Apa yang dia bicarakan? Ji hau menghembuskan nafas
panjang lalu menjawab, “Dia bertanya, “Bagaimana dengan
tempat yang dipilih?” lalu seorang lain menjawab, “Tempatnya
sudah dipilih, terletak di tengah tumbuhan ilalang ditepi
seberang sungai!” kemudian makhluk tua itu bertanya lagi,
“bahan-bahan untuk hioloo darah sudah kau siapkan komplit?”
orang yang satu menyahut, “Oh sudah, sudah siap semua!”
makhluk tua itu bertanya lagi, “makhluk-makhluk beracunnya
juga sudah siap?” orang yang lain menjawab, “sudah
kusiapkan semua!”
Suasana hening untuk sesaat lalu orang itu menyambung
kembali, “Suhu tak usah kuatir, asal mereka menginjak
kedaratan, tanggung akan terluka oleh ilmu Hiat teng koh hun
to hoat kita!”
Mendengar sampai disitu, Siau Ngo-ji kerutkan dahinya
rapat-rapat dan bergumam, “Ilmu sakti hioloo darah pembetot
sukma? ilmu sihir apaan itu….? mungkin ilmu jahat yang amat
keji….”
“Aku sendiripun tidak tahu ilmu apaan itu, mereka
mengatakan begitu maka akupun sampaikan kepadamu tanpa
mengurangi sepatah katapun!”
“Bagaimana selanjutnya? cepat katakan!” seru Siau Ngo-ji
dengan gelisah.
Dengan muka mewek Ji hau melanjutkan, “Kemudian….
waah! menarik sekali, baru saja aku mencuri dengar
pembicaraan itu, tiba-tiba jendela dibuka dan seorang baju
kuning yang mudaan itu melongok keluar, tengkukku langsung
dicengkeram seperti anak kucing kemudian melemparkan ke
tubuhku keluar dari halaman, kakiku belum sempat menginjak
tanah terdengar makhluk tua baju kuning itu sudah
membentak keras, ‘tangkap kembali! mampusi bocah itu!’
waaduuh, aku semakin ketakutan, untung Lo Thian ya masih
lindungi aku, kebetulan aku terjatuh ketumpukan rumput
kering diistal kuda, cepat-cepat aku menggelinding ketanah
dan menerobos keluar lewat lubang anjing disudut tembok,
makhluk kecil itu goblok sekali ketika ia sampai diluar, aku
sudah ngeloyor kedalam rumah penggiling tahu disamping
rumah penginapan itu dan sembunyikan diri.”
“Macam apakah kakek tua yang duduk bersila dikamar
sebelah makhluk tua itu?” tanya Siau Ngo-ji kemudian dengan
suara berat.
“Jenggotnya putih, rambutnya putih, bajunya putih dan
raut wajahnya bersih rada gagah!”
Siau Ngo-ji alihkan pandangannya ke arah siau biau ji, dan
tanyanya lagi, “Selain makhluk aneh baju kuning, apakah
masih ada orang-orang yang menyolok lagi masuk kedalam
kota?”
“Kami lihat seorang perempuan berbaju hitam, berwajah
putih dan berambut uban dengan membawa sebuah tongkat
hitam dengan kepala setan terukir digagangnya masuk ke
dalam kota, tampaknya mirip dengan Kiu-im Kaucu yang
pernah kami dengar, aku suruh siau kwik menguntilnya, siapa
tahu baru ikuti beberapa jauh, mendadak perempu ao itu
lenyap tak berbekas dan sampai sekarang tidak ketemu lagi!”
“Selain itu?”
Seorang perempuan cantik yang membawa rase putih juga
masuk kedalam kota, wajah nya mirip Giok teng hujn tapi
betul atau tidak entahlah, selain itu ada pula seorang
perempuan muda yang menunggang kuda, wajahnya cantik
jelita dan boleh dibilang bagaikan bidadari yang baru turun
dari kahyangan!”
“Perempuan itu adalah Pek Kun-gie!” seru Siau Ngo-ji
dengan amat gusarnya, “ia merecoki Hoa toako terus
menerus. Hmm! kalau sampai ketemu dengan aku, pasti akan
ku maki habis-habisan, perempuan yang tak tahu malu!”
“Kenapa sih musti dimaki?” tanya Siao biau ji keheranan,
perempuan itu cantiknya bukan kepalang, kalau aku sih tak
tega un tuk mencaci maki dirinya…. kasihan!”
Siau Ngo-ji segera tertawa dingin.
“Heeh…. heehh…. heehh…. kau anggap enso ku jelek?
kecantikan wajahnya mungkin sepuluh kali lipat lebih hebat
daripada perempuan yang bernama Pek Kun-gie itu.
Ia bangkit berdiri dan ambil keluar sekeping perak, sambil
diserahkan kepada kakek penjual bakmi, pesannya, “Uang itu
aku titipkan disini, kalau siau biau ji tak punya uang uutuk
makan, biar dia makan mie ditempatmu, tiga tahun kemudian
aku akan bayar kekurangannya, berapa saja kekurangan itu
pasti akan kubayar….”
Jilid 17
“BAGAIMANA kalau orang lain yang makan?” tanya kakek
penjual bakmi sambil menerima uang itu.
“Kecuali ini hari aku yang menjamu, selanjutnya tak ada
hubungan apa-apa dengan nonaku!”
Setelah berhenti sebentar, ia melanjutkan.
“Kalau engkau berani menganiaya Siau biau ji Hmm!
warung bakmi ini akan kuobrak abrik sampai rata dengan
tanah, jenggotmu akan kucabuti semua hingga tak mampu
hidup di sini lagi.”
Kepada rekan-rekan lainnya dia melanjutkan, “Kalau
kehidupan kalian alami kesulitan pergilah cari Ko toako! Siau
biau ji paling kecil diantara kalian, pengalamannya paling
dangkal, kalian jangan mengganggu dirinya!”
Bocah-bocah itu sama-sama mengiakan, sedang Siau biau ji
sambil menangis sesenggukan katanya, “Engkoh Ngo ko,
kemana engkau pergi aku mau ikut terus jangan tinggalkan
aku seorang diri!”
“Tidak mungkin, setelah tiba diperkampungan Liok Soat
Sanceng nanti aku akan mintakan ijin kepada enso agar utus
orang datang kemari untuk menyambut dirimu.”
“Kenapa musti tunggu tiga tahun?” seru siau biau ji dengan
air mata bercucuran.
Siau Ngo-ji termenung sebentar, kemudian jawabnya,
“Paling lama tiga tahun, mungkin juga kurang dari itu…. Nah!
pergilah bermain-main, aku harus segera kembali.”
“Ngoko, cengkerikmu!” seru siau biau ji sambil berikan
tabung bambu itu kepada kakaknya.
“Aku tak mau bermain itu lagi, buat kau!”
Siau hiau ji mengangguk.
“Ngo ko, ajarin aku ilmu silat agar kalau berkelahi aku bisa
lebih tangguh “
“Sekarang tak ada waktu, lain kali saja,” setelah memberi
salam kepada rekan-rekannya ia menambahkan, “Nah, sampai
jumpa lain waktu, aku pergi dulu!”
Sambil mengingat-ingat terus persoalan tentang ilmu hioloo
darah pembetot sukma, bocah itu dengan cepat kembali ke
rumah penginapan.
Beberapa jalan raya sudah diseberangi, ketika ia tiba satu
tombak dari pintu penginapan, tiba-tiba bayangan manusia
munculkan diri dari bawah wuwungan rumah, sambil
menampakkan diri ia meregur lirih, “Saudara cilik, tunggu
sebentar!”
Siau Ngo-ji terperanjat dan mundur dua langkah, ketika
mengang-kat kepalanya bocah itu kontan merasa terperanjat.
Seorang gadis yang cantik jelita bagaikan bidadari berdiri
dibawah lampu jalan yang remang-remang, meskipun suasana
agak gelap namun kecantikan wajah dara itu sangat mengikat
hati, sampai Siau Ngo-ji yang masih kecilpun diam-diam
mengagumi.
Gadis itu menengok sekejap sekeliling tempat itu, kemudian
mengundurkan diri ke bawah wuwungan rumah, seraya
menggape bisiknya, “Saudara cilik, kemarilah! aku punya
urusan penting hendak disampaikan ke padamu!”
“Engkau adalah Pek Kun-gie!” tegur Siau Ngo-ji tanpa
bergerak.
Gadis cantik itu tersenyum dan mengangguk.
“Engkau kenal aku? Ohh! Thian-hong yang beritahu
kepadamu?”
Siau Ngo-ji berdiri melongo, pikirnya, “Aduh mak, betulbetul
cantik! apalagi kalau tertawa, waduh bikin hati orang
syuur-syuuran…. Hoa toako bisa menampik cintanya, itu
menandakan kalau toako betul-betul seorang lelaki yang
hebat!”
Sementara itu Pek Kun-gie sudah menggape lagi sambil
berseru, “Kemarilah! jangan berdiri ditenhah jalan, aku punya
kabar penting hendak disampaikan kepadamu”
Siau Ngo-ji melangkah maju tapi sekilas bayangan terlintas
dalam benaknya, tiba-tiba ia teringat akan Chin Wan-hong,
bocah itu segera merasakan hatinya hangat dan segar seolaholah
tersorot oleh cahaya sang surya.
Pada mulanya bocah ini adalah seorang anak yatim piatu
yang tak punya sanak tak punya keluarga, sedari kecil hidup
gelandangan dikota Lok yang, ia kenyang disiksa, hidup
menderita dan tak kenal apa artinya kasih sayang.
Meskipun Hoa Hujin, Hoa Thian-hong dan Tio Sam-koh
sangat baik terhadap dirinya, kasih sayang itu adalah kasih
yang umum dan sama sekali tidak merangsang daya rasanya
yang hebat, lain halnya dengan Chiu Wan Hong.
Dara ini bukan saja harus melayani mertuanya dan
suaminya, diapun sangat kasih dan menaruh perhatian
terhadap Siau Ngo-ji, terutama sekali wataknya yang halus
berbudi dan sifat kewanitaan yang tegitu tebal ditambah
ketulusan dan kehangatan kasih seorang ibu tercermin begitu
tebalnya, membuat setiap ucapan dan gerak-geriknya
mengandung kasih sayang dan perhatian yang tak terhingga
bagi Siau Ngo-ji.
Walaupun kasih sayang dan perhatian itu ditampilkan
secara sederhana dan wajar, namun kesemuanya timbul dari
dasar sanu bari yang suci dan sama sekali tiada suatu paksaan
atau pura-pura, karena itulah Siau Ngo-ji merasakau daya
rangsangan yang besar atas kebaikan yang pernah
diterimanya selama ini.
Teringat akan ensonya, timbullah rata permusuhan yang
tebal terhadap Pek Kun-gie yang cantik jelita, bocah itu tak
berkutik dari tempat semula dan tegurnya ketus.
“Darimana kau kenal diriku?”
Agak terperangah Pek Kun-gie menyuksikan perubahan
sikap bocah itu, jawabnya kemudian, “Aku lihat setiap hari kau
bergaul dengan Thian-hong, kalian sering bercakap dan
bergurau dengan mesrahnya, tentu saja kuk nali dirimu!”
“Hmm! Hoa toako adalah suami dari enso ku, tentu saja
mesrah dengannya, berita penting apa yang hendak kau
katakan? sampaikan saja kepadaku, kalau ingin ketemu Hoa
toako…. Huuh! jangan mimpi”
Ucapan tersebut sangat menusuk hati Pek Kun-gie,
parasnya berubah hebat, lama sekali ia baru pulih kembali
seperti sedia kala.
“Engkau adalah sanak dari keluarga Hoa? ataukah sanak
dari keluarga Chin Wan-hong?” tanyanya kemudian.
“Hmm! enso adalah nyonya muda dari keluarga Hoa, maka
aku boleh dianggap sanak dari keluarga Hoa juga sanak dari
keluarga Chin”
Pek Kun-gie mengerutkan dahinya, dengan muka murung
ia berbisik, “Usiamu masih muda dan tak tahu urusan,
memandang diatas wajah Thian-hong aku tak mau ribut
dengan kau….”
Siau Ngo-ji segera tertawa dingin, tukasnya, “Kau tak mau
ribut, justru aku ingin ribut, ayoh jawab apa mau mu
menguntit terus perjalananku?”
Hawa nafsu membunuh yang tebal melintas diatas wajah
Pek Kun-gie, dia maju dan siap melancarkan serangan maut.
Sebagai putri ketua perkumpulan Sin-kie-pang yang
dibesarkan dibawah asuhan ayahnya yang berkekuasaan
besar, ia sudah terbiasa bersikap angkuh dan tinggi hati, kalau
bukan mencintai Hoa Thian-hong tak mungkin dia sudi hidup
menderita, namun sifat tersebut hanya berlaku khusus buat
Hoa Thian-hong seorang, bagi orang lain watak angkuh dan
kejamnya masih berlaku seperti sedia kala.
Kadangkala kekuatan yang terpancar akibat cinta memang
sangat besar, ketika ia maju kedepan tiba-tiba satu ingatan
berkelebat dalam benaknya.
Kalau bocah ini aku lukai, Thia Hong pasti akan gusar
kepadaku, aku tak boleh sembrono.
Cepat ia tahan tubuhnya dan berseru, “Beritahu kepada
Thian-hong, katakan ada orang hendak gunakan siasat busuk
untuk mencelakai jiwa lo hujin dan dirinya, aku akan
menunggu disini, cepat suruh dia keluar!”
Stan ngo ji kerutkan dahinya dan tertawa dingin.
“Heeeh…. heeeh…. heeehh aku saja tidak gelisah, kenapa
kau musti ribut? bukankah orang Mo-kauw hendak celakai
mereka dengan ilmu hioloo darah pembetot sukmanya?”
Tertegun Pek Kun-gie mendengar ucapan tersebut, serunya
keheranan, “Ilmu hioloo darah pembetot sukma? ilmu apaan
itu? bukan itu yang kumaksudkan, cepat panggil Thian-hong!”
“Huuhh! kalau ingin adakan pertemuan dengan Hoa toako
katakan saja terus terang, pakai akal-akalan segala. Huuhh!
tak tahu malu,” batin Siau Ngo-ji, “dianggap dengan perkataan
seperti itu, aku lantas ketakutan?”
Berpikir begitu, dengan acuh tak acuh dia pun berkata lagi,
“Tidak sukar kalau suruh aku panggilkan Thian-hong, tapi
kabar ini musti aku laporkan kepada enso dulu, kemudian
suruh enso yang beritahu toako, setuju tidak?”
Secara lapat-lapat Pek Kun-gie merasakan hatinya sakit
seperti diiris, pikirnya, “Aaai…. keadaan sekarang ibarat
harimau turun gunung yang dianiaya kawanan anjing, ooh
Thian-hong kenapa kau tidak keluar? apakah kau tidak tahu
semalam aku menunggu dirimu ditluar?”
“Bagaimana? setuju tidak?” terdengar Siau Ngo-ji menegur
dengan uara ketus, “kalau beritahu saja kepadaku biar aku
yang sampaikan, kalau urusan benar serius maka diam-diam
akan kusampaikan kepada toako cuma, engkau tetap tak bisa
bertemu dengan toako!”
Pek Kun-gie menghela napas panjang.
“Baiklah akan kuceritakan garis besarnya saja,
sampaikanlah kepada toako!”
“Bicara pulang pergi kau hanya ingin bertemu dengan
toako…. Huuh baiklah ceritakan garis besarnya kepadaku dan
nanti akan kuper-timbangkan lagi”
“Sebetulnya….”
Tiba-tiba terdengar dengusan dingin yang menyeramkan
memecahkan kesunyian, bagaikan sambaran kilat sesosok
bayangan manusia menubruk ke arah Pek Kun-gie.
Merasakan datangnya ancaman, Pek Kun-gie terperanjat
dan loncat kebelakang, teriaknya keras-keras, “Cepat lari
pulang”
Belum habis kata-kata itu diutarakan, bayangan tadi
kembali menerjang untuk kedua kalinya ke arah Pek Kun-gie
dengan kecepatan bagaikan sambaran petir.
Pek Kun-gie putar telapak dan cabut pedangnya, cahaya
tajam berkilauan dan ia balas menyerang dengan pedang
lemasnya.
Menyaksikan kejadiau itu, Siau Ngo-ji jadi panik, pikirnya,
“Aduuh celaka, kalau Pek Kun-gie mampus, maka berita itu
tak bisa disampaikan kepada toako.”
Sebagai bocah yang cerdik, dia segera bertindak cepat,
sambil kabur kepenginapan ia berteriak keras, “Hoa toako,
cepat keluar Kiu-im Kaucu, Pia Leng-cu….”
oooooOooooo
66
BELUM habis ia berseru, dari atap penginapan menggema
bentakan gusar dari Hoa Thian-hong.
“Kiu-im Kaucu, aku orang she Hoa sudah menanti disini!”
Ternyata bayangan marusia yang menyergap Pek Kun-gie
bukan lain adalah Kiu-im Kaucu, dia bermaksud membekuk
gadis itu dalam satu gebrakan, diluar dugaan sambutan
pedang dari gadis itu cukup tangguh membuat tubuhnya
meleset dari sasaran, tangan kanannya segera menyodok
lewati jaring pedang dan menotok tubuh dara itu.
Kembali Hoa Thian-hong membentak, “Libat pedang!”
Cahaya hitam secepat kilat meluncur kedepan dan menusuk
punggung Kiu-im Kaucu.
Walaupun selisih jarak ada dua tombak, namun pancaran
hawa ki kang dari ujung pedang telah mengancam jalan darah
Leng tay hiat dipunggung Kiu-im Kaucu, memaksa jago tua itu
cepat-cepat harus melindungi diri.
Dengan hati terperanjat Kiu-im Kaucu mundur kebelakang
dan melayang beberapa tombak kesamping.
Cahaya hitam lenyap dari udara Hoa Thian-hong berdiri di
tengah jalan dengan gagah, mulutnya membungkam dalam
seribu bahasa.
Lega hati Pek Kun-gie setelah lolos dari ancaman, sambil
tuding Kiu-im Kaucu ujarnya, “Thian-hong, ia telah menyusun
rencana keji, besok pagi….”
“Budak cilik, rupanya kau sudah bosan hidup!” seru Kiu-im
Kaucu dengan nada seram.
Peras muka Hoa Thian-hong berubah, ia menghadang
didepan Pek Kun-gie sambil berseru dengan suara dalam,
“Kun Gie, mundurlah agak jauh!”
Pedang bajanya diayun dan segera mengebas keudara
kosong.
Pek Kun-gie tertegun, ketika ia angkat kepala tampaklah
diujung pedang baja milik Hoa Thian-hong telah menempel
tiga batang duri racun yang panjangnya beberapa cun serta
berwarna hitam tak mengkilap.
Ketiga batang duri racun itu meluncur tanpa menimbulkan
suara ataupun kerlipan cahaya, sementara tangan kiri Kiu-im
Kaucu memegang tongkat kepala setan, tangan kanan
tertutup dibalik baju yang lebar dan sama sekali tidak nampak
sesuatu gerak apa pun, sergapan macam itu boleh dibilang
sangat lihay sekali.
Istri Hoa Thian-hong adalah seorang ahli racun yang lihay,
sedikit banyak pemuda itupun kenal dengan kepandaian
tersebut, dari warna duri racun itu ia tahu bahwa bahan racun
yang digunakan pada ujung senjata tersebut merupakan racun
yang amat jahat, tanpa terasa peluh dingin membasahi
tubuhnya, iapun semakin waspada menghadapi Kiu-imkauwcu
yang kejam.
Ssraeotara itu telah terperangah sebentar” Pek Kun-gie
segera berseru lantang, “Thian-hong, orang itu mempunyai
maksud jahat kepadamu, jangan kau ampuni ampuni
jiwanya?….
“Aku tahu, turunlah ke bawah wuwungan rumah!”
Tiba-tiba Siau Ngo-ji berseru, “Toako, apa yang kau lihat?
kalau benda yang beracun, simpanlah dan nanti tunjukkan
kepada enso!”
“Cepat pulang, dan jangan tetap berada diluaran!” bentak
Hoa Thian-hong dengan gusar.
“Enso suruh aku menjaga disini, sekalian awasi sekitar
gelanggang kalau ada orang yang hendak menyergap dirimu!”
Setiap perkataannya tak lupa mengucap kan kata enso dan
rupanya sengaja di tujukan kepada Pek Kun-gie.
Dara itu berubah wajahnya, ia merasakan hatinya seperti di
tusuk-yusuk oleh pisau yang tajam, Hoa Thian-hong sendiri
tentu saja mengerti pula maksud tujuan bocah itu, pikirnya
dihati, “Kurangajar, rupanya dia memang sengaja sedang
menyakiti hati Kun Gie….”
Dengan perasaan apa boleh buat terpaksa ia robek bajunya
untuk bungkus duri beracun tadi dan segera dilempar
kebelakang, hardiknya, “Ayoh cepat kembali kerumah
penginapan!”
Siau Ngo-ji pungut bungkusan itu dan berpikir.
“Toako sudah kehilangan muka, kalau aku teruskan olokolok
ini niscaya dia akan gusar….”
Berpikir sampai disitu, segera teriaknya, “Toako tak usah
gugup, aku akan undang kedatangan enso!” sambil berseru
dia kabur kedalam penginapan.
Hoa Thian-hong segera berpikir dalam hati.
“Setan cilik ini pilih kasih dan terlalu condong kepadi enci
Hong, kalau ia betul-betul undang ensonya, waah…. Kun Gie
pasti akau dibuat serba salah….”
Berpikir sampai disitu, ia berpaling ke arah Pek Kun-gie dan
berkata, “Cepatlah pulang kerumah, jangan berdiam diluaran,
kalau aku bisa keluar rumah pasti akan….”
Sebetulnya pemuda itu hendat bilang, kalau dia bisa keluar
rumah pasti akan berkunjung kebukit Toa pa san untuk
menjenguk dirimu, tapi ingatan lain segera berkelebat dalam
benaknya, ia teringat kalau dia sudah punya istri sedang dara
itu masih perawan maka kata yang hampir meluncur segera di
telan kembali.
Senyum kemurungan tersungging diujung bibir Pek Kungie,
katanya, “Engkau tak usah menguatirkan aku, Kiu-im
Kaucu kejam dan punya rencana busuk dia hendak….”
Sambil tertawa seram Kiu-im Kaucu segera menukas, “Pek
Kun-gie, meskipun dari dulu kaum pria tidak setia pada janji,
dan kaum wanita gampang jatuh cinta, namun keadaanmu
benar-benar menggelikan hati.”
Merah jengah selembar wajah Pek Kun-gie, teriaknya
dengan gusar, “Lebih baik jangan kau campuri urusan kami!”
“Hmm! dia tak boleh mencampuri, aku nenek tua justru
akan mencampuri kau mau apa?” tiba-tiba suara Tii Sam-koh
menggelegar ditengah udara.
Bersama dengan kehadirannya, toya baja tersebut
mengiringi deruan angin tajam langsung menghajar batok
kepala gadis itu.
Hoa Thian-hong jadi gegetun, serunya dengan gelisah,
“Eee…. nenek Sam popo….”
Dengan suatu gerakan yang manis, Pek Kun-gie mengegos
kesamping, setelah lolos dari ancaman tersebut dengan gusar
ia membentak pedangnya menyambar kemuka melepaskan
serangan balasan.
Hoa Thian-hong semakin gelisah, dengan nada setengah
merengek serunya, “Nenek Sam popo, berhenti! jangan main
serang…. ada persoalan kita selesaikan secara baik-baik!”
Tio Sam-koh sama sekali tidak menggubris, serangan
toyanya makin gencar dan jurus maut dilepaskan secara
bertubi-tubi membuat Pek Kun-gie tak sanggup menahan diri
dan terjerumus dalam keadaan yang sangat berbahaya.
Hoa Thian-hong semakin gelisah hingga mendepak kakinya
berulang kali, sebagai keturunan seorang terhormat pemuda
itu tak berani turun tangan terhadap Tio Sam-koh, maka ia
cuma bisa gelisah tanpa sanggup melakukan sesuatu apapun.
Kiu im kaicu yang menyaksikan kejadian itu, dalam hatipun
segera berpikir, “Agaknya budak itu mengetahui rencana
besarku, ia berusaha membaiki bocah keparat she Hoa,
sedang keparat dari keluarga Hoa masih cinta kepada budak
itu dan tak tega melihat gadis itu mampus ditangan orang….
inilah suatu pertunjukkan yang menarik hati!”
Kemudian pikiran lain berkelebat pula dalam benaknya,
“Ilmu silat yang dimiliki Pek Siau-thian sangat lihay, diapun
berhasil mempelajari isi catatan ilmu pedang Kim keng bu kui,
kemajuan yang diraih pasti luar biasa, kekuatannya mungkin
jauh lebih ampuh dari keadaan tempo hari, selama Pek Kungie
masih hidup keluarga Hoa dan keluarga Pek tak mungkin
bentrok satu sama lain, itu berarti Kiu-im Kaucu harus
menghadapi musuh dari dua arah, sebaliknya kalau nenek itu
membunuh Pek Kun-gie, maka dendam kesumat pasti terjalin
antara dua keluarga, sedang Kiu-im Kaucu akan mencari
untung dari situasi ini, aku harus manfantkan peluang ini
sebaik-baiknya….!”
Berpikir sampai disitu, dia tertawa seram dan berseru, “Pek
Kun-gie, cepat kabur dari sini, engkau cantik dan menarik,
cepat atau lambat Hoa Thian-hong pasti tunduk dibawah
gaunmu, kalau nyawamu keburu mampus, ooooh sayang
sekali!”
Tio Sam-koh segera membatin, “Betul juga perkataannya,
siluman rase ini cantik bagaikan bidadari yang turun dari
kahyangan, Hong ji jauh bukan tandingannya. Setiap pria
sudah pasti akan terpikat oleh kecantikannya itu, kalau
siluman rase ini di biarkan hidup, akhirnya Seng ji pasti
terjatuh kedalam pelukannya lebih baik cepat dibunuh,
daripada memelihara harimau di kandang domba.”
Berpikir sampai disini, permainan toyanya dipergencar,
serangan maut dilepaskan bertubi-tubi memaksa Pek Kun-gie
kerepotan dan kian lama kian terdesak hebat.
Hoa Thian-hong merasakan hatinya panas bagaikan minyak
mendidih, ia berputar disekitar gelanggang sambil bersiap
sedia bila Pek Kun-gie menjumpai mara babaya, ia siap
memberi pettolongan.
Tiba-tiba Kiu-im Kaucu berteriak lagi.
“Pek Kun-gie, cepat pergi! jangan engkau paksa Hoa Thianhong
berkelahi sendiri dengan Tio Lo tay kalau sampai terjadi
begitu, ooh! kasihan Hoa Thian-hong, dia akan dicemooh
orang sebagai manusia yang berani melawan tingkatan tua!”
Hoa Thian-hong gusar sekali, hardiknya, “Kalau engkau
menghasut terus, jangan salahkan kalau aku orang she Hoa
bertindak kurangajar!”
“Binatang cilik, enyah dari sini!” bentak Tio Sam-koh
dengan gesar.
Weeess! toyanya disapu kedepan dengan gerak mendatar.
Meskipun berilmu tinggi, Hoa Thian-hong tak berani
melawan, ia segera mengegos kesamping.
Sapuan toya itu mengena disasaran kosong, menggunakan
kesempatan yang baik ini, Pek Kun-gie gigit bibir dan
melepaskan satu serangan balasan yang hebat.
Hawa amarah yadg berkobar dalam dada Tio Sam-koh
makin memuncak, permainan toyanya segera berubah, ia
kurung Pek Kun-gie dibawah bayangan toyanya yang berlapis
lapis dan mendesaknya habis-habisan.
Hoa Thian-hong makin gelisah hingga hampir saja
mengucurkan air mata, ia lihat Pek Kun-gie makin kepayahan
dan terkurung kembali dalam lapisan toya Tio Sam-koh.
Tiba-tiba nenek tua itu membentak nyaring diiringi desiran
angin tajam, toya baja itu menghantam batok kepala Pek Kungie.
Serangan itu dilancarkan dengan kecepatan luar biasa, tak
sempat bagi Pek Kun-gie untuk menghindar, dalam gugupnya
dia angkat pedang lemasnya untuk menangkis.
Hoa Thian-hong amat terperanjat, ia tahu sambaran toya
itu luar biasa dahsyatnya kalau ditangkis dengan pedang
niscaya gadis itu akan mati konyol, dalam gelisahnya tanpa
berpikir panjang ia segera menubruk kemuka dan melindungi
Pek Kun-gie dengan tubub sendiri
Tio Sam-koh makin gusar menyaksikan kejadian itu namun
dia pun tak bisa lanjutkan serangannya untuk menghajar Hoa
Thian-hong, dengan mendongkol terpaksa ia miringkan
toyanya kesamping dan menyambar disamping pemudi itu.
Hoa Thian-hong segera menggulung tubuh Pek Kun-gie
dengan lengan kirinya kemudian mundur dengan cepat,
menanti Tio Sam-koh memburu kedepan, dua orang muda
mudi itu sudah jauh mundur kebelakang.
Diam-diam Kiu-im Kaucu merasa gegetun, pikirnya,
“Sayang…. oooh. sungguh sayang…. kalau sambaran toya itu
dilanjutkan niscaya dua orang muda mudi itu sudah mampus!”
Setelah melangsungkan pertarungan sengit, seluruh tenaga
Pek Kun-gie sudah terkuras habis, rambutnya jadi kusut dan
bajunya basah oleh keringat, mukanya yang cantik berubah
merah padam, napasnya tersengkal dan hampir saja tak
mampu berdiri tegak.
Hoa Thian-hong merasa amat kasihan, sebagai pemuda
yang berjiwa kesatria ia iba dan terharu melihat Pek Kun-gie
menderita karena dia, rasa cintanya atas gadis itu makin
menebal.
Terdengar Tio Sam-koh membentak dengan gusar,
“Binatang cilik! engkau berani melindungi perempuan rendah
itu? kau sudah lupa dengan peringatan dari Kiu-tok Sianci?”
Hoa Thian-hong menghela napas panjang, wajahnya amat
sedih, pikirnya dihati, “Masalah ini ibarat simpul tali mati kalau
aku sudah mampus urusan ini baru selesai….!”
Dengan ilmu menyampaikan suara bisik-nya kepada dara
itu.
Gie!, bersediakah engkau turuti omonganku?”
Beberapa patah kata yang singkat dan sederhana
mendatangkan perasaan mesrah yang sukar dilukiskan dengan
kata-kata, bagi Pek Kun-gie, perasaannya jadi hangat dan dua
titik air mata jatuh berlinang, ia mengangguk lirih.
Hoa Thian-hong tertawa sedih.
“Aku minta cepatlah pulang kerumah dan temani ibumu
engkau bersedia….?”
Tio Sam toh naik pitam, bentaknya dengan penuh
kegusaran.
“Aku larang kalian berbicira dengan ilmu menyampaikan
suara!”
Pek Kun-gie tertegun beberapa saat, lalu dengan air mata
bercacaran dia mengangguk.
“Aku bersedia, tapi…. kapan kau datang menjenguk aku?”
Sekali lagi Tio Sam-koh hentakkan toya-nya keatas tanah,
dengan langkah lebar ia maju kedepan, kembali teriaknya,
“Bagus! bagus sekali! binatang cilik perempuan rendah….
berani benar kalian mengikat janji…. rupanya kalian punya
hubungan gelap….”
Tiba-tiba Kiu-im Kaucu tertawa, dia menyindir lagi.
Pek Kun-gie, kalau engkau tidak sadar terus, rumah tangga
orang yang bahagia segera akan berantakan.
Tio Sam-koh terkesiap, pikirnya, “Benar juga perkataan itu!
kecantikan perempuan rendah itu luar biasa, ia mati-matian
memikat Seng ji, sedang bocah keparat itu rupanya sudah
terpikat oleh kecantikannya, sekarang masih bisa dicegah
hubungan itu karena Siau Ih masih hidup, tapi setelah Siau Ih
mati dan binatang ini tak ada yang urus, dengan ilmu silatnya
yang ampuh siapa lagi yang bisa menghalangi hubungan
cintanya? Hong ji jujur dan berhati lemah tak mungkin ia bisa
kendalikan tingkah pola suaminya, sekalipun Kiu-tok Sianci
munculkan diri belum tentu ia mampu kalahkan binatang itu….
bukankah rumah tangga yang ba hagia benar-benar akan jadi
berantakan?”
Sementara itn Pek Kun-gie sedang berbisik dengan sedih.
“Katakanlah! sepuluh? delapan tahun? sekalipun sepanjang
masa aku hanya menanti jawabanmu, aku segera menantikan
kedatangan mu dirumah.”
Air mata bercucuran membasahi wajah Hoa Thian-hong,
sahutnya, “Gi! engkau harus tahu keadaanku, aku”
“Bagus bagus sekali!” pikir Tio Sam-koh dihati, “binatang
binatang terkutuk! rupanya engkaupun menaruh hati
kepadanya, perasa an tersebut tak berani kau perlihatkan
karena desakan keadaan. Hmm kalau suatu hari keadaan telah
berubah, apa saja yang dapat kau lakukan??”
Dengan sorot mata berapi-api dan penuh pancaran cahaya
nafsu membunuh, nenek tua itu putar toya dan menerjang
kembali.
Hoa Thian-hong terkesiap, dia maju dan menghadang
didepan Pek Kun-gie, serunya sambil tertawa paksa, “Sam
popo….!”
“Tutup mulut! aku tahu kalau Pek Kun-gie kubunuh maka
selamanya engkau akan membenci diriku.”
“Seng ji tak berani membenci Sam po po” bisik Hoa Thianhong
dengan air mata bercucuran.
Tidak sempat pemuda itu selesaikan perkataannya, Tio
Sam-koh telah menukas, “Kalau mau membenci silaukan
membenci, aku adalah sahabat ibumu, dengan mata kepala
sendiri aku lihat Hong ji kawin dengan kau. Hmm! seorang
lelaki ingin kawin dua kali? Kemana larinya tanggung jawab
mu? Untuk selamatkan keluarga Hoa, kehidupan Hong ji dan
nama baik kita semua, ini hari aku bersumpah akan bunuh Pek
Kun-gie sampai mampus, sekalipun kau akan membenci aku,
aku tak ambil perduli…. pokoknya Pek Kun-gie tak bakal hidup
tinggalkan tempat ini!”
Hoa Thian-hong amat terperanjat, peluh dingin membasahi
tubuhnya, sekarang ia telah paham apa sebabnya Tio Samkoh
berkeras akan membunuh Pek Kun-gie, rupanya tidak lain
tidak bukan dia ingin melindungi nama baik keluarga Hoa.
Dalam pada itu, Tio Sam-koh telah putar toya sambil
menubruk maju, dengan muka menyeringgai, bentaknya,
“Ayoh cepat enyah dari sini atau segera putar pedang layani
seranganku, kalau tidak….”
Hoa Thian-hong tercekat hatinya, sambil menghadang
didepan Pek Kun-gie, ia berteriak, “Kun Gie cepat lari….”
Pek Kun-gie dapat merasakan gawatnya situasi, kalau ia
tidak pergi maka Hoa Thian-hong pasti akan melindungi
dirinya dan pemuda itu bakal mampus termakan sapuan toya
Tio Sam-koh, dengan hati perih dan menangis tersedu-sedu
dara itu segera putar badan dan tinggalkan tempat itu.
Tio Sam-koh adalah seorang nenek tua yang benci segala
kejahatan, sejak lama dia sudah mendendam pada anggota
perkumpulan Sin-kie-pang, setelah nafsu membunuhnya
berkobar sukarlah untuk dicegah kembali, melihat Pek Kun-gie
kabur dia segera membentak dan mengejar dari belakang.
Hoa Thian-hong amat terperanjat, cepat-cepat ia mengejar
pula dari belakang.
Kiu-im Kaucu tertawa seram, tiba-tiba ia berseru, “Hoa
Thian-hong, mau lari kemana? sambutlah sebuah
seranganku.”
Weeesss! sebuah sapuan dahsytat segera di lontarkan.
Hoa Thian Hoag sangat membenci akan ketajaman lidah
Kiu-im Kaucu yang selalu menghasut perpecahan diantara
mereka, justru karena hasutannya membuat Tio Sam kob
bersikeras akan bunuh Pek Kun-gie, ia kuatir dara itu bakal
mati termakan hasutan dari Kiu-im Kaucu, sebab watak dari
Tio Sam-koh sudah sangat dikenal olehnya.
Makin dipikir ia semakin gusar, sambil tertawa seram
pedangnya dibacok kedepan.
“Criing….!” benturan keras terjadi, pedang dan toya saling
membentur satu sama lain nya, letupan bunga api
bermuncratan keem pat penjuru, dengan tubuh gemetar keras
mereka sama-sama tergetar mundur satu langkah
Sejak dilahirkan belum pernah Hoa Tniao Hong mengalami
kegusaran seperti hari ini, darah panas dalam dadanya terasa
bergolak keras, dengan penuh kemarahan ia menerjang
kemuka dan bentaknya nyaring, “Sambutlah bacokanku ini!”
Dengan gerakan membacok rata bukit Hoa san, suatu jurus
yang sederhana tapi cepat bagaikan sambaran kilat, pemuda
itu lancarkan sebuah bacokan dahsyat ke arah musuhnya.
Kiu-im Kaucu tak ingin adu tenaga lebih jauh, sebab ia tahu
tenaga dalam pemuda itu tidak berada dibawahnya, tapi
dalam keadaan begitu mau tak mau terpaksa ia harus
menyambut datangnya bacokan dengan jurus menyeberangi
samudra dengan jembatan emas.
“Criing….!” sekali lagi terjadi benturan keras, pedang baja
membacok keras diatas toya kepala setan membuat batu hijau
yang diinjak Kiu-im Kaucu hancur berkeping-keping, sepasang
kakinya terbenam sedalam dua tiga tun.
Dengan kalap Hoa Thian-hong membentak kembali,
“Makanlah bacokanku ini!, makan bacokan ini! makan
bacokan….”
Criiing! Criiing! Criing! benturan nyaring berpadu dengan
bentakan kalap menciptkan suara tajam yang memecahkan
kesunyian ditengah malam itu, begitu nyaring suaranya
sampai separuh kota Lok yang jadi gempar dibuatnya.
Sesaat kemudian pintu penginapan terbentang, Chin Wanhong
sambil memayang mertuanya lari ke arah jalan raya.
Tampaklah sepasang kaki Kiu-im Kaucu sudah terbenam
ditanah sebatas lutut, rambutnya terurai lucu, mukanya
menyeringai seram sementara Hoa Thian-hong sambil putar
pedang bajanya membacok tubuh Kiu-im Kaucu dengan kalap,
bentakan-bentakan dahsyat menggelegar tiada hentinya
membuat pemuda itu ibaratnya iblis yang sudah gila.
Pemandangan yang terbentang didepan mata pada waktu
itu benar-benar mendebarkan hati, dua orang jago lihay
dengan putar dua macam senjata yang berbeda saling
membacok dengan dahsyatnya.
Hoa Hujin amat terperanjat, ia tak habis mengerti apa
sebab terjadinya pertarungan itu, meskipun ilmu silatnya
sudah punah, pengalaman dan pengetahuannya bertambah
luas.
Dalam sekilas pandangan ia telah mengetahui bahwa posisi
Kiu-im Kaucu masin kuat dan belum kalah, kendatipun
keadaannya sangat mengenaskan, sedang putranya walaupun
berada dipihak penyerang namun sama sekali tidak meraih
keuntungan apa-apa, bila pertarungan seperti ini dilanjutkan
maka akhirnya lebih baik korban jiwa daripada merebut
kemenangan.
Chin Wan-hong dengan air mata bercucuran segera
berseru, “Ibu, apa yang telah terjadi?”
Hoa Hujin angkat bahu, tiba-tiba ia membentak keras,
“Seng ji, serang tubuh bagian bawah!”
Sejak kecil Hoa Thian-hong sudah biasa menuruti
perkataan ibunya, meskipun sekarang pikirannya sudah kabur
terpengaruh hawa amarah namun pendengarannya masih
tajam.
Mendengar seruan terebut, tanpa berpikir panjang lagi
pedangnya segera berputar menyapu tubuh bagian bawah
dari Kiu-im Kaucu.
Ketua dari perkumpulan Kiu-im Kaucu ini membentak
nyaring, tiba-tiba toyanya disilang kebawah…. Traaang! sekali
lagi terjadi ben trokan nyaring, nenek tua segera loncat naik
keudara dan menggunakan daya pantul tersebut badannya
meleset sejauh empat tombak dari tempat semula.
Hoa Thian-hong melotot besar, dengan sinar berapi-api ia
memburu kedepan dengan langkah lebar.
“Engkoh Hong, jangan dikejar! jerit Chin Wan-hong sambil
menangis.
Kiu-im Kaucu sendiri tanpa mengucapkan sepatah katapun
segera berlalu dari sana sambil menyeret toya kepala
setannya, suara gemerincingan yang nyaring mengiringi
langkahnya yang sempoyongan.
Meskipun langkahnya lambat, Hoa Thian-hong jauh lebih
lambat lagi, ternyata pemuda itu tak mampu menyusul
lawannya.
Pada saat itulah Tio Sam-koh muncul dari seberang jalan,
ketika mereka berpapasan nenek she Tio itu dengan muka
hijau membesi dan amat tak sedap dipandang segera
melancarkan satu serangan keatas kepala Kiu-im Kaucu.
Atas datangnya ancaman itu Kiu-im Kaucu sana sekali tak
berkutik, menanti toya baja hampir mengenai kepalanya dia
baru tarik senjatanya untuk menangkis.
Traaang….! benturan nyaring memekikkan telinga, Tio
Sam-koh merasa telapak tangannya jadi pecah, toya baja
mencelat keudara dan jatuh diatas atap rumah.
Tio Sam-koh tertegun, ketika Kiu-im Kaucu lewat disisinya
dengan sempoyongan ia tak tahu musti mengejar atau
menghindar.
Hoa Hujin dengan alis berkernyit segera berseru kepada
menantunya, “Luka dalam yang diderita Seng ji amat parah,
cepat bimbing dia pulang kepenginapan!”
Buru-buru Chin Wan-hong menyusul kedepan, sambil
memayang suaminya ia berbisik lembut, “Engkoh Hong, ibu
suruh kau kembali, tak usah dikejar lagi!”
Hoa Thian-hong terperangah, ia lirik sekejap ke arah Tio
Sam-koh lalu putar badan dan kembali kepenginapan.
Demikianlah, dibawah bimbingan istrinya, Hoa Thian-hong
kembali kedalam kamar, Hoa Hujin dan Tio Sam-koh
mengikuti dibelakangnya, lewat sesaat Siau Ngo-ji muncul
pula sambil memikul toya nenek Sam popo nya, semua orang
membungkam dan suasana amat sunyi.
Chin Wan-hong Sangat menguatirkan keselamatan
suaminya, lama kelamaan habislah sabarnya, ia segera
berbisik lembut kepada suaminya, “Engkoh Hong, cepatlah
semedi dan atur pernapasan, luka dalammu sangat parah,
kalau tidak diobati maka luka itu akan semakin parah!”
Hoa Thian-hong mengangguk, tapi ia tetap tak berkutik dari
tempat semula.
Chin Wan-hong memelelehkan air matanya, ia berpaling ke
arah mertuanya dan berharap Hoa Hujin yang suruh pemuda
itu duduk bersemedi.
Hoa Hujin kerutkan dahinya rapat-rapat, setelah hening
sebentar akhirnya sambil tertawa ia berkata, “Sam-koh,
menang kalah adalah kejadian yang umum bagi kita orang
persilatan, ceritakanlah apa yang telah terjadi?”
“Pek Kun-gie telah mampus diujung toya ku!” teriak Tio
Sam-koh dengan penuh kegusaran.
Paras muka Hoa Hujin dan Chin Wan-hong berubah hebat,
lebih-lebih gadis she Chin, sambil menjerit kaget tubuhnya
gemetar keras.
Tiba-tiba Hoa Thian-hong berseru tertahan, ia muntah
darah segar hingga seluruh tubuhnya basah oleh darah….
Chin Wan-hong semakin ketakutan, ia segera
menggunakan secarik kain untuk menyeka noda darah diujung
bibir suaminya, bibir bergetar seperti mau mengucapkan
sesuatu namnn tak sepatah katapun yang sanggup di
utarakan keluar.
Rupanya ketika Siau Ngo-ji belum kembali juga, semua
orang merasa kuatir dan segera menyuruh Hoa Thian-hong
mengamati dari atas atap rumah sekalian meronda disekitar
sana untuk mencegah ada musuh menyusup masuk.
Baru saja pemuda itu meronda, tiba-tiba dia saksikan Kiuim
Kaucu menyergap Pek Kue Gie, ia segera menburu
ketempat kejadian un tuk memberi pertolongan.
Siau Ngo-ji sendiri setelah lari kembali kepenginapan,
segera menceritakan kejadian itu kepada semua orang, Tio
Sam-koh ingin melihat keadaan dan ikut keluar rumah, siapa
tahu malah terjadi kejadian seperti diatas, karena itu Hoa
Hujin berdua yang tinggal dikamar sama sekali tak tahu apa
yang sudah terjadi.
Sekarang ketika Hoa Hujin mendengar laporan yang
mengatakan bahwa Tio Sam-koh telah membunuh Pek Kungie
dan dari sikap dan gerak-geriknya yang gusar sama sekali
tak menunjukkan kebohongannya, segera mengira apa yang
dikatakan benar-benar telah terjadi, sambil berusaha tetap
tenang diapun berkata, “Kalau toh sudah dibunuh yaaa
sudahlah, dua puluh tahun terakhir memang ada delapan
sembilan puluh persen jago dari golongan lurus dan sesat
yang telah mampus, mereka yang takdir harus mampus
akhirnya tetap mampus, yang harus hidup tetap akan hidup,
mereka yang sudah mati tak akan bangkit kembali, buat apa
kita pusing memikirkan persoalan ini?”
“Siapa yang bilang aku pusing?” teriak Tio Sam-koh penuh
kemarahan.
“Sam popo, sudahlah jangan bicara lagi!” pinta Chin Wanhong
dengan sedih.
“Hnm aku senang bicara, siapa yang berani melarang aku?”
Hoa Hujin tertawa paksa.
“Nenek tua, toh tak ada orang yang bilang perkataanmu
salah, buat apa musti berteriak-teriak?”
Kepada putranya ia melanjutkan, “Aku tahu Pek Kun-gie
mencintaimu, kalau dibicarakan dia memang patut dikasihani
apalagi kedatangannya pada malam ini adalah untuk memberi
kabar buruk untukmu pergilah untuk urusi layonnya dan
simpan dalam kuil, aku rasa orang-orang dari Sin-kie-pang
pasti akan mengangkutnya kembali ke bukit Toa pa san.”
“Ibu….!” pinta Chin Wan-hong dengan alis mata
bercucuran, “bagaimana kalau kita angkut kembali ke
perkampungan Liok Soat Sanceng dan dikubur dalam kuburan
keluarga kita?”
“Tak mungkin, pertama tak cocok dengan adat istiadat dan
kedua Pek Siau-thian belum tentu setuju!”
Perlahan-lahan Hoa Thian-hong bangkit berdiri, bisiknya
dengan suara kaku, “Ananda segera pergi!”
Ia putar badan dan melangkah ke pintu.
“Gelinding kembali!” tiba-tiba Tio Sam-koh membentak
nyaring.
Hoa Thian-hong kembali kehadapan nenek tua itu sambil
bertanya, “Sam popo masih ada pesan apa?”
Dari sikapnya yang kaku dan suaranya yang kosong dan
hampa, Chin Wan-hong tahu bahwa suaminya amat sedih
hingga kelewat batas, ia jadi murung sekali, kepada Hoa Hujin
pintanya, “Ibu, bolehkah aku menemani engkoh Hong?”
Hoi hujin berpikir sebentar, lalu mengangguk, “Baiklah,
hati-hatilah dijalan dan hadapi semua urusan dengan
seksama!”
Tiba-tiba Tio Sam-koh tertawa dingin, katanya, “Pek Kungie
belum mampus! ketika aku mengejar dan beri sebuah
babatan, sayang babatan itu tidak mengena disasaran….
Haaah…. haaah sayang! sayang! haaah…. haah…. itulah
balasannya!”
Sekujur badan Hoa Thian-hong bergetar keras, matanya
melotot bulat dan menatap Tio Sam-koh tanpa berkedip.
oooooOooooo
67
“SAM POPO!” rengek Chin Wan-hong dengan sedih, “aku
tahu engkau paling sayang Hong ji, tapi bagaimana keadaan
Pek Kun-gie? apa yang musti disayangkan? apa pula yang kau
artikan sebagai balasannya, Sam popo, berilah keterangan
yang jelas!”
Tio Sam-koh tertawa dingin.
“Heeeh…. heeeh…. heeeehh…. pukulan toyaku meleset dari
sasaran, apakah aku tak patut merasa sayang? soal balasan….
haaah…. haaah…. lebih baik tak usah dibicarakan lagi.”
“Hey nenek tua, kau ikut jadi edan?” tegur Hoa Hujin.
“Hmm! jadi kalian ingin tahu?”
“Benar! persoalan ini menyangkut masalah besar, tentu
saja kami ingin tahu.”
Tio Sam-koh tertawa seram.
“Heeh…. heeh…. heeeh…. baiklah, aku akan beritahukan
kepada kalian, Pek Kun-gie telah lolos dari ayunan toyaku dan
dia ditawan orang lain”
“Ditawan siapa?” tanya Hoa Hujin keheranan.
“Pia Leng-cu!”
Paras muka Hoa Hujin berubah hebat, hatinya jauh lebih
bergetar daripada mendengar berita kematian Pek Kun-gie.
Tiba-tiba Hoa Thian-hong sempoyongan, sekali lagi ia
muntah darah segar.
Chin Wan-hong merasakan hatinya sakit bagaikan di irisiris,
cepat ia bimbing suaminya dan merengek, “Engkoh Hong,
engkau harus jaga diri, memandang diatas wajah ibu, kau
harus jaga diri!”
Setelah berhenti sebentar, lanjutnya, “Ibu perkumpulan
Thong-thian-kauw boleh dikata hancur ditangan Pek Siauthian,
apalagi Pia Leng-cu berhasil tangkap Pek Kun-gie, dara
itu pasti akan dibunuh….”
“Kalau dibunuh sih tak perlu dikuatirkan!” kata Hoa Hujin
sambil menghela napas panjang, “yang kutakuti justru….”
“Lalu bagaimana sekarang?” seru Chin Wan-hong pula
dengan murung, tiba-tiba ia sadar apa yang dimaksudkan
sebagai kejadian yang menakutkan itu, anggota badannya jadi
dingin dan tubuhnya gemetar keras.
“Aaai!” Hoa Hujin menghela napas panjang, “dendam
kesumat antara kedua belah pihak amat dalam, kecantikan
Pek Kun-gie kelewat batas, sebagai siluman dari Thong-thiankauw
yang merupakan kawanan manusia cabul, aku takut
kalau Pia Leng-cu….”
“Ibu” tiba-tiba Chin Wan-hong berlutut dengan air mata
bercucuran.
Hoa Hujin kembali menghela napas panjang.
“Katakanlah, kalau ingin bicara asal tidak melanggar
kebiasaan umum dan bertentangan dengan perbuatan
seorang kesatria, aku pasti akan ijinkan!”
Tio Sam-koh melotot bulat, dengan gusar selanya, “Siau Ih!
apa maksud perkataanmu itu? engkau bilang perbuatanku
telah melanggar kebiasaan umum dan bertentangan dengan
perbuatan seorang kesatria?”
“Sam-koh, jangan ribut dahulu,” sahut Hoa Hujin sambil
tertawa, “sekarang dihadapan anak-anak akan kukatakan
sesuatu hal untuk menghilangkan rasa curiga yang mencekam
hatimu”
“Katakan!” seru Tio Sam-koh sambil tertawa dingin.
Air muka Hoa Hujin berubah jadi amat serius, katanya,
“Kecantikan Pek Kun-gie ibaratnya bidadari yang turun dari
kayangan, dia merupakan incaran dari setiap pria dan pemuda
di dunia, Hong ji berbakti dan jujur, dia adalah contoh
menantu yang paling baik, sedang aku Bun Siau-ih belum
tua….”
“Maksudmu aku Tio Sam-koh sudah tua reyot dan tak
berguna lagi?! tukas nenek itu marah.
Hoa Hujin tersenyum, dengan serius lanjutnya, “Nenek tua,
ringkasnya saja aku katakan, keluarga Hoa dapat memperoleh
Hong ji sebagai menantu, kejadian ini merupakan sesuatu
yang beruntung bagi keluarga kami dan aku Bun Siau-ih sudah
merasa amat puas serta tidak mengharapkan apa-apa lagi,
kau anggap aku bisa sia-siakan dirinya?”
Semua orang membungkam dalam seribu bahasa, sebab
perkataan itu bukan saja tegas bahkan meyakinkan.
Walaupun ilmu silat yang dimiliki Hoa Hujin sudah punah,
tapi kegagahan serta jiwa kesatrianya masih merupakan
lambang kebenaran bagi kaum lurus didunia persilatan, ia tak
akan bicara sembarangan. mencemooh orang dengan
seenaknya atau memuji seseorang tanpa dasar yang kuat,
kejujuran serta keterbukaannya ini sangat dikagumi dan
dihormati umat persilatan dan apa yang dikatakan tegar
bagaikan emas.
Oleh sebab itulah walaupun Tio Sam-koh seorang jago
yang berwatak keras, akan tetapi hatinya takluk dan kagum
sekali terhadap jago wanita itu.
Chin Wan-hong terharu sekali hingga air mata bercucuran,
sapanya lirih, “Ibu….”
“Bangunlah, mari kita bicarakan lebih jauh!” ujar Hoa Hujin
lembut.
Tio Sam-koh segera berpaling dan melotot gemas ke arah
Hoa Thian-hong, katanya ketus, “Hey, mengertikah engkau
dengan kata yang berbunyi, Ibu bijaksana istri setia? keluarga
Hoa bukan keluarga kecil yang kampungan, engkau harus
sadar akan hal ini.”
“Selamanya Seng ji selalu cinta dan hormat kepada enci
Hong” sahut Hoa Thian-hong.
“Kalau memang begitu, kularang engkau mencintai orang
lain!” hardik Tio Sam-koh.
Melihat suaminya dibuat tersipu-sipu, Chin Wan-hong
segera menukas, “Meskipun Pek Kun-gie berasal dari
keturunan gerombolan persilatan, tapi dia pribadi adalah
seorang gadis yang suci bersih….”
“Jangan memuji musuh! kembali Tio Sam-koh memotong
dengan nada geram.
Chin Wan-hong tertegun, ketika dilihatnya paras muka
mertuanya tetap wajar, ia memberanikan diri dan berkata lagi
kepada diri Tio Sam-koh, “Sam popo, walaupun Pek Kun-gie
berasal dari lumpur namun ia sendiri sama sekali tidak
ternoda, dia benar-benar seorang nona yang luar biasa,
andaikata orang lain yang menggantikan kedudukannya,
mungkin sedari dulu-dulu mereka sudah terjerumus kedalam
lembah kenistaan!”
“Goblok! engkau lupa, ketika untuk pertama kalinya dia
menyiksa dan menganiaya Seng ji? Hmmm! sampai matipun
aku tak akan melupakan kejadian ini”
“Siksaan terjadi karena cinta, dia hanya ingin paksa engkoh
Hong untuk tunduk kepadanya dan sama sekali tiada maksud
mencelakainya, seorang manusia sejati tak akan mengingat
dendam lama, seorang kesatria tak akan mengingat masalah
yang sepele, buat apa kita ingat kejadian yang sudah
lampau?”
Sorot matanya dialihkan keatas wajah Hoa Hujin, kemudian
melanjutkan, “Ibu, keluarga kita terkenal karena dasar hidup
kita adalah kebajikan dan kebenaran, karena itu engkoh Hong
disegani dan dihor mati rekan-rekan persilatan, kalau kita
biarkan Pek Kun-gie terjatuh ke tangan Pia Leng-cu tanpa
berusaha ditolong, umat persilatan pasti akan mentertawakan
kita.”
“Bodoh amat budak ini!” pikir Tio Sam-koh dihati, “dia
hanya tahu mencari muka di hadapan suaminya, apa tak
terpikir olehnya bagaimana akibat dari perbuatannya itu?”
Dalam keadaan terdesak, tiba-tiba dia lihat Siau Ngo-ji
duduk terpekur disudut ruangan dengan wajah melongo,
dengan gusar dan gemas ia segera mengerling sekejap ke
arahnya.
Melihat kerlingan itu, Siau Ngo-ji putar biji matanya dan
diam-diam melirik sekejap ke arah Hoa Hujin.
Dengan ilmu menyampaikan suara, buru-buru Tio Sam-koh
berbisik, “Jangan kuatir, kalau punya akal setan utarakan
keluar, kalau ada apa-apa akulah yang akan bertanggung
jawab!”
Mendengar bisikan itu, Siau Ngo-ji segera berteriak keras,
“Aduuh…. enso!…. aduh….”
“Ada apa?! tanya Chin Wan-hong tercengang.
Dengan muka panik dan penuh kegelisahan Siau Ngo-ji
berseru, “Isi perut toako mengalami luka yang sangat parah,
kenapa tidak kau buatkan obat agar bisa dia minum?”
“Tiada obat yang lebih baik….”
“Ah, luka yang kuderita cuma luka kecil! tukas Hoa Thianhong
dengan cepat” asal beristirahat sebentar tentu akan
sembuh dengan sendirinya, tak usah minum obat lagi!”
Selesai berkata, ia lantas duduk di kursi dan mulai
mengatur pernapasan untuk menyembuhkan luka tersebut.
Sebaliknya Siau Ngo-ji masih tetap ngotot dengan
pendiriannya, dengan muka serius dia berkata lagi, “Duduk
bersemedi sambil atur pernapasan memang penting tapi
minum obatpun merupakan hal yang penting juga”
“Betul!” Sambung Tio Sam-koh dengan cepat, “itu namanya
pengobatan luar dalam, dengan begitu pastilah luka yang
diderita akan sembuh dengan lebih cepat lagi”
“Dewasa ini musuh tangguh sedang mengitari kita dan
toako adalah jenderal perang kita, “Enso! lebih baik cepatcepatlah
buatkan obat agar kesehatan toako segera pulih
kembali seperti sedia kala”
“Baik, baik aku segera akan membuatkan obat baginya”
jawab Chin Wan-hong dengan gugup.
Buru-buru ia lari ke tepi pembaringan, membuka
buntalannya dan membuat obat mujarab.
Sebenarnya gadis ini sudah mempersiapkan serangkaian
penjelasan, permohonan serta cengli-cengli yang
menerangkan bahwa Hoa Thian-hong harus segera berangkat
untuk menolong Pek Kun-gie tetapi setelah dipotong oleh Siau
Ngo-ji dengan teriakan-teriakannya maka persoalanpun untuk
sementara waktu jadi tertunda.
Hoa Hujin sendiri pun bukan manusia sembarangan, dalam
hati diapun sudah mempunyai perhitungan sendiri mengenai
kejadian tersebut, akan tetapi berhubung jejak Pia Leng-cu
sukar ditemukan dan diapun menyadari betapa sulitnya
pekerjaan menolong orang ini maka apa yang dipikir hanya
disimpan dalam hati dan tak sampai diutarakan keluar.
Dalam pada itu, Chin Wan-hong telah mengambil sebutir
obat ditambah lagi dengan beberapa macam rumput obat
setelah ditumbuk semua jadi bubuk maka hancuran bubuk
tersebut digilas menjadi serbuk halus.
Siau Ngo-ji yang nakal diam-diam menyelinap ke samping
ensonya kemudian berbisik lirih, “Enso, banyak bicara pasti
akan ketahuan boroknya inilah penyakitku yang paling parah”
“Kenapa?” tanya Chin Wan-hong keheranan.
“Engkau adalah menantu yang belum lama mengalami
malam pengantin, selama berada didepan mertua lebih baik
banyak kerja kurangi bicara, meskipun tidak mengharapkan
jasa, paling sedikit tidak pula merugikan diri sendiri, terutama
dalam masalah Pek Kun-gie, alangkah baiknya kalau engkau
berdiam diri, jangan kau urusi apa yang akan toako lakukan,
daripada mencari penyakit bagi diri sendiri dikemudian hari.
“Tapi Pek Kun-gie adalah seorang nona yang sangat baik”
bisik Chin Wan-hong.
“Ssstt jangan keras-keras!” desis Siau Ngo-ji sambil
tempelkan jari tangannya di bibir, “di kolong langit memang
banyak nona yang baik, tapi enso baik kepada toako belum
tentu baik kepadamu”
“Ah masa iya, kalau baik pada toako tentu baik pula
kepadaku!”
“Aduuh enso, janganlah berlagak bodoh!” seru Siau Ngo-ji
dengan cepat, “kalau ada sebiji kue, alangkah baiknya kalau
dinikmati sendiri, kenapa mesti kau bagikan untuk orang lain?”
Diam-diam Chin Wan-hong tertawa geli, dia tidak
menggubris obrolan bocah itu lagi, sambil membawa cawan
air teh dan obat yang baru dibuat ia menghampiri suaminya.
Siau Ngo-ji yang konyol segera berseru keras, “Toako,
ketahuilah langit biar besar bumi biar lebar, yang penting
umur kita biar paling panjang, usia bibi paling panjang, usia
mu nomor dua dan cepat-cepatlah minum obat lantas naik
pembaringan dan tidur….”
Hoa Thian-hong tidak berbicara apa-apa, ia terima obat itu
dan sekali teguk menghabiskan isinya, kepada istrinya diamdiam
ia lempar sebuah kerlingan penuh rasa terima kasih.
Chin Wan-hong balas mengerling sekejap ke arah
suaminya, dibalik sorot matanya yang lembut penuh berisikan
pengertian yang mendalam.
Sepasang suami istri ini saling berpandangan menggantikan
ucapan, apa yang dibicarakan pun persoalan yang
menyangkut diri Pek Kun-gie, walaupun Siau Ngo-ji cerdik dan
banyak akal tentu saja sebagai bocah tentu saja ia tak akan
menduga sampat ke situ.
Setelah menerima mangkuk obat yang kosong, Chin Wanhong
kembali ke tepi pembaringan, kepada Hoa Hujin bisiknya
lirih.
Ibu, menolong orang ibarat menolong kebakaran,
persoalan ini tak dapat ditunda-tunda lagi.
Mendengar bisikan itu, Tio Sam-koh semakin panik, dengan
mendongkol ia lantas melotot ke arah Siau Ngo-ji.
“Bocah setan! Ide setan apa lagi yang telah kau usulkan?”
“Aku tidak mengemukakan ide apa-apa!” jawab Siau Ngo-ji
dengan gugup.
Tio Sam-koh semakin gusar.
“Huh! Aku lihat kau berkemak-kemik disisi telinga Hong ji,
kemudian Hong ji berkemak-kemik pula disamping telinga
ibunya kalau bukan engkau yang keluarkan usul, lantas siapa
lagi?”
Dengan gemas ia ayun telapak tangannya siap
menggaplok.
Siau Ngo-ji jadi ketakutan, dia lari kedepan dan
bersembunyi dibelakang Chin Wan-hong.
“Urusan ini tak ada sangkut pautnya dengan aku” serunya
dengan gelisah.
Pada saat itulah dari luar pintu terdengarlah suara langkah
kaki orang, disusul pelayan mengetuk pintu.
“Sam po po, ada urusan penting!” Siau Ngo-ji segera
berseru.
Ia lari keluar dan membuka pintu, kemudian bocah itu
muncul kembali sambil membawa secarik kertas, sambil
diangsurkan kedepan Tio Sam-koh ujarnya lirih, “Surat ini
ditulis Ko toako, silahkan Sam po po membaca lebih dulu.”
Tio Sam-koh mendengus dingin, dia sambar kertas tadi dan
dibaca isinya,
“Kiu-im Kaucu telah mengundurkan diri keluar kota,
sekarang ia bercokol diatas sebuah perahu pembesar, anak
buahnya dalam perahu itu banyak sekali, belum jelas apa
rencana selanjutnya.
tertanda: Ko Tiay.”
Selesai membaca isi surat itu, Hoa Hujin lantas tertawa dan
berkata, “Wah, kalau pihak lawan mau turun tan an disungai,
keadaan jadi makin serius!”
“Toako, bagaimana dengan ilmu berenangmu?” tanya Siau
Ngo-ji.
“Kalau dipaksakan sih masih mampu! Aku sendiripun kalau
dipaksakan masih mampu, tapi bagaimana dengan Sam po
po?”
Tio Sam-koh tertawa dingin.
“Heeeh…. heehh…. heehh…. aku nenek tua tak dapat
dibandingkan dirimu, aku adalah ayam daratan, sekali
tercebur kedalam air lantas tenggelam!”
“Aku juga begitu!” seru Siau Ngo-ji lagi, terapung cuma
sebentar lalu tenggelam kedalam air, bagaimana dengan
enso?”
“Aku sama sekali tak mampu” jawab Chin Wan-hong
dengan wajah murung bercampur kesal.
Setelah berhenti sebentar, sambungnya kembali, “Arus di
sungai huang-ho amat deras, celaka kalau pihak musuh
melubangi dasar perahu setelah kita berada ditengah sungai,
dalam keadaan begitu perahu kita pasti tenggelam, sekalipun
Hoa toako punya kepandaian yang lihay belum tentu dia
mampu melindungi kita semua”
Kalau kita tak berani menyeberangi sungai, memangnya
kita harus bercokol terus di sini?” sela Tio Sam-koh dengan
berangnya.
“Kawanan manusia itu terlalu menghina orang!” seru Hoa
Thian-hong pula dengan marah, aku ingin sekali memberi….”
Tiba-tiba ia menengok ke arah ibunya dan membungkam.
“Pihak musuh jauh lebih kuat daripada kita, menurut
pendapatku alangkah baiknya kalau sementara waktu kita
hindari pertarungan dengan kekerasan” ujar Hoa Hujin.
Sesudah berpikir sebentar, ia melanjutkan, “Bagaimana
dengan lukamu?”
“Luka ananda tak berapa, ibu tak usah menguatirkan!”
“Dengan daya diriku sebagai beban, memaksakan diri untuk
menyeberangi sungai adalah suatu tindikan yang terlalu
menempuh bahaya, kalau kita pindah kedermaga lain, rasanya
keadaanpun tak akan jauh berbeda, satu-satunya jalan yang
bisa kita tempuh seka rang adalah berdiam dulu disini untuk
beberapa saat, kemudian baru mencari akal lain”
“Tapi kita musti berdiam disini sampai kapan?” seru Tio
Sam-koh dengan cepat.
Hoa Thian-hong tertawa.
“Bagaimanapun toh kita tak ada urusan, apa salahnya kalau
kita ajak pihak musuh untuk beradu kepandaian sampai pada
akhirnya?”
Kepada Hoa Thian-hong ujarnya pula, “Untuk sementara
waktu kita tak usah menentukan jadwal pemberangkan,
sekarang pergi sambangi dulu engkoh cilik she Ko itu
kemudian baru selidiki lagi kekuatan pihak lawan, setelah
mendapat pelajaran tadi aku pikir Kiu-im Kaucu serta orangorang
dari Mo-kauw tak akan berani datang lagi, selidikilah
jejak musuh dengan secermat mungkin, engkau tak usah
terburu-buru pulang kesini”
Siau Ngo-ji yang cerdik segera tergerak hatinya sesudah
mendengar perkataan itu, pikirnya, “Aaah, tidak benar, dibalik
ucapan tersebut rupanya mengandung maksud lain, bukankah
terangkan hujin suruh toako selidiki jejak dari Pia Leng-cu
serta menyelamatkan Pek Kun-gie?”
Berpikir sampai disitu, dia lantas menimbrung dari samping,
“Kalau toako hendak menyambangi Ko toako, ajaklah aku!
akan kutunjukkan tempat tinggalnya”
“Siau Ngo-ji tak usah ikut, lebih baik kau berdiam saja
dirumah penginapan!” seru Hoa Hujin kembali, “mulai besok
kau harus belajar membaca dan menulis, siang hari waktu
senggang boleh membicarakan soal ilmu silat, jangan kau
pedulikan urusan lain lagi, baik situasi gawat atau aman,
tugasmu hanya belajar membaca dan menulis!”
Agak tertegun Siau Ngo-ji setelah mendengar perkataan
itu, kemudian dengan alis berkenyit dan muka masam
serunya, “Oooh bibiku yang baik, bagi seorang ahli silat asal
kenal tulisan toh sudah lebih dari cukup!”
“Bagi seorang lelaki sejati, kalau tak bersekolah mana
mungkin bisa mengatasi masalah besar, Sengji! kau boleh
berangkat” kata Hoa Hujin dengan serius.
Hoa Thian-hong segera mengiakan, setelah memberi
hormat kepada ibunya dan Tio Sam-koh, berangkatlah
pemuda itu tinggalkan ruang penginapan.
Siau Ngo-ji adalah seorang bocah gelandangan yang sejak
kecil sudah hidup terlunta-lunta ditengah jalan raya, karena
penghidu pannya itu maka perkembangan jiwapun
terpengaruh oleh lingkungannya, ia hanya tahu apa artinya
budi dan setia kawan, tapi tak tahu arti kasih sayang, ia
menyayangi Chin Wan-hong karena gadis itu memperha tikan
dirinya, karena itu dia kuatir kalau Hoa Thian-hong
menggunakan kesempatan itu pergi menolong Pek Kun-gie.
Hanya saja karena berani dihadapan Hoa Hujin, maka ia tak
berani bertindak semaunya sendiri.
Ketika dilihatnya Hoa Thian-hong sudah berlalu, buru-buru
ia mengerling ke arah Tio Sam-koh dan mengharapkan
bantuan dari nenek itu untuk menghalangi kepergian
toakonya.
Siapa tahu Tio Sam-koh adalah seorang jago perempuan
yang bersifat blak-blakan, sudah tentu ia tak mengerti apa
maksudnya kerlingan tersebut, setelah tertegun sebentar
akhirnya aengan gusar dia menegur, “Eh setan cilik, mau apa
kau kerling sana melirik kesini? Mau main setan dengan aku?!”
Siau Ngo-ji dibikin serba salah jadinya, dalam keadaan
begini mau tertawa susah mau menangispun tak dapat,
kembali ia putar biji matanya kemudian berseru, “Oh iya, aku
lupa mengatakan sesuatu kepada toako”
Sambil berseru ia lantas lari keluar kepintu.
“Siau Ngo-ji, apa yang hendak kau katakan kepada
toakomu?!” tegur Hoa Hujin.
“Aku mau beritahu kepada toako, dimana Ko toako
sekarang berada!” sahut bocah itu sambil berpaling.
“Coba katakan dulu, dia ada dimana?”
“Di See su….”
“Kau keliru!” jawab Hoa Hujin sambil tertawa, “saat ini ini
pasti ada ditepi sunngai, ayoh cepat naik pembaringan dan
tidur!”
Siau Ngo-ji garuk-garuk kepalanya yang tak gatal lalu
menjawab, “Ooh iyaayaa…. semestinya dia ada ditepi sungai,
maklum! pikiranku lagi kalut sehingga tak sempat berpikir
panjang”
Dalam pada itu, Hoa Thian-hong sendiri sepeninggalnya
dari rumah penginapan segera melayang naik keatas atap
rumah dan bergerak menuju kepintu kota sebelah utara,
sepanjang perjalanan tiada hentinya ia berpikir.
“Ibu adalah seorang pendekar wanita yang berjiwa besar,
memandang diatas wajah Pek hujin sudah pasti ia setuju kalau
kutolong Pek Kun-gie dari ancaman maut, yang paling
mengagumkan adalah enci Hong, ia berjiwa besar dan berhati
welas, bukan saja melupakan sekali pengalaman pahitnya
dimasa lampau, malahan ia bantu bicara untuk kebaikan Kun
Gie.”
Menyusul diapun berpikir lagi, “Bagai manapun juga aku
harus memburu kesana dan memolong Kun Gie hingga lolos
dari mara bahaya, bagaimanapun juga tujuanku hanya
menolong orang, asal dia bisa diselamatkan dan kuantar
kembali kegunung, awan hitam yang menyelimuti angkasapun
akan buyar dengan sedirinya.”
Berpikir sampai disitu, diapun sudah tiba dipintu kota
sebelah utara, ditengah kesunyian yang mencekam, tiba-tiba
pemuda itu mendengar ada suara panggilan yang merdu
berkumandang datang, “Thian-hong!”
Hoa Thian-hong terperanjat dan segera menghentikan
langkah kakinya, cepat ia berpaling ke arah mana berasalnya
suara panggilan itu.
Disebelah barat adalah sebuah bangunan loteng yang
tinggi, jendela yang mungil perlahan-lahan terbentang lebar,
dibawah cahaya lampu tampaklah seraut wajah cantik
munculkan diri didepan mata.
