gak menghela napas panjang, "Ai, walaupun
orang itu terkena pukulanku hingga muntah darah, namun
luka pada sisi perutnya tidak seberapa parah, ai ... kawanan
siluman dari Put-gwa-cin-kau memang tangguh dan rata-rata
berilmu tinggi, kenyataan ini di luar dugaan siapa pun."
Sementara itu Ho Put-ciang telah berseru kepada para
pengawal dengan suara nyaring, "Kalian harap segera
membereskan jenazah rekan-rekan lain, usahakan menolong
dan menyelamatkan jiwa mereka yang terluka terlebih dulu."
Selewatnya pertempuran itu, kekuatan gedung Bu-lim
Bengcu benar-benar menderita kerugian besar.
Setelah memperoleh pengobatan dan perawatan yang
tekun, Toan-jong-hong-liu Yu Heng-sui, Ui-hok Totiang dari
Bu-tong-pay berhasil diselamatkan jiwanya.
244
Hanya Oh Cian-giok yang menderita luka agak parah,
sehingga meski sudah memperoleh pengobatan, ternyata
belum sadar.
Dalam pada itu para jago sudah berkumpul di bawah
loteng.
Dengan seksama Bong Thian-gak memeriksa denyut nadi
Oh Cian-giok, kemudian ia bertanya lirih, "Dia terluka di
tangan siapa?"
"Cian-giok dan Ui-hok Totiang sama-sama terluka di bawah
pukulan Liok-kaucu," jawab Ho Put-ciang cepat.
"Dasar tenaga dalam nona Oh amat cetek, pukulan musuh
telah melukai isi perutnya, bila ingin menyadarkan dia, kita
membutuhkan seorang jago bertenaga dalam sempurna,
dengan pengerahan tenaga melalui jalan darah Ciang-tay-hiat,
gumpalan darah yang menyumbat dalam tubuhnya baru akan
terbebaskan."
"Ciang-tay-hiat terletak hanya dua inci di bawah puting
susu orang, padahal Oh Cian-giok adalah seorang perawan,
tentu saja sulit bagi seorang pemuda untuk memberi
pertolongan."
Tentu saja Ho Put-ciang cukup mengetahui pantangan itu,
tapi dengan suara dalam dia berkata, "Demi menyelamatkan
jiwa Sumoayku, harap kalian tak usah mempersoalkan
pantangan lagi."
"Ho-bengcu, nona Oh adalah adik seperguruanmu, paling
baik bila Ho-bengcu sebagai Toasuhengnya yang turun tangan
memberikan pertolongan," usul Bong Thian-gak cepat.
Ucapan itu menyulitkan Ho Put-ciang. "Aku tidak pandai
ilmu pengobatan, bagaimana seandainya terjadi hal-hal yang
tak diinginkan?" serunya.
245
"Nona Oh sudah dijodohkan dengan Yu-sute, seandainya
luka yang diderita Yu-sute bisa cepat sembuh dan pulih, hal ini
lebih baik lagi," sambung Thia Leng-juan.
Mengetahui Oh Cian-giok sudah bertunangan dengan Yu
Heng-sui, Bong Thian-gak menjadi sedih, murung dan kosong
pikirannya.
Di samping Suheng-moay sekalian, hanya Bong Thian-gak
yang berhubungan agak rapat dengan Oh Cian-giok. Sejak
kecil mereka sudah bermain dan bergurau bersama, di antara
kedua orang itu sesungguhnya sudah tertanam semacam
perasaan.
Betul di antara mereka terjalin hubungan cinta, namun
semacam perasaan senang tertanam juga di dalam hati kecil
masing-masing.
Seandainya Bong Thian-gak tidak diusir dari perguruan,
tentu saja antara Oh Cian-giok dan Bong Thian-gak sudah
merupakan sepasang kekasih ideal.
Dalam pada itu Pa-ong-kiong Ho Put-ciang menggeleng
kepala sambil berkata, "Yu-sute masih terluka, sekali pun bisa
disembuhkan namun paling tidak masih membutuhkan waktu
tiga-empat hari, apalagi tenaga dalamnya kurang sempurna,
aku pikir lebih baik kita memohon bantuan Ko-siauhiap saja
untuk mengobati Sumoay, cuma Ko-siauhiap menderita luka
pada bahu kirinya ... apakah kau mampu memberikan
pertolongan?"
Bong Thian-gak segera menggeleng kepala berulang-kali.
"Sampai besok aku baru bisa mengerahkan tenaga
dalamku, namun luka nona Oh amat parah dan harus diobati
sekarang juga, apabila tidak dilakukan pencegahan, bisa jadi
keadaan lukanya akan mengalami perubahan."
Ho Put-ciang berkata lagi, "Ai, walaupun antara kaum lelaki
dan wanita dibatasi norma kesusilaan, namun tabib dan
246
sebangsanya tidak terkena batasan itu, harap Ko-siauhiap sudi
memberi pertolongan!"
Sekali lagi Bong Thian-gak menghela napas, "Ai,
keselamatan nona Oh berada di ujung tanduk dan memang
tak bisa ditunda-tunda lagi, baiklah harap Ho-bengcu suka
mengundang dua orang dayang untuk membantu!"
Tentu saja semua orang tahu maksud Bong Thian-gak
memanggil dua orang dayang itu.
Ho Put-ciang manggut-manggut sembari berkata,
"Sebelumnya atas nama Sumoayku, kuucapkan banyak terima
kasih atas bantuan Ko-siauhiap!"
Maka di bawah bimbingan beberapa orang dayang, Oh
Cian-giok diantar menuju sebuah ruangan dan dibaringkan di
atas ranjang, kemudian kecuali menahan Siau Kiok dan Siau
Hiang, dua orang dayang kepercayaan Oh Cian-giok, para
dayang lainnya segera diperintahkan meninggalkan tempat itu.
Kedua dayang ini merupakan dayang-dayang cilik yang
pernah melayani Oh Ciong-hu dahulu, tentu saja Bong Thiangak
kenal mereka berdua.
Dengan suara lirih Bong Thian-gak berkata kepada Siau
Kiok dan Siau Hiang, "Sekarang harap kalian melepaskan dulu
pakaian luar nona."
"Ko-siangkong, luka yang kau derita amat parah, apakah
tidak beristirahat terlebih dahulu?" seru Siau Kiok merdu.
Bong Thian-gak menggeleng, "Ah, hanya luka luar yang tak
seberapa tidak menjadi soal."
Siau Kiok mengedipkan mata setelah memandang sekejap
ke arah Bong Thian-gak, katanya, "Ko-siangkong, kau mirip
sekali dengan seseorang."
"Mirip siapa?"
"Su-suheng nona!"
247
Bong Thian-gak terkejut sekali, dia tak menyangka Siau
Kiok memiliki ketajaman mata luar biasa, untuk menutupi rasa
kagetnya itu, dia tertawa tergelak.
"Ah, jangan bergurau lagi, ayo kita segera turun tangan."
Tiba-tiba Siau Kiok menghela napas sedih, kembali katanya,
"Ai, sudahlah! Seandainya Bong Thian-gak masih hidup,
mungkin Yu Heng-sui akan bersedih."
Ucapan itu segera menggigilkan sekujur tubuh Bong Thiangak,
diam-diam dia berpikir, "Entah apa maksud Siau Kiok
berkata demikian? Mungkinkah Sumoay selalu teringat akan
diriku?"
Terbayang bagaimana dia dan Sumoaynya hidup
berdampingan sejak kecil... segala sesuatunya terasa syahdu
dan nyaman ....
Bong Thian-gak masih ingat, suatu ketika ia bersama
Sumoaynya bermain jadi pengantin, mereka berdua bersamasama
tidur dalam gua yang dijadikan kamar pengantin mereka
....
"Siangkong, apa yang sedang kau pikirkan? Pakaian luar
nona sudah dilepas."
Seperti baru tersadar dari impian, Bong Thian-gak
berpaling.
Tampaklah tubuh bugil Oh Cian-giok muncul di depan
mata, kulit yang halus dan putih itu membuat gairah setiap
pria ....
Buru-buru Bong Thian-gak memejamkan mata rapat-rapat,
lalu berkata lagi, "Sekarang lepas pakaian dalamnya,
kemudian letakkan tangan kananku di atas jalan darah Ciangtay-
hiat di atas payudaranya."
"Ah, Siangkong benar-benar lelaki jujur," puji Siau Kiok.
248
Sementara itu Bong Thian-gak telah memejamkan mata
dan duduk bersila di sisi pembaringan, segenap perhatian
terpusat menjadi satu, sementara hawa murninya dihimpun.
Selang beberapa saat kemudian Bong Thian-gak bertanya,
"Sudah siap?"
"Sudah siap."
"Kalau begitu, lakukan seperti apa yang kukatakan tadi!"
Siau Hiang segera mengangkat telapak tangan kanan Bong
Thian-gak dan pelan-pelan diletakkan di atas puting susu
payudara sebelah kanan Oh Cian-giok.
Hati Bong Thian-gak tergetar begitu tangannya menyentuh
tubuh Oh Cian-giok.
Untung Bong Thian-gak memiliki tenaga dalam sempurna,
buru-buru dia memusatkan seluruh perhatiannya
mengerahkan tenaga dalam.
Tak selang lama kemudian, dari dasar telapak tangannya
muncul segumpal bola api yang bergetar, membakar seputar
payudara si nona.
Telapak tangannya menggosok dan memijit payudara
sebelah kanan si nona hampir seperempat jam lamanya, baru
kemudian beralih ke atas jalan darah Ciang-tay-hiat pada
payudara sebelah kiri.
Entah berapa lama sudah lewat, akhirnya terdengar Oh
Cian-giok merintih.
Bong Thian-gak terkejut, buru-buru dia menarik tangannya
dan turun dari pembaringan, bisiknya cepat, "Sebentar dia
akan sadar, cepat kenakan pakaiannya, harap kalian jangan
memberitahu kepadanya bahwa aku telah menyembuhkan
lukanya."
249
Selesai berkata, masih dalam keadaan terperanjat, dengan
cepat Bong Thian-gak membuka pintu kamar dan berlalu dari
situ.
Tak lama setelah Bong Thian-gak keluar ruangan, Oh Ciangiok
membuka mata sambil berkata dengan sedih, "Siau Kiok,
barusan apakah Ko-siangkong?"
Siau Kiok serta Siau Hiang sama-sama terperanjat, serentak
berseru tertahan, "Nona telah sadar kembali?"
Sambil tetap berbaring, Oh Cian-giok manggut-manggut.
"Ya, sebelum dia berlalu tadi, aku telah mendusin, Ai! Dia
benar-benar seorang Kuncu sejati."
"Nona, enci Kiok bilang dia mirip sekali dengan Bong Thiangak,"
tiba-tiba Siau Hiang berkata.
Perih hati Oh Cian-giok mendengar perkataan itu,
tanyanya, "Bong Thian-gak? Maksudmu Suheng Bong Thiangak?"
Siau Kiok mengerling sekejap ke arah Siau Hiang, kemudian
buru-buru katanya, "Budak hanya merasa dia agak mirip
dengan Bong-siangkong, aku pun hanya iseng bertanya saja!"
"Lantas bagaimana jawabnya?" tanya Oh Cian-giok gelisah.
"Dia tidak menjawab."
Mendadak Oh Cian-giok berseru tertahan, katanya, "Ya, ya,
teringat aku sekarang, waktu dia baru datang ke gedung ini
tempo hari, aku pun merasa seperti raut wajahnya kukenal,
seperti pernah kujumpai di suatu tempat, namun tak bisa
kuingat lagi. Ya, betul! Dia memang agak mirip dengan Susuheng
Bong Thian-gak."
Setitik sinar terang itu segera mengalutkan pikiran dan
perasaan Oh Cian-giok, untuk beberapa saat dia melamun
seorang diri.
250
Dalam pada itu Bong Thian-gak telah meninggalkan
ruangan kecil dan menuju ke ruang tengah. Di sana para jago
sudah menunggu untuk merundingkan suatu masalah besar.
Pa-ong-kiong Ho Put-ciang yang pertama-tama berdiri lebih
dulu, segera tegurnya, "Apakah Oh-sumoay telah mendusin?"
Bong Thian-gak mengangguk.
"Ya, gumpalan darahnya telah hilang, sekarang
kesehatannya sudah tidak membahayakan lagi."
"Ko-siauhiap pasti sudah banyak kehilangan tenaga murni,
silakan segera beristirahat!"
Bong Thian-gak tersenyum.
"Kesegaranku masih baik, bukankah begitu?"
Sambil berkata dia lantas menatap orang-orang dengan
sorot mata berkilauan, sedikit pun tidak menunjukkan
keletihan.
Hanya paras mukanya saja yang memang berwarna kuning
pucat macam orang penyakitan.
Thia Leng-juan memuji, "Ko-heng, sungguh amat sempurna
tenaga dalammu, membuat orang kagum."
"Ai, tampaknya tenaga dalamku telah memperoleh
kemajuan pesat dalam sehari saja," ucap Bong Thian-gak
sedih. "Padahal semua ini pemberian Ku-lo Sinceng."
Bicara sampai di situ, Bong Thian-gak menghela napas
panjang, "Sebelum menghembuskan napas penghabisan, Kulo
Sinceng telah membantuku menembus urat mati hidupku,
sehingga taraf tenaga dalamku mencapai suatu keadaan yang
luar biasa. Budi kebaikan yang ditanam Sinceng kepadaku
benar-benar tak terlupakan selamanya."
"Ai, sekarang aku masih ada satu persoalan penting yang
hendak kusampaikan kepada kalian."
251
"Persoalan apa? Harap Ko-siauhiap suka menerangkan
secara langsung," kata Ho Put-ciang.
