Cerita Silat ABG : BuTong It Kiam 1

Diposting oleh eysa cerita silat chin yung khu lung on Kamis, 22 Desember 2011

Cerita Silat ABG : BuTong It Kiam 1.

Karya : Liang Yu Sheng Saduran : TJAN ID
~Pendekar Pedang Dari Bu-tong~

Butong it kiam.bmp
JILID KE SATU
PENDAHULUAN
Bayar hutang sebelum masalah jelas
Sang bayi sebatang kara
Kabut tebal menyelimuti angkasa, tiada terdengar suara angin
dan gesekan dedaunan, akankah hujan segera turun?
Jalanan yang menembus hutan terasa sepi, tidak nampak
manusia yang berlalu-lalang, awan putih semakin menggelayut di
angkasa, dimanakah desaku?
Di saat hujan menjelang datang, ketika rombongan burung sudah
balik ke sarangnya, dari balik keheningan yang mencekam tanah
pegunungan terlihat ada dua orang menempuh perjalanan tanpa
berkata-kata.
Mereka bukan tamu yang datang dari negeri seberang, juga
bukan pengembara yang tidak tahu harus beristirahat dimana.
Kedua orang itu adalah sepasang suami-istri muda, yang pria
tampan dan bertubuh tegap, sementara yang perempuan cantik,
elok bagaikan sekuntum bunga, pasangan yang amat serasi. Sayang
status mereka sebagai suami-istri belum mendapat persetujuan dan
pengakuan orang lain. Sejak setahun berselang, di luar
pengetahuan orang rumah, mereka telah kabur, melarikan diri
bersama.
Cuaca selalu berubah, apalagi kehidupan manusia. Ketika
pertama kali meninggalkan desa kelahirannya, mereka menyangka
selamanya tidak bakal balik lagi, siapa tahu baru lewat setahun,
mereka telah menginjak kembali ke jalan lama, balik lagi ke
kampung halaman. Bila kau tanya mengapa mereka kembali?
Mungkin mereka hanya akan tertawa getir sebagai jawaban.
Saat ini si pria memang sedang tertawa getir, walau hanya di
dalam hati. Coba kalau bukan istrinya berulang kali memohon,


bagaimanapun bernyalinya dia tidak bakal berani balik kembali ke
sana. Dia tidak berani membayangkan kesulitan apa yang bakal dia
hadapi ketika pertama kali menginjakkan kakinya kembali di pintu
perguruan.
Tentu saja perasaan kuatir, perasaan tidak tenang itu tidak
sampai dia kemukakan di wajahnya. Ketika mencoba melirik paras
istrinya, dia melihat wajah istrinya lebih mendung daripada cuaca di
langit, tanpa terasa dia berpikir, 'Tampaknya perasaan adik Yan
tidak jauh lebih baik daripadaku.'
"Ai, lebih baik kita tidak usah pulang!" belum sempat perkataan
itu meluncur keluar, tiba-tiba suara guntur yang menggelegar keras
memotong niatnya.
Tampaknya perempuan itu dibuat terkejut oleh suara guntur,
sambil menjerit melengking, nyaris dia terjungkal ke tanah. Buruburu
si pria memeluk dan merangkulnya.
"Keng, Keng-long, aku.... aku takut!"
"Masa pendekar wanita dari dua telaga takut dengan suara
guntur? Untung di sini tidak ada orang, kalau tidak, cerita ini pasti
akan jadi bahan lelucon dalam dunia persilatan!"
Boleh dibilang hampir seluruh umat persilatan mengenal nama
besarnya Ho Ki-bu, Ji-ouw Tayhiap (Pendekar besar dua telaga), dia
adalah salah satu murid preman dari Bu-tong-pay yang amat
termashur kehebatannya, konon ilmu pedang Jit-cap-ji-jiu-lian-hoantoh-
beng-kiam-hoat (72 jurus ilmu pedang berantai pencabut
nyawa) yang dikuasainya jauh lebih hebat di bandingkan dengan
kemampuan yang dimiliki Ciang-bunjin Bu-tong-pay saat itu.
Yang perempuan adalah putri tunggalnya yang bernama Ho Giokyan,
sementara yang lelaki adalah murid keduanya yang bernama
Keng King-si. Mereka masih mempunyai seorang Toa-suheng yang
bernama Ko Ceng-kim.
"Putri Ji-ouw Tayhiap?" terdengar Ho Giok-yan tertawa getir,
"hm, hm.... putri Ji-ouw Tayhiap.... aku telah melakukan perbuatan


yang sangat memalukan nama perguruan, tidak pantas bagiku
untuk mengaku sebagai putri Ji-ouw Tayhiap!"
"Semua ini adalah kesalahanku, akulah yang telah membuat kau
ikut menderita,” Keng King-si menundukkan kepalanya rendahrendah.
"Kaulah yang telah mencelakai aku!" seru Ho Giok-yan sambil
mendepakkan kakinya.
Sebenarnya Keng King-si sudah menunjukkan rasa penyesalan
yang mendalam, tapi ucapan "mencelakai" dari Ho Giok-yan
dirasakan begitu menusuk perasaan hatinya, membuat dia tertegun.
Lama kemudian baru ujarnya dengan sedih, "Bagaimanapun kita
sudah hampir setahun hidup sebagai suami-istri, masa kau belum
mau memaafkan aku?"
Ho Giok-yan jadi tidak tega, sembari memukul jidatnya perlahan
dia berbisik, "Tolol, kalau aku tidak memaafkan dirimu, kenapa
minta kau pulang bersamaku? Aku tidak bermaksud ini itu.... hm,
coba kalau bukan kau yang mencelakai aku, tidak nanti aku nyaris
jatuh karena mesti menempuh perjalanan berbukit."
Mendadak seperti teringat akan sesuatu, Keng King-si segera
berseru, "Ah benar, aku betul-betul tolol, masa anak sendiri pun
sampai terlupakan. Coba kudengarkan dulu suara jejak kakinya."
Sembari berkata dia tempelkan telinganya di atas perut istrinya,
kemudian lanjutnya sambil tertawa, "Nah, sudah kudengar
suaranya, dia sedang menendang dalam perutmu, setelah dewasa
nanti, dia pasti akan menjadi seorang tokoh persilatan."
"Jangan cengar-cengir," tukas Ho Giok-yan sambil mendorong
tubuhnya, "aku tidak berminat melihat tampang jelekmu! Lihatlah,
mendung telah menggelayut, sebentar lagi hujannya pasti sangat
deras, ayo cepat berangkat!"
"Eh, jangan terlalu cepat, hati-hati dengan anak kita!"
"Jalanan ini aku lebih hapal daripada kau, bahkan tempat yang
paling curam dan berbahaya pun sudah hapal di luar kepala, tidak


usah kuatir, aku tidak bakal terpeleset."
Setelah jalanan yang paling berbahaya dan curam terlalui,
benarkah jalan di depan sana lebar dan datar? Tentu saja jalanan
yang sedang dibayangkan Ho Giok-yan dalam benaknya bukanlah
jalanan ini.
Sejujurnya dia sendiri pun tidak yakin dengan apa yang bakal
terjadi. Tidak tahan dia menghela napas panjang, "Ai, seandainya
bukan demi bocah ini....”
Dia tidak bicara lebih lanjut, tapi Keng King-si sangat memahami
apa yang dimaksud. Justru karena Ho Giok-yan merasa dirinya
sudah hamil dan hidup nun jauh dari kerumunan keluarga dan
teman, maka dia sangat berharap bisa pulang kembali ke rumah.
"Coba lihat, awan mendung semakin menyelimuti angkasa,
mungkin kita tidak sempat mencapai rumah, lebih baik cari tempat
dulu untuk berteduh dari hujan angin," usul Keng King-si.
Tapi Ho Giok-yan seakan tidak mendengar, dia berjalan makin
cepat.
Cahaya halilintar berkilat dari balik lapisan mendung, menyusul
suara guntur yang menggelegar dari ujung langit.
"Kalau mau hujan, cepatlah turun hujan yang deras," umpat Ho
Giok-yan tiba-tiba, "melulu suara guntur tanpa hujan, benar-benar
membikin hati jadi mendelu!"
"Kalau kau merasa kesal, biar kumainkan seruling untuk
menghilangkan rasa kesalmu itu."
Sambil berkata Keng King-si mengeluarkan sebuah seruling dan
mulai memainkan lagu kegemaran nona itu.
Mengikuti irama seruling, Ho Giok-yan pun bersenandung,
"Di ujung malam nan dingin
Burung gagak terpekur di ujung ranting.
Rembulan tergantung di tepi langit, sepi, sendiri.