Dengan ketajaman mata Hoa Thian-hong, hanya sekilas
memandang ia segera kenali perempuan itu sebagai Giok
Teng Hujin, hatinya berdetak keras dan untuk sesaat ia agak
gelagapan.
Sementara itu Giok Teng Hujin telah menggape ke arahnya
sambil berbisik lirih, “Ayoh kemarilah, masa kau bisa kutelan?”
Terpaksa Hoa Thian-hong harus keraskan hati dan
meloncat keatas loteng, katanya, “Cici, mau apa disitu? Saat
ini siaute masihb ada urusan penting yang harus segera
diselesaikan….”
“Periksa dulu sekitar tempat ini, kalau tak ada orang cepat
masuk kemari, kita berbicara didalam saja!” pinta Giok Teng
Hujin.
Hadiah Leng-ci dari perempuan ini bukan saja telah
memunahkan racun teratai Tan hwe tok lian yang bersarang
ditubuh Hoa Thian-hong, bahkan selama berlangsungnya
pertarungan sengit dilembab Cu-bu-kok, sisa Leng-ci mujarab
itu sudah menyelamatkan pula jiwa Suma Tiang-cing, Bong
Pay serta Chin Giok-liong, itu berarti pemuda tersebut sangat
berhutang budi terhadap dirinya.
Sebaliknya perempuan itu menaruh rasa cinta yang
membara terhadap si anak muda itu, rasa cintanya yang
begitu besar membuat perempuan tersebut rela berbuat apa
saja dengan pemuda kekasihnya ini.
Hoa Thian-hong yang sadar bahwa ia berhutang budi
kepadanya, tak berani menampik atau menegur tingkah laku
perempuan ini, oleh sebab itulah di hari-hari biasa dia takut
sekali kalau berjumpa dengan gadis ini.
Dan sekarang jalan perginya sudah terhadang, dalam
keadaan demikian sulitnya bagi Hoa Thian-hong untuk
meloloskan diri.
Dengan muka berseri Giok Teng Hujin melirik sekejap ke
arah pemuja itu, kemudian omelnya, “Eeh…. kenapa berdiri
melongo terus disitu? ayoh cepat menggelinding masuk
kemari”
Hoa Thian-hong angkat bahunya, dengan perasaan apa
boleh buat, terpaksa ia menerobos masuk kedalam jendela.
Giok Teng Hujin tersenyum manis, setelah pemuda itu
masuk maka jendelapun ditutup rapat-rapat.
Tempat itu adalah sebuah kamar tidur dari kaum gadis,
pembaringan terbuat dari gading dengan kelambu warna
putih, sepreinya merah jambu dan bantalnya bersulamkan
sepasang burung belibis, sepasang lilin yang berukirkan naga
dan burung hong memancarkan sinarnya dengan terang
benderang membuat suasana dalam kamar itu jadi terang dan
bergairah.
Ditepi pembaringan sudah tersedia sebuah meja
perjamuan, diatas meja tersedia sepasang sumpit, sepasang
cawan, seteko arak wangi dan sebuah cawan kecil yang
terbuat dari kaca, isinya adalah cairan warna putih.
Pui Che-giok dayang pribadi Giok Teng Hujin dengan wajah
penuh senyuman berdiri di samping meja sedang Soat-ji rase
berbulu salju itu mendekam diatas permadani tepat dibawah
jendela.
Jilid 18
DENGAN langkah yang lemah gemulai, Giok Teng Hujin
berjalan mendekati meja perjamuan, setelah duduk ia tuding
ke arah sepasang lilin tesebut dan berkata seraya tertawa,
“Malam ini aku menikah untuk pertama kalinya, kau kawin
untuk kedua kalinya, biar Che giok jadi mak comblang, Soat-ji
jadi saksi, kita mengikat diri jadi suami istri”
“Aah…. cici, janganlah bergurau terus!” seru Hoa Thianhong
sambil duduk pula didepan meja perjamuan, “saat ini
kepandaian silat ibuku telah punah, beliau berada dalam
keadaan bahaya”
“Tak usah kuatir! tukas Giok Teng Hujin dengan cepat,
selama ada toa nio cu yang melindungi, tanggung
keselamatannya terjamin!”
Hoa Thiao Hong tertawa getir.
“Pekerjaan yang merepotkan terlalu banyak, baiklah siaute
akan temani cici untuk minum beberapa cawan arak sebelum
pergi, besok aku pasti akan datang menyambangi diri cici lagi,
cici tak usah kuatir, aku pasti tidak akan bohong!”
Giok teng bujin tertawa, menanti Pui Che-giok sudah
menuangkan arak bagi mereka, ia baru tunjuk cawan kaca
kecil itu dan berkata, “Cawan itu adalah arak pengikat
perkawinan nanti saja baru kita minum.”
Hoa Thian-hong tertawa tergelak, ia lirik sekejap arak yang
ada dihadapannya, setelah yakin kalau tiada campuran
apapun didalamnya, ia lantas angkat cawan tersebut sambil
berkata, “Kalau begitu, biarlah siaute yang menghormati cici
dengan secawan arak!”
“Aduuh…. sungkan-sungkan segala, emangnya sama tamu
agung?” omel Giok Teng Hujin de-ngan alis berkenyit.
Hoa Thian-hong dibikin serba salah, untuk menutupi
kejengahan sendiri ia teguk habis isi cawan tersebut,
kemudian serunya, “Che giok, penuhi cawanku dengan arak
baru!”
“Tidak takut arak itu kucampuri racun?” seru Giok Teng
Hujin lagi.
Hoa Thian-hong tertawa.
“Aku percaya penuh pada cici!”
Giok Teng Hujin melirik genit ke arah pemuda itu, tiba-tiba
ia letakkan cawan kaca kecil itu dihadapan Hoa Thian-hong,
kemudian ujarnya, “Istrimu adalah seorang ahli menggunakan
racun, rupanya sudah banyak kepandaian khususnya yang kau
pelajari yaa? Sekarang coba periksa dulu, bagaimana dengan
arak ini?”
Hoa Thian-hong melirik sekejap ke arah arak dalam cawan
kaca kecil itu, ia lihat cairan tersebut berwarna putih bersih
seperti susu, baunya amat merangsang dan wangi sekali,
sukar untuk diketahui mengandung racun atau tidak.
“Bagaimana? ada racunnya tidak?” seru Giok Teng Hujin
lagi.
“Tidak ada!” sahut Hoa Thian-hong sambil tertawa pula.
Giok teng bujin tertawa cekikikan, sambil menuding wajah
pemuda itu katanya, “Anggaplah engkau memang sisetan cilik
yang pintar, kalau ada racunnya masa digunakan sebagai arak
pengikat perkawinan?”
Sesudah berhenti sebentar, sambungnya lagi.
Berani diminum tidak?
“Tidak berani!” kembali Hoa Thian-hong menggeleng
sambil tertawa tergelak.
Dengan gemas Giok Teng Hujin melotot sekejap ke arah
pemuda itu.
Terus terang kukatakan kepadamu, isi cawan itu juga arak
namanya Seng sian mi atau madu pembuat dewa jadi
mendusin, sekalipun dewa atau malaikat yang minum mereka
juga akan dibikin mabuk selama tiga hari tiga malam.
Mendengar perkataan itu, Hoa Thian-hong mengbela napas
panjang, ujarnya dengan gegetun, “Siaute pun bersedia untuk
mabuk selama tiga hari tiga malam, sayang ibuku cacad dan
tak ada yang melindungi, sebagai seorang putra aku tak bisa
melepaskan tanggung jawab ini, kalau tidak aku ingin benar
minum secawan arak itu agar bisa tidur nyenyak selama tiga
hari.”
Giok Teng Hujin tertawa merdu.
“Bagus sekali! kalau toh engkau hendak jadi seorang anak
yang berbakti maka aku ingin tanya, diantara tiga hal yang
tidak berbakti, bakti apakah yang terbesar?!”
“Tentu saja tidak punya keturunan adalah kejadian yang
paling tidak berbakti!” sahut Hoa Thian-hong sambil tertawa.
“Nah itulah dia! sewaktu kau masih mengidap racun teratai
empedu api, tubuhmu tak dapat digunakan untuk mendekati
perempuan, andaikata tiada Leng-ci hadiah dariku, bukankah
keluarga Hoa kalian akan putus keturunan?”
Merah padam selembar wajah Hoa Thian-hong karena
jengah.
“Budi kebaikan dari cici tak akan kulupakan untuk
selamanya!”
“Tak usah kau ungkap tentang soal budi lagi, aku cuma
ingin bertanya, adakah Leng-ci kedua di kolong langit ini?”
Hoa Thian-hong segera menggeleng.
“Benda langka yang amat mujarab itu belum tentu bisa
ditemui dalam seratus tahun, rasanya sukar untuk temukan
lengci kedua di kolong langit dewasa ini”
“Baik! Nah sekalipun binimu pandai dalam ramuan obat,
tapi andaikata tiada Leng-ci dari enci, dapatkah ia punahkan
racun te ratai empedu api yang bersarang dalam tubuhmu?”
Hoa Thian-hong gelengkan kepalanya.
“Ia pernah mengatakan kepadaku, menurut hasil
penyelidikannya selama ini, teratai racun empadu api adalah
racun paling dahsyat yang tiada keduanya di kolong langit,
kecuali Leng-ci berusia seribu tahun, tiada obat lain yang bisa
digunakan untuk memusnahkan racun tersebut”
Setelah berhenti sebentar, dia melanjutkan, “Dia adalah
orang yang paling berterima kasih kepada cici, seringkali dia
membicarakan tentang kebaikan cici ini”
Tentu saja begitu! ujar Giok Teng Hujin sambil tertawa,
sebab dia pula yang merasakan manfaat dari kebaikanku itu,
andaikata tiada Leng-ci mustikaku itu, kendatipnn dia sudah
kawin dengan dirimu, paling banter cuma hidup menjanda
sepanjang masa, kalau tidak berterima kasih kepadaku lantas
musti berterima kasih kepada siapa lagi?”
Pui Che-giok yang mendengarkan pembicaraan tersebut tak
dapat menahan rasa geli lagi, ia segera tertawa cekikikan.
Hoa Thian-hong jadi amat jengah, selembar wajahnya
berubah jadi merah padam, akhirnya sambil tundukkan kepala
dan tertawa ia gelengkan kepalanya berulang kali.
Giok Teng Hujin sendiripun tak dapat menahan gelinya, ia
ikut tertawa cekikikan kemudian sambil berpaling hardiknya ke
arah Pui Che-giok, “Enyah dari sini dan menyingkir jauh-jauh!”
Pui Che-giok menutupi bibirnya dengan ujung baju,
kemudian ia keluar dari ruangan dan sekalian merapatkan
pintu itu.
Sesudah dayang itu berlalu, Giok Teng Hujin baru angkat
cawan arak dan bertanya dengan lirih, “Apakah binimu sudah
mengandung?”
“Aah! mana bisa secepat itu? toh aku baru kawin sebulan
kurang sedikit.”
“Aku masih ingat dengan tepat, lengci itu kau makan
sebelum pertemuan besar Kiao ciau tayhwee diselenggarakan,
masa sudah selama itu benihmu belum jadi juga?”
“Huss…. cici pandai bergurau!” seru Hoa Thian-hong
tertawa, “sebelum diresmikan mana aku berani main pukul
sembarangan?”
Giok teng hujio mengangguk tiada hentinya, ia berkata
dengan wajah serius, “Sebelum menikah engkau memang tak
boleh sembarangan berbuat, dan kini jejakmu sudah hilang,
tentunya urusanpun tak usah dianggap terlalu serius bukan?”
Mendengar perkataan itu tak tahan lagi Hoa Thian-hong
segera bangkit berdiri, sambil goyangkan tangannya
berulangkali ia berseru, “Cici engkau terlalu romantis, siaute
tak sanggup menghadapinya, biarlah aku mohon diri saja!”
“Engkau berani kabur?!” ancam Giok Teng Hujin pura-pura
marah, “kalau kau lari dari sini, aku akan segera mengejar
kerumah penginap anmu dan minta orang kepada ibumu serta
Chin Wan-hong!”
Melihat jendela yang ada disampingnya, untuk beberapa
saat Hoa Thian-hong tak tahu apa yaeg musti dilakukan,
dengan ilmu meringankan tubuhnya yang sempurna, untuk
berlalu dari situ bukanlah suatu urusan yang sulit dan Giok
Teng Hujin tak akan mampu menangkap dirinya.
Akan tetapi ia berhutang budi kepada perempuan agung
ini, kedua antara mereka berdua sebetulnya memang sudah
tumbuh benih cinta, tentu saja si anak muda itu tak tega
meninggalkan sang gadis dengan begitu saja….
Rupanya Giok Teng Hujin sendiripun sudah ambil
keputusan untuk menyerahkan kesucian tubuhnya kepada si
anak muda itu, dengan langkah yang lembut gemulai ia
bangkit dari tempat duduknya dan pindah kesamping si anak
muda itu.
Seketika itu juga Hoa Thian-hong merasakan berdebar
keras, sambil memandang keluar jendela bisiknya, “Enci, fajar
sudah hampir menyingsing!”
Giok Teng Hujin tertawa manis.
“Kentongan kelima ayam mulai berkokok, itulah tandanya
fajar hampir menyingsing, ayoh berlutut dan menyembah dulu
kepada cici!”
“Siaute tidak mengerti!”
“Kau tidak mengerti, biar kuajarkan kepadamu!”
Dia ambil cawan kecil yang terbuat dari kaca itu dan
meneguk sedikit arak Cui sian mi tersebut, kemudian sambil di
angsurkan ketepi bibir Hoa Thian-hong, ujarnya, “Aku akan
menegukkan, lalu engkaupun minum setegukan, perlahanlahan
rasanya akan nikmat!”
Hoa Thian-hong adalah seorang pria yang sudah menikah,
boleh dibilang ia sudah berpengalaman dalam bermain cinta,
cukup mendengar rayuan manis yang merangsang itu sudah
membuat hatinya tak tahan, apalagi tubuh mereka saling
menempel dan bau harum semerbak berhembus lewat tiada
hentinya, lama kelamaan pemuda itu mulai tak sanggup
menahan diri, jantungnya berdebar makin keras.
Dalam keadaan demikian, terpaksa ia minta ampun,
“Ooh…. ciciku yang baik, ketika kentongan ketiga hampir
lewat tadi baru saja aku bertempur melawan kaucu mu, isi
perutku terluka parah dan kini….”
Giok Teng Hujin mengerling genit ke arahnya, lalu sambil
tertawa merdu menukas, “Telur busuk cilik, bukankah engkau
tidak mengerti, lalu apa artinya perkataanmu itu?”
“Sekarang siaute sudah mengerti!” jawab sang pemuda
tertawa.
Giok Teng Hujin tertawa cekikikan, bisiknya, “Tak usah
kuatir, masa cici tega untuk mencelakai dirimu? Arak ini
mendatangkan banyak manfaat bagimu, minumlah dulu
setegukan, nanti akan cici ajarkan cara intuk menyembuhkan
luka itu.”
Dengan perasaan apa boleh buat terpaksa Hoa Thian-hong
minum seteguk arak Cui sian mi itu.
“Bagaimana caranya untuk mengobati luka ku itu?”
Kepandaian tersebut disebut resep melatih diri untuk
menghindari kematian, minumlah setegukan lagi, akan
kuterangkan dengan lebih jelas lagi.
Dia angkat cawan arak Cui sian mi itu, setelah diteguk satu
tegukan barulah dia angsurkan kepada Hoa Thian-hong,
sambungnya, “Orang kuno mengatakan, kalau ada Im tentu
ada Yang, ada dingin pasti ada panas, ada laki tentu ada
perempuan, kalau kedua unsur digabungkan akan
mendatangkan kebaikan, kalau dipisahkan membedakin jenis
kelamin, mengenai ajaran ini kau tentu sudah mengerti
bukan?”
“Emmmm, mengerti!”
“Baik, menurut resep dewa dikatakan, segala macam
penyakit bagaimana parahpun hanya ada dua obat yang bisa
menyembuhkan, yakni sari hawa panas ditubuh pria dan sari
hawa dingin ditubuh wanita, kalau kedua unsur tersebut
digabungkan menjadi satu, maka semuanya akan sembuh dan
lenyap!”
“Aaah…. ecci ngaco belo, aku ogah untuk mendengarkan,
aah!” omel Hoa Thian-hong sambil tertawa.
“Siapa bilang aku ngaco belo tak karuan?!” seru Giok Teng
Hujin manja, “inilah resep yang paling jitu dari ilmu
penggabungan antara unsur panas dan unsur dingin, jika
kepandaian ini bisa dilatih dengan baik, bukan saja semua luka
akan sembuh, bahkan hidup manusiapun bisa langgeng dan
tak akan tua”
Setelah berhenti sebentar, dia melanjutkan.
“Kalau sejenis disatukan akan membentuk pedang pengusir
setan, kalau dua jenis disatukan jadilah tangga untuk naik
kesorga, pernah kau baca syair dari Hu-yu Tee-kuo ini?”
“Aaah pelajaran sesat dari kaum kiri, aku tak pernah
membaca syair seperti itu.”
“Telur busuk! Kau berani memaki cici sebagai orang sesat
dan golongan kiri? Kau musti dihukum!”
Dia angkat cawan berisi arak Cai sian mi tersebut, setelah
meneguk setegukan kemudian ia tekan kepala Hoa Thianhong
kebela kang dan melolobi pemuda itu dengan dua
tegukan arak.
Hoa Thian-hong terengahengah dengan nafas memburu,
serunya sambil tertawa getir, “Enciku yang baik, siaute tak
kuat minum arak…. aku mabuk nanti.”
“Tak usah kuatir, setelah kita habiskan arak pengikat
perkawinan ini maka semua budi dan dendam yang kita tanam
selama ini akan terhapus sama sekali.”
“Aaai….! ucapan cici terlalu serius.”
Giok Teng Hujin mendengus dingin.
“Serius biarlah serius, aku sudah tak ambil peduli!”
“Aaai….! Cici…. aah!”
Belum sempat pemuda itu mengucapkan sesuatu, tiba-tiba
kepalanya ditekan kembali kebelakang oleh Giok Teng Hujin,
sisa setengah cawan arak Cui sian mi yang masih ada dicawan
setelah dilolobkan semua kedalam mulutnya.
Hoa Thian-hong menggeliat lemas, bisiknya dengan napas
terengah-engah seperti kerbau, “Aduh cici…. kepalaku….
kepalaku pusing….”
Giok Teng Hujin yang berbaring dalam pelukan pemuda itu
tertawa terkekeh-kekeh, saking gelinya sampai air matapun
bercucuran.
Paras muka Hoa Thian-hong berubah jadi merah padam
bagaikan buah tho, kelopak matanya tak mampu dibentang
kembali, dengan suara tak jelas kembali ia bergumam, “Ooh….
cici, kepalaku pusing…. aduh pusing sekali….!”
“Aaah masa iya? Aku kok tidak pusing? Oh iya, aku lupa,
rupanya aku sudah mirum obat penawar lebih dulu”
Hoa Thian-hong sudah tak tahan lagi, ia mendebrak meja
dan mengomel lagi, “Aku tak kuat duduk lagi, aku mau
berbaring, aku….”
Giok Teng Hujin tertawa makin melengking.
“Eii, telur busuk cilik, engkau sendiri yang minta berbaring
lho! Nanti jangan salahkan cici lagi, bukan cici yang memaksa
dirimu untuk tidur diranjang”
Sambil merangkul pinggangnya, gadis itu bantu Hoa Thianhong
untut berbaring diatas pembaringan.
ooooOoooo
68
DENGAN mata berkedip-kedip karena mabuk hebat, Hoa
Thiau Hong mengomel terus.
“Ooh…. cici yang baik, biarlah aku pergi, aku benar-benar
masih ada urusan!”
“Hiih…. hiih…. hiih…. jangan ribut terus ah, bukankah cici
juga sedang bekerja?”
Sambil berkata ia lantas melepaskan pedang baja yang
tergantung dipinggangnya.
Dengan cepat Hoa Thian-hong putar badan dan menindihi
pedang baja itu dengan tubuhnya.
“Jangan kau sentuh benda itu!”
“Aku senang menyentuh senjata itu….!” seru Giok Teng
Hujin sambil tertawa cekikikan.
Dengan sepasang tangannya ia tarik bahu orang kemudian
memutar balik kembali tubuh Hoa Thian-hong sehingga tidur
terlentang, ia lihat sepasang pipi pemuda itu sudah berubah
jadi merah padam selembar kepiting rebus, tak tahan lagi
gadis itu merangkul tubuh kekasihnya dan mencium dengan
mesrah.
Tiba-tiba Hoa Thian-hong merasa pipinya jadi basah,
dengan memaksakan diri ia membuka kembali kelopak
matanya yang terasa berat, lalu bertanya, “Enci yang manis,
kenapa kau menangis?”
Meskipun air mata bercucuran membasahi pipinya, namun
senyum manis masih tersungging diujung bibir gadis itu.
“Ini hari adalah hari baik buat kita, enci merasa sangat
gembira makanya air mataku jatuh bercucuran.”
“Tidak, enci punya rahasia dihati, siaute dapat merasakan
akan hal itu.”
Giok Teng Hujin tertawa manis.
“Apa yang cici pikirkan adalah masalah mengenai dirimu,
aku takut engkau tak sudi menuruti perkataanku, marilah….
enci akan lepaskan pakaian luarmu.”
Sembari berkata ia lantas ulurkan tangannya bermaksud
untuk melepaskan pedang baja itu.
Dengan cepat Hoa Thian-hong menggelinding kesamping
dan sekali lagi menindihi pedang baja itu dengan tubuhnya,
dengan suara tak jelas ia berkata, “Jangan kau sentuh, diatas
pedang itu telah dipolesi racun ganas!”
Giok Teng Hujin tertawa cekikikan.
“Kalau ada racunnya aku semakin gembira, kau tak perlu
kuatir!”
Sekali lagi ia membalik tubuh pemuda itu sehingga tidur
terlentang.
“Enci, daripada tidur bersama lebih baik biarkanlah aku
tidur seorang diri!” gumam sang pemuda dengan kelopak
mata hampir terkatup rapat.
“Omong kosong, seorang pria tak boleh kehilangan wanita,
seorang wanita tak boleh kekurangan pria, kalau tiada wanita
maka pikiran akan melayang, kalau pikiran melayang maka
syaraf gampang jadi lelah, kalau syaraf sudah lelah maka akan
mengurangi usia, kalau engkau tidur seorang diri, maka
umurmu akan berkurang banyak”.
“Kalau tenagaku lipat ganda memang paling baik tidur
dengan wanita, kalau tenaga ku loyo dan lemas seperti ini,
tidur dengan wanita sama artinya mendekati jalan kes orga….
siaute….”
Kembali pemuda itu mengguling kebelakang dan sekali lagi
menindihi pedang bajanya itu.
Giok Teng Hujin selalu berusaha untuk melepaskan pedang
bajanya, sedangkan Hoa Thian-hong meskipun sudah mabuk
sehingga perkataannya tak jelas, tapi jurstru setiap gerakgeriknya
selalu melindungi pedang baja itu dari jangkauan
orang.
Demikianlah, kedua orang itupun saling dorong mendorong,
tarik menarik tiada hentinya, walaupun sudah berlangsung
lama namun apa yang dituju Giok teng bujin tak pernah
tercapai.
Lama kelamaan perempuan itu jadi mendongkol bercampur
penasaran, dengan suara manja dia lantas mengomel,
“Kekasihku yang tolol, sebenarnya kau sudah mabuk belum?”
“Dalam hati aku masih dapat memahami, tapi sekujur
badanku tak bertenaga lagi!”
Mendengar jawaban ini, dalam hati kecilnya Giok Teng
Hujin segera berpikir, “Aaai….! tenaga dalam yang dimiliki
kekasihku ini memang amat sempurna, walaupun secawan
arak Coi sian mi telah dihabiskan namun tak sampai membuat
dirinya mabuk….”
Dalam hati ia berpikir, diluaran ujarnya sambil tertawa
merdu, “Kalau engkau tak punya tenaga lagi, biarlah cici yang
melayani dirimu, akan kubuat tenagamu sama sekali tak
terbuang!”
Seraya berkata dia lantas jatuhkan diri ke atas
pembaringan dan berbaring disisi pemuda itu, sambil
menuding jidatnya ia melan jutkan, “Kalau engkau tak mau
menurut lagi, jangan salahkan kalau kutokok jalan darah mu”
“Jangan cici. jangan sekali-kali kau totok jalan darahku!”
“Aah, betul juga! Kalau jalan darahmu itu tertotok,
tentunya hilanglah kegembiraanku”
“Aku tidak maksudkan begitu, ketahuilah pada saat ini Kiuim
Kaucu, Pia Leng-cu serta sekelompok jago lihay lainnya
yang tergabung dalam Mo-kauw sedang mengincar nyawaku,
andaikata enci totok jalan darahku dan kesempatan baik ini
digunakan orang lain untuk celakai jiwaku, bukankah sama
artinya enci yang menjerumuskan diriku kedalam lembah
kebinasaan?”
Agak tertegun Giok Teng Hujin setelah mendengar
perkataan itu, lama sekali ia termenung akbarnya titik air mata
jatuh berlinang membasahi pipinya.
“Cici, kenapa menangis? Apakah ucapan ku keliru?” buruburu
Hoa Thian-hong bertanya dengan hati gelisah.
Giok Teng Hujin gelengkan kepalanya.
“Tahukah kau, apa sebabnya orang-orang itu bendak
mencelakai jiwaku?” ia bertanya.
“Mereka hendak merampas pedang bajaku ini!”
Air mata jatuh berlinang membasahi pipi Giok Teng Hujin,
ia semakin sedih, katanya lagi, “Tahukah engkau, encipun
akan merampas pedang baja milikmu itu? Kau anggap
tujuanku bikin kau mabuk benar-benar adalah untuk
mewujudkan tali perkawinan diantara kita berdua?”
Ia berhenti sebentar, kemudian melanjutkan, “Tentu saja,
kalau engkau masih mencintai aku, berilah pelampiasan bagi
cicimu, agar rasa cinta cici terhadap dirimu tidaklah sia-sia
belaka.”
“Aaai….! Cici, cintamu terlalu bodoh”
“Begitulah cinta kasih seorang gadis terhadap kekasihnya,
aku memang dungu dalam bercinta, tapi apakah kau tidak
merasa bahwa hatimu terlalu kejam??”
“Enci, kenapa engkau juga ingin merampas pedang bajaku?
apakah Kiu-im Kaucu yang paksa engkau berbuat demikian?,
dengan cepat Hoa Thian-hong alihkan pembicaraan kesoal
lain.
Giok Teng Hujin segera menggeleng.
“Bukan, ide ini timbul dari benakku sendiri, aku merampas
pedang baja bukan karena terdorong maksud lain, aku
berbuat demikian karena aku cinta padamu.”
“Tak dapat kutangkap maksud ucapanmu itu!”
Giok Teng Hujin menunduk dan mencium mesrah pemuda
itu, lama sekali dia baru berkata dengan sedih, “Tahukah
engkau bahwa kitab pusaka Kiam keng hasil karya dari
malaikat pedang Gi Ko tersimpan dalam pedang bajamu itu?
Semua orang berpendapat demikian, masa engkau tak tahu?!”
“Aku tahu, selain itu akupun percaya akan hal ini, tapi yang
ku maksudkan adalah dalam hal lain!”
“Kepandaian silatmu sudah mencapai tingkat yang amat
tinggi, jika kau latih isi kitab Kiam keng, maka tiada orang
yang sanggup menandingi dirimu lagi, engkau dapat
mengangkat dirimu sebagai raja tanpa tandingan, pernahkah
kau berpikir sampai kesitu?!”
Hoa Thian-hong tertawa.
“Aku sih tak ingin menjadi raja tanpa tandingan di kolong
langit, aku cuma berharap agar orang budiman bermunculan
kembali didunia kangau, sedang orang jahat yang banyak
berbuat onar musnah dari muka bumi, hanya inilah
harapanku!”
“Engkau bersedia, apakah orang lain juga bersedia?”
“Kalau memang begitu biarlah kita bertarung sampai titik
akhir, aku percaya Thian akan membantu kaum budiman serta
menumpa mereka yang suka berbuat kejahatan”
“Dengan dasar apa engkau percaya kalau Thian selalu
melindungi orang budiman?!” bisik Giok Teng Hujin dengan
murung, “apakah Lo Thian-ya berkata sendiri kepadamu?
Tidakkah kau pernah lihat, banyak orang budiman yang harus
menemui ajalnya ditangan orang jahat?”
“Yaah…. kita harus bertempur dengan andalkan kekuatan
masing-masing, siapa berumur pendek dialah yang musti
gugur, bagaimanapun juga kita toh tak sudi menyerah kalah
dengan begitu saja dan membiarkan musuh berbuat sehendak
hatinya terhadap diri sendiri tanpa melawan?”
Rupanya Giok Teng Hujin merasa murung sekali, dengan
gusar ia berteriak, “Orang mati! kau tidak takut mati, justru
akulah yang takut kau mati….! kau….”
Walaupun kata-katanya singkat, namun dalam kenyataan
mengandung pancaran rasa cinta yang amat mendalam, Hoa
Thian-hong merasa terharu sekali, tanpa sadar air mata jatuh
bercucuran membasahi pipinya.
“Aku merasa amat berterima kasih sekali atas cinta kasih
yang cici limpahkan kepada ku, sepanjang masa akan kuingat
selalu cinta cici yang begitu membara!”
Gick teng hujin tertawa getir.
Kalau memang begitu janganlah banyak tingkah, ikuti saja
semua perbuatan yang cici lakukan atas dirimu,
bagaimanapun juga cici sama sekali tak bermaksud untuk
mencelakai dirimu.
“Tak mungkin, hal ini tak mungkin terjadi” dengan cepat
Hoa Thian-hong gelengkan kepalanya, “pedang baja ini
diwariskan mendiang ayahku kepada siaute dan untuk
memanfaatkan pedang ini beliau telah menciptakan enam
belas jurus pedang untukku, diatas pedang inilah mengalir
semua pikiran dan keringat mendiang ayahku, jangan dibi lang
didalam pedang ini tersimpan kitab pusaka Kiam keng,
sekalipun tak adapun tak sudi kubiarkan senjata ini jatuh
ketangan musuh”
Dengan gemas Giok Teng Hujin menghela napas panjang.
“Aaai….! Pedang baja ini adalah bibit bencana, setelah
kudapatkan pedang akan kuserahkan kepada kaucu kami,
sekalipun pedang ini berada ditangannya juga sama sekali tak
ada manfaatnya bagi dia. Pia Leng-cu maupun orang-orang
Mo-kauw pasti akan alihkan sasarannya untuk merecoki dia,
tak seorangpun yang akan datang menyusah kan dirimu lagi,
apakah engkau tak akan paham dengan siasatku ini?”
“Aku tak mau ambil perduli siasat apapun, pokoknya
selama hayat masih dikandung badan aku akan kerahkan
segenap kemampuan yang kumiliki untuk mempertahankan
pedang baja ini”
Giok Teng Hujin semakin gelisah.
“Aaai.! engkau harus tahu, sekalipun kitab pusska kiaam
keng muncul kembali didunia dan jatuh ketangan orang,
engkaupun tak usah kesal karena tak bisa menangkan dia,
pokoknya semua orang telah tahu, jika engkau berhasil
mendapatkan kitab pusaka kiam keng maka di kolong langit
tak ada orang yang mampu menandingi dirimu lagi, dan
semua orang pasti tak akan menyetujui tindakanmu itu,
semua orang pasti akan menghimpun segenap kemampuan
yang dimilikinya untuk menghalangi dirimu, bahkan
menggunakan pelbagai cara yang teren-dah untuk mencelakai
dirimu, buat apa engkau musti menyusahkan diri sendiri?”
Antara kaum sesat dan kaum lurus selamanya tak dapat
hidup berdampingan, apa boleh buat? Terpaksa aku harus
mempertahankan diri demi tegaknya keadilan dan kebenaran.
Cici! Kau tak usah kuatirkan diri ku lagi.
Setelah berhenti sebentar, sambil tertawa lanjutnya,
“Bertarirglah disini cici, mari kita bermesraan lagi!”
“Giok Teng Hujin merasa gemas sekali.
“Telur busuk kecil! Kau anggap aku benar-benar tak tega
untuk turun tangan terhadap dirimu? Hmm! Keputusan sudah
bulat engkau tak dapat kukuh dengan pendirianmu lagi.
Seraya berkata, tangannya diayun dan menotok sebuah
jalan darah dipinggang pemuda itu.
Hoa Thian-hong jadi amat terperanjat, buru-buru ia
tangkap pergelangan tangan Giok Teng Hujin dengan
sepasang tangannya, serunya dengan gelisah, “Cici, jangan
berbuat demikian!”
Rupanya ia sudah mabuk terpengaruh oleh arak, sehingga
seluruh tubuhnya lemas tak bertenaga, kepandaian silat yang
dimiliki pun tak ada yang bisa digunakan lagi.
Dengan yang menyambar kesana kemari tanpa beraturan,
dia berusaha untuk menangkap pergelangan tangan dara itu,
tapi bagai manapun juga usahanya ini selalu gagal.
Giok Teng Hujin tertawa cekikikan, tiba-tiba pergelangan
tangannya berputar dan menyerang kembali jalan darah Siau
ci hiat di pinggang pemuda itu, sedang tangan kirinya dengan
suatu jurus serangan yang aneh menotok jalan darah diiga
kirinya.
Sebenarnya kedua orang itu sedang bergumul jadi satu,
ditambah pula ilmu silat yang dimiliki Giok Teng Hujin bukan
kepandaian sembarangan, serangan yang dilancarkan secara
serentak dari arah yang terang dan gelap ini amatlah sukar
untuk dihindari atau ditangkis.
Walaupun begitu ilmu silat yang dimiliki Hoa Thian-hong
pun bukan kepandaian silat biasa, dalam gugupnya dengan
cepat ia menggelinding kesamping dan menjatuhkan diri
kebawah pembaringan, dengan begitu dua buah serangan
tersebutpun bisa dihindari dengan manis.
Giok Teng Hujin tertawa cekikikan, telapak tangan kirinya
langsung diayun kedepan.
“Ploook!” dengan nyaring ia hantam paha pemuda itu,
sementara tangan kanannya berkelebat kemuka merampas
pedang baja.
“Cici….! Hoa Thian-hong menjerit kaget.
Belum hatbis dia berteriak, tiba-tiba pintu jendela ditumbuk
orang hingga terbuka, sesosok bayangan manusia dengan
kecepatan bagaikan sambaran kilat menyusup ketepi
peramringan, sepuluh jari tangannya dipetangkan lebar-lebar
dan langsung menerjang tubuh Hoa Thian-hong.
Betapa terperanjatnya Giok Teng Hujin sewaktu
menyaksikan kehadiran orang lain di dalam kamarnya, begitu
kagetnya sehingga sukma serasa melayang tinggalkan
raganya, cepat-cepat dia menghardik, “Siapa kau?”
Dengan sepasang tangannya menggenggam pedang dia
lancarkan sebuah bacokan kedepan.
Bayangan manusia itu sama sekali tidak bersuara, tangan
kirinya bergerak kedepan langsung mencengkeram pedang
baja itu, serta-merta tangan kanannya laksana sambaran petir
mencengkeram perut bagian bawah dari Hoa Thian-hong.
Jelas orang itu sudah memahami sampai dimanakah
kelihayan dari Hoa Thian-hong, oleh sebab itu walaupun ia
tahu kalau Hoa Thian-hong sudah dibikin mabok oleh arak Cui
sian mi namun serangannya yang dilancarkan ke arah pemuda
itu sama sekali tak berkurang kehebatannya.
Hoa Thian-hong mendengus dingin, telapak tangan kirinya
berputar lalu diayun ke depan sedang lengan kanannya segera
diangkat keatas, dengan jurus sakti Kun siuci tau dia sambut
datangnya ancaman tersebut dengan keras lawan keras,
sementara tangan kanannya dengan suatu gerakan yang aneh
menggetar pergi sepasang tangan Giok Teng Hujin, dan tahutahu
gagang pedang baja itu sudah dicekal kembali dalam
genggamanannya.
Seketika itu juga Giok Teng Hujin merasakan sepasang
tangannya tergetar keras, tak kuasa lagi badannya berguling
kesudut pem baringan.
Sementara itu orang yang melancarka sergapan tadipun tak
kalah kejutnya, baru saja ia mendengar si anak muda itu
mendengus dingin, tahu-tahu segulung angin pukulan yang
maha dahsyat telah menerjang masuk lewat telapak
tangannya.
Selama peristiwa itu berlangsung hampir bersamaan
waktunya, sejak jendela dipentang orang sampai waktu itu
hanya makan waktu sekejap mata, tapi ketiga belah pihak
melancarkan serangan mereka dengan kecepatan bagaikan
kilat.
Agaknya orang yang melakukan sergapan itu telah
menyadari kalau Hoa Thian-hong tidak benar-benar mabuk,
menyadari kalau dirinya tertipu, saking kagetnya peluh dingin
membasahi tubuhnya, dia kendorkan tangan kirinya
melepaskan cekalan pada pedang baja tersebut, sedangkan
serangan pada tangan kananpun dibuyarkan, sekali enjot
badan tubuhnya meluncur keluar lewat jendela.
Sejak pertarungan sengit diselat Cu-bu-kok serta
pertarungan serunya melawan Kiu-im Kaucu, sebagian besar
jago persilatan yang ada di kolong langit pada menaruh rasa
jeri terhadap diri Hoa Thian-hong, demikian pula dengan
penyergapan gelap itu.
Setelah menyadari kalau dirinya tertipu, cepat-cepat ia
mengundurkan diri dari situ, kecepatan dan kecekatannya
menghadapi perubahan situasi benar-benar sangat
mengagumkan.
Tampaklah Hoa Thian-hong melejit bangun dari atas tanah,
kemudian ia pentang mulutnya dan…. Cuuh! Serentetan
pancaran arak berwarna putih langsung menyambar keatas
wajah penyergap tadi….
Kiranya meskipun Hoa Thian-hong telah meneguk separuh
cawan lebih arak wangi Cui sian mi, namun secara diam-diam
dia telah simpan arak tadi kedalam lambungnya dengan
menggunakan sejenis ilmu khusus dari wilayah Biau yang
biasanya digunakan untuk menghadapi minuman atau
makanan beracun.
Dan kini setelah menghadapi serangan musuh, ia lantas
kerahkan bawa murninya untuk memaksa sisa arak yang
tertampung itu tumpah keluar semua, bahkan
memanfaatkannya sebagai senjata rahasia untuk melukai
lawan.
Serangan ini benar-benar sangat aneh dan luar biasa,
dengan hati terperanjat penyergap itu berpaling kebelakang,
dan tak dapat di hindari lagi pancaran senjata arak itu
bersarang telak diatas wajah bagian kanannya, bersamaan
waktunya pula kaki kanan orang itu merasa amat sakit hingga
merasuk ketulang sumsum, rupanya Soat-ji rase berbulu salju
itu telah manfaatkan kesempatan baik tadi untuk menggigit
kaki tamu tak diundang ini.
Rupanya Soat-ji rase berbulu salju yang selama ini
mendekam dibawah jendela telah menyusup keluar tatkala
penyergap tadi menyerang masuk kedalam ruangan, tapi
berhubung gerak tubuh penyer gap itu sangat cepat sekali,
maka walaupun gerak tubuh Soat-ji cepat toh dia masih kalah
setindak daripada musuhnya.
Andaikata orang itu tidak dibuat ketakutan setengah mati
oleh serangan balasan yang dilancarkan Hoa Thian-hong,
niscaya Soat-ji pun tetap gagal untak melukai lawannya.
Kendatipun begitu, ilmu silat yang dimiliki penyergap itu
sangat mengejutkan pula, dalam keadaan pipi kanan terluka
oleh semburan arak, kaki kanan terpincang karena gigitan
Soat-ji, ia masih mampu menahan rasa sakit yang luar biasa
itu untuk kabur keluar jendela, dalam waktu singkat tubuhnya
sudah jauh diujung jalan sebelah sana.
Hoa Thian-hong telah memburu pula ke tepi jendela, dalam
sekejap mata separuh badannya sudah keluar dari ruangan
itu….
“Thian-hong! racun….” tiba-tiba Giok Teng Hujin berteriak
keras.
Hoa Thian-hong terkesiap, dengan cepat ia teringat kembali
kalau diatas pedang bajanya telah dipolesi racun yang keji,
teringat pula ketika penyergap tersebut menyerang dirinya.
Giok Teng Hujin jadi begitu panik sehingga mengucurkan air
mata, pemuda itu jadi tak tega.
Buru-buru ia kembali kesampingnya, sambil mengeluarkan
obat pemunah dari dalam saku ia berkata, “Makanlah obat ini
maka racun itu akan punah dengan sendirinya, aku harus
segera mengejar penyergap itu!”
Begitu pemuda tersebut menyelesaikan kata-katanya,
sambil menangis Giok Teng Hujin telah berteriak, “Sepasang
tanganku telah berubah jadi kaku semua!”
Kreet….! pintu kamar dibuka orang, Pui Che-giok dengan
langkah cepat telah masuk kedalam.
Hoa Thian-hong segera berseru dengan cepat, “Che giok,
tolong berikanlah obat pemunah ini kepadanya, aku….”
Sementara itu Giok Teng Hujin sendiripun sedang
berpikir….
“Setelah perpisahannya pada hari ini, entah sampai kapan
kita baru bisa berjumpa lagi?”
Dalam gelisahnya, dia segera tundukkan kepala dan
menggigit lengan pemuda itu keras-keras.
Hoa Thian-hong kesakitan dan menjerit tertahan.
“Aduuh…. cepat lepaskan gigitanmu…. orang yang
menyergap diriku tadi adalah Pia Leng-cu, Pek Kun-gie telah
terjatuh ketangan…. aduuh!”
Ketika Giok Teng Hujin mengetahui kalau Hoa Hoa Thianhong
mengejar Pia Leng-cu adalah dikarenakan hendak
menolong Pek Kun-gie, gadis ini jadi gemas sekali sehingga
gigitanpun diperkeras dengan sendirinya pemuda itu sangat
kesakitan.
Walaupun begitu Hoa Thjan Hong tak dapat berbuat apaapa
kecuali menahan rasa sakit hingga air matapun
bercucuran, ia tak berani mengerahkan hawa murninya untuk
melawan, sebab kuatir menggetarkan gigi dara itu, dalam
keadaan apa boleh buat terpaksa ia berbicara, “Cepat-cepatlah
kendorkan gigitanmu, aku tak akan pergi, aku akan menyuapi
obat untuk mu…. ayohlah, cepat lepaskan gigitanmu!”
Giok Teng Hujin sama sekali tidak menggubris
permohonannya itu, bahkan gigitannya malah semakin
diperkeras.
Pui Che-giok yang menyaksikan kejadian itu diam-diam
tertawa geli, ia segera maju kedepan dan menutup kembali
jendela yang terpentang, kemudian membersihkan noda darah
dan arak yang menodai pemukaan tanah, setelah selesai pintu
ditutup kembali dan diapun berlalu.
Sementara itu Hoa Thian-hong telah melihat sepasang
tangan Giok Teng Hujin yang putih bersih kini telah berubah
jadi hitam gelap, sedang gigitan pada tangannya sama sekali
tak mau dilepas, dalam keadaan seperti ini pemuda kita
menghela napas, seperti lagi membujuki anak kecil saja
katanya, “Baiklah, cepat lepaskan gigitanmu, perkataan
seorang pria sejati berat laksana bukit, setelah aku berjanji tak
akan pergi-pastilah aku tak akan pergi!”
Racun keji dari wilayah Biau terkenal karena keganasannya,
sejak keracunan, Giok Teng Hujin hanya memikirkan tentang
kekasihnya dan sama sekali tak mengerahkan tenaga untuk
lawan racun, hal ini membuat sepasang tangannya sama
sekali jadi kaku, kesadaranpun agak kabur.
Menanti Hoa Thian-hong mengucapkan kata-kata tadi, ia
baru lepaskan giginya.
Hoa Thian-hong segera membuka penutup botol dan
menyuapi obat tersebut kedalam mulutnya, setelah itu telapak
tangannya di tempelkan diatas punggungnya dan salurkan
hawa murni untuk membantu daya kerja obat tadi dalam
memunahkan racun yang bersarang di tubuhnya.
Lewat beberapa saat kemudian, racun yang bersarang
didalam tubuh perempuan itu telah punah. Giok Teng Hujin
dapat menggerakkan kembali lengannya dengan leluasa,
diapun angkat kedua buah tangannya dan memeluk tubuh
Hoa Thian-hong erat-erat, si anak muda itu tertawa getir,
bisiknya dengan lembut, “Pek Kun-gie….”
Senyum manis tersungging diujung bibir Giok Teng Hujin,
ia gelengkan kepalanya berulang kali, namun pelukannya
sama sekali tidak mengendur dan mulutpun membungkam
dalam seribu bahasa.
Hoa Thian-hong jadi kebingungan dibuatnya, dengan
perasaan tak mengerti ia menegur, “Eeeh! kenapa sih
wajahmu kelihatan sangat gembira? Ayoh, dibalik
kegembiraanmu itu pasti ada hal-hal yang tak beres!”
Giok Teng Hujin tertawa manis, dengan muka berseri-seri
ujarnya.
Lepaskan dulu benda yang ada racunnya itu dan letakkan
dibalik pembaringan, kemudian berbaringlah dulu maka akan
kubicarakan banyak hal dengan dirimu, kalau engkau bisa
menangkan perdebatan ini maka mulai detik ini aku, Ku Inging
tak akan merecoki dirimu lagi, dan kau boleh anggap aku
sebagai perempuan yang paling rendah di kolong langit
dewasa ini.
Perkataan tersebut diucapkan dengan nada serius, mau tak
mau terpaksa Hoa Thian-hong harus melaksanakan seperti
apa yang dikatakan olehnya, sesudah melepaskan pedang
bajanya dan diletakkan dibawah kasur iapun berbaring diatas
pembaringan.
“Nah, apa yang hendak kau perdebatkan sekarang boleh
kau katakan secara blak-blakan!”
Agaknya Giok teng bnjin merasa sangat gembira, ia
lemparkan satu senyuman yang amat mesrah kepada pemuda
itu, lalu katanya, “Cinta kasih yang diperlihatkan Pek Kun-gie
kepadamu telah diketahui oleh khalayak umum, sedangkan
rasa cinta dan sayang dari aku, Ku Ing-ing kepadamupun
rasanya tak perlu dijelaskan lagi bukan??”
Hoa Thian-hong menghela napas panjang, dengan mulut
membungkam dia mengangguk.
Giok Teng Hujin tersenyum, ujarnya lebih jauh, “Dia yang
mencintai dirimu lebih dulu? ataukah aku lebih dulu yang
mencintai dirimu?”
Merah jengah selembar wajah Hoa Thian-hong, sahutnya
dengan suara amat lirih, “Susah untuk menentukan siapa yang
lebih duluan, tapi aku rasa persoalan ini toh tidak terlalu
penting”
Setelah berhenti sebentar, sambungnya kembali, “Cinta
kasih yang enci berikan kepadaku disertai dengan pelepasan
budi kebaikan yang berlipat ganda, kalau dibicarakan
sesungguhnya tentu saja Pek Kun-gie tak dapat dibandingkan
dengan dirimu!”
Giok Teng Hujin tertawa.
“Perkawinanmu dengan Chin Wan-hong, perduli atas usul
dari siapa, kejadian ini adalah suatu peristiwa yang sangat adil
dan jamak, sebaliknya kalau engkau tinggalkan Chin Wanhong
untuk menikah dengan Pek Kun-gie, bukan saja semua
orang gagah yang ada di kolong langit akan memandang hina
dirimu, merekapun akan memandang rendah pula ibumu,
semua orang gagah di kolong langit tentu akan pada
membicarakan ketidakbecusan ibumu serta ketidak
bijaksanaannya dalam mengambil keputusan”
Mendengar perkataan itu, tiba-tiba Hoa Thian-hong merasa
peluh dingin mengucur keluar membasahi seluruh tubuhnya,
dengan gugup ia menimbrung dari samping, “Sampai detik ini,
aku dan ibuku belum pernah memikirkan hal-hal seperti apa
yang cici katakan barusan!”
Giok Teng Hujin tersenyum, kembali ia menyela, “Benarkah
begitu? Kalau rumah tangga sendiri tak dapat mengatur, mana
mungkin mengatur suatu negara? Engkau dan ibumu adalah
tulang punggung para jago dari golongan lurus, kalau toh
urusan rumah tanggapun tak becus untuk mengatur, dengan
dasar apakah kalian bisa menegakan keadilan serta kebenaran
bagi umat persilatan??”
Sesudah berhenti sebentar, sambungnya lebih jauh, “Dalam
kenyataan, meskipun pendapat seperti ini tak pernah kalian
pikirkan, dalam hatipun secara lapat-lapat telah merasakan,
cuma saja berhubung kata-kata semacam itu diucapkan keluar
oleh seorang perempuan jahat seperti aku sekarang ini, maka
engkau meneri manya dengan suatu perasaan istimewa pula”
“Selamanya siaute tak pernah memandang enci sebagai
orang jabat, dan ibuku juga tak pernah mempunyai
pandangan begitu….”
Kembali Giok teng hnjin tertawa.
“Perduli bagaimanapun juga, yang jelas aku berdiri dipihak
orang-orang jahat, mungkin engkau sendiripun tak pernah
memikirkan bukan, orang baik bukan saja harus dipuji dan
disanjung oleh orang baik, selain itu orang jahatpun harus ikut
memuji dan menyanjungnya pula, dengan demikian ia baru
bisa dianggap seorang yang benar-benar baik sejati!”
“Aaah! Mana mungkin ada orang jahat bersedia memuji
dan menyanjung orang baik. Kalau sampai begitu dimanakah
letak kebu sukan dari orang jahat itu?”
“Bukan begitu, engkau memandang watak manusia terlalu
kasar dan gamblang, baik dia seorang kuncu ataupun seorang
manusia jahat, bila mereka semua menaruh rasa kagum dan
menyanjung, maka penghormatan tersebut barulah dapat
dianggap sebagai suatu penghormatan yang sungguhsungguh
dan dari situ pula lahirlah kata-kata yang
menyatakan: Sesat selamanya tak bisa menangkan lurus, dan
oleh karena pendapat ini pula semakin banyak yang diderita
orang baik, semangat dan ambisinya semakin teguh,
sebaliknya oOrang jahat yang terkena pukulan batin, jiwanya
langsung jadi kerdil dan keberanianpun hancur berantakan….
tentu saja walaupun dalam hati kecil seorang manusia jahat
merasa hormat terhadap seorang baik, ia selalu berusaha
untuk menghindari pikiran sampai kesitu, apalagi
mengumumkan perasaannya itu dihadapan umum”
Hoa Thian-hong berpikir sejenak, kemudian dengan muka
serius sahutnya, “Terima kasih atas petunjuk dari cici, mulai
hari ini siaute pasti akan berusaha untuk menjadi seorang
manusia yang benar-benar baik, sehingga membuat pihak
musuhpun mau tak mau terpaksa mesti mengagumi diriku”
Giok Teng Hujin tertawa cekikikan.
“Apa yang sedang kubicarakan hanyalah masalah besar
dalam dunia persilatan, masalah tentang muda mudi sih boleh
bertindak lebih bebas dan leluasa, tak perlu musti pakai aturan
segala”
Hoa Thian-hong tertawa terbahak-bahak, ia merasa dada
dan pikirannya jadi lapang sekali.
Sebenarnya pembicaraan tentang masa lah baik dan busuk
itu hanyalah perkataan melantur dari Giok Teng Hujin,
perempuan itu sendiripun tak pernah memikirkannya dihati,
tapi bagi pendengaran Hoa Thian-hong telah mendatangkan
manfaat yang amat besar.
Sebelum kejadian tersebut, Hoa Thian-hong masih
merupakan seorang pemuda yang keras kepala dan berdarah
panas tapi mulai detik itu juga segala watak serta perangainya
telah mengalami perombakan besar dan jadilah dia seorang
lelaki sejati yaog berjiwa ksatria, setiap perkataan maupun
perbuatannya tak malu disebut seorang pemimpin dari
golongan kaum lurus.
Sudah tentu Giok Teng Hujin sendiripun tak pernah
menduga kalau ucapan isengnya telah mendatangkan
perubahan besar bagi kekasih hatinya ini.
Sementara itu dipthak lain, Pek Kun-gie yang kemarin
malam baru saja lolos dari pengejaran Tio Sam-koh, ketika
baru saja ia tiba didepan mulut sebuah gang, tiba-tiba dari
balik kegelapan menyusup keluar seorang kakek tua
berjenggot putih, begitu munculkan diri dia segera lancarkan
sebuah totokan yaog merobohkan gadis itu kemudian
mengempitnya di bawah ketiak dan kabur dari situ.
Dari gerakan tubuh kakek tua itulah, Tio Sam-koh segera
kenali orang itu sebagai Pia Leng-cu dari perkumpulan Thongthian-
kauw dan karena itu pula dia tidak melanjutkan
pengejarannya.
Kakek berbaju putih itu sama sekali tidak berlalu dengan
begitu saja, sesudah membawa Pek Kun-gie berputar satu
lingkaran akhirnya ia kembali lagi disekitar rumah penginapan
tersebut dan menyembunyikan diri ditempat kegelapan sambil
menyaksikan pertarungan sengit antara Hoa Thian-hong
melawan Kiu-im Kaucu, menanti kedua belah pihak telah
buyar barulah dia mengempit tubuh Pek Kun-gie dan
menyusup keatas loteng sebuah rumah obat diseberang
penginapan tersebut dan bersembunyi disudut gudang obat
tadi.
Orang itu memang tak lain dan tak bukan Pia Leng-cu,
dengan pedang emas berada dalam sakunya, sambil melarikan
diri dari pengejaran Kiu-im Kaucu, dia pun berusaha untuk
merampas pedang baja milik Hoa Thian-hong serta
mendapatkan kitab kiam keng yang maha dahsyat tersebut.
Apabila orang-orang dari pihak Mo-kauw tidak masuk
bilangan, maka dewasa ini ilmu silat yang dimiliki Hoa Thian
Hoag serta Kiu-im Kaucu boleh dibilang nomor satu di kolong
langit, meskipun kepandaian silat dari Pia Leng-cu sendiripun
sudah mencapai puncak kesempurnaan, akan tetapi kalau
dibandingkan dengan kedua orang jago ini, dia masih tetap
kalah setingkat,oleh sebab itulah untuk menghadapi kedua
orang jago lihay ini menantang secara berhadapan, maka
diputuskan untuk bermain gerilya ditempat kegelapan.
Sejak perkumpulan Thong-thian-kauw musnah dari muka
bumi, imam tua ini selalu berusaha untuk membalas dendam,
dan satu-satunya harapan yang dijagakan dirinya adalah
memperoleh kitab Kiam keng tersebut kemudian mempelajari
isinya.
Selama ini semua anggota perkumpulan Thong-thian-kauw
mempelajari ilmu pedang, dengan dasar ilmu silat serta
tenaga dalam yang dimilikinya sekarang, apabila bisa
memperoleh kemajuan yang amat pesat, dan asalkan ia
sanggup menandingi kepandaian silat dari Hoa Thian-hong
serta Kiu-im Kaucu, maka dunia persilatan akan berada
dibawah injakan kakinya, dalam keadaan begitu tak sulit untuk
membangun kembali perkumpulan Thong-thian-kauw yang
telah runtuh.
0000O0000
69
KUNCI UNTUK memperoleh kitab pusaka Kiam keng yaitu
pedang emas itu berada ditangannya akan tetapi Kiu-im Kaucu
selalu mengejar-ngejar terus membuat dia makan tak enak
tidur tak tenang, hal ini membangkitkan niatnya untuk
merampas pedang baja milik Hoa Thian-hong dan kemudian
kabur jauh-jauh dari situ, asal dia bisa mempela jari isinya
niscaya dunia aian menjadi miliknya.
Begitulah, sekembalinya keatas loteng kecil, dia lantas
memikirkan pertarungan sengit yang baru saja berlangsung
antara Hoa Thian-hong melawan Kiu-im Kaucu, ia tahu
sesudah pertarungan tersebut hawa murni mereka berdua
pasti mengalami kerugian besar, dalam keadaan begitu tak
mungkin Kiu-im Kaucu akan muncul kembali disana, ia lantas
merasa bahwa malam ini adalah saat yang paling tepat untuk
merebut pedang baja itu.
Pek Kun-gie yang kena dibekuk segera diikatnya dengan
tali otot kerbau yang kuat, mulutnya dijejali pula dengan
robekan kain sehingga tak dapat berteriak. Kemudian
tubuhnya disembunyikan dibawah tumpukan obat-obatan.
Sedangkan ia sendiri menyusup kembali kedaerah sekitar
rumah penginapan dimana Hoa Thian-hong berdiam, menurut
perkiraannya Pek Kun-gie yang ditotok jalan darah pingsannya
tak akan sadar dalam beberapa jam, karenanya tak mungkin
juga ia dapat meloloskan diri.
Walaupun begitu ia tak berani terlalu mendekati rumah
penginapan tersebut, sebab pertarungan sengit antara Hoa
Thian-hong melawan Kiu-im Kaucu telah mendatangkan rasa
bergidik dalam hatinya, selain itu diapun dapat menyaksikan
peristiwa terlukanya orang-orang Mo-kauw yang menyergap
rumah penginapan malam itu.
Dalam keadaan ketakutan dan pernah pecah nyali, akhirnya
dia ambil keputusan untuk tidak melakukan gerakan apa-apa
secara gega bah, tapi mendekam disekitar penginapan sambil
menantikan saat yang tepat untuk merampas pedang baja itu
Beberapa saat kemudian ia lihat cahaya lampu dirumah
penginapan itu telah padam, ia mengira Hoa Thian-hong
sekalian telah naik kepembaringan dan tidur, maka
ditunggunya dengan tenang ditempat kegelapan.
Siapa tahu lewat beberapa saat kemudian, mendadak Hoa
Thian-hong munculkan diri dari dalam kamarnya dan
tinggalkan rumah penginapan tersebut menuju kepintu kota
sebelah utara.
Sesudah berpikir sebentar, imam tua ini segera menduga
kalau kepergian Hoa Thian-hong saat itu tentulah dikarenakan
persoalan Pek Kun-gie, maka ia menguntit dari kejauhan, dia
ingin tahu apa yang hendak di lakukan si anak muda itu.
Tak tahunya ditengah jalan Hoa Thian-hong telah berjumpa
dengan Giok Teng Hujin, maka dengan sendirinya
perjalananpun terhenti ditengah jalan.
Pia Leng-cu adalah seorang jago kawakan yang mempunyai
banyak pengalaman dalam dunia persilatan, ia menyadari
betapa sempurnanya tenaga dalam yang dimiliki Hoa Thiian
Hong dan betapa tajamnya pendengaran si anak muda itu,
salah-salah kurang waspada niscaya jejaknya ketahuan
musuh, selain itu dia pun kuatir srigala mengincar kambing,
harimau menunggu diarah belakang, dan jejaknya ditempeli
eleh Kiu-im Kaucu yang kejam, oleh sebab itulah semua tindak
tanduknya dilakukan dengan sangat berhati-hati, sedikitpun
tak berani bersikap gegabah.
Posisinya saat ini berada diantara desakan dua kekuatan
besar, ibaratnya ular yang kena digebuk, ia tak berani berbuat
seenaknya sendiri sehingga dia sendiri malahan jatuh dalam
pengawasan orang.
Ketika dilihatnya Hoa Thian-hong sudah masuk kedalam
loteng dan jendelapun sudah tertutup, diam-diam ia berputar
satu lingkaran kemudian dengan sangat berhati-hati
mendekati tempat tersebut.
Setibanya diluar jendela, imam tua ini segera tutup
napasnya dan mengamati suasana dalam ruangan dengan
seksama, ia temukan Giok Teng Hujin sedang melolob Hoa
Thian-hong dengan arak keras, bahkan yang dipergunakan
adalah arak Cui sian mi suatu arak yang berkadar tinggi dari
perkumpulan Thong-thian-kauw, jadinya ia sangat Kegirangan,
diam-diam ia bersyukur kepada sukma cousu ya nya yang
sudah menyediakan kesempatan baik kepadanya untuk
peroleh pedang baja serta menjadi seorang tokoh tak
terkalahkan didunia, dalam hati ia lantas ambil keputusan,
asalkan pedang baja itu sudah jatuh ketangan nya dan kitab
Kiam keng didapatkan olehnya, maka sambil membawa Pek
Kun-gie dia akan kabur jauh dari keramaian dunia dan mencari
tempat yang tidak dapat ditemukan Kiu-im Kaucu untuk
mempela ari isi kitab Kiam keng tersebut.
Bila ditambah pula dengan ilmu catatan Kiam keng bu kui
yang diketahui Pek Kun-gie, jika ia muncul kembali dalam
dunia persilatan, siapa lagi yang mampu menandingi dirinya?
Terbayang pula betapa nikmat dan hangatnya dia akan
mencicipi tubuh Pek Kun-gie yang putih mulus dan padat
berisi itu, hatinya jadi sangat kegirangan, ia merasa
pengorbanan serta penderitaan yang dialaminya selama ini dia
masih belum terhitung seberapa jika dibandingkan dengan apa
yang bakal diraih di kemudian hari.
Pia Leng-cu tahu betapa lihaynya madu arak Cui sian mi ini,
asalkan Hoa Thian-hong meneguk setengah cawan, seratus
persen pemuda itu pasti akan mabuk dan tak sadarkan diri.
Menyusul mana dia dengar pembicaraan yang lirih dari
kedua orang itu, meskipun dalam hati merasa amat gelisah
akan tetapi berhubung persoalan ini menyangkut masa depan
dirinya, maka imam tua ini selalu bersabar diri dan bertindak
dengan hati-hati.
Siapa tahu fajar telah menyingsing diufuk sebelah timur,
imam itu tahu bila mengintip lewat luar jendela dilanjutkan,
meskipun mereka yang berada dalam ruangan tidak sampai
mengetahui perbua-tannya, tapi bagi mereka yang lewat
dijalan raya sebelah bawah sana pasti akan mengetatui
perbuatannya itu dalam sekilas pandangan.
Dengan perasaan apa boleh buat, terpaksa ia
menggeserkan tubuhnya kembali ke tempat
persembunyiannya kesudut bangunan yang sulit diketahui
orang, walaupun begitu dengan tenaga dalam yang dimiliki
Hoa Thian-hong ternyata ia tak sempat mendengarkan
sesuatu tanda yang mencurigakan, bahkan Soat-ji rase salju
yang punya penciuman yang melebihi manusia biasapun tidak
merasakan sesuatu yang aneh.
Kendatipun Hoa Thian-hong tak tahu kalau diluar jendela
telah siap seorang musuh tangguh, namun selama ini dia
sendiripun selalu waspada, dia kuatir dirinya disergap musuh
secara mendadak sehingga pedang baja itu dirampas orang,
selain itu diapun takut kalau imamnya kurang teguh sehingga
terjerumus kedalam jaring cinta Giok Teng Hujin, karenanya ia
selalu menjaga otaknya atar tetap segar dan dingin.
Demikianlah, ketika Pia Leng-cu merasa saat yang
dinantikan telah tiba, maka ia menerjang masuk kedalam
ruangan dengan langkah yang berhati-hati serta penuh
perhitungan, toh perhitungan itu akhirnya meleset juga bukan
saja usahanya gagal total bahkan harus kabur sambil
membawa luka yang parah.
Seandainya Giok Teng Hujin tidak memegangi Hoa Thianhong
terus menerus, niscaya imam tua itu akan mampus
diujung telapak tangan Hoa Thian-hong yang ampuh.
Dengan kaki berjalan pincang, Pia Leng-cu segera loncat
turun dari atas loteng, buru-buru ia telan sebutir pil pemunah
racun dan kabur lewat jalanan yang masih sepi.
Setalah kabur, dia masuk kedalam sebuah ruangan dalam
suatu pen ginapan kecil, imam ini duduk bersila dan salurkan
hawa murninya untuk melawan kekuatan racun yang bekerja
dalan tubuhnya.
Racun keji dari Kiu-tok Sianci memang tersoohor karena
keganasannya, walaupun dia telah menelan sebutir pil
pemunah namun obat tersebut tidak menunjukkan
kemanjuran apa-apa, saluran hawa murni yang dimaksudkan
untuk mendesak keluar racun itu dari dalam tubuhpun
mengalami kegagalan total, untung ia cuma sebentar
menangkap pedang baja itu sehingga dia hanya menderita
keracunan ringan, dengan andalkan tenaga dalam hasil
latihannya selama enam puluh tahun, akhirnya ia berhasil
mendesak racun itu ke ujung tiga jari tangan kirinya.
Demi untuk selamatnya jiwanya, dalam keadaan begini
sambil gertak gigi ia lantas cabut sebilah pisau belati dan
menebas kutung ketiga buah jari tangannya itu.
Setelah racun keji itu dapat dimusnahkan, selembar
jiwanya selamat pula dari ancaman maut, buru-buru dia ambil
keluar obat luka dan dibubuhkan keatas mulut luka diatas
tangan serta kakinya, sesudah membalut dengan baik barulah
topeng kulit manusia yang ia kenakan dilepaskan.
Semburan arak dari Hoa Thian-hong yang bersarang telak
dipipi kanannya terasa amat dahsyat, untung mukanya
dilindungi oleh topeng itu sehingga tak sampai terluka parah
kendati begitu separuh wajahnya telah membengkak besar,
buru-buru ia mengurutinya bebe-rapa saat, kemudian ganti
pakaian, menutupi mukanya dengan kain cadar dan berlalu
dari rumah penginapan itu.
Dengan hati kebat kebit karena ketakutan, sepanjang
perjalanan Pia Leng-cu berjalan seperti maling takut
ketangkap polisi, dengan susah payah akhirnya toh dapat
kembali keatas loteng kecil rumah obat itu dengan selamat.
Jalan darah Pek Kun-gie yang tertotok, saat itu sudah
bebas dengan sendirinya, waktu itu dia sedang menggerakan
tubuhnya diba wah tumpukan bahan obat, Pia Leng-cu maju
menghampiri dan mengangkat tubuhnya dari bawah tindihan
bahan obat-obatan.
Diatas loteng kecil itu, terdapat sebuah jendela kecil yang
tepat berhadapan dengan penginapan dimana Hoa Thian-hong
menginap, diatas jendela tersebut Pia Leng-cu membuat
sebuah lubang kecil yang bisa di gunakan untuk mengintip
segala gerak-gerik dipintu luar penginapan tersebut.
Suasana dalam ruangan gelap gulita, tapi sinar yang
memancar masuk lewat lubang itupun dapat menyinari
seluruh ruangan dengan jelas.
Setelah sadar dari pingsannya, Pek Kun-gie temukan kaki
dan tangannya dibelenggu orang, sadarlah dara itu bahwa dia
telah di tangkap orang, namun ia tak tahu siapakah yang telah
menawan dirinya ini.
Kemudian ia alihkan sorot matanya kesamping dan
menyaksikan seorang pria berkain cadar hitam dengan bentuk
badan persis seperti Pia Leng-cu berdiri dihadapannya, ia baru
terkesiap hingga keringat dingin mengucur keluar membasahi
seluruh tubuhnya.
Bagaikan sukma gentayangan saja, Pia Leng-cu
mengangkat tubuh Pek Kun-gie dan diletakkan disudut
ruangan, kemudian perlahan-lahan ia lepaskan kain cadar
yang menutupi wajahnya.
Dahulu ia pelihara jenggot pulih yang panjang, tapi untuk
melengkapi penyamarannya, jenggot itu sudah dicukur habis,
kini dengan muka yang murung bercampur kesal serta
bengkak separuh ditambah pula sorot matanya yang
memancarkan cahaya kebengisan ke lihatan amat mengerikan
sekali sehingga bikin hati orang jadi bergidik.
Dengan pandangan tajam Pek Kun-gie mengawasi pria
dihadapannya, setelah merasa yakin kalau orang itu adalah
Pia Leng-cu, bulu kuduknya tanpa terasa pada bangun berdiri,
tak kuasa lagi titik air mata jatuh berlinang membasahi
wajahnya.
Dengan muka menyeringai seram, Pia Leng-cu mengangkat
tangan kirinya dan diperlihatkan dihadapan dara itu sambil
ujarnya dengan suara menyeramkan, “Lihatlah dengan cepat,
mukaku, tanganku semuanya dilukai oleh Hoa Thian-hong
sampai kaki kiriku jadi pincang pula. Hmm! semua hutang
darah ini akan kulampiaskan diatas tubuhmu, apalagi hutang
perkumpulan Sin-kie-pang atas Thong-thian-kauw sudah
menumpuk terlalu banyak, kini akan ku tagih semua dirimu”
Sambil berkata perlahan-lahan dia lepaskan kain handuk
dan mengeluarkan pula sumbat kain yang memenuhi mulut
Pek Kun-gie.
Berada dalam keadaan begini, dara ayu dari perkumpulan
Sin-kie-pang ini segera berpikir di hati, “Setelah aku terjatuh
ketangan bangsat ini, tak bisa dibayangkan bagaimana
akibatnya, kalau aku tidak cepat-cepat mati maka siksaan
serta penderitaan yang kualami akan bertambah parah…. aaai!
Thian-hong…. ooh Thian-hong.
Gadis itu kuatir kesempatan yang ada lenyap dengan begitu
saja, sehingga akhirnya dia malah tersiksa hebat, maka tanpa
berpikir panjang lagi ia menggigit lidahnya keras-keras
bermaksud untuk bunuh diri.
Sebagian besar anggota perkumpulans Thong-thian-kauw
hidup dalam pelampiasan nafsu seks atas lawan jenisnya,
selama hidupnya Pia Leng-cu entah sudah berapa banyak
merusak kehormatan dan kesucian anak gadis orang, makin
tua makin menjadi dan ia pan ai sekali menyelami perasaan
kaum wanita.
Ketika dilihatnya paras muka Pek Kun-gie berubah hebat,
secepat sambaran kilat tangan kanannya menjepit sepasang
pipi dara itu, membuat mulutnya tak sanggup terkatup
kembali.
Air mata semakin deras bercucuran membasahi wajah Pek
Kun-gie, dengan sorot mata penuh kegusaran ia melototi
musuhnya tanpa berkedip.
Pia Leng-cu tertawa seram, sepatah demi sepatah ia
berkata dengan nada seram, “Dengarkanlah baik-baik, kalau
engkau berani bunuh diri maka segera kunodai jenasah mu,
kemudian telanjangi dirimu dan kugantung mayatmu didepan
pintu kota sana, agar semua orang yang ada diseantero jagad
tahu kalau perempuannya Hoa Thian-hong telah dirusak
kehormatannya oleh aku Pia Leng-cu!”
Selesai berkata, ia lepaskan jepitannya.
Sekujur badan Pek Kun-gie gemetar keras, setelah berpikir
beberapa saat lamanya, ia benar-benar tak berani untuk
bunuh diri, pikirnya dihati, “Baik mati maupun hidup, aku tak
boleh bikin malu Thian honh, lebih baik aku pasrah saja pada
nasib dan mengikuti perkembangan situasi selanjutnya….”
Setelah ambil kepututan didalam hati, ia berkata, “Kalau
mau bunuh aku bunuhlah dengan cepat dan biarkan aku mati
dengan tubuh yang suci, anggap saja engkau telah balaskan
dendam bagi Thong-thian-kauw, dan perkumpulan Sin-kiepang
kami telah membayar impas hutang berdarah ini, dalam
keadaan begini aku Pek Kun-gie akan mati dengan mata
meram tanpa mengucapkan separah katapun, Hoa Thian-hong
adalah seorang enghiong yang mengutamakan kebijaksanan
dan keadilan, ia pasti akan merasakan kebaikan budimu ini,
siapa tahu ia malah akan memberikan imbalan yang besar
untuk itu”
Hmm! Perkataanmu telah membingungkan, aku Pia Lengcu
sama sekali tak mengerti” tukas imam tua itu dengan
ketus.
Sesudah berhenti sebentar, sambungnya lebih jauh”
“Setelah urusan berkembang jadi begini, masing-masing
pihakpun berjalan menurut seleranya masing-masing, kini aku
Pia Leng-cu tinggal sebatang kara, tiada sesuatu apapun yang
perlu kutakuti lagi, asal ada keuntungan bagi ku maka
pekerjaan itu segera kulakukan. Hmmm! jika engkau
membandel terus, jangan salahkan kalau kunodai dulu
kesucianmu untuk melampiaskan semua rasa dongkolku, ke
mudian baru bikin perhitungan selanjutnya”
Ketika mendengar perkataan tersebut, terutama sekali
kata-kata yang berbunyi ‘…. dimana ada keuntungan disana
kulakukan perbuatan itu….’ satu ingatan dengan cepat
berkelebat dalam benaknya, ia lantas berpikir, “Pedang emas
tersebut berada dalam saku bangsat ini, kalau ditinjau dari
tindak tanduknya yang selalu mengintil kepergian Hoa Thianhong,
rupa-rupanya diapun bermaksud untuk mendapatken
kitab Kiam keng. Asalkan ia punya niat kesitu, berarti pula
diapun takut banyak urusan…. untuk sementara waktu aku tak
usah keburu mati, kalau Thian-hong mengetahui akan
persoalan ini, dia pasti akan datang menolong diri ku, sampai
waktunya kalau bangsat ini hendak celakai jiwa Thian-hong,
siapa tabu kalau aku bisa bantu menyelamatkan jiwanya?”
