Cersil Online : Pendekar Pemanah Rajawali 2

Diposting oleh eysa cerita silat chin yung khu lung on Sabtu, 10 Desember 2011

Cersil Online Pendekar Pemanah Rajawali 2


Di tepi pembaringan berduduk satu orang laki-laki dengan pakaian serba hitam.
Kapan pria itu melihat orang mendusin dan tubuhnya bergerak, lekas-lekas ia bangun berdiri, untuk singkap kelambu dan menggantungnya.
“Oh, kau sudah mendusin?” pria itu tanya, perlahan suaranya.
Biar bagaimana, Sek Yok belum sadar sepenuhnya. Samar-samar ia seperti kenal pria itu, maka ia mengawasi.
Si pria ulur tangannya, untuk meraba jidat si nyonya. “Oh, panas sekali!” katanya. “Tabib akan segera datang…”
Sek Yok meramkan pula matanya, terus ia tidur pula. Ia baru sadar tempo dengan samar-samar ia merasa orang pegang nadinya, disusul mana orang memberi ia makan obat. Ia masih tak sadar benar, malah ia bagaikan bermimpi dan mengigau ketika ia berteriak: “ Engko Tiat! Engko Tiat!” Lalu ia merasa ada tangan pria yang dengan perlahan-lahan mengusap-usap pundaknya, yang menghiburi ia dengan lemah lembut.
Kapan kemudian Sek Yok mendusin pula, hari sudah terang. Ia merintih sebentar, lantas ia bangkit untuk berduduk.
Seorang menghampiri dia. “Minum bubur?” tanya ia itu dari luar kelambu.
Pauw-sie kasih dengar suara perlahan, atas mana pria itu singkap kelambunya.
Sekarang dua muka saling berhadapan, mata mereka saling mengawasi. Sekarang Sek Yok dapat melihat denagn tegas, maka ia menjadi terkejut. Ia tampak satu wajah yang tampan, yang tersungging senyuman manis. Itulah si anak muda yang beberapa bulan yang lalu ia tolongi selagi orang terluka dan rebah tak berdaya di atas salju, yang kemudian menghilang tidak keruan paran dari gudang kayu.
“Tempat ini tempat apa?” nyonya ini kemudian tanya. “Mana suamiku?”
Pemuda itu menggoyang tangan, melarang orang berbicara.
“Sebenarnya aku bersama beberapa kawan kebetulan lewat di sini,” ia berkata dengan perlahan. “Menyaksikan rombongan serdadu itu berbuat sewenang-wenang, aku tidak puas, maka aku telah tolongi kau, nyonya. Rupanya roh suci atau malaikat yang telah menunjuki aku justru tolongi penolongku…” Ia berhenti sebentar, lalu ia melanjuti: “Sekarang ini rombongan serdadu sedang mencari Nyonya, kita sekarang berada dirumahnya seorang petani, maka itu jangan Nyonya sembarang munculkan diri. Harap nyonya maafkan aku, dengan lancang aku telah mengaku bahwa akulah suami Nyonya…”
Mukanya Sek Yok menjadi merah, akan tetapi ia mengangguk.
“Mana suamiku?” ia tanya.
“Sekarang kau letih dan lemah sekali, Nyonya,” kata pula si anak muda. “Nanti saja setelah kesehatanmu pulih, aku berikan keteranganku. Sekarang baiklah kau beristirahat dulu.”
Sek Yok terperanjat. Dari caranya orang berbicara, mungkin suaminya telah menampak sesuatu kecelakaan.
“Dia…dia kenapa, suamiku itu?” ia tanya, tangannya mencekal keras-keras pada ujung kasur.
“Nyonya, jangan bergelisah tidak karuan,” orang itu menhibur, “Untukmu paling baik adalah merawat diri…”
“Apakah dia…dia telah meninggal dunia?” Sek Yok menanya.
Pemuda itu mengangguk.
“Ya, ia telah dibinasakan oleh rombongan serdadu itu…” ia beri penyahutan.
Sek Yok kaget, ia lantas pingsan. Ketika kemudian ia sadar, ia menangis sesambatan.
“Sudahlah,” si anak muda menghibur pula.
“Bagaimana caranya ia meninggal dunia?” Pauw-sie tanya.
“Bukankah suami Nyonya berumur duapuluh kurang lebih, tubuhnya tinggi dan lebar, yang bersenjatakan sebatang tombak panjang?” si anak muda tegaskan.
“Benar dia.”
“Aku tengah melawan tiga musuh ketika satu musuh jalan mengitar ke belakangnya suamimu itu yang dia tombak punggungnya,” si anak muda beritahu.
Lagi-lagi Sek Yok pingsan. Besar sangat cintanya kepada suaminya. Maka itu hari ia tidak dahar nasi atau minum. Ia berkeputusan nekad untuk binasa bersama suaminya itu.
Si pria kelihatan halus budi pekertinya, ia tidak memaksa, ia hanya dengan manis budi menghibur dan membujuki untuk nyonya legakan hati.
“Apa she dan nama Tuan?” kemudian Sek Yok menanya. Ia menjadi tak enak hati untuk bersikap tawar terus. “Kenapa kau ketahui kita terancam bahaya dan kau dapat menolongi?”
Pria itu bersangsi agaknya. ia telah buka mulutnya tetapi ia batal bicara. kemudian barulah ia bisa omong juga.
“Aku ada orang she Yen dan namaku Lieh. Rupanya karena jodoh kita telah dapat bertemu satu dengan lain.” ia menyahut akhirnya
Merah mukanya Sek Yok akan dengar itu perkataan “jodoh”, ia balik kepalanya ke sebelah dalam pembaringan. Tetapi hatinya bukan tidak bekerja. Maka tiba-tiba saja timbul kecurigaannya.
“Apakah kau dan tentera negeri itu datang dari satu jurusan?” ia tanya
“Ke…kenapa?” Yen Lieh tanya.
“Bukankah baru ini kau dapat luka karena kau bersama tentera negeri hendak mencoba menawan Khu Totiang?” Sek Yok tanya pula tanpa pedulikan pertanyaan pemuda itu.
“Kejadian hari itu sungguh membuat aku penasaran!” bsahut Yen Lieh. “Aku datang dari utara, hendak aku pergi ke Lim-an, selagi aku lewat di kampungmu itu, tiba-tiba sebatang busur nyasar telah menyambar pundakku. Coba tidak kau tolongi aku, Nyonya, pastilah aku terbinasa kecewa, tak tahu sebab musababnya. Sebenarnya imam siapa yang hendak mereka tawan itu?”
“Oh, kiranya kau kebenaran lewat saja dan bukannya dari satu rombongan dengan mereka itu?” berkata Sek Yok, romannya heran, “Aku tadinya menyangka kau juga hendak bantu menawan Khu Totiang, hingga pada mulanya tak ingin aku menolongi kau.”
Sampai di situ, Pauw-sie tuturkan halnya Khu Cie Kee hendak ditawan tentera negeri, karena mana imam itu telah membuatnya perlawanan dahsyat.
Yen Lieh mengawasi orang berbicara, agaknya ia kesengsem. Sek Yok dapat lihat kelakuan orang itu.
“Eh, kau hendak dengari ceritaku atau tidak?” ia menegur.
Yen Lieh terkejut, lalu ia tertawa.
“Ya, ya aku tengah memikirkan cara bagaimana kita dapat meloloskan diri dari rombongna serdadu itu,” ia menjawab. “Tidak ingin aku yang kita nanti kena di bekuk mereka…”
Sek Yok menangis.
“Suamiku telah terbinasa, untuk apa aku memikirkan hidup lebih lama…?” katanya. “Baik kau pergi sendiri saja…”
“Tetapi Nyonya!” peringatkan Yen Lieh. “Suamimu telah dibinasakan hamba negeri, sakit hatimu belum terbalas, bagaimana kau Cuma ingat kematian saja? Nanti suamimu, yang berada di tanah baka, matanya tak meram…”
Nyonya itu terkejut, tetapi ia lemah hatinya. “Aku seorang perempuan, bagaimana dapat aku membalas dendam?” tanyanya.
Yen Lieh kelihatannya murka. “Biarnya aku bodoh, akan aku coba membalas dendam untukmu, Nyonya!” katanya keras. “Apakah nyonya tahu, siapa musuh nyonya suamimu itu?”
Nyonya Yo Tiat Sim berpikir sejenak. “Dia itu yang menjadi perwira yang mengepalai barisannya, namanya Toan Thian Tek,” sahutnya kemudian. “Dia mempunyakan tanda biru di mukanya.”
“Dia telah diketahui she dan namanya, gampang untuk mencari dia,” berkata si anak muda. Ia terus pergi ke dapur, untuk sendok semangkok bubur serta satu biji telur asin.
“Jikalau kita tidak pelihara kesehatanmu, cara bagaimana kau bisa menuntut balas?” katanya perlahan setelah ia bawakan bubur dan telu asin itu kepada si nyonya.
Pauw-sie anggap perkataan itu benar, ia sambuti bubur itu lalu ia dahar dengan perlahan-lahan.
Besok paginya, Pauw-sie turun dari pembaringannya, setelah rapikan pakaiannya ia hadapi kaca untuk sisiri rambutnya. Ia cari sepotong kain putih, ia gunting itu merupakan setangkai bunga, lalu ia selipkan di kondenya. Itulah tanda ia berkabung untuk suaminya. Kapan ia mengawasi kaca, ia tampak romannya yang cantik bagikan bunga akan tetapi npemiliknya telah tak ada – yang satu tetap menjadi seorang manusia, yang lain telah menjadi setan…. Ia menjadi sedih sekali, maka ia menangis dengan mendekan di meja.
Yen Lieh bertindak masuk selagi si nyonya menangis, ia tunggu sampai orang sudah sedikit reda, ia berkata: “Tentera di luar sudah berlalu, mari kita berangkat.”
Sek Yok susut air matanya, ia berhenti menangis, lalu ia turut keluar dari rumah itu.
Yen Lieh serahkan sepotong perak kepada tuan rumah, yang siapkan dua ekor kuda, satu diantaranya adalah kudanya Sek Yok, yang terkena panah, yang sekarang telah diobati lukanya.
“Kita menuju kemana?” tanya Pauw-sie.
Yen Lieh kedipi mata, untuk cegah si nyonya sembarang bicara di depan orang lain, kemudian ia membantui nyonya itu naik ke atas kuda, maka di lain saat, keduanya sudah jalankan kuda mereka berendeng menuju ke utara.
Belasan lie telah mereka lalui. “Kau hendak bawa aku kemana?” akhirnya Sek Yok menanya pula.
“Sekarang kita cari dahulu tempat sepi untuk tinggal sementara waktu,” Yen Lieh jawab. “Kita tunggu sampai suasana sudah mulai reda, baru kita pergi cari jenazah suamimu, untuk dikubur dengan baik, kemudian baru kita pergi cari si Toan Thian tek si jahanam itu guna menuntut balas.”
Sek Yok lemah hatinya, lemah lembut sikapnya, ia memang tak dapat berpikir apa-apa. Sekarang mendengar omongan yang beralasan dari pemuda ini, ia bukan saja suka menerima, malah ia bersyukur sekali.
“Yen, Yen Siangkong, bagaimana kau harus membalas budimu ini?” katanya.
“Jiwaku ini adalah nyonya yang tolongi,” sahut Yen Liah, “Maka itu tubuhku ini aku serahkan kepada nyonya untuk nyonya suruh-suruh, walaupun badanku hancur dan tulang-tulangku remuk, meskipun mesti menyerbu api berkobar-kobar, itu sudah selayaknya saja.”
Dua hari mereka berjalan, sore itu mereka singgah di dusun Tiang-an-tin. Kepada pengurus hotel, yang didatangi, Yen Lieh mengaku bahwa mereka berdua adalah suami-istri, karenanya ia meminta satu kamar.
Sek Yok tidak bilang suatu apa, akan tetapi hatinya tidak tentram, karena itu diwaktu bersantap, ia bungkam, diam-diam ia meraba pedang peninggalan Khu Cie Kee, didalam hatinya ia bilang: “Asal dia berlaku kurang ajar sedikit saja, akan aku bunuh diriku!”
Yen Lieh menitahkan jongos ambil dua ikat rumput kering, ia tunggu sampai si jongos itu sudah keluar, ia lantas kunci pintu, rumput kering itu ia gelar di lantai, di situ ia rebahkan dirinya terus ia tutupi dengan gudri.
“Nyonya silakan tidur!” ia berkata, sesudah mana terus ia meramkan matanya.
Hatinya Nyonya Yo berdebar-debar, matanya memandang ke satu arah. Ia jadi ingat suaminya, hatinya menjadi sangat berduka. Ia tidak lantas rebahkan diri, untuk setengah jam ia masih duduk bercokol. Di akhirnya ia menghela napas panjang, habis padamkan api lilin, baru ia tidur tanpa buka pakaian luar lagi, pedang pendeknya tergenggam di tangannya.