Cahaya berkilauan terpercik bagai kaitan emas....
Tertidur dalam pembaringan bersulam indah.
Harum bunga semerbak, menyebar di balik kelambu.
Kudengar suara langkah di luar jendela.
Tidak kulihat kekasihku, dimana kau telah bersembunyi."
Semakin bersenandung, nona itu nampak semakin tidak tenang,
hatinya semakin gundah dan kalut.
Akhirnya dia tidak sanggup menahan diri lagi, tiba-tiba berteriak,
"Jangan kau lanjutkan, makin lama hatiku makin gundah!"
"Kenapa kau?" tanya Keng King-si melengak, tapi begitu melihat
perubahan raut mukanya, pemuda itu segera mengerti apa
gerangan yang terjadi, katanya setelah menghela napas, "Jadi kau
masih marah padaku?"
Benar, sebenarnya lagu ini merupakan lagu favorit Ho Giok-yan,
karena lagu ini pula dia terpesona dan hanyut oleh Ji-suhengnya. Di
malam yang hening dan sepi, mereka telah melakukan perbuatan
dosa, perbuatan yang berakibat fatal.
Pada malam itu pula, untuk pertama kalinya dia meneguk arak,
bukan.... bukan arak, tapi cawan kegetiran dari kehidupan mereka.
"Tidak ingin melakukan pun sudah terjadi, apalagi yang bisa
dikatakan?" keluh Ho Giok-yan, "aku bukan marah kepadamu,
hanya merasa tidak punya muka untuk bertemu dengan ayahku
juga diriku sendiri."
"Sejujurnya," mendadak Keng King-si berkata, "aku merasa
sedikit takut. Aku takut setibanya di rumah nanti, kita tidak bakal
menjadi suami-istri lagi. Lebih baik kita balik ke Liauw-tong, kita
kembali ke sini setelah anak kita lahir nanti."
"Sejelek apapun wajah seorang menantu, akhirnya toh harus
bertemu juga dengan sang mertua, biar takut pun kau harus
menjumpainya. Betul ayah berhati keras dan disiplin, tapi aku tahu


dia sangat mencintaiku. Kini nasi telah menjadi bubur, siapa tahu
memandang wajah bakal cucunya, paling dia hanya mencaci-maki
padamu habis-habisan, pada akhirnya toh tetap memaafkan dirimu.
Eeei.... Apa yang sedang kau pikirkan?"
"Aku.... aku tidak memikirkan apa-apa," sahut Keng King-si
tergagap, "haah, hujan lebat telah tiba, cepat, cepat kita mencari
tempat berteduh."
Kali ini tidak ada suara guntur, tiba-tiba saja hujan turun dengan
amat derasnya.
Mereka bersembunyi di bawah sebuah dinding bukit yang
menonjol keluar dari sebuah tanah pebukitan, hujan turun makin
deras, sementara Ho Giok-yan hanya duduk termangu, entah
terbuai oleh suasana hujan atau sedang tenggelam dalam pikiran
lain.
Tiba-tiba dia teringat kembali kepada Toa-suhengnya, Ko Cengkim,
ketika meninggalkan rumah waktu itu, di saat berpisah dengan
Ko Ceng-kim, hujan pun turun sangat deras, sederas saat ini. Dia
merasa tidak punya muka untuk bertemu orang, sebenarnya bukan
malu bertemu ayahnya, tapi malu bertemu Toa-suhengnya.
"Ehm, Toa-suheng.... di saat dia sedang membayangkan sosok
Ko Ceng-kim, tiba-tiba Keng King-si buka suara.
Kontan Ho Giok-yan merasakan hatinya bergetar keras,
teriaknya, "Kau tidak usah menyembunyikan perkataan yang ingin
kau ucapkan, katakan saja kepadaku terus terang!"
"Sejujurnya, yang kutakuti adalah Toa-suheng," bisik Keng Kingsi.
"Jangan kuatir, dia pasti bersedia memaafkan dirimu."
"Tidak, tidak mungkin, aku tahu, dia tidak akan melepaskan aku!"
"Percayalah padaku, sesungguhnya Suheng sudah memaafkan
dirimu sejak dulu."
"Darimana kau tahu?"


"Kau tidak pernah mau percaya ucapanku, memangnya baru mau
percaya jika Toa-suheng sudah mengutarakan sendiri kepadamu?"
Pada saat itulah cahaya halilintar berkelebat, mendadak mereka
lihat ada dua orang sedang berlarian menuju ke arah mereka.
Bahkan orang yang berlari di depan tidak lain adalah Toa-suheng
mereka, Ko Ceng-kim.
Orang yang mengikut di belakangnya adalah si pelayan tua Ho
Liang, lantaran sudah berumur, lari Ho Liang sangat lambat, ketika
dia masih berada di kaki bukit, Ko Ceng-kim sudah muncul di
hadapan mereka berdua.
Ho Giok-yan merasa sangat keheranan, rumah mereka berada di
sebuah dusun lebih kurang lima li selatan bukit, mengapa mereka
datang ke atas bukit? Mungkinkah mereka pandai meramal hingga
sudah menduga akan kedatangan mereka, khusus datang
menyambut kepulangannya?
Ai, mengapa wajah Ko Ceng-kim nampak dingin, gelap dan
menyeramkan?
Dia tidak berbicara, sorot matanya yang dingin bagaikan tusukan
pisau beralih dari tubuhnya ke tubuh Keng King-si, menatapnya
tanpa berkedip seakan sedang mengawasi musuh besar yang telah
membantai seluruh anggota keluarganya.
Hujan yang turun mulai mereda, langit pun tidak seberapa gelap.
Namun Ho Giok-yan langsung bergidik melihat mimik muka Ko
Ceng-kim, bulu kuduknya bangun berdiri. Jauh lebih bergidik, jauh
lebih merinding daripada terhembus hujan angin tadi.
Dia cukup memahami perasaan Ko Ceng-kim yang terluka, tapi
tidak mengerti dengan sikap dingin, kaku, menyeramkan yang
ditampilkan saat ini. Sejak dulu hingga kini, ia belum pernah melihat
sorot mata Ko Ceng-kim yang dipenuhi rasa benci dan dendam yang
begitu mendalam.
Ko Ceng-kim tidak berbicara, dia pun semakin tidak berani
bersuara.


Pemandangan setahun berselang kembali melintas dalam
benaknya, waktu itupun dia berpisah dengan Ko Ceng-kim di tengah
hujan deras, dia bahkan melihat air mata yang meleleh dari kelopak
matanya. Namun sorot mata itu tiada rasa benci maupun dendam,
tapi kini paras mukanya jauh lebih gelap, jauh lebih menyeramkan
daripada dulu!
"Bisa dimaklumi dia merasa sedih sekali melihat aku dan Keng-si
balik. Tapi tidak seharusnya dia tunjukkan rasa sedih yang jauh
lebih mendalam dari-pada waktu perpisahan tempo hari! Waktu itu
aku tidak punya rencana untuk balik lagi, dia pun menyangka tidak
bakal bertemu aku lagi untuk selamanya. Tapi dia tetap berbesar
hati, tetap mengampuni kesalahan kami. Dan sekarang kami telah
kembali, kenapa dia justru bersikap begitu? Jangan-jangan ada
kejadian lain yang jauh lebih menyedihkan, jauh lebih tragis
daripada hari perpisahan kita waktu itu?"
Dia merasa tidak sanggup menghadapi sorot mata Ko Ceng-kim
yang begitu dingin membeku, kendatipun sorot mata itu bukan
tertuju kepadanya.
Akhirnya dengan memberanikan diri dia menyapa, "Toa-suheng,
kami telah kembali!"
Saat itulah Ko Ceng-kim baru berpaling, sahutnya hambar,
"Sudah seharusnya kau kembali sejak dulu!"
Dia mengatakan kalau "kami" telah kembali, tapi jawaban dari Ko
Ceng-kim justru hanya menyinggung tentang "kau".
Dia tidak berani mempercayai pandangan matanya, juga tidak
berani mempercayai pendengarannya. Ternyata apa yang terjadi
jauh berbeda seperti apa yang dibayangkan semula!
Sekarang dia mulai merasa, dan ternyata rasa kuatir Keng King-si
bukan rasa khawatir tanpa alasan.
Setelah termangu beberapa saat, katanya lagi dengan nada
gemetar, "Toa-suheng, kami tahu, kami telah berbuat salah
kepadamu....”