Jilid 19
SEMENTARA ia masih termenung, dengan wajah
menyeringai seram Pia Leng-cu telah berkata lagi, “Sekarang,
beritahu dulu kepadaku apa isi catatan Kiam keng bu kui yang
kau ketahui, jika berani menyelewengkan kata-kata tersebut
dari isi yang sebenarnya…. Hmm! Akan kusuruh kau tak punya
muka untuk berjumpa lagi dengan Hoa Thian-hong”
Pek Kun-gie selalu teringat akan Hoa Thian-hong, maka Pia
Leng-cu menggunakan titik Kelemahan tersebut untuk
memaksa gadis itu menuruti Kemauannya, meskipun cara ini
amat keji dan tak tahu aturan namun amat jitu dan tepat
mengenai sasarannya.
Mendengar permintaan tersebut, dalam hati Pek Kun-gie
segera berpikir, “Kalau aku mengatakan tak tahu, dia pasti tak
percaya, seba-liknya Kalau kuterangkan sejujurnya, bila intisari
kepandaian tersebut sampai dipahami olehnya, bukankah
kepandaian silat yang dia miliki akan melampaui Thian-hong?”
Agaknya Pia Leng-cu dapat menebak pula isi hatinya, ia
menyeringai seram dan berseru
Engkau tak usah banyak berpikir, ilmu silat kekasihmu itu
berada jauh didepanku sekalipun aku berhasil memahami
intisari catatan Kiam keng bu kui, belum tentu bisa menyusul
kemampuannya, siapa kuat siapa lemah masih harus
ditentukan setelah Kiam keng mustika itu akhirnya diketahui
terjatuh ketangan siapa.
Hmm! Sekalipun kuhafalkan dengan sejujurnya, belum
tentu kau percaya seratus persen, pasti kau ngotot
mengatakan aku bohong.
“Hafalkan saja dengan cepat, palsu atau asli aku dapat
mem-bedakan sendiri!” tukas Pia Leng-cu.
Pek Kun-gie kembali berpikir dihati, “Isi Kiam keng bu kui
bagian depan banyak diketahui oleh para jago yang hadir
dalam pertemuan Kian ciau tay hwe, tak mungkin aku bisa
bohong, sebaliknya kalau isi bagian belakang sengaja kukacau
sedikit, rasanya belum tentu ia dapat membedakan….”
Karena berpendapat begitu, iapun lantas menghapalkan isi
catatan tersebut, “Peraturan menurut langit, kerugian pasti
tersisa…. Berjaga ketat sikap waspada dan rahasia, pedang
pengusir setan, bocorkan ra hssia langit, lambat, tenang,
lincah, bergabung jadi….”
Tiba-tiba Pia Leng-cu tertawa seram.
“Heehh…. heeehh…. heeehh…. keliru besar, lambat, tenang
dan lincah mana mungkin bisa digabungkan jadi satu?”
Cahaya kilat berkelebat lewat dan….Breet! pakaian yang
dikenakan Pek Kun-gie dari bagian dada sampai antara
belahan pahanya mendadak tersebar robek sehingga anggota
badannya yang putih mulus dan merangsang tertera jelas
didepan mata,
Pisau belati itu disembunyikan dibawah pakaian, setelah
merobek pakaian Pek Kun-gie ia sembunyikan kembali
pisaunya ditempat semula, semua gerakan dilakukan dalam
waktu singkat dan secepat sambaran kilat.
Pek Kue Gie hanya merasakan cahaya tajam berkilauan,
sebelum sempat melihat jelas bentuk pisau tersebut tahu-tahu
semuanya sudah terjadi, untung gadis itu duduk bersila
ditanah oleh sebab badannya naik turun tidak merata maka
babatan pisau tersebut tak sampat melukai tubuhnya.
Walaupun begitu, dari sini pula dapat di buktikan betapa
sempurnanya permainan ilmu pedang yang dimiliki imam tua
ini.
Muja-mula Pek Kun-gie merasa terperanjat, menyusul mata
hatinya jadi gusar bercampur malu apalagi setelah dilihatnya
pakaian yang dikenakan robek sama sesali hingga dada dan
bagian bawahnya terlihat jelas.
Berada dalam keadaan bagini, gadis itu ingin mati saja, tapi
ia tak berani berbuat begitu kuatir kalau jenasahnya benarbenar
dinodai imam cabul tersebut, sepasang tanganpun
terbelenggu dibelakang punggung hingga tak mungkin bisa
digunakan untuk menutupi bagian yang kelihatan.
Saking gemas benci dan mendongkolnya, sekujur badannya
gemetar keras, sambil menggertak gigi ia berseru, “Lebih baik
bunuhlah diriku, kalau tidak suatu saat pasti kucokel keluar
sepasang biji matamu itu!”
Pia Leng-cu sama sekali tidak menggubris perkataan itu,
sepasang matanya melotot besar dan mengawasi payudara
sang dara yang menonjol sebagian dari balik pakaiannya yang
robek, terutama sekali lekukan tubuh bagian bawahnya yang
indah memikat, membuai matanya hampir tak berkedip, paras
mukanya yang membengkak berderu ken cang menahan
emosi, keringat sebesar kacang kedelai mengucur keluar tiada
hentinya, tanpa sadar nafsu birahinya telah berkobar dengan
hebatnya….
Haruslah diketahui Pek Kun-gie adalah seorang gadis yang
cantik jelita bagaikan bidadari, bukan saja paras mukanya
sangat menawan hati bentuk tubuhnya pun sangat indah,
ditambah pula kulit tubuhnya yang putih bersih sama sekali
tiada Cacad, pinggangnya ramping serta sepasang
payudaranya yang bulat berisi, boleh dibilang suatu perpaduan
yang amat serasi.
Pia Leng-cu adalah seorang lelaki hidung bangor yang
gemar main perempuan, tidaklah heran kalau nafsu berahinya
kontan berkobar setelah menyaksikan anggota tubuh gadis
itu.
Pek Kun-gie merasa amat malu bercampur marah, pikirnya
dihati, “Daripada tubuhku ternoda oleh bajingan cabul ini,
lebih baik mati saja…. aaa! Dari pada tubuh ternoda, lebih
baik aku mati dalam kesucian.”
Setelah ambil keputusan dihatinya, iapun siap menggigit
putus lidah sendiri untuk bunuh diri.
Tapi sebelum niat tersebut dilaksanakan, tiba-tiba Pia Lengcu
berpaling ke arah lain dan menghela nafas panjang.
“Aaaai….!”
Terperangah hati Pek Kun-gie menyaksikan kejadian
tersebut, ingatan untuk bunuh diripun untuk sementara waktu
ditunda lagi.
Meskipun Pia Leog cu telah alihkan sinar matanya ke arah
lain, tapi apa yang barusan dilihat masih terbayang nyata
dalam benak nya, perasaan hatinya masih bergolak keras dan
nafsu berahi yang telah berkobarpun susah ditenangkan
kembali, keringat sebesar kacang kedelai masih terus
mengucur keluar membasahi tubuhnya.
Pada saat ini terjadilah perang batin yang sangat dahsyat
dalam hati kecilnya, ia merasakan suatu siksaan dan
penderitaan yang belum pernah dialaminya sepanjang hidup.
Haruslah diketahui, meskipun bentuk badan Pek Kun-gie
sangat indah tetapi kalau pria yang memandang tubuhnya itu
hanyalah seorang pria yang belum berpengalaman, maka pria
tersebut paling banter cuma merasakan keindahannya belaka,
sama sekali tiada rangsangan lain yang jauh lebih hebat.
Sebaliknya Pia Leng-cu berasal dari perkumpulan Thongthian-
kauw, pada dasarnya dia memang seorang pria cabul
yang gemar main perempuan, sepanjang hidupnya entah
sudah berapa banyak perempuan yang digauli olehnya, justru
karena terlalu banyak perempuan yang pernah dilihat olehnya
maka ia dapat merasakan kalau bentuk badan Pek Kun-gie
luar biasa sekali dan susah diuraikan tandinganya di kolong
langit, justru karena pendapat inilah maka rangsangan yang
membara dalam dadanya beratus ratus kali lebih hebat
daripada rangsangan pada umumnya.
Kalau menuruti watak serta keinginan hatinya, sedari tadi
dia pingin menubruk gadis itu serta memperkosanya.
Namun diapun memahami perangai dari Pek Kun-gie, dia
tahu gadis itu berhati keras, jika ia terburu-buru merodai
tubuhnya, niscaya gadis itu akan bunuh diri dan kalau sampai
terjadi keadaan demikian, itu berarti semua rencananya akan
gagal total.
Sudah tentu imam tua ini tidak berharap rencana besarnya
mengalami kegagalan total hanya disebabkan salah
melangkah, ia lantas berusaha untuk menekan perasaan
sendiri serta memadamkan api berahi yang sudah hampir
mencapai pada puncaknya itu.
Beberapa waktu sudah lewat, ditengah keheningan yang
mencekam, ia menjerit dalam hati kecilnya, “Tidak boleh….
Tidak boleh….! Aku tidak boleh melakukannya pada saat ini,
dengan adanya gadis ini sebagai sandera, sekalipun tempat
persembunyianku ditemukan Hoa Thian-hong keparat cilik itu
belum tentu dia berani mengapa-apakan diriku, kalau
kuinginkan pedang baja itu ditukar dengan gadis ini, mungkin
saja keparat itupun akan menyanggupi, sebaliknya kalau
kupaksa keparat cilik itu untuk menghadapi Kiu-im Kaucu,
diapun pasti tak berani membangkang perintahku, kini isi dari
catatan Kiam keng bu kui belum kudapatkan, aku tak boleh
membuat suasana jadi rusak berantakan.”
Setelah dipikirkan berulang kali akhirnya dia ambil
keputusan untuk memadamkan api berahi dalam hatinya, dari
bawah tumpukkan bahan obat ia ambil keluar sebuah buntalan
serta pedang mustika Poan liong poo kiam tersebut.
Pedang mustika itu diselipkan dulu dalam pakaiannya,
setelah kobaran api birahinya bisa dikuasainya, dia lepaskan
buntalan itu dan ambil keluar satu stel jubah warna hijau,
dengan pakaian itu ia tutupi badan Pek Kun-gie yang setengah
telanjang tadi sehingga tinggal kepalanya saja yang kelihatan.
Pek Kun-gie jadi terperangah oleh tindak tanduk imam
tersebut, pikirnya didalam hati, “Meskipun bajingan tua ini
patut dibunuh namun ilmu silat yang dia miliki memang
terhitung lihay, tampaknya di kolong langit dewasa ini kecuali
Thian-hong serta Kiu-im Kaucu, tiada orang ketiga yang
mampu menandingi dirinya lagi”
Dalam pada itu, Pia Leng-cu sudah putar badannya dan
berkata dengan suara dingin, “Mulai sekarang aku harap
engkau bisa baik-baik membawa diri, ketahuilah pada saat ini
aku berusaha keras untuk menahan diri kalau engkau mencari
kesulitan terus dan berusaha untuk membangkitkan bawa
gusar ku, itu berarti engkau sendirilah yang ingin mencari
kepuasan dan sengaja memancing nafsu birahiku untuk
memperkosa engkau!”
Paras muka Pek Kun-gie berubah jadi hijau membesi,
karena gusarnya, tapi gadis itu tahu apa yang diucapkan
adalah kata-kata sejujurnya, dalam hati dia merasa takut dan
tak berani banyak berbicara lagi.
Pia Leng-cu mendekati bawah jendela dan duduk disitu,
ujarnya kembali, “Kepandaian silatku juga terletak diatas
sebilah pedang, kalau dihitung sampai ini hari maka
sejarahnya sudah berlangsung enam puluh tahun lamanya,
perduli sampai dimanakah kehebatan dari Kiam keng bu kui,
asal kau masukkan sepatah kata yang tiada hubungannya
dengan catatan tersebut, aku segera dapat membedakannya.
Ilmu Pedaug yang dimiliki Hoa Thian-hong sangat hebat
tenaga dalam yang dia miltki juga jauh melebihi aku, tapi
kalau berbicara tentang pengetahuan serta pengalaman dalam
hal ilmu pedang, ia masih tak mampu menandingi aku, Pek
Siau-thian sendiri hanya belajar sampai setengah jalan, tentu
saja lebih tak masuk hitungan. Nah! kalau engkau tahu diri,
lekaslah beritahu kepada ku semua isi catatan Kiam keng bu
kui tersebut secara lengkap”
Teringat akan peristiwa yang baru saja terjadi, Pek Kun-gie
ngeri sekali menghadapi imam tua yang berhati keji seperti
kala jengking ini, apa yang dipikirkan sekarang hanyalah
melindungi kesucian tubuhnya, selain itu ia tak berani
membangkitkan amarahnya sehingga menimbulkan kerugian
bagi diri sendiri.
Tanpa diulangi untuk kedua kalinya, cepat-cepat ia
menghapalkan kelima puluh delapan kata isi catatan Kiam
Leng bu kui tersebut tanpa salah sepatahkata pun.
Pia Leng-cu menghimpun segenap perhatian dan
semangatnya untuk mendengar catatan itu, kemudaan dengan
seksama dia teliti setiap kata tadi apakah ada yang palsu atau
tidak, sesudah yakin tiada ke alahan barulah dia duduk
bersandar didinding dan merenungkan makna dari pelajaran
tersebut.
Apa yang tercantum dalam catatan Kiam keng bu kui
hanyalah inti sari pelajaran ilmu pedang, ajaran itu sebangsa
teori untuk menggunakan yang tiada menjadi ada, dan
bukanlah jurus serangan untuk menghadapi musuh, oleh
sebab itu bila seseorang tidak memiliki dasar ilmu silat yang
cukup kuat sekalipun tahu isi pelajaran tersebut belum tentu
bisa memahami isinya, sekalipun mengerti setengsh-setengah
juga sama sekali tak ada manfaatnya.
Misalnya saja Pek Siau-thian yang mempunyai ilmu silat
terdiri dari pelbagai macam ragam, walaupun kepandaian itu
meliputi juga ilmu pedang tapi dasarnya amat terbatas sekali,
walaupun begitu dia mengetahui akan besarnya manfaat dari
pelajaran Kiam keng bu kui ini, maka setelah pertemuan Kian
ciau lay hwee bubar, ia segera menutup semua cabang dan
ranting perkumpulannya serta membuyarkan anggota
perkumpulan yang ada, kemudian seorang diri menutup diri
dan mendalami pelajaran yang diperoleh tersebut.
Disamping itu, iapun melatih pula beberapa macam ilmu
silat yang lain dari perguruannya, dalam keadaan demikian
Kho Hong hwee tak tega meninggalkan suaminya yang baru
saja mengalami kekalahan total seorang diri, diam-diam Pek
Siau-thian genbira sekali melihat kenyataan itu, berhubung
istrinya juga berlatih ilmu pedang maka ia lantas mencatat
kelima puluh delapan patah kata catatan Kiam keng bu kui itu
diatas secarik kertas, dan diserahkan kepada putri sulungnya
Soh-gie untuk diserahkan kepada ibunya, dengan sendirinya
Pek Kun-gie jadi ikut mengetahui isi dari kelima puluh delapan
kata itu.
Bagi Pek Siau-thian sekeluarga, kelima puluh delapan kata
itu tidak mendatangkan manfaat apa-apa, berbeda jauh ketika
diketahui oleh Pia Leng-cu.
Apa yang dikatakan imam tua itu sama sekali tak bohong,
pengetahuannya mengenai ilmu pedang memang sudah
mencapai tingkatan yang sangat tinggi, kelima puluh delapan
kata itu ibaratnya melu-kis naga memberi mata, dalam waktu
yang amat singkat ilmu silatnya telah peroleh kemajuan yang
amat pesat.
Suasana diatas loreng sunyi senyap tak kedengaran sedikit
suarapun, Pia Leng-cu duduk sanbii pejamkcn mata, ibaratnya
padri yang sudah duduk semedi dan sama sekali tak pernah
beranjak dari tempat duduknya
Pek Kun-gie sendiri sama sekalii tak ada pekerjaan, ia
gunakan waktu senggangnya untuk melamunkan Hoa Thianhong
terutama sekali sepanjang masa mereka berduaan, mulai
dari Hoa Thian-hong lari ra cun dikota Cho ciu hingga detik ini
setiap hari dia hanya melamun terus, seringkali ia
membayangkan bagaimana mereka menikah, punya anak dan
berpesiar keseantero dunia, kemudian membayangkan pula
bagaimana anak mereka menikah, punya cucu, hampir tiada
sesuatu yang lewat dalam lamunanaya itu.
Asal dia mulai melamun maka segala-galanya sudah
terlupakan olehnya, bahkan iapun merasa lupa dimana dia
sedang berada.
Demikianlah, kedua orang itu masing-masing sibuk dengan
pekerjaannya sendiri, sipapun tak mengganggu pihak yang
lain, siapa pun tidak merasa lapar atau dahaga, sepanjang hari
tak seorangpun yang buka suara untuk berbicara.
Malam harinya, tiba-tiba Pia Leng-cu bangkit berdiri,
dengan kaki yang pincang dia berjalan bolak balik dalam
ruang kecil itu, mendadak dari tumpukan peti obat dia ambil
seutas ranting kering dan menggunakan ranting itu untuk
menebas, menusuk dengan cepatnya.
Walaupun ditengah kegelapan, Pek Kun-gie masih sempat
melihat kalau imam tua itu sedang berlatii pedang, ia berlatih
terus tiada hentinya bahkan tak kenal lelah, hal ini membuat
Pek Kun-gie lama kelamaan merasa amat kesal, pikirnya,
“Bangsat ini berlatih terus dengan tekunnya, kalau diteruskan
maka ilmu silatnya tentu akan melampaui Thian-hong. Aaai….!
Tahu begitu, lebih baik kukorbankan segala-galanya daripada
memberi tahukan rahasia ini kepadanya….”
Menyusul mana dia membayangkan bagaimana Hoa Thianhong
berperang tanding melawan Pia Leng-cu, bagaimana
imam tua itu diteter terus sampai kalang kabut tak karuan,
akhirnya pemuda itu putar pedang bajanya beberapa kali
mencukil keluar sepasang biji mata imam bangsat ini,
kemudian melamunkan pula bagaimana Hoa Thian-hong
menggandeng tangannya mendaki bukit Thay san
menyaksikan munculnya sang surya dari balik samudra luas….
Tengah malam telah menjelang, tiba tiba dari depan
penginapan berkumandang suara kereta kuda, Pia Leng-cu
kelihatan terkejut sambil membuang ranting kayunya dari
genggaman, ia lari ketepi jerdela dan mengintip keluar lewat
lubang yang dibuat.
Dari balik pintu samping rumah penginapan itu meluncur
keluar sebuah kereta kuda. Hoa Thian-hong duduk didepan
sebagai sais kuda, jendela ruang kereta tertutup rapat
sehingga tak terlihat siapakah yang berada dalam kereta itu.
Pek Kun-gie telah teisadar pula dari lamunannya, dengan
hati terperanjat ia berseru lirih, “Kenapa? Kenapa ia
berangkat?”
Pia Leng-cu hanya mendengus dingin, mulutnya tetap
membungkam dalam seribu bahasa.
Pek Kun-gie makin tercekat, serunya lagi, “Kiu im katcu
telah siapkan jebakan diatas sungai, nenek iblis itu bermaksud
merampas pedang bajanya. Hmm! Kalau sampai pedang baja
itu terjatuh ketangan Kiu-im Kaucu, selama hidup jangan
harap kau bisa mendapatkan kitab pusaka Kiam keng”
Pia Leng-cu baru saja terpikat oleh keampuhan isi pelajaran
Kiam keng bu kui, ia tahu kitab Kiam keng yang berada dalam
pedang baja Hoa Thian-hong merupakan seluruh peninggalan
ilmu pedang dari malai kat pedang Gi Ko, rangsangan tersebut
terlalu besar baginya untuk bisa dibendung, mendengar
perkataan dari Pek Kun-gie tadi timbullah perasaan tak tenang
dan panik dalam hati kecilnya.
Tapi bagaimanapun juga dia adalah seorang jago kawakan
yang banyak pengalaman semua tindak tanduknya selalu
dipikirkan dulu secara cermat sebelum dilaksanakan, karena
itu walaupun dalam hati merasa gelisah namun perasaan
tersebut tak sampai diutarakan keluar.
Memandang kereta kuda itu makin menjauh, ia cuma
berkata dengan suara tawa.
Tengah malam buta begini pintu kota sudah tertutup, tak
mungkin kereta kuda itu bisa keluar dari kota.
Dalam hati kecilnya Pek Kun Gei mengeluh
“Thian-hong…. ooh…. Tbhian Hong! Mengapa kau
tinggalkan aku seorang diri? Tegakah kau biarkan aku terjatuh
ketangan bajingan cabul ini?”
Dalam hati berpikir begitu, diluaran dia tertawa dingin dan
berseru lagi, “Untuk keluar kota dan menyeberangi sungai,
masa membutuhkan kereta kuda? Hmm! Setibanya ditepi
sungai, pedang baja itu pasti akan terjatuh ketangan Kiu-im
Kaucu, waktu itulah Kiu-im Kaucu akan datang mencari
engkau untuk merampas pedang emas itu, heeee…. heeehh….
heeeeh…. akan kulihat engkau hendak kabur kemana lagi?”
Pia Leng-cu menyeringai dan tertawa seram.
“Haaah…. haaahh…. haaahh…. sampai waktunya maka
engkaulah yang bakal sial lebih dulu!”
Pek Kun-gie berusaha keras untuk mententramkan hatinya,
sambil berlagak tak acuh, katanya, “Kalau didengar dari
pembicaraanmu memang tampaknya menyeramkan sekali,
padahal setelah tiba pada waktunya asal mata melotot kaki
menjejak, habis sudahnya waktu, apa yang musti aku
pusingkan lagi?”
Pia Leng-cu berpikir dihati, “Meskipun mulut budak ini
sangat keras, dalam kenyataan memang begitulah.
Heehmmm…. heehmm…. kalau orangnya sudah mampus,
siapa yang akan memperdulikan lagi tubuhnya bakal diperkosa
atau tidak, kata semacam itu toh tak lebih cuma gertak
sambal belaka….”
Sementara itu derap kaki kuda sudah makin menjauh,
ketika dilihataya Pia Leng-cu tiada minat untuk melakukan
pengejaran, dalam gugup dan gelisahnya ia berseru kembali,
“Kalau engkau tak menanggung rasa penyesalan sepanjang
masa, cepatlah kejar Hoa Thian-hong, ilmu silat yang dia miliki
merupakan nomor satu di kolong langit, dia sudah tak akan
tertarik oleh sejilid kitab Kiam keng, dia pasti bersedia
menggunakan pedang baja itu untuk ditukar dengan aku”
Setelah berhenti sebentar, sambungnya lagi, “Dia adalah
seorang pria sejati yang tak pernah pungkiri setiap ucapan
yang telah di utarakan keluar, asalkan ia sudah bersedia untuk
menukar aku dengan pedang baja tersebut, maka janji itu tak
akan diingkari dan diapun tak akan menyusahkan dirimu lagi!”
Pia Leng-cu tertawa seram, tukasnya, “Haaahh…. haaahh….
haaahh…. pedangnya aku mau, orangnya aku juga mau,
bagaimana akhirnya nanti hal ini harus dilihat dengannasibmu
selanjutnya!”
“Huuh! jangan mimpi disiang hari bolong, siapa yang
kesudiaan dengan binatang tak tahu malu seperti kau?!
sumpah Pek Kun Ge didalam hati.
Mendadak ia merasa iganya jadi kaku, dan gadis itupun
jatuh tak sadarkan diri.
Sesudah menotok jalan darah pingsan di iga Pek Kun-gie,
imam tua itu menggapitnya dibawah ketiak dan melayang
turun kebawah loteng, dengan menelusurl jalan raya dia
mengejar ke arah mana kereta kuda tadi berlalu.
Baru saja menyeberangi sebuah jalan raya, dari kejauhan
tampaklah kereta kuda ini berjalan dengan sangat lambat,
rupanya Hoa Thian-hong kuatir mengganggu ketenangan tidur
rakyat disekitar sana maka kereta itu sengaja dilarikan dengan
perlahan.
Pia Leng-cu menyadari kalau ilmu silatnya masih bukan
tandingan lawan, apalapi kaki kanannya pincang dan mulut
lukanya belum merapat, oleh sebab itu dia cuma menguntil
dikejauhan dan tak berani terlalu mendekati, sepertanak nasi
kemudian tibalah kereta itu dibawah kaki pintu kota sebelah
utara.
“Kreekk…. kreeekk….!” pintu kota yang tebal dan berat
tiba-tiba terbentang lebar, dari balik gelagapan muncullah dua
orang penjaga berseragam lengkap.
Hoa Thian-hong segera jalankan keretanya keluar dari pintu
kota, kepada dua orang petugas itu sambil menjura, bisiknya,
“Terima kasih atas bantuan kalian berdua.”
“Tak usah sungkan-sungkan, semoga kongcu selamat
sepanjang jalan” jawab kedua orang itu hampir berbareng.
Pia Leng-cu yang mengikuti jalannya peristiwa itu ditempat
kegelapan, segera berpikir dihati, “Aah…. rupanya keparat cilik
itu telah menyuap petugas pintu kota untuk membukakan
pintu baginya, sungguh tak kunyana otaknya secerdik itu,
sehingga asal seperti inipun dapat dilakukan olehnya.”
Ia menunggu beberapa saat lamanya, kemudiaan baru
berputar kesamping dan mendaki keatas tembok kota dari
kejauhan, dari sana dia loncat turun keluar kota, tampaklah
kereta tadi tidak langsung menuju kedermaga melainkan
dilarikan menuju ke arah timur.
Dalam hati kecilnya Pia Leng-cu kembali berpikir, “Sungguh
cermat dan seksama jalan pikiran bocah keparat ini, kalau
nenek setan itu bercokol diatas perahunya, dia pasti menanti
ditengah dermaga, menanti mereka sadari kalau keparat itu
menyusup keseberang, mungkin bocah kaparat itu sudah
mendarat ditepi seberang sana!”
Mula-mula kereta itu hanya dilarikan dengan perlaban,
setelah beberapa li, mendadak Hoa Thian-hong ayun
cambuknya berulang kali, kereta itupun segera kabur dengan
cepatnya.
Diam-diam Pia Leng-cu merasa amat terkejut, dia ikut
mempercepat lari tubuhnya, namun selisih jaraknya dengan
kereta itu tetap di pertahankan sejauh tiga puluh tombak, ia
merasa sekalipun Hoa Thian-hong berpaling kebelakang,
ditengah kegelapan demikian ini jejaknya sulit untuk diketahui.
Sepanjang kota Lok yang, permukaan air sungai jauh lebih
tinggi dari permukaan tanah disekitarnya, karena itu
sepanjang sungai dibangun tanggul yan amat tinggi untuk
mencegah terjadinya kebanjiran.
Hoa Thian-hong larikan kudanya dengan cepat menelusuri
sisi tanggul tersebut, debu mengepul memenuhi angkasa,
suara putaran roda kereta berkumandang memecahkan
kesunyian.
Setelah berlarian kurang lebih setengah jam lamanya, tibatiba
kereta itu dilarikan naik keatas tanggul dan berhenti
disana.
Suara gulungan ombak serta hembusan angin menggema
memecahkan kesunyian di malam hari itu, tiba-tiba terdengar
seseorang menegur dengan suara nyaring.
“Yang datang apakah Hoa ya?”
“Benar, aku yang datang! Bagaimana dengan perahu untuk
menyebe-rang….?” sahut Hoa Thian-hong dengan suara
dalam.
“Sudah siap sedia semua!”
Pia Leng-cu seeera loncat kedepan dan bersembunyi
dibelakang tanggul, ketika ia mengintip kedepan sana
tampaklah ditepi sungai telah berlabuh sebuah perahu
penyeberang yang besar, empat orang pria kekar berdiri
diempat penjuru siap dengan gala yang panjang, dua orang
pria yang lain menanti diatas daratan.
Hoa Thian-hong menggerakkan kembali kereta kudanya
hingga tepat berhenti didepan perahu itu, sambil loncat turun
dari atas kereta bentaknya nyaring, “Cepat! hela kuda itu
keatas perahu”
Sebelum mendapat perintah dua orang pria itu masingmasing
sudah menghela seekor kuda naik keatas geledak
perahu, Hoa Thian-hong loncat kebelakang kereta dan
mendorong kereta tersebut naik keperahu.
Dalam waktu singkat kereta kuda itu sudah berada diatas
geladak, si anak muda itu cepat ayun tangannya, dengan
pukulan udara kosong ia putuskan tali pengikat perahu,
dengan cepatnya perahu itu terdorong oleh arus sungai yang
deras dan meluncur kedepan.
Pia Leng-cu merasa kaget bercampur mendongkol, dia
sama sekali tidak menyangka kalau Hoa Thian-hong telah
mengatur segala sesuatunya dengan sempurna, bahkan
semua gerakan dilakukan dengan kecepatan bagaikan
sambaran kilat, menyaksikan perahu itu bergerak ketengah
sungai terdorong oleh arus air yang kuat, ia lantas menduga
tak sampai tiga empat li Kemudian perahu itu sudah akan
merapat dipantai seberang.
Untuk beberapa saat lamanya ia tak tahu apa yang musti
dilakukan, berhubung sekitar sungai ditempat itu berarus kuat
dan lagi bukan dermaga maka kecuali perahu itu tidak nampak
perahu lain.
Dalam gugup dan gelisahnya, terpaksa dia mengempit
tubuh Pek Kun-gie dan berlarian disepanjang bendungan
untuk mengikuti bergeraknya perahu tadi.
Dalam waktu singkat perahu penyeberang itu sudah
meninggalkan tepi pantai sejauh delapan sembilan kaki,
mendadak Pia Leng-cu menemukan sebuah sampan kecil
tertambat ditepi sungai.
“Perduli amat sampan itu milik siapa, pokoknya pakai dulu
beres” pikirnya dihati, kalau memang hokki sudah pasti bakal
bencana, kalau sudah bencana mau kemana untuk
menghindar? sekalipun jiwa tua musti melayang, aku tak akan
biarkan pedang baja itu terjatuh ketangan nenek setan”
Imam tua ini dibesarkan ditepi pantai lautan selatan, ia
yakin ilmu berenang yang dimilikinya tidak lemah, setelah
bulatkan tekad, ia segera loncat naik keatas sampan itu,
setelah membaringkan Pek Kun-gie keatas geladak, ia segera
menyambar dayung dan melanjutkan sampan itu mengejar
perahu penyeberang tadi.
Dalam waktu singkat, Hoa Thian-hong yang berdiri diujung
geladak lelah menemukan jejeknya, ia segera menghardik,
“Siapa disitu?”
“Pia Leng-cinjin dari perkumpulan Thong-thian-kauw!”
“Pek Kun-gie ada dimana?” si anak muda itu segera
menghardik.
Pia Leng-cu menengadah dan tertawa terbahak-bahak.
“Haaah…. haaah…. haaahh…. dia berada disampan, asal
kakiku ber-gerak sedikit saja kedepan, niscaya tubuhnya yang
indah dan wajahnya yang cantik akan terinjak hancur jadi
perkedel!”
“Suruh dia berbicara!”
Dalam pada itu, selisih jarak antara sampan dan perahu
penyeberang masih ada sepuluh kaki lebih, dalam suasana
ombak menggulung dengan dahsyatnya dan angin berhembus
kencang mereka berdua terpaksa harus kerahkan tenaga
murni untuk berbicara, suara pembicaraan yang bercampur
dengan gulungan ombak kedengaran sangat mengerikan.
Hoa Thian-hong menguatirkan keselamatan Pek Kun-gie,
maka dia butuh gadis itu berbicara.
Pia Leng-cu segera berpikir, “Kalau aku hendak paksa Hoa
Thian-hong untuk serahkan pedang baja itu, paling sedikit aku
harus mematahkan dahulu mentalnya….”
Karena berpendapat demikian, buru-buru ia alihkan dayung
itu ketangan kiri, sedang tangan kanannya digunakan untuk
menotok bebas jalan darah pingsan ditubuh Pek Kun-gie.
Siapa tau karena luka dikedua jari tangan kirinya baru
sembuh, kurang leluasa baginya untuk mendayung….
Kreeek! tiba-tiba dayung itu patah jadi dua bagian, seketika
itu juga sampan itu tergulung ombak dan hampir saja terbalik.
Pia Leng-cu sangat terperanjat, buru-buru dia sambar
sebuah papan dan digunakan sebagai pengganti pendayung.
Dan kejauhan Hoa Thian-hong dapat menyaksikan sampan
itu berputar kencang di tengah sungai, dengan hati kaget ia
lantas membentak, “Pia Leng-cu!”
0000O0000
70
SEMENTARA itu Pek Kun-gie baru saja bebas dari totokan
jalan darah, mengikuti terombang ambingnya sampan kecil
itu, kesadarannya perlahan-lahan pulih kembali.
Ketika mendengar seruan dari kekasihnya, dengan penuh
rasa gembira ia segera berteriak keras, “Thian-hong!”
“Bagaimana keadaanmu? Apakah terluka?” teriak Hoa
Thian-hong dengan gelisah.
Pek Kun-gie bangun dari atas geladak dan duduk, ia lihat
ombak sedang menggulung dengan hebatnya diseputar
badannya, sementara perahu penyeberang yang ditumpangi
Hoa Thian-hong sama sekali tak terlihat, dalam gugupnya ia
lupa menjawab.
“Bagaimana keadaanmu? Apalah terluka? terdengar Hoa
Thian-hong berseru lagi dengan cemas.
Aku tidak terluka, engkau harus perhatikan baik-baik, Kiuim
Kaucu telah mengumpulkan banyak sekali anak buahnya
yang lihay dalam ilmu berenang, ia sudah siapkan jebakan
didalam sungai dan siap turun tangan terhadap dirimu
Tiba-tiba Pia Leng-cu tertawa keras, serunya dari samping,
“Bukankah engkau belum terluka? Nah, sekarang lihatlah
tuanmu akan melukai engkau.”
Dengan kaki kanannya dia lancarkan sebuah tendangan
keras keatas jalan darah Hay ki hiat dibelakang pinggang Pek
Kun-gie, gadis itu merasa kesakitan dan tak tahan lagi dia
menjerit ngeri.
Hoa Thian-hong merasakan hatinya sakit seperti diiris-iris,
dia segera membentak keras, “Pia Leng-cu, apa yang kau
inginkan?”
“Kau punya apa?” jawab Pia Leng-cu sambil tertawa
terbahak-bahak, “haaah…. haaah…. aku lihat nona cantik ini
berbadan putih, jelas bukan gadis sembarangan, aku segan
untuk menukar dengan benda apapun!”
“Bicaralah terus terang, apa tujuanmu yang sebenarnya?”
kembali Hoa Thian-hong membentak.
Dengan mimik wajah menyeramkan Pia Leng-cu berteriak,
“Akupun tak akan berbohong lagi, asal engkau persembahkan
pedang baja itu kepadaku, segera kubebaskan Pek Kun-gie,
kedua belah pihak sama-sama memperoleh apa yang
diinginkan dan rasanya kitapun tidak saling dirugikan”
“Thian-hong” dengan cemas Pek Kun-gie berteriak, “dia
paksa aku untuk membacakan isi catatan kiam keng bu kui,
pedang baja itu lebih baik…. lebih baik bawalah kabur, kau tak
usah menggubris aku lagi….!”
Tentu saja gadis ini ingin sekali meloloskan diri dari
cergkeraman mulut srigala, tapi dia kuatir lantaran
persoalannya sehingga mengakibatkan kekasihnya harus
temui banyak kesulitan, ketika beberapa patah kata itu
diucapkan keluar, hatinya terasa remuk redam, isak tangispun
makin menjadi.
Pia Lerg cu merasa amat gusar sekali, dengan mendongkol
ia menengadah dan tertawa seram.
“Haah…. haaah…. haaah…. baiklah! kalau begitu engkau
boleh selalu mengikuti aku, setelah mendarat nanti aku pasti
akan memberi kepuasan seks untukmu, aku tanggung engkau
pasti akan kenikmatan dan sepanjang masa tak akan
terlupakan kembali, haaah…. haaaah…. asal aku temani
seorang gadis cantik seperti engkau, apa salahnya kalau Cousu
ya mu melepaskan semua urusan dan pusatkan perhatian
pada dirimu seorang? Haah…. haah…. puas puas! Hahh….
haaah…. haaah….”
Waktu itu cuaca amat gelap, awan hitam menyelimuti
jagad, ombak pun menggulung dengan hebatnya. Pia Leng-cu
memang ada niat untuk bikin keder hati Hoa Thian-hong,
maka gelak tertawanya yang mendekati kalap itu kedengaran
amat menusuk pendengaran, ibaratnya jeritan kuntilanak atau
lolongan srigala dimalam hari, membuat siapapun yang
mendengar, merasakan hat nya jadi bergidik.
Sementara itu perahu penyeberang didepan sana sudah
mencapai tengah sungai, sedangkan sampan kecil itu berada
delapan sembilan kaki dibelakangnya, ditengah gulungan
ombak dan arus air yang kencang, dua buah perahu itu
meluncur kedepan dengan cepatnya.
Panjang sampan kecil itu cuma beberapa kaki, sama sekali
tidak sesuai digunakan dalam situasi semacam ini, ditengah
gulungan ombak yang tinggi dan besar, setiap saat sampan itu
terancam pecah beran takan jadi berkeping-keping,
keadaannya sangat berbabaya sekali.
Ditengah kegelapan, Hoa Thian Hang berdiri angker
diburitan perahu, ia tidak berbicara, tidak bergerak, seakanakan
sebuah pa tung arca didalam kuil, sepasang matanya
yang tajam memancarkan cahaya menggidikkan menatap
sampan dibelakangnya tanpa berkedip, agaknya ia merasa
ragu-ragu dan untuk sesaat tak mampu mengambil
keputusan.
Pek Kun-gie melingkar tak berkutik di atas sampan, sebab
tangan dan kakinya di belenggu oleh otot kerbau yang kuat,
saat itu dia hanya bisa menangis dengan sedihnya.
Ditengah kegelapan ia dapat menyaksikan sepasang mata
kekasihnya yang melotot tajam, ia menyadari posisi pemuda
itu, tidak mungkin baginya untuk serahkan pedang baja itu
karena dia, tapi dia tetap menaruh harapan itu, meskipuu
harapannya tipis sekali.
Beberapa saat kemudian, sampan kecil itu sudah mendekati
tengah sungai, jaraknya dengan peraru penyebrang semakin
dekat, dalam hati Pia Leng-cu lantas berpikir, “Ibu dan istri
Hoa Thian-hong masih bersembunyi didalam kereta besar itu,
dengan kehadiran dua orang itu tentu saja Hoa Thian-hong
merasa tak leluasa untuk serahkan pedang bajanya untuk
ditukar dengan Pek Kun-gie, agaknya pertukaran syarat ini tak
dapat dijalankan pada malam ini!”
Karena berpendapat demikian, dia segera ambil keputusan
didalam hati, serunya dengan penuh perasaan benci, “Orang
she Hoa, simpanlah pedang baja itu dan jagalah seluruh
kolong langit! Biar cousu ya mengundurkan diri saja dari dunia
persilatan dan jauh meninggalkan daratan!”
Berbicara sampai disitu, dia lantas putar kemudi
mendayung sampan kecil itu menuju ketepi sebelah kanan.
Keadaan dalam sungai pada waktu itu sangat berbahaya,
jika sampai tercebur kedalam sungai kendatipun Pia Leng-cu
masih mampu menyelamatkan diri namun sulit baginya untuk
membawa Pek Kun-gie naik kedaratan, walaupun diluaran dia
bersikap keras padahal dalam hati merasa sangsi dan sukar
ambil keputusan.
Tapi akhirnya ia nekad untuk mengundurkan diri dari situ,
secepat kilat arah sampan diputar dan sejenak kemudian
sampan itu sudah tinggal dua kaki dari tepi pantai.
Hancur lebur perasaan hati Pek Kun-gie, meskipun selama
berada diatas loteng kecil itu dia pandang kematian bagaikan
pulang kerumah, tapi sekarang kekasihnya berada didepan
mata, keinginannya untuk melanjutkan hidup kuat sekali,
ketika dilihatnya Hoa Thian-hong tetap membungkam, tak
tahan lagi dia berseru dengan sedih, “Thian-hong! Aku….!”
“Pia Leng-cu!” mendadak Hoa Thian-hong membentak
nyaring.
Imam tua itu tercekat, cepat ia menegur, “Bagaimana? Mau
pedangnya atau mau orangnya?”
“Pedang ini kuserahkan kepadamu, cepat dayung perahu
itu kemari….!”
Pia Leng-cu sangat kegirangan, cepat-cepat ia putar
kemudi dan mendayung kembali perahu itu ketengah sungai,
sementara itu Hoa Thian-hong telah berpesan pula kepada
pemegang kemudi perahunya agar perahu mereka dimiringkan
sehingga bergeser kemari.
Pek Kun-gie sendiri merasakan hatinya sangat terhibur, ia
menggigit bibirnya rapat-rapat sementara air mata jatuh
bercucuran dengan derasnya, ia merasa terharu bercampur
terima kasih, saking emosinya sehingga tak sepatah katapun
sanggup diucapkan keluar.
Ia tahu pedang baja itu bukan saja sangat penting artinya
bagi Hoa Thian-hong, didalam senjata itu pun tersimpan kitab
kiam keng yang amat luar biasa, kesediaan pemuda itu untuk
mengorbankan pedang bajanya benar-benar merupakan suatu
pengorbanan yang paling besar dari pemuda itu bagi dirinya.
Tentu saja Pek Kun-gie merasa amat terharu.
Dalam pada itu, sampan kecil itu sudah makin mendekati
perahu penyebrang, selisih jarak mereka tinggal lima tombak,
pada saat itulah Pia Leng-cu menghentikan perahunya dan
berseru, “Hoa Thian-hong, engkau harus mengerti, asal pinto
menggerakkan tanganku, niscaya Pek Kun-gie segera akan
mati binasa, kalau engkau hendak menggunakan siasat untuk
membongi aku, menyesallah engkau nantinya….!”
Hoa Thian-hong cabut keluar pedang baja itu dari
pinggangnya, lalu berseru dengan dingin, “Setiap patah kata
yang telah kuucapkan selamanya tak akan ku jilat kembali,
asal engkau biarkan Pek Kun-gie loncat naik keatas perahuku,
pedang baja ini segera kuserahkan pula kepada mu, ucapan
seorang pria sejati selamanya tak akan disesalkan kembali!”
Pia Leng-cu tidak langsung menjawab, pikirnya, “Berbicara
dari tabiat bocah keparat ini, setiap perkataannya memang
dapat dipercaya, cuma…. masalah ini menyangkut urusan
yang sangat besar, dan lagi….”
Sinar matanya dialihkan sekejap keatas tubuh Pek Kun-gie,
timbul perasaan sayang untuk melepaskan gadis itu sebelum
sempat mencicipi keperawanan tubuhnya.
Sementara itu Hoa Thian-hong telah berkata lagi dengan
suara dingin, “Dalam waktu singkat perahu-perahu armada di
bawah pimpinan Kiu-im Kaucu akan tiba disini, ketahuilah aku
sudah ambil keputusan yang bulat, kalau engkau tetap raguragu
dan lewatkan kesempatan baik ini, janganlah salahkan
diriku lagi”
Pia Leng-cu sugera tertawa dingin.
“Heeh…. heeh…. heeh…. kalau sampai terjadi begitu, akan
kubunuh Pek Kun-gie, kemudian sambil bertepuk tangan
segera berlalu dari sini”
Kalau sampai terjadi begitu maka aku orang she Hoa akan
tinggalkan semua urusan yang ada, biar naik kelangit atau
masuk kebumi, aku bersumpah akan mencingcang tubuhmu
jadi berkeping-keping”
Mendengar ancaman tersebut, Pia Leng-cu merasakan
hatinya tercekat, tiba-tiba temukan perahu penyeberang itu
sedang bergerak mendekati ke arahnya, ia makin terparanjat,
cepat-cepat dia gerakan dayung dan membawa sampan itu
menyingkir kesamping, hardiknya keras-keras, “Ayoh putar
kemudi perahumu!”
Dalam gugupnya tenaga dayungan tersebut terlampau
kuat, ketika sampan kecil itu bertumbukan dengan ombak
yang menggulung tiba dari arah depan hampir saja mereka
terbalik kesungai.
Tubuh Pek Kun-gie terguling kesamping diiringi jeritan
tajam karena kaget.
Hoa Thian-hong yang berada diatas perahu
penyeberangpun merasa amat terperanjat hampir saja dia ikut
menjerit kaget.
Untung Pia Leng-cu pandai mengendalikan diri, dalam
gugupnya sepasang tangan bekerja bersamaan waktunya,
sampan itu segera dapat terkendali kembali keseimbangannya.
Dalam segala kegugupan dan kerepotan, kakinya
menginjak tubuh Pek Kun-gie yang terguling sehingga tidak
sampai tercebur kedalam sungai, kendatipun begitu sampan
kecil tadi sudah kemasukan air setinggi dua cun lebih sedikit.
Saking terperanjatnya, peluh dingin membasahi seluruh
tubuh Pia Leng-cu, sambil memandang ke arah perahu
penyeberang dia menyeringai seram katanya, “Kalau engkau
berani merapatkan kembali perahu penyeberangmu itu,
jangan salahkan kalau kubunuh dulu Pek Kun-gie
dihadapanmu”
Hoa Thian-hong sendiri setelah hilang rasa kagetnya,
segera tertawa dingin tiada hentinya.
“Heehh…. heehh…. heehhh…. akhirnya berjalan juga direl
yang benar, kalau toh memang begitu biarlah segalanya
pasrah pada takdir….”
Meskipun begitu ia tetap memberi tanda kepada anak
buahnya agar jangan terlalu mendekati sampan kecil itu lagi.
Arus sungai didaerah sekitar tempat itu sangat deras,
tempat semacam ini paling tidak menguntungkan kalau
digunakan untuk penyeberangan, perahu yang besarpun harus
mengikuti arus dengan keadaan sangat bahaya, apalagi
sampan yang kecil itu, keadaannya jauh lebih mendebarkan.
Semua orang berusaha untuk mentemramkan hatinya
padahal dalam hati kecilnya jantung terasa berdebar keras,
semua orang berharap agar adegan ini bisa cepat-cepat
terselesaikan dan semua orang naik kedaratan dengan
selamat.
Hoa Thian-hong tak berani banyak tingkah karena kuatir
mencelakai jiwa Pek Kun-gie, sebaliknya Pia Leng-cu
menyadari kalau ilmu silatnya bukan tandingan lawan, ia
selalu berusaha untuk mencegah penyergapan dari Hoa Thianhong,
karena kedua belah pihak sama menjerikan sesuatu dari
musuhnya, maka untuk sesaat suasanapun diliputi dalam
keheningan.
Akhirnya Pia Leng-cu buka suara memecahkan kesunyian
yang mencekam disekitar tempat itu, “Lemparkan pedang itu
kepadaku, aku segera akan tinggalkan sampan ini dan
berenang kedaratan, aku jamin Pek Kun-gie tak akan
kuganggu barang seujung rambutpun.”
“Thian-hong, jangan tertipu, dia telah bilang….” tiba-tiba
Pek Kun-gie menghentikan teriakannya.
Pia Leng-cu pernah berkata kepadanya bukan saja pedang
itu dia mau, orangnya pun dimaui juga, sebenarnya Pek Kungie
hendak menyampaikan kata-kata itu tapi setelah ucapan
sampai dibibir, mendadak ia merasa malu untuk melanjutkan,
maka dia segera membungkam.
Hoa Thian-hong segera tertawa dingin.
“Heeh…. heehhh…. heehh…. Pia Leng-cu, apakah
kepercayaan dari Hoa Thian-hong tak dapat melampaui
dirimu?”
“Masalah ini menyangkut urusan yang sangat besar,
kenapa aku tak boleh menaruh curiga?” teriak Pia Leng-cu
dengan gusar.
Hoa Thian-hong tertawa.
“Apa yang perlu kau curigai?”
“Masalah ini adalah suatu masalah yang amat besar,
apakah engkau dapat memutuskan sendiri? Hmm! dengan
menggunakan pedang baja ditukar dengan orang, apakah
ibumu menyetujui?”
Hoa Thian-hong segera tertawa tergelak.
“Haah…. haaah…. haaah…. sungguh tak nyana engkau bisa
memahami kesulitanku, kalau toh sudah tahu begitu tidak
sepantasnya kalau engkau datang kemari?”
Pia Leng-cu menyeringai seram.
“Undang ibumu keluar dan biar dia yang berbicara, aku
hanya percaya dengan perkataan dari Bun Siau-ih kalau tidak
lebih baik pembicaran ini kita batalkan!”
Mendengar perkataan tersebut Hoa Thian-hong segera
menengadah dan tertawa terbahak-bahak.
“Haahh…. haah…. haaah…. Pia Leng-cu agaknya pikiranmu
sudah tersumbat oleh kerakusanmu sehingga kecerdikan yang
kau miliki tersapu lenyap, sungguh bikin hatiku jadi geli”
Agak tertegun Pia Leng-cu setelah mendengar perkataan
itu, tapi hanya sebentar saja dia lantas menyadari apa yang
sudah terjadi.
Seandainya ibu dan istrinya berada diatas perahu
mungkinkah Hoa Thian-hong bersikap begitu tenang bahkan
menghentikan perahunya ditengah sungai untuk berbicara
dengan dirinya? Dan mungkinkah dia bersedia membiarkan
ibunya menempuh bahaya karena persoalan Pek Kun-gie?
Setelah menyadari apa yang terjadi diam-diam ia bersuara
didalam hati kecilnya, “Ooh, rupanya aku terkena siasat
memancing harimau turun gunung, jelas kereta tersebut tiada
orangnya!”
Mula-mula ia terkejut, menyusul jadi sangat gembira, sebab
andaikata disitu hadir Bun Siau-ih dan Chin Wan-hong, untuk
memaksa Hoa Thian-hong menyerahkan pedang bajanya jelas
bukan suatu pekerjaan yang gampang, sebaliknya kalau kedua
orang itu tidak hadir disana, dengan usia Hoa Thian-hong
yang masih muda, dia pasti bersedia untuk menukar pedang
bajanya dengan diri Pek Kun-gie….
Sementara dia masih termenung, Hoa Thian-hong telah
tertawa terbahak-bahak.
“Haah…. haaah…. haaah…. Pia Leng-cu, kenapa tidak kau
tenangkan hatimu dan dengarkan dengan seksama? Kiu-im
Kaucu telah munculkan diri dibelakang kita berdua, tapi
engkau sama sekali tidak merasa, apakah kedaaanmu itu tidak
terlalu menggelikan?”
Sekali lagi Pia Leng-cu merasa amat terperanjat, ia merasa
kegelapan mencekam seluruh jagad dan lagi angin serta
ombak menggulung dengan dahsyatnya, tiada sesuatu yang
berhasil ia lihat dan tiada sesuatu yang sempat ia dengar.
Berbicara tentang ketajaman pendengaran serta
penglihatan, maka ia masih kalah jauh kalau dibandingkan
dengan Hoa Thian-hong, sebab bukan saja si anak muda itu
telah makan Racun teratai empedu api, dia pun menelan
Leng-ci mustika yang berusia seribu tahun, tenaga dalam yang
dia miliki sekarang telah mencapai puncak kesempurnaan,
tentu saja kehebatan yang dia miliki pun jauh melebihi orang
lain.
Ketika itu selisih jarak mereka cuma empat lima rombak,
ditengah kegelapan Pia Leng-cu tak lebih hanya sempat
memandang bayangan tubuhnya belaka, sebaliknya pemuda
itu dapat memperhatikan semua gerak-gerik Pia Leng-cu
dengan sangat jelas sekali.
Tatkala dilihatnya paras muka imam tua itu menunjukkan
rasa kaget bercampur gelisah, seakan-akan dia tak merasakan
suatu apa pun, tak dikuasai lagi dia tertawa geli, katanya,
“Suara gulungan ombak memecah dikedua belah tepian
pantai, coba bayangkan sendiri, kecuali Kiu-im Kaucu telah
munculkan diri, siapa lagi yang telah datang?”
Pia Leng-cu makin terkesiap, ia segera berpikir didalam
hati, “Jarak antara sini sampai perahunya tinggal lima tombak
belaka, dengan ilmu meringankan tubuh yang dimiliki keparat
cilik itu, sekali loncat maka dia bisa mencapai sampanku ini,
lebih baik aku bersikap lebih berhati-hati….!”
Berpikir sampai disitu, dengan suara tajam dia lantas
membentak.
“Ujung kakiku sekarang telah menempel diatas jalan darah
Leng-thay hiat dari Pek Kun-gie, kalau engkau berani
melakukan suatu pergerakan, jangan salahkan kalau aku
berhati kejam!”
Hoa Thian-hong tertawa.
“Tujuan dari Kiu-im Kaucu hanya ingin merampas pedang
baja itu belaka, lebih baik berjaga-jagalah terhadap dirinya!”
Pia Leng-cu mendengus dingin, dia segera pusatkan semu
pikirannya dan periksa keadaan disekeliling tempat itu dengan
seksa ma, apa yang kemudian terdengar ternyata
membuktikan dengan tepat apa yang telah diucapkan si anak
muda itu.
Sepuluh sampai dua puluh kaki dibelakangnya,
terdengarlah suara ombak yang memecah ketepian tertumbuk
perahu, padahal di daerah sekitar tempat itu tiada perahu lain
kecuali Kiu-im Kaucu yang telah munculkan diri, tak mungkin
ada orang lain lagi.
Sedikit banyak imam tua ini menjadi panik, ia sadar
kepandaian silatnya bukan tandingan orang, untuk malu takut
dihadang harimau untuk mundur telah dihadang pula oleh
srigala, dalam keadaan demikian ia semakin gugup dan panik,
dia mulai menyesal mengapa terlalu pandang enteng
musuhnya dan mengejar pula sampai ketengah su ngai.
Bila sekarang juga dia mundur ketepian, niscaya perahunya
bakal dihadang oleh perahu-perahu dari Kiu-im Kaucu,
padahal pedang baja belum sampai jatuh ketangannya bisa
dibayangkan betapa gugup dan menyesalnya Pia Leng-cu.
Tiba-tiba terdengar Hoa Thian-hong berseru dengan suara
lembut, “Kun Gi!”
“Emmm…. Aku ada disini” dengan cepat Pek Kun-gie
menjawab.
Sekilas senyuman sedih menghiasi ujung bibir si anak muda
itu, ujarnya lebih lanjut, “Dengarkanlah perkataanku,
walaupun manusia dapat hidup seratus tahun lagi, akhirnya
dia toh tetap harus mati, usia manusia telah ditentukan oleh
Thian, apabila nasib memang menentukan harus mati, lebih
baik pasrah saja pada kehendak alam, mengertikah engkau
dengan perkataanku ini?”
“Mengerti, aku tak takut mati!” jawab dara itu dengan
lembut dan halus.
“Ibuku sangat menaruh perhatian atas dirimu, Wan hong
menyayangi pula dirimu, kami berharap agar engkau tetap
hidup dalam keadaan segar bugar, ingatlah selalu akan katakataku
ini!”
“Akan kuingat selalu” sahut Pek Kun-gie dengan air mata
bercucuran, “Aku akan menuruti perkataanmu, kalau tak bisa
hidup lagi maka aku akan segera habisi nyawaku sendiri”
Air matapun mengembang dikelopak mata Hoa Thian-hong,
ia berkata, “Dahulu kami semua menguatirkan diri mu dinodai,
tapi sekarang dengan kehadiranku ditempat ini, sekalipun
nyawamu tak dapat kuselamatkan, akupun tak akan
membiarkan dirimu dibawa pergi lagi, mengertikah kau?”
“Aku mengerti, engkau tak usah terlalu merisaukan diriku”
“Andaikata engkau mengalami musibah yang tak dapat
dihindari lagi, itu berarti kematianmu lantaran aku, ibuku
masih hidup, aku tak bisa mengiringi kematianmu itu, tapi
kalau aku sudah mempunyai keturunan, maka aku segera
akan cukur rambut menjadi pendeta, aku akan mengasingkan
diri sebagai ungkapan rasa terima kasihku kepada mu!”
“Jangan…. aku ingin kau tetap hidup…. hidup seratus tahun
lagi!” seru Pek Kun-gie sambil menangis tersedu-sedu.
Pia Leng-cu yang mengikuti jalannya pembicaraan itu
makin lama semakin terperanjat, tak tahan lagi akhirnya dia
membentak keras, “Hoa Thian-hong, engkau anggap dirimu
sebagai seorang pendekar sejati, apakah ucapanmu kau
anggap sebagai kentut belaka?”
Setiap perkataan yang telah kuucapkan selamanya tak akan
kujilat kembali.
“Engkau telah berjanji akan menukar pedangmu dengan
orang!” teriak Pia Leng-cu gusar.
“Biarkan Pek Kun-gie loncat naik keatas perahu
penyeberangku, pedang baja ini segera kuserahkan
kepadamu!”
Setelah berhenti sebentar, sambungnya lebih jauh, “Engkau
harus cepat ambil keputusan, kalau tidak sekalipun pedang
baja ini berhasil kau peroleh, belum tentu kau bisa lolos dari
tempat ini.”
Tahun ini usia Pia Leng-cu sudah mencapai tujuh puluh
tahun lebih, walaapun akalnya tidak termasuk panjang, namun
pengalaman yang diperolehnya cukup banyak, menyaksikan
keterangan dari Hoa Thian-hong dia malah ragu-ragu untuk
menerima pertukaran syarat tersebut, bagaimanapun juga dia
tak percaya kalau pihak lawan benar-benar berhasrat untuk
menukarkan pedangnya dengan dara tersebut.
Berulang kali ia memikirkan persoalan itu, namun toh
akhirnya ia tak dapat ambil keputusan, lama-kelamaan ia
lantas jadi nekad, dengan suaa yang menyeramkan dia
berseru, “Kalau dibalik rencanamu ini terselip maksud-maksud
yang tak beres, lebih baik terang kau lebih dahulu mulai
sekarang. Kalau tidak….”
“Hmm! Lebih baik adu jiwa daripada terjebak oleh siasat
licikmu itu”
Hoa Thian-hong tersenyum.
“Emmm! rupanya jadi orang kau terlalu berhati-hati,
padahal sekalipan aku bicara tetus terang engkau juga tak
akan mempercayainya, ketahuilah setelah pedang baja ini
kuberikan kepadamu dan pertukaran syaratmu sudah berjalan
sebagai mestinya, maka akan kuikuti terus jejakmu walau
sampai keujung langit atau kedasar samudra pun sampai
pedang baja itu akhirnya berhasilku rampas kembali”
Tertegun hati Pia Leng-cu setelah mendengar perkataan
itu, untuk beberapa saat lamanya dia membungkam dan tak
mau mengucapkan sepatah katapun.
Haruslah diketahui, berbicara tentang ilmu meringankan
tubuh, ilmu pedang, ilmu kepalan maupun tenaga dalam, Hoa
Thian-hong masih berada diatas kepandaiannya, kalau si anak
muda itu sudah ambil keputusan untuk mererut kembali
senjata tersebut, sulitlah baginya untuk meelayani kehendak
orang.
Tiba-tiba dari atas permukaan sungai berkumandang suara
terompet yang amat nyaring.
Suara terompet yang dibunyikan dengan sebuah keong ini
biasanya hanya digunakan oleh kaum perompak dan bajak
laut sebagai pertanda, diatas sungai apalagi daratan hampir
boleh dikata tak pernah terdengar suara semacam itu, tanpa
sadar beberapa orang itu dibuat tertegun jadinya.
Suara pekikan yang nyaring dan menggetarkan sukma itu
berkumandang ditengah kegelapan menembusi udara, tibatiba
dari permukaan sungai muncullah titik-titik cahaya api.
Dari depan belakang, kiri maupun kanan pada saat yang
bersamaan muncullah enam buah perahu besar, diujung
setiap perahu berdirilah belasan orang pria berpakaian anti air
yangberwarna hitam, ditangan masing-masing mencekal obor
ditangan kiri dan senjata ditangan kanan.
Walaupun kedatangan rombongan itu amat cepat dan
besar sekali jumlahnya, akan tetapi suasana tetap hening dan
tak kedengaran sedikit suara pun.
Pada perahu besar yang ada dipaling belakang duduklah
seorang nenek baju hitam yang berambut panjang dan
memegang toya kepala setan, orang itu bukan lain adalab Kiuim
Kaucu yang munculkan diri untuk pertama kalinya dalam
pertemuan besar Kian ciau tayhwee.
Enam buah perahu itu bergerak maju menembusi gulungan
ombak, dalam waktu singkat mereka telah mengepung Hoa
Thian-hong dan Pia Leng-cu ditengah gelangang, perahu
bagian depan segera bergerak makin lambat sementara
perahu dibelakang menyusul ke muka, kian lama kepungan
itupuno kian merapat.
Hoa Thian-hong sendiripun mempunyai perhitungan yang
amat masak, namun dia sama sekali tak menyangka kalau
anak buah yang dibawa Kiu-im Kaucu untuk menyergap
dirinya berjumlah begitu banyak, setelah menyaksikan
kehadiran musuh diam-diam hatinya merasa terperanjat.
Pedang bajanya segera ditarik kembali, setelah merampas
sebuah gala yang panjang dia menyingkir kesampmg dan
serunya kepada orang-orang yang ada diatas perahu, “Atas
bantuan dari kalian semua, kuucapkan banyak-banyak terima
kasih, cepatlah kalian terjun kedalam air untuk
menyelamatkan diri, kalau terlambat mungkin akan terjatuh
ketangan lawan”
Pria yang pegang kemudi perahu itu segera menjura,
sahutnya dengan suara nyaring, “Hamba sekalian merasa
kalau ilmu silat yang kami miliki sangat cetek, daripada
mengganggu perhatian yaya lebih baik ham ba sekalian
mohon diri lebih dahulu, semoga yaya baik-baik menjaga diri”
Habis berkala dia segera terjun kedakam air.
Diatas perahu semuanya ada enam orang pria kekar, saat
itu mereka semua maju menjura kemudian masing-masing
terjun kedalam air untuk menyelamatkan diri.
Mereka berenam adalah penduduk kota Kwaa lok, yang
sudah lama hidup diatas sungai, untuk mensukseskan
siasatnya memancing per hatian musuh ini sengaja Hoa Thianhong
minta bantuan dari Ko Thay untuk mengaturkan segala
sesuatu baginya.
Waktu itu nama besar Hoa Thian-hong telah menggetarkan
sungai telaga, ibaratnya sang surya ditengah awan, semua
orang kangou yang dimintai bantuannya rata-rata merasa
bangga dan bersedia untuk memberikan bantuannya.
Walaupun ilmu silat yang dimiliki beberapa orang itu sangat
rendah, akan tetapi mereka lihay dalam ilmu berenang,
ditengah gulungan ombak yang amat dahsyar beberapa orang
itu segara menyelam kedalam air dan meluncur menuju
ketepian, dalam waktu singkat mereka sudah berada puluhan
kaki jauhnya dari perahu mereka, dalam keadaan begini anak
buah dari Kiu-im Kaucu tak ada yang berani menghalangi,
sebab mereka tidak mendapat perintah untuk berbuat
demikian.
Sementara itu perahu yang ditumpangi Kiu-im Kaucu sudah
bergerak semakin dekat, jarak masing-masing pihak tinggal
delapan kaki, tampaklah perahunya bergerak kekanan dan
lansung menerjang ke arah sampan kecil yang ditumpangi Pia
Leng-cu.
Menyaksikan terjangan tersebut, imam tua itu tercekat
hatinya, buru-buru dia mendayung sampannya dan bergerak
dua tiga kaki lebih mendekati perahu yang ditumpangi Hoa
Thian-hong.
Tiba-tiba ia buang papan kayu itu dan cabut keluar pedang
boan liong poo kiam, dengan tangan kiri mengempit Pek Kungie,
bentak nya keras-keras, “Eh orang she Hoa, engkau
inginkan Pek Kun-gie dalam keadaan hidup atau dalam
keadaan mati?”
Kiu-im Kaucu segera tertawa tergelak dari kejauhan, cepat
dia menanggapi, “Tentu saja mau yang hidup, sebilah pedang
baja berapa banyak artinya? Ayoh di tukar saja!”
Sementara pembicaraan masih berlangsung, perahunya
sudah mengejar beberapa kaki lebih kedepan.
Sementera itu Hoa Thian-hong berdiri tepat diburitan
perahu, dengan kakinya dia menahan kemudi, tangannya
mencekal sebuah gala yang panjang, dengsn pandangan
tajam mengawasi semua gerak-gerik yang terjadi didepan
mata.
Ia telah perhitungkan keadaan dengan jitu dia tahu Pia
Leng-cu ibaratnya katak masuk tempurung, tak mungkin ia
berani turun tangan keji secara sembarangan, maka sambil
tenangkan hatinya, ia sama sekali tidak menggubris teriakan
orang.
Pia Leng-cu merasa kejut bercampur gusar ketika dilihatnya
perahu yang ditumpangi Kiu-im Kaucu kembali menerjang
sampannya, ia tahu kalau sampai tertumbuk niscaya dia bakal
tercebur kedalam air.
Dalam gugup dan gelisahnya, bawa nafsu membunuh
menyelimuti seluruh wajahnya, dia segera berteriak, “Orang
she Hoa, cepat putar kemudi dan hadang….”
Belum habis dia berkata, segulung ombak besar telah
menyapu tiba membuat sampannya jadi oleng, buru-buru Pia
Leng-cu mengerahkan tenaganya dan menginjak bagian yang
oleng dengan kaki kirinya, dengan begitu keseimbangan
sampan itupun dapat dipertahankan kembali.
Hoa Thian-hong yang mengikuti jalannya peristiwa itupun
diam- diam mengucurkan peluh dingin, ia paksa untuk
tenangkan diri lalu ujarnya dengan ketus, “Aku orang she Hoa
tak mampu menolong engkau, kalau tahu diri cepatlah loncat
naik keatas perahu besar!”
Sementara itu sampan kecil tadi sudah oleng kesana kemari
dan kehilangan kendali, setiap saat kemungkinan besar akan
terbalik kedalam sungai, padahal perahu yang ditumpangi Pia
Leng-cu makin lama semakin mendekat, dalam hati Pia Lengcu
sadar, Pek Kun-gie yang dibuat sandera cuma manjur kalau
digunakan untuk menghadapi Hoa Thian-hong, sebaliknya Kiuim
Kaucu justru berharap mengalami kegagalan total.
Setelah mempertimbangkan diri dan menyaksikan pula
gelagat makin lama semakin tidak menguntungkan, akhirnya
dia ambil keputusan untuk menyingkir dari sampan tersebut,
sambil menggertak gigi dia enjotkan badan dan melayang
keatas perahu besar.
“Lemparkan gadis itu kemari!” Hoa Thian-hong segera
menghardik dengan muka dingin membesi.
Pia Leng-cu terperanjat, sesudah tertegun beberapa saat
dengan gusar ia membentak, “Hmm! Kau anggap siapakah
cousu ya mu ini? Berani benar main gertak dihadapanku?”
Hoa Thian-hong mendengus dingin, gala panjangnya
digetarkan lalu menusuk kedapan.
Jurus yang digunakan adalah ilmu tombak Pat coa yang
maha sakti, gala sepanjang dua kaki itu diiringi deruan angin
tajam dan ujung gala memancarkan cahaya hitam langsung
menusuk tenggorokan imam tua itu.
Pia Leng-cu terkejut bercampur gusar, ia menyingkir
selangkah kesamping, pedangnya langkung membabat gala
itu.
Pedang mustika Boan liong po kiam ada lah sebilah pedang
tajam, dalam perputaran yang kencang, terbislah selapis
cahaya hijau yang amat menyilaukan mata.
Menyaksikan ketajaman pedang lawan, Hoa Thian-hong
segera berpikir.
“Siluman toosu ini rakus dan tamak sekali, kalau tidak
kubekuk sekarang juga dia pasti akan balas menggertak aku,
kalau sampai begitu aku tentu akan menderita kekalahan
total!”
Sementara ia masih berpikir, serangan yang dilancarkan
dengan gala itu telah meluncur datang bagaikan hujan
gerimis, menyerang secara gencar tanpa menguatirkan
sesuatu, seakan-akan pemuda itu sama sekali tidak
memikirkan tentang keselamatan jiwa dari Pek Kun-gie.
Sambil mengempit tubuh Pek Kun-gie di bawah ketiak
kirinya, tak urung timbul kecurigaan dalam hati Pia Leng-cu,
dia putar pedangnya sedemikian rupa untuk menyambut
serangan-serangan gencar lawan.
“Sudah lama aku dengar orang berkata kalau Pek Kun-gie
mencintai bocah keparat itu, tapi bocah itu sama sekali tidak
membalas cintanya” pikir sang imam dihati, jangan-jangan
gadis ini memang benar-benar cuma bertepuk sebelah tangan
belaka, padahal bocah she Hoa itu sama sekali tidak menaruh
hati kepadanya…. waah! kalau sampai begitu, akulah yang
bakal berabe!”
“Criing!….” saat itulah perahu yang di tumpangi Kiu-im
Kaucu kembali menerjang tiba, jangkar baja yang amat besar
tiba-tiba menyambar ke arah sampannya dan tepat
mencengkeram diatas geladak sampan kecil itu.
Pia Leng-cu tak lebih cuma sedang prajurit yang pernah
menderita kekalahan ditangan Kiu-im Kaucu, ia sangat jeri
terhadap nenek tua itu, menyaksikan kehadirannya, dia jadi
pecah nyali dan ketakutan setengah mati, menggunakan
kesempatan yang sangat baik itulah tiba-tiba Hoa Thian-hong
membentak keras, gala yang dipakai untuk menye rang
diputar sedemikian rupa sehingga mirip dengan sebuah
tusukan tombak, secepat kilat tahu-tahu menyergap keatas
dadanya.
Pertarungan yang berlangsung antara kedua orang itu
sebenarnya tidak terhitung sebuah pertarungan yang
membahayakan jiwa, sebab masing-masing pihak berdiri
diujung perahunya sendiri. Hoa Thian-hong berdiri diujung
buritan sementara Pia Leng-cu berdiri diujung geladak.
Walaupun begitu, serangan gaya yang menggunakan jurus
tombak itu cukup tangguh, terutama tusukan terakhir yang
dilancarkan secara mendadak itu, tampaknya Pia Leng-cu
segera akan dipaksa untuk mence burkan diri kedalam
sungai….
Untung dia cukup tangguh, reaksinya dalam menghadapi
bahayapun cukup baik, dalam gugupnya cepat ia loncat
keudara dan loloskan tubuhnya dari tusukan maut tersebut.
Dengan muka penuh nafsu pembunuhan, Hoa Thian-hong
membentak keras, “Lemparkan dara itu kemari!”
“Engkau punya muka tidak?” teriak Pin Leng cu dengan
marah.
“Hmm!” Hoa Thian-hong mendengus dingin, “berbicara dari
keadaan yang terbentang saat ini, aku percaya engkau tak
akan mampu melindungi keselamatan sanderamu, hmmm!
Jika engkau tahu diri, cepat lemparkan data itu kepadaku,
hitung-hitung kita bikin hubungan persahabatan, siapa tahu
dengan perbuatanmu itu, akupun bersedia pertaruhkan
selembar jiwaku untuk bantu selamatkan jiwamu dari
bencana”
Jilid 20
Kiu-im Kaucu yang duduk dikursi kebesarannya, tiba-tiba
menyambung dengan nada mengejek.
“Huuh! Memangnya engkau mampu untuk selamatkan
jiwanya?”
Hoa Thian-hong tertawa dingin.
“Menang kalah sampai sekarang toh belum ketahuan, buat
apa engkau musti bergembira lebih dulu?”
Dalam pada itu, keenam buah perahu besar dari
perkumpulan Kiu-im-kauw telah mengepung rapat perahu
yang ditumpangi Hoa Thian-hong, keenam perahu tersebut
dihubungkan satu sama lainnya dengan rantai baja yang
sangat kuat, hingga dengan begitu terciptalah suatu gelang
rantai yang mengitari sekeliling sungai.
Sementara perahu penyeberang yang ditumpangi Hoa
Thian-hong hanya berada dua kaki dari perahu pengepung,
dalam sekali lompatan sebenarnya kedua belah pihak sanggup
untuk meloncat keperahu lawan.
Akan tetapi, berhubung arus air sungai amat deras maka
susahlah bila ada orang ingin menyeberang keatas perahu
lawan, sebab dalam kenyataan perahu itu masih tetap
bergerak mengikuti gerak arus air yang sangat deras itu.