Bab 3. Tujuh Orang Luar Biasa

Ketika besok paginya Pauw-sie bangun dari tidurnya, Yen Lieh sudah tidak ada di kamarnya, pemuda itu telah pergi siapkan kuda mereka dan sudah pesan jongos menyediakan barang makanan. Diam-diam nyonya ini jadi sangat bersyukur, ia menemui orang satu kuncu, laki-laki sejati. Oleh karena itu semakin kurang penjagaan dirinya.
Barang hidangan itu terdiri dari masakan ayam, daging asin, ikan dan bubur yang semuanya harum, sedap dan lezat. Akan tetapi mendahar ini, hatinya Pauw-sie kurang tenang. Ia ada dari satu keluarga sederhana, dan biasanya, dedaharannya setiap hari adalah sayur dan ikan asin, baru di hari raya atau tahun baru ia dapat hidangan istimewa.
Tak lama sehabisnya dahar, jongos datang menyerahkan satu bungkusan. Itu waktu, Yen Lieh sudah keluar dari kamar.
“Apakah itu?” tanya si nyonya.
“Inilah barang yang tadi pagi tuan belikan untuk Nyonya, ialah pakaian baru,” jawab jongos itu. “Tuan pesan supaya nyonya suka salin pakaian.”
Sek Yok buka bungkusan itu yang membuat dia melengak. Ia tampak seperangkat pakaian baru warna putih, berikut sepatu dan kaos kaki putih juga, yang lainnya ada pakaiaan dalam, baju pendek, sapu tangan dan handuk.
“Dia seorang pria, cara bagaimana ia dapat memikir begini sempurna?” katanya dalam hati, yang sangat bersyukur.
Memang ketika ia keluar dari rumah, pakaiannya tidak karuan, sesudah itu untuk satu malaman ia mesti lari-larian, maka pakaiannya jadi kotor dan pecah disana sini. Sekarang setelah tukar pakaian, ia berubah seperti seorang baru.
Perjalanan sudah lantas dilanjuti. Sore itu selagi mendekati dusun Kiap-sek-tin, tiba-tiba mereka mendengar jeritan hebat dari sebelah depan. Pauw-sie kaget sekali, ia putar balik kudanya untuk lari. Bukankah ia baru saja lolos dari bahaya yang menakuti?
“Jangan takut!” kata Lien Yeh sambil tertawa. “Mari kita liat!” Pemuda ini berlaku tenang, dengan begitu dapat ia menentramkan sedikit hati si nyonya kawan seperjalanannya itu.
Mereka maju terus, hingga di sebuah tikungan. Di situ terlihat lima serdadu, dengan mencekal golok panjang, lagi pegat seorang lelaki tua yang ada bersama satu anak muda serta satu nona. Dua serdadu lagi memeriksa mengaduk-aduk buntalannya si orang tua, yang uangnya dan lainnya barang mereka pindahkan ke saku mereka sendiri. Tiga serdadu lainnya tengah mengurung si nona yang mereka perlakukan dengan ceriwis. Si nona menangis. Dialah ynag tadi menjerit.
“Lagi-lagi serdadu mengganggu rakyat jelata,” kata Sek Yok ketakutan. “Mari kita lekas menyingkir…”
Yen Lieh sebaliknya tersenyum simpul.
Satu serdadu segera hampiri dua orang ini yang mereka dapat lihat. “Diam!” dia membentak. “Kamu bikin apa?”
Yen Lieh benar-benar tidak takut, sebaliknya dari angkat kaki, ia justru maju mendekati. “Kamu ada bawahan siapa?” ia tanya, membentak. “Lekas pergi!”
Pada waktu itu tentera Song, kalau menghadapi musuh bangsa Kim, tentu mereka kalah dan lari, akan tetapi terhadap rakyat jelata, mereka galak bukan kepalang, malah mereka main merampas dan paksa. Maka itu melihat Yen Lieh cuma berdua dengan satu nyonya manis, mereka anggap inilah untung mereka. Serdadu itu lantas berseru, lalu ia maju mendekati, dituruti empat kawannya.
Sek Yok takut bukan main, ia mengeluh dalam hatinya. Tapi justru itu, kupingnya mendengar suara menyambar “Serr!” lalu satu serdadu menjerit dan rubuh, dadanya tertumblaskan sebatang busur. Segera si nyonya lihat di tangan kawannya ada gendewa yang bersinar kuning emas, malah gendewa itu dipakai memanah pula beruntun-runtun, hingga lagi tiga serdadu rubuh seperti rekannya yang pertama. Tinggal serdadu yang kelima, ia ketakutan, dia lalu putar tubuhnya untuk lari merat.
Menyaksikan orang lari ngiprit, Yen Lieh tertawa enteng. Ia lantas siapkan pula busurnya. Tepat orang lari kira enampuluh tindak, ia berpaling kepada si nyonya, sambil tertawa, ia berkata, “Tunggu sampai ia lari lagi tiga tindak, akan aku panah batang lehernya!”
Selagi pemuda ini berkata, si serdadu lari terus, maka gendewa ditarik, busur meleset mengejar dengan cepat sekali, tidak ada ampun lagi serdadu itu terpanah batang lehernya, ujung panah tembus ke tenggorokannya.
“Hebat!” memuji Sek Yok tanpa terasa.
Yen Lieh lompat turun dari kudanya, ia hampiri lima serdadu itu, untuk cabuti anak panahnya dari tubuh mereka, anak panah mana dikasih masuk ke dalam kantungnya, habis itu ia melompat naik pula ke atas kudanya. Ia tertawa girang sekali. Justru ia hendak ajak Pauw-sie melanjuti perjalanan, dari samping kiri muncul dengan tiba-tiba sepasukan serdadu dengan suara mereka yang berisik.
“Celaka!” Sek Yok menjerit karena kaget dan takut.
Yen Lieh cambuk punggung kuda si nyonya selagi ia pun kasih lari kudanya dengan begitu kedua ekor kuda segera lari keras.
“Tangkap!” berteriak tentera yang di belakang itu apabila mereka melihat mayat-mayat rekannya, lalu sambil terus berteriak-teriak, mereka mengejar.
Setelah lari serintasan, Pauw-sie menoleh ke belakang, lantas ia menjadi kaget sekali dan ketakutan, ia dapatkan sejumlah tentara pengejar lebih dari seribu jiwa, kopiahnya kopiah besi dan bajunya lapis besi juga. Seorang diri, mana bisa Yen Lieh melawan mereka itu walaupun pemuda ini lihay ilmu panahnya?
Celaka adalah kudanya si nyonya Yo ini. Karena lari terlalu keras, lukanya yang belum sembuh telah pecah pula dan mengeluarkan darah, larinya pun menjadi tambah perlahan. Kerananya ia jadi ketinggalan Yen Lieh.
Lagi selintasan, selagi tentera pengejar mendatangi semakin dekat, tiba-tiba Yen Lieh tahan kudanya, akan tunggu kudanya Pauw-sie rendengi ia, lalu dengan tiba-tiba, tanpa mengucap sepatah kata, ia sambar si nyonya untuk ditarik dan dipindahkan ke kudanya, setelah mana ia kaburkan kudanya itu.
Akan tetapi ketika itu sudah terlambat. Karena tadi ia menunda kudanya, Yen Lieh kena dicandak pengejarnya, terutama oleh pengejar yang motong jalan dari samping. Segera ia tidak punya jalan lagi, maju tidak, nyampingpun tidak. Karena itu terpaksa ia tahan kudanya.
Pauw-sie takut bukan main, mukanya pucat pasi. Yen Lieh sebaliknya tenang.
Satu perwira yang bersenjatakan sebatang golok besar, maju menghampiri. “Kau tidak hendak turun dari kudamu untuk manda dibelenggu?” perwira itu menegur.”Kau hendak tunggu apalagi?”
Sebaliknya daripada serahkan diri atau ketakutan, Yen Lieh tertawa gembira. “Apakah kamu adalah pengawal pribadi dari Han Sinsiang?” ia tanya.
Heran perwira itu, hingga ia tercengang. “Kau siapa!” ia membentak.
Yen Lieh rogoh sakunya, akan keluarkan sepucuk surat. “Apakah kau tidak kenali aku?” dia bertanya. Dia tertawa pula. “Nah, kau lihatlah surat ini!”
Perwira itu melirik kepada satu serdadu di sampingnya. Ia mengedipi mata. Serdadu itu lantas sambuti surat itu untuk dihanturkan kepada pemimpinnya. Kapan perwira itu sudah membaca, mukanya menjadi pucat, dengan tergesa-gesa ia lompat turun dari kudanya untuk memberi hormat.
“Pie-cit, tidak kenali tayjin, dosaku berlaksa kali mati,” katanya, “Pie-cit mohon diberi ampun….”
Tidak saja perwira itu membasakan dirinya “pie-cit” yang artinya “bawahan yang rendah”, surat itu pun segera ia ancungkan ke atas kepalanya, selaku tanda hormat, dan wajahnya terus menunjuki ia bergelisah.
Yen Lieh sambuti kembali surat itu. “Nampaknya tentera mu kurang kenal tata tertib ketenteraan!” katanya sambil tertawa.
Sementara itu, Pauw-sie mengawasi kejadian denga hatinya heran bukan main.
Perwira itu menjura dalam. “Nanti pie-cit melakukan pemeriksaan untuk memberi hukuman,” ia berkata, suaranya dan sikapnya sangat merendah.
Yen Lieh tertawa pula. “Kami masih kekurangan seekor kuda,” katanya.
“Perwira itu tuntun kudanya sendiri. “Silahkan hujin pakai kudaku ini,” pintanya. Ia bicara terhadap Pauw-sie.
Sek Yok heran yang ia dipanggil “hujin” atau nyonyanya si anak muda, mukanya menjadi merah.
Yen Lieh manggut perlahan ia lantas sambuti kudanya si perwiara. “Pergi kau sampaikan kepada Han Sinsiang,” katanya. “Bilang aku ada punya urusan penting dan mesti pulang lantas, dari itu aku tak dapat pamitan lagi.”
“Baik, baik, tayjin, pie-cit mengerti,” kata perwira itu tetap dengan sangat hormat.
Yen Lieh tidak pedulikan lagi pemimpin pasukan itu, ia pondong Pauw-sie untuk dipindahkan ke kuda yang baru, lalu bersama-sama mereka lanjuti perjalanan mereka ke utara.
Sesudah jalan beberapa puluh tindak, Sek Yok menoleh ke belakang. Untuk herannya ia lihat si perwira dan barisannya masih belum pergi, agaknya mereka itu masih mengasih selamat jalan…….. Ia berpaling kepada si anak muda, ingin ia menanya, tapi anak muda itu, sambil tertawa mendahulukan dia.
“Walaupun Han To Cu sendiri yang melihat aku, dia jerih tiga bagian,” katanya, “Maka itu, apapula segala perwira itu…….”
“Jikalau begitu, pastilah gampang untuk kau membalaskan sakit hatiku,” kata Pauw-sie.
“Soal itu ada lain,” sahut si anak muda. “Sekarang ini kita telah ketahuan siapa adanya, pihak tentera tentu telah membuatnya persediaan, apabila kita pergi menuntut balas sekarang juga, tidak melainkan kita bakal gagal, kita pun bisa mendapat celaka.”
“Habis bagaimana?” si nyonya tanya pula. Ia tidak mengerti.
Yen Lieh berdiam sejenak. “Nyonya , dapatkah kau mempercayai aku?” bia tanya.
Pauw-sie mengangguk.
“Sekarang ini mari kita balik dahulu ke utara,” Yen Lieh berkata. “Kita tunggu sampai suasana reda, baru kita berangkat pula ke selatan ini untuk maksud menuntut balas itu. Nyonya legakan hati, tentang sakit hati suamimu itu serahkan kepada tanggungjawabku seorang.”
Sek Yok bingung tidak berdaya. Percaya saja ia ragu-ragu. Bukankah ia sudah rudin dan tak bersanak kandung juga? Kemana ia mesti pergi untuk pernahkan diri? Bukankah lebih baik ia turut pemuda ini? Tapi dia ada satu janda, orang pun bukan sahabat bukan sanak, cara bagaimana ia bisa terus ikuti pemuda itu? Dia jadi menjublak karena kesangsiannya itu.
“Jikalau nyonya anggap saranku kurang sempurna, silahkan kau beri petunjukmu,” kata Yen Lieh melihat orang berdiam saja. “Akan aku turut segala titahmu.”
Menampak sikap orang itu, Sek Yok menjadi tak enak sendirinya. “Baiklah, sesukamu…” katanya perlahan, sambil tunduk.
Yen Lieh menjadi girang sekali. “Budimu yang besar, Nyonya, tak nanti aku lupakan,” dia bilang. “Nyonya….”
“Harap kau tidak sebut-sebut tentang budi…” kata Sek Yok.
“Baik, baik, Nyonya….”
Lantas keduanya larikan pula kuda mereka, kadang-kadang yang satu di depan yang lain di belakang, atau setempo dengan berendang. Hawa udara ada nyaman karena itu waktu pun ada di musim pertama yang indah. Di sepanjang jalan ada kedapatan pohon-pohon yangliu dan bunga.
Untuk melegakan hati si nyonya, Yen Lieh sering membuka pembicaraan.
Sek Yok heran dan kagum untuk si anak muda, ini kawan seperjalanannya yang sebenarnya asing untuknya. Ia dapati orang halus sikapnya dan menarik kata-katanya. Luas pengetahuannya si anak muda, pandai ia memilih bahan pembicaraan. Orang pun tampan dan menyenangkan untuk dipandang.
Pada tengah hari di hari ketiga, mereka tiba di Kee-hin, sebuah kota besar di Ciat-kang barat, kota dari sutera dan beras. Memangnya kota sudah ramai pada asalnya, sekarang ia terletak dekat dengan kota raja, keramaiannya menjadi bertambah sendirinya.
“Mari kita cari hotel untuk singgah dan beristirahat dulu,” Yen Lieh mengajak.
“Hari masih siang, sebenarnya kita masih dapat melanjutkan perjalanan,” Sek Yok mengutarakan pikirannya.
“Disini ada banyak toko, Nyonya,” Yen Lieh bilang. “Pakaianmu sudah terpakai lama, nanti aku belikan yang baru.”
Sek Yok melengak. “Bukankah ini baru dibeli?” tanyanya. “Apanya yang dibilang lama?”
“Kita jalan jauh dan ditengah jalan banyak debu,” terangkan si anak muda, “Dengan dipakai baru satu dua hari, pakaianmu sudah tak mentereng lagi. laginya dengan wajah ini, Nyonya, mana boleh kau tidak memakai pakaian dari bahan yang terbaik?”
Diam-diam senang hatinya Sek Yok karena orang puji kecantikannya. “Aku tengah berkabung…” katanya perlahan.
“Terang itu aku tahu,” Yen Lieh bilang.
Nyonya itu lantas membungkam.
Yen Lieh terus tanya-tanya orang, akhirnya ia ajak nyonya itu ke hotel Siu sui yang paling besar untuk kota Kee-hin. Di sini mereka paling dulu bersihkan tubuh, lalu duduk bersantap.
“Kau tunggu , Nyonya, hendak aku pergi berbelanja,” kemudian kata si pemuda.
Pauw-sie mengangguk.
Yen Lieh lantas pergi keluar, baru ia sampai di muka hotel, ia lihat seorang mendatangi, orang mana menyolok perhatiannya. Orang mirip dengan satu sastrawan tetapi ia jalan sambil menyeret sepatu kulit, sepatu itu berbunyi ketrak-ketruk walaupun ia jalannya perlahan. Dia pun tidak karuan dandannya, ialah pakaiannya kotor, berminyak, kotor juga mukanya yang penuh debu. Mungkin sudah belasan hari ia tidak pernah mandi. Di tangannya ia mencekal satu kipas kertas minyak warna hitam yang sudah buntut, sembari jalan dia mengipas-ipas tak hentinya.
Yen Lieh ada apik, walaupun orang mirip sastrawan, tetapi karena orang demikian jorok, tak mau ia jalan di dekatnya, khawatir tubuhnya nanti kena terlanggar, maka itu sambil mengerutkan kening, ia gancangi tindakannya.
Tiba-tiba orang jorok itu tertawa, suaranya kering, bagaikan siulannya burung malam. Dia tertawa terus beberapa kali, tertawanya itu tajam menusuk telinga. Tepat ketika keduanya impas-impasan, si jorok itu ulur tangannya, dengan kipas bututnya dia tepuk pundaknya Yen Lieh.
Anak muda ini gagah, akan tetapi, atas tepukan itu tak keburu ia berkelit. Ia menjadi tidak senang.
“Eh, kau bikin apa`?” ia menegur.
Orang itu perdengarkan pula tertawanya yang kering itu, ia jalan terus, tindakan kakinya terus berbunyi ketrak-ketruk. Ketika ia tiba di ujung hotel, ia menoleh kepada jongos hotel seraya berkata dengan keras: “Eh, jongos, kau jangan pandang tak mata kepada baju tuanmu yang rubat-rabit ini! Kau tahu, tuan besarmu ada punya uang perak! Di pihak lain, ada bocah yang tersesat, dengan pakaiannya yang mentereng, dia pentang aksi untuk bikin orang silau guna menipu, untuk mengakali kaum wanita, buat anglap makanan dan hotel! Terhadap bocah begitu macam, kau mesti awas mata! Paling baik kau minta dia membayar uang sewa di muka!” Lalu dengan tak menantikan jawaban, dia ngeloyor terus, sepatunya terus berbunyi: “Truk! Truk! Truk…!”
Panas hatinya Yen Lieh. “Binatang!” katanya dalam hatinya, “Bukankah dia maksudkan aku?”
Jongos itu melirik kepada pemuda ini, mau tidak mau timbul kecurigaannya. Dengan lekas ia menghampiri. “Tuan, harap kau tidak kecil hati, bukannya aku kurang ajar…” katanya sambil memberi hormat.
Yen Lieh bisa duga hati orang. “Kau pegang uang ini!” katanya menyela. Sementara itu tangannya meragoh ke sakunya, tetapi segera ia melongo. Ia tahu, dia ada membekal uang empat atau lima puluh tail perak akan tetapi sekarang kantungnya kosong.
Jongos itu lihat air muka orang, ia jadi menduga terlebih keras. Sekarang ia tak sungkan-sungkan lagi. “Apa?! Kau tidak membawa uang?” katanya.
“Kau tunggu sebentar, hendak aku balik ke kamarku untuk mengambil,” kata Yen Lieh. Ia mau menyangka tadi karena terburu-buru ia lupa bawa uangnya. Setibanya di dalam kamar, ia menjadi tercengang pula. Ia dapatkan buntalannya tidak ada uangnya. Ia heran, tak tahu ia di mana lenyapnya uangnya itu.
Jongos mengikuti ke kamar, ia tangal-tongol di muka pintu dengan begitu ia jadi dapat lihat orang tidak punya uang. Ia menjadi berani. “Apakah wanita ini benar istrimu?” dia tanya. “Apakah kau tengah menipu dia? Janganlah kau nanti rembet-rembet kami!”
Sek Yok tidak tahu apa yang sudah terjadi tetapi ia dapat menduga, mukanya menjadi merah. Ia malu dan bergelisah.
Dengan tiba-tiba Yen Lieh mencelat ke pintu dan tangannya menyambar. “Plok!” demikian suara di mukanya si jongos yang pipinya menjadi bengap dan giginya rontok beberapa biji. Tentu ia menjadi gusur, sambil pegangi pipinya dia menjerit: “Bagus, ya bagus betul! Kau sewa kamar tidak mau bayar, kau juga berani pukul orang!”
Dengan murkanya Yen Lieh mendupak, hingga orang itu jungkir balik.
“Mari kita lekas pergi!” Sek Yok mengajak. “Jangan kita nginap disini!”
“Jangan takut!” kata Yen Lieh. Kali ini ia tertawa. “Kita tidak punya uang tetapi kita boleh suruh mereka mengadakannya!”
Ia lantas sembat sebuah kursi yang ia letaki di ambang pintu. Di situ ia lantas bercokol.
Jongos tadi yang telah kabur keluar segera kembali bersama belasan orang, yang romannya seperti buaya darat, tangan mereka membawa toya dan ruyung, sikap mereka garang.
“Apakah kamu hendak berkelahi?” tanya Yen Lieh sambil tertawa. Kata-kata itu disusul sama mencelatnya tubuhnya, lalu tahu-tahu ia telah rampas toyanya satu orang denagn apa terus ia menghantam kalang kabutan.
Sekejap saja empat lima orang telah terguling rubuh. Menampak demikian, sisa yang lainnya lantas lemparkan senjata mereka dengan memutar tubuh, mereka sipat kuping, akan kemudian diturut oleh kawan-kawan yang telah terima hajarab, yang repot merayap bangun.
“Ah, urusan menjadi hebat, mungkin nanti datang pembesar negeri,” kata SekYok dengan berkhawatir.
Yen Lieh tetap tertawa. “Itulah yang aku kehendaki!” sahutnya.
Nyonya Yo bungkam. Tak tahu ia maksudnya pemuda ini.
Untuk kira setengah jam, hotel menjadi sunyii. Pihak hotel atau tetamu, tidak ada yang berani banyak mulut lagi. Baharu kemudian, di luar terdengar suara berisik lalu muncul belasan orang polisi, yang bersenjatakan golok dan thie-cio, ialah ruyung pendek yang bercagar atau gagangnya bergaetan. Mereka pun bekal borgol yang rantainya berkontrangan.
“Sudah menipu wanita, masih berani galak, aturan dari mana?” demikian di antarannya pentang bacot. “Mana dia si penjahat!”
Yen Lieh bercokol tidak bergeming.
Menyaksikan sikap orang itu, rombongan oppas itu tidak berani lantang maju.
“Eh, kau she apa?” menegur yang menjadi kepala. “Mau apa kau datang ke Kee-hin ini?”
Yen Lieh tetap tidak bergerak. “Pergi kau panggil Khay Oen Cong kemari!” ia bilang, suaranya keren.
Hamba negeri itu terkejut. Khay Oen Cong itu adalah namanya pembesar mereka, tiehu atau residen dari Kee-hin. Kemudian mereka menjdi gusar.
“Apakah kau edan?” si kepala polisi tanya.”Bagaimana kau berani sembarang sebut namanya Khay Toaya kami?”
Yen Lieh rogoh sakunya, untuk mengeluarkan sepucuk surat yang mana ia lemparkan ke atas meja, kemudian sambil matanya memandang mega, ia berkata: “Kau bawa suratku ini, kasihkan pada Khay Oen Cong. Hendak aku lihat, ia datang ke mari atau tidak!”
Orang polisi itu jumput surat itu, setelah membaca sampulnya ia terkejut, akan tetapi agaknya ia masih sangsi.
“Kamu jaga dia, jangan kasih dia buron…” pesannya pada orang-orangnya, lalu ia terus pergi.
Sek Yok saksikan itu semua, hatinya terus goncang. Tak tahu ia urusan bakal jadi bagaimana hebatnya. Karena ini, hebat ia menunggu kira setengah jam, sesudah mana di luar hotel terdengar pula suara berisik dari orang banyak. Itulah suara beberapa puluh orang polisi, yang mengiringi dua pembesar dengan pakaian dinasnya. Kapan mereka berdua sampai di depan Yen Lieh, keduanya lantas saja memberi hormat sambil tekuk lutut.
“Piecit adalah Khay Oen Cong, tiehu dari Kee-hin dan Kiang Bun Kay tiekoan dari Siu-sui-koan,” berkata mereka.”Piecit tidak ketahui tayjin tiba disini, kami tidak datang menyambut, harap tayjin suka memaafkannya.”
Yen Lieh ulapkan tangannya, ia membungkuk sedikit. “Aku telah kehilangan uang di dalam kecamatan ini, aku mohon Tuan-tuan suka tolong periksa dan mencarinya,” ia berkata, terutama terhadap Kiang Bun Kay si camat.
Khay Oen Cong menyahuti dengan cepat.
“Ya, ya,” katanya, habis mana, ia menoleh ke belakang seraya geraki tangannya, atas mana muncul dua orang polisi yang membawa dua menampan-menampan, yang satu bermuatkan emas berkilau kuning dan yang satunya lagi bersis perak yang berkeredep putih.
“Di tempat kami ada penjahat yang main gila, itulah kealpaan kami,” berkata Khay Oen Cong. “Sekarang ini sudilah kiranya Tayjin menerima dahulu ini jumlah yang tidak berarti.”
Yen Lieh tertawa, ia mengangguk.
Dengan cara hormat, Khay Tiehu lantas angsurkan suratnya pemuda itu.
“Piecit telah siapkan tempat beristirahat, silahkan Tayin dan hujin singgah di sana,” tiehu itu memohon kemudian.
“Tempat di sini lebih meyenangkan,” berkata Yen Lieh. “Aku lebih suka tempat yang tenang. Kamu jangan ganggu aku.” Dengan tiba-tiba wajah si anak muda menjadi keren.
“Baik, baiklah,” kata Oen Cong dan Bun Kay dengan cepat. “Tayjin masih membutuhkan apalagi, tolong sebutkan, nanti piecit siapkan.”
Yen Lieh dongak, ia tidak menyahuti, Cuma tangannya diulapkan.
Dengan tidak bilang apa-apa lagi, Oen Cong dan Bun Kay mengundurkan diri dengan hormat dan tanpa berisik semua polisi mengikuti mereka.
Jongos saksikan itu semua, mukanya menjadi pucat, lenyap darahnya. Bukankah residen dan camat pun mesti berlutut terhadap tetamunya itu? Tidak ayal lagi dengan dipimpin kuasa hotel, dia berlutut seraya memohon ampun.
Yen Lieh mengambil sepotong perak dari atas nenapam,, ia lemparkan itu ke atas tanah. “Aku persen ini kepadamu!” katanya sambil tertawa. “Lekas pergi!”
Jongos itu melengak, ia bersangsi, tetapi kapan kuasa hotel lihat wajah si tetamu tenang dan ramah, khawatir orang gusar, lekas-lekas ia pungut uang itu, ia berlutut dan manggut-manggut, lalu dengan cepat ia seret si jongos pergi.
Sampai disitu Pauw Sek Yok menjadi heran, hatinya pun lega, hingga ia bisa tertawa. “Sebenarnya suratmu itu wasiat apa?” ia tanya. “Satu pembesar sampai ketakutan demikian rupa!”
Yen Lieh tertawa. “Sebenarnya tidak ku niat pedulikan mereka,” ia menyahut. “Pembesar itu sendirinya tak punya guna, orang-orang sebawahannya Tio Kong semua bangsa kantong nasi, kalau negara mereka tidak lenyap, benar-benar tidak pantas!”
Sek Yok heran. “Siapa itu Tio Kong?” tanyanya.
“Tio Kong ialah Kaisar Leng Cong yang sekarang!” sahut Yen Lieh.
Nyonya Yo Tiat Sim menjadi terperanjat. “Dia mengaku sebagai sahabatnya Han Sinsiang, semua pembesar sipil dan militer hormati dan takuti dia, aku menyangka dialah sanaknya kaisar,” dia berpikir. “Atau setidaknya dia pembesar berpangkat sangat tinggi…. Kenapa dia sekarang berani terang-terangan menyebut nama kaisar? Kalau hal ini di dengar orang, apa ini didengar orang, apa itu bukan artinya sangat kurang ajar..?” Maka lekas-lekas ia berkata “ Bicara hati-hati! Nama raja mana boleh sembarangan disebut-sebut?”
Senang Yen Lieh akan mengetahui nyonya ini menyayangi dia. “Tidak ada halangannya untuk aku menyebeutkan namanya,” ia menyahut sambil tertawa. “Setibanya kita di utara, jikalau kita tidak panggil dia Tio Kong, habis kita mesti memanggil apa?”
Lagi sek Yok terkejut. “Ke Utara?” dia bertanya.
Yen Lieh mengangguk. Ia baharu mau menyahuti, tapi di luar hotel terdengar tindakan dari beberapa puluh kuda yang terhenti tepat di muka hotel. Ia lantas saja mengerutka kening, nampaknya ia sangat tidak puas. Sek Yok sebaliknya terkejut.
Segera terdengar tindakan banyak kaki yang bersepatu kulit memasuki ruang hotel, terus ke muka kamarnya si anak muda. Itulah beberapa puluh serdadu denag pakaiannya yang tersulam. Begitu mereka melihat Yen Lieh, semua menunjuki wajah sangat girang, hampir berbareng mereka menyerukan: “Ongya!” Dan lantas semuanya memberi hormat sambil berlutut.
“Akhir-akhirnya kamu dapat cari aku!” kata Yen Lieh sambil tertawa
Sek Yok dengar orang dipanggil “ong-ya” – “sri paduka”, ia tidak terlalu heran. Ia hanya heran menyaksikan rombongan serdadu itu, yang terus berbangkit untuk berdiri dengan tegak. Mereka semua bertubuh besar dan kekar. Peragamannya rapi. Mereka beda daripada tentera Tionggoan.
“Semua keluar!” kemudian Yen Lieh berkata, tangannya diulapkan.
Dengan berbareng menyahuti semua serdadu itu mundur teratur.
“Bagaimana kau lihat semua orangku dibandingkan dengan tentara Song?” ia tanya.
“Apakah mereka bukannya tentara Song?” si nyonya membaliki.
Yen Lieh tertawa. “Sekarang baiklah aku omong terang padamu!” katanya, riang gembira. “Semua serdadu itu adalah tentara pilihan dari negara Kim yang besar!” Dan dia tertawa pula, panjang dan puas sekali.
“Kalau begitu kau jadinya, kau…” katanya Sek Yok dengan suara yang gemetar.
Yen Lieh kembali tertawa. “Bicara terus terang nyonya, namaku mesti ditambah satu huruf “Wan” di atasnya,” dia menyahuti. “Sebenarnya aku yang rendah ini adalah Wanyen Lieh, putra keenam dari Raja Kim, Pangeran Tio Ong adalah aku yang rendah….”
Mau atau tidak Sek Yok terperanjat, ia tercengang. Pernah dahulu ia dengar ayahnya bercerita bagaimana bangsa Kim telah menggilas-gilas wilayah Tionggoan, bagimana dua kaisar Tionggoan telah ditawan, dibawa pulang ke negeri Kim itu, bahwa rakyat di utara telah diperlakukan dengan kejam oleh bangsa Kim itu. Kemudian, setelah ia menikah dengan Yo Tiat Sim, ia juga ketahui bagimana hebat suaminya itu membenci bangsa Kim itu. Sekarang diluar tahunya, orang dengan siapa siang dan malam ia berada bersama selama beberapa hari, adalah putranya raja Kim itu, yang menjadi musuh Tionggoan. Tentu saja oleh karena ini ia menjadi tidak dapat membuka mulutnya.
Wanyen Lieh lihat air muka orang berubah, lenyap senyumnya si nyonya. Ia lantas berkata, “ Telah lama aku kagumi keindahan wilayah selatan, karenanya pada tahun baru yang baru lalu telah aku mohon Ayahanda raja mengirim aku ke Lim-an sebagai utusan yang datang untuk memberi selamat tahun Baru kepada kaisar Song. Di samping itu kebetulan kaisar Song belum membayar upeti tahunannya yang berjumlah beberapa puluh laksa tail perak, dari itu Ayahanda raja menitah aku menagihnya sekalian.”
“Upeti tahunan?” Sek Yok heran.
“Ya,” sahut putra raja Kim itu. “Kerajaan Song mohon negaraku tidak menyerang dia, dia janji saban tahu mengirim upeti uang dan cita, tetapi dengan alasan penghasilan negaranya tidak mencukupi, sering-sering kaisar Song tidak menepati janjinya, maka kali ini aku tidak sungkan-sungkan lagi menghadapi Perdana Menteri Han To Cu, aku tandaskan kepadanya, apabila dalam tempo satu bulan upeti tidak dibayar penuh, aku sendiri bakal mengepalai angkatan perang untuk mengambilnya dan dia tak usah capekkan hati lagi mengurusnya!”
“Apa katanya Han Sinsiang?” Sek Yok tanya.
“Apa lagi dia bisa bilang? Belum lagi aku meninggalkan Lim-an, uang dan cita sudah diseberangkan sungai. Hahaha!!”
Sek Yok berdiam. Alisnya kuncup.
“Menagih upeti ada urusan yang remeh, cukup dengan utus satu menteri,” berkata pula Wanyen Lieh. “Aku tetapi datang sendiri, karena ingin aku menyaksikan kepermaian wilayah selatan ini, maka adalah diluar dugaanku, aku bertemu dengan Nyonya, sungguh aku sangat beruntung.”
Pauw Sek Yok tetap bungkam.
“Nah, sekarang hendak aku pergi beli pakaian,” kata Wanyen Lieh kemudian.
“Tidak usah,” kata Sek Yok tunduk.
Putra raja Kim itu tertawa ketika ia berkata pula, “Uang pribadi Han Sinsiang sendiri yang dibekali padaku, jikalau aku pakai itu untuk membeli pakaian, tak habis kau pakai itu selama seribu tahun, Nyonya! Kau jangan takut, di empat penjuru sini telah berjaga-jaga pasukan pribadiku, tidak nanti orang jahat yang berani ganggu padamu!”
Mendengar itu Sek Yok mau menduga bahwa ia telah diancam dengan samar-samar bahwa tak dapat ia melarikan diri apabila ia memikir demikian, karena hotel itu telah dijaga rapat, ia hanya heran sekali, apa maksudnya putra raja Kim itu yang ia seorang wanita dari rakyat jelata, diperhatikan demikian macam. Itulah perlakuan istimewa. Kapan ia ingat suaminya, yang sangat mencintainya, ia lantas mendekam di pembaringannya dan menangis sedih sekali.
Dengan membekal uang, Wanyen Lieh pergi ke kota di bagaian yang ramai. Ia lihat penduduk kota ada halus gerak-geriknya, walaupun kuli, nampak beda juga, maka itu diam-diam ia mengaguminya. Ia lantas memikir untuk nanti, kapan ia mengepalai angkatan perang mendatangi wilayah ini, ia akan mohon ayahnya angkat ia menjadi Gouw Ong, pangeran wilayah selatan ini, supaya dapat ia tinggal tetap di Kanglam….
Dengan perasaan puas, orang bangsawan ini bertindak dengan perlahan-lahan, matanya memandangi sekitarnya hingga mendadak ia dengar larinya kuda derap. Jalan besar di situ tidak lebar, orang-orang yang berlalu lintas kebetulan banyak, dan pinggiran jalanan pun ditempati pedagang-pedagang gelar dan pikulan, kenapa ada orang yang larikan kudanya di situ. Ia lantas menyingkir ke pinggiran. Sebentar saja kuda itu telah tiba. Itulah seekor kuda kuning yang tinggi dan besar, tegap tubuhnya dan pesat gerakkannya. terang itu adalah kuda asal luar tapal batas. Menampak kuda itu, Wanyen Lieh memuji akan tetapi, kapan ia saksikan penunggangnya, ia jadi tertawa sendirinya.
Penunggang kuda itu adalah seorang yang tubuhnya kate dan terokmok dan romannya jelek, dengan bercokol di atas kuda yang tinggi besar, ia mirip setumpuk daging belaka. Sudah ia pendek tangan dan pendek kaki, lehernya pun seperti tidak ada, yang kelihatan cuma kepalanya yang gede, yangmuncul mengkeret di atasan pundaknya.
Di sebelah keanehan si penunggang kuda, aneh juga cara kudanya berlari-lari. Kuda itu tidak pernah menerjang barang atau menyentil orang, ia dapat bergerak merdeka, seperti kelit sana dan kelit sini, atau melompati pukulan pedagang-pedagang. Wanyen Lieh merasa ia adalah satu ahli penunggang kuda, tetapi sekarang tanpa merasa ia berseru; “Bagus!”
Si kate terokmok dengar orang memuji dia, dia berpaling, maka dengan itu Wanyen Lieh dapat lihat tegas muka orang. Itulah satu muka yang merah seperti ampas arak, dengan hitung besar dan bulat seperti buah prim merah ditempel di muka.
“Kuda itu jempol, baik aku beli denagn harga istimewa,” pikirnya.
Hampir di itu waktu, di jalan itu muncul dua bocah berlari-lari main kejar-kejaran melintas di depan kuda. Kuda itu kaget, kakinya bergerak. Tepat di itu saat, kate terokmok angkat lesnya, tubuhnya pun terangkat dari bebokong kuda, kuda mana terus lompat melewati atas kepalanya dua bocah itu, sesudah itu, tubuh si kate turun pula, bercokol lagi di bebokong kuda seperti tadi, numprah dengan aman!
Wanyen Lieh kagum hingga ia menjublak. Lihay luar biasa si cebol itu, di negaranya sendiri – negera Kim tidak ada penunggang kuda sepandai dia walaupun ia ada punya banyak ahli penunggang kuda. Sekarang ia insyaf bahwa manusai tidak dapat di lihat dari romannya saja.
“Jikalau dia bisa diundang ke kota rajaku, untuk jadi guru, bukankah pasukan kudaku bakal menjagoi di kolong langit ini?” dia berpikir. Dia pun melamun, berapa besar faedahnya apabila ia berhasil membeli kuda istimewa itu.
Memang putra raja Kim ini adalah seorang dengan cita-cita luhur, dan teliti sepak terjangnya. Dengan mendatangi Kanglam, ia berberang sudah perhatikan keletakan daerah, hingga ia tahu baik sekali tempat-tempat dimana ia dapat pernahkan tentaranya atau dimana dia dapat seberangi sungai. Malah ia ingat juga nama-namanya setiap pembesar setiap tempat serta kepandaiannya setiap pembesar itu.
“Pemerintah di selatan ini justru buruk, sayang kalau orang pandai ini tak dapat digunai olehku,” dia negelamun terlebih jauh. Karenanya ia lantas ambil ketetapan untuk undang kate terokmok itu. Malah ia lantas lari untuk menyusul penunggang kuda itu. Selagi ia khawatir nanti tak dapat menyandak, sedangnya ia berniat mengoaki si kate itu, mendadak kuda orang itu berhenti berlari. Kembali ia menjadi heran. Tak biasanya kuda larat dapat berhenti secara demikian tiba-tiba, biasanya kuda itu mesti berlari-kari perlahan dahulu.
Selagi Wanyen Lieh terheran-heran, si kate terokmok sudah lompat turun dari kudanya dengan cepat luar biasa, ia telah memasuki sebuah restoran di pinggiran mana kudanya dihentikan secara istimewa itu, maka dilain saat sudah terdengar tindakannya yang cepat di undakan tangga loteng.
Putra raja Kim itu angkat kepalanya, untuk berdongak, maka matanya lantas melihat sepotong papan merek dengan bunyi empat huruf “Tay Pek Ie Hong”. Jadi itu sebuah ciulauw, atau sebuah restoran. Di atas loteng ada lagi sebuah papan merek dengan tiga huruf “Cui Sian Lauw”, yang hurufnya kekar dan bagus, di samping aman ada pula empat huruf kecil bunyinya: “Tong Po Kie-su”. Jadi itu ada ciulauw yang pakai nama Souw Tong Po, itu penyair yang terkenal, yang aliasnya Thay-pek dan julukannya Cui Sian, Dewa Mabuk. Riasannya ciulauw pun ada istimewa. Tadinya Wanyen Lieh ingin memasuki ciulauw itu atau segera ia tampak si kate sudah keluar pula sambil tangannya membawa satu guci arak yang terus dibawa ke depan kudanya.
Putra raja Kim ini ingin menontoni kelakuan, ia pun lantas berdiri di pinggiran.
Berdiri di tanah si kate nampaknya semakin tak mengasih. Tingginya tak ada tiga kaki, sebaliknya lebar tubuhnya ada tiga kaki penuh. Di depan ia adalah kudanya, yang istimewa tinggidan besarnya. Dengan berdiri berdekatan, si kate tidak cukup tinggi untuk kepalanya menyundul sanggurdi. Maka inginWanyen Lieh menyaksikan orang punya sepak terjang lebih jauh.
Si kate tidak lompat naik ke atas kudanya, hanya ia berdiri di depan binatang tunggangannya itu, di situ ia letak guci araknya, habis mana dengan sebelah tangannya, ia babat guci sebatas pundaknya guci itu hingga tempat arak itu menjadi terbuka bagaikan jambangan.
“Ah, ia mengenal ilmu tenaga dalam yang lihay,” pikir Wanyen Lieh, Tanpa Iweekang, atau tenaga dalam yang sempurna, tidak nanti guci arak dapat ditebas kutung dengan tangan, dengan tidak pecah seluruhnya. Ia percaya ia dapat melakukan itu hanya tidak sedemikian sempurna.
Begitu lekas guci telah terbuka, kuda kuning itu angkat naik kaki depannya, mulutnya dibuka untuk perdengarkan ringkikkan, setelah turunkan kedua kakinya ia terus tunduki kepalanya, mulutnya dikasih masuk ke dalam guci, untuk sedot arak itu berulang-ulang!
Dalam keheranan, Wanyen Lieh segera dapat mencium baunya arak yang melulahkan terbawa angin. Ia kenali arak itu adalah arak Siauwhin yang kesohor, arak simpanan tiga atau empat puluh tahun. Pernah selama di Yan-khia, ibukotanya, ayahnya dikirimkan arak serupa oleh utusan kaisar Song dan oleh ayahnya ia dibagi beberapa guci. Ia sangat menyayangi arak jempolan itu, tak hendak ia sering-sering meminumnya, akan tetapi di sini, ia saksikan seekor kuda tunggangan diberikan arak itu!
Si kate tinggalkan kudanya minum, ia kembali ke restoran, sambil kasih dengar bentakan, ia lemparkan sepotong uang ke atas meja kuasa restoran itu. Nyata itu adalah sepotong emas yang berkilau kuning.
“Lekas kamu sajikan sembilan meja barang hidangan kelas satu!” kata si kate. “Yang delapan meja makanan dengan daging, yang satu sayuran saja.”
“Baik, Han Samya!” berkata si kuasa ciulauw sambil tertawa. “Kebetulan hari ini kami dapat empat ekor ikan saylouw, yang tak ada lawannya yang lainnya untuk teman arak! Tentang emas ini, aku minta sudi apakah kiranya samya simpan dahulu. Mengenai nperhitungannya nanti perlahan-lahan kita mengurusnya…”
Mendengar itu, matanya si kate terbelalak. “Apa?!” serunya aneh. “Menenggak arak tanpa uangnya ? Apakah kau sangka Han Samya kamu ini tukang anglap?”
Kuasa ciulauw itu tertawa haha-hihi, tanpa layani si cebol itu, ia berpaling ke dalam dan berseru: “kawan-kawan, lekas sajikan arak dan makanan untuk Han Samya!”
Seruan itu sudah lantas sapat sambutan berulang-ulang.
Wanyen Lieh menjadi heran sekali. “Si kate ini berpakaian tidak karuan tetapi ia sangat royal,” pikirnya. “Dan di sini orang sangat menghormatinya. Mungkinkah ia ada okpa di kota Kee-hin ini? Kalau benar, tentu sulit rasanya untuk undang ia menjadi guru…Baiklah, aku tunggu dulu, hendak aku saksikan orang-orang macam bagaimana yang ia undang berjamu.”
Karena ini ia hampiri ciulauw itu untuk naik ke loteng dimana ia pilih satu meja di pinggir jendela. Ia minta satu poci arak serta barang makanan sekedarnya.
Restoran Cui Sian Lauw ini letaknya di pinggir Lam Ouw, Telaga Selatan. Itu waktu tengah telaga nampak kabut tipis, di muka air ada beberapa buah perahu kecil lagi mundar-mandir. Di situ pun kedapatan banyak pohon lengkak yang daunnya hijau-hijau. Lega hati untuk memandang permukaan telaga itu.
Di jaman dahulu, Kee-hin adalah sebuah kota negara Wat, buah lie keluaran sini kesohor manis, sama kesohornya dengan araknya. Di jaman Cun Ciu, Kee-hin dipanggil Cui Lie atau Lie Mabuk. Disini dahulu Raja Wat, Kouw Cian telah labrak Raja Gouw, Hap Lu. Telaga itu pun ada mengeluarkan hasil yang kesohor yaitu bu-kak-leng, atau lengkak yang tidak ada “tanduknya” yang rasanya empuk dan manis, tak ada bandingannya untuk Kanglam. Itu pun sebabnya di dalam telaga tumbuh banyak pohon lengkak itu.
Sambil hirup araknya perlahan-lahan, Wanyen Liaeh memandangi keindahan telaga. Dengan begitu ia pun menantikan tetamu-tetamunya si cebol. Tiba-tiba ia dengar suara beradunya sumpit da cawan-cawan arak, apabila ia menoleh, ia dapatkan beberapa jongos mulai mengatur sembilan buah meja. Hanya herannya untuk setiap meja ditaruhkan Cuma sepasang sumpit dan satu cawan arak.
“Kalau yang datang cuma sembilan orang, untuk apa meja sembilan ini?” ia menerka-nerka. “Jikalau jumlahnya banyak, mengapa Cuma disediakan sembilan cawan saja? Apa mungkin ini ada adat kebiasaan di selatan ini….? Ia memikir tetapi tidak dapat jawabannya.
Si cebol sudah lantas duduk minum arak di sebuah meja, minumnya ayal-ayalan.
Kembali Wanyen Lieh memandang ke telaga. Kali ini ia tampak sebuah perahu nelayan yang kecil, yang laju pesat sekali. Perahu itu kecil tatapi panjang, kepalanya terangkat naik. Di pinggiran perahu berdiri dua baris burung-burung air peranti menangkap ikan. Mulanya ia tidak menaruh perhatian, sampai sejenak saja perahu itu dapat melewati sebuah perahu kecil yang terpisah jauh darinya.
Setelah perahu kecil itu datang semakin mendekat, Wanyen Lieh lihat di tengah perahu ada berduduk satu orang, sedang yang mengayuh yang berbareng menjadi pengemudi, yang duduk di belakang ada seseoarng yang memakai baju rumput. Segera ternyata ia adalah seorang wanita. Dia masuki pengayuh ke dalam air, nampaknya ia mengayuh denagn perlahan, akan tetapi perahu itu lahu melesat, tubuh perahu seperti melompat di atasan air. Tenaga mengayuh itu mungkin ada tenaga dari dua ratus kati. Seorang wanita bertenaga demikian besar inilah aneh: maka aneh juga pengayuhnya itu yang dapat dipakai mengower air demikian kuat.
Lagi beberapa gayuan, kenderaan air itu segera mendekati restoran. Di sini ada sinar matahari yang menyoroti pengayuh itu, lalu tertampak suatu cahaya berkilau mengkeredep. Nyata pengayuh itu terbuat dari kuningan.
Si wanita tampak perahunya dipelatok di samping tangga batu di bawah loteng restiran, habis itu ia lompat ke darat. Orang yang menumpang perahu itu satu pria, lompat mendarat juga setelah ia samber sepotong kayu pikulan yang kasar. Keduanya terus mendaki tangga loteng.
“Shako!” memanggil si nona tukang perahu setibanya di atas loteng, kepada si kate terokmok. Dia pun lantas sambil sebuah meja, sebagaimana kawannya juga duduk dikursi lainnya.
“Sietee, citmoay, kamu datang siang-siang?” kata si cebol.
Wanyen Lieh diam-diam perhatikan dua pendatang baru ini. Si wanita berusia tujuh atau delapanbelas tahun, tengah remajanya. Dia bermata besar, panjang bulu matanya, kulitnya putih bagaikan salju. Itulah kulitnya orang Kanglam sejati. Ia mencekal pengayuh kuningannya dengan tangan kanan dan menenteng baju rumputnya dengan tangan kiri. Dia pun mempunyai rambut yang hitam mengkilap.
“Walaupun dia tidak dapat melawan kecantikannya Pauw-sieku, dia toh menggairahkan dengan sifatnya sendiri,” berpikir putra raja Kim itu. Sekarang ia lirik si pria yang membawa-bawa kayu pikulan, yang dari romannya dari kepala sampai di kaki, mirip orang desa tulen, usianya kurang lebih tiga puluh tahun, baju dan celananya berbahan kain kasar, pinggangnya dilibat tali rumput, sedang sepatunya ada cauw-ee, sepatu rumput. Ia bertangan kasar dan kaki gede, romannya jujur polos. Ketika dia sanderkan pikulannya di samping meja, bentrok sama meja itu, terdengarlah suara beberapa kali. Meja itu menggeser sedikit.
Sendirinya Wanyen Lieh terperanjat, hingga ia awasi pikulan itu, yang warnanya hitam mengkilap, kedua ujungnya muncul sedikit, rupanya peranti menjaga pikulan tidak merosot terlepas. Karena beratnya itu, pasti pikulan itu bukan terbuat dari besi entah dari bahan apa. Di pinggangnya orang itupun ada terselip sebuah kampak pendek, sama denagn kampak biasa, yang sudah sedikit gompal.
Baharu dua orang itu duduk, di tangga loteng sudah terdengar lagi tindakan kaki berisik dua orang lagi.
“Bagus, ngoko, liokko, kamu datang berbareng!” menyambut si nona nelayan.
Dari dua orang ini, yang jalan di depan berdedakan tinggi dan kekar, tubuhnya terlibat semacam kain, tubuh itu meminyak, karena bajunya tidak dikancing, tertampak pula dadanya berbulu gompiok. Karena ia menggulung tangan bajunya tinggi-tinggi, pun terlihat lengannya berbulu hitam seperti dadanya itu. Melihat potongannya, ia mirip satu pembantai atau penyembelih hewan, Cuma ditangannya kurang sebatang golok lancip. Orang yang berjalan di belakangnya berpotongan sedang, kepalanya ditutup kopiah kecil, kulit mukanya putih, tangannya mencekal dacin, ialah pesawat timbangan, serta sebuah keranjang bambu, hingga ia mirip seorang pedagang kecil. Mereka ini ambil masing-masing sebuah meja.
“Heran!” kata Wanyen Lieh dalam hati kecilnya. “Tiga orang yang pertama adalah orang-orang yang mungkin berkepandaian tinggi, kenapa kedua orang ini yang mirip orang-orang kalangan rendah, dibahasakan saudara?”