"Kau sudah pernah mengutarakan persoalan ini, jadi tidak usah
diulang untuk kedua kalinya. Aku sendiri pun belum pernah
menyalahkan kau karena urusan ini."
Lagi-lagi dia hanya menyinggung dirinya seorang! Sekali lagi Ho
Giok-yan memberanikan diri, katanya, "Toa-suheng, lalu bagaimana
dengan perkataan yang pernah kau katakan itu?"
"Apa yang telah diucapkan pasti akan kulaksanakan, tidak pernah
kuulang untuk kedua kalinya!"
"Terima kasih atas janji Toa-suheng yang selalu ditepati," timbul
kembali setitik harapan di hati Ho Giok-yan, "Keng-si, cepat beri
hormat kepada Toa-suheng....”
Mendadak perkataannya seperti membeku ditengah jalan, tidak
sanggup dilanjutkan lagi.
Paras muka Ko Ceng-kim masih kelihatan dingin, kaku dan
membeku, hanya saja di balik sorot mata yang tertuju ke wajahnya
terselip beberapa bagian rasa iba, kasihan dan sedih.
Tampaknya Keng King-si sendiri pun dibuat kaku membeku
karena sikap aneh itu, dia sama sekali tidak bergerak.
Bergidik hati Ho Giok-yan, teriaknya tanpa sadar, "Toa-suheng,
masa kau lupa, bukankah hari itu kau berkata sendiri kepadaku....”
"Aku tidak lupa," tukas Ko Ceng-kim cepat, "setiap patah kata
yang pernah kuucapkan tidak pernah kulupakan, yang melupakan
justru kau sendiri!"
Lupa? Mana mungkin dia lupa?
Pemandangan saat itu seakan terpampang kembali di depan
mata!
Sama seperti saat ini, hujan turun dengan derasnya, persis
seperti sekarang, dia pun berdiri di hadapan sang Toa-suheng, yang
beda hanya waktu itu Keng King-si tidak hadir.
Sikap Ko Ceng-kim tidak jauh berbeda seperti sikapnya barusan,


menatapnya tanpa berkata-kata.
Tanpa peduli air hujan yang masih turun dengan derasnya, cepa
t dia menjatuhkan diri berlutut.
"Suko, akubeisalah kepadamu.... aku.... aku....”
"Kenapa kau? Kalau ingin bicara, bicaralah secara baik-baik, tidak
usah begitu!"
"Aku merasa tidak punya muka untuk bicara denganmu, aku
hanya memohon....”
Tiba-tiba Ko Ceng-kim menghela napas panjang, ujarnya,
"Apakah kau hendak pergi bersama Ji-sute?"
"Suko, jadi kau sudah tahu?” seru Ho Giok-yan dengan tubuh
bergetar.
Ko Ceng-kim manggut-manggut, wajahnya ter-lihat jauh lebih
gelap, jauh lebih kelam daripada cuaca di langit.
"Suko, aku tidak dapat menjadi istrimu!" seru Ho Giok-yan sambil
menangis terisak, "aku tidak berani memohon pengampunan
darimu, aku hanya berharap lepaskanlah dia."
"Ai.... sejak awal sudah kuduga bakal terjadi peristiwa ini," Ko
Ceng-kim menghela napas, "Ji-sute pintar, berbakat dan pandai
merebut hatimu. Aku memang kalah dibanding dia!"
"Suko, bukannya aku ingin berubah pikiran. Sejak kecil ayah
telah menjodohkan aku kepadamu, seharusnya aku pun ingin sekali
menjadi istrimu. Aai.... padahal tidak ada gunanya kusinggung lagi
persoalan ini sekarang, karena biar kukatakan pun belum tentu kau
mau percaya."
Berkilat sepasang mata Ko Ceng-kim.
"Jadi maksudmu kau kena bujuk rayunya? Kau tertipu oleh siasat
busuknya?"
"Semua kejadian ini tidak bisa menyalahkan dia, kalau mau
disalahkan, salahkan nasibku yang jelek, kenapa ditakdirkan harus


menerima aib seperti ini!"
"Maksudmu, sesungguhnya kau pun menyukainya?"
"Suko, kau tidak usah bertanya lagi. Bila kau bersedia
memaafkan kami, biarkan kami pergi dari sini. Kalau enggan
memberi maaf, aku sudah siap menerima hukuman yang kau
jatuhkan!"
Karena dia bersedia menanggung semua resiko akibat kesalahan
yang telah diperbuatnya, tentu saja Ko Ceng-kim tidak bisa bertanya
lebih jauh.
Akhirnya Ko Ceng-kim mengulap tangannya berulang kali sambil
berkata, "Kalian boleh pergi, selama Ji-sute benar-benar baik
kepadamu, aku pun tidak akan menyalahkan dia, cuma....
"Cuma kenapa?"
"Apa rencana kalian selanjutnya?"
"Hidup mengasingkan diri, pergi ke ujung dunia dan tukar nama."
"Aai.... kenapa mesti berbuat begitu?" Ko Ceng-kim menghela
napas panjang.
"Kau bukannya tidak tahu tabiat ayahku, apalagi selama inipun
dia tidak menyukai King-si. Bila kejadian ini sampai ketahuan, aku
sebagai putrinya mungkin bisa lolos dari kematian, tapi King-si....
aku takut, paling tidak ilmu silatnya bakal dimusnahkan!"
"Kalau begitu menyingkirlah sementara waktu, bila rasa gusar
Suhu sudah mereda, biar kubantu kalian membujuknya. Cuma
orang persilatan banyak yang licik dan berhati keji, sementara kalian
masih muda, belum berpengalaman, dalam pergaulan di dunia
persilatan berhati-hatilah bercampur dengan orang, jangan salah
berkenalan, jangan salah bergaul hingga menyimpang dari norma
kebenaran, kalian jangan merusak nama baik ayahmu."
"Suko tidak usah kuatir, kami pun takut kalau sampai tertangkap
ayah. Jadi mana mungkin berani meminjam nama besarnya untuk
membuat keonaran di dunia persilatan? Aku toh pernah berkata,