Tercekat hati Pia Leng-cu setelah mengawasi sebentar
keadaan disekelilingnya, kepungan musuh terlalu tangguh,
dalam keadaan begini tidak sukar baginya kalau ingin
selamatkan jiwa sendiri, tapi untuk kabur sambil membawa
sandera jelas hal itu hanya suatu impian belaka.
Kembali dia berpikir, “Bila situasi berubah lagi, sudah tentu
Hoa Thian-hong akan berubah pikiran pula, apa salahnya
kalau kugukan kesempatan itu untuk saling bertukar barang
dengan dia mumpung pikirannya belum berubah dan dia
belum punya ingatan untuk ingkar janji”
Begitu ambil keputusan dihati, ia segera membentak keras,
“Hey bocah keparat, kulabulkan permintaanmu itu, nah!
sambutlah dara ini….”
Sekali ayun, dia melempar tubuh Pek Kun-gie ke arah
perahu.
Hoa Thian-hong kuatir kalau Kiu-im-kauw lakukan
pengacauan ditengah jalan, buru-buru dia maju kedepan dan
menyambut tubuh Pek Kun-gie.
Apa yang ia duga ternyata meleset, Kiu-im Kaucu tetap
duduk tak berkutik dari tempat duduknya, justru dia memang
berharap pertukaran manusia dengan pedang bisa berjalan
dengan lancar. Apabila pedang baja itu sudah terjatuh
ketangan Pia Leng-cu, itu berarti baik pedang baja maupun
pedang emas berada ditangan imam tua dari perkumpulan
Thong-thian-kauw ini, asal dia melakukan penyergapan dan
penangkapan dengan sepenuh tenaga dia yakin usahanya itu
pasti akan berhasil.
Dipihak lain, setelah menerima tubuh Pek Kun-gie, pemuda
itu segera menegur lirih, “Gie, engkau terluka?”
Betapa gembiranya Pek Kun-gie setelah berada disamping
kekasihnya, ia menggeleng.
“Tidak, aku tidak terluka, cuma tangan dan kakiku diikat
dengan otot kerbau, pakaianku juga…. juga sudah rusak!”
Hoa Thian-hong mengerutkan dahinya, ia memandang dara
itu sekejap, pakaian yang dikenakan adalah sebuah jubah
warna hijau yang kedodoran, sekalipun begitu tidak menutupi
kecantikan wajahnya.
Cepat ia meraba otot kerbau yang membelenggu tangan
kirinya, sekali pencet dengan kelima jari tangennya, otot
kerbau yang kuat dan ulet itu seketika terputus jadi beberapa
bagian.
“Masuklah kedalam kereta” bisik pemuda itu kemudian,
“disitu sudah tersedia pakaian, engkau harus ganti pakaian
dengan cepat!”
“Tangan dan kakiku masih kaku, aku tak dapat jalan
sendiri! bisik Pek Kun-gie pula dengan aleman”
Terpaksa Hoa Thian-hong merangkul pinggang dara itu
menuju ke arah kereta, kemudian menyingkap horden dan
membantu pula gadis itu naik kedalam kereta.
Tiba-tiba Kiu-im Kaucu alihkan sorot matanya ke arah
kereta kuda itu, kemudian sambil tertawa nyaring berseru.
“Hmmm Hebat sekali siasatmu untuk mengelabuhi musuh,
sampai-sampai akupun kena kau tipu!”
Perasaan hati Hoa Thian-hong agak bergerak.
“Terima kasih atas perhatian dari kaucu, tentunya engkau
sudah memberi muka kepadaku” katanya.
“Oooh…. tentu saja!”
Hoa Thian-hong tertawa dingin.
“Heeeh…. heeeeh…. heeeh…. perlu engkau ketahui, siasat
ini kunamakan mengelabubi langit menyeberangi samudra,
sekarang ibuku su dah tiba diutara sungai, apakah kaucu
sudah mengetahui akan hal ini?”
Mula-mula Kiu-im Kaucu agak tertegun, menyusul mana
sambil tertawa sahutnya, “Perkampungan Liok Soat Sanceng
merupakan suatu perkampungan besar dalam dunia
persilatan, cepat atau lambat aku bakal ber kunjung keutara,
suatu ketika pasti akan kukunjungi pula perkampungan itu.
Cuma…. Hmm! Saat ini Hoa ya sedang berada dipung gung
harimau, aku rasa lebih baik sementara waktu berjaga disini
saja, apa gunanya mengejar kesitu?”
Mendengar jawaban tersebut, diam-diam Hoa Thian-hong
merasa kegirangan, pikirnya, “Kalau kudengar dari
jawabannya, jelas rencana matang yang kami susun tidak
sampai diketahui olehnya….”
Setelah meninggalkan Giok Teng Hujin, Hoa Thian-hong
sama sekali tidak pergi mencari Ko thay, diapun tidak mencari
jejak Pek Kun-gie, melainkan kembali kerumah
penginapannya.
Disana ia memperoleh laporan yang sangat terperinci dari
Ko thay yang mengatakan, bukan saja Kiu-im Kaucu telah
membawa anak buahnya menjaga sungai Huan ho, bahkan
orang-orang dari Mo-kauw aliran Seng sut pay juga
menyiapkan orangnya di tepi seberang untuk melakukan
penyergapan.
Maka dipersembabkanlah sebuah siasat bagus untuk
melepaskan diri diri incaran musuh.
Dalam siasat tersebut dianjurkan kepada Hoa Thian-hong
untuk pura-pura membawa keluarganya menyeberangi sungai,
tindakannya itu pasti akan memancing perhatian semua
lawan-lawannya, sementara Chin Wan-hong serta Tio Samkoh
bertugas mengawal Hoa Hujin kabur lewat pintu selatan,
bukan menyeberangi sungai Hoan ho melainkan hanya
berdiam untuk sementara waktu diluar kota Lok yang.
Dengan begitu perhatian dari Hoa Thian-hong pun dapat
tertuju pada satu persoalan, ia bisa menggunakan kesempatan
yang ada untuk bertarung dengan sepenuh tenaga melawan
musuh-musuhnya, sekalian menyelesaikan pula pertikaiannya
mengenai masalah kitab pusaka Kiam keng.
Selesai membaca isi surat itu, para jago merasa kagum
bercampur terima kasih terhadap enghiong yang muncul
diantara kalangan muda itu, maka untuk menghindari
terpancingnya pihak musuh sampai dirumah hanya lantaran
kitab Kiam keng, disamping itu demi selamatkan pula jiwa Pek
Kun-gie dari ancaman, diputuskanlah untuk melakukan semua
siasat seperti apa yang telah di atur.
Begitulah, ketika kentongan ketiga sudah tiba, Hoa Thianhong
terlebih dulu meninggalkan rumah penginapan, tak lama
kemudian Hoa Hujin dibawah lindungan Chin Wan-hong serta
Tio Sam-koh, dengan membawa serta Siau Ngo-ji segera
ngeloyor keluar dari rumah penginapan dan diam-diam kabur
menuju kepintu kota sebelah selatan.
Walaupun semua persoalan telah diatur secara rapi dan
sempurna, tak urung perasaan Hoa Thian-hong masih belum
tenang, dia kuatir kalau sampai terjadi sesuatu hal diluar
dugaan.
Menanti Kiu-im Kaucu telah memberikan tanggapannya dan
pemuda itu yakin kalau siasatnya tak sampai bocor, perasaan
hatinya baru lega sama sekali.
ooooOoooo
71
SEMENTARA itu api obor telah menerangi seluruh jagad,
membuat suasana disekitar sungai jadi terang benderang
bagaikan disiang hari.
Tatkala dilihatnya paras muka Hoa Thian-hong
menunjukkan rasa gembira, satu ingatan segera melintas
dalam benak Kio im kaucu, ia putar otak berusaha untuk
memecahkan teka teki itu, diapun bermaksud memancing dari
pembicaraan lawan, namun untuk sesaat ia tak berhasil
menemukan kata-kata yang dianggapnya cocok.
Tiba tiba terdengar Pia Leng-cu membentak dengan gusar,
“Hey manusia she Hoa perkataan seorang lelaki sejati berat
laksana bukit, engkau punya muka atau tidak?”
Hoa Thian-hong tertawa, ia cabut pedang baja dari
pinggangnya lalu menjawab.
“Rupanya sekalipun engkau harus adu jiwa, incaranmu atas
pedang baja tak akan berubah….?”
Pia Leng-cu makin naik darah, teriaknya, “Pek Siau-thian
angkuh dan tak pandang sebelah mata kepada orang lain, apa
sangkut pautnya antara engkau dengan dia? Kenapa musti
kau campuri urusan pribadiku? toh putrinya yang kubekuk,
Hmm! Engkau sendiri yang setuju kalau pedang ditukar orang,
memangnya aku paksa kan pakai kekerasan?”
Dalam keadaan yang sangat tidak menguntungkan itu,
kegagahan dan kejantanannya lenyap tak berbekas, sekalipun
ucapannya masih keras dan ngotot akan tetapi wajahnya tak
urung ikut berubah jadi merah padam.
Berbicara menurut peraturan yang berlaku dalam dunia
persilatan, pertikaian antara Pek Siau-thian dengan Pia Lengcu
sebagai sama-sama umat persilatan dari golongan hitam,
Hoa Thian-hong tak berhak untuk ikat ambil bagian, kalau
tidak maka dia akan dituduh orang sebagai pemuda yang ikut
campur dalam urusan orang karena terpikat oleh pipi licin
(perempuan)….
Dengan sorot mata tajam, Hoa Thian-hong memandang
sekejap ke arah Kiu-im Kaucu yang duduk dikursi
kebesarannya, setelah termenung sebentar ujarnya dengan
muka serius, “Apa yang aku orang she Hoa katakan tak
pernah diingkari kembali, setelah aku berjanji akan berikan
kepadamu, benda itu sudah pasti akan kuserahkan
kepadamu!”
“Kalau begitu cepat lempar kemari!” bentak Pia Leng-cu
dengan gusar.
“Thian-hong, jangan berikan kepadanya!” tiba-tiba Pek
Kun-gie berteriak keras.
Dengan suatu gerak yang cepat ibarat burung walet
terbang diudara, ia melayang ke sisi pemuda itu.
Setelah pakaiannya tercabik-cabik oleh sobekan pisau belati
Pia Leng-cu, kini dara tersebut telah menggantinya dengan
seperangkat pakaian milik Hoa Thian-hong, tentu saja pakaian
itu kedodoran baginya.
Ujung baju yang terlalu panjang ia gulung keatas,
pinggangnya diikat dengan seutas tali pinggang warna putih,
dandanannya bukan pria bukan wanita sehingga kelihatan lucu
sekali.
Walau begitu wajahnya yang cantik sama sekali tidak hilang
karena itu, apalagi setelah berkumpul kembali dengan kekasih
hatinya yang dirindukan siang malam, kegembiraan yang
bergolak sukar dikendalikan hingga terlibat nyata diatas
wajahnya.
Mukanya yang berseri-seri dan senyum yang manis itu
membuat paras mukanya yang sudah cantik, kelihatan jauh
lebih menawan hati.
Tak tahan Hoa Thian-hong melirik sekejap ke arahnya lalu
tertawa geli.
“Ayoh berdiri disitu saja!” serunya, urusan yang ada disini
biar aku sendiri yang selesaikan”
Dengan gemas dan penuh kemarahan, Pek Kun-gie
meruding ke arah Pia Leng-cu, lalu mencaci maki dengan
gusarnya, “Huuh….! Hidung kerbau itu tak tahu malu, tua
bangka belaka, manusia cabul yang bejad moralnya, dia paksa
aku untuk mengunggap catatan kiam keng bu kui…. engkoh
Hong! Jangan berikan kitab kiam keng tersebut kepada tua
bangka sekarat itu, biar dia mampus penasaran….”
Betapa gusarnya Pia Leng-cu ketika mendengar makian itu,
kontan sepasang matanya melotot besar, dia hendak balas
memaki tapi ketika pandangan matanya terbentur dengan
wajah dara itu, dia malah tertegun untuk sesaat tak sepatah
katapun mampu diucapkan.
Perlu diketahui, sewaktu Pia Leng-cu berada berduaan
dengan Pek Kun-gie tadi, berhubung kesatu ruang loteng itu
kecil lagi gelap, kedua Pek Kun-gie lagi uringan dan penuh
menaruh perasaan benci dan dendam, maka yang tertampak
oleh Pia Leng-cu ketika itu hanya potongan badannya belaka,
kecantikan yang sesungguhnya dari dara itu sama sekali tidak
kelihatan.
Lain halnya dengan keadaan waktu itu, meskipun ia sedang
mencaci maki Pia Leng-cu, akan tetapi ucapan itu ditujukan
kepada Hoa Thian-hong, dalam pandangan imam tua itu
terlihatlah betapa cantik jelita dara itu sekalipun sedang
memaki orang mukanya berseri manis, kerlingan natanya
menawan hati ditambah pula suaranya lembut seperti genta
membuat orang terkesima jadinya.
Dasar seorang imam cabul yang gemar main perempuan,
Pia Leng-cu kontan merasakan jantungnya berdebar keras, ia
benar-benar terpersona, apalagi terbayang kembali lekukanlekukan
tubuhnya yang putih, halus dan padat berisi itu, tanpa
sadar jantungnya berdebar keras, hampir saja ia lupa sedang
berada disana.
Hoa Thian-hong sendiri ketika mendengar perkataan dari
Pek Kun-gie, sikapnya tetap halus dan sekulum senyum
tersungging diujung bibirnya, tapi begitu menjumpai keadaan
Pia Leng-cu yang kesemsem dengan mimik wajah yang
menakutkan, timbul kembali hawa amarah dalam hatinya.
Ia segera ulapkan tangannya dan berseru.
“Aku toh hanya akan memberikan pedang baja itu, belum
pernah kukatakan kalau kitab Kiam keng itu akan kuserahkan
kepadanya, menyingkirlah kesamping, aku akan bereskan
sendiri persoalan ini!”
Pek Kun-gie makin gelisah, kembali dia berseru, “Semua
orang bilang kitab kiam keng itu ada didalam pedang bajimu,
jangan kau berikan kepadanya!”
“Aku hanya menyetujui untuk serahkan pedang ini
kepadanya, namun tak pernah kusanggupi untuk dibawa pergi
olehnya, minggirlan kesitu, tak usah kuatir!”
Sungguh gelisah dan panik pikiran Pek Kun-gie, tapi ia tak
berani membangkang perintah si anak muda itu, terpaksa
dengan hati berat dara itu menyingkir kesimping, diam-diam
pedang lemasnya dicabit keluar siap menghadapi sejala
kemungkinan yang tidak diizinkan
Dalam pada itu, Hoa Thian-hong telah menengadah dan
memandang sekejap ke arah Pia Leng-cu dengan pandangan
dingin, sambil angsurkan pedang baja itu kemuka, hardiknya,
“Nih, ambillah!”
Pia Leng-cu agak tertegun, kemudian serunya dengan
marah, “Lempar kemari!”
“Hey bangsat cabul, dengarkan baik-baik kata kami ini”
teriak Pek Kun-gie dari samping,” kami hanya setuju untuk
berikan pedang itu kepadamu, tapi tak pernah menyanggupi
dirimu untuk membawa pergi pedang tersebut dari tempat ini,
kalau tak takut mampus ambilah!”
Kiu-im Kaucu yang licik dan ingin menjadi nelayan yang
untung segera menanggapi dari samping sambil tertawa
tergelak.
“Haahh…. haahhh…. haahhh…. Pia Leng-cu ayoh maju dan
terima pedang itu! Hoa kongcu adalah seorang pria sejati, tak
mungkin dia akan menipu engkau…. hayo maju! Apalagi yang
kau takuti….”
Dengan kecurigaan hatinya yang sangat tebal, Pia Leng-cu
tak ingin maju kemuka sambil menempuh bahaya, akan terapi
setelah dipandang oleh belasan pasang mata dengan sorot
mata mengejek, hawa amarahnya berkobar juga didalam hati
sambil menggigit bibir dia segera melangkah maju kedepan
dengan tindakan lebar.
Pek Kun-gie benar-benar kuatir kalau Hoa Thian-hong
sungguh menyerahkan pedang baja itu kepada orang, kembali
ia berteriak deng an suara keras, “Thian-hong, tak tak usah
berbicara soal kepercayaan dengan orang jahat macam dia!”
Sementara itu Pia Leng-cu sudah maju ke muka, jaraknya
dengan pedang baja itu tinggal empat lima depa, tatkala
mendengar seruan tersebut ia segera menghentikan kembali
langkahnya.
Hoa Thian-hong mendengus dingin, ia muak menyaksikan
kepe-ngecutan imam tua itu, semakin ragu orang untuk maju
ia semakin pandang hina musuhnya.
Melihat Pia Leng-cu kembali berhenti dengan sangsi, ia
mengejek sinis serunya, “Api yang telah kukatakan tak pernah
kuingkari lagi. Nah ambilah pedang tersebut!”
Sekali tangannya diayun…. Duuuk! Pedang baja sepanjang
empat depa itu sudah menancap lurus tepat dihadapan Pia
Leng-cu.
Tindakan dari Hoa Thian-hong ini sama sekali diluar dugaan
semua orang, dengan pandangan kebingungan Pia Leng-cu,
Kiu-im Kaucu maupun puluhan orang anak buahnya, melotot
ke arah senjata itu tanpa sanggup mengucapkan sepatah
katapun.
Lama sekali Pia Leng-cu berdiri tertegun akhirnya ia melirik
sekejap ke arah Kiu-im Kaucu.
Imam tua ini sadar, setelah pedang baja tersebut terjatuh
ketangannya, pada hakekatnya bukan suatu pekerjaan yang
gampang untuk lolos dari kepungan, malahan mungkin jauh
lebih sukar untuk mendekati ke langit.
Walau begitu tak mungkin baginya untuk melepaskan
mustika yang berada didepan mata dengan begitu saja….
Akhirnya menggertak gigi ia robek pakaiannnya lalu
membungkus pedang itu baik-baik dan menggantungnya
diatas punggung.
Tak seorang manusiapun yang bergerak dari tempat
kedudukan masing-masing, baik Hoa Thian-hong maupun Kiuim
Kaucu sama-sama mengikuti gerak-gerik sang imam tua
tanpa banyak bicara.
Kebungkaman dan ketenangan sang pemuda itu
menggelisahkan hati Pek Kun-gie, cepat ia menggoyang
lengan si anak muda itu sambil mengomel, “Ayolah, rebut
kemoali pedang baja itu, kenapa kau diam melulu?”
“Memangnya kau rela pedang itu diambil bajingan cabul
itu?”
Hoa Thian-hong tertawa geli.
“Aah, kamu ini, memangnya gampang ya untuk merampas
kembali pedang itu? ilmu silat yang dimiliki cinjin ini sangat
lihay, akupun paling banter cuma menang setingkat darinya,
apalagi sekarang tak ada senjata yang bisa kupakai lagi, susah
rasanya untuk merobohkan dirinya!”
“Kalau begitu…. kalau begitu…. tidak sepantasnya kau
berikan pedang itu kepadanya” omel Pek Kun-gie sambil
mendepak-depakkan kakinya keatas geladak.
Gadis itu betul-betul amat gelisah sehingga ia tak mampu
berkata-kata lagi.
Bukannya ikut gelisah, sikap Hoa Thian tong malahan jauh
lebih tenang, seakan-akan tak pernah terjadi sesuatu
urusanpun, katanya sambil tertawa, “Sebagai seorang
manusia yang hidup di dunia, kita tak boleh mengingkari apa
yang telah diucapkan, sekali perkataan sudah ke luar maka
kita wajib melaksanakan sampai selesai, kenapa kau musti
gelisah? memangnya dia mampu kabur dari sini sambil
membawa pedang baja itu?”
Sementara ia masih berbicara, Pia Leng-cu telah selesai
membenahi dirinya, pedang baja itu dia gantung dipunggung
sementara pedang mustika Poan liong poo kiam dicekal dalam
keadaan terhunus, asal ada orang hendak merampas senjata
mustika itu maka ia akan terjun kedalam air dan kabur dari
situ.
Tentu saja diapun sempat mendengarkan pembicaraan dari
Hoa Thian-hong, dan iapun dapat meresapi makna dari
ucapan itu, tapi ia tak sudi menyerah dengan begitu saja,
prinsipnya selama hayat masih di kandung badan dia akan
selalu berusaha sedapat mungkin, sebelum jalan betul-betul
menjadi bantu, ia tak mau pasrah nasib dengan begitu saja.
Sekalipun ia sudah membenahi diri dan siap kabur, Hoa
Thian-hong sama sekali tidak menggubris dirinya, Kiu-im
Kaucu sendiripun tetap duduk tak berkutik ditempat semula,
seakan-akan mereka sama sekali tak pandang sebelah
matapun atas kejadian tersebut.
Betapa malu dan marahnya Pia Leng-cu diperlakukan
seperti itu, ia tuding Kiu-im Kaucu dengan pedang mustikanya,
lalu membentak nyaring, “Pia Leng-cu ada disini, pedang baja
maupun pedang emas kini berada ditangan cinjin mu, kalau
engkau tidak kemari lagi, jangan salahkan kalau cinjin tak
akan menemani lebih lama”
“Ooh…. silahkan…. silahkan…. kalau mau pergi, silahkan
saja terjun kedalam air!” sahut Kiu-im Kaucu sambil tertawa
santai.
Kemarahan yang menggelora dalam dada Pia Leng-cu
sukar dilukiskan dengan kata-kata, pikirnya, “Nenek bajingan,
kalau hari ini aku bisa lolos dari sini. Hmm! Tunggu sajalah
pembalasan dari cousu-ya mu…. sialan.”
Berpikir sampai disitu dia lantas loncat keujung perahu dan
siap terjun kedalam air.
“Tunggu sebentar!” tiba-tiba Hoa Thian-hong membentak
keras.
Pia Leng-cu putar badan lalu berseru, “Bocah keparat,
kalau tidak terima, hayo maju kemari, kuhajar kau sampai
mampus!”
Pek Kun-gie naik pitam menyaksikan keangkuhan lawan, ia
serahkan pedang lemas itu kepada Hoa Thian-hong, kemudian
serunya dengan mendongkol.
“Bikin mampus siluman tua itu, cukil keluar sepasang biji
mata bangsatnya!”
Hoa Thian-hong tertawa sambil menggeleng.
“Percuma! Setibanya dalam air, pedang lemasmu itu tak
lebih cuma barang rongsok yang tak ada gunanya, cepat
disimpan saja.”
Kemudian sambil berpaling ke arah Pia Leng-cu, serunya,
“Aku cuma ingin bertanya kepadamu, bagaimana
kepandaianmu didalam air?”
“Perduli amat dengen cousu ya mu!” tukas Pia Leng-cu
ketus, “kalau tidak puas silahkan maju dan kita adu
kepandaian sampai salah seorang mampus!”
Hoa Thian-hong terawa, katanya, “Kalau aku sih tak
mampu, tapi aku rasa kehebatan mu dalam air juga tidak
sampai selihay lawan!”
Setelah berhenti sebentar, lanjutnya kembali, “Ikutilah
anjuranku, baik-baik berdiri diatas perahu dan tak usah terjun
keair, asal engkau masih berada diatas daratan maka cuma
aku dan Kiu-im Kaucu berdua yang sanggup melangsungkan
pertarungan melawan dirimu, tapi begitu engkau terjun
kedalam air, hmm! Coba lihatlah, tujuh delapan puluh orang
yang berada disini semuanya adalah musuh-musuh
tangguhmu, engkau akan menjadi sate ikan dan nyawamu
pasti akan kabur kembali ke akhirat!”
“Bagus…. bagus sekali! Hoa Thian-hong aku lihat makin
lama engkau semakin lihay!” seru Kiu-im Kaucu sambil
tergelak tertawa, walau sepasang alis matanya berkenyit.
“Penderitaan dan siksaan akan mendidik otak manusia
untuk ber pikir keras, memangnya aku orang she Hoa masih
kecil?”
Kiu-im Kaucu tertawa, ia tidak ber bicara lagi tapi alihkan
sorot matanya ke arah Pia Leng-cu.
Semula imam tua itu memakai kain cadar untuk menutupi
wajahnya, berhubung dia takut kain cadar itu mengganggu
pandangan matanya selama berada didalam air, maka kain
cadar tersebut telah dilepas olehnya.
Ucapan Hoa Thian-hong ibaratnya guntur yang membelah
bumi disiang hari bolong, ia tergugah dari impian indahnya,
apalagi setelah periksa keadaan disekitar sana, paras mukanya
kontan berubah jadi pucat pias bagaikan mayat, sekarang
disuruh terjun keair pun mungkin ia tak berani.
Pek Kun-gie sendiri adalah seorang pendekar wanita yang
dididik langsung oleh Pek Siau-thian, sedikit banyak diapun
pangcu muda dari suatu perkumpulan besar, tentu saja baik
kecerdikan maupun jalan pikirannya jauh lebih tangguh dari
orang lain.
Sayang ia terbelenggu oleh cinta sehingga watak serta
kegagahannya mengalami banyak perubahan, sekalipun begitu
bukan berarti dia berubah jadi bodoh.
Sehabis mendengar ucapan dari Hoa Thian-hong itu, cepat
dia menyapu sekejap sekeliling gelanggang, apa yang
kemudian dilihat membuat hatinya jadi amat terperanjat.
Kiranya anak buah perkumpulan Kiu-im-kauw yang
berkumpul disekitar gelanggang mencapai tujuh puluh orang
lebih, bukan saja mereka mengenakan pakaian berenang yang
tahan air, senjata tajam yang mereka gunakan adalah senjata
bangsa tri sula, garpu panjang serta pisau bercabang dua,
bahkan ada sebagian diantaranya mempergunakan senjata
kaitan pedang dan sebangsanya.
Dari sini dapatlah diketahui kedudukan masing-masing
orang, yang bersenjata trisula atau sebangganya jelas
merupakan jago-jago lihay di dalam air, sedang senjata
pedang atau sebangsanya adalab jago-jago diatas daratan.
Organisasi yang diatur dengan begitu rapihnya ini
menunjukkan pula betapa cakapnya Kiu-im Kaucu mengatur
anak buahnya.
Belum habis rasa kaget dan curiga terlintas dalam benak
imam tua itu, tiba-tiba Kiu-im Kaucu tertawa tergelak sambil
berkata, “Pia Leng-cu, kalau engkau bersedia masuk kedalam
perkumpulan Kiu-im-kauwca, aku bersedia pula memberi
kedudukan yang tinggi kepadamu….”
“Heehhh…. heehhh…. heeh…. omong kosong!” tukas Pia
Leng-cu dengan cepat.
Kiu-im Kaucu tidak menjawab lagi, dengan seenaknya dia
ulapkan tangan dan berseru, “Lubangi perahu mereka!”
Berbareng dengan selesainya ucapan itu, seseorang loncat
masuk kedalam air dengan gerak cepat, begitu gesit dan
lincah gerakan tubuh orang itu, jelas dia adalah seorang
jagoan kelas satu.
Pek Kun-gie menggenggam tangan Hoa Thian-hong eraterat,
kemudian bisiknya dengan cemas, “Mereka akan
melobangi perahu kita, ayoh kita terjun saja kedalam air….”
Dalam pada itu dari dasar perahu sudah kedengaran suara
ayunan kampak yang menggoncangkan seluruh perahu
tersebut.
“Bagaimana dengan kepandaianmu didalam air?” tanya Hoa
Thian-hong sambil tersenyum.
“Biasa-biasa saja” jawab sang gadis tertegun aai…. akulah
yang sudah mencelakai dirimu, tiba-tiba matanya jadi merah
dan air mata jatuh berlinang.
“Eeh, kita toh belum tentu mati, kenapa kau musti
menangis?” hibur sang anak muda sambil tertawa.
Dia lantas berpaling ke arah Kiu-im Kaucu dan berkata,
“Kaucu, sebelum pertemuan Kian ciau tay hwe
diselenggarakan, apakah perkumpulan selalu beroperasi diatas
samudra?”
Kiu-im Kaucu tersenyum kemudian menghela napas
panjang.
“Aaai….! Dua puluh sembilan tahun berselang perkumpulan
Kiu-im-kauw terdesak dan tak dapat berdiri lagi dalam dunia
persilatan, terpaksa kami mundur ketengah samudra dan
hidup selama tujuh belas tahun diantara daratan den lautan,
sekaranglah kami baru dapat hidup kembali diatas daratan!”
“Mungkin selama ini kalian hidup di selatan, makanya
jarang sekali orang persilatan yang ada didaratan Tionggoan
mengetahui akan kejadian tersebut!”
Kembali Kiu-im Kaucu mengangguk sambil tersenyum.
“Memang begitulah kenyataannya!”
Suatu benturan keras memotong pembicaraan yang
berlangsung, ternyata dasar perahu itu sudah berhasil
dilubangi sehingga air sungai segera mengalir masuk sedalam
perahu.
Kecuali Hoa Thian-hong, Pek Kun-gie dan Pia Leng-cu,
diatas perahu itu masih terdapat sebuah kereta besar serta
dua ekor kuda penghela, karena air sungai mengerangi perahu
itu, tentu saja kedua ekor kuda yang berada diatas geladak
jadi meringkik ketakutan, binatang itu berloncatan kesana
kemari dengan panik, membuat perahu iiu semakin oleng
jadinya.
Dengan perasaan menyesal Hoa Thian-hong memandang
sekejap ke arah kuda-kuda itu, kemnudidn pikirnya, “Arus
sungai sangat deras, tak mungkin kuda-kuda itu sanggup
berenang ketepian, lebih baik kulepaskan saja tali pengikatnya
sehingga mereka bisa berloncatan dengan lebih leluasa.
Karena berpikir demikian, diapun loncat kedepan dan
melepaskan tali pengikat kuda itu.
Pia Leng-cu teramat benci terhadap diri Kiu-im Kaucu,
dengan seram ia tertawa panjang kemudian serunya, “Hey,
Kiu-im Kaucu! Katanya perkumpulan Kiu-im-kauw
mengembara selama tujuh belas tahun diatas samudra, lalu
dua belas tahun kemudian kalian bersembunyi dimana?”
Paras muka Kiu-im Kaucu berubah jadi dingin
menyeramkan, dia cuma melotot dan sama sekali tidak
menjawab.
Keadaan dari Pek Kun-gie saat itu ibaratnya burung kecil
yang jinak, kemanapun Hoa Thian-hong pergi dia mengikuti
terus disampingnya, sekalipun mereka ada dalam keadaan
bahaya, rejeki ataupun bencana sukar diramalkan, namun
matanya tetap berseri-seri, sekulum senyum manis menghiasi
bibirnya.
Sambil menarik ujung baju sang anak muda, tiba-tiba
ujarnya sambil tertawa, “Kiu-im Kaucu tak berani mengakui
letak sarangnya, engkau tahu kenapa dia tak berani
menjawab?”
Memanya kenapa?! tanya Hoa Thian-hong keheranan.
“Dia kuatir kalau engkau menyerbu ke dalam sarangnya!”
Hoa Thian-hong tertawa tergelak karena geli.
“Haahh…. hahh…. haaah…. kamu ini kok ada-ada saja,
ngaco belo!”
Sementara itu Kiu-im Kaucu telah berseru pula sambil
tertawa, “Pek Kun-gie, kalau engkau bersedia menjadi
muridku, semua ilmu kepandaian yang kumiliki akan
kuwariskan kepadamu, tapi kalau engkau menampik terpaksa
akan kusuruh englau mati didasar sungai dan menjadi
santapan gorombolan ikan”
“Hmmm! Kalau memang jantan ayoh kita berduel diatas
daratan” tantang Pek Kun-gie sambil cibirkan bibirnya,” kalau
engkau bisa kalahkan kami berdua, aku pasti akan angkat
engkau sebagai guruku!”
Tiba-tiba terdengar ledakan keras menggema dari dasar
perahu, sebuah lubang besar kembali muncul didasar perahu
penyeberang itu, air sungai mengalir masuk makin deras,
kuda-kuda itu meronta makin kuat, kereta besar itu telah
roboh terbalik, tampaknya sebentar lagi perahu itu bakal
tenggelam ke dasar sungai.
Pia Leng-cu berdiri di ujung perahu, sementara Hoa Thianhong
sambil memegang pergelangan tangan Pek Kun-gie
berdiri di sisi perahu, mereka sama sekali tidak bergerak
sementara sorot matanya mengawasi gerak-gerik disekitarnya
untuk mengikuti situasi.
Tiba-tiba Pek Kun-gie membentak nyaring.
“Hey hidung kerbau! Kembalikan pedang baja itu, kalau
tidak engkau akan mampus tenggelam didasar sungai”
Pia Leng-cu menggerakkan bibirnya seperti mau
mengucapkan sesuatu, tapi tak sepatah katapun yang mampu
diutarakan keluar, dalam situasi yang sangat gawat ini dia tak
berani pecahkan perhatian, semua kosentrasi ditunjukan
kesatu arah.
Kembali Pek Kun-gie berteriak dengan suara lantang,
“Kembalikan pedang baja itu kepada kami, akan kami
tahankan Kiu-im Kaucu bagimu asal engkau dapat
menyingkirkan musuh-musuh yang lain, maka siahkan terjun
ke air dan kabur, tanggung harapanmu untuk hidup tetap
ada.”
Mendengar perkataan itu, Kiu-im Kaucu tertawa terbahakbahak.
“Haaah…. haaah…. haaah…. budak cilik, sungguh bagus
akal dan idemu itu!”
Tiba-tiba perahu yang mereka tumpangi bergetar keras,
menyusul perahu itu tenggelam dua depa kedalam air, begitu
air sudah menggenangi seluruh ruangan perahu, dengan
sendirinya perahu itupun tenggelam kedasar sungai makin
cepat.
Tiba-tiba Pia Leng-cu enjotkan badan dan meyayang ke
arah perahu musuh yang ada disebelah timur.
Bentakan-bentakan keras menggelegar di angkasa, para
jago yang ada diatas perahu sama-sama ayun senjata mereka
menyongsong kedatangan tubuh imam tua itu, maksud
mereka hendak paksa sang imam tercebur kedalam air sungai.
Diantara kawanan jago yang hadir dalam gelanggang
waktu itu hanya Kiu-im Kaucu dan Hoa Thian-hong yang
paling disegani Pia Leng-cu, sementara sisanya yang lain sama
sekali tak dipandang barang sekejappun olehnya.
Begitu mencapai permukaan perahu dia langsung ayun
pedangnya membantai kawanan jago itu, ia telah mengambil
keputussn untuk berusaha membasmi anak buah Kiu-im Kaucu
sebanyak mungkin, sehingga daya tekanan yang muncul dari
kawanan jago itu bila dia sampai tercebur kedalam air tidak
sampai terlalu besar.
Pedang pusaka boan liong poo kiam diputar sedemikian
rupa hingga menciptakan selapis bianglala hijau ditengah
udara, kemudian secepat kilat mengurung batok kepala
musuh-musuhnya.
Perahu yang ditumpangi Kiu-im Kaucu berada disebelah
barat, sedang perahu yang ada disebelah timur hanya
ditumpangi oleh kawanan jago yang berkedudukan paling
rendah serta berilmu silat paling rendah.
Sudah tentu jago-jago itu bukan tandingan Pia Leng-cu
yang lihay, bilamana serangan yang dilancarkan lewat udara
itu tidak ce pat dihindari, niscaya kawanan jago dari
perkumpulan Kiu-im-kauw itu bakal mampus diujung senjata.
Kiu-im Kaucu yang berada agak jauh dari sasaran tak
mungkin bisa memberikan pertolongannya, terpaksa ia
berseru keras, “Buyar!”
Perintah inilah yang sedang ditunggu-tunggu kawanan jago
tersebut, secepat kilat mereka menghindar kesamping dan
bubar keempat penjjru.
Dengan kecepatan bagaikan kilat Pia Leng-cu meluncur
keatas perahu, sekali sentak ia sudah berdiri diatas kemudi
perahu itu, pedangnya dilintangkan didepan dada dan berdiri
angkuh tanpa ber cakap-cakap.
Kakinya yang pincang belum sembuh seratus persen,
walaupun begitu sama sekali tidak mempengaruhi kelincahan
tubuhnya, semua gerak-gerik dilakukan dengan kecepatan
bagaikan sambaran kilat.
Kendatipun begitu anakbuah perkumpulan Kiu-im-kauw
bukan gerombolan kurcaci yang tak becus, mereka masingmasing
mempunyai guru yang pandai ditambah ilmu gerakan
tubuh Luan ngo heng mi sian tun yang lihay dari
perkumpulan, wajib yang mereka pelajari, sekali meloncat
mereka semua sudah kabur jauh dari lawannya.
Menyaksikan kehebatan lawannya, diam-diam Pia Leng-cu
merasa kaget bercampur tercengang.
Hoa Thian-hong masih tetap bertindak tenang, ia baru
menarik tangan Pek Kun-gie untuk loncat ke arah perahu
sebelah timur yang diduduki Pia Leng-cu setelah perahu
sendiri seluruhnya tenggelam dan musuh di perahu lawan
tersapu bersih.
Sungguh enteng gerakan tubuh si anak muda itu, sekali
enjot badan tahu-tahu dia sudah melayang turun disisi Pia
Leng-cu, jaraknya cuma empat depa saja dari imam tua itu.
Pihak perkumpulan Kiu-im-kauw sama sekali tak memberi
perlawanan atau mencegah gerakan si anak muda itu,
mungkin hal ini di karenakan Kiu-im Kaucu sendiri sama sekali
tak memberi perintah apapun.
Pia Leng-cu merasa mendongkol sekali menyaksikan
kejadian tersebut, dia berdiri diatas kemudi dengan uringuringan,
sebaliknya Pek Kun-gie merasa amat bangga sambil
mengerling sekejap ke arah musuhnya dia mengejek dengan
dingin, “Kalau pedang baja itu tidak kau kembalikan kepada
kami, sekalipun kau terbang kelangit atau masuk kedalam
tanah, kami tetap akan membuntuti dirimu serta berusaha
untuk menghabisi nyawamu”
Dalam pada itu, perahu penyeberang yang ada ditengah
kepungan telah tenggelam kedasar sungai, yang masih sisa
tinggal enam buah perahu besar milik perkumpulan Kiu-imkauw,
mereka tetap melingkar jadi satu tanpa bergerak satu
sama lain.
Sementara fajar telah menyingsing, obor telah dipadamkan
namun anak buah dari Kiu-im Kaucu belum melakukan
pergerakan apa-apa, rupanya mereka masih menunggu
perintah selanjutnya dari ketua mereka.
Kiu-im Kaucu sendiri rupaya sudah menyadari, kalau
penyelesaian dalam persoalan hari ini harus dilakukan olehnya
sendiri, dia bangkit dari tempat duduknya dan bergerak
menuju ke arah tiga perahu yang ada disebelah timur dengan
menelusuri pinggiran perahu.
Begitu ketuanya bangkit berdiri, delapan orang laki
perempuan yang berada di belakangnya ikut bangkit dan
mengikuti dibelakang ketuanya, jelas orang-orang itu
mempunyai kedudukan yang agak tinggi dalam perkumpulan
Kiu-im-kauw.
Pia Leng-cu putar otaknya memikirkan persoalan itu, ia
merasa tak mungkin bisa menangkan kehebatan Kiu-im Kaucu
walau pun bertarung diatas geladak perahu apalagi dipihak
lawan masih terdapat begitu banyak jago lihay, jelas dia tak
mungkin bisa menahannya.
Bila pedang baja itu tidak dikembalikan kepada Hoa Thianhong,
sudah tentu pemuda itu tak akan memberikan
bantuannya, tapi kalau pedang itu buru-buru dikembalikan
dengan begitu saja, ia merasa rugi besar.
Akhirnya setelah peras otak memikirkan persoalan itu, dia
ambil keputusan untuk terjun saja kedalam air dan kabur
lewat sungai.
Setelah ambil keputusan, ia segera enjotkan badannya,
ibarat anak panah yang terl pas dari busurnya imam tua itu
meluncur ketengah sungai dan menyelam kedalam air.
Menyaksikan perbuatan musuhnya, Kiu-im Kaucu segera
mengetuk toyanya keatas lantai geladak.
“Bekuk orang itu!” bentaknya.
Dalam waktu singkat kawanan jago yang ada diatas perahu
sama-sama terjun kedalam air dan menyelam kedasar sungai,
dari tujuh puluh jago yang siap sedia ada separuh di
antaranya sudah turun tangan, diatas perahu tinggal dua
puluh orang lebih.
Pek Kun-gie makin gelisah, sambil menggoyankan lengan
Hoa Thian-hong serunya dengan cemas, “Bagaimana
sekarang? Pedang baja itu tak boleh sampai lenyap, jangan
biarkan senjata itu terjatuh ketangan musuh!”
Hoa Thian-hong tertawa getir.
“Sekalipun tak boleh hilang, apa daya kita sekarang? Coba
lihat, begitu banyak anak buah Kiu-im-kauw yang sudah terjun
ke dalam sungai, jelas kita bukan tandingannya!”
Air dalam sungai Huang-ho kuning berlumpur, ditambah
pula dengan derasnya arus membuat ombak menggulung
dengan besar, ketajaman mata Hoa Thian-hong memang luar
biasa, namun sekarang ia tak sanggup mengikuti jalannya
pertarungan didasar sungai.
Ia hanya lihat baik Pia Leng-cu maupun anak buah dan Kiuim-
kauw tak ada yang muncul lagi keatas permukaan air untuk
berganti nafas, dari kemampuan yang dimiliki orang-orang itu,
jelas kepandaian berenang mereka hebat sekali.
Kiu-im Kaucu yang berada diatas geladak perahu diamdiam
berpikir pula dihati, “Setelah kehilangan senjatanya, ilmu
silat Hoa Thian-hong pasti banyak berkurang kehebatannya,
inilah kesempatan yang paling baik bagiku untuk
merobohkannya, tapi…. kalau toh dia tak punya pegangan
yang kuat memangnya pedang itu mau diserahkan kepada
orang lain dengan begitu saja? Aaaah…. tak mudah rasanya
untuk membekuk bocah itu!”
Mengetahui kesulitan yang bakal dihadapi, Kiu-im Kaucu
mengambil keputusan untuk pusatkan segenap kekuatan yang
dimilikinya untuk membekuk Pia Leng-cu.
Dia ulapkan tangannya, melihat tanda yang diberikan sang
ketua, dua puluh orang yang masih tersisa diatas perahu
segera memecahkan diri jadi dua rombongan.
Yang separuh meloncat kesisi kiri perahu untuk
memutuskan rantai besi, kemudian memutar kemudi perahu
ke arah pantai sebelah kiri, sedangkan separuh yang lain
dengan melindungi ketuanya dengan menunggang perahu
besar yang ada disebelah kanan berputar ke arah kanan.
Dengan begitu maka perahu yang ditumpangi Hoa Thianhong
serta Pek Kun-gie beserta sisa empat buah perahu yang
lain tertinggal disana.
Menyaksikan kejadian itu, Hoa Thian-hong segera
membentak keras, “Cepat putuskan rantai-rantai besi itu!”
Sambil berseru dia loncat kedepan dan memegang kemudi
perahu.
Cepat Pek Kun-gie cabut keluar pedang lemasnya dan
meloncat keujung perahu, sekali tebas dia kutungi rantai besi
disana, lalu loncat pula kebelakang perahu dan mematahkan
pula rantai yang mengi kat buritan perahu.
Dengan sorot mata yang tajam Hoa Thian-hong menyapu
permukaan sungai, waktu itu ada sebagai anak buah
perkumpulan Kiu-im Kaucu yang munculkan diri diatas
permukaan air untuk tukar napas, ditinjau dari posisi mereka,
semuanya berada kurang lebih delapan sembilan kaki
disebelah kanan.
Maka dia segera putar kemudi perahu dan menggerakan
perahu rampasan itu menuju ketempat kejadian.
Tiba-tiba Pia Leng-cu munculkan diri diatas permukaan air,
setelah menghirup napas panjang ia menyelam kembali
kedalam air, bersamaan itu pula tujuh delapan orang anak
buah perkumpulan Kiu-im Kaucu muncul disekeliling tempat
kejadian.
Melihat kesemuanya itu paras muka Pek Kun-gie berubah
hebat.
“Oooh…. sungguh lihay” serunya, “kalau keadaannya begini
terus, jelas tak ada harapan bagi Pia Leng-cu untuk kabur dari
tempat ini!”
“Engkau bisa pegang kemudi?! tiba-tiba Hoa Thian-hong
bertanya dengan muka murung.
Pek Kun-gie mengangguk, ia segera pegang kemudi
perahu.
“Jangan terlalu mendekati mereka” perintah Hoa Thianhong,
“hati-hati kalau pihak Kiu-im-kauw melubangi dasar
perahu kita lagi!”
Bicara sampai disitu ia lantas menyingkap bajunya dan
cabut keluar sebuah senjata trisula yang tajam dan loncat
ketepi perahu.
“Thian-hong jangan terjun kedalam air!” pekik Pek Kun-gie
sangat kuatir.
“Aku tahu!” jawab Hoa Thian-hong sambil mengangguk.
Sementara itu perahu yang ditumpangi Kiu-im Kaucu sudah
bergerak menuju kepantai sebelah kanan, sedangkan perahu
yung ditumpangi Hoa Thian-hong masih ada ditengah sungai,
pertarungan yang berlangsung dalam air terjadi ditengah
sungai antara kedua buah perahu itu.
Sisa perahu yang ada disebelah kiri berjaga-jaga pada jarak
kurang lebih delapan kaki dari gelanggang pertarungan,
berada dalam keadaan seperti ini sulitlah bagi Pia Leng-cu
kalau dia ingin kabur keatas daratan….
Untuk bertarung dalam air, maka pertama itu harus tinggi
dalam teknik berenang kedua dia harus punya ketajaman
mata yang luar biasa, dan ketiga harus tahan lama berada
dalam air.
Uatung Pia Leng-cu mempunyai kepandaian berenang yang
lihay, kalau tidak ia tak akan berani mengejar Hoa Thian-hong
ketengah sungai menumpang sampan kecil.
Sekalipun dia lihay, jago-jago dari perkumpulan Kiu-imkauw
banyak sekali jumlahnya, rata-rata merekapun berilmu
tinggi dalam soal berenang, dalam waktu singkat ia sudah
dibikin pusing tujuh keliling oleh kedahsyatan musuhnya.
Ketika ia terjun keair untuk kabur ke arah daratan tadi
seorang kakek tua berambut putih segera mengejar
dibelakangnya, meski pun ditengah gulungan ombak dan
aliran arus yang deras namun dalam jarak tiga kaki, orang itu
masih sempat melihat jelas bayangan tubuh dari Pia Leng-cu.
Belum sampai dua panahan jauhnya, imam tua itu sudah
kena dihadang olehnya, baru bertarung lima gebrakan orangorang
dari Kiu-im-kauw sudah mengepung disekitar sana,
dalam keadaan begitu sulitlah bagi Pia Leng-cu untuk kabur
dengan leluasa.
Dibawah pimpinan Kiu-im Kaucu semuanya terbagi jadi dua
istana dan tiga ruangan.
Dua istana terdiri dari istana neraka atau Yu beng tian serta
istana siksaan.
Tiam cu yang memimpin ruang neraka adalah seorang
perempuan, sedang tiam cu yang memimpin ruang siksa
adalah seorang lelaki berusia lima puluh tahunan.
Sedangkan ketiga ruangan itu terdiri dari ruangan Ing kian
tong, cuan to tong, serta Su li tong.
Ketiga orang tongcu dan kedua orang tiam cu itu
merupakan lima orang panglima perang dari Kiu-im-kauwccu,
mula pertama Giok Teng Hujin sendiripun merupakani anggota
ruang Yu beng tiam, cuma ilmu silatnya masih tak dapat
dibandingkan dengan kehebatan kelima orang ini.
Baik kedua orang tiam cu maupun ketiga orang tongcu
semuanya hadir dalam gelanggang saat ini, waktu
diselenggarakannya pertemuan Kiam ciau tay hwe mereka
juga hadir cuma waktu itu dandanan mereka aneh-aneh persis
dengan makhluk halus.
Dan hari ini mereka mengenakan pakaian sutera hitam
yang perlente, dengan ikat kepala warna hitam pula, jangan
kan Hoa Thian-hong sekalipun Pia Leng-cu juga tidak
mengenali identitas mereka.
Pada waktu itu ketua istana neraka bertugas menjaga
diperahu sebelah kiri untuk menghalangi niat kabur Pia Lengcu
menuju pantai utara, Tiam cu ruang siksa, Ing kiam tongcu
serta Su li tongcu bertugas melindungi keselamatan Kiu-im
Kaucu sedangkan tugas menang-kap orang dalam air
diserahkan kepada tongcu ruang penyebaran ajaran.
Formasi ini sebenarnya diatur khusus untuk menghadapi
Hoa Thian-hong, tapi yang masuk perangkap sekarang
bukanlah si anak mudu itu melainkan Pia Leng-cu.
Tongcu ruang penyebaran agama itu bernama Bong Seng,
umurnya lima puluh tahunan dan bersenjatakan sebelah
kaitan tajam berkepala harimau, setelah ada dalam air jangan
kan menghadapi serbuan anak buah yang lain, untuk
menghadapi jago tua ini pun Pia Leng-cu sudah dibikin
kewalahan, apalagi serangan yang dilancarkan musuhmusuhnya
dari empat arah delapan penjuru secara bergilir,
tentu saja lambat laun imam tua itu tak kuasa menahan diri.
Untung Pia Leng-cu sendiripun memiliki kelebihankelebihan,
pertama tenaga dalamnya amat sempurna, kedua
ketajaman matanya luar biasa dan ketiga pedang boan liong
poo kiam yang diandalkan sangat tajam, maka untuk
beberapa waktu dia masih sanggup mempertahankan diri.
Selain itu Bong Seng tak berani turun tangan keji hingga
membinasakan imam tua ini, sebab pedang emas itu ada
ditangannya dan tongcu tersebut kuatir kalau pedangnya
sudah disembunyikan ketempat lain.
Maka ia gunakan taktik berperang gerilya, kalau musuh
menyerang secara ganas maka mereka pada kabur menjauh,
sebaliknya kalau penahanan musuh agak mengendor, mereka
segera menyerang dengan gencar, asal imam tua itu sudah
lelah dan kehabisan tenaga maka sudah pasti dia bakal
dibekuk dalam keadaan hidup-hidup.
Manusia yang bernama Bong Seng ini amat pandai ilmu
berenang, sepanjang pertarungan berlangsung dia selalu
memancing Pia Leng-cu agar bertarung di tengah sungai.
Pia Leng-cu buta arah yang ada disekitarnya, boleh dibilang
ia tak tahu dimana kini posisinya waktu itu, setelah bertempur
beberapa saat ia merasa hawa murninya hampir habis, cepat
pedang mustikanya di ayun keluar menyingkirkan ancaman
musuh kemudian menyusup keluar dari permukaan air sungai.
Setelah berada diluar air barulah Pia Leng-cu mengetahui
kalau dia masih berada diiengah sungai, ombak menggulung
disana sini, kedua belah pantai tampak jauh diujung sana,
sekarang dia baru merasa terkesiap dan ketakutan.
Ingatan kedua belum sempat terlintas, tiba-tiba kakinya
tertusuk oleh senjata trisula sehingga tembus kedalam tulang,
sakitnya bukan kepalang sampai peluh dingin membasahi
tubuhnya.
Betapa gusar dan gelisahnya imam tua itu, cepat ia
menyelam Kembali kedalam air sam il melepaskan sebuah
tusukan balasan.
Orang yang berhasil melukai dirinya tak lebih hanya
seorang anak bauh perkumpulan Kiu-im-kauw, sekalipun ia
berhasil melukai musuhnya akan tetapi dia sendiripun mampus
dengan dada tertusuk oleh pedang.
Menggunakan kesempatan yang sangat baik ini, Bong Seng
menyusup keluar dengan kelincahan seperti ular air, senjata
kaitannya secepat kilat langsung menyambar ke arah
pinggang Pia Leng-cu.
Serangan dari senjata kaitan ini cepat sukar terbayang
dengan ingatan, Pia Leng-cu tercekat, sukma serasa melayang
tinggalkan raganya.
Dalam gugup dan gelisahnya cepat ia putar pedang sambil
ikut menggeliat kesamping, dengan jurus Ya can pat hong
(pertarungan massal di delapan penjuru) dia tangkis
datangnya ancaman tersebut.
Bong Seng tak berani menyentuh senjata lawan dengan
kekerasan, merasakan datangnya sambaran tersebut terpaksa
ia tukar gerakan berganti jurus, sekalipun begitu pinggang Pia
Leng-cu termakan pula oleh sobekan senjata kaitan itu
sehingga muncul sebuah mulut luka sepanjang empat cun,
darah segar segera berhampuran dalam air.
Waktu itu Hoa Thian-hong berdiri di tepi perahu, jaraknya
dengan Pia Leng-cu hanya beberapa kaki, tapi ketika
diketahuinya sekitar perahu penuh dengan anak buah dan
perkumpulan Kiu-im-kauw, dia kuatir ada orang yang
melubangi dasar perahunya lagi.
Cepat dia memberi tanda kepada Pek Kun-gie dan
perintahkan dia untuk menjauhi tempat kejadian,
Tiba-tiba Pia Leng-cu menyusup keluar dari permukaan air,
lalu serunya dengan suara lantang, “Hoa Thian-hong!”
Si anak muda itu agak tertegun, sebelum ia sempat buka
suara imam tua itu sudah menyelam kembali kedalam air.
Pek Kun-gie putar kemudi perahu itu dan menggerakkan
perahunya ke arah pantai sebelah kiri, serunya dengan
nyaring, “Selama gunung nan hijau, kita tak usah bakal
kehabisan kayu bakar, lebih baik kita mendarat dulu kemudian
baru berusaha untuk merebut kembali pedang baja itu!”
Pertarungan yang berlangsung dalam air telah mencapai
puncak ketegangan, punggung Pia Leng-cu kembali tersambar
oleh senjata kaitan Bong Seng, meskipun lukanya tidak terlalu
parah namun nyalinya benar-benar telah pecah, ia merasa
keselamatan jiwanya jauh lebih penting dari pada segalanya,
maka begitu menyusup keluar dari dalam air kembali ia
berteriak keras, “Hoa Thian-hong….!”
“Jangan kita gubris dirinya!” cepat Pek Kun-gie berseru.
Hoa Thian-hong mengerutkan dahinya, kemudian
menjawab, “Kun Gie, dekatkan perahu kita kesana!”
“Kita tak boleh menolong siluman tosu itu!” seru gadis itu
sangat gelisah, kalau tidak maka kita pasti akan terseret
kedalam bencana….”
“Dia toh sudah mohon kepada kita, tak mungkin kita
berpeluk tangan tanpa memberikan bantuannya, lagipula
pedang baja itu toh lebih baik kita ambil kembali dari
tangannya, daripada musti merampas pakai kekerasan dan
kekuatan”
Sembari berkata ia lantas menyambar sebuah gala yang
panjang dan mengawasi keadaan di tengah sungai dengan
seksama.
Pek Kun-gie tak berani membantah perintah si anak muda
itu, terpaksa ia putar kemudi dan jalankan perahu itu
mendekati kembali gelanggang pertarungan.
Tiba-tiba Kiu-im Kaucu berseru dengan nada
menyeramkan, “Hoa Thian-hong, engkau sudah bosan hidup
rupanya?”
“Engkau sendiri yang pingin mampus! balas Pek Kun-gie
dengan penuh kemarahan.
Hoa Thian-hong sendiri cuma tertawa getir dan tidak
menjawab.
Sekarang siapapun dapat melihat kelihayan dari
perkumpulan Kiu-im-kauw, bagi Hoa Thian-hong jangankan
kabur dari situ, untuk menyelamatkan diri sendiripun masih
merupakan suatu tanda tanya besar.
Berada dalam keadaan begini, tentu saja mencampuri
urusan orang lain berarti mencari jalan kematian bagi diri
sendiri, apa yang diucapkan Kiu-im Kaucu sedikitpun tidak
salah.
Sementara itu Pia Leng-cu yang sedang bertempur didalam
sungai telah mencapai pada puncak kegawatan, dia kerahkah
segenap kekuatan yang dimilikinya untuk menyusup keluar
dari permukaan air, kemudian jeritnya setengah merengek,
“Hoa Thian….”
“Hmm! Tak nyana engkau adalah seorang pengecut berjiwa
kerdil, seorang manusia kurcaci yang takut mampus!” maki
Hoa Thian-hong dengan penuh kegusaran.
Sambil memaki, gala panjagnya laksana kilat diayunkan ke
arah tengah sungai.
Keadaan dari Pia Leng-cu sudah payah sekali, bagaikan
orang tenggelam yang mendapat pertolongan, cepat dia
menubruk ke arah tongkat gala yang diulurkan ke arahnya itu.
Ketiga buah jari tangan kirinya sudah terpapas kutung,
waktu itu masih dibalut dengan kain, dalam gugupnya
terpaksa ia buang pedang pusaka boan liong poo kiam
kedalam air dan mencekal gala panjang itu erat-erat.
“Naik!” bentak Hoa Thian-hong sambil menyentak gala
panjang itu keangkasa.
0000O0000
72
MENGIKUTI getaran tersebut, Pia Leng-cu melesat
ketengah udara dengan membentuk gerak setengah lingkaran
busur, begitu mencapai permukaan geladak ia lepas tangan
dengan lemas, sambil duduk bersila di ujung perahu,
napasnya ngos-ngosan seperti kerbau.
Sementara itu tongcu ruang penyebaran agama Bong Seng
telah muncul pula dari permukaan sungai dengan tangan
kanan membawa senjata kaitan, tangan kiri membawa pedang
boan liong poo kiam milik Pia Leng-cu
Dengan lincah ia berenang ke arah perahu ketuanya dan
loncat naik keatas perahu.
Sambil persembahkan pedang mustika itu kepada
ketuanya, tongcu itu memberi hormat seraya berkata, “Hamba
berusaha untuk menangkap buronan itu dalam keadaan hidup,
maka semua serangan tidak kulakukan dengan sepenuh
tenaga!”
Kiu-im Kaucu mengangguk sambil tersenyum.
“Memang itulah yang aku kehendaki” katanya.
Setelah menerima pedang Boan liong poo kiam, senjata itu
diperiksa dan ditelitinya dengan seksama akhirnya
keistimewaan yang terdapat pada gagang pedang itu
ditemukan olehnya.
Ternyata gagang pedang itu kosong tengahnya, ujung
gagang tertutup oleh sekrup dan diatas sekrup tertempel
sebutir mutiara sebesar buah kelengleng, ketika penutupnya
dibuka ternyata isi ruang dalam gagang pedang itu kosong
melompong, tidak tampak sebuah bendapun.
Menyaksikan hal itu, Yu beng tiam cu segera berseru,
“Imam tua itu licik dan banyak akal, tampaknya pedang emas
itu tidak berada pula dalam sakunya!”
Kiu-im Kaucu tertawa dan mengangguk.
“Delapan puluh persen pedang itu sudah disembunyikan
disuatu tempat yang rahasia, tak susah untuk mengetahui
letak tempat persembunyian itu, kita bekuk saja dia dalam
keadaan hidup-hidup lalu kita siksa dia sampai mengaku….
Untung dia takut mampus, tak mungkin terlintas ingatan untuk
bunuh diri!”
Dia serahkan pedang pusaka itu kepada seorang gadis
yang berdiri dibelakangnya, kemudian perintahkan kekasihnya
untuk jalankan perahu itu mendekati perahu yang ditumpangi
Hoa Thian-hong.
Dalam pada itu perahu yang diparkir di arah kiri pantai
telah bergerak pula menuju ketengah sungai, dengan begitu
perahu yang ditumpangi Hoa Thian-hong terjepit diantara dua
perahu musuh, sementara ssliaai puluh orang pasukan katak
dari perkumpulan Kiu-im-kauw telah munculkan pula dirinya
diatas permukaan air, perahu dari Hoa Thian-hong dikepung
rapat-rapat sehingga tak mungkin kabur lagi.
Menyaksikan situasi yang amat gawat, Pek Kun-gie tahu
kalau harapan bagi mereka untuk kabur dari situ tipis sekali.
Ia jadi mendongkol bercampur gusar, sambil melotot ke
arah Pia Leng-cu hardiknya, “Serahkan kembali pedang baja
itu!”
Pia Leng-cu sedang duduk atur pernapasan diujung perahu,
ketika mendengar teguran itu dia agak melengak, seakanakan
kejadian itu sama sekali berada diluar dugaannya.
Hoa Thian-hong sendiri gelengkan kepala sambil menghela
napas panjang, sambil melangkah maju kedepan katanya,
“Aaai….! Orang ini memang tak dapat di tolong lagi, agaknya
kita musti pakai kekerasan untuk menghadapi dirinya!”
Dengan gusar Pia Leng-cu loncat bangun, teriaknya marahmarah.
“Ooh…. jadi engkau tolong orang mengharapkan pahala?
Hmm! enghiong hoohan macam apaan kamu ini?”
Hoa Thian-hong tertawa.
“Aku memang bukan seorang enghiong hoohan, tapi
engkau, haahh…. haahh…. haaah! engkau lebih-lebih tak
pantas dianggap sebagai seorang manusia!”
Sekali tangan kirinya diayun kemuka, dem ngan jurus Kunsiu-
ci-tauw (perlawanan binatang-binatang yang terkurung)
dia kirim sebuah pukulan gencar kedepan.
Pia Leng-cu menyadari sampai dimanakana kelihayan
tenaga dalam yang dimiliki Hoa Thian-hong, sudah tentu
serangan tersebut tak berani disambutnya dengan keras lawan
keras.
Mau memunahkan diapun tak mampu, sebab serangan itu
aneh dan maha sakti, dalam keadaan apa boleh buat terpaksa
dia bungkukan badan dan menghindar kesamping
“Turun!” hadik sang pemuda lantang.
Tiba-tiba gerak pukulannya mematah kebawah dan
menyapu ke arah samping arena.
Dalam sangkaan Pia Leng-cu, dengan berkelit ke arah
samping maka serangan lawan dapat dihindari dengan mudah,
siapa tahu pinggangnya terasa jadi kencang dan tahu-tahu
segulung angin pukulan yang sangat tajam telah menyusup
tiba.
Sampai dimana rasa kaget dan ngeri yang melintas dalam
benaknya sukar dilukiskan dengan kata-kata, dalam gugupnya
cepat ia loncat ke arah samping untuk menghindar.
Sekilas ingatan berkelebat dalam benak Hoa Thian-hong, ia
berpikir
“Andaikata dia kupaksa untuk mencebur kembali kedalam
air maka imam tua ini pasti akan terjatuh ketangan lawan!.
Aaai! selama berada di sungai aku memang tak bisa bergerak
dengan leluasa, tempat ini merupakan daerah kekuasaan dari
Kiu-im Kaucu, kendatipun pedang baja itu dapat kurebut
kembali belum tentu aku mampu melindunginya, lebih baik
sementara waktu kubiarkan dulu dibawa siluman tosu ini….”
Berpikir sampai disitu, ia lantas tarik kembali telapak
tangannya sambil membentak, “Kembali!”
Pada hakekatnya intisari dari kepandaian silat yang dimiliki
malaikat pedang Gi Ko berbunyi demikian,
Wujud pedang mengungguli tiada pedang, pedang berat
mengungguli pedang enteng, dan semua keunggulan dan
keampuhan dari pelajaran itu sudah tercantum dalam catatan
Kiam keng bu kui, karena itu apa yang merupakan inti
pelajaran dari catatan kiam keng bu kui tidak lebih adalah
pelajaran-pelajaran tentang mengangkat yang berat ibarat
ringan memunahkan yang kuat menjadi lunak.
Hoa Thian-hong telah nempelajari isi dari catatan kiam
keng bu kui tersebut, hal ini membuat permainan ilmu
pedangnya yang semula kuat dan penuh tenaga menjadi
enteng dan lincah, sedikitpun tidak terpengaruh oleh emosi
malahan kelihatannya sangat enteng, padahal kalau benarbenar
dihadapi barulah terasa sampai dimanakah kedahsyatan
daya hancur yang dimiliki dari permainan pedangnya itu.
Justru karena ia telah memahami intisari dari taktik
perubahan lunak dan keras itu, maka dengan sendirinya
permainan ilmu pukulan yang dia milikipun ikut mengalami
perubahan.
Perlu diketahui jurus Kun-siu-ci-tauw itu diciptakan oleh Ciu
It-bong, tapi dalam permainan Hoa Thian-hong sekarang baik
dalam gerakan maupun dalam hal perubahannya hanya
sebagian yang masih bertahan, sedang dalam soal kekuatan
tenaga, cepat lambatnya gerakan serta tipu daya serangan
tersebut telah mengalami perubahan yang sangat besar,
bahkan boleh dibilang bertolak belakang, walaupun begitu
justu daya kekuatannya malah jauh lebih mengerikan.
Ketika termakan oleh pukulan yang amat dahsyat tadi, Pia
Leng-cu sudah berada delapan sembilan depa dari sisi perahu,
tiba-tiba ia mendengar Hoa Thian-hong membentak kembali.
Saat itulah segulung tenaga murni yang maha dahsyat
meluncur tiba dan mengisap lubuhnya ke arah belakang, tak
bisa dikuasai lagi tubuh Pia Leng-cu segera terjengkang dan
melayang kembali ke arah belakang.
Sebenarnya imam tua itu terhitung seorang jago lihay yang
menggetarkan sungai telaga, sayang belakangan ini beberapa
kali dia harus jatuh kecundang ditangan Kiu-im Kaucu serta
Hoa Thian-hong, hal ini membuat nyali jadi pecah dan hatinya
bertambah jeri.
Oleh karenanya baru saja bertemu muka dan pertarungan
belum sempat dilangsungkan, ia sudah dibuat keder setengah
mati, justru karena keadaannya itu maka diantara sepuluh
bagian tenaga murninya ada tujuh bagian tak mampu
digunakan
Sekarang terhisap pula oleh sesuatu kekuatan yang besar
hingga membuat tubuh tertarik kembali kebelakang, hatinya
jadi gugup dan sangat gelisah, untuk beberapa saat dia tak
tahu apa yang musti dilakukan.
Padahal kalau pada hari-hari biasa, aaal dia goyangkan
badan dan mencelat ke arah samping, maka dengan sangat
mudah dia akan terlepas dari pengaruh tenaga hisapan
tersebut.
Dasar nyalinya sudah pecah, bukan saja ia kuatir kalau Hoa
Thian bong menambahi dengan sebuah pukulan lagi, diapun
sangat kuatir kalau sampai tercebur kembali kedalam sungai
sehingga disergap oleh kawanan pasukan katak dari pihak Kiuim-
kauw.
Dalam gugupnya ia banya bisa meronta dan celinggukan
dengan kebingungan, tiada suatu reaksi apapun yang
dilakukan olehnya.
Menanti tubuhnya sudah mencapai kembali permukaan
geladak, tahu-tahu ia sudah berdiri menghadap ke arah sungai
dengan punggung persis didepan Hoa Thian-hong.
Kalau waktu itu Hoa Thian-hong berhasrat untuk merampas
kembali pedang bajanya, maka hal itu bisa dilakukannya
denpan sangat gampang.
Namun si anak muda itu bukan seorang pemuda yang suka
mengingkari janji sendiri, ia merasa tindakannya kurang
gentlemen jika barang yang telah diberikan kepada orang lain
harus dirampas kembali dengan kekerasan.
Akhirnya dia menghela napas dan sama sekali tidak
menyentuh pedang baja tersebut barang sebentarpun.
Menyaksikan kejadian itu Kiu-im Kaucu segera tertawa
terbahak-bahak.
“Haaah…. haah…. haah…. Hoa Thian-hong!” serunya,
“tampaknya kolong langit akan jatuh ketanganmu dan
diperintah oleh kalian utusan khusus dari keluarga!”
Ucapan itu bernada tajam, tanpa sadar Pek Kun-gie
membayangkan kembali kata-kata itu dan menghubungkan
kata utusan khusus dari keluarga itu menjadi ‘Urusan khusus
dari suami yang telah berkeluarga’ matanya langsung jadi
merah dan tak tahan lagi gadis ini ingin menangis sejadijadinya.
Namun akhirnya hanya titik air mata yang jatuh berlinang
membasahi pipinya, dengan suara ketus ujarnya kepada Kiuim
Kaucu, “Huuuh….! Engkau membawa senjata toya kepala
setanmu, sedang pedang baja kami telah diambil oleh seorang
manusia yang tak tahu malu, anak buahmu banyak tak
terhitung sedang kami cuma berdua…. Hmmm! Aku lihat mulai
hari ini semua enghiong diseantero jagat akan tunduk dibawah
perintahmu seorang”
Paras muka Pia Leng-cu berubah hebat ketika mendengar
dirinya dimaki sebagai seorang manusia yang tak tahu malu,
bibirnya sudah bergerak siap memaki.
Agaknya Hoa Thian-hong telah menduga sampai kesitu,
baru saja dia menggerakkan bibirnya, dengan pandangan
dingin diliriknya imam itu sekejap.
Pia Leng-cu seketika merasa hatinya malu bukan kepalang,
cepat ia tutup mulutnya kembali dan tundukkan kepala.
Jilid 21
SEMENTARA itu dengan pandangan mata yang tajam Kiuim
Kaucu telah mengamati Pek Kun-gie dari atas sampai
kebawah, memandang kecantikan wajahnya yang
mempesonakan hati ditambah pula kemanjaan dan
kelincahannya, timbul rasa tertarik pada dara ini.
Dia lantas berpaling ke arah Yu beng tiam cu yang berdiri
disisinya dan berkata setengah bisik, Coba lihat, gadis itu
cantik jelita, umur nya masih muda, diapun belum dibikin
rusak oleh kebiasaan-kebiasaan buruk dari dunia persi latan,
aku jadi ingin sekali untuk menerimanya sebagai muridku.
Mendengar ucapan ketuanya, Tham cu istana neraka
tertawa lirih, jawabnya dengan cepat, “Kalau memang begitu,
kita bekuk saja gadis itu dalam keadaan hidup-hidup!”
Kiu ini kaucu segera menggeleng.
“Aku tidak ingin memperolehnya dengan cara kekerasan,
apalagi main rampas, yang paling kuutamakan adalah
ketulusan hati serta kesetiaan hatinya!”
“Kalau begitu kita loloh saja dia dengan secawan obat
pemabuk sehingga daya ingatannya hilang.”
Kembali Kiu-im Kaucu menggeleng.
“Gadis itu sangat agung dan berwibawa kecuali cantiknya
seperti bidadari dari kahyangan, baik budi maupun perasaan
hati nya amat kukagumi sekali, kalau kita hilangkan
perasaanya itu dengan obat, bukankah yang kuperoleh cuma
kerangka tubuhnya belaka? Aku toh hendak menjadikan
dirinya sebagai pewaris ilmu silatku, jangan sampai watak
maupun perasaan hatinya dimatikan dengan begitu saja”
“Wah, kalau memang begitu, hamba sendiripun jadi tak
tahu apa yang musti dilakukan!”
Pembicaraan tersebut dilakukan dengan sangat lirih, karena
itu kecuali mereka berdua, tak ada yang mendengar.
Sementara perahu yang dalang dari kiri dan kanan sudah
makin mendekat, akhirnya sisi perahu mereka saling
menyentuh dan berdempetan.
Kiu-im Kaucu segera enjotkan badan dan melayang keatas
perahu dari Hoa Thian-hong, sambil mengetuk lantai geladak
dengan toya kepala setannya, ia berseru ketus, “Pia Leng-cu,
untuk terakhir kalinya kuperingatkan kepadamu, serahkan
pedang baja dan pedang emas itu kepadaku, kemudian
menggabungkan diri dengan Kiu-im-kauw kami, sebelum
kuambil tindakan yang lebih tegas, aku harap enpkau suka
memberikan jawaban yang tegas!”
Pia Leng-cu tidak menjawab, dalam hati pikirnya, “Kalau
kupersembahkan pedang baja dan pedang emas itu
kepadanya, kemudian menyerahkan diri kepada Kiu-im Kaucu,
itu berarti sepanjang hidupku tiada harapan lagi bagiku untuk
tampil didepan masyarakat si luman ini, sudah pasti jiwaku
terancam…. aiiih, bagaimana baiknya sekarang ini?”
Otaknya diperas untuk memecahkan persoalan itu, akhirnya
ia merasa tak rela untuk menyerah kalah dengan begitu saja,
timbullah satu ingatan jahat dalam benaknya, ia hendak
mengikat Hoa Thian-hong lebih dahulu kemudian akan suruh
pemuda itu melindungi keselamatan jiwanya.
Berpikir sampai disini, tanpa banyak bicara lagi ia cabut
keluar pedang baja itu dan segera diserahkan kembali
ketangan Hoa Thian-hong.
Pemuda itu agak tertegun oleh tindakan Pia Leng-cu yang
sangat sekali tak terduga ini, tepi cepat ia menerimanya dan
disisipkan dibalik ikat pinggangnya, kemudian barulah dia
berpaling ke arah Kiu-im Kaucu dan berkata sambil tertawa,
“waah…. kalau begini ceritanya, kaucu bakal menemui banyak
kesulitan lagi untuk mendapatkan pedang ini!”