Tengah si putra raja Kim berpikir demikian, di bawah loteng terdengar ringkikan kuda yang disusul sama jeritan kesakitan hebat dari dua orang.
Si pedagang kecil lantas saja tertawa. “Shako, kembali ada orang hendak curi kuda twie-hong-ma’mu!” katanya.Si cebol tertawa. “Itu namanya berbuat sendiri, makan sendiri hasilnya!” dia bilang.
Wanyen Lieh segera melongok ke bawah loteng, tampak dua orang tengah mengoser sambil merintih.
Pengurus dari Cui Sian lauw tertawa, kata dia pada dua orang yang bercelaka itu: “Kamu bangsat-bangsat luar kota, kenapa kamu tidak dengar-dengar dulu namanya Han Samya? Bagus, ini namanya benturkan kepala dato…! Hayo lekas naik ke loteng untuk minta ampun!”
Di bawah loteng itu ada lagi orang-orang yang berbicara, satu antaranya mengatakan: “Kuda Han Samya lihay melebihkan manusia, dua jentilan kakinya cukup untuk dua pencuri ini..! Sedang seorang yang lain bilang, “Mereka datang ke Kee-hin untuk mencuri, sungguh mereka sudah bosan hidup!”
“Rupanya mereka hendak mencuri kuda lalu kena kuda jentil” pikir Wanyen Lieh. Kedua pencuri kuda itu mencoba merayap bangun,mulut mereka masih berkoak-koak beraduh-aduh. Segare suara mereka itu bercampuran sama satu suara baru, ialah tingtong-tingtong seperti besi mengadu dengan batu hinga orang pada memandang ke jurusan dari mana suara itu datang.
Di tikungan jalan besar terlihat munculnya satu orang pengkor yang pakaiannya rombeng dan tangan kirinya memegang sepotong tongkat besi dengan apa dia saban-saban memukul batu-batu yang menggelari jalan besar itu. Maka teranglah ia seorang buta. Sungguh celaka, selagi bercacat di bawah, dia pun bercacat di atas, hingga ia mesti gunai tongkat besinya untuk mencari jalanan untuk sekalian menunjang diri. Sudah begitu, dipundak kanannya ia ada menggendol semacam senjata peranti memburu, yang ujungnya dibanduli seekor macan tutul. Ia mendatangi dengan tindakan dangklak-dingkluk.
Wanyen Lieh menjadi bertambah-tambah heran. “Belum pernah aku dengar orang picak lagi pengkor pandai berburu binatang hutan, malah ia dapat membinasakan seekor harimau…” pikirnya.
Si pengkor merangkap buta ini rupanya telah dengar pembicaraan orang banyak itu. “Bagian anggotanya yang mana yang kena didupak kuda?” dia tanya, suaranya parau.
“Tekukan dengkul kiri,” sahut salah satu pencuri kuda itu.
“Hm!” si buta pendengarkan suaranya, berbareng dengan mana dengan tiba-tiba ia totok pinggangnya si pencuri, hingga dia ini berteriak kesakitan, mana dia berkelit tetapi sudah kasep. Karena kesakitan, dia menjadi pentang mulutnya lebar-lebar, “Hei pengemis bangsat, kau juga hendak main gila sama aku!” Dan ia memburu sambil ulur tangannya untuk meninju.
Kalau tadi ini pencuri sakit kakinya sampai tak dapat digeraki, sekarang denagn tiba-tiba sakitnya itu lenyap, maka setelah datang dekat si buta ia jadi berdiri menjublak. tapi ia pandai berpikir, maka tangannya yang telah diangkat tinggi segera dikasih turun pula, lalu lantas ia memberi hormat samil menjura.
“Terima kasih, Tuan orang pandai,” katanya. “Aku bodoh, untuk kekasaranku barusan, aku mohon diberi maaf.” Segera ia berpaling kepada kawannya dan berkata: “Saudara mari lekas, kau mohon toaya ini tolong obati padamu…”
Dengan meringis-ringis, pencuri itu bertindak denagn susah payah mendekati si buta dan pengkor itu.
“Toaya binatang itu dupak dadaku…” katanya, dengan suara susah.
Si buta pindahkan tongkatnya ke tangan kanan, dengan tangan kirinya ia usapi dadanya pencuri itu, lalu mendadak ia kitik ketiak orang.
Pencuri itu kegelian, ia mencoba menahan karena mana ia jadi tertawa cekikikan. Tiba-tiba ia merasa enak perutnya, lantas ia muntah beberapa kali, mengeluarkan ludah lender. Hampir berbareng denagn itu, lenyap rasa sakit di dadanya itu. Maka lekas-lekas ia jatuhkan diri untuk berkutut untuk manggut-manggut hingga jidatnya berbunyi mengenai batu, mulutnya pun mengecoh: “Oh yaya yang sakti, sungguh….”
Si buta tidak menggubris pencuri itu, ia hanya bertindak memasuki restoran itu, terus mendaki tangga loteng.
“Sungguh hari ini aku sangat beruntung!” kata Wanyen Lieh dalam hatinya. “Diluar dugaanku, aku dapat menemui orang-orang berilmu…”
Sampai di atas loteng, si buta lemparkan macan tutulnya ke lantai. “Jongos, cepat kau urus macan ini!” ia perintahkan. “Tulang-tulangnya kau godok menjadi kuwah yang kental! Hati-hati supaya kulitnya tidak sampai kena terpotong rusak!”
Satu jongos menyahuti, lalu bersama dua kawannya, ia gotong pergi macan tutul itu. Tapi si buta menunjuk kepada Wanyen Lieh seraya ia berkata pada si jongos: “Kau mesti potongi dagingnya barang dua kati, kau suguhkan itu tuan untuk dia mencicipi rasanya…”
“Ya…ya…” sahut si jongos itu.
Wanyen Lieh sendiri menjadi sangat terkejut. “Kenapa ia dapat melihat aku? Apakah dia bukan buta benar-benar?” dia berakta di dalam hatinya.
Ketika itu semua orang yang telah datang terlebih dahulu, yang tengah duduk lantas bangkit bangun.
“Toako!” mereka berseru. Lalu si nelayan wanita bertindak ke meja nomor satu di sebelah timur, berdiri di samping kursi, ia tepuk-tepuk kursi itu seraya berkata: “Toako, di sini kursimu!”
“Baik!” menyahuti si buta itu. “Apakah jietee masih belum sampai?”
“Jieko sudah tiba di Kee-hin, sekarang sudah waktunya ia sampai disini” sahut orang yang potongannya seperti pembantai itu.
Sembari berbicara, si buta bertindak ke mejanya. di mana ia duduk di kursi yang ditepuk-tepuk oleh si nona nelayan.
Menyaksikan perbuatan si nona, mengertilah Wanyen Lieh bahwa si buta benar-benar tak dapat melihat. Rupanya ia membutuhkan suara apa-apa untuk ketahui ke mana ia mesti pergi.
Segera putra raja Kim itu ambil keputusannya untuk ikat perkenalan dan persahabatan dengan orang-orang kangkouw yang aneh ini. Ia pun segera berbangkit dari kursinya. Hanya tepat ia hendak bertindak, guna hampiri si buta, guna hanturkan terima kasihnya, untuk daging yang dibagikan kepadanya – yang mana ada alasan bagus sekali untuk berkenalan – tiba-tiba ia dengar tindakan kaki yang bersepatu kulit di undakan tangga loteng. Tindakan itu ada seperti separuh diseret. Ia menjadi heran pula, maka ia lantas berbalik dan memandang.
Yang pertama muncul di mulut tangga loteng adalah sehelai kipas kertas minyak yang gagangnya dekil, kipas itu dikipaskan beberapa kali, habis itu menyusul munculnnya satu kepala orang yang digoyang-goyang, ialah kepalanya satu mahasiswa melarat. dan Wanyen Lieh segera kenali orang yang tadi ia ketemui di waktu lenyap uangnya.
“Mungkin dia inilah yang curi uangku…” ia menerka-nerka. Hatinya lantas menjadi panas. Justru begitu, si mahasiswa itu mengawasi ke arahnya, bibirnya tersungging senyum, mukanya bertekukan menggoda, setelah mana ia menegur semua orang yang telah hadir di situ.
Dia benar-benar yang dimaksudkan si jietee atau jieko, saudara yang kedua.“Semua mereka lihay, bentrok dengan mereka tiada untungnya,” Wanyen Lieh berpikir. “Baiklah aku lihat gelagat dulu…” Maka ia berdiam terus.
Si mahasiswa sudah lantas tenggak araknya, lalu menggoyang-goyang pula kepalanya, dari mulutnya keluar suara yang bersenandung: “Uang tidak halal….. lepaskan dia….Thian yang maha kuasa…umbar adatnya!”