"Jit-kaucu belum mati!"
Ucapan itu bagaikan guntur di siang hari bolong, seketika
saja menggetarkan hati setiap orang yang hadir dalam
ruangan itu.
"Bukankah kematian Ku-lo Supek merupakan pengorbanan
yang sia-sia," teriak Thia Leng-juan dengan suara
menggeledek.
"Sebenarnya luka Ku-lo Sinceng masih bisa disembuhkan,
tetapi untuk membantu ilmu silatku, dia telah mengorbankan
diri."
"Ai, waktu itu luka yang diderita Sinceng amat parah, lagi
pula dia menganggap Jit-kaucu sudah tewas di bawah pukulan
Tat-mo-khi-kang, maka aku tak berani memberitahu yang
sebenarnya kepada dia."
"Tindakan yang diambil Ko-siauhiap memang benar, bagi
orang yang berlatih silat, jika mengetahui kegagalan yang
dideritanya, maka kekecewaan dan kesedihan yang dirasakan
saat itu mungkin jauh lebih parah daripada mati," kata Ho Putciang.
Bong Thian-gak manggut-manggut.
"Sudah tujuh-delapan tahun lamanya Sinceng melatih diri
untuk menguasai ilmu Tat-mo-khi-kang, tujuannya tidak lain
adalah untuk mematahkan ilmu Soh-li-jian-yang-sin-kang dari
Jit-kaucu."
"Ai, apa mau dikata, Soh-li-jian-yang-sin-kang terlalu
sempurna, sedangkan Tat-mo-khi-kang Sinceng baru
mencapai tingkat ketiga, itulah sebabnya Ku-lo Sinceng
mengalami kekalahan."
252
Maka secara ringkas Bong Thian-gak mengisahkan
pertarungan Ku-lo Sinceng melawan Jit-kaucu Thay-kun.
Selesai mendengar kisah itu, dengan wajah serius, Ho Putciang
berkata, "Dengan masih hidupnya Jit-kaucu, berarti
dunia persilatan tak akan memperoleh ketenangan untuk
selamanya!"
Bong Thian-gak termenung sambil berpikir sejenak,
kemudian katanya, "Bibit bencana yang sebenarnya bagi umat
persilatan sekarang sesungguhnya bukan Jit-kaucu!"
"Apa maksudmu?"
Maka Bong Thian-gak menceritakan bagaimana dia
menggali liang kubur, bagaimana bertarung dan berbincang
dengan.
Mendengar kisah itu, Thia Leng-juan lantas bertanya, "Koheng,
menurut kau, Jit-kaucu adalah murid Jian-bin-hu-li Ban
Li-biau?"
Bong Thian-gak mengangguk.
"Benar, pada usia lima tahun dia telah memperoleh warisan
ilmu silat guruku yang kedua."
"Lantas atas dasar apa Ko-heng mengatakan bibit bencana
bagi dunia persilatan bukan Jit-kaucu?"
Bong Thian-gak termenung beberapa saat lamanya,
kemudian haru berkata, "Dari pembicaraan Jit-kaucu, pentolan
atau dalang semua bencana di Bu-lim dewasa ini adalah orang
yang mengajarkan ilmu silat kepadanya saat ini, yakni
gurunya, Cong-kaucu Put-gwa-cin-kau!"
"Ucapan Ko-siauhiap memang benar," Ho Put-ciang
manggut-manggut. "Tentang ilmu silat, kemungkinan besar
ilmu Soh-li-jian-yang-sin-kang Jit-kaucu sudah jauh melampaui
Cong-kaucu Put-gwa-cin-kau, tapi dari tindakan Jit-kaucu yang
memberi petunjuk kepada Ko-siauhiap agar mengobati
253
penyakit yang diderita Ku-lo Sinceng serta pertanyaan kepada
Ko-siauhiap apakah dia adalah utusan rahasia Cong-kaucu ...
hal itu membuktikan watak Jit-kaucu yang sebenarnya adalah
saleh dan baik, dia terpaksa membunuh orang atas petunjuk
serta desakan orang lain."
"Apabila dugaanku tidak salah, tiap kali Jit-kaucu
membunuh orang, hatinya merasa menyesal."
Bong Thian-gak mengangkat kepala dan memandang
sekejap ke arah semua orang, kemudian katanya, "Kalau
dihitung, Jit-kaucu masih terhitung Sumoayku, aku
berkewajiban menyelamatkannya dari jurang kehancuran,
seandainya ia tak bisa dididik jadi baik, aku yakin masih
mampu menandinginya."
Bong Thian-gak berhenti sejenak, kemudian baru
sambungnya, "Padahal hampir setiap orang yang tergabung
dalam Put-gwa-cin-kau memiliki ilmu silat yang sangat lihai,
dari kepandaian silat kelima orang itu boleh dibilang mereka
adalah gembong-gembong iblis berilmu tinggi."
"Kemampuan Cong-kaucu Put-gwa-cin-kau untuk
menaklukkan serta mengendalikan kaum iblis di bawah
kekuasaannya, bisa diduga sampai dimanakah
kemampuannya? Ai ... apa yang diucapkan Ku-lo Sinceng
memang benar, musuh paling tangguh bagi kita
sesungguhnya adalah Cong-kaucu Put-gwa-cin-kau ... Ku-lo
Taysu adalah tokoh agung dari Siau-lim-pay, mungkin dia
telah menyiapkan segala sesuatunya untuk kita."
Ho Put-ciang manggut-manggut membenarkan, "Ucapan
Ko-siauhiap memang benar, beberapa hari berselang Sinceng
memang telah memberi dua buah kantung kepadaku dan
berpesan agar yang satu untuk Ko-siauhiap dan satu untukku.
Dia orang tua berpesan kantung hanya boleh diserahkan
kepada Ko-siauhiap, bila dia sudah berpulang alam baka. Tadi
oleh karena ada serangan musuh tangguh, aku telah
melupakan hal ini."
254
Mendengar ucapan itu, segera terlintas rasa girang di
wajah Bong Thian-gak, serunya dengan cepat, "Ah, rupanya
dugaanku memang benar, Sinceng telah menyiapkan segala
sesuatunya."
Sementara itu Pa-ong-kiong Ho Put-ciang sudah merogoh
ke dalam sakunya dan mengeluarkan dua buah kantung yang
terbuat dari kain yang amat indah. Ho Put-ciang mengambil
satu di antaranya dan diserahkan kepada Bong Thian-gak,
sambil berkata, "Yang ini buat Ko-siauhiap!"
Bong Thian-gak menyambut kantung itu, lalu bertanya,
"Apakah Ho-bengcu telah memeriksa isi kantung itu?"
"Belum, Ku-lo Sinceng telah berpesan, apabila ia sudah
kembali ke alam baka, isi kantung itu baru boleh dibuka, maka
aku masih belum mengetahui apa isinya."
"Sekarang mungkin kau sudah boleh membukanya,
bukan?"
Bong Thian-gak segera merogoh ke dalam kantung itu dan
mengeluarkan isinya, ternyata di situ terdapat tiga pucuk
sampul surat yang dilipat menjadi empat persegi, di antara
sampul tertera huruf satu, dua dan tiga secara berurutan.
Bong Thian-gak mengambil sampul surat pertama,
kemudian membaca tulisan di atasnya:
"Saat membuka sampul pertama, Sinceng sudah kembali ke
alam baka."
Pelan-pelan Bong Thian-gak merobek sampul itu, tampak di
atas kertas dalam sampul tertulis beberapa huruf yang
berbunyi:
"Selamatkan Jit-kaucu!"
Di sisi sebelah kiri ditulis nama, tertera pula dua deret
kalimat yang ditulis dalam huruf kecil:
255
"Bila Jit-kaucu sudah tewas sebelum kematian Pinceng, isi
surat ini batal"
Membaca petunjuk itu, untuk beberapa saat Bong Thiangak
termenung dan mengerut dahi, dia seperti tidak
memahami apa arti petunjuk itu.
Waktu itu kendati para jago lain terdorong oleh rasa ingin
tahu ingin turut membaca apa isi surat Ku-lo Sinceng, namun
oleh karena bong Thian-gak bungkam seribu bahasa, maka
tak seorang pun yang berani bertanya.
Semua orang hanya mengawasi Bong Thian-gak dengan
wajah termangu-mangu.
Bong Thian-gak termenung sampai lama sekali, akhirnya
dia meletakkan surat itu ke atas meja sembari berkata,
"Silakan kalian baca isi surat itu, kemudian pikirkan apa
artinya?"
Sementara itu para jago sudah dapat melihat jelas tulisan
itu, kontan semua orang mengerut dahi.
Thia Leng-juan pun tidak habis mengerti, katanya
kemudian, "Menyelamatkan Jit-kaucu? Tulisan itu
mengandung dua arti yang berbeda, satu di antaranya adalah
menyelamatkan roh atau jiwanya dan yang lain berarti
menjaga keselamatannya."
"Apa pula bedanya antara roh, jiwa dan keselamatan?"
tanya Goan-ko Taysu dari Siau-lim-pay keheranan.
"Menyelamatkan roh atau jiwanya, berati Jit-kaucu sudah
terlalu banyak membunuh orang, banyak melakukan
kejahatan sehingga kita diharuskan membawanya dari jalan
sesat kembali ke jalan yang benar serta tidak melakukan
kejahatan lagi."
"Kalau menolong keselamatannya berarti keselamatan jiwa
Jit-kaucu terancam bahaya dan kita harus menolongnya,
jangan sampai dia tewas terbunuh oleh orang lain."
256
"Penjelasan Thia-tayhiap tepat sekali!" seru Ang Thong-lam
pula, "Memang tulisan itu bisa punya dua maksud, tapi
dengan kedudukan Jit-kaucu sekarang, kecuali kita hendak
membunuhnya, masa ada orang lain yang hendak
membunuhnya pula?"
"Ku-lo Supek adalah seorang pintar dan pandai
menganalisa suatu keadaan, perintahnya memang
mengandung arti mendalam, sehingga aku sendiri pun tak
dapat memastikan."
"Tulisan 'Selamatkan Jit-kaucu' memang mengandung arti
yang dalam, untuk sementara waktu sulit bagi kita
menduganya, aku rasa kita turuti saja perintahnya dan
menyelamatkan Jit-kaucu," sela Ho Put-ciang.
Sementara itu Bong Thian-gak sedang memejamkan mata
sambil memutar otak memikirkan sesuatu.
Setelah melalui pemikiran yang panjang, akhirnya Bong
Thian-gak menghela napas panjang, "Ai, perintah Ku-lo
Sinceng ini memang benar-benar sukar dipahami pikiran kita,
ya, mungkin cuma waktulah yang bisa membuktikan hal ini!"
"Kantung berisi surat yang ditinggalkan Ku-lo Supek
untukku belum sempat kubuka, siapa tahu surat itu
menyinggung tentang hal ini?" kata Ho Put-ciang tiba-tiba.
Selesai berkata dia segera mengambil kantung yang
ditujukan kepadanya itu.
Dalam kantung hanya tersimpan sepucuk surat saja, di atas
sampul surat tertulis:
"Surat wasiat Siau-lim Ku-lo."
Membaca tulisan itu, hati semua orang bergetar keras,
mereka berpikir, "Ternyata Ku-lo Hwesio telah mengetahui
tentang kematiannya, maka dia sengaja menulis surat
wasiatnya."
257
Pelan-pelan Ho Put-ciang mengeluarkan surat dari dalam
sampul dan membaca isinya yang berbunyi:
"Siancayl Kehidupan di jagad ini berlangsung karena
perputaran bumi, pertemuan antara unsur Im dan Yang serta
perputaran lima unsur Ngo-heng, maka terwujudlah kehidupan
yang ada di alam semesta ini dengan kehadiran manusia yang
berakal budi.
Takdir menetapkan kehidupan Ku-lo harus berakhir pada
tahun Kau bulan Sin hari Cu dan saat Yu. Itulah sebabnya
kematian Pinceng merupakan kemauan takdir.
Ku-lo tahu pertempuran melawan Jit-kaucu akan lebih
banyak bahayanya daripada keberuntungan, andaikata
beruntung Pinceng bisa merenggut nyawa Jit-kaucu, maka
pasti ia akan mati pada hari ini, kemungkinan besar situasi
dunia persilatan akan berubah menjadi semakin tidak
menguntungkan bagi kita.
Sebaliknya jika Jit-kaucu tidak mati, sedang Ku-lo mati lebih
dulu, hal ini bisa berakibat munculnya suatu perubahan besar.
Cong-kaucu Put-gwa-cin-kau telah berhasil menciptakan
seorang tokoh tangguh seperti Jit-kaucu dengan bekal ilmu
Soh-li-jian-yang-sin-kang, bila ilmu itu mencapai tingkat
kesepuluh, maka orang akan menjadi kebal dan tahan pukul
maupun dibacok. Saat itulah bisa jadi Jit-kaucu akan menjadi
seorang jagoan yang tak ada tandingannya di kolong langit.
Itulah sebabnya bila Pinceng meninggal, sudah pasti Congkaucu
Put-gwa-cin-kau akan berusaha keras
melenyapkan Jit-kaucu guna menghilangkan bibit bencana
di kemudian hari.
Demi perubahan situasi dalam Bu-lim, terutama bagi
keuntungan pihak kita, kalian harus berusaha sekuat tenaga
untuk melindungi keselamatan jiwa jit-kaucu.
258
Saat ini Cong-kaucu Put-gwa-cin-kau telah berhasil
mempelajari berbagai macam ilmu sakti, hanya ilmu Soh-lijian-
yang-sin-kang serta Tat-mo-khi-kang saja yang mampu
membunuh biang keladi itu. Oleh sebab itu tugas pertama
kalian adalah menyelamatkan Jit-kaucu terlebih dahulu.