kami sudah memutuskan untuk hidup mengasingkan diri,
memendam nama, hidup nun jauh di ujung langit. Yang penting
kami bisa hidup aman dan tenteram."
"Padahal kalian tidak perlu putus asa dan berkecil hati, memang
benar tabiat Suhu keras dan kaku, tapi aku percaya dia tetap akan
memaafkan kalian bila balik lagi besok. Saat itu kalian masih bisa
menjadi sepasang pendekar muda-mudi yang termashur."
"Semisal bakal terjadi seperti itu, aku rasa itu akan terjadi pada
delapan sampai sepuluh tahun mendatang.”
"Sekalipun Ji-sute takut pada Suhu, tidak seharusnya dia
ketakutan sampai begitu, padahal kalian tidak perlu....”
"Aku tahu. Kepergian kami tanpa sepengetahuannya, mungkin
hal ini bisa membuat dia orang tua semakin gusar. Tapi posisiku
sekarang ibarat kawin dengan ayam ikut ayam, yang bisa kulakukan
hanya mengikuti pendapat King-si."
Padahal sesungguhnya ada satu masalah yang tidak berani dia
katakan kepada Ko Ceng-kim, dia tahu orang yang sesungguhnya
paling ditakuti Keng King-si bukanlah ayahnya, melainkan Ko Cengkim
itu.
"Kalau memang kau sudah bertekad akan pergi bersamanya, aku
pun tidak akan menghalangi lagi," ujar Ko Ceng-kim kemudian, “aku
hanya berharap kau selalu ingat pada ucapanku."
"Aku akan mengingatnya selalu di dalam hati. Suko, bila kau
tidak ada persoalan lain, biarlah aku pergi sekarang juga."
Tidak disangka setahun baru lewat, mereka telah kembali lagi.
Yang lebih di luar dugaan ternyata apa yang selama ini
dikuatirkan suaminya, kini telah menjadi kenyataan.
Pemandangan di sekeliling tempat itu masih tetap seperti sedia
kala, mengapa nada bicara Ko Ceng-kim sama sekali telah berubah.
Dengan nada sedikit mendongkol, segera tegurnya, "Toa-suheng,
aku melupakan apa?"


"Aku pernah berkata, aku bisa memaafkan perbuatan Keng Kingsi
yang merampas kau dari sisiku, tapi belum pernah berkata dapat
memaafkan setiap perbuatan yang dia lakukan! Apakah kau ingin
aku mengulang sekali lagi perkataan ini?"
"Tapi kami tidak melakukan perbuatan sesat, kami tidak
terjerumus ke jalan serong, bahkan kami tidak pernah menodai
nama baik ayah!"
"Aku tidak mengatakan kau!" dengan wajah tanpa perasaan Ko
Ceng-kim menukas ketus.
Keng King-si tidak tahu apa saja yang telah mereka bicarakan
waktu itu, dia hanya tahu Ko Ceng-kim tidak bakal melepaskan dia.
Ditatap sedemikian rupa oleh Ko Ceng-kim yang sorot matanya
dingin membeku, lama kelamaan King-si tidak kuasa menahan diri,
tiba-tiba teriaknya, "Sumoy, kau tidak perlu memintakan ampun
lagi. Toa-suheng, aku tahu, aku memang bersalah kepadamu,
hukuman apa yang ingin kau jatuhkan kepadaku, lakukan-lah
sesuka hatimu!"
"Hm, kau bukan bersalah kepadaku, kau telah bersalah kepada
Suhu!"
"Apa katamu?" teriak Keng King-si terperanjat, "Darimana aku
bisa bersalah terhadap Suhu?"
Ko Ceng-kim tidak menjawab. Sementara itu Ho Liang si pelayan
tua telah menyusul sampai di situ. Ho Liang adalah pelayan setia
mereka, dia sangat setia terhadap ayahnya, bicara soal tingkatan,
dia masih jauh di bawahnya.
Dengan napas tersengal Ho Liang menuding ke wajah Keng Kingsi
sambil mengumpat, "Kau.... kau bukan cuma telah berbuat salah,
kau.... kau bajingan laknat!”
"Paman, kau jangan mencaci-maki dulu," cegah Ko Ceng-kim
cepat, "lebih baik kita tanya dulu sampai jelas sebelum bicara lebih
jauh."


"Apalagi yang mesti ditanya? Aku menyaksikan dengan mata
kepala sendiri!"
Tampaknya Keng King-si mulai panas hatinya, agak gusar
serunya, "Kalau bicara yang jelas, apa yang kau saksikan? Kenapa
kau memakiku bajingan laknat?"
"Persoalan ini pasti akan kuungkap sampai jelas," kata Ko Cengkim
sambil mengulapkan tangan, "sumoy, lebih baik pulanglah dulu
bersama Ho-toasiok!"
"Tidak, aku sudah hidup sebagai suami-istri dengan King-si,
persoalannya adalah persoalanku juga, aku akan tetap tinggal di sini
menemaninya!"
"Siocia, tahukah kau perbuatan apa yang telah dia lakukan?"
teriak Ho Liang gusar, "kalau sudah tahu tapi masih berusaha
melindunginya, jangan salahkan kalau aku.... aku....”
"Apa yang hendak kau lakukan terhadapku?"
Ho Liang memang menyaksikan sendiri gadis itu tumbuh hingga
dewasa, selama ini boleh dibilang dia sangat sayang dan
mencintainya bahkan memperhatikan segala keperluan gadis itu
hingga detilnya, kini walau-pun darah segar meleleh dalam hatinya,
namun dengan nada yang lembut ujarnya, "Siocia, aku percaya kau
telah ditipu habis-habisan oleh bajingan laknat ini. Kau adalah
seorang gadis ceria yang saleh dan berhati lembut, tidak mungkin
berbuat seperti dia, gila, sinting dan tidak punya peri kemanusiaan!"
Maksud perkataannya sangat jelas, andai dia mengetahui
perbuatan suaminya atau dia masih mempercayai ucapan suaminya,
maka dia sendiri pun sudah gila, sinting dan tidak berperi
kemanusiaan!
Kejut bercampur tercengang mencekam hati Ho Giok-yan, segera
bentaknya, "Sebenarnya apa yang telah dia lakukan? Cepat
katakan!"
"Sumoy," bujuk Ko Ceng-kim, "tidak ada salahnya kau tetap
tinggal di sini, tapi hal ini akan semakin menusuk perasaan hatimu!"


"Biar langit ambruk pun aku tak bakal takut!" sahut Ho Giok-yan
lantang, sementara dalam hati pikirnya, 'Tatapan mata kalian yang
begitu dingin menyengat pun sudah menusuk perasaanku,
rangsangan apalagi yang tidak bisa kutahan?'
"Baiklah," kata Ko Ceng-kim kemudian, "kalau begitu aku minta
kau menjawab pertanyaanku dengan sejujurnya, kemarin malam
apakah kau ada bersama Keng King-si?"
"Toa-suheng, mau apa kau menanyakan persoalan ini?” seru Ho
Giok-yan dengan wajah bersemu merah.
"Jawab pertanyaanku!" hardik Ko Ceng-kim keras.
"Kalau aku tidak bersama dia, lalu bersama siapa?"
"Apakah semalaman suntuk dia selalu berada di sisimu?"
Bergetar keras perasaan Ho Giok-yan.
'Toa-suheng, dia.... darimana dia bisa tahu? Apakah dia sudah
mengetahui jejak kami sejak awal hingga semalam pun datang
mengintai?' pikirnya.
Ternyata kemarin malam, ada sesaat Keng King-si memang tidak
berada di sampingnya.
Mereka menginap di sebuah losmen kecil, ketika terbangun di
tengah malam Ho Giok-yan tidak melihat suaminya berada di
sampingnya, kurang lebih setengah jam kemudian suaminya baru
muncul kembali. Ho Giok-yan sendiri pun tidak tahu kemana dia
telah pergi.
Kini dia dihadapkan pada pertanyaan itu, haruskah menjawab
dengan sejujurnya atau lebih baik berbohong? Untuk sesaat Ho
Giok-yan jadi bimbang dan tidak tahu bagaimana mesti menjawab.
Tiba-tiba Keng King-si bangkit berdiri, serunya, "Aku percaya
tidak pernah melakukan perbuatan memalukan yang takut diketahui
orang, tidak perlu ditutupi lagi. Benar, semalam aku telah
meninggalkan rumah penginapan karena harus menyelesaikan satu
urusan pribadi."