Bab 4. Mengadu Kepandaian

Sembari bernyanyi si mahasiswa melarat ini meragoh sakunya, berulang-ulang, dan setiap kali ia menarik keluar tangannya, jeriji-jeriji tangannya tentu ada menjepit potongan-potongan uang perak sampai jumlahnya semua belasan potong, baharu berhentilah ia merogoh sakunya.
Meluap hawa amarahnya Wanyen Lieh akan melihat uang perak itu yang ia kenali adalah kepunyaannya yang hilang lenyap itu, akan tetapi ia mencoba sebisa-bisanya untuk mengatasi dirinya, sebab berbareng dengan itu, ia heran tidak kepalang.“Dia Cuma tepuk pundakku dengan kipasnya, mengapa ia bisa curi uangku?” demikian ia berpikir tak habis herannya. “Sungguh kepandaian yang lihay……..”
Si nona nelayan tertawa bergelak melihat uang sebanyak itu. “Jiko, hari ini kau beruntung!” serunya. “Tidak tahu siapa yang apes malang….”
Si mahasiswa melarat itu pun tertawa. “Citmoay, aku ada punya semacam tabiat buruk yang kau telah ketahui!” katanya.

“Oh, aku tahu!” sahut si nona. “Kembali mengenai negeri Kim, bukankah?”Mahasiswa itu mengipasi uang di depannya dengan tak hentinya. “Uang orang bangsa asing ada sedikit berbau tetapi uang itu masih dapat digunai!” katanya. Mendengar itu semua kawannya itu tertawa terbahak-bahak.
Wanyen Lieh heran bukan kepalang. “Aku menyamar sebagai orang Han, mirip sekali, cara bagaimana ia masih mengenali aku?” dia tanya dirinya sendiri. Lantas dia gapekan pelayan untuk bisiki padanya: “Semua tuan-tuan ini akulah yang undang berjamu…” Dia pun lantas keluarkan dua potong emas, yang ia letaki di atas meja. “Dan kau bawa dulu kepada kuasamu, untuk dititipkan!” katanya pula.
Si buta tidak awas matanya akan tetapi kupingnya jeli luar biasa, tidak peduli orang berbisik, dan jarak mereka jauh pula, ia dapat mendengarnya, maka dengan itu lantas ia serukan kepada sudara-saudaranya. “Saudara-saudara ada orang yang mentraktir kita, maka kamu dahar dan minumlah dengan puas!”
Si mahasiswa menoleh kepada Wanyen Lieh, matanya menyapu, lalu ia mengangguk-angguk, akan tetapi sembari tertawa, ia bertanya pula: “Mana si wanita baik-baik yang kau perdayakan?”
Wanyen Lieh sudah putuskan untuk tidak menimbulkan kerewelan, ia lantas berpaling ke lain jurusan, ia berpura-pura tidak mendengar pertanyaan itu. Walaupun demikian hatinya tetapi berkerja. Di situ ada sembilan buah meja, sekarang baharu datang tujuh orang, dari itu masih lebih dua meja yang masih kosong. Siapa lagi dua tetamu itu? Bukankah tujuh orang yang bakal jadi tuan rumah?
Sampai itu waktu, barang hidangan masih belum disajikan, baharu arak saja yang dikeluarkan, maka tujuh orang itu Cuma tenggak air kata-kata.
Tengah putra raja ini berpikir, ia dengar datangnya suara memuji dari bawah loteng: “Amitabha Buddha!” Suara itu sangat jernih dan tedas, nyata terdengar hingga ke atas loteng.
“Nah, Ciauw Bok Taysu tiba!” seru si buta yang terus berbangkit, perbuatan mana diikuti oleh enam kawannya: Dengan sikap menghormati mereka berdiri untuk menyambut orang yang baharu tiba itu, yang baharu suaranya terdengar.
“Ambithaba Buddha!” kembali terdengar pujian, dan sekarang itu disusul sama munculnya satu tubuh kurus kering bagaikan pohon mampus, tetapi yang tindakannya cepat pesat seperti ia tidak menginjak lantai.
Wanyen Lieh melihat satu pendeta usia empat puluh lebih, yang berkerebong jubah kasee merah dengan lapis dalamnya jubah kuning, sedang tangannya memegang sepotong kayu, yang ujungnya telah hitam bekas terbakar. Tak tahu ia apa faedahnya puntung kayu itu.
Pendeta itu dan tujuh saudara tersebut saling memberi hormat dan saling menegur, habis itu si mahasiswa melarat pun pimpin tetamunya ke sebuah meja yang kosong untuk silahkan ia duduk.
Si hweshio menjura, dia berkata: “ Orang itu telah datang menyatroni, siauwceng merasa bahwa siauwceng bukanlah tandingannya, maka itu siauwceng bersyukur yang liat-wie telah sudi membantu. Budi yang besar ini, walaupun tubuhku hancur lebur, tak dapat siauwceng membalasnya.”
Pendeta itu ialah Ciauw Bok Taysu, merendahkan diri. Ia menyebutkan dirinya “siauwceng” si pendeta yang kecil rendah.
“Harap kau tidak sungkan, Ciauw Bok Taysu,” berkata si buta. “Kami tujuh bersaudara pun berterima kasih kepadamu yang biasa melimpahkan kebaikan terhadap kami. Tentang orang itu, dia memang sangat aguli kepandaiannya, tanpa sebab tanpa alasan, dia mencari gara-gara terhadap taysu. Dengan perbuatannya itu, mana dia pandang mata lagi kaum Rimba Persilatan di Kanglam ini? Karena kejumawaannya itu, meskipun dia tidak musuhkan kau, taysu, kita bersaudara pasti tak mau sudah saja…”
Belum lagi habis suaranya si buta ini, di tangga loteng telah terdengar suara yang sangat berat dan nyaring, seperti ada sesuatu yang mendaki, mungkin itu bukan suara gajah tetapi sedikitnya kerbau…. Menyusul itu pun lantas terdengar suara kaget dari kuasa ciulauw serta jongosnya: “Benda begitu berat mana dapat dibawa naik ke atas…! Eh, lantai loteng nanti kena bikin dobol…! Lekas, lekas cegah dia, jangan kasih dia naik!”
Suara berat itu tapinya terdengar terus, disusul mana patahnya sehelai papan undakan tangga, akan kemudian disusul sama mengerekeknya dua helai papan undakan lainnya.
Bagaikan orang yang matanya kabur, Wanyen Lieh segera melihat munculnya satu tojin, satu imam yang tangannya menyangga sebuah jambangan perunggu yang besar sekali, yang mana dibawa naik ke loteng sambil imam itu berlompat, hingga dengan begitu – rupanya – tak usah dia bertindak lagi di undakan tangga. Dan untuk kagetnya putra raja Kim ini, ia kenali si imam adalah Tiang Cun Chu Khu Cie Kee atau Tiang Cun Cinjin!
Wanyen Lieh ini mendapat tugas dari ayahnya menjadi utusan bangsa Kim ke Tionggoan, kepada kerajaan Song. Dia pun bercita-cita besar sekali, maka itu dia sudah lantas berhubungan sama menterinya kerajaan Song untuk dijadikan si menteri serta konco-konconya sebagai alat untuk menyambut dari dalam bila sudah waktunya ia turun tangan. Utusan Song yang datang dari Yankhia menemani dia sepanjangn jalan, Ong To Kian, karena keserakahannya sudah terima sogokan besar dan berjanji suka bekerja sama, utusannya ini telah rela akan menakluk dan menjadi hambanya kerajaan Kim.
Dan menteri yang bekerjasama dengan Wanyen Lieh adalah Perdana Menteri Han To Cu. Girang sekali ini putra raja Kim menampak ikhtiarnya telah berjalan baik sekali. Hanya kemudian ia menjadi sangat kaget akan mendapatkan Ong To Kian mati terbunuh secara gelap, kepalanya hilang berikut hati dan jantungnya. Han To Cu juga kaget dan ketakutan karenanya, dia khawatir sekali rahasianya nanti bocor. Oleh karena ini, untuk menjaga diri turun tangan terlebih dahulu, ingin ia merubuhkan menteri atau panglima yang paling keras kepala hendak melawan negara Kim. Yang pertama ia ingin singkirkan adalah Sien Kee Ci, Kepala dari Cip-eng-thian dan pengurus Ciong-yu-koan. Sebenarnya menteri ini tidak berkuasa atas pemerintahan, ia hanya pandai silat dan surat berbareng dan kesetiaannya terhadap negara adalah luar biasa, dia sangat mengharap dapat membangun pula kerjaan Song hingga menjadi jaya seperti semula, sedang rakyat umumnya mengandal padanya. Kalau Han To Cu anggap paling baik mengirim orang untuk membunuh menteri itu, adalah Wanyen Lieh menghendaki menawan terlebih dulu pembunuhnya Ong To Kian, guna mengompes dia, kalau mendapat tahu siapa yang menitahkan dia melakukan pembunuhan yang hebat itu. Wanyen Lieh tahu, tidak dapat ia mengandal saja kepada pihak Song, dari itu ia tugaskan enam atau tujuh pengawal pribadinya dari Lim-an. Rombongan ini dapat menyandak Khu Cie Kee di Gu-kee-cun, hanya apa lacur mereka menghadapi musuh yang terlalu tangguh untuk mereka. Wanyen Lieh sendiri belum sampai turun tangan atau pundaknya telah terkena panah, hampir ia tak dapat lolos seperti orang-orangnya, syukur ia ditolong oleh Pauw Sek Yok. Ia lari ke istananya Han To Cu, untuk sembunyikan diri sambil berobat. Sementara itu, ia lantas tak dapat melupai Pauw-sie, yang ia anggap cantik dan manis, meskipun sebagai putra raja, ia telah melihat banyak wanita elok. Setelah sembuh dari lukanya, ia perintahkan orang untuk selidiki tentang Pauw-sie itu, sesudah itu, ia minta Han To Cu mengirim orang untuk menawan Yo Tiat Sim dan Kwee Siauw Thian, sedang ia sendiri menyamar sebagi orang baik-baik sebagai penolong nyonya yang ia gilai itu. Pauw-sie tidak tahu akal muslihat orang, ia menyangka pemuda itu bermaksud baik, suka ia mengikuti, maka di luar tahunya sendiri, dia telah jatuh ke dalam genggaman putra raja Kim itu.Demikian Wanyen Lieh, bukan main kagetnya ia akan tengok Khu Cie Kee, sampai ia tak dapat menguasai dirinya lagi, tanpa merasa ia membuatnya terlepas dan jatuh sepasang sumpit yang ia lagi pegang. Syukur untuknya Khu Cie Kee tidak kenali padanya, sebab tempo ia diserang dengan panah, ia belum terlihat nyata, dia sudah lantas jatuh terguling, dan sekarang, imam itu lagi menghadapi Ciauw Bok Taysu serta tujuh orang luar biasa itu, ia tidak perhatikan putra raja itu.
Lega juga hatinya Wanyen Lieh apabila selang sekian lama ia dapatkan itu imam tidak perhatikan padanya, pikirnya orang itu telah tidak kenali dia. Hanya dilain pihak, ia terkejut bukan main apabila ia sudah kenali jambangan perunggu yang dibawa-bawa si imam itu. Itu bukan jambangan biasa hanya tempat pembakaran kertas emas dalam kuil, yang beratnya tiga atau empat ratus kati, yang sekarang diisikan penuh dengan arak, hingga beratnya bertambah, melainkan di tangan si imam, nampaknya enteng sekali, imam ini seperti tidak menggunai tenaga. Akan tetapi, setiap kali si imam bertindak, tentu lantai loteng perdengarkan suara meletek nyaring, suatu bukti dari beratnya jambangan itu, sedang dibawah loteng, orang ribut ketakutan dan pada lari keluar, ke jalan besar, tak terkecuali si kuasa restoran, jongos-jongos dan koki-koki. Semua mereka itu khawatir loteng ambruk dan mereka nanti ketimpa.
“Benar-benar toheng telah dapat mencari siauwceng hingga ke mari!” terdengar suaranya Ciauw Bok Taysu keras tetapi dingin. “Sekarang mari siauwceng perkenalkan dahulu kau dengan Kanglam Cit Koay!”
Khu Cie Kee menjura membungkuk tubuh. “Barusan pinto berkunjung ke kuil taysu,” ia berkata , “Disana ada pesan untukku, katanya taysu undang pinto datang ke Cui Sian Lauw ini untuk membuat pertemuan. Dengan lantas pinto meikir-mikir, mungkin taysu mengundang sahabat-sahabat, buktinya benarlah dugaan pinto itu. Sudah lama pinto dengar nama besar dari Kanglam Cit Koay, sekarang kita dapat bertemu, sungguh pinto merasa sangat beruntung! Nayatalah pengharapanku seumur hidup telah kesampaian.”
Ciauw Bok Taysu tidak menjawab si imam, hanya berpaling kepada tujuh kawannya yang ia sebutkan Kanglam Cit Koay itu – Tujuh Manusia aneh dari kanglam – dan menunjuk kepada si imam, ia memperkenalkan: “ Ini dia Totiang Tiang Cun Cu Khu Cie Kee yang tuan-tuang telah lama kagumi nama besarnya!” Kemudian tanpa tunggu sesuatu dari Kanglam Cit Koay itu seraya menunjuki si buta melanjuti: “Inilah tertua dari Cit Koay, yaitu Hui Thian Pian-hok Kwa Tin Ok. Dan ini ialah….”
Lalu dengan terus-terusan ia perkenalkan enam orang lainnya, selama mana, selama ia menyebutkan setiap nama Khu Cie Kee menjura kepada orang-orang yang diperkenalkan itu.
Selagi orang diajar kenal, Wanyen Lieh memasang kuping dan matanya, ia kerjakan otaknya akan mengingat baik-baik nama Kanglam Cit Koay itu. Selain Kwa Tin Ok yang berjuluk Hui Thian Pian-hok, si Kelelawar Terbangkan Langit, yang kedua ialah si mahasiswa melarat yang mencuri atau mencopet uangnya adalah Biauw Ciu Sie-seng Cu Cong, Mahasiswa Tangan Lihay. Orang yang datang paling dulu ke restoran yaitu si kate terokmok yang menunggang kuda jempolan, adalah Ma Ong Sin Han Po Kie atau si Malaikat Raja Kuda. Dia inilah yang tiga. Si orang tani yang membawa-bawa pikulan adalah orang yang keempat, ialah Lam San Ciauw-cu Lam Hie Jin atau si Tukang Kayu dari Lam San (Gunung Selatan). Yang kelima yang tubuhnya kekar tegap mirip sebagai pembantai adalah Siauw Mie To Thio A Seng atau si Buddha Tertawa. Yang keenam adalah orang yang mirip pedagang, namanya Coan Kim Hoat, gelarannya Lauw-sie In Hiap atau Pendekar Sembunyi di Kota. Si nona nelayan adalah Wat Lie Kiam Han Siauw Eng, atau si Ahli Pedang Gadis Wat, ialah yang termuda dari Kanglam Cit Koay.
Selama Ciauw Bok Taysu memperkenalkan, Khu Cie Kee tetap pegangi tempat araknya yang istimewa itu, sama sekali ia ia tak nampak lelah, sedang beberapa orang yang melihat tak terjadi kecelakaan sesuatu, dia-diam mendaki loteng untuk bicara. Katanya: “Kami menonton”
Habis perkenalan itu, Kwa Tin Ok mendahulukan bertujuh saudaranya untuk berbicara, “Sudah lama kami mendengar Totiang lihay ilmu silatnya, baik ilmu silat tangan kosong maupun bersenjatakan pedang, tidak ada tandingannya, hingga kami sangat mengaguminya. Sementara itu, ini Ciauw Bok Taysu juga adalah satu sahabat sejati, maka walaupun totiang berdua ada dari dua golongan yang berbedaan, satu Hud-kauw yang lain To-kauw, tetap kedua-duanya adalah orang-orang Rimba Persilatan. Oleh karena itu, kami tidak tahu, dalam hal apakah Taysu telah berbuat salah terhadap Totiang? Umpama kata Totiang sudi memandang muda kami bertujuh saudara, ingin sekali kami menjadi juru pendamai, supaya perselisihan dapat disingkirkan, untuk kita minum arak bersama. Sudikah kau Totiang?”
“Sebenarnya pinto dengan Ciauw Bok Taysu tidak kenal satu dengan lain dan kita juga tidak punya dendaman dan tidak punya permusuhan,” menyahut Khu Cie Kee, “Oleh karena itu asal Taysu sudi menyerahkan dua orang kepada pinto, pastilah lain hari akan pinto pergi berkunjung ke Hoat Sian Sie untuk menghanturkan maaf.”
“Siapakah orang yang harus diserahkan?” tanya Kwa Tin OK.
“Dua sahabatku,” sahut Tiang Cun Cu, menerangkan. “Mereka telah difitnah dan dicelakai oleh pembesar negeri yang bekerjasama dengan tentera bangsa Kim, tidak beruntung untuk mereka, mereka telah mendapatkan kebinasaannya hingga mereka mesti meninggalkan janda mereka yang tidak ada lagi sanderannya, hingga mereka mesti hidup sengsara sebatang kara. Lihat, Kwa Tayhiap, pantas atau tidak permintaan pinto ini?”
“Jangan kata mereka adalah jandanya sahabat-sahabat totiang,” sahut si buta, “Walaupun mereka adalah orang-orang yang tidak dikenal, asal kami ketahui perkaranya itu, pasti kami akan bekerja sekuat tenaga untuk menolongi mereka, Untuk itu kami tak bakal menampik lagi.”
“Jelas!” seru si imam. “Sekarang ini pinto menghendaki Ciauw Bok taysu menyerahkan itu dua orang wanita yang bersengsara dan harus dikasihani itu!”
Mendengar itu bukan hanya Kanglam Cit Koay yang heran melainkan juga Wanyen Lieh si putra raja Kim itu.
“Mustahilkah dia bukannya menyebutkan istri-istrinya Yo Tiat Sim dan Kwee Siauw Thian atau wanita yang lain?” berpikir putra raja asing ini.
Mukanya Ciauw Bok taysu menjadi kuning pucat, tak dapat ia membuka mulut. “Kau…kau…ngaco belo!” serunya kemudian.
Khu Cie Kee menjadi gusar. “Kau juga orang Rimba Persilatan yang kenamaan, bagaimana kau berani melakukan kejahatan semacam ini?” ia menegur dengan bengis. Lantas ia ayun tangan kanannya, hingga tempat pembakaran kertas perunggu itu yang beratnya ratusan kati terbang menyambar ke kepalanya si pendeta.
Semua orang menjadi kaget, mereka yang tadinya datang menonton dengan diam-diam pada lari mundur hingga mereka saling tabrak dan terguling jatuh ke tangga loteng.
Di antara Kanglam Cit Koay adalah Tio A Seng yang tenaganya paling besar, percaya ia sanggup menanggapi jambangan itu, ia lantas lompat ke depannya Ciauw Bok Taysu, untuk mendahului jambangan itu yang terus ia sambuti dengan kedua tangannya sambil berbuat mana ia berseru: “Bagus!” Akan tetapi dia mesti pasang kuda-kuda teguh sekali, sedang lantai loteng tak demikian kuat, maka dengan menerbitkan suara kaki kirinya melesak mendam, hingga orang-orang di bawah loteng menjadi kaget dan semuanya menjerit.
Di dalam saat yang berbahaya itu karena kakinya bisa kejeblos terus, lekas-lekas Thio A Seng kerahkan tenaganya, untuk ayun balik jambangan itu ke arah Tiang Cun Cu. Itulah gerakan “Twie chong bong goat” – “Menolak daun jendela untuk memandangi si putri malam”.
Khu Cie Kee ulur tangan kanannya, dengan tenang ia menyambuti. “Kanglam Cit Koay bukan bernama kosong saja!” ia memuji sambil tertawa. Ia tapinya tertawa sebentar, segera wajahnya menjadi bermuram pula. Kembali ia pandang si pendeta dan membentak dengan pertanyaan: “Bagaimana denagn dua wanita yang bercelaka itu? Hai, pendeta jahanam, jikalau kau ganggu selembar saja rambut mereka itu, akan aku patah-patahkan hingga menjadi abu semua tulang-tulangmu dan akan bakar musnah hingga menjadi tanah putih kau punya kuil Hoat Hoa Sian Sien itu!”