Ingati Ingati Dapatkah dunia persilatan kita
dipertahankan? Semuanya tergantung pada tindakan ini."
Setelah para jago membaca isi surat Ku-lo Hwesio, hampir
semuanya terkejut bercampur kagum. Sudah jelas terbukti
sekarang bahwa dalam pertarungan Ku-lo Hwesio melawan
Jit-kaucu, agaknya pendeta itu tidak bermaksud
membinasakan perempuan itu.
Dengan kening berkerut Ho Put-ciang berkata, "Ku-lo
Supek pandai ilmu rahasia langit, dari isi surat wasiatnya, bisa
diduga dia sudah tahu siapa gerangan Cong-kaucu Put-gwacin-
kau itu."
"Ai, tak perlu ditebak lagi," ujar Bong Thian-gak sambil
menghela napas panjang. "Mungkin dia orang tua sudah
mengetahui dengan jelas segala sesuatu tentang Cong-kaucu
Put-gwa-cin-kau itu."
Mendadak Thia Leng-juan berkata, "Bukankah Ku-lo Supek
masih memberi dua pucuk surat lagi untuk Ko-siauhiap?
Bagaimana kalau Ko-siauhiap keluarkan surat itu dan sekalian
diperiksa isinya?"
Mendengar perkataan itu, Bong Thian-gak segera membuka
sampul kedua dan sampul ketiga, namun di atas sampul itu
ternyata sudah dicantumkan saatnya untuk membuka.
Di atas sampul kedua ditulis dengan jelas saat untuk
membuka surat itu.
"Surat ini dibuka saat Mo-kiam-sin-kun Tio Tian-seng
muncul." Sedangkan sampul ketiga bertuliskan:
259
"Di buka saat hendak menaklukkan Cong-kaucu Put-gwacin-
kau."
Di samping lain sampul surat itu dicantumkan pula
peringatan agar jangan membuka surat itu apabila saatnya
belum sampai.
Bong Thian-gak tentu saja tak berani melanggar peringatan
itu, maka pemuda itu menyimpan kembali kedua pucuk surat
itu.
Mendadak Thia Leng-juan berseru tertahan, "Ah,
mungkinkah Cong-kaucu Put-gwa-cin-kau adalah Mo-kiam-sinkun
Tio Tian-seng?"
"Dari surat wasiat Ku-lo Supek, tampaknya Cong-kaucu
Put-gwa-cin-kau agak mirip dengan Tio Tian-seng," sahut Ho
Put-ciang.
"Aku rasa bukan Tio Tian-seng," seru Bong Thian-gak.
"Atas dasar apa Ko-heng mengatakan bukan dia?" tanya
Thia Leng-juan cepat.
"Seandainya orang itu adalah Tio Tian-seng, tak mungkin
Ku-lo Sinceng jual mahal pada kita. Ai ... siapakah Cong-kaucu
Put-gwa-cin-kau? Cepat atau lambat kita akan mengetahui
juga. Persoalan paling penting yang harus kita hadapi
sekarang adalah bagaimana caranya melaksanakan perintah
Sinceng serta menyelamatkan jiwa Jit-kaucu."
Hian-thian-koancu Yu Ciang-hong yang selama ini hanya
membungkam mendadak berkata, "Ah, agaknya Cong-kaucu
Put-gwa-cin-kau akan mulai melaksanakan rencananya
membunuh Jit-kaucu begitu mendengar berita kematian
Sinceng, bisa jadi saat ini Cong-kaucu sudah berada di kota
Kay-hong."
Bong Thian-gak manggut-manggut.
260
"Ya, benar! Tujuan yang sesungguhnya serbuan musuh ke
gedung bu-lim Bengcu hari ini adalah untuk mencari tahu
mati-hidup Ku-lo Sinceng, ya ... segala sesuatunya memang
berjalan seperti apa yang di tulis Sinceng dalam surat
wasiatnya, kalau begitu kita tak boleh ayal dalam usaha kita
menyelamatkan jiwa Jit-kaucu."
"Tapi tindakan apakah yang harus kita ambil? Harap kalian
semua sudi mengajukan pendapat," seru Ho Put-ciang.
Dengan suara berat Thia Leng-juan berkata, "Ku-lo Supek
telah menyerahkan isi kantung itu kepada Ko-heng, jelas
tugas ini hanya Ko-heng seorang yang mampu memikulnya,
mana mungkin orang lain bisa mencampurinya."
Seperti menyadari sesuatu, Pa-ong-kiong Ho Put-ciang
berkata, betul, tampaknya Ku-lo Supek sudah tahu Jit-kaucu
pun ahli waris Jian-bin hu-li Ban Li-biau seperti juga halnya
Ko-siauhiap."
"Ai, Ku-lo Sinceng benar-benar merupakan tokoh sakti yang
luar biasa," kata Bong Thian-gak. "Tampaknya ia sudah tahu
asal-usul semua lnknh di Bu-lim."
"Ai, kematiannya benar-benar merupakan suatu kerugian
besar bagi dunia persilatan."
"Dalam surat wasiatnya, Ku-lo Supek berpesan bahwa
kematian merupakan kemauan takdir, apakah seorang kaisar
bisa memperpanjang usianya bila saat ajalnya sudah tiba? Kosiauhiap,
aku rasa kau tak perlu bersedih karena
kematiannya!"
"Jika begitu aku harus segera mencari Jit-kaucu sekarang
juga."
"Aku rasa persoalan ini pun tak perlu dikerjakan terlalu
tergesa-gesa, kini luka pada bahu kiri Ko-siauhiap masih
belum sembuh, lagi pula telah berjuang sehari semalam, tak
261
ada salahnya kau beristirahat dulu selama tiga-empat hari
sebelum melakukan sesuatu tindakan."
"Luka yang kuderita tidak jadi soal. Yang kukuatirkan
sekarang seandainya orang-orang Put-gwa-cin-kau melakukan
penyerbuan sekali lagi kemari."
Ho Put-ciang tertawa sedih.
"Walaupun pada pertempuran hari ini pihak gedung Bengcu
menderita kerugian besar, tapi asalkan yang datang bukan
Cong-kaucu atau Jit-kaucu Put-gwa-cin-kau, gedung Bengcu
yakin masih bisa mempertahankan diri."
Bong Thian-gak termenung beberapa saat, kemudian
katanya pelan-pelan, "Ho-bengcu, ada satu hal perlu
kuingatkan kepadamu, ketahuilah bahwa dalam gedung Bu-lim
Bengcu sekarang bersembunyi seorang pentolan Put-gwa-cinkau,
kalau tak salah pentolan itu adalah Cap-go-kaucu! Aku
harap kau bertindak lebih waspada."
"Sekarang orang yang menjadi kekuatan inti gedung Bu-lim
Bengcu adalah Ko-siauhiap, Thia Leng-juan Laute, Angtayhiap,
Goan-ko Taysu, Ui-hok Totiang beserta kami Suhengte.
Semua rahasia yang kita ketahui tak mungkin bocor ke
telinga orang lain, bila rahasia itu sampai bocor, berarti Capgo-
kaucu Put-gwa-cin-kau berada di antara kita bersembilan
dalam gedung Bu-lim Bengcu, entah bagaimana pendapat
kalian?" kata Ho Put-ciang.
"Betul," ujar Thia Leng-juan cepat, "apa yang kita bicarakan
hari ini menyangkut keselamatan dunia persilatan, jelas siapa
pun dilarang membocorkan keluar."
Yu Ciang-hong, Ang Thong-lam dan Goan-ko Taysu
sekalian segera bersumpah pula untuk memegang rahasia itu
rapat-rapat.
262
Malam itu lewat tanpa kejadian, para jago pun kembali ke
kamar masing-masing untuk mengatur pernapasan dan
merawat luka.
Keesokan harinya, luka yang diderita Ui-hok Totiang serta
Toan-jong-hong-liu Yu Heng-sui telah sembuh, sementara luka
yang diderita Oh Cian-giok sudah jauh membaik.
Bong Thian-gak dan Thia Leng-juan bersama-sama tidur di
loteng sebelah barat, pada hari ketiga luka tusukan pada bahu
kiri Bong Thian-gak pun telah sembuh.
Selama tiga hari itu dari pihak Bu-lim Bengcu telah
mengirim banyak mata-mata untuk menyelidiki keadaan serta
gerak-gerik orang-orang Put-gwa-cin-kau, anehnya puluhan li
di seputar kota Kay-hong ternyata tidak dijumpai satu pun
orang persilatan, tentu saja tidak diketahui pula gerak-gerik
orang-orang Put-gwa-cin-kau.
Keadaan itu tentu saja mendatangkan perasaan tak tenang
bagi para jago yang berkumpul dalam gedung Bu-lim Bengcu.
Setiap orang tahu, sebelum datangnya hujan badai
biasanya didahului oleh suasana sunyi senyap yang aneh.
Tengah hari itu Pa-ong-kiong Ho Put-ciang bersama
pendekar sastrawan dari Im-ciu Thia Leng-juan dan Bong
Thian-gak bertiga berkumpul di ruangan tengah bangunan
loteng sebelah barat.
"Ho-toako, menurut pendapatmu mungkinkah orang-orang
Put-gwa-cin-kau telah mengundurkan diri secara diam-diam
dari kota Kay-hong?"
Pertanyaan itu ditujukan kepada Ho Put-ciang dengan
suara lantang.
Ho Put-ciang menggeleng.
"Dalam tiga hari ini suasana memang terasa kurang beres.
Jika orang-orang Put-gwa-cin-kau masih berada di kota KayTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
263
hong, mata-mata yang kita kirim paling tidak akan
menemukan jejak mereka."
"Aku pikir Jit-kaucu tak mungkin meninggalkan tempat ini
begitu cepat," seru Bong Thian-gak pula.
"Ko-heng, apa maksudmu?" tanya Thia Leng-juan cepat.
"Jit-kaucu mendapat tugas menghancurkan gedung Bu-lim
bengcu, sebelum tugas yang dibebankan ke atas pundaknya
diselesaikan, bagaimana mungkin dia bisa meninggalkan kota
Kay-hong? Menurut dugaanku, Put-gwa-cin-kau masih akan
melakukan penyerangan secara besar-besaran terhadap
gedung Bu-lim Bengcu kita!"
"Bagaimana Ko-heng bisa berkata demikan? Kalau dibilang
Jit-kaucu mendapat perintah untuk menghancurkan gedung
Bu-lim Bengcu, apa sebabnya pada penyerbuan musuh tempo
hari kita tak menjumpai Jit-kaucu?"
"Sebab rencana penyerbuan gedung Bengcu yang terjadi
dua hari lalu bukan atas prakarsa Jit-kaucu."
"Kalau bukan diprakarsai dia, lantas siapa?"
"Orang berkerudung berbaju hitam itu!"
Tiba-tiba Thia Leng-juan berseru tertahan, sambil berpaling
ke arah Ho Put-ciang katanya, "Ho-toako, orang berkerudung
itu pernah memperkenalkan diri. Katanya dia adalah pentolan
nomor dua pasukan pengawal tanpa tanding Put-gwa-cin-kau,
dengan kepandaian silatnya yang hebat serta sikapnya yang
angkuh, mestinya pasukan pengawal tanpa tanding
mempunyai kedudukan tinggi dalam Put-gwa-cin-kau."
"Bisa jadi pasukan pengawal tanpa tanding merupakan
pelindung Kaucu Put-gwa-cin-kau," pendapat Ho Put-ciang.
"Benar, pasukan pengawal tanpa tanding adalah para
pelindung Cong-kaucu Put-gwa-cin-kau."
264
Thia Leng-juan segera termenung sambil berpikir sejenak,
lalu katanya, "Perkataan Ko-heng memang benar,
kemungkinan besar Put-gwa-cin-kau akan melakukan serbuan
kedua terhadap gedung Bu-lim Bengcu kita ini."
"Tapi anehnya mengapa hingga kini belum juga dilakukan?"
tanya Ho Put-ciang dengan kening berkerut.
"Sebuah pukulan dahsyat Ko-heng yang bersarang tepat di
tubuh orang berkerudung berbaju hitam itu menyebabkan
mereka tak berani menganggap enteng kekuatan kita," kata
Thia Leng-juan mengemukakan pendapatnya. "Selain itu,
nampaknya mereka masih menaruh curiga terhadap kematian
Ku-lo Supek."
Ho Put-ciang manggut-manggut.
"Benar, Jit-kaucu pun terhajar hingga terluka oleh Ku-lo
Supek dan dengan jumlah anggota Put-gwa-cin-kau yang
berada di kota Kay-hong +
-sekarang, mereka memang belum berani melakukan
penyerbuan lagi. Kemungkinan mereka belum berani berkutik
dalam beberapa hari mendatang, bisa jadi sedang minta bala
bantuan sambil menyiapkan serangan berikutnya."
"Ai, tapi yang pasti, orang yang memimpin penyerbuan
kedua ini pun pasti bukan Jit-kaucu!" kata Bong Thian-gak
sambil menghela napas panjang.
"Ko-heng, siapa menurut dugaanmu?"
"Kemungkinan besar Cong-kaucu yang akan memimpin
secara langsung penyerangan ini."
Paras muka Pa-ong-kiong Ho Put-ciang berubah hebat
mendengar perkataan itu, katanya cepat, "Lantas bagaimana
cara kita menghadapi?"
Bong Thian-gak menghela napas panjang.
265
"Ai, hari ini aku baru menemukan gelagat kurang baik, bila
kita hendak meminta bantuan orang sembilan partai besar,
aku rasa air yang berada di tempat jauh tak mungkin bisa
memadamkan api di depan mata!"
"Tapi kita bisa membendung air bah, kita hadapi serbuan
lawan dengan kekuatan, asal kita bertekad berjuang sampai
titik darah penghabisan, aku rasa kekuatan musuh masih
dapat kita imbangi."
"Aku pikir lebih baik kita mundur saja dari gedung ini sambil
melindungi kekuatan yang tersisa," ucap Bong Thian-gak
dengan wajah serius.
Belum habis perkataan Bong Thian-gak, mendadak dari
bawah anak tangga sana terdengar suara langkah kaki, disusul
kemudian munculnya Toan-jong-hong-liu Yu Heng-sui.
"Yu-sute, ada urusan penting apa?" Ho Put-ciang segera
berpaling dan menegur.
Dengan suara lantang Yu Heng-sui menyahut, "Seorang
mata-mata yang kita utus untuk mencari berita telah berjumpa
dengan seorang perempuan misterius di luar kota Kay-hong
sebelah barat. Perempuan itu telah menitipkan sepucuk surat
kepada mata-mata kita supaya diampaikan kepada Kosiauhiap."
Sembari berkata, dari dalam sakunya dia mengeluarkan
sepucuk iiiiat berwarna biru.
Bong Thian-gak segera menerima surat itu, di atas sampul
tertera beberapa huruf dengan gaya tulisan yang sangat
indah:
"Ditujukan khusus untuk Ko Hong."
Bong Thian-gak berkerut kening, setelah berpikir sebentar,
lalu tanyanya, "Siapakah perempuan itu?" Terus saja ia
merobek sampul surat itu dan membacanya isinya.
266
"Tidak mudah untuk mempertahankan hidup ini, cepat
pergi dari sini untuk hidup seratus tahun lagi."
Di bawah surat tidak dicantumkan tanda tangan.
Selesai membaca, Bong Thian-gak segera menyerahkan
surat itu kepada Ho Put-ciang serta Thia Leng-juan sekalian.
"Siapa penulis surat ini?" Thia Leng-juan bertanya
kemudian.
"Jit-kaucu," sahut Bong Thian-gak sambil menghela napas
panjang.
Ho Put-ciang menghela napas pula.
"Kejadian ini semakin membuktikan dugaan kita tak salah,
Put-gwa-cin-kau memang sudah mempersiapkan diri
memusnahkan gedung kita."
"Ai, belum tentu begitu, kemungkinan juga sasaran mereka
hanya aku seorang."
"Bukankah dia sudah memberi peringatan kepada Ko-heng?
Tak mungkin dia turun tangan keji terhadap Ko-heng!" kata
Thia Leng-juan lagi.
"Jit-kaucu adalah seorang gadis yang berwatak aneh,
senang gusarnya tidak menentu, lagi pula semua gerakgeriknya
seakan-akan sudah berada di bawah cengkeraman
Cong-kaucu."
Ho Put-ciang bertanya kepada Yu Heng-sui, "Yu-sute,
siapakah mata-mata itu? Cepat kau panggil dia agar
menghadap kemari."
"Baik!" sahut Toan-jong-hong-Iiu Yu Heng-sui dari bawah
loteng.
267
Tak selang lama kemudian Yu Heng-sui telah muncul
kembali diikuti seorang lelaki berbaju hitam.
Begitu melihat raut wajah lelaki itu, Pa-ong-kiong Ho Putciang
segera mengetahui dia adalah komandan pasukan matamata
angkatan kedelapan yang bernama Tan Thiam-ka.
Sesudah memberi hormat kepada semua orang, Tan
Thiam-ka segera berdiri di samping dengan kedua tangan
diluruskan ke bawah.
"Komandan Tan, darimana kau dapatkan surat ini?" Ho Putciang
berkata dengan suara nyaring.
"Di sebelah barat kota Kay-hong, lebih kurang empat-lima li
di luar kota."
"Macam apakah bentuk wajah orang yang menyerahkan
surat itu kepadamu?" sela Thia Leng-juan.
"Dia adalah seorang gadis yang berusia enam-tujuh belas
tahunan, berwajah jelek tapi bersuara amat merdu dan manis.
Awalnya dia bertanya kepadaku apakah merupakan anggota
gedung Bengcu, setelah itu ujarnya lagi, katanya dia ada surat
yang hendak diserahkan kepada Ko Hong Siauhiap, maka
surat itu pun diserahkan kepada hamba sebelum pergi
meninggalkan tempat itu."
Mendengar penjelasan itu, paras muka Ho Put-ciang
sekalian segera berubah hebat, dalam hati mereka berpikir,
"Berwajah jelek? Kalau begitu orang itu bukan Jit-kaucu?"
Walaupun Ho Put-ciang dan Thia Leng-juan sekalian belum
pernah menyaksikan raut wajah Jit-kaucu, namun Bong Thiangak
pernah melukiskan paras mukanya yang cantik ibarat
bidadari yang baru turun dari kahyangan, lagi pula usianya
juga tidak cocok.
"Komandan Tan, apakah kau tidak salah melihat?" Ho Putciang
segera bertanya.
268
"Tecu tak bakal salah melihat."
Ho Put-ciang manggut-manggut.
'Baiklah kalau begitu, komandan Tan dan Yu-sute boleh
mengundurkan diri dari sini."
"Baik!" seru mereka berdua bersama-sama.
Seusai berkata, mereka membalikkan badan siap
meninggalkan Irmpat itu.
"Tunggu sebentar!" mendadak Bong Thian-gak berseru.
"Ada urusan apa Ko-siauhiap?" Ho Put-ciang segera
bertanya.
"Ho-bengcu, aku ingin membawa komandan Tan
berkunjung ke tempat penyerahan surat itu."
"Apakah luka Ko-siauhiap telah sembuh?"
"Tak usah kuatir, Bengcu, lukaku sudah tak jadi masalah
lagi."
"Apakah Ko-siauhiap kenal si pengantar surat itu?"
"Tidak!" Bong Thian-gak menggeleng. "Belum pernah
kujumpai wanita itu."
"Musuh kita amat licik dan mempunyai banyak tipu
muslihat, mungkinkah kepergian Ko-siauhiap akan terjebak
siasat licik mereka?"
"Apa maksud perkataanmu itu?"
"Aku kuatir Ko-siauhiap salah menduga akan si pengirim
surat itu."
"Andaikan musuh menantangmu secara terang-terangan
untuk berduel, mereka kuatir kita mempersiapkan diri lebih
dahulu, maka dia sengaja mengirim surat itu untuk
memancing rasa ingin tahumu hingga kau melakukan
269
penyelidikan seorang diri. Akhirnya kau termakan oleh tipu
muslihat mereka."
Mendengar perkataan itu, Bong Thian-gak tersenyum.
"Untuk mewujudkan tugas yang dibebankan Ku-lo Sinceng
kepadaku, sudah seharusnya aku mulai bertindak sekarang."
"Kalau begitu apakah Ko-siauhiap membutuhkan bantuan
orang kami?"
"Tidak usah," Bong Thian-gak menampik sambil
menggeleng. "Sekarang juga aku akan berangkat."
Ho Put-ciang lantas berpaling ke arah lelaki berbaju hitam
itu sambil berpesan, "Komandan Tan, dampingi Ko-siauhiap,
kau harus menuruti semua petunjuk dan perintah Ko-siauhiap
tanpa membantah."
"Baik!" sahut Tan Thiam-ka dengan hormat.
Setelah berkata, dia lalu berpaling ke arah Bong Thian-gak
sambil bertanya, "Ko-siauhiap, apakah akan berangkat
sekarang juga?"
Bong Thian-gak berkata kepada Ho Put-ciang sekalian,
"Setiap saat aku akan mengadakan kontak dengan kalian,
harap Bengcu tak usah kuatir, kami segera akan berangkat."
Selesai berkata Bong Thian-gak dan Tan Thiam-ka segera
pula berangkat meninggalkan gedung Bu-lim Bengcu.
Setelah perjalanan selama setengah jam lebih, sampailah
Tan Thiam-ka dan Bong Thian-gak di depan sebuah hutan
buah-buahan.
"Di sinikah kau bertemu dengan gadis berwajah jelek itu?"
Bong Thian-gak bertanya.
"Ya, waktu itu hamba sedang duduk beristirahat di bawah
pohon kelengkeng, mendadak muncul perempuan berwajah
jelek itu."
270
Bong Thian-gak mendongakkan kepala memandang
sekejap ke arah hutan buah-buahan itu.
Kebun buah-buahan itu luas sekali, mungkin mencapai
belasan hektar lebih. Empat penjuru dikelilingi pagar pendek
terbuat dari bambu, jelas tempat itu merupakan kebun buahbuahan
yang dijaga orang.
Bong Thian-gak bertanya, "Apakah sekeliling tempat ini
terdapat perkampungan atau dusun?"
"Dua li dari sini terdapat sebuah dusun kecil, hanya sekitar
dua puluh kepala keluarga."
"Apa hasil penyelidikanmu terhadap dusun itu?"
Tan Thiam-ka termenung sejenak, kemudian sahutnya, "Di
tempat itu tidak kutemukan sesuatu, pada pagi dan siang hari
kebanyakan rumah petani tutup, hanya ada beberapa anak
kecil bermain di luar pagar rumah, benar-benar suasana dusun
kaum petani."
Pada saat itulah mendadak dalam kebun buah-buahan itu
berkumandang suara bentakan serta caci-maki.
Dengan kening berkerut Bong Thian-gak berkata, "Mari kita
tengok!"
Suara bentakan itu berasal setengah li dari tempat itu,
suaranya tidak begitu keras.
Buru-buru Bong Thian-gak dan Tan Thiam-ka berputar ke
kebun buah sebelah utara, di situ mereka menyaksikan
sekelompok orang mengerubuti seseorang.
Menyaksikan itu, hati Bong Thian-gak terkesiap.
Rombongan itu terdiri dari tiga belas orang, mereka
mengenakan baju hijau penuh tambalan, tak usah ditanya lagi
mereka adalah orang-orang Kay-pang.
271
Orang yang sedang dikepung ketiga belas orang Kay-pang
itu adalah seorang gadis berbaju hitam.
Bong Thian-gak dapat melihat pula raut wajah gadis
berbaju hitam ttu dengan jelas, dia berkulit hitam dengan
hidung besar, mulut lebar dan mata melotot. Tampang
semacam itu benar-benar jelek setengah mati.
Bong Thian-gak terkejut, sambil menarik tangan Tan
Thiam-ka menuju ke tempat peristiwa itu, bisiknya lirih,
"Komandan Tan, coba kau perhatikan, diakah yang
menyampaikan surat itu kepadamu?"
Setelah melihat jelas paras muka gadis berbaju hitam itu,
Tan Thiam-ka berseru tertahan, "Ah, betul! Ko-siauhiap, dialah
orangnya."
Bong Thian-gak manggut-manggut.
"Bagus sekali, mari kita lihat keadaan dan berpeluk tangan
dulu."
Sementara itu kawanan pengemis Kay-pang dan gadis
berwajah jelek itu sudah melihat pula kehadiran Bong Thiangak
serta Tan Thiam-ka.
Sebenarnya orang-orang Kay-pang itu mengira Bong Thiangak
dan Tan Thiam-ka adalah teman gadis berwajah jelek itu,
mereka baru menyadari kesalahan itu setelah menyaksikan
kedua orang itu berhenti.
Mendadak terdengar gadis berwajah jelek itu tertawa,
kemudian menegur, "Kalian kawanan pengemis tak tahu diri,
di siang hari bolong begini pun berani membegal aku?"
Salah seorang di antara pengemis itu, yang berusia agak
lanjut, tertawa aneh, "Hehehe, bocah perempuan jelek,
pentang matamu lebar-lebar, kami anggota Kay-pang bukan
manusia yang membiarkan diri dihina orang semaunya sendiri.
Sekarang aku si pengemis tua hanya ingin bertanya saja
272
kepadamu, siapa dua orang gadis yang baru saja kau bunuh
itu?"
Gadis berparas jelek itu tertawa terkekeh-kekeh.
"Hehehe, kalian kawanan pengemis rudin, untuk mencari
makan sehari tiga kali saja sudah sulit, ternyata berani
mencampuri urusan orang lain. Aku cuma menasehatimu
secara baik-baik, kalau mau hidup langgeng, lebih baik cepat
tinggalkan tempat ini dan jangan ceritakan apa yang telah kau
lihat tadi, kalau tidak, kalian akan mampus di sini tanpa liang
kubur."
Mendadak pengemis tua itu membentak gusar, "Bocah
perempuan jelek, kenalkah kau dengan Lohu?"
"Kau tak lebih dari seorang pelindung hukum ruang siksa
Kay-pang?" kata si nona hambar.
Pengemis tua itu tertawa dingin.
"Seorang pelindung hukum ruang siksa Kay-pang
mempunyai hak menurunkan perintah membantai setiap
musuh yang dijumpai. Bila tahu diri, lebih baik cepat sebutkan
identitas serta asal-usul kedua orang itu."
Mendadak gadis yang berwajah jelek itu menarik muka dan
mencorongkan sinar membunuh dari balik matanya, dengan
suara dingin dia berkata, "Sekarang kalian sudah mengetahui
rahasiaku membunuh orang, kukira sudah sepantasnya bila
kubunuh kalian agar rahasia ini tidak bocor ke orang lain, hm,
belum lagi aku melakukan pembunuhan itu, sungguh tak
nyana kalian telah memojokkan aku dengan perkataanmu itu."
Bong Thian-gak yang menyaksikan kejadian ini berpikir
dalam hati, "Aduh celaka, gadis ini sudah diliputi hawa
membunuh."
Sementara dia berpikir, pengemis tua telah berteriak,
"Bagus sekali! Arak kehormatan tidak mau, kau justru memilih
arak hukuman. Pengawal! Tangkap dulu budak jelek itu!"