"Hm, kau masih berani mengatakan tidak melakukan perbuatan
yang malu diketahui orang, menurutku kau memang manusia gila
yang sinting dan tidak punya otak!"
Ko Ceng-kim segera mengulap tangannya mencegah Ho Liang
bicara lebih lanjut.
Ho Liang menurut dan segera menyingkir ke samping, tapi dia
tetap mengomel, "Kalau masih ingin diperiksa, periksa saja. Padahal
bukti seberat bukit sudah tertera di depan mata, kenapa mesti
diperiksa lagi!"
Ko Ceng-kim tidak menanggapi, dia berpaling dan tanyanya
kepada Keng King-si, "Urusan pribadi apa?"
"Menjumpai seorang sahabat."
"Siapa orang itu?"
"Kau tidak berhak mengetahui urusan pribadiku! Aku toh bukan
seorang narapidana, jangan kau menanya aku seperti memeriksa
seorang terpidana."
Kemarin malam, Keng King-si pun menggunakan jawaban yang
sama untuk menanggapi pertanyaan istrinya. Ho Giok-yan mulai
curiga bercampur tidak tenang, lamat-lamat dia mulai merasa
gelagat tidak beres.
"Keng-long!" buru-buru dia membujuk, "kalau memang tidak
pernah melakukan perbuatan jahat, kenapa kau tidak berani
berterus terang kepada Toasuheng?"
"Masa kau pun tidak percaya kepadaku?" Keng King-si tertawa
getir.
Mendadak Ho Liang menjerit keras, "Aku tidak sanggup menahan
diri lagi, Ko-siauya, biar kau melarang aku berbicara pun aku tetap
akan bicara. Bajingan laknat dari marga Keng, setelah melakukan
perbuatan busuk yang teramat berdosa, kau masih berlagak pilon?
Kau.... kau benar-benar bedebah, bangsat keparat!"
Umpatan terakhir dia ucapkan sambil menuding wajah Keng


King-si.
"Baiklah," ujar Ko Ceng-kim pula, "kalau dia tidak berani
mengakui, biar aku yang mewakilinya bicara!"
"Ho-toasiok!" teriak Ho Giok-yan dengan perasaan tercengang,
"apakah kau tahu perbuatan apa yang telah dia lakukan semalam?"
"Tentu saja aku tahu, semalam dengan mata kepala sendiri
kusaksikan perbuatannya, kusaksikan semua perbuatan terkutuk
yang telah dia lakukan, jangan harap dia bisa memungkirinya!"
"Sebenarnya perbuatan apa yang telah dia lakukan? Tolong
katakan kepadaku, bagaimanapun aku berhak mengetahuinya
bukan?"
Sementara itu air mata telah jatuh bercucuran membasahi wajah
Ho Liang, tapi nada suaranya masih kedengaran dingin dan tajam,
"Kemarin malam dia sama sekali tidak pergi menjumpai sahabatnya,
dia kembali ke rumahmu dan membunuh ayahmu!"
Waktu itu hujan telah berhenti. Tapi perkataan Ho Liang
bagaikan guntur yang menggelegar di siang hari bolong, membuat
Ho Giok-yan terperana, tertegun dan melongo.
Dia seolah tidak percaya dengan pendengaran sendiri, lama
setelah tertegun, tanyanya, "Ho-toasiok, kau.... apa kau bilang?"
"Tahukah kau, dia adalah musuh besar pembunuh ayahmu?"
Ho Giok-yan mundur sempoyongan, dengan susah payah
akhirnya dia berhasil menenangkan diri, jeritnya, "Aku tidak
percaya! Aku tidak percaya! Mana mungkin ayah tewas di
tangannya?"
Sambil menghela napas Ho Liang menggeleng kepala berulang
kali, katanya, "Kapan toasiok pernah membohongimu? Kau tidak
mau percaya pun tetap harus percaya. Ayahmu benar-benar telah
tewas dibunuh bajingan laknat itu. Dan bajingan laknat itu tidak lain
adalah....”
"Tidak, tidak mungkin bajingan laknat itu adalah dia!" potong Ho


Giok-yan cepat.
"Aku menyaksikan dengan mata kepala sendiri, mana mungkin
salah?"
Sikap Keng King-si waktu itu sangat tenang, bahkan tenangnya
luar biasa. Ujarnya perlahan, "Toa-suheng, sewaktu Suhu terbunuh,
apakah kau pun berada di rumah?"
"Hm, kalau aku berada di rumah, mana mungkin bajingan laknat
itu dapat melarikan diri?" sahut Ko Ceng-kim sambil menggigit bibir.
"Kalau begitu bolehkah aku mengajukan beberapa pertanyaan
kepada Ho-toasiok?"
"Tentu saja boleh."
Dengan hawa amarah yang masih meluap Ho Liang mendengus
dingin.
"Kau masih mencoba menyangkal?" jengeknya.
"Pertanyaan saja belum kuajukan, darimana kau tahu kalau aku
akan menyangkal?"
"Baik, kalau begitu tanyalah!"
"Jam berapa Suhu dibunuh orang semalam?"
"Kurang lebih mendekati kentongan kedua.”
"Semalam kami tinggal di dusun Gou-bin-tin."
Dengan perasaan tidak sabar Ho Liang kembali menukas, "Jarak
dusun Gou-bin-tin dengan rumah kita hanya selisih dua puluh lima
li, dengan ilmu meringankan tubuh yang kau miliki hanya butuh
waktu setengah jam untuk mencapainya."
"Kemarin, sejak kentongan kedua hingga kentongan ketiga dusun
Gou-bin-tin ditimpa hujan deras, waktu itu kau ada di rumah,
apakah hujan juga sedang turun di situ?"
"Betul, memang sedang hujan."
"Aku masih ingat, Suhu punya kebiasaan tidur lebih awal, apakah


waktu itu dia sudah tertidur?"
"Aku tidak tahu apakah saat itu dia sudah tertidur atau belum,
tapi aku mendengar dia seperti menjerit kaget dalam mimpinya,
ketika aku menyusul ke dalam kamar, saat itu kau si bajingan laknat
telah membunuhnya!"
Berulang kali Ho Liang mengatakan kalau dia menyaksikan
semua peristiwa itu dengan mata kepala sendiri, seakan sudah tidak
ada peluang lagi bagi lawan untuk membantah atau menyangkal.
Tiba-tiba Keng King-si bertanya, "Sumoy, apakah ayahmu punya
kebiasaan tidur dengan lentera tetap menyala?”
“Tentu saja tidak!"
"Ho-toasiok, ketika kau mendengar Suhu menjerit kaget,
tentunya kau tidak memasang lentera terlebih dulu sebelum
menyusul ke sana bukan?"
"Betul, aku memang tidak sempat melihat jelas raut mukanya,
tapi aku melihat bayangan punggungmu. Waktu itu kau sedang
melompat keluar lewat daun jendela! Kau masuk perguruan pada
usia sepuluh tahun, sedang tahun ini baru berusia dua puluh dua
tahun. Aku melihat kau tumbuh dewasa, aku telah melihatmu
selama dua belas tahun, biar mataku rabun pun tidak bakal salah
melihat orang!"
"Lumrah bila di hari biasa kau dapat mengenaliku hanya melihat
dari bayangan punggung, tapi semalam....”
"Semalam kenapa?"
"Semalam hujan turun sangat deras, langit gelap tidak
berbintang tidak berembulan. Menurut penuturanmu, aku pun saat
itu sedang melarikan diri dengan menggunakan ilmu meringankan
tubuh, mana mungkin hanya memandang sekilas bayangan
punggungku kau lantas dapat mengenali aku?"
"Benar," ucap Ho Giok-yan pula dengan perasaan lega, "Toasiok,
mungkin kau sudah punya rasa sentimen terhadapnya, maka....”