Cu Cong tidak lantas dapat mempercayai kata-kata imam itu. “Ciauw Bok Taysu adalah satu pendeta beribadat,” katanya sambil tangannya mengipas-ngipas dan kepalanya di geleng-geleng. “Cara bagaimana dia dapat melakukan perbuatan sekeji itu? Totiang, mestinya kau telah keliru dengar omongannya segala manusia rendah! Itu ngaco belo, pasti tak dapat dipercaya!”Khu Cie Kee menjadi mendongkol. “Pinto menyaksikan itu dengan mataku sendiri, bagaimana bisa jadi dusta?!” dia berkata.
Kanglam Cit Koay melengak semuanya.
“Taruh kata benar kau sengaja datang ke Kanglam ini buat untuk angkat namamu,” akhirnya Ciauw Bok Taysu dapat buka mulutnya, “Kenapa untuk itu kau mesti menodai nama baikku?
Kau…kau…kau pergilah ke seluruh kota Kee-hin untuk menyelidiki! Mana bisa aku, Ciauw Bok Taysu, melakukan perbuatan semacam itu?!”Cie Kee tertawa mengejek. “Bagus betul yah!” katanya dingin, “Kau telah undang banyak kawan, kau memikir menggunai jumlah yang banyak untuk mendapatkan kemenangan! Tidak, hari ini tidak nanti aku beri kau lolos!”
“Sabar Totiang!” Kwa Tin Ok memotong. “Totiang menuduh Taysu menyembunyikan kedua nyonya itu, Taysu sebaliknya menyangkal, inilah sulit. Mari kita bersama pergi ke Hoat Hoa Sian Sie, untuk melihat sendiri guna buktikan siapa sebenarnya yang benar, siapa yang salah! Mataku menang tidak dapat melihat akan tetapi orang-orang di sini tidak buta semuanya“
Cu Cong berenam memberikan persetujuan mereka.
“Apa? Menggeledah kuil?” kata Khu Cie Kee dengan tawar. “Pinto sudah menggeledahnya di luar dan di dalam, sampai beberapa kali, tetapi walaupun pinto melihatnya dengan mataku sendiri kedua nyonya itu masuk ke situ, buktinya mereka tidak kedapatan, hingga pinto habis daya! Tidak ada jalan lain daripada si pendeta serahkan mereka itu!”
“Jadinya dua wanita itu bukannya manusia!” berkata Cu Cong.
Khu Cie Kee melengak. “Apa” katanya.
Dengan sikapnya yang wajar, Cu Cong menyahuti: “Mereka itu ada bangsa dewi, jikalau mereka bukannya menghilang tentunya mereka sudah menyingkir dengan ilmu pinjam tanah!”

Mendengar ini mau tidak mau, semua orang tersenyum.Imam itu menjadi gusur. “Bagus! Kamu permainkan aku!” dia berseru. “Kanglam Cit Koay pasti membantu pihak si pendeta, bukankah?”
Kwa Tin Ok jawab imam itu; “Kami tidak punya kepandaian sesuatu apa juga akan tetapi untuk Kanglam ini nama kami terkenal juga sedikit. Mereka ynag kenal kami semua dapat mengatakan sepatah kata: ‘Walaupun Kanglam Cit Koay sedan-edanan lagak lagunya, mereka bukannya manusia-manusia yang takut mampus.’ Kamu tidak berani menghina orang lain tetapi kami juga tak dapat mengijinkan orang lain perhina kami!”
Khu Cie Kee tidak ingin layani tujuh orang aneh dari Kanglam itu. “Perkaraku dengan si pendeta, biarlah aku yang bereskan sendiri!” katanya kemudian. “Maafkan pinto, tidak dapat pinto temani kau lebih lama! Eh, pendeta, mari pergi!”
Ia pun ulur sebelah tangannya, dengan niatan menarik si pengikut Buddha itu.
Ciauw Bok Taysu paham ilmu dalam Hoat Hoa Lam Cong, begitu ia kasih turun lengannya, ia lolos dari cekalan si pendeta.
Ma Ong Sin Ho Po Kie bertabiat aseran, tak senang ia menampak orang mulai gunai kekerasan.
“Sebenarnya kau hendak gunai aturan atau tidak?” dia tegur si imam.
“Habis bagaimana, Han Samya?” imam itu membalik bertanya.
“Kami percaya habis Ciauw Bok Taysu, satu kali dia bilang tidak, pasti tidak!“ kata Cit Koay yang ketiga itu. “Seorang laki-laki sejati kangouw, mana ia dapat bicara dusta?!”
Cie Kee nampaknya habis sabarnya. “Pinto cari pendeta ini, itulah sudah pasti!” dia berkata. “Tuan-tuan bertujuh hendak campur tangan urusan ini, telah pastikah itu?”
“Tidak salah!” sahut Cit Koay serempak.
“Baik!” seru si imam. “Sekarang aku hendak memberi selamat kepada Tuan bertujuh dengan seorang satu cawan arak, habis minum barulah Tuan-tuan geraki tanganmu!”
Habis berkata, imam ini kasih turun tangannya yang memegang jambangan arak itu, dengan mulutnya sendiri, ia hirup arak satu ceglukan.
“Silahkan!” katanya habis menengak. Sembari berbuat begitu, ia ayun tangannya kepada Siauw Mie To Thio A Seng.
Si Buddha tertawa sudah lantas berpikir.
“Jikalau aku sambuti jambangan seperti tadi, dengan dipegang dan diangkat di atasan kepalaku, cara bagaimanaaku dapat meminumnya?” demikian katanya dalam hati kecilnya. Meski begitu ia sudah lantas mundur dua tindak, kedua tangannyaditaruh di depan dadanya. Tepat ketika jambangan menyambar ke dadanya, ia pentang kedua tangannya itu. Ia bertubuh terokmok, dadanya itu penuh dengan daging yang lembek, tetapi tempo jambangan itu sampai, ia kerahkan tenata dalamnya, untuk sambut jambangan dengan kedua dadanya itu, berbareng dengan mana kedua tangannya bergerak untuk memeluk jambangan. Adalah disaat ini dengan sebat ia tunduk, mulutnya dikasih masuk ke dalam jambangan, menghirup arak di dalamnya!
“Oh, arak yang harum!” dia memuji. Dengan cepat ia lepaskan pelukannya, ia pindahkan kedua tangannya ke bawah jambangan untuk dipakai menampa, sesudah mana berbareng dia menolak dengan dadanya, kedua tangannya menolak juga dengan gerakannya, “Sia ciang ie san” atau “Sepasang tangan memindahkan bukit”. Maka melesatlah jambangan itu ke arah Khu Cie Kee. Tenaga yang dikerahkan itu bukan kepalang besarnya.
Wanyen Lieh menyaksikam itu dengan kekaguman dan terkejut juga. Ia telah menyaksikan suatu gerakan tenaga dalam dari Gwa-kee, ahli luar yang lihay sekali.
Khu Cie Kee dengan tenang sambuti pulang jambangannya itu dan ia menghirup pula.
“Sekarang aku hormati Kwa Toako dengan satu jambangan!” ia berkata pula, berbareng dengan mana jambanganarak itu dilemparkan ke arah si buta.
Wanyen Lieh heran dan berkhawatir pula, tapi juga keras keinginan tahunya. “Cara bagaimana dia dapat menyambutnya?” ia berpikir. “Sudah buta ia pun pincang….”
Kwa Tin Ok ada tertua Kanglam Cit Koay, pasti ada punya kepandaian yang istimewa. Sekalipun senjata rahasia, ia dapat dengar suara sambarannya dan tahu tepat arahnya, apapula sebuah jambangan yang besar yang anginnya seperti menderu-deru. Diwaktu jambangan dilemparkan kepadanya, ia tetap duduk tetap dan tenang seperti juga ia tidak mengetahuinya.
Wanyen Lieh berkhawatir sehingga hampir ia berseru sendirinya.
Tepat ketika jambangan sampai, Kwa Tin Ok sambut itu dengan tongkat besinya, yang ia pakai menanggapi dasarnya jambangan itu, hingga jambangan jadi duduk di ujung tongkat, duduk sambil berputaran seperti tukang dangsu tengah mengasi pertunjukan. Satu kali tongkat itu miring, jambangannya turut miring juga. Hebat kalau jembangan jatuh dan menimpah batok kepalanya si buta ini. Tapi jambangan tetap tinggal miring, adalah araknya yang lantas meluncur keluar seperti pancuran, atas mana Kwa Tin Ok buka mulutnya akan menanggapi. Maka dengangitulah ia menengak arak, sampai belasan cegluk. Sesudah ini ia geraki pula tongkatnya, membuat jambangan itu berdiri tetap lagi, hanya sekarang ia tidak lagi menunda seperti tadi, tiba-tiba ia angkat naik tongkatnya dengan kaget, sampai jambangan seperti mumbul, menyusul mana tongkat itu diputar, dipakai menolak tubuh jambangan, sampai terdengar satu suara nyaring, berbareng dengan mana jambangan itu bertolak balik kepada Khu Cie Kee. Selagi melayang jambangan itu masih mengasi dengar suara menguwang.
Tiang Cun Cu tunjuki jempolnya, ia tertawa.
“Diwaktu mudanya pasti Kwa Toako gemar main putaran nenempan!” kata ia. Sembari bicara, ia sambut jambangan araknya itu.“Diwaktu kecil, Siauwtee melarat, maka kepandaian ini dipakai modal mengemis nasi,” sahut Tin Ok dingin.
“Tentang seorang gagah tidak ditanya asal usulnya,” berkata si imam. “Sekarang hendak aku menyuguhkan Lam Sieko sejambangan arak!” Ia lantas menghirup pula satu segluk, setelah mana jambangan itu ia lemparkan ke arah Lam Hie Jin.
Lam San Ciauw-cu si Tukang kayu dari Gunung Selatang ada pendiam tak doyan berbicara, pada wajahnya tak tertera rasa girang atau murka, semikian juga kali nini, sikapnya tenang dan wajar, kapan jambangan itu tiba kepadanya, ia angkat kayu pikulannya untuk menahan itu sebelum jambangan turun. Kapan kayu pikulan dan jambangan beradu, keduanya menerbitkan suara yang keras dan nyaring. Kayu pikulan itu ternyata bukannya kayu melainkan sebangsa logam, yang terbuat dari campuran hancuran tungsten, emas hitam dan baja pilihan, karenanya mejadi berat dan kuat luar biasa. Begitu terbentur pikulan logam itu, jambangan berhenti menyambar, lalu turun ke bawah akan tetapi belum lagi tempat arak istimewa itu jatuh ke lantai, Hie Jin sudah sambar araknya dengan tangannya untuk disendok dan dihirup. Jambangan itu tertahan pikulan dan terduduk di dengkulnya orang aneh yang keempat ini, yang sudah lantas tekuk sebelah lututnya yang kiri. Habis itu, dengan dibantu tangan kanan, jambangan itu diangkat, siap untuk dilemparkan pulang!
Belum lagi jambangan dikasih melayang pergi, terdengarlah tertawanya Lauw-sie In Hiap Coan Kim Hoat, yang terus berkata: “Aku si pedagang kecil suka sekali mendapat keuntungan oleh karenanya ingin aku tanpa menggunai banyak tenaga untuk turut minum arak!” Ia segera menghampiri Lam Hie Jin, yang telah kasih turun jambangan di tangannya, maka itu dengan sekali sendok saja, si Pendekar Sembunyai di kota sudah turut mencicipi arak itu. Tapi ia tidak berlaku ayal. Dengan cepat ia pasang kuda-kudanya, ia kerahkan tenaganya, maka dilain saat jambangan itu sudah terangkat naik dan terlempar terapung kearah Khu Cie Kee.
“Bagus! Bagus!” Biauw Ciu Sie-seng Cu Cong memuji seraja ia goyang-goyang kipasnya.
Tiang Cun Cu sambuti jambangannya itu, kembali ia mencegluk araknya. “Bagus! Bagus!” ia pun turut memuji. “Sekarang pinto hendak menyuguhkan kepada Cu Jieko!”
Belum lagi jambangan itu dilemparkan, Cu Cong sudah berjingkrak bangun. “Ayo! Tak dapat!” dia berseru. “Jangan! Aku si mahasiswa cilik tak punya tenaga kekuatan untuk kata meringkus ayam, perutku tak dapat memuat segantang arak, maka jikalau aku disuguhkan, umpama kata aku tidak mampus ketindihan, mungkin aku bakal mati karena mabuk…”
Akan tetapi sia-sia saja ia unjuk roman ketakutan seperti kalap itu, jambangan sudah lantas terbang melayang kearahnya.

“Tolong! Tolong!” dia berteriak-teriak selagi jambangan itu mengancam padanya. “Orang bakal mampus ketindihan! Tolong!” Di mulut ia mengoceh tidak karuan, kipasnya tapinya ia pakai untuk mencelup ke dalam jambangan, untuk sendok araknya untuk bawa itu arak ke dalam mulutnya, kemudian dengan gagang kipas, dia segera menahan turunnya jambangan itu, yang dia barengi tolak pergi.“Brak!” demikian satu suara nyaring, dan lantai papan pecah bolong, membuatnya satu lobang besar ke dalam mana tubuh si mahasiswa terjeblos masuk di waktu mana terdengar jeritannya berulang-ulang: “Tolong! Tolong!”
Selagi jambangan mental balik, hampir tiba dimulut jendela, Wan Lie Kiam Han Siauw Eng telah lompat menyusul. Nona ini dengan tiba-tiba menjejak dengan kaki kanannya, tubuhnya lantas mencelat ke arah jendela, gerakkannya bagaikan burung walet menyambar air; ketika ia berada di atas jambangan, kepalanya ditunduki ke dalam jambangan itu, mulutnya lantas menyedot arak. Berbareng dengan itu kakinya sudah lantas menginjak palang jendela. Lincah gerakannya itu, manis dipandangnya.
Ahli pedang Gadis Wat lihay ilmu pedangnya, enteng tubuhnya tetapi ia kurang tenaga, maka itu, cacat itu ditambal dengan kelincahan dan kecerdikannya. Ia insaf, kalau jambangan berat itu ditimpuki kepadanya – gilirannya memang bakal tiba – tidak nanti ia sanggup menganggapnya, maka itu ia gunai ketika yang baik ini untuk menengak arak tanpa tunggu Khu Cie Kee menyuguhkan kepadanya. Akal cerdik semacam ini tadi pun telah digunai oleh Coan Kim Hoat, Cuma Lauw-sie In Hiap menambahkan itu dengan memulangkan jambangan kepada Khu Cie Kee.
Jambangan itu tidak ada yang tahan, maka ia melintasi jendela, terus melayang turun ke luar, ke bawah loteng. Semua orang terkejut, si imam sendiri tak terkecuali. Kalau jambangan itu jatuh ke bawah loteng, pasti ada orang yang bakal tertimpa dan menjadi korban.
Berbareng kaget, Tiang Cun Cu berniat lompat, akan mendahului jambangan itu, guna mundurkan semua orang untuk mencegah kecelakaan yang tak dikehendaki itu.Justru ia baru memikir, tapi kupingnya sudah dengar seruan keras tapi halus nadanya: “Sian-cay!” Itu adalah suatu pujinya seorang penganut Buddha.
Berbareng dengan puji itu tubuhnya Ciauw Bok Taysu lompat melecat menyusuli jambangan itu. Pendeta ini sangat beribadat dan murah hatinya, sekarang ia gunai hasil latihannya beberapa puluh tahun, untuk korbankan diri, guna menolong siapa yang dapat ditolong dari bencana ketimpa jambangan itu. Untuk itu ia perlu mendahului jambangan, karena untuk mencegahnya dengan menahan, tak sanggup ia melakukannya.
Baru pendeta itu melewati jendela, lain orang telah dalui ia. Itulah seorang dengan baju kuning yang sembari melompat, telah perdengarkan satu suara bersiul.
Mendengar siulan itu, kuda kuning di bawah loteng lantas saja lari ke jalan besar di betulan mulut jendela loteng itu.
Semua mata segera diarahkan ke mulut loteng. Maka itu mereka dapat lihat benda bagai segumpal daging yang seperti bentrok dengan jambangan, lalu keduanya jatuh miring dengan berbareng, hingga tenaga turunnya menjadi berkurang. Tepat sekali keduanya jatuh di bebokong kuda yang lalu lari beberapa tindak, lalu kembali untuk terus lari masuk ke dalam ciaulauw dan mendaki loteng!
Selagi kuda itu beraksi, Ma Ong Sin Han Po Kie, ialah segumpal daging yang tadi telah melayang menyambar jambangan sudah pernahkan dirinya dibawah perut kuda itu, kaki kirinya menyantel pada sanggurdi, kedua tangannya dibantu kaki kanannya menahan jambangan, hingga jambangan itu dapat duduk tetap di atas kuda. Kemudian, sedangnya binatang itu mendaki loteng, Han Po Kie geraki tubuhnya untuk naik sedikit, guna ulur kepalanya ke mulut jambangan, dengan begitu ia jadi bisa berbareng mencicipi juga arak itu. Habis itu, dengan sekali sebat dan cerdik, ia pondong jambangan untuk dikasih turun dari bebokong kuda, guna diletaki di lantai loteng. Ia lakukan itu sembari tertawa, tangannya yang sebelah mengedut les kudanya, atas mana binatang itu sudah lantas lompat lewati jendela untuk turun ke bawah. Ia sendiri masih bercokol terus di bebokong kuda. Maka selang sesaat, dengan bergandengan tangan bersama Cu Cong, sang kakak yang kedua dengan keduanya sambil tertawa, mereka sudah mendaki loteng untuk kembali ke atas loteng!
Wanyen Lieh menyaksikan semua semua itu, ia ulur keluar lidahnya.
Ciauw Bok Taysu juga sudah lantas menyusul naik kembali ke loteng.
Khu Cie Kee tertawa, ia berkata: “Benar-benar Kanglam Cit tersohor bukan nama belaka. Sesuatunya lihay sekali, pinto takluk! Sekarang, dengan memandang Tuan-tuan bertujuh, pinto tidak hendak mempersulit pula kepada si pendeta, cukup asal dia suka menyerahkan itu dua orang perempuan yang malang, yang harus dikasihani…”
“Tiang Cun Cu Totiang, inilah bagianmu yang tidak benar!” Kwa Tin Ok memotong. “Ciauw Bok Taysu ini adalah seorang yang beribadat dari beberpa puluh tahun, dan kuil Hoat Hoa Sin Sie juga adalah berhala kenamaan dalam kota Kee-hin ini, maka itu bagaimana bisa jadi taysu dapat menyembunyikan wanita baik-baik dalam kuil itu?”
“Di kolong langit yang luas itu mesti ada manusia palsu yang menipu duni!” berkata si imam dengan nyaring.
Han Po Kie menjadi gusar. “Dengan kata-katamu ini, Totiang, kau jadinya tidak percaya pada kami?!” tanyanya.
“Aku hanya lebih mempercayai mataku sendiri!” sahut sang imam.
“Habis itu apakah yang totiang kehendaki?” Po Kie tanya pula.
“Urusan sebenarnya tidak ada sangkut pautnya dengan Tuan-tuan bertujuh,” sahut Cie Kee, “Akan tetapi Tuan-tuan tampaknya memaksa hendak mencampuri tahu, dengan begitu teranglah Tuan-tuan terlalu andali kepandaiannya orang-orang lain! Tuan-tuan pinto tolol, tetapi karena tidak ada jalan lain, terpaksa pinto mesti mencoba denganmu untuk menetapkan siapa yang tinggi dan siapa yang rendah. Umpama kata pinto tak dapat melawan, terserah saja kepadaTuan-tuan, apa saja yang kamu hendak perbuat!”
“Jikalau sudah pasti totiang menghendaki demikian, silakan totiang tunjuki caramu!” bilang Kwa Tin Ok.
Cie Kee berdiam sebentar, ia perdengarkan suara perlahan. “Kita berdua sebenarnya tak saling dendam,” dia bilang kemudian. “Pinto juga telah dengar lama yang Tuan-tuan adalah orang-orang yang gagah mulia untuk wilayah Kanglam, oleh karenanya jikalau kita gunai senjata, itu pasti bakal merusak kerukunan. Pinto pikir baik diatur demikian saja…” Lantas ia teriaki si jongos untuk siapkan empatbelas cawan arak yang besar.
Sejak tadi jongos-jongos umpatkan diri di bawah loteng, begitu dipanggil, lantas satu diantaranya muncul dengan belasan cangkir yang diminta itu.
Cie Kee letaki jambangan arak di lantai, lalu satu persatu cawan dia keroboki ke dalam arak itu, untuk isikan penuh semuanya, sesudah itu, empatbelas cawan terisi arak itu diatur dalam dua baris di lantai itu.
“Pinto hendak adu kekuatan minum arak dengan tuan-tuanbertujuh,” katanya kemudian. “Tuan-tuan bertujuh minum satu cawan, pinto sendiri akan minum tujuh cawan. Perjanjian kita ialah sampai habisnya isi jambangan ini, siapa yang tidak sinting, ialah yang menang. Tidakkah cara ini bagus?”
Han Po Kie dan Thi A Seng adalah tukang tenggak susu macan, mereka mendahului menyatakan akur. Akan tetapi Kwa Tin Ok berkata: “ Kami bertujuh melawan satu, umpama kami menang, itu tidaklah cara laki-laki! Totiang, baiklah kau sebutkan lain cara!”
“Cara bagaimana tuan dapat merasa demikian pasti akan memperoleh kemenangan?” Tiang Cun Cu tegaskan.
Wanyen Lieh pun heran sekali. Banyak cara untuk adu pibu, - adu kepandaian – belum pernah ia dengar cara seperti itu. Taruh kata si imam kuat minum tetapi berapakah besar perutnya? Dapatkah satu perutnya melawan perut tujuh orang?
Han Siauw Eng adalah yang termuda diantara Kanglam Cit Koay, ia pun polos dan bersikap jantan, atas perjanjiannya si imam, ia tidak menawar lagi.
“Baiklah!” demikian katanya, “Mari kita adu minum arak dulu! Belum pernah aku mendapati orang yang begitu memandang enteng kepada kami bertujuh, dan inilah yang pertama kali!” Dan tanpa bersangsi lagi, ia jemput satu cawan dan jegluk isinya.