273
Begitu bentakan dilontarkan, empat orang anggota Kaypang
segera menerjang ke depan sambil memutar tongkat
bambu mereka.
Siapa tahu, dengan satu lejitan tahu-tahu gadis berwajah
jelek itu sudah menyongsong kedatangan keempat orang itu.
Menyusul "Plak! Plokl Plak! Plok!", empat kali tamparan
nyaring berkumandang memecah keheningan.
Keempat orang pengemis yang melakukan terjangan itu
masing-masing mendengus tertahan, kemudian tergeletak di
tanah dan tidak berkutik lagi.
Ilmu pukulan yang demikian cepat dan luar biasa ini
membuat Hong Thian-gak yang menyaksikan kejadian itu
mengerut dahi.
Sementara para pengemis Kay-pang diliputi perasaan
kaget, ngeri dan tertegun.
Agaknya gadis berwajah jelek itu sudah didorong nafsu
untuk melakukan pembunuhan secara besar-besaran guna
melenyapkan semua saksi hidup, dengan suatu gerakan yang
amat cepat dia menyerbu ke tengah kerumuman orang
banyak.
Segera berkumandang jeritan kaget tertahan serta jerit
kesakitan disana-sini. Bayangan orang mencelat dan
berkelebat ke sana kemari, dalam waktu singkat telah ada dua
belas orang anggota Kay-pang tergeletak di tanah.
Dalam keadaan seperti ini, Bong Thian-gak tidak
mengetahui apakah dia harus mencampuri urusan ini atau
tidak?
Sementara itu si nona berwajah jelek sudah berjalan
menuju ke depan pengemis tua itu begitu berhasil
membinasakan kedua belas anggota Kay-pang tadi.
Mendadak Bong Thian-gak membentak nyaring, "Tahan!"
274
Waktu itu si nona berwajah jelek sudah mengangkat
telapak tangan siap melancarkan serangan maut, ketika
mendengar suara bentakan itu, gerakannya segera dihentikan.
Dengan suatu gerakan cepat Bong Thian-gak menghampiri
nona berwajah jelek itu, kemudian katanya, "Nona, jangan
kau lakukan pembantaian secara besar-besaran."
"Ko-siangkong, harap menyingkir dulu," kata gadis
berwajah jelek itu pelan. "Sekarang aku telah membinasakan
dua belas orang anggota partainya dan aku tak boleh
membiarkan dia kabur untuk membocorkan rahasia ini."
Paras muka Bong Thian-gak berubah hebat sesudah
mendengar perkataan itu, ujarnya, "Nona, kepandaian silat
yang kau miliki lihai sekali, justru karena aku tak bisa
mengambil keputusan dengan cepat, akibatnya aku tak
sempat mencegah perbuatan kejimu."
"Siangkong, apabila kau menghalangi perbuatanku ini,
maka kau bakal menyesal sepanjang masa. Harap kau segera
menyingkir."
Dalam pada itu si pengemis tua masih berdiri di situ
dengan wajah termangu. Bong Thian-gak yang menyaksikan
hal itu segera membentak, "Hei, mengapa kau tak segera
melarikan diri? Kau hendak menunggu sampai kapan?"
Pengemis tua itu terkejut sesudah mendengar seruan itu.
Dia segera membalikkan badan dan melarikan diri.
Mendadak gadis itu mengayunkan pergelangan tangan
kanan.
"Sret", setitik cahaya bintang yang terang bagaikan
sambaran petir dengan cepat menyambar ke belakang tubuh
si pengemis tua itu.
Mimpi pun Bong Thian-gak tidak mengira gadis berwajah
jelek itu bakal melancarkan serangan dengan menggunakan
senjata rahasianya, ia membentak keras, telapak tangan
275
kirinya segera diayun ke depan melepaskan pukulan kosong
membabat ke titik cahaya bintang itu.
Walaupun dia bertindak agak terlambat, senjata rahasia
tadi tersapu juga oleh sambaran angin pukulannya, dengan
begitu kekuatan serangannya menjadi berkurang dan tak
menyeramkan lagi.
"Aduh!" berkumandang jerit kesakitan yang memilukan
hati.
Pengemis tua itu sempoyongan, lalu melarikan diri makin
cepat meninggalkan tempat itu.
Di saat Bong Thian-gak mengayunkan telapak tangan
kirinya melancarkan serangan tadi, tangan kanannya juga
secepat kilat menghantam bahu gadis berwajah jelek itu.
Dengan cekatan gadis berwajah jelek itu mundur tigaempat
langkah, ujarnya setelah menghela napas sedih,
"Siangkong, dengan perbuatanmu ini hanya akan menambah
kesulitanku saja, bahkan bisa jadi akan mempengaruhi situasi
dunia persilatan."
"Mengapa?" tanya Bong Thian-gak dengan suara dalam.
"Siangkong, tahukah kau siapakah kawanan pengemis itu?"
tanya gadis berwajah jelek itu sambil menghela napas sedih.
"Para anggota Kay-pang!"
"Kay-pang adalah perkumpulan paling besar di Bu-lim
dewasa ini. Pengaruh organisasi itu meliputi hampir setiap
pelosok dunia persilatan, kini kau telah membiarkan pengemis
tua itu melarikan diri, mungkin tidak sampai dua belas jam
kemudian, pihak Kay-pang sudah akan mengutus jagojagonya
datang kemari mencari balas."
"Nona, kalau kau tak ingin disusahkan oleh orang-orang
Kay-pang, mengapa pula kau membunuh anggota mereka?"
276
Dengan polos gadis berwajah jelek itu menjawab, "Asalkan
kau tidak menghalangiku tadi, maka aku akan berhasil
membunuh mereka semua, perbuatanku ini tak akan diketahui
siapa pun, bahkan aku bisa mengalihkan balas dendam
mereka ke arah yang salah. Bukankah ini justru akan
mendatangkan keuntungan bagi diriku?"
"Nona kau berasal dari perguruan atau aliran mana?" tanya
Bong Thian-gak kemudian dengan kening berkerut.
Gadis berwajah jelek itu tertawa cekikikan.
"Aku tidak punya perguruan maupun partai."
"Bukankah nona yang menyuruh dia mengantar surat
untukku?" I.inya Bong Thian-gak lagi dengan suara dalam.
Sembari berkata dia menunding ke arah Tan Thiam-ka
yang berdiri di samping.
"Betul! Aku yang menitipkan surat itu kepadanya," gadis
berwajah jelek itu membenarkan.
"Seingatku belum pernah berjumpa atau berkenalan
dengan nona, darimana nona mengenali diriku? Apa pula
maksud nona mengirim surat itu kepadaku?"
"Walaupun aku tidak kenal padamu, tapi besar
kemungkinan majikan kami kenal Ko-siangkong."
"Ai, apakah kau masih mempunyai majikan? Siapakah
nama majikan kalian itu?"
"Aku juga tidak mengetahui siapa nama majikan kami."
Kali ini Bong Thian-gak benar-benar dibikin bingung dan tak
habis mengerti, sebenarnya dia mengira Jit-kaucu Thay-kun
yang menyuruh gadis ini menyampaikan surat kepadanya,
siapa tahu kenyataan sama sekali berbeda dengan apa yang
diduganya semula.
Lantas siapakah majikannya?
277
Ilmu silat gadis berwajah jelek itu kelihatan amat aneh dan
istimewa, boleh dibilang Bong Thian-gak sama sekali tak
mengenalinya.
Setelah termenung dan memutar otak, Bong Thian-gak
bertanya, "Nona, dapatkah kau mengajakku pergi menjumpai
majikanmu?"
"Tentu saja boleh, cuma aku kuatir majikan tidak bersedia
bertemu denganmu."
Mendadak satu ingatan melintas dalam benak Bong Thiangak,
katanya, "Dalam surat itu, dia menyuruh aku datang
menjumpainya."
"Kau tidak bohong?" gadis berwajah jelek itu menegas.
"Tidak!"
Gadis itu memandang ke arah Tan Thiam-ka sekejap,
kemudian katanya, "Majikan kami tak mengizinkan orang lain
menjumpainya."
Tentu saja Bong Thian-gak cukup memahami maksud
ucapannya itu, maka katanya kepada Tan Thiam-ka,
"Komandan Tan, kau boleh pulang lebih dulu."
"Baik!" sahut Tan Thiam-ka.
Dengan mengerahkan Ginkang, dia lantas kembali ke
gedung Bu-lim Bengcu.
Sepeninggal Tan Thiam-ka, gadis itu baru berkata sambil
tersenyum, "Siangkong, mari kita berangkat!"
Selesai berkata dia lantas membalik badan dan berangkat
ke arah utara.
Bong Thian-gak juga tidak banyak bicara, dengan ketat dia
mengikut di samping kiri gadis bermuka jelek itu.
Mendadak gadis itu berkata, "Siangkong, apakah kau tidak
mencurigai diriku sebagai anggota Put-gwa-cin-kau?"
278
"Ehm, aku sudah menduga ke situ," sahut Bong Thian-gak
dengan suara hambar.
"Seandainya aku benar-benar anggota Put-gwa-cin-kau,
apa yang hendak Siangkong lakukan?"
"Akan kubunuh dirimu sekarang juga!"
Gadis bermuka jelek itu tertawa cekikikan. "Tak usah
kuatir," katanya, "kedua gadis yang kubunuh tadi tak lain
adalah anggota Put-gwa-cin-kau."
"Mengapa kau membinasakan mereka," tanya si pemuda
dengan terkejut bercampur keheranan.
"Sebab aku sedang melaksanakan perintah majikan!"
"Sesungguhnya siapa majikanmu itu?" desak Bong Thiangak
tiba-tiba sambil menghela napas.
"Bagaimana pun juga kau bakal bertemu dengannya,
setelah bersua nanti kau akan tahu dengan sendirinya."
"Majikanmu itu seorang lelaki atau perempuan?"
"Seorang perempuan."
Kini Bong Thian-gak diliputi perasaan bimbang, tidak habis
mengerti dan curiga, namun dia tidak berdaya mengatasi
kecurigaan itu, maka selain membuang jauh-jauh pikiran itu
untuk sementara waktu, sorot matanya dialihkan ke sekeliling
tempat itu sambil mengawasi pemandangan alam.
Lambat-laun matahari tenggelam di langit barat, senja pun
menjelang tiba.
Suasana tengah malam yang sepi berlapiskan cahaya
keemas-emasan yang sangat indah.
Akhirnya sampailah mereka di depan sebuah hutan kecil,
dari balik hutan lamat-lamat nampak sebuah kuil.
"Kita sudah hampir sampai," bisik gadis itu tiba-tiba.
279
"Apakah kuil di depan sana?" pemuda itu bertanya.
"Ya, kuil kaum Nikoh!"
Sementara pembicaraan berlangsung, mereka berdua
sudah memasuki halaman muka kuil itu.
Saat itulah si nona yang bermuka jelek itu baru
menghentikan langkahnya dan berpaling ke arah Bong Thiangak,
katanya, "Harap kau suka menunggu sebentar di luar
kuil!"
Tidak menanti jawaban Bong Thian-gak, dia sudah
menerobos ke balik pintu gerbang kuil itu.
Meminjam sinar senja berwarna keemas-emasan, Bong
Thian-gak mencoba mengawasi kuil itu, ternyata kuil itu
bernama Keng-tim-an.
Kuil Keng-tim-an tidak terhitung besar, namun juga tidak
kecil. Seluruh bangunan terdiri dari lima lapis halaman.
Waktu itu di ruang tengah amat sepi dan tidak nampak
sesosok bayangan orang pun.
Suasana diliputi oleh keheningan, kesepian yang luar biasa.
Diam-diam Bong Thian-gak berpikir, "Andaikata tempat ini
hanya merupakan suatu perangkap Put-gwa-cin-kau,
bagaimana caraku menghadapi mereka dan meloloskan diri?"
Belum habis dia berpikir, tiba-tiba nampak gadis bermuka
jelek itu sudah berjalan keluar dari ruang tengah, kemudian
katanya dengan suara dingin, "Siangkong, kau pandai
berbohong. Dalam suratnya, majikan kami tidak
mengundangmu kemari!"
”Tak usah marah-marah, nona, sesungguhnya terdorong
oleh rasa ingin tahuku, maka aku kemari ingin berjumpa
dengan majikan kalian."
280
"Gara-gara ulahmu itu, akibatnya aku yang didamprat
majikan habis-habisan. Untung majikan mempunyai
pandangan lain kepadamu sehingga dia bersedia bertemu
dengan kau."
"Terima kasih banyak atas bantuan nona, harap kau suka
membawaku masuk ke dalam!"
"Setelah masuk ke dalam kuil nanti, harap kau jangan
mengusik para Nikoh."
"Apakah ada Nikoh yang berdiam di sini?"
"Ya, mereka adalah Nikoh yang menjalani pantangan berat,
jumlahnya mencapai tujuh puluhan orang."
Sementara berbicara, gadis itu sudah berjalan lebih dahulu
untuk menunjukkan jalan.
Sesudah memasuki pintu kuil, benar juga pada sisi pagar
bangunan itu nampak ada puluhan orang Nikoh sedang
menyirami bunga, menanam sayur dan membabat rumput.
Mereka langsung menuju ke ruang tengah.
Di depan patung Buddha di ruang tengah, nampak asap
dupa mengepul memenuhi angkasa, tiga orang Nikoh sedang
berdoa di situ dengan khidmat.
Gadis bermuka jelek itu langsung mengajak Bong Thiangak
menuju ke halaman lapis keempat.
Waktu itu dalam semua kamar di masing-masing halaman
telah diterangi cahaya lentera.