Rupanya Pek Kun-gie menduga kalau Kiu-im Kaucu bakalan
turun tangan, cepat dia loncat kesisi Hoa Thian-hong dan siap
siaga menghadapi segala kemungkinan dangan pedang lemas
terhunus.
Sekali lagi Kiu-im Kaucu mengamati dara muda itu dengan
pandangan mata yang tajam, dia awasi dari atas kepala Pek
Kun-gie hingga ke ujung kakinya, makin dipandang hatinya
terasa makin tertarik, apalagi oleh kecantikan wajahnya yang
mempesonakan hati.
Tak tahan lagi sambil tertawa ujarnya dengan lembut, “Pek
Kun-gie, untuk kesekian kalinya kuulangi kembali tawaranku,
bersediakah engkau menjadi muridku dan mempelajari seluruh
ilmu silat yang kumiliki?”
“Hmm! Pek Kun-gie mendengus dingin, untuk kalahkan
kami saja tak mampu, kenapa aku musti menjadi muridmu?
Huuh…. suatu lelucon yang tak lucu!”
Kiu-im Kaucu tertawa lirih.
“Kami?” serunya, “engkau maksudkan Hoa Thian-hong?
Memangnya aku lebih lemah kalau dibandingkan dengan
dirinya?”
“Sekalipun tidak begitu, diapun tidak jauh lebih lemah dari
pada dirimu, daripada menjadi muridmu apa salahnya kalau
aku berlatih dari dirinya….?”
Sekali lagi Kiu-im Kaucu tertawa mengikik.
“Tapi, dia toh sudah….”
Sebenarnya dia hendak mengatakan, “dia toh sudah
beristri, memangnya engkau dapat hidup sepanjang masa
dengan dia?”
Ketika ucapan tersebutt sudah mencapai ujung bibirrya,
tiba-tiba ia merasa tak tega, ia kuatir ucapan tersebut
menyinggung perasaan halus dari gadis itu, maka setelah
kata-kata tadi mencapai ujung bibirnya, cepat ia batalkan
niatnya dan menelan kembali ucapan yang tak sempat
diutarakan itu.
Perlu diketahui, semakin tinggi ilmu silat yang dimiliki
seseorang, semakin serius dia pandang perlunya seorang
pewaris, sebab kalau kepandaian silat yang lihay itu sampai
musnah karena tidak di wariskan kepada murid pandai, maka
nama besar maupun ilmu kepandaiannya akan ikut masuk
liang kubur bersama kematiannya.
Keadaan tersebut tak jauh bedanya dengan seorang
keluarga ilyader, sekalipun dia kaya, dia punya harta kekayaan
setinggi gu nung, namun jika dia tak punya keturunan maka
bila sang milyuner itu mati, jatuh ke tangan siapakah harta
kekayaannya itu dia tak akan tahu.
Oleh karena itulah, makin kaya seseorang makin besar
keinginannya punya keturunan malahan anak tak cukup dia
akan cepat-cepat berharap datangnya seorang cucu.
Lain halnya dengan orang miskin, sekalipun tidak punya
keturunan mereka tak akan jadi risau, toh kalau mati tidak ada
harta kekayaaan yang musti dibingungkan.
Nah, begitu pula keadaannya dengan orang yang belajar
silat, makin tinggi ilmu silatnya semakin panik dia mencari
pewaris.
Kiu-im Kaucu walaupun lihay dia tetap seorang manusia,
sebagai manusia dengan sendirinya diapun tak luput dari
watak egois yaitu mementingkan diri sendiri,
Selain dia menginginkan seorang pewaris yang dapat
menguasai semua ilmu silatnya diapun berharap agar tahtanya
sebagai ketua perkumpulan Kiu-im-kauw bisa terjatuh pula
ketangan muridnya, dengan begitu iapun tak usah risau atau
kuatir bila kedudukan yang tinggi itu terjatuh ketangan orang
lain.
Selain itu Pek Kun-gie adalah seorang gadis yang amat
cantik, benar-benar cantik jelita, makin dipandang makin
mempersonakan, makin dilihat makin kesemsem, membuat
siapapun yang sudah menaruh perhatian kepadanya segan
untuk alihkan perhatiannya lagi.
Bagi Hoa Thian-hong pribadi, ia belum pernah mengamati
wajah Pek Kun-gie dengan seksama, jangankan dara itu
bahkan istrinya sendiri Chin Wan-hong pun tak pernah diamati
dengan seksama, tentu saja anak muda itu tak dapat
menemukan dimana letak daya tarik dari dara itu.
Sudah tentu kaum wanita jauh lebih cermat memandang
kaumnya sendiri dari pada seorang lelaki mengamati seorang
wanita, sekalipun paras muka Kiu-im Kaucu tidak terlalu cantik
namun dia sendiripun bukan termasuk seorang dari tipe jelek,
walau begitu terhadap kecantikan Pek Kun-gie ia sama sekali
tidak menaruh rasa iri atau cemburu.
Tujuan dari Kiu-im Kaucu hanya ingin menerima dirinya
sebagai murid, maka gadis itu diamati dengan seksama siapa
tahu makin dilihat makin kesemgem, ia merasa kecantikan dan
kebagusan dara itu ibaratnya sekuntum bunga mawar yang
indah, kalau tidak dipandang masih mendingan, makin di
pandang orang akan makin tertawan, sehing ta akhirnya
timbullah keinginan untuk memetiknya.
Rasa heran dan tak habis mengerti terlintas dalam benak
Hoa Thian-hong ketika dilihatnya perempuan itu menggawasi
sekujur badan Pek Kun-gie dengan liar, dalam hati pikirnya
“Aneh benar perempuan itu, jangan-jangan ia termasuk
perempuan bangsa lesbian. Hiih! Lebih baik dijauhi saja”
Karena pendapatnya itu, cepat-cepat dia tarik Pei Kun Gie
kesamping tubuhnya dan berbisik, “Berdiri sajalah disamping
situ, sebelum ada perintah dariku jangan turun tangan secara
sembarangan.”
Kiu-im Kaucu dapat menyaksikan pula semua gerak-gerik
dari sepasang muda mudi ini, dalam hati diapun berpikir.
“Sudah terang bocah ini amat mencintai Pek Kun-gie,
waah! Kalau begini terus keadaannya, sudah pasti disuatu hari
ia akan mengawini perempuan ini. Heeeh…. heeeh….
heeehh…. kalau mulai sekarang aku berhasil menarik budak
itu kedalam perkumpulanku, siapa tahu kalau bocah itupun
akhirnya akan bergabung pala dengan Kiu-im-kauw??”
Berpikir sampai disitu, dia lantas tertawa tergelak dan
berkata, “Hoa Thian-hong, tunggu sajalah disamping situ, aku
hendak melangsungkan suatu pertarungan yang sejujurnya
dengan kau, agar kamu dapat mengaku kalah dengan hati
puas.”
Bicara sampai disitu, dengan langkah lebar ia lantas
menghampiri Pia Leng-cu.
“Eeh…. engkau terhitung seorang enghiong atau bukan?”
bentak Pia Leng-cu dengan gusar.
Kiu-im Kaucu tertawa sinis.
“Huuhh….! Kalau seorang kuucu, seorang lelaki sejati,
mungkin saja taktik itu akan mendatangkan hasil, sayang aku
bukan seorang manusia sejati, tidak doyan aku dengan
permainan macam itu.”
Tiba-tiba toya kepala setannya diayun kedepan dengan
jurus Tay san ya leng (Bukit Tay san menindihi kepala) dan
langsung menghajar batok kepala lawan.
Serangan itu dilancarkan dengan kecepatan bagaikan
sambaran kilat, bergidik hati Pia Leng-cu menghadapi
ancaman itu, dalam gugup dan gelisahnya, cepat-cepat dia
kerahkan segenap kemampuan yang dimilikinya untuk
meluncur ke arah samping.
Kiu-im Kaucu tertawa dingin, telapak tangannya diayun
kedepan melepaskan sebuah pukulan udara kosong ke arah
imam tua itu.
Pia Leng-cu masih berada diudara ketika serangan tersebut
menyambar tiba, betapa terperanjatnya imam tua itu ketika
merasakan datangnya terjangan yang maha ampuh itu, dalam
keadaan begitu terpaksa dia lepaskan pula sebuah pukulan
untuk menangkis ancaman tadi.
Ketika dua gulung angin pukulan saling membentur satu
sama lainnya, Pia Leng-cu mendengus tertahan, sesudah
muntah darah segar dia terkulai ditanah dalam keadaan tak
sadarkan diri.
Keadaan dari Pia Leng-cu waktu itu boleh dikata sudah
terlampau payah, pertama hawa murninya aidah amat minin,
kedua tubuhnya masih berada ditangah udara, serangan
balasan yang ia lepaskan dalam keadaan gugup itu sama
sekali tak mengandung tenaga sampai sebesar lima bagian,
tentu saja pukulan seperti itu tak mungkin bisa menandingi
kelihayan lawannya.
Dalam keadaan tak sadarkan diri, tubuhnya terjerumus
kedalam sungai, untung anak buah Kiu-im-kauw masih siap
disekitar sana, badannya segera disambar dan terus
dilemparkan kembali keatas geladak perahu.
Dalam pada itu, ketiga buah perahu itu sudah berantai
kembali menjadi satu, pasukan katak yang masih berada
dalam air sama-sama loncat naik keatas perahu, sementara
kursi kebesaran dari Kiu-im Kaucupun telah diangkut keatas
perahu itu.
Setelab duduk, ketua dari Kiu-im-kauw itu berkata, “Le
tiamcu! tua bangka hidung kerbau itu amat licik dan terlalu
banyak akal busuknya, menurut pendapatku, untuk
mendapatkan pedang emas tersebut terpaksa kita harus beri
suatu peringatan diatas tubuhnya!”
Tiamcu dari ruang siksaan bernama Le Kiu gi, mendengar
peringatan tersebut ia segera bungkukkan badan memberi
hormat dan menjawab, “Hamba akan turus tangan sendiri
untuk bereskan tua bangka hidung kerbau ini, maksud kaucu
apakah dia masih diberi kesempatan untuk hidup….”
“Orang ini tak bisa digunakan lagi, di musnahkan saja!”
tukas Kiu-im Kaucu sambil ulapakan tangannya.
Dengan sangat hormat Le Kiu gi ia segera menghampiri
imam tua itu dan menotok jalan darah kakunya setelah itu
diapun menepuk sebuah jalan darah diatas punggung nya.
Pia Leng-cu menghembuskan napas panjang, perlahanlahan
ia tersadar kembali dari pingsannya.
Pek Kun-gie mengawasi terus gerak-gerik dari orang she Le
itu, dari semua perbuatannya yang cekatan, ia lantas berbisik
kesisi telinga Hoa Thian-hong, “Orang ini adalah seorang
penjagal, dia hidup dengan menjagali manusia, aku amat
kenal dengan tabiat manusia seperti ini sebab dalam
perkumpulan Sin-kie-pang kami pun terdapat manusia
sebangsa ini”
Hoa Thian-hong tidak memberi tanggapan, dia malah
berbisik dengan ilmu menyampaikan suara, “Setelah masalah
itu selesai, maka tibalah giliran kita untuk mendapat kesulitan,
sebentar akan kuusahakan suatu akal untuk mengirim kau
naik kertas daratan lebih dahulu”
“Tidak! aku tidak mau! jerit Pek Kun-gie sambil goyangkan
kepalanya berulang kali.
“Kalau engkau tidak pergi lebih dahulu, bagaimana
mungkin aku bisa meloloskan diri? Hoa Thian-hong pura-pura
marah.
Pek Kun-gie menggigit bibirnya kencang-kencang, dengan
air mata bercucuran sahutnya setengah terisak, “Aku ingin
berada disampingmu, kalau harus mati aku ingin mati
disisimu!”
“Aku tak ingin mampus, aku tak ingin mati konyol, aku
ingin hidup segar bugar!” tukas sang pemuda dengan muka
keras.
Akhirnya dengan sedih Pek Kun-gie mengangguk.
“Baiklah…. aku akan menuruti perkataanmu, bagaimanapun
juga…. tiba-tiba ia berhenti dan tidak melanjutkan kembali
kata-katanya.
Sementara dua orang itu masih berkemak kemik bicara
sendiri, Le Kiu gi telah selesai menggeledah seluruh badan Pia
Leng-cu, apa yang diduga ternyata tidak meleset, pedang
emas benar-benar tidak berada dalam sakunya, walau begitu
tiamcu dari tuang siksa inipun tidak terlalu terburu nafsu
untuk menanyainya.
Sarung pedang dari Boan liong po kiam ia lepas dari
punggang sang imam kemudian diperiksa pula dengan
seksama, tapi sarung itu kosong dan tak ada sesuatu
bendapun yang ada didalamnya maka sarung tadi diserahkan
kepala sang dara yang memegang pedang pusaka itu.
Kemudian barulah dia berkata kepada Pia Leng-cu.
“Bertindaklah bijaksana, serahkan pedang emas itu kepada
kami, daripada engkau musti mengalami siksaan badaniah
yang terlalu berat!”
Pia Leng-cu termenung dan berpikir beberapa saat
lamanya, ia tahu dalam keadaan begini tak mungkin kalau ia
tidak bicara, dengan suara dingin segera jawabnya, “Pedang
itu aku simpan dalam sebuah ruang rahasia di kuil It goan
koan yang ada dikota Cho ciu!”
Le Kiu gi mengangguk, rupanya dia percaya dengan
pengakuan itu, dari sakunya dia ambil keluar sebatang jarum
Cu bun toh kut teng (paku penebus tulang yang tampak pagi
tak kelihatan sore) lalu mencekeram tangan kanan Pia Leng-cu
dan tanpa mengucapkan sepatah katapun menancapkan paku
tadi kedalam ibu jari sang imam tua tersebut.
Rasa sakit yang tak terhingga membuat Pia Leng-cu
memperdengarkan suatu jeritan lengking yang menyayatkan
hati, jeritan itu begitu keras hingga menggema diseluruh
angkasa, membuat siapapun yang mendengarkan ikut
merasakan bulu kuduknya pada bangun berdiri.
Menyaksikan kesemuanya itu Hoa Thian-hong berpikir
didalam hati.
“Imam tua itu memang pantas mampus, tapi tidak
semestinya disiksa secara begitu keji!”
Berpikir sampai disitu dengan muka penuh kemarahan ia
segera melangkah maju kadepan.
Pek Kun-gie bukan gadis yang bodoh, dari tingkah laku
sang anak muda tentu saja ia tahu apa yaeg hendak dia
lakukan, cepat dia memburu kemuka dan menghalangi jalan
perginya.
Ini disebabkan, pertama ia sudah terbiasa menyaksikan
kejadian seperti ini, kedua ia tak rela kalau Hoa Thian-hong
mencari gara- gara yang mengakibatkan menyusahkan diri
sendiri dan ketiga ia sangat membenci Pia Leng-cu, maka
sedapat mungkin ia menghalangi niat Hoa Thian-hong untuk
memberikan bantuannya.
“Siluman hidung kerbau itu sudah kenyang menganiaya
kita, pantaslah kalau dia terima ganjaran hidup…. Thian-hong!
Jangan kau campuri urusannya!” bisik dara itu dengan lirih.
Hoa Thian-hong segera berpikir, “Imam tua itu toh sudah
menjadi tawanan orang, aku menang tak berhak untuk
mencampuri urusan ini, toh mencampuri juga tak ada
gunanya, memang aku sanggup untuk membebaskan imam
tua itu?”
Akhirnya ia menghela napas panjang dan berjalan menuju
ke belakang buritan, dia tidak ingin menyaksikan perbuatan
kotor yang tak berperi kemanusiaan itu.
Melihat anak muda itu menuju kebelakang, Pek Kun-gie
segera menyusul pula dibelakangnya.
Paku penembus talang Cu bun toh kut teng dari Le Kiu gi
panjangnya cuma satu cun, namun bentuknya aneh dan
seperti gergaji, diatasnya telah dipolesi dengan sejenis racun
keji yang mempunyai kekuatan pembusukan yang amat
dahsyat.
Bila paku Cu bun toh kut teng itu ditancapkan ke tubuh
seseorang, maka korbannya akan merasakan suatu
penderitaan dan suatu siksaan yang luar biasa hebatnya,
kendati pun seorang pria sejati yang bertulang besi otot
kawat, tak urung akan menjerit ngeri pula.
Bisa dibayangkan betapa sakitnya ketika raku beracun itu
ditancapkan diujung ibu jari, suatu bagian sensitip yang bisa
menim bulkan rasa sakit beratus-ratus kali lebih hebat.
Sementara itu Pia Leng-cu sudah menggigit keras saking
sakitnya, peluh dingin membasahi seluruh tubuhnya, mukanya
pucat pasi, sorot matanya buram, keadaan dari imam tua ini
sangat mengenaskan sekali.
Sebaliknya sikap Le Kiu gi amat santai, seolah-olah sama
sekali tidak terjadi suatu apapun, perlahan ia merogoh
kedalam sakunya dan ambil keluar paku Cu bun toh kut teng
yang kedua kemudian mencekeram pula jari telunjuk tangan
kanan imam tua itu, paku tersebut siap ditancapkan pula
kesana….
Kali ini Pia Leng-cu benar-benar merasa ketakutan
setengah mati, sukmanya serasa melayang tinggalkan raga,
cepat dia berteriak keras, “Pedang emas itu ada didalam kota
Lok yang, percayalah dengan pengakuan ini, aku mengaku
dengan sejujurnya, berilah kematian yang lebih cepat
kepadaku.
Le Kiu gi tertawa dingin.
“Heeehh…. heeehh…. heeehh…. luas kota Lok yang
mencapai ratusan li persegi, sedang pedang emas itu sangat
kecil bentuknya, siapa tahu engkau sembunyikan disudut yang
mana?”
Keringat sebesar kacang kedelai telah mengucur keluar
bagaikan hujan deras, dengan nada setengah merengek
katanya, Pedang emas itu ada diatas loteng sebuah rumah
obat, rumah obat itu berada didepan penginapan Ciat seng,
aku bersedia menghantar kalian kesana untuk mengambil
pedang emas itu, aku mohon berilah kematian yang cepat
kepadaku.
Le Kiu gi mendengus sinis.
“Hmmm! Itupun musti dilihat dulu apakah pedang emas itu
asli atau palsu, bila barang palsu, Heeehh…. heeehh….
heeehh…. aku masih harus banyak bertanya kepadamu!”
Bicara sampai disini, sorot matanya segera dialihkan ke
arah Kiu-im Kaucu guna minta pertimbangan.
Kiu-im Kaucu termenung dan berpikir beberapa saat
lamanya, tiba- tiba ia menengadah sambil berseru, “Hoa
Thian-hong!”
Anak muda itu maju menghampiri sambil bertanya, “Kaucu
ada petunjuk apa lagi?”
Kiu-im Kaucu tertawa angkuh, sambil menatap lawannya
dia mengejek dengan suara nyaring, “Engkau dapat menilai
sendiri bukan atas situasi yang terbentang dibadapanmn? Nah,
apa yang hendak kau lakukan?”
Hoa Thian-hong tertawa.
“Aku bukannya sengaja memanaskan hatimu, tapi berbicara
sesungguhnya baik berduel satu lawan satu, beradu dengan
tangan kosong atau senjata, baik tarung diperahu atau dalam
air belum tentu kaucu sanggup mengungguli diriku, tentu saja
kalau engkau kerahkan segenap kekuatanmu yang tersedia
sekarang, aku mengakui bukan tandingan, cuma….”
“Cuma untuk mencabut nyawamu maka aku harus
membayar dengan sesuatu pengorbanan yang sangat besar,
bukan begitu maksudmu? sambung Kiu-im Kaucu sambil
tertawa dingin.
Hoa Thian-hong tersenyum.
“Berbicara sesungguhnya kalau engkau main kerubut
terpaksa akupun akan kerahkan segenap kemampuan yang
kumiliki untuk memberi perlayanan sebaik-baiknya dan
tanggung….”
“Tanggung bagaimana? bentak Kiu-im Kaucu.
“Bukannya aku sengaja omong besar dan menyombongkan
diri jika aku sudah mulai tutun tangan dengan pertaruhan
selembar jiwaku, maka kecuali kaucu seorang, kematian yang
berjatuhan dari pihak anak buah mu akan banyak sekali susah
dihitung, bila Kiu-im-kauw ingin berdiri kembali dalam dunia
persilatan, terpaksa harus membangun dan mendirikan sekali
lagi!”
Tertegun hati Kiu-im Kaucu sehabis mendengar perkataan
itu, ia termenung sebentar lalu jawabnya sambil tertawa,
“Ilmu meringankan tubuh yang kau miliki amat sempurna,
seandainya engkau ambil taktik menghindar yang berat dan
memilih yang ringan, belum tentu aku mampu menahan
dirimu terus menerus, aku tidak percaya engkau pasti mampu
berbuat begitu, tapi akupun tak berani memastikan kalau
engkau tak sanggup, walau begitu aku bukanlah seorang
manusia yang bodoh, buat apa aku musti paksakan suatu
pertarungan massal dengan engkau? Untuk memaksa engkau
masuk perangkap, aku sudah menyiapkan suatu siasat baru
yang jauh lebih bagus”
Tiba-tiba Pek Kun-gie berteriak deagan lantang, “Kau
engkau merasa punya kepandaian, hayolah kita naik keatas
daratan kalau ketika itu kau mampu kalahkan kami berdua,
aku bersedia angkat dirimu menjadi guru”
Hoa Thian-hong tertawa santai, ia menjura ke arah Kiu-im
Kaucu dan berkata, “Aku mohon petunjuk!”
Kiu-im Kaucu kembali tertawa.
“Aku tak usah paksa kalian untuk terjun kedalam air,
diujung perahu ini saja aku akan bertarung melawan kau Hoa
Thian-hong, sementara anak buahku akan membekuk Pek
Kun-gie, membeseti kulit badannya dan melemparkan
tubuhnya kedalam sungai sebagai umpan ikan, aku ingin lihat
apa yang bisa kau lakukan?”
Paras muka Hoa Thian-hong berubah hebat, untuk sesaat
lamanya dia cuma bisa termenung dengan mulut
membungkam.
Walaupun ucapan itu diutarakan secara bergurau, akan
tetapi memang sangat masuk diakal, bila benar-benar sampai
terjadi begitu maka niscaya anak muda itu akan dibuat pusing
tujuh keliling.
Pek Kun-gie sama sekali tidak ambil perduli akan kejadian
itu, sambil ayun pedang lemasnya dia berseru, “Akulah yang
akan menyayat kulitmu, membetoti ototmu, memotong
lidahmu, mencincang tubuhmu dan membuang badanmu ke
sungai sebagai umpan ikan….”
Bukannya marah karena dia dicaci maki oleh dara tersebut,
Kiu-im Kaucu malahan tertawa terbahak-bahak, Hoa Thianhong
serta anak buah Kiu-im-kauw juga tak kuasa menahan
gelinya sehingga ikut tertawa, suasana jadi ramai sekali”
Terbayang sewaktu untuk pertama kalinya Hoa Thian-hong
berjumpa dengan Pek Kun-gie, waktu itu gadis itu sangat
angkuh, jumawa dan tak pandang sebelah matapun terhadap
orang lain, sebagai putri kesayangan dari ketua perkumpulan
Sin-kie-pang, bukan saja angkuh dan tinggi hati dalam tindak
tanduknya, malahan mendatangkan rasa dongkol dan mangkel
bagi yang diperintah.
Semua perkataan maupun perbuatannya dikala itu
membangkitkan rasa antipatih bagi orang lain, membuat
semua orang tak senang hati kepadanya.
Tapi sekarang tindak tanduknya sama sekali berubah,
malahan boleh dibilang bertolak belakang.
Kobaran api cinta memadamkan semua keangkuhan dan
tinggi hati nya, api asmara yang panas telah membangkitkan
sifat kewanitaannya yang murni.
Selama Hoa Thian-hong berada disampingnya, tanpa
disadari ia berusaha keras untuk memancarkan semua
keindahan dan daya tariknya seorang dara, daya tarik itu
termasuk juga kelincahan, kesucian dan lemah lembut,
pokoknya walaupun sedang berbuat sesuatu yang kasar,
kekasaran itu tertutup oleh kelembutan sehingga
mendatangkan rasa simpatik bagi siapapun.
Atau tegasnya saja walaupun sedang memaki orang,
makianya separuh adalah sungguh-sungguh dan separuh yang
lain cuma gurauan, membuat orang yang mendengar tak
merasa sakit hati, tidak jadi gusar malahan timbul rasa
perasaan yang gatal-gatal aneh.
Apalagi kalau perbuatan itu dilakukan oleh seorang gadis
muda yang cantik jelita macam Pek Kun-gie, tentu saja
makian itu kedengaran semakin menawan hati.
Meskipun merasa geli, perasaan hati Hoa Thian-hong
sangat berat, dia tahu Kiu-im Kaucu tak mungkin akan
menyelesaikan persengketaan itu dengan begitu saja, jika apa
yang Kiu-im Kaucu katakan benar-benar dilaksanakan, ia yakin
tiada kemampuan untuk melindungi keselamatau jiwa Pek
Kun-gie, maka sekalipun sudah termenung dan putar otak
beberapa saat lamanya, pemuda itu masih belum sanggup
menemukan cara pemecahan yang jitu.
Tiba-tiba Kiu-im Kaucu tertawa ringan dan berkata
“Hoa Thian-hong, aku ingin bertanya kepadamu,
bagaimana hubunganmu dengan Ku Ing-ing dari perkumpulan
kami?”
Merah padam selembar wajah Hoa Thian-hong mendengar
pertanyaan itu, ia terbelalak dengan mulut melongo, untuk
sesaat dia tak mampu memberikan jawaban yang tepat.
Melihat anak muda itu tersipu-sipu, tanpa pikir panjang Pek
Kun-gie segera menanggapi dengan dingin, “Kami sama sekali
tidak punya hubungan apa-apa dengan Ku Ing-ing!”
“Ku Ing-ing bukan lain adalah Giok Teng Hujin” jawab Kiuim
Kaucu sambil tertawa, aku sedang bertanya kepada Hoa
Thian-hong kalau engkau tak tahu urusan lebih baik janganlah
turut campur!”
“Aku sengaja mau turut campur kau mau apa? ngotot Pek
Kun-gie dengan cepat”, kami benar-benar tidak punya
hubungan apa-apa dengan Giok Teng Hujin.
Setelah berhenti sebentar, tiba-tiba dia berpaling ke arah
Hoa Thian-hong dan bertanya dengan suara lirih, “Bagaimana
hubunganmu dengan dirinya?”
Hoa Thian-hong semakin jengah dibuatnya, untuk beberapa
saat lamanya muka, telinga sampai lehernya pada berubah
jadi merah semua bagaikan kepiting rebus.
Kiu-im Kaucu tertawa mengikik, katanya lagi, “Ku Ing-ing
memang terlalu besar nyalinya, dia telah mencuri sebatang
Leng-ci berusia seribu tahun milikku dan dihadiahkan
kepadamu, coba bayangkan saja seberapa besar dosanya itu?”
Hoa Thian-hong sangat terperarjat, dalam waktu sekejap
mata mukanya berubah jadi pucat pias seperti mayat.
Kiu-im Kaucu tersenyum, ia tatap wajah anak muda itu
tajam-tajam, kemudian ujarnya lebih jauh, “Mungkin engkau
tidak percaya dengan perkataanku ini, dalam kenyataan
semua anggota perkumpulan Kiu im kiu mengetahui akan
kejadian ini, bila suatu hari aku berhasil menangkap kembali
Ku Ing-ing, maka akan kuhadapkan dirinya denganmu agar
kau tahu bila apa yang kuucapkan sama sekali tidak bohong”
“Aku tak akan mengucapkan terima kasih kepadamu” kata
Hoa Thian-hong sambil menjura, “bila kaucu mempunyai satu
keinginan, silahkan diutarakan dengan terus terang! Bila kau
inginkan pedang baja ini, sekarang juga akan
kupersembahkan kepada mu”
Berbicara sampai disini, dia lantas, angsurkan pedang baja
itu kedepan, lanjutnya, Pedang ini telah dipolesi dengan racun,
silahkan kaucu mencucinya dengan air cuka!”
Kiu-im Kaucu tertawa, dengan sorot mata yang amat tajam
bagaikan kilat ia menatap wajah Hoa Thian-hong tanpa
berkedip, tiada sepatah katapun yang dia ucapkan, pedang
baja itupun sama sekali tidak diterimanya….
Rupanya Pek Kun-gie merasa keberatan kalau pedang
tersebut diserahkan orang dengan begitu saja, ia segera
menyindir, “Eeh, pedang itu akan diberikan kepada mu, ketika
mendapatkan kitab pusaka kiam keng, kuucapkan selamat
kepadamu karena kepandaian silat yang kau miliki nomor satu
didunia, pedang baja itupun termasuk sebilah benda mustika,
kalau dibandingkan masih cukup untuk ditukar dengan Leng-ci
berusia seribu tahunmu itu, pedang tersebut diserahkan
kepadamu sebagai imbalan dari Leng-ci mu, dengan demikian
kita sudah impas, siapapun tidak berhutang budi lagi!”
Mendengar perkataan itu Kiu-im Kaucu segera merenpadah
dan tertawa terbahak-bahak, lama sekali ia baru berhenti
tertawa, kepa da Hoa Thian-hong ujarnya, Kitab pusaka Kiam
keng hanya berguna barimu tapi sama sekali tak bermanfaat
bagiku, bagi pandanganku Hmm! Pedang baja tersebut sama
sekali tak kupandang barang sekejappun.
“Lalu apa tujuan kaucu mengejar Pia Leng-cu mati-matian
dan apa pula maksudmu untuk ikut merampas pedang baja
milikku ini, tanya Hoa Thian-hong dengan alis mata berkenyit.
Kiu-im Kaucu tertawa.
Dikolong langit dewasa ini hanya engkau seorang yang
mampu menandingi kepandaian silatku, aku sangat berharap
apabila kita bisa saling mengukur kepandaian secara adil,
siapa kalah dia harus berlatih kembali kepandaiannya dengan
ketekunan sendiri, tapi kalau ada salah satu pihak yang
meminjam kepandaian yang diwariskan jago lampau….
bukankah tindakan ini terhitung sangat tak adil?”
“Ucapan kaucu sangat masuk diakal, aku merasa amat
kagum!”
“Nah, karena itulah salah satu diantara kedua belah senjata
itu harus terjatuh ke tanganku, baik itu pedang emasnya atau
pedang bajanya” sambung Kiu-im Kaucu sambil tersenyum,
“pokoknya asal salah satu diantaranya berada ditanganku,
berarti pula kitab pusaka Kiam keng tersebut tak mungkin
akan terjatuh ketanganmu, itu berarti pula engkau tak dapat
meminjam kepandaian dari malaikat pedang Gi Ko untuk
mempertingkat kemampuannu dalam mengalahkan aku!”
Hoa Thian-hong mengangguk sambil tertawa.
“Sudah jamak kalau setiap manusia punya pandangan serta
jalan pikiran demikian, aku tak dapat menyalahkan engkau!”
Disamping itu akupun tidak berharap apa bila kitab pusaka
Kiam keng itu sampai terjatuh kepihak ketiga, sebab kalau
sampai begitu maka dunia persilatan pasti akan menjadi kalut,
itu berarti pula aku harus berhadapan lagi dengan seorang
musuh tangguh yang baru.
“Kalau toh memang begitu, bagaimana caramu untuk
menyelesaikan masalah ini?” tanya Hoa Thian-hong
tercengang.
Tiba-tiba Kiu-im Kaucu menengadah dan tertawa terbahakbahak.
“Haaah…. haaah…. haaah…. masalah ini memang sulit
untuk disele saikan, akan tetapi aku sudah memikirkan suatu
cara penyelesaian yang bagus, entah engkau bisa
menyanggupi atau tidak?”
“Bagaimana cara penyelesaianmu itu?” tanya Hoa Thianhong
agak tertegun “asal urusan bisa dibikin beres secara
damai, tentu saja aku dapat mempertimbangkan dengan
seadil dan sebijaksana mungkin”
0000O0000
73
KEMBALI Kiu-im Kaucu tertawa tergelak.
“Aku memang sudah mempunyai suatu cara penyelesaian
yang bagus, bukan saja urusan bisa dibikin beres, malahan
kita bisa merubah peperangan menjadi perdamaian, merubah
kebengisan menjadi keten-traman, cuma saja…. aku justru
kuatir kalau kamu berdua tak tahu diri!”
“Aah! Kalau memang ada cara yang begitu bagusnya,
kenapa tidak kaucu usulkan sedari tadi?” kata Pek Kun-gie
sambil tertawa. “Aah, aku bisa menebak maksud hati kaucu,
bukankah engkau hendak menjodoh kan Giok Teng Hujin
dengan dirinya?”
Bicara sampai disitu, sang gadis segera menunjuk ke arah
Hoa Thian-hong yang berdiri disampingnya.
Hoa Thian-hong merasa bersalah, mendengar kata-kata itu
merah padamlah selembar wajahnya karena jengah, dia purapura
marah dan segera bentaknya, “Huus….! Kun gie, jangan
sembarangan bicara.”
Pek Kun-gie tertawa cekikikan, sambil menuding anak
muda itu kembali dia menggoda, “Kamu ini, pintarnya cuma
main gertak Hmm! Tampangnya saja jujur dan kalem, padahal
bagaimana isi yang sebenarnya siapa yang tahu?”
Dari pembicaraan yang sedang berlangsung, Kiu-im Kaucu
dapat mengamati perubahan wajah si anak muda itu, pikirnya
di hati, “Kalau dilihat dari kejengahan serta rasa menyesal
yang ditunjukkan bocah itu, mungkin saja dia memang punya
hubungan istimewa dengan Ku Ing-ing…. heeem…. heeem….
apa salahnya kalau kutakut-takuti dirinya? Akan kulihat
bagaimana reaksinya nanti….”
Karena berpendapat demikian, dengan muka dingin
menyeramkan ia lantas berseru, “Ku Ing-ing berulang kali
melanggar perintahku, sekarang ia sudah dianggap sebagai
seorang pengkhianat dari perkumpulan Kiu-im-kauw, hukuman
lima pedang manyincang badan, siksaan api dingin melelehkan
sukma sudah lama menantikan dirinya, siapa yang ambil
perduli dia mau dikawinkan dengan siapa?”
Mendengar perkataan itu, paras muka Hoa Thian-hong
kontan berubah jadi pucat pias bagaikan mayat, ia merasa
amat terkejut bercampur gugup hingga tanpa sadar
jantungnya berdetak keras.
Pek Kun-gie ikut gugup menyaksikan keadaan kekasihnya,
ia segera berpikir dihati, “Aaai…. semuanya salah aku yang
terlalu cerewet, kalau tidak kuungkap tentang soal itu, Kiu-im
Kaucu pasti tak akan mengungkap pula persoalan ini kalau
Hoa Thian-hong tidak tahu urusan ini masih mendingan kalau
dia sudah tahu pastilah dia tak akan berpeluk tangan
belaka….!”
Saking gugup dan gelisahnya semua kesusahan segera
dilampiaskan keatas badan Kiu-im Kaucu, dia ingin mencari
muka dihadapan kekasihnya, maka dengan muka penuh
kemarahan dan mata melotot besar, hardiknya ke arah Kiu-im
Kaucu, “Mau hukum mampus peghianat dari pergururanku
atau tidak, urusan ini sama sekali tak ada sangkut pautnya
dengan kami, tapi kalau kau anggap kesalahan Giok Teng
Hujin adalah disebabkan dia curi Leng-ci mustiksmu untuk
dihadiahkan kepada kami…. hmmm Hmm Dari sini
menunjukkan betapa cepatnya pikiranmu dan betapa
sempitnya jiwamu, baik, hutang ini kami terima, katakan saja
apa yang kau kehendaki, mau turun? Mau adu kepandaian?
Kami pasti akan melayani dengan senang hati”
Setiap kali dara ini mengartikan Hoa Thian-hong, dia selalu
menggunakan istilah kami sebagai pengganti nama pemuda
itu, dengan sendirinya dia hendak mengartikan bahwa antara
Hoa Thian-hong dengan dirinya merupakan satu bentuk tubuh
yang menunggal, urusan dari Hoa Thian-hong berati pula
urusan dari Pek Kun-gie.
Sudah tentu Kiu-im Kaucu dapat menangkap arti
sebenarnya dari perkataan itu, dia segera menengadah dan
tertawa terbahak-bahak.
“Haahh…. haah…. haahh…. engkau sendiripun ibaratnya
patung arca yang menyeberangi sungai, untuk
menyelamatkan diri sendiripun tidak mampu masih ingin
mencampuri urusan orang lain?”
Perkataan itu sangat menusuk perasaan hati Pek Kun-gie,
kontan hawa amarahnya berkobar, sambil membentak dia
putar pedang lemasnya siap menerjang ke arah musuhnya.
Tapi Hoa Thian-hong keburu menarik tangannya sehingga
dia tak bisa melanjutkan niatnya.
Walaupun begitu kemarahan yang berkobar dalam hati Pek
Kun-gie belum sirap dia melotot ke arah Kiu-im Kaucu dengan
mata berapi-api, sementara pedang lemasnya dikebaskan
kesana kemari sehingga berbunyi desiran tajam….
Kiu-im Kaucu pura-pura tidak melihat kesemuanya itu,
kembali dia melanjutkan kata-katanya, “Berbicara terus
terang, sekalipun nyali Ku Ing-ing amat besar dia tak akan
berani mengkhianati aku secara terang-terangan, menurut
dugaanku cepat atau lambat dia pasti akan datang
menyerahkan diri untuk menunggu dijatuhi hukuman setimpal,
jika berkeras hati akan mencampuri urusan ini, silahkan saja
datang kemarkas waktu saat hukuman dilaksanakan nanti!”
Hoa Thian-hong ikut berpikir didalam hati, “Ku Ing-ing
adalah murid dari perkumpulan Kiu-im-kauw, kalau dia
bersedia menyerahkan diri, itu berani urusan tersebut adalah
urusan ramah tangga dari Kiu-im-kauw sendiri, aku sebagai
orang luar tidak sepantasnya kalau mencampuri urusan ini….
tapi haruskah aku berpeluk tangan belaka? Dia mati lantaran
aku, bagaimana pertanggungan jawabku bila aku cuma diam
melulu?”
Berpikir sampai disitu, ia semakin murung rasanya.
Beberapa saat kemudian pemuda itu baru berkata, “Kaucu,
bukankah engkau mengatakan ada cara penyelesaian yang
bisa merubah peperangan menjadi perdamaian, merubah
kebengisan menjadi ketentraman? entah bagaimana caranya
itu? Silahkan kau utarakan keluar.”
Dari sikapnya yang lesu dan lemas, tampaknya pemuda ini
sudah tertekan batinnya sehingga menunjukkan nada akan
menyerah.
Melihat keadaan musuhnya, Kiu-im Kaucu bergirang dalam
hati, ia segera tertawa tergelak.
“Haah…. haahh…. haahh…. sebenarnya caraku ini teramat
sederhana, suruh saja Pek Kun-gie angkat diriku sebagai guru
asal dia sudah menjadi muridku maka memandang diatas
wajahnya, aku bersedia menghapuskan semua pertikaian yang
melibatkan kita berdua, bukankah dengan begitu peperangan
akan berubah jadi perdamaian, kebengisan berubah jadi
ketentraman?”
“Oooh…. begitu tinggi kau pandang diriku? Sungguh bikin
hatiku terperanjat karena tak tahan!” ejek Pek Kun-gie sambil
mencibirkan bibirnya deagan sinis.
Hoa Thian-hong sendiri pun mengerutkan dahinya.
“Semua orang tahu kalau ilmu silat yang kaucu miliki
sangat lihay, apalagi engkau merupakan seorang kaucu dari
suatu perkum pulan besar, tawaranmu ini memang boleh
dianggap suatu rejeki nomplok!“
Kiu-im Kaucu tidak menanggapi, sorot matanya dialihkan ke
arah Pek Kun-gie, lalu berkata sambil tertawa, “Hey budak,
sudah kaudengar semua? Rejeki atau bencana hanya engkau
seorang yang menentukan!”
Pek Kun-gie mencibirkan bibirnya, dia segera melengos ke
arah lain dan tetap membungkam.
Hoa Thian-hong yang berada disisinya melanjutkan, “Untuk
menerima murid dan mewariskan ilmu silat, bisa berjalan
lancar apabila sudah disetujui oleh kedua belah pihak, jika
kaucu suruh aku yang menetapkan…. aku rasa hal ini terlalu
kelewat batas!”
Kiu-im Kaucu tertawa terbahak-bahak.
“Haahh…. haahhh…. haahh…. Pek Kun-gie sudah dibikin
pusing oleh cinta, dia telah kehilangan pegangan untuk
mengambil keputusan, apa yang kau katakan ia selalu turuti
dengan seratus persen, sudah tentu aku tak akan main paksa,
aku hanya berharap engkaulah yang bantu mewujudkan
kebaikan ini”
Pek Kun-gie merasa malu bercampur mendongkol tatkala
dirinya dikatakan sudah dibikin pusing oleh cinta sehingga
kehilangan pegangan, dengan penuh kemarahan dia berteriak,
“Engkau jangan ngaco belo tak karuan, kau…. kau sendiri
yang tak punya pegangan!”
Walaupun sedang berada dalam keadaan gusar, namun
dara itu tak sanggup membantah ucapan itu.
Melihat keadaan tersebut, gelak tertawa Kiu-im Kaucu
makin menjadi, suara tertawanya semakin keras.
Pek Kun-gie semakin mendongkol bercampur marah, sambil
mendepak depakkan kaki nya keatas geladak, teriaknya
berulang kali, “Huuh! kau jahat, kau sembunyikan golok
dibalik senyuman, kau banci! kau seram kau tak tahu diri, kau
licik dan main akal, kau tak tahu malu”
Semakin keras gadis itu memaki, semakin nyaring Kiu-im
Kaucu tertawa, akhirnya gadis itu menarik kata malu itu jadi
amat panjang, keras dan hampir boleh dikata setengah
menjerit, barulah Kiu-im Kaucu berhenti tertawa, meski begitu
mukanya sudah berubah jadi merah padam, napasnya
tersengkal-sengkal.
Diam-diam Hoa Thian-hong merasa kuatir bercampur
gelisah, dia tahu Kiu-im Kaucu bukan sebangsa manusia yang
gampang putus asa, setelah ada tujuan biasanya dia berusaha
terus sampai apa yang di cita-citakan tercapai, jika tidak
segera dicarikan akal yang tepat untuk menyelesaikan
persoalan ini, sukarlah masalah itu bisa diselesaikan.
Pek Kun-gie sendiri adalah seorang putri jagoan persilatan,
ia tak dapat membedakan mana yang baik mana yang buruk,
hanya saja dia memang tidak bermaksud mengangkat Kiu-im
Kaucu sebagai gurunya, sehingga keadaan pada waktu itu
ibaratnya hanya mengagumi burung bangau tidak mengagumi
sang dewa.
Seandainya bukan disebabkan karena Hoa Thian-hong,
tentu saja dia sangat berharap bisa mendapat seorang guru
yang pandai seperti Kiu-im Kaucu, tapi bagi pandangan Hoa
Thian-hong, Kiu-im Kaucu adalah seorang jago dari golongan
sesat dan lagi dia pun terhitung seorang gembong iblis yang
disegani orang, prinsipnya siapa yang dekat dengan gincu
akan jadi merah, siapa yang dekat tinta akan jadi hitam,
sekalipun seorang yang berhati bajik bila sampai mengangkat
seorang jahat sebagai gurunya, maka perangai maupun tindak
tanduknya pasti akan terpengaruh.
Sudah tentu karena prinsipnya ini, anak muda itu tak sudi
menganjurkan kepada Pek Kun-gie untuk mengangkat Kiu-im
Kaucu sebagai gurunya.
Tapi situasi yang dihadapinya sekarang jauh berbeda, bila
ia tak bisa menentukan pilihannya sebagai sahabat maka
berarti pula mereka harus berhadapan sebagai musuh, dalam
keadaan yang gawat seperti ini sudah tentu hatinya jadi panik.
Paras muka Kiu-im Kaucu berubah hebat ketika dilihatnya
Hoa Thian-hong tetap memburgkam dalam seribu bahasa,
dengan suara tajam tiba-tiba ia membentak, “Aku harus
berangkat ke kota Lok yang untuk mengambil pedang emas,
setuju atau tidak hayo cepat kasih jawaban yang terang!”
Hoa Thian-hong tidak langsung menjawab, kembali dia
berpikir, “Semestinya aku harus menolak penawarannya itu
secara tegas, tapi kalau aku berniat demikian, pihak lawan
tentulah akan menggunakan kekerasan, padahal jumlah
musuh amat banyak, susah kalau mau melawan pakai
kekerasan”
Sementara ia masih merasa amat panik tiba-tiba perahu
mereka bergerak melewati sebuah kanal yang amat sempit,
walaupun arus air sangat deras akan tetapi jarak antara
perahu dengan daratan jadi makin bertambah dekat.
Tanpa berpikir panjang lagi ia segera menyambar tnbuh
Pek Kun-gie dan loncat ke arah perahu yang berada disebelah
kanan.
“Hoa Thian-hong!” bentak Kiu-im Kaucu dengan amat
gusar, engkau benar-benar tak tahu diri.
Hoa Thian bong sama sekali tidak menggubris bentakan itu,
kepada Pek Kun-gie bisiknya, “Naiklah keatas daratan letih
dulu!”
Tertegun hati Pek Kun-gie mendengar bisikan itu, sebelum
dia paham dengan apa yang telah terjadi, tiba-tiba sepasang
kakinya sudah dicengkeraman oleh Hoa Thian-hong.
Semua gerakan yang dilakukan anak muda itu cepat
sambaran kilat, begitu sepasang kaki Pek Kun-gie sudan
dicengkeram tiba-tiba ia putar badannya dan memalingkan
tubuh Pek Kun-gie satu lingkaran di udara, bentaknya dengan
nyaring, “Pergi!”
Sepisang tangan dilepakkan tahu-tahu dia sudah melempar
tubuh dara itu menuju ke atas daratan.
Pek Kuo gie ketakukan sehingga menjerit lengking, ia
merasa angin tajam menderu-deru disisi telinganya, dadanya
terasa amat sesak.
Daya luncur dara itu amat cepat, ibarat anak anak panah
yang terlepas dari busurnya, sebelum rasa kagetnya tersapu
lenyap, tahu- tahu daya luncur itu sudah menjadi lemah.
Dalam keadaan begitu ia segera berjumpulitan sekenanya,
dan tahu-tahu sepasang kakinya sudah mencapai daratan,
walaupun selamat tiba dipantai tak urung paras mukanya
telah berubah jadi pucat pias seperti mayat….
Gerakan yang dilakukan Hoa Thian-hong ini sangat aneh
dan sama sekali diluar dugaan siapapun, Kiu-im Kaucu dibikin
teramat gusar sehingga mukanya berubah jadi hijau membesi,
ia segera loncat bangun dari tempat duduknya.
Kendatipun begitu, diam-diam diapun merasa amat kagum
dengan tidakan berani dari anak muda tersebut.
Haruslah diketahui, apabila seseorang tidak memiliki
kekuatan pada lengan sebesar lima enam ribu kati, maka
sulitlah untuk melemparkan tubuh seseorang sejauh dua puluh
kaki lebih dan lagi apabila terlalu besar kekuatan yang
digunakan kemungkinan besar orang yang dia lempar akan
menderita luka dalam yang cukup parah.
Kiu-im Kaucu sadar dia sediri belum tentu sanggup
melakukan seperti apa yang dilakukan pemuda itu.
Setelah tertegun beberapa saat lamanya, Kiu-im Kaucu
segera tertawa seram, serunya, “Hoa Thian-hong, jadi engkau
bersikeras akan memusuhi diriku?”
Kiu-im Kaucu merupakan seorang manusia yang aneh,
gembira atau marah sukar diikuti dari perubahan wajahnya,
Hoa Thian-hong sangat kuatir terhadap keanehannya itu.
Dengan cekatan dia cabut keluar pedangnya dan
disilangkan didepan dada, lalu dengan serius berkata.
Pia Leng-cu adalah seorang jago yang kedudukannya sudah
terpojok, aku bisa memaklumi kalau dia berusaha menukar
pedangku dengan Pek Kun-gie yang ditangkap sebagai
sandera, sebaliknya kaucu adalah seorang jago besar yang
disegani seluruh jagad, nama besarmu cemerlang dan
mencapai semua pelosok, aku benar-benar merasa tak puas
kalau engkau hendak menggunakan cara yang sama dengan
yang digunakan Pia Leng-cu untuk memaksa aku!”
Beberapa patah kata ini tidak sombong juga angkuh tapi
apa adanya, tentu saja Kiu-im Kaucu tak mampu membantah
barang sekecappun.
Setelah membungkam lama sekali, akhirnya ia tenawa
dingin dan mengejek, “Hmm! Jadi kalau begitu engkau
berharap kita melakukan pertarungan untuk menyelesaikan
persoalan ini?”
“Aku rela mati dalam pertarungan dari pada menanggung
derita karena sakit hati”
Kembali Kiu-im Kaucu berpikir didalam hati, “Keberanian
bocah ini mengagumkan sekali, rasa percaya pada diri
sendirinya sangat tinggi, ia tidak merendahkan diri pun tidak
menyombongkan diri, aaai! Manusia macam begini memang
sulit untuk dilayani”
Sementara ia masih termenung, Tiamcu istana neraka yang
berada disisinya mendadak berbisik, “Orang ini sangat
tangguh, jangan dilayani dengan kekerasan!”
Kiu-im Kaucu mengerutkan dahinya, dengan ilmu
menyampaikan suara ia segera bertanya, “Kalau tidak dilayani
dengan kekerasan berarti harus dilayani dengan kecerdikkan,
engkau punya akal bagus?”
“Selama Hoa Thian-hong masih berada di sini, Pek Kuo Gie
tentu tak akan melarikan diri dari seputar daratan sana” bisik
Tiam cu istana neraka dengan suara lirih, “kenapa kaucu tidak
perintahkan orang untuk naik keatas daratan dan membekuk
dirinya lebih dahulu?”
“Emmm…. bagus sekali usul ini” batin Kiu-im Kaucu.
Tanpa sadar ia berpaling ke arah daratan, waktu itu Pek
Kun-gie memang sedang berlarian disepanjang pantai, tanpa
kuasa dia lantas berpaling ke arah seorang kakek disisinya
sambil berseru, “Seng tongcu, cepat naik kedaratan! Bekuk
dulu budak tersebut”
Betapa terkejutnya Hoa Thian-hong mendengar perintah
itu, dia segera berpaling sambil membentak nyaring, “Kun Gie,
cepat kabur kembali ke kota Lok yang, jangan berke-liaran
terus disini”
Pek Kun-gie yang ada didaratan agak tertegun, tapi cepat
dia loncat turun dan lenyap dibalik tanggal.
Kiu im kaccu terbahak-bahak, ia berseru lagi, Sekalipun
batok kepala budak itu dipenggal, dia tentu tak akan kabur
seorang diri dari sini. Seng tongcu! naik segera kedaratan dan
bekuk budak itu sampai dapat.
Kakek she Seng itu adalah tongcu bagian penerimaan
anggota, sambil menjura dia mengiakan lalu loncat ketengah
sungai.
Hoa Thian-hong sendiripun dapat memaklumi perasaan Pek
Kun-gie, dia sadar gadis itu tak akan tinggalkan tempat itu
seorang diri, sudah pasti dia hanya sembunyi dibalik tanggul
sambil mengikuti secara diam-diam.
Bila Kakek she Seng itu sampai naik keatas daratan,
niscaya gadis itu bakal kena di bekuk.
Pemuda itu sendiri dapat pula menyaksikan keadaan yang
terbentang diseputarnya, kalau dia sampai terjun kedalam air
sudah pasti kekalahan berada dipihaknya, mau loncat
kedaratan sudah terang tak mungkin karena perahu itu
bergerak ditengah-tengah sungai.
Dalam gugup dan gelisahnya pemuda itu membentak
keras, sambil menerjang kedepan pedangnya langsung
membabat pinggang kakek she Seng dari ruang penerimaan
anggota itu.
Kiu-im Kaucu sangat terperanjat, dengan cekatan ia
menerjang maju, hardiknya, “Seng tongcu, hati-hati!”
Tongkat kepala setannya secepat kilat diayun kemuka
langsung membabat ke arah pinggang Hoa Thian-hong.
Arah yang diserang adalah bagian yang mematikan, dalam
keadaan begini mau tak mau Hoa Thian-hong harus berganti
jurus untuk melindungi diri, cepat pedangnya berputar balas
menusuk ke tubuh lawan.
Dalam sekejap mata, suatu pertarungan sengit yang
menggetarkan langit dan bumi telah berlangsung diatas
geladak perahu.
Tongcu ruang penerimaan anggota baru yang berhasil lolos
dari ancaman maut itu segera menyusup kesamping perahu,
walau begitu peluh dingin telah membasahi tubuhnya.
Tanpa mengucapkan sepatah katapun ia kabur menuju
buritan perahu, setelah jauh meninggalkan Hoa Thian-hong
dia baru mence burkan diri kedalam sungai….
Sejak terjun kedalam dunia persilatan, Hoa Thian-hong
selain hidup ditengah kancah pertarungan yang serba sulit dan
membahayakan jiwanya, lingkungan semacam itu lambat laun
mendidik dirinya menjadi seorang pemuda yang tabah, berani
serta bersemangat.
Setelah berhadapan dengan musuh tangguh dihari itu,
sebelum terjadi pertarungan ia selalu berusaha untuk
menghindari suatu pertarungan yang tak berarti, tapi begitu
pertarungan tak bisa dihindari lagi, segala pikiran bercabang
dibuang jauh-jauh, semua kekuatan dan pikirannya dipusatkan
jadi satu untuk melayani serangan-serangan musuh, terhadap
ketujuh puluh orang anggota Kiu-im-kauw yang berdiri
disekitar gelanggang, dia sama sekali tidak ambil perduli.
Luas ujung perahu itu cuma sekitar lima laki, sedang
senjata yang digunakan kedua belah pihak sama-sama senjata
berat, pedang ba ja milik Hoa Thian-hong panjangnya
mencapai empat depa, sedangkan toya kepala setan milik Kiuim
Kaucu panjangnya mencapai delapan depa, begitu
penarungan berkobar terpaksa sisa orang yang lain harus
menyingkir keburitan perahu atau dua perahu yang lainnya.
Dalam keadaan begini jangankan main keroyokan dengan
jumlah banyak, bahkan ikut serta dalam pertarungan itupun
susah.
Untuk menghindari sergapan dengan senjata rahasia, Hoa
Thian-hong menempatkan diri disebelah luar dengan
punggung menghadap ke arah sungai, kakinya berdiri tegak
bagaikan batu karang, maju atau mundur semuanya pakai
aturan.
Sedangkan Kiu-im Kaucu bertarung dengan maksud paksa
anak muda itu tercebur kedalam air, maka dari itu toya kepala
setannya berulang kali melancarkan serangan yang amat
gencar.
Namun Hoa Thian-hong sama sekali tidak mengalah
dengan begitu saja, setiap serangan diimbali dengan
serangan, tiap desakan dibalas dengan desakan, walaupun
sudah bertarung beberapa waktu, posisinya tetap tak
bergeming dari posisi semula.
Dalam pertarungan yang berlangsung kali ini, Kiu-im Kaucu
bertindak jauh lebih hati-hati, semenjak pengalaman pahit
yang dideritanya belum lama berselang, ia tahu kalau tenaga
dalam yang mereka miliki berada dalam posisi yang seimbang,
jika pertarungan harus dilangsungkan dengan keras lawan
keras, maka kedua belah pihak akan sama-sama menelan
kerugian yang amat besar.
Sebagai seorang ketua dari suatu perkumpulan besar, tentu
saja dia amat menyayangi jiwa sendiri, ia tak ingin melakukan
pertarungan yang mengakibatkan kedua belah pihak samasama
menelan kerugian, sebab sekalipun menggunakan
kekerasan, belum tentu ia mampu mendesak Hoa Thian-hong
hingga tercebur kedalam sungai.
Beberapa saat kemudian, kedua belah pihak sudah
bertarung sebanyak tiga puluh gebrakan, babatan pedang
maupun sambaran toya semuanya dilakukan dengan gesit dan
enteng, sepanjang pertarungan berlangsung kedua macam
senjata itu tak pernah saling membentur satu sama lainnya.
Sementara itu tengah hari sudah hampir menjelang, tapi
awan gelap menutupi seluruh jagad, sang surya belum muncul
di angkasa membuat udara yang remang-remang menambah
seramnya suasana.
Ombak menggulung makin besar, arus mengalir makin
deras, perahu yang bergerak dengan saling bergandeng itu
kadangkala harus saling membentur satu sama lain,
goncangan-goncangan keras itu membuat pertarungan yang
sedang berlangsung diujung perahu berlangsung makin ramai.
Beberapa kali Kiu-im Kaucu melepaskan serangan
berantainya untuk mendesak lawan, namun semua ancaman
itu selalu gagal untukc memaksa Hoa Thian-hong terdesak
mundur barang setengah langkahpun, lambat laun dia mulai
berpikir, “Bocah ini berdiri dengan membelakangi sungai,
keadaan tersebut ibaratnya bintang buas yang masuk
perangkap, kalau aku mendesak kelewat batas, dia pasti akan
jadi nekad dan menyerang diriku habis-habisan, apa salahnya
kalau kuulur waktu sedapat mungkin? Asalkan budak dari
keluarga Pek itu berhasil kubekuk kemenangan sudah pasti
berada ditanganku….!”
Berpikir sampai disini, ia memperlunak serangannya
walaupun masih mengurung musuhnya dengan ketat.
Hoa Thian-hong sendiri tiada bernafsu melangsungkan
pertarungan jarak panjang, karena ia masih berada di atas
perahu musuh, begitu Kiu-im Kaucu memperlunak
serangannya, dari semula jadi tuan rumah, pedangnya
berkelebat sedemikian rupa melancarkan serangan-serangan
gencar yang mematikan.
Dalam waktu singkat, pedang bajanya melepaskan
serangkaian serangan berantai dengan jurus Im yang ji kek
(dingin dan panas dua unsur kekuatan)>, Su kok ciong bong
(Kesunyian mencekam empat penjuru , Liong cian hi ya
(Pertarungan naga di tengah belukar) serta Hong hui cay tian
(Biang lala terbang di angkasa).
Semua serangan yang digunakan olehnya merupakan
serangkaian serangan mematikan yang amat dahsyat,
tampaklah cahaya hitam menyelimuti seluruh angkasa, tiada
desiran yang mendengung diudara, yang ada cuma sambaran
bayangan tajam yang mendirikan bulu roma.
Sepenuh tenaga Kiu-im Kaucu melayani serangan gencar
musuhnya, toya kepala setannya berputar memekikan telinga,
bayangan hitam menyelimuti angkasa bagaikan bukit
bersusun, walaupun pertarungan sudah berlangsung lama
akan tetapi ia belum menunjukkan tanda-tanda akan kalah.
Demikianlah, kedua orang itu saling berusaha merebut
posisi yang lebih menguntungkan, setiap kesempatan yang
tersedia di manfaatkan dengan sebaik-baiknya, tiap jengkal
tanah diperebutkan mati-matian. tanpa terasa tiga puluh
gebrakan sudah lewat.
Walau begitu posisi mereka masih tetap seimbang,
kekuatan mereka ibaratnya setali tiga uang, siapapun gagal
untuk merebut posisi diatas angin, sampat disitu kedua orang
itu sama-sama kaget bercampur terkesiap.
Makin lama pertarungan itu berlangsung, Kiu-im Kaucu
merasa makin ierperanjat, sebab ilmu silat yang dimiliki Hoa
Thian-hong sekarang jauh lebih maju kalau dibandingkan
sewaktu diseleng-garakannya pertemuan besar Kian ciau tay
hwee, kematangan dalam jurus pedang maupun dalam hal
tenaga dalam sama sekali jauh berbeda dengan keadaan
dimasa itu.
Haruslah diketahui, ketika pertemuan Kian ciau tay hwee
diseleng garakan, Hoa Thian-hong baru saja memahami inti
sari yang tercakup dalam catatan Kiam keng bu kui, meskipun
ilmu pedangnya mengalami kemajuan yang pesat namun
belum membaur seratus persen, kematangannya masih jauh
dari harapan tapi setelah mengalami penyelidikan serta latihan
yang tekun selama banyak waktu, hasil yang diraih sekarang
ini meningkat beberapa kali lipat jika di bandingkan dulu.
Untung yang dihadapinya saat itu adalah Kiu-im Kaucu
yang lihay, andaikata berganti dengan orang lain, mungkin
satu juruspun tak sanggup menahan.
Begitulah, makin lama pertarungan berlangsung Kiu-im
Kaucu makin terkesiap, timbullah rasa was-was dalam hatinya,
ia membatin jika kemajuan pasat yang dicapai bocah itu dalam
ilmu silat demikian besarnya, maka kalau keadaan dibiarkan
berlangsung beberapa bulan lagi, tanpa berlatih kitab kiam
keng pun, bocah itu sudah amat sulit tandingi.
Kalau hal ini sampai terjadi, bukankah itu berarti kursi
kebesaran sebagai manusia nomor wahid dikolong langit akan
terjatuh ke tangan anak muda itu?
Mempertimbangkan kerugian yang bakal dicapai ini, rasa iri
dan dengki segera timbul dalam benaknya, hawa nafsu
membunuh pun ikut berkobar menyelimuti seluruh benaknya,
dia segera ambil keputusan untuk lenyapkan musuh tangguh
ini dari muka bumi.
Baru saja ingatan jahat itu melintas dalam benaknya, dan
belum terpikirkan olehnya bagaimana cara untuk merebut
kemenangan, tiba-tiba dari atas tanggul ditepi pantai
berkumandang suara tertawa yang amat merdu bagaikan
genta.
“Eeh…. tiamcu istana nerakaa, kalau punya nyali, hayo
seberang kemari, mari kita bergebrak sebanyak tiga ratus
jurus!”
Tiamcu istana neraka amat terkejut, ketika dia berpaling
maka terlihatlah Pek Kun-gie sedang berdiri diatas tanggul
sambil menuding ke arahnya dan mencaci maki, mukanya
berseri seri dan penuh rasa bangga, sementara bayangan
tubuh dari Seng tongcu lenyap tak berbekas, entah kenama
kaburnya kakek tua itu.
Sambil bertolak pinggang dengan tangan kirinya, dan
menuding ke arah perahu dengan pedang lemasnya, Pek Kungie
tertawa mengikik.
“Hiiih…. hiiih…. hiiih…. Kiu-im Kaucu! ejeknya, “anak
buahmu itu terlalu tak becus, cuma sekali ayun pedang batok
kepala nya sudah terpenggal lepas dari kepalanya, haaah….
haaah…. haaahh maaf, maaf, terpaksa aku musti bikin hati
kaucu menjadi susah!”
Sementara itu Hoa Thian-hong telah menyerang musuhnya
dengan jurus Kiu thian cu lay (sembilan langit penuh seruling),
serangan itu dilancarkan begitu cepat ibaratnya anak panah
yang terlepas dari busurnya kemudian ia membentak keras,
“Kun Gie, hayo cepat pergi dari situ, jangan bikin kacau lagi
ditempat ini!”
“Baik!” jawab Pek Kun-gie dari atas daratan, aku segera
kembali ke kota Lok yang dan mencari pedang emas itu lebih
dulu!”
Habis berkata ia segera putar badan dan berlalu dari sana.
Tiamcu istana neraka mengecutkan dahinya rapat-rapat,
kepada Kiu-im Kaucu yang sedang terlibat dalam pertarungan
sengit, serunya dengan suara lantang, “Ilmu silat yang dimiliki
Seng tongcu sangat lihay, dengan kepandaian yang dimiliki
budak itu tak mungkin dia bisa dibikin keok, sudah pasti pihak
musuh mendapat bala bantuan yang tersembunti dibelakang
tanggul….!”
Baru saja lari beberapa langkah, tiba-tiba Pek Kun-gie
berhenti dan berpaling kembali, ia berseru dengan nyaring,
“Eehh Kiu-im Kaucu, cepatlah kirim beberapa orang anak
buahmu yang berilmu tinggi untuk mengejar aku, kalau sudah
terlambat menyesal tak ada gunanya!”
Tiamcu istana neraka naik darah, dengan dahi berkerut
segera serunya, “Hamba mohon perintah uutuk naik kedarat
guna membekuk budak itu, harap kaucu akan mengabulkan!”
“Baik!” sahut Kiu-im Kaucu dengan suara dalam, “Kerahkan
segenap kekuatan yang tergabung dalam istana neraka untuk
naik ke darat, bekuk Pek Kun-gie sampai dapat”
Tiamcu istana neraka mengiakan, sambil ulapkara
tangannya ia segera terjun kedalam air, dalam sekejap mata
bayangan tubuhnya sudah lenyap dari pandangan.
Secara beruntun sembilan belas orang anak buah istana
neraka ikut terjun pula kedalam sungai, dengan cepat mereka
berenang menuju ke arah daratan….
Melihat itu, Hoa Thian-hong segera berpikir, “Kedudukan
tiamcu istana neraka dalam Kiu-im-kauw sangat tinggi,
posisinya hanya setingkat dibawah kaucu seorang, bisa
dibayangkan kalau ilmu silat yang dimilikinya pasti amat lihay,
waah…. kalau Kun Gie tidak cepat pergi, dia pasti akan kena
dibekuk!”
Berpikir sampai disitu, ia lantas membentak nyaring, “Kun
Gie, cepat kabur!”
“Mau kabur kemana?” ejek Kiu-im Kaucu sinis.
Tongkat kepala setannya tiba-tiba melayang kedepan
melancarkan sebuah serangan kilat.
Serangan tersebut berkekuatan sangat besar, lihaynya luar
biasa.
Diam-diam Hoa Thian-hong terkesiap, cepat dia mundur
selangkah kebelakang, pedang bajanya meluncur ke bawah
dan tiba-tiba menekan diatas toya lawan, sambil menempel
diatas toya itu cepat ia babat jari tangan lawan.
“Ilmu pedang bagus!” puji Kiu-im Kaucu
Cepat tangan kirinya ditarik kembali, tangan kanannya
menekan ke arah bawah dan memakai jurus Tay san ya teng
(menindik kepala dengan butit Tay san, dia sergap musuhnya.
Ilmu silat yang dimiliki dua orang itu sama-sama lihay dan
sudah mencapai taraf yang luar biasa, walaupun serangan dan
jurus yang dipakai amat sederhana, tiada sesuatu yang aneh,
tetapi dalam kenyataan tersimpan daya penghancur yang luar
biasa.
Begitulah serangan mereka semuanya memakai taktik
gerak pendek tapi cepat dan jurus serangan dibuat
sesederhana mungkin, dalam keadaan demikian bukan saja
seseorang harus mempunyai tenaga dalam yang sempurna,
daya pencipta yang cemerlang, dia pun musti pandai
memberikan reaksinya atas ancaman yang tiba, sedikit salah
bertindak niscaya akan berakibat fatal.
Ketika Hoa Thian-hong menghadapi serangan toya yang
membabat datang dengan kecepatan luar biasa itu, ia tahu
kecuali menangkis dengan pedangnya tiada jalan lain yang
bisa dipakai.
Namun pemuda itupun menyadari betapa gawatnya situasi
diseputarnya, dia tak ingin adu tenaga dengan musuh, sebab
sekali adu kekuatan maka akibatnya pasti fatal.
Kalau toh jumlah kekuatan kedua belah pihak seimbang,
cara ini pasti akan dilayani olehnya, namun sekarang dia
hanya seorang diri sedangkan musuh berjumlah amat banyak,
sekali terjerumus niscaya dia bakal mati konyol ditangan
lawan.
Jilid 22
PEMUDA itu hendak mundur kebelakang untuk menghindar,
namun jalan telah buntu, dalam gugupnya tanpa berpikir
panjang sepasang kakinya segera menutul permukaan tanah
kemudian menyeruak dari sisi Kiu-im Kaucu dan menyambar
kebelakang punggung lawan.
Dikala tubuhnya masih berada diudara, pedang bajanya
yang menyilang didada secepat kilat membabat ke arah
tenggorokan musuh.
Dalam pertarungan yang berlangsung antara dua jago
lihay, jarang sekali ada yang mau bertarung dengan melewati
diatas kepala musuhnya, tapi Hoa Thian-hong terpaksa harus
berbuat demikian, hal ini disebabkan karena kesatu keadaan
sudah amat terdesak, kedua bila jurus Tay san ya teng dari
Kiu-im Kaucu telah digunakan kemudian dia akan berganti
jurus, maka arah yang paling susah dicapai oleh serangannya
itu adalah atas bahu kirinya, Karena itu Hoa Thian-hong
melayang lewat dari titik kelemahan tadi.
Meskipun demikian, andaikata seseorang tidak memiliki
ilmu meringankan tubuh yang sempurna, kendatipun dia ada
hasrat untuk berbuat demikian, belum tentu kekuatannya
mampu melakukan.
Baru saja Kiu-im Kaucu merasakan serangannya mengenai
disasaran yang kosong, desiran angin tajam telah menyambar
dari sampingnya, menyusul pula musuh telah muncul didepan
mata, dalam terperanjatnya cepat dia putar pinggang sambil
mengirim toyanya membabat ke arah belakang dengan jurus
Sin liong pak wi (Naga sakti mengebaskan ekor)
“Traang….! sepasang senjata beradu satu sama lainnya
menimbulkan letupan bunga api, kedua belah pitak samasama
merasakan lengannya jadi kesemutan.
Dengan suatu gerakan hampir menempel disamping telinga
Kiu-im Kaucu, secepat kilat pemuda itu menyambar lewat dan
melayang turun dibelakang tubuh lawan.
Gerakan tersebut boleh dibilang dilaksanakan dengan
menempuh bahaya maut, sampai jago yang hadir disitu samasama
terberanjat dibuatnya, mereka merasa kaget bercampur
terkesiap.
Terutama sekali ketika dilihatnya Hoa Thian-hong
menyambar lewat dari samping telinga ketua mereka, saking
gugup dan kagetnya hampir saja mereka menjerit tertahan.
Tiamcu ruang siksa Le Kiu gi kuatir kalau kaucunya terluka,
tanpa pikir panjang ia getarkan tangannya kedepan, tiga
batang paku penembus tulang yang mengandung racun keji
segera menyergap ke arah punggung Hoa Thian-hong.
Pada waktu itu sepasang kaki Hoa Thian-hong belum
mencapai tanah, padahal tenaga luncurnya telah habis dan
tenaga baru belum sempat dihimpun, serangan senjata
rahasia itu menyambar kemuka dengan begitu cepatnya, jelas
sulitlah bagi pemuda itu untuk menghindar.
Hampir Le Kiu gi bersorak kegirangan ketika ia lihat Hoa
Thian-hong masih tetap tidak merasakan datangnya ancaman
senjata rabasiarya padabal reku2 beracin itu ajdab harocir
menempel diatas punggungnya, terbayang bagaimana
seorang jago lihay bakal mampus ditangannya, air mukanya
kontan berseri.
Siapa tahu, seolah-olah diatas punggung Hoa Thian-hong
tumbuh mata, menanti paku-paku beracun itu hampir
menempel diatas punggung, pedang baja itu diayun
kebelakang
“Tiing! Tiiing! Tiiing!” ketiga batang paku beracun itu
langsung menempel diujong pedangnya.
Perlu diketahui pedang itu terbuat dari baja dan diatas
pedang tersebut terdapat kekuatan besi samberani yang kuat,
begitu menempel diujung pedang maka ketiga batang paku itu
sama sekali tidak rontok.
Hoa Thian-hong masih tetap tenang seakan-akan tak
pernah terjadi sesuatu kejadian bahkan memandang
sekejappun tidak, sorot matanya yang tajam menatap diatas
wajahnya Kiu-im Kaucu tanpa berkedip.
Paras muka Kiu-im Kaucu yang dasarnya sudah pucat, kini
berubah makin memucat hingga seperti kertas, sedikitpun
tidak nampak warna darah, matanya yang tajam
memancarkan nafsu membunuh yang tebal, mu kanya
menyeringai bengis hingga persis seperti malaikat buas dari
neraka.
Diam-diam Hoa Thian-hong merasa bergidik, pikirnya,
“Watak orang ini aneh sekali, aku toh tidak terikat dendam
sakit hati apa-apa dengan dirinya, kenapa….!”
Belum habis ingatan tersebut melintas dalam benaknya,
tiba-tiba Kiu-im Kaucu berkata dengan suara keras, “Engkau
toh anggap kamu kuat, kamu tangguh? Kenapa tidak berani
beradu kekerasan dengan aku?”
Hoa Thian-hong tertawa.
“Mau adu kekerasan tentu saja boleh, cuma tak dapat
dilang-sungkan diatas peraru ini!” katanya.
Saat itulah tiba-tiba tiamcu ruang siksaan Le Kiu gi
menimbrung dari samping, “Lapor kaucu, sudah lama tiamcu
istana neraka naik keatas daratan namun sampai sekarang
belum nampak kembali, jangan-jangan di atas pantai telah
terjadi peristiwa diluar dugaan?”
Kiu-im Kaucu terkesiap, cepat dia alihkan pandangan
matanya ke arah daratan, pantai memang kosong tak
kelihatan seorang manu siapun, baik anak buah Kiu-im-kauw
maupun Pek Kun-gie seolah-olah lenyap ditelan bumi.
Terdengar Le Kiu gi berkata kembali, “Pek Kun-gie
mengetahui pula tempat persembunyian dari pedang emas itu,
kalau kita sampai didahului olehnya, kerugian yang kita derita
akan terlalu besar….”
Sembari berkata sorot matanya melirik sekejap ke arah
pedang baja yang berada ditangan Hoa Thian-hong,
maksudnya lebih baik sang kaucu turun tangan merampas
pedang baja milik anak muda itu lebih dulu, sehingga kalau
sampai pedang emas tersebut didahului orang, mereka tak
akan sampai memberita kerugian besar.
Sepasang biji mata Kiu-im Kaucu berputar kencang, tibatiba
serunya dengan nyaring, “Hoa Thian-hong, tinggalkan
pedang baja itu, aku akan persilahkan engkau naik ke daratan,
bila kita berjumpa lagi dikemudian hari, aku berjanji tak akan
mencari kemenangan darimu dengan andalkan senjata”
Bagi orang persilatan, pantangan yang paling besar adalah
hutang budi kepada orang lain, dalam anggapan Hoa Thianhong
ia telah hutang budi kepada Kiu-im Kaucu, bila hutang
tersebut tidak cepat dibayar lunas maka sepanjang hari
hidupnya tak akan tenang.
Maka sambil tertawa paksa sahutnya, “Aku bersedia
menggunakan pedang baja ini sebagai imbalan dari Leng-ci
berusia seribu tahun itu, cuma kaucu pun harus memberi
jaminan kalau mulai hari ini engkau tak akan mencelakai Giok
Teng Hujin bahkan apabila dia berkeinginan untuk tinggalkan
Kiu-im-kauw, maka kaucu tak boleh menghalang-halanginya!”
“Baik!” jawab Kiu-im Kaucu dengan suara lantang, “kita
berjanji dengan sepatah kata itu, asal pedang baja itu kau
serahkan kepadaku, akupun akan titahkan orang untuk
merapatkan perahu ini kedaratan”
Mendengar jawaban yang diberikan begitu cepat, sedikit
banyak timbul juga rasa curiga dalam benak Hoa Thian-hong,
tapi segera terbayang kembali kalau dia sudah berhutang budi
kepada kaucu ini, sekalipun pedang baja tersebut harus
diserahkan kepadanya juga pantas.
Maka tanpa banyak bicara lagi dia angsurkan pedang baja
itu ketangan Kiu-im Kaucu.
“Thian-hong! Jangan tertipu….” mendadak seorang gadis
berteriak nyaring.
Perasaan hati Hoa Thian-hong tergerak, buru-buru dia tarik
kembali pedang bajanya.
Semua oraig ikut terperanjat, tanpa terasa mereka semua
lirikan pandangan matanya ke arah sang pembicara.
Tampaklah Giok Teng Hujin dengan seperangkat pakaian
ketat warna hitam sedang berdiri diburitan perahu sebelah
kanan, sebuah senjata yang bersinar tajam berada dalam
genggamannya, sekujur badan dara itu basah kuyup,
tampaknya belum lama naik keatas perahu.
Mula-mula Kiu-im Kaucu agak tertegun, menyusul sambil
tertawa seram teriaknya, “Besar amat nyalimu! Bukan saja
berani menjumpai aku, bahkan berani pula memusuhi aku….
hemm! Hmm! Bagus, bagus kalau ingin bicara hayo kemari!”
Sekujur badan Giok Teng Hujin gemetar keras, mukanya
hijau kepucat-pucaan, jelas ia sedang merasa takut, ngeri
bercampur emosi sukar untuk membayangkan bagaimanakah
perasaan hatinya waktu itu.
Tiamcu ruang penyiksaan Le Kiu gi segera membentak
nyaring, “Kaucu ada perintah, mengapa tidak maju
menghadap?”
Hoa Thian-hong mengenyitkan sepasang alis matanya yang
tebal, dengan ilmu menyampaikan suara ia segera berbisik,
“Cepat-cepat kabur dari sini, bagiku lebih gampang untuk lari
seorang diri daripada ber-kawan!”
Meskipun selisih jarak antara kedua belah pihak terpaut
empat lima kaki, akan tetapi bisikan yang langsung ditujukan
ke sisi telinga Giok Teng Hujin dapat terdengar amat nyaring,
seakan-akan sang pembicara berada di sisi tubuhnya.
Tentu saja Giok Teng Hujin juga mengerti betapa sadis dan
kejamnya siksaan lima pedang menyincang badan serta Api
dingin melelehkan sukma itu.
Penampilannya sekarang berani pula mengumumkan
penghianatannya secara terus terang, rasa takut dan ngeri
yang berkecamuk dalam hatinya makin menjadi, begitu
mendengar bisikan dari Hoa Thian-hong, buru-buru dia
berseru, “Leng-ci berusia seribu tahun adalah barang milik
pribadi, jangan kau serahkan pedang itu kepadanya, ingat
baik-baik perkataan itu.
Habis berkata ia menjejakan kaki keatas lantai dan
tubuhnya mencebur kembali kedalam sungai.
Begitu hebat amarah yang berkobar didalam dada Kiu-im
Kaucu membuat ketua dari Kiu-im-kauw ini hampir saja jadi
kalap, dengan setengah menjerit ia membentak, “Le tiamcu!
Bong tongcu! Bekuk budak sialan itu sampai dapat!”
Baik Le Kiu gi maupun Bong Seng yang mendapat perintah
itu cepat-cepat mengiakan, mereka segera memburu kedepan
dan mengejar ke arah mana Giok Teng Hujin melarikan diri.
Hoa Thian-hong merasa gelisah bercampur gusar, nafsu
membunuh menyelimuti seluruh wajahnya, cepat tangan
kirinya menyambar ketiga batang paku penembus tulang yang
menempel diujung pedangnya ke mudian menyambit ke arah
punggung Bong Seng.
Sementara kaki kanannya dengan suatu tendangan kilat
menghajar seorang pria bersenjata yang berada disamping
gelanggang hingga mencelat keudara dan menumbuk
punggung Le Kiu gi.
Terdengar Bong Seng menjerit kesakitan, tubuhnya
langsung terjungkal kedalam air.
Ketiga batang paku penembus tulang itu adalah senjata
istana andalan Le Kiu gi, racun yang dipoleskan diujung
senjata tersebut luar biasa ganasnya, dalam keadaan panik,
sambitan yang dilancarkan Hoa Thian-hong itu menjadi suatu
sergapan yang maha dahsyat.
Ketiga batang paku penebus tulang itu langsung menancap
diatas punggung Bong Seng hingga tembus empat cun
dalamnya, salah satu diantaranya malahan menhajar tepat
dihatinya, begitu tercebur kedalam sungai, racun keji itu mulai
bekerja maka mampuslah tongcu itu didalam air.
Dipihak lain, Le Kui gi yang sedang meluncur kedepan tibatiba
merasa ada orang menyambar ke arahnya, cepat dia
berpaling, ketika dilihatnya orang itu adalah anggota
perkumpulan sendiri, dengan cekatan ia tolak telapak
tangannya, ia bermaksud meminjam tenaga tolakan itu untuk
mempercepat daya luncurnya kedepan.
Siapa tahu dalam paniknya, tanpa disadari oleh Hoa Thianhong
sendiri ia telah kerahkan ilmu silat tinggi macam Le san
ta gou (memukul kerbau dari balik bukit) serta Ciat hu coan lip
(Pinjam benda salurkan tenaga) yang belum pernah dipelajari
sebelumnya.
Baru saja telapak tangan Le Kiu gi menolak tubuh orang
itu, mendadak dia merasakan munculnya segulung tenaga
pukulal yang maha dahsyat menyambar keluar dari lengan
orang itu, kontan isi perutnya terasa bergolak keras,
pandangan matanya jadi gelap dan tanpa mampu berteriak
lagi tubuhnya ikut tercebur kedalam sungai.
Meskipun dihari-hari biasa Hoa Thian-hong tak pernah
menggunakan senjata rahasia, tapi pelbagai macam cara
melepaskan senjata rahasia pernah dipelajari olehnya, satu
cara paham maka beratus-ratus macam cara yang lain pun
dapat dipahami dengan sendirinya.
Apalagi setelah ilmu silatnya mencapai pada taraf seperti
apa yang dimiliki sekarang, memetik daun menyambit dengan
bungapun bisa mencabut nyawa orang.
Kepandaian Bong Seng didalam air memang sudah
mencapai taraf yang tak terkirakan, akan tetapi ia sama sekali
tidak menyangka datangnya sergapan dari belakang,
nyawanya langsung melayang keakhirat begitu tubuhnya
mencapai air.
Sebaliknya Le Kiu gi hanya menderita luka dalam yang
sangat parah, selembar jiwanya masih dapat diselamatkan.
Perubahan yang terjadi ini sama sekali diluar dugaan
siapapun, dalam waktu singkat Giok Teng Hujin sudah berada
tiga kaki jauhnya dari situ, sekali dia menyelam tubuhnya tak
pernah muncul kembali.
Kiu-im Kaucu betul-betul marah besar, apalagi setelah
dilihatnya dalam satu gebrakan Hoa Thian-hong berhasil
membunuh seorang panglima besarnya dan melukai yang lain,
hampir saja ia jadi kalap karena sukar mengendalikan diri,
dengan suara keras dia menggembor, “Kek tongcu, bawa
segenap anak buahmu dan tangkap budak bajingan itu
secepatnya, sedangkan yang lain segera lubangi semua
perahu yang ada, serentak semuanya bekerja, siapa berani
melanggar, bunuh!”
Sembari berseru toya kepala setannya melancarkan
serangan-serangan mematikan secara bertubi-tubi, begitu
dahsyat ancaman itu ibaratnya angin puyuh dan hujan badai.
Sebetulnya Hoa Thian-hong tak tega membunuh orang
tanpa alasan yang tertentu, tapi berhubung dia kuatir kalau
sampai Giok Teng Hujin tertangkap, maka dia menyerang
dengan tangan besi, bukan saja dahsyat dalam serangan, cara
membunuhpun dilakukan sangat keji, hampir saja dia
tercengang sendiri oleh kekejaman sendiri.
Menunggu Kiu-im Kaucu sudah nekad dan menyerang dia
dengan taruhkan nyawa, dia baru merasakan keadaan yang
tidak menguntungkan, terpaksa dia putar untuk melayani
serangan musuh, sementara ingatan untuk kabur terlintas
dalam benaknya.
Sreeeet! Sreeet! Secara beruntun anak buah perkumpulan
Kiu-im-kauw pada terjun kedalam air, malahan Pia Leng-cu
yang sedang menderita luka parahpun dibawah serta terjun ke
sungai.
Hoa Thian-hong merasa gugup bercampur gelisah, dari
keadaan itu dia dapat menduga kalau orang-orang Kiu-imkauw
bermaksud melubangi didalam air.
Dalam gugupnya mendadak ia lihat diatas perahu sebelah
kiri masih terdapat beberapa orang yang belum sempat terjun
kesungai, pedang bajanya segera diayun berulang kali kemuka
memaksa mundur Kiu-im Kaucu,
Kemudian secepat sambaran kilat dia menyambar keperahu
sebelah kiri dan menangkap salah seorang diantaranya.
Bingung dan tak habis mengerti melintas dalam benak Kiuim
Kaucu, ia tak tahu apa gunanya Hoa Thian-hong
mengempit seorang anak buahnya, secepat kilat dia
menerjang kembali ke arah anak muda itu sambil melepaskan
serangan-serangan berantai.
Dengan cekatan Hoa Thian-hong menyingkir kesamping,
dalam waktu singkat dia sudah melayang dua kaki lebih, sekali
loncat dia melayang pula kesisi sebelah kiri, semua gerakgeriknya
dilakukan dengan kecepatan laksana sambaran kilat.
Kiu-im Kaucu merasa gugup bercampur gusar, hampir saja
dia kalap, bentaknya dengan marah.
“Hoa Thian-hong, kau seorang pria sejati atau bukan?
Bukannya bertempur, engkau hendak kabur kemana?”
Sekali loncat, ia menubruk ke arah mana pemuda itu kabur.
Hoa Thian-hong mendengus dingin.
“Hemm! Perkataanmu tak dapat dipercaya, aku tak sudi
masuk perangkap lagi!”
Sambil berkata dia sudah kabur keujung perahu dan loncat
kembali keatas perahu sebelah kanan.
Amarah yang berkobar dalam dada Kiu-im Kaucu benarbenar
sukar dikendalikan lagi, dia ikut menerjang kesitu.
Rupanya Hoa Thian-hong memang sengaja
mempermainkan musuh, melihat perempuan itu mengejar
tiba, cepat dia kabur lagi keburitan perahu tersebut.
Begitulah dalam waktu singkat kedua orang itu saling ber
kejar-kejaran diatas ketiga buah perahu itu, yang satu kabur
yang lain mengejar, lama kelamaan Kiu-im Kaucu berhasil
mendekati lawannya.
Ini disebabkan Hoa Thian-hong harus mengempit
seseorang dibawah ketiaknya, dia memang lihay dan berilmu
tinggi, kalau di bandingkan musuhnya lari pemuda ini jauh
lebih cepat, seandainya kejadian ini berlangsung ditanah
datar, mungkin sudah tadi-tadi ia sudah jauh meninggalkan
musuhnya dibelakang.
Benturan keras menggelegar tiada hentinya dari dasar
perahu, menyusul timbulnya beberapa buah lubang diatas
perahu tadi, air sungai mulai mengalir masuk keatas geladak
dan menggenanggi seluruh ruangan perahu.
Diam-diam Kiu-im Kaucu menyeringai seram, sambil
melakukan pengejaran yang ketat, ia berteriak nyaring, “Hoa
Thian-hong, apa maksudmu mengempit seorang anak
buahku?”
Kalau toh harus mati, sedikit banyak aku musti cari kembali
modalku….!” sahut Hoa Thian-hong cepat.
Mendengar perkataan itu, Kiu-im Kaucu teryawa terbahakbahak.
“Haahh…. haahh…. haahh…. anak murid perkumpulan kami
banyak sekali jumlahnya, kalau punya kegembiraan hayo
bunuh saja mereka sampai habis….!”
Hoa Thian-hong mendengus dingin, tiba-tiba ia menerjang
ketepi perahu, kemudian orang yang berada dibawah
ketiaknya langsung dilempar kedepan dengan keras, menyusul
mana dia ikut melayang kedepan….
0000O0000
74
KIU-IM KAUCU jadi sangat terperanjat, cepat ia menerjang
keujung perahu, tapi sayang sudah terlambat, pemuda itu
telah melayang jauh ke arah depan, melihat itu sambil
mendebrak kakinya diatas lantai perahu teriaknya setengah
menjerit, “Orang she Hoa! Aku bersumpah tak akan hidup
tersama kau….”
Sementara itu orang-orang yang berada dalam sungai
sama-sama menjerit kaget, tapi diantara mereka yang berotak
cerdas cepat putar badan dan cepat-cepat berenang menuju
ke arah pantai dengan melawan gulungan ombak yang besar.
Hca Thian-hong yang melayang ditengah udara bergerak
enteng ke arah depan, ketika daya luncurnya menjadi lemah
dan tubuhnya melayang kembali kebawah, kebetulan orang
yang dilempar lebih dahulu kedepan itu berada dibawah
kakinya, ia segera menggunakan punggung orang itu sebagai
batu injakan, sekali menjejak tahu-tahu ia sudah meluncur
kembali kedepan untuk kedua kalinya.
Loncatan yang pertama ia berhasil melampaui jarak sejauh
enam kaki, kemudian dalam loncatan yang kedua ia mencapai
jarak empat kaki delapan depa, ketika masin berada ditengah
udara, ia selipkan kembali pedang bajanya ke arah pinggang.
Kemudian dikala badannya meluncur kebawah dengan
cepat hingga tampaknya pemuda itu segera akan tercebur
kedalam sungai, tiba- tiba kaki kanannya menjejak kembali
diatas telapak atas kaki kirinya, sepasang telapak tangannya
mendayung kebelakang lalu ditekan ke arah bawah, dengan
kerahkan ilmu meringankan tubuh menaik keawan lewat
tangga, suatu kepandaian ginkang tingkat tinggi, sekali lagi
badannya meluncur kemuka untuk ketiga kalinya.
Dari balik tanggul di tepi pantai tiba-tiba loncat keluar Pek
Kun-gie, tatkala menyaksikan kelihayan kekasihnya dia segera
berte puk tangan sambil bersorak, “Horee…. bagus…. bagus….
Thian-hong,kau memang hebat, aduuhh mak!”
Pujian itu diakhiri dengan suatu jeritan kaget.
Walaupun secara beruntun Hoa Thian-hong sudah tiga kali
mengganti napas dan mencapai permukaan sungai seluas
empat lima belas kaki, akan tetapi jarak dari perahu sampai
daratan ada dua puluh kaki jauhnya, kendati ilmu
meringankan tubuhnya amat sempurna, tak urung dia
kehabisan napas juga sehingga akhirnya toh ia tercebur pula
kedalam sungai.
Pada waktu itu anak buah Kiu-im Kaucu tersebar ditengah
sungai, mereka sedang menugggu sampai perahu itu
tenggelam barulah saat itu serentak menyerbu maju untuk
melawan mangsanya.
Siapa tahu Hoa Thian-hong telah keluarkan ilmu
simpanannya yang lihay hingga jauh meninggalkan lawanlawannya,
menanti kawanan jago dari Kiu-im Kaucu
berdatangan ketempat kejadian, pemuda itu sudah mencapai
tepi daratan.
Pek Kun-gie sangat gembira, dengan muka berseri dia lari
ketepi sungai dan mengulurkan tangannya kebawah sambil
berseru, “Hayo cepat naik, hayo cepat naik, mereka sudah
makin mendekat, hati-hati, tuh lihat! Mereka sudah sampai
dibelakangmu…. “
Sekalipun ilmu berenang milik Hoa Thian-hong tidak begitu
bagus, akan tetapi untuk berenang dalam jarak selebar lima
enam kaki bukan merupakan suatu pekerjaan yang terlalu
menyulitkan, dalam sekejap mata ia sudah mencapai tepi
pantai dan diseret naik keatas daratan oleh Pek Kun-gie.
Begitu naik keatas darat, gadis itu segera menarik
tangannya untuk diajak kabur dari situ.
“Jangan gugup, tak usah terburu nafsu, kita tunggu mereka
sebentar….!” kata Hoa Thian-hong cepat.
Ia putar badan dan berdiri tegak, dengan sorot mata tajam
di awasinya musuh-musuh yang tersebar ditengah sungai.
Pek Kun-gie gelisah sekali sambil mendepak-depakan
kakinya kembali dia berseru, “Hayo cepetan dikit, kita harus
segera mencari pedang emas itu, hayo cepat! Kita bisa kena
didahului mereka….”
Hoa Thian-hong tertawa geli menyaksikan kepanikan orang,
sabutnya sambil tersenyum, “Huuss! Jangan ribut dulu,
memangnya kau anggap Pia Leng-cu suka berterus terang,
ingat? Dia toh seorang hidung kerbau yang licik dan banyak
akal setannya”
Tentu saja Pek Kun-gie tahu apa sebabnya pemuda itu tak
mau pergi dari situ, seratus persen dia tentu sedang
menguatirkan keselamatan Giok Teng Hujin, kontan saja dia
jadi mendongkol dan berdiri dengan muka cemberut,
cemberutnya cemberut masam.
Disar perempuan, kalau sudah cemburu memang sukar
disembunyikan dalam hatinya, gadis itu tahu, bila Hoa Thianhong
sedang penuju sesuatu, biar diseretpun percuma saja,
terpaksa diapun tidak merengek lebih jauh.
Pada saat itulah seorang kakek tua bersenjatakan pedang
pendek dari Kiu-im-kauw telah mencapai daratan, dengan
cepat dia merangkak bangun dari dalam air dan siap loncat
keatas tanggul.
Hoa Thian-hong segera maju sambil menggetarkan pedang
bajanya, dia mengancam.
“Kau sudah bosan hidup yaa? Hayolah, kalau pingin pulang
keakhirat…. silahkan naik ke darat!”
Sekilas rasa kaget dan ngeri meliputi paras kakek tua itu,
cepat-cepat dia menyelam kembali kedalam air dan mundur
dua kaki kebelakang, dengan termangu-mangu dia
memandang ke arah daratan, untuk sesaat lamanya kakek tua
itu tahu apa yang musti dilakukan
Hoa Thian-hong alihkan kembali pandangan matanya jauh
ketengah sungai, waktu itu dia lihat ada banyak orang sedang
berenang menuju kehilir sungai, dia tahu kawanan jago itu
sedang mencari Giok Teng Hujin untuk dibekuk, hatinya makin
gelisih bercampur murung.
Dari perubahan wajah anak muda itu, Pek Kun-gie
sendiripun dapat merasakan kalau kekasihnya sedang
menguatirkan keselamatan Giok Teng Hujin, api cemburu
membakar hatinya makin keras, pikirnya, “Kalau dia tak mau
pergi, apa salahnya kalau kutotok saja jalan darahnaya
kemudian membawa dia kabur dari sini?”
Cepat dia ambil keputusan, jari tangannya diam-diam
menyodok kedepan dan menotok jalan darah Hoa Thian-hong
yang ada diarah pinggang.
Totokan tersebut sudah diarahkan secara tepat, bahkan
berat ringannya serangan telah diperhitungkan masak-masak,
siapa sangka anak muda itu cuma mengerutkan tubuhnya dan
totokan tersebut sama Sekali tidak menunjukkan reaksi.
Pek Kun-gie semakin panik dan keki, akhirnya dia
mendepakkan kakinya keatas tanah sambil mengomel, “Baik….
baik…. kalau engkau tak mau pergi dari sini, jangan salahkan
aku kalau jiwa Cu locianpwe, dewa yang suka pelancongan itu
terancam bahaya, sekarang dia sedang bergerak melawan dua
puluh orang jago lihay dari Kiu-im-kauw!”
Sekarang Hoa Thian-hong baru kaget, teriaknya, “Kenapa
tidak kau katakan sedari tadi?”
Cepat ia sambar tangan gadis itu dan kabur menuju
ketengah dataran.
Pantai selatan sungai Hoang ho merupakan tanah gersang
yang jarang ditanami pepohonaan, bukan saja tak ada
persawahan disitupun jarang ada perumahan, pemandangan
kealam bebas amat luas sekali
Begitu mencapai keatas daratan, dari kejauhan Hoa Thianhong
telah menyaksikan rombongan manusia sedang terlibat
dalam suatu pertarungan sengit, ketika dihitung jumlahnya
ternyata mencapai tiga empat puluh orang lebih.
Pemuda itu jadi panik, dia percepat larinya dan langsung
bergerak menuju ketempat kejadian.
Menanti ia sudah hampir mendekati tempat kejadian, maka
segala sesuatunya dapat terlihat jauh lebih jelas lagi.
Ternyata orang yang sedang terlibat dalam pertarungan itu
terbagi menjadi dua tombongan, grup pertama terdiri dari
Tiam cu istana neraka beserta kesepuluh orang anak buahnya
dari Kiu-im-kauw, sedangkan grup kedua terdiri dari Kho
Hong-bwee, Pek Soh-gie beserta belasan orang anak buahnya
dari perkumpulan Sin-kie-pang, selain itu ditambah pula
dengan dua orang jago lain, mereka adalah Cu Thong dewa
yang suka pelancongan yang gemuk dan pendek serta Bong
Pay yang baru saja sembuh dari luka parahnya.
Kho Hong-bwee masih tetap berdandan sebagai seorang
Too koh (rahib) sambil putar pedang mustikanya ia sedang
melangsungkan pertarungan sengit melawan tiamcu istana
neraka.
Sedangkan sisanya, yang lain melangsungkan suatu
pertarungan massal yang tak kalah serunya, diantara dua
rombongan jumlah anak buah Kiu-im-kauw jauh lebih banyak
beberapa orang.
Seng tongcu dari ruangan penerimaan anggota baru
menggeletak ditepi gelanggang dalam keadaan jalan darah
tertotok, empat orang anggota Kiu-im-kauw sedang berusaha
untuk menolong Seng longcunya itu, tapi Dewa yang suka
pelancongan Cu Thong selalu menghalangi jalan pergi mereka
dengan kebutan kakinya.
Pertarungan ini berjalan sangat kocak dan penuh dihiasi
oleh suara tertawa haha hihi yang nyaring.
Ketika Hoa Thian-hong mencapai tempat kejadian, dari
kejahuan Cu Thong telah berseru, “Hey anak Seng, baik-baik
bukan dirimu?”
“Orang tua, engkau sendiri juga baik-baik bukan? sapa Hoa
Thian-hong pula sambil tertawa.
Dengan muka berseri-seri Pek Kun-gie menarik tangan
anak muda itu untuk mendekati gelanggang pertarungan,
serunya dengan bersemangat, “Hayo kita cepat-cepat
bereskan kawanan manusia itu, kemudian berangkat ke kota
Lok yang untuk mencari pedang emas!”
Hoa Thian-hong tersenyum.
“Boleh saja kalau ingin ambil pedang emas, aku cuma
kuatir kalau pengakuan dari Pia Leng-cu tidak jujur, kalau kita
sampai kecele dan menubruk tempat kosong, idiih! Malu sekali
aaah, kita bisa ditertawa kan orang-orang Kiu-im-kauw!”
Aaah, perduli bagaimana nantinya, sekarang pokoknya kita
musti labrak begundal-begundal dari Kiu-im-kauw ini lebih
dahulu sampai babak belur, mumpung harimau betina yang
galak itu belum sampai disini, lumayan toh kalau kita bisa
hadiahkan beberapa buah bogem mentah ditubuh mereka?”
Hoa Thian-hong tertawa geli sewaktu mendengar Pek Kungie
mengistilahkan Kiu-im Kaucu sebagai Harimau betina,
sebetulnya dia mau maju untuk melabrak musuhnya, tiba-tiba
ia lihat Bong Pay sedang bertarung dengan Pek Soh-gie
mendampingi disamping nya.
Serangan jari maupun telapak tangan dari Bong Pay lihay
sekali, angin serangannya dahsyat dan mengerikan, setiap Pek
Soh-gie temui bahaya dia segera maju menolong.
Satu ingatan cepat terlintas dalam benaknya, dia berpikir,
“Bong toako memang gagah dan ganteng dia paling cocok
kalau dijodohkan dengan nona gede dari keluarga Pek, bila
dua orang itu bisa berpasang, waah! Mereka merupakan
sepasang sejoli yang paling cocok, aaah! Lebih baik aku tak
usah maju, biar mereka bertarung agak lamaan secara
berduaan!”
Pek Kun-gie tak tahu jalan pikiran kekasihnya, melihat
pemuda itu batal untuk maju ia jadi keheranan, segera
tanyanya dengan hati gelisah, “Eeh, kenapa kau? kita tidak
segera melabrak mereka, kalau sampai pasukan besar musuh
tiba disini, kitalah yang bakal konyol!”
“Sstt! Jangan ribut dulu” bisik Hoa Thian-hong sambil
tersenyum, “kalau kau gembar gembor begitu, konsentrasi
yang lagi tertolong pasti akan buyar!”
Kemudian sambil menuding kedepan, bisiknya lagi, “Coba
kau lihat ilmu pedang ibamu, Huuh! Kalau dibandingkan
dengan kepandaianmu…. waaah! sejaripun kau tak
menampil….”
“Hmm! Aku tak mau ambil perduli, pokoknya asal lebih
hebat dari Chi Wan Hong, binimu itu, aku sudah puas!” jawab
Pek Kun-gie dengan bibir dicibirkan.
Hoa Thian-hong tertawa, ia merasa tidak leluasa untuk
menanggapi lebih jauh maka pemuda itu lantas
membungkam.
Seperti teringat akan sesuatu tiba-tiba sikap Pek Kun-gie
berubah jadi gelisah bercampur panik.
Setelah putar biji matanya kesana kemari gadis itu
langsung kabur kemuka sambil berseru, “Thianhong, hayo
cepatan dikit, kalau terlambat kuatirnya tidak keburu lagi!”
Dalam waktu singkat dia sudah kabur sejauh puluhan kaki
dari tempat semula.
Hoa Thian-hong sama sekali tidak beranjak dari tempat
semula, dia kuatir pertarungan seru itu diganggu oleh
kehadiran Kiu-im Kaucu beserta anak buahnya, kalau sampai
jago lihay itu muncul disana dan dia sedang pergi, siapa lagi
yang mampu menghadapi kelihayannya?
Tiba-tiba terdengar Kho Hong-bwee berseru dengan cemas,
“Hoa kongcu, cepatlah kejar dia, aku kuatir budak itu sudah
teringat oleh suatu urusan penting kalau tidak ia tak akan
segugup dan segelisah itu!”
Hoa Thian-hong selain menghormati watak Kho Hongbwee,
selama ini dia pandang perempuan itu sebagai
angkatan yang lebih tua, tentu saja ia merasa tak enak hati
untuk menampik permohonannya, terpaksa dia kabur
mengejar ke arah mana Pek Kun-gie lenyapkan diri.
Tiamcu istana neraka merasa amat terperanjat ketika
diketahuinya arah yang ditempuh dua orang itu adalah kota
Lok yang, dia segera berpikir dalam hati, “Aduuh celaka! Kalau
dililat arah mereka jelas kedua orang itu sedang kabur ke kota
Lok yang untuk mencari pedang emas….”
Karena kuatir cepat dia loncat mundur dari gelanggang,
sambil ulapkan tangannya ia berseru, “Orang-orang dari Kiuim-
kauw segera ikut aku.
Begitu selesai berbicara dia segera mengejar ke arah Hoa
Thian-hong berdua.
Secara beruntun orang-orang dari Kiu-im-kauw
mengundurkan diri dari gelanggang pertarungan dan
menyusul dibelakang Tiamcu mereka.
Kho Hong-bwee seria Cu Thong sekalian tentu saja tak mau
ketinggalan, mereka ikut menyusul dibelakang orang-orang
Kiu-im-kauw.
Dengan begitu maka dalam waktu singkat tempat itu
menjadi sunyi kembali, kecuali Seng longcu seorang yang
masih menggeletak diatas tanah karena tidak mampu
bergerak.
Gerak tubuh Hoa Thian-hong sangat cepat bagaikan
hembusan angin, sekejap kemudian dia sudah menyusul
disamping Pek Kun-gie sambil menarik tangannya pemuda itu
menegur, “Eeh, apa-apaan kamu ini? Kenapa kau lari dengan
muka gugup? Hayo bilang, permainan setan apa yang sedang
kau lakukan?”
Pek Kun-gie tidak langsung menjawab, dia berpaling
kebelakang, sewaktu dilihatnya para jago yang lain sedang
menyusul dibela kangnya ibarat seekor naga panjang, dara
cantik itu merasa gembira bercampur gelisah serunya lantang,
“Hayo kita kabur rada cepatan dikit, pokoknya kita harus jauh
tinggalkan orang-orang dibelakang sana!”
“Ibumu dan encimu toh ikut dirombongan belakang, masa
engkau juga akan tinggalkan mereka semua?” tegur sang
anak muda keheranan.
“Tentu saja!”
Mendadak gadis itu merasa salah bicara, cepat ia
membungkam dan mempercepat larinya kedepan.
Bukan bertambah cepat, Hoa Thian-hong malahan semakin
memperlambat gerak tubuhnya, ia mengomel, “Aku mau
bicara dengan Cu locianpwe serta Bong toako, kalau engkau
tak mau terangkan dengan jelas, aku ogah untuk lari lagi.”
“Engkau tak mau lari lagi?” seru Pek Kun-gie gelisah, “baik,
aku segera akan loncat kesungai, aku akan bunuh diri, aku
akan tusuk perutku dengan pisau”
“Eeh…. kenapa musti begitu?” tegur Hoa Thian-hong
tercengang.
“Kita tinggalkan dulu orang-orang itu, nanti akan kukatakan
dengan sejujurnya!”
Ha Thian-hong benar-benar dibuat kehabisan akal, dengan
perasaan apa boleh buat terpaksa dia mempercepat larinya
kedepan.
Begitu dia kerahkan kepandaian saktinya dalam sekejap
mata para pengejar dibelakang sudah ketinggalan jauh sekali.
Kurang lebih sepertanak nasi kemudian Pek Kun-gie baru
terpaling kebelakang, ia lihat hanya tiamcu istana neraka serta
Cu Thong dua orang saja yang masih mengguntil dikejauhan,
sedang sisanya yang lain sama sekali tidak nampak batang
hidungnya lagi.
Bicara sebenarnya, ilmu meringankan tubuh yang dimiliki
Kho Hong-bwee termasuk sangat lihay, malah jauh diatas
kepandaian tiamcu dari istana neraka maupun Cu Thong, akan
tetapi dia ada maksud untuk memberi kesempatan bagi
putrinya untuk jalan bersama Hoa Thian-hong, karenanya ia
sama sekali tidak mengejar dengan sepenuh tenaga.
Sebaliknya orang-orang yang lain telah kerahkan segenap
kekuatan yang dimilikinya, sampai seluruh badan telah basah
kuyup oleh air keringat namun mereka masih tetap
ketinggalan jauh sekali.
Sementara itu Hoa Thian-hong telah menemukan pula
keanehan yang menyelimuti wajah Pek Kun-gie, dia merasa
amat tercengang sehingga tanpa terasa tegurnya, “Ada urusan
apa toh? Kok kau kelihatan begitu gembira?”
Pek Kun-gie tertawa cekikikan.
“Kita lari dipaling depan, itu beratti pedang emas tersebut
sudah pasti akan terjatuh ketangan kita”
“Aku tidak percaya kalau engkau gembira karena soal ini,
Hayo cepat mengaku terus terang! Kalau tidak awas kalau
kulemparkan tubuhmu kedalam sungai”
Pek Kun-gie semakin geli hingga tertawa mengikik.
“Hmm Apa takutnya beritahu kepadamu? Aku bukan orang
bodoh, bukankah engkau selalu paksa aku untuk pulang
kerumah? Nah sekarang ibuku sudah datang, kalau aku tidak
cepat-cepat kabur memangnya aku harus menunggu sampai
diseret pulang olehnya?”
“Haahh…. haahhh…. haahh…. rupanya karena soal itu, tapi
kalau kau bergelandangan terus diluar….”
“Sampai matipun aku tak mau pulang, pokoknya kalau kau
paksa aku untuk pulang kerumah, berarti kauingin aku cepat
mampus tukas sang dara dengan cepat.
Setelah tertawa cekikikan, ia melanjutkan, “Sekalipun
sudah pulang ke gunung, kau toh masih bisa ngeloyor keluar!”
Pokoknya aku akan ikut terus disampingmu, kau lari ke
timur ikut ke timur, kau naik langit aku ikut kelangit, itu
namanya kalau sudah jodoh kemana tak akan lari lagi,
Mengerti?”
Hoa Thian-hong tersenyum dihatinya dia berpikir,
“Nasibnya memang jauh lebih beruntung daripada Ku Ing-ing,
dia masih punya rumah, masih ada ayah ibu dan saudara, lain
sebaliknya Ing ing telah menjadi penghianat dari Kiu-im-kauw,
dia harus buron te rus dengan hidup bersembunyi, dunia
begini luas, kemana dia akan mencari tempat berteduh?”
Teringat sampai kesitu, rasa sedih dan murung kembali
menyelimuti wajahnya, rasa gembira yang semula menghiasi
wajahnya kontan tersapu lenyap hingga sama sekali tak
berbekas.
Pek Kun-gie belum merasakan kesedihan anak muda itu, ia
masih gembira dan berjoget dengan riang gembira, serunya
lagi dengan setengah mengomel, “Hayolah cepatan dikit
larinya…. Ooh Lo Thian! Hayolah, cepatan dikit kalau lari”
“Kau tahu Kiu-im Kaucu masih ada dibelakang, kalau orang
orang kita dibelakang sampai ketemu dengannya, mungkin
jiwa mereka akan terancam, aku lihat lebih baik kita balik
kesana sambil periksa keadaan mereka, setuju bukan?”
Mula-mula Pek Kui Gie agak kaget, menyusul mana sambil
tertawa sahutnya, “Ooh, jangan kuatir, makin cepat kita kabur
ke arah kota Lok yang, Kiu-im Kaucu akan semakin gelisah
dan dia akan mengejar semakin kencang, sekalipun ibu tak
dapat menangkan dia, belum tentu beliau akan dikalahkan
dalam waktu singkat, saat ini pikiran dari Kiu-im Kaucu telah
melayang keatas pedang emas itu, dia pasti akan kerahkan
segenap kemampuan yang dimilikinya untuk mengejar kita,
tak mungkin dia akan mencari kesulitan buat diri sendiri,
percaya tidak?”
Hoa Thian-hong berpikir sebentar, dia merasa apa yang
diuraikan dara itu memang sangat masuk diakal, maka segera
pikirnya, “Keadaan dari Ing ing jauh lebih berbahaya, kalau
begitu akan kuusahakan untuk peroleh pedang emas itu
kemudian baru mengajak Kiu-im Kaucu untuk berunding
secara baik-baik, mungkin dengan imbalan pedang emas
tersebut dia bersedia untuk menyelesaikan persoalan ini
secara baik-baik….”
Setelah mengambil keputusan didalam hati, cepat dia
kerahkan segenap kemampuannya untuk mengerahkan ilmu
meringankan tubuh tingkat tingginya sambil menarik tangan
Pek Kun-gie bagaikan hembusan angin puyuh mereka kabur
menuju ke kota Lok yang.
Kurang lebih dua tiga jam kemudian sampailah mereka
dikota Lok yang, waktu itu malam sudah menjelang lagi,
cahaya lampu menerangi setiap rumah penduduk didalam
kota, ketika masuk ke kota kebetulan hujan sedarg turun
dengan derasnya.
Hoa Thian-hong segera menarik Pek Kue Gie untuk
berteduh dibawah emper rumah orang, katanya, “Hayolah kita
cari sebuah rumah makan untuk berteduh dari hujan deras ini,
sementara kau bersantap, aku akan mencari pedang emas itu,
asal ketemu aku segera akan menyusul!”
“Tidak, aku tidak mau, kita harus berada bersama-sama,”
jawab Pek Kun-gie sambil membereskan rambutnya yang
kusut, dia hembuskan napas panjang.
Kemudian tanpa banyak bicara Pek Kun-gie meneruskan
perjalanan diteagah bujan deras.
Menyaksikan kenekatan dara itu, Hoa Thian-hong tidak bisa
berbuat apa-apa lagi kecuali mengikuti dibelakangnya.
Sesaat kemudian mereka sudah tiba didepan rumah
penginapan Ciat-seng, sambil menuding jendela loteng dari
kedai penjual obat itu Pek Kun-gie berkata, Diatas loteng
itulah gudang penyimpanan obat yang dimaksudkan imam
sekarat itu.
“Ikuti aku!” seru Hoa Thiaa Hong cepat”
“Eeeh…. tunggu sebentar!” tiba-tiba Pek Kun-gie berseru,
seraya berkata dia lari masuk kedalam kedai obat itu dan
memesan sejenis benda.
Setelah gadis itu muncul kembali, Hoa Thian-hong baru
bertanya dengan keheranan.
Eeeh, apa-apaan kau ini?
“Pinjam korek api, engkau membawa bahan untuk obor
bukan?” sahut Pek Kun-gie.
Hoa Thian-hong menggeleng sambil tertawa, dia berputar
ke arah kiri, dari situ sambil menggandeng tangan Pek Kun-gie
loncat naik keatas loteng kecil itu, setelah membuka
jendelanya mereka menyusup masuk kedalam ruangan itu.
“Tutup jendela itu rapat-rapat” bisik Pek Kun-gie, aku akan
mencari pedang emas itu se-mentara engkau jaga didepan
jendela, jangan beri kesempatan kepada lawan untuk masuk
kesini!”
Hoa Thian-hong segera tutup pintu jendela dan berjaga
disa mpingnya, sementara Pek Kun-gie telah memasang api
dan memilih sebuah batang ranting obat yang mudah
terbakar, dengan rating itu Sebagai obor ia serahkan kepada
sang pemuda untuk memegangnya, sedang dia sendiri dengan
badan basah kuyup mulai mencari pedang emas tersebut
disekitar ruangan loteng itu.
Pek Kun-gie adalah seorang jagoan dunia persilatan, dalam
soal menggeledah atau melakukan pencarian harta pusaka
sudah terlalu hapal dan berpengalaman, setelah memeriksa
sekejap sekitar situ dia lantas loncat naik keatas belandar
rumah, ia periksa dengan seksama setiap bagian ruangan
yang mungkin bisa dipakai untuk menyembunyi kan pedang
itu, malahan atap maupun celah celah dinding pun diperiksa
dengan seksama, namun pedang emas tersebut sama sekali
tidak ditemukan.
Perlu diketahui, ranting yang digunakan sebagai bahan
obor itu adalah sejenis bahan obat, karena terbakar maka
timbullah asap yang tebal, dan asap itu segera menggumpal
didalam seluruh ruangan “berhubung tiadanyva celah sebagai
penyaluran, maka dalam waktu singkat ruangan itu sudah
berbau bahan obat yang sangat tebal.
Mencium ban obat-obatan itu Hoa Thian-hong segera
berkata sambil tertawa geli, “Waaaduuh…. obat-obatan apaan
ini? Kalau termasuk bahan obat yang mahal harganya, sayang
toh kalau dibakar dengan begitu saja
“Memangnya aku juga tahu? Tanya saja sama binimu!”
sambung Pek Kun-gie cepat.
Sambil melayang turun keatas tanah, gadis itu mulai
pindahi bahan-bahan obatan tersebut dan menggeledah
seputar ruangan itu.
Perlahan-lahan Hoa Thian-hong menghampiri kesamping
Pek Kun-gie, dia angkat tinggi-tinggi obor tersebut agar sinar
penerangan jauh le bih tajam, ketika dilihatnya pakaian dara
iiu basah kuyup oleh air hujan dan tubuhnya sekarang basah
pula oleh keringat, ia jadi dibikin sangat terharu.
“Istirahatlah dulu” bisiknya dengan lembut, “aku akan
menggan tikanmu untuk menggeledak disekitar tempat ini!”
“Ruangan ini penuh dengan debu, kotornya bukan
kepalang, kau tak usah ikut, nanti kotor tanganmu!”
Setelah tertawa manis, sambungnya kembali.
“Pia Leng-cu memang seorang telur busuk sialan, setelah
menotok jalan darah pingsanku, dia telah menaruh badanku
dibawah tumpukan bahan obat-obatan itu, ketika kusadar dari
pingsan terasa pandangan mataku jadi sangat gelap, diatas
badan masih tertumpuk oleh bahan rumput-rumputan kering
Hiih….! Waktu itu aku menyangka sudah mampus dan
nyawaku sudah ada di akhirat.”
“Imam tua itu memang patut dibenci tapi patut juga
dikasihani” Hoa Thian-hong menanggapi, “ibu jarinya sudah
ditusuk oleh sebatang paku beracun yang ganas, jika jalan
darahnya dibebaskan maka jiwanya pasti akan melayang
tinggalkan raganya!”
Daripada biarkan dia hidup sambil mencelakai orang
dijagad, memang lebih enak kalau dibikin mampus saja,
hidang kerbau sialan itu seorang telur busuk besar sekalipun
dicincang tubuhnya juga pantas.
Gadis itu berhenti sebentar, kemudian melanjutkan,
“Kenapa toh kakinya kok jadi pincang??”
“Oooh dia kena digigit oleh Soat-ji rase salju milik Giok
Teng Hujin!”
“Dan mukanya yang bengkak? Apa engkau yang tampar
mukanya dengan tangan?”
“Ooh bukan, aku menyemburnya dengan semburan arak!”
“Semburan arak?” Pek Kun-gie, tiba-tiba membelalakan
matanya lebar-lebar.
Tiba-tiba dia membanting sedikit bahan obat yang ada
dicekalannya keatas lantai, kemudian sambil mencak-mencak
karena mendongkol teriaknya, “Bagus, bagus sekali, orang
sedang berada dimulut harus, mampuspun tak
berkesempatan, engkau malahan cari kesenangan dengan
temani perempuan lain minum arak, macam apakah kamu itu?
Oooh puas sungguh puas yaa?? Hatimu busuk, tak nyana
hatimu kejam, aku…. aku akan adu jiwa dengan kau”
Hoa Thian-hong tertawa santai, bisiknya.
“Eeh…. eehhh…. jangan berteriak-teriak begitu, nanti tauke
yang punya warung obat naik kemari lho!”
“Tidak ambil perduli, pokoknya aku mau teriak, aku…. aku
mau teriak yang keras….” jerit Pek Kun-gie makin menjadi.
Cepat Hoa Thian-hong menutupi mulutnya dengan tangan,
sebelum dia melakukan tindakan lain, tiba-tiba jendela dihajar
orang sampai terbentang lebar, menyusul Kiu-im Kaucu
dengan suatu sergapan kilat menerjang masuk kedalam ruang
loteng itu, begitu tajam sambaran anginnya sehingga
memadamkan obor yang berada ditangan anakmuda itu.
Sekejap mata ruang loteng jadi gelap gulita hingga sukar
melihat kelima jari tangan sendiri.
Hoa Thian-hong sangat terkejut, cepat ia cabut pedang
bajanya dan berdiri dihadapan Pek Kun-gie untuk menghadapi
segala kemungkinan yang tidak diinginkan.
Tiba-tiba Pek Kun-gie bertepuk tangan sambil berteriak
kegirangan, “Hooree…. keracunan! Dia mulai keracunan!
Hayo, roboh kau, roboh kau sekarang…. mampus kau!”
Sewaktu menerjang masuk kedalam ruang loteng, Kiu-im
Kaucu memang sudah mencium sejenis bau obat-obatan yang
sangat aneh sekali, mulai detik itu hatinya sudah curiga dia
kuatir kalau kena dipecundangi oleh akal busuk Hoa Thianhong.
Dan kini setelah mendengar seruan yang tiba-tiba
diutarakan Pek Kun-gie, kecurigaan semakin menjadi, dengan
hati berdebar karena ketakutan cepat ia jejakkan kaki kelantai
dan meluncur keluar dari ruangan tersebut, peluh dingin telah
mengucur keluar membasahi tubuhnya.
Pek Kun-gie tertawa mengikik karena geli, cepat ia menuju
ketepi jendela dan melongok kebawah.
Ditengah hujan sangat deras, tampaklah Kiu-im Kaucu
berdiri kaku di tengah jalan raya, tubuhnya sama sekali tak
berkutik barang sekejappun, kesadaannya persis seperti
sebuah patung arca.
Dari sikapnya itu jelas ia sedang kerahkan hawa murninya
untuk mengusir, hawa racun yang mengeram dalam
tubuhnya.
Kembali gadis itu tertawa mengikik, serunya dengan
lancang, “Hey Kiu-im Kaucu, engkau sudah terkena racun
jinsom dari bukit Tiam Pek san, lebih baik cepatlah pulang
kerumah untuk persiapkan segala urusan yang terakhir, kalau
tidak kau pilih peti mati buat diri sendiri, takutnya mayatmu
akan diberikan anjing!”
“Sett….! jangan ribut terus” bisik Hoa Thian-hong,
“memangnya sedang ada diruma h sendiri”? Kaok-kaok terus
persis seperti burung gagak”
Pek Kun-gie tertawa cekikikan, ia tidak bicara lagi.
Sementara itu dari kejauhan telah meluncur datang
beberapa sosok bayangan manusia, orang yang tiba dulu
adalah seorang To koh berbadan kecil langsing, dia tak lain
adalah Kho Hong-bwee ibunya Pek Kun-gie, dibelakangnya
menyusul dia orang yaitu Tiamcu istana neraka dari Kiu-imkauw
serta Dewa yang suka pelancongan Cu Thong.
Sesaat kemudian dari belakang sana baru menyusul datang
Kek Thian-tok, itu tongcu pelatih teknis dari Kiu-im-kauw
sambil mengempit tubuh Pia Leng-cu.
Melihat gerak tubuh sang lawan yang begitu cepat dan
cekatan walaupun sedang mengempit seseorang, dalam hati
Pek Kun-gie dan Hoa Thian-hong merasa amat terperanjat.
Kek Thian-tok adalah seorang tongcu pelatih teknis yang
bertanggung jawab dalam soal memberi latihan ilmu silat
kepada para anggota, darimana anak buah Kiu-im-kauw
pandai ilmu meringankan tubuh dan langkah dewa pemabuk
luan ngo beng mi sian tun hoat kalau bukan belajar dari
kepala pelatih teknisnya ini?
Anak buahnya saja sudah begitu lihay, apalagi Kek Thiantok
sebagai pengajarnya, sudah tentu berlipat ganda
kelihayannya dari yang lain, malahan kalau dibandingkan
dengan Kiu-im Kaucu sendiri, boleh dibilang dalam soal ilmu
meringankan tubuh dia tak kalah jauh.
Setelah beberapa orang itu sampai ditempat tujuan,
mereka menghembuskan napas panjang untuk menyegarkan
kembali dadanya yang turun naik.
Dengan memakai kipasnya untuk menahan air hujan, Dewa
yang suka pelancongan Cu Thong menengadah keatas loreng,
lalu teriaknya dengan suara nyating, “Seng ji, kalian lagi apaapaan?
Permainan setan apa lagi yang telah kamu siapkan?
Aaah…. gara-gara kamu, hampir saja napasku jadi putus
ditengah jalan, untuug tak sampai mampus!”
Mendengar teguran itu cepat Hoa Thian-hong melayang
turun kebawah, sahutnya sambil tersenyum, “Boapwe
memang rada sinting sehingga bikin susah kau orang tua saja,
harap cianpwe tak usah marah lagi!”
Kemudian ia memberi hormat kepada Kho Hong-bwee
sambil menyapa, “Hujini baik-baik bukan selama ini?”
Kho Hong-bwee, tertawa, sambil balas hormat sahutnya,
“Kongcu tak usah banyak adat, bagaimana dengan kesehatan
ibumu?”
Dipihak lain, Kiu-im Kaucu sudah merasa kalau dirinya
tertipu, ia periksa seluruh tubuhnya dengan teliti tapi tak ada
tanda-tanda ke racunan, maka sambil melototkan sepasang
matanya dengan pandangan tajam, bentaknya penuh
kegusaran, “Hoa Thian-hong! Serahkan pedang emas itu
kepadaku”
Pek Kun-gie melayang turun dari atas loteng, sambil berdiri
disisi Hoa Thian-hong, ejeknya, “Lucu amat kamu ini!
Memangnya kami hutang pedang emas atau pedang perak
kepadamu?”
Baru saja perkataan itu selesai diutarakan keluar,
mendadak dari kegelapan meluncur keluar sesosok bayangan
hitam langsung menerjang ke arah Kek Thian-tok.
Imam bajingan, serahkan jiwa anjing mu!” bentaknya.
Begitu mencapai sasaran, serentetan cahaya perak
meluncur dari tangannya dan lenyap dihadapan….
Kek Thian-tok sangat terkejut, cepat dia putar badan sambil
menyingkir beberapa kaki kesamping, bentaknya dengan
gusar, “Siapa kau?”
Dengan terkejut semua orang berpaling ditengah hujan
yang amat deras, berdirilah seorang pemuda bermuka sedih
ditengah jalan, dia tak lain adalah Haputule satu-satunya
murid It kiam kay Tionggoan ( Pedang yang menggetarkan
daratan Tionggoan ) Siang Tang lay yang masih hidup.
Sementara itu sebilah pedang perak yang panjangnya
beberapa depa telah menancap diatas punggung Pia Leng-cu
langsung tembus hingga gagang pedangnya.
Kek Thian-tok kaget bercampur gusar, ia periksa
pernapasan Pia Leng-ci ternyata imam tua itu sudah
menghembuskan napasnya yang penghabisan.
Dalam cemas bercampur marahnya tanpa menunggu
perintah dari kaucunya lagi, ia lempar mayat Pia Leng-cu
keatas tanah, sambil membentak sebuah pukulan dahsyat
dilancarkan ke arah Haputule.
“Saudaraku, hati-hati! Hoa Thian-hong memperingatkan.
Haputule geserkan sepasang kakinya dan berkelit dari
serangan tersebut, dengan manis ia lolos dari ancaman.
Kek Thian-tok semakin naik darah, sebagai seorang tongcu
dari Kiu-im-kauw dia merasa kehilangan muka setelah
tawanan yang berada ditangannya dibunuh orang dihadapan
umum tanpa mampu dicegah olehnya, bahkan tawanan
tersebut adalah seorang tawanan yang penting sekali artinya.
Dalam gusar dan malunya, ia lancarkan sergapan hebat
dengan maksud merobohkan lawannya, siapa tahu serangan
itu meleset dari sasaran, hal ini semakin menggusarkan
hatinya, cepat dia memburu kemuka sambil mengirim lagi
sebuah pukulan maut.
Hoa Thian-hong cepat melayang kemuka dan cabut keluar
pedang pendek yang menancap dipunggung Pia Leng-cu,
sambil dilemparkan kedepan, serunya, “Saudaraku, sambut
pedangmu itu!”
Criit! Diiringi desiran tajam yang memekikan telinga,
serentetan cahaya perak langsung meluncur ke arah
punggung Kek Thian-tok.
Serangan yang dilancarkan Hoa Thian-hong ini sangat kuat
dan mengerikan, mendengar desiran tajam mengancam
punggungnya, dengan ketakutan Kek Thian-tok mengguling
kesamping untuk menghindar, dengan begitu pedang pendek
tadi menyambar lewat dari atas kepala Kek Thian-tok
langsung meluncur ke arah dada Haputule.
Pedang pendek itu masih meluncur lewat dengan
kecepatan bagaikan sambaran kilat, desiran yang tajam amat
memekikan telinga melihat pedang itu meluncur dengan sisa
ke kuatan yang cukup hebat, Haputule tak berani menyambut
dengan tangannya, terpaksa dia melangkah setindak
kesamping untuk menghindarkan diri.
Siapa sangka Hoa Thian-hong menyambit pedahg itu
dengan memakai sejenis kepandaian Toa buan keng (tenaga
pantulan seperti bumerang) yang sangat aneh tapi hebat,
begitu meluncur sampai dihadapan Haputule tiba-tiba pedang
itu tidak melaju kembali kedepan melainkan malah sama sekali
berhenti sedetik kemudian lewat sesaat lagi baru melaju untuk
kedua kali.
Melihat keanehan tersebut, Haputule agak tertegun
menyusul mana cepat ia sambar gagang senjatanya.
Kemarahan yeng berkobar dalam dada Kek Thian-tok makin
menjadi, walaupun Haputule telah bersenjata, namun ia sama
sekali tidak ragu untuk menyerang sekali lagi, tubuhnya
menerjang kedepan sembari mele paskan sebuah pukulan,
Haputule angkuh dan tidak takut mati, sekalipun serangan
musuh amat dahsyat ia sama sekali tak sudi berkelit sambil
menerjang pula kedepan, pedangnya langsung melepaskan
sebuah bacokan kilat.
Dalam waktu singkat kedua orang itu terlibat dalam suatu
pertarungan yang amat sengit dibawah curahan hujan deras.
Perlu diketahui Kek Thian-tok adalah seorang tongcu yang
bertugas melatih ilmu silat anak murid Kiu-im-kauw, dasar
ilmu silat yang dia miliki tentu saja sangat luar biasa sekali.
Bicara yang sebenarnya selama Pia Leng-cu berada
dibawah kempitannya, tak mungkin bagi Haputule untuk
membinasakan tawanan tersebut, sayang pada waktu itu
hujan sedang turun dengan derasnya, pemandangan diseputar
sana jadi kabur dan kurang jelas, suara hujan mengganggu
pendengaran, dan lagi Kiu-im Kaucu sedang berbicara dengan
Hoa Thian-hong sehingga perhatian semua orang tertuju
kepada dua orang itu, oleh karenanya sergapan Haputule
dapat bersarang dengan jitu.
Jangankan Kek Thian-tok tidak mampu menghindari,
andaikata Kiu-im kaucu yang menghadapi sendiri kejadian itu
belum tentu ia dapat selamatkan tawanannya.
Sebagai murid kesayangan dari Siang Tang lay, dasar
kepandaian yang dimiliki Haputule cukup tangguh, bukanlah
suatu pekerjaan yang gampang bagi Kek Thian-tok untuk
merobohtan pemuda itu.
Ditengah pertarungan, Kek Thian-tok selalu bergerak
ibaratnya sukma gentayangan, dia selalu menempel didepan
Haputule sambil melepaskan serangan-serangan kilat yang
gencar, semua ancaman ditujukan ke arah bagian-bagian yang
mematikan dari lawannya.
Dengan demikian posisi Haputule selalu dipaksakan berada
diatas angin dia cuma menangkis dan tak mampu membalas,
walauPun begitu permainan pedang pendeknya tangguh
sekali, aneh dalam serangan ampuh dalam sergapan terutama
sekali senjata pendek macam begitu memang paling cocok
untuk melangsungkan pertarungan jarak dekat, karenanya
untuk beberapa saat Kek Thian-tok sendiripun tak mampu
berbuat apa- apa atas dirinya.
Setelah mengikuti sebentar jalannya pertarungan itu, Hoa
Thian-hong tahu bahwa tenaga dalam yang dimiliki Haputule
sangat terbatas, bila pertarungan itu dilangsungkan agak lama
maka akhirnya dia pasti menderita kekalahan.
Diam-diam ia lanías bersiap sedia, asal rekannya itu
menemui bahaya maka dia akan segera memberikan
bantuannya.
Mendadak ia temukan kalau Kiu-im Kaucu sendiripun
sedang mengincar dari sudut lain, dia tahu kalau dirinya
menerjang maju niscaya perempuan itu pun akan
menghalangi gerakannya, merasakan betapa gawatnya
suasana, cepat dia memberi kisikan kepada Cu Thong dengan
ilmu menyampaikan suaranya, “Diantara enam orang murid
Siang locianpwe ada lima diantaranya telah mati dalam
keadaan mengenaskan, kini tinggal Haputule seorang yang
masih hidup, kita harus lindungi keselamatan jiwanya dari
bahaya, sebab kalau tidak maka kita akan malu terhadap
arwah Siang locianpwe yang ada dialam baka, nanti kalau
sampai Haputule menjum-pai mara bahaya, tolong kau orang
tua memberikan pertolongannya, sedang boanpwe akan
menandingi Kiu-im Kaucu!”
Dewa yang suka pelancongan Cu Thong segera
mengangguk, dengan sorot mata yang tajam dia awasi
pertarungan yang sedang berlangsung ditengah gelanggang,
sementara mulutnya tetap membungkam dalam seribu
bahasa.
Kiu-im Kaucu sendiri merasa gusar bercampur mendongkol,
dia mengira pedang emas itu sudah jatuh ketangan Hoa
Thian-hong, kalau sampai demikian maka berarti pula kitab
Kiam keng sudah merupakan benda dalam saku anak muda
itu.
Otaknya segera berputar keras untuk mencari akal guna
mengatasi masalah tersebut, namun diapun sadar betapa
minimnya kekuatan yang tersedia baginya waktu itu, dari
pihak Kiu-im-kauw kecuali dia sendiri hanya Kek Thian-tok
serta tiamcu istana neraka saja yang hadir disana.
Sebaliknya dari pihak lawan hadir pula Hoa Thian-hong, Cu
Thong serta Kho Hong-bwee yang mampu menandingi
kekuatan mereka bertiga, padahal disitu masih hadir pula Pek
Kun-gie serta Haputule, walaupun ilmu silat kedua orang ini
biasa-biasa saja akan tetapi cukup memberi angin bagi
lawannya untuk melakukan perlawan.
Dalam posisi yang begini menguntungkan, mungkinkah Hoa
Thian-hong bersedia untuk serahkan pedang itu kepadanya?
Sekalipan otaknya sudah diperas habis-habisan namun
perempuan ini gagal untuk menemukan sesuatu cara yang
bagus, tapi ia bertekad tak akan lepaskan Hoa Thian-hong
dengan begitu saja.
Akhirnya ia berhasil menemukan suatu akal bagus, dengan
ilmu menyampaikan suaranya ia lantas berbisik kepada
Tiamcu istana neraka yang berada disampingnya.
“Aku akan mengunci keparat she Hoa tersebut disini,
sedang kau cepat tinggalkan tempat ini dan kumpulkan
segenap kekuatan yang kita miliki untuk bekuk Bun Siau-ih
sampai dapat, cepat berangkat!”
Dengan sorot mata yang tajam tiamcu istana neraka
menyapu sekejap pihak lawan, kemudian dengan
mengerahkan pula ilmu menyampaikan suara jawabnya
dengan ragu-ragu, “Tapi…. pihak musuh jauh lebih banyak
jumlahnya, kaucu….”
“Asal orang she Hoa itu mempelajari isi kitab Kiam keng,
maka selama hidup tiada harapan lagi bagi Kiu-im-kauw untuk
tampil didepan umum” teriak Kiu-im Kaucu dengan gusar,
“hayo cepat pergi, tak usah ragu-ragu dalam tindakan,
gunakan segala cara yang bisa dilakukan untuk bekuk orang
itu, ingat! yang penting adalah tujuan kita tercapai”
Tiamcu istana neraka tak berani banyak bicara lagi, dia
segera putar badan dan kabur dari situ.
Pek Kun-gie dapat menyaksikan tingkah laku musuh yang
merugikan, cepat dia mendorong tubuh Hoa Thian-hong
seraya berseru, “Cepat hadang jalan perginya!”
“Memangnya kenapa?! tanya sang anak muda keheranan.
“Dia pergi cari bala bantuan!”
Tiba-tiba dara itu merasa jalan pikirannya belum tentu
benar, cepat ujarnya lagi, “Yang jelas dia pasti melakukan
suatu perbuatan yang merugikan kita jangan biarkan dia
pergi!”
“Kita toh tak mungkin membasmi musuh sampai seakarakarnya,
biarkan saja dia pergi dari sana!”
Pek Kun-gie jadi mencak-mencak karena gelisah, dia ingin
mengejar ssndiri tapi saat itu bayangan tubuh dari tiamcu
istana neraka sudah lenyap dari pandangan mata.
Kho Hong-bwee dapat menyaksikan pula tingkah laku
putrinya, dengan hati berkerut ia segera betpikir, Dihari-hari
biasa budak ini selalu bertindak terbuka, tenang dan sangat
berwibawa, kenapa sekarang jadi begitu ribut dan mencakmencak
melulu seperti monyet? Heran!”
Tiba-tiba dari gelanggang pertempuran terdengar Kek
Thian-tok membentak keras, telapak tangannya dibalik dan
langsung menghajar ke arah dada Haputule.
Pukulan itu sangat cepat dan luar biasa bebatnya, Haputule
yang masib muda dan cetek dalam tenaga dalam jadi
kelabakan setengah mati, setelah melayani musuhnya
sebanyak tiga puluh gebrakan dia sudah kehabisan tenaga
hingga jadi lemah, tampaknya serangan tersebut segera akan
bersarang di atas tubuhnya.
Dewa yang suka pelancongan Cu Thong sudah bersiap
sedia sedari tadi, melihat Haputule terancam bahaya, cepat ia
menerjang kemuka sambil berseru lantang, “Setan tua, lihat
serangan!”
Kipasnya yang besar disertai desiran angin pukulan yang
tajam langsung menyergap keatas punggung Kek Thian-tok.
Desiran angin pukulan itu tidak terlalu gencar, tapi
lingkaran yang diancam amat luas sekali.
Kek Thian-tok jadi terperanjat, dalam hati pikirnya, “Ilmu
pukulan apaan ini? Kenapa angin serangannya begitu lembut
dan dingin?”
Tentu saja dia tak berani menyambut dengan kekerasan,
cepat tubuhnya berkelit ke samping dan menghindar sejauh
beberapa kaki dari tempat kedudukan semula.
Dewa yang suka pelancongan sendiri rada kaget juga
melihat kegesitan musuhnya, sam il tertawa tergelak dia
goyang-goyangkan kipasnya sembari mengejek.
“Itulah pukulan telapak raksasa, sayang belum mencapai
kesempurnaan, harap kau setan tua jangan mentertawakan!”
Kegusaran yang berkobar dalam dada Kek Thian-tok susah
dikendalikan lagi, dia segera membentak keras dan sekali lagi
mener-jang kemuka
Gerakan tubuh musuhh cepat ibaratnya hembusan angin
puyuh, diam-diam Dewa yang suka pelancongan merasa
terperanjat, namun diluaran sambil tertawa tergelak serunya,
“Hey setan tua, sebutkan dulu siapa namamu, aku dewa gede
tak pernah membunuh seorang prajurit tanpa nama!”
“Aku adalah Kek Thian-tok, tongcu dalam bidang latihan
teknis!”
“Oooh, rupanya setan tua itu, kenapa dia bisa
menggabungkan diri dengan Kiu-im-kauw?” pikir Dewa yang
suka pelancongan agak heran.
Sekalipun dalam hati berpikir demikian diluaran ia berkata
lagi sambil tertawa, “Oooh engkau adalah tongcu bagian
kematian? Huuh, seorang prajurit tak bernama kalau begitu,
aku dewa gede paling muak melihat orang macam kau,
nyawamu tak bisa diampuni lagi!”
Kipasnya dikebut kemuka kemudian dialihkan ketangan kiri,
sementara telapak tangan kanannya dengan memakai gerakan
Menyerang sampai mati dari Ci yu cit ciat (tujuh kupasan dari
Ci yu) langsung menyerang kedada lawan.
Ilmu pukulan kuno ini sangat aneh sekali gerakannya,
walaupun sasarannya disebelah kiri namun arah yang diserang
ternyata kanan.
Ditengah hujan deras yang amat ramai itu, pendengaran
maupun penglihatan jago She Kek itu banyak berkurang,
hampir saja ia kena diselomot oleh serangan maut itu.
Untung ilmu langkah Loan ngo heng mi sian tun hoatnya
sudah mencapai puncak kesempurnaan, dalam detik terakhir
dia masih sempat untuk menghindar kesamping.
Pek Kua Gie yang mengikuti jalannya pertarungan itu dari
samping arena segera tertawa cekikikan karena geli. Hoa
Thian-hongpun tersenyum lirih, hanya Kiu-im Kaucu seorang
yang makin mendongkol dibuatnya, rasa gusar bercampur
rasa benci yang berkobar dalam dadanya membangkitkan
hawa nafsu membunuhnya yang tebal.
Antara Hoa Thian-hong dengan Kiu-im Kaucu memang
terdapat perbedaan yang menyolok dalam soal perangai, kalau
si anak muda itu berjiwa besar, terbuka dan tidak mendendam
sebaliknya ketua dari Kiu-im-kauw itu berjiwa sempit,
gampang tersinggung dan besar sekati rata dendamnya.
Baik pendiriannya, dia hanya boleh menang perang dan tak
boleh menelan kekalahan, kalau menang tampangnya jadi
gembira dan sikapnya sok terbuka, tapi begitu menderita
kalah, iasa benci dan dendamnya melipat ganda, ia
bersumpah akan membalas dendam dengan kekejaman
sepuluh kali lipat dari yang diterima.
Walaupun begitu, perempuan tersebut termasuk seorang
jago yang berotak panjang, dia pandai menyimpan perasaan
dikala situasi tidak menguntungkan pihaknya, namun dalam
kenyataan benih rasa benci yang bersemayam dalam hatinya
diam-diam tubuh jadi besar, makin tenang dia bersikap makin
menghebat rasa benci yang tertanam dalam hatinya.
Sayang Hoa Thian-hong tidak merasakan hal itu, ia tak
tahu kalau mara bahaya yang sangat besar telah siap menanti
dirinya.
Sementara itu pertarungan antara Kek Thian-tok dengan
dewa yang suka pelancongan telah berjalan enam puluh
gebrakan, tiba-tiba hujan berhenti dan udara menjadi cerah
kembali, rembulan muncul jauh di awang-awang.
Jilid 23 : Ibu Pek Kun Gie, Kho Hong-bwee
75
SETELAH udara cerah kembali, pertarungan yang
berlangsung antara kedua orang itu berjalan semakin gencar
dan seru, tampaknya dewa yang suka pelancongan sudah
terdesak dibawah angin, hal ini memaksa dia untuk menarik
kembali sikap main-mainnya.
Cepat kipasnya diselipkan keatas punggung kemudian
sepasang telapak tangannya berputar kencang untuk
menolong keadaannya yang telah terdesak.
Beberapa lembar kitab catatan Ci yu jit ciat itu mula-mula
didapatkan oleh dewa yang suka pelancongan, kemudian
diserahkaa kepada Hoa Thian-hong, setelah pemuda itu
melatihnya kemudian diserahkan kepada ibunya dan Hoa
Hujin mewariskan pula kepada Bong Pay.
Oleh karena itu ketiga jurus serangan menyerang sampai
mati itu termasuk pula serangan mematikan yang paling
diandalkan oleh Cu Thong.
Ilmu pedang yang dimiliki Hoa Thian-hong sangat tinggi,
kepandaian tersebut menutupi ilmu silatnya yang lain, selain
itu berhubung ketiga jurus serangan tersebut terlalu sadis dan
pasti mencabut nyawa korbannya bila terkena, maka jarang
sekaili pemuda itu memakainya dalam setiap pertarungan.
Disamping itu perangai Hoa Thian-hong memang rada
berbeda, karena itu selama digunakan oleh pemuda itu, ilmu
Ci yu jit ciat tersebut mempunyai sifat yarg sama sekali
berbeda pula.
Lain halnya dengan Cu Thong, setiap tusukan maupun
babatan telapak tangannya semua mengandung nafsu
membunuh yang sangat tebal, andaikata musuh yang
dihadapinya tidak memiliki kepandaian silat yang sangat
tangguh, tentu mereka akan berusaha menyingkir sejauhjauhnya.
Dalam waktu singkat, kedua orang itu sudah saling
bertarung sebanyak empat puluh gebrakan lebih, setiap
serangan Kek Thian-tok selalu merebut posisi yang lebih
menguntungkan namun setiap kali juga kena dipaksa mundur
kembali oleh pukulan maut Cu Thong.
Dengan demikian posisi untuk sesaat berlangsung dalam
keadaan seimbang, walau begitu ilmu langkah Loan ngo heng
mi sian tun hoat dari orang she Kek ini memang sangat lihay,
berulang kali Cu Thong berusaha merobohkan musuhnya
namun selalu gagal, kalau ditinjau dari keadaan itu tampak
nya kedua belah pihak sama-sama sulit untuk saling
merobohkan.
Setelah beberapa saat mengikuti jalannya pertarungan itu,
tiba-tiba Pek Kun-gie berbisik kepada Hoa Thian-hong,
“Sekarang tentunya engkau tahu bukan, apa sebabnya setiap
anggota perkumpulan Kiu-im-kauw diwajiban untuk melatih
ilmu langkah itu?”
Hoa Thian-hong menghela napas panjang.
“Aaaii…. ilmu langkah tersebut mengandung gerakan ngo
heng yang amat rumit dan kacau, im yang dibolak balik jadi
tak karuan memang manfaatnya luar biasa sekali, paling
sedikit kalau mereka telah menguasai ilmu langkah tersebut,
jika bertarung digelanggang tidak sampai dibikin menderita
kalah secara menyedihkan”
Pek Kun-gie melirik sekejap ke arah pemuda itu lalu
mengomel.
“Huuh! Aku baru saja ngomong sekecap, tapi kau cuat-cuit
terus ngomong setumpuk!”
“Baik, baik, kalau begitu, silahkan engkau yang berbicara!”
Pek Kun-gie tertawa, katanya kemudian, “Ilmu langkah
tersebut mengandung gerakan Ngo heng yang amat rumit dan
kacau, im yang dibolak balik jadi tak karuan, memang
manfaatnya luar biasa sekali, paling sedikit kalau mereka telah
menguasai ilmu langkah tersebut, jika bertarung digelanggang
tidak sampai terkalahkan!”
Hoa Thian-hong berdiri melongo dengan mata terbelalak
lebar, pikirnya dihati, “Gimana sih bocah ini? Apa yang dia
katakan sama persis menjiplak kata-kataku barusan? Lalu apa
yang berbeda?”
Ia sudah menggerakkan bibirnya seperti mau mengucapkan
sesuatu, tapi dia takut gadis itu malu kalau ditegur didepan
umum, maka akhirnya niat itu dibatalkan.
Tiba-tiba terdengar dewa yang suka pelancongan berseru
dari tengah gelanggang, “Setan tua she Kek, sedari kapan
engkau menggabungkan diri dengan pengumpulan Kiu-imkauw?”
Aku adalah bawahan lama dari kaucu yang lalu, tua
bangka! Kalau mau berkentut kenapa tidak sekalian
dikeluarkan? ejek Kek Thian-tok dengan ketus.
Pek Kun-gie segera menutupi hidungnya sambil
menimbrung dari samping, “Waah…. bau apaan ini, aduuh
baunya luar biasa! Pasti setan tua itu yang sedang kentut
bau!”
Hoa Thian-hong tersenyum melihat kebinalan gadis itu,
cepat bisiknya dengan lirih, “Jangan ngaco belo terus, coba
lihat biji mata Kiu-im Kaucu yang liar terus-terusan ditujukan
ke arahmu, kau musti hati-hati menjaga diri, jangan sampat
kena dibekuk batang lehernya oleh dia!”
Pek Kun-gie merasa sangat bangga sambil bersandar
dibahu anak muda itu, sahutnya, “Dia selalu berharap agar
aku bisa menjadi muridnya, Hmm! Kalau engkau berani
tinggalkan aku lagi, aku segera akan menggabungkan diri
dengan Kiu-im-kauw, aku akan bunuh orang, bakar rumah,
pokoknya khusus melakukan perbuatan-perbuatan jahat”
Hoa Thian-hong tertawa santai, dia alihkan perhatiannya
untuk mendengarkan pembicaraan dari Co Thong.
Sapa sangka dewa yang suka pelacongan jadi segan
bertanya lagi setelah dikacau oleh Pek Kun-gie.
Perkumpulan Kin im kau adalah suatu organisasi yang amat
rahasia, tiga puluh tahun berselang mereka pernah bikin onar
dan kekacauan dalam dunia persilatan, tetapi berhubung
gerak-gerik mereka teramat rahasia dan tak pernah
melakukan perbuatannya secara terbuka maka asal usul dari
para anggotanya jarang diketahui oleh khalayak umum.
Dalam kemunculannya kembali dalam dunia persilatan kali
ini, Kiu-im Kaucu berkeyakinan untut menguasai seantero
jagat dan merebut kursi kebesaran sebagai pemimpin Bu lim,
karena keyakinan itulah maka dia munculkan diri dalam
pertemuan besar Kian ciau tay hwe secara terang-terangan.
Tujuannya sengaja adalah menaklukkan seluruh kekuatan
persilatan yang hadir disana, siapa tahu Hoa Thian-hong telah
tampil kedepan untuk menguasai ketenangan dan kesetabilan
dalam dunia persilatan, dalam keadaan begitu maka keadaan
dan Kiu-im Kaucu ibaratnya menunggang diatas pungguag
harimau, tetap begitu susah mau turun tak mungkin,
terpaksalah dia lanjutkan pertikaiannya melawan Hoa Thianhong.
Dewa vang suka pelancongan Cu Thong pernah mendengar
nama Kek Thian-tok di masa silam, hanya keterangan
mengenai orang ini tidak begitu jelas dan lagi tidak begitu
mengetahui tentang asal usul perguruannya, setelah
pertarungan berlangsung seru, beberapa kali dia hendak
memancing lawan nya untuk mencari tahu asal usul orang she
Kek ini, sayang pertarungan telah berlangsung amat sengit,
tenaga untuk bicarapun ngotot, maka diapun batalkan
keinginannya itu.
Kek Thian-tok sendiri diam-diam merasa gusar bercampur
mendongkol setelah gagal untuk rebut kemenangan dalam
waktu singkat, tiba-tiba ia menerjang kemuka sambil
melancarkan serangan, gerakan itu sangat berbahaya namun
hebat, secara beruntun dia lepaskan delapan buah serangan
berantai yang gencar.
Kedelapan buah serangan itu rata-rata berkemampuan
sangat tinggi dengan disertai desiran tajam yang memekikkan
telinga, gerak tubuh Cu Thong bagaimanapun juga tak
sanggup menandingi kecepatan lawan nya, dia selalu
terlambat dalam melepaskan pukulan, lama-kelamaan
posisinya makin terdesak dibawah angin.
Ketika kedelapan buah serangan itu dapat dipunahkan
dengan susah payah gerak tubuhnya sudah makin lamban,
walaupun ketiga jurus serangan dari Ci yu jit ciat masih
berpengaruh besar, namun ia tak mampu menggunakannya
dengan jitu.
Melihat keadaan musuhnya yang mulai payah, Kek Thiantok
merasa kegirangan, dia mendengus dan tiba-tiba berputar
kebelakang tubuh Cu Thong, sambil ayun telapak tangannya
kedepan, hardiknya, “Kena!”
Dewa yang yang suka pelancongan merasa tercekat ia tahu
tak mungkin untuk menghindar dalam keadaan begini, dalam
situasi demikian cepat dia sambut datangnya serangan
tersebut dengan jurus Si gou bong gwat (Badak memandang
rembulan).
Posisi Cu Thong sangat tidak menguntungkan, tangkisan
yang dilakukan dalam keadaan tergesa-gesa ini kurang
tangguh dalam posisi dan tenaga murni yang disalurkan tak
mencapai lima bagian, jika keras lawan keras dilangsungkan
niscaya dewa yang suka pelancongan yang akan menderita
kerugian besar.
Tapi Kek Thian-tok tidak melanjutkan serangannya itu, ia
percaya dengan kecepatan gerak tubuhnya dan yakin
kemenangan berada ditangannya maka sedapat mungkin ia
menghindari suatu penghamburan tenaga secara sia-sia,
terutama sekali dari pihak lawan masih ada empat orang
musuh yang siap menanti.
Karena itu dikala Cu Thong putar badan sambil menyambut
ancaman tersebut, cepat ia gerakkan tubuhnya dan berputar
kembali kebelakang lawan sambil barengi dengan sebuah
pukulan.
Rasa kaget dan gusar berkecamuk dalam dada Cu Thong,
tanpa berpikir panjang lagi dia putar badan sambil menyambut
pula da tangnya ancaman tersebut.
Dalam gerakan ini Cu Thong dipaksa untuk menyambut
ancaman tersebut dengan telapak tangan kirinya, sudah tentu
kekuatan yang terpancar keluar jauh lebih lemah.
Tapi Kek Thian-tok Kembali menyia-nyiakan kesempatan
baik itu, dia terlalu mengandalkan kecepatan gerak bedannya,
sambil tertawa tergelak untuk ketiga kalinya dia menyelinap
kebelakang punggung musuhnya.
Gerak tubuh ini boieh dibilang ibarat bayangan hitam tubuh
sendiri, kemanapun dia berputar bayangan sendiri pasti akan
mengikuti dibelakangnya, melihat kesemuanya itu tak urung
paras muka Hoa Thian-hong, Kho Hong-bwee serta Pek Kungie
berubah hebat.
Berulang kali Hoa Thian-hong ingin maju untuk menolong,
tapi Kiu-im Kaucu telah menduga sampai kesitu, dengan muka
menyeringai seram toya kepala setannya diangkat tinggi
keudara, asal pemuda itu bergerak maka diapun akan barengi
dengan sebuah sergapan.
Dari hubungan antara putrinya dengan Hoa Thian-hong,
Kho Hong-bwee yakin kalau perkawinan diantara mereka
berdua tak bisa dihindari, ia merasa kalau toh perkumpulan
Sin-kie-pang rela di korbankan sebagai mas kawin, kenapa ia
tidak jual pula gengsinya untuk membelai kawanan jago dari
golongan putih?
Maka dengan cepat ia melayang maju ke depan sambil
berseru, “Kek tongcu, gerakan tubuhmu sangit indah, pinni
mohon petunjuk darimu….!”
“Kho Hong-bwee!” bentak Kiu-im Kaucu dengan gusar,
“engkau mengerti akan peraturan Bu lim atau tidak?”
“Peraturan Bu lim apaan?” tanya Kho Hong-bwee pura-pura
berlaga pilon.
Sedari tadi Kho Hong-bwee sudah merasa kurang enak
untuk mencampuri pertempuan yang sedang berlangsung
antara Cu Thong melawan Kek Thian-tok, apalagi di tegur
secara terang-terangan oleh Kiu-im Kaucu, merah padam
selembar wajahnya karena jengah.
Ia menghentikan gerak tubuhnya ditengah-tengah jalan
dan ragu-ragu untuk dilanjutkan kembali.
Sementara itu Kek Thian-tok sudah merasakan gawatnya
situasi, dia tahu asal Kho Hong-bwee terjun kedalam
gelanggang maka kemenangan yang sudah pasti bakal diraih
akan tersapu lenyap.
Dalam keadaan begini dia ambil keputusan untuk bertindak
cepat, telapak tangannya segera ditekan kebawah melepaskan
sebuah pukulan yang mematikan.
Kek Thian-tok memang bertindak cukup cerdas, ketika ia
berputar mengikuti dibelakang punggung Cu Thong, serangan
tersebut dilan-carkan tepat menunggu dikala lawannya
terpaksa harus menangkis dengan tangan kirinya, dalam
keadaan begini tenaga yang terpancar keluar dengan
sendirinya akan lemah sekali.
Bila pukulan itu sampai bersarang dipunggung Cu Thong,
niscaya isi perut jago tua itu akan hancur dan remuk.
Berbicara sesungguhnya, Dewa yang suka pelancongan
hanya kalah dalam hal ilmu meringankan tubuh, sedang dalam
kepandaian lain boleh dakata mereka seimbang.
Ketika merasakan datangnya desiran angin tajam dari
belakang, ia segera menyadari kalau serangan tersebut tak
mungkin bisa dihindari lagi, dalam bahaya ia menggertak gigi
sambil putar badan, setelah melepaskan diri dari ancaman
yang membahayakan jiwanya, ia sambut pukulan itu dengan
keras lawan keras.
“Pleeetak….!” pukulan dahsyat dari Kek Thian-tok itu
bersarang telat diatas bahu kiri Cu Thong, membuat tulang
bahunya itu hancur berkeping-keping, dengan sempoyongan
ia mundur enam langkah kebe-lakang sebelum akhirnya dapat
berdiri tegak.
Cepat Haputule memburu kemuka dan memayang tubuh
jago tua itu, Dewa yang suka pelancongan hanya tersenyum
sambil gelengkan kepalanya, diam-diam dia menggepos
tenaga untuk menekan golakan hawa darah dirongga
dadanya, kemudian sambil melotot ke arah lawannya dia
berseru, “Tua bangka she Kek, kekalahan yang ku derita tidak
terlalu penasaran, lain hari aku pasti akan mohon pentunjuk
lagi darimu!”
“Setiap saat akan kulayaki keinginanmu” sahut Kek Thiantok
sambil tertawa angkuh.
Sewaklu terjadi pertarungan sengit selama beberapa hari
dalam pertemuan Kian ciau tay hwe tempo hari, banyak
musnah di tangan Cu Thong sementara dia sendiri sama sekali
tidak menderita luka barang sedikitpun.
Tapi ini hari hanya bertarung melawan Kek Thian-tok
seorangpun, bahu kirinya kena dihajar sampai remuk hingga
lengannya sudah pasti akan menjadi cacad, tak heran kalau
Kek Thian-tok merasa amat bangga dengan keberhasilannya
itu.
Walaupun begitu kejujuran serta sikap terbuka dari Cu
Thong yang berani mengaku tentang kekalahannya jarang
pula ditemui dalam dunia persilatan puluhan tahun terakhir,
sedikit banyak mereka merasa kagum juga akan kebesaran
jiwanya ini.
Terdengar Kek Thian-tok tertawa terbahak-bahak, serunya
dengan suara lantang, “Pek hujin, bukankah engkau akan
memberi petunjuk kepadaku? Aku yang tak becus siap
menantikan pelajaran darimu!”
Waktu itu Kho Hong-bwee sudah terlanjur maju, tentu saja
ia tak dapat menolak tantangan musuhnya, ia lantas melirik
sekejap ke arah kaki kanan Kek Thian-tok seraya berkata
dengan hambar, “Silahkan engkau gunakan senjata!”
“Hujin, ketajaman mata mu sungguh hebat!” puji Kek
Thian-tok sambil tertawa.
Dia lantas menyingkap kaos kakinya dan cabut keluar
sebuah senjata penotok jalan darah yang berwarna kuning
emas, Pek Kun-gie segera berpikir dihati, “Ilmu langkah yang
dimiliki orang ini sangat lihay dan sukar diikuti, kalau ibu
terjun sendiri kegelanggaag hingga jatuh kecun-dang, waah….
suatu pengorbanan yang sama sekali tak ada harganya.”
Berpikir sampai disitu ia segera cabut keluar pedang
lemasnya dan melayang kedepan tapi diam-diam dia telah
mencawil tubuh Hoa Thian-hong….
Melihat putrinya telah maju, Kho Hong-bwee mengerutkan
dahinya rapat-rapat, dia segera menegur, “Kun Gie, bayo
mundur! ilmu silat yang dimiliki Kek tongcu sangat lihay,
engkau bukan tandingannya!”
Sambil menghadang dihadapan ibunya, Pek Kun-gie
menjawab, “Ibu, betapa tinggi dan terhormatnya
kedudukanmu, untuk melayani seorang tongcu jelek macam
begitu, kenapa engkau musti turun tangan sendiri? Tak ada
harganya untuk menodai tanganmu!”
Kemudian sambil berpaling ke arah Kek Thian-tok ujarnya
dengan ketus.
“Ilmu langkahmu memang lumayan, aku akan ajak engkau
untuk bertarung beberapa gebrakan!”
Pedang lemasnya langsung ditebas kedepan melepaskan
sebuah babatan dahsyat.
Dalam hati Kek Thian-tok kegirangan setengah mati, segera
pikirnya dalam hati, “Aaah…. rupanya Thian memang memberi
suatu kesempatan yang baik bagiku untuk membekuk Pek
Kun-gie, asal bocah perempuan ini dapat kubekuk maka
dengan sendirinya Hoa Thian-hong akan serahkan pedang
emas itu sebagai barang tukaran…. aku harus baik-baik
manfaatkan peluang baik ini!”
Ketika dilihatnya Kho Hong-bwee tidak mundur, malahan
cabut pedang pusakanya sambil berdiri ditepi gelanggang, ia
lantas tahu maksud perempuan itu, tentunya dia bersiap sedia
memberikan bantuannya jika Pek Kun-gie menemui bahaya.
Pelbagai ingatan berkecamuk dalam benaknya, dia sadar
bila serangannya gagal maka tiada kesempatan yang kedua
untuk mengulangi kembali perbuatannya itu.
Maka dengan cepat dia mengegos kesamping untuk
menghindari tebasan pedang lawan, bukannya melancarkan
serangan balasan, dia malah menelikung tangan kanan sendiri
yang mencekal senjata kebelakang punggung, sementara
untuk melayani serangan musuh dia cuma memakai tangan
kirinya belaka.
Dengan tindakannya itu maka Kho Hong-bwee jadi merasa
tak enak hati kalau tetap bersiaga disitu, serta-merta dia ikut
mundur kebelakang.
Pek Kun-gie mendongkol sekali menyaksikan perbuatan
lawannya, dengan suara dingin ia berseru, “Aku tidak percaya
kalau engkau mampu menangkan pedang lemasku hanya
mengandalkan tangan kiri!”
Kek Thian-tok segera menengadah dan tertawa terbahakbahak….
“Haahh…. haahh…. haahh…. sekalipun hanya
mengandalkan tangan kiri, aku masih punya kemampuan yang
lebih untuk merobohkan engkau, jika dalam tiga puluh
gebrakan aku tak mampu menangkan dirimu, tangan kiri ini
akan segera kutebas kutung!”
Bukannya mundur, sang badan malah menerjang maju
kedepan, cepat tangan kirinya berkelebat kemuka
mencekeram pergelangan tangan kanan Pek Kun-gie.
Gadis itu mendengus dingin, cepat dia putar pergelangan
tangan kanannya dan secara beruntun melatcarkan tiga buah
serangan berantai.
Ketiga jurus serangan tersebut kesemuanya merupakan
jurus-jurus serangan paling top yang pernah dimilikinya, Kek
Thian-tok ada has rat untuk menyelinap kebelakang
punggungnya, akan tetapi setelah menyaksikan permainan
pedang gadis itu ibaratnya burung merak yang memenangkan
sayapnya, hingga jalan pergi dikedua belah sampingnya
terkunci, dalam keadaan apa boleh buat terpaksa dia mundur
kebelakang.
Secara beruntun dia mundur tiga langkah kebelakang,
walaupun terdiri dari tiga langkah namun dalam kenyataan
dilakukan hampir bersamaan waktunya, bahkan tidak terlalu
jauh atau terlalu dekat, dia mundur tepat menghindari
jangkauan dari ketiga buah bacokan berantai itu.
Walau begitu tubuhnya masih tetap berada dihadapan Pek
Kue Gie, bukan saja sikapnya amat santai malahan sekulum
senyuman terhias diujung bibirnya.
Setelah menghindari serangan terantai dari dara itu, tibatiba
Kek Thian-tok tertawa tergelak, tangannya diputar dan
diayun kemuka melancarkan sebuah pukulan gencar.
Serangan itu sepintas lalu kelihatan enteng dan sama sekali
tiada sesuatu yang istimewa, dalam kenyataan terselip
rangkaian perubahan yang sukar diraba sebelumnya, Kek
Thian-tok yakin kalau Pek Kun-gie pasti akan terjerumus
kedalam kepungannya, maka begitu pukulan dilepaskan tak
kuasa lagi dia tertawa bangga.
Pek Kun-gie benar-benar tak dapat melihat keampunan dari
serangan lawan, pedang le-masnya cepat berputar keatas,
kemudian secepat kilat membabat perggelangan tangan
musuh.
Kek Thian-tok jadi angkuh dan jumawa, ia menoleh kekiri
kanan dengan santai, sementara sikutnya ditekuk, kemudian
dengan dua jari tangannya ia menyodok kemuka menotok urat
nadi pada pergelangan tangan Pek Kun-gie….
Cepat dan ganas perubahan serangan ini, bagaikan kena
dipagut ular berbisa, cepat Pek Kun-gie menarik kembali
tangannya dengan ketakutan.
“Kun Gie, hayo mundur!” bentak Kho Hong-bwee dengan
cepat, ia sadar bila pertarungan dibiarkan berlangsung terus,
niscaya putrinya akan menderita kekalahan.
Rupanya Hoa Thian-hong sendiri pun sudah tahu kalau Kek
Thian-tok mengandung maksud tak baik, menyaksikan
keadaan itu cepat ia melangkah maju kemuka.
“Heehh…. heehhh…. heehhh…. mau apa boleh mulai!”
tegur Kiu-im Kaucu sambil tertawa seram, ia ikut melangkah
setindak kedepan, “kalau engkau merasa tanganmu sudah
gatal, mari, akan kulayani keinginanmu itu….”
Pada hakekatnya semua kejadian itu berlangsung hampir
bersamaan waktunya, belum habis serangan yang pertama
Kek Thian-tok telah menyusulkan serangan berikutnya.
Terlihatlah ia putar perggelangan tangan, dari suatu gerak
totokan mendadak berubah jadi kebasan, walaupun arah yang
diancam masih tetap urat nadi dipergelangan tangan kanan
Pek Kun-gie, akan tetapi kecepatannya lebih hebat dan
serangan itupun kian ganas.
Betapa tercekatnya hati Pek Kun-gie menghadapi ancaman
tersebut, cepat sepasang kakinya menjejak permukaan tanah
dan melompat mundur kebelakang, maksudnya hendak
menghindari ancaman maut tadi.
Siapa sangka Kek Thian-tok yang lihay sudah
memperhitungkan sampai kasitu, walaupun tangan kanannya
masih ditelikung ke belakang, tapi secara diam-diam ia selalu
waspada dan mempersiapkan diri untuk menghadapi sergapan
Kho Hong-bwee, sedangkan tangan kiri nya seperti ular lincah
yang sedang menari, menyergap, menyerang tiada hentinya,
dengan mengandalkan ilmu meringankan tubuhnya yang
sempurna, bagaikan bayangan saja ia membuntuti terus
kemana Pek Kun-gie pergi
Tiba-tiba Haputule menyergap kedepan, setibanya
dibelakang punggung Kek Thian-tok, ia putar pedang
pendeknya dan langsung menusuk punggung jago lihay itu.
“Kek tongcu, hati-hati dengan sergapan!” cepat Kiu-im
Kaucu memperingatkan dengan hati kaget.
Sudah sedari tadi Haputule mengincar musuhnya, sergapan
yang dilancarkan secara mendadak ini boleh dibilang amat
dahsyat ibaratnya gulungan ombak yang menghantam batu
karang.
Betapa terperanjatnya Kek Thian-tok setelah mendengar
peringatan dari kaucunya, ingatan kedua belum sempat
terlintas, tahu-tahu segulung desingan angin pedang yang
tajam telah menyergap punggungnya.
Uatung dia lihay dan berpengalaman luas, walaupun kaget
dan gugup menghadapi sergapan maut tersebut, sempat juga
ia keluarkan ilmu langkah Loan ngo heng mi sian tun hoatnya
yang hebat itu, secepat petir ia mengegos ke samping.
“Traaang….!” Ditengah suatu dentingan nyaring, senjata
penotok jalan darah emas milik Kek Thian-tok serta pedang
pendek milik Haputule berbareng terjatuh keatas tanah.
Cara menghindar yang dilakukan Kek Thian-tok boleh
dibilang cepatnya bukan kepalang, akan tetapi Haputule
sendiripun bukan seorang manusia biasa, terutama permainan
pedang pendeknya boleh di kata memiliki suatu keistimewaan
yang khusus.
Ketika ia merasa tusukan pedangnya meleset dan
mengenai sasaran yang kosong, cepat telapak tangannya
disodok kemuka, pedang pendeknya segera dilontarkan
kemuka….
Kendatipun sambitan itu belum sanggup menembusi
punggung Kek Thian-tok, akan tetapi sempat juga melukai
pergelanaan tangan kirinya, sebuah mulut luka sedalam satu
cun segera membekas pada pergelangan tangannya itu,
untung tak sampai memutuskan urat nadinya.
Sekalipun begitu Kek Thian-tok jadi naik darah, sambil
memegangi pergelaagan tangan kanannya yang terluka, ia
melesat dua kaki jauhnya dari tempat semula lalu sambil
menggertak gigi menahan emosi, teriaknya, “Anjing cilik! Bila
aku tak mampu membereskan selembar jiwa anjingmu, aku
bersumpah tak akan hidup sebagai manusia!”
Sebagai seorang keturunan suka Fibulo, meskipun kecil
usianya keberanian Haputule boleh dibilang melebihi siapapun,
bukan jengah setelah mendengar ancaman itu, dia malahan
maju untuk pungut kembali pedang pendeknya kemudian
sekali ayun kakinya ia menyepak senjata milik Kek Thian-tok
itu sampai mencelat jauh kedepan sana.
Dipihak lain, Hoa Thian-hong telah mengalihkan sorot
matanya keatas wajah Kiu-im Kaucu, kemudian ujarnya,
“Kaucu, apakah engkau ada minat untuk melangsungkan
suatu pertarungan sungguh-sungguh yang akan menentukan
mati hidup kita berdua?”
“Heeeh…. heeeh…. heehh…. ku memang berhasrat untuk
melangsungkan pertarungan semacam itu, cuma aku punya
satu syarat!”
“Apa syaratmu itu?” tanya Hoa Thian-hong sambil
tersenyum.
“Engkau benar-benar tak paham atau sudah tahu pura-pura
bertanya lagi?” tegur Kiu-im Kaucu agak mendongkol.
Setelah berhenti sebentar, ia melanjutkan.
“Kalau toh engkau merasa tak paham baiklah! Akan
kujelaskan kepadamu, jika aku yang menang maka engkau
harus serahkan pedang emas itu kepadaku, aku rasa syatar ini
tidak terlalu memberatkan engkau bukan?”
“Bagaimana kalau kami yang menang?” sambang Pek Kungie
secara tiba-tiba dengan nada mengejek.
Kiu-im Kaucu tertawa dingin, ia tidak menggubris anak dara
itu, sebaliknya kepada Hoa Thian-hong ujarnya lagi, “Bila
engkau yang menang, maka akan kubuka sangkar untuk
melepaskan burung gereja yang tersekap didalamnya,
persoalan tentang Ku Ing-ing yang berkhianat tidak akan ku
teruskan lebih lanjut!”
“Wah…. tidak bisa, tidak bisa, syarat macam begitu cuma
menguntungkan pihakmu saja!” teriak Pek Kun-gie dengan
penasaran, “memangnya apa sangkut paut antara mati hidup
Ku Ing-ing dengan kami?”
“Budak ingusan, hayo tutup mulutmu!” bentak Kho Hongbwee
dengan marah, “urusan ini adalah urusan pribadi Hoa
kongcu lebih baik kau tak usah turut campur!”
Sambil meleletkan lidahnya, Pek Kun-gie segera tutup
mulut dan tak berani komentar lagi.
Sementara itu, Hoa Thian-hong sedang berpikir dihatinya,
“Kiu-im Kaucu pasti tak akan percaya kalau kuterangkan
bahwa pedang emas itu belum kutemukan, padahal Pia Lengcu
sudah mampus…. waah! Kalau pedang emas itu tak berada
dalam loteng kecil itu, akulah yang bakalan menjadi sasaran!”
Berpikir sampai disitu, dia lantas mengangkat pedang baja
yang berada ditangannya seraya berkata dengan serius,
“Baiklah, bila kaucu yang menang maka pedang baja ini
segera kuserahkan kepadamu sebaliknya kalau beruntang aku
yang menang aku harap kaucu aegera membebaskan Ku Inging
dari segala tuduhan.”
“Waah tidak adil!” teriak Pek Kun-gie lagi.
“Sekalipun tidak adil, apa daya kita?” sahut Hoa Thian-hong
sambil tersenyum.
“Lhoo apa maksudmu?”
Hoa Thian-hong tertawa.
“Jika aku sampai kalah, jangan toh senjata ini tak mampu
kulindungi, bahkan nyawa pun ikut melayang, sebaliknya kalau
aku yang beruntung menang, kecuali memohon kebebasan
buat Ku Ing-ing, apalagi yang bisa kita mintakan?”
“Kalau kita yang menang, kenapa tidak suruh kecoak tua
itu gorok leber untuk bunuh diri?” seru Pek Kun-gie sambil
menuding ke arah Kiu-im Kaucu yang langsung melotot gusar
sehabis mendengar perkataan itu.
Hoa Thian-hong tertawa geli.
“Aaah, kamu masih muda dan tidak akan mengerti urusan,
kalau cuma syarat-syarat kecil saja yang kua ajukan, mungkin
kaucu yang terhormat ini sanggup untuk mengabulkan, tapi
kalau kita pertaruhkan selembar jiwanya…. waah, paling
banter toh cuma omong kosong belaka, akhirnya juga tak
mungkin terwujud!”
Sepasang alis mata Kiu-im Kaucu kontan berkernyit,
dengan marah ia berteriak, “Hey, bocah keparat! Berdasarkan
apa engkau berani mengatakan begitu dihadapan ku?”
Hoa Thian-hong tersenyum.
“Sebatang Leng-ci betusia seribu tahun yang jelas milik
pribadi Ku Ing-ing, ternyata kaucu sudi-sudinya menipu kami
dengan mengatakan benda itu milik kaucu…. Huuh. Cukup
ditinjau dari perbuatanmu ini, dapat kutarik kesimpulan
sampai dimanakah karakter dan akhlak dari kaucu?”
Kontan Kiu-im Kaucu tertawa dingin tiada hentinya.
“Bocah keparat, engkau jangan omong sembarangan yaa!
Engkau tahu, setiap nyawa dari anggota Kiu-im-kauw telah
menjadi milikku pribadi, apalagi barang-barang milik mereka!
Hmm…. peraturan macam begini bukan dimulai sejak aku
memegang tampuk pimpinan, sekarang hayo kita buktikan,
pengetahuan siapa yang picik dan jalan pikiran siapa yang
benar?!”
“Penjelasan macam begitu rasanya terlelu dipaksakan, tapi
untuk diakal juga….!” pikir pemuda itu dihati.
Dengan paras muka serius dia lantas berkata, “Baiklah, kita
tak usah ribut-ribut terus, akan kuturuti syarat yang kau
ajukan itu. Nah, sekarang harap kaucu suka memilih seorang
saksi yang akan bertindak sebagai juri dalam pertarungan ini!”
Pek Kun-gie penasaran karena dianggapnya pertaruhan
semacam itu sangat tidak adil, disamping itu diapun tahu
bahwa Hoa Thian-hong tidak mempunyai keyakinan untuk
menangkan pertarungan itu, berbicara sesungguhnya ia tidak
mengharapkan terjadinya pertarungan macam ttu.
Tapi dara itupun merasa tak berdaya untuk menghalangi
niat si anak muda tersebut, dalam bingungnya tiba-tiba ia
mendengar perkataan tadi, dengan wajah berseri dia lantas
tampil kedepan seraya berseru, “Hitunglah aku sebagai salah
semang jurinya!”
Kiu-im Kaucu mengerling sekejap ke arah Pek Kun-gie,
sebelum mengucapkan sesuatu, mendadak ia berpaling ke
arah lain seraya menghardik, “Siapa yang berada disitu? Hayo
pada keluar….!”
Rupanya dibalik dinding rumah telah bersembunyi beberapa
orang, cuma orang-orang itu berilmu tinggi maka selain Hoa
Thian-hong dan Kiu-im Kaucu, tak ada yang mengetahuinya.
Setelah Kiu-im Kaucu menegur, barulah semua orang
alihkan pandangan matanya ke arah mana, empat orang jago
silat perlahan-lahan munculkan diri dari balik sebuah loteng
sempit disisi kiri mereka.
Keempat orang itu mengenakan jubah panjang berwarna
kuning dengan rambut digulung menjadi satu seperti
potongan kaum tosu, ujung bajunya mencapai pergelangan
tangan hingga sekilas pandangan mirip dengan jubah kaum
pendeta, hanya badannya bagian dada mereka dibiarkan
terbakar sehingga tampaklah dadanya yang bidang dan
berotot….
Sepatu mereka terbuat dari kain dengan kaus putih setinggi
lutut, pada pinggang masing-masing terikat sesuatu tali
pinggang yang cukup lebar dan menyolok.
Dandanan dari keempat orang itu persis satu sama lainnya,
satu-satunya yang berbeda hanyalah warna ikat pinggangnya
belaka.
Orang pertama yang berjalan dipaling depan adalah
seorang kakek bermuka merah padam, ikat pinggang yang
dikenakan berbentuk seekor naga yang terbuat dari emas,
naga emas tersebut panjangnya sembilan depa dengan bentuk
kepala selebar cawan arak, badannya kecil tipis sejari
kelingking dengan sisik emas yang amat hidup, walaupun
tubuhnya panjang seperti tali tapi cakar, sisik maupun jarinya
terukir sangat hidup, sekilas pandangan orang akan mengira
benda itu sebagai seekor naga yang betul-betul hidup.
Kalau tiga orang yang berjalan didepan berpotongan jelek
dengan hidung yang mekar seperti sapi, bibir tebal dan
bertampang kriminil, maka orang keempat yang ada
dibelakang masih sangat muda dengan bibir yang merah, gigi
yang putih dan wajah yang tampan, cuma sayang matanya
memancarkan hawa nafsu membunuh yang tebal sehingga
membuat tak sedap orang yang memandang.
Dengan langkah yang tebar keempat orang itu keluar dari
tempat persembunyiannya dan menuju ke tengah gelanggang.
Kakek tua yang berjalan dipaling depan bertangan kosong,
orang kedua membawa sebuah hiolo yang memancarkan sinar
merah darah, asap tipis masih mengepul keluar dari balik hiolo
tadi, walaupun sedang berjalan namun asap tipis itu tetap
mengepul lurus ke angkasa, membuat siapapun yang
memandang jadi tercengang dan keheranan.
Bukan begitu saja, bahkan dari balik hiolo itu terdengarlah
serentetan suara yang aneh, seakan-akan terdapat berpuluhpuluh
ekor makhluk berbisa sedang merangkak.
Ketika empat orang itu berjalan menuju ketengah
gelanggang, mula-mula sepasang mata Pek Kun-gie
memandang sebuah sabuk naga emas yang dikenakan kakek
paling depan dengan pandangan tertegun, kemudian ketika
sinar matanya beralih kewajah pemuda berwajah tampan
yang ada dipaling belakang, tak tahan lagi ia menjerit kaget.
Hoa Thian-hong tertegun dan alihkan pula sorot matanya
kedepan, dengan cepat dia kenali pemuda itu sebagai Kok
See-piauw, murid Bu-liang Sinkun yang pernah dikenalnya
sedari dulu.
Sementara itu, semua orang telah menduga bahwa
kawanan jago berjubah kuning ini adalah orang-orang Mokauw
dari Seng sut hay, cuma mereka sama-sama tercengang
ketika dilihatnya Kok See-piauw berada satu rombongan
dengan orang-orang itu, sebab sepengetahuannya pemuda itu
bukanlah anak murid dari Mo-kauw.
Setibanya ditengah gelanggang, dengan jelalatan kakek tua
itu menyapu sekejap paras muka setiap orang yang hadir
disitu, kemudian tertawa terkekeh kekeh.
“Haaah…. haaah…. haahh…. bukankah ada orang hendak
adu kepan-daian silat? Biarlah aku yang menjadi saksi,
tanggung aku bertindak dengan seadil-adilnyanya dan tidak
sampai berat sebelah”
Sementara pembicaraan masih berlangsung, orang yang
membawa hiolo merah darah itu sudah tiba di tengah
gelanggang, dia letakkan hiolo tersebut persis di tengahtengah
yang memisahkan Kiu-im Kaucu serta Hoa Thian-hong
sesudah itu ia berlutut sambil berkemak kemik seperti sedang
mendoakan sesuatu, Kok See-piauw maupun laki-laki
setengah baya yang lain ikut berlutut, sikap maupun mimik
wajah mereka amat serius dan bersungguh-sungguh….
Menyaksikan tingkah laku mereka, Hoa Thian-hong lantas
berpikir dalam hatinya, “Sudah lama aku dengar pihak Seng
Sut pay memiliki tokoh-tokoh silat yang ampuh dan berilmu
tinggi, aku rasa kedatangan mereka pasti tidak membawa
maksud baik, aku harus waspada sehingga tidak sampai jatuh
kecundang ditangan lawan….!”
Sementara masih termenung, mendadak ia saksikan Kiu-im
Kaucu sedang mengawasi hiolo merah darah itu dengan paras
muka takut bercampur waspada, tanpa terasa diapun
pertinggi kewaspadaannya sendiri.
Kepada kakek bermuka merah itu ujarnya, “Bolehkah aku
mengetahui siapa namamu? Dan apa tujuanmu datang
kemari?”
“Pinto bernama Tang Kwik-siu, bila kedatanganku akan
ceroboh dan tak tahu diri harap kongcu jangan
mentertawakan!” habis berkata kakek baju kuning itu
terbahak-bahak.
Haputule yang berada disisi Hoa Thian-hong segera
berbisik dengan suara lirih, “Dia adalah ciangbunjin dari
perguruan Seng sut pay, locou dari Mo-kauw yang tersohor
itu.”
Perguruan Seng sut pay bermarkas besar di wilayah Seng
sut hay, ilmu silat mereka sangat aneh dan berdiri sendiri,
anak murid yang diterima mereka secara resmi tidak terlalu
banyak, akan tetapi berhubung setiap murid menerima murid
lagi dan tiap cucu murid menerima murid pula, maka
pengaruh perguruan itu meluas sampai meliputi wilayah Ceng
hay, luar perbatasan, Mongolia, Tibet serta See ih, malah
pengaruhnya amat besar dikalangan rakyat sekitar sana.
Oleh sebab dandanan mereka tosu bukan tosu, padri bukan
padri itulah maka perkumpulan itu disebut orang sebagai Mokauw,
dengan begitu maka ciangbun cousu dari perguruan
Seng sut pay sama juga dengan cikal bakal dari Mo-kauw.
Setelah disergap satu kali dikala berada dirumah
penginapan tempo hari sebetulnya Hoa Thian-hong segan
untuk berpura-pura memakai segala tata cara, tapi terpikir
olehnya bagaimanapun juga orang itu adalah cikal bakal suatu
perkumpulan besar, maka ia menjura sambil berkata, “Oh,
kiranya Tang Kwu kaucu, bila ti ak mengenal dirimu harap
suka di maafkan!”
Tang Kwik-siu menengadah dan tertawa terbahak-bahak.
“Haehh…. haahh…. haahh…. ketika aku berangkat menuju
ketimur, sering kudengar orang berkata bahwa jago silat yang
ada didatatan Tionggoan banyaknya luar biasa, tapi diantara
sekian banyak jago hanya Hoa kongcu dan Kiu-im Kaucu saja
yang terhitung lihay.”
Kiu-im Kaucu tak senang hati ketika mendengar namanya
disebut belakangan daripada Hoa Thian-hong, sebelum ia
sempat menyelesaikan kata-katanya, sambil tertawa dingin
katanya, “Obrolan mulut orang lain tak bisa dipandang sebagai
ucapan yang benar, bila engkau tidak puas bagaimana kalau
too yu terhitung salah satu peserta dalam pertarungan ini?”
“Bagus…. bagus sekali, memang lebih pantas kalau kalian
dua orang kaucu bertarung lebih dulu” teriak Pek Kun-gie
sambil bertepuk tangan kegirangan, “hayo cepat kalau ingin
adu jotos, mari kita buktikan kaucu mana adalah kaucu asli
dan kaucu yang mana lagi adalah kaucu gadungan!”
Tang Kwik-siu tertawa lebar.
“Nona, bila kupandang parasmu yang cantik jelita bagaikan
bidadari dari khayangan maka kurasa engkau pastilah Gadis
paling cantik didaratan Tionegoan, Pek Kun-gie adanya
bukankah begitu??”
Merah padam selembar wajah Pek Kun-gie karena jengah,
dalam hati dia lantas berpikir, “Tampangnya memang jelek
dan mengerikan, tapi ucapannya sedap didengar, Emmm
sungguh, tak kusangka manusia sebuas itu pandai mengambil
hati orang….”
Diam-diam ia lantas menjawil ujung baju Hoa Thian-hong
seraya berbisik lirih, “Aku lihat orang ini tidak terlalu jahat bila
sampai bertempur nanti, ampunilah selembar jiwanya!”
“Tak usah banyak komentar, hayo mundur ke sisi bibi
sana? kata Hoa Thian-hong sambil tertawa.
Pek Kun-gie tertawa cekikikan, bukannya bersembunyi
disamping ibunya, dia malahan lari kebelakang punggung Hoa
Thian-hong.
Kok See-piauw sendiri, sejak datang kesana, ia sudah mulai
tak tenteram hatinya, sepasang matanya yang bulat
senantiasa melotot dan memperhatikan wajah Pek Kun-gie.
Jauh sebelum Hoa Thian-hong terjun ke dalam dunia
persilatan, Kok See-piauw sudah tergila-gila oleh kecantikan
wajah Pek Kun-gie, dengan segala daya upaya ia berusaha
merebut hatinya, sekalipun harus mengorbankan segalagalanya
Sejak Hoa Thian-hong muncul diantara mereka berdua,
iapun tahu bahwa Pek Kun-gie penuju oleh ketampanan Hoa
Thian-hong, tapi karena hubungan kedua orang itu terhalang
oleh pelbagai kesulitan dan persoalan, maka sekalipun
cemburu dia masih mampu mengendalikan diri, sedikit banyak
hal ini disebabkan ia masih mempunyai harapan untuk maju
dan menangkan perlombaan cinta ini.
Tapi sekarang, setelah dilihatnya kedua orang itu
bermesrahan dengan intimnya, ia mulai sadar bahwa
perhitungannya tempo hari meleset malahan mungkin
hubungan itu bisa diteruskan kejenjang perkawinan, dalam
kecewa dan putus asanya, api cemburu yang semula masih
dapat dikendalikan kontan saja meledak, ia merasa tiada
kebencian yang lebih hebat daripada kebencian yang
dideritanya saat ini.
Paras mukanya berubah jadi pucat pasi seperti mayat,
sepasang matanya melotot bengis, dengan penuh kemarahan
ia melotot sekejap ke arah Hoa Thian-hong, kemudian tanpa
mengucapkan sepatah katapun dengan langkah lebar ia
menghampiri hiolo merah darah itu, setelah duduk bersila
disisinya, tiba-tiba sepasang telapak tangannya ditusukkan
kedalam hiolo tersebut….
Sementara itu hujan lebat baru berhenti, permukaan air
yang menggenangi jalan itu setinggi beberapa senti, akan
tetapi Kok See-piauw tidak menggubris ia duduk bersila diatas
genangan air itu.
Begitu sepasang telapak tangannya ditusuk kedalam hiolo
merah darah itu terdengarlah suara gemerisikan keras tadi
menggema semakin santar, rupanya terdapat berribu-ribu
ekor makhluk beracun yang sedang memperebutkan hidangan
nikmat.
Kok See-piauw menggigit bibir menahan sakit, kulit
wajahnya berkerut kencang hingga tampak mengerikan sekali,
sekalipun harus menahan siksaan dan penderitaan yang hebat
namua ia tidak mengeluh ataupun memerintih.
Menyaksikan tingkah laku yang aneh dari anak muda itu,
semua orang tertegun dan berdiri terbelalak, siapapun tak
tahu permainan setan apakah yang sedang dilakukan orangorang
itu.
Sementara semua orang masih tercengang, Tang Kwik-siu
telah tertawa tergelak seraya berkata, “Muridku yang paling
kecil Kok See-piauw belum lama terjun kedalam perguruanku,
tapi ia ingin cepat-cepat menguatkan ilmu silat nya, maka
apabila ada sesuatu perbuatannya yang lucu harap kalian
semua jangan mentertawakan!”
Suara gemerisik yang timbul dari dalam hiolo merah darah
itu cukup menggetarkan hati Pek Kun-gie sehingga bulu
kuduknya pada berdiri, mula-mula ia masih tahan, tapi lama
kelamaan sambil bersembunyi dibelakang Hoa Thian-hong
bentaknya dengan gusar, “Kok See-piauw! Kalau ingin melatih
ilmu silatmu, lebih baik enyahlah jauh-jauh dari sini, jangan
bikin muak hati orang saja!”
Kok See-piauw melotot penuh kegusaaan, setelah melirik
sekejap ke arah Hoa Thian-hong dengan padangan dingin, ia
pejamkan kembali matanya dan duduk bersila sambil atur
pernapasan.
Tang Kwik-siu kelihatan sangat gembira bercampur
bangga, setelah memandang sekejap ke arah Hoa Thian-hong
dan Kiu-im Kaucu, kembali ujarnya dengan suara nyaring.
Kalau memang kamu berdua ada niat untuk
melangsungkan duel, apa salahnya kalau sekarang juga
pertarungan itu dilangsungkan, ingin kusaksikan sampai
dimanakah kelihayan ilmu silat yang kalian berdua miliki….
haah…. haah…. haah…. tidak keberatan bukan.
Baik Hoa Thian-hong maupun Kiu-im Kaucu sama-sama
bukan orang bodoh, tentu saja mereka tahu bahwa orang ini
bermaksud jahat dan ia mengharapkan pertarungan antara
mereka berdua berkobar hingga dialah yang akan menarik
keuntungan sebagai nelayan yang mujur.
Sekalipun begitu, mereka berdua segan untuk membongkar
rahasia kelicikannya ini.
Lama sekali Kiu-im Kaucu termenung sambil putar otak,
akhirnya kepada Hoa Thian-hong ia berkata, Ikan akan
berlompatan disamudra yang luas, burung burung akan
terbang leluasa di angkasa yang lebar, sampai dimanakah
luasnya ilmu silat tak seorang pun yang bisa mengukur, aku
rasa hanya manusia-manusia terbelakang yang tak becus saja
yang bergairah untuk mendapatkan peninggalan orang kuno,
contohnya pedang emas itu, benda inilah yang merupakan
bibit penyakit dan sumber bencana, banyak orang yang tak
becus ilmu silatnya berharap mendapatkan kepandaian itu
agar bisa meninggikan derajatnya, Kalau engkau bersedia
menuruti perkataanku dan menghancurkan benda tadi
dihadapan umum, aku pikir persoalanpun bisa diselesaikan
secara baik baik!”
000O000
76
JELAS sekali tujuan dari perkataan Kiu-im Kaucu, asal Hoa
Thian-hong bersedia melenyapkan pedang emas itu dihadapan
umum, maka pertarungan serta perselisihan antar kedua belah
pihak dapat dibikin habis sampai disini saja dan diapun
bersedia mengalah kepada pemuda ini untuk mengundurkan
diri dari sana.
Mendengar penawaran tadi, Hoa Thian-hong berpikir
didalam hatinya, “Kiu-im Kaucu jelas merupakan seorang
musuh yang amat tangguh, kalau ditambahi Tang Kwik-siu
dan Kok See-piauw maka posisiku akan terjepit, jelas untuk
menggebah mereka pergi bukanlah suatu pekerjaan yang
gampang, tapi…. pedang emas itu belum terjatuh ketanganku,
bagaimana caranya aku bisa musnahkan benda itu?”
Pek Kun-gie segera tampil kedepan setelah dilihatnya anak
muda itu membungkam dengan dahi berkerut, ia tahu banyak
persoalan yang berkecamuk dalam benaknya.
“Pedang emas itu belum berhasil kami temukan!” katanya
dengan suara lantang, “bila engkau tidak percaya yaa
sudahlah, sebab dalam kenyataan benda itu memang belum
terjatuh ketangan kami, jika engkau kurang puas dan ingin
mencari gara-gara, silahkan turun tangan dengan segera,
akan kulayani semua kehendak hatimu!”
Kho Hong-bwee mengerutkan dahinya setelah menyaksikan
tingkah pola putrinya, dengan suara keras ia menegur.
“Budak ingusan, engkau jangan sinting sampai lupa dengan
hari kelahiran sendiri, memangnya engkau tidak tahu kalau
ilmu silat yang dimiliki kedua orang kaucu itu sangat tinggi,
engkau masih belum punya tempat untuk ikut campur dalam
urusan ini!”
Pek Kun-gie melirik sekejap ke arah Kiu-im Kaucu, tatkala
dilihatnya perempuan itu sedang melotot ke arahnya dengan
penuh ke gusaran, dengan hati tak senang ia mundur
kesamping.
Sambil tersenyum segera Hoa Thian-hong berkata, “Kaucu,
bicara yang sejujurnya, pedang emas itu belum berhasil kami
temukan, sekalipun kuulangi sampai berpuluh-puluh kali
rasanya engkau tetap tidak akan percaya, bukan begitu?”
“Benar, aku memang tidak percaya!”
“Kalau tidak percaya tanya sama Pia Leng-cu, tanya sendiri
pedang emas itu ia sembunyikan dimana?” teriak Pek Kun-gie
dengan penuh kegusaran.
Padahal Pia Leng-cu sudah mati ditusuk Haputule, jelas
maksud dari Pek Kun-gie menyuruh Kiu-im Kaucu bertanya
kepada orang yang sudah mati adalah bersifat ejekan saja,
karena orang Kiu-im-kauw memang gemar menyaru sebagai
malaikat elmaut, iblis, sukma gentayangan dan sebangsanya.
Kalau ucapan itu bisa menghilangkan kecurigaan lawan
masih rada mendingan, justru dengan bantahan dari Pek Kungie
ini, maka Kiu-im Kaucu maupun Tang Kwik-siu semakin
yakin dan percaya kalau pedang emas itu betul-betul sudah
terjatuh ke tangan Hoa Thian-hong.
Tiba-tiba Tang Kwik-siu tetawa lebar, setelah memandang
sekejap sekitar tempat itu katanya.
“Aku rasa benda yang sedang kalian pertaruhkan toh
pedang baja itu, kenapa musti mengungkit-ungkit soal pedang
emas lagi? kan persoalan itu sama sekali tak ada sangkut
pautnya!”
“Tua bangka bangkotan, tua-tua keladi makin tua makin
menjadi, senang ya kalau dunia jadi kacau balau?” maki Pek
Kun-gie dengan gusar,”hmmm….! Kalau engkau berani
memanaskan suasana lagi, jangan salahkan kalau kuberi
pelajaran yang setimpal kepadamu!”
“Budak ingusan, kenapa engkau selalu bicara tak karuan,
tidak takut ditertawakan orang?!” hardik Kho Hong-bwee lagi.
Kiu-im Kaucu segera menengadah dan terbahak-bahak.
“Haahh…. haahh…. haahh…. Tang Kwik-siu, engkau cerdik,
licik dan banyak tipu muslihatnya, gayamu persis seperti orang
daratan Tionggoan, mungkin orang tak akan percaya kalau
engkau berasal dari tempat gersang jauh diluar perbatasan
situ, sayangnya kecerdasanmu itu sama sekali tidak
bermanfaat bagi pandangan kami, tipu muslihat pasaran mu
itu seolah olah permainan seorang anak kecil dalam
pandangan kami. Bila engkau bersedia menuruti anjuranku,
lebih baik janganlah pakai tipu-tipuan, langsungkan saja
masalah ini dengan kekerasan, daripada engkau mendapat
malu dan ditertawakan orang banyak.”
“Heeeh…. heeeh…. heeeh…. benar juga perkataanmu itu,
pinto merasa terterima kasih atas nasehatmu itu” ujar Tang
Kwik-siu sambil tertawa aneh.
Sesudah berhenti sebentar, sambungnya lebih jauh.
“Hoo Tok telah meminjam ilmu pekikkan darah dari
perguruan Seng sut pay kami.”
“Siapakah Hoo tok itu?” sela Kiu-im Kaucu.
“Nama mendiang guruku!” jawab Haputule dengan dingin,
“nama Siang Tang Lay di peroleh sesudah ia mendapat nama
didaratan Tionggoan”
“Hoo tok pernah membicarakan pula soal pedang emas
dengan diriku” lanjut Tang Kwik-siu lebih jauh, “apa toh yang
kalian perebutkan? kau tidak lebih cuma sejilid kitab ilmu
pedang? Huuhh, bagi orang-orang Seng sut pay kami, benda
macam itu sih belum sampai dipandang sebelah matapun,
ketahuilah maksud kedatangan pinto ke wilayah timur kali ini
adalah disebabkan maksud tujuan lain.
“Apakah tujuanmu?” tanya Pek Kun-gie ingin tahu.
Dengan pandangan aneh Tang Kwik-siu melirik sekejap ke
arah dara itu, kemudian sambil menunjuk Kok See-piauw yang
duduk bersila didepan hiolo merah darah, sahutnya, “Dia telah
kuterima sebagai muridku, telah kujanjikan kepadanya untuk
bantu membuat perhitungan terhadap musuh-musuhnya,
selain itu akupun telah berjanji akan membantu dia hingga
menduduki tahta sebagai Bengcu dari dunia persilatan!”
“Haaah…. haaah…. haaah…. sungguh menggelikan,
sungguh lucu…. hampir saja gigiku pada copot saking
gelinya!” ejek Pek Kun-gie sambil terbahak-bahak.
“Kun gie, jangan ribut!” bentak Hoa Thian-hong dengan
suara rendah.
Pek Kun-gie menjulurkan lidahnya sambil menunjukkan
muka setan, kembali ejeknya dengan lirih, “Eeeeh, kamu bawa
cermin tidak? Aku harap engkau bisa melihat dulu tampangmu
diatas cermin!”
Sementara itu Kiu-im Kaucu telah berkata sambil tertawa
seram, “Waah, kalau sampai terwujud keinginan mu itu,
bukankah daratan Tionggoan akan jatuh dibawah
pemerintahan orang-orang Seng sut pay? Haahh…. haahh….
haah…. meskipun latah, rupanya ada orang yang jauh lebih
latah dari aku!”
Tangkwik Siu tertawa.
“Bagaimana jadinya nanti, masih sukar diramalkan mulai
sekarang, dari pihak kami memang mengharapkan begitu, tapi
berhasil atau tidak tergantung pada kemampuan Kok Seepiauw
sendiri!”
Berbicara sampai disitu, dia lantas mengayunkan jari
tangannya dan melancarkan sebuah tabokan keatas kepala
Kok See-piauw dari tempat kejauhan.
Pukulan udara kosong yang dilepaskan dari kejauhan ini
sama sekali tidak menimbulkan sedikit suarapun, ini membuat
Hoa Thian-hong maupun Kiu-im Kaucu jadi tertegun, mereka
tak pernah menyangka kalau ilmu pukulan yang dimiliki pihak
Seng sut pay begitu halus dan lembutnya hingga sekilas
pandangan seakan-akan suatu pukulan yang pura-pura.
Kok See-piauw bergidik dan sekujur badannya gemetar
keras, lalu sepasang matanya dipentangkan lebar-lebar, sorot
mata yang tajam segera memancar keluar, sepasang
tangannya waktu diangkat keluar dari balik hiolo, maka
terlibatlah pada setiap jari tangannya masih menempel
berbagai macam makhluk beracun antara lain ular berbisa,
kalajengking, kelabang, laba-laba, tokek serta pelbagai jenis
binatang lain yang aneh bentuknya dan tak diketahui
namanya, tubuh yang berwarna-warni cukup membuat hati
orang jadi bergidik rasanya.
Hanya sekejap memandang makhluk-makhluk berbisa itu,
Pek Kun-gie kontan menjerit kaget lalu buru-buru menyingkir
kesamping, disitu gadis cantik itu muntah-muntah karena
mual.
Makhluk beracun sebangsa itu seringkali dijumpai orang,
tapi perlu diketahui makhluk yang dipelihara dalam hiolo itu
justru jauh berbeda bentuknya dengan makhluk biasa, bukan
saja warnanya jauh berubah malahan bentuknya ikut-ikutan
pula berubah jadi kukoay.
Jangan orang lain, bahkan Kiu-im Kaucu sendiripun merasa
perutnya mual dan hampir saja dia muntah, cepat jago lihay
ini melengos ke arah lain.
Ketika belasan ekor makhluk aneh itu terangkat dari hiolo,
tubuh mereka berliuk-liuk tiada hentinya dengan kencang,
rupa-rupanya bi natang itu tak ingin meninggalkan hiolo
tersebut namun merekapun tak sudi lepaskan hidangan lezat
yang telah tergigit, maka meskipun masih tetap memagut
mangsanya, tubuh merekapun ikut bergerak ingin turun
kedalam hiolo.
Kulit muka Kok See-piauw berkerut kencang! tiba-tiba ia
kebaskan tangannya keras-keras, seetika itu juga kawanan
makhluk beracun yang masih menggigit ujung jarinya pada
rontok kembali kedalam hiolo.
Laki-laki baju kuning yang berada disampingnya segera
maju kemuka dan menyebarkan bubuk obat kedalam hiolo
tadi, Kemudian cepat membopongnya mundur kebelakang.
Sesudah terpagut aneka ragam makhluk beracun, sepasang
telapak tangan Kok See-piauw berubah jadi merah membekak,
tapi ia getarkan tangannya berulang kali sehingga warna di
tanggannya itu perlahan lahan pulih kembali jadi putih seperti
sedia kala, dari situ bisa ditarik kesimpulan bahwa sari racun
yang telah terhisap masuk ke dalam tubuhnya telah tersalur
ke dalam peredaran darahnya.
Diam-diam tercekat hati Hoa Thian-hong setelah
menyaksikan kesemuanya itu, pikirnya dihati, “Ilmu pukulan
Kiu pit sin ciang miliknya sudah termasuk sejenis pukulan yang
sangat beracun, apalagi kalau dibantu dengan sari racun dari
makhluk-makhluk sebanyak itu, sudah pasti siapapun yang
terkena pukulan itu niscaya jiwanya melayang tinggalkan
raganya!”
Belum habis ingatan tersebut melintas dalam benaknya,
Kok See-piauw sudah loncat bangun dan berjalan
menghampiri ke arahnya.
Menyaksikan kejadian itu, pucat pias selembar wajah Pek
Kun-gie, segera bentaknya, “Hey, orang She Kok, apa yang
hendak engkau lakukan?”
Kok See-piauw sama sekali tidak menggubris bentakan itu,
dia tepuk tangan satu kali dan membentak dengan wajah
menyeringai seram.
“Hoa Thian-hong, aku orang she Kok ingin minta petunjuk
beberapa jurus pukulanmu, beranikah engkau menerima
tantanganku ini?”
Hoa Thian-hong kerutkan dahinya, lalu sambil tertawa
menjawab.
“Biasanya engkau pengecut dan kecil nyalinya, sekarang
berani juga menantang orang berduel, haaah…. haaah….
haaah…. kalau dugaanku tidak keliru, tentunya engkau punya
kekuatan yang bisa diandalkan bukan? Baiklah, akan kujajal
sampai dimanakah kelihayanmu itu!”
“Eeeh engkau pakai pedang saja!” teriak Pek Kun-gie
dengan gelisah, terbayang kembali akan makhluk-makhluk
beracun yang berada dalam hiolo itu, tak kuasa lagi bulu
kuduknya pada bangun berdiri.
Hoa Thian-hong segera tertawa, “Kalau aku gunakan
pedangmk, dia pasti bukan tandinganku!” katanya.
“Kalau kau segan memakai pedang, biar aku saja yang
menghadapi kurcaci ini!” teriak Pek Kun-gie dengan gemas,
pedang lemas nya segera diayun dan dia menerjang kedepan.
Sekali sambar Hoa Thian-hong menarik kembali gadis itu
kesisi tubuhnya, ujarnya sambil tertawa, Jangan gugup dulu,
aku rasa kalaupun angin pukulannya beracun, belum tentu
pukulan itu berhasil menghantam ke atas badanku, aku rasa
dibalik kesemuanya itu pasti tersimpan hal-hal yang tidak
beres, biar aku saja yang mencoba kehebatannya itu!”
Dewa yang suka pelancongan Cu Thong tiba-tiba
menimbrung dari samping dengan suara dingin.
“Apa gunaya ribut-ribut dengan manusia durjana yang
bejat moralnya itu, sekali tusuk habisi saja nyawa anjingnya!”
Hoa Thian-hong agak tertegun, sebagai seorang pemuda
yang selalu taat pada perkataan orang tua, ia merasa segan
untuk menolak perintahnya, maka setelah Cu Thong berkata
demikian iapun tak banyak bicara lagi.
Sambil meloloskan pedang bajanya, kepada Tan kwik Siu ia
berkata sambil tertawa.
“Aku hendak menggunakan senjata untuk mencoba
kepandaian kalian, kuharap kalian guru dan murid bersedia
untuk maju bersama-sama”
Tergelak Tang Kwik-siu setelah mendengar tantangan itu.
“Haahh…. haahh…. haaah…. tidaklah aneh kalau ada orang
mengincar pedang milikmu, rupanya semua ilmu silat yang
kau miliki hanya terletak di atas sebilah pedang tersebut!”
Pek Kun-gie yang berada disamping anak muda itu tiba-tiba
menimbrung dari samping, “Hey, aku libat tata bahasamu
sempurna dan caramu berbicara halus, aku rasa tentunya
engkau sangat memahami bukan tentang segala kebudayaan
yang berlaku dalam daratan Tionggoan?”
Tang Kwik-siu agak tertegun, tapi sejenak kemudian
sahutnya, “Semasa masih muda, seringkali pinto melakukan
perjalanan kedaratan Tionggoan, wilayah seluas Kwan liok
boleh dibilang meru-pakan tempat-tempat pesiar yang
seringkali aku kujungi”
“Baik, kalau engkau sering bersiar kemana-mana, maka aku
ingin tanya tempat bers earah apa saja yang terdapat disekitar
kota Lok yang ini….?”
Semua orang tercengang dan tidak habis mengerti ketika
secara tiba-tiba gadis itu mengajukan pertanyaan yang
berhubungan dengan tempat kenamaan disekitar kota Lok
yang.
Tang Kwik-siu kelihatan bangga sekali, ujarnya dengan
diiringi gelak tertawa yang nyaring, Menurut apa yang pinto
ketahui, disekitar kota Lok yang terdapat tempat tinggal dan
gedung di mana Locu serta Khong hucu pernah memberikan
ajaran kepada murid-muridnya, selain itu ada jembatan Thi an
kim kiau, An lok oh, Pit bui si, kuil Pek bi si, istana sang cing
kiong, Cing swan te leng, bukit bong san, pintu naga serta
hutan Kwan lim, coba katakan nona, selain tempat-tempat itu
apakah masih ada tempat lain yang kiranya lebih indah?”
“Oooh….! Rupanya dikota Lok yang terdapat begitu banyak
tempat-tempat kenamaan, sayang badanku sudah lelah dan
tak punya tenaga lagi, kalau tidak harus kukunjungi tempattempat
itu!” pikir Hoa Thian-hong dihatinya.
Sementara itu, Pek Kun-gie sudah tertawa terkekeh,
katanya, “Tak kusangka engkau memang hafal dengan daerah
dalam wilayah Tionggoan, memang tak salah sekitar kota Lok
yang memang tiada tempat lain kecuali tempat-tempat tadi.”
Betapa bangganya Tang Kwik-siu, sambil mengelus
jenggotnya ia tertawa tergelak.
“Haaah…. haaah…. haaah membaca selaksa jilid buku,
melakukan perjalanan sejauh selaksa li, serta mempelajari
delapan macam ilmu senjata adalah tiga kegemaranku sejak
dilahirkan didunia ini!” katanya.
Ketika menyinggung soal delapan belas macam ilmu
senjata, dia sengaja memperkeras suaranya sehingga semua
orang kedengaran jelas.
Tampaklah ia memang sengaja sedang mengejek dan
mentertawakan Hoa Thian-hong yang pandai dalam ilmu
pedang saja, kecuali itu kepandaian lain tak mampu dilakukan.
Pek Kun-gie segera mendengus dingin.
“Hmm Aku ingin bertanya kepadamu, hutan Kwan lim itu
letaknya ada dimana?”
Tang Kwik-siu tertawa.
Hutan Kwan lim disebut pula kuburan raja, disitulah Kwan
Kong dikebumikan, walaupun sewaktu menemui ajalnya Kwan
Kong berada di Keng lam, tapi sejak orang-orang dari kerajaan
Go takluk kepada pihak Goei, dengan segala kebesaran dan
upacara yang meriah, Co Cho telah memindah jenasahnya
kemari, sudah dua kali aku berkunjung kesi tu, disekitar
baugunan tumbuh banyak pohon siong, tempat itu terasa
nyaman dan rindang, benar-benar suatu tempat rekreasi yang
indah.
Belum pernah Tang Kwik-siu diajak bercakap-cakap dengan
seorang gadis yang cantik jelita seperti Pek Kun-gie, tidaklah
heran kalau makin berbicara ia semakin bersemangat, hingga
akhirnya tak terbendung lagi iapun membicarakan apa saja
yang ingin di bicarakan.
Rupanya Pek Kun-gie muak mendengarkan perkataannya
itu, cepat dia goyangkan tangannya sambil menukas, “Sudah,
sudah cukup! Anggap saja engkau memang sudah dua kali
berkunjung kesana. Aku cuma ingin tahu, siapakah Kwan
Kong itu?”
Tang Kwik-siu tertegun sesaat, kemudian katanya, “Kwan
Kong atau Kwan Yu bernama juga Kwan Ing tiang, dia adalah
seorang panglima perang yang tersohor pada jaman Siok han,
bukan saja hapal dengan buku pelajaran Cun ciu, wataknya
jujur, gagah dan bijaksaaa, senjata yang diandalkan adalah
sebilah golok twan to berukir naga hijau yang beratnya
mencapai tujuh puluh dua kati, setelah meninggal semua
orang menyembah dirinya sebagai Bu Seng (malaikat ilmu
silat), dengan Lau Pi….”
“Cukup, cukup!” tukas Pek Kun-gie sambil goyangkan
tangannya berulang kali “itu berarti semua malaikat ilmu silat
kita kebanyakan mengandalkan sebilah golok bukan, lalu apa
bedanya golok dengan pedang? toh sama-sama pisaunya!”
Sekarang semua orang baru tahu, rupanya gadis itu
sengaja berputar kayun membicarakan ini itu, tujuannya tak
lebih hanya untuk membela Hoa Thian-hong.
Kok See-piauw makin cemburu, api benci dan dendam
berkecamuk dalam benaknya, sambil menjerit marah dia
langsung menubruk kedepan dan menghantam tubuh anak
muda itu.
Hoa Thian-hong menarik muka, pedang bajanya diputar
kencang lalu batas membacok kedepan.
Dahsyat dan tajam serangan pedangnya ini, neskipun
dalam keadaan gusar, Kok See-piauw tak berani menyambut
dengan keras lawan keras, sambil merendahkan tubuhnya
cepat ia bergeser kesamping, lalu dari situ dia melancarkan
satu serangan lagi.
Hmm! Sekalipun ilmu pukulan dan tenaga dalamnya telah
mendapat kemajuan yang pesat, paling-paling toh cuma
begitu saja” pikir Hoa Thian tong dalam hati, asal ku hadapi
dirinya dengan pedang baja, bukan suatu pekerjaan yang sulit
jika ingin kucabut jiwanya, cuma kalau ia kubunuh dengan
begitu saja orang lain tentu akan mentertawakan aku!”
Sementara otaknya berputar sebuah tusukan pedang
kembali di lancarkan kedepan.
Kok See-piauw menang nekad dan ada maksud adu nyawa,
apa lacur ilmu pedang yang dimiliki Hoa Thian-hong terlalu
lihay, hal ini memaksa ia tak sanggup mendekati tubuhnya,
dalam keadaan terpaksa ia harus menyingkir ke samping
kemudian melepaskan serangan lagi dari samping.
Apabila Hoa Thian-hong ingin bereskan nyawanya, dengan
gampang hal itu akan terlaksana, akan tetapi ia segan untuk
membereskan nyawanya, dia cukup berharap agar Kok Seepiauw
lah yang tahu diri dan mundur dengan teratur.
Tang Kwik-siu memang pernah mendengar orang berkata
bahwa Hoa Thian-hong terhitung jagoan kelas satu di dunia
ini, cuma mimpipun ia tak mengira kalau permainan pedang
baja si anak muda itu demikian dahsyatnya hingga sukar
diatasi.
Setelah memperhatikan sekejap permainan pedang lawan,
dengan paras muka berubah hebat teriaknya, “See piau, hayo
mundurl”
Kok See-piauw bukanlah seorang yang goblok, meskipun ia
tahu bahwa kepandaian silatnya bukan tandingan lawan, akan
tetapi ia tetap menerjang dan mundur bagaikan seekor
harimau edan.
Ketika mendengar panggilan tadi, cepat ia mundur
kebelakang dengan hati mengumpat.
Tiba-tiba dilihatnya Pek Kun-gie berada tak jauh dari
sisinya, cspat ia putar badan dan ganti menerjang si anak dara
itu.
Betapa gusarnya Hoa Thian-hong menyaksikan kejadian itu,
ia meluncur kemuka dan menghadang dihadapan Pek Kun-gie,
sambil tertawa dingin pedangnya langsung disodok kedepan
dan menusuk dada lawan.
Walaupun berada dalam keadaan gusar, Hoa Thian-hong
masih belum berminat untuk melukai musuhnya, bukan saja
tusukan pedang itu tidak ditujukan pada bagian tubuh yang
mematikan, bahkan sewaktu mencapai punggung musuh, dari
suatu seragan tusukan, tiba-tiba berubah jadi serangan
tabokan, dengan tenaga sebesar tiga bagian ia gebuk
punggung Kok See-piauw keras-keras.
Kalau dilihat kekuatannya memang amat kecil, namun
cukup telak bagi Kok See-piauw, ia menjerit keras dan roboh
terjengkang ke atas tanah, tulangnya amat sakit bagaikan
retak, untuk beberapa saat lamanya ia tak sanggup bangkit
kembali.
Hijau membesi raut wajah Tang Kwik-siu, saking
mendongkolnya selangkah demi selangkah dia maju ke depan
lalu ujarnya.
“Ilmu silat yang dimiliki Hoa kongcu memang terbukti
kehebatannya, sudah jelas anak muridku ini bukan
tandinganmu, biarlah untuk meriahkan suasana ijinkan pinto
untuk minta petunjuk barang satu dua jurus dari diri Hoa
kongcu!”
Seraya berkata dia lantas melepaskan tali ikat pinggangnya
yang berwarna emas itu.
Hoa Thian-hong tertawa dingin, tiba-tiba ia simpan kembali
pedang bajanya sembari menjawab, “Kalau Tang kwik kaucu
ingin bertarung, baiklah akan kusambut permainan pukulan
dari kaucu itu!”
“Hey, apa yang ingin kau lakukan?” omel Pek Kun-gie
dengan suara terperanjat.
Hoa Thian-hong tersenyum.
“Kedua orang kaucu ini sama-sama tertarik pada pedang
bajaku ini, maka aku ingin mencoba bagaimana kalau kulayani
tanpa menggunakansenjata tajam!”
Kemudian ia menjura kepada Tang Kwik-siu dan
melanjutkan, “Silahkan kaucu!”
Tang Kwik-siu tertawa, ujarnya.
“Bila dalam dua ratus gebrakan pinto menderita kalah,
seketika itu juga aku akan pulang ke Seng sut hay dan
semenjak itu tak akan menginjak daratan Tionggoan barang
selangkahpun!”
“Ikat pinggangmu harus ditinggal pula di sini!” teriak Pek
Kun-gie menambahkan.
Jilid 24 : Hoa Thian Hong mencari dua kekasihnya
TANG KWIK-SIU tertawa tergelak, sambil menerjang
kemuka ia melepaskan sebuah pukulan dahsyat, serunya,
“Maaf, aku main kasar!”
Sekilas pandangan Hoa Thian-hong tahu kalau serangan
yang dilancarkan orang itu amat kuat dan hebat, sekalipun
mukanya jelek tapi ilmu silat yang dimiliki bukanlah omong
kosong.
Tentu saja ia tak berani sembarangan bertindak, apalagi
bertindak secara gegabah, sepasang tangannya secepat petir
dirangkap menjadi satu, kemudian berbareng dilontarkan
kedepan.
“Bagus!” seru Tang Kwik-siu, kesepuluh jarinya
direntangkan lebar-lebar seperti jepitan baja, dengan telapak
tangan menghadap udara, dia kirim satu pukulan udara
kosong dengan hebatnya.
Meskipun ilmu pukulan udara kosong merupakan satu jenis
ilmu pukulan, akan tetapi jarang bisa ditemui dalam dunia
persilatan, bahkan Hoa Thian-hong baru pertama kali ini
menjumpainya, Untuk sesaat ia tak tahu dimanakah letak
keampuhan dan kesaktian ilmu pukulan yang tampaknya luar
biasa itu, dengan jurus Kun siu ci-tau, ia hadapi serangan
keras itu dengan pukulan keras juga.
Rupanya Tang Kwik-siu telah mencari tahu sampai jelas
tentang seluk beluk Hoa Thian-hong, begitu ia lihat anak
muda itu menyerang dengan telapak kirinya, sadarlah jago tua
itu bahwa musuhnya telah keluarkan ilmu simpanannya.
Sambil tertawa tergelak ia rubah pukulan kepalanya
menjadi suatu pukulan telapak, disambutnya serangan
tersebut dengan keras lawan keras.
“Blaang! ditengah benturan nyaune, sepasang telapak
tangan telah saling beradu satu sama lainnya, tubuh mereka
berdua segera bergetar keras.
Namun kedua belah pihak sama-sama tak mau buang
kesempatan baik itu dengan begitu saja, secepat kilat mereka
berputar satu ling karan lalu secepat kilat saling melancarkan
beberapa jurus pukulan.
Sebagai jaro yang sama-sama lihaynya, cukup dalam sekali
bentrokan mereka telah mengetahui sampai dimanakah
kemampuan yang dimiliki musuhnya.
Mereka mengerti dalam hal tenaga dalam jelas kekuatan
mereka seimbang, siapapun tak bisa menangkan lawannya,
untuk merebut kemenangan,j elas harus mengandalkan
kesempurnaan jurus silat serta pengalaman dalam
menghadapi musuh.
Tidak sampai dua gebrakan, Tang Kwik-siu telah berhasil
memaksa Hoa Thian-hong untuk keluarkan ilmu simpanannya,
begitu musuh sudah menggunakan ilmu andalannya maka
diapun ikut merubah gerak sera ngannya.
Mendadak tangan kirinya sebentar menyerang, sebentar
mencekeram, kadangkala menotok dan kadang pula
membacok, sebaliknya tangan kanannya mainkan pukulan Lei
sim toh si ciang hoat dari aliran Sing sut pay untuk meneter
lawannya habis-habisan.
Dalam waktu singkat mereka telah saling bergebrak
sebanyak dua puluh jurus lebih.
Serentetan serangan bertubi-tubi itu dilancarkan secepat
samba-ran petir, jangankan mereka yang sedang bertempur,
bahkan para penonton yang berada disekitar gelanggang ikut
merasakan napasnya jadi sesak.
Tapi Hoa Thian-hong masih tetap melayani serangan
musuhnya dengan jurus Kun-siu-ci-tauw tersebut.
Untungnya dalam hal ilmu meringankan tubuh ia cukup
tangguh dan punya simpanan, dalam waktu singkat ia sudah
keluarkan ilmu I heng huan wi (geser badan tukar tempat),
Sut te tun sin (mengerutkan badan menyusup bumi) serta
Gong tiong toa I na (berjumpalitan ditengah udara) untuk
meloloskan diri dari bahaya maut.
Kendatipun posisinya masih terdesak dibawah angin,
namun ia berhasil mempertahakan diri sehingga tak sampai
menderita ke kalahan.
Tang Kwik-siu yang secara beruntun sudah melancarkan
pelbagai serangan dengan jurus-jurus yang ampuh tanpa
berhasil mengalahkan Hoa Thian-hong, lama kelamaan timbul
juga niatnya untuk merebut kemenangan, tiba-tiba ia
membentak keras, tangan kiri menggunakan jurus sian ki ci
lek sedang tangan kanan memakai ilmu pukulan thian mo
ciang, Hua kut Sinkun serta Toa jin eng dari kalangan Buddha
untuk meneter lawannya habis-habisan
Jurus-jurus serangan yang dipergunakan rata-rata
merupakan serangan ampuh dengan peruba-han yang
terhitung banyaknya, dalam waktu singkat Hoa Thian-hong
sudah keteter hebat sehingga mundur terus kebelakang.
Betapa gelisahnya Pek Kun-gie menyaksikan kejadian itu,
sambil putar pedang lemasnya ia menjerit lengking.
“Kawan-kawan semua, hayo kita serbu bersama, mari kita
jagal seluruh manusia siluman dari Mo-kauw ini!”
Sambil menjejak permukaan tanah, ia langsung menerjang
lebih dahulu kedepan.
Siapa tahu belum sempat tubuhnya meluncur kedepan,
tiba-tiba ia merasa lengan tangannya jadi kencang dan tahutahu
sudah kena dicengkeram oleh ibunya sendiri.
Paras Kho Hong-bwee amat murung dan serius, mulutnya
membungkam dalam seribu bahasa, sementara sorot matanya
yang tajam mengawasi jalannya pertarungan itu tanpa
berkedip.
Pek Kun-gie seketika itu juga merasakan lengannya seolaholah
di jepit oleh suatu jepitan baja yang sangat kuat, ia
menjerit kesakitan sampai peluh membasahi seluruh
tubuhnya, akan tetapi Kho Hong-bwee tidak merasa dan
jepitan itupun lama sekali tidak mengendor.
Tang Kwik-siu memang seorang jago yang lihay dengan
ilmu silat yang beraneka ragam, sekalipun pertarungan baru
berlangsung enam tujuh puluh gebrakan, secara berutan ia
telah menggunakan belasan jenis ilmu pukulan yang rata-rata
merupakan ilmu tangguh yang sudah lama lenyap dari
peredaran Bu Lim.
Jangan toh berpuluh-puluh macam, apabila orang biasa
berhasil mempelajari satu saja diantaranya, ilmu silat itu
sudah cukup diandalkan untuk menjago dunia kangou, bisa
dibayangkan sampai dimanakah kelihayan dari Tang Kwik-siu
tersebut.
Sesudah mengikuti jalannya pertarungan itu, bukan saja
Kho Hong-bwee dan Cu Thong merasa terkejut dan berdebar
hatinya, malahan Kiu-im Kaucu sendiripus merasa tercekat
sehingga paras mukanya berubah jadi hijau membesi.
Jago lihay sebangsa Tang Kwik-siu boleh dibilang sukar
dijumpai dalam kolong langit, seorang menguasai berpuluh
jenis ilmu pukulan sakti yang beraneka ragam, bukan saja
semua jago merasa tak mampu untuk melampaui
kelihayannya, bahkan Kiu-im Kaucu sendiripun yakin bahwa
dia sendiripun belum temu sanggup mengalahkan jago dari
Mo-kauw ini.
Dalam waktu singkat, Hoa Thian-hong sudah terdesak
hebat hingga keringat dingin membasahi seluruh tubuhnya,
ditengah hembusan angin pukulan yang menderu-deru, secara
lapat-lapat kedengaran pula dengusan napasnya yang
memburu.
Untung saja ilmu pukulan Kun-siu-ci-tauw yang berhasil
dikuasainya itu memang suatu jurus pukulan yang tangguh,
semakin berbahaya situasi yang dihadapinya semakin dahsyat
pula daya pengaruh yang terpancar keluar dari ilmu pukulan
itu, makin hebat teteran musuh yang menekan datang
semakin besar pula daya tolakan yang dihasilkan.
Berulang kali Tang Kwik-siu melepaskan pukulan-pukulan
dengan jurus tangguh, namun senantiasa ia gagal untuk
mendepak musuhnya hingga terpojok, karena itu meskipun
pertarungan berjalan sengit dan gembong iblis dari Mo-kauw
ini berbasil menduduki posisi atas angin, namun menentukan
untuk menang atau kalah masih merupakan suatu pekerjaan
yang amat sulit….
Lama kelamaan Kho Hong-bwee merasa gelisah bercampur
cemas, apalagi setelah menyaksikan keadaan putrinya yang
setiap saat berusaha untuk terjunkan diri kegelanggang
pertarungan.
Ia tahu dalam keadaan demikian, kekuatan yang dimilikinya
terlalu lemah dan tak mungkin bisa menguaiahi keadaan, apa
boleh buat lagi terpaksa ia berpaling ke arah Kiu-im Kaucu dan
berkata dengan suara hambar, “Ilmu silat yang dimiliki Tang
kwik kaucu sangat lihay dan aneka ragam kepandaian yang
dikuasainya sukar ditandingi oleh siapapun, tampaknya kursi
pimpinan dunia persilatan dalam daratan Tionggoan harus
terpindah tangan kepihak Seng sut pay. Aaai, mungkinkah
inilah masanya bagi perkumpulan Sin-kie-pang kami untuk
membubarkan diri?”
Beberapa patah kata yang diucapkan Kho Hong-bwee itu
kedengaranya amat sederhana dan tiada sesuatu yang hebat,
tapi pada hakekatnya kata-kata itu justru tersimpan segulung
kekuatan yang luar biasa.
Sekujur badan Kiu-im Kaucu bergetar keras sehabis
mendengar perkitaan itu, cepat pikirnya dihati.
“Andaikata Hoa Thian-hong yang berhasil merajai dunia
persilatan, orang lain pasti masih ada kesempatan untuk
hidup, seba liknya kalau setan tua she Tang ini yang berhasil
malang melintang didaratan Tionggoan tanpa tandingan,
sudah pasti perkumpulan Kiu-im-kauw yang kudirikan akan
ikut tertumpas pula….Hmmm! Untuk menghindari segala
kemungkinan yang tidak diinginkan, terpaksa aku musti
singkirkan dahulu iblis tua itu….”
Sekalipun Kiu-im Kaucu dapat memahami keadaan tersebut
dalam sekilas pandangan, akan tetapi ia tak sudi membantu
Hoa Thian-hong, sebab rasa iri dan sifat mementingkan diri
sendiri yang dimilikinya terlalu tebal, ia lebih suka menghadapi
kesulitan dibelakang hari dari pada sekarang harus membantu
musuhnya.
Tang Kwik-siu sendiri walaupun berada di tengah
pertarungan, akan tetapi semua perkataan yang di ucapkan
Kho Hong-bwee dapat di dengar olehnya dengan sangat jelas,
diam-diam ia merasa terperanjat.
Jago tua dari Seng Sut hay ini jadi terbayang kembali akan
nasib Siang Tang Lay yang pernah malang melintang
didaratan Tionggoan tanpa tandingan, tapi akhirnya toh mati
setelah dikerubuti oleh ketua Sin-kie-pang, ketua Hong-imhwiee,
ketua Thong-thian-kauw ditambah Bu liang sinkun dan
Ciu It Bong.
Sebagai seorang cikal bakal dari suatu perkumpulan besar,
Tang Kwik-siu terhitung seorang jago lihay yang berotak
cerdik, setelah memahami dimanakah letak kelihayan dan
bahaya yang mengancam posisinya, segera ia mengambil
keputussn untuk melakukan serangkaian serangkaian kilat
untuk merobohkan Hoa Thian-hong lebih dahulu, kemudian
sepenuh tenaga menghadapi pula Kiu-im Kaucu, asal dua
kelompok kekuatan terbesar dalam dunia persilatan dewasa ini
berhasil dipatahkan, maka untuk menguasai jasad dikemudian
hari tidaklah mengalami banyak rintangan.
Begitu keputusan diambil, gerak serangan pun ikut
berubah, tangan kirinya dengan lima jari yang dipentangkan
bagaikan cakar setan senantiasa mengancam hiat to penting
ditubuh Hoa Thian-hong, dimana jari tanggannya menyambar
lewat disitulah tersembur lima gulung hawa hitam yang
disertai bunyi desingan tajam.
Sebaliknya lengan kanannya dengan disertai suara
gemerusukan yang nyaring tiba-tiba memanjang empat cun
dari keadaan semula pukulan-pukulan yang kemudian
dilancarkan semuanya ditujukkan pada dada si anak muda itu.
Memang dahsyat dua macam ilmu serangan itu, dalam
sekejap mata Hoa Thian-hong semakin keteter hebat,
sehingga setiap saat ia terancam oleh bahaya maut.
Haputule yang berada disamping gelanggang, tiba-tiba
menjerit keras dengan nada amat terkejut, Haah bukankah
ilmu cengkeraman itu adalah Ngo kui in tong jiu (cakar lima
setan angin dingin) dan ilmu pukulan Tong pit mo ciang
(pukulan iblis berlengan panjang).
Mendengar seruan tersebut Kiu-im Kaucu segera berpikir
pula dalam hatinya.
“Aaih…. kalau begitu, sekalipun ilmu silat yang dimiliki tua
bangka itu terdiri dari aneka ragam ilmu yang tangguh, toh
yang pa ling diandalkan adalah ilmu-ilmu semacam ini
Selama ini lengan tangan Pek Kun-gie masih dicengkeram
terus oleh ibunya setelah Hoa Thian-hong keteter hebat dan
jiwanya terancam mara bahaya, malahan paling banter ia
cuma bisa bertahan dua puluh gerakan lagi, dalam cemasnya
Kho Hong-bwee segera melemparkan tubuh putrinya
kebelakang seraya berseru, “Mundur jauh-kauh dari sini….!”
Berbareng iiu pula. ia cabul keluar pedangnya yang
tersoren di atas punggung.
“Bibi….” seru Kok See-piauw dengan sepasang alis matanya
berkenyit.
“Ada apa? hardik Kho Hong-bwee dengan gusar, sekalipun
aku tidak kenal aturan dunia persilatan, aku lebih-lebih tak
kenal dengan sampah masyarakat macam dirimu!”
Kendatipun usia Kho Hong-bwee sudah mendekati
setengah abad, namun kecantikan wajahnya belum hilang,
sekalipan memakai jubah to koh yang kedodoran,
kecantikannya masih amat menonjol.
Sayangnya dia adalah seorang perempuan yang halus
diluar kasar didalam, kalau tidak begitu tentunya hubungan
suami istri mereka tak akan putus sejak belasan tabun yang
lampau.
Apa lagi sekarang, setelah hawa nafsu membunuh yang
tebal menyelimuti seluruh wajahnya, kontan Kok See-piauw
jadi bergidik dan tak berani banyak bicara lagi.
Dengan demikian, situasi dalam gelanggang pertarungan
berubah semakin tegang, Kiu im kuicu segera ambil keputusan
dihati kecilnya, asal Hoa Thian-hong sudah terluka dan
mengalami kekalahan, dia akan turun tangan secepat kilat.
Asal ia bertindak tepat pada saatnya, Hoa Thian-hong pasti
tak akan mati dan selama pemuda itu masih hidup berarti
Tang Kwik-siu akan bertambah lagi seorang musuh yang
tangguh, dan selama pemuda itu terluka, diapun bisa
manfaatkan kesempatan yang sangat baik ini untuk merebut
kursi pertama dalam dunia persilatan.
Sementara itu Kho Hong-bwee dan Cu Thong yang masih
menderita luka parah telah loncat kedepan bersiap sedia,
mereka tidak langsung terjun kedalam gelanggang sebab
pertarungan Hoa Thian-hong melawan Tang Kwik-siu baru
berlangsung delapan sembilan puluh gebrakan, mereka
berharap agar pemuda itu bisa bertahan beberapa saat lagi
sehingga nama baik pemuda itu tidak sampai merosot karena
kejadian ini.
Di pihak lain, Kok See-piauw serta dua orang murid Tang
Kwik-siu yang lain telah menghimpun tenaga murninya pula
untuk bersiap sedia asal situasi telah tegang dan serius,
mereka akan turun gelanggang untuk menghalangi setiap
bahaya yang mungkin akan diberikan kepada anak muda itu.
Di tengah penarungan sengit yang masih berlangsung, tibatiba
terdengar Tang Kwik-siu tertawa tergelak, lalu berseru,
“Hoa Thian-hong, berhati-hatilah, dalam sepuluh jurus
mendatang aku akan berusaha merobohkan dirimu!”
Berbareng dengan selesainya ucapan tersebut, tiba-tiba ia
merebut posisi Tiong kiong dengan langkah Ling ting poh
(ilmu langkah menyendiri), segera pukulan dahsyat langsung
dilontarkan ke depan.
Waktu itn Hoa Thian-hong sudah kehabisan tenaga dan
tersengkal-sengkal napasnya, tatkala merasakan betapa
dahsyatnya ancaman yang meluncur datang, dan merasa tak
mampu untuk mematahkan ancaman tadi, buru-buru ia
menggeserkan badannya ke samping, kemudian balas
melancarkan serangan dengan ilmu Menyerang sampai mati.
Tang Kwik-siu tertawa terbahak-bahak, tangan kirinya
dibabat kemuka, desingan angin jari yang tajam segera
meluncur kemuka menotok sikut anak muda itu, sementara
telapak tangan kanannya merendah kebawah dan langsung
menjotos ke arah pusarnya.
Rupanya jago tua dari Seng sut hay ini telah
memperhitungkan masak-masak, asal ia menyerang maka Hoa
Thian-hong bakal menang kis dengan tangan kanannya, maka
berbareng itu pula serangan berikutnya yang disusulkan, boleh
dibilang telah disertai dengan hawa pukulan yang maha
dahsyat.
Setelah menyadari kelihayan musuhnya, Hoa Thian-hong
tak berani melayani secara gegabah, sadari tadi seluruh
tenaga dan perhatiannya telah dipusatkan menjadi satu.
Begitu merasa tak mampu menghadapi serangan lawan,
sepasang kakinya segera menjejak permukaan tanah dan
mundur setengah depa kebelakang, dengan begitu loloslah si
anak muda itu dari kurungan musuhnya.
“Hebat amat ilmu ginkang yang dimiliki bocah ini!” pikir
Tang-kwik Siu dihati, “bila aku gagal membinasakan bocah ini
sekarang juga, entah bagaimana jadinya beberapa waktu
mendatang? Kepandaian silatnya pasti akan bertambah lihay!”
Berpikir sampai disitu, telapak tangannya segera dihimpun
ke depan dan mengejar kemana pergi si anak muda itu.
Kecepatan gerak tubuh Hoa Thian-hong boleh dibilang
sudah mendekati jalan pikiranya, akan tetapi perubahan jurus
yang di lancarkan Tang Kwik-siu boleh dibilang bagaikan
sukma gentayangan, jurus pertama belum habis dilancarkan,
jurus berikutnya telah menyusul tiba, ini memaksa Hoa Thianhong
keteter hebat dan tiada kesempatan untuk bertukar
napas lagi.
Sementara situasi berubah jadi kritis dan Hoa Thian-hong
sudah didesak hingga tak sanggup mempertahankan diri lagi,
tiba-tiba dari kejauhan terdengar seorang perempuan berseru
dengan suara yang dingin tapi penuh kewibawaan, “Jangan
gugup, gunakan Siau ci lam thian (sambil tersenyum
menuding langit selatan)….!”
Kecuali Hoa Thian-hong, semua orang tertegun setelah
mendengar seruan itu, sebab ucapan tadi bukan saja sangat
mendadak tibanya bahkan nyaring dan amat menusuk
pendengaran.
Lain halnya bagi si anak muda itu, seruan tadi sudah amat
dikenal olehnya bahkan boleh dibilang telah bersatu dengan
perasaan hatinya, begitu mendengar seruan tadi, spontan
lengannya disodok kedepan dan menggunakan jari tangannya,
ia menotok jalan darah tay yang hiat sepasang jidat Tang
Kwik-siu.
Ketika pukulan yang dilancarkan Tang Kwik-siu mengancam
dada Hoa Thian-hong, serta-merta anak muda itu menyingkir
kesamping sambil menyodok kemuka.
Kejadian tersebut bukan berarti dapat membebaskan diri
dari ancaman telapak tangan Tang Kwik-siu, asal jago tua itu
membalikkan telapak tangannya niscaya sudah mampu
menghatam dada anak muda itu dengan telak.
Sekalipun begitu, asal Tang Kwik-siu berani melanjutkan
ancamannya, kendatipun ia berhasil menghantam dada
pemuda itu, jari tangan Hoa Thian-hong sendiripun akan
menyodok pula jalan darah tay yang hiat diatas jidatnya.
Siapapun tahu bahwa jurus siau ci thian lam ini hanya
suatu jurus serangan yang sederhana dan gampang, bahkan
setiap orang mampu untuk menggunakannya tapi yang hebat
justru jurus yang sederhana itu merupakan tandingan yang
paling jitu untuk mematahkan ancaman lawan.
Siapapun lebih suka dadanya kena dihantam dari pada
jalan darah tay yang niatnya tersodok.
Bisa di bayangkan betapa gusarnya Tang Kwik-siu
menghadapi kejadian tersebut, serta-merta ia lantas berkelit
kesamping.
Berhasil dengan serangannya, semangat Hoa Thian-hong
makin berkobar, ia membentak keras telapak tangan kirinya
diayun kemuka dan segera mengirim lagi sebuah pukulan
gencar.
Setelah sekian lama melakukan pertarungan, baru kali ini
Hoa Thian-hong melancarkan pukulan yang benar-benar
tangguh.
Weeess….!” sebuah angin pukulan yang dahsyat bagaikan
gulungan ombak di tengah hembusan angin puyuh langsung
menggulung kedepan dan menghantam tubuh jago tua itu.
Belum habis rasa kaget yang menyelimuti dada Tang Kwiksiu,
angin pukulan yang maha dahsyat itu telah menggulung
tiba, dalam posisi begini ia tak berani mererima ancaman
tersebut dengan keras lawan keras.
Dalam paniknya ia putar badan sambil merendahkan tubuh,
berhasil menghindari serangan musuh, telapak tangannya
segera disodok ke depan menghajar iga lawan.
Pertarungan berlangsung makin cepat, dalam sekejap mata
dua jurus telah di lewatkan.
Namun kawanan jago sudah tidak berniat untuk
menyaksikan jalannya pertarungan lagi, semua orang samasama
alihkan sorot matanya ke arah mana berasalnya suara
itu.
Tampaklah Hoa Hujin dengan wajah yang agung sedang
berjalan mendekat, langkah kakcinya amat cepat melebihi
sambaran petir, hanya sekejap mata ia sudah tiba ditengah
gelanggang.
Tio Sam-koh dengan toya bajanya yang besar, Chin Wanhong
sambil menggandeng tangan Siau Ngo-ji mengikuti
dibelakangnya dengan langkah lebar.
Menyaksikan kesemuanya itu, Kiu-im Kaucu sangat
terperanjat, dalam hati ia lantas berpikir, “Menurut berita yang
tersiar, katanya Bun Siau-ih sudah kehilangan tenaga untuk
bertempur, bahkan badannya jadi lemah dan menjagal
ayampun tak mampu, kenapa secara tiba-tiba ilmu silatnya
bisa pulih kembali jadi begini lihay? atau mungkin apa yang
tersiar dalam dunia persilatan hanyalah berita kosong belaka?”
Jangankan dia, orang lainpun sama-sama kaget bercampur
tercengang sesadah menyaksikan kejadian itu, sebab berita
tentang punahnya ilmu silat yang dimiliki Hoa Hujin telah
tersebar luas ke mana-mana, justru karena tiadanya tandingan
yang tangguh maka Kiu-im Kaucu sekalian berani malang
melintang dengan pongahnya.
Sebagai jago lihay yang berpengalaman, hanya cukup
dalam sekilas pandangan saja, Kiu-im Kaucu sekalian telah
mengetahui bahwa kekuatan tubuh yang dimiliki perempuan
sakti ini telah pulih kembali seperti sedia kala, ini terbukti dari
kecepatan gerak tubuhnya.
Apabila bukan disaksikan dengan mata kepala sendiri,
siapapun tak akan menyangka kalau hal ini benar-benar
terjadi, untuk sementara waktu semua orang berdiri terbelalak
dengan mulut melongo, kaget dan herannya bukan kepalang.
Tang Kwik-siu sebagai jago dari luar daratan sama sekali
tidak kenal dengan Hoa Hujin, ditengah pertarungan dia tak
sempat menengok kekiri kanan, dia cuma merasa bahwa
suasana disekitar tempat itu anehnya bukan kepalang.
Dalam herannya terrpaksa dia menegur, “Jago lihay
darimanakah yang telah datang?”
“Bun Siau-ih?” jawab Hoa Hujin dengan dingin.
Tiba-tiba dengan dahi berkerut ia membentak, Pertahankan
diri, gunakan Boan thian hu tee (membongkar langit membalik
bumi), Siang cu soay siau (siang cu membanting seruling)
Untuk sukses dalam pemberian petunjuk atas jurus silat
yang akan dipergunakan orang, seseorang harus benar-benar
menguasai ilmu silat yang amat luas, pengalaman dalam
menghadapi musuh yang tinggi serta kecerdasan otak yang
luar biasa.
Perlu diketahui, ilmu silat yang dimiliki Tang Kwik-siu bukan
berasal dari daratan Tionggon, selain itu selama hidupnya Hoa
Hujin sendiripun tak pernah menggunakan senjata tajam,
dengan begitu ilmu silat yang dimiliki perempuan itu belum
bisa dikatakan lebih hebat dari Tang Kwik-siu.
Cuma untungnya perempuan itu ada disisi gelanggang,
dengan kedudukannya sebagai penonton pandangannya justru
jauh lebih meluas daripada mereka yang langsung terlibat
dalam pertarungan itu, maka setiap kali ia berhasil memberi
petunjuk kepada Hoa Thian-hong untuk mendahului
musuhnya dan merebut posisi yang jauh lebih mengun
tungkan.
Sekalipun jurus serangan berikutnya dari Tang Kwik-siu
sama sekali tak terduga olehnya, dengan hubungan batin yang
amat erat antara ibu dan anak berdua, asal Hoa Thian-hong
mendengar suara ibunya, segera ia gunakan jurus serangan
itu, maka pemuda ini berhasil memperbaiki kedudukannya
yang terdesak.
Jurus Boan thian hu tee hanya suatu pukulan biasa,
sebaliknya siang cu soay siau adalah jurus serangan dari ilmu
delapan dewa mabok sempoyongan, jurus silat dasar yang
sering dilatih Hoa Thian-hong semenjak kecil, bila pemuda itu
diharuskan mengunakan sendiri jurus itu, tentu dia tak berani
melakukannya, tapi karena ia percaya dengan ibunya maka
jurus-jurus serangan itu segera digunakan.
Diluar dugaan, jurus yang sederhana itu ternyata justru
berhasil digunakan untuk menghindari serangan dahsyat yang
dilancarkan oleh Tang Kwik-siu.
Semangat Hoa Thian-hong semakin berkobar, ia sudah
tidak jeri lagi untuk menghadapi ilmu pukulan Tang Kwik-siu
yang lihay, serangan demi serangan dilancarkan secara tetap
dan mantap, setiap kesempatan yang ada segera
dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk meneter lawan.
Dengan begita maka pertarungan yang berlangsungpun
makin ganas dan hebat, Tang Kwik-siu yang sudah lama
mendengar akan nama besar Hoa Hujin, sedikit banyak
merasa waspada juga sesudah kehadiran ja go itu, ia tak
berani lanjutkan niatnya untuk membunuh si anak muda itu, ia
cuma berharap agar Hoa Thian-hong hentikan dulu serangan
itu dan diapun akan mengakhiri pertarungan ini sampai di sini
saja.
Sebagai seorang tokoh silat yang punya nama besar, tentu
saja Tang Kwik-siu tak tudi menghentikan dulu serangan
tersebut.
Tiba-tiba terdengar Hoa Hujin berseru dengan suara berat,
“Poo….”
Begitu mendengar ucapan ‘poo’, Hoa Thian-hong langsung
membentak keras, dengan hawa murni yang melimpah ruah
dia lepaskan sebuah pukulan dahsyat ke arah musuhnya.
Jurus serangan itu bernama Po hau peng ho (harimau
ganas menyeberangi sungai), suatu jurus serangan dikala
menghadapi bahaya, mekipun sederhana gerakannya tapi
hebat pukulannya, sebagai seorang ketua perkumpulan besar
tentu saja Tang Kwik-siu malu untuk menghindarkan diri, dia
melepaskan pula sebuah pukulan dahsyat untuk menyambut
datangnya ancaman tersebut.
“Blaaram….!” ketika sepasang telapak tangan saling beradu
satu sama lainnya terdengarlah suara ledakan yang
memekikkan telinga.
Kedua orang itu sama-sama bergetar keras, lengannya jadi
linu dan hampir saja tak sanggup digunakan lagi.
Kalau orang lain tentu akan segera mengakhiri
pertempuran itu, berbeda dengan Hoa Thian-hong, ternyata
makin bertempur ia semakin gagah, telapak tangan kirinya
segera dilontarkan kemuka melepaskan satu pukulan dahsyat.
Dalam keadaan begitu, tentu saja Tang Kwik-siu tak bisa
menyudahi pertarungan itu secara sepihak, terpaksa dia harus
melayani kembali pertarungan itu lebih jauh.
Pada saat itulah Yu beng tiamcu dari Kiu-im-kauw tiba-tiba
melayang masuk kedalam gelanggang dan membisikkan
sesuatu kesisi telinga ketuanya, Kiu-im Kaucu segera memutar
biji matanya berulang kali, tiba-tiba dia ulapkan tangannya
dan mengundurkan diri dari situ.
Tiamcu istana neraka dan Kek Thian-tok diam-diam
menyusul dari belakang, dalam waktu sekejap mata tiga sosok
bayangan manusia itu sudah lenyap dibalik kegelapan.
Betapa tercekatnya Kho Hong-bwee yang diam-diam
mengikuti gerak-gerik mereka, dalam hati segera pikirnya,
“Sampai sekarang Soh-gie dan Bong pay sekalian belum
sampai disini, jangan-jangan mereka telah menjumpai
hadangan?”
Berpikir sampai disitu, dia jadi amat gelisah, tentu saja tak
mungkin baginya untuk berlalu dari situ sebelum pertarungan
selesai, maka dengan suara lantang dia berteriak keras, “Dua
ratus gebrakan sudah penuh!”
Mendengar seruan itu, Tang Kwik-siu segera melayang
mundur kebelakang, sambil tertawa tergelak Katanya, “Hoa
kongcu, kegagahan dan keberanian mu sungguh pinto merasa
amat kagum!”
Maksud perkataan itu jelas berganda, yang dia maksudkan
adalah keberanian saja yang dimiliki pemuda itu, padahal ilmu
silatnya toh cuma begitu saja.
Hoa Thian-hong merasa tak senang hati apa lagi setelah
menyaksikan mimik wajahnya yang amat bangga dan bernada
mengejek, ia segera menjura dan menunjukkan sikap seolaholah
menghantar tamu untuk pergi, sementara mulutnya tetap
membungkam dalam seribu bahasa.
Tang Kwik-siu tertawa pongah, dengan sorot mata tajam ia
perhatikan sekejap wajah Hoa Hujin, lalu pikirnya dihati,
“Perempuan ini paling-paling bau berusia empat puluh
tahunan, tak disangka dulunya sudah menjadi seorang
pimpinan dari kaum pendekar didaratan Tionggoan. benarbenar
aneh….!”
Berpikir sampai disitu, bibirnya lantas bergetar seperti mau
mengucapkan sesuatu, tapi ketika dilihatnya paras muka Hoa
Hujin amat serius dan hawa nafsu membunuh menyelimuti
seluruh wajahnya, ia batalkan maksudnya untuk bercakapcakap,
setelah tertawa dingin ia lantas membawa ketiga orang
muridnya untuk berlalu dari situ.
Setelah empat jagoan dari Seng sut hay itu berlalu, Hoa
Hujin baru bergerak maju kedepan dan saling menegur
dengan Dewa suka pelancongan Cu Thong.
Kemudian kepada Kho Hong-bwee, katanya sambil tertawa,
“Hian Moay, selamat berjumpa kembali! Aku dengar engkau
sudah belasantahun lamanya mengasingkan diri dan bertapa,
mengapa sekarang muncul kembali dalam dunia persilatan?”
Kho Hong-bwee tertawa getir dan gelengkan kepalanya.
“Yaa…. apa boleh buat lagi? Demi anak terpaksa aku harus
berbuat begini”
Sementara itu Pek Kun-gie merasa sedih dan susah sekali
sejak Chin Wan-hong munculkan diri ditengah mereka, pada
mulanya dia masih dapat menguasai diri, akan tetapi setelah
mendengar perkataan dari ibunya, ia merasa perih hatinya
dan sedih sekali, tak tahan titik air mata jatuh berlinang
membasahi wajahnya, cepat ia putar badan membelakangi
semua orang sehingga siapapun tak melihat kalau dia sedang
meneteskan air mata.
Hoa Hujin melirik sekejap bayangan punggung Pek Kun-gie
yang ramping dan halus, setelah menghela napas panjang,
bisiknya kepada diri Kho Hong-bwee dengan lirih, “Bocah itu
terlalu romantis dan besar cintanya, enci yang bodoh sih
memang amat suka kepadanya”
Mendengar perkataan itu, satu ingatan cepat melintas
dalam benaknya, segera ia berpikir, “Jangan-jangan ia
maksudkan bahwa karena sesuatu halangan maka ia tak bisa
menerima putriku?”
Sementara masih termenung, sorot mata nya tanpa sadar
dialihkan keatas wajah Chin Wan-hong.
“Hong ji cepat kemari dan temui bibi dari keluarga Pek!”
buru-buru Hoa Hujin berseru.
Dengan langkah yang lemah gemulai Chin Wan-hong maju
kedepan, sambil memanggil Bibi ia memberi hormat.
Sambil tersenyum Kho Hong-bwee memperhatikan semua
tingkah laku Chin Wan-hong terasa olehnya gadis itu amat
supel, lemah lembut, halus dan agung, gayanya memang gaya
seorang perempuan dari keluarga yang terhormat, hal ini
membuat hatinya jadi sedih dan menghela nanas panjang,
pikirnya, “Aah sudahlah, Chin Wan-hong memang pantas jadi
menantunya keluarga Hoa, siapa yang berani mengatakan ia
tak pantas?”
Berpikir sampai disitu, dengan perasaan putus asa ia
tertawa paksa dan katanya lagi kepada Hoa Hujin, “Putranya
gagah, menantunya pintar dan halus, enci Bun! Engkau
memang hok-ki dan sangat bahagia….!”
Hoa Hujin tersenyum, ia seperti mau mengucapkan sesuatu
tapi niatnya itu kemudian dibatalkan.
Perlu diketahui, dulunya Hoa Hujin dan Kho Hong-bwee
disebut sepasang perempuan tercantik dalam dunia persilatan,
itu berarti sejak dahulu mereka adalah sahabat lama.
Akan tetapi dikarenakan jalan yang di tempuh Hoa Goansiu
dan Pek Siau-thian berbeda maka hubungan antara Hoa
Hujin dengan Kho Hong-bwee juga tanpa sadar terhalang oleh
selapis selaput tipis, dengan adanya halangan ini dengan
sendirinya bubungan mereka berduapun semakin lama
semakin jauh.
Apalagi sekarang setelah terjadinya affair cinta antara Hoa
Thian-hong dengan Pek Kun-gie, kedua belah pihak merasa
semakin serba salah untuk menanggulanginya.
Keluarga Hoa adalah keluarga besar dunia persilatan
dengan jumlah keluarga yang amat minim, berbicara menurut
hati pribadi Hoa hujjin sendiri, ia tidak menampik jikalau
putranya beristri muda lagi selain istrinya yang pertama.
Akan tetapi ia tak berani bertindak secara gegabah dengan
menyetujui perkara itu dengan begitu saja, sebab dengan
kecantikan dan keangkuhan Pek Kun-gie belum tentu dia
bersedia berada dibawah tingkatan orang lain.
Yang paling dikuatirkan Hoa Hujin adalah pertengkaran
yang bakal terjadi setelah ia dan Chin Wan-hong bersuamikan
satu orang.
Jangankan Kiu-tok Sianci pasti menentang sekalipun Hoa
Hujin yang cerdik dan bijaksanapun merasa tak tega hati.
Sebaliknya kalau ditolak, ia juga tak tega, pertama karena
ia terharu sekali dengan penampilan Kho Hong-bwee dalam
pertemuan Kian ciau tay hwee untuk menegakkan keadilan,
kedua, iapun merata terharu oleh sikap Pek Kun-gie yang
begitu tergila-gila kepada putranya.
Bilamana ia tidak kuatirkan sikap Kiu-tok Sianci yang terlalu
keras dengan pendirian sudah pasti sedari dulu-dulu dia telah
memberikan persetujuannya.
0000O0000
77
KHO HONG-BWEE termasuk seorang perempuan bertinggi
hati, setelah merasakan betapa kakunya suasana di tempat
itu, timbullah pikiran untuk membawa putrinya berlalu dari
situ.
Siapa tahu sebelum ia melaksanakan niatnya itu, tiba-tiba
Chin Wan-hong menghampiri Pek Kun-gie dan menggandeng
tangannya, kemudian kedua orang itu terlibat dalam suatu
pembicaraan yang mengasyikkan.
Menyaksikan itu dia tertegun, tapi segera dirasakan olehnya
bahwa gelagat semacam ini sangat menguntungkan putrinya,
maka niatnya untuk berlalu juga segera dibatalkan.
Kepada Hoa Hujin segera ujarnya sambil tersenyum.
“Menurut berita yang tersiar dalam dunia persilatan,
katanya tenaga dalam yang dimiliki enci Bun telah buyar dan
musnah rupanya berita itu cuma berita sensasi belaka,
kenyataannya engkau tetap tangguh dan hebat, kejadian ini
sungguh patut digirangkan!”
Hoa Hujin tertawa geli mendengar perkataan itu, sahutnya.
“Engkau ikut tertipu, pada hakekatnya tenaga dalam yang
enci miliki benar-benar telah buyar dan sekarangpun aku
sedang berlatih kembali dari permulaan, untungnya ilmu
meringankan tubuh yang ku miliki dengan cepat telah pulih
kembali satu dua bagian maka ketika kugertak Tang Kwik-siu
tadi sengaja kuhimpun segenap kemampuan yang kumiliki
untuk melayang dari situ kemari dengan kecepatan
semaksimal mungkin, padahal kakiku sekarang terasa jadi
lemas dan tak bertenaga hampir saja roboh keatas tanah!”
“Ooh, sungguh tak kusangka enci memiliki hati yang gagah
sampai setaraf itu, sungguh bikin Siau moay merasa sangat
kagum!” seru Kho Hong-bwee sambil tertawa.
“Aaai….! Keadaanku ibaratnya menunggang dipungung
harimau, apa daya kalau tidak terpaksa berbuat begitu?” sahut
Hoa Hujin sambil menggeleng dan tertawa getir.
Begitulah, makin berbicara kedua orang itu semakin asyik
sehingga melupakan segala-galanya.
Dipihak lain Chin Wan-hong masih tetap menggandeng
tangan Pek Kue Gie dan berbisik dengannya, tapi karena
suaranya lirih dan siapa pun tidak mendengar apa yang
sedang dibicarakan maka tak seorangpun yang tahu mereka
sedang membicarakan tentang soal apa.
Semua orang hanya melihat bagaimana Chin Wan-hong
berbisik lirih, sedang Pek Kun-gie berdiri tertegun dengan
kadangkala menggeleng kadangkala pula mengangguk,
Hoa Thian-hong paling gembira diantara beberapa orang
itu, ia sengaja melibatkan diri dalam pembicaraan yang asyik
dengan Tio Sam-koh dan Cu Thong.
Tio Sam-koh kelihatan penasaran sekali sekalipun sedang
ber cakap-cakap sepasang matanya mengawasi terus ke arah
Chin Wan-hong tanpa berkedip, kalau bukan Kho Hong-bwee
hadir pula di situ, niscaya ia sudah mendamprat gadis itu
habis-habisan.
Yang paling gelisah adalah Siau Ngo-ji, sedari tadi ia sudah
bermaksud untuk memata-matai pembicaraan dari kedua
orang dara itu apa lacur Hoa Thian-hong memegangi terus
tangannya sehingga ia tak bisa meronta, dalam keadaan
begini bocah cilik yang brilian ini jadi mati kutu nya.
Tiba-tiba dari bawah wuwungan rumah sebelah utara situ
muncul seorang pengemis cilik, sekilas pandangan Siau Ngo-ji
segera kenal rekannya itu, teriaknya keras-keras.
“Hey, si bisul, siapa yang lagi kau cari?”
Pengemis cilik itu segera memburu datang sambil
menyodorkan secarik kertas, sahutnya, “Ko toako suruh aku
menyampaikan ini kepadamu!”
Siau Ngo-ji menerima kertas itu, lalu coba dibacanya
dengan suara lantang, “Ing telah ditangkap Kiu-im-kauw….”
“Apa itu Kiu-im-kauw?” tukas Hoa Hujin sambil berpaling”
Dengan setengah meringis Siau Ngo-ji menjawab, “Oooh….
aku…. sisa tulisan itu aku tak mengerti….”
Hoa Thian-hong menyambar kertas itu dan dibacanya
sekejap, paras mukanya kontan berubah jadi pucat pias, ia
maju menghampiri ibunya seraya berkata, “Ibu, surat ini
berasal dari saudara Ko Thay, katanya Ku Ing-ing telah
ditangkap oleh orang-orang dari Kiu-im-kauw….!”
Setelah berhenti sebentar, ia melanjutkan, “Ketika terjadi
pertarungan diatas perahu tempo hari secara terang-terangan
ia telah mengkhianati Kiu-im Kaucu, dan kini sesudah
tertangkap kembali, aku kuatir kalau siksaan yang
dideritanya….”
“Hidup sebagai umat manusia, kita tak boleh melupakan
budi” ujar Hoa Hujin dengan wajah murung, “andaikata Ku
Ing-ing belum mati, maka kita harus pertaruhkan nyawa untuk
menolongnya lolos dari mara bahaya, sebaliknya kalau ia
keburu telah dibunuh, kitapun harus balaskan dendam bagi
kematiannya”
Sampai disitu, dia lantas menggape pengemis cilik itu
sambil serunya, “Hey, engkoh cilik, hayo kemarilah!”
Pengemis cilik itu maju mendekati dengan sikap yang
berbungkuk l karena kelewat menghormat sahutnya tergagap,
“Haa…. haamba…. be…. berr…. bernama…. sii…. si Bisul!”
Hoa Hujin tersenyum.
“Saat ini Ko toako mu itu berada di mana?”
Pengemis cilik itu menunjuk fceudara dan menyahut.
“Ddd…. dia…. ma…. masih ada urusan, sekarang belum
bisa menyambangi hujin!”
Kembali Hoa Hujin termenung beberapa saat lamanya, lalu
sambil berpaling ke arah Hoa Thian-hong katanya.
“Seng ji, pergilah mengikuti engkoh cilik ini, disamping
menyambangi saudara dari keluarga Ko sekalian tanyakan
masalah tertangkapnya Ku Ing-ing serta arah perginya orangorang
Kiu-im-kauw!”
“Baik ibu!” sahut Hoa Thian-hong dengan lurus kebawah,
lalu kepada pengemis cilik itu lanjutnya.
“Saudara cilik, hayo kita berangkat!”
Pengemis cilik itu segera melangkah pergi dari situ.
Betapa gelisahnya Siau Ngo-ji, cepat-cepat ia lari ke sisi
Chin Wan-hong seraya berbisik.
“Enso, hayo kita pergi bersama toako!”
Chin Wan-hong agak tertegun, ia lantas berpaling ke arah
mertuanya seraya berseru.
“Ibu, Siau Ngo-ji rindu dengan Ko toako nya, apakah dia
boleh ikut serta bersama engkoh Hong?”
“Suruh dia ikut pergi, sekalian berpamitan dengan Ko
toakonya itu!”
Siau Ngo-ji agak tertegun sesudah mendengar ucapan
tersebut, tapi sesaat kemudian ia sudah menarik Chin Wanhong
kesamping sambil bisiknya lirih, “Enso, engkau jujur dan
terlalu welas kasih, jangan biarkan ada orang lain ikut naik
keatas pembaringanmu, apalagi Pek….”
Pucat pias wajah Chin Wan-hong karena terperanjat, dia
kuatir ibu dan anak dari keluarga Pek ikut mendengar ucapan
tersebut, buru-buru tukasnya.
“Anak kecil tahu apa? Hayo tutup mulut dan jangan
sembarangan berbicara, sana! Ikut dengan toako mu”
Stan ngo ji masih penasaran, sebelum berlalu mengikuti
disamping Hoa Thian-hong, dia masih sempat melemparkan
sebuah kerlingan yang sangat dingin ke arah Pek Kun-gie.
Belum jauh tiga orang itu berlalu, tiba-tiba pintu samping
sebuah warung kelontong ditepi jalan terbentang lebar,
menynsul seorang pemuda berkulit hitam, berwajah persegi
dengan dada yang bidang dan tubuh penuh berotot
munculkan diri didepan mata.
Begitu melihat kemunculan pemuda itu, dengan kejut
bercampur girang Siau Ngo-ji segera berteriak keras.
“Ko toako!”
Begitu mengetahui kalau pemuda itu adalah Ko Thay,
dengan langkah cepat Hoa Thian-hong maju kedepan seraya
menjura.
“Saudara Ko!” katanya, “telah lama ku kagumi nama
besarmu, sungguh beruntung hari ini kita dapat saling
berjumpa!”
Ko Thay tertawa, ia balas memberi hormat sambil
sahutnya.
Siaute merasa malu untuk berjumpa dengan Hoa toako….
“Aah, janganlah saudara memandang asing terhadap kami,
mari, kuperkenalkan saudara dengan ibuku!” kata Hoa Thianhong.
Ia tarik lengannya yang kekar dan berotot itu untuk diajak
maju ke arah depan.
Setibanya dihadapan Hoa Hujin, Ko Thay melepaskan diri
dari cekalan dan segera jatuhkan diri berlutut keatas tanah,
serunya.
“Hamba Ko Thay menjumpai hujin!”
Hoa Hujin ada maksud untuk menghalangi tapi tak sempat,
betapa terharunya perempuan ini, cepat serunya, “Nak, tak
usah banyak adat, Bun si tidak memiliki kebaikan budi apapun,
tak berani kuterima penghormatan sebesar ini!”
Sambil berkata ia lantas bangunkan Ko Thay dari atas
tanah.
Sementara itu, dari terapat kejuhan tiba-tiba melayang
datang sesosok bayangan manusia, dalam sekilas pandangan
Kho Hong-bwee segera kenali orang itu sebagai pelayannya, ia
lantas berderu lantang.
“Oh Sam, dimana para pelindung hukum yang lain?”
“Lapor Cubo!” seru Oh Sam sambil memberi hormat, “para
pelindung hukum telah mengejar orang-orang dari Kiu-imkauw
ke arah selatan, mungkin pada saat ini mereka sudah
berada seratus li lebih dari tempat ini!”
“Karena urusan apa mereka mengejar orang-orang Kiu-imkauw?
dan dimanakah Soh-gie?” tanya Kho Hong-bwee
dengan alis mata berkenyit.
“Toa siocia berada bersama-sama para pelindung hukum!”
jawab Oh Sam.
Setelah berhenti sebentar, ia melanjutkan kembali
penuturannya.
“Senja tadi, rombongan kami telah berjumpa dengan
orang-orang Kiu-im-kauw, kami lihat mereka telah berhasil
menawan Giok Teng Hujin yang berkhianat, menyaksikan
kejadian itu Bong sauhiap yang pernah berhutang budi dari
perempuan itu segera maju untuk memberikan
pertolongannya, toa siocia kami ikut pula memberikan
pertolongan maka kami semua terlibat dalam suatu
pertarungan yang sengit, Bong sauhiap yang begitu bernafsu
untuk menolong orang, berulang kali melakukan tubrukan
secara ganas dan gencar, tapi toh akhirnya bukan saja gagal
menolong orang, dia sendiri harus menderita luka….”
“Bagaimana keadaan lukanya?!” tanya Cu Thong dengan
gelisah.
“Cukup parah lukanya, tapi semuanya adalah luka luar
sehingga tidak sampai membahayakan jiwanya!”
Bagaimana selanjutnya?! sela Cu Thong kemudian.
“Jumlah kekuatan dari Kiu-im-kauw jauh lebih banyak
daripada kami, karena itu walaupun pertarungan berlangsung
cukup sengit kami tetap gagal untuk memberikan
pertolongannya. Pihak Kiu-im-kauw sendi ripun tiada bernafsu
untuk melangsungkan pertarungan lama, setelah berhasil
meloloskan diri, mereka segera kabur mennju ke arah selatan,
karena Bong sauhiap mengejar terns, terpaksa kami semua
harus mengikuti juga kemana ia pergi….!”
Tidak menunggu Oh Sam menyelesaikan kata-katanya, Co
Thong telah terseru kepada Kho Hong-bwee, “Terima kasih
atas bantuan perkumpulanmu, kuucapkan banyak-banyak
terima kasih lebih dahulu!”
Sebelum Kho Hong-bwee sempat menyelesaikan katakatanya,
ia telah berseru pula kepada Hoa Hujin, “Sampai
jumpa lain kesempatan!” Sekali menjejak tanah, ia telah kabur
dari situ
“Cu teng….!” cepat Hoa Hujin berteriak, “lengan kirimu toh
masih terluka….”
Belum habis perkataan itu diutarakan, Cu Thong sudah
berada dimulut jalan sebelah depan sana dan lenyap dari
pandangan mata.
Sesudah perginya Cu Thong, suasana untuk sesaat jadi
hening dan sepi, semua orang membungkam dalam pikirannya
masing-masing.
Selang sesaat, Kho Hong-bwee baru buka suara dan
berkata setelah termenung beberapa saat lamanya.
Enci Bun, apakah engkau tahu kebaikan apa toh yang
pernah didapatkan Bong sauhiap dari diri Giok Teng Hujin?”
Hoa Hujin menghela nafas panjang.
“Asai! Beginilah kisahnya” kata perempuan itu kemudian,
“nona itu pernah menghadiahkan sebatang Lengci berusia
seribu tahun kepada putraku, dengan obat mujarab itulah
racun teratai yang terkandung didalam tubuhnya berhasil
dipunahkan, sedang sisanya yang separuh telah digunakan
untuk menolong nyawa tiga orang yang menderita luka parah
dikala sedang berlangsungnya pertemuan besar Kian ciau tay
hwe. Nah, Bong pay adalah seorang penerima budi tersebut!”
“Ooh jadi Bong sauhiap masih ingat dengan sumber
datangnya budi pertolongan itu? Kalau demikian, dia tentunya
seorang yang gagah dan bijaksana!”
Hoa Hujin tersenyum.
Aku pernah memberi pelajaran ilmu silat kepadanya, bocah
itu terlalu mengerti akan perasaan orang lain dan lagi jujur
serta bersifat terbuka, memang anak semacam itu terhitung
sebagai seorang murid yang bagus dan menyenangkan!”
Berbicara sampai disini, mereka berdua saling
berpandangan sambil tertawa, tawanya penuh arti yang
mendalam.
Maka Kho Hong-bwee pun minta diri, katanya, “Aku harus
buru-buru berangkat, sebab Kiu-im Kaucu sudah berangkat
keselatan, sedang budakku berada pula ditengah perjalanan,
kalau sampat saling bertemu…. waah, bisa berabe!”
Hoa Hujin termenung sebentar, kemudian dengan nada
yang membawa arti mendalam ia menyabut, “Aku sendiripun
harus segera berangkat keutara, hian moay! Bila engkau tidak
menampik, silahkan mampir dalam perkampungan Liok soatsan
ceng, marilah kita berbicara lebih serius selama beberapa
hari!”
Diam-diam Kho Hong-bwe merasa bergirang hati, betapa
tidak? Dengan diutarakannya perkataan itu berarti pula kalau
janda dari Hoa tayhiap ini telah memberi perlambang
kepadanya bahwa ia bersedia merundingkan soal bubungan
anak-anak mereka dengan lebih serius.
Sudah tentu tawaran seperti ini tidak di tampik dengan
begitu saja, begitulah dengan wajah berseri ia lantas berlalu
dengan membawa serta Pek Kun-gie dan Oh Sam.
Pek Kun-gie sama sekali tidak membantah sebab dalam
hati kecilnya ia bisa menduga bahwa Hoa Thian-hong tentu
akan berangkat untuk menolong Giok Teng Hujin dan
bagaimanapun juga ia tak mungkin bisa tetap tinggal disana,
maka gadis itupun ambil keputusan untuk menanti ditengah
jalan.
Dalam waktu sekejap ketiga orang itupun sudah berlalu
dari sana dan lenyap dari pandangan.
Sepeninggalnya Kho Hong-bwee bertiga, Hoa Hujin baru
menatap sekejap sisa jago yang masih ada disitu, tiba-tiba
serunya kepada Ha putule, “Eaah…. engkoh cilik, bukankah
dendam sakit hati perguruanmu telah kau tuntut balas? Kalau
tidak terburu-buru kembali ke See ih, bagaimana kalau
bermain dulu selama tiga tahun dalam perkampungan Lik soat
san ceng kami? Setelah itu baru berangkat pulang ke desa!”
“Bibi tak usah kuatir, aku bisa palang seorang diri, aku tak
takut menghadapi mara bahaya macam apapun sepanjang
perjalanan!”
“Aku tidak bermaksud begitu, kata Hoa Hujin sambil
tersenyum, setelah berhenti sebentar, lanjutnya lebih jauh.
“Sudah lama kudengar orang berkata bahwa pengaruh dari
Mo-kauw sudah meluas sampai ke tepi perbatasan,
perbuatannya sewenang-wenang dan tidak mengenal arti
perikemanusiaan, oleh sebab itu aku pikir apa bila engkau
bersedia untuk mengikuti aku selama tiga tahun, maka akan
kugunakan waktu yang sebaik-baiknya untuk mewariskan
segenap kepandaian silat yang kumiliki kepadamu, dengan
harapan suatu ketika engkau bisa kembali ketempat asalmu
dan memberantas pengaruh Mo-kauw dari sekitar tempat itu”
“Saudaraku” ujar Hoa Thian-hong pula, perguruanmu telah
mengalami kehancuran, dan sekarang tinggal kau seorang
yang masih tetap hidup, bila kau bisa bangkitkan semangatmu
dan mengangkat kembali nama besar perguruanmu, aku yakin
arwah Siang locianpwe yang berada di alam baka pasti akan
bergiring hati menyaksikan kesukses anmu itu”
Merahlah sepasang mata Haputule sesudah mendengar
perkataan itu, katanya, “Berbahagialah aku setelah ada
kesediaan bibi untuk wariskan ilmu silatnya kepadaku akan
tetapi pedang emas itu adalah….”
Tiba-tiba ia berhenti berbicara dan mengalihkan pokok
pembica-raan kesoal lain, katanya, “Asalkan pedang emas itu
terjatuh ketangan Hoa toako, aku rela menyerahkannya
kepadamu!”
“Tidak!” tampik Hoa Thian-hong dengan tegas, “belajarlah
ilmu silat lebih dahulu dengan ibuku, sedang aku akan
berusana keras untuk menemukan kembali pedang emas itu,
asal kutemukan pastilah akan kuserahkan kepadamu!”
Haputule berpikir sebentar, lalu menjawab.
“Aku sendiri cuma menginginkan pedang emas itu,
sementara kitab Kiam keng itu sendiri sama sekali tiada
hubungannya dengan perguruan pedang pendek kami,
sekalipun engkau hadiahkan kepadaku, aku belum tentu mau
menerimanya!”
Hoa Thian-hong tersenyum, “Kalau toh ibuku bersedia
mewariskan ilmu silatnya kepadamu, itu berarti hubungan kita
ibaratnya antara sesama saudaru seperguruan, andaikata
kitab kiam keng benar-benar terjatuh ketanganku, perduli
menjadi siapa toh sama saja!”
“Macam apa toh pedang emas itu?” tiba-tiba Ko Thay
menyela dari samping gelanggang.
Dari sakunya Haputule mencabut keluar pedang peraknya,
kemudian menjawab, “Menurut keterangan guruku, pedang
emas itn dibentuk dari sari emas yang kuat, beratnya dua
puluh satu kali lebih mantap daripada bobot emas biasa,
dibandingkan besi tujuh belas kali lipat lebih berat dan
dibandingkan dengan baja beratnya empat belas kali lipat,
bukan saja pedang emas itu tajamnya luar biasa melebihi
pedang mustika apapun juga, bentuknya minim dan cuma
beberapa senti meter, pokoknya persis sekali bentuknya
dengan pedang perak ini”
Dengan seksama Ko Thay memperhatikan pedang perak itu
dia lihat bentuknya kecil dan panjangnya berikut gagang
pedang cuma enam cun, gagang maupun pedangnya melebur
menjadi satu bahkan jauh lebih pendek dari pada pisau belati
biasa, sepintas lalu orang akan mengira pedang itu sebagai
pedang mainan.
Melihat akan hal itu, tak kuasa lagi pemuda kekar ini
menge-rutkan dahinya, tiba-tiba ia berpaling dan mengamati
jenasah Pia Leng-cu dengan seksama.
Menyaksikan gerak-gerik orang, Hoa Thian-hong berkata,
“Le Kiu dari Kiu-im-kauw telah menggeledah sekujur badan Pia
Leng-cu dengan seksama, dia adalah seorang jago yang
berpengalaman luas, andaikata pedang emas itu benar-benar
berada di badan Pia Leng-cu, aku pikir senjata itu tentulah
sudah didapatkan olehnya!”
“Aku rasa Pia Leng-cu adalah seorang manusia licik yang
mempunyai banyak tipu muslihat, tak mungkin ia tega dan
lega hati meletakkan pedang mustika yang disayangi itu di
tempat lain, aku cukup mengenal watak manusia semacam ini,
agar enak makan dan nyenyak tidur senjata tersebut pasti
digembol terus dalam sakunya apalagi kalau ia sudah tahu
bahwa pedang mustika itu setiap saat bakal lenyap pastilah
dia akan membawanya terus menerus dengan ha rapan bila
dia mati maka senjata itu akan dibawanya pula masuk keliang
kubur”
“Benar juga pandanganmu ini, puji Hoa Hujin, kalau
pedang emas itu tidak berada ditubuh Pia Leng-cu, maka ia
tak bisa di hitung sebagai seorang manusia yang besar sekali
rasa curiganya!”
Berbicara sampai disitu, tiba-tiba ia seperti merasakan
sesuatu, cepat sorot matanya di alihkan ke arah Pia Leng-cu.
“Boanpwe sendiripun hanya berpikir seandainya saja, benar
atau keliru sama sekali tidak mempunyai keyakinan, harap
kalian bersedia untuk memakluminya!” ujar Ko Thay tenang.
Selangkah demi selangkah ia menghampiri jenasah Pia
Leng-cu dan mulai periksa sepatu yang dikenakan olehnya.
Dengan perasaan ingin tahu semua orang merubung
kedepan, tampaklah Ko Thay mencabut keluar sebilah pisau
belati, kemudian dengan sekuat tenaga ia merobek sepatu
yang digunakan Pia Leng-cu itu sehingga robek menjadi dua
bagian, tapi disitu ia tak berhasil menemukan sesuatu apapun,
Ko Thay segera mencabut kembali pisau belatinya setelah
itu melirik sekejap ke arah kaki kiri Pia Leng-cu yang cacad, ia
keliha tan agak sangsi sehingga untuk beberapa saat lamanya
tidak berani turun tangan secara gegabah.
Hoa Hujin tersenyum sesudah menyaksikan kejadian itu, ia
berkata, “Siapapun tak dapat menduga kejadian dengan tepat,
apa salahnya kalau kita coba saja untuk memeriksanya, siapa
tahu kalau tebakan kita tidak meleset?”
Ko Thay tidak ragu-ragu lagi, pisau belatinya segera
ditekan kebawah dan merobeknya keras-keras pada sepatu
kiri yang dikenakan Pia Leng-cu, belum terlalu dalam ia
memotong, mendadak tangannya jadi enteng dan tahu-tahu
ujung pisau belatinya sudah kutung bebera pa bagian.
“Hoore…. kita berbasil temukan pedang itu!” seru Siau Ngoji
kegirangan.
Lega juga perasaan hati Ko Thay, setelah
memperhitungkan arahnya dengan tepat, sekali lagi ia
menyobek sepatu kiri Pia Leng-cu, dalam waktu singkat
tampaklah cahaya emas memancar keempat penjuru, dari
dasar alas sepatu itu tampaklah terselip sebilah pedang
pendek.
Pedang emas itu dibungkus oleh selapis kulit ular sehingga
hanya gagang pedangnya saja yang kelihaian dari luar, akan
tetapi gagang pedang itu berwarna emas dan memancarkan
cahaya yang tajam, sehingga siapapun merasa silau sesudah
memandangnya.
Ko Thay cabut keluar pedang itu, habis dibersihkan kotoran
yang menempel pada pedang itu dengan bajunya, ia lantas
menyerahkan ketangan Hoa Hujin dengan sikap yang hormat.
Hoi hujin menerima pedang itu, setelah meloloskan sarung
kulit ularnya, ia angkat pedang yang sudah menggetarkan
sungai telaga selama puluhan tahun dan mengakibatkan
pertumpahan darah yang mengerikan itu keudara.
Meskipun para jago yang mengerubungi disekitarnya tiada
bernafsu serakah ataupun ingin mendapatkannya, tak urung
tergetar juga perasaan hati mereka.
Setelah semua orang mengamatinya beberapa saat, tibatiba
Hoa Hujin menghela napas panjang, lalu kepada Hoa
Thian-hong katanya, “Demi pedang kecil ini, Ciu It bong sudah
hidup menderita selama banyak tahun, di mana akhirnya
jiwapun ikut melayang tinggalkan raganya, sebagai orang
yang berhutang budi kepadanya engkau jangan melupakan
kebaikan yang pernah kau terima itu, ketahuilah keberhasilanmu
bertarung melawan Tang Kwik-siu sebanyak dua
ratus ge brakan sebagian benar adalah berkat pemberiannya!”
“Perkataan itu memang besar” sahut Hoa Thian-hong,
“ananda telah mempunyai rencana untuk mencarikan seorang
pewaris baginya, sehingga ilmu pukulan Kun siu ci tan
(pergulatan terakhir binatang yang terjebak) hasil ciptaannya
itu bisa terwaris hingga pada generasi yang akan datang,
dengan begitu akupun bisa pula membalas budi kebaikannya”
“Kalau engkau memang punya rencana itu, bagus sekali
kata Hoa hnjin sambil mengangguk. Ciu It bong adalah
seorang jago yang gagah berani dan hidup luntang lantung
seorang diri, ia terhitung seorang laki-laki sejati, seorang
enghiong hoohan, siapa pun akan berbangga hati apabila bisa
menjadi ahli warisnya”
Setelah berhenti sebentar, sambungnya lebih jauh, “Kuo siu
ci tan kurang sedap didengar dalam pendengaran, kita carikan
saja nama lain yang lebih bagus!”
Hoa Thian-hong berpikir sebentar, kemudian sahutnya,
“Sekalipun Ciu locianpwe suka hidup luntang lantung seorang
diri, ilmu pukulan hasil ciptaannya amat rumit dengan
perubahan yang tak terhitung jumlahnya dalam satu gebrakan
mungkin tersimpan beratus-ratus jenis perubahan lain, Ibu,
bagaimana kalau kunamakan saja jurus pukulannya itu
sebagai ilmu pukulan Hau in ciang hoat?” Hoa Hujin
mengangguk.
“Bagus, nama Hau in ciang hoat memang sangat tepat!
Cuma, engkau harus ingat, bila engkau hendak menerima
murid maka pertama yang musti kau perhatikan adalah watak
serta perangainya, kedua dia musti berbakat baik, sedang
yang lain boleh tidak terlampau diperhatikan, ingat?”
Hoa Thian-hong mengangguk tiada hentinya tanda
mengerti.
Tiba-tiba terdengar Tio Sam-koh berseru dari samping,
“Eeeh, hayo cepat ambil keluar kitab pedang Kiam keng itu,
aku ingin lihat macam apakah bentuk kitab itu?”
Hoa Hujin tertawa, ia serahkan pedang emas itu ketangan
Hoa Thian-hong lalu berkata, “Ambillah keluar kitab Kiam keng
itu, agar semua orang ikut menyaksikan bentuk kitab
tersebut!”
“Tapi…. tapi…. ibu, pedang baja itu adalah barang
peninggalan ayah, tidakkah terlalu sayang kalau dirusak?” kata
Hoa Thian-hong dengan hati sangsi.
Hoa Hujin menghela napas panjang.
“Aaai…. kitab kiam keng adalah benda pokok, sedang
pedang baja itu hanya pelengkap yang digunakan sebagai
tempat penyimpanan belaka, sekalipun akhirnya harus rusak,
yaa apa boleh buat lagi?”
Hoa Thian-hong tak berani membantah perintah dari
ibunya lagi, pedang bajanya segeta dicabut keluar, sebelum
melakukan penebasan, ia sempat berpaling ke arah Haputule
seraya berkata, “Saudaraku, jikalau pedang emas ini sampai
rusak atau gumpil….”
“Toako tak usah sangsi ataupun ragu” tukas Haputule
dengan cepat, “sekalipun rusak juga tidak menjadi soal!”
Hoa Thian-hong tidak ragu lagi, ia pegang pedang bajanya
dengan tangan kiri dan memegang pedang emas dengan
tangan kanan, ketika senjata itu ditebas kebawah….
“Criing….!” diiringi suara dentingan nyaring dan kilatan
cahaya emas, patahlah pedang baja itu menjadi dua bagian.
Memang tak salah, ruang kosong terdapat dalam pedang
baja itu, dalam ruang kosong tadi terseliplah satu gulungan
kain warna kuning.
Menyaksikan gulungan kain itu, Hoa Thian-hong
menghembuskan napas panjang, katanya, “Aaii!….! Untung
pedang baja ini tak terbuang dengan percuma ternyata
memang benar-benar ada isinya!”
Pedang emas itu diperiksa pula dengan seksama, ketika
dilihatnya senjata itu utuh dan sama sekali tidak cedera,
cepat-cepat diserah kan kepada Haputule.
Kemudian gulungan kain kuning itu baru dicabut keluar
dengan sangat hati-hati, lalu di serahkan kepada ibunya.
Menerima gulungan kain kuning itu, serta-merta Hoa Hujin
mem buka dan memeriksanya dengan teliti, ia lihat kain itu
terbuat dari bahan sebangsa nilon yang halus tapi sangat
kuno, panjangnya delapan cun dengan lebar enam tujuh depa,
tulisan yang terukir diatas kain itu sangat rapat dengan
sebesar kepala lalat, diantaranya terselip juga tulisan yang
dibuat dengan tinta merah yang menyolok, selain itu dihiasi
pala dengan seratus lebih gambaran manusia dengan bentuk
yang berbeda-beda.
Sementara itu fajar baru saja menyingsing, di tengahtengah
remangnya cuaca tak mungkin bagi Hoa Hujin yang
tenaga dalamnya buyar untuk meneliti tulisan itu, karenanya
walaupun gulungan kain ada didepan mata, ia tak mampu
untuk membaca isinya.
Kendatipun demikian, dari lukisan yang tertera disitu ia
tahu bahwa isinya benar-benar adalah kitab kiam keng.
“Tampaknya gulungin kain ini memang benarbenar
berisikan jeri payah dari malaikat pedang Gi Ko” pikirnya
dalam hati.
Setelah diamatinya sekejap, gulungan kain itu lantas
diserahkan kepada Tio Sam tokoh, katanya, “Kurang jelas
penglihatanku, biar Sam-koh saja yang periksa, apakah isinya
benar-benar benda mustika atau bukan!”
Tio Sam-koh menerimanya, kemudian tanpa dilihat segera
dilipat dan diserahkan ke tangan Hoa Thian-hong sembari
berkata, “Aku malas untuk menelitinya lebih jauh
bagaimanapun toh isinya tetap berupa sejilid kitab kiam keng,
Nah, bawa saja dalam sakumu dan pelajarilah secara
perlahan-lahan!”
Hoa Hujin yang ada disampingnya segera menambahkan
pula dengan nada serius.
“Peninggalan orang kuno harus dipelihara dan dilindungi
dengan sebaik-baiknya, jangan aampai rusak atau hilang
dirampas orang!”
“Ananda tak berani gegabah!” jawab Hoa Thian-hong
bersungguh-sungguh.
Bicara sampai disini, dia lantas menyimpan baik-baik Kitab
kiam keng itu dalam sakunya, kemudian baru minta petunjuk
akan tugas yang harus dilakukan diwaktu mendatang.
Hoa Hujin termenung dan berpikir sebentar, lalu katanya.
“Kami harus pulang kerumah, sedang engkau berangkatlah
seorang diri menuju keselatan, berusahalah keras untuk
selamatkan Ku Ing-ing dari mara bahaya, aku tahu tugasmu
kali ini sangat berat dan sukar, dengan ilmu silat yang dimiliki
Kiu-im Kaucu saja ia sudah mampu menandingi dirimu, apalagi
kalau anak buahnya memberi bantuan. Aku sendiri tiada ide
atau pendapat lain yang bisa kuberikan kepadamu, aku rasa
lebih baik lakukanlah semua tugas itu menuruti suara hatimu
sendiri!”
“Ilmu silat yang dimiliki Tang Kwik-siu jauh diatasmu”
sambung Tio Sam-koh pula, “sedangkan Kok See-piauw
bangsat cilik itu selalu bikin onar dari tengah, sudah pasti dia
akan mencari gara-gara lagi dengan dirimu, bila engkau
hendak mengatasi kesulitan ini maka satu-satunya jalan
adalah pergiat latihan ilmu silatmu, bila mendapatkan
kesempatan bereskan saja nyawa keparat cilik she Kok itu!”
Hoa Thian-hong mengiakan berulang kali, selesai
mendapatkan wejangan tersebut, dia baru berpaling ke arah
Ko Thay dan bertanya, “Saudara Ko, apakah engkau
mempunyai rencana lain?”
Ko Thay tersenyum.
“Aah, siaute cuma seorang manusia biasa, buat manusia
macam aku sih tak ada rencana apa-apa, semua kesulitan
kuatasi setelah berada didepan mata!”
“Nak, ikut saja kami pulang keperkampungan Liok soat san
ceng, dan berdiamlah selama beberapa tahun disana!” tibatiba
Hoa Hujin mengusulkan dari samping.
Untuk sesaat Ko Thay kelihatan agak tertegun, tapi ia
segera menggeleng seraya menjawab.
“Aku merasa sangat berbangga hati apabila bisa mendapat
didikan langsung dari bibi, cuma aku tahu bibi repot dengan
urusan bibi sendiri, dan lagi bakat boanpwe untuk belajar silat
sangat cetek, ingin belajar dari depan rasanya sudah
terlambat karena usiaku sudah tua dan hasilnya dikemudian
haripun terbatas, karena itu aku lebih baik menolak saja
penawaran bibi yang sangat menggiurkan hati itu!”
Caranya menolak memang sangat halus tapi semua orang
tahu bahwa hatinya amat sedih dan pedih sehingga nada
suaranya ikut kedengaran agak gemetar….
Sejak perjumpaannya untuk pertama kali ini, rupanya Tio
Sam-koh menaruh kesan yang baik terhadap diri Ko Thay,
sesudah mendengar perkataan itu tiba-tiba ia menyela dari
samping, “Barusan, bukankah engkau mengatakan hendak
carikan seorang ahli waris bagi Ciu It bong? Menurut
pendapatku, Ko Thay adalah calon ahli waris yang paling tepat
untuk Ciu It bong!”
Tampaknya Hoa Thian-hong merasa bahwa cara itu
memang berkenan di hatinya, cepat ia menegur.
“Saudara Ko, apakah engkau bersedia!”
“Tentu saja siaute bersedia!” jawab Ko Thay sambil
mengangguk.
Setelah berhenti sebentar, ia melanjutkan
“Aku tahu, saat ini Hoa toako sedang repot dan banyak
urusan, maka siaute pikir alangkah baiknya kalau kugunakan
kesempatan ini untuk berkunjung dahulu kelembah Cu-bu-kok,
akan kucari jenasah dari Ciu locianpwe dan menguburnya
ditempat yang lebih layak, setelah kuangkat beliau sebagai
guruku, rasanya waktu itulah baru tepat bagiku untuk belajar
silat peninggalannya!”
Hoa Hujin lantas berpikir dihati, “Bocah ini memang tahu
diri, tebal sekali rasa setia kawan dan penghormatannya
terhadap golongan tua, aku gembira sekali bisa memperoleh
seorang rekan seperti dia!”
Dengan cepat katanya, “Baiklah, kalau memang begitu kita
tetapkan saja persoalan ini sampai disini, sekarang menolong
orang lebih penting, cepatlah pergi Seng ji….!”
Hoa Thian-hong tak berani membantah perintah tbunya,
terpaksa dia berpamitan dengan orang-orang itu dan segera
melanjutkan perjalanannya menuju keselatan.
Sementara itu, Hoa Thian-hong telah tinggalkan kota Lok
yang dan berangkat menuju ke selatan, ia tahu bahwa Pek
Kun-gie pasti akan menantikan dirinya ditengah jalan.
Siapa tahu, dugaan itu ternyata meleset, sekalipun sudah
melakukan perjalanan selama seharian suntuk, bayangan si
gadis cantik itu belum juga ditemukan.
Dalam keadaan begitu, dia merasa amat murung dan sedih
seolah-olah seperti telah kehilangan sesuatu, untungnya
pikiran itu segera terampas untuk memikirkan keselamatan
orang lain, maka untuk sementara waktu Pek Kun-gie dapat
dilupakan olehnya.
Terbayang akan Ku Ing-ing yang tertawan, tanpa sadar ia
memba-yangkan pula kegenitan perempuan itu, cinta kasihnya
yang mendalam serta tingkah laku yang romantis, dengan
perasaan kesal dan murung, ia meneruskan perjalannya
dengan cepat.
Jilid 25 : Pengorbanan tulus Giok Teng Hujien
TENGAH hari itu tibalah si anak muda itu didalam sebuah
dusun, karena merasa lapar dia ambil keputusan untuk
beristirahat dan mengisi perut lebih dahulu sebelum
melanjutkan perjalanannya lagi.
Dari kejauhan ia lihat ada sebuah warung dengan panji
tulisan “Arak” berkibar terhembus angin, dengan langkah lebar
ia lantas menghampiri warung itu, maksudnya ia hendak
minum arak untuk meng-hilangkan segala kemurungan yang
mencekam dirinya selama dua hari ini.
Ramai sekali warung arak itu apalagi letaknya ditepi sebuah
jalan raya, bukan saja bangunannya lebar dengan dua puluh
meja lebih, daganganpun ramai sekali.
Terutama disaat tengah hari, banyak orang bersantap
dalam warung itu sambil melepaskan dahaga, maka hampir
saja delapan bagian sudah penuh berisikan tamu.
Baru saja Hoa Thian-hong duduk disebuah meja kosong,
seorang pelayan yang basah oleh keringat telah datang
menghampiri sambil menyapa.
“Siangkong, engkan hendak pesan apa?”
“Siapkan sepoci arak dan beberapa macam sayur!” jawab
pemuda itu seenaknya.
Pelayan itu segera mengiakan dan berlalu.
0000O0000
78
SELANG SESAAT, pelayan telah muncul menghidangkan
sepoci arak dan sepiring daging sapi yang tampak lezat.
Dasar anak dusun yang sudah banyak tahun hidup diatas
bukit dan siang malam hanya memikirkan soal belajar silat,
kemudian setelah terjun kedalam dunia persilatan harus
terlibat dalam masalah yang pelik, menyaksikan hidangan
yaog lezat, kontan si anak muda itu menyikatnya densan
lahap.
ALWAYS Link cerita silat : Cerita silat Terbaru Cerita Silat ABG Dewasa : Tiga Maha Besar 3 [lanjutan bara maharani], cersil terbaru, Cerita Dewasa Cerita Silat ABG Dewasa : Tiga Maha Besar 3 [lanjutan bara maharani], cerita mandarin Cerita Silat ABG Dewasa : Tiga Maha Besar 3 [lanjutan bara maharani],Cerita Dewasa terbaru Cerita Silat ABG Dewasa : Tiga Maha Besar 3 [lanjutan bara maharani],Cerita Dewasa Terbaru, Cerita Dewasa Pemerkosaan Terbaru Cerita Silat ABG Dewasa : Tiga Maha Besar 3 [lanjutan bara maharani]
{ 1 komentar... read them below or add one }
Rugi Kalo Nggak Lihat Ini
Posting Komentar