“Nona Han adalah jantannya wanita!” Khu Cie Kee puji nona itu. “Nah, Tuan, Silakan!”Hampir berbareng enam manusia aneh lainnya dari Kanglam itu angkat cawannya masing-masing dan mengiringnya seperti saudara angkat mereka yang bungsu, sedang si imam pun tanpa banyak omong lagi, tenggak kering satu demi satu tujuh cawan bagiannya.
Lalu semua cawan diisi pula, lantas semua itu di cegluk habis!
Setelah cawan yang ketiga, Nona Han Siauw Eng segera merasakan bahwa ia bakal tak sanggup minum terlebih jauh. Ia memang bukan tukang minum.
“Citmoay, mari kau wakilkan kau!” berkata Thio A Seng kepada adik angkatnya yang ketujuh itu, yang ia lihat sudah lelah.
“Khu Totiang, boleh tidak aku diwakilkan?” tanya si nona kepada si imam. Sebagai satu jantan, ia menanyakan dulu pikirannya si imam itu.
“Akur!” jawab Khu Cie Kee. “Siapa juga yang meminumnya sama aja!”
Maka itu, A Seng lantas wakilkan adiknya.
Si imam juga tenggak habis tujuh cawannya.
Kapan hendak dilanjuti giliran yang lain, Coan Kim Hoat tampaknya sudah kewalahan. Khu Cie Kee sebaliknya. Duapuluh cawan telah ditenggak kering, ia masih segar seperti biasa, air mukanya takberubah. Maka heranlah Kim Hoat yang cerdik itu.
“Dengan jebolnya aku dan citmoay, kita tinggalberlima,” ia berpikir. “Kelihatannya untuk mereka minum lagi tiga atau empat cawan, mereka tentu masih sanggup. Dengan si imam, apakah ia masih bisa menghabisi lagi duapuluh cawan?”
Oleh karena ia pikir begini, Kim Hoat percaya pihaknya bakal menang. Tetapi tiba-tiba saja ia terperanjat. Kebetulan ia melihat ke lantai, ia tampak lantai dimana si imam berdiri menjadi basah.
Ia lantas ingat sesuatu, ia segera bisiki Cu Cong, “Jieko, coba lihat kakinya si imam!”Cu Cong memandang ke tempat yang ditunjuki. “Hebat!” ia inipun berbisik. “Ia gunai tenaga dalamnya memaksa arak turun ke kakinya…”
“Benar,” Kim Hoat berbisik pula. “Begini lihay tenaga dalamnya, habis bagaimana?”
Cu Cong jadi berpikir. “Dengan dibantu tenaga dalamnya, lagi seratus cawan dia minum, dia tidak bakal rubuh….” katanya.
Mereka itu sudah keringi pula cawan mereka yang lainnya. Sekarang lantai di kakinya Khu Cie Kee tertampak barang cair mengembang dan mengalir. Lam Hie Jin dan kawan-kawannya dapat lihat itu. Mereka tahu sebabnya itu, mereka kagumi si imam untuk tenaga dalamnya yang sempurna itu.
Han Po Kie letaki cawannya di meja, hendak ia menyerah kalah.
Cu Cong lihat perbuatan adiknya itu, ia lantas mengedipi mata, tangannya sendiri menyambar satu cawan yang besar, untuk di pakai itu menyendok arak.
“Khu Totiang,” ia berkata, “Hebat tenaga dalammu, kami semua sangat mengaguminya, akan tetapi dengan kami berlima melayani kamu, itu rasanya tidak terlalu adil…”
Cie Kee melengak. “Habis Cu Jieko memikir bagaimana?” dia tanya.
Cu Cong si Mahasiswa Tangan Lihay tertawa. “Baiklah aku sendiri yang layani kau, satu lawan satu!” sahutnya.
Cie Kee heran, begitu juga dengan pihak Kanglam Cit Koay. Lima orang sudahke teter, bagaimana dia ini hendak melawan sendirian? Keenam Manusia aneh menjadi heran, meskipun mereka tahu ini saudara yang kedua sangat cerdik dan licin. Mereka berdiam, tetapi mereka duga saudara ini tentu ada akal muslihatnya.
“Kanglam Cit Koay sungguh hebat,” kata Cie Kee kemudian. “Sekarang begini saja. Cu Jieko, kau temani aku minum terus, setelah kandasnya ini jambangan , akan pinto menyerah kalah. Tidakkah ini bagus?”
Arak di dalam jambangan perunggu itu tinggal separuh, meski begitu, isi itu masih banyak, akan tetapi Cu Cong seperti tidak pedulikan itu. Begitulah ia menantang. Ia tertawa ketika ia berkata: “Sebenarnya aku tidak kuat minum akan tetapi tempo tahun lalu aku pesiar ke daerah Selatan, di sana aku pernah menangkan beberapa makhluk yang lihay. Mari keringkan!”
Ia goyang-goyang kipasnya di tangan kanan, ujung bajunya yang kiri pun dikibaskan, dengan sikap wajar itu, ia minum araknya, cawan demi cawan.
Cie Kee turut minum juga. “Apakah itu mahkluk yang lihay?” ia tanya.
“Satu kali aku telah pergi ke India,” sahut Cu Cong. “Di sana putra raja India seret keluar seekor lembu, dia menghendaki aku lawan kerbau itu minum arak yang keras. Kesudahannya akulah yang menang!”
“Cis!” Cie Kee kasih dengar suaranya. Ia tahu orang bicara ngaco, dengan itu dia dicaci sebagai kerbau. Dimana orang berpura-pura edan-edanan, tak dapat ia bergusur.
Ia heran juga menyaksikan orang kuat minum dan sikapnya tenang. Ia telah perhatikan, orang bukannya mengerahkan tenaga dalam, tidak ada arak yang merembas keluar.Hanya rada aneh, perut si Manusia aneh rada melendung.“Mustahilkah perutnya bisa kempas dan bisa kembang, bisa dibuat main?” ia berpikir.
Selagi ia tetap belum mengerti, ia dengar orang berkata-kata pula.“Pada tahun dulu aku telah pergi ke negeri Siam,” kata Cu Cong itu. “Ah, di sini lebih hebat lagi! Raja Siam telah suruh keluarkan seekor gajah putih yang besar, aku disuruh lawan gajah itu minum arak! Binatang dogol itu telah sedot habis tujuh jambangan! Totiang tahu, berapa jambangan aku tenggak habis?”
Tiang Cun Cutahu orang bergurau, hanya orang bicara secara wajar sekali, sikapnya menarik hati. “Berapa jambangan?” dia tanya sekenanya.
Dengan tiba-tiba saja wajah Cu Cong menjadi sungguh-sungguh. “Sembilan jambangan!” katanya, perlahan tetapi mengesankan. Ia tidak tunggu sampai orang membilang atau menunjukkan sesuatu apa, terus ia sambungi dengan nyaring: “Mari minum! Lekas, lekas!”
Lantas setelah itu, ia ngoceh pula, kaki dan tangannya digerak-geraki, saban-saban ia tenggak araknya. Dikatakan mabuk, ia tidak sinting, dikatak gila, ia tidak angot.
Tentu saja, selama itu Khu Cie Kee mesti layani orang minum, hingga akhirnya jambangan arak itu nampak dasarnya!
Imam itu segera tunjuki jempolnya. “Saudara Cu, kau benar satu manusia aneh!” serunya. “Aku menyerah!”
Cu Cong awasi imam itu, ia tertawa. “Totiang minum dengan andalkan tenaga dalam,” katanya. “Aku? Lihatlah!”
Ia tertawa pula, bergelak-gelak lalu dengan sekonyong-konyongia lompat jumpalitan ketika ia telah berdiri pula,tangannya mencekal sebuah tahang air, kapan tahang air itu ia balingkan, bau arak tersiar menyampok hidung!
Orang kedua dari Kanglam Cit Koay sudah perlihatkan kelihayannya. Disitu ia berhadapan dengan orang lihay akan tetapi tidak ada seorang juga yang lihat darimana ia sembatnya tahang air itu! perutnya tinggal kempes, sebab semua arak pindah ke dalam tahang air ini, yang sekian lama disembunyikan di bawah jubahnya yang gerombongan.
Wajahnya Khu Cie Kee menjadi berubah.
Cu Cong pandai mencuri dan mencopet, maka itu ia digelar sebagai Biauw Ciu Sie-seng, si Mahasiswa Tangan Lihay. Dengan”Tangan Lihay” itu diartikan lihay mencopetnya. Kepandaiannya itu menyembunyikan tahang air adalah kepandaian umum di kalangan tukang sulap Tiongkok, suatu ilmu kepandaian turun temurun yang hingga kini telah membuat kagum orang di Eropa dan kepulauan selatan. Mungkin pembaca pernah menyaksikan pertunjukkan sulap semacam itu. Satu kali ia jungkir balik, ditangannya ada sepelas ikan emas, dua kali ia jungkir balik di atas pentes tambah semangkok air tawar, air mana dapat ditambah menjadi banyak. Dan Cu Cong sekarang mengacau matanya Tiang Cun Cu dengan ilmu kepandaiannya itu. Tentu saja si imam tidak menyangka orang bergurau secara demikian, ia jadi kena dipermainkan.
“Ah!” seru si imam kemudian. “Kepandaianmu ini toh tak dapatdibilang orang minum arak?!”
“Kau sendiri, Totiang, apakah kau juga minum arak?”si Manusia aneh membaliki.
“Arakku kumpul di dalam tahang, arakmu kumpul dilantai! Ada apakah perbedaannya?” ia lantas jalan mundar-mandir sampai ia kena injak lantai yang basah dengan araknya Khu Cie Kee, di situ ia terpeleset, tubuhnya rubuh membentur tubuhnya si imam.
Khu Cie Kee segera menyambaruntuk pegangi tubuhnya orang itu.
Setelah dapat berdiri pula, CuCong lompat mundur, terus ia putar tubuhnya, sembari berputaran, mulutnya perdengarkan suara: “Syair yang bagus, syair yang bagus! Sejak jaman purbakala di pertengahan musim rontok…..rembulan gilang gemilang…..Di Waktu tibanya angin yang sejuk…malam yang jernih terang……..Suatu hari…….udara membuatnya. Jalan susu bagaikan tenggelam….Ikan dan naga diempat penjuru lautan…….mentereng seperti siluman air………”
Panjang nada syairnya. Khu Cie Kee heran hingga ia melengak.
“Itulah syairku yang kutulis di harian Tiong Ciu tahun yang lalu, yang masih belum selesai,” katanya di dalam hatinya. “Syair itu aku simpan, niatku adalah untuk nanti meyambunginya, belum pernah aku perlihatkan orang syairku itu, mengapa sekarang ia dapat mengetahuinya….?”
Lantas ia merogoh ke sakunya, untuk cari syairnya itu, tapi ia melengak pula. Tak ada syair itu didalam sakunya itu!
Cu Cong seperti tidak ambil mumat orang terheran-heran, ia membeber kertas di atas meja. Itulah kertas bermuatkan syair yang baru ia bacakan.
“Totiang lihay ilmu silatnya, tidak kusangka, kau juga pandai ilmu surat!” katanya memuji, “Sungguh aku kagum….!”
“Bagus!” seru Cie Kee yang mengerti bahwa benar-benar ia telah dipermainkan orang. Tentu saja ia sangat penasaran yang orang telah copet syairnya itu tanpa ia merasa, “Kau benar-benar lihay! Sekarang pinto ingin mohon pengajaran…!”
Rupanya barusan selagi ia pura-pura terpeleset, selagi si imam pegangi dia, Biauw Ciu Sie-seng gunai ketikanya untuk rogoh kantung si imam.
Tidak tempo lagi, sebelah tangan si imam melayang.
Cu Cong berkelit ke samping. “Totiang, benarkahkau berniat mencari keputusan dengan kepalan dan kaki?” ia menegasi.
“Benar!” sahut si imam memberikan kepastian. Dan menyerang pula, kali ini tiga kali beruntun serangannya itu,anginnya mendesir.
Thio A Seng lihat saudaranya sangat terdesak, sampai saudara itu sulit membela dirinya, ia lompat untuk menghalang, sambil berlompat., ia menyerang ke dadanya si imam. Khu Cie Kee dapat lihat serangan itu, ia lantas menangkis.
Bukan main kagetnya Siauw Mie To si Buddha tertawa. Tangkisan si imam itu membuat tangannya sakit dan gemetaran, rasanya baal. Inilah lawan tangguh yang pertama kali iapernah ketemukan.
Coan Kim Hoat bisa duga perasaan saudaranya itu. “Totiang, harap kau tak katakan kami tak tahu aturan!” ia berkata sambil ia menggapekan kepada Lam Hie Jin dan Han Siauw Eng, seraya ia melompat maju untuk menyerang.
Lam San Ciauw-cu si Tukang Kayu dari Gunung Selatan dan Wan Lie Kiam si Gadis Watsudah lantas taati ajakannya saudaranya itu, Manusia Aneh yang keempat.
“Kamu majulah berdelapan!” menentang Tiang Cun Cu menyaksikan orang pada turun tangan.
“Jangan mengepul!” Kwa Tin Ok kata dengan dingin.
Khu Cie Kee tidak gubris sindiran itu, ia menyerang Lam Hie Jin dengan sebelah tangan kirinya, atas mana Lam San Ciauw-cu menangkis dengan kedua tangannya, yang dibawa ke depan dadanya. Hebat tangkisannya ini.
“Lam Sieya sungguh lihay!” si imam memuji mendapatkan tangkisan itu. Tapi justru itu sekonyong-konyong wajahnya berubah. Ia pun segera berseru dengan ejekan: “Bagus betul, kamu masih menjanjikan bantuan!
Biar di sana ada ribuan tentera dan tidak pandang itu di matanya!“Thio A Seng merasa pihaknya diejek. “Kita ada tujuh bersaudara!” ia bilang. “Untuk apa menjanjikan bantuan lagi?!”
Kwa Tin Ok tidak berpikir seperti saudaranya yang kelima itu. Ia cacat mata akan tetapi kupingnya awas bukan main. Ia telah mendengar puluhan orang berlari-lari mendatangi ke restoran itu, suara mana tercampur suara bentrokkannya senjata-senjata tajam. Maka ia lompat berdiri.
“Semua mundur!” ia berseru. “Siapakan senjata!”
Thio A Seng semua segera lari balik ke tempat duduknya masing-masing, untuk ambil senjata mereka masing-masing.
Hampir di waktu itu, di tangga loteng terdengarriuh tindakan kaki yang keras, lalu beberapa puluh orang tertampak merubul naik.

Bab 5. Pertarungan Mati Hidup

Segera terlihat orang banyak yang naik ke loteng itu adalah serdadu-serdadu bangsa Kim, sebagaimana mereka gampang dikenali dengan seragam mereka. Melihat mereka itu, naik darahnya Khu Cie Kee. Ia hargakan Kanglam Cit Koay, ia menyangka mereka itu diperdayakan oleh Ciauw Bok Hweshio, maka itu sampai sebegitu jauh, ia layani mereka separuh main-main, akan tetapi sekarang tak dapat ia atasi diri lagi. Sangking murkanya,ia tertawa terbahak-bahak.“Ciauw Bok Hweshio! Kanglam Cit Koay!” ia berseru, “Walaupun kasih datang tambahan tigaribu lagi serdadu berandal Kim, toya kamu masih tidak jerih!”
Han Po Kie gusar mendengar ejekan itu. “Siapakah yang kasih datang tentera Kim?!” ia menegur.
Tentera Kim itu adalah tentera pengiringnya Wanyen Lieh. Mereka menanti sekian lama putra raja mereka masih belum kembali, timbuk kekhawatiran mereka itu, mereka lantas pergi mencari, kebetulan mereka dengar di Cui SianLauw ada orang berkelahi, mereka datangi rumah makan itu. Lega hati mereka akan saksikan putra rajamereka tidak kurang suatu apa pun, putra itu lagi duduk tenang di mejanya. Mereka lantas menghampiri untuk memberi hormat.
Ketika itu pihak rumah makan baru siap dengan hidangan mereka yang terdiri dari daging macam tutul, tidak peduli orang baru saja berhenti bertempur dan disitu ada banyak serdadu bangsa Kim, mereka bawa naik barang hidangan itu untuk disajikan disembilan meja dikecualikan mejanya Ciauw Bok Taysu, si hweshio, pendeta yang pantang makan daging.
Hidangan untuk Wanyen Lieh pun disiapkan sekalian. Atas itu putra raja Kim itu lantas berbangkit dari kursinya, guna menghampiriKwa Tin Ok, di depan siapa ia memberi hormat, walaupun orang tak dapat melihat kepadanya.

“Terima kasih Kwa Toako!” ia mengucap. Dengan berani ia lantas memanggil “toako” atau kakak.“Hm!” Khu Cie Kee perdengarkan suara di hidung selagi Hui Thian Pian-hok belum sahuti orang asing itu. “Bagus! Bagus!” ia menambahkan. “Cukup sudah, maaf, pinto tak dapat menemani lebih lama pula!”
Lantas ia angkat jambangan araknya, sambil membawa itu, iabertindak ke tangga.
Kwa Tin Ok lantas sudah bangkit berdiri. “Khu Totiang, jangan kau keliru mengerti!” kata tertua darikanglam Cit Koay ini.
“Adakah aku keliru mengerti?” jawab si imam sambil jalan terus. “Kamu adalah bangsa Enghiong, bangsa hohan, habis perlu apa kamu undang tentera bangsa Kim untuk bantu kamu?”
Dengan sengit si imam menjengeki orang adalahEnghiong dan hohan – orang-orang gagah.
“Kami tidak undang atau janjikan mereka itu,” Kwa Tin Ok menyangkal.
“Aku juga bukanya si picak!” sahutKhu Cie Kee mengejek.
Tin Ok buta,ia paling benci orang mengatakan ia picak, maka itu sambil gerakin tongkat besinya, ia lompat maju. “Kalau picak bagimana?!” tanyanya.
Tiang Cun Cu tidak ladeni si buta itu, sebaliknya ia layangkan tangannya yang kiri, tepat mengenai batok kepalanya satu serdadu Kim, hingga tanpa suara apapun, suara itu rubuh dengan kepalanya remuk, jiwanya terbang pergi.
“Inilah contohnya!” kata si imam kemudian. Lalu tanpa tunggu jawaban lagi, ia ngeloyor ke tangga.
Serdadu-serdadu Kim lainnya menjadi gaduh karena kebinasaan tidak karuan dari rekannya mereka itu, mereka kaget dan gusar, beberapa diantaranya segera menikam bebokongnya si imam dengan tombak mereka yang panjang.
Seperti bebokongnya ada matanya, Khu Cie Kee tangkis serang itu tanpa membalik tubuhnya. Sambil manangkis tangannya menyambar, maka itu beberapa batang tombak kena tercekal dan terampas.
Beberapa serdadu lagi hendak maju untuk mengulangi penyerangan.
“Jangan!” Wanyen Lieh segera mencegah. Dengan lantas ia berpaling kepada Kwa Tin Ok beramai, untuk mengatakan: “Imam jahat itu tidak kenal undang-undang, tidak kenal Tuhan, dia tidak usah dilayani! Tuan-tuan mari kita minum dulu, sembari minum kita bicarakan daya untuk menghadapi dia!”
Kwa Tin Ok tidak tahu orang adalah orang bangsa Kim, maka tadi ia berlaku manis budi dengan suruh jongos membagi daging macamnya, sekarang setelah mengetahui orang bangsa apa, ia tak sudi melayani bicara. “Minggir!” ia membentak.
WanyenLieh heran. “Apa!” tanyanya.
“Toako kami menitah kau pergi!” Han Po Kie wakilkan kakaknya menyahuti, sembari berkata ia gerakan pundak kanannya, mengenai kempolansi putra raja Kim itu, hingga Wanyen Lieh lantas saja mundur beberapa tindak.