Gadis berwajah jelek itu membawa Bong Thian-gak menuju
ke depan sebuah rumah yang terpencil di tengah halaman.
Dari luar tampak sesosok bayangan orang sedang duduk di
tepi jendela. Bayangan tubuh seorang perempuan cantik dan
menarik, Bong Thian-gak seakan-akan pernah mengenalinya
di suatu tempat.
281
Pada saat itulah, gadis itu berkata dengan sikap hormat,
"Lapor majikan, Ko-siangkong telah tiba."
Dari dalam ruangan segera berkumandang suara merdu
dan lembut, "Silakan Siangkong masuk!"
"Siangkong, silakan masuk!" kata gadis itu.
Sekali pun Bong Thian-gak diliputi perasaan bingung dan
penuh curiga, namun terdorong rasa ingin tahunya yang
besar, ia segera beranjak memasuki ruangan itu.
Setibanya dalam ruangan dia mendongakkan kepala.
"Ah, kau!" Bong Thian-gak segera menjerit kaget.
Di bawah cahaya lentera yang terang-benderang, seraut
wajah yang cantik jelita muncul di hadapannya.
Waktu itu Jit-kaucu tidak menampilkan perasaan girang,
gusar maupun murung, dia hanya berkata hambar, "Suheng,
silakan duduk."
Dipanggil "Suheng" oleh gadis itu, Bong Thian-gak
merasakan suatu perasaan canggung. Tanpa mengucapkan
sepatah kata pun, dia lantas mengambil tempat duduk.
Pelan-pelan Jit-kaucu Thay-kun bangkit dan menuang
secawan air teh, kemudian disodorkan ke hadapan Bong
Thian-gak, katanya, "Silakan minum air teh!"
Memandang kesepuluh jari tangannya yang putih dan
ramping, tanpa terasa Bong Thian-gak menerima angsuran
cawan teh itu dengan cepat, namun tidak segera
meneguknya.
Beberapa saat sesudah termenung, pemuda itu baru
berkata, "Jadi kau yang menulis surat itu?"
"Ya, aku yang menulis," Jit-kaucu Thay-kun mengangguk.
"Tindak-tandukmu sungguh membuat aku bingung dan
merasa tak habis mengerti."
282
Jit-kaucu menarik wajah, kemudian berkata, "Cong-kaucu
telah menurunkan perintah agar aku membinasakan dirimu."
"Cepat atau lambat perintah ini akan diturunkan juga!"
"Kau memang tolol," tegur Jit-kaucu dingin. "Memang kau
harus memperlihatkan kebolehanmu? Seandainya pada tiga
hari lalu kau tidak melukai komandan nomor dua pasukan
pengawal tanpa tanding, tak nanti Cong-kaucu memandang
serius dirimu."
Mendapat teguran itu, timbul perasaan aneh dalam hati
Bong Thian-gak, dia tidak bisa melukiskan bagaimana
perasaannya waktu itu, karenanya dia hanya menerima
teguran itu dengan mulut bungkam.
Kembali Jit-kaucu Thay-kun berkata, "Sembilan hari lagi,
Cong-kaucu akan datang sendiri ke kota Kay-hong ini."
"Kalau begitu sembilan hari lagi merupakan saat ajal
bagimu," kata Bong Thian-gak sambil tertawa dingin.
Paras muka Jit-kaucu Thay-kun lantas saja berubah hebat,
serunya tanpa terasa, "Apa maksud perkataanmu itu?"
"Setelah Cong-kaucu Put-gwa-cin-kau memerintahkan kau
membunuh Ku-lo Hwesio dan aku, maka sasaran ketiga adalah
dirimu sendiri! Sesungguhnya kehadirannya di kota Kay-hong
tak lain adalah untuk membunuhmu!"
"Ku-lo Sinceng benar-benar telah meninggal dunia?"
Bong Thian-gak mengangguk.
"Ya, sudah meninggal dunia! Tapi dia bukan mati lantaran
terhajar oleh pukulan Soh-li-jian-yang-sin-kang."
"Ai, dunia persilatan telah kehilangan seorang tokoh yang
luar biasa," gumam Jit-kaucu sedih.
"Sumoay," bisik Bong Thian-gak lirih.
283
Dia hanya mampu menyebut itu saja, kemudian paras
mukanya berubah merah padam dan tak mampu berkata lebih
lanjut.
Jit-kaucu sendiri paras mukanya mengunjuk suatu
perubahan sangat aneh mendengar panggilan "Sumoay" itu.
Sepasang mata mereka saling pandang tanpa berkedip ...
lama-lama ... lebih kurang sepeminunan teh kemudian Bong
Thian-gak baru melanjutkan kata-katanya, "Semua
perkataanku bukan cuma bualan belaka."
Jit-kaucu Thay-kun berkerut kening, lalu gumamnya,
"Dengan susah-payah Suhu mendidikku selama dua puluh
tahun lebih, entah berapa banyak pikiran dan tenaga yang
telah dikorbankan untukku, mungkinkah dia akan ...."
Bicara sampai di situ, mendadak gadis itu menghentikan
gumamannya dan tidak dilanjutkan.
Bong Thian-gak menghela napas sedih, ujarnya, "Dari dulu
hingga sekarang, banyak benggolan dunia persilatan yang
cuma mengutamakan keuntungan dan keberhasilan pribadi
mereka, seakan sudah kehilangan hati nurani, bahkan
terhadap anak kandung sendiri pun tega untuk di korbankan."
"Suhu mendidik dan membinaku justru karena ingin
mewujudkan cita-citanya menguasai dunia Kangouw, kenapa
dia harus melenyapkan aku?"
"Untuk mencapai ambisi gilanya, dia telah mengubah kau
dari seorang gadis biasa menjadi luar biasa, tujuannya tak lain
adalah untuk menjadikan kau sebagai alatnya dalam
menaklukkan dunia persilatan. Kini orang yang dia segani dan
takuti telah mati semua, maka dia pun tidak memerlukan alat
itu lagi, bila alat yang lihai ini dibiarkan hidup terus, hal itu
akan menimbulkan ketidak-tenangannya di masa-masa
mendatang."
"Mengapa bisa begitu?"
284
"Alasan yang terutama adalah karena ilmu Soh-li-jian-yangsin-
kang yang kau miliki justru merupakan tandingan
kepandaian silatnya."
Jit-kaucu Thay-kun berkerut kening, "Darimana kau tahu
Soh-li-jian-yang-sin-kang merupakan tandingan segenap
kepandaian sakti guruku? Apakah kau sudah mengetahui asalusul
Cong-kaucu?"
Bong Thian-gak menghela napas panjang, "Ai ... aku
memang tidak jelas tentang asal-usul Cong-kaucu, namun
persoalan ini diketahui Ku-lo Sinceng sesaat sebelum dia
meninggal dunia."
Thay-kun tertawa dingin. "Begini cara sembilan partai besar
dari daratan Tionggoan mengadu domba kekuatan kami?"
ejeknya.
Bong Thian-gak menarik muka dan berkata dengan wajah
serius, "Semua perkataan yang kuucapkan hari ini adalah
sejujurnya, kuucapkan dengan maksud dan tujuan baik."
Mendadak Jit-kaucu Thay-kun bertanya, "Apakah si jelek
telah menyampaikan sesuatu kepadamu?"
"Si jelek? Si jelek yang mana?"
"Gadis yang membawamu kemari itu."
Bong Thian-gak menggeleng.
"Tidak!"
"Mengapa kau tidak menyayangi keselamatan jiwamu
sendiri?" pelan-pelan Jit-kaucu Thay-kun bertanya.
"Dilahirkan saja sukar, siapa bilang aku tidak menyayangi
jiwaku?"
"Sekarang Cong-kaucu sudah berhasrat melenyapkan kau
dari muka bumi, apa rencanamu untuk menghadapinya?"
"Melawan sampai titik darah penghabisan."
285
"Kau harus tahu, Put-gwa-cin-kau memiliki kekuatan luar
biasa, mengertikah kau akan hal ini?"
"Kecuali kau, aku yakin masih mampu menghadapi yang
lain."
"Tampaknya kau menaruh kepercayaan yang kelewat besar
terhadap kemampuan ilmu silatmu?"
"Aku sudah pernah mengalahkan beberapa orang jago lihai
Put-gwa-cin-kau."
"Bagaimana menurut pendapatmu tentang ilmu silat
komandan nomor dua pasukan pengawal tanpa tanding itu?"
"Lihai sekali."
"Sampai dimanakah taraf kelihaianmu?"
Bong Thian-gak termenung beberapa saat, kemudian baru
berkata, "Jauh lebih lihai daripada Sam-kaucu, tapi aku yakin
masih bisa mengalahkan dia, bahkan sekalian mencabut
jiwanya."
Jit-kaucu Thay-kun menghela napas sedih, "Ai, orang itu
merupakan salah seorang jago muda yang berhasil dididik
Cong-kaucu hanya dalam tujuh tahun. Dari tingkat ilmu silat
orang itu, tentunya kau bisa membayangkan bukan sampai
taraf macam apakah kepandaian silat Cong-kaucu!"
"Selain Cong-kaucu, ilmu silat Ji-kaucu (ketua kedua) serta
komandan nomor satu pasukan pengawal tanpa tanding juga
luar biasa hebatnya, sampai dimanakah kehebatan mereka
bahkan aku sendiri pun tak bisa menduganya secara tepat."
"Terutama Ji-kaucu, bukan saja ilmu silatnya sangat lihai,
dia pun memiliki berbagai ilmu hitam dan ilmu sesat lainnya
yang mengerikan. Dia menjabat sebagai Kunsu (juru pikir)
Put-gwa-cin-kau, semua rencana dan ide keluar dari benak
orang ini, aku benar-benar kuatir dia datang ke kota Kay-hong
ini."
286
Bong Thian-gak yang mendengar perkataan itu diam-diam
terperanjat, tapi rasa terkejut tidak diperlihatkan di mukanya.
"Dapatkah kau sebutkan nama mereka?" tanyanya
kemudian dengan suara lembut.
Paras muka Jit-kaucu Thay-kun bertambah berat, tegasnya
dengan nada dingin,"Sudah terlalu banyak rahasia yang
kuutarakan kepadamu."
"Terima kasih banyak, Sumoay!"
"Untuk menyelamatkan jiwamu, hari ini aku telah
menitahkan si jelek untuk membunuh anggota Put-gwa-cinkau.
Dengan matinya mereka, untuk sementara rahasia
pertemuan kita dapat dipertahankan, oleh sebab itu dalam
sembilan hari kau harus menghindarkan diri, kau harus
menghindari pengejaran dan usaha pembunuhan orang-orang
Put-gwa-cin-kau."
Bong Thian-gak menghela napas pelan.
"Sumoay, belakangan ini gara-gara aku, kau telah
mengkhianati Put-gwa-cin-kau, mengapa kau tidak
melepaskan jalan sesat untuk kembali ke jalan yang benar
saja?"
Jit-kaucu Thay-kun menghela napas sedih, "Aku harus
menanti...." Sampai di situ dia berhenti dan tidak melanjutkan
kata-katanya. "Sumoay, apa yang sedang kau nantikan?"
"Aku tidak percaya Cong-kaucu adalah seorang yang tidak
berdarah dan berdaging, masakah dia sama sekali tak
berperasaan."
Mendengar perkataan itu, Bong Thian-gak jadi girang,
pikirnya, "Dari kata-katanya, bukankah terbukti dia sudah
punya perasaan tidak percaya terhadap Cong-kaucu .... Kalau
sekarang dia masih belum menantangnya secara langsung dan
terang-terangan, sesungguhnya kejadian ini pun merupakan
peristiwa yang lumrah. Bagaimana pun juga Cong-kaucu
287
adalah gurunya, penolong yang telah memelihara dan
mendidiknya hingga dewasa. Perasaan itu memang lebih
dalam daripada samudra dan mustahil bisa dilupakan orang
begitu saja. Oleh sebab itu kendati dia tahu pada akhirnya
Cong-kaucu hendak turun tangan keji kepadanya, tapi untuk
membuktikan hal ini terpaksa dia harus menanti sampai Congkaucu
benar-benar memperlihatkan wajah yang
sesungguhnya."
Kemudian Bong Thian-gak bertanya, "Apakah kuil Kengtim-
an ini merupakan salah satu markas besar Put-gwa-cinkau?"
Jit-kaucu Thay-kun menggeleng, "Put-gwa-cin-kau sama
sekali tidak tahu aku sedang berada di kuil Nikoh ini."
"Siapakah Hongtiang (ketua) kuil Keng-tim-an ini?"
"Suhunya si jelek."
"Mengapa si jelek menyebutmu sebagai majikan?"
Jit-kaucu Thay-kun mengangkat kepala dan memandang
sekejap ke arah Bong Thian-gak, kemudian dia tersenyum
sambil berkata, "Aku adalah majikan kuil Keng-tim-an ini,
termasuk Hongtiangnya, mereka memanggilku sebagai
majikan."
"Aku tidak mengerti," kata Bong Thian-gak sambil
menggeleng kepala dengan perasaan tidak mengerti.
Jit-kaucu Thay-kun termenung sejenak, katanya, "Sekarang
masih belum waktunya, aku tak ingin membongkar rahasia ini
lebih dulu. Sebentar akan kuperkenalkan dirimu dengan Kengtim
Suthay, apabila kau menemui kesulitan di kemudian hari,
mereka akan membantumu."
Jit-kaucu Thay-kun segera bangkit, setelah mengangkat
kepala memandang cuaca, dia pun berbisik lirih, "Waktu sudah
tidak pagi, aku tak bisa berdiam lebih lama di sini."