"Keng King-si, kau sangka dengan berbelit-belit lantas bisa lolos
dari tuduhan dan kecurigaan?" hardik Ho Liang makin sewot, "betul,
waktu itu aku memang tidak melihat dengan jelas, tapi aku dapat
mendengar dengan jelas sekali!"
"Apa yang kau dengar?" tanya Ho Giok-yan.
"Sewaktu aku berlari masuk ke dalam kamar, saat itu kudengar
ayahmu sedang mengumpat, dasar binatang busuk, sudah
kuwariskan ilmu silat kepadamu, ternyata kau justru
menggunakannya.... Belum selesai dia mengumpat, ayahmu sudah
keburu putus nyawa."
Kata umpatan "binatang" biasanya hanya digunakan untuk
memaki anak durhaka atau murid sendiri yang murtad. Jika apa
yang dikatakan Ho Liang tidak bohong, dapat dipastikan kecuali
Keng King-si, memang tidak ada pembunuh lain.
Berubah hebat paras muka Keng King-si, sesudah termangu
beberapa saat tiba-tiba ia bertanya, "Toa-suheng, semalam kenapa
kau tidak berada di rumah?"
Belum sempat Ko Ceng-kim menjawab, dengan amarah yang
meluap Ho Liang telah berkata lebih dulu, "Kurangajar, tampaknya
kau berniat balik menggigit Suhengmu? Kau tahu, ayah Giok-yan
justru jatuh sakit lantaran kau telah menipu dan melarikan putrinya.
Semalam Ko-siauya pergi ke dusun untuk membeli obat, dia baru
balik menjelang kentongan keempat."
"Aku mendatangi warung obat untuk membeli beberapa jenis
obat, tauke warung bisa jadi saksi, waktu itu kentongan ketiga baru
menjelang," Ko Ceng-kim menerangkan.
Keng King-si menghela napas panjang.
"Sayang aku tidak punya saksi, tampaknya aku mesti terima
nasib, menjadi kambing hitam!"
"Bajingan keparat," umpat Ho Liang semakin gusar, "dengan
berkata begitu, kau maksudkan aku dan Suhengmu memang sedang
bersekongkol mencelakaimu?"


Dalam gusar dia langsung menerkam maju sambil melepaskan
satu tempelengan keras.
Dengan sigap Keng King-si mengegos ke samping, serunya, "Hotoasiok,
mengingat kau sudah lama melayani Suhu, selama ini aku
selalu menghormatimu sebagai seorang angkatan tua. Tolong
jangan buka mulut langsung memaki, goyang tangan langsung
menampar, kalau tidak....”
"Kalau tidak kenapa?" jerit Ho Liang makin gusar, "kau
membunuh Suhu sendiri, mengkhianati perguruan, saking bencinya
aku ingin mencincang tubuhmu dan menggigit dagingmu!"
Walaupun ilmu silatnya jauh ketinggalan dibanding Keng King-si,
namun dengan mempertaruhkan nyawa dia tetap menerkam ke
depan dan memeluk tubuh pemuda itu kencang-kencang, bukan
cuma begitu, dia benar-benar pentang mulut dan mulai menggigit.
Tampaknya Keng King-si sendiri pun tidak sanggup menguasai
emosi, dia segera pentang lengannya ke samping, lalu mendorong
tubuhnya kuat-kuat.
"Blukkkk!", Ho Liang terpental ke belakang dan jatuh terduduk.
Buru-buru Ko Ceng-kim membangunkan Ho Liang dari tanah,
siapa tahu ketika diperiksa denyut nadinya, ternyata orang tua itu
sudah putus nyawa.
Berubah hebat paras muka Ko Ceng-kim, dengan wajah hijau
membesi dia membaringkan tubuh Ho Liang ke lantai, lalu sambil
melolos pedang dia membentak, "Keng King-sin, kau ingin
membunuh orang menghilangkan saksi? Jangan lupa, masih ada
aku!"
Tidak terlukiskan rasa kaget Ho Giok-yan, jeritnya, "Apa? Hotoasiok,
dia.... dia sudah meninggal?"
Dalam waktu sekejap Keng King-si sendiri pun dibuat tertegun
saking kagetnya. Ketika mendorong tadi, dia merasa tenaga yang
digunakan tidak terlampau besar, mungkinkah dia sudah kesalahan
hingga benar-benar mencabut nyawanya?


Belum sempat ingatan itu melintas, "Sreeeet!", tusukan maut
pedang Ko Ceng-kim telah meluncur datang.
Buru-buru Keng King-si mencabut pedangnya sambil menangkis,
teriaknya, "Mendorong Ho Liang sampai mati mungkin memang
kesalahanku. Tapi aku tidak mau mengakui sebagai pembunuh
Suhuku sendiri!"
Ho Giok-yan sendiri pun dibuat terperanjat hingga gugup,
serunya, "Toa-suheng, kenapa kau tidak memberi kesempatan
kepadanya untuk membela diri?"
"Apalagi yang bisa dia katakan?"
"Paling tidak kau harus tanya dulu kenapa dia membunuh Suhu
sendiri? Benar, kami memang telah melakukan perbuatan yang
merusak nama baik perguruan, kejadian itu bisa jadi membuat dia
orang tua gusar. Tapi aku tidak bakal percaya kalau King-si
melakukan perbuatan biadab dan terkutuk ini gara-gara kuatir
ditegur ayah."
"Tentu saja tidak mungkin hanya dikarenakan urusan ini saja."
"Lalu karena apa? Karena apa?"
"Kau bersikeras ingin tahu?” seru Ko Ceng-kim sambil menarik
muka.
"Benar, aku harus tahu!"
Ko Ceng-kim menghela napas panjang, katanya, "Aku kuatir kau
tidak tahan, sebenarnya aku tidak ingin kau tahu persoalan ini....”
"Ayah sudah meninggal, Ho-toasiok pun sudah mati, peristiwa
apalagi yang dapat membuat aku tidak tahan?" keluh Ho Giok-yan
sambil terisak.
"Ai, sebenarnya aku tidak ingin kau tahu persoalan ini," lanjut Ko
Ceng-kim, "tapi kalau tidak kukatakan, kau pasti akan menuduhku
membalas dendam karena sakit hati pribadi. Baiklah, kalau kau
memang ingin tahu, aku pun akan memberitahu secara terus
terang. Karena dia sebenarnya adalah mata-mata bangsa Boan!"


Pukulan batin kali ini benar-benar sangat besar dan berat,
membuat Ho Giok-yan limbung dan tidak sanggup berdiri tegak.
Setelah jatuh terduduk di lantai, seru Ho Giok-yan dengan suara
gemetar, "Toa-suheng, kau.... apakah kau punya bukti kalau....
kalau dia....”
"Setahun berselang, kalian bertempat tinggal dimana?"
"Sebuah dusun nelayan di tepi sungai Song-hoa."
"Kenapa kalian pergi ke wilayah kekuasaan bangsa Boan?" hardik
Ko Ceng-kim.
"Untuk menghindari pertemuan dengan orang-orang yang
dikenal," jawab Ho Giok-yan cepat.
"Keng King-si, aku minta kau yang menjawab!"
"Sumoy telah mewakili menjawab, kenapa kau minta aku untuk
menjawab lagi?"
"Aku kuatir kau pun telah mengelabui dia!
Katakan terus terang, kenapa kau lari ke tempat itu? Biar lebih
aman dan menguntungkan bila bertemu dengan pembelimu?"
Sekulum senyuman getir tersungging di ujung bibir Keng King-si,
sementara sinar buas memancar keluar dari balik matanya.
"Ternyata dugaanku tidak salah," serunya, "Toa-suheng, rupanya
kau memang sengaja mencari alasan untuk membunuhku!"
Ooo)*(ooO
Pertempuran sengit pun segera berkobar, kedua orang sesama
perguruan itu terlibat dalam baku hantam yang amat seru.
"Tolonglah, sementara waktu kalian jangan baku hantam dulu,"
pinta Ho Giok-yan setengah menjerit, "Toa-suheng, aku ingin bicara
denganmu, aku ingin bicara denganmu, tolong....”
"Sumoy, tidak usah memohon kepadanya. Dia tidak bakal
melepaskan aku," teriak Keng King-si.