Kwa Tin OK semua lantas berlalu, turun di tangga loteng. Ciauw Bok Hweshio turut mereka, Biauw Ciu Sie-seng jalan paling belakang, selagi lewat di samping Wanyen Lieh, ia tepuk pundaknya putra raja Kim itu dengan kipasnya seraya bilang: “Apakah kau telah jual itu orang perempuan yang kau tipu? Bagaimana kalau kau jual dia padaku? Hahaha!” Dan terus ia ngeloyor turun.Wanyen Lieh terkejut. Ia ingat pada pengalamannya yang pertama. Maka sebelum layani godaan orang itu, paling dulu ia ragoh sakunya. Untuk kagetnya ia dapatkan beberapa potong emas dalam sakunya terbang pula! Ia mendongkol, akan tetapi ia jerih pula.
“Beberapa orang ini lihay sekali, aku serta semua serdaduku bukan tandingan mereka,” ia berpikir. “Pauw-sie ada padaku, jikalau mereka dapat tahu, inlah berbahaya……….”
Oleh karena kekhawatirannya ini, ia tidak lagi berpikir untuk beli pakaian buat si nyonya, dengan tinggalkan restoran itu, ia lekas-lekas balik ke hotel, terus ia ajak si nyonya untuk berangkat ke Utara, pulang ke Yankhia, ibukotanya kerajaan Kim. Bersama dia turut juga semua pengiringnya. (Yankhia = Peking sekarang).
Sementara itu Kwa Tin Ok beramai telah ikuti Ciauw Bok Hweshio pergi ke kuil Hoat Hoa Sian Sie yang letaknya di bagian barat dari luar kota Kee-hin, di dalam kuil itu mereka berkumpul di kamar bersemedhi. Kacung hweshio lantas menyuguhkan air the, habis mana ia lantas mengundurkan diri.
“Keliru mengerti ini jadi makin hebat…” Ciauw Bok Taysu mulai berkata smabil ia menghela napas.
“Taysu,” tanya Han Siauw Eng. “Dia menyebutkan dua orang wanita, siapakah mereka itu? Bagaimana sebenarnya duduk perkaranya?”
“Nanti aku beri keterangan,” sahut hweshio itu. “Aku ada punya Suheng yang menjadi pendeta di kepala di kuil Kong Hauw Sie di Hangciu…”
“Itulah Kouw Bok Siansu, bukan?” Tin Ok memotong.
“Benar,” sahut Ciauw Bok. “Kemarin dulu ia menulis surat padaku, ia menitahkan dua orang yang menyampaikan surat itu, dalam mana ia bilang ada orang jahat hendak mengganggu mereka itu dan karenanya dia minta supaya aku beri tempat berlindung kepada merek itu. Kami orang beribadat mesti berlaku murah hati, apapula ia adalah kakak seperguruanku, tentu saja aku mesti terima permintaannya itu. Diluar dugaanku, baru satu dua har I orang itu tiba, lantas Tiang Cun Cu datang menyatroni sambil dia menuduh ada dua orang wanita dari Hangciu, dari kuil Kong Hauw Sie, datang menyembunyikan diri di kuilku. Tentu saja aku menjadi tidak mengerti.”
“Melihat dari sikapnya tadi, mesti dia bakal datang lagi menerbitkan onar,” menyatakan Coan Kim Hoat. “Maka aku pikir, kita tak dapat tidak bersiaga.”
“Itu benar,” Tin Ok juga menyatakan.
Sampai disitu mereka berunding, merundingkan daya penjagaan. Mereka tidak dapat mengerti sikapnya Khu Cie Kee. Ciauw Bok Taysu bingung, lebih bingung pula Kanglam Cit Koay.
Itu hari sehabisnya membinasakan Ong Tian Kian si pengkhianat, Khu CieKee pergi ke Gu-kee-cun kepada Yo Tiat Sim dan Kwee Siauw Thian, untuk membuat perkenalan dengan caranya yang luar biasa itu, hingga kesudahannya ia labrak rombongan serdadu bangsa Kim serta orang-orang polisi yang mencari padanya. Kejadian itu membuat ia sangat gembira. Dari Gu-kee-cun, ia lantas pergi ke Hangciu, untuk pesiar ke telaga See Ouw dan tempat sekitarnya yang indah, akan menghirup permainannya sang salju. Tempo ia lewat di muka Ceng ho-hong, ia tampak lewatnya beberapa puluh serdadu dalam keadaan rudin, seragamnya tidak karuan, tombak dan gendewanya pada patah, seperti bekas kalah perang. Ia heran. ia tahu tidak ada peperangan dengan bangsa Kim, tidak ada huru-hara penjahat di dekat-dekat Hangciu. Habis kenapakah barisan serdadu itu? Ia tanyakan keterangan beberapa penduduk, juga mereka itu tidak tahu suatu apa. Saking penasaran, ia ikuti rombongan serdadu sampai di tangsinya tentera itu. Ia tunggu sampai malam, lalu dengan diam-diam ia menyatroni. Ia bekuk satu serdadu yang sedang tidur pulas, yang ia bawa ke ujung jalan besar, untuk korek keterangan dari mulutnya. Kapan ia sudah dengar jawabannya, ia menjadi mengeluh. Nyatalah barisan itu adalah barisan yang telah pergi ke Gu-kee-cun untuk menawan Yo Tiat Sim dan Kwee Siauw Thian. Ia berduka berbareng murka akan dengar Siauw Thian terbinasa dalam pertempuran itu dan Tiat Sim terluka parah, entah kemana lolosnya tetapi ada kemungkinan dia pun tak kan hidup lama.
Imam ini sangat menyesal. Ia tahu, itulah akibatnya ia sudah mengikat persahabatan sama dua orang she Yo dan Kwee itu. Pasti tak dapat ia umbar hawa amarahnya terhadap serdadu itu.
“Siapakah itu perwira atasanmu?” ia tanya.
“Ciehui tayjin kami,” sahut serdadu itu yang menyebutkan komandonnya, “Dia she Toan, namanya Thian Tek.”
Cukup segitu, Cie Kee bebaskan serdadu itu, terus ia pergi cari Thian Tek di tangsi, tetapi ia tidak peroleh hasil, tidak tahu dimana tidurnya ciehui itu malam itu.
Besok paginya, Tiang Cun Cu menampak hal yang membuat darahnya mendidih. Di muka tangsi, di atas tiang bendera yang tinggi, ada di gantung kepalanya Kwee Siauw Thian untuk dipertontonkan kepada khalayak ramai. Hampir dadanya meledak.
“Khu Cie Kee, oh, Khu Cie Kee!” katanya seorang diri. “Dengar baik-baik, kedua sahabat itu jamu padamu, kau sebaliknya rembet-rembet mereka hingga mereka bercelaka, rumah tangga mereka tercerai berai dan musnah! Jikalau kau tidak menuntut balas untuk mereka, masih dapatkah kau disebut satu laki-laki?!”
Saking mendongkol, ia hajar dengan tangannya tembok dimana tiang itu dipasang, hingga batu dan pasir kapurnya hancur. Kemudian malamnya, dia panjat tiang itu untuk turunkan kepalanya Siauw Thian, yang ia bawa ke tepinya telaga See ouw, untuk dikubur. Dia paykui di depan kuburan, airmatanya turun mengucur, diam-diam ia memuji dan berjanji: “Itu hari pinto sudah berjanji akan ajarkan ilmu silat kepada anak-anakmu, supaya kelak mereka menjadi orang-orang kosen, kalau tidak, tidak ada muka pinto menemui kalian di dunia baka.”
Segera Khu Cie Kee atur rencananya. Pertama-tama Toan Thian Tek mesti dicari, ciehui itu mesti dibinasakan guna membalaskan sakit hatinya Tiat Sim dan Siauw Thian. Habis itu dia hendak mencari istrinya dua sahabat itu guna menempatkan mereka ke tenpat yang aman. Kemudian ia akan mohon belas kasihannya Thian, supaya mereka dapat turunan, agar supaya anak-anak mereka dapat ia didik menjadi orang-orang sempurna seperti yang ia janjikan.
Beruntun dua malam Cie Kee telah satroni tangsi Wielok nomor enam, tidak berhasil ia mencari Toan Thian Tek, hingga ia mau menduga, mungkin Thian Tek adalah satu komandan yang tak berdisiplin dan doyan pelesiran, mungkin Thian tek tidur di luar tangsi, untuk mencari kesenangan. Oleh karena sudah habis sabar di hari yang ketiga setelah dua malam itu, dia ambil cara singkat saja.
Dia pergi ke muka tangsi, untuk menegur: “Mana dia Toan Thian Tek?! Suruh dia keluar!”Justru itu hari, Thian Tek ada di dalam tangsinya, ia lagi periksa Lie Peng, istrinya Siauw Thian. Pemeriksaan dilakukan sebab lenyapnya kepala Siauw Thian itu. Ia ingin Lie Peng sebutkan sahabat atau sahabat-sahabatnya Siauw Thian yang dirasa bernyali besar berani mencuri kepalanya Siauw Thien itu. Ia kaget akan dengar laporan ada orang cari padanya, lalu laporan itu disusul dengan laporan lainnya, tentung sudah terjadi pertempuran dengan orang yang mencari dia. Segera ia melongok di jendela.
Satu imam, yang nampaknya gagah sekali, lagi bertarung dengan robongan serdadu. Atau lebih benar, rombongan serdadu lagi dilabrak oleh imam itu yang bersenjatakan dua serdadu yang ia cekal kakinya dengan masing-masing mereka mengeluh. Sejumlah serdadu lain menyerang dengan anak panah tetapi serangan itu tak ada hasilnya, si imam membela diri dengan dua serdadu korbannya itu.
Thian Tek gusur menyaksikan perkelahian semacam itu, dengan membawa goloknya, ia lompat keluar dari tangsi.
“Kau hendak memberontak?!” ia menegur sambil ia lantas menerjang.Imam itu, ialah khu Cie Kee, telah sambut serangan sesudah ia lemparkan satu serdadu. Ia gunai tangannya yang kiri. Lengannya Thian tek lantas saja kena dicekal.
“Mana itu bajingan jahanam Toan Thian Tek?!” Cie menegur. Dia belum kenal perwira ini.
Thian Tek kesakitan, tubuhnya hampir tak dapat bergerak. tapi ia licik sekali. Ia dapat terka maksudnya si imam.
“Toya mencari Toan Tayjin?” dia balik menanya. “Dia…..dia sekarang ada di telaga See Ouw, lagi pelesiran minum arak di atas perahu. Sebentar lohor ia baru pulang.”
Cie Kee kena diakali, ia lepas cekalannya.
Thian Tek segera berkata kepada dua serdadu yang ia kedipi mata: “Pergi kamu antar toya ini ke telaga untuk cari Toan Tayjin!”
Dua serdadu itu belum mengerti, mereka bingung.
“Lekas! lekas pergi!” Thian Tek membentak. “Jangan kamu bikin toya gusar!”
Baharu sekarang dua serdadu itu mendusin, mereka lantas ngeloyor pergi.
Cie Kee ikuti kedua serdadu itu.
Thian Tek tidak berani berayal pula. Seberlalunya si imam, dia ajak barisannya meninggalkan tangsi Wie-ko itu. Dia bawa Lie Peng bersama dia. Dia pergi ke tangsi Hiong-ciat nomor delapan yang komandannya adalah sahabat eratnya, yang sama martabatnya. Kepada sahabat itu ia tuturkan halnya si imam jahat.
“Mari kita bekuk dia!” berkata si si komandan, yang terus hendak kumpulkan tenteranya. tapi mendadak terdengar suara ribut-ribut di luar tangsi, disusul sama masuknya laporan halnya satu imam datang mengacau.
Terang Khu Cie Kee balik kembali setelah ia tidak berhasil mencari Thian Tek, rupanya ia telah kompes kedua serdadu pengantarnya, sehingga mereka terpaksa mesti mebuka rahasia, hingga ia lantas menyusul ke tangsi Hiong-ciat nomor delapan itu.
Thian Tek takut bukan main, tanpa pamitan dari rekannya, dia ajak Lie Peng dan barisannya kabur dari belakang tangsi.
Kali ini ia lari keluar kota, ke tangsi Coan-ciat nomor dua. Tangsi ini terpernah di tempat sepi. Di sini ia selamat, si imam tidak berhasil menavri dia terlebih jauh. Baharu sekarang ia bisa bernapas sedikit lega. Tapi ia mesti menderita pada tangannya, yang bekas di cekal si imam. Lengan itu bengkak, rasanya sakit sekali. Dia cari tabib tentera untuk obati tangannya itu. Nyata tulang lengannya patah, hingga tulang itu mesti disambung. Malam itu dia bermalam di tangsi itu, dia takut pulang.Tepat tengah malam, Thian Tek mendusin dengan kaget. Di luar tangsi, serdadu-serdadu membikin banyak berisik. Sebabnya ialah satu serdadu jaga ketahuan lenyap tidak keruan paran.
Tentu saja ia menjadi sangat ketakutan. Kemana ia mesti menyingkir, supaya selamat? Akhirnya dia ingat pendeta dari Kong Hauw Sie, yang adalah pamannya.“Baik aku pergi ke paman,” dia ambil keputusan. Malah segera ia bekerja. Untuk memastikan keselamatannya terus ia bawa-bawa Lie-sie. Kalau perlu nyonya Kwee itu dapat di pakai sebagai tanggungan untuk jiwanya. Dan untuk mencegah kecurigaan orang luar, dia paksa Lie Peng dandan sebagai serdadu. Mereka keluar secara diam-diam dari belakang tangsi, tanpa pedulikan malam buta rata, mereka terbirit-birit menuju ke Kong Hauw Sie.
Pamannya Thian Tek ini sudah lama sucikan diri, nama sucinya ialah Kouw Bok. Ia menjadi kepala di kuil Kong Hauw Sie itu. Sebenarnya sudah lama dia tidak berhubungan dengan keponakannya itu, sebab ialah dia tidak setujui kelakukan sang keponakan, tak suka ia bergaul dengannya. Maka kaget ia akan dapatkan tengah malam itu sang keponakan muncul dengan tiba-tiba.
Dalam ilmu silat, Thian Tek berkepandaian tidak seberapa, dalam hal kecerdikan, dia melebihi kebanyakan orang. Dia tahu sebabnya kenapa pamannya itu masuk menjadi paderi, ialah si paman sangat benci bangsa Kim dan sangat sesali pemerintah Song. Bukan saja pemerintah tidak membuat perlawanan, sebaliknya menteri dan panglima setia dibikin celaka. Umpama kata dia bercerita terus terang bahwa ia telah bekerja sama dengan bangsa Kim untuk menawan Kwee Siau Thian dan Yo Tiat Sim, dia pasti dapat susah di tangan pamannya itu. Dari itu, siang-siang dia telah karang sebuah alasan.
Kouw Bok Hwehio pandai ilmu silat. Dia malah menjadi ciang-bun-jin, ahli waris dari partai Hoat Hoa Cong golongan Selatan. Ia pernah memangku pangkat dalam ketenteraan. Sejak sucikan, ia tidak abaikan ilmu silatnya itu, dengan rajin ia berlatih terus. Karena ini, jeri Thian Tek terhadap pamannya.
“Mau apa kau datang kemari?” sang paman tegur keponakannya. Sikapnya dingin.
Thian Tek segera tekuk lutut di depan pamannya itu, ia manggut-manggut. “Keponakanmu telah orang perhina,” katanya dengan suara susah dan mesgul. “Peehu, aku mohon pertolonganmu…”
“Kau tinggal di tangsi tentera, kau memangku pankat, siapa berani perhina padamu?” paman itu tanya pula.
Terus Thian Tek kasih lihat roman sangat berduka. “Aku diperhina satu imam,” dia menyahut dengan cerita karangannya, “Imam itu kepung-kepung aku hingga tak tahu kemana aku mesti singkirkan diri. Peehu, dengan memandang kepada muka ayah, aku minta kau suka tolongi keponakanmu ini….”
Melihat roman orang, Kouw Bok merasa berkasihan juga.
“Kenapa itu imam kepung-kepung padamu?” ia tanya.
Thian Tek sudah bangun berdiri, lekas-lekas dia berlutut pula.
“Celaka, keponakanmu celaka,” dia menjawab. “Kemarin dulu aku pergi ke barat jembatan Ceng Leng Kio. Aku turur beberapa kawan. Disana kami bermain-main di Lam-wa-cu di bawah rangon Hie Cun Lauw….”
“Hm…!” sang paman perdengarkan suara di hidung.
Lam-wa-cu itu diambil dari kata-kata wa-sia, dan wa-sia berarti “rumah genting”. Lebih jauh, wa-sie itu diambil sebagai arti ringkas dari sebutan, “Diwaktu datang, genting utuh; diwajtu pergi genting pecah”. Lebih tegas lagi bermaksud, “gampang berkumpul, gampang bubar”. Tapi maksudnya nag paling jelas ialah: Di jaman Song itu, setelah pemerintahan dipindah ke selatang, untuk mengikat hati tentera, pemerintah mengadakan apa yang dinamakan wa-sia itu di dalam dan di luar kota Hangciu. Itulah tempat pelesiran serdadu. Penghuni wan-sia adalah wanita-wanita melarat yang tidak punya sanak kandung. Mulanya itu mereka jadi barang permainan tentera, belakangan orang berpangkat atau sembarang hartawan pun dapat permainkan mereka.
Thian Tek pura-pura tuli untuk ejekan pamannya itu. Ia omong terus: “Aku ada punya satu nona kenalan, hari itu aku minum arak bersamanya.
Tiba-tiba muncul imam itu, dia memaksa si nona melayani padanya…”“Mustahil seorang suci pergi ke tempat semacam itu!” Kouw Bok menyela.
“Tapi kejadiannya benar demikian. Maka itu aku telah singkirkan dia, aku suruh dia pergi. Nyata dia sangat galak. Dia damprat aku, dia katakan aku bakal terpisah kepala dari badanku, hingga tak perlu aku main gila.”
“Apa maksudnya dengan kata-katanya kepala terpisah dari badan?” tanya Kouw Bok lagi.
“Dia menjelaskan, tak lama lagi tentera bangsa Kim akan datang menyeberang ke sini, tentera itu bakal membunuh habis semua pembesar dan tentera kita…”
Kouw Bok lantas saja menjadi gusar. “Dia berani mengatakan demikian?!”
“Benar, dasar tabiatku jelek, aku tegur dia dan jadi berkelahi karenanya. Sayang aku bukan tandingan dia itu. Aku lari, dia mengejar, mengejar terus-terusan, karena habis jalan, terpaksa aku lari ke mari.
Aku minta peehu suka tolongi aku….” Thian Tek pura-pura merengek.“Aku adalah seorang suci, tak dapat aku urus perkara main perempuan kamu ini,“ berkata paderi itu.
“Tolong, peehu,” Thian Tek merintih. “Tolong untuk kali ini saja. Aku tak berani main gila lagi….”
Dasar orang suci dan mengingat juga kepada almarhum saudaranya, hati Kouw Bok tergerak.
“baik,” kata dia akhirnya, “Untuk beberapa hari kau boleh berdiam di sini. Aku larang kau main gila pula!”
Thian Tek menghanturkan terima kasih berulang-ulang.
“Satu pembesar tentera begini tidak punya guna, ah….” Kouw Bok mengeluh. Ia menghela napas panjang.
Lie Peng sudah diancam oleh Thian Tek, walaupun ia tahu orang sudah mendusta, ia tutup mulut.
Lewat lhor itu hari, tie-kek-cung, yaitu paderi tukang layani tetamu, lari masuk dengan tegesa-gesa, ia menemui Kouw Bok dan melaporkannya dengan gugup: “Di luar ada satu imam, galak dia, dan dia minta Toan Tiang-khoa keluar menemui padanya….”
Thian Tek adalah satu perwira, maka itu dia dipanggil tiang-khoa.
“Panggil Thian Tek,” Kouw Bok menitah.
“Dia, benar dia…” kata Thian Tek, semunculnya dia.
“Imam itu sangat galak, dia adalah paderi dari partai mana?” tanya sang paman.
“Entahlah dia imam dari desa mana,” Thian Tek mendusta tak kepalang tanggung. “Sebenarnya tak seberapa ilmu silatnya, dia Cuma bertenaga besar, dasar aku yang tidak punya guna, aku tak sangggup lawan dia…”
“Baiklah, nanti aku temui dia.”
Kouw Bok pakai jubahnya, terus ia pergi keluar. Ia lantas bertemu sama si imam, ialah Khu Cie Kee, selagi imam itu hendak memaksa memasuki pendopo walaupun paderi penjaga pendopo mencegah padanya.
Ia maju mendekati, ia terus tolak bahu si imam itu. Ia nampaknya menggeraki tangan dengan perlahan tetapi ia menggunai tenaga dalam. Ia ingin mendorong imam itu keluar pendopo. tapi begitu ia kena langgar bahu si imam, ia kaget sekali. Ia kena langgar daging yang empuk bagaikan kapas. Celakanya, waktu ia hendak tarik pulang tangannya, ia telah terlambat, diluar kendalinya, tubuhnya tertolak mundur keras sekali, tidak ampun lagi ia terlempar membentur patung Wie Hok di pendopo itu, sudah tentu benturan itu menimbulkan suara yang keras, separuh patung pun gempur!Dalam kagetnya yang tak terkira, Kouw Bok berpikir, “Dia lihay sekali, ia bukan Cuma besar tenaganya…” Lekas-lekas ia rangkap kedua tangannya untuk memberi hormat seraya menanya: “Ada pengajaran apakah maka totiang datang berkunjung ke kuil kami ini?”
“Aku datang mencari satu bangsat busuk she Toan!” Cie Kee menjawab ringkas.
Kouw Bok insyaf bahwa ia bukan tandingan ini imam, ia berlaku sabar.
“Seorang pertapa perpokok kepada belas kasihan dan murah hati, kenapa totiang berpandangan sama dengan seorang biasa saja?” ia tanya.
Cie Kee tidak menjawab pertanyaan itu, ia hanya bertimdak masuk. Lebar tindakannya itu.
Ketika itu, dengan seret Lie Peng, Thian Tek sudah umpatkan diri ke dalam sebuah kamar, karenanya tentu saja ia tak dapat dicari. Cie Kee juga tidak berani menggeledah, sebab ia dapatkan kenyataan, di hari-hari dari musim semi itu Kong Hauw Sie kedatangan banyak penduduk yang bersujud, penduduk pria dan wanita. Sebagai seorang yang beribadat, ia tak mau mengganggu kesujudan banyak orang itu. Dengan tertawa dingin, terpaksa ia berlalu.
Kouw Bok lirik tie-kek-ceng untuk suruh muridnya itu antar tetamu tak diundang itu.
Setelah mengetahui orang sudah pergi, Thian Tek keluar dari persembunyiannya.
“Mana dia hanya satu imam dusun!” kata Kouw Bok dengan mendongkol. “coba kalau dia tidak berlaku murah, jiwaku pasti sudah melayang!”
Thian Tek membungkam, ia tak berani membuka mulut.
“Dia sudah pergi jauh,” kata tie-kek-ceng, yang muncul di depan gurunya.
“Apakah dia mengucapkan sesuatu?” tanya Kouw Bok setelah berdiam sesaat.
“Dia tak bilang suatu apa,” jawab muridnya itu.
“Inilah aneh,” mengatakan Kouw Bok. “Apakah ada sikapnya yang aneh selagi dia hendak berlalu?” tanya lagi.
“Tidak, kecuali setibanya ia di mulut pintu pekarangan, dia sendarkan diri di dua singa-singaan batu, agaknya ia sangat letih,” sahut tie-kek-ceng. “Dia membuang napas, habis itu dia angkat kaki sambil tertawa haha-hihi.” lanjut muridnya lagi.
“Ah, celaka, celaka….” Kouw Bok lantas mengeluh. “Celakalah singa-singaan kita itu, yang usianya tetelah beberapa ratus tahun…” Dan tangannya melayang ke muka Thian Tek. “Singa-singaan itu musnah di tanganmu!” katanya, habis mana ia lari keluar.
Thian Tek dan tie-kek-ceng menjadi heran, lebih-lebih Thian Tek yang mukanya menjadi bengap dan merah, hingga ia mesti bekapi mukanya itu. Keduanya turut lari keluar, akan susul Kouw Bok.
Di pintu pekarangan, Kouw Bok Hweshio berdiri bengong mengawasi sepasang cio-say, singa-singaan batu, yang disebutkan tadi. Nampak romannya yang sangat berduka dan menyayangi singa-singaan itu.
“Kenapa peehu?” sang keponakan tanya.
“Inilah takdir…” sahut si paderi dengan masgul. “Aku keliru sudah menyalahkan kau…. Kau tahu, sepasang cio-say ini adalah barang peninggalan jaman Lam Pak Tiauw, ketika itu Kaisar Liang Bu Tee telah memanggil tukang yang pandai untuk membuatnya. Sampai sebegitu jauh, aku pandang Cio-sang itu sebagai mustikanya Kong Hauw Sie. Sekarang….ah!” Ia menghela napas panjang.
Thian Tek masih tidak mengerti. Ia awasi cio-say itu, yang tidak kurang suatu apa. Oleh karena penasaran, ia dekati singa-singaan batu itu, ia raba kepalanya. Tiba-tiba saja ia menjadi kaget. Seperti tanpa merasa, begitu kena diraba, kuping dan hidungnya cio-say itu runtuh jatuh. Ia segera tarik pulang tangannya itu, matanya mengawasi pamannya.
Kouw Bok menghela napas pula. “Cio-say ini telah dirusak si imam dengan menggunai tenaga dalamnya…” katanya.
Tie-kek-ceng heran, ia pergi tolak tubuh cio-say yang satunya lagi. Tiba-tiba saja, singa batu itu gempur dan rubuh, bertumpuk bagaikan puing. Tentu saja ia kaget hingga mukanya pucat. “Eh…kenapa jadi beini…? katanya.
“Luar biasa sempurnya tenaga dalam dari imam itu,” kata Kouw Bok, suaranya perlahan dan penuh rasa sangat menyesal. “Cio-say, cio-say, untuk beberapa ratus tahun kamu bercape lelah menjaga pintu kuil ini, maka sekarang, pergilah kamu dengan baik-baik…” Kemudian dia berpaling kepada Toan Thian Tek. Ia berkata pula: “Dia demikian lihay, apa mungkin ia sudi layani kau yang begini hina memperebuti segala bunga berjiwa?”
Thian Tek kaget, tidak berani dia membuka mulutnya.
“Adikku seperguruan, Ciauw Bok Taysu, lebih pandai sepuluh lipat daripada aku, mungkin dia sanggup melayani imam itu,” kata Kouw Bok kemudian. “Pergilah kau kesana, kepada suteeku itu.“
Meyaksikan lihaynya Khu Cie Kee, Thian Tek tahu tidak selamat ia berdiam terus di Kong Hauw Sie ini, dari itu ia tidak bantah pamannya itu, ia cuma minta surat perantara, lalu dengan menyewa perahu, malam itu ia ajak Lie Peng berlayar ke Kee-hin, untuk pergi menumpang pada Ciauw Bok Taysu.
Paderi dari Hoat Hoa Sian Sie tidak menduga apa-apa, ia tidak sangka yang kawannya Thian Tek adalah satu wanita dalam penyamaran, ia terima mereka itu menumpang.
Keras adalah hatinya Khu Cie Kee, ia berhasil menyusul Thian Tek. Kebetulan ia lihat Lie Peng di dalam tamannya kuil. Ia mengawasi, kecurigaannya timbul. Sayang ia terlambat. Ketika kemudian ia lompat masuk ke dalam pekarangan, Lie Peng sudah disembunyikan Thian Tek dalam ruang bawah tanah.
Ingat Lie Peng, Khu Cie Kee ingat Pauw-sie. Ia mau percaya, Pauw-sie pun disembunyikan di dalam kuil Hoat Hoa Sian Sie itu. Maka itu ia ketemukan Ciauw Bok Taysu, ia minta supaya Lie-sie dan Pauw-sie diserahkan kepadanya. Karena ia telah lihat Lie-sie dan Pauw-sie diserahkan kepadanya. Karena ia telah lihat Lie-sie dengan matanya sendiri, ia tidak mau percaya sangkalannya paderi itu, ia berkeras.
Ciauw Bok Taysu merasa tidak ungkulan melawan imam itu, begitu ia ingat pada Kanglam Cit Koay, ia pergi minta bantuannya tujuh Manusia Aneh dari kanglam itu. Demikianlah mereka berkumpul di restoran Cui Sian Lauw, sampai setiba Tiang Cun Cu dengan jambangan araknya yang istimewa itu.
Habis menutur Ciauw Bok Taysu menambahkan: “Telah lama aku dengar Tiang Cun Cu lihay, sekarang kita dapat buktikan itu. Turut penglihatanku, dia seperzi bukan hendak mengacau, maka aku mau percaya, pada ini mesti terselip salah mengerti.”
“Aku pikir baiklah minta datang dua orang yang kakakmu itu perkenalkan,” Kim Hoat menyarankan. “Coba kita tanyakan keterangannya.”
“Benar,” Ciauw Bok Taysu menyatakan akur. “Aku memang bekum pernah tanyakan sesuatu kepada mereka.”
Paderi ini hendak suruh panggil Thian Tek tempo Tin Ok peringatkan: “Ciauw Bok Suheng, mungkin imam itu menyusul kita, maka kalau kita bertempur pula, mestinya jalannya tak sama dengan yang di rumah makan, dia tidak bakal berlaku murah hati lagi.
Pastilah dia menyangka kita telah bekerja sama dengan pihak Kim.”“Kwa Toako betul, maka itu mesti kita cari jalan untuk mengerti satu pada lain,” berkata si pederi.
“Yang dikhawatirkan justru salah mengerti ini sukar dijelaskan…” kata Tin Ok pula.
“Kalau terpaksa kita maju berdelapan…” Cu Cong turut berbicara.
“Delapan orang lawan satu orang, itulah tidak benar…” menyangsikan Han Po Kie.
“Aku pikir tak apa,” kata Coan Kim Hoat. “Kita tidak berniat binasakan dia, melainkan kita menghendaki dia sabar mendengarkan penjelasan Ciauw Bok Taysu.”
“Apakah nama kita tidak bercacat seumpama tersiar diluaran Ciauw Bok Taysu bersama Kanglam Cit Koay mengepung satu orang?” Han Siauw Eng pun bersangsi.
Belum putus pembicaraan mereka, mereka telah dikagetkan suara keras yang datangnya dari toan-thian, pendopo besar.
Suara itu seperti suaranya dua genta beradu keras, suara itu lalu mengaung, mengalun.“Nah, si imam datang!” seru Kwa Tin Ok, sambil ia melompat.
Berdelapan mereka memburu ke depan. Lagi sekali mereka dengar suara nyaring seperti tadi, hanya kali ini disusul sama campuran suara rengatnya barang logam.
Seperti terlihat Khu Cie Kee, dengan jambangan arak di tangannya, sedang menggempur genta di toa-thian itu. Dia menyerang beberapa kali, sampai jambangan perunggu itu retak.
“Citmoay, mari kita maju lebih dahulu!” Ho Po Kie teiaki adiknya. Ia dan adiknya itu memang yang paling aseran diantara Cit Koay. Ia pun lantas tarik Kim-liong-pian- cambuk Naga Emas, dari pinggangnya, dengan sabetan “Naga hitam menggoyang ekor”, dia mencoba melilit lengan si imam yang memegang jambangan.
Di pihak lain Han Siauw Eng sudah hunus pedangnya, yang tajam mengkilap, dengan itu ia lompat menikam bebokong imam itu.
Diserang dari depan dan belakang, Khu Cie Kee tidak menjadi gugup. dengan satu gerakan tangan kanannya, ia membuat terbitnya suatu suara nyaring. Cambuk Naga Emas bukannya melilit tangan, hanya menghajar jambangan perunggu itu. Berbareng dengan itu, dengan satu egosan tubuh, si imam juga bebaskan diri dari ujung pedangnya si nona. Lincah sekali caranya ia berkelit.
Siauw Eng menjadi penasaran, ia ulangi serangannya, beruntun beberapa kali. Ia kembali gagal.
Cepat sekali Khu Cie Kee ketahui ilmu silat pedang si nona.
Di jaman dahulu, negeri Gouw bermusuh dengan negeri Wat. Untuk dapat menelan negeri Gouw itu, Raja Wat, yang bernama Kouw Cian, melatih keuletan diri dengan tidur sambil mencicipi nyali yang pahit. Sayang untuknya, ia mesti menghadapi Ngow Cu Sih, panglima sangat tangguh dari negeri Gouw itu, yang pandai sekali mengatur tentera. Ia menjadi sangat tidak puas dan berduka. Pada suatu hari ia kedatangan satu gadis yang cantik, yang pandai ilmu silat pedang. Ia menjadi sangat girang, ia minta si gadis ajari ia ilmu silat itu. Kali ini ia berhasil, negeri Gouw dapat dimusnahkan. Kota Kee-hin adalah tapal batas kedua negeri Gouw dan Wat itu, di situ kedua negara biasa berperang. Oleh karena disitulah tersiar luas perihal ilmu pedangnya si gadis Wat itu, yang sekarang dipunyai Han Siauw Eng. Ilmu silat itu asalnya tigapuluh enam jurus, di tangan nona Han, ia perbaiki, ditambah hingga menjadi empatpuluh sembilan jurus. Penambahan ini penting untuk si nona, karena ia berkecimpung di dunia kang-ouw -Sungai Telaga – sedang raja Wat pakai ilmu itu dalam peperangan, untuk membinasakan panglima dan merubuhkan kuda perang. Oleh karenanya, orang kang-ouw juluki si nona Wat Lie Kiam – Akhli pednag Gadis Wat –
Begitu lekas mengenali ilmu silatnya si nona, sambil di lain pihak melayani Han Po Kie, Tiang Cun Cu mendesak Siauw Eng, hendak ia merampas pedang si nona. Karena ini ia membuat si nona Han menjadi repot, beberapa kali Han Siauw Eng menghindari nacaman bahaya, sampai ia terdsak mundur ke tepinya patung Buddha.
Mendapatkan adik angkatnya terancam bahaya, Lam Han Jin dan Thio A Seng maju dengan berbareng, yang satu geraki pikulannya yang istimewa, yang lain mainkan “golok jagalnya” yang ujungnya lancip. Sikap kedua saudara ini sangat berbeda satu sama lain. Kalau Lam San Ciauw-cu si Tukang Kayu dari Gunung Selatan bungkam mulutnya, Siauw Mie To si Buddha tertawa terus-terusan mengoceh tidak karuan juntrungannya, hingga Khu Cie Kee tak ketahui apa yang diucapkannya.
Segera si imam serang tukang pentang bacot itu. tangan kirinya yang menyambar. A Seng berkelit seraya melengak, ia tidak menyangka orang akali padanya. Justru ia melengak itu, kakinya Cie Kee melayang, tepat mengenai lengannya. Tidak ampun lagi, goloknya terlepas dan melayang. Tendangan itu mendatangkan rasa sakit dan akget. Walaupun begitu, sebagai jago ia tidak menghiraukan pedangnya yang terbang malah membarengi itu, ia membalas menyerang dengan tangan kirinya, setelah ia menganca, dengan tangan kanan! Sebab sebat sekali, ia sudah lantas pernahkan diri.
“Bagus!” Tiang Cun Cu puji lawannya ini. Ia berkelit untuk serangan membalas sambil berkelit, ia mengatakannya: “Sayang! Sayang!”
“Eh, sayang! Sayang apanya?!” tegaskan Siauw Mie To
“Sayang ilmu silatmu yang sempurna ini!” sahut Cie Kee sambil ia layani terus musuh-musuhnya. “Kau begini lihay tetapi kau rendahkan dirimu dengan jalan menakluk kepada musuh negara!”
“Hai, imam bangsat, kau ngaco belo!” mendamprat A Seng sangking murkanya. Mana ia mau mengerti dikatakan menakluk pada musuh, dalam hal ini, musuh bangsa Kim. Beruntun tiga kali, ia menyerang lawannya.
Cie Kee melawan sambil berkelit, akan tetapi untuk dua serangan yang belakangan, ia menangkis dengan jambangannya. Atau lebih benar, ia pasang jambangan itu sebagai sasaran, maka dua kali kepalannya A seng membuatanya jambangan itu bersuara nyaring.
Biauw Ciu Sie-seng merasa tidak enak karena berempat mereka mengepung, nyatanya mereka berada di bawah angin. Menampak demikian Coan Kim Hoat tapinya menjadi penasaran, dengan memberi tanda kepada kakaknya yang kedua, ia lompat menerjang, diturut oleh kakak angkatnya itu. Keduanya maju dari samping.
Genggamannya Lauw-sie In Hiap adalah sebatang bacin, yaitu alat peranti menimbangan barang, maka itu senjata bisa dipakai berbareng sebagai toya, gaetan dan gembolan, sedang Biauw Ciu Sie-seng si Mahasiswa Tangan Lihay, yang pandai ilmu menotok, dengan kipasnya senantiasa mencari jalan darah lawannya.
Khu Cie Kee tidak peduli ia dikepung berenam, ia tetap mainkan jambangannya sebagai senjata, sebagai tameng, karena dengan itu ia lebih banyak membela dirinya. Untuk membalas menyerang, ia pakai tangan kirinya yang bebas yang tidak bersenjatakan apa juga.
Ciauw Bok Taysu menjadi bergelisah menyaksikan jalannya pertempuran itu yang makin lama jadi makin hebat. Dia akhirnya tidak dapat bersabar lagi.
“Tahan! Tahan!” ia berseru-seru. “Tuan-tuan tahan! Dengar, hendak aku bicara!”
Dalam waktu pertempuran yang hebat itu, tidak ada orang yang sudi dengar cegahannya itu. Malah Khu Cie Kee perdengarkan seruannya: “Kawanan pengkhianat tidak tahu malu, lihat!” Dan lantas ia mendesak dengan serangan tangan kirinya, dengan jari-jari tangan terbuka, juga dengan kepalan. Satu serangannya yang mengancam Thio A Seng hebat sekali, sebab Siauw Mie To tengan terdesak.
“Totiang, jangan turunkan tangan kejam!” Ciauw Bok Taysu berseru dalam kegelisahannya yang hebat. Ia merasa A Seng tidak akan luput dari bahaya.
Cie Kee memang menyerang dengan hebat sekali. Ia lihat ia dikepung berenam, ia merasa bahwa ia telah mesti menggunai tenaga banyak. Disana masih ada dua musuh segar Kwa Tin OK dan Ciauw Bok Taysu – inilah berbahaya untuknya. Jikalau mereka ini meluruk juga? Dari itu, ingin ia lekas-lekas menyudahi pertempuran itu. Ia khwatir juga, lama-lama nanti ia kalah ulet.
Thio A Seng ada punya ilmu kedot, ialah tubuhnya tidak mempan senjata tajam. Kekebalannya itu ditambah sama tenaganya yang besar, karena ia biasa berlatih mengadu tenaga dengan kerbau – sudah dagingnya keras dan kulitnya pun tebal. Maka itu, menampak ancaman bahaya, ia manjadi nekat.
“Biarlah!” dia berseru, dan ia sambuti serangannya si imam untuk keras lawan keras. Tapi ia salah menaksir ketangguhannya sendiri. Di antara satu suara keras, lengannya itu terhajar patah tangannya Khu Cie Kee.
Cu Cong kaget bukan kepalang, ia berlompat menotok jalan darah soan-kie-hiat dari Tiang Cu Cu. Totokan ini bukan untuk menolongi Thio A Seng, yang telah menjadi korban, hanya guna mencegah si imam ulangi serangannya yang lihay itu.
Khu Cie Kee memang tidak berhenti sampai disitu. Rupanya ia anggap belum cukup dengan korban Thio A Seng itu. Dengan tidak kurang bengisnya, ia ulangi serangan-serangannya yang dikhawatirkan Biauw Ciu Sie-seng.
Segera juga terdengar jeritannya Coan Kim Hoat. Batu dacinnya Lauw-sie In Hiap telah kena disambar oleh si imam, dacin itu terus ditarik dengan keras. Tidak dapat Kim Hoat pertahankan diri, kuda-kudanya gempur, tubuhnya terbetot. Menyusul tarikannya itu, Khu Cie Kee ayun terus tangan kirinya, guna menhajar batok kepala lawannya itu. Untuk cegah Lam Hie Jin dan Cu Cong, yang berada paling dekat, ia tolak jambangannya ke arah mereka itu.