288
Baru selesai dia berkata, mendadak dari luar ruangan
terdengar suara langkah kaki berkumandang datang,
menyusul terdengar seorang berkata dengan suara yang
lembut dan manis, "Lapor majikan, apakah akan bersantap di
sini?"
Mendengar ucapan itu, Bong Thian-gak segera tahu orang
yang berada di luar sana adalah si nona muka jelek.
"Tidak usah," jawab Jit-kaucu Thay-kun dengan suara
merdu. "Aku akan segera pergi meninggalkan tempat ini, lebih
baik kau sediakan hidangan malam untuk Ko-siangkong saja."
Bong Thian-gak ikut bangkit, katanya, "Tidak usah, aku
harus buru-buru kembali."
Tidak menanti Bong Thian-gak berkata lebih jauh, Jit-kaucu
Thay-kun menukas, "Si jelek, apakah Keng-tim Suthay telah
menyelesaikan semedinya?"
"Ibu telah menyelesaikan sembahyang malamnya," jawab
nona itu dengan hormat, dia melangkah masuk ke dalam
ruangan dengan pelan.
"Jika begitu harap kau mengundangnya kemari," perintah
Jit-kaucu.
"Baik!" sahut si nona.
Dia segera membalikkan badan dan berlalu dari ruangan
itu.
Sepeninggal nona bermuka jelek, Jit-kaucu berkata kepada
Bong Thian-gak, "Suheng, tak ada salahnya kau bersantap
malam dulu di sini sebelum pergi, kau pun perlu berbincangbincang
dengan Keng-tim Sulhay dan si jelek agar kedua belah
pihak saling kenal lebih mendalam."
Sesungguhnya Bong Thian-gak memang menaruh perasaan
bingung, curiga dan ingin tahu terhadap kuil Keng-tim-an.
289
Dalam hati pemuda itu bersedia tetap tinggal di situ
melakukan penyelidikan.
Selang beberapa saat kemudian dari luar ruangan
terdengar lagi «nara langkah kaki manusia, dengan cepat
muncul bayangan orang dari luar ruangan.
Tampak seorang Nikoh setengah umur yang mengenakan
jubah panjang berwarna abu-abu, membawa tasbih di tangan,
berdiri di depan pintu, di belakangnya mengikut si nona
bermuka jelek itu.
Dengan sorot mata tajam Nikoh setengah umur itu
memandang sekejap wajah Bong Thian-gak, kemudian dia
merangkap tangan dan memberi hormat kepada Jit-kaucu
Thay-kun.
"Pinni sedang bersemedi dalam ruangan hingga tak
mengetahui kedatangan majikan di sini, bilamana tak
menyambut kedatanganmu harap majikan sudi memaafkan."
Sekarang Bong Thian-gak baru sempat melihat wajah Nikoh
setengah umur itu, mukanya bulat dengan kulit putih bersih,
panca indranya sempurna dan memancarkan keanggunan.
Menyaksikan hal itu, tanpa terasa dia berpikir, "Mungkinkah
dia adalah ibu si jelek?"
Lalu ia memperkenalkan diri, "Namaku Ko Hong, harap
Suthay sudi banyak memberi petunjuk."
Jit-kaucu Thay-kun menuding ke arah Nikoh setengah umur
itu sembari berkata, "Dia adalah Hongtiang kuil ini, Keng-tim
Suthay, sedang ini adalah Ko-siauhiap."
Keng-tim Suthay tersenyum dan manggut-manggut,
katanya, "Ko-siauhiap, belakangan ini nama besarmu
menggetarkan dunia persilatan, sudah lama Pinni mendengar
nama besarmu."
290
"Ah, aku hanya seorang pemuda yang baru terjun ke dunia
persilatan, Suthay terlampau memuji!"
"Keng-tim Suthay," kata Jit-kaucu pula, "harap kalian
menemani Ko-siangkong berbincang-bincang, bilamana
Siangkong membutuhkan bantuan kalian di kemudian hari,
harap kalian suka membantu sepenuh tenaga. Maaf, aku
harus segera pergi."
"Apakah majikan masih akan meninggalkan pesan lain?"
"Sembilan hari lagi, bila aku belum kembali di kuil Kengtim-
an ini, kau boleh menyampaikan semua petunjuk itu
kepada Siangkong."
Selesai berkata ia segera berkelebat dan tanpa
menimbulkan sedikit suara pun berlalu dari situ.
Menyaksikan ilmu meringankan tubuh Jit-kaucu Thay-kun
ya begitu sempurna, diam-diam Bong Thian-gak berpikir,
"Kepandai silatnya benar-benar sudah mencapai puncak
kesempurnaan."
Sementara dia masih termenung, Keng-tim Suthay berkata
dengan suara lembut, "Siangkong, harap minum air teh."
Sembari berkata, nona bermuka jelek dan Keng-tim Suthay
masing-masing mengambil tempat duduk, kemudian
memenuhi cawan Bong Thian-gak dengan air teh baru.
Bong Thian-gak menghela napas panjang.
"Suthay, ucapannya sebelum pergi tadi sungguh membuat
hati orang merasa kuatir."
Keng-tim Suthay tersenyum, "Ko-sicu tak usah murung.
Segala sesuatunya telah diatur oleh takdir."
"Suthay, aku mempunyai beberapa persoalan yang tak
kupahami, bersediakah kau memberi petunjuk?" tanya Bong
Thian-gak kemudian dengan kening berkerut.
291
Keng-tim Suthay tertawa, "Majikan telah berpesan, oleh
karena saatnya belum tiba, kurang baik untuk membongkar
rahasia itu. Maaf apabila Pinni tak bisa banyak membantumu."
Mendengar ucapan itu, kembali Bong Thian-gak berpikir,
"Kalau dilihat dari kemampuan si nona bermuka jelek dalam
melakukan pembunuhan atas kedua belas orang anggota Kaypang
itu, sudah dapat diketahui dia adalah seorang jago lihai
yang berilmu tinggi, sedangkan Keng-tim Suthay juga bermata
amat tajam, tampaknya kesempurnaan tenaga dalamnya telah
mencapai puncak kesempurnaan. Dengan bekal kepandaian
ilmu silat yang begitu tinggi, nyatanya sikap mereka terhadap
Jit-kaucu Thay-kun begitu hormat, sesungguhnya hubungan
apakah yang terjalin di antara mereka bertiga?"
Sementara dia termenung memikirkan persoalan itu,
mendadak tampak paras muka Keng-tim Suthay berubah
hebat, kemudian tanyanya dengan lirih, "Siangkong, apakah
kau datang bersama sahabatmu?"
Mendengar ucapan itu, Bong Thian-gak segera pasang
telinga baik-baik, segera ia tahu di atas atap rumah telah
kedatangan dua orang pejalan malam.
Bong Thian-gak agak kuatir kalau mereka adalah anggota
gedung Ilu-lim Bengcu, siapa tahu mereka tidak tega
membiarkan dia pergi seorang diri, maka secara diam-diam
mengutus orang menguntit.
Maka untuk beberapa saat dia tidak mampu menjawab
pertanyaan Keng-tim Suthay.
Sementara itu Keng-tim Suthay sudah membentak dengan
suara dalam, "Sicu darimanakah yang telah mengganggu
ketenangan kami? Mengapa tidak segera turun?"
"Hehehe," suara tawa menyeramkan berkumandang
memecah keheningan malam.
292
Kemudian "Sret", di tengah halaman telah bertambah
dengan dua sosok manusia.
Dengan suatu lompatan kilat, Bong Thian-gak menyusup
keluar melalui jendela, sementara Keng-tim Suthay dan nona
bermuka jelek itu pun telah keluar ruangan.
Di bawah cahaya lentera yang memancar keluar dari dalam
ruangan, tampak dua orang aneh berbaju putih telah berdiri di
tengah halaman, jubah putih mereka diberi beberapa
tambalan dari kain kuning.
Begitu melihat siapa gerangan dua orang tamu tak
diundang itu, diam-diam Bong Thian-gak mengeluh dalam
hati, "Aduh celaka! Rupanya anggota Kay-pang yang telah
kemari."
Sementara itu si nona bermuka jelek pun mengeluh dalam
hati.
Dalam pada itu Keng-tim Suthay telah merangkap tangan di
depan dada sambil menegur, "Omitohud, apakah Sicu berdua
adalah anggota Kay-pang?"
Kedua orang lelaki berbaju putih itu berusia empat puluh
tahunan, orang di sebelah kiri berperawakan tinggi kekar,
memelihara jenggot pendek. Sedangkan orang di sebelah
kanan berwajah bersih tapi mencorong tajam sinar matanya,
jelas dia lebih cekatan dan hebat.
Sejak menampakkan diri di situ, mereka berdua dengan
tajam mengawasi nona bermuka jelek dan Bong Thian-gak
tanpa berkedip, wajah mereka dihiasi hawa amarah yang amat
tebal.
Mendadak terdengar lelaki berwajah bersih menyahut
sambil tertawa dingin, "Benar, kami berdua adalah Hiangcu
ruang hukuman Kay-pang."
Dari mimik wajah mereka yang kurang cerah, Keng-tim
Suthay tahu kedatangan mereka disebabkan suatu persoalan,
293
dia merangkap tangan kembali, tanyanya, "Entah ada urusan
apa Hiangcu berdua berkunjung ke kuil kami?"
"Hm, tanyakan kepadanya bila ingin tahu," seru lelaki
bermuka bersih sambil menunjuk ke arah nona bermuka jelek
itu.
Keng-tim Suthay berpaling dan memandang sekejap ke
arah nona bermuka jelek itu, tanyanya pula, "Si jelek, apa
yang telah kau lakukan sehingga membuat marah mereka
berdua? Ayo cepat minta maaf kepada kedua Sicu ini!"
"Minta maaf?" jengek lelaki bertubuh kekar itu ketus. "Hm,
tak segampang itu urusan bisa dibikin selesai."
"Ibu, aku telah membunuh dua belas orang mereka," bisik
nona bermuka jelek itu lirih.
Setelah mengetahui duduk persoalannya, Keng-tim Suthay
baru menyadari betapa gawatnya persoalan itu, dengan suara
dalam dia lantas menegur, "Si jelek, mengapa kau melakukan
perbuatan tolol itu?"
Bong Thian-gak tahu semua kesulitan itu gara-garanya,
coba kalau dia memberi kesempatan nona bermuka jelek itu
menghabisi nyawa pengemis terakhir tadi, sudah pasti tak
akan terjadi kesulitan seperti ini.
Kay-pang merupakan perkumpulan terbesar yang
mempunyai kekuasaan paling luas dalam Bu-lim, jago-jago
lihainya banyak, tak bisa dihitung, cara kerja mereka pun
antara sesat dan lurus, baik golongan putih maupun hitam
biasanya suka mengalah terhadap masalah-masalah yang
melibatkan pihak kaum pengemis.
Menghadapi situasi saat ini mau tak mau Bong Thian-gak
harus memutar otak mencari akal.
Mendadak terdengar lelaki berwajah bersih itu berkata
dengan suara dingin, "Hutang uang bayar uang hutang nyawa
294
harus dibayar nyawa, kami akan pergi dari sini bila
pembunuhnya telah diserahkan!"
Tiba-tiba Bong Thian-gak maju sembari menjura, kemudian
katanya, "Saudara berdua, peristiwa terbunuhnya beberapa
orang anggota perkumpulan kalian di tangan nona ini, di
kemudian hari aku pasti akan berkunjung sendiri ke markas
besar kalian di Sucwan untuk memberikan keadilan kepada
kalian. Bagaimana kalau kalian berdua menyudahi persoalan
sampai di sini dulu?"
Lelaki berwajah bersih itu tertawa dingin.
"Siapa namamu? Apakah dengan bekal beberapa katakatamu
itu kami harus menghabisi dendam kesumat sedalam
lautan begitu saja?"
"Aku she Ko bernama Hong. Harap kau sudi memberi
petunjuk," kata Bong Thian-gak menahan sabar.
Nama "Ko Hong" ini sudah berubah menjadi nama yang
amat termasyhur dalam Bu-lim dewasa ini, paras muka kedua
orang Hiangcu Kay-pang itu segera berubah hebat.
"Bagus!" seru lelaki bertubuh kekar sambil tertawa
tergelak, "Ji-siauya partai kami Giok-bin-giam-lo (Raja akhirat
berwajah pualam) To Siau-hou pernah menyinggung nama
besarmu setelah sadar dari pingsannya tempo hari, katanya
bila ingin mengetahui Put-gwa-cin-kau paling baik menemukan
dirimu. Hari ini kau harus mengikuti kami pergi
dari sini."
Bong Thian-gak tersenyum.
"Sebetulnya aku bersedia mengikuti kalian pergi dari sini,
sayang aku masih ada urusan penting lainnya yang harus
segera diselesaikan, hingga...."
295
"Kuanjurkan kepada saudara, lebih baik jangan mengikat
tali permusuhan dengan Kay-pang!" bentak lelaki kekar itu
dengan wajah membesi.
Tiba-tiba saja paras muka Bong Thian-gak berubah pula,
dingin seperti es, ucapnya ketus, "Kalian tak akan mampu
menyelesaikan persoalan ini secara baik-baik, kuanjurkan
kepada kalian lebih baik cepat pulang saja, tak usah mencari
penyakit buat diri sendiri."
Beberapa patah kata itu kontan membuat kedua orang
Hiangcu itu naik darah.
Kedudukan Hiangcu dalam Kay-pang hanya sedikit di
bawah Tongcu, merupakan orang ketiga yang berkuasa dalam
perkumpulan, apalagi mereka adalah Hiangcu ruang hukuman,
kekuasaan maupun kedudukannya tinggi sekali.
Lelaki berwajah bersih itu tertawa seram.
"Hehehe, mendengar perkataanmu itu, kami jadi tak tahu
diri dan ingin sekali mengetahui apa yang menjadi modalmu
hingga berani bersikap jumawa!"
Si nona bermuka jelek yang selama ini hanya diam saja,
mendadak berkata, "Bukankah kalian berdua ingin
mengajakku pergi? Baiklah, aku bersedia pergi bersama
kalian."
Si jelek berpaling ke arah Keng-tim Suthay, kemudian
berkati pelan, "Ibu, siapa membunuh orang, dia harus
membayar dengan nyawa pula, putrimu merasa sudah
sepantasnya mengikuti mereka untuk menerima hukuman,
harap kau orang tua jangan kuatir."
Kemudian sambil berpaling ke arah kedua orang itu, dia
berkata lagi, "Semua perbuatan itu merupakan tanggungjawabku,
mari kita pergi!"
296
Bong Thian-gak yang menyaksikan kejadian itu punya
firasat permainan apakah yang hendak dilakukan gadis
bermuka jelek itu.
Namun berhubung perkembangan peristiwa itu telah
mencapai keadaan seperti ini, tentu saja dia tak dapat
menghalangi niatnya lagi.
Dalam hati dia hanya bisa berdoa secara diam-diam,
"Semoga Thian mengampuni dosa-dosanya!"
Begitulah dua orang Hiangcu dari Kay-pang segera
membawa nona bermuka jelek itu berlalu dari situ.
Memandang bayangan punggung mereka lenyap dari
pandangan, Keng-tim Suthay menghela napas sedih, katanya,
"Dosa! Dosa! Dendam berdarah ini makin lama semakin
mendalam, tampaknya ikatan permusuhan ini tak bakal
berakhir untuk selamanya."
"Semoga saja sejak kini hilang semua bukti-bukti nyata,
kalau tidak, entah bagaimana akhirnya nanti?"
"Omitohud," bisik Keng-tim Suthay pelan, "Ko-siangkong,
silakan duduk di dalam."
Bong Thian-gak dan Keng-tim Suthay masuk dan duduk di
ruang dalam.
Saat itulah Keng-tim Suthay berkata, "Siangkong, apakah
kau telah menyaksikan pertarungan itu?"
Bong Thian-gak menghela napas panjang, "Menjelang
senja tadi, putrimu dikejar oleh tiga belas jago Kay-pang ...."
Secara ringkas Bong Thian-gak menceritakan bagaimana
peristiwa pembunuhan itu terjadi.
Begitu selesai mendengar penuturan itu, Keng-tim Suthay
menghela napas panjang dan berkata, "Ai, perbuatan yang
dilakukan si jelek memang tugas yang dibebankan majikan
kepada kami menyangkut keselamatan seluruh umat
297
persilatan, apabila rahasia itu sampai dibocorkan anggota Kaypang,
bukan saja keselamatan jiwa majikan kami terancam
bahaya, bahkan akan menyangkut keselamatan jiwa puluhan
orang lainnya."
Bong Thian-gak terperanjat mendengar perkataan itu,
katanya, "Apa maksud perkataanmu itu?"
"Di kemudian hari Siangkong bakal tahu dengan sendirinya,
ai! Kekuatan Put-gwa-cin-kau saat ini mengancam
keselamatan umat persilatan, kekuatan sembilan partai besar
dunia persilatan pun sudah dipaksa musuh hingga berada
dalam posisi tak mampu melawan lagi."
Keng-tim Suthay berhenti sejenak, lanjutnya pula, "Untuk
menyelamatkan dunia persilatan dari berbagai pembunuhan
itu, Put-gwa-cin-kau harus ditumpas sampai ke akar-akarnya
dan untuk itu tampaknya hanya ...."
Berkata sampai di sini Keng-tim Suthay menutup mulut.
Makin mendengar Bong Thian-gak makin memahami akan
suatu rahasia besar dunia persilatan, lekas dia bertanya,
"Hanya apa? Mengapa Suthay tidak melanjutkan perkataanmu
dengan terus-terang?"
Keng-tim Suthay memandang sekejap ke arah Bong Thiangak,
lalu ujarnya, "Siangkong adalah orang pandai, tentunya
telah menduga garis besar duduknya persoalan bukan? Yang
jelas sembilan hari lagi di Bu-lim akan muncul suatu organisasi
baru yang berkekuatan besar."
"Ah! Mengapa aku belum mendengar persoalan ini," seru
Bong Thian-gak dengan terperanjat. "Siapa yang memimpin
perkumpulan baru ini? Apakah dia?"
Pada saat itulah dalam ruangan telah berjalan masuk si
nona bermuka jelek itu, hanya kali ini dia muncul dengan
pakaian bernoda darah dan peluh membasahi jidat.
298
Bong Thian-gak maupun Keng-tim Suthay tahu apa yang
telah diperbuat nona itu, kendatipun demikian dia tak tahan
untuk tidak bertanya, "Nona, bagaimana caramu menghukum
mereka?"
"Membantainya sampai mampus!" sahut nona itu dengan
hambar.
Bong Thian-gak berkerut kening dan bergumam, "Korban
yang mengenaskan nasibnya."
"Bila kita tidak melenyapkan mereka, pihak Kay-pang pasti
akan mencari balas tiada hentinya."
"Apa sebabnya nona tak menyembunyikan diri sementara
waktu?
"Si jelek, perkataan Ko-siangkong memang benar," sahut
Keng-tim Suthay. "Untuk sementara waktu kau bersembunyi
saja dalam kuil sembari menunggu petunjuk selanjutnya dari
majikan."
Bong Thian-gak segera bangkit, kepada Keng-tim Suthay ia
berkata, "Aku tak bisa berdiam lebih lama lagi di sini, untuk
sementara waktu mohon diri dahulu, tapi sebelum pergi
bolehkah aku bertanya kepada Suthay, apakah kau
mengetahui tempat tinggal majikan kalian?"
"Majikan pernah memberitahu kepada Pinni bahwa Putgwa-
cin-kau telah menurunkan perintah untuk membunuh
Siangkong. Kini Siangkong menanyakan tempat kediaman
majikan, apakah kau hendak mengantar diri ke mulut
harimau?"
Paras muka Bong Thian-gak berubah serius, katanya
dengan nada sungguh-sungguh, "Kini keselamatan jiwanya
berada dalam bahaya, bagaimana pun juga aku harus
melindunginya secara diam-diam."
299
"Majikan telah dilindungi keselamatan jiwanya oleh empat
orang jago lihai, aku pikir keselamatan jiwanya tidak
terlampau berbahaya."
"Tapi lebih banyak yang melindunginya lebih baik?
Kehadiranku hanya akan mendatangkan keuntungan saja
baginya?"
"Tapi jika sampai terjadi mengusik rumput mengejutkan
ular, bagaimana?"
Bong Thian-gak menghela napas panjang, "Ai, aku
mendapat perintah melindungi keselamatan jiwanya,
bagaimana pun juga aku harus berupaya dengan segala
kemampuanku untuk melaksanakan tugasku sebaik-baiknya,
andai aku harus mencari secara membuta, tindakan itu
malahan akan mengusik rumput mengejutkan ular dan
mempengaruhi situasi."
"Omitohud, tak nyana ketajaman lidah Siangkong tidak
berada di bawah kepandaian ilmu silatmu," kata Keng-tim
Suthay kewalahan.
bong Thian-gak tersenyum.
"Sungkan! Sungkan, harap Suthay utarakan dengan cepat!"
"Kantor cabang Put-gwa-cin-kau didirikan di kota Kay-hong,
berada dalam sebuah kampung petani kecil, lebih kurang tiga
puluh li di luar kota sebelah utara, kepala kampung tempat itu
pun anggota Put-gwa t in-kau, apabila Siangkong ingin
menyelundup ke dalam dusun itu, aku rasa hal ini jauh lebih
sulit daripada mendaki langit."
"Terima kasih banyak atas petunjuk Suthay, sekali pun
harus mendaki bukit golok atau menembus sarang naga gua
harimau, aku akan tetap berupaya menyusup ke sana."
Kembali Keng-tim Suthay menghela napas panjang.
300
"Ai, baiklah kalau Siangkong berkeras kepala, tampaknya
Pinni harus menanggung resiko bakal ditegur majikan."
Sembari berkata, dari sakunya Keng-tim Suthay
mengeluarkan sebatang panah pendek tanpa bulu.
Panah itu panjangnya cuma tiga inci dengan kepala panah
terbuat dari emas murni, sementara batang panah berwarna
hitam, agaknya terbuat dari kayu besi.
Di atas panah itu tertera banyak ukiran, hanya tidak
diketahui ukiran apakah itu.
Sambil memegang panah kecil tak berbulu itu, Keng-tim
Suthay berkata, "Panah kecil ini merupakan lencana Put-gwakim-
ciam-leng dari Put-gwa-cin-kau, lencana itu
melambangkan Cong-kaucu. Di dalam Put-gwa-cin-kau, orang
yang mempunyai lencana panah emas ini pun hanya Ji-kaucu
sampai Kiu-kaucu ditambah tiga orang komandan pasukan
pengawal tanpa tanding."
Setelah berhenti sejenak, sambungnya lebih jauh, "Aku
harap lencana emas ini kau simpan dengan sebaik-baiknya!"
Setelah menerima anak panah kecil itu, Bong Thian-gak
berkata, "Apakah anak panah emas ini milik majikanmu?"
Keng-tim Suthay menggeleng,
"Bukan!" sahutnya sambil tertawa.
Mendadak satu ingatan melintas dalam benak pemuda itu,
katanya kemudian, "Kalau begitu, Suthay juga ...."
"Ya, dulu Pinni memang anggota Put-gwa-cin-kau, tapi
sekarang bukan."
"Bolehkah aku tahu apa kedudukan Suthay dalam
perkumpulan tempo hari?"
301
"Pinni adalah seorang di antara tiga komandan pasukan
pengawal tanpa tanding, ai! Kejadian sedih di masa lampau
tak usah dibicarakan lagi."
Dalam diamnya Bong Thian-gak mengangguk, pikirnya
pula,
"Sungguh tak kusangka dia pun salah seorang anggota Putgwa-
cin-kau, tampaknya pada waktu yang lampau dia
mengalami suatu peristiwa yang amat memedihkan hatinya."
Berpikir sampai di situ, anak muda itu segera bertanya,
"Tolong tanya Suthay, bagaimana caraku mempergunakan
anak panah emas ini?"
"Kecuali terhadap dua belas orang pentolan Put-gwa-cinkau,
terhadap anggota perkumpulan yang lain kau boleh
menggunakan lencana panah emas ini dan memberikan
perintah kepada mereka."
"Dengan membawa lencana ini kau bisa masuk keluar di
dalam perkampungan itu dengan leluasa."
"Terima kasih banyak, Suthay!"
Untuk kesekian kalinya Keng-tim Suthay memberi
peringatan, "Ingat baik-baik, kedua belas pentolan Put-gwacin-
kau itu saling mengenal wajah masing-masing, kau tak
boleh membiarkan mereka tahu lencana panah emas ini!"
Bong Thian-gak manggut-manggut.
"Aku pasti mempergunakannya dengan hati-hati,"
sahutnya.
Keng-tim Suthay mengangkat kepala dan termenung
beberapa saat, kemudian berkata, "Harap Siangkong suka
memperhatikan baik-baik, terutama terhadap Ji-kaucu, orang
ini licik, berbahaya, kejam dan penuh dengan tipu daya, selain
matanya tajam, dia pun gampang menaruh curiga terhadap
seseorang, boleh dibilang dia merupakan manusia paling
302
berbahaya di dunia ini, dengarkan baik-baik, Pinni akan
mencoba melukiskan raut wajah orang itu."
"Suthay begitu menaruh perhatian kepadaku, sungguh
membuat aku merasa berterima kasih sekali."
Keng-tim Suthay tersenyum.
"Di kemudian hari kita akan menjadi rekan seperjuangan
dalam Bu-lim, harap Siangkong tak usah sungkan-sungkan
lagi."
Setelah berhenti sejenak, sambungnya pula, "Ji-kaucu
berusia lima puluh tahun, tapi dipandang dari luar, usianya
seperti jauh lebih muda, berdandan seorang sastrawan dan
gemar memakai jubah warna hijau, potongan badannya tinggi
gagah seperti potongan seorang dewa. Yang menjadi ciri khas
darinya, ia mempunyai sebuah tahi lalat berwarna hitam pada
ekor alis mata sebelah kirinya, dia pun suka menggembol
pedang tembaga hijau di pinggangnya."
"Dandanan semacam ini tidak sukar untuk dikenal," kata
Bong Thian-gak.
"Tentang ilmu silat Ji-kaucu ini, kepandaian silatnya yang
lihai adalah ilmu beracun yang membunuh orang tak nampak
darah, bila bertemu dengannya, lebih baik jangan berdiri
bertentangan dengan arah datangnya angin."
"Majikan kalian pernah menyinggung pula tentang
berbahayanya Ji-kaucu ini, aku pasti akan bertindak menurut
keadaan. Beruntung sekali aku telah bertemu dengan Suthay
hari ini sehingga banyak rahasia Put-gwa-cin-kau yang
berhasil kuketahui, umat persilatan pasti akan berterima kasih
atas petunjuk Suthay ini."
"Aku minta kau jangan memberitahukan apa yang kita
bicarakan hari ini kepada orang lain, tentunya Siangkong
dapat menjaga rahasia secara baik-baik bukan?"
"Mengapa?"'
ALWAYS Link cerita silat : Cerita silat Terbaru , cersil terbaru, Cerita Dewasa, cerita mandarin,Cerita Dewasa terbaru,Cerita Dewasa Terbaru, Cerita Dewasa Pemerkosaan Terbaru
{ 0 komentar... read them below or add one }
Posting Komentar