Sementara Ko Ceng-kim menyahut setelah menghela napas
panjang, "Sumoy, kau masih belum percaya kalau dia orang jahat?
Baiklah, bila ada pertanyaan yang kau ragukan, katakan saja!"
"Di tempat itu kami hidup sebagai nelayan, rakyat yang hidup
dalam dusun yang sama pun hampir semuanya nelayan," Ho Giokyan
menerangkan, "selama satu tahun penuh tinggal di situ, kami
tidak pernah berjumpa dengan pejabat bangsa Boan biarpun hanya
seorang. Kalau dibilang di situ ada 'pembeli', dia hanya seorang
pembeli yang membeli semua hasil tangkapan kami."
"Untuk merekrut mata-mata, memang tidak perlu seorang
pejabat resmi yang turun tangan sendiri."
"Tidak banyak jumlah penduduk dusun itu, dia pun jarang sekali
berhubungan dengan orang luar. Aku tidak pernah menjumpai
seseorang yang mencurigakan."
"Bukankah di sana terdapat seorang lelaki kekar bermata segitiga
dengan telinga yang besar? Kau kenal dia bukan?"
"Orang itu bernama Huo Bu-tou, dia seorang pembeli ikan di
dusun kami, semua ikan hasil tangkapan kami diborong olehnya.
Ada apa dengan orang itu?"
"Peristiwa itu terjadi pada setengah tahun berselang, setengah
tahun berikut tiba-tiba orang itu menghilang bukan?"
Untuk sesaat Ho Giok-yan merasa terkejut bercampur ragu, tapi
kemudian sahutnya juga, "Betul, konon pasar ikan di dusun itu
sudah berganti pembeli lain, tapi aku tidak tahu kenapa mesti
berganti orang, apalagi kami memang tidak suka mencampuri
urusan orang, jadi tidak pernah menanyakannya. Toa-suheng,
apakah kau tahu siapa orang ini?"
"Aku belum pernah bertemu orang ini, tapi tahu dengan jelas
asal-usul dan posisinya!"
"Oh, siapa dia? Apa kedudukannya?"
"Dia adalah salah satu jago tangguh dari aliran Tiang-pek-san,


sebelum jadi pedagang ikan, kedudukannya semula adalah
pengawal pribadi Nurhaci Khan dari negeri Kim."
Diam-diam Ho Giok-yan merasa sangat terkejut, mimpi pun dia
tidak menyangka kalau orang yang berwajah begitu jelek dan lucu,
bahkan sepintas mirip seorang pedagang ikan biasa itu tidak lain
adalah seorang jagoan tangguh yang berilmu tinggi.
Terdengar Ko Ceng-kim berkata lebih lanjut, "Tapi jabatan dia
yang sesungguhnya adalah perekrut mata-mata yang diutus bangsa
Boan. Dia mendapat perintah khusus dari Nurhaci Khan dan saat ini
melakukan pergerakan di kotaraja kerajaan Beng kita. Untuk
mempermudah dan memperlancar gerakannya, dia malah berganti
nama dengan memakai nama bangsa Han, sekarang bernama Kwik
Bu."
"Toa-suheng, sekalipun apa yang kau katakan itu benar, tapi apa
sangkut-pautnya dengan kami?"
"Kita memang sama sekali tidak tahu jabatan sebenarnya dari
orang itu," tukas Ko Ceng-kim, "kau pun mungkin tidak tahu, tapi
Keng King-si tahu dengan jelas!"
Kemudian sambil menatap tajam lawannya, dia membentak lagi,
"Keng King-si, apakah sampai sekarang kau masih belum mau
mengaku?"
"Kau suruh aku mengaku apalagi?"
"Kenapa kau balik kemari setelah menyingkir jauh ke luar
perbatasan?"
"Toa-suheng, bukankah sudah kujelaskan? Akulah yang
mengajak dia balik. Karena aku sudah hamil, karena aku kangen
rumah....”
Pipinya berubah jadi merah padam lantaran jengah, tapi demi
menyelamatkan jiwa suami, dia tidak ambil peduli lagi dengan
segala pantangan dan rasa malu.
"Sumoy, kau sudah ditipu olehnya, sepintas kelihatannya dia


balik karena permintaanmu, padahal alasan yang sebenarnya adalah
karena dia telah menerima sepucuk surat rahasia dari Huo Bu-tou.
Huo Bu-tou lah yang menyuruh dia balik kemari!"
Dengan perasaan ragu bercampur kaget Ho Giok-yan berseru,
"Masa ada surat rahasia seperti itu? Kenapa aku tidak pernah
mendengar? Kenapa....?”
Setajam mata pedang Ko Ceng-kim menatap lekat wajah Keng
King-si, sahutnya ketus, "Tentu saja dia tidak akan mengatakan
kepadamu."
Lalu sambil meninggikan suaranya dia melanjutkan, "Keng Kingsi,
urusan sudah sampai di sini, seharusnya kau pun mengerti
bahwa kelicikanmu tidak bakal berhasil mengelabui aku. Berani kau
mengatakan kalau tidak pernah menerima surat rahasia semacam
ini? Berani kugeledah sakumu? Aku tahu surat itu akan kau gunakan
sebagai tanda pengenal, jadi mustahil sudah kau bakar habis. Kalau
bukan berada dalam sakumu, pasti kau sembunyikan dalam
buntalanmu itu!"
Sewaktu berteduh dari hujan serangan tadi, buntalan yang selalu
digembol Keng King-si itu diletakkan di bawah tonjolan batu yang
berada di sisi tebing, darimana Ho Giok-yan setiap saat dapat
menyentuhnya.
Benar saja, begitu disinggung, paras muka Keng King-si kontan
berubah hebat, tanpa sadar dia melirik sekejap ke arah
buntalannya.
Kelihatannya Ho Giok-yan sudah termakan oleh perkataan itu,
pikirnya, 'Seandainya dia memang sudah sejahat apa yang
dikatakan Toa-suheng, tidak seharusnya aku berusaha melindungi
dia.'
Berpikir begitu, sambil menggertak gigi dia segera membuka
buntalan milik suaminya itu.
Begitu buntalan dibuka, benar saja, dia segera menemukan
sepucuk surat.


Di atas surat itu tertulis,
"Siaute berada di kotaraja dan beruntung berhasil merebut posisi
tinggi, tidak tertutup kemungkinan suatu hari bisa mencapai jabatan
terhormat.
Bila kakak berhasil menyelesaikan tugas besar, silakan datang ke
kotaraja untuk bersua.
Tertanda, tanpa nama."
Walaupun surat itu tidak dicantumkan nama seseorang, namun
Ho Giok-yan dapat mengenalinya sebagai gaya tulisan Huo Bu-tou.
Di masa lalu, dia sering menjual ikan kepada Huo Bu-tou, malah dia
pun sering membeli keperluan lain melalui orang ini, hingga tidak
heran kalau dia banyak menerima bon tulisan Huo Bu-tou dan
mengenali tulisannya.
Begitu selesai membaca surat itu, sekujur badan Ho Giok-yan
gemetar keras, tubuhnya menggigil bagaikan terperosok ke gudang
es, tanyanya dengan nada gemetar, "Su.... surat ini....”
Rasa panik dan takut yang diperlihatkan Keng King-si saat ini
sudah tidak sehebat tadi, dibalasnya tatapan mata istrinya sambil
berkata, "Surat itu memang benar-benar ada. Aku tidak
memberitahu kepadamu karena ada alasan lain yang terpaksa. Tapi
aku yakin tidak melakukan hal-hal yang melanggar aturan dan
norma....”
Sambil tertawa dingin Ko Ceng-kim segera menukas
perkataannya yang belum selesai, kepada Ho Giok-yan, ujarnya,
"Sumoy, sekarang kau sudah melihat dengan jelas bukan bahwa
surat itu bukan surat biasa. Kini surat sudah ada di depan mata,
apakah kau masih curiga kalau perkataanku semua hanya bohong?"
Akan tetapi Ho Giok-yan masih nampak ragu dan penuh tanda
tanya, tiba-tiba tanyanya sambil mengangkat wajah, "Toa-suheng,
bukankah kau mengatakan kalau tidak kenal Huo Bu-tou?"
"Betul. Aku memang belum pernah bertemu dengan orang itu.
Bentuk mukanya pernah kudengar dari pembicaraan orang lain."


"Urusan wajah hanya masalah kedua. Yang membuat aku tidak
habis mengerti adalah darimana kau tahu kalau dia memberikan
sepucuk surat untuk King-si? Bahkan seolah-olah kau pun sudah
mengetahui dengan jelas isi surat itu! Kalau memang surat itu isinya
sangat rahasia, tidak mungkin dia sembarangan memberitahukan
kepada orang lain, kecuali terhadap sahabatnya yang paling karib,
bukankah begitu?"
"Belum tentu harus sahabat karibnya baru tahu isi surat itu,
musuhnya pun dapat mengetahui isi surat itu," dengus Ko Ceng-kim
dingin.
"Apa maksud perkataanmu itu?"
"Jangan lupa, ayahmu adalah Ji-ouw Tayhiap, di samping itu dia
pun seorang tokoh pimpinan Bu-tong-pay. Sekalipun dia tidak
berada di kotaraja, bukan berarti di kotaraja tidak terdapat anak
murid Bu-tong-pay! Gerak-gerik Huo Bu-tou sangat mencurigakan,
tidak lama setibanya di ibukota, rahasia asal-usulnya sudah berhasil
diketahui orang."
"Maksudmu, ada anak murid Bu-tong-pay yang melaporkan
rahasia Huo Bu-tou ini kepada ayah? Mungkin saja rahasia asalusulnya
mudah diselidiki, tapi darimana pula kau bisa mendapat
tahu tentang rahasia surat itu?"
"Dia bukan berhasil menyelidiki, tapi menyaksikan dengan mata
kepala sendiri. Kau tidak usah gugup atau panik, dengarkan dulu
penjelasanku, kau pasti akan tahu dengan sejelasnya."
"Surat itu dibawa pulang oleh seorang pembantu kepercayaan
Huo Bu-tou, orang yang mendapat tugas mengawasi gerak-gerik
Huo Bu-tou segera melakukan penguntitan secara diam-diam atas
pembantu itu. Hari ketiga setelah pembantu itu meninggalkan
kotaraja, dia berhasil ditangkap hidup-hidup!"
"Kalau memang pembawa surat itu sudah ditangkap anak murid
Bu-tong-pay, kenapa surat ini bisa diantar sampai ke tangannya?"
tanya Ho Giok-yan.


"Tentu saja murid Bu-tong-pay itu tidak akan membunuh si
pembawa surat, dia hanya menotok jalan darah 'In-hiat' (jalan
darah tersembunyi) di tubuh orang itu, apa akibatnya bila In-hiat
tertotok, rasanya aku tidak perlu menjelaskan lagi kepadamu
bukan?"
Partai Bu-tong terkenal dengan ilmu totokan yang luar biasa, bila
In-hiat seseorang sampai tertotok, maka akibatnya walaupun orang
itu masih bisa bergerak seperti biasa, namun bila dia mencoba
menghimpun tenaga dalam, maka perutnya akan kesakitan seperti
disayat pisau. Bila In-hiat sudah tertotok, maka luka dalamnya kian
hari kian bertambah dalam, jika selewat tujuh hari belum ada murid
Bu-tong-pay yang membantu membebaskan pengaruh totokan
orang itu, maka dia akan tersiksa dan kesakitan setengah mati
sebelum akhirnya mati secara mengenaskan.
Tentu saja Ho Giok-yan memahami persoalan itu, katanya
kemudian, "Jadi dia memang sengaja dibiarkan hidup agar orang itu
bisa berlagak tidak ada kejadian apa-apa dan tetap mengantarkan
surat?"
"Betul, kalau tidak berbuat begitu, mana mungkin bisa
memancing murid murtad ini masuk perangkap?"
"Siapakah anggota Bu-tong-pay yang kau maksud?"
"Ting-susiok!"
Yang dimaksud sebagai Ting-susiok adalah Sam-sute dari Ho Kibu,
ayah Ho Giok-yan, orang itu bernama Ting Im-hok, sekalipun
ilmu silat yang dimiliki Ting Im-hok masih kalah jauh dibandingkan
kungfu kakak seperguruannya, namun dia terkenal sebagai seorang
jagoan Bu-tong-pay yang cerdas dan banyak akal.
"Kenapa Ting-susiok harus mengeluarkan tenaga begitu besar
untuk memancing King-si balik kemari?"
"Pertama, dia masih belum tahu secara pasti apakah Keng King-si
sudah bertekad akan mengkhianati perguruan atau tidak, dia hanya
kuatir termakan oleh rencana busuk lawan yang sengaja diatur


begitu. Baginya membersihkan nama baik perguruan merupakan
wewenang Suhu, maka dia tak ingin mencampurinya."
"Ai.... tapi tidak disangka kejadian ini mengalami perubahan yang
luar biasa, perubahan itu sama sekali di luar dugaannya, walaupun
si murid murtad berhasil dipancing balik, namun Suhu justru tewas
dicelakai murid durhaka itu."
"Aku tidak pernah mencelakai Suhu," teriak Ken King-si keras,
"surat itupun bukan surat pengantarku untuk menjadi mata-mata
bangsa Boan! Aku berani bersumpah....”
"Hehe.... siapa yang percaya dengan sumpah palsumu?" ejek Ko
Ceng-kim sambil tertawa dingin, di tengah senyuman dinginnya dia
kembali menatap wajah Ho Giok-yan.
Ho Giok-yan sendiri pun tidak berani mengatakan "aku percaya",
Anda sedang membaca artikel tentang Cerita Silat ABG : BuTong It Kiam 1 dan anda bisa menemukan artikel Cerita Silat ABG : BuTong It Kiam 1 ini dengan url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/12/cerita-silat-abg-butong-it-kiam-1.html,anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya jika artikel Cerita Silat ABG : BuTong It Kiam 1 ini sangat bermanfaat bagi teman-teman anda,namun jangan lupa untuk meletakkan link Cerita Silat ABG : BuTong It Kiam 1 sumbernya.

Unknown ~ Cerita Silat Abg Dewasa

Cersil Or Post Cerita Silat ABG : BuTong It Kiam 1 with url http://cerita-eysa.blogspot.com/2011/12/cerita-silat-abg-butong-it-kiam-1.html. Thanks For All.
Cerita Silat Terbaik...

{ 2 komentar... read them below or add one }

xjd7410@gmail.com mengatakan...

20151005 junda
Louis Vuitton Bags Outlet Store
Coach Factory Outlet Stores 70% off
Real Louis Vuitton Bags
tory burch outlet
Authentic Louis Vuitton Belts Outlet Store
cheap louis vuitton
canada goose outlet
louis vuitton outlet
Authentic Louis Vuitton Handbags Cheap Online
Oakley Vault Outlet Store Online
true religion outlet
Michael Kors Outlet Online No Tax
abercrombie
ralph lauren
Louis Vuitton Bags On Sale
michael kors handbags
Louis Vuitton Handbags Official Site
fitflops
michael kors handbag
coach factory outlet online
Air Jordan 4 Toro Bravo
Louis Vuitton Handbags Factory Store
Hollister uk
Michael Kors Outlet Online Mall
Coach Factory Outlet Private Sale
Michael Kors Online Outlet Shop
nfl jerseys
New Louis Vuitton Handbags Outlet
air max 90
Christian Louis Vuitton Red Bottoms

柯云 mengatakan...

2015-12-23keyun
michael kors outlet store
ugg boots
tiffany jewelry
michaek kors outlet
ray ban outlet store
michael kors outlet online
cheap uggs
coach outlet store online clearance
coach factory outlet
coach outlet online
louis vuitton outlet
louis vuitton outlet
the north face jackets
christian louboutin outlet
coach outlet
cheap toms
ugg australia outlet
supra shoes
ugg sale
coach factory outlet
adidas original trainers
louis vuitton
toms outlet
true religion
michael kors outlet
ray-ban sunglasses
oakley outlet
michael kors outlet
soccer shoes
coach clearance
uggs sale
canada goose coats
canada goose outlet store
fit flops
mulberry uk
uggs australia
louis vuitton purses
celine bags
ralph lauren outlet
lebron 12

Posting Komentar