Han Po Kie dan Han Siauw Eng kaget tidak terkira. Kim Hoat itu adalah saudara angkat mereka. Yang mereka sayangi sebagai saudara betul. Keduanya apungi tubuh mereka, untuk hampiri si imam, yang mereka terjang dengan berbareng. Cuma ini jalan untuk tolongi saudara angkat mereka itu.Mau tidak mau, Khu Cie Kee mesti berkelit. Atas itu, Coan Kim Hoat lompat melejit. Ia lolos dari gempuran kepada batok kepalanya, ia mandi keringat. Mesti begitu, ia tidak lolos seluruhnya. Selagi melejit, kakinya si imam kena sambar pinggangnya, hingga ia lantas saja rubuh terguling, tidak dapat lantas bangun.
Ciauw Bok Taysu lihat keadaan hebat, ia tidak dapat tinggal peluk tanagn terlebih lama pula, meskipun sebenarnya ia tidak menghendaki pertempuran, ia sungkan turun tangan. Begitulah ia maju denagn sepotong kayunya yang mirip ruyung, yang ujungnya hitam hangus. Ia menotok ke bawah ketiak.
“Dia ahli menotok, dia lihay,” pikir Khu Cie Kee, yang berkelit, setelah mana, ia juga layani paderi itu.
Setelah turun tangannya paderi itu, Kwa Tin Ok tidak dapat berdiam terlebih lama lagi. Ia buta tetapi ia tahu dua saudaranya telah rubuh, adiknya yang kelima dan yang keenam. Ia perhatikan suara anginnya, suara beradunya setiap senjata. Di saat ia hendak gerakkan tongkat besinya, Coan Kim Hoat teriaki dia: “Toako, kau gunai thie-leng! Hajar dulu kedudukan cin, lalu kedudukan siauw-ko!”
Menyusul anjuran itu, dua rupa senjata rahasia menyambar sar! ser! kearah si imam.
Yang satu menuju ke alis dan yang lain ke paha kanan sebelah dalam.Cie Kee terkejut. “Dia hebat sekali!” pikirnya. “Dia buta tetapi dia bisa mengincar dengan tepat. Sebenarnya ada sulit walaupun ada orang luar yang memberi petunjuk menurut garis-garus patkwa…”
Ia lihat datangnya dua serangan itu, ia menangkis dengan jambangannya, maka setelah suara ting-tong, kedua senjata rahasia itu – thie-leng, atau lengkak besi – jatuh ke lantai.
Thie-leng adalah senkata rahasianya Hui Thian Pian-hok, mirip lengkak tetapi ujung tajamnya ada empat.
Coan Kim Hoat sudah berseru-seru pula: “Hajar tionghu, hajar lie! Bagus, bagus! Sekarang serang beng-ie!” Setiap kali ia berseru, setiap kali juga lengkak besi dari Kwa Tin Ok menyambar. Maka sebentar saja belasan lengkak telah membuatnya Cie Kee terpaksa main mundur saja. Imam ini lihay, biar ia tidak terluka, dia toh tidak kalah, ia melainkan tidak sempat membalas menyerang. Sebagai seorang yang cerdik dan gesit, ia dapat bersedia setiap kali Kom Hoat perdengarkan petunjuknya.
Lauw-sie In Hiap sendiri terancam lukanya, ia dapat menunjuki sasaran kepada toakonya, tetapi semakin lama, suaranya makin lemah, makin perlahan, pada itu tercampur rintihan juga, dan beda dengan dia adalah Thio A Seng, tidak terdengar suaranya sama sekali, hingga orang tidak tahu dia masih hidup atau sudah mati…
“Serang! Serang!” Coan Kim Hoat masih bersuara lagi. “Hajar tongjin…!”
Yang terakhir ini Kwa Tin Ok tidak turuti tetap sasarannya Kim Hoat itu. Ia juga tidak gunai satu-satu biji lengkak sebagaimana bermula tadi. Sekarang ia menimpuk berbareng dengan empat buah senjata rahasianya itu. Bukan anggota tongjin yang ia incar, hanya kedua bagian kiri dan kanan dari tongjin itu.
Di kanan ialah bagian ciat dan sun, dan di kiri, bagian hong dan lie.Berbareng dengan itu, Ciauw Bok Taysu dan Han Siauw Eng menyerang dari kanan. Kalut kedudukan mereka, semua sebab hampir berbareng, Cie Kee pun berkelit dari anggota tongjin sebagaimana diteriaki Kim Hoat. Karena itu dengan berbareng dua orang perdengaran jeritan kaget. Jeritan itu menandakan adanya dua korban!
Jitu serangan Tin Ok kali ini, Cie Kee terlalu perhatikan tongjin, ia kena tertipu si buta, yang menyerang ke lain jurusan. Ia tidak lolos dari semua empat lengkak, yang satu mengenai pundak kanannya, hingga ia menjadi kaget dan menjerit karenanya.
Jeritan yang lain dikeluarkan oleh Han Siauw Eng. Selagi nona ini maju menyerang, lengkak yang mengarah bagian sun tepat mengenai pundaknya tanpa ia ketahui atau dapat berdaya mengelakkannya.
Kwa Tin Ok kaget berbareng girang. “Citmoay, lekas kemari!” ia memanggil. Ia tahu, lengkaknya sudah nyasar di tubuh adik bungsunya itu.
Inilah yang membikin ia kaget. Ia girang sebab ia dengar suaranya si imam.Han Siauw Eng tahu senjata rahasia kakaknya ada racunnya, benar sementara itu ia cuma merasai sakit sedikit, lama-lama sang racun akan bekerja mencelakai ia, justru ia lagi ketakutan, ia dengar teriakannya kakak itu, tanpa sangsi lagi, ia lari kepada itu kakak.
“Toako!” ia memanggil.
Tin Ok lantas rogoh sakunya, ia keluarkan sebutir pil kuning, dengan lantas ia jejalkan itu ke mulut adiknya. “Lekas kau rebahkan diri di taman belakang, di tanah!” kakak ini beri petunjuk. “Kau tidak boleh bergerak sedikit juga. Kau mesti tunggu sampai aku datang untuk mengobati!”
Sebenarnya Siauw Eng keras kepala, tetapi ia dengar kata, ia terus lari ke belakang.
“Jangan lari, jangan lari!” Tin Ok teriaki, “Tenangi hati, jalan perlahan-lahan saja!”
Siauw Eng mendusin, ia lantas damprat dirinya sendiri. Siapa terkena senjata rahasia yang beracun itu, dia tidak boleh keluarkan tenaga, racun bisa mengikuti jalan darah segera menyerang ke ulu hati, kalau sampai itu terjadi, maka tidak ada obat lagi untuk menolong. Maka ia lantas berjalan dengan berpalahn tetapi tetap.
Cie Kee terkena senjata rahasia, ia tidak perhatikan itu, ia baru sadar kapan ia dengar teriakannya Tin Ok kepada Siauw Eng, yang dilarang lari. Justru itu, ia merasakan pundaknya sedikit kebas. Lantas ia menduga bahwa senajata rahasia itu ada racunnya. Niscaya sekali ia menginsyafi bahaya yang mengancam dirinya. Karena ini ia lantas tak berani melanjuti pertempuran itu. Dengan tiba-tiba ia rangsak Lam Hie Jin, muka siapa ia hajar.
Lam San Ciauw-cu lihat bahaya datang, ia tidak mau singkirkan diri, sambil pasang kuda-kudanya, ia lintangi pikulannya di depan mukanya. Itulah gerak “Tiat so heng kang” atau “ Rantai besi dilintagi di sungai”. Dengan senjatanya itu hendak ia sambut pukulan musuh.
Khu Cie Kee tahu maksudnya lawan itu, ia tidak batalkan serangannya, ia melangsungkannya. Maka pikulannya Hie Jin kena terhajar, begitu jeras, hingga tubuhnya si Tukang Kayu dari Gunung Selatan menjadi tergetar dan kedua tangannya dirasakan sangat sakit. Sebab telapakan tangannya pecah dan mengeluarkan darah, hingga genggamannya terlepas dan jatuh ke lantai. Tidak begitu saja, akibat lainnya menyusul. Hie Jin lantas merasa tubuhnya enteng, kedua matanya kabur, mulutnya manis, terus ia muntahkan darah hidup!
Cie Kee telah dapat melukakan lawan yang menghalangi ia, ia sendiri pun rasai pundaknya semakin kebas dan kaku. Sekarang ia merasakan bahwa jambangan di tangannya itu menjadi berat. Ia jadi berkhawatir. Maka sambil membentak keras, ia menyapu kepada Han Po Kie yang maju untuk serang padanya.
Si cebol lari berkelit.
“Ke mana kau hendak lari?!” bentak Tiang Cun Cu yang terus tolak tangan kanannya, sekalian diputar, dikasih turun. Dengan begitu, jambangannya jadi menungkrap dari atas, menyambar si cebol itu, selagi dia ini belum tiba di lantai, sehingga ia tidak bisa berkelit. Untuk tolong diri, ia pengkeratkan tubuhnya. Ketika mulut jambangan tiba di lantai, si cebol kena ketutup!
Setelah itu Cie Kee lepaskan tangannya dari jambangan itu, sebaliknya, ia hunus pedangnya. Ia lantas lompat mencelat ke arah genta, untuk membabat rantai gantungannya, berbareng tangan kirinya menolak tubuh genta itu yang beratnya mungkin ratusan seribu kati. begitu rantai putus, genta jatuh menimpa jambangan, kerena mana meski ia bertenaga besar, Han Po Kie tidak sempat berdaya untuk membalikkan jambangan itu, untuk keluar dari kurungan.

Sementara itu pucat mukanya Khu Cie Kee, peluhnya lantas turun menetes.“Lekas lemparkan pedangmu, menyerah!” Kwa Tin Ok teriaki lawan itu. Berayal sedikit saja, jiwamu bakal tidak tertolong!”
Si buta ini merasa pasti mengenai lawannya itu.
Cie Kee tidak mau serahkan diri. Ia percaya, menyerah berarti celaka. Maka ia putar pedangnya, ia mau membuka jalan. Tapi Tin Ok dan Cu Cong merintangi padanya.
Anda sedang membaca artikel tentang Cersil Online : Pendekar Pemanah Rajawali 2 dan anda bisa menemukan artikel Cersil Online : Pendekar Pemanah Rajawali 2 ini dengan url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/12/cersil-online-pendekar-pemanah-rajawali.html,anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel Cersil Online : Pendekar Pemanah Rajawali 2 ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,namun jangan lupa untuk meletakkan link Cersil Online : Pendekar Pemanah Rajawali 2 sumbernya.

Unknown ~ Cerita Silat Abg Dewasa

Cersil Or Post Cersil Online : Pendekar Pemanah Rajawali 2 with url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/12/cersil-online-pendekar-pemanah-rajawali.html. Thanks For All.
Cerita Silat Terbaik...